Tahta Janda Berdarah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
SEORANG
diri di puncak Bukit Menoreh pada malam bulan purnama. Setelah ditinggal Kakek
Segala Tahu yang memberi petunjuk padanya cara menyelamatkan Bunga dari sekapan
guci tembaga Iblis Kepala Batu, Pendekar 212 sebenarnya tengah menunggu
kedatangan tiga gadis cantik. Mereka bukan lain adalah Ratu Duyung, Anggini dan
Bidadari Angin Timur. Ada beberapa hal yang perlu segera ditanyakan Wiro pada
tiga gadis itu. Selain itu sesuai petunjuk Kakek Segala Tahu dia akan
menanyakan perihal Nyi Roro Manggut pada Ratu Duyung. Menurut Kakek Segala Tahu
hanya perempuan sakti yang diam di dasar samudera itu pemilik satu-satunya ilmu
kesaktian yang mampu menolong Bunga keluar dari sekapan guci tembaga. Namun
lain yang ditunggu lain yang muncul. Sepasang kakek nenek bertampang dan
berdandanan aneh laksana setan malam berkelebat seperti angin dan tahu-tahu sudah
tegak berdiri di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang pertama seorang nenek
bertubuh tinggi. Wajahnya yang keriputan tertutup dandanan medok.
Alis
kereng hitam, bibfr merah mencorong, bedak tebal dan dua pipi diberi
merah-merah. Murid Sinto Gendeng tidak kenal dan tidak pernah melihat nenek ini
sebelumnya. Namun dari dandanan serta matanya yang melirik liar dan bibir yang
selalu melemparkan senyum genit, pendekar kita maklum kalau si nenek bukan
perempuan baikbaik. Orang kedua seorang kakek, bungkuk berpakaian rombeng
dekil.
Mukanya
seputih kain kafan! Inilah yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng kaget
setengah mati karena dia mengenal kakek itu adalah Si Muka Bangkai alias Si
Muka Mayat, mahluk jahat yang dikenal sebagai dedengkot golongan hitam, guru
Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Wiro. Saking tidak percaya Wiro sampai
mengusap matanya berulang kali.
“Si Muka
Bangkai alias Si Muka Mayat!” Wiro menyebut julukan si kakek dengan suara
bergetar. “Bukankah jahanam satu ini sudah mati di tangan sahabatku Bujang Gila
Tapak Sakti sewaktu terjadi pertempuran hebat di Pangandaran? Bagaimana mungkin
dia bisa hidup kembali dan muncul di sini! Gila!”
Memang
melihat wajah dan dandanan si kakek, semua orang yang pernah melihat atau
mengenal pasti akan menyangka dia adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
Lalu bagaimana kejadiannya kakek yang sudah menemui ajal ini bisa hidup kembali
dan muncul bersama nenek berdandanan tak karuan itu?
Semasa
hidupnya Si Muka Bangkai mempunyai seorang kekasih bernama Nyi Ragil, tinggal
di Tawangalu. Itu sebabnya perempuan itu dikenal dengan nama Nyi Ragil
Tawangalu. Setelah Si Muka Bangkai menemui kematian, duka cita Nyi Ragil begitu
mendalam hingga dia tergeletak sakit selama berbulan-bulan. Dalam keadaan
begitu rupa seorang kakek menyambanginya. Begitu melihat wajah kakek ini
langsung Nyi Ragil mendapat kekuatan aneh dan sakitnya mendadak pulih. Dia bisa
bangkit dari sakitnya, duduk di tepi pembaringan, menatap kakek di hadapannya
dengan mata tak berkesip. Ternyata kakek itu memiliki wajah dan bentuk tubuh
menyerupai Si Muka Bangkai.
“Kekasihku
Muka Bangkai… Kau… benar dirimukah yang ada di hadapanku saat ini? Kau masih
hidup…?”
Si kakek
tersenyum. Bahkan senyum itupun sama seperti senyum Si Muka Bangkai! Dia
menggeleng lalu berkata. “Banyak orang yang menduga seperti dirimu. Aku bukan
Si Muka Bangkai. Aku Suro Ageng Kalamenggolo. Adik kembaran Si Muka Bangkai.”
“Hah!
Apa…?! Jadi kekasihku itu punya seorang adik kembar?”
Nyi Ragil
turun dari pembaringan. Hampiri Suro Ageng Kalamenggolo. Memegang bahunya,
mengusap wajah kakek ini, mendongak lalu tertawa panjang. “Tidak, kau bukan
Suro Ageng Kalamenggolo! Aku tidak perduli siapa dirimu adanya! Bagiku kau
adalah Si Muka Bangkai. Kekasihku yang hidup kembali!” Lalu Nyi Ragil memeluk
dan menciumi Suro Ageng Kalamenggolo. Tangannya menggerayang kian kemari.
Hingga kakek yang sudah belasan tahun tak pernah disentuh tangan perempuan ini
jadi terangsang dan langsung saja jatuh hati pada si nenek.
Begitulah
kisahnya, sejak hari itu Suro Ageng Kalamenggolo dijadikan kekasih oleh Nyi
Ragil, diberi dandanan dan pakaian seperti Si Muka Bangkai dan Nyi Ragil selalu
menyebutnya dengan nama julukan yaitu Si Muka Bangkai. Selain kecocokan dalam
wajah dan bentuk tubuh, sebagai adik kembar Si Muka bangkai yang asli kakek ini
juga telah mewarisi beberapa kesaktian yang dimiliki kakak kembarnya. Sejak
hari itu ke mana-mana Nyi Ragil selalu bersama sang kekasih. Termasuk ketika
membunuh Datuk Muda Carano Ameh di Gunung Gede yang disangkanya Tua Gila, bekas
kekasih Sinto Gendeng yang juga merupakan Guru Pendekar 212. Selama hidup
berduaan, Nyi Ragil sering berbuat mesum dengan lelaki lain, tetapi Si Muka
Bangkai seolah tidak perduli.
“Muka
Bangkai, jadi dia ini bocah yang pernah kau ceritakan padaku?” Si nenek berucap
sambil lemparkan lirikan ke arah Wiro.
“Sialan!
Sebesar ini aku dibilang bocah!” maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Benar
sekali kekasihku. Dia memang Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng.” Menjawab Si
Muka Bangkai.
“Aahhh…”
Si nenek yang ternyata adalah Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut
rangkapkan dua tangan di depan dada.
Sepasang
matanya pandangi Pendekar 212 dari rambut sampai ke kaki. Lidahnya
dijulur-julur membasahi bibir. Lalu nenek ini berbisik. “Muka Bangkai, ternyata
pemuda ini lebih hebat dari yang aku bayangkan. Wajah ganteng, tubuh kekar.
Kalau aku tenggelam dalam pelukannya pasti aku akan benar-benar merasakan
nikmatnya sorga dunia…”
“Kau
boleh berbuat suka-suka apa saja dengan dia,” balas berbisik Si Muka Bangkai.
“Tapi ingat, dia adalah murid Sinto Gendeng. Semua yang ada kaitannya dengan
Sinto Gendeng harus kita singkirkan dari muka bumi ini.”
“Kau
benar Muka Bangkai. Aku tidak bakal melupakan siapa adanya pemuda ini. Tapi
jika aku bisa menguras kejantanannya untuk menyenangi hati dan tubuhku barang
sebulan dua bulan, apa salahnya. Kulihat dari tadi dia seperti kagum memandangi
wajahku. Agaknya kali ini aku mendapat durian runtuh sobatku. Hik… hik… hik.”
Si Muka
Bangkai kembaran, yang sudah tahu sifat kekasihnya menjawab.
“Silahkan
kau bersenang-senang sepuasmu. Tapi waktu yang bisa aku berikan hanya sampai
menjelang pagi. Aku akan menunggumu di kaki bukit sebelah selatan. Jika sampai
matahari terbit kau tidak muncul terpaksa aku pergi dan tak akan menunggu lebih
lama.” Nyi Ragil tertawa lalu cepat memegang bahu baju rombeng Si Muka Bangkai.
“Kuharap
kau jangan pergi dulu sobatku. Apakah kau tidak ingin menyaksikan barang
sejurus dua jurus bagaimana aku bermain-main dengan pemuda gagah ini? Siapa
tahu bisa mendatangkan kegairahan dalam dirimu. Hingga kau tidak selalu
membiarkan aku sendirian dalam kedinginan? Hik… hik… hik!”
Si Muka
Bangkai pencongkan mulut. Dia langkahkan kaki bergerak hendak pergi.
“Aku
minta kau tetap di sini,” kata Nvi Ragil pula sambil pegang bahu si kakek. Kali
ini bukan hanya sekedar memegang tapi juga mencengkeram. Si Muka Bangkai
terpaksa batalkan niat tinggalkan tempat itu. Nyi Ragil melangkah kehadapan
Wiro.
“Bocah,
benar kau yang bernama Wiro, murid Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede?” Nyi
Ragil ajukan pertanyaan. Waktu bertanya mulut mengulum senyum dan mata
lemparkan pandangan penuh gairah. Wiro tertawa lebar. Dia balas memandang si
nenek mulai dari rambut sampai ke kaki tapi dengan sikap memperolokkan.
“Gadis
cilik, dugaanmu tidak salah. Aku memang bocah bernama Wiro Sableng, murid Eyang
Sinto Gendeng. Masih kecil begini matamu sungguh tajam hingga bisa mengenali
siapa diriku, padahal belum pernah bertemu muka sebelumnya. Sayangnya, rupanya
ibumu kurang bisa mendandani wajahmu yang cantik hingga celemongan seperti
ini.”
Nyi Ragil
diam sebentar, seolah terkesiap mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Namun
kemudian nenek genit ini tertawa panjang. Rupanya dia merasa senang guraunya
disambuti orang.
“Sudah
kenal walau belum pernah bertemu. Itu artinya antara kau dan aku memang sudah
ada perjodohan. Hik… hik… hik…”
“Hik…
hik… hik!”
Wiro
ikut-ikutan tertawa meniru suara tawa si nenek. “Tadinya aku mengira kau dan Si
Muka Mayat itu sudah menjadi sepasang kekasih. Ternyata kau masih tergiur pada
anak muda sepertiku! Ha… ha… ha!!
“Ah, kau
cepat sekali cemburu anak muda! Aku suka pada lelaki pencemburu. Kata orang
lelaki pencemburu nafsunya besar seperti kuda! Hik… hik… hik! Dengar, kakek ini
hanyalah sobat seperjalanan. Orang tua seperti dia mana punya kemampuan sehebat
dirimu? Hik…hik… hik!”
Si Muka
Bangkai alias si Muka Mayat keluarkan suara menggerutu tapi si nenek tidak
pedulikan.
“Kalau
kau tak suka kupanggil bocah, katakan bagaimana aku harus memanggilmu agar
kedengaran mesra?”
Wiro
menyeringai, garuk-garuk kepala tak menjawab.
“Bagaimana
kalau kupanggil kau dengan sebutan kekasihku…” tanya si nenek sambil kedipkan
mata.
Wiro
masih garuk-garuk kepala tapi mulut dan hidungnya dipencongkan.
Si nenek
tersenyum. “Agaknya kau kurang suka pada panggilan itu. Baik, biar kuganti.
Mungkin kau lebih suka kupanggil dengan sebutan yayang, kependekan sayangku?”
Wiro
batuk-batuk berulang kali lalu tertawa gelak-gelak.
“Hai! Kau
tertawa riang! Berarti kau suka dipanggil yayang. Berarti kau suka menjadi
kekasihku!” kata Nyi Ragil setengah berseru.
Dia maju
dua langkah, setengah berbisik berucap. “Tak jauh dari sini ada satu pondok
kayu. Bagaimana kalau kita kesana bersenang-senang sampai pagi?”
“Hemmm…
begitu?” ujar Wiro. “Bagaimana kalau kau dan kakek muka pucat itu yang
bersenang-senang, aku jadi tukang intip?”
