Jagal
Iblis Makam Setan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
SATU
SEPASANG
mata Sika Sure Jelantik bergerak liar menatap tajam ke arah kegelapan di
eliling gubuk di mana dia berada. Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur di tanah
lam keadaan kaku karena ditotok oleh si nenek.
Aneh,
jelas barusan aku mendengar suara orang! Juga suara tawa keparatnya! Tapi mana
bangsatnya?!” Sika Sure Jelantik memaki dalam hati. Ke dua matanya terus meliar
coba menembus kegelapan. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. “Jangan-jangan
suara angin menipu pendengaranku!” Lalu perempuan tua ini kembali palingkan
wajahnya ke arah murid Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling sekali lagi
lalu dengan cepat ulurkan ke dua tangannya untuk menanggalkan jubah sakti
Kencono Geni yang dikenakan Wiro.
Saat
itulah kembali dari dalam gelap terdengar suara tertawa cekikikan. “Hik… hik!
Nenek tak tahu diri! Kau masih mau meneruskan maksudmu membugili pemuda itu?!
Hik… hik!”
Sika Sure
Jelantik pukulkan tangan kanannya ke tanah hingga tanah itu membentuk lobang
dan salah satu tiang gubuk bergoyang keras lalu jatuh ke tanah. Dengan marah si
nenek membentak.
“Manusia
atau setan sekalipun! Kenapa sembunyikan diri di dalam gelap! Unjukkan
tampangmu!”
“Sika, tinggalkan
pemuda itu. Kau tak bakal dapat apa-apa darinya!” Orang di dalam gelap menjawab
ucapan si nenek.
“Hemmm…
Kau tahu namaku! Berarti kau seorang yang aku kenal! Jangan terlalu pengecut
memperlihatkan diri!”
“Jika itu
maumu, apa susahnya! Tapi jangan kecewa karena kau tak bakalan bisa melihat
wajahku!” jawab suara dalam gelap. Lalu terlihat satu bayangan hitam berkelebat
disertai suara siuran angin. Tahu-tahu di depan gubuk yang kini atapnya miring
karena salah satu tiangnya roboh, duduk menjelepok di tanah seorang berpakaian
serba hitam. Seperti dikatakannya tadi si nenek tak bakal melihat wajahnya.
Karena orang ini duduk sambil menutup mukanya dengan ke dua tangan. Meski Sika
Sure Jelantik memang tidak dapat melihat wajah orang itu namun dia sudah
mengetahui siapa dia adanya.
“Iblis
Pemalu! Permainan konyol apa yang sedang kau lakukan saat ini?! Ucapan-ucapanmu
tadi benar-benar membuatku marah! Kalau bukan kau orangnya saat ini pasti kau
sudah kubunuh!”
“Nenek
Sika, aku malu! Justru aku yang harus bertanya. Permainan konyol apa yang
hendak kau perbuat terhadap pemuda itu!”
“Apa
urusanku tak perlu kau banyak cingcong! Kau menunjukkan sikap aneh. Bukankah
kita sebelumnya datang dalam satu rombongan bersama dua teman lainnya? Mana
Pengiring Mayat Muka Hijau dan Datuk Gadang Mentari?!”
Sambil
terus menutupi wajahnya dibalik dua tangan, Iblis Pemalu menjawab. “Aku malu
tak dapat mengatakan dimana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau. Tapi si Datuk
Gadang Mentari sudah mati menemui ajal! Memalukan sekali datang jauh-jauh dari
tanah seberang hanya mencari mati di tanah Jawa! Bukankah kau sendiri
menyaksikan kematiannya di lembah batu itu?”
“Jadi
gadis bernama Anggini, murid tua Gila itu benar-benar membunuh sahabat kita Datuk
Gadang Mentari….”
“Huss…!
Jangan berkata yang memalukan! Tua bangka itu bukan sahabatku. Aku berada
bersama rombongannya hanya ikut-ikutan saja!”
“Rupanya
kau bukan cuma seorang pemalu. Tapi juga pengkhianat. Teman dibunuh orang kau
biarkan saja!”
“Datuk
Gadang Mentari bukan temanku! Kau juga bukan temanku! Aku malu berteman dengan
kalian!”
Wiro
Sableng yang sejak tadi mendengar percakapan ke dua orang itu diam-diam merasa
aneh melihat perubahan sikap orang berjuluk Iblis Pemalu itu. Untuk menyelidik
tentu saja tidak mungkin. Tahu kalau kini Iblis Pemalu tidak lagi sehaluan
dengan si nenek maka murid Sinto Gendeng ini lantas tertawa bergelak.
“Nenek
jelek! Kau dengar orang tak mau berteman denganmu! Aku saja yang orang lain
merasa malu! Apa kau tidak merasa malu?!”
“Tutup
mulutmu! Jangan ikut campur urusanku!” bentak Sika Sure Jelantik marah sekali
hingga sekujur tubuhnya bergetar. Dia berpaling pada Iblis Pemalu yang saat itu
tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro.
“Mana dia
merasa malu!” ujar Iblis Pemalu.
“Nenek
tua ini tidak punya kemaluan! Astaga! Maksudku tidak punya rasa malu! Hik… hik…
hik!”
“Aku
tidak merasa rugi tidak menjadi sahabatmu! Kalau kau tidak berteman denganku,
harap lekas angkat kaki dari sini! Jangan membuat aku muak!” Membentak Sika
Sure Jelantik pada Iblis Pemalu dengan mata dipelototkan.
“Ah,
diriku bisa membuatmu jadi muak! Memalukan sekali! Kalau kau memang muak
melihatku, sebelum kau muntah apa salahnya kau saja yang minggat dari sini?!
Atau mungkin itu kau anggap sesuatu yang memalukan?!”
Semakin
marah Sika Sure Jelantik mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu. Namun dia masih
bisa menimbang. Kalau memperturutkan kemarahannya mau saat itu dia menghantam
dan membunuh Iblis Pemalu dengan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Namun dari pada mencari
perkara lebih baik mengalah dan membawa Wiro Sableng dari tempat itu. Maka
tanpa banyak bicara dia segera membungkuk, siap memanggul tubuh Pendekar 212.
Tapi di sampingnya Iblis Pemalu terdengar berkata.
“Aku
memintamu pergi seorang diri! Tidak membawa serta pemuda itu! Jangan melakukan
hal yang memalukan nenek Sika!”
“Iblis
Pemalu, harap kau jangan keliwat menekan! Pemuda ini milikku! Aku boleh
membawanya kemana saja! Aku boleh melakukan apa saja terhadapnya!”
“Memalukan
sekali! Mana ada aturan seperti itu?!” ujar Iblis Pemalu dengan dua tangan
masih terus dipergunakan menutupi, wajahnya.
Sika Sure
Jelantik angkat kepalanya ke atas lalu keluarkan tawa panjang. “Sekalipun kau
raja di raja rimba persilatan, jangan mengira kau bisa mengatur diriku! Jangan
kau berani bergerak di tempatmu! Atau kau akan mampus percuma!”
Tanpa
mengacuhkan Iblis Pemalu si nenek Sika Sure Jelantik dengan gerakan cepat
menarik salah satu tangan Wiro hingga sosok murid Sinto Gendeng ini melayang ke
atas dan “bluk!” Tahu-tahu sudah berada di atas bahu kirinya.
Iblis
Pemalu ternyata tak tinggal diam. Sebelum Sika Sure Jelantik berkelebat pergi
melarikan Wiro dia sudah berkelebat dan tegak menghadang jalan si nenek.
“Kau
benar-benar mencari mampus!” hardik Sika Sure Jelantik. Tangan kirinya
dihantamkan ke arah. Iblis Pemalu. Lima larik sinar sangat hitam menggebubu
dalam gelapnya malam.
“Memalukan!”
terdengar seman Iblis Pemalu.
“Memalukan!”
ikut berteriak murid Sinto Gendeng. Dia sengaja memanasi si nenek.
Lima
larik sinar maut terus mencuat dari lima kuku jari Sika Sure Jelantik.
“Mampus!”
teriak si nenek sambil menyeringai ketika melihat bagaimana lima sinar mautnya
hanya tinggal sejengkal lagi dari tubuh yang jadi sasaran!
Tapi
laksana gaib ditelan bumi sosok Iblis Pemalu mendadak sontak lenyap dari
pemandangan. Lima larik sinar hitam pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat mendarat
pada sebuah batu besar di depan serumpunan semak belukar. Batu dan semak
belukar sama-sama mencelat berhamburan hancur beran
takan!
“Kurang
ajar! Bagaimana mungkin dia bisa lolos dari pukulan saktiku!” ujar Sika Sure
Jelantik dan cepat memutar tubuh memandang berkeliling.
“Nenek
Sika, kau letakkan saja pemuda itu di tanah lalu pergi dari sini. Bukankah itu
lebih baik bagimu dari pada berbuat lain yang bisa memberimu malu besar?!”
Si nenek
cepat putar tubuhnya ke kiri. Dilihatnya Iblis Pemalu tegak di atas atap gubuk
yang hampir rubuh. Tangan kiri berkacak pinggang sedang tangan kanan menutupi
wajah.
“Kalau
kau memang inginkan pemuda ini, mengapa kau tidak berani merampasnya dari
tanganku? Pengecut memalukan!” Sika Sure Jelantik mengejek seraya keluarkan
suara mendengus dari hidung dan mulutnya.
Iblis
Pemalu, tertawa mengekeh seraya usap-usap wajahnya dengan tangan kanan.
“Aku
sudah memberi kesempatan padamu. Tapi kau tidak mau mempergunakan! Sungguh
memalukan! Jika kau inginkan aku merampas pemuda itu dari tanganmu lihat saja
bagaimana jadinya!”
Habis
berkata begitu tubuh Iblis Pemalu lenyap dari atas atap.
“Wutttt!”
Sika Sure
Jelantik berseru kaget ketika tiba-tiba ada sambaran angin di samping kanan.
Lalu ada satu tangan hendak mencengkeram tengkuk pemuda yang ada di
panggulannya. Si nenek cepat membungkuk seraya hantamkan siku kanannya.
Serangannya meleset. Tiba-tiba si nenek membuat gerakan berputar. Dengan
mengandalkan kaki kirinya sebagai tumpuan Sika Sure Jelantik berputar dalam
gerakan setengah lingkaran. Kaki kanannya menendang dan “bukk!”
Sosok
Iblis Pemalu yang tadi ada di belakangnya mencelat kena hantaman kaki kirinya.
“Memalukan!”
Iblis Pemalu berseru sambil menahan sakit. Tangan kiri memegang perutnya yang
kena tendang sedang tangan kanan tetap menutupi wajahnya. Selagi dia berusaha
mengimbangi diri Sika Sure Jelantik tak mau memberi kesempatan. Tangan kanannya
dipukulkan. Lima larik Kilat Kuku Akhirat menyambar ke arah Iblis Pemalu.
“Tamatlah
riwayatmu sekarang manusia sinting geblek!” teriak Sika Sure Jelantik dengan
mata berkilat-kilat dan mulut sunggingkan senyum maut.
Di depan
sana Iblis Pemalu tiba-tiba memutar tubuhnya. Dalam keadaan membelakangi lawan
ke dua tangannya dipukulkan ke belakang.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dalam
gelap kelihatan dua larik cahaya putih bergulung-gulung membentuk dua lingkaran
aneh. Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika melihat lima larik sinar sakti pukulan
Kilat Kuku Akhiratnya masuk ke dalam dua lingkaran cahaya putih, ikut tergulung
lalu dua lingkaran putih bersama lima larik sinar hitam berbalik menghantam ke
arahnya!
Dalam
keadaan seperti itu Sika Sure Jelantik masih mampu berpikir cepat. Bukan dia
saja yang harus menyelamatkan diri dari hantaman maut itu tapi Pendekar 212
Wiro Sableng juga harus diselamatkan. Kalau sampai pemuda itu menemui ajal
tambah sulit baginya untuk mencari tahu di mana beradanya musuh besarnya si Tua
Gila itu!
Maka si
nenek pun melakukan satu hal yang hebat!
**********************
DUA
SIKA Sure
Jelantik lemparkan tubuh Pendekar 212 ke atas. “Hekkk!” Suara seperti orang
muntah melesat keluar dari tenggorokan murid Sinto Gendeng ini begitu tubuhnya
yang dilemparkan ke atas jatuh membelintang di atas cabang pohon. “
Tua
bangka sialan!” maki Wiro. “Untung tubuhku nyangsrang di sini! Kalau amblas ke
tanah pasti nyawaku tidak ketolongan!” Wiro memandang ke bawah. Cabang pohon
dimana tubuhnya terbelintang tanpa bisa bergerak berada sejarak lebih empat
tombak dari tanah! Rasa gamang dan ngeri karena khawatir akan jatuh sementara
dirinya masih berada dalam keadaan tertotok membuat murid Sinto Gendeng ini
seperti mau membuang hajat besar. “Nenek jelek! Turunkan aku dari atas pohon.”
Sika Sure
Jelantik mana perdulikan teriakan Wiro. Begitu bahunya lepas dari beban sosok
tubuh Wiro si nenek lesatkan dirinya ke atas. Gulungan cahaya putih dan sinar
pukulan Kilat Kuku Akhirat lewat hanya setengah jengkal di bawah kakinya.
Bagian bawah jubahnya terasa panas. Ketika dia meneliti ternyata ujung jubahnya
telah berubah menjadi abu! Diam-diam tengkuk si nenek menjadi dingin, “iblis
Pemalu. Aku mengenalnya baru satu minggu! Siapa makhluk aneh tapi dahsyat ini
sebenarnya? Aku tak pernah melihat wajahnya. Tadi waktu melepaskan pukulan
berbentuk dua gulungan sinar putih dia. pergunakan ke dua tangannya. Tapi dia
sengaja membelakang hingga tampangnya tetap tidak kelihatan! Tanah Jawa
benar-benar sarat dengan manusia berkepandaian tinggi!”
“Memalukan!
Bagaimana mungkin seranganku tidak mengenai sasaran!” Iblis Pemalu mengomel.
Saat itu dari atas dilihatnya Sika Sure Jelantik melayang turun. Sepasang kaki
si nenek menghunjam ke arah kepalanya. Iblis Pemalu tak tinggal diam. Dua
tangan menutup wajah. Dua kaki dihentakkan ke tanah. “Settt!” Tubuhnya lenyap.
Tahu-tahu sudah berada di udara, membuat si nenek terkejut sekali karena lawan
berada demikian dekat dengannya dan “wutt… wutt!” Dua kaki Iblis Pemalu
menerjang ke depan. Dalam keadaan seperti itu tak ada jalan lain bagi Sika Sure
Jelantik selain balas menghantam dengan ke dua kakinya pula.
Maka
terjadilah perkelahian saling tendang di udara. Suara beradunya kaki terdengar
tiada henti dan baru lenyap ketika Sika Sure Jelantik tampak limbung lalu jatuh
terkapar di tanah tak kuasa bangkit kembali. Dia berusaha mengatupkan mulut
rapat-rapat namun tak urung suara erangannya terdengar juga.
Iblis
Pemalu melayang turun ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia tampak tegak
terbungkuk-bungkuk. “Memalukan…. Memalukan….” Kata-kata itu keluar dari
mulutnya berulang kali. Kedua tangan menutupi wajah. Sepasang matanya
memperhatikan Sika Sure Jelantik lewat celah-celah jarinya.
“Aku
meminta pemuda itu secara baik-baik. Kau bersikap keras kepala. Memalukan!
Sekarang lihat apa akibatnya! Berdiri pun kau tak sanggup! Dan aku sendiri!
Huh! Rasanya mau putus kaki ini!”
Di atas
pohon Wiro berteriak. “Sobatku iblis Pemalu! Jangan mengoceh saja! Tolong
turunkan aku!”
Iblis
Pemalu memandang ke atas pohon yang gelap. Lalu tertawa cekikikan. Dengan muka
ditutupi ke dua tangannya dia balas berteriak. “Aku malu melihatmu di atas
pohon sana! Memang tak ada tempat lain yang lebih baik bagimu! Hik… hik.. hik!”
“Jangan
bergurau! Turunkan aku dari atas pohon keparat ini!”
“Memalukan!
Kau memerintah menurunkanmu! Apa aku yang meletakkanmu di atas cabang pohon?!”
“Jangan
ngaco! Memang bukan kaul Tapi apa salahnya kau segera menolong diriku!” jawab
Wiro yang jadi sangat jengkel.
“Nenek
jelek itu yang melempar kau ke atas pohon. Dia memang tak punya malu! Minta
padanya agar menurunkan kau sekarang juga!”
Sika Sure
Jelantik yang tergeletak di tanah menyeringai menahan sakit. “Iblis Pemalu
keparat! Kau meminta aku menurunkan pemuda gendeng itu! Baik! Kau saksikan
sendiri bagaimana caraku menurunkannya!” Habis berkata begitu si nenek
hantamkan tangan kanannya ke atas. Lima larik sinar pukulan Kilat Kuku Akhirat
menderu ke arah Wiro.
“Tobat!
Tamat riwayatku!” teriak Wiro dengan mata melotot. “Iblis Pemalu! Lakukan
sesuatu!”
Tapi
Iblis Pemalu cuma tutup mukanya rapat-rapat dan gelengkan kepala.
“Setan
alas! Nyawaku benar-benar tidak bisa tertolong!” keluh Pendekar 212.
“Wuttt!”
Sesaat
lagi Wiro akan menemui ajal ditembus lima larik sinar maut tiba-tiba sebuah
benda putih halus melesat di kegelapan malam tanpa suara sedikitpun. Wiro
merasakan ada sesuatu yang mengikat ke dua pergelangan kakinya. Lalu tiba-tiba
saja tubuhnya terasa laksana dibetot dan berputar di udara. Di sampingnya
cabang pohon tempat dia tadi terjuntai melintang hancur berantakan dihantam
sinar Kilat Kuku Akhirat.
“Apa yang
terjadi dengan diriku?!” ujar Wiro. Tubuhnya berputar di udara laksana terbang.
Perlahan-lahan tubuh itu melayang ke bawah, makin ke bawah dan akhirnya “bukk!”
Wiro terbanting keras menelungkup. Bukan di tanah. Tapi di atas sosok tubuh
Sika Sure Jelantik! Kakinya saling bertumpuk dengan kaki si nenek. Perut dan
dadanya berbenturan keras dengan perut dan dada Sika Sure Jelantik. Bahkan
mulutnya pun saling bertempelan dengan mulut si nenek hingga keduanya seolah
sedang berciuman mesra!
Sika Sure
Jelantik memaki panjang pendek. Wiro keluarkan suara seperti mau muntah dan
meludah berulang kali. “Sialan! Ludahnya masuk ke dalam mulutku!” rutuk murid
Sinto Gendeng.
Dalam
kegelapan terdengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh! Si nenek menggereng
marah. Wiro pasang telinga baik-baik. Saat itu tubuhnya yang tak mampu bergerak
akibat totokan masih tertelentang menelungkup di atas badan si nenek.
“Aku
rasa-rasa mengenali suara tawa itu. Jangan-jangan… Ah, apa benar dia?”
“Jahanam!
Berani kau mencium mulutku!” Sika Sure Jelantik berteriak marah. Tangannya kiri
kanan dipukulkan ke arah batok kepala Wiro. Ini merupakan satu serangan
mengepruk yang dapat memecahkan kepala murid Sinto Gendeng itu.
Wiro yang
seolah tidak sadar bahaya maut mengancamnya balas berteriak. “Siapa suka
mencium nenek bau macammu!”
Sesaat
lagi dua tangan si nenek akan menghancurkan kepalanya tiba-tiba Wiro merasa
benda aneh yang menjirat dua pergelangan kakinya disentakkan. Tubuhnya yang
masih tertelungkup di atas tubuh si nenek terbetot ke kiri lalu terguling di
tanah. Hal ini menyelamatkannya dari serangan maut Sika Sure Jelantik. Saat itu
pula sebuah benda halus panjang melayang di sampingnya. Ujung benda ini laksana
seekor ular mematuk ke arah jalan darah di pangkal leher Wiro. Serta meria saat
itu juga totokan yang menguasai dirinya buyar! Mulutnya langsung membuka. Dia
menguap lebar-lebar. Sepasang matanya meredup seperti mengantuk. Ulahnya ini
tidak lain akibat pengaruh ilmu tidur yang diberikan Si Raja Penidur padanya
tempo hari. Sesaat kemudian setelah menyadari dirinya bebas dari totokan Wiro
cepat gulingkan diri mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi diambil dan
diletakkan Sika Sure Jelantik di tanah. Baru saja senjata ini disimpannya di
balik pakaian tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras.
“Aku
mencium bau badanmu!!” Nenek yang cidera ke dua kakinya ini mencoba bangkit
berdiri tapi tidak bisa. Seperti gila dia berteriak. “Sukat Tandika! Jangan
bersembunyi! Lekas unjukkan diri menerima kematian!” Si nenek gerak-gerakkan
tangan kanannya ke berbagai arah, Siap menghantam dengan pukulan sakti paling
hebat yang dimilikinya yakni Jalur Hitam Bara Dendam. Ini merupakan pendalaman
dari ilmu Kilat Kuku Akhirat yang memang direncanakannya untuk dipergunakan
membunuh Tua Gila. Tangan kiri si nenek bersitekan ke tanah untuk menopang
tubuhnya. Sepasang matanya jelalatan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba ada
sambaran angin di belakangnya. Si nenek membalik, siap menghantam dengan
pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat. Tapi terlambat. Satu totokan bersarang di
punggungnya. Langsung saat itu sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang dalam
keadaan seperti merangkak.
“Jahanam!
Siapa berlaku pengecut menotok dari belakang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku malu
melakukannya. Tapi apa boleh buat! Nenek liar sepertimu harus dibuat jinak!
Hik… hik… hik!”
“Iblis
Pemalu keparat!” rutuk si nenek.
Iblis
Pemalu melangkah mendekati Pendekar 212. “Tadi dia menotokmu dan hendak
menelanjangimu! Aku barusan telah menotoknya. Dia tak bisa bergerak lagi! Apa
kau mau membalas menelanjanginya?! Hik… hik… hik!”
“Apa
enaknya melihat tubuh tua keriput seperti yang dimilikinya! Memalukan saja!”
jawab Wiro menimpali ejekan iblis Pemalu walau sebenarnya dia masih jengkel
pada orang ini karena tadi tidak menolongnya turun dari cabang pohon.
Iblis
Pemalu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro.
“Dua
manusia gila! Aku bersumpah akan membunuh kalian!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku mau
pergi dari sini. Malu lama-lama berada di tempat ini. Kau mau kemana? Mau pergi
sama-sama denganku asal kau tidak malu saja?!” tanya Iblis Pemalu pada Wiro.
“Aku,
hemm…. Biar aku di sini dulu menemani nenek-nenek ini. Kasihan kalau dia sampai
mati kedinginan di tempat ini….”
“Terserah
padamu. Tapi awas, jangan kau gerayangi tubuh tua bangka itu. Jangan melakukan
sesuatu yang membuat malu aku malu sebagai temanmu! Aku pergi sekarang,” kata
Iblis Pemalu.
“Tunggul
Jangan pergi dulu! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” kata Wiro pula. Lalu
tanpa menunggu jawaban orang dia memandang berkeliling. Dia tahu siapa yang
barusan menolongnya. Maka diapun berseru. “Kakek Tua Gila, mengapa masih
bersembunyi?!”
Sika Sure
Jelantik yang diam-diam juga sudah memastikan bahwa Tua Gila bekas kekasihnya
yang kini menjadi manusia paling dibencinya di atas dunia ini berada di tempat
itu, serta merta salurkan tenaga dalam ke tangan kanan menyiapkan serangan maut
Jalur Hitam Bara Dendam. Lima kukunya yang panjang mengeluarkan sinar hitam
angker dan sepertinya ada asap tipis keluar dari tangannya. Matanya memandang
liar berkilat. Begitu Tua Gila muncul dari dalam kegelapan langsung akan
dihantamnya dengan pukulan sakti itu. Tapi dia lupa bahwa saat itu sekujur
tubuhnya berada dalam keadaan tertotok. Walau secara luar biasa dia masih
sanggup menyalurkan tenaga dalam dan menyiapkan pukulan Jalur Hitam Bara Dendam
namun dia tidak mampu menggerakkan apa lagi mengangkat tangan kanannya itu
untuk menyerang.
