Episode Petualangan Wiro Sableng Di Negeri
Sakura Jepang
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
SUARA
siulan Pendekar 212 berhenti, berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu dia
berada di kaki Gunung Fuji, memandang gunung berketinggian lebih dari 11.000
kaki yang sebagian besar dikelilingi salju abadi.
Wiro
rapatkan kerah baju tebalnya. Musim dingin segera berakhir namun di kaki
gunung, udara seperti tidak mengalami perubahan walau matahari tampak terang
benderang. Di sekelilingnya pohon-pohon Sakura bertebaran. Kebanyakan tertutup
salju tipis.
Dari
dalam saku baju Wiro keluarkan sebuah botol terbuat dari kaleng putih, lalu
membuka tutupnya dan meneguk isinya.
Wajahnya
yang tadi pucat, kini tampak kemerahan. “Kalau saja aku bisa dapatkan tuak,
rasanya pasti lebih segar dari sake ini. Tapi masih untung masih ada sake dari
pada tidak sama sekali, bisa mati kedinginan, Uhh…!”
Wiro
masukan botol minuman ke sakunya. Ketika hendak meninggalkan tempat, langkahnya
terhenti oleh suara kaki kuda. Wiro berpaling dan melihat seekor kuda coklat
polos tak berapa jauh dari dirinya. Seekor binatang liar yang kesasar. Tapi
ketika mendekat, ada pelana. Berarti dugaannya salah. Wiro dekati kuda coklat
tadi. Langkahnya terhentak ketika melihat noda merah di pelana dan badan kuda.
Ketika memperhatikan tanah, juga terdapat bercak merah. Bercak darah!
Pendekar
212 melangkah menuju arah darah di tanah. Noda itu lenyap di dekat serumpunan
belukar basah. Dia kembali ke arah semula dan melacak darah dari arah kiri.
Darah itu ternyata menuju ke arah Gunung Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda itu
masih menggesek-gesekan lehernya tapi tidak meringkik lagi. Wiro melangkah
mendekati, usap-usap leher dan memperhatikan bercak darah di pelana. Wiro
mengusap bercak di pelana lalu memperhatikan. Memang bercak darah.
Dengan
dedaunan yang dipetik di sekitar situ, Wiro bersihkan noda darah, lalu dengan
menepuk leher kuda, ia berujar, “Sobatku kau tentu sebelumnya membawa tuanmu
yang terluka. Tapi entah di mana dia sekarang. Saat ini biar aku yang menjadi
tuanmu. Antarkan aku ke Gunung Fuji,” setelah itu pendekar 212 langsung
melompat ka atas pelana dan menuju ke arah timur.
Walaupun
jalan mendaki dan licin, namun karena mengikuti jalan kecil yang sudah dibuat
orang sebelumnya, kuda coklat itu mampu berlari cepat. Ketika matahari tepat
berada di atas Wiro, ia telah berada ratusan kaki ke arah timur. Di sebuah
ujung terlihat rumah kayu. Di serambinya yang luas tampak empat sosok tengah
mengelilingi tubuh yang terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal. Ketika
mendengar suara kuda mendekati, keempat orang itu segera berpaling. Dua orang
melompat, dan yang seorang berseru. “Pembunuh itu berani datang lagi!”
Dua orang
menggerakkan tangannya ke punggung. Terdengar suara gemeresek hampir bersamaan.
Dua orang
tadi sudah berada di halaman rumah yang tertutup salju tipis. Tangan keduanya
sudah memegang sebilah katana (pedang panjang) yang berkemilau terkena sinar
matahari.
Saat Wiro
sampai di hadapan mereka, kedua orang itu sudah siap menyerang. Dua bilah
pedang berkelebat. Pendekar 212 berseru lalu meloncat dari atas pelana kuda.
Dua katana menderu, dan kuda coklat itu meringkik saat dua sabetan mengenai
tubuh kuda. Darah mengucur dari leher dan tubuh kuda sambil terus menjauh
menuju ka arah barat.
“Tunggu
dulu!” seru Wiro ketika melihat dua pemuda sedang menghadang dan siap
menyerangnya.
Kedua
pemuda itu sesaat tampak ragu, tapi akhirnya mereka menghentikan langkah.
Sesaat mereka saling berpandangan lalu memperhatikan Wiro penuh curiga.
Sementara itu dari dalam rumah terdengar suara halus bergetar.
“Apa yang
terjadi murid-muridku…?”
“Sensei!
Kau tak boleh bicara. Kau terluka berat!” yang menjawab adalah seorang gadis
berwajah bulat yang rambutnya dikuncir sebahu. Yang bertanya tadi adalah
seorang tua dengan kimono biru gelap dan terbaring di lantai serambi. Bagian
tubuhnya dibalut dengan kain tebal. Kain ini tampak basah oleh darah! Ternyata
si orang tua sedang menderita luka cukup parah. Kedua orang yang dari tadi
berada di sana sudah sadar jika yang dipanggil sensei itu sulit disembuhkan.
Namun nyatanya masih bisa mengeluarkan suara.
“Aku
bertanya apa yang terjadi Akiko…?”
Gadis
bernama Akiko yang duduk sambil mengusapi kening gurunya yang terluka parah itu
menahan nafas sesaat lalu dekatkan kepala ke telinga orang tua itu. “Salah
seorang dari pembunuh itu datang lagi, sensei…”
“Pembunuh
itu datang lagi katanya…? Tidak mungkin… Tidak mungkin Akiko!” Dengan mata yang
masih tertutup, orang tua yang dipanggil dengan sebutan sensei ini berkata pada
muridnya yang satu. “Ichiro, apa betul yang dikatakan Akiko tadi?”
Pemuda di
samping kanan seorang tua memandang ke arah halaman di mana dua saudara
seperguruannya dengan katana dalam genggaman dua tangan, tengah menghadapi
seorang pemuda yang barusan melompat dari kuda. “Memang ada yang datang sensei.
Pakaian dan kuda yang ditungganginya sama dengan salah seorang pembunuhmu.
Namun aku meragukan dugaan dua saudara. Orang yang datang ini adalah Gaijin…
(sebutan untuk orang asing).”
“Gaijin…
Orang asing maksudmu?” Orang tua yang terbaring berbantalkan gulungan kain
batuk-batuk beberapa kali. Dari sela bibirnya tampak ada darah yang keluar.
Akiko
cepat menyeka darah itu dengan sehelai sapu tangan seraya berbisik. “Sensei,
jangan bicara lagi…”
Tapi si
orang tua tidak perdulikan. “Aku ingin melihat siapa yang datang. Aku memang tengah
menunggu seseorang sejak tiga tahun lalu..”
Lalu,
walaupun dengan susah payah, orang tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Namun
lehernya terkulai dan kepalanya jatuh kembali ke atas gulungan kain. “Sensei…!”
Akiko terpekik.
“Anak-anak…,
bawa aku ke dojo (ruangan tertutup tempat berlatih silat)… Kalau aku memang
ditakdirkan harus mati, aku ingin mati di ruang latihan itu…”
“Baik
sensei, kami akan lakukan apa yang kau minta…” jawab Ichiro.
Sementara
itu di halaman rumah yang tertutup salju tipis, salah seorang pemuda yang
memegang katana tukikkan ujung pedangnya hampir mencium panah. Dalam ilmu
pedang di Jepang, ini merupakan salah satu kedudukan senjata yang sangat
berbahaya. Karena ujung pedang yang kelihatannya jauh dari sasaran itu
tiba-tiba bisa melesat membabat kaki, pinggang atau perut, bisa juga menebas
leher atau menghantam kepala!
“Pemuda
asing! Katakan siapa dirimu?! Apa keperluanmu datang ke mari?!”
“Namaku
Wiro Sableng! Aku datang untuk menemui Horoto Yamazaki, seorang tua yang
bergelar Pendekar Pedang Matahari!” jawab Wiro. Lalu dia melirik ke arah
serambi rumah di mana dia melihat ada seorang tua terbaring didampingi seorang
gadis dan seorang pemuda. Wiro menduga, orang tua itu pastilah orang yang
hendak ditemuinya. Apa yang tengah terjadi di serambi sana?
Kemudian
pemuda di samping si orang tua tambak berdiri dan berteriak. “Kunio! Kenichi!
Bantu kami menggotong sensei ke ruang latihan!” Dua pemuda yang tengah
menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya saling
memberi isyarat. Yang satu segera berbalik dan lari ke arah serambi. Satunya
lagi menyusul, namun sebelum pergi sempat berkata.
“Pemuda
asing! Tetap di tempatmu! Jangan kau berani bergerak, walaupun hanya satu
langkah!”
Wiro
tidak menjawab, tapi dalam hati dia berkata. “Setan! Jauh-jauh aku datang
ratusan ribu langkah, sampai di sini malah diperintah tidak boleh melangkah!”
Ketika pemuda itu berlari ke serambi, tanpa peduli Wiro melangkah pula ke arah
bangunan.
Empat
orang murid menggotong sensei mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam ternyata
bangunan itu luas sekali dan memiliki tempat latihan beralaskan tatami (alas
lantai berbentuk kotak-kotak).
Berbagai
macam senjata terdapat di sudut-sudut dan dinding ruangan.
Sang guru
dibaringkan di tengah dojo, di atas sebuah kasur jerami. Ketika itulah keempat
murid menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka berpaling ke arah
pintu dojo dan keempatnya menjadi marah. “Gaijin kurang ajar!” membentak Kunio
Ota lalu melompat ke ambang pintu di arah mana Wiro tengah melangkah masuk.
Sambil menghunus pedangnya, pemuda ini kembali menghardik. “Kami tidak
mengundangmu masuk! Aku malah sudah memperingatkan agar kau tidak boleh
bergerak satu langkah pun!”
Wiro
menyeringai dan bungkukkan badan lalu berkata, “Shitsurei shimasu, ga… (maafkan
saya, tapi) di luar sana dingin sekali. Lagi pula saya datang untuk menemui
tuan rumah di sini…”
Telinga
orang tua yang terbaring di atas kasur jerami mendengar suara Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Sebelum
murid-muridnya yang marah melakukan sesuatu, orang tua ini cepat membuka mulut.
“Kunio,
orang yang kau bentak itu… Apakah dia orang asing yang kau maksudkan…?”
“Betul
sensei!” sahut Kunio Ota. “Dia telah berlaku lancang, masuk ke dalam ruangan
ini!”
“Maafkan
kalau ini tindakan yang kurang sopan!” Wiro menyahuti. “Namun saya datang dari
jauh.
Dari
negeri ribuan pulau di selatan untuk menemui tuan rumah! Bagaimana saya bisa
menemuinya kalau bergerak satu langkah pun tidak diizinkan?!”
Tiga
pemuda murid si orang tua bergumam marah. Hanya Akiko yang tampak tenang dan
memandang ke arah Wiro tanpa emosi sama sekali. “Orang asing, mendekatlah ke
mari…” orang tua itu tiba-tiba berkata.
Ketika
Wiro melangkah, Kunio Ota masih berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda ini
merasa ada hawa aneh keluar dari tubuh Wiro yang membuat tubuhnya terdorong dan
kakinya terhuyung dua langkah. Begitu Wiro lewat, dia cepat-cepat menyusul
namun tidak berani menghalangi lagi.
Wiro
sampai di hadapan orang tua yang terbaring di atas kasur jerami. Merasakan
orang sudah ada di dekatnya, orang tua itu membuka sepasang matanya yang sipit.
“Ah, kau
memang pemuda asing Gaijin, katakan namamu! Dari mana kau datang, apa
keperluanmu…?!”
“Saya
Wiro Sableng. Saya datang dari Tanah Jawa, negeri seribu pulau jauh di selatan.
Saya datang membawa pesan dan surat dari guru saya. Apakah saya…” Wiro untuk
pertama kalinya melihat darah yang membasahi kain merah yang menutupi perut
orang tua itu. “Astaga! Kau terluka parah orang tua!” seru Pendekar 212.
“Jangan
perdulikan apa yang terjadi atas diriku. Teruskan ucapanmu… orang muda!” kata
si tua.
“Apakah
saya berhadapan dengan Yamazaki san? Seorang samurai besar dan jago pedang
berjuluk Pendekar Pedang Matahari…?”
Orang tua
itu tersenyum. Sepasang matanya membesar sedikit. “Samurai…” desisnya.
“Pendekar Pedang Matahari…” sambungnya. “Semua itu nama besar yang tidak ada
harganya lagi…”
“Sensei!”
seru sang murid bernama Ichiro Loki. “Jangan berkata seperti itu!”
Hiroto
Yamazaki alias Pendekar Pedang Matahari tersenyum kecut. “Hari ini aku si tua
yang dulu begitu diagungkan kini sudah dikalahkan oleh dua orang lawan. Apa aku
masih pantas menyandang semua nama besar itu? Pemuda asing siapa nama
gurumu..?”
“Saya
diutus oleh guru. Guru saya bernama Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede
di Tanah Jawa sebelah barat…”
Mendengar
keterangan pendekar 212 itu, untuk pertama kalinya muka pucat si tua berkimono
itu tampak cerah. Dia tersenyum lebar. “Sungguh satu kehormatan sebelum mati
aku bertemu dengan murid kawan lamaku. Anak muda, kalau kau benar murid Sinto
Gendeng sahabatku itu, perlihatkan dulu tanda pengenalmu!”
Wiro yang
sebelumnya sudah dipesan oleh guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki segera
menyingkapkan baju tebal dan baju putih yang dikenakannya. “Ah…, inezumi (rajah
atau tatto) itu 212…. aku percaya kau memang murid kawan lamaku,” kata si orang
tua begitu melihat angka 212 di dada Wiro. Namun kemudian ia menyambung. “Tapi
tatto seperti itu mudah dipalsukan dan ditiru orang. Perlihatkan senjatamu…”
Murid Sinto Gendeng meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke balik pakaian.
Begitu
tangan kanan itu keluar dari balik pakaian maka berkelibatlah sinar putih perak
menyilau di ruangan latihan itu. Empat murid Hiroto Yamazaki terkesiap melihat
Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada dalam genggaman Wiro. Belum pernah mereka
melihat senjata mustika sedemikian mengesankan dengan sinar yang angker seperti
itu.
“Kau
memang murid sahabatku Sinto Gendeng…” kata Yamazaki . “Waktuku tidak lama
lagi. Serahkan surat Sinto Gendeng yang kau bawa…!”
“Yamazaki-san
.. surat akan saya berikan. Tapi bagaimana jika terlebih dahulu kamu
mengizinkan aku memeriksa lukamu? Keselamatanmu lebih penting dari pada surat
yang kubawa…”
Hiroto
Yamazaki kembali sunggingkan senyum. Lalu membuka mulut. “Ada ujar-ujar yang
mengatakan: Seorang kesatria baru menguasai sepenuhnya kehidupan seorang
Samurai bila dia selalu siap menghadapi kematian. Karena itu kau tak usah
memikirkan keselamatanku Wiro-san.
Aku justru
beruntung diberi kesempatan dewa untuk bertemu denganmu. Mana surat itu…?!”
“Sensei,”
tiba-tiba Kunio Ota membuka mulut. “Siapapun adanya pemuda ini saya tetap
menaruh curiga. Dia muncul dengan kuda milik pembunuhmu. Saya melihat noda
darah di punggung kuda. Mustahil tidak ada kaitannya dengan kedua pembunuh
itu…!”
“Wiro-san…
bisakah kau menjawab ucapan muridku itu?” Orang ini sebenarnya percaya penuh
dengan pemuda itu, namun dia juga ingin semua muridnya mendengar penjelasan
langsung dari Wiro sendiri.
“Kuda
coklat itu saya temui di kaki Gunung Fuji. Binatang itu bersikap jinak dan aku
tunggangi sampai kemari. Saya tidak tahu siapa pemiliknya…”
“Bukan
mustahil pemuda ini kawanan pembunuh dan disuruh menyamar untuk memastikan
kematian sensei atau bagaimana…” kata Ichiro Loki
“Mungkin
juga ia diminta menyelidiki sesuatu di sini!” untuk pertama kalinya murid
perempuan bernama Akiko Besso mengeluarkan suara.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia menjawab. “Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya pikir
tidak perlu diperpanjang lagi. Guru kalian sedang sakit parah…” Dari balik
bajunya Wiro keluarkan sebuah lipatan kertas pada Hiroto Yamazaki. “Terimalah,
ini surat dari guru saya…” Yamazaki menerima dan membuka dengan tangan gemetar
lalu membacanya.Sahabatku Hiroto
Aku mengharapkan
kau dalam keadaan baik-baik dan sehat. Dunia ini kadang terasa sempit, kadang
terasa luas dan jauh. Seperti halnya kita. Ternyata aku hanya mampu mengutus
muridku untuk menemuimu di kaki Gunung Fuji yang sejuk dan indah ini. Sesuai
janji kita empat puluh tahun silam, muridku memberi petunjuk mengenai Pukulan
Sinar Matahari. Itu jika kau bermaksud memilikinya. Untuk keperluan itu kau
tidak perlu ganti imbal apa-apa. Ini sesuai dengan kepribadian seorang samurai
yang tidak kenal pamrih.
Sahabatmu
Sinto
Gendeng
Hiroto
Yamazaki menurunkan tangannya dan meletakkan surat Sinto di atas dadanya. “Aku
bahagia… aku bisa pergi dengan tenang,” lalu dia berpaling kepada Pendekar 212
dan berkata, “Wiro-san aku tidak mungkin lagi punya waktu mempelajari Pukulan
Sinar matahari yang hebat itu…, jika kamu tidak keberatan dan mereka mau,
ajarkanlah pada murid-muridku. Mungkin dengan ilmu itu mereka bisa membuat
perhitungan dengan pembunuhku…” lalu satu demi satu Yamazaki memperkenalkan
nama muridnya itu.
Wiro
membungkuk. “Akan aku lakukan apa yang kau minta Yamazaki -san.”
“Bagus…
aku punya firasat hanya kau yang bisa membantu muridku menghadapi orang Lembah
Hozu yang jahat dan kejam. Lebih dari itu, aku mendapatkan petunjuk seorang
pendekar akan muncul di Gunung Fuji ini. Seorang yang pantas disebut dengan
Pendekar Gunung Fuji. Kaulah orangnya Wiro-san…”
Wiro tak
berani menjawab. Diam-diam dia melirik kepada murid Yamazaki. Kelihatan sekali
dari raut muka mereka tidak senang dengan ucapan gurunya itu. Ketika Wiro menegakkan
badan kembali, terdengar jeritan Akiko Besso. Tiga murid lainnya ikut berseru.
Wiro menatap sosok dan wajah Yamazaki. Kedua matanya tertutup. Orang tua itu
tidak bergerak dan tidak bernafas lagi.
Salju
turun lagi perlahan-lahan. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di tangga depan
rumah kediaman mendiang Hiroto Yamazaki. Di salah satu ruangan di dalam sana,
empat orang murid Yamazaki tengah bersembahyang dihadapan abu sang guru yang
diperabukan tiga hari lalu.
Wiro
teguk sake dalam botol kaleng. Ketika baru saja dia menyimpan botol minuman itu
ke dalam saku baju tebalnya, dibelakangnya dia mendengar langkah langkah kaki
mendatangi. Wiro berpaling. Ichiro Loki, Kunio Ota dan Kenichi Asano melangkah
dari ruangan dalam. Wiro berdiri menyambut ketiga pemuda itu. Dia belum melihat
Akiko. Gadis itu mungkin masih bersembahyang di dalam.
“Gaijin!”
menegur Kunio Ota, “Kami tidak suka melihat kau masih ada di tempat ini! Apakah
itu belum jelas bagimu?”
“Cukup
jelas Ota-san. Saya hanya menunggu keputusan dari kalian mengenai ucapan
mendiang Yamazaki-san. Yaitu menyangkut ilmu Pukulan Sinar Matahari yang beliau
minta untuk diajarkan pada kalian. Jika kalian suka…?”
“Kami
cukup punya kepandaian. Kami sudah memutuskan bahwa kami tidak perlu segala
macam pelajaran ilmu pukulan dirimu!” menukas Kunio Ota.
“Apakah
Akiko Bessho berpendapat begitu juga?” Tanya Wiro. “Cukup satu saja murid
Pendekar Pedang Matahari berkata. Itu berarti berlaku dan mewakili semuanya!”
jawab Kunio Ota pula.
“Jika
memang begitu keputusan kalian, saya tidak memaksa. Saya hanya menjalankan
pesan guru saya dan pesan sensei kalian. Sekarang saya minta diri…” Wiro
membungkuk. Ichiro dan Kenichi balas membungkuk. Hanya Kunio Ota yang tidak mau
balas menghormat. Ketika Wiro berbalik dan hendak melangkah pergi tiba-tiba
pemuda ini berkata, “Tunggu dulu!”
Wiro
berpaling dan menunggu. “Kau datang dengan maksud hendak mengajarkan sesuatu
pada sensei. Sebelum menghembuskan nafas, sensei meminta agar kau mengajarkan
ilmu Pukulan Matahari pada kami. Tampaknya kau ini seperti seorang yang luar
biasa. Memiliki kepandaian tinggi, bahkan merasa lebih tinggi dari guru kami
sendiri!”
“Saya
tidak mengatakan maupun merasa begitu!” jawab Wiro. “Seperti saya katakan, saya
hanya menjalankan pesan. Jika kalian merasa tidak perlu atau tidak suka tidak
menjadi apa.”
Kunio Ota
berbisik-bisik dengan dua pemuda lainnya. Yang dua mengangguk-angguk. Lalu
Kunio berkata. “Sebelum kau pergi, kami ingin melihat dulu sampai di mana
kepandaianmu dalam ilmu bela diri, dan kami tidak suka sebagai orang asing kau
merasa lebih hebat dari kami di negeri kami sendiri!”
“Saya
tidak merasa lebih hebat. Karenanya tidak ada gunanya kalian menguji saya,”
jawab Wiro.
“Kalau
hanya untuk menunjukkan kebodohan, mengapa jauh-jauh datang kemari!” mengejek
Kunio Ota, lalu pemuda ini tertawa diikuti oleh dua kawannya.
“Terima
kasih atas tertawa kalian yang tidak sedap didengar dan dilihat!” Wiro
bungkukkan diri lalu memutar langkahnya. Tahu-tahu Kunio Ota sudah menghadang
di depannya. Diam-diam Wiro merasa kagum akan kecepatan gerakan orang ini dan
hampir tanpa suara.
“Kami
menantangmu! Kami menunggu di dojo. Jangan kau berani menolak karena itu
berarti penghinaan bagi kami!”
Pendekar
212 menyeringai. “Justru bagiku yang menantang adalah pihak yang menghina!”
Jawab Wiro kasar dan kini mulai jengkel. Dia melewati ketiga pemuda itu lalu
sebelum mereka masuk ke dalam ruang latihan yang besar, murid Sinto Gendeng
sudah lebih dulu berada di situ!
“Silakan
siapa di antara kalian yang hendak menunjukkan kebolehannya lebih dulu. Aku
orang bodoh hanya siap menerima petunjuk!” Lalu Wiro melompat ke tengah dojo.
Kunio Ota
maju ke hadapan Wiro. “Dengan tangan kosong atau pakai senjata?” murid Hiroto
Yamazaki itu bertanya.
“Aku
lebih suka tangan kosong!” jawab Wiro sambil usap-usapkan telapak tangannya
satu sama lain.
Baru saja
Wiro menyahut demikian, Kunio Ota langsung berteriak keras dan menghantam
dengan tangan kanannya ke arah muka Pendekar 212. Dari suara angin pukulan
lawan, murid Sinto Gendeng segera memaklumi kalau Kunio Ota menggabungkan
kekuatan tenaga dalam dan tenaga luarnya dalam melancarkan serangan. Hal
semacam ini jarang dilakukan orang karena memang tidak mudah untuk
menjalankannya.
******************
2
Wiro
angkat tangan kirinya untuk menangkis. “Bukk!” Dua lengan saling beradu. Wiro
Sableng terpental hingga menghantam dinding sedang Kunio Ota jatuh duduk di
atas tatami.
Murid
Sinto Gendeng merasakan lengannya sakit bukan kepalang. Rasa sakit ini anehnya
menjalar cepat ke sekujur tubuh hingga dia menggigil seperti orang kedinginan.
Ketika diperhatikannya lengan kanannya, lengan itu tampak bengkak merah dan
biru!
Wiro
memaki panjang pendek dan merasa menyesal mengapa tadi dia hanya mengerahkan
tenaga dalamnya sedikit saja sehingga dia kini mendapat cedera. Sebenarnya Wiro
sangat menghormati keempat murid Hiroto Yamazaki itu, apalagi gurunya Eyang
Sinto Gendeng telah berpesan agar mampu membawa diri sebaik-baiknya di negeri
orang. Wiro sesaat tegak diam sambil usap-usap lengan kanannya yang mendenyut
sakit.
Kunio Ota
melompat berdiri di atas tatami. Dengan sikap dan air muka penuh mengejek dia
berkata.
“Kalian
lihat sendiri! Dengan kemampuan seperti itu dia menyombongkan diri hendak
memberi pelajaran pukulan sakti pada kita! Kepalanya malah tambah besar karena
sensei menyebutnya Pendekar Gunung Fuji! Cuah!” Kunio Ota meludah ke lantai.
“Gaijin! Siapapun kau adanya kami harap kau segera meninggalkan tempat ini!
Kami hendak meneruskan sembahyang menghormati arwah guru…!”
Wiro
mengangguk. Dia melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana disimpan abu
Hiroto Yamazaki. Dia membungkuk dalam-dalam beberapa kali. Lalu memutar tubuh
dan tinggalkan tempat itu.
Begitu
Wiro lenyap, Kenichi Asano berkata. “Mari kita teruskan sembahyang. Kunio Ota,
kau yang tua di antara kita. Kau yang memimpin upacara…” Lalu Kenichi, Akiko
dan Ichiro memberi jalan pada Kunio untuk maju ke hadapan meja sembahyang.
Tetapi orang yang diminta untuk memimpin acara sembahyang itu tetap diam saja
di tempatnya.
“Apa yang
terjadi?” Tanya Akiko heran, begitu juga Kenichi. Ichiro Loki memeriksa sekujur
tubuh Kunio, mengangkat-angkat kedua tangannya. Setiap diangkat, kedua tangan
itu kembali ke kedudukannya semula secara kaku. Kenichi dekatkan telinga
kirinya ke dada Kunio. “Aku mendengar detak jantungnya! Dia masih hidup! Tapi
mengapa tidak bisa bergerak tidak bisa bersuara?” ujar Kenichi sesaat kemudian,
seraya memandang heran pada saudara-saudara seperguruannya.
“Aku
ingat sejenis ilmu aneh yang datang dari daratan Tiongkok dan mulai
dikembangkan di negeri ini…” berkata Kenichi.
“Maksudmu
ilmu menotok jalan darah?” tanya Ichiro.
Kenichi
mengangguk, “Kunio bukan hanya ditotok jalan darahnya sehingga kaku, tapi jalan
suaranya juga terbendung hingga dia tak sanggup bicara!”
“Lalu
siapa yang menotoknya?” tanya Akiko.
“Ya!
Siapa…?!” ikut bertanya Ichiro.
“Siapa
lagi kalau bukan si gaijin itu!” sahut Kenichi.
“Ah mana
mungkin!” tukas Ichiro. “Aku tidak melihat pemuda asing itu menggerakkan
tangannya atau mendekati Kunio. Dia tadi hanya melangkah ke meja sembahyang
lalu meninggalkan ruangan ini… Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Atau
barangkali ada hantu di tempat ini?”
“Tidak
ada hantu di sini Ichiro. Aku yakin pemuda itu yang melakukannya. Dia memiliki
kecepatan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ninja!”
“Kalau
begitu dia bukan manusia sembarangan. Tapi mengapa ketika beradu pukulan dengan
Kunio tadi dia terpental jauh dan lengannya tampak bengkak wajahnya
memperlihatkan rasa sakit!” kata Akiko pula.
“Hemmm…”
Akiko Bessho menggumam. Dia melangkah memutari tubuh Kunio Ota.
“Bagaimana
kita membebaskan Kunio dari totokan ini. Kenichi…?” Kenichi Asano mendekati
Kunio. Dia memeriksa beberapa tubuh pemuda itu. Ketika dia menyingkapkan kerah
baju Kunio, dilihatnya ada tanda merah pada pangkal leher sebelah kiri. Kenichi
kerahkan tenaga dalamnya ke ujung ibu jari tangan kanan lalu dia mulai mengurut
pangkal leher Kunio. Selang beberapa ketika Kunio terdengar keluarkan suara
keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kalau tidak dipegang oleh
Ichiro.
“Kau
sadar apa yang kau alami Kunio?” bertanya Akiko.
“Entahlah.
Aku mendengar suara kalian. Tapi aku tak bisa bergerak, tak bisa membuka
mulut…” jawab Kunio Ota.
“Gaijin
itu telah menotok urat besar di pangkal lehermu!”
“Hah?”
Kunio raba pangkal lehernya. “Bagaimana dia bisa melakukannya? Dia bukan orang
Cina! Hanya pendekar-pendekar Cina yang punya ilmu kepandaian menotok orang!”
Kenichi
menarik nafas dalam. “Ilmu menotok itu sudah ada ratusan tahun lalu. Mungkin
lebih dulu dipelajari di negeri si gaijin itu dari pada di sini. Dia telah
memberi pelajaran padamu dan pada kita.
Paling
tidak dia kini membuat mata kita lebih terbuka. Kurasa waktu kau menjajalnya
tadi dia tidak melayani sepenuh hati…”
Merahlah
peras Kunio Ota. “Adik Kenichi, kau seperti mengejek aku! Aku akan cari orang
itu dan mengajaknya untuk adu kekuatan sampai seratus jurus!”
Ichiro
gelengkan kepala. “Aku tidak setuju. Ada hal lain yang lebih penting harus kita
lakukan. Mencari dua orang pembunuh sensei!”
“Kau
betul kak Ichiro,” menyatakan Akiko. “Hal itu harus kita bicarakan sekarang!
Tetapi bagaimana kalau kita terlebih dahulu mengamankan barang-barang pusaka
milik sensei…?”
“Ah…? Kau
betul Akiko!” kata Kenichi. “Mari kita sama-sama masuk ke dalam kamar tidur
sensei…” Lalu keempat orang itu tinggalkan ruangan sembahyang, menuju ke kamar
tidur mendiang Hiroto Yamazaki. Hanya sesaat kemudian saja, di dalam kamar itu
mendadak terjadi kegegeran!
Keempat
anak murid Hiroto Yamazaki itu telah menemukan senjata-senjata pusaka milik
guru mereka, yakni sebilah katana dan seperangkat busur serta anak panah.
Tetapi setelah menggeledah seluruh sudut kamar, membalik kasur, membongkar
lemari dan memeriksa lapisan-lapisan loteng dan dinding kamar, mereka sama
sekali tidak menemui sebuah kitab kuno berisi pelajaran Kendo yang amat langka.
Keempat
anak murid yang baru saja ditinggal mati guru mereka itu saling pandang. “Kitab
itu sangat berharga sekali. Sensei malah menganggapnya sama berharganya dengan
nyawanya sendiri.
Sensei
belum sempat mengajarkan keseluruhannya pada kita. Dan kini kitab itu lenyap!”
Kenichi Asano berkata sambil melangkah mundar-mandir dalam kamar.
“Aku
punya dugaan keras Gaijin itulah yang telah mencurinya!” kata Kunio Ota pula
seraya mengepalkan tinjunya!
“Kurang
ajar! Kita harus cari dia sampai dapat!” kata Ichiro Loki. Kunio Ota cabut
pedangnya dari balik punggung lalu melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana
terletak abu Hiroto Yamazaki. Sambil melintangkan katana di depan dadanya
pemuda ini berkata “Sensei, aku muridmu Kunio Ota, bersumpah di hadapan abumu
akan memenggal batang leher pencuri itu!” lalu pemuda ini mendahului yang
lain-lainnya keluar dari ruangan sembahyang itu.
“Aku
heran…” Kata Akiko pada Ichiro dan Kenichi. “Jika memang betul pemuda asing itu
yang mencuri kitab tersebut, bagaimana mungkin dia mengetahui tempat sensei
menyimpannya. Sejak beliau meninggal, kamar ini selalu diawasi paling tidak
oleh dua orang di antara kita. Lalu jika dia memang murid sahabat guru kita,
masakan begitu culas melakukan pencurian…”
“Jangan-jangan
dia murid palsu yang menyamar datang kemari padahal maksud sebenarnya adalah
untuk mencuri kitab itu!” ujar Ichiro pula.
“Tapi dia
telah memperlihatkan bukti-bukti dirinya pada sensei. Dan guru kita mengakui
kebenaran tanda-tanda yang diperlihatkannya…”
“Saat itu
guru kita tengah dalam keadaan sekarat,” berkata Kenichi. “Besar kemungkinan
dia tidak lagi dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu…”
“Jadi
pemuda itu datang jauh-jauh hanya untuk mencuri kitab Kendo milik guru!” kata
Akiko.
“Mungkin
itu hanya sebagian kecil saja dari maksud kedatangannya ke negeri kita ini.
Pasti dia membekal maksud lain yang lebih jahat!” berkata Ichiro.
“Kalau
begitu aku setuju dengan rencana Kunio. Manusia satu itu harus dipenggal batang
lehernya!” kata Kenichi pula.
“Rencana
harus diatur sekarang,” kata Ichiro. “Aku dan Kenichi akan mengejar pembunuh
guru. Akiko, Kunio mencari pemuda asing itu.”
“Hati-hatilah
kalian berdua,” kata Akiko. “Jika dugaan kita benar bahwa pembunuh guru adalah
kelompok sesat orang-orang Lembah Hozu, mereka sangat berbahaya. Mereka ahli
memainkan panah beracun!” Kenichi dan Ichiro mengangguk.
Ichiro
berkata, “Beritahu pada Kunio bahwa aku dan Kenichi akan berangkat besok malam
agar bisa sampai Lembah Hozu dua hari kemudian. Kita bertemu lagi di sini pada
Gesuyobi (hari Senin) minggu pertama bulan depan…”
“Baik!
Kita bertemu lagi di sini hari Senin pertama bulan depan…” mengulang Akiko
Bessho.
Malam itu
udara tidak seberapa dingin. Di langit, bulan setengah lingkaran muncul tanpa
tersaput awan. Dua bayangan bergerak cepat di antara kerapatan pepohonan di
Lembah Hozu. Sesekali terdengar suara burung malam di kejauhan.
Orang
yang lari di depan sesaat berhenti lalu berbisik kepada kawannya. “Kenichi,
sebentar lagi kita akan memasuki kawasan Lembah Hozu. Periksa lapisan besi yang
menutupi dada dan punggungmu…”
Kenichi
lalu memeriksa baju besi tipis yang melindungi dada dan punggungnya. Ichiro
melakukan hal yang sama.
“Bagaimana
dengan senjata peledak?” Ichiro kembali berkata. Kenichi memeriksa lima buah
benda bulat sebesar kepalan yang terbuat dari besi. Kelima benda ini tergantung
di pinggangnya dan merupakan senjata peledak yang bisa menghancurkan bangunan.
Ichiro juga membekal lima senjata peledak yang sama.
“Orang-orang
Lembah Hozu biasanya suka minum-minum sampai larut malam. Berarti kita harus
bersabar menunggu sampai menjelang pagi, pada saat mereka mulai keletihan dan
setengah mabuk…” Kenichi mengangguk mendengar ucapan Ichiro itu. Keduanya
kemudian bergerak kembali dalam kegelapan malam dan udara dingin.
Akhirnya
kedua orang murid mendiang Hiroto Yamazaki itu sampai di bibir Lembah Hozu
sebelah selatan. Jauh di bawah sana mereka melihat nyala obor banyak sekali. Di
hadapan sebuah meja pendek, tampak sekitar sepuluh orang lelaki berpakaian dan
berikat kepala serba putih duduk berkeliling. Setiap orang ditemani oleh
seorang Geisha (wanita pelayan pada tempat-tempat tertentu). Semuanya asyik
menyantap makanan dan meneguk minuman. Sesekali terdengar suara gelak tawa.
Lalu ada seorang perempuan separuh baya yang duduk agak terpisah memetik
Shamusen (instrumen musik dengan tiga senar).
“Setahuku
kelompok mereka ada tujuh belas orang, mana tujuh lainnya…?” berbisik Ichiro.
Kenichi tak menjawab, ia memandang ke arah lembah seperti tengah
menghitung-hitung. “Kau membawa teropong…?” bertanya Ichiro. Kenichi lalu
menyerahkan sebuah teropong kecil. Ichiro menarik habis teropong satu lensa ini
lalu mengintai ke arah lembah. Satu demi satu dia mengawasi muka-muka yang ada
di lembah. Dia mengenali wajah orang keempat dan kesembilan, lalu berbisik pada
Kenichi. “Aku mengenali wajah dua pembunuh sensei. Mereka ada di bawah sana…”
Kenichi
mengangguk. “Mereka ada di sana, aku tidak sabar lagi Ichiro. Apakah baiknya
kita langsung menyerbu…?”
Baru saja
Kenichi berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari arah
timur lembah.
Bersamaan
dengan itu, sepuluh orang yang berada di meja bawah sana serentak melompat
berdiri sambil mencabut katana dari punggung masing-masing. Para Geisha
berlarian ke satu arah.
Perempuan
yang memainkan shamusen berhenti memainkan peralatan musik itu dan ikut lari ke
arah lenyapnya para Geisha.
“Celaka!”
bisik Ichiro. “Agaknya mereka telah mengetahui kedatangan kita.” Baru saja
Ichiro Ioki berkata begitu, di atas mereka terdengar suara berdesing. “Awas,
serangan panah!” teriak Ichiro.
Dia
segera menunduk dan cabut katana-nya. Kenichi juga segera mencabut pedangnya
dan melompat ke balik sebuah pohon besar. Dua buah anak panah menancap di
batang pohon itu. Ichiro putar pedangnya ketika terdengar suara berdesing untuk
kesekian kalinya. “Trang…! Trang…!” Dua anak panah runtuh ke bawah.
“Para
pembokong itu ada di atas pohon sebelah sana!” bisik Ichiro. Dia segera
mencabut senjata peledak yang ada di pinggangnya. Sebuah anak panah menghantam
bahunya. Untung bagian bahu itu masih terlindung baju besi yang dipakainya
hingga dia tidak cedera sedikit pun. Ichiro bergerak dua langkah ke samping
kanan lalu lemparkan senjata peledak ke arah pohon besar di mana tadi dia
melihat bayangan tiga orang pembokong bersenjatakan panah.
Terdengar
suara berdentum. Nyala terang bola api berkilat, sesaat keadaan terang
benderang. Di atas pohon besar yang hancur porak poranda, terdengar jeritan
tiga orang. Ketiganya terlempar jatuh ke tanah dan telah mati lebih dahulu
dalam keadaan terkutung-kutung sebelum tubuh masing-masing mencium tanah.
“Kenichi!
Orang-orang di lembah berusaha mencapai tempat ini! Lekas kau cegat dengan
senjata peledak!” berteriak Ichiro ketika dilihatnya di bawah sana sepuluh
lelaki yang tadi duduk mengelilingi meja kini berlari sangat cepat menaiki
lereng lembah menuju tempat di mana dia dan Kenichi berada.
Kenichi
menyelinap di balik kerapatan pepohonan lalu loloskan sebuah senjata peledak.
Tak lama kemudian terdengar suara berdentum di arah timur. Beberapa pohon dan
semak belukar rambas.
Namun
tidak terdengar suara jeritan. Di lain saat malah terdengar orang-orang lembah
berteriak.
“Kurung
yang satu ini! Tangkap hidup-hidup!”
Lalu
terdengar suara senjata saling beradu disertai bentakan-bentakan. Ichiro masih
sempat mendengar suara jeritan Kenichi ketika di hadapannya tiba-tiba muncul
enam orang bersenjatakan pedang. Dia tidak sempat mencabut senjata peledaknya.
Dengan katana , Ichiro hadapi keenam lawan yang datang. Namun saat itu sebatang
anak panah beracun yang dilepaskan lawan dari tempat gelap berhasil menancap di
paha kanannya.
Dengan
kertakkan rahang menahan sakit, Ichiro cabut anak panah itu. Namun sebagian
racun panah telah larut dalam aliran darahnya! “Manusia-manusia Lembah Hozu
keparat! Kalian telah membunuh guru! Majulah untuk menerima hukuman!” teriak
Ichiro. Terdengar suara tertawa bergelak dalam gelap. Lalu enam sosok tubuh
melompat. Enam katana menggebrak berbarengan.
Ichiro
menangkis tiga tebasan pedang. Tiga lainnya dielakkan dengan jalan melompat ke
belakang.
Ketika
salah seorang lawan kembali menyerbu, Ichiro keluarkan suara mengerang dan
katana yang digenggam dengan kedua tangannya berkelebat ganas. Satu jeritan
menggema dalam kegelapan malam. Orang di depan Ichiro menggeletak dengan perut
robek. Lima kawannya berteriak marah lalu serempak menyerang.
“Kita
berhasil menangkap yang satu ini!” terdengar suara orang berteriak.
“Ah!
Mereka berhasil menangkap Kenichi!” keluh Ichiro, lalu putar pedangnya dengan
sebat.
Terdengar
suara berdentangan. Tiga sosok bayangan muncul lagi dari dalam gelap. Kini ada
delapan orang yang mengeroyok Ichiro. Tak ada kemungkinan bagi pemuda ini untuk
menghadapi begitu banyak lawan. Dia membuat gerakan seperti katak, melompat dan
berhasil menjauhi para pengeroyok. Sebelum lawan-lawannya mengejar, dia segera
loloskan sebuah senjata peledak.
“Awas
bola peledak!” teriak seseorang. “Bummmm!” Ledakan keras menggema. Lidah api
muncrat ke berbagai jurusan. Dua jeritan terdengar bersama rambasnya semak
belukar dan tumbangnya sebatang pohon. Ichiro lari sekencang yang bisa
dilakukannya sementara luka di paha kanannya terasa semakin sakit. Kaki
kanannya seperti kaku. Dua anak panah melesat menghantam punggungnya, namun
baju besi yang dikenakannya berhasil melindungi.
Ichiro
lari terus hingga ia sampai di mana dia dan Kenichi sebelumnya meninggalkan
kuda masing-masing. Ichiro cepat naik ke atas pelana dan menghambur tinggalkan
tempat itu. Ketika orang-orang Lembah Hozu sampai di tempat itu, Ichiro sudah
terlalu jauh, tak mungkin dikejar lagi.
Ichiro
sampai di tempat kediaman gurunya sesaat sebelum matahari terbit. Dia langsung
masuk ke dalam kamar dan mengambil secarik kertas serta alat penulis. Dengan
tubuh panas dingin akibat racun panah yang mulai bekerja menyerang jantung dan
paru-parunya, Ichiro mulai menulis. Lalu dengan membawa kertas itu dia masuk ke
dalam ruangan sembahyang dan berlutut di depan abu gurunya. “Sensei, harap
maafkan diriku. Sebagai murid, aku merasa tidak layak lagi hidup. Aku tidak
dapat membela nama guru. Aku tidak berhasil menumpas orang-orang Lembah Hozu.
Malah mereka berhasil menangkap Kenichi. Aku malu untuk hidup lebih lama.
Sensei aku mohon ampunmu… Aku harus menebus kebodohanku dengan melakukan
Seppuku… (bunuh diri)”
Ichiro
letakkan kertas yang tadi ditulisnya di kaki meja sembahyang, lalu mencabut
katana-nya siap ditikamkan ke perutnya. Tiba-tiba di saat yang tepat dua tangan
kokoh menahan gerakan tangan Ichiro. Sebelum pemuda ini jatuh pingsan, dia
masih sempat melihat wajah orang yang barusan mencegahnya melakukan bunuh diri
itu!
Dua orang
berkelebat masuk ke dalam ruangan sembahyang dan keduanya sama berseru keras
ketika melihat tubuh Ichiro tergeletak menelungkup di atas tatami. Paha
kanannya dibalut. Tak berapa jauh dari situ tergeletak katana milik pemuda ini.
Lalu di dekat kaki meja sembahyang ada sehelai kertas bertuliskan huruf-huruf
kanji.
Ternyata
dua orang yang barusan datang adalah Akiko Bessho dan Kunio Ota. “Kau lekas
periksa keadaannya! Aku akan membaca apa yang tertulis di kertas ini!” kata
Kunio. Setelah membantu Akiko membalikkan tubuh Ichiro, Kunio mengambil kertas
di kaki meja lalu membacanya.
Saudara-saudaraku
seperguruan, terlalu memalukan bagiku untuk hidup. aku bukan saja gagal
menuntut balas terhadap orang-orang Lembah Hozu yang telah membunuh sensei,
tetapi mereka bahkan berhasil menangkap Kenichi! Maafkan diriku. Hanya ada satu
jalan untuk menutup rasa malu menebus kegagalan itu, yakni dengan melakukan
seppuku Ichiro Ioki
“Orang
tolol!” maki Kunio sambil membanting surat itu ke lantai. Lalu dia beringsut
mendekati Akiko yang bersimpuh di lantai, tengah berusaha menyadarkan Ichiro
dari pingsannya. “Ichiro… Ichiro! Bangun… Ayo buka matamu!” kata Akiko berulang
kali sambil menepuk-nepuk pipi saudara seperguruannya itu.
“Ada
keanehan kulihat…” berkata Kunio sambil memandangi sosok Ichiro.
******************
3
“Apa
maksudmu,” tanya Akiko.
“Ichiro
jelas hendak melakukan harakiri (bunuh diri). Karena itu dia menulis surat
untuk kita.
Tetapi
entah mengapa dia tidak melakukannya. Paha kanannya dibalut dan ada rembesan
darah.
Mungkin
sekali pahanya ditusuk panah beracun orang-orang Lembah Hozu. Kalau betul, lalu
mengapa saat ini dia masih hidup? Siapa yang membalut luka beracun di pahanya?”
Terdengar
keluhan pendek. “Dia siuman!” pekik Akiko gembira. Lalu kembali gadis ini
menepuk-nepuk pipi Ichiro. “Sadar Ichiro… Sadar! Katakan pada kami apa yang
terjadi!” kata Akiko pula.
Perlahan-lahan
Ichiro membuka kedua matanya. “Dia… di mana… di…dia…?” suara itu keluar
terbata-bata dari mulut Ichiro.
“Dia
siapa maksudmu Ichiro?” tanya Kunio.
“Dia…
dia… Gaijin itu…”
“Gaijin…?”
mengulang Akiko sambil saling pandang dengan Kunio. “Maksudmu pemuda asing yang
muncul membawa surat untuk sensei tempo hari…?”
“Betul…”
“Apa yang
telah dilakukannya terhadapmu Ichiro? Katakan apa dia telah berlaku jahat
terhadapmu…?!”
Ichiro
membasahi bibirnya yang kering dan kesat lalu gelengkan kepala. Dia berusaha
bangun dan duduk. Saat itulah dia melihat paha kanannya dalam keadaan dibalut.
“Ah…pasti dia… Pasti dia lagi yang menolongku. Dia mencegahku melakukan bunuh
diri. Lalu mengobati luka beracun di pahaku dan membalutnya… Ah…!”
“Ichiro!
Jalan pikiranmu terganggu karena tekanan jiwa. Mungkin juga akibat racun panah
orang-orang Lembah Hozu. Bagaimana mungkin orang yang telah kita pastikan
mencuri kitab Kendo milik sensei kini kau sebut sebagai penolong!?” ujar Kunio
pula.
“Sebelum
pingsan, aku masih sempat melihat sekilas wajahnya… Memang dia. Pasti dia!”
“Kau
harus beristirahat. Mari kupapah ke kamar tidurmu,” kata Akiko lalu membantu
Ichiro berdiri.
Pada saat
itulah seseorang muncul di ambang pintu. Ichiro yang pertama sekali melihatnya
langsung berseru: “Gaijin…!”
Akiko dan
Kunio sama palingkan kepala. Benar saja. Pemuda asing itu tampak tegak di sana.
Kunio langsung membentak. “Pencuri kitab! Kau berani datang minta mati!” Tanpa
memberi kesempatan, begitu membentak Kunio langsung menyerang Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan satu jotosan keras yang diarahkan ke dada kiri. Ini adalah satu
serangan maut karena bisa menghancurkan jantung orang yang diserang!
“Jepang
satu masih belum kapok rupanya… Apa-apaan dia memakiku pencuri kitab?!” ujar
Wiro dalam hati. Sebelumnya memang Kunio telah menantang Wiro, bahkan sempat
ditotok menjadi kaku dan gagu. Tapi saat itu kembali dia menghantam lebih dulu
penuh kemarahan.
Murid
Sinto Gendeng cepat berkelit hindarkan serangan berbahaya itu. Sadar orang
mengelak, Kunio ubah pukulannya menjadi gerakan menjambret. Pendekar 212
terkejut ketika dia merasakan bagaimana jari-jari tangan kanan lawan cepat
sekali telah menggenggam dada bajunya. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
Kunio telah membantingkan tubuhnya ke lantai ruangan!
“Gila!
Bagaimana dia bisa membantingku secepat kilat seperti itu?” maki Wiro dalam
hati sambil menahan sakit. Selagi Wiro terhenyak keliangan, kaki kanan Kunio
cepat sekali telah menginjak tenggorokannya. “Di mana kau sembunyikan buku guru
yang telah kau curi?!”
“Buku…
buku apa?” tanya Wiro heran dan mengernyit sakit.
“Kau
pandai berlagak orang asing! Tapi kepura-puraanmu tidak laku di sini!
Kembalikan buku itu atau hancur lehermu saat ini juga!”
“Aku
tidak tahu menahu tentang segala macam buku sialan! Bagaimana kau bisa
menuduhku mencurinya?!”
“Karena
hanya kau satu-satunya orang luar yang ada di tempat ini!” jawab Kunio.
“Lalu
apakah pencuri itu mesti selalu orang luar?!” tanya Wiro yang membuat Kunio
melengak marah.
“Ucapanmu
berarti menuduh kami anak-anak murid Hiroto Yamazaki yang mencuri kitab guru!
Benar-benar kurang ajar! Matilah!” Kunio hentakkan kaki kanannya kuat-kuat ke
batang leher Wiro Sableng.
“Kunio!
Jangan bunuh dia,” berseru Ichiro. Tapi kaki kanan Kunio terus saja bergerak.
Dalam
keadaan menyangka bahwa pemuda asing itu benar-benar tidak berdaya dan siap
menemui ajalnya, tiba-tiba Akiko dan Ichiro melihat bagaimana tangan Wiro yang
bebas dengan sebat menghantam ke arah kaki kiri Kunio laksana pedang menebas!
Kunio Ota
menjerit berjingkat-jingkat. Kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk
membalikkan diri dan sekaligus mencengkeram kaki kanan lawan. Kini terjadi hal
luar biasa yang tidak bisa dipercaya Akiko dan Ichiro. Tubuh Kunio tiba-tiba
saja mencelat keatas. Kepalanya menghantam tembus langit-langit kamar yang
terbuat dari kertas. Tubuh Kunio kemudian jatuh ke lantai.
Hebatnya,
pemuda ini bukan saja mampu jatuh dengan kedua kaki menginjak tatami lebih
dahulu, tapi seperti membal tubuhnya kemudian melesat ke arah Wiro. Kedua
tinjunya menderu lebih dahulu. Dengan mudah Wiro berhasil menangkap kedua
tangan lawannya dan siap untuk membantingkannya ke lantai.
Namun
lagi-lagi Pendekar 212 dibikin penasaran dan kesakitan, karena tiba-tiba saja
lawan membuat gerak aneh dan kini malah kedua tangannya yang kena dicengkeram.
Sebelum Wiro sempat lepaskan diri, tiba-tiba tubuhnya sudah terangkat, lalu
bukk! Tubuh Pendekar 212 dibanting ke lantai! Belum lagi dia sempat bangun,
Kunio jatuh diri seperti berlutut lalu tinjunya kiri kanan mendera dada murid
Sinto Gendeng.
Meskipun
jotosan-jotosan Kunio tidak disertai kekuatan tenaga dalam, namun kekuatan
tenaga luarnya saja bukan main hebatnya. Wiro merasakan ada cairan asin dan
panas dimulutnya. Wiro melengak kaget ketika menyadari dirinya mengalami luka
dalam!
Sebelum
jotosan-jotosan lawan kembali bertubi-tubi menghantam dada dan perutnya,
Pendekar 212 susupkan satu sodokan keras ke perut Kunio. Pemuda ini keluarkan
suara seperti kerbau melenguh.
Di lain
saat tubuhnya terjajar dan meluncur di atas tatami, dan baru berhenti begitu
menabrak sebuah tiang kayu. Sebelum Kunio sempat bangun, Pendekar 212 sudah
memiting lehernya dan mengangkat tubuh Kunio hampir dua jengkal dari atas
lantai. “Kau hanya ada satu pilihan Kunio!” desis Wiro. “Mengaku salah dan
minta ampun!”
“Aku
memilih mati daripada bertindak seperti banci!” teriak Kunio. Tangannya coba
menyikut, tapi Wiro semakin mengunci lehernya.
“Pemuda
asing! Kalau kau bunuh dia, aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!” tiba-tiba
Ichiro berteriak. Wiro memang tidak berniat membunuh Kunio Ota. Begitu pemuda
itu pingsan karena kesulitan bernafas, Wiro lantas lepaskan cekikannya. Kunio
terbujur di lantai.
Tiba-tiba
Wiro menangkap suara berdesing di samping kirinya disertai kilauan sesuatu yang
menyambar ke arahnya. Wiro cepat jatuhkan diri dan berguling. Di ujung kamar
dia cepat berdiri.
Di
seberangnya, Akiko Bessho tegak memegang sebilah katana! Jadi gadis inilah barusan
yang coba membabat Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sewaktu
Akiko hendak menerjang, Wiro cepat menyambar pedang yang tersembul di balik
punggung Kunio. Lalu, Trang…! trang…! trang…! Suara beradunya pedang memenuhi
ruangan itu.
Serangan
Akiko ganas sekali. Gadis ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang hulu
pedang. Dia menyerang dengan kekuatan penuh! Wiro seperti terdesak pada
permulaannya. Pemuda ini harus mengakui kehebatan permainan pedang sang dara.
Agar tidak sampai melukai gadis berwajah bulat ini, Wiro sengaja mainkan
jurus-jurus silat pertahanan.
Namun
ketika dia didesak habis-habisan, murid Sinto Gendeng ini terpaksa keluarkan
jurus-jurus silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila. Gerakannya
seolah-olah kacau. Namun di balik kekacauan itu tersembunyi suatu kekuatan yang
hebat.
Selagi
Akiko kerahkan seluruh tenaga untuk menggempur Wiro, murid Sinto Gendeng malah
mempermainkannya. Dalam satu gebrakan keras, Wiro berhasil memukul lepas pedang
di tangan si gadis! Akiko menjerit bukan karena cedera, tapi malu dan
penasaran. Dia lari ke sudut ruangan. Di sini dia duduk bersila sambil
memejamkan mata. Dia berusaha mengatur jalan darahnya yang bergejolak. Begitu
merasa sudah menguasai dirinya sepenuhnya kembali, gadis ini bergulingan di
lantai untuk mencapai pedangnya yang tadi terlepas mental. Lalu begitu hulu
pedang tergenggam dalam kedua tangannya, gadis ini langsung menyerbu Wiro
kembali.
“Tunggu
dulu…!” seru Pendekar 212.
Akiko
Bessho tidak peduli seruan orang. Pedang di tangannya menderu dan berkelebat
laksana kilat. Di antara empat orang muridnya, mendiang Hiroto Yamazaki memang
telah memberikan ilmu pedang secara khusus pada gadis ini sehingga sekali
sebilah katana berada dalam genggaman dua tangannya, maka dirinya bisa berubah
laksana malaikat penyebar maut! “Breettt… bretttt… bret…!”
Pendekar
212 Wiro Sableng berseru kaget dan cepat melompat mundur dengan wajah pucat.
Baju putih tebal yang dikenakannya robek besar di kedua bagian. Robekan ketiga
adalah pada bagian pinggang celananya. Tali celana ini putus, ketika melompat,
tak ampun lagi merosot ke bawah.
Selagi
Wiro menarik celananya ke atas, sambil meletakkan pedang di tangan kanannya,
Akiko kembali menyerbu.
“Akiko…
hentikan seranganmu,” teriak Ichiro. “Bagaimanapun aku berhutang nyawa pada
gaijin itu!” Namun terikan itu tidak ada gunanya. Ujung pedang Akiko sudah
merebas dan menyambar.
“Breettt!”
Lengan kiri pakaian Wiro robek memanjang dan kali ini tidak hanya pakaiannya
yang robek tapi juga bagian tubuhnya kena toreh. Darah langsung mengucur
membasahi lengan dan lantai ruangan.
Rasa
sakit dan keadaan terdesak membuat Pendekar 212 kalap. Dengan tangan kiri yang
masih memegang kolor, Wiro mengangkat tangan kanan. Dia sudah siap mengerahkan
semua tenaganya dengan penuh. Tapi mendadak dia terbayang wajah Hiroto
Yamazaki, lalu wajah gurunya Sinto Gendeng. Wiro kendurkan tenaga dalamnya lalu
menghantam.
Satu
gelombang angin menghantam ke depan. Akiko merasakan tubuhnya terdorong.
Semakin dicoba melawan, semakin keras tubuhnya terdorong. Gadis ini nekad
melabrak. Akibatnya dia seperti berkelahi seorang diri sementara lawannya
berada beberapa langkah di depannya.
Akiko
Bessho berteriak marah. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pedang di
tangan kanannya bergetar keras dan mengeluarkan suara siur. Gadis ini sempat
maju mendekati Wiro namun kemudian justru jatuh terpelanting di lantai dengan
sekujur tubuh mandi keringat.
Akiko
menjerit lagi dan seperti sedang putus asa, ia membanting pedangnya ke lantai.
“Curang, kamu curang, menggunakan ilmu sihir. Tidak berani menghadapi ilmu
pedang dengan pedang,” teriak Akiko. Wiro hanya bisa menyeringai mendengar
teriakan gadis itu. Sambil pegang lengan kirinya yang terluka, dia menuju
pintu. Ichiro memegang bahu Akiko dan membantu gadis itu berdiri. Lalu kepada
Wiro dia berujar, “Maafkan adik seperguruanku. Aku akan meminta dia merawat
lukamu…”
“Terima
kasih,” jawab Wiro yang kini lenyap sudah amarahnya dan mulai kasihan melihat
Akiko.
“Aku bisa
merawat lukaku sendiri. Ada dua hal yang perlu aku katakan pada kalian.
Pertama, aku tidak memiliki ilmu sihir. Kedua, dan ini yang penting, lekas
tinggalkan tempat ini. Orang-orang Lembah Hozu pasti akan menyerbu ke mari
menuntut balas kematian teman-teman mereka.”
“Jika
mereka datang kami akan membunuh mereka semua!”
“Kami
akan mencincang dua pimpinan mereka yang telah membunuh guru…” kata Ichiro.
“Jangan
bodoh. Jumlah mereka lebih banyak dan mereka sedang menyandera Kenichi, kalian
tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik mengalah sementara sambil menyusun
langkah baru.”
Sehabis
bicara, Wiro mengambil kotak berisi abu Hiroto.
“Hai
hendak kau bawa ke mana benda itu,” teriak Akiko.
Wiro
melangkah ke hadapan si gadis lalu mengulurkan kotak besi pada Akiko seraya
berkata, “Ini benda berharga yang paling berharga yang harus kalian selamatkan
sebelum orang Hozu menyerbu.” Lalu berpaling kepada Ichiro. “Tolong tinggalkan
tempat ini, jika Kunio masih pingsan dan mereka datang ke tempat ini, maka dia
akan menjadi sasaran.”
Selesai
berkata, Wiro langsung meninggalkan tempat itu dan Ichiro serta Akiko seketika
saling berpandangan. Akhirnya Ichiro membuka mulut, “Apa yang dikatakan pemuda
asing itu benar.
Selama
Kenichi berada di tangan orang Lembah Hozu, kita tidak bisa berbuat banyak!
Kita musti meninggalkan tempat ini Akiko. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!”
Di luar,
langit tampak semakin terang dan sebentar lagi sang surya akan terbit. Dari
kejauhan, dari arah tenggara terdengar suara-suara bersahut-sahutan. Sepasang
mata Akiko dan Ichiro tampak
sama-sama
membesar. “Mereka benar-benar datang,” desis Ichiro. Tanpa bicara lagi ia
langsung memanggul Kunio Ota yang masih dalam keadaan pingsan. Ichiro memberi
tanda kepada Akiko, namun ragu. Tapi tidak lama kemudian ia meloncat mengikuti
kakak seperguruannya itu meninggalkan tempat.
“Kita
tidak mungkin lari jauh. Sekali mereka melihat, kita akan dikejar. Sebaiknya
menyelinap dan bersembunyi di Goa Wanigawa.” Akiko setuju lalu mendahului lari.
Mereka menuju kerapatan pepohonan di arah timur menuju sebuah goa yang
tersembunyi di balik semak belukar. Dari dalam goa bisa melihat ke arah bekas
rumah Hiroto Yamazaki yang luas. Goa ini disebut Wanigawa yang berarti “Kulit
Buaya” karena bagian dalamnya bergerujul seperti kulit buaya.
Baru saja
mereka memasuki goa, segerombolan orang-orang Lembah Hozu yang berjumlah
sekitar dua puluh orang muncul menunggang kuda. “Periksa bangunan itu!” teriak
seorang pemimpin gerombolan. Lima orang turun dari kuda dan langsung memeriksa
dengan pedang terhunus, sementara sepuluh orang lainnya mengelilingi bangunan
dengan membawa panah beracun yang siap membidik siapa saja yang keluar dari
bangunan.
Dua orang
Lembah Hozu tampak kuluar dari bangunan sambil memberi isyarat bahwa rumah
telah kosong, tidak orang dan benda yang bisa dijarah. “Kurang ajar, mereka
pasti melarikan diri,” ujar lelaki bertubuh kurus yang menunggang kuda putih.
Kawan
yang berada di sebelahnya ikut berteriak, “Bakar bangunan itu!” Maka enam orang
segera melaksanakan perintah. Dalam waktu sekejap, bekas rumah Hiroto yang
didiami bersama empat muridnya itu hilang dilalap api.
Di dalam
goa Wanigawa, Akiko kepalkan kedua tangannya. “Aku ingin sekali membunuh
keparat-keparat dari Lembah Hozu itu. Ichiro perhatikan kuda putih dan lelaki
di sampingnya. Aku ingat betul dia yang mengeroyok sensei dan membunuhnya…”
“Kau
betul Akiko. Yang kurus jangkung itu adalah Massashigi Sakaji. Kawannya, kalau
tidak salah adalah Minoru Shirota. Mereka adalah dua dari empat pemimpin Lembah
Hozu. Keduanya sudah terkenal sejak dua puluh tahun lalu.”
“Tanganku
sudah gatal ingin membunuh kedua bangsat itu. Bagaimana jika aku membokong
mereka dengan sumpit beracun?” Dari balik pakaiannya, Akiko keluarkan sebuah
sumpitan yang terbuat dari kuningan lengkap dengan pelurunya sebesar ujung jari
berbentuk bulat dan berduri-duri di beberapa bagian.
“Jangan!”
cegah Ichiro. “Jarak mereka terlalu jauh. Peluru sumpit tidak bisa sampai ke
sana. Di samping itu, tindakanmu sama saja dengan memberi tahu tempat
persembunyian kita ini.” Akiko bantingkan kaki karena kesal. Tiba-tiba
didengarnya Ichiro berseru. “Akiko! Lihat! Ada seseorang di atas atap bangunan
rumah!”
Bagaimana
terkejutnya Ichiro, begitu pula kagetnya Akiko. Di atas atap bangunan di bawah
sana, pada bagian yang belum sempat disentuh kobaran api, di balik kepulan
asap, kedua orang ini melihat sosok seorang laki-laki berpakaian dan berikat
kepala putih tegak bertolak pinggang di atas wuwungan rumah.
Orang-orang
Lembah Hozu yang masih ada di sekitar bangunan itu juga tampak terheran-heran
melihat ada orang di atas atap bangunan yang mereka bakar. “Ichiro…” kata Akiko
sambil memegang lengan pemuda itu. “Apakah kau tidak mengenali orang di atas
atap itu? Bukankah dia gaijin bernama Wiro Sableng itu…?”
Ichiro
Ioki usap kedua matanya berulang kali. “Astaga! Kau betul! Apa yang dilakukan
pemuda asing itu di sana?! Sudah gila dia agaknya!” ujar Ichiro.
“Dia
sengaja mencari mati!” kata Akiko pula. “Ninja sekalipun tidak berani melakukan
hal seperti itu siang-siang begini!”
“Aku jadi
tak habis pikir,” kata Ichiro pula. “Siapa sebetulnya pemuda itu. Sikapnya
selalu merendah dan terkadang tampak seperti orang tolol!”
Di atas
atap bangunan, orang yang berdiri di sana memang adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Saat itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menjadi
keras sekali, Wiro berteriak.
“Orang-orang
Lembah Hozu! Kalian semua dengar! Jika kalian tidak segera membebaskan Kenichi
dan menyerahkan dua pembunuh Yamazaki-san, maka Lembah Hozu akan menjadi lembah
bangkai bagi kalian!”
Semua
orang Lembah Hozu mendongak dan sama memandang ke atas atap. “Eh, manusia atau
setan gunung yang ada di atas atap itu?!” berkata salah seorang pimpinan Lembah
Hozu. Lalu dia berpaling pada dua kawan di sebelahnya. “Masashigi! Minoru!
Orang itu menghendaki diri kalian!”
“Tak
pernah kulihat tampang manusia itu sebelumnya!” berkata Masashigi Sakaji. “Ada
di antara kalian yang mengenalinya?”
Semua
orang menggelang.
“Wajahnya
seperti bukan orang sini. Logat bicaranya aneh!” berkata Minoru Shirota. Lalu
sambungnya sambil menyeringai, “Siapapun dia adanya, aku ingin melihat warna
darahnya! Merah atau hitam… Ha… ha… ha…!”
“Orang-orang
Lembah Hozu!” dari atas atap, Wiro kembali berteriak. “Sebelum para dewa marah,
lekas tinggalkan tempat ini! Ingat ucapanku! Bebaskan Kenichi dan serahkan dua
pembunuh Yamazaki-san. Aku beri waktu tujuh hari. Jika siang hari kedelapan
Kenichi dan dua pembunuh itu tidak muncul di ujung lembah sebelah timur, kalian
akan tahu rasa!”
Orang-orang
Lembah Hozu berteriak marah mendengar seruan Wiro itu. Masashigi Sakaji balas
berteriak. “Saat ini kami sudah ada di sini! Dua orang yang kau tuduh jadi
pembunuh juga ada di sini! Mengapa tidak langsung menjatuhkan hukuman tapi
hanya bermulut besar?!”
“Aku
tidak terlalu tolol mempertaruhkan nyawa Kenichi!” sahut Wiro.
“Kalau
begitu biar nyawa busukmu kami habisi lebih dulu!” teriak Minoru Shirota.
“Sebelum kau mati, harap jelaskan siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Hiroto
Yamazaki!”
“Aku
penguasa Gunung Fuji!” jawab Wiro membual dengan suara keras. “Berarti tak ada
seorang pun boleh melawan kehendakku, kecuali mereka yang sudah bosan hidup dan
ingin jadi bangkai!” teriak Wiro seraya menunjuk tepat-tepat ke arah Minoru
Shirota.
“Penguasa
Gunung Fuji” teriak Minoru lalu meludah ke tanah. Orang-orang Lembah Hozu
lainnya tertawa keras dan sunggingkan tampang mengejek ke arah Wiro. Masashigi
Sakaji yang sudah tidak sabaran saat itu memberi isyarat kepada enam orang yang
membawa busur dan panah. Keenam orang ini langsung cabut anak panah dan
rentangkan tali busur. Enam panah beracun dibidikkan ke arah Pendekar 212 yang
masih tegak di atas atap bangunan.
Ketika
Masashigi jentikkan jari-jari tangan kanannya, enam orang yang merentang busur
serta merta melepaskan panah masing-masing. Enam panah beracun melesat ke atas
atap.
Di atas
atap tiba-tiba tampak pemuda yang jadi sasaran telah memegang sebilah katana.
Senjata ini diputar laksana titiran. Enam kali terdengar suara berdentrang dan
enam anak panah luruh ke bagian bawah bangunan yang dimakan api.
Kini
orang-orang Lembah Hozu baru terbuka mata mereka. Selagi mereka masih mendelik
menyaksikan kejadian tadi, Wiro Sableng lemparkan senjata di tangannya ke
bawah. Di lain kejap, salah seorang yang tadi memanah menjerit keras lalu roboh
ke tanah dengan perut tertembus pedang.
Kini
orang-orang Lembah Hozu menjadi sangat marah. Semua mereka berteriak keras. Dua
orang di atas kuda bergerak mengelilingi bangunan sambil memutar-mutar tali
yang di ujungnya ada pengait besi. Lima orang yang memegang panah kembali
membidikkan senjatanya. Yang lain-lain mencabut pedang lalu mengurung bangunan.
“Runtuhkan bangunan! Jangan sampai bangsat itu lolos!” teriak Masashigi.
******************
4
Dua orang
yang memegang tali berkait segera menarik tiang-tiang kayu yang masih utuh. Dua
bagian bangunan langsung ambruk. Atap bangunan di mana Pendekar 212 berdiri
miring ke kiri.
Selagi
dia mengimbangi diri agar tak terperosok jatuh, lima anak panah beracun menderu
ke arah lima bagian tubuhnya!
Murid
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini keluarkan bentakan keras. Lalu dari tangan
kanannya tampak memancar sinar berwarna perak. Ketika tangan itu dihantamkan,
menghamparlah hawa panas disertai sambaran cahaya menyilaukan! Lima anak panah
mental leleh! Lalu terdengar suara ledakan dahsyat! “Buummmm!”
Tanah
berlapis salju di depan bangunan yang terbakar, mencuat bertaburan ke udara.
Dua ekor kuda terpelanting dan menjatuhkan penunggangnya. Di bagian lain
terdengar tiga jeritan lalu tiga sosok tubuh tergeletak hangus di atas salju!
Masashigi dan Minoru dan yang lain-lainnya masih sempat menyingkir. Tapi muka
mereka kini tampak seputih salju Gunung Fuji!
Ketika
keadaan kembali tenang, semua orang lagi-lagi dibikin kaget. Kini kaget karena
pemuda yang tadi berada di atas, tak tampak lagi sosoknya! Para pimpinan
orang-orang Lembah Hozu memandang berkeliling. Pemuda yang mereka cari tetap
tak ada lagi, laksana amblas ditelan gunung! “Tinggalkan tempat ini!” Minoru
Shirota berteriak memberi perintah. Orang-orang Lembah Hozu yang saat itu
memang sudah merasa ngeri karena seumur-umur belum pernah mengalami hal seperti
itu, serta merta bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Masashigi
mendekatkan kudanya ke kuda Minoru lalu berkata, “Terus terang aku tidak takut
kepada pemuda tadi, walau kepandaiannya setinggi langit! Tapi untuk mencegah
hal-hal yang tidak diingini, kurasa kita harus menghubungi nenek sihir Arashi.
Hanya dia agaknya yang bisa menghadapi kekuatan aneh yang dimiliki pemuda itu!”
“Ya…
ya…!” jawab Minoru Shirota. “Nenek Arashi akan menghancur luluhkan tubuhnya
sampai berbentuk sekepal daging cincang!”
Sementara
itu dalam goa, Ichiro dan Akiko masih terbengong-bengong menyaksikan apa yang
terjadi tadi. “Tak percaya kalau aku tidak melihat sendiri…” Ujar Ichiro.
“Pemuda
asing itu…” desis Akiko. “Apa yang dikatakan sensei memang mungkin benar
Ichiro….
Seorang
pendekar baru telah muncul di Gunung Fuji… Hawa panasnya terasa sampai ke dalam
goa ini. Kurasa itulah pukulan sinar matahari yang dikatakan guru. Luar biasa!”
“Hanya
para tukang sihir pemilik ilmu hitam yang mampu melakukan hal seperti itu…”
kata Ichiro.
“Tapi dia
bukan tukang sihir…” bisik Akiko, masih terkagum-kagum. “Ah, ke mana kita harus
mencarinya sekarang? Dia lenyap begitu saja…!”
Ichiro
menatap paras adik seperguruannya sesaat. Dia tahu apa yang ada dalam benak dan
hati adiknya itu. Sama seperti yang kini diinginkannya. Tapi dia malu untuk
mengatakan karena sebelumnya dia dan Kunio serta Kenichi telah menganggap
rendah pemuda itu.
“Jika
kalian mencarinya haruslah dengan maksud yang sama seperti maksudku! Dia telah
mencuri kitab guru dan mencelakai diriku! Baginya hanya ada satu hal, mati!”
Ichiro dan dan Akiko sama berpaling. Saat itu Kunio Ota ternyata sudah siuman
dari pingsannya dan tengah tegak bersandar ke dinding goa.
“Ah!
Kunio! Kau sudah sadar…!” seru Ichiro.Lalu bersama Akiko menghampiri pemuda
itu.
Rumah teh
Mangetsu terletak di suatu bukit di luar Kyoto. Sepanjang hari tempat ini ramai
dikunjungi orang yang ingin melepas dahaganya. Selain teh yang dihidangkan
memang nikmat, pelayanan di sini pun sangat baik.
Pendekar
212 duduk di sudut ruangan dekat jendela. Seorang pelayanan perempuan datang
membawakan pesanannya. Sebelum pergi pelayan itu menunjuk bangku kosong di
samping Wiro dan bertanya, “Tuan, apakah ingin saya temani?” Wiro tersenyum.
“Arigatoo Gozaimashita, terima kasih, Saya lebih suka duduk sendiri.” Pelayan
itu lalu pergi.
Setelah
memandang berkeliling, Wiro mengangkat cangkir dan meneguk tehnya. Baru saja ia
meletakkan cangkir di atas meja, di pintu tampak muncul seorang, yang dari
pakaian dan keranjang bututnya, jelas seorang pengemis. Wajahnya tak kelihatan
karena tertutup tudung jerami lebar.
Begitu
pengemis itu melangkah masuk, seorang pelayan menghadangnya. “Pengemis tidak
boleh berada di rumah teh ini. Lekas keluar!”
Tenang
saja pengemis itu melepaskan lipatan kecil dan menyerahkan pada si pelayan.
“Maksudmu pemuda asing itu?” Si pelayan berpaling ke arah Wiro duduk. Si
pengemis mengangguk lalu putar tubuh dan pergi. Pelayan lalu menghampiri Wiro
lalu meletakkan lipatan kertas di atas meja.
“Pengemis
tadi meminta saya menyerahkan ini kepada Tuan.” Meski heran Wiro mengambil
kertas dan membuka lipatannya. Di situ tertera kalimat pendek berbunyi. Temui
aku di Puri Nanzen, Penting!
“Aneh!
Tak ada pengirim. Diakah yang ingin bertemu?” Murid Sinto Gendeng menggaruk
kepalanya. Wiro cepat-cepat menghabiskan minumannya. Setelah membayar, ia
meninggalkan rumah teh itu menuju ke bagian barat kota.
Puri
Nanzen sebuah puri besar yang dibangun oleh pendeta Zen puluhan tahun lalu.
Bagian luarnya dikelilingi pepohonan rimbun, berumput dengan dua telaga kecil,
dan jalan setapak yang diberi batu-batuan. Untuk beberapa lamanya Wiro
memperhatikan bangunan itu. Sepi. Tak tampak orang di sana. Desah angin
satu-satunya yang tertangkap di telinga Wiro.
“Jangan-jangan
aku jadi permainan pengemis sinting,” berkata Wiro dalam hati. Dia melangkah ke
tepi telaga di sebelah kanan. Berhenti di sini, memandang sekeliling baru
melangkah menuju tangga puri. Bagian luar puri merupakan serambi terbuka yang
mengelilingi bangunan utama. Wiro melangkah memutari bangunan itu. Akhirnya dia
kembali ke tangga sambil berpikir-pikir. Bukan mustahil ada orang yang
menjebaknya. Tapi siapa? Orang-orang Lembah Hozu? Dua hari belakangan ini
memang banyak kejadian yang dihubungkan dengan tindak-tanduk orang-orang Lembah
Hozu.
Wiro
duduk beberapa saat. Ketika tidak ada juga orang yang muncul, dengan kesal
berteriak, “Pengemis bertopi jerami, di mana kau?” Tidak ada jawaban. Desau
angin menambah dinginnya udara. Pendekar 212 berdiri sambil berteriak dan
memaki, “Sialan! Aku benar-benar kecele!” Wiro langkahkan kakinya menuruni
tangga.
Tiba-tiba
dari samping terdengar suara berdesir. Wiro menoleh. Tiga buah benda bulat
sebesar ibu jari melesat ke arahnya. Senjata rahasia! Sambil mengerang ia
menghantam dengan satu tangan kosong. Tiga senjata rahasia mengeluarkan suara
letusan dan buyar di udara. “Mengundang lalu membokong benar-benar perbuatan
rendah!” teriak Wiro.
Baru saja
memaki sebuah benda melesat berkilauan. Ternyata sebuah katana pendek. Pendekar
212 cepat melompat ke samping. Pedang meleset dan menancap di serambi. “Edan!”
maki Wiro, lalu mencabut pedang yang menancap di tiang sambil menelitinya. Wiro
tidak mengerti maksud pelempar pedang itu. Dengan kesal akhirnya dihujamkan ke
lantai puri. Saat itulah dia melihat ada sesuatu melayang di atas pohon besar
di samping puri. Wiro hendak menghantam tapi cepat sekali lenyap. Saat dikejar
hingga di samping puri, tidak ada apa-apa lagi.
“Yang
melayang tadi jelas sosok manusia. Dia tak mungkin ada bersembunyi di halaman
sini…”
Wiro perhatikan
pohon-pohon besar di sekelilingnya. Jangankan manusia, burung pun tak ada yang
hinggap di pepohonan itu.
“Aku ada
di dalam sini” terdengar suara dari dalam puri. Wiro cepat berpaling. “Siapa di
dalam sana?”
“Masuklah
cepat! Aku tak ingin ada orang melihatmu!” terdengar lagi suara dari dalam
puri, lalu pintu dorong bangunan itu bergeser ke samping.
Wiro
penasaran dan jengkel. Ia siapkan satu pukulan sakti di tangan lalu melompat
memasuki puri lewat pintu yang terbuka. Begitu masuk, pintu dorong tertutup
kembali. “Kau!” teriak Wiro ketika melihat sosok pengemis. “Kau mengundangku ke
mari lalu hendak membunuhku secara pengecut! Membokong! Apa apaan ini!?”
“Sabar
jangan cepat marah Wiro. Mari kita bicara. Ada beberapa yang perlu kita
rundingkan!” jawab pengemis.
Wiro
menundukkan kepala, maksudnya hendak mengintai wajah di bawah tudung itu. Namun
itu tak perlu dilakukannya karena seketika si pengemis membuka tudungnya.
Ketika melihat wajah pengemis itu, terkejutlah Wiro. “Akiko! Aku benar-benar
tidak mengenalimu. Suaramu-pun aku tidak kukenal!”
Gadis
murid mendiang Hiroto Yamazaki itu tersenyum. “Aku tadi bicara dengan suara
perut. Makanya kamu tadi tidak mengenali suaraku yang seperti laki-laki…
Sekarang suaraku bagaimana…?”
“Ah!
Sekarang kudengar suara aslimu. Suara perempuan. Hai katakan apa-apaan yang
kamu lakukan ini Akiko? Mana yang lain-lain…?!”
“Sssst…
jangan bicara terlalu keras. Di jepang, dinding dan pohon bisa mendengar…” ujar
Akiko Bessho. “Aku sengaja menyamar karena di luar sangat gawat. Aku melihat
ada gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan orang Lembah Hozu…”
“Kau
betul. Mereka melakukan penyelidikan di mana-mana. Aku tidak mengerti ada
pasukan resmi membantu mereka…”
“Berarti
mereka punya hubungan dengan penguasa.”
“Betul,”
kata Akiko. “Bukan itu saja. Mereka melakukan penyelidikan dengan
sewenang-wenang. Beberapa orang mereka siksa, bahkan ada yang dibunuh…!”
“Apa yang
mereka selidiki?” tanya Wiro.
“Apalagi
kalau bukan mencari jejak kita?” jawab Akiko. “Termasuk mencarimu!” kata gadis
itu kemudian. “Semua ini karena ancaman yang kau katakan sewaktu orang-orang
Lembah Hozu membakar rumah sensei!”
“Astaga!
Jadi aku telah melakukan kesalahan besar…?”
“Aku
tidak bilang begitu. Namun itulah kenyataan yang terjadi. Kita semua harus
hati-hati. Orang-orang Lembah Hozu telah membayar mata-mata untuk mencari kita…
Apakah kau tidak merasa diikuti orang ketika menuju kemari…?”
“Heh?!”
Wiro memandang lekat-lekat ke arah Akiko. “Aku tak tahu. Jangan-jangan
kecurigaanmu beralasan!”
“Di
samping itu, aku punya masalah dengan Kunio Ota…,” berkata Akiko.
“Apa
masalahmu? Bagaimana keadaan pemuda pemberang itu?”
“Dia
tidak setuju ketika aku mengambil keputusan mencarimu. Dia khawatir…”
“Khawatir
atau cemburu…?” Wiro memotong. Paras Akiko menjadi sangat merah. Wiro tertawa
perlahan.
“Kunio
tetap yakin bahwa kau yang mencuri kitab pelajaran Kendo milik guru. Jika kau
jujur, maukah kau mengatakan bahwa kau tidak mencari buku pelajaran ilmu pedang
yang langka itu?”
“Siapa
dewa yang paling kamu hormati, Akiko?” tanya Wiro.
“Dewa
matahari…,” jawab sang dara.
“Nah,
demi dewamu itu, aku bersumpah tidak mencuri buku atau apapun di tempat
kediaman gurumu!”
“Sumpahmu
tak ada harganya!” kata Akiko pula.
“Eh,
kenapa begitu?” tanya Wiro heran.
“Kepercayaanmu
dan kepercayaanku berlainan. Bagaimana mungkin kau mengangkat sumpah dengan
kepercayaan orang lain!?”
“Ah
begitu? Kau mungkin benar,” kata Wiro sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau
begitu aku bersumpah atas nama persahabatan kita! Bisa kau terima sumpahku
sekarang?”
“Masih
belum.”
“Kenapa?”
“Soalnya
kita belum tentu bersahabat. Aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Muncul di
sini entah membawa niat jahat atau apa…”
“Ah…”
Wiro geleng-geleng kepala.
“Kau
keliru Akiko. Jika kau sengaja mencariku dan menginginkan pertemuan ini,
berarti kau telah menunjukkan rasa persahabatan. Kalau kau tidak percaya
dirimu, apa perlunya mencari diriku dan menyamar segala!”
“Aku
menyamar agar tidak ketahuan orang-orang Lembah Hozu dan Kunio. Kunio mengancam
membunuhku jika aku menemuimu,” Akiko menutup wajahnya seperti menahan tangis.
Wiro
dekati gadis itu dan pegang bahunya. “Maafkan kalau aku membuatmu menjadi marah
dan bingung. Tapi aku betul-betul tidak mencuri sesuatu pun. Justru aku ingin
menyelidiki pencuri itu dan menemukannya kembali.”
Perlahan-lahan
Akiko turunkan kedua tangannya. Sepasang mata bening gadis ini menatap ke bola
mata pendekar 212. “Betulkah kau hendak membantu menemukan buku itu kembali?”
Tanya sang dara.
Wiro
mengangguk. “Tadi kau hendak merundingkan beberapa urusan. Urusan apa?”
“Urusan
pertama tentang kitab yang hilang. Terima kasih kamu bersedia membantu. Yang
kedua, ini yang penting. Cara menghadapi orang-orang Lembah Hozu. Kau telah
mengancam dan memberi waktu tujuh hari kepada mereka. Bisa saja sesuatu terjadi
kepada mereka. Bagaimana membuktikan ancamanmu? Kau tidak bisa menghadapi
mereka seorang diri. Aku mendengar orang-orang Lembah Hozu meminta bantuan
nenek Arashi.”
“Siapa
nenek yang memiliki nama begitu hebat? Nenek Topan?” tanya Wiro.
“Seorang
jago sihir kawakan. Dia bisa mencabut pohon dengan akarnya lalu melemparkan ke
arahmu!” jawab Akiko.
Wiro
keluarkan suara berdecak. “Belum pernah aku mendengar kehebatan seperti itu,
aku ingin sekali melihatnya!”
“Jangan
bicara takabur Wiro-san…”
“Hanya
itulah urusan yang ingin kau bicarakan?” tanya Wiro kemudian.
“Masih
ada yang lainnya.”
“Apa
itu?”
“Bagaimana
kita bisa menyelamatkan Kenichi?”
“Itu
memang bukan urusan mudah. Orang-orang Lembah Hozu itu memang menjaga Kenichi
secara ketat. Kau tak usah memikirkan….”
“Dia
saudara seperguruanku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?!”
“Jangan
salah sangka dulu Akiko. Bicaraku tadi belum selesai. Urusan Kenichi biar aku
yang mengatur asal kau mau membantu…”
“Aku
sendiri hanya punya kemampuan terbatas….” kata Akiko.
“Ah, kau
terlalu merendah. Buktinya kau tadi menunjukkan kehebatanmu dengan melempar
senjata rahasia serta sebilah katana!”
Merahlah
paras Akiko Bessho. “Yang kulakukan tadi bukan mencelakaimu. Itu untuk
membuktikan bahwa kau seorang yang bisa diandalkan. Apa yang dikatakan sensei
bukan cerita kosong…”
Wiro
tertawa lebar, “Kau tahu Akiko, di negeriku banyak sekali orang yang pandai
bicara. Tapi perempuan di sana bersikap diam. Tidak ada yang pandai bicara,
apalagi berkelit lidah sepertimu saat ini… Kalau tadi pedangmu sempat menembus
jantungku, tentu aku tidak akan pernah mendengar alasan yang kau katakan, iya
kan?”
“Nah,
sudah selesaikah urusan ini atau ada urusan lain?”
“Masih
ada satu lagi. Ini yang terakhir.”
“Katakanlah!”
“Sebenarnya
aku malu menyampaikannya …”
“Katakan
saja Akiko,” ujar Wiro.
Akiko
Bessho diam sesaat. Tampaknya seperti ragu. “Ah, baiknya kubatalkan saja
mengatakannya kepadamu,” kata gadis ini.
Wiro
menggeleng. “Memendam sesuatu tidak baik… Kau tidak percaya padaku. Atau malu.
Bukankah kita bersahabat?” ujar Wiro seraya mengambil topi jerami lebar dari
tangan Akiko lalu mengenakannya di kepalanya. “Tampangku pasti seperti pengemis
beneran!” kata Wiro, yang membuat Akiko tertawa geli. “Sekarang apakah kau
tidak akan mengatakannya?”
“Baiklah,
aku akan terus terang saja,” jawab Akiko. “Ini menyangkut pesan gurumu dalam
surat yang dulu kau bawa untuk sensei. Apakah kau masih bersedia mengajarkan
ilmu pukulan sakti bernama Pukulan Sinar Matahari itu?”
“Ah..!
Itu rupanya!” kata Wiro seraya tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. “Untukmu
pintu selalu terbuka, Akiko. Bagaimana dengan saudara-saudara seperguruanmu
yang lain?”
“Ichiro
sebenarnya ingin juga mempelajari kesaktian itu. Tetapi dia merasa malu karena
sudah terlanjur mengejekmu. Kenichi tak masuk hitungan karena masih berada
dalam sekapan orang-orang Lembah Hozu. Tinggal Kunio. Dia pasti akan membunuhku
jika tahu aku menemuimu, apalagi sampai belajar padamu.”
“Hemmmm,
begitu? Kau sungguhan ingin mempelajari Pukulan Sinar Matahari?”
Akiko
mengangguk. “Aku ingin pada saat kau mendatangi Lembah Hozu pada hari
kedelapan, aku sudah menguasai ilmu itu.”
“Semua
itu tergantung pada tingkat tenaga dalam yang kau miliki dan kemampuanmu
menghapal bacaan tertentu secara cepat…”
“Aku akan
belajar sungguh-sungguh, siang malam…!”
******************
5
“Bukan
itu saja masalahnya Akiko. Tapi ada satu hal yang sangat berat dan kurasa tak
mungkin kau lakukan…”
“Apakah
itu? Apa yang harus aku lakukan?”
“Orang
yang akan mempelajari pukulan sakti tersebut harus dalam keadaan tanpa
pakaian…”
“Apa?!”
Akiko Bessho tersentak. “Gila! Aku harus telanjang?! Ilmu macam apa itu!
Persetan dengan ilmu itu! Lebih baik aku tak mendapatkannya!” sang dara tampak
berang dan membalik membelakangi Wiro.
Pendekar
212 tertawa mengekeh. Akiko cepat membalik. “Mengapa kau tertawa?!” tanya Akiko
gusar.
“Kau
seperti anak kecil! Percaya saja apa yang kukatakan tadi!”
“Jadi…
Apa maksudmu sebenarnya?”
“Untuk
belajar pukulan sakti itu tidak perlu harus telanjang segala! Aku hanya
bergurau! Senang melihat pipimu merah kalau marah!”
“Gaijin
kurang a…” Akiko tidak teruskan ucapannya.
Di
hadapannya Wiro memberi isyarat. Ketika Wiro melangkah keluar dari puri, Akiko
mengikuti.
Di salah
satu halaman Puri Nanzen terdapat dua buah batu yang masing-masing hampir dua
kali besar kepala manusia. Wiro menunjuk pada batu sebelah kanan. “Alirkan
tenaga dalammu ke tangan sebelah kanan, lalu pukul batu itu.”
“Kau
hendak menguji atau bagaimana?”
“Terserah
kau mau bilang apa. Tapi aku harus melihat dulu tingkat tenaga dalammu. Aku
percaya kau pasti sudah memiliki tingkat yang tinggi, nah cobalah…!”
Perut
Akiko tampak mengempis, bibirnya terkatup rapat. Kedua kakinya menekuk dan
tubuhnya turun perlahan. Tangan kanan diangkat ke atas. Lalu terdengar bentakan
keras keluar dari mulutnya.
Bersamaan
dengan itu tangan kanannya memukul. “Praaakkk!” Batu hitam di sebelah kanan
yang jadi sasaran hancur berantakan.
“hebat!”
memuji Wiro. Dia membungkuk dan memungut serta memperhatikan pecahan-pecahan
batu. “Kau mempunyai dasar tenaga dalam yang baik. Malam nanti kita mulai
latihan…”
“Terima
kasih,” kata Akiko, seraya menjura beberapa kali. Lalu gadis itu bertanya,
“Sebagai imbalan, apakah yang harus kulakukan untukmu?”
Murid
Sinto Gendeng menatap wajah bulat di depannya beberapa saat. Lalu senyum
menyeruak di mulutnya. Akiko jadi curiga. Buru-buru gadis ini berkata, “Jangan
kau berani meminta yang bukan-bukan…!”
“Aku
ingat pada kepandaianmu mengubah suara tadi. Maukah kau mengajarkannya padaku?”
Tiba-tiba
Wiro mendengar suara berucap, “Wiro-san, gurumu jelas-jelas dalam suratnya
mengatakan tidak ada pamrih. Mengapa sekarang kau justru meminta imbalan…?”
“Astaga!
Itu suara Hiroto Yamazaki!” ujar Wiro dalam hati. Terkesima tapi juga tampak
merah mukanya, pemuda ini berpaling ke kiri dari arah mana tadi dia mendengar
suara itu datang.
“Kau
mencari siapa?” tanya Akiko dengan senyum di bibir.
“Aku
barusan mendengar…” Wiro tak meneruskan ucapannya. Di hadapannya, Akiko tampak
berusaha menahan tawa. Kini Wiro sadar apa yang telah terjadi. Akiko tadi pasti
telah mempergunakan kepandaian berbicara dengan perutnya, meniru suara mendiang
gurunya! Mau tak mau Wiro hanya bisa menyengir.
Sambil
garuk kepala, pemuda ini serahkan topi jerami kembali pada Akiko. Belum sempat
topi itu disentuh si gadis, tiba-tiba terdengar suara berdesing. Wiro berteriak
memberi peringatan. Akiko melompat ke samping kanan, Wiro ke arah kiri. Dua
bilah golok pendek menderu dan menancap ditopi jerami yang masih berada dalam
genggaman Pendekar 212.
Pada saat
itu pula lima orang berpakaian merah melayang turun dari atas dua buah pohon
besar yang ada di taman Puri Nanzen. Akiko keluarkan seruan kaget. “Komplotan
pembunuh bayaran Teruko!”
Lima
orang berpakaian serba merah menyebar mengurung Akiko dan Wiro. Mereka terdiri
dari empat orang laki-laki yang wajahnya dilumuri pupur berwarna merah sedang
rambut dicukur pendek berdiri dan juga berwarna merah. Orang kelima ternyata
seorang nenek berpipi cekung tetapi masih memiliki rambut hitam lebat disanggul
rapi. Mukanya celemongan tidak karuan.
Meski
jelas kelima orang itu tidak bermaksud baik, namun murid Sinto Gendeng masih
bisa bergurau. “Kalian ini para pemain sandiwara kabuki (semacam sandiwara
tradisional Jepang) mengapa bisa kesasar ke mari…?!”
“Pemuda
asing gila! Apa dia tidak tahu gelagat tengah menghadapi siapa!” Akiko Bessho
memaki dalam hati. Gadis ini gerakkan kedua kakinya membuat kuda-kuda. Tangan
kanannya tergantung sedemikian rupa, siap untuk mencabut katana yang
tersembunyi di punggung pakaiannya.
Empat
lelaki berambut merah keluarkan suara mendengus marah mendengar ucapan Wiro
tadi.
Sebaliknya
si nenek malah keluarkan suara tertawa cekikikan! Dia mengerling genit ke arah
Wiro lalu berpaling pada Akiko. “Mendiang Hiroto Yamazaki pasti tidak tenteram
di akhirat melihat murid perempuannya bersuka-sukaan dengan seorang pemuda
asing!”
“Tua
bangka kurang ajar! Tampangmu jelek, mulutmu kotor!” teriak Akiko marah. Tangan
kanannya mulai bergerak ke arah punggung.
Perempuan
berwajah celemongan ganda tertawa. “Mukaku memang jelek, mulutku suka usil!
Hikk… hik…hik..!” jawab si nenek. Lalu sambungnya, “Tapi banyak lelaki suka
padaku, Hikk… hik…hik…!”
“Aku
tidak heran!” menyahuti Akiko. “Siapa yang tidak kenal dengan nenek Teruko!
Perempuan binal yang sudah jadi pelacur sejak usia empat belas tahun!”
“Anak
perawan! Mulutmu sudah kelewatan! Anak-anak, bunuh dia!” perintah Teruko pada
keempat anak buahnya. “Sreet…!” empat bilah katana pendek dicabut berbarengan.
Empat lelaki bermuka dan berambut merah itu langsung mengurung Akiko. Si nenek
sendiri sambil tertawa-tawa melangkah mendekati Wiro, kedipkan matanya dan
berkata, “Pemuda asing, tampangmu cukup menawan. Jika malam ini kau mau
menginap di rumahku, aku akan ampunkan kau punya nyawa. Siapa namamu sayang…?”
Sambil
berkata begitu enak saja dan cepat sekali si nenek mencuil dagu Wiro. Murid
Sinto Gendeng merasakan tengkuknya merinding. “Kau ini siapa? Kenal pun baru
kali ini, mengapa enak saja bicara soal pengampunan nyawaku?” tanya Wiro.
Si nenek
tertawa dan kedipkan lagi matanya. “Namaku Teruko. Aku ketua komplotan Teruko
yang bisa disewa untuk melakukan apa saja! Saat ini aku mendapat pekerjaan
untuk membunuhmu dan gadis itu! Apa kau tidak berterima kasih kalau aku kini
mengampunimu?”
“Perlu
apa mengampuni diriku? Apa aku punya kesalahan padamu?”
“Oooo…”
Wiro ikut-ikutan runcingkan mulut. “Siapa yang menyewa kalian?”
“Itu
rahasiaku! Tapi di atas ranjang malam ini mungkin aku akan mengatakannya!”
jawab si nenek lalu tertawa tersipu-sipu.
“Tidak
kau katakan pun aku sudah tahu. Pasti orang-orang Lembah Hozu!”
“Ah,
ternyata otakmu cerdas. Aku suka pemuda-pemuda cerdas sepertimu…” kata nenek
Teruko pula.
Saat itu
terjadi perkelahian antara Akiko dengan empat anak buah Teruko. Seperti
diketahui, Akiko adalah satu-satunya murid pewaris ilmu pedang paling pintar
dari Hiroto Yamazaki. Katana yang tergenggam di kedua tangannya menderu ganas
menghadapi empat pedang pendek keempat pengeroyoknya. Para pengeroyok yang
tidak menyangka bakal mendapatkan perlawanan keras, sambil berteriak-teriak
memperapat kurungan dan lancarkan serangan-serangan berantai.
Untuk
beberapa lamanya Akiko sanggup membendung serangan empat lawannya, tetapi
setelah berkelahi lebih dari sepuluh jurus, walaupun sempat melukai lengan
salah seorang pengeroyok, pada akhirnya gadis ini mulai terdesak.
Keselamatannya terancam.
“Hentikan
serangan kalian! Jangan main keroyok!” teriak Wiro. Masih dengan memegang topi
jerami yang ditancapi dua bilah golok, Wiro segera melompat ke tengah
pertarungan. Namun ada seorang menarik pinggang celananya. Ketika dia
berpaling, ternyata nenek Teruko yang melakukan! Nenek itu tersenyum dan
lagi-lagi kedipkan mata!
“Tua
bangka sialan!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia membentak, “Perintahkan empat
anak buahmu menghentikan pengeroyokan! Lalu cepat pergi dari sini!” Dalam
keadaan marah Wiro hampir tidak sadar kalau tangan si nenek masih memegangi
pinggang celananya. Tiba-tiba tangan itu cepat sekali menyusup ke dalam celana
Wiro.
Pendekar
212 tergagap kaget. Hampir saja anggota terlarangnya disentuh jari-jari tangan
kurang ajar nenek Teruko. Saking marahnya, Wiro langsung gebukkan topi jerami
di tangan kanannya ke muka Teruko! Perempuan tua itu tertawa cekikikan. Dia
terpaksa menarik tangan kanannya yang jahil. Sambil mundur dua langkah, dia
silangkan lengan kiri untuk menangkis gebukan topi jerami.
“Braakkk!”
Topi jerami milik Akiko itu hancur berantakan. Dua bilah golok yang tadi
menancap di topi mencelat ke udara. Begitu senjata itu jatuh ke bawah, nenek
Teruko melompat keatas. Di lain kejap, kedua golok itu sudah berada dalam
genggaman si nenek! Dan hebatnya, sesaat kemudian senjata itu telah
dilemparkannya ke arah Akiko Bessho, padahal saat itu si gadis berada dalam
keadaan terdesak hebat!
Akiko
bukannya tidak melihat kedatangan dua golok yang menyebar ke arahnya. Dia tidak
bisa berbuat apa-apa karena saat itu empat lawan menyerbu dengan dahsyat! Kalau
pedangnya dipakai untuk menangkis dua golok, tubuhnya tidak terlindung lagi
dari gempuran pedang para pengeroyok!
Dalam
keadaan genting seperti itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan Pendekar 212.
“Akiko! Tangkis dua golok terbang!” Bersamaan dengan itu, murid Eyang Sinto
Gendeng dorongkan kedua tangannya ke arah empat pengeroyok yang berpakaian dan
berwajah serta berambut merah. Dua gelombang pukulan sakti bernama “Dewa Topan
Menggusur Gunung” yang didapatnya dari Tua Gila, seorang sakti dari pulau
Andalas, menghantam dahsyat. Empat orang murid nenek Teruko berteriak kaget
saat menyadari tubuhnya laksana terseret badai. Mereka berusaha bertahan sambil
mengejar Akiko dengan ujung senjata masing-masing.
Tapi,
“Wusssss!” Keempat lelaki itu mencelat mental, bergulingan di tanah dan untuk
beberapa saat tergeletak dengan muka merah mereka tampak babak belur! Salah
seorang mencoba berdiri, tapi terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali. Dari
mulutnya meleleh darah, lalu lelaki itu roboh kembali.
“Trang…
trang…!” Seperti yang diteriakkan Wiro, Akiko kini mampu mempergunakan
pedangnya untuk menghantam mental dua golok pendek yang tadi dilemparkan nenek
Teruko. Selamatkan gadis ini dari serangan maut. Akan halnya nenek Teruko si
kepala komplotan kegetnya bukan kepalang. Dia memang gusar melihat Akiko lolos
dari kematian. Namun yang membuatnya tersirap adalah pukulan sakti yang
dilepaskan Pendekar 212, yang sempat membuat empat anak buahnya terpental dan
babak belur terkapar di halaman puri.
“Pemuda
asing ini luar biasa! Ilmu pukulannya tidak kalah dengan nenek Arashi. Ada
hubungan apa pemuda ini dengan nenek sihir itu! Ah, aku benar-benar bisa jadi
hitome bore (cinta pada pandangan pertama) padanya! Jika aku bisa memanfaatkan
dirinya, tidak sulit menjadi orang nomor satu di negeri ini!”
Nenek
Teruko maju dua langkah mendekati Pendekar 212. Tanpa pedulikan lagi empat anak
buahnya yang cedera, si nenek berkata, “Anak muda, ternyata kau memiliki
pukulan sakti sehebat badai. Apa sangkut pautmu dengan nenek Arashi?”
Wiro yang
pernah mendengar nama nenek tukung sihir itu menjawab, “Aku tidak ada sangkut
paut dengan segala macam nenek-nenek, termasuk denganmu!”
“Ah,
jangan begitu anak muda. Dengar… aku bersedia menjadikan kau sebagai wakilku.
Kita bekerja sama, gajimu enam tail perak sebulan! Pasti kau mau menerima!”
“Wiro-san!
Jangan terpancing!” teriak Akiko.
“Pasti
aku menolak!” sahut Wiro, membuat si nenek terperangah.
“Anak
bodoh, setahun bekerja denganku, kau bisa membangun puri sebagus puri Nanzen
ini! Apa itu tidak hebat?”
“Aku
tidak suka jadi orang hebat. Nenek, aku minta kau meninggalkan tempat ini dan
jangan ganggu kami lagi!” kata Wiro.
“Enak
saja kau berucap begitu…!”
“Lalu
maumu apa?”
“Kuberi
susu kau minta jelaga. Kuberi madu kau minta racun! Sekarang bersiaplah untuk
mati!” kata nenek Teruko. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan senjata
tombak aneh. Ujung satunya berupa sebilah pedang pendek, sedang ujung lainnya
berbentuk bulat penuh dengan lobang kecil.
Melihat
ini, Akiko segera mendekati Wiro dan berbisik. “Hati-hati dengan ujung tombak
berbentuk bulat. Di dalamnya tersimpan racun yang bisa membuat mata buta serta
menutup jalan nafas!”
“Terima
kasih, kalau begitu lekas kita tutup jalan nafas dan kau berdiri dekat pohon
sana!” kata Wiro. Sebagai pendekar yang sudah kebal terhadap segala jenis
racun, sebenarnya Wiro tidak khawatir. Namun murid Sinto Gendeng tidak mau
menganggap rendah orang.
“Wutttt!”
Nenek Teruko kiblatkan senjatanya. Dari lobang kecil pada ujung berbentuk bola
serta merta menebar benda berbentuk butir pasir halus. Begitu menyentuh udara
meletus dan berubah menjadi asap hitam yang baunya busuk luar biasa, membuat
jalan pernafasan sesak dan mata perih.
Selagi
asap menutup pemandangan, si nenek pergunakan kesempatan tusukkan ujung pedang
ke arah perut lawan!
Pendekar
212 berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu setengah tombak.
Dari atas dia langsung melepas pukulan kosong. Tapi cepat sekali nenek menyambar
ke arah pergelangan tangannya. Selagi Wiro menarik kembali serangannya, senjata
lawan sudah menyemburkan asap lagi.
Wiro
merasakan jalan pernafasannya sesak. Kaki kirinya melesat mencari sasaran nenek
Teruko. Si nenek cepat sekali menundukkan kepala dan tiba-tiba tombak dengan
cepat menusuk ke atas selangkangan Wiro. “Nenek gila, gerakannya cepat sekali,”
maki Wiro. Mau tidak mau dia membuang diri ke samping. Untuk menghindari
serangan, dia langsung melepas serangan “Kunyuk Melempar Buah”.
Nenek
Teruko gusar besar melihat serangannya yang susul menyusul mampu dielakkan
lawan.
Asap
beracunnya tidak berhasil mencelakakan pemuda itu. Dan kini dari atas kini dia
merasakan ada gundukan batu raksasa yang siap menimbunnya. Sambil memutar
tombaknya, nenek melompat mundur. Tangan kirinya dipukulkan ke atas. Dia memang
memiliki pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi begitu pukulannya
bertemu dengan pukulan lawan, menjeritlah wanita tua bermuka celemongan ini.
Tangan kirinya terkulai lemas, lalu terbanting di tanah. Dia tidak lagi bisa
menggerakkannya!
“Celaka!
Apa yang terjadi dengan tanganku ini!” si nenek mengeluh dalam hati. Selagi
kebingungan seperti itu, tendangan Wiro sampai di badan tombak yang ada di
tangan kanannya.
Tak pelak
lagi, pedang itu terpental jatuh di atas rumput taman puri Nanzen dalam keadaan
bengkok!
Nenek
Teruko berseru tegang. Empat anak buahnya terkesiap kaget. Saat itu Pendekar
212 telah menjejakkan kedua kakinya di atas tanah kembali sambil bertolak
pinggang dan berkata. “Kalau pelajaranku tadi belum membuatmu kapok, bersiaplah
menerima pelajaran susulan!”
Wajah
nenek Teruko membesi. Pandangan matanya garang sekali. Dia berteriak keras.
Tangan kanannya sesaat kemudian bergerak ke punggung dan memegang sebilah
katana. “Kalau kau mampu mengalahkanku dalam ilmu kendo, baru aku mengaku
kalah! Keluarkan senjatamu!”
Wiro
memberi isyarat kepada Akiko yang tegak dekat pohon. “Biar aku yang melayani
nenek buruk itu” ujar sang dara sambil cabut pedangnya. “Pinjami aku
katana-mu,” ujar Wiro. Meski tidak senang karena ingin sekali mencoba kehebatan
nenek Teruko, akhirnya Akiko lemparkan juga pedangnya pada Wiro.
“Kau akan
menerima pelajaran berikutnya dariku nenek Teruko…” kata Wiro sambil
menyeringai, begitu katana ada dalam genggaman tangannya. Tidak seperti
orang-orang Jepang, Wiro memegang pedang hanya dengan sebelah tangan. Si nenek
balas menyeringai. Melihat Wiro hanya memegang pedang dengan sebelah tangan,
perempuan tua ini merasa dihinakan sekali. Padahal Wiro memang tidak bisa memegang
pedang dengan dua tangan!
Didahului
jeritan keras, nenek Teruko memulai serangan. Pedangnya membabat setengah
lingkaran.
Wiro
menyeruduk maju. Gerakannya jelas sangat berbahaya karena senjata lawan dapat
memenggal leher dan pinggang saat itu juga. Tapi saat pedang lawan hendak
menyentuh tubuhnya, tiba-tiba Wiro terhuyung ke kiri dan menyeruduk ke kanan.
Gerakan-gerakan itu seperti orang mabuk. Tapi anehnya, dua kali serangan nenek
Teruko dapat dielakkannya! Inilah kehebatan silat yang dipelajari dari Tua
Gila.
“Iblis!
Aku lebih baik melakukan harakiri (bunuh diri) jika tidak bisa mencincang
tubuhmu!” teriak nenek Teruko marah. Dari mulutnya keluar jeritan tinggi.
Senjata di tangannya kembali membabat.
Pendekar
212 membuat gerakan aneh. Lalu tangan kanannya yang memegang pedang tampak
menggebrak ke depan, memotong arah sambaran senjata lawan. Sesaat pedang akan
beradu, si nenek tiba-tiba meluncurkan pedangnya ke bawah!
Wiro
kaget melihat gerakan tidak terduga ini. Cepat dia melompat ke belakang. Tapi
ujung pedang nenek masih sempat menyambar lengan baju sebelah kanan! “Breet!”
Lengan baju itu robek besar.
Si nenek
keluarkan suara tertawa nyaring. “Sekarang baru bajumu! Sebentar lagi perutmu
yang robek,” kata si nenek sesumbar.
Wiro
mencibir. “Lihat pedang!” teriaknya, lalu memainkan jurus-jurus langka dari
ilmu silat orang gila. Sambil berkelahi dari mulutnya muncul suara siulan!
“Bagus,
Menyanyilah terus! Nyanyianmu itu adalah nyanyian kematian yang mengantarkanmu
ke pintu kematian,” kata nenek Teruko pula.
Tapi
nenek malah keluarkan seruan keras ketika ujung pedang lawan menyambar tepat di
depan hidungnya! Tengkuknya terasa dingin. Dia tahu betul, kalau mau, pemuda
itu bisa membuat hidungnya sumplung! Hati nenek Teruko mulai mendua.
Dia putar
katana-nya dengan sebat. Suara pedang menderu-deru laksana titiran menggempur
ke arah lawan. Tiba-tiba nenek sadar bahwa gempurannya tidak akan menghasilkan
apa-apa, karena lawannya sudah tidak ada lagi di depannya!
“Jangan
lari!” teriak nenek Teruko.
“Siapa
yang lari nek! aku di sini!”
Nenek
Teruko berpaling. “Keparat!” pemuda lawannya sedang duduk enak-enakan di atas
batu di taman yang berumput sambil meneguk sebotol sake!
Dengan
pedang di tangan nenek Teruko melompat ke arah Wiro, sementara Wiro dengan
tenang menutup kembali botol minumannya. Saat itulah pedang di tangan nenek
Teruko menyambar. Wiro lemparkan botol sake ke udara. Dia jatuhkan diri ke atas
batu. Begitu senjata lawan lewat, dia cepat melompat menyambut botol dan
membabatkan pedangnya ke bawah.
Dari
tempatnya berdiri, Akiko berdecak kagum dan geleng-geleng kepala melihat
akrobat maut Wiro. Kekagumannya ternyata tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba,
untuk pertama kalinya, Wiro benar-benar melakukan serangan. Pedang di tangan
pemuda itu lenyap berubah menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara bersiuran.
Nenek Teruko mundur morat-marit.
“Wuuuut!”
Pedang Wiro menyambar gulungan konde di kepala. Konde itu terlepas mental! Kini
kelihatanlah rambut asli yang tadi tertutup di bawah konde itu. Ternyata rambut
si nenek sudah putih semua! Wiro tertawa tergelak-gelak melihat rambut palsu
nenek terpental, sementara rambut aslinya yang putih tergerai awut-awutan.
Sebaliknya
wajah nenek Teruko tampak kelam membesi. Kuduknya basah oleh keringat dingin.
Sepasang
matanya membara. Mimiknya seperti seekor ular yang hendak menerkam mangsanya.
Nenek
Teruko maju dua langkah. Tiba-tiba nenek tua itu menjatuhkan dirinya, berlutut
lalu membungkuk dalam-dalam seraya berkata, ”Aku mengaku kalah!” lalu laksana
kilat kedua tangannya yang memegang pedang menghujamkan senjata itu ke
perutnya!
“Trangg!”
Hanya seujung kuku pedang itu akan menembus perut si nenek, Pendekar 212
lemparkan pedang di tangannya. Senjata itu berhasil menghantam lepas pedang
yang hendak dipakai harakiri oleh nenek.
******************
6
Nenek
Teruko angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip ke arah
Wiro. Jelas perempuan tua ini berusaha sekuat-kuatnya tidak mengeluarkan air
mata. Perlahan-lahan dia kemudian berdiri. “Terima kasih! Aku benar-benar tidak
akan melupakan pelajaran darimu!” lalu dia membungkuk dalam-dalam.
“Tunggu
dulu!” seru pendekar 212 ketika si nenek meninggalkan tempat sambil mengajak
anak buahnya. Nenek Teruko menghentikan langkahnya dan berpaling pada Wiro.
“Aku dan Akiko tahu sesungguhnya kau bukan wanita jahat. Aku perlu
bantuanmu….!”
Si nenek
menjura. “Aku berhutang budi dan nyawa padamu. Bantuan apa yang kau inginkan,
silakan katakan!” Wiro lalu mengajak nenek mendekat pohon tempat Akiko berdiri.
Ketiga orang itu tampak membicarakan sesuatu dengan serius.
Lembah
Hozu berada dalam keadaan gelap, sunyi dan dingin. Nenek Teruko mendorong tubuh
Akiko yang terikat kedua tanganya dan ditekuk di belakang punggung. Di
sampingnya, berjalan seorang anak buahnya yang berpakaian serba merah, muka
dilumuri pupur merah sedangkan rambutnya juga berwarna merah. Di tengah lembah
si nenek berhenti melangkah. Dia memandang berkeliling. Di balik kerapatan
pepohonan tampak bangunan tanpa dinding. Namun dia tidak melihat seorang pun.
“Aneh…,”
kata si nenek perlahan tapi cukup terdengar oleh Akiko. “Tidak ada obor,
bangunan itu kosong melompong, tak satu pun kelihatan. Apa yang terjadi?!”
Akiko
berpaling pada perempuan tua itu. Lalu sunggingkan senyum dan berkata, “Tidak
ada yang aneh! Hari ini adalah hari kedelapan. Hari terakhir jatuhnya ancaman
pemuda asing yang oleh guruku dijuluki Pendekar Gunung Fuji! Orang-orang Lembah
Hozu yang membayarmu pasti sudah pagi-pagi kabur ketakutan! Ternyata mereka
manusia pengecut!”
Baru saja
gadis itu berkata demikian tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring disusul
melayangnya beberapa sosok tubuh dari pepohonan. Dan enam orang bersenjatakan
panah sudah mengepung nenek Teruko, Akiko dan anak buah nenek. Masing-masing
mengarahkan sebatang anak panah beracun ke ketiga orang itu.
Lalu
terdengar satu suara. “Orang-orang Lembah Hozu tidak ada yang pengecut! Lidahmu
pantas dicabut nona Akiko!” Bersamaan dengan itu muncul sosok berpakaian putih
berikat pinggang dan kepala kain merah. Orang ini adalah Masashigi Sakaji,
salah seorang pembunuh Hiroto Yamazaki.
Begitu
melihat pembunuh gurunya, Akiko berteriak marah dan dalam keadaan tangan
terikat kebelakang ia berusaha mendekati Masashigi Sakaji. Tapi nenek Teruko
cepat mencekal leher pakaiannya. “Manusia banci! Kau mengeroyok dan membunuh
guruku! Aku menantangmu bermain pedang sampai seratus jurus! Mana kawanmu satu
lagi?!”
Sakaji
tertawa terkekeh. Dia mendekati si gadis lalu, “Plaaak!” Tamparannya melayang
ke pipi Akiko.
Gadis itu
terpekik dan dari pipinya mengucurkan darah. “Pengecut busuk!” teriak Akiko
lalu meludahi muka Sakaji dengan ludah bercampur darah.
Masashigi
Sakaji, orang kedua di Lembah Hozu seperti dipanggang rasa marah. Setelah
membersihkan mukanya dengan lengan pakaian langsung saja dia mencabut katana.
“Tunggu!”
ujar nenek Teruko seraya maju ke depan.
“Apa
maumu Teruko,” sentak Masashigi. “Gadis ini berada dalam kekuasaanku. Jika kau
melunasi sisa pembayaranku, silakan mau berbuat apa saja padanya!”
“Tua
bangka tidak tahu diri! Datang tidak memberi laporan apa-apa sekarang minta
bayaran! Apa hasilmu memata-matai murid Yamazaki dan pemuda asing itu?!”
“Tiga
anak buahku tewas. Masih untung aku bisa menangkap hidup-hidup gadis ini
sebagai imbalan! Sekarang kau menyerapah tidak karuan! Aku mau bicara dengan
Minoru Shirota dan Sumio Matsuura! Antarkan aku kepadanya!” nenek Teruko
memandang beringas kepada Masashigi Sakaji.
Ingin
sekali Sakaji mengepruk kepala nenek bermuka celemongan itu. Tapi mengingat ada
hubungan sangat akrab dengan orang-orang Lembah Hozu, yaitu Sumio Matsuura,
lagi pula nenek menerima tugas langsung dari Sumio, maka Sakaji menahan diri.
Dia menggoyangkan kepala memberi tanda. Orang yang membawa panah menurunkan
busur masing-masing. Dengan muka masam Masashigi memberi isyarat nenek
mengikutinya.
Dalam gelap
malam, rombongan itu melangkah memasuki hutan cukup jauh, akhirnya tampak nyala
lampu di sebelah depan. Lalu kelihatan beberapa buah bangunan. Sayup-sayup
terdengar suara pedang beradu. Begitu mendekati bangunan di rimba pinus itu,
terkejutlah Akiko melihat apa yang telah berlangsung di halaman samping salah
satu bangunan. Kenichi Asano, saudara seperguruannya sedang melatih orang-orang
Lembah Hozu ilmu pedang kendo yang jelas-jelas ciptaan dari Hiroto Yamazaki.
Lebih mengejutkan lagi, sesekali Kenichi melihat buku yang terletak di atas
batu. Lalu melanjutkan latihan lagi. Dan buku di atas batu itu adalah milik
Yamazaki yang hilang! Apa sesungguhnya yang terjadi? Bukankah Kenichi menjadi
tawanan orang-orang Lembah Hozu? Mengapa justru dia yang melatih dan memberikan
ilmu pedang bersama-sama? Lebih dari itu bagaimana buku berharga itu bisa
sampai di tempat itu?
“Kenichi!”
teriak Akiko tidak tahan dan tidak sabar lagi. Kenichi yang sedang latihan
pedang terkejut dan berpaling. Wajahnya mendadak berubah pucat. Suaranya
bergetar.
“Akiko…
apa yang terjadi atas dirimu? Bagaimana kau bisa ke tempat ini?”
Akiko
menatap wajah saudara seperguruannya itu beberapa saat lalu menjawab. “Apa yang
terjadi atas diriku dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini tidak penting
Kenichi! Justru aku ingin meminta penjelasanmu! Apa yang kau lakukan di tempat
ini? Bukankah kau tawanan orang-orang Lembah Hozu?! Kau juga harus menjelaskan
bagaimana buku milik sensei berada di tempat ini!”
“Di sini
bukan tempat dan saatnya bertutur cakap!” satu suara dari balik bangunan. Tiga
orang muncul dari balik kegelapan. Di sebelah depan adalah Sumio Matsuura,
pemimpin orang-orang Lembah Hozu. Di belakangnya mengikuti Minoru Shirota,
orang ketiga dalam komplotan.
Di
samping kiri Sumio melangkah terbungkuk-bungkuk seorang perempuan tua, jauh
lebih tua dari nenek Teruko, mengenakan pakaian aneh karena diganduli tabung
bambu sepanjang sejengkal.
Nenek itu
juga memiliki tongkat bambu berwarna aneh, setengah biru setengah merah.
Sepasang mata perempuan tua ini tidak bisa diam, selalu berputar-putar dan
jelalatan ke sana ke mari. Inilah orang yang disebut nenek Arashi alias nenek
Topan atau nenek Badai. Sejak bentrok dengan Pendekar 212, orang-orang Lembah
Hozu meminta nenek ahli sihir itu membantu menjaga segala kemungkinan.
Sumio
berpaling ke nenek Teroko dan menegur. “Sahabatku Teruko! Kau datang membawa
tawanan berwajah cantik. Kalau tidak salah, bukankah dia murid perempuan
satu-satunya dari Hiroto?”
“Kau
betul Sumio. Untuk dapat menangkapnya harus mengorbankan tiga anak buahku!”
“Hemmmm……,
begitu…?” ujar Sumio. Sepasang matanya menatap tidak bergesip ke arah anak buah
nenek Teruko yang berambut dan bermuka merah. “Apa yang kau lakukan terhadap
gadis ini?” tanya Sumio.
“Kalau
kau membayar lunas saja bayaranku, gadis ini jadi milikmu! Terserah mau kau
jadikan apa! Menjadi gundikmu atau membunuhnya!”
“Jangan
melakukan hal yang bukan-bukan terhadap adik seperguruanku!” satu suara menegur
dengan keras. Yang berkata ternyata Kenichi Asano.
Minoru
Shirota mendehem beberapa kali. “Asano-san, sejak kau menjadi bagian dari kami,
lupakan sebutan dan hubungan adik-kakak seperguruan!”
“Tapi…”
memotong Kenichi.
“Tidak
ada tapi-tapian! Tugasmu di sini adalah melatih ilmu pedang, tidak mencampuri
dalam urusan kami lainnya!”
“Kenichi…
Jadi kau…” ujar Akino tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dipotong
oleh Sumio.
“Dugaanmu
benar nona Akiko. Saudara seperguruanmu telah menjadi saudara seperguruan kami.
Dia mengajarkan ilmu pedang ciptaan gurumu!”
Mata
Akiko terbelalak memandang ke arah Kenichi. Yang dipandang menoleh ke jurusan
lain.
“Kenichi,
jadi kau yang mencuri buku guru. Lalu bergabung dengan manusia jahat Lembah
Hozu! Malah kau gunakan buku itu sebagai dasar untuk melatih! Kau benar-benar
pengkhianat busuk paling keji di dunia ini! Terkutuk!”
Paras
Kenichi seputih kertas. Tubuhnya bergetar. Sesaat pemuda itu tampak bimbang.
Lalu dia
berkata kepada Misuo, “Saya minta kebebasan bagi Akiko. Kalau kalian
mencelakainya, aku tidak akan teruskan pelajaran ilmu silatnya. Buku itu akan
kubawa dan aku akan tinggalkan tempat ini!”
Baik
Sumio, Minoru dan Sakaji sama-sama tertawa mendengar ucapan Kenichi. “Kami
membayarmu besar untuk bergabung bersama kami dan membawa buku pedang itu. Jika
kau berniat pergi silakan. Tapi terpaksa kau harus meninggalkan sesuatu di
sini, nyawamu!” kata Sumio.
“Tidak
ada satu orang pun di sini bisa memaksaku! Kalau kau mencelakaiku dan juga
gadis itu, kalian tidak akan mendapatkan ilmu pedang ciptaan mendiang guruku
itu seutuhnya!”
“Apa
maksudmu?!” tanya Sumio keras. “Sebelum ke mari, aku telah merobek sebagian
dari buku itu. Yang separoh bagian belakang aku sembunyikan di suatu tempat,
separuhnya lagi itulah yang aku bawa ke mari!”
“Hemm…
bagus sekali perbuatanmu Kenichi!” kata Sumio. Tampangnya menunjukkan
kemarahan.
“Kamu
mengkhianati ke kiri dan ke kanan! Silakan ambil buku itu dan minggat dari
sini! Tapi seperti kataku tadi, nyawamu tinggal di sini!”
Tiba-tiba
ada suara berteriak. “Ada penyusup di atap!”
Suara
suitan terdengar bersahut-sahutan. Belasan orang-orang Lembah Hozu dengan
berbagai macam senjata segera mengurung bangunan di sebelah kiri di mana tampak
dua sosok tubuh merayap di atas atap. Minoru Shirota dan Masashigi Sakaji ikut
berkelebat mendekati bangunan.
Sedang
Sumio dan nenek Arashi tetap di tempat masing-masing.
Dalam
gelapnya malam Akiko tidak mengenali siapa adanya kedua orang itu. Namun
setelah memandang dengan seksama, kagetlah gadis ini. Dua orang di atas atap
sana bukan lain Ichiro Ioki dan Kunio Ota. “Ichiro… Kunio…” desis Akiko.
“Kenapa kalian senekad itu?!”
“Manusia-manusia
tolol!” di samping Akiko nenek Teruko ikut menyerapah. Lalu sambungnya,
“Nona
Akiko, sesuai perjanjian, tugasku hanya sampai di sini. Hidup matimu sekarang
ada di tangan sendiri!”
Setelah
berkata begitu nenek Teruko langsung hendak berkelebat pergi. Tapi tahu-tahu
nenek Arashi sudah mencegatnya sambil tertawa mengekeh. “Mau lari ke mana kau
Teruko? Sumio mungkin tidak mendengar, tapi aku tidak tuli. Ucapanmu tadi cukup
jelas mampir di kedua telingaku!”
“Aku
tidak mengerti maksud ucapanmu!” kata nenek Teruko, padahal wajahnya tampak
berubah.
Nenek
Arashi tertawa panjang. “Kau dibayar bukan untuk berkhianat! Kau layak mampus
duluan Teruko!” Nenek Arashi menghembus kuat-kuat ke depan.
“Wusss!”
Asap hitam mendadak menebar di tempat itu, kemudian bergulung dan sesaat
kemudian berubah membentuk sepasang tangan hitam panjang yang laksana kilat
menyambar ke arah batang leher nenek Teruko!
“Sepasang
Tangan Iblis!” teriak nenek Teruko ketika mengenali ilmu sihir yang dikeluarkan
nenek Arashi. Cepat-cepat ia jatuhkan diri ke tanah, cabut katana yang ada di
balik punggungnya, lalu sambil bergulingan di tanah, perempuan tua ini sapukan
pedangnya membabat sepasang kaki nenek Arashi!
“Wusss!”
Untuk kedua kalinya mengebu asap dari mulutnya. Kali ini asap berwarna putih.
Ketika nenek Teruko melihat ke depan, tersiraplah darah perempuan tua ini. Asap
putih tadi telah berubah membentuk sosok tubuh perempuan tua yang jelas mirip
sekali dengan dirinya! Jalan pikiran nenek Teruko serta merta menyangka bahwa
dia tengah menyerang dirinya sendiri.
Cepat dia
tahan serangan pedangnya. Justru saat itu nenek Arashi kirimkan satu tendangan
ke arah kepala. Yang terakhir ini tidak punya kesempatan lagi untuk berkelit selamatkan
kepalanya!
Sementara
itu di atas atap, dalam keadaan gugup karena penyusupannya diketahui, Ichiro
dan Kunio segera menyulut api untuk membakar bangunan. Baru saja api menyala
dan mulai membakar atap, dari bawah enam anak panah beracun melesat ke atas
atap. “Awas panah beracun!” teriak Ichiro yang mendengar lebih dulu suara
desingan anak-anak panah itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri sama rata dengan
atap.
Akan
halnya Kunio, pemuda ini juga sempat jatuhkan diri tapi kakinya terpeleset. Tak
ampun lagi, Kunio menggelinding ke bagian atap sebelah bawah. Pemuda ini
jungkir balik dua kali berturut-turut lalu turun di tanah dengan kaki lebih
dulu. Namun begitu menginjak tanah, tiga ujung katana tiba-tiba menuding di
depan hidung, pelipis kiri dan kepala bagian belakangnya!
Yang
memegang pedang di sebelah depan bukan lain Masashigi. “Murid Yamazaki, aku
hargai keberanianmu menyusup ke tempat kami! Tapi untuk itu kau harus membayar
mahal!” Masashigi putar pergelangan tangannya.
“Craass!”
Ujung katana merobek pipi kiri Kunio. Darah mengucur, tapi pemuda ini berusaha
keras untuk tidak menjerit. Tangannya bergerak hendak menghunus pedangnya,
namun pengurung di samping kiri babatkan senjatanya, membuat Kunio terpaksa
tarik pulang tangannya kembali.
Sekarang
pemuda ini sama sekali tak berdaya di bawah ancaman tiga pedang maut!
Ketika
nenek Teruko hendak berkelebat pergi, Akiko Bessho cepat dan dengan mudah
membuka ikatan tangannya yang memang ikatan bohongan. Dara ini langsung
mencabut katana-nya dan menyerbu ke tempat di mana Kunio tegak dalam keadaan
tidak berdaya.
Masashigi
merasakan ada angin dingin menyambar punggungnya. Katana yang ditudingkannya di
depan hidung Kunio segera diputar dengan gerakan membabat ke belakang. “Trang!”
Katana milik Masashigi saling bentrokan dengan katana di tangan Akiko. Gadis
ini melompat ke kiri sambil berteriak keras. Pedangnya berkiblat. Orang yang
memegang pedang dan menudingkan ke bagian belakang kepala Kunio menjerit.
Pinggang kirinya sampai ke perut robek besar. Orang ini langsung roboh,
menggeliat beberapa kali lalu tewas!
Ilmu
pedang matahari yang sudah diwarisi Akiko dari Hiroto Yamazaki memang luar
biasa hebat dan ganasnya. Jika saja saat itu dia bukan berhadapan dengan
tokoh-tokoh Lembah Hozu, mungkin dalam beberapa gebrakan saja dia akan berhasil
membereskan lawan-lawannya.
Namun
Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota bukan orang-orang sembarangan. Walaupun
dengan cara mengeroyok, kedua orang ini telah berhasil merobohkan dan
menewaskan Hiroto Yamazaki yang dikenal dengan julukan Pendekar Pedang
Matahari. Padahal selama bertahun-tahun Yamazaki menjadi tokoh nomor satu dalam
kendo di seluruh kawasan Jepang.
Kita
kembali pada perkelahian antara dua nenek, yaitu Teruko dan Arashi. Saat itu
nyawa nenek Teruko terancam oleh tendangan maut yang dilancarkan nenek Arashi
ke arah kepalanya tanpa dia mampu menangkis atau berkelit.
Dalam
keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan
merah. angin deras bersiur dan tubuh nenek Arashi tergontai keras lalu terjajar
ke samping. Tendangannya hanya mengapung di udara. Nenek Arashi terkejut besar
ketika melihat yang barusan mendorongnya hingga terjajar begitu rupa adalah
anak buah nenek Teruko yang berpakaian serba merah, bermuka serta berambut
merah.
Sumio
Matsuura tak kalah kagetnya menyaksikan hal ini. Dia tahu betul Teruko memiliki
empat orang anak buah yang berkepandaian tinggi. Namun kepandaiannya itu tidak
cukup ampuh untuk dapat membuat nenek Arashi terpelanting begitu rupa! Maka
kedua orang itu pun menjadi curiga.
“Bangsat!
Siapa kau sebenarnya?!” sentak Sumio Matsuura.
Sepasang
mata nenek Arashi berputar-putar dan berkilat-kilat saking marahnya. “Setahuku,
anak buah perempuan kampret ini mememiliki rambut merah pendek! Yang satu ini
mengapa berambut gondrong!?”
Terdengar
tawa nenek Teruko. Sambil bangkit berdiri perempuan tua ini berkata, “Mata
kalian cukup tajam! Gaijin, perlihatkan dirimu yang asli!”
Si “anak
buah” lalu buka baju dan pakaian merahnya. Di balik pakaian merah itu ternyata
ada sehelai pakaian putih. Baju yang tidak terkancing memperlihatkan dada penuh
otot. Di dada itu terpampang rajah tiga buah angka. Orang ini pergunakan baju
merah yang barusan dibukanya untuk menyeka wajahnya yang berlumuran pupur merah
dan juga membersihkan rambutnya. Kelihatan kini wajahnya, ternyata wajah
seorang pemuda asing!
Walau
wajah itu bersih dan kelihatan jelas kini, namun baik Sumio maupun nenek Arashi
tetap tidak mengenali karena sebelumnya mereka memang belum pernah melihat
orang ini. Namun sesaat kemudian nenek Arashi mulai dapat menduga-duga.
“Kau yang
jadi pimpinan orang-orang Lembah Hozu?!” tiba-tiba pemuda itu maju satu langkah
ke hadapan Sumio dan ajukan pertanyaan.
Meledaklah
amarah Sumio Matsuura. Tangannya bergerak hendak mencabut pedang tapi nenek
Arashi memberi isyarat. Perempuan ini lalu maju ke hadapan si pemuda lalu
menegur, “Apakah kau orangnya yang digembar-gemborkan sebagai Penguasa Gunung
Fuji?”
“Kau
memang tengah berhadapan dengan Pendekar Gunung Fuji, Arashi!” yang menjawab
adalah nenek Teruko.
“Bangsat
tua! Diam!” hardik Arashi. “aku tidak bertanya padamu!” lalu dia berpaling pada
si pemuda, “Jawab pertanyaanku!”
Yang
ditanya menyeringai. “Siapapun diriku tidak perlu dipersoalkan! Jika kalian
semua mau selamat, bebaskan Kenichi, serahkan dua pembunuh Hiroto Yamazaki.
Setelah itu kalian boleh pergi dari sini!”
Nenek
Arashi pelototkan matanya lalu tertawa bergelak. Sumio Matsuura juga ikut
tertawa bekakakan. “Seekor rubah kesasar yang masih bau apak mau jual lagak di
depanku!” mengejek nenek Arashi.
“Jauh-jauh
kesasar ke mari hanya untuk mengantar nyawa!” menimpali Sumio.
“Perlihatkan
kehebatanmu padaku!” tantang Arashi.
“Kau
meminta! Aku mengabulkan!” sahut si pemuda. Laksana kilat tangannya menyelinap
ke pinggang. Lalu berkilatlah sinar putih panas menyilaukan. Hanya sesaat,
karena sesaat kemudian pemuda itu lenyap dari hadapan Sumio dan Arashi. Lalu
terdengar suara menderu dahsyat laksana ribuan tawon mengamuk. Menyusul
terdengar suara jeritan dua orang Lembah Hozu yang bersama-sama dengan
Masashigi tengah mengancam Kunio Ota dengan pedang.
Kedua
orang itu roboh ke tanah mandi darah, sedang Masashigi Sakaji masih untung
sempat melompat. Tapi wajahnya tampak seputih kain kafan ketika melihat
bagaimana pakaiannya di bagian dada robek besar disambar senjata, entah senjata
apa!
Semua
orang Lembah Hozu yang ada di tempat situ sama terkesiap dan ternganga. Mereka
memandang pada pemuda asing berambut gondrong yang tegak sambil memegang
sebilah senjata berupa kapak bermata dua! Tiba-tiba Sumio sadar. Dia tiba-tiba
berteriak pada orang-orang yang ada di sana. “Jangan diam saja, cincang pemuda
asing ini!”
Lalu
Sumio mencabut pedangnya. Masashigi yang barusan lolos dari maut sesaat tampak
ragu.
Namun
kemudian segera maju mendekati si pemuda dengan pedang di tangan. Minoru
Shirota datang dari jurusan lain juga membekal sebilah katana. Lalu ada enam
orang lainnya yang ikut mengurung lawan tunggal itu, sementara Sumio kembali
berteriak. “Kalian tunggu apa lagi, cincang dia!”
“Tunggu!”
tiba-tiba nenek Arashi keluarkan suara. Tubuhnya yang bungkuk melangkah,
sengaja mengelilingi pemuda di hadapannya beberapa kali. “Cuma orang begini, kenapa
kalian capaikan diri turun tangan. Biar aku yang membereskannya!”
Habis
berkata begitu, nenek Arashi pukulkan tongkat bambu merah biru ke arah si
pemuda.
Terdengar
letupan halus disertai munculnya dua sinar terang, satu biru dan lainnya merah.
Dua sinar ini terpecah menjadi masing-masing selusin. Nenek Arashi kembali
pukulkan tongkatnya. Duapuluh empat sinar tiba-tiba berubah jadi
potongan-potongan tangan berkuku panjang yang secara serentak menyerbu si
pemuda. Yang mengerikan, potongan-potongan tangan itu di bagian pergelangannya
tampak seperti terpotong dan mengeluarkan darah!
“Ilmu
iblis apa ini!” maki si pemuda yang tentunya Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
Dia membabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara
seperti tawon menderu dan hawa panas menghampar! Tetapi duapuluh empat potongan
tangan merah biru itu secara aneh melesat kian kemari menghindari serangan
kapak. Lalu belasan di antaranya mulai berkelebat ke arah Wiro. Mencakar,
membetot, menusuk ke bagian kepala, dada, perut, bahkan selangkangannya!
“Breett…breett…breett!”
Pakaian
Wiro robek di tiga bagian. Pendekar ini berteriak kaget lalu cepat-cepat
melompat mundur sambil kembali sapukan senjata mustikanya. Dua buah tangan
sempat kena bacok tapi tidak mempan, hanya terpental beberapa jengkal! “Edan!”
maki Wiro. Entah mengapa tengkuknya mulai dingin.
******************
7
“Bunuh!
Bunuh! Cakar! Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot
kemaluannya!” terdengar suara nenek Arashi lalu perempuan tua itu tertawa
mengekeh.
Seperti
kesetanan, murid Sinto Gendeng ayunkan kapaknya kian kemari. Tetapi serangan
tangan-tangan aneh itu tidak bisa terbendung. Malah kini satu cakaran sempat
menggapai pipi kirinya.
Meskipun
serangan itu tidak begitu telak, namun pipi Wiro tampak tergurat lalu mengucurkan
darah!
“Iblis!
Perempuan iblis!” rutuk Pendekar 212. Lalu dia ingat. Segala macam ilmu sihir
tidak akan berdaya terhadap api. maka cepat-cepat Wiro keluarkan batu hitam
pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Batu hitam ini diadukannya
kuat-kuat ke salah satu mata kapak.
Wuusss!
Lidah api
menderu, menyambar ke arah potongan-potongan tangan. Tapi ternyata semburan api
itu tidak beda laksana tiupan angin saja. Tidak mampu memusnahkan duapuluh
empat potongan tangan berkuku panjang! Penasaran, Pendekar 212 simpan batu
apinya kembali, pindahkan kapak ke tangan kiri lalu tangan kanannya dialiri
tenaga dalam penuh! Tangan itu sampai ke lengan berubah putih laksana perak.
Wiro memukul. “Buummm!”
Lembah
Hozu bergetar ketika pukulan sinar matahari dengan kekuatan tenaga dalam penuh
melabrak ke depan. Orang-orang lembah cepat menyingkir ketika merasakan adanya
hawa sangat panas menyambar dari sinar pukulan yang menyilaukan.
Tapi si
nenek Arashi hanya ganda tertawa. Pukulan sinar matahari lewat lalu menghantam
bangunan di belakang sana hingga hancur porak poranda. Tapi duapuluh empat
potongan tangan tidak satu pun yang musnah! Malah kini mereka kembali menyerbu,
memaksa Pendekar 212 mundur terus dan kucurkan keringat dingin.
“Bunuh!
Bunuh! Cakar! Cakar! Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot
kemaluannya!” kembali terdengar suara nenek Arashi yang disusul tawa kekehnya.
Selagi
semua orang menyaksikan bagaimana nenek Arashi hendak mencelakakan Wiro dengan
ilmu sihirnya, kesempatan ini dipergunakan oleh Kenichi Asano untuk mengambil
buku ilmu pedang yang diletakkannya di atas batu waktu melatih tadi. Namun baru
saja buku itu berada dalam genggamannya, tiba-tiba Masashigi Sakaji dan Minoru
Shirota sudah melompat ke hadapannya.
Terpaksa murid
Yamazaki yang culas ini cabut pedangnya.
Perkelahian
dua lawan satu terjadi. Dalam beberapa kali gebrakan saja Kenichi sudah
terdesak hebat! Melawan salah satu saja dari dua tokoh Lembah Hozu itu Kenichi
belum tentu menang, apalagi dikeroyok dua begitu.
“Dua
bangsat pembunuh guru! Serahkan batang leher kalian padaku!” satu teriakan
menggeledek disertai menderunya pedang menyambar ke arah leher Minoru Shirota.
Yang masuk ke arana pertempuran ternyata Akiko Bessho.
“Akiko
Bessho! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu yang bagus!” teriak
Minoru marah seraya menangkis serangan si gadis. Di saat yang sama, Kunio Ota
yang mukanya berlumuran darah, serta Ichiro Ioki yang baru saja melompat turun
dari atas atap bangunan yang terbakar setelah lebih dahulu merobohkan seorang
lawan, ikut terjun ke arena perkelahian. Kini pertarungan menjadi empat melawan
dua!
Mula-mula
kelompok Akiko tampak menguasai perkelahian, bahkan mendesak dua tokoh Lembah
Hozu itu, Kenichi bertempur mati-matian seolah-olah ingin menebus dosanya.
Namun dua lawan yang lebih banyak pengalaman itu secara perlahan tapi pasti
balas mendesak. Ketika dua orang Lembah Hozu masuk membantu dan di bagian lain
empat orang lagi mulai menghujani kelompok Akiko dengan panah-panah beracun,
maka kacau balaulah keadaan ke empat murid Hiroto Yamazaki itu!
Kunio Ota
mengeluh tinggi ketika sebatang anak panah menembus punggungnya. Ichiro Ioki
terpaksa melompat mundur ketika senjata salah seorang lawan berhasil memapas bahunya
dan darah membasahi pakaiannya. Sekujur badannya bergetar kesakitan!
Murid
Sinto Gendeng tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Kapak Naga Geni 212
tidak mempan. Pukulan-pukulan saktinya tidak sanggup membendung serbuan
duapuluh empat potongan tangan! Dalam keadaan pakaian penuh robek, wajah
terluka serta dada dan bahu berkelukuran, Wiro terpaksa mundur terus. Sesekali
dia harus melompat kian ke mari untuk menghindari serangan tangan-tangan sihir
yang ganas itu.
“Celaka!
Aku tak bisa mundur terus! Tak bisa menghindar terus!” keluh Wiro. Di depan
sana, dilihatnya Akiko dan saudara-saudara seperguruannya didesak hebat oleh
kelompok Sumio Matsuura. Semakin kacau pendekar ini jadinya.
Untuk
kesekian kalinya baju pendekar ini robek besar disambar cakaran sebuah tangan.
Kulit di bawah pakaian yang robek itu terasa perih tanda dagingnya ikut kena
cakar. Masih untung kuku-kuku yang mencakar itu tidak mengandung racun.
Walaupun demikian, bukan berarti dirinya akan terlepas dari cengkeraman maut!
“Gila! Apa
lagi yang harus kulakukan!” Wiro hampir sampai di titik keputusasaan. Kedua
matanya mencari-cari di mana beradanya nenek Arashi. Otaknya coba berpikir
keras. Kalau ilmu sihirnya tidak bisa dilawan, mengapa tidak langsung menghajar
sumbernya, yaitu si nenek sihir itu sendiri?
Tapi dari
tempatnya berdiri, Wiro sama sekali tidak melihat perempuan tua itu.
Pandangannya terhalang oleh semacam kabut tipis yang berwarna biru kemerahan!
Itulah tabir sihir yang keluar dari tongkat di tangan nenek Arashi.
“Tongkat
itu! Tongkat sihir itu yang harus kuhancurkan!” pikir Wiro. Namun manusia yang
memegang tongkat sama sekali tidak kelihatan. Tiba-tiba Pendekar 212 ingat.
“Ada satu yang belum kulakukan! Senjata dan pukulan sakti tidak bisa tembus,
tapi suara sanggup menembus dinding besi dan dinding karang setebal apapun!”
Wiro
melompat mundur sejauh dua tombak. Lalu tegak dengan dua kaki terkembang.
Gagang Kapak Maut Naga Geni yang berbentuk kepala naga lengkap dengan mulutnya
ditempelkan ke bibirnya. Jari-jari tangannya menekan pada enam lobang yang ada
di gagang kapak di bawah kepala naga. Tenaga dalam dipusatkannya di perut. Lalu
seperti layaknya meniup sebuah seruling, Wiro mulai meniup bagian mulut kepala
naga. Meniup bukan dengan hawa yang ada dalam mulut dan tenggorokannya, tetapi
dengan tenaga dalam tinggi yang dikerahkannya dari perut terus ke dada sampai
ke mulut.
Serta
merta Lembah Hozu dibuncah oleh lengking dahsyat yang keluar dari “seruling”
yang ditiup Wiro. Nenek Arashi kernyitkan kening sewaktu gelombang suara yang
dahsyat menembus asap biru merah terus mencucuk kedua liang telinganya!
Mula-mula liang telinganya bergetar keras lalu menyusul rasa sakit yang amat
sangat. Kedua telinganya serasa ditusuk besi panas!
Perempuan
tua ini cepat tutup kedua telinganya. Di lain pihak Wiro terus semakin kuat
meniup.
Jari-jari
tangan si nenek ternyata tidak sanggup melindungi liang-liang telinganya!
Gelombang suara yang keluar dari kapak sakti terus menerobos. Kalau tadi
perhatiannya dapat dipusatkan pada ilmu sihirnya yang mampu menciptakan
potongan-potongan tangan yang berwarna merah dan biru, kini perhatiannya jadi
terbagi dan mengendur! Potongan-potongan tangan itu tampak bergerak tidak
seganas tadi lagi. Sepertinya mengambang di udara sambil menggapai-gapai lemah.
Lalu satu demi satu jatuh ke tanah lalu lenyap!
Nenek
Arashi bertahan terus! Mulutnya berusaha merapal sesuatu. Tongkatnya dipukulkan
ke depan. Asap ungu membersit di udara, namun segera lenyap kembali pertanda si
nenek tidak bisa lagi memusatkan kekuatan ilmu sihirnya akibat suara lengking
Kapak Naga Geni 212 yang ditiup Wiro. Perempuan itu malah tersentak kaget
ketika dirasakannya ada cairan meleleh keluar dari kedua liang telinganya.
Darah!
Nenek
Arashi berseru tegang. Sepasang matanya tampak berkilat-kilat dan jelalatan
kian kemari.
Dia masih
sempat melihat potongan tangan terakhir ciptaan sihirnya jatuh ke tanah lalu
lenyap tak berbekas. Si nenek menggeram marah. Tak ada jalan lain! Dia harus
menyerang pemuda itu.
Tubuhnya
yang bungkuk melompat ke depan. Tongkat merah-birunya menusuk ke arah Pendekar
212. Justru inilah kesalahan terbesar si nenek. Kemampuan ilmu sihirnya tidak
sehebat ilmu silatnya.
Begitu si
nenek menusuk dengan tongkatnya, Wiro berhenti meniup. Kapak Maut Naga Geni 212
dibabatkannya ke depan. Nenek Arashi terpekik ketika merasakan ada hawa panas
menyambar disertai dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan dan suara
menderu. Dia cepat berkelit ke samping. Tapi terlambat. Senjata lawan sempat
menghantam tongkat bambunya hingga mental dan berantakan. Nenek Arashi
merasakan tangan kanannya sakit sekali seperti ditusuk ratusan jarum panas!
Perempuan
itu menggembor marah. Dia loloskan tabung-tabung bambu yang menggandul di
pinggangnya. Tabung bambu yang berjumlah enam buah dan saling dihubungkan
dengan ikatan tali ini berisi air keras yang sangat berbahaya. Sekali seseorang
kena siramannya pasti bagian tubuhnya akan rusak hancur mengerikan!
Nenek
Teruko yang sudah mengetahui isi tabung itu segera berteriak memperingatkan
pada Wiro.
“Gaijin,
hati-hati tabung bambu itu berisi air keras,! Wuuttt! Byaaarrr… byarrr!”
Enam
tabung bambu melesat di udara lalu secara aneh menderu turun ke arah Wiro. Dua
tabung dari enam tabung itu menumpahkan air keras ke arah muka dan perut Wiro.
Sambil melompat menjauh, Pendekar 212 menghantamkan kapak mustikanya ke depan.
Sinar menyilaukan berkiblat.
Air keras
yang muncrat dari dua tabung berbalik ke arah nenek Arashi. Empat tabung
lainnya hancur berantakan. Isinya muncrat-muncrat dan lagi-lagi mengarah ke
tubuh dan muka nenek.
Terdengar
jeritan dari nenek tukang sihir itu berulang kali. Tubuhnya yang bungkuk
langsung jatuh tergelimpang di tanah menggeliat-geliat. Air keras yang mengenai
tubuh dan mukanya membuat dagingnya mengkerut, mengepul dan mengeluarkan asap!
Pakaiannya hangus. Sebentar saja nenek Arashi berubah menjadi mahluk
mengerikan. Dia coba berdiri tapi jatuh kembali. Mencoba lagi, jatuh lagi. Kali
terakhir jatuh, tubuh itu tidak bergerak lagi!
Melihat
kematian nenek Arashi yang menjadi andalan mereka, Sumio Matsuura dan
kawan-kawannya menjadi gentar. Terlebih ketika mendengar Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan melangkah ke arah
mereka. Sumio, Masashigi dan Minoru serta hampir duapuluh orang-orang Lembah
Hozu lainnya melompat menjauhi Akiko, Ichiro yang dalam keadaan terluka serta
Kenichi. Sementara Kunio Ota tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat akibat
racun panah yang menghujam di punggungnya.
Sumio
Matsuura yang melihat keadaan bakal tidak menguntungkan lagi baginya dan
orang-orangnya, secara tiba-tiba melompat ke arah Kenichi, orang yang paling
dekat dengannya. Kenichi Asano jadi terganggu pucat ketika sebilah katana yang
dipegang Sumio dari belakang tiba-tiba sudah membelintang di tenggorokannya!
“Tinggalkan tempat ini atau kugorok lehernya!” yang mengancam Sumio.
Akiko dan
Ichiro terkesiap. Apa yang dilakukan Sumio begitu cepat sehingga mereka tidak
bisa berbuat apa-apa. Sebaliknya Pendekar 212 terus melangkah mendekati. “Satu
langkah lagi kau berani maju, kusembelih pemuda ini!” kembali Sumio mengancam.
Dia tidak main-main.
“Gaijin!
Akiko! Ichiro!” tiba-tiba Kenichi berteriak. “Jangan pedulikan nyawaku! Serang
mereka! Hancurkan mereka, aku rela mati menebus dosa-dosaku!” Akiko dan Ichiro
saling pandang. Mereka menoleh ke arah Wiro yang masih terus melangkah
mendekati Sumio.
“Berhenti!”
teriak Akiko. Wiro hentikan langkahnya. Tetapi Sumio yang merasa tidak bakal
bisa lolos, tiba-tiba saja dengan sadis menggerakkan tangannya yang memegang
pedang. Darah langsung menyembur!
“Kenichi!”
teriak Akiko dan Ichiro berbarengan. Keduanya langsung menyerbu Sumio dengan
pedang di tangan. Begitu Kenichi roboh bergelimpang, dia tewas dengan tangan
kanan masih memegang buku ilmu pedang milik gurunya.
“Serahkan
durjana satu ini padaku! Kalian selesaikan urusan dengan Masashigi dan Minoru!”
terdengar suara Wiro keras lalu pemuda ini berkelebat mendahului ke arah Sumio
Matsuura.
Sebenarnya
Sumio merupakan orang pertama dengan kepandaian tinggi di antara orang-orang
Lembah Hozu. Namun saat itu dirinya sudah dihantui oleh rasa takut. Ketika
kapak Naga Geni 212 berkelebat, dia hanya terkesiap. Lalu dengan sangat lambat
dia acungkan pedangnya untuk menangkis. “Trang!”
Kapak dan
pedang beradu. Sumio berseru kesakitan. Pedangnya patah jadi dua. Lalu
dilihatnya senjata lawan kembali menderu. Kali ini dia sama sekali tidak punya
kesempatan untuk selamatkan diri. Kapak Naga Geni 212 membalik. Sumio menjerit
keras ketika salah satu ujung kapak menghujam dadanya. Kedua tangannya
menggapai-gapai ke udara. Tubuhnya terbanting. Orang ini kemudian mati dengan
luka di dada. Sebagian tubuhnya hangus!
Melihat
kawan mereka tewas begitu rupa, nyali Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota
menjadi leleh. Terlebih anak buah mereka yang juga ada di sekitar situ.
“Minoru, apa pendapatmu?” bisik Masashigi.
“Aku malu
mengatakannya,” jawab Minoru. “Tapi tidak ada pilihan lain, tinggalkan tempat
ini!”
Mendengar
ucapan kawannya itu Masashigi segera berteriak. “Semua yang memegang panah
lekas menyerbu musuh!” Saat itu ada delapan orang Lembah Hozu memegang busur
panah. Mendengar perintah, mereka segera merentang busur. Di saat itu pula
Masashigi Sakaji dan Minoru pergunakan waktu untuk menyelamatkan diri.
Pendekar
212 cepat mengambil tindakan. Dia berteriak pada Akiko untuk mengejar kedua
orang yang berusaha kabur itu. Dia sendiri hantamkan pukulan sinar matahari
dengan tangan kiri ke arah orang Lembah Hozu yang siap melancarkan serangan
panah beracun. “Buummmm!”
Sinar
putih menyilau menderu. Hawa panas menyengat dan di depan sinar terdengar
pekikan kematian. Enam orang Lembah Hozu mencelat dengan tubuh hangus. Langsung
tewas begitu tergelimpang di tanah. Empat lainnya selamat tetapi pakaian dan
beberapa bagian tubuh mereka melepuh! “Kawan-kawan, pemimpin kita melarikan
diri, tunggu apa lagi, segera tinggalkan tempat ini,” ujar salah seorang
mereka.
Orang-orang
Lembah Hozu segera berhamburan masuk ke dalam hutan. Wiro tidak mempedulikan,
dia segera melesat ke kanan ke arah Akiko dan Ichiro yang berhasil mencegat
Masashigi dan Minoru yang melarikan diri dan kini sedang bertarung satu lawan
satu.
Dengan
ilmu pedang yang dimilikinya, Akiko tidak gentar menghadapi Masashigi Sakaji.
Paling tidak dia akan mempu menghadapi musuh besar yang telah membunuh gurunya.
Justru dia mengkhawatirkan Ichiro yang terluka parah saat melawan Minoru. Jika
tidak segera ditolong, Ichiro bisa menemui ajal di tangan Minoru. Dalam keadaan
begitu, tiba-tiba nenek Teruko meloncat membantu Ichiro. Di tangan kanannya
tergenggam golok pendek.
“Keparat!
Masih di sini bangsat tua ini rupanya!” maki Minoru. Dia maju selangkah
berusaha membereskan Ichiro lebih cepat. Tapi gebrakan yang dibuat nenek
bermuka celemotan itu dapat menahan serangan. Ketika Teruko dan Ichiro maju
bersamaan, Minoru malah terdesak.
Pendekar
212 yang memperhatikan setiap gerak Akiko berseru. “Nona Akiko, walau
mempelajari baru beberapa hari, mengapa kau tidak pergunakan jurus sinar
matahari?!”
Akiko
terkesiap sesaat. Sebaliknya Masashigi diam-diam merasa terkejut. Apa benar dia
menguasai pukulan yang lebih hebat dari semua ilmu sihir nenek Arashi?
Dilihatnya Akiko menyilangkan pedang di depan dada. Sepasang matanya memandang
tajam. Mulutnya bergerak sedang tangan kiri bergerak ke atas. Wiro melihat
tangan itu berubah keputihan tapi tidak memancarkan sinar menyilaukan.
“Kerahkan
seluruh tenaga dalammu!” teriak Wiro. Lengan yang memutih itu tampak laksana
sinar, pertanda Akiko sedang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Aku
harus mendahului!” kata Masashigi sambil melompat ke depan dan membabatkan
pedangnya.
“Hantam!”
teriak Wiro ketika melihat Akiko ragu-ragu. Mendengar teriakan itu, si gadis
langsung hantamkan tangan kirinya ke arah lawan. “Wuss!”
Sinar
putih melesat walau kurang putih dan kurang panas. Di depan sana Masashigi
keluarkan suara keras. Tubuhnya tersapu lalu terjengkal jatuh. Pakaiannya
sebelah depan hangus dan kulitnya melepuh. Namun pukulan yang dilepas Akiko
yang masih dasar itu tidak mampu membunuhnya.
Penasaran,
Akiko kembali hendak menghantamkan lagi tangan kirinya. Tapi saat itu tangannya
tidak mengeluarkan sinar putih lagi.
Wiro
cepat berteriak, “Jangan! Pergunakan pedangmu!”
“Ah!”
Akiko sadar belum bisa melepaskan pukulan sinar matahari untuk kedua kalinya
dalam waktu secepat itu. Maka dengan pedang di tangan dia menerjang ke
Masashigi yang berusaha bangkit berdiri.
Katana di
tangannya menderu, Masashigi mencoba menangkis. “Traaannng! Celaka!” keluh
Masashigi ketika tangannya tergetar keras dan pedangnya terpelanting. Sebelum
pedang lawan memburu, dia jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tapi orang
ini salah arah. Dia justru bergulingan ke arah Pendekar 212.
Gulingannya
terhenti ketika tubuhnya membentur kaki Wiro. Melihat itu Masashigi berteriak.
“Bangsat!
Aku tidak menyesal mati jika bisa membunuhmu dulu!” Lalu Masashigi tusukkan
pedangnya ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng itu tidak berusaha menghindar
karena dia melihat Akiko lebih dahulu berkelebat dan mengayunkan pedangnya.
Darah muncrat di celana putih Wiro ketika pedang Akiko menembus dalam leher
Masashigi. Pembunuh Hiroto Yamasaki itu mengerang pendek menggeliat sesaat,
lalu tidak berkutik lagi.
Akiko
jatuhkan diri berlutut dan seperti hendak menangis. “Perempuan Jepang pantang
menangis,” ujar Wiro sambil memegang bahu Akiko. “Apakah kamu tidak melihat
kedua mayat yang membunuh gurumu.”
Mendengar
itu Akiko menggenggam erat pedang di tangannya, berdiri dan membalik. Saat itu
Ichiro seperti kesetanan dibantu nenek Teruko sedang menghujamkan pedang ke
perut Minoru.
Orang ini
mengeluarkan lolongan beberapa kali sebelum akhirnya roboh mati ke tanah.
Ichiro
berdiri terhuyung-huyung. Luka dibahunya banyak mengeluarkan darah. Akiko
menubruk saudara seperguruannya ini. Keduanya saling berpelukan dengan dada
sesak menahan tangis.
Ketika
selesai berpelukan mereka melihat sekeliling dan yang terlihat hanya nenek
Teruko satu-satunya yang masih berada di tempat itu. Bahkan Kunio Ota juga ikut
lenyap! “Eh, kemana dia?!” ujar Akiko, lalu berpaling pada nenek Teruko.
“Kau tak
usah kawatir kehilangan gaijin itu. Dia sengaja meninggalkan tempat ini lebih
dahulu untuk mengobati luka racun panah Kunio. Dia pesan akan menunggu kalian
di lereng Gunung Fuji,” kata Teruko. “Kalau begitu kita segera menyusul setelah
mengurus jenazah Kenichi dan mengamankan buku milik sensei,” kata Akiko pula.
Nenek
Teruko mengangguk. “Urusanku di sini sudah selesai, aku minta undur diri…”
ujarnya.
Tapi
Akiko segera memegang kepala nenek itu seraya berkata, “Tidak, kau tidak boleh
pergi. Antara kita sekarang ada ikatan utang budi yang kuat. Kau harus ikut
kami ke lereng gunung Fuji…”
Nenek
Teruko tersenyum lebar. “Mana berani aku menolak permintaanmu, nona Akiko. Aku
sendiri masih ingin sekali bertemu si gaijin itu. Ilmunya banyak dan aneh-aneh.
Siapa tahu aku kebagian sepertimu, selain itu, hi… hik… hikkk!” Si nenek tidak
teruskan ucapannya.
“Selain
itu apa…?” tanya Akiko Bessho.
“Selain
itu … hemmm…, gaijin itu tampan sekali wajahnya. Hik… hik… kalau aku masih muda
sepertimu, pasti akan aku ikuti ke mana dia pergi. Sayang aku sudah tua,
keriputan dan jelek. Berdandan saja tidak bisa. Lihat pupurku yang celemongan,
hik… hik…!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment