Bayi Satu Suro
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
Sri
Paduka Ratu Penguasa Laut Utara perhatikan air di dalam nampan. Lalu berkata ”
Nyai Tumbal Jiwo, Patih Wira Bumi, jika memang kalian inginkan bayi itu,
sebelum tengah hari besok kita akan mendapatkannya. Ada petunjuk bayi itu akan
dibawa ke tanah Jawa.Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau menunggu
sampai bayi berada di tanah Jawa." Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu.
Kalau boleh memohon kami ingin pekerjaan ini dilakukan sekarang juga."
Kata Nyai Tumbal Jiwo. Nyi Kuncup Jingga menghadap lurus-lurus ke arah Nyai
Tumbal Jiwo dan Patih Wira Bumi. "Sebagai jaminan kalian tidak berdusta
dan tidak akan melanggar janji, atas nama Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan
selaku yang berkepentingan harus menyerahkan mata kirinya!" NyaiTumbal
Jiwo tersurut satu langkah. Patih Wira Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya.
*******************
1
PESTA
besar yang diadakan Wira Bumi di Gedung Kepatihan di maksudkan untuk tanda
syukur atas pengangkatan dirinya sebagai Patih Kerajaan berubah menjadi
malapetaka.
Ditemani
Pendekar 212 Wiro Sableng, Nyi Retno Mantili berhasil menyusup ke tempat pesta.
Meskipun Wiro dapat mencegah Nyi Retno Mantili membunuh Patih Kerajaan yang
adalah suaminya sendiri, namun tiga orang menemui ajal. Korban pertama adalah
Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
Seperti
diceritakan sebelumnya takoh silat ini adalah orang yang membunuh DjakaTua
pengasuh Kemuning, boneka yang dalam otaknya yang tidak waras dianggap seperti
bayinya sendiri oleh Nyi Retno Mantili. Cagak Lenting dihantam dengan ilmu
Sepasang Cahaya Batu Kumala.Yaitu dua larik sinar putih yang keluar dari
sepasang mata boneka kayu. Mayatnya dilempar ke panggung pertunjukan,
disaksikan orang banyak hingga menimbulkan kegegeran besar.
Korban
kedua dan ketiga adalah Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh adat Istana Ki
Mulur Jumena. Keduanya juga tewas di tangan Nyi Retno Mantili.Wira Bumi yang
merasa ilmu kesaktian yang telah di dapatnya tidak mampu berbuat banyak karena
dia masih belum berhasil membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili, malam
itu juga menghubungi Nyai Tumbal Jiwo. Sang guru ternyata tidak bisa muncul,
hanya mengirimkan suara mengiang.
Nenek
dari alam roh itu memberi tahu bahwa akibat kekalahannya sewaktu bertarung melawan
Purnama, ujud rohnya tercabik-cabik dan dia baru mampu memperlihatkan diri
kembali setelah 120 hari. Untuk melindungi murid dan sekaligus kekasih budak
nafsunya itu Nyai Tumbal Jiwo memasukkan lewat dubur sebuah paku sakti ke dalam
tubuh Wira Bumi yang konon disebut Paku Merah Penyumbat Bala. Wira Bumi juga
dinasihatkan agar untuk sementara pergi dulu mengamankan diri ke Goa Girijati
di pantai selatan.
*******************
DUA hari
kemudian, saat malam menjelang pagi, masih gelap dan dingin.Tiga kuda besar
berlari cepat rnenunju pantai selatan. Kuda di sebelah depan penunggangnya
adalah Patih Kerajaan Wira Bumi. Kuda kedua di samping kanan ditunggangi
searang kakek berjubah ungu, berkulit hitam keling, dikenal sebagai tokoh silat
Istana bernama Ki Luwak Ireng. Kuda ke tiga berada di sebelah belakang,
ditunggangi lelaki muda bertubuh tegap kekar bernama Bantarangin, diketahui
sebagai Kepala Pengawal Gedung Kepatihan.
Di satu
kelokan jalan Wira Bumi berpaling pada Ki Luwak Ireng, memberi isyarat dengan
gerakan kepala. Lalu hentikan kuda, diikuti dua orang lainnya.
"Saya
sudah tahu Kanjeng Patih Ada orang mengikuti kita." Ucap Ki Luwak Ireng.
"Jika Kanjeng Patih mengizinkan …"’
"Aku
mencium bahaya …." potong Wira Bumi.
Kepala
Pengawal Gedung Kepatihan Bantarangin cepat mengambil keputusan. "Kanjeng
Patih dan Ki Luwak Ireng Biar saya yang rnenangani. Saya akan menghadang dan
mencari tahu siapa orang yang berani menguntit kita. Pasti dia membekal niat
jahat."
"Pergilah,
kami menunggu di sini." Kata Ki Luwak Ireng.
Setelah
cukup lama ditunggu Kepala Pengawal tak kunjung muncul. Ki Luwak lreng mulai
gelisah dan Patih Wira Bumi merasa curiga.
"Ki
Luwak, ada yang tidak beres." Kata sang Patih.
"Aku
kawatir sesuatu terjadi dengan Kepala Pengawal”
"Saya
akan rnenyelidik," kata tokoh silat Istana itu.
"Pergi
cepat. Aku menunggu disini. Jika terjadi sesuatu lekas kembali."
Saat itu
satu cahaya merah entah dari rnana datangnya menyusup masuk ke dalam kepala
lewat ubun-ubun Wira Bumi. Lalu ada suara mengiang di telinga sang Patih
"Wira
Bumi, harap kau berlaku waspada. Dirimu dalam bahaya …"
Wira Bumi
kenali suara itu.
"Nyai
Tumbal Jiwo”
Tubuh
Wira Bumi bergetar. Sesaat kemudian secara aneh wajah dan tubuhnya telah
berubah menjadi seorang gadis cantik mengenakan pakaian ringkas warna merah
muda. lnilah penampilan penjelmaan yang biasa dilakukan NyaiTumbal Jiwo jika
dia hendak bercinta dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu kesaktian tersebut
dipergunakan untuk melindungi sang murid.
Menyadari
dirinya berubah tentu saja Wira Bumi rnenjadi kaget. Wira Bumi, kau tak usah
kaget atau takut. Dirimu berubah demi keselamatanmu." Suara Nyai Tumbal
Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi membuat sang Patih merasa lega.
Sesuai
perintah Wira Bumi, Ki Luwak Ireng segera menggebrak kuda tunggangannya. Namun
di depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda hitam, berlari kencang membawa
sesosoktubuh berlumuran darah.
"ltu
kuda Bantarangin! Apa yang terjadi? Astaga! Orang di punggung kuda itu! Luwak
iekas periksal"
Meskipun
ujudnya telah berubah menjadi seorang gadis cantik namun suara sang Patih masih
tetap suara laki-laki. Suara Wira Bumi.
Ki Luwak
lreng cepat melompat dari punggung kuda. Dengan gerakan kilat dia menyambar
tali kekang kuda hitam hingga binatang ini tersentak meringkik keras dan
berhenti berlari. Sepasang mata Ki Luwak lreng mendelik.Tengkuk dingin
merinding. Dia segera mengenali sosok bergelimang darah di punggung kuda hitam
dan cepat-cepat menurunkan, lalu dibaringkan di tanah.
"Kanjeng
Patih Bantarangin dibunuh!" Ki Luwak , berpaling ke arah patih Kerajaan.
"Kanjeng
Patih …"
Ki Luwak
lreng terperangah kaget.Yang dilihatnya duduk di atas punggung kuda bukan Patih
Kerajaan Wira Bumi tetapi seorang gadis cantik berpakaian . merah muda berkulit
kuning langsat.
"Kau
siapa?!" tanya Ki Luwak heran.
"Mana
Kanjeng Patih Wira Bumi."
Gadis di
atas kuda tidak menjawab. Dia memutar kuda siap meninggalkan ternpat itu. Tapi
cepat dihalangi oleh Ki Luwak sambil menahan tali kekang kuda. Si gadis pegang
tangan tokoh silat Istana itu lalu berkata. Suaranya kini suara perempuan.
"Ki
Luwak, aku pergi duluan. Kutunggu kau di Goa Girijati. Ada orang lain
mendatangi ke arah tempat ini!"
"Aku
tidak mengerti." Ki Luwak berucap.
"Orang
lain siapa? Kau sendiri siapa?" Ki Luwak lreng memandang berkeliling tapi
dia tidak melihat Patih Kerajaan. Dia memperhatikan kuda yang ditunggangi si
gadis. Jelas itu adalah kuda yang sebelumnya ditunggangi sang Patih.
Tokoh
silat Istana ini tidak bisa berpikir lebih panjang karena saat itu di hadapannya
mendatangi seekor kuda cokiat, ditunggangi seorang perempuan muda cantik
bertubuh kecil dalam bentuk samar!
"Siapa
lagi ini! Perempuan bertubuh samar! Edan! Mengapa banyak ke anehan di tempat
ini?!" Membatin Ki Luwak Ireng.
Sementara
itu gadis berpakaian ringkas merah muda yang sebenarnya adalah Patih Wira Bumi
dengan gerakan cepat segera menggebrak kuda meninggalkan tempat itu. Sosok
perempuan samar di atas kuda coklat keluarkan pekikan keras. Sementara tubuhnya
berubah menjadi lebih jelas, dia melesat ke udara lalu melayang turun
menghadang jalan kuda yang ditunggangi gadis berpakaian merah muda yang asli
sebenamya adalah Patih Wira Bumi!.
*******************
2
KETIKA
Wira Bumi yang penampilannya sebagai seorang gadis cantik berpakaian merah muda
melihat siapa adanya gadis bertubuh kecil yang menghadang ditengah jalan,
kagetnya bukan alang kepalang.”Retno Mantili …..” ucap patih Kerajaan dengan
suara bergetar dada berdebar.
Saat itu
si gadis berpakaian merah muda mendengar suara mengiang.
”Wira
Bumi, rohku ada dalam tubuhmu. Cepat tinggalkan tempat ini. Segera pergi ke Goa
Girijati. Aku sudah membuat benteng perlindungan bagi dirimu di sana."
"Nyai
Tumbal Jiwo. Aku harus membunuh perempuan muda yang membawa boneka itu! Kau
lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili! Istriku!"
"Kasip!
Keadaan sudah kasip! Saatnya tidak tepat. Biar Ki Luwak lreng yang mengurus
perempuan itu!" jawab suara mengiang.
Di tengah
jalan Nyi Retno Mantili tolakkan tangan kiri ke pinggang sementara tangan kanan
memegang boneka kayu. Dua kaki dikembang. Mata memandang berkilat tak berkesip
ke arah gadis pakaian merah dan Ki Luwak Ireng.
"Kalian
berdua jangan ada yang berani bergerak! Apa lagi berani tinggalkan tempat
ini!," Nyi Retno Mantili mengancam. Tangan yang memegang boneka
perlahan-lahan diangkat setinggi dada.
"Ki
Luwak! Lekas bereskan perempuan sinting itu!" Perintah gadis baju merah
muda. Ki Luwak jadi bingung.
"Kanjeng
Pa …" Ki Luwak gelengkan kepala.
"Aku
…"
Gadis
berpakaian merah muda jadi tidak sabaran. Dia menggebrak kuda tunggangannya.
Binatang ini menghambur ke depan siap menerjang Nyi Retno Mantili.
"Hik
… hik! Perempuan di atas kuda! Jangan mengira aku tidak tahu siapa ujudmu sebenarnya!"
Nyi Retno umbar suara tertawa.
Ketika
terjadi perubahan atas diri Wira Bumi tadi Nyi Retno Mantili sempat melihat dan
juga mendengar Ki Luwak lreng masih memanggil gadis berpakaian merah dengan
sebutan Kanjeng Patih. Walaupun otaknya tidak waras namun dalam keadaan dan
hal-hal tertentu Nyi Retno Mantili mampu berpikir lebih jernih dari orang
waras.
Nyi Retno
arahkan boneka kayu pada kuda besar yang hendak menabraknya. Jari-jari tangan
menekan. Dua larik cahaya putih menyambar keluar dari dalam dua mata boneka
kayu. Menghajar telak kuda besar yang ditunggangi gadis berpakaian merah
muda..llmu Sepasang Cahaya Batu Kumala!. Dada terbelah, kaki kanan buntung.
Kuda keras meringkik dahsyat lalu roboh ke tanah.
Wira Bumi
dalam ujud gadis berpakaian merah muda cepat selamatkan diri dengan melesat ke
udara, jungkir balik lalu melayang turun ke belakang Ki Luwak lreng yang sampai
saat itu masih kebingungan. Apa lagi barusan menyaksikan kematian kuda besar
dihantam dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka kayu.
"Ki
Luwak Ireng! Aku Patih Kerajaan! Bunuh perempuan yang memegang boneka
itu!"
Saat itu
fajar telah menyingsing dan keadaan menjadi cukup terang. Ki Luwak berpaling.
Dia tetap saja melihat gadis cantik berpakaian merah, bukannya sang Patih
Kerajaan. Tokoh silat ini jadi tambah bingung. Di saat yang sama Nyi Retno
Lestari sudah melompat ke hadapan kedua orang itu sambil mengacungkan boneka
kayu.
"’Ki
Luwak! Lekas hantam! Tunggu apa lagi."Teriak gadis baju merah muda alias
wira Bumi yang jengkel melihat tokoh silat itu hanya tertegak bengong.
"Habisi
perempuan yang memegang boneka itu! Pasti dia yang telah membunuh
Bantarangin!"
Untungnya
Ki Luwak lreng cepat sadar dan menguasai diri. Tokoh silat ini memang tidak
tahu siapa sebenarnya perempuan cantik bertubuh kecil memegang boneka itu. Dia
melompat ke arah Nyi Retno Mantili sambil tangan kanan lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam jurus yang disebut Angin
Melanda Puncak Mahameru.
"
Wussss!"
Angin
sedahsyat badai menghantam Nyi Retno Mantili hingga tubuhnya yang kecil
terangkat satu tombak ke udara. Ki Luwak lreng susul serangannya tadi dengan
pukulan tangan kiri bernama Tombak Akhirat
Dalam
keadaan tak berdaya selagi tubuhnya terangkat ke udara, Nyi Retno Mantili tidak
mampu mengelakkan serangan kedua yang jangankan tubuh manusia, tembok batupun
bisa jebol!
Pada saat
itulah dari tubuh boneka kayu tiba-tiba melesat keluar cahaya berwarna jingga,
menebar demikian rupa membentengi tubuh Nyi Retno Mantili di sebeiah depan. Nyi
Retno sendiri tidak menyadari hal ini bisa terjadi karena Kiai Gede Tapa
Pamungkas secara sengaja dan diam diam telah menyimpan ilmu yang disebut Cahaya
Dewa Turun Ke Bumi di dalam boneka kayu untuk sewaktu-waktu melindungi
perempuan malang itu.
"Dess
…. dess!"
Dua
kekuatan balas menerpa pukulan Tombak Akhirat. Ki Luwak lreng berseru kaget.
Tubuhnya terjajar ke belakang. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, Nyi Retno
Mantili gerakkan lima jari yang memegang pinggang boneka kayu.
"Tua
bangka. hitam keling! Aku tak ingin membunuhmu! Tapi kau yang sengaja minta
mati! Hik … hik!"
Lima jari
memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih menyambar. Ki Luwak lreng
berseru kaget. Dia sudah mendengar bagaimana kematian menimpa dua orang kawannya
di Gedung Kepatihan malam tadi. Barusan dia juga melihat tewasnya Bantarangin
Kepala Pengawal. Jangan-jangan …. !
"Drettt
… dreettd!"
Seperti
digorok gergaji besar tubuh Ki Luwak lreng terbelah mulai dari bahu kiri sampai
kepinggul kanan.Tokoh silat Istana ini keluarkan jeritan panjang sebelum
tubuhnya roboh tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Darah menggenang.
Sadar
kalau kini dirinya kini yang akan jadi incaran, gadis berpakaian merah muda
alias Patih Wira Bumi, walau telah dilarang oleh Nyai Tumbal Jiwo, dalam
kekawatirannya segera saja lepaskan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat ke arah
Nyi Retno Mantili. Selarik angin ganas dan luar biasa dingin menyambar ke arah
batok kepala perempuan itu.
Bilamana
serangan ini mengenai sasaran maka kepala Nyi Retno Mantili akan ditambus hawa
dingin laksana dipendamdi gunung salju lalu kepala itu akan meledak secara
mengerikan!
"Hik
… hik! Kemuning! Ada orang hendak membunuh kita dengan ilmu setan!"
Satu
kekuatan aneh menarik Nyi Retno Mantili hingga terguling di tanah. Bersamaan
dengan itu tangan kanan diangkat. Lima jari memencet pinggang boneka kayu yang
telah diarahkan pada gadis berpakaian merah muda alias Wira Bumi. Hanya dalam
kejapan mata dari dalam dua mata boneka kayu menyambar keluar Sepasang Cahaya
Batu Kumala.
"Craasss!"
Seperti
dibabat golok besar luar biasa tajam leher gadis baju merah muda putus! Tak ada
jeritan.Tubuh terbanting jatuh, kepala menggelinding di tanah. Di saat yang
bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing mengembik. Aneh!
Nyi Retno
Mantili tertawa panjang.
"Kemuning!
Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat pembunuh pengasuhmu sudah mampus! Dia kira
dengan berganti rupa kita bisa ditipu! Hik … hik! Apa kita akan meneguk
darahnya? lhhh, jijik Ayo anakku, kita pergi sekarang!"
Nyi Retno
Mantili sisipkan boneka kayu ke dalam kain bedongan yang melintang di atas
dada, memutar tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Kalau saja perempuan
ini mau menyempatkan diri berada barang beberapa lama di tempat itu maka dia
akan menyaksikan satu keanehan yang sulit dipercaya. Dia menyangka telah
membunuh Wira Bumi yang merubah diri menjadi gadis cantik berpakaian merah,
muda itu. Padahal itu tidak pernah terjadi!
Setelah
Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat pembantaian tanpa membawa kuda coklat,
dari bangkai kambing yang tergeletak di tanah melesat keluar sosok gadis
berpakaian merah muda. Gadis ini melompat ke punggung kuda coklat. Satu cahaya
rnerah berkelebat. Ujud gadis pakaian merah muda berubah menjadi sosok Patih
Wira Bumi.
*******************
3
SEHABIS
membunuh Cagak Lenting alias Si Mata Elang. Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh
silat Istana Ki Wulur Jumena di Gedung Kepatihan, Nyi Retno Mantili
meninggalkan Pendekar 212 Wiro Sableng begitu saja. Hal ini karena kesal sebab
Wiro mencegah bahkan setengah memaksa agar dia tdak membunuh patih Wira Bumi
yang sebenarnya adalah suaminya sendiri. Wiro berusaha mengejar namun tak
berhasil karena perempuan itu menerapkan ilmu kesaktian yang didapatnya dari
Kiai Gede Tapa Pamungkas yaitu llmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri.Setelah merasa
berhasil membunuh Wira Bumi yang menyamar diri sebagai gadis cantik berpakaian
ringkas merah muda kini Nyi Retno Mantili teringat sendiri pada sang pendekar.
Sambil
mengelus punggung boneka kayu Nyi Retno berkata "Kemuning anakku, kita
harus mencari ayahmu itu. Hik … hik! Apakah dia memang rnau jadi ayahmu?
Kita
harus memberi tahu bahwa kita sudah berhasil membunuh manusia jahat bernama
Wira Bumi.Tapi kita mau cari dia dimana?
Jangan-jangan
dia marah sama aku, sama kamu! Hik..hik … Kalau dia memang marah lebih baik
kita pergi saja ke tempat eyang sepuhmu Kiai yang di puncak Gunung Gede itu.
Dulu kita pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Kalaupun dia marah, melihat
kita datang lagi pasti Kiai merasa senang. Hik … hik. Eh, mengapa aku bingung?
Mana yang harus ake lakukan. Mencari ayahmu atau pergi ke Gunung Gede?"
Sementara
Nyi Retno Mantili berada dalam keadaan bingung, di tempat lain murid Sinto
Gendeng juga bingung tidak tahu mau mencari perempuan itu kemana.
"Dua
hari dia menghilang. Apakah mungkin dia kembali ke Kotaraja. mengincar Wira
Bumi di Gedung Kepatihan?" Wiro garuk-garuk kepala lalu duduk di bawah
sebatang pohon tak jauh dari satu bukit kecil di selatan Kotaraja. Dia kemudian
ingat akan ucapan Datuk Rao Basaluang Ameh sewaktu muncul bersama harimau putih
sakti membawa bayi Nyi Retno Mantili yang diberi nama Ken Permata.
"Ada
baiknya kau dampingi ibunya. Bukan hanya untuk mengharapkan kesembuhan
penyakitnya. Tapi juga untuk melindungi perempuan malang itu dari bermacam bahaya
yang mengancam."
Dalam
hati Wiro berucap sendiri. "Nyi Retno menerima banyak ilmu dari Kiai
GedeTapa Pamungkas. Dia mampu menjaga diri. Namun ada ucapan Datuk Rao yang
membuatku merasa punya ganjalan."
Dalam
pertemuan itu memang Datuk Rao Basaluang Ameh mengeluarkan kata-kata :
"Sebelum
pergi ada satu hal yang perlu aku beritahukan …. Kau harus mengerti dan bersiap
diri…. Hadapi dengan bijaksana kalau nanti kau melihat kenyataan bahwa Nyi
Retno Mantili, ibu Ken Permata mencintai dirimu …"
Lama Wiro
merenung. Perempuan itu memang sering menunjukkan rasa suka dan juga rasa
cemburu padaku. Tapi apakah hal itu keluar dari hati dan pikirannya yang waras?
Ah, dimana dia sekarang. Mungkin kembali ke tempat Kiai Gede di Gunung
Gede?"
Saat itu
matahari baru saja tersembul di permukaan bumi.Tiupan angin masih terasa
dingin. Wiro merasa letih dan ingin istirahat sekedar memejamkan mata.
Tiba-tiba dia mendengar suara kambing mengembik.
Mula-mula
Wiro tidak mengambil perhatian. Acuh saja dia terus pejamkan kedua matanya.Tapi
pikirannya jalan.
"Masih
pagi begini rupa apa sudah ada orang mengangon ternak? Suara embikan kambing
tadi. Bukan suara embikan biasa. Suara embikan binatang yang ketakutan sewaktu
mau dijagal!"
Mendadak
lapat-lapat dia kemudian mendengar suara tawa cekikikan. Suara tawa perempuan.
Murid Sinto Gendeng langsung melompat dari duduknya. Tegak menggaruk kepala.
"Aku
mengenali betul! Itu suara tawa Nyi Retno Mantili!" Tidak menunggu lebih
lama Wiro melompat dan lari ke arah terdengarnya suara tawa cekikikan tadi.
Dalam kencang-kencangnya berlari Wiro tiba-tiba berhenti. Di hadapannya
terpentang satu pemandangan mengerikan.
Di tengah
jalan berputar-putar seekor kuda besar. Tak jauh dari situ tergelimpang sesosok
tubuh bergelimang darah. Wiro cepat mendekati.
"Gila,
dadanya terbelah. Siapa orang ini?" Wiro membungkuk. Lalu menarik kalung
yang masih tergantung dileher mayat. Kalung itu terbuat dari perunggu,
berbentuk bola dunia diapit dua ekor naga bermahkota bintang di atas kepala.
"lni
lambang abdi tingkat tinggi Kerajaan …" ucap Wiro."Orang ini pasti
pejabat Kerajaan …. dugaan Wiro tidak salah karena mayat yang ditemukannya itu
adalah mayat Bantarangin Kepala Pengawal Gedung Kepatihan.
Memandang
berkeliling di bagian lain jalan tanah Wiro melihat seekor kuda besar
tergeletak Salah satu kaki depan buntung, dada terbelah. Tak jauh dari bangkai
binatang ini terkapar sosok seorang kakek berjubah ungu yang telah jadi mayat
dengan luka melintang di dada.
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala, masih ada satu sosok lagi yang terkapar di
tengah jalan.Yaitu seekor kambing dalam keadaan kepala putus. Kutungan kepala
tersuruk di kaki semak belukar di pinggir jalan.
"Ada
kuda mati dengan dada terbelah kaki buntung. Dua mayat manusia. Dua-duanya
tewas dengan tubuh setengah terbelah. Lalu ada kambing yang lehernya dibabat
putus! Kambing! Aneh! Mengapa ada kambing di tempat ini? Apa ada orang yang mau
menyate?!"
Dua mayat
manusia, seekor kuda dan seekor kambing. Tampaknya menemui kematian dengan cara
yang sama.
"Mungkin
si penjagal menggunakan golok luar biasa besar untuk menebar maut! Tapi mengapa
kulihat ada tanda-tanda daging hangus dipinggiran luka yang menguak …. Berarti
ada tenaga dalam dan hawa saki menyertai serangan yang mematikan."
Wiro
perhatikan lagi dua mayat yang tergeletak di tanah sambil menduga-duga siapa
adanya kedua orang ini.
Tiba-tiba
dia mendengar suara orang menangis. Pilu berhiba-hiba. Wiro memandang ke arah
kejauhan dari mana datangnya suara tangisan. Dia melangkah mendatangi. Begitu
sampai di tempat yang diperkirakan asal suara orang menangis dia tidak
menemukan siapa-siapa. Suara tangisan pun tidak terdengar lagi.
"Aneh,
suara itu aku yakin tadi datangnya dari sekitar tempat ini." Wiro
memandang berkeliling sambil menggaruk kepala.
Tiba-tiba
suara tangisan terdengar lagi. Kini datangnya dari balik deretan pepohonan
besar yang tumbuh rapat di ujung kiri.Wiro menunggu sebentar. Suara tangisan
semakin keras dan memilukan. Setelah memastikan dari mana arah datangnya
tangisan itu Wiro berkelebat ke balik deretan pohon besar, menyelinap ke balik
serumpunan semak belukar dan mengintip.
Hanya
sejarak sekitar sepuluh langkah di hadapannya dia melihat seorang perempuan
berpakaian ringkas merah muda duduk di atas gundukan tanah membelakanginya.
Kepala ditumpangkan di atas lutut. Wajah ditutup dengan dua tangan. Dari
potongan pakaian yang membungkus tubuhnya yang bagus, wiro bisa menduga
perempuan yang menangis masih berusia muda.
Wiro
menggaruk kepala.
"Pagi
hari, di tempat sepi begini rupa ada perempuan terpesat dan menangis.
Pakaiannya rapi berarti tidak ada orang yang mencelakainya. Perlu juga kucari
tahu siapa dial apa masalah yang tengah dihadapinya. Mudah-mudahan saja dia
seorang gadis berwajah cantik. Kalau ternyata dia seorang nenek bertampang
buruk, sial diriku. Pagi-pagi sudah melihat pemandangan menyepatkan mata!"
Wiro
keluar dari balik semak belukar, mendekati perempuan yang menangis dari arah
belakang. Perempuan yang duduk di gundukan tanah hentikan tangis. Lalu
terdengar suaranya berucap.
”Suprana,
aku tak mau melihatmu tagi! Pergilah! Kau telah menewaskan kudaku! Kau telah
membunuh dua pengawalku! Sekalipun kau membunuh diriku, aku tidak akan
menyerahkan batu pusaka Widuri Bulan Kembar padamu!" Habis berucap
perempuan ini kembali menangis.
Wiro
hentikan langkah. Menggaruk kepala lalu sambil tersenyum bertanya. "Apakah
orang bernama Suprana itu juga membunuh kambingmu?"
Gadis
yang duduk di tanah hentikan tangis. Kepala diangkat tapi dua tangan masih
menutupi wajah.
"Kau
siapa? Suaramu lain. Kau bukan Suprana!"
"Aku
memang bukan Suprana. Sahabat, agaknya kau baru mengalami satu peristiwa hebat
mengenaskan." Wiro bergerak melangkah.
"Tunggu!
Tetap di tempatmu! Aku tidak percaya pada laki-laki yang belum kenal tapi sudah
bicara berbaik-baik …"
Wiro
tertawa tapi seperti yang dikatakan orang dia hentikan langkah. Perempuan yang
duduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri lalu memutar tubuh. Ketika dua
tangannya diturunkan Wiro melihat satu wajah cantik, berpipi dan berbibir merah
segar. Sepasang mata coklat menatap penuh pesona.
"Kau
siapa? Sudah berapa lama kau mengintipku menangis?" bertanya gadis berbaju
merah muda.
"Aku
bukan lelaki tukang intip. Kebetulan saja aku mendengar suara tangismu lalu
mendatangi ke tempat ini."
"Rambutmu
gondrong! Bajumu sengaja dibuka di bagian dada. Itu pertanda kau seorang pemuda
nakal!"
Wiro
tertawa gelak-gelak
"Kalau
kepalaku botak lalu bajuku ditutup rapat seperti pocong, apakah kau akan
menilaiku sebagai pemuda baik-baik?"
Si gadis
tidak menjawab. Hanya menatap memperhatikan sang pendekar. Dia kemudian menutup
wajah dengan kedua tangan seperti hendak menangis kembali.
"Sudah,
mengapa menangis terus-terusan. Katakan apa yang telah terjadi. Siapa tahu aku
bisa menolong. Tadi kau menyebut-nyebut seorang bemama Suprana. Orang itu
membunuh kuda dan dua pengiringmu serta seekor kambing …"
"Kambing
itu bukan milikku.Tapi kebetulan lewat dan terkena tendangan nyasar. .."
"Ah
… Kalau kambing itu terkena tendangan nyasar pasti kepalanya hancur.Tapi
mengapa lehernya yang putus?"
"Kau
… kau hendak mengatakan aku berdusta?, Kau jahat!"
"Tidak,
maksudku bukan begitu," jawab Wiro.
"Orang
hendak merampas batu Widuri Bulan Kembar milikku. Kalau aku tidak lekas
menyelamatkan diri pasti dia juga sudah membunuhku."
"Batu
Widuri Buian Kembar itu pasti sangat berharga."
"Kau
tidak pernah mendengar Batu Widuri Bulan Kembar yang bisa membuat orang kebal
segala macam senjata dan pukulan sakti musuh?" Bertanya si gadis.
Wiro
gelengkan kepala.
"Batu
itu berasal dari batu pusaka milik satu kerajaan di timur. Kalau aku
perlihatkan padamu, apakah kau tidak akan bermaksud jahat merampasnya?"
Wiro
tertawa.
"Aku
bukan pencuri, juga bukan rampok Apa lagi bapak moyangnya rampok!"
"Baik,
akan kuperlihatkan padamu. Batu itu diikat dalam bentuk kalung yang tergantung
dileherku."
Si gadis
maju dua langkah mendekati Wiro lalu menggerakkan dua tangannya.Tadinya murid
Sinto Gendeng mengira si gadis akan menarik keluar kalung dari balik
pakaiannya. Tapi apa yang dilakukan si gadis sungguh diluar dugaan.Tiba-tiba
saja dengan cepat sekali dia membuka lebar-lebar baju merahnya di bagian atas.
Sepasang
mata Pendekar 212 membesar. Kalung yang tergantung di leher si gadis ternyata
tidak memiliki ikatan mata berupa batu yang disebut Batu Widuri Bulan Kembar.
"Sudah
kau lihat batunya?" bertanya si gadis.
"Aku
…." Wiro menggaruk kepala. Matanya masih tidak bisa lepas dari
memperhatikan pemandangan yang menakjubkan di depannya. ‘Aku …. aku tidak
melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Yang aku lihat benda kembar. …"
Si gadis
tertawa.
Wiro
ikutan tertawa.
Tiba-tiba
sekali, tidak disangka-sangka tangan kanan gadis itu melesat ke depan.
"Bukkk!"
Wiro
terpental lima langkah. Mulut semburkan darah segar. Dua lutut goyah.Tubuh
ambruk ke tanah!
Gadis
baju merah muda memekik girang. Aku berhasil membunuhnya!" Sebagai jawaban
ada suara mengiang di telinga si gadis.
"Bagus!
Rimba persilatan tanah Jawa akan geger! Wira Bumi, apa yang telah kau lakukan
membuat aku bisa lebih cepat enam puluh hari mernperlihatkan ujudku kernbali.
Tapi lekas tinggalkan tempat ini. Ada seseorang mendatangi."
*******************
4
DUA ORANG
berkelebat. Satu dari arah barat, satu lagi dari jurusan timur. Yang dari
tirnur sampai duluan di samping sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tergeletak
di tanah. Orang ini terguncang hebat. Mulut langsung keluarkan seruan tertahan.
Ternyata dia adalah seorang gadis cantik berambut hitam tebal panjang
sepinggang, bermata biru. Telinga di hias anting, leher digantungi kalung dan
dua tangan digelung gelang.Semua perhiasan ini terbuat dari kerang hijau dan
membuat penarnpilannya tampak lebih anggun.
Ratu
Duyung!
Siapa
lagi kalau bukan gadis sakti kepercayaan Nyai Roro Kidul penguasa laut selatan!
Gadis yang selama ini diketahui mencintai pendekar 212 Wiro Sableng dengan
setulus hati. Telah begitu banyak berbagi suka dan duka, saling menaut budi
bahkan saling menyelamatkan jiwa.
"Wiro!
Apa yang terjadi?!"
Jawaban
hanya suara mengerang halus. Berarti Wiro dalam keadaan setengah siuman
setengah pingsan dan lemas tiada daya.
Ratu
Duyung berlutut di tanah, merneriksa keadaan Pendekar 212. Darah yang menodai
mulut dan dagu Wiro diseka dengan ujung lengan jubah. Gadis ini kemudian
letakkan telinga di dada kiri. Dia masih mendengar detak jantung tapi sangat
lemah. Ratu Duyung tempelkan dua telapak tangan di dada Wiro lalu kerahkan
tenaga dalam sakti mengandung hawa dingin hingga tubuh Pendekar 212 kepulkan
asap putih.
"Wiro
sadar! Buka matamu! Wiro!" Ratu Duyung tepuk-tepuk pipi Wiro. Namun dua
mata Wiro tetap saja tertutup. Tarikan nafas perlahan sekali dan wajahnya
perlahan-lahan tampak agak kebiruan.
"Ada
racun jahat dalam tubuhnya. Aku harus mengeluarkan! Tapi bagaimana?! Aku harus
melakukan sesuatu! Paling tidak menghambat jalan racun agar tidak masuk ke
dalam jantung! Gusti Allah tolong kami!"
Ratu
Duyung lalu membuat lima totokan di tubuh Wiro. Dua di pangkal leher kiri
kanan. Satu pada pertengahan dada. Dua di dada kiri arah jantung. Selesai
menotok Ratu .Duyung tatap sekujur tubuh Wiro lalu kerahkan ilmu Menembus
Pandang yang seharusnya tidak boleh dilakukan untuk melihat aurat orang lain
apa lagi aurat lawan jenis. Namun dia tidak bisa berbuat lain karena dia harus
tahu bagian tubuh mana dari sang pendekar yang cidera, sekaligus mencari tahu
dari mana masuknya racun yang kini ada dalam tubuh pemuda itu.
Lewat
ilmu yang diterapkan gadis bermata biru ini melihat ada sesuatu di dada Wiro.
Dengan cepat dia membuka baju putih yang dikenakan Wiro. Begitu bagian dada
tersingkap gadis ini tersentak kaget. Pada dada Wiro sebelah kiri, sedikit di
bawah arah jantung dia melihat tanda merah kehitaman berbentuk telapak tangan
dengan lima jari terkembang.
Satu
bayangan putih tiba tiba berkelebat. Ini adalah orang yang datang dari arah
barat. Sesaat kemudian di tempat itu telah berdiri seorang kakek berambut putih
panjang riap-riapan. Janggut sedada, kumis menjulai putih. Dua mata gembung
rapat seperti buta. "Pukulan Telapak Roh. Jahat sekali!"
Orang tua
berpakaian putih keluarkan ucapan. Suaranya bergetar seperti orang menggigil
kedinginan.
Ratu
Duyung melompat bangkit. Tangan kanan cepat sekali diletakkan di atas batok kepala
si orang tua.Tangan yang sudah dipenuhi tenaga dalam tinggi itu siap untuk
melancarkan pukulan maut bemama Genta Laut Selatan. Jika pukulan itu sampai
dilakukan, si orang tua akan rengkah kepalanya dan nyawa tidak akan tertolong
lagi. Namun si orang tua tetap unjukkan sikap tenang, menatap Ratu Duyung
sejurus lalu perhatikan sosok wiro dengan pandangan sedih.
"Kau
siapa?" tanya Ratu Duyung dengan suara keras mata mendelikdan hati penuh
curiga.
"Namaku
Ki Balang Kerso. Aku seorang kuncen." Orang tua bermata gembung berpakaian
putih menjawab.
"Kuncen?!
Setahuku tidak ada makam apa lagi pekuburan di kawasan ini." Ratu Duyung
memperhatikan penuh selidik.
"Aku
kuncen di pemakaman Kebonagung, di luar Kotaraja!"
"Kau
mengetahui nama pukulan yang menciderai pemuda itu. Berarti kau tahu siapa
orang yang mencelakai sahabatku ini!"
"Ah.
ternyata dia sahabatmu. Aku tahu siapa yang punya ilmu pukulan Tapak Roh itu.
Namun belum tentu dia pelakunya …"
"Kuncen,
apa maksudmu?!" tanya Ratu Duyung.
"Ilmu
Tapak Roh kini dimiliki dua orang. Pertama Nyai Tumbal Jiwo …."
"Aku
pernah mendengar nama itu. Bukankah dia nenekjahat dari alam roh?" Kuncen
bernama Ki Balang Kerso anggukkan kepala.
"Siapa
pemilik ilmuTapak Roh yang kedua?"
"Murid
Nyai Tumbal Jiwo. Namanya …."
Belum sempat
Ki Balang Kerso selesaikan ucapan tiba-tiba lima lariksinar merah menyambar
mengarah bagian belakang tubuh Ki Balang Kerso.
"Awas,
ada yang membokong!" teriak Ratu Duyung lalu jatuhkan diri sambil secepat
kilat mendorong tubuh si orang tua hingga keduanya jatuh bergulingan di tanah.
Ki Balang Kerso terdengar mengerang.
Empat
larik sinar merah menderu di atas tubuh kedua orang itu. Larikan ke lima masih
sempat menyerempet bahu kanan Ki Balang Kerso hingga menimbulkan luka besar
menguak Darah mengucur deras. Tubuh sang kuncen sebelah kanan tampak menghitam.
"Pukulan
Lima Jari Akhirat …." Ucap Ki Balang Kerso diantara erang
kesakitan.Terbungkuk-bungkuk dia bangkit lalu dengan tubuh menghuyung dia cepat
tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!"
Teriak Ratu Duyung.
"Kau
mau kemana?! Kau belum mengatakan pemilik ilmu pukulan Tapak Roh kedua …"
Tanpa
berhenti Ki Balang Kerso menyahuti.
"Aku
lebih mementingkan keselamatan diriku! Kalau aku tidak menemukan obat penangkal
sampai tengah hari nanti, sekujur tubuhku akan membusuk!"
Ratu
Duyung hendak mengejar. Namun terpaksa batalkan niat karena bagaimanapun juga
Wiro harus ditolong lebih dulu. Dia harus berbuat sesuatu. Racun dalam tubuh
Wiro harus segera dikeluarkan. Tapi bagaimana caranya? Sambil mengusap kening
Pendekar 212 Ratu Duyung berpikir keras. Ketika dia hendak membersihkan sisa
darah yang masih melekat di bibir Wiro, gadis ini berpikir. "Darah keluar
dari mulut. Berarti ada racun yang ikut keluar. Kalau aku bisa menguras darah
itu dengan cara menyedot …"
Tidak berpikir
panjang lagi Ratu Duyung membungkuk. Mulutnya ditempelkan ke mulut Pendekar
212. Belum sempat dia menyedot tiba-tiba ada tawa cekikikan disusul ucapan.
"Hik
… hik! Apa enaknya berciuman dengan orang pingsan!"
*******************
5
RATU
Duyung tersentak kaget sekaligus marah mendengar ucapan orang. Berpaling ke
kiri dia melihat bocah berambut jabrik berpakaian hitam Naga Kuning berdiri
beberapa langkah di sampingnya.
”Bocah
jahil! Enak saja kau bicara! Siapa yang hendak berciuman! Kau lihat sendiri
keadaan Wiro yang seperti orang sekarat!” Ucap RatuDuyung dengan suara keras
dan mata melotot.
Bersama
Naga Kuning ada nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati dan Purnama si cantik
dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Ratu
Duyung walau jengkel mendengar ucapan Naga Kuning namun dia lebih merasa tidak
enak melihat munculnya Purnama di tempat itu. Apalagi jika dia ingat peristiwa
di goa di Teluk Losari ketika Purnama memeluk, menciumi bahkan menindih tubuh
Wiro.
(Baca
serial Wiro Sableng "Topan Di Gurun Tengger")
Namun sadar
kalau selama ini dia dan gadis dari alam roh itu sudah senasib sepenanggungan
saling berbagi budi maka Ratu Duyung unjukkan wajah jernih dan hati polos.
"Sahabat
Purnama, syukur kau datang." Kata Ratu Duyung.
"Aku
menemukan Wiro tergeletak pingsan. Ada orang mencide-rainya dengan pukulan
mengandung racun bernama pukulan Telapak Roh.
Menurut
seorang kuncen yang barusan saja meninggalkan tempat ini salah seorang dari dua
yang memiliki ilmu pukulan beracun itu adalah seorang nenek jahat bernama
NyaiTumbal Jiwo …."
"Apa?"
Kejut Purnama bukan alang kepalang.
"Aku
sudah melabrak nenek jahat itu. Sosoknya sudah tercabik-cabik dan dia tidak
bisa keluar dari alam roh selama seratus dua puluh hari …"
"Tapi
ada lagi orang lain yang memiliki ilmu itu. Sayangnya si kuncen tidak sempat
memberi tahu. Dia buru-buru pergi setelah celaka oleh serangan membokong
…" Menerangkan Ratu Duyung.
"Aku
telah menotok tubuhnya di beberapa tempat untuk mencegah menjalarnya racun.Tapi
aku tidak pasti dia bisa selamat sebelum racun dikuras dari aliran darahnya.
Itu sebabnya tadi aku hendak menyedot racun langsung dari tubuhnya.Tapi bocah
bermulut ember ini menuduhku yang bukan-bukan …"
"Maafkan
aku Ratu.Tadi aku hanya bergurau.." kata Naga Kuning.
Gondoruwo
Patah Hati berkata. "Bergurau ada tempatnya! Itu sebabnya aku berulang
kali mlnta kau menjaga mulutmu yang seperti kaleng rombeng itu!"
Habis
memarahi si nenek jitak kepala si bocah hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Ratu Duyung sibakkan baju Wiro untuk menunjukkan bekas pukulan berbentuk
telapak tangan dengan lima jari terkembang.
"Heran,
mengapa belakangan ini musibah datang silih berganti menimpa Wiro …" Ucap
Purnama.
Ratu
Duyung hanya bisa gelengkan kepala lalu berkata." Sahabat, aku tahu, kau
hafal semua isi Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin kau bisa menemukan cara untuk
mengobati Wiro.”
"ltu
memang yang akan aku lakukan. Berdoalah bagi keselamatan Wiro." jawab
Purnama. Lalu gadis ini letakkan tangan kanan di atas dada yang ada tanda
pukulan. Setelah merenung sejenak Purnama pejamkan mata. Tak selang berapa lama
mulutnya berucap."Kitab Seribu Pengobatan. Halaman Dua Ratus Lima.
Pengobatan ke Delapan Ratus Dua Puluh. Barang siapa terkena pukulan beracun
yang meninggalkan tanda cidera langsung pada bagian tubuh yang dipukul maka
berarti aliran darahnya telah tercemar racun dan menyebabkan nyawanya hanya
bisa bertahan paling lama satu minggu. Untuk menolong ada tiga hal yang harus
dilakukan.
Pertama
memohon dan berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang
cidera disembuhkan dan penyakitnya.
Kedua
memasukkan tenaga dalam tinggi ke dalam tubuhnya.
Ketiga
membuat sayatan kecil pada dua ujung ibu jari kaki. Maka darah hitam kental
akan keluar. Bilamana darah berubah menjadi merah segar pertanda orang itu
sudah selamat dari keganasan racun. Untuk membuat seluruh tubuhnya menjadi lebih
bersih, orang tersebut harus minum godokan air sirih dicampur merang selama
tiga hari berturut-turut. Namun ada satu hal perlu diingat. Bilamana orang yang
cidera rnemiliki ilmu kebal racun atau mempunyai pegangan berupa benda sakti di
dalam tubuhnya, maka jangan sekali-kali memasukkan tenaga dalam tinggi.
Sebaliknya justru kekuatan tenaga dalam dipergunakan untuk menyedot kekuatan
yang ada di tubuh orang itu atau yang ada dalam benda pegangan lalu dialirkan
kembali ke dalam tubuhnya. Setelah kekuatan memancar dan mengalir ke dalam
tubuh orang yang cidera maka darahnya akan bersih, semua racun akan keluar
melalui sayatan di dua ibu jari kaki. .."
Selesai
berucap Purnama buka kedua mata, menatap pada Ratu Duyung, Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati.
"Kita
harus melakukan sekarang juga sesuai petunjuk Kitab." Berkata Gondoruwo
Patah Hati.
"Setahuku
Wiro punya ilmu kebal racun!" kata Naga Kuning.
"Selain
itu Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Batu Sakti Hitam berada dalam tubuhnya.
Berarti dia sudah punya kekuatan penangkal. Hanya saja tidak bisa di berdayakan
karena dia keburu pingsan."
Gondoruwo
Patah Hati usap kepala si bocah. "Kowe anak pinter. Berarti kita tidak
perlu memasukkan tenaga dalam ke dalam tubuh Wiro. Justru menyedot dan
mengandalkan kekuatan yang ada dalam tubuh dan senjata pegangannya."
"Kau
juga pinter Nek," jawab Naga Kuning sambil mengusap pantat si nenek.
Karuan saja Gondoruwo Patah Hati sikut rusuk si bocah hingga untuk kesekian
kali Naga Kuning meringis kesakitan.
"Kurasa
sebaiknya kita mulai sekarang juga." Kata Ratu Duyung.
"’Aku
memilih bagian kepala." Lalu gadis bermata bim ini letakkan telapak tangan
kanannya di atas kening Wiro.
"Aku
bagian dada." ucap Purnama seraya tempelkan dua tangan sekaligus di dada
sang pendekar.
Aku di
sini saja," kata Gondoruwo Patah Hati kemudian letakkan dua tangan di atas
perut di bawah pusar Wiro. Melihat hal ini Naga Kuning langsung senyum-senyum
dan berkata.
"Nek,
kau selalu mencari tempat yang enak dan empuk."
"Jangan
usil! Kita semua bermaksud menolong. Tidak ada yang punya niat jahil,
tahu!" Jawab si nenek yang mukanya menjadi merah kelam karena jengah.
"lya
Nek," Kata Naga Kuning yang melihat si nenek marah lalu alihkan
pembicaraan. "Siapa yang akan membuat sayatan di ujung ibu jari Wiro?
Tentu saja kau Nek. Kau punya sepuluh kuku jari panjang dan lancip. Habis
menyayat langsung saja letakkan tanganmu di dua kaki Wiro untuk menyedot tenaga
dalam. Aku biar memegang di bagian perut."
"Bocah
culas!" Umpat Gondoruwo Patah Hati kembali jengkel. Naga Kuning
senyum-senyum cengengesan. Mau tak mau si nenek angkat tangannya dari bawah
pusarwiro lalu dengan kuku tangan yang panjang dia membuat dua sayatan kecil di
ujung ibu jari kaki Wiro kiri kanan. Setelah itu masih agak jengkel dia
letakkan dua tangannya di paha Wiro pada bagian di atas lutut. Masing-masing
saling memberi isyarat lalu semuanya mulai menyedot kekuatan hawa sakti yang
ada di dalam tubuh Wiro.
"Dess
…. desss … desss …. desss!"’
Tubuh
Wiro bergoncang keras. Empat letupan terdengar disertai keluarnya kepulan asap
merah dari tubuh sang pendekar. Ratu Duyung dan tiga orang lainnya merasakan
ada hawa panas yang tersedot, membuat tangan mereka bergetar. Perlahan-lahan
hawa panas berubah menjadi hawa sejuk. Bersamaan dengan lenyapnya getaran pada
tangan, dari dua sayatan kecil di ibu jari dua kaki Wiro mengucur keluar darah
hitam pekat. Tak lama kemudian warna darah yang keluar sedikit demi sedikit
berubah menjadi merah segar lalu kucuran darah berhenti sama sekali. Semua
orang menarik nafas lega.
Sepasang
mata Wiro masih tertutup. Namun mulut terbuka lalu pemuda ini berucap.
"Aku
…. aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Aku melihat dada besar. Nyi
Retno Mantili kau berada dimana … ?"
*******************
6
KARUAN
saja semua orang jadi terkejut mendengar ucapan Wiro dan saling pandang
sementara si bocah Naga Kuning tidak dapat menahan tawa cekikikan.
"Ada
yang tidak beres. Pasti ada kejadian hebat sebelum sobat kita ini jatuh
pingsan! Mungkin juga dia pingsan karena melihat dua payudara besar, putih dan
kencang! Hik…hik…hik…”
Tawa
cekikikan naga kuning terhenti begitu jambakan Gondoruwo Patah Hati mapir di
rambutnya yang jabrik.
"Nek,
kenapa kau marah! Aku cuma mengulang ucapan sobat kita tadi," kata Naga
Kuning sambil meringis kesakitan dan usap-usap kepalanya.
"Soal
apa yang terjadi nanti tanya saja sama Wiro. Lihat, matanya sudah terbuka tanda
dia sudah siuman."
Saat itu
Wiro memang telah sadar. Dia tampak terheran-heran melihat dirinya terbaring di
tanah, dikelilingi oleh Ratu Duyung, Pumama, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah
Hati. Sambil menggaruk kepala Wiro memandang berkeliling.
"Siapa
yang kau cari?" tanya Naga Kuning mulai usil lagi.
"Dua
dada besar putih dan kencang? Hik.. hik … hik!"
Wiro
melongo. Dia belum mengerti arti pertanyaan si bocah jabrik. "Heh. apa
yang terjadi. Bagaimana kalian semua bisa ada di sini?"
"Nek,
ayo tanya saja sama dia. .." Naga Kuning berkata pada Gondoruwo Patah
Hati.
Si nenek
membuka mulut. Tapi bukan bertanya soal payu dara yang besar putih dan kencang
melainkan apa yang terjadi dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng menerangkan
pertemuannya dengan gadis berpakaian merah muda. Ketika sampai pada kejadian si
gadis membuka baju memperlihatkan dada. Wiro tidak meneruskan. Dia berpaling
pada anak ini. Naga Kuning cepat berkata.
"Nah
Nek, apa kataku,"Gondoruwo Patah Hati yang diajak bicara diam saja
sementara Purnama dan Ratu Duyung saling pandang.
"Naga
Kuning. memangnya apa yang terjadi dengan diriku?" bertanya Wiro.
"Sobat,
tadi kau seperti orang bermimpi mengigau. Kau berkata begini. Aku tidak melihat
Batu Widuri Bulan Kembar. Kau juga menyebut nama Nyi Retno Mantili. Nah, nah,
kau mau menerangkan
bagaimana?"
Wiro
menatap Naga Kuning sesaat lalu menggaruk kepala. Karena Wiro masih belum
memberikan jawaban Naga Kuning kembali membuka mulut.
"Aku
yakin kau bukan cuma mengigau. Tapi melihat dada benaran. Aku juga yakin yang
kau lihat bukan dada Nyi Retno Mantili. Karena perempuan cantik itu tubuhnya
kecil. Berarti dadanya juga kecil. Padahal yang lihat dada besar. .."
"Huss!
Bocah konyol! Kau ini bicara apa!" Hardik Gondoruwo Patah Hati sambil
mencubit pinggang Naga Kuning hingga bocah ini melintir kesakitan.
Setelah
pandangi orang-orang yang ada di hadapannya Wiro akhirnya berkata. "Aku
memang tidak mimpi.Tidak ngigau. Aku memang melihat dada benaran. Gadis yang
aku temui sedang menangis.Gadis itu sendiri yang membuka pakaiannya dan
memperlihatkan padaku …"
Naga
Kuning tertawa cekikikan sementara dua gadis dan satu nenek hanya berdiam diri
dengan wajah berubah merah.
"Aneh,
ceritamu tidak nyambung. Kalau menangis mengapa memperlihatkan dada?"
tanya Naga Kuning pula.
"Gadis
itu menipuku. Dia sengaja bertindak begitu untuk membuatku lengah. Ketika aku
benar-benar lengah dia menghantam dengan satu pukulan keras."
Pukulan
Telapak Roh hanya dimiliki NyaiTumbal Jiwo," kata Ratu Duyung pula.
"Tapi
turut keteranganmu yang memukulmu adalah seorang gadis."
"Kau
tahu siapa adanya gadis berpakaian merah yang mencelakai dirimu itu?"
bertanya Purnama. Wiro menggeleng.
"Lalu
kenapa kau tadi menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantili?" tanya Gondoruwo
Patah Hati.
"Perempuan
itu menghilang setelah kuhalangi waktu dia hendak membunuh Wira Bumi Patih
Kerajaan. Aku tengah mencarinya. Karena aku merasa bertanggung jawab jika
sesuatu sampai terjadi dengan dirinya. Begitu pesan salah seorang guruku."
"Aku
menyirap kabar ada tiga orang tokoh berkepandaian tinggi tewas sewaktu
berlangsung pesta besar di Gedung Kepatihan. Apakah itu pekerjaan Nyi Retno
Mantil?" Bettanya Purnama.
Murid
Sinto Gendeng mengangguk.
"Wiro,
bagaimana perasaanmu sekarang?" bertanya Ratu Duyung.
"Aku
merasa sehat. Astaga. Kalian semua telah menolongku. Aku masih belum
mengucapkan terimakasih! Jeleknya adatku!" Pendekar 212 lalu membungkuk
dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang pada ke empat orang itu.
"Sekarang
apa yang hendak kau lakukan? Masih mau mencari Nyi Retno Mantili," tanya
Naga Kuning.
Wiro
pegang bahu si bocah ”Aku tidak tahu, Mungkin…."
"Wiro,"
memotong Ratu Duyung.
"Aku
hanya sekedar rnengingatkan. Bukankah kita berdua di minta datang ke gunung
Gede oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas?"
"Aku
ingat. Pesan itu disampaikan melalui Eyang Sinto Gendeng.Tapi kurasa tidak ada
perlunya lagi. Kiai Gede Tapa Pamungkas minta kita datang ke tempat kediamannya
dengan membawa Pedang Naga Merah yang pernah dimiliki paderi perempuan Loan
Nio. Pedang itu sudah diambil oleh Eyang Sinto sewaktu terjadi pertempuran di
Gedung Kadipaten Losari. Pasti pedang sudah diantar dan diserahkan sendiri oleh
Eyang Sinto pada Kiai!"
"Aku
ingat sekali kejadian di Gedung Kadipaten Losari," kata Ratu Duyung pula.
"Walau
sudah mendapatkan Pedang Naga Merah tapi gurumu yang saat itu bersama kakek Tua
Gila sebelum pergi masih berkata agar aku dan kau tetap harus menemui Kiai Gede
Tapa Pamungkas. Berarti ada alasan lain mengapa Eyang Sinto tetap menyuruh kita
menemui Kiai Gede. Kalau kau tidak ingin kesana karena ada urusan lain, aku
tetap akan menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti yang dikatakan Eyang Sinto."
Wiro
menggaruk kepala.Tak bisa rnenjawab. Naga Kuning dekati Wiro, berjingkat lalu
berbisik "Wiro, kalau aku jadi kau lebih baik jalan bersama si cantik
bermata biru ini. Dari pada mencari perempuan kurang waras yang punya anak kayu
itu."
"Mulutmu
sama jabriknya dengan rambutmu!" kata Wiro sambil tusukkan telunjuk tangan
kanannya ke perut Naga Kuning. Membuat si bocah meliuk kegelian.
Setelah
beberapa saat akhirnya Wiro berkata. "Kurasa memang ada perlunya kita
menemui Kiai GedeTapa Pamungkas. Namun kalau tidak keberatan Ratu, kau boleh
pergi lebih dulu. Aku menyusul beberapa hari berselang."
"Kalau
begitu maumu, aku berangkat sekarang juga." Kata Ratu Duyung pula lalu
tanpa banyak bicara lagi dia tinggalkan tempat itu.
"Wiro,
seharusnya kau pergi sama-sama dengan sahabatmu itu." Berkata Purnama.
"Jika
kau tak mau jalan bersamanya biar aku yang menemaninya.
"Habis
berkata begitu gadis dari Latanahsilam ini segera mengejar Ratu Duyung. Wiro
terdiam tapi berpikir. Dalam hati dia berkata.
"Aku
kawatir, Purnama ingin menemani Ratu Duyung. Jangan-jangan ada yang ingin
diketahuinya mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas meminta aku dan Ratu Duyung
datang. Dia ingin menyirap kabar. Kalau-kalau …."
”Wiro,’"
kata Naga Kuning.
"Aku
yakin Ratu Duyung kecewa dengan sikapmu. Bahkan Purnama bisa menyelami hati
gadis bermata biru itu."
"Mungkin
tindakanku keliru dan menyakitkan hati orang," sahut Wiro. "Tapi saat
ini Patih Kerajaan terancarn keselamatannya hendak dibunuh oleh Nyi Retno
Mantili. Jangan-jangan Patih itu memang sudah dibunuh."
"Apa
sebenarnya kepentinganmu sampai membela dan melindungi Patih Kerajaan begitu
rupa?" bertanya Gondoruwo Patah Hati. "Setahuku Wira Bumi bukan orang
baik. Bukankah kita semua sudah tahu kalau dia berguru pada nenek jahat Nyai
Tumbal Jiwo, lalu punya niat keji membunuh bayinya sendiri, juga istrinya
sendiri."
"Aku
bukan membela dan melindungi Wira Bumi. Justru aku membela Nyi Retno Mantili
dan bayinya. Karena seseorang punya pesan padaku. Bayi itu akan diserahkan pada
ibunya pada malam Satu Suro mendatang di satu tempat di pantai selatan."
"Satu
Suro masih cukup lamadari sekarang:’ kata Naga Kuning. "Selain itu kau
mau-mauan secara tolol mencelakai diri sendiri untuk menolong orang."
"Aku
menolong siapa saja yang aku suka. Semua tanpa pamrih. Kukira hal itu sudah
menjadi pegangan semua orang-orang rimba persilatan." Jawab Wiro. Lalu
menyambung ucapannya."Aku juga dipesankan menjaga keselamatan Nyi Retno
agar kelak bisa bertemu dengan puterinya dan diharapkan sembuh dari penyakit
kehilangan ingatan. Kalau perempuan itu keburu mati, apa tidak kasihan pada
sang bayi?"
"Kalau
aku boleh tahu, dimana bayi itu sekarang?" tanya Gondoruwo Patah Hati
pula.
"Di
tanah seberang. Di Pulau Andalas. Dalam pemeliharaan seorang Datuk yang diam di
dekat Danau Maninjau!" Jawab Wiro.
Tiba-tiba
satu bayangan merah berkelebat dari balik pohon besar.
"Hai!
Kau!"
Wiro
sempat melihat gerakan orang dan cepat mengejar. Namun yang dikejar lenyap
seperti ditelan bumi.
"Siapa?"
tanya Gondowwo Patah Hati.
"Gadis
baju merah muda yang memukulku."
"Pasti
dia sembunyi sejak tadi di balik pohon itu. Jangan-jangan dia mendengar semua
pembicaraan kita." Kata Gondowwo Patah Hati.
"Kawan-kawan,
aku terpaksa meninggalkan kalian berdua." Kata Wiro.
"Kau
mau kernana?!" tanya Gondoruwo Patah Hati.
“Aku
belum tahu.Tapi aku punya firasat bayi Nyi Retno Mantili dalam bahaya!"
jawab Wiro lalu berkelebat pergi ke arah lenyapnya bayangan merah tadi. Sambil
lari murid Sinto Gendeng terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia melengak kaget
ketika melihat jauh di depan sana seorang nenek berambut merah, bertubuh tinggi
kerempeng berlari cepat ke arah selatan tanpa selembar benang pun menutupi
auratnya. Wiro percepat lari agar bisa mengejar.
Namun di
satu lembah kecil dia kehilangan jejak.
"Apakah
nenek bugil itu yang memukulku?Tidak mungkin. Aku ingat sekali. Yang memukul
seorang gadis cantik …." Wiro akhirnya hentikan lari sambil garuk-garuk
kepala.
"Nenek
itu menuju selatan. Kawasan laut. Apa aku harus menyelidik kesana? Lalu
bagaimana dengan Nyi Retno?" Wiro juga ingat Ratu Duyung dan Purnarna. Dan
tiba-tiba saja dia ingat pada kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu yang
terakhir muncul sebagai Dewi Pemikat.
(Baca
serial Wiro Sableng "Petaka Patung Kamasutra", "Misteri Bunga
Noda","Insan Tanpa Wajah","Sang Pemikat", "Topan
Di Gurun Tengger" dan "Nyawa Titipan")
"Nek,
apa kau ada di sini? Aku ingin ketemu dan bicara denganmu," kata Wiro
dengan suara perlahan.