Si nenek
keluarkan suara menggerutu dan unjukkan wajah cemberut. “Kau masih saja
perlihatkan sikap cemburu.” Si nenek pegang lengan Wiro.
“Kita
pergi ke pondok itu sekarang? Tua bangka muka pucat itu biar menungu di sini.”
Lalu dengan suara lebih perlahan Nyi Ragil berkata. “Dia pantas jadi anjing tua
pengawal kita berdua. Hik… hik…hik. Ayo yayangku mari kita ke pondok sana.”
“Nek, tak
jauh dari sini ada satu kali kecil. Bagaimana kalau aku kesana dulu. Aku tunggu
kau disana.” Wiro berkata sambil senyumsenyum dan kedipkan mata membuat Nyi
Ragil Tawangalu jadi salah tingkah.
“Kali
kecil. Perlu apa kau kesana? Mengapa musti kesana?” si nenek kemudian bertanya.
“Yayangku,
aku kesana karena mau berak!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Tampang
Nyi Ragil yang tertutup dandanan tebal langsung berubah. “Pemuda edan! Senda
guraumu sudah keliwatan! Bentak si nenek marah.
“Hai!
Tadi kau panggil aku yayang, sekarang pemuda edan!
Secepat
itukah lunturnya cintamu padaku?” ucap murid Sinto Gendeng sambil menahan tawa.
“Manusia
sableng, kau jangan keliwat berani mempermainkan diriku!” Nyi Ragil maju
sejangkah.
“Eh,
siapa mempermainkan dirimu, yayang? Dengar, kalau kau tak suka ke kali, tetap
mau membawaku ke pondok yang kau katakan itu, aku menurut saja…”
Tampang
si nenek kembali berubah. Kini ada senyum terkulum di bibirnya yang merah. Dia
menyangka Wiro memang suka ikut ajakannya dibawa ke pondok.
“Tapi
yayang, sebelum ke pondok aku mau tanya dulu…” kata Wiro pula.
“Kau mau
tanya apa?” ujar si nenek dengan suara lembut mesra.
“Di
pondok itu apa ada kakusnya?”
Kening
Nyi Ragil mengerenyit.
“Maksudmu?”
“Maksudku,
saat ini perutku tambah mulas. Aku sudah kebelet, tidak tahan lagi…”
“Jahanam!”
Wiro
tertawa terpingkal-pingkal. Amarah Nyi Ragil meledak.
“Sebaiknya
dari tadi-tadi kubunuh dirimu!” teriak si nenek. Sekali bergerak sosoknya
berkelebat. Tangan kanan menderu ke arah wajah Wiro… Aneh, gerakan tangan yang
memukul itu terlihat lamban. Sekali Wiro gerakkan tangannya dengan mudah dia
dapat menahan jotosan si nenek. Begitu tangan kanan Nyi Ragil berada dalam
genggaman jari-jari tangan kanannya Wiro siap keluarkan ilmu Koppo. Yakni ilmu
mematahkan tulang yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura. (Baca
serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Manusia Bonsai“)
Namun
sebelum Wiro sempat keluarkan ilmu tersebut untuk mematahkan jari-jari dan
telapak tangan si nenek tiba-tiba wusss! Dari tangan kanan Nyi Ragil yang
berada dalam cengkeraman Wiro mendadak keluar hawa panas luar biasa disertai
kepulan asap merah.
Bersamaan
dengan itu Pendekar 212 keluarkan jeritan keras dan melompat mundur, jatuh
berlutut di tanah. Ketika tangan kanannya diperhatikan ternyata kulit jari dan
sebagian telapak tangannya telah melepuh, terkelupas merah! Sakitnya bukan
kepalang!
*******************
2
MURID
Sinto Gendeng menggeram marah. Sambil menahan sakit dia cepat bangkit berdiri.
Nyi Ragil Tawangalu tertawa gelak-gelak.
“Usia
baru seumur jagung, berani mempermainkan aku Si Manis Penyebar Maut. Hik… hik…
hik. Rasakan sekarang! Masih untung tanganmu tidak aku buat leleh! Ilmu
Mengupas Raga yang membuat tanganmu cidera jangan dibuat main. Kekuatan yang
barusan aku keluarkan baru sepertiganya saja!”
“Pendekar
212 Wiro Sableng,” tiba-tiba Si Muka Bangkai yang sejak tadi diam saja keluarkan
ucapan. “Mengapa berlaku tolol. Mengapa kau tidak ikuti saja ajakan sahabatku
itu bersenang-senang semalam suntuk. Membunuh dirimu baginya satu hal yang
mudah. Kalau gurumu saja sudah dihabisinya apa sulitnya menghabisi dirimu!”
Wiro
tersentak kaget, memandang membelalak pada Si Muka Bangkai lalu pada si nenek,
kembali lagi pada si Muka Bangkai.
“Tua
bangka keparat! Apa maksud ucapanmu?!” bentak Pendekar 212.
Nyi Ragil
tertawa panjang. “Sobatku Muka Bangkai, ceritakan saja apa yang sudah kita
lakukan!”
“Tiga
minggu lalu di puncak Gunung Gede, Nyi Ragil telah menghabisi gurumu. Menikam
mati dengan Golok Si Penjarah Nyawa!” Wiro berteriak keras.
“Kau
membunuh guruku Eyang Sinto Gendeng?!” Si nenek kembali tertawa panjang. Lalu
menjawab.
“Nenek
satu itu masih menunggu giliran. Yang aku bunuh adalah Si Tua Gila, gurumu dari
Andalas, kekasih Sinto Gendeng di masa muda! Hik… hik… hik!”
“Sekarang
kau bakal mengalami nasib sama, Pendekar 212 Wiro Sableng!” Kembali Si Muka
Bangkai ikut bicara. “Nyawamu bakal minggat ditangan Nyi Ragil. Amblas digorok
Golok Penjarah Nyawa! Ha…ha… ha!”
“Tua
bangka jahanam! Aku bersumpah mencabut nyawamu saat ini juga!” teriak murid
Sinto Gendeng. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Mulut merapal aji
kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Nyi Ragil ganda tertawa.
“Aku mau
tahu kau akan berbuat apa. Aku menunggu!” Nyi Ragil berdiri sambil berkacak
pinggang dan renggangkan dua kaki. Sikapnya penuh menantang. Diam-diam mulutnya
merapal satu ajian.
Perlahan-lahan
tangan kanan Wiro berubah warna menjadi putih perak. Namun gerakan selanjutnya
tertahan. Sepasang mata murid Sinto Gendeng itu membesar. Nafasnya sesaat
tertahan lalu cuping hidungnya tampak bergerak tanda nafasnya mendadak berubah
memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas.
Di hadapannya
Wiro tidak lagi melihat sosok nenek buruk keriput yang wajahnya ditambal dengan
alis, bedak dan gincu tebal. Tapi yang dilihatnya kini adalah wajah seorang
perempuan muda belia secantik bidadari dan sosok tubuh bagus mulus, terbungkus
pakaian tipis dan sangat minim, menyingkapkan bagian dada, perut dan pinggul.
Pandangan Wiro telah berubah akibat ajian aneh yang barusan dirapal si nenek.
Kalau Wiro melihat Nyi Ragil berubah menjadi seorang gadis cantik jelita
setengah telanjang maka Si Muka Mayat yang tidak terpengaruh ajian aneh itu
tetap saja melihat Nyi Ragil dalam ujud aslinya yakni seorang nenek berdandan
tebal celemongan.
“Yayangku,
kau tunggu apa lagi. Mari ikut aku…”
Suara Nyi
Ragil terdengar semerdu bulu perindu masuk ke telinga Wiro. Ketika perempuan
itu melangkah tinggalkan tempat itu, diluar sadar Wiro bergerak mengikuti. Si
Muka Mayat gelengkan kepala. Walau dia tetap melihat Nyi Ragil dalam wajah dan
tubuh asli namun kakek satu ini maklum kalau Nyi Ragil telah melakukan sesuatu
yang membuat Wiro Sableng tunduk dan ikut padanya.
“Pasti
Nyi Ragil telah memukau pemuda itu dengan ilmu Pembalik Otak Pembuta Mata,”
berkata Si Muka Mayat dalam hati lalu melangkah mengikuti ke dua orang itu.
Berjalan
lima langkah, Nyi Ragil berhenti. Rupanya dia sudah tak mampu menahan desakan
nafsu mesumnya. Begitu Wiro sampai di dekatnya langsung digandeng. Kepalanya
disandarkan ke dada sang pendekar sambil berkata mesra.
“Yayang,
apakah kau tidak ingin memelukku, mencium pipiku, mengecup bibirku…?” Sambil
berucap Nyi Ragil usap-usap dada Pendekar 212 dengan telapak tangan kanan Wiro
yang cidera mengelupas. “Ah, teganya diriku tadi. Tangan kananmu sakit begini
rupa. Bagaimana mungkin bisa memeluk diriku? Biar aku obati dulu.”
Si nenek
keluarkan sebuah tabung kecil. Penutup tabung dibuka. Sejenis cairan
dituangkannya ke jari-jari dan telapak tangan kanan Wiro. Wiro merasa seperti
diguyur air sedingin es. Tangannya mengepulkan asap tipis. Ketika asap sirna,
cidera pada jari-jari dan telapak tangan yang sebelumnya melepuh terkelupas
kini sembuh seperti sedia kala. Nyi Ragil memasukkan tabung kecil ke balik
pakaiannya. Satu tangan merangkul pinggang sang pendekar, satunya lagi
mengusapi dada. Usapan itu kemudian turun ke perut.
“Hemm…”
Wiro mendesah lirih. Tiba-tiba hawa aneh yang menguasai dirinya membuat aliran
darahnya memanas. Sang pendekar rangkulkan tangan balas memeluk tubuh Nyi
Ragil, sekaligus menciumi pipi dan mengecup bibirnya. Selagi kedua orang itu
asyik bermesraan tiba-tiba di puncak Bukit Menoreh dalam gelapnya malam, tiga
bayangan berkelebat dari arah timur, menyusul suara seruan hampir berbarengan.
“Wiro!
apa yang kau lakukan?!”
“Jahanam!
Siapa berani menganggu kesenanganku!” Nyi Ragil mendamprat marah. Dia dorong
sosok Wiro ke samping, angkat kepala. Memandang ke depan si nenek melihat tiga
gadis cantik tegak di puncak bukit. Ketiganya melangkah cepat ke tempat di mana
dia dan Wiro serta Si Muka Mayat tegak berdiri.
“Bidadari
Angin Timur, Ratu Duyung, Anggini…” Wiro berucap.
Suaranya
bergetar aneh. Diam-diam Nyi Ragil menjadi kaget mendengar tiga nama yang
barusan disebutkan Wiro.
“Nama
mereka sudah lama kudengar. Baru kali ini aku melihat wajah-wajah mereka.
Selain cantik kabarnya mereka juga membekal ilmu tinggi. Aku mencium bahaya.
Aku harus berbuat sesuatu sebelum mereka turun tangan.”
Nyi Ragil
cepat melafalkan beberapa mantera dalam hati lalu menghembus ke arah tiga
gadis. Setelah itu dia berpaling ke arah Wiro. Sambil memegang lengan Wiro Nyi
Ragil berkata.
“Yayang,
jangan matamu buta oleh kegelapan malam, jangan pikiranmu kacau oleh hembusan
angin Bukit Menoreh. Coba lihat sekali lagi. Perhatikan baik-baik. Apa kau
benar-benar mengenali tiga orang itu?”
Wiro
menatap Nyi Ragil sesaat yang dilihatnya sebagai seorang gadis secantik
bidadari. Lalu sang pendekar palingkan kepala ke arah tiga gadis yang melangkah
menuruni puncak bukit.
