Gerhana Di Gajahmungkur
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Satu
BERLARI
cukup lama Wiro belum juga mencapai tepi barat Telaga Gajahmungkur. Di satu
tempat dia berhenti dan mendongak ke atas. Langit gelap gulita. Memandang
berkeliling hanya kepekatan dan pohon-pohon serta semak belukar menghitam
dilihatnya.
Tiba-tiba
murid Sinto Gendeng merasa sambaran angin di samping kirinya disertai
berkelebatnya satu bayangan. Namun dia tidak melihat apa-apa.
“Ratu
Duyung…. Kaukah itu?” ujar Wiro karena menyangka gadis bermata biru itu
menyusulnya. Tak ada jawaban. “Orang bercadar…. Kau ada di sekitar sini?!” ujar
Wiro kembali menduga sambil memandang berkeliling. Tetap tak ada jawaban.
Mendadak satu tawa mengekeh merobek kesunyian di tempat itu. Membuat Pendekar
212 tersentak kaget dan cepat berpaling ke kiri. “Astaga! Makhluk apa yang ada
di bawah pohon besar itu.
“Pendekar
212, lihat baik-baik! Apa kau masih mengenali diriku?!”
Wiro buka
matanya lebar-lebar. Sejarak sepuluh langkah di hadapannya, di bawah
bayang-bayang gelap sebuah pohon besar berdiri satu sosok yang tubuh dan
pakaiannya menebar bau busuk. Bukan bau busuk ini yang menyebabkan Wiro merasa
tercekat, namun cara orang itu berdiri yang membuatnya melengak ngeri.
“Makhluk
aneh. Berujud seorang kakek. Berdiri di atas dua tangannya. Sepasang kakinya
sebatas lutut ke bawah tidak berdaging. Hanya merupakan tulang pipih. Aku tidak
ingat apa pernah melihat makhluk ini sebelumnya.
“Kau
tidak menjawab pertanyaanku. Kau mungkin lupa. Orang yang mau mati memang
sering-sering lupa. Ha… ha… ha….”
“Orang
aneh! Kau siapa?!” tanya Pendekar 212.
“Ingat
peristiwa-di sebuah pulau di pantai barat Andalas beberapa waktu lalu? Kau dan
Tua Gila menjebloskan aku ke dalam sebuah makam batu tanpa nisan!”
“Kau…!”
Wiro coba mengingat-ingat. “Kau Datuk Tinggi Raja Di Langit!” Lidah Wiro
mendadak seolah menjadi kelu.
“Ha… ha…
ha! Kau ingat sekarang! Itu julukanku di masa lalu. Sekarang gelarku adalah
Jagal iblis Makam Setan. Artinya setiap orang yang menjadi musuhku akan kujagal
dengan sepasang kakiku dan kuburnya adalah di makam setan! Ha… ha… ha!”
Tengkuk
Wiro menjadi dingin. Dia tahu sekali bagaimana jahatnya manusia satu ini.
Apalagi dia menaruh dendam kesumat pula pada dirinya. “Celaka! Kalau dia
berniat hendak membunuhku, apa aku bisa bertahan dengan jubah sakti yang
melekat di tubuhku? Apa yang harus kuperbuat. Kabur saja selamatkan diri?
Mustahil aku mampu!
“Jagal
Iblis…. tidak ada waktu membicarakan ikhwal masa lalu denganmu. Aku harus
pergi! Aku tertarik pada perempuan cantik yang berdiri di belakangmu. Apakah
datang bersama-samanya?”
Jagal
iblis Makam Setan berpaling ke belakang. Secepat kilat Wiro melompat ke balik
semak belukar di dekatnya lalu menghambur lari. Namun baru berlari sejauh
beberapa tombak, di depannya terdengar tawa bergelak dan tahu-tahu makhluk
berjuluk Jagal iblis
Makam
Setan itu telah menghadang jalannya. Berdiri dengan tangan di bawah kaki di
atas. Wiro merasa nyawanya seperti terbang. Tipuannya tidak mengena.
“Pendekar
keparat! Kau tak bisa menipuku! Kau tak bisa lolos dari tanganku! Malam ini
adalah malam kematianmu!”
“Wuutt!”
Kaki kanan Jagal iblis Makam Setan yang hanya tinggal tulang pipih menyerupai
pedang tajam itu menabas ke arah lehernya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke
samping. Lehernya selamat. Tapi “bukkk! Breettt!”
Wiro tak
mampu menghindar, tak berani menangkis ketika kaki kiri Jagal iblis membacok ke
arah dadanya. Wiro terlempar sampai satu tombak dan terkapar di tanah.
Jagal
iblis Makam Setan pelototkan mata. “Jahanam ini punya ilmu apa! Kudengar dia
kehilangan kesaktian dan tenaga dalam! Mengapa kaki pedangku tak mampu membacok
dadanya!”
“Wuuutt!”
Kakek
angker berjuluk Jagal iblis itu jungkir balik di udara. Sesaat kemudian dia
telah berdiri sebagaimana wajarnya manusia yaitu dengan dua kaki berada di
tanah.
Wiro
merasa dadanya seperti dihantam pentungan besar terbuat dari besi. Nafasnya
sesak. Dia berusaha bangkit tapi kaki kanan si kakek tahu-tahu sudah menginjak
lehernya. Sedikit saja kaki itu ditusukkan atau disayatkan ke leher Wiro,
tamatlah riwayat sang pendekar.
Si kakek
masih memandang dengan mata mendelik. “Pakaian merahnya jelas-jelas robek
besar! Tapi mengapa badannya tidak cidera? Bangsat ini pasti memiliki semacam
ilmu kebal. Atau mungkin pakaian merahnya yang berbentuk jubah ini? Hemmm….”
Jagal
iblis ulurkan tangan kiri menjambak rambut gondrong si pemuda. Sekali sentak
saja Wiro terbetot ke atas.
“Nyawamu
tidak ada harganya bagiku! Tapi jika aku bisa membunuhmu sekaligus mendapat
pahala imbalan mengapa tidak aku lakukan?! Ha… ha… ha!”
“Apa
maksudmu Jagal Iblis?” tanya Wiro.
“Kau akan
kuserahkan pada Datuk Lembah Akhirat! Kematianmu di Lembah Akhirat pasti lebih
menyenangkan dari pada kubunuh mampus di tempat ini! Ha… ha… ha!”
Pucatlah
air muka Pendekar 212.
“Sebelum
kubawa ke sana, buka dulu jubah merahmu!”
“Jagal
Iblis, kau boleh ambil jubah. Tapi lepaskan diriku! Tak ada untungnya
membunuhku! Tak ada untungnya membawa aku ke Lembah Akhirat.” Jagal Iblis Makam
Setan tertawa gelak-gelak. “Baru saat ini aku mendengar seorang pendekar besar
meratap minta dikasihani!” Dengan gerakan memaksa si kakek membuka jubah sakti
Kencono Geni yang melekat di tubuh Wiro. Seperti diketahui jubah sakti ini
dibawa dan diberikan oleh si Raja Penidur kepada Wiro untuk dapat menyelamatkan
pendekar yang telah kehilangan kesaktiannya itu.
“Hemmm….
Meski robek di sebelah dada, tapi masih cukup bagus dipakai untuk menghangatkan
tubuhku. Ha… ha… ha!” Si kakek lalu kenakan jubah Kencono Geni. Wiro keluarkan
keluhan pendek ketika dadanya ditotok Jagal Iblis Makam Setan kemudian
dipanggul di bahu kiri.
************************
Di salah
satu tepi barat Telaga Gajahmungkur dalam hening dan gelapnya malam. Tak berapa
jauh dari dua batang pohon kelapa yang tumbuh miring hingga tampak seolah
bersilangan. Bidadari Angin Timur mulai cemas. Sementara hujan rintik-rintik
turun.
“Aneh, ditunggu
begini lama orang bercadar tidak kembali. Mungkin dia langsung menyelesaikan
urusan rahasia hidupnya. Tapi mengapa Pendekar 212 juga tidak datang? Mungkin
tahu aku yang menunggunya di sini lantas tidak mau datang. Ah, bagaimana ini.
Apa aku harus menunggu terus. Bulan purnama tak kunjung muncul. Bagaimana
keadaan para tokoh? Saat ini pasti mulai mendekati tengah malam….”
Dalam
keadaan bingung seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. Seorang
gadis berambut panjang bermata biru berdiri di depan Bidadari Angin Timur.
“Ratu
Duyung kesasar ke tempat ini!” ujar Bidadari Angin Timur begitu mengenali siapa
yang berada di depannya. Rasa cemburu membuat dia sangat benci pada Ratu Duyung
gara-gara menyaksikan dengan mata kepala sendiri sang Ratu bercumbu rayu dengan
Wiro beberapa waktu lalu.
Kalau
tidak karena khawatir akan keselamatan Wiro sebenarnya Ratu Duyung segan
menjawab dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Buat apa bersilat lidah
dengan gadis yang menjadi penghalang-nya dalam mencurahkan kasih sayang
terhadap Wiro. Namun setelah berpikir panjang akhirnya sang Ratu berkata. “Aku
mencari Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Hemmm….”
Bidadari Angin Timur tersenyum sinis. “Kau kehilangan kekasihmu! Berarti kau
tidak menjaganya baik-baik. Kau melepaskannya pergi seorang diri. Padahal kau
tahu dia dalam keadaan tak berdaya!”
Mendengar
ucapan itu Ratu Duyung menjadi sengit. “Bukan mauku dia pergi sendiri! Dia yang
tak mau diantar karena takut kau cemburu padaku! Akibat jiwa besarnya sekarang
dia lenyap entah kemana! Ini gara-gara orang bercadar yang pasti adalah orang
suruhanmu! Kalau terjadi apa-apa dengan Pendekar 212, kau punya tanggung jawab
sangat berat gadis berambut pirang!”
“Enak
betul kau menimpakan kesalahan pada orang lain! Aku memintanya ke sini bukan
untuk berkasih-kasihan seperti yang kau lakukan di tepi telaga! Tapi untuk
mengobati kutuk yang menimpa dirinya dengan senjata ini!” Lalu ada suara
berdesing disertai memancarnya sinar putih dan menebarnya hawa sangat dingin.
“Pedang
Naga Suci 212…” desis Ratu Duyung. Paras nya merah mendengar ucapan Bidadari
Angin Timur tadi. “Mulutmu culas mencerminkan hatimu tidak bersih. Perbuatanmu
mengintip orang sungguh tidak terpuji! Sekarang kau acungkan pedang ke mukaku!
Kau hendak mencari perkara atau apa?!”
“Kau yang
sengaja mencari perkara!” hardik Bidadari Angin Timur.
“Namamu
bagus. Bidadari! Tapi hatimu jahat!” ejek Ratu Duyung.
“Namamu
juga bagus! Dipanggil Ratu! Tapi kelakuanmu mesum! Kalau bukan karena
kemesumanmu tidak akan celaka Pendekar 212!” balas Bidadari Angin Timur pula.
“Gadis
keparat! Mulutmu kurang ajari Apa maumu akan kulayani! Jangan kira aku takut
walau kau membekal sebilah pedang sakti!” Ratu Duyung jadi panas. Dia tempelkan
tangan kirinya di atas, Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik pakaiannya.
“Tantanganmu
kuterima! Gadis mesum sepertimu memang harus disingkirkan dari muka bumi!”
teriak Bidadari Angin Timur.
“Bidadari
keji dan busuk sepertimu harus dilempar ke dasar neraka!” balas Ratu Duyung
lalu keluarkan cermin saktinya. Dua gadis itu sama mendekat satu langkah. Mata
berperang pandang. Dada menggemuruh marah namun tidak satupun bertindak lebih
jauh. Walau sangat panas hatinya namun Ratu Duyung perlahan-lahan berhasil
menguasai gejolak dalam dirinya. “Ah….” Sang Ratu usap mukanya lalu simpan
cermin saktinya kembali. “Aku bingung sekali. Tak tahu apa yang kuucapkan, tak
sadar apa yang aku lakukan. Saudari, maafkan diriku. Aku tahu kau gadis baik….”
Melihat orang unjukkan wajah menyesal dan keluarkan ucapan polos Bidadari Angin
Timur berkata. “Kau mencari Wiro. Pemuda itu tidak pernah muncul di sini. Aku
juga dalam keadaan bingung. Terlanjur berucap dan bersikap kasar padamu. Aku
tahu kau gadis baik penuh pengorbanan. Harap maafkan diriku sahabat….”
Ratu
Duyung pegang tangan Bidadari Angin Timur lalu tanpa berkata apaapa dia
tinggalkan tempat itu dengan cepat. Ditinggal sendirian Bidadari Angin Timur
tak dapat menahan sesenggukan. Sambil menutupi wajah menahan tangis dia
berkata. “Wiro, di mana kau saat ini. Aku menyesal memintamu datang ke tempat
ini. Seharusnya aku yang mencarimu. Ya Tuhan, tolong dia. Selamatkan dirinya.
Jangan sampai terjadi apa-apa….”
*********************
Dua
Ki Juru
Tenung alias Mangkutani berdiri di depan meja sambil matanya menatap ke dalam
air di atas piring tanah. Di sebelahnya Datuk Lembah Akhirat tegak
memperhatikan dengan tampang beringas tidak sabaran. Perlahan-lahan Ki Juru
Tenung gelengkan kepalanya.
“Datuk,
menurut petunjuk dalam air kau tidak boleh menyedot tenaga dalam Dewa Ketawa
dan Dewa Sedih…” berucap si kakek bermuka lancip sambil usap janggutnya yang
kelabu.
“Gila!
Memangnya kenapa?!” tanya Datuk Lembah Akhirat.
“Pertama,
kau telah memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi. Paling tidak tiga kali
lipat tenaga dalam yang dimiliki tokoh silat golongan putih. Misalnya Si Raja
Penidur atau Nyanyuk Amber….”
“Bagaimana
dengan Si Sinto Gendeng keparat atau Si Tua Gila jahanam itu?”
Ki Juru
Tenung tertawa. “Tenaga dalam mereka tidak ada arti apa-apa dibanding dengan
yang kau miliki.”
“Dengar
Datuk, dengan tidak melumpuhkan tenaga dalam dua kakek itu kita bisa
memanfaatkan mereka menghadapi orang-orang golongan putih. Hingga kau tak perlu
mencapaikan diri turun tangan. Jika tenaga dalam mereka kau sedot, mereka tak
bisa diperalat menghantam orang-orang itu!”
“Hemmm….
Kau betul juga,” kata Datuk Lembah Akhirat sambil permainkan kalung tengkorak
bayi yang tergantung di lehernya. “Tapi jangan lupakan satu hal Ki Juru Tenung!
Jika tiba saatnya semua tokoh silat yang membantu kita harus dihabisi. Termasuk
Sika Sure jelantik, Utusan Dari Akhirat dan Jagal iblis Makam Setan! Termasuk
juga adikku si Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi itu!”
“Itu soal
gampang Datuk. Jika saatnya tiba kita akan menyingkirkan mereka semudah
membalikkan telapak tangan! Percuma kau memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin!”
jawab kakek bermuka lancip itu.
“Datuk,
ada satu hal penting yang perlu aku beritahukan padamu. Menyangkut rencana kita
menghancurkan musuh yang berada di barat Telaga Gajah-mungkur. Petunjuk
sebelumnya mengatakan bahwa saat terbaik kita menggempur mereka adalah pada
nanti tengah malam. Saat bulan purnama empat belas hari memancarkan sinarnya
dengan sempurna. Namun saat ini aku tidak melihat petunjuk rembulan akan
muncul. Langit kulihat hitam kelam, jangankan bulan, setitik cahaya bintang pun
tidak ada. Ini berarti ada sesuatu yang tidak beres. Petunjuk ini berarti kita
tidak boleh menyerang mereka malam ini. Karena peruntungan baik tidak berpihak
kepada kita….”
“Kau ini
bicara apa Ki Juru Tenung! Kalau dengan sarung tangan sakti itu tak satu
orangpun bisa menghadapiku, mengapa sekarang kau melarang aku menyerbu
orang-orang itu!”
“Datuk,
jangan lupa. Bagaimanapun hebatnya seseorang, tapi tetap saja pada dirinya akan
melekat satu hari naas. Mungkin malam nanti merupakan saat naas bagi kita. Jadi
kita harus berhati-hati….”
“Lalu
kapan kita harus menghancurkan mereka?!” tanya Datuk Lembah Akhirat
Ki Juru
Tenung menatap kembali ke dalam air. “Belum ada petunjuk. Setiap aku mencoba
air bergoyang secara aneh hingga pandanganku menjadi kabur. Tapi firasatku
mengatakan paling cepat sebelum tengah hari besok.”
Baru saja
Ki Juru Tenung berkata begitu di luar ruangan terdengar suitan tiga kali
berturut-turut. Tak lama kemudian tiga pengawal masuk. Setelah menjura salah
seorang dari mereka memberitahu bahwa kakek sakti berjuluk Jagal iblis Makam
Setan akan segera datang menghadap.
Datuk
Lembah Akhirat berpaling pada Ki Juru Tenung. Kakek ini anggukkan kepalanya.
“Suruh
orang itu masuk!” kata Datuk Lembah Akhirat.
Tiga
pengawal menjura dan tinggalkan ruangan. Tak lama kemudian masuklah Jagal iblis
Makam Setan sambil memanggul sesosok tubuh.
“Sobatku
Jagal iblis Makam Setan! Muka angkermu menyeringai tanda hatimu gembira. Kau
memanggul sesosok tubuh. Kabar baik apa yang hendak kau sampaikan pada kami di
sini?!”
Kakek
berkaki tulang lemparkan sosok tubuh yang dipanggulnya hingga bergedebukan di
lantai. Dari mulut orang itu keluar suara erangan pendek. Dengan ujung kakinya
Datuk Lembah Akhirat balikkan tubuh orang hingga tertelentang.
“Siapa
pemuda berambut gondrong ini?” tanya sang Datuk,
Sebagai
jawaban Jagal iblis Makam Setan robek bagian dada pakaian yang dikenakan si
pemuda. Di atas dada itu terpampang rajah tiga angka yang tak asing lagi. 212.
“Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!” seru Ki Juru Tenung. Datuk Lembah
Akhirat berteriak kegirangan lalu tertawa gelak-gelak.
“Sobatku
Jagal iblis! Kau berhasil menangkap Pendekar 212! Jasa besarmu tidak aku
lupakan. Kau akan kuberikan kedudukan tinggi di Lembah Akhirat. Dan Kitab
Wasiat Malaikat kelak akan kuserahkan padamu! Tanganku sudah gatal cepat-cepat
mau mem-bunuhnya. Tapi aku ingin tahu bagaimana ceritanya kau berhasil
menangkap dan membawanya kemari. Jika dia memang berada di sekitar kawasan ini
pasti cecunguk lain kawan-kawannya juga berada di sini!”
Belum
sempat Jagal iblis Makam Setan membuka mulut memberikan penuturan tiba-tiba
satu suitan keras menggema di luar ruangan. Belum sirap suara suitan itu
melesatlah satu bayangan merah.
“Pengiring
Mayat Muka Merah! Kau membawa rejeki besar untukku!” Ki Juru Tenung berteriak
gembira.
Di pintu
ruangan berdiri wakil ke dua Datuk Lembah Akhirat yang berjubah dan bermuka
serta rambut dicat merah. Pada bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh
perempuan berpakaian putih. Sedang di bahu kanannya ada seorang perempuan lagi
mengenakan pakaian berwarna serba ungu. Sehelai pita ungu menghias rambutnya
yang tergerai lepas. Meski belum melihat wajah perempuan berpakaian ungu ini,
namun Pendekar 212 Wiro Sableng yang terhampar di lantai dalam keadaan kaku
tertotok mendadak sontak menjadi berdebar!
Pengiring
Mayat Muka Merah dengan hati-hati turunkan satu persatu dua perempuan yang
dipanggulnya. Kebetulan yang berbaju ungu dibaringkan di lantai dengan wajah
menghadap Wiro. Begitu melihat paras perempuan itu bergetarlah sekujur tubuh
murid Sinto Gendeng.
“Anggini…”
ujar Wiro. Semula dia menyangka perempuan itu berada dalam keadaan pingsan.
Ter-nyata seperti dirinya berada di bawah pengaruh totokan yang membuat sekujur
tubuhnya tak bisa digerakkan.
Orang
yang namanya disebut perlahan-lahan buka matanya yang terpejam. Begitu melihat
si pemuda menjeritlah dia.
“Wiro!”
“Ah! Dua
orang ini rupanya saling mengenal!” ujar Ki Juru Tenung yang sejak tadi tidak
lepaskan tatapan-nya pada sosok gadis berpakaian ungu. Sesekali lidahnya
dijulurkan membasahi bibir dan tenggorokannya tampak turun naik.
“Muka
Merah, katakan padaku siapa adanya gadis berpakaian ungu ini!” kata Datuk
Lembah Akhirat.
“Namanya
Anggini. Dia adalah murid tokoh silat berjuluk Dewa Tuak!”
“Lagi-lagi
rejeki besar!” ujar Datuk Lembah Akhirat lalu tertawa sambil tepuk-tepuk bahu
Pengiring Mayat Muka Merah. “Kau akan kuberi hadiah besar!” Lalu sang Datuk
berpaling pada Ki Juru Tenung. “Apa yang ada dalam benakmu Ki Juru Tenung?!”
tanya sang Datuk sambil menyeringai.
“Sesuai
jasanya Pengiring Mayat Muka Merah layak diberi hadiah perempuan berpakaian
putih itu. Dan hemmmm….” Kakek bermuka lancip ini bergumam lalu batuk-batuk
beberapa kali. “Yang berpakaian ungu ini sesuai dengan seleraku. Kalau kau
mengizinkan aku segera saja mau membawanya ke kamar tidurku. Dia pasti masih
perawan. Malam ini aku akan jadi pengantin baru. Ha… ha… ha!”
“Datuk
Lembah Akhirat!” tiba-tiba Wiro berteriak. “Kalau kau atau orangmu berani
berbuat kurang ajar terhadap gadis itu aku bersumpah akan membunuhmu!”
“Bersumpahlah
di neraka!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu tendang dada Pendekar 212 hingga
pemuda ini mencelat dan terhempas di dinding ruangan. Anggini terpekik. Wiro
mengeluh menahan sakit. Dari mulutnya mengucur darah. Dadanya serasa hancur dan
nafasnya sesak.
Masih
belum puas Datuk Lembah Akhirat kembali menendang. Yang diarahnya kini adalah
kepala Pendekar 212.
“Datuk!
Tunggu! Jangan kau bunuh pemuda itu!” berseru Ki Juru Tenung. Membuat Datuk
Lembah Akhirat mendelik dan Pengiring Mayat Muka Merah serta Jagal iblis Makam
Setan melengak heran.
“Apa
katamu Ki Juru Tenung?! Bangsat ini adalah salah seorang tokoh silat golongan
putih yang harus kita habisi! Sekarang kau mencegah aku membunuhnya! Kau sudah
gila?!”
“Sabar
Datuk,” jawab Ki Juru Tenung. “Membunuh pemuda ini apa sulitnya. Tapi lebih
besar manfaatnya kalau dia kita biarkan dulu hidup. Kalau dia berapa di tangan
kita dalam keadaan hidup-hidup berarti kita punya satu kekuatan untuk membuat
para tokoh golongan putih tidak berdaya. Dia bisa kita jadikan tumbal untuk
menghadapi musuh!”
Datuk
Lembah Akhirat pencongkan mulutnya. “Omonganmu ada betulnya. Pendekar 212, tak
ada salahnya menunda kematianmu barang sehari dua!” Lalu sang Datuk berpaling
pada Pengiring Mayat Muka Merah. “Bawa pemuda itu keluar. Ikat dia di tiang
kereta kaki ke atas kepala ke bawah!”
Pengiring
Mayat Muka Merah jambak rambut Pendekar 212 dengan tangan kanan. Tubuh Wiro
diseretnya ke luar ruangan. Lalu dia kembali masuk untuk memboyong perempuan
berpakaian putih. Namun satu tangan memegang, bahunya. Ketika dia
berpaling
dilihatnya Jagal iblis Makam Setan menyeringai padanya lalu berkata. “Pengiring
Mayat Muka Merah, aku sudah lama tidak bersenangsenang di atas ranjang,
perempuan itu harus melayaniku lebih dulu. Kalau aku sudah puas terserah kau
mau bikin apa!”
Pengiring
Mayat Muka Merah menggereng marah. Tapi terdiam ketika Datuk Lembah Akhirat
berkata. “Muka Merah, sekali ini kau harus mengalah pada sahabat besar kita.
Kau harus rela mendapat sisanya atau cari saja perempuan lain. Sekarang
kerjakan dulu apa yang aku perintahkan. Gantung Pendekar 212!”
Dalam
hati Pengiring Mayat Muka Merah menyumpah setengah mati. Dia lontarkan
pandangan geram ke arah Jagal iblis Makam Setan. Bersungut-sungut dia ke luar
dari ruangan itu.
“Tua
bangka jahanam! Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Anggini ketika Ki Juru Tenung
mendukung tubuhnya dan menciumi mukanya.
************************
Jengkel
sakit hati karena dia yang membawa dua perempuan itu tapi justru tidak
kebagian, Pengiring Mayat Muka Merah mengikuti Ki Juru Tenung ke kamarnya.
“Ki Juru
Tenung sialan! Tak tahu diri! Teganya merampas milik kawan sendiri! Kakek-kakek
seperti dia apa masih mampu menggauli seorang gadis! Dasar tua bangka keparat!”
Maki Pengiring Mayat Muka Merah. Sesampai di kediaman Ki Juru Tenung dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya si muka merah melompat ke atas atap
bangunan yang terbuat dari rumbia bercampur ijuk. Dari atas atap si muka merah
ini mengintip ke dalam kamar melihat apa yang terjadi.
Di dalam
kamar terdengar suara Ki Juru Tenung merayu tiada henti sementara Anggini
memaki dan menyumpah terus-terusan.
“Gadis
molek! Jangan takut, juga jangan terlalu galak. Aku tidak akan melakukan
apa-apa terhadapmu,” kata Ki Juru Tenung pula. Dari atas atap Pengiring Mayat
Muka Merah melihat enak saja Ki Juru Tenung menanggalkan pakaiannya satu per
satu. Ketika tubuh kakek ini tidak terlindung lagi oleh sehelai benang pun maka
menjeritlah Anggini.
Di atas
atap Pengiring Mayat Muka Merah menggosok kedua matanya berulang kali seolah
tidak mau percaya apa yang dilihatnya.
“Ki Juru
Tenung…. Kakek itu…” desisnya. Ternyata dia seorang perempuan! Seorang
nenek-nenek! Jadi seperti Pengiring Mayat Muka Hitam, manusia satu ini juga
punya kelainan aneh! Benar-benar terkutuk!”
“Tua
bangka iblis!” teriak Anggini. “Dari pada kau menyentuh tubuhku lebih baik kau
membunuhku saja saat ini!”
Ki Juru
Tenung tertawa lebar sambil usap-usap perutnya yang kempes peot. “Kau minta
mati setelah kau melihat dan tahu kalau aku seorang nenek-nenek!
Kalau aku
benaran seorang lelaki mungkin kau senang juga hah? Hik… hik… hik! Anak gadis,
seharusnya kau bersyukur jatuh ke tanganku. Bukan ke tangan manusia muka merah
yang menculikmu. Kita berbagi kesenangan. Apapun yang kulakukan terhadapmu kau
tidak akan kehilangan kegadisanmu! Hik… hik… hik!”
Anggini
benar-benar jijik dan bergidik melihat nenek itu. Terlebih ketika Ki Juru
Tenung yang temyata adalah seorang nenek melangkah mendekatinya lalu dengan
paksa menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh murid Dewa Tuak itu.
Pengiring
Mayat Muka Merah merasa sekujur tubuhnya bergetar melihat apa yang kemudian
dilakukan Ki Juru Tenung terhadap si gadis. Jika tidak tahan rasa-rasanya dia
ingin menjeblos atap dan menerobos masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba
Pengiring Mayat Muka Merah mendengar suara suitan tanda bahaya dari pertengahan
Lembah Akhirat.
“Apa yang
terjadi?! Suitan itu datangnya dari arah bangunan tempat penyimpanan
senjata-senjata pusaka,” ujar si muka merah dalam hati. Dia memandang ke
jurusan timur lalu kembali mengintip ke dalam kamar.
Beberapa
orang pengawal berlari ke arah terowongan di pertengahan lembah. Dua orang
diantaranya membawa obor. Di dalam kamar Ki Juru Tenung dongakkan kepala begitu
telinganya menangkap suara suitan tadi. Kalau bukan suitan tanda bahaya, dalam
keadaan seperti itu pasti tidak akan diperdulikannya.
“Gadisku,
kau bersabarlah. Aku tak akan lama. Aku pergi sebentar. Aku segera kembali….”
Si nenek cium dada Anggini penuh nafsu lalu tertawa cekikikan. Setelah itu dia
segera mengenakan pakaiannya kembali.
************************
Ketika menerima
laporan dari Pengiring Mayat Muka Merah bahwa ruang rahasia penyimpanan senjata
dibobol orang, Datuk Lembah Akhirat segera menghambur menuju ruangan di bawah
tanah itu. Qua orang pengawal dilihatnya menggeletak mati dengan kepala pecah
di lorong masuk menuju ruangan. Ki Juru Tenung dan beberapa orang pengawal
telah berada dalam ruangan yang diterangi beberapa buah obor itu. Sepasang mata
sang Datuk membeliak besar terpacak pada mayat Pengiring Mayat Muka Hijau yang
tergeletak di lantai. La lu ketika dia melihat lemari kayu yang sebagian hangus
di sudut ruangan berubahlah paras sang Datuk.
Dari
dalam lemari ditariknya peti besi warna coklat. Dengan cepat dibukanya. Dia
tampak seperti lega ketika melihat sepasang sarung tangan ular masih ada di
dalam peti. Peti ditutupnya dan diletakkan kembali di tempat semula. Lalu tanpa
ada seorangpun yang sempat melihat Datuk Lembah Akhirat meraba ke bagian bawah
rak lemari. Dari sini dia menarik lepas satu gulungan kain putih. Benda ini
dengan cepat dimasukkannya ke dalam saku baju hitam gombrong yang dikenakannya.
*********************
Tiga
Sebelum
tengah malam persiapan penyerbuan ke tepi barat Telaga Gajahmungkur telah
rampung. Datuk Lembah Akhirat tegak berdiri di atas sebuah kereta terbuka
ditarik dua ekor kuda. Di bagian belakang kereta ada dua buah tiang kayu
menyanggah sebuah balok besar. Pada balok inilah tergantung sosok tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala di bawah. Saat itu Wiro masih
dalam keadaan tertotok. Hanya mengenakan celana putih. Pada muka dan tubuhnya
ada noda-noda darah. Di bagian dada nampak jelas balur cidera bekas hantaman
kaki Jagal iblis Makam Setan.