Di dalam
gelap terdengar suara orang batuk-batuk beberapa kali. Lalu berkelebat muncul
satu bayangan. Tapi orang ini ternyata bukan Sukat Tandika alias Tua Gila!
**********************
TIGA
SIKA Sure
Jelantik menyumpah habis-habisan ketika dia menyadari kalau tak mampu
menggerakkan tangan kanan untuk melepas pukulan Jalur Hitam Bara Dendam. Dalam
keadaan seperti itu dia merasa agak lega sedikit walau sepasang matanya
membeliak berkilat. Yang muncul di tempat itu bukanlah Sukat Tandika alias Tua
Gila kekasihnya di masa muda.
Iblis
Pemalu yang belum sempat meninggalkan tempat itu memandangi orang yang datang
lewat sela-sela jari ke dua tangannya yang dipergunakan menutupi wajah.
Wiro
garuk-garuk kepala, memandang tak berkesip dan bertanya-tanya siapa adanya
orang yang berdiri di bawah bayangan gelap pohon besar di sampingnya.
“Aku
memang tidak kenal pada perempuan tua ini. Tak pernah melihatnya sebelumnya.
Tapi mengapa wajahnya mengingatkan aku pada seseorang…?” Murid Sinto Gendeng
membatin.
Orang
yang muncul di tempat itu adalah perempuan tua berjubah hitam. Dia mengenakan
sebentuk topi menyerupai tanduk kerbau, terbuat dari kain berbenang perak. Di
bawah topi rambutnya yang putih panjang menjela punggung dan dada. Walau
wajahnya keriputan dimakan usia namun masih ada bayangan kecantikan yang
dimilikinya di masa muda. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak, salah
seorang tokoh silat penguasa Gunung Singgalang yang seperti telah dituturkan
dalam Episode sebelumnya (Asmara Darah Tua Gila) menyeberang dari Andalas ke
tanah Jawa dalam mencari musuh besarnya yaitu Tua Gila.
“Kau
siapa?!” membentak Sika Sure Jelantik.
“Ya, kau
siapa?!” Wiro ikut-ikutan bertanya.
Iblis
Pemalu tetap berdiri memandang dengan muka ditutup.
Nenek
berjubah hitam menyeringai. Kepalanya digoyangkan hingga rambutnya yang putih
panjang tersingkap ke belakang. Walau wajahnya kini kelihatan menyeluruh namun
baik Sika Sure Jelantik maupun Wiro tetap saja tidak mengenali siapa adanya
nenek satu ini.
“Nenek
yang terkapar di tanah!” Sabai Nan Rancak berkata dengan nada sinis. Dia
menatap ke arah Sika Sure Jelantik, sama sekali tidak perdulikan Pendekar 212.
“Kau tidak kenal diriku. Tapi aku kenai kau siapa adanya. Bukankah kau yang
bernama Sika Sure Jelantik? Nenek culas yang pernah menyamar jadi dukun sakti
di suatu pulau?! Yang datang ke tanah Jawa ini untuk mencari seorang kakek
bernama Sukat Tandika alias Tua Gila alias Iblis Gila Pencabut Jiwa alias
Pendekar Gila Patah Hati?!”
Berubahlah
paras angker Sika Sure Jelantik. “Setan tua ini tahu banyak tentang diriku! Aku
sama sekali tidak mengenali siapa dia adanya! Sial keparat!”
“Nenek,
kau mengenali tua bangka satu ini, kau sendiri siapa?!” Wiro beranikan diri
ajukan pertanyaan.
“Tutup
mulutmu! Aku bicara dengan dia! Dan aku belum mendapat jawaban! Pada gilirannya
aku akan bicara denganmu!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Aduh
galaknya si muka keriput ini!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Walau
dalam keadaan Cidera ke dua kaki dan tak berdaya karena tertotok Sika Sure
Jelantik tetap saja galak. Dia menjawab dengan lantang.
“Tua
bangka rongsokan! Rupanya namaku demikian terkenalnya hingga kau tahu siapa
diriku! Dan tentang dirimu yang sudah lapuk dimakan rayap usia, apa perduliku
untuk mau tahu!”
Sabai Nan
Rancak mendongak lalu tertawa panjang.
“Bicaramu
memang hebat! Tapi aku tahu jiwamu tergoncang besar! Aku merasa tidak ada
gunanya bicara lebih panjang denganmu!” Sabai Nah Rancak berpaling pada Wiro
Sableng. “Aku juga kenal siapa dirimu anak muda! Jangan kau berani beranjak
dari tempatmu sebelum aku mendapat keterangan!”
“Malam
begini gelap tak ada bulan tak ada bintang. Penerangan apa yang bisa aku
berikan padamu?!” ujar Wiro seenaknya sambil senyum-senyum.
“Orang
yang mau mampus bicaranya memang sering tidak karuan!” balas Sabai Nan Rancak.
Murid
Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan orang tapi tetap saja tak mau
kalah. “Nek, kau rupanya manusia hebat luar biasa. Sampai-sampai tahu kalau ada
yang akan mati. Kalau dibanding usiamu dengan usiaku, bukankah kau yang lebih
bau tanah alias dekat liang kubur?!”
“Sobatku!
Kau betul! Memalukan saja si tua bangka ini bicaranya!” Iblis Pemalu berteriak
lalu tertawa gelak-gelak.
“Hemmm…
Ada satu lagi orang gila rupanya di tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak tak mau
kalah mengejek. “Heran, kenapa orang-orang gila selalu memilih mati
berkawan-kawan daripada sendiri-sendiri! Hik… hik… hik!”
Di balik
ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tampak mengerenyit menahan tawa sedangkan
Wiro kelihatan tegak melongo dan garuk-garuk kepala.
“Kau!”
tiba-tiba Iblis Pemalu gerakkan tangan kirinya dan menuding tepat-tepat kepada
Sabai Nan Rancak. “Kau datang laksana munculnya hantu malam. Memalukan! Kau
tahu banyak tentang orang lain tapi tidak mau memberi tahu siapa diri sendiri!
Memalukan! Biaraku beritahu pada orang-orang di sini siapa kau adanya!”
Sabai Nan
Rancak sesaat jadi tercekat tapi dia diam tak bergerak dan tak membuka mulut
walau dalam hati dia berusaha menduga-duga siapa adanya manusia aneh yang
terus-terusan menutupi wajahnya dengan tangan. “Kau tidak beda dengan nenek tua
bernama Sika Sure Jelantik itu! Kau datang jauh-jauh dari seberang bukankah
punya maksud sama dengan dia?!”
Berdebar
dada Sabai Nan Rancak mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu.
“Manusia
aneh bermulut panjang! Apa maksudmu!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Kau
berkeliaran sampai di sini bukankah karena juga mencari Tua Gila? Orang yang di
masa mudamu menjadi kekasihmu!”
“Jahanam!”
teriak Sabai Nan Rancak. Tubuhnya berkelebat. Tangan kirinya lancarkan satu
pukulan keras ke arah dada Iblis Pemalu. Tapi yang diserang bergerak cepat
hindarkan diri dan tahu-tahu sudah tegak empat langkah di samping kanan Sabai
Nan Rancak.
“Kau malu
rahasiamu aku bongkar? Ha… ha… ha!” Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak. “Sika
Sure Jelantik, kalau kau dulu kawin dengan Sukat Tandika, maka nenek satu ini
akan menjadi madumu! Ha… ha… ha…! Benar-benar hidup yang memalukan!”
Baik Sika
Sure Jelantik maupun Sabai Nan Rancak sama bersemu merah wajah masing-masing
dalam gelap.
“Orang
gila! Siapa kau adanya!”
cak
menegur. Suaranya tetap keras.
“Siapa
aku itulah satu hal memalukan untuk diberi tahu!” jawab Iblis Pemalu pula.
“Tapi aku tidak malu memberi nasihat! Sebaiknya kau yang bernama Sabai Nan
Rancak kembali saja ke pulau Andalas. Tanah Jawa terlalu keras bagimu! Kau
tidak akan mendapatkan keberuntungan!”
“Aku
memang tidak mencari untung datang ke sini. Aku mencari nyawa orang!” jawab
Sabai Nan Rancak. Lalu dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku tahu siapa kau
adanya anak muda! Lekas kau suruh keluar gurumu! Aku tahu dia ada di tempat
ini! Tapi takut memperlihatkan diri!”
“Bukan
takut! Mungkin malu!” ujar Iblis Pemalu.
“Jika kau
punya kepentingan dengan Tua Gila, harap kau mencari dan mendapatkannya
sendiri!” jawab Wiro.
“Baik!
Kalau begitu biar kau kubuat mampus dulu baru si Tua Gila itu mau menunjukkan
diri!”
Habis
berkata begitu Sabai Nan Rancak kembangkan telapak tangan kanannya lalu
diangkat dan diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dalam
gelap satu sosok yang sejak tadi mendekam tak bergerak diam-diam merasa cemas.
“Dia hendak menghantam anak itu dengan pukulan sakti Kipas Neraka! Celaka!
Jangankan dia, akupun tak sanggup menerima pukulan maut itu!” Lalu orang ini
sibakkan semak belukar di depannya. Dia melompat keluar seraya berteriak.
“Tahan
serangan!”
Seorang
kakek berpakaian putih kini tegak antara Wiro dan Sabai Nan Rancak.
“Manusia
jahanam Sukat Tandika!” Teriak Sika Sure Jelantik. Dia serasa mau terbang untuk
melumat tubuh kakek itu.
“Kakek
Tua Gila!” seru Wiro.
“Ha… ha!
Jadi ini dia si tua bangka memalukan itu!” Ikut bicara Iblis Pemalu.
Sesaat
Sabai Nan Rancak tampak tergoncang. Matanya mendelik memandangi Tua Gila yang
tegak menatap ke arahnya dengan pandangan kosong.
“Waktu di
pantai Andalas kau bisa lolos! Waktu kau terluka oleh keris Datuk Angek Garang
kau masih bisa selamat karena ada orang bercadar menolongmu! Di malam yang
gelap ini agaknya tidak manusia tidak juga hantu yang akan menyelamatkan
nyawamu!”
Tua Gila
hanya berdiam diri mendengar Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya masih terus
memandangi tak berkesip walau tampak sayu.
“Manusia
dan hantu mungkin tidak akan menolongnya! Tapi Tuhan Yang Kuasa pasti
menolong!” Ujar Pendekar 212.
“Betul
sekali! Tuhan memang tidak pernah malu menolong umatNya yang kesusahan!”
menimpali Iblis Pemalu lalu tertawa mengekeh.
“Akan
kita lihat apa Tuhanmu memang akan menolong!” ujar Sabai Nan Rancak pula dengan
mata berapi-api. Lalu dua tangannya sekaligus diangkat ke atas.
Tua Gila
merasakan tengkuknya dingin. Dia ingat keterangan Putri Andini dulu bahwa
bagaimana pun saktinya dirinya dia tak akan sanggup menghadapi pukulan sakti
Kipas Neraka yang dimiliki Sabai Nan Rancak.
“Dia
mengangkat dua tangan sekaligus. Berarti hendak menghantamku dengan dua pukulan
Kipas Neraka! Satu saja aku tak sanggup menghadapi, apa lagi sampai dua
hantaman. Aku pasrah menerima kematian!”
Tiba-tiba
Iblis Pemalu berseru.
“Orang
tua! Jangan tegak diam memalukan! Lakukan sesuatu agar kau tidak mati penuh
penyesalan!”
Tua Gila
hanya menyeringai mendengar kata-kata itu. Dia tetap tak bergerak di tempatnya.
“Banyak urusanku yang masih terbengkalai. Tapi maut agaknya datang lebih cepat!
Kematian mungkin satu-satunya jalan yang dapat melepaskan diriku dari segala
beban bathin dan pikiran!”
Sabai Nan
Rancak gerakkan ke dua tangannya. Mendadak sontak saat itu juga dua larik sinar
memerah melesat keluar dari telapak tangan Sabai Nan Rancak. Dua sinar lurus
mengerikan ini mengembang seperti kipas. Sekalipun saat itu Tua Gila berusaha
menyelamatkan diri maka keadaannya sudah terlambat sekali. Tak ada lagi ruang
Untuk menyingkir apa lagi menangkis.
“Pukulan
Kipas Neraka!” teriak Iblis Pemalu yang mengenali pukulan sakti yang dilepaskan
Sabai Nan Rancak.
“Kek!”
teriak Wiro melihat Tua Gila diam saja seolah sengaja memasang badan. Dengan
cepat Pendekar 212 melompat menghadang dua tebaran sinar merah yang panas luar
biasa. Dia yang masih mengenakan jubah Kencono Geni mengandalkan kesaktian
jubah itu untuk melindungi Tua Gila. Namun dia hanya mencari celaka karena
bersama-sama dengan si kakek dia mungkin akan menemui ajal dihantam pukulan
Kipas Neraka itu!
“Sobat
tolol memalukan! Mengapa mau-mauan mencari mati?!” teriak Iblis Pemalu.
Pada saat
yang menegangkah itu tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat. Wiro terpental
ke kiri sedang Tua Gila jatuh terduduk di tanah lalu terguling sampai dua
tombak!
**********************
EMPAT
ORANG
berpakaian dan bercadar kuning berOrang berpakaian dan bercadar kuning berlutut
di kegelapan malam. Hanya kaki kirinya saja yang bersitekan ke tanah. Dua
tangan di angkat ke depan dengan telapak terkembang. Sepasang mata menatap tak
berkesip ke arah dua larik sinar merah yang datang menerpa dengan sangat ganas.
Dua
tangan bahkan sekujur tubuh orang bercadar kuning ini tampak bergoncang keras.
Pakaiannya serta meria basah oleh keringat. Di kening dan bagian sekitar
matanya muncul butiran-butiran keringat. Ini satu pertanda dia tengah
mengerahkah tenaga luar dan dalam untuk melawan satu kekuatan besar yang hendak
menyapunya.
Apa yang
terjadi sungguh luar biasa. Dua larik pukulan Kipas Neraka yang melesat keluar
dari dua tangan Sabai Nan Rancak tertahan satu jengkal di depan dua tangan
orang bercadar kuning. Perlahan-lahan tebaran sinar merah yang berbentuk kipas
tampak menciut dan akhirnya kembali ke asalnya yakni bentuk garis lurus. Ketika
orang bercadar perlahan-lahan mendorongkan ke dua tangannya maka dua larik
sinar merah ikut terdorong seolah-olah masuk kembali ke dalam tangan Sabai Nan
Rancak.
“Jurus
Menghormat Kipas Neraka!” teriak Sabai Nan Rancak dengan paras berubah dan
mundur beberapa langkah. Dia sama sekali tak bisa mempercayai serangan mautnya
tadi bisa dimentahkan begitu saja. “Orang bercadar! Siapa kau! Dari mana kau
mempelajari jurus Menghormat Kipas Neraka tadi?!”
Orang
bercadar perlahan-lahan bangkit berdiri. Tua Gila, Wiro dan Iblis Pemalu
terkagum-kagum melihat apa yang barusan terjadi.
“Manusia
aneh bercadar kuning! Untuk ke tiga kalinya dia menolongku! Ah….” Tua Gila goleng-goleng
kepala.
Setelah
mengusap keningnya yang basah dan mengatur gejolak jalan darahnya, orang
bercadar berkata. Ucapannya seperti orang berpantun.
“Saling
hormat pada sesama adalah kewajiban manusia. Di mata Tuhan manusia satu tidak
ada kelebihannya kecuali ketakwaannya/Menjatuhkan hukuman, bersikap pongah
dalam keadilan adalah kesesatan yang menyedihkan. Karena setiap manusia tidak
lepas dari pada kesalahan. Mana ada hidup yang paling enak dari pada mencari
tenteram di masa tua. Masa muda hanyalah kenangan buruk dan indah yang akan
punah ditelan usia.”
“Jahanam!
Aku bertanya kau menjawab dengan syair keparat!” teriak Sabai Nan Rancak tak
dapat lagi menahan amarahnya.
“Siapa
bertanya tak akan sesat di tengah jalan. Siapa berpura bertanya akan sesat di ujung
jalan. Mengapa tidak kembali ke awal jalan?”
Sabai Nan
Rancak berteriak keras. Tubuhnya melayang di udara. “Orang gila! Mari
kutunjukkan padamu jalan ke neraka!”
“Wuttt!”
Satu
jotosan yang luar biasa cepatnya menderu ke arah kepala orang bercadar kuning.
“Kemarahan
pangkal kesesatan. Kesesatan adalah temannya setan. Setan adalah kehancuran!”
“Bukkk!”
Sabai Nan
Rancak terpekik. Tubuhnya mencelat dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah.
Ketika dia memeriksa tangan kanannya yang tadi dipergunakan untuk menyerang
matanya jadi mendelik. Tangan itu kini berubah menjadi putih karena kulitnya
telah terkelupas hingga tulang-tulangnya kelihatan putih menonjol!
“Kurang
ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak. Seperti kalap,
penuh nekad dia kembali menerjang. Saat itulah Tua Gila cepat menghadangnya dan
dengan sikap tenang serta suara lembut kakek ini berkata.
“Sabai,
jangan celakakan diri sendiri. Orang itu bukan tandinganmu. Kembalilah ke
Andalas. Janah Jawa bisa menjadi neraka bagimu! Kalau tiba saatnya aku akan
menyusul. Apa pun yang kau harapkan dariku, termasuk nyawaku kelak akan
kuserahkan padamu! Hanya ingat satu hal yang kukatakan tempo hari padamu. Ada seseorang
entah kau sadari atau tidak telah memanfaatkan dirimu melakukan
perbuatan-perbuatan aneh….”
“Setan
tua jahanam!” teriak Sabai Nan Rancak. “Aku tidak butuh nasihatmu!” Tangan kiri
si nenek berkelebat.
Bukkk!”
Tua Gila
tidak menyangka ucapan baiknya akan dibalas dengan satu hantaman ke arah
dadanya. Orang tua ini terpental dua tombak dan tertelentang di tanah muntahkan
darah segar.
“Kek!”
seru Wiro seraya memburu. Namun saat itu walau terluka di dalam Tua Gila masih
bisa berdiri. Dia tersenyum pahit. “Aku tak apa-apa…” katanya ketika Wiro
memegangi lengannya.
“Akan
kubunuh jahanam itu!” teriak Wiro.
“Sudahlah!
Dia sudah tak ada lagi di sini. Sudah pergi!” kata Tua Gila pula.
Wiro
berpaling, memandang berkeliling. Ternyata memang benar Sabai Nan Rancak tak
ada lagi di tempat itu.
“Kek,”
ujar Wiro setengah berbisik. “Orang bercadar kuning yang tadi menolongmu juga
tak ada lagi….”
“Astaga!”
Tua Gila memandang berkeliling. “Temanmu yang selalu menutupi mukanya itu juga
lenyap!” ujar si kakek.
“Pada
kemana mereka? Pergi begitu saja!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Km! mau
tak mau pandangan Wiro dan Tua Gila tertuju pada si nenek Sika Sure Jelantik.
Melihat dirinya dipandangi begitu rupa si nenek membentak.
“Sukat
Tandika! Kalau kau memang laki-laki lepaskan totokanku dan terima kematianmu di
tanganku!”
“Nenek
jelek!” bentak Wiro yang jadi naik darah. “Kalau mulutmu tak bisa diam nanti
kusumpal dengan ini!” Wiro lalu cabut umbi besar keladi hutan dan menyorongkan
ke mulut si nenek. Di depan mulut Sika Sure Jelantik keladi hutan itu
digoyang-goyangkannya kian kemari sengaja mempermainkan hingga si nenek memaki
habis-habisan.
“Wiro,
hentikan perbuatanmu!” Tua Gila mengambil keladi hutan dari tangan Wiro dan
mencampakkannya di tanah. Dia tegak dekat Sika Sure Jelantik. “Sika, kau
terluka parah. Menurut penglihatanku tulang kakimu kiri kanan patah!”
“Apa
perdulimu?!” hardik Sika Sure Jelantik. Sebenarnya perempuan tua ini sudah tahu
keadaan kakinya. Memang benar ada bagian-bagian tulang kakinya yang patah akibat
beradu tendangan dengan Iblis Pemalu.
“Dengar,
aku akan membawamu ke satu tempat yang baik dan mengobati kakimu yang cidera
sampai sembuh. Mungkin kesempatan ini bisa kita pergunakan untuk bicara dari
hati ke hati….”
“Kek,”
tiba-tiba Wiro menyeling. “Kurasa aku lebih baik pergi saja. Agar kau bisa
leluasa menyelesaikan urusanmu dengan bekas pacarmu ini!”
“Anak
setan! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” bentak Tua Gila. “Jangan kau
berani pergi tanpa izinku!”
Wiro
hanya tertawa bergumam sementara Sika Sure Jelantik unjukkan wajah merah
cemberut.
“Aku
tidak sudi ditolong! Jangan berani menyentuh tubuhku!”
“Sika,
harap kau pergunakan akal sehat! Jangan keras kepala tidak karuan. Aku
menolongmu dengan ikhlas. Tidak ada pamrih atau maksud agar kau memaafkan
segala perbuatanku di masa lalu….”
“Kek,
kalau dia tidak mau ditolong biar saja. Kabarnya di sini banyak binatang buas,
ular berbisa. Belum lagi segala hantu dedemit yang konon doyan meniduri
nenek-nenek peot seperti dia!” Wiro kembali mempermainkan si nenek saking
kesalnya melihat tindak tanduk Sika Sure Jelantik yang tidak mau ditolong oleh
Tua Gila.
Sementara
Sika Sure Jelantik memaki tiada henti Tua Gila angkat si nenek dan memanggulnya
di bahu kiri. Dia berpaling pada Wiro. “Aku akan membawanya ke satu tempat.
Harap kau mengikuti….”
“Kek,
bukannya lebih bebas jika kalian hanya berdua saja?!”
“Jangan
bergurau terus-terusan anak geblek! Ikuti aku! Banyak hal yang ingin aku
bicarakan denganmu!”
“Kek, apa
kau sudah berpikir sepuluh kali? Nenek itu sudah bersumpah hendak membunuhmu!
Apa tidak salah kaprah kalau kau kini menolongnya?!”
“Aku tahu
apa yang aku lakukan!” jawab Tua Gila pula dengan mata cekung melotot.
Wiro
garuk-garuk kepala. Ketika Tua Gila berkelebat pergi mau tak mau dia terpaksa
mengikuti.
**********************
LIMA
TUA Gila
membawa Sika Sure Jelantik ke sebuah kaki bukit di mana terdapat sebuah goa dan
satu mata air kecil tak jauh dari sana. Keesokan paginya selagi Sika Sure
Jelantik masih tertidur lelap dan Pendekar 212 mandi di mata air Tua Gila
mengambil beberapa jenis dedaunan di dalam hutan. Daun-daun ini ditumbuknya
hingga lumat lalu diborehkannya pada kaki kiri kanan si nenek yang cidera. Lima
ranting pohon yang lurus-lurus kemudian diikatkannya sepanjang kedua kaki si
nenek.
“Jika
satu minggu kau bisa menjaga diri, tidak banyak bergerak apa lagi berjalan,
tulang-tulangmu yang patah bisa bertaut kembali. Minggu berikutnya kau pasti
sembuh…” berkata Tua Gila.
“Aku
tidak suka kau tolong! Aku tidak akan berterima kasih!” jawab Sika Sure
Jelantik ketus.
Tua Gila
menyeringai. “Kau tidak suka ditolong itu urusanmu. Kau tidak mau berterima
kasih aku tidak meminta. Aku hanya merasa punya kewajiban untuk menolongmu!”
“Agar aku
mau melupakan semua perbuatan terkutukmu di masa lalu?! Jangan mimpi! Jangan
mengharap!”
Tua Gila
menyeringai. “Kau tahu sifatku Sika. Seumur hidup sampai sekarang aku tak
pernah bermimpi atau mengharap!”
“Manusia
busuk! Mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini!” teriak Sika Sure Jelantik.
Mukanya kelihatan tegang membesi. Tenggorokannya turun naik lalu tampak ada air
mata mengambang di ke dua matanya dan perlahan-lahan menetes membasahi pipinya
yang keriput. Tua Gila kelihatan seperti tercekat. Jelas dia terpengaruh dengan
kesedihan hati yang diperlihatkan si nenek.
Menyaksikan
hal ini Wiro yang baru datang segera menarik Tua Gila ke satu tempat lalu
berbisik. “Kek, kau sudah menjalankan kewajibanmu. Buat apa melayani tua bangka
tak tahu diri itu! Lepaskan saja totokannya lalu kita tinggalkan tempat ini.
Habis perkara!”
tua Gila
memegang bahu Wiro dan berkata. “Perkara tidak baka la n habis seperti
dugaanmu. Lagi pula aku tidak sejahat dugaan orang. Aku menolongnya karena aku
merasa itu kewajibanku. Aku menolongnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan
apa-apa. Apa lagi memohon agar dia mau memaafkan segala dosa perbuatanku di
masa muda. Aku ingin dia tetap hidup agar dia bisa melakukan apa yang
diinginkannya. Yaitu membunuhku….”
“Kek,
jalan pikiranmu telah dipengaruhi suara hatimu!” ujar murid Sinto Gendeng.
“Itu
ujar-ujar yang selalu diucapkan orang persilatan. Jangan jalan pikiran
dipengaruhi hati karena bisa membawa celaka, tapi orang lupa pikiran dan hati
bersumber pada satu sumber yang sama. Yakni kebenaran.”
“Kek, aku
rasanya lucu mendengar kau berfilsafat….”
“Keren
betul bicaramu anak muda! Sudah! Lebih baik kau ikut aku ke mata air. Ada
beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu!”
Wiro
hanya bisa garuk kepala dan mengikuti si kakek menuju mata air.
Di dalam
goa Sika Sure Jelantik semakin deras mengucurkan air mata. Walau Wiro dan Tua
Gila tadi bicara berbisik-bisik namun karena memiliki pendengaran yang tajam si
nenek sempat mendengar semua ucapan ke dua orang itu. Hatinya terasa perih
seperti disayat-sayat. “Kenapa jalan nasibku begini sengsara? Mengapa aku tidak
segera saja mati dalam kesengsaraan ini. Sukat Tandika, jika saja….” Si nenek
tak dapat meneruskan suara batinnya. Dadanya menggemuruh ditelan perasaan.
Begitu
sampai di mata air yang dikelilingi pepohonan rindang Tua Gila segera bicara.
“Hal
pertama yang ingin kutanyakan padamu, apa kau kenal dengan seorang dara bernama
Puti Andini?”
Wiro
tersenyum. “Aku tak ingat apa pernah menceritakannya padamu. Tapi karena kau
bertanya aku akan menjawab Kek. Gadis itu bergelar Dewi Payung Tujuh. Berasal
dari pulau Andalas. Bukankah nenek bernama Sabai Nan Rancak itu adalah
gurunya?”
“Hemmm,
anak ini tahu banyak tentang Puti Andini. Apa dia juga tahu gadis itu adalah
cucuku?” membatin Tua Gila. “Lanjutkan keteranganmu. Apa lagi yang kau ketahui
tentang gadis itu, Wiro.”
“Dia
pernah disuruh oleh gurunya untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Juga
diperintah untuk membunuhku….” (Baca Episode berjudul Wasiat Dewa).
Tua Gila
anggukkan kepala. “Kau sudah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa. Sampai saat ini
dia tidak membunuhmu. Apa kau mengira gadis itu masih punya niat jahat
terhadapmu?”
“Beberapa
kali pertemuan memang dia tidak menunjukkan niat buruk itu. Tapi hati orang
siapa tahu?” ujar Wiro pula.
“Kalau
begitu bisa kubilang antara kau dan Puti Andini tidak ada lagi masalah atau
perselisihan apa lagi silang sengketa?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Yah, bisa saja dikatakan begitu. Bagiku dari dulu tak ada
masalah apa-apa. Malah aku berhutang budi dan nyawa padanya. Waktu aku luka
parah dan keracunan dihantam Tiga Bayangan Setan, kalau bukan dia yang menolong
pasti aku sudah menemui ajal. Kurasa walaupun dia masih bersikap tidak baik
padaku, aku tetap akan menghormatinya….” (Mengenai Tiga Bayangan Setan harap
baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Dewa).
“Hemmm…
Menghormati katamu, itu kata yang sulit ditafsirkan karena banyak mengandung
arti….”
“Maksudmu
Kek?” tanya Wiro.
“Apa kau
punya rasa suka terhadap Puti Andini?” Tua Gila langsung saja bertanya. Lalu
dia tertawa terkekeh-kekeh ketika dilihatnya murid Sinto Gendeng itu memandang
padanya dengan mata membeliak dan mulut ternganga.
“Harap
kau tidak masukkan dalam hati, anak muda. Aku hanya bergurau!” kata Tua Gila
pula. Namun Wiro maklum dibalik gurauan itu Tua Gila memang punya maksud
sesuatu.
“Jangan-jangan
sejak muridnya dibunuh komplotan Sabai Nan Rancak orang tua ini sudah
mengangkat si gadis jadi muridnya,” pikir Pendekar 212 pula.
“Pada
bulan purnama empat belas hari mendatang aku akan bertemu dengan gadis itu di
pinggiran timur Telaga Gajah Mungkur. Kalau kau suka kau boleh ikut bersamaku
ke sana….”
Semakin
keras dugaan Wiro bahwa si kakek memang punya maksud tertentu.
“Hemm…
Terus terang aku suka ikut denganmu. Tapi aku ada urusan lain. Aku harus
mencari seorang sahabat yang terakhir sekali kutinggalkan dalam keadaan
terluka….”
“Siapa
sahabatmu itu. Seorang pemuda atau seorang gadis hah?! Ah, dari sinar matamu
aku tahu dia pasti seorang gadis berwajah cantik. Kalau bukan seorang gadis kau
mana mau bersusah payah segala!”
“Namanya
Anggini. Murid tunggal tokoh silat bergelar Dewa Tuak….”
“Ah!” Tua
Gila jadi kaget. Lalu bertanya. “Anggini! Murid sahabatku si Dewa Tuak. Sejak
pertemuan terakhir di Pangandaran lama sudah aku tidak mendengar kabarnya. Apa
saat ini dia masih bersuka-suka dengan kekasihnya si Ratu Pesolek itu? Ha… ha…
ha! Wiro, apa yang terjadi dengan murid Dewa Tuak?”
Wiro lalu
menuturkan penghadangan yang dilakukan oleh empat orang yaitu Iblis Pemalu,
Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik dan Datuk Gadang Mentari.
“Sika
Sure Jelantiklah yang mencelakai Anggini. Aku tak tahu bagaimana keadaannya
sekarang. Seorang sahabat menemaninya ketika kutinggal pergi….”
“Sika
Sure Jelantik…” kata Tua Gila sambil menghela nafas panjang. “Sulit membuatnya
mau mengerti. Kalau Anggini sampai celaka jangan harap dia lolos dari maut!
Dewa Tuak pasti akan mengejarnya sampai ke liang neraka sekalipun!”
“Mengenai
Iblis Pemalu,” kata Wiro pula. “Siapa dia sebenarnya? Apakah dia berpihak pada
orang-orang golongan putih atau kaki tangan golongan hitam?”
“Siapa
dia adanya memang sulit diketahui. Dia muncul belum lama. Ketinggian ilmunya
serta tindak tanduknya yang aneh membuat namanya mencuat dengan jelas. Walau
kelihatannya dia bukan orang baik-baik tapi aku yakin dia bukan kaki tangan
orang-orang Lembah Akhirat. Namun sikapnya yang aneh dan sering berubah
mendatangkan prasangka bahwa manusia satu ini gampang ditarik ke kiri atau ke
kanan. Dia hanya mengikut arah angin atau mana sukanya saja walau cuma sesaat.
Orang seperti dia harus dibaik-baiki, harus pandai memuji dan menyanjung. Aku
seolah yakin bahwa sifatnya yang seperti pemalu itu hanya dibuat-buat saja.
Biar kita lupakan dulu Iblis Pemalu. Sebaliknya aku menyirap kabar bahwa
Anggini telah membunuh Datuk Mangkuto Kamang….”
“Itu
fitnah yang tak karuan juntrungannya Kek,” jawab Wiro.
“Justru
karena fitnah itulah perlu diselidiki.
Akhir-akhir
ini banyak kejadian hebat di dunia persilatan pulau Andalas dan Tanah Jawa.
Sesama golongan putih saling baku hantam. Lalu belum lagi lenyapnya tokoh-tokoh
rimba persilatan secara aneh. Satu di antaranya adalah kakek sakti berjuluk
Dewa Sedih. Dia lenyap dan kabarnya berada dalam kekuasaan orang-orang Lembah
Akhirat…. Saudaranya si Dewa ketawa pasti akari mengobrak-abrik Lembah Akhirat.
Namun keanehan yang berselubung maut menyungkup Lembah Akhirat. Aku khawatir
Dewa Ketawa akan mengalami nasib sial….”
“Kau tahu
siapa sebenarnya yang menjadi penguasa Lembah Akhirat itu Kek?”
“Dia
hanya dikenal dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat. Beberapa tokoh kabarnya
berusaha menyelidik. Namun satu persatu mereka lenyap tak tahu rimbanya….”
“Mengenai
kepergianmu ke Telaga Gajah Mungkur menemui Puti Andini, agaknya ada satu
urusan penting di sana?”
Tua Gila
mengangguk. “Ini satu urusan yang sebetulnya perlu aku beri tahu padamu
beberapa tahun yang silam. Namun mungkin baru saat ini tepat untuk kukatakan.
Kau pernah mendengar riwayat sebilah pedang bernama Pedang Naga Suci 212!”
Wiro
kerenyitkan kening mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Aku memiliki Kapak Naga
Geni 212. Kau menyebut Pedang Naga Suci 212. Apa ada hubungan satu dengan
lainnya?” tanya murid Sinto Gendeng pula.
“Kapak
dan pedang itu merupakan dua senjata yang sebenarnya tidak terpisahkan. Berasal
dan merupakan warisan dari seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Waktu aku dan gurumu si Sinto Gendeng menjadi murid Kiai yang diam
di Gunung Gede itu, kami diwarisi dua senjata. Seharusnya aku mendapatkan Kapak
Naga Geni 212, tapi Sinto Gendeng mendahului, malah dia melarikan Pedang Naga
Suci 212.”
Tua Gila
lalu menuturkan riwayat dua senjata sakti itu yang didengar Wiro dengan penuh
perhatian. (Mengenai riwayat Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212
harap baca Episode terdahulu berjudul Pedang Naga Suci 212).
Lama Wiro
termenung mendengar penuturan -Tua Gila. Dia coba mengingat-ingat. “Kek, kalau
aku tidak salah mengingat, waktu kapak mustika sakti itu diberikan padaku,
Eyang Sinto pernah berkata Kapak Naga Geni 212 itu dia yang membuat. Dia
menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk menciptakannya….”
Tua Gila
tertawa mengekeh. “Gurumu itu namanya bukan Sinto Gendeng kalau tidak melakukan
atau bicara gendeng. Mungkin dia tidak bermaksud buruk berdusta padamu. Mungkin
dia berkata begitu agar kau tidak mensia-siakan jerih payahnya dan agar kau merawat
senjata itu sebaik-baiknya.”
“Mungkin
juga begitu…” kata Wiro perlahan.
“Aku
menaruh firasat bahwa Pedang Naga Suci 212 berjodoh dengan Puti Andini. Itu
sebabnya dia kusuruh pergi menyelidik dan mencari pedang mustika itu di Telaga
Gajah Mungkur…. Aku sendiri tidak berminat mendapatkan dan memilikinya…. Aku
sudah terlalu tua. Urusan rimba persilatan kini berada di tangan kalian
orang-orang muda….”
“Mana
bisa begitu Kek. Kami yang muda-muda hanya dianggap sebagai sapu lidi
pembersih. Sementara para tokoh yang sudah tua-tua berbuat macam-macam
mengotori dunia persilatan!”
Tua Gila
tertawa gelak-gelak. Begitu tawanya mereda Wiro berkata.
“Kek,
tentunya kau punya satu alasan mewarisi pedang sakti itu pada Puti Andini,
bukan hanya sekedar firasat. Atau mungkin gadis itu sudah kau angkat jadi
muridmu pengganti Sati?”
**********************
ENAM
YANG
ditanya tak segera menjawab. Kemudian sekulum senyum menyeruak di wajah orang
tua ini. Satu senyum pahit yang menandakan keperihan hati. Karena Sati,
satu-satunya murid Tua Gila yang namanya barusan diucapkan Wiro telah tewas
dibunuh Datuk Angek Garang di pulau Andalas beberapa waktu yang lalu.
“Hemm….
Kau betul. Alasan utamaku adalah dia kuanggap seorang gadis pendekar sejati.
Masih suci dan bersih. Masa depannya dalam dunia persilatan penuh dengan
tantangan. Berarti dia perlu satu senjata yang diandalkan.”
“Bukankah
dari gurunya Sabai Nan Rancak gadis itu telati memiliki satu ilmu kepandaian
dan senjata berupa tujuh buah payung?” ujar Wiro.
Tua Gila
tertawa lebar. “Itu juga betul. Walau dia kelak memiliki pedang sakti itu,
tentu saja dia tidak boleh melupakan ilmu payungnya yang hebat. Selain itu, aku
berhutang jiwa padanya. Waktu aku dalam keadaan tak berdaya dan hampir mati di
tangan Sabai Nan Rancak serta teman-temannya, Puti Andini menyelamatkan
diriku….”
Dalam
hatinya Tua Gila merasa bimbang. Apakah akan diceritakannya pada Wiro bahwa
Puti Andini sebenarnya adalah cucunya sendiri. Sebaliknya dalam hatinya Wiro
juga bertanya-tanya. “Kurasa ada satu hal lain yang sangat kuat membuat kakek
ini memberi tahu tentang pedang itu pada Andini. Dia tadi tidak menjawab ya
atau tidak apakah dia telah mengangkat Puti Andini menjadi muridnya,”
“Apa yang
ada dalam benakmu Wiro?” tanya Tua Gila ketika dilihatnya Wiro seperti
termenung.
“Aku cuma
khawatir Kek. Bagaimana kalau kelak pedang itu sampai jatuh ke tangan Sabai Nan
Rancak. Kau bisa lebih celaka lagi….”
Mulut Tua
Gila tampak berkomat-kamit. “Aku cukup percaya pada gadis itu. Buktinya dia
berani menanggung akibat berhadapan dengan gurunya demi menyelamatkan diriku….
Lagi pula ada semacam petunjuk bahwa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci
212 kelak akan bersatu kembali. Bukan itu saja. Aku menyirap kabar sekitar lima
tahun silam. Kapak dan Pedang itu mempunyai seorang anak yaitu sebilah keris
yang tak kalah saktinya dengan sepasang induknya….”
Mendengar
ucapan Tua Gila itu Pendekar 212 terdiam namun otaknya cepat bekerja. “Kalau
Kapak dan Pedang kelak akan bersatu bahkan punya anak, jangan-jangan kakek ini
hendak menjodohkan aku dengan Puti Andini. Gila betul! Ada hubungan apa
sebenarnya antara Tua Gila dengan gadis dari seberang itu….”
“Eh, kau
kembali kulihat memikirkan sesuatu!” Tua Gila menegur.
Wiro
menyeringai. “Aku coba memasukkan ke dalam akalku bagaimana mungkin sebilah
kapak dan pedang bisa punya anak sebilah keris….”
Tua Gila
tertawa lebar. Dengan jari telunjuk tangan kanannya ditekannya dada murid Sinto
Gendeng seraya berkata. “Itu kelak yang harus kau selidiki, Wiro. Omong-omong
bagaimana soal perjodohanmu…?”
“Perjodohanku?”
balik bertanya Wiro karena tidak mengerti. “Apa maksudmu Kek?”
“Kau
berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Bukankah Dewa Tuak pernah
kasak-kusuk dengan Sinto Gendeng hendak menjodohkanmu dengan Anggini murid
tunggalnya itu?”
Wiro
hendak tertawa membahak tapi akhirnya sambil garuk-garuk kepala dia menjawab.
“Baik Eyang Sinto Gendeng maupun Dewa Tuak tak pernah mendesak kalau mereka
memang menginginkan perjodohan itu….”
“Lalu….
Hem… jadi terserah pada kalian yang muda-muda kalau begitu?”
“Bisa
saja kau katakan seperti itu Kek. Namun kami pun tidak pernah membicarakan hal
itu. Anggini seorang gadis yang segala sesuatunya tak bisa harus ditentukan
oleh orang lain….”
“Bagus….
Bagus!”
“Bagus
bagaimana maksudmu Kek?” Wiro mengejar dengan pertanyaan. Dalam hati semakin
berat dugaannya bahwa Tua Gila memang ingin menjodohkannya dengan Puti Andini.
“Kalau tidak apa perlunya dia menanyakan hubunganku dengan Anggini. Dia tampak
senang ketika kuberi tahu bahwa guru masing-masing tidak mendesak dan aku
ataupun Anggini tak pernah lagi membicarakan soal perjodohan itu.”
“Maksudku,”
jawab Tua Gila pula. “Aku gembira kalian bisa berlaku benar-benar sebagai orang
dewasa dan serba matang menghadapi masa depan….” Tua Gila lalu angguk-anggukkan
kepalanya beberapa kali. Lalu dia menyambung ucapannya.
“Ada satu
hal lagi yang ingin kusampaikan padamu. Seseorang menitipkan sebuah kalung
sakti bernama Kalung Permata Kejora. Kalung itu seharusnya aku serahkan pada
Sabai Nan Rancak. Orang yang menitipkan tidak tahu kalau aku punya bentrokan
besar dengan si nenek dari Gunung Singgalang itu. Celakanya justru kalung itu
yang katanya sanggup membunuhku. Sekarang kalung itu tak ada padaku….”
“Hemmm,
sudah kau serahkan pula pada seorang gadis cantik?” tanya Wiro.
“Anak
setan! Jangan mengejek!” bentak Tua Gila dengan mata lebar melotot.
Wiro
menahan tawa sambil garuk-garuk kepala.
“Kalung
mustika itu lenyap. Aku yakin pasti jatuh masuk ke dalam laut sewaktu diserang
oleh Sika Sure Jelantik. Dia menginginkan Kalung Permata Kejora itu….”
“Kurasa
benda itu belum ada di tangannya….”
“Benar,
otakmu cerdik juga. Setiap kali hendak membunuhku dia selalu menanyakan di mana
beradanya kalung itu. Aku khawatir kalau-kalau benda itu jatuh ke tangan orang
lain….”
“Apa
Sabai Nan Rancak tahu kalau kalung itu berada padamu?” tanya murid Sinto
Gendeng.
“Aku
pernah mengatakan padanya tapi tidak memberi tahu di mana beradanya karena
memang aku sendiri tidak tahu benda itu hilang entah di mana….”
“Kalau
begitu besar kemungkinan kalung itu masih berada di dasar laut tempat kau
diserang oleh Sika Sure Jelantik. Atau barangkali juga berada di tangan anak
buah Ratu Duyung….”
Tua Gila
jambak-jambak rambut putihnya yang tipis. “Aku tidak yakin Ratu Duyung
mengambil benda itu sewaktu aku pingsan di tengah laut. Kalau dia menemukan
pasti akan dikembalikan padaku. Lagi pula waktu aku meninggalkan tempat
kediamannya aku tidak bertemu dengan dia. Menurut anak buahnya Ratu Duyung
tengah berada di satu tempat untuk satu urusan penting…. Kapan terakhir sekali
kau bertemu dengan dia?”
Wiro coba
mengingat. “Waktu itu aku sedang bersama Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung
tiba-tiba muncul. Agaknya dia merasa tidak enak atau cemburu melihat aku
berdua-duaan dengan Bidadari Angin Timur lalu pergi begitu saja tanpa sempat
membicarakan apa-apa. Bidadari Angin Timur sendiri kemudian pergi pula tanpa
setahuku. Agaknya dia juga menanam rasa cemburu besar terhadap Ratu Duyung.”
Tua Gila
tertawa terkekeh dan goleng-golengkan kepalanya berulang kali.
“Kek, apa
yang lucu? Ada apa kau ketawa?”
“Aku
wajib mengingatkan dirimu, anak muda! Kau tahu akibat ulahku di masa muda,
terlalu banyak punya kekasih di hari tua begini semua mereka itu menjadi
musuhku! Ingin membunuhku! Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi atas
dirimu!”
“Aku
memang banyak kenalan gadis-gadis cantik Kek. Tapi mereka semua adalah
teman-teman biasa, mungkin kuanggap sebagai saudara. Soal kekasih yang aku suka
cuma seorang. Yaitu Bidadari Angin Timur….”
Tua Gila
kembali tertawa. “Sifat pemuda dan pemudi kalau sering berdekatan, walau
tadinya tidak ada hubungan apa-apa bisa saja terjadi sesuatu. Kau tahu, anak
muda. Kalau di satu tempat misalnya kau hanya berdua saja dengan seekor
kambing. Lama-lama kambing itu bisa saja kau lihat cantik juga, seperti
cantiknya seorang gadis! Hik… hik… hik! Apa lagi seorang gadis sungguhan walau
tadinya kau tidak menyukainya. Jadi hati-hati anak muda! Jangan sampai nanti
ada yang bilang gurunya kencing berdiri muridnya kencing menungging! Ha… ha…
ha…!”
Tua Gila
usap dua matanya yang lebar dan berair. Dia memandang ke langit.
“Matahari
sudah tinggi. Cukup lama kita meninggalkan nenek itu….”
“Kalau
begitu kita segera saja kembali ke goa,” kata Wiro.
“Ya, tapi
masih ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu….”
“Apa lagi
Kek?” tanya Wiro kurang sabaran.
“Belakangan
ini ada kabar yang meriwayatkan adanya satu makam disebut Makam Setan di sebuah
pulau di pantai barat Andalas…. Aku jadi ingat pada peristiwa yang kita alami
beberapa waktu lalu. Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bangsat yang menjerumuskan
kita ke dalam makam batu! Mungkinkah dia masih hidup?”
“Apa yang
membuatmu berpikiran seperti itu Kek?” tanya Wiro.
“Di
pantai barat pulau Andalas ramai dibicarakan orang tentang sebuah kuburan yang
diberi nama Makam Setan. Kalau ternyata makam ini ada sangkut pautnya dengan
Datuk Tinggi Raja Di Langit….”
“Mengapa
setan tua itu masih kau pikirkan Kek? Dia sudah lama jadi jerangkong di liang
batu itu!” kata Wiro pula. “Baiknya kita segera kembali ke goa Kek.”
Tua Gila
mengangguk.
Ketika
mereka sampai di goa di kaki bukit, Sika Sure Jelantik tak ada lagi di tempat
itu.
“Apa yang
terjadi?” ujar Tua Gila sambil memandang berkeliling.
“Jangan-jangan
nenek itu kabur melarikan diri,” ujar Wiro.
“Tidak
mungkin. Kakinya masih cidera. Lagi pula dia masih dalam keadaan tertotok
ketika kita tinggalkan. Sesuatu telah terjadi. Ada orang yang menculiknya! Kau
tunggu di sini. Aku akan menyelidik keadaan sekitar sini.”
Tak lama
kemudian Tua Gila muncul kembali. “Tak ada tanda-tanda ke mana lenyapnya nenek
itu.”
Wiro
menunjuk ke tanah di depan mulut goa. “Ada bekas-bekas telapakan kaki. Lebih
dari dua orang.”
“Kau
betul, aku bisa membedakan jejak mereka dengan bekas kaki kita! Bagaimana
sekarang…?”
“Aku harus
mencarinya,” jawab Tua Gila.
“Kau
bermaksud mencari nenek itu? Buat apa mempersusah diri? Padahal dia benci
setengah mati padamu!”
“Soal
kebencian itu tidak ada hubungannya dengan kelenyapannya! Aku harus menyelidik,
Wiro.”
“Nenek
brengsek itu hendak membunuhmu! Mengapa kini kau mengkhawatirkan dirinya? Ingat
urusan di masa muda? Kalau kau berpikir sampai ke situ, dia benar-benar akan
membuatmu celaka! Heran…. Nenek jelek begitu saja masih ada yang mau
menculik….”
“Jaga
mulutmu anak muda!” hardik Tua Gila dengan berang. “Terserah kau mau bilang
apa. Bagaimana pun aku harus mencarinya….”
“Jangan
harap sekali ini aku mau ikut denganmu Kek,” kata Wiro.
Tua Gila
tampak cemberut/Dengan ketus dia menjawab. “Aku juga tidak mengajakmu!” Tua
Gila siap berkelebat pergi.
“Tunggui”
seru Wiro.
“Anak
setan! Apa lagi maumu?!” bentak Tua Gila. Bola matanya seperti mau keluar dari
rongganya yang cekung.
Wiro
menunjuk ke batang pohon besar di belakang Tua Gila. “Lihat! Ada guratan
tulisan di batang pohon itu!”
,”Kau
bergurau atau hendak menipuku anak muda?!”
“Siapa
bergurau! Siapa menipu! Lihat dan baca sendiri!” ujar Wiro setengah kesal. Lalu
melangkah melewati si orang tua mendekati pohon besar.
Tua Gila
putar tubuhnya. Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang bukan senda gurau. Pada
batang pohon yang kulitnya terkelupas ada sebaris tulisan berbunyi: “Jika ingin
mencari Sika Sure Jelantik silahkan datang ke Lembah Akhirat!”
“Jahanam!”
rutuk Tua Gila.
“Nenek
itu agaknya diculik oleh orang-orang Lembah Akhirat Kek!” kata Wiro dengan
suara bergetar.
“Pasti!
Aku memang akan menuju ke sana! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sika akan
aku ratakan seluruh Lembah Akhirat!”
“Kek,
jangan terlalu bersemangat menolong bekas kekasihmu itu….”
“Tutup
mulutmu! Diam!” bentak Tua Gila.
Wiro garuk-garuk
kepala. Bagaimana aku harus memberitahu monyet yang jauh lebih tua dariku ini!”
katanya dalam hati. “Kalau kau tidak memperbolehkan aku bicara terserah saja!
Mulutku jadi tidak pegal karena tak perlu banyak bicara! Tapi kalau semua ini
hanya tipuan belaka, kau akan celaka tiga belas Kek. Aku khawatir orang-orang
Lembah Akhirat menjebakmu dengan sengaja menculik nenek itu. Kalaupun kau
sanggup membebaskan Sika Sure Jelantik lalu apa untungmu? Apa sebenarnya maumu
menyelamatkan orang yang jelas-jelas telah mencoba membunuhmu sampai beberapa
kali!”
“Sudah!
Kau urus urusanmu. Aku urus urusanku!” Habis berkata begitu Tua Gila lantas
berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Dasar
orang tua gila!” gerutu Wiro sendirian.
**********************
TUJUH
APA
sebenarnya yang telah terjadi dengan Sika Sure Jelantik? Hanya sesaat setelah
Tua Gila dan Wiro sampai di tepi mata air tempat mereka berbincang-bincang
tiba-tiba muncul tiga orang bertampang dan berpakaian aneh di depan goa. Dua
orang mengenakan jubah merah, memiliki wajah dan rambut berwarna merah seperti
dicat. Masing-masing memegang sebatang tongkat yang bagian tengahnya ditancapi
sebuah tengkorak kepala manusia.
Orang ke
tiga adalah yang paling angker di antara manusia-manusia aneh ini. Dia
mengenakan jubah gombrong warna merah. Wajahnya tanpa alis, berwarna merah dan
hidungnya ditancapi sepotong tulang manusia. Di atas kepalanya bertengger
rambut merah pekat, keriting kecil dan lebat berbentuk batok kelapa.
Dari
ciri-ciri ke tiga orang itu jelas sudah bahwa mereka adalah orang-orang dari
Lembah Akhirat. Yang berpakaian gombrong dikenal dengan julukan Pengiring Mayat
Muka Merah, salah satu dari tiga tangan kanan pembantu Datuk Lembah Akhirat.
“Kita
sudah terlalu lama meninggalkan Lembah Akhirat! Kalau hari ini tidak berhasil
mencari tahu di mana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau, kita harus segera
kembali!” Berkata Pengiring Mayat Muka Merah sambil memandang ke arah goa.
Setelah memperhatikan tanah di depan goa dia melanjutkan. “Ada bekas-bekas kaki
walaupun tersamar. Cepat kalian menyelidik ke dalam goa!”
Dua
lelaki bermuka merah yang memegang tombak berkepala tengkorak serta meria
menyelinap masuk ke dalam goa. Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka
keluar lagi dan memberi tahu.
“Ada
seorang nenek bertampang angker tergeletak di lantai goa. Dua kakinya dalam
keadaan cidera. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak….”
“Sudah
mampus atau masih hidup?!” sentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Masih
hidup. Pasti masih hidup karena ada hembusan nafas keluar dari hidungnya dan
erangan halus dari mulutnya.”
Pengiring
Mayat Muka Merah mendorong anak buahnya ke samping lalu melompat masuk ke dalam
goa. Seperti yang diterangkan tadi di lantai goa tampak terbujur seorang nenek berjubah
hitam. Sepasang kakinya dilumuri ampas berwarna hijau dan diikat dengan
beberapa ranting kayu. Dua mata si nenek yang tertutup perlahan-lahan membuka.
Lalu mulutnya menghardik.
“Siapa
kalian? Setan atau masih bisa disebut manusia?!”
Dua anak
buah Pengiring Mayat Muka Merah tersurut saking kagetnya disentak demikian.
Pengiring Mayat Muka Merah tampak tenang. Dia memperhatikan tampang si nenek
dengan seksama lalu menyeringai.
“Nenek
sakti Sika Sure Jelantik! Sungguh peruntungan kami besar sekali hari ini. Tidak
menyangka akan bertemu dengan seorang tokoh besar sepertimu!”
“Kau
kenal diriku! Huh! Kau sendiri siapa?!” Sika Sure Jelantik kerutkan kening dan
pelototkan mata.
“Kami
orang-orang Lembah Akhirat. Aku Pengiring Mayat Muka Merah, pembantu kepercayaan
Datuk Lembah Akhirat!”
Tampang
si nenek sesaat berubah. “Mereka bukan orang baik-baik. Aku sudah menyirap
kabar orang-orang Lembah Akhirat jahat dan busuk. Penuh tipu daya dan kejam
luar biasa!”
“Aku
tidak suka melihat tampang-tampang kalian! Lekas keluar dari dalam goa ini!”
“Kau
tidak suka kami tidak jadi apa. Tapi kami justru suka dirimu!” jawab Pengiring
Mayat Muka Merah. “Kulihat dua kakimu cidera. Agaknya ada tulang yang patah,
ijinkan kami menolongmu.”
“Aku
tidak butuh pertolonganmu! Keluar!”
“Kami
akan keluar jika itu maumu. Tapi aku merasa kasihan. Kau agaknya merasa tidak
perlu ditolong karena telah ada yang menolong.. Bukan begitu?”
“Apa
urusanmu!”
“Kami
memang tidak ada urusan. Tapi ada satu hai yang perlu aku beri tahu padamu,”
kata Pengiring Mayat Muka Merah. “Siapapun yang kau anggap telah menolong
mengobati cidera pada kedua kakimu sebenarnya orangnya telah menipu dirimu. Dia
sebenarnya bermaksud jahat dan keji!”
“Jangan
bicara ngacok!”
“Pertama,
kalau orang hendak menolong, mengapa tubuhmu dalam keadaan tertotok?! Kedua
obat yang dipakai melumuri dua kakimu yang cidera adalah ramuan tumbuk berasal
dari dedaunan beracun!”
Sepasang
mata Sika Sure Jelantik kembali mendelik. “Kau mau menipuku!”
“Apa
untungnya aku menipumu? Dengar, dalam waktu dua hari ke dua kakimu akan mulai
membusuk akibat racun jahat. Racun kemudian akan menjalar ke sekujur tubuhmu.
Kalau jantungmu tak sampai berhenti berdetak dan kau masih bisa bertahan hidup
maka anggota badanmu akan lumpuh dan kedua matamu akan buta!”
Paras
Sika Sure Jelantik semakin berubah.
“Jika kau
tidak mau kami tolong, maka tidak ada gunanya kami berlama-lama di sini.
Selamat tinggal nenek yang malang….”
Sika Sure
Jelantik memandang berkeliling.
“Kau
mencari orang yang katamu telah menolongmu?” ujar Pengiring Mayat Muka Merah.
“Dia pasti sudah lama meninggalkan kau di sini. Membiarkan dirimu menderita
sengsara dan menemui kematian secara perlahan-lahan….” Habis berkata begitu
Pengiring Mayat Muka Merah memberi isyarat pada ke dua anak buahnya. Mereka
lalu sama bergerak menuju mulut goa.
“Tunggu!”
seru Sika Sure Jelantik.
“Hemm….
Ada sesuatu yang hendak kau katakan Nek?” tanya Pengiring Mayat Muka Merah.
“Kau tadi
mengatakan hendak menolongku…”
“Benar!”
“Bagaimana
caranya?”
“Kami
memiliki sejenis obat yang ampuh. Kau bisa sembuh dalam waktu satu hari satu
malam….” “Kalau begitu lakukanlah. Mana obat itu!”
Pengiring
Mayat Muka Merah melangkah mendekati sosok Sika Sure Jelantik. “Obat itu tidak
kami bawa saat ini. Obat itu tersimpan di Lembah Akhirat. Kami akan membawamu
ke sana jika kau memang suka ditolong!”
“Jahanam!
Bangsat bermuka merah ini jangan-jangan memang hendak menipuku!” membatin Sika
Sure Jelantik.
Pengiring
Mayat Muka Merah letakkan telapak tangan kirinya di atas kening si nenek lalu
berkata. “Tubuhmu agak panas. Pertanda racun jahat dari tumbukan dedaunan itu
mulai bekerja. Waktumu sangat terbatas. Perjalanan ke Lembah Akhirat tidak
dekat. Jika kita berangkat sekarang, lusa pagi baru sampai. Kurasa nyawamu
masih bisa tertolong….”
Sika Sure
Jelantik memandang melotot ke langit-langit goa. Dari mulutnya terdengar kutuk
serapah walaupun perlahan. “Tua Gila keparat! Kau benar-benar jahanam!”
“Ah, jadi
itukah orangnya yang telah mencelakaimu Nek?” ujar Pengiring Mayat Muka Merah
dengan seringai penuh arti. “Kau tak usah khawatir! Kalau kau sudah sembuh
Datuk Lembah Akhirat pasti akan menolongmu mencari jalan agar kau bisa membalas
dendam….”
“Dari
dulu-dulu aku memang sudah punya niat untuk membunuhnya! Tapi belum kesampaian…!”
kata Sika Sure Jelantik pula yang jelas sudah terpengaruh oleh kata-kata
bujukan orang.
“Maksudmu
akan kesampaian. Selain itu siapa tahu kau berjodoh dengan Kitab Wasiat
Malaikat….”
“Apa
betul kitab sakti itu benar-benar ada?” tanya si nenek yang semakin terpikat
“Tentu
saja ada. Datuk Lembah Akhirat yang memegangnya. Dia akan memberikan pada
seseorang yang dianggapnya cocok. Siapa tahu Datuk Lembah Akhirat suka dan
memberikan kitab itu padamu. Datuk sangat menghormat dan menyukai orang tua
secantikmu ini….”
Sika Sure
Jelantik tersenyum mendengar ucapan terakhir Pengiring Mayat Muka Merah itu.
Maka dia pun berkata. “Baik, kalian boleh membawa aku ke Lembah Akhirat!”
“Kau
melakukan keputusan yang tepat Nek!” ujar Pengiring Mayat Muka Merah. Lalu
pembantu Datuk Lembah Akhirat ini memberi isyarat pada dua anak buahnya. Ke dua
orang itu segera menggotong sosok Sure Jelantik dan membawanya ke luar goa.
Sebelum
meninggalkan tempat itu dengan jari-jari tangannya Pengiring Mayat Muka Merah
mengupas permukaan kulit pada batang pohon besar. Lalu dengan sepotong patahan
ranting dia menggurat permukaan batang pohon, menuliskan sebaris kalimat.
**********************
DELAPAN
SUTAN
Alam Rajo Di Bumi menatap wajah Sabai Nan Rancak beberapa saat lalu berkata.
“Aku gembira dengan kemunculanmu yang tiba-tiba ini Sabai. Selama kau pergi
banyak terjadi hal-hal yang menghebohkan dalam rimba persilatan pulau Andalas.
Beberapa tokoh golongan putih dibunuh. Para pembunuh walau sulit dijajagi siapa
adanya tapi aku berhasil mencari tahu. Kebanyakan setelah membunuh mereka
menghilang ke tanah Jawa. Seperti dara bernama Anggini, murid Dewa Tuak. Dia
kabur setelah diketahui membunuh Datuk Mangkuto Kamang. Agaknya ada orang-orang
tertentu yang dikirim ke sini untuk mengacau….”
“Aku
kembali membawa kabar buruk,” berkata Sabai Nan Rancak dengan suara agak
tersendat. Waktu bicara dia memandang ke jurusan lain seolah tidak berani
menatap wajah orang di hadapannya.
Sutan
Alam Rajo Di Bumi tersenyum. “Kabar apapun yang kau bawa bagiku tidak menjadi
persoalan Sabai. Aku gembira melihat kau kembali. Apakah selama ini kau ada
merasa rindu padaku Sabai?”
“Bagaimana
dengan dirimu sendiri. Apakah kau merindui diriku?” balik bertanya Sabai Nan
Rancak. Kali ini dia bertanya dengan menundukkan kepala.
“Kau tahu
bagaimana hatiku padamu. Rasanya ingin aku balikkan langit. Ingin kutarik
matahari agar siang berganti malam dan malam cepat berganti siang. Agar aku
segera dapat bertemu denganmu….”
“Sutan….”
“Ah, kau
lagi-lagi memanggilku dengan sebutan itu. Sudah berapa kali aku mengatakan,
jika kita berdua-dua seperti ini kau harus memanggilku dengan nama asliku!”
Sabai Nan
Rancak tersenyum. “Suto, Suto Abang….” kata si nenek akhirnya menyebut nama
asli Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Aku khawatir, kerinduanmu akan berubah menjadi
kemarahan setelah tahu kegagalan apa yang kubawa pulang ke Singgalang ini.”
“Kau
boleh membawa seribu kegagalan Sabai. Hatiku tidak akan berubah…. Kau tahu
Bagaimana aku mengasihimu. Aku membutuhkan dirimu. Kau membutuhkan diriku….
Kita orang-orang yang patah hati diterjang cinta dan bertemu dalam satu
perasaan…” Sutan Alam alias Suto Abang diam sesaat. Diulurkannya tangannya
memegang jari-jari si nenek. “Aku sudah mengatakan isi hatiku. Apalagi yang kau
khawatirkan Sabai?”
“Terus
terang aku menaruh khawatir kalau lama-lama hubungan kita ini diketahui orang
luar….”
Lelaki
tua bertubuh tinggi besar itu bangkit dari kursi batu yang didudukinya. “Selama
kita sama-sama memegang rahasia rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Manusia
hidup bercinta adalah hal yang lumrah saja. Mengapa kita harus dikecualikan?”
“Aku
masih punya satu kekhawatiran lain Suto,” kata Sabai Nan Rancak pula.
“Hemm….
Katakan saja padaku….” ujar Sutan Alam sambil membelai wajah si nenek dengan
jari-jari tangannya.
“Aku
khawatir kalau-kalau Sinto Weni….”
“Jangan
kau sebut nama itu! Dalam sisa hidupku ini aku tidak ingin lagi mendengar nama
Sinto Weni atau Sinto Gendeng!”
“Tapi
bagaimanapun dulu dia….”
“Dia
perempuan pengkhianat. Ketika Sukat Tandika meninggalkannya mentah-mentah dia
melarikan cintanya padaku. Namun kemudian dia tergila-gila dengan kakakku
sendiri! Hingga aku akhirnya disingkirkan secara halus, dilempar ke pulau
Andalas ini!”
“Kau
salah Suto. Tidak ada yang menyingkirkan atau melemparkanmu ke sini. Aku sering
mendengar tuduhanmu terhadap Sinto Gendeng….”
“Aku
bilang jangan sebut nama itu!” teriak Sutan Alam dengan suara menggeledek dan
dua tangan terkepal kencang. Tampangnya membesi mengerikan. Saking tak dapatnya
dia menahan luapan amarah. Kakek ini tiba-tiba balikkan badan dan hantamkan
tangan kanannya ke dinding goa.
Tanpa
suara, tanpa bunyi, tanpa siuran angin tangan kanannya sampai sebatas
pergelangan amblas masuk ke dalam batu goa yang keras. Ketika perlahan-lahan
tangan itu ditarik batu di sekitarnya ikut terbongkar dan di dinding goa kini
kelihatan satu lobang besar!
“Pukulan
Malaikat Maui Mendera Bumi itu membuat aku ngeri Suto…” kata Sabai Nan Rancak.
“Maafkan kalau aku telah membuatmu marah. Aku tidak bermaksud….” Sabai terdiam
sesaat. “Namun kalau aku masih boleh bicara, aku tidak yakin dia bergila-gila
dengan kakakmu Suto. Aku dengar perempuan itu keras hati. Mungkin kau hanya
korban fitnah. Mungkin juga perempuan yang kau benci itu mengarang lalu
menyebar cerita dusta. Yang jelas ada sesuatu yang sampai saat ini belum dapat
kau singkapkan. Lain dari itu kau tidak pernah menceritakan siapa dan dimana
adanya kakakmu itu. Kau seolah satu manusia terdiri dari dua sisi saling
berbeda. Sisi pertama kau begitu terus terang padaku. Namun pada sisi kedua
sepertinya kau menyembunyikan sesuatu padaku….”
Sutan
Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa lebar. “Kau pandai bicara, itu yang
membuat salah satu alasanku mencintai dirimu. Namun dengar Sabai. Aku tidak
ingin membicarakan masa silam. Lebih baik kau yang menceritakan pengalamanmu di
tanah Jawa,” kata Sutan Alam mengalihkan pembicaraan.
Lama
Sabai Nan Rancak terdiam. Lalu dengan suara perlahan sambil memegang jari-jari
tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi nenek berjubah hitam itu berkata. “Kabar buruk
pertama yang bisa kuceritakan adalah tewasnya sahabat kita Datuk Angek
Garang….”
“Kabar
itu memang sempat kudengar dari seorang nelayan mata-mata kita belum lama
berselang. Hanya saja belum diketahui siapa si pembunuh adanya…” ujar Sutan
Alam Rajo Di Bumi.
“Aku
menduga keras pelakunya adalah seorang kakek aneh yang dijuluki Kakek Segala
Tahu….”
“Hemmm….”
Sutan Alam usap-usap muka tuanya yang masih klimis. “Manusia satu itu memang
bukan orang sembarangan. Kehebatannya bisa disejajarkan dengan para tokoh langka
seperti Dewa Tuak, si keparat Sinto Gendeng dan Tua Gila sendiri. Malah boleh
dikata kakek Segala Tahu memiliki kehebatan tertentu yang tidak dimiliki tokoh
lainnya. Jika memang dia yang membunuh Datuk Angek Garang, kita harus melakukan
sesuatu agar diantara sesama golongan putih tidak merebak silang sengketa
berkepanjangan. Berita apa lagi yang kau bawa dari tanah Jawa?”
“Sementara
itu orang-orang Lembah Akhirat semakin sering meninggalkan markas mereka untuk
melakukan hal-hal yang mereka katakan sebagai menyelamatkan golongan putih dari
bencana bentrokan satu sama lain….”
“Apakah
kau juga menyirap kabar mengenai Kitab Wasiat Malaikat?” tanya Sutan Alam Rajo
Di Bumi.
“Kitab
itu memang telah menjadi pembicaraan para tokoh rimba persilatan. Banyak di antara
mereka yang mendatangi Lembah Akhirat. Namun kabar lebih lanjut tidak
diketahui. Mereka yang masuk ke Lembah Akhirat tak pernah keluar lagi. Kalaupun
kembali muncul di luaran sepertinya mereka membekal satu tugas.”
“Orang-orang
Lembah Akhirat memang aneh. Mereka bukan orang jahat, tapi juga sukar dikatakan
orang-orang baik. Kau harus berhati-hati terhadap mereka Sabai. Kabarnya sudah
ada satu dua kaki tangan Datuk Lembah Akhirat berkeliaran di pulau Andalas ini.
Aku ingin melakukan penyelidikan apa sebenarnya yang ada di Lembah Akhirat yang
kabarnya begitu menggegerkan. Namun kau tahu waktuku sangat terbatas. Usiaku
sudah begini lanjut. Lagi pula aku merasa sudah saatnya mulai menjauhi segala
macam urusan dunia.”
“Kalau
kau mempercayai, aku sanggup mewakili. Namun tanpa tambahan ilmu pengetahuan
atau kesaktian agaknya sulit sekali bagiku untuk kembali ke Tanah Jawa.”
“Jangan
terlalu berputus asa Sabai. Adakah satu kejadian yang membuatmu kini merasa
takut kembali ke Jawa?”
“Bukan
rasa takut Suto. Tapi rasa was-was…” Jawab Sabai Nan Rancak.
Sutan
Alam Rajo Di Bumi tersenyum. Kepalanya didekatkan ke muka si nenek untuk
mencium pipi, leher dan kuduknya hingga Sabai Nan Rancak menggeliat dan
keluarkan suara mendesah.
“Rasa
was-was adalah permulaan dari rasa takut. Ceritakan terus terang apa yang kau
alami dan menyebabkan kau mempunyai perasaan seperti . itu…” kata Sutan Alam
setengah berbisik ke telinga Sabai Nan Rancak.
Si nenek
yang terangsang oleh ciuman Sutan Alam lebih dulu berusaha menindih gejolak
darahnya baru berikan keterangan.
“Dua kali
aku hampir dapat menghabisi Tua Gila. Namun dua kali dia diselamatkan oleh
seorang perempuan aneh berkepandaian tinggi mengenakan pakaian dan penutup
wajah warna kuning. Yang membuat aku benar-benar merasa terpukul, dia sanggup
menahan pukulan Kipas Neraka dan mendorong hawa sakti yang kumiliki masuk
kembali ke dalam ke dua tanganku. Aku tidak malu mengatakan bahwa jika orang
itu mau dia bisa membuatku celaka waktu menghantam balik seranganku!”
“Jadi kau
tidak mengalami cidera ketika orang itu menghantam balik pukulan saktimu?”
tanya Sutan Alam dengan kening berkerut.
“Untungnya
tidak,” jawab Sabai Nan Rancak.
“Lalu apa
yang terjadi dengan tangan kananmu. Kulihat ada tanda-tanda kulit dan daging
tangan kananmu mengelupas!”
“Cidera
ini terjadi dalam bentrokan ke dua. Aku berusaha menghantam kepalanya. Agar
bisa membunuhnya dengan cepat. Orang bercadar menangkis dan inilah akibatnya!”
“Hemmmm….”
Sutan Alam bergumam. “Kita harus mencari tahu siapa adanya orang itu. Kalau
tidak pasti bahaya yang lebih besar akan menimpa dunia persilatan. Orang-orang
golongan putih agaknya sudah terpecah-pecah oleh hasut dan fitnah. Kau tak usah
khawatir. Aku akan mengobati lukamu itu.” Sekarang apakah masih ada hal lain
yang hendak kau sampaikan?”
“Ada satu
tokoh baru muncul yang memiliki kepandaian setara Tua Gila. Orang ini
memperkenalkan diri dengan julukan Iblis Pemalu! Walau dia kelihatan berpihak
pada kelompok Tua Gila namun sulit diduga apakah dia benar-benar seorang tokoh
golongan putih….”
“Tanah
Jawa semakin dipenuhi tokoh-tokoh aneh berkepandaian tinggi. Kita harus
melakukan sesuatu Sabai. Kau memang perlu mendapat tambahan ilmu baru. Di
samping itu kita harus bertindak memakai siasat. Hanya sayang aku tidak dapat
memberikan ilmu kepandaian apa-apa padamu. Seperti kau ketahui aku disumpah
untuk tidak menurunkan ilmu kepandaian apapun pada siapapun….”
“Termasuk
ilmu Pukulan Malaikat Mendera Bumi tadi?”
Si kakek
maklum kalau sejak lama Sabai Nan Rancak sangat menginginkan memiliki ilmu
pukulan sakti itu. Perlahan-lahan dia anggukkan kepalanya lalu bertanya
mengalihkan pembicaraan.
, “Apakah
kau pernah mendengar cerita tentang sebuah makam yang disebut Makam Setan?
Terletak di sebuah pulau sunyi dan angker serta rahasia di pesisir barat
Andalas?”
“Dulu kau
juga pernah menerangkan. Aku hanya tahu sedikit dan memang pernah berencana
untuk menyelidik. Namun karena hasrat ingin mengejar Tua Gila rencana
menyelidik Makam Setan itu jadi tertunda….”
“Aku akan
mengobati cidera di tanganmu itu. Lalu memberi tahu apa yang aku tahu mengenai
Makam Setan. Mungkin itu satu harapan besar bagimu sebelum kembali ke tanah
Jawa. Aku sangat yakin makam itu menyimpan sesuatu yang hebat. Jika kita bisa
menguasai makam berarti kita akan menguasai rimba persilatan pulau Andalas. Dan
lebih dari itu tanah Jawa akan berada dalam genggaman kita. Semua urusan itu
kupercayakan padamu Sabai.”
“Aku
berterima kasih atas petunjuk dan kepercayaanmu Suto. Apa benar kabar yang aku
sirap bahwa makam itu ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Seorang tokoh paling hebat di pulau Andalas ini yang lenyap begitu saja sejak
beberapa waktu lalu?”
“Justru
itulah yang harus kau selidiki. Namun aku memang menduga keras makam itu ada
hubungannya dengan diri Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku beritahukan padamu
bahwa tokoh tersebut memiliki dua senjata sakti yang sulit dicari tandingannya.
Pertama sebuah Mantel Sakti. Mantel ini mengandung satu kekuatan dahsyat yang
jika dihantamkan bisa menumbangkan pohon besar, menghancurkan batu. Jika
seseorang sampai kena angin pukulan mantel tubuhnya akan mental dalam keadaan
hancur. Kalaupun dia bisa bertahan hidup maka jalan darahnya akan tertutup,
urat-urat dalam tubuhnya akan hancur!”
“Luar
biasa! Belum pernah aku mendengar senjata sehebat itu!” kata Sabai Nan Rancak.”
“Senjatanya
yang ke dua. Berupa butir-butir Mutiara Setan. Senjata ini sanggup menembus
tembok atau batu. Dapat kau bayangkan bagaimana kalau dipakai menghantam
manusia! Nah Sabai, jika kau bisa menyelidiki hal ihwal Datuk Tinggi dan
mencari jalan mendapatkan dua senjata itu apapun urusanmu di tanah Jawa, siapa
pun musuhmu kau tak usah was-was lagi. Semua akan beres! Namun ada satu hal
perlu kukatakan padamu. Jika kau mendapatkan dua senjata itu atau salah satu
dari keduanya, kau harus menemuiku terlebih dahulu. Kita perlu mengatur
siasat…. Bagaimana menurutmu. Ada yang hendak kau katakan Sabai?”
Sabai Nan
Rancak gelengkan kepala. “Semua keteranganmu sudah jelas bagiku Suto.”
“Bagus!
Sekarang lupakan semua urusan dunia. Kau butuh istirahat. Aku akan menemanimu.
Kau suka Sabai…?”
“Sebentar
Suto. Tadi kau bilang selanjutnya kita harus bertindak memakai siasat. Apa yang
ada dalam otakmu yang penuh akal itu Suto?”
“Aku
mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng anak murid si keparat Sinto Gendeng dan
juga murid Tua Gila berada dalam malapetaka besar, kehilangan ilmu kepandaian
dan kesaktian. Kalau kau nanti kembali ke Jawa yang harus kau cari lebih dulu
bukannya Tua Gila tapi Pendekar 212. Bunuh pemuda itu, maka Tua Gila ataupun
Sinto Gendeng pasti akan keluar dari sarang mereka. Saat itulah kau bisa
menghabisi mereka!”
“Tujuanku
semula hanya membunuh Tua Gila. Mengapa kini kau tambahkan dengan membunuh
Sinto Gendeng?” bertanya Sabai Nan Rancak.
“Keadaan
bisa berubah. Setiap perubahan bisa mendatangkan keuntungan bagi kita jika kita
mau memutar otak!”
Sabai Nan
Rancak anggukkan kepala. “Kau memang pintar Suto…. Dan licik!”
Sutan Alam
Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa bergelak. “Jika kita ingin menghadapi
kehidupan, pergunakan otak, pergunakan kelicikan. Kalau tidak orang lain akan
mengotaki dan melicikkan diri kita. Kita harus kokoh tegar seperti banteng
ketaton tapi juga harus licik seperti seekor ular!”
Sutan
Alam melangkah ke arah dinding goa. Tiga langkah di depan dinding tiba-tiba
terdengar suara berkereketan. Dinding batu menggeser aneh. Sutan Alam tersenyum
dan anggukkan kepala memberi isyarat pada Sabai Nan Rancak lalu melangkah masuk
ke dalam ruangan batu.
Sabai Nan
Rancak mengikuti dengan cepat. Sebelum batu kembali bergeser menutup masih
kelihatan sepasang, kakek dan nenek itu saling berpeluk berpagut-pagutan.
**********************
SEMBILAN
DALAM
gelapnya malam dan dinginnya udara menjelang pagi serta gencarnya deru angin
yang bergabung dengan deru ombak, lelaki muda pemilik pukat merapatkan
perahunya itu ke lamping gundukan batu karang. “Ne
k, aku
hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini.” Si pemilik perahu berucap.
Sabai Nan
Rancak pelototkan mata lalu memandang ke depan, ke arah gugusan batu karang
yang berbaris seolah membentengi pulau kecil di kejauhan sana.
“Tujuanku
adalah pulau di balik batu karang itu. Kurang ajar sekali kau berani menurunkan
aku masih di tengah laut begini rupa!”
“Nek,
pulau yang kau tuju hanya tinggal dekat. Air laut di kawasan ini tidak dalam,
hanya sebatas pinggul. Kau bisa turun dari perahu dan menuju ke pulau dengan
mudah. Jika kau tak mau pakaian mu basah, kau bisa melompat dari satu batu
karang ke batu karang rendah yang membujur sampai ke pulau sana….”
“Kau
benar-benar kurang ajar! Berani mengajariku! Aku tidak akan membayar sewa
perahumu!”
“Jangan
Nek! Jangan lakukan itu! Aku sudah menyabung nyawa mau mengantarmu ke sini!”
kata pemilik perahu setengah meratap.
“Katakan
mengapa kau tidak mau membawa aku sampai ke pulau sana?”
“Sudah
kubilang berulang kali. Itu pulau setan.
Ada
seribu keangkeran di sana. Berani ke sana jangan mengharap bisa kembali
hidup-hidup….”
“Memangnya
di pulau itu ada apa?!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.
“Jawabnya
hanya satu kata Nek. Maut!”
Sabai Nan
Rancak tertawa mengekeh.
Mendadak
di kejauhan dari arah pulau lapat-lapat terdengar suara aneh.
“Seperti
suara lolongan anjing…” desis Sabai Nan Rancak.
“Kurasa
itu baru satu saja dari keanehan yang menyeramkan. Aku minta bayaranku sekarang
juga Nek….”
“Hemmm….”
Sabai Nan Rancak bergumam. Dari batik jubah hitamnya dikeluarkannya sesuatu
lalu diberikannya pada pemilik perahu.
Yang
diberikan bukan uang tapi sepotong kecil perak. Semula lelaki itu hendak
mengembalikan perak ini pada Sabai. Tapi setelah menilai akhirnya dia berkata.
“Masih kurang Nek. Paling tidak kau harus memberikan tiga keping perak sebesar
ini….”
“Kalau
kau mau menunggu sampai aku kembali, aku akan berikan kau sepuluh keping perak
sebesar itu! Apa jawabmu?!”
“Menunggu
di sini, tidak mendarat ke pulau sana?”
Sabai
mengukur jarak antara perahu di mana dia berada, memperhatikan letak batu-batu
karang rendah yang bersusun ke arah pulau lalu anggukkan kepala.
“Berapa
lama aku harus menunggu Nek? Aku khawatir….”
“Apa yang
kau khawatirkan?!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Aku
menunggu ternyata kau tidak pernah kembali…”
“Maksudmu
aku menemui kematian di pulau setan itu?!”
“Ki…
kira… kira begitu Nek.”
Sabai Nah
Rancak tertawa bergelak. “Aku memang tidak punya nyawa rangkap. Tapi aku pasti
kembali! Tunggu di sini dan jangan berani menipu!” Dari balik jubahnya si nenek
keluarkan segulung tali. Dia membuat semacam buhul besar. Buhul ini
dilemparkannya hingga masuk dan menjirat di ujung lancip batu karang di samping
perahu. Ujung satunya lagi diikatkan ke tiang besar perahu. Lalu dia berpaling
pada pemilik perahu dan sambil menyeringai berkata. “Tali ini bukan tali biasa.
Buhul dan ikatannya bukan ikatan biasa. Tak ada yang bisa melepaskah. Jangan
harap kau bisa memutus tali dengan senjata tajam atau membakar dengan api!
Berarti kau tetap di sini sampai aku kembali! Hik… hik… hik!”
Masih
tertawa panjang Sabai Nah Rancak lesatkan tubuhnya ke batu karang datar yang
tersembul di depan perahu. Dari sini dia melompat lagi ke batu karang di
depannya. Demikian beberapa kali hingga akhirnya dia mencapai pasir pantai
pulau di balik barisan batu-batu karang meruncing tinggi.
“Hebat!”
kata pemilik perahu dalam hati yang memperhatikan kepergian si nenek. “Nenek
itu pasti sebangsa setan juga. Kalau tidak mengapa dia berani pergi ke Pulau
Setan itu!”
Di pasir
pantai pulau sesaat Sabai Nan Rancak tegak tak bergerak. Empat rongsokan perahu
yang hanya tinggal kepingan-kepingan papan lapuk bergeletakan di atas pasir
pantai pulau. Sabai pasang telinganya baik-baik. Sepasang matanya memandang
menembus kegelapan. Dia tidak melihat sesuatu yang bergerak namun dia dapat
mendengar suara aneh dari arah timur pulau. Suara itu adalah suara orang
mendesah panjang yang sesekali berubah menjadi teriakan-teriakan seperti orang
mencaci-maki. Lalu terdengar pula suara lolongan anjing. Semua suara itu
ditimpali oleh deru angin dan debur ombak serta gemerisik daun-daun pohon
kelapa. Jika bukan Sabai Nan Rancak yang berada di tempat itu pasti orang sudah
merasa ngeri dan dingin kuduknya. Dan kalau bukan Sabai yang berkepandaian
tinggi tidak mungkin akan menangkap suara desah berkepanjangan yang bersumber
dari satu tempat cukup jauh di sebelah timur pulau.
Selain
dari itu bagi si nenek menginjakkan kaki di pulau itu membawa kenangan
tersendiri walaupun merupakan satu kenangan pahit memerihkan yang sampai saat
itu membekas sangat dalam di lubuk hatinya. Pulau itu dulu adalah salah satu
tempat kediaman Tua Gila alias Sukat Tandika, pemuda yang pernah menjadi
kekasihnya Di pulau itu mereka memadu cinta berkasih sayang hingga akhirnya
Sabai Nan Rancak berbadan dua. Sebelum bayi yang dikandungnya lahir Tua Gila
meninggalkannya begitu saja. Si nenek menarik nafas panjang beberapa kali.
Setelah
memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi baru Sabai Nan Rancak
berkelebat cepat ke arah timur. Karena pulau itu tidak seberapa besar maka
cepat sekali dia sampai di tempat itu yang ternyata gugusan batu karangnya
lebih besar dan tinggi. Sabai menyeruak di antara lamping-lamping batu karang
dan hentikan langkahnya di satu tempat gelap di bawah bayang-bayang batu karang
tinggi.
Di antara
kerapatan pohon-pohon besar dan batu-batu cadas membentuk setengah lingkaran
terlihat satu lapangan datar. Di salah satu ujung lapangan tampak dua buah batu
nisan hitam berlumut tersembul dari permukaan tanah. Bagian badan dari makam
hanya merupakan satu timbunan tanah datar yang ditumbuhi rerumputan dan
alang-alang liar.
“Dua
Makam Setan! Keanehan yang menggidikkan…” kata Sabai Nan Rancak dalam hati.
Pandangannya kemudian membentur pada dua onggok jerangkong tengkorak manusia
yang tulang-tulangnya tidak lagi memutih tetapi telah terselubung tanah dan
lumut. Lalu di kiri kanan dua makam terpancang beberapa buah tiang kayu. Pada
dua tiang tergantung dua jerangkong manusia dalam keadaan terkulai. Keadaan di
tempat itu benar-benar menggidikkan. “Ada empat orang korban pembunuhan keji.
Pasti terjadi beberapa lama lalu. Siapa kira-kira pelakunya?”
Sabai Nan
Rancak melangkah mendekati dua makam bernisan batu hitam itu. Langkahnya
tertahan ketika di kejauhan tiba-tiba terdengar suara raungan anjing. Lalu
keadaan kembali sunyi. Si nenek diam sesaat kemudian palingkan kepalanya ke
arah makam di sebelah kiri. Dari arah makam itu sekonyong-konyong terdengar
suara-suara aneh.
“Duk…
duk… duk… duk!”
“Suara
apa itu,” pikir Sabai Nan Rancak. Tanah yang dipijaknya terasa bergetar.
“Seperti suara sesuatu dipukul berulang-ulang. Inikah yang dimaksud Suto Abang
dengan Makam Setan itu?” Sabai meneruskan langkahnya. Gerakannya kembali
tertahan begitu dari liang makam sebelah kiri terdengar seperti suara orang
meraung. “Dalam makam di sebelah kiri jelas ada makhluk hidup! Aneh! Mana
mungkin? Orang yang sudah dikubur masih hidup…?”
Langit
masih kelam, malam masih gelap dan tiupan angin serta deru ombak di laut
terdengar lebih keras.
Sabai tenangkan
gejolak hatinya. Kalau tadi dia hanya melangkah maka kini dia membuat satu kali
lompatan dan gerakannya ini membawa dia serta merta berada di samping kiri
makam. Di sini dia tegak berdiam diri, tak berani membuat suara. Telinganya
dipasang dan matanya menatap makam tak berkesip. Lalu ada suara orang mendesah.
Sunyi sesaat. Menyusul suara teriakan memaki. Tak jelas apa yang diteriakkan
atau dimaki. Tapi suara yang seolah terpendam itu jelas berasal dari dalam
liang makam di hadapannya.
Sabai
perhatikan nisan makam yang terbuat dari batu hitam. Lalu kepalanya didekatkan
agar bisa melihat apa yang tertulis di batu itu. Selain gelap, batu nisan itu
juga kotor berselimut tanah. Dengan tangan kirinya Sabai mengusap permukaan
batu nisan.
“Astaga!”
si nenek keluarkan suara tercekat ketika yang tertulis di batu nisan hitam itu
adalah nama “Tua Gila”. “Bagaimana mungkin? Orangnya masih hidup tapi kubur
lengkap dengan namanya sudah ada di tempat ini…?!” Si nenek beranjak ke makam
satunya. Seperti tadi dia menggosok bagian datar batu nisan. Kembali dia
tersentak. Di batu nisan satunya ini tertera nama “Wiro Sableng”!
“Rahasia
apa sebenarnya yang ada dibalik keanehan seram dua makam ini?” pikir Sabai Nan
Rancak.
Baru saja
dia membatin begitu tiba-tiba dari makam di sebelah kiri kembali terdengar
suara “Duk… duk… duk… duk!” Menyusul suara orang berteriak-teriak tak karuan.
Karena tidak jelas Sabai Nan Rancak tempelkan telinga kirinya pada batu nisan
hitam di makam sebelah kiri.
“Duk…
duk… duk,..!”
Sabai
kerahkan tenaga dalam lalu ketuk-ketuk batu nisan hitam.
“Duk…
duk… duk… duk!”
Suara
pukulan dari dalam liang kubur terdengar makin keras dan terus-terusan.
“Hai!
Siapa di dalam makam?!” Tidak sabaran Sabai Nan Rancak berteriak. Tentu saja
dengan pengerahan tenaga dalam hingga suaranya bergema keras di malam yang
kelam menjelang pagi itu.
“Duk…
duk… dukkk! Siapa yang berteriak di luar sana?! Setan atau manusia harap sudi
membebaskan diriku dari makam jahanam ini!”
Terdengar
lagi suara pukulan yang menggetarkan batu nisan disusul lapat-lapat suara
seseorang minta tolong.
“Kau
sendiri manusia atau setan?!” balik berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku
manusia tapi mungkin sudah dua pertiga jadi setan!” jawab orang di dalam makam.
“Lekas bebaskan diriku dari liang keparat ini!”
“Aku
tidak membawa peralatan! Bagaimana mungkin bisa menggali makammu?!” seru si
nenek.
“Aku akan
tunjukkan rahasianya. Makam ini terbuat dari batu! Melangkah ke belakang batu
nisan. Periksa tanah sekitarnya. Kau akan menemukan sebuah tonjolan batu hitam.
Tekan batu itu kuat-kuat. Batu penutup makam akan terbuka!”
**********************
SEPULUH
SABAI Nan
Rancak melangkah ke bagian belakang batu nisan hitam makam sebelah kiri itu.
Kakinya digeser-geserkan ke tanah sampai akhirnya dia menyentuh sesuatu. Si
nenek membungkuk, pergunakan tangannya untuk menggali. “
Aku sudah
menemukan batu hitam di belakang nisan!” berteriak Sabai Nan Rancak.
“Bagus!
Demi setan aku berharap peralatan rahasianya tidak macet!” Orang di dalam makam
berseru.
“Peralatan
rahasia apa?!” tanya Sabai tidak mengerti.
. “Tak
perlu bertanya! Tekan batu itu dengan tanganmu. Kalau tidak ada gerakan
pergunakan kakimu! Lakukan cepat! Ratusan hari mendekam di liang neraka ini
nyawaku rasanya sudah sampai di tenggorokan!”
Sabai Nan
Rancak tidak melakukan apa-apa. Dia diam saja tapi otaknya bekerja.
“Hai!
Apakah sudah kau lakukan?!” Makhluk di dalam liang makam berteriak. … “Sebelum
aku menolongmu kita perlu membuat perjanjian lebih dulu!” jawab Sabai Nan
Rancak.
“Jahanam!
Perjanjian apa?!”
“Pertama
terangkan dulu siapa dirimu?!”
Orang di
dalam liang makam tak segera menjawab. Lalu dia malah terdengar bertanya.
“Mengapa kau ingin tahu siapa diriku?!”
“Kalau
ternyata aku hanya menolong seorang bangsa kecoak, apa untungnya?! Mungkin juga
kau benar-benar setan yang hendak mengganggu mempermainkan diriku! Bukankah
makammu ini yang disebut orang sebagai Makam Setan?!”
“Setan!
Dari suaramu aku tahu kau seorang perempuan! Kau manusia licik!”
“Terserah
kau mau bilang apa! Kau mau mengatakan siapa dirimu atau aku segera pergi saja
dari tempat celaka ini!”
“Tunggu!
Aku akan terangkan siapa diriku! Sialan! Kau benar-benar menambah siksaanku!”
jawab orang di dalam makam. “Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Nah kau sudah
tahu! Apa kau puas sekarang?! Ayo tepati janjimu! Tekan batu hitam itu!”
“Jangan
kau berani mengaku-aku! Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan manusia sembarangan!
Bagaimana mungkin dia bisa berada dalam makam ini dan masih hidup?!
“Kau
benar-benar perempuan sialan! Kalau kau ingin bertanya jawab nanti saja setelah
aku keluar dari tempat celaka ini!”
“Mana
bisa begitu. Aku yang akan menolongmu, aku yang harus mengatur: Aku tidak
percaya kau adalah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Bagaimana kau bisa
membuktikannya?!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Perempuan
setan! Aku tidak perlu memberikan segala macam bukti! Jika kau tidak percaya
pergi saja ke neraka! Ratusan hari dikubur di sini aku sebenarnya sudah pasrah
mampus sejak dulu-dulu…!”
“Hemm….
Siapa yang menguburmu hidup-hidup di Makam Setan ini?!” Sabai ajukan pertanyaan
sekaligus memancing agar orang mau memberi keterangan.
“Dua
jahanam! Satu tua bangka sedeng satunya pemuda edan keblinger! Mereka bernama
Tua Gila dan Wiro Sableng! Dua makam batu di pulau ini sebenarnya aku sediakan
untuk mereka!”
Tentu
saja Sabai Nan Rancak jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar
penjelasan seperti itu. Dia lantas teruskan pancingannya. “Setahuku Datuk
Tinggi Raja Di Langit memiliki kepandaian dan kesaktian tidak lebih rendah dari
dua orang itu! Bagaimana mungkin kau bisa mereka pendam di tempat ini?!”
“Aku kena
tipu licik mereka!”
“Begitu?
Hemm…. Lalu mayat siapa yang ada di makam satunya?!”
“Makam
itu kosong! Wiro Sableng berhasil meloloskan diri!”
“Katamu
kau sudah terpendam selama ratusan hari di makam ini! Bagaimana mungkin kau
masih bisa hidup?” tanya Sabai selanjutnya.
“Setan
menolongku! Makam batu ini lembab berlumut! Aku tidak kekeringan dan tidak
kelaparan! Hanya dua anggota tangannya menjadi lemah, sulit digerakkan!”
“Kalau
kau benar Datuk Tinggi Raja Di Langit apakah kau masih membekal Mantel Sakti
dan Mutiara Setan, dua senjata andalanmu?!”
Orang di dalam
liang kubur tak segera menjawab.
“Kau
tidak menjawab berarti kau tidak tahu menahu perihal dua senjata itu. Jadi kau
sebenarnya bukan Datuk Tinggi Raja Di Langit!”
“Kurang
ajar! Omonganmu banyak amat! Pergi saja sana! Aku memilih mampus dari pada
melayani dirimu! Setan betul!” Orang di dalam liang kubur memaki panjang
pendek.
“Aku akan
menolongmu keluar dari Makam Setan ini. Tapi kita harus membuat perjanjian.”
“Perjanjian
apa?!”
“Kalau
kau berhasil kubebaskan, aku minta kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara
Setanmu padaku!”
“Kau
benar-benar manusia licik!”
“Terserah
padamu! Memilih mati atau masih ingin hidup untuk membalaskan sakit hatimu pada
Tua Gila dan Wiro Sableng?!”
“Setan
betul! Aku mengalah! Dua benda yang kau sebutkan itu akan kuberikan padamu
kalau aku bebas!”
“Bagus!”
seru Sabai Nan Rancak. Si nenek kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan tangan kanan
ditekannya batu hitam di tanah. Batu itu tidak bergerak sedikitpun.
“Batu
hitam tidak bergerak!” Sabai memberi tahu.
“Celaka!
Mungkin peralatan rahasianya sudah karatan. Macet! Kerahkan tenaga dalammu!
Atau injak batu dengan kakimu kuat-kuat!” teriak orang di dalam makam.
Sabai Nan
Rancak bangkit berdiri. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan. Lalu dengan
kaki itu diinjaknya kuat-kuat batu hitam yang menonjol di tanah. ,
Terdengar
suara berderak. Tanah makam bergetar. Rumput dan alang-alang liar yang tumbuh
di atasnya tampak bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan tampak tanah dan
tetumbuhan liar itu terangkat ke atas. Hawa busuk menebar keluar dari dalam
liang makam membuat Sabai Nan Rancak tersurut beberapa langkah, mau muntah dan
terpaksa menutup hidungnya!
Pada saat
batu penutup makam membuka setengah dari dalam liang dengan susah payah tampak
merayap keluar sesosok tubuh yang membuat Sabai Nan Rancak merinding saking
bergidiknya.
Sosok
tubuh itu adalah sosok seorang kakek berambut panjang riap-riapan. Kumis,
janggut, dan cambang bawuknya jadi satu menjulai lebat. Sepasang matanya yang
besar seolah terpuruk ke dalam rongga yang dalam. Ke dua pipinya kempot tak
bertulang. Tubuhnya kurus kering terbungkus pakaian yang hancur tak karuan rupa
hingga nyaris telanjang. Dia menyeringai mengeluarkan suara desau seperti gerengan
harimau dari mulutnya yang bergigi dan memiliki taring seolah binatang. Sekujur
tubuhnya menebar bau sangat busuk!
Yang
membuat si nenek jadi merinding ialah menyaksikan keanehan pada sepasang kaki
orang ini. Mulai dari bawah lutut sampai ke ujung jari, dua kaki orang ini
tidak berdaging sama sekali. Hanya merupakan tulang putih pipih laksana badan
pedang bermata dua! Apa yang telah menyebabkan ke dua kakinya tidak berdaging
lagi?
Seperti
dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan untuk
melumpuhkan tenaga dalam Tua Gila dan Wiro yang hendak disekapnya di dalam dua
makam batu itu, Datuk Tinggi Raja Di Langit telah menebar sejenis bubuk. Begitu
dia dilempar masuk ke dalam liang batu itu maka dia sendiri menjadi korban
bubuk beracunnya. Walaupun begitu karena ilmunya yang tinggi dia tidak sampai
menderita lemah atau lumpuh keseluruhan. Hanya ke dua tangannya saja yang tidak
bisa digerakkan. Ke dua kakinya yang masih bisa digerakkan dipergunakannya
untuk menendangi batu penutup makam. Suara tendangannya itu disamping suara
teriakannya diharapkan akan terdengar oleh siapa saja yang berada di pulau dan
dapat memberi pertolongan. Selama ratusan hari tersekap dalam liang batu Datuk
Tinggi hidup dari lumut lembab yang bertumbuhan di Seantero liang batu. Dia
bernasib untung karena antara liang penyanggah dan lapisan batu penutup makam
terdapat celah yang walaupun sangat tipis masih bisa memasukkan hawa segar dari
luar.
Selama
ratusan hari disekap selama itu pula dia menendangi batu penutup makam dengan
ke dua kakinya. Tidak terasa ke dua kakinya menjadi kebal. Dia tidak mengalami
rasa sakit sama sekali ketika dua kaki yang dipakai untuk menendang, lama-lama
kulit dan dagingnya terkelupas hingga terkikis habis hanya tinggal
tulang-tulang yang memutih dan kebal rasa. Ternyata kelak sepasang kaki yang
tinggal tulang ini dapat diandalkan sebagai senjata dahsyat yang akan
menggegerkan rimba persilatan.
“Astaga,
inikah Datuk Tinggi Raja Di Langit itu?!” pikir Sabai Nan Rancak dalam hati.
Tiga
langkah dari hadapan si nenek sosok tubuh kurus dan bau itu tersungkur
menelentang di tanah. Berulang kali dia menarik nafas panjang berusaha
menghirup udara segar, Lalu matanya yang besar berputar memandang ke arah
Sabai.
“Betul
kau Datuk Tinggi Raja Di Langit?” tanya Sabai agak meragu.
Yang
ditanya tidak menjawab.
“Setelah
kutolong harap kau tidak lupa perjanjian kita! Mana Mantel Sakti dan Mutiara
Setan yang harus kau berikan padaku?!”
Orang
yang diajak bicara masih diam hanya desau nafasnya terdengar seperti gerengan
harimau.
“Kau
tidak tuli, jangan berpura-pura tidak mendengar!” Sabai Nan Rancak jadi jengkel
karena ucapan-ucapannya tidak dijawab.
“Perempuan
tua! Beri kesempatan padaku untuk bernafas menghirup udara segar. Beri
kesempatan padaku untuk mengatur jalan darah dan hawa dalam tubuhku! Aku bukan
orang yang suka ingkar janji! Jadi jangan bicara macam-macam! Tunggu sampai aku
siap….”
“Boleh
saja, tapi jangan coba menipuku! Aku sama sekali tidak melihat Mantel Sakti dan
Mutiara Setan yang jadi senjata andalanmu itu.”
“Aku akan
beri tahu di mana dua benda itu beradanya. Sebentar lagi! Harap kau suka
bersabar. Dua tanganku terasa lumpuh! Aku harus mengatur jalan darah dan
mengerahkan tenaga dalam untuk memberi kekuatan!”
“Kau tak
bakal bisa melakukannya dengan cepat! Ratusan hari kau tersekap di liang setan
itu, mana mungkin kau mengharap kesembuhan dalam sekejapan mata!” kata Sabai
Nan Rancak.
“Kalau
kau tidak sabaran silahkan pergi! Aku tidak mau berurusan dengan nenek-nenek
cerewet, bicara melulu dan tidak sabaran!”
Sabai Nan
Rancak menjadi sangat jengkel. Kalau tidak mengharapkan Mantel Sakti dan
Mutiara Setan itu, mungkin sejak tadi dia sudah tinggalkan manusia itu, tentu
saja setelah memberikan satu gebukan padanya.
Beberapa
saat berlalu. Perlahan-lahan Datuk Tinggi Raja Di Langit bergerak duduk. Ke dua
bahunya digoyang-goyangkan. Walau dua tangannya belum bisa digerakkan, namun
jari-jarinya tampak bergeletar.
“Aku
tidak akan memberikan Mantel dan Mutiara Setan itu pada orang yang aku tidak
tahu nama atau gelarannya…. Katakan siapa dirimu adanya!” Tiba-tiba Datuk
Tinggi Raja Di Langit membuka mulut.
“Namaku
Sabai Nan Rancak. Aku berasal dari puncak Gunung Singgalang!”
Kening
sang datuk nampak mengerenyit. Mata besarnya tak berkesip memandangi Sabai Nan
Rancak.
“Aku
pernah mendengar namamu. Bukankah kau seorang yang punya hubungan dengan
bangsat laknat bernama Tua Gila yang berhasil lolos dari pendaman Makam
Setan?!”
“Dulu,
puluhan tahun silam memang aku punya hubungan dengan dirinya. Saat ini dia
adalah musuh besar yang harus kuhabisi nyawanya!” jawab Sabai Nan Rancak.
Datuk
Tinggi menyeringai. “Kalau kau membuat perjanjian, aku juga ingin membuat
perjanjian!”
“Apa
maksudmu?” tanya si nenek.
“Aku
berikan Mantel dan Mutiara Setan padamu. Tapi kau harus berjanji tidak akan
membunuh Tua Gila. Bangsat tua itu harus aku yang membunuhnya!”
Sabai Nan
Rancak tertawa pendek. “Perjanjian seperti itu tidak ada gunanya. Yang ingin
membunuh Tua Gila bukan cuma kita berdua. Siapa cepat dia yang dapat!”
“Kenapa
kau inginkan nyawa bangsat tua itu?!” tanya Datuk Tinggi Raja Di Langit.
“Itu
bukan urusanmu! Kau sendiri mengapa mau membunuhnya?!”
“Dia
membunuh adikku Datuk Sipatoka….”
Sabai Nan
Rancak terkesiap mendengar jawaban itu. Dia tahu betul riwayat Datuk Sipatoka
yang pernah ingin menguasai dunia persilatan pulau Andalas. Dalam hati dia
berkata. “Manusia jahat dan biadab seperti Datuk Sipatoka memang pantas
dilenyapkan dari muka bumi. Datuk yang satu ini pun aku tidak percaya padanya!”
Lalu dia berkata: “Aku sudah memberi tahu siapa namaku. Sekarang mana Mantel
dan Mutiara Setan itu? Lekas berikan padaku!” .
Datuk
Tinggi tertawa lebar. “Rupanya kau tidak percaya padaku! Dua benda sakti itu
ada dalam makam batu di sebelah kanan. Kau tahu bagaimana membuka batu penutup
makam- Ada tombol di belakang nisan batu hitam!”
Tanpa
menunggu lebih lama si nenek segera melompat ke belakang makam di sebelah kanan
yang batu nisannya bertuliskan nama Wiro Sableng.
Dengan
cepat dia menemukan batu hitam menonjol di tanah. Sekali kerahkan tenaga dalam
dan injakkan kakinya di batu itu maka terdengar suara berderak. Lalu ada suara
siuran dan perlahan-lahan batu penutup makam yang tertutup tanah dan ditumbuhi
rerumputan serta alang-alang liar bergerak ke atas hingga akhirnya berhenti.
Walau berdiri dekat kepala makam namun Sabai tidak dapat melihat isi makam itu
karena sangat gelap.
“Mantel
dan Mutiara Setan itu ada di dalam liang batu. Tunggu apa lagi? Mengapa kau tak
segera mengambilnya?” berseru Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Sabai Nan
Rancak tidak bergerak dari tempatnya. Hatinya bimbang. Dia menaruh curiga.
Selain tidak dapat menduga berapa dalamnya lobang makam batu itu serta tidak
bisa melihat karena gelap, dia juga menaruh curiga kalau-kalau begitu masuk Datuk
Tinggi menurunkan batu penutup makam hingga dia tersekap di Makam Setan itu!
“Kau saja
yang turun ke dalam makam mengambil dua benda sakti Itu lalu menyerahkannya
padaku!” Berkata Sabai Nan Rancak.
“Nenek,
kau benar-benar rewel dan banyak pinta! Aku sudah memberi malah kau memerintah
seolah aku ini kacungmu!”
“Kau
memang bukan kacungku!” tukas Sabai. “Tapi jangan lupa! Jika aku tidak
menolongmu kau akan jadi jerangkong busuk dalam Makam Setan itu!”
Sambil
mengomel Datuk Tinggi melangkah ke tepi makam.
“Gelap!
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sebaiknya kita menunggu sampai hari terang.
Sebentar
lagi pagi
datang. Aku sudah melihat ada saputan sinar kekuningan di sebelah timur.”
“Jangan-jangan
kau hendak memperdayaiku!” Kata Sabai Nan Rancak.
“Perempuan
setan!” carut Datuk Tinggi.
Sabai Nan
Rancak tersenyum dan melangkah mendekati si kakek. Ketika nenek itu hanya
tinggal satu langkah dari hadapannya tiba-tiba dalam keadaan masih duduk di
tanah Datuk Tinggi Raja Di Langit hantamkan kaki kirinya. Maksudnya hendak
menjegal kaki Sabai lalu mendorongnya ke dalam makam batu sebelah kiri.
Tapi
Sabai Nan Rancak yang sejak tadi memang telah berlaku waspada dengan cepat
melompat. Serimpungan kaki Datuk Raja Di Langit mengenai tempat kosong lalu
menghantam pinggiran batu penutup makam.
“Traakkk!”
Sabai Nan
Rancak mengira kaki yang hanya tinggal tulang itu hancur berpatahan. Tapi
alangkah kagetnya dia ketika menyaksikan bukan kaki si kakek yang patah
sebaliknya batu tebal penutup makam yang terbelah seolah papan dibabat sebilah
pedang sakti! Sang Datuk sendiri melengak kaget melihat apa yang terjadi. Dia
sanggup memutus batu tebal penutup makam sedang kaki atau tulang kakinya sama
sekali tidak merasa sakit sedikitpun!
Dalam
kagetnya Sang Datuk menjadi lengah. Sebaliknya Sabai Nan Rancak tidak mau
berlaku ayal. Dengan cepat dia menyergap si kakek dengan satu totokan dahsyat.
Sang Datuk sekilas masih sempat melihat gerakan orang. Dia angkat tangan
kanannya untuk menangkis. Namun saat itu baik tangan kanan maupun tangan
kirinya masih berada dalam keadaan lemas tidak berdaya hingga dia tidak mampu
mengangkatnya. Totokan si nenek bersarang telak di dada kanannya.
“Perempuan
jahanam! Aku memang curiga padamu sejak tadi-tadi!” Ternyata totokan yang
dilancarkan Sabai hanya membuat tubuh Datuk Tinggi kaku tetapi jalan suaranya
masih terbuka.
“Tua
bangka tidak tahu diri. Aku telah menolongmu! Janjimu belum lagi kau tepati.
Barusan kau yang lebih dulu menyerangku! Masih untung aku tidak segera
membunuhmu Saat ini juga!”
“Perempuan
jahanam! Kau akan menyesal kalau tidak membunuhku!”
Sabai
tertawa panjang. Dia pergi duduk bersandar pada sebuah batu besar di pinggir
lapangan. Kedua matanya dipejamkan. Dia sengaja tidur-tidur ayam sambil
menunggu datangnya pagi.
**********************
SEBELAS
SEBENARNYA
Datuk Tinggi Raja Di Langit memiliki kemampuan membuyarkan totokan. Namun saat itu
keadaannya masih sangat lemah. Bagaimanapun dia mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya dia hanya, mampu menggerakkan sedikit ke dua tangan dan
menggetarkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya.
“Perempuan
jahanam!” maki Datuk Tinggi. “Aku harus bisa mengembalikan kekuatanku! Aku
harus mampu mengerahkan tenaga dalam sebelum matahari terbit. Aku tidak akan
memberikah Mantel Sakti dan senjata rahasia Mutiara Setan itu padanya!”
Mantel
dan Mutiara Setan itu memang menjadi andaian Datuk Tinggi karena pada dasarnya
dia tidak memiliki kesaktian lain atau ilmu silat tinggi. Sepanjang hidupnya
dia mencurahkan perhatian pada dua hal. Pertama mempelajari pengembangan tenaga
dalam untuk dijadikan dasar penggunaan ilmu bertahan dan menyerang yang
mengandalkan Mantel Sakti. Hal kedua ialah ilmu melempar untuk penggunaan
senjata rahasia Mutiara Setan. Selama ini Datuk Tinggi telah banyak berhasil
hingga namanya mencuat dalam rimba persilatan sebagai salah satu momok yang
ditakuti. Itulah sebabnya saat itu dia berusaha mati-matian memulihkan tenaga
dalam dan kekuatannya. Kalau Mantel Sakti dan Mutiara Setan sampai jatuh ke
tangan Sabai Nan Rancak berarti dia tidak punya apa-apa lagi untuk diandalkan.
Namun di saat itu ada satu hal yang membuatnya heran, gembira, tetapi juga jadi
bingung sendiri.
“Tadi
sewaktu terabasan kakiku gagal menghantam kaki perempuan setan itu, batu atos
penutup makam yang jadi sasaran. Batu itu terbelah putus. Tulang kakiku sama
sekali tidak terasa sakit! Kakiku yang hanya tinggal tulang pipih memutih telah
berubah menjadi satu senjata hebat yang benar-benar tidak bisa kupercaya! Aku
harus memanfaatkan kehebatan ini! Gila, dipendam orang selama ratusan tahun aku
kini memiliki satu kehebatan yang tidak terduga! Hemmm… Aku yakin akan membuat
nama: besar dalam rimba persilatan. Tua Gila! Wiro Sableng! Tunggu
pembalasanku! Hemmm…. Sekarang biar aku mengurus perempuan tua bangka dajal ini
lebih dulu!”
Di bawah
pohon perlahan-lahan Sabai Nan Rancak buka ke dua matanya yang meram-meram
ayam. Di arah timur sinar terang tampak semakin jelas tanda sang surya segera
akan terbit. Di dekat makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terbujur tak
bergerak, menghadap ke arah makam. Ke dua tangan terkulai di tanah. Sepasang
mata tertutup tapi si nenek tahu kalau mata: itu tidak terpejam dan
terus-terusan mengawasi gerak-geriknya.
“Setan
itu tengah berusaha keras memulihkan dirinya. Aku melihat ada getaran-getaran
halus di beberapa bagian tubuhnya. Aku harus bertindak cepat!” Sabai Nan Rancak
bangkit berdiri lalu melangkah cepat mendekati makam yang batu nisan hitamnya
bertuliskan nama Wiro Sableng. Sinar terang di kejauhan yang jatuh di atas
makam membuat si nenek kini dapat melihat apa yang ada di dalam makam. Lumut
menempel di mana-mana. Lalu tetumbuhan liar, rumput dan alang-alang.
Cacing-cacing besar menggeliat-geliat di satu sudut makam. Juga ada beberapa
ekor kalajengking hitam pekat. Kemudian sepasang mata si nenek membentur sebuah
benda lebar berwarna hitam yang tampak kotor diselimuti tanah bercampur lumut.
Tak jauh dari. benda hitam ini ada sebuah kantong kain tebal yang juga
terbungkus tanah dan lumut.
“Mantel
Sakti, Mutiara Setan!” desis Sabai Nan Rancak dengan dada berdebar keras. Dia
melirik ke kiri. Datuk Tinggi Raja Di Langit masih tetap duduk bersila seperti
tadi di tempatnya. Sabai mengukur kedalaman makam batu. Dia yakin dengan satu
kali melompat lalu menggenjot dia bakal mampu menyambar mantel dan kantong lalu
melesat kembali keluar dari dalam makam. Setelah memperhitungkan segala
sesuatunya maka tanpa menunggu lebih lama Sabai Nan Rancak melompat terjun ke
dalam makam batu. Tangan kirinya menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan.
Tangan kanan menarik Mantel Sakti. Lalu ke dua kakinya dihentakkan ke lantai
makam. Saat itu juga tubuhnya berkelebat melesat ke atas.
“Wuuuttt!”
Sabai Nan
Rancak terpekik kaget. Begitu sebagian tubuhnya keluar dari dalam makam ada
satu benda putih menyambar. Kalau dia tidak cepat membuang diri ke samping lalu
pergunakan sanding batu makam untuk menjejakkan kaki melontar diri ke samping
niscaya benda putih itu akan menghantam pinggangnya. Sabai tidak jelas benar
benda apa yang barusan menyerangnya. Dia cepat berpaling. Kagetlah si nenek.
Di
hadapannya, di tepi makam dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terduduk setengah
berlutut. Muka dan matanya yang seangker iblis menatap tajam ke arahnya.
“Tak bisa
kupercaya! Dalam keadaan seperti ini dia ternyata mampu melepaskan diri dari
totokanku! Barusan dia menyerangku dengan kaki tulangnya! Tapi agaknya
kekuatannya masih belum pulih keseluruhan. Dari pada mencari perkara lebih baik
aku segera saja angkat kaki dari sini!”
Si nenek
segera memutar tubuh siap tinggalkan tempat itu.
“Perempuan
jahanam) Kembalikan Mantel Sakti dan Mutiara Setanku!” teriak Datuk Tinggi
dengan mata berapi-api. Setengah beringsut dia bergerak mendekati Sabai.
Si nenek
menyeringai buruk. “Ini kesempatanku untuk mencoba kehebatan Mantel Sakti ini!”
pikir Sabai. Lalu dia berseru. “Kau inginkan mantel dan senjata rahasiamu!
Culas curang! Kau sudah berjanji menyerahkannya padaku! Tapi tak jadi apa! Kau
menginginkannya silahkan ambil sendiri!” Sabai acung-acungkan mantel dan
kantong kain, membuat sang Datuk meluap amarahnya. Dia jatuhkan diri ke tanah
lalu berguling. Kaki kirinya menyambar, membabat ke arah kaki Sabai. Si nenek
tidak tinggal diam. Dia melompat menjauh seraya kerahkan tenaga dalam ke tangan
kanan dan mengebutkan Mantel Sakti yang dipegangnya.
“Wussss!”
Satu
gelombang angin laksana badai dan deburan air bah menyambar ke arah Datuk
Tinggi. Lumut dan tanah yang menempel di mantel itu ikut berlesatan.
Datuk
Tinggi berteriak keras. Dia cepat jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun
tak urung tubuhnya masih kena tersapu hingga mental sampai tiga tombak. Di
sebelah sana dua buah batu penutup makam tanah kubur dan batu-batu nisan hitam
amblas berantakan dihantam sambaran Mantel Sakti!
Datuk
Tinggi merasakan tubuhnya seperti hancur. Dia meneliti dengan cepat. Tak ada
bagian tubuhnya yang cidera. Hanya dadanya terasa berdebar dan jalan darahnya
agak kacau. Ini membuatnya jadi heran. “Ada kekuatan aneh melindungi diriku.
Orang lain pasti sudah remuk dihantam angin Mantel Sakti tadi!”
Di depan
sana Sabai Nan Rancak masih tegak sambil menyeringai. “Kau masih inginkan
mantel dan senjata rahasiamu ini Datuk? Ayo, aku memberi kesempatan padamu
untuk mengambilnya!”
“Perempuan
jahanam! Kucincang tubuhmu!” teriak Datuk Tinggi lalu gulingkan diri ke arah si
nenek. Tapi saat itu Sabai tak mau melayani lagi. Dia berkelebat tinggalkan
tempat itu, cepat-cepat menuju ke pantai pulau tempat perahu sewaan
menunggunya. Dengan cekatan si nenek melompat dari batu karang datar ke batu
karang lainnya hingga akhirnya dia sampai di atas perahu besar.
Satu
kejutan membuat si nenek melengak. Ada orang bersuara parau tiba-tiba
menegurnya.
“Rejekimu
besar sekali hari ini Nek. Mantel Sakti di tangan kanan. Kantong Mutiara Setan
di tangan kiri! Apakah kau mau berbagi rejeki denganku?!”
Sabai Nan
Rancak palingkan kepalanya ke arah kanan dari jurusan mana datangnya suara
orang menegur.
“Siapa
kau!” sentak Sabai Nan Rancak.
Orang
yang dibentak dongakkan kepala lalu tertawa keras.
“Lain
yang dicari lain yang kutemui! Tapi apa salahnya berkenalan berbasa-basi!”
“Jahanam!
Kalau tidak lekas menjawab kulempar kau ke dalam laut!” Sabai Nan Rancak angkat
tangan kanannya yang memegang mantel. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Lalu berteriak.
“Pemilik perahu! Di mana kau?!”
“Aku di
sini Nek….” Ada jawaban dari sebelah kanan.
**********************
DUA BELAS
SAAT itu
matahari telah terbit. Keadaan di laut cerah dan terang. Di sebelah kanan, di
lantai perahu Sabai Nan Rancak melihat lelaki pemilik perahu duduk tersandar.
Mulutnya pecah dan hidungnya hancur. Darah menutupi sebagian wajahnya. Sabai
berpaling ke arah lambung perahu. Orang bersuara parau yang tadi menegurnya
tegak sambil berkacak pinggang. Orang ini ternyata kakek berpakaian
kembang-kembang. Mukanya tertutup bedak tebal. Pipinya diberi merah-merah.
Alisnya melintang tebal dan rambutnya dikepang enam. Pada setiap kepangan
digantungi kertas dan kain-kain warna-warni. Dia memiliki bibir dower tebal dan
dilapisi cat merah mencorong.
“Pasti
orang gila ini yang telah mencelakai pemilik perahu,” membatin Sabai Nan
Rancak. “Aku tidak kenal padamu! Mengapa berani berada di atas perahu sewaanku?
Lekas menyingkir!” Hardik si nenek.”
“Aha! Aku
tidak tahu kalau ini perahu sewaanmu. Pantas waktu tadi aku naik ke sini,
monyet bau ini marah. Karena, mulutnya keiewat kurang ajar terpaksa aku
menggebuknya sedikit! Ha… ha… ha…!”
“Keparat!
Dalam keadaan seperti ini bagaimana tahu-tahu ada orang gila datang
mengganggu!” Sabai bercarut sendiri dalam hatinya.
“Orang
gila! Jika kau tidak lekas menyingkir aku benar-benar akan membunuhmu dan
melemparkan mayatmu ke laut!” Mengancam Sabai.
“Jangan
terlalu galak sobat! Aku datang ke sini tidak bermaksud mencari lantaran
denganmu! Aku datang dari jauh mencari bangsat tua berjuluk Datuk Tinggi Raja
Di Langit! Satu tahun yang silam dia telah membunuh adikku Kiyai Surah Ungu,
bergelar Pangeran Tanpa Mahkota, berasal dari Banten.”
“Aku
tidak percaya orang gila sepertimu punya adik seorang Pangeran!” tukas Sabai.
“Terserah
mau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku hanya ingin menuntut balas.
Tahu-tahu aku ketemu kau! Ha… ha… ha! Kalau dulu ketemu di waktu masih
muda-muda pasti sedap juga ya?! Tapi tak jadi apa! Aku tahu betul Mantel Sakti
dan kantong berisi senjata rahasia itu adalah milik Datuk Tinggi Raja Di
Langit! Bagaimana bisa berada di tanganmu? Apakah kau mencurinya?!”
“Enak
saja menuduh aku pencuri! Aku mendapatkan dua senjata sakti ini setelah
membunuh Datuk Tinggi! Sebentar lagi kau akan jadi korbanku berikutnya!”
“Ah, kau
pasti seorang nenek Sakti hebat luar biasa! Tapi mengapa aku harus takut
ancamanmu? Kalau belum melihat mayat sang Datuk bagaimana aku percaya kau
sungguhan telah membunuhnya? Itu sebabnya aku mengusulkan agar kita berbagi
rejeki. Berikan salah satu senjata sakti itu padaku. Aku akan menerima yang
mana saja!”
“Baik!
Aku akan berikan Mantel Sakti padamu! Harap kau suka menerima!”
Habis
berkata begitu si nenek kebutkan Mantel Sakti di tangan kanannya.
“Wuttt!”
Perahu
kayu itu bergetar keras ketika angin laksana badai menyambar. Tiang layar
berderak-derak. Semua benda yang ada di lantai perahu termasuk sosok lelaki
pemilik perahu hancur dan mental masuk ke dalam laut. Air laut bergelombang
muncrat.
Kakek
aneh bermuka seperti dirias tersentak kaget. Dia keluarkan bentakan parau lalu
melompat tinggi dan tahu-tahu seperti seekor burung elang dia sudah hinggap di
puncak tiang perahu layar!
“Srettt!
Sett… settt! Wuttt!”
Sabai Nan
Rancak berseru kaget ketika tiba-tiba kain layar perahu bergerak kencang dan
dengan ganas menggulung ke arahnya. Mantel Sakti di tangan kanannya
hampir-hampir terlepas mental kalau dia tidak cepat jatuhkan diri dan
bergulingan di lantai perahu. Dalam keadaan seperti itu si nenek tak memperhatikan
lagi keadaan jubah hitamnya yang tersibak berantakan kian kemari. Pada saat itu
tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Menyusul suara orang berucap.
“Nek, kau
ini malu-maluin saja! Auratmu tersingkap ke mana-mana! Untung kau pakai celana
dalam! Kalau tidak! Walah! Pasti aku akan menyaksikan sepotong serabi bulukan!
Ha… ha… ha! Benar-benar memalukan!”
Saat itu
jubah hitam Sabai Nan Rancak memang tersingkap lebar dari pinggang ke bawah.
Sabai Nah
Rancak terkesiap kaget. Cepat si nenek rapikan jubah hitamnya dan melompat
bangkit. Dia palingkan kepalanya ke kiri.
“Dari
cara bicaranya, rasa-rasanya memang dia! ujar Sabai dalam hati ketika
pandangannya membentur sesosok tubuh berpakaian ringkas hitam yang duduk
berjongkok di pinggir perahu sambil menutupi wajahnya dengan ke dua tangan.
“Anehi bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di tempat ini. Jangan-jangan sejak
di tanah Jawa dulu dia telah menguntit diriku!” Sabai Nan Rancak seperti mau
mengeluh melihat kehadiran orang itu yang akan menambah buruknya suasana. Tapi
setelah memutar akal maka dia cepat berseru.
“Sobatku,
bukankah kau Iblis Pemalu! Aku gembira bertemu dengan kau!”
“Sobatku?
Aku sobatmu? Aha rasanya tidak pernah begitu! Sungguh memalukan!”
“Hai!
Jangan malu-malu mengakui! Kau datang tepat pada waktunya. Sebagai sobat lama
aku akan memberikan salah satu dari benda sakti ini!”
“Ah, itu
bagus juga! Tapi aku malu menerimanya!” jawab orang berpakaian hitam yang
mencangkung di pinggiran perahu.
“Tak usah
malu! Aku memang sudah merencanakan untuk memberi sesuatu padamu karena kau
orang baik! Tapi di tempat ini….”
Ucapan
Sabai Nan Rancak terputus. Sudut matanya melihat satu gerakan di arah pantai.
Ketika dia berpaling dan memperhatikan ternyata di tepi pasir tampak tegak
berdiri terbungkuk-bungkuk Datuk Tinggi Raja Di Langit. Orang ini tengah
bersiap-siap terjun ke laut. Sesaat dia seperti menggapai-gapai lalu meracau
masuk ke dalam air laut sedalam sepinggang. Perlahan-lahan tapi pasti dia akan
segera sampai ke perahu di mana Sabai berada.
“Celaka!
Bangsat tua itu agaknya sudah pulih kekuatannya. Bagaimana ini…?” Sabai
memandang ke atas tiang layar. Saat itu kakek berbaju kembang-kembang tengah
meluncur turun sambil tertawa parau. Si nenek berpaling pada Iblis Pemalu. Lalu
berteriak. “Sobatku! Kau tolong hadapi dulu orang tua gila itu! Aku akan
mengayuh perahu. Kau harus menolong! Jangan membuat aku malu!”
“Ya… ya!
Aku akan menolong! Tapi awas! Rapikan dulu pakaianmu! Jangan sampai aku melihat
dua kali! Bisa sialan aku! Memalukan sekali! Hik… hik… hik!”
Sabai Nan
Rancak cepat berkelebat ke kiri untuk menarik lepas tali pengikat perahu yang
dibuhulkan pada satu tonjolan runcing batu karang. Dia berhasil. Selagi
kebingungan mencari kayu pendayung kakek bermuka dirias sudah injakkan kaki di
atas lantai perahu. Tapi Iblis Pemalu dengan menutupi wajah cepat
menghadangnya.
“Orang
tua bermuka cemongan! Jangan berbuat hal yang memalukan! Kau bilang datang ke
sini mencari Datuk Tinggi! Mengapa membuat keonaran dengan orang lain!
Memalukan!”
“Orang
gila! Kasihan mengapa kau bisa kesasar ke tempat ini?! Kalau mencari mati apa
tidak bisa mencari tempat yang lebih enakan?!” Kakek baju kembang-kembang
tertawa bergelak.
“Memalukan!”
teriak Iblis Pemalu. “Mengatakan aku gila! Padahal kau sendiri yang gila mulai
dari ujung rambut sampai ujung kaki! Hik… hik… hik! Sungguh memalukan menemui
kematian sebagai orang gila!”
“Jahanam!
Berani kau menghina diriku!” Kakek bermuka dirias jadi marah mendengar ejekan
orang. Dua tangannya yang sejak tadi terlindung di balik lengan bajunya yang
panjang tiba-tiba diangkat ke atas dan menyambar ke muka Iblis Pemalu yang
ditutupi ke dua tangannya. Ternyata kakek itu hanya memiliki tiga jari dan tiga
kuku panjang pada masing-masing tangannya.
“Aha! Aku
mengenali siapa dirimu! Momok Berdandan Jari Tiga! Memalukan! Tangan jelek
begitu saja diperlihatkan!”
Habis
mengejek begitu Iblis Pemalu cepat melompat mundur. Tapi seolah bisa diulur,
tangan kanan si kakek memanjang dan “Wuttt!” Tiga kuku jarinya yang panjang
mencakar ke arah kepala Iblis Pemalu. Untuk melompat mundur lagi sudah tidak
mungkin bagi Iblis Pemalu karena saat itu punggungnya telah menyentuh pinggiran
perahu. Mau tak mau dia angkat tangan kirinya menangkis sementara tangan kanan
masih tetap menutupi wajahnya.
“Bukkk!”
Beradunya
dua tangan membuat dua orang itu sama-sama berseru kesakitan. Kakek baju
kembang-kembang berjuluk Momok Berdandan Jari Tiga terpental sampai dua tombak.
Ketika lengan tangannya disingkapkan dia terkejut melihat daging tangannya
telah menggembung merah. Dia cepat berdiri dan pandangi Iblis Pemalu dengan
mata melotot. Saat itu Iblis Pemalu sendiri terbungkuk-bungkuk menahan sakit
namun dari mulutnya keluar suara tawa cekikikan. Nyali si kakek baju kembang
mau tak mau menjadi goncang. Dia mendengar kabar Datuk Tinggi orang yang
dicarinya memiliki kepandaian tinggi. Kini, belum lagi berjumpa dengan pembunuh
adiknya itu, dia berhadapan dengan seorang lelaki muda tidak dikenal yang
ternyata mempunyai ilmu kepandaian tidak sembarangan.
**********************
TIGA BELAS
MANUSIA
gila! Katakah siapa kau adanya! Mengapa mau saja disuruh nenek buruk itu?!
“Kakek gila! Siapa diriku tak usah kau tahu! Jangan membuat aku malu! Nenek itu
tak suka padamu! Mengapa masih nangkring di atas perahu ini! Ayo lekas pergi!
Kalau tidak aku akan membuatmu benar-benar menjadi malu besar!” Momok Berdandan
Jari Tiga tertawa parau. “Masih muda sudah gila! Sungguh aku kasihan dan merasa
malu padamu monyet berpakaian hitami Jika kau memang tahu malu mendekatlah
padaku! Akan kuajari kau bagaimana caranya agar tidak tahu malu! Ha… ha…ha…!”
Ditertawai
orang Iblis Pemalu ikut-ikutan tertawa. “Banci gila! Lelaki berdandan seperti
perempuan! Apa tidak malu?!”
Mendidihlah
amarah Momok Berdandan Jari Tiga mendengar ejekan itu. Didahului bentakan parau
dia menyergap ke depan. Dari jari tengah tangan kiri mencuat selarik sinar
hitam pekat sedang dari jari tengah tangan kanan melesat sinar biru kelam.
Inilah ilmu yang sangat diandalkan si kakek, yang disebut Dua Larik Sinar
Kematian. Selama ini tidak pernah ada lawan yang bisa menghindar dari maut jika
dia sudah mengeluarkan ilmu kesaktian itu. Iblis Pemalu sendiri tampak tersirap
kaget. Walau masih tertawa namun dia cepat menghindar dengan melompat dua
tombak ke kiri. Si kakek memburu dengan ikut melompat. Sinar hitam memang luput
tapi sinar biru menghajar ke arah kepala Iblis Pemalu.
Sabai Nan
Rancak tercekat menyaksikan hal itu. Dia gerakkan tangan kanannya yang memegang
Mantel Sakti. Maksudnya hendak menangkis serangan maut itu dan sekaligus
menghantam Momok Berdandan Jari Tiga. Tapi mendadak sinar hitam yang mencuat
dari tangan kirinya membalik dan menyambar ke arah Sabai. Nenek ini berteriak
keras. Mau tak mau dia terpaksa tarik tangan kanannya. Pada saat itu sinar biru
yang menghantam ke dada Iblis Pemalu hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari
sasarannya.
Iblis
Pemalu masih juga tertawa. Namun mukanya di balik dua tangannya tampak berubah.
Pada saat yang menegangkan itu, tiba-tiba sesosok tubuh entah dari mana
datangnya melesat ke atas perahu. Kepalanya menumbuk pinggul Iblis Pemalu
dengan keras, membuat Iblis Pemalu terlempar jauh dan roboh di lantai perahu.
Namun tumbukan ini menyelamatkan nyawa Iblis Pemalu, Karena sinar biru
mematikan yang akan membunuhnya menjadi lewat setengah jengkal dari tubuhnya!
Orang,
yang menumbuk Iblis Pemalu saat itu tampak mencoba bangkit terhuyung-huyung.
Keadaannya basah kuyup dan nyaris telanjang. Rambut, janggut, kumis maupun
berewoknya riap-riapan. Ketika rambutnya yang menutupi muka disibakkan,
kelihatanlah tampangnya yang angker menyeringai. Gigi-gigi besar berbentuk
taring binatang mencuat dari mulutnya.
“Hampir
putus nyawaku! Memalukan!”
Sementara
Iblis Pemalu berteriak begitu dua orang di atas perahu yakni Sabai Nan Rancak
dan Momok Berdandan Jari Tiga sama-sama terkesiap.
“Manusia
satu ini benar-benar luar biasa! Dia sanggup menyeberangi pantai dan naik ke
atas perahu!” membatin Sabai Nan Rancak. Nenek ini segera memutar otak. Dia
sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan. Mengapa menghabiskan waktu dan
merepotkan diri berlama-lama di atas perahu itu. Tapi dia mau kemana kalau
tidak kabur memakai perahu!
Momok
Berdandan Jari Tiga yang tadinya begitu bernafsu hendak membunuh Iblis Pemalu
alihkan perhatiannya pada orang yang basah kuyup riap-riapan. Dari tenggorokannya
keluar suara menggembor ketika akhirnya dia bisa mengenali siapa adanya kakek
kurus kering bermuka setan ini.
“Datuk
Tinggi Raja Di Langit! Setahun aku mencarimu! Kau muncul dengan sosok begini
rupa! Aku berpikir apakah malaikat maut masih mau dan tidak jijik membetot
lepas nyawamu dari tubuhmu?!” Yang berucap dengari suara keras itu adalah Momok
Berdandan Jari Tiga.
“Kakek
aneh! Laki-laki tapi berdandan macam perempuan, berpakaian berbunga-bunga
seperti perempuan! Apa di bawah perutmu juga ada perkakas seperti perempuan?!”
Datuk Tinggi menjawab tak kalah lantang lalu tertawa bekakakan. Tiba-tiba dia
palingkan kepala pada Sabai Nah Rancak. Dia keluarkan suara menggeretak.
“Urusan kita belut lesai! Jangan berani beranjak dari tempat ini!”
Sabai Nan
Rancak menjawab dengan suara mendengus.
“Datuk
Tinggi pembunuh adik kandungku! Mungkin kau tidak bakal dapat menyelesaikan
urusan dengan nenek itu! Aku lebih dulu datang menagih nyawamu!”
“Anjing
tua berdandan slebor! Siapa adikmu yang pernah aku bunuh!”
“Kiyai
Surah Ungu, Pangeran Tanpa Mahkota berasal dari Banten!” jawab Momok Berdandan
Jari Tiga.
“Oh, dia
rupanya!” ujar Datuk Tinggi lalu tertawa gelak-gelak. “Kiyai itu memang pantas
disingkirkan!”
“Apa
kesalahannya hingga kau membunuhnya!”
“Kesalahannya
sepele saja! Dia datang menyambangi makam Tua Gila sahabatnya! Padahal aku
sudah menyebar niat! Siapa saja sahabat Tua Gila yang datang ke makam harus
menemui ajal!”
“Aneh!”
kata Momok Berdandan sambil cibirkan bibirnya yang dower.
“Apa yang
aneh?!” sentak Datuk Tinggi.
“Aku
dengar Tua Gila masih hidup! Kau mengatakan dia sudah mati dan dimakamkan!
Jangan-jangan otakmu sudah tidak karuan!”
Mendengar
ucapan orang Datuk Tinggi tertawa mengekeh. “Apa Tua Gila masih hidup atau
sudah mati, aku tidak begitu perduli. Dan kau datang sangat terlambat!”
“Apa
maksudmu?!”
“Mayat
kakakmu sudah berubah jadi jerangkong! Di pulau sana ada beberapa jerangkong!
Kalau kau suka aku bersedia menunjukkan yang mana jerangkong < kakakmu. Tapi
syaratnya kau harus mampus dan jadi setan lebih dulu! Ha… ha… ha!”
“Orang
gila calon mayat! Orang yang mau mampus bicaranya memang tidak karuan! Mari
kutunjukkan jalan agar kau bisa menghadap Penguasa Neraka lebih cepat!”
Habis
berkata begitu Momok Berdandan Jari Tiga angkat ke dua tangannya. Tangannya
yang berjari dan berkuku tiga menyembul dari balik lengan jubah yang dalam.
Langsung selarik sinar hitam pekat dan biru kelam menderu menghantam ke arah
Datuk Tinggi Raja Langit.
“Pasti
mampus!” kata Sabai Nan Rancak begitu melihat Momok Berdandan lancarkan
serangan ke arah Datuk Tinggi. Iblis Pemalu pelototkan mata di sela-sela
jari-jari tangannya yang menutupi wajah. Seperti Sabai dia juga yakin kalau
kakek bermuka setan itu akan menemui ajalnya dilanda dua larik sinar maut
serangan kakek yang mukanya dirias.
Namun ke
dua orang ini terkesiap dan jadi merinding ketika melihat apa yang kemudian
terjadi. Sebelum dua larik sinar menembus tubuhnya Datuk Tinggi yang masih
tegak terhuyung-huyung tiba-tiba membuat gerakan jungkir balik. Kepalanya yang
berambut basah riap-riapan kini menjejak lantai perahu. Dua tangannya yang
masih agak lemah menopang berusaha mengimbangi dan menunjang tubuhnya. Sinar
hitam menyambar di samping kaki kanan sedang sinar biru lewat di antara ke dua
kakinya.
Dari
mulut Datuk Tinggi tiba-tiba melesat keluar suara seperti lolongan anjing.
Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu tombak. Di udara
tubuh ini bergerak berputar aneh. Dua kaki terkembang. Lalu secepat kilat tubuh
itu melesat ke depan. Dua kaki yang kini hanya berupa tulang putih pipih
setajam pedang membuat gerakan seperti menggunting.
Momok
Berdandan Jari Tiga keluarkah seruan tertahan. Suara seruannya lenyap berganti
dengan suara menggidikkan.
“Crassss!”
Kepala
Momok Berdandan putus laksana ditabas pedang maha tajam lalu melesat mental dan
jatuh ke atas gundukan batu karang rata yang menyembul di permukaan air untuk
kemudian mental dan akhirnya masuk ke dalam lauti
Tubuhnya
yang tanpa kepala terhuyung-huyung. Sepasang tangannya menggapai-gapai kian
kemari. Dua larik sinar biru dan hitam sesaat masih mencuat. Darah bergejolak
menyembur dari kutungan lehernya tanda masih ada tenaga dalam yang menguasai
tubuhnya. Sesaat kemudian tubuh itu terjengkang di lantai perahu, menggeliat
dan melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Pada saat
putusnya leher si kakek, Iblis Pemalu melompat ke samping Sabai Nan Rancak.
Tangan kanan menutupi wajahnya dan tangan kiri memegang lengan si nenek. Orang
ini berbisik.
“Ini satu
tindakan memalukan! Tapi kau sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan!
Buat apa berlama-lama di sini! Ayo ikut aku kabur!”
“Kita mau
kabur kemana. Sekeliling kita hanya laut!” jawab Sabai Nan Rancak. Setelah tadi
dia melepaskan ikatan tali yang mengikat perahu ke batu karang, gelombang telah
membawa perahu itu ke tengah laut.
“Aku
menyembunyikan sebuah perahu di balik gugusan batu karang sebelah sana! Sekali
ini kita benar-benar membuat malu besar! Ayo lompat! Lekas!”
Belum
sempat Sabai Nan Rancak menjawab Iblis Pemalu sudah menarik lengannya. Ke dua
orang itu melompati pagar perahu di sebelah buritan.
“Kalian
mau lari kemana!” satu teriakan menggeledek di belakang. Lalu “Wuttt!”
Dua benda
putih bergerak memotong!
“Craaasss!”
Sabai Nan
Rancak terpekik. Salah satu ujung mantel yang dipegangnya di tangan kanan
terbabat putus oleh tulang kaki kiri Datuk Tinggi yang coba mengejar. Lalu sang
Datuk sendiri terpelanting ke belakang ketika Sabai masih sempat menggebrakkan
Mantel Sakti yang dipegangnya. Ketika Datuk Tinggi coba mengejar kembali Sabai
dan Iblis Pemalu telah lenyap di bawah permukaan laut!
Datuk
Tinggi Raja Di Langit berteriak marah! Suara teriakannya seperti lolongan
anjing. Lalu seperti kerasukan setan dia berkelebat kian kemari. Sepasang
kakinya menghantam apa saja yang ada di depannya. Tiang perahu besar patah
ditabasnya, dinding dan lantai perahu robek-robek. Sekali lagi suara lolongan
melesat dari tenggorokannya lalu sang Datuk terkulai lemah. Tubuhnya terkapar
di lantai perahu. Matanya mendelik. Dari mulutnya keluar kutuk serapah tiada
henti!
**********************
EMPAT BELAS
DUA
perahu besar tiba-tiba muncul di balik gugusan batu karang tinggi, langsung,
mengapit pukat yang porak-poranda. Di perahu sebelah kiri seorang berpakaian
kebesaran perang menatap tajam ke arah perahu pukat di atas mana Datuk Tinggi
Raja Di Langit masih terkapar bercarut-marut.
“Panglima,
saya yakin orang yang kita minta menyelidik telah mendarat di pulau ini.”
Seorang lelaki berpakaian perwira muda yang tegak di sebelah lelaki berpakaian
perang berkata.
“Tiga
hari kita menunggu, dia tidak muncul. Di tempat ini ada sebuah pukat dalam
keadaan porak-poranda. Aku merasa was-was. Coba kau dan beberapa anak buahmu
menyeberang ke pukat itu. Lakukan pemeriksaan!”
Perwira
muda itu memberi isyarat pada empat orang anak buahnya. Kelima orang ini lalu
melompat ke atas perahu yang diapit. Hanya sesaat berlalu, dari arah perahu itu
mendadak terdengar bentakan-bentakan. Lalu salah seorang prajurit berlari
menemui sang Panglima. Mukanya pucat dan mulutnya sulit mau bicara.
“Prajurit!
Jaga sikapmu! Ada apa?!” Panglima membentak.
Si
prajurit menunjuk ke arah perahu. “Kami menemui mayat kakek sakti itu di
geladak pukat! Hanya sosok tubuhnya! Kepalanya putus entah ke mana!”
“Apa?!”
Sang Panglima tersentak kaget. Tanpa tunggu lebih lama dia segera turun dari
anjungan dan melompat ke atas perahu. Selusin prajurit mengikuti. Dari perahu
besar satunya seorang perwira muda juga ikut melompat ke atas perahu pukat
bersama sepuluh prajurit.
Di atas
perahu pukat perwira muda tadi dan tiga prajurit tampak tengah mengelilingi
seorang kakek bermuka setari yang pakaiannya penuh robekan dan nyaris
telanjang. Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah hanya merupakan tulang pipih
memutih. Ada noda-noda darah pada kaki tulang itu. Ketika sang panglima
mengalihkan pandangannya ke samping kiri, berubahlah parasnya. Di situ, di
lantai perahu tergeletak sosok tubuh tanpa kepala. Dari pakaian nya yang
berkembang-kembang Panglima dan semua orang yang ada di sana sudah jelas tahu
siapa adanya mayat tanpa kepala itu.
“Perwira!
Siapa yang membunuh Momok Berdandan Jari Tiga utusan Penyelidik itu?!” bertanya
Panglima.
Dua orang
Perwira Muda yang ada di tempat itu tak bisa menjawab karena memang tidak tahu
apa yang terjadi. Tiba-tiba kakek kurus tinggi berwajah setan keluarkan tawa
mengekeh.
“Aku
Datuk Tinggi Raja Di Langit yang membunuh tua bangka tak berguna itu. Rupanya
dia adalah orang yang kalian suruh menyelidiki diriku? Ha… ha… ha! Mengirim
orang tolol lihat saja akibatnya!”
Mendengar
manusia berwajah setan itu menyebut dirinya, semua orang yang ada di situ
menjadi gentar. Beberapa di antaranya sampai tersurut mundur.
“Jadi kau
makhluknya yang bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!” berkata sang Panglima.
“Setan
alas! Aku sudah sebutkan siapa diriku! Kalian sendiri siapa?!”
“Kami
orang-orang Kerajaan! Setahun lalu kami punya bukti-bukti kau telah membunuh
Kiyai Surah Ungu, putera Sri Baginda yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota!”
“Orang
sudah menjadi setan setahun silam! Kalian datang untuk mengambil mayatnya atau
apa?! Dia sudah jadi jerangkong di pulau sana!”
“Kau
mengakui perbuatanmu! Kau juga mengakui sebagai pembunuh utusan kami! Berarti
tidak ada pengampunan bagi dirimu! Serahkan dirimu! Tiang gantungan sudah sejak
lama menunggumu!”
Datuk
Tinggi Raja Di Langit tertawa bergelak.
“Kalian
datang jauh-jauh bukan saja mencari perkara. Tapi juga mencari mati!”
Datuk
Tinggi tiba-tiba melompat setinggi satu tombak. Di udara dia membuat gerakan
jungkir balik. Sesaat kemudian dia tegak di lantai perahu, kepala dan tangan di
sebelah bawah sedang dua kaki mengembang ke atas.
“Tua
bangka gila! Akrobat apa yang hendak kau perlihatkan pada kami!” bentak sang
Panglima sementara dua Perwira Muda dan belasan prajurit yang ada di sana
menyaksikan perbuatan Datuk Tinggi Raja Di Langit terheran-heran.
“Makhluk-makhluk
pengantar nyawa! Dulu aku bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Mulai saat ini
gelar itu akan aku kubur ke pusar bumi di dasar laut! Gelarku sekarang adalah
Jagal Iblis Dari Makam Setan! Siapa yang mau mati duluan silahkan mendekat!”
Perwira
Muda yang berada di sebelah kiri memberi isyarat pada lima anak buahnya.
“Tangkap
orang gila ini!” perintahnya.
“Bunuh
jika melawan! “kata sang panglima yang menyetujui tindakan bawahannya itu.
Lima
prajurit menghunus senjata lalu menyergap.
Tubuh
Datuk Tinggi yang kini menyebut dirinya sebagai Jagal Iblis Dari Makam Setan
melesat ke udara, berputar tiga kali berturut-turut lalu dua kakinya yang
mengembang menghantam dalam gerakan setengah lingkaran. Tiga prajurit yang
mengurungnya menjerit. Dua tergelimpang di lantai perahu dengan leher hampir
putus. Yang ke tiga terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya yang bobol!
Dua
prajurit lainnya terkesima. Muka mereka sepucat kain kafan menyaksikan apa yang
terjadi.
“Perwira!
prajurit!” teriak Panglima. “Cincang makhluk iblis itu!”
Dua
Perwira Muda dan hampir dua puluh prajurit segera menghambur dengan senjata di
tangan.
“Trang…
trang… trang…!”
Suara
berdentrangan terdengar tidak berkeputusan ketika Datuk Tinggi alias Jagal
Iblis Dari Makam Setan gerakkan dua kakinya menangkis dan balas menyerang.
Sepasang kaki yang hanya merupakan tulang putih itu seolah dua bilah pedang
tajam yang mengamuk di udara. Pekik jerit memenuhi perahu. Enam prajurit dan
seorang Perwira Muda terkapar berlumuran darah. Lima di antaranya tidak
bernafas lagi. Satu-satunya yang masih hidup adalah si Perwira Muda. Tangannya
yang tadi memegang pedang kini telah buntung sebatas pergelangan. Dia menjerit
tiada henti.
Jagal
Iblis Dari Makani Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan
anjing membuat semua orang jadi tercekat.
“Ambil
Jaring Neraka!” teriak Panglima.
Perwira
Muda satunya yang masih hidup melompat tinggalkan kalangan pertempuran. Tak
lama kemudian dia muncul bersama dua orang prajurit bertubuh tinggi besar. Dua
prajurit ini membawa sebuah jaring besar terbuat dari kawat baja. Jaring ini
mengeluarkan suara bergemerisik menakutkah. Tapi Jagal Iblis Dari Makam Setan
hanya ganda tertawa melihat benda itu.
“Libas!”
teriak Perwira Muda memberi perintah. Dua prajurit bertubuh besar gerakkan
sepasang tangan, mereka.
“Sreeettt!”
Jaring
kawat baja itu menebar di udara, menyapu ke arah sosok Jagal Iblis yang masih
tegak dengan kepala ke bawah kaki ke atas. Tiba-tiba dua kaki tulang putih itu
berkelebat dan berputar laksana titiran. Terdengar suara putus robeknya jaring
kawat baja. Disertai jeritan susui menyusul. Dua prajurit bertubuh besar
menemui ajal lebih dulu. Keduanya mati dengan pinggang hampir putus. Menyusul
si Perwira Muda. Semua orang hanya melihat sosok tubuhnya terkapar di lantai
perahu. Kepalanya tak ada lagi!
Semua
orang yang masih hidup menjadi gempar. Serempak mereka melompat menjauhi lantai
perahu kalangan perkelahian yang kini basah tergenang darah!
Jagal
Iblis Dari makam Setan tertawa panjang.
Panglima
yang melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri merasa dingin tengkuknya.
Meski nyalinya tergetar hebat namun sebagai pimpinan dia tidak mau
memperlihatkan. Dia segera mencabut sebilah pedang yang tergantung di
pinggangnya. – Senjata ini bukan senjata sembarangan. Merupakan sebuah mustika
hadiah Sri Baginda karena jasa-jasanya. Karena dilapisi sejenis perak maka
pedang ini memancarkan cahaya putih menyilaukan.
“Panglima!
Kau mau maju sendiri atau mengajak belasan anak buahmu?!” Jagal Iblis Dari
Makam Setan ajukan pertanyaan yang jelas-jelas sengaja mengejek.
Sang
Panglima menjawab dengan mengirimkan satu tebasan. Yang di arahnya adalah
bagian leher lawan yang berada di sebelah bawah.
“Wuuuuuttt!”
Kaki
kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan menyambar ke arah leher lawan. Sang Panglima
cepat merunduk sambil teruskan membabat dengan pedangnya. Demikian derasnya
sambaran senjata ini hingga mengeluarkan suara bersiuran dan ada hawa dingin
menyambar keluar dari badan pedang.
“Wuuuuuttt!”
Tiba-tiba
kaki kiri Jagal Iblis ganti berkiblat. Yang di arah adalah bagian perut. Mau
tak mau sang Perwira terpaksa tarik pulang serangannya dan pergunakan senjata
untuk menghantam kaki kiri lawan. “Trangg!”
Pedang
dan kaki beradu mengeluarkan suara berdentrangan seolah kaki tulang putih itu
sebilah senjata tajam yang atos.
“Traaaak!”
Panglima
Kerajaan berseru tegang ketika bentrokan senjata dengan kaki membuat pedangnya
patah dua! Dia melompat coba selamatkan diri. Tapi malang salah satu kakinya
terpeleset oleh licinnya darah yang menggenangi lantai perahu. Tak ampun lagi
tubuhnya terhuyung jatuh. Di saat yang bersamaan laksana sebuah gunting raksasa
kaki kiri dan kaki kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan datang menyambar. Sang Panglima
mengalami nasib sama dengan Momok Berdandan Jari Tiga serta Perwira Muda dan
beberapa prajuritnya. Mati dengan kepala teria bas putus!
Sisa-sisa
prajurit yang masih hidup runtuh dan leleh nyali mereka. Semua berserabutan
menghambur lari ke perahu besar masing-masing.
Datuk
Tinggi Raja Di Langit alis Jagal Iblis Dari Makam Setan tertawa panjang lalu
berjungkir balik. Kembali tegak dengan kaki ke bawah kepala di atas.
**********************
DI ATAS
perahu kecil Iblis Pemalu duduk melipat kaki. Wajahnya disembunyikan di
belakang sepasang telapak tangannya yang diletakkan di atas paha.
Sabai Nan
Rancak yang duduk di ujung perahu menghadapi Iblis Pemalu pandangi orang itu
dengan berbagai perasaan. Ada rasa aneh, heran tetapi juga ada rasa penuh
curiga. Setelah pulau kecil itu lenyap di kejauhan Sabai Nan Rancak membuka
mulut berusaha mengorek keterangan.
“Waktu di
tanah Jawa tempo hari kau menunjukkan sikap bermusuhan denganku. Sekarang kau
kelihatannya sengaja menolongku! Iblis Pemalu kau menyembunyikan maksud busuk
apa dalam hatimu terhadapku?!”
“Uhhhh….”
Iblis Pemalu menggeliatkan tubuhnya seperti orang bangun tidur namun wajahnya
tetap saja disembunyikan di balik ke dua paha dan ke dua tangannya. “Pada
dasarnya aku tidak pernah merasa punya musuh! Buat apa! Memalukan saja! Sudah
tua bangka mencari musuh! Hanya anak-anak tolol yang suka bermusuhan hanya
gara-gara urusan sepele! Hidup paling enak adalah menjadi sahabat semua orang!
Tidak memalukan! Aku juga tidak merasa menolongmu!. Apa untungnya? Buktinya kau
malah mencurigai diriku mengandung dan menyembunyikan maksud busuki Sungguh aku
merasa malu!
Ucapan
polos itu membuat wajah si nenek menjadi merah karena jengah terasa diejek.
Maka dia coba bicara berbaik-baik. “Waktu di atas perahu aku berjanji
memberikan salah satu dari dua senjata sakti milik Datuk Tinggi. Aku tidak akan
mengingkari janji!”
Kau boleh
memilih salah satu dari dua senjata ini. Mantel Sakti atau Mutiara Setan di
dalam kantongi”
Iblis
Pemalu geleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu siapa diriku! Aku sangat malu
menerima pemberian apa saja. Apalagi kalau disangkutpautkan dengan pertolongan.
Seolah aku ini orang yang suka mencari pamrih! Aku malu menerima tawaranmu.
Tapi aku tidak malu mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu….”
Aku bukan
orang baik!” kata Sabai Nan Rancak.
Iblis
Pemalu tertawa panjang di balik paha dan telapak tangannya.
“Mengapa
kau tertawa. Ada sesuatu yang kau anggap lucu?!” tanya Sabai Nan Rancak heran.
“Manusia
tidak bisa menilai dirinya sendiri. Orang lain yang menilai orang lain. Jangan
sebaliknya karena itu hanya akan memalukan saja! Aku bilang kau orang baik!
Karena begitu aku melihatnya. Aku tidak malu mengatakan begitu….”
Sabai Nan
Rancak menarik nafas dalam.
“Mengapa
kau menarik nafas? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?! Coba katakan kalau
kau tidak malu! Aku juga tidak malu mendengarkannya!”
“Terlalu
banyak yang mengganjal di hatiku!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Ya… ya!
Aku tahu kau punya silang sengketa dengan Tua Gila. Lalu dengan muridnya
bernama Wiro Sableng itu. Entah dengan siapa lagi. Mungkin dengan Datuk Tinggi
Raja Di Langit itu…. Mungkin kau masih punya banyak persoalan lain yang aku
tidak tahu. Aku malu menanyakan. Kau juga pasti malu menceritakan. Itu namanya
hidup. Semua sudah tersurat sebelum kita dilahirkan! Apa kau anggap takdir itu
memalukan?”
“Takdir….
Kau anggap jalan hidup seseorang itu adalah satu takdir?!”
“Aku
tidak malu mengatakan iya! Karena manusia hanya bisa berbuat tapi takdir yang
menentukan! Mengapa harus malu mengakuinya? Mengapa harus malu menghadapi
hidup! Biar segala yang memalukan menjadi bagian diriku si buruk ini!”
Sabai Nan
Rancak tertawa.
“Nah,
nah! Tawamu sekali ini polos. Benar-benar keluar dari lubuk hati yang putih.
Aku suka, aku tidak malu mendengarnya. Nek, sebenarnya kalau manusia mau
kembali kepada hati nurani, kembali ke lubuk sanubarinya segala urusan di dunia
ini mudah-mudah saja. Tak bakal ada silang sengketa. Tak akan ada dendam
kesumat. Tak akan ada permusuhan, apa lagi pembunuhan! Tak sampai membuat kita
jadi malu besar! Tapi apa mau dikata. Begitu yang namanya hidup di dunia.
Memalukan!”
Lama
Sabai Nan Rancak pandangi orang yang duduk di hadapannya itu yang terus-terusan
selalu menutupi wajahnya. “Manusia satu ini tampaknya serba aneh. Sikap dan
bicaranya. Tapi aku merasa sebenarnya dia seorang pandai berhati polos.”
“Iblis
Pemalu, kalau aku boleh bertanya siapakah kau ini sebenarnya?” tanya si nenek
sambil mendayung membelokkan perahu lalu mengatur arah layar.
Perlahan-lahan
Iblis Pemalu angkat kepalanya dari atas paha. Namun dua tangannya tetap
menutupi hingga Sabai Nan Rancak tetap tak bisa melihat jelas raut wajah orang
yang duduk dekat di hadapannya itu.
Dari sela-sela
jarinya sepasang mata Iblis Pemalu pandangi wajah Sabai Nan Rancak. Dipandang
seperti itu si nenek jadi gelisah dan diam-diam tergetar hatinya. Jantungnya
berdebar. Seolah pandangan mata orang di depannya itu menimbulkan satu kontak
yang terasa aneh dalam dirinya.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa Iblis Pemalu.
“Nenek,
kau ini bagaimana. Kau sudah tahu siapa namaku. Bagaimana sifatku. Bagaimana
tindak tandukku. Mengapa kau masih bertanya siapa aku sebenarnya?! Ah! Aku jadi
malu! Malu sekali!”
Sabai Nan
Rancak ulurkan tangannya memegang lengan kanan Iblis Pemalu. Si nenek terkejut
ketika jari-jarinya menyentuh lengan orang itu, kulit lengan itu terasa lembut
dan sangat halus. Debaran di dada Sabai kembali muncul. Dengan suara perlahan
dia berkata. “Siapapun kau adanya aku tahu ada sesuatu yang membuatmu sengaja
menunjukkan sikap aneh, seperti orang pemalu. Itu bukan sikapmu yang
sesungguhnya. Kau mungkin marah atau mungkin malu sekali mendengar kata-kataku
ini. Namun….”
Sapai Nan
Rancak tidak meneruskan ucapannya karena saat itu Iblis Pemalu telah berdiri.
Dua tangannya masih terus menutupi Wajahnya. “Siapapun adanya diriku, aku tetap
aku! Memalukan!” Terdengar suara Iblis Pemalu. Tapi suaranya kali ini terasa
ada getaran anehnya.
“Ada
perahu mendatangi!” Tiba-tiba iblis Pemalu berkata seraya berpaling ke arah
kiri.
Sabai Nan
Rancak memandang ke jurusan yang diperhatikan Iblis Pemalu. Apa yang dikatakan
memang benar. Sebuah perahu kecil meluncur pesat dari arah daratan pulau
Andalas. Setelah dekat penumpangnya hanya satu orang tua dan bertampang luar
biasa aneh yang membuat baik Sabai Nan Rancak maupun Iblis Pemalu jadi agak
bergeming.
Orang itu
tegak di atas perahu yang diapungkan sekitar dua tombak dari perahu dimana
Sabai dan iblis Pemalu berada. Di tangan kanannya dia memegang sebuah kayu
pendayung. Tubuhnya tinggi besar sehingga perahu yang ditumpanginya tampak
kecil. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Sepasang alisnya bergabung menjadi
satu membentuk satu alis aneh yang tebal. Pada wajahnya yang hitam legam
terdapat dua belas lubang hitam. Rambutnya jabrik kasar seperti ijuk. Yang
membuatnya lebih mengerikan, adalah sebuah lubang luka yang belum kering dan
masih bernanah menggeroak di bawah bahu kanannya!
Orang
bermuka angker ini menyeringai lalu berseru. “Sabai Nan Rancak! Dicari di
daratan sulit sekali, di tengah laut baru bertemu!”
“Kalau
aku tidak keliru, apakah kau yang di atas perahu adalah orang gagah yang
dijuluki Hantu Balak Anam?!” Sabai Nan Rancak balas berseru.
Si tinggi
besar di atas perahu kecil tertawa bergelak.
“Kalau
tidak ada urusan penting, tak bakal kau mencariku sampai ke tengah laut
begini!”
“Kau
pandai menerka!” jawab Hantu Balak Anam. “Memang pertemuan ini kurang
mengenakkan.” Hantu Balak Anam melirik pada Iblis Pemalu lalu bertanya. “Siapa
orang aneh yang selalu menutupi wajahnya dengan dua tangan itu?!”
“Dia
seorang sahabat baikku, tak perlu dirisaukan!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Aku
percaya saja padamu. Walau biasanya setahuku orang-orang aneh selalu membawa
urusan pelik!”
“Hantu
Balak Anam. Ada apa kau mencariku?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku
datang membawa satu pertanyaan!”
Si nenek
tersenyum. “Hanya untuk satu pertanyaan kau sampai-sampai bersusah payah
mencegatku di tengah laut! Apa pertanyaan yang hendak kau ajukan itu? Ingin
sekali aku mendengarnya!”
“Apakah
kau punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?”
Pertanyaan
itu membuat si nenek terkejut tapi dia pandai menjaga agar air mukanya tidak
berubah.
“Sutan
Alam Rajo Di Bumi yang di puncak Singgalang itu! Siapa tidak kenal dirinya!
Semua tokoh silat di pulau Andalas kurasa pernah berhubungan dengannya! Ada
sesuatu yang luar biasa agaknya?”
“Aku
punya firasat dia adalah biang racun segala kerusuhan di pulau Andalas!”
Sabai Nan
Rancak tertawa panjang. “Kau ini ada-ada saja Hantu Balak Anam….”
“Kau mau
buktinya!” ujar Hantu Balak Anam. Baju hitamnya dirobeknya di bagian pundak dan
dada kanan hingga luka berlubang yang tembus dari dada sampai ke punggung
terpentang jelas mengerikan. “Ini buktinya Sabai Dia hendak membunuhku dengan
ilmu kesaktian Sepasang Api Neraka!”
“Ah,
kalau ada silang sengketa di antara kalian hanya kalian berdua yang dapat
menyelesaikan….”
“Silang
sengketa sudah terjadi. Lantai sudah terjungkat! Urusan antara aku dengan dia
hanya selesai jika salah satu dari kami menemui ajali” Hantu Balak Anam
kelihatan bernafsu sekali. “Sabai, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau
punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam?”
“Hemm….
Bagaimana aku harus menjawab. Hubunganku dengan dia biasa-biasa saja….”
“Biasa-biasa
bagaimana?! Aku ingin tahu!”
“Seperti
hubungan para tokoh golongan putih lainnya!”
“Kau
perempuan. Sutan Alam laki-laki! Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu Sabai!”
“Hantu
Balak Anam. Selama ini kita memang kurang dekat tapi ada pertalian persahabatan
antara kita. Jika kau bicara yang bukan-bukan apa lagi berani kurang ajar, aku
akan menambahkan sepuluh lubang di sekujur tubuhmu!”
Hantu
Balak Anam tertawa bergelak.
Iblis
Pemalu sejak tadi sudah gatal mulut hendak bicara. Tapi Sabai Nan Rancak
memberi isyarat agar dia diam saja hingga tidak membuat suasana bertambah
keruh.
“Kalau
kau tidak ada pertanyaan lain, kami akan meneruskan perjalanan!”
Hantu
Balak Anam lambaikan tangannya. “Satu ha! harus kau ingat baik-baik Sabai. Jika
di kemudian hari ketahuan kau memang punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam,
aku akan kembali menemuimu. Pada saat itulah aku terpaksa membunuhmu!”
“Ajal
datangnya memang tidak terduga Hantu Balak Anam. Akan kita lihat siapa yang
duluan mati di antara kita!” jawab Sabai Nan Rancak seraya lontarkan seringai
dingin.
Hantu
Balak Anam celupkan dayungnya ke dalam air. Perahu kecilnya berputar lalu
melesat ke arah timur.
“Manusia
memalukan! Siapa dia Nek?” bertanya Iblis Pemalu.
“Seorang
tokoh di daratan Andalas. Dulu sikapnya baik-baik saja. Kini seperti ada yang
menyengatnya.”
“Lalu
siapa pula Sutan Alam Rajo Di Bumi yang disebutnya tadi? Manusia memalukan
juga?”
Sabai
tersenyum. “Sutan Alam seorang tokoh sahabat segala tokoh golongan putih rimba
persilatan pulau Andalas. Ada lagi yang hendak kau tanyakan Iblis Pemalu?”
iblis
Pemalu menatap si nenek dari celah-celah jari tangannya. “Nek, kini kau sudah
memiliki dua senjata dahsyat. Kau akan jadi seorang tokoh besar. Kau tidak akan
pernah merasa malu lagi. Tidak sembarang orang sanggup menghadapimu. Tentunya
kini kau bersemangat mencari Tua Gila, musuh besarmu itu.”
“Aku
memang telah memiliki dua senjata hebat. Tapi tugasku jadi tambah berat…” jawab
Sabai Nan Rancak.
“Eh,
mengapa kau bicara memalukan seperti itu? Bukankah berarti kau akan lebih mudah
menghabisi kakek itu? Memalukan) Kau berkata tugasmu jadi berat. Memangnya ada
yang menugaskanmu melakukan semua itu?! Jangan mau jadi orang suruhan Nek.
Jangan sampai dirimu dibuat malu!”
Sabai Nan
Rancak terdiam. Kemudian dia tampak tersenyum.
“Kalau
tugasmu memang berat agar tidak memalukan apakah menurutmu aku bisa menolong?!”
“Apa yang
jadi tugasku adalah urusanku sendiri. Terima kasih kau mau membantu. Tapi
kurasa aku bisa melakukannya sendiri.”
“Ah,
bagaimana ini Nek. Aku jadi malu mendengarnya. Tadi kau bilang tugasmu jadi
berat. Mau ditolong kau menolak malu. Apa sebenarnya tugas beratmu itu Nek?”
“Aku
harus membunuh Tua Gila….”
“Itu aku
sudah tahu. Kau tidak malu mengatakan aku tidak malu mendengarkan! Apa tugas
lainnya yang kau katakan sebagai tambah berat itu?”
Sabai Nan
Rancak tak segera menjawab. Dia merasa bimbang memberi tahu. Namun setelah
berpikir tak ada salahnya memberi tahu maka dia pun berkata. “Selain Tua Gila
aku juga harus membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sinto Gendeng.”
Sepasang
mata Iblis Pemalu memancarkan kilatan aneh mendengar keterangan si nenek. Tapi
kemudian dia tertawa cekikikan. “Benar kataku tadi Nek. Hidup dan kehidupan
manusia tidak lebih dari sebuah, takdir! Kebanyakan merupakah takdir memalukan.
Hik… hik… hik. Aku sendiri merasa malu karena tidak tahu bagaimana cara matiku
kelak! Mati karena sakit atau mati dibunuh orang! Aku malu! Hik… hik… hik! Tapi
Nek, bagaimana kalau Datuk Tinggi mengejarmu?”
“Dia akan
mati dengan senjata miliknya sendiri yang diberikan padaku!” jawab Sabai.
“Ah,
memalukan! Senjata makan tuan!”
“Aku
ingin bertanya, apakah Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu sahabatmu?” Sabai
ajukan pertanyaan sambi! menatap tajam pada Iblis Pemalu.
“Uhhhh!
Memalukan! Aku sudah bilang aku tidak punya musuh di dunia ini. Malah yang
namanya Sinto gendeng aku belum pernah melihat ujudnya! Memalukan sekali!”
“Apa yang
aku katakan padamu ini adalah rahasia kita berdua. Jika sampai bocor, terpaksa
aku membuat kepalamu menjadi bocor!”
“Kepala
bocor! Aduh malunya!” kata Iblis Pemalu. Lalu dia kembali duduk mencangkung di
lantai perahu. Seperti tadi kepalanya yang ditutup tangan kini ditempelkannya
di atas ke dua pahanya.
“Kita
harus segera melanjutkan perjalanan menuju daratan besar pulau Andalas,” kata
Sabai Nan Rancak.
“Ya… ya!
Memalukan kalau kita sampai kemalaman di tengah laut!” jawab Iblis Pemalu.
Sabai Nan
Rancak ambil dua buah kayu pendayung. Begitu dia mengayuh perahu itu seolah
melesat, meluncur pesat di atas permukaan air laut.
TAMAT
No comments:
Post a Comment