Photo

Photo

Monday, 13 January 2020

101. Gerhana Di Gajahmungkur



Gerhana Di Gajahmungkur
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito


*********************
Satu

BERLARI cukup lama Wiro belum juga mencapai tepi barat Telaga Gajahmungkur. Di satu tempat dia berhenti dan mendongak ke atas. Langit gelap gulita. Memandang berkeliling hanya kepekatan dan pohon-pohon serta semak belukar menghitam dilihatnya.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng merasa sambaran angin di samping kirinya disertai berkelebatnya satu bayangan. Namun dia tidak melihat apa-apa.
“Ratu Duyung…. Kaukah itu?” ujar Wiro karena menyangka gadis bermata biru itu menyusulnya. Tak ada jawaban. “Orang bercadar…. Kau ada di sekitar sini?!” ujar Wiro kembali menduga sambil memandang berkeliling. Tetap tak ada jawaban. Mendadak satu tawa mengekeh merobek kesunyian di tempat itu. Membuat Pendekar 212 tersentak kaget dan cepat berpaling ke kiri. “Astaga! Makhluk apa yang ada di bawah pohon besar itu.
“Pendekar 212, lihat baik-baik! Apa kau masih mengenali diriku?!”
Wiro buka matanya lebar-lebar. Sejarak sepuluh langkah di hadapannya, di bawah bayang-bayang gelap sebuah pohon besar berdiri satu sosok yang tubuh dan pakaiannya menebar bau busuk. Bukan bau busuk ini yang menyebabkan Wiro merasa tercekat, namun cara orang itu berdiri yang membuatnya melengak ngeri.
“Makhluk aneh. Berujud seorang kakek. Berdiri di atas dua tangannya. Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah tidak berdaging. Hanya merupakan tulang pipih. Aku tidak ingat apa pernah melihat makhluk ini sebelumnya.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku. Kau mungkin lupa. Orang yang mau mati memang sering-sering lupa. Ha… ha… ha….”
“Orang aneh! Kau siapa?!” tanya Pendekar 212.
“Ingat peristiwa-di sebuah pulau di pantai barat Andalas beberapa waktu lalu? Kau dan Tua Gila menjebloskan aku ke dalam sebuah makam batu tanpa nisan!”
“Kau…!” Wiro coba mengingat-ingat. “Kau Datuk Tinggi Raja Di Langit!” Lidah Wiro mendadak seolah menjadi kelu.
“Ha… ha… ha! Kau ingat sekarang! Itu julukanku di masa lalu. Sekarang gelarku adalah Jagal iblis Makam Setan. Artinya setiap orang yang menjadi musuhku akan kujagal dengan sepasang kakiku dan kuburnya adalah di makam setan! Ha… ha… ha!”
Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dia tahu sekali bagaimana jahatnya manusia satu ini. Apalagi dia menaruh dendam kesumat pula pada dirinya. “Celaka! Kalau dia berniat hendak membunuhku, apa aku bisa bertahan dengan jubah sakti yang melekat di tubuhku? Apa yang harus kuperbuat. Kabur saja selamatkan diri? Mustahil aku mampu!
“Jagal Iblis…. tidak ada waktu membicarakan ikhwal masa lalu denganmu. Aku harus pergi! Aku tertarik pada perempuan cantik yang berdiri di belakangmu. Apakah datang bersama-samanya?”
Jagal iblis Makam Setan berpaling ke belakang. Secepat kilat Wiro melompat ke balik semak belukar di dekatnya lalu menghambur lari. Namun baru berlari sejauh beberapa tombak, di depannya terdengar tawa bergelak dan tahu-tahu makhluk berjuluk Jagal iblis
Makam Setan itu telah menghadang jalannya. Berdiri dengan tangan di bawah kaki di atas. Wiro merasa nyawanya seperti terbang. Tipuannya tidak mengena.
“Pendekar keparat! Kau tak bisa menipuku! Kau tak bisa lolos dari tanganku! Malam ini adalah malam kematianmu!”
“Wuutt!” Kaki kanan Jagal iblis Makam Setan yang hanya tinggal tulang pipih menyerupai pedang tajam itu menabas ke arah lehernya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke samping. Lehernya selamat. Tapi “bukkk! Breettt!”
Wiro tak mampu menghindar, tak berani menangkis ketika kaki kiri Jagal iblis membacok ke arah dadanya. Wiro terlempar sampai satu tombak dan terkapar di tanah.
Jagal iblis Makam Setan pelototkan mata. “Jahanam ini punya ilmu apa! Kudengar dia kehilangan kesaktian dan tenaga dalam! Mengapa kaki pedangku tak mampu membacok dadanya!”
“Wuuutt!”
Kakek angker berjuluk Jagal iblis itu jungkir balik di udara. Sesaat kemudian dia telah berdiri sebagaimana wajarnya manusia yaitu dengan dua kaki berada di tanah.
Wiro merasa dadanya seperti dihantam pentungan besar terbuat dari besi. Nafasnya sesak. Dia berusaha bangkit tapi kaki kanan si kakek tahu-tahu sudah menginjak lehernya. Sedikit saja kaki itu ditusukkan atau disayatkan ke leher Wiro, tamatlah riwayat sang pendekar.
Si kakek masih memandang dengan mata mendelik. “Pakaian merahnya jelas-jelas robek besar! Tapi mengapa badannya tidak cidera? Bangsat ini pasti memiliki semacam ilmu kebal. Atau mungkin pakaian merahnya yang berbentuk jubah ini? Hemmm….”
Jagal iblis ulurkan tangan kiri menjambak rambut gondrong si pemuda. Sekali sentak saja Wiro terbetot ke atas.
“Nyawamu tidak ada harganya bagiku! Tapi jika aku bisa membunuhmu sekaligus mendapat pahala imbalan mengapa tidak aku lakukan?! Ha… ha… ha!”
“Apa maksudmu Jagal Iblis?” tanya Wiro.
“Kau akan kuserahkan pada Datuk Lembah Akhirat! Kematianmu di Lembah Akhirat pasti lebih menyenangkan dari pada kubunuh mampus di tempat ini! Ha… ha… ha!”
Pucatlah air muka Pendekar 212.
“Sebelum kubawa ke sana, buka dulu jubah merahmu!”
“Jagal Iblis, kau boleh ambil jubah. Tapi lepaskan diriku! Tak ada untungnya membunuhku! Tak ada untungnya membawa aku ke Lembah Akhirat.” Jagal Iblis Makam Setan tertawa gelak-gelak. “Baru saat ini aku mendengar seorang pendekar besar meratap minta dikasihani!” Dengan gerakan memaksa si kakek membuka jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuh Wiro. Seperti diketahui jubah sakti ini dibawa dan diberikan oleh si Raja Penidur kepada Wiro untuk dapat menyelamatkan pendekar yang telah kehilangan kesaktiannya itu.
“Hemmm…. Meski robek di sebelah dada, tapi masih cukup bagus dipakai untuk menghangatkan tubuhku. Ha… ha… ha!” Si kakek lalu kenakan jubah Kencono Geni. Wiro keluarkan keluhan pendek ketika dadanya ditotok Jagal Iblis Makam Setan kemudian dipanggul di bahu kiri.

************************

Di salah satu tepi barat Telaga Gajahmungkur dalam hening dan gelapnya malam. Tak berapa jauh dari dua batang pohon kelapa yang tumbuh miring hingga tampak seolah bersilangan. Bidadari Angin Timur mulai cemas. Sementara hujan rintik-rintik turun.
“Aneh, ditunggu begini lama orang bercadar tidak kembali. Mungkin dia langsung menyelesaikan urusan rahasia hidupnya. Tapi mengapa Pendekar 212 juga tidak datang? Mungkin tahu aku yang menunggunya di sini lantas tidak mau datang. Ah, bagaimana ini. Apa aku harus menunggu terus. Bulan purnama tak kunjung muncul. Bagaimana keadaan para tokoh? Saat ini pasti mulai mendekati tengah malam….”
Dalam keadaan bingung seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. Seorang gadis berambut panjang bermata biru berdiri di depan Bidadari Angin Timur.
“Ratu Duyung kesasar ke tempat ini!” ujar Bidadari Angin Timur begitu mengenali siapa yang berada di depannya. Rasa cemburu membuat dia sangat benci pada Ratu Duyung gara-gara menyaksikan dengan mata kepala sendiri sang Ratu bercumbu rayu dengan Wiro beberapa waktu lalu.
Kalau tidak karena khawatir akan keselamatan Wiro sebenarnya Ratu Duyung segan menjawab dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Buat apa bersilat lidah dengan gadis yang menjadi penghalang-nya dalam mencurahkan kasih sayang terhadap Wiro. Namun setelah berpikir panjang akhirnya sang Ratu berkata. “Aku mencari Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur tersenyum sinis. “Kau kehilangan kekasihmu! Berarti kau tidak menjaganya baik-baik. Kau melepaskannya pergi seorang diri. Padahal kau tahu dia dalam keadaan tak berdaya!”
Mendengar ucapan itu Ratu Duyung menjadi sengit. “Bukan mauku dia pergi sendiri! Dia yang tak mau diantar karena takut kau cemburu padaku! Akibat jiwa besarnya sekarang dia lenyap entah kemana! Ini gara-gara orang bercadar yang pasti adalah orang suruhanmu! Kalau terjadi apa-apa dengan Pendekar 212, kau punya tanggung jawab sangat berat gadis berambut pirang!”
“Enak betul kau menimpakan kesalahan pada orang lain! Aku memintanya ke sini bukan untuk berkasih-kasihan seperti yang kau lakukan di tepi telaga! Tapi untuk mengobati kutuk yang menimpa dirinya dengan senjata ini!” Lalu ada suara berdesing disertai memancarnya sinar putih dan menebarnya hawa sangat dingin.
“Pedang Naga Suci 212…” desis Ratu Duyung. Paras nya merah mendengar ucapan Bidadari Angin Timur tadi. “Mulutmu culas mencerminkan hatimu tidak bersih. Perbuatanmu mengintip orang sungguh tidak terpuji! Sekarang kau acungkan pedang ke mukaku! Kau hendak mencari perkara atau apa?!”
“Kau yang sengaja mencari perkara!” hardik Bidadari Angin Timur.
“Namamu bagus. Bidadari! Tapi hatimu jahat!” ejek Ratu Duyung.
“Namamu juga bagus! Dipanggil Ratu! Tapi kelakuanmu mesum! Kalau bukan karena kemesumanmu tidak akan celaka Pendekar 212!” balas Bidadari Angin Timur pula.
“Gadis keparat! Mulutmu kurang ajari Apa maumu akan kulayani! Jangan kira aku takut walau kau membekal sebilah pedang sakti!” Ratu Duyung jadi panas. Dia tempelkan tangan kirinya di atas, Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik pakaiannya.
“Tantanganmu kuterima! Gadis mesum sepertimu memang harus disingkirkan dari muka bumi!” teriak Bidadari Angin Timur.
“Bidadari keji dan busuk sepertimu harus dilempar ke dasar neraka!” balas Ratu Duyung lalu keluarkan cermin saktinya. Dua gadis itu sama mendekat satu langkah. Mata berperang pandang. Dada menggemuruh marah namun tidak satupun bertindak lebih jauh. Walau sangat panas hatinya namun Ratu Duyung perlahan-lahan berhasil menguasai gejolak dalam dirinya. “Ah….” Sang Ratu usap mukanya lalu simpan cermin saktinya kembali. “Aku bingung sekali. Tak tahu apa yang kuucapkan, tak sadar apa yang aku lakukan. Saudari, maafkan diriku. Aku tahu kau gadis baik….” Melihat orang unjukkan wajah menyesal dan keluarkan ucapan polos Bidadari Angin Timur berkata. “Kau mencari Wiro. Pemuda itu tidak pernah muncul di sini. Aku juga dalam keadaan bingung. Terlanjur berucap dan bersikap kasar padamu. Aku tahu kau gadis baik penuh pengorbanan. Harap maafkan diriku sahabat….”
Ratu Duyung pegang tangan Bidadari Angin Timur lalu tanpa berkata apa­apa dia tinggalkan tempat itu dengan cepat. Ditinggal sendirian Bidadari Angin Timur tak dapat menahan sesenggukan. Sambil menutupi wajah menahan tangis dia berkata. “Wiro, di mana kau saat ini. Aku menyesal memintamu datang ke tempat ini. Seharusnya aku yang mencarimu. Ya Tuhan, tolong dia. Selamatkan dirinya. Jangan sampai terjadi apa-apa….”


*********************
Dua

Ki Juru Tenung alias Mangkutani berdiri di depan meja sambil matanya menatap ke dalam air di atas piring tanah. Di sebelahnya Datuk Lembah Akhirat tegak memperhatikan dengan tampang beringas tidak sabaran. Perlahan-lahan Ki Juru Tenung gelengkan kepalanya.
“Datuk, menurut petunjuk dalam air kau tidak boleh menyedot tenaga dalam Dewa Ketawa dan Dewa Sedih…” berucap si kakek bermuka lancip sambil usap janggutnya yang kelabu.
“Gila! Memangnya kenapa?!” tanya Datuk Lembah Akhirat.
“Pertama, kau telah memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi. Paling tidak tiga kali lipat tenaga dalam yang dimiliki tokoh silat golongan putih. Misalnya Si Raja Penidur atau Nyanyuk Amber….”
“Bagaimana dengan Si Sinto Gendeng keparat atau Si Tua Gila jahanam itu?”
Ki Juru Tenung tertawa. “Tenaga dalam mereka tidak ada arti apa-apa dibanding dengan yang kau miliki.”
“Dengar Datuk, dengan tidak melumpuhkan tenaga dalam dua kakek itu kita bisa memanfaatkan mereka menghadapi orang-orang golongan putih. Hingga kau tak perlu mencapaikan diri turun tangan. Jika tenaga dalam mereka kau sedot, mereka tak bisa diperalat menghantam orang-orang itu!”
“Hemmm…. Kau betul juga,” kata Datuk Lembah Akhirat sambil permainkan kalung tengkorak bayi yang tergantung di lehernya. “Tapi jangan lupakan satu hal Ki Juru Tenung! Jika tiba saatnya semua tokoh silat yang membantu kita harus dihabisi. Termasuk Sika Sure jelantik, Utusan Dari Akhirat dan Jagal iblis Makam Setan! Termasuk juga adikku si Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi itu!”
“Itu soal gampang Datuk. Jika saatnya tiba kita akan menyingkirkan mereka semudah membalikkan telapak tangan! Percuma kau memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin!” jawab kakek bermuka lancip itu.
“Datuk, ada satu hal penting yang perlu aku beritahukan padamu. Menyangkut rencana kita menghancurkan musuh yang berada di barat Telaga Gajah-mungkur. Petunjuk sebelumnya mengatakan bahwa saat terbaik kita menggempur mereka adalah pada nanti tengah malam. Saat bulan purnama empat belas hari memancarkan sinarnya dengan sempurna. Namun saat ini aku tidak melihat petunjuk rembulan akan muncul. Langit kulihat hitam kelam, jangankan bulan, setitik cahaya bintang pun tidak ada. Ini berarti ada sesuatu yang tidak beres. Petunjuk ini berarti kita tidak boleh menyerang mereka malam ini. Karena peruntungan baik tidak berpihak kepada kita….”
“Kau ini bicara apa Ki Juru Tenung! Kalau dengan sarung tangan sakti itu tak satu orangpun bisa menghadapiku, mengapa sekarang kau melarang aku menyerbu orang-orang itu!”
“Datuk, jangan lupa. Bagaimanapun hebatnya seseorang, tapi tetap saja pada dirinya akan melekat satu hari naas. Mungkin malam nanti merupakan saat naas bagi kita. Jadi kita harus berhati-hati….”
“Lalu kapan kita harus menghancurkan mereka?!” tanya Datuk Lembah Akhirat
Ki Juru Tenung menatap kembali ke dalam air. “Belum ada petunjuk. Setiap aku mencoba air bergoyang secara aneh hingga pandanganku menjadi kabur. Tapi firasatku mengatakan paling cepat sebelum tengah hari besok.”
Baru saja Ki Juru Tenung berkata begitu di luar ruangan terdengar suitan tiga kali berturut-turut. Tak lama kemudian tiga pengawal masuk. Setelah menjura salah seorang dari mereka memberitahu bahwa kakek sakti berjuluk Jagal iblis Makam Setan akan segera datang menghadap.
Datuk Lembah Akhirat berpaling pada Ki Juru Tenung. Kakek ini anggukkan kepalanya.
“Suruh orang itu masuk!” kata Datuk Lembah Akhirat.
Tiga pengawal menjura dan tinggalkan ruangan. Tak lama kemudian masuklah Jagal iblis Makam Setan sambil memanggul sesosok tubuh.
“Sobatku Jagal iblis Makam Setan! Muka angkermu menyeringai tanda hatimu gembira. Kau memanggul sesosok tubuh. Kabar baik apa yang hendak kau sampaikan pada kami di sini?!”
Kakek berkaki tulang lemparkan sosok tubuh yang dipanggulnya hingga bergedebukan di lantai. Dari mulut orang itu keluar suara erangan pendek. Dengan ujung kakinya Datuk Lembah Akhirat balikkan tubuh orang hingga tertelentang.
“Siapa pemuda berambut gondrong ini?” tanya sang Datuk,
Sebagai jawaban Jagal iblis Makam Setan robek bagian dada pakaian yang dikenakan si pemuda. Di atas dada itu terpampang rajah tiga angka yang tak asing lagi. 212.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!” seru Ki Juru Tenung. Datuk Lembah Akhirat berteriak kegirangan lalu tertawa gelak-gelak.
“Sobatku Jagal iblis! Kau berhasil menangkap Pendekar 212! Jasa besarmu tidak aku lupakan. Kau akan kuberikan kedudukan tinggi di Lembah Akhirat. Dan Kitab Wasiat Malaikat kelak akan kuserahkan padamu! Tanganku sudah gatal cepat-cepat mau mem-bunuhnya. Tapi aku ingin tahu bagaimana ceritanya kau berhasil menangkap dan membawanya kemari. Jika dia memang berada di sekitar kawasan ini pasti cecunguk lain kawan-kawannya juga berada di sini!”
Belum sempat Jagal iblis Makam Setan membuka mulut memberikan penuturan tiba-tiba satu suitan keras menggema di luar ruangan. Belum sirap suara suitan itu melesatlah satu bayangan merah.
“Pengiring Mayat Muka Merah! Kau membawa rejeki besar untukku!” Ki Juru Tenung berteriak gembira.
Di pintu ruangan berdiri wakil ke dua Datuk Lembah Akhirat yang berjubah dan bermuka serta rambut dicat merah. Pada bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan berpakaian putih. Sedang di bahu kanannya ada seorang perempuan lagi mengenakan pakaian berwarna serba ungu. Sehelai pita ungu menghias rambutnya yang tergerai lepas. Meski belum melihat wajah perempuan berpakaian ungu ini, namun Pendekar 212 Wiro Sableng yang terhampar di lantai dalam keadaan kaku tertotok mendadak sontak menjadi berdebar!
Pengiring Mayat Muka Merah dengan hati-hati turunkan satu persatu dua perempuan yang dipanggulnya. Kebetulan yang berbaju ungu dibaringkan di lantai dengan wajah menghadap Wiro. Begitu melihat paras perempuan itu bergetarlah sekujur tubuh murid Sinto Gendeng.
“Anggini…” ujar Wiro. Semula dia menyangka perempuan itu berada dalam keadaan pingsan. Ter-nyata seperti dirinya berada di bawah pengaruh totokan yang membuat sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan.
Orang yang namanya disebut perlahan-lahan buka matanya yang terpejam. Begitu melihat si pemuda menjeritlah dia.
“Wiro!”
“Ah! Dua orang ini rupanya saling mengenal!” ujar Ki Juru Tenung yang sejak tadi tidak lepaskan tatapan-nya pada sosok gadis berpakaian ungu. Sesekali lidahnya dijulurkan membasahi bibir dan tenggorokannya tampak turun naik.
“Muka Merah, katakan padaku siapa adanya gadis berpakaian ungu ini!” kata Datuk Lembah Akhirat.
“Namanya Anggini. Dia adalah murid tokoh silat berjuluk Dewa Tuak!”
“Lagi-lagi rejeki besar!” ujar Datuk Lembah Akhirat lalu tertawa sambil tepuk-tepuk bahu Pengiring Mayat Muka Merah. “Kau akan kuberi hadiah besar!” Lalu sang Datuk berpaling pada Ki Juru Tenung. “Apa yang ada dalam benakmu Ki Juru Tenung?!” tanya sang Datuk sambil menyeringai.
“Sesuai jasanya Pengiring Mayat Muka Merah layak diberi hadiah perempuan berpakaian putih itu. Dan hemmmm….” Kakek bermuka lancip ini bergumam lalu batuk-batuk beberapa kali. “Yang berpakaian ungu ini sesuai dengan seleraku. Kalau kau mengizinkan aku segera saja mau membawanya ke kamar tidurku. Dia pasti masih perawan. Malam ini aku akan jadi pengantin baru. Ha… ha… ha!”
“Datuk Lembah Akhirat!” tiba-tiba Wiro berteriak. “Kalau kau atau orangmu berani berbuat kurang ajar terhadap gadis itu aku bersumpah akan membunuhmu!”
“Bersumpahlah di neraka!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu tendang dada Pendekar 212 hingga pemuda ini mencelat dan terhempas di dinding ruangan. Anggini terpekik. Wiro mengeluh menahan sakit. Dari mulutnya mengucur darah. Dadanya serasa hancur dan nafasnya sesak.
Masih belum puas Datuk Lembah Akhirat kembali menendang. Yang diarahnya kini adalah kepala Pendekar 212.
“Datuk! Tunggu! Jangan kau bunuh pemuda itu!” berseru Ki Juru Tenung. Membuat Datuk Lembah Akhirat mendelik dan Pengiring Mayat Muka Merah serta Jagal iblis Makam Setan melengak heran.
“Apa katamu Ki Juru Tenung?! Bangsat ini adalah salah seorang tokoh silat golongan putih yang harus kita habisi! Sekarang kau mencegah aku membunuhnya! Kau sudah gila?!”
“Sabar Datuk,” jawab Ki Juru Tenung. “Membunuh pemuda ini apa sulitnya. Tapi lebih besar manfaatnya kalau dia kita biarkan dulu hidup. Kalau dia berapa di tangan kita dalam keadaan hidup-hidup berarti kita punya satu kekuatan untuk membuat para tokoh golongan putih tidak berdaya. Dia bisa kita jadikan tumbal untuk menghadapi musuh!”
Datuk Lembah Akhirat pencongkan mulutnya. “Omonganmu ada betulnya. Pendekar 212, tak ada salahnya menunda kematianmu barang sehari dua!” Lalu sang Datuk berpaling pada Pengiring Mayat Muka Merah. “Bawa pemuda itu keluar. Ikat dia di tiang kereta kaki ke atas kepala ke bawah!”
Pengiring Mayat Muka Merah jambak rambut Pendekar 212 dengan tangan kanan. Tubuh Wiro diseretnya ke luar ruangan. Lalu dia kembali masuk untuk memboyong perempuan berpakaian putih. Namun satu tangan memegang, bahunya. Ketika dia
berpaling dilihatnya Jagal iblis Makam Setan menyeringai padanya lalu berkata. “Pengiring Mayat Muka Merah, aku sudah lama tidak bersenang­senang di atas ranjang, perempuan itu harus melayaniku lebih dulu. Kalau aku sudah puas terserah kau mau bikin apa!”
Pengiring Mayat Muka Merah menggereng marah. Tapi terdiam ketika Datuk Lembah Akhirat berkata. “Muka Merah, sekali ini kau harus mengalah pada sahabat besar kita. Kau harus rela mendapat sisanya atau cari saja perempuan lain. Sekarang kerjakan dulu apa yang aku perintahkan. Gantung Pendekar 212!”
Dalam hati Pengiring Mayat Muka Merah menyumpah setengah mati. Dia lontarkan pandangan geram ke arah Jagal iblis Makam Setan. Bersungut-sungut dia ke luar dari ruangan itu.
“Tua bangka jahanam! Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Anggini ketika Ki Juru Tenung mendukung tubuhnya dan menciumi mukanya.

************************

Jengkel sakit hati karena dia yang membawa dua perempuan itu tapi justru tidak kebagian, Pengiring Mayat Muka Merah mengikuti Ki Juru Tenung ke kamarnya.
“Ki Juru Tenung sialan! Tak tahu diri! Teganya merampas milik kawan sendiri! Kakek-kakek seperti dia apa masih mampu menggauli seorang gadis! Dasar tua bangka keparat!” Maki Pengiring Mayat Muka Merah. Sesampai di kediaman Ki Juru Tenung dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya si muka merah melompat ke atas atap bangunan yang terbuat dari rumbia bercampur ijuk. Dari atas atap si muka merah ini mengintip ke dalam kamar melihat apa yang terjadi.
Di dalam kamar terdengar suara Ki Juru Tenung merayu tiada henti sementara Anggini memaki dan menyumpah terus-terusan.
“Gadis molek! Jangan takut, juga jangan terlalu galak. Aku tidak akan melakukan apa-apa terhadapmu,” kata Ki Juru Tenung pula. Dari atas atap Pengiring Mayat Muka Merah melihat enak saja Ki Juru Tenung menanggalkan pakaiannya satu per satu. Ketika tubuh kakek ini tidak terlindung lagi oleh sehelai benang pun maka menjeritlah Anggini.
Di atas atap Pengiring Mayat Muka Merah menggosok kedua matanya berulang kali seolah tidak mau percaya apa yang dilihatnya.
“Ki Juru Tenung…. Kakek itu…” desisnya. Ternyata dia seorang perempuan! Seorang nenek-nenek! Jadi seperti Pengiring Mayat Muka Hitam, manusia satu ini juga punya kelainan aneh! Benar-benar terkutuk!”
“Tua bangka iblis!” teriak Anggini. “Dari pada kau menyentuh tubuhku lebih baik kau membunuhku saja saat ini!”
Ki Juru Tenung tertawa lebar sambil usap-usap perutnya yang kempes peot. “Kau minta mati setelah kau melihat dan tahu kalau aku seorang nenek-nenek!
Kalau aku benaran seorang lelaki mungkin kau senang juga hah? Hik… hik… hik! Anak gadis, seharusnya kau bersyukur jatuh ke tanganku. Bukan ke tangan manusia muka merah yang menculikmu. Kita berbagi kesenangan. Apapun yang kulakukan terhadapmu kau tidak akan kehilangan kegadisanmu! Hik… hik… hik!”
Anggini benar-benar jijik dan bergidik melihat nenek itu. Terlebih ketika Ki Juru Tenung yang temyata adalah seorang nenek melangkah mendekatinya lalu dengan paksa menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh murid Dewa Tuak itu.
Pengiring Mayat Muka Merah merasa sekujur tubuhnya bergetar melihat apa yang kemudian dilakukan Ki Juru Tenung terhadap si gadis. Jika tidak tahan rasa-rasanya dia ingin menjeblos atap dan menerobos masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba Pengiring Mayat Muka Merah mendengar suara suitan tanda bahaya dari pertengahan Lembah Akhirat.
“Apa yang terjadi?! Suitan itu datangnya dari arah bangunan tempat penyimpanan senjata-senjata pusaka,” ujar si muka merah dalam hati. Dia memandang ke jurusan timur lalu kembali mengintip ke dalam kamar.
Beberapa orang pengawal berlari ke arah terowongan di pertengahan lembah. Dua orang diantaranya membawa obor. Di dalam kamar Ki Juru Tenung dongakkan kepala begitu telinganya menangkap suara suitan tadi. Kalau bukan suitan tanda bahaya, dalam keadaan seperti itu pasti tidak akan diperdulikannya.
“Gadisku, kau bersabarlah. Aku tak akan lama. Aku pergi sebentar. Aku segera kembali….” Si nenek cium dada Anggini penuh nafsu lalu tertawa cekikikan. Setelah itu dia segera mengenakan pakaiannya kembali.

************************

Ketika menerima laporan dari Pengiring Mayat Muka Merah bahwa ruang rahasia penyimpanan senjata dibobol orang, Datuk Lembah Akhirat segera menghambur menuju ruangan di bawah tanah itu. Qua orang pengawal dilihatnya menggeletak mati dengan kepala pecah di lorong masuk menuju ruangan. Ki Juru Tenung dan beberapa orang pengawal telah berada dalam ruangan yang diterangi beberapa buah obor itu. Sepasang mata sang Datuk membeliak besar terpacak pada mayat Pengiring Mayat Muka Hijau yang tergeletak di lantai. La lu ketika dia melihat lemari kayu yang sebagian hangus di sudut ruangan berubahlah paras sang Datuk.
Dari dalam lemari ditariknya peti besi warna coklat. Dengan cepat dibukanya. Dia tampak seperti lega ketika melihat sepasang sarung tangan ular masih ada di dalam peti. Peti ditutupnya dan diletakkan kembali di tempat semula. Lalu tanpa ada seorangpun yang sempat melihat Datuk Lembah Akhirat meraba ke bagian bawah rak lemari. Dari sini dia menarik lepas satu gulungan kain putih. Benda ini dengan cepat dimasukkannya ke dalam saku baju hitam gombrong yang dikenakannya.


*********************
Tiga

Sebelum tengah malam persiapan penyerbuan ke tepi barat Telaga Gajahmungkur telah rampung. Datuk Lembah Akhirat tegak berdiri di atas sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda. Di bagian belakang kereta ada dua buah tiang kayu menyanggah sebuah balok besar. Pada balok inilah tergantung sosok tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala di bawah. Saat itu Wiro masih dalam keadaan tertotok. Hanya mengenakan celana putih. Pada muka dan tubuhnya ada noda-noda darah. Di bagian dada nampak jelas balur cidera bekas hantaman kaki Jagal iblis Makam Setan.
Di sebelah depan ada selusin pengawal berkuda, terdiri dari empat orang bermuka merah, empat hijau dan empat lagi hitam. Salah seorang dari pengawal ini membawa sebuah terompet terbuat dari tanduk sapi besar.
Di samping kereta sebelah kiri berdiri Sika Sure Jelantik. Di sebelahnya ada Dewa Sedih yang tegak dengan muka murung terisak-isak. Di samping kanan kereta kelihatan Dewa Ketawa duduk menunggangi keledai kurus keringnya sambil tertawa-tawa.
Di belakang kereta, di atas seekor kuda coklat tampak Layang Kemitir alias Utusan Dart Akhirat.
Langit di atas lembah kelam menghitam. Hujan rintik-rintik yang turun sejak tadi sore mulai mengeras disertai menderunya suara angin bertiup. Tak tampak bintang maupun bulan yang malam itu harusnya muncul bulat penuh karena purnama empat belas hari.
“Datuk, kami siap menunggu perintah berangkat!” Pengiring Mayat Muka Merah memberi tahu.
“Tunggu!” kata Datuk Lembah Akhirat seraya memandang berkeliling. “Aku tidak melihat Pengiring Mayat Muka Hitam! Di mana beradanya anjing kurap satu itu!”
Ketika dia tetap tidak melihat pembantu utamanya itu maka sang Datuk berpaling pada Pengiring Mayat Muka Merah. Yang ditanya tampak agak gugup hingga Datuk Lembah Akhirat menjadi curiga.
“Mendekat ke sini!” perintah Datuk Lembah Akhirat. Begitu si muka merah sampai di hadapannya sang Datuk segera jambak rambutnya dan membentak.
“Kau tahu di mana dia! Lekas katakan padaku! Kalau tidak kupatahkan batang lehermu!”
“Maafkan aku Datuk…” kata Pengiring Mayat Muka Merah meringis kesakitan. Kepalanya terasa seperti mau tanggal. “Pengiring Mayat Muka Hitam masih mengatur sesuatu di ruang kediamannya. Dia akan segera menyusul….”
“Apa maksudmu mengatur sesuatu?!” bentak Datuk Lembah Akhirat alias Suto Angil. “Mengapa bangsat itu berani memisahkan diri tanpa perintah dariku! Ayo jawab! Jangan berani dusta muka merah! Nyawamu tak ada harganya bagiku! Kau seharusnya sudah kujadikan mayat tujuh bulan lalu! Mungkin saat ini kau minta mampus lebih cepat!”
“Anu…. Menjelang malam tadi…. Anu….”
Datuk Lembah Akhirat jadi tak sabaran. Dia berjongkok di atas kereta.. Tangan kirinya menyambar ke bawah meremas “anu”-nya Pengiring Mayat Muka Merah hingga orang ini menjerit kesakitan. “Aku akan remas hancur kau punya barang kalau masih memberi penjelasan tak karuan!”
“Maafkan aku Datuk…. Menjelang malam tadi entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul tiga ekor babi besar dan gemuk-gemuk….”
“jahanam kurang ajar! Aku sudah tahu apa yang terjadi! Dasar manusia dajal salah kaprah! Doyannya hanya binatang! Sukanya hanya sama babi! Bangsat mesum celaka! Panggil manusia laknat itu cepat!” Teriak Datuk Lembah Akhirat.
Seperti diketahui Pengiring Mayat Muka Hitam memang punya kelainan dalam mengumbar nafsu kotornya.
Pengiring Mayat Muka Merah cepat menggebrak kudanya dan lakukan apa yang diperintah. Tak lama kemudian dia muncul bersama Pengiring Mayat Muka Hitam yang datang sambil menggiring seekor kuda. Tangan kanannya memegang tali kekang kuda sedang tangan kirinya berada di balik jubah tidak henti-henti-nya menggaruk bagian tubuh di bawah perutnya.
“Plaaakkk!”
Tamparan Datuk Lembah Akhirat mendarat di pipi kanan Pengiring Mayat Muka Hitam hingga orang ini melintir dan jatuh tergelimpang di tanah becek. Se-belum dia sempat bangun Datuk Lembah Akhirat melompat dari kereta, langsung injakkan kaki kanannya di leher Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Kau tahu kesalahanmu Muka Hitam?!”
“Aku tahu Datuk. Harap sudi memberi maaf…” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam dan tangan kirinya tetap saja menggaruk-garuk selangkangannya.
“jahanam! Kau kulihat menggaruk terus! Apa masih belum puas menggerayangi babi-babi itu?!”
“Maafkan aku Datuk. Mungkin ini dosa aku tidak mengikuti perintah. Tak pernah gatal-gatal seperti ini terjadi padaku….”
Datuk Lembah Akhirat tendang perut si muka hitam hingga orang ini mengeluh tinggi kesakitan. “Berdiri cepat! Lekas pimpin rombongan menuju Telaga Gajahmungkur!”
Sambil satu tangan pegangi perut yang sakit dan tangan yang lain menggaruk terus, Pengiring Mayat Muka Hitam segera bangkit berdiri lalu naik ke atas kuda coklatnya. Dia langsung menuju ke depan siap memimpin rombongan.
Datuk Lembah Akhirat melompat naik ke atas kereta. Dia memberi isyarat pada pengawal yang memegang terompet tanduk kerbau. Begitu pengawal meniup terompet, kusir kereta segera menyentakkan tali kekang. Dewa Sedih melolong tinggi.
“Hujan telah berhenti. Kaki mulai melangkah. Roda kereta mulai berputar. Padahal langit masih hitam. Purnama tak kunjung muncul. Hatiku sedih! Apakah ada kehidupan dalam kegelapan? Hik… hik… hik!”
“Dewa Sedih!” membentak Dewa Ketawa. “Jangan jadi orang gila! Saat ini bukan saat bersedih. Tapi tertawa gembira! Kita akan berbuat kebajikan berebut pahala. imbalan harta dan jabatan sudah menunggu! Mengapa musti bersedih! Ha… ha… ha!”
Sebenarnya Datuk Lembah Akhirat merasa bising dan sangat terganggu dengan tingkah dua kakek aneh ini. Dalam hati dia berkata. “Kalian boleh bertingkah sinting! Boleh menangis, boleh mengumbar tawa. Bila tiba saatnya kalian akan kujadikan bangkai tanpa ujud!”
Sementara itu di sebelah depan, di atas kuda coklat tunggangannya Pengiring Mayat Muka Hitam kelabakan menggaruk habis-habisan terus menerus bagian bawah perutnya. Tidak digaruk gatalnya bukan kepalang. Digaruk rasa gatal malah menjadi-jadi.
“Jahanam! Kutuk apa yang jatuh padaku! Tiga ekor babi gemuk itu! Pasti ada yang tidak beres! Binatang-binatang laknat!” Si muka hitam lalu menggaruk kembali tiada hentinya.

************************

Hujan lebat mengguyur kawasan barat Telaga Gajahmungkur. Para tokoh silat yang ada di sana mendekam basah kuyup di bawah pohon. Tak ada yang bicara. Sesekali mereka memandang ke langit hitam. Hujan lebat, tak mungkin bulan purnama akan muncul. Di antara semua orang yang paling gelisah adalah Sinto Gendeng. Sampai saat itu dia masih belum melihat batang hidung muridnya, Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dewa Tuak duduk anteng di samping kekasihnya Si iblis Putih alias iblis Muda Ratu Pesolek. Tuak harum tak henti-hentinya diteguk sampai matanya kelihatan kemerahan. Tiba-tiba kakek satu ini berteriak.
“Aku melihat nyala api obor di sebelah sana!”
“Tua bangka geblek! Kau pasti sudah mabok kebanyakan minum tuak. Masakan hujan lebat begini ada nyala api. Api obor! Gila!” Memaki Sinto Gendeng.
“Jangan cuma bisa memaki! Lihat sendiri ke arah sana!” jawab Dewa Tuak lalu “gluk… gluk… gluk” dia tenggak tuak wanginya.
Sinto Gendeng dan yang lain-lainnya berpaling ke arah yang ditunjuk Dewa Tuak. Benar saja. Walau tidak bisa dipercaya tapi memang di kejauhan, di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar, di satu tempat yang agak terbuka, di bawah curahan hujan lebat kelihatan nyala api obor!
“Pemandangan gila apa pula ini! Kalau tidak kuselidiki tak senang hatiku!” kata Sinto Gendeng. Begitu dia bangkit berdiri dan melangkah ke arah api obor semua orang yang ada di tempat itu segera mengikuti. Di satu tempat yang agak terbuka sebuah obor menancap di tanah. Anehnya walau hujan mengguyur deras namun api obor terus menyala walau tidak sampai menerangi seantero tempat.
Tujuh langkah di hadapan obor, terlindung oleh bayangan kelam sebuah pohon besar duduk di tanah seorang tua renta bermuka cekung. Wajahnya berwarna kebiru-biruan. Tubuhnya yang kurus kering terbungkus oleh sebuah jubah biru sangat gombrong. Pada bagian dada jubah kiri kanan tersisip masing­masing enam buah pisau kecil. Di balik jubah itu terdapat satu sosok tubuh yang tidak lagi memiliki tangan atau kaki. Sepasang mata si orang tua terpejam. Keburukan wajahnya ditambah lagi dengan kuping kanannya yang buntung. Di sebelah kiri orang tua ini duduk terbungkuk-bungkuk seorang berdestar hitam yang agaknya adalah pembantu kakek bermuka biru itu. Sinto Gendeng dan Dewa Tuak serta Tua Gila sama-sama terkesiap saling pandang begitu melihat siapa adanya kakek yang duduk di depan obor.
Kakek Sega ia Tahu mendekati Sinto Gendeng. “Ada apa di tempat ini. Aku merasa banyak sekali orang berkumpul di sini. Namun segala keanehan agaknya berpusat pada seorang yang duduk tak jauh dari obor. Aku tak mampu melihat, hanya bisa menduga-duga.”
Di samping kiri Si Setan Ngompol ikut pula berbisik.
“Dia salah seorang dedengkot rimba persilatan,” jawab Sinto Gendeng. “Manusia langka ini aku kenal dengan nama Nyanyuk Amber. Berasal dari Pulau Andalas. Kalau aku tidak salah dia juga pernah tinggal di Gunung Singgalang, jauh sebelum beberapa tokoh lain ikut-ikutan nimbrung tinggal di sana.”
“Nyanyuk Amber…” desis Kakek Segala Tahu sementara Dewa Tuak tegak termangu-mangu. Ternyata kakek sakti ini masih hidup. Puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri. Kalau sekarang dia muncul di tanah Jawa pasti ada satu urusan besar yang tengah ditanganinya. Kita semua harap tidak berisik.
Jangan berani mengganggu.” (Mengenai riwayat Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul Raja Rencong Dari Utara).
Di depan obor orang yang dikenal dengan nama Nyanyuk Amber itu angkat kepala sedikit lalu buka kedua matanya. Ketika kelopak mata terbuka semua orang jadi bergidik. Mata si kakek muka biru ternyata hanya merupakan sepasang rongga kosong menyeramkan.
Aku tahu betul riwayat sepasang mata orang tua itu…” bisik Sinto Gendeng pada Dewa Tuak. “Muridnya sendiri yang menyiksa dan mengorek kedua matanya!” Dia memandang berkeliling lalu berkata. “Aneh, begini banyak orang berkumpul di tempat ini, aku tidak melihat manusia biang racun pangkal musabab semua urusan kapiran ini. Aku tidak melihat Tua Gila!”
“Dia tahu kalau dirinya banyak bersalah. Mana dia berani memperlihatkan batang hidung…” yang menjawab dengan suara perlahan adalah Dewa Tuak.
Dengan sepasang matanya yang kosong melompong Nyanyuk Amber memandang berkeliling. Ke arah orang-orang yang ada di sekitarnya, tapi bukan ke arah rombongan Sinto Gendeng yang barusan datang.
Di tempat itu tampak tegak tak bergerak seorang perempuan berusia sekitar setengah abad berpakaian serba biru. Wajahnya masih membayangkan kecantikan di masa muda. Dia bukan lain adalah Bululani alias Iblis Pemalu yang telah meninggalkan penyamarannya sejak riwayatnya tersingkap di Lembah Merpati tempo hari.
Di sebelah kiri Iblis Pemalu berdiri nenek bertopi bagus menyerupai tanduk kerbau pertanda dia adalah Sabai Nan Rancak. Di dekat nenek ini, agak ke sebelah belakang duduk menjelepok di tanah si bocah Naga Kuning. Walau Sabai Nan Rancak masih jengkel terhadap anak ini namun mengingat jasa orang yang telah menyelamatkannya maka dia tak mau mengusik Naga Kuning.
Orang berikutnya, yang tegak dengan kepala tertunduk di samping kanan Sabai Nan Rancak adalah Puti Andini. Lalu di sisi lain berdiri orang berpakaian dan bercadar kuning. Sepasang matanya yang biasanya berkilat-kilat kini tampak agak sayu pertanda menahan gelora batin yang amat berat.
Agak terpisah dari orang-orang itu di tanah yang ketinggian duduk seorang lelaki berambut putih, berpakaian hijau bagus. Mulutnya tak bisa diam karena selalu mengunyah sirih. Di tanah dekat kakinya terletak seperangkat tempat sirih terbuat dari emas yang ber-kilau-kilau tertimpa cahaya api obor. Orang ini adalah Rajo Tuo Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang.
Ketika melihat ayahnya, Panji yang juga dikenal dengan sebutan Datuk Pangeran Rajo Mudo hendak berlari menghampiri orang tua itu. Namun pandangan mata Sinto Gendeng yang melotot angker membuat pemuda ini tak berani teruskan gerakannya. Di sebelahnya Puti Andini memandang pada Sabai Nan Rancak dengan hati berdebar. Sejak dia
berani meninggalkan Pulau Andalas tempo hari neneknya itu sudah marah besar terhadapnya. Kini dampratan atau hukuman apa kelak yang bakal dijatuhkan Sabai Nan Rancak atas dirinya. Apalagi dia pernah pula tidak membantu waktu Sabai Nan Rancak menginginkan Pedang Naga Suci 212.
Orang tua bermata biru angkat kepalanya sedikit ke atas. Dia berbisik sebentar dengan pembantu yang duduk di sebelahnya. Lalu dari mulutnya terdengarlah suara nyanyian yang sangat halus tapi jelas masuk ke telinga semua orang yang ada di sana.
Hujan di puncak Singgalang. Belum tentu hujan di tanah Jawa. Hujan di tanah Jawa.
Belum tentu hujan di puncak Singgalang.
Kalau Tuhan mengijinkan. Akan tersingkap segala penghalang. Akan terkuak semua yang tertutup. Akan terang semua yang gelap. Maka tak ada hujan di hati ummat
Menuntut ilmu kepalang tanggung. Berjalan tak sampai ke ujung. Menduga terbawa amarah. Pertanda hidup tak akan bahagia.
Lupakan diri yang bersalah. Ampunkan segala dosa. Buka pintu maaf lebar-lebar. Ketuk sanubarimu, ketuk hati nuranimu
Berlaku ikhlas antara saudara sedarah. Takwa pada Yang Kuasa jangan dilupa.
Bersabar sifat yang mulia. Menerima sikap yang terpuji Habiskan segala sengketa. Hilangkan segala curiga. Di situ pangkal jalan bertuah. Menuju hidup di bawah ridho Allah


*********************
Empat

Begitu suara nyanyian kakek bermuka biru lenyap maka di tempat itu hanya terdengar deru hujan yang masih mencurah turun walau kini mulai mereda. Kakek ini lalu palingkan mukanya pada orang bercadar kuning. Dari pembantu yang duduk di sebelahnya sebelumnya dia telah diberitahu kalau orang yang tegak tepat di hadapannya itu mengenakan pakaian dan cadar penutup wajah berwarna kuning.
“Insan berpakaian dan bercadar kuning. Selama belasan tahun kau dan yang lain-lainnya tenggelam dalam rangkaian hidup yang gelap. Tanpa tahu siapa diri masing-masing sebenarnya. Tanpa tahu siapa orang-orang di sekitar kalian sebetulnya, ini saat kita bertatap muka, bersentuh jiwa bersatu hati untuk mengungkapkan semua rahasia hidup. Aku bersyukur masih hidup hingga dalam usia yang begini uzur masih bisa berbuat kebajikan. Aku juga berterima kasih karena kau mempercayakan diriku untuk menjadi penutur dalam menyingkapkan rahasia hidup kalian. Menyibak tirai hitam, membalikkan tirai kelabu, membentang tirai putih. Namun sebelum kita mulai perkenankan dulu aku menyampaikan salam hormat pada beberapa sahabat lama yang barusan datang dan hadir di tempat ini.”
Hampir semua orang yang mendengar ucapan itu sebenarnya tidak sabar. Terutama Sabai Nan Rancak, Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan Bululani.
Si muka biru lalu memandang ke jurusan Sinto Gendeng dari para tokoh lainnya.
“Penciumanku kurang tajam. Namun aku masih dapat mencium bau seorang sahabat. Aku Nyanyuk Amber menyampaikan salam hormat pada Sinto Gendeng. Siapa lagi nenek tua yang pakaiannya selalu bau pesing kalau bukan orang sakti dari puncak Gunung Gede. Sinto, terima salam hormatku!” Orang tua bermuka biru yang matanya bolong itu bungkukkan badan.
Sinto Gendeng merasakan tenggorokannya tercekik. Dalam hati si nenek memaki, “Sialan si tua bangka dari seberang ini. Di depan begini banyak orang enak saja dia menyebut aku berpakaian selalu bau pesing!” Setelah batuk-batuk maka Sinto Gendeng menyambut ucapan orang.
“Terima kasih. Salam juga untukmu Nyanyuk Amber. Aku merasa senang berjumpa denganmu. Ternyata kau masih awet muda. Hik… hik… hik!”
Kakek buta bermuka biru ikut-ikutan tertawa mengekeh.
“Nyanyuk Amber,” kata Sinto Gendeng, “Patut kau ketahui yang santar bau pesingnya adalah tokoh silat sahabatku bergelar Si Setan Ngompol. Saat ini dia ada didekatku!”
“Ah!” Nyanyuk Amber kembali membungkuk. “Hormatku untuk tokoh yang kepandaiannya langka dan tinggi. Kalau dicari sulit bertemu. Sungguh aku bahagia dan mendapat kehormatan. Setan Ngompol, terima salam hormatku!”
“Aku terima dan aku kembalikan! Doakan agar penyakit ngompolku bisa sembuh!” kata Setan Ngompol pula. Lalu tertawa terpingkal-pingkal dan akibatnya “seerrr!” Kencingnya kembali terpancar!
Nyanyuk Amber mendongak ke atas. Cuping hidungnya kembang kempis. Lalu dia tertawa lebar-lebar. “Ada bau harum tuak murni tuak kayangan. Siapa pemilik dan si tukang minumnya tak meleset pastilah sahabat kentalku bernama Suro Lesmono bergelar
Dewa Tuak. Ha… ha… ha! Sobatku, terima salam hormatku!” Seperti tadi Nyanyuk Amber lantas membungkuk hormat.
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Terima kasih atas penghormatanmu. Harap kau terima pula salam hormatku!” Dewa Tuak lalu menjura dalam-dalam.
“Tadi telingaku menangkap suara merdu! Kerontangan kaleng. Di delapan penjuru angin rimba persilatan hanya ada satu manusia aneh yang memiliki kaleng penyejuk liang telinga itu. Hik… hik… hik! Kakek Segala Tahu, benarkah kau ada di dekatku saat ini?”
Didahului dengan menggoyangkan kalengnya tiga kali berturut-turut Kakek Segala Tahu lalu mendatangi Nyanyuk Amber dan memeluk orang tua itu erat­erat.
“Kita sama-sama tua! Sama-sama sudah karatan. Sama-sama buta! Tapi hati kita sama-sama terbuka! Ha… ha… ha!” Kakek Segala Tahu tertawa panjang dan kerontangkan lagi kalengnya.
“Walau aku tidak melihat, tapi aku tahu ada banyak orang pandai baik yang masih muda maupun yang sudah lanjut seusiaku. Jika tidak keberatan harap suka memperkenalkan diri. Aku ingin pertemuan sekali ini menjadi kenangan indah bila aku kembali ke Pulau Andalas….”
Maka satu per satu orang-orang dalam rombongan Sinto Gendeng memberikan salam hormat dan memperkenalkan diri masing-masing.
“Terima kasih kalian telah memperkenalkan diri. Ternyata kalian memang orang-orang hebat dunia persilatan.” Nyanyuk Amber berpaling ke arah Sinto Gendeng. “Sinto, aku tidak mendengar muridmu si Wiro Sableng ada di sini. Setiap aku mengingat pemuda itu aku selalu geli dan ingin sekali bertemu. Dia yang dulu menyelamatkan dan mendukungku keluar dari sarang maut muridku si Raja Rencong. Di mana anak itu?”
“Anak setan itu tak ada di sini Nyanyuk! Begitu kelakuannya. Kalau dicari dan diperlukan tak pernah ada!” jawab Sinto Gendeng.
“Sayang anak itu tak ada di sini. Juga sayang sekali ada seorang sahabat lama yang sama-sama dari tanah seberang tidak menampakkan diri di sini. Tapi aku menaruh firasat sebenarnya dia sudah berada di antara kita….” Tanpa memberi tahu nama semua orang yang ada di situ sudah maklum kalau yang dimaksud Nyanyuk Amber adalah Tua Gila. Nyanyuk Amber melanjutkan ucapannya.
“Para sahabat orang-orang gagah rimba persilatan. Aku menyirap kabar banyak peristiwa berdarah terjadi di Pulau Andalas dan tanah Jawa ini. Aku juga sudah menduga bahwa kehadiran kalian ada sangkut pautnya dengan semua kejadian itu. Dan kabarnya semua peristiwa berpangkal dari apa yang disebut Lembah Akhirat. Keadaanku yang begini tidak memungkinkan untuk membantu kalian. Lagi pula aku tidak mau menyinggung perasaan kalian karena aku percaya kalian bisa menyelesaikan urusan ini. Namun jika aku si tua renta ini boleh memberi nasihat harap kalian suka mendengar satu lagi nyanyianku.
Maka Nyanyuk Amber pun kembali lantunkan nyanyian dengan suaranya yang halus.
Manusia hanyalah makhluk lemah
Jangan pongah pada kekuatan sendiri
Jangan rendahkan kekuatan lawan
Dalam kelemahan ada kekuatan
Dalam kekuatan ada kelemahan
Manusia hadapi dengan manusia
Binatang hadapi dengan binatang
Yang gaib hadapi dengan yang gaib
Di atas semua itu panjatkan doa
Mohonkan pertolongan pada Illahi
Jangan terpengaruh pada apa yang dilihat
Jangan tertipu pada kenyataan palsu
Berpikir mencari jalan Agar yang jahat dapat dikalahkan
Sumber kekuatan hanyalah dua
Yang putih dan yang hitam
Yang berasal dari Yang Maha Kuasa
Yang berasal dari iblis durjana
Di atas semua itu tak ada yang menandingi kebenaran
Karena kebenaran datangnya dari Yang Satu
Panjatkan doa kepadanya Mohonkan pertolongan hanya pada Illahi
Kakek Segala Tahu pejamkan mata putihnya, mendongak ke langit coba meresapi dan mengkaji isi nyanyian Nyanyuk Amber itu.
Sementara itu hujan telah reda. Sesaat keadaan sunyi senyap. Orang tua bermuka biru berpaling pada orang bercadar yang tegak di depannya.
“Insan bercadar dan berpakaian kuning. Saatnya kita berbagi cerita, berbagi rasa dan upaya. Apakah kau dan yang lain-lainnya telah siap?”
“Dalam hati berdebar dan jantung berdetak, kami semua siap menurutkan kehendak. Singkapkan segala rahasia hingga lenyap silang sengketa. Pulihkan semua hati hingga musnah segala duga dan sangka. Semoga kita semua mendapat berkah. Namun sebelum kita mulai terima terlebih dahulu salam hormat dari kami semua.” Si cadar kuning, diikuti oleh Bululani, Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, Sabai Nan Rancak serta Puti Andini dan Panji sama-sama menjura memberi hormat.
“Orang tua bernama Nyanyuk Amber,” orang bercadar berkata. “Walau rasa gembira mulai menyejuk hati. Namun ada sesuatu yang menjadi ganjalan. Orang, yang paling berkepentingan dalam semua urusan ini masih belum menampakkan diri.”
Nyanyuk Amber tersenyum. “Orang yang kau maksudkan itu tak usah dipikirkan. Karena sebenarnya dia ada di dekat sini tapi belum mau memperlihatkan diri. Tunggu saja.” Nyanyuk Amber memandang berkeliling dengan matanya yang bolong. “Kalian semua dengar baik-baik. Aku tidak akan mengulang-ulang bicaraku. Apa yang aku katakan adalah kebenaran, jauh dari dusta, jauh dari prasangka dan maksud tidak baik. Aku akan mengatakan apa yang aku tahu. Tanpa pamrih. Aku mulai dengan yang bernama Bululani alias iblis Pemalu. Kau ada di sini cucuku…?” Nyanyuk Amber memanggil Bululani yang berusia sekitar setengah abad itu dengan sebutan cucu. Berarti dapat dibayangkan berapa sebenarnya usia kakek satu ini. Tidak kurang dari 150 tahun!
“Saya ada di sini Kek,” jawab Bululani yang selama ini dikenal dengan julukan Iblis Pemalu.
“Bagus! Cucuku, aku mendapat penjelasan pada pertemuan terakhir di Lembah Merpati, kau telah menuturkan riwayatmu panjang lebar. Kau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang juga kemudian kau ketahui melahirkan seorang anak perempuan atau adik kembarmu. Betul begitu, Bululani?”
Yang ditanya mengiyakan sambil anggukkan kepala.
“Kau juga mempunyai dugaan bahwa orang bercadar kuning itu adalah saudaramu. Adik kembarmu. Betul begitu?”
“Betul Kek,” jawab Bululani sambil melirik pada orang bercadar kuning. Yang dilirik walau berusaha tenang dan tak kelihatan wajahnya namun jelas tampak tubuhnya bergeletar.
“Untuk membuktikan orang ini saudara kembar Bululani aku harap dia suka membuka cadarnya agar wajahnya bisa kelihatan dengan jelas!” Yang bicara lantang adalah Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk Amber tersenyum. “Saat untuk itu akan tiba. Harap kau bersabar. Mendengar suaramu bukankah kau yang dikenal dengan nama Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang?”
“Terima kasih kau tahu siapa diriku,” jawab Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk Amber tersenyum. Dia berpaling ke kiri di arah mana menurut bisikan pembantunya Rajo Tuo Datuk Paduko Intan duduk mengunyah sirih. Lantas orang tua ini berkata.
“Harum sirihmu sedap sekali. Sayang mulutku sudah ompong tak bisa lagi menikmati lezatnya sirih. Orang bergelar Datuk Paduko Intan terlahir bernama Sidi Kuniang, apa betul dalam pertemuan di Lembah Merpati tempo hari kau mengatakan bahwa istrimu adalah seorang bernama Andamsuri dan ibu mertuamu adalah seorang bernama Sabai Nan Rancak….”
“Tidak sudi! Aku tidak sudi!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Sabai…” tegur Nyanyuk Amber dengan suara tetap halus. “Sudi atau tidak bukan itu masalahnya. Kau menghadapi satu kenyataan hidup guratan tangan Tuhan yang tak bisa diubah, disembunyikan ataupun dihapus. Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang adalah menantumu, suami Andamsuri. Andamsuri sesuai dengan pengakuanmu sendiri di Lembah Merpati adalah anakmu. Bululani mengaku bersaudara kembar dengan Andamsuri. Berarti Bululani adalah anakmu juga….”
“Tidak mungkin! Aku hanya melahirkan satu anak. Si Andamsuri itu!” jawab Sabai Nan Rancak dengan suara keras lalu terisak menahan tangis.
“Sabai, kau mengingkari keterangan nyata bahwa sebenarnya kau melahirkan sepasang anak perempuan. Kembar. Bululani lahir duluan sebagai kakak.. Menyusul Andamsuri sebagai adik. Namun waktu Andamsuri lahir kau berada dalam keadaan pingsan sedangkan Bululani pada saat itu juga langsung diambil orang.”
“Tidak mungkin. Semua ini tidak mungkin! Kalian pasti telah mengatur semua ini! Gila! Gilaaa!”
“Sabai…” kata Nyanyuk Amber lagi. “Tak ada yang paling gila di dunia ini selain mengingkari siapa diri kita, siapa keturunan kita….”
Mulut Sabai Nan Rancak jadi terkancing. Isak tangisnya terhenti. Hanya sepasang matanya memandang membeliak pada kakek bermuka biru itu. Lalu beralih menatap Bululani. Dada si nenek berdebar keras. Matanya berkaca-kaca. Namun hatinya masih
belum bisa digoyahkan. Pandangannya kemudian ditujukan pada Puti Andini. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan bergetar.
“Kalau Bululani memang anakku, lalu di maha adik kembarnya si Andamsuri yang tentunya adalah ibu dari cucuku Puti Andini yang di sana itu!”
Sesaat suasana menjadi hening. Semua orang tak tahu mau mengarahkan pandangannya ke mana. Di utara kilat menyambar. Menyusul suara halilintar menggoncang kawasan telaga. Pada saat itulah tiba-tiba orang bercadar kuning berlari menghampiri Sabai Nan Rancak lalu jatuhkan diri, berlutut di tanah di hadapan si nenek.
“Ibu….” Suara orang bercadar tercekik. Bahunya berguncang menahan tangis. “Aku… akulah Andamsuri anakmu yang durhaka dalam kemalangan dan derita hidupnya….” Orang bercadar hanya bisa berkata sampai di situ. Setelah itu tangisnya menghambur dan dia jatuhkan diri sambil memegangi pergelangan kaki Sabai Nan Rancak.
Sabai Nan Rancak membeliak. Lalu dia menatap ke langit sambil pejamkan mata. Dia seolah tidak percaya akan pendengarannya. Dia seolah tak mau bergeming pada kenyataan yang barusan diucapkan orang bercadar. Namun bagaimanapun tegarnya Sabai Nan Rancak, menghadapi semua itu hatinya menjadi luluh dan rapuh. Dia membungkuk, menolong orang bercadar berdiri. Dengan suara gemetar dia berkata.
“Jika kau memang anakku, mengapa tak kau buka kerudung kuning yang menutupi wajahmu. Perlihatkan padaku bahwa wajahmu sama dengan wajah Bululani….”
Mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu orang bercadar tarik kain kuning yang selama ini menutupi kepala dan mukanya. Begitu cadar terlepas kelihatan satu wajah perempuan berusia sekitar lima puluh tahun, masih cantik walau berusia lanjut. Mata Sabai Nan Rancak kembali terbelalak. Kalau dia melihat memang jelas ada kesamaan wajah Bululani dengan orang yang tegak di depannya maka semua prang yang ada di tempat itu melihat kesamaan wajah antara Bululani, Andamsuri dan Sabai Nan Rancak.
“Ya Tuhan, mukjizat apa yang kau berikan padaku ini…” bisik Sabai Nan Rancak lalu dirangkulnya tubuh orang yang tegak di hadapannya itu. “Anakku, terlalu lama aku menahan derita ini….”
“Ibu, anakmu mohon maafmu….”
“Tak ada yang harus dimaafkan Andam. Malah kalau aku pikir, tubuh tua inilah yang banyak dilamun dosa….” Air mata runtuh membasahi pipi Sabai Nan Rancak. Kemudian pandangannya membentur sosok Bululani di sebelah sana. Sabai berbisik. “Mari kita temui kakakmu. Jangan biarkan dia sendirian di sana. Mulai saat ini kita tidak akan berpisah lagi….”
Belum sempat Sabai Nan Rancak serta Andamsuri bergerak mendekati Bululani, justru tiba-tiba Bululani yang menghambur ke arah kedua orang itu. Selagi ketiganya berpelukan dan bertangis-tangisan satu pekikan melengking di tempat itu.
“Ibu!”
Puti Andini lari ke arah Andamsuri dan memeluk ibu kandungnya itu erat­erat. Kembali ratap tangis memenuhi tempat itu.
“Anakku,” kata Andamsuri dengan suara bergetar disusul tangis meledak. Tangannya tiada henti membelai rambut dan menciumi wajah puterinya itu.
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan tegak termangu menyaksikan semua itu. Di sebelahnya tahu-tahu telah berdiri Panji. Ayah dan anak ini seolah terpencil di satu tempat yang mereka
tidak pernah menduga. Tak tahu mau berbuat apa. Datuk Paduko Intan mengusut matanya yang basah berulang kali. Dia baru mengisak keras setelah Panji memeluknya.
“Ayah, kau harus melakukan sesuatu. Kau harus meminta maaf pada Ibu Andamsuri. Kau harus meminta maaf pada Nenek Sabai, pada semua orang….” Ucapan si pemuda terhenti. Di bawah pemandangannya yang berkaca-kaca dia melihat seorang kakek berkepala botak melangkah mendatangi. Dari keterangan Puti Andini dia sudah tahu bahwa orang tua ini bukan lain adalah Tua Gila. Tanpa sadar Panji berteriak. “Kakek Tua Gila datang!”
Semua orang jadi kaget. Sabai Nan Rancak langsung lepaskan pelukannya dari tubuh Bululani. Semua mata ditujukan pada kakek yang melangkah bungkuk tertatih-tatih sambil membuka topeng tipis yang menutupi muka dan kepalanya. Kini kelihatan wajahnya yang asli. Memang dia adalah Tua Gila alias Sukat Tandika.
Sinto Gendeng membuang muka ke jurusan lain melihat bekas kekasihnya di masa muda ini. Sabai Nan Rancak kepalkan kedua tinjunya. “Aku sudah curiga waktu di lembah dulu. Jadi memang dia rupanya!” Si nenek geram sekali. Tapi ketika pandangan sayu Tua Gila membentur matanya, hatinya jadi tak karuan rasa. Kemarahan terhadap manusia yang paling dibencinya itu tak mungkin dipupus. Namun saat itu entah mengapa ada rasa lain di lubuk hati si nenek. Kemarahan dendam kesumatnya terhadap laki-laki itu kini berubah tak lebih dari pada menyesalan atas diri sendiri. Perlahan-lahan Sabai Nan Rancak hanya bisa tundukkan kepala. Lalu menangis tersedu-sedu.
Ha nya satu orang yang tak habis mengerti yakni Rajo Tua Paduko Intan. “Heran! Waktu di pulau tempo hari, kakek ini mengaku bernama Wiro Sableng. Ternyata sebenarnya dia adalah Tua Gila. Mertuaku sendiri!” Paduko Intan tidak tahu kalau saat itu Tua Gila menyebut namanya asal-asalan saja.
“Kek!” Puti Andini memanggil lalu menghambur ke dalam pelukan Tua Gila.
“Cucuku, aku merasa bahagia akhirnya semua yang selama ini merupakan tabir gelap diantara kita berhasil disingkap. Nyanyuk Amber, terima salam hormat dan rasa terima kasihku.” Berkata Tua Gila.
Panji yang sejak tadi tegak tertegun berlari ke hadapan Tua Gila, memeluk orang tua ini. “Panji, kau juga cucuku, Nak….”
“Terima kasih kau mau mengakuiku sebagai cucu Kek.” Kata si pemuda. Lalu Panji memegang lengan Puti Andini. Saat itulah si gadis tak dapat lagi menahan ledakan kekecewaan di lubuk hatinya. Setelah tahu bahwa Datuk Paduko Intan adalah ayah si pemuda sedangkan dirinya adalah anak Datuk Paduko Intan dari Andamsuri putuslah semua harapan masa depan untuk dapat hidup bersama dengan pemuda itu. Karena Panji ternyata adalah saudaranya satu ayah!
“Tuhan….” rintih Puti Andini dalam hati. “Kau. berikan aku ibu dan ayahku. Tapi mengapa kau ambil dariku pemuda yang aku kasihi!” Rintihan si gadis sempat terdengar oleh Panji. Hatinya ikut hancur. Dirangkulnya bahu Puti Andini. “Adikku…” bisik si pemuda.
Suasana ratap tangis itu dikejutkan oleh suara kerontangan kaleng rombeng Kakek Segala Tahu. Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Setan Ngompol terbeser-beser.
“Tua bangka sinting! Kau selalu merusak suasana!” semprot Sinto Gendeng.
Nyanyuk Amber tersenyum.
“Tuhan telah menunjukkan kebesaranNya. Rahasia hidup telah tersingkap. Sekarang tinggal bagaimana kalian mengatur diri dan hati agar mampu menjalani sisa hidup ini sebaik-baiknya….” Nyanyuk Amber memandang ke jurusan Bululani yang masih berpeluk-pelukan dengan Sabai Nan Rancak dan Andamsuri. “Cucuku Bululani, ada satu hal yang perlu aku terangkan padamu.
Menyangkut diri kakak angkatmu bernama Bululawang. Orang itu masih hidup. Dia…”
“Orang tua sakti. Bukankah kakakku itu telah menemui ajal di tangan Manusia Paku?” ujar Bululani pula.
Nyanyuk Amber gelengkan kepala. “Tidak, kakakmu itu masih hidup. Sejak dia meninggalkan tempat kediaman ayah angkatmu, dia memencilkan diri di sekitar kawasan Gunung Kidul sambil bersemadi dan menimba ilmu….”
“Lalu Bululawang yang katanya mati di tangan Manusia Paku itu….”
“Orangnya bermata juling. Tubuhnya pendek dan di tengkuknya ada punuk. Aku yakin kakak angkatmu tidak sejelek itu,” kata Nyanyuk Amber lalu tertawa lebar. “Bululawang palsu itu adalah seorang Datuk sesat yang sengaja memakai nama kakakmu untuk mendapatkan nama karena kakak angkatmu sebenarnya adalah seorang tokoh besar. Hanya saja dia lebih suka hidup menyendiri.”
“Terima kasih atas keteranganmu itu Kek,” kata Bululani. “Jika urusan di sini sudah selesai aku akan pergi ke Gunung Kidul mencari kakakku itu.”
“Itu memang satu hal yang patut kau lakukan. Kau harus mencari kakakmu. Minta dia agar menyudahi pemencilan diri. Katakan padanya lama-lama mendekam di tempat sunyi dan bersemadi dia bisa jadi manusia bulukan!” Si kakek tertawa mengekeh. Lalu pada pembantunya dia berkata. “Tugas kita sudah selesai. Negeri kita jauh di seberang. Makin cepat berangkat pulang makin baik….”
Saringgih segera mendukung Nyanyuk Amber lalu mencabut obor yang menancap di tanah. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-tiba kakek bermuka biru berkata.
“Tunggu! Ada sesuatu yang aku lupakan….” Nyanyuk Amber memandang berkeliling. “Pemuda bernama Panji! Mendekatlah ke sini!”
Panji yang tegak termangu di sebelah Puti Andini tersentak kaget. Walau dalam bingungnya dia segera mendatangi.
“Anak muda, aku maklum betapa kecewanya hatimu mengetahui bahwa Puti Andini adalah saudaramu satu ayah. Jadi tak mungkin kau merencanakan masa depan bersamanya. Tabahkan hatimu! Kau justru harus berbahagia karena mendapatkan karunia Tuhan berupa seorang adik cantik jelita. Kalau kau ada kesempatan aku mengundangmu untuk berjalan-jalan ke tempat kediamanku di Danau Maninjau. Hawa di sana sejuk bersih. Tidak seperti di tanah Jawa ini. Kau pasti betah tinggal di sana….” Mula-mula Panji tidak begitu memahami apa maksud orang tua itu.
“Apa jawabmu Panji?!”
Begitu sadar kalau tokoh aneh itu hendak mengambilnya sebagai murid serta merta Panji jatuhkan diri.
“Terima kasih Kek! Kalau semua urusan di sini telah selesai saya pasti akan mencarimu!”
“Anak baik! Anak bagus! Untuk pemuda semacammu Tuhan akan menyediakan seorang istri yang cantik dan setia….” Nyanyuk Amber tiup kepala Panji satu kali. Aneh, saat
itu juga si pemuda merasa ada satu kekuatan menyusup masuk ke dalam tubuhnya. Ketika dia bergerak bangkit badannya terasa ringan!
Hanya sesaat setelah Nyanyuk Amber bersama pembantunya berlalu dari tempat itu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tiupan terompet tanduk. Semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekam. Sinto Gendeng menatap ke langit. Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
“Agaknya bulan purnama tidak akan muncul! Ini satu pertanda semua rencana yang kita buat tidak berjalan seperti diharapkan. Orang-orang Lembah Akhirat cepat atau lambat akan sampai di tempat ini. Kuharap kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Atur siasat sebaik-baiknya. Kita menghadapi lawan tangguh. Jumlah mereka mungkin tidak banyak. Tapi Datuk Lembah Akhirat memiliki satu senjata yang sulit dicari tandingannya! Kalau Bujang Gila Tapak Sakti berhasil mendapatkan senjata itu mudah bagi kita untuk meng-hancurkan mereka. Tapi kalau tidak, urusan benar-benar bisa blangsak!”
“Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang sudah berada di tangannya…” kata Dewa Tuak.
“Bukan kitab itu yang aku khawatirkan. Karena mungkin saja cerita tentang Kitab Wasiat Malaikat hanya karangan si Datuk belaka. Maksudnya untuk menipu para tokoh silat dua golongan untuk bergabung dengan mereka. Justru yang aku khawatirkan ialah senjatanya berupa Sarung Tangan Penyedot Batin. Menurut Naga Kuning yang aku suruh menyelidik ke Lembah Akhirat senjata sakti itu memang berada di tangan sang Datuk. Tapi tak diketahui disimpan .di mana.”
“Aku sulit menduga apa kira-kira yang tersirat di balik nyanyian Nyanyuk Amber tadi,” berucap Sinto Gendeng. “Yang jelas ada satu pekerjaan besar dan berat harus dilakukan muridku. Tapi si anak setan itu masih belum ketahuan juntrungannya!”
“Muridmu masih dalam keadaan tak berdaya. Apa dia bisa kita andalkan Sinto?” tanya Dewa Tuak yang membuat Sinto Gendeng menjadi panas dingin.


*********************
Lima

Pengiring Mayat Muka Hitam menggaruk bagian bawah perutnya lalu mengangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
“Ada seorang gadis bertubuh gemuk luar biasa, duduk di depan gubuk di tepi jalan. Aku belum pernah melihatnya. Orangnya cantik sekali!”
Sepasang mata Datuk Lembah Akhirat membeliak. Dia memandang pada Dewa Ketawa. Kakek ini tertawa bergelak. Dia menoleh pada Sika Sure Jelantik dan Jagal iblis Makam Setan. Dua orang ini diam-diam saja. “Ha… ha! Pengganti Yuyulentik sudah aku dapatkan!” Datuk Lembah Akhirat tertawa girang lalu melompat turun dari kereta, berlari menuju gubuk dekat kelokan jalan. Di belakangnya Dewa Sedih mulai menangis.
Apa yang dikatakan Pengiring Mayat Muka Hitam memang benar. Di depan sebuah gubuk, di atas bangku panjang terbuat dari bambu tampak duduk seorang gadis bertubuh luar biasa gemuknya. wajahnya cantik sekali karena berdandan sangat apik. Dia mengenakan pakaian panjang warna biru berkilat yang pinggirannya dibelah sampai ke pinggul. Kakinya dipangkukan satu sama lain hingga pahanya yang gempal besar dan putih terlihat jelas, menyilaukan pandangan Datuk Lembah Akhirat, merangsang darahnya. Nafsunya segera menggelegak. Apa lagi sejak kematian Yuyulentik sudah sekian lama dia tidak bertemu perempuan yang disukainya.
Ketika dia hendak mendekati gadis itu Pengiring Mayat Muka Merah cepat mendatangi dan berbisik. “Datuk, harap kau berhati-hati. Tidakkah kau melihat ini satu keanehan? Kita hendak melaksanakan satu urusan besar. Jangan-jangan ini tipu daya musuh!”
Datuk Lembah Akhirat mendorong Pengiring Mayat Muka Merah saking marahnya hingga sang pembantu hampir terjungkal dari kudanya. “Dalam urusan seperti ini aku lebih tahu darimu!”
Si nenek Sika Sure Jelantik yang tadinya juga hendak memberi kisikan pada Datuk Lembah Akhirat batalkan niatnya melihat apa yang dilakukan sang Datuk. Sementara Pengiring Mayat Muka Hitam tak mau perduli karena dia lebih mementingkan menggaruk anggota rahasianya.
Sebenarnya jika Datuk Lembah Akhirat mau sedikit berpikir dan tidak dilamun nafsu dia bisa melihat satu keanehan. Gadis berbobot lebih dari seratus kati y itu duduk di atas bangku yang terbuat dari tiga batang bambu melintang. Dalam keadaan seperti itu, tiga bambu sama sekali tidak melengkung!
Dengan senyum-senyum Datuk Lembah Akhirat sampai di depan gubuk. Langsung dia menyapa sambil pegang bahu gadis gemuk. “Bidadariku, sudah lamakah kau menunggu aku di tempat ini?”
Si gadis angkat kepalanya sedikit, lontarkan senyum genit lalu berkata. Suaranya parau berat. “Menunggu lama tak jadi apa. Tapi benarkah yang berdiri di hadapan saya saat ini Datuk Lembah Akhirat, calon raja di raja rimba persilatan?!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. “Bukan calon, tapi sejak malam ini aku sudah ditakdirkan menjadi datuk serta raja dunia persilatan. Menguasai Pulau Andalas dan seluruh daratan tanah Jawa! Bidadariku, siapa namamu?” Sambil bertanya Datuk Lembah Akhirat selinapkan tangan kanannya ke balik dada pakaian si gemuk. Yang diraba
menggeliat kegelian tapi kedip-kedipkan matanya seolah keenakan membuat sang Datuk tambah gila dirangsang nafsu. “Gila betul! Seumur hidup baru kali ini aku memegang dada begini besar, keras seperti batu dan seperti ada bulu­bulunya!” Nafsu sang Datuk tambah menggelegak.
“Nama saya Buli-Buli. Datuk, kau nakal ya! Aku suka lelaki nakal. Tapi aku kurang suka bermesraan dilihat orang banyak…”
Mendengar ucapan si gadis sang Datuk segera cekal tangan Buli-Buli lalu ditariknya si gemuk ini ke dalam gubuk. Saat itu di luar terdengar suara Sika Sure jelantik berseru.
“Datuk, keluar sebentar. Aku dan teman-teman mau bicara!” Rupanya si nenek sudah curiga besar. Tapi Datuk Lembah Akhirat malah memaki dan mengusirnya. Sambil tersenyum dia lalu berkata pada si gadis. “Namamu bagus tapi aneh kedengarannya. Buli-Buli. Apa itu ada artinya?”
“Buli-Buli artinya saya punya buli-buli untuk dibuli-buli oleh buli-buli Datuk!”
Meledaklah tawa Datuk Lembah Akhirat. Lalu tawanya lenyap berganti suara hembusan nafas menggeru ketika dilihatnya Buli-Buli sengaja merosotkan pakaiannya di bagian atas hingga punggung dan sebagian dadanya tersingkap. Penuh nafsu Datuk Lembah Akhirat ciumi punggung putih berlemak dan berkeringat itu.
Si gadis menggeliat-geliat kegelian membuat sang Datuk tambah terangsang. “Datuk, saya bersedia melakukan apa saja untukmu. Tapi ada satu hal yang hendak kukatakan….”
“Hemmm….” Datuk Lembah Akhirat gigit tengkuk Buli-Buli yang melembung putih ditumbuhi bulu-bulu halus. “Aku sudah bisa menduga apa yang kau mau bilang. Kau pasti minta harta, perhiasan, uang emas atau…. Kau tahu Buli-Buli. Saat pertama aku melihatmu, aku sudah memutuskan bahwa kaulah yang akan jadi ratu pendamping diriku selaku raja di raja dunia persilatan!”
“Terima kasih Datuk mau berbaik hati begitu. Tapi yang ingin saya katakan ialah bahwa kemarin malam saya bermimpi. Dalam mimpi saya melihat ada orang mencuri sepasang sarung tangan sakti milik Datuk. Apakah senjata itu masih ada pada Datuk saat ini? Harap Datuk sudi memeriksa….”
“Hen…. Bagaimana mimpimu bisa sama dengan kenyataan yang terjadi. Namun….” Datuk Lembah Akhirat raba kantong pakaian sebelah kanan. “Kau tak usah khawatir. Sarung tangan itu masih ada padaku!”
“Bolehkah saya melihat. Karena mungkin saja senjata itu telah diganti dengan yang palsu….”
Kening Datuk Lembah Akhirat yang berwarna merah dan hijau jadi berkerut. Dengan cepat dikeluarkannya gulungan kain putih dari dalam saku pakaiannya. Baru saja dia hendak membuka gulungan kain itu tiba-tiba Buli-Buli gerakkan tangan kanannya menghantam.
“Bukkk!”
Datuk Lembah Akhirat mencelat menghantam dinding gubuk. Gubuk yang memang sudah reyot itu serta merta rubuh. Buli-Buli cepat menyambar gulungan kain di tangan kanan sang Datuk. Namun gagal karena saat itu menyambar dua larik sinar. Satu berwarna merah, satunya hitam! Yang melepaskan dua pukulan sakti mematikan ini adalah Sika Sure Jelantik dan Pengiring Mayat Muka Merah.
Buli-Buli terpekik. Gadis gemuk ini ternyata luar biasa enteng gerakan tubuhnya. Begitu berhasil menghindar dia balas menghantam. Serangkum angin luar biasa dingin
mendera tempat itu. Pengiring Mayat Muka Merah menjerit keras. Sisi kanan tubuhnya yang kena sambaran pukulan lawan mendadak sontak menjadi kaku dingin seolah diselubungi es. Dari telinga dan mata kanannya mengucur darah. Si gadis kembali berusaha merampas gulungan kain di tangan Datuk Lembah Akhirat. Namun saat itu sang Datuk yang tidak cidera sedikitpun akibat hantaman tadi telah lebih dulu berkelebat seraya mengibaskan gulungan kain putih di tangan kanannya. Di dalam gulungan kain ini tersimpan sepasang sarung tangan sakti.
Buli-Buli bermaksud hendak merampas gulungan kain kembali tapi justru lengan kanannya kena digeprak. Gadis gendut ini mengeluh tinggi. Tubuhnya tampak limbung. Geprakan sarung tangan, walau terlindung dalam gulungan kain ternyata masih mampu menyedot sebagian tenaga dalamnya! Ketika dia kembali hendak lancarkan serangan, dari belakang Sika Sure Jelantik menghantam punggungnya dengan satu totokan dahsyat hingga Buli-Buli langsung tertegun kaku.
Habis menotok si nenek tidak tinggal diam. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku hitam panjang dia merobek pakaian si gadis di bagian bawah perut.
“Datuk! Buka matamu lebar-lebar! Lihat sendiri! Barangnya tidak beda dengan barangmu! Hanya dia putih kau hitam! Hik… hik… hik!”
Mata Datuk Lembah Akhirat seperti mau keluar dari sarangnya. “Manusia banci jahanam! Siapa kau sebenarnya!” Bentak sang Datuk seraya menjambak rambut Buli-Buli. Begitu dijambak rambut itu tercabut. Ternyata rambut palsu!

************************

Langit di sebelah timur kelihatan terang. Tapi udara dingin masih membungkus kawasan Telaga Gajahmungkur termasuk bagian barat dimana para tokoh golongan putih rimba persilatan berkumpul.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu mendongak ke langit. “Aneh… aneh… aneh! Tak pernah keanehan terjadi berturut-turut seperti ini. Malam tadi hujan turun terus menerus. Bulan purnama empat belas hari tidak muncul. Malam tadi pula muncul dedengkot rimba persilatan Nyanyuk Amber. Malam tadi orang-orang Lembah Akhirat diduga hendak menyerbu. Ternyata tidak. Padahal mereka tak jauh lagi dari sini. Pagi ini langit terang di sebelah timur. Tapi tak kelihatan sang surya! Olala…. Apakah alam tidak lagi bersahabat dengan manusia?” Kakek bermata putih buta ini kembali kerontangkan kaleng rombengnya.
Tiba-tiba terdengar seruan. “Ada orang datang!”
“Aku mencium bau wangi!” teriak Sinto Gendeng.
Satu bayangan biru berkelebat dan Bidadari Angin Timur muncul di tempat itu.
“Kau! Dia yang mencuri Pedang Naga Suci 212!” seru Tua Gila tapi tanpa rasa marah dan sambil melirik pada anaknya yaitu Andamsuri yang sebelumnya dikenal sebagai orang bercadar kuning. Kakek ini lemparkan senyum sambil kedipkan matanya karena dia kini maklum Andamsuri dan Bidadari Angin Timur sengaja mencuri Pedang Naga Suci 212 sekedar menjalankan siasat agar senjata sakti itu tidak jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak atau Sutan Alam Rajo Di Bumi,
Semua mata ditujukan pada Bidadari Angin Timur. Ketika Sinto Gendeng maju, Sabai Nan Rancak yang pernah diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur cepat mendampingi berjaga-jaga. Melihat kejadian itu diam-diam Tua Gila merasa gembira. Antara beberapa orang yang sebelumnya saling bertentangan kini telah terjadi rasa saling membantu, rasa saling bersahabat.
“Aku tidak perduli kau pencuri atau bukan. Yang aku ingin tahu apakah Pedang Naga Suci 212 berada di tanganmu?!” tanya Sinto Gendeng dengan suara keras.
“Nek, aku….”
Andamsuri tak tinggal diam. Dia segera melompat ke samping Sabai Nan Rancak. “Jangan bersalah duga. Jangan berburuk kira. Agar terang biar kujelaskan. Gadis berambut pirang ini bukan maling, bukan pencuri. Apa yang dilakukannya semata-mata karena ketulusan hati, Sebelum jatuh pedang sakti ke tangan orang-orang Lembah Akhirat dia dan aku merasa perlu mengatur siasat. Dapatkan pedang sakti untuk menolong pendekar sakti. Senjata itu ada padanya. Harap jangan diambil jangan diminta. Yang perlu dicari tahu dimana gerangan Pendekar 212 adanya!”
“Anak setan itu tidak kelihatan mata hidungnya sejak malam tadi!” Sinto Gendeng berpaling pada Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku menyangka anak itu ikut bersamamu. Atau mungkin kau menyembunyikannya di satu tempat.”
Bidadari Angin Timur gelengkan kepala.
“Aku akan mencarinya sampai dapat. Jadi harap kau mau menyerahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!” kata Sinto Gendeng pula sambil pelototkan mata pada gadis berambut pirang.
Puti Andini maju mendekati Sinto Gendeng. Dengan suara halus dia berkata. “Nek, apa kau lupa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memegang pedang itu. Hanya orang tertentu pula yang boleh memilikinya. Pedang itu kepunyaanku. Sahabat berambut pirang ini mengambilnya apapun alasannya. Aku mohon kau mau mengembalikannya padaku Bidadari Angin Timur. Bukankah itu namamu…?”
Bidadari Angin Timur menjadi bimbang. Dia tahu memang Pedang Naga Suci 212 milik gadis bernama Puti Andini itu. Namun jika dia mengembalikan sekarang jelas tidak bisa dipergunakan untuk mengobati Wiro karena pemuda itu tidak ada di tempat itu.
“Aku mengalah!” berkata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan. “Biar aku tak jadi meminta pedang itu. Tapi mengapa dia tidak mau mengembalikannya pada gadis berambut panjang. Jelas hatinya culas dan maksudnya memang jahat dari semula!”
“Nenek Sinto, jangan kau salah menduga!” menyahuti Bidadari Angin Timur. “Aku dan Kakak Andam-suri mengambil Pedang Naga Suci 212 untuk menyelamatkan dari orang-orang Lembah Akhirat. Begitu berada di tangan kami akan dipergunakan untuk mengobati muridmu. Tapi malam tadi ditunggu di satu tempat Pendekar 212 tidak muncul. Aku menyelidik di beberapa tempat. Pemuda itu lenyap tak diketahui entah kemana….”
Baru saja Bidadari Angin Timur mengakhiri ucapannya, belum sempat Sinto Gendeng hendak menjawab tiba-tiba ada orang berseru.
“Pendekar 212 ditawan orang-orang Lembah Akhirat!”
Semua orang yang ada di situ menjadi geger. Semua mata diarahkan pada orang yang baru datang, berpakaian hitam, berwajah cantik dan memiliki sepasang mata biru.
“Ratu Duyung!” seru Naga Kuning dan Setan Ngompol hampir berbarengan.
“Apa kau bilang?!” teriak Sinto Gendeng. “Muridku ditawan orang-orang Lembah Akhirat? Jangan-jangan kau sendiri yang menyekapnya di satu tempat! Ayo jawab! Jangan kau berani berkata dusta!”
Paras Ratu Duyung menjadi merah. Dalam hati dia menyesali sikap dan ucapan nenek hitam yang seolah tidak pernah mengenal budi ini. Saking gusarnya Ratu Duyung lantas menjawab. “Aku tidak menyalahkan kalau kau masih saja gusar terhadapku Nek. Gara-garaku muridmu ditimpa musibah. Tapi menuduh, menghina dan melecehkan diriku terus menerus bukanlah tindakan terpuji. Aku memberitahu muridmu ditawan Datuk Lembah Akhirat. Kau malah menuduh aku yang menyekapnya. Kau lihat saja. Tak lama lagi orang-orang Lembah Akhirat akan sampai di sini. Bukan cuma muridmu yang ditawan. Bujang Gila Tapak Sakti yang menyaru jadi perempuan juga mereka tangkap dan gebuki sampai babak belur!”
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Dia memegang bahu Iblis Putih Ratu Pesolek yang tegak di sampingnya. “Kita gagal. Penyamaran Bujang Gila ketahuan. Aku merasa berdosa. Sarung tangan ular itu pasti tidak berhasil didapatkannya….”
“Aku cuma kau suruh mendandani si gendut itu. Sega la tipu daya dan siasat kau yang mengatur!” kata iblis Putih Ratu Pesolek tak mau disalahkan.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tiupan terompet. Langit tampak semakin terang walau sang surya belum juga menampakkan diri. Semua orang tampak tercekat. Tapi hanya sesaat. Sinto Gendeng kembali mendahului menyerocos.
“Sebelum lawan datang, kita harus bisa menentukan siapa lawan dan siapa teman diantara kita sendiri. Aku melihat ada musuh dalam selimut di tempat ini!”
Tua Gila yang merasa tidak enak mendengar ucapan itu segera menyahuti. “Sinto, harap kau menyebut langsung nama orangnya kalau memang ada musuh dalam selimut seperti yang kau bilang!”
Nenek sakti dari Gunung Gede itu menyeringai. “Kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu! Baik! Aku akan sebut terang-terangan orangnya! Dia adalah nenek bertopi tanduk kerbau itu! Sabai Nan Rancak! Bekas gendakmu itu!”
Merahlah wajah Tua Gila. Paras Sabai Nan Rancak tak kalah merahnya. Anak dan cucu mereka terdiam tercekat. Mereka ingin membela Sabai namun apa yang dikatakan Sinto Gendeng sulit untuk diingkari. Bukan rahasia lagi bahwa dalam rimba persilatan akhir-akhir ini tersiar kabar ada hubungan tertentu antara Sabai Nan Rancak dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Selanjutnya Sutan Alam sendiri mempunyai hubungan rahasia pula dengan Datuk Lembah Akhirat.
“Sabai! Salah atau benar dirimu kau berhak dan harus bicara membuka mulut. Aku yakin kau tidak seburuk yang disangkakan orang!”
Mendengar ucapan Tua Gila itu Sinto Gendeng tertawa tinggi. “Siapa lagi yang akan membela kalau bukan bekas kekasih sendiri!” Lalu si nenek pentang tampang cemberut.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. “Sabai, jangan biarkan keadaan bertambah buruk. Orang-orang dari Lembah Akhirat semakin dekat! Sebelum terjadi bentrokan berdarah kau harus menentukan sikap!”
Sabai Nan Rancak gigit bibirnya. Dia memandang berkeliling. Mula-mula memperhatikan Andamsuri, lalu Bululani. Kemudian beralih pada Panji dan Datuk . Paduko
Intan. Sesaat ditatapnya Puti Andini. Terakhir-sekali pandangannya lekat di wajah Tua Gila. Mula-mula suara bicaranya bergetar namun perlahan-lahan dia bisa menguasai diri.
“Arang yang tercoreng di kening memang sulit dihapus. Nama yang tercemar sukar diperbaiki. Diri yang terlanjur busuk dalam lumpur susah untuk diangkat dan dibersihkan. inilah harkat hidup di atas dunia. Pembelaan mungkin satu kesia-siaan dan bahan tertawaan ejek cemooh. Tetapi jika kalian mengalami derita sengsara hidup seperti diriku, mungkin kalian ikut meratap dalam tangisku. Derita hidup bisa membuat orang lupa dan salah melangkah. Sengsara batin bisa membuat orang tenggelam dalam malapetaka yang sebenarnya tidak diingininya. Namun, apakah seorang insan tak pernah berbuat salah dan dosa? Apakah tak ada kesesatan yang tidak mungkin diperbaiki. Apakah tak ada kesalahan yang tidak bisa diampuni. Seburuk itukan ujud dunia? Sejahat itukan hati manusia? Di usia lanjut ini aku ingin menghabiskan sisa hidupku dalam memohon ampun dan bertobat diri. Tetapi jika itu tidak menjadi bagian diriku maka aku rela menerima rajaman dari manusia dan azab dari Allah Maha Kuasa. Siapakah di antara kalian yang pertama sekali ingin menurunkan tangan menjatuhkan hukuman ke atas batok kepalaku? Aku siap menerima dengan segala keikhlasan. Mungkin ini balasan yang terbaik bagi diriku! Satu hal perlu kalian ketahui. Aku berdiri di sini bukan sebagai musuh dalam selimut. Dalam dukaku yang amat sangat aku merasa bahagia menemukan kembali anak dan cucuku. Kalau bisa aku berbuat sesuatu biarlah aku menghadapi orang-orang Lembah Akhirat itu sebagai penebus dosa!”
Suasana sehening di pekuburan. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani membuka mulut. Ada beberapa pasang mata yang tampak berkaca-kaca dan ada beberapa mata lagi yang saling melontar lirikan.
Tua Gila tiba-tiba melangkah dan tegak di samping Sabai Nan Rancak. “Semua derita sengsara, semua jalan sesat dan kesalahan yang dilakukannya berpangkal pada perbuatan diriku. Kini aku mewakili dirinya untuk menerima hukuman. Biarkan aku sendiri yang menjadi penebus segala dosa!”
Sabai Nan Rancak pejamkan mata. Lehernya tampak turun naik berusaha menahan isak. Namun dari sela-sela matanya air mata meluncur tak terbendung. Saat itu rasanya pupuslah semua dendam kesumat dan kebenciannya terhadap Tua Gila.
Kakek Segala Tahu hendak kerontangkan kalengnya. Tapi tak jadi karena dia berpaling dulu pada Dewa Tuak. Si jaga minum ini yang tahu maksud pandangan orang segera anggukan kepala. “Kau saja yang bicara….” bisik Dewa Tuak.
Kakek Segala Tahu lalu mendehem beberapa kali, baru angkat bicara. “Segala kesalahan, segala dosa tak ada artinya di mata Tuhan bilamana kita ummat manusia telah menyadari dan mau merubah diri dengan jalan bertobat. Jika Tuhan saja bersifat arif seperti itu, mengapa kita manusia yang lemah dan kotor hendak bersombong diri tidak mau melupakan dan saling memaafkan. Saat ini kita menghadapi satu urusan besar. Hancur tegaknya rimba persilatan. Lupakan segala urusan hati dan pribadi. Kita semua ber-kewajiban menyelamatkan dunia persilatan….” Kakek Segala Tahu berpaling ke arah tempat Sinto Gendeng berdiri. Walau tidak melihat tapi kakek ini diam-diam maklum kalau si nenek tidak suka mendengar kata-katanya. Maka dia meneruskan. “Jika apa yang aku ucapkan barusan adalah keliru, aku yang tua minta maaf. Tapi jika ada di antara para tokoh di sini tidak suka dengan jalan pikiranku, tinggalkan kami. Biar kami mencari jalan sendiri untuk dapat keluar dari malapetaka yang menghadang!” Habis berkata begitu si kakek
kerontangkan kalengnya. Begitu berisiknya hingga ketika suara kaleng lenyap kesunyian terasa semakin mencekam. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bersuara. Sinto Gendeng palingkan muka ke arah kegelapan. Mulutnya tampak berkomat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Ucapan Kakek Segala Tahu tadi membuat dia terpukul. Beberapa kali kemudian nenek ini menghela nafas dalam.
Di atas Telaga Gajahmungkur langit secara aneh bertambah terang. Udara semakin terasa panas. Ketika beberapa orang mendongak ke atas terkejutlah mereka.
“Matahari muncul di langit!”
Saat itu di langit memang nampak muncul sang surya, bulat penuh dan memancarkan sinarnya dengan terik. Keadaan menjadi terang benderang. Semua orang bersorak gembira. Namun Kakek Segala Tahu malah tunjukkan wajah redup gelisah.
“Aneh…” katanya perlahan. “Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu di langit sana. Akan terjadi sesuatu di permukaan bumi. Puluhan tahun hidup tidak pernah kurasakan udara begini panas!” Belum lama si kakek keluarkan perasaan hatinya itu tiba-tiba seseorang berseru.
“Lihat! Ada sesuatu bergerak mendekati matahari!”
“Astaga! Matahari menjadi merah seperti bara!”
“Jangan-jangan dunia mau kiamat!” teriak Dewa Tuak lalu cepat-cepat teguk tuak dalam bumbung sementara iblis Muda Ratu Pesolek yang tegak di sebelahnya menjadi pucat. Dia segera cekal lengan Dewa Tuak seraya berbisik ketus. “Jangan kau bicara yang bukan-bukan. Jangan menyebut-nyebut soal kiamat. Kita masih belum kawin!”
“Gluk! Hek!” Dewa Tuak sampai tercekik mendengar kata-kata si nenek.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Kepalanya didongakkan. Matanya yang putih nyalang melebar. Perlahan-lahan udara yang sebelumnya terang benderang berubah menjadi redup.
“Aku tidak melihat! Tapi aku yakin sesuatu akan terjadi! Ada sesuatu bergerak menutupi sang surya. Rembulan dan matahari akan bertindihan di satu garis lurus! Gerhana! Matahari akan mengalami gerhana!” Kata-kata terakhir si kakek keras sekali tapi sangat tercekat sehingga semua orang yang mendengar men-jadi bungkam dalam kegelisahan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar salakan anjing bersahut-sahutan. Burung-burung beterbangan kian kemari hiruk pikuk. Semua orang memandang ke langit dengan nafas seolah tertahan dan mata tidak berkesip. Ada rasa takut menyelinap, Bahkan Sinto Gendeng yang biasanya paling banyak bicara dan bertingkah kini diam mengkeret. Seumur-umur dia belum pernah melihat gerhana matahari. Di sampingnya si Setan Ngompol duduk melunjur di tanah dengan tengkuk dingin dan kencing memancar terus menerus. Naga Kuning tutupi mukanya dengan dua tangan. Di bagian lain Sabai Nan Rancak, Tua Gila, Andamsuri dan yang lain-lainnya juga ikut tenggelam dalam kebisuan yang mencekam.
Makin tertutup matahari oleh rembulan, semakin redup udara seolah siang telah berganti malam. Pinggiran. matahari membentuk gelang berwarna merah membara yang secara perlahan-lahan pupus hingga keadaan di atas Telaga Gajahmungkur saat itu benar-benar gelap gulita laksana malam.
Lapat-lapat terdengar gemuruh suara binatang buas berlarian di rimba belantara sekeliling telaga. Dari berbagai jurusan salak anjing terdengar tiada henti ditimpali suara kokok ayam bersahut-sahutan.
Dalam suasana mencekam begitu rupa mendadak terdengar suara tiupan terompet. Tak selang berapa lama rombongan Datuk Lembah Akhirat muncul di tempat itu. Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Lalu di sebelah kiri terdengar Tua Gila berteriak.
“ingat nyanyian Nyanyuk Amber! Jangan terpengaruh pada apa yang dilihat! Jangan tertipu pada kenyataan palsu! Berpikir mencari jalan! Agar yang jahat dapat dikalahkan!”


*********************
Enam

Dalam hitamnya kegelapan terdengar gemeletak roda kereta dan derap kaki­kaki kuda. Sosok-sosok binatang tunggangan dan orang-orang itu bergerak laksana hantu menuju tepi barat Telaga Gajahmungkur. Lalu terdengar suara tiupan terompet. Kalau tadi hanya sesekali, kini terus-menerus berkepanjangan.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Tua Gila, Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan semua yang ada di tepi barat telaga memandang tajam dalam kegelapan.
Tak lama kemudian rombongan dari Lembah Akhirat muncul di tempat itu. Mereka membuat gerak-an-gerakan cepat menebar demikian rupa, mengurung tepi barat telaga dalam barisan berbentuk setengah lingkaran. Karena orang-orang ini sengaja berhenti agak jauh, lagi pula suasana begitu gelap akibat gerhana matahari, cukup sulit untuk mengenali, siapa saja yang ada dalam rombongan tersebut selain Datuk Lembah Akhirat.
Suara tiupan terompet sirna. Lalu mencuat suitan panjang dalam kegelapan.
“Pasang obor!” Seseorang berteriak memberi perintah.
Enam buah obor dinyalakan oleh enam penunggang kuda lalu disisipkan di tempat yang sudah disediakan di dinding kereta. Tiga di kiri, tiga di kanan. Di bawah penerangan enam obor kini apa yang ada di tempat itu terlihat cukup jelas. Semua mata hanya sesaat memperhatikan manusia tinggi besar berpakaian hitam yang tegak di atas kereta besar yaitu Datuk Lembah Akhirat karena perhatian mereka langsung tertuju ke bagian belakang kereta.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” Tua Gila yang pertama sekali berteriak. Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan. Dua gadis ini serta merta hendak menghambur ke arah kereta tapi Tua Gila cepat memberi isyarat agar jangan melakukan sesuatu dulu.
“Anak setan! Apa yang terjadi dengan dirimu! jahanam! Siapa berani mati memperlakukan kau seperti itu!” Menyusul teriakan Sinto Gendeng.
“Bujang Gila Tapak Sakti!” Dewa Tuak berseru dari sebelah kiri.
Di bagian belakang kereta ada sebuah balok disanggah dua buah tiang tinggi. Pada balok ini tergantung sosok Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala ke bawah hanya mengenakan sehelai celana putih. Darah yang hampir mengering menodai hidung dan mulut, tubuh serta celananya. Pada bagian dada kelihatan membelintang guratan panjang, cidera akibat hantaman kaki Jagal iblis Makam Setan. Saat itu Wiro masih berada dalam keadaan tertotok hingga siapa saja yang menyaksikan pastilah menyangka pemuda ini paling tidak tengah berada dalam keadaan sekarat!
Pada dinding kereta sebelah kiri tergeletak melintang sosok gemuk berpakaian perempuan penuh robek. Mukanya bercelemong bedak tebal bercampur darah. Beberapa bagian tubuhnya lebam membiru. Orang yang berada dalam keadaan mengenaskan ini bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti. Selain masih berada di bawah pengaruh totokan, tangan dan kakinya tampak terikat.
Walau dua matanya buta namun Kakek Segala Tahu sudah bisa menduga apa yang terjadi. Terlebih sewaktu di sebelahnya iblis Putih Ratu Pesolek berbisik. “Kita benar-benar gagal. Penyamaran Bujang Gila Tapak Sakti diketahui. Sekarang dia dan Pendekar 212 berada dalam tawanan Datuk Lembah Akhirat!”
Sinto Gendeng meraung keras. Tangan kanannya langsung memancarkan cahaya putih perak menyilaukan tanda dia telah menyiapkan pukulan sakti Sinar Matahari. Kalau tidak lekas ditahan oleh Dewa Tuak pasti nenek ini sudah melesat ke atas kereta dan hantamkan pukulan mautnya pada Datuk Lembah Akhirat yang tegak di bagian depan kereta.
“Datuk jahanam! Kau apakan muridku!” teriak Sinto Gendeng dengan dada turun naik menggemuruh dan sepasang mata berkilat-kilat laksana dikobari api.
Di atas kereta Datuk Lembah Akhirat berkacak pinggang lalu tertawa bergelak. “Kalian bisa melihat, kalian bisa membaca situasi! Apa aku perlu menjawab? Ha… ha… ha!”
“Jahanam! Kurobek mulut besarmu!” Sinto Gendeng kembali mendamprat.
Datuk Lembah Akhirat menatap si nenek dengan pandangan mengejek lalu berucap. “Langit hitam! Bumi dilanda kekelaman! Gerhana di langit! Gerhana di atas Gajahmungkur. Malapetaka di atas bumi! Bumi dilanda kekelaman! Apakah itu tidak cukup menjadi pertanda bagi kalian orang-orang golongan putih! Bahwa hari ini adalah hari kehancuran kalian?! Pendekar 212 ada di tangan kami! Bujang Gila Tapak Sakti bernasib sama. Lalu masih ada seorang gadis bernama Anggini yang kusekap di Lembah Akhirat! Apa kalian masih tolol hendak melawan? Mengapa tidak lekas-lekas semua berlutut minta ampun dan tunduk menjadi kacung-kacungku! Lihat siapa para tokoh yang ada di sekelilingku!”
Mendengar muridnya disekap di Lembah Akhirat, Dewa Tuak berteriak marah. Kalau tadi dia mencegah Sinto Gendeng untuk tidak berlaku nekad maka kini dia sendiri menjadi kalap! Begitu dia bergerak Kakek Segala Tahu palangkan tongkat kayunya di depan dada Dewa Tuak. “Kita semua harus ingat pesan Nyanyuk Amber. Jangan berlaku bodoh sobatku…. Datuk keparat itu menjepit kita dengan tiga tawanan! Jangan berlaku keliru sobatku!”
“Datuk jahanam! Kalau muridku sampai cidera atau ternoda kurebus tubuhmu dengan arak sampai jadi bubur!” teriak Dewa Tuak dengan mata berapi-api. Lalu dia semburkan tuaknya ke udara. Datuk Lembah Akhirat ganda tertawa mendengar ancaman itu.
Di samping kiri kereta berdiri Dewa Sedih yang tiada hentinya keluarkan suara tangisan. Lalu Pengiring Mayat Muka Hitam yang terus-terusan menggaruk. Lebih ke kiri enam pengawal menunggang kuda. Paling ujung kelihatan pemuda berjuluk Utusan Dari Akhirat, duduk di atas seekor kuda coklat. Sikapnya seperti tidak sabaran. Dengan geram dia menatap ke arah Wiro yang terikat di atas kereta. Lalu pada Sinto Gendeng dan Tua Gila. Tiga manusia yang harus dihabisinya sesuai perintah roh gaib Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Selain mengawasi tiga orang ini sesekali pemuda ini memperhatikan Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Sejak lama dia menaruh hati pada tiga gadis ini. Diam-diam dia bertekad mendapatkan salah seorang di antara mereka. Namun dari ketiganya Ratu Duyunglah yang paling ditaksirnya.
Di samping kanan kereta Dewa Ketawa duduk di atas keledai kurus sambil mengumbar tawa. Lalu dua orang pengawal bermuka hitam. Menyusul Pengiring Mayat Muka Merah. Di sebelah dua pengawal, di atas seekor kuda hitam tegak manusia aneh Jagal iblis Makam Setan. Seperti biasa kedua tangannya berada di bawah di punggung kuda sedang sepasang kakinya di sebelah atas.
Sabai Nan Rancak sesaat memandang tak berkesip pada si Jagal iblis ini. Dia dan juga Tua Gila serta Sinto Gendeng tidak menyangka kalau manusia sakti berhati jahat ini telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat.
Di sebelah Jagal Iblis Makam Setan berdiri Sika Sure jelantik. Sejak muncul di tempat itu sepasang matanya terpantek pada sosok dan wajah Tua Gila, manusia yang paling dibencinya.
Sabai Nan Rancak menggeram dalam hati ketika dia melihat Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang ikut berada di antara orang-orang Lembah Akhirat dan tegak di ujung kiri di sebelah empat pengawal berkuda.
Yang membuat Sabai Nan Rancak jadi tambah tidak enak ialah ketika pandangannya membentur sosok manusia beralis panjang bersambung dengan dua belas lobang hitam di wajahnya.
“Hantu Balak Anam Dari Sijunjung…” kata Sabai dalam hati. “Jadi dia juga ikut berada di pihak sana….”
Di atas kereta Datuk Lembah Akhirat angkat tangan kirinya. “Kalian tidak punya daya apa-apa! Kalian harus bersyukur aku mau memberi pengampunan! Mengapa berlaku tolol tidak segera jatuhkan diri tanda minta ampun dan bergabung dengan kami?! Atau memang kalian ingin melihat Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti mati mengenaskan?!”,
Jeritan geram dan marah keluar dari mulut beberapa orang mendengar kata­kata Datuk Akhirat itu. Sinto Gendeng tetap tegak dengan tangan kanan membekal pukulan sakti Pukulan Sinar Matahari. Di sebelahnya Setan Ngompol telah pula kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Di bagian lain Ratu Duyung telah keluarkan cermin sakti sambil tangan kiri menyentuh dada mengusap Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik pakaiannya. Tua Gila diam- diam selinapkan tangan keluarkan benang saktinya sementara Sabai tegak dengan tangan terpentang memancarkan cahaya merah tanda dia telah merapal aji pukulan sakti Kipas Neraka.
“Dewa Ketawa! Dewa Sedih!” Tiba-tiba Kakek Se-gala Tahu berteriak. Dari suara tangis dan tawa dua kakek sakti itu dia sudah tahu kalau mereka berada di pihak lawan. “Kalian berdua sungguh manusia-manusia tidak berbudi! Sampai hati bergabung dengan musuh besar orang-orang golongan putih!”
Dewa Sedih meraung keras sedang Dewa Ketawa gelak mengekeh mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Dewa Tuak tak mau diam segera menimpali. “Dasar tua bangka sedeng! Kalian enak saja melihat keponakan kalian si Bujang Gila Tapak Sakti dianiaya dan ditawan Datuk Lembah Akhirat!”
Datuk Lembah Akhirat angkat tangan lalu membuka mulut. “Dewa Sedih dan Dewa Ketawa adalah dua manusia arif bijaksana. Mereka menyadari tingginya langit dalamnya lautan dan mau bergabung dengan kami!” Sang Datuk lalu berpaling pada Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Sutan Alam! Aku melihat satu pemandangan yang membuat mata ku jadi sepat! Sabai Nan Rancak kekasihmu itu berada di pihak musuh! Kau hanya berdiam diri saja?!”
Mendengar ucapan sang Datuk maka Sutan Alam berseru. “Sabai, kau masih punya kesempatan untuk diampuni asal segera bergabung dengan kami!”
“Kalian dua kakak adik manusia celaka! Sudan cukup kalian menipuku! Sutan keparat! Kau yang pertama kali akan kubunuh!” teriak Sabai.
Selagi orang berperang mulut, Andamsuri dekati Kakek Segala Tahu lalu membisikkan sesuatu. Si kakek lantas saja goyangkan kalengnya tiada henti. Andamsuri yang saat itu masih mengenakan pakaian kuning tapi tanpa cadar lagi memberi isyarat pada Ratu Duyung. Sang Ratu memberi tanda pada Bidadari Angin Timur. Antara ke dua gadis ini agaknya telah pupus segala sakit hati dan perselisihan. Yang ada dalam pikiran mereka saat itu adalah bagaimana menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan juga Bujang Gila Tapak Sakti.
“Dewa Sedih! Orang-orang tolol tidak mau berpikir! Keluarkan ratapanmu pengantar kematian mereka!”
Mendengar perintah Datuk Lembah Akhirat maka Dewa Sedih meraung keras. “Sang surya tertutup rembulan. Orang menyebutnya gerhana! Aku menyebutnya malapetaka! Hatiku sedih! Hik… hik… hik! Hati manusia tertutup kebodohan. Otak manusia tertindih batu ketololan! Hatiku sedih! Orang-orang golongan putih apa yang kau cari di tepi barat Telaga Gajah-mungkur! Apa kalian tidak melihat pertanda alam? Kalian bernasib buruk. Aku meratap karena kalian akan mati tak berkubur! Hik… hik… hik!”
Baru saja Dewa Sedih hentikan tangisnya, tiba-tiba dari belakang sana terdengar suara orang menggerung. Lalu ada anak kecil ikut-ikutan menangis meniru ratapan Dewa Sedih.
“Orang pandai menggaruk kepalanya. Orang tolol menggaruk selangkangannya! Aku sedih! Hik… hik… hik! Para tokoh silat sesat golongan hitam! Apa yang kau cari di tepi barat Telaga Gajahmungkur ini? Di dalam gelap gerhana matahari tidakkah kalian lihat pertanda alam? Salah seorang dari kalian menggaruk tiada henti hingga auratnya bengkak dan lecet! Hatiku sedih! Apa kalian semua mau ketularan kegatalan dan lecet barang masing-masing? Hik… hik… hik!”
Beberapa orang keluarkan suara tertahan. Setan Ngompol terkekeh-kekeh hingga mancur air kencingnya. Sinto Gendeng cepat menutup mulutnya namun tak urung suara cekikikannya masih membersit keluar. Datuk Lembah Akhirat pelototkan mata.
Dewa Sedih kerutkan kening mendengar ratap tangis itu. Pengiring Mayat Muka Hitam yang sadar kalau dirinya yang dituju orang dengan ratapan tadi menyumpah habis-habisan. Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba menggembor keras. Ketiga orang ini, diikuti oleh yang Lain-lain memandang ke jurusan datangnya suara tangisan. Yang menangis ternyata adalah Naga Kuning si bocah konyol yang sebenarnya berusia 120 tahun!
“Pengiring Mayat Muka Hitam!” berseru Datuk
Lembah Akhirat. “Bocah berambut jabrik ini berani mempermalukan dirimu! Apa kau diam saja?!”
“Tidak Datuk! Saya akan membunuhnya saat ini juga!” Jawab si muka hitam. Lalu sementara tangan kirinya terus menggaruk dia angkat tangan kanan. Siap melepaskan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
“Muka hitam! Jangan berlaku tolol! Kalau kau bunuh diriku seumur-umur kau tidak akan mendapat obat penghilang gatal di anumu itu! Hik… hik… hik! Kau akan mati dengan kemaluan ledes! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hitam sambil menggaruk bagian dalam pakaiannya sebelah bawah. Diam-diam hatinya menjadi bimbang. Mengapa bocah itu mengetahui tepat bagian auratnya yang gatal. “Jangan­jangan dia yang punya pekerjaan…!” Si muka hitam tak menunggu lama karena saat itu juga terdengar Naga Kuning berkata.
“Tiga ekor babi montok itu aku yang melepasnya di Lembah Akhirat! Kau tidak tahu kalau sebelumnya anunya sudah kupoles dengan daun gatal-gatal. Hik… hik… hik! Aku melihat langit! Aku melihat anunya babi! Aku melihat barang antik kegatalan! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
“Anak jahanam! Jadi kau yang punya pekerjaan!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam. Walau rasa gatal-nya tidak tertahankan namun amarahnya juga tak bisa dikendalikan. Laksana terbang orang ini melompat dari kudanya, berkelebat ke arah Naga Kuning seraya lepaskan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!
Sempat si bocah terkena maka tubuhnya akan berubah menjadi debu berwarna hitam.
“Tahan!” seru Naga Kuning. Di tangan kanannya bocah itu memegang sebuah bumbung bambu sepanjang dua jengkal. Bumbung ini diacungkannya lalu berkata. “Di dalam bumbung ada cairan pemusnah rasa gatal! Jika kau mau bertobat dan menyeberang ke pihak kami, cairan ini akan kuberikan padamu. Kalau tidak kau rasakan sendiri. Seumur-umur sampai mati kau akan menggaruk terus. Barangmu akan ledes! Apa gunanya hidup sengsara seperti itu! Kemaluanmu sudah ketiban gerhana! Hik… hik… hik!”
“Keparat! Kubunuh kau!” teriak si muka hitam namun saat itu dia memang sudah tidak tahan lagi. Makin digaruk makin gatal. Tidak digaruk mau gila rasanya. Digaruk malah tambah menjadi-jadi. Hatinya bimbang. Dia melirik ke arah Datuk Lembah Akhirat. Sang Datuk menyeringai dan kedipkan mata. Melihat isyarat licik itu si muka hitam segera menghampiri Naga Kuning. “Kebaikanmu akan kuterima. Aku bertobat dan berjanji akan membantu pihakmu asal obat penangkal gatal itu kau serahkan padaku!”
“Bagus! Ini silahkan ambil bumbung. Tapi syaratnya harus segera diguyurkan ke auratmu di bawah perut. Pasti mustajab menghilangkan rasa gatal! Selain itu juga menambah kejantananmu! Hik… hik… hik! Lakukan di sini juga agar benar-benar mantap!”
Tanpa menunggu lebih lama Pengiring Mayat Muka Hitam segera sambar bumbung bambu. Dia menyelinap ke tempat gelap. Di sini dia singsingkan jubahnya ke atas lalu susupkan bumbung bambu ke bawah perutnya. Cairan dalam bumbung itu dituangnya sampai habis. Terasa sejuk dingin. “Ah, anak keparat itu tidak berdusta. Aku pasti sembuh!” kata si muka hitam dalam hati sambil tersenyum lega. Tapi tiba-tiba senyumnya lenyap seperti direnggut setan!. Dari mulutnya meledak teriakan dahsyat. Auratnya di bawah perut yang barusan diguyur cairan terasa panas laksana dibakar.
“Jahanam! Cairan apa yang kau berikan padaku!” Teriak si muka hitam. Lupa diri dan tak perduli begitu banyak mata memperhatikannya Pengiring Mayat Muka Hitam singkapkan jubah hitamnya. Melompat mencak-mencak kian kemari. Dia kaget setengah mati dan menjerit ketika melihat barangnya telah berubah bengkak gembung hampir sebesar kelapa dan berwarna merah seperti udang rebus! Dan celakanya rasa gatal bukannya hilang malah bertambah hebat! Si muka hitam terbungkuk-bungkuk seolah ada beban berat menggandul di selangkangannya!
Naga Kuning tertawa cekikikan, Iblis Putih Ratu Pesolek yang berada di dekatnya ajukan pertanyaan. “Anak brengsek! Cairan apa yang kau berikan pada jahanam muka hitam itu?”
“Air cabe kucampur dengan racikan daun sembung! Biar dia rasa. Hik… hik… hik!”
“Anak sialan! Tidak heran kalau barangnya gembung bengkak dan merah! Hik… hik… hik! Mau kencing aku melihat kelakuanmu!” ujar kekasih Dewa Tuak itu. Setan Ngompol yang melihat apa yang terjadi langsung saja beser habis-habisan.
Pengiring Mayat Muka Hitam seperti orang gila ada, seperti orang kemasukan setan ada. Lari sana lari sini sambil berteriak-teriak. Lalu jatuhkan diri di tanah berguling-guling. Kemudian dia bangkit berdiri. Lari ke arah sebatang pohon. Pada puncak rasa gatal dan sakit yang tidak bisa ditahannya lagi, tanpa ada yang bisa menduga atau mencegah orang ini hantamkan kepalanya ke batang pohon.
“Praaakkk!”
Pengiring Mayat Muka Hitam terkapar di tanah dengan kepala rengkah! Suasana serta merta hening mencekam. Lalu di kejauhan terdengar suara lolongan anjing. Udara tambah gelap.
“Jahanam tolol!” Datuk Lembah Akhirat memaki marah. “Pengiring Mayat Muka Merah! Bunuh bocah keparat itu!”
“Anak jahanam! Terima kematianmu!” Pengiring Mayat Muka Merah menghardik. Satu cahaya merah melesat menggidikkan.
“Pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!” seru Tua Gila.
“Naga Kuning! Lekas menyingkir!”, teriak Sabai Nan Rancak. Nenek ini lalu tekuk lututnya. Tangan kiri didorongkan ke arah Naga Kuning hingga anak ini terpental satu tombak. Tangan kanan dihantamkan ke depan.
“Wusss!”
Pukulan sakti Kipas Neraka berkiblat menyambuti pukulan maut Mencabut Jiwa Memusnah Raga! Ter-nyata Sabai Nan Rancak tidak sendirian. Dari tempatnya berdiri Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya gembung lalu menyembur!
“Curang pengecut!” Satu suara membentak.
“Terhadap manusia jahanam sepertimu mana berlaku segala macam peradatan!” teriak Dewa Tuak.
Di depan sana Pengiring Mayat Muka Merah tampak berdiri terhuyung­huyung sambil pegangi dada. Dari sela mulutnya mengucur darah kental. Kepalanya yang berambut keriting merah mengepulkan asap. Jubah merahnya penuh lubang akibat semburan Dewa Tuak. Dari setiap lobang mengucur darah. Jelas orang ini terluka parah di sebelah dalam dan sebelah luar tapi karena memiliki daya kekuatan luar biasa dia masih bisa bertahan hidup.
Di bagian lain Sabai Nan Rancak tegak laksana patung. Mukanya seputih kain kafan. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu terhuyung limbung. Temyata akibat bentrokan pukulan sakti tadi si nenek juga mengalami cidera walau tidak parah.
“Sabai!” seru Tua Gila seraya menghambur dan merangkul si nenek sebelum perempuan tua itu rubuh ke tanah.
“Aku tak apa-apa…” kata Sabai Nan Rancak sambil tersenyum karena hatinya mendadak merasa tenteram dalam pelukan Tua Gila. Bagaimanapun bencinya dia terhadap lelaki itu namun Tua Gila adalah orang yang pernah dicintainya dan dari siapa dia mendapatkan dua orang anak!
“Jangan bicara dulu. Biaraku salurkan hawa pengobatan!” kata Tua Gila lalu alirkan tenaga dalamnya ke punggung dan dada Sabai Nan Rancak. Saat itu kalaupun mati rasanya si nenek ikhlas karena mati dalam pelukan Tua Gila. Melihat kejadian itu Sinto Gendeng mendengus. “Huh! Past) nenek gatal itu hanya berpura-pura. Supaya ditolong dan dipeluk si Sukat Tandika!” Sinto Gendeng membuang muka ke jurusan lain, tak mau memperhatikan Tua Gila yang tengah merangkul Sabai Nan Rancak sambil mengalirkan tenaga dalamnya.
“Kau apakan ibuku!” Bululani alias iblis Pemalu berteriak marah. Lalu orang hanya melihat satu bayangan biru berkelebat. Dan “praaakkk!” Tubuh Pengiring Mayat Muka Merah terbanting ke tanah. Tak berkutik lagi. Dia menemui ajal dengan kepala pecah akibat geprakan tangan kanan Bululani yang dengan telak menghantam keningnya. Seperti diketahui Pengiring Mayat Muka Merah adalah pembantu Datuk Lembah Akhirat berkepandaian tinggi. Namun akibat cidera hantaman dua lawan tadi dalam keadaan lim-bung dia telah berlaku lengah. Kelalaian ini harus dibayarnya dengan nyawanya.

************************

Tua Gila mendukung Sabai Nan Rancak ke tempat aman. Berada dalam pelukan kekasih dan ayah dari dua anaknya itu semua rasa dendam kesumat lenyap dari dalam diri si nenek. Malah dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca Sabai berkata. “Sukat, mengapa begini buruk jalan hidup kita. Mengapa menyedihkan sekali untung perasaan kita….”
“Tabahkan hatimu Sabai. Jangan bicara dulu. Nanti ada saatnya kita bicara panjang lebar. Tujuh hari tujuh malam kalau kau suka!”
Sabai Nan Rancak tersenyum. “Memangnya…. Rencana apa yang ada dalam benakmu Sukat…?”
“Sssshhh, sudah jangan banyak bicara dulu.” Saat itu Tua Gila ingin sekali mendekap dan menciumi wajah si nenek. Walau dia memang pernah menyia­nyiakan perempuan itu namun saat itu di lubuk hatinya yang terdalam disadarinya dari sekian banyak gadis di masa mudanya yang menjadi buah hatinya memang hanya Sabai Nan Rancak seoranglah satu-satunya perempuan yang benar-benar dikasihinya. Tidak dapat menahan hati, Tua Gila rundukkan kepala hendak mencium kening Sabai Nan Rancak.
Namun saat itu tiba-tiba terdengar suara menggidikkan “Claak… claak… claak” berulang kali. Berpaling ke kiri kagetlah Tua Gila. Satu sosok aneh bergerak dengan dua tangan di tanah sedang dua kaki pipih seperti pedang tipis membentuk gerakan menjaga! laksana gunting raksasa!
“Iblis Jagal Makam Setan!” seru Tua Gila seraya cepat-cepat melompat ke kiri tapi masih terlambat.
“Craass!”
Rambut putih Sabai Nan Rancak yang tergerai riap-riapan putus sepanjang dua jengkal. Si nenek terpekik. Tua Gila berteriak marah. Jagal iblis Makam Setan tertawa bergelak. Dengan dua tangan masih menjejak tanah sementara dua kaki terus bergerak kian kemari dia berkata. “Aku mungkin mengampuni nyawa salah satu dari kalian asalkan Sabai Nan Rancak mengembalikan padaku Mantel Sakti dan Mutiara Setan yang pernah didapatkannya dariku secara menipu!”
Tua Gila memandang pada Sabai Nan Rancak. Si nenek yang tahu arti pandangan itu menjawab. “Mantel dan mutiara itu tak ada padaku. Sudan kuserahkan beberapa hari lalu pada Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang….”
“Tipu muslihat macam apa yang tengah kau jalankan Sabai?!” membentak Jagal iblis Makam Setan lalu dua kakinya menyambar ganas. Kalau tidak cepat si nenek menyingkir niscaya rambut atau kepalanya akan terbabat putus.
“Dia memang menipumu Jagal iblis! Sekaligus memfitnahku!” Yang bicara dengan suara lantang ini adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Mantel dan mutiaramu ada padanya! Kalau dia tidak mau memberikan terpaksa kita rampas bersama nyawa anjingnya sekalian!”
“Setuju!” teriak Jagal iblis Makam Setan. Dia tertawa mengekeh lalu sekali berkelebat dua kakinya yang seperti sepasang pedang tajam itu membabat ke arah leher Tua Gila! Dari sebelah kiri Sutan Alam Rajo Di Bumi hantamkan tangan kanannya melancarkan pukulan maut ke arah dada Sabai Nan Rancak. inilah pukulan yang disebut Malaikat Maut Mendera Bumi. jangankan tubuh manusia, dinding batu pun sanggup dibuat bolong. Dalam keadaan terluka Sabai Nan Rancak angkat tangan kanannya menangkis dengan pukulan Kipas Neraka. Namun sebelum sempat menghantam tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan hitam disertai berkiblatnya dua belas larik sinar hitam. Bukan saja membendung serangan Sutan Alam tapi sekaligus menghantamnya dengan dahsyat. Hawa panas menggebu bukan alang kepalang. Jagal iblis Makam Setan ikut terkejut dan sama-sama menyingkir.
“Dua Belas Jalur Kematian!” seru Sutan Alam kaget begitu mengenali pukulan sakti yang hampir merenggut nyawanya tadi. Sepasang matanya yang juling bertambah jereng.
Memandang ke depan dia melihat seorang tinggi besar berambut kasar seperti ijuk. Muka orang ini seram sekali. Alisnya hanya merupakan satu garis panjang, seolah membagi mukanya menjadi dua. Pada keningnya ada enam buah lobang sangat hitam. Lo-bang yang sama juga terdapat tiga di pipi kiri dan tiga di pipi kanan. Yang sangat mengerikan dari makhluk ini adalah bahu kanannya. Bahu itu berlobang besar, tembus sampai ke dada.
“Hantu Balak Anam Dari Si Junjung!” teriak Sabai Nan Rancak. Terima kasih kau telah menyelamatkanku!”
Si tinggi besar yang ternyata adalah Hantu Balak Anam yang selama ini mencurigai Sabai Nan Rancak tertawa lebar dan kedipkan mata. “Hart ini aku melihat sendiri bahwa kau bukanlah orang yang patut dicurigai dan dijadikan musuh! Aku tahu betul sekarang. Sutan Alam keparat ini adalah biang kerok kematian semua temanku di Pulau Andalas! Dia juga yang membuat tubuhku sampai cacat berlobang begini rupa! Di saat gerhana matahari ini aku akan membalas segala dendam kesumat!”
“Syukur kalau kau sudah tahu!” sahut Sabai Nan Rancak.
Di atas kereta Datuk Lembah Akhirat berteriak marah. “Sutan Alam! Lekas kau singkirkan makhluk buruk yang merusak pemandangan itu!”
“Datuk, kau tak usah khawatir!” jawab Sutan Alam sambil menyeringai. Seringainya tampak aneh sekali ini. “Aku bukan saja akan membunuh hantu kesasar, ini tapi juga memaklumkan diri bahwa mulai saat ini akulah yang menjadi pimpinan tertinggi di tempat ini! Semua harus tunduk padaku! Termasuk kau Suto Angil! Lembah Akhirat berada di bawah kekuasaanku. Akulah sekarang yang menjadi datuk dari semua datuk di tanah Jawa dan Pulau Andalas!”
“Suto Abang! Apa maksudmu!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Mukanya yang belang tiga seolah berubah menjadi setan menyeramkan. Semua orang yang ada di tempat itu juga menjadi heran mendengar pernyataan Sutan Alam Rajo Di Bumi.


*********************
Tujuh

Sutan Alam Raja Di Bumi tidak menjawab. Dengan tenang dia memasukkan tangan kanannya ke saku jubah putih. Lalu matanya yang juling lemparkan sekilas kerlingan pada kakaknya. Sambil menyeringai dia keluarkan sepasang sarung tangan terbuat dari kulit ular berwarna merah, hitam dan hijau. Terbelalak mata Datuk Lembah Akhirat melihat benda yang ada di tangan adiknya itu. Segera dia meraba saku pakaiannya sendiri.
“Suto Angil! Sekian lama kau menipu memperalat-ku. Nyawaku selalu diujung tanduk karena menuruti apa perintahmu. Saat ini gerhana matahari menjadi saksi aku mengambil kekuasaanmu sebagai Datuk di Lembah Akhirat. Jika kau berani membangkang terpaksa aku mengambil nyawamu!”
“Jahanam setan alas!” sumpah Datuk Lembah Akhirat dengan mata berapi­api. “Jadi kau yang membunuh Pengiring Mayat Muka Hijau di ruang penyimpanan senjata pusaka. Karena dia memergokimu ketika mencuri Sarung Tangan Penyedot Batin!”
“Ah, ternyata kau sudah tahu jalan ceritanya,” ujar Sutan Alam Rajo Di Bumi menyahuti ucapan kakaknya sambil gerakkan jari-jari tangannya yang kini terbungkus sarung tangan kulit ular kobra. “Berarti jalan cerita selanjutnya tak perlu kuterangkan!” Sutan Alam memandang ke arah rombongan para tokoh silat golongan putih. “Para sahabat, rasanya aku tidak perlu membeberkan bahwa semua pembunuhan yang terjadi secara aneh atas diri para tokoh silat baik di Jawa maupun Pulau Andalas d iota ki dan didalangi oleh Datuk Lembah Akhirat! Aku telah kena tipu dan siasatnya. Satu-satunya cara untuk menebus dosaku adalah dengan bertindak selaku pimpinan kalian untuk menumpas datuk biadab ini. Aku memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin. Berarti kekuasaan tertinggi rimba persilatan berada di tanganku! Aku harap kalian menyatakan diri untuk bergabung dibawah pimpinanku!”
“Aku bergabung bersamamu!” Berseru seseorang disertai berkelebatnya satu bayangan hitam dan tegak di samping Sutan Alam. Orang ini ternyata adalah si nenek Sika Sure Jelantik.
“Sika Sure Jelantik, aku tidak tahu apa yang ada di dalam otak tololmu! Mungkin kau mengira adikku Suto Abang benar-benar akan menjadi raja di raja rimba persilatan karena dia kini memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin! Ha… ha… ha! Terlalu banyak orang tolol di tempat ini! Terlalu banyak pengkhianat! Kalian berdua akan mampus secara mengenaskan!”
Dari dalam saku pakaian hitamnya Datuk Lembah Akhirat keluarkan satu gulungan kain putih. Begitu gulungan kain dibuka terlihatlah sepasang sarung tangan kulit ular yang bentuk dan warnanya sama dengan yang dikenakan Sutan Alam Rajo Di Bumi.
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa besar melihat Datuk Lembah Akhirat memegang dan mengenakan dua sarung tangan itu. Dengan wajah mengejek dia berkata. “Sarung tangan yang kau miliki itu adalah palsu Suto Angil! Malam tadi aku masuk ke dalam tempat penyirnpanan senjata rahasia. Kuambil sarung tangan asli dari dalam peti besi coklat. Kuganti dengan yang palsu! Ha… ha… ha! Segala kekuatan ada padaku sekarang! Apa kau masih tidak mau mengakui dan tunduk padaku?! Atau ingin melawan minta mampus?!”
Datuk Lembah Akhirat tatap tampang adiknya sesaat lalu tertawa gelak­gelak. “Aku tidak setolol yang kau sangka Suto Abang! Kau boleh mencuri sarung tangan dalam peti besi
sampai sepuluh kali. Karena sarung tangan yang kuletakkan di situ justru adalah sarung tangan palsu! Yang ini yang asli! Kusembunyikan di tempat lain! Ha… ha… ha!”
Berubahlah paras Sutan Alam mendengar kata-kata kakaknya itu.
“Suto Abang, dalam soal tipu menipu kau harus belajar dulu padaku! Kalau kau tidak percaya buka matamu lebar-lebar! Lihat!” Datuk Lembah Akhirat melompat dari atas kereta. Tubuhnya melayang ke arah Sika Sure Jelantik. Tangan kanannya dihantamkan. Satu gelombang angin yang bukan olah-olah dahsyatnya menderu. Beberapa orang yang berada di dekat situ merasa bergetar tubuh masing-masing akibat hebatnya tenaga dalam sang Datuk.
Melihat dirinya diserang Sika Sure Jelantik tak tinggal diam. Nenek ini kerahkan tenaga dalam lalu balas menghantam dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sinar hitam berkiblat.
Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika merasakan seolah ada satu gunung besar melabrak tubuhnya hingga terpental. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu tangan kanan Datuk Lembah Akhirat yang mengenakan sarung tangan kulit ular kobra tahu-tahu sudah menempel di lengan kanannya. Si nenek menjerit keras. Tubuhnya terkapar lunglai di tanah tanpa daya karena seluruh tenaga dalamnya telah tersedot dan masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat! Sesaat kemudian pukulan yang tadi dilepaskan si nenek datang berbalik menghantam tubuhnya. “Wusss!” Langsung sosok Sika Sure Jelantik tenggelam dalam kobaran api berwarna hitam. Begitu api padam yang tinggal hanyalah tebaran debu berwarna hitam.
Pucatlah tampang Sutan Alam Rajo Di Bumi. Para tokoh silat golongan putih menyaksikan kejadian itu dengan mata tak berkesip dan tengkuk dingin! Tua Gila menarik nafas berulang kali menyaksikan kematian bekas kekasihnya itu. Sinto Gendeng memperhatikan sikap si kakek dengan muka cemberut.
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak lalu berpaling pada adiknya yang saat itu tengah pandangi sepasang sarung tangan ular yang dikenakannya dengan mata melotot.
“Suto Abang, apa kau masih merasa datuk segala datuk, raja di raja rimba persilatan?!”
Suto Abang tak mampu menyahut. Rasa tak percaya ditindih pula oleh rasa takut. Dia melirik ke kiri. Begitu melihat ada kesempatan dia segera berkelebat melarikan diri. Cerdiknya dia sengaja kabur ke arah rombongan para tokoh golongan putih. Namun Sutan Alam tidak mampu mengalahkan kecepatan gerakan Datuk Lembah Akhirat yang kini memiliki tenaga dalam sulit diukur! Sekali berkelebat Datuk Lembah Akhirat berhasil memotong lari Sutan Alam. Tangan kirinya berkelebat. Sutan Alam berteriak ketika melihat satu pukulan begitu dekat menyambar ke arah batok kepalanya. Tak ada kesempatan untuk mengelak. Terpaksa dia pergunakan tangan kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua tangan kakak beradik yang sama-sama memakai sarung tangan itu saling beradu. Sutan Alam menjerit keras! Tangannya laksana disedot besi berani, menempel di pergelangan tangan Suto Angil dan tak sanggup ditariknya. Dia kerahkan tenaga dalam. Justru tambah celaka. Dari mulut, mata dan telinganya mengucur darah segar! Dibarengi bentakan keras Datuk Lembah Akhirat dorong Sutan Alam hingga orang ini terpental tiga tombak, jatuh bergedebuk di tanah becek. Sutan Alam kelihatan mencoba bangkit tapi tubuhnya langsung rubuh. Seluruh tenaga luar dalam yang dimilikinya telah disedot Datuk Lembah Akhirat! Sutan Alam mengerang pendek lalu tak berkutik lagi. Nyawanya lepas!
“Sarung Tangan Penyedot Batin…” ujar Kakek Segala Tahu dengan suara bergidik. “Ternyata memang senjata itu ada pada si Datuk keparat itu. Ah….”
Tiba-tiba ada orang menepuk caping di atas kepala Kakek Segala Tahu. Lalu terdengar suara Sinto Gendeng. “Kita tak bisa tinggal diam. Sekalipun dia memiliki sarung tangan jahanam itu, kalau diserbu bersama-sama masakan tidak bakal konyol! Aku akan memberi tahu Dewa Tuak, Tua Gila, dan yang lain-lain….”
Kakek Segala Tahu cepat pegang tangan si nenek, “Jangan tolol! Sarung Tangan Penyedot Batin tak ada tandingannya. Kita bisa dibuat mati berdiri satu demi satu. Sinto, kita harus selamatkan dulu muridmu! ingat nyanyian Nyanyuk Amber. Manusia hadapi dengan manusia. Binatang hadapi dengan binatang! Yang gaib hadapi dengan yang gaib! Aku punya firasat hanya muridmu yang bisa menghadapi Datuk Lembah Akhirat!”
“Siapa lagi yang mau berkhianat?” Tiba-tiba menggeledek suara Datuk Lembah Akhirat sambil pandangi orang-orangnya satu persatu. Tak ada yang berani bergerak. Dewa Sedih mengisak perlahan. Dewa Ke-tawa tertawa pendek. Sang Datuk berpaling pada Hantu Balak Anam. “Giliranmu menerima kematian hantu jahanam!”
Walau hatinya mendua, namun Hantu Balak Anam tidak unjukkan rasa takut. Dia mengumbar tawa dan kerahkan tenaga dalam ke kepalanya. Dua belas lubang di mukanya kelihatan memancarkan sinar menggidikkan, inilah ilmu kesaktian yang disebut Dua Belas Jalur Kematian.

************************

Pada saat Datuk Lembah Akhirat melompat turun menyerang Sika Sure Jelantik hal ini tidak disia-siakan oleh Andamsuri dan Bidadari Angin Timur yang memang sejak tadi-tadi mencari kesempatan.
“Kakak Andamsuri! Ini kesempatan paling baik bagi kita menolong dua orang itu! Mudah-mudahan kita berhasil!” kata Bidadari Angin Timur. Dari balik pakaian birunya Bidadari Angin Timur keluarkan sebilah senjata bermata dua yang memancarkan cahaya putih perak menyilaukan. Senjata ini bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 yang segera diserahkannya pada Andamsuri.
“Astaga! Si pirang itu ternyata juga mencuri kapak muridku!” ujar Sinto Gendeng melihat apa yang terjadi. Dia hendak berteriak marah tapi di sebelahnya Kakek Segala Tahu segera berkata, “ingat nyanyian Nyanyuk Amber! Jangan tertipu pada apa yang dilihat. Jangan tertipu pada kenyataan palsu!” Sinto Gendeng terpaksa kancingkan mulutnya dan tahan gerak langkahnya. Setelah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andamsuri, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur lalu keluarkan Pedang Naga Suci 212. Sinar putih dingin berkiblat. Seperti diketahui baik Andamsuri maupun Bidadari Angin Timur adalah dua orang yang memiliki gerakan sangat cepat. Hingga apa yang mereka sudah atur berdua diharapkan tidak akan menemui kegagalan.
Sesaat kemudian satu bayangan biru dan kuning melesat ke atas kereta. Cahaya putih dingin menyilaukan bertabur bersamaan dengan berkiblatnya cahaya putih perak dan panas.
“Craaass!”.
Tali yang mengikat dua pergelangan kaki Pen-dekar212 Wiro Sableng putus. Sebelum sang pendekar jatuh ke lantai kereta Bidadari Angin Timur cepat menahan tubuh Wiro dengan bahu kirinya. Sekali dia berkelebat maka gadis ini telah melayang ke bawah kereta. Baru saja kakinya menginjak tanah tiba-tiba lima orang pengawal bermuka hitam dan merah mengurung dan menyerbu dengan berbagai senjata.
“Bidadari Angin Timur…. Terima kasih kau telah menolongku. Aku tidak akan melupakan hal ini seumur hidupku!” Tiba-tiba satu suara menyeruak ke telinga gadis berambut pirang. Bidadari Angin Timur seolah mendengar suara merdu dari sorga. Dia kenali suara itu. Yang bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang ada di panggulannya. Seolah mendapat satu kekuatan, Bidadari Angin Timur berteriak dahsyat. Pedang Naga Suci 212 di tangan kanan dikiblatkan. Sinar putih dan hawa dingin bertabur. Lima anak buah Datuk Lembah Akhirat menjerit susul menyusul. Kelimanya tergeletak di tanah dengan tubuh cabik-cabik mandi darah!
Di bagian lain kereta Andamsuri yang berusaha menolong Bujang Gila Tapak Sakti mengalami kesulitan. Dia memang dengan mudah bisa menebas putus ikatan pada tangan dan kaki pemuda gendut itu lalu melepaskan totokannya. Tapi tidak seperti Bidadari Angin Timur yang enak saja memanggul Wiro, dia tidak mampu memanggul sosok berbobot lebih dari 150 kati itu. Tak ada jalan lain. Tubuh Bujang Gila Tapak Sakti didorongnya hingga jatuh ke tanah. Dia menyusul melompat turun seraya berteriak agar ada yang membantu menyeret Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman. Justru yang datang adalah empat orang pengawal anak buah Datuk Lembah Akhirat!
Andamsuri yang memang sudah gatal tangan untuk menghabisi orang-orang Lembah Akhirat segera putar Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk menusuk telinga. Hawa panas menghampar. Hanya satu kali menggebrak, ibu Puti Andini ini berhasil merobohkan keempat pengeroyoknya. “Senjata luar biasa…” kata Andamsuri dalam hati mengagumi kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Dari samping berkelebat Panji. Dengan bantuan pemuda ini Andamsuri segera menyeret Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman.
“Kalian orang-orang hebat. Terima kasih telah menolongku…” tiba-tiba orang yang diseret keluarkan ucapan. “Ah, mengapa jelek amat nasibku sampai diperlakukan orang seperti ini…. Aduh panasnya udara! Hai, mana kipasku? Tolong carikan kipasku! Astaga! Kopiah kuplukku mana?!”
“Gendut! Jangan bicara tak karuan!” sentak Andamsuri walau dengan suara perlahan. Baru saja dia ^berkata begitu tiba-tiba muncullah pemuda berjuluk Utusan Dari Akhirat. Yang tanpa banyak bicara langsung saja membokong ke arah Andamsuri dengan pukulan Gerhana Matahari.
Tiga larik sinar hitam, kuning dan merah melesat menyambar dua orang yang sedang sibuk menyeret tubuh berat Bujang Gila Tapak Sakti.
Panji yang melihat datangnya bahaya berteriak. “Awas serangan!” Tapi terlambat. “Celaka! Tamat riwayat kita berdua!”
“Siapa sudi mati di tangan manusia jahat!” teriak Andamsuri lalu berlutut dan siap menangkis dengan pukulan sakti yang selama ini sanggup menahan pukulan Kipas Neraka. Namun apapun pukulan sakti yang dimiliki Andamsuri saat itu sudah sangat terlambat
baginya dan Panji untuk selamatkan diri dari bokongan Utusan Dari Akhirat Bahkan Bujang Gila Tapak Sakti mungkin tidak ketolongan pula jiwanya!
Disaat yang sangat genting itu tiba-tiba ada orang berteriak. “Tiarap!” Panji dan Andamsuri serta merta jatuhkan diri di kiri kanan Bujang Gila Tapak Sakti. Bersamaan dengan itu satu cahaya terang luar biasa menyambar dari samping. Menyapu ke arah pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Pari Akhirat.
“Wusss!”
“Bumm!”
Tepi barat Telaga Gajahmungkur bergetar hebat. Ratu Duyung tegak tergontai-gontai namun dengan cepat bisa menguasai diri kembali begitu dia usapkan tangan kiri di atas pakaian di mana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Cermin bulat dimelintangkan di depan dada, siap menjaga segala kemungkinan.
Lima langkah di depan Ratu Duyung, Utusan Akhirat tegak dengan sekujur tubuh bergeletar. Mukanya seputih kain kafan dan dari sela bibirnya merembes keluar darah segar. Dadanya mendenyut sakit bukan kepalang. Aliran darah dalam tubuhnya terasa menyentak-nyentak.
“Ratu Duyung….” Pemuda itu hanya sempat berucap pendek. Terhuyung­huyung dia memutar tubuh lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan. Ratu Duyung cepat simpan cermin bulatnya kembali lalu bergegas menolong Andamsuri dan Panji.
Panji yang sejak tadi merisaukan Anggini berkata. “Kalian berdua harap dengar baik-baik. Aku akan segera menuju Lembah Akhirat mencari Anggini. Kalau ayah atau siapa saja mencariku katakan ke mana aku pergi.”
“Kau tak bisa pergi sendirian. Terlalu berbahaya!” Melarang Andamsuri. Taps Panji tidak perduli, terus saja tinggalkan tempat itu.
“Ah, pemuda itu rupanya sudah jatuh hati pada murid Dewa Tuak,” kata Ratu Duyung.
Darah Datuk Lembah Akhirat seperti mau muncrat menembus ubun-ubun ketika mengetahui bagaimana lawan berhasil menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bujang Gila Tapak Sakti. Apalagi ketika dia berpaling ternyata Hantu Balak Anam tak ada lagi di depannya. Kemarahannya dijatuhkan pada Dewa Sedih dan Dewa Ketawa.
“Dua tua bangka tak berguna! Dari tadi kalian diam saja! Padahal korban sudah berjatuhan di pihak kita! Kalian menunggu apa lagi?!”
Dibentak demikian rupa Dewa Sedih langsung menggerung keras dan meratap panjang dalam keadaan berdiri. Sementara Dewa Ketawa bergoncang­goncang dada dan perut gendutnya menahan tawa.
“Kau melihat langit! Kau melihat kegelapan! Kau melihat gerhana matahari! Tapi apakah kau melihat sekujur tubuhku terikat tak berdaya?! Hik… hik… hik! Aku malu! Aku sedih…!”
“Apa yang terjadi dengan dirimu!” bentak Datuk Lembah Akhirat.
“Tanyakan pada matamu! Aku malu! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
Datuk Lembah Akhirat dekati kakek itu. Begitu memperhatikan terkejutlah dia. Sekujur tubuh Dewa Sedih ternyata telah dilibat benang halus berkilat mulai dari bahu sampai ke pergelangan kaki. Ketika dia mengalihkan perhatian pada Dewa Ketawa, kakek gendut di atas keledai ini ternyata mengalami nasib sama. Terikat sekujur badannya. Malah
keledai tunggangannya juga dalam keadaan terikat ke empat kakinya hingga tak bisa bergerak!
“Jahanam!” sumpah Datuk Lembah Akhirat.
“Kau melihat! Tapi kau tidak menolong! Kau memaki tapi tidak bertindak! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!” ratap Dewa Sedih.
“Rupanya kau ingin melihat kami jadi patung bego! Ha… ha… ha!” Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
Datuk Lembah Akhirat menggembor marah. “Aku tahu siapa yang punya pekerjaan! Hanya ada dua orang yang memiliki benang laknat seperti ini. Dewa Tuak dan tua Gila!” Dia memandang berkeliling mencari-cari. Yang pertama dilihatnya dalam kegelapan adalah Dewa Tuak yang saat itu bersama iblis Muda Ratu Pesolek siap meninggalkan tempat itu menuju Lembah Akhirat guna mencari dan menyelamatkan Anggini. Namun baru melangkah beberapa tindak di depan mereka sosok tinggi besar Datuk Lembah Akhirat telah menghadang dan langsung hantamkan dua tangannya.
“Wusss! Wusss!”
Dua jalur sinar tiga warna, merah, hitam dan hijau menderu dahsyat, inilah kehebatan Datuk Lembah Akhirat. Kalau para pembantunya yang telah tewas hanya memiliki pukulan maut satu warna maka dia sekaligus menguasai tiga warna! •
“Pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!” teriak Dewa Tuak. Dia melompat ke kiri sedang iblis Muda Ratu Pesolek menyingkir ke kanan. Dua pukulan maut lewat menghantam udara kosong lalu menghajar pohon dan semak belukar di belakang sana. Pohon dan semak langsung terbakar lalu berubah menjadi debu berwarna merah, hitam dan hijau!
Dewa Tuak menggigil menyaksikan apa yang terjadi. Dia segera teguk tuaknya untuk tenangkan diri. Dari jurusan lain tiba-tiba iblis Putih Ratu Pesolek yang baru saja lolos dari maut melangkah cepat mendekati Datuk Lembah Akhirat sambil senyum-senyum. Dewa Tuak dan yang lain-lainnya jadi terkesiap kaget. “Eh, apa yang mau dilakukannya?” pikir Dewa Tuak.
“Tua bangka rongsokan! Kau benar-benar berani mampus!” teriak Datuk Lembah Akhirat melihat si nenek melangkah mendatanginya. Dia angkat tangan kanan yang bersarung, siap memukul. Tiba-tiba dia melihat satu keanehan yang membuat matanya membeliak besar. Sosok iblis Putih Ratu Pesolek berubah menjadi satu sosok gadis cantik bertubuh luar biasa gemuknya, melangkah ke arahnya dalam keadaan bugil! Dadanya yang besar bergoyang-goyang. Perut-nya yang gemuk bergoncang-goncang. Sepasang pinggul besar berlemak naik turun mengikuti gerakan dua pangkal paha putih dan gempal.
Datuk Lembah Akhirat usap kedua matanya, “Apa aku tidak bermimpi! Apa aku tidak salah lihat?!” dia bertanya pada diri sendiri berulang kali, inilah kehebatan iblis Putih atau iblis Muda Ratu Pesolek yang bisa merubah dirinya menjadi perempuan sesuai dengan keinginannya. Datuk Lembah Akhirat mulai tergoda. Nafsu mesumnya berkecamuk tak tertahankan. Tapi tiba-tiba dia ingat pada Buli-Buli alias Bujang Gila Tapak Sakti yang telah menipunya.
“Jangan-jangan orang hendak menipuku lagi,” pikir sang Datuk. Karenanya begitu gadis gemuk telanjang itu tinggal dua langkah lagi dari hadapannya, Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya, iblis Muda Ratu Pesolek menjerit keras. Tubuhnya terlempar di tanah becek dalam bentuk aslinya yaitu sosok seorang nenek berdandan medok.
Mengerang panjang lalu terkulai. Dadanya amblas di arah jantung. Tenaga dalamnya terkuras masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat!

************************

Di satu tempat yang dirasakan aman Bidadari Angin Timur sandarkan Pendekar 212 Wiro Sableng pada sebatang pohon. Andamsuri lalu memeriksa tubuh pemuda itu. Dia berhasil menemukan tempat dimana Wiro sebelumnya ditotok. Tanpa membuang waktu Andamsuri segera punahkan totokan itu. Seperti orang terbangun dari mimpi untuk beberapa lamanya Wiro hanya memandangi Andamsuri dan Bidadari Angin Timur dengan pandangan penuh terima kasih.
Lama-lama Andamsuri menyadari bahwa lebih baik dia membiarkan Wiro berdua saja dengan Bidadari Angin Timur. “Untuk sementara kalian aman di sini. Ini tentu senjata mustika milikmu. Ambillah. Simpan baik-baik. Aku pergi dulu….” Andamsuri letakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di atas pangkuan Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini serasa mendapatkan nyawanya kembali. Sekian lama senjata itu terpisah dari dirinya. Dengan cepat Wiro memegang gagang kapak. Karena tidak memiliki kesaktian dan kekuatan, senjata itu terasa berat hingga agak susah baginya menyelipkan di pinggang.
“Tunggu!” ujar Bidadari Angin Timur. “Kita sudah memiliki Pedang Naga Suci 212. Pendekar 212 ada di sini! Saat paling tepat untuk mengobati dirinya. Tapi bagaimana cara melakukannya?”
“Aku juga tak tahu. Sebaiknya kita panggil Ratu Duyung. Mungkin dia bisa mendapatkan petunjuk dari cermin saktinya! Kalian berdua tunggu di sini…” sahut Andamsuri.
“Sebentar…” ujar Wiro. “Menurut perhitunganku malam ini musibah yang menimpa diriku telah sembuh. Tapi mengapa….”
“Saat ini bukan malam hari! Tapi siang hari!” menerangkan Bidadari Angin Timur.
“Aku tak mengerti,”-ujar Wiro dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia garuk-garuk kepala.
“Saat ini sebenarnya pagi menjelang siang. Mata-hari mengalami kegelapan tertutup bulan. Orang menyebutnya gerhana! itu sebabnya udara gelap seperti malam.”
“Aku tetap tidak mengerti,” kata Wiro pula.
“Kau tak perlu mengerti. Kakak Andamsuri harap kau lekas mencari Ratu Duyung dan membawanya kemari….” Wiro hanya bisa tersenyum dan kembali garuk-garuk kepala mendengar ucapan Bidadari Angin Timur itu.

************************

Teriakan Dewa Tuak seperti hendak merobek langit gelap ketika dapatkan iblis Muda Ratu Pesolek menggeletak mati di tanah becek di hadapannya. Kakek ini jatuhkan diri lalu memeluki tubuh tak bernafas itu dengan mata berkaca-kaca. Mata yang berkaca-kaca itu kemudian berubah laksana kobaran api.
Dewa Tuak lempar satu dari dua bumbung bambu yang berada di panggulannya lalu melangkah mendekati Datuk Lembah Akhirat.
“Datuk jahanam! Iblis laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!”
Datuk Lembah Akhirat ganda tertawa mendengar ucapan itu. Dia gerak­gerakkan dua tangannya yang bersarung seraya berkata. “Kalau kau memang nekad mau menyusul kekasihmu si nenek jelek itu majulah mendekat!”
Dewa Tuak tidak bodoh. Dia berhenti empat langkah di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Tiba-tiba kakek ini gerakkan tangan kanannya. Selarik sinar putih menderu berkeluk-keluk di udara, itulah benang sakti andalannya. Ujung benang membuat gerakan me-matuk kian kemari sementara bagian yang lain menyapu berusaha menjerat tubuh Datuk Lembah Akhirat.
“Permainan anak-anak apa yang hendak kau perlihatkan padaku Dewa Tuak!” ejek Datuk Lembah Akhirat.
Dengan tangannya yang bersarung dia berhasil menangkap ujung benang lalu secepat kilat menariknya. Dewa Tuak berseru kaget dan terpaksa lepaskan benang saktinya ketika dirasakannya tubuhnya ikut tertarik dan ada tenaganya yang tersedot keluar. Dewa Tuak semburkan tuak dari dalam bumbung bambu ke arah lawan. Yang diserang sengaja pentang dada. Semburan minuman keras itu bukan saja tidak mampu mencapai sasarannya malah mental dan berbalik ke arah Dewa Tuak. Kalau tidak cepat menghindar niscaya Dewa Tuak akan mengalami cidera. Dengan kalap Dewa Tuak lepaskan pukulan-pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Namun semua pukulan itu mental kembali oleh kekuatan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat yang bukan main tingginya.
“Dewa Tuak, saatnya aku membalas semua seranganmu!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu, “Wuutt….wuutt!” Tangannya kiri kanan bergerak memukul. Setiap pukulan mengeluarkan daya dorong luar biasa seolah Dewa Tuak berkelahi melawan angin topan yang datang menyapunya! Tokoh silat yang punya nama besar dalam rimba persilatan ini hanya bisa bertahan tiga jurus. Di jurus ke empat, dalam keadaan terhuyung-huyung dia tak mampu menyingkir selamatkan diri dari satu jotosan yang menghantam ke arah dadanya. Untuk menangkis percuma saja karena sarung tangan lawan pasti akan menyedot tenaga dalamnya sampai ludas!
Saat itu terdengar suara berkerontang keras. Satu sinar putih berkiblat di udara membentuk setengah lingkaran yang ujungnya laksana gerinda besi menyambar ke batang leher Datuk Lembah Akhirat. Dari jurusan lain satu sinar sangat panas dan berkilauan datang pula menghantam. Kakek Segala Tahu berusaha menyelamatkan Dewa Tuak dengan serangan tongkat kayunya sementara Sinto Gendeng melompat sambil lepaskan pukulan Sinar Matahari!
Ujung tongkat Kakek Segala Tahu masih jauh dari leher yang jadi sasaran tiba-tiba ada kekuatan tenaga dalam melesat dari tubuh-Datuk Lembah Akhirat. “Kraak!” Tongkat kakek mata putih patah tiga mental ke udara. Kakek Segala Tahu terpaksa melompat mundur sambil keluarkan seruan kaget!
Sinto Gendeng juga mengalami nasib sama, malah hampir cidera kalau tidak membuat gerakan jungkir balik di. udara sewaktu pukulan saktinya tiba-tiba membalik menghantam dirinya kembali!
“Sinto,” Kakek Segala Tahu berbisik. “Kita tidak mungkin menghadapi datuk keparat ini! Aku punya firasat hanya muridmu yang sanggup melawannya. Aku akan mencari pemuda itu!”
“Aku saja yang mencarinya. Tadi kulihat ada dua orang menyelamatkan anak setan itu! Mereka pasti membawanya ke satu tempat yang aman!” berkata Sinto Gendeng.
“Tidak bisa! Kau tidak bisa meninggalkan orang-orang ini! Datuk keparat itu terlalu tangguh! Dia harus dikurung untuk membatasi gerak!” kata Kakek Segala Tahu lalu tanpa menunggu lagi dia berkelebat pergi dalam kegelapan.
Sinto Gendeng sebenarnya ingin pergi dari situ bukan saja karena ingin menolong muridnya tapi juga karena dia merasa kikuk berdekatan dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasih di masa mudanya itu. Apalagi tak jauh dari situ ada pula Sabai Nan Rancak yang menjadi saingannya dalam memperebutkan cinta Tua Gila!
“Tua bangka pengecut! Kau mau lari ke mana?!” teriak Datuk Lembah Akhirat ketika dilihatnya Kakek Segala Tahu berkelebat pergi. Tapi maksudnya hendak mengejar tertahan ketika beberapa orang berkepandaian tinggi mengurungnya. Tua Gila di depan sekali.
“Siapa dulu di antara kalian ingin mati lebih cepat!” Bertanya Datuk Lembah Akhirat sambil sunggingkan seringai mengejek.
“Jangan bergerak. Kalau dia mendekat baru hantam!” kata Tua Gila.
“Kalian orang-orang golongan putih ternyata pengecut semua! Mau mengeroyokku hah?! Silahkan maju ramai-ramai! Lebih dekat lebih baik!”
Tapi tak ada yang bergerak.
“Pengecut!” kertak Datuk Lembah Akhirat! “Kalau kalian tidak berani maju biar aku yang menjemput nyawa kalian!” Didahului suara menggembor keras sang Datuk melompat ke arah orang-orang yang mengurungnya. Hantam!” teriak Tua Gila.


*********************
Delapan

Begitu Ratu Duyung dan Andamsuri muncul, Bidadari Angin Timur segera berkata. “Pedang Naga Suci 212 sudah di tangan. Namun kami tidak tahu bagaimana caranya menolong Pendekar 212, Mungkin kau bisa dapatkan petunjuk lewat cermin saktimu!”
Ratu Duyung yang merasa paling bertanggung jawab atas musibah yang menimpa Wiro segera saja keluarkan cermin bulatnya. Lalu gadis ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tak lupa dia meraba Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik dada pakaiannya. Dia menatap tak berkesip ke dalam cermin bulat. Seperti diketahui sejak peristiwa hubungannya dengan Wiro tempo hari dia mengalami kesulitan untuk melihat atau meminta petunjuk pada cermin sakti, Tapi saat itu karena kekuatan Kitab Wasiat Malaikat yang ada padanya bayangan petunjuk dalam cermin muncul dengan cepat.
“Aku melihat dada tanpa pakaian. Aku melihat rajah 212….” Ratu Duyung mengatakan apa-apa yang dilihatnya di cermin. “Aku melihat Pedang Naga Suci 212 menukik. Ujungnya menghunjam lembut di atas dada. Di atas rajah 212 tepat pada angka 1. Satu adalah lambang Yang Maha Tunggal, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa. Ada darah mengucur…. Darah berwarna biru. Aku melihat kepulan asap. Sosok tubuh tanpa pakaian itu bergerak. Ada suara dahsyat. Suara mengaum….” Cermin di tangan Ratu Duyung bergetar keras. Getaran menjalar ke seluruh tubuh gadis cantik itu. Ratu Duyung terpekik. Cermin sakti terlepas dari tangannya. Sebelum jatuh ke tanah satu bayangan berkelebat menangkap cermin sakti itu. Yang melakukan ternyata adalah Kakek Segala Tahu yang mendadak muncul di tempat itu. Si kakek serahkan cermin bulat pada Ratu Duyung. “Aku sempat mendengar semua ucapanmu. Lekas lakukan seperti apa yang kau lihat di dalam cermin!”
“Siapa yang melakukan?” tanya Bidadari Angin Timur walau saat itu dia yang memegang Pedang Naga Suci 212. Ratu Duyung tak berani menjawab. Tiba-tiba satu bayangan berkelebat dari kegelapan. “Biar aku yang melakukan. Kalian beri petunjuk agar tidak salah!”
Yang datang adalah Puti Andini. Sesaat Bidadari Angin Timur merasa bimbang. Tapi akhirnya pedang sakti diangsurkannya juga kepada Puti Andini.
Cucu Tua Gila ini pegang gagang pedang sakti dengan kedua tangannya. Ujungnya yang runcing diarahkan ke pertengahan dada Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk tersandar di pohon, tepat di rajah angka 1. Semua orang menyaksikan bagaimana tangan gadis yang berjuluk Dewi Payung Tujuh itu tampak bergetar. Murid Sinto Gendeng sendiri duduk tersandar di pohon laksana dipantek. Tak berani bergerak bahkan mungkin tak berani bernafas. Mukanya pucat pasi. Tangan kanannya sudah gatal hendak menggaruk kepala! Kalau semua apa yang dilakukan orang-orang ini gagal, celakalah dia!
“Jangan tegang anakku! Kau bisa melakukannya…” bisik Andamsuri pada anaknya itu. Seolah mendapat kekuatan rasa tegang Puti Andini segera lenyap. Dua tangannya menjadi sangat kukuh, perlahan, hati-hati tetapi mantap Puti Andini tusukkan ujung Pedang Naga Suci 212. Hawa dingin luar biasa menyambar dari ujung pedang. Menembus masuk melewati kulit, daging dan tulang dada Pendekar 212. Kepulan asap halus menyeruak di permukaan dada sang pendekar. Pada saat itulah sekonyong-konyong sebuah benda hitam menebar bau busuk melesat di udara. “Claakkk… claakkk… claakkk!” Suara aneh disertai tawa bergelak merobek kesunyian dan ketegangan di tempat itu. Lalu ada satu sambaran angin amat keras membuat Puti Andini terdorong satu langkah ke samping. Kalau Kakak Segala Tahu tidak cepat mengibaskan caping bambunya niscaya Puti Andini terjengkang ke tanah.
Andamsuri berteriak marah. Kakek Segala Tahu melintangkan caping di depan dada. Kepala didongakkan. Puti Andini cepat imbangi diri seraya tukikkan Pedang Naga Suci 212 dalam jurus yang disebut Pedang Dewa Menukik Bumi. Dalam kuda-kuda seperti itu dia bisa membuat tujuh gerakan menyerang secara kilat. Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk tersandar di pohon menatap dengan mata mendelik. Nafasnya mendadak jadi turun naik oleh marah dan juga khawatir. Ratu Duyung segera keluarkan kembali cermin sakti yang barusan disimpannya. Sementara Bidadari Angin Timur langsung mengambil Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang Wiro. “Aku. pinjam senjatamu. Manusia satu ini sangat berbahaya….” Murid Sinto Gendeng hanya bisa anggukkan kepala.
Di hadapan orang-orang itu tegak tangan ke bawah kaki ke atas Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang kaki tulangnya tiada henti digerak-gerakkan seperti gun-ting. “Claakkk! Claakkk… Claakkk!”
“Nasib kehidupan dan kematian manusia sudah ditentukan! Tapi aku Jagal Iblis Makam Setan bisa merubah semudah membalikkan telapak tangan! Gadis yang memegang pedang, serahkan senjata itu padaku. Niscaya umurmu panjang dan kuampuni nyawa semua orang yang ada di sini!”
Dari bawah pohon terdengar suara mendengus lalu tawa bergelak. “Aku sering ketemu Malaikat Maut. Tapi keadaannya tidak buruk dan bau sepertimu! Berdiri saja belum becus! Kalau kau kencing dalam keadaan seperti itu kau bisa­bisa minum kencingmu sendiri! Ha… ha… ha!”
Semua orang tertegun mendengar ucapan dan gelak tawa itu. Karena yang barusan bicara mengejek bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jagal iblis Makam Setan balas tertawa. “Pendekar malang I Sekian lama hidup tersiksa saat ini kau sudah bisa jual omongan besar! Sebentar lagi aku akan mengakhiri derita hidupmu dengan mencabut selembar nyawamu!” Habis berkata begitu kakek berkaki tulang ini berpaling pada Puti Andini. “Gadis cantik, kau tunggu apa lagi. Serahkan padaku Pedang Naga Suci 212. Atau mungkin kau mau menyerahkan sambil kita berguling-guling di atas ranjang? Hik… hik… hik!”
Paras Puti Andini menjadi merah padam. Saat itu ingin sekali dia menyerang si kakek namun berarti rencana pertolongan atas diri Wiro menjadi tertunda. Andamsuri maklum apa yang terpikir oleh puterinya itu. Dia bergerak ke hadapan Jagal Iblis Makam Setan. “Aku tidak dapat melihat tampangmu dengan jelas.
Apa kau bisa berdiri di atas kakimu barang sebentar agar penglihatanku bisa dipertegas. Gadis itu adalah anakku. Mungkin kau memang cukup pantas kujadikan mantu!”
“Ibu!” teriak Puti Andini seperti tidak percaya akan pendengarannya dan mengira Andamsuri memang bermaksud culas hendak mengorbankan dirinya.
Jagal iblis Makam Setan tertawa bergelak. “Wuuut!” Tubuhnya melesat ke udara. Sesaat lagi sepasang kaki tulangnya hendak menjejak tanah tiba-tiba Andamsuri membuat gerakan berlutut. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke depan. “Wuss!”
Cahaya merah berkiblat. Jagal iblis Makam Setan menggembor marah. Tubuhnya melesat ke udara lalu, “Claakkk!” Luar biasa cepatnya. Sepasang kaki gunting raksasanya menyambar ke arah leher Andamsuri. “Breettt!” Kalau tidak dia berkelit tak ampun Lagi le-hernya akan tertabas putus. Masih untung hanya pakaian kuningnya yang tersambar robek di bagian bahu!
Ratu Duyung tak tinggal diam. Bidadari Angin Timor bergerak dua langkah. Kakek Segala Tahu masih tegak mendongak kepala. Tiba-tiba dua benda putih melesat di udara, menyambar ke arah tenggorokan dan bagian bawah perut Jagal iblis Makam Setan. Benar-benar serangan mematikan.
“Jahanam pengecut! Siapa berani membokong!” teriak Jagal iblis Makam Setan seraya melompat selamatkan diri. Benda yang menyambar ke arah bawah perutnya berhasil dielakkan. Tapi yang ke arah leher akibat gerakannya mengelak tadi kini jadi bersarang di dada.
“Mampus kau!”
Jagal iblis Makam Setan tertawa mengekeh. Dia sengaja busungkan dada. “Plukkk!” Benda yang menghantam dirinya merobek dada pakaiannya tapi kemudian mental seolah tubuhnya atos kebal!
Nenek sakti dart Gunung Gede Sinto Gendeng pelototkan mata ketika melihat tusuk konde perak beracun yang jadi andalannya tercampak di tanah dalam keadaan bengkok. Melihat kejadian itu Pendekar 212 langsung ingat jubah saktinya yang dirampas beberapa waktu lalu. Maka dia cepat berteriak. “Tua bangka bau itu mengenakan jubah Kencono Geni di balik pakaiannya!”
“Aku tidak percaya dia kebal seluruh badan!” ujar Bidadari Angin Timur. Si gadis cepat mengukur. Paling dalam jubah yang dikenakan kakek jahat itu hanya sebatas pinggang. Maka dengan Kapak Naga Geni 212 dia menyerbu, mengarahkan serangan dari pinggang ke bawah. Sinar putih perak menyilaukan dan menghampar hawa panas berkiblat berbuntal-buntal. Jagal iblis Makam Setan terus saja mengumbar tawa.
“Ha-ha! Guru dan murid sudah berkumpul di sini untuk menerima kematian!” teriaknya. Maksudnya adalah Sinto Gendeng dan Pendekar 212. “Mana kakek satunya si Tua Gila itu!”
“Wuuuttt!”
Kapak Naga Geni 212 membabat ke arah kaki. Jagal iblis Makam Setan masih tertawa tapi cepat bergerak mundur. Kaget kakek bau ini bukan alang kepalang ketika dari belakang berhembus angin deras membuat gerakannya mundur tertahan laksana ter-hadang tembok batu! Ketika dia berpaling dia melihat Kakek Sega la Tahu tegak mendongak ke langit gelap sambil kipas­kipaskan caping bambunya. Ternyata angin yang keluar dari caping inilah yang membuat dia tak mampu bergerak mundur. Di saat yang sama Kapak Naga Geni 212 di tangan Bidadari Angin Timur menyambar. Tak ada jalan lain. Jagal iblis Makam Setan terpaksa melompat ke atas sambil berusaha menggunting tangan lawan yang memegang kapak, “Traangg!”
Suara keras disertai percikan bunga api bertabur di kegelapan. Bidadari Angin Timur terpekik. Getaran hebat yang membuat tangannya pedas panas menyebabkan Kapak Naga Geni 212 terlepas mental dari pegangannya. Secepat kilat Sinto Gendeng melompat ke udara menyelamatkan senjata itu. Kakek Sega la Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
Jagal iblis Makam Setan begitu percaya akan kehebatan sepasang kaki tulangnya. Namun sekali ini dia kena batunya. Dia meraung keras ketika melayang turun ke tanah dia tak sanggup lagi berdiri wajar karena kaki kirinya yang barusan dihantam Kapak Maut Naga Geni 212 kini telah buntung satu jengkal di bawah lutut! Lelehlah nyali manusia satu ini. Di situ ada Kakek Segala Tahu dan Sinto Gendeng. Lalu dua senjata sakti mandraguna yakni Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212 sulit harus dihadapinya. Belum lagi Ratu Duyung dengan cermin saktinya. Daripada mati konyol lebih baik kabur saja melarikan diri. Namun semua orang yang ada disitu sudah dapat membaca apa yang ada dalam benak Jagal Iblis Makam Setan.
Dengan cepat mereka mengurung.
“Pengecut! Kalian hanya berani main keroyok!” dengus Jagal iblis Makam Setan.
“Kakek bau! Siapa main keroyok. Hadapi diriku!” kata Puti Andini. Lalu tanpa menunggu gadis ini kiblatkan Pedang Naga Suci 212. Sinar putih menyabung dalam kegelapan. Hawa dingin menghantam tubuh lawan hingga Jagal iblis Makam Setan menggigil kertakkan geraham. Dia berkelebat cepat hindari gempuran pedang. Namun gerakannya terbatas oleh kurungan lawan. Kakek ini hanya bisa bertahan selama enam jurus. Pada jurus ke tujuh kaki kanannya terbabat putus dimakan pedang sakti di tangan Puti Andini.
Tubuhnya terbanting jatuh di tanah. Hawa dingin yang amat sangat membuat dia seolah telah berubah menjadi es dan tak bisa bergerak sedikit pun. Dalam keadaan seperti itu ujung Pedang Naga Suci 212 datang menusuk langsung menembus lehernya!
Cucu Tua Gila itu menggigil sewaktu mencabut pedang. Ketika pedang dicabut darah merah masih menodai ujung senjata sakti itu. Namun sesaat kemudian terjadilah satu keanehan. Darah berubah menjadi kepulan asap. Begitu kepulan asap lenyap Pedang -Naga Suci 212 kembali dalam keadaan bersih tanpa noda. “Selamatkan jubah Kencono Geni! Tanggalkan dari tubuhnya!” seru Wiro. Sinto Gendeng segera lakukan apa yang dikatakan muridnya lalu, “Bukkk!” Si nenek tendang mayat Jagal iblis Makam Setan hingga, mencelat jauh.
Sementara itu di bagian lain tepi barat Telaga Gajahmungkur terdengar bentakan dan jeritan-jeritan orang-orang yang berkelahi melawan Datuk Lembah Akhirat.
“Waktu kita sempit! Lekas lakukan pengobatan terhadap Pendekar 212! Puti Andini! Cepat!” Kakek Segala Tahu berseru sambil berulang kali mengusap wajahnya tanda sangat cemas.
Seperti tadi disaksikan semua orang yang ada di tempat itu, Puti Andini perlahan-lahan dan hati-hati tusukkan ujung Pedang Naga Suci 212 ke pertengahan dada Wiro. Tepat di rajah angka 1. Hawa dingin menembus masuk ke dalam tubuh murid Sinto Gendeng hingga tubuh pemuda ini bergeletar. Matanya mendelik dan gerahamnya bergemeletukkan. Lalu muncul kepulan asap putih. Ketika ujung pedang ditusukkan lebih dalam Wiro mengerenyit kesakitan. Pedang Naga Suci 212 bergetar hebat dan memancarkan sinar lebih terang. Dari bagian dada yang terluka mengucur darah aneh berwarna biru. Seperti ada kekuatan yang mendorong, Pedang Naga Suci 212 bergerak mundur. Puti Andini cepat tarik tangannya yang memegang pedang. Lalu satu cahaya merah seolah keluar dari tubuh Wiro, bergulung membungkus sekujur permukaan badannya mulai dari rambut sampai ke kepala. Cahaya ini membuntal menciut menjadi sebesar kepalan tangan. Sesaat cahaya ini mendekam di atas dada tepat di ujung mata pedang. Tiba-tiba, “Wuuuss!” Gumpalan cahaya melesat ke udara, menembus kegelapan hitam dan di satu tempat meledak hancur bertaburan dengan suara menggelegar!
Belum habis ketegangan yang mencekam tiba-tiba sosok Pendekar 212 bergerak. Dua tangannya dikembangkan ke samping. Dua kaki bersila. Dua mata membeliak tidak berkedip dan dari tenggorokannya terdengar suara menggeru aneh. Kemudian dari mulut sang pendekar meledak suara menyerupai auman harimau dahsyat. Tepi barat Telaga Gajahmungkur bergetar Air telaga membuat riakan-riakan bergelombang.
Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur terpekik. Kakek Segala Tahu dongakkan kepala dengan mulut berkomat kamit. Sinto Gendeng tegak tertegun dengan muka kelam membesi dan mata membeliak. Semua orang menyaksikan bagaimana tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggang ke atas telah berbuah menjadi sosok seekor harimau besar berbulu putih bermata hijau menyorot!
“Gusti Allah! Apa yang terjadi dengan anak setan ini!” ujar Sinto Gendeng dalam hati. Semua orang menduga jangan-jangan telah terjadi kekeliruan besar. Pedang Naga Suci 212 bukannya mengobati pemuda itu tapi malah merobahnya menjadi makhluk jejadian berupa seekor harimau putih! Tak ada yang berani bergerak ataupun bersuara.
Perlahan-lahan rasa dingin dan getaran hebat di tubuh Pendekar 212 sirna. Pandangan matanya yang tadi mendelik menyorot kini meredup. Di dalam tubuhnya ada satu hawa aneh yang membuat dia merasa seolah mampu menghancurkan batu sebesar gunung dan mampu melesat tinggi ke langit. Namun bagi orang-orang yang ada di situ suasana malah bertambah menggidikkan karena mendadak di tempat itu tercium bau kemenyan amat santar. Bersamaan dengan itu tanpa dapat dilihat oleh yang lain-lain dari tempat gelap bertiup segulung kabut putih. Lalu di kejauhan terdengar suara tiupan saluang (saluang = seruling khas orang Minangkabau). Di atas kabut, seolah melayang tampak satu sosok tua gagah berpakaian selempang kain putih. Orang tua aneh ini memiliki sepasang mata kebiru-biruan memegang sebuah tongkat kayu putih di tangan kiri sedang tangan kanannya mengusap-usap leher seekor harimau besar berbulu putih yang memiliki sepasang mata berwarna hijau. Di pinggang si orang tua terselip sebuah saluang terbuat dari emas.
“Datuk Rao Basaluang Ameh,” Pendekar 212 berucap begitu mengenali siapa adanya orang tua di dalam kabut. “Datuk Rao Bamato Hijau….” Wiro juga segera mengenali harimau besar di samping si orang tua. Dia segera membungkuk menghormat.
Datuk Rao Basaluang Ameh kedipkan matanya sedang Datuk Rao Bamato Hijau mengaum dahsyat membuat semua orang yang ada di situ kembali tersentak kaget dan mundur. Harimau besar itu bergerak mendekati Wiro lalu jilati muka pemuda itu. (Mengenai Datuk Rao Basaluang Ameh harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Muslihat Para iblis” terdiri dari delapan Episode).
“Anak manusia bernama Wiro Sableng, terlahir bernama Wiro Saksono, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Perjalanan hidup manusia dan alam gaib sulit diduga. Yang Kuasa penentu segala jalan kehidupan manusia mempertemukan kita kembali. Aku Datuk Rao Basaluang Ameh dan sahabatmu Datuk Rao Bamato Hijau muncul untuk memberi tahu bahwa saat ini kekuatan dan kesaktianmu telah pulih. Musibah yang menimpa dirimu malah menjadi satu mukjizat karena selama terpendam kekuatan dan ke-saktian yang kau miliki telah berkembang atas kehendak Yang Maha Kuasa. Meski demikian ingat selalu bahwa setiap musibah bisa terjadi menimpa diri seseorang. Itu satu pertanda bahwa tidak ada ilmu dan kekuatan yang sempurna kecuali ilmu dan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan memulihkan kekuatan dan kesaktianmu pada saat dunia persilatan membutuhkan dirimu. Berlindung kepada Tuhan. Minta tolong dan petunjuk hanya kepada Dia. ingat penjelasanku yang satu ini yang pernah kusampaikan lewat seorang tokoh tapi mungkin tidak sempat kau dengar. Dalam menghadapi lawan di bawah gerhana matahari hadapi binatang dengan binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib. Selamat tinggal anak manusia. Jaga dirimu baik-baik….” Datuk Rao Basaluang Ameh usap rambut Pendekar 212. Datuk Rao Bamato Hijau sekali lagi jilati wajah Wiro. Kabut yang menyelubung di tempat itu perlahan-lahan sirna. Bersamaan dengan itu sirna pula sosok gaib si orang tua dan harimaunya. Bau santarnya kemenyan pun ikut lenyap.
Pendekar 212 Wiro Sableng jatuhkan diri, bersujud di tanah seraya hatinya berkata. “Terima kasih Tuhan. Terima kasih Engkau telah mengembalikan segala ilmu segala daya dalam diriku….”
Seseorang menepuk bahu Pendekar 212, membuatnya sadar dari kekhusukan dan berdiri bangkit. Yang memegangnya barusan ternyata adalah Sinto Gendeng. Si nenek untuk pertama kalinya menyeringai.
“Wiro, kau tadi bicara dengan siapa?” tanya Ratu Duyung.
“Kami mendengar suara auman harimau. Kami mencium bau kemenyan santar sekali!” kata Bidadari Angin Timur.
“Aku melihat dirimu sebagian berubah menjadi harimau. Ilmu sihir apa yang kau miliki, Wiro?” tanya Sinto Gendeng.
“Aku… aku tak bisa menerangkan…” jawab Pendekar 212. Rupanya orang-orang yang ada di situ hanya bisa mendengar dan mencium apa yang terjadi. Mereka sama sekali tidak bisa melihat sosok gaib Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau. Wiro cepat membungkuk mencium tangan guru? nya seraya berkata. “Eyang Sinto, maafkan diriku. Terima kasih kau telah menolongku.”
“Eh, tunggu dulu! Siapa yang telah menolongmu anak setan? Bukan aku! Bukan juga kakek buta bau apak di sampingku ini! Yang menolongmu adalah orang pandai dari tanah seberang bernama Andamsuri ini serta serombongan gadis cantik yang terdiri dari tiga orang. Aku lupa namanya satu persatu! Hik… hik… hik!” Si nenek lalu sisipkan Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya ke pinggang Wiro. “Kau barusan mencium tanganku. Apa kau tidak akan mencium tangan tiga gadis cantik itu? Atau kau lebih suka mencium pipi mereka satu persatu? Hik… hik… hik!”
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. Tak bisa menjawab olok-olok sang guru. Saat itu sebenarnya ingin sekali si nenek memeluk muridnya, tapi dasar manusia aneh hal itu tidak dilakukannya. Malah Sinto Gendeng pegang tangan Kakek Segala Tahu dan berkata. Tua bangka, ayo kita kembali ke kalangan pertempuran. Biarkan dulu orang-orang muda ini menarik nafas lega barang beberapa ketika.”
“Tidak Nek, kita harus segera sama-sama ke sana…” jawab Wiro. “Dari ilmu melihat jauh yang diberikan Ratu Duyung padaku, aku bisa melihat para tokoh sahabat kita berada dalam bahaya besar!”
“Betul kita harus kembali ke sana. Wiro, hanya kau yang sanggup menghadapi Datuk Lembah Akhirat! Aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Satu-satunya petunjuk yang bisa kusampaikan adalah hadapi binatang dengan binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib!” kata Kakek Segala Tahu.
Wiro ingat hal itu juga diucapkan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro lebih dulu membuka pakaian luar Jagal iblis Makam Setan lalu menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang sebelumnya dirampas si kakek.
Ratu Duyung merasa lega mengetahui bahwa bukan cuma kesaktian dan tenaga dalam Pendekar 212 yang pulih tapi kemampuannya untuk mempergunakan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung ternyata juga telah kembali. Didahului oleh Sinto Gendeng dan Tua Gila, Andamsuri serta tiga gadis cantik, mereka itu segera meninggalkan tempat tersebut.


*********************
Sembilan

Diserang demikian banyak musuh Datuk Lembah Akhirat sama sekali tidak merasa jerih. Dia malah sunggingkan seringai sambil acungkan dua tangan yang terbungkus sarung ular kobra tiga warna.
Kematian Iblis Putih Ratu Pesolek kekasihnya membuat Dewa Tuak adalah orang yang paling ingin membunuh Datuk Lembah Akhirat saat itu. Apalagi diketahuinya Anggini berada dalam sekapan sang Datuk. Dia membuat lompatan setinggi satu tombak. Dari mulutnya menyembur tuak harum yang sanggup menjebol tembus batu. Lalu tangannya lepaskan satu pukulan sakti yang jarang dikeluarkan yakni Tujuh Sinar Pelangi. Tujuh sinar menggidikkan menyapu ke arah Datuk Lembah Akhirat.
Di sebelah Dewa Tuak, setelah meninggalkan Sabai Nan Rancak di satu tempat yang aman Tua Gila lancarkan satu serangan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Bululani datang dari jurusan lain, melepas pukulan yang memancarkan asap hitam bergulung-gulung. Si bocah Naga Kuning dengan kegesitan luar biasa berusaha susupkan pukulan bertenaga dalam tinggi dan memancarkan sinar biru ke punggung lawan. Setan Ngompol tak tinggal diam. Walau sambil terkencing-kencing kakek ini juga ikut berebut pahala kirimkan serangan mematikan. Semua menghantam dari jarak jauh karena maklum akan bahaya sarung tangan sakti yang dikenakan lawan.
Satu dentuman laksana hendak rnerobohkan langit gelap menggeledek di tepi barat Telaga Gajahmungkur itu ketika sekian banyak pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi beradu dahsyat dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat yang sukar dijajagi kehebatannya.
Datuk Lembah Akhirat jatuh terduduk di tanah namun dengan cepat dia sanggup berdiri kembali tanpa cidera sedikit pun. Malah tertawa bergelak seolah mengejek. Sementara orang-orang yang tadi lancarkan serangan berpelantingan dan berkaparan di tanah akibat tenaga dalam mereka begitu bentrokan dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat langsung berbalik menghantam diri mereka sendiri!
Dewa Tuak terhantar di tanah dengan dada berdenyut sakit namun masih bisa berusaha bangkit walau terhuyung-huyung. Setan Ngompol terpental jatuh di antara semak belukar, mengeluh tinggi dan terkencing-kencing. Bululani jatuh berlutut. Lengan kirinya terasa sakit dan mukanya pucat pasi. Tua Gila mengalami cidera tak kalah parahnya. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu kelihatan mengelam. Perutnya yang kena sambaran tenaga dalamnya sendiri seolah mau pecah. Hanya dua orang yang tidak mengalami cidera yakni Naga Kuning dan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. Ini disebabkan karena si bocah memiliki ilmu pelicin tubuh hingga kalau dia mengandalkan ilmu ini, apapun yang menghantam tubuhnya yang selicin ikan itu akan lewat begitu saja tanpa menciderainya. Rajo Tuo Datuk Paduko Intan memiliki ilmu peredam pukulan yang disebut ilmu Kapas Putih. Begitu tenaga dalamnya berbalik menghantamnya, ilmu kesaktiannya itu serta merta membuat membal tenaga serangannya.
“Bocah dan orang berpakaian bagus itu agaknya memiliki ilmu kebal…” kata Datuk Lembah Akhirat dalam hati seraya mengawasi Naga Kuning dan Datuk Paduko Intan. “Mereka harus kuhabisi lebih dulu!” Lalu dengan gerakan luar biasa cepat dan entengnya sosok tinggi besar Datuk Lembah Akhirat melesat ke arah Datuk Paduko Intan seraya
tangan kanannya kirimkan satu hantaman ke batok kepala orang. “Desss!” Datuk Paduko Intan terlempar jauh. Dia tak kurang suatu apa kecuali kepalanya mendenyut sakit. Geram Datuk Lembah Akhirat bukan main. Dia membuat gerakan hendak mengejar Datuk Paduko Intan namun tiba-tiba dia berbalik ke arah Naga Kuning dan menghantam bocah ini dengan tangan kanan. Beberapa orang keluarkan seruan tertahan karena jelas si bocah tidak berkesempatan untuk mengelak. Tapi anak konyol yang panjang akal ini tiba-tiba jatuhkan diri dan tarik mayat Pengiring Mayat Muka Merah yang tergelimpang di tanah di dekatnya. Mayat ini disorongkannya ke depan. “Buk!” Dada Pengiring Mayat Muka Merah hancur mengerikan. Naga Kuning cepat gulingkan diri. Tapi celakanya tubuhnya tertahan oleh sosok mayat seorang pengawal. Saat itulah kaki kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat ke kepalanya! Seruan tertahan terdengar dari beberapa mulut! Tak ada yang bisa menolong menyelamatkan nyawa bocah itu!
Disaat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang disusul melayangnya sebuah benda ke arah kepala Datuk Lembah Akhirat. Bersamaan dengan itu dari jurus yang sama melesat satu cahaya putih menyilaukan. Pukulan “Sinar Matahari”!
Datuk Lembah Akhirat menggereng marah. Sekali tangan kanannya diangkat menangkis maka hancur leburlah benda yang melayang menyerangnya yang ternyata adalah caping milik Kakek Segala Tahu. Dengan tangan kirinya Datuk Lembah Akhirat me-mukul, ke arah sinar putih panas yang datang menyusul.
“Bummm!”
Sinar putih seperti pecah bertaburan membuat udara sesaat jadi terang benderang. Datuk Lembah Akhirat tegak tertegun dengan tangan bergetar. Dia cepat kuasai diri. Ketika memandang ke depan, tujuh langkah di hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong bertelanjang dada. jangan kanannya yang masih mengeluarkan cahaya putih perak kini memegang sebilah kapak bermata dua. Pendekar 212 Wiro Sableng! Agak ke belakang berdiri Kakek Segala Tahu, di sebelahnya berdiri dengan muka beringas Sinto Gendeng. Lalu ada tiga gadis cantik yang bukan lain adalah Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Paling akhir adalah Andamsuri.
“Pendekar 212 Wiro Sableng! Seharusnya kau sudah kubunuh waktu di lembah. Sekarang apa terima kasihmu karena aku telah menunda kematianmu?!”. Datuk Lembah Akhirat bicara angkuh lalu tertawa bergelak.
“Manusia yang mengagulkan diri sebagai Datuk Lembah Akhirat! Kau tak lebih dari mayat hidup yang pandai bicara!” jawab pemuda bertelanjang dada yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa yang sejak tadi berdiam diri dalam keadaan terikat keluarkan suara tangis dan tawa. Membuat Datuk Lembah Akhirat jengkel setengah mati. Niat jahat untuk membunuh saja dua kakek ini segera muncul di benaknya. Tapi saat itu Wiro bergerak mendekatinya dan berhenti tiga langkah di hadapannya. Sekaligus menghadang antara dia dan dua kakek. Bersamaan dengan itu Tua Gila, Sinto Gendeng dan Dewa Tuak bergerak mendekati Dewa Sedih dan Dewa Ketawa. Melihat para tokoh mendatangi Dewa Sedih langsung menggerung menangis sedang Dewa Ketawa buka mulut lebar-lebar dan tertawa bergelak!
Didahului satu bentakan keras batuk Lembah Akhirat menerjang ke arah Wiro. Dari jarak dua langkah tangan kanannya lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam dahsyat. Murid Sinto Gendeng tidak berlaku ayal. Kapak Naga geni 212 segera dibabatkan ke arah lawan. Sinar putih berkiblat.
Suara seperti ratusan tawon mengamuk menderu. Hawa panas membeset di kegelapan. Walau senjata di tangan Wiro adalah senjata sakti yang telah menggegerkan rimba persilatan namun begitu tenaga dalam sang Datuk menghantam, tangan yang memegang kapak bergetar keras. Tubuh Pendekar 212 terhuyung-huyung sampai empat langkah. Melihat lawan goyah Datuk Lembah Akhirat segera lepaskan serangan susulan. Wiro kembali pergunakan kapak untuk membabat bahu lawan. Sekali ini Datuk Lembah Akhirat dengan cepat gerakkan tangan kirinya menangkis.
“Traangg!”
Kapak dan sarung tangan kiri beradu mengeluarkan suara keras. Bunga api memercik. Beberapa orang keluarkan seruan tegang ketika melihat bagaimana Kapak Naga Geni 212 menempel pada sarung tangan Datuk Lembah Akhirat!
“Celaka!” keluh Wiro. Sebelumnya dia telah diberi tahu akan kehebatan sarung tangan lawan. Tapi tidak mengira kalau senjata saktinya juga akan kena ditempel begitu rupa. Dia tak berani kerahkan tenaga untuk menarik kapak. Mau tidak mau sebelum tenaga dalamnya kena disedot Wiro terpaksa lepaskan senjata itu.
Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Kapak Naga Geni 212 ditimang­timang seketika lalu dibuangnya ke tanah seperti membuang benda tak berharga. Walaupun kemudian si bocah Naga Kuning dengan cepat berhasil mengambil senjata itu namun me-nyaksikan kapak sakti warisannya itu dibuang seolah sampah saja Sinto Gendeng memaki habis-habisan.
“Wiro! Pergunakan pedang ini!” teriak Puti Andini, siap hendak melemparkan Pedang Naga Suci 212 tapi cepat dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Karena kalau pedang itu juga sampai jatuh ke tangan Datuk Lembah Akhirat bertambah celakalah mereka.
“Pendekar 212!” tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata dengan suara lantang. “Bagaimana kalau kita membuat perjanjian. Aku ampuni selembar nyawamu! Kau boleh bergabung denganku, juga boleh membawa tiga gadis cantik itu ke Lembah Akhirat!”
“Datuk jahanam! Apa kau juga akan mengajak aku ke lembah?!” Tiba-tiba ada suara bertanya disusul suara tertawa ha-ha hi-hi. Ketika berpaling dan melihat siapa orang yang barusan berkata, menggeramlah Datuk Lembah Akhirat. Orang itu adalah si gendut Bujang Gila Tapak Sakti yang berjalan mendekat lalu berhenti delapan langkah di hadapan sang Datuk. Saat itu dia masih mengenakan pakaian perempuan biru panjang robek-robek. Mukanya benjat benjut bercelemong bedak dan darah. Melihat Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Ketawa langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya Dewa Sedih menangis melolong-lolong!
“Dajal gendut jahanam! Kau dan temanmu ini bersiaplah untuk mampus!” teriak Datuk Lembah Akhirat marah sekali lalu hantamkan tangan kiri kanan membagi serangan ke arah Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang diserang tak tinggal diam. Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan kedua tangannya. Asap putih mengepul. Ketika dua tangannya didorong maka menderulah hawa luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu tampak menggigil. Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng mainkan jurus “Tangan Dewa Menghantam Air Bah”. Jurus ini adalah jurus ke empat dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan berintikan Delapan Sabda Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Seandainya orang lain yang menerima hantaman dua pemuda sakti ini niscaya tubuhnya akan tergeletak tewas mengenaskan saat itu juga. Namun Datuk Lembah Akhirat seolah tidak merasakan apa-apa karena tenaga dalamnya yang sangat tinggi mampu melin-dungi dirinya.
“Dess! Desss!”
Bujang Gila Tapak Sakti terpelanting dua tombak. Terkapar di tanah dan untuk beberapa lamanya tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Sekujur badannya seolah lumpuh. Dadanya menyesak sakit. Hal yang sama terjadi pula dengan murid Sinto Gendeng. Pemuda ini terpental dua tombak, jatuh terduduk di tanah dengan dada dan kepala mendenyut sakit! Dari sela mulutnya mengalir darah pertanda pemuda ini mengalami cidera di sebelah dalam.
Melihat kejadian itu Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini berteriak marah. Walau tadi dilarang oleh Kakek Segala Tahu, ketiganya segera saja menyerbu. Puti Andini yang memegang pedang berada paling depan. Sinar putih membersitkan hawa dingin berkiblat ketika Pedang Naga Suci 212 dibabatkannya ke arah Datuk Lembah Akhirat. Yang diserang tertawa mengejek. “Gadis-gadis cantik! Maju lebih dekat! Biar kuremas tubuh montok kalian!” Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat berusaha menyentuh pedang. Tapi Puti Andini tidak bodoh. Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu tombak. “Makan pedangku!” teriak si gadis. Pedang sakti membacok ke arah batok kepala Datuk Lembah Akhirat, cepat luar biasa. Sambil membungkuk sang Datuk palangkan tangan kirinya di atas kepala lalu tangan kanannya menyusup ke depan meraba dada Puti Andini. “Traaang!”
Pedang dan sarung tangan yang membungkus tangan, kiri Datuk Lembah Akhirat beradu keras memercikkan bunga api. Bersamaan dengan itu terdengar pekik Puti Andini. Tubuhnya tertarik ke depan.
“Lepaskan pedang!” teriak Tua Gila karena pasti lewat pedang yang menempel di tangan kirinya Datuk Lembah Akhirat hendak menyedot tenaga dalam si gadis. Mendengar teriakan itu Puti Andini segera lepaskan genggamannya di gagang pedang. Dengan muka pucat gadis ini melompat menjauhi lawan sambil pegangi dadanya yang tadi kena diraba. Mukanya merah padam. Amarahnya menggelegak. Tapi yang paling marah adalah Andamsuri, ibu Puti Andini. Sambil berteriak marah perempuan ini menggebrak ke arah sang Datuk. “Datuk mesum kurang ajar!”
Saat itu Datuk Lembah Akhirat tengah berdiri dengan darah tersirap ketika melihat bagaimana hantaman Pedang Naga Suci 212 yang kini menempel di tangannya mampu membuat robek sarung ular kobra sakti di tangan kirinya.
“Jahanam!” rutuk Datuk Lembah Akhirat. Pedang Naga Suci 212 ditariknya dengan tangan kanan lalu dia cepat palingkan diri menghadapi serangan Andamsuri berupa dua larik sinar merah. Sang Datuk pergunakan pedang sakti untuk menangkis serangan lawan. Sinar putih dan hawa dingin menderu. Dua larik sinar merah serangan Andamsuri punah. Andamsuri sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengerenyit kesakitan. Dua tangannya laksana lumpuh karena hantaman tenaga dalam lawan. Dalam keadaan lawan tak berdaya seperti itu Datuk Lembah Akhirat melompat seraya lemparkan Pedang Naga Suci 212. Sebenarnya sang Datuk ingin terus memegang pedang sakti itu. Namun dia merasa ada satu hawa aneh yang membuat tangannya jadi bergetar dan aliran darahnya tidak karuan.
“Ibu!” teriak Puti Andini. Beberapa orang jadi ikut mengeluarkan seruan tertahan. Kakek Segala Tahu hantamkan tangan kiri. Dewa Tuak lemparkan bum-bung bambunya. Ratu Duyung berusaha keluarkan cermin saktinya. Namun semua gerak pertolongan itu kalah cepat dengan melesatnya pedang sakti. Dalam keadaan tak berdaya karena dua tangannya seolah lumpuh Andamsuri tak mungkin lagi selamatkan diri.
“Logam suci adalah sahabat logam murni! Tuhan pemegang segala kuasa! Tuhan penolong Maha Agung!” Tiba-tiba ada orang berteriak. Satu bayangan hijau berkelebat. Menyusul melesatnya sebuah benda bulat berwarna kuning. “Traangg!”
Benda kuning bulat beradu dengan badan pedang sakti. Bunga api putih dan kuning menerangi tempat itu. Benda bulat dan Pedang Naga Suci 212 melayang jatuh ke tanah. Untuk beberapa lamanya benda bulat itu berputar siam di tanah menebar cahaya kuning terang sekali. Ketika putarannya berhenti ternyata benda itu adalah tempat sirih terbuat dari emas murni. Sungguh luar biasa. Walau tadi terjadi bentrokan keras dengan pedang sakti, lalu melayang jatuh dan berputar seperti gasing namun beberapa lembar sirih, pinang, tembakau dan kapur sirih tetap utuh berada dalam tempat sirih emas itu! Sementara itu Pedang Naga Suci 212 begitu jatuh ke tanah secara ajaib bergulung lalu menggelinding ke arah Puti Andini! Baik pedang maupun tempat sirih sama­sama tidak mengalami kerusakan sedikit pun.
Semua mata diarahkan pada Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. Dialah pemilik tempat sirih emas itu. Dia pula yang telah melemparkan senjata itu untuk menyelamatkan Andamsuri, istrinya sendiri yang dulu pernah disia-siakannya. Datuk Paduko Intan melang-kah tundukkan kepala. Dia tak berani menoleh ke arah Andamsuri yang memandangnya dengan berbagai perasaan. Setelah mengambil tempat sirihnya dia kembali berlindung di tempat gelap. Tapi Datuk Lembah Akhirat cepat menghadangnya langsung menyerang dengan jotosan jarak pendek mematikan.
“Dess… desss… dess!” Berkali-kali Datuk Lembah Akhirat menghantam. Namun pukulannya seolah-olah tidak bisa sampai. Tinjunya seperti masuk ke dalam satu benda lembut yang memiliki daya membal hingga tangannya terdorong. Dilain pihak walau ilmu “Kapas Putih” yang dimilikinya sanggup melindungi dirinya, namun getaran-getaran tenaga dalam yang hebat dari Datuk Lembah Akhirat membuat Datuk Paduko Intan lama-lama terpaksa mundur terus. Tubuh dan kepalanya yang dihajar terus-terusan walaupun tidak kena namun mulai mendenyut sakit.
“Datuk jahanam! Urusan kita belum selesai!”
Dari samping menderu angin keras yang membuat Datuk Lembah Akhirat sesaat terhuyung tapi begitu dia sapukan tangan kanannya maka angin yang menyerang langsung amblas. Di depan sana Pendekar 212 Wiro Sableng tegak tergontai-gontai.
“Pendekar geblek! Kau lagi! Benar-benar sudah bosan hidup rupanya!” teriak Datuk Lembah Akhirat ketika mengetahui siapa yang barusan menyerangnya. Tanpa banyak bicara lagi manusia tinggi besar ini segera menyergap. Lancarkan serangan-serangan yang sengaja dilakukan dalam jarak pendek. Dia bukan saja ingin melumatkan lawan tapi juga berniat untuk menyedot tenaga dalam yang dimiliki Pendekar 212.
Untuk menghadapi serangan lawan yang cepat, ganas dan mengandung tenaga dalam sangat tinggi murid Sinto Gendeng keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan ilmu silatnya dimainkan Wiro, Tua Gila jadi leletkan lidah karena jika dia sendiri yang melakukan tidaklah akan sehebat kemampuan pemuda
itu. Wiro berkelebat kian kemari dalam gerakan aneh seperti orang mabok atau kesurupan. Sesekali dia kelihatan seperti hendak jatuh terserandung atau terpeleset. Mulutnya me-nyunggingkan senyum mengejek yang membuat panas hati Datuk Lembah Akhirat.
Kalau ilmu silat orang gila dipergunakannya untuk bertahan maka untuk menyerang Pendekar 212 mainkan Enam Jurus Inti Kekuatan Dewa yaitu ilmu silat yang dipelajarinya dalam Kitab Putih Wasiat Dewa. Berturut-turut dia menghantam lawan dengan jurus-jurus Tangan Dewa Menghantam Matahari, Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam Rembulan, Tangan Dewa Menghantam Api dan Tangan Dewa Menghantam Tanah.. Namun lawan benar-benar tangguh. Walau Datuk Lembah Akhirat sempat dibikin kewalahan namun sulit bagi Wiro untuk dapat menyentuh tubuh apalagi kepala Datuk Lembah Akhirat. Kekuatan tenaga dalam lawan memiliki kemampuan mementahkan semua serangannya. Ketika Wiro menyisipkan jurus Kepala Naga Menyusup Awan di antara Enam Jurus inti Kekuatan Dewa, pemuda ini berhasil mengirimkan satu totokan dahsyat ke pangkal leher sebelah kanan Datuk Lembah Akhirat. jangankan manusia, gajah sekalipun akan kaku tegang oleh totokan ini. Tapi Datuk Lembah Akhirat memang luar biasa. Sesaat tubuhhya terasa hendak menjadi kaku, tenaga dalamnya langsung bekerja. Totokan di pangkal lehernya serta merta punah!
Wiro menjadi terkesima padahal dia siap untuk kirimkan serangan susulan. Para tokoh yang menyaksikan ikut terperangah. Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Aku menawarkan pengampunan untukmu! Aku menjanjikan kedudukan tinggi bagimu di Lembah Akhirat! Tapi kau memang lebih pantas mampus!” Datuk Lembah Akhirat dorongkan dua tangannya ke arah Wiro. Lalu dia susul dengan satu lompatan ganas, perkelahian hebat kembali terjadi. Wiro berusaha menjaga jarak agar dirinya tidak sampai tersentuh tangan-tangan lawan yang mengenakan sarung. Saat itu dia ingat pada ucapan Datuk Rao Bamato Hijau dan Kakek Segala Tahu. Hadapi binatang dengan binatang.
Hadapi yang gaib dengan yang gaib. Namun bagaimanapun dicobanya dia tak mampu memecahkan teka-teki itu. Dia memaki ketololannya sendiri mengapa tidak bertanya pada Datuk Rao atau Kakek Segala Tahu arti petunjuk itu. Karenanya setiap kali ada kesempatan dia melemparkan lirik pada Kakek Segala Tahu. Tapi orang tua buta ini dilihatnya hanya tegak tak bergerak, mendongak ke langit gelap.
Setelah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus menghajar lawan terus­terusan, Datuk Lembah Akhirat mulai mendesak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tekanan tenaga dalam lawan laksana tembok batu yang terus-menerus mendesak dan menjepitnya. Beberapa kali pukulannya nyaris mengenai Wiro. Semua orang yang ada di tempat itu mulai merasa gelisah. Tawa Dewa Ketawa terdengar aneh. Tangis Dewa Sedih mulai menggidikkan.
“Celaka! Kalau anak setan itu sampai….”
Belum habis Sinto Gendeng berucap tiba-tiba “bukkk!”
Tubuh Pendekar 212 mencelat sampai tiga tombak. Beberapa orang keluarkan suara terpekik dan berusaha memburu tapi cepat mundur ke arah tempat tergeletaknya Wiro ketika Datuk Lembah Akhirat lebih cepat melompat mendahului. Di tanah becek Pendekar 212 tergeletak menggeliat. Dari mulutnya keluar suara erangan disusul semburan darah segar. Dada kanannya dibekas jotosan lawan bersarang tampak berwarna biru kehitaman. Kalau mau waktu pukulannya menyentuh tubuh Wiro tadi Datuk Lembah Akhirat bisa langsung menyedot seluruh tenaga dalam yang dimiliki murid Sinto Gendeng itu. Namun
dia sengaja hendak menyiksa sang pendekar lebih dulu sebelum benar-benar membunuhnya.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Mulutnya berulangkali mengucapkan “Binatang hadapi dengan binatang. Yang gaib hadapi dengan yang gaib….”
Wiro berusaha bangkit ketika Datuk Lembah Akhirat melompat ke hadapannya. Seringai maut bermain di wajah belang tiga sang Datuk. Ketika dia hendak menjambak rambut gondrong pemuda itu dari samping berkelebat sosok hitam. “Bukk!” Satu tendangan menghajar tulang rusuk Datuk Lembah Akhirat. Manusia tinggi besar ini terjajar ke samping tapi tidak cidera sedikit pun. Malah orang yang barusan menyerangnya terlempar sampai satu tombak. Si penyerang adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Begitu serangannya gagal nenek ini susul dengan serangan baru berupa pukulan “Sinar Matahari” dan lemparan tusuk konde. Namun lagi-lagi gagal. Sinto Gendeng jatuh berlutut di tanah. Batuk-batuk beberapa kali lalu kucurkan darah segar dari mulutnya. Tua Gila dan Dewa Tuak cepat bergerak menolong. Tapi Datuk Lembah Akhirat lebih cepat menggeprakkan tangan kanannya ke ke-pala si nenek!
Dalam keadaan terluka cukup parah Pendekar 212 Wiro Sableng membaca satu rapalan lalu berteriak keras. “Sepasang Pedang Dewa!” Terjadilah satu hal luar biasa. Dari sepasang mata sang pendekar melesat keluar dua sinar lurus berwarna hijau tipis laksana sepasang pedang yang sangat tajam, inilah ilmu kesaktian yang juga didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Sekali dia kedipkan dua matanya, sepasang sinar hijau menyambar dahsyat ke arah Datuk Lembah Akhirat yang saat itu tengah hantamkan tangan kanannya untuk memukul hancur kepala Sinto Gendeng! (Mengenai ilmu-ilmu gaib yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
“Jahanam! Ilmu apa ini!” teriak Datuk Lembah Akhirat seraya palangkan tangan kirinya di depan mata karena tidak tahan terhadap silaunya dua larik sinar hijau. “Wuss! Wusss!” Dua sinar hijau menyambar ke arah dada. Datuk Lembah Akhirat kerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan tangan kanan. “Bummm! Bummm!”
Dua letusan dahsyat menggoncang tanah membuat sekian banyak kaki bergetar hebat lalu roboh! Dua larik sinar hijau musnah. Pendekar 212 Wiro Sableng untuk kesekian kalinya kelihatan terkapar di tanah. Walau dia berhasil menyelamatkan gurunya namun keadaannya sendiri tambah parah. Darah bukan saja mengucur dari mulutnya, tapi juga dari hidung, pinggiran mata dan liang telinga! Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini sama-sama pejamkan mata tidak tega menyaksikan keadaan itu.
Berpaling ke kiri Tua Gila melihat Sinto Gendeng terduduk di tanah. Mukanya yang hitam seperti tidak berdarah. Kakek ini segera dekati si nenek, pegang bahunya lalu membantunya berdiri. “Sinto, kau tak apa-apa…?”
“Aku…. Ah!” Sinto Gendeng tersipu-sipu. “Terima kasih kau masih memperhatikan aku. Aku tak apa-apa. Jangan buat orang lain jadi cemburu….” Sinto Gendeng pegang lengan Tua Gila lalu turunkan tangan itu dari bahunya.
“Eh, apa maksud ucapanmu tadi, Sinto? Dalam keadaan seperti ini kita tidak perlu membicarakan urusan pribadi dulu….”
Sinto Gendeng tertawa kecut. “Aku tidak bermaksud apa-apa Sukat. Tapi aku lebih senang kalau kau menolong nenek yang di sebelah sana itu lebih dulu. Keadaannya tidak lebih baik dariku….”
Tua Gila alias Sukat Tandika berpaling ke arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. Ternyata yang dimaksud si nenek adalah Sabai Nan Rancak yang saat itu duduk tersandar di bawah sebatang pohon. “Sinto, kau….” Ucapan Tua Gila terputus. Sinto Gendeng telah beranjak ke tempat lain, mendekam dalam kegelapan.
Lain halnya dengan Datuk Lembah Akhirat. Pakaiannya tampak robek di bagian dada. Kalung tengkorak yang tadi tergantung di lehernya hancur berkeping-keping. Tapi tubuhnya nyaris tidak cidera sedikit pun! Malah dengan tenang, sambil menyeringai dia melangkah menghampiri Wiro!
“Aku telah melakukan petunjuk hadapi yang gaib dengan yang gaib. Tapi Datuk celaka ini tidak bergeming sedikit pun!” membatin Wiro. Dia berusaha bangkit berdiri. Namun baru mampu duduk lawan sudah berada di hadapannya.
Dalam keadaan sangat seperti itu terdengar kerontang kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu menyusul suara orang tua itu berseru. “Pendekar 212! Kau belum melakukan seluruh petunjuk! Kau baru melakukan hadapi yang gaib dengan yang gaib! Lakukan petunjuk berikutnya! Hadapi binatang dengan binatang!”
Pendekar 212 tersentak mendengar teriakan Ka-kek Segala Tahu itu sementara Datuk Lembah Akhirat tidak mengerti apa arti ucapan orang tua bermata putih buta itu. Murid Sinto Gendeng memutar otak membuncah pikiran. Hadapi binatang dengan binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib! Wiro usap matanya yang buram oleh kucuran darah. “Sarung tangan Datuk keparat itu terbuat dari kulit ular. Kulit binatang. Hadapi binatang dengan binatang. Binatang apa yang aku miliki….” Wiro bertanya-tanya dalam hati. Datuk Lembah Akhirat semakin dekat.
“Tuhan! Beri aku petunjuk! Datuk Rao, apakah kau berada di dekatku…?” Wiro membatin pada saat kaki kanan Datuk Lembah Akhirat meluncur ke arah kepalanya. Sejengkal lagi tendangan itu akan menghantam pecah kepalanya tiba­tiba Wiro jatuhkan diri dan berteriak keras. Sambil berguling di tanah menjauhi lawan yang kembali coba mengejarnya Pendekar 212 tiup telapak tangan kanannya. Saat itu juga pada permukaan telapak tangan Wiro muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau.
“Datuk Rao Bamato Hijau!” seru Wiro. Satu auman keras menggelegar seperti mau membongkar tepi barat Telaga Gajahmungkur. Di tangan kanan Pendekar 212 kini ada satu kekuatan sakti bernama pukulan Harimau Dewa. Dengan ilmu kesaktian ini dia sanggup menghancurkan apa saja tanpa mengerahkan tenaga dalam. Ketika Datuk Lembah Akhirat kembali mendatanginya tidak menunggu lebih lama Wiro segera lepaskan pukulan Harimau Dewa.
“Wuuuss! Wusss! Deeesss! Deess!”
Dua kali murid Sinto Gendeng menghantam tapi sosok Datuk Lembah Akhirat hanya kelihatan bergoyang-goyang sedikit lalu melangkah lagi mendekati Wiro.
“Celaka! Tidak mempan!” kata Wiro dalam hati. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau di mana…?!”
Mendadak untuk kedua kalinya membahana auman harimau. Lebih dahsyat dari pertama tadi. Si Setan Ngompol jatuh melosoh di tanah terkencing­kencing. Beberapa tokoh terhuyung-huyung. Kalau tidak cepat imbangi diri dan kerahkan tenaga dalam niscaya ada lagi yang jatuh duduk di tanah.
Dari jarak dua langkah tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang tenaga dalam dahsyat melabrak tubuh murid Sinto Gendeng itu hingga dia
terpental. Darah kembali mengucur dari hidung dan mulut Wiro. Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Dia kembali angkat tangan kanannya untuk menghantam. Kali ini dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
“Lihat!” Ratu Duyung mendadak berteriak keras seraya menunjuk ke arah Wiro.
“Astaga! Anak setan itu! Apa yang terjadi dengan dirinya!” seru Sinto Gendeng.
Saat itu tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi sosok seekor harimau besar berbulu putih. Sepasang matanya yang hijau pekat menyorotkan sinar menggidikkan, mengarah pada Datuk Lembah Akhirat. inilah Datuk Rao Bamato Hijau, harimau peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberi banyak ilmu kesaktian pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Diam-diam Datuk Lembah Akhirat jadi bergidik juga menyaksikan hal itu.
“Pendekar 212! Kau boleh berubah menjadi harimau kepala sepuluh! Tapi nyawamu tetap satu dan akan amblas di tanganku!” Sang Datuk menyergap ke depan seraya lancarkan satu jotosan keras ke arah kepala harimau putih. Binatang ini menggereng dahsyat, dua kaki depannya melesat ke arah muka Datuk Lembah Akhirat. Yang diserang berseru kaget, cepat melompat mundur lalu membungkuk seraya menjotos dada harimau.
“Bukkk!”
Harimau putih besar terjajar ke belakang, mengaum keras. Ketika binatang ini hendak mencengkeram, sang Datuk bergerak lebih dulu. Dua tangan terbungkus Sarung Penyedot Batin menyambar laksana kilat, mencengkeram dan mencekik leher harimau putih. Untuk beberapa saat harimau bernama Datuk Rao Bamato Hijau itu tampak tidak berdaya. Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Siap menguras dan menyedot apapun kekuatan yang ada dalam tubuh harimau. Namun sang Datuk tersentak kaget ketika dua sinar hijau yang ada di mata harimau mendadak melesat menyambar ke arahnya. Dia terpaksa lepaskan cekikannya untuk selamatkan diri. Begitu dua sinar lewat Datuk Lembah Akhirat cepat cengkeramkan dua tangannya ke kepala harimau sekaligus menutupi dua mata hijau yang berbahaya itu. Dua sarung tangan sakti kembali mengeluarkan hawa aneh yang sanggup menyedot. Datuk Rao mengaum berulangkali. Empat kakinya melejang-lejang. Ekornya memukul kian kemari.
Sampai saat itu sosok Wiro masih tidak kelihatan. Semua orang menyaksikan apa yang terjadi dengan penuh cemas. Semua mata melotot tak berkesip, semua hati tercekat pekat ketika melihat bagaimana sosok harimau putih yang tadi seolah-olah menyelubungi tubuh Wiro, kini secara aneh dan perlahan-lahan terbetot keluar. Sedikit demi sedikit kelihatan sosok Wiro. Mula-mula dua kakinya, terus ke atas, pinggang, perut dada dan akhirnya utuh sampai ke kepala. Bersamaan dengan keluarnya sosok harimau dari tubuh Wiro, pemuda ini jatuh terduduk di tanah. Mukanya pucat pasi laksana mayat. Beberapa orang hendak bergerak mendekatinya tapi cepat dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Di tanah Wiro duduk bersila pejamkan mata. Sekujur tubuhnya ditutupi kabut tipis aneh yang tidak diketahui entah dari mana datangnya.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum lagi. Begitu keluar dari tubuh Wiro, binatang gaib ini langsung menyergap Datuk Lembah Akhirat hingga manusia tinggi besar ini jatuh tertelentang di tanah. Dia coba memukul kepala harimau tapi cakaran kaki binatang ini lebih dulu merobek wajahnya. Datuk Lembah Akhirat menjerit setinggi langit. Dari mukanya yang hancur akibat cakaran mengucur darah. Sambil menahan sakit dengan nekat Datuk Lembah Akhirat berusaha mencekik leher Datuk Rao Bamato Hijau, mencoba untuk
melumpuhkan lawan dengan jalan menyedot kekuatannya. Namun kali ini sang harimau telah lebih dahulu menghunjamkan gigi-giginya yang besar runcing dan menggigit dua tangan sang Datuk yang terbungkus sarung ular sakti.
Datuk Lembah Akhirat berteriak setinggi langit ketika Sarung Tangan Penyedot Batin terenggut lepas bersama kutungan jari-jari tangannya. Ketika sarung tangan itu tanggal terlihat sepasang tangan sang datuk tidak lagi memiliki sepotong jari pun! Darah mengucur deras dari dua tangan yang buntung!
Datuk Lembah Akhirat menjerit tiada henti. Tubuhnya masih bisa berdiri tapi berguncang-guncang dan terhuyung-huyung kian kemari. Mukanya yang hancur mengepulkan asap aneh lalu berubah menjadi sehitam jelaga. Kengerian tidak hanya sampai di situ karena sebagian demi sebagian kepala Datuk Lembah Akhirat hancur meleleh. Kehancuran ini terus merambat ke tubuh dan berakhir di ujung kedua kakinya. Yang tidak ikut lumer adalah batu tiga warna yang menjadi sumber ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
Beberapa orang menarik nafas lega. Tapi mendadak Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Sepasang Sarung Tangan Penyedot Batin yang ada dalam gigitan di mulutnya tiba-tiba berubah menjadi dua ekor ular kobra berwarna hijau, merah dan hitam, inilah sepasang ular jejadian yang merupakan titisan Dewi Ular yang ingin membalas sakit hati dendam kesumat terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua ular kobra ini berusaha lepaskan diri dari gigitan Datuk Rao Bamato Hijau dengan jalan mematuk kian kemari. “Craass!” Datuk Rao Bamato Hijau menggigit putus leher dua ekor ular lalu mencampakkannya ke tanah. Ular pertama meliuk-liuk beberapa lama sebelum akhirnya menemui ajal lalu lenyap dalam bentuk kepulan asap. Ular ke dua menyusul sirna tapi cuma bagian tubuh dan ekor. Bagian kepala yang masih tertinggal tiba-tiba melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu tengah duduk bersila dalam keadaan terpejam, mengatur jalan nafas, peredaran darah dan tenaga dalamnya. Kejadian ini begitu cepat. Tidak terduga hingga semua orang yang menyaksikan hanya bisa keluarkan seruan tertahan.
“Wiro awas!” Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur berteriak hampir berbarengan. Sesaat lagi kepala ular yang memiliki lidah dan gigi penuh bisa mematikan itu akan menancap di leher Wiro, tiba-tiba tangan kanan sang pendekar bergerak ke atas. Potongan kepala ular tenggelam dalam genggaman Wiro. Sekali tangannya meremas terdengar suara berkeretakan. Kepala ular titisan balas dendam Dewi Ular hancur. Lalu berubah menjadi kepulan asap dan lenyap! Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Murid Sinto Gendeng ini tersentak kaget ketika tiba-tiba di depannya menyeruak sosok setengah badan seorang gadis cantik mengenakan mahkota berbentuk kepala ular.
“Dewi Ular…” desis Wiro.
Sosok gaib itu lontarkan, senyum dingin dan angker. “Kali ini aku gagal membunuhmu Pendekar 212. Tapi rohku akan kembali menitis untuk membalas kematianku dan guruku Ratu Ular!” Habis berucap begitu sosok Dewi Ular lenyap laksana asap dihembus angin.
Sesaat setelah sosok gaib Dewi Ular lenyap, Sabai Nan Rancak melangkah mendekati mayat Sutan Alam Rajo Di Langit. Dari balik pakaian Sutan Alam ditanggalkannya Mantel Sakti. Lalu dia juga mengambil Mutiara Setan yang ada pada kakek itu.
Merasa keadaan sudah aman, Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini segera hendak melompat menghampiri Wiro tapi Kakek Segala tahu kerontangkan kalengnya. Dewa Tuak tiba-tiba berteriak. “Jangan bergirang hati dulu! Muridku Anggini masih tersekap di Lembah Akhirat!” Habis berkata begitu Dewa Tuak berkelebat tinggalkan tempat itu. “Kami ikut bersamamu!” teriak Tua Gila.
Dewa Sedih menggerung keras. “Kalian apa tidak berniat melepaskan diriku yang masih terikat?!”
“Aku juga!” teriak Dewa Ketawa sambil mesem-mesem lalu tertawa bergelak.
“Kalian dua pengkhianat tak berguna! Perlu apa melepaskan kalian! Biar kalian pada mampus berdiri di tempat ini!” teriak Sinto Gendeng.
“Jangan salahkan kami!” ratap Dewa Sedih. “Kami berdua telah jadi korban tipuan Datuk sesat itu. Kami dikebiri! Anggota rahasia kami dicopot dan disembunyikan di satu tempat rahasia! Bagaimana kami bisa melawan!”
Semua orang jadi melongo mendengar penjelasan Dewa Sedih itu. Sinto Gendeng berpaling pada Dewa Tuak lalu berkata. “Lepaskan benang sakti yang mengikat mereka. Jika nanti terbukti keduanya berdusta, akan kuremas hancur burung mereka!”
Dewa Tuak dengan cepat lepaskan ikatan benang sakti yang membuat Dewa Sedih dan Dewa Ketawa serta keledai tunggangannya tak berdaya. Begitu mereka bebas Dewa Sedih menangis melolong-lolong. Dewa Ketawa angkat­angkat dua tangannya sambil tertawa girang.
“Tua bangka edan! Hentikan tawa dan tangis kalian! Ayo sekarang buktikan kalau kalian benar-benar dikebiri. Tidak punya burung lagi!” Hardik Sinto Gendeng.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tertegun saling pandang. Tiba-tiba Dewa Sedih angkat tinggi-tinggi pakaiannya berupa selempang kain putih sedang Dewa Ketawa turunkan celana hitam gombrongnya sampai ke paha. Di bawah perut ke dua kakek ini memang tidak ada apa-apa. Kosong licin! Puti Andini, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung palingkan muka dengan wajah bersemu merah. Para nenek sunggingkan senyum seperti jijik tapi melirik juga lalu berusaha menahan tawa cekikikan. Lain halnya dengan Tua Gila. Kakek Segala Tahu, Naga Kuning, Bujang Gila Tapak Sakti, Wiro dan si Setan Ngompol serta Dewa Tuak yang saat itu tegak sambil memanggul jenazah Iblis Putih Ratu Pesolek. Semuanya tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air mata melihat pemandangan aneh tapi nyata itu!


*********************
Sepuluh

Lembah Akhirat diselimuti kesunyian. Dengan Naga Kuning sebagai penunjuk jalan rombongan orang-orang dari barat Telaga Gajahmungkur langsung menuju satu-satunya bangunan yang ada cahaya lampu minyak menyala. Itu adalah tempat kediaman Ki Juru Tenung alias Mangkutani. Ha nya tinggal beberapa belas langkah dari bangunan tiba-tiba pintu terbuka. Seorang bertubuh kurus kerempeng tanpa pakaian terbungkuk-bungkuk keluar menggotong sesosok tubuh. Sosok ini kemudian dilem-parkannya dekat sebuah sumur.
“Astaga! Orang yang dilemparkan itu adalah anakku! Panji!” kata Rajo Tuo Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang. “Jangan-jangan anakku sudah diapa­apakan orang!” Datuk Paduko Intan serta merta hendak melompat keluar dari dalam rombongan tapi dicegah oleh Tua Gila. Kakek ini berpaling pada Naga Kuning yang tegak di sebelahnya. “Kau kenal siapa nenek-nenek edan yang bertelanjang dada itu?!”
“Namanya Mangkutani. Biasa dipanggil Ki Juru Tenung. Dia orang kepercayaan Datuk Lembah Akhirat. Dia punya penyakit aneh….”
“Penyakit aneh bagaimana?” tanya Datuk Paduko Intan.
“Aku tak tahu nama penyakitnya. Tapi kata orang dia sering bersuka-suka dengan perempuan sejenisnya….”
Semua orang tampak heran mendengar keterangan si bocah. Ada di antara yang mereka tidak mengerti. Yang tahu apa yang dimaksud langsung menjadi dingin tengkuk masing-masing. Kakek Segala Tahu mendongak. Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti saling pandang lalu sama-sama menyengir. Dewa Tuak memandang melotot pada Naga Kuning. “Jahanam! Pasti muridku Anggini sudah…. Akan kubunuh si Juru Tenung keparat itu!” Jenazah iblis Ratu Pesolek segera diturunkannya dari bahu dan dibaringkannya di tanah.
Ketika Dewa Tuak melompat meninggalkan rombongan, Rajo Tuo Paduko Intan segera mengikuti. Dewa Sedih keluarkan suara menggerung. Dewa Ketawa terbahak tertahan-tahan. Yang lain-lainnya mau tak mau tak bisa berdiam diri. Akhirnya semua menyerbu ke arah bangunan. Di sebelah belakang Dewa Sedih terdengar meratap.
“Jangan kalian bunuh manusia itu! Kalau dia sampai mati bagaimana nasib diriku! Aku akan kehilangan anuku seumur-umur. Kalaupun ketemu bagaimana aku memasangnya! Aku malu…. Hik… hik… hik!”
Ki Juru Tenung kaget bukan kepalang ketika menyadari tiba-tiba bermunculan begitu banyak orang. Walaupun dalam keadaan bugil tapi si nenek ini sama sekali tidak berusaha menutupi auratnya. Malah dia berteriak pada Dewa Sedih. “Dewa Sedih! Ada apa? Siapa orang-orang ini? Mana Datuk Lembah Akhirat!”
“Datukmu sudah mampus! Giliranmu hanya tinggal beberapa kejapan mata saja! katakan di mana muridku Anggini!” Dewa Tuak melompat ke hadapan Ki Juru Tenung lalu tangan kanannya mencekik leher sedang tangan kiri memuntir dada si nenek yang kempes peot hingga orang ini melolong kesakitan.
Sementara itu Datuk Paduko Intan dan Puti Andini bergegas ke tempat Panji tergeletak. Pemuda ini ternyata berada dalam keadaan ditotok. Ayahnya segera melepaskan totokannya. Begitu bisa bergerak dan bersuara Panji berkata. “Ayah, tolong Anggini. Dia ada dalam bangunan itu.”
Datuk Paduko Intan segera berkelebat ke arah bangunan. Namun Dewa Tuak sudah lebih dulu menghambur laksana terbang. Namun ke dua orang tua ini begitu masuk ke dalam bangunan serta merta keluar lagi. Mereka memberi isyarat pada Ratu Duyung, Bululani dan Bidadari Angin Timur.
“Muridku agaknya dalam keadaan pingsan. Walau kelihatannya tidak cidera tapi aku dan Datuk Paduko Intan tak mungkin menolongnya. Dia dalam keadaan tak berpakaian. Lekas kalian membantu….”
Mendengar itu tiga orang perempuan tadi segera menerobos masuk ke dalam bangunan. Tak lama kemudian mereka keluar lagi sambil memapah Anggini yang sudah berpakaian lengkap miliknya sendiri. Wiro hendak melangkah mendekati Anggini tapi urung ketika dilihatnya Panji telah lebih dulu mendekati si gadis. Begitu berhadap-hadapan dengan Panji, Anggini menangis keras. Panji langsung saja merangkul murid Dewa tuak ini lalu membawanya ke satu tempat yang lebih tenang.
Akan halnya Ki Juru Tenung, begitu Dewa Tuak melepaskannya, langsung si nenek hendak melarikan diri. Tap] tahu-tahu Dewa Sedih dan Dewa Ketawa sudah mengapitnya.
“Kau dulu yang mencopot perabotan kami! Kau juga yang menyimpan! Kalau barang itu tidak segera kau ambil dan pasang, tubuhmu akan kami bikin lumat! Aku sedih! Aku malu! Aku juga benci! Hik… hik… hik!”
Ki Juru Tenung ketakutan setengah mati mendengar ancaman Dewa Sedih itu. “Kalau kalian berjanji tidak akan membunuhku, akan kuambilkan barang­barang kalian! Pasti utuh, tak ada yang kurang!”
“Juru tenung keparat! Jangan banyak mulut! Ayo jalan!” kata Dewa Ketawa sambil menjambak rambut awut-awutan si nenek lalu tertawa gelak-gelak.
Karena apa yang telah terjadi atas diri Dewa Sedih dan Dewa Ketawa merupakan hal yang sulit dipercaya maka ketika dua kakek ini menggiring Ki Juru Tenung, yang lain-lain segera mengikuti, kecuali Anggini dan Panji. Si nenek bugil membawa orang-orang itu ke sebuah ruangan gelap di satu bangunan tak jauh dari tempat kediamannya. Setelah dua buah lilin dinyalakan kelihatanlah bahwa dalam ruangan itu ada sebuah lemari besi yang memiliki dua puluh laci. Masing-masing laci diberi nomor mulai dari 1 sampai 20.
Dengan menekan sebuah alat rahasia Ki Juru Tenung membuka laci nomor 12 dan nomor 13. Dewa Sedih dan Dewa Ketawa memperhatikan dengan hati berdebar. Dari dalam masing-masing laci Ki Juru Tenung keluarkan sebuah benda yang membuat semua perempuan yang ada di tempat itu palingkan kepala malah akhirnya melangkah mundur menuju pintu. Dua buah benda itu ternyata memang adalah anggota rahasia laki-laki diserahkan satu pada Dewa Sedih dan satunya lagi pada Dewa Ketawa. “Kalau kalian sudah siap aku segera akan memasangkan kembali ke bawah perut kalian! Tapi dengan perjanjian kalian tidak akan membunuhku!”
Dewa Ketawa dan Dewa Sedih tidak segera menjawab. Keduanya melangkah ke dekat lilin untuk meneliti barang yang mereka pegang. Lalu terdengar suara ratap Dewa Sedih. “Ini bukan punyaku! Barangku tidak burik seperti ini! Aku malu…. Hik… hik… hik! Ini pasti punya si gendut itu!” Lalu “plaaaak!” Enak saja Dewa Sedih bantingkan barang yang dipegangnya di atas meja dekat lilin!
“Sialan kau!” maki Dewa Ketawa. “Walau burik tapi anuku lebih cakep dari anumu!” Lalu Dewa Ketawa balas dengan menggelindingkan begitu saja barang yang dipegangnya
ke atas meja! Dua kakak beradik ini lalu ambil barang yang mereka anggap adalah milik mereka yang asli. Lalu menyerahkan kembali pada Ki Juru Tenung untuk segera dipasang.
“Awas kalau kau sampai tidak benar memasangnya! Jangan sampai mencong!” kata Dewa Sedih seraya sesenggukkan.
“Punyaku tolong kau rapikan dan poles sedikit sebelum dipasang!” kata Dewa ketawa yang membuat semua orang tertawa hiruk pikuk!
Dengan cepat Ki Juru Tenung lakukan pekerjaannya.
“Gila! Aku tak bakal percaya kalau tidak melihat sendiri!” kata Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.
“Bagaimana rasanya sobatku Kerbau Bunting?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng pada Dewa Ketawa.
Yang ditanya tertawa gelak-gelak, tapi menjawab juga. “Agak berat rasanya. Tapi tak jadi apa. Nanti kalau sudah biasa pasti terasa enteng! Ha… ha… ha!”
Dewa Sedih sesenggukan kembali. Dia berpaling pada Sinto Gendeng. “Sinto, walau kau sering jengkel padaku tapi aku tetap menganggap kau adalah sahabatku. Aku tak percaya pada si Juru Tenung ini. Coba kau periksa apa barangku sudah betul du-dukannya…? Aku sedih kalau sampai salah. Hik… hik… hik!”
Karuan saja Sinto Gendeng jadi menyumpah panjang pendek. Yang Lain-lain tak dapat menahan tawanya.
Tiba-tiba Dewa Tuak maju mendekati Ki Juru Tenung.
“Eh, ada apa…?” Si nenek mundur ketakutan. “Kalian sudah berjanji tidak akan membunuhku!”
“Yang berjanji adalah Dewa Ketawa dan Dewa Sedih. Yang Lain-lain termasuk aku, tidak pernah berjanji!” jawab Dewa Tuak. “Selama menjadi kaki tangan Datuk-Lembah Akhirat dosamu sedalam lautan setinggi langit! Terlebih lagi kau telah menodai muridku….”
“Aku bersumpah! Dia masih tetap perawan sampai saat ini!” kata Ki Juru Tenung.
Dewa Tuak menyeringai. Tiba-tiba seperti direnggut setan seringainya lenyap. Tangan kanannya bekerja. “Praakk!” Sosok kurus kerempeng dan bugil Ki Juru Tenung melintir lalu terbanting ke lantai ruangan. Orang ini mati dengan kepala rengkah!
Kesunyian berbau maut di tempat itu tiba-tiba dipecah oleh suara teriakan Panji di luar sana. “Mata-hari muncul! Gerhana berakhir!”
Semua orang yang ada di tempat itu berhamburan ke luar dan memandang ke langit. Memang benar saat itu sang surya secara perlahan-lahan memperlihatkan diri, tersembul dari balik bulan yang selama ini menutupinya. Kegelapan yang menyungkup bumi pupus. Udara secara perlahan-lahan pula menjadi terang. Semua orang berteriak gembira.
Selagi semua perhatian orang tertuju ke atas langit, Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba melihat seorang berjubah dan bertutup kepala hitam melangkah di antara pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri. Orang ini berjalan tundukkan kepala tanpa melihat kiri kanan, wajahnya tak terlihat. Di tangannya dia membentang sebuah kitab yang sudah robek-robek dan terbuat dari daun lontar. Sambil melangkah dari mulutnya tiada henti keluar suara seperti orang tengah membaca atau merapal tulisan yang ada dalam kitab itu. Pendekar 212 perhatikan orang itu tak berkesip. Matanya kemudian melihat tangan kanan orang itu tidak memiliki jari kelingking alias buntung. Sepasang mata murid Sinto Gendeng membesar. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya berdebar. Detak jantungnya mengencang.
“Aneh…” membatin Wiro. “Satu-satunya manusia dengan perawakan seperti orang yang lewat itu, berjari kelingking tangan kanan buntung adalah Pangeran Matahari. Tapi jelas dia sudah tewas di Pangandaran. Atau mungkin…?” Tengkuk Pendekar 212 menjadi dingin. Wiro bermaksud hendak mengikuti orang itu. Namun saat itu Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung melambaikan tangan memanggilnya. Ketika Wiro berpaling, orang berpakaian dan bertutup kepala hitam tadi telah lenyap. “Pangeran Matahari…” desis Wiro kembali. Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng ini lupa kalau dia memiliki ilmu Menembus Pandang yang bisa melihat sesuatu di kejauhan.
Sebagai penutup cerita dapat dituturkan bahwa Panji bersama Anggini menyeberang ke Pulau Andalas menuju tempat kediaman Nyanyuk Amber di Danau Maninjau. Sinto Gendeng kembali ke puncak Gunung Cede ditemani oleh Kakek Segala Tahu. Dewa Tuak setelah mengurus jenazah iblis Putih Ratu Pesolek dihadiri oleh semua orang yang ada di tempat itu, bersama-sama Puti Andini memencilkan diri di dua tempat terpisah di pantai selatan.
Andamsuri kembali pada suaminya yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan menetap di puncak Gunung Merapi sementara kerajaan pulaunya yang disebut Kerajaan Sipatoka diserahkan pada seorang kerabat karena istrinya (ibu Panji) telah berpulang sebelum dia meninggalkan pulau untuk mencari Panji. Yang paling berbahagia adalah Tua Gila dan Sabai Nan Rancak. Kedua orang ini memutuskan kembali hidup bersama dan menetap di puncak Gunung Kerinci. Bululani mengembara ke Gunung Kidul untuk mencari kakak angkatnya bernama Bululawang.
Bujang Gila Tapak Sakti mendapat tugas untuk mencari Hantu Balak Anam setelah Ratu Duyung memberi tahu bahwa kalung sakti milik Sabai Nan Rancak berada dalam lobang luka di tubuhnya. Yang terakhir adalah Pendekar 212. Dia seolah memboyong Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung dalam perjalanan bersama. Si Setan Ngompol dan Naga Kuning dalam bingungnya akhirnya secara diam-diam mengikuti Wiro dan dua gadis cantik itu menuju ke timur.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4496 - 4499

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4496-4499 Thomas benar-benar tercengang saat melihat pemandangan di depannya, wajahnya luar biasa.  "Ini...i...