Di
sebelah depan ada selusin pengawal berkuda, terdiri dari empat orang bermuka
merah, empat hijau dan empat lagi hitam. Salah seorang dari pengawal ini
membawa sebuah terompet terbuat dari tanduk sapi besar.
Di
samping kereta sebelah kiri berdiri Sika Sure Jelantik. Di sebelahnya ada Dewa
Sedih yang tegak dengan muka murung terisak-isak. Di samping kanan kereta
kelihatan Dewa Ketawa duduk menunggangi keledai kurus keringnya sambil
tertawa-tawa.
Di
belakang kereta, di atas seekor kuda coklat tampak Layang Kemitir alias Utusan
Dart Akhirat.
Langit di
atas lembah kelam menghitam. Hujan rintik-rintik yang turun sejak tadi sore
mulai mengeras disertai menderunya suara angin bertiup. Tak tampak bintang
maupun bulan yang malam itu harusnya muncul bulat penuh karena purnama empat
belas hari.
“Datuk,
kami siap menunggu perintah berangkat!” Pengiring Mayat Muka Merah memberi
tahu.
“Tunggu!”
kata Datuk Lembah Akhirat seraya memandang berkeliling. “Aku tidak melihat Pengiring
Mayat Muka Hitam! Di mana beradanya anjing kurap satu itu!”
Ketika
dia tetap tidak melihat pembantu utamanya itu maka sang Datuk berpaling pada
Pengiring Mayat Muka Merah. Yang ditanya tampak agak gugup hingga Datuk Lembah
Akhirat menjadi curiga.
“Mendekat
ke sini!” perintah Datuk Lembah Akhirat. Begitu si muka merah sampai di
hadapannya sang Datuk segera jambak rambutnya dan membentak.
“Kau tahu
di mana dia! Lekas katakan padaku! Kalau tidak kupatahkan batang lehermu!”
“Maafkan
aku Datuk…” kata Pengiring Mayat Muka Merah meringis kesakitan. Kepalanya
terasa seperti mau tanggal. “Pengiring Mayat Muka Hitam masih mengatur sesuatu
di ruang kediamannya. Dia akan segera menyusul….”
“Apa
maksudmu mengatur sesuatu?!” bentak Datuk Lembah Akhirat alias Suto Angil.
“Mengapa bangsat itu berani memisahkan diri tanpa perintah dariku! Ayo jawab!
Jangan berani dusta muka merah! Nyawamu tak ada harganya bagiku! Kau seharusnya
sudah kujadikan mayat tujuh bulan lalu! Mungkin saat ini kau minta mampus lebih
cepat!”
“Anu….
Menjelang malam tadi…. Anu….”
Datuk
Lembah Akhirat jadi tak sabaran. Dia berjongkok di atas kereta.. Tangan kirinya
menyambar ke bawah meremas “anu”-nya Pengiring Mayat Muka Merah hingga orang
ini menjerit kesakitan. “Aku akan remas hancur kau punya barang kalau masih
memberi penjelasan tak karuan!”
“Maafkan
aku Datuk…. Menjelang malam tadi entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul
tiga ekor babi besar dan gemuk-gemuk….”
“jahanam
kurang ajar! Aku sudah tahu apa yang terjadi! Dasar manusia dajal salah kaprah!
Doyannya hanya binatang! Sukanya hanya sama babi! Bangsat mesum celaka! Panggil
manusia laknat itu cepat!” Teriak Datuk Lembah Akhirat.
Seperti
diketahui Pengiring Mayat Muka Hitam memang punya kelainan dalam mengumbar
nafsu kotornya.
Pengiring
Mayat Muka Merah cepat menggebrak kudanya dan lakukan apa yang diperintah. Tak
lama kemudian dia muncul bersama Pengiring Mayat Muka Hitam yang datang sambil
menggiring seekor kuda. Tangan kanannya memegang tali kekang kuda sedang tangan
kirinya berada di balik jubah tidak henti-henti-nya menggaruk bagian tubuh di
bawah perutnya.
“Plaaakkk!”
Tamparan
Datuk Lembah Akhirat mendarat di pipi kanan Pengiring Mayat Muka Hitam hingga
orang ini melintir dan jatuh tergelimpang di tanah becek. Se-belum dia sempat
bangun Datuk Lembah Akhirat melompat dari kereta, langsung injakkan kaki
kanannya di leher Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Kau tahu
kesalahanmu Muka Hitam?!”
“Aku tahu
Datuk. Harap sudi memberi maaf…” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam dan tangan
kirinya tetap saja menggaruk-garuk selangkangannya.
“jahanam!
Kau kulihat menggaruk terus! Apa masih belum puas menggerayangi babi-babi
itu?!”
“Maafkan
aku Datuk. Mungkin ini dosa aku tidak mengikuti perintah. Tak pernah
gatal-gatal seperti ini terjadi padaku….”
Datuk
Lembah Akhirat tendang perut si muka hitam hingga orang ini mengeluh tinggi
kesakitan. “Berdiri cepat! Lekas pimpin rombongan menuju Telaga Gajahmungkur!”
Sambil
satu tangan pegangi perut yang sakit dan tangan yang lain menggaruk terus,
Pengiring Mayat Muka Hitam segera bangkit berdiri lalu naik ke atas kuda
coklatnya. Dia langsung menuju ke depan siap memimpin rombongan.
Datuk
Lembah Akhirat melompat naik ke atas kereta. Dia memberi isyarat pada pengawal
yang memegang terompet tanduk kerbau. Begitu pengawal meniup terompet, kusir
kereta segera menyentakkan tali kekang. Dewa Sedih melolong tinggi.
“Hujan
telah berhenti. Kaki mulai melangkah. Roda kereta mulai berputar. Padahal
langit masih hitam. Purnama tak kunjung muncul. Hatiku sedih! Apakah ada
kehidupan dalam kegelapan? Hik… hik… hik!”
“Dewa
Sedih!” membentak Dewa Ketawa. “Jangan jadi orang gila! Saat ini bukan saat bersedih.
Tapi tertawa gembira! Kita akan berbuat kebajikan berebut pahala. imbalan harta
dan jabatan sudah menunggu! Mengapa musti bersedih! Ha… ha… ha!”
Sebenarnya
Datuk Lembah Akhirat merasa bising dan sangat terganggu dengan tingkah dua
kakek aneh ini. Dalam hati dia berkata. “Kalian boleh bertingkah sinting! Boleh
menangis, boleh mengumbar tawa. Bila tiba saatnya kalian akan kujadikan bangkai
tanpa ujud!”
Sementara
itu di sebelah depan, di atas kuda coklat tunggangannya Pengiring Mayat Muka
Hitam kelabakan menggaruk habis-habisan terus menerus bagian bawah perutnya.
Tidak digaruk gatalnya bukan kepalang. Digaruk rasa gatal malah menjadi-jadi.
“Jahanam!
Kutuk apa yang jatuh padaku! Tiga ekor babi gemuk itu! Pasti ada yang tidak
beres! Binatang-binatang laknat!” Si muka hitam lalu menggaruk kembali tiada
hentinya.
************************
Hujan
lebat mengguyur kawasan barat Telaga Gajahmungkur. Para tokoh silat yang ada di
sana mendekam basah kuyup di bawah pohon. Tak ada yang bicara. Sesekali mereka
memandang ke langit hitam. Hujan lebat, tak mungkin bulan purnama akan muncul.
Di antara semua orang yang paling gelisah adalah Sinto Gendeng. Sampai saat itu
dia masih belum melihat batang hidung muridnya, Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dewa Tuak
duduk anteng di samping kekasihnya Si iblis Putih alias iblis Muda Ratu
Pesolek. Tuak harum tak henti-hentinya diteguk sampai matanya kelihatan
kemerahan. Tiba-tiba kakek satu ini berteriak.
“Aku
melihat nyala api obor di sebelah sana!”
“Tua
bangka geblek! Kau pasti sudah mabok kebanyakan minum tuak. Masakan hujan lebat
begini ada nyala api. Api obor! Gila!” Memaki Sinto Gendeng.
“Jangan
cuma bisa memaki! Lihat sendiri ke arah sana!” jawab Dewa Tuak lalu “gluk…
gluk… gluk” dia tenggak tuak wanginya.
Sinto
Gendeng dan yang lain-lainnya berpaling ke arah yang ditunjuk Dewa Tuak. Benar
saja. Walau tidak bisa dipercaya tapi memang di kejauhan, di antara kerapatan
pepohonan dan semak belukar, di satu tempat yang agak terbuka, di bawah curahan
hujan lebat kelihatan nyala api obor!
“Pemandangan
gila apa pula ini! Kalau tidak kuselidiki tak senang hatiku!” kata Sinto
Gendeng. Begitu dia bangkit berdiri dan melangkah ke arah api obor semua orang
yang ada di tempat itu segera mengikuti. Di satu tempat yang agak terbuka
sebuah obor menancap di tanah. Anehnya walau hujan mengguyur deras namun api
obor terus menyala walau tidak sampai menerangi seantero tempat.
Tujuh
langkah di hadapan obor, terlindung oleh bayangan kelam sebuah pohon besar
duduk di tanah seorang tua renta bermuka cekung. Wajahnya berwarna kebiru-biruan.
Tubuhnya yang kurus kering terbungkus oleh sebuah jubah biru sangat gombrong.
Pada bagian dada jubah kiri kanan tersisip masingmasing enam buah pisau kecil.
Di balik jubah itu terdapat satu sosok tubuh yang tidak lagi memiliki tangan
atau kaki. Sepasang mata si orang tua terpejam. Keburukan wajahnya ditambah
lagi dengan kuping kanannya yang buntung. Di sebelah kiri orang tua ini duduk
terbungkuk-bungkuk seorang berdestar hitam yang agaknya adalah pembantu kakek
bermuka biru itu. Sinto Gendeng dan Dewa Tuak serta Tua Gila sama-sama
terkesiap saling pandang begitu melihat siapa adanya kakek yang duduk di depan
obor.
Kakek
Sega ia Tahu mendekati Sinto Gendeng. “Ada apa di tempat ini. Aku merasa banyak
sekali orang berkumpul di sini. Namun segala keanehan agaknya berpusat pada
seorang yang duduk tak jauh dari obor. Aku tak mampu melihat, hanya bisa
menduga-duga.”
Di
samping kiri Si Setan Ngompol ikut pula berbisik.
“Dia
salah seorang dedengkot rimba persilatan,” jawab Sinto Gendeng. “Manusia langka
ini aku kenal dengan nama Nyanyuk Amber. Berasal dari Pulau Andalas. Kalau aku
tidak salah dia juga pernah tinggal di Gunung Singgalang, jauh sebelum beberapa
tokoh lain ikut-ikutan nimbrung tinggal di sana.”
“Nyanyuk
Amber…” desis Kakek Segala Tahu sementara Dewa Tuak tegak termangu-mangu.
Ternyata kakek sakti ini masih hidup. Puluhan tahun tak pernah memperlihatkan
diri. Kalau sekarang dia muncul di tanah Jawa pasti ada satu urusan besar yang
tengah ditanganinya. Kita semua harap tidak berisik.
Jangan
berani mengganggu.” (Mengenai riwayat Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro
Sableng berjudul Raja Rencong Dari Utara).
Di depan
obor orang yang dikenal dengan nama Nyanyuk Amber itu angkat kepala sedikit
lalu buka kedua matanya. Ketika kelopak mata terbuka semua orang jadi bergidik.
Mata si kakek muka biru ternyata hanya merupakan sepasang rongga kosong
menyeramkan.
Aku tahu
betul riwayat sepasang mata orang tua itu…” bisik Sinto Gendeng pada Dewa Tuak.
“Muridnya sendiri yang menyiksa dan mengorek kedua matanya!” Dia memandang
berkeliling lalu berkata. “Aneh, begini banyak orang berkumpul di tempat ini,
aku tidak melihat manusia biang racun pangkal musabab semua urusan kapiran ini.
Aku tidak melihat Tua Gila!”
“Dia tahu
kalau dirinya banyak bersalah. Mana dia berani memperlihatkan batang hidung…”
yang menjawab dengan suara perlahan adalah Dewa Tuak.
Dengan
sepasang matanya yang kosong melompong Nyanyuk Amber memandang berkeliling. Ke
arah orang-orang yang ada di sekitarnya, tapi bukan ke arah rombongan Sinto
Gendeng yang barusan datang.
Di tempat
itu tampak tegak tak bergerak seorang perempuan berusia sekitar setengah abad
berpakaian serba biru. Wajahnya masih membayangkan kecantikan di masa muda. Dia
bukan lain adalah Bululani alias Iblis Pemalu yang telah meninggalkan
penyamarannya sejak riwayatnya tersingkap di Lembah Merpati tempo hari.
Di
sebelah kiri Iblis Pemalu berdiri nenek bertopi bagus menyerupai tanduk kerbau
pertanda dia adalah Sabai Nan Rancak. Di dekat nenek ini, agak ke sebelah
belakang duduk menjelepok di tanah si bocah Naga Kuning. Walau Sabai Nan Rancak
masih jengkel terhadap anak ini namun mengingat jasa orang yang telah
menyelamatkannya maka dia tak mau mengusik Naga Kuning.
Orang
berikutnya, yang tegak dengan kepala tertunduk di samping kanan Sabai Nan
Rancak adalah Puti Andini. Lalu di sisi lain berdiri orang berpakaian dan
bercadar kuning. Sepasang matanya yang biasanya berkilat-kilat kini tampak agak
sayu pertanda menahan gelora batin yang amat berat.
Agak
terpisah dari orang-orang itu di tanah yang ketinggian duduk seorang lelaki
berambut putih, berpakaian hijau bagus. Mulutnya tak bisa diam karena selalu
mengunyah sirih. Di tanah dekat kakinya terletak seperangkat tempat sirih
terbuat dari emas yang ber-kilau-kilau tertimpa cahaya api obor. Orang ini
adalah Rajo Tuo Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang.
Ketika
melihat ayahnya, Panji yang juga dikenal dengan sebutan Datuk Pangeran Rajo
Mudo hendak berlari menghampiri orang tua itu. Namun pandangan mata Sinto
Gendeng yang melotot angker membuat pemuda ini tak berani teruskan gerakannya.
Di sebelahnya Puti Andini memandang pada Sabai Nan Rancak dengan hati berdebar.
Sejak dia
berani
meninggalkan Pulau Andalas tempo hari neneknya itu sudah marah besar
terhadapnya. Kini dampratan atau hukuman apa kelak yang bakal dijatuhkan Sabai
Nan Rancak atas dirinya. Apalagi dia pernah pula tidak membantu waktu Sabai Nan
Rancak menginginkan Pedang Naga Suci 212.
Orang tua
bermata biru angkat kepalanya sedikit ke atas. Dia berbisik sebentar dengan
pembantu yang duduk di sebelahnya. Lalu dari mulutnya terdengarlah suara
nyanyian yang sangat halus tapi jelas masuk ke telinga semua orang yang ada di
sana.
Hujan di
puncak Singgalang. Belum tentu hujan di tanah Jawa. Hujan di tanah Jawa.
Belum
tentu hujan di puncak Singgalang.
Kalau
Tuhan mengijinkan. Akan tersingkap segala penghalang. Akan terkuak semua yang
tertutup. Akan terang semua yang gelap. Maka tak ada hujan di hati ummat
Menuntut
ilmu kepalang tanggung. Berjalan tak sampai ke ujung. Menduga terbawa amarah.
Pertanda hidup tak akan bahagia.
Lupakan
diri yang bersalah. Ampunkan segala dosa. Buka pintu maaf lebar-lebar. Ketuk
sanubarimu, ketuk hati nuranimu
Berlaku
ikhlas antara saudara sedarah. Takwa pada Yang Kuasa jangan dilupa.
Bersabar
sifat yang mulia. Menerima sikap yang terpuji Habiskan segala sengketa.
Hilangkan segala curiga. Di situ pangkal jalan bertuah. Menuju hidup di bawah
ridho Allah
*********************
Empat
Begitu
suara nyanyian kakek bermuka biru lenyap maka di tempat itu hanya terdengar
deru hujan yang masih mencurah turun walau kini mulai mereda. Kakek ini lalu
palingkan mukanya pada orang bercadar kuning. Dari pembantu yang duduk di sebelahnya
sebelumnya dia telah diberitahu kalau orang yang tegak tepat di hadapannya itu
mengenakan pakaian dan cadar penutup wajah berwarna kuning.
“Insan
berpakaian dan bercadar kuning. Selama belasan tahun kau dan yang lain-lainnya
tenggelam dalam rangkaian hidup yang gelap. Tanpa tahu siapa diri masing-masing
sebenarnya. Tanpa tahu siapa orang-orang di sekitar kalian sebetulnya, ini saat
kita bertatap muka, bersentuh jiwa bersatu hati untuk mengungkapkan semua
rahasia hidup. Aku bersyukur masih hidup hingga dalam usia yang begini uzur
masih bisa berbuat kebajikan. Aku juga berterima kasih karena kau mempercayakan
diriku untuk menjadi penutur dalam menyingkapkan rahasia hidup kalian. Menyibak
tirai hitam, membalikkan tirai kelabu, membentang tirai putih. Namun sebelum
kita mulai perkenankan dulu aku menyampaikan salam hormat pada beberapa sahabat
lama yang barusan datang dan hadir di tempat ini.”
Hampir
semua orang yang mendengar ucapan itu sebenarnya tidak sabar. Terutama Sabai
Nan Rancak, Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan Bululani.
Si muka
biru lalu memandang ke jurusan Sinto Gendeng dari para tokoh lainnya.
“Penciumanku
kurang tajam. Namun aku masih dapat mencium bau seorang sahabat. Aku Nyanyuk
Amber menyampaikan salam hormat pada Sinto Gendeng. Siapa lagi nenek tua yang
pakaiannya selalu bau pesing kalau bukan orang sakti dari puncak Gunung Gede.
Sinto, terima salam hormatku!” Orang tua bermuka biru yang matanya bolong itu
bungkukkan badan.
Sinto
Gendeng merasakan tenggorokannya tercekik. Dalam hati si nenek memaki, “Sialan
si tua bangka dari seberang ini. Di depan begini banyak orang enak saja dia
menyebut aku berpakaian selalu bau pesing!” Setelah batuk-batuk maka Sinto
Gendeng menyambut ucapan orang.
“Terima
kasih. Salam juga untukmu Nyanyuk Amber. Aku merasa senang berjumpa denganmu.
Ternyata kau masih awet muda. Hik… hik… hik!”
Kakek
buta bermuka biru ikut-ikutan tertawa mengekeh.
“Nyanyuk
Amber,” kata Sinto Gendeng, “Patut kau ketahui yang santar bau pesingnya adalah
tokoh silat sahabatku bergelar Si Setan Ngompol. Saat ini dia ada didekatku!”
“Ah!”
Nyanyuk Amber kembali membungkuk. “Hormatku untuk tokoh yang kepandaiannya
langka dan tinggi. Kalau dicari sulit bertemu. Sungguh aku bahagia dan mendapat
kehormatan. Setan Ngompol, terima salam hormatku!”
“Aku
terima dan aku kembalikan! Doakan agar penyakit ngompolku bisa sembuh!” kata
Setan Ngompol pula. Lalu tertawa terpingkal-pingkal dan akibatnya “seerrr!”
Kencingnya kembali terpancar!
Nyanyuk
Amber mendongak ke atas. Cuping hidungnya kembang kempis. Lalu dia tertawa
lebar-lebar. “Ada bau harum tuak murni tuak kayangan. Siapa pemilik dan si
tukang minumnya tak meleset pastilah sahabat kentalku bernama Suro Lesmono
bergelar
Dewa
Tuak. Ha… ha… ha! Sobatku, terima salam hormatku!” Seperti tadi Nyanyuk Amber
lantas membungkuk hormat.
Dewa Tuak
tertawa gelak-gelak. Terima kasih atas penghormatanmu. Harap kau terima pula
salam hormatku!” Dewa Tuak lalu menjura dalam-dalam.
“Tadi
telingaku menangkap suara merdu! Kerontangan kaleng. Di delapan penjuru angin
rimba persilatan hanya ada satu manusia aneh yang memiliki kaleng penyejuk
liang telinga itu. Hik… hik… hik! Kakek Segala Tahu, benarkah kau ada di
dekatku saat ini?”
Didahului
dengan menggoyangkan kalengnya tiga kali berturut-turut Kakek Segala Tahu lalu
mendatangi Nyanyuk Amber dan memeluk orang tua itu eraterat.
“Kita
sama-sama tua! Sama-sama sudah karatan. Sama-sama buta! Tapi hati kita
sama-sama terbuka! Ha… ha… ha!” Kakek Segala Tahu tertawa panjang dan
kerontangkan lagi kalengnya.
“Walau
aku tidak melihat, tapi aku tahu ada banyak orang pandai baik yang masih muda
maupun yang sudah lanjut seusiaku. Jika tidak keberatan harap suka
memperkenalkan diri. Aku ingin pertemuan sekali ini menjadi kenangan indah bila
aku kembali ke Pulau Andalas….”
Maka satu
per satu orang-orang dalam rombongan Sinto Gendeng memberikan salam hormat dan
memperkenalkan diri masing-masing.
“Terima
kasih kalian telah memperkenalkan diri. Ternyata kalian memang orang-orang
hebat dunia persilatan.” Nyanyuk Amber berpaling ke arah Sinto Gendeng. “Sinto,
aku tidak mendengar muridmu si Wiro Sableng ada di sini. Setiap aku mengingat
pemuda itu aku selalu geli dan ingin sekali bertemu. Dia yang dulu
menyelamatkan dan mendukungku keluar dari sarang maut muridku si Raja Rencong.
Di mana anak itu?”
“Anak
setan itu tak ada di sini Nyanyuk! Begitu kelakuannya. Kalau dicari dan
diperlukan tak pernah ada!” jawab Sinto Gendeng.
“Sayang
anak itu tak ada di sini. Juga sayang sekali ada seorang sahabat lama yang
sama-sama dari tanah seberang tidak menampakkan diri di sini. Tapi aku menaruh
firasat sebenarnya dia sudah berada di antara kita….” Tanpa memberi tahu nama
semua orang yang ada di situ sudah maklum kalau yang dimaksud Nyanyuk Amber
adalah Tua Gila. Nyanyuk Amber melanjutkan ucapannya.
“Para
sahabat orang-orang gagah rimba persilatan. Aku menyirap kabar banyak peristiwa
berdarah terjadi di Pulau Andalas dan tanah Jawa ini. Aku juga sudah menduga
bahwa kehadiran kalian ada sangkut pautnya dengan semua kejadian itu. Dan
kabarnya semua peristiwa berpangkal dari apa yang disebut Lembah Akhirat.
Keadaanku yang begini tidak memungkinkan untuk membantu kalian. Lagi pula aku
tidak mau menyinggung perasaan kalian karena aku percaya kalian bisa
menyelesaikan urusan ini. Namun jika aku si tua renta ini boleh memberi nasihat
harap kalian suka mendengar satu lagi nyanyianku.
Maka
Nyanyuk Amber pun kembali lantunkan nyanyian dengan suaranya yang halus.
Manusia
hanyalah makhluk lemah
Jangan
pongah pada kekuatan sendiri
Jangan
rendahkan kekuatan lawan
Dalam
kelemahan ada kekuatan
Dalam
kekuatan ada kelemahan
Manusia
hadapi dengan manusia
Binatang
hadapi dengan binatang
Yang gaib
hadapi dengan yang gaib
Di atas
semua itu panjatkan doa
Mohonkan
pertolongan pada Illahi
Jangan
terpengaruh pada apa yang dilihat
Jangan
tertipu pada kenyataan palsu
Berpikir
mencari jalan Agar yang jahat dapat dikalahkan
Sumber
kekuatan hanyalah dua
Yang
putih dan yang hitam
Yang
berasal dari Yang Maha Kuasa
Yang
berasal dari iblis durjana
Di atas
semua itu tak ada yang menandingi kebenaran
Karena
kebenaran datangnya dari Yang Satu
Panjatkan
doa kepadanya Mohonkan pertolongan hanya pada Illahi
Kakek
Segala Tahu pejamkan mata putihnya, mendongak ke langit coba meresapi dan
mengkaji isi nyanyian Nyanyuk Amber itu.
Sementara
itu hujan telah reda. Sesaat keadaan sunyi senyap. Orang tua bermuka biru
berpaling pada orang bercadar yang tegak di depannya.
“Insan
bercadar dan berpakaian kuning. Saatnya kita berbagi cerita, berbagi rasa dan
upaya. Apakah kau dan yang lain-lainnya telah siap?”
“Dalam
hati berdebar dan jantung berdetak, kami semua siap menurutkan kehendak.
Singkapkan segala rahasia hingga lenyap silang sengketa. Pulihkan semua hati
hingga musnah segala duga dan sangka. Semoga kita semua mendapat berkah. Namun
sebelum kita mulai terima terlebih dahulu salam hormat dari kami semua.” Si
cadar kuning, diikuti oleh Bululani, Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, Sabai Nan
Rancak serta Puti Andini dan Panji sama-sama menjura memberi hormat.
“Orang
tua bernama Nyanyuk Amber,” orang bercadar berkata. “Walau rasa gembira mulai
menyejuk hati. Namun ada sesuatu yang menjadi ganjalan. Orang, yang paling
berkepentingan dalam semua urusan ini masih belum menampakkan diri.”
Nyanyuk
Amber tersenyum. “Orang yang kau maksudkan itu tak usah dipikirkan. Karena
sebenarnya dia ada di dekat sini tapi belum mau memperlihatkan diri. Tunggu
saja.” Nyanyuk Amber memandang berkeliling dengan matanya yang bolong. “Kalian
semua dengar baik-baik. Aku tidak akan mengulang-ulang bicaraku. Apa yang aku
katakan adalah kebenaran, jauh dari dusta, jauh dari prasangka dan maksud tidak
baik. Aku akan mengatakan apa yang aku tahu. Tanpa pamrih. Aku mulai dengan
yang bernama Bululani alias iblis Pemalu. Kau ada di sini cucuku…?” Nyanyuk
Amber memanggil Bululani yang berusia sekitar setengah abad itu dengan sebutan
cucu. Berarti dapat dibayangkan berapa sebenarnya usia kakek satu ini. Tidak
kurang dari 150 tahun!
“Saya ada
di sini Kek,” jawab Bululani yang selama ini dikenal dengan julukan Iblis
Pemalu.
“Bagus!
Cucuku, aku mendapat penjelasan pada pertemuan terakhir di Lembah Merpati, kau
telah menuturkan riwayatmu panjang lebar. Kau dilahirkan dari rahim seorang ibu
yang juga kemudian kau ketahui melahirkan seorang anak perempuan atau adik
kembarmu. Betul begitu, Bululani?”
Yang
ditanya mengiyakan sambil anggukkan kepala.
“Kau juga
mempunyai dugaan bahwa orang bercadar kuning itu adalah saudaramu. Adik
kembarmu. Betul begitu?”
“Betul
Kek,” jawab Bululani sambil melirik pada orang bercadar kuning. Yang dilirik
walau berusaha tenang dan tak kelihatan wajahnya namun jelas tampak tubuhnya
bergeletar.
“Untuk
membuktikan orang ini saudara kembar Bululani aku harap dia suka membuka
cadarnya agar wajahnya bisa kelihatan dengan jelas!” Yang bicara lantang adalah
Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk
Amber tersenyum. “Saat untuk itu akan tiba. Harap kau bersabar. Mendengar
suaramu bukankah kau yang dikenal dengan nama Sabai Nan Rancak dari Gunung
Singgalang?”
“Terima
kasih kau tahu siapa diriku,” jawab Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk
Amber tersenyum. Dia berpaling ke kiri di arah mana menurut bisikan pembantunya
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan duduk mengunyah sirih. Lantas orang tua ini
berkata.
“Harum
sirihmu sedap sekali. Sayang mulutku sudah ompong tak bisa lagi menikmati
lezatnya sirih. Orang bergelar Datuk Paduko Intan terlahir bernama Sidi
Kuniang, apa betul dalam pertemuan di Lembah Merpati tempo hari kau mengatakan
bahwa istrimu adalah seorang bernama Andamsuri dan ibu mertuamu adalah seorang
bernama Sabai Nan Rancak….”
“Tidak
sudi! Aku tidak sudi!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Sabai…”
tegur Nyanyuk Amber dengan suara tetap halus. “Sudi atau tidak bukan itu
masalahnya. Kau menghadapi satu kenyataan hidup guratan tangan Tuhan yang tak
bisa diubah, disembunyikan ataupun dihapus. Datuk Paduko Intan alias Sidi
Kuniang adalah menantumu, suami Andamsuri. Andamsuri sesuai dengan pengakuanmu
sendiri di Lembah Merpati adalah anakmu. Bululani mengaku bersaudara kembar
dengan Andamsuri. Berarti Bululani adalah anakmu juga….”
“Tidak
mungkin! Aku hanya melahirkan satu anak. Si Andamsuri itu!” jawab Sabai Nan
Rancak dengan suara keras lalu terisak menahan tangis.
“Sabai,
kau mengingkari keterangan nyata bahwa sebenarnya kau melahirkan sepasang anak
perempuan. Kembar. Bululani lahir duluan sebagai kakak.. Menyusul Andamsuri
sebagai adik. Namun waktu Andamsuri lahir kau berada dalam keadaan pingsan
sedangkan Bululani pada saat itu juga langsung diambil orang.”
“Tidak
mungkin. Semua ini tidak mungkin! Kalian pasti telah mengatur semua ini! Gila!
Gilaaa!”
“Sabai…”
kata Nyanyuk Amber lagi. “Tak ada yang paling gila di dunia ini selain
mengingkari siapa diri kita, siapa keturunan kita….”
Mulut
Sabai Nan Rancak jadi terkancing. Isak tangisnya terhenti. Hanya sepasang
matanya memandang membeliak pada kakek bermuka biru itu. Lalu beralih menatap
Bululani. Dada si nenek berdebar keras. Matanya berkaca-kaca. Namun hatinya
masih
belum
bisa digoyahkan. Pandangannya kemudian ditujukan pada Puti Andini. Lalu dari
mulutnya meluncur ucapan bergetar.
“Kalau
Bululani memang anakku, lalu di maha adik kembarnya si Andamsuri yang tentunya
adalah ibu dari cucuku Puti Andini yang di sana itu!”
Sesaat
suasana menjadi hening. Semua orang tak tahu mau mengarahkan pandangannya ke
mana. Di utara kilat menyambar. Menyusul suara halilintar menggoncang kawasan
telaga. Pada saat itulah tiba-tiba orang bercadar kuning berlari menghampiri
Sabai Nan Rancak lalu jatuhkan diri, berlutut di tanah di hadapan si nenek.
“Ibu….”
Suara orang bercadar tercekik. Bahunya berguncang menahan tangis. “Aku… akulah
Andamsuri anakmu yang durhaka dalam kemalangan dan derita hidupnya….” Orang
bercadar hanya bisa berkata sampai di situ. Setelah itu tangisnya menghambur
dan dia jatuhkan diri sambil memegangi pergelangan kaki Sabai Nan Rancak.
Sabai Nan
Rancak membeliak. Lalu dia menatap ke langit sambil pejamkan mata. Dia seolah
tidak percaya akan pendengarannya. Dia seolah tak mau bergeming pada kenyataan
yang barusan diucapkan orang bercadar. Namun bagaimanapun tegarnya Sabai Nan
Rancak, menghadapi semua itu hatinya menjadi luluh dan rapuh. Dia membungkuk,
menolong orang bercadar berdiri. Dengan suara gemetar dia berkata.
“Jika kau
memang anakku, mengapa tak kau buka kerudung kuning yang menutupi wajahmu.
Perlihatkan padaku bahwa wajahmu sama dengan wajah Bululani….”
Mendengar
kata-kata Sabai Nan Rancak itu orang bercadar tarik kain kuning yang selama ini
menutupi kepala dan mukanya. Begitu cadar terlepas kelihatan satu wajah
perempuan berusia sekitar lima puluh tahun, masih cantik walau berusia lanjut.
Mata Sabai Nan Rancak kembali terbelalak. Kalau dia melihat memang jelas ada
kesamaan wajah Bululani dengan orang yang tegak di depannya maka semua prang
yang ada di tempat itu melihat kesamaan wajah antara Bululani, Andamsuri dan
Sabai Nan Rancak.
“Ya
Tuhan, mukjizat apa yang kau berikan padaku ini…” bisik Sabai Nan Rancak lalu
dirangkulnya tubuh orang yang tegak di hadapannya itu. “Anakku, terlalu lama
aku menahan derita ini….”
“Ibu,
anakmu mohon maafmu….”
“Tak ada
yang harus dimaafkan Andam. Malah kalau aku pikir, tubuh tua inilah yang banyak
dilamun dosa….” Air mata runtuh membasahi pipi Sabai Nan Rancak. Kemudian
pandangannya membentur sosok Bululani di sebelah sana. Sabai berbisik. “Mari
kita temui kakakmu. Jangan biarkan dia sendirian di sana. Mulai saat ini kita
tidak akan berpisah lagi….”
Belum
sempat Sabai Nan Rancak serta Andamsuri bergerak mendekati Bululani, justru
tiba-tiba Bululani yang menghambur ke arah kedua orang itu. Selagi ketiganya
berpelukan dan bertangis-tangisan satu pekikan melengking di tempat itu.
“Ibu!”
Puti
Andini lari ke arah Andamsuri dan memeluk ibu kandungnya itu eraterat. Kembali
ratap tangis memenuhi tempat itu.
“Anakku,”
kata Andamsuri dengan suara bergetar disusul tangis meledak. Tangannya tiada
henti membelai rambut dan menciumi wajah puterinya itu.
Rajo Tuo
Datuk Paduko Intan tegak termangu menyaksikan semua itu. Di sebelahnya
tahu-tahu telah berdiri Panji. Ayah dan anak ini seolah terpencil di satu
tempat yang mereka
tidak
pernah menduga. Tak tahu mau berbuat apa. Datuk Paduko Intan mengusut matanya
yang basah berulang kali. Dia baru mengisak keras setelah Panji memeluknya.
“Ayah,
kau harus melakukan sesuatu. Kau harus meminta maaf pada Ibu Andamsuri. Kau
harus meminta maaf pada Nenek Sabai, pada semua orang….” Ucapan si pemuda
terhenti. Di bawah pemandangannya yang berkaca-kaca dia melihat seorang kakek
berkepala botak melangkah mendatangi. Dari keterangan Puti Andini dia sudah
tahu bahwa orang tua ini bukan lain adalah Tua Gila. Tanpa sadar Panji
berteriak. “Kakek Tua Gila datang!”
Semua
orang jadi kaget. Sabai Nan Rancak langsung lepaskan pelukannya dari tubuh
Bululani. Semua mata ditujukan pada kakek yang melangkah bungkuk tertatih-tatih
sambil membuka topeng tipis yang menutupi muka dan kepalanya. Kini kelihatan
wajahnya yang asli. Memang dia adalah Tua Gila alias Sukat Tandika.
Sinto
Gendeng membuang muka ke jurusan lain melihat bekas kekasihnya di masa muda
ini. Sabai Nan Rancak kepalkan kedua tinjunya. “Aku sudah curiga waktu di
lembah dulu. Jadi memang dia rupanya!” Si nenek geram sekali. Tapi ketika
pandangan sayu Tua Gila membentur matanya, hatinya jadi tak karuan rasa.
Kemarahan terhadap manusia yang paling dibencinya itu tak mungkin dipupus.
Namun saat itu entah mengapa ada rasa lain di lubuk hati si nenek. Kemarahan
dendam kesumatnya terhadap laki-laki itu kini berubah tak lebih dari pada
menyesalan atas diri sendiri. Perlahan-lahan Sabai Nan Rancak hanya bisa
tundukkan kepala. Lalu menangis tersedu-sedu.
Ha nya satu
orang yang tak habis mengerti yakni Rajo Tua Paduko Intan. “Heran! Waktu di
pulau tempo hari, kakek ini mengaku bernama Wiro Sableng. Ternyata sebenarnya
dia adalah Tua Gila. Mertuaku sendiri!” Paduko Intan tidak tahu kalau saat itu
Tua Gila menyebut namanya asal-asalan saja.
“Kek!”
Puti Andini memanggil lalu menghambur ke dalam pelukan Tua Gila.
“Cucuku,
aku merasa bahagia akhirnya semua yang selama ini merupakan tabir gelap
diantara kita berhasil disingkap. Nyanyuk Amber, terima salam hormat dan rasa terima
kasihku.” Berkata Tua Gila.
Panji
yang sejak tadi tegak tertegun berlari ke hadapan Tua Gila, memeluk orang tua
ini. “Panji, kau juga cucuku, Nak….”
“Terima
kasih kau mau mengakuiku sebagai cucu Kek.” Kata si pemuda. Lalu Panji memegang
lengan Puti Andini. Saat itulah si gadis tak dapat lagi menahan ledakan
kekecewaan di lubuk hatinya. Setelah tahu bahwa Datuk Paduko Intan adalah ayah
si pemuda sedangkan dirinya adalah anak Datuk Paduko Intan dari Andamsuri
putuslah semua harapan masa depan untuk dapat hidup bersama dengan pemuda itu.
Karena Panji ternyata adalah saudaranya satu ayah!
“Tuhan….”
rintih Puti Andini dalam hati. “Kau. berikan aku ibu dan ayahku. Tapi mengapa
kau ambil dariku pemuda yang aku kasihi!” Rintihan si gadis sempat terdengar
oleh Panji. Hatinya ikut hancur. Dirangkulnya bahu Puti Andini. “Adikku…” bisik
si pemuda.
Suasana
ratap tangis itu dikejutkan oleh suara kerontangan kaleng rombeng Kakek Segala
Tahu. Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Setan Ngompol terbeser-beser.
“Tua bangka
sinting! Kau selalu merusak suasana!” semprot Sinto Gendeng.
Nyanyuk
Amber tersenyum.
“Tuhan
telah menunjukkan kebesaranNya. Rahasia hidup telah tersingkap. Sekarang
tinggal bagaimana kalian mengatur diri dan hati agar mampu menjalani sisa hidup
ini sebaik-baiknya….” Nyanyuk Amber memandang ke jurusan Bululani yang masih
berpeluk-pelukan dengan Sabai Nan Rancak dan Andamsuri. “Cucuku Bululani, ada
satu hal yang perlu aku terangkan padamu.
Menyangkut
diri kakak angkatmu bernama Bululawang. Orang itu masih hidup. Dia…”
“Orang
tua sakti. Bukankah kakakku itu telah menemui ajal di tangan Manusia Paku?”
ujar Bululani pula.
Nyanyuk
Amber gelengkan kepala. “Tidak, kakakmu itu masih hidup. Sejak dia meninggalkan
tempat kediaman ayah angkatmu, dia memencilkan diri di sekitar kawasan Gunung
Kidul sambil bersemadi dan menimba ilmu….”
“Lalu
Bululawang yang katanya mati di tangan Manusia Paku itu….”
“Orangnya
bermata juling. Tubuhnya pendek dan di tengkuknya ada punuk. Aku yakin kakak
angkatmu tidak sejelek itu,” kata Nyanyuk Amber lalu tertawa lebar. “Bululawang
palsu itu adalah seorang Datuk sesat yang sengaja memakai nama kakakmu untuk
mendapatkan nama karena kakak angkatmu sebenarnya adalah seorang tokoh besar.
Hanya saja dia lebih suka hidup menyendiri.”
“Terima kasih
atas keteranganmu itu Kek,” kata Bululani. “Jika urusan di sini sudah selesai
aku akan pergi ke Gunung Kidul mencari kakakku itu.”
“Itu
memang satu hal yang patut kau lakukan. Kau harus mencari kakakmu. Minta dia
agar menyudahi pemencilan diri. Katakan padanya lama-lama mendekam di tempat
sunyi dan bersemadi dia bisa jadi manusia bulukan!” Si kakek tertawa mengekeh.
Lalu pada pembantunya dia berkata. “Tugas kita sudah selesai. Negeri kita jauh
di seberang. Makin cepat berangkat pulang makin baik….”
Saringgih
segera mendukung Nyanyuk Amber lalu mencabut obor yang menancap di tanah.
Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-tiba kakek bermuka biru berkata.
“Tunggu!
Ada sesuatu yang aku lupakan….” Nyanyuk Amber memandang berkeliling. “Pemuda
bernama Panji! Mendekatlah ke sini!”
Panji
yang tegak termangu di sebelah Puti Andini tersentak kaget. Walau dalam
bingungnya dia segera mendatangi.
“Anak
muda, aku maklum betapa kecewanya hatimu mengetahui bahwa Puti Andini adalah
saudaramu satu ayah. Jadi tak mungkin kau merencanakan masa depan bersamanya.
Tabahkan hatimu! Kau justru harus berbahagia karena mendapatkan karunia Tuhan
berupa seorang adik cantik jelita. Kalau kau ada kesempatan aku mengundangmu
untuk berjalan-jalan ke tempat kediamanku di Danau Maninjau. Hawa di sana sejuk
bersih. Tidak seperti di tanah Jawa ini. Kau pasti betah tinggal di sana….”
Mula-mula Panji tidak begitu memahami apa maksud orang tua itu.
“Apa
jawabmu Panji?!”
Begitu
sadar kalau tokoh aneh itu hendak mengambilnya sebagai murid serta merta Panji
jatuhkan diri.
“Terima
kasih Kek! Kalau semua urusan di sini telah selesai saya pasti akan mencarimu!”
“Anak
baik! Anak bagus! Untuk pemuda semacammu Tuhan akan menyediakan seorang istri
yang cantik dan setia….” Nyanyuk Amber tiup kepala Panji satu kali. Aneh, saat
itu juga
si pemuda merasa ada satu kekuatan menyusup masuk ke dalam tubuhnya. Ketika dia
bergerak bangkit badannya terasa ringan!
Hanya
sesaat setelah Nyanyuk Amber bersama pembantunya berlalu dari tempat itu
tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tiupan terompet tanduk. Semua orang yang
ada di tempat itu jadi tercekam. Sinto Gendeng menatap ke langit. Kakek Segala
Tahu kerontangkan kalengnya.
“Agaknya
bulan purnama tidak akan muncul! Ini satu pertanda semua rencana yang kita buat
tidak berjalan seperti diharapkan. Orang-orang Lembah Akhirat cepat atau lambat
akan sampai di tempat ini. Kuharap kalian jangan bertindak sendiri-sendiri.
Atur siasat sebaik-baiknya. Kita menghadapi lawan tangguh. Jumlah mereka
mungkin tidak banyak. Tapi Datuk Lembah Akhirat memiliki satu senjata yang
sulit dicari tandingannya! Kalau Bujang Gila Tapak Sakti berhasil mendapatkan
senjata itu mudah bagi kita untuk meng-hancurkan mereka. Tapi kalau tidak,
urusan benar-benar bisa blangsak!”
“Mungkin
Kitab Wasiat Malaikat memang sudah berada di tangannya…” kata Dewa Tuak.
“Bukan
kitab itu yang aku khawatirkan. Karena mungkin saja cerita tentang Kitab Wasiat
Malaikat hanya karangan si Datuk belaka. Maksudnya untuk menipu para tokoh
silat dua golongan untuk bergabung dengan mereka. Justru yang aku khawatirkan
ialah senjatanya berupa Sarung Tangan Penyedot Batin. Menurut Naga Kuning yang
aku suruh menyelidik ke Lembah Akhirat senjata sakti itu memang berada di
tangan sang Datuk. Tapi tak diketahui disimpan .di mana.”
“Aku
sulit menduga apa kira-kira yang tersirat di balik nyanyian Nyanyuk Amber
tadi,” berucap Sinto Gendeng. “Yang jelas ada satu pekerjaan besar dan berat
harus dilakukan muridku. Tapi si anak setan itu masih belum ketahuan
juntrungannya!”
“Muridmu
masih dalam keadaan tak berdaya. Apa dia bisa kita andalkan Sinto?” tanya Dewa
Tuak yang membuat Sinto Gendeng menjadi panas dingin.
*********************
Lima
Pengiring
Mayat Muka Hitam menggaruk bagian bawah perutnya lalu mengangkat tangan memberi
tanda agar rombongan berhenti.
“Ada
seorang gadis bertubuh gemuk luar biasa, duduk di depan gubuk di tepi jalan.
Aku belum pernah melihatnya. Orangnya cantik sekali!”
Sepasang
mata Datuk Lembah Akhirat membeliak. Dia memandang pada Dewa Ketawa. Kakek ini
tertawa bergelak. Dia menoleh pada Sika Sure Jelantik dan Jagal iblis Makam
Setan. Dua orang ini diam-diam saja. “Ha… ha! Pengganti Yuyulentik sudah aku
dapatkan!” Datuk Lembah Akhirat tertawa girang lalu melompat turun dari kereta,
berlari menuju gubuk dekat kelokan jalan. Di belakangnya Dewa Sedih mulai
menangis.
Apa yang
dikatakan Pengiring Mayat Muka Hitam memang benar. Di depan sebuah gubuk, di
atas bangku panjang terbuat dari bambu tampak duduk seorang gadis bertubuh luar
biasa gemuknya. wajahnya cantik sekali karena berdandan sangat apik. Dia
mengenakan pakaian panjang warna biru berkilat yang pinggirannya dibelah sampai
ke pinggul. Kakinya dipangkukan satu sama lain hingga pahanya yang gempal besar
dan putih terlihat jelas, menyilaukan pandangan Datuk Lembah Akhirat,
merangsang darahnya. Nafsunya segera menggelegak. Apa lagi sejak kematian
Yuyulentik sudah sekian lama dia tidak bertemu perempuan yang disukainya.
Ketika
dia hendak mendekati gadis itu Pengiring Mayat Muka Merah cepat mendatangi dan
berbisik. “Datuk, harap kau berhati-hati. Tidakkah kau melihat ini satu
keanehan? Kita hendak melaksanakan satu urusan besar. Jangan-jangan ini tipu
daya musuh!”
Datuk
Lembah Akhirat mendorong Pengiring Mayat Muka Merah saking marahnya hingga sang
pembantu hampir terjungkal dari kudanya. “Dalam urusan seperti ini aku lebih
tahu darimu!”
Si nenek
Sika Sure Jelantik yang tadinya juga hendak memberi kisikan pada Datuk Lembah
Akhirat batalkan niatnya melihat apa yang dilakukan sang Datuk. Sementara
Pengiring Mayat Muka Hitam tak mau perduli karena dia lebih mementingkan
menggaruk anggota rahasianya.
Sebenarnya
jika Datuk Lembah Akhirat mau sedikit berpikir dan tidak dilamun nafsu dia bisa
melihat satu keanehan. Gadis berbobot lebih dari seratus kati y itu duduk di
atas bangku yang terbuat dari tiga batang bambu melintang. Dalam keadaan
seperti itu, tiga bambu sama sekali tidak melengkung!
Dengan
senyum-senyum Datuk Lembah Akhirat sampai di depan gubuk. Langsung dia menyapa
sambil pegang bahu gadis gemuk. “Bidadariku, sudah lamakah kau menunggu aku di
tempat ini?”
Si gadis
angkat kepalanya sedikit, lontarkan senyum genit lalu berkata. Suaranya parau
berat. “Menunggu lama tak jadi apa. Tapi benarkah yang berdiri di hadapan saya
saat ini Datuk Lembah Akhirat, calon raja di raja rimba persilatan?!”
Datuk
Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. “Bukan calon, tapi sejak malam ini aku
sudah ditakdirkan menjadi datuk serta raja dunia persilatan. Menguasai Pulau Andalas
dan seluruh daratan tanah Jawa! Bidadariku, siapa namamu?” Sambil bertanya
Datuk Lembah Akhirat selinapkan tangan kanannya ke balik dada pakaian si gemuk.
Yang diraba
menggeliat
kegelian tapi kedip-kedipkan matanya seolah keenakan membuat sang Datuk tambah
gila dirangsang nafsu. “Gila betul! Seumur hidup baru kali ini aku memegang
dada begini besar, keras seperti batu dan seperti ada bulubulunya!” Nafsu sang
Datuk tambah menggelegak.
“Nama
saya Buli-Buli. Datuk, kau nakal ya! Aku suka lelaki nakal. Tapi aku kurang
suka bermesraan dilihat orang banyak…”
Mendengar
ucapan si gadis sang Datuk segera cekal tangan Buli-Buli lalu ditariknya si
gemuk ini ke dalam gubuk. Saat itu di luar terdengar suara Sika Sure jelantik
berseru.
“Datuk,
keluar sebentar. Aku dan teman-teman mau bicara!” Rupanya si nenek sudah curiga
besar. Tapi Datuk Lembah Akhirat malah memaki dan mengusirnya. Sambil tersenyum
dia lalu berkata pada si gadis. “Namamu bagus tapi aneh kedengarannya.
Buli-Buli. Apa itu ada artinya?”
“Buli-Buli
artinya saya punya buli-buli untuk dibuli-buli oleh buli-buli Datuk!”
Meledaklah
tawa Datuk Lembah Akhirat. Lalu tawanya lenyap berganti suara hembusan nafas
menggeru ketika dilihatnya Buli-Buli sengaja merosotkan pakaiannya di bagian
atas hingga punggung dan sebagian dadanya tersingkap. Penuh nafsu Datuk Lembah
Akhirat ciumi punggung putih berlemak dan berkeringat itu.
Si gadis
menggeliat-geliat kegelian membuat sang Datuk tambah terangsang. “Datuk, saya
bersedia melakukan apa saja untukmu. Tapi ada satu hal yang hendak kukatakan….”
“Hemmm….”
Datuk Lembah Akhirat gigit tengkuk Buli-Buli yang melembung putih ditumbuhi
bulu-bulu halus. “Aku sudah bisa menduga apa yang kau mau bilang. Kau pasti minta
harta, perhiasan, uang emas atau…. Kau tahu Buli-Buli. Saat pertama aku
melihatmu, aku sudah memutuskan bahwa kaulah yang akan jadi ratu pendamping
diriku selaku raja di raja dunia persilatan!”
“Terima
kasih Datuk mau berbaik hati begitu. Tapi yang ingin saya katakan ialah bahwa
kemarin malam saya bermimpi. Dalam mimpi saya melihat ada orang mencuri
sepasang sarung tangan sakti milik Datuk. Apakah senjata itu masih ada pada
Datuk saat ini? Harap Datuk sudi memeriksa….”
“Hen….
Bagaimana mimpimu bisa sama dengan kenyataan yang terjadi. Namun….” Datuk
Lembah Akhirat raba kantong pakaian sebelah kanan. “Kau tak usah khawatir.
Sarung tangan itu masih ada padaku!”
“Bolehkah
saya melihat. Karena mungkin saja senjata itu telah diganti dengan yang
palsu….”
Kening
Datuk Lembah Akhirat yang berwarna merah dan hijau jadi berkerut. Dengan cepat
dikeluarkannya gulungan kain putih dari dalam saku pakaiannya. Baru saja dia
hendak membuka gulungan kain itu tiba-tiba Buli-Buli gerakkan tangan kanannya
menghantam.
“Bukkk!”
Datuk
Lembah Akhirat mencelat menghantam dinding gubuk. Gubuk yang memang sudah reyot
itu serta merta rubuh. Buli-Buli cepat menyambar gulungan kain di tangan kanan
sang Datuk. Namun gagal karena saat itu menyambar dua larik sinar. Satu
berwarna merah, satunya hitam! Yang melepaskan dua pukulan sakti mematikan ini
adalah Sika Sure Jelantik dan Pengiring Mayat Muka Merah.
Buli-Buli
terpekik. Gadis gemuk ini ternyata luar biasa enteng gerakan tubuhnya. Begitu
berhasil menghindar dia balas menghantam. Serangkum angin luar biasa dingin
mendera
tempat itu. Pengiring Mayat Muka Merah menjerit keras. Sisi kanan tubuhnya yang
kena sambaran pukulan lawan mendadak sontak menjadi kaku dingin seolah
diselubungi es. Dari telinga dan mata kanannya mengucur darah. Si gadis kembali
berusaha merampas gulungan kain di tangan Datuk Lembah Akhirat. Namun saat itu
sang Datuk yang tidak cidera sedikitpun akibat hantaman tadi telah lebih dulu
berkelebat seraya mengibaskan gulungan kain putih di tangan kanannya. Di dalam
gulungan kain ini tersimpan sepasang sarung tangan sakti.
Buli-Buli
bermaksud hendak merampas gulungan kain kembali tapi justru lengan kanannya
kena digeprak. Gadis gendut ini mengeluh tinggi. Tubuhnya tampak limbung.
Geprakan sarung tangan, walau terlindung dalam gulungan kain ternyata masih
mampu menyedot sebagian tenaga dalamnya! Ketika dia kembali hendak lancarkan
serangan, dari belakang Sika Sure Jelantik menghantam punggungnya dengan satu
totokan dahsyat hingga Buli-Buli langsung tertegun kaku.
Habis
menotok si nenek tidak tinggal diam. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku
hitam panjang dia merobek pakaian si gadis di bagian bawah perut.
“Datuk!
Buka matamu lebar-lebar! Lihat sendiri! Barangnya tidak beda dengan barangmu!
Hanya dia putih kau hitam! Hik… hik… hik!”
Mata
Datuk Lembah Akhirat seperti mau keluar dari sarangnya. “Manusia banci jahanam!
Siapa kau sebenarnya!” Bentak sang Datuk seraya menjambak rambut Buli-Buli.
Begitu dijambak rambut itu tercabut. Ternyata rambut palsu!
************************
Langit di
sebelah timur kelihatan terang. Tapi udara dingin masih membungkus kawasan
Telaga Gajahmungkur termasuk bagian barat dimana para tokoh golongan putih
rimba persilatan berkumpul.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu mendongak ke langit. “Aneh… aneh… aneh!
Tak pernah keanehan terjadi berturut-turut seperti ini. Malam tadi hujan turun
terus menerus. Bulan purnama empat belas hari tidak muncul. Malam tadi pula
muncul dedengkot rimba persilatan Nyanyuk Amber. Malam tadi orang-orang Lembah
Akhirat diduga hendak menyerbu. Ternyata tidak. Padahal mereka tak jauh lagi
dari sini. Pagi ini langit terang di sebelah timur. Tapi tak kelihatan sang
surya! Olala…. Apakah alam tidak lagi bersahabat dengan manusia?” Kakek bermata
putih buta ini kembali kerontangkan kaleng rombengnya.
Tiba-tiba
terdengar seruan. “Ada orang datang!”
“Aku
mencium bau wangi!” teriak Sinto Gendeng.
Satu
bayangan biru berkelebat dan Bidadari Angin Timur muncul di tempat itu.
“Kau! Dia
yang mencuri Pedang Naga Suci 212!” seru Tua Gila tapi tanpa rasa marah dan
sambil melirik pada anaknya yaitu Andamsuri yang sebelumnya dikenal sebagai
orang bercadar kuning. Kakek ini lemparkan senyum sambil kedipkan matanya
karena dia kini maklum Andamsuri dan Bidadari Angin Timur sengaja mencuri
Pedang Naga Suci 212 sekedar menjalankan siasat agar senjata sakti itu tidak
jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak atau Sutan Alam Rajo Di Bumi,
Semua
mata ditujukan pada Bidadari Angin Timur. Ketika Sinto Gendeng maju, Sabai Nan
Rancak yang pernah diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur cepat mendampingi
berjaga-jaga. Melihat kejadian itu diam-diam Tua Gila merasa gembira. Antara
beberapa orang yang sebelumnya saling bertentangan kini telah terjadi rasa
saling membantu, rasa saling bersahabat.
“Aku
tidak perduli kau pencuri atau bukan. Yang aku ingin tahu apakah Pedang Naga
Suci 212 berada di tanganmu?!” tanya Sinto Gendeng dengan suara keras.
“Nek,
aku….”
Andamsuri
tak tinggal diam. Dia segera melompat ke samping Sabai Nan Rancak. “Jangan
bersalah duga. Jangan berburuk kira. Agar terang biar kujelaskan. Gadis
berambut pirang ini bukan maling, bukan pencuri. Apa yang dilakukannya
semata-mata karena ketulusan hati, Sebelum jatuh pedang sakti ke tangan
orang-orang Lembah Akhirat dia dan aku merasa perlu mengatur siasat. Dapatkan
pedang sakti untuk menolong pendekar sakti. Senjata itu ada padanya. Harap
jangan diambil jangan diminta. Yang perlu dicari tahu dimana gerangan Pendekar
212 adanya!”
“Anak
setan itu tidak kelihatan mata hidungnya sejak malam tadi!” Sinto Gendeng
berpaling pada Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku menyangka anak itu ikut
bersamamu. Atau mungkin kau menyembunyikannya di satu tempat.”
Bidadari
Angin Timur gelengkan kepala.
“Aku akan
mencarinya sampai dapat. Jadi harap kau mau menyerahkan Pedang Naga Suci 212
padaku!” kata Sinto Gendeng pula sambil pelototkan mata pada gadis berambut
pirang.
Puti
Andini maju mendekati Sinto Gendeng. Dengan suara halus dia berkata. “Nek, apa
kau lupa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memegang pedang itu. Hanya
orang tertentu pula yang boleh memilikinya. Pedang itu kepunyaanku. Sahabat
berambut pirang ini mengambilnya apapun alasannya. Aku mohon kau mau mengembalikannya
padaku Bidadari Angin Timur. Bukankah itu namamu…?”
Bidadari
Angin Timur menjadi bimbang. Dia tahu memang Pedang Naga Suci 212 milik gadis
bernama Puti Andini itu. Namun jika dia mengembalikan sekarang jelas tidak bisa
dipergunakan untuk mengobati Wiro karena pemuda itu tidak ada di tempat itu.
“Aku
mengalah!” berkata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan. “Biar aku tak
jadi meminta pedang itu. Tapi mengapa dia tidak mau mengembalikannya pada gadis
berambut panjang. Jelas hatinya culas dan maksudnya memang jahat dari semula!”
“Nenek
Sinto, jangan kau salah menduga!” menyahuti Bidadari Angin Timur. “Aku dan
Kakak Andam-suri mengambil Pedang Naga Suci 212 untuk menyelamatkan dari
orang-orang Lembah Akhirat. Begitu berada di tangan kami akan dipergunakan
untuk mengobati muridmu. Tapi malam tadi ditunggu di satu tempat Pendekar 212
tidak muncul. Aku menyelidik di beberapa tempat. Pemuda itu lenyap tak
diketahui entah kemana….”
Baru saja
Bidadari Angin Timur mengakhiri ucapannya, belum sempat Sinto Gendeng hendak
menjawab tiba-tiba ada orang berseru.
“Pendekar
212 ditawan orang-orang Lembah Akhirat!”
Semua
orang yang ada di situ menjadi geger. Semua mata diarahkan pada orang yang baru
datang, berpakaian hitam, berwajah cantik dan memiliki sepasang mata biru.
“Ratu
Duyung!” seru Naga Kuning dan Setan Ngompol hampir berbarengan.
“Apa kau
bilang?!” teriak Sinto Gendeng. “Muridku ditawan orang-orang Lembah Akhirat?
Jangan-jangan kau sendiri yang menyekapnya di satu tempat! Ayo jawab! Jangan
kau berani berkata dusta!”
Paras
Ratu Duyung menjadi merah. Dalam hati dia menyesali sikap dan ucapan nenek
hitam yang seolah tidak pernah mengenal budi ini. Saking gusarnya Ratu Duyung
lantas menjawab. “Aku tidak menyalahkan kalau kau masih saja gusar terhadapku
Nek. Gara-garaku muridmu ditimpa musibah. Tapi menuduh, menghina dan melecehkan
diriku terus menerus bukanlah tindakan terpuji. Aku memberitahu muridmu ditawan
Datuk Lembah Akhirat. Kau malah menuduh aku yang menyekapnya. Kau lihat saja.
Tak lama lagi orang-orang Lembah Akhirat akan sampai di sini. Bukan cuma
muridmu yang ditawan. Bujang Gila Tapak Sakti yang menyaru jadi perempuan juga
mereka tangkap dan gebuki sampai babak belur!”
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit. Dia memegang bahu Iblis Putih Ratu Pesolek
yang tegak di sampingnya. “Kita gagal. Penyamaran Bujang Gila ketahuan. Aku
merasa berdosa. Sarung tangan ular itu pasti tidak berhasil didapatkannya….”
“Aku cuma
kau suruh mendandani si gendut itu. Sega la tipu daya dan siasat kau yang
mengatur!” kata iblis Putih Ratu Pesolek tak mau disalahkan.
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara tiupan terompet. Langit tampak semakin terang walau
sang surya belum juga menampakkan diri. Semua orang tampak tercekat. Tapi hanya
sesaat. Sinto Gendeng kembali mendahului menyerocos.
“Sebelum
lawan datang, kita harus bisa menentukan siapa lawan dan siapa teman diantara
kita sendiri. Aku melihat ada musuh dalam selimut di tempat ini!”
Tua Gila
yang merasa tidak enak mendengar ucapan itu segera menyahuti. “Sinto, harap kau
menyebut langsung nama orangnya kalau memang ada musuh dalam selimut seperti
yang kau bilang!”
Nenek
sakti dari Gunung Gede itu menyeringai. “Kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi
kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu! Baik! Aku akan sebut
terang-terangan orangnya! Dia adalah nenek bertopi tanduk kerbau itu! Sabai Nan
Rancak! Bekas gendakmu itu!”
Merahlah
wajah Tua Gila. Paras Sabai Nan Rancak tak kalah merahnya. Anak dan cucu mereka
terdiam tercekat. Mereka ingin membela Sabai namun apa yang dikatakan Sinto
Gendeng sulit untuk diingkari. Bukan rahasia lagi bahwa dalam rimba persilatan
akhir-akhir ini tersiar kabar ada hubungan tertentu antara Sabai Nan Rancak
dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Selanjutnya Sutan Alam sendiri mempunyai hubungan
rahasia pula dengan Datuk Lembah Akhirat.
“Sabai!
Salah atau benar dirimu kau berhak dan harus bicara membuka mulut. Aku yakin
kau tidak seburuk yang disangkakan orang!”
Mendengar
ucapan Tua Gila itu Sinto Gendeng tertawa tinggi. “Siapa lagi yang akan membela
kalau bukan bekas kekasih sendiri!” Lalu si nenek pentang tampang cemberut.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya. “Sabai, jangan biarkan keadaan bertambah
buruk. Orang-orang dari Lembah Akhirat semakin dekat! Sebelum terjadi bentrokan
berdarah kau harus menentukan sikap!”
Sabai Nan
Rancak gigit bibirnya. Dia memandang berkeliling. Mula-mula memperhatikan
Andamsuri, lalu Bululani. Kemudian beralih pada Panji dan Datuk . Paduko
Intan.
Sesaat ditatapnya Puti Andini. Terakhir-sekali pandangannya lekat di wajah Tua
Gila. Mula-mula suara bicaranya bergetar namun perlahan-lahan dia bisa
menguasai diri.
“Arang
yang tercoreng di kening memang sulit dihapus. Nama yang tercemar sukar
diperbaiki. Diri yang terlanjur busuk dalam lumpur susah untuk diangkat dan
dibersihkan. inilah harkat hidup di atas dunia. Pembelaan mungkin satu
kesia-siaan dan bahan tertawaan ejek cemooh. Tetapi jika kalian mengalami
derita sengsara hidup seperti diriku, mungkin kalian ikut meratap dalam
tangisku. Derita hidup bisa membuat orang lupa dan salah melangkah. Sengsara
batin bisa membuat orang tenggelam dalam malapetaka yang sebenarnya tidak
diingininya. Namun, apakah seorang insan tak pernah berbuat salah dan dosa?
Apakah tak ada kesesatan yang tidak mungkin diperbaiki. Apakah tak ada
kesalahan yang tidak bisa diampuni. Seburuk itukan ujud dunia? Sejahat itukan
hati manusia? Di usia lanjut ini aku ingin menghabiskan sisa hidupku dalam
memohon ampun dan bertobat diri. Tetapi jika itu tidak menjadi bagian diriku
maka aku rela menerima rajaman dari manusia dan azab dari Allah Maha Kuasa.
Siapakah di antara kalian yang pertama sekali ingin menurunkan tangan
menjatuhkan hukuman ke atas batok kepalaku? Aku siap menerima dengan segala
keikhlasan. Mungkin ini balasan yang terbaik bagi diriku! Satu hal perlu kalian
ketahui. Aku berdiri di sini bukan sebagai musuh dalam selimut. Dalam dukaku
yang amat sangat aku merasa bahagia menemukan kembali anak dan cucuku. Kalau
bisa aku berbuat sesuatu biarlah aku menghadapi orang-orang Lembah Akhirat itu
sebagai penebus dosa!”
Suasana
sehening di pekuburan. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani membuka
mulut. Ada beberapa pasang mata yang tampak berkaca-kaca dan ada beberapa mata
lagi yang saling melontar lirikan.
Tua Gila
tiba-tiba melangkah dan tegak di samping Sabai Nan Rancak. “Semua derita
sengsara, semua jalan sesat dan kesalahan yang dilakukannya berpangkal pada
perbuatan diriku. Kini aku mewakili dirinya untuk menerima hukuman. Biarkan aku
sendiri yang menjadi penebus segala dosa!”
Sabai Nan
Rancak pejamkan mata. Lehernya tampak turun naik berusaha menahan isak. Namun
dari sela-sela matanya air mata meluncur tak terbendung. Saat itu rasanya
pupuslah semua dendam kesumat dan kebenciannya terhadap Tua Gila.
Kakek
Segala Tahu hendak kerontangkan kalengnya. Tapi tak jadi karena dia berpaling
dulu pada Dewa Tuak. Si jaga minum ini yang tahu maksud pandangan orang segera
anggukan kepala. “Kau saja yang bicara….” bisik Dewa Tuak.
Kakek
Segala Tahu lalu mendehem beberapa kali, baru angkat bicara. “Segala kesalahan,
segala dosa tak ada artinya di mata Tuhan bilamana kita ummat manusia telah
menyadari dan mau merubah diri dengan jalan bertobat. Jika Tuhan saja bersifat
arif seperti itu, mengapa kita manusia yang lemah dan kotor hendak bersombong
diri tidak mau melupakan dan saling memaafkan. Saat ini kita menghadapi satu
urusan besar. Hancur tegaknya rimba persilatan. Lupakan segala urusan hati dan
pribadi. Kita semua ber-kewajiban menyelamatkan dunia persilatan….” Kakek
Segala Tahu berpaling ke arah tempat Sinto Gendeng berdiri. Walau tidak melihat
tapi kakek ini diam-diam maklum kalau si nenek tidak suka mendengar
kata-katanya. Maka dia meneruskan. “Jika apa yang aku ucapkan barusan adalah
keliru, aku yang tua minta maaf. Tapi jika ada di antara para tokoh di sini
tidak suka dengan jalan pikiranku, tinggalkan kami. Biar kami mencari jalan
sendiri untuk dapat keluar dari malapetaka yang menghadang!” Habis berkata
begitu si kakek
kerontangkan
kalengnya. Begitu berisiknya hingga ketika suara kaleng lenyap kesunyian terasa
semakin mencekam. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bersuara. Sinto Gendeng
palingkan muka ke arah kegelapan. Mulutnya tampak berkomat-kamit tapi tak ada
suara yang keluar. Ucapan Kakek Segala Tahu tadi membuat dia terpukul. Beberapa
kali kemudian nenek ini menghela nafas dalam.
Di atas
Telaga Gajahmungkur langit secara aneh bertambah terang. Udara semakin terasa
panas. Ketika beberapa orang mendongak ke atas terkejutlah mereka.
“Matahari
muncul di langit!”
Saat itu
di langit memang nampak muncul sang surya, bulat penuh dan memancarkan sinarnya
dengan terik. Keadaan menjadi terang benderang. Semua orang bersorak gembira.
Namun Kakek Segala Tahu malah tunjukkan wajah redup gelisah.
“Aneh…”
katanya perlahan. “Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu di langit sana.
Akan terjadi sesuatu di permukaan bumi. Puluhan tahun hidup tidak pernah
kurasakan udara begini panas!” Belum lama si kakek keluarkan perasaan hatinya
itu tiba-tiba seseorang berseru.
“Lihat!
Ada sesuatu bergerak mendekati matahari!”
“Astaga!
Matahari menjadi merah seperti bara!”
“Jangan-jangan
dunia mau kiamat!” teriak Dewa Tuak lalu cepat-cepat teguk tuak dalam bumbung
sementara iblis Muda Ratu Pesolek yang tegak di sebelahnya menjadi pucat. Dia
segera cekal lengan Dewa Tuak seraya berbisik ketus. “Jangan kau bicara yang
bukan-bukan. Jangan menyebut-nyebut soal kiamat. Kita masih belum kawin!”
“Gluk!
Hek!” Dewa Tuak sampai tercekik mendengar kata-kata si nenek.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Kepalanya didongakkan. Matanya yang putih
nyalang melebar. Perlahan-lahan udara yang sebelumnya terang benderang berubah
menjadi redup.
“Aku
tidak melihat! Tapi aku yakin sesuatu akan terjadi! Ada sesuatu bergerak
menutupi sang surya. Rembulan dan matahari akan bertindihan di satu garis
lurus! Gerhana! Matahari akan mengalami gerhana!” Kata-kata terakhir si kakek
keras sekali tapi sangat tercekat sehingga semua orang yang mendengar men-jadi
bungkam dalam kegelisahan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar salakan anjing
bersahut-sahutan. Burung-burung beterbangan kian kemari hiruk pikuk. Semua
orang memandang ke langit dengan nafas seolah tertahan dan mata tidak berkesip.
Ada rasa takut menyelinap, Bahkan Sinto Gendeng yang biasanya paling banyak
bicara dan bertingkah kini diam mengkeret. Seumur-umur dia belum pernah melihat
gerhana matahari. Di sampingnya si Setan Ngompol duduk melunjur di tanah dengan
tengkuk dingin dan kencing memancar terus menerus. Naga Kuning tutupi mukanya
dengan dua tangan. Di bagian lain Sabai Nan Rancak, Tua Gila, Andamsuri dan
yang lain-lainnya juga ikut tenggelam dalam kebisuan yang mencekam.
Makin
tertutup matahari oleh rembulan, semakin redup udara seolah siang telah
berganti malam. Pinggiran. matahari membentuk gelang berwarna merah membara
yang secara perlahan-lahan pupus hingga keadaan di atas Telaga Gajahmungkur
saat itu benar-benar gelap gulita laksana malam.
Lapat-lapat
terdengar gemuruh suara binatang buas berlarian di rimba belantara sekeliling
telaga. Dari berbagai jurusan salak anjing terdengar tiada henti ditimpali
suara kokok ayam bersahut-sahutan.
Dalam
suasana mencekam begitu rupa mendadak terdengar suara tiupan terompet. Tak
selang berapa lama rombongan Datuk Lembah Akhirat muncul di tempat itu. Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Lalu di sebelah kiri terdengar Tua Gila
berteriak.
“ingat
nyanyian Nyanyuk Amber! Jangan terpengaruh pada apa yang dilihat! Jangan
tertipu pada kenyataan palsu! Berpikir mencari jalan! Agar yang jahat dapat
dikalahkan!”
*********************
Enam
Dalam
hitamnya kegelapan terdengar gemeletak roda kereta dan derap kakikaki kuda.
Sosok-sosok binatang tunggangan dan orang-orang itu bergerak laksana hantu
menuju tepi barat Telaga Gajahmungkur. Lalu terdengar suara tiupan terompet.
Kalau tadi hanya sesekali, kini terus-menerus berkepanjangan.
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit. Tua Gila, Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan semua
yang ada di tepi barat telaga memandang tajam dalam kegelapan.
Tak lama
kemudian rombongan dari Lembah Akhirat muncul di tempat itu. Mereka membuat
gerak-an-gerakan cepat menebar demikian rupa, mengurung tepi barat telaga dalam
barisan berbentuk setengah lingkaran. Karena orang-orang ini sengaja berhenti
agak jauh, lagi pula suasana begitu gelap akibat gerhana matahari, cukup sulit
untuk mengenali, siapa saja yang ada dalam rombongan tersebut selain Datuk
Lembah Akhirat.
Suara
tiupan terompet sirna. Lalu mencuat suitan panjang dalam kegelapan.
“Pasang
obor!” Seseorang berteriak memberi perintah.
Enam buah
obor dinyalakan oleh enam penunggang kuda lalu disisipkan di tempat yang sudah
disediakan di dinding kereta. Tiga di kiri, tiga di kanan. Di bawah penerangan
enam obor kini apa yang ada di tempat itu terlihat cukup jelas. Semua mata
hanya sesaat memperhatikan manusia tinggi besar berpakaian hitam yang tegak di
atas kereta besar yaitu Datuk Lembah Akhirat karena perhatian mereka langsung
tertuju ke bagian belakang kereta.
“Pendekar
212 Wiro Sableng!” Tua Gila yang pertama sekali berteriak. Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan. Dua gadis ini serta merta
hendak menghambur ke arah kereta tapi Tua Gila cepat memberi isyarat agar
jangan melakukan sesuatu dulu.
“Anak
setan! Apa yang terjadi dengan dirimu! jahanam! Siapa berani mati memperlakukan
kau seperti itu!” Menyusul teriakan Sinto Gendeng.
“Bujang
Gila Tapak Sakti!” Dewa Tuak berseru dari sebelah kiri.
Di bagian
belakang kereta ada sebuah balok disanggah dua buah tiang tinggi. Pada balok
ini tergantung sosok Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala ke bawah
hanya mengenakan sehelai celana putih. Darah yang hampir mengering menodai
hidung dan mulut, tubuh serta celananya. Pada bagian dada kelihatan
membelintang guratan panjang, cidera akibat hantaman kaki Jagal iblis Makam
Setan. Saat itu Wiro masih berada dalam keadaan tertotok hingga siapa saja yang
menyaksikan pastilah menyangka pemuda ini paling tidak tengah berada dalam
keadaan sekarat!
Pada
dinding kereta sebelah kiri tergeletak melintang sosok gemuk berpakaian
perempuan penuh robek. Mukanya bercelemong bedak tebal bercampur darah. Beberapa
bagian tubuhnya lebam membiru. Orang yang berada dalam keadaan mengenaskan ini
bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti. Selain masih berada di bawah
pengaruh totokan, tangan dan kakinya tampak terikat.
Walau dua
matanya buta namun Kakek Segala Tahu sudah bisa menduga apa yang terjadi.
Terlebih sewaktu di sebelahnya iblis Putih Ratu Pesolek berbisik. “Kita
benar-benar gagal. Penyamaran Bujang Gila Tapak Sakti diketahui. Sekarang dia
dan Pendekar 212 berada dalam tawanan Datuk Lembah Akhirat!”
Sinto
Gendeng meraung keras. Tangan kanannya langsung memancarkan cahaya putih perak
menyilaukan tanda dia telah menyiapkan pukulan sakti Sinar Matahari. Kalau
tidak lekas ditahan oleh Dewa Tuak pasti nenek ini sudah melesat ke atas kereta
dan hantamkan pukulan mautnya pada Datuk Lembah Akhirat yang tegak di bagian
depan kereta.
“Datuk
jahanam! Kau apakan muridku!” teriak Sinto Gendeng dengan dada turun naik
menggemuruh dan sepasang mata berkilat-kilat laksana dikobari api.
Di atas
kereta Datuk Lembah Akhirat berkacak pinggang lalu tertawa bergelak. “Kalian
bisa melihat, kalian bisa membaca situasi! Apa aku perlu menjawab? Ha… ha… ha!”
“Jahanam!
Kurobek mulut besarmu!” Sinto Gendeng kembali mendamprat.
Datuk
Lembah Akhirat menatap si nenek dengan pandangan mengejek lalu berucap. “Langit
hitam! Bumi dilanda kekelaman! Gerhana di langit! Gerhana di atas Gajahmungkur.
Malapetaka di atas bumi! Bumi dilanda kekelaman! Apakah itu tidak cukup menjadi
pertanda bagi kalian orang-orang golongan putih! Bahwa hari ini adalah hari
kehancuran kalian?! Pendekar 212 ada di tangan kami! Bujang Gila Tapak Sakti
bernasib sama. Lalu masih ada seorang gadis bernama Anggini yang kusekap di
Lembah Akhirat! Apa kalian masih tolol hendak melawan? Mengapa tidak
lekas-lekas semua berlutut minta ampun dan tunduk menjadi kacung-kacungku!
Lihat siapa para tokoh yang ada di sekelilingku!”
Mendengar
muridnya disekap di Lembah Akhirat, Dewa Tuak berteriak marah. Kalau tadi dia
mencegah Sinto Gendeng untuk tidak berlaku nekad maka kini dia sendiri menjadi
kalap! Begitu dia bergerak Kakek Segala Tahu palangkan tongkat kayunya di depan
dada Dewa Tuak. “Kita semua harus ingat pesan Nyanyuk Amber. Jangan berlaku
bodoh sobatku…. Datuk keparat itu menjepit kita dengan tiga tawanan! Jangan
berlaku keliru sobatku!”
“Datuk
jahanam! Kalau muridku sampai cidera atau ternoda kurebus tubuhmu dengan arak
sampai jadi bubur!” teriak Dewa Tuak dengan mata berapi-api. Lalu dia semburkan
tuaknya ke udara. Datuk Lembah Akhirat ganda tertawa mendengar ancaman itu.
Di samping
kiri kereta berdiri Dewa Sedih yang tiada hentinya keluarkan suara tangisan.
Lalu Pengiring Mayat Muka Hitam yang terus-terusan menggaruk. Lebih ke kiri
enam pengawal menunggang kuda. Paling ujung kelihatan pemuda berjuluk Utusan
Dari Akhirat, duduk di atas seekor kuda coklat. Sikapnya seperti tidak sabaran.
Dengan geram dia menatap ke arah Wiro yang terikat di atas kereta. Lalu pada
Sinto Gendeng dan Tua Gila. Tiga manusia yang harus dihabisinya sesuai perintah
roh gaib Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Selain mengawasi tiga orang ini
sesekali pemuda ini memperhatikan Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin
Timur. Sejak lama dia menaruh hati pada tiga gadis ini. Diam-diam dia bertekad
mendapatkan salah seorang di antara mereka. Namun dari ketiganya Ratu Duyunglah
yang paling ditaksirnya.
Di
samping kanan kereta Dewa Ketawa duduk di atas keledai kurus sambil mengumbar
tawa. Lalu dua orang pengawal bermuka hitam. Menyusul Pengiring Mayat Muka
Merah. Di sebelah dua pengawal, di atas seekor kuda hitam tegak manusia aneh
Jagal iblis Makam Setan. Seperti biasa kedua tangannya berada di bawah di
punggung kuda sedang sepasang kakinya di sebelah atas.
Sabai Nan
Rancak sesaat memandang tak berkesip pada si Jagal iblis ini. Dia dan juga Tua
Gila serta Sinto Gendeng tidak menyangka kalau manusia sakti berhati jahat ini
telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat.
Di
sebelah Jagal Iblis Makam Setan berdiri Sika Sure jelantik. Sejak muncul di
tempat itu sepasang matanya terpantek pada sosok dan wajah Tua Gila, manusia
yang paling dibencinya.
Sabai Nan
Rancak menggeram dalam hati ketika dia melihat Sutan Alam Rajo Di Bumi alias
Suto Abang ikut berada di antara orang-orang Lembah Akhirat dan tegak di ujung
kiri di sebelah empat pengawal berkuda.
Yang
membuat Sabai Nan Rancak jadi tambah tidak enak ialah ketika pandangannya
membentur sosok manusia beralis panjang bersambung dengan dua belas lobang
hitam di wajahnya.
“Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung…” kata Sabai dalam hati. “Jadi dia juga ikut berada
di pihak sana….”
Di atas
kereta Datuk Lembah Akhirat angkat tangan kirinya. “Kalian tidak punya daya
apa-apa! Kalian harus bersyukur aku mau memberi pengampunan! Mengapa berlaku
tolol tidak segera jatuhkan diri tanda minta ampun dan bergabung dengan kami?!
Atau memang kalian ingin melihat Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti mati
mengenaskan?!”,
Jeritan
geram dan marah keluar dari mulut beberapa orang mendengar katakata Datuk
Akhirat itu. Sinto Gendeng tetap tegak dengan tangan kanan membekal pukulan
sakti Pukulan Sinar Matahari. Di sebelahnya Setan Ngompol telah pula kerahkan
tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Di bagian lain Ratu Duyung telah keluarkan
cermin sakti sambil tangan kiri menyentuh dada mengusap Kitab Wasiat Malaikat
yang ada di balik pakaiannya. Tua Gila diam- diam selinapkan tangan keluarkan
benang saktinya sementara Sabai tegak dengan tangan terpentang memancarkan
cahaya merah tanda dia telah merapal aji pukulan sakti Kipas Neraka.
“Dewa
Ketawa! Dewa Sedih!” Tiba-tiba Kakek Se-gala Tahu berteriak. Dari suara tangis
dan tawa dua kakek sakti itu dia sudah tahu kalau mereka berada di pihak lawan.
“Kalian berdua sungguh manusia-manusia tidak berbudi! Sampai hati bergabung
dengan musuh besar orang-orang golongan putih!”
Dewa
Sedih meraung keras sedang Dewa Ketawa gelak mengekeh mendengar ucapan Kakek
Segala Tahu itu. Dewa Tuak tak mau diam segera menimpali. “Dasar tua bangka
sedeng! Kalian enak saja melihat keponakan kalian si Bujang Gila Tapak Sakti
dianiaya dan ditawan Datuk Lembah Akhirat!”
Datuk
Lembah Akhirat angkat tangan lalu membuka mulut. “Dewa Sedih dan Dewa Ketawa
adalah dua manusia arif bijaksana. Mereka menyadari tingginya langit dalamnya
lautan dan mau bergabung dengan kami!” Sang Datuk lalu berpaling pada Sutan
Alam Rajo Di Bumi. “Sutan Alam! Aku melihat satu pemandangan yang membuat mata
ku jadi sepat! Sabai Nan Rancak kekasihmu itu berada di pihak musuh! Kau hanya
berdiam diri saja?!”
Mendengar
ucapan sang Datuk maka Sutan Alam berseru. “Sabai, kau masih punya kesempatan
untuk diampuni asal segera bergabung dengan kami!”
“Kalian
dua kakak adik manusia celaka! Sudan cukup kalian menipuku! Sutan keparat! Kau
yang pertama kali akan kubunuh!” teriak Sabai.
Selagi
orang berperang mulut, Andamsuri dekati Kakek Segala Tahu lalu membisikkan
sesuatu. Si kakek lantas saja goyangkan kalengnya tiada henti. Andamsuri yang
saat itu masih mengenakan pakaian kuning tapi tanpa cadar lagi memberi isyarat
pada Ratu Duyung. Sang Ratu memberi tanda pada Bidadari Angin Timur. Antara ke
dua gadis ini agaknya telah pupus segala sakit hati dan perselisihan. Yang ada
dalam pikiran mereka saat itu adalah bagaimana menyelamatkan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan juga Bujang Gila Tapak Sakti.
“Dewa
Sedih! Orang-orang tolol tidak mau berpikir! Keluarkan ratapanmu pengantar
kematian mereka!”
Mendengar
perintah Datuk Lembah Akhirat maka Dewa Sedih meraung keras. “Sang surya
tertutup rembulan. Orang menyebutnya gerhana! Aku menyebutnya malapetaka!
Hatiku sedih! Hik… hik… hik! Hati manusia tertutup kebodohan. Otak manusia
tertindih batu ketololan! Hatiku sedih! Orang-orang golongan putih apa yang kau
cari di tepi barat Telaga Gajah-mungkur! Apa kalian tidak melihat pertanda
alam? Kalian bernasib buruk. Aku meratap karena kalian akan mati tak berkubur!
Hik… hik… hik!”
Baru saja
Dewa Sedih hentikan tangisnya, tiba-tiba dari belakang sana terdengar suara
orang menggerung. Lalu ada anak kecil ikut-ikutan menangis meniru ratapan Dewa
Sedih.
“Orang
pandai menggaruk kepalanya. Orang tolol menggaruk selangkangannya! Aku sedih!
Hik… hik… hik! Para tokoh silat sesat golongan hitam! Apa yang kau cari di tepi
barat Telaga Gajahmungkur ini? Di dalam gelap gerhana matahari tidakkah kalian
lihat pertanda alam? Salah seorang dari kalian menggaruk tiada henti hingga
auratnya bengkak dan lecet! Hatiku sedih! Apa kalian semua mau ketularan
kegatalan dan lecet barang masing-masing? Hik… hik… hik!”
Beberapa
orang keluarkan suara tertahan. Setan Ngompol terkekeh-kekeh hingga mancur air
kencingnya. Sinto Gendeng cepat menutup mulutnya namun tak urung suara
cekikikannya masih membersit keluar. Datuk Lembah Akhirat pelototkan mata.
Dewa
Sedih kerutkan kening mendengar ratap tangis itu. Pengiring Mayat Muka Hitam yang
sadar kalau dirinya yang dituju orang dengan ratapan tadi menyumpah
habis-habisan. Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba menggembor keras. Ketiga orang
ini, diikuti oleh yang Lain-lain memandang ke jurusan datangnya suara tangisan.
Yang menangis ternyata adalah Naga Kuning si bocah konyol yang sebenarnya
berusia 120 tahun!
“Pengiring
Mayat Muka Hitam!” berseru Datuk
Lembah
Akhirat. “Bocah berambut jabrik ini berani mempermalukan dirimu! Apa kau diam
saja?!”
“Tidak
Datuk! Saya akan membunuhnya saat ini juga!” Jawab si muka hitam. Lalu
sementara tangan kirinya terus menggaruk dia angkat tangan kanan. Siap
melepaskan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
“Muka
hitam! Jangan berlaku tolol! Kalau kau bunuh diriku seumur-umur kau tidak akan
mendapat obat penghilang gatal di anumu itu! Hik… hik… hik! Kau akan mati
dengan kemaluan ledes! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!”
maki Pengiring Mayat Muka Hitam sambil menggaruk bagian dalam pakaiannya
sebelah bawah. Diam-diam hatinya menjadi bimbang. Mengapa bocah itu mengetahui
tepat bagian auratnya yang gatal. “Janganjangan dia yang punya pekerjaan…!” Si
muka hitam tak menunggu lama karena saat itu juga terdengar Naga Kuning
berkata.
“Tiga
ekor babi montok itu aku yang melepasnya di Lembah Akhirat! Kau tidak tahu
kalau sebelumnya anunya sudah kupoles dengan daun gatal-gatal. Hik… hik… hik!
Aku melihat langit! Aku melihat anunya babi! Aku melihat barang antik
kegatalan! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
“Anak
jahanam! Jadi kau yang punya pekerjaan!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam.
Walau rasa gatal-nya tidak tertahankan namun amarahnya juga tak bisa
dikendalikan. Laksana terbang orang ini melompat dari kudanya, berkelebat ke
arah Naga Kuning seraya lepaskan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!
Sempat si
bocah terkena maka tubuhnya akan berubah menjadi debu berwarna hitam.
“Tahan!”
seru Naga Kuning. Di tangan kanannya bocah itu memegang sebuah bumbung bambu
sepanjang dua jengkal. Bumbung ini diacungkannya lalu berkata. “Di dalam
bumbung ada cairan pemusnah rasa gatal! Jika kau mau bertobat dan menyeberang
ke pihak kami, cairan ini akan kuberikan padamu. Kalau tidak kau rasakan
sendiri. Seumur-umur sampai mati kau akan menggaruk terus. Barangmu akan ledes!
Apa gunanya hidup sengsara seperti itu! Kemaluanmu sudah ketiban gerhana! Hik…
hik… hik!”
“Keparat!
Kubunuh kau!” teriak si muka hitam namun saat itu dia memang sudah tidak tahan
lagi. Makin digaruk makin gatal. Tidak digaruk mau gila rasanya. Digaruk malah
tambah menjadi-jadi. Hatinya bimbang. Dia melirik ke arah Datuk Lembah Akhirat.
Sang Datuk menyeringai dan kedipkan mata. Melihat isyarat licik itu si muka
hitam segera menghampiri Naga Kuning. “Kebaikanmu akan kuterima. Aku bertobat
dan berjanji akan membantu pihakmu asal obat penangkal gatal itu kau serahkan
padaku!”
“Bagus!
Ini silahkan ambil bumbung. Tapi syaratnya harus segera diguyurkan ke auratmu
di bawah perut. Pasti mustajab menghilangkan rasa gatal! Selain itu juga
menambah kejantananmu! Hik… hik… hik! Lakukan di sini juga agar benar-benar
mantap!”
Tanpa
menunggu lebih lama Pengiring Mayat Muka Hitam segera sambar bumbung bambu. Dia
menyelinap ke tempat gelap. Di sini dia singsingkan jubahnya ke atas lalu
susupkan bumbung bambu ke bawah perutnya. Cairan dalam bumbung itu dituangnya
sampai habis. Terasa sejuk dingin. “Ah, anak keparat itu tidak berdusta. Aku
pasti sembuh!” kata si muka hitam dalam hati sambil tersenyum lega. Tapi
tiba-tiba senyumnya lenyap seperti direnggut setan!. Dari mulutnya meledak
teriakan dahsyat. Auratnya di bawah perut yang barusan diguyur cairan terasa
panas laksana dibakar.
“Jahanam!
Cairan apa yang kau berikan padaku!” Teriak si muka hitam. Lupa diri dan tak
perduli begitu banyak mata memperhatikannya Pengiring Mayat Muka Hitam
singkapkan jubah hitamnya. Melompat mencak-mencak kian kemari. Dia kaget
setengah mati dan menjerit ketika melihat barangnya telah berubah bengkak
gembung hampir sebesar kelapa dan berwarna merah seperti udang rebus! Dan
celakanya rasa gatal bukannya hilang malah bertambah hebat! Si muka hitam
terbungkuk-bungkuk seolah ada beban berat menggandul di selangkangannya!
Naga
Kuning tertawa cekikikan, Iblis Putih Ratu Pesolek yang berada di dekatnya
ajukan pertanyaan. “Anak brengsek! Cairan apa yang kau berikan pada jahanam
muka hitam itu?”
“Air cabe
kucampur dengan racikan daun sembung! Biar dia rasa. Hik… hik… hik!”
“Anak
sialan! Tidak heran kalau barangnya gembung bengkak dan merah! Hik… hik… hik!
Mau kencing aku melihat kelakuanmu!” ujar kekasih Dewa Tuak itu. Setan Ngompol
yang melihat apa yang terjadi langsung saja beser habis-habisan.
Pengiring
Mayat Muka Hitam seperti orang gila ada, seperti orang kemasukan setan ada.
Lari sana lari sini sambil berteriak-teriak. Lalu jatuhkan diri di tanah
berguling-guling. Kemudian dia bangkit berdiri. Lari ke arah sebatang pohon.
Pada puncak rasa gatal dan sakit yang tidak bisa ditahannya lagi, tanpa ada
yang bisa menduga atau mencegah orang ini hantamkan kepalanya ke batang pohon.
“Praaakkk!”
Pengiring
Mayat Muka Hitam terkapar di tanah dengan kepala rengkah! Suasana serta merta
hening mencekam. Lalu di kejauhan terdengar suara lolongan anjing. Udara tambah
gelap.
“Jahanam
tolol!” Datuk Lembah Akhirat memaki marah. “Pengiring Mayat Muka Merah! Bunuh
bocah keparat itu!”
“Anak
jahanam! Terima kematianmu!” Pengiring Mayat Muka Merah menghardik. Satu cahaya
merah melesat menggidikkan.
“Pukulan
Mencabut Jiwa Memusnah Raga!” seru Tua Gila.
“Naga
Kuning! Lekas menyingkir!”, teriak Sabai Nan Rancak. Nenek ini lalu tekuk
lututnya. Tangan kiri didorongkan ke arah Naga Kuning hingga anak ini terpental
satu tombak. Tangan kanan dihantamkan ke depan.
“Wusss!”
Pukulan
sakti Kipas Neraka berkiblat menyambuti pukulan maut Mencabut Jiwa Memusnah
Raga! Ter-nyata Sabai Nan Rancak tidak sendirian. Dari tempatnya berdiri Dewa
Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya gembung lalu menyembur!
“Curang
pengecut!” Satu suara membentak.
“Terhadap
manusia jahanam sepertimu mana berlaku segala macam peradatan!” teriak Dewa
Tuak.
Di depan
sana Pengiring Mayat Muka Merah tampak berdiri terhuyunghuyung sambil pegangi
dada. Dari sela mulutnya mengucur darah kental. Kepalanya yang berambut
keriting merah mengepulkan asap. Jubah merahnya penuh lubang akibat semburan
Dewa Tuak. Dari setiap lobang mengucur darah. Jelas orang ini terluka parah di
sebelah dalam dan sebelah luar tapi karena memiliki daya kekuatan luar biasa
dia masih bisa bertahan hidup.
Di bagian
lain Sabai Nan Rancak tegak laksana patung. Mukanya seputih kain kafan. Dia batuk-batuk
beberapa kali lalu terhuyung limbung. Temyata akibat bentrokan pukulan sakti
tadi si nenek juga mengalami cidera walau tidak parah.
“Sabai!”
seru Tua Gila seraya menghambur dan merangkul si nenek sebelum perempuan tua
itu rubuh ke tanah.
“Aku tak
apa-apa…” kata Sabai Nan Rancak sambil tersenyum karena hatinya mendadak merasa
tenteram dalam pelukan Tua Gila. Bagaimanapun bencinya dia terhadap lelaki itu
namun Tua Gila adalah orang yang pernah dicintainya dan dari siapa dia
mendapatkan dua orang anak!
“Jangan
bicara dulu. Biaraku salurkan hawa pengobatan!” kata Tua Gila lalu alirkan
tenaga dalamnya ke punggung dan dada Sabai Nan Rancak. Saat itu kalaupun mati
rasanya si nenek ikhlas karena mati dalam pelukan Tua Gila. Melihat kejadian
itu Sinto Gendeng mendengus. “Huh! Past) nenek gatal itu hanya berpura-pura.
Supaya ditolong dan dipeluk si Sukat Tandika!” Sinto Gendeng membuang muka ke
jurusan lain, tak mau memperhatikan Tua Gila yang tengah merangkul Sabai Nan
Rancak sambil mengalirkan tenaga dalamnya.
“Kau
apakan ibuku!” Bululani alias iblis Pemalu berteriak marah. Lalu orang hanya
melihat satu bayangan biru berkelebat. Dan “praaakkk!” Tubuh Pengiring Mayat
Muka Merah terbanting ke tanah. Tak berkutik lagi. Dia menemui ajal dengan
kepala pecah akibat geprakan tangan kanan Bululani yang dengan telak menghantam
keningnya. Seperti diketahui Pengiring Mayat Muka Merah adalah pembantu Datuk
Lembah Akhirat berkepandaian tinggi. Namun akibat cidera hantaman dua lawan
tadi dalam keadaan lim-bung dia telah berlaku lengah. Kelalaian ini harus
dibayarnya dengan nyawanya.
************************
Tua Gila
mendukung Sabai Nan Rancak ke tempat aman. Berada dalam pelukan kekasih dan
ayah dari dua anaknya itu semua rasa dendam kesumat lenyap dari dalam diri si
nenek. Malah dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca Sabai berkata. “Sukat,
mengapa begini buruk jalan hidup kita. Mengapa menyedihkan sekali untung
perasaan kita….”
“Tabahkan
hatimu Sabai. Jangan bicara dulu. Nanti ada saatnya kita bicara panjang lebar.
Tujuh hari tujuh malam kalau kau suka!”
Sabai Nan
Rancak tersenyum. “Memangnya…. Rencana apa yang ada dalam benakmu Sukat…?”
“Sssshhh,
sudah jangan banyak bicara dulu.” Saat itu Tua Gila ingin sekali mendekap dan
menciumi wajah si nenek. Walau dia memang pernah menyianyiakan perempuan itu
namun saat itu di lubuk hatinya yang terdalam disadarinya dari sekian banyak
gadis di masa mudanya yang menjadi buah hatinya memang hanya Sabai Nan Rancak
seoranglah satu-satunya perempuan yang benar-benar dikasihinya. Tidak dapat
menahan hati, Tua Gila rundukkan kepala hendak mencium kening Sabai Nan Rancak.
Namun
saat itu tiba-tiba terdengar suara menggidikkan “Claak… claak… claak” berulang
kali. Berpaling ke kiri kagetlah Tua Gila. Satu sosok aneh bergerak dengan dua
tangan di tanah sedang dua kaki pipih seperti pedang tipis membentuk gerakan
menjaga! laksana gunting raksasa!
“Iblis
Jagal Makam Setan!” seru Tua Gila seraya cepat-cepat melompat ke kiri tapi
masih terlambat.
“Craass!”
Rambut
putih Sabai Nan Rancak yang tergerai riap-riapan putus sepanjang dua jengkal.
Si nenek terpekik. Tua Gila berteriak marah. Jagal iblis Makam Setan tertawa
bergelak. Dengan dua tangan masih menjejak tanah sementara dua kaki terus
bergerak kian kemari dia berkata. “Aku mungkin mengampuni nyawa salah satu dari
kalian asalkan Sabai Nan Rancak mengembalikan padaku Mantel Sakti dan Mutiara
Setan yang pernah didapatkannya dariku secara menipu!”
Tua Gila
memandang pada Sabai Nan Rancak. Si nenek yang tahu arti pandangan itu
menjawab. “Mantel dan mutiara itu tak ada padaku. Sudan kuserahkan beberapa
hari lalu pada Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang….”
“Tipu
muslihat macam apa yang tengah kau jalankan Sabai?!” membentak Jagal iblis
Makam Setan lalu dua kakinya menyambar ganas. Kalau tidak cepat si nenek
menyingkir niscaya rambut atau kepalanya akan terbabat putus.
“Dia
memang menipumu Jagal iblis! Sekaligus memfitnahku!” Yang bicara dengan suara
lantang ini adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Mantel dan mutiaramu ada padanya!
Kalau dia tidak mau memberikan terpaksa kita rampas bersama nyawa anjingnya
sekalian!”
“Setuju!”
teriak Jagal iblis Makam Setan. Dia tertawa mengekeh lalu sekali berkelebat dua
kakinya yang seperti sepasang pedang tajam itu membabat ke arah leher Tua Gila!
Dari sebelah kiri Sutan Alam Rajo Di Bumi hantamkan tangan kanannya melancarkan
pukulan maut ke arah dada Sabai Nan Rancak. inilah pukulan yang disebut
Malaikat Maut Mendera Bumi. jangankan tubuh manusia, dinding batu pun sanggup
dibuat bolong. Dalam keadaan terluka Sabai Nan Rancak angkat tangan kanannya
menangkis dengan pukulan Kipas Neraka. Namun sebelum sempat menghantam
tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan hitam disertai berkiblatnya dua
belas larik sinar hitam. Bukan saja membendung serangan Sutan Alam tapi
sekaligus menghantamnya dengan dahsyat. Hawa panas menggebu bukan alang
kepalang. Jagal iblis Makam Setan ikut terkejut dan sama-sama menyingkir.
“Dua
Belas Jalur Kematian!” seru Sutan Alam kaget begitu mengenali pukulan sakti
yang hampir merenggut nyawanya tadi. Sepasang matanya yang juling bertambah
jereng.
Memandang
ke depan dia melihat seorang tinggi besar berambut kasar seperti ijuk. Muka
orang ini seram sekali. Alisnya hanya merupakan satu garis panjang, seolah
membagi mukanya menjadi dua. Pada keningnya ada enam buah lobang sangat hitam.
Lo-bang yang sama juga terdapat tiga di pipi kiri dan tiga di pipi kanan. Yang
sangat mengerikan dari makhluk ini adalah bahu kanannya. Bahu itu berlobang
besar, tembus sampai ke dada.
“Hantu
Balak Anam Dari Si Junjung!” teriak Sabai Nan Rancak. Terima kasih kau telah
menyelamatkanku!”
Si tinggi
besar yang ternyata adalah Hantu Balak Anam yang selama ini mencurigai Sabai
Nan Rancak tertawa lebar dan kedipkan mata. “Hart ini aku melihat sendiri bahwa
kau bukanlah orang yang patut dicurigai dan dijadikan musuh! Aku tahu betul
sekarang. Sutan Alam keparat ini adalah biang kerok kematian semua temanku di
Pulau Andalas! Dia juga yang membuat tubuhku sampai cacat berlobang begini
rupa! Di saat gerhana matahari ini aku akan membalas segala dendam kesumat!”
“Syukur
kalau kau sudah tahu!” sahut Sabai Nan Rancak.
Di atas
kereta Datuk Lembah Akhirat berteriak marah. “Sutan Alam! Lekas kau singkirkan
makhluk buruk yang merusak pemandangan itu!”
“Datuk,
kau tak usah khawatir!” jawab Sutan Alam sambil menyeringai. Seringainya tampak
aneh sekali ini. “Aku bukan saja akan membunuh hantu kesasar, ini tapi juga
memaklumkan diri bahwa mulai saat ini akulah yang menjadi pimpinan tertinggi di
tempat ini! Semua harus tunduk padaku! Termasuk kau Suto Angil! Lembah Akhirat berada
di bawah kekuasaanku. Akulah sekarang yang menjadi datuk dari semua datuk di
tanah Jawa dan Pulau Andalas!”
“Suto
Abang! Apa maksudmu!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Mukanya yang belang tiga
seolah berubah menjadi setan menyeramkan. Semua orang yang ada di tempat itu
juga menjadi heran mendengar pernyataan Sutan Alam Rajo Di Bumi.
*********************
Tujuh
Sutan
Alam Raja Di Bumi tidak menjawab. Dengan tenang dia memasukkan tangan kanannya
ke saku jubah putih. Lalu matanya yang juling lemparkan sekilas kerlingan pada
kakaknya. Sambil menyeringai dia keluarkan sepasang sarung tangan terbuat dari
kulit ular berwarna merah, hitam dan hijau. Terbelalak mata Datuk Lembah
Akhirat melihat benda yang ada di tangan adiknya itu. Segera dia meraba saku
pakaiannya sendiri.
“Suto
Angil! Sekian lama kau menipu memperalat-ku. Nyawaku selalu diujung tanduk
karena menuruti apa perintahmu. Saat ini gerhana matahari menjadi saksi aku
mengambil kekuasaanmu sebagai Datuk di Lembah Akhirat. Jika kau berani
membangkang terpaksa aku mengambil nyawamu!”
“Jahanam
setan alas!” sumpah Datuk Lembah Akhirat dengan mata berapiapi. “Jadi kau yang
membunuh Pengiring Mayat Muka Hijau di ruang penyimpanan senjata pusaka. Karena
dia memergokimu ketika mencuri Sarung Tangan Penyedot Batin!”
“Ah,
ternyata kau sudah tahu jalan ceritanya,” ujar Sutan Alam Rajo Di Bumi
menyahuti ucapan kakaknya sambil gerakkan jari-jari tangannya yang kini
terbungkus sarung tangan kulit ular kobra. “Berarti jalan cerita selanjutnya
tak perlu kuterangkan!” Sutan Alam memandang ke arah rombongan para tokoh silat
golongan putih. “Para sahabat, rasanya aku tidak perlu membeberkan bahwa semua
pembunuhan yang terjadi secara aneh atas diri para tokoh silat baik di Jawa
maupun Pulau Andalas d iota ki dan didalangi oleh Datuk Lembah Akhirat! Aku
telah kena tipu dan siasatnya. Satu-satunya cara untuk menebus dosaku adalah
dengan bertindak selaku pimpinan kalian untuk menumpas datuk biadab ini. Aku
memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin. Berarti kekuasaan tertinggi rimba
persilatan berada di tanganku! Aku harap kalian menyatakan diri untuk bergabung
dibawah pimpinanku!”
“Aku
bergabung bersamamu!” Berseru seseorang disertai berkelebatnya satu bayangan
hitam dan tegak di samping Sutan Alam. Orang ini ternyata adalah si nenek Sika
Sure Jelantik.
“Sika
Sure Jelantik, aku tidak tahu apa yang ada di dalam otak tololmu! Mungkin kau
mengira adikku Suto Abang benar-benar akan menjadi raja di raja rimba
persilatan karena dia kini memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin! Ha… ha… ha!
Terlalu banyak orang tolol di tempat ini! Terlalu banyak pengkhianat! Kalian
berdua akan mampus secara mengenaskan!”
Dari
dalam saku pakaian hitamnya Datuk Lembah Akhirat keluarkan satu gulungan kain
putih. Begitu gulungan kain dibuka terlihatlah sepasang sarung tangan kulit
ular yang bentuk dan warnanya sama dengan yang dikenakan Sutan Alam Rajo Di
Bumi.
Sutan
Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa besar melihat Datuk Lembah Akhirat
memegang dan mengenakan dua sarung tangan itu. Dengan wajah mengejek dia
berkata. “Sarung tangan yang kau miliki itu adalah palsu Suto Angil! Malam tadi
aku masuk ke dalam tempat penyirnpanan senjata rahasia. Kuambil sarung tangan
asli dari dalam peti besi coklat. Kuganti dengan yang palsu! Ha… ha… ha! Segala
kekuatan ada padaku sekarang! Apa kau masih tidak mau mengakui dan tunduk
padaku?! Atau ingin melawan minta mampus?!”
Datuk
Lembah Akhirat tatap tampang adiknya sesaat lalu tertawa gelakgelak. “Aku
tidak setolol yang kau sangka Suto Abang! Kau boleh mencuri sarung tangan dalam
peti besi
sampai
sepuluh kali. Karena sarung tangan yang kuletakkan di situ justru adalah sarung
tangan palsu! Yang ini yang asli! Kusembunyikan di tempat lain! Ha… ha… ha!”
Berubahlah
paras Sutan Alam mendengar kata-kata kakaknya itu.
“Suto
Abang, dalam soal tipu menipu kau harus belajar dulu padaku! Kalau kau tidak
percaya buka matamu lebar-lebar! Lihat!” Datuk Lembah Akhirat melompat dari
atas kereta. Tubuhnya melayang ke arah Sika Sure Jelantik. Tangan kanannya
dihantamkan. Satu gelombang angin yang bukan olah-olah dahsyatnya menderu.
Beberapa orang yang berada di dekat situ merasa bergetar tubuh masing-masing
akibat hebatnya tenaga dalam sang Datuk.
Melihat
dirinya diserang Sika Sure Jelantik tak tinggal diam. Nenek ini kerahkan tenaga
dalam lalu balas menghantam dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sinar
hitam berkiblat.
Sika Sure
Jelantik berseru kaget ketika merasakan seolah ada satu gunung besar melabrak
tubuhnya hingga terpental. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu tangan kanan
Datuk Lembah Akhirat yang mengenakan sarung tangan kulit ular kobra tahu-tahu
sudah menempel di lengan kanannya. Si nenek menjerit keras. Tubuhnya terkapar
lunglai di tanah tanpa daya karena seluruh tenaga dalamnya telah tersedot dan
masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat! Sesaat kemudian pukulan yang tadi
dilepaskan si nenek datang berbalik menghantam tubuhnya. “Wusss!” Langsung
sosok Sika Sure Jelantik tenggelam dalam kobaran api berwarna hitam. Begitu api
padam yang tinggal hanyalah tebaran debu berwarna hitam.
Pucatlah
tampang Sutan Alam Rajo Di Bumi. Para tokoh silat golongan putih menyaksikan
kejadian itu dengan mata tak berkesip dan tengkuk dingin! Tua Gila menarik
nafas berulang kali menyaksikan kematian bekas kekasihnya itu. Sinto Gendeng
memperhatikan sikap si kakek dengan muka cemberut.
Datuk
Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak lalu berpaling pada adiknya yang saat itu
tengah pandangi sepasang sarung tangan ular yang dikenakannya dengan mata
melotot.
“Suto
Abang, apa kau masih merasa datuk segala datuk, raja di raja rimba
persilatan?!”
Suto
Abang tak mampu menyahut. Rasa tak percaya ditindih pula oleh rasa takut. Dia
melirik ke kiri. Begitu melihat ada kesempatan dia segera berkelebat melarikan
diri. Cerdiknya dia sengaja kabur ke arah rombongan para tokoh golongan putih.
Namun Sutan Alam tidak mampu mengalahkan kecepatan gerakan Datuk Lembah Akhirat
yang kini memiliki tenaga dalam sulit diukur! Sekali berkelebat Datuk Lembah
Akhirat berhasil memotong lari Sutan Alam. Tangan kirinya berkelebat. Sutan
Alam berteriak ketika melihat satu pukulan begitu dekat menyambar ke arah batok
kepalanya. Tak ada kesempatan untuk mengelak. Terpaksa dia pergunakan tangan
kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua
tangan kakak beradik yang sama-sama memakai sarung tangan itu saling beradu.
Sutan Alam menjerit keras! Tangannya laksana disedot besi berani, menempel di
pergelangan tangan Suto Angil dan tak sanggup ditariknya. Dia kerahkan tenaga
dalam. Justru tambah celaka. Dari mulut, mata dan telinganya mengucur darah
segar! Dibarengi bentakan keras Datuk Lembah Akhirat dorong Sutan Alam hingga
orang ini terpental tiga tombak, jatuh bergedebuk di tanah becek. Sutan Alam
kelihatan mencoba bangkit tapi tubuhnya langsung rubuh. Seluruh tenaga luar
dalam yang dimilikinya telah disedot Datuk Lembah Akhirat! Sutan Alam mengerang
pendek lalu tak berkutik lagi. Nyawanya lepas!
“Sarung
Tangan Penyedot Batin…” ujar Kakek Segala Tahu dengan suara bergidik. “Ternyata
memang senjata itu ada pada si Datuk keparat itu. Ah….”
Tiba-tiba
ada orang menepuk caping di atas kepala Kakek Segala Tahu. Lalu terdengar suara
Sinto Gendeng. “Kita tak bisa tinggal diam. Sekalipun dia memiliki sarung
tangan jahanam itu, kalau diserbu bersama-sama masakan tidak bakal konyol! Aku
akan memberi tahu Dewa Tuak, Tua Gila, dan yang lain-lain….”
Kakek
Segala Tahu cepat pegang tangan si nenek, “Jangan tolol! Sarung Tangan Penyedot
Batin tak ada tandingannya. Kita bisa dibuat mati berdiri satu demi satu.
Sinto, kita harus selamatkan dulu muridmu! ingat nyanyian Nyanyuk Amber.
Manusia hadapi dengan manusia. Binatang hadapi dengan binatang! Yang gaib
hadapi dengan yang gaib! Aku punya firasat hanya muridmu yang bisa menghadapi
Datuk Lembah Akhirat!”
“Siapa
lagi yang mau berkhianat?” Tiba-tiba menggeledek suara Datuk Lembah Akhirat
sambil pandangi orang-orangnya satu persatu. Tak ada yang berani bergerak. Dewa
Sedih mengisak perlahan. Dewa Ke-tawa tertawa pendek. Sang Datuk berpaling pada
Hantu Balak Anam. “Giliranmu menerima kematian hantu jahanam!”
Walau
hatinya mendua, namun Hantu Balak Anam tidak unjukkan rasa takut. Dia mengumbar
tawa dan kerahkan tenaga dalam ke kepalanya. Dua belas lubang di mukanya
kelihatan memancarkan sinar menggidikkan, inilah ilmu kesaktian yang disebut
Dua Belas Jalur Kematian.
************************
Pada saat
Datuk Lembah Akhirat melompat turun menyerang Sika Sure Jelantik hal ini tidak
disia-siakan oleh Andamsuri dan Bidadari Angin Timur yang memang sejak
tadi-tadi mencari kesempatan.
“Kakak
Andamsuri! Ini kesempatan paling baik bagi kita menolong dua orang itu!
Mudah-mudahan kita berhasil!” kata Bidadari Angin Timur. Dari balik pakaian
birunya Bidadari Angin Timur keluarkan sebilah senjata bermata dua yang
memancarkan cahaya putih perak menyilaukan. Senjata ini bukan lain adalah Kapak
Maut Naga Geni 212 yang segera diserahkannya pada Andamsuri.
“Astaga!
Si pirang itu ternyata juga mencuri kapak muridku!” ujar Sinto Gendeng melihat
apa yang terjadi. Dia hendak berteriak marah tapi di sebelahnya Kakek Segala
Tahu segera berkata, “ingat nyanyian Nyanyuk Amber! Jangan tertipu pada apa
yang dilihat. Jangan tertipu pada kenyataan palsu!” Sinto Gendeng terpaksa
kancingkan mulutnya dan tahan gerak langkahnya. Setelah menyerahkan Kapak Maut
Naga Geni 212 pada Andamsuri, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur lalu
keluarkan Pedang Naga Suci 212. Sinar putih dingin berkiblat. Seperti diketahui
baik Andamsuri maupun Bidadari Angin Timur adalah dua orang yang memiliki
gerakan sangat cepat. Hingga apa yang mereka sudah atur berdua diharapkan tidak
akan menemui kegagalan.
Sesaat
kemudian satu bayangan biru dan kuning melesat ke atas kereta. Cahaya putih
dingin menyilaukan bertabur bersamaan dengan berkiblatnya cahaya putih perak
dan panas.
“Craaass!”.
Tali yang
mengikat dua pergelangan kaki Pen-dekar212 Wiro Sableng putus. Sebelum sang
pendekar jatuh ke lantai kereta Bidadari Angin Timur cepat menahan tubuh Wiro
dengan bahu kirinya. Sekali dia berkelebat maka gadis ini telah melayang ke
bawah kereta. Baru saja kakinya menginjak tanah tiba-tiba lima orang pengawal
bermuka hitam dan merah mengurung dan menyerbu dengan berbagai senjata.
“Bidadari
Angin Timur…. Terima kasih kau telah menolongku. Aku tidak akan melupakan hal
ini seumur hidupku!” Tiba-tiba satu suara menyeruak ke telinga gadis berambut
pirang. Bidadari Angin Timur seolah mendengar suara merdu dari sorga. Dia
kenali suara itu. Yang bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang ada di
panggulannya. Seolah mendapat satu kekuatan, Bidadari Angin Timur berteriak
dahsyat. Pedang Naga Suci 212 di tangan kanan dikiblatkan. Sinar putih dan hawa
dingin bertabur. Lima anak buah Datuk Lembah Akhirat menjerit susul menyusul.
Kelimanya tergeletak di tanah dengan tubuh cabik-cabik mandi darah!
Di bagian
lain kereta Andamsuri yang berusaha menolong Bujang Gila Tapak Sakti mengalami
kesulitan. Dia memang dengan mudah bisa menebas putus ikatan pada tangan dan
kaki pemuda gendut itu lalu melepaskan totokannya. Tapi tidak seperti Bidadari
Angin Timur yang enak saja memanggul Wiro, dia tidak mampu memanggul sosok
berbobot lebih dari 150 kati itu. Tak ada jalan lain. Tubuh Bujang Gila Tapak
Sakti didorongnya hingga jatuh ke tanah. Dia menyusul melompat turun seraya
berteriak agar ada yang membantu menyeret Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat
aman. Justru yang datang adalah empat orang pengawal anak buah Datuk Lembah
Akhirat!
Andamsuri
yang memang sudah gatal tangan untuk menghabisi orang-orang Lembah Akhirat
segera putar Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara seperti
ratusan tawon mengamuk menusuk telinga. Hawa panas menghampar. Hanya satu kali
menggebrak, ibu Puti Andini ini berhasil merobohkan keempat pengeroyoknya.
“Senjata luar biasa…” kata Andamsuri dalam hati mengagumi kehebatan Kapak Maut
Naga Geni 212. Dari samping berkelebat Panji. Dengan bantuan pemuda ini
Andamsuri segera menyeret Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman.
“Kalian
orang-orang hebat. Terima kasih telah menolongku…” tiba-tiba orang yang diseret
keluarkan ucapan. “Ah, mengapa jelek amat nasibku sampai diperlakukan orang
seperti ini…. Aduh panasnya udara! Hai, mana kipasku? Tolong carikan kipasku!
Astaga! Kopiah kuplukku mana?!”
“Gendut!
Jangan bicara tak karuan!” sentak Andamsuri walau dengan suara perlahan. Baru
saja dia ^berkata begitu tiba-tiba muncullah pemuda berjuluk Utusan Dari
Akhirat. Yang tanpa banyak bicara langsung saja membokong ke arah Andamsuri
dengan pukulan Gerhana Matahari.
Tiga
larik sinar hitam, kuning dan merah melesat menyambar dua orang yang sedang
sibuk menyeret tubuh berat Bujang Gila Tapak Sakti.
Panji
yang melihat datangnya bahaya berteriak. “Awas serangan!” Tapi terlambat.
“Celaka! Tamat riwayat kita berdua!”
“Siapa
sudi mati di tangan manusia jahat!” teriak Andamsuri lalu berlutut dan siap
menangkis dengan pukulan sakti yang selama ini sanggup menahan pukulan Kipas
Neraka. Namun apapun pukulan sakti yang dimiliki Andamsuri saat itu sudah
sangat terlambat
baginya
dan Panji untuk selamatkan diri dari bokongan Utusan Dari Akhirat Bahkan Bujang
Gila Tapak Sakti mungkin tidak ketolongan pula jiwanya!
Disaat
yang sangat genting itu tiba-tiba ada orang berteriak. “Tiarap!” Panji dan
Andamsuri serta merta jatuhkan diri di kiri kanan Bujang Gila Tapak Sakti.
Bersamaan dengan itu satu cahaya terang luar biasa menyambar dari samping.
Menyapu ke arah pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Pari Akhirat.
“Wusss!”
“Bumm!”
Tepi
barat Telaga Gajahmungkur bergetar hebat. Ratu Duyung tegak tergontai-gontai
namun dengan cepat bisa menguasai diri kembali begitu dia usapkan tangan kiri
di atas pakaian di mana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Cermin bulat
dimelintangkan di depan dada, siap menjaga segala kemungkinan.
Lima
langkah di depan Ratu Duyung, Utusan Akhirat tegak dengan sekujur tubuh
bergeletar. Mukanya seputih kain kafan dan dari sela bibirnya merembes keluar
darah segar. Dadanya mendenyut sakit bukan kepalang. Aliran darah dalam
tubuhnya terasa menyentak-nyentak.
“Ratu
Duyung….” Pemuda itu hanya sempat berucap pendek. Terhuyunghuyung dia memutar
tubuh lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan. Ratu Duyung cepat simpan cermin
bulatnya kembali lalu bergegas menolong Andamsuri dan Panji.
Panji
yang sejak tadi merisaukan Anggini berkata. “Kalian berdua harap dengar
baik-baik. Aku akan segera menuju Lembah Akhirat mencari Anggini. Kalau ayah
atau siapa saja mencariku katakan ke mana aku pergi.”
“Kau tak
bisa pergi sendirian. Terlalu berbahaya!” Melarang Andamsuri. Taps Panji tidak
perduli, terus saja tinggalkan tempat itu.
“Ah,
pemuda itu rupanya sudah jatuh hati pada murid Dewa Tuak,” kata Ratu Duyung.
Darah
Datuk Lembah Akhirat seperti mau muncrat menembus ubun-ubun ketika mengetahui
bagaimana lawan berhasil menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bujang
Gila Tapak Sakti. Apalagi ketika dia berpaling ternyata Hantu Balak Anam tak
ada lagi di depannya. Kemarahannya dijatuhkan pada Dewa Sedih dan Dewa Ketawa.
“Dua tua
bangka tak berguna! Dari tadi kalian diam saja! Padahal korban sudah berjatuhan
di pihak kita! Kalian menunggu apa lagi?!”
Dibentak
demikian rupa Dewa Sedih langsung menggerung keras dan meratap panjang dalam
keadaan berdiri. Sementara Dewa Ketawa bergoncanggoncang dada dan perut
gendutnya menahan tawa.
“Kau
melihat langit! Kau melihat kegelapan! Kau melihat gerhana matahari! Tapi
apakah kau melihat sekujur tubuhku terikat tak berdaya?! Hik… hik… hik! Aku
malu! Aku sedih…!”
“Apa yang
terjadi dengan dirimu!” bentak Datuk Lembah Akhirat.
“Tanyakan
pada matamu! Aku malu! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
Datuk
Lembah Akhirat dekati kakek itu. Begitu memperhatikan terkejutlah dia. Sekujur
tubuh Dewa Sedih ternyata telah dilibat benang halus berkilat mulai dari bahu
sampai ke pergelangan kaki. Ketika dia mengalihkan perhatian pada Dewa Ketawa,
kakek gendut di atas keledai ini ternyata mengalami nasib sama. Terikat sekujur
badannya. Malah
keledai
tunggangannya juga dalam keadaan terikat ke empat kakinya hingga tak bisa
bergerak!
“Jahanam!”
sumpah Datuk Lembah Akhirat.
“Kau
melihat! Tapi kau tidak menolong! Kau memaki tapi tidak bertindak! Hatiku
sedih! Hik… hik… hik!” ratap Dewa Sedih.
“Rupanya
kau ingin melihat kami jadi patung bego! Ha… ha… ha!” Dewa Ketawa tertawa
gelak-gelak.
Datuk
Lembah Akhirat menggembor marah. “Aku tahu siapa yang punya pekerjaan! Hanya
ada dua orang yang memiliki benang laknat seperti ini. Dewa Tuak dan tua Gila!”
Dia memandang berkeliling mencari-cari. Yang pertama dilihatnya dalam kegelapan
adalah Dewa Tuak yang saat itu bersama iblis Muda Ratu Pesolek siap
meninggalkan tempat itu menuju Lembah Akhirat guna mencari dan menyelamatkan
Anggini. Namun baru melangkah beberapa tindak di depan mereka sosok tinggi
besar Datuk Lembah Akhirat telah menghadang dan langsung hantamkan dua
tangannya.
“Wusss!
Wusss!”
Dua jalur
sinar tiga warna, merah, hitam dan hijau menderu dahsyat, inilah kehebatan
Datuk Lembah Akhirat. Kalau para pembantunya yang telah tewas hanya memiliki
pukulan maut satu warna maka dia sekaligus menguasai tiga warna! •
“Pukulan
Mencabut Jiwa Memusnah Raga!” teriak Dewa Tuak. Dia melompat ke kiri sedang
iblis Muda Ratu Pesolek menyingkir ke kanan. Dua pukulan maut lewat menghantam
udara kosong lalu menghajar pohon dan semak belukar di belakang sana. Pohon dan
semak langsung terbakar lalu berubah menjadi debu berwarna merah, hitam dan
hijau!
Dewa Tuak
menggigil menyaksikan apa yang terjadi. Dia segera teguk tuaknya untuk
tenangkan diri. Dari jurusan lain tiba-tiba iblis Putih Ratu Pesolek yang baru
saja lolos dari maut melangkah cepat mendekati Datuk Lembah Akhirat sambil
senyum-senyum. Dewa Tuak dan yang lain-lainnya jadi terkesiap kaget. “Eh, apa
yang mau dilakukannya?” pikir Dewa Tuak.
“Tua
bangka rongsokan! Kau benar-benar berani mampus!” teriak Datuk Lembah Akhirat
melihat si nenek melangkah mendatanginya. Dia angkat tangan kanan yang
bersarung, siap memukul. Tiba-tiba dia melihat satu keanehan yang membuat
matanya membeliak besar. Sosok iblis Putih Ratu Pesolek berubah menjadi satu
sosok gadis cantik bertubuh luar biasa gemuknya, melangkah ke arahnya dalam
keadaan bugil! Dadanya yang besar bergoyang-goyang. Perut-nya yang gemuk
bergoncang-goncang. Sepasang pinggul besar berlemak naik turun mengikuti
gerakan dua pangkal paha putih dan gempal.
Datuk
Lembah Akhirat usap kedua matanya, “Apa aku tidak bermimpi! Apa aku tidak salah
lihat?!” dia bertanya pada diri sendiri berulang kali, inilah kehebatan iblis
Putih atau iblis Muda Ratu Pesolek yang bisa merubah dirinya menjadi perempuan
sesuai dengan keinginannya. Datuk Lembah Akhirat mulai tergoda. Nafsu mesumnya
berkecamuk tak tertahankan. Tapi tiba-tiba dia ingat pada Buli-Buli alias
Bujang Gila Tapak Sakti yang telah menipunya.
“Jangan-jangan
orang hendak menipuku lagi,” pikir sang Datuk. Karenanya begitu gadis gemuk
telanjang itu tinggal dua langkah lagi dari hadapannya, Datuk Lembah Akhirat
hantamkan tangan kanannya, iblis Muda Ratu Pesolek menjerit keras. Tubuhnya
terlempar di tanah becek dalam bentuk aslinya yaitu sosok seorang nenek
berdandan medok.
Mengerang
panjang lalu terkulai. Dadanya amblas di arah jantung. Tenaga dalamnya terkuras
masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat!
************************
Di satu
tempat yang dirasakan aman Bidadari Angin Timur sandarkan Pendekar 212 Wiro
Sableng pada sebatang pohon. Andamsuri lalu memeriksa tubuh pemuda itu. Dia
berhasil menemukan tempat dimana Wiro sebelumnya ditotok. Tanpa membuang waktu
Andamsuri segera punahkan totokan itu. Seperti orang terbangun dari mimpi untuk
beberapa lamanya Wiro hanya memandangi Andamsuri dan Bidadari Angin Timur
dengan pandangan penuh terima kasih.
Lama-lama
Andamsuri menyadari bahwa lebih baik dia membiarkan Wiro berdua saja dengan
Bidadari Angin Timur. “Untuk sementara kalian aman di sini. Ini tentu senjata
mustika milikmu. Ambillah. Simpan baik-baik. Aku pergi dulu….” Andamsuri
letakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di atas pangkuan Wiro. Murid Eyang Sinto
Gendeng ini serasa mendapatkan nyawanya kembali. Sekian lama senjata itu
terpisah dari dirinya. Dengan cepat Wiro memegang gagang kapak. Karena tidak
memiliki kesaktian dan kekuatan, senjata itu terasa berat hingga agak susah baginya
menyelipkan di pinggang.
“Tunggu!”
ujar Bidadari Angin Timur. “Kita sudah memiliki Pedang Naga Suci 212. Pendekar
212 ada di sini! Saat paling tepat untuk mengobati dirinya. Tapi bagaimana cara
melakukannya?”
“Aku juga
tak tahu. Sebaiknya kita panggil Ratu Duyung. Mungkin dia bisa mendapatkan
petunjuk dari cermin saktinya! Kalian berdua tunggu di sini…” sahut Andamsuri.
“Sebentar…”
ujar Wiro. “Menurut perhitunganku malam ini musibah yang menimpa diriku telah
sembuh. Tapi mengapa….”
“Saat ini
bukan malam hari! Tapi siang hari!” menerangkan Bidadari Angin Timur.
“Aku tak
mengerti,”-ujar Wiro dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia
garuk-garuk kepala.
“Saat ini
sebenarnya pagi menjelang siang. Mata-hari mengalami kegelapan tertutup bulan.
Orang menyebutnya gerhana! itu sebabnya udara gelap seperti malam.”
“Aku
tetap tidak mengerti,” kata Wiro pula.
“Kau tak
perlu mengerti. Kakak Andamsuri harap kau lekas mencari Ratu Duyung dan
membawanya kemari….” Wiro hanya bisa tersenyum dan kembali garuk-garuk kepala
mendengar ucapan Bidadari Angin Timur itu.
************************
Teriakan
Dewa Tuak seperti hendak merobek langit gelap ketika dapatkan iblis Muda Ratu
Pesolek menggeletak mati di tanah becek di hadapannya. Kakek ini jatuhkan diri
lalu memeluki tubuh tak bernafas itu dengan mata berkaca-kaca. Mata yang
berkaca-kaca itu kemudian berubah laksana kobaran api.
Dewa Tuak
lempar satu dari dua bumbung bambu yang berada di panggulannya lalu melangkah
mendekati Datuk Lembah Akhirat.
“Datuk
jahanam! Iblis laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!”
Datuk
Lembah Akhirat ganda tertawa mendengar ucapan itu. Dia gerakgerakkan dua
tangannya yang bersarung seraya berkata. “Kalau kau memang nekad mau menyusul
kekasihmu si nenek jelek itu majulah mendekat!”
Dewa Tuak
tidak bodoh. Dia berhenti empat langkah di hadapan Datuk Lembah Akhirat.
Tiba-tiba kakek ini gerakkan tangan kanannya. Selarik sinar putih menderu
berkeluk-keluk di udara, itulah benang sakti andalannya. Ujung benang membuat
gerakan me-matuk kian kemari sementara bagian yang lain menyapu berusaha
menjerat tubuh Datuk Lembah Akhirat.
“Permainan
anak-anak apa yang hendak kau perlihatkan padaku Dewa Tuak!” ejek Datuk Lembah
Akhirat.
Dengan
tangannya yang bersarung dia berhasil menangkap ujung benang lalu secepat kilat
menariknya. Dewa Tuak berseru kaget dan terpaksa lepaskan benang saktinya
ketika dirasakannya tubuhnya ikut tertarik dan ada tenaganya yang tersedot
keluar. Dewa Tuak semburkan tuak dari dalam bumbung bambu ke arah lawan. Yang
diserang sengaja pentang dada. Semburan minuman keras itu bukan saja tidak
mampu mencapai sasarannya malah mental dan berbalik ke arah Dewa Tuak. Kalau
tidak cepat menghindar niscaya Dewa Tuak akan mengalami cidera. Dengan kalap
Dewa Tuak lepaskan pukulan-pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun semua pukulan itu mental kembali oleh kekuatan tenaga dalam Datuk Lembah
Akhirat yang bukan main tingginya.
“Dewa
Tuak, saatnya aku membalas semua seranganmu!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu,
“Wuutt….wuutt!” Tangannya kiri kanan bergerak memukul. Setiap pukulan
mengeluarkan daya dorong luar biasa seolah Dewa Tuak berkelahi melawan angin
topan yang datang menyapunya! Tokoh silat yang punya nama besar dalam rimba
persilatan ini hanya bisa bertahan tiga jurus. Di jurus ke empat, dalam keadaan
terhuyung-huyung dia tak mampu menyingkir selamatkan diri dari satu jotosan
yang menghantam ke arah dadanya. Untuk menangkis percuma saja karena sarung
tangan lawan pasti akan menyedot tenaga dalamnya sampai ludas!
Saat itu
terdengar suara berkerontang keras. Satu sinar putih berkiblat di udara
membentuk setengah lingkaran yang ujungnya laksana gerinda besi menyambar ke
batang leher Datuk Lembah Akhirat. Dari jurusan lain satu sinar sangat panas
dan berkilauan datang pula menghantam. Kakek Segala Tahu berusaha menyelamatkan
Dewa Tuak dengan serangan tongkat kayunya sementara Sinto Gendeng melompat
sambil lepaskan pukulan Sinar Matahari!
Ujung
tongkat Kakek Segala Tahu masih jauh dari leher yang jadi sasaran tiba-tiba ada
kekuatan tenaga dalam melesat dari tubuh-Datuk Lembah Akhirat. “Kraak!” Tongkat
kakek mata putih patah tiga mental ke udara. Kakek Segala Tahu terpaksa
melompat mundur sambil keluarkan seruan kaget!
Sinto
Gendeng juga mengalami nasib sama, malah hampir cidera kalau tidak membuat
gerakan jungkir balik di. udara sewaktu pukulan saktinya tiba-tiba membalik
menghantam dirinya kembali!
“Sinto,”
Kakek Segala Tahu berbisik. “Kita tidak mungkin menghadapi datuk keparat ini!
Aku punya firasat hanya muridmu yang sanggup melawannya. Aku akan mencari
pemuda itu!”
“Aku saja
yang mencarinya. Tadi kulihat ada dua orang menyelamatkan anak setan itu!
Mereka pasti membawanya ke satu tempat yang aman!” berkata Sinto Gendeng.
“Tidak
bisa! Kau tidak bisa meninggalkan orang-orang ini! Datuk keparat itu terlalu
tangguh! Dia harus dikurung untuk membatasi gerak!” kata Kakek Segala Tahu lalu
tanpa menunggu lagi dia berkelebat pergi dalam kegelapan.
Sinto
Gendeng sebenarnya ingin pergi dari situ bukan saja karena ingin menolong
muridnya tapi juga karena dia merasa kikuk berdekatan dengan Tua Gila alias
Sukat Tandika kekasih di masa mudanya itu. Apalagi tak jauh dari situ ada pula
Sabai Nan Rancak yang menjadi saingannya dalam memperebutkan cinta Tua Gila!
“Tua
bangka pengecut! Kau mau lari ke mana?!” teriak Datuk Lembah Akhirat ketika
dilihatnya Kakek Segala Tahu berkelebat pergi. Tapi maksudnya hendak mengejar
tertahan ketika beberapa orang berkepandaian tinggi mengurungnya. Tua Gila di
depan sekali.
“Siapa
dulu di antara kalian ingin mati lebih cepat!” Bertanya Datuk Lembah Akhirat
sambil sunggingkan seringai mengejek.
“Jangan
bergerak. Kalau dia mendekat baru hantam!” kata Tua Gila.
“Kalian
orang-orang golongan putih ternyata pengecut semua! Mau mengeroyokku hah?!
Silahkan maju ramai-ramai! Lebih dekat lebih baik!”
Tapi tak
ada yang bergerak.
“Pengecut!”
kertak Datuk Lembah Akhirat! “Kalau kalian tidak berani maju biar aku yang
menjemput nyawa kalian!” Didahului suara menggembor keras sang Datuk melompat
ke arah orang-orang yang mengurungnya. Hantam!” teriak Tua Gila.
*********************
Delapan
Begitu
Ratu Duyung dan Andamsuri muncul, Bidadari Angin Timur segera berkata. “Pedang
Naga Suci 212 sudah di tangan. Namun kami tidak tahu bagaimana caranya menolong
Pendekar 212, Mungkin kau bisa dapatkan petunjuk lewat cermin saktimu!”
Ratu
Duyung yang merasa paling bertanggung jawab atas musibah yang menimpa Wiro
segera saja keluarkan cermin bulatnya. Lalu gadis ini kerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Tak lupa dia meraba Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik dada
pakaiannya. Dia menatap tak berkesip ke dalam cermin bulat. Seperti diketahui
sejak peristiwa hubungannya dengan Wiro tempo hari dia mengalami kesulitan
untuk melihat atau meminta petunjuk pada cermin sakti, Tapi saat itu karena
kekuatan Kitab Wasiat Malaikat yang ada padanya bayangan petunjuk dalam cermin
muncul dengan cepat.
“Aku
melihat dada tanpa pakaian. Aku melihat rajah 212….” Ratu Duyung mengatakan
apa-apa yang dilihatnya di cermin. “Aku melihat Pedang Naga Suci 212 menukik.
Ujungnya menghunjam lembut di atas dada. Di atas rajah 212 tepat pada angka 1.
Satu adalah lambang Yang Maha Tunggal, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa. Ada
darah mengucur…. Darah berwarna biru. Aku melihat kepulan asap. Sosok tubuh
tanpa pakaian itu bergerak. Ada suara dahsyat. Suara mengaum….” Cermin di
tangan Ratu Duyung bergetar keras. Getaran menjalar ke seluruh tubuh gadis
cantik itu. Ratu Duyung terpekik. Cermin sakti terlepas dari tangannya. Sebelum
jatuh ke tanah satu bayangan berkelebat menangkap cermin sakti itu. Yang melakukan
ternyata adalah Kakek Segala Tahu yang mendadak muncul di tempat itu. Si kakek
serahkan cermin bulat pada Ratu Duyung. “Aku sempat mendengar semua ucapanmu.
Lekas lakukan seperti apa yang kau lihat di dalam cermin!”
“Siapa
yang melakukan?” tanya Bidadari Angin Timur walau saat itu dia yang memegang
Pedang Naga Suci 212. Ratu Duyung tak berani menjawab. Tiba-tiba satu bayangan
berkelebat dari kegelapan. “Biar aku yang melakukan. Kalian beri petunjuk agar
tidak salah!”
Yang
datang adalah Puti Andini. Sesaat Bidadari Angin Timur merasa bimbang. Tapi
akhirnya pedang sakti diangsurkannya juga kepada Puti Andini.
Cucu Tua
Gila ini pegang gagang pedang sakti dengan kedua tangannya. Ujungnya yang
runcing diarahkan ke pertengahan dada Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk
tersandar di pohon, tepat di rajah angka 1. Semua orang menyaksikan bagaimana
tangan gadis yang berjuluk Dewi Payung Tujuh itu tampak bergetar. Murid Sinto
Gendeng sendiri duduk tersandar di pohon laksana dipantek. Tak berani bergerak
bahkan mungkin tak berani bernafas. Mukanya pucat pasi. Tangan kanannya sudah
gatal hendak menggaruk kepala! Kalau semua apa yang dilakukan orang-orang ini
gagal, celakalah dia!
“Jangan
tegang anakku! Kau bisa melakukannya…” bisik Andamsuri pada anaknya itu. Seolah
mendapat kekuatan rasa tegang Puti Andini segera lenyap. Dua tangannya menjadi
sangat kukuh, perlahan, hati-hati tetapi mantap Puti Andini tusukkan ujung
Pedang Naga Suci 212. Hawa dingin luar biasa menyambar dari ujung pedang.
Menembus masuk melewati kulit, daging dan tulang dada Pendekar 212. Kepulan
asap halus menyeruak di permukaan dada sang pendekar. Pada saat itulah
sekonyong-konyong sebuah benda hitam menebar bau busuk melesat di udara.
“Claakkk… claakkk… claakkk!” Suara aneh disertai tawa bergelak merobek
kesunyian dan ketegangan di tempat itu. Lalu ada satu sambaran angin amat keras
membuat Puti Andini terdorong satu langkah ke samping. Kalau Kakak Segala Tahu
tidak cepat mengibaskan caping bambunya niscaya Puti Andini terjengkang ke
tanah.
Andamsuri
berteriak marah. Kakek Segala Tahu melintangkan caping di depan dada. Kepala
didongakkan. Puti Andini cepat imbangi diri seraya tukikkan Pedang Naga Suci
212 dalam jurus yang disebut Pedang Dewa Menukik Bumi. Dalam kuda-kuda seperti
itu dia bisa membuat tujuh gerakan menyerang secara kilat. Pendekar 212 Wiro
Sableng yang duduk tersandar di pohon menatap dengan mata mendelik. Nafasnya
mendadak jadi turun naik oleh marah dan juga khawatir. Ratu Duyung segera
keluarkan kembali cermin sakti yang barusan disimpannya. Sementara Bidadari
Angin Timur langsung mengambil Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang
Wiro. “Aku. pinjam senjatamu. Manusia satu ini sangat berbahaya….” Murid Sinto
Gendeng hanya bisa anggukkan kepala.
Di
hadapan orang-orang itu tegak tangan ke bawah kaki ke atas Jagal Iblis Makam
Setan. Sepasang kaki tulangnya tiada henti digerak-gerakkan seperti gun-ting.
“Claakkk! Claakkk… Claakkk!”
“Nasib
kehidupan dan kematian manusia sudah ditentukan! Tapi aku Jagal Iblis Makam
Setan bisa merubah semudah membalikkan telapak tangan! Gadis yang memegang
pedang, serahkan senjata itu padaku. Niscaya umurmu panjang dan kuampuni nyawa
semua orang yang ada di sini!”
Dari
bawah pohon terdengar suara mendengus lalu tawa bergelak. “Aku sering ketemu
Malaikat Maut. Tapi keadaannya tidak buruk dan bau sepertimu! Berdiri saja
belum becus! Kalau kau kencing dalam keadaan seperti itu kau bisabisa minum
kencingmu sendiri! Ha… ha… ha!”
Semua
orang tertegun mendengar ucapan dan gelak tawa itu. Karena yang barusan bicara
mengejek bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jagal
iblis Makam Setan balas tertawa. “Pendekar malang I Sekian lama hidup tersiksa
saat ini kau sudah bisa jual omongan besar! Sebentar lagi aku akan mengakhiri derita
hidupmu dengan mencabut selembar nyawamu!” Habis berkata begitu kakek berkaki
tulang ini berpaling pada Puti Andini. “Gadis cantik, kau tunggu apa lagi.
Serahkan padaku Pedang Naga Suci 212. Atau mungkin kau mau menyerahkan sambil
kita berguling-guling di atas ranjang? Hik… hik… hik!”
Paras
Puti Andini menjadi merah padam. Saat itu ingin sekali dia menyerang si kakek
namun berarti rencana pertolongan atas diri Wiro menjadi tertunda. Andamsuri
maklum apa yang terpikir oleh puterinya itu. Dia bergerak ke hadapan Jagal
Iblis Makam Setan. “Aku tidak dapat melihat tampangmu dengan jelas.
Apa kau
bisa berdiri di atas kakimu barang sebentar agar penglihatanku bisa dipertegas.
Gadis itu adalah anakku. Mungkin kau memang cukup pantas kujadikan mantu!”
“Ibu!” teriak
Puti Andini seperti tidak percaya akan pendengarannya dan mengira Andamsuri
memang bermaksud culas hendak mengorbankan dirinya.
Jagal
iblis Makam Setan tertawa bergelak. “Wuuut!” Tubuhnya melesat ke udara. Sesaat
lagi sepasang kaki tulangnya hendak menjejak tanah tiba-tiba Andamsuri membuat
gerakan berlutut. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke depan.
“Wuss!”
Cahaya
merah berkiblat. Jagal iblis Makam Setan menggembor marah. Tubuhnya melesat ke
udara lalu, “Claakkk!” Luar biasa cepatnya. Sepasang kaki gunting raksasanya
menyambar ke arah leher Andamsuri. “Breettt!” Kalau tidak dia berkelit tak
ampun Lagi le-hernya akan tertabas putus. Masih untung hanya pakaian kuningnya
yang tersambar robek di bagian bahu!
Ratu
Duyung tak tinggal diam. Bidadari Angin Timor bergerak dua langkah. Kakek
Segala Tahu masih tegak mendongak kepala. Tiba-tiba dua benda putih melesat di
udara, menyambar ke arah tenggorokan dan bagian bawah perut Jagal iblis Makam
Setan. Benar-benar serangan mematikan.
“Jahanam
pengecut! Siapa berani membokong!” teriak Jagal iblis Makam Setan seraya
melompat selamatkan diri. Benda yang menyambar ke arah bawah perutnya berhasil
dielakkan. Tapi yang ke arah leher akibat gerakannya mengelak tadi kini jadi
bersarang di dada.
“Mampus
kau!”
Jagal
iblis Makam Setan tertawa mengekeh. Dia sengaja busungkan dada. “Plukkk!” Benda
yang menghantam dirinya merobek dada pakaiannya tapi kemudian mental seolah
tubuhnya atos kebal!
Nenek
sakti dart Gunung Gede Sinto Gendeng pelototkan mata ketika melihat tusuk konde
perak beracun yang jadi andalannya tercampak di tanah dalam keadaan bengkok.
Melihat kejadian itu Pendekar 212 langsung ingat jubah saktinya yang dirampas
beberapa waktu lalu. Maka dia cepat berteriak. “Tua bangka bau itu mengenakan
jubah Kencono Geni di balik pakaiannya!”
“Aku
tidak percaya dia kebal seluruh badan!” ujar Bidadari Angin Timur. Si gadis
cepat mengukur. Paling dalam jubah yang dikenakan kakek jahat itu hanya sebatas
pinggang. Maka dengan Kapak Naga Geni 212 dia menyerbu, mengarahkan serangan
dari pinggang ke bawah. Sinar putih perak menyilaukan dan menghampar hawa panas
berkiblat berbuntal-buntal. Jagal iblis Makam Setan terus saja mengumbar tawa.
“Ha-ha!
Guru dan murid sudah berkumpul di sini untuk menerima kematian!” teriaknya.
Maksudnya adalah Sinto Gendeng dan Pendekar 212. “Mana kakek satunya si Tua
Gila itu!”
“Wuuuttt!”
Kapak
Naga Geni 212 membabat ke arah kaki. Jagal iblis Makam Setan masih tertawa tapi
cepat bergerak mundur. Kaget kakek bau ini bukan alang kepalang ketika dari
belakang berhembus angin deras membuat gerakannya mundur tertahan laksana
ter-hadang tembok batu! Ketika dia berpaling dia melihat Kakek Sega la Tahu
tegak mendongak ke langit gelap sambil kipaskipaskan caping bambunya. Ternyata
angin yang keluar dari caping inilah yang membuat dia tak mampu bergerak
mundur. Di saat yang sama Kapak Naga Geni 212 di tangan Bidadari Angin Timur
menyambar. Tak ada jalan lain. Jagal iblis Makam Setan terpaksa melompat ke
atas sambil berusaha menggunting tangan lawan yang memegang kapak, “Traangg!”
Suara
keras disertai percikan bunga api bertabur di kegelapan. Bidadari Angin Timur
terpekik. Getaran hebat yang membuat tangannya pedas panas menyebabkan Kapak
Naga Geni 212 terlepas mental dari pegangannya. Secepat kilat Sinto Gendeng
melompat ke udara menyelamatkan senjata itu. Kakek Sega la Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya.
Jagal
iblis Makam Setan begitu percaya akan kehebatan sepasang kaki tulangnya. Namun
sekali ini dia kena batunya. Dia meraung keras ketika melayang turun ke tanah
dia tak sanggup lagi berdiri wajar karena kaki kirinya yang barusan dihantam
Kapak Maut Naga Geni 212 kini telah buntung satu jengkal di bawah lutut!
Lelehlah nyali manusia satu ini. Di situ ada Kakek Segala Tahu dan Sinto
Gendeng. Lalu dua senjata sakti mandraguna yakni Kapak Naga Geni 212 dan Pedang
Naga Suci 212 sulit harus dihadapinya. Belum lagi Ratu Duyung dengan cermin
saktinya. Daripada mati konyol lebih baik kabur saja melarikan diri. Namun
semua orang yang ada disitu sudah dapat membaca apa yang ada dalam benak Jagal
Iblis Makam Setan.
Dengan
cepat mereka mengurung.
“Pengecut!
Kalian hanya berani main keroyok!” dengus Jagal iblis Makam Setan.
“Kakek
bau! Siapa main keroyok. Hadapi diriku!” kata Puti Andini. Lalu tanpa menunggu
gadis ini kiblatkan Pedang Naga Suci 212. Sinar putih menyabung dalam
kegelapan. Hawa dingin menghantam tubuh lawan hingga Jagal iblis Makam Setan
menggigil kertakkan geraham. Dia berkelebat cepat hindari gempuran pedang.
Namun gerakannya terbatas oleh kurungan lawan. Kakek ini hanya bisa bertahan
selama enam jurus. Pada jurus ke tujuh kaki kanannya terbabat putus dimakan
pedang sakti di tangan Puti Andini.
Tubuhnya
terbanting jatuh di tanah. Hawa dingin yang amat sangat membuat dia seolah
telah berubah menjadi es dan tak bisa bergerak sedikit pun. Dalam keadaan
seperti itu ujung Pedang Naga Suci 212 datang menusuk langsung menembus
lehernya!
Cucu Tua
Gila itu menggigil sewaktu mencabut pedang. Ketika pedang dicabut darah merah
masih menodai ujung senjata sakti itu. Namun sesaat kemudian terjadilah satu
keanehan. Darah berubah menjadi kepulan asap. Begitu kepulan asap lenyap Pedang
-Naga Suci 212 kembali dalam keadaan bersih tanpa noda. “Selamatkan jubah
Kencono Geni! Tanggalkan dari tubuhnya!” seru Wiro. Sinto Gendeng segera
lakukan apa yang dikatakan muridnya lalu, “Bukkk!” Si nenek tendang mayat Jagal
iblis Makam Setan hingga, mencelat jauh.
Sementara
itu di bagian lain tepi barat Telaga Gajahmungkur terdengar bentakan dan
jeritan-jeritan orang-orang yang berkelahi melawan Datuk Lembah Akhirat.
“Waktu
kita sempit! Lekas lakukan pengobatan terhadap Pendekar 212! Puti Andini!
Cepat!” Kakek Segala Tahu berseru sambil berulang kali mengusap wajahnya tanda
sangat cemas.
Seperti
tadi disaksikan semua orang yang ada di tempat itu, Puti Andini perlahan-lahan
dan hati-hati tusukkan ujung Pedang Naga Suci 212 ke pertengahan dada Wiro.
Tepat di rajah angka 1. Hawa dingin menembus masuk ke dalam tubuh murid Sinto
Gendeng hingga tubuh pemuda ini bergeletar. Matanya mendelik dan gerahamnya
bergemeletukkan. Lalu muncul kepulan asap putih. Ketika ujung pedang ditusukkan
lebih dalam Wiro mengerenyit kesakitan. Pedang Naga Suci 212 bergetar hebat dan
memancarkan sinar lebih terang. Dari bagian dada yang terluka mengucur darah
aneh berwarna biru. Seperti ada kekuatan yang mendorong, Pedang Naga Suci 212
bergerak mundur. Puti Andini cepat tarik tangannya yang memegang pedang. Lalu
satu cahaya merah seolah keluar dari tubuh Wiro, bergulung membungkus sekujur
permukaan badannya mulai dari rambut sampai ke kepala. Cahaya ini membuntal
menciut menjadi sebesar kepalan tangan. Sesaat cahaya ini mendekam di atas dada
tepat di ujung mata pedang. Tiba-tiba, “Wuuuss!” Gumpalan cahaya melesat ke
udara, menembus kegelapan hitam dan di satu tempat meledak hancur bertaburan
dengan suara menggelegar!
Belum
habis ketegangan yang mencekam tiba-tiba sosok Pendekar 212 bergerak. Dua
tangannya dikembangkan ke samping. Dua kaki bersila. Dua mata membeliak tidak
berkedip dan dari tenggorokannya terdengar suara menggeru aneh. Kemudian dari
mulut sang pendekar meledak suara menyerupai auman harimau dahsyat. Tepi barat
Telaga Gajahmungkur bergetar Air telaga membuat riakan-riakan bergelombang.
Puti
Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur terpekik. Kakek Segala Tahu
dongakkan kepala dengan mulut berkomat kamit. Sinto Gendeng tegak tertegun
dengan muka kelam membesi dan mata membeliak. Semua orang menyaksikan bagaimana
tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggang ke atas telah berbuah menjadi sosok
seekor harimau besar berbulu putih bermata hijau menyorot!
“Gusti
Allah! Apa yang terjadi dengan anak setan ini!” ujar Sinto Gendeng dalam hati.
Semua orang menduga jangan-jangan telah terjadi kekeliruan besar. Pedang Naga
Suci 212 bukannya mengobati pemuda itu tapi malah merobahnya menjadi makhluk
jejadian berupa seekor harimau putih! Tak ada yang berani bergerak ataupun
bersuara.
Perlahan-lahan
rasa dingin dan getaran hebat di tubuh Pendekar 212 sirna. Pandangan matanya
yang tadi mendelik menyorot kini meredup. Di dalam tubuhnya ada satu hawa aneh
yang membuat dia merasa seolah mampu menghancurkan batu sebesar gunung dan
mampu melesat tinggi ke langit. Namun bagi orang-orang yang ada di situ suasana
malah bertambah menggidikkan karena mendadak di tempat itu tercium bau kemenyan
amat santar. Bersamaan dengan itu tanpa dapat dilihat oleh yang lain-lain dari
tempat gelap bertiup segulung kabut putih. Lalu di kejauhan terdengar suara
tiupan saluang (saluang = seruling khas orang Minangkabau). Di atas kabut,
seolah melayang tampak satu sosok tua gagah berpakaian selempang kain putih.
Orang tua aneh ini memiliki sepasang mata kebiru-biruan memegang sebuah tongkat
kayu putih di tangan kiri sedang tangan kanannya mengusap-usap leher seekor
harimau besar berbulu putih yang memiliki sepasang mata berwarna hijau. Di
pinggang si orang tua terselip sebuah saluang terbuat dari emas.
“Datuk
Rao Basaluang Ameh,” Pendekar 212 berucap begitu mengenali siapa adanya orang
tua di dalam kabut. “Datuk Rao Bamato Hijau….” Wiro juga segera mengenali
harimau besar di samping si orang tua. Dia segera membungkuk menghormat.
Datuk Rao
Basaluang Ameh kedipkan matanya sedang Datuk Rao Bamato Hijau mengaum dahsyat
membuat semua orang yang ada di situ kembali tersentak kaget dan mundur.
Harimau besar itu bergerak mendekati Wiro lalu jilati muka pemuda itu. (Mengenai
Datuk Rao Basaluang Ameh harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Muslihat Para
iblis” terdiri dari delapan Episode).
“Anak
manusia bernama Wiro Sableng, terlahir bernama Wiro Saksono, bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Perjalanan hidup manusia dan alam gaib sulit diduga.
Yang Kuasa penentu segala jalan kehidupan manusia mempertemukan kita kembali.
Aku Datuk Rao Basaluang Ameh dan sahabatmu Datuk Rao Bamato Hijau muncul untuk
memberi tahu bahwa saat ini kekuatan dan kesaktianmu telah pulih. Musibah yang
menimpa dirimu malah menjadi satu mukjizat karena selama terpendam kekuatan dan
ke-saktian yang kau miliki telah berkembang atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Meski demikian ingat selalu bahwa setiap musibah bisa terjadi menimpa diri
seseorang. Itu satu pertanda bahwa tidak ada ilmu dan kekuatan yang sempurna
kecuali ilmu dan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan memulihkan kekuatan dan
kesaktianmu pada saat dunia persilatan membutuhkan dirimu. Berlindung kepada
Tuhan. Minta tolong dan petunjuk hanya kepada Dia. ingat penjelasanku yang satu
ini yang pernah kusampaikan lewat seorang tokoh tapi mungkin tidak sempat kau
dengar. Dalam menghadapi lawan di bawah gerhana matahari hadapi binatang dengan
binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib. Selamat tinggal anak manusia. Jaga
dirimu baik-baik….” Datuk Rao Basaluang Ameh usap rambut Pendekar 212. Datuk
Rao Bamato Hijau sekali lagi jilati wajah Wiro. Kabut yang menyelubung di
tempat itu perlahan-lahan sirna. Bersamaan dengan itu sirna pula sosok gaib si orang
tua dan harimaunya. Bau santarnya kemenyan pun ikut lenyap.
Pendekar
212 Wiro Sableng jatuhkan diri, bersujud di tanah seraya hatinya berkata.
“Terima kasih Tuhan. Terima kasih Engkau telah mengembalikan segala ilmu segala
daya dalam diriku….”
Seseorang
menepuk bahu Pendekar 212, membuatnya sadar dari kekhusukan dan berdiri
bangkit. Yang memegangnya barusan ternyata adalah Sinto Gendeng. Si nenek untuk
pertama kalinya menyeringai.
“Wiro,
kau tadi bicara dengan siapa?” tanya Ratu Duyung.
“Kami
mendengar suara auman harimau. Kami mencium bau kemenyan santar sekali!” kata
Bidadari Angin Timur.
“Aku
melihat dirimu sebagian berubah menjadi harimau. Ilmu sihir apa yang kau
miliki, Wiro?” tanya Sinto Gendeng.
“Aku… aku
tak bisa menerangkan…” jawab Pendekar 212. Rupanya orang-orang yang ada di situ
hanya bisa mendengar dan mencium apa yang terjadi. Mereka sama sekali tidak
bisa melihat sosok gaib Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau.
Wiro cepat membungkuk mencium tangan guru? nya seraya berkata. “Eyang Sinto,
maafkan diriku. Terima kasih kau telah menolongku.”
“Eh,
tunggu dulu! Siapa yang telah menolongmu anak setan? Bukan aku! Bukan juga
kakek buta bau apak di sampingku ini! Yang menolongmu adalah orang pandai dari
tanah seberang bernama Andamsuri ini serta serombongan gadis cantik yang
terdiri dari tiga orang. Aku lupa namanya satu persatu! Hik… hik… hik!” Si
nenek lalu sisipkan Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya ke pinggang Wiro. “Kau
barusan mencium tanganku. Apa kau tidak akan mencium tangan tiga gadis cantik
itu? Atau kau lebih suka mencium pipi mereka satu persatu? Hik… hik… hik!”
Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. Tak bisa menjawab olok-olok
sang guru. Saat itu sebenarnya ingin sekali si nenek memeluk muridnya, tapi
dasar manusia aneh hal itu tidak dilakukannya. Malah Sinto Gendeng pegang
tangan Kakek Segala Tahu dan berkata. Tua bangka, ayo kita kembali ke kalangan
pertempuran. Biarkan dulu orang-orang muda ini menarik nafas lega barang
beberapa ketika.”
“Tidak Nek,
kita harus segera sama-sama ke sana…” jawab Wiro. “Dari ilmu melihat jauh yang
diberikan Ratu Duyung padaku, aku bisa melihat para tokoh sahabat kita berada
dalam bahaya besar!”
“Betul
kita harus kembali ke sana. Wiro, hanya kau yang sanggup menghadapi Datuk
Lembah Akhirat! Aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Satu-satunya
petunjuk yang bisa kusampaikan adalah hadapi binatang dengan binatang. Hadapi
yang gaib dengan yang gaib!” kata Kakek Segala Tahu.
Wiro
ingat hal itu juga diucapkan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sebelum tinggalkan
tempat itu Wiro lebih dulu membuka pakaian luar Jagal iblis Makam Setan lalu
menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang sebelumnya dirampas si kakek.
Ratu
Duyung merasa lega mengetahui bahwa bukan cuma kesaktian dan tenaga dalam
Pendekar 212 yang pulih tapi kemampuannya untuk mempergunakan ilmu Menembus
Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung ternyata juga telah kembali. Didahului
oleh Sinto Gendeng dan Tua Gila, Andamsuri serta tiga gadis cantik, mereka itu
segera meninggalkan tempat tersebut.
*********************
Sembilan
Diserang
demikian banyak musuh Datuk Lembah Akhirat sama sekali tidak merasa jerih. Dia
malah sunggingkan seringai sambil acungkan dua tangan yang terbungkus sarung
ular kobra tiga warna.
Kematian
Iblis Putih Ratu Pesolek kekasihnya membuat Dewa Tuak adalah orang yang paling
ingin membunuh Datuk Lembah Akhirat saat itu. Apalagi diketahuinya Anggini
berada dalam sekapan sang Datuk. Dia membuat lompatan setinggi satu tombak.
Dari mulutnya menyembur tuak harum yang sanggup menjebol tembus batu. Lalu
tangannya lepaskan satu pukulan sakti yang jarang dikeluarkan yakni Tujuh Sinar
Pelangi. Tujuh sinar menggidikkan menyapu ke arah Datuk Lembah Akhirat.
Di
sebelah Dewa Tuak, setelah meninggalkan Sabai Nan Rancak di satu tempat yang
aman Tua Gila lancarkan satu serangan tangan kosong jarak jauh mengandung
tenaga dalam tinggi. Bululani datang dari jurusan lain, melepas pukulan yang
memancarkan asap hitam bergulung-gulung. Si bocah Naga Kuning dengan kegesitan
luar biasa berusaha susupkan pukulan bertenaga dalam tinggi dan memancarkan
sinar biru ke punggung lawan. Setan Ngompol tak tinggal diam. Walau sambil
terkencing-kencing kakek ini juga ikut berebut pahala kirimkan serangan
mematikan. Semua menghantam dari jarak jauh karena maklum akan bahaya sarung
tangan sakti yang dikenakan lawan.
Satu
dentuman laksana hendak rnerobohkan langit gelap menggeledek di tepi barat
Telaga Gajahmungkur itu ketika sekian banyak pukulan sakti mengandung tenaga
dalam tinggi beradu dahsyat dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat yang sukar
dijajagi kehebatannya.
Datuk
Lembah Akhirat jatuh terduduk di tanah namun dengan cepat dia sanggup berdiri
kembali tanpa cidera sedikit pun. Malah tertawa bergelak seolah mengejek.
Sementara orang-orang yang tadi lancarkan serangan berpelantingan dan
berkaparan di tanah akibat tenaga dalam mereka begitu bentrokan dengan tenaga
dalam Datuk Lembah Akhirat langsung berbalik menghantam diri mereka sendiri!
Dewa Tuak
terhantar di tanah dengan dada berdenyut sakit namun masih bisa berusaha
bangkit walau terhuyung-huyung. Setan Ngompol terpental jatuh di antara semak
belukar, mengeluh tinggi dan terkencing-kencing. Bululani jatuh berlutut.
Lengan kirinya terasa sakit dan mukanya pucat pasi. Tua Gila mengalami cidera
tak kalah parahnya. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu
kelihatan mengelam. Perutnya yang kena sambaran tenaga dalamnya sendiri seolah
mau pecah. Hanya dua orang yang tidak mengalami cidera yakni Naga Kuning dan
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. Ini disebabkan karena si bocah memiliki ilmu
pelicin tubuh hingga kalau dia mengandalkan ilmu ini, apapun yang menghantam
tubuhnya yang selicin ikan itu akan lewat begitu saja tanpa menciderainya. Rajo
Tuo Datuk Paduko Intan memiliki ilmu peredam pukulan yang disebut ilmu Kapas
Putih. Begitu tenaga dalamnya berbalik menghantamnya, ilmu kesaktiannya itu
serta merta membuat membal tenaga serangannya.
“Bocah
dan orang berpakaian bagus itu agaknya memiliki ilmu kebal…” kata Datuk Lembah
Akhirat dalam hati seraya mengawasi Naga Kuning dan Datuk Paduko Intan. “Mereka
harus kuhabisi lebih dulu!” Lalu dengan gerakan luar biasa cepat dan entengnya
sosok tinggi besar Datuk Lembah Akhirat melesat ke arah Datuk Paduko Intan
seraya
tangan
kanannya kirimkan satu hantaman ke batok kepala orang. “Desss!” Datuk Paduko
Intan terlempar jauh. Dia tak kurang suatu apa kecuali kepalanya mendenyut
sakit. Geram Datuk Lembah Akhirat bukan main. Dia membuat gerakan hendak
mengejar Datuk Paduko Intan namun tiba-tiba dia berbalik ke arah Naga Kuning
dan menghantam bocah ini dengan tangan kanan. Beberapa orang keluarkan seruan
tertahan karena jelas si bocah tidak berkesempatan untuk mengelak. Tapi anak
konyol yang panjang akal ini tiba-tiba jatuhkan diri dan tarik mayat Pengiring
Mayat Muka Merah yang tergelimpang di tanah di dekatnya. Mayat ini
disorongkannya ke depan. “Buk!” Dada Pengiring Mayat Muka Merah hancur
mengerikan. Naga Kuning cepat gulingkan diri. Tapi celakanya tubuhnya tertahan
oleh sosok mayat seorang pengawal. Saat itulah kaki kanan Datuk Lembah Akhirat
berkelebat ke kepalanya! Seruan tertahan terdengar dari beberapa mulut! Tak ada
yang bisa menolong menyelamatkan nyawa bocah itu!
Disaat
yang sangat menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang
disusul melayangnya sebuah benda ke arah kepala Datuk Lembah Akhirat. Bersamaan
dengan itu dari jurus yang sama melesat satu cahaya putih menyilaukan. Pukulan
“Sinar Matahari”!
Datuk
Lembah Akhirat menggereng marah. Sekali tangan kanannya diangkat menangkis maka
hancur leburlah benda yang melayang menyerangnya yang ternyata adalah caping
milik Kakek Segala Tahu. Dengan tangan kirinya Datuk Lembah Akhirat me-mukul,
ke arah sinar putih panas yang datang menyusul.
“Bummm!”
Sinar
putih seperti pecah bertaburan membuat udara sesaat jadi terang benderang.
Datuk Lembah Akhirat tegak tertegun dengan tangan bergetar. Dia cepat kuasai
diri. Ketika memandang ke depan, tujuh langkah di hadapannya tegak seorang
pemuda berambut gondrong bertelanjang dada. jangan kanannya yang masih
mengeluarkan cahaya putih perak kini memegang sebilah kapak bermata dua.
Pendekar 212 Wiro Sableng! Agak ke belakang berdiri Kakek Segala Tahu, di
sebelahnya berdiri dengan muka beringas Sinto Gendeng. Lalu ada tiga gadis
cantik yang bukan lain adalah Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin
Timur. Paling akhir adalah Andamsuri.
“Pendekar
212 Wiro Sableng! Seharusnya kau sudah kubunuh waktu di lembah. Sekarang apa
terima kasihmu karena aku telah menunda kematianmu?!”. Datuk Lembah Akhirat
bicara angkuh lalu tertawa bergelak.
“Manusia
yang mengagulkan diri sebagai Datuk Lembah Akhirat! Kau tak lebih dari mayat
hidup yang pandai bicara!” jawab pemuda bertelanjang dada yaitu Pendekar 212
Wiro Sableng.
Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa yang sejak tadi berdiam diri dalam keadaan terikat
keluarkan suara tangis dan tawa. Membuat Datuk Lembah Akhirat jengkel setengah
mati. Niat jahat untuk membunuh saja dua kakek ini segera muncul di benaknya.
Tapi saat itu Wiro bergerak mendekatinya dan berhenti tiga langkah di
hadapannya. Sekaligus menghadang antara dia dan dua kakek. Bersamaan dengan itu
Tua Gila, Sinto Gendeng dan Dewa Tuak bergerak mendekati Dewa Sedih dan Dewa
Ketawa. Melihat para tokoh mendatangi Dewa Sedih langsung menggerung menangis
sedang Dewa Ketawa buka mulut lebar-lebar dan tertawa bergelak!
Didahului
satu bentakan keras batuk Lembah Akhirat menerjang ke arah Wiro. Dari jarak dua
langkah tangan kanannya lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga
dalam dahsyat. Murid Sinto Gendeng tidak berlaku ayal. Kapak Naga geni 212
segera dibabatkan ke arah lawan. Sinar putih berkiblat.
Suara
seperti ratusan tawon mengamuk menderu. Hawa panas membeset di kegelapan. Walau
senjata di tangan Wiro adalah senjata sakti yang telah menggegerkan rimba
persilatan namun begitu tenaga dalam sang Datuk menghantam, tangan yang
memegang kapak bergetar keras. Tubuh Pendekar 212 terhuyung-huyung sampai empat
langkah. Melihat lawan goyah Datuk Lembah Akhirat segera lepaskan serangan
susulan. Wiro kembali pergunakan kapak untuk membabat bahu lawan. Sekali ini
Datuk Lembah Akhirat dengan cepat gerakkan tangan kirinya menangkis.
“Traangg!”
Kapak dan
sarung tangan kiri beradu mengeluarkan suara keras. Bunga api memercik.
Beberapa orang keluarkan seruan tegang ketika melihat bagaimana Kapak Naga Geni
212 menempel pada sarung tangan Datuk Lembah Akhirat!
“Celaka!”
keluh Wiro. Sebelumnya dia telah diberi tahu akan kehebatan sarung tangan
lawan. Tapi tidak mengira kalau senjata saktinya juga akan kena ditempel begitu
rupa. Dia tak berani kerahkan tenaga untuk menarik kapak. Mau tidak mau sebelum
tenaga dalamnya kena disedot Wiro terpaksa lepaskan senjata itu.
Datuk
Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Kapak Naga Geni 212 ditimangtimang seketika
lalu dibuangnya ke tanah seperti membuang benda tak berharga. Walaupun kemudian
si bocah Naga Kuning dengan cepat berhasil mengambil senjata itu namun
me-nyaksikan kapak sakti warisannya itu dibuang seolah sampah saja Sinto
Gendeng memaki habis-habisan.
“Wiro!
Pergunakan pedang ini!” teriak Puti Andini, siap hendak melemparkan Pedang Naga
Suci 212 tapi cepat dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Karena kalau pedang itu
juga sampai jatuh ke tangan Datuk Lembah Akhirat bertambah celakalah mereka.
“Pendekar
212!” tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata dengan suara lantang. “Bagaimana
kalau kita membuat perjanjian. Aku ampuni selembar nyawamu! Kau boleh bergabung
denganku, juga boleh membawa tiga gadis cantik itu ke Lembah Akhirat!”
“Datuk
jahanam! Apa kau juga akan mengajak aku ke lembah?!” Tiba-tiba ada suara
bertanya disusul suara tertawa ha-ha hi-hi. Ketika berpaling dan melihat siapa
orang yang barusan berkata, menggeramlah Datuk Lembah Akhirat. Orang itu adalah
si gendut Bujang Gila Tapak Sakti yang berjalan mendekat lalu berhenti delapan
langkah di hadapan sang Datuk. Saat itu dia masih mengenakan pakaian perempuan
biru panjang robek-robek. Mukanya benjat benjut bercelemong bedak dan darah.
Melihat Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Ketawa langsung tertawa
terpingkal-pingkal. Sebaliknya Dewa Sedih menangis melolong-lolong!
“Dajal
gendut jahanam! Kau dan temanmu ini bersiaplah untuk mampus!” teriak Datuk
Lembah Akhirat marah sekali lalu hantamkan tangan kiri kanan membagi serangan
ke arah Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang diserang tak tinggal diam.
Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan kedua tangannya. Asap putih mengepul. Ketika
dua tangannya didorong maka menderulah hawa luar biasa dinginnya. Semua orang
yang ada di tempat itu tampak menggigil. Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng
mainkan jurus “Tangan Dewa Menghantam Air Bah”. Jurus ini adalah jurus ke empat
dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan berintikan
Delapan Sabda Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Seandainya
orang lain yang menerima hantaman dua pemuda sakti ini niscaya tubuhnya akan
tergeletak tewas mengenaskan saat itu juga. Namun Datuk Lembah Akhirat seolah
tidak merasakan apa-apa karena tenaga dalamnya yang sangat tinggi mampu
melin-dungi dirinya.
“Dess!
Desss!”
Bujang
Gila Tapak Sakti terpelanting dua tombak. Terkapar di tanah dan untuk beberapa
lamanya tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Sekujur badannya seolah lumpuh.
Dadanya menyesak sakit. Hal yang sama terjadi pula dengan murid Sinto Gendeng.
Pemuda ini terpental dua tombak, jatuh terduduk di tanah dengan dada dan kepala
mendenyut sakit! Dari sela mulutnya mengalir darah pertanda pemuda ini
mengalami cidera di sebelah dalam.
Melihat
kejadian itu Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini berteriak marah.
Walau tadi dilarang oleh Kakek Segala Tahu, ketiganya segera saja menyerbu.
Puti Andini yang memegang pedang berada paling depan. Sinar putih membersitkan
hawa dingin berkiblat ketika Pedang Naga Suci 212 dibabatkannya ke arah Datuk
Lembah Akhirat. Yang diserang tertawa mengejek. “Gadis-gadis cantik! Maju lebih
dekat! Biar kuremas tubuh montok kalian!” Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat
berkelebat berusaha menyentuh pedang. Tapi Puti Andini tidak bodoh. Tubuhnya
melesat ke udara setinggi satu tombak. “Makan pedangku!” teriak si gadis.
Pedang sakti membacok ke arah batok kepala Datuk Lembah Akhirat, cepat luar
biasa. Sambil membungkuk sang Datuk palangkan tangan kirinya di atas kepala
lalu tangan kanannya menyusup ke depan meraba dada Puti Andini. “Traaang!”
Pedang
dan sarung tangan yang membungkus tangan, kiri Datuk Lembah Akhirat beradu
keras memercikkan bunga api. Bersamaan dengan itu terdengar pekik Puti Andini.
Tubuhnya tertarik ke depan.
“Lepaskan
pedang!” teriak Tua Gila karena pasti lewat pedang yang menempel di tangan
kirinya Datuk Lembah Akhirat hendak menyedot tenaga dalam si gadis. Mendengar
teriakan itu Puti Andini segera lepaskan genggamannya di gagang pedang. Dengan
muka pucat gadis ini melompat menjauhi lawan sambil pegangi dadanya yang tadi
kena diraba. Mukanya merah padam. Amarahnya menggelegak. Tapi yang paling marah
adalah Andamsuri, ibu Puti Andini. Sambil berteriak marah perempuan ini
menggebrak ke arah sang Datuk. “Datuk mesum kurang ajar!”
Saat itu
Datuk Lembah Akhirat tengah berdiri dengan darah tersirap ketika melihat
bagaimana hantaman Pedang Naga Suci 212 yang kini menempel di tangannya mampu
membuat robek sarung ular kobra sakti di tangan kirinya.
“Jahanam!”
rutuk Datuk Lembah Akhirat. Pedang Naga Suci 212 ditariknya dengan tangan kanan
lalu dia cepat palingkan diri menghadapi serangan Andamsuri berupa dua larik
sinar merah. Sang Datuk pergunakan pedang sakti untuk menangkis serangan lawan.
Sinar putih dan hawa dingin menderu. Dua larik sinar merah serangan Andamsuri
punah. Andamsuri sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang sambil
mengerenyit kesakitan. Dua tangannya laksana lumpuh karena hantaman tenaga
dalam lawan. Dalam keadaan lawan tak berdaya seperti itu Datuk Lembah Akhirat
melompat seraya lemparkan Pedang Naga Suci 212. Sebenarnya sang Datuk ingin
terus memegang pedang sakti itu. Namun dia merasa ada satu hawa aneh yang
membuat tangannya jadi bergetar dan aliran darahnya tidak karuan.
“Ibu!”
teriak Puti Andini. Beberapa orang jadi ikut mengeluarkan seruan tertahan.
Kakek Segala Tahu hantamkan tangan kiri. Dewa Tuak lemparkan bum-bung bambunya.
Ratu Duyung berusaha keluarkan cermin saktinya. Namun semua gerak pertolongan
itu kalah cepat dengan melesatnya pedang sakti. Dalam keadaan tak berdaya
karena dua tangannya seolah lumpuh Andamsuri tak mungkin lagi selamatkan diri.
“Logam
suci adalah sahabat logam murni! Tuhan pemegang segala kuasa! Tuhan penolong
Maha Agung!” Tiba-tiba ada orang berteriak. Satu bayangan hijau berkelebat.
Menyusul melesatnya sebuah benda bulat berwarna kuning. “Traangg!”
Benda
kuning bulat beradu dengan badan pedang sakti. Bunga api putih dan kuning
menerangi tempat itu. Benda bulat dan Pedang Naga Suci 212 melayang jatuh ke
tanah. Untuk beberapa lamanya benda bulat itu berputar siam di tanah menebar
cahaya kuning terang sekali. Ketika putarannya berhenti ternyata benda itu
adalah tempat sirih terbuat dari emas murni. Sungguh luar biasa. Walau tadi
terjadi bentrokan keras dengan pedang sakti, lalu melayang jatuh dan berputar
seperti gasing namun beberapa lembar sirih, pinang, tembakau dan kapur sirih
tetap utuh berada dalam tempat sirih emas itu! Sementara itu Pedang Naga Suci
212 begitu jatuh ke tanah secara ajaib bergulung lalu menggelinding ke arah
Puti Andini! Baik pedang maupun tempat sirih samasama tidak mengalami kerusakan
sedikit pun.
Semua
mata diarahkan pada Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. Dialah pemilik tempat sirih
emas itu. Dia pula yang telah melemparkan senjata itu untuk menyelamatkan
Andamsuri, istrinya sendiri yang dulu pernah disia-siakannya. Datuk Paduko Intan
melang-kah tundukkan kepala. Dia tak berani menoleh ke arah Andamsuri yang
memandangnya dengan berbagai perasaan. Setelah mengambil tempat sirihnya dia
kembali berlindung di tempat gelap. Tapi Datuk Lembah Akhirat cepat
menghadangnya langsung menyerang dengan jotosan jarak pendek mematikan.
“Dess…
desss… dess!” Berkali-kali Datuk Lembah Akhirat menghantam. Namun pukulannya
seolah-olah tidak bisa sampai. Tinjunya seperti masuk ke dalam satu benda
lembut yang memiliki daya membal hingga tangannya terdorong. Dilain pihak walau
ilmu “Kapas Putih” yang dimilikinya sanggup melindungi dirinya, namun
getaran-getaran tenaga dalam yang hebat dari Datuk Lembah Akhirat membuat Datuk
Paduko Intan lama-lama terpaksa mundur terus. Tubuh dan kepalanya yang dihajar
terus-terusan walaupun tidak kena namun mulai mendenyut sakit.
“Datuk
jahanam! Urusan kita belum selesai!”
Dari
samping menderu angin keras yang membuat Datuk Lembah Akhirat sesaat terhuyung
tapi begitu dia sapukan tangan kanannya maka angin yang menyerang langsung
amblas. Di depan sana Pendekar 212 Wiro Sableng tegak tergontai-gontai.
“Pendekar
geblek! Kau lagi! Benar-benar sudah bosan hidup rupanya!” teriak Datuk Lembah
Akhirat ketika mengetahui siapa yang barusan menyerangnya. Tanpa banyak bicara
lagi manusia tinggi besar ini segera menyergap. Lancarkan serangan-serangan
yang sengaja dilakukan dalam jarak pendek. Dia bukan saja ingin melumatkan
lawan tapi juga berniat untuk menyedot tenaga dalam yang dimiliki Pendekar 212.
Untuk
menghadapi serangan lawan yang cepat, ganas dan mengandung tenaga dalam sangat
tinggi murid Sinto Gendeng keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang
didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan ilmu silatnya dimainkan Wiro, Tua Gila
jadi leletkan lidah karena jika dia sendiri yang melakukan tidaklah akan
sehebat kemampuan pemuda
itu. Wiro
berkelebat kian kemari dalam gerakan aneh seperti orang mabok atau kesurupan.
Sesekali dia kelihatan seperti hendak jatuh terserandung atau terpeleset.
Mulutnya me-nyunggingkan senyum mengejek yang membuat panas hati Datuk Lembah
Akhirat.
Kalau
ilmu silat orang gila dipergunakannya untuk bertahan maka untuk menyerang
Pendekar 212 mainkan Enam Jurus Inti Kekuatan Dewa yaitu ilmu silat yang
dipelajarinya dalam Kitab Putih Wasiat Dewa. Berturut-turut dia menghantam
lawan dengan jurus-jurus Tangan Dewa Menghantam Matahari, Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam Rembulan, Tangan Dewa Menghantam
Api dan Tangan Dewa Menghantam Tanah.. Namun lawan benar-benar tangguh. Walau
Datuk Lembah Akhirat sempat dibikin kewalahan namun sulit bagi Wiro untuk dapat
menyentuh tubuh apalagi kepala Datuk Lembah Akhirat. Kekuatan tenaga dalam
lawan memiliki kemampuan mementahkan semua serangannya. Ketika Wiro menyisipkan
jurus Kepala Naga Menyusup Awan di antara Enam Jurus inti Kekuatan Dewa, pemuda
ini berhasil mengirimkan satu totokan dahsyat ke pangkal leher sebelah kanan
Datuk Lembah Akhirat. jangankan manusia, gajah sekalipun akan kaku tegang oleh
totokan ini. Tapi Datuk Lembah Akhirat memang luar biasa. Sesaat tubuhhya
terasa hendak menjadi kaku, tenaga dalamnya langsung bekerja. Totokan di
pangkal lehernya serta merta punah!
Wiro
menjadi terkesima padahal dia siap untuk kirimkan serangan susulan. Para tokoh
yang menyaksikan ikut terperangah. Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Aku
menawarkan pengampunan untukmu! Aku menjanjikan kedudukan tinggi bagimu di
Lembah Akhirat! Tapi kau memang lebih pantas mampus!” Datuk Lembah Akhirat
dorongkan dua tangannya ke arah Wiro. Lalu dia susul dengan satu lompatan ganas,
perkelahian hebat kembali terjadi. Wiro berusaha menjaga jarak agar dirinya
tidak sampai tersentuh tangan-tangan lawan yang mengenakan sarung. Saat itu dia
ingat pada ucapan Datuk Rao Bamato Hijau dan Kakek Segala Tahu. Hadapi binatang
dengan binatang.
Hadapi
yang gaib dengan yang gaib. Namun bagaimanapun dicobanya dia tak mampu
memecahkan teka-teki itu. Dia memaki ketololannya sendiri mengapa tidak
bertanya pada Datuk Rao atau Kakek Segala Tahu arti petunjuk itu. Karenanya
setiap kali ada kesempatan dia melemparkan lirik pada Kakek Segala Tahu. Tapi
orang tua buta ini dilihatnya hanya tegak tak bergerak, mendongak ke langit
gelap.
Setelah
menghabiskan lebih dari dua puluh jurus menghajar lawan terusterusan, Datuk
Lembah Akhirat mulai mendesak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tekanan tenaga dalam
lawan laksana tembok batu yang terus-menerus mendesak dan menjepitnya. Beberapa
kali pukulannya nyaris mengenai Wiro. Semua orang yang ada di tempat itu mulai
merasa gelisah. Tawa Dewa Ketawa terdengar aneh. Tangis Dewa Sedih mulai
menggidikkan.
“Celaka!
Kalau anak setan itu sampai….”
Belum
habis Sinto Gendeng berucap tiba-tiba “bukkk!”
Tubuh
Pendekar 212 mencelat sampai tiga tombak. Beberapa orang keluarkan suara
terpekik dan berusaha memburu tapi cepat mundur ke arah tempat tergeletaknya
Wiro ketika Datuk Lembah Akhirat lebih cepat melompat mendahului. Di tanah
becek Pendekar 212 tergeletak menggeliat. Dari mulutnya keluar suara erangan
disusul semburan darah segar. Dada kanannya dibekas jotosan lawan bersarang
tampak berwarna biru kehitaman. Kalau mau waktu pukulannya menyentuh tubuh Wiro
tadi Datuk Lembah Akhirat bisa langsung menyedot seluruh tenaga dalam yang
dimiliki murid Sinto Gendeng itu. Namun
dia
sengaja hendak menyiksa sang pendekar lebih dulu sebelum benar-benar
membunuhnya.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Mulutnya berulangkali mengucapkan “Binatang
hadapi dengan binatang. Yang gaib hadapi dengan yang gaib….”
Wiro
berusaha bangkit ketika Datuk Lembah Akhirat melompat ke hadapannya. Seringai
maut bermain di wajah belang tiga sang Datuk. Ketika dia hendak menjambak
rambut gondrong pemuda itu dari samping berkelebat sosok hitam. “Bukk!” Satu
tendangan menghajar tulang rusuk Datuk Lembah Akhirat. Manusia tinggi besar ini
terjajar ke samping tapi tidak cidera sedikit pun. Malah orang yang barusan
menyerangnya terlempar sampai satu tombak. Si penyerang adalah si nenek sakti
Sinto Gendeng. Begitu serangannya gagal nenek ini susul dengan serangan baru
berupa pukulan “Sinar Matahari” dan lemparan tusuk konde. Namun lagi-lagi
gagal. Sinto Gendeng jatuh berlutut di tanah. Batuk-batuk beberapa kali lalu
kucurkan darah segar dari mulutnya. Tua Gila dan Dewa Tuak cepat bergerak
menolong. Tapi Datuk Lembah Akhirat lebih cepat menggeprakkan tangan kanannya
ke ke-pala si nenek!
Dalam
keadaan terluka cukup parah Pendekar 212 Wiro Sableng membaca satu rapalan lalu
berteriak keras. “Sepasang Pedang Dewa!” Terjadilah satu hal luar biasa. Dari
sepasang mata sang pendekar melesat keluar dua sinar lurus berwarna hijau tipis
laksana sepasang pedang yang sangat tajam, inilah ilmu kesaktian yang juga
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Sekali dia kedipkan dua matanya,
sepasang sinar hijau menyambar dahsyat ke arah Datuk Lembah Akhirat yang saat
itu tengah hantamkan tangan kanannya untuk memukul hancur kepala Sinto Gendeng!
(Mengenai ilmu-ilmu gaib yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh harap
baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
“Jahanam!
Ilmu apa ini!” teriak Datuk Lembah Akhirat seraya palangkan tangan kirinya di
depan mata karena tidak tahan terhadap silaunya dua larik sinar hijau. “Wuss!
Wusss!” Dua sinar hijau menyambar ke arah dada. Datuk Lembah Akhirat kerahkan
seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan tangan kanan. “Bummm! Bummm!”
Dua
letusan dahsyat menggoncang tanah membuat sekian banyak kaki bergetar hebat
lalu roboh! Dua larik sinar hijau musnah. Pendekar 212 Wiro Sableng untuk
kesekian kalinya kelihatan terkapar di tanah. Walau dia berhasil menyelamatkan
gurunya namun keadaannya sendiri tambah parah. Darah bukan saja mengucur dari
mulutnya, tapi juga dari hidung, pinggiran mata dan liang telinga! Ratu Duyung,
Bidadari Angin Timur dan Puti Andini sama-sama pejamkan mata tidak tega
menyaksikan keadaan itu.
Berpaling
ke kiri Tua Gila melihat Sinto Gendeng terduduk di tanah. Mukanya yang hitam
seperti tidak berdarah. Kakek ini segera dekati si nenek, pegang bahunya lalu
membantunya berdiri. “Sinto, kau tak apa-apa…?”
“Aku….
Ah!” Sinto Gendeng tersipu-sipu. “Terima kasih kau masih memperhatikan aku. Aku
tak apa-apa. Jangan buat orang lain jadi cemburu….” Sinto Gendeng pegang lengan
Tua Gila lalu turunkan tangan itu dari bahunya.
“Eh, apa
maksud ucapanmu tadi, Sinto? Dalam keadaan seperti ini kita tidak perlu
membicarakan urusan pribadi dulu….”
Sinto
Gendeng tertawa kecut. “Aku tidak bermaksud apa-apa Sukat. Tapi aku lebih
senang kalau kau menolong nenek yang di sebelah sana itu lebih dulu. Keadaannya
tidak lebih baik dariku….”
Tua Gila
alias Sukat Tandika berpaling ke arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. Ternyata
yang dimaksud si nenek adalah Sabai Nan Rancak yang saat itu duduk tersandar di
bawah sebatang pohon. “Sinto, kau….” Ucapan Tua Gila terputus. Sinto Gendeng
telah beranjak ke tempat lain, mendekam dalam kegelapan.
Lain
halnya dengan Datuk Lembah Akhirat. Pakaiannya tampak robek di bagian dada.
Kalung tengkorak yang tadi tergantung di lehernya hancur berkeping-keping. Tapi
tubuhnya nyaris tidak cidera sedikit pun! Malah dengan tenang, sambil
menyeringai dia melangkah menghampiri Wiro!
“Aku
telah melakukan petunjuk hadapi yang gaib dengan yang gaib. Tapi Datuk celaka
ini tidak bergeming sedikit pun!” membatin Wiro. Dia berusaha bangkit berdiri.
Namun baru mampu duduk lawan sudah berada di hadapannya.
Dalam
keadaan sangat seperti itu terdengar kerontang kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu
menyusul suara orang tua itu berseru. “Pendekar 212! Kau belum melakukan
seluruh petunjuk! Kau baru melakukan hadapi yang gaib dengan yang gaib! Lakukan
petunjuk berikutnya! Hadapi binatang dengan binatang!”
Pendekar
212 tersentak mendengar teriakan Ka-kek Segala Tahu itu sementara Datuk Lembah
Akhirat tidak mengerti apa arti ucapan orang tua bermata putih buta itu. Murid
Sinto Gendeng memutar otak membuncah pikiran. Hadapi binatang dengan binatang.
Hadapi yang gaib dengan yang gaib! Wiro usap matanya yang buram oleh kucuran
darah. “Sarung tangan Datuk keparat itu terbuat dari kulit ular. Kulit
binatang. Hadapi binatang dengan binatang. Binatang apa yang aku miliki….” Wiro
bertanya-tanya dalam hati. Datuk Lembah Akhirat semakin dekat.
“Tuhan!
Beri aku petunjuk! Datuk Rao, apakah kau berada di dekatku…?” Wiro membatin
pada saat kaki kanan Datuk Lembah Akhirat meluncur ke arah kepalanya. Sejengkal
lagi tendangan itu akan menghantam pecah kepalanya tibatiba Wiro jatuhkan diri
dan berteriak keras. Sambil berguling di tanah menjauhi lawan yang kembali coba
mengejarnya Pendekar 212 tiup telapak tangan kanannya. Saat itu juga pada
permukaan telapak tangan Wiro muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau.
“Datuk Rao
Bamato Hijau!” seru Wiro. Satu auman keras menggelegar seperti mau membongkar
tepi barat Telaga Gajahmungkur. Di tangan kanan Pendekar 212 kini ada satu
kekuatan sakti bernama pukulan Harimau Dewa. Dengan ilmu kesaktian ini dia
sanggup menghancurkan apa saja tanpa mengerahkan tenaga dalam. Ketika Datuk
Lembah Akhirat kembali mendatanginya tidak menunggu lebih lama Wiro segera
lepaskan pukulan Harimau Dewa.
“Wuuuss!
Wusss! Deeesss! Deess!”
Dua kali
murid Sinto Gendeng menghantam tapi sosok Datuk Lembah Akhirat hanya kelihatan
bergoyang-goyang sedikit lalu melangkah lagi mendekati Wiro.
“Celaka!
Tidak mempan!” kata Wiro dalam hati. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau di mana…?!”
Mendadak
untuk kedua kalinya membahana auman harimau. Lebih dahsyat dari pertama tadi. Si
Setan Ngompol jatuh melosoh di tanah terkencingkencing. Beberapa tokoh
terhuyung-huyung. Kalau tidak cepat imbangi diri dan kerahkan tenaga dalam
niscaya ada lagi yang jatuh duduk di tanah.
Dari
jarak dua langkah tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya.
Satu gelombang tenaga dalam dahsyat melabrak tubuh murid Sinto Gendeng itu
hingga dia
terpental.
Darah kembali mengucur dari hidung dan mulut Wiro. Datuk Lembah Akhirat tertawa
mengekeh. Dia kembali angkat tangan kanannya untuk menghantam. Kali ini dengan
seluruh tenaga dalam yang ada!
“Lihat!”
Ratu Duyung mendadak berteriak keras seraya menunjuk ke arah Wiro.
“Astaga!
Anak setan itu! Apa yang terjadi dengan dirinya!” seru Sinto Gendeng.
Saat itu
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi sosok
seekor harimau besar berbulu putih. Sepasang matanya yang hijau pekat
menyorotkan sinar menggidikkan, mengarah pada Datuk Lembah Akhirat. inilah
Datuk Rao Bamato Hijau, harimau peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah
memberi banyak ilmu kesaktian pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Diam-diam Datuk
Lembah Akhirat jadi bergidik juga menyaksikan hal itu.
“Pendekar
212! Kau boleh berubah menjadi harimau kepala sepuluh! Tapi nyawamu tetap satu
dan akan amblas di tanganku!” Sang Datuk menyergap ke depan seraya lancarkan
satu jotosan keras ke arah kepala harimau putih. Binatang ini menggereng
dahsyat, dua kaki depannya melesat ke arah muka Datuk Lembah Akhirat. Yang
diserang berseru kaget, cepat melompat mundur lalu membungkuk seraya menjotos
dada harimau.
“Bukkk!”
Harimau
putih besar terjajar ke belakang, mengaum keras. Ketika binatang ini hendak
mencengkeram, sang Datuk bergerak lebih dulu. Dua tangan terbungkus Sarung
Penyedot Batin menyambar laksana kilat, mencengkeram dan mencekik leher harimau
putih. Untuk beberapa saat harimau bernama Datuk Rao Bamato Hijau itu tampak
tidak berdaya. Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Siap menguras dan
menyedot apapun kekuatan yang ada dalam tubuh harimau. Namun sang Datuk
tersentak kaget ketika dua sinar hijau yang ada di mata harimau mendadak
melesat menyambar ke arahnya. Dia terpaksa lepaskan cekikannya untuk selamatkan
diri. Begitu dua sinar lewat Datuk Lembah Akhirat cepat cengkeramkan dua
tangannya ke kepala harimau sekaligus menutupi dua mata hijau yang berbahaya
itu. Dua sarung tangan sakti kembali mengeluarkan hawa aneh yang sanggup
menyedot. Datuk Rao mengaum berulangkali. Empat kakinya melejang-lejang.
Ekornya memukul kian kemari.
Sampai
saat itu sosok Wiro masih tidak kelihatan. Semua orang menyaksikan apa yang
terjadi dengan penuh cemas. Semua mata melotot tak berkesip, semua hati
tercekat pekat ketika melihat bagaimana sosok harimau putih yang tadi
seolah-olah menyelubungi tubuh Wiro, kini secara aneh dan perlahan-lahan terbetot
keluar. Sedikit demi sedikit kelihatan sosok Wiro. Mula-mula dua kakinya, terus
ke atas, pinggang, perut dada dan akhirnya utuh sampai ke kepala. Bersamaan
dengan keluarnya sosok harimau dari tubuh Wiro, pemuda ini jatuh terduduk di
tanah. Mukanya pucat pasi laksana mayat. Beberapa orang hendak bergerak
mendekatinya tapi cepat dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Di tanah Wiro duduk
bersila pejamkan mata. Sekujur tubuhnya ditutupi kabut tipis aneh yang tidak
diketahui entah dari mana datangnya.
Datuk Rao
Bamato Hijau mengaum lagi. Begitu keluar dari tubuh Wiro, binatang gaib ini
langsung menyergap Datuk Lembah Akhirat hingga manusia tinggi besar ini jatuh
tertelentang di tanah. Dia coba memukul kepala harimau tapi cakaran kaki
binatang ini lebih dulu merobek wajahnya. Datuk Lembah Akhirat menjerit
setinggi langit. Dari mukanya yang hancur akibat cakaran mengucur darah. Sambil
menahan sakit dengan nekat Datuk Lembah Akhirat berusaha mencekik leher Datuk
Rao Bamato Hijau, mencoba untuk
melumpuhkan
lawan dengan jalan menyedot kekuatannya. Namun kali ini sang harimau telah
lebih dahulu menghunjamkan gigi-giginya yang besar runcing dan menggigit dua
tangan sang Datuk yang terbungkus sarung ular sakti.
Datuk
Lembah Akhirat berteriak setinggi langit ketika Sarung Tangan Penyedot Batin
terenggut lepas bersama kutungan jari-jari tangannya. Ketika sarung tangan itu
tanggal terlihat sepasang tangan sang datuk tidak lagi memiliki sepotong jari
pun! Darah mengucur deras dari dua tangan yang buntung!
Datuk
Lembah Akhirat menjerit tiada henti. Tubuhnya masih bisa berdiri tapi
berguncang-guncang dan terhuyung-huyung kian kemari. Mukanya yang hancur
mengepulkan asap aneh lalu berubah menjadi sehitam jelaga. Kengerian tidak
hanya sampai di situ karena sebagian demi sebagian kepala Datuk Lembah Akhirat
hancur meleleh. Kehancuran ini terus merambat ke tubuh dan berakhir di ujung
kedua kakinya. Yang tidak ikut lumer adalah batu tiga warna yang menjadi sumber
ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
Beberapa
orang menarik nafas lega. Tapi mendadak Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras.
Sepasang Sarung Tangan Penyedot Batin yang ada dalam gigitan di mulutnya
tiba-tiba berubah menjadi dua ekor ular kobra berwarna hijau, merah dan hitam,
inilah sepasang ular jejadian yang merupakan titisan Dewi Ular yang ingin
membalas sakit hati dendam kesumat terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua ular
kobra ini berusaha lepaskan diri dari gigitan Datuk Rao Bamato Hijau dengan
jalan mematuk kian kemari. “Craass!” Datuk Rao Bamato Hijau menggigit putus
leher dua ekor ular lalu mencampakkannya ke tanah. Ular pertama meliuk-liuk
beberapa lama sebelum akhirnya menemui ajal lalu lenyap dalam bentuk kepulan
asap. Ular ke dua menyusul sirna tapi cuma bagian tubuh dan ekor. Bagian kepala
yang masih tertinggal tiba-tiba melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
saat itu tengah duduk bersila dalam keadaan terpejam, mengatur jalan nafas,
peredaran darah dan tenaga dalamnya. Kejadian ini begitu cepat. Tidak terduga
hingga semua orang yang menyaksikan hanya bisa keluarkan seruan tertahan.
“Wiro
awas!” Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur berteriak hampir berbarengan.
Sesaat lagi kepala ular yang memiliki lidah dan gigi penuh bisa mematikan itu
akan menancap di leher Wiro, tiba-tiba tangan kanan sang pendekar bergerak ke
atas. Potongan kepala ular tenggelam dalam genggaman Wiro. Sekali tangannya
meremas terdengar suara berkeretakan. Kepala ular titisan balas dendam Dewi
Ular hancur. Lalu berubah menjadi kepulan asap dan lenyap! Perlahan-lahan Wiro
buka kedua matanya. Murid Sinto Gendeng ini tersentak kaget ketika tiba-tiba di
depannya menyeruak sosok setengah badan seorang gadis cantik mengenakan mahkota
berbentuk kepala ular.
“Dewi
Ular…” desis Wiro.
Sosok
gaib itu lontarkan, senyum dingin dan angker. “Kali ini aku gagal membunuhmu
Pendekar 212. Tapi rohku akan kembali menitis untuk membalas kematianku dan
guruku Ratu Ular!” Habis berucap begitu sosok Dewi Ular lenyap laksana asap
dihembus angin.
Sesaat
setelah sosok gaib Dewi Ular lenyap, Sabai Nan Rancak melangkah mendekati mayat
Sutan Alam Rajo Di Langit. Dari balik pakaian Sutan Alam ditanggalkannya Mantel
Sakti. Lalu dia juga mengambil Mutiara Setan yang ada pada kakek itu.
Merasa
keadaan sudah aman, Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini segera
hendak melompat menghampiri Wiro tapi Kakek Segala tahu kerontangkan kalengnya.
Dewa Tuak tiba-tiba berteriak. “Jangan bergirang hati dulu! Muridku Anggini
masih tersekap di Lembah Akhirat!” Habis berkata begitu Dewa Tuak berkelebat
tinggalkan tempat itu. “Kami ikut bersamamu!” teriak Tua Gila.
Dewa
Sedih menggerung keras. “Kalian apa tidak berniat melepaskan diriku yang masih
terikat?!”
“Aku
juga!” teriak Dewa Ketawa sambil mesem-mesem lalu tertawa bergelak.
“Kalian
dua pengkhianat tak berguna! Perlu apa melepaskan kalian! Biar kalian pada
mampus berdiri di tempat ini!” teriak Sinto Gendeng.
“Jangan
salahkan kami!” ratap Dewa Sedih. “Kami berdua telah jadi korban tipuan Datuk
sesat itu. Kami dikebiri! Anggota rahasia kami dicopot dan disembunyikan di
satu tempat rahasia! Bagaimana kami bisa melawan!”
Semua
orang jadi melongo mendengar penjelasan Dewa Sedih itu. Sinto Gendeng berpaling
pada Dewa Tuak lalu berkata. “Lepaskan benang sakti yang mengikat mereka. Jika
nanti terbukti keduanya berdusta, akan kuremas hancur burung mereka!”
Dewa Tuak
dengan cepat lepaskan ikatan benang sakti yang membuat Dewa Sedih dan Dewa
Ketawa serta keledai tunggangannya tak berdaya. Begitu mereka bebas Dewa Sedih
menangis melolong-lolong. Dewa Ketawa angkatangkat dua tangannya sambil
tertawa girang.
“Tua
bangka edan! Hentikan tawa dan tangis kalian! Ayo sekarang buktikan kalau
kalian benar-benar dikebiri. Tidak punya burung lagi!” Hardik Sinto Gendeng.
Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa tertegun saling pandang. Tiba-tiba Dewa Sedih angkat
tinggi-tinggi pakaiannya berupa selempang kain putih sedang Dewa Ketawa
turunkan celana hitam gombrongnya sampai ke paha. Di bawah perut ke dua kakek
ini memang tidak ada apa-apa. Kosong licin! Puti Andini, Bidadari Angin Timur,
Ratu Duyung palingkan muka dengan wajah bersemu merah. Para nenek sunggingkan
senyum seperti jijik tapi melirik juga lalu berusaha menahan tawa cekikikan.
Lain halnya dengan Tua Gila. Kakek Segala Tahu, Naga Kuning, Bujang Gila Tapak
Sakti, Wiro dan si Setan Ngompol serta Dewa Tuak yang saat itu tegak sambil
memanggul jenazah Iblis Putih Ratu Pesolek. Semuanya tertawa terpingkal-pingkal
sampai keluar air mata melihat pemandangan aneh tapi nyata itu!
*********************
Sepuluh
Lembah
Akhirat diselimuti kesunyian. Dengan Naga Kuning sebagai penunjuk jalan
rombongan orang-orang dari barat Telaga Gajahmungkur langsung menuju satu-satunya
bangunan yang ada cahaya lampu minyak menyala. Itu adalah tempat kediaman Ki
Juru Tenung alias Mangkutani. Ha nya tinggal beberapa belas langkah dari
bangunan tiba-tiba pintu terbuka. Seorang bertubuh kurus kerempeng tanpa
pakaian terbungkuk-bungkuk keluar menggotong sesosok tubuh. Sosok ini kemudian
dilem-parkannya dekat sebuah sumur.
“Astaga!
Orang yang dilemparkan itu adalah anakku! Panji!” kata Rajo Tuo Datuk Paduko
Intan alias Sidi Kuniang. “Jangan-jangan anakku sudah diapaapakan orang!”
Datuk Paduko Intan serta merta hendak melompat keluar dari dalam rombongan tapi
dicegah oleh Tua Gila. Kakek ini berpaling pada Naga Kuning yang tegak di
sebelahnya. “Kau kenal siapa nenek-nenek edan yang bertelanjang dada itu?!”
“Namanya
Mangkutani. Biasa dipanggil Ki Juru Tenung. Dia orang kepercayaan Datuk Lembah
Akhirat. Dia punya penyakit aneh….”
“Penyakit
aneh bagaimana?” tanya Datuk Paduko Intan.
“Aku tak
tahu nama penyakitnya. Tapi kata orang dia sering bersuka-suka dengan perempuan
sejenisnya….”
Semua
orang tampak heran mendengar keterangan si bocah. Ada di antara yang mereka
tidak mengerti. Yang tahu apa yang dimaksud langsung menjadi dingin tengkuk
masing-masing. Kakek Segala Tahu mendongak. Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti
saling pandang lalu sama-sama menyengir. Dewa Tuak memandang melotot pada Naga
Kuning. “Jahanam! Pasti muridku Anggini sudah…. Akan kubunuh si Juru Tenung
keparat itu!” Jenazah iblis Ratu Pesolek segera diturunkannya dari bahu dan
dibaringkannya di tanah.
Ketika
Dewa Tuak melompat meninggalkan rombongan, Rajo Tuo Paduko Intan segera
mengikuti. Dewa Sedih keluarkan suara menggerung. Dewa Ketawa terbahak
tertahan-tahan. Yang lain-lainnya mau tak mau tak bisa berdiam diri. Akhirnya
semua menyerbu ke arah bangunan. Di sebelah belakang Dewa Sedih terdengar
meratap.
“Jangan
kalian bunuh manusia itu! Kalau dia sampai mati bagaimana nasib diriku! Aku
akan kehilangan anuku seumur-umur. Kalaupun ketemu bagaimana aku memasangnya!
Aku malu…. Hik… hik… hik!”
Ki Juru
Tenung kaget bukan kepalang ketika menyadari tiba-tiba bermunculan begitu
banyak orang. Walaupun dalam keadaan bugil tapi si nenek ini sama sekali tidak
berusaha menutupi auratnya. Malah dia berteriak pada Dewa Sedih. “Dewa Sedih!
Ada apa? Siapa orang-orang ini? Mana Datuk Lembah Akhirat!”
“Datukmu
sudah mampus! Giliranmu hanya tinggal beberapa kejapan mata saja! katakan di
mana muridku Anggini!” Dewa Tuak melompat ke hadapan Ki Juru Tenung lalu tangan
kanannya mencekik leher sedang tangan kiri memuntir dada si nenek yang kempes
peot hingga orang ini melolong kesakitan.
Sementara
itu Datuk Paduko Intan dan Puti Andini bergegas ke tempat Panji tergeletak.
Pemuda ini ternyata berada dalam keadaan ditotok. Ayahnya segera melepaskan
totokannya. Begitu bisa bergerak dan bersuara Panji berkata. “Ayah, tolong
Anggini. Dia ada dalam bangunan itu.”
Datuk
Paduko Intan segera berkelebat ke arah bangunan. Namun Dewa Tuak sudah lebih
dulu menghambur laksana terbang. Namun ke dua orang tua ini begitu masuk ke
dalam bangunan serta merta keluar lagi. Mereka memberi isyarat pada Ratu
Duyung, Bululani dan Bidadari Angin Timur.
“Muridku
agaknya dalam keadaan pingsan. Walau kelihatannya tidak cidera tapi aku dan
Datuk Paduko Intan tak mungkin menolongnya. Dia dalam keadaan tak berpakaian.
Lekas kalian membantu….”
Mendengar
itu tiga orang perempuan tadi segera menerobos masuk ke dalam bangunan. Tak
lama kemudian mereka keluar lagi sambil memapah Anggini yang sudah berpakaian
lengkap miliknya sendiri. Wiro hendak melangkah mendekati Anggini tapi urung
ketika dilihatnya Panji telah lebih dulu mendekati si gadis. Begitu
berhadap-hadapan dengan Panji, Anggini menangis keras. Panji langsung saja
merangkul murid Dewa tuak ini lalu membawanya ke satu tempat yang lebih tenang.
Akan
halnya Ki Juru Tenung, begitu Dewa Tuak melepaskannya, langsung si nenek hendak
melarikan diri. Tap] tahu-tahu Dewa Sedih dan Dewa Ketawa sudah mengapitnya.
“Kau dulu
yang mencopot perabotan kami! Kau juga yang menyimpan! Kalau barang itu tidak
segera kau ambil dan pasang, tubuhmu akan kami bikin lumat! Aku sedih! Aku
malu! Aku juga benci! Hik… hik… hik!”
Ki Juru
Tenung ketakutan setengah mati mendengar ancaman Dewa Sedih itu. “Kalau kalian
berjanji tidak akan membunuhku, akan kuambilkan barangbarang kalian! Pasti
utuh, tak ada yang kurang!”
“Juru tenung
keparat! Jangan banyak mulut! Ayo jalan!” kata Dewa Ketawa sambil menjambak
rambut awut-awutan si nenek lalu tertawa gelak-gelak.
Karena
apa yang telah terjadi atas diri Dewa Sedih dan Dewa Ketawa merupakan hal yang
sulit dipercaya maka ketika dua kakek ini menggiring Ki Juru Tenung, yang
lain-lain segera mengikuti, kecuali Anggini dan Panji. Si nenek bugil membawa
orang-orang itu ke sebuah ruangan gelap di satu bangunan tak jauh dari tempat
kediamannya. Setelah dua buah lilin dinyalakan kelihatanlah bahwa dalam ruangan
itu ada sebuah lemari besi yang memiliki dua puluh laci. Masing-masing laci
diberi nomor mulai dari 1 sampai 20.
Dengan
menekan sebuah alat rahasia Ki Juru Tenung membuka laci nomor 12 dan nomor 13.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa memperhatikan dengan hati berdebar. Dari dalam
masing-masing laci Ki Juru Tenung keluarkan sebuah benda yang membuat semua
perempuan yang ada di tempat itu palingkan kepala malah akhirnya melangkah
mundur menuju pintu. Dua buah benda itu ternyata memang adalah anggota rahasia
laki-laki diserahkan satu pada Dewa Sedih dan satunya lagi pada Dewa Ketawa.
“Kalau kalian sudah siap aku segera akan memasangkan kembali ke bawah perut
kalian! Tapi dengan perjanjian kalian tidak akan membunuhku!”
Dewa
Ketawa dan Dewa Sedih tidak segera menjawab. Keduanya melangkah ke dekat lilin
untuk meneliti barang yang mereka pegang. Lalu terdengar suara ratap Dewa
Sedih. “Ini bukan punyaku! Barangku tidak burik seperti ini! Aku malu…. Hik…
hik… hik! Ini pasti punya si gendut itu!” Lalu “plaaaak!” Enak saja Dewa Sedih
bantingkan barang yang dipegangnya di atas meja dekat lilin!
“Sialan
kau!” maki Dewa Ketawa. “Walau burik tapi anuku lebih cakep dari anumu!” Lalu
Dewa Ketawa balas dengan menggelindingkan begitu saja barang yang dipegangnya
ke atas
meja! Dua kakak beradik ini lalu ambil barang yang mereka anggap adalah milik
mereka yang asli. Lalu menyerahkan kembali pada Ki Juru Tenung untuk segera
dipasang.
“Awas
kalau kau sampai tidak benar memasangnya! Jangan sampai mencong!” kata Dewa Sedih
seraya sesenggukkan.
“Punyaku
tolong kau rapikan dan poles sedikit sebelum dipasang!” kata Dewa ketawa yang
membuat semua orang tertawa hiruk pikuk!
Dengan
cepat Ki Juru Tenung lakukan pekerjaannya.
“Gila!
Aku tak bakal percaya kalau tidak melihat sendiri!” kata Setan Ngompol lalu
tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.
“Bagaimana
rasanya sobatku Kerbau Bunting?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng pada Dewa
Ketawa.
Yang
ditanya tertawa gelak-gelak, tapi menjawab juga. “Agak berat rasanya. Tapi tak
jadi apa. Nanti kalau sudah biasa pasti terasa enteng! Ha… ha… ha!”
Dewa
Sedih sesenggukan kembali. Dia berpaling pada Sinto Gendeng. “Sinto, walau kau
sering jengkel padaku tapi aku tetap menganggap kau adalah sahabatku. Aku tak
percaya pada si Juru Tenung ini. Coba kau periksa apa barangku sudah betul
du-dukannya…? Aku sedih kalau sampai salah. Hik… hik… hik!”
Karuan
saja Sinto Gendeng jadi menyumpah panjang pendek. Yang Lain-lain tak dapat
menahan tawanya.
Tiba-tiba
Dewa Tuak maju mendekati Ki Juru Tenung.
“Eh, ada
apa…?” Si nenek mundur ketakutan. “Kalian sudah berjanji tidak akan
membunuhku!”
“Yang
berjanji adalah Dewa Ketawa dan Dewa Sedih. Yang Lain-lain termasuk aku, tidak
pernah berjanji!” jawab Dewa Tuak. “Selama menjadi kaki tangan Datuk-Lembah
Akhirat dosamu sedalam lautan setinggi langit! Terlebih lagi kau telah menodai
muridku….”
“Aku
bersumpah! Dia masih tetap perawan sampai saat ini!” kata Ki Juru Tenung.
Dewa Tuak
menyeringai. Tiba-tiba seperti direnggut setan seringainya lenyap. Tangan
kanannya bekerja. “Praakk!” Sosok kurus kerempeng dan bugil Ki Juru Tenung
melintir lalu terbanting ke lantai ruangan. Orang ini mati dengan kepala
rengkah!
Kesunyian
berbau maut di tempat itu tiba-tiba dipecah oleh suara teriakan Panji di luar
sana. “Mata-hari muncul! Gerhana berakhir!”
Semua
orang yang ada di tempat itu berhamburan ke luar dan memandang ke langit.
Memang benar saat itu sang surya secara perlahan-lahan memperlihatkan diri,
tersembul dari balik bulan yang selama ini menutupinya. Kegelapan yang menyungkup
bumi pupus. Udara secara perlahan-lahan pula menjadi terang. Semua orang
berteriak gembira.
Selagi
semua perhatian orang tertuju ke atas langit, Pendekar 212 Wiro Sableng
tiba-tiba melihat seorang berjubah dan bertutup kepala hitam melangkah di
antara pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri. Orang ini berjalan tundukkan
kepala tanpa melihat kiri kanan, wajahnya tak terlihat. Di tangannya dia
membentang sebuah kitab yang sudah robek-robek dan terbuat dari daun lontar.
Sambil melangkah dari mulutnya tiada henti keluar suara seperti orang tengah
membaca atau merapal tulisan yang ada dalam kitab itu. Pendekar 212 perhatikan
orang itu tak berkesip. Matanya kemudian melihat tangan kanan orang itu tidak
memiliki jari kelingking alias buntung. Sepasang mata murid Sinto Gendeng
membesar. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya berdebar. Detak jantungnya
mengencang.
“Aneh…”
membatin Wiro. “Satu-satunya manusia dengan perawakan seperti orang yang lewat
itu, berjari kelingking tangan kanan buntung adalah Pangeran Matahari. Tapi
jelas dia sudah tewas di Pangandaran. Atau mungkin…?” Tengkuk Pendekar 212
menjadi dingin. Wiro bermaksud hendak mengikuti orang itu. Namun saat itu
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung melambaikan tangan memanggilnya. Ketika
Wiro berpaling, orang berpakaian dan bertutup kepala hitam tadi telah lenyap.
“Pangeran Matahari…” desis Wiro kembali. Dalam keadaan seperti itu murid Sinto
Gendeng ini lupa kalau dia memiliki ilmu Menembus Pandang yang bisa melihat
sesuatu di kejauhan.
Sebagai
penutup cerita dapat dituturkan bahwa Panji bersama Anggini menyeberang ke
Pulau Andalas menuju tempat kediaman Nyanyuk Amber di Danau Maninjau. Sinto
Gendeng kembali ke puncak Gunung Cede ditemani oleh Kakek Segala Tahu. Dewa
Tuak setelah mengurus jenazah iblis Putih Ratu Pesolek dihadiri oleh semua
orang yang ada di tempat itu, bersama-sama Puti Andini memencilkan diri di dua
tempat terpisah di pantai selatan.
Andamsuri
kembali pada suaminya yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan menetap di puncak
Gunung Merapi sementara kerajaan pulaunya yang disebut Kerajaan Sipatoka
diserahkan pada seorang kerabat karena istrinya (ibu Panji) telah berpulang
sebelum dia meninggalkan pulau untuk mencari Panji. Yang paling berbahagia
adalah Tua Gila dan Sabai Nan Rancak. Kedua orang ini memutuskan kembali hidup
bersama dan menetap di puncak Gunung Kerinci. Bululani mengembara ke Gunung
Kidul untuk mencari kakak angkatnya bernama Bululawang.
Bujang
Gila Tapak Sakti mendapat tugas untuk mencari Hantu Balak Anam setelah Ratu
Duyung memberi tahu bahwa kalung sakti milik Sabai Nan Rancak berada dalam
lobang luka di tubuhnya. Yang terakhir adalah Pendekar 212. Dia seolah
memboyong Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung dalam perjalanan bersama. Si
Setan Ngompol dan Naga Kuning dalam bingungnya akhirnya secara diam-diam
mengikuti Wiro dan dua gadis cantik itu menuju ke timur.
TAMAT
No comments:
Post a Comment