“Ah… Aku
salah mengira Tadinya kusangka… tidak, aku tidak mengenal tiga orang nenek
jelek itu!” Wiro berucap. Pada saat itu Wiro yang berada dibawah jampaian ilmu
aneh si nenek mendadak berubah penglihatannya. Tiga gadis yang barusan datang
yakni Ratu Duyung. Anggini dan Bidadari Angin Timur dalam penglihatannya bukan
lagi sebagai tiga gadis cantik tetapi telah berubah menjadi tiga orang nenek
buruk berpakaian dekil. Nyi Ragil menyeringai. Dia memberi isyarat pada Si Muka
Bangkai lalu berkata pada Wiro.
“Yayang,
lekas ikuti aku. Kita harus segera pergi sebelum tiga nenek buruk itu mendekat
ke sini.”
Untuk
memastikan Wiro benar-benar mengikuti ucapannya Nyi Ragil mencekal lengan Wiro.
Bersama Si Muka Bangkai mereka berkelebat tinggalkan puncak bukit itu. Namun
tak kalah cepat tiga gadis segera turun menghadang. Nyi Ragil menjadi marah,
keluarkan suara menggembor. Si Muka Bangkai mendengus lalu membentak.
“Kalian
mencari penyakit! Lekas minggat dari hadapan kami!” Wiro sendiri ikut
menghardik.
“Tiga
nenek butut! Jangan berani menghalangi perjalanan kami!”
Dipanggil
nenek butut tiga gadis cantik tentu saja jadi melengak dan saling pandang.
Bidadari Angin Timur berbisik pada dua sahabatnya, Anggini dan Ratu Duyung.
“Ada yang
tidak beres. Wiro seperti tidak mengenali kita bertiga. Malah kita disebutnya
tiga nenek butut! Tadi dia menciumi nenek itu! Gila!”
“Ada
kekuatan aneh mempengaruhi jalan pikiran dan penglihatannya. Tadi kudengar dia
menyebut si nenek dengan kata-kata mesra yayang,” ikut menjawabi Anggini.
Ratu
Duyung perhatikan nenek yang berdiri di-samping Wiro sambil pegangi tangan sang
Pendekar lalu berkata,
“Aku
kenal nenek berdandan tak karuan itu. Namanya Nyi Ragil. Kalau tak salah dia
menyandang gelar Si Manis Penyebar Maut. Dia salah satu momok keji orang-orang
golongan hitam. Di mana-mana dia menebar maut dan berbuat cabul. Kabarnya dia
memiliki ilmu aneh yang bisa menguasai otak dan membalikkan pandangan mata
orang. Kita harus menolong Wiro. Ilmu yang menguasai dirinya harus
dilenyapkan…”
“Bagaimana
caranya?” tanya Anggini.
“Aku siap
membunuh nenek jahanam itu!” kata Bidadari Angin Timur. Gadis ini sangat
cemburu. Kecintaannya terhadap Wiro walau tak pernah diperlihatkan secara
terang-terangan tapi boleh dikatakan paling besar diantara tiga gadis itu. Tadi
dia menyaksikan sendiri bagaimana Wiro memeluk dan mencium si nenek begitu
bernafsu. Siapa yang tidak cemburu dan marah? Dadanya terasa seperti
terpanggang!
“Anggini,
kau berjaga-jaga jika kakek muka pucat itu ikut campur
urusan.
Bidadari Angin Timur, kau hadapi si nenek muka celemongan. Aku akan berusaha
melepaskan Wiro dari ilmu jahat si nenek…” berucap Ratu Duyung.
“Anggini,
Ratu Duyung, tunggu dulu!” tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata. “Kakek
bermuka pucat itu bukankah dia Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, guru
Pangeran Matahari?! Bukankah dia sudah menemui kematian di Pangandaran?! Tewas
di tangan Bujang Gila Tapak Sakti?!”
“Astaga!
Benar! Memang dia!” ucap Ratu Duyung.
“Lalu
bagaimana bisa hidup kembali?!” ujar Anggini heran.
“Kita tak
punya waktu banyak untuk berpikir. Bahaya mengancam. Kita harus segera
bergerak!” Bidadari Angin Timur berkata. Tiga gadis cantik lantas menyebar.
Anggini dekati Si Muka Mayat. Bidadari Angin Timur mendatangi Nyi Ragil
Tawangalu dan Ratu Duyung menghampiri Wiro. Setelah mengerahkan tenaga dalam,
dialirkan ke jalan suaranya, di hadapan Wiro Ratu Duyung menjura lalu berkata.
“Ki
Samber Gledek, penguasa delapan penjuru Bukit Menoreh. Aku datang memenuhi
panggilanmu!”
Dihormati
begitu rupa dan dipanggil Ki Samber Gledek, Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
kerenyitkan kening, menggaruk kepala lalu menjawab.
“Nenek
butut, kau salah menyangka. Aku bukan Ki Samber Gledek. Aku tak pernah
memanggilmu datang ke sini!” berucap Wiro.
“Dia
masih memanggil dan melihat diriku sebagai nenek butut. Tapi dia tahu kalau
dirinya bukan Ki Samber Gledek. Berarti masih ada kemungkinan Wiro dibikin
sadar.” Membatin Ratu Duyung. “Aku harus menotok tubuhnya di dua tempat.
Ubun-ubun dan bagian atas hidung antara dua mata.”
Sekali
lagi Ratu Duyung menjura lalu, tiba-tiba gadis cantik bermata biru ini
melompat. Tubuhnya mengapung beberapa jengkal di atas tanah Dua tangannya
digerakkan sekaligus. Yang kiri menotok ke ubun-ubun di atas batok kepala
sedang yang kanan menotok ke arah bawah kening, tepat di bagian atas hidung
antara dua mata Pendekar 212.
“Nenek
kurang ajar! Mengapa kau menyerangku?!” teriak Wiro seraya bersurut mundur.
Nyi Ragil
alias Si Manis Penyebar Maut tersentak kaget melihat gerak serangan dua tangan
Ratu Duyung.
“Gadis
bermata biru ini! Dia tahu cara memusnahkan pengaruh ilmuku! Kalau tidak segera
kuhabisi bisa berbahaya!” membatin Nyi Ragil. Lalu dengan gerakan kilat si
nenek hantamkan tangan kanannya. Yang diarah adalah wajah Ratu Duyung. Serangan
ini ganas sekali. Lima jari tangan terpentang kepulkan asap merah. Nyi Ragil
menyerang dengan ilmu mengupas Raga. Serangan ini jika menemui sasaran akan
membuat melepuh dan terkelupas wajah sang Ratu hingga cacat seumur hidup. Ratu
Duyung mendengus. Dalam gebrakan yang sangat cepat tadi dia masih sempat
menotok ubun-ubun Pendekar 212 Wiro Sableng dengan dua jari tangan kiri.
“Desss!”
Begitu
kena ditotok dari batok kepala murid Sinto Gendeng mengepul asap hitam pertanda
hawa jahat yang bersarang di bagian atas kepala, yang mempengaruhi otak dan
jalan pikirannya telah berhasil dimusnahkan. Namun totokan kedua yang
dilancarkan Ratu Duyung yakni yang mengarah titik diantara dua mata Wiro tak
dapat diteruskan oleh Ratu Duyung. Dia terpaksa melompat selamatkan diri dari
serangan ganas Nyi Ragil.
Tapi
tidak terduga, seolah bisa berubah panjang, tangan kanan Nyi Ragil meluncur
laksana kilat menyambar ke muka sang Ratu. Sekejapan lagi wajah Ratu Duyung
akan dibikin hancur mengelupas tiba-tiba satu cahaya putih berkelebat
menyilaukan. Nyi Ragil terpekik. Melompat mundur dengan muka pucat. Cahaya
putih menyilaukan itu mendorong kepulan asap merah yang keluar dari tangan
kanannya, membalik menyerang ke arah wajahnya sendiri!
Saat itu
mendadak terdengar pekikan Ratu Duyung. Tubuhnya terdorong keras ke samping
kanan. Sambil jatuhkan diri mengikuti daya dorong yang kuat, Ratu Duyung
berguling di tanah. Apa yang terjadi?
Sewaktu
Ratu Duyung menghadapi serangan Nyi Ragil. Dari samping Wiro datang menerjang,
kirimkan satu tendangan yang tepat mengenai pinggul Ratu Duyung. Selagi Ratu
Duyung bergulingan di tanah Wiro hendak mengejar tapi satu bayangan biru
berkelebat memotong gerakannya dan bukkk! Jotosan keras bersarang di dada kiri
Pendekar 212. membuatnya terjajar sampai lima langkah. Yang barusan menyerang
Wiro adalah Bidadari Angin Timur. Tapi karena masih berada dalam pengaruh
sirapan ilmu Pembuta Mata, Wiro melihat si gadis berambut pirang itu sebagai
seorang nenek berpakaian dekil.
“Nenek
keparat!” bentak Pendekar 212 pada Bidadari Angin Timur.
“Kuhancurkan
kepalamu!”
Kembali
pada Nyi Ragil. Walau tadi sambaran cahaya putih yang mendorong asap merah
lewat satu jengkal di sisi kirinya namun Nyi Ragil tak berani berlaku ayal.
Cepat si nenek angkat tangan kiri lindungi muka.
“Dess…
desss!”
Sosok Nyi
Ragil terdorong sampai lima langkah. Tapi dirinya selamat dari hantaman asap
ilmu Mengupas Raga miliknya sendiri. Hampir terjadi senjata makan tuan. Si
nenek tegak dengan wajah pucat. Seumur hidup baru kali ini ada lawan yang
sanggup membalikkan serangan mautnya. Apa yang telah dilakukan gadis bermata
biru itu?
Nyi Ragil
memandang melotot ke arah Ratu Duyung yang saat itu tengah berusaha bangkit
berdiri. Nyi Ragil melirik ke tangan kanan Ratu Duyung. Sebuah benda tergenggam
di tangan kanan sang dara. Sebuah cermin berbentuk bulat. Tersiraplah darah
nenek berjuluk Si Manis Penyebar Maut.
*******************
3
“CERMIN
bulat itu, aku seperti pernah melihat sebelumnya…” si nenek membatin. Untuk
meredam goncangan hatinya, Nyi Ragil keluarkan bentakan keras.
“Ratu
Duyung, aku sudah sering mendengar namamu. Tapi siapa kau sebenarnya?!”
Ratu
Duyung lontarkan senyum mengejek. “Masih ingat peristiwa puluhan tahun silam.
Kau pernah datang ke dasar samudera selatan. Mengemis pada Ratu Agung agar
diberikan beberapa ilmu kesaktian. Ratu Agung memenuhi permintaanmu tapi
ternyata kau pergunakan untuk berbuat kejahatan, menebar maut berbuat mesum.
Aku sendiri barusan menyaksikan apa yang telah kau lakukan terhadap pemuda
itu!”
Kejut Nyi
Ragil bukan alang kepalang. “Kau…” katanya tertahan.
Otak
jahatnya segera bekerja. “Kalau kau bicara kejadian puluhan tahun silam sedang
saat ini kulihat kau masih sebagai gadis remaja lalu berapakah usiamu
sebenarnya? Hik… hik!”
Ucapan
Nyi Ragil yang juga terdengar oleh Pendekar 212 sempat menimbulkan rasa heran
pada diri pendekar yang berada dibawah pengaruh sirapan ini. Jelas dia melihat
Ratu Duyung sebagai seorang nenek butut, mengapa Nyi Ragil menyebutnya gadis
remaja? Nyi Ragil sendiri tidak menyadari kekeliruan yang dibuatnya. Untung
saja Wiro masih berada dalam sirapan. Sementara itu Ratu Duyung merasa tidak
enak mendengar orang mempertanyakan usianya. Dia menjawab dengan cepat.
“Berapa
usiaku tidak perlu kau persoalkan. Aku atas nama Ratu Agung memerintahkan agar
kau menyerahkan semua ilmu yang pernah kau dapat! Setelah itu kau boleh
meninggalkan tempat ini!”
Nyi Ragil
Tawangalu tertawa bergelak mendengar kata-kata Ratu Duyung.
“Apa
hubunganmu dengan Ratu Agung?!” si nenek membentak.
“Kau tak
layak bertanya!” jawab Ratu Duyung. “Yang penting saat ini juga aku mewakili
Ratu Agung mengambil semua ilmu yang pernah diberikannya padamu!”
Nyi Ragil
kembali tertawa. Setelah keluarkan suara mendengus dia jawab ucapan Ratu
Duyung.
“Malam
memang belum sampai ke ujungnya! Tidak salah kalau kau bicara seperti orang
mimpi! Beraninya mengatasnamakan Ratu Agung! Jika kau ingin merampas ilmuku
silahkan lakukan sendiri!”
Ratu
Duyung balas mendengus. “Aku memberi kesempatan terakhir padamu. Aku hanya
minta kau menyerahkan dua ilmu kesaktian. Ilmu Mengupas Raga dan ilmu Pembalik
Otak Pembuta Mata!”
“Mulutmu
besar. Bicaramu sombong. Ternyata kau seorang pengecut! Aku menantangmu untuk
mengambil sendiri dua ilmu itu jika aku memang mampu!”
“Nyi
Ragil, kau kelihatan takabur! Aku akan mengambil dua ilmu kesaktian itu dari
dalam tubuhmu sekaligus bersama jantungmu!”
“Aku mau
lihat!” jawab si nenek. Dia bergerak mendekati sebatang pohon besar. Tangan
kanannya yang sudah dialiri ilmu kesaktian Mengupas Raga digosokkan ke batang
pohon. Asap merah mengepul
dibarengi
terdengarnya suara menggerek keras. Ketika asap sirna kelihatan bagaimana kulit
pohon yang tebal dan keras telah terkelupas. Bagian dalamnya seperti terbongkar
dan leleh!
“Mungkin
sudah saatnya wajahmu kubuat seperti batang pohon itu! Hik… hik… hik!”
“Aku
bukan anak kecil, bisa kau takuti dengan ilmu yang kau dapat dari menipu Ratu
Agung! Riwayatmu berakhir malam ini nenek cabul!”
Habis
berkata begitu Ratu Duyung berkelebat kirimkan serangan. Cermin bulat di tangan
kanan digerakkan, mengiblatkan cahaya putih sedang tangan kiri hantamkan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tak terduga dari samping
tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng melompat memapaki serangan Ratu Duyung
sambil berteriak.
“Nenek
kurang ajar! Beraninya kau menyerang kekasihku!”
Sebelumnya
Ratu Duyung telah kena ditendang pinggulnya oleh Wiro. Kini dapatkan dirinya
diserang begitu rupa, bagaimanapun kecintaan sang Ratu terhadap sang pendekar,
mau tak mau dia menjadi kesal juga. Apa lagi dua serangan yang tadi
dilancarkannya jadi meleset dan dapat dihindari oleh Nyi Ragil.
“Bukkk!”
Pukulan tangan kanan Wiro melanda bahu kiri Ratu Duyung sebaliknya “dukkk”!
Sikut sang Ratu berhasil menyodok ulu hati Wiro Ratu Duyung terbanting ke
kanan, sambil menahan sakit cepat imbangi tubuh agar tidak jatuh terpelanting.
Wiro sendiri terbungkuk-bungkuk usapi perut.
“Yayang!
Kau tak apa-apa?!” seru Nyi Ragil sambil melompat dan pegangi perut Wiro.
“Kekasihku,
tak usah kawatir. Aku tak apa-apa,” jawab Wiro.
Jijik
sekali Ratu Duyung mendengar ucapan dan melihat sikap ke dua orang itu.
Dengan
seringai tersungging di mulut Nyi Ragil berkata.
“Nenek
jelek, kalau kau mampu menghadapi kekasihku, dua ilmu yang kau sebutkan tadi
akan kuserahkan secara suka rela padamu!” Berteriak Nyi Ragil.
Kekasihku,
kau tak usah kawatir!” kata Wiro pada Nyi Ragil. “Biar tua bangka satu ini
kuberi pelajaran agar tahu rasa!”
Walau
tahu kalau Wiro belum sepenuhnya bebas dari sirapan ilmu jahat si nenek namun
kejengkelan Ratu Duyung pada Wiro dan kebenciannya pada Nyi Ragil jadi tambah
menggelegak.
“Nenek
butut! Kalau kau tidak segera angkat kaki dari tempat ini, kubuat leleh”
tubuhmu!” Wiro membentak sambil mengangkat tangan kanan, diarahkan pada Ratu
Duyung. Agaknya Wiro tidak sekedar mengeluarkan ancaman. Karena saat itu dia
siap mengeluarkan pukulan Sinar Matahari untuk dihantamkan ke arah Ratu Duyung.
Nyi Ragil tertawa mengekeh. “Bagus, yayangku lekas habisi tua bangka itu dengan
pukulan Sinar Matahari!”
Melihat
bahaya dan bencana apa yang segera bakal terjadi Bidadari Angin Timur melompat
ke hadapan Wiro.
“Wiro!
Sadar! Buka matamu! Yang kau serang adalah Ratu Duyung. Aku Bidadari Angin
Timur dan Anggini! Kami bertiga adalah sahabat-sahabatmu!”
“Ratu
Duyung?” ujar Wiro. “Huh!” Wiro keluarkan suara mendengus. Dengan seringai
mengejek dia berkata. “Kalian nenek-nenek buruk beraninya mengaku sebagai
sahabatku!” Selesai bicara Wiro langsung menerjang ke arah Bidadari Angin
Timur.
Kecewa,
putus asa dan juga jengkel si jelita berambut pirang ini sambuti serangan Wiro.
Saat itu dia mendengar Ratu Duyung berteriak.
“Bidadari
Angin Timur! totok bagian atas hidung antara kedua matanya!”
Tidak
diberitahupun, dari dua gerakan Ratu Duyung pada pertama kali menggebrak tadi
Bidadari Angin Timur sudah maklum kalau untuk memusnahkan sirapan jahat yang
menguasai Wiro maka harus dilakukan dua totokan. Pertama pada ubun-ubun diatas
kepala, kedua pada kening di antara dua mata, tepatnya di atas hidung. Ratu
Duyung telah berhasil menotok ubun-ubun Wiro. Kini dia harus bisa menotok
bagian atas hidung antara dua mata. Ini bukan pekerjaan mudah karena dibawah
ilmu jahat Nyi Ragil Wiro menganggapnya sebagai musuh. Sang pendekar bukan
mustahil benar-benar akan membunuhnya.
Didahului
pekik keras merobek kegelapan dan kesunyian puncak Bukit Menoreh, Ratu Duyung
berkelebat, kirimkan serangan ke arah Nyi Ragil. Cermin bulat di tangan
kanannya digetarkan, lima gelombang sinar putih menderu menghantam sosok Nyi
Ragil. Dua di arah kepala, tiga pada bagian tubuh!
Nyi Ragil
melompat satu tombak ke udara. Dia berhasil selamatkan kepala dari sambaran dua
cahaya putih cermin sakti. Dua hantaman sinar lainnya yang menderu ke arah
tubuhnya juga berhasil di kelit. Tapi sambaran sinar ke lima yang membeset ke
arah kakinya tak mampu dihindari. Nyi Ragil berteriak keras. Dua tangannya
dihantamkan ke bawah. Dua larik sinar merah menderu, mendorong dan memotong
kiblatan cahaya putih cermin sakti.
“Bumm!
Buumm!”
Dua
letupan keras menggelegar menggetarkan Bukit Menoreh. Tubuh Nyi Ragil yang tadi
melakukan lompatan setinggi satu tombak kini kelihatan mencelat ke atas satu
tombak lagi, lalu jungkir balik, terbanting jatuh punggung di tanah. Setelah
keluarkan gerungan pendek nenek ini melompat bangkit. Dia masih bisa berdiri
walau terhuyung. Mukanya yang bercelomongan dandanan tebal tambah pucat kalang
kabut. Akibat bentrokan kekuatan dengan Ratu Duyung tadi dua tangannya terkulai
lemas di sisi badan, untuk beberapa lama tak bisa digerakkan. Tampangnya tambah
pucat ketika melihat bagian bawah pakaiannya ternyata telah hangus!
Sebaliknya
Ratu Duyung sendiri jatuh setengah berlutut. Muka pucat, tubuh tak bergerak.
Cermin bulat didekapkan di atas dada untuk mengurangi denyutan sakit akibat adu
kekuatan sakti dengan Nyi Ragil tadi.
“Muka
Mayat!” tiba-tiba Nyi Ragil berteriak. “Jangan jadi patung diam saja! Bantu
kami meng-hadapai tiga perempuan edan itu!” Nyi Ragil kerahkan tenaga dalam
lalu dialiri pada dua tangannya yang cidera. Begitu kekuatan muncul kembali dia
gerakkan tangan kiri ke punggung. Sebilah golok besar masih terbungkus sarung
kini tergenggam di tangan kirinya.
“Sreett!”
Nyi Ragil
hunus golok yang dikenal dengan julukan Si Penjarah Nyawa itu. Satu pertanda
bahwa dia ingin membunuh salah satu dari tiga gadis cantik. Yang jadi
sasarannya adalah Ratu Duyung yang diangapnya paling berbahaya.
“Ratu
Duyung, lihat senjata di tanganku!”
“Nenek
jahat! Aku tidak buta! Aku dapat melihat jelas golok rongsokan di tanganmu!”
Walau mulutnya berucap begitu namun Ratu Duyung sudah pernah mendengar
keganasan Golok Si Penjarah Nyawa. Dia tak mau berlaku ayal. Apalagi bentrokan
hebat dalam dengan lawan tadi masih mempengaruhi dirinya. Ratu Duyung kerahkan
tenaga dalam, Sebagian dialirkan pada tangan kanan yang memegang cermin sakti,
sebagian lagi ke arah kepala, dipusatkan pada sepasang matanya yang biru.
Nyi Ragil
menyeringai. “Ratu Duyung, dengar baik-baik. Sekali Golok Si Penjarah Nyawa
keluar dari sarungnya, satu nyawa akan melayang ke akhirat!”
“Wuttt!”
Golok
berkiblat. Walau puncak Bukit Menoreh diselimuti kegelapan malam namun golok Si
Penjarah Nyawa keluarkan cahaya terang angker, menabas ke arah dada Ratu
Duyung. Yang diserang tak tinggal diam. Sambil menggeser kedudukan dua kakinya
Ratu Duyung gerakkan pergelangan tangan. Selarik cahaya putih menyilaukan
keluar dari dalam cermin bulat, membeset udara dan kegelapan malam!
Nyi Ragil
agak takabur begitu percaya pada kehebatan setiap Golok Penjarah Nyawa yang
dimilikinya. Begitu tebasan golok ke arah dada lawan tidak menemui sasaran, dia
melesat ke udara. Golok Si Penjarah Nyawa kini dibabatkan ke arah kepala. Tapi
sebenarnya ini hanya satu tipuan saja. Begitu lawan rundukkan kepala, goloknya
terus menyambar ke arah tangan Ratu Duyung yang memegang cermin bulat. Dia
mengharapkan lawan akan mengelak selamatkan tangan. Ternyata memang benar.
Begitu Ratu Duyung jauhkan tangan kanannya Nyi Ragil memburu dengan satu
sambaran kilat ke arah cermin. Cermin dari kaca mana mampu melawan golok sakti.
Demikian Nyi Ragil berpikir.
Traaangg!
Traaakk!
Cermin
sakti dan Golok Si Penjarah Nyawa saling bentrokan. Pecahan kaca cermin
bertaburan di udara, berkilauan dalam kegelapan malam. Nyi Ragil tertawa
mengekeh. Tapi suara tawanya ini mendadak lenyap begitu dia menyadari kalau dia
tidak lagi menggenggam Golok Si Penjarah Nyawa di tangan kanan. Sedang sarung
golok yang tadi ada di tangan kirinya mental entah ke mana. Memandang ke atas
dia masih sempat melihat golok itu, dalam keadaan patah dua melesat mental ke
udara, lalu jatuh dan menancap di tanah!
*******************
4
ANGGINI
yang melihat hancurnya cermin sakti milik Ratu Duyung berseru kaget. “Ratu! Cerminmu!”
Ratu Duyung sendiri memang terkejut bukan main menyaksikan bagaimana senjata
sakti andalannya itu hancur berkeping-keping. Namun dia tetap unjukkan sikap
tenang. Dengan satu gerakan kilat gadis ini melompat ke udara. Bingkai cermin
yang masih berada di tangan kanannya diputar demikian rupa, menyambuti pecahan
kaca-kaca cermin yang saat itu melayang berjatuhan ke tanah. Terjadilah satu
hal luar biasa. Puluhan pecahan kaca cermin sakti yang jatuh diatas permukaan
bingkai menyatu rapat dan licin. Di lain kejap cermin sakti yang sebelumnya
telah hancur berantakan itu tampak utuh kembali seperti sebelumnya!
Melengak
Nyi Ragil melihat kejadian itu Si Muka Bangkai juga ikut terkesiap. Kakek ini
serta merta memberi tanda ke arah si nenek. Mau tak mau nyali Nyi Ragil jadi
bergetar. Dia harus melakukan sesuatu dengan cepat. Karenanya begitu Ratu
Duyung berpaling ke arahnya, sebelum gadis itu sempat bergerak Nyi Ragil
mendahului dengan satu serangan dahsyat. Dua tangan dihantamkan berbarengan.
Sepuluh larik sinar merah ilmu jahat Mengupas Raga menderu ke arah Ratu Duyung.
Kalau Nyi Ragil ingin menghabisi lawannya secepat yang bisa dilakukan maka
dilain pihak Ratu Duyung tak mau lagi memberi hati. Cermin sakti digetarkan.
Cahaya putih menyilaukan menyambar. Bersamaan dengan itu dia sentakkan kepala
kedipkan mata. Dari sepasang matanya berkiblat dua larik sinar biru, menyambar
bersilang seperti gunting ke arah tubuh Nyi Ragil. Inilah satu ilmu langka yang
hampir tidak pernah dikeluarkan Ratu Duyung karena keganasannya membuat tidak
ada satu lawanpun selamat dari kematian. Saat itu bagi sang Ratu hanya dengan
ilmu kesaktian satu inilah dia akan mampu menamatkan riwayat lawannya si nenek
jahat. Kejut Nyi Ragil bukan alang kepalang.
“Pedang
Sinar Dasar Samudra…!” ucapnya bergetar begitu melihat dan mengenali sambaran
dua sinar biru. “Dulu aku pernah meminta ilmu ini pada Ratu Agung, tapi tidak
diberikan. Ternyata dia yang mendapatkan. Jahanam!” rutuk Nyi Ragil. Cepat
nenek ini melafal satu mantera lalu berseru.
“Ratu Duyung!
Apa kau begitu tega membunuh diriku?!”
“Astaga!”
Ratu Duyung keluarkan seruan kaget. Gerakan cermin cepat dialihkan, begitu juga
sem buran dua larik sinar biru yang mencuat dari sepasang matanya. Apa yang
terjadi? Dihadapannya dia tidak lagi melihat Nyi Ragil Tawangalu tetapi melihat
sosok Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan pemuda yang dicintainya inilah yang
menjadi sasaran serangan ganasnya!
Dalam
keadaan seperti itu, Ratu Duyung telah kena ditipu. Dengan ilmu Pembalik Otak
Pembuta Mata Nyi Ragil telah merubah dirinya sehingga Ratu Duyung melihatnya
bukan lagi sebagai seorang nenek berdandan medok tebal yang jadi musuhnya
melainkan menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng, pemuda yang dicintainya. Ratu
Duyung menoleh ke samping. Dan menjadi bingung. Disebelah sana dia melihat satu
lagi sosok Wiro, tengah bertempur hebat menghadapi Bidadari Angin Timur.
“Aneh,
bagaimana mungkin bisa ada dua Pendekar 212?”
membatin
sang dara. “Jangan-jangan… Pasti nenek celaka itu telah menyirapku dengan ilmu
Pembuta Mata!”
Ratu
Duyung cepat sadar. Dia hentakkan kaki kanannya ke tanah seraya merapal satu
ucapan. Walau samar-samar tapi saat itu juga dia melihat kembali sosok asli
orang didepannya yakni sosok Nyi Ragil Tawangalu. Meski Ratu Duyung berhasil
menguasai jalan pikiran dan penglihatannya kembali namun untuk beberapa saat
tadi dia telah berlaku-ayal. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Nyi Ragil.
Selagi
Ratu Duyung terkesiap begitu rupa, Nyi Ragil lipat gandakan kekuatan dorongan
dua tangannya. Sepuluh larik cahaya merah ilmu Mengupas Raga yang tadi sudah
berkelebat di udara kini laksana topan prahara menderu lebih cepat ke arah sang
Ratu yang masih tegak setengah tertegun!
“Ratu
Duyung! Awas!” teriak Anggini. Dia melompat ke depan melancarkan jurus ilmu
silat yang diwarisi dari gurunya Dewa Tuak, bernama Memecah Angin Meruntuh
Matahari Menghancurkan Rembulan. Dua tangan dihantamkan berbarengan, memapas
serangan sepuluh cahaya merah ilmu Mengupas Raga.
Untuk
kesekian kalinya puncak Bukit Menoreh malam itu dilanda gelegar letusan
dahsyat. Tertindih oleh suara letusan keras itu terdengar jeritan Ratu Duyung.
Gadis ini terbanting ke tanah sambil pegangi dada pakaiannya sebelah kanan yang
mengepulkan asap. Anggini yang berjibaku melancarkan serangan untuk menyelamatkan
sahabatnya Ratu Duyung kelihatan terjajar terhuyunghuyung lalu jatuh berlutut.
Wajahnya yang jelita tampak pucat. Dadanya yang besar bergetar turun naik,
mendenyut sakit. Pemandangan menggelap pertanda jalan darahnya tidak karuan.
Gadis ini cepat atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalam. Di bagian lain Nyi
Ragil terduduk di tanah. Tubuh membungkuk, rambut awut-awutan. Dia menggigit
bibir menahan rasa sakit seolah satu batu besar menindih dadanya. Si nenek
batuk-batuk. Ada cairan aneh di dalam mulutnya. Ketika diludahkan yang
tersembur bukan cuma ludah tapi juga darah kental! Si nenek mengalami luka
dalam.
Dari
kejadian ini jelas dalam hal tenaga dalam Nyi Ragil masih berada satu tingkat
dibawah murid dewa Tuak Anggini. Hal ini membuat si nenek sulit bisa percaya!
Dia yang tua bangka dan punya segudang pengalaman masih kalah dari seorang
gadis belia!
Ternyata
jibaku yang dilakukan Anggini tidak seluruhnya berhasil menyelamatkan Ratu
Duyung. Enam larik serangan cahaya merah ilmu Mengupas Raga yang dilancarkan
Nyi Ragil berhasil ditumpas dimusnahkan. Tiga lainnya dibabat mental lalu
menghantam pohon besar di seberang sana hingga pohon ini terpanggang hangus,
untuk beberapa lama kelihatan membara merah dalam kegelapan malam. Serangan
larikan cahaya yang ke sepuluh dari pukulan Mengupas Raga yang dilancarkan Nyi
Ragil ternyata tak dapat ditumpas oleh pukulan sakti Anggini. Larikan cahaya
merah ini dengan ganas menyambar setengah jengkal diatas permukaan dada pakaian
sebelah kanan Ratu Duyung.
“Wusss!”
Asap kehitaman mengepul.
Ratu
Duyung terpekik, cepat bersurut mundur sambil pegangi dada. Larikan sinar
membakar hangus pakaian sang Ratu. Manik-manik yang bertempelan pada pakaian
itu hancur bertaburan.
“Ratu
Duyung!” seru Anggini. Secepatnya dia berhasil mengatur jalan darah dan
mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya, gadis ini segera lari menghampiri
sahabatnya itu.
“Ratu…”
Anggini berlutut disamping Ratu Duyung. Matanya memperhatikan tangan kanan sang
Ratu yang dipakai menutupi dada sebelah kanan.
“Aku… aku
terluka…” ucap Ratu Duyung.
Anggini
coba memeriksa. Diangkatnya tangan Ratu Duyung yang menekapi dada. Murid Dewa
Tuak ini jadi tersentak, mukanya mengerenyit. Dibalik dada pakaian yang robek
hangus Anggini melihat dada kanan sang Ratu. Satu luka sepanjang satu jengkal
menganga hangus mengerikan. Melihat air muka sahabatnya Ratu Duyung coba angkat
kepala, memperhatikan ke arah dadanya sendiri.
“Ah…”
Kepala sang Ratu terkulai ke tanah. Wajahnya yang jelita seputih kain kafan.
Bibirnya digigit kuat-kuat. “Nenek jahanam itu… Dia membuat aku cacat seumur
hidup. Anggini, bantu aku berdiri. Aku harus membunuh manusia itu saat ini
juga!”
“Ratu
Duyung, kau dalam keadaan terluka. Kau bisa bertahan? Biar aku yang menghadapi
tua bangka jahanam itu!”
“Aku…”
Ratu
Duyung tidak meneruskan ucapannya. Saat itu Anggini telah berdiri lalu melompat
ke arah Nyi Ragil yang tengah mengeroyok Bidadari Angin Timur bersama Wiro
Sableng. Di tangan Nyi Ragil tergenggam sebilah Golok Si Penjarah Nyawa yang
baru. Ternyata ke mana-mana nenek berjuluk Si Manis Penyebar Maut ini memang
membawa lebih dari satu golok sakti.
Dikeroyok
oleh dua orang berkepandaian tinggi membuat Bidadari Angin Timur terdesak
hebat. Untung saja gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi serta
gerakan kilat yang sulit dicari tandingannya. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan
hanya bayang-bayang biru pakaian serta sambaran rambut pirangnya yang bisa
berubah menjadi senjata mematikan. Setelah bertempur lebih sepuluh jurus dan
mereka masih juga belum dapat menyentuh Bidadari Angin Timur, Nyi Ragil
berteriak.
“Yayang,
keluarkan kapak saktimu!”
Termakan
ucapan si nenek, Wiro yang masih berada dalam sirapan ilmu Pembuta Mata segera
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sengaja pegang senjata ini di tangan
kiri karena tangan kanan dipergunakan untuk melancarkan pukulan-pukulan sakti.
Begitu Kapak Naga Geni 212 mulai menyambar maka suara menggaung angker disertai
sambaran cahaya putih panas serta merta mengurung Bidadari Angin Timur.
Sang dara
berambut pirang kertakkan rahang. Terhadap Nyi Ragil dia bisa menumpahkan
seluruh ilmunya untuk dipakai menyerang, tapi terhadap Wiro tak mungkin hal itu
dilakukan. Walau bagaimanapun dia tak ingin mencelakai pemuda yang dicintainya
itu. Sebaliknya Wiro menyerangnya bersungguh-sungguh. Dalam keadaan serba salah
akibatnya Bidadari Angin Timur kembali mulai terdesak. Gadis ini merasa gembira
ketika dilihatnya tiba-tiba Anggini menerjang ke arah Nyi Ragil yang tengah
mengeroyoknya. Namun dia jadi kecewa karena saat itu Si Muka Bangkai telah
melompat memapaki gerakan Anggini. Sambil menyeringai Si Muka Bangkai kembaran
berdiri bungkuk di hadapan Anggini.
“Murid
Dewa Tuak, aku sudah tahu kehebatan gurumu yang ke mana-mana membawa tuak.
Apakah kau juga sama hebatnya dengan gurumu? Lalu ke mana-mana kau membawa apa?
Ha… ha… ha! Kulihat kau tidak membawa bumbung bambu berisi tuak, tapi membawa
sepasang benda lembut besar dibalik dada pakaianmu! Ha… ha… ha!”
“Tua
bangka jahanam! Sudah bau tanah masih bicara kotor!”
teriak
Anggini. “Jaga kepalamu!” Tubuh sang dara berpakaian ringkas serba ungu ini
melesat laksana tombak. Tangan kanannya menyambar seperti sambaran pedang dari
atas kebawah, yang diarah batok kepala Si Muka Bangkai.
“Jurus
Bumbung Sakti Membelah Akhirat!” seru Si Muka Bangkai menyebut jurus serangan
yang dilancarkan Anggini. “Ha… ha! Siapa takut! Gadis cantik jaga auratmu!”
Si Muka
Bangkai membuat gerakan mengelak. Begitu hantaman tangan Anggini lewat, sambil
membungkuk tangan kirinya disorongkan ke bawah perut sang dara.
“Jahanam
kurang ajar!” teriak Anggini marah sekali melihat cara si kakek menyerangnya.
Serangan ganasnya tadi jadi mentah. Sang dara segera lipat lutut kiri.
Bersamaan dengan itu Anggini hantamkan tangan kanan ke depan. Serangkum angin
deras melabrak Si Muka Bangkai. Sosok kakek ini sesaat bergoncang keras. Dua
tangannya menggapai aneh.
Tiba-tiba
tangan sebelah kanan bergerak, telapak membuka, lima jari setengah menekuk.
Ketika tangan itu didorongkan maka terdengar suara mendesis keras disertai
sambaran angin panas membara. Si Muka Bangkai telah melepas pukulan Telapak
Matahari. Salah satu pukulan sakti yang telah menggetarkan rimba persilatan
Tanah Jawa. Anggini berseru kaget ketika merasakan tubuhnya laksana dipanggang.
Murid Dewa Tuak segera membuang diri ke samping.
“Wuuttt!”
Angin
serangan lewat di samping kepalanya. Di udara tercium bau sangit. Anggini raba
rambut kepala samping kanan. Ternyata angin panas pukulan Telapak Matahari
sempat membakar beberapa helai rambutnya!
Si Muka
Bangkai kembaran tertawa mengekeh.
“Gadis
cantik! Gurumu si Dewa Tuak saja belum tentu mampu mengalahkanku. Jangan berani
cari penyakit. Aku akan menghentikan perkelahian ini jika kau suka ikut aku.
Kita bersenang-senang sampai menjelang pagi. Bagaimana?!”
“Tua
bangka cabul! Kau boleh bersenang-senang di neraka!” Teriak Anggini. Lalu gadis
ini menyerbu dengan tendangan berantai.
Dua
tangan ikut kirimkan serangan-serangan mematikan. Sesekali serangan itu berupa
totokan kilat mengincar urat besar di pangkal leher dan dada kiri. Si Muka
Bangkai kini tak mau berlaku main-main. Dari serangan yang dilancarkan lawan
agaknya sang dara tengah mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
“Serangannya
diselingi totokan,” membatin Si Muka Bangkai. “Aku ingat, Dewa Tuak punya ilmu
totokan yang disebut Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal. Totokan itu bisa
memecah jantung. atau melumpuhkan tubuh. Aku harus hati-hati.
“Si Muka
Bangkai kembaran percepat gerakannya. Tubuhnya yang bungkuk berubah menjadi
bayang-bayang. Dia berusaha mengeluarkan beberapa pukulan sakti, tapi Anggini
tak memberi kesempatan. Pukulan dan tendangannya datang bertubi-tubi. Belum
lagi totokan yang menyambar berulang kali ke arah leher dan dada.
“Setan
alas! Hidup-hidup tak bisa kudapat, bangkaimu pun tak jadi apa!” kertak Si Muka
Bangkai, Kakek ini lalu rubah gerakan silatnya. Tubuhnya yang bungkuk mendadak
berubah lurus. Dua tangannya seolah menjadi lebih panjang. Ketika kakek ini
siap menghantamkan dua pukulan sakti tiba-tiba menyambar selarik sinar ungu.
“Wuuttt!”
Si Muka
Bangkai kembaran berseru kaget ketika tiba-tiba dia dapatkan dua lengannya
dilibat sehelai selendang berwarna ungu.
“Kakek
jahanam! Putus tanganmu!” teriak Anggini.
“Gadis
keparat! Tanganmu yang amblas!” teriak Si Muka Bangkai.
Tenaga
dalam pada dua tangannya dilipat gandakan, lalu dua lengannya dibetot
kuat-kuat.
*******************
5
KITA
tinggalkan dulu pertempuran antara Anggini dengan Si Muka Bangkai. Kita kembali
pada Bidadari Angin Timur yang harus bertempur mati-matian menghadapi Pendekar
212 Wiro Sableng dan Nyi Ragil Tawangalu. Sampai saat itu ilmu sirapan jahat
Nyi Ragil masih menguasai Wiro hingga dia tetap melihat Bidadari Angin Timur
sebagai seorang nenek tak dikenal. Di tempat lain Ratu Duyung tergejetak di tanah
keluarkan erangan tiada henti. Untuk mengurangi rasa sakit cidera di dadanya
gadis ini tempelkan cermin sakti ke bagian. yang terluka. Kematian bagi Ratu
Duyung bukan apa-apa dibanding jika dia tetap hidup dengan menderita cacat di
dada seumur-umur. Dia teringat, satu hal yang terasa sangat menakutkan. Tidak
ada satu lelakipun yang akan mencintai apa lagi mengambil istri seorang gadis
yang memiliki cacat mengerikan pada bagian dadanya.
“Gadis
cantik bertebaran di mana-mana. Agaknya sudah takdir aku tak bakal mendapatkan
Wiro. Kini Bidadari Angin Timur dan Anggini lebih memiliki dan membagi
kesempatan. Siapa yang perduli dengan gadis cacat sepertiku. Apa gunanya lagi
hidup. Lebih baik mati saja…” Ucapan itu menyeruak dalam hati Ratu Duyung.
Perlahan-lahan air mata jatuh meleleh di pipi dara bermata biru ini.
Kembali
pada pertempuran antara Bidadari Angin Timur melawan Wiro dan Nyi Ragil
Tawangalu. Bagaimanapun hebatnya gadis berkepandaian tinggi itu bertahan,
mengelak dan balas menyerang namun dua lawan yang dihadapinya bukan
manusia-manusia sembarangan. Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro serta ilmu
Mengupas Raga yang sesekali dilepas Nyi Ragil membuat dirinya benarbenar
dikurung maut dari berbagai penjuru.
“Celaka,
sampai berapa lama aku bisa bertahan,” keluh Bidadari Angin Timur dalam hati.
Melirik ke samping dilihatnya Anggini bertempur nekad melawan Si Muka Bangkai
sementara di tempat lain Ratu Duyung masih tergeletak di tanah, mengerang
sambil dekapkan cermin sakti di atas dada. “Aku harus mencari akal! Aku harus
berbuat sesuatu. Kalau tidak pasti konyol!” Untuk lari selamatkan diri begitu
saja sama sekali tidak terpikir di benak Bidadari Angin Timur yang punya hati
sekeras baja ini. Otaknya diputar. Dia ingat pada apa yang dilakukan Ratu
Duyung di permulaan pertempuran menghadapi Wiro tadi.
Setelah
menghantam ke arah Nyi Ragil dengan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi, memaksa lawan satu ini menjauh, Bidadari Angin Timur nekad
melompat ke hadapan Wiro lalu berteriak.
“Pangeran
Matahari! Hebat sekali! Bagaimana Kapak sakti milik Pendekar 212 berada di
tanganmu! Pasti kau telah membunuh musuh besarmu itu!”
Wiro yang
hendak membabatkan Kapak Naga Geni 212 jadi tertahan gerakannya.
“Nenek
butut! Apa kau bilang? Kau memanggil aku Pangeran Matahari?! Ha… ha… ha! Matamu
buta, otakmu pasti tidak waras!”
“Lalu
siapa dirimu sebenarnya? Jawab!”
Wiro
sesaat tampak bingung.
Melihat
gelagat yang tidak baik Nyi Ragil segera berteriak.
“Yayang,
jangan dengarkan ucapan nenek keparat itu! Lekas bunuh dia!”
“Kekasihku,
jangan khawatir! Aku akan persembahkan kepalanya sebagai mas kawin!” jawab Wiro
lalu tertawa gelak-gelak.
Saat
itulah dengan satu gerakan luar biasa cepatnya Bidadari Angin Timur melesat ke
arah Wiro. Tangan kanan diangkat ke atas seperti hendak menggebuk. Ini hanya
satu tipuan belaka. Begitu Wiro membuat gerakan mengelak secepat kilat dua jari
telunjuk tangan kiri sang dara menyambar ke arah kening antara dua mata sang
pendekar.
“Yayang!
Awas totokan!” teriak Nyi Ragil. Nenek ini melompat sambil hantamkan tangan
kanan ke arah punggung Bidadari Angin Timur yang saat itu membelakanginya.
“Desss!”
Kening di
atas hidung antara dua mata Pendekar 212 yang dilanda totokan dahsyat Bidadari
Angin Timur keluarkan suara mendesis disertai mengepulnya asap hitam. Wiro
terhuyung ke belakang, usap-usap matanya berulang kali dengan tangan kanan
sementara tangan kiri masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Sirapan ilmu
Pembuta Mata yang menguasai dirinya musnah. Bersamaan dengan itu ingatannya
yang masih agak linglung kini menjadi pulih sepenuhnya. Wiro buka matanya
lebar-lebar, memandang berkeliling.
Sementara
itu ketika Bidadari Angin Timur sadar kalau dirinya dibokong orang dengan
serangan maut, serta merta melompat ke samping kanan selamatkan diri. Namun
terlambat. Kepalan Nyi Ragil yang menyorotkan sinar merah membara pertanda
diisi dengan kekuatan penuh ilmu ganas Mengupas Raga laksana kilat menghunjam
ke punggung Bidadari Angin Timur. Kalau sampai jotosan itu mengenai sasaran
maka punggung si gadis akan bolong, tembus hangus sampai ke permukaan dada!
Hanya
satu kedipan lagi pukulan maut Nyi Ragil akan mendarat di sasarannya tiba-tiba
satu bayangan besar berkelebat menghantar siuran angin deras. Dua tangan
berkelebat secepat kilat. Satu mendorong bahu Bidadari Angin Timur hingga gadis
ini terjungkal jatuh ke tanah. Tangan satunya menebarkan sesuatu di udara.
“Srettt!”
“Crasss!
Breett!”
“Sial
biyung! Rusak kipasku!”
“Bukkk!”
Nyi Ragil
menjerit. Nenek ini terlempar dua tombak. Dua tangannya pegangi kepala yang
barusan seperti dihantam pentungan besi. Di keningnya kelihatan satu benjutan
besar. Lalu terdengar suara gelak tawa mengekeh. Semua orang jadi kaget karena
suara tawa itu sampai menggetarkan tanah. Di saat bersamaan hawa dingin aneh
mendadak menyungkup puncak Bukit Menoreh hingga dalam kejutnya semua orang
menggigil kedinginan. Nyi Ragil turunkan dua tangan yang menekap kening,
memandang ke depan menahan sakit penuh geram. Mulutnya yang kempot bergerak
kembang kempis. Bidadari Angin Timur begitu menjejakkan kaki di tanah cepat
berpaling ke arah orang yang tertawa.
Terkapar
di tanah walau dalam keadaan menahan sakit Ratu Duyung berusaha gerakkan
kepala, memandang ke arah yang sama. Sementara itu Si Muka Bangkai dan Anggini
yang tengah terlibat dalam pertempuran hebat walau mendengar suara tawa
menggelegar disertai munculnya hawa dingin luar biasa namun mereka berusaha
agar tidak terpengaruh. Saat itu keduanya berada dalam keadaan sangat
berbahaya. Siapa bertindak lengah bakal celaka. Seperti diceritakan sebelumnya
selendang ungu milik Anggini yang merupakan satu senjata ampuh telah melibat
pergelangan tangan kiri kanan Si Muka Bangkai.
“Kakek
jahanam! Putus tanganmu!” teriak Anggini seraya menyentakkan kuat-kuat ujung
selendang yang dipegangnya di tangan kanan. Dengan selendang yang merupakan
senjata ampuh serta kekuatan tenaga dalam tinggi yang dimiliki murid Dewa Tuak,
memang bukan mustahil bagi Anggini untuk menyentak putus dua tangan lawannya.
Akan
tetapi di lain pihak Si Muka Bangkai yang tahu gelagat serta maklum kehebatan
tenaga dalam yang dimiliki Anggini, serta merta alirkan seluruh tenaga dalamnya
pada dua tangan. Dalam hati dia membatin. “Tenaga dalammu mungkin lebih tinggi
dari Nyi Ragil. Tapi terhadapku kau boleh coba!”
Lalu Si
Muka Bangkai berseru keras membalas teriakan Anggini.
“Gadis
keparat! Tanganmu yang amblas!” Dua lengan „yang dilibat selendang ungu dibetot
kuat-kuat ke belakang.
“Kurang
ajar!” maki Anggini dalam hati. Rahangnya menggembung. Dia bisa nekad sambuti
kekuatan tenaga dalam lawan.
Tapi ada
satu hal yang dikhawatirkan gadis ini. Kalau akibat saling menarik itu
selendang ungunya sampai robek apa lagi hancur tak karuan maka dia akan
menyesal seumur-umur. Selendang itu mempunyai arti dan sejarah tersendiri bagi
Anggini. Beberapa tahun sebelumnya ketika pertama kali dia berkenalan dengan
Wiro, dalam satu kesempatan penuh mesra Wiro telah mengguratkan angka 212 pada
salah satu ujung selendang ungu itu. Karenanya begitu merasa lawan melakukan
betotan kuat Anggini kendurkan tarikannya. Malah dengan cerdik dia pergunakan
daya betot Si Muka Bangkai untuk lesatkan diri ke depan. Sambil melesat dia
gerakkan tangan hingga selendang yang menggulung dua lengan lawan berputar
lepas. Lalu dengan satu gerakan kilat Anggini merubah putaran selendang
demikian rupa hingga siap menjirat leher lawan. Masih mengandalkan daya betotan
lawan Anggini melompat ke udara. Bersamaan dengan itu tangan kirinya membuat
gerakan melempar.
“Wuuttt!
Wuuttt! Wuuutttt!”
Si Muka
Bangkai melihat tiga cahaya putih disertai deru menggidikkan. Tiga benda
berbentuk paku putih menyambar ke arah Si Muka Bangkai. Satu mengarah kepala,
dua menjurus ke bagian dada!
“Paku
perak pemburu nyawa!” teriak Si Muka Bangkai.
Saat itu
keadaan kakek bermuka sepucat mayat ini memang sangat berbahaya. Lehernya siap
dijirat gelungan selendang ungu. Sementara tiga paku putih terbuat dari perak
mencari sasaran di kepala dan dada. Orang lain mungkin tidak akan sanggup
selamatkan diri dari serangan ganas murid Dewa Tuak itu. Namun Si Muka Bangkai
kembaran bukan manusia sembarangan. Ilmunya tidak kalah hebat dari kakak
kembarnya, Si Muka Bangkai asli. Dari tenggorokannya terdengar suara
menggembor. Ketika mulut itu meniup, paku perak yang menyambar ke arah
kepalanya terpental ke samping. Bersamaan dengan meniup tadi si kakek sakti
jentikkan lima jari tangan kiri kanan.
Sepuluh
larik sinar berwarna hitam berseling merah dan kuning berkiblat. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Sepuluh Tameng Kematian. Konon kakak kembarnya Si Muka
Bangkai asli tidak memiliki ilmu kesaktian yang satu ini. Berarti ilmu ini
benar-benar merupakan yang paling diandalkan Si Muka Bangkai kembaran baru
dikeluarkan dalam bahaya besar dan sulit dihadapi. Menurut para tokoh silat
golongan hitam yang mengetahui, ilmu Sepuluh Tameng Kematian merupakan benteng
pertahanan dan sekaligus memiliki daya serang ampuh luar biasa. Sambil
hantamkan ilmu Sepuluh Tameng Kematian, Si Muka Bangkai rundukkan tubuhnya yang
bungkuk. Paku perak yang menyambar ke arah kepala lewat hanya sekuku di atas
ubun-ubunnya. Lalu.
“Tringg!
Tringg!”
“Dukkk!”
“Bukkk!”
Dua paku
perak sakti yang menghantam ke arah dada Si Muka Bangkai leleh lalu mental ke
udara. Anggini sendiri terpekik. Gadis ini jatuhkan diri ke tanah, bergulingan
menjauh sambil pegangi kepalanya. Walau dia berhasil selamatkan nyawa namun
selarik sinar yang keluar dari jari-jari tangan Si Muka Bangkai menghanguskan
rambutnya!
Larikan
lain membakar bahu pakaian ungunya! Anggini berusaha berdiri. Sosoknya
kelihatan miring. Wajah mengerenyit. Bahu kiri terasa sakit sekali. Di sebelah
bawah tangannya tak bisa digerakkan seolah lumpuh. Ini adalah akibat jotosan
yang sempat dihantamkan Si Muka Bangkai begitu melihat serangan ganasnya tidak
berhasil menghabisi murid Dewa Tuak.
Sebaliknya
saat itu Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Matanya yang celong mendelik merah.
Pelipis bergerak, rahang menggembung. Dia tidak perdulikan denyut sakit di
dada. Tidak mengacuhkan ada darah yang meleleh di sudut bibirnya. Juga tidak
perduli akan hawa dingin yang seperti hendak membuat beku sosok tua rentanya.
Dua kaki ditekuk hingga tubuhnya yang bungkuk bertambah bungkuk. Dua tangan
diangkat ke atas. Udara gelap di atas kepala Si Muka Bangkai mendadak bertambah
kelam.
“Anggini
awas! Jahanam tua itu hendak melepaskan pukulan Gerhana Matahari”
Yang
berteriak adalah Ratu Duyung. Dalam keadaan cidera berat gadis ini masih sempat
memberi ingat sahabatnya itu. Seringai maut menyungging di wajah pucat Si Muka
Bangkai.
Tiba-tiba
seringai itu lenyap. Bersamaan dengan lenyapnya seringai itu si kakek siap
hantamkan dua tangannya, melepas dua pukulan Gerhana Matahari sekaligus. Tapi
mendadak gerakannya tertahan ketika dia mendengar suara jeritan keras merobek
gelapnya langit dan udara malam di puncak Bukit Menoreh.
“Nyi
Ragil…” desis Si Muka Bangkai. Apa yang terjadi?!
*******************
6
KEGEGERAN
besar berturut-turut melanda Bukit Menoreh. Kegegeran pertama sewaktu
berkelebatnya satu bayangan besar disusul jeritan Nyi Ragil. Sambil pegangi
kepalanya yang benjut seolah kena pentung Nyi Ragil memandang geram ke depan.
Kecuali Anggini dan Si Muka Bangkai yang tengah terlibat pertempuran hidup
mati, semua orang yang ada di tempat itu juga sama terkesiap kaget dan
palingkan kepala. Di tempat itu berdiri seorang pemuda bertubuh gemuk luar
biasa. Mengenakan baju terbalik. Bagian yang berkancing berada di sebelah
punggung. Sehelai kain sarung melintang di atas bahu. Si gendut bermata belok
ini berdiri cengengesan sambil tangan kiri mengipasngipaskan sebuah peci hitam.
Mukanya yang merah tembam serta pakaiannya basah oleh keringat. Sikapnya lucu.
“Uhhh…
Panasnya udara malam ini!” kata si gendut ini. Benarbenar gila! Saat itu semua
orang pada menggigil menahan udara dingin aneh yang menyungkup puncak Bukit
Menoreh. Tapi si gendut malah berucap panas!
Di tangan
kanannya orang ini memegang sebuah kipas kertas yang robek bolong. Dengan kipas
kertas inilah tadi dia menahan jotosan maut Nyi Ragil yang melabrak ke arah
punggung Bidadari Angin Timur hingga gadis ini selamat dari maut. Lalu dengan
tangan masih memegang kipas yang jebol itu dia menghantam kepala Nyi Ragil,
tepat di arah kening. Sehingga si nenek terpental jauh dan benjut besar di
jidatnya.
Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung yang mengenali siapa adanya pemuda gendut ini
berseru hampir berbarengan.
“Bujang
Gila Tapak Sakti!”
Pendekar
212 Wiro Sableng yang baru saja lepas dari sirapan jahat ilmu Pembalik Otak
Pembuta Mata saat itu berdiri setengah tertegun sambil garuk-garuk kepala.
Dalam hati dia membatin. “Eh, ke mana perginya tiga nenek butut tadi. Aku
melihat gadis-gadis cantik. Astaga, bukankah si rambut pirang di dekatku ini
adalah Bidadari Angin Timur. Lalu yang berkelahi di sebelah sana Anggini murid
Dewa Tuak. Dan yang terkapar di sebelah situ… Astaga. Dia Ratu Duyung, apa yang
terjadi atas dirinya?”
Akan
halnya Nyi Ragil, yang sebelumnya sempat kaget dan marah besar terhadap si
gendut yang diketahuinya telah menolong menyelamatkan Bidadari Angin Timur
serta memukul benjut keningnya, kini mendengar dua gadis menyebut nama Bujang
Gila Tapak Sakti hatinya jadi bergetar. Dia belum pernah bertemu muka dengan si
gendut ini namun sudah mendengar banyak tentang kehebatan ilmu silat serta
kesaktiannya.
“Bujang
Gila Tapak Sakti. Pendekar Aneh Dari Gunung Mahameru…” desis si nenek.
“Kudengar kabar kalau tak salah dia adalah keponakan dua tokoh aneh Dewa Ketawa
dan Dewa Sedih. Udara dingin yang menyungkup di tempat ini, pasti si gendut
sakti itu yang punya pekerjaan! Waktu terjadi pertempuran hebat antara para
tokoh silat golongan putih melawan para dedengkot golongan hitam, kabarnya dia
yang membunuh kakak kembaran kekasihku.”
Si nenek
melirik ke arah Wiro. “Pemuda itu lepas dari sirapan. Bujang Gila jelas berada
di pihaknya. Naga-naganya urusan bisa jadi kapiran! Apa lagi aku sudah kena
cidera. Lebih baik cepat-cepat tinggalkan tempat ini. Aku harus memberi tahu Si
Muka Bangkai!”
Tapi
setelah memandang ke arah tempat di mana Si Muka Bangkai bertempur hebat
melawan Anggini, dalam keadaan seperti itu tidak mungkin bagi Nyi Ragil untuk
mendekati si kakek. “Perduli setan dengan tua bangka itu! Nyawaku lebih
penting!” Nyi Ragil mengambil keputusan untuk kabur lebih dulu, meninggalkan Si
Muka Bangkai begitu saja.
Dengan
cepat nenek ini putar tubuhnya lalu berkelebat ke arah kegelapan. Namun hanya
sesaat tubuhnya melayang di udara tiba-tiba dari kepekatan malam melesat satu
bayangan tinggi hitam disertai menebarnya bau aneh menyengat hidung.
“Nyi
Ragil, kau mau merat ke mana?! Tinggalkan dulu nyawamu di sini! Hik… hik… hik!”
Nyi Ragil
hanya mendengar ucapan serta sambaran angin. Dia tidak tahu di mana orang yang
barusan membentak berada. Tiba-tiba satu pukulan dahsyat melanda dadanya.
“Kraakk!”
“Suara
patah dua tulang iga Nyi Ragil tidak terdengar karena tertindih oleh jeritannya
yang merobek langit gelap. Tubuh nenek ini terpental dua tombak, bergulingan di
tanah. Ketika dia mencoba bangkit, dadanya terasa sesak lalu muntahkan darah
segar. Sepasang mata Nyi Ragil berapi-api, memandang sosok tinggi hitam yang
tegak di depannya. Berusaha mengenali siapa dia adanya. Tapi orang ini sengaja
tegak di bawah bayang-bayang pohon besar hingga sulit dikenali. Hanya ada bau
aneh tercium menyengat jalan pernafasan Nyi Ragil yang sudah sesak itu. Entah
mengapa saat itu juga Nyi Ragil merasakan tengkuknya merinding.
Selagi
Nyi Ragil megap-megap sulit bernafas dan darah masih meleleh di sela bibirnya
tiba-tiba sosok di bawah bayang-bayang gelap pohon keluarkan ucapan.
“Iblis
perempuan berjuluk Si Manis Penyebar Maut! Di manamana kau membunuh dan berbuat
mesum. Dosamu setinggi langit sedalam samudera! Beberapa waktu lalu kau
membunuh seorang tak berdosa di puncak Gunung Gede. Jangan kau berani berdusta.
Karena aku menemukan patahan golokmu di tempat itu! Menuruti amarah dendam
kesumat, aku ingin menghabisimu secepat bisa kulakukan! Tapi kematian cepat
terlalu enak bagimu! Aku akan membuntungi tubuhmu satu persatu! Terakhir sekali
akan kupecahkan kepalamu! Aku minta dua tanganmu yang suka menyebar kematian
dengan ilmu Mengupas Raga!”
Begitu
selesai berucap orang itu menggebrak. Sebuah benda di tangan kanannya yang ternyata
adalah tongkat kayu butut berkelebat, menyambar ke arah lengan kanan Nyi Ragil
“Jahanam!
Kau minta tangan kananku, makan dulu tangan kiriku!” teriak Nyi Ragil. Sungguh
luar biasa. Dalam keadaan cidera berat nenek berjuluk Si Manis Penyebar Maut ini
masih mampu melompat. Bahu kanan digeser ke belakang, sebaliknya tangan kiri
menghantam ke depan. Namun dia keliru kalau bisa dengan mudah cari selamat
sambil balas menghantam. Yang menyerangnya saat itu adalah tokoh angker dan
paling ditakuti dalam rimba persilatan Tanah Jawa. Sebelum serangan tangan kiri
Nyi Ragil sampai, tongkat di tangan lawan telah menghantam lengan kanannya. Tak
ampun lagi kraakk!
Jeritan
Nyi Ragil untuk kesekian kalinya membelah kegelapan malam. Tulang lengannya
sebelah kanan patah. Lengan yang masih dibalut hancuran daging dan kulit itu
kelihatan tergontai gontai.
“Sekarang
aku minta tangan kirimu!” Orang tinggi hitam tutup ucapannya dengan
menggerakkan tangan kanan. Tongkat kayu kembali menderu.
Si Muka
Bangkai kembaran yang sempat melihat hancurnya lengan kanan kekasihnya serta
mengenali siapa adanya orang tinggi hitam yang menyerang sahabatnya itu, dalam
kejut bercampur kecut segera hantamkan ilmu Sepuluh Tameng Kematian ke arah
Anggini. Begitu gadis lawannya bersurut mundur, dia pergunakan kesempatan untuk
melompat ke arah Nyi Ragil yang tengah dalam bahaya. Tangan kiri mengeruk ke
balik pakaian rombengnya. Sesaat sebelum orang tinggi hitam akan menghancurkan
tangan kiri Nyi Ragil dengan tongkat kayunya, Si Muka Bangkai dorongkan tangan
kiri lalu tangan kanan melemparkan sesuatu ke tanah antara Nyi Ragil dan orang
tinggi hitam. Satu gelombang angin dahsyat yang keluar dari tangan kiri Si Muka
Bangkai menahan gerak serangan yang dilancarkan orang ke arah Nyi Ragil. Ujung
tongkat tergetar hebat, melenceng ke samping.
“Bummm!”
Ledakan
keras menggelegar disusul kobaran bola api dan kepulan asap sangat hitam. Semua
orang untuk beberapa saat lamanya seolah menjadi buta.
“Muka
Bangkai pengecut! Jangan lari!” Yang berteriak adalah Anggini.
“Lari?!
Hik… hik! Makan tusuk kondeku!”
Sebuah
benda putih berkilauan melesat ke arah kobaran api dan kepulan asap hitam
tebal. Lapat-lapat terdengar suara seperti orang mengeluh kesakitan. Tak lama
kemudian, ketika kobaran api padam dan kepulan asap hitam lenyap, Nyi Ragil
Tawangalu dan Si Muka Bangkai kembaran tak ada lagi di tempat itu.
*******************
7
KINI
semua mata ditujukan pada sosok tinggi hitam agak bungkuk yang masih tegak di
bawah bayangan gelap pohon besar. Beberapa hidung kelihatan bergerak karena
mencium bau sesuatu lain dari yang lain. Hidung Wiro juga tampak kembang
kempis. Dia mengenali bau itu. Sesaat dia masih memandang dengan mata
disipitkan, coba menembus kegelapan malam dan bayang-bayang hitam di bawah
pohon. Setelah merasa pasti Wiro melompat seraya berseru.
“Eyang!
Pasti kau! Aku mengenali bau pesing pakaianmu!”
“Anak
setan!” sosok di bawah pohon memaki. Wiro jatuhkan diri, berlutut, dua tangan
pegangi pinggul orang sementara hidung mengerenyit menahan nafas karena tak sanggup
mencium bau pesing yang menyambar dari pakaian dan tubuh orang di depannya.
Orang yang dipanggil dengan sebutan Eyang yang ternyata bukan lain adalah Eyang
Sinto Gendeng guru Pendekar 212 sendiri ulurkan tangan kiri. Enak saja dia
menjewer telinga kiri Wiro lalu dibembeng ke atas hingga sang murid terangkat,
tegak berdiri, mengerenyit kesakitan.
“Anak
setan! Ratusan hari menghilang! Kukira kau sudah jadi cacing tanah! Atau
mungkin saat ini aku memang benar-benar berhadapan dengan setan sungguhan?”
“Nek,
Eyang… aku…”
“Sudah,
kulihat tampangmu kalang kabut! Pasti otakmu kacau balau! Tadi kulihat bersama
nenek setan itu kau mengeroyok gadis berambut pirang itu. Aneh! Bukankah
kudengar dia adalah salah satu kekasihmu?! Ada yang tidak beres di tempat ini!
Apa yang terjadi?! Jangan-jangan kau sudah kena sirap…”
“Nek,
banyak yang tidak beres di tempat ini. Tapi biang kejadiannya adalah muridmu si
anak setan itu!” Yang berucap adalah si gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Sinto
Gendeng menoleh ke arah Bujang Gila Tapak Sakti dan pelototkan matanya yang
cekung. Si gendut sunggingkan senyum sambil kipas-kipaskan kopiah butut.
“Kebo
buduk! Aku bicara pada muridku! Biar dia yang menjawab!”
Sinto
Gendeng menghardik. Dibentak dan dikatakan kerbau buduk Bujang Gila Tapak Sakti
hanya menyeringai dan terus saja berkipaskipas dengan peci hitam bututnya.
Sinto
Gendeng berpaling pada muridnya. Lalu ketokkan tongkat kayu ke kepala Wiro.
“Ayo
bicara! Jelaskan ada kejadian apa di sini!”
Wiro lalu
bercerita. Sesuai perjanjian dia berada di puncak Bukit Menoreh untuk menunggu
kedatangan tiga sahabatnya yakni Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini.
“Tapi
yang datang bukannya tiga gadis cantik itu, melainkan nenek berdandan
celemongan tadi, bernama Nyi Ragil, mengaku berjuluk Si Manis Penyebar Maut.
Dia muncul bersama Si Muka Bangkai. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi
kemudian…” Wiro garukgaruk kepala dulu baru melanjutkan. “Kemudian aku lihat
nenek itu berubah menjadi gadis cantik. Dalam keadaan tidak sadar aku ikut saja
ketika dia mengajakku pergi. Kemudian…”
“Kemudian…
kemudian kau lupa menceritakan sesuatu sobatku!”
memotong
Bujang Gila Tapak Sakti masih berkipas-kipas dan senyumsenyum.
“Apa
maksudmu?” tanya Wiro.
“Anak
setan! Jangan perdulikan kebo buduk itu! Teruskan saja ceritamu. Jika kebo
buduk itu berani lagi membuka mulut akan kusumpal dengan tusuk konde!”
Walau
diancam Bujang Gila Tapak Sakti acuh saja. Sambil senyum-senyum dia berkata.
“Kau lupa menceritakan bahwa sambil jalan kau memeluk si nenek dan mencium
wajah peot celemongannya bertubi-tubi! Nah, aku cuma mau bilang itu! Ha… ha…
ha!”
“Sialan!”
maki Wiro. “Waktu itu aku berada di bawah pengaruh sirapannya…”
“Oh
begitu?” Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar, anggukanggukkan kepala.
“Malah
tiga gadis cantik ini, yang kemudian muncul kulihat berubah menjadi tiga nenek
butut yang aku tidak kenal,” Wiro melanjutkan ceritanya.
“Tiga
nenek itu menghalangi perjalanan kami. Perkelahian tak dapat dihindari. Di
bawah pengaruh sirapan ilmu jahat Nyi Ragil aku telah menempur mereka. Ketika
aku sadar, Eyang muncul…”
“Nenek
Sinto, kami semua berterima kasih. Kalau kau tidak muncul entah apa jadinya
dengan kami semua,” berkata Bidadari Angin Timur.
“Ah, aku
yang sebesar gajah ini tidak kelihatan. Dilupakan!”
Bujang
Gila Tapak Sakti berucap dan unjukkan wajah cemberut.
“Sahabat
Bujang Gila Tapak Sakti kami juga berterima kasih padamu. Terutama diriku. Kau
menyelamatkan jiwaku.” Bidadari Angin Timur berkata lalu dekati pemuda gendut
ini dan pegang lengannya yang keringatan. Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum
senang, cuping hidungnya jadi mekar bergerak-gerak. Mata kiri dikedip-kedipkan.
Membuat Sinto Gendeng jadi jengkel dan memaki “Kebo sinting!” Tiba-tiba ada
suara mengerang tertahan.
Wiro
berpaling, baru sadar kalau di sebelah sana Ratu Duyung masih terbaring di
tanah dalam keadaan terluka, dipangku kepalanya oleh Anggini.
“Eyang,
maafkan aku. Sahabatku Ratu Duyung mengalami cidera…”
“Anak
setan! Kau mau ke mana!” Sinto Gendeng berteriak.
Tapi sang
murid sudah menghambur ke tempat Ratu Duyung dan Anggini berada. Wajah sang
Ratu kelihatan pucat sekali. Tarikan nafasnya tinggal satu-satu. Dalam keadaan
cidera berat seperti itu, begitu melihat Wiro berada di dekatnya Ratu Duyung
masih mampu menyeruakkan senyum.
“Ratu…”
Wiro berjongkok di samping sosok Ratu Duyung. Sang Ratu terbaring menelentang,
kepala di atas pangkuan Anggini. Tangan kirinya memegang cermin bulat. Cermin
ini diletakkan di atas dada. Wiro pegang lengan Ratu Duyung, perlahan-lahan
menggeser cermin bulat dari atas dada. Begitu dada tersingkap, Wiro melengak
kaget dan bergidik. Dalam gelap dia dapat melihat dada pakaian yang robek
hangus. Lalu daging dada sebelah kanan yang terluka parah mengerikan.
“Pukulan
Mengupas Raga…” desis Wiro. Dia menatap pada Anggini. Wiro melihat ada bagian
rambut sang dara yang hangus. Anggini gelengkan kepala ketika Wiro memandang ke
arahnya. Pendekar 212 maklum arti gelengan kepala itu. Dengan isyarat itu
Anggini memberitahu kalau luