Kamandaka
Si Murid Murtad
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***************
1
GEROBAK sapi
itu bergerak perlahan. Yang menjadi kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan
berambut putih duduk tenang-tenang saja karena dia memang tidak terburu-buru.
Di sampingnya duduk seorang dara. Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas
hingga wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak tunggal si orang
tua berjanggut putih. Dara ini memang bersifat riang ceria. Sepanjang
perjalanan dia selalu menyanyi kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan
kanannya yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian ringkas warna
putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas keduanya adalah orang-orang
persilatan.
"Mintari
anakku," berkata lelaki tua di atas gerobak pada anak gadisnya.
"Kalau sampai di tempat pertemuan para tokoh silat di Selatan nanti, jangan
sekali-kali kau berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan bicara
kalau tidak diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh
silat dari tanah Minang yang akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu
kepandaianku sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk Alam yang akan
membawamu ke tanah Minang dan menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu
adalah orang tua yang sangat saleh. Karena itu selama di sana jangan
sekali-kali kau meninggalkan sembahyang."
Gadis
bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Tak lama
kemudian kembali dia menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat
bambunya.
"Anakku,
apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?"
bertanya
sang ayah.
Mintari
hentikan nyanyiannya, "Saya ada satu pertanyaan ayah," ucapnya.
"Katakanlah
anakku."
"Setahu
saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali tokoh-tokoh silat berkepandaian
tinggi. Tidak terhitung pula orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan
saya pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam Rajo kalau hanya
untuk menempa ilmu silat dan kesaktian?"
Sang ayah
tersenyum mendengar ucapan anak gadisnya itu. Setelah mendehem beberapa kali
diapun menjawab. "Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengatakan:
Jauh berjalan banyak yang dilihat. Menuntut ilmu kalau perlu sampai di Negeri
Cina. Memang ayah tahu tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah
Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di sana kau dapat pula mendalami ilmu
agama. Dan mengenai Datuk Alam Rajo jangan kau anggap enteng dia…"
"Harap
maafkan, saya tidak menganggap enteng orang tua satu itu ayah. Jangan ayah
salah sangka."
"Lalu
mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi bersamanya?"
"Karena
sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah," jawab Mintari.
Sang ayah
tertawa. "Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu sudah sembilan belas tahun
kalau ayah tidak salah ingat. Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan."
"Saya
tahu ayah," kata Mintari pula. Lalu dipegangnya tangan ayahnya seraya
berkata. "Kalau saya tidak ada, siapa yang mengurus ayah?"
Ucapan
anak gadisnya itu membuat hati si orang tua tersentuh. Memang sejak ibu Mintari
meninggal dunia enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus
dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. "Kalau kau pergi dan
sanggup mengurus diri sendiri, masakan aku tua bangka begini tidak sanggup
berbuat yang sama…?"
Baru saja
ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh menyusul
ucapan lantang.
"Kau
betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat mengurus diri sendiri! Hari
ini aku mau lihat apakah kau benar-benar bisa mengurus diri sendiri!"
Ayah dan
anak itu sama-sama terkejut dan memandang berkeliling.
"Ayah,
ada suara tapi tak kelihatan orangnya!" bisik Mintari.
Ki
Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi waspada. Dia tahu kalau ada
seorang berkepandaian tinggi berada di tempat itu. Manusia yang muncul seperti
itu biasa-nya tidak membawa niat baik.
"Tenang
saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan." balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba
ada suara angin berdesir disertai berkelebatnya satu bayangan. Tahu-tahu
sepuluh langkah di tengah jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang
berpakaian dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga dadanya
yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin hentikan gerobak sapinya.
Yang
tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata seorang pemuda berparas gagah.
Hal ini membuat hati si orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya dengan
Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya dihadang oleh seorang tak
dikenal yang bersikap sombong.
"Anak
muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Ki Pamilin.
"Aku
sudah lama mendengar nama besarmu yang menyandang gelar Pendekar Tangan Baja.
Hari ini aku ingin menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu.
Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa mengurus diri sendiri!"
Habis berkata begitu pemuda ini memandang pada Mintari. Sepasang bola matanya
membesar dan membersitkan sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak sontak jadi
berdebar. Pengalaman hidup membuat dia mengenali arti cahaya yang keluar dari
kedua mata pemuda itu.
"Anak
muda, hidup bukan mencari lantai terjungkat. Ilmu kepandaian bukan untuk
membuat silang sengketa."
"Orang
tua, kata-katamu enak di dengar. Apakah itu berarti kau tidak punya nyali untuk
melayaniku barang sejurus dua jurus?"
Mintari
yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat tingkah dan mendengar
ucapan-ucapan pemuda itu membuka mulut bersuara keras.
"Kami
masih ada keperluan yang lebih penting! Mana punya waktu melayani pemuda
sombong sepertimu!"
Pemuda di
tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggalkannya destar birunya. Lalu destar
ini, dikipas-kipaskannya. Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara
memang panas.
"Adik,
suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari. Bolehkah aku tahu namamu? Tadipun
aku sebetulnya sudah kagum mendengar suara nyanyianmu."
Mintari
keluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Ketepilah. Kami mau
lewat!"
"Adik
cantik, percakapan kita bisa diteruskan kemudian. Aku ingin mendengar jawaban
ayahmu. Apakah dia se-orang pengecut?"
"Ayahku
bukan seorang pengecut! Dia hanya tidak mau mengotori tangan melayani kadal
hutan macammu!" jawab Mintari.
Mendengar
kata-kata itu kembali pemuda di tengah jalan tertawa bergelak. Tetapi dalam
tertawa sepasang matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap lalu terdengar suara brett!
Mintari
terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua ini marah sekali. Langsung dia
melompat turun dari atas gerobak. Tangan kanannya menghantam ke arah dada si
pemuda. Yang diserang sunggingkan senyum mengejek dan angkat tangan ngan
kirinya untuk menangkis.
Buuukk!
Ki
Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja terjajar
dua langkah ke belakang. Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah.
Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh silat yang disegani
bukan sembarang orang bisa membuatnya terjajar seperti itu.
"Pemuda
kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu?!" sentak Ki Pamilin.
Si pemuda
kenakan destarnya kembali. Sambil berkacak pinggang dia berkata. "Namaku
Kamandaka. Orang mengenalku dengan panggilan Pendekar Tangan Halilintar!"
Mendengar
nama dan gelar itu kembali paras Ki Pamilin berubah. Dia sempat mundur satu
langkah. Yang terpikir saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.
Di
depannya pemuda yang mengaku bernama Kamandaka bergelar Pendekar Tangan
Halilintar lagi-lagi sunggingkan senyum sinis.
"Pendekar
Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar Tangan Halilintar! Bukan ini satu
pertemuan yang luar biasa?!"
***************
2
DI ATAS
gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang robek akibat tarikan kurang ajar
Kamandaka. Dengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini melompat dari gerobak
itu. Dia bermaksud hendak menyerang si pemuda. Tetapi hatinya jadi bimbang
ketika melihat bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian begitu tinggi tampak
terjajar dalam bentrokan pukulan Tadi.
"Orang
muda, kalau kau benar Kamandaka manusia terkutuk yang dicari-cari di tujuh
penjuru angin itu, maka ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat
dunia!"
"Ha
…ha! Ternyata kau bukan seekor macan kertas. Kalau kau memang punya nyali mari
kita teruskan berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun sebelumnya aku
ingin memastikan dulu agar anak gadismu ini tidak pergi ke mana-mana!"
Habis berkata begitu Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap dengan
satu totokan.
Dari
samping Ki Pamilin datang menyambar dengan pukulan ke arah kepala Kamandaka
hingga pemuda ini tidak sempat meneruskan totokannya ke tubuh si gadis.
Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga dalam tinggi,
mengeluarkan suara bersiur menggidikkan. Namun dengan tenang Kamandaka
mengelak. Gerakannya mengelak tampak aneh. Tubuhnya berputar membelakangi
lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya mencelat ke atas seperti tendangan seekor
kuda. Kalau Ki Pamilin tidak bertindak waspada tendangan dahsyat itu pasti akan
menghantam rahang kanannya!
Tendangan
yang melesat itu kini mendarat pada kayu besar yang jadi tambatan sapi penarik.
Terdengar suara berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi penarik
gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas langkah lalu berhenti dekat
kelokan jalan sambil tiada henti mengibas-kibaskan ekornya.
Dengan
rahang menggembung Ki Pamilin lancarkan serangan. Tubuhnya seperti merunduk.
Kedua tangannya diulurkan ke depan. Kamandaka melihat bagaimana sepasang tangan
itu kini berubah menjadi keputih-putihan.
"Ah,
kau mengeluarkan ilmu kesaktian Tangan Baja!" seru Kamandaka. Memang
inilah yang ditunggu-tunggunya. Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua
bergelar Pendekar Tangan Baja ini hanya sekedar untuk menjajal ilmu
kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul orang yang dicarinya, malah orang
ini muncul membawa serta anak gadisnya yang cantik jelita.
Kamandaka
menunggu dengan kedua kaki direnggangkan. Sepasang lengan di silang di depan
dada. Ketika kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan jelas warnanya
berubah menjadi hitam. Diam-diam Ki Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal
ini. Sejak lama dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan Pendekar
Tangan Halilintar. Dan selama ini belum ada satu lawan atau seorang tokoh
silatpun yang mampu menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua
memutuskan untuk menggempur Kamandaka lebih dulu.
Didahului
dengan satu bentakan keras Ki Pamilin dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini
perlahan saja. Tetapi apa yang terjadi sungguh dahsyat!
Dari
kedua tangan Ki Pamilin seperti menyembur keluar dua jalur sinar putih. Inilah
sinar baja yang mengandung hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar tetapi
kekuatan dan kerasnya tidak beda seperti batangan baja!
Wus!
Wus!
Dua sinar
menyambar ke arah kepala dan dada Kamandaka.
"Bagus!"
Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia jelas hendak mengejek dan memandang
rendah lawan. Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka melompat ke
samping. Dari samping dia dorongkan telapak tangan kanannya.
Dua sinar
baja laksana dua batangan terdorong ke samping. Menghantam sebatang pohon jati.
Pohonini laksana ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu tumbang dengan
suara menggemuruh.
Ki
Pamilin merasakan dadanya seperti terbakar karena geram tetapi bersamaan dengan
itu tengkuknya menjadi dingin. Selama ini belum pernah dia langsung menyerang
musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh yang benar-benar tangguh.
Sekali dia mengeluarkan serangan tersebut tak pernah ada lawan yang mampu
menghindar dari kematian. Kini dia telah melakukan hal itu dan ternyata lawan
dengan mudah dapat menghindarinya!
"Luar
biasa, dari mana anak semuda ini punya kepandaian begini hebat!" kata Ki
Pamilin dalam hati. Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah menyandang
nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja dalam dunia persilatan. Ter-nyata hari
ini dia tersandung oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya! Dengan
cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya mengerahkan setengah bagian
tenaga datam yang dimilikinya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga dalamnya
pada kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi berkilat.
"Bagus!"
Kamandaka memuji. "Kalau sudah seluruh tenaga dalammu kau kerahkan, tunggu
apa lagi! Ayo hantamlah!"
"Pemuda
ini sombong sekali. Kudengar kejahatan yang dilakukannya setinggi langit
sedalam lautan! Kalau aku tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri
dari dunia persilatan untuk selama-lamanya!" Lalu dengan rahang terkatup
rapat Ki Pamilin dorongkan kedua tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik
sinar baja yang melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu tampak lebih
besar dan lebih menyilaukan. Hawa panas ikut menyambart
Ketika Ki
Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua tangan, diam-diam Kamandaka
telah pula mengatur hawa sakti yang berpusat di perutnya, lalu menyalurkannya
pada kedua tangannya. Sambil menyalurkan hawa sakti Kamandaka menyilangkan
kedua lengannya di depan dada lalu naik ke atas di depan kepala. Kedua tangan
pemuda ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan yang bersilang
itu membuka lalu dihantamkan ke depan. Terdengar suara meledak seperti suara
halilintar membelah langit. Tanah bergoncang. Pepohonan berderakderak seperti
hendak tumbang. Satu gelombang sinar hitam menggebubu ke depan.
Dua sinar
baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana tenggelam ditelan gelombang hitam yang
dahsyat itu. Orang tua ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras. Dia
berusaha bertahan sambil dorongkan lagi kedua tangannya dan merapal aji
kesaktian lain untuk memperkuat diri.
Kamandaka
tertawa mengekeh.
"Keluarkan
seluruh ilmumu Pendekar Tangan Baja!" katanya. Lalu kedua lengannya yang
masih ada di depan kepala disilangkan kembali. Saat itu juga terdengar suara
ledakan dahsyat. Langit laksana hendak runtuh. Tanah seperti terbongkar. Ki
Pamilin lenyap dalam buntalan sinar hitam. Lalu terdengar suara orang tua itu
menjerit.
Tubuh
orang tua itu terlempar sampai satu tombak. Mukanya tampak putih laksana kain
kafan tapi anehnya perlahan-lahan berubah menjadi hitam, pertanda bahwa pukulan
sakti yang dilepaskan Kamandaka selain dialas dengan kekuatan tenaga dalam luar
biasa juga mengandung racun sangat jahat.
"Ayah!"
Mintari
terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Gadis ini memburu. Kamandaka
cepat ulurkan tangan menyambar pinggang si gadis.
"Manusia
jahanam!" teriak Mintari. Dia berbalik dan tongkat bambu di tangan
kanannya dihunjamkan ke perut Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang
besar. Tetapi hebatnya perutnya tidak cidera sedikitpun. Malah Mintari merasa
ada satu dorongan keras ketika ujung tongkat menyentuh perut pemuda itu yang
membuat tangannya bergetar.
"Gadis
hebat!" seru Kamandaka. "Tunjukan kehebatanmu kalau nanti kau berada
dalam pelukanku!"
Mendidih
amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia membalik dan kini tongkatnya
menusuk kuat-kuat ke mulut si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau berlaku
ayal lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan tongkat bambu
ataupun senjata tajam. Tetapi pada kedua matanya sama sekali tidak ada
kekebalan. Selain itu dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup
tinggi berkat gemblengan ayahnya.
Kamandaka
cepat menggeser kedua kakinya sambil miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya melesat ke atas menangkap ujung tongkat. Begitu
ujung tongkat berada dalam genggamannya, Kamandaka dengan cepat menariknya.
Karena tidak sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik ke depan.
Sebelum dia bisa berbuat sesuatu apa tahu-tahu dia sudah berada dalam pelukan
Kamandaka. Malah satu ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya!
"Jahanam
kurang ajarl" Makian itu disertai gerakan mencakar ke muka Kamandaka. Tapi
Mintari kalah cepat. Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga tubuh
si gadis kaku tak bisa bergerak lagi. Hanya suaranya saja terdengar memaki tak
putus-putusnya.
Sambil
tertawa-tawa Kamandaka memanggul tubuh Mintari. Salah satu tangannya
mengelus-elus tubuh bagian bawah belakang gadis itu sehingga semakin keras
kutuk serapah keluar dari mulut Mintari.
"Sekarang
kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi kau akan tergila-gila padaku.
Berpisah sesaatpun kau tak akan mau!" berkata Kamandaka sambil membawa
Mintari ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di lantai gerobak
sebelah belakang.
Dari
dalam mulut Ki Pamilin tampak banyak darah mengalir. Nafasnya sesak dan dari
tenggorokannya terdengar suara seperti ayam dipotong. Samar-samar dia melihat
Kamandaka memanggul tubuh Mintari ke arah gerobak.
"Ya
Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia…" orang tua ini hanya bisa memohon
dalam hati. Tangannya coba diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda.
Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya bertambah gelap. Pada saat
jantungnya berhenti berdetak, nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.
Di atas
gerobak Kamandaka berlutut di samping tubuh Mintari. Mulutnya menyeringai,
nafasnya menderu diburu nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar suara
pakaian robek beberapa kali.
"Manusia
jahanaml Iblis! Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Mintari.
"Nanti
juga akan kulepaskani Sekarang biar kita bersenang-senang dulu!"
"Lebih
baik kau bunuh diriku!" teriak Mintari lalu dia menjerit berulang kali.
Suara
jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu bukan membuat hiba apalagi takut
dalam diri Kamandaka. Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan
celana birunya. Kedua tangannya meraba kian kemari. Ketika dia siap untuk
melakukan kebejatan itu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki
kuda. Kamandaka menoleh ke belakang.
Dua orang
penunggang kuda berseragam perajurit Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat
ada gerobak berhenti di tengah jalan dan ada suara perempuan menjerit dari
atas gerobak itu, kedua perajurit ini hentikan kuda masing-masing di samping
gerobak.
Tentu
saja keduanya terkejut melihat pemandangan di dalam gerobak terbuka itu.
"Hail
Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini?!" salah seorang perajurit
membentak.
"Siang
bolong! Di tengah jalan1" Perajurit yang satu lagi ikut menghardik.
Melihat
munculnya dua orang perajurit Kerajaan ini Mintari merasa dirinya pasti akan
mendapat pertolongan. Maka diapun berkata. "Tolong. Tolong selamatkan
diriku dari manusia durjana ini!"
Dua
perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus yang menggeletak di atas gerobak
itu. Mau tak mau keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu berulang kali
membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang satu lagi memandang dengan
mata tak berkesip. Yang terakhir ini berpaling pada Kamandaka.
"Kau
tahu kalau kau telah membuat satu kesalahan besar yang bisa membuat kepalamu
dijirat tali gantungan?"
Kamandaka
diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua perajurit itu mulai dikobari nafsu.
Benar saja karena yang satu kemudian berkata.
"Sobat,
jika kau mau membagi-bagi rejeki besar ini pada kami berdua, kami tidak akan
menangkapmu atau membuat perkara!"
Kamandaka
menyeringai. "Kalau kalian memang berminat aku bersedia memenuhi
permintaan kalian. Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih dulu. Naiklah
ke atas gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi apa."
Mendengar
kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi tanpa tunggu lebih lama segera
turun dari kuda dan siap naik ke atas kereta.
"Hus!