"Wuuuttt!"
Satu
bayangan hitam berkelebat. Bau pesing menebar. Yang muncul bukan nenek alam roh
kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tapi sang guru Eyang Sinto Gendeng
ditemani kakek sakti yang dikenal dengan panggilan Tua Gila! Temyata sang guru
masih berdua-dua dengan kekasih lama. Wiro cepat-cepat memberi penghormatan
dengan membungkuk dalam-dalam.
"Eyang
Sinto, Kakek Tua Gila terima penghormatanku!"
Mulut
perot Sinto Gendeng pencong ke kiri. Susur yang tersembul diarnbil dengan
tangan kanan. Lalu keluar ucapannya yang sudah tidakasing lagi.
"Anak
setan! Kau ternyata kesasar ke sini. Bukankah aku sudah memberi tahu agar kau
segera menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede?"
"Anu
Nek, bukankah Pedang Naga Merah sudah nenek ambil sendiri …"
"Anu.
..anumu geblek! Aku tidak bicara soal Pedang Naga Merah. Aku bicara soal
permintaan guruku dan perintah dariku!"
"Ratu
Duyung sudah berangkat duluan Nek Nanti aku menyusul …"
"Dasar
tolol! Kau belum budek waktu dulu aku bicara! Kau dan Ratu Duyung harus
sama-sama menemui Kiai GedeTapa Pamungkas!"
"Kalau
begitu aku akan berangkat sekarang juga. Cuma, kalau aku boleh tahu Kiai Gede
mau bicara apa, Nek?"
"’Mana
aku tahu?!"
Tua Gila
pegang bahu Sinto Gendeng.
"Sinto,
sebaiknya kau katakan saja terus terang pada muridmu."’
"Begitu?"
sepasang mata si nenek berputar lalu mulutnya berucap. "Anak setan. Kaiau
kau memang ingin tahu lebih dulu baik aku katakan! Kiai GedeTapa Pamungkas
ingin bicara soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung! Selarna ini kau petatang
peteteng kemana-mana seperti kuda liar. Sudah saatnya kau hidup punya
pasangan!"
"Tapi
Eyang Sinto …."
"Tapi
apa? Dulu kau diributkan sudah kawin bahkan menghamili Wulan Srindi. Di negeri
Latanahsilarn konon kau juga sudah kawin dengan nenek jelek yang mukanya
seperti burung nazar!
Hik …
hik! Belakangan ini kau kawin dengan perempuan bernama Nyi Retno Mantili dan
punya anak boneka kayu! Hik … hik … Apa kau mau hidup gila seperti itu
terus-terusan?!"’
"Nek,
aku …."
"Sudah!
Aku tahu apa yang hendak kau katakan. Kau mau bilang belum ingin kawin! lya
kan?! Kau masih ingin jadi kuda liar punya segudang simpanan gadis cantik
…"
"Nek,
maksudku bukan begitu …"
"Sudah!
Aku tidak mau dengar ucapan apapun darimu. Pokoknya sebelum bulan purnama
muncul kau sudah harus menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas!"
Sinto
Gendeng tarik tangan Tua Gila. Sepasang kakek nenek sakti itu berkelebat lenyap
dari hadapan Wiro. Sang pendekar sendiri jatuhkan diri, duduk di tanah sambil
garuk-garukdan goleng-goleng kepala. Ucapan sang guru terngiang kembali di
telinganya.
"Kiai
Gede Tapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung."
Wiro
baringkan diri di tanah, menatap ke langit lepas. Namun yang dilihatnya adalah
bayangan wajah-wajah Bunga, Anggini, Bidadari AnginTimur, Purnama dan Nyi Retno
Mantili. Hatinya berucap. "Eyang kau cuma bisa memaksakan kehendak.
Menyuruh aku kawin. Kau sendiri seumur-umur sampai jadi tua bangka kisut tidak
pernah kawin!"
Sambil
pejamkan mata hatinya kembali bicara."Ratu Duyung, kau seperti memaksa
ingin cepat-cepat menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau sudah tahu bahwa
Kiai akan membicara kan soal perjodohanmu dengan diriku … ?"
*******************
7
DI DALAM
Goa Girijati di pantai selatan. Wira Bumi yang telah kembali ke ujud aslinya,
sambil menatap ke arah laut luas berkata, ternyata pukulan Telapak Roh tidak
membuat Pendekar Dua Satu Dua menemui ajal. Selama dia masih hidup berarti kita
akan mengalami kesulitan untuk membunuh Nyi Retno Mantili dan bayinya. Lalu
bagaimana dangan keampuhan ilmu kesaktian yang kumiliki?’"
Nyai
Tumbal Jiwo yang tidak tampak ujudnya menjawab dengan suara mengiang ke telinga
sang murid. "Kau tidak perlu kecewa Wira Bumi. Dari ucapan pemuda itu yang
kau dengar sendiri, kita sudah mengetahui kira-kira dimana beradanya bayi Nyi
Retno Mantili. Mengenai ilmu kesaktianmu, selama aku bisa masuk ke dalam
tubuhmu kau tak perlu kawatir."
"Kalau
begitu mengapa Nyai tidak pergunakan ilmu kesaktian untuk mengambil dan membawa
bayi itu kesini. Bukankah Nyai bisa memindahkan benda yang ada di tempat jauh?
Seperti dulu Nyai mampu mengambil golok besar milik saya dari tempat kediaman
saya sewaktu masih menjadi Tumenggung?"
"Jangan
keliru Wira Bumi. Golok adalah benda rnati. Sedang bayi adalah benda hidup,
benda bernyawa. llmu kesaktianku tidak punya kemampuan untuk mengambil benda
hidup. Selain itu bayi Nyi Retno pasti dipagari satu kekuatan hebat. Tidak
sembarang orang bisa mendekatinya. Apa lagi hanya mempergunakan ilmu kesaktian
dari jarak jauh. Termasuk golok milikmu yang kini entah berada di mana. Senjata
itu sudah dilindungi orang yang menguasainya."
Wira Bumi
merasa kecewa. Tapi dia tidak mau mengatakan. Dia mengalihkan pembicaraan.
"Nyai, kau tahu sebagai Patih Kerajaan saya tidak mungkin meninggalkan
Kotaraja terlalu lama. Besok atau paling lambat lusa saya harus kembali.’"
"Aku
mengerti. Aku tengah memikirkan sesuatu. Mengatur rencana bagaimana caranya
kita bisa mendapatkan bayi itu. Begitu matahari terbenam kita sama-sama
bersamadi. Sebelum tengah malam aku yakin kita sudah mendapat jalan. Paginya
kita sudah tahu dimana keberadaan bayi itu. Malamnya kau sudah bisa kembali ke
Gedung Kepatihan walau sebenarnya tempat ini lebih aman karena sudah
kupagari.Tidak ada orang bisa menemui goa ini selain kita berdua."
"Nyai
punya rencana apa? Boleh saya tahu?"
"Aku
akan menghubungi Ratu Pantai Utara. Kesaktiannya memang tidak sehebat Nyai Roro
Kidul, tapi dia bisa kita andalkan untuk minta tolong. Lagi
pula
kedua orang itu sejak lama telah berseteru. Kita bisa memancing di air
keruh."
"Kawasan
pantai utara jauh dari sini. Bagaimana mungkin Nyai mampu menghubungi Ratu
Pantai Utara dalam waktu cepat?"
Di
telinga Wira Bumi terdengar ngiang tawa cekikikan Nyai Tumbal Jiwo.
"Kekasihku, serahkan semua padaku. Bila aku berhasil jumlah hari penantian
saat aku mampu unjukkan diri akan berkurang lagi setengahnya. Hik … hik. Tiga
puluh hari dimuka kita sudah bisa bercumbu bermesraan lagi.Tidakkah kau kangen
akan aku yang bagus mulus hangat menggelora … ?"
"Saya
memang kangen Nyai. Saya serahkan semua pada Nyai. Saya percaya pada Nyai
…" jawab Wira Bumi.
*******************
KAWASAN
Istana Emas tiga menara di dasar samudera selatan. Genta besar berbunyi
bertalu-talu. Tanda bahaya! Sesuatu telah terjadi! Semua penghuni geger.
Ratusan pengawal bersenjata tombak biru yang terdiri dari gadis-gadis cantik
berpakaian minim melesat ke delapan penjuru angin dasar samudera. Menutup jalan
keluar dan jalan masuk. Berjaga-jaga sepanjang Tembok Karang Abadi. Jangankan
penyusup, seekor ikan pun tidak akan mampu menyelinap tembus.
Nyi Roro
Manggut, nenek sakti kepercayaan Nyai Roro kidul datang menghadap sang Ratu.
‘Nyi Roro
Manggut, aku sudah tahu apa yang terjadi. Hanya saja silahkan kau bicara. Aku
mau tahu lebih jelas." Kata sang Ratu begitu si nenek membungkuk di
hadapannya sambil mangut-manggut.
Junjungan
Ratu Samudera Selatan, mohon maaf beribu maaf. Mohon ampun beribu ampun. Batu
mustika Angin Laut Kencana Biru lenyap dari tempat rahasia
penyimpanannya."
Seperti
diketahui batu sakti bernama Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dapat
dipergunakan untuk pergi ke satu tempat jauh hanya dalam bilangan kejapan mata.
Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung pernah mempergunakannya ketika menolong
pendekar 212.
"Terakhir
sekali batu mustika itu dipinjam oleh Ratu Duyung, tapi telah
dikembalikan," menjelaskan Nyi Roro Manggut, nenek sakti tangan kanan
kepercayaan Nyai Rota Kidul. "Setelah dikembalikan, pagi tadi diketahui
batu sakti tersebut lenyap tanpa bekas."
"Jelas
ada orang yang mencuri. Sesuai kesaktiannya batu pasti dipergunakan untuk pergi
ke satu tempat jauh. Nyi Roro Manggut. telusuri melalui limu Menjajag Raga
Menjajag Keringat…."
"Saya
sudah melakukan Ratu. Nyatanya orang itu tidak mempunyai raga, tidak
meninggalkan jejak. Dia juga tidak berkeringat …."
"Berarti
dia bukan manusia biasa. Dia mahluk alam roh. Nyi Roro Manggut kau tahu siapa
saja mahluk alam roh yang gentayangan di dunia luar sana?"
Si nenek
manggut-manggut dulu beberapa kali baru menjawab. "Saat ini banyak sekali
mahluk dari alam roh yang berkeliaran. Sebagian besar dari mereka adalah orang
orang dari negeri seribu dua ratus tahun silam yang disebut latanahsilam. Saya
tidak tahu mereka satu persatu …"
"Siapa
saja yang kau kenal? Aku mencium yang punya perbuatan adalah mahluk alam roh
perempuan karena aku mencium bau kembang melati."
"Yang
saya tahu adalah mahluk cantik bernama Pumama. Gadis ini dari Latanahsilam.
Lalu ada Bunga, gadis alam roh dari tanah Jawa. Kemudian seorang nenek sakti
dikenal sebagai kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Lalu ada gadis bernama
Luhrembulan. Seperti Purnama dia juga berasal dari negeri Latanahsilam. Masih
ada seorang nenek alam roh asal tanah Jawa dikenal dengan panggilan Nyai Tumbal
Jiwo. Hanya itu yang saya tahu Junjungan Ratu!"
Nyai Roro
Kidul angkat kepala sedikit lalu picingkan mata sekejap dan mencium
dalam-dalam. Kemudian penguasa samudera selatan yang luar biasa cantik ini
berkata.
"Aku
mendapat petunjuk dari cahaya dan bebauan. Semua mahluk alam roh itu terkait
dengan murid nenek sakti dari Gunung Gede Sinto Gendeng …"
"Maksud
Ratu, Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng?" tanya Nyi Roro Manggut.
"Betul.
Sahabatmu itu masih saja dikungkung kesulitan. Kurasa lewat dia kau akan mampu
menjajagi siapa yang mencuri batu mustika sakti dan kemana dia menuju. Selain
itu kau juga harus menerapkan ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung.
Kalaupun dia memang mahluk alam roh kau pasti bisa mengetahui siapa orangnya.,
dimana beradanya. Lakukanlah, tapi hati-hati Nyi Roro Manggut. Aku punya
perasaaan ada seseorang yang tahu seluk beluk ke adaan kawasan kita yang ikut
berperan dalam lenyapnya batu pusaka itu. Kau juga harus mencari tahu siapa
adanya orang ini. Isyarat memberi tahu orang itu berada di sebelah utara."
Nyi Roro
Manggut membungkuk dalam-dalam. "Kalau Ratu menyebut orangnya ada di
kawasan utara, mungkin saya sudah bisa menduga siapa dia adanya."
Nyai Roro
Kidul mengangguk. Dia mengepalkan jari-jari tangan kanan, ketika kepalan jari
dibuka di telapak tangannya ada sebuah batu bulat berwarna merah.
"Nyi
Roro Manggut, masukkan batu ini ke dalam kepalamu lewat ubun-bun. Semoga Gusti
Allah melindungi dimana kau berada, apapun yang kau lakukan."
Sepasang
mata Nyi Roro Manggut membesar berkilat, kepala manggut-manggut. Mulut yang
perot sunggingkan senyum gembira. Dia tahu, jarang sekali sang Ratu menyerahkan
batu itu pada orang kepercayaannya.
"Terima
kasih Ratu telah mempercayakan Batu Cahaya Rembulan Dan Matahari untuk saya
bawa". Si nenek ambil batu berwana merah, letakkan di atas ubm-ubun.
Begitu tangan tekan batu masuk ke dalam kepala.Wajah si nenek tampak cerah dan
dia kelihatan jauh lebih muda. Kerut-kerut di wajah dan tangannya hilanng. Si
nenek terheran-heran, mengusap wajah dan tangan berulang kali. Nyai Roro Kidul
tersenyum.
‘Nyi Roro
Manggut, pergilah."
Si nenek
membungkuk. "Saya siap melaksanakan tugas. Saya minta diri dan mohon restu
Ratu."
Setelah
Nyi Roro Manggut berlalu Nyai Roro Kidul turun dari singgasana. Melangkah ke
balik tirai biru yang begemerlap taburan batu-batu permata berkilat. Di ujung ruangan
di balik tirai biru terdapat sebuah tembok bening. Seolah kaca tembus pandang
di belakang tembok kelihatan pemandangan laut yang indah sekali. Di bagian
tengah tampak sebuah gundukan batu berwarna kuning emas. Di atas gundukan batu
emas ini berdiri seorang pemuda berambut panjang sebahu, berpakaian. Putih
mernegang sebuah kapak bermata dua di tangan kiri.
"Pendekar
Dua Satu Dua … !" ucap Nyai Roro Kidul.
"Jadi
benar petunjuk yang aku terima. Dirimu terlibat dalam urusan pelik. Bukan cuma
urusan nyawa manusia, tetapi juga urusan cinta. Kuharap kau bisa menghadapi
semuanya …"
Nyai Roro
Kidul melangkah mendekati tembok tembus pandang. Di belakang sana sosok
Pendekar 212 turun dari atas gundukan batu emas. Lalu melangkah ke arah tembok
Nyai Roro Kidul memberi isyarat lalu tempelkan telapak tangan kanannya ke
tembok tembus pandang. Wiro melakukan hal yang sama. Dua telapak tangan saling
bertempelan, terpisah oleh tembok tembus pandang.
Satu
kilatan kecil Menyilaukan berpijar di antara dua telapak tangan. Nyai Roro
Kidul bersurut satu langkah. Telapak tangan kanan bergetar. Getaran mengalir
sejuk masuk ke sekujur tubuh. Sesaat sang Ratu perhatikan telapak tangannya
lalu ditempelkan ke hidung.
"Harum
segar bau kayu cendana. Ah, temyata dia masih perjaka."
Nyai Roro
Kidul tersenyum. Ketika sosok Pendekar 212 di balik tembok tembus pandang
perlahan-lahan berubah samar dan akhirnya lenyap, sang Ratu balikkan tubuh,
tinggalkan tempat itu masuk kedalam sebuah kamar besar dan bagus. Sambil
berbaring menelentang di atas ranjang yang empuk kembali telapak tangannya
diletakkan di atas hidung.
"Luar
biasa, benar-benar aku tidak menyangka. Berarti apa yang aku dengar selama ini
tentang dirinya hanya gunjing fitnah belaka …." Sang Ratu berucap dalam
hati."Aku menyirap kabar ada orang yang ingin menjodohkannya dengan Ratu
Duyung. Apakah hal itu akan benar-benar terjadi? Apa mereka memang saling
mencinta?"
*******************
8
Nyi
Kuncup Jingga berlutut dihadapan perempuan yang duduk di kursi. besar berlapis
emas dalam ruangan besar terang benderang dan berhawa sejuk. Perempuan ini
walau sudah berusia lebih dari empat puluh tahun namun masih memiliki wajah
cantik jelita, tubuh bagus dan mulus. Sepasang mata dengan bola mata kelabu
memperhatikan segala sesuatu dengan pandangan tajam terkadang dingin. Pakaian
biru kelam panjang yang dikenakannya di belah tinggi di sisi kiri kanan hingga
menyibakkan Sepasang paha gempal putih sampai ke pangkal pinggul. Di kepala
bertahta sebuah mahkota emas bertabur batu permata langka aneka warna.
Nyi
Kuncup Jingga sendiri adalah seorang nenek berkepala aneh. Wajah bewarna ungu,
bibir tebal dower merah seperti diselomoti darah. Dua mata bengkak seolah
terpejam. Kepala di bagian atas lebih kecil dibanding dagu dan pipi. Rambut
jarang kelabu. Tidak salah kalau namanya Nyi Kuncup jingga.
"Sri
Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Kuncup Jingga datang untuk memberi
tahu. Ada seorang tamu minta bertemu dengan Sri Paduka Ratu. Tamu itu seorang
gadis cantik jelita mengaku bernama Nyl Wulas Pikan. Saat ini dia masih berada
di teluk Losari. Dijaga oleh lima orang Abdi Kawal."
Perempuan
cantik yang dipanggil Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara bertanya."Apa
kepentingannya?"
"Dia
membutuhkan pertolongan Sri Paduka Ratu. Jika Sri Paduka Ratu berkenan menolong
maka selesai urusan dia akan menyerahkan sebuah benda sakti mandraguna pada Sri
Paduka Ratu. Perlu Sri Paduka Ratu ketahui, dari penjajagan saya gadis itu
datang dari kawasan pantai selatan."
Sri
Paduka Ratu tersenyum.
"Bawa
gadis itu ke hadapanku!"
Nyi
Kuncup Jingga segera bangkit berdiri, membungkuk lalu sekali berkelebat
sosoknya lenyap dari ruangan.Tak selang berapa lama si nenek telah melesat
keluar dari dalam laut utara dan rnuncul di Teluk Losari. Saat itu tepat tengah
hari. Sang surya bersinar terik membuat perih jangat walau angin laut bertiup
cukup kencang. Di depan sederetan pohon kelapa, lima orang lelaki yang disebut
Abdi Kawal mengelilingi seorang gadis cantik berpakaian hijau muda.
Melihat
kedatangan Nyi Kuncup Jingga, lima pengawal segera membungkuk rnernberi jalan.
"Sri
Paduka Ratu telah mengizinkan gadis ini datang menghadap. Kalian boleh
pergi." Lima Abdi Kawal tidak menunggu lebih –lama segera melompat masuk
ke dalam laut. Nyi Kuncup Jingga memberi tanda agar si gadis mengikutinya.
"Kita akan masuk ke dalam Iaut." Menerangkan Nyi Kuncup Jingga.
"Tapi
Nek, aku tidak punya kemampuan berenang apa lagi menyelam …" kata si gadis
yang mengaku benarna Nyi Wulas Pikan.
Si nenek
tertawa. Bia ulurkan lengan kiri. Pegang tanganku. Setelah itu tak ada yang
perlu kau kawatirkan ."
Nyi Wulas
Pikan pegang lengan kiri si nenek. Nyi Kuncup Jingga usap tangan si
gadis."Mulus sekali …"
katanya
sambil senyum-senyum. Lalu cup … cup! Dia-mengecup tangan putih Nyi Wulas
Pikan.
"Nek.."
Nyi Wulas kegelian juga merasa heran. Si nenek sentakkan lengan, tubuh melesat
ke udara. Nyi Wulas Pikan ikut melayang. Sesaat kemudian kedua orang itu lenyap
masuk ke dalarn laut utara.
