Mayat Persembahan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
Telaga
Malakaji diselimuti kesunyian. Riak air telaga yang tertiup angin bahkan tidak
mengeluarkan suara.
Di balik
sebatang pohon besar dalam kegelapan, mendekam satu sosok berpakaian gelap.
Sejak tadi sepasang mata orang ini memperhatikan ke arah pondok di tepi telaga
di seberang sana. Dia melihat ada cahaya pelita suram menerangi bagian dalam
pondok berdinding bambu.
Setelah
sekian lama berada di balik pohon perlahanlahan orang tadi bergerak keluar.
Melangkah cepat menyusuri tepian telaga hingga akhirnya sampai di samping
pondok. Dia memeriksa bagian belakang bangunan tempat pembakaran besi. Tak ada
bara menyala di tungku pelebur besi.
"Tak
mungkin senjata itu ditinggal di luar sini," orang berpakaian gelap
berkata dalam hati. "Pasti dibawa ke dalam. Menurut Kakek Sarontang
senjata itu saat ini pasti sudah selesai dibuat."
Orang
berpakaian geiap melangkah ke pintu pondok. Untuk beberapa lama dia berdiri di
depan pintu itu. Di tanah dekat tangga dilihatnya ada sepotong belahan bambu.
Diambilnya, lalu dimasukkan ke celah pinggiran pintu, dipergunakan untuk
membuka kayu kecil pemalang pintu.
Daun
pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong. Sinar terang nyala
lampu minyak menyeruak keluar. Orang itu tak segera masuk, berhenti dulu di
ambang pintu. Sepasang matanya berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan
dalam pondok. Cahaya lampu yang menerangi wajahnya memperlihatkan bahwa dia
adalah seorang pemuda.
Lampu
minyak itu terletak di atas sebuah meja kayu. Berkelap-kelip pertanda minyaknya
tinggal sedikit. Di sudut kiri ada sebuah lemari kecil yang bagian atasnya
berbentuk rak. Lalu di samping lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu
minyak terdapat sebuah balai-balai kayu. Di atas balai-balai itu terbujur sosok
seorang berjubah merah, menghadap ke dinding. Walau tidak melihat wajah orang
yang tidur tapi pemuda yang barusan masuk sudah tahu siapa adanya orang itu.
Untuk beberapa
lamanya pemuda itu masih tegak tak bergerak di ambang pintu. Telinga dipasang
seperti berusaha mendengar baik-baik hembusan nafas orang yang tidur. Sesaat
kemudian baru dia langkahkan kaki. Yang didekatinya pertama kali adalah meja
kecil dimana lampu minyak menyala.
Orang ini
sudah sering datang ke pondok itu. Dia tahu betul, di sebelah bawah meja kayu
ada sebuah laci. Benda yang dicarinya mungkin disimpan dalam laci itu. Sesaat
dia berpaling memperhatikan sosok yang tidur di atas balai-balai kayu. Lalu
hati-hati ditariknya laci di bawah meja. Ada beberapa benda di dalam laci meja.
Diantaranya dua bilah pisau berkeluk tanpa sarung. Dia memeriksa lagi sambil
membungkuk agar bisa melihat lebih jelas. Benda yang dicarinya tak ada di situ.
Perhatiannya
kini tertuju pada lemari di samping balai-balai kayu. Tanpa suara dia melangkah
mendekati lemari itu. Dalam rak di sebelah atas lemari kosong hanya ada sebuah
kendi tua terbuat dari tanah. Dipandanginya pintu penutup lemari.
Dadanya
berdebar. Dia tahu, dia pernah beberapa kali melihat lemari itu dibuka. Setiap
dibuka lemari mengeluarkan suara berderik keras. Sesaat hatinya meragu. Tapi
kalau lemari itu tidak diperiksa, kawatir benda itu benar-benar berada di
dalamnya. Apa boleh buat.
Ternyata
memang benar. Engsel pintu lemari mengeluarkan suara berderik keras ketika
dibuka.
Orang
yang membuka menoleh ke arah balai-balai.
Sosok
yang tidur tidak bergerak. Dia meneruskan membuka lemari. Gelap. Bagian dalam
lemari gelap, dia tak bisa melihat jelas. Terpaksa orang ini mengambil lampu
minyak di atas meja, membawanya ke bagian depan lemari. Dia menggerutu dalam
hati.
Dalam
lemari hanya ada beberapa potong pakaian tua. Yang dicari masih belum
ditemukan.
"Jangan-jangan
orang tua itu menyimpan benda itu dalam saku jubahnya. Atau mungkin dibawah
bantal. Bagaimana aku bisa mengambilnya…" membatin orang di dalam pondok.
Lalu hatinya kembali berucap. "Tapi itu bukan kebiasaan Daeng
Wattansopeng. Dia tak pernah membawa tidur barang bertuah. Juga tak pernah
meletakkan bendabenda seperti itu dibawah bantal. Atau mungkin sekali ini ada
pengecualian?"
Orang itu
memandang ke arah rak di atas lemari.
Matanya
untuk kesekian kalinya membentur kendi tanah di atas rak. Otaknya menduga-duga.
"Kendi
tinggi. Lehernya besar. Cukup besar untuk menyimpan benda itu…" Lampu
minyak diletakkan di atas rak. Lalu tangannya mengambil kendi tanah. Kendi
didekatkan ke telinga kiri.
Diguncang
perlahan. Ada suara bergemeletakan.
"Pasti
…" desis orang itu. Mulut kendi dijungkirkan dibawah. Telapak tangan kiri
menampung. Sebuah benda jatuh ke atas telapak tangan.
"Ah…"
Si pemuda keluarkan seruan kecewa.
"Bukan!"
Yang keluar dari dalam kendi adalah sepotong lempengan besi berwarna hitam
kebirubiruan.
Agak
kesal orang itu memasukkan lempengan besi ke dalam kendi. Kendi kemudian
dikembalikan ke tempatnya semula. Belum sempat kendi diletakkan di atas rak
tiba-tiba di sebelah belakang ada suara menegur.
"Bontolebang,
apakah benda ini yang kau cari?"
Saking
kagetnya kendi yang hendak diletakkan di atas rak jatuh ke bawah, pecah
berkeningan di lantai pondok. Si pemuda cepat membalik. Di depan sana, orang
berjubah merah yang tadi terbujur tidur kini dilihatnya duduk di tepi
balai-balai kayu.
Menyeringai
sambil memegang sebuah benda panjang satu setengah jengkel, memancarkan cahaya
hitam kebiru-biruan. Itulah benda yang dicarinya. Badik Sumpah Darah!
Bontolebang,
pemuda berpakaian biru gelap yang menyelinap masuk ke dalam pondok hanya bisa
tegak tertegun. Mulut terbuka tapi tak ada suara yang mampu keluar.
Perlahan-lahan
orang tua berjanggut putih menjela dada yang duduk di tepi balai-balai kayu
bangkit berdiri. Dia bergerak mendekati Bontolebang dan berhenti sejarak dua
langkah dari hadapan pemuda itu.
"Kau
belum menjawab pertanyaanku Bontolebang.
Aku Daeng
Wattansopeng bertanya. Apa badik ini yang kau cari?"
Pucatlah
wajah si pemuda. Lututnya goyah.
Kalau
tidak menguatkan diri saat itu mungkin dia sudah jatuh terduduk. Kepalanya
digeleng ke kiri ke kanan.
"Hemmm…
jadi kau bukan mencari senjata bertuah ini. Lalu menyelinap masuk ke pondokku,
membuka laci meja, memeriksa lemari, memeriksa kendi, kau mencari apa?"
"Astaga,
jadi semua apa yang kulakukan dia tahu, dia melihat," kata Bontolebang
dalam hati. Kepala si pemuda yang tadi menggeleng kini menganggukangguk.
"Saya…
saya disuruh Kakek Sarontang…" Bontolebang berucap terbata-bata.
"Kau
disuruh Kakek Sarontang katamu?"
Sepasang
mata Daeng Wattansopeng menatap tajam ke dalam mata si pemuda, seolah hendak
menembusnya. Dua bola mata Bontolebang berputarputar.
Memandang
ke arah lain, tak berani melihat mata orang tua di hadapannya. Si kakek
tersenyum.
"Air
mukamu pucat, bicaramu gagap. Lututmu bergetar goyah. Kau berdusta,"
berkata Daeng Wattansopeng. "Katakan hal yang sebenarnya."
"Saya…saya
memang mencari badik itu…" Bontolebang akhirnya mengaku.
"Hemmm
…" gumam serta senyum bermain di bibir Daeng Wattansopeng.
"Saya,
saya memang tidak disuruh Kakek Sarontang.
Saya
datang atas kemauan sendiri."
"Bagus,
kau sudah bicara hal yang sebenarnya. Aku ingin tahu, mengapa kau menginginkan
badik ini?"
"Saya,
saya benci pada Kakek Sarontang…"
"Benci?"
Daeng Wattansopeng kerenyitkan kening.
Dia sudah
sejak lama tahu, selain merupakan cucu, antara pemuda itu dengan sang kakek ada
satu hubungan tidak terpuji. Sarontang memperlakukan Bontolebang sebagai
kekasih. Daeng Wattansopeng yang menganggap Sarontang sebagai saudara sendiri,
sudah berulang kali menegur dan menasihati Sarontang agar menghentikan
perbuatan mesum dan maksiat besar itu. Namun Sarontang tak pernah mendengar.
Bahkan diketahui Sarontang juga punya kekasih-kekasih lain selain Bontolebang.
"Bontolebang,
kenapa kau membenci kakekmu itu?" Bertanya Daeng Wattansopeng. (Baca
Episode pertama berjudul "Badik Sumpah Darah)”
"Dia
ingkar janji." Menjawab si pemuda.
"Janji
apa?"
"Dulu
dia pernah berkata. Kalau satu ketika Kakek Daeng Wattansopeng membuat sebilah
badik bertuah, maka senjata itu akan dimintakannya dan diberikan pada saya.
Ternyata senjata itu akan diberikannya pada orang yang barusan datang dari
tanah Jawa."
"Oh,
jadi orang dari Tanah Jawa itu sudah sampai di Tanah Bugis ini?"
Bontolebang
mengangguk.
Daeng
Wattansopeng membelai kumis dan janggut putihnya sesaat lalu berkata.
"Aku
tidak keberatan memberikan badik bertuah ini padamu, jika memang senjata sakti
ini berjodoh dengan dirimu."
Ada rasa
kaget dan heran tapi juga gembira dalam diri Bontolebang. Hal ini kentara dari
air mukanya yang langsung berubah.
"Saya,
saya… tidak mengerti maksud Kakek…"
Daeng
Wattansopeng ulurkan tangannya yang memegang badik tak bergagang.
"Ulurkan
tanganmu, terima senjata ini."
Bontolebang
merasa ragu.
"Mengapa
bimbang? Kau inginkan badik ini bukan? Nah, ambillah!"
Dengan
tangan kirinya Daeng Wattansopeng menarik tangan kanan Bontolebang. Telapak
tangan dibalikkan ke atas. Lalu badik tak bergagang yang sejak tadi dipegangnya
diletakkan di atas telapak tangan kanan, jari-jari digenggamkan. Badik tak
bergagang tenggelam dalam genggaman si pemuda.
Hanya
sesaat badik tergenggam, tiba-tiba Bontolebang merasakan ada hawa panas luar
biasa seolah bara menyala memanggang tangannya. Asap mengepul. Bontolebang
mengeluh keras. Tangannya bergetar hebat. Jari-jari terpentang membuka.
Bersamaan
dengan itu badik tak bergagang yang barusan dipegangnya melayang ke atas
setinggi satu tombak, hampir menyentuh langit-langit pondok. Tibatiba senjata
itu melesat, menukik ke bawah, menyambar ke arah dada Bontolebang. Si pemuda
berseru kaget. Cepat menyingkir.
"Breeettt!"
Tak urung
dada baju birunya tersambar robek.
Keringat
dingin memercik di muka Bontolebang yang berubah pucat pasi. Belum habis kaget
dan ngerinya tiba-tiba badik tak bergagang kembali menderu. Kali ini melesat
mengarah kepalanya.
Bontolebang
jatuhkan diri ke lantai pondok.
Terlambat!
"Crasss!"
Daun
telinga kiri pemuda itu kucurkan darah.
Badik tak
bergagang sempat menyambar daun telinganya lalu melesat lagi ke langit-langit
kamar siap untuk kembali menyerang.
Si pemuda
cepat jatuhkan diri, berlutut di lantai pondok. Tangan kiri pegangi daun
telinga yang luka, tangan kanan diletakkan di atas dada. Sambil membungkuk dia
berkata.
"Kakek
Daeng Wattansopeng. Saya mengaku salah. Maafkan saya…"
Kakek
berjubah merah tersenyum. Dia angkat tangan kanannya. Badik tak bergagang
melayang turun, segera dijangkau dengan tangan kanan.
"Badik
ini tidak berjodoh denganmu Bontolebang."
"Saya
tahu, saya mengerti…" jawab Bontolebang begitu mendengar ucapan Daeng
Wattansopeng.
"Nasibmu
masih untung Bontolebang. Badik ini masih belum diberi tuba. Kalau sudah
bertuba, luka ditelingamu itu bisa membuat umurmu hanya tinggal beberapa
kejapan mata saja…"
"Saya
mengaku salah. Maafkan dan ampuni saya,"
kata
Bontolebang dengan suara bergetar dan tengkuk dingin.
Daeng
Wattansopeng duduk di tepi balai-balai kayu.
"Kau
boleh meninggalkan tempat ini. Temui Sarontang. Kaiau orang dari tanah Jawa itu
memang sudah datang, katakan pada Kakekmu itu agar membawanya ke sini pagi tiga
hari dari sekarang.
Sebelum
fajar menyingsing. Ingat, tiga hari dari sekarang, pagi hari sebelum fajar
menyingsing."
"Perintah
Kakek saya lakukan. Saya mohon diri…"
Bontolebang
membungkuk dalam lalu berdiri dan cepat-cepat tinggalkan pondok itu. Daeng
Wattansopeng benar. Kalau saja tubuh badik tak bergagang itu telah diberi
beracun, saat itu dirinya pasti sudah menjadi mayat dengan kulit matang biru.
Selain itu Bontolebang maklum, Daeng Wattansopeng memaafkan dirinya semata-mata
hanya mengingat dia adalah cucu Kakek Sarontang.
Daeng
Wattansopeng dalam setiap sikap dan ucapannya selalu tampak lembut. Tapi pada
keadaan tertentu dia bisa bersikap tegas. Kalau saja dia bukan cucu Sarontang
bukan mustahil tangan kanannya telah ditabas putus oleh Daeng Wattansopeng
dengan badik tak bergagang itu.
*********************
2
Tanah
Jawa. Hampir dua puluh lima tahun sebelum Badik Sumpah Darah diciptakan oleh
Daeng Wattansopeng di Tanah Bugis…
Sejak
pagi puncak Gunung Lawu diselimuti awan tebal kelabu. Dimana-mana mendung
menggumpal.
Namun
kemendungan yang membungkus wajah orang yang duduk bersila di dalam goa itu
lebih tebal dan lebih gelap. Entah berapa lama Ki Sulung Kertogomo memandangi
wajah itu sampai akhirnya dia membuka mulut berkata.
"Dimas
Aryo Probo, memang kehidupan dunia menawarkan banyak kenikmatan. Nikmat harta,
nikmat perempuan, nikmat pangkat dan jabatan.
Untuk itu
manusia perlu banyak sabar, eling waspada dan lebih mendekatkan diri pada Sang
Pencipta, agar tidak terperangkap masuk ke dalam jurang kehancuran. Karena
sekali seseorang tercebur masuk jurang tersebut, sukar untuk dapat keluar lagi.
Aku
mengerti sulit bagimu untuk melepas begitu saja tahta Keraton Pakubuwon. Kau
merasa berhak untuk menduduki tahta itu. Kau merasa terusik sakit hati. Rasa
sakit hati menimbulkan dendam. Karena kini tahta dikuasai oleh orang lain. Yang
sebenarnya adalah masih keponakanmu sendiri. Kalau saja kau bisa membersihkan
hati dan pikiran, bukankah lebih baik bagimu untuk melupakan tahta dan hidup
sebagai Pangeran biasa. Dimana mungkin jalan hidupmu akan jauh lebih tenteram
dan bahagia…"
"Mana
aku bisa tenteram bahagia Kangmas Sulung. Tahta itu dirampas dengan cara
membunuh kakakku Raden Pangestu. Lalu aku dihina dengan sebutan Pangeran
Comberan. Kalaupun aku bisa melupakan tahta, tapi tidak mungkin bagiku
melupakan kematian kakakku serta penghinaan atas diriku. Aku sudah bersumpah
untuk menumpas penguasa keji yang bercokol di Keraton Pakubuwon.
Namun
diri buruk ini tidak punya kekuasaan, juga tidak punya ilmu kepandaian apa-apa.
Si penguasa dikelilingi oleh belasan tokoh silat berkepandaian tinggi. Jika aku
berlaku nekad, kepalaku mungkin sudah lebih dulu menggelinding sebelum sempat
menginjak tangga Istana. Itu sebabnya aku menemuimu untuk terakhir kali. Karena
kau yang punya petunjuk atas apa yang harus aku lakukan.
Kalau aku
memang perlu mengarungi lautan ke tanah seberang, jangankan lautan air, lautan
apipun akan aku sabung. Aku sangat butuh pertolonganmu Kangmas Sulung."
Ki Sulung
Kertogomo, orang tua yang duduk di atas tikar kulit harimau terdiam beberapa
lama lalu menghela nafas dalam.
"Dimas
Aryo Probo, kalau tekadmu sudah bulat, apa lagi sudah sampai pada mengangkat
sumpah, aku merasa bersalah kalau tidak menolongmu. Tapi petunjuk yang aku
lihat sungguh berat untuk dilaksanakan…"
"Kangmas
Sulung, seperti aku katakan tadi, aku sanggup menyabung nyawa," kata Aryo
Probo sang Pangeran. "Katakan saja kemana aku harus pergi, siapa yang
harus kutemui."
"Di
bekas Kerajaan Blambangan ada beberapa orang sakti. Di tanah Bali ada banyak
tokoh utama berkepandaian tinggi. Di tanah Banten juga bertebaran orang-orang
hebat. Namun petunjuk mengatakan bahwa Dimas tidak mungkin mempergunakan dan
mendapatkan kepandaian dari semua orang-orang itu. Dimas ditentukan untuk harus
berjalan jauh, menyeberangi lautan ke satu tempat di arah timur laut. Petunjuk
menyatakan tanah itu adalah Tanah Bugis, Tanah Mengkasar, hampir dua bulan
perjalanan dari sini, melalui darat dan mengarungi lautan luas."
"Jika
petunjuk mengatakan begitu, aku akan melakukan. Tak ada kebimbangan dan
keraguan di hatiku Ki Sulung."
"Yang
akan jadi masalah bukan cuma jauhnya tempat tujuan, tetapi juga lamanya waktu
yang harus Dimas nantikan."
"Maksud
Kangmas?" tanya Aryo Probo.
"Dimas
harus menunggu selama dua ratus delapan puluh delapan purnama atau hampir dua
puluh empat tahun untuk mendapatkan sebilah sakti mandraguna. Hanya dengan
senjata sakti itulah Dimas sanggup merebut dan menguasai tahta Pakubuwon."
Terkejutlah
Pangeran Aryo Probo mendengar ucapan Ki Sulung Kertogomo itu.
"Konon,
menurut petunjuk kemunculan senjata itu akan berbarengan dengan kemunculan
seseorang di Tanah Bugis. Dialah kelak yang akan berjodoh mendapatkan senjata
itu. Tapi dia hanya bisa memegang senjata tersebut untuk beberapa lama, yaitu
sampai niat dan tujuannya tercapai. Setelah itu senjata tersebut akan menjadi
milik Dimas, tapi juga hanya untuk waktu tertentu. Setelah itu senjata harus
dikembalikan kepada si pembuat."
Termenung
Pangeran Aryo Probo mendengar keterangan orang tua yang duduk di atas tikar
kulit harimau itu.
"Kangmas
Sulung, senjata yang ada dalam petunjuk itu, berupa apakah? Sebilah pedang,
keris, golok mungkin?"
"Senjata
itu berupa sebilah badik," jawab Ki Sulung Kertogomo.
Kembali
Aryo Probo terdiam.
"Dimas
Aryo, kalau boleh aku bertanya, berapakah usiamu saat ini?" Ki Sulung
Kertogomo ajukan pertanyaan.
"Empat
puluh lima tahun," jawab orang yang ditanya.
"Berarti
pada saat Dimas Aryo mendapatkan senjata bertuah pembuka jalan untuk
mendapatkan tahta Kerajaan Pakubuwon, usia Dimas Aryo akan sekitar tujuh puluh
tahun. Di usia setua itu, apakah Dimas masih menginginkan tahta? Lagi pula
selama seperempat abad Dimas harus meninggalkan Tanah Jawa ini, harus berada di
Tanah Bugis."
Lama Aryo
Probo berdiam diri. Ketika akhirnya dia bicara suaranya agak bergetar.
"Mungkin itu satusatunya jalan atau takdir yang harus aku terima. Berada
di Tanah Jawa ini seolah menginjak bara panas. Aku tidak akan mundur sekalipun
harus menunggu seperempat abad. Waktu sekian lama bisa aku pergunakan untuk
menimba ilmu kesaktian. Lalu jika kemudian tahta Pakubuwon memang tidak aku
dapatkan, paling tidak kelak ada orang lain yang memang pantas dan berhak untuk
menguasainya."
Ki Sulung
Kertogomo menatap wajah Pangeran Aryo Probo sejenak. Pada wajah dan sepasang
mata orang itu dia melihat tekad membara, gelegak dendam yang tak bisa
diluluhkan. Maka orang tua inipun berkata. "Baiklah Dimas Aryo. Kalau
tekadmu sudah bulat, aku tak berani melarang. Besok pagipagi, sebelum fajar
menyingsing datanglah menemuiku. Akan aku katakan padamu Tanah Bugis mana yang
harus kau tuju dan siapa yang harus kau temui."
"Terima
kasih Kangmas Sulung. Aku minta diri dulu. Besok sebelum fajar aku akan datang
kembali."
Kata
Pangeran Aryo Probo pula sambil bangkit berdiri.
"Ada
satu hal lagi perlu kukatakan Dimas Aryo,"
ujar Ki
Sulung Kertogomo. "Jika kelak kau sudah menjejakkan kaki di Tanah Bugis,
maka kau harus melenyapkan jati dirimu sebagai orang Jawa. Bahkan kau harus
mengganti nama."
"Mengapa
begitu Kangmas Sulung?" tanya Aryo Probo.
Begitulah
ketentuan yang kulihat dan harus kau jalani, Dimas."
"Kalau
memang demikian, aku akan melakukan."
Ki Sulung
Kertogomo anggukkan kepala. Dia ikuti kepergian Pangeran itu dengan pandangan
matanya. Dalam hati orang tua ini berucap. "Kasihan, aku melihat bukan
tahta yang bakal didapatnya tapi satu kehidupan gelap di tepi jurang neraka.
Apa lagi selama ini dia diketahui menjalani hidup sesat. Usia hampir setengah
abad namun tak pernah menikah.
Hidup
bergelimang maksiat dengan sesama jenis.
Apakah
pantas orang seperti dia menjadi penguasa Kerajaan? Mudah-mudahan Illahi mau
menolong.
Membuat
dia membatalkan apa yang menjadi niat di hatinya."
Sesuai
petunjuk Ki Sulung Kertogomo, Pangeran Aryo Probo seorang diri meninggalkan
Tanah Jawa, berangkat berlayar menuju Tanah Bugis. Perahu tumpangannya berlabuh
di Teluk Bantaeng. Hari telah gelap ketika gerobak sapi yang disewanya sampai
di ujung satu rimba belantara.
"Saya
hanya mengantar sampai di sini," kata kusir gerobak seorang pemuda
bertubuh kerempeng berambut lebat hitam. "Jika Bapak berjalan terus dan
lurus, pasti akan sampai di telaga. Berdiri di tepi telaga Bapak akan melihat
sebuah pondok. Itulah tempat kediaman orang sakti yang Bapak cari."
"Mengapa
kau tidak mengantarkan aku sampai ke pondok itu?" tanya Aryo Probo.
Kusir
gerobak menggeleng. "Penghuni pondok itu orang tua aneh. Bila dia tidak
suka pada seseorang, enak saja dia membunuh orang itu. Tidak jarang dia
memasukkan manusia hidup-hidup ke dalam tungku pelebur besi. Dijadikan kayu
pembakar!"
"Omong
kosong, mana ada manusia sejahat itu."
"Terserah
Bapak mau percaya atau tidak. Saya hanya mengantar sampai di sini. Harap Bapak
memberikan bayaran sewa gerobak."
Walau
agak kesal Aryo Probo turun dari gerobak sapi. Dari dalam buntalan
dikeluarkannya sekeping perak dan diserahkannya pada kusir gerobak.
Suara
derak roda-roda gerobak lenyap dikejauhan.
Sendirian
di dalam gelap sambil memanggul buntalan di bahu kiri Aryo Probo memandang
berkeliling. Lelaki ini terkejut dan keluarkan seruan tertahan ketika tibatiba
di hadapannya berdiri satu sosok bungkuk sambil mengumbar suara tawa mengekeh.
Orang di
hadapan Aryo Probo mengenakan jubah dalam hitam. Di kepalanya bertengger sebuah
topi hitam berbentuk tarbus dan di bawah topi ini menjulai panjang rambut
kelabu awut-awutan.
Wajahnya
yang cekung tak berdaging nyaris menyerupai tengkorak, ditumbuhi janggut dan
kumis lebat memutih seperti kapas. Malam begitu gelap namun sepasang mata orang
ini seperti mengeluarkan cahaya, terlihat jelas, memandang Aryo Probo berputar
turun naik dari atas ke bawah.
Tawa
mengekeh terputus. Si jubah hitam luruskan tubuhnya yang bungkuk. Aryo Probo
melengak kaget.
Ternyata
dalam keadaan lurus sosok orang itu sangat tinggi. Kepala Aryo Probo hanya
sampai sebatas dadanya.
"Orang
dari seberang di tanah asing. Apakah kau manusianya yang bernama Aryo
Probo?"
Tentu
saja Aryo Probo menjadi kaget mendengar orang tahu dan menyebut namanya. Dia
tidak menjawab, tak berani mengangguk. Hatinya membatin.
"Dia
tahu aku orang seberang. Bahkan tahu namaku. Jangan-jangan sudah menguntit sejak
dari teluk. Lalu muncul seperti hantu."
Aryo
Probo pegang buntalan yang dibawanya erat-erat. Di dalam buntalan itu selain
membawa beberapa potong pakaian dia juga membawa kepingan-kepingan perak dan
emas sebagai bekal.
Setelah
perhatikan orang Aryo Probo bertanya.
"Orang
tua berjubah hitam. Kau mengejutkan diriku."
"Begitu?
Ha… ha… ha…! Baru melihat manusia kau sudah terkejut. Bagaimana kalau melihat
setan!"
"Siapa
kau, orang tua? Ada maksud apa muncul seperti sengaja menghadangku."
Si orang
tua mendongak lalu kembali keluarkan tawa mengekeh.
"Namaku
Pattirobajo. Tapi sudah lama aku tidak memakai nama itu. Di negeri ini aku
lebih dikenal dengan julukan Iblis Seribu Nyawa."
*********************
3
SEUMUR
hidup baru kali ini Aryo Probo mendengar julukan seperti itu. Gelar aneh tak
masuk akal tapi menyeramkan.
"Julukan
hebat. Apa alasan orang menjuluki kau begitu rupa? Kau pasti cuma punya satu
nyawa, tidak seribu."
Si jubah
hitam terkekeh panjang dan manggutmanggut.
"Saat
ini usiaku sudah mencapai seratus dua puluh tahun lebih! Puluhan kali maut
menghadang diriku! Puluhan kali musuh berusaha membunuhku.
Dengan
menantang terang-terangan. Dengan ilmu hitam. Tapi aku tidak mati-mati! Aku
sudah bosan hidup!"
"Kalau
tak ada musuh yang sanggup membunuh.
Kalau kau
memang sudah bosan hidup, mengapa tidak bunuh diri saja?!" ujar Pangeran
Aryo Probo pula.
Si orang
tua terkekeh panjang. Dua tangannya di angkat ke udara. Tahu-tahu entah dari
mana datangnya dalam genggaman dua tangannya telah terhunus dua bilah golok
pendek yang saking tajamnya memancarkan cahaya berkilau walau dalam gelap.
"Ilmu
hitam, orang ini punya ilmu hitam. Kalau tidak dari mana dia tahu-tahu bisa
memegang dua bilah golok begitu rupa," kata Arya Probo dalam hati.
"Kau
menyuruh aku bunuh diri! Akan aku lakukan ! Lihat!"
Dua
tangan yang memegang golok berkelebat.
"Craaaass!"
"Kraaaaaakkk!"
Satu
semak belukar rimbun rambas amblas.
Sebatang
pohon putus terbabat lalu tumbang. Si jubah hitam ini seolah hendak membuktikan
bahwa dua bilah golok yang dipegangnya bukanlah barang mainan. Sambil silangkan
sepasang senjata itu di depan dada, dia keluarkan tawa panjang. Lalu dua bilah
golok digorokkan ke lehernya kiri kanan.
"Greekk…
greeeekkk… greeekkk… greeeekkk."
Dua golok
tajam itu laksana menggorok batangan besi.
Aryo
Probo membeliak besar menyaksikan kejadian itu.
Si orang
tua rubah cara dia memegang gagang golok. Senjata runcing lancip itu kemudian
ditusukkannya ke perut berulang kali.
"Duukk…
duuuukkkk… duuukkk… tiukkk!"
Dua golok
seperti menghunjam pada dinding batu atos!
Kembali
Aryo Probo terkesiap.
Orang tua
beijubah hitam melompat satu tombak ke udara. Sambil melompat dia bacokkan dua
bilah golok ke batok kepalanya.
"Traang…
traang… traang… traaaang!"
Golok-golok
tajam seolah menghantam bola besi!
Belum
puas memperlihatkan bahwa seluruh tubuhnya kebal tak mempan senjata tajam si
orang tua tarik ujung rambutnya dengan tangan kiri lalu golok di tangan kanan
ditabaskan.
"Tringg….!"
Rambut
panjang kelabu tidak putus. Mata golok laksana mambabat kawat baja.
"Kau
lihat? Kau saksikan sendiri!" Si orang tua berkata setengah berteriak dan
delikkan mata ke arah Aryo Probo. "Dua golok jahanam ini tidak berguna!
Tidak mampu membunuhku!" Lalu orang tua yang mengaku bernama Pattirobajo
bergelar Iblis Seribu Nyawa bantingkan dua golok ke tanah.
"Bless!
Bless!"
Dua golok
amblas masuk ke dalam tanah.
Lenyap
seolah ditelan bumi!
"Orang
tua, senjata tajam tidak mempan, kau tidak cidera apa lagi mati. Itu berarti
kau memiliki ilmu kesaktian yang melindungi dirimu hingga tak mempan senjata
tajam. Dibacok, ditusuk sampai sejuta kalipun kau akan tetap hidup. Apa
anehnya?!"
"Anehnya
aku ingin mati tapi tak bisa mati!"
"Buang
ilmu kesaktianmu, kau pasti bisa mati hanya dengan tusukan sehelai
rumput!"
Iblis
Seribu Nyawa menyeringai.
"Aryo
Probo, dengar baik-baik. Aku sudah sepuluh tahun lebih menyirap kedatangan
dirimu.
Sudah
sepuluh tahun lebih aku menunggumu! Luar biasanya kau benar-benar muncul di
Tanah Bugis ini! Setelah kau muncul apa aku akan melepaskan dirimu begitu saja?!
Kau wakil malaikat maut yang sanggup mengakhiri hidupku!"
"Aneh,
bagaimana bisa kejadian seperti itu. Kau menyirap kabar, kau menungguku.
Menganggapku wakil malaikat maut!’
"Tak
usah mempersoalkan segala macam keanehan. Sarontang, sekarang kau harus ikut
aku ke lereng timur Gunung Lompobatang. Jangan barani menolak!"
"Sarontang?
Siapa Sarontang?" tanya Aryo Probo sambil memandang ke samping kiri kanan
lalu menoleh ke belakang karena mengira ada orang lain di sekitar situ.
"Sarontang.
Itu nama barumu! Apa kau tidak ingat pesan Ki Sulung Kertogomo? Bahwa begitu
kau menginjakkan kaki di Tanah Bugis kau harus mengganti nama?!"
Kejut
heran Aryo Probo bukan kepalang.
"Orang
tua, bagaimana kau bisa tahu semua.
Kau kenal
dengan Ki Sulung Kertogomo?"
"Orang
tua itu telah berpulang sewaktu kau masih mengarungi lautan menuju ke
sini…"
"Astaga…
Jangan kau berani bergurau. Ki Sulung Kertogomo sudah seperti kakak kandung
bagiku!" bentak Aryo Probo.
"Siapa
berani bergurau dengan nyawa dan roh manusia? Orang yang kau anggap sebagai
kakak itu benar-benar telah meninggal sewaktu kau dalam perjalanan ke sini.
Ketika suatu malam aku mencoba masuk ke dalam alam roh gaib, terjadi sambung
rasa antara petunjuk yang pernah aku dapatkan dengan roh kakakmu. Aku sempat
bertemu dan bertutur sapa dengan Ki Sulung…"
Aryo
Probo terdiam. Sulit baginya untuk mempercayai ucapan si orang tua. Dia
mengalihkan pembicaraan.
"Urusan
apa aku harus ikut bersamamu?"
"Karena
hanya engkau satu-satunya manusia yang ditakdirkan bisa membunuh dan mengakhiri
hudupku! Aku tahu apa tujuanmu datang ke Tanah Bugis ini…"
"Apa?
Coba sebutkan," ucap Aryo Probo ingin menguji.
"Kau
ingin menemui kakek yang tinggal di tepi Telaga Mala kaji. Kau ingin menemui
Daeng Wattansopeng, kakek sakti pembuat senjata bertuah.
Kau ingin
mendapatkan sebilah senjata. Sebilah badik. Badik Sumpah Darah!"
Aryo
Probo benar-benar heran. Bagaimana orang ini bisa tahu begitu banyak tentang
diri dan perjalanannya?
"Aryo
Probo, Pangeran dari Keraton Pakubuwon.
Dengar
baik-baik. Badik Sumpah Darah. Itu satu-satunya senjata yang bisa menamatkan
riwayatku. Tetapi aku hanya bisa menemui kematian kalau kau yang menikamkan
badik itu pada diriku…"
Aryo
Probo ternganga, geleng-gelengkan kepala, Tak bisa keluarkan suara.
"Aku
tak ingin mati di tempat sembarangan.
Aku ingin
mati di tempat ibuku melahirkan diriku. Di tebing batu di lereng timur Gunung
Lompobatang.
Aku akan
membawamu ke sana agar kau tahu tempatnya. Jika kau sudah mendapatkan Badik
Sumpah Darah maka kau harus mendatangi diriku di lereng gunung tempat
kediamanku. Membunuhku.
Menghabisi
diriku!"
"Bagaimana…
Bagaimana kalau sesudah mendapatkan badik itu aku tidak datang ke tempat
kediamanmu, tidak membunuhmu?" bertanya Aryo Probo.
Si kakek
delikkan mata lalu tertawa mengekeh.
"Itu
satu pertanyaan tolol. Lebih tolol jika kau tidak melakukan apa yang aku
katakan! Dengar Pangeran, jika kau tidak membunuhku, kau akan ditimpa kualat
seumur-umur. Dirimu akan termakan sumpah kutukku. Apa yang menjadi tujuanmu
tidak akan kesampaian. Malah kau akan celaka sengsara seumur-umur…"
Aryo
Probo tak ingin mau mempercayai ucapan Pattirobajo alias Iblis Seribu Nyawa.
Tapi tak urung bulu kuduknya berdiri juga.
"Sekarang
kau jangan banyak bicara. Aku akan membawa ke Gunung Lompobatang!"
Habis
berkata begitu tiba-tiba si orang tua luruskan tubuhnya. Sosok Iblis Seribu
Nyawa berubah jangkung. Tangan kanannya laksana kilat menyambar tengkuk baju
Aryo Probo.
"Lepaskan!"
teriak Aryo Probo.
Iblis
Seribu Nyawa menjawab dengan sunggingan seringai. Aryo Probo hantamkan jotosan
keras ke dada si orang tua. Tapi dia menjerit sendiri kesakitan amat sangat
seolah barusan memukul batu keras.
Si orang
tua tertawa mengekeh. Dengan dua jari tangan kirinya dia tusuk kening Aryo
Probo.
Kejap itu
juga Pangeran dari Pakubuwon ini mendadak kaku sekujur tubuhnya.
"Iblis
Seribu Nyawa, jika kau berani menyakiti diriku, aku bersumpah akan membalas
seribu kali lebih hebat!" mengancam Aryo Probo.
Pattirobajo
tidak perdulikan ancaman orang.
"Aryo
Probo. Kau beri kematian padaku. Sebagai balasan aku akan memberikan satu ilmu
kesaktian hebat padamu. Kau cukup membalasnya dengan Mayat Persembahan."
"Mayat
persembahan? Apa pula itu? Apa maksudmu?" tanya Aryo Probo.
"Setiap
bulan mati kau berkewajiban menyerahkan seorang pemuda, lajang, belum kawin padaku.
Pemuda itu harus dalam keadaan mati, tak bernyawa. Bila tiba saatnya kau dapat
mewakilkan kewajiban itu pada orang lain. Orang lain itu yang kelak harus
menyerahkan mayat seorang pemuda padamu."
Aryo
Probo terdiam. Tengkuknya terasa dingin.
"Gila…"
katanya kemudian.
Iblis
Seribu Nyawa tertawa bergelak. "Sarontang, dunia ini memang dipenuhi
seribu satu kegilaan.
Kita
harus ikut berlaku gila agar dianggap orang sebagai manusia wajar. Ingat hal
itu baik-baik!"
*********************
4
SEJAK
sore udara di kawasan Telaga Malakaji dipenuhi oleh kelelawar yang beterbangan
kian kemari.
Sampai
matahari terbenam dan malam datang membawa kegelapan binatang-binatang itu
masih berkeliaran. Suara kepak sayap lebar disertai sesekali suara kuikan keras
terdengar tak berkeputusan.
Dini hari
menjelang datangnya Subuh, di atas balai-balai tidurnya Daeng Wattansopeng
terbaring pejamkan mata. Orang tua ini tidak sedang tidur karena getaran
bibirnya memberi pertanda bahwa dia tiada henti berzikir menyebut nama Allah.
Di tangan kanannya ada seuntai tasbih berwarna hijau.
Tiba-tiba
getaran bibir terdiam. Suara hati terhenti.
Sepasang
mata yang sejak tadi terpejam membuka nyalang, menatap tajam ke arah
langit-langit pondok kayu di atasnya.
Barusan
telinganya menangkap suara sesuatu berkelebat halus sekali di atas sana. Daeng
Wattangsopeng tahu betul itu bukan suara kepak sayap kelelawar. Orang tua ini
seorang berkepandaian tinggi yang kemampuan pendengarannya luar biasa. Dia
sanggup mendengar suara gesekan daun di jarak belasan tombak. Jika tadi dia
hanya bisa mendengar suara kelebat sangat halus, berarti siapapun adanya mahluk
di atas atap maka dia juga memiliki kepandaian hebat.
Perlahan-lahan
Daeng Wattansopeng bangun dari tidurnya. Duduk di pinggiran balai-balai kayu.
Dua matanya masih terus mengawasi langit-langit pondok.
"Ada
orang di atas atap." kata Daeng Wattansopeng dalam hati. "Aneh,
seumur hidup baru kali ini aku kedatangan tamu bukan muncul di pintu tapi
melayang di atas atap…"
Orang tua
ini ingat janjinya dengan Sarontang yang disampaikan lewat Bontolebang. Lalu
dia menghitung hari.
‘Tidak
mungkin Sarontang datang menyalahi janji. Menurut hitunganku hari ini baru hari
kedua sebelum fajar menyingsing. Janjiku, meminta dia datang pada hari ke tiga
sebelum fajar. Lagi pula Sarontang tidak akan datang dengan cara seperti ini.
Naik ke atas atap. Dan Sarontang datang tidak akan sendirian. Karena sudah
diketahui dia akan membawa tamu yang datang dari Tanah Jawa."
Daeng
Wattansopeng usap-usap janggut pulih yang menjulai sampai di dadanya. Dia coba
menduga-duga siapa gerangan orang yang datang, seperti seekor burung hinggap
menjejakkan kaki di atas atap pondok. Berpikir cukup lama, Daeng
Wattansopeng
tak bisa menduga siapa adanya orang di atas sana. Dia merasa tidak ada janji
dengan orang lain. Cara datang yang aneh membuat si orang tua merasa risau tapi
tetap berlaku tenang.
Tasbih di
tangan kanan yang sejak tadi dipegangnya dimasukkan ke dalam kantung jubah
merah. Dia menatap kembali di atas atap lalu menegur.
Suaranya
keras tapi nadanya lembut.
"Tamu
di atas atap, silakan turun. Pintu pondok terbuka menerima kedatanganmu."
Setelah
ditegur begitu rupa Daeng Wattansopeng mengira orang yang ada di atas atap akan
melayang turun dan menuju pintu pondok. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat
orang tua ini terkejut. Atap pondok di atasnya mendadak jebol besar. Dari
jebolan atap melayang turun satu sosok serba putih.
Ketika
sosok itu berdiri tegak di lantai pondok, Daeng Wattansopeng dapatkan dirinya
berhadapan dengan seorang yang tak dikenal. Orang ini berusia sekitar empat
puluhan, bermuka putih, mengenakan pakaian panjang sampai ke kaki berwarna
putih.
Kepalanya
ditutup sehelai kerudung kain putih tebal yang menjulai menutup sampai ke
bagian belakang kepala terus ke punggung. Kerudung putih ini kelihatan agak
aneh karena di bagian belakang kepala ada dua buah lobang kecil. Luar biasanya
setiap orang ini menghembuskan nafas terasa sambaran angin panas.
"Aku
berhadapan dengan seseorang berkepandaian tinggi," membatin Daeng
Wattansopeng.
"Melihat
pada cara masuk dan gerak-geriknya aku kawatir dia tidak berhati baik. Datang
membekal niat buruk."
Setelah
pandangi orang di hadapannya sejurus lamanya, Daeng Wattansopeng lalu menegur.
"Kerabat
tak dikenal, siapa dirimu adanya.
Mengapa
masuk ke pondokku dengan cara merusak? Menjebol atap padahal ada pintu?"
Orang
yang ditegur diam saja, menatap tajam ke arah Daeng Wattansopeng. Ketika Daeng
Wattansopeng balas menatap terkejutlah orang tua ini. Astaga! Dia baru melihat,
baru menyadari!
Manusia
tak dikenal di depannya itu memiliki bola mata aneh. Dua bola matanya bukannya
bulat tetapi berbentuk segit tiga dan berwarna hijau.
"Luar
biasa, harimau jejadianpun matanya tidak seperti ini," membatin Daeng
Wattansopeng. Dia mulai berlaku waspada. Agaknya tamu tak dikenal ini
benar-benar datang tidak membawa maksud baik.
Mungkin
menginginkan senjata sakti yang baru saja selesai dibuatnya!
"Daeng
Wattansopeng," tiba-tiba si jubah putih berkerudung aneh berucap.
"Aku menyirap kabar bahwa dalam beberapa hari ini kau menunggu kedatangan
saudaramu bernama Sarontang yang akan membawa seorang tamu dari Tanah Jawa.
Benar?"
Daeng
Wattansopeng tidak segera menjawab.
Tamu tak
dikenal ternyata tahu bahwa dia tengah menunggu kedatangan orang. Yakni
Sarontang yang akan membawa tamu dari Tanah Jawa.
"Benar,"
Daeng Wattansopeng akhirnya berikan jawaban.
"Apakah
tamu itu seorang pemuda bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212?"
Kening
Daeng Wattansopeng mengerenyit.
Kepalanya
digelengkan. "Aku tidak pernah mengenal orang dengan nama dan julukan yang
kau sebutkan itu."
Mata
berbentuk segitiga menatap tajam dan pancarkan cahaya angker seolah hendak
menjajagi apakah Daeng Wattansopeng bicara benar atau dusta. Orang lain
dipandang seperti itu mungkin akan tergetar hati dan ciut nyalinya. Tapi Daeng
Wattansopeng tetap tenang. Tiba-tiba orang tua ini merasakan ada getaran aneh
di lantai pondok. Lalu satu hawa panas menyusup masuk ke telapak kakinya.
Dalam
kagetnya orang tua ini cepat kerahkan tenaga dalam. Hawa panas masih terus
menjalar naik ke kaki, naik lagi ke paha. Ketika mencapai perut di mana
terletak pusat tenaga dalam yang dimiliki Daeng Wattansopeng, hawa panas itu
tak mampu menembus.
"Desss!"
Satu
letupan halus menggema. Asap putih mengepul-dari balik jubah merah Daeng
Wattansopeng. Orang tua ini perhatikan wajah dan sepasang mata orang di
hadapannya. Dia maklum, jelas barusan tamu tak dikenal itu tengah menguji
kekuatannya dengan cara menghantamkan hawa sakti melalui lantai pondok. Daeng
Wattansopeng tengah berpikir apakah dia perlu membalas kelancangan orang.
Tiba-tiba seperti tadi kembali dia merasa lantai pondok bergetar. Lalu ada hawa
dingin luar biasa merasuk masuk ke telapak kaki kiri. Membuat orang tua ini
bergetar sekujur tubuh dan bergemeratakan rahangnya. Hawa dingin mencoba naik
ke atas, menenbus pusat tenaga dalam dibagian perut. Wattansopeng kencangkan
perutnya, tahan nafas, kerahkan tenaga dalam.
"Desss!"
Seperti
tadi terdengar letupan. Dari balik jubah Daeng Wattansopeng mengepul asap
kehitaman. Di depan sana lelaki berkerudung putih kelihatan bergoncang tubuhnya
lalu tersurut dua langkah.
Dari
mulutnya keluar suara bergumam. Lalu ada suara lain seperti memaki halus.
"Aneh,
aku mendengar ada dua suara," membatin Daeng Wattansopeng. "Siapa
sebenarnya tamu lancang tak diundang ini. Saatnya aku memberi pelajaran."
Kalau
orang menjajal dirinya secara diam-diam maka lain halnya dengan Daeng Wattansopeng.
Dia tak mau membokong lawan secara pengecut. Sambil letakkan dua telapak tangan
di depan dada, sambil membungkuk orang tua ahli pembuat senjata bertuah ini
berkata.
"Kerabat
tak dikenal, terima kasih kau telah sudi memberi pelajaran padaku. Aku Daeng
Wattansopeng ingin belajar lebih jauh padamu."
Habis
berkata begitu Daeng Wattansopeng mendongak ke arah atap pondok yang jebol.
Dari tempatnya berdiri dia dapat melihat langit gelap kelam di atas sana. Saat
itu enam ekor kelelawar besar tengah berkelebat terbang di atas atap. Daeng
Wattansopeng kedipkan dua matanya. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
diturunkan ke bawah, telapak disentakkan ke arah lantai pondok. Enam ekor
kelelawar besar yang melewati atap pondok yang jebol, laksana disedot satu kekuatan
dahsyat keluarkan suara menguik keras lalu melesat ke bawah. Sayap-sayap mereka
berubah seperti tebasan senjata tajam. Kuku-kuku mereka mencakar ganas. Enam
binatang ini menyerang orang berkerudung putih dari enam jurusan. Tiga di
bagian kepala, tiga di arah badan!
Orang
yang mendapat serangan berseru kaget.
Dua
kepala didongakkan, tangan kanan dihantamkan.
Dua larik
sinar hijau angker melesat dari sepasang matanya. Tiga ekor kelelawar besar
yang menyerang bagian kepala hancur berantakan. Asap hijau sesaat menutupi
pondok.
"Bukk!
Bukkk!"
Dua ekor
kelelawar yang menyerang bagian badan remuk, terpelanting dan amblas masuk ke
dalam dinding. Kelelawar ke enam satu-satunya yang lolos, sempat menghunjamkan
cakarnya ke bagian dada orang berjubah putih.
"Breettt!"
Jubah
robek besar. Orang yang diserang keluarkan seruan keras. Tangan kirinya
menghantam. Kelelawar menguik dan terkapar di tanah dalam keadaan hancur.
"Terima
kasih, kau telah sudi memberi pelajaran padaku," kata Daeng Wattansopeng
lalu membungkuk.
Muka
putih orang berjubah kelihatan merah kelam membesi. Mulutnya berkomat-kamit
keluarkan suara menggerutu. Saat itu secara aneh Daeng Wattansopeng kembali
mendengar suara lain. Dia berusaha mencari tahu siapa yang bicara tapi tak
berhasil.
"Daeng
Wattansopeng, kau merobek pakaianku…."
"Ah,
harap maafkan. Bukan aku yang melakukan tapi kelelawar itu," jawab Daeng
Wattansopeng sambil tersenyum.
"Aku
tidak akan melupakan, aku tidak akan memaafkan."
"Kerabat
tak dikenal, kalau cuma jubah yang robek aku bisa menggantinya. Apakah kau
bersedia memperbaiki atap pondokku yang telah kau rusak?"
"Aku
tak punya waktu untuk memperbaiki atapmu!"
"Hemmm.
Kalau begitu harap kau memberi tahu siapa dirimu adanya. Dari logat bicaramu
aku bisa menduga kau bukan orang sini. Juga bukan orang dari Tanah Jawa."
"Aku
merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu.
Aku akan
pergi. Tapi ingat, aku akan kembali lagi untuk memastikan siapa adanya tamu
yang datang dari Tanah Jawa bersama Sarontang."
"Tadi
kau memberi tahu kalau kau mencari seorang pemuda bernama Wiro Sableng,
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ketahuilah, tamu yang dibawa
Sarontang bukan orang yang kau cari. Tapi jika kau mau tahu dan ingin melihat
dengan mata kepala sendiri, silahkan datang besok pagi. Hanya kuharap kau
datang membawa bahan untuk memperbaiki atapku yang kau rusak. Syukur-syukur kau
datang membawa seorang tukang sekalian…." Daeng Wattansopeng berkata
sambil sunggingkan senyum mengejek.
Merasa diejek
si jubah putih berkata.
"Daeng
Wattansopeng. Membuat aku tersurut satu langkah dalam adu kekuatan tadi, jangan
mengira ilmu kepandaianmu ada di atasku. Jangan memandang sebelah mata padaku.
Kalau orang dari Tanah Jawa itu memang Wiro Sableng adanya, kau harus
menyerahkannya padaku. Jika kau berani menolak, bukan cuma pondokmu yang
kuhancurkan, tapi juga tubuhmu!"
"Sungguh
tak dinyana. Betapa mudahnya kau mencari lantai terjungkat, membuat permusuhan
tanpa mau menyadari kesalahan sendiri’ merusak rumah orang! Kau bicara hebat
bahkan terlalu takabur. Tapi terlalu pengecut untuk memberi tahu siapa dirimu
dan kau datang dari mana!"
"Aku
datang dari negeri jauh. Aku jelaskanpun kau tidak bakal mengerti!"
"Kalau
begitu katakan saja siapa namamu, juga gelar julukanmu jika kau punya."
"Namaku
Lajundai. Aku datang dari Negeri Latanahsilam! Aku berjuluk Hantu Muka Dua.
Wiro Sableng adalah musuh besarku. Dia menghancurkan Istana miliki. Membuat aku
terpesat ke negeri ini. Di Latanahsilam aku tak berhasil membunuhnya. Mungkin
dia ditakdirkan harus mati di negeri sendiri."
"Kalau
pemuda bernama Wiro Sableng itu memang musuh besar yang ingin kau habisi,
mengapa tidak langsung datang mencarinya ke Tanah Jawa?"
"Aku
tidak tahu di mana letak Tanah Jawa. Dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus
tahun silam, aku terpesat ke Tanah Bugis ini. Mendengar kabar bahwa ada
seseorang yang akan datang ke sini, bersama seorang pemuda dari Tanah Jawa, apa
salahnya aku menunggu sampai orang itu muncul.
Kalaupun
dia bukan Wiro Sableng, masih ada kesempatan untuk bertanya padanya di mana
musuh besarku itu berada."
Habis
berkata begitu sosok berjubah putih bergerak berputar lalu melesat ke atas atap
yang berlubang. Di atas atap dia tidak terus berkelebat pergi melainkan tegak
di pinggiran jebolan atap dan berkata.
"Daeng,
ingat. Aku akan datang kembali." Saat itu Daeng Wattansopeng ingin sekali
menghantam si jubah putih berkerudung dengan pukulan sakti, namun dia berusaha
mempersabar diri. Hanya memperhatikan sampai orang di atas sana berkelebat
pergi.
"Negeri
Latanahsilam…" kata Daeng Wattansopeng perlahan. "Di manakah itu?
Tadi waktu sosoknya berputar aku sempat melihat ada dua buah lobang pada
kerudung di bagian belakang kepalanya.
Sebelumnya
aku mendengar seperti ada suara orang lain. Hantu Muka Dua…. Apakah orang tadi
benarbenar memiliki dua buah muka sesuai dengan julukannya?" (Mengenai
Hantu Muka Dua harap baca riwayat petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng di
Negeri Latanahsilam mulai dari Episode "Bola-Bola Iblis" s/d Episode
"Istana Kebahagiaan" terdiri dari 18 episode).
*********************
5
SEBELUM
sampai pada hari ke tiga, hari perjanjian di mana Sarontang dan Adipati
Jatilegowo akan datang ke tempat kediaman Daeng Wattansopeng di Telaga
Malakaji, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi di tanah Jawa
beberapa waktu lalu.
Dalam
Episode berjudul "Senandung Kematian"
dituturkan
terjadinya satu pertempuran hidup mati antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan
Damar Wulung alias Adisaka yang dibantu Pangeran Matahari musuh bebuyutan murid
Sinto Gendeng.
Wiro
akhirnya berhasil merampas kembali keris pusaka Keraton yakni Keris Naga Kopek
yang dicuri Damar Wulung. Senjata mustika sakti itu kemudian diserahkannya pada
Sutri Kaliangan, putri Patih Kerajaan.
Sebenarnya
Sutri ingin sekali berada lebih lama bersama Wiro. Bukan saja karena diam-diam
gadis rupawan ini telah terpikat hatinya pada Pendekar 212, tapi dia juga ingin
kepastian bahwa Wiro benarbenar akan mencarikan obat untuk menyembuhkan sakit
berat yang diderita ayahnya. Namun Sutri Kaliangan menyaksikan, di tempat itu
ada tiga orang gadis cantik yang diketahuinya sama-sama mencintai Wiro. Maka
walau dengan berat hati, di samping harus segera menyerahkan keris pusaka
Keraton pada Sri Baginda, Sutri Kaliangan terpaksa meninggalkan Pendekar 212.
"Gadis
itu, seorang diri kau biarkan membawa senjata pusaka Kerajaan, apakah tidak
berbahaya?
Aku
kawatir…." Naga Kuning yang tegak di samping Setan Ngompol berkata.
"Seharusnya
kau minta aku menemaninya," kata Setan Ngompol. "Aku tak keberatan
duduk menunggang kuda bersamanya. Ha… ha… ha!" Setan Ngompol tertawa
bergelak lalu cepat tekap bagian bawah perutnya yang siap hendak mengucur.
"Kotaraja
tak jauh dari sini. Lagi pula keadaan kurasa sudah cukup aman. Dan Sutri
memiliki ilmu pedang yang bisa diandalkan," ujar Wiro pula. Dia memandang
pada bocah jabrik, melirik pada nenek bermuka setan yang dikenal dengan julukan
Gondorowo Patah Hati.
"Naga
Kuning sahabatku, ada beberapa hal penting yang harus aku kerjakan. Tak mungkin
kulakukan seorang diri. Aku minta kau dan Setan Ngompol ikut membantu…."
"Kalau
memberi pekerjaan jangan yang susahsusah.
Nantiaku
sulit kencing!" kata Setan Ngompol. Wiro tersenyum.
"Membantumu
boleh-boleh saja. Tapi apa kau tega…." Naga Kuning pegang dan elus-elus
tangan Gondorowo Patah Hati hingga si nenek tersipu malu dan cepat tarik
tangannya. Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini jadi sama-sama tertawa
melihat kelakuan si bocah. "Puluhan tahun aku tak pernah bertemu dengan
dia, begitu bertemu kau hendak memisahkan kami dengan memberikan satu
pekerjaan."
"Aku
tidak bermaksud memisahkan kalian.
Syukur-syukur
Nenek Gondorowo Patah Hati mau membantu."
"Katakan
pekerjaan apa yang harus kami lakukan?" bertanya Setan Ngompol.
"Pekerjaan
mudah, menyirap kabar di mana beradanya bunga melati hitam…."
"Melati
hitam?" Setan Ngompol dan Naga Kuning berucap berbarengan.
"Di
mana-mana yang namanya kembang melati itu warnanya putih," kata Naga
Kuning. "Ini bukan pekerjaan mudah!"
"Mungkin
ada kembang melati yang gosong?!"
ujar
Setan Ngompol lalu tertawa bergelak. "Ada-ada saja!"
"Kalau
urusan kembang seharusnya diurus oleh orang-orang perempuan. Bukan kami orang
lakilaki!"
ujar Naga
Kuning. Dia melirik pada tiga gadis cantik di depannya. "Wiro, mengapa
tidak mereka saja yang kau tugasi menyirap di mana beradanya kembang melati
gosong itu?"
Wiro
terdiam tapi palingkan wajahnya memandang pada Bidadari Angin Timur, Ratu
Duyung dan Anggini yang juga sama memandang ke arahnya.
"Wiro,
jika kau memang ingin kami yang mencari bunga melati hitam itu, kami bersedia
saja melakukan…." berkata Ratu Duyung. Anggini mengiyakan sementara
Bidadari Angin Timur diam saja.
Pendekar
212 menggaruk kepalanya.
"Sebenarnya
ada hal lain yang jadi tanggung jawabku dan perlu kuselidiki. Tapi waktuku
sempit dan seperti tadi aku katakan, tak mungkin semua urusan kutangani
sendiri. Kalau kalian bertiga sudi menolong…."
"Katakan
mengenai apa?" tanya Ratu Duyung.
"Pedang
Naga Suci 212. Senjata mustika itu tidak ditemukan pada jenazah Puti Andini.
Seseorang
telah mencurinya."
"Pangeran
Matahari!" kata tiga gadis serempak.
"Pasti
dia yang telah mencuri pedang itu setelah membunuh Puti Andini." (Mengenai
kematian Puti Andini harap baca serial Wiro Sableng Episode berjudul
"Makam Ke Tiga" dan "Senandung Kematian")’
"Ini
urusan sangat berbahaya. Setiap hal yang ada sangkut pautnya dengan pangeran
jahanam itu maut tantangannya…."
"Kami
bertiga tidak takut. Malah kalau kami bisa membunuh mahluk terkutuk itu rasanya
kami sudah berbuat jasa besar untuk rimba persilatan Tanah Jawa ini," kata
Anggini murid Dewa Tuak bersemangat.
"Kami
bertiga akan menyelidik dan mencari pedang keramat itu," kata Ratu Duyung
ikut bersemangat.
Bidadari
Angin Timur anggukkan kepala namun dalam hatinya gadis ini mengeluh.
"Sekian lama terpisah, tercerai berai oleh berbagai kejadian, setelah
bertemu mengapa sampai hati menginginkan perpisahan ini? Aku tahu semua yang
kau katakan adalah urusan penting. Tapi apakah tidak ada sedikit waktu luang
bagi kita berdua untuk bersepi diri, bercakap-cakap membicarakan hal yang
selama ini masih belum sempat saling kita ungkapkan? Lebih dari dua puluh empat
purnama kau pergi, sekarang pada saat perjumpaan apakah tak ada sedikit
kesempatan dapat kau berikan padaku…."
Wiro
mengangguk dan mengucapkan terima kasih berulang kali pada tiga gadis cantik
itu tanpa mampu memperhatikan kelainan sikap Bidadari Angin Timur. Lalu dia
berpaling, memandang pada Naga Kuning, Setan Ngompol dan Gondorowo Patah Hati.
"Wiro,"
Setan Ngompol berucap. "Aku pernah muda, juga pernah tua. Bercinta di masa
tua jauh nikmatnya dibanding bercinta di masa muda’.
Kuharap
kau tidak membebani kakek nenek jelek ini untuk melewati hari-hari bahagia
mereka. Biar aku mewakili keduanya menyirap dan mencari bunga melati hitam
itu."
Dibilang
nenek jelek Gondorowo Patah Hati yang aslinya bernama Ning Intan Lestari
pelototkan matanya pada Setan Ngompol hingga kakek satu ini tersurut dan
pancarkan air kencing. Tapi Naga Kuning sendiri kelihatan senyum-senyum senang.
Soporti
diketahui bocah ini sebenarnya adalah seorang kakek berusia sekitar seratus dua
puluh tahun dikenal dengan panggilan Kiai Paus Samudera Biru. Sewaktu muda dia
pernah menjalin cinta dengan Ning Intan Lestari namun nasib memisahkan mereka
satu sama lain selama puluhan tahun.
Walau
Setan Ngompol berucap begitu namun Wiro merasa ragu kakek konyol tukang kencing
ini akan benar-benar mau membantunya.
Saat itu
tiba-tiba untuk pertama kalinya Gondorowo Patah Hati berkata. "Tiga puluh
tahun lalu aku pernah mendengar riwayat tentang bunga melati hitam itu. Bunga
itu dikenal dengan nama Melati Tujuh Racun. Kalau tidak terjadi perubahan,
walau sangat sulit mungkin aku masih bisa menyelidik di mana bunga itu
beradanya. Kalau aku boleh bertanya, untuk apakah bunga melati hitam itu
bagimu? kalau aku menemukan, berapa kembang harus kuambil?"
"Saat
ini aku belum bisa memberi tahu untuk apa bagiku melati hitam itu. Nek, kau
cukup hanya memberi tahu padaku di mana beradanya bunga itu.
Biar
nanti aku sendiri yang akan mengambilnya.
Mengenai
jumlahnya kalau kau bisa menemukan cukup satu tangkai saja. Nek, kalau kau bisa
menolong, aku benar-benar sangat berterima kasih…."
Gondorowo
Patah Hati berpaling pada Naga Kuning. Si bocah menghela nafas panjang,
bersungut-sungut lalu berkata.
"Orang
bercinta seharusnya mencari bunga mawar merah, bukan melati gosong!"
Diiringi
gelak tawa tiga gadis cantik Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati segera
tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol sesaat tegak termangu sambil pegangi
bagian bawah perutnya yang basah kuyup.
Akhirnya
kakek ini berkelebat pula ke arah lenyapnya Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati.
Setelah
orang-orang itu pergi Wiro berpaling pada tiga gadis cantik di hadapannya.
"Bidadari
Angin Timur, Ratu Duyung, Anggini.
Kita
terpaksa berpisah di tempat ini. Dalam menyelidik Pedang Naga Suci 212
berlakulah hatihati.
Aku
berharap, pada purnama tiga minggu di muka kita bisa bertemu di puncak Bukit
Menoreh di selatan Kotaraja…."
"Kau
sendiri hendak ke mana dan mau melakukan apa Wiro?" tanya Bidadari Angin
Timur.
"Sesuatu
yang tak kalah penting dan berbahayanya dengan apa yang akan kalian lakukan.
Sekali
lagi hati-hatilah…."
Saat itu
ingin sekali Wiro memeluk ke tiga gadis itu satu persatu namun dia sadar hal
itu tidak mungkin dilakukan. Dia hanya bisa menatap tiga wajah gadis cantik
jelita itu lalu akhirnya tinggalkan tempat itu.
"Aneh,"
kata Anggini. "Dia tidak memberi tahu untuk apa bunga melati hitam
itu."
"Benar,
bukankah Wiro telah berjanji pada putri Patih Selo Kaliangan bahwa dia akan
mencari obat penyembuh racun ular yang mendekam di tubuh sang patih yang
menyebabkan orang ke dua di Kerajaan itu saat ini terbaring sakit dan
lumpuh," ikut bicara Ratu Duyung.
"Yang
jadi pertanyaan, dari mana Wiro dapat petunjuk bahwa bunga melati hitam itu
merupakan obat bagi kesembuhan Patih Kerajaan? Setahuku selama ini dia tidak
pernah bertemu orang pandai," ujar Anggini pula sambil memandang pada Ratu
Duyung dan Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung mengangkat bahu. Sedang Bidadari
Angin Timur tak menjawab. Gadis ini palingkan wajah, memandang ke jurusan lain.
"Apa
yang kita lakukan sekarang?" bertanya Ratu Duyung. "Langsung
tinggalkan tempat ini menyelidik lenyapnya Pedang Naga Suci 212?"
"Makin
cepat kita mulai menyelidik makin baik," menyahuti Anggini.
"Tunggu
dulu," kata Bidadari Angin Timur. "Wiro tidak mau memberi tahu apa
yang hendak dikerjakannya. Tadi aku memperhatikan. Sewaktu meninggalkan tempat
ini tadi, Wiro pergi ke arah yang sama dengan perginya Sutri Kaliangan.
Jangan-jangan
sebenarnya dia hendak menyusul gadis itu…."
Jelas ada
rasa cemburu terbayang pada ucapan Bidadari Angin Timur.
"Mungkin
sebelumnya antara mereka sudah saling janji," kata Ratu Duyung pula yang
ikutan jadl cemburu.
Tiga
gadis merasa cemburu wajar-wajar saja karena Sutri Kaliangan memiliki wajah
jelita dan seorang puteri Patih Kerajaan pula.
"Kita
harus menyelidik. Apa sebenarnya yang dilakukan Wiro," kata Bidadari Angin
Timur. Dia memberi isyarat pada dua sahabatnya. Ke tiga gadis tinggalkan tempat
itu, berkelebat ke arah lenyapnya Sutri Kaliangan dan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Belum
lama berlari tiba-tiba Ratu Duyung yang berada di sebelah belakang berkata.
"Kawan-kawan.
Ada orang mengikuti kita. Lekas sembunyi!"
Tiga
gadis cantik segera menyelinap ke balik serumpun semak belukar lebat. Tak lama
kemudian muncul orang yang menguntit. Dada turun naik, nafas memburu dan dua
tangan pegangi perut.
"Heran,
tiga-tiganya bisa lenyap. Melesat ke langit atau amblas ke dalam tanah? Tidak
mungkin… tidak mungkin. Pasti sembunyi sekitar sini! Ha… ha… aku si tua bangka
masakan bisa ditipu tiga gadis ingusan!" Sepasang mata belok orang ini
memperhatikan ke atas pohon besar. Dia tidak melihat orang-orang yang
dicarinya.
Di balik
semak belukar Bidadari Angin Timur setengah jengkel berkata. "Huh… tua
bangka itu rupanya!" Bersama dua gadis lainnya dia keluar dari balik semak
belukar.
"Kakek
Setan Ngompol!" tegur Bidadari Angin Timur. Si kakek yang celingukan
mencari-cari langsung pancarkan air kencing saking kagetnya.
"Kek!
Bukankah sebelumnya kau ikut bersama Naga Kuning dan Gondorowo Patah Hati?
Sekarang mengapa menguntit kami dan muncul di sini?"
"Kalian
jangan curiga. Tadinya aku memang ikutan sama nenek angker dan bocah konyol
itu.
Tapi
kupikir-pikir apa untungnya mengikuti dua orang yang sedang mabok cinta.
Salah-salah aku bisa jadi ngiler sendiri. Ha… ha… ha." Menjawab Setan
Ngompol. Habis tertawa langsung saja kencingnya terpancar hingga tiga gadis
berteriak dan cepat menjauh. "Dari pada mengikuti mereka bukankah lebih
untung ikut kalian saja?!"
"Untungnya
apa?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Pertama
kalian cantik-cantik! Berarti setiap saat aku melihat pemandangan indah.
Kedua…."
"Sudah!
Jangan bicara melantur!" tukas Ratu Duyung. "Kawan-kawan, apa kalian
sudi jalan bersama kakek ini?"
"Sudi
tak sudi asal dia mau menurut apa kata kita ya boleh-boleh saja…." jawab
Anggini.
"Aku
tahu… aku tahu kalian tak bisa menolak.
Bukan
karena aku memaksa tapi karena aku dulu juga pernah muda dan ganteng…."
"Uhhhh!"
ucap tiga gadis berbarengan.
"Mata
belok, kuping kanan terbalik tak karuan!" kata Bidadari Angin Timur
menggoda.
"Tampang
keriputan. Badan bau pesing!" Ratu Duyung ikut menggoda.
"Sudah…
sudah!" kata Setan Ngompol.
"Bukankah
kalian mau mengejar Wiro? Berlamalama di sini nanti kehilangan jejak."
"Eh,
bagaimana kau bisa tahu kami hendak mengejar Wiro?" tanya Bidadari Angin
Timur curiga.
Setan
Ngompol menyeringai. "Apa ada pemuda lain yang pantas kalian kejar? Kalau
saja aku masih muda…."
"Uhhhh…!"
"Ha…
ha… ha!" Setan Ngompol tertawa bergelak dan kembali terkencing-kencing.
*********************
6
SEKARANG
kita ikuti perjalanan Sutri Kaliangan, putri Patih Kerajaan. Seorang diri gadis
ini memacu kudanya menuju Kotaraja. Saat itu hari masih pagi.
Udara
terasa segar. Untuk mempercepat sampai ke Kotaraja Sutri sengaja mengambil
jalan memotong, melewati sebuah lembah, menembus satu rimba belantara kecil.
Sekeluarnya dari rimba itu Kotaraja tak jauh lagi. Namun tak terduga seseorang
telah menunggu kemunculannya di tepi rimba.
Orang ini
hanya mengenakan sehelai celana komprang hitam. Tangan dan dada ditumbuhi bulu
lebat. Kulit muka kebiru-biruan. Sepasang mata berwarna merah. Di sudut bibir
mencuat taring.
Masing-masing
mata memiliki dua buah alis berwarna merah. Satu di atas satu di bawah mata.
yang
paling aneh adalah kepalanya. Mulai dari kening ke atas kepala orang ini
berbentuk segi empat, berwarna kelabu kehitaman dan keras atos.
DI atas
kepala ada sebuah pendupaan yang selalu mengepulkan asap menebar bau kemenyan.
Di pinggangnya tergantung sebuah guci berleher panjang terbuat dari tembaga.
Orang
menghadang di tengah jalan, Sutri Kaliangan terpaksa hentikan kudanya.
Tunggangan si gadis ini meringkik beberapa kali sambil mengangkat dua kaki
depan pertanda binatang ini mencium bahaya mengancam tuannya. Sutri sendiri
sudah merasa kalau orang punya niat jahat terhadapnya. Dia melirik pada guci
tembaga yang tergantung di pinggang orang.
Dia ingat
keterangan Wiro bahwa seorang gadis sahabatnya dari alam roh telah disekap di
dalam guci ini. Sutri sedikit agak bingung. Menurut Wiro guci itu terbuat dari
perak sedang yang dilihatnya adalah guci tembaga.
Sutri
yang sudah kenal siapa adanya si penghadang segera menegur.
"Iblis
Kepala Batu Alis Empat! Beberapa lama ini kau menghilang entah ke mana.
Tahu-tahu muncul di pinggir rimba belantara. Bukankah tugasmu seharusnya berada
di kawasan Istana?"
"Terus-menerus
berada di sekitar Istana lama-lama membuat diriku jenuh. Apa salahnya
sekali-sekali aku keluyuran dan nasib mujur bertemu gadis secantik dirimu! Ha…
ha… ha!"
"Hem….
Cara bicaramu tidak pantas. Apa kau lupa berhadapan dengan puteri seorang Patih
Kerajaan yang harus kau hormati? Melihat caramu berdiri di tengah jalan,
sikapmu seperti menghadang.
Atau
mungkin aku salah menduga?"
Orang
yang ditegur menyeringai. Mulutnya komat-kamit. Asap menebar bau kemenyan
mengepul dari pendupaan di atas kepalanya yang berbentuk empat persegi.
"Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan!
Dugaanmu
tidak keliru! Aku sudah mengikutimu sejak dari air terjun Jurang Mungkung.
Sengaja menghadangmu di pinggir rimba belantara ini. Ada satu persoalan yang
ingin kubicarakan denganmu!"
"Hemmm.
Mengikuti orang lalu menghadang.
Kini
berkata ingin bicara. Sungguh perbuatan tidak pantas. Aku dapat membaca dari
air mukamu! Kau punya niat tidak baik! Iblis Kepala Batu Alis Empat, hati-hati
bicara dan bersikap padaku. Ayahku bisa menjatuhkan hukuman berat atas dirimu!
Ingat itu!"
Iblis
Kepala Batu tertawa bergelak.
"Ayahmu
memang Patih Kerajaan. Tapi saat ini apa yang bisa dilakukannya. Tubuhnya
tergolek lumpuh di atas pembaringan. Kau masih ingin mengandalkannya dirinya?
Tak lama lagi dia akan dicopot dari jabatannya, digantikan oleh orang
lain!"
"Mulutmu
lancang, ucapanmu kurang ajar! Lekas menyingkir dari hadapanku!" bentak
Sutri Kaliangan.
"Sutri
Kaliangan, aku ingin tahu, apa kepentinganmu hingga memberi tahu pada Pendekar
212 tempat kediamanku di Kali Mungkung. Pendekar keparat itu telah
menghancurkan tempat kediamanku. Apa kau mengerti kalau kau harus ikut
bertanggung jawab atas perbuatannya itu?"
"Bicara
soal tanggung jawab memang satu hal yang tidak enak," jawab Sutri
Kaliangan sambil pasang air muka sinis. "Karenanya aku juga ingin
bertanya, apa kau juga punya rasa tanggung jawab, menculik seorang gadis alam
roh dan menyekapnya dalam guci perunggu itu?"
"Ha…
ha… ha!" iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh
tertawa bergelak.
Asap
menggebubu dari dalam pendupaan di atas kepalanya. "Pendekar 212
jelas-jelas musuh Kerajaan.
Buronan
yang harus ditangkap hidup atau mati. Bahkan manusia itu telah mencelakai
ayahmu, Patih Kerajaan.
Tapi
justru aku lihat saat ini kau membelanya!
Sungguh
keanehan luar biasa! Tapi mungkin bukan keanehan kalau kau sudah jatuh cinta
padanya."
Wajah
cantik Sutri Kaliangan serta merta bersemu merah.
"Iblis
Kepala Batu. Kepala batu berarti otakmu juga batu! Tidak heran kalau perbuatan
dan bicaramu seenaknya! Lekas menyingkir dari hadapanku! Atau kaki-kaki kudaku
akan menghancurkan kepala batumu!"
Kembali
Iblis Kepala Batu Alis Empat keluarkan tawa bergelak. "Aku menyirap kabar
kau pernah diculik pendekar itu. Jangan-jangan ha… ha! Kalian berdua sudah ber
ha… ha… ha! Itu sebabnya kau kini ingin membela pemuda itu!"
Merah
padam wajah Sutri Kaliangan. Bergetar tubuhnya. Tangan kanannya bergerak,
menekan ujung gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Iblis
Kepala Batu menyeringai. Bukannya menyingkir malah dia rentang dua kaki dan
tegak berkacak pinggang.
"Dasar
iblis! Bicara kurang ajar! Tak mau menyingkir!
Jangan
menyesal kalau kupecahkan kepalamu!"
Puteri
Patih Kerajaan itu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang tinggi besar itu
meringkik keras.
Dua kaki
depannya melesat ke atas. Menyambar ke arah kepala orang yang berdiri di
depannya.
Sambil
menyeringai Iblis Kepala Batu Alis Empat gerakkan dua kakinya. Tubuhnya melesat
miring ke atas. Tendangan kuda tunggangan puteri Patih Kerajaan tak mengenai
sasaran. Bersamaan dengan itu Iblis Kepala Batu tendangkan kaki kanannya.
"Bukkk!
Praaakk!"
Kuda
besar meringkik keras. Tubuhnya terlempar satu tombak lalu terguling di tanah,
melejang-lejang akhirnya diam, meregang nyawa dengan kepala pecah!
Sutri
Kaliangan menjerit keras. Sebelum kudanya tergelimpang di tanah gadis ini telah
melompat dari punggung kuda, mencabut pedang lalu dari atas menyerbu Iblis
Kepala Batu Alis Empat dengan satu bacokan ganas.
"Traangg!"
Pedang di
tangan Sutri Kaliangan menghancurkan pendupaan di atas kepala Iblis Kepala Batu
Alis Empat. Kejut dan marah manusia ini bukan alang kepalang. Pendupaan di atas
kepalanya itu merupakan salah satu benda penunjang kekuatannya. Tubuh orang ini
langsung bergetar karena salah satu kekuatan yang dimilikinya telah musnah. Dia
cepat menguasai diri dengan mengerahkan tenaga dalam.
"Keparat
jahanam!" gertak Iblis Kepala Batu.
Selama
ini dia memang tahu kalau puteri Patih Kerajaan itu memiliki ilmu pedang tapi
tidak menyangka begitu hebatnya hingga sanggup menghancurkan pendupaan di atas
kepalanya dalam satu jurus saja!
"Sutri
Kaliangan! Kau telah menghancurkan pendupaan di atas kepalaku! Orang lain pasti
akan kubunuh saat ini juga! Tapi terhadapmu aku masih punya belas kasihan! Aku
ampuni selembar nyawamu kalau kau mau menyerahkan Keris Naga Kopek
padaku!"
"Apa?!"
sentak Sutri Kaliangan. "Jadi senjata pusaka itu rupanya yang jadi
incaranmu! Hemmm…. Selama ini kau dikenal sebagai tokoh silat Istana.
kini
jelas belangmu. Ternyata kau adalah musuh dalam selimut!"
"Jangan
banyak bicara! Aku justru ingin menyelamatkan senjata itu. Banyak orang yang
mengincar. Lekas serahkan dan kau akan selamat!"
"Senjata
pusaka itu tidak ada padaku! Ada pada Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Aku
sudah mengampuni nyawamu! Kau masih berani bicara dusta! Terpaksa aku
memisahkan kepala dengan badanmu!"
Habis
berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat melompat ke depan. Dua tangan
bergerak cepat. Sutri babatkan pedangnya.
"Traangg!
Traangg!"
Pedang
menghantam dua tangan Iblis Kepala Batu. Senjata itu seperti membacok batu
atos. Kejut Sutri bukan alang-kepalang. Dia tidak pernah tahu kalau musuh
memiliki ilmu kebal dahsyat begitu rupa. Untung pedangnya tidak sampai patah.
"Iblis
Kepala Batu! Patih Kerajaan akan menghukummu atas apa yang kau lakukan
terhadapku! Lekas pergi dari sini!"
"Ayahmu
yang terbaring sakit punya daya apa saat ini? Jangan bicara sombong padaku!
Dalam waktu dekat Sri Baginda akan mencopot jabatannya sebagai Patih
Kerajaan!" Iblis Kepala Batu Alis Empat mengulang ucapannya tadi. Lalu dia
membentak. "Mana Keris Naga Kopek?!"
"Kau
ingin keris? Makan dulu pedangku!" jawab Sutri Kaliangan. Didahului
teriakan keras si gadis kiblatkan pedangnya. Senjata itu lenyap dari
pemandangan yang kelihatan hanya satu cahaya berkilau deru angin menggidikkan.
Sutri sengaja mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu pedangnya. Dimulai
dengan jurus pertama bernama "Menusuk Puncak Gunung" disusul gebrakan
kedua bernama "Menikam Dasar Samudera" lalu diteruskan dengan jurus
ketiga bernama "Membelah Rembulan Di Puncak Langit."
Serangan
Sutri Kaliangan memang luar biasa ganas. Sesuai dengan nama jurusnya mula-mula
senjata itu menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Begitu
lawan mengelak pedang memburu dengan tikaman ke arah perut. Sekali lagi lawan
berkelit pedang mengejar dari bawah ke atas, siap menggorok leher terus
membelah dagu sampai kepala.
Orang
lain, tidak pada jurus pertama atau kedua, pada jurus ke tiga pasti akan jebol
pertahanannya.
Namun
yang jadi lawan Sutri Kaliangan saat itu adalah tokoh silat Istana yang menjadi
salah satu dedengkot para tokoh rimba persilatan pada masa itu.
Iblis Kepala
batu membuat empat kali gebrakan.
Telapak
tangan kirinya didorongkan ke depan.
"Desss!"
Sutri
Kaliangan menjerit keras. Dadanya laksana dihantam batu besar. Tubuhnya
terpental. Pedang terlepas dari genggaman. Ketika terguling di tanah, dari
mulutnya kelihatan ada lelehan darah. Si gadis terluka di dalam cukup parah.
"Kau
masih belum mau menyerahkan Keris Naga Kopek?! Mau mati sekarang juga?!"
bentak Iblis Kepala Batu seraya melangkah mendekati Sutri.
Puteri
Patih Kerajaan itu ludahkan darah di mulutnya. Lalu melompat bangkit, tegak
terhuyunghuyung, keluarkan ucapan.
"Siapa
takut kau bunuh! Lihat tangan!"
Entah
gerakan apa yang dilakukan Sutri Kaliangan, tubuh gadis ini tiba-tiba melesat,
tangannya sebelah kanan menyambar ke arah mata kiri sebelah bawah Iblis Kepala
Batu.
Iblis
Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh berseru kaget.
Dengan cepat dia melompat mundur dan melintangkan telapak tangan kiri
melindungi mata kiri.
"Gadis
jahanam ini. Apakah dia tahu…."
Iblis’
Kepala Batu tak bisa berpikir dan berucap lebih panjang. Saat itu Sutri
Kaliangan kembali menyerbu. Setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengarah
ke pipi kiri di bawah mata lawan.
"Jahanam!
Kalau tidak kuhajar sekarang juga bisa berbahaya. Sepertinya dia tahu… dia tahu!
Mungkin
ayahnya yang memberi tahu! Aku harus bertindak cepat!"
Iblis
Kepala Batu angkat dua tangannya ke atas.
Mulutnya
berkomat-kamit. Ketika dua tangan itu dipukulkan menghantam udara kosong
terdengar suara mendesis dua kali berturut-turut. Di lain kejap dua mahluk
raksasa entah dari mana datangnya muncul ‘di kiri kanan Iblis Kepala Batu. Dua
mahluk ini hanya mengenakan cawat. Memiliki rambut panjang dikepang sampai ke
punggung. Mula-mula Sutri hanya samar-samar melihat dua mahluk raksasa
ini.Namun ketika iblis Kepala Batu berseru "Ringkus gadis itu!" baru
Sutri melihat kemunculan dua mahluk raksasa dahsyat mengerikan itu.
Sebelum
dia bisa berbuat apa tahu-tahu dua mahluk itu telah mencekal tangannya kiri
kanan.
"Sekap
dia dalam Kantong Akhirat!" Iblis Kepala Batu kembali memerintah.
Salah
satu dari mahluk raksasa keluarkan sebuah kantong aneh berwarna merah. Begitu
dikembangkan, kantong ini langsung melesat siap untuk membungkus sosok Sutri
Kaliangan. Si gadis coba berontak lepaskan pegangan dua mahluk raksasa. Tapi
sia-sia saja. Sesaat lagi kepalanya akan tenggelam ke dalam kantong merah yang
disebut Kantong Akhirat tiba-tiba satu lidah api meyambar dari balik batang
pohon besar di ujung rimba belantara.
Dua
mahluk besar keluarkan jeritan dahsyat.
Tubuh
mereka disabung kobaran api lalu seperti leleh dan akhirnya berubah menjadi
asap. Sekali lagi dua mahluk itu menjerit keras lalu lenyap dari pemandangan.
Kejut
Iblis Kepala Batu bukan alang kepalang.
"Kurang
ajar! Siapa berani mati menyerang jin peliharaanku?!" teriaknya marah. Dia
hantamkan tangannya ke arah pohon besar. Selarik angin dahsyat menggebubu.
"Bummmm!"
satu ledakan keras menggelegar.
"Kraaakkk!"
Pohon
besar berderak patah dan tumbang. Dari balik pohon yang kemudian roboh melesat
keluar seorang berpakaian serba putih.
"Jahanam
keparat! Kau rupanya!" teriak Iblis Kepala Batu marah. Dia tidak takut
pada orang yang barusan muncul ini, malah mendendam setengah mati. Tapi saat
itu jika dia punya kesempatan untuk mendapatkan Keris Naga Kopek, mengapa
menghabiskan waktu melayani orang itu. Maka tidak pikir panjang lagi Iblis
Kepala Batu jentikkan jari telunjuk tangan kirinya.
Sutri
Kaliangan merasakan ada angin aneh laksana tusukan jarum menyambar urat besar
di leher kirinya. Di lain saat gadis ini dapatkan dirinya tak mampu lagi
bergerak maupun bersuara. Iblis Kepala Batu Alis Empat cepat memanggul Sutri
dan berkelebat dari tempat itu.
"Mahluk
jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak orang berpakaian serba putih yang
bukan lain adalah Pendekar 212 adanya segera mengejar. Tapi Iblis Kepala Batu
sudah lenyap laksana ditelan bumi.
Wiro
memburu sambil kerahkan ilmu "Menembus Pandang" pemberian Ratu
Duyung. Dia berhasil melihat sosok Iblis Kepala Batu dan Sutri Kaliangan, namun
agak samar-samar, kemudian lenyap.
"Mahluk
jahanam! Kau sudah menyekap Bunga, kini melarikan Sutri! Aku bersumpah
membunuhmu!"
Murid
Sinto Gendeng kerahkan ilmu warisan gurunya yang disebut Kaki Angin.
Pohon-pohon di sekitarnya laksana beterbangan. Debu dan pasir bertaburan.
*********************
7
BELUM
lama Wiro melakukan pengejaran, tiba-tiba di depannya, menghalang di jalan yang
hendak dilaluinya, duduk bersila seorang nenek berpakaian aneh, terbuat dari
akar dan serat kulit pohon berwarna coklat. Dari mulutnya keluar suara meracau
tak berkeputusan. Tak jelas apa yang diracaunya.
Mungkin
melafalkan mantera, mungkin juga tengah menyanyi. Yang hebatnya di atas kepala
si nenek ada kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik.
Keanehan
lain orang tua ini memiliki sepasang mata berbentuk kerucut merah yang bisa
bergerak keluar masuk, membuat tampangnya yang sudah seram jadi bertambah
angker.
Wiro
hentikan larinya. Selain si nenek memang menghalangi jalan, dia juga terkesima
karena sepertinya dia mengenali orang tua ini. Garuk-garuk kepala murid Sinto
Gendeng berpikir keras, coba mengingat-ingat.
"Astaga!"
Pendekar 212 tersurut satu langkah dan pukul jidatnya sendiri. "Kalau
memang dia, bagaimana bisa berada di sini?" Wiro berpikir lagi.
Dia
ingat. "Tapi mengapa aku harus heran. Beberapa orang tokoh dari Negeri
Latanahsilam kabarnya juga sudah berada di Tanah Jawa. Aku malah telah bertemu
dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab…." Wiro garuk-garuk kepala bergerak
mendekat, lalu jongkok di samping si nenek yang sampai saat itu masih terus
meracau, bersikap seolah tidak ada orang lain di tempat itu. Dua bola matanya
yang lancip bergerak keluar masuk.
"Nek…."
Wiro menggamit bahu kanan si nenek.
"Wusss!"
Digamit orang si nenek tak bergerak, tidak melirik. Tapi dari batok kepalanya
mengepul keluar asap merah sedang asap merah berbentuk kerucut terbalik yang
menggantung di atas kepalanya bergerak ke atas setinggi lima jengkal lalu
perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula!
Murid
Sinto Gendeng garuk kepala.
"Nek,"
Wiro memanggil lagi. Tapi kali ini tak berani menggamit bahu atau lengan si
nenek. Karena orang seperti tidak perduli terus saja meracau maka Wiro
lanjutkan ucapannya, bertanya. "Nek, kalau aku tak salah duga, bukankah
kau ini tokoh dari negeri Latanahsilam, negeri seribu dua ratus silam?"
Suara
meracau lenyap dari mulut si nenek yang ditanya. Berganti dengan suara tawa
mengekeh panjang.
"kau
masih mengenali diriku. Berarti kau masih ingat budi orang. Kau sendiri
bukankah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang yang dulu pernah
tersesat di Negeri Latanahsilam dan memikat habis semua gadis-gadis cantik
bahkan para janda muda di negeri itu?"
Wiro
undurkan tubuh ke belakang, kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepala lalu
tertawa lebar.
"Kau
bisa saja Nek. Dulu di Negeri Latanahsilam, kalau aku tak sempat mengucapkan
terima kasih padamu, maka saat ini aku ingin menyampaikannya.
Banyak
budi pertolonganmu kuterima selama tersesat di negeri itu. Nek, aku tak mau
kesalahan menduga, kau ini bukankah tokoh bernama Luhniknik, berjuluk Hantu
Penjunjung Roh?" Si nenek tertawa kembali.
"Bagus,
kau rupanya memang masih ingat diriku."
"Bagaimana,
bagaimana kau bisa tersesat ke Tanah Jawa ini Nek?" tanya murid Sinto
Gendeng.
"Jangan
kau pura-pura tidak tahu…."
"Maksudmu
Nek?"
"Waktu
Istana Kebahagiaan meledak hancur, semua orang yang ada di dalam Istana gila
itu termasuk dirimu melesat ke udara, menembus langit lalu jatuh berhamparan di
berbagai kawasan negeri seribu dua ratus tahun mendatang ini."
"Jadi
selain kau, siapa lagi yang berada di negeri ini?
Yang aku
tahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab…."
"Banyak…
banyak! Hampir semua. Termasuk si jahanam Hantu Muka Dua. Cuma aku tidak tahu
mereka berada di mana. Tapi satu ketika mereka pasti muncul satu persatu.
Termasuk para gadis cantik yang pasti akan mencarimu. Hik… hik… hik."
(Mengenai riwayat Luhniknik yang bergelar Hantu Penjunjung Roh ini serta negeri
Latanahsilam harap baca serial petualangan Wiro di negeri Latanahsilam mulai
dari Episode "Bola-Bola Iblis" sampai "Istana
Kebahagiaan.")
"Nek,
aku sebenarnya, aku ingin bicara banyak denganmu. Tapi saat ini aku ada urusan
penting.
Bagaimana
kalau kita berjanji dua hari di muka di tempat ini?" Habis berkata Wiro
hendak bangkit berdiri. Tapi si nenek cepat pegang bahu si pemuda hingga
bagaimanapun Wiro mengerahkan tenaga luar dia tak sanggup bergerak. Ketika Wiro
hendak kerahkan tenaga dalamnya si nenek berkata.
"Aku
tahu, kau tengah mengejar seseorang…."
"Syukur
kalau kau sudah tahu. Jadi aku minta diri dulu. Nanti kita bertemu lagi."
Si nenek
gelengkan kepala dan pegang lengan Wiro kuat-kuat. "Dengar," katanya.
"Aku tak ingin kau mengejar orang itu."
"Apa
katamu Nek?!" kejut Wiro. "Orang yang aku kejar adalah mahluk jahat.
Berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Dia juga dikenal dengan gelaran Iblis
Kepala Batu Pemasung Roh. Dia menyekap seorang gadis dan barusan melarikan lagi
seorang gadis…."
"Aku
sudah tahu, sudah tahu…."
"Kalau
kau tahu mengapa melarang aku mengejarnya?!"
"Aku
berjanji akan bantu membebaskan orang yang disekap dan gadis yang diculik.
Asalkan kau berjanji tidak mengejarnya…."
"Mengapa
kau melarangku, mengapa aku harus berjanji? Bagaimana mungkin kau bisa
membantu?
Kalau kau
punya niat baik hendak membantu lepaskan tanganku. Mari kita sama-sama
mengejarnya!" kata Wiro.
"Anak
muda, aku tak ingin terjadi sesuatu dengan orang yang kau kejar…."
"Nek,
mulutku bisa berbusa bicara denganmu.
Agaknya
kau tidak mengerti apa yang telah terjadi…."
"Aku
lebih dari mengerti…."
Wiro
kerahkan tenaga dalamnya. Sekali dia menyentakkan tangan, terlepaslah pegangan
si nenek. Tapi ketika dia hendak berkelebat pergi si nenek cepat sekali sudah
menghadang di depannya.
Sepasang
matanya yang berbentuk kerucut merah terjulur keluar, pancarkan cahaya
mengerikan.
"Dengar
Wiro. Orang yang kau kejar adalah adik kandungku. Waktu aku diberi nama Hantu
Penjunjung Roh dia mendapat nama Hantu Pemasung Roh. Belasan tahun silam dia
berhasil mendapatkan satu kekuatan hebat hingga mampu melesat keluar dari
Negeri Latanahsilam dan tersesat ke Tanah Jawa ini. Karena kejahatan yang
dibuatnya dia dijuluki Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Rimba persilatan Tanah
Jawa memberikan gelar lain padanya yakni Iblis Kepala Batu Alis Empat. Aku
belum lama tersesat ke negeri ini. Aku belum sempat bicara banyak dengan adikku
itu. Jika sampai dia menemui ajal sebelum aku bisa bertemu dan bicara dengan
dia, aku akan menyesal seumur-umur. Siapa tahu aku bisa membujuknya, melepaskan
orang yang disekapnya dalam guci dan melepaskan gadis yang barusan
diculiknya…."
"Siapa
tahu…." kata Wiro mengulang ucapan si nenek. "Maafkan aku Nek,
waktuku sudah terbuang banyak. Aku harus segera mengejar Iblis Kepala
Batu."
"Aku
terpaksa menghalangimu," kata si nenek pula.
"Nek,
di negerimu antara kita tidak ada permusuhan.
Mengapa
sesampainya di sini hatimu keras sekali untuk menghalangiku?"
"Bagaimanapun
juga aku lebih menyayangi adik kandungku dari pada orang lain…."
"Kau
mau berbuat apa Nek?!"
"Terserah
maumu! Aku sudah beri peringatan."
Jawab si
nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh.
"Kalau
begitu…. Apa boleh buat," ujar murid Sinto Gendeng. Secepat kilat dua jari
tangan kanannya berkelebat menotok urat besar di leher si nenek. Yang ditotok
ganda tertawa dan tahan nafas.
Begitu
nafas dilepas kembali maka desss! Totokan di leher serta merta musnah!
Dalam
kagetnya melihat kehebatan si nenek murid Sinto Gendeng tanpa sungkan-sungkan
lagi segera saja menyerbu Hantu Penjunjung Roh dengan serangan berantai.
Sebenarnya serangan ini hanyalah pancingan belaka. Begitu si nenek lengah dia
akan pergunakan kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi celakanya si
nenek sudah dapat membaca apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka dia hadapi
serangan Wiro dengan bergerak membuat lingkaran seputar tubuh pemuda itu. Dari
sepasang matanya menyembur kilatan cahaya merah menebar panas luar biasa.
Dalam
waktu singkat Wiro sudah terkurung serangan lawan. Sadar kalau dia tidak bisa
main-main lagi Pendekar 212 segera rubah jurus-jurus ilmu silatnya.
Ilmu
silat warisan Tua Gila dipadu dengan ilmu silat ajaran Sinto Gendeng, lalu
dipadu lagi dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hantu
Penjunjung Roh jadi bingung sendiri.
Berputar
lebih cepat untuk mengurung lawan tapi lawan yang dikurung mendadak lenyap
entah ke mana. Ketika dia memutar tubuh tahu-tahu Wiro sudah berada dekat sekali
di depannya, bergerak seperti orang mabok. Bagitu diserang sosok pemuda ini
lenyap dan dia merasa ada angin menyambar dari samping. Ketika dia memukul ke
samping, lawan sudah bergerak ke tempat lain!
"Anak
muda! Kau boleh punya ilmu silat aneh!
Jangan
harap bisa lolos dari asap mautku!"
Habis
berkata begitu Hantu Penjunjung Roh hembuskan nafas panjang. Asap merah
berbentuk kerucut terbalik di atas kepalanya serta merta menebar lebar lalu
bergerak ke bawah, siap membungkus dan meringkus Pendekar 212. Masih jauh
tebaran asap merah itu dari tubuhnya namun Wiro sudah merasa ada getaran hebat
yang membuat tenaganya seolah disedot.
Murid
Sinto Gendeng cepat jatuhkan diri ke tanah. Semula dia bermaksud hendak
menghajar nenek ini dengan satu pukulan sakti, tapi hati kecilnya merasa tidak
tega dan malah entah bagaimana di benaknya muncul satu pikiran untuk
mempermainkan Hantu Penjunjung Roh.
"Nek,
kau pakai celana dalam apa tidak?"
"Jahanam
kurang ajar! Apa maksudmu?! Lancang sangat mulutmu!" teriak Hantu Penjunjung
Roh. Dia meniup keras-keras. Asap merah menderu lebih cepat ke arah Wiro. Tapi
mendadak terdengar suara kreekkk… kreekkk. Bersamaan dengan itu tubuhnya
tertarik keras ke bawah. Si nenek menjerit ketika melihat ke bawah,’sebagian
pakaiannya yang terbuat dari akar dan kulit pohon telah robek besar. Pinggul
dan pahanya sebelah kiri tersingkap, nyaris bugil!
Si nenek
kalang kabut menutupi auratnya sambil berteriak, menjerit dan memaki panjang
pendek.
"Wahail"
Wiro meniru ucapan orang di Negeri Latanahsilam. "Aku sudah menduga.
Ternyata benar!
Kau tidak
pakai celana Nek! Ha… ha… ha!"
"Pemandangan
bagus! Pemandangan bagus!"
tiba-tiba
ada orang berseru. "Wiro, serahkan nenek ini padaku. Aku memang sudah lama
tidak melihat nenek-nenek bugil! Anak gadis tidak pernah, neneknenekpun
jadilah! Ha… ha… ha!"
Pendekar
212 kenali suara orang yang berseru.
Untuk
memastikan dia palingkan kepala lalu tertawa lebar. "Sobatku kakek konyol!
Rejekimu memang besar! Silahkan menikmati! Ha… ha… ha!" Habis berkata
begitu sambil tertawa Wiro segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sambil
menutupi auratnya Hantu Penjunjung Roh delikkan matanya yang berbentuk kerucut
merah.
"Jahanam,
dia rupanya!" maki si nenek.
Sepasang
matanya menjulur keluar. Kemarahan terhadap Wiro ditumpahkan pada orang yang
barusan datang. Tangan kiri dipergunakan untuk memegangi pakaian yang
tersingkap, tangan kanan dihantamkan ke depan.
"Wusss!"
Serangkum
angin keras menderu. Si kakek yang diserang, bukan lain Setan Ngompol karuan
saja jadi kaget. Terkencing-kencing dia melompat selamatkan diri sambil
berseru.
"Tidak
ada permusuhan, sebelumnya kita bersahabat Hantu Penjunjung Roh, mengapa kau
menyerangku?!"
"Tua
bangka tukang kencing! Sejak kau kesasar di Latanahsilam bersama pemuda itu
mulutmu sudah kurang ajar! Aku tidak pernah merasa bersahabat denganmu!"
bentak Hantu Penjunjung Roh.
"Walah!
Sialnya diriku! Maksud hati melihat pemandangan bagus, ternyata malah mau
digebuk!
Nenek
dari negeri Latanahsilam, aku tidak mau berkelahi denganmu. Kalau kau masih
penasaran silahkan menghadapi tiga orang anak buahku!"
Setan
Ngompol melompat menjauhi si nenek.
Lalu
berpaling pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Sambil rangkapkan
dua tangan di depan dada, kepala mendongak ke atas, dengan sikap seperti seorang
tuan besar memerintah bawahannya, si kakek berkata.
"Anak-anak,
harap kalian beri pelajaran pada nenek jelek itu!"
Hantu
Penjunjung Roh palingkan kepala, pandangi tiga gadis. Amarahnya berkurang
ketika dia melihat kecantikan wajah Bidadari Angin Timur dan dua kawannya.
Malah dia hampir mengira, Ratu Duyung yang bermata biru adalah Peri Angsa Putih
dari negeri Latanahsilam.
"Tiga
gadis cantik, menjadi anak buah kakek konyol tukang kencing, sulit aku
mempercayai,"
membatin
Hantu Penjunjung Roh. Dia bertanya pada Bidadari Angin Timur. "Gadis
rambut pirang. Apa benar kau dan dua kawanmu anak buah kakek tukang kencing
itu?!"
"Mengapa
percaya ucapannya! Justru dia adalah kacung pembantu kami!" jawab Bidadari
Angin Timur. Lalu tertawa gelak-gelak diikuti Anggini dan Ratu Duyung.
Setan
Ngompol terlonjak mendengar ucapan Bidadari Angin Timur. Satu tangan pegangi
bagian perutnya, satu lagi garuk-garuk kepala. Mulut bersungut cemberut.
"Nek,
kami tidak kenal siapa dirimu. Pakaianmu aneh. Kau ini siapa sebenarnya dan
kenapa tadi bertempur melawan Pendekar 212 Wiro Sableng?" Bertanya Ratu
Duyung.
Si nenek
tidak mau menjawab.
Anggini diam-diam
merasa kasihan melihat keadaan pakaian si nenek. Pakaian itu terbuat dari akar
dan kulit pepohonan dan robek besar hingga dia kerepotan berusaha menutupi
auratnya. Dari kantong perbekalannya gadis ini keluarkan sehelai pakaian.
"Nek,
kuharap kau suka mengenakan pakaian ini."
Anggini
menyerahkan pakaian itu tapi si nenek tak mau menanggapi. Malah bertanya.
"Apa hubungan kalian dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu?"
"Kami
adalah sahabat-sahabatnya…."
"Hemmm…
Ambil saja kembali. Aku tak akan menerima pakaian itu."
"Kami
tidak tahu apa silang sengketamu dengan Wiro. Tapi soal pakaian ini tidak ada
sangkut pautnya dengan pemuda itu."
Karena si
nenek tetap tidak mau menerima pakaian yang diserahkan akhirnya Anggini
letakkan pakaian itu di tanah. Dia memberi isyarat pada kawan-kawannya. Bersama
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung Anggini tinggalkan tempat itu.
Setan
Ngompol mengikuti kemudian.
Berada
sendirian Hantu Penjunjugn Roh tegak termangu pandangi pakaian yang teronggok
di tanah. Dia memandang berkeliling. Agaknya pikirannya mulai berubah. Nenek
ini melangkah mendekati pakaian itu lalu mengambilnya.
Dikembangkan
dan dipandangi penuh rasa kagum lalu diukur dipatut-patutkan ke badan. Dari
wajahnya kelihatan terpancar rasa senang.
"Tiga
gadis cantik tadi, mereka baik-baik semua.
Menyesal
aku bertindak kasar. Apakah semua orang di negeri seribu Hua ratus tahun
mendatang ini punya sifat baik? Bagaimana aku mencari jalan keluar urusanku
dengan Pendekar 212. Kalau tidak kubantu adikku, pasti pemuda itu akan
menghabisinya. Dia memiliki kesaktian luar biasa. Sebenarnya aku sendiri belum
tentu bisa menghadapinya. Hantu Pemasung Roh, apa salah kedua orang tua kita
hingga kau tersesat ke Tanah Jawa dan jadi orang jahat begitu rupa…."
Si nenek
kembali mematut-matut pakaian yang diberikan Anggini ke tubuhnya. Entah karena
senang entah karena menduga memang tak ada lagi orang lain di tempat itu, tanpa
berlindung ke balik pohon atau semak belukar si nenek tanggalkan pakaiannya
yang terbuat dari akar dan kulit pohon.
Saat
itulah satu kepala menyembul dari balik batang pohon. "Sahabatku, agaknya
kau perlu bantuan bagaimana cara mengenakan pakaian bagus itu?"
Si nenek
terkejut dan terpekik. Kalang kabut dia lari ke balik semak belukar. Dari balik
semak belukar dia memaki habis-habisan.
"Tua
bangka kurang ajar! Beraninya mengintip orang! Aku bersumpah akan mengorek dua
biji matamu!"
Di balik
pohon Setan Ngompol tertawa terkekeh kekeh. Tentu saja sambil beser.
"Untung
cuma dua biji mataku yang hendak kau korek. Bagaimana dengan biji-bijian
lainnya?
Apa
hendak kau korek juga? Ha… ha… ha!"
Si nenek
marah besar mendengar ucapan itu.
Tangan
kanannya dihantamkan ke arah pohon. Satu gelombang angin dahsyat menderu.
"Kraakkk!
Buuummm!"
Pohon
besar patah lalu tumbang menggemuruh.
Tapi
Setan Ngompol sudah berkelebat selamatkan diri dan kabur masih tertawa-tawa dan
terkencingkencing.
"Aneh
nenek satu itu. Mukanya jelek tapi badannya masih bagus. Tidak ada rempelannya.
Tidak
rugi tadi aku mengintip! Ha… ha… ha."
*********************
8
KEMBALI
ke Tanah Bugis.
Hari ke
tiga, hari perjanjian, Sebelum fajar menyingsing.
Telaga
Malakaji diselimuti kegelapan. Kesunyian mencekam. Hawa dingin menyayat kulit
mencucuk tulang.
Daeng
Wattansopeng duduk bersila di atas balaibalai kayu. Sepasang mata terpejam. Dua
tangan diletakkan di atas lutut. Di hadapannya terbentang sehelai kain hitam
empat persegi. Di atas kain hitam itu terletak sebilah badik belum bergagang,
didampingi sarungnya.
Desiran
angin dingin menerobos masuk dari jebolan atap yang masih belum diperbaiki, menyapu
kepala, wajah dan tubuh orang tua ahli pembuat senjata sakti itu. Bukan angin
dingin itu yang membuat dia membuka mata tetapi suara yang barusan
ditangkapnya. Suara orang berlari cepat, berkelebat di dalam malam gelap.
"Mereka
datang…." bisik suara hati Wattansopeng.
Orang tua
ini memandang ke arah pintu pondok.
Dengan
kesaktian yang dimilikinya, dengan pandangan mata saja dia sanggup membuka kayu
palang pengunci pintu. Perlahan-lahan dengan suara berkereketan pintu pondok
itu bergerak membuka.
Baru saja
daun pintu terpentang lebar, dua sosok berkelebat muncul tapi tak segera masuk.
Yang
berdiri di sebelah kanan, berambut biru berminyak, kening diikat lilitan tali,
itulah orang tua bernama Sarontang. Orang yang telah dianggap sebagai saudara
oleh Daeng Wattansopeng walau banyak perilaku perbuatan Sarontang yang sangat
tidak disukai Wattansopeng. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki tinggi besar
berkumis melintang.
Orangi
ini bukan lain Jatilegowo, Adipati Salatiga.
"Saudaraku
Daeng Wattansopeng, aku datang memenuhi janji. Bersamaku ikut orang dari Tanah
Jawa."
"Kalian
berdua sudah kutunggu. Pintu terbuka silahkan masuk." Daeng Wattansopeng
berucap.
Sarontang
memberi isyarat pada orang di sampingnya lalu mendahului masuk. Sampai di dalam
pondok dia memberi tanda pada Jatilegowo.
Adipati
Salatiga ini segera membungkuk memberi penghormatan.
"Orang
tua, saya menghaturkan banyak terima kasih bahwa kau sudi menerima kedatangan
saya.
Lebih
dari itu saya juga berterima kasih bahwa kau bersedia membuat dan memberikan
sebuah senjata sakti bertuah untuk saya…."
Daeng
Wattansopeng angkat kepala, memandang orang yang berdiri di depannya. Air muka
orang tua ini berubah kaget ketika menyaksikan wajah Jatilegowo.
Hidung
yang seharusnya berada di atas mulut, secara aneh terletak menempel di kening.
Untuk beberapa lamanya Daeng Wattansopeng hanya bisa memandang, tak mampu
berkata apa-apa. Tidak pernah menyangka kalau orang yang akan menemuinya itu
memiliki keadaan wajah seperti itu.
Merasa
tidak enak, setelah melirik pada senjata yang terletak di atas kain hitam empat
persegi, Jatilegowo segera berkata.
”Orang
tua, maafkan kalau keadaan wajah saya tidak sedap untuk dipandang. Justru
karena keadaan yang seperti inilah tekad saya semakin kuat datang ke Tanah
Bugis ini menemuimu guna meminta tolong….”
Daeng
Wattansopeng memandang sebentar pada Sarontang lalu berpaling pada orang yang
barusan bicara padanya, bertanya.
”Orang
dari tanah seberang, siapa namamu?”
“Saya
Jatilegowo….”
“Daeng,
orang ini adalah Adipati di Salatiga.” Sarontang menambahkan.
“Jatilegowo,
apakah cacat di mukamu itu kau dapat sejak lahir?” tanya Daeng Wattansopeng
pula.
Jatilegowo
gelengkan kepala.
“Seseorang
mencelakai saya,” katanya.
“Aneh,
mencelakaimu dengan cara seperti itu.
Baru
sekali ini aku melihat kejadian seperti ini.
Apakah
ada silang sengketa antara kau dengan orang itu? Atau mungkin dia seorang dukun
jahat, seorang penebar guna-guna?”
”Dia
seorang pemuda berkepandaian tinggi.
Entah
ilmu apa yang dimilikinya hingga mampu menghina mencelakai saya seperti ini.”
”Dalam
sengketa itu, apakah kau berada di pihak yang benar?”
”Saya
menganggap begitu. Mungkin orang lain menganggap tidak….”
”Siapa
nama pemuda berkepandaian tinggi itu?”
tanya
Daeng Wattansopeng selanjutnya.
”Namanya
Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia adalah murid
seorang nenek sakti dari Gunung Gede….”
Wajah
jernih Daeng Wattansopeng berubah.
Orang tua
ini elus janggutnya beberapa kali. Melihat perubahan air muka saudara angkatnya
itu, Sarontang lantas bertanya.
”Saudaraku,
apakah kau mengenal pemuda itu?”
”Aku tak
pernah bertemu muka dengan Wiro Sableng. Tapi dengan gurunya, Sinto Gendeng,
aku pernah berkenalan. Peristiwanya sekitar lima puluh tahun silam. Sewaktu aku
masih muda, mengembara ke Tanah Jawa. Dalam satu pertemuan para tokoh silat di
puncak Pegunungan Dieng aku bertemu dengan nenek sakti itu. Saat itu aku ingin
menjajal sampai di mana kehebatannya. Bukan untuk menantang tapi sekedar untuk
mengetahui setinggi apa ilmu yang telah aku miliki. Sekaligus mencari pelajaran
dan pengalaman berguna. Saat itu kami boleh dikatakan masih sama-sama muda.
Usia sekitar tiga puluhan. Sinto Gendeng mungkin belum mencapai tiga puluh
karena dia beberapa tahun lebih muda dariku.”
Dari
dalam saku jubah sebelah kiri Daeng Wattansopeng keluarkan sesuatu. Benda ini
ternyata adalah sebuah tusuk konde berkilau, terbuat dari perak murni.
”Memandang
tusuk konde ini, seolah terbayang jelas kembali dalam ingatan dan pandangan
mataku peristiwa setengah abad yang silam….”
****************************
ARENA
pertemuan para tokoh rimba persilatan delapan penjuru angin di salah satu
puncak pegunungan Dieng lima puluh tahun silam.
Daeng
Wattansopeng menjura di hadapan Sinto Gendeng yang memandang padanya sambil
senyumsenyum.
Dalam
rimba persilatan Sinto terkenal genit.
Banyak
pemuda yang terpikat padanya. Sebaliknya dia juga pernah jatuh hati pada
beberapa pemuda gagah.
"Sahabatku
Sinto, aku sudah lama mendengar nama besarmu. Kehebatanmu tersiar sampai ke
tanah kelahiranku di Bugis sana. Kalau kau tidak keberatan ingin 6ekali aku
yang bodoh ini minta pelajaran menimba pengalaman darimu…."
"Tanah
Bugis tanah bertuah. Banyak tokoh silat ternama berasal dari sana. Salah
seorang di antaranya yang aku kenal baik adalah Karaeng Jeneponto."
"Karaeng
Jeneponto, dia tokoh terhebat kawasan selatan. Selama bertahun-tahun dia
dianggap sebagai pimpinan para tokoh silat Tanah Bugis." Berkata Daeng
Wattansopeng.
"Jeneponto
orangnya baik. Ilmu tinggi, rendah hati. Suatu ketika dia minta aku bertukar
pengalaman.
Kami
bersilat selama lima jurus. Jeneponto hebat sekali. Dia sanggup mengambil dua
dari lima tusuk konde perak yang ada di kepalaku. Tapi aku sempat menjahilinya.
Mendodorkan celana hitamnya hingga dia setengah telanjang. Untung Jeneponto
masih pakai celana dalam butut. Kalau tidak. Hik… hik… hik…." Sinto
Gendeng tertawa cekikikan.
Daeng
Wattansopeng tersenyum tapi otaknya berpikir. "Ilmu kesaktian dan
kepandaian silat Karaeng Jeneponto dua tingkat bahkan mungkin tiga tingkat di
atas kepandaianku. Bagaimana mungkin aku barusan berani menantang Sinto
Gendeng? Ah, aku mencari penyakit sendiri. Tapi jika aku membatalkan niat,
bagaimana aku menyembunyikan rasa malu?"
Saat itu
Sinto Gendeng yang masih muda, berkulit hitam manis dan cantik berkata.
"Sahabat
Daeng Wattansopeng, benar kau ingin bermain-main denganku barang sejurus dua
jurus?"
Sudah
terlanjur menantang Daeng Wattansopeng menjawab. "Kalau kau tidak
keberatan memberi petunjuk, aku akan sangat berterima kasih Sinto.
Aku tahu
tingkat kepandaianku jauh di bawah ketinggian ilmumu. Jadi harap kau jangan
menelanjangiku seperti kau lakukan pada Karaeng Jeneponto."
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. Diam-diam dia merasa suka pada tokoh silat dari
Tanah Bugis itu.
"Aku
tahu diri. Tidak akan mempermalukanmu di depan orang banyak," jawab Sinto
Gendeng. Saat itu banyak tokoh silat berkumpul membuat lingkaran besar, ingin
menyaksikan jalannya adu kepandaian antara ke dua orang tersebut. "Tapi
aku lebih dulu ingin membuat satu perjanjian denganmu." Sambung Sinto
Gendeng.
"Perjanjian
apa?" tanya Daeng Wattansopeng.
"Jika
aku kalah, kau harus mengambil diriku sebagai istrimu."
Tentu
saja Daeng Wattansopeng melengak kaget dan ternganga mendengar ucapan Sinto
Gendeng.
Tempat
itu sesaat diselimuti kesunyian. Kemudian mulai terdengar siulan-siulan.
Disusul suara tawa satu persatu. Selanjutnya tempat itu penuh dengan gemuruh
suara orang banyak tertawa bergelak.
Salah
seorang di antara para tokoh malah berseru.
"Terima
saja Daeng! Di Tanah Bugis belum tentu kau menemukan perempuan secantik dan
sepandai Sinto Gendeng!"
Daeng
Wattansopeng sebelumnya memang sudah mendengar kalau Sinto Gendeng orangnya
aneh, bicara suka melantur tak karuan. Tapi dia mana pernah mengira kalau si
hitam manis cantik itu begini rupa kelakuannya. Untuk beberapa lamanya Daeng
Wattansopeng tak bisa menjawab.
Hanya
wajahnya saja yang kelihatan berubah merah.
"Bagaimana?
Kau terima perjanjian itu atau tidak?"
"Mungkin…
mungkin dia sudah punya istri di kampung!" Seseorang berteriak.
"Tidak!
Aku belum beristri!" jawab Daeng Wattansopeng. Lalu dia memaki dirinya
sendiri.
Telah
berlaku bodoh mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalau
begitu, mengapa tidak mau menerima perjanjian?"
"Punya
dua istri juga tidak apa-apa! Siang lain malam lain! Ha… ha… ha!"
"Sinto
juga belum pernah kawin! Satu perjaka satu perawan! Tunggu apa lagi!"
Suara
tawa kembali menggemuruh di puncak Dieng itu.
"Hai,
kau terima perjanjian atau tidak?!" Sinto Gendeng bertanya sambil berkacak
pinggang dan kedipkan matanya.
"Aku
menerima…." Daeng Wattansopeng tak bisa berkelit akhirnya menjawab.
"Namun dengan satu syarat."
"Syarat
apa?"
"Kejujuran."
"Heh!"
Sinto Gendeng kelihatan heran.
"Kejujuran
bagaimana maksudmu, sahabat Daeng Wattansopeng?"
"Kau
tidak boleh sengaja mengalah."
Sepasang
mata Sinto Gendeng membesar.
Perempuan
muda ini lalu tertawa panjang.
"Baik….
Baik, aku tidak akan mengalah. Kau juga bertempur harus sungguh-sungguh."
Maka
disaksikan banyak tokoh silat yang ada di tempat itu Sinto Gendeng dan Daeng
Wattansopeng menguji kepandaian masing-masing. Dari rencana hanya bertempur
lama lama jurus akhirnya berkembang sampai dua belas jurus dan masih terus.
Serangan
yang dilancarkan Daeng Wattansopeng deras laksana curahan hujan. Ilmu silat
Bugis memang cepat dan ganas gerakannya. Orang lain mungkin sudah sejak tadi
kena dihantamnya.
Tetapi
setiap dia merasa pukulan atau tendangannya akan mengenai lawan, gerakannya
serta merta seperti sengaja ditahan. Orang banyak tertawa dan berseru.
"Daeng
Wattan! Pukul saja!"
"Teruskan
tendanganmu Daeng!"
"Ah!
Dia takut menang! Takut kawin dengan Sinto Gendeng!"
Merasa
malu dan tak enak hati mendengar ucapan-ucapan orang Daeng Wattansopeng
keluarkan seluruh kepandaian, menyerbu Sinto Gendeng tanpa sungkan-sungkan
lagi.
Dalam
jurus ke dua puluh satu, dengan gerakan silat bernama Membabat Bumi Menghunjam
Langit Daeng Wattansopeng berhasil membobol pertahanan lawan. Kaki kanan
menyapu ganas ke arah dua kaki Sinto Gendeng. Jangankan kaki perempuan, batang
kelapapun akan hancur tumbang dihantam tendangan itu. Ketika Sinto Gendeng
melompat ke atas untuk selamatkan kaki, tangan kanan Daeng Wattansopeng secepat
kilat melesat, menjotos masuk ke arah perutnya.
"Bukkk!"
Tubuh
Sinto Gendeng terpental sampai satu tombak. Tapi dia tidak tergelimpang jatuh,
masih sanggup menjejak tanah dengan dua kaki terpentang kokoh. Wajahnya
kelihatan sedikit pucat pertanda menahan sakit.
"Astaga!
Aku telah mencelakai orang!" Daeng Wattansopeng menyesal setengah mati.
Tapi bukan itu yang ditakutinya. Dia berhasil mengalahkan Sinto Gendeng.
Berarti sesuai perjanjian dia harus mengawini perempuan muda itu!
"Celaka
aku!" keluh Daeng Wattansopeng.
Untuk
beberapa lamanya dia hanya bisa berdiri dengan mulut ternganga dan mata
terpentang melotot. Para tokoh yang membentuk lingkaran bersorak riuh!
"Kita
bakal pesta besar! Dua tokoh bertemu jodoh!"
"Potong
sapi potong kerbau!"
"Pesta
tiga hari tiga malam!"
Wajah
Daeng Wattansopeng merah seperti saga.
Perjanjian
sudah dibuat! Dia mengalahkan Sinto Gendeng! Tak ada cara untuk mengelak. Tak
mungkin dia menghindar memenuhi perjanjian. Dia harus mengawini Sinto Gendeng.
Dalam kalut kacau hati serta pikirannya dilihatnya Sinto Gendeng melangkah
mendekatinya sambil tersenyumsenyum.
Salah
satu tangannya yaitu tangan kiri berada di belakang pinggang. Wattansopeng
salah tingkah. Makin riuh sorak sorai para tokoh.
Dua
langkah di hadapan Daeng Wattansopeng Sinto Gendeng berhenti. Bibirnya mengulum
senyum.
"Daeng,
aku Sinto Gendeng mengaku kalah…."
"Aku…
aku…."
"Daeng!
Jangan pura-pura malu!" teriak seorang tokoh silat.
"Kami
tahu kau sebenarnya sudah lama suka pada Sinto!" berseru tokoh silat
lainnya.
"Daeng,
aku mengaku kalah," kata Sinto sekali lagi. "Untuk itu aku akan
kembalikan sorbanmu."
Tangan
kiri yang sejak tadi berada di balik pinggang bergerak ke depan. Di tangan itu
ternyata Sinto Gendeng memegang sorban merah milik Daeng Wattansopeng.
"Astaga!"
Daeng Wattansopeng terkejut besar.
Dua
tangannya bergerak ke kepala. Sorbannya tak ada lagi. Sorban yang di tangan
Sinto Gendeng memang miliknya. Merah padam wajah Daeng Wattansopeng tapi
diam-diam hatinya merasa gembira. Ternyata dia tidak benar-benar mengalahkan
perempuan cantik hitam manis itu.
Cepat-cepat
Daeng Wattansopeng mengambil sorban merahnya.
"Sinto,
terima kasih atas petunjuk dan pelajaran yang kau berikan…."
"Ya…
ya, lalu bagaimana dengan perjanjian kita?"
Pertanyaan
Sinto Gendeng itu membuat Daeng Wattansopeng terkejut. Sinto Gendeng tersenyum.
Dia
layangkan pandangan pada para tokoh rimba persilatan yang masih membentuk
lingkaran.
"Para
sahabat, menurutku aku tidak kalah dan Daeng Wattansopeng tidak menang.
Bagaimana menurut kalian."
"Ya….
Bagaimana lagi," kata seorang tokoh dengan nada lesu. "Kelihatannya
pertempuran ini sudah diatur. Tak ada yang kalah tak ada yang menang! Sama-sama
imbang!"
"Pesta
besar batal! Makan besar batal!"
Para
tokoh tertawa dan bersorak riuh. Semua mereka merasa senang. Walau tak jadi
pesta tapi mereka telah melihat satu pertandingan silat tingkat tinggi yang
jarang terjadi. Satu persatu mereka tinggalkan tempat itu dengan hati puas.
Sambil
merapikan letak sorban di atas kepalanya, Daeng Wattansopeng mendekati Sinto
Gendeng.
Perempuan
muda ini senyum-senyum saja didekati begitu rupa. Malah enak saja mulutnya
berucap.
"Perjanjian
sudah batal. Apa kau berencana membuat perjanjian baru? Mengapa susah-susah.
Mengapa
tidak langsung saja melamarku saat ini?"
Wajah
Daeng Wattansopeng bersemu merah.
"Sinto,
hari ini biar aku mengangkat dirimu sebagai saudara…."
"Saudara?"
kening Sinto Gendeng mengerenyit.
Sepasang
alisnya naik ke atas. Perempuan muda ini menutup mulut dengan jari-jari
tangannya. "Saudara apa? Saudara kandung? Pasti tidak mungkin.
Saudara
sepupu, saudara misan…?"
"Saudara
lain ayah lain ibu," jawab Daeng Wattansopeng.
Sinto
Gendeng angguk-anggukkan kepala.
Tertawa
panjang lalu ulurkan tangan. Tidak malu malu dia pegang lengan Daeng
Wattansopeng.
"Sinto,
kau…. Kalau orang lain melihat…."
"Hueh!
Kenapa malu-malu? Sama saudara ‘kan tidak apa-apa saling pegangan
tangan?!" ujar Sinto Gendeng pula. Membuat Daeng Wattansopeng salah
tingkah. Sinto lepaskan pegangannya.
"Sinto,
kalau aku boleh bertanya. Apa nama jurus yang tadi kau pergunakan untuk
mengambil sorbanku?"
Sinto
Gendeng tertawa. "Daeng, kau masih penasaran rupanya. Baik, aku akan beri
tahu. Jurus yang aku pergunakan untuk mengambil sorbanmu bernama Di balik
Gunung Memukul Halilintar."
"Di
balik Gunung Memukul Halilintar…." Daeng Wattansopeng mengulang nama jurus
itu. Lalu wajahnya berubah. Dia memandang tak berkesip pada Sinto Gendeng.
"Saudaraku…. Menyimak nama jurus itu, sebenarnya jika kau mau kau tadi
bisa memukul pecah kepalaku. Tapi kau tidak melakukan.
Pukulan
kau ganti dengan sambaran mengambil sorbanku. Kau… kau sungguh baik
hati…."
"Yang
benar saja Daeng. Masakan aku mau memukul pecah kepala saudara sendiri.
Hik…hik…hik."
"Sinto,
ternyata tidak sia-sia aku menyeberang lautan datang ke tempat ini. Hari ini
aku mendapat satu pelajaran sangat berharga darimu. Bagaimana aku harus
membalas budi baikmu."
Sinto
Gendeng tersenyum. "Aku merasa bahagia punya saudara sebaik dirimu. Sayang
waktuku tidak banyak. Sebagai tanda persaudaraan dan kenang kenangan, aku
menitipkan sesuatu dalam saku jubahmu sebelah kanan. Selamat tinggal Daeng.
Kalau
umur sama panjang kita pasti bertemu lagi."
Sinto
Gendeng pegang lengan Daeng Wattansopeng.
Daeng
Wattansopeng balas mengusap jari-jari tangan perempuan itu. Lalu sekali
berkelebat Sinto Gendeng lenyap dari tempat itu. Lama Daeng Wattansopeng
tertegun di tempatnya berdiri. Kemudian dia ingat pada ucapan Sinto Gendeng.
Cepat dia masukkan tangan ke saku jubah sebelah kanan. Ada sebuah benda dalam
saku itu. Ketika dikeluarkannya ternyata sebuah tusuk konde perak.
"Benar-benar
di luar langit masih ada langit."
Daeng
Wattansopeng geleng-gelengkan kepala. Dia memandang ke arah lenyapnya Sinto
Gendeng. "Aku benar-benar tidak tahu. Tidak merasa. Bagaimana dia mampu
memasukkan tusuk konde perak ini ke dalam saku jubahku?"
*********************
9
SELESAI
menutur riwayat pertemuannya dengan Sinto Gendeng, sesaat Daeng Wattansopeng
masih pandangi tusuk konde perak pemberian perempuan itu, lalu memasukkannya
kembali ke saku jubah.
Mengetahui
bahwa Daeng Wattansopeng punya hubungan baik dengan Sinto Gendeng, Jatilegowo
jadi tidak enak. Bagaimana mungkin orang ini akan membantunya padahal
kedatangannya justru meminta senjata untuk dipakai antara lain menghabisi
Pendekar 212, murid Sinto Gendeng sendiri!
"Jatilegowo,"
tiba-tiba Daeng Wattansopeng menegur. "Melihat tingginya jabatanmu sebagai
Adipati di Tanah Jawa, serta jauh dan sulitnya perjalanan ke tempat kediamanku
ini, tentunya kau datang ke sini membawa satu masalah besar. Harap kau mau menceritakan
apa masalahmu, apa sebabnya kau menginginkan senjata bertuah yang baru aku
buat."
Jatilegowo
berpaling pada Kakek Sarontang yang berdiri di sebelahnya. Orang tua satu ini
maklum apa yang ada dalam pikiran dan hati sang Adipati setelah mengetahui
hubungan Daeng Wattansopeng dengan Sinto Gendeng. Maka diapun berkata.
"Tak
usah ragu. Jangan bimbang. Jangan jadikan perjalanan jauhmu ini satu
kesia-siaan.
Ceritakan
semua riwayatmu, jangan ada yang disembunyikan."
Jatilegowo
mengangguk. Lalu berikan penuturan.
Mulai
dari maksudnya hendak menikahi Nyi Larasati, janda almarhum Adipati Temanggung.
"Niat
baik saya ditolak mentah-mentah oleh Nyi Larasati. Saya merasa dihina. Selain
itu Sarwo Ladoyo sesepuh Kadipaten Temanggung menyerang saya. Terpaksa saya menjatuhkan
tangan keras terhadap orang tua itu. Karena orang-orang Kadipaten Temanggung
menunjukkan sikap menantang maka dengan persetujuan Kotaraja saya menyerbu
Temanggung. Tapi tak terduga di situ muncul dua orang muda berkepandaian
tinggi, menolong orangorang Temanggung. Pemuda pertama bertubuh gendut luar
biasa. Dikenal dengan julukan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang kedua adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Saya dan para perwira Kadipaten Salatiga tidak mampu
menghadapi mereka. Dalam keadaan babak belur kami terpaksa mundur. Saya bukan
saja dihina dipermalukan tetapi diperlakukan secara keji. Wiro Sableng murid
Sinto Gendeng memindah hidung saya ke kening. Dendam saya terhadap Wiro Sableng
tidak akan lebur sekalipun kelak tubuh saya tinggal tulang-belulang di dalam
kubur. Selain mempecundangi dan menghina serta memperlakukan saya seperti ini,
dia juga telah berbuat mesum terhadap salah seorang istri saya." (Baca
Episode sebelumnya berjudul "Badik Sumpah Darah").
Terkejutlah
Daeng Wattansopeng mendengar ucapan terakhir Jatilegowo itu. Dalam hati dia
membatin. "Sinto Gendeng kuketahui memang punya watak aneh. Tidak heran
kalau muridnya juga aneh. Sang guru gendeng sang murid sableng.
Tetapi
kalau dia sampai berbuat mesum dengan istri orang, ini satu hal yang sulit
dipercaya."
Daeng
Wattansopeng memandang Jatilegowo lalu berkata.
"Setahuku
Sinto Gendeng tidak memiliki ilmu aneh begitu rupa," kata Daeng
Wattansopeng pula.
"Berarti
sang murid mendapatkan ilmu aneh itu dari orang lain."
"Kakek
Daeng Wattansopeng, kini jelas bagimu latar belakang maksud kedatangan saya.
Pertama untuk mengambil badik sakti bertuah yang kau janjikan melalui Kakek
Sarontang. Kedua, saya berharap dengan kesaktianmu hidung saya yang ada di
kening bisa dipindah ke tempat semula di atas bibir."
Daeng
Wattansopeng terdiam sejenak, mata dipejam seolah merenung. Kemudian orang tua
ini tarik nafas dalam dan berkata.
"Jatilegowo,
ketika saudaraku Sarontang minta dibuatkan badik sakti bertuah untukmu, aku
tidak pernah menduga latar belakang permintaanmu itu ada sangkut pautnya dengan
murid Sinto Gendeng…."
"Saya
maklum perasaanmu, Kakek Daeng Wattansopeng. Apakah berarti kau tidak akan
menyerahkan badik itu pada saya?" tanya Jatilegowo pula.Sebelum Daeng
Wattansopeng menjawab, Sarontang mendahului berucap.
"Adipati
Jatilegowo, jangan kau berkawatir terlalu jauh. Saudaraku tak pernah
mengecewakan siapapun selama hidupnya."
Daeng
Wattansopeng tersenyum kecil.
Dipandanginya
badik tak bergagang di atas kain hitam empat persegi. Dalam hati dia berkata.
"Agaknya
sekali ini aku membuat senjata bertuah untuk sesuatu yang keliru. Ya Rabbi Ya
Tuhan Yang Maha Kuasa, jika saya salah, ampuni kesalahan saya." Orang tua
ini angkat kepalanya, menatap pada Sarontang lalu memandang pada Jatilegowo dan
berucap.
"Aku
sudah berjanji. Pantang bagiku tidak menepati janji. Sebelum aku mendengar
kisahmu, sebenarnya ada syarat-syarat yang harus kau lakukan di atas sumpah,
yakni sebelum badik sakti bertuah aku berikan padamu. Kini setelah aku tahu
silang sengketamu dengan Wiro Sableng murid Sinto Gendeng yang sudah saling
angkat saudara denganku, maka ada satu syarat tambahan lagi yang harus kau
terima di atas sumpah."
"Kalau
Kakek Daeng Wattansopeng mau mengatakan sekarang, sekarang pula saya akan
mengangkat sumpah memenuhi permintaan Kakek. kata Jatilegowo.
"Aku
sangat menghargai ucapan dan tindakanmu. Tapi sumpah itu baru boleh kau ucapkan
lusa pagi, bersamaan dengan terbitnya matahari di ufuk timur. Sekarang, sebelum
fajar menyingsing kau bersama Kakek Sarontang ikuti aku ke rimba Seratus Pohon
Tuba. Badik tak bergagang ini perlu dibenamkan selama satu hari satu malam
dalam Pohon Tuba, agar racun menyelimutinya luar dalam. Agar kesaktiannya
bangkit di atas segala kesaktian. Hingga kelak jangankan tertusuk, tergores
sedikit saja lawan akan menemui kematian."
Dengan
hati-hati Daeng Wattansopeng melipat kain hitam empat persegi. Badik berikut
sarungnya yang terbungkus kain hitam ini dimasukkannya ke saku jubah. Lalu
orang tua ini turun dari pembaringan.
Memberi
isyarat pada Sarontang dan Jatilegowo untuk mengikutinya.
SANG
surya belum muncul. Hari masih gelap ketika ke tiga orang itu sampai di satu
rimba belantara. Di bagian rimba sebelah tengah ada satu pedataran tinggi.
Di sini
tumbuh seratus buah pohon besar yang disebut Pohon Tuba. Daeng Wattansopeng
mendatangi pohon paling besar. Di sini dia melangkah memutari pohon sampai
tujuh kali. Sambil memutari pohon dari mulutnya tak putus- putus keluar suara
mengucap sesuatu. Di akhir putaran ke tujuh orang tua ini hentikan langkah. Badik
tak bergagang dikeluarkan dari dalam saku.
Lipatan
kain dibuka, sarung badik diselipkan pada ikat pinggang jubah, kain hitam
dipegang dengan tangan kiri sementara badik dipegang dengan tangan kanan.
Tangan kiri Daeng Wattansopeng bergerak.
Terdengar
suara seperti kepakan sayap burung besar ketika kain hitam empat persegi itu
melesat ke udara, menabas daun-daun dan rerantingan lalu lenyap dalam
kegelapan.
Daeng
Wattansopeng letakkan badik tak bergagang di atas keningnya. Mata dipejamkan,
mulut komat-kamit melafatkan sesuatu. Bersamaan dengan itu tangan kanan yang
memegang badik perlahan-lahan bergerak. Ujung runcing badik hitam kebiru-biruan
ditusukkan ke batang Pohon Tuba.
Sedikit
demi sedikit badik itu amblas masuk ke dalam batang pohon hingga akhirnya
lenyap sama sekali.
Jatilegowo
memperhatikan apa yang tadi dilakukan Daeng Wattansopeng. Diam-diam dia menaruh
kagum. Bukan pekerjaan gampang memasukkan sebuah benda hingga amblas ke dalam
pohon tanpa bekas. Tidak semua tokoh rimba persilatan sekalipun memiliki tenaga
dalam tinggi sanggup melakukan hal seperti itu.
Daeng
Wattansopeng berpaling pada dua orang yang ada di belakangnya.
"Kalian
berdua carilah tempat yang baik untuk menunggu. Mulai saat ini sampai pagi satu
usapan muka aku akan mengheningkan daya dan rasa. Jika kalian tidak suka
menunggu di sini, kaliann boleh menunggu di pondok.’
"Daeng,
kalau kau tidak keberatan dan memberi izin biar kami menunggu sekitar
sini," menjawab Sarontang.
Mendengar
jawaban orang, tanpa banyak bicara lagi Daeng Wattansopeng mencari tempat yang
baik dan bersih lalu melaksanakan sembahyang sunat dua rakaat. Selesai
sembahyang dia duduk bersila di tanah, di bawah Pohon Tuba. Dua tangan
diletakkan di atas lutut, wajah dan tubuh dihadapkan ke arah matahari
tenggelam.
Menjelang
pagi hari kedua, baik Sarontang maupun Jatilegowo tidak memicingkan mata.
Mereka memperhatikan sosok Daeng Wattansopeng yang masih duduk bersila tak
bergerak, mata terpejam. Di ufuk timur fajar masih belum menyingsing. Keadaan
di tempat itu masih gelap. Ketika terdengar hembusan nafas panjang dari hidung
Daeng Wattansopeng, Sarontang dan Jatilegowo saling melirik. Lalu
perlahan-lahan kelihatan si orang tua membuka sepasang matanya.
Kakek ini
yang masih dalam keadaan suci wudhu bangkit berdiri lalu sembahyang sunat dua
rakaat. Selesai sembahyang dia melangkah mendekati Pohon Tuba. Sarontang dan
Jatilegowo segera berdiri, mengikuti langkah si orang tua tapi menjaga jarak,
tidak mau terlalu dekat.
Di
hadapan Pohon Tuba Daeng Wattansopeng tundukkan kepala membaca sesuatu. Lalu
dua tangannya ditempelkan ke batang pohon, tepat di mana sehari semalam
sebelumnya dia memasukkan badik yang dibuatnya ke dalam pohon beracun itu.
Beberapa
saat berlalu dalam cekaman kesunyian.
Sarontang
dan Jatilegowo menunggu dengan dada berdebar. Tiba-tiba ada cahaya terang
kehijauan memancar pada batang Pohon Tuba, tepat pada bagian yang ditempeli dua
telapak tangan Daeng Wattansopeng. Lalu ada asap mengepul disertai tebaran bau
wangi membuat Sarontang dan Jatilegowo jadi tercekat.
*********************
10
TAK
SELANG berapa lama terdengar Daeng Wattansopeng mengucap Basmallah lalu dua
tangannya yang sejak tadi ditempelkan ke batang pohon perlahan-lahan ditarik ke
belakang. Dalam jepitan dua telapak tangan Daeng Wattansopeng saat itu
kelihatan badik tak bergagang menyembul keluar dari batang pohon lalu tertarik
keluar. Badik yang sebelumnya berwarna hitam kebiruan itu kini berubah warna
menjadi hitam kehijauan. Pertanda racun Pohon Tuba telah menyatu dalam tubuh
badik.
"Sarontang,
berikan padaku gagang dari gading yang sudah kau siapkan untuk hulu senjata
ini." Daeng Wattansopeng berkata.
Dari
balik pakaiannya Sarontang segera mengeluarkan gagang terbuat dari gading gajah
lalu menyerahkannya pada Daeng Wattansopeng.
Hati-hati
Daeng Wattansopeng masukkan dan sambungkan gagang gading ke ujung sebelah bawah
badik. Ternyata gagang dan badik cocok satu sama lainnya, bersatu kuat
membentuk satu senjata mustika sakti yang utuh.
"Badik
Sumpah Darah…." bisik Sarontang. Matanya berkilat-kilat.
"Jatilegowo,
mendekatlah ke hadapanku,"
terdengar
Daeng Wattansopeng berucap. Adipati Salatiga Jatilegowo segera melangkah ke
hadapan si orang tua. Wajahnya tegang dan dadanya berdebar.
"Berdoalah
pada Yang Maha Kuasa, agar wajahmu diberi kesembuhan. Anggukkan kepalamu jika
kau selesai berdoa."
Dalam
hati Jatilegowo segera melakukan apa yang dikatakan si orang tua. Selesai
berdoa dia anggukkan kepala.
Perlahan-lahan
Daeng Wattansopeng angkat tangan kanannya yang memegang badik, didekatkan ke
wajah Jatilegowo, ditempelkan pada hidung yang ada di kening.
Jatilegowo
merasa ada hawa panas menjalar ke hidung merambas ke keningnya. Dia keluarkan
suara mengeluh karena hawa panas seperti melelehkan seluruh wajahnya. Tubuhnya
bergetar menahan sakit. Perlahan-lahan hawa panas lenyap, berganti dengan hawa
sejuk. Perubahan panas dengan sejuk menimbulkan kepulan asap yang menyelubungi
seluruh kepala Jatilegowo. Adipati Salatiga ini merasakan ada sesuatu bergerak
di keningnya lalu gerakan serupa terasa di atas bibirnya.
Daeng
Wattansopeng meniup. Kepulan asap yang membungkus kepala Jatilegowo lenyap.
Sarontang
keluarkan suara tercekat. Matanya menyaksikan seperti tak percaya. Hidung
Jatilegowo yang tadinya ada di kening kini telah kembali ke tempatnya semula di
atas bibir. Pada kening kelihatan sedikit goresan yang mengeluarkan darah.
Ketika
diusap oleh Daeng Wattansopeng dengan badan badik, goresan itu serta-merta
lenyap.
Jatilegowo
telah melihat pada perubahan air muka Kakek Sarontang. Dadanya berdebar.
Kemudian
didengarnya orang tua itu berkata.
"Jatilegowo,
Tuhan telah mengabulkan doa pintamu."
Jatilegowo
angkat ke dua tangannya, meraba wajah, kening dan bagian atas bibirnya. Dia
merasakan hidungnya yang sebelumnya menempel di kening kini telah kembali ke
tempat seharusnya di atas bibir.
"Ah…."
Lelaki ini keluarkan seruan gembira, langsung jatuhkan diri di hadapan Daeng
Wattansopeng.
"Berdirilah
Jatilegowo. Bersyukur dan berterima kasih pada Allah. Dia yang telah menolong
dirimu…."
"Tapi
Kakek Daeng, kalau bukan engkau…."
"Aku
hanya hamba Allah, yang dipercayakan jadi kepanjangan tanganNya untuk
menolongmu…."
"Kakek
Daeng, saya bersyukur, saya berterima kasih," ucap Jatilegowo penuh haru
sedang dua matanya kelihatan berlinang. Sarontang berdiri menyaksikan sambil
usap-usap dagunya.
"Sarontang
mendekat ke mari." Kata Daeng Wattansopeng sambil mengeluarkan sarung
badik dari saku jubahnya. Setelah Sarontang berada di hadapannya, berdiri di
samping Jatilegowo Daeng Wattansopeng berkata.
"Kalian
dengar baik-baik. Sebelum badik bertuah ini aku masukkan ke dalam sarungnya,
sebelum senjata mustika sakti ini aku berikan pada kalian.
aku
ingatkan kembali pada kalian berdua. Ada janji yang disebut sumpah, harus
kalian ingat dan laksanakan. Pertama, senjata bernama Badik Sumpah Darah ini
akan kuserahkan padamu Jatilegowo. Kau hanya boleh memilikinya selama tiga
purnama. Itu sudah cukup bagimu untuk melakukan apa saja dalam mewujudkan
segala niatmu. Mulai dari memperistrikan Nyi Larasati, sampai kau mendapat
kekuasaan penuh di Temanggung dan Salatiga. Bilamana semua apa yang kau
inginkan itu sudah tercapai, Badik Sumpah Darah harus kau serahkan pada
Sarontang. Sarontang juga akan memiliki senjata ini selama tiga purnama.
Waktu
yang cukup untuk mewujudkan cita-citamu mendapatkan tahta kerajaan Pakubuwon.
Tapi ingat baik-baik akan satu hal. Jangan kalian berani mengganggu Sinto
Gendeng ataupun muridnya yang bernama Wiro Sableng…."
"Kakek
Daeng, saya…." Jatilegowo memotong ucapan si orang tua.
"Aku
tahu, Wiro Sableng adalah musuh besarmu.
Tetapi
begitulah bunyi perjanjian yang akan diikat dengan sumpah."
"Jatilegowo,"
kata Sarontang sambil memegang bahu lelaki itu. "Walau Wiro adalah musuhmu
tapi maksud utamamu adalah mendapatkan Nyi Larasati dan kekuasaan di dua
Kadipaten. Kau harus mengerti dan menurut apa yang dikatakan Kakek
Daeng…."
Jatilegowo
akhirnya anggukkan kepala.
Si orang
tua melanjutkan ucapannya yang tadi terputus. "Setelah apa yang kalian
inginkan tercapai, senjata ini harus kalian kembalikan ke sini, serahkan
langsung ke tanganku."
"Kakek
Daeng, bagaimana kalau selama waktu yang ditetapkan kami tidak mampu mewujudkan
niat…."
Sarontang
menyentuh kaki Jatilegowo dengan kakinya, membuat ucapan Adipati itu terputus.
"Jatilegowo,
Kakek Daeng Wattansopeng lebih luas penglihatan dan pengalamannya dari pada
kita.
Lakukan
saja apa yang dikatakannya…."
"Baik
kalau begitu. Harap maafkan saya Kakek Daeng," kata Jatilegowo.
"Jika
kau sudah menerima janji maka saatnya kita mengikat diri dengan sumpah darah.
Majulah lebih dekat."
Jatilegowo
dan Sarontang bergerak lebih dekat.
Daeng
Wattansopeng tempelkan ujung gagang badik yang agak runcing ke lengan kanan
Jatilegowo.
Begitu
digores, lengan itu tersayat halus dan kucurkan darah. Hal yang sama kemudian
dilakukan Daeng Wattansopeng pada lengan kanan Sarontang.
"Jangan
kalian bersihkan darah di lengan kalian.
Pada
saatnya darah itu akan lenyap dengan sendirinya."
"Saudaraku
Daeng Wattansopeng, ada sesuatu yang hendak aku sampaikan padamu. Sekaligus
meminta petunjukmu," berkata Sarontang, kakek berambut biru berminyak.
"Katakanlah,
mudah-mudahan aku bisa membantu," jawab Daeng Wattansopeng.
"Pada
saat aku menginjakkan kaki pertama kali di Tanah Bugis ini sekitar seperempat
abad yang lalu, aku bertemu dengan seorang kakek bernama Pattirobajo, mengaku
berjuluk Iblis Seribu Nyawa…."
"Aku
tahu banyak riwayat orang itu. Apa yang dimintanya darimu, Sarontang?"
tanya Daeng Wattansopeng pula.
"Dia
meminta aku untuk membunuhnya dengan Badik Sumpah Darah. Menurut pengakuannya
dia sudah terlalu lama hidup dan tidak mati-mati. Katanya, hanya badik bertuah
itulah yang bisa menamatkan riwayatnya. Asal saja aku yang menikamkan
ketubuhnya. Aku terlanjur berjanji akan memenuhi permintaannya itu. Selama
hampir dua puluh lima tahun berada di Tanah Bugis ini aku telah menerima banyak
budi dari dia. Antaranya sebuah jimat yang membuat aku memiliki ilmu silat dan
kesaktian tinggi. Aku minta izinmu, sebelum berangkat ke Tanah Jawa bersama
Jatilegowo aku akan mampir lebih dulu di lereng timur Gunung Lompobatang untuk
memenuhi permintaan Iblis Seribu Nyawa."
Daeng
Wattansopeng merenung sejenak lalu berkata. "Membunuh seseorang tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah satu dosa besar. Aku
menasihatkan agar kau tidak melakukan hal itu, tidak memenuhi permintaan Iblis
Seribu Nyawa…."
"Lalu
bagaimana dengan budi yang telah aku terima?"
"Anggap
saja itu sebagai berkah atau sedekah seseorang padamu yang wajib kau syukuri.
Tapi jika kau tidak berkenan, boleh saja kau kembalikan pada si pemberi. Lagi
pula setelah dua puluh lima tahun berlalu, apakah Iblis Seribu Nyawa masih
hidup?"
"Dia
memang masih hidup. Keadaannya separuh lumpuh, tinggal kulit pembalut tulang.
Tapi dia tak kunjung menemui ajal," jawab Sarontang.
"Saudaraku,
aku tetap menganjurkan agar kau melupakan saja permintaan Iblis Seribu Nyawa.
Ketahuilah
Badik Sumpah Darah aku ciptakan bukan untuk membunuh secara sembarangan. Kalian
berdua ingat hal itu baik-baik."
Sarontang
lalu berdiam diri. Daeng Wattansopeng tidak bisa menerka apakah saudara
angkatnya ini akan mengikuti nasihatnya. Dia berpaling pada Jatilegowo lalu
berkata.
"Tubuhmu
akan kusapu dan kugosok dengan Badik Sumpah Darah agar mendapat kekebalan luar
dalam. Berbaringlah di tanah, menelungkup."
Jatilegowo
lakukan apa yang diperintahkan si orang tua. Dia berbaring menelungkup di
tanah.
Daeng
Wattansopeng berjongkok di sampingnya.
Dengan
badik telanjang, sambil melafatkan bacaan sakti Daeng Wattansopeng sapu dan
usapkan senjata itu ke tubuh belakang Jatilegowo, mulai dari kepala sampai ke
ujung kaki.
"Balik,
menelentang," kata Daeng Wattansopeng.
Jatilegowo
membalikkan badan, kini berbaring menelentang. Seperti tadi dia mengusapkan
senjata bertuah itu ke tubuh Jatilegowo mulai dari kepala, bagian muka turun ke
dada terus ke perut. Sampai di bawah perut membelok ke kanan mengusap kaki
kanan sampai ke ujung bawah lalu naik ke atas pada kaki kiri. Pada saat itulah
Sarontang memberikan isyarat kedipan mata ke arah Jatilegowo.
Melihat
isyarat ini Jatilegowo tiba-tiba tendangkan kaki kanannya ke dada Daeng
Wattansopeng. Di saat yang bersamaan dari samping belakang Sarontang hantamkan
tangan kanannya ke tengkuk si orang tua!
*********************
11
TENDANGAN
kaki kanan Jatilegowo menghancurkan tulang dada Daeng Wattansopeng.
Tubuh
orang tua itu terpental ke atas tapi kembali terbanting ke bawah begitu pukulan
yang dilepaskan Sarontang mendarat telak di tengkuknya.
"Kraaakk!"
Tulang
pangkal leher orang tua itu patah. Dia jadi sulit bernafas. Badik Sumpah Darah
terlepas dari genggamannya, jatuh tercampak di tanah. Megapmegap dia berusaha
sambil menunjuk ke arah Jatilegowo dan Sarontang.
"Kalian…."
darah mengucur dari mulut Daeng Wattansopeng. "Kalian tel… telah berbu…
at… dosa bessarr…."
"Jatilegowo,
tunggu apa lagi. Lekas habisi dia! Tikam dengan badik!" Sarontang
berteriak.
Mendengar
teriakan itu Jatilegowo segera mengambil Badik Sumpah Darah yang tergeletak di
tanah. Dengan senjata sakti bertuah yang telah mengandung racun hebat ini
Jatilegowo kemudian menikam Daeng Wattansopeng tepat di arah jantungnya.
"Ahhhh…."
Daeng
Wattansopeng keluarkan keluhan panjang.
Tubuhnya
terkapar di tanah. Mata membeliak, wajah menunjukkan rasa tak percaya. Tak
percaya kalau dirinya akan menemui kematian oleh sejata buatannya sendiri. Tak
percaya kalau yang menikam membunuhnya adalah Jatilegowo kepada siapa senjata
itu akan diserahkannya. Hanya sesaat setelah nyawanya melayang, kulit Daeng
Wattansopeng mulai dari muka sampai ke kaki kelihatan berwarna hijau.
Jatilegowo
dan Sarontang sesaat pandangi mayat Daeng Wattansopeng lalu keduanya sama-sama
tertawa bergelak. Selagi Sarontang masih tertawa gelak-gelak Jatilegowo cepat
mengambil sarung badik. Badik telanjang bernoda darah dimasukkanya ke dalam
sarung itu. Lalu tanpa setahu Sarontang di dalam gelap Jatilegowo membuat satu
gerakan cepat.
"Orang
tua tolol!" kata Sarontang. "Siapa sudi menelan janji dan
sumpahmu!"
"Sekarang
kita bisa memiliki senjata sakti mandraguna ini tanpa ada batas waktu!"
ucap Jatilegowo. "Sesuai apa yang dikatakan Daeng Wattansopeng, aku
pertama kali akan memiliki senjata itu. Jika semua niat dan urusanku selesai
akan kuserahkan padamu."
"Memang
begitu ucapan Daeng Wattansopeng.
Tapi
apakah kau lupa perjanjian di antara kita?" ujar Sarontang lalu tertawa
mengekeh dan ulurkan tangannya.
Jatilegowo
terdiam mendengar kata-kata Sarontang itu lalu anggukkan kepala dan menjawab
perlahan. "Ya, saya ingat."
"Sesuai
dengan apa yang pernah aku katakan padamu, mulai saat ini kewajiban untuk
menyediakan Mayat Persembahan menjadi tanggung jawabmu.
Sebelum
kita berangkat ke Tanah Jawa, kau sudah harus menyerahkan satu mayat pemuda
lajang padaku.
Seteiah
itu setiap bulan mati, enam kali berturut-turut.
Sampai
tujuh kali kau menyerahkan mayat persembahan maka impaslah janjimu. Aku tunggu
kau di Gua Nipanipa. Begitu mayat persembahan kau serahkan, aku akan
menyerahkan badik ini padamu!
Dan ingat
Jatilegowo. Jika mayat persembahan tidak aku serahkan sebelum berangkat ke
Tanah Jawa, kutuk dan kualat akan jatuh atas dirimu." Habis berkata begitu
Sarontang berkelebat pergi.
"Licik,
aku sudah menduga dia akan berbuat licik," kata Jatilegowo. Satu seringai
tersungging di mulutnya.
Dia
kemudian pandangi sejurus jenazah Daeng Wattansopeng tanpa ada penyesalan di
dalam hatinya, lalu tinggalkan tempat itu.
Hanya
sesaat setelah lenyapnya Sarontang disusul kepergian Adipati Jatilegowo, dari
kerimbunan semak belukar yang dibungkus kegelapan melesat keluar satu sosok
berjubah dan berkerudung putih. Orang ini perhatikan mayat Daeng Wattansopeng,
melangkah memutari mayat itu sampai dua kali sambil mulutnya berucap perlahan.
Orang
yang datang bersama Sarontang itu jelas bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ada
baiknya aku bersiap-siap mengadakan perjalanan menuju teluk.
Aku hanya
tinggal menunggu. Salah satu dari mereka akan menunjukkan jalan ke Tanah Jawa
padaku."
Ucapannya
berhenti. Langkahnya juga terhenti.
Kembali
dia pandangi sosok Daeng Wattansopeng.
sambil
menyeringai dia berkata. "Daeng, negerimu memang berbeda dengan negeriku.
Di negeriku kepercayaan tidak datang begitu mudah. Di negerimu kepercayaan
terlalu mudah diberikan hingga disalahgunakan. Dan terkadang berakhir pada
kematian. Buktinya hari ini kau mengalami sendiri."
GOA
Nipanipa.
Sarontang
bersandar ke dinding, tidur-tidur ayam di mulut goa sebelah dalam. Saat itu
sang surya belum lama tenggelam. Tapi udara cepat menjadi gelap karena langit
tertutup awan mendung.
Di atas
pangkuannya terletak satu kantong perbekalan besar. Di dalam kantong .itu,
terbungkus dalam lipatan sehelai kain kasar, Badik Sumpah Darah disimpannya.
Rupanya dia sudah siap meninggalkan goa yang telah dihuninya selama hampir dua
puluh lima tahun itu. Dia hanya tinggal menunggu kedatangan Jatilegowo membawa
mayat persembahan. Sejak pagi tadi dia menunggu, sampai siang berganti malam
yang ditunggu belum juga muncul.
Di luar
goa angin bertiup kencang. Hujan mulai seharusnya memancarkan sinar hitam
kehijauan kelihatan redup.
Sarontang
delikkan mata. Tidak percaya. Tangannya bergetar. Tengkuknya mendadak dingin.
Matanya semakin membesar seolah mau melompat keluar dari rongganya.
"Palsu…."
desis Sarontang. "Badik ini bukan Badik Sumpah Darah. Tapi badik palsu!
Jatilegowo jahanam!
Sungguh
tolol diriku! Bagaimana dia bisa menipu aku?!
Jahanam!
Keparat jahanam!" Saking marahnya Sarontang hantamkan tangan kanan yang
memegang badik ke dinding goa. Badik Sumpah Darah palsu patah tiga, sarungnya
hancur. Dinding goa pecah berantakan!
"Jatilegowo!
Jangan kira kau bisa lari dari tanganku!
Dunia ini
sempit. Ke manapun kau pergi akan kukejar!
Aku
bersumpah membunuhmu! Jangan kira kau sudah menjadi manusia kebal! Aku tahu di
mana kelemahanmu! Kau harus mati ditanganku!"
KETIKA
Sarontang sampai di Teluk Bantaeng keesokan sorenya dia melihat banyak orang
berkerumun di dermaga kayu. Teluk Bantaeng pada masa itu merupakan salah satu
pangkalan perahu barang dan penumpang yang mengarungi jalur pelayaran ke Tanah
Jawa. Kerumunan orang di dermaga begitu banyak, tidak seperti biasanya. Di
beberapa tempat ada pula kelompok-kelompok orang bercakap-cakap. Sarontang
mendekati salahsatu kerumunan orang untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Ternyata orang-orang itu tengah membicarakan satu peristiwa hebat yang belum
lama terjadi.
Belasan
perahu besar yang biasa berlayar ke Tanah Jawa telah dirusak oleh seorang tak
dikenal.
Ada yang
dibakar bagian haluannya. Ada yang dihancurkan bagian dasar tiang-tiang layar.
Lalu ada pula yang dihancurkan dilubangi di bagian buritan. Orang yang
melakukan perbuatan itu kemudian melarikan diri dengan sebuah perahu layar yang
rupanya telah disiapkan. Beberapa anak perahu yang perahunya dirusak coba
mengejar tapi tak berhasil karena perahu mereka lebih kecil.
Pada
seorang awak perahu yang berdiri di dekatnya Sarontang bertanya bagaimana
ciri-ciri orang yang merusak sekian banyak perahu itu.
"Badannya
tinggi besar. Kumis lebat. Rambut panjang sebahu…."
"Jatilegowo,"
kata Sarontang dalam hati.
"Kalian
begini banyak, tapi tidak mampu menghalang atau menangkap orang itu…."
Sarontang
berucap setengah menyesali setengah mengejek.
"Pak
Tua, jumlah kami boleh banyak tapi orang itu mempunyai ilmu kesaktian hebat.
Setiap dua tangannya dipukulkan pasti ada korban manusia berkaparan. Atau ada
perahu yang hancur! Siapa mau menyabung nyawa melawan manusia berkekuatan
seperti setan dia!"
"Pukulan
Dua Gunung Meroboh Langit. Aku tahu dia memiliki pukulan sakti itu. Dia telah
mempergunakan pukulan itu." Kembali Sarontang berucap dalam hati. Orang
tua ini memandang ke arah laut lepas. Dia tahu mengapa Jatilegowo merusak
perahu-perahu di dermaga. Agar dirinya tak bisa mengejar. "Jatilegowo, kau
mengira telah berlaku cerdik. Memang saat ini aku tidak bisa segera mengejarmu.
Tapi kau lupa. Dunia ini begini sempit. Kau mau melarikan diri ke mana? Aku
akan mengejarmu dan satu waktu pasti kau akan kutemui!
Kalau
tahta Kerajaan Pakubuwon telah berada di tanganku, aku bisa mengerahkan seribu
orang untuk mencarimu! Kau akan jadi manusia paling celaka di dunia ini!"
Sarontang
terpaksa bermalam di Teluk, menunggu perahu yang datang dari Jawa atau dari
pelabuhan lain. Menjelang siang keesokannya baru ada perahu besar yang berlayar
ke Jawa. Sarontang menumpang perahu ini tanpa mengetahui bahwa salah seorang
penumpang dalam perahu itu adalah seorang lelaki berjubah dan berkerudung putih
yang bukan lain adalah Lajundai alias Hantu Muka Dua, dedengkot negeri seribu
dua ratus tahun silam yang pernah menyatakan dirinya sebagai raja di raja
Negeri Latanahsilam.
Siang
Sarontang berlayar ke Jawa, pada malam harinya Iblis Seribu Nyawa yang diam di
lereng timur Gunung Lompobatang sebelah timur punya firasat dan merasa kalau
Aryo Probo alias Sarontang tidak memenuhi janjinya. Tidak datang ke tempat
kediamannya untuk membunuh menghabisi dirinya.
"Aryo
Probo, Pangeran Pakubuwon. Aku telah terlanjur memberikan budi baik padamu dan
sebagai balasan meminta sedikit pertolongan. Tapi kau ingkari janji. Hampir dua
puluh lima tahun aku menunggu.
Kau
khianati diriku. Kau kabur ke Tanah Jawa tanpa datang ke sini membawa Badik
Sumpah Darah untuk membunuhku. Aku tidak ihlas atas semua itu! Aku akan
mencarimu, mengambil kembali semua ilmu kepandaian yang sudah aku ajarkan.
Termasuk jimat batu Combong Dewa yang telah aku berikan padamu.
Akan aku
ambil kembali bersama-sama jiwamu!
Kalaupun
aku tidak kesampaian maksud membunuhmu, kutuk dan sumpahku akan jauh lebih
ganas menimpa dirimu!"
Habis
berkata begitu Iblis Seribu Nyawa bertepuk dua kali. Dari balik dinding batu
tempat kediamannya serta merta keluar dua orang lelaki berkepala botak.
Mengenakan
pakaian kelabu gelap berkulit hitam bertubuh tinggi besar. Tampang keduanya
garang angker tapi gerak gerik, langkah serta putaran mata mereka kelihatan
kaku aneh. Mereka tak ubahnya seperti dua boneka kayu besar.
"Siapkan
tandu! Bawa aku ke Teluk. Kita berangkat ke Tanah Jawa hari ini juga!"
kata Iblis Seribu Nyawa.
Dua orang
hitam anggukkan kepala, lenyap ke balik dinding. Tak lama kemudian muncul lagi
membawa sebuah tandu yang pada bagian tangannya ada kursi rendah untuk dudukan
dilengkapi bantalan kain tebal.
Ketika
muncul kembali, dua lelaki botak itu mengenakan sorban tebal di atas kepala masingmasing.
Iblis
Seribu Nyawa naik ke atas tandu, duduk di kursi rendah. Dua orang hitam segera
menggotong tandu. Satu di depan satu di belakang. Ternyata mereka tidak
memanggul atau memikul tandu itu, melainkan menjunjungnya di atas kepala yang
dilapisi dengan sorban tebal!
Di atas
tandu Iblis Seribu Nyawa berucap.
"Sarontang,
aku tahu hitam busuk keji kehidupanmu selama ini. Puluhan anak muda telah jadi
korban nafsu bejatmu! Mereka kemudian kau bunuh, kau jadikan Mayat Persembahan.
Sekarang giliran dirimu aku jadikan Mayat Persembahan!"
*********************
12
IBLIS
Kepala Batu Alis Empat melangkah mengitari kursi batu di mana Sutri Kaliangan
didudukkannya dalam keadaan kaku.
"Iblis
Keparat, kau bakal mendapat hukuman berat dari Patih Kerajaan. Aku sendiri
sudah bersumpah akan membunuhmu!"
Setiap
kata-kata itu diucapkan si gadis, Iblis Kepala Batu keluarkan tawa mengekeh.
"Jadi
kau tidak mau menyerahkan Keris Naga Kopek dengan tanganmu sendiri! Tidak jadi
apa!
Aku malah
senang! Aku akan menggerayangi tubuh bagusmu, mencari keris itu dan
mengambilnya. Ha… ha… ha…!"
"Jahanam
kurang ajar!" hardik Sutri.
Gadis itu
terpekik ketika Iblis Kepala Batu melompat ke hadapannya dan memegang ke dua
bahunya.
"Pergi!
Jangan sentuh!"
"Ha…
ha… ha. Di sebelah mana bagian tubuhmu kau sembunyikan Keris Naga Kopek
itu?!"
"Iblis
jahanam! Pergi! Jangan pegang tubuhku!"
"Kau
tak mau memberi tahu. Berarti memang minta dan suka aku gerayangi! Ha… ha…
ha!"
"Manusia
terkutuk, mendekatlah, aku akan membisikkan sesuatu ke telingamu!" kata
Sutri Kaliangan.
"Eh,
mengapa kau berubah jadi lembut?"
Mahluk
berkepala empat persegi dan memiliki alis empat buah itu merasa heran. Tapi
kepalanya dirundukkan juga mendekati wajah si gadis.
Begitu
muka Iblis Kepala Batu berada dekat di depannya Sutri Kaliangan ludahi muka
itu.
"Gadis
liar keparat!" teriak Iblis Kepala Batu.
Tangan
kanannya bergerak.
"Plaaakkk!"
Satu
tamparan keras mendarat di pipi kiri Sutri Kaliangan. Gadis ini terpekik,
kepalanya lunglai di sandaran kursi batu. Lelehan darah mengucur keluar dari
sudut bibirnya yang pecah.
Iblis
Kepala Batu jambak rambut si gadis. "Aku tahu, Keris Naga Kopek kau
sembunyikan di balik pakaianmu. Kau tidak mau menyerahkan tidak jadi apa. Nanti
aku akan kembali. Akan kugerayangi tubuhmu untuk mengambil keris itu!"
Iblis Kepala Batu lalu sentakkan jambakannya hingga bagian belakang kepala
Sutri membentur sandaran kursi batu. Tak ampun lagi gadis ini serta merta jatuh
pingsan.
Sambil
menyeka ludah yang membasahi mukanya Iblis Kepala Batu tinggalkan ruangan itu,
melangkah memasuki ruangan lain yang bersebelahan. Agaknya ruangan ini adalah
kamar tidur sang iblis. Segala sesuatunya terbuat dari batu. Mulai dari tempat
tidur, kursi dan meja. Tempat tidur batu dialasi semacam kasur yang diisi
dengan rumput kering.
Di atas
meja ada sebilah pelita aneh. Terbuat dari kayu berminyak yang ditancapkan
dalam sebuah jambangan batu. Di sebelah pelita kayu itu terletak sebuah guci
tembaga berdampingan dengan kendi tanah berisi tuak keras.
Begitu
masuk ke dalam ruangan Iblis Kepala Batu langsung menyambar kendi, meneguk
isinya hingga mukanya yang biru angker berubah merah seperti udang rebus.
Setelah meletakkan kendi setengah kosong di atas meja, Iblis Kepala Batu ambil
guci tembaga. "Dewi Bunga Mayat, kau yang juga bernama Suci dan Bunga. Kau
dengar suaraku? Aku ingin bicara denganmu!"
Iblis
Kepala Batu dekatkan guci tembaga itu ke depan wajahnya. Tak ada suara
jawaban."Bunga, gadis alam roh! Ini untuk terakhir kali aku memberi
kesempatan. Jika kau tak mau bicara, guci akan kulemparkan ke dalam laut, kau
akan kupasung sampai kiamat di dalamnya!"
Masih tak
ada jawaban. Iblis Kepala Batu dekatkan guci ke telinga kirinya. Guci lalu
digoncang kuat-kuat.
Di dalam
guci terdengar suara jeritan-jeritan halus.
Iblis
Kepala Batu menyeringai.
"Kau
merasa sakit? Ha… ha… ha…. itu belum seberapa. Aku bisa memasukkan asap
penyiksa roh ke dalam guci. Kau akan tersiksa hebat, kulitmu akan mengelupas.
Darah akan mengucur dari setiap lubang tubuhmu!"
"Mahluk
iblis! Aku tidak takut ancamanmu!
Buang aku
ke laut! Sekarang juga! Masukkan asap penyiksa roh sekarang juga!" Dari
dalam guci keluar suara perempuan, halus seolah datang dari kejauhan. Itulah
suara Bunga gadis alam roh yang disekap Iblis Kepala Batu di dalam guci
tembaga.
Iblis
Kepala Batu terdiam mendengar jawaban Bunga lalu geleng-geleng kepala.
"Dengar,
aku akan mengatakan permintaanku padamu satu kali lagi."
"Aku
sudah bosan mendengar! Kau mahluk iblis jahat tidak tahu malu!"
"Kau
akan kukeluarkan dari dalam guci ini, jika kau bersedia kujadikan gundik
peliharaanku!"
"Mulutmu
kotor! Otakmu busuk! Hatimu keji!
Siapa
sudi jadi peliharaanmu! Buang saja aku ke lautan!"
"Semasa
aku hidup di negeri seribu dua ratus tahun silam Latanahsilam, aku mendengar
tentang dirimu. Seorang gadis alam roh yang memiliki kecantikan luar biasa. Aku
tidak pernah melihat wajahmu. Tapi dalam hatiku timbul niat untuk mencarimu. Aku
berusaha keras agar bisa keluar dari negeriku, masuk ke negerimu. Aku berusaha
keras selama belasan tahun dan berhasil. AKu berhasil menemuimu. Setelah
bertemu apa yang aku niatkan tidak kesampaian karena kau menolak menjadi
peliharaanku! Kau harus tahu Bunga, aku tidak bisa hidup dengan manusia biasa.
Aku hanya bisa berhubungan dengan mahluk roh sepertimu.
Itu
sumpah ilmu kesaktian yang aku miliki sewaktu aku keluar dari alamku memasuki
alam yang sekarang."
"Persetan
dengan sumpahmu! Kau boleh pergi ke dalam rimba belantara. Kau bisa mencari
puluhan bahkan ratusan setan dan jin perempuan di sana yang bisa kau jadikan
peliharaanmu!"
"Kau
tidak mengerti Bunga. Dengar…."
"Iblis
keparat! Pergilah ke neraka! Aku tak mau bicara denganmu lagi!"
"Bunga…
Bunga?"
Tak ada
jawaban dari dalam guci.
Iblis
Kepala Batu Alis Empat menarik nafas panjang, geleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak tega dan tidak mau melakukan. Tapi kau tak mau mengerti. Aku
terpaksa memasukkan asap penyiksa roh ke dalam guci."
Iblis
Kepala Batu menunggu sesaat. Dia berharap ada jawaban dari dalam guci. Dia
berharap ancamannya akan membuat takut gadis dari alam roh itu. Ternyata tetap
saja tak ada suara jawaban dari dalam guci tembaga. Iblis Kepala Batu tumpahkan
rasa kesalnya dengan meneguk habis tuak dalam kendi. Mukanya bertambah merah
dan darahnya menjadi semakin panas.
"Apa
boleh buat…." katanya. "Yang satu ini terpaksa kusiksa sampai dia mau
menyerahkan diri.
Untuk
sementara biar aku bersenang-senang dulu dengan puteri Patih Kerajaan
itu."
Dari
balik cawatnya Iblis Kepala Batu keluarkan sebuah tabung berwarna merah,
terbuat dari bambu.
Di dalam
tabung ini tersimpan sejenis asap beracun yang disebut asap penyiksa roh. Jika
asap itu dimasukkan ke dalam guci tembaga di mana Bunga disekap maka gadis dari
alam roh itu akan merasakan siksaan yang luar biasa hebatnya.
Iblis
Kepala Batu buka sumbat penutup tabung bambu merah. Asap tipis warna merah
mengepul keluar. Ketika dia hendak membuka penutup guci tembaga tempat Bunga
disekap mendadak dia merasa ada kelainan pada hawa di ruangan di mana saat itu
dia berada.
”Aneh,
mengapa ruangan ini terasa panas?”
Iblis
Kepala Batu sumbat kembali tabung bambu merah, masukkan ke balik cawatnya. Guci
tembaga digantungkan kembali di pinggang. Lalu dia bergegas keluar dari dalam
ruangan menuju sebuah tangga batu.
***************************
DALAM
mengejar Iblis Kepala Batu Pendekar 212 terus menerapkan ilmu Menembus Pandang.
Beberapa
kali dia berhasil melihat sosok orang yang dikejarnya serta tubuh Sutri
Kaliangan yang dipanggul di atas bahunya. Namun apa yang dilihatnya berubah
samar lalu lenyap. Agaknya tubuh Iblis Kepala Batu memiliki hawa sakti yang
bisa membendung kekuatan ilmu yang diterapkan Wiro.
Di satu
tempat Wiro melihat orang yang dikejarnya lari menembus satu kawasan ditumbuhi
lalang kering setinggi bahu. Baik dengan ilmu Menembus Pandang maupun dengan
mata kasar Wiro dapat melihat jelas Iblis Kepala Batu. Tapi pada saat dia
mencapai padang lalang, sosok Iblis Kepala Batu lenyap. Wiro terus lari
memasuki kerimbunan padang lalang. Di bagian tengah dia hentikan langkah.
Memandang berkeliling sambil kembali terapkan ilmu Menembus Pandang.
"Hilang…
lenyap. Tak mungkin dia amblas ke dalam tanah. Kalaupun dia punya kesaktian
seperti, Sutri pasti tak bisa dibawanya serta." Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepala. "Lalang, hanya ada lalang di sekitar sini. Tapi apa
iyya…?"
Wiro
garukkan tangannya ke pingggang mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 lalu
keluarkan batu sakti hitam.
"Iblis
Kepala Batu! Kau boleh punya ilmu tikus, sembunyi dalam tanah. Aku mau lihat
sampai di mana kehebatanmu!" Habis berkata begitu Wiro adukan batu hitam
ke mata kapak.
"Wusss!"
Lidah api
menderu menyambar lalang kering.
Lalang
terbakar. Saat itu juga kawasan itu dilamun api. Asap tebal membumbung ke
udara.
IBLIS Kepala
Batu mendorong batu besar penutup pintu lorong rahasia bawah tanah yang
terletak di ujung tangga. Asap tebal dan hawa panas menerpa dirinya begitu dia
keluar dari lobang.
Melihat
ke depan dia terkejut. Padang lalang di sebelah sana telah berubah menjadi
padang api!
Pantas
saja hawa panas mendera masuk sampai ke tempat rahasia di mana dia tadi berada.
"Kurang
ajar! Siapa yang punya pekerjaan!" Iblis Kepala Batu menggeram marah.
Sekelompok asap tebal menutup pemandangannya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu
meniup. Namun begitu asap tersibak menebar dan dia dapat melihat cukup jelas ke
depan tiba-tiba satu jotosan melanda dadanya.
"Bukkk!"
Iblis
Kepala Batu terpental hampir dua tombak.
Mulutnya
keluarkan raung kesakitan. Di hadapannya berdiri berkacak pinggang pemuda
berambut gondrong.
"Tikus
tanah! Akhirnya keluar juga kau dari persembunyianmu!" Wiro membentak
sambil melirik pada guci tembaga yang tergantung di pinggang Iblis Kepala Batu.
Dulu dia keliru mengira guci itu terbuat dari perak.
"Pendekar
212 jahanam!" teriak Iblis Kepala Batu. Dia cepat melompat sambil lepaskan
satu pukulan tangan kosong. Bersamaan dengan itu Wiro juga melompat dan
hantamkan satu tendangan mengarah kepala.
Terpaksa
Iblis Kepala Batu jatuhkan diri ke tanah kembali. Pukulannya yang tadi
diarahkan ke depan kini diputar ke atas, mencari sasaran di betis si
pemuda.Murid Sinto Gendeng tahu betul kekuatan lawan. Dia tidak berani adu
tendangan kaki dengan pukulan tangan. Sambil lipat lututnya ke atas Wiro ganti
tendangan dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Ini adalah pukulan sakti
yang didapatnya dari Kitab "Kitab Putih Wasiat Dewa berintikan
"Delapan Sabda Dewa."
Angin
laksana topan melabrak ke arah Iblis Kepala Batu. Sambil berteriak keras, dia
kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya lalu kedipkan mata dan bersamaan
dengan itu pukulkan dua tangan ke atas.
Dua larik
sinar merah melesat keluar dari sepasang mata Iblis Kepala Batu sedang dari dua
tangannya menyembur cahaya juga berwarna merah dan lebih besar.
"Bummm!
Bummm!"
Dua
letusan keras menggelegar. Satu gelombang angin luar biasa derasnya menyambar
ke arah kobaran api yang melalap padang lalang. Begitu hebatnya gelombang
angin, padang lalang yang terbakar terangkat berserabutan, melayang ke udara
dan mati.
Asap
mengepul hampir di segala penjuru.
BENTROKAN
pukulan sakti berkekuatan tenaga dalam tinggi membuat Iblis Kepala Batu cidera
dalam cukup parah. Dada mendenyut sakit, tubuh gontai seolah hilang
keseimbangan.
"Pemuda
keparat itu. Ilmunya benar-benar tinggi.
Aku tadi
melepaskan Sepasang Sinar Pemasung Nyawa dari mata, sekaligus menghantamkan
pukulan Dua Iblis Menjebol Tembok Roh. Tidak ada satu tokoh silatpun yang bisa
selamat dari serangan itu. Apa dia lebih hebat dari semua tokoh yang pernah
kupecundangi?!"
Iblis
Kepala Batu Pemasung Roh batuk-batuk.
Dia
meludah. Ludahnya ternyata bercampur darah.
"Kalau
saja pendupaan di atas kepalaku tidak dihancurkan oleh gadis jahanam itu,
mungkin lukaku tidak separah ini," Iblis Kepala Batu merutuk.
Ingat
pada Sutri Kaliangan dan sadar saat itu terlalu berbahaya baginya untuk
melanjutkan pertempuran melawan Pendekar 212, selagi kepulan asap melindungi
dirinya Iblis Kepala Batu cepat melompat masuk ke dalam lobang di dekatnya.
Kejutnya
bukan alang kepalang ketika masuk ke ruang bawah tanah. Sutri Kaliangan tidak
ada lagi di kursi batu di mana dia didudukkan dalam keadaan tertotok.
"Tidak
mungkin gadis itu melarikan diri. Pasti ada seseorang yang menolong! Kurang
ajar!" Iblis Kepala Batu memeriksa kamar tidurnya. Kamar itu kosong. Tapi
alas tempat tidur batu yakni kain tebal berisi rumput kering tercampak di
lantai. Kejut Iblis Kepala Batu bukan kepalang. Dia memeriksa ujung kiri tempat
tidur batu.
Sebuah
alat rahasia yang berada di ujung kiri tempat tidur telah bergeser dari
kedudukan semula.
"Jahanam!
Ada yang mempergunakan pintu rahasia!" Iblis Kepala Batu cepat memutar
alat rahasia itu. Saat itu juga lapisan batu tempat tidur bergeser ke samping.
Sebuah lobang menganga. Di luar sana suara langkah-langkah kaki memasuki ruang
bawah tanah semakin jelas. Tidak menunggu lebih lama lagi Iblis Kepala Batu
segera masuk ke dalam lobang di lantai ruangan. Tempat tidur batu bergeser
kembali menutup lobang.
WIRO
terkapar di tanah bekas lalang terbakar. Rasa panas membuat dia tersentak dan
cepat melompat bangkit. Tangan kanannya yang tadi melepas pukulan dan bentrokan
dengan pukulan lawan terasa bergetar.
Ada rasa
ngilu di sekujur tulang lengannya sampai ke bahu. Ketika dia memperhatikan ke
depan, Iblis Kepala Batu tidak kelihatan.
"Lari
ke mana mahluk keparat itu?" pikir Wiro sambil memandang berkeliling.
"Tak mungkin dia kabur tanpa membawa Sutri." Wiro lalu melihat lobang
besar di tanah. Dia memeriksa. Ada tangga batu menuju ke bawah. Tanpa pikir
panjang dia segera memasuki lobang, menuruni tangga. Di bawah tanah dia hanya
menemui dua buah ruang kosong. Iblis Kepala Batu tidak kelihatan. Begitu juga
Sutri. Tiba-tiba Wiro mendengar suara menggemuruh. Ruangan di mana dia berada
mendadak menjadi gelap dan udara berubah pengap.
"Celaka,
apa yang terjadi?!" pikir Wiro.
Lapat-lapat
di luar sana dia mendengar suara tawa bergelak Iblis Kepala Batu.
"Pendekar
212! Aku menguburmu hidup-hidup!
Tamat
sudah riwayatmu! Ha… ha… ha!"
"Aku
terjebak…." desis murid Sinto Gendeng. Dia berusaha tenang. Tapi bagaimana
bisa tenang. Dia berada dalam kegelapan. Jari tangan di depan matapun tidak
kelihatan. Tengkuknya mulai terasa dingin.
TAMAT
No comments:
Post a Comment