Tunggu dulu!" kata Kamandaka. "Sebelum naik lebih baik kalian
tanggalkan dulu semua pakaian yang melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit.
Akan sulit membuka pakaian di sini!"
"Kau
benar!" kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa malu-malu dia segera
menanggalkan pakaiannya. Kawannya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan
hal yang sama.
"Nah
sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naik ke atas gerobak. Aku biar menunggu
di dekat pohon sana sambil berjaga jaga," kata Kamandaka pula.
Dua orang
perajurit yang tanpa pakaian itu naik ke atas gerobak. Namun belum sempat kaki
mereka menginjak lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak memukul.
Terdengar suara bergedebuk dua kali. Kedua perajurit itu keluarkan jeritan
hampir berbarengan. Tubuh mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang
seketika lalu tak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka remuk.
Kamandaka
meludah ke tanah. Dia berpaling pada Mintari yang tergeletak dengan muka pucat.
Kembali gadis ini memekik keras. Namun sekali ini tak ada sesuatupun yang bisa
menghalangi perbuatan terkutuk Kamandaka
***************
3
DI
LAMPING bukit Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya. Sejenak dia tegak
berdiam diri lalu memandang ke bawah bukit. Lapat-lapat dia mendengar suara
ringkikan kuda jauh dibawah sana. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
ini dapat membedakan mana ringkikan kuda biasa dan mana yang tidak biasa.
Segera dia menuruni bukit ke arah terdengarnya suara ringkikan kuda itu. Dia
sengaja mengambil jalan memintas walau harus menempuh bagian bukit yang
dirapati pepohonan serta semak belukar. Ketika akhirnya Pendekar ini sampai di
kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan melihat ada bekasbekas jejak roda di
tanah.
Wiro
ikuti jejak-jejak roda itu. Belum lama berjalan langkahnya mendadak terhenti.
Di kejauhan, dekat jalan yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di samping
kiri gerobak kelihatan dua sosok mayat dengan kepala pecah dan tubuh telanjang
bulat. Dua helai pakaian seragam perajurit kelihatan tercampak di tanah. Tak
jauh dari situ ada dua ekor kuda. Salah seekor diantaranya meringkik tiada
henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia melihat sosok tubuh ke tiga, menggeletak
dekat sebatang pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening dan
garuk-garuk kepalanya. Sosok tubuh ketiga ini tak bisa dikenali. Sekujur badan
dan pakaiannya berwarna hitam seolah-olah baru saja keluar dari lumpur jelaga.
"Ini
bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal akibat racun jahat…"
membatin murid Sinto Gendeng. Saat itulah dia mendengar suara erangan halus.
Dia berpaling ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu saja.
Suara erangan itu justru datang dari arah gerobak. Wiro cepat mendekati
gerobak, melompat ke atasnya. Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke
lantai gerobak. Matanya hampir terpejam tak kuasa memandang.
"Tolong…
tolong…" Gadis yang meoggeletak di lantai gerobak keluarkan suara kelu.
Kedua matanya hanya membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian leher
dan dada penuh dengan luka-luka bekas gigitan.
Sambil
membalikkan tubuh Wiro membuka bajunya. Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh
Mintari. Tapi baju itu tidak dapat menutupi sekujur tubuh gadis yang malang
itu. Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di bawah tempat duduk
kereta sebelah depan. Ketika diperiksanya dia menemukan sehelai kain warna
kuning yang cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis itu sedang
bajunya dipakainya kernbali. Lalu Wiro membawa gerobak itu ke tempat yang
teduh.
"Saudari,
dapat kau menceritakan apa yang terjadi?" Jawaban yang keluar dari mulut
Mintari adalah jeritan keras. Lalu gadis ini menangis tersengguk-sengguk. Dalam
hati Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib buruk apa yang telah menimpa gadis
ini. Namun yang jadi pertanyaan apa sangkut paut kedua perajurit Kerajaan yang
mati telanjang serta seorang yang tewas dengan tubuh hitam itu.
"Ayah…
Tolong… Ayah…"
Wiro
kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan tubuh gadis yang menggeletak
di Iantai gerobak itu. Baru dia menyadari kalau tubuh itu berada dalam keadaan
tertotok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu.
"Kau…kau
siapa…?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Mintari. Untuk pertama kali si
gadis tiba-tiba merasa takut.
"Jangan
takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku berusaha menolongmu…"
Mintari
membuka kedua matanya lebih lebar. Pemandangannya masih meremang. Dia tak
dapat melihat jelas wajah orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian
dirasakannya ada sentuhan pada bagian tubuhnya yang membuat dia bisa
menggerakkan kedua tangan dan kakinya kembali.
Begitu
menyadari totokannya telah lepas, Mintari berusaha melompat berdiri. Tapi
terhuyung-huyung dia hampir jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan
kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan gadis itu ke pinggiran
gerobak. Mintari memandang dengan mata membeliak padanya.
"Tenanglah,
kau tak usah takut. Aku bukan orang jahat," kata Wiro meyakinkan si gadis.
"Ayah…"
Mintari memandang berkeliling. Wiro mengikuti pandangannya.
"Ayahmu
ada di sini?" tanya Wiro.
"Ayah…Manusia
itu pasti sudah membunuh ayah…" Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam
yang menggeletak dekat pohon. Satu jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya
tampak seperti kejang. Wiro berusaha menenangkan gadis itu. Di sudut depan
gerobak dia melihat sebuah bumbung bambu. Ketika dibukanya ternyata berisi air.
Air dalam bumbung ini segera diminumkannya pada Mintari. Dengan susah payah si
gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis minum dia kelihatan agak tenangan.
"Sekarang
kau bisa mengatakan apa yang terjadi?" tanya Wiro.
Mintari
tak menjawab. Kain kuning dibungkuskannya erat-erat ke tubuhnya lalu dia
berusaha turun dari atas gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati
sesosok tubuh hitam dekat pohon. Wiro melangkah di sampingnya. Di depan tubuh
hitam itu Mintari hentikan langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip.
Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari manis tangan kanan.
Meskipun sudah hangus namun dia masih bisa mengenali cincin itu.
"Ayah!"
jerit Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya langsung jatuh. Wiro cepat
memegang gadis ini sebelum terbanting ke tanah.
******************
Hari itu
hari kelima di bulan lima, suatu pertemuan rahasia diadakan di sebuah rumah tua
di kaki Bukit Sedayu di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan rumah
adalah Raden Bintang, bekas Tumenggung yang telah lama mengundurkan diri dari
segala macam urusan Kerajaan. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan
Rantai Bayangan. Lelaki berusia enam puluh tahun ini konon memiliki sebuah
senjata aneh. Jika dia membaca mantera maka di tangan kanan atau tangan kirinya
kelihatan muncul dan tergenggam sebuah rantai besi berwarna hitam. Rantai ini
kelihatan seperti bayangan. Tapi jika dipakai untuk, memukul atau menggebuk
maka sasarannya bisa patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman rantai
sungguhan.
Di tempat
kediamannya pagi itu telah berkumpul hampir dua puluh orang tokoh dunia
persilatan di Jawa Tengah, Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu
datang jauh-jauh dari Pulau Andalas. Dia adalah seorang kakek berdestar dan
berpakaian serba hitam. Kedua kaki dan pergelangan tangannya dilingkari gelang
akar bahar. Dialah Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah
punya rencana untuk membawa Mintari ke tempat kediamannya guna digembleng
dengan berbagai ilmu kepandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama.
Saat itu
masih ada beberapa tokoh silat yang belum muncul. Sementara menunggu acara
resmi dibuka pada siang hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai macam hal
sambil menikmati minuman dan juadah yang dihidangkan. Sesekali terdengar suara
gelak tertawa.
Dalam
pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal. Namun ada satu hal penting yang
akan diperbincangkan secara amat rahasia.
Dua orang
tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan rumah keduanya mengambil tempat duduk
diantara para hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri dari
kursinya. Setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
"Saudara-saudara
sekaum persilatan. Saya melihat masih ada dua kursi yang kosong. Karena waktu
kita sempit sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan ini bukan cuma satu
mata acara, lalu mengingat bahwa Saudara-saudara tentu harus kembali ke tempat
asal masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar acara pertemuan dimulai
saja secara resmi. Mudahmudahan dua tamu yang belum datang akan segera muncul
di tempat ini."
"Saya
rasa kami semua setuju," menjawab salah se-orang dari yang hadir. Yang
lain-lainnya sama mengiyakan.
"Terima
kasih. Kalau begitu acara bisa segera kita mulai," kata Raden Bintang pula
dengan senyum gembira dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya
satu sama lain.
Raden
Bintang mengambil sebuah palu kayu yang terletak di atas meja. Ketika dia
hendak mengetukkan palu ini sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar
suara bergemeratak. Raden Bintang berpaling ke halaman diikuti oleh para
hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki halaman dengan cepat. Kusirnya
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih.
"Kita
kedatangan tamu. Tapi bukan yang diundang," kata Raden Bintang. "Di
antara yang hadir apakah ada yang mengenalinya?"
Tidak
seorang hadirinpun memberikan jawaban.
Pemuda
berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat dia memandang agak bimbang pada
orang-orang yang ada di dalam rumah besar itu.
Namun akhirnya
dia melangkah juga. Di tangga atas bangunan dia berhenti dan memberi
penghormatan dengan menundukkan kepala.
"Maafkan
saya mengganggu. Apakah di sini pertemuan para tokoh silat dari tiga kawasan
Pulau Jawa?"
"Sebutkan
dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan pertanyaan," kata Raden Bintang.
"Saya
Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari Eyang Sinto Gendeng. Beliau tidak
bisa datang karena ada halangan."
Semua
yang hadir di tempat itu termasuk Raden Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama
terkejut mendengar nama yang disebutkan.
"Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212!" semua orang menyebut gelar itu dalam hati
masing-masing. Mereka tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar 212
yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia persilatan. Dikagumi para
tokoh silat golongan putih, ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para
penjahat. Selama ini Pendekar 212 mereka anggap selalu muncul dan menghilang
secara misterius, jarang menampakkan diri secara langsung di depan para tokoh
silat. Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang ajar tetapi berhati
polos: Semua yang hadir tidak menduga kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan
sangat sederhana.
Wiro
menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden Bintang. Tuan rumah bermaksud
segera membacanya namun urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata.
"Maafkan saya, ada yang lebih penting dari surat itu. Seseorang di atas
gerobak membutuhkan pertolongan. Di atas gerobak juga ada sesosok mayat."
Semua
yang hadir di situ tentu saja menjadi kaget. Beberapa di antaranya segera
berdiri dan keluar dari rumah besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah
menuju gerobak.
Mereka
yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut ketika menyaksikan apa yang ada di
dalam gerobak itu. Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keadaan
lemah, terbungkus dengan kain kuning.
"Gadis
ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon disediakan kamar untuknya…"
kata Wiro lalu melangkah kembali ke arah rumah besar sambil mendukung Mintari.
Seorang
berpakaian hitam menyeruak diantara orang banyak. Lalu terdengar suaranya
seperti harimau menggereng disusul seruan keras.
"Mintari!
Apa yang terjadi denganmu Nak?!"
Wiro
hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut menoleh. Yang tadi berseru
ternyata adalah Datuk Alam Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang berada
dalam dukungan Pendekar 212 itu.
"Datuk,"
ujar Raden Bintang. "Kau mengenali gadis ini?"
"Namanya
Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan ayahnya Ki Pamilin yang bergelar
Pendekar Tangan Baja aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh tidak
disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan begini. Di mana
ayahnya?!"
"Ya
dimana Ki Pamilin? Dia salah seorang tokoh silat yang kita undang!" kata
Raden Bintang pula.
"Tokoh
silat itu telah jadi korban pembunuhan biadab!"
Orang
banyak yang ada di tempat itu termasuk tuan rumah Raden Bintang menjadi geger.
Lalu suasana hening beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan pada
Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi keterangan.
Wiro
menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua kali lompat saja Raden Bintang
sudah sampai di samping gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam
yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak.
"Hanya
ada satu manusia yang bisa membuat seorang menemui ajal seperti ini. Yaitu
murid murtad Ketua Partai Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka
bergelar Pendekar Tangan Halilintar!"
"Benar,
menurut penuturan gadis ini memang orang itu yang membunuh ayahnya," kata
Wiro pula.
Kembali
tempat itu dilanda kegemparan.
Salah
seorang dari mereka berkata. "Justru acara kita paling penting dalam
pertemuan ini adalah untuk membicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat
berunding kini sudah jatuh lagi satu korban baru!"
"Dan
anak gadis Ki Pamilin ini pasti sudah…" Orang yang bicara tidak tega
meneruskan ucapannya.
Seseorang
memberi Isyarat agar Wiro mengikutinya. Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar.
Dua orang perempuan separuh baya yang sebenarnya adalah juru masak untuk
menyediakan makanan dalam pertemuan itu masuk ke dalam kamar guna merawat
Mintari.
Atas
permintaan Raden Bintang, Wiro kemudian menuturkan apa yang diketahuinya yakni
mulai ketika pertama kali dia menemui para korban sampai pada penjelasan yang
disampaikan Mintari sebelum jatuh pingsan.
Mau tak
mau acara pertemuan hari itu ditunda sampai jenazah Ki Pamilin diurus dan
dimakamkan di halaman belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang
berkumpul kembali di dalam rumah. Raden Bintang berpaling pada Pendekar 212.
"Saya
sudah membaca surat Eyang Sinto Gendeng. Saya dan tentu semua orang yang ada
disini merasa menyesal tokoh sakti dari Jawa Barat itu tidak bisa hadir.
Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang Pendekar 212 untuk
mewakilinya."
Kalau
sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia masih berdiri tapi kini
garuk-garuk kepala. "Maafkan saya," katanya. "Kalau tidak salah
isi surat itu hanya mengatakan bahwa Eyang tidak bisa datang. Beliau tidak
memberi wewenang pada saya untuk bertindak sebagai wakil pada pertemuan para
tokoh ini."
"Pendekar
212 walau Eyang Sinto Gendeng memang tidak menuliskan bahwa kau boleh
mewakilinya, tapi kami semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada
yang keberatan," Kata tuan rumah pula.
Kembali
Pendekar 212 menggaruk kepala. "Mohon maaf. Saya merasa tidak punya bobot
untuk tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan semua orang pandai yang
ada di sini. Izinkan saya minta diri…"
Raden
Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun cepat berkata ketika dilihatnya
Wiro hendak membalik. "Pertemuan ini sangat penting. Kita akan
membicarakan tindakan yang harus diambil terhadap Kamandaka murid Partai Semeru
Raya itu! Jika dibiarkan semakin banyak korban yang jatuh. Kau menyaksikan
sendiri bagaimana kejinya dia membunuh Ki Pamilin dan merusak kehormatan anak
gadis orang tua itu. Menghabisi nyawa dua perajurit Kerajaan. Bahkan belasan
tokoh silat sebelumnya telah dihabisinya. Apakah kau ingin berlepas tangan
saja…?"
Kalau
tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung, kini sebaliknya Pendekar 212
Wiro Sableng yang merasa tersinggung dan dipojokkan.
"Kalau
saya tidak ikut dalam perternuan ini bersama para tokoh yang saya hormati,
bukan berarti saya hanya bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya Eyang Sinto
Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada kalanya seseorang harus
lebih banyak bertindak dari pada banyak bicara. Kamandaka sudah berbuat jahat
menebar maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang telah dilakukan
orang-orang persilatan? Saya minta diri…"
Wiro
membalikkan badannya dan melangkah cepat meninggalkan rumah besar itu tanpa
melihat bagaimana paras Raden Bintang menjadi kemerahan akibat kata-kata yang
diucapkannya tadi. Sambil melangkah Pendekar 212 Wiro Sableng menggerendeng.
"Pertemuan… pertemuan! Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya
sudah sejak dulu-dulu mereka melakukan tindakan nyata, bukan cuma bicara!"
Baru saja
Wiro mengomel seperti itu di sebelahnya terdengar satu suara. "Kau betul
anak muda! Urusan kapiran macam begini tidak bakal beres kalau cuma dibicarakan
di belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan. Aku ikut bersamamu!"
Wiro
berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya ternyata adalah orang tua
berpakaian serba hitam dan memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia
bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat dari Andalas yang
sebelumnya punya rencana membawa Mintari ke tempat kediamannya.
"Orang
tua, kau mau ikut aku ke mana?" bertanya Wiro sambil terus melangkah.
"Mencari
pemuda keparat bernama Kamandaka itu tentu!"
"Siapa
bilang aku saat ini pergi mencarinya?"
Datuk
Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikan langkahnya. Di depannya Wiro
kembali berkata. "Saat ini bukankah lebih penting bagimu merawat calon
muridmu itu? Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para tokoh silat di
Tanah Jawa ini."
Ingat
pada Mintari Datuk Alam Rajo Di Langit jadi bimbang. Lalu perlahan dia berkata.
"Memang sebaiknya aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu."
Dipegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan tubuh, kembali
menuju rumah besar tempat pertemuan.
Ketika
dia sampai di tempat itu kembali ternyata semua orang yang ada di situ tengah
dilanda kegemparan.
Terheran-heran
Datuk Alam Rajo Di Langit bertanya. "Apa yang terjadi? Banyak orang
bermuka pucat kulihat. Kegemparan apa yang ada di sinil"
Seseorang
menjawab. "Gadis malang bernama Mintari itu lenyap di culik orang!"
"Hah?!"
Datuk Alam Rajo Di Langit terbeliak.Dia langsung melompat masuk ke dalam rumah,
terus menuju kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar itu hanya
dua orang perempuan separuh baya yang sebelumnya diperintahkan merawat Mintari.
Kedua perempuan ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat!
Datuk
Alam Rajo Di Langit dekati kedua perempuan itu. "Lekas ceritakan apa yang
terjadi!" bentaknya keras dan tidak sabaran.
Dengan
suara gemetar salah seorang dari dua perempuan itu berkata. "Saya tengah
membasuh muka dan tubuh gadis itu. Teman saya ini baru saja meletakkan sehelai
sapu tangan di keningnya yang panas. Tiba-tiba jendela di sebelah sana
terpentang lebar. Lalu ada sese-orang masuk seperti bayangan. Dia berkelebat ke
atas tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya. Lalu dia menghilang lewat
jendela."
"Kalian
mengenali siapa orangnya?" Raden Bintang ajukan pertanyaan.
"Gerakannya
cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap dia adalah seorang nenek kurus
berkulit hitam. Di kepalanya ada tusuk kundai…"
Datuk
Alam Rajo Di Langit berpaling pada Raden Bintang. Yang lain-lainnya juga
berlaku demikian. Saling pandang dan saling menduga.
"Bisa
saja tidak mungkin," kata Raden Bintang perlahan. "Namun manusia
dengan ciri-ciri seperti itu hanva ada satu. Sinto Gendeng dari Gunung Gede di
Jawab Barat. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!"
"Lekas
kita selidiki ke luar!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. "Yang
lain-lainnya coba mengejar pemuda murid Sinto Gendeng tadi!"
Semua
tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi menjadi dua rombongan. Satu
menyelidiki kemana lenyapnya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan
lagi mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun
kedua orang itu telah raib tak dapat lagi dikejar.
******************
4
DALAM
sebuah rumah kayu di puncak Gunung Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl
sebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka jelas mereka tengah
membicarakan satu masalah yang penting.
Kelima
orang itu masing-masing adalah Gamar Senopatri, Ketua Partai Semeru Raya yang
menyandang gelar Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun tapi
keadaan tubuh dan wajahnya seperti baru ber-usia 50 tahun. Rambutnya baru
sedikit yang berwarna putih. Dia digelari seperti itu karena kedua telapak
tangannya berwarna biru, mengandung kesaktian langka di mana dua tangan itu
sanggup meremukkan benda sekeras apapun.
Orang ke
dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai wilayah Utara. Di sebelahnya duduk
Ageng Sembodo yang merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua Cabang
Partai wilayah Selatan. Ageng Sembodo adalah orang paling muda di antara ke
lima orang itu, berusia 35 tahun dan memiliki wajah gagah.
Lelaki
ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur, bernama Ki Rono Bayu, berusia
76 tahun, jadi lebih tua dari sang Ketua Partai Semeru.
Orang ke
empat yaitu Rana Tumalaya, dipercayakan sebagai Ketua Cabang Partai wilayah
Barat.
Setelah
mengusap wajahnya beberapa kali, Ketua Partai Semeru Raya berkata. "Memang
sulit dipercaya kalau tidak dilihat sendiri. Kamandaka, pemuda yang jadi murid
harapan masa depan Partai, dikenal cakap gagah, berjiwa penuh kesatria dan
memiliki iman yang tinggi. Kini diketahui telah menebar angkara murka keji di
rimba persilatan. Dosanya makin hari makin menggunung. Kalau ingatannya tidak
terganggu, tidak mungkin dia melakukan semua itu. Atau mungkin dia memiliki
semacam ilmu yang diamalkan secara sesat?"
"Mungkin
sekali begitu Ketua," menyahuti Ki Rono Bayu. "Lima orang anak murid
Partai Cabang Timur sempat menemui Kamandaka di sekitar Karanganyar, tak jauh
dari kaki sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena sebelumnya sudah saling
mengenal maka para murid saya tidak sungkan-sungkan menasihati agar Kamandaka
kembali ke jalan benar dan segera menghadap Ketua Partai untuk minta ampun.
Namun apa yang mereka terima sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai
dibunuh dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did. Dia memberi tahu
bahwa Kamandaka telah memiliki satu ilmu kesaktian baru yaitu berupa pukulan
Tangan Halilintar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini dalam dunia
persilatan."
"Tangan
Halilintar!" desis Gamar Senopatri. "Dari mana anak itu mendapatkan
ilmu kesaktian itu. Apa yang telah membuatnya berubah menjadi setan? Membunuh
bahkan memperkosa!" Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-gelengkan kepala
sambil memegangi kalung baja putih dengan perhiasan berbentuk kepala singa.
Sepasang mata singa ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau-
kilau seperti memantulkan bara api.
"Seorang
pemuka agama di selatan mengetahui tempat kediaman Kamandaka. Agaknya sudah
saatnya kita harus turun tangan…" berucap Ketua Cabang Partai wilayah
Selatan yaitu Ageng Sembodo.
Gamar
Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkan kedua telapak tangannya yang biru
satu sama lain. "Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan menemui
anak itu. Membawanya kemari untuk bertobat dan menebus segala dosa. Kalau dia
tidak mau akan kubunuh di tempat!"
Baru saja
Ketua Partai Semeru Raya itu berkata demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.
"Ki
sanak benar! Murid murtad itu memang patut dibunuh. Dipancung kepalanya,
dicincang sekujur tubuhnya!"
Terdengar
angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung di atas meja bergoyang-goyang. Ke
lima y orang yang ada di ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling ke kanan.
Di ambang
pintu tegak seorang kakek berdestar dan berpakaian serba hitam. Pergelangan
tangan dan kakinya dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras batu karang
dan pandangan matanya seperti api menyambar. Dia adalah Datuk Alam Rajo Di
Langit, tokoh silat dari Andalas yang beberapa hari lalu menghadiri pertemuan
para tokoh silat di Selatan.
"Tamu
terhormat dari mana yang datang tidak memberi salam?" tegur Ketua Partai
Semeru Raya sekaligus menyindir.
Datuk
Alam Rajo Di Langit parasnya tidak berubah sedikitpun oleh teguran itu. Kedua
matanya menyapu dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di ruangan itu.
"Yang
mana di antara kalian Ketua Partai Semeru Raya?"
Gamar
Senopatri mendehem beberapa kali sebelum menjawab. Dari pakaian sang tamu dia
segera maklum kalau orang itu datang dari seberang.
"Tamu
dari seberang rupanya datang mencari saya. Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama
saya Gamar Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?"
"Jadi
kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang gentayangan malam melintang
menebar maut, menculik dan memperkosa!"
Paras
Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat Ketua Cabang tampak tegang. Selama
ini belum ada orang yang datang membawa persoalan menyangkut diri Kamandaka.
"Saya
memang guru Kamandaka," kata Gamar Senopatri. "Terangkan dulu siapa
ki sanak dan apa maksud kedatangan jauh-jauh ke sini?"
"Setahuku
kau diundang dalam pertemuan para tokoh silat di Selatan. Mengapa tidak muncul
atau mengirim wakil?"
"Akh,
ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam pertemuan itu."
"Siapa
bilang begitu? Aku datang mauku sendiri!" sahut Datuk Alam Rajo Di Langit.
"Kalau
begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara baik-baik."
Datuk
Alam mendengus. "Siapa sudi duduk dengan kalian orang-orang yang tidak
bertanggung jawab?!"
Lima
orang disekitar meja tampak marah. Yang empat masih bisa menahan diri tapi yang
paling muda yaitu Ageng Sembodo langsung membentak.
"Apa
maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam?! Datang tidak tahu juntrungan!
Bicara tidak karuanl Jangan salah kalau orang macammu bisa digebuk!"
Datuk
Alam menyeringai. "Orang muda, di negeriku manusia bermulut enteng
sepertimu sudah lama disingkirkan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa
bicara tapi tidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar Pendekar
Tangan Baja dibunuh oleh Kamandaka secara keji! Anak gadisnya yang bakal
menjadi calon muridku diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agar kalian
segera berbuat sesuatu! Dan tadi kau bilang aku datang tanpa juntrungan! Bicara
tidak karuan! Orang sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!"
Para lima
orang Ketua Partai Semeru Raya tampak berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya.
"Kenapa
kalian jadi diam semua? Apa sudah disambat hantu bisu?!" sentak Datuk Alam
Rajo Di Langit. Dia menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya.
"Kalau dalam waktu satu bulan kau tidak bisa menangkap muridmu dan
menghukumnya dengan hukuman mati, aku akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu
seluruh puncak Semeru akan aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada harganya
lagi bagiku! Ingat baik-baik!"
Datuk
Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak pergi. Tapi Gamar Senopatri cepat
berkata.
"Ki
Sanak harap mau berlaku hormat sedikit. Walau marah dan dendam membara jadi
satu, tapi kita orang-orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu
agar kita bisa bicara baik-baik."
Habis
berkata begitu Ketua Partai Semeru Raya ini angkat tangan kanannya yang
berwarna biru. Satu kekuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi
kayu. Kursi ini tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan seperti melayang bergerak
mendekati Datuk Alam Rajo Di Langit dan turun di sampingnya.
"Silakan
duduk, ki sanak!" kata Gamar Senopatri. Dia memberi isyarat pada empat
Ketua Cabang. Bersamasama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing.
Sesaat
Datuk Alam tampak menunjukkan sikap bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk
juga di kursi itu dan diam-diam mengetahui kalau Ketua Partai Semeru Raya
sengaja memamerkan kehebatan tenaga dalamnya. Kakek ini membatin. "Hemmm….
Mulutnya bicara manis tetapi ada segumpal kesombongan di dalam hatinya."
"Nah
sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai muridku si Kamandaka
itu," kata Ketua Partai Semeru Raya pula.
"Ah,
waktuku sempit. Lagi pula aku sudah memperingatkan kalian agar segera turun
tangan mencari dan menangkap Kamandaka."
"Urusan
kami dengan Kamandaka adalah urusan guru dengan murid. "Urusan dalam
Partai. Jadi harap ki sanak tidak keliwat mendesak…"
Sepasang
mata Datuk Alam Rajo Di Langit mendelik. "Mungkin apa yang ki sanak bilang
betul adanya. Tetapi apa kata ki sanak menyangkut pembunuhan, penculikkan dan
perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka? Apa itu bisa dianggap sebagai urusan
dalam? Ingat ki sanak. Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu
urusan dalam Partai atau hanya sekedar urusan guru dengan murid!"
Gamar
Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa berkata apa-apa.
"Ada
hal lain yang aku rasa kurang sedap. Masakan tuan rumah selaku Ketua Partai
Semeru Raya yang begini besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu
yang datang dari jauh."
Setelah
berkata begitu Datuk Alam Rajo Di Langit segera berdiri dan tinggalkan ruangan
itu.
Gamar
Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai tentu saja heran mendengar ucapan
Datuk Alam Rajo Di Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang Datuk
Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak Semeru di kawasan itu
merupakan pedataran yang agak luas.
"Gerakannya
luar biasa cepat," kata Gamar Senopatri mengagumi. "Sayang dia sama
sekali belum mengatakan siapa dirinya." Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini
berpaling ke arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya.
"Apa
yang tidak beres dengan kursi ini? Kursi begini kokoh dikatakan reyot!"
berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan
diangkatnya. Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi tiba-tiba
bertanggalan dan jatuh ke lantai hingga Ageng Sembodo kini hanya memegang
bagian sandarannya sajal
"Manusia
luar biasa!" mau tak mau pujian itu keluar dari mulut sang Ketua Partai.
Lalu sambungnya. "Sebaiknya kita teruskan pembicaraan."
Kelima
orang itu kembali duduk mengitari meja bundar.
"Sembodo,
tadi kau mengatakan ada orang yang tahu letak tempat kediaman Kamandaka,"
Gamar Senopatri membuka pembicaraan.
"Benar
Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya goa ini terletak dibawah laut.
Jadi sulit untuk memasukinya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa
Kranggan."
"Kalau
begitu besok kau dan aku berangkat ke sana."
"Tunggu
dulu Ketua," kata Ki Rono Bayu begitu mendengar kata-kata pimpinannya.
"Soal maksud Ketua untuk turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun
harap Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu kesempatan pada
kami untuk mendatangi kediaman Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke
hadapan Ketua."
"Saya
setuju pendapat Ki Rono Bayu itu," kata Rana Tumalaya. Ke empat orang
Ketua Cabang Partai sama menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat
apa-apa lagi: Maka diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu akan
berangkat ke Selatan besok pagi. Namun sebelum pertemuan dibubarkan, Ageng
Seto mengajukan sebuah usul.
"Setahu
saya Kamandaka punya hubungan dekat dengan murid Partai yang bernama Kintani.
Bagaimana kalau kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta bantuan
gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau menyerahkan diri dan ikut secara
baik-baik ke puncak Semeru ini."
"Itu
pemikiran yang baik," kata Rana Tumalaya. "Entah bagaimana pendapat
yang lain-lain."
"Saya
tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh dan sulit. Melibatkan Kintani
terlalu berbahaya." Yang bicara adalah Ageng Sembodo.
Ketua
Partai mengusap dagunya. Dia tidak mau memandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi
Ketua Cabang Partai yang muda ini sekilas dilihatnya mengalami perubahan air
muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang yang ada di situ secara diam-diam
mengetahui ada semacam perlombaan antara Kamandaka dan Ageng Sembodo untuk memperebutkan
Kintani. Ternyata Kamandaka lebih mendapat tempat di hati si gadis. Sejak
Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat se-gala macam kejahatan di
rimba persilatan, Kintani nampak sangat terguncang. Sebaliknya Ageng Sembodo
merasa bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis itu jadi terbuka lebar.
Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti tidak akan merelakan Kintani berhubungan
lagi dengan Kamandaka, apalagi merestui keduanya sebagai suami istri.
"Bagaimana
pendapat Ketua?" bertanya Rana Tumalaya.
"Apa
yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar. Perjalanan ke Selatan jauh dan
sulit. Namun mengapa tidak kita pergunakan kesempatan ini untuk memberikan
tambahan gemblengan pada Kintani?" Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti
memandang pada para Ketua Cabang satu persatu. Karena tidak ada yang bicara
maka diapun mengambil keputusan. "Panggil Kintani, saya akan bicara
padanya."
Sebenarnya
Ageng Sembodo hendak berkata dan berusaha mencegah maksud membawa serta
Kintani itu. Dia kawatir pertemuan si gadis dengan pemuda yang dicintainya itu
akan membawa akibat yang justru malah membuat suasana tambah keruh. Tetapi
melihat pada air muka Ketua Partai, Ageng Sembodo memilih lebih baik dia diam
saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan perjalanan itu untuk lebih
mendekatkan diri dengan Kintani.
***************
5
BUKIT
Selarong hampir tak pernah didatangi orang.
Selain
lerengnya yang terjal dan penuh dengan
bebatuan,
pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat. Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat
binatangbinatang buas seperti harimau dan srigala hutan.
Namun
siang itu terlihat kelebatan tubuh seseorang yang dengan cepat mendaki bukit,
melompat dari batu satu ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara pepohonan.
Dia ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam. Muka dan matanya
cekung. Alisnya putih. Di kepalanya yang ditumbuhi rambut jarang berwarna putih
ada lima buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang disebutkan ini jelas si
nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Si nenek
mendekati bukit Slarong sambil memanggul sosok tubuh Mintari yang terbungkus
kain berwarna kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu sewaktu berada
di tempat kediaman Raden Bintang, tokoh silat yang bergelar Rantai Bayangan.
Semakin
tinggi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Mintari perlahan-lahan sadar
dari pingsannya. Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena
ingat akan apa yang ketika menyaksikan angkernya wajah si nenek yang memanggul
melarikannya.
"Gadis
sialan!" Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak saja memaki. "Jeritanmu
mengejutkanku! Untung aku tidak latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!’
"Nen…
nenek. Kau siapa…?" tanya Mintari.
"Diam
sajalah! Nanti kalau sudah sampai di tempat tujuan baru kau boleh bertanya
panjang lebar! Tidak baik bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut
bicara baru tahu rasa kau. Hik…hik…hik…!" Si nenek tertawa cekikikan.
Mintari
jengkel ada takutpun ada. Hendak menutup mulut dia merasa kawatir. Maka diapun
bertanya kembali. "Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?"
"Anak
setan!" si nenek gebuk pantat Mintari. "Kalau aku bilang diam, jangan
berani membuka mulut!"
Akhirnya
terpaksa gadis itu berdiam diri.
Di salah
satu lereng bukit Slarong terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Kesinilah
Sinto Gendeng membawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat sebuah
gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng berhenti di depan goa dan
menurunkan Mintari. Dari kepitannya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang
ternyata isinya adalah sehelai baju dan celana putih.
"Nenek…."
"Lekas
kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti kita bicara!" Sinto Gendeng
memotong ucapan Mintari.
Mau tak
mau gadis itu melakukan juga apa yang dikatakan si nenek. Selesai berpakaian
dia tegak memperhatikan si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air telaga.
Tibatiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling memandang Mintari.
"Nah
sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa saja yang kau mau. Tapi ingat
jangan lama dan panjang lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia yang
lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo buka mulutmu!"
"Nek…
seingat saya, sebelum jatuh pingsan seorang pemuda menolong saya…." Apa
yang telah dialaminya terbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini
menangis keras dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga.
"Saya
dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa gunanya lagi hidup ini…!"
Mintari menjerit. Lalu tampak dia melompat. Dengan nekad gadis ini berlari
cepat ke dinding batu di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya!
"Anak
tolol!" teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali dia berkelebat dia sampai
lebih dulu di depan dinding batu. Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak
tangannya menangkap kening Mintari hingga kepala gadis itu tidak sampai
membentur dinding batu!
Si nenek
gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting ke tepi telaga, menangis
keras-keras.
"Itulah
kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!" kata Sinto Gendeng. "Biasanya
hanya menangis, putus asa lalu bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk
merasa dan otak untuk berpikir? Kalau punya hati untuk merasa dan otak untuk
berpikir? Kalau kau mampus apa yang akan kau dapat? Sorga tidak neraka pasti!
Karena terkutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!"
Mintari
mengusap air matanya. Dia memandang pada si nenek yang telah menyelamatkan
jiwanya. "Maafkan saya Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya tidak
sanggup menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu siapa nenek ini
adanya. Mengapa membawa saya ke tempat ini?"
Mulut
Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit.
"Pemuda
yang menolongmu itu adalah muridku. Namanya Wiro Sableng. Aku gurunya bernama
Sinto Gendeng…!"
Mintari
terkesiap mendengar si nenek menyebut namanama aneh itu. Sableng dan Gendeng!
"Ah, aku berhadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya. Tapi aku
yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi. Aku ingat cerita guru tentang
seorang nenek sakti yang diam di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan dia ini
orangnya. Murid itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"
"Kau
mau tanya apa lagi?!" Sinto Gendeng memandang dengan mata dibesarkan pada
Mintari.
Si gadis
lantas menjawab.
"Turut
cerita yang pernah saya dengar dari guru, apakah nenek orang sakti yang diam di
puncak Gunung Gede dan murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang sebagai
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
"Bagus,
otakmu tajam juga. Kalau kau sudah tahu aku tidak perlu lagi menjawab
pertanyaanmu. Aku bisa mulai…"
"Tunggu
dulu Nek. Saya ingin tahu sebab apa Nenek membawa saya kemari," kata
Mintari pula.
"Anak
tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan padamu!" berkata Eyang
Sinto Gendeng dengan wajah merengut.
"Maafkan
kalau saya keliwat mendesak. Tapi pertemuan dengan seorang tokoh besar dunia
persilatan seperti Nenek sungguh membuat saya senang…."
"Dasar
anak tolol! Aku membawamu kemari bukan untuk bersenang-senang!"
Melihat
Eyang Sinto Gendeng seperti marah, Mintari cepat berkata. "Maafkan Nek.
Maksud saya…."
"Sudah!
Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab apa yang aku tanya. Mengerti….
"
"Saya
mengerti Nek…."
"Panggil
aku Eyang!"
"Baik
Nek eh Eyang "
"Kau
tahu siapa yang membunuh Ayahmu?"
"Tahu
Eyang."
"Tahu
siapa? Sebutkan orangnya."
"Kamandaka.
Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai Semeru Raya. Bergelar Tangan
Halilintar."
‘"Kau
tahu siapa yang merusak kehormatanmu?"
"Manusia
terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!"
"Jadi
kau sudah tahu dengan jelas," kata Sinto Gendeng. "Lantas apakah aku
tidak ingin membalaskan sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang
dilakukan Kamandaka terhadapmu?"
"Itu
memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam hati saya Eyang. Tapi manusia
itu kepandaiannya tinggi, sekali. Ayah saja mati ditangannya."
"Anak
tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau juga tidak mampu?!"
"Saya
sudah mencoba Eyang tapi gagal." Jawab Mintari.
"Satu
saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka, kau tak akan gagal. Itu sebabnya
aku membawamu kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari untuk dapat
mempercudangi Kamandala."
"Astaga,
rupanya Eyang hendak mengambil saya jadi murid!" seru Mintari lalu
buru-buru jatuhkan diri berlutut.
Si nenek
tertawa.
"Siapa
bilang aku mengambilmu jadi murid? Muridku cukup satu. Si pemuda sableng
bernama Wiro itu!"
Paras
Mintari berobah.
"Seperti
kukatakan tadi, kau akan kuberi pelajaran menguasai satu ilmu pukulan sakti.
Pukulan Sinar Matahari…!"
"Saya
pernah mendengar kehebaran pukulan sakti yang menggegerkan dunia persilatan
itu," kata Mintari pula.
Di
hadapannya Eyang Sinto Gendeng tegak dengan kedua kaki dikembangkan. Tangan
kanannya diangkat perlahan-lahan. Mintari melihat bagaimana tangan itu sampai
sebatas lengan berubah menjadi putih seperti perak berkilauan. Tiba-tiba si
nenek menghantam ke depan. Terdengar suara menderu dahsyat disertai
berkiblatnya sinar terang benderang dan hawa panas menghampar. Menyusul suara
menggelegar.
Di depan
sana dinding batu yang keras hancur berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat
kehebatan pukulan sakti itu. Padahal Eyang Sinto Gendeng baru kerahkan
sepertiga saja dari tenaga dalamnya!
"Pukulan
Sinar Matahari…" kata Sinto Gendeng pada dirinya sendiri. "Hebat luar
biasa! Tapi tidak mampu mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka…!
Gila! Edan betul!" Paras cekung Sinto Gendeng menunjukkan rasa kecewa
yang mendalam.
"Eyang…"
kata Mintari. "Kalau pukulan Sinar Matahari tidak mampu mengalahkan
Pukulan Halilintar Kamandaka, lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada
saya?"
Si nenek
menyeringai. "Aku tahu dan aku tidak bodoh! Ilmu pukulan Sinar Matahari
yang akan kuajarkan padamu akan kuberi satu tambahan kekuatan hingga bisa
menyelusup menggepur ambalas pukulan sakti Kamandaka. Namun harus kau ketahui,
ilmu pukulan itu hanya bisa kau kuasai selama tida puluh hari dan hanya bisa
kau pergunakan satu kali saja. Setelah tiga puluh hari ilmu tersebut akan
lenyap. Berarti dalam waktu tiga puluh hari kau harus dapat menemukan
Kamandaka!"
Sesaat
Mintari terkesiap mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. lalu akhirnya
terdengar dia berkata. "Terima kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu
pukulan itu baik-baik."
"Berdiri
di depankul" kata Eyang Sinto Gendeng. "Aku mau jajal sampai di mana
tingkat tenaga dalammul"
Mintari
tegak dua langkah di hadapan Eyang Sinto Gendeng. "Kepalkan tangan
kananmu, ulurkan tepat-tepat ke hadapanku!"
Kembali
si gadis melakukan apa yang dikatakan si nenek. Sinto Gendeng sendiri melakukan
hal yang sama tapi dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang terkepal saling
bersentuhan. "Tekan yang kuat!" kata Sinto Gendeng.
Mintari
menekankan tangan kanannya ke depan!"
"Bagus!
Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!"
Mintari
segera kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya sampai ke lengan yang diacungkan
tampak bergetar keras. Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan
tenaga dalamsi gadis terhimpun di kepalan tangan kanannya. Ketika hal itu
tercapi baru nenek sakti ini mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan
sepersepuluh bagian. Naik dua persepuluh. Ketika mencapai tingkat
seperempatnya, di hadapannya Mintari nampak goyang kedua lututnya. Di kening
gadis ini memercik keringat. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Eyang Sinto
putar kepalan tangan kirinya ke samping kiri. Saat itu pula terdengar suara jeritan
Mintari. Gadis ini terpental enam langkah, jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya
tampak seputih kertas!
Dengan
cepat Mintari berenang ke tepi telaga. Di hadapan Sinto Gendeng dia berkata.
"Maafkan saya mengecewakan Eyang."
"Tidak
jadi apa. tapi kau perlu meningkatkan tenaga dalammu sampai paling tidak dua
kali dari yang sekarang ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti seumur
hidup kau tidak bakal dapat membuat perhitungan dengan Kamandaka!"
"Jika
Eyang mau membimbing, saya akan berusaha keras untuk meningkatkan tenaga dalam
saya…"
"Kau
butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus sungguh-sungguh!"
"Saya
akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!"
Sinto
Gendeng menyeringai. "Berjanji lebih bagus dari pada bersumpah! Berapa
banyak saja manusia yang bersumpah palsu!"
"Terima
kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan…"
"Sudah,
lupakan segala macam peradatan. Kita mulai sekarang juga. Duduk bersila di
depan mulut goa sana. Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut.
Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan dialirkan. Tetap di perut
dan tahan!"
******************
6
TIGA
penunggang kuda itu berhenti di tepi pantai. Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua
Cabang Partai Semeru raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo, Ketua Cabang
wilayah Selatan dan yang ketiga seorang gadis berkulit putih. Dia mengenakan
pakaian ringkas putih dan mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik
kemerahan disengat sinar matahari. Gadis ini adalah anak murid Partai yang bernama
Kintani.
"Dimana
letak goa Kranggan itu?" bertanya Ki Rono Bayu tidak sabaran.
Ageng
Sembodo tidak segera menjawab. Dia memandang ke tengah laut tetapi
pandangannya kosong. Dia tengah membayangkan pembicaraannya dengan Kintani
malam tadi.
Waktu itu
mereka berkemah dan membuat api unggun di pinggir sebuah anak sungai. Ki Rono
Bayu sudah tertidur karena keletihan.
Ageng
Sembodo dan Kintani tidak segera bisa tidur. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Ageng Sembodo untuk mendekati si gadis. Dia memulai pembicaraan dengan
bertanya bagaimana perkembangan ilmu silat serta tenaga dalam si gadis.
Kintani menjawab ada kemajuan tetapi tidak banyak.
"Kau
harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat mengharapkan kau menjadi salah
seorang murid Partal yang bisa diandalkan," kata Ageng Sembodo pula. Lalu
dia bertanya. "Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?"
"Dia
saudara seperguruan, saudara se Partai. Tentu saja tidak ada yang lupa
padanya."
Ageng
Sembodo tersenyum. "Kau hanya mengingatinya sebagai saudara seperguruan
dan saudara se-Partai?"
"Maksud
Ketua Cabang apa?" tanya Kintani.
"Panggil
saja namaku."
"Baik.
Lalu maksud Ageng Sembodo apa?"
"Aku
tahu, semua orang tahu kalau kau ada hubungan khusus dengan pemuda itu. Kalian
saling mencinta."
Kintani
diam saja walau wajahnya tampak bersemu merah.
"Setelah
dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apakah kau masih mencintainya
Kintani?"
"Saya
yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi begitu. Saya tahu dia orang baik.
Kalau saya bertemu dia, hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu."
"Justru
jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya waktu banyak untuk bicara soal
lain. Dirinya dikejar dosa dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak
murid Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke hadapan Ketua.
Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan dan memberi wewenang untuk membunuhnya
di tempat. Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya tak akan
lama. Dia akan dijatuhi hukuman mati1"
Si gadis
diam kembali.
"Dari
sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani. Kalau tidak kau akan hanyut
dalam derita batin."
Kintani
masih berdiam diri.
Ageng
Sembodo menggeser duduknya. Dipegangnya tangan Kintani seraya berkata.
"Kau pasti tahu Kintani. Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa
depan yang baik akan menanti kita. Ketua Partai pasti merestui hubungan
kita."
Ageng
Sembodo menunggu sambil menatap paras si gadis di sebelahnya.
"Apa
jawabmu Kintani?"
Tak ada
jawaban.
"Aku
percaya kau juga menaruh perasaan yang sarna terhadapku. Hanya halangan diri
Kamandaka yang membuatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah
demikian….?"
"Saya
tidak tahu Ageng…" sahut Kintani.
Ageng
Sembodo mendekatkan wajahnya ke wajah si gadis. Sesaat lagi hidungnya akan
mencium dan menyentuh pipi Kintani, gadis ini jauhkan kepalanya dan lepaskan
jari-jari tangannya dari pegangan Ageng Sembodo.
"Saya
letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjutkan perjalanan jauh. Sebaiknya
kita tidur saja…"
"Kau
pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil memandangi wajahmu yang
cantik…" jawab Ageng Sembodo.
Ki Rono
Bayu memandang pada Ageng Sembodo dengan perasaan heran. Dalam hati dia
membatin. "Aku bertanya dia tak menjawab. Matanya tertuju ke arah laut.
Apa yang ada dalam benak orang ini?"
"Ageng
Sembodo, aku bertanya apa kau tidak mendengar?"
Ageng
Sembodo seperti kaget. Dia berpaling pada orang tua itu seraya berkata.
"Maafkan saya. Mohon pertanyaannya diulangi."
"Saya
tadi bertanya dimana letak goa Kranggan sarang Kamandaka itu?" Suara Ki
Rono Bayu jelas terdengar jengkel.
"Ah…
Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki Rono. Untuk pastinya kita harus
menemui seseorang yang tahu betul letak pastinya. Ikuti saya…"
Ki Rono
Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo yang memacu kudanya menyusuri pantai
ke arah timur. Di saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuah perkampungan
nelayan. Di ujung perkampungan Ageng Sembodo hentikan kudanya di depan sebuah
rumah yang saat itu dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk menebar dari dalam
rumah.
"Ini
rumahnya," kata Ageng Sembodo pada Ki Rono Bayu. "Tapi heran, ada apa
orang berkerumun di sini?" Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya
pada salah seorang yang ada di tempat itu. "Betul ini rumah Suro
Ampel?"
Orang
yang ditanya mengangguk dan memandang pada Ageng Sembodo serta Ki Rono Bayu dan
Kintani. Orang-orang di sekitar situ juga sama memperhatikan mereka.
"Saudara
ini siapa? Apakah bermaksud menemui Suro Ampel pemuka agama di kampung
ini?" tanya orang yang tadi menganggukkan kepalanya.
"Betul,"
sahut Ageng Sembodo. "Ada apa orang banyak berkerumun di sekitar
sini?" tanyanya kemudian.
"Ada
hal-hal yang tidak biasa. Sudah dua hari Suro Ampel tidak keluar dari dalam
rumahnya. Sejak pagi tadi ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk
kampung menaruh curiga. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan diri Suro
Ampel. Kami tengah berunding untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke
dalam…"
Ageng
Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri ucapannya. Dia melompat ke hadapan
pintu rumah. Sekali tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol hancur
berantakan. Bersamaan dengan Itu bau busuk yang menjijikkan keluar lebih santar
dari dalam rumah.
Ada
beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah. Mereka langsung hentikan langkah
ketika sampai di bagian tengah rumah. Di antara kegelapan tampak menggeletak
sesosok tubuh di lantai. Mukanya tidak bisa dikenali karena sudah hancur dan
membusuk. Sosok tubuh yang sudah jadi mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk.
Meski
mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta pakaian yang melekat di tubuh
mayat Ageng Sembodo segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang yang
dicarinya dan yang tahu letak pasti goa Kranggan. Tanpa menunggu lebih lama
Ketua Cabang Partai Semeru wilayah Selatan ini segera keluar dari tempat itu.
Di luar diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam.
"Tak
ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok pagi. Besok, kalau pasang
surut terjadi, saya rasa saya bisa mengenali dimana letak goa itu."
Ki Rono
Bayu hanya bisa angkat bahu dengan kesal sedang Kintani menghela nafas panjang.
Perjalanan itu begitu jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat membayangkan
apa yang bakal terjadi.
"Apa
pendapatmu Ageng?" tanya Ki Rono Bayu.
"Apa
lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kamandaka."
"Apa
dosa manusia itu?" tanya Kintani.
"Kamandaka
tidak ingin dia memberi tahu letak goa Kranggan yang jadi sarangnya,"
jawab Ageng Sembodo.
Pantai
Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya menyembul, mulai menerangi bumi
dengan sinarnya yang merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana hamparan
permadani emas yang bergoyang- goyang.
Di tepi
pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang. Matanya tak berkesip memandang ke
arah gundukan batu yang menyembul dipermukaan air laUt yang kini mendangkal
dalam keadaan pasang surut. Sore kemarin gundukan batu itu tidak kelihatan
karena pasang naik menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan Kintani,
lalu berkata.
"Lihat,
itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul di permukaan laut. Pasti disitu
letak goa Kranggan!"
KI Rono
Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sembodo itu. "Gundukan batu itu tidak
lebih dari gundukan batu biasa. Mana mungkin ada goa di situ!"
"Kita
tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita lihat kalau air laut sudah
sampai ke dasar batu," kata Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.
Ketiga
orang itu menunggu. Makin tinggi matahari naik, makin dalam air laut turun.
Akhirnya sebuah lobang kelihatan dibawah gundukan batu.
Lobang
ini setinggi orang membungkuk dan lebarnya hanya cukup untuk sesosok tubuh
manusia.
"Lihat!
Itu pasti goanya!" kata Ageng Sembodo.
Setengah
berlari dia menghampirl lobang itu dan mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang
diselimuti kegelapan. Cahaya matahari hanya sedikit sekali mampu menerangi dari
arah yang berlawanan dengan mulut lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan
suatu penurunan. Air laut di dalamnya tertahan oleh sanding batu yang menutupi
setengah dari lobang.
Ki Rono
Bayu membungkuk dan mengintai ke dalam. Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan
tubuhnya.
"Ada
angin berhembus dari dalam lobang!" kata orang tua ini. "Pertanda di
dalam sana ada ruangan yang berhubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan
udara laut…"
"Bagaimana
Ki Rono mengetahui udara di sana bukan udara laut?" tanya Ageng Sembodo
pula.
"Udara
laut saat ini masih dingin dan mengandung garam. Sedang udara yang kucium terasa
hangat dan berbau embun…"
"Berarti
lobang ini berhubungan dengan darattan!" kata Ageng Sembodo.
"Kau
benar. Tapi dimana dan bagaimana berhubungannya perlu kita selidiki." Ki
Rono Bayu berpaling pada Kinanti.
"Kinanti,
kau tunggu di tempat ini. Jangan ke manamana. Aku dan Ageng Sembodo akan
memasuki goa dan menyelidiki."
Kinanti
mengangguk. "Hati-hatilah dan jangan terlalu lama di dalam sana. Saya
merasa tidak tenang ditinggal sendirian."
Sebenarnya
Ageng Sembodo juga tidak senang dengan tindakan Ki Rono Bayu yang mengatur agar
mereka berdua masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan menggerendeng
dalam hati Ageng Sembodo masuk juga ke dalam lobang membungkuk-bungkuk, diikuti
oleh Ki Rono Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat setelah kedua orang
itu memasuki lobang, di balik gundukan batu sebelah kanan tanpa diketahui
Kintani bergerak sesosok tubuh tanpa suara.
Begitu
hanya tinggal tiga langkah dari Kintani orang ini melompat dan menyergap si
gadis. Dalam kejutnya dara murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak tetapi
mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara sedikitpun. Bahkan
nafasnya tertahan membuat dadanya sesak turun naik.
Untungnya
Kintani tidak hilang akal. Kedua siku tangannya dihantamkan ke belakang.
Bukkkk!
Bukkkk!
Dua siku
mendarat dengan keras di tubuh orang yang menyergapnya. Namun Kintani merasa
seperti menghantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak membuat
orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun. Bahkan sambil menyeringai orang
itu berbisik.
"Kintani,
aku memang sudah menduga kau bakal datang mencariku. Aku memang sudah lama
merindukanmu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita tidak akan
berpisah selama-lamanya…"
Dua mata
Kintani membeliak besar. Dia mengenali suara itu. Dalam dirinya ada rasa
terkejut dan takut. Namun diam-diam ada juga rasa bahagia.
"Jika
kau berjanji tidak menjerit, akan kulepaskan sekapan di mulut dan
hidungmu…" Orang yang menyergapnya kembali berkata.
Si gadis
angguk-anggukkan kepalanya tanda dia mengikuti tidak akan berteriak.
Perlahan-lahan si penyergap lepaskan sekapannya.
Begitu
dirinya terasa lepas Kintani secepat kilat menyambar leher dan rambut orang di
belakangnya. Sosok tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke arah
batu!
Tubuh
yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh di batu. Namun tidak tergeletak
cidera malah sambil tertawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu itu.
Kintani membalikkan tubuh siap hendak menghantam. Kini dengan pukulan sakti
mengandung tenaga dalam. Namun gerakannya tertahan ketika dia melihat wajah
orang itu. Sepasang mata mereka saling beradu.
"Ya
Tuhan! Benar dia rupanya!" kata Kintani dalam hati.
***************
7
BIBIR
Kintani bergetar ketika menyebut, "Mas Kaman.
Jadi
betul kau tinggal di sini." Pemuda di atas batu
kembali
tertawa. Rambutnya yang gondrong melambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya
klimis meski pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan destar.
"Kintani,
dari ucapanmu jelas kalian datang kemari untuk menyelidiki…"
"Jadi
Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu?"
"Daerah
seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku. Tidak satupun yang lepas dari
penglihatanku! Keduanya masuk ke liang neraka. Berarti tidak bakal dapat keluar
lagi!" jawab orang di atas batu yang memang Kamandaka alias Tangan
Halilintar adanya.
"Maksud
Mas Kaman mereka akan menemui ajal?"
"Mereka
datang mencari mati sendirii Mereka bakal mendapatkannya."
"Jangan
Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka…" kata Kintani memohon. Dia
memperhatikan sepasang mata pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu
lagi. Dulu ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk jika dipandang.
Saat ini dia menyaksikan betapa kedua mata itu laksana menyambarkan api yang
mengerikan.
"Kalian
diutus oleh Ketua Partai bukan?" tanya Kamandaka.
"Benar
sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah mengetahuinya."
"Apa
saja perintah yang kalian jalankan?"
"Ketua
dan juga guru kita meminta agar Mas Kaman kembali ke puncak Semeru…"
Kamandaka
menyeringai. Dia menengadah ke langit lalu tundukkan kepala dan meludah.
"Enak
saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak datang sendiri?"
"Mas
Kaman jangan bicara begitu. Dia adalah Ketua dan guru kita!" ujar Kintani.
"Dulu
memang aku pernah menganggap begitu. Menghormati dan mempercayainya sebagai
guru dan Ketua Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku bersumpah
akan membunuhnya!"
"Mas
Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kau kini punya
jalan pikiran dan berucap seperti itu?"
"Tidak
ada yang berubah dengan diriku…"
"Tapi
kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan… dan… mem…"
"Memperkosa!"
sambung Kamandaka tidak sabaran. "Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku
dicap sebagai murid murtad! Murtad! Kamandaka si murid murtad! Sungguh sedap
didengar telinga! Ha.., ha… ha …!"
"Mas
Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami kembali ke puncak Semeru?"
tanya Kintani.
"Mau
saja, Kintani. Tapi…"
"Tapi
apa Mas Kaman?"
"Tak
ada yang bakal membawa aku ke sana…"
"Kami,
kami yang akan membawamu ke sana menemui guru," kata Kintani pula.
Kamandaka
alias Tangan Halilintar tersenyum. "Kalian tak akan pernah kembali ke
Semeru. Itu sebabnya kukatakan tak akan ada yang membawaku ke sana!"
"Jadi
Mas Kaman hendak membunuh kami? Saya adik seperguruanmu di dalam Partai. Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega mem-bunuh
kami?"
"Setan
atau malaikatpun jika berseteru dan membenciku akan ku bunuh!" kata
Kamandaka. Perlahan-lahan dia turun dari batu, melangkah di air laut yang
dangkal menghampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka, Kintani selalu
merasakan dadanya berguncang keras. Tapi guncangan itu justru dirasakannya
sangat membahagiakan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah
membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.
"Mas
Kaman …Banyak tokoh silat dari berbagai penjuru tengah mencari Mas Kaman.
Mereka semua punya niat untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke
Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati…"
"Minta
ampun? Aku minta ampun pada tua bangka keparat itu? Justru dia yang harus minta
ampun padaku!"
"Mas
Kaman, mengapa kau sampai berkata begitu?"
Kamandaka
memegang bahu Kintani. "Ikut aku ke dalam goa. Jangan berani
menolak!" Kamandaka ulurkan tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka
kelihatan jengkel. "Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat layak aku
segera membunuhmu! Tapi aku sadar. Ada sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang
kurasakan sejak dulu sampai saat ini."
Paras
Kintani tampak kemerahan. "Kalau Mas Kaman masih mempunyai perasaan itu,
Mas Kaman harus mau meluluskan permintaan saya…"
"Permintaan
apa?" tanya Kamandaka.
Dengan
suara perlahan-lahan Kintani berkata. "Kembali ke puncak Semeru. Jalani
hidup yang lurus dan benar!"
Kamandaka
tertawa. "Kau rupanya sudah jadi seorang Pendeta atau seorang Ustad atau
seorang Resi. Huh!" Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya
ke mulut lobang. "Ikut aku!"
"Tidak!
Jangan…" pekik Kintani. Keduanya saling tarik menarik. Tapi Kintani kalah
kuat. Selangkah demi selangkah dia terseret ke arah lobang di gundukan batu.
Di depan lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua matanya sesaat
tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika pemuda itu melingkarkan kedua
tangannya di punggung, memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang
sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia sengaja merebahkan
kepalanya di dada Kamandaka.
"Kau
mencintai diriku Kintani. Aku tahu…" bisik Kamandaka seraya membelai
rambut gadis itu. "Kau akan tinggal di sini. Kita hidup sebagai suami
istri. Kau dan aku akan bahagia. Ha …ha…ha…"
"Dia
gila berkata begitu…" kata Kintani dalam hati lalu menjauhkan kepalanya
dari dada si pemuda dan melepaskan pelukan Kamandaka. "Jika Mas. Kaman
mau kembali ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya bersedia
menjadi istri Mas Kaman…"
"Kurang
ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga tidak kau!" teriak
Kamandaka. Tangan kanannya diangkat ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan
itu sampai ke lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan ke
batu, tak ampun lagi setengah dari gundukan batu besar di laut dangkal itu
menjadi hancur berantakan. Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar.
"Pukulan
Halilintar…" membatin Kintani dengan wajah pucat. Selagi dia terdiam
memandangi Kamandaka, pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis
dipanggulnya di bahu kiri lalu dengan membungkuk-bungkuk dia memasuki lobang
di batu itu. Kintani ingin meronta, ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa
takutnya ada pula bayangan rasa bahagia. Bahagia karena setelah sekian lama
baru kini dia dapat berjumpa lagi dengan pemuda yang selama ini memang
dicintainya dan juga diketahuinya memiliki sifat aneh kalau tidak mau
dikatakan seperti orang kurang waras. Ada bayangan maut pada senyumnya. Ada
kematian pada sinar matanya. Dengan perasaan cinta kasih yang mereka miliki
dapatkah dia merendam semua keburukan dan kejahatan pemuda itu. Dapatkah dia
menguasai Kamandaka?
"Turunkan
saya. Saya bisa berjalan sendiri…" kata Kintani.
"Aku
masih kuat memanggulmu sampai ke ujung bumipun Kintani! Tapi jika kau mau jalan
sendirl dan berjanji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai"
Lalu
Kamandaka turunkan gadis itu dari bahunya. Begitu menginjak tanah Kintani jadi
heran. Ternyata mereka kini bukan lagi berada dalam sebuah goa atau terowongan,
melainkan di alam terbuka. Di sebuah tempat ketinggian yang ditumbuhi banyak
pohon kelapa pendek serta penuh batu-batu besar berwarna coklat kemerahan.
"Di
mana kita ini Mas Kaman?" tanya Kintani.
"Inilah
daerah kediamanku. Sebentar lagi kau akan melihat rumah kita. Kau dan aku akan
tinggal di sana sampai hari kiamat! Ha… ha…ha…!"
Kini rasa
takut dalam diri Kintani melebihi rasa sukanya terhadap pemuda itu. Dia coba
mengingat-ingat. Waktu Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah biasa tapi
cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa memasuki lobang yang bagian
dalamnya berbentuk goa atau terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun,
kemudian mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke belakang. Berarti kalau
sebelumnya mereka bergerak ke arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat
setelah melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semak belukar. Sayup-sayup
Kintani mendengar suara deburan ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada
dekat kawasan laut.
Kamandaka
mendekat dan memegang tangan Kintani. "Ikuti aku," kata pemuda ini.
"Sebelum kita menuju ke rumah, aku harus melakukan sesuatu dulu. Kau
datang bersama dua binyawak bukan? Nah, kedua binyawak itu harus kupersiangi
lebih dulu!"
Kintani
tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan nama binyawak itu adalah Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan
mempersiangi yang dikatakan Kamandaka tadi, semakin dingin tengkuk Kintani.
Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat
ke atas batu-batu besar. Aneh, jika dia melakukannya sendiri mungkin belum
tentu mampu. Tapi pegangan Kamandaka pada lengannya seperti menyalurkan suatu
hawa sakti hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah dia mengikuti
gerakan pemuda itu.
"Nah,
itu dia dua ekor binyawak yang aku katakan padamu!" Tiba-tiba Kamandaka
berkata seraya menunjuk ke depan.
Kintani
memandang ke arah yang ditunjuk. Di dekat sebuah batu besar dilihatnya Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu tengah berdiri sambil memandang berkeliling.
"Binyawak
busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau berani muncul di sini berarti sama
saja mengantar nyawa?"
Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu terkejut. Mereka cepat berpaling. Suara orang berseru
itu terdengar cukup jauh. Tetapi begitu suaranya sirap orangnya sudah berada di
depan mereka. Dan bukan hanya sendirian! Tapi bersama Kintani!
***************
8
HANYA
beberapa saat setelah Kamandaka alias Tangan Halilintar membawa Kintani
memasuki goa Kranggan, dua sosok tubuh berkelebat di tepi pantai dari jurusan
yang berlawanan.
Yang
pertama adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, bergelang bahar dan kedua
tangan dan kakinya. Dia datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia berhenti
sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan lobang besar di bagian
tengahnya yang terletak beberapa tombak di sebelah depan.
"Pasti
ini tempatnyal Hemm…. Kamandaka manusia bejat murtadl Akhirnya kutemui juga
sarangmu! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" Habis berkata begitu
orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana terbang dan di lain
saat dia sudah berada di atas gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak
memasuki lobang yang menjadi pintu goa. Namun ada sesuatu yang membentur sudut
matanya datang dari arah timur laksana seekor burung Rajawali.
Orang tua
ini cepat berpaling. Dia merasakan ada angin menyambar. Dengan sigap dia hendak
memukul. Namun cepat tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa adanya
orang yang ada di hadapannya.
"Hampir
tiga bulan lalu aku meaemuimu di tempat pertemuan para tokoh silat. Kini kau
muncul di sini. Apa maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212?!" tanya orang
tua berpakaian dan berdestar serba hitam.
Yang
ditanya garuk-garuk kepala.
"Mungkin
kita punya maksud yang sama, Datuk Alam Rajo Di Langit," Jawab Wiro sambil
menyeringai.
"Bagus
kalau begitu. Ternyata kau memang benar termasuk manusia yang tidak banyak
bicara lebih suka berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar
muda!"
"Heh,
apa yang hendak kau peringatkan pada saya Datuk?"
"Jika
kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya aku yang berhak turun tangan!
Kau jangan ikut campur!"
"Mengapa
begitu?" tanya Wiro sambil kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Dia
telah membunuh sahabatku Ki Pamilin. Dia juga telah merusak kehormatan anak Ki
Pamilin calon muridku!"
"Terserah
saja padamu Datuk. Kalau kau yang ingin maju, biar aku jaga muntahannya saja!"
jawab Pendekar 212 Wiro Sabeleng.
Datuk
Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro mengikuti dari belakang. Pada saat
bagian dalam goa yang berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro hentikan
langkahnya. Otaknya bekerja. "Jika goa ini berputar dan ber balik ke
belakang, berarti siapa saja yang mengikutinya akan menuju kembali ke tepi
pantal. Ke arah daratan. Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal
yang ditutupi oleh bukit-, bukit batu…"
"Hai!
Kau mau ke mana? Mengapa kembali?!" Datuk Alam Rajo Di Langit berseru
ketika dilihatnya Wiro membalik langkah.
"Datuk
jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!" jawab Wiro. Begitu orang
tua itu meneruskan perjalanannya, cepat-cepat Pendekar 212 melangkah menuju
mulut goa.
Kita
kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu memasuki goa
Kranggan. Semakin jauh masuk ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa
yang tadinya gelap redup kini perlahan-lahan menjadi terang. Ada sinar di
sebelah depan sana. Beberapa ratus langkah lagi berjalan akhirnya mereka sampai
di hadapan semak belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas cahaya matahari
pagi.
Ki Rono
Bayu singkapkan semak belukar dan pepohonan kecil di depannya. Begitu semak
belukar tersibak terkejutlah orang tua ini. Ternyata di depan mereka terbentang
satu kawasan bukit batu. Berarti dia dan Ageng Sembodo kini berada di daratan!
"Tipuan
sialanl" maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar dari dalam goa diikuti Ageng
Sembodo.
Kawasan
daerah berbatu-batu itu merupakan suatu bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya
yang sunyi senyap Ki Rono Bayu bisa menduga bahwa daerah ini jarang di datangi
orang luar. Udara terasa sejuk padahal masih dekat pantai.
"Sunyi-sunyi
saja…." bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini menimbulkan rasa tegang di dalam
dirinya.
Saat itu
kedua orang itu berada di dekat batu besar. "Kita harus segera menyelidiki
tempat ini. Aku merasa pasti ini kawasan yang jadi markas atau tempat
bersembunyinya Kamandaka."
"Perasaan
kita sama. Mari kita mulai menyelidik!" jawab Ageng Sembodo.
Namun
baru saja mereka hendak bergerak mendadak ada suara membentak.
"Binyawak
busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau berani muncul di sini berarti sama
saja mengantar nyawa?!"
Dua orang
Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat berpaling. Keduanya langsung
terkejut! Di hadapan mereka kini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri.
Tapi bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya!
"Kamandaka
murid murtad penuh dosal Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ageng Sembodo
setengah berteriak. Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan gadis
yang dicintainya. Maka diapun kembali berteriak. "Lepaskan peganganmu pada
Kintani. Kintani lekas kemari!"
Si gadis
tampak bingung sebaliknya Kamandaka keluarkan suara tertawa bergelak.
"Ageng Sembodo!" kata Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat
usia yang terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo sebagai salah satu
Ketua Cabang Partai Smeru Raya, seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu
secara lebih hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas. Hal ini sudah
cukup membuat Ageng Sembodo tambah mendidih amarahnya.
"Dasar
manusia tidak berbudi tidak punya peradatan! Iblis! Lebih baik kau segera
menyerahkan diri. Nyawamu masih bisa diperpanjang sampai kau menghadapi Ketua
Partai!"
"Budi
dan peradatan hanya dipakai oleh orang-orang yang suka pamrih dan gila hormat!
Sama dengan dirimu! Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua
orang ini budakmu! Aku sudah bersumpah untuk menyiangi tubuh kalianl Kalian
akan kukembalikan ke puncak Semeru tanpa kulit dan daging!"
Kamandaka
angkat tangan kanannya sementara tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya
memandang membara ke arah Ageng Sembodo.
"Tunggu
dulu!" Ki Rono Bayu cepat membuka mulut. "Kamandaka, kami datang
membawa pesan dari Ketua Partai…"
"Aku
tidak perduli kalian membawa pesan apa dan dari siapa. Pokoknya siapa yang
berani menginjakkan kaki di tempat ini harus mati!"
"Pesan
yang kami bawa itu," kata Ki Rono Bayu meneruskan tanpa perdulikan
bentakan Kamandaka, "ialah membawamu kembali ke puncak Semeru guna
menghadap Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di masa lalu
pasti Ketua mau mempertimbangkan hukumannya secara adil!"
Kamandaka
menyeringai. "Jadi kalian berdua tidak lebih dari pada dua kacung pembawa
pesani Manusia-manusla tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu sendiri yang
datang menemuiku kemari!"
"Jangan
menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak, Kamandaka!" memperingatkan Ki
Rono Bayu yang tampaknya mulai kesal.
"Kalian
berdua begitu menghormati Ketua Partai Semeru itu! Kalian tidak tahu siapa dia
sebenarnya! Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!"
"Apa
maksudmu dengan ucapan itu?!" Tanya Ageng Sembodo membentak.
"Kau
tanyakan saja nanti pada jin laut tempat mayatmu akan kulemparkan!" jawab
Kamandaka. Dia menarik Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua orang
Ketua Cabang Partai itu. "Saat kalian untuk mati sudah dating!"
katanya.
Ageng
Sembodo tidak takut dan menganggap enteng Kamandaka. Dia maju menyongsong
gerakan lawan. Tapi KI Rono Bayu yang sudah berpengalaman dan tahu betul
kehebatan ilmu andalan Kamandaka cepat berkala. "Sudahlah, mengapa kita
harus ribut-ribut. Kamandaka bagaimanapun kami berdua tidak mau bertindak
sendiri sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid Partai. Apalagi
murid langsung dari Ketua. Banyak manfaatnya jika kau mau ikut sama-sama kami
ke puncak Semeru."
"Kalau
aku datang ke puncak Semeru, satu-satunya yang aku lakukan adalah membunuh
manusia keparat bernama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!"
Kamandaka mundur satu langkah. Kedua tangannya diangkat ke atas dan
perlahan-lahan disilang. Tapi dia belum merapal aji kesaktian yang dimilikinya.
Dia ingin menjajal kehebatan ilmu silat tangan kosong kedua Ketua Cabang ini.
Didahului
satu bentakan nyaring, Kamandaka melompat. Kedua tangannya yang tadi disilang
dibentangkan ke samping. Menggebuk ke arah Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu Kedua
serangan ini di arahkan ke masingmasing kepala lawan.
Ageng
Sembodo yang sejak tadi sudah tidak dapat menahan amarahnya balas menghantam
dengan tangan kanannya ke arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih bertindak
hati-hati. Dia tidak mau melakukan bentrokan melainkan menghindar ke samping
dan setelah membuat kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan ke
arah ulu hati Kamandaka.
Tiba-tiba
Kamandaka hentikan seluruh gerakannya. Tubuhnya laksana seekor burung besar
yang mengembangkan sayapnya.
Bukkki
Bukkk!
Jotosan
Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka dengan keras. Begitu juga pukulan
Ageng Sembodo menghajar lengan kiri Kaman- ‘ daka. Tapi pemuda ini sedikitpun
tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memperhatikan bagaimana kedua
penyerangnya mengerenyit kesakitan.
"Pukul
lagi! Cari sasaran yang paling empuk!" ejek Kamandaka.
Maka kedua
lawannyapun tanpa ampun melancarkan gebukan bertubi-tubi ke kepala dan
tubuhnya. Kamandaka masih menyeringai. Tiba-tiba dia keluarkan suara bentakan
dahsyat.
Sepasang
kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut ditekuk. Hantamannya yang pertama
mendarat di dada Ki Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut ini
terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulutnya meleleh darah
kental. Tulung dadanya remuk melesak. Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi
semua ini seperti tidak dirasakannya.
"Manusia
iblisl Murid murtad keparat!" kutuk Ki Rono Bayu. Dia berpaling pada Ageng
Sembodo dan anggukkan kepalanya seraya berbisik. "Pukulan Api Biru…"
Ageng
Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang tua. Cepat dia kempiskan perut dan
menghimpun seluruh tenaga dalam ke tangan kanan. Kedua Ketua Cabang ini sambil
menghimpun tenaga dalam hati merapal aji kesaktian pukulan Api Biru. Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu saling memberi isyarat dengan mata masingmasing. Lalu
didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang Partai Semeru Raya ini
pukulkan tangan kanan masingmasing. Dua larik sinar biru menderu laksana
lempengan besi panjang tipis. Siap menggunting dan memutuskan leher Kamandakal
"Pukulan
Api Biru!" seru Kamandaka yang mengenali pukulan sakti itu. Kedua
tangannya segera diangkat. Dua lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan
ini segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang ini dilepaskan dua
larik cahaya hitam berkiblat disertai suara meledak seperti suara halilintar
menyambar. Hawa panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng Sembodo
dan Ki Rono Bayu tenggelam dalam cahaya hitam Pukulan Halilintar yang
dilepaskan Kamandaka. Lalu ada dua suara letusan susul menyusul. Pekik Ki Rono
Bayu terdengar duluan. Tubuhnya terlempar jauh. Sekujur badannya mulai dari
kepala sampai ke kaki tampak memutih. Lalu anehnya perlahan-lahan berubah jadi
hitam gosong!
Kinanti
tidak berani menyaksikan apa yang terjadi dengan orang tua Kedua Cabang Partai
wilayah Timur itu. Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu
lagi menghantam ke arah Ageng Sembodo.
"Mas
Kaman! Jangan bunuh dia!" pekik Kinanti.
Teriakan
Kinanti ini membuat kamandaka menarik pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan
Halilintar meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Kau
inginkan binyawak ini hidup, baik! Satu nyawa lolos tak jadi apa. Dia boleh
pergi agar bisa memberi tahu pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini.
Aku…hek…!" Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam dadanya!
Ketika dia bicara tadi kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk
melancarkan pukulan. Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kamandaka.
Pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya walau memang ada rasa sakit akibat
pukulan itu.
Penasaran
Ageng Sembodo lancarkan pukulan lagi secara bertubi- tubi.
"Cukup!"
seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya dibabatkan dari samping kiri ke
kanan.
Traakk!
Traakkl
Ageng
Sembodo menjerit setinggi langit. Kedua lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai
terbungkukbungkuk menahan sakit. Kamandaka tendang pantat orang ini.
"Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan kira aku tidak akan
membunuhmu. Sekalipun kekasihmu ini meminta aku tidak membunuhmu!"
Paras
Kintani tampak menjadi merah oleh kata-kata terakhir Kamandaka itu.
"Kamandaka!"
Ageng Sembodo berucap. "Hari ini aku mengaku kalah! Tapi ingat! Lain waktu
aku akan datang lagi untuk mengambil kepalamu!"
"Kacung
Ketua Partal Semeru Raya!" kata Kamandaka seraya mencekal leher pakaian
Ageng Sembodo. "Katakan pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu
dirinya di sini. Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul sudah tiba
saatnya aku akan mencarinya untuk minta nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau
dari sinil"
Kamandaka
tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu melemparkannya ke dinding batu.
Karena kedua lengannya patah dia sama sekali tidak mampu untuk menahan dirinya
terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya ikut menghantam batu
hingga tulang hidungnya patah dan bibirnya pecah!
"Kintani,
ikuti aku. Tinggalkan tempat ini."
Kintani
melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat berkata. "Kalau kau bergerak
satu langkah saja mengikutinya, akan kubunuh!" ancam Kamandaka. Mau tak
mau Kintani terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak.
"Manusia
keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu!" kutuk Ageng Sembodo. Dia
memandang sesaat pada mayat Ki Rono Bayu. Ingin dia membawa pergi mayat yang
gosong hitam itu. Namun dalam keadaan kedua tangannya lumpuh cidera begitu rupa
di mana berjalan sajapun dia mengalami kesulitan dan rasa sakit, mana mungkin
dia mendukung atau memanggulnya. Tersaruksaruk dia tinggalkan tempat itu.
***************
9
KAMANDAKA
membawa Kintani ke puncak bukit batu paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat
sebuah bangunan yang bagian depannya berbentuk sebuah goa besar namun atapnya
ditata seperti atap bangunan kayu. Keadaan di sebelah dalam dan bagian luarnya
serba bersih. Ada bau wewangian keluar dari arah goa batu itu.
"Ini
rumah kita!" kata Kamandaka seraya tangannya kembali memegang lengan si
gadis. Kintani diam saja. "Kau akan tinggal di sini bersamaku,
Kintani."
Baru saja
Kamandaka berkata begitu dari dalam goa keluar dua orang perempuan. Yang satu
masih sangat muda. Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan belas
tahun. Satunya lagi lebih tua namun jelas belum mencapai dua puluh lima tahun.
Keduanya memiliki wajah cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah cara
kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kenakan tidak bisa disebut
pakaian karena bagian-bagian tubuh mereka hampir tidak terlindung. Bahkan
bagian dada dan bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.
"Mas
Kamandaka! Kami kira kau akan pergi lama. Ternyata sudah pulang!"
Perempuan yang muda berucap. Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat
Kamandaka ternyata tidak sendiri. Bayangan rasa cemburu jelas terlihat diwajah
kedua perempuan itu.
"Siapa
mereka?" tanya Kintani berbisik.
"Kekasih-kekasihku,"
sahut Kamandaka. "Tapi mulai sekarang tidak lagi." Lalu pada kedua perempuan
itu Kamandaka berkada. "Saat ini juga kalian boleh pergi dari
sini.
Jangan coba kembali!"
Dua
perempuan itu tampak terkejut besar.
"Mas…?
Mengapa tiba-tiba kau mengambil keputusan begitu?" tanya perempuan yang
tua.
"Saya
tahu!" menyahuti yang muda sambil melirik pada Kintani. "Mas
Kamandaka telah mendapat seorang kekasih baru yang lebih cantik dari
kami!"
"Kalau
sudah tahu mengapa tidak segera minggat?!" ujar Kamandaka melotot.
"Kami…
kami bersedia membagi tempat bersama dia!" berkata perempuan yang muda.
"Di
sini tidak ada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas pergi!"
"Mas
Kaman, sebaiknya biar saya yang pergi!" kata Kintani pula. Lalu cepat dia
membalikkan diri. Tapi Kamandaka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu
dan mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemudian berpaling pada dua
orang kekasihnya.
"Kalau
kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau wajah kalian akan kurusak dan
kuubah jadi wajah setan!"
Mendengar
hal ini keduanya jadi ketakutan. Setelah berpandangan sebentar mereka
cepat-cepat tinggalkan tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa
Kamandaka kembali mendekati Kintani. "Sekarang saatnya kita
bersenang-senang. Mari masuk ke dalam."
"Bersenang-senang
bagaimana maksud Mas Kaman?"
"Jangan
pura-pura tidak tahu Kintani. Kau tahu aku suka padamu dan kau mencintaiku! Dua
orang yang bercinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita sekarang merupakan
sepasang suami istri?"
Paras
Kintani jadi berubah pusat. "Saya.. saya tidak keberatan menjadi istri Mas
Kaman. Asalkan kita menghadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua
orang tua kita yang sudah tiada untuk menikahkan kita."
"Kawin
pakai nikah segala kuno!" kata Kamandaka. Ditariknya tangan Kintani. Gadis
itu setengah diseret masuk ke bagian dalam bangunan batu. Ternyata bangunan
itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat sebuah tempat tidur dari batu
yang dilapisi tikar jerami lembut. Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat
tidur itu.
"Saya
tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada saya!" kata Kintani pula.
"Jika
bukan mencariku mengapa kau mau datang jauhjauh kemari?"
"Mas
Kaman tadi sudah mendengar ucapan Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami
diperintah Ketua…"
"Lupakan
perintah itu!"
"Saya
mohon kita segera pergi menemui Ketua agar semua persoalan selesai. Kalau tidak
seumur-umur Mas Kaman akan jadi orang buruan Partai."
Kamandakan
tertawa gelak-gelak mendengar hal itu. "Aku tidak mau bicara lagi tentang
Ketua ataupun orang-orang Partai. Mereka semua adalah calon-calon korbanku!
Mereka akan segera mampus!" Lalu Kamandaka berusaha memeluk dan menciumi
gadis itu. Kintani cepat menjauh seraya berkata. "Mas Kaman, jika kau
betul sayang padaku jangan perlakukan aku seperti ini…."
"Hmmm…"
kedua mata Kamandaka berkilat-kilat memandang setiap bagian tubuh Kintani.
"Jangan buat aku kehilangan kesabaran Kintani." Pemuda itu kembali
mendekat.
"Kalau
Mas Kaman meneruskan perbuatan keji ini, saya terpaksa melawan. Lebih baik saya
mati berkelahi di tangan Mas Kaman dari pada dinodai!"
"Begitu?
Aku mau lihat sampai di mana kehebatan murid Gamar Senopati yang satu
ini!"
Habis
berkata begitu Kamandaka lalu tanggalkan pakaian yang melekat ditubuhnya.
Kintani sampai terpekik menyaksikan hal itu dan mencoba lari keluar. Tapi
Kamandaka berhasil mengejar dan mendekapnya. Mau tak mau Kintani segera
menghantam dengan tangan dan kaki.
Dipukul
ditendangi Kamandaka justru diam saja. Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam
keadaan lawan bertelanjang bulat seperti itu seperti tentu saja sulit bagi
Kintani untuk menyerang karena dia sudah tidak kuasa menghindari pandangan yang
menusuk mata itu. Akhirnya dia kembali mencoba tari. Namun lagi-lagi sial. Kali
ini malah dia harus menerima tamparan dua kali berturutturut yang membuatnya
terbanting ke lantai batu. Sebelum dia sempat bangun Kamandaka telah
menyergapnya. Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan Kintani.
Gadis ini menjerit marah dan menyerang dengan kalap. Tetapi sia-sia belaka.
Tingkat kepandaiannya jauh di bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis
ditambah dengan beberapa pukulan yang dihantamkan Kamandaka ke tubuhnya, dia
hanya bisa tegak tersandar ke dinding. Dia tidak punya daya apa-apa lagi selain
menangis ketika Kamandaka mendukung dan membawanya ke atas tempat tidur batu.
Kamandaka
menyeringai. Sekujur tubuhnya panas terbakar nafsu. Sama sekali tidak ada rasa
welas asih dalam dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah
dikasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kamandaka akan melakukan
perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu bayangan berkelebat masuk dan satu
bentakan mengguntur di dalam ruangan batu itu!
"Laknat
terkutuk! Memang kau ternyata manusia keji biadab! Kau membunuh sahabatku! Kau
memperkosa calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu ke liang
narako!"
Kamandaka
melompat dari atas tubuh Kintani. Di hadapannya tegak seorang tua berpakaian
dan berdestar hitam. Sepasang matanya laksana kilatan api. Kamandaka tidak
kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk destarnya jelas dia bukan orang
Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas orang seberang.
"Ucapanmu
seperti malaikat! Tapi kulihat tampangmu seperti setan!" kata Kamandaka
mengejek.
Orang tua
di depannya tertawa pendek. "Orang mau mampus memang suka bicara
ngacok!" katanya. "Coba den lihat dulu jantungmu!" Si orang tua
bergerak sedikit. Tapi tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada
kiri Kamandaka. Jari-jari tangan membuat gerakan mengeruk. Si pemuda terkejut
dan cepat berkelit. Serangan lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara
batu lebur. Berpaling ke kiri Kamandaka melihat bagalmana serangan berupa
cengkeraman orang tua berpakaian hitam itu meremukkan dinding batu hingga di
dinding itu kini tampak lobang sedalam seperempat jengkal!
Kamandaka
sadar kalau terlambat saja tadi dia menghindar jantungnya pasti benar-benar
bisa dicongkel lawan berdestar hitam bergelang bahar itu! Meskipun demikian dia
tidak takut. Sambil menyeringai Kamandaka maju mendekati. Kedua lengannya
disilangkan di depan dada tapi dia masih belum mau merapal aji kesaktian
Halilintar. Didahului oleh suara seperti harimau menggereng Kamandaka
melompati lawannya. Kedua tangannya dipukulkan serentak. Si orang tua yang
adalah Datuk Alam Rajo Di Langit terkejut ketika merasakan dua larik angin yang
menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja pakaian hitamnya tapi sekujur
tubuhnyapun ikut bergetar. Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari
Andalas ini rubah kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya merunduk Begitu dua angin
pukulan lewat, kaki kanannya melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam
rahang kanan Kamandaka dengan tepat.
Selagi
Kamandaka terpental ke dinding lalu melosoh ke lantai batu, kesempatan ini
dipergunakan oleh Kintani untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas
tempat tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di luar sadar dia lari
keluar bangunan batu dalam keadaan masih bertelanjang bulat!
Meskipun
tendangan Datuk Alam Rajo Di Langit sanggup membuatnya mental dan jatuh ke
pantai namun Kamandaka sama sekali tidak cidera. Bahkan rasa sakitpun hampir
tidak terasa karena terlindung oleh kesaktian yang dimilikinya.
Ketika
dia tegak kembali di hadapan sang Datuk, sepasang matanya tampak beringas
ganas.
"Anjing
tua. Bersiaplah untuk mampus!"
"Kanciang!
Binatang! Waang yang akan mampus lebih dulu!" teriak Datuk Alam Rajo Di
Langit. Lalu tangan kanan dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar,
menebar bau aneh. Jika lawan sempat menghisap bau aneh itu tubuhnya serta merta
akan jadi lemas dan jatuh tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan
lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengannya dan merapal aji
kesaktian Pukulan Halilintar hingga sepasang lengan itu menjadi hitam. Begitu
lengan yang bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar suara
menggelegar seperti halilintar menyambar. Ruangan batu itu seperti hendak
runtuh! Hawa panas menghampar dan dua larik sinar hitam menderu ganas,
menyambung dan meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam Rajo Di Langit. Orang
tua ini terdengar menggerung keras. Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan,
jatuh melingkar di atas gundukan batu berlumut. Sesaat tubuh itu tampak memutih
lalu berubah hitam mengepulkan asap mengerikan.
Kamandaka
bergegas keluar dari banguanan batu. Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini
menyumpah dalam hati. Dia melangkah mendekat mayat Datuk Alam lalu
ditendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan bergulingan ke bawah
bukit batu.
Kamandaka
melompat dari satu batu ke batu lainnya. Di satu tempat yang ke tinggian dia
melihat dua sosok tubuh dibalik pepohonan dan berbatu. Secepat kilat dia
bergerak ke arah sana.
***************
10
KARENA
tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212 Wiro Sableng sampai lebih dulu dari
Datuk Alam Rajo Di Langit. Namun sebelum naik ke puncak bukit di mana tempat
kediaman Kamandaka alias Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu
lereng murid Eyang Sinto Gendeng itu melihat dua orang perempuan berlari dari
atas’ bukit. Walau heran melihat ada dua orang perempuan turun dari atas bukit,
sebenarnya Wiro tidak; mau perduli. Namun dia jadi tertarik sewaktu
menyaksikan bagaimana pakaian yang dikenakan kedua perempuan itu sama sekali
tidak dapat dikatakan pakaian. Karena hampir tidak satu bagian tubuh merekapun
yang tertutup utuh oleh pakalan itu!
Wiro
cepat memintas dan menghadang dekat sebuah batu besar.
"Hai!"
serunya. "Kalian ini bidadari yang turun dari langit atau setan-setan
penunggu bukit batu ini yang tengah mencari tempat untuk buang hajat!"
Dua orang
gadis terkejut. Sambil berpegangan mereka hentikan lari. Melihat yang menegur
ternyata seorang pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakapcakap konyol,
rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua berbisik pada kawannya.
"Boleh
juga yang satu ini…"
"Aku
lebih suka dia dari pada Kamandaka keparat itu!" bisik yang muda.
"Kenapa
bicara sendiri dan tidak menjawab?" tanya Wiro.
Sambil
menahan tawa yang tua berkata. "Mulutmu enak saja kalau bicaral Kami tidak
tahu kalau di sini ada bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan
penunggunya! Tapi yang jelas di atas sana ada iblis doyan perempuan. Kalau
sudah bosan dan dapat yang baru yang lama ditendangnya!"
"Tadi
kudengar kalian berbisik menyebut nama sese-orang. Kamandaka… Benar?!"
Dua
perempuan itu mengangguk.
"Dia
ada di atas sana? Kediamannya di atas sana?!"
Dua yang
ditanya lagi-lagi mengangguk.
"Kalau
begitu aku harus segera menuju ke sana," kata Wiro pula.
"Tunggu
dulu!" Perempuan yang tua berkata. "Jangan berani-beranian naik ke
atas puncak bukit. Kami saja hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia
penghuni puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa bercinta suatu
ketika tapi di lain saat dia bisa membunuh seorang gadis cantik tanpa berkesip.
Kami hampir saja jadi korbannya!"
Yang muda
cepat menyambung. "Dari pada pergi ke atas sana, lebih baik turun bersama
kami. Aku suka saja kau mau bawa ke mana!"
"Aku
juga!" kata perempuan yang satu lagi.
Pendekar
212 jadi garuk-garuk kepala. Dia harus mengakui kedua perempuan itu berparas
cantik dan bagianbagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.
"Kalau
kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!" membatin murid, Sinto
Gendeng. "Begini saja," katanya. "Tunggu aku di kaki bukit!
Kalau orang di atas sana tidak membunuhku, aku pasti akan menemui kalian!"
"Siapa
sudi menunggu datangnya mayat!" jawab perempuan yang tua karena dia sudah
merasa pasti Wiro akan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang boleh
menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan itu cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro pandangi mereka dari belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah
dan geleng-geleng kepala.
Belum
lama dia meneruskan menaiki bukit batu itu tibatiba dia melihat lagi seorang
perempuan dengan rambut tergerai lepas lari dari atas puncak bukit. Sinar
matahari membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiaukilau. Dia lari
sambil membawa pakaian.
"Aneh,
ada lagi seorang perempuan turun dari atas bukit. Yang satu ini malah telanjang
polos!" Ketika perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu besar,
Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinya di balik batu itu perempuan tadi
tengah mengenakan pakaian. Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu
robek-robek di beberapa tempat. "Siapa pula yang satu ini?" pikir
Wiro lalu dia mendehem keras-keras.
Gadis di
balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya pemuda gondrong itu mendatangi
sambil tersenyumsenyum dia menjadi curiga dan marah.
"Pemuda
kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!"
"Maaf
Saudari. Jangan salahkan aku kalau sampai berada di tempat ini. Kalau tidak ada
sesuatu yang luar biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian? Lalu
mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa pakaian yang kau kenakan
robek-robek? Siapa kau Saudari? Apa yang terjadi dengan dirimu? Tadipun aku
melihat ada dua orang perempuan lari dari atas bukit dengan pakaian tidak
senonoh!"
Karena
orang bicara dengan baik dan mengatakan apa adanya, perempuan itu yang bukan
lain adalah Kintani jadi mengendur amarahnya. "Aku Kintani, anak murid
Partai Semeru Raya."
"Berarti
kau adalah saudara seperguruan dengan orang bernama Kamandaka itu!"
"Ya,
tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana. Baru saja dia membunuh salah
seorang Ketua Cabang Partai. Saat ini dia tengah berkelahi melawan seorang tua
berpakaian serba hitam."
Secara
singat Kintani lalu menerangkan apa yang dialaminya, mulai dari saat dia
disergap oleh Kamandaka di depan mulut goa Kranggan.
"Ah,
pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya…" kata Wiro. Dia segera hendak
tinggalkan gadis itu.
"Tunggu,"
kata Kintani. "Kalau kau tidak keberatan, pinjami aku pakaianmu…"
Wiro
garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga pakaiannya. Lalu diberikannya
pada Kintani. Si gadis segera mengenakan pakaian itu. Karena pakaian itu lebih
besar dari tubuhnya, dirinya terlindung sampai ke lutut.
"Terima
kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini." Lalu tanpa menunggu lebih
lama gadis itu segera tinggalkan tempat itu.
Kembali
murid Sinto Gendeng geleng-geleng kepala. Dalam hati dia berkata. "Besar
nian rejekiku hari ini. Melihat tiga perempuan cantik. Dua hampir telanjang.
Yang satu barusan benar-benar telanjang!"
Ketika
Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah berlalu sedang Wiro juga telah
berkelebat menuju puncak bukit.
"Sialan!"
maki Kamandaka. Dia harus memilih, mengejar Kintani atau menyusul pemuda tak
dikenal yang lari ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang terakhir.
Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan menguntit dari belakang. Walaupun
tingkat ke.pandaian Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang telinga
Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.
Memang
murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling. Namun dia maklum kalau ada
seseorang menguntitnya di sebelah belakang.
Wiro
kerenyitkan kening sewaktu sampal di depan rumah aneh yang keseluruhannya
dibuat dari batu itu dan menjadi satu dengan dinding batu besar di puncak
bukit. Hidungnya kemudian mencium bau seperti daging terbakar. Dia memandang
berkeliling. Pandangannya kemudian terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong,
menggeletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat pada kematian
yang sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah gadis bernama Mintari dulu.
"Korban
keganasan Tangan Halilintar!" kata Wiro dalam hati. "Jangan-jangan
ini mayatnya Datuk Alam, tokoh silat dari pulau Andalas itu!" Wiro
merasakan tengkuknya menjadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan
bangunan batu. Baru saja dia hendak melangkah masuk, sesiur angin menerpa dari
samping.
"Hemmm…Si
penguntit mulai menyerang. Aku yakin dia pasti si Kamandaka keparat itu1"
Tanpa
berpaling Pendekar 212 lepaskam pukulan Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan
jarak jauh yang menghantam ke arahnya terpental ke atas. Tiba-tiba ada bayangan
orang berkelebat lalu menyusul deru angin deras sekali.
Wiro
alirkan sebagian tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu memukul ke depan.
Bukkk!
Dua
lengan beradu keras.
Murid
Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu yang dipijaknya laksana amblas
dan tubuhnya mencelat sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar.
Tangan kanannya mendenyut sakit. Ketika diperhatikan lengannya yang tadi beradu
keras dengan lengan si pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum pernah
Pendekar 212 bentrokan dan langsung cidera seperti itu. Sewaktu dia memandang
ke depan seorang pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum maut tegak di
depannya. Celakanya manusia ini sama sekali tidak mengenakan pakaian!
Wiro
usap-usap lengannya yang cidera. "Heran, apa di bukit batu ini semua orang
harus tidak pakai pakaian!" kata Wiro dalam hati.
"Hemmmm…
Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" kata pemuda di depan Wiro.
"Sialan!
Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!" tanya Wiro dalam hati. Dia lupa saat
itu dia sama sekali tidak mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya
terlihat dengan jelas.
"Nama
besarmu menggetarkan delapan penjuru angina! Kau memang salah seorang tokoh
silat yang aku cari! Kau beruntung masuk dalam daftar kematianku, Pendekar 212!
Tapi sebelum mati aku ingin melihat pukulan saktimu yang bernama pukulan sinar
matahari itu!" Habis berkata begitu Kamandaka tertawa gelak- gelak.
Murid
Sinto Gendeng balas tertawa tak kalah kerasnya.
"Tadi
malam aku bermimpi!" katanya sambil cengar- cengir. "Aku melihat kau
terbang ke langit. Kepala ke bawah dan pantat menungging ke atas.
Ada
sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit pertama. Namun pengawal penjaga
bidadari mengusirmu karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini.
Memalukan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang sehabis berak
belum sempat cebok alias ngepet! Ha…ha…ha…ha…!"
"Jahanam,
berani kau mempermainkan aku!" terlak Kamandaka marah. "Tunggu aku di
sini. Jangan berani pergi!" Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalam
bangunan batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah mengenakan pakalan biru
dan kain pengikat kepala yang juga berwarna biru.
"Ah,
ternyata kau tidak jelek-jelek amat!" Wiro sambut kedatangan Kamandaka
dengan ejekan itu. "Tapi di balik tampangmu yang cakap aku melihat
bayangan iblis. Bayangan mahluk berhati seribu keji seribu jahat!"
"Jahanam!
Jangan pidato! Keluarkan pukulan sinar mataharimu!" teriak Kamandaka.
Wiro
tenang saja. Diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dia tahu apa
maksud lawan menantangnya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti
Kamandaka akan mengeluarkan pukulan Halilintar. Wiro maju dua langkah. Dia
masih penasaran karena dalam gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan.
Maka diapun berkata. "Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau bukan saja
seorang murid murtad, tapi juga bodoh! Selagi digembleng di puncak Semeru
katanya kau merupakan murid paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul
begitu sobat?"
"Anjing
kurap! Aku bukan sobatmu!" teriak Kamandaka. "Lihat serangan! Kau
akan lihat apa aku benar-benar se-orang bodoh!"
Belum
lagi selesal ucapan itu dua jotosan beruntun menderu ke arah dada dan kepala
Pendekar 212. Sekali ini karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam maka
Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan kedua lengannya ke atas.
Bukkkk!
Bukkkk!
Kalau
tadi Pendekar 212 yang terpental dan berseru kesakitan maka kali ini Kamandaka
yang mencelat sampai dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan merah
gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya seperti tanggal.
"Jahanam…"
serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan. Serangan
berantai yang dilancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangannya bukan
saja menjotos dan memukul tetapi juga mencakar. Satu cakaran sempat melukai
dada kiri Pendekar 212. Tiga guratan dalam yang mengucurkan darah terlihat di
dada itu.
Diam-diam
Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi lawannya ini. Belum pernah dia digempur
sehebat itu. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak sanggup
dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat orang gila yang
didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.
Kamandaka
menjadi heran dan juga kalap ketika sepuluh jurus menggempur kini jangankan
memukul atau menendang, menyentuh lawanpun dia sepertl tidak mampu! Padahal
gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti orang main-main, seperti orang mabok!
Malah dua tiga kali jotosan dan tendangan Wiro sempat mampir di tubuhnya
menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya.
"Jahanam!
Baiknya kuhabisi pemuda keparat ini sekarang juga!" Pikir Kamandaka. Lalu
dia melompat ke atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata menatap tajam
ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke atas. Dua
lengan saling bersilangan. Mulut bergerak-gerak.
Di bawah
sana Pendekar 212 melihat kedua lengan lawan berubah menjadi hitam.
"Setan
alas Itu hendak lepaskan pukulan Halilintar!" kata Wiro dalam hati. Segera
dia angkat tangan kirinya untuk membentengi diri dengan pukulan benteng topan
melanda samudera.
Tangan
kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua lengan Kamandaka berubah menjadi
hitam, lengan kanan Wiro juga berubah memancarkan sinar putih perak
menyilaukan!
Kamandaka
menyeringai melihat hal itu. Ada semacam rasa senang dalam hatinya untuk
mencoba pukulan sakti setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama
mendengar kehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan membuktikannya
sendiri. Dua lengan yang bersilang tibatiba dilepas. Serentak dengan Itu
terdengar suara seperti halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam
menggebubu ke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar biasa!
Tenang
tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinya murid Eyang Sinto Gendeng gerakkan
tangan kiri. Pukulan benteng topan melanda samudera menderu membentengi
dirinya. Dari tangan kanan dia melepas pukulan sinar matahari. Sinar putih
menyilaukan seperti membelah langit. Udara sepanas di neraka.
Dentuman
keras seperti gunung meletus laksana hendak menghancur luluhkan bukit batu itu
ketika sinar hitam yang keluar dari tangan Kamandaka beradu dengan sinar putih
pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Masingmasing merasakan kedua kaki mereka
bergetar hebat dan tubuh laksana dipanggang api. Di udara sinar hitam dan sinar
putih laksana dua ekor naga mengamuk berkelahi bergulung-gulung.
Tiba-tiba
Wiro merasakan kedua kakinya goyah dan dadanya sakit. Ini satu pertanda bahwa
pukulan Benteng Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak mampu menahan
hantaman pukulan Halilintar!
"Celaka!"
teriak Wiro dalam hati. Terbayang di depan matanya tubuh Ki Pamilin dan tubuh
Datuk Alam yang menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib yang bakal
diterimanya saat itu!
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru.
"Mas
Kaman! Saya bersedia jadi istrimu asal, jangan bunuh pemuda itu!"
Kamandaka
kenal betul suara itu. Suara Kintani. Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal
ini dirasakan oleh Wiro karena lututnya yang goyah kembali pulih. Namun dia
belum mampu menyelamatkan diri dari tekanan pukulan sakti lawan. Di udara
dilihatnya sinar putih pukulan Sinar Matahari semakin redup tenggelam dalam
sinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat sebelum sinar putih pukulan saktinya
sirna, Pendekar 212 keluarkan seruan keras. Tubuhnya melayang ke bawah bukit,
berlindung di balik sebuah batu besar. Wuss!
Pukulan
Halilintar menderu. Batu besar tempat Wiro berlindung kelihatan mengepul putih
lalu berubah menjadi hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh Pendekar 212
selamat dari serangan maut itu namun dirinya terpental jauh terkena hempasan
angin pukulan. Wiro terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya memar. Di
keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya mendenyut sakit seperti
dihimpit batu besar. Dari mulutnya meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit
batu dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar dilihatnya ada
seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di sampingnya dan meletakkan kepalanya
di atas pangkuannya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya. Menyusul
suara orang tertawa cekikikan.
"Anak
setan!" Ada suara memanggil memaki. "Itulah akibat kalau malang
melintang terus-terusan. Tak pernah muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu
kesaktian manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu ltu ke itu
juga! Sekarang kau rasakan sendiri bagaimana rasanya babak belur di hantam orang!
Hik.., hik… hik!"
Di dunia
ini hanya ada satu orang yang memanggil dirinya dengan sebutan "anak
setan". Orang itu adalah gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti
mendapat satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang memangkunya.
Orang yang memangku berkata. "Tidur saja. Kau terluka di dalam cukup
parah!"
Wiro
tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara Kintani gadis yang
dipinjaminya baju. Dia tetap bangklt bahkan berdiri. Dia memandang ke depan.
Benar, memang dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut.
"Eyang,
maafkan muridmu yang selama ini tidak pernah meminta petunjukmu! Soalnya murid
tidak mau menyusahkan Eyang…"
"Ah,
itu kan cuma ucapan seseorang yang pura-pura menyesal! Sudah tutup dulu
mulutmu!" Nenek tua di depan Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam
mulut Wiro. "Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!" katanya. Obat
sebesar jempol kaki itu dengan susah payah ditelan juga oleh Wiro. Kintani
kemudian menopang punggungnya, menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl
pucat kini tampak mulai segar kembali. Perlahan-lahan dia berdiri.
"Nah
kowe sudah sembuh! Ayo ikut aku ke puncak bukit! Ada tontonan menarik yang
bakal kita saksikan!" kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke
kiri. Di situ tegak seorang gadis jelita, berambut diikat buntut kuda.
"Kau sudah siap Mintari? Tabahkan hatimul"
Gadis itu
ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang bergelar Tangan Baja. Si gadis
menatap ke arah Wiro, pemuda yang dulu menolongnya.
"Heran,
bagaimana dia bisa muncul bersama Eyang?" Who bertanya dalam hati.
Sinto
Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro. Maka diapun berkata. "Saat,
ini dia bisa kau anggap sebagai adik seperguruanmu, Wiro. Kalau urusannya
nanti sudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara seperguruanmu lagi
karena dia memang tak pernah kuangkat sebagai murid!"
"Saya
tidak mengerti Eyang…"
"Nanti
kowe juga bakal mengertil" jawab Sinto Gendeng.
Di
kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak bukit batu. Gerakan mereka sebat
dan cepat.
"Tontonan
menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke puncak bukit!" kata Sinto
Gendeng. Keempat orang itu segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan
Mintari sengaja mengapit Wiro yang keadaannya masih agak lemah.
***************
11
DI PUNCAK
gunung Semeru pagi itu Ketua Partal Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak
Sakti duduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang wilayah Barat dan Ageng
Seto Cabang wilayah Utara. Lalu ada dua orang murid Partai yang tingkat
kepandaiannya hampir mendekati para Ketua Cabang.
"Malam
tadi saya bermimpi. Ada dua ekor burung merpati jatuh di pangkuan saya. Yang
satu tidak bernafas lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya patah
dan kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati di pangkuan saya."
Sang
Ketua diam sesaat lalu meneruskan bicaranya. "Saya bukan orang yang
percaya pada mimpi. Namun setiap mimpi mempunyal takbir dan maknanya
sendirisendirl. Dua saudara kita Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu sudah seminggu
meninggalkan kita. Saya menaruh kawatir, mimpi tadi malam merupakan pertanda buruk
bagi kita. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan mereka…"
"Kalau
Ketua mengizinkan, saya akan turun gunung untuk menyelidik," berkata Ageng
Seto.
Lama
Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya dia berkata. "Saat ini saya
merasa harus pergi ke goa Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu
keadaan dua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari Kamandaka murid
sesat dan murtad itu."
"Saya
akan mendampingi Ketua," kata Ageng Seto pula.
"Saya
jugal" kata Rana Tumalaya.
Dua anak
murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ mengatakan hal yang sama pula.
"Tidak
semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d! sini guna mengurus segala
sesuatunya," kata Gamar Senopatri pula. Dia berpaling pada Ageng Seto.
"Kau punya kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau harus tahu
apa yang terjadi dengan adikmu Ageng Sembodo."
"Terima
kasih atas kepercayaan Ketua membawa saya," Ageng Seto merasa gembira.
"Kalian
berdua juga ikut saya," kata Ketua Partai selanjutnya seraya
menggoyangkan kepala pada dua anak murid Partai. Kedua orang ini menundukkan
kepala sambil mengucapkan terima. kasih. "Dan kau Dimas Rana Tumalaya. Kau
terpaksa tinggal untuk menjaga dan mengurus segala sesuatunya selama kami
pergi."
"Akan
saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua," jawab Rana Tumalaya walau
hati kecilnya sebenarnya ingin sekali pergi mendampingi Ketua Partai.
Beberap
hari kemudian rombongan dari gunung Semeru itu sampai di pantai Selatan di mana
terletak goa Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa dan
mengetahul bahwa terowongan di dalamnya membalik ke arah daratan, Gamar
Senopatri membawa membawa orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat
hingga akhimya sampai di bukit batu. Pada saat yang bersamaan Eyang Sinto
Gendeng dan Mintari sampai pula di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas
untuk menuntut balas atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang dilakukan
Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan sebelumnya Eyang Sinto Gendeng
telah menculik Mintari selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis
malang Ki Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit Slarong. Di sini
Mintari diberinya pelajaran meningkatkan kekuatan tenaga dalam. Setelah itu
diajarinya ilmu sakti pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si nenek
pada Mintari memiliki kekuatan lebih hebat dad pukulan Sinai Matahari yang
telah diwariskannya pada muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng
menyadari bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lama tidak bakal sanggup
menumbangkan pukulan Halilintar yang dimiliki Kamandaka. Namun karena Mintari
bukan muridnya maka Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampuan memiliki
selama tiga puluh had pada Mintari. Selewatnya waktu tersebut kesaktian itu
akan lenyap dengan sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa mempergunakan
ilmu kesaktian itu satu kali saja.
Di puncak
bukit batu Kamandaka tampak melangkah mundar-mandir di depan rumah batunya.
Hatinya
geram sekali. Kalau saja tadi Kintani tidak muncul dan mengganggu pemusatan
pikirannya, pasti Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya sampai
gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu lenyap di kaki bukit. Kintani
sendiri melarikan diri entah ke mana. Rasa geram semakin membakar dirinya
ketika dia membayangkan tubuh Kintani yang sudah siap untuk ditidurinya!
"Jahanam!
Keparat!" maki Kamandaka.
Selagi
dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng bukit batu dilihatnya ada empat
orang lelaki muncul mendaki. Di sebelah depan… Kamandaka segera mengenalinya
dari pakaian yang dikenakannya.
"Jahanam
itu akhirnya muncul juga!" katanya. "Segala urusan akan kuselesaikan
hari ini! Akan kubuka kedok busuk bangsat itu!"
Tiba-tiba
ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan lain di lamping Timur bukit batu. Di
jurusan ini juga ada empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu nenek dan
satu lagi seorang pemuda yang dari jauh segera dikenalinya yaitu Pendekar 212
Wiro Sableng. Sedang salah satu dari gadis yang datang tak pelak lagi adalah
Kintani.
"Manusia-manusia
celaka! Semua akan kubikin mampus!" kertak Kamandaka dalam hati. Lalu dia
melompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua kakinya merenggang
sedang kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Begitu dua rombongan bongan itu
sampal sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas pentang suara.
"Selamat
datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di antara kalian yang ingin mampus
lebih dulu?!"
Paras
empat orang dari gunung Semeru tampak berubah merah sementara Sinto Gendeng
dan tiga orang anggota rombongannya tenang-tenang saja malah ada yang
menyengir-nyengir!
Ketua
Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka sesaat lalu melirik ke samping. Dia
terkejut ketika mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa Kintani
berada bersama rombongan si nenek. .
"Kamandaka,
kami datang jauh jauh bukan untuk mencarI kematian," Gamar Senopatri
membuka mulut. "Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu selangit
tembus sedalam lautan! Berlututlah minta ampun kepada Tuhan sebelum aku
menjatuhkan hukuman mati atas dirimu di tempat ini juga!"
Kamandaka
tampak melongo. Dia memandang tak berkesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu.
Lalu perlahanlahan tampak dia menekuk kedua kaki seperti hendak berlutut.
Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja. Justru ketika pantatnya bergerak
turun tiba-tiba dia keluarkan suara kentut yang keras sekali. Sehabis kentut
dia tertawa gelak-gelak!
Dari
rombongan yang dipimpin oleh Singo Gendeng, terdengar pula suara tertawa
bekakakan. Itu adalah suara tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai
diri.
Sinto
Gendeng mendelik dan membentak. "Husss! Kurobek mulutmu kalau tidak
hentikan tawamu!"
Wiro
terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik ke kiri kanan yaitu ke arah
Kintani dan Mintari. Kintani senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke
langit sambil pejamkan mata. Pasti ada sesuatu yang sangat mempengaruhi dirinya
saat itu yakni niatnya untuk menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan
berbisik pada Sinto Gendeng. "Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu
berhasil membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan pernah membalaskan sakit
hati dendam kesumat…."
Si nenek
tersenyum. Dia menjawab. "Tidak satu orang-pun bisa mengalahkan Kamandaka,
kecuali kau. Lihat saja nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang berani
bicara nanti kutampar!"
Mintari
dan Kintani kancingkan mulutnya rapat-rapat sementara Wiro sambil garuk-garuk
kepala berusaha menahan ketawa hingga mukanya merah sampai ke telinga.
Di
sebelah sana empat wajah orang-orang gunung Cemeru tampak merah kelam membesi.
Gamar
Senopatri berkata dengan suara bergetar tanda dia berusaha menekan amarah.
"Orang
yang mau mati memang suka berbuat tolol! Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki
Rono Bayu. Dalam perjalanan ke mari kami menemui mayat Ageng Sembodo. Dosamu
tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!"
"Dari
tadi kau bicara melulu! Kapan kau mau bertindak?!" Kamandaka berkata
lantang.
"Saat
ini juga murid murtad!" jawab Gamar Senopatri.
"Bagus!
Tapi sebelum kau membual hendak membunuhku, biar aku bicara dulu. Agar semua
orang tahu siapa dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan semua kejahatan
ini! Tujuanku lain tidak adalah agar satu ketika aku dapat berhadapan denganmu.
Kini saat yang kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan aku yang
bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan kejahatan dan kebusukan yang
pernah kau buat dua puluh lima tahun silam. Ketika aku baru berusia tiga
tahun!" Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan telunjuknya
ke arah Gamar Senopatri hingga Ketua Partai ini tambah merah wajahnya dan
bergetar seluruh tubuhnya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu
tertuju pada seuntal kalung baja putih dengan hiasan kepala seekor singa yang
tergantung di leher sang Ketua.
Apa yang
diucapkan Kamandaka tadi tentu saja membuat Gamar Senopatri terkejut. Bahkan
yang lain-lain yang ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya.
"Gamar
Senopatri! Hari ini kubuka kedok busukmu!" kata Kamandaka enak saja dia
menyebut langsung nama orang tua itu. "Dua puluh lima tahun lalu, di hutan
Sasakan kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang tengah pindah dari
Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu adalah seorang lelaki bernama Abdi
Gontor. Dia bertindak sebagai sais pedati sementara istrinya duduk dl
sebelahnya. Istrinya bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki berusia tiga
tahun berada di bagian belakang pedati. Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar
Senopatri?"
Semua
orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah Ketua Partai Semeru Raya tiba-tiba
menjadi pucat pasi seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada
suara yang keluar. Dadanya turun naik.
Di atas
batu Kamandaka kembali membuka mulut. "Mungkin ingatanmu masih belum
pulih. Biar kuteruskan ceritaku! Perempuan bernama Widi Sinten itu adalah
kekasihmu di masa muda. Namun dia meninggalkanmu karena ternyata kau punya
lebih dari lima orang kekasih. Kau mengkhianati cintanya dan kawin di
mana-mana. Ketika Widi Sinten kawin dengan Abdi Gontor baru kau sadar bahwa
sesungguhnya kau benar-benar mencintainya. Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah
terlambat. Rasa sayangmu berubah jadi rasa benci sakit hati. Kau cegat
rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau bunuh Abdi Gontor. Lalu kau rusak kehormatan
Widi Sinten! Sehabis diperlakukan secara keji begitu Widi Sinten bunuh diri
dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu juga!" Sampai di situ
Kamandaka tampak seperti tidak dapat menguasai diri. Tubuhnya bergetar hebat
dan suaranya ditelan isakan tangis. Sesaat kemudian baru dia bisa meneruskan
kata-katanya.
"Kejadian
itu disaksikan oleh anak mereka yang berusia tiga tahun. Si anak menangis dan
takut. Berusaha turun dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya membentur tanah
hingga jatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi mengingat apa yang
telah terjadi dengan kedua orang tuanya. Entah karena apa kau kemudian
mengambil anak itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya murid
dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat tahun ingatannya tentang
peristiwa itu menjadi gelap. Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang
tiba-tiba dilihatnya membuat dia ingat kembali apa yang terjadi di masa lalu
itu. Benda itu adalah kalung baja putih yang melingkar di lehermu! Kalung itu
dilihat si anak waktu kau membunuh dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian
dilihat anak yang sama enam bulan lalu ketika untuk pertama kalinya kau
memakainya kembali pada suatu upacara kebesaran Partai!"
Suasana
di puncak bukit itu hening seperti di pekuburan. Suara anginpun tidak
kedengaran. Ketegangan tegangan menggantung di udara. Kedua mata Kamandaka
berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia menyambung kata-katanya.
"Kau
tahu siapa anak itu Gamar Senopatri? Anak itu adalah aku! Kamandaka! Muridmu
yang katamu sudah kau anggap seperti anak sendiri!"
Semuanya
mata memandang pada Gamar Senopatri. Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan
tenggorokannya kering. Di atas kepalanya matahari seperti hanya sejengkal.
Tubuh dan pakalannya mandi keringat.
"Ceritaku
belum habis Gamari Setelah aku tahu kau pembunuh ayahku dan manusia yang
merusak ibuku, aku pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokohtokoh
persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat aku lakukan. Tak satu orangpun
yang mau memberi nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka
pengecutl
Aku anggap sama saja mereka itu bersekutu dengan dirimu! Ketika seorang sakti
memberiku ilmu pukulan Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu
kuhabisi satu demi satu. Gadis-gadis kuculik dan kuperkosa. Kubayangkan mereka
adalah anak gadismu sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan puncak
Semeru, menghancurkan Partai Semeru Raya dan mematahkan batang lehermu!
Orang-orang persilatan menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid
murtad! Mungkin aku sesat dan murtad. Tapi semua berpangkal sebab kepadamu! Kau
tidak lebih baik dariku Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti
kematianmu sudah di depan mata! Bersiaplah!"
Tubuh
Ketua Partai Semeru Raya itu tampak berguncang. Ageng Seto dan dua murid
Partai cepat memegangnya.
"Tinggalkan
saya…" kata Gamar Senopatri pada orang-orang itu. "Menjauhlah. Aku
sudah siap menerima hukumanku!"
Ageng
Seto maju ke depan. "Kamandaka!" serunya. "Kuharap persoalan ini
selesal sampai di sini saja. Kami akan kembali ke puncak Semeru. Apa yang kau
lakukan nanti adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!" Habis berseru
begitu Ageng Seto memegang bahu Gamar Senopatri lalu berbisik. "Ketua,
mari kita tinggalkan tempat ini."
Tapi
Gamar Senopatri gelengkan kepala.
Di atas
batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua lengannya. Lengan-lengan Itu berubah
menjadi hitam.
"Ketua!
Awas!" Kintani berteriak. Tapi terlambat.
Suara
seperti halilintar memekakkan telinga. Bukit batu bergetar hebat. Dua larik
sinar hitam menderu menebar hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid Partai
yang berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri. Tapi Gamar Senopatri
dan Ageng Seto tak mampu berbuat suatu apa. Kedua orang Itu hanya keluarkan
suara raungan pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya menemui ajal dalam
keadaan tubuh hitam gosong mengepulkan asap. Bau daging terbakar menyesakkan
nafas dan mengidikkan semua orang yang ada di tempat itu.
Untuk
beberapa lamanya Kamandaka masih tegak di atas batu datar di depan rumah batu.
Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Mintari dan berkata perlahan.
"Tontonan
bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba, Mintari," kata si nenek.
Gadis itu
mengangguk. "Semoga saya berhasil, Eyang "
"Jangan
kawatir. Kau pasti berhasil!" jawab Sinto Gendeng. Lalu dia melangkah
menemani gadis itu sampai lima belas langkah di hadapan batu datar di mana
Kamandaka berada sementara Wiro dan Kintani tetap berada di tempat semula.
Kamandaka
menatap kosong ketika Mintari tegak di depannya. Dia seperti tidak melihat gadis
itu sampai pada saat Mintari berkata dengan suara keras.
"Kamandaka!
Kudengar ceritamu tadi cukup mengharukan. Kau pernah kehilangan ingatan selama
lebih dari dua puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang ingatan atas apa
yang kau lakukan terhadap ayahku dan diriku beberapa bulan lalu?!"
"Heh….
Siapa kau? Suaramu lantang dan wajahmu cantik!" Otak kotor Kamandaka mulal
bekerja rupanya.
"Beberapa
bulan lalu kau membunuh ayahku Ki Pamilin bergelar Tangan Baja. Di tempat yang
sama kau kemudian merusak kehormatanku! Ingat.. ?"
"Ya,
aku memang ingat…" jawab Kamandaka.
"Lalu
sekarang apa maumu? Minta diperkosa lagi?" Kamandaka tertawa mengekeh.
Tapi jelas tawa itu seperti dipaksakan. Dia seperti belum dapat melenyapkan
keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi Gamar Senopatri tadi.
"Kejahatan
harus dibalas dengan keadilan! Keadilan satu-satunya bagimu adalah mati!"
teriak Mintari. Lalu dia angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku
berubah menjadi putih perak dan sangat menyilaukan. Hawa panas terasa mencekam
tempat sekitar situ. Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal itu.
"Gila! Mengapa lengan itu bisa sangat menyilaukan seperti itu. Aku sendiri
tidak mampu berbuat seperti itu. Ah, si Eyang pasti sudah main kayu! Mengajarkan
sesuatu pada orang lain tapi tidak mengajarkannya padaku!" Baru saja saja
Wiro mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya tiba-tiba ada suara menglang di
telinganya.
"Anak
setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan! Kau sendiri yang salah. Selama
ini kau hanya senang malang melintang. Tidak pernah memikirkan untuk
memperdalam serta menambah ilmu kepandaian!"
Wiro
melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa jauh dari tempatnya berdiri. Itu
tadi suara si nenek yang mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya
bisa garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya lengan Mintari semakin
memancarkan sinar menyilaukan.
"Pukulan
Sinar Matahari!’ seru Kamandaka dengan nada serta mimik mengejek. "Siapa
yang mengajarkan padamu? Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong sebelah
sana!" Kamandaka tertawa panjang. "Kumpulkan seratus orang yang mampu
melancarkan pukulan Sinar Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi
pukulan Halilintar!"
"Takaburmu
membawa celaka!" teriak Mintari. Tangannya perlahan-lahan diangkat lebih
tinggi.
"Eh,
gadis ini tidak main-main. Sebenarnya sayang kalau dia harus kubunuh! Tapi apa
boleh buat!" Begitu Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua tangannya
di depan kepala. Kedua tangan itu serta merta menjadikan hitam. Sambil
sunggingkan senyum merendahkan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya
dan memukul ke depan.
Wuss!
Wuss!
Dua larik
sinar hitam menderu dahsyat disertai suara gelegar halihntar. Untuk kesekian
kalinya bukit batu itu seperti diguncang gempa dan langit seperti mau roboh!
Mintarl
keluarkan pekik keras. Tangan kanannya menghantam ke depan. Hawa panas
menggebubu. Selarik sinar putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan
bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam bertemu dengan selarik
sinar putih kebiruan.
Kedua
kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menyeringai. Kintani dan Wiro menahan
nafas. Tapi Sinto Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya terdengar
suara dia menyanyi. "Kejar terus, tahan terus…. Hitam tak pernah menang
dari putih… Kejar terus, tahan terus… Hitam tak pernah menang dari putih…"
Di udara
dua larik sinar hitam pukulan Halilintar berusaha menggelamkan sinar putih
pukulan Sinar Matahari. Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong
ke belakang hingga Kamandaka merasakan kedua Iengannya bergetar keras. Hal ini
tak pernah kejadian sebelumnya. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga
wajahnya jadi merah dan sekujur tubuhnya mandi keringat.
Tiba-tiba
Mintari putar telapak tangan kanannya. Gerakan ini disusul dengan gerakan
mendorong ke depan .
Wussss!
Pukulan
Sinar Matahari menggebubu laksana topan prahara. Dua larik sinar hitam pecah
dan bertebaran lalu lenyap. Sinar putih terus melabrak ke depan.
"Jahanam!"
Masih terdengar makian Kamandaka. Itu adalah ucapannya yang terakhir sebelum
tubuhnya terseret sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu terbanting
ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk sesaat lamanya tubuhnya yang
melepuh matang merah Itu laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu
perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh tergelimpang di atas batu.
Mintari
jatuhkan diri dan tekap mukanya dengan kedua tangannya. Sinar putih menyilaukan
pada tangan kanannya sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu tangan
memegang bahunya, mengira itu adalah Eyang Sinto Gendeng yang memegangnya,
gadis ini berkata. "Eyang, terima kasih. Saya berhasil Eyang. Terima
kasih…"
"Eyang
sudah lenyap entah kemana," jawab satu suara. Mintari berpaling. Yang
memegang bahunya dan yang barusan bicara ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Di sampingnya berdiri Kintani. "Dia sempat berpesan agar aku
mengurus kalian berdua. Ah, bagaimana ini… Kalian kan bukan anak-anak kecil
lagi."
Perlahan-lahan
Mintari berdiri. Dia memandang pada Kintani sambil mengusap air matanya. Lalu
dia berkata. "Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali."
"Tapi
kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kau pasti bakal kewalahan mengurus
kami!" menyambung Kintani.
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu dia berdiri di antara kedua gadis itu
dan memegang bahu mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.
"Apa
yang kau tertawakan?" tanya Mintari.
Ditanya
begitu sang pendekar justru malah tertawa gelak-gelak. "Aku ingat ketika
kalian kutemui lari dari puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!"
Kedua
gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menyengat lengan, pinggang dan
punggung Pendekar 212 membuat dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari.
Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana saja. Dari belakang
keduanya menarik celana Wiro ke bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah
belakang pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut menarik
celananya, Mintari dan Kintani telah melarikan diri ke bawah bukit.
"Anak-anak
nakal! Kalau dapat kukejar akan kuciumi kalian berdua!" teriak Wiro.
Mintari
dan Kintani berhenti lalu lambaikan tangan menggoda. Ketika Wiro mengejar
keduanya lari kembali sambil tertawa terpingkal-pingkal.
TAMAT
No comments:
Post a Comment