*******************
NYI Wulas
Pikan melangkah menaiki tangga batu pualam berkilat mengikuti si nenek. Di
mana-mana kelihatan banyak pengawal lelaki dan perempuan.
,
"Nek, apakah saat ini kiia berada di dalam laut?" Bertanya Nyi Wulas
Pikan.
"Betul."
"Mengapa
tidak ada air laut? Mengapa kita tidak basah?" Nyi Kuncup Jingga tertawa.
"Sudah,
jangan banyak bertanya. Kita akan segera masuk ke tempat Sri Paduka Ratu
Penguasa Laut Utara. Jika kau sampai di hadapannya harap pergunakan peradatan.
Cepat-cepat jatuhkan diri berlutut, sebut namamu dan ucapkan salam hormatmu.
Apa kau mengerti?"
"Saya
mengerti Nek," jawab si gadis berpakaian biru muda.
"Ada
satu hal lagi yang kau mengerti!" Ucap Nyi Kuncup Jingga.
"Hal
apakah itu, Nek?" tanya Nyi Wulas Pikan.
"Jika
semua urusanmu sudah selesai, sebelum kembali ke selatan kau harus menginap di
tempat kediamanku barang beberapa malam untuk bersenang-senang."
Nyi Wulas
Pikan tatap wajah ungu si nenek. Dia hendak bertanya namun di telinganya
mengiang satu suara.
"Jawab
saja ya. Nenek ini tua bangka aneh yang suka sesama jenis."
"Baik
Nek, saya akan menginap di tempat kediamanmu,’" berkata Nyi Wulas Pikan.
Si nenek
tampak gembira.
Memasuki
sebuah ruangan besar Nyi Wulas Pikan melihat seorang perempuan cantik duduk di
atas kursi emas. Si nenek memberi tanda. Begitu sampai di hadapan perempuan
yang duduk di kursi, Nyi Wulas Pikan segara berlutut.
"Sri
Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Wulas Pikan.Terima salam hormat saya.
Saya datang dari jauh untuk mohon pertolongan Sri Paduka Ratu." Perempuan
cantik di atas kursi tatap sosok Nyi Wulas Pikan mulai dari ujung rambut
sarnpai ke kaki lalu sunggingkan senyum.
"Nyi
Wulas Pikan, harap kau perlihatkan dulu Sosok dirimu yang sebenamya! Baru kita
bicara!"
Gadis
berpakaian biru muda bernama Nyi Wulas Pikan sembunyikan rasa terkejutnya
dengan tersenyum. Sementara Nyi Kuncup Jingga terkesiap mendengar ucapan Sri
Paduka Ratu.
"Sri
Paduka Ratu, harap maafkan kalau saya telah berbuat sesuatu yang kurang
menyenangkan. Saya berlaku begitu untuk menjaga keselamatan." Habis
berucap Nyi Wulas Pikan goyangkan kepalanya dua kali ke kiri dua kali ke kanan.
"Desss!"
Saat itu
juga sosok Nyi Wulas Pikan yang tadinya berupa gadis cantik jelita berubah
menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus. Sri Paduka Ratu
Penguasa Laut Utara tertawa panjang.
"Manusia
berpakaian mewah, bukankah kau Patih Kerajaan selatan bernama Wira Bumi?"
Lelaki
yang menjelma dari sosok gadis cantik membungkuk dalam-dalam.
"Terima
kasih. Sri Paduka Ratu mengenal diri saya."
"lni
satu peristiwa besar! Seorang Patih Kerajaan datang menemui diriku secara
menyamar. Apa gerangan yang terjadi?Tapi tunggu! Aku rnerasa ada satu mahluk
dalam tubuhmu. Siapa dia?!"
"Maafkan
saya Sri Paduka Ratu. Dibanding Sri Paduka Ratu saya bukan apa-apa," kata
Patih Kerajaan merendah sambil setengah memuji setengah menjilat.
"Yang
ada di dalam tubuh saya adalah guru saya."
"Gurumu….?"
Sepasang alis mata Sri Paduka Ratu mencuat ke atas.
"Apa
dia tidak bisa jalan sendiri hingga menumpang dalam tubuhmu?"
"Guru
terkena musibah akibat kalah berkelahi melawan seorang mahluk alam roh.Tadinya
selama seratus dua puluh hari dia tidak bisa memperlihatkan diri. Saat ini
hanya tinggal enam puluh hari."
"Omong
kosong! Aku mau lihat siapa gurumu!"
Habis
keluarkan ucapan Sri Paduka Ratu lambaikan tangan kanan. Selarikcahaya kuning
menmu sekujur tubuh Wira Bumi.
"Dess!
Braaak!"
Satu
sosok serba merah seorang nenek tinggi kurus tergeletak di lantai batu pualam.
Pakaian selempang kain merah. Rambut merah riap-riapan. Muka keriput juga
merah, begitu pula mata, alis, lidah dan gigi. Sosok ini berguling di hadapan
Sri Paduka Ratu dia bangkit, berlutut lalu membungkuk.
"Sri
Paduka Ratu Penguasa Laut Utara. Saya rnengucap syukur dan terima kasih. Dengan
kesaktianmu kau telah menolong diri saya hingga saat ini saya bisa menunjukkan
ujud kembali."
"Mahluk
muka merah, apakah kau punya nama?" Sang Ratu menegur.
"Maafkan
saya, sampai lupa memperkenalkan diri. Orang-orang memanggil saya Nyai Tumbal
Jiwo."
"Nyai
Tumbal Jiwo! Aku pernah mendengar namamu. Mahlukalam roh yang punya berbagai
limu kesaktian menakjubkan. Tinggal di satu goa di kawasan pantai selatan.
Mampu mengambil benda mati yang ada di tempat jauh. Punya berbagai pukulan
sakti yang sulit dicari banding! Bisa merubah diri menjadi seorang gadis
cantik! Menakjubkan kalau hari ini kau datang ke tempatku! Nyai Tumbal Jiwo,
katakan apa maksud kedatanganmu bersama muridmu Patih Kerajaan Wira Bumi."
"Sri
Paduka Ratu, izinkan saya memberi keterangan." Lalu Nyai Tumbal Jiwo
menuturkan riwayat ilmu kesaktian yang dituntut Wira Bumi. Namun ada yang masih
jadi ganjalan.Yaitu sesuai dengan ketentuan Wira Bumi harus membunuh bayi yang
dilahirkan Nyi Retno Mantili karenadia telah menyalahi pantangan dalam menuntut
ilmu kesaktian tersebut. .
"Lalu
pertolongan macam apa yang akan kau minta dariku? lmbalan apa yang akan kau
berikan padaku?" tanya Sri Paduka Ratu setelah Nyai Tumbal Jiwo
rnenyelesaikan ceritanya.
"Kami
ingin Sri Paduka Ratu membantu kami mengambil bayi itu. Kami sudah tahu dimana
perkiraan bayi berada. Namun kami kawatir kalau hanya berbekal ilmu kepandaian
kami yang dangkal kami belum tentu marnpu mendapatkan bayi itu."
"itu
urusan kecil. Aku ingin tahu imbalan apa yang akan kalian berikan padaku jika
bayi berhasil kalian dapatkan. Aku melihat ada satu cahaya biru di dalam
tubuhmu. Pertanda kau membawa satu benda sakti mandraguna."
Nyai
Tumbai Jiwo berdiri.Tangan kanan diusapkan tiga kali ke bagian tubuh yang
terlihat ada cahaya biru. Setelah mengusap tahu-tahu sebuah benda bulat lonjong
sebentuk telur ayam memancarkan warna biru berada di atas telapak tangannya.
Sri
Paduka Ratu Penguasa Laut Utara terkejut. sampai-sampai bangkit dari duduknya
di kursi emas.
"Batu
Mustika Angin Laut Kencana Biru!" ucap sang Ratu dengan pandangan hampir
tak percaya. Bagaimana batu sakti itu ada padamu?"
"Sri
Paduka Ratu, saya rasa Sri Paduka Ratu sudah tahu siapa pemilik batu mustika
ini dan dimana disimpannya. Saya berhasil mengambilnya dari Istana Nyai Roro
Kidul walau untuk itu saya harus rnengorbankan diri …"
Habis
berkata begitu Nyai Tumbal Jiwo singkapkan pakaian merahnya di bagian dada. Dua
payu daranya tampak tinggal merupakan dua daging geroak yang rnasih basah
lembab dengan darah.
"Sri
Paduka Ratu, batu mustika ini akan saya berikan padamu, jika kau mau menolong
kami mendapatkan bayi itu."
Sri Padaku
Ratu diam sejenak seperti merenung. Setelah itu baru keluarkan ucapan.
"Kalian tidak hanya rnemberikan batu mustika sakti itu padaku, tapi juga
harus bersumpah bahwa kalian berdua akan menjadi pengabdi diriku."
"Permintaan
Sri Paduka Ratu kami setujui," jawab Nyai Tumbal Jiwo. Lalu diikuti oleh
Wira Bumi dia bersujud di hadapan kaki Sri Paduka Ratu.
"NyaiTumbal
Jiwo, katakan apa yang kau ketahui tentang keberadaan bayi itu. Apa bayi itu
punya nama?"
‘"Siapa
nama bayi itu saya tidak tahu, Sri Paduka Ratu. Mengenai keberadaannya kami
mendapat cerita bahwa si bayi berada di pulau Andalas. Di Kawasan Danau
Maninjau. Dipelihara oleh seorang dipanggil Datuk …"
Ratu Laut
Utara berpaling pada Nyi Kuncup Jingga.
"Ambil
Dulang Perak Sejuta Mata. Tuangkan Air Sejuta Warna dan bawa ke sini."
Nyi
Kuncup Jingga segera berdiri, melangkah cepat memasuki sebuah lorong rnenuju
satu ruangan rahasia. Tak lama kemudian dia muncul kembali bersama dua orang
gadis yang memegang sebuah nampan bulat terbuat dari perak. Di dalam nampan
terdapat cairan bening berwarna kebiruan. Nampan dibawa kehadapan Sri Paduka
Ratu.
Setelah
menatap air di dalam nampan beberapa lamanya, Sri Paduka Ratu kemudian sapukan
tangan kanan di atas air. Asap biru mengepul. Begitu asap lenyap sang Ratu
rnemperhatikan ke dalam nampan tanpa berkesip. Beberapa lama kemudian dia
memberi isyarat pada dua gadis. Keduanya tinggalkan tempat itu dengan membawa
dulang.
"Nyai
Tumbal Jiwo. Patih Wira Bumi, kita menghadapi satu kekuatan besar. Aku melihat
danau aku melihat seorang tua bermata biru, aku melihat seekor harimau putih
bermata hijau dan aku memang melihat seorang bayi berusia sekitar lima belas
bulan. Jika kau memang inginkan bayi itu, sebelurn tengah hari besok kita akan
mendapatkanya. Namun tingkat kegagalan cukup gawat. Si bayi memiliki
perlindungan hebat. Jika gagal masih ada kesempatan kedua. Ada petunjuk bahwa
bayi itu akan dibawa ke tanah Jawa ini. Terserah apa kalian ingin melakukan
sekarang atau menunggu sampai bayi berada di tanah Jawa"
"Sri
Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami ingin pekerjaan ini
dilakukan sekarang juga!" kata Nyai Tumbal Jiwo. Sri Paduka Ratu anggukkan
kepala. Lalu berpaIing pada Nyi Kuncup Jingga.
"Nyi
Kuncup Jingga, katakan kebiasaan yang Kita lakukan dalam membuat perjanjian
tolong-menolong."
Nyi
Kuncup Jingga membungkuk, lalu berdiri lurus-lurus menghadap ke arah Nyi Tumbal
Jiwo dan Wira Bumi.
"Sebagai
jaminan bahwa kalian tidak berdusta dan tidak akan meIanggar janji, atas nama
Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan selaku orang yang berkepentingan harus
menyerahkan mata kirinya"
NyaiTumbal
Jiwo tersurut satu langkah.
*******************
9
PATIH
Wira Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya. "Sri Paduka Ratu, apakah
…." Ucapan Nyai Tumbal Jiwo dipotong oleh sang Ratu.
"Mata
yana diambil akan dikembalikan jika urusan sudah selesai dan kalian memenuhi
janji yaitu menjadi pembantu-pembantuku dan menyerahkan batu Mustika Angin Laut
Kencana Biru. Jika kalian berkenan katakan ya, kalau tidak silahkan
meninggalkan Istanaku tapi batu sakti itu tetap harus diserahkan padaku …"
"Nyai
…." Wira Bumi berucap, memandang pada NyaiTumbal Jiwo. Seolah minta
pendapat.
"Sri
Paduka Ratu. Kerajaan bisa diganti dengan mataku?". . .
Sri
Paduka Ratu tidak menjawab.Yang menyahut adalah Nyi Kuncup Jingga.
"Apa
yang sudah ditentukan Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara tidak bisa dirobah.
Kalian Cuma punya pilihan. Menerima atau pergi dan tinggalkan batu sakti.
Bukankah batu itu bukan milik kalian. Kalian telah mencurinya dari Istana Ratu
Selatan. Lagi pula kau telah menerima kebajikan dari Sri Paduka Ratu. Kau bisa
menunjukkan ujud kembali dan tictak perlu menunggu.enam puluh hari. Apa ba!as
budimu pada Sri Paduka Ratu dan Kerajaan Laut Utara?!"
"Tapi
Nek, Sri Paduka Ratu …" Wira Bumi tidak ianjutkan ucapannya karena saat
itu dia mendengar suara NyaiTumbal Jiwo mengiang di telinganya.
"Wira
Bumi kita telah terjebak. Tidak mungkin mundur. Kita terpaksa menerima apa yang
dikatakan orang. Kali ini kita dibikin celaka, nanti akan kita balas!"
Sambil
sampaikan ucapan mengiang Nyai Tumbal Jiwo melirik ke arah Sri Paduka Ratu. Dia
memperhatikan mata kelabu wanita cantik ini menatap tajam ke arahnya.
"Apakah dia tahu dan mendengar apa yang barusan aku ucapkan …" pikir
si nenek dan diam-diam merasa kawatir. Tapi sang Ratu tampak tenang-tenang
saja.
Wira Bumi
keluarkan keringat dingin. Terlebih ketika dia mendengar Nyai Tumbal Jiwo
berkata. "Sri Paduka Ratu, kami menerima permintaanmu. Kau boleh mengambil
mata kiri Patih Kerajaan."
Sri
Paduka Ratu berdiri dari duduknya, memberi isyarat pada Nyi Kuncup Jingga. Nyi
Kuncup Jingga selanjutnya memberi tanda pada seorang gadis pengawal yang segera
mendatangi sambil membawa sebuah seloki terbuat dari batu pualam licin berkilat
yang di dalamnya telah ditaruh air berwarna kemerahan. Orang ini berdiri di
sisi kiri Patih Wira Bumi, hanya terpisah sejarak satu langkah.
"Patih
Kerajaan, harap berdiri dengan tenang. Jangan bergerak.." Ratu Penguasa
Laut -Utara berucap. Bersamaan dengan itu tangan kanannya disapukan ke depan.
Tangan berubah panjang, lima jari mencuatkan kuku runcing begemerlap putih.
Sesaat
kemudian.
"Srreett
… craass!"
Bola mata
kiri Patih Wira Bumi tercungkil keluar, masuk ke dalam seloki batu pualam yang
dipegang gadis yang tegak di sampingnya. Tak ada darah menyembur.Tidak ada
jeritan keluar dari mulut Wira Bumi. Namun begitu mata kirinya tercungkil
keluar dari rongganya Patih Kerajaan ini langsung ambruk, roboh ke lantai!
Seorang
gadis pengawal dengan cepat mengikatkan secarik kain hitam tebal kekepala Wira
Bumi, menutupi matanya yang bolong.
*******************
DANAU
Maninjau di pulau Andalas. Pagi itu walau sang surya belum keseluruhannya
tersembul di ufuk timur namun udara tampak cerah. Embun bertabur indah di
dedaunan laksana batu permata. Burung-burung berkicauan di ranting pepohonan.
Angin Sertiup semilir sejuk menyegarkan.
Di satu
tempat yang sunyi dan jarang didatangi orang di kawasan timur danau karena
dihalangi tebing batu besar, licin dan curam, tersembunyi di balik kerapatan
pohon Kayu Manis terdapat sebuah rumah panggung kayu yang atapnya berlapis ijuk
berbentuk gonjong lima. Dari bagian depan rumah bisa terlihat Danau Maninjau
yang luas berair hijau kebiruan.
Di
sekeliling halaman rumah, terdapat delapan tiang bambu yang ujungnya disumpal
dengan kain mengandung minyak. Sepintas bambu-bambu ini tarnpak seperti obor
panjang padahal sebenarnya rnerupakan benda penangkal untuk melindungi rumah
panggung dan penghuninya dari segala marabahaya. Tiang-tiang bambu ini juga
dipancang di tepi jalan setapak menuju pancuran tempat mandi di tepi Danau
Maninjau.
Seorang
perempuan berusia setengah abad yang biasa dipanggil dengan nama Mande Saleha
(Mande=Ibu) tampak sedang menyapu bagian depan rumah panggung. Ketika dia
mendengar suara tangisan bayi di ruang dalam, perempuan ini segera meletakkan
sapu, setengah berlari masuk ke dalam rumah.
Tak lama
kemudian Mande Saleha keluar sambil menggendong seorang bayi berusia satu
setengah tahun. Bayi montok ini berambut hitam lebat, dikuncir lurus di atas
kepala. Pipi dan bibir tampak merah. Setengah merengek sang bayi mengusap-usap
mata. Bayi ini bukan lain adalah Ken Permata, bayi Nyi Reto Mantili yang dulu
diserahkan Djaka Tua pada Datuk Rao Basaluang Ameh.
"Anak
rancak anak Mande. Jangan menangis …" kata Mande Saleha sambil mengusap
kepala si bayi lalu mencium pipinya kiri kanan berulang kali. (rancak=cantik).
"Anak
rancak Ken Permata, kalau matohari ala muncul kita mandi di pancuran. Sudah itu
Mande siapkan pisang manis untukmu. Kalau Baiduri Ibu susumu datang kau boleh
menyusu sepuas-puasmu.
Sekarang
mari kita main-main dulu di halaman. Jangan menangis ya.
Anak
manis tidak boleh menangis.."(ala = sudah) Ketika mendukung Ken Permata
menuruni tangga rumah kayu, seorang perempuan muda tampak berjalan ke arah rumah.
"Hai.
itu Ibu susumu sudah datang. Ah, kau mau bermain atau mau menyusu dulu …."
Perempuan muda di halaman lambaikan tangan. Ken Permata yang ada dalam dukungan
tertawa-tawa. badannya digoyang-goyang minta diturunkan.
Sampai di
tanah Mande Saleha turunkan Ken Permata. Dengan langkah tertatih-tatih anak itu
berjalan ke arah Baiduri. Perempuan yang menjadi Ibu susu. Ken Permata sejak
bayi ini cepat merangkul dan mendukungnya."
"Mande,
malam tadi saya tidak bisa lalok. Selalu ingat pada bayi ini. Saya takut dia
sakit. Makanya saya datang lebih pagi. Saya bersyukur anak ini tidak kurang
suatu apa. Biar saya susukan dulu dia."(lalok= tidur) Baiduri lalu
menyingkapkan dada pakaian.
Sementara
menyusui Baiduri berkata lagi pada Mande Saleha. "Saya mendengar kabar.
Bulan dimuka Ken Permata akan diantar Datuk ke tanah Jawa. Diserahkan pada ibu
kandungnya. Saya sedih sekali. Saya sudah menganggap bayi ini seperti anak
sendiri …"
Perlahan-lahan
air mata mengucur membasahi pipi Baiduri.
"Aku
juga sudah mendengar kabar itu. Kita sama-sama menyayangi Ken Permata. Entah
bagaimana rasanya kalau anak ini nanti tidak di sini lagi bersama kita."
Mande Saleha ikut sedih dan matanya berkaca-kaca.
"Mande,
coba Mande bujuk Datuk. Minta padanya agar tidak membawa Ken Permata ke Jawa.
Kita akan memeliharanya baik-baik sampai dia besar. .."
"Mande
pernah mendengar cerita Datuk tentang bayi ini. Agaknya Datuk sudah punya
keputusan begitu. Atau mungkin ada semacam perjanjian yang harus dilaksanakan
Datuk …."
"Kalau
begitu minta pada Datuk agar salah satu dari kita atau kita berdua boleh ikut
bersama Ken Permata ke Jawa."
"Kalau
ada kesempatan hal itu akan Mande sampaikan." Kata Mande Saleha pula
sambil mengusap kepala Ken Permata yang asyik menyusu.
Dari
balik pohon-pohon Kayu Manis yang banyak tumbuh sekitar danau muncul seekor
harimau putih besar bermata hijau. Binatang ini menggereng halus.
"Ken
Permata, lihat sahabat kita Datuk Rao Bamato Hijau pagi-pagi juga sudah datang.
Tapi mengapa kilau hijau matanya agak redup Mande lihat. Mungkin Datuk sedang
sakit? Mengapa ada cahaya biru di dadanya? Hai, Baiduri, kiranya harimau sakti
itu datang bersama suamimu Mangkuto Alam."
Baiduri
yang masih menyusui bayi Ken Permata berpaling. Dia melihat suaminya Mangkuto
Alam jalan beriringan dengan harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau.
"Baiduri,
kekawatiranmu jadi kekawatiran Uda juga. Uda merasa belum lega kalau tidak
melihat sendiri keadaan anak ini. Ah, syukur dia tampaknya sehat dan baik-baik
saja." kata Mangkuto Alam suami Baiduri seorang lelaki bertubuh ramping
berkumis kecil dan mengenakan kopiah hitam mengusap kepala Ken Permata. Mungkin
karena sudah puas menyusu Ken Permata mengangkat kepalanya dan berpaling sambil
tertawa-tawa pada Mangkuto Alam. (Uda=Kakak).
"Mari
Uda dukung dia sebentar. Sudah itu Uda akan kembali ke ladang. Banyak pekerjaan
yang belum selesai. Kulit kayu manis belum kering dijemur. Mudah-mudahan cuaca
baik, hujan tidak turun hari ini."
Baiduri
menyerahkan bayi yang baru disusuinya pada Mangkuto Alam. Entah mengapa begitu
berada dalam dukungan lelaki ini, bayi yang tadi masih tertawa-tawa tiba-tiba
menjerit dan menangis keras.
"Hai
ada apa anakku ….jangan menangis." Kata Mangkuto Alam sambil mengusap
gunggung dan menggoyang-goyang tubuh Ken Permata. Si bayi bukannya diam malah
semakin keras tangisnya.
"Serahkan
pada Mande, biar Mande yang mendukung," kata Mande Saleha pula. Tapi Mangkuto
Alam tidak menyerahkan Ken Pemata pada pengasuhnya itu, malah dia membalikkan
tubuh dan melompat ke punggung harimau putih bermata hijau. Binatang ini
menggereng keras lalu ada cahaya biru memancar dari tubuhnya. Saat itu juga
harimau putih bersama Mangkuto Alam yang menggendong Ken Permata melesat ke
udara laksana terbang, lenyap di balik kerapatan pepohonan kayu Manis lalu di
kejauhan terdengar suara benda berat dan besar masuk mencebur ke dalam Danau
Maninjau.
Mande
Saleha dan Baiduri berteriak tiada henti. Keduanya berusaha mengejar ke Danau.
Namun harimau putih. Mangkuto Alam dan Ken Permata tidak kelihatan lagi. Di
danau hanya tampak anak-anak yang bermain-main, dan beberapa biduk yang tengah
melabuh kedaratan.
Kedua
perempuan itu tampak pucat, ketakutan setengah mati.
"Cilako,
apa kata Datuk. Pasti kita berdua akan kena berang gadang!" ucap Mande
Saleh. (berang gadang = marah besar)
"Mande
kita harus segera menemui Datuk. Kita harus memberi tahu apa yang
terjadi!" kata Baiduri.
"Tidak
masuk diakal Mande suamimu dan Datuk Rao Bamato Hijau akan menculik melarikan
bayi itu." Kata Mande Saleha pula dan perempuan usia setengah abad ini
berjalan setengah berlari sambil menangis diikuti Baiduri.
"Aku
juga tidak mengerti Mande. Suamiku bukan orang jahat. Harimau putih itu adalah
peliharaan dan kepercayaan Datuk Rao Basaluang Ameh …" Sahut Baiduri pula.
*******************
10
DI DALAM
goa batu pualam ternpat kediarnan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sehabis
menceritakan apa yang terjadi Mande Saleha dan Baiduri jatuhkan diri menangis
menggerung-gerung di hadapan Datuk Rao, sambil meratap berulang kali meminta
ampun. Si orang tua walau berusaha bersikap tenang namun hatinya sangat
kawatir.
“Hentikan
tangis kalian . Apa yang telah terjadi tidak perlu disesali. Turut cerita
kalian ada keanehan. Karena harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau tidak pernah
meninggalkan goa tempat kediamannya. Lalu menurut penglihatanku Mangkuto Alam
saat ini tengah bekerja di ladangnya”.
Tentu
saja Mande Saleha dan Baiduri tercengang mendengar kata-kata sang Datuk Sesaat
kemudian di mulut goa terdengar suara menggereng halus.Atap, dinding dan lantai
goa bergetar. Dua perempuan berpaling dan melihat seekor harimau besar bermata
hijau merunduk menutupi mulut goa.
"Bagaimana
mungkin … ?" ucap Mande Saleha. Lalu dia ingat sesuatu. "Datuk,
harimau putih yang membawa lari bayi Itu, sepasang matanya memang betwarna
hijau.Tapi ambo ingat betul, mata hijaunya tidak berkilat bercahaya seperti
mata harimau ini. Lalu sewaktu menggereng tanah tidak bergetar. .."(ambo
=saya)
"Itu
berarti binatang yang kau lihat sebenarnya adalah mahluk jejadian. Apa lagi
yang kau ingat Mande Saleha?"
"Tubuhnya.
Ada cahaya kebiruan di salah satu bagian tubuhnya. Di dekat dada …" jawab
Mande Saleh.
Sang
Datuk mengangguk.
"Mahluk
harimau jejadian itu menanam benda sakti di dalam tubuhnya …." Selesai
berucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang konon rnerupakan mahluk setengah manusia
setengah roh dan telah meninggal dunia seratus tahun silam ini ulurkan tangan
ke dinding goa. Jari-jari mencungkil batu dinding.Tiga kepingan batu sebesar
ibu jari kini berada dalam genggaman tangannya. Jangankan dengan jari,
mempergunakan pahat sekalipun sulit bagi seseorang untuk mencungkil batu pualam
dinding goa itu. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga dalam sang Datuk.
Setelah
tiga kepingan batu pualam ada dalam genggamannya Datuk Rao Basaluang Ameh
berdiri. Dia mendongak ke atap goa sambil mulut berucap menyebut tiga nama.
"Datuk
Rajo Nan Tongga di puncak Merapi. Datuk Gampo Langit di Tanah Bangko. Datuk
Awan Putih di Gunung Sekicau. Aku Datuk Rao Basaluang Ameh butuh
bantuanmu.Tutup seratus dua belas jalur langit, bumi dan air." Habis
berkata begitu Datuk Rao Basaluang Ameh lemparkan tiga keping batu pualam ke
atap goa.
”Braakkk!
Dess! Dess! Dess!"
Tiga batu
melesat menembus atap goa, mencuat ke udara lepas dan berkiblat ke tiga
arah.Yang pertama menuju Gunung Merapi di utara yang kedua ke arah tanah Bangko
di tenggara dan batu ketiga ke jurusan Gunung sekicau di selatan.
“Kalian
berdua pulanglah. Panjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar bayi itu bisa kembali
ke sini”
Mande
Saleha dan Baiduri sambil terisak-isak bangkit berdiri dan cepat-cepat
meninggalkan goa. Namun sang Datuk dan harimau putih lebih dulu sampai di rumah
panggung. Datuk Rao Bamato Hijau berdiri di halaman. Matanya yang tajam
memperhatikan tiang-tiang bambu yang sengaja ditancap dan diisi dengan ilmu
kesaktian untuk melindungi rumah dan penghuninya. ternyata dia dapati semua
tiang bambu itu telah dilumuri tumbukan daun sirih bercampur garam.
"Sirih
dan garam. llmu penangkal yang biasa dipakai orang sakti dari tanah Jawa,"
ucap Datuk Rao Basaluang Ameh dengan suara perlahan. "Kalau Mande Saleha
mengatakan mendengar suara benda masuk ke dalam danau, berarti para penculik
melarikan diri melalui jalur air. Berarti ada orang sakti penguasa air di tanah
Jawa yang mereka andalkan. Hanya ada dua orang sakti di sana. Dua-duanya
perempuan.Dua-duanya bergelar Ratu."Sang Datuk usap janggut putihnya.
"Tidak mungkin Nyai Roro Kidul yang melakukan…"
Datuk Rao
Basaluang Ameh naik ke punggung harimau putih
"Datuk,
kau tahu kemana kita harus pergi. Kita tunggu para penculik di tanah seberang
sebelum mereka sempat mendarat. Aku akan mengirim isyarat pada Pendekar Dua
Satu Dua Wiro Sableng agar dia bisa membantu kita. Namun aku kawatir, apakah
dia mampu menemui kita dalam waktu cepat?"
Harimau
putih bermata hijau menggereng halus. Binatang sakti ini melesat ke udara.
Hanya dalam bilangan kejapan mata sosoknya dan sosok sang Datuk sudah tidak
kelihatan tagi.
*******************
DARATAN
terujung pulau Jawa sebelah barat. Matahari pagi mulai terasa panas walau angin
bertiup cukup kencang. Daun-daun pohon kelapa melambai-lambai mengeluarkan
suara bergemerisik. Di kejauhan di tengah laut pulau Krakatau mengepulkan asap
tipis kelabu. Ombak besar tiada henti bergulung memecah di pasir pantai.
Tiba-tiba
dari dalam laut melesat keluar dua benda. Seekor binatang berbulu putih satunya
lagi seorang lelaki berkopiah hitam menggendong bayi. Tubuh mereka kering
semua, tidak basah oleh air laut.
Sesaat
kemudian di pasir pantai kelihatan seekor harimau putih melangkah ke arah
deretan pohon kelapa. Di punggungnya duduk lelaki berkopiah hitam, Mangkuto
Alam, menggendong seorang bayi yang terus menerus menangis. Lelaki itu turun
dari punggung harimau besar. Begitu menjejakkan kaki di pasir ujudnya berubah
menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus, mata kiri dibalut
dengan kain hitam. Lelaki ini bukan lain adalah Patih Kerajaan Wira Bumi.
Di saat
bersamaan harimau putih berubah pula menjadi sosok nenek muka merah yang sudah
dapat diduga adalah Nyai Tumbal Jiwo adanya. Nyai Tumbal Jiwo memandang
berkeliling.
"Nyai,
kita berada dimana?"tanya Wira Bumi.
Nyai
Tumbal Jiwo sekali lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Aneh,
aku merasa aneh. Seharusnya kita berada di Istana Ratu Utara, paling tidak di sekitar
Teluk Losari.Tempat ini asing bagiku …"
Sambil
menggendong bayi Wira Bumi memperhatikan dada sang guru.
"Nyai,
cahaya biru di dadamu saya lihat redup ……
Si nenek
menunduk, perhatikan dadanya. Wajah merah keriput berubah.
"Ada
orang melakukan penangkalan. Mungkin juga orang itu yang membuat kita terpesat
ke sini."
"Nyai
Roro Kidul?" Wira Bumi bertanya.
"Mungkin,
tapi mungkin juga Datuk yang tinggal di danau itu …," jawab si nenek.
"Kalau
begitu bayi ini harus kita habisi sekarang juga!" Kata Wira Bumi.
"Aku
setuju. Cepat kau lakukan! Aku akan berjaga-jaga mengawasi. Perasaanku tidak
enak sejak kita berada di pantai ini."
Wira Bumi
jambak rarnbut bayi hingga Ken Permata menjerit keras.
"Nyai,
bagaimana aku melakukan? Kita tidak punya senjata tajam untuk menjagal leher
bayi." Patih Kerajaan yang tega hendak membunuh darah dagingnya itu
sendiri demi ilmu dan jabatan mendadak rnerasa bingung.
"Kenapa
kau jadi tolol! Kau bisa mencekik sampai hancur leher bayi itu. Atau kau
pukulkan tubuhnya kepohon kelapa. Di sebelah sana ada gundukan batu. Kau bisa
menghantamkan kepalanya ke batu itu sampai remuk! Atau kau lempar saja ke dalam
laut.
Habis
perkara. Cepat lakukan!"
Bayi
dalam dukungan tiba-tiba menangis keras. Seolah tahu nasib apa yang bakal
menirnpa dirinya sebentar lagi.
"Aku
memilih yang terakhir!" kata Wira Bumi lalu melangkah cepat ke tepi laut.
Sekali tangan dan jari-jarinya yang menjambak rambut dilepas maka melesatlah
sosok bayi tak berdosa Ken Permata ke tengah laut yang tengah dibuncah ombak
besar.
*******************
11
HANYA
sesaat lagi tubuh bayi malang itu akan amblas masuk dalam gulungan ombak,
tiba-tiba laksana kilat menyambar dari arah selatan berkiblat tiga cahaya putih
Seperti malaikat yang turun ke bumi, di atas permukaan laut kelihatan tiga
kakek sama mengenakan pakaian jubah dan sorban putih serta sama memelihara
janggut dan kumis putih. Wajah mereka licin, segar dan jernih pertanda hati dan
jiwa yang bersih.
Kakek di
sebelah tengah cepat sambuti tubuh Ken Permata sementara dua kakek lainnya
setelah yakin kalau si bayi berhasil diselamatkan segera melesat kepantai dan
berdiri di hadapan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Kakek ketiga yang mendukung
bayi menyusul dan kemudian tegak di antara dua kakek.
"Tiga
tua bangka berjubah dan bersorban putih!
”Kalian
siapa?!" bentak Nyai Tumbal Jiwo. Mata merah mendelik, muka merah unjukkan
kemarahan luar biasa. Tangan kanan bergetar pertanda dia berlaku waspada dan
setiap saat siap melepas pukulan sakti.
“Orang
tua yang di tengah! Serahkan bayi itu padaku!" Ucap Wira Bumi dengan suara
keras menghardik.
Kakek
yang berdiri di antara dua kakek lainnya kernyitkan kening. Tadi jelas-jelas
kau melempar bayi ini ke tengah laut. lngin membunuhnya! Sekarang mengapa
diminta kembali?"
"Harimau
tidak pernah membunuh sesama kaumnya." Kakek di sebelah kanan keluarkan
ucapan.
”Anak
manusia tega-teganya membunuh seorang bayi tak berdosa." Menyambung kakek
di sebelah kiri. Lalu dari arah belakang terdengar suara menimpali. ”Memang
keterlaluan. Melewati takaran dosa. karena yang hendak dibunuh bukankah anakmu
sendiri?!"
Terdengar
suara menggereng. Tanah pantai bergetar keras. Ombak bersibak. Di lain kejap
muncul seekor harimau putih ditunggangi kakek gagah berselempang kain putih.
Datuk Rao Bamato Hijau dan Datuk Rao Basaluang Ameh!
Tiga
kakek yang datang lebih dulu segera memberi salam lalu membungkuk. Datuk Rao
Basaluang Ameh membalas salam dan penghormatan.
"Datuk
Rajo Nan Tongga. Datuk Gampo Langit dan Datuk Awan Putih, aku mengucapkan
terima kasih, kalian datang tepat pada waktunya hingga bayi itu berhasil di
selamatkan."
"Saling
hormat dan saling tolong adalah adat para pandeka di tanah Minang," kata
kakek bersorban putih yang menggendong bayi yaitu Datuk Rajo NanTongga.
(pandeka = pendekar)
Datuk Rao
Basaluang Arneh turun dari punggung harimau putih. Saat itu juga harimau putih
menggereng keras, siap menerkam ke arah Nyai Tumbal Jiwo dan Wira Bumi. Datuk
Rao Basaluang Ameh cepat usap kuduk harimau sakti.
"Datuk
biarkan aku bicara dulu dengan kedua orang ini."
"Kami
tidak akan mau bicara denganmu!" jawab NyaiTumbal Jiwo.
"Aku
minta bayi itu! Lekas serahkan!"Wira Bumi melompat ke hadapan Datuk Rajo
Nan Tongga, siap hendak merampas Ken Permata. Namun Datuk Rao Bamato Hijau
kibaskan ekornya.
"Dess!
"
Kibasan
ekor menghantam kaki Patih Kerajaan hingga lelaki ini jatuh tersungkur. Masih
untung kaki itu tidak patah. Tidak sadar tengah berhadapan dengan empat orang
tua dan seekor harimau sakti penuh amarah Wira Bumi balikkan tubuh lalu
hantamkan tangan kanan melepas pukulan Angin Roh Pengantar Kematian ke arah
harimau putih.
Hawa
panas menghampar di seantero tempat membuat Ken Permata terpekik dan buru-buru
didekap oleh Datuk Rajo Nan Tongga.
”Desss"
Pukulan
sakti yang dilepas Wira Bumi menghantam tubuh harimau putih dengan telak.
Binatang ini menggereng keras, terpental dua langkah. Bulunya tampak
mengepulkan asap. Sepasang mata memancarkan cahaya hijau menyala. Sekali lompat
saja, belum sempat Wira Bumi berdiri, harimau putih ini sudah menerkam
lehernya. Darah mengucur oleh tusukan tajam empat gigi besar. Patih Kerajaan
yang mata kirinya dibalut kain hitam ini meraung setinggi langit.
”Tolong!"
Nyai
Tumbal Jiwo langsung melompat sambil melepas tendangan Kaki Roh Merobek Langit.
Namun dua Datuk bersorban putih segera menghadang. Datuk Awan Putih tudingkan jari
telunjuk tangan kanan ke bawah ke arah kaki si nenek Saat itu iuga menyembur
satu cahaya putih yang dengan kecepatan kilat berubah menjadi tali menggulung
melibat kedua kaki Nyai Tumbal Jiwo mulai dari pergelangan terus ke bahu.
Selagi dia tidak mampu bergerak, dari samping kiri Datuk Gampo Langit membuat
gerakan kilat dan telunjuk jari tangan kirinya tahu-tahu sudah menempel di
pelipis si nenek. Saat itu juga Nyai Tumbal Jiwo merasakan sekujur tubuhnya
mulai dari ubun-ubun sampai ke kepala laksana digarang bara menyala!.
Sadar
dirinya tak bisa lolos maka Nyai Tumbal Jiwo keluarkan salah satu ilmu andalan
yaitu Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Mulut keriputnya menyembur. Asap hitam
pekat menebar menutup pemandangan dan memerihkan mata. Biasanya semburan ini
akan diikuti dengan tendangan atau pukulan mematikan. Namun saat itu Nyai
Tumbal Jiwo memilih lebih baik kabur selamatkan diri. Karena sekujur badan
dalam keadaan terikat maka dia pergunakan cara kabur dengan melompat-lompat.
Nenek ini memang hebat. Sekali melompat dia mampu melesat tiga tombak. Namun
pada lompatan kedua gerakannya tertahan. Satu benda keras menekan perutnya.
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah ujung seruling emas. Di
hadapannya berdiri Datuk Rao Basaluang Ameh sambil sunggingkan senyum.Tengkuk
si nenek jadi dingin.
"Jika
kau dan muridmu bertobat kalian berdua akan aku bebaskan. Tapi jika keras
kepala apa lagi ‘etap punya niat hendak membunuh bayi maka kalian berkehendak
mati saat ini juga!"
"Aku
bertobat!"’ teriak Wira Bumi ketakutan setengah mati karena saat itu masih
dicengkeram gigi-gigi Datuk Rao Bamato Hijau.
"Ampuni
selembar nyawaku! "
"Kau
dengar ucapan lelaki itu … kata Datuk Rao Basaluang Ameh sambil memutar sedikit
suling emasnya hingga Nyai Tumbal Jiwo merasa perutnya seperti terbongkar dan
menjerit kesakitan.
"Aku
… aku juga bertobat," ucap si nenek. Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling
pada Datuk Awan Putih.
"Datuk,
tolong ambil benda bercahaya biru yang ada dalam tubuh nenek ini."
"Jangan
kelewatan! Itu tidak termasuk dalam perjanjian!" teriak Nyai Tumbal Jiwo
marah begitu mendengar ucapan sang Datuk.
”Kau
mencuri benda sakti di dalam tubuhmu dari seorang sahabatku di tanah Jawa
…."’
"Kalau
kau mengambilnya berarti kau juga jadi pencuri,"teriak Wira Bumi.
"Aku
akan mengembalikan pada pemiliknya." jawab Datuk Rao Basaluang
Ameh."Sekarang kalian berdua dengar baik-baik. Kalau di kemudian hari
kalian masih muncul dan tetap ingin melakukan niat jahat terhadap bayi ini, aku
tidak akan berbelas kasihan lagi."
Datuk Rao
Basaluang Ameh memberi tanda pada Datuk Awan Putih. Orang tua ini dengan cepat
sapukan telapak tangan kanannya satu jengkal di atas dada rata si nenek. Lima
jari dikepal. Ketika tangan ditarik kebelakang dengan gerakan membetot, Nyai
Tumbal Jiwo menjerit dan hampir terjengkang. Datuk Awan Putih buka kepalan. Di
atas telapak tangannya kini ada sebuah benda lonjong seperti telur ayam
memancarkan cahaya biru.
Datuk Rao
Basaluang Ameh memberi tanda pada harimau putih sakti. Binatang ini lepaskan
gigitan di leher Wira Bumi. Lalu sang Datuk sapukan seruling emasnya.
"Dess!
Dess!"
Tubuh
Wira Bumi dan si nenek terpental terguling-gulihg di tanah sampai belasan
tombak. Begitu bangun, dengan cepat keduanya melarikan diri ke arah timur.
Di satu
tempat Wira Bumi tidak tahan untuk keluarkan ucapan.
"Nyai!
Saya akan celaka seumur hidup! Batu mustika yang harus kita serahkan pada Ratu
Laut Utara sekarang sudah diambil Datuk keparat itu! Mata saya tidak akan
kembali! Saya akan buta sebelah sampai mati! Ratu keparat itu! Dia menipu kita!
Dia sama sekali tidak memberi pertolongan kecuali ilmu merubah diri yang tidak
ada apa-apanya!"
”Wira
Bumi, tidak perlu bersedih. Keselamatan nyawa kita lebih penting dari batu
mustika itu. Selain itu kita masih punya kesempatan untuk menghabisi bayi itu.
Bukankah Ratu Laut Utara memberi tahu bahwa bayi itu akan dibawa ke tanah jawa
ini? Kita tinggal mencari tahu dimana dan kapan waktunya. Aku punya dugaan
kejadiannya tidak akan lama tagi."
Wira Bumi
tidak perdulikan ucapan sang guru. Dia tetap rnengumpat. ”Tapi mata kiri saya
ini Nyai. Saya mana bisa hidup saya mana bisa hidup seperti ini. Patih Kerajaan
bermata buta sebelah!"
“ Walau
matamu buta dua-dua aku tetap suka padamu. Mari kita mencari tempat untuk
bermesraan …"
‘Nyai,
dalam keadaan seperti ini sebaiknya lain kali saja hal itu kita lakukan."
”Jika kau
tidak mau melayaniku, berarti hubungan kita cukup sampai di sini …"
”Tunggu
Nyai jangan pergi. Saya akan memenuhi permintaanmu” kata Wira Bumi pula.
Si nenek
tertawa gembira lalu menarik lengan Wira Bumi membawanya ke balik semak
belukar. "Kau tahu, darah yang membasahi pakaian dan tubuhmu membuat aku
benar-benar terangsang. Akan kuhirup darah yang ada di lehermu!"
*******************
12
TAK
SELANG berapa lama setelah Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo menggulingkan diri ke
balik semak belukar, dua orang berkelebat cepat ke arah barat. Namun salah
seorang dari mereka tiba-tiba menarik lengan kawannya seraya berbisik.
”Ada
pemandangan asyik …..”
Yang
bicara adalah seoran nenek berambut kelabu berjubah kuning. Telinga dihias
anting terbuat dari tulang manusia. Si nenek bukan lain adalah Kembaran Tiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Nek,
matamu jetalatan saja. Apa maksudmu? Apa yang kau lihat?" Pemuda gondrong
yang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya bertanya.
"Sstt
jangan bicara kelewat keras. Nanti mereka tahu. Ayo, membungkuk, ikuti
aku."
Wiro
ikuti si nenek mengendap-endap ke balik sederetan pohon kelapa.
"Jongkok,
lihat ke arah semak belukar sana bisik kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu
yang sebelumnya dikisahkan pernah menjadi Dewi Pemikat (baca serial Wiro
Sableng mulai dari "Petaka Patung Kamasutra" sampai "Nyawa
Titipan”) Wiro jongkok memperhatikan ke arah semak belukar yang ditunjuk si
nenek. Matanya membesar. Kepala digaruk.
"Astaga.
Itu Patih Kerajaan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Gila! Berbuat mesum disiang
bolong di tempat terbuka begini! Kenapa mata kirinya dibalut?! Banyak darah di
pakaiannya." ucap Wiro. Si nenek menimpali.
"Wah,
tua bangka perempuan itu hebat sekali goyangannya! Hemmm, eh lihat! Si nenek
membalik. Ujudnya berubah jadi gadis cantik ueehhh! Wah gila! Goyang terus …. !
Hik … hik … hik!"
"Nek,
aku muak Kita tinggalkan tempat ini. Kalau mereka ada di sini pasti telah
terjadi sesuatu sebelumnya. Kita terlambat. Jangan-jangan mereka sudah membunuh
bayi itu."
"Kita
hajar saja mereka sekarang?!" tanya si nenek
"Kita
harus mencari Datuk Rao Basaluang Ameh lebih dulu. Aku yakin dia ada di sekitar
sini. Atau begini saja. Kalau kau masih mau mengintip terus aku pergi saja,
tunggu aku di sini. Awasi dua manusia bejat itu!"
"Tidak,
aku ikut denganmu. Lama lama melihat aku bisa jadi kepingin! Siapa lelaki yang
mau jadi lawanku? Kau?! Hik … hik … hik!" kembaran ketiga Eyang Sepuh
Kembar Tilu tertawa cekikikan lalu buru-buru menarik tangan Wiro.
Tak lama
menyusuri pantai ke arah barat Wro dan si nenek berpapasan dengan Datuk Rao
Basaluang Ameh yang mendukung Ken Permata serta tiga Datuk lainnya dan harimau
putih Datuk Rao Bamato Hijau.
Wiro
melepas nafas lega. Ternyata Ken Permata masih hidup. Pemuda ini buru-buru
jatuhkan diri lalu bangkit menyalami dan rnencium tangan Datuk Rao Basaluang
Ameh. Dia mencium pipi Ken Permata. Sang bayi langsung saja minta digendong
oleh sang pendekar. Wiro juga menyalami tiga Datuk yang ada di tempat itu lalu
mengusap harimau putih.
"Datuk,
saya mengalami kesulitan untuk bisa cepat datang ke tempat ini. Untung nenek
ini mau menolong.Ternyata saya masih terlambat …"
DatukRao
Basaluang Ameh tersenyum.
"Tidak
jadi apa. Semua sudah bisa ditangani. Patih Kerajaan dan nenek jahat. gurunya
itu memang berhasil melarikan Ken Permata. Namun dengan pertolongan tiga Datuk
sahabatku ini, Ken Permata bisa kita dapatkan lagi. Aku akan segera membawanya
kembali ke Danau Maninjau." Sang Datuk berpaling pada kembaran ketiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Anak
muda, siapa nenek sakti sahabatmu ini?"
Mendengar
orang bertanya perihal dirinya dengan sikap genit si nenek cepat-cepat maju dua
langkah, membungkuk lalu berkata.
"Maafkan,
aku sampai lupa peradatan tidak memperkenalkan diri. Aku nenek jelek dari alam
roh. Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Terakhir sekali orang-orang
memberiku nama Dewi Pemikat …."
Si nenek
tutup ucapannya dengan tertawa lebar lalu kedip-kedipkan mata pada sang Datuk.
Dia juga kedip-kedipkan mata pada tiga Datuk lainnya. Wiro cepat-cepat menyikut
rusuk si nenek.
"Aduh!"
si nenek terpekik tapi kemudian kembali genit.
"Para
sahabat orang gagah sekalian yang datang dari tanah seberang. lzinkan aku
memperlihatkan ujudku sebagai Dewi Pemikat. Kalau nanti kita bertemu lagi
jangan bilang kalian tidak mengenali diriku." Si nenek lalu putar
tubuhnya. Saat itu juga sosoknya berubah menjadi seorang gadis tinggi semampai,
berkulit putih berwajah cantik. Dibalut pakaian celana ringkas dan kebaya
pendek kuning dengan potongan sangat rendah di bagian dada.
"Nek,
jangan berlaku kurang ajar! Ayo cepat ubah ujudmu!"’ hardik Wiro.
Si gadis
tertawa cekikikan. Putartubuh satu kali hingga ujudnya kembali seperti semula
yaitu seorang nenek berambut kelabu, bermata merah dan bemulut perot!.
Datuk Rao
Basaluang Ameh dan tiga Datuk lainnya senyum-senyum saja. Lalu dia berkata pada
sang murid.
"ilmu
orang di tanah Jawa hebat-hebat. Aku dan tiga Datuk benar-benar
mengagumi.," memuji Datuk Rao Basaluang Ameh. Membuat si nenek tersenyum
girang, lalu dia berpaling pada Wiro.
"Anak
muda, ingat baik-baik Satu bulan dimuka aku akan membawa bayi dalam dukunganmu
itu ke tanah Jawa. Kau harus bisa mendatangkan Nyi Retno Mantili. Untuk
sementara rencana pertemuan adalah di pantai selatan kawasan Parangtritis. Di
satu pulau kecil bernama Watu Gilang. Harinya malam Satu Suro."
Wiro
mengangguk berulang kali. Sang Datuk tatap wajah Pendekar 212 sejurus lalu
berkata. "Aku melihat ada ganjalan dalam dirimu. Apakah kau tahu dimana
ibu bayi ini berada? Apakah selama ini kau tidak mendampinginya seperti pintaku
dulu?"
"Datuk,
maafkan saya. Saat ini saya memang tidak tahu dimana Nyi Retno Mantili berada.
Dia pergi begitu saja sewaktu saya melarangnya membunuh Patih Kerajaan yang
adanya suaminya sendiri."
"Kalau
begitu cari perempuan itu sampai dapat. Dia sudah harus bersamamu sebelum
rnalam Satu Suro."
"Baik
Datuk, akan saya ingat hal itu baik-baik Datuk," kata Pendekar 212 sambil
melirik pada benda lonjong biru yang ada di tangan Datuk Awan Putih.
"Kalau
begitu sudah saatnya kami semua meninggalkan tempat ini." Wiro buru-buru
menyalami sang Datuk dan tiga Datuk Iainnya. Setelah mencium Ken Permata bayi
ini diserahkan pada Datuk. Wiro juga memeluk harimau putih. Atas permintaan
Datuk Rao Basaluang Ameh, Datuk Awan Putih menyerahkan Batu Mustika Angin Laut
Kencana Biru pada Pendekar 212 dengan pesan agar nanti diserahkan pada
pemiliknya yaitu Nyai Roro Kidul.
Setelah
semua orang dari Pulau Andalas meninggalkan pantai, sambil menimang-nimang Batu
Mustika Angin Laut Kencana Biru Wiro berkata pada kernbaran ketiga Eyang Sepuh
KembarTilu.
"Nek,
kau saja yang memegang batu mustika ini." Wiro serahkan Batu Mustika Angin
Laut Kencana Biru pada si nenek yang segera disimpan di balik dada pakaian.
"Nek, kebetulan kita memegang batu saki ini. Bagaimana kalau kita
pergunakan kesempatan untuk menemui Kiai GedeTapa Pamungkas. Bukankah saat
bulan purnama muncul akan datang besok malam?"
"Aku
ikut saja terserah kemana kau mau pergi. Tapi kau berulang kali menyatakan
kekawatiranmu pergi menemui Kiai itu. Kau mengatakan bahwa Kiai akan
membicarakan soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung. Padahal kau bilang belum mau
kawin. Aku yakin itu dalihmu saja. Sebenarnya kau ini mau kawin sama
siapa?"
"Kau
cemburu Nek?" tanya Wiro.
"Apa?
Aku cemburu? Hik … hik … hik! Aku tahu diri …."
"Aku
jadi bingung. Nek.."Wiro garuk-garuk kepala.
"Sudah,
dari pada bingung ayo kita intip lagi pekerjaan dua orang mesum itu!" kata
si nenek sambil menarik tangan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tertawa cekikikan.
*******************
13
MALAM
Satu Suro, malam perayaan pergantian tahun, jatuh tepat pada malam Jum’at
Kliwon. Kawasan pantai Parangkusumo yang terletak di sisi barat pantai
Parangtritis dipenuhi jubalan manusia. Semakin malam semakin banyak orang yang
datang walau hujan rintik-rintik sempat turun. Sayup-sayup di kejauhan, di atas
sebuah panggung tinggi serombongan pemain gamelan memberikan hiburan.
Para
pedagang bertebaran dimana-mana menggelar dagangan. Paling banyak tukang
kembang dan penjual kemenyan. Di tepi pantai puluhan perahu menunggu penumpang
yang ingin mengarungi Laut Kidul atau menyeberang ke sebuah pulau yang tidak
berapa jauh letaknya dari pantai Parangtritis dan
Parangkusumo.
Di atas pulau ini tampak dua buah bukit karang tinggi menjulang yang oleh
penduduk setempat disebut sebagai Watu Gilang. Baik di pantai maupun di pulau
tarnpak banyak sekali umbul-umbul dan bendera besar kecil aneka warna.
Ketika
malam tiba, ratusan obor dinyalakan sampai ke tengah laut hingga keadaan terang
benderang tidak beda seperti sore hari.
Orang
banyak yang datang ada yang berziarah ke makam seorang Syekh namun biasanya
paling banyak berperahu rnenuju pulau dan naik ke atas watu Gilang. Hanya saja
saat itu ombak di tengah laut sabung menyabung besar sekali sementara angin
bertiup kencang mengeluarkan suara menguing panjang. Karenanya tidak ada orang yang
berperahu ke tengah taut atau menyeberang menuju pulau.
Selagi
orang banyak mengharap malam itu cuaca segera pulih dan laut menjadi tenang
tiba-tiba dari arah pulau melesat seorang berpakaian hitam. Kelihatannya dia
seperti meluncur di atas permukaan laut, naik turun dipermainkan gelombang,
meliuk-liuk di antara bambu obor yang di apungkan di permukaan laut. Sebenarnya
salah satu kaki orang ini menjajag di atas sopotong papan kecil. Orang ramai di
sepanjang pantai bersorak riuh menyaksikan pemandangan ini.
Bahkan
ketika ada orang yang berteriak ”Gusti Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul berkenan
datang!" semua orang tersentak hening, banyak yang langsung jatuhkan diri
bersujud di pasir.
Ketika
orang yang berseluncur sampai di pantai, sebagian orang kembali bersorak dan
bertepuk tangan. Namun semua sorak sorai dan tepuk tangan ini serta merta sirna
ketika mereka melihat siapa adanya si peluncur yang mendarat!
Ternyata
bukan Gusti Kanjeng Nyai Roro Kidul tapi seorang nenek cebol bungkuk berpakaian
hitam. Sambil melangkah sepasang matanya yang juling berputar liar. Hidung
pesek nyaris sama rata dengan dua pipi keriput. Rambut putih riap-riapan sampai
ke lutut. Setiap melangkah kepalanya tiada henti mengangguk-angguk. Nyi Roro
Manggut! Nenek cebol ini ternyata bukan lain adalah tangan kanan orang
kepercayaan Nyai Roro Kidul, Ratu Penguasa Laut Selatan!
Sejak
naik ke darat sambil membawa papan seluncurnya Nyi Roro Manggut melangkah
lurus-lurus dan akhirnya berhenti di hadapan seorang nenek kelabu berjubah
kuning yang berjualan kemenyan. Pandangan matanya menyala tak berkesip. Air
mukanya seperti hendak melahap si nenek penjual kemenyan. Orang banyak mulai
berkerubung.
"Nenek
bungkuk, kau memandangku secara aneh. Apakah kau mau membeli kemenyan untuk
ziarah? Aku juga menjual pendupaan dan arang menyala. Harga di sini lebih murah
dari tempat lain!"
"Tua
bangka pencuri! Manis juga mulutmu!" hardik Nyai Roro Manggut membuat
nenek penjual kemenyan yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang Sepuh
Kembar Tilu berjingkrak dan langsung berdiri.
Sambil
berkacak pinggang si nenek kembaran ketiga berkata. "Mulutku memang manis.
Dan kau boleh tanya pada semua orang di tempat ini. Jelek-jelek begini aku
lebih bagus dari kau! Nenek jereng bongkok bau amis. Kalau kau tidak punya uang
untuk membeli kemenyan menyingkir dari depan hadapanku! Kau mernbuat sial
daganganku saja!"
Orang
semakin banyak mengeliling tempat itu. Ada yang berteriak: "Sudah, cakar
saja Nek."
Orang
banyak bersorak riuh rendah. Dimaki jereng bongkok dan bau amis Nyai Roro
Manggut mendidih amarahnya.Telunjuk tangan kanan ditudingkan ke dada nenek di
depannya hingga kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terjajar satu langkah.
Hal ini membuat si nenek kaget.
"Heh,
nenek jelek, kau ini siapa sebenarnya? Apa maumu?"
Nyai Roro
Manggut delikkan mata, menatap tajam tak berkesip dengan matanya yang jereng.
"Tua bangka bermulut perot bapet! Dengar baik-baik kata-kataku karena aku
tidak akan mengulang! Serahkan benda bercahaya biru yang ada di balik dada
pakaianmu! Sekarang juga!"
Kembaran
ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu karuan saja menjadi kaget karena sampai saat
itu dia memang masih menyimpan Batu Mustika Angin laut Kencana Biru yang
dititipkan Wiro. Si nenek memandang berkeliling. Matanya ditujukan ke deretan
perahu di tepi pantai. Mencari-cari kalau-kalau Wiro ada di sekitar situ.
Sebelumnya mereka memang datang bersama ke pantai Parangtritis. Karena sesuai
janji Datuk Rao Basaluang Ameh, bayi Ken Permata akan dibawa ke tempat itu di
malam perayaan Satu Suro. Selain itu Wiro mengatakan bahwa dia sudah menyirap
kabar kalau Nyi Retno Mantili dan Kemuning si boneka kayu juga akan datang ke
tempat itu.
Maklum
kalau kejadian pertemuan ini akan banyak halangan bahkan bahaya maka untuk
berjaga-jaga si nenek mengawasi keadaan dengan berpura-pura menyamar jadi
pedagang kemenyan. Wiro sendiri memisahkan diri menyamar jadi awak perahu
sewaan. Sekali-sekali dia meninggalkan perahu, berkeliling mencari apakah Nyi
Retno Mantili sudah ada di tempat perayaan itu.
Kembaran
ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berkata. "Nenek bongkok, kau juga dengar
ucapanku. Jika kau seorang sahabat, jangan minta yang bukan-bukan. Benda yang
ada di balik pakaianku adalah titipan seseorang. Aku akan mempertahakan walau
harus mampus sampai tujuh kali! Hik ., hkhik! Tapi jika kau seorang musuh
seorang begal perempuan mari kita bertarung sampai sama-sama tewas!"
"Tua
bangka jahanam! Enak saja mulutmu menuduhku begal perempuan! Aku adalah Nyai
Roro Manggut, mewakili Junjungan Ratu Penguasa Laut Selatan. Batu mustika yang
ada di balik pakaianmu adalah miliknya!"
"Puah!
Setahuku para pembantu Ratu Nyai Roro Kidul cantik-cantik semua.Tidak ada yang
jelek dan bau amis sepertimu! Enak saja mengaku-aku!"
Nyai Roro
Manggut tak dapat lagi rnenahan kesabaran. Amarah meledak. Di dahului jeritan
lantang kakinya menendang. Meja tempat jualan kemenyan dan pendupaan mental
hancur berantakan. Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tidak tinggal diam.
Sekali tangan kanannya bergerak breettt! Dada pakaian Nyai Roro Manggut robek
dan tersingkap lebar.
Semua
orang yang ada di tempat itu dan semuanya termasuk si nenek yang jadi lawan melengak
kaget.
"Hah?"
Nenek kembaran ketiga melengak sambil delikkan mata melihat dada seperti rnilik
perawan saja. Orang banyak berdecak dan memandang tidak berkedip. Sebaliknya
tanpa merapikan dulu pakaiannya Nyai Roro Manggut langsung menghantam dengan
pukulan Cahaya Surya Menembus Gelombanq. Selarik sinar putih kekuningan
menyambar.
Nenek
kembaran ke tiga tidak tinggal diam. Dia menangkis dengan jurus Roh Putih
Menarik Gendewa. Dua tangannya bergerak seperti orang menarik gendewa. Lalu
satu kiblatan cahaya merah menggebubu ke depan. Dua nenek sama-sama terpekik
karena menyadari diri masing-masing akan sama-sama terluka.
