Topan
Di Gurun Tengger
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Di tengah
ruangan Pendekar 212 berdiri tanpa pakaian, membelakangi Purnama. Keberadaan
sang pendekar seperti ini membuat Purnama tercekat hentikan langkah. Tibatiba
Wiro membalikkan tubuh. Purnama terperangah. Dua bola mata membesar. Lutut
terasa goyah dan dada bergoncang keras. Aliran darah dalam tubuh mengalir
deras. Sepasang mata tak berkedip memandangi sosok telanjang sang pendekar.
Mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Saat itulah gadis ini sempat melihat
ada satu tanda putih dibagian bawah pusar Wiro.
*********************
SATU
Dalam
episode sebelumnya (Sang Pemikat) diceritakan setelah mengalami kesembuhan dari
penyakit kelainan darah, Pendekar 212 Wiro Sableng, secara diamdiam
meninggalkan rumah panggung tempat dia dirawat. Namun kepergiannya diketahui
dan diikuti Purnama. Lenyapnya kedua orang itu kemudian membuat semua orang
yang ada dirumah panggung menjadi heboh. Berbagai dugaan dan prasangka muncul.
Walau bergurau Naga Kuning bocah sakti bermulut jahil sempat mengatakan
janganjangan Purnama membawa Wiro untuk diuji kejantanannya.
Setelah
memeriksa lewat cermin sakti Ratu Duyung membagi orangorang yang ada ditempat
itu menjadi dua rombongan. Dia bersama Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati
mencari dan mengejar Pendekar 212. Sesuai ucapan Wiro dan petunjuk lewat cermin
pendekar itu memang tengah menuju ke Gunung Gede tempat kediaman gurunya, Eyang
Sinto Gendeng. Agaknya dia telah berbulat tekad hendak meninggalkan rimba
persilatan dan menjadi seorang pertapa.
Setan
Ngompol dan Ki Tambakpati diminta mencari Purnama, gadis dari Latanahsilam,
negeri 1200 tahun silam. Di dalam cermin sakti tidak terlihat petunjuk
keberadaan Purnama. Kemungkinan kesaktian yang dimilikinya bisa menutup diri
dari daya tangkap cermin milik ratu Duyung.
Setan
ngompol dan Ki Tambakpati berhasil menemui Purnama. Gadis ini berada dalam
keadaan terpendam di tanah akibat ilmu kesaktian Menyusup Bumi Menghancur Bala
yang dikeluarkannya ketika menghadapi serangan mahluk jahat tanpa wajah
berhasil dikunci lawan. Setelah diselamatkan Purnama mengajak kedua kakek
mengejar Wiro ke Gunung Gede. Mencegah pendekar itu melaksanakan niatnya hendak
menjadi pertapa. Namun Ki Tambakpati enggan ke Gunung Gede karena ingin
membangun gubuknya yang hancur dan menyiapkan peralatan pengobatan yang dulu
dimusnahkan oleh orangorang Kerajaan. Setan Ngompol sendiri lebih mementingkan
mencari Liris Biru yang tengah mengejar Cakra Mentari ke Kuto Gede. Dia yakin
gadis itu dalam bahaya besar. Walau Ratu Duyung merasa agak kecewa ketiga orang
itu akhirnya berpisah.
Keesokan
harinya saat matahari terbit ketika Purnama tengah mandi di sebuah kali kecil
mendadak muncul seorang berjubah dan bersorban hitam, memiliki mata kanan yang
hanya merupakan rongga besar mengerikan. Orang berwajah putih, memiliki kumis
dan janggut serta cambang bawuk hitam berkilat ini mengaku bernama Deewana
Khan. Dia menyerahkan dua buah kitab pada Purnama. Kitab pertama sebuah kitab
yang keadaannya rusak hangus karena habis terbakar, dikatakan sebagai Kitab
Jagad Pusaka Dewa yang asli. Kitab kedua merupakan salinan dari kitab Jagad
Pusaka Dewa, berbentuk utuh namun mata biasa tidak mampu melihat dan membaca
isinya. Seseorang harus bertapa 100 hari 100 malam untuk memiliki kemampuan
membaca isi kitab itu.
“Kitab
yang terbakar ini masih ada beberapa bagian halaman yang utuh. Serahkan dua
kitab ini pada Pedekar Dua Satu Dua Wiro Sableng.”
Kejut
Purnama bukan alang kepalang mendengar ucapan Deewana Khan. Lebih terkesiap
lagi sewaktu lelaki berjubah itu berkata. “Pemuda kepada siapa seharusnya kitab
ini diberikan telah tersesat jatuh ke tangan insan jahat dan akhirakhir ini
telah menimbulkan malapetaka bejat berupa pemerkosaan dan pembunuhan mengerikan
di negeri ini. Insaninsan jahat itu hanya bisa dibasmi berdasarkan petunjuk
rahasia dalam kitab yang terbakar. Dewa mengetahui hanya Pendekar Dua Satu Dua
yang mempu membuka petunjuk rahasia dalam kitab.”
Deewana
Khan letakkan dua buah kitab di tanah dan membungkuk memberi hormat. Dua kaki
dijulurkan ke belakang. Begitu dua tangannya menyentuh tanah maka tubuh mahluk
ini meluncur bersurut ke arah dari mana tadi dia datang. Hanya dalam sekejapan
mata saja sosoknya kemudian hilang dari pemandangan.
Purnama
perhatikan dua buah Kitab Jagat Pusaka Dewa. Kitab pertama yang masih utuh
dibalikbalik. Kitab ini hanya memiliki empat halaman. Seperti yang dikatakan
mahluk bermata satu tadi, empat halaman kitab tampak kosong, tidak ada tulisan
apaapa. Kitab kedua yang rusak karena terbakar juga memiliki empat halaman
yang telah hangus. Di beberapa bagian halaman kitab ini terlihat beberapa deret
tulisan. Purnama mencoba membaca, namun hurufhuruf dalam tulisan itu seolah
bergerakgerak. Ketika dipaksakan pendangan matanya mengabur dan kepalanya
menjadi pusing.
“Kitab
aneh. Ada kekuatan yang melindungi hingga aku tak bisa melihat dan membaca
jelas,” ucap Purnama. Gadis ini lalu memasukkan dua buah kitab ke balik
pakaian. “Aku harus segera mengejar Wiro. Sudah banyak waktu terbuang percuma.”
Sambil menerapkan ilmu kesaktian Segara Angin yang membuatnya mampu berlari
luar biasa cepat hingga sosoknya lenyap dari pemandangan, gadis dari
Latanahsilam ini sekalisekali mengeluarkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Ilmu
kesaktian ini selain mampu mengetahui keberadaan mahluk gaib, juga bisa
dipergunakan untuk mencium atau membaui seseorang yang sebelumnya telah dikenal
hingga mudah diketahui ke arah mana orang itu keberadaannya.
“Dia
bergerak ke arah barat. Agaknya memang tengah menuju Gunung Gede. Bau tubuhnya
hilanghilang timbul. Pertanda dia bergerak cepat sekali. Pasti dia menerapkan
ilmu lari tingkat tinggi. Atau….astaga! “Purnama hentikan lari. “Ada mahluk
hidup lain bersamanya. Mungkin dia menunggang kuda?” Purnama dongakkan kepala,
menghirup udara dalamdalam lalu menahan nafas beberapa lama. Sesaat kemudian gadis
ini terbatukbatuk, mukanya tampak merah. Sepasang mata berair. Dada turun
naik. “Bukan kuda…..seekor binatang lain yang tak bisa aku duga. Aneh,
bagaimana mungkin? Apa yang sebenarnya terjadi?” Purnama berdiri luruslurus.
Dua kaki bergerak, tubuh berputar. Mulamula perlahan lalu berubah cepat,
berputarputar seperti gasing, menebar angin mengeluarkan suara menderu hingga
ranting pepohonan bergoyang dan daundaun berguguran. Di lain kejap tubuh yang
berputar itu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.
************************
Dari
jurusan lain, Ratu Duyung dan Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati juga
tengah mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng. Sambil berlari Ratu Duyung tiada
henti menerapkan ilmu Menembus Pandang. Bilamana ilmu kesaktian ini tidak dapat
diterapkan karena orang yang dipantau berada diluar jangkauan maka Ratu Duyung
pergunakan cermin sakti. Di satu tempat gadis cantik bermata biru ini hentikan
lari.
“Ada
apa?” Tanya Naga Kuning.
Ratu
Duyung dekatkan cermin pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.
“Lihat ke
dalam cermin. Di dalam cermin ada dua titik putih. Titik putih pertama adalah
bayangan sosok Wiro. Titik putih kedua yang lebih besar dan selalu berubahubah
adalah bayangan sosok lain yang berada bersama Wiro.”
“Kau bisa
menduga siapa?” Tanya Gondoruwo Patah Hati.
“Mungkin
itu bayangan Purnama.” Kata Naga Kuning pula.
Ratu
Duyung terdiam, berpikir sejenak lalu menggeleng. “Seperti kalian lihat titik
putih besar selalu berubahubah. Ini suatu pertanda titik itu bukan perwujudan
manusia…..”
“Aku bisa
menduga, saat ini Wiro tengah menunggang kuda.” Kata Naga Kuning pula.
“Tadinya
aku juga berpendapat demikian,” jawab Ratu Duyung. “Tapi kuda tidak memiliki
kecepatan bergerak seperti yang aku lihat dalam cermin …..”
“Mungkin
seorang sakti mendukung Wiro?” ucap Gondoruwo Patah Hati.
“Nek..
sudah aku katakan mahluk itu bukan manusia ….”
“Aku
tahu.” Kata Naga Kuning dengan wajah sungguhsungguh. “Wiro didukung oleh
Purnama! Kita semua tahu Purnama bukan manusia biasa. Dia mahluk dari alam
gaib!”
Ratu
Duyung terdiam. Wajahnya berubah dan sepasang mata menatap tek berkesip pada
Naga Kuning. “Apa yang dikatakan anak ini mungkin saja betul…..” Ratu Duyung
membatin. Untuk memastikan dia lalu kerahkan ilmu Menyirap Detak jantung. Namun
tidak berhasil karena sasaran yang coba dipantau terlalu jauh. “Kalau saja aku
bisa mendapatkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pasti kejap ini juga aku
bisa mengejar Wiro. Ah, bagaimana ini? Satusatunya usaha hanya mengandalkan
cermin sakti ini.” Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru adalah batu sakti milik
Nyai Roro Kidul Penguasa Laut Selatan. Batu ini mampu membuat seseorang
berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang diinginkannya hanya dalam
bilangan kejapan mata. Nyai Roro Kidul pernah meminjamkan batu sakti tersebut pada
orang kepercayaannya bernama Nyi Roro Manggut untuk menolong Pendekar 212 yang
berada dalam keadaan bahaya (baca serial Wiro Sableng berjudul “Sang
Pembunuh”).
Tak mau
membuang waktu berlamalama Ratu Duyung
memberi
tanda. Ketiga orang itu berkelebat, melanjutkan
pengejaran
ke arah barat.
*********************
DUA
Kita
ikuti dulu apa yang terjadi dengan Bidadari Angin Timur, gadis cantik
berkepandaian tinggi yang memiliki rambut berwarna pirang yang tak asing lagi
bagi rimba persilatan tanah Jawa. Di dalam serial Wiro Sableng berjudul “Insan
Tanpa Wajah” dituturkan bagaimana Bidadari Angin Timur menyirap kabar
ditangkapnya Wiro oleh Pangeran Tua Sena Wirapala dengan tuduhan telah
memperkosa dan membunuh cucunya yang bernama Raden Ayu Ambarsari. Ketika
Bidadari Angin Timur menyelidik ke Kotaraja, ternyata Wiro telah dibebaskan
oleh seseorang dan saat itu berada di sebuah gubuk di tikungan Kali Progo,
dijaga oleh Setan Ngompol dan Ki Tambakpati.
Bidadari
Angin Timur mendatangi gubuk, menangis di tepi ranjang dimana Pendekar 212
terbaring. Dia merasa sangat sedih melihat sang pendekar yang berulang kali
mengalami nasib sengsara sejak beberapa waktu belakangan ini. Apalagi sebelum
masuk ke dalam gubuk milik Ki Tambakpati si gadis telah mendengar percakapan
dua kakek. Diantara isak tangisnya Bidadari Angin Timur berkata.
“Ketika
berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa betul
Wiro telah menjadi seorang lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah
kehilangan kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa disembuhkan lagi untuk
selamalamanya?”
Setan
Ngompol pegangi bagian bawah perut menahan kencing. Ki Tambakpati terdiam tak
bisa menjawab. Tangis Bidadari Angin Timur pecah.
“Sahabatku,
mari kita keluar. Kita bicara di luar …..” Setan Ngompol membujuk si gadis.
Bidadari
Angin Timur gelengkan kepala lalu berkata.
“Rasanya
tidak ada yang perlu dibicarakan lagi Kek. Aku sudah mendengar semuanya.”
Gadis
berambut pirang itu membungkuk mengusap kening Pendekar 212 yang terasa sangat
dingin.
“Kami
berdua akan berusaha memusnahkan penyakitnya,” berkata Ki Tambakpati.
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan kepalanya di dada Pendekar 212 lalu
menangis keras.
“Hentikan
tangismu. Sebaiknya kau membantu dengan memanjatkan doa pada Gusti Allah agar
Wiro bisa disembuhkan ….,” berkata Ki Tambakpati.
“Akan aku
lakukan Kek, akan aku lakukan ..,” Jawab Bidadari Angin Timur berulang kali.
Dalam hati gadis ini membatin. “Tuhan, Kau tahu sejak dulu aku telah
memanjatkan segala doa dan mohon. Tapi agaknya aku harus melihat kenyataan lain
…” Lalu tanpa berkata lagi Bidadari Angin Timur melangkah ke pintu.
“Bidadari
Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol memanggil.
Namun
gadis cantik berambut pirang itu telah lenyap dari pandangan. Dikejar keluar
gubuk sosoknya tak kelihatan lagi. Di dalam rimba persilatan Bidadari Angin
Timur dikenal sebagai tokoh yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa.
Tidak heran kalau kedua kakek tidak berhasil mengejar. Padahal kurang dari
sekejapan mata sosoknya masih terlihat di ambang pintu.
“Heran,
aku tahu dia sangat mencintai Wiro. Tapi mengapa pergi begitu saja?” berucap
Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.
“Kalau
memang benar dia telah mendengar pembicaraan kita, aku rasa gadis itu sangat
terpukul mengetahui penyakit yang diderita Wiro ….” Ujar Ki Tambakpati pula.
“Aku
tidak tahu ….” Ucap Setan Ngompol. “Kalau aku jadi dia, aku tidak akan
meninggalkan pemuda itu. Aku akan berusaha mencari obat penyembuh. Tapi ….”
Setan Ngompol gelengkan kepala berulang kali.
“Mungkin
itu yang ada dalam pikirannya. Mencari obat untuk kesembuhan pemuda yang
dicintainya. Mungkin juga gadis itu tak mau berlamalama di sini karena sudah
merasa bakal ada gadisgadis lain kerabat Wiro yang akan muncul.” Kata Ki
Tambakpati pula. Kenyataannya seperti yang dikisahkan dalam episode sebelumnya
beberapa orang gadis yang sama mencintai Pendekar 212 memang datang ke gubuk di
tepi Kali Progo itu. Mereka adalah Purnama, Bunga dan Ratu Duyung.
************************
Keadaan
Bidadari Angin Timur sangat mengenaskan. Setelah dua hari berlari tanpa tujuan
seolah hanya sepembawa kakinya, disuatu pagi ini sampai disebuah bukit kecil.
Di bawah bukit terbentang pedataran subur dialiri Kali Pemali. Pakaian birunya
kotor, wajah pucat dan rambut yang pirang tampak awutawutan. Sepasang mata
kelihatan agak sembab karena terlalu banyak menangis. Dia tak ingat kapan
terakhir kali dia makan mengisi perut. Memandang ke arah kali timbul niatnya
untuk mandi membersihkan diri. Apalgi tempat itu tampak sepi. Ketika dia tengah
menuruni bukit, melangkah tergontaigontai diselasela pepohonan, tibatiba
suasana tenang dan sepi dirobek oleh suara derap kaki kuda riuh sekali.
Memperhatikan ke bawah bukit Bidadari Angin Timur terheranheran karena tepi
kali yang tadi sunyi senyap kini dipenuhi oleh dua rombongan orang berkuda yang
datang dari arah berlawanan dan kini tampak berhadaphadapan.
Bidadari
Angin Timur yang tengah kacau pikiran dan kelelahan menyelinap di balik
rerumpunan semak belukar lalu melompat ke cabang sebatang pohon di tepi kali.
Dia ingin menyaksikan apa yang akan segera terjadi.
Rombongan
penunggang kuda di sebelah kanan berjumlah dua puluh orang. Mereka mengenakan
daster dan pakaian serba hitam, ratarata memiliki tubuh besar. Semua mencekal
sebilah golok, kecuali penunggang kuda paling depan yang hanya mengandalkan
tangan kosong, pertanda dia pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang ini
menutupi wajahnya dengan sebuah topeng berwarna putih perak. Di belakang kepala
rambut panjang menjulai sebahu. Agaknya dia yang menjadi pimpinan orangorang
berseragam hitam ini. Bidadari Angin Timur punya dugaan ini bukan orang
baikbaik. Mungkin gerombolan penjahat atau rampok. Dalam jumlah yang lebih
banyak mereka punya keberanian untuk menghadapi rombongan yang datang dari arah
depan. Rombongan kedua ini berjumlah sepuluh orang. Mereka mengenakan pakaian
seragam pasukan Kerajaan. Walau bagian Kali Pemali dimana dia berada terletak
di wilayah Jawa sebelah tengah namun Bidadari Angin Timur mengenali kalau
pasukan yang berjumlah sepuluh orang itu bukan berasal dari Kerajaan di wilayah
itu. Dia tidak pernah melihat seragam pasukan seperti itu sebelumnya. Pakaian
dan celana serta topi biru. Anggota pasukan ratarata bertubuh kecil dan masih
muda belia, bersenjata pedang, golok, dan tombak. Pasukan kecil ini di pimpin
oleh seorang Perwira Muda berwajah cakap. Hanya Perwira ini satusatunya yang
memiliki tubuh besar tegap.
Ketika
memperhatikan wajah sang Perwira Muda tersiraplah darah Bidadari Angin Timur.
Dada berdebar. Hati berucap. “Benarkah dia ? Bagaimana ceritanya dia bisa
berada di kawasan ini. Sejak kapan dia jadi seorang Perwira. Dari kerajaan
mana. Bukankah aku dan dia sudah berjanji akan bertemu di air terjun Batuputih
pada Satu Suro. Satu purnama dari sekarang. Ternyata pertemuan terjadi lebih
cepat dari yang direncanakan. Apakah semua ini atas kehendak Gusti Allah?”
Walau dia
ingin cepatcepat menemui sang Perwira Muda namun Bidadari Angin Timur terpaksa
menahan diri. Dia memperhatikan dengan mata tak berkesip. Makin diperhatikan
tambah keras detak jantungnya. “Rasanya pandangan mataku tidak mungkin keliru.
Sahabat…… Kau pernah membuat hatiku dalam kebimbangan. Hari ini kebimbangan itu
muncul kembali.” Sekilas terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng dipelupuk
mata si gadis. “Tuhan, apa kali ini kebimbangan itu akan berakhir pada suatu
ujung …. Ah, sulit aku membayangkan.”
Di tepi
kali, lelaki bertopeng perak mengangkat tangan, memberi tanda untuk menahan
serangan pada sembilan belas anak buahnya yang sudah siap menyerbu dengan golok
di tangan.
Orang ini
arahkan pandangan pada Perwira Muda berpakaian dan bertopi biru yang ternyata
juga tidak membekal sebilah senjatapun.
“Tubagus
Putrakesuma! Jumlah kami dua kali lebih banyak! Anakanak buahku ratarata
berbadan kokoh besar. Anggota pasukanmu hanya pemudapemuda kurus kurang makan!
Apakah kau masih punya nyali untuk menangkapku? Aku memberi saran sebaiknya kau
pulang saja ke Cirebon, cuci kaki, cebok dan tidur! Ha … ha … ha … ha!” Suara
tawa lelaki bertopeng perak diikuti oleh suara bergelak sembilan belas orang
anak buahnya.
Di atas
pohon Bidadari Angin Timur terheranheran mendengar lelaki bertopeng menyebut
Perwira Muda itu dengan nama Tubagus Putrakesuma.
“Kalau
memang dia, mengapa namanya Tubagus Putrakesuma? Apa dia memang sudah berganti
nama? Banyak keanehan yang tidak aku mengerti …” Gadis berambut pirang membatin
dalam hati.
Perwira
Muda bernama Tubagus Putrakesuma yang dilecehkan balas menatap tajam pada
lelaki bertopeng. Tidak ada bayangan rasa takut diwajahnya yang cakap.
“Topeng
Perak! Kau pimpinan pemberontak pengacau Kerajaan. Aku membawa tugas
menangkapmu. Aku tidak akan kembali ke Cirebon tanpa membawa dirimu. Jika kau
mau menyerah hiduphidup, aku berjanji akan meminta keringanan hukuman bagimu
pada Sultan Cirebon.”
Mendengat
ucapan Perwira Muda yang ternyata berasal dari Kerjaan Cirebon, sebuah Kerajaan
yang baru saja berdiri, lelaki bertopeng perak tertawa gelakgelak.
“Tubagus
Putrakesuma. Bagiku apa yang namanya Kerajaan Cirebon itu tidak pernah ada!
Jadi yang namanya Sultan Cirebon juga tidak ada!”
“Asal
muasalnya kau adalah orang jahat kepala rampok keji tidak berperikemanusiaan.
Sekarang kau melibatkan diri dalam urusan Kerajaan. Siapa yang berada di
belakangmu?” Tanya
Perwira
Muda Tubagus Putrakesuma.
Kembali
Topeng Perang tertawa bergelak.
“Lagakmu
hebat hendak menyelidik diriku! Baru beberapa minggu jadi Perwira sudah sombong
selangit. Bicaramu tidak karuan! Tidak ada orang lain di belakangku. Aku
bertindak untuk kepentinganku sendiri ….”
“Hemm,
apakah kepentinganmu itu?”
“Membakar
tahta, melenyapkan apa yang kau sebut Kerajaan Cirebon …”
“Kau
ingin mengambil kekuasaan dari Sultan Cirebon? Begitu?” Tubagus Putrakesuma
tertawa.
“Manusia
sepertimu apa pantasnya jadi Sultan. Unjukkan muka saja tidak berani. Buktinya
kau menutupi wajah dengan topeng. Berarti nyalimu sebenarnya hanya sedengkul.”
“Perwira
keparat! Kau tak akan pernah melihat Sultanmu lagi. Ketahuilah, serombongan
besar pasukan anak buahku saat ini tengah bergerak dari utara ke selatan. Siap
membuat Cirebon sama rata dengan tanah!”
Tubagus
Putrakesuma tertawa mencemooh. “Kau boleh menggertak. Siapa mau percaya. Siapa
merasa takut.”
Lelaki
bertopeng keluarkan suara menggembor, angkat tangan kanannya ke atas lalu
berteriak, “Anakanak. Cincang sampai lumat cecungukcecunguk Kerajaan Cirebon
ini!”
“Tunggu!”
Perwira Muda Tubagus Putrakesuma berseru. “Topeng Perak, kita samasama
pimpinan disini. Mengapa mau mengorbankan anak buah? Bagaimana kalau kita
bertarung satu lawan satu. Kalau aku kalah aku akan kembali ke Cirebon. Kau
boleh bebas. Tapi kalau kau yang jadi pecundang, aku akan membawamu ke Kotaraja!”
“Sombongnya
berani menantang! Pimpinan, biar aku tabas batang leher perwira keparat ini!”
Seorang anak buah Topeng Perak yang ada di samping kanan berteriak sambil
angkat golok tinggitinggi lalu dibabat ganas ke arah leher Tubagus
Putrakesuma. Namun saat itu juga sebuah benda melesat berdesing di udara lalu
terdengar raungan anak buah Topeng Perak yang barusan menyerang. Tubuhnya
tergelimpang jatuh ke tanah. Di kening menancap potongan cabang kayu sepanjang
dua jengkal, besar dua kali jari tangan. Darah mengucur menyelomoti mukanya.
Beberapa ekor kuda meringkik dan bersurut mundur.
“Bangsat
kurang ajar! Pengecut! Kau menyembunyikan orang berkepandaian tinggi melakukan
serangan membokong!” Teriak Topeng Perak marah sekali.
Tubagus
Putrakesuma, Perwira Muda Kerajaan Cirebon saat itu sebenarnya juga merasa
heran. Dia tidak menyembunyikan orang pandai seperti yang dituduhkan. Namun
siapa gerangan yang barusan membunuh anak buah Topeng Perak begitu rupa? Adakah
orang itu berada dipihaknya atau sekedar iseng menunjukkan kehebatan?
Sekali
menggebrak kuda tunggangannya, Topeng Perak melesat ke udara. Kaki kanan
menerjang lurus ke arah dada Tubagus Putrakesuma. Jurus serangan ini bernama
Ladam Sakti Menembus Dinding Karang. Demikian cepatnya serangan ini hingga Perwira
Muda Kerajaan Cirebon itu terlambat berkelit. Walau dadanya selamat namun bahu
kirinya masih sempat ditabrak tumit orang. Sang Perwira terpuntir di atas
punggung kudanya lalu terbanting ke bawah. Bahu kirinya sakit bukan kepalang
dan terasa kaku. Namun dengan cekatan dan gerakan enteng dia masih mampu jatuh
ke tanah di atas dua kaki. Pada saat dua kakinya menginjak tanah, kejap itu
pula Topeng Perak datang dari depan, lancarkan serangan berupa pukulan
berantai. Pertarungan hebat serta merta terjadi. Dalam keadaan seperti itu
sebenarnya Topeng Perak tadi sempat terkesiap melihat kekebalan tubuh lawan.
Tendangan yang dilancarkannya jika mengena telak jangankan dada manusia,
dinding batu sekalipun pasti akan jebol hancur berkepingkeping. Ketika
tendangan membentur bahu kiri lawan, Perwira Muda itu ternyata hanya terpuntir.
Tubuhnya sama sekali tidak cidera. Padahal tendangan tadi mampu meremukkan
daging dan menghancurkan tulang bahunya!
Melihat
pimpinan mereka sudah bertempur, delapan belas anak buah Topeng Perak segera
menyerbu sembilan prajurit Kerajaan Cirebon. Saat itulah dari pohon besar di
tepi kali melayang turun satu bayangan biru yang bukan lain adalah Bidadari
Angin Timur. Di tangan kanan gadis ini memegang patahan cabang pohon sebesar
betis.
“Diberi
peringatan kalian tidak mau membuka mata. Sekarang biar mata kalian aku tutup
untuk selamalamanya.”
“Praakk!”
“Praakk!”
Dua anak
buah Topeng Perak mencelat dari punggung kuda masingmasing. Terkapar di tanah
dengan kepala remuk! Enam belas temannya berteriak geger, marah tapi banyak
yang mulai merasa kecut nyalinya. Saat itu diantara mereka berdiri seorang
gadis cantik berpakaian biru, berambut pirang. Wajah yang cantik mengulum
senyum, membentuk lesung pipi di pipi kiri kanan.
“Bidadari
Angin Timur!” Berseru Perwira Muda Tubagus Putrakesuma. Mata terbeliak, wajah
unjukkan rasa kaget tidak percaya.
“Tuduhanku
benar! Perwira keparat ternyata kau memang membawa bergundal perempuan
berkepandaian tinggi untuk menolongmu!” Teriak Topeng Perak marah besar walau
diamdiam dia sangat terpesona dengan kecantikan si gadis sementara hati
kecilnya mendugaduga. Dia rasarasa pernah mendengar nama gadis yang tadi
disebutkan Perwira Muda itu.
“Mengapa
kalian diam melongo! Bunuh perempuan itu!” teriak Topeng Perak pada anak
buahnya. Apa boleh buat. Walau nyali leleh, enam belas anak buah Topeng Perak
segera menggebrak kuda masingmasing. Empat diantaranya melompat dari punggung
kuda langsung menyerang Bidadari Angin Timur. Agaknya mereka memiliki
kepandaian silat dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan. Empat golok
menyambar ganas.
Bidadari
Angin Timur tertawa panjang. Sambil melompat ke kiri mengelakkan tebasan golok
dua orang lawan, kayu sebesar betis di tangan kanan berkelebat ke depan
mengeluarkan suara berdesing.
“Wuuuttt!”
Dua orang
anak buah Topeng Perak yang barusan menyerang meraung keras. Yang satu jebol
perutnya, satu lagi hancur tulang pinggulnya. Dua orang berikutnya, selagi
mereka terkesiap menyaksikan apa yang terjadi, kayu besar di tangan Bidadari
Angin Timur berturutturut menghajar kepala masingmasing.
Melihat
kehebatan serta keganasan serangan gadis cantik berambut pirang, sekian banyak
anak buah Topeng Perak tak sanggup lagi menahan ngeri. Beberapa diantaranya ada
yang sudah mengambil ancangancang untuk melarikan diri. Pada saat itu pula
sembilan prajurit Kerajaan Cirebon datang menyerbu. Walau jumlah mereka masih lebih
banyak namun ke tiga belas anak buah Topeng Perak memilih kabur. Yang bernasib
mujur bisa melarikan diri hanya enam orang. Empat menemui ajal, tiga luka
parah.
Topeng
Perak keluarkan seluruh kepandaiannya berusaha menghabisi lawan secepat
mungkin. Dia merasa di atas angin karena Perwira Muda yang dihadapinya berada
dalam keadaan cidera bahu kiri akibat tendangannya tadi. Namun dia merasa
heran, setiap serangan dilancarkan dari tubuh lawan berdesir keluar hawa aneh
yang membuat tangan atau kakinya menjadi sakit seperti dicucuki puluhan jarum.
Semakin dia mempercepat serangan dan melipat gandakan tenaga dalam semakin
hebat rasa tusukan itu. Dia tersentak kaget ketika melihat dua tangannya yang
tersembul diujung lengan baju hitam mengeluarkan bercakbercak darah!
Jurus
demi jurus Topeng Perak mulai terdesak. Menyadari kalau dia hanya tinggal
sendirian di tempat itu, lelaki ini melompat mundur, keluarkan teriakan
bergelegar sambil pentang dua tangan ke atas. Saat itu juga sepasang tangan
Topeng Perak berubah menjadi hitam kelam sebatas siku sampai ke ujung jari!
Lelaki ini hentakkan kakinya kiri kanan ke tanah. Serta merta dua kaki itu
berubah pula menjadi hitam mulai dari lutut sampai ke jari! Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Naroko Wesi Ireng.
Untuk
memperlihatkan ilmu kesaktiannya itu sekaligus bermaksud membuat gentar lawan
Topeng Perak menyambar ke kiri, menghantam dada seorang prajurit dengan tangan
kanan.
“Bukk!”
Tak ampun
lagi prajurit itu terpental dari punggung kuda, jatuh terbanting ke bawah.
Walau dada yang kena dihantam namun luar biasanya seluruh tubuh mulai dari
kepala sampai ke kaki kelihatan hancur, mengkeret menjadi hitam dan mengepulkan
asap kelabu!
Belum
puas, Topeng Perak tendang pinggul kuda prajurit yang barusan dibunuhnya dengan
kaki kanan.
“Duukkk!”
Kuda
hitam besar itu meringkik keras. Berkelojotan di tanah beberapa lama. Tubuhnya
hancur, mulai dari pinggul yang kena tendang, terus menjalar kebagian tubuh
lainnya sampai kepala dan empat kaki. Keseluruhan sosok binatang itu tak
berbentuk lagi, hancur lumat, mengkeret hitam dan mengepul asap kelabu!
*********************
TIGA
Perwira
Muda Tubagus Putrakesuma terkesiap kaget. Gerakan Topeng Perak sewaktu
menghabisi secara kejam anak buah dan kuda hitam luar biasa cepat hingga dia
tidak sempat menolong. Delapan prajurit Kerajaan Cirebon tampak pucat dan
merinding dingin tengkuk masingmasing menyaksikan apa yang terjadi. Mampukah
pimpinan mereka yang masih muda itu menghadapi ilmu kesaktian lawan yang begitu
dahsyat?
Bidadari
Angin Timur sendiri seumur hidup baru sekali ini menyaksikan ilmu kesaktian
yang demikian ganas mengerikan. Seperti diketahui gadis ini memiliki ilmu gerak
luar biasa cepat. Dia melihat kecepatan gerak lawan waktu membunuh prajurit dan
kuda tadi hanya satu tingkat di bawah Ilmu Selaksa Kilat yang dimilikinya.
”Tubagus
Putrakesuma! Apakah kau sudah siap aku jadikan puntung neraka?!” ucap Topeng
Perak lalu keluarkan suara mendengus.
”Manusia
sombong!” ejek si Perwira Muda. “Kuda tak berdosa kau bunuh! Sekarang kau tunggu
apa lagi! Mengapa tidak langsung menyerang diriku!”
”Perwira!”
berkata Bidadari Angin Timur sambil menggeser kaki ke arah Topeng Perak.
”Tanganku sudah kepalang tanggung membunuh anak buahnya. Sekarang biarkan aku
menghabisi bapak buahnya!”
”Gadis
congkak!” Bentak Topeng Perak sebelum Tubagus Putrakesuma semapat menjawab.
”Lebih baik kau duduk saja di bawah pohon sana. Kalau manusia satu ini sudah
kujadikan puntung neraka, aku akan membawa kau pergi kemana kau suka!”
Bidadari
Angin Timur tertawa. ”Kalau begitu aku ke neraka sekarang juga! Hik … hik …
hik!”
Habis
berkata begitu gadis cantik berambut pirang ini berkelebat.
Tubuhnya
berubah menjadi bayangan biru.
”Wuuut!”
”Breett!”
Dada
pakaian hitam Topeng Perak robek besar namun Bidadari Angin Timur sendiri
terpekik dan melompat mundur sambil usap kepalanya. Memandang ke arah lawan
Bidadari Angin Timur melihat sejumput rambutnya berada dalam genggaman tangan
kiri Topeng Perak. Lelaki ini sunggingkan seringai lalu meniup. Serta merta
rambut pirang dalam genggamannya terbakar mengepulkan asap. Topeng Perak
tertawa bergelak.
Mau tak
mau paras Bidadari Angin Timur jadi berubah. Selama malang melintang dalam
rimba persilatan tanah Jawa baru sekali itu ada lawan sanggup menjambak
rambutnya!
Melihat
apa yang terjadi Tubagus Putrakesuma merasa khawatir. Kalau mau tadi Topeng
Perak bisa menghancurkan kepala Bidadari Angin Timur. Cemas akan keselamatan si
gadis jika kedua orang ini melanjutkan pertarungan, sang Perwira cepat berkata.
”Bidadari
Angin Timur, Kerajaan menugaskanku untuk menangkap manusia ini hidup atau mati.
Harap kau mundur dulu ketempat aman!”
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab juga tidak beranjak. Dua kaki digeser merenggang. Tangan
kiri diangkat ke atas. Tangan kanan perlahanlahan mengusap perut. Di kejauhan
terdengar suara meraung seperti srigala melihat setan di malam buta. Walau saat
itu siang hari namun semua orang termasuk Topeng Perak merasa mengkirik bulu
kuduknya. Apalagi ketika Bidadari Angin Timur kemudian keluarkan suara tawa
panjang. Sepasang mata menatap ke arah Topeng Perak tak berkesip. Wajahnya yang
cantik berubah seputih kapur!
Tubagus
Putrakesuma terkejut.
”Astaga,
apakah dia memiliki ilmu Pusar Pusara? Apakah ilmu kesaktiannya sanggup melawan
ilmu Naroko Wesi Ireng Topeng Perak?” ucap Perwira Muda itu sambil matanya
memperhatikan bagian perut Bidadari Angin Timur. Ketika tangan yang mengusap
bergerak ke samping, sang perwira sempat melihat ada sesuatu yang menonjol di
bagian pusar si gadis. Setelah itu!
”Wusss!”
Dari
balik pakaian Bidadari Angin Timur, tepat di arah pusar, melesat keluar selarik
cahaya biru terang menyilaukan. Hawa luar biasa panas memenuhi udara.
”Ilmu
Pusar Pusara! Cahaya Geni Biru! Dia memang masih memiliki ilmu kesaktian itu!”
ucap Tubagus Putrakesuma lalu cepat bergerak menjauh.
Seperti
terkisah dalam serial Wiro Sableng berjudul “Nyi Bodong”, Bidadari Angin Timar
nekad membuang diri ke dalam jurang karena menyangka dirinya telah diperkosa
oleh Hantu Muka Dua. Gadis ini diselamatkan oleh seorang kakek sakti bernama
Kiai Munding Suryakala. Kakek inilah yang kemudian memberikan satu ilmu dahsyat
pada Bidadari Angin Timur disebut Ilmu Pusar Pusara. Dari pusarnya yang
menyembul bodong bisa melesat keluar cahaya biru bernama Geni Biru atau Api
Biru. Sejak kejadian itu Bidadari Angin Timur dikenal dengan sebutan Nyi
Bodong, walau orangorang rimba persilatan tidak mengetahui siapa dirinya.
(Baca juga serial Wiro Sableng berjudul ”Api di Puncak Merapi” dimana
diceritakan riwayat tewasnya dedengkot tokoh rimba persilatan golongan hitam
Pangeran Matahari).
Ketika
diserang lawan, Topeng Perak yang merasa percaya penuh akan kehebatan Naroko
Wesi Ireng yang dimilikinya, hanya bergerak mengelak dua langkah ke samping
lalu menggebrak dengan dua pukulan maut.
Bidadari
Angin Timur putar pinggulnya. Larikan cahaya Geni Biru ikut bergeser. Pada saat
itu dua serangan tangan Topeng Perak hanya tinggal satu jengkal lagi akan
mendarat di dada dan kepala Bidadari Angin Timur, cahaya biru yang keluar dari
pusar si gadis melabrak tubuhnya!
Topeng
Perak meraung setinggi langit. Tubuhnya sebelah depan, mulai dari dada sampai
ke perut hangus terbelah jebol!
Darah
menyembur, usus membusai. Namun saat itu tinju kanannya masih mampu menderu ke
arah kepala Bidadari Angin Timur. Hanya sekejapan mata lagi kepala gadis cantik
berambut pirang itu akan hancur tibatiba dari samping kiri melesat satu mahluk
coklat, langsung menabrakkan tubuhnya ke tangan kanan Topeng Perak.
”Buukkk!”
Jotosan
tangan kanan Topeng Perak mendarat telak di tubuh mahluk coklat. Topeng Perak
sendiri terhuyung beberapa langkah sambil pegangi perutnya yang jebol dengan
tangan kiri lalu jatuh terjengkang tak berkutik lagi. Manusia satu ini memang
luar biasa. Orang lain kalau sampai terkena hantaman Geni Biru pasti akan
tercerai berai tubuhnya.
”Nguiiikk!”
Mahluk
coklat terpental dan terguling di tanah. Mengeluarkan jeritan aneh. Semua
prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu dan juga Bidadari Angin Timur
mendelik kaget. Mahluk yang tadi menyelematkan si gadis ternyata adalah seekor
binatang langka.
Tubuhnya
sebelah kiri yang tertutup duriduri cokelat panjang dan runcing tampak hangus
leleh mengepulkan asap.
”Tikus
raksasa berbulu duri! Dari mana datangnya?” seru seorang prajurit dengan mata
mendelik.
”Landak
jejadian!” teriak prajurit disebelahnya.
”Hai
kemana lenyapnya Perwira Tubagus Putrakesuma?!” prajurit lain berteriak. Mereka
saling berpandangan lalu samasama memperhatikan binatang yang mendekam di
tanah.
Perlahanlahan
sosok mahluk coklat yang merupakan seekor landak hampir sebesar anak kerbau itu
ujudnya menjadi samar lalu berubah membentuk sosok manusia. Dan manusia ini
bukan lain adalah Tubagus Putrakesuma! Pakaiannya sebelah kiri tampak hangus.
Kulit tubuh lecet merah. Disela bibir kelihatan ada kucuran darah. Seluruh
prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu melengak kaget. Tak percaya
akan apa yang mereka lihat.
”Jatilandak!”
teriak Bidadari Angin Timur. ”Kau ….kau tak apaapa?”
Perwira Muda
Tubagus Putrakesuma yang sebenarnya adalah Jatilandak, pemuda dari negeri
Latanahsilam, putra Luhmintari yang kini bernama Tubagus Putrakesuma kedipkan
mata. Tubuhnya bergetar hebat, sakit luar biasa. Kepala berdenyut seperti mau
pecah, pandangan agak buram. Bidadari Angin Timur menolong pemuda berdiri.
”Kau
terluka…” ucap si gadis.
”Hanya
luka luar. Tidak apaapa …”
”Tapi kau
juga terluka di dalam. Ada darah di mulutmu.”
Tubagus
Putrakesuma alias Jatilandak seka darah di sela bibir. Dia coba tersenyum. “Aku
senang bertemu denganmu.”
“Jangan
bicara itu dulu. Aku khawatir sekali akan keadaanmu.”
Jatilandak
terdiam sejurus. Pemuda ini merasa terharu mendengar katakata Bidadari Angin
Timur tadi. ”Ternyata dia sangat memperhatikan diriku ….” ucap Jatilandak dalam
hati. Lalu dia berkata.
”Keadaanku
baikbaik saja. Bulu landak melindungi diriku. Kalau tidak merubah diri menjadi
landak, aku mungkin tidak bisa menahan pukulan Topeng Perak. Saat ini aku pasti
sudah hancur lumat seperti prajurit dan kuda tadi.”
”Jatilandak,
aku sangat berterima kasih padamu. Untuk kesekian kali kau menyelamatkan jiwaku
tanpa memikirkan keselamatan dirimu sendiri. Yang aku tidak mengerti bagaimana
ceritanya kau sekarang menjadi seorang Perwira. Dari Kerajaan Cirebon. Benar
….?”
Tubagus
Putrakesuma tersenyum.
”Nanti
aku ceritakan.” kata sang Perwira pula. Dia memandang ke arah mayat Topeng
Perak yang tergeletak di tanah. ”Aku ingin tahu dulu siapa sebenarnya manusia
berjuluk Topeng Perak itu …” Tubagus Putrakesuma lalu melangkah mendekat mayat
dan menarik lepas topeng perak yang masih menempel menutupi wajah. Ketika
topeng tersingkap, semua prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu
keluarkan seruan kaget sementara Tubagus Putrakesuma sendiri tersurut satu
langkah sambil berucap menyebut nama.
”Karang
Randu …”
”Siapa
dia?” tanya Bidadari Angin Timur.
”Sahabat
dekat Sultan Cirebon. Setahuku dulu dia ikut membantu berdirinya Kerajaan
Cirebon. Konon dia mencintai Nyai Rara Santang, saudara perempuan Sultan. Namun
dia bertepuk sebelah tangan. Setelah tahu cintanya tidak bersambut, Karang
Randu melenyapkan diri entah kemana. Tidak tahunya ….. Tidak bisa ku bayangkan.
Demikian hebatnya cinta yang berubah menjadi kebencian.” Tubagus Putrakesuma
alias Jatilandak berpaling pada Bidadari Angin Timur. Si gadis menatap wajah
pemuda ini. Dua pasang mata saling beradu pandang, menimbulkan getarangetaran
aneh di lubuk hati masingmasing.
”Saudara
Sultan itu pasti seorang gadis cantik jelita …” ucap Bidadari Angin Timur pula.
Tubagus
Putrakesuma tidak menjawab. Pemuda ini merasa ada nada rasa cemburu yang
tersembunyi. ”Apakah dia masih memiliki perasaan hati seperti dulu terhadapku?
Apakah aku masih mempunyai secercah harapan….?”
Tubagus
Putrakesuma memerintahkan anak buahnya berangkat duluan ke Cirebon dengan
membawa mayat Topeng Perak alias Karang Randu setelah terlebih dahulu diikat
bagian dada dan perutnya yang jebol.
”Sampaikan
pada Sultan aku akan menyusul kemudian. Ada satu urusan yang harus aku
selesaikan lebih dulu di tempat lain.”
Delapan
prajurit segera tinggalkan tempat itu dengan hati bertanyatanya. Siapa
gerangan gadis cantik berambut pirang yang memiliki ilmu kesaktian hebat dan
berhasil membunuh
Topeng Perak
yang selama ini menjadi momok nomor satu bagi Kerajaan Cirebon. Apa hubungan si
gadis dengan atasan mereka.
*********************
EMPAT
Setelah
semua prajurit pergi Tubagus Putrakesuma meminta Bidadari Angin Timur naik ke
atas kuda miliknya. Dia sendiri menunggangi kuda bekas kepunyaan salah seorang
anak buah Topeng Perak. Perwira itu kemudian membawa Bidadari Angin Timur ke
satu tempat berbukitbukit dimana terdapat sebuah teratak beratap bambu.
”Indah
sekali pemandangan di sini …” ucap Bidadari Angin Timur.
Diantara
kehijauan pepohonan serta petakpetak sawah menguning, di bawah sana tampak
mengalir Kali Pemali. Dia arah timur menjulang Gunung Kumbang, didampingi
Gunung Kadaka di sebelah barat. Diamdiam Tubagus Putrakesuma perhatikan gadis
di sampingnya. Ketika Bidadari Angin Timur berpaling kearahnya, untuk kesekian
kali keduanya saling beradu pandang tanpa ada yang bicara. Namun seribu kata
seolah sudah terucapkan. Seribu kata yang menjalin rasa bahagia karena
terjadinya pertemuan itu, sekaligus melepas rasa rindu yang mendalam.
”Aku
senang sekali bertemu denganmu. Sesuai perjanjian kita seharusnya baru bertemu
pada Satu Suro bulan mendatang di air terjun Batu Putih. Ternyata aku bisa
melihatmu lebih cepat. Apakah selama ini kau baikbaik saja?” Bertanya Tubagus
Putrakesuma.
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab, hanya mengangkat bahu lalu tersenyum. Tubagus
Putrakesuma merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati gadis berambut pirang
ini.
”Sahabat,
kau mau menceritakan bagaimana kau bisa tersesat sampai sejauh ini?”
”Aku
harus memanggilmu dengan nama apa? Tubagus Putrakesuma atau Jatilandak? Atau
Perwira?” bertanya Bidadari Angin Timur.
”Terserah
kau mau memanggil apa. Tapi kalau boleh aku lebih suka kau memanggilku
Jatilandak. Itu nama asliku. Itu pula namaku ketika kita pertama kali saling
mengenal ….”
Bidadari
Angin Timur terdiam. Dipelupuk matanya sekilas terbayang banyak hal dimasa lalu
yang terjadi antara dirinya dan pemuda dari negeri 1200 tahun silam itu. Gadis
ini akhirnya tersenyum.
”Aku juga
lebih senang memanggilmu dengan nama itu. Nah, sekarang kau saja yang duluan
bercerita bagaimana kau bisa jadi seorang Perwira Kerajaan Cirebon.”
Jatilandak
duduk menjeplok di tanah sementara Bidadari Angin Timur duduk di bangku panjang
terbuat dari tiga batang bambu yang sudah agak lapuk. Melihat bambu yang
diduduki melengkung Jatilandak berkata. ”Hatihati, kalau patah kau bisa
jatuh.”
Bidadari
Angin Timur cuma mengangguk.
Jatilandak
yang sekarang jadi Perwira Muda Kerajaan Cirebon dan bernama Tubagus
Putrakesuma, putra Luhmintari alias Purnama mengawali cerita ketika dia dan
Pendekar 212 Wiro Sableng bersama ibunya serta Rayi Jantra bertemu Walang
Sungsang alias Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang puteraputeri Prabu
Siliwangi dari Pajajaran. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh”).
”Saat itu
kami dalam satu urusan besar, mencari pembunuh nenek sakti jejadian Eyang Sepuh
Kembar Tilu. Urusan ini ada sangkut pautnya dengan dua buah dadu dari negeri
Cina yang disebut Dadu Setan serta satu tempat terkutuk bernama Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang tengah
mendirikan satu Kerajaan baru di pantai utara yang disebut Kesultanan Cirebon.
Mereka menawarkan pada Wiro jabatan Kepala Balatentara Kerajaan. Namun Wiro
menolak. Akhirnya mereka meminta diriku. Karena mendapat izin dari ibu dan
temanteman, aku ikut bersama mereka.
Tapi aku
tahu diri. Ilmu kepandaianku tidak ada apaapanya dibanding dengan Wiro. Karena
itu aku hanya mau menerima jabatan Perwira mengepalai satu dari dua pasukan
besar Kerajaan. Sejak satu minggu lalu aku bersama pasukan mengetahui
keberadaan Topeng Perak di kawasan ini. Kami mematamatai dan membuntuti lalu
menghadang mereka dekat Kali Pemali.” (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang
Pembunuh”).
”Cerita
hebat. Tidak sangka kau bisa jadi perwira.” Memuji Bidadari Angin Timur.
”Tugasku
berat. Banyak orang tidak menyukai berdirinya Kesultanan Cirebon.” Jatilandak
menghela nafas panjang. ”Sekarang giliranmu bercerita bagaimana kau bisa sampai
di tempat ini.” Jatilandak perhatikan wajah si gadis beberapa lama lalu
berkata. ”Terus terang aku melihat satu bayangan di balik wajah cantikmu. Aku
tahu itu bukan bayangan keletihan. Kalau aku boleh bertanya dan kau mau
berterus terang, ada ganjalan apa di dalam hatimu?”
”Ganjalan?
Tak ada ganjalan dalam hatiku.” Jawab Bidadari Angin Timur. Dia tutupi
kedustaannya ini dengan tersenyum. Lalu dia palingkan wajah, menatap ke arah
pesawahan dan Kali Pemali di kejauhan sana.
”Kalau
begitu ada sesuatu yang mengganggu jalan pikiranmu.”
Bidadari
Angin Timur menggigit bibir. Matanya masih menatap ke arah kejauhan.
”Kalau
saja kita bisa berbagi rasa, mungkin ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk
menolong. Atau mungkin antara kita dua bersahabat masih ada tabir penghalang
hingga tidak bisa berterus terang?”
Bidadari
Angin Timur masih diam. Seperti merenung berpikirpikir menyelami ucapan
Jatilandak. Setelah menghela nafas dalam gadis ini akhirnya berkata.
”Pikiranku
sedang kacau. Wiro tertimpa satu musibah besar ….”
”Wiro?
Musibah apa? Dimana dia sekarang?” tanya Jatilandak sambil menatap lekatlekat
ke wajah si gadis.
Bidadari
Angin Timur menuturkan kisah mulai sewaktu Wiro ditangkap karena dituduh telah
memperkosa dan membunuh cucu seorang Pangeran.
”Aku
tidak yakin dia melakukan hal seperti itu.” Kata Jatilandak.
”Dua
kakek yaitu Setan Ngompol dan Ki Tambakpati menemui Wiro di sebuah bukit dalam
keadaan pingsan. Mereka membawa Wiro ke sebuah gubuk dekat Kali Progo. Tapi
mereka tak mampu mengobati. Aku menemui dan melihat Wiro di tempat itu.
Keadaannya sangat mengenaskan. Dia menderita penyakit kelainan jalan darah.
Selain itu ada satu penyakit lain yang diindap Wiro. Menurut dua kakek sulit
disembuhkan …” Sampai di sini Bidadari hentikan ceritanya. Lagilagi dia
menatap kejauhan. Namun kali ini sepasang matanya yang bagus tampak
berkacakaca.
”Penyakit
apa?” tanya Jatilandak sambil memperhatikan air mata menggelinding jatuh di
pipi Bidadari Angin Timur.
”Wiro ….”
Bidadari Angin Timur tutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar
menahan tangis.
Goncangan
tubuh Bidadari Angin Timur karena menahan tangis membuat tiga batang bambu
lapuk yang didudukinya tibatiba berderak patah.
”Kraakk!”
Bidadari
Angin Timur terhuyung ke samping dan akan terjerembab di tanah kalau tidak
lekas dirangkul oleh Jatilandak. Tubuhnya terduduk di atas pangkuan dan
tenggelam dalam pelukan si pemuda. Jatilandak yang tidak menyangka akan berada
dalam keadaan seperti itu untuk beberapa lama duduk diam terpaku. Ingatannya
kembali pada saat ketika dia dan gadis itu bermesraan di sebuah mata air dan
sempat dipergoki Wiro. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Bendera Darah”).
Sebaliknya
entah sadar entah tidak Bidadari Angin Timur tidak pula berusaha bangkit dari
pangkuan atau melepas diri dari pelukan Jatilandak. Gadis ini ingat saatsaat
ketika Jatilandak menuturkan riwayat dirinya yang penuh duka kesedihan. (Baca
serial Wiro Sableng berjudul ”Api Cinta Sang Pendekar”).
Jatilandak
mengelus punggung Bidadari Angin Timur, membelai rambutnya lalu berbisik ke
telinga si gadis.
”Kuatkan
hatimu. Katakan penyakit apa yang diderita sahabat kita Wiro.”
Mendengar
ucapan Jatilandak pecehlah tangis Bidadari Angin Timur. Dua tangannya
digelungkan ke punggung sementara wajah didekapkan ke dada si pemuda.
Jatilandak
menunggu dengan dada berdebar hati terguncang.
Setelah
tangis Bidadari Angin Timur mereda dia kembali bertanya. ”Katakan, penyakit apa
yang diderita Wiro.”
Bidadari Angin
Timur menarik nafas panjang berulang kali sebelum menjawab. Wajahnya masih
disembunyikan di dada si pemuda. Lalu terdengar suaranya berucap.
”Wiro
kehilangan kemampuannya sebagai lakilaki….”
Kening
Jatilandak mengernyit.
”Maksudmu?”
”Dia
kehilangan kejantanannya …”
Wajah
Jatilandak berubah. Mata terpana menatap Bidadari Angin Timur. ”Bagaimana
mungkin? Apa yang terjadi?” tanya Jatilandak kemudian.
”Tidak
ada yang tahu bagaimana kejadiannya.” jawab Bidadari Angin Timur. ”Saat itu
pikiranku sangat kacau. Aku lari meninggalkan gubuk tepi Kali Progo itu….”
Untuk
beberapa lama Jatilandak tak bisa berkata apaapa.
Perlahanlahan
Bidadari Angin Timur turun dari pangkuan dan melepaskan pelukannya dipunggung
si pemuda. Gadis ini duduk di tanah membelakangi Jatilandak dengan wajah
ditundukkan.
”Kalau
betul apa yang kau ucapkan, ini satu malapetaka besar bagi Wiro. Seharusnya kau
tidak meninggalkan dirinya dalam keadaan seperti itu …” Jatilandak berkata
perlahan.
”Saat itu
aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku seolah berubah ingatan. Aku
lari dan lari. Tanpa tujuan. Aku tidak lagi memperdulikan keadaan diriku. Aku
juga tidak habis pikir bagaimana aku kemudian bisa terpesat sejauh itu dan
tahutahu sudah sampai di tepi Kali Pemali sewaktu kau dan Topeng Perak tengah
berhadaphadapan.”
”Kita
harus mencari Wiro. Kita harus menolongnya. Kau tahu dimana dia sekarang
berada?”
”Katakatanya
menyatakan ketulusan hati. Membuat diriku merasa bersalah.” Ucap Bidadari Angin
Timur dalam hati dan tundukkan kepala lalu menjawab. ”Aku tidak tahu dimana
Wiro berada saat ini. Selama beberapa hari ini aku dihantui oleh rasa gelisah,
sedih, kecewa, dan juga marah. Sepertinya dunia ini bukan milikku lagi. Itu
sebabnya tadi aku menghajar Topeng Perak dan anak buahnya secara kalap. Aku
merasa itu salah satu usaha untuk melepas tekanan batin yang aku derita …”
”Sahabat,
kau tidak boleh menurutkan kata hati serta jalan pikiran keliru seperti itu.
Kau bisa sakit …” Jatilandak memegang lengan Bidadari Angin Timur.
”Terima
kasih. Aku mendengarkan nasihatmu.” jawab Bidadari Angin Timur.
”Lalu apa
yang akan kau lakukan. Kemana kau akan melanjutkan perjalanan?”
Bidadari
Angin Timur menggeleng. Wajahnya tampak kosong.
”Aku
tidak tahu mau berbuat apa dan mau pergi kemana. Aku seperti seekor semut di
tengah gurun pasir …”
”Tidak,
kau bukan seekor semut di tengah gurun pasir. Kau tetap seorang Bidadari di
bumi Tuhan yang indah ini …”
Bidadari
Angin Timur angkat kepalanya, menatap Jatilandak dengan berlinang air mata.
Pemuda ini ulurkan tangan mengusap tetesan air mata di kedua pipi gadis itu.
”Kalau
kau tidak tahu akan berbuat apa dan tidak tahu mau pergi kemana, ikutlah
bersama aku ke Cirebon. Aku akan memperkenalkanmu pada Nyai Rara Santang,
saudara perempuan Sultan. Mudahmudahan kalian berdua bisa bersahabat.”
Bidadari
Angin Timur tersenyum namun bersamaan dengan itu derai air mata semakin banyak
jatuh meluncur di pipinya. Dalam hati dia berkata. ”Mungkin memang dia, mungkin
memang pemuda ini satusatunya yang akan menjadi tempat aku berlindung. Dia
begitu penuh perhatian …”
Perlahanlahan
Bidadari Angin Timur berdiri, melangkah lalu naik ke atas kuda milik
Jatilandak. Dia menatap pemuda itu sebentar lalu berkata.
”Aku ikut
bersamamu ke Cirebon.”
Mengira
si gadis akan pergi meninggalkannya begitu saja, ketika mendengar ucapan itu
tidak menunggu lebih lama lagi Jatilandak langsung melesat ke punggung salah
seekor kuda yang ada di tempat itu. Tak lama kemudian kedua orang itu memacu
kuda masingmasing ke arah utara. Jatilandak di sebelah depan.
************************
RATU
DUYUNG hentikan lari dan menatap ke dalam cermin.
”Aneh …”
katanya.
”Apanya
yang aneh?” tanya Gondoruwo Patah Hati yang berdiri di sampingnya bersama Naga
Kuning.
Ratu
Duyung melintangkan cermin sakti di depan ke dua orang itu. ”Lihat ke dalam
cermin. Di arah utara kini kelihatan tujuh titik. Tiga di sebelah kanan, empat
di sebelah kiri. Jarak masih terlalu jauh. Cermin sakti tidak mampu
memperlihatkan ujud sebenarnya dari tujuh titik itu.”
”Yang di
sebelah kanan aku bisa menduga. Itu Wiro dan mahluk dari alam gaib.” Kata Naga
Kuning pula. ”Lalu siapa titik yang ketiga?”
”Mungkin
sekali Purnama yang tengah mengikuti Wiro. Kalian bisa melihat, titik ketiga
ini selalu berada di belakang dua titik lainnya,” menyahuti Gondoruwo Patah
Hati.
”Bagaimana
dengan empat titik di sebelah kiri. Dua berwarna biru, dua berwarna hitam,” Naga
Kuning berkata sambil memperhatikan cermin sakti yang dipegang Ratu Duyung.
”Salah
seorang dari dua titik biru ini aku rasa Bidadari Angin Timur. Siapa satunya
sulit aku menduga. Dua titik hitam mungkin sekali dua ekor kuda yang mereka
tunggangi. Walau mereka samasama berada di utara agaknya masingmasing punya
tujuan yang berbeda.” Ratu Duyung berkata sambil kerahkan tenaga dalam,
berusaha memperjelas ujud titik di dalam cermin namun tak berhasil.
”Kita
akan terus mengejar Wiro atau mengikuti Bidadari Angin Timur?” bertanya Naga
Kuning.
”Kita
tetap mengejar Wiro. Ada satu hal yang perlu aku beritahukan. Dia berubah arah.
Dia tidak menuju Gunung Gede tapi ke arah pantai utara.” Ratu Duyung simpan
cermin saktinya lalu melesat lebih cepat mendahului si nenek dan si bocah
berambut jabrik. Disamping tidak dapat melihat jelas ujud orangorang dalam
cermin, gadis bermata biru ini juga merasa gelisah. Apa benar titik ketiga di
sebelah kanan cermin adalah Purnama?.
*********************
LIMA
TIUPAN
angin terasa semakin kencang. Deru ombak terdengar bertambah keras pertanda
lautan luas yang membentang di sebelah utara semakin dekat. Di langit cahaya
benderang sang surya mulai memudar memasuki awal petang. Tak selang berapa lama
Teluk Losari kelihatan terhampar membentuk satu pemandangan indah. Di samping
bukit batu yang ikut membentuk tepian teluk, seekor harimau putih besar bermata
hijau berlari melesat luar biasa cepat. Di atas punggung binatang ini duduk
seorang pemuda berambut gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Murid Sinto Gendeng ini hanya mengenakan celana putih bertelanjang
dada. Siapapun yang melihat sulit mempercayai. Mana ada ceritanya manusia
menunggang harimau! Dan seekor harimau putih langka pula!
Di satu
bagian tebing bukit batu yang sempit dan cukup terjal murid Sinto Gendeng tepuk
tengkuk harimau besar putih bermata hijau.
”Datuk
Rao sahabatku berhentilah. Tunggu aku disini sampai aku menemuimu kembali …”
Datuk Rao
Bamato Hijau, begitulah nama harimau putih besar bermata hijau tunggangan Wiro
hentikan lari. Kepala merunduk ke tanah berbatubatu, ekor dikibaskibas dan
dari mulut binatang ini keluar suara menggereng perlahan. Harimau inilah yang
terlihat dalam cermin sakti Putri Duyung dalam bentuk titik putih berkedipkedip.
Seperti
diketahui Datuk Rao Bamato Hijau adalah seekor harimau gaib sakti peliharaan
datuk Rao Basaluang Ameh, seorang tua di tanah Minang yang konon telah menemui
kematian seratus tahun silam. Karena kesaktiannya yang luar biasa orang
menganggap dirinya setengah roh setengah dewa.
Selain
memberi ilmu kesaktian pada Wiro melalui Kitab Putih Wasiat Dewa, Datuk Rao
Basaluang Ameh juga menjadikan harimau gaib peliharaannya sebagai sahabat dan
sekaligus pelindung Pendekar 212 Wiro Sableng. Selama ini Wiro jarang meminta
bantuan binatang gaib sakti itu. Namun ketika dalam kacau pikiran dan baru saja
sembuh dari penyakit kelainan jalan darah yang dideritanya, sewaktu
meninggalkan rumah panggung di tepi Kali Progo murid Sinto Gendeng ingat pada
sang datuk.
Bagaimana
sampai Wiro bisa bersama sang harimau sakti? Dalam perjalanannya di satu tempat
Wiro hentikan lari, duduk bersila di tanah, menutup mata mengheningkan cipta
sambil mulutnya berucap.
”Sahabatku
Datuk Rao Bamato Hijau datanglah. Aku perlu bantuanmu.”
Hanya
berselang beberapa lama di tempat itu tibatiba muncul kabut putih. Di dalam
kabut itu tampak kilatan dua cahaya hijau dan samarsamar muncul satu sosok
putih besar disertai suara menggereng. Walau suara gerengan ini halus perlahan
namun cukup membuat tanah dan bebatuan bergetar.
Perlahanlahan
kabut tipis sirna.
Wiro
membuka kedua matanya. Begitu melihat sosok harimau putih besar telah berdiri
dihadapannya dia segera bangkit, merangkul leher dan mengusap kepala binatang
yang muncul secara gaib ini lalu berkata.
”Datuk
sahabatku, terima kasih kau mau datang.”
Harimau
putih besar menggereng halus seolah bertanya apa yang bisa diperbuatnya lalu
ulurkan lidah menjilati tangan sang pendekar.
”Datuk,
aku perlu pertolonganmu. Pikiranku sedang kacau. Aku bermaksud menemui Eyang
Sinto Gendeng di Gunung Gede. Tapi ada sesuatu yang harus aku ambil di Teluk
Losari di arah utara. Aku ingin cepatcepat sampai dan berada di dua tempat
itu. Apakah kau mau mengantarkan diriku?”
Sebagai
jawaban harimau putih besar rundukkan tubuh ke tanah.
Wiro
segera saja naik ke punggung binatang gaib itu.
”Wusss!”
Sekali
berkelebat harimau besar sudah melesat jauh belasan tombak.
************************
DICERITAKAN
sebelumnya ketika Wiro meninggalkan rumah panggung tempat dirinya dirawat,
secara diamdiam Purnama mengikuti. Namun gadis dari alam 1200 tahun silam ini
terhalang dengan kemunculan mahluk tanpa wajah yang memaksa ikut bersamanya.
Purnama menolak. Mahluk tanpa wajah menyerang dan berhasil membuat gadis itu
terpendam di dalam tanah. Untung Setan Ngompol dan Ki Tambakpati menemui dan
menolongnya. Purnama tidak habis mengerti mengapa mahluk tanpa wajah itu selalu
berniat mencelakai dirinya. Apa karena keterkaitannya dengan Wiro?
Sewaktu
Purnama melanjutkan mengejar Pendekar 212, dia merasa heran karena jarak orang
yang dikejar kini berada setengah harian di depan sana. Hal ini diketahuinya
setelah dia menerapkan ilmu kesaktian bernama Nafas Sepanjang Badan.
”Aneh,
kalau dia berlari biasa mengandalkan ilmu kesaktian, bagaimana mungkin jaraknya
denganku kini terpisah begitu jauh?” Purnama hentikan lari. Untuk kedua kalinya
gadis ini kerahkan Ilmu Nafas Sepanjang Badan.
”Aku
mencium ada bau mahluk lain bersama Wiro. Bukan manusia, bukan juga seekor kuda
yang mungkin jadi tunggangannya. Lalu mahluk apa ini? Jin? Setahuku Wiro tidak
memelihara mahluk semacam itu. Aku harus mencari tahu.”
Cukup
lama Purnama merenung. Dia tidak dapat memastikan, dia tidak mampu memantau
keberadaan harimau putih gaib yang jadi tunggangan Pendekar 212.
”Aku
harus melipat gandakan Ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam agar ilmu lari
Segara Angin yang kumiliki bisa dua kali lebih cepat! Aku harus meminta
tambahan kekuatan gaib dari alam roh seribu dua ratus tahun silam.”
Setelah
menghirup udara dalamdalam lalu melepas nafas panjang, Purnama pergunakan ilmu
lari Segara Angin. Karena sekali ini dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan
tenaga dalam dua kali lipat ditambah masuknya kekuatan gaib alam roh ke dalam
tubuhnya maka sosok gadis ini melesat lenyap seolah berubah jadi bayangbayang.
Meskipun demikian, setelah mengejar cukup lama Purnama hanya mampu
mempersingkat jarak seperempat hari perjalanan.
”Ilmu
Segara Angin tidak dapat mengejarnya. Kalau sampai matahari terbenam aku tidak
dapat mempersingkat jarak, bisabisa aku akan kehilangan jejak …” Untuk kedua
kalinya gadis dari Latanahsilam ini hentikan lari. Dia mendongak ke langit,
pejamkan mata dan hirup udara dalamdalam. ”Apakah aku tidak salah menduga?
Wiro bergerak ke utara. Ke arah pantai. Jika dia terus menerus bergerak lurus …
Astaga! Dia menuju Teluk Losari tempat kediamanku! Mengapa kesana? Bukan ke
Gunug Gede?” Dada si gadis berdebar. ”Tidak mungkin dia mencariku. Dia tahu
waktu dia meninggalkan rumah panggung aku masih berada di tempat itu.” Jantung
si gadis berdetak keras. ”Hanya ada satu cara untuk bisa mengejarnya. Aku harus
kembali ke alam roh. Tapi apakah aku tidak akan terjerat di alam sana?
Bagaimana kalau aku tidak dapat lagi kembali ke bumi?” Purnama merenung
bimbang. Akhirnya gadis dari alam 1200 tahun silam ini berkata dalam hati. ”Aku
serahkan semua pada Yang Maha Kuasa. Tuhanku sama dengan Tuhan Wiro. Masakan
Dia tidak akan menolong diriku?”
Purnama
susun sepuluh jari di atas dada, telapak saling dirapatkan. Lalu dua tangan
diangkat ke atas. Dua tangan bergetar keras. Ketika dua tangan memancarkan
cahaya kebiruan saat itu pula tubuhnya lenyap. Yang tertinggal hanya cahaya
ditebari ratusan percikan bunga api biru.
Mendadak
dari arah langit sebelah utara tibatiba wuuss! Melesat cahaya tiga warna.
Merah, biru, dan hijau. Namun Purnama telah terlebih dulu lenyap masuk ke dalam
alam roh. Tebaran ratusan percikan bunga api berwarna biru yang terkena
hantaman tiga cahaya menggelegar dahsyat. Tanah bergetar, pepohonan berderak.
Rantingranting berpatahan dan dedaunan rontok luruh!
Jauh di
atas langit, satu sosok berpakaian selempang kain putih tersentak dua langkah
ke belakang. Rambut putih awutawutan berjingkrak ke atas seperti mau
terserabut tanggal. Sepasang mata mendelik marah. Mulut mengutuk menyerapah.
”Kurang
ajar. Gadis itu keburu masuk ke alam roh! Kalau saja jin peliharaanku Rajip
Kupal tidak dimusnahkan oleh keparat Deewana Khan gadis itu tak akan bisa
lolos. Kepingan emas tongkat sakti milikku ada padanya. Berbahaya, sangat
berbahaya. Aku harus dapat merampasnya …”
************************
DI SATU
telaga kecil Ratu Duyung hentikan lari lalu keluarkan cermin bulat sakti. Kalau
sebelumnya dia melihat lima titik di dalam cermin yaitu dua di sebelah kiri dan
tiga di arah kanan, kini tinggal tiga titik yang terlihat yaitu yang di sebelah
kanan. Tiga titik ini makin lama makin meredup kecil.
”Wiro,
mahluk gaib, dan Purnama …” ucap gadis bermata biru ini dalam hati. Dia menatap
pada Naga Kuning si bocah berambut jabrik dan Gondoruwo Patah Hati si nenek
berwajah setan.
”Dengan
kecepatan lari yang kita miliki saat ini, kita tidak mungkin mengejar Wiro.
Kita harus mencari akal. Aku harus melakukan sesuatu …” memberitahu Ratu Duyung
pada dua sahabatnya itu.
”Dengan
ilmu kesaktian yang Ratu miliki, apakah Ratu hendak pergi mendahului kami?”
bertanya Gondoruwo Patah Hati.
Ratu
Duyung menggeleng. ”Kesaktianku kali ini tidak dapat menandingi Wiro. Entah
ilmu kesaktian apa yang dipergunakannya. Aku ingat batu sakti Batu Mustika
Angin Laut Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul pernah meminjamkan batu mustika
sakti itu pada Nyi Roro Manggut sewaktu menyelamatkan Wiro yang terjebak racun
maut dalam menyelidiki bangunan istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. (Baca serial
Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh”). Kalau aku bisa memiliki batu sakti itu,
dalam beberapa kejapan mata pasti aku bisa mengejar Wiro.” Ratu Duyung
menghelas nafas dalam. ”Mungkinkah Nyai Roro mau meminjamkan batu sakti itu?”
Ratu Duyung bimbang sesaat. Hati kecilnya berkata. ”Aku harus menempuh cara
paling cepat untuk dapat menghubungi Nyai Roro. Aku harus bersentuhan dengan
air. Kebetulan ada telaga …”
Ratu
Duyung berpaling pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. ”Sahabat berdua,
kalian tunggu aku di sini.”
”Memangnya
kau mau kemana?” tanya Naga Kuning.
”Ratu,
kau mau berbuat apa?” si nenek ikut bertanya.
Tanpa
menjawab pertanyaan dua orang itu Ratu Duyung melompat masuk ke dalam telaga.
Dalam sekejapan tubuhnya lenyap di bawah permukaan air.
”Eh,
mengapa dia masuk ke dalam telaga?” ujar Naga Kuning. ”Kalau cuma berniat
mandi, mengapa Ratu Duyung tidak mengajakku? Nek, kau tunggu di sini. Aku mau
ikutan mandi,” kata Naga Kuning sambil melangkah mendekati telaga.
”Bocah
geblek!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil jambak rambut jabrik Naga Kuning.
”Jangan kau berani mengganggu apa yang dilakukan gadis itu! Aku yakin Ratu
Duyung tengah melakukan sesuatu! Bukan mandi!”
”Kau
selalu cemburu. Kalau tidak percaya padaku, ikutan saja mandi sekalian. Tapi
ada syaratnya. Sebelum masuk ke dalam telaga kita berdua harus samasama
menanggalkan pakaian!” kata Naga Kuning pula lalu tertawa gelakgelak.
Gondoruwo
Patah Hati yang nama aslinya Ning Intan Lestari dan berpenampilan seorang gadis
cantik dan sebenarnya adalah kekasih Naga Kuning menyeringai. Tangan kanan
masih menjambak rambut Naga Kuning, kini tangan kiri menjewer telinga bocah itu
dan memuntirnya hingga Naga Kuning terpekik.
”Bocah
konyol,” berkata si nenek. ”Lain waktu kalau urusan sudah selesai aku terima
tantanganmu! Aku bawa kau masuk mandi ke dalam telaga. Akan aku gosok tubuhmu
mulai dari ubunubun sampai ke ujung kaki. Sampai kulitmu terkelupas!”
”Hik …
hik … hik …” Naga Kuning tertawa cekikikan lalu wajahnya ditempel dan
diusapkannya ke perut Gondoruwo Patah Hati hingga nenek ini terpekik kegelian
dan lepaskan jambakan serta jeweran.
Tibatiba
di langit dari arah selatan melesat sebuah benda bercahaya biru terang. Di atas
telaga benda ini menukik turun, berputar tiga kali lalu melesat masuk ke dalam
air.
”Benda
apa tadi itu …?” ucap Naga Kuning.
Gondoruwo
Patah Hati tidak menyahut. Dia pegangi perutnya yang masih terasa geli.
Tibatiba dari dalam telaga melesat keluar sosok Ratu Duyung. Dipertengahan dadanya
tampak ada satu benda bercahaya biru terang. Dengan wajah berseri dia berkata
memberi tahu.
”Aku
berhasil mendapatkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dari Nyai Roro Kidul.
Kalian berdua lekas pegang tanganku kiri kanan. Dalam beberapa kejapan mata
kita bisa sampai di tempat dimana Wiro berada.”
Baru saja
ratu Duyung keluarkan ucapan tibatiba dilangit muncul satu bayangan putih.
Bersamaan dengan itu melesat cahaya tiga warna.
”Awas
serangan gelap!” Gondoruwo Patah Hati berteriak.
”Mahluk
tanpa wajah!” teriak Ratu Duyung. ”Lekas menyingkir!”
Naga
Kuning melompat ke kiri sementara Gondoruwo Patah hati bergerak ke kanan.
Keduanya samasama mengangkat tangan ke atas sambil kerahkan tenaga dalam
penuh. Gondoruwo Patah Hati lepaskan pukulan sakti yang disebut Pukulan Batu
Naroko sedang Naga Kuning menghantamkan pukulan Naga Murka Merobek Langit.
Ditempatnya
berdiri Ratu Duyung keluarkan cermin sakti, ditengadahkan ke langit sedang
tangan kanan melepas pukulan sakti yang disebut Genta Biru Menatap Langit.
Dari
dalam cermin sakti berkiblat cahaya putih menyilaukan. Dari tangan kanan sang
Ratu melesat cahaya biru berbentuk kipas terbuka disertai lapatlapat terdengar
suara genta aneh.
”Bumm ….
bummm …. bumm!”
Tiga
ledakan keras berdentum di udara terbuka.
Di langit
cahaya merah, kuning, dan biru tercabikcabik, membentuk kepulan asap dan
musnah. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati jatuh terduduk di tanah. Wajah
masingmasing tampak pucat. Untungnya mereka tidak mengalami cidera.
Ratu
Duyung merunduk setengah berlutut. Mulut merapal mantra sakti.
”Gaib
atau nyata kembalilah ke tempat asalmu!”
Habis
berucap Ratu Duyung meniup ke udara. Selarik cahaya biru pekat dan angker
melesat. Sesaat kemudian di atas langit terdengar suara raungan aneh disertai
sapuan satu cahaya kuning.
”Sahabat
berdua kita harus segera tinggalkan tempat ini sebelum mahluk jahanam itu
menyerang lagi!” kata Ratu Duyung. Lalu dia pegang lengan kiri Gondoruwo Patah
Hati dan cekal tangan kanan Naga Kuning. Sekali dia menghentakkan kaki kanan ke
tanah maka laksana terbang ke tiga orang itu melesat ke utara.
”Ratu!
Jangan tinggitinggi! Jangan kencangkencang! Aku gamang. Bisa
terkencingkencing! Ingat waktu kau membawaku mencebur jurang di Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian?!” Teriak Naga Kuning. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
”Kematian Kedua”).
”Anak
konyol! Kau berisik saja! Kalau mau kencing, kencing saja!” berteriak Gondoruwo
Patah Hati. ”Syukursyukur ada setan lewat. Biar dipencet kantong menyanmu!”
Naga
Kuning yang memang kegamangan pejamkan kedua mata dan tekap bagian bawah celana
hitamnya. Dasar bocah nakal mulutnya berucap menyahuti katakata si nenek.
”Nek,
kalau aku kencing beneran nanti kau yang nyebokin ya?!”
Gondoruwo
Patah Hati pencongkan mulut lalu memaki. ”Anak kurang ajar! Enak saja mulutmu
bicara!”
*********************
ENAM
Langit di
atas Teluk Losari disaput cahaya kuning kemerahan sinar sang surya yang tengah
menggelincir menuju ufuk tenggelamnya. Di lamping bukit batu yang membujur dari
barat ke arah timur membentuk sebagian tepian teluk, Purnama melihat sosok
Pendekar 212 melangkah cepat, sesekali melompat di atas bebatuan. Saat
menjelang matahari tenggelam itu pemandangan di teluk indah sekali. Namun
Purnama sama sekali tidak memperhatikan hal itu. Pikirannya serta mata
dipusatkan pada Pendekar 212 yang tengah diikutinya.
”Tempat
kediamanku di atas bukit. Agaknya Wiro tidak menuju ke sana.” Purnama terus
menguntit dan memperhatikan. Tadinya dia ingin berteriak memanggil pemuda itu.
Namun dia kemudian memutuskan untuk mengikuti secara diamdiam. Saat itu gadis
dari alam 1200 tahun silam ini telah keluar dari alam roh dan kembali membentuk
diri dalam ujud manusia biasa.
Di satu
celah bebatuan sosok Wiro lenyap. Purnama berkelebat cepat mengejar. Namun gadis
ini hampir terpekik keras ketika tibatiba di hadapannya entah dari mana
datangnya telah berdiri seekor harimau putih besar. Empat kaki terpentang kokoh
di atas batu bukit. Kepala agak merunduk. Sepasang matanya yang hijau menatap
tak berkesip. Dari mulut keluar suara gerengan halus. Purnama dapat merasakan
bagaimana gerengan sangat perlahan itu membuat bukit batu yang dipijaknya
terasa bergetar. Harimau putih ini pasti memiliki kesaktian luar biasa!
Purnama
tegak tak bergerak. Bahkan bernafaspun dia seolah tertahan. ”Aku memang tidak
lama diam di tempat ini. Tapi tak pernah ada harimau berkeliaran. Ini bukan
binatang biasa. Janganjangan harimau putih ini peliharaan Wiro. Hem … aku tahu
sekarang ini rahasianya. Pasti mahluk ini yang membawa Wiro laksana kilat ke
tempat ini.”
Walau
terasa menyeramkan namun Purnama melihat harimau putih bermata hijau tidak
menunjukkan sikap buas, apalagi hendak menyerang menerkam dirinya. Bahkan
sesaat kemudian binatang ini merundukkan badan dan berbaring di atas batu menyisakan
jalan tidak seberapa lebar di sisi kanan. Sementara di sebelah kiri menjulang
dinding batu yang tinggi dan terjal. Di bawah sana terbentang Teluk Losari
dengan ombak bergulung menderu, membentur dasar lamping batu, menimbulkan suara
debur gemuruh tiada henti. Dari tempatnya berdiri Purnama bisa melihat celah
batu dimana tadi Wiro menyusup masuk dan lenyap.
”Aku tak
pernah menyelidik kawasan ini. Agaknya ada satu rongga batu di bawah sana.
Mungkin sebuah goa. Aku harus kesana, aku harus segera menemui Wiro. Tapi
harimau putih besar itu menghadang jalan. Aku bisa saja melompat diatasnya.
Tapi … apakah dia tidak akan menyerangku?”
Purnama
maju beberapa langkah. Dia menatap harimau besar yang sejak tadi memperhatikan
dirinya dengan sepasang matanya yang hiaju. Gadis ini berlutut dua langkah di
hadapan harimau putih hingga kepala mereka berada di ketinggian yang sama.
Purnama berusaha menahan rasa dingin ditengkuknya yang merinding.
”Harimau
putih, aku tahu kau sahabat Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Aku juga
sahabat Wiro. Berarti kita berdua juga adalah sahabat. Jangan kau menaruh
sangka buruk. Aku perlu menemui Wiro sekarang juga. Aku harus menyerahkan
sesuatu padanya. Aku perlu bicara dengan dia. Harap kau mau memberi aku lewat.”
Perlahanlahan
Purnama luruskan tubuh lalu selangkah demi selangkah dia berjalan di sisi kanan
harimau putih. Pada saat dia tepat berada di samping binatang ini tibatiba
harimau besar menggereng halus dan bangkit berdiri. Purnama merasa nafasnya
terbang. Terlebih ketika harimau itu panjangkan leher dan membuka mulut
lebarlebar.
”Celaka,
kalau binatang ini menyerangku apakah aku harus melawan?” Purnama takut dan
bingung.
Harimau
putih membuka mulut lebarlebar, ulurkan lidah lalu merunduk menjilati tangan
kiri si gadis. Purnama melepas nafas lega. Dengan tangan kanannya dia usapusap
bagian kepala diantara dua mata harimau seraya tundukkan kepala dan berucap
perlahan.
”Aku
berterima kasih kau mau bersahabat denganku …”
Harimau
putih menggereng perlahan. Purnama usap leher binatang ini lalu menindak dua
langkah. Pada langkah ketiga dengan cepat dia membuat lompatan, melesat
kebagian bawah lamping bukit batu yang ada celahnya dimana tadi Wiro terlihat
menyusup masuk dan lenyap.
Apa yang
diduga Purnama ternyata benar. Diantara dua buah batu yang membentuk celah
terdapat sebuah goa. Pada jarak enam langkah dari mulut goa di sebelah dalam
lorong goa membelok ke kiri. Di bagian ini hawa terasa agak hangat karena angin
yang bertiup dari arah teluk tidak langsung masuk. Selain itu bagian dalam goa
yang seharusnya gelap tampak ada cahaya cukup terang. Dengan berdebar Purnama
meneruskan langkah melewati belokan goa.
Begitu
melewati belokan dan memandang ke depan, gadis ini keluarkan suara tercekat dan
cepat hentikan langkah. Wajahnya mendadak berubah merah dan panas. Tubuh
bergetar dan jantung berdebar keras. Seharusnya dia cepat bersurut mundur,
paling tidak memalingkan kepala. Namun dua hal itu tidak satupun mampu
dilakukan. Sepasang mata terpentang lebar.
Ujung goa
merupakan sebuah ruangan berbentuk segitiga. Di salah satu dinding goa terdapat
satu batu sebesar kepala memancarkan sinar aneh. Sinar dari batu inilah yang
membuat ruangan itu menjadi cukup terang. Di tengah ruangan Pendekar 212 Wiro
Sableng berdiri tanpa pakaian, membelakangi Purnama. Keberadaan sang pendekar
seperti inilah yang membuat Purnama tercekat hentikan langkah. Di lantai goa
tampak celana putih kotor yang sebelumnya dipakai Wiro. Lalu ada satu kantong
lain berwarna biru.
Tibatiba
Wiro membalikkan tubuh.
Purnama
terperangah. Dua bola mata membesar. Lutut terasa goyah dan dada bergoncang
keras. Aliran darah dalam tubuh mengalir deras.
”Purnama,
sudah lama kau berdiri di situ?” Wiro bertanya. Suaranya terdengar datar.
Purnama
tak dapat menjawab. Sepasang matanya masih tidak berkedip memandangi sosok
telanjang sang pendekar. Mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Saat itulah
gadis ini sempat melihat ada satu tanda putih di bagian bawah pusar Wiro.
Purnama
sadar. Perlahanlahan gadis ini tundukkan kepala dan mundur satu langkah. Dia
merasa berdosa telah memergoki dan melihat Wiro dalam keadaan tidak berpakaian
seperti itu. Namun dia juga berpikir bertanyatanya dalam hati. Bagaimana
mungkin Wiro bersikap setenang itu. Sama sekali merasa kaget atau malu dan
berusaha menutupi aurat atau membalikkan tubuh. Malah dia mengajukan pertanyaan
pula! Ada satu kelainan dalam sikap dan jalan pikirannya. Dia seperti seorang
anak kecil yang tidak memiliki rasa malu ketika kedapatan dalam keadaan
telanjang. Apakah ini akibat dari penyakit aneh yang dideritanya? Kehilangan
kejantanan?
Seperti
tidak mengacuhkan Purnama perlahanlahan Wiro membungkuk. Dari dalam kantong
biru dia mengeluarkan sehelai baju dan sepotong celana panjang putih. Tenang
saja dihadapan Purnama Wiro mengenakan baju dan celana itu. Dari kantong kain
Wiro kemudian mengeluarkan pula beberapa benda lalu disimpan di dalam saku
kecil dibalik pinggang celana. Sesaat Wiro berpaling, menatap ke arah Purnama.
Lalu dia membungkuk disudut lantai. Pada salah satu bagian lantai terdapat satu
gundukan batu cukup besar. Wiro dorong gundukan batu. Ternyata gundukan batu
ini bisa digeser ke samping. Di lantai terlihat sebuah lobang. Dari dalam
lobang ini Wiro keluarkan sebuah benda. Purnama yang terus memperhatikan
melihat benda yang dipegang Wiro adalah sebuah kitab tebal terbuat dari daun
lontar.
”Kitab
Seribu Pengobatan!” ucap Purnama dalam hati. ”Jadi goa ini adalah tempat
rahasia dia menyimpan barangbarang berharga miliknya. Luar biasa. Goa ini
dekat sekali dengan tempat kediamanku di atas sana. Tapi aku tidak pernah
mengetahui. Sejak kapan hal ini terjadi?”
”Wiro,
aku sengaja mengikutimu sampai kesini ….”
”Aku
tahu. Aku dalam perjalanan ke Gunung Gede. Aku mampir dulu kesini untuk
mengambil kitab ini dan beberapa barang berharga milikku yang kusimpan di goa
ini…”
”Wiro,
ada sesuatu yang harus aku serahkan padamu. Ini menyangkut perkara besar yang
terjadi beberapa waktu belakangan ini.”
”Perkara
apa?” tanya Wiro.
”Malapetaka
perkosaan atas diri puluhan gadis. Munculnya mahlukmahluk aneh yang bukan
mustahil menjadi dalang dari semua bencana ini, termasuk penyakit yang kini kau
derita…”
”Aku
tidak sakit. Aku merasa sehatsehat saja. Bukankah sewaktu di rumah panggung di
dekat Kali Progo kau dan para sahabat telah menyembuhkan diriku?”
”Betul,
tapi menurut Setang Ngompol dan Ki Tambakpati kau masih mengidap satu penyakit
lain …”
”Penyakit
apa?”
Purnama
tak sanggup memberikan jawaban.
”Kau tak
usah menerangkan. Aku sudah tahu. Ki Tambakpati pernah mengatakan padaku.
Seseorang telah menganiaya diriku hingga aku kehilangan kejantanan. Aku tidak
berharga lagi hidup sebagai seorang lelaki …”
”Wiro,
aku harap kau tidak berputus asa. Di dunia ini tidak ada penyakit yang tidak
ada obatnya. Selain itu kita sudah punya dugaan siapa manusia jahat yang telah
melakukan perbuatan terkutuk itu. Dia telah memperkosa dan membunuh puluhan
gadis. Kami menduga ada sesuatu yang lebih besar di balik semua perbuatannya
itu. Tidakkah kau punya niat untuk mencari dan membuat perhitungan dengan orang
yang telah mencelakai dirimu?”
Wiro
masukkan Kitab Seribu Pengobatan ke dalam kantong biru. Dia memperlihatkan
sikap hendak melangkah ke mulut goa, siap meninggalkan tempat itu.
Dari
balik pakaian birunya Purnama cepatcepat mengeluarkan dua buah kitab yang
didapatnya dari Deewana Khan. Satu berbentuk utuh tapi kosong tak ada tulisan.
Satunya hangus bekas terbakar dan masih menyisakan beberapa baris tulisan.
”Wiro,
seorang asing bernama Deewana Khan menyerahkan dua kitab ini padaku. Katanya
dia muncul dari alam kematian atas kehendak para Dewa. Kitab yang terbakar ini
adalah asli Kitab Jagat Pusaka Dewa sedang yang masih utuh merupakan salinan.
Kitab utuh ini tak bisa dibaca isinya dengan mata biasa. Untuk bisa membaca isi
dan petunjuk didalamnya seseorang harus lebih dahulu bersamadi selama seratus
hari. Menurut orang asing itu sebenarnya kitab yang asli akan diserahkan pada
seseorang pemuda. Namun pemuda itu telah tersesat dan berada dibawah pengaruh
kekuasaan insan jahat. Pemuda itu telah menimbulkan malapetaka terkutuk di
negeri ini. Deewana Khan mengatakan insaninsan jahat itu hanya bisa dibasmi
berdasarkan petunjuk rahasia yang ada dalam kitab yang terbakar …”
”Orang
bernama Deewana Khan itu, apakah kau sempat menyelidik siapa dia adanya?”
bertanya Wiro.
Purnama
menggeleng. ”Dia orang asing. Mungkin dari India. Fasih berbahasa negeri ini.
Aku punya dugaan dia tahu latar belakang semua kejadian keji ini. Yang penting
dia punya niat baik ….”
”Kitab
itu sudah hangus terbakar, bagaimana bisa mendapatkan petunjuk?”
Purnama
menatap Wiro sesaat. Gadis ini merasa lega. Dengan mengajukan pertanyaan
seperti itu merupakan satu pertanda bahwa jalan pikiran sang pendekar tidak
keseluruhannya bermasalah.
”Kitab
ini memang sudah hangus terbakar. Namun masih tersisa beberapa baris tulisan.
Kau mampu membacanya. Wiro, menurut orang asing itu hanya dirimu yang mampu
membuka petunjuk rahasia dalam kitab. Wiro kita harus menyelematkan banyak
orang yang akan jadi korban perkosaan dan pembunuhan. Selama ini telah puluhan
gasis jadi korban. Selain itu yang lebih penting adalah mengobati dirimu …”
Wiro
terdiam beberapa lama lalu berkata.
”Purnama,
aku tidak mau terlibat dengan semua urusan yang kau katakan. Aku harus menemui
guruku Eyang Sinto Gendeng untuk menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan. Selain
itu aku sudah memutuskan untuk menjadi pertapa.”
Purnama
gelengkan kepala berulang kali. Sepasang matanya mulai berkacakaca.
”Wiro
setiap saat kau bisa menemui gurumu. Jika kau memang ingin jadi pertapa kapan
saja kau bisa melakukan. Tapi ada satu hal penting yang lebih dulu harus kau
lakukan. Menyelamatkan puluhan gadis dari kemungkinan bencana pemerkosaan dan
pembunuhan. Menyelamatkan rimba persilatan tanah Jawa dari kehancuran. Kau ….
kau menghadapi semua ini dengan keputusasaan. Apakah gurumu Eyang Sinto Gendeng
pernah mengajarkan hal itu padamu? Kau masih hidup. Tapi kau sengaja mencari
mati dalam kehidupanmu. Kau bunuh diri secara perlahanlahan Wiro. Kau harus
tahu Wiro, tidak ada hal paling memalukan bagi seorang pendekar selain bunuh
diri!”
Murid
Sinto Gendeng tegak tak bergerak di ruang batu berbentuk segi tiga yang
diterangi cahaya memancar dari batu aneh di dinding. Tempat itu mulai terasa
sejuk karena diluar sang surya telah tenggelam dan malam merayap datang.
Dengan
berurai air mata Purnama mendekati Wiro, memegang lengan kiri pemuda itu lalu
berkata dengan suara bergetar.
”Tadi aku
bertanya. Tidakkah kau punya niat untuk membuat perhitungan dengan orang yang
telah mencelakai dirimu? Tapi kau tidak menjawab. Wiro, kalau kau memang ingin
mati dalam hidupmu, kalau kau memang ingin bunuh diri, aku mohon bisa ikut
bersamamu ke alam baka. Aku tidak ingin berada seorang diri dimuka bumi ini
untuk selamalamanya …”
Pendekar
212 Wiro Sableng tatap wajah Purnama beberapa lama. Pertemuan pandangan mata
dengan mata si gadis yang basah menimbulkan berbagai rasa di dalam lubuk
hatinya. Wiro angkat kepala, menatap langitlangit goa. Lalu tangan kanannya
bergerak ke atas menggaruk kepala! Melihat hal ini Purnama terkesiap. Ini satu
tanda bahwa Wiro telah kembali pada jati dirinya yang asli. Kesukaan menggaruk
kepala! Saking gembiranya, walau menangis bercucuran air mata Purnama memeluk
sang pendekar dan menciumi wajahnya berulang kali.
”Aku tahu
kau pasti sembuh. Aku tahu kau, kita dan para sahabat pasti mampu menumpas
orangorang jahat penimbul bencana malapetaka keji di negeri ini …”
Purnama
memeluk semakin kencang. Tubuhnya merapat panas di tubuh Wiro. Beberapa bagian
tertentu tubuh mereka saling menempel bergeseran.
Dipeluk
dan dicium begitu rupa Wiro hanya diam saja.
”Ya
Tuhan, dia benarbenar telah kehilangan kejantanannya. Tubuhnya sama sekali
tidak mengeluarkan getaran. Tidak ada gelora hawa panas. Kupeluk dan kucium dia
seperti tidak bergairah. Apakah aku harus berbuat lebih jauh yang menyalahi
adat…?” Purnama turunkan tangan kanannya ke bawah. Gerakan tangan itu sesaat
terhenti di perut Wiro. Ketika Purnama menggerakkan tangannya lebih ke bawah
tibatiba terdengar Wiro berkata.
”Purnama,
aku mau melihat dan meneliti dua kitab yang kau bawa itu ….”
*********************
TUJUH
Purnama
pejamkan mata, tarik nafas panjang dan lepaskan rangkulannya. Dia cepatcepat
menyerahkan dua buah kitab pada Wiro.
Mulamula
Wiro meneliti kitab dari Kitab Jagat Pusaka Dewa. Seperti dikatakan Purnama kitab
yang terdiri dari tiga halaman itu tidak memiliki tulisan sama sekali, kosong.
”Kau
perlu waktu seratus hari untuk bersamadi kalau kau ingin melihat dan membaca
isi kitab ini. Kau tak mungkin melakukan itu sementara orangorang jahat itu
bisa leluasa menebar malapetaka keji.”
”Kau
benar. Aku tidak akan bersamadi,” kata Wiro pula. Dia mengembalikan kitab utuh
dan mengambil kitab yang hangus terbakar. Sampul kitab nyaris musnah. Halaman
pertama kitab ini terbakar habis. Halaman kedua yang masih tersisa pada bagian
sebelah bawah terdapat serangkai tulisan namun tak bisa terbaca karena hitam
dan gosong. Halaman ketiga atau halaman terakhir terlihat banyak tulisan namun
sebagian besar tulisan itu hilang tak terbaca atau dalam keadaan putusputus.
KITAB
JAGAT PUSAKA DEWA
Halaman
Ketiga
Bunga..
.anj… Bunga Bertuah
Wahai
an.. manusia
Setiap …u
..sakt… memil… .ant..g..
Tak ada
ilmu kesakt…
Yang tak
..mili.. pant….n
.ilama..a
ilmu kes…ian
Dipergun.kan
..tuk ….ikan
…n
didap.. ber..h serta .anju…n
Bilam…
..mu .esakt…
..perg..ak..
unt.. .eja..t.n
Akan
did..at bala dan kut.k..
.ohon t
..nja di guru. .engge.
Akan
..nyap
Kemba..
ke.empa. .sa.
J.uh d.
da..r ..wa gunu.. ..omo
Kes..tian
akan ..nyap
Berkah
.kan ..snah
D.ri
..sar k.wah itulah
Jika
cip.. di.eningk..
Pe..n.uk
akan .atang
Bunga
put.. bu… h.r.m
Bu..a
suci bunga ber..h
Men.ad.
b.. busuk b.. kem..ian
P.neb.s
seri.. dos. s.rib. nista
Para dewa
..lah membi rah.t
….pa
manusia ..rtin.. k keji
Para ..wa
mem…. ilmu kes…ian
Meng…
.anu… berl.u ..lan.t
..hai
anak ….sia
Camkan …
.ni .a.kbaik
..nga
.an…. Bu… …tuah
Wiro
perlihatkan halaman kitab yang terbakar pada Purnama dan menyuruh gadis itu
membaca rangkaian tulisan yang masih tertera. Setelah memperhatikan sejenak dan
coba membaca Purnama berkata.
”Aku tak
bisa membacanya. Tulisan ini seperti bergerak, bergoyang dan guram …”
Wiro
membaca kembali tulisan di kitab hangus sampai beberapa kali. Dari berdiri kali
ini dia duduk menjeplok di lantai goa. Purnama ikutan duduk dihadapannya,
berusaha menolong tapi tidak tahu mau melakukan apa.
”Aku
butuh waktu untuk mencari tahu dan menyambung potongan kata yang hilang. Kalau
tidak berhasil maka rahasia di balik tulisan ini tidak akan terungkap. Kalau
berhasil masih butuh waktu untuk mengartikan dan mengungkap semua apa yang
tersurat. Aku tak bisa menduga berapa lama waktu yang diperlukan. Mungkin satu
hari, mungkin lebih ….” kata Wiro sambil menggaruk kepala berulang kali.
”Aku akan
menemanimu di tempat ini sampai rahasia itu terpecahkan.” kata Purnama pula.
Wiro
duduk bersila dan letakkan kitab hangus di atas pangkuan.
Ketika
Wiro mengambil sikap bersamadi, diamdiam gadis ini kerahkan ilmu Nafas
Sepanjang Badan. Dadanya berdebar ketika lewat penciuman dia mengetahui ada
beberapa orang diluar goa, tak jauh dari sosok harimau putih berada. Dari
penciuman itu Purnama bahkan mampu mengetahui siapa saja orangorang itu. Dia
berharap Wiro segera mampu memecahkan petunjuk dalam kitab yang hangus. Namun
sampai lewat tengah malam dan udara di dalam goa masih terasa sangat dingin,
Wiro masih dalam sikap bersamadi. Setiap hembusan nafasnya mengepulkan uap
berasap putih. Purnama kemudian melihat tubuh pemuda itu mulai bergetar. Ada
hawa dingin luar biasa memancar keluar dari tubuh Wiro yang membuat Purnama
mulai menggigil. Selain itu dari ubunubun murid Sinto Gendeng mengepul asap
putih menebar bau aneh. Purnama merasa tengkuknya merinding ketika dia
mengenali. Dadanya berdebar. Lantas saja dia berucap dalam hati.
”Bau
kembang tanjung ….”
Hawa
dingin dan hamparan bau bunga tanjung membuat sosok Purnama berguncang keras.
Di hadapannya getaran pada tubuh Wiro tampak semakin kencang. Bahkan rambutnya
yang gondrong perlahanlahan berjingkrak ke atas. Tarikan dan hembusan nafas
terdengar cepat. Pakaian basah, wajah penuh butirbutir keringat.
”Hawa
dingin itu bisa membunuh Wiro. Ada tekanan kuat mendesak keluar. Tubuhnya bisa
meledak! Aku harus melakukan sesuatu!”
Tulang di
sekujur tubuh Purnama berkeretekan ketika gadis ini bergerak bangun. Kakinya
seperti diganduli batu besar dan berat hingga dia terhuyunghuyung ketika
melangkah. Dia berjalan ke belakang Wiro yang sampai saat itu masih duduk
bersila di lantai goa dengan tubuh terguncangguncang, memancarkan hawa dingin
serta mengepulkan asap dari ubunubun.
Purnama
angkat dua tangan ke atas. Telapak saling dirapatkan. Mata menatap tak berkesip
ke arah bagian belakang kepala Wiro. Bibir bergetar, mulut berucap perlahan.
”Kekuatan
api alam roh, cahaya panas alam gaib. Datanglah! Ada seorang anak manusia yang
perlu diselamatkan dari kematian.”
Baru saja
Purnama selesai berucap tibatiba ada kilatan cahaya merah melesat di langit
malam, masuk ke dalam goa dan menyambar dua tangan yang terpentang ke atas.
Saat itu juga dua tangan gadis dari Latanahsilam ini berubah merah seperti bara
menyela! Didahului teriakan keras Purnama turunkan tangan. Telapak tangan kanan
ditempel di atas kepala sedang telapak tangan kiri ditekankan ke punggung di
bawah leher Wiro.
”Cess!”
”Cess!”
Begitu
telapak tangan menempel di kepala dan punggung terdengar suara seperti batu api
masuk ke dalam air. Satu kekuatan dahsyat mengandung hawa dingin melesat keluar
dari tubuh Wiro, menghantam Purnama membuat gadis ini terpekik dan terjengkang
di lantai goa, tubuh panas dingin.
Wiro
sendiri saat itu rebah ke lantai, berkelojotan beberapa kali lalu terkapar diam
tak berkutik. Melihat ini Purnama langsung menjerit dan bangkit menghampiri.
Dia mengguncang tubuh sambil memanggil nama pemuda itu berulang kali namun Wiro
tetap diam saja.
”Celaka!
Apakah aku telah kesalahan tangan?!” Purnama berucap setengah menangis. Gadis
ini dekapkan telinga kirinya ke dada Wiro. Belum sempat dia mendengar suara
degup jantung tibatiba dua tangan merangkul punggungnya.
”Terima
kasih. Kau bertindak tepat pada waktunya. Kalau tidak saat ini aku sudah
menemui ajal …”
”Wiro ….
Kau yang barusan bicara?” Purnama seperti tidak bicara. Dia angkat kepalanya
dari dada Wiro dan melihat sang pendekar memandang padanya dengan wajah pucat
penuh keringat.
”Purnama,
dengar. Aku telah mendapat petunjuk. Tapi hanya sebagian saja. Kita harus pergi
ke Gunung Bromo saat ini juga.”
”Pergi ke
Gunung Bromo?” ujar Purnama.
”Ya. Kita
langsung masuk ke kawahnya. Kita berangkat sekarang juga. Kurasa saat ini sudah
hampir pagi.” Wiro berusaha bangun.
”Tunggu,”
bisik Purnama. ”Aku bahagia, aku gembira melihat kau seperti ini. Tadinya aku
mengira … Wiro, izinkan aku menciummu.” Lalu tidak menunggu lebih lama gadis
itu tindih tubuh sang pendekar dan menciumi setiap bagian dari wajah Wiro,
mulai dari kening, mata, pipi, dan leher. Bahkan dia juga mengecup bibir Wiro
berulang kali. Tidak dapat dipastikan apakah semua itu benarbenar dilakukan
karena luapan rasa bahagia atau ada tersembunyi gairah alamiah yang dalam
keadaan berdekatan berhimpitan seperti itu memang sulit untuk dihindari.
Apalagi gadis dari Latanahsilam ini sejak lama telah memendam rasa cinta yang
membara terhadap sang pendekar.
************************
DENGAN
mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru milik Nyai Roro
Kidul, Ratu Duyung bersama Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berhasil sampai
di Teluk Lohsari tak lama setelah Wiro dan Purnama masuk di dalam goa pada
petang hari yang sama.
Untuk
meyakinkan dimana beradanya Pendekar 212, di satu tempat Ratu Duyung hentikan
lari lalu keluarkan cermin bulat sakti. Ketika dia melihat ke dalam cermin,
gadis bermata biru ini terpekik. Cermin sakti terlepas dan hampir jatuh ke
tanah kalau tidak lekas ditanggapi Naga Kuning.
*********************
DELAPAN
ADA APA
Ratu? Bertanya Gondoruwo Patah Hati pada Ratu Duyung yang saat itu kelihatan
berdiri tegang. Dada yang busung turun naik. Wajah merah dan untuk beberapa
lamanya dia tak mampu bersuara apalagi menjawab.
Naga
Kuning yang memegang benda sakti milik Ratu Duyung segera melihat ke dalam
kaca. Sesaat tampang bocah ini tampak berkerut. Lalu mulut sunggingkan
seringai.
”Hik …
hik ..” Naga Kuning menahan tawa geli. Kepala digelengkan lalu keluarkan suara
berdecak ck … ck … ck berulang kali.
”Oala!
Besar amat! Bulunya hitam rimbun! Ha ha ha!” tawa Naga Kuning meledak lepas.
Gondoruwo
Patah Hati melirik ke arah Ratu Duyung. Sampai saat itu gadis bermata biru ini
masih dalam keadaan tegang dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Si nenek
melangkah mendekati Naga Kuning.
”Hai!
Kemarikan cermin itu! Aku mau melihat ada apa didalamnya!”
Bukannya
menyerahkan tapi Naga Kuning terus saja memperhatikan ke dalam cermin bulat
sambil tertawatawa dan goyanggoyangkan tangan kiri lalu melangkah mundur
menjauhi si nenek.
”Apa
kataku?!” ucap si bocah pula. ”Kini terbukti dari alam gaib itu memang ingin
menjajal kejantanan Wiro! Mungkin juga dia ingin mengobati. Itu sebabnya dia
membawa Wiro ke tempat sunyi ini. Tapi burung tekukurnya kenapa layu menunduk
saja?! Ha… ha … ha!”
”Bocah
geblek! Kau ini bicara apa?! Apa yang kau tertawakan?! Kemarikan cermin itu!”
bentak Gondoruwo Patah Hati.
”Sstt …
Tunggu dulu Nek, aku lagi asyik nih. Ada tontonan bagus!” jawab Naga Kuning
lalu melompat dan duduk di atas satu gundukan batu.
”Bocah
kurang ajar! Kalau kau tidak berikan cermin itu padaku kukepruk kepalamu!”
Gondoruwo Patah Hati mengancam lalu melompat ke atas batu.
Naga
Kuning cepat sembunyikan cermin bulat di balik punggungnya. ”Nek, kalau kau mau
ikutan melihat apa yang ada di dalam cermin boleh saja. Silahkan duduk
disampingku! Tapi aku tidak akan menyerahkan cermin padamu!”
Si nenek
mengalah, duduk di sebelah Naga Kuning. Si bocah keluarkan cermin bulat dari
balik punggung lalu diperlihatkan pada Gondoruwo Patah Hati. Begitu melihat ke
dalam cermin wajah si nenek langsung mengkerut. Mata mendelik dan nafas
berhembus kencang. Tubuhnya mendadak panas. Saat itu di dalam cermin masih
kelihatan Wiro tengah berdiri tanpa pakaian di hadapan Purnama.
”Oo
edan!” Si nenek berucap setengah memaki. Wajah mendongak mata dipejamkan,
kepala digelenggeleng. ”Ini tidak mungkin! Tidak bisa terjadi kalau gadis itu
tidak menjebaknya! Dasar perempuan gatal! Wiro tidak mungkin mau berbuat
seperti itu! Mau telanjang bulat di hadapan seorang gadis!”
”Kau
masih bicara tidak mungkin Nek. Kau kan sudah lihat sendiri di dalam cermin!”
ujar Naga Kuning.
Gondoruwo
Patah Hati turunkan kepala, buka mata dan mendeliki si bocah.
Naga
Kuning tertawa. ”Sudah Nek, temani saja Ratu Duyung. Biar aku sendirian yang
melihat apa yang terjadi. Nanti aku ceritakan bagaimana kelanjutan tontonan
asyik ini padamu.”
Gondoruwo
Patah Hati melompat turun dari atas batu. Sampai disamping sang Ratu nenek ini
berkata.
”Ratu,
kita harus mendatangi goa dimana Wiro dan gadis itu berada. Kelihatannya sebuah
goa tak jauh dari sini.”
Ratu
Duyung belum sempat menjawab, di atas gundukan batu Naga Kuning berkata. ”Nah …
nah … Kalian berdua jangan khawatir. Wiro sekarang sudah pakai celana dan baju.
Dia asyik ngobrol dengan Purnama …”
”Ratu,
kau harus segera mengambil cermin sakti itu dari tangan Naga Kuning!”
”Seharusnya
begitu Nek. Tapi aku rasa ada baiknya kalau ada orang memantau apa yang
terjadi. Yang penting bukan aku. Biar saja anak itu memperhatikan terus.” Ratu
Duyung menolak karena khawatir akan melihat lagi sesuatu yang menusuk mata dan
hatinya di dalam cermin.
”Aku
tidak setuju dengan pendapatmu. Bagaimana kalau kita bertiga masuk saja ke
dalam goa menemui dua orang itu. Kita harus bertindak cepat sebelum kejadian
gila itu berkelanjutan!”
”Hai!”
Naga Kuning tibatiba berseru.
”Anak
kurang ajar! Ada apa?! Apa yang kau lihat?!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
”Purnama
memeluk dan menciumi Wiro. Tapi Wironya diam saja. Tololnya dia! Kalau aku
pasti aku balas memeluk dan mencium! Hik … hik … hik!”
Gondoruwo
Patah Hati tak dapat lagi menahan diri. Nenek ini melompat ke atas gundukan
batu dan merampas cermin sakti dari tangan Naga Kuning. Si bocah coba berkelit
tapi si nenek jitak kepalanya. Selagi Naga Kuning meringis kesakitan Gondoruwo
Patah Hati cepat merampas cermin sakti lalu menyerahkan pada Ratu Duyung sambil
berkata.
”Ratu,
aku tahu hatimu sangat terguncang. Apa yang terlihat di cermin mungkin saja
bukan begitu kenyataannya…”
”Cermin
itu tidak pernah berdusta, Nek.” jawab Ratu Duyung. Suaranya bergetar.
”Kalaupun
itu terjadi, pasti ada sesuatu sebab musababnya. Aku tahu Purnama itu gadis
radarada gatal. Bisa saja dia punya maksud nakal mau menjebak Wiro….”
Wajah
Ratu Duyung tampak tidak berubah. ”Aku tidak tahu Nek. Aku masih percaya
Purnama adalah gadis baik …”
”Kalau
begitu tenangkan hatimu. Simpan kembali cermin ini.” kata Gondoruwo Patah Hati
pula.
”Untuk
sementara biar kau pegang dulu Nek.” jawab Ratu Duyung.
”Lalu apa
yang akan kita lakukan?” tanya si nenek pula.
Ratu
Duyung tak menjawab. Gondoruwo Patah Hati berpaling ke arah gundukan batu.
Ternyata Naga Kuning tak ada lagi di atas gundukan batu itu.
”Eh,
kemana perginya anak konyol itu?!” si nenek celingukan. ”Aku khawatir dia
mendahului masuk ke dalam goa.”
Ratu
Duyung memandang ke langit. Sebentar lagi malam segera datang. ”Nek, kau
mungkin benar. Ada baiknya kita masuk ke dalam goa dimana Wiro berada …”
Kedua
orang itu berkelebat cepat ke arah lamping bukit batu yang memagari sebagian
Teluk Losari.
Di satu
tempat mereka menemui Naga Kuning cengengesan duduk menjeplok di tanah. Sekitar
enam langkah di hadapan si bocah berbaring seekor harimau putih. Sepasang mata
hijau binatang ini menatap tak berkesip ke arah Naga Kuning lalu berputar
menatap Ratu Duyung dan Gondoruwo Patah Hati.
”Aku
ingat, harimau putih ini peliharaan seorang sakti di negeri seberang …” kata
Ratu Duyung pula.
”Setahuku
dia adalah sahabat dan pelindung Wiro. Kalau aku tidak salah namanya Datuk ….
ah aku lupa nama panjangnya. Sekarang aku mengerti mengapa Wiro mampu bergerak
luar biasa cepat. Pasti binatang ini yang membawa Wiro ke tempat ini.”
Harimau
putih Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus. Ekor menyentak ke kiri dan ke
kanan, kepala diulurkan ke arah Naga Kuning membuat anak berambut jabrik ini
menggeser duduknya ke belakang.
”Waktu
aku mencoba lewat harimau ini menghalangi.” memberitahu Naga Kuning.
”Untung
Cuma dihalangi. Kalau aku jadi harimau itu sudah aku geragot lehermu!” kata
Gondoruwo Patah Hati yang masih jengkel pada Naga Kuning.
Ratu
Duyung melangkah menghampiri harimau putih.
”Ratu,
hatihati ….” mengingatkan Gondoruwo Patah Hati.
Dua
langkah di hadapan harimau putih Ratu Duyung berhenti.
”Datuk …
kami semua yang ada disini adalah sahabat Wiro. Kami tahu dia ada dalam sebuah
goa di lamping bukit batu sebelah sana. Kami mohon kau mau memberi jalan.”
Habis berkata begitu Ratu Duyung ulurkan tangan membelai kuduk harimau putih.
Binatang itu bergerak bangkit menggereng halus seperti mengerti akan ucapan
orang dia gelengkan kepala.
”Ah, kau
tidak mengizinkan kami menemui Wiro. Kami datang membawa urusan sangat penting
…”
Untuk
kedua kalinya harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus dan
gelengkan kepala.
”Ratu,
kau ajak terus dia bicara. Nanti aku akan mencoba melesat melewatinya.”
berbisik Gondoruwo Patah Hati.
”Tidak,
jangan lakukan itu Nek. Kalau Datuk tidak mengizinkan kita lewat pasti ada
sebabnya …”
”Binatang
ini agaknya bersekongkol dengan Purnama.” bisik nenek lagi.
”Kita
tidak bisa berbuat lain. Seorang sahabat tidak mau memberi jalan. Kita terpaksa
menunggu di tempat ini sampai Wiro muncul keluar dari goa.” Ratu Duyung berkata
lalu memberi isyarat pada Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Ketiganya
mencari tempat rata dan duduk bersandar ke lamping bukit batu. Malam turun
membawa kegelapan. Di langit tak ada rembulan tak nampak bintang. Angin laut
yang menderu ke arah teluk terasa dingin.
Selama
menunggu di tempat itu tidak satupun diantara ketiga orang itu bicara. Mereka
berdiam diri dalam pikiran masingmasing. Naga Kuning telah menguap beberapa
kali. Sementara Gondoruwo Patah Hati yang masih memegang cermin sakti milik
Ratu Duyung tidak dapat menahan hati. Dia berusaha tanpa diketahui kedua orang
didekatnya melihat ke dalam cermin. Saat itu di dalam goa Purnama pada keadaan
menindih tubuh Wiro, memeluk dan menciumi sang pendekar. Si nenek mendelik dan
keluarkan
seruan seperti tercekik.
”Ada apa
Nek?” tanya Ratu Duyung.
”Tidak,
tidak ada apaapa. Aku hanya merasa kedinginan.” jawab Gondoruwo Patah Hati
lalu batukbatuk berulang kali.
Dari
samping Naga Kuning cucukkan jari telunjuknya ke iga si nenek seraya berbisik.
”Kau
dusta. Jangan kira aku tidak tahu apa yang barusan kau lakukan. Ayo ceritakan
apa yang kau lihat dalam cermin.”
”Bocah
sinting! Tutup mulutmu!” tukas si nenek. Lalu berpaling ke jurusan lain.
Pikirannya merenung. Ingat sewaktu peristiwa dia dan Wiro serta beberapa
sahabat rimba persilatan lainnya menyerbu 113 Lorong Kematian. Waktu itu
Gondoruwo Patah Hati jatuh bergulingguling saling tindih dengan Wiro. Entah
bagaimana kejadiannya mulut mereka saling beradu dan terjadi ciuman bibir
dengan bibir. Wiro hendak menyeka bibirnya tapi dilarang oleh si nenek yang
sebenarnya memiliki perujudan seorang gadis cantik bernama Ning Intan Lestari.
Saat itu si nenek bahkan sempat berterus terang pada Wiro bahwa kalau saja dia
tidak keburu jatuh cinta pada Naga Kuning, bocah konyol yang perujudan aslinya
adalah seorang kakek sakti bernama Kiai Paus Samudera Biru, maka Wirolah
penggantinya. Celakanya kejadian ciummencium itu sempat terlihat oleh Dewa
Tuak yang ada ditempat itu. Wiro sendiri berharap kegilaan si nenek hanya
sampai disitu dan selanjutnya dia menjaga jarak karena bagaimanapun juga dia
harus menghormati Naga Kuning. (Kisah ini dapat dibaca dalam serial Wiro
Sableng berjudul ”Kematian Kedua”).
”Ratu,
sebaiknya aku kembalikan saja cermin sakti ini padamu. Kalau aku pegang
terusterusan aku khawatir rusak atau pecah …”
Ratu
Duyung terpaksa menerima kembali cermin sakti miliknya. Tanpa memperhatikan
permukaan cermin, benda itu disimpan di balik pakaian. Kalau saja dia melihat
ke dalam cermin dimana saat itu Purnama masih menindih, memeluk dan mencium
Wiro entah bagaimana jadinya.
************************
SAPUTAN
cahaya kuning tampak di ufuk timur pertanda tak lama lagi sang surya akan
segera muncul menerangi jagat.
”Fajar
sudah menyingsing. Sebentar lagi pagi datang. Sampai saat ini Wiro masih
mendekam di dalam goa bersama gadis alam gaib bernama Purnama itu. Apa
sebenarnya yang mereka lakukan? Aku tidak dapat membayangkan!” kesunyian di
tempat itu dipecah oleh suara ucapan Naga Kuning.
Ratu
Duyung diam, Gondorueo Patah Hati tak bersuara. Tibatiba harimau putih bermata
hijau bangkit dari berbaringnya. Kepala mendongak buntut bergerak kian kemari.
”Aku
merasa …”
Ucapan
Ratu Duyung terputus. Gadis bermata biru ini cepat berdiri diikuti Naga Kuning
dan Gondoruwo Patah Hati. Dari arah lamping bukit batu terjal di sebelah depan
berkelebat satu bayangan putih dan satu bayangan biru gelap. Tak lama kemudian
di samping harimau putih telah berdiri Pendekar 212 Wiro Sableng dan Purnama.
Melihat ketiga orang yang berada di depan gundukan batu, Wiro segera mendahului
menegur.
”Sahabat
bertiga, aku gembira melihat kalian ada di sini …”
”Kami
memang mengikutimu.” jawab Gondoruwo Patah Hati.
”Kami
tahu kau dan Purnama ada di dalam goa. Tapi sahabatmu harimau putih ini tidak
mengizinkan kami mendatangimu ke dalam goa …”
”Di dalam
goa aku dan Purnama bekerja keras semalam suntuk …” menerangkan Wiro tanpa
diminta karena dari wajah tiga orang dihadapannya dia maklum ada bayangan rasa
bertanyatanya mengapa dia berada dalam goa dan apa yang dilakukannya.
Naga
Kuning cepatcepat tutup mulut menahan tawa geli yang mau tersembur. Wajah
dipalingkan ke arah laut, hati berkata. ”Kerja keras semalam suntuk. Kerja apa?
Hik … hik … hik! Pasti kerja yang enakenak!”
Purnama
memperhatikan Naga Kuning. Cepatcepat dia membuka mulut. ”Kami berusaha
mengungkapkan petunjuk pada sebuah kitab yang sudah hangus terbakar.”
”Petunjuk
apa?” bertanya Ratu Duyung.
”Petunjuk
bahwa aku harus pergi ke dasar kawah Gunung Bromo ….”
”Apa
perlunya kau pergi ke sana?” Naga Kuning yang bertanya.
”Aku
harus bersamadi, mengheningkan cipta untuk mendapat petunjuk lebih lanjut.
Petunjuk tentang bunga tanjung …”
”Bunga
tanjung? Kok aneh kedengarannya? Kenapa bukan bunga mawar?” Naga Kuning
keluarkan mulut usil.
Yang
menjawab Purnama tapi tidak langsung ditujukan pada bocah berambut jabrik itu.
”Sahabatku
Ratu Duyung, kurasa kau juga tahu bahwa munculnya bunga tanjung bersamaan
dengan sekian banyak perkosaan dan pembunuhan atas diri belasan gadis …”
Ratu
Duyung mengangguk perlahan. ”Sahabat Bunga pernah bercerita tentang pohon
tanjung. Semua gadis yang diperkosa dan dibunuh ditempeli bunga tanjung
dikeningnya …”
”Selain
itu aku punya firasat petunjuk itu juga bisa mengungkap rahasia serta
penyembuhan penyakit yang diderita Wiro.” Purnama sambung ucapannya.
”Lalu
kalian sekarang mau melakukan apa?” Gondoruwo Patah Hati bertanya.
”Petunjuk
dalam kitab hangus itu belum seluruhnya terungkap. Ada pesan bahwa kami harus
segera pergi ke Gunung Bromo.” menerangkan Wiro.
”Gunung
Bromo? Sangat jauh dari sini. Apa yang akan kalian lakukan disana?” tanya Ratu
Duyung.
”Sumber
petunjuk ada disana. Ratu, aku tidak dapat menerangkan lebih banyak. Kuharap
kau dan dua sahabat mau bergabung. Ikut bersama kami.” Jawab Pendekar 212 lalu
mengusap tengkuk Datuk Rao Bamato Hijau. Sesaat dia memandang ke arah dada Ratu
Duyung. Ada sebuah benda dibalik pakaian sang Ratu memancarkan cahaya kebiruan.
Wiro pernah melihat benda bercahaya seperti itu dibalik pakaian Nyi Roro
Manggut sewaktu pembantu utama Nyai Roro Kidul itu menyelamatkan dirinya dari
jebakan racun maut di satu bangunan bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh”).
Wiro naik
ke punggung harimau putih besar. Purnama menyusul hendak duduk di belakang sang
pendekar. Namun sebelumnya dia berpaling dulu pada Ratu Duyung dan berkata.
”Ratu, kalau kau ingin pergi lebih dulu besama Wiro silahkan ….”
Ratu
Duyung tersenyum menyembunyikan perasaan cemburu serta air muka yang berubah.
Dia cepat gelengkan kepala dan berkata.
”Kau
lebih tahu urusannya. Silahkan pergi duluan …”
Purnama
naik ke punggung harimau putih, duduk di belakang Wiro sambil gelungkan dua
tangan di pinggang sang pendekar.
”Ratu …”
Wiro berkata.
Ratu
Duyung saat itu tegak memandang tak berkesip ke arah dua orang di atas harimau.
Telinganya seperti tersumbat oleh rasa cemburu.
”Ratu,
berjanjilah kita akan bertemu di Gunung Bromo.” kata Wiro lalu dia usap kepala
Datuk Rao Bamato Hijau. Didahului gerengan yang menggetarkan bukit batu Teluk
Losari, sekali berkelebat harimau putih besar dan dua penunggangnya telah
berada jauh di arah terbitnya sang surya di sebelah timur.
Ratu
Duyung berpaling pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. ”Bagaimana menurut
kalian? Apakah kita akan menyusul mereka ke Gunung Bromo?”
”Kita
sudah mengejar Wiro jauhjauh sampai ke sini. Kita punya kemampuan
mengikutinya. Mengapa tidak menyusul ke Gunung Bromo? Menurut perhitungan ku
beberapa hari dimuka akan ada perayaan hari suci Kasada di gunung itu. Bilamana
memang ada urusan yang harus diselesaikan ditempat itu maka harus dilakukan
sebelum perayaan itu berlangsung agar tidak mengganggu kesucian upacara.”
Ratu
Duyung terdiam seolah merenung. Sesaat kemudian mulutnya berucap perlahan.
”Aku
punya firasat akan terjadi satu hal luar biasa di kawasan Gunung Bromo ….”
”Yang
lebih penting ….” kata Gondoruwo Patah Hati setengah berbisik hingga tidak
terdengar Naga Kuning. ”Kita tidak boleh membiarkan Wiro dan Purnama berduadua
terusterusan.”
Gadis
jelita bermata biru ini menatap wajah buruk Gondoruwo Patah Hati. Diamdiam dia
membatin.
”Sahabat
yang satu ini apa tadi dia berkata untuk membela diri dan perasaanku atau lebih
mengungkapkan perasaan hatinya sendiri?”
Setelah
menarik nafas dalam Ratu Duyung pegang lengan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah
Hati. Sekali kaki kanan dihentakkan di tanah, dengan mengandalkan kesaktian
Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang didapat dari Nyai Roro Kidul ketiga orang
itu melesat laksana terbang dan lenyap dari pemandangan.
*********************
SEMBILAN
MALAM
hari menjelang pagi. Lereng sebelah timur puncak Gunung Bromo. Dalam sebuah
kuil yang diterangi lentera kecil dan diselimuti udara dingin serta kesunyian,
dua orang Resi duduk berhadaphadapan. Resi di sebelah kiri bernama Resi
Sumabarang berusia tujuh puluh tahun menatap sahabatnya Resi Jantika Lamantara
yang berusia hampir sepuluh tahun lebih tua. Kedua resi ini baru saja samasama
menyelesaikan samadi.
”Resi
Sumabarang, apakah ada petunjuk yang kau dapat dalam samadimu?” bertanya Resi
Jantika Lamantara.
”Resi
Lamantara, terus terang saya merasa khawatir. Saya melihat langit hitam.
Beberapa kali petir menyambar. Lalu ada hembusan angin dari arah selatan. Dalam
kegelepan saya melihat pasir berterbangan ke udara. Berputarputar tujuh kali
dan baru lenyap setelah ada satu cahaya putih datang dari arah barat. Saya
berusaha mengartikan petunjuk itu namun belum mampu. Mungkin saya perlu
melakukan samadi susulan sampai menjelang pagi nanti.”
”Resi
Sumabarang, kau tak perlu melakukan samadi susulan. Ada petunjuk lain yang aku
dapat dalam samadiku. Aku melihat langit di atas Gurun Tengger berwarna merah
membara. Lalu hembusan angin kencang datang dari empat jurus arah mata angin
mengeluarkan suara menggidikkan. Gurun Tengger seperti di angkat ke udara. Di
saat yang sama aku melihat tiga larik cahaya berwarna merah, biru dan hijau.
Lalu ada cahaya kuning besar seperti hendak melabrak kelapkelip satu cahaya
kuning kecil. Aku juga melihat puluhan bahkan ratusan benda aneh kecil berwarna
putih kekuningan. Kemudian ada suara mendidih dahsyat dari dalam kawah Gunung
Bromo. Dalam samadi aku juga mencium bau harumnya bunga ….” Resi Jantika
Lamantara berpikir sejenak.
Resi Aji
Sumabarang mendahului bertanya.
”Resi
Lamantara ingat? Bau harum bunga apa?”
”Sepertinya
bau harum bunga tanjung ….” jawab Resi Jantika Lamantara. Resi berusia delapan
puluh tahun ini merenung sejenak lalu berkata. ”Aku jadi ingat pada kisah lama
tentang pohon tanjung yang lenyap dari alunalun Kerajaan ….”
”Kita
samasama menaruh rasa khawatir. Kalau boleh saya mendahului membuat kesimpulan
agaknya akan terjadi sesuatu di kawasan ini. Lima puluh tahun silam pernah
terjadi topan besar di Gurun Tengger. Saya khawatir kejadian ini akan berulang
lagi.”
Resi
Jantika Lamantara menatap wajah sahabatnya lalu berkata. ”Kalau hal itu terjadi
pasti ada sebabmusababnya. Kita harus menyelidik. Tapi tak cukup waktu. Dua
hari lagi kita akan melaksanakan hari suci Nyadnya Kasada. Penduduk disekitar
ini telah bersiapsiap menyambut hari besar itu. Aku sudah melihat banyak
sekali Ongkek yang sudah dibuat. Aku berharap kalau memang terjadi sesuatu,
kiranya tidak pada hari itu. Kita harus melakukan sesuatu untuk menolak bala.”
Dari balik pakaiannya Resi Jantika Lamantara mengeluarkan sebuah kalung
berbentuk tasbih besar terbuat dari untaian butirbutir batu alam aneka warna
sebesar ujung ibu jari tangan. Kalung diletakkan di atas pangkuan lalu Resi ini
pejamkan mata. Resi Sumabarang ikut picingkan mata dan menunggu. (Ongkek =
persembahan yang diarak ke dasar Gunung Bromo dalam berbagai bentuk. Antara
lain berupa binatang dan terbuat kebanyakan dari sayursayur serta bebuahan).
Tak lama
kemudian Resi Jantika Lamantara buka kedua mata dan berkata. ”Resi Sumabarang,
agaknya kita perlu meminta bantuan saudara di Gunung Bromo ini dan juga di
Gunung Widodaren. Minta mereka menampung tetesan air suci serta air embun murni
sebanyak mungkin. Berdoa mohon keselamatan lalu meneguk air itu. Mudahmudahan
dengan kuasa para Dewa dapat dipergunakan untuk menghindari bala bencana
malapetaka ….”
”Kalau
begitu saya mohon diri untuk melakukan permintaan Resi Lamantara sekarang juga
….”
Kedua
Resi itu samasama berdiri lalu saling membungkuk memberi hormat dan salam.
Resi Jantika Lamantara letakkan untaian kalung batu di atas kening lalu
menciumnya dalamdalam. Resi tua ini menarik nafas panjang. ”Aku memang mencium
akan datang topan di Gurun Tengger. Tetapi apa yang menjadi penyebabnya?! Ini
bukan perbuatan Yang Kuasa. Ini karena ulah manusia. Semoga Para Dewa memberi
perlindungan.” Lalu Resi ini kembali duduk bersila dan mulai bersamadi lagi.
Namun entah mengapa dia tidak dapat memusatkan hati dan jalan pikiran. Ada
kegelisahan muncul didalam dirinya. Setelah mencoba berulang kali dan tetap
tidak berhasil akhirnya Resi ini bangkit berdiri dan melangkah keluar kuil.
Malam gelap dan dingin. Di langit tak ada bulan tak tampak bintang. Tiupan
angin seperti mengikis daun telinga. Belum lama berdiri di tempat terbuka,
gelap dan dingin, tibatiba di langit Resi Jantika Lamantara melihat satu benda
putih melesat dari arah barat disertai berkelipnya dua cahaya hijau. Benda ini
kemudian menukik masuk ke dalam kawah Gunung Bromo.
”Para
Dewa Penguasa dan Penjaga Alam! Tidak salahkah mataku melihat?” ucap Resi
Jantika Lamantara dalam kejutnya. ”Seekor binatang putih besar melesat di
udara. Masuk ke dalam kawah. Ada dua makhluk menungganginya. Ah ….”
Baru saja
makhlukmakhluk tadi lenyap dari pandangan mata sang Resi mendadak ada lagi
benda lain melayang cepat, datang dari jurusan yang sama.
”Para
Dewa, apa artinya semua ini? Aku melihat tiga orang melayang di langit.” Resi
Jantika Lamantara jatuhkan diri berlutut dan mengucap menyebut nama Dewa
berulang kali namun matanya tidak lepas dari tiga makhluk yang melesat di udara
itu. Seperti binatang putih besar bersama dua penunggangnya tadi tiga orang
yang melesat di langit melayang turun masuk ke dalam kawah Gunung Bromo.
Saat itu
langit di arah timur sudah mulai terang pertanda sebentar lagi sang surya akan
segera mengubah malam menjadi siang. Setelah berdoa dan menetapkan hatinya Resi
Jantika Lamantara lari menuju tepi kawah Gunung Bromo. Dalam usia yang sudah
delapan puluh tahun itu ternyata sang Resi memiliki gerakan enteng dan gesit
pertanda menguasai ilmu kesaktian tinggi. Namun dia hanya mampu memasuki dua
pertiga kedalaman kawah. Hawa luar biasa dingin menjadi penghalang. Dia
terpaksa menunggu di satu bagian lereng kawah sampai matahari muncul membawa
hawa panas. Dari tempatnya berada Resi ini memandang ke dasar kawah. Matanya
masih mampu melihat cukup jelas di balik kepulan asap yang perlahanlahan mulai
sirna. Di dasar kawah tampak sosok seekor harimau putih besar serta lima orang,
salah satu diantaranya seorang anak kecil berambut jabrik.
”Dewa
Jagatnata. Lima orang ditemani harimau besar di dasar kawah Gunung Bromo. Salah
seorang dari mereka duduk bersila di atas batu, mengambil sikap bersamadi. Apa
artinya semua ini …? Wahai Para Dewa. Apapun yang mereka lakukan jangan sampai
mengganggu hari suci perayaan Kasada …”
************************
WALAU
kepulan asap tebal yang keluar dari kawah di dasar Gunung Bromo menutupi
pemandangan namun dengan menerapkan ilmu Menembus Pandang Wiro bisa melihat
cukup jelas. Selain itu harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau berjalan di
sebelah depan sebagai pemandu. Di belakang Wiro melangkah Purnama diikuti Ratu
Duyung bersama Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Sang Ratu juga telah
mengerahkan ilmu Menembus Pandang sehingga sehingga dapat melihat keadaan
sekitarnya dengan jelas. Kalau orangorang itu tidak mengandalkan harimau putih
sakti tidak mudah bagi mereka bergerak di dasar kawah Gunung Bromo.
Hawa luar
biasa dingin menjadi kendala yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dada terasa
sesak. Sebab hembusan nafas menimbulkan kepulan asap. Untuk menghindari tubuh
menjadi kaku membatu semua orang segera menerapkan kesaktian, mengerahkan lalu
mengalirkan hawa panas di dalam tubuh masingmasing. Wiro menyalurkan hawa panas
Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya.
Di satu
tempat harimau putih hentikan langkah. Binatang bermata hijau ini berbalik ke
arah Wiro, membuat gerakan berdiri di atas dua kaki belakangnya lalu membungkuk
dan menjilat tangan kanan Wiro sambil keluarkan gerengan halus.
Wiro
mengerti apa arti sikap yang dibuat sang harimau segera merangkul binatang itu,
menyusup tengkuknya dan berkata.
”Datuk
sahabatku. Aku tahu kau memiliki keterbatasan. Tidak mungkin berada bersamaku
dan temanteman. Kau sudah banyak memberi bantuan. Membawa kami sampai ke
tempat ini. Aku dan semua sahabat mengucapkan terima kasih.” Wiro peluk harimau
besar itu sekali lagi. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus. Sebelum melesat
ke atas puncak Gunung Bromo, Datuk Rao Bamatao Hijau jilati tangan semua orang
yang ada disitu satu per satu.
”Ueh!
Tanganku yang dijilat kenapa jadi putih?!” Naga Kuning keluarkan ucapan. Semua
orang memperhatikan lalu melihat ke tangan sendiri. Ternyata telapak tangan
merekapun juga berwarna putih.
”Apa yang
dilakukan harimau itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati sambil usapusap tangan
kanannya.
”Ya apa
artinya ini? Aku merasa tubuhku jadi hangat.” berkata Ratu Duyung.
”Mungkin
datuk meninggalkan sesuatu untuk kita semua. Semacam bekal.” kata Pendekar 212
Wiro Sableng pula.
Sementara
itu cahaya matahari yang datang dari atas membuat udara jadi hangat dan
membantu melenyapkan hawa dingin serta mengurangi asap.
Purnama
dekati Wiro. ”Saatnya kau mencari tempat yang baik untuk mulai samadi sesuai
petunjuk dalam kitab.”
Wiro
memandang sekeliling dinding dasar kawah. Pandangannya membentur potongan
batang pohon kayu besi yang menancap di lereng kawah sebelah bawah. Mata
menatap dada langsung berdebar. Seperti diceritakan dalam serial ”Misteri Bunga
Noda” batang pohon kayu besi berwarna hitam ini ditancapkan oleh Darmasewara
untuk dijadikan petunjuk keberadaan sebuah goa.
”Batang
pohon di dasar kawah. Satu hal yang tidak mungkin terjadi kalau tidak ada
manusia atau makhluk gaib yang meletakkannya disitu …” Wiro berucap lalu
merenung sejenak. Dia kemudian melangkah ke arah lereng kawah. Sejarak dua
tombak dari batang kayu hitam ada satu gundukan batu berwarna kelabu yang
bagian atasnya agak rata. Wiro naik ke atas gundukan batu lalu duduk bersila.
Purnama dan Ratu Duyung serta Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning berdiri di
sebelah belakang batu. Saat itu sang surya telah naik cukup tinggi. Asap di
dasar kawah banyak berkurang, udara terasa hangat dan seluruh dasar kawah kini
dalam keadaan terang benderang.
Wiro
merapal sebagian tulisan terputusputus yang pernah dibacanya di Kitab Jagat
Pusaka Dewa yang hangus terbakar. Dengan susah payah semalam suntuk bersama
Purnama dia berhasil menyambungnyambung tulisan yang nyaris sulit di baca itu.
”Bilamana
ilmu kesaktian. Dipergunakan untuk kebaikan. Akan didapat berkah serta
sanjungan. Bilamana ilmu kesaktian. Dipergunakan untuk kejahatan. Akan didapat
bala dan kutuk. Pohon tanjung di Gurun Tengger. Akan lenyap. Kembali ke tempat…
Jauh di dasar kawah Gunung Bromo. Kesaktian akan lenyap. Berkah akan musnah.
Dari dasar kawah itulah. Jika cipta diheningkan. Petunjuk akan datang …”
Wiro
letakkan dua tangan di atas dada, mata dipejam. Perlahanlahan pikiran
dikosongkan. Hanya beberapa saat setelah Wiro masuk ke dalam alam samadi tibatiba
di kejauhan terdengar suara aneh seperti puluhan seruling ditiup. Bersamaan
dengan itu terasa getaran pada dinding dan dasar kawah. Di sebelah atas gunung
tampak debu kelabu beterbangan. Lalu ada tiupan angin turun ke dasar kawah.
Kecuali Wiro, semua orang mendongak ke puncak gunung memperhatikan apa yang
terjadi.
Ketika
suara seperti tiupan seruling akhirnya lenyap, deru angin sirna, getaran di
dasar serta dinding kawah hilang, dan gebubu debu di atas gunung tak tampak
lagi, Pendekar 212 telah tenggelam dalam samadi khusuk. Lubuk hatinya tiada
henti berkata.
”Tuhanku
Yang Maha Kuasa. Jika memang di tempat ini aku akan mendapat petunjuk,
berikanlah. Engkau Maha Mengetahui malapetaka apa yang akan terjadi tanpa
pertolonganMu.”
”Ada
orang datang.” tibatiba Naga Kuning memberi tahu. Semua orang berpaling. Saat
itu seorang tua berpakaian serba putih, berwajah tirus tahutahu telah berdiri
di tempat itu. Setelah menatap orangorang didepannya dia lalu berkata.
”Namaku
Jantika Lamantara. Aku resi penjaga kawasan Gunung Bromo. Kalian semua datang
dari mana. Ada keperluan apa berada di dasar kawah? Satu hari lagi akan ada
perayaan hari suci Kasada di tempat ini. Aku tidak mau ada tindak perbuatan
kalian yang mengganggu ketentraman kawasan ini. Apalagi sampai mengganggu
kesucian jalannya Kasada. Aku mohon kalian segera meninggalkan tempat ini. Dari
pakaian kalian aku bisa menduga kalian adalah orangorang rimba persilatan.”
Sambil bicara Sang Resi melirik ke arah Wiro yang tengah duduk bersamadi. Ada
getaran aneh di dalam dadanya ketika dia melihat wajah sang pendekar. Dia
kerahkan hawa sakti untuk meneliti sosok Wiro. Namun mendadak lututnya terasa
goyah. Mulutnya bergumam.
Gondoruwo
Patah Hati yang punya sifat berangasan langsung saja hendak membuka mulut. Namun
Purnama cepat mendekati Resi Jantika Lamantara membungkuk memberi hormat dan
berkata dengan suara sopan.
”Resi
Jantika, kau benar. Kami memang orangorang rimba hijau persilatan. Kami datang
membawa niat baik. Untuk mendapat petunjuk dari satu kekuatan gaib. Mungkin
yang datang dari Para Dewa. Petunjuk itu sangat berguna untuk menghancurkan
kekuatan jahat yang kini tengah merajalela. Kami tidak membekal niat merusak
kawasan, juga mengganggu ketentraman, apalagi merusak kesucian hari Kasada.
Kami mohon maaf kalau kami datang tanpa memberi tahu. Resi lihat sendiri. Salah
seorang dari kami tengah melakukan samadi. Berusaha berhubungan dengan kekuatan
gaib yang akan memberi petunjuk.”
Resi
Jantika Lamantara perhatikan satu persatu orang yang berdiri dihadapannya lalu
berkata. ”Aku masih belum percaya kebenaran ucapan kalian. Tadi aku mendengar
suara angin seperti tiupan seruling. Ada debu yang mengapung di udara. Lima
puluh tahun silam hal serupa pernah terjadi. Semua merupakan tandatanda akan
munculnya topan prahara di kawasan Gurun Tengger. Kalian bisa saja menjadi
pangkal penyebab terjadinya bencana itu karena alam tidak menerima kehadiran
kalian.”
”Resi
Jantika, kami memang tengah menghadapi satu kekuatan gaib dari golongan hitam.
Kekuatan itu mungkin saja menimbulkan petaka berupa topan prahara. Bahkan bisa
juga meledakkan gunung besar keramat ini. Itu sebabnya kami berusaha untuk
mencegah …”
Kecurigaan
Resi Jantika Lamantara berkurang sedikit setelah mendengar katakata yang
barusan diucapkan Ratu Duyung. Dia kembali pandangi keempat orang dihadapannya
itu. Dua gadis sangat cantik, seorang bocah dan seorang nenek berwajah seram
seperti setan. Tibatiba untuk pertama kalinya sang Resi melihat telapak tangan
kanan keempat orang itu yang berwarna putih. Wajahnya berubah. Dia cepat
mendekati Naga Kuning. Memegang tangan kanan bocah ini lalu mendekatkan ke
hidungnya. Berusaha membaui sesuatu.
”Eh Kek,
ada apa kau mencium tanganku?” tanya Naga Kuning heran.
”Aku
mencium sesuatu. Sesuatu yang pernah aku cium lima puluh tahun lalu. Angin
Putih Tangan Dewa … ” ucap sang Resi perlahan dengan suara bergetar. Lalu dia
balik bertanya. ”Bagaimana tangan kalian bisa bertanda putih seperti ini?”
Dari
keempat orang itu tak ada yang mau memberi tahu. Malah Gondoruwo Patah Hati
ajukan pertanyaan. ”Memangnya kenapa?”
”Lima
puluh tahun lalu …” jawab Resi Jantika. ”Sewaktu terjadi malapetaka topan besar
di Gurun Tengger. Satu hari sebelum topan muncul ayahku Resi Mojong Lamantara
kedatangan seorang …”
Ucapan
Resi Jantika Lamantara terputus oleh munculnya getaran keras di dasar kawah.
Lalu dinding kawah dihadapan mana Wiro duduk bersamadi berderak. Pada dinding
itu tampak retakan dalam, berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian hampir
satu setengah tombak. Perlahan dan sedikit demi sedikit retakan di sebelah atas
dinding kawah gugus jatuh ke bawah. Tak selang berapa lama pada dinding kawah
itu muncul satu lobang besar menyerupai mulut goa.
Hampir
tiada beda dengan peristiwa yang pernah terjadi ratusan tahun silam, dari dalam
goa melangkah keluar seorang pemuda gagah mengenakan baju dan celana hitam.
Wajah segar bersih dilengkapi kumis, cambang bawuk serta jenggot rapi tipis.
Ratu
Duyung dan Purnama samasama terpana. Bukan karena tertarik akan ketampanan
wajah sang pemuda. Namun kedua gadis cantik ini samarsamar ingat sesuatu.
Pakaian serba hitam dengan sulaman bunga tanjung terbuat dari benang perak dan
emas! Mereka berdua memang belum pernah melihat orangnya. Namun telah sering
mendengar cerita.
Resi
Jantika Lamantara ketika melihat pemuda yang keluar dari dalam goa di dinding
dasar kawah itu langsung tampungkan dua tangan ke langit sambil mulutnya
berucap.
”Dewa
sungguh besar. Puluhan tahun hidup di Gunung Bromo baru sekali ini aku
mengetahui dan melihat kalau gunung ini memang memiliki seorang penunggu
sakti.”
Dengan
sikap tenang pemuda yang barusan keluar dari dalam dinding kawah perhatikan
orangorang didepannya. Ketika dia berpaling pada Resi Jantika, Resi ini cepat
membungkuk dan bentangkan kedua tangan. Dia maklum kalau pemuda itu bukan
manusia biasa. Kalau tidak dengan kuasa Dewa tidak mungkin dia ada dan muncul
seperti itu.
Pemuda
berpakaian hitam sesaat perhatikan Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk
bersamadi di atas batu kelabu. Dia melangkah mendekati dan letakkan tangan
kanan di bahu Wiro. Dari mulutnya keluar ucapan dengan suara lembut.
”Sahabat
tak dikenal, ratusan tahun tidak ada yang sanggup memanggil diriku dari alam
roh kecuali dengan kehendak Para Dewa. Dan kau sanggup melakukan! Aku sudah
berada dihadapanmu. Beritahu apa yang kau dan para pengantarmu inginkan.”
Hawa
dingin yang keluar dari tangan kanan pemuda berpakaian hitam mengalir ke dalam
tubuh Pendekar 212 membuat sang pendekar sadar, hentikan samadi. Ketika dia
membuka mata dan melihat orang yang berdiri dihadapannya serta merta Wiro
terbelalak. Pemuda di candi yang mengobatinya tapi sekaligus mencelakainya!
Pemuda bejat yang memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis! Manusia terkutuk
yang telah merampas kehormatan dan menghabisi Raden Ayu Ambarsari lalu
menimpakan fitnah kesalahan pada dirinya! Dengan cepat Wiro melompat turun dari
atas batu sambil mulutnya berseru.
”Jahanam
terkutuk! Cakra Mentari! Kau!”
*********************
SEPULUH
PEMUDA
berpakaian hitam mundur selangkah ketika melihat Pendekar 212 Wiro Sableng
angkat tangan kanannya. Tangan itu serta merta berubah warna seperti perak
berkilau dan menghampar hawa panas pertanda siap melepas pukulan sakti
mematikan. Pemuda di depan Wiro mengangkat kedua tangan lalu dengan cepat
berkata.
”Sahabat,
tahan seranganmu. Tidak heran kau salah mengira. Wajahku dan wajah orang yang
barusan kau sebutkan namanya itu memang sangat sama. Karena aku sempat menitis
ke dalam dirinya ketika dia masih bayi. Katakan apakah ada permusuhan besar
antara dirimu dengan Cakra Mentari …”
Wiro
balas menatap, pandangi pemuda didepannya mulai dari rambut sampai ke kaki.
Bedanya pemuda ini dengan Cakra Mentari hanya dia tidak mengenakan secarik kain
merah pengikat kening. Perlahanlahan Wiro turunkan tangan kanannya yang tadi
sudah siap menghantamkan pukulan sakti Sinar Matahari.
”Kami
dalam usaha menumpas manusia terkutuk itu. Dia telah berbuat kejahatan keji
dimanamana. Memperkosa dan membunuh banyak gadis. Namun usaha kami tidak mudah
dilakukan. Selain dia memiliki ilmu kepandaian tinggi ada makhluk gaib yang
menjadi pelindung. Keras dugaan makhluk gaib itu sekaligus menjadi otak dari
semua kejahatan bejat yang dilakukannya. Wiro hentikan ucapan, memandang lagi
Suma Mahendra penuh selidik lalu ganti bertanya. ”Sekarang giliranmu
menerangkan. Siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Cakra Mentari.”
”Namaku
Suma Mahendra. Aku berasal dari Kerajaan Singosari ratusan tahun lalu …”
”Tunggu,
kalau kau memang berusia ratusan tahun, bagaimana kau bisa tampil sebagai
seorang pemuda seperti ini …”
Suma
Mahendra tertawa. Dia menunjuk pada Naga Kuning.
”Anak
itu.” katanya. ”Bagaimana dia mungkin hadir sebagai seorang bocah. Padahal sebenarnya
bukankah dia seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun? Kita semua
mendapat berkah dari Para Dewa sesuai dengan keadaan diri masingmasing.”
Wiro
menggaruk kepala. Suma Mahendra lanjutkan keterangannya.
”Suatu
ketika guna mendapatkan ilmu kesaktian mandraguna aku masuk ke dasar kawah
Gunung Bromo ini untuk bertapa dan mendapatkan sebuah kitab sakti bernama Kitab
Jagat Pusaka Dewa. Permohonanku ternyata tidak dikabulkan Para Dewa. Seperti
kataku tadi Dewa hanya mengizinkan aku menitis ke dalam tubuh seorang bayi yang
kemudian dikenal dengan nama Cakra Mentari. Kepadanya kelak Kitab Pusaka Jagat
Dewa akan diberikan. Namun ada satu makhluk jahat bertindak culas. Mencuri
kitab dan menggantikannya dengan kitab palsu yang mengandung sari kemesuman dan
kejahatan. Cakra Mentari mempelajari kitab sesat itu tanpa dia sadar apa yang
dilakukannya ….”
”Dia
memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis. Mustahil hal itu dilakukan diluar
kesadaran …” kata Ratu Duyung yang sejak tadi berdiam diri.
”Betul.”
jawab Suma Mahendra. ”Disitulah letak kesesatan yang bersumber dari kitab palsu
dan jahat. Pemuda bernama Cakra Mentari itu berada di bawah satu kekuatan
dahsyat yang tak bisa dilawannya. Dia tidak sadar, dia bahkan lupa akan masa
silamnya. Dia hanya menjadi alat seseorang yang luar biasa keji untuk menjadi
perantara mendapatkan ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia ini …”
”Siapa
adanya manusia itu?” tanya Purnama.
Suma
Mahendra menggeleng. ”Sayang sekali, aku tidak mengetahui siapa adanya orang
itu ….”
”Aku
sangat menduga manusianya adalah makhluk tanpa wajah yang tibatiba saja muncul
di tanah Jawa ini. Sering sekali dia muncul untuk mencelakai kami.” ucap Ratu
Duyung.
”Kau
menyebut makhluk itu. Aku jadi ingat dan ucapanmu benar.” kata Suma Mahendra
pula. ”Dia muncul di puncak Gunung Mahameru ketika aku berusaha menyelamatkan
Cakra Mentari sebelum terjebak dan tersesat oleh kitab palsu. Dia menghantamku
dengan tongkat sakti berlapis emas. Berarti makhluk itu yang telah menukar lalu
memberikan kitab jahat pada Cakra Mentari.”
Dari
balik pakaian putihnya Wiro mengeluarkan dua buah kitab, satu masih utuh satu
dalam keadaan hangus. Dua kitab diperlihatakan pada Suma Mahendra. Lalu Wiro
menerangkan.
”Sahabatku
Purnama menerima dua kitab ini dari seorang bernama Deewana Khan. Apakah kau
mengenal orang itu?”
Suma
Mahendra menggeleng.
”Yang
bekas terbakar ini adalah Kitab Jagat Pusaka Dewa yang asli. Yang masih utuh
merupakan salinan tapi tidak bisa dibaca oleh mata biasa. Orang yang memberikan
kitab mengatakan bahwa ada petunjuk di dalam kitab yang terbakar. Aku dan
sahabatku ini mempelajari semalam suntuk. Kami berhasil mengungkapkan tulisan
hangus dan rusak di dalam kitab. Yang mengatakan aku harus datang ke dasar
kawah Gunung Bromo ini dan bersamadi untuk mendapatkan petunjuk. Ternyata aku
bertemu dengan dirimu. Berarti kaulah sumber petunjuk bagiku dan kawankawan
untuk dapat menumpas manusia keji bernama Cakra Mentari itu serta siapapun yang
menjadi otak di belakangnya.”
Wiro
menyerahkan kitab yang masih utuh pada Suma Mahendra.
”Deewana
Khan memberi petunjuk, jika seseorang bertapa seratus hari, dia akan sanggup
membaca seluruh isi kitab dan menguasai semua ilmu kesaktian yang ada
didalamnya. Aku ingin menyerahkan kitab itu padamu. Ambillah.”
Suma Mahendra
tersenyum. Dia tepuktepuk bahu Pendekar 212.
”Kau
orang baik. Aku senang bisa bertemu denganmu. Hanya saja harus kau ketahui.
Masaku telah lewat. Sejak semula aku memang tidak berjodoh dengan kitab ini. Di
dalam alam roh, aku tidak membutuhkan lagi segala macam ilmu kesaktian. Simpan
baikbaik. Kelak pasti ada seorang lain yang lebih pantas mendapatkannya.”
Wiro
masukkan dua kitab ke balik pakaiannya kembali.
”Sebelum
kami pergi, mohon petunjuk apa yang bisa kami lakukan untuk menumpas Cakra
Mentari dan makhluk jahat itu.”
Suma
Mahendra picingkan sepasang mata. Dua tangan dirapatkan lalu diangkat ke atas.
”Des …
des … des!”
Tiga
larik asap putih mengepul keluar dari batok kepala pemuda ini. Setelah asap
hilang dia buka matanya kembali.
”Kau dan
temantemanmu tidak akan mampu mengalahkan Cakra Mentari sebelum terlebih
dahulu menghabisi manusia atau makhluk pelindungnya …”
”Maksudmu
makhluk tanpa wajah itu?” tanya Purnama.
Suma
Mahendra mengangguk.
”Makhluk
tanpa wajah itu siapapun adanya, dia memiliki ilmu kesaktian dahsyat yang
bersumber pada sebuah tongkat emas. Untuk mengalahkannya kau harus
menghancurkan atau merampas tongkat itu.” selesai bicara Suma Mahendra
berpaling pada Purnama. Matanya memandang seperti hendak menelanjangi hingga
Purnama merasa tidak enak.
”Ada apa?
Mengapa kau melihat diriku seperti itu?” tanya Purnama.
Suma
Mahendra tersenyum.
”Kau dan
diriku sama. Kita samasama mahkluk dari alam roh. Namun tingkatanmu jauh lebih
tinggi karena kau berasal dari alam lebih dari seribu tahun lalu.”
”Lalu?”
tanya Purnama lagi.
”Aku
melihat sebuah benda kecil bercahaya kuning di balik pakaianmu. Maukah kau
mengeluarkan dan memperlihatkan padaku?”
Dalam
herannya melihat kemampuan orang mengetahui benda kuning yang memang ada
dibalik pakaian birunya, Purnama mengeluarkan benda itu dan menyerahkannya pada
Suma Mahendra. Setelah memperhatikan cukup lama Suma Mahendra bertanya.
”Kepingan
emas ini berasal dari tongkat emas makhluk tanpa wajah itu. Bagaimana bisa
sampai berada padamu?”
Purnama
menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan makhluk tanpa wajah. Ketika lawan
menghantam dan membuat dia terkunci terpendam di dalam tanah, dia berhasil
membuat gompal tongkat emas senjata manusia tanpa wajah itu.
”Gompalan
tongkat emas ini bukan benda sembarangan. Bisa dipergunakan untuk menjajagi
dimana keberadaan makhluk itu. Sebaliknya memegang kepingan tombak ini bisa
berbahaya. Karena makhluk tanpa wajah dapat mengetahui keberadaanmu dan
kawankawan …” Suma Mahendra hentikan ucapan. Wajahnya agak berubah.
Dia
genggam gompalan tongkat emas di tangan kanan lalu pejamkan mata dan hirup
udara dalamdalam. ”Aku merasakan datangnya bahaya. Mungkin makhluk …”
Belum
selesai pemuda berpakaian serba hitam itu berucap tibatiba entah darimana
datangnya selarik sinar kuning berkiblat, membuat Suma Mahendra terpental dan
jatuh duduk di dasar kawah. Mukanya pucat.
Wiro
cepat melompat menolong Suma Mahendra berdiri. Ratu Duyung dan Purnama
samasama tempelkan tangan ke punggung pemuda ini untuk mengalirkan hawa sakti
untuk mencegah cidera tubuh di bagian dalam.
”Terima
kasih, aku tak kurang suatu apa.” kata Suma Mahendra lalu buka genggaman tangan
kanan.
”Kepingan
emas ini, ketika aku mengerahkan tenaga dalam untuk menjajagi, makhluk pemilik
tongkat merasa ada kontak. Dia langsung mengirimkan serangan. Daya serangannya
luar biasa hebat. Padahal jarak makhluk itu dari sini sangat jauh. Namun dalam
waktu cepat, sebelum matahari naik dia akan segera berada di tempat ini. Dia
membekal niat dahsyat. Membuat topan di Gurun Tengger untuk menggulung dan
melumat kalian. Tadi sewaktu kalian pertama kali sampai di dasar kawah ini, aku
rasa dia telah menjajal mengirim angin dan debu ….”
”Betul
sekali.” yang berucap adalah Resi Jantika Lamantara. ”Tadi memang ada angin dan
debu. Jadi makhluk itu rupanya yang akan menimbulkan bencana di kawasan ini.
Semoga Dewa di kahyangan turun tangan untuk menghukum dirinya. Tidak satu orang
atau makhluk pun boleh merusak kesucian hari besar Kasada.”
”Sahabat
semua, sebaiknya kalian segera meningglkan tempat ini. Cepat naik ke atas …”
Purnama
membisikkan sesuatu ke telingan Wiro.
Wiro lalu
berkata pada Suma Mahendra. ”Dalam semua kejadian yang menimbulkan semua
malapetaka keji ini kami melihat bunga tanjung muncul dimanamana. Bahkan
pakaian yang kau kenakan di sulam dengan gambar bunga itu. Kami mohon
petunjukmu apa arti dan hubungan bunga tanjung dengan semua kejadian keji itu.”
”Sebelum
aku menitis masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari, aku terlebih dahulu mengirimkan
ratusan bunga tanjung ke dalam tubuhnya sebagai pagar penjaga keselamatan.
Namun sewaktu pemuda itu terperangkap dalam tangan makhluk jahat, mahkluk jahat
menyusupkan lebih dari tiga ratus bunga tanjung ke dalam tubuh Cakra Mentari,
merusak dan menghancurkan bunga tanjung milikku. Bunga tanjung berubah menjadi
bunga noda. Jika kau ingin mengalahkan Cakra Mentari, kau harus menguras habis
semua bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya ….”
”Caranya?”
tanya Gondoruwo Patah Hati yang bicara untuk pertama kalinya.
”Konon
ada satu pantangan yang tak boleh dilanggar oleh Cakra Mentari. Sayangnya aku
tidak tahu apa pantangan itu.”
Purnama
belum puas. Dia berkata lagi. ”Wiro sahabatku ini dicelakai oleh Cakra Mentari
hingga hilang kejantanannya sebagai lakilaki. Apakah kau punya petunjuk untuk
mengobatinya?”
Suma
Mahendra menatap ke bagian bawah pusar Wiro. Kelopak matanya bergetar.
”Ada satu
tanda putih di bawah pusar. Seseorang, mungkin saja Cakra Mentari sengaja
menyusupkan bunga tanjung untuk melumpuhkan kejantananmu. Bunga tanjung itu
harus dicari dan ditanam di bawah pohon tanjung, diantara dua akar yang sejajar
….”
”Kejadiannya
sudah cukup lama. Bagaimana mungkin mencari dan menemukan bunga tanjung yang
satu itu ….”
Suma
Mahendra merenung lalu pejamkan kedua matanya. Saat mata dibuka kembali pemuda
ini berkata.
”Ada
petunjuk dari alam gaib. Berasal dari pohon tanjung besar yang pernah tumbuh di
alunalun Kerajaan Singosari. Pohon itu kemudian masuk ke dalam kawah ini lalu
satu kekuatan dahsyat memindahkannya ke Gurun Tengger, di pakai untuk tempat
Cakra Mentari melakukan tapa sesat. Menurut petunjuk seorang perempuan berusaha
menolong Wiro. Dia mengambil bunga tanjung yang disusupkan di bawah pusar lalu
menghancurkannya. Tanpa diketahui perempuan penolong pada saat itu terjadi satu
hal aneh. Hancuran bunga tanjung menguap di udara lalu dihembus angin gaib,
menyatu kembali namun masuk ke dalam kemaluan perempuan itu …”
”Oala!”
ucap Naga Kuning.
”Untuk
menyembuhkan Wiro, bunga tanjung itu harus didapatkan, diambil dan seperti
kataku tadi disusupkan diantara akar sejajar sebuah pohon tanjung. Pohon
sanjung dimana saja yang bisa kalian temukan.”
”Apakah …
apakah …” Naga Kuning kembali membuka mulut. Kali ini sambil mesemmesem geli.
”Apakah diketahui siapa adanya perempuan yang menolong Wiro itu? Kalau tidak
diketahui apakah mungkin kita semua memeriksai sekian banyak kemaluan perempuan
untuk mencari bunga tanjung itu? Untunguntung masih utuh. Kalau sudah leleh
dan baubau pesing!! Oala! Hik … hik … hik!” si bocah berambut jabrik ini lalu
tertawa cekikikan.
Wiro,
Purnama dan Ratu Duyung terkesiap mendengar ucapan lucu tapi kurang ajar itu.
Resi Jantika tundukkan kepala mengucap berulang kali. Semua orang merasa
khawatir kalau Suma Mahendra marah.
Gondoruwo
Patah Hati pencet tengkuk Naga Kuning seraya membentak. ”Bocah edan! Ini bukan
saatnya bicara ngelantur seenak udelmu!”
Sebaliknya
tidak disangka Suma Mahendra malah tertawa gelakgelak sampai wajahnya menjadi
merah.
”Ratusan
tahun dalam alamku, aku tidak pernah mendengar senda gurau yang menyegarkan
seperti itu.” kata Suma Mahendra pula. ”Ucapan sahabat kecil itu benar adanya.
Mungkin satu petunjuk lagi bisa aku beritahu. Perempuan yang menolong Wiro
adalah seorang yang berasal dari alam gaib …”
”Nah …
nah!” kembali Naga Kuning bersuara. Kali ini sambil melirik ke arah Purnama.
Merasa
tidak enak dirinya seperti dicurigai Purnama cepatcepat berkata. ”Sahabat Suma
Mahendra. Tidak siasia kami datang kesini. Kami sangat berterima kasih atas
semua petunjuk yang kau berikan.”
”Ada satu
hal yang menjadi pertanyaan dalam pikiran dan hatiku. Apakah Cakra Mentari
pantas bertanggung jawab dan dibunuh? Karena semua kejahatan yang dilakukannya
berpangkal pada tipu daya makhluk tanpa wajah. Ketika dia berusia dua belas
tahun dia anak yang cerdas. Tanpa setahu kedua orang tuanya secara gaib aku
mengajarkan ilmu silat dan kesaktian padanya. Dia memiliki ilmu kesaktian yang
disebut Raja Demit berupa satu makhluk raksasa berkulit merah yang bisa keluar
dari gosokan kedua tangannya. Dia juga memiliki ilmu pukulan sangat berbahaya
yang didapat setelah bersamadi di Gurun Tengger. Pukulan itu bernama Tiga
Cahaya Alam Gaib, memancarkan cahaya merah, biru dan hijau. Setahuku pemuda itu
mempunyai teman seekor elang putih berjambul hitam. Hanya itu yang bisa aku
sampaikan pada kalian …”
”Kami
sangat berterima kasih. Setelah tahu siapa dan bagaimana keadaan Cakra Mentari
tentunya kami …”
Ucapan
Purnama terputus. Tibatiba ada getaran keras di dasar kawah. Air yang
tergenang di beberapa bagian kawah tampak bergejolak seperti mendidih. Di
langit tampak tebaran debu coklat kehitaman disertai suara angin menyerupai
tiupan seribu seruling.
”Topan …”
desis Resi Jantika Lamantara.
”Sahabat
semua! Lekas tinggalkan tempat ini. Naik ke atas gunung! Cepat!” teriak Suma
Mahendra. Lalu pemuda ini balikkan tubuh, melangkah masuk ke dalam lobang di
dinding kawah. Secara aneh dinding yang berlobang membentuk mulut goa itu
menutup kembali!
Didahului
oleh Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning, disusul oleh Resi Jantika Lamantara,
Wiro, Ratu Duyung dan Purnama, semua orang itu melesat ke atas gunung. Namun
dari atas gunung menggebubu angin luar biasa dahsyat, menghantam ke bawah
membawa debu dan pasir gurun hampir selebar mulut gunung dengan ketebalan
mencapai tiga tombak! Daya dorong yang luar biasa hebat membuat semua orang
tertekan ke bawah. Apapun yang mereka lakukan tidak mampu menembus ke atas,
tidak dapat menyelamatkan diri. Naga Kuning yang pertama sekali kelihatan
limbung lalu terlempar ke bawah. Gondoruwo Patah Hati berusaha mencekal tangan
anak ini tapi diapun ikut terseret dan terhempas jatuh. Sementara Wiro, Purnama
dan Ratu Duyung tampak menggapaigapai siasia.
”Celaka!”
teriak Resi Jantika. Tubuhnya melayang paling cepat ke bawah. ”Kita semua akan
terkubur hiduphidup di dasar kawah!” dalam keadaan menegangkan begitu rupa
tibatiba sang Resi ingat sesuatu. Dia berteriak sekeras yang bisa dilakukan.
”Angin
Putih Tangan Dewa! Kalian semua! Lekas pukulkan tangan kanan kalian ke atas!”
habis berteriak begitu sang Resi terhempas ke bawah, terpelanting ke dinding
kawah dan tergeletak satu cegukan batu dengan kepala benjut berdarah.
Setengah
sadar dia kemudian menyaksikan apa yang terjadi dan berulang kali menyebut nama
Dewa.
*********************
SEBELAS
INTAN! Naga
Kuning berteriak memanggil Gondoruwo Patah Hati dengan nama aslinya. ”Aku tidak
takut, aku tidak penasaran kalau kita harus mati berdua di dasar kawah Gunung
Bromo ini!”
”Gila!
Aku belum mau mati!” balas berteriak si nenek. ”Kau dengar apa yang diteriakkan
Resi itu? Dia tahu sesuatu! Ayo hantamkan tangan kananmu ke atas!”
Sementara
tubuh melayang ke bawah Gondoruwo Patah Hati pukulkan tangan kanannya ke atas.
Naga Kuning lakukan hal yang sama. Keduanya samasama mengerahkan tenaga dalam
penuh.
”Tar! Tar!”
Dari
tangan kanan kedua orang itu muncul kilatan terang disertai suara seperti petir
menyambar. Lalu dua cahaya putih melesat ke atas mengandung kekuatan angin
dahsyat, menderu menggelegar, menghantam pasir gurun tebal yang tengah
menggemuruh jatuh ke bawah laksana atap raksasa menimpa roboh!
Melihat
apa yang terjadi, Wiro, Purnama dan Ratu Duyung segera pula pukulkan tangan
kanan masingmasing. Dari telapak tangan yang putih setelah dijilat harimau
sakti Datuk Rao Bamato Hijau, menggelegar tiga kilatan cahaya terang, melesat
ke atas, bergabung dengan dua pukulan yang telah terlebih dahulu dihantamkan
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.
Terjadilah
satu hal yang hebat. Begitu lima cahaya putih bertabrakan dengan pasir gurun
yang jatuh siap menutup dasar kawah dan mengubur hiduphidup kelima orang itu
termasuk juga Resi Jantika Lamantara, lima ledakan luar biasa dahsyat
menggelegar. Gunung Bromo seolah hendak meletus. Pasir gurun yang tebalnya
sampai dua tombak dan bergerak turun tercabik buyar, melesat muncrat ke atas.
Lalu di udara muncul satu kekuatan aneh, menyedot pasir serta semua orang yang
ada di dalam kawah!
Laksana
daun kering Wiro, Resi Jantika dan empat orang lainnya melayang di udara,
dibawa angin kencang berputarputar ke arah selatan dimana terletak Gurun
Tengger. Angin dahsyat kemudian mencampakkan mereka ditempat yang terpisah satu
sama lain. Ketinggian ilmu yang dimiliki orangorang itu membuat mereka masih
bisa jatuh di gurun pasir dengan hanya mengalami cidera ringan. Walaupun begitu
mereka terpaksa harus berbaring menelungkup serata mungkin di tanah gurun dan
melindungi mata dengan lengan. Sambaran ribuan bahkan mungkin jutaan pasir
gurun laksana senjata rahasia bisa membutakan mata dan membuat tubuh mereka
berubah jadi saringan!
Ditempatnya
menelungkup sesekali dan sangat hatihati Wiro coba mengintai dari balik
lengan. Gila! Dia hanya melihat kegelapan saking tebalnya pasir gurun yang
beterbangan. Dia terapkan ilmu Menembus Pandang. Tidak mempan!
”Apa yang
harus aku lakukan?” pikir murid Sinto Gendeng. Dia mengusap wajahnya yang penuh
pasir dengan tangan kanan. Saat itu samarsamar dia melihat kalau warna putih
di telapak tangan kanannya tak ada lagi. ”Datuk Rao Bamato Hijau. Dia yang
membuat warna putih dengan jilatan lidah. Ternyata warna putih itu adalah satu
kekuatan ilmu dahsyat yang mampu melabrak hembusan angin topan, merobek
tumpukan pasir gurun hingga menguak celah untuk menyelamatkan diri. Resi
Jantika menyebutnya Angin Putih Tangan Dewa. Bagaimana sang Resi tahu nama ilmu
kesaktian tersebut. Apakah dia punya hubungan dengan Datuk Rao Basaluang Ameh
di tanah seberang pemilik harimau putih sakti? Datuk Rao Bamato Hijau, aku
harap kau mendengar suaraku. Kalau tidak berkat pertolonganmu, aku dan
temanteman saat ini mungkin sudah terkubur jadi bangkai di dasar kawah Gunung
Bromo. Kami sangat berterima kasih …”
Sementara
itu ditempat lain Ratu Duyung tutupi wajahnya dengan cermin sakti. Setiap ada
kesempatan dia berusaha melihat ke dalam cermin. Gelap kelam. Hanya itu yang
terlihat. Gadis ini maklum bukan hanya tebalnya topan pasir yang jadi kendala,
tapi ada suatu kekuatan sangat dahsyat ikut menahan daya sakti cermin.
”Makhluk
jahanam tak punya wajah itu. Pasti dia ada di gurun ini.” pikir Ratu Duyung.
”Berapa lama aku bisa bertahan dari topan gila ini? Dimana Wiro. Dimana yang
lainlainnya?” dalam keadaan menelungkup dia berteriak. ”Wiro?! Kau dimana?!
Tak ada jawaban. Begitu juga setiap Ratu Duyung berteriak nama yang lain. Sama
sekali tidak ada jawaban. Suara teriakannya lenyap ditelan gaung panjang tak
berkeputusan suara angin topan yang menderu ganas. Ratu Duyung kerahkan ilmu
Menyerap Detak Jantung untuk mengetahui keberadaan Wiro dan yang lainlainnya.
Tapi gagal.
”Ini
bukan topan kehendak alam. Seperti yang dikatakan Suma Mahendra ini adalah
topan buatan makhluk tanpa wajah! Untuk mencelakai Wiro dan para sahabat
termasuk diriku. Agaknya makhluk itu sudah tahu pertemuan dengan Suma
Mahendra.” Ratu Duyung membatin dalam hati. ”Berarti makhluk itu ada di gurun
ini juga! Kalau aku bisa mengetahui dimana dia berada …” Ratu Duyung berusaha
memandang ke berbagai penjuru namun tetap saja dia hanya bisa melihat kegelapan
menghitam akibat tebaran pasir gurun yang luar biasa tebal.
Resi
Jantika Lamantara beruntung jatuh di Gurun Pasir Tengger tak jauh dari satu
gundukan batu. Dengan menggulingkan diri dia berlindung di balik batu ini.
Namun pikirannya diselimuti rasa khawatir amat sangat. Hatinya tiada henti
berkata. ”Aku harus menyelamatkan kuil. Aku harus menyelamatkan semua benda
persembahan untuk hari suci Kasada besok. Aku tak bisa hanya tinggal diam di
tempat ini. Topan belum tentu berhenti sampai malam nanti. Dewa Penguasa Alam,
lindungi diriku. Aku harus melakukan sesuatu.”
Dengan
nekad Resi usia delapan puluh tahun ini bangkit berdiri. Terbungkukbungkuk dia
melangkah ke arah di mana dia menduga terletaknya kuil. Namun baru dua langkah
berjalan terpaan topan membuat tubuh sang Resi terpental dan jatuh terguling di
pasir. Masih nekad dia kembali berdiri. Sekali ini hantaman pasir melabrak
tubuhnya. Pakaian putihnya berlubanglubang. Ratusan pasir menusuk kulit, masuk
menembus ke daging. Resi Jantika mengeluh kesakitan. Ketika sekali lagi angin
deras menghantam, orang tua ini terpental, terkapar di tanah gurun tak mampu
bergerak lagi. Dari mulutnya terdengar suara merapal doa diselingi erang
menahan sakit.
Di satu
tempat di arah timur Gurun Tengger Purnama merapal satu aji kesaktian. Dari
tubuhnya memancar cahaya biru yang diharapkan bisa melindungi diri dari
kemungkinan tersambar pasir gurun. Celakanya setiap pasir gurun berbenturan
dengan lapisan cahaya biru terjadi letupan keras disertai pancaran bunga api
yang berbalik membakar pakaian birunya. Purnama akhirnya berhenti merapal.
Seperti Ratu Duyung dia kemudian teringat keterangan Suma Mahendra kalau topan
yang terjadi saat itu adalah perbuatan gila makhluk tanpa wajah.
”Kalau
topan gila ini memang hasil perbuatan makhluk itu, mungkin aku bisa mengetahui
dimana dia berada lalu memancingnya keluar dari persembunyian! Tapi dimana
temanteman. Apa sanggup menghadapi mahkluk jahat itu sendirian?” Gadis dari
alam gaib ini coba menyelidik keberadaan Wiro dan kawankawan dengan ilmu Nafas
Sepanjang Badan. Namun seperti yang terjadi dengan Ratu Duyung, ilmu tersebut
tidak mampu diterapkan. Purnama berpikir sejenak lalu masukkan tangan kanannya
ke saku celana biru. Dari saku ini dia keluarkan gompalan tongkat emas milik
makhluk tanpa wajah. Gompalan tongkat ini diikatnya dengan benang sepanjang
sepuluh langkah yang dicabut dan dibuat dengan cepat dari benang baju biru
pakaiannya. Gadis ini pegang ujung benang kemudian bersurut menjauh. Di dalam
gelapnya topan pasir Gurun Tengger, gompalan tongkat emas mengeluarkan cahaya
kuning terang.
Purnama
menunggu dengan dada berdebar dan dia tidak menunggu lama. Selagi masih
bersurut tibatiba dari arah timur tampak cahaya kuning luar biasa terang,
melesat ke arah tempatnya tengkurap. Purnama tarik ujung benang yang mengikat
gompalan tongkat emas sambil berguling menjauh. Cahaya kuning berkiblat,
melabrak tanah didepannya. Pasir gurun muncrat sampai dua tombak. Di tanah
tampak satu lobang besar dan dalam mengepulkan asap. Purnama berbaring tak
bergerak. Mata menatap lurus ke depan. Makhluk yang ditunggu tidak muncul.
Namun Purnama yakin makhluk itu masih berada di gurun. Karenanya dia siapkan
ilmu kesaktian bernama Menahan Raga Menyerap Tenaga yang mampu membuat lawan
kaku lemas seluruh anggota tubuhnya. Namun sang makhluk tetap tidak menampakkan
diri.
Mendadak
Purnama merasa merinding. Janganjangan makhluk jahat tanpa wajah itu sudah
berada didekatnya, melihat dirinya tapi dia sendiri tidak melihat makhluk itu!
Memikir seperti itu Purnama segera saja melenyapkan diri, masuk ke dalam alam
roh tapi sosok tubuh kasarnya masih tetap berbaring di tanah.
Apa yang
terjadi dengan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati? Ketika tubuh mereka
melesat ke udara dan tersedot ke atas puncak Gunung Bromo kedua orang yang
sebenarnya adalah sepasang kekasih ini sempat saling berpegangan. Sewaktu jatuh
di tanah gurun keduanya jatuh saling tindih dan beruntung masuk ke satu cegukan
tanah hingga agak terlindung dari sambaran pasir gurun. Namun setelah ditunggu
beberapa lama Naga Kuning yang menindih di sebelah atas masih tidak turunturun
dari atas tubuh si nenek bahkan sama sekali tidak bergerak. Ketika diperhatikan
kedua matanya terpejam.
”Gunung,
kau kenapa?” tanya Gondoruwo Patah Hati khawatir. Gunung adalah nama asli Naga
Kuning. Si nenek merangkak mendekati bocah itu. Tubuh Naga Kuning diguncang.
Anak ini masih saja diam tak bergerak. ”Heh..?” Gondoruwo Patah Hati semakin
khawatir. Pipi Naga Kuning ditepuktepuk. Sewaktu mau diangkat diturunkan ke
samping tubuh si bocah terasa berat. Sementara di sebelah bawah ada sesuatu
yang menekan dan terasa panas dan sesekali bergerakgerak.
”Gunung!
Kau jangan macammacam!” teriak Gondoruwo Patah Hati. Dia merasa ada yang tidak
beres. Terlebih sewaktu sosok Naga Kuning yang menindihnya tibatiba berubah
menjadi sosok seorang kakek gagah mengenakan jubah kelabu! Ini adalah ujud Naga
Kuning yang sebenarnya dan dikenal dengan nama Kiai Paus Samudera Biru. ”Kurang
ajar! Kau mau berbuat apa?!” bentak si nenek. Dia berusaha menurunkan tubuh
yang menindihnya tapi tubuh itu semakin berat. Malah dua tangan si kakek kini
bergerak merangkulnya. Lalu ditelinganya terdengar suara bisikan.
”Intan,
lama sekali aku menginginkan kita berduadua seperti ini. Baru sekarang ada
kesempatan…”
”Ihhh!”
Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka kurang ajar! Lekas turun! Kalau
tidak …”
”Nek,
tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning Lestari agar kita bisa
bermesraan lebih mantap? Apa kau tega membiarkan diriku seperti ini?” bisik
Naga Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru.
”Kiai
edan! Janganjangan kau sudah kemasukan roh jahatnya Cakra Mentari!” si nenek
susupkan tangan kirinya ke balik jubah si kakek. Kiai Paus Samudera Biru
mesemmesem merasakan sentuhan tangan yang menjalar itu. Dia menunggu datangnya
usapan terakhir ditempat yang tak bisa dibayangkan.
Namun
tibatiba sang kiai menjerit keras. Kantong menyan perabotannya kena dipencet
si nenek! Tanpa disuruh lagi langsung saja tubuh si kakek melintir turun ke
tanah. Dua kaki melejanglejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan
sakit.
”Rasakan!
Makan pencarianmu!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu cekikikan. Namun nenek ini
kemudian hentikan tawa dan unjukkan muka khawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus
Samudera Biru kini tergeletak di tanah tidak bergerak tidak bersuara! Ketika
dia menatap muka si kakek kelihatan sepasang matanya terbuka mendelik.
”Astaga!
Janganjangan …” si nenek ketakutan lalu jatuhkan diri dan peluk tubuh si
kakek. Dia usap kepala sambil ciumi Kiai Paus. ”Gunung, apakah tadi aku terlalu
keras memencet anumu?”
Si kakek
tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya berubah menjadi Naga Kuning kembali.
Sambil merangkul punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki
dipinggul si nenek bocah ini tertawa terpingkalpingkal.
”Anak
kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu berguling menjauh sambil
terus memaki panjang pendek.
TAMAT
No comments:
Post a Comment