Di saat
yang menegangkan itu tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat disertai hembusan
angin sedahsyat topan prahara.
"Blaarr!"
Cahaya
pukulan saki dua nenek mencelat ke atas. Keduanya tegak tergontai-gontai saling
pandang dengan rnuka pucat. Saat itu ada seseorang menepuk bahu keduanya
disertai suara berkata.
"Kalian
berada di pihak yang sama. Lekas pergi ke Watu Gilang! Datuk sudah datang."
Dua nenek tersentak kaget dan sama berpaling.
"Wiro!"
seru nenek jejadian kembaran ke tiga.
"Pendekar
Dua Satu Dua!" teriak Nyai Roro Manggut. Lalu dia bertanya." Ada apa
di Watu Gilang?"
"Nanti
aku ceritakan!" kata nenek kembaran ketiga.
"Ayo
ikut aku!" Nenek kembaran ketiga lalu pegang lengan Nyai Roro Manggut.
Disaksikan ratusan pasang mata yang tidak bisa percaya akan apa yang mereka
lihat dua nenek itu melesat ke udara. lalu melayang ke arah pulau dimana
terletak dua batu karang raksasa! Orang banyak benar-benar di buat geger!
Setelah
dua nenek pergi orang banyak mengerubungi Wiro. Tapi pendekar ini cepat
menghindar. Dia berlari ke arah pantai sebelah timut dimana dilihatnya
serombongan anak muda tengah mempermainkan seorang perempuan cantik bertubuh
kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili. Kalau mula-mula hanya menganggu
dengan ucapan kini para pemuda itu mulai berani meraba -raba tubuh Nyi Retno
dan menarik-narik boneka kayu dari bedongan sambil secara kurang ajar mengelus
dada Nyi Retno.
Begitu
sampai di hadapan para pemuda, tangan dan kaki Pendekar212 bekerja bak buk bak
buk. Lima orang pemuda nakal terkapar di tanah. Dua pingsan dengan kepala
benjut.Tiga meliuk-liuk sambil pegang hidung dan bibir yang pecah berdarah!
"Kemuning!
Bapakmu datang!" teriak Nyi Retno Mantili.
"Nyi
Retno aku benar-benar bersyukur kau mau datang. Tadinya aku kawatir …"
Wiro memeluk perempuan itu erat-erat lalu berbisik.
"lkut
aku jalan-jalan. Aku akan membawamu ke pulau di tengah laut sana …."
"Tapi
ombak begitu besar. Kernuning bisa mual dan muntah-muntah."
Wiro
tertawa. "Kemuning anak hebat. Karena ibunya seorang bernama Nyi Retno
Mantili."
"Dan
bapaknya bernama Wiro Sableng!" sambung Nyi Retno Mantili.
"lya
… iya …" Wiro manggut-manggut. Menggaruk kepala lalu menarik Nyi Retno
Mantili masuk ke dalam sebuah perahu
*******************
14
DI TANAH
datar antara dua bukit karang yang menjulang tinggi, diterangi selusin obor
Datuk Rao Basaluang Ameh tegak rnenggendong Ken Permata yang tertidur lelap.
Angin laut membuat janggut sang datuk yang putih panjang melambai-lambai. Di
samping kiri tegak harimau putih bermata hijau diapit kembaran ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu dan Nyi Roro Manggut.
”Sunyi,
keadaan begini tenang. Kesunyian dan ketenangan yang menimbulkan rasa tidak
enak …" ucap nenek jejadian kembaran ke tiga dalam hati. Dia memandang ke
arah Datuk Rao Basaluang Ameh lalu mernperhatikan harimau putih di sampingnya.
"Dua datuk ini tampak tenang-tenang saja … Apakah Patih Kerajaan dan
bergundal gendaknya bernama Nyai Tumbal Jiwo tidak mengetahui peristiwa ini?
Aku tidak yakin. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda mencurigakan.
" Si
nenek lalu mendekati Nyai Roro Manggut. Keduanya kini tampak sangat bersahabat.
Nenek kembar jejadian telah menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru
pada Nyai Roro Manggut.
"Nyai,
kau merasakan sesuatu … ?" Belum sempat Nyai Roro Manggut menjawab
tiba-tiba Wiro dan Nyi Retno Mantili sudah kelihatan di ujung pedataran.
"Nyi
Retno, anakmu Ken Permata sudah ada di sini. Lihat bayi yang didukung kakek
berpakaian putih itu. Anakmu cantik dan sehat."Wiro berucap sambil
memegang lengan dan perhatikan wajah Nyi Retno.
Tadinya
dia mengira perempuan ini seperti yang sudah-sudah akan mengeluarkan suara
keras. "ltu bukan bayiku, itu bukan anakku. Aku tidak pernah punya anak
bernama Ken Permata. Anakku Kemuning."
Tapi saat
itu Nyi Retno Mantili diam saja malah tampak tersenyum lalu keluarkan
ucapan."Kalau bayi itu anakku berarti dia juga anakmu. Karena bukankah kau
bapaknya?"
Wiro
menggaruk kepala.
"Dua
kali dia menyebut kata bapak. Yang sudah-sudah Nyi Retno selalu mengatakan aku
ini ayah Kemuning bukan bapak. Sejak tadi aku perhatikan dia tidak menunjukkan
sikap tidak waras. Lalu waktu di ganggu lima pemuda dia tidak marah apa lagi
menghajar mereka padahal dia sanggup melakukan. Perubahan apa yang terjadi
dengan diri Nyi Retno?" Wiro membatin. Lalu dia bertanya."Nyi Retno,
kau gembira bertemu dengan Ken Permata?"
"Hatiku
sama gembiranya dengan hatimu. Bukankah begitu?"
Wiro cuma
mengangguk-angguk. Sampai di hadapan Datuk Rao Basaluang Ameh Pendekar 212 Wiro
Sableng membungkuk hormat lalu menyalami mencium tangan. Nyi Retno Mantili
melakukan hal yang sama.
"Jadi
inilah Ibu muda yang bernama Nyi Retno Mantili," berkata sang Datuk.
"Satu setengah tahun lebih aku bersama Ken Permata. Aku merasa bayi ini
sebagai cucuku sendiri. Sekarang saatnya aku menyerahkan Ken Permata kepadamu
ibu kandungnya.
Aku
merasa sedih berpisah dengan anak ini. Jaga dan rawat dia baik-baik …"
Sepasang
mata Datuk Rao Basaluang Ameh tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau si
harimau sakti keluarkan suara menggereng halus.
"Datuk,
saya mengucapkan terima kasih. Semua budi Datuk tidak dapat saya balas. Hanya
Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan membalas …." Nyi Retno lalu mendukung bayi
yang masih tidur yang diserahkan Datuk Rao Basaluang Ameh padanya.
Wiro
memperhatikan. Hatinya kembali bicara.
"Aneh,
ada keanehan pada diri Nyi Retno. Masakan tidak ada rasa haru dan air mata
saat-saat dia mendapatkan bayinya kembali.Tidak ada sikap yang menunjukkan dia
tidak waras. Dia langsung menerima bayi itu adalah anaknya. Apakah dia bisa
berobah begitu cepat? Kalau benar maka Tuhan memang benar-benar Maha Kuasa!
Tapi …." Wiro menggaruk kepala, menatap ke arah Datuk Rao Basaluang Ameh
tapi sang Datuk tidak memandang ke arahnya. Wiro kembali memperhatikan Nyi
Retno Mantili."Caranya
dia
menggendong bayi itu. Bukan seperti seorang ibu yang kehilangan bayinya sekian
lama. Tidak satu kalipun kulihat dia mencium bayi itu!"’
"Nyi
Retno, kau ingin kita segera meninggalkan pulau ini?"Wiro bertanya.
"Ya. sebaiknya kita pergi sekarang saja. Aku akan minta diri dulu pada
Datuk. Selain itu ada satu hal yang ingin kutanyakan." Jawab Nyi Retno
Mantili.
"Datuk,
saya dan Ken Permata, juga Kemuning minta diri. Sekali lagi saya mengucapkan
terima kasih ….”
"Ya,
pergilah. Apakah Wiro akan mengantarmu Nyi Retno?"
"Wiro
akan mengantar saya."jawab Nyi Retno.
Tiba-tiba
bayi yang sejak tadi tertidur lelap terbangun dan menangis.
"Ah,
jangan-jangan dia haus. Biasanya Baiduri ibu susunya yang menyusuinya …"
kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Nanti
akan saya susui. Hanya saja saya kawatir apakah susu saya ada airnya."
Ucap Nyi Retno Mantili.
Lalu dia
menyambung ucapannya. "Datuk, sebelum pergi saya ada satu pertanyaan.
Mengenai sebilah golok besar bersarung perak yang dulu pernah diserahkan
pembantu saya bernama Djaka Tua.Apakah Datuk masih menyimpannya?"’
"Nyi
Retno, untung kau bertanya. Aku yang sudah tua ini mulai pikun rupanya …."
Dari balik selempang pakaian putihnya Datuk Rao Basaluang Ameh keluarkan
sebilah golok besar yang memang memiliki sarung berlapis perak.
Wiro
memperhatikan. Otaknya berpikir-pikir. Hatinya bertanya-tanya. Kepala digaruk
berulang kali.
"Datuk,
tunggu dulu!" Sebelum golok besar berpindah ke tangan Nyi Retno Mantili
murid Sinto Gendeng melompat menyambar senjata itu. "Maafkan saya
Datuk." kata Wiro lalu dia berpaling menghadap pada Nyi Retno.
"Nyi
Retno, bagaimana kau tahu saal golok besar ini. Tidak ada seorangpun yang
bercerita padamu. Kalaupun kau tahu rasanya keadaan ingatanmu sudah tak mungkin
kembali pada senjata ini."
"Wiro,
Djaka Tua selagi masih hidup pernah menceritakan padaku tentang lenyapnya
senjata ini dari dalam kamar suamiku …."
Suamimu?
Siapa suamimu Nyi Retno? Tanya Wiro.
"Wiro,
mengapa kau bertanya begitu. Hik … hik! Bukankah kau suamiku?" Nyi Retno
memutar tubuh. Bayi dalam dukungan kembali menangis. Nyi Retno Mantili tidak
berusaha menepuk-nepuk atau membujuk. Perempuan itu mulai melangkah.Tidak acuh
apakah Wiro akan menyertainya atau tidak. Namun Wiro tahu-tahu telah berdiri di
depannya. Mata menatap tak berkesip, lalu mulut berucap yang membuat semua
orang yang ada di tempat itu terkejut.
"Kau
bukan Nyi Retno Mantili!"
"Srett!"
Wiro
cabut golok dari dalam sarung. Nyai Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu terkesiap namun cepat bergerak ke kiri kanan Nyi Retno
Mantili. Harimau putih bermata hijau menjaga di sebelah belakang sementara
Datuk Rao Basaluang Ameh mendatangi dari depan.
"Wiro,
apa-apaan ini? Kau suamiku? Kau bapak dari Ken Permata! Kau mau berbuat
apa?!"
Wiro
gelengkan kepala. "Nyi Retno Mantili tidak pernah menyebut aku sebagai
bapak tapi ayah. Katakan siapa kau sebenamya!"
Tiba-tiba
dari arah laut berlari mendatangi seorang lelaki tua berpakaian basah kuyup.
Rambut dan janggut panjang putih Dengan nafas megap-megap sambil menunjuk ke
arah Nyi Retno Mantili orang ini berterlak
"Dia
dia bukan Nyi Retno Mantili. Dia …."
Belum
sempat dia selesaikan teriakan tiba-tiba selarik sinar merah menyambar. Orang
tua berpakaian putih menjerit keras. Tubuh terpental tiga tombak, terbanting di
tanah di salah satu kaki bukit karang. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai
ke kaki hangus merah. Kini bukan saja Wiro tapi semua orang jadi curiga.
Pendekar 212 membentak perempuan di depannya.
"Perlihatkan
ujud aslimu! Kalau tidak kutabas batang leherrnu!"
Wiro
melintangkan golok besar di udara. Golok telanjang di tangan sang pendekar
berkilauan terkena cahaya belasan obor. Diancam Wiro seperti itu Nyi Retno
Mantili malah tersenyum. Sepertinya otaknya yang tidak waras kembali
kambuh.Tapi ternyata tidak.
"Wiro,
apa kau sudah gila hendak mernbunuh istri sendiri? Hendak membunuh ibu dari
anakmu Ken Permata?"
"Nyi
Retno, serahkan bayi itu kembali padaku!"
Tiba-tiba
Datuk Rao Basaluang Ameh berkata. Tangannya saat itu dia sudah memegang suling
yang terbuat dari emas.
"Wiro,
Datuk, semua yang ada di sini. Aku tidak mengerti …" Retno berucap sambil
memandang berkeliling. Tiba-tiba tangan kanan perempuan ini menyusup ke pinggang.
Sesaat kemudian tangan itu telah memegang sebilah pisau besar berkilat dan
langsung ditikamkan ke leher bayi yang mendadak menangis keras. Namun gerakan
Nyi Retno kalah cepat dengan ayunan tangan Pendekar 212.
Golok
besar berkelebat. Nyi Retno Mantiii menjerit keras sebelum lehernya terbabat
putus. Tapi yang mengherankan suara jeritnya bukan suara jeritan perempuan
melainkan suara jeritan laki-laki! Darah menyembur. Nenek kembaran ke tiga
dengan gerakan cepat menyambar bayi dalam dukungan. Begitu bayi berada dalam
gendongan si nenek tubuh tanpa kepala Nyi Retno roboh ke tanah.
Ketika
golok berkelebat ke arah leher Nyi Retno, dari atas bukit karang Watu Gilang
menyambar satu cahaya merah. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat sapukan suling
emasnya ke atas. Selarik sinar kuning berkiblat. Cahaya merah bertabur cerai
berai mengeluarkan suara menggelegar dahsssyat begitu kena dihantam sinar
kuning suling emas.
"Terima
kasih Datuk, Datu k telah menyelamatkan nyawa saya … ucap Wiro. Datuk Rao
Basaluang Ameh sapukan suling emasnya di atas tubuh Nyi Retno Mantili.
"Perlihatkan
ujudmu sebenarnya agar kau tidak sesat dalam perjalanan ke akhirat!"
"
Desssss! "
Satu
letupan.menggema. Ujud Nyi Retno Mantili perlahan-tahan berubah menjadi sosok
seorang lelaki tinggi besar yang bukan lain adalah sosok wira Bumi. Di kaki
bukit karang kepala Nyi Retno yang menggelinding dalam waktu hampir bersamaan
berubah menjadi kepala Wira Bumi dengan mata kiri dibalut kain hitam.
"Celaka!
Aku membunuh Patih Kerajaan!" Ucap Wiro, wajahnya sepucat mayat. Golok dan
sarung dibuang ke tanah. Lalu kepala digaruk berulang kali.
"Kau
tidak membunuh siapa-siapa Wiro. Kau hanya jadi penyebab kematian seorang
manusia jahat. Semua telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa," berkata Datuk
Rao Basaluang Ameh. Lalu orang tua ini bertanya. "Kau mengenali siapa
orang tua yang tadi meneriaki Nyi Retno Mantili palsu … ?"
"Saya
tidak dapat memastikan Datuk.Tapi ketika satu kali saya dalam keadaan setengah
pingsan ditolong Ratu Duyung, saya mengenali suaranya. Mungkin dia adalah
Kuncen bernama Ki Balang Kerso. Bekas penjaga makam Nyai Tumbal Jiwo …"
Datuk Rao
Basaluang Ameh kemudian melangkah mendekati nenek kembaran ketiga dan mengambil
Ken Permata dari dukungan si nenek.
"Saat
ini sudah ditakdirkan bayi ini kubawa kembali ke Danau Maninjau. Wiro, tugasmu
belum selesai. Kau harus mencari ibu bayi ini sampai dapat. Jika bertemu bawa
dia ke tempat kediamanku di Danau Maninjau. Kau masih ingat ucapan terakhir
kali kita bertemu?"
Wiro
gelengkan kepala. "Saat itu kita bicara banyak Saya tidak ingat. Ucapan
Datuk yang mana …"
"Ucapanku
bahwa ibu anak ini telah jatuh cinta pada dirimu. Dan saat ini kurasa dia
sangat mencintaimu. …."
"Say
… saya ingat Datuk …" jawab Wiro yang mendadak jadi merasa tidak enak.
Selesai berkata sang Datuk naik ke punggung Datuk Rao Bamato Hijau. Sesaat
kemudian orang-orang di pantai Parang tritis, dan Parangkusumo gempar melihat
satu benda putih melesat di langit malam yang mulai cerah karena hujan gerimis
telah berhenti.
Di pulau
Watu Gilang Pendekar 212 Wiro Sableng masih termangu-mangu ketika ditelinganya
tiba-tiba ada suara perempuan mengiang.
"Aku
Nyai Tumbal Jiwo. Kau telah membunuh kekasihku. Aku akan membalas dendam
kematiannya Kecuali jika kau mau menjadi pengganti …"
"Hah!
Apa?"Wiro letakkan dua telapak tangan di atas daun telinga lalu digoyang
kuat-kuat.
"Wiro
ada apa?" tanya nenek kembaran ke tiga.
"Kau
bicara sendirian!"
"Mungkin
dia tiba-tiba menjadi tidak aras karena di inggal mati Nyi Retno Mantili
jejadian!" kata Nyai Roro Manggut pula lalu tertawa cekikikan.
"Nenek
berdua, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini."
"Kami
tidak akan pergi bersamamu. Kami mau rnerayakan malam Satu Suro di pantai
Parangtritis …"
"Memangnya
kenapa kalau kita pergi bertiga ?” tanya Wiro.
Dua nenek
menjawab berbarangan. "Nanti ada yang marah. Kata Datuk Nyi Retno Mantili
sangat mencintaimu!"
"Kalian
cemburu!"
Dua nenek
tertawa mengekeh. Keduanya saling berpegangan tangan lalu melesat ke udara.
"Hai
tunggu!"Teriak Wiro.
Tapi dua
nenek telah lenyap di udara malam.
Tinggal
sendirian Wiro lari ke tempat dia meninggalkan perahu di tepi pantai pulau.
Ketika hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat seseorang perempuan
muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok hingga sebagian besar tubuhnya
tersingkap berbaring menelentang di lantai perahu. Dua kaki sengaja dikembang
dan diletakkan di atas sisi perahu.
"Kau
siapa?!" tanya Wiro.
Si cantik
yang ditanya tersenyum. Barisan giginya kelihatan rata dan putih
"Namaku
Nyi Wulas Pikan. Mulai malam ini kau adalah kekasihku pengganti Wira Bumi yang
telah kau bunuh …." Si cantik dalam perahu tertawa cekikikan lalu sosoknya
lenyap dari pemandangan.
"Nyi
Wulas Pikan." ucap Wiro sambil menggaruk kepala.
"Aku
tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.Tapi aku ingat. Wajah gadis tadi
sama dengan wajah gadis yang ditiduri Wira Bumi di balik semak belukar di
pantai. Pasti dia jejadian Nyai Tumbal Jiwo!"
Wiro
berbalik. Murid Sinto Gendeng melengak kaget dan menyumpah panjang pendek
karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu. Di tanah dilihatnya sosok
wira Bumi, tubuh dan kepala sudah tersambung kembali. Namun di lain kejap sosok
itu kemudian lenyap dari pemandangan.
"Edan!
Edan!" maki Wiro berulang kali.
"Hik
… hik." Tiba-tiba ada tawa rnengiang di telinga Wiro.
"lni
aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Pikan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi.
Apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi?’
"Hik
… hik Wiro menirukan tawa mengiang.’Gila! Edan!" makinya kemudian.
"Gila!
Edan!Yang gila dan yang edan itulah yang paling enak. Kita akan sama-sama
merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm … Kau
tak akan meninggalkan diriku seumur-umur! Dan aku akan setia selalu padamu. Hik
…. hik … hik!"
"Setan
Perempuan! Mampuslah!" teriak Wiro lalu tidak kepalang tanggung dia
lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara mengiang. Namun yang
dihantam hanya udara malam kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di
pulau menjadi agak gelap. Wiro usap kuduknya yang terasa dingin.
Sialan!
Sialan!" maki sang pendekar berulang kali.
"Tidak
sial! Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung mendapatkan
dirimu!" Suara mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.
"Jahanam!
Setan keparat!" Wiro hantamkan kakinya ke tanah. Pasir pantai amblas
membentuk lobang dalam dan besar. Saking kesal Wiro jatuhkan diri ke dalam
lubang. Dia tetap tidak bergerak sewaktu ombak memecah di pasir dan air laut
masuk ke dalam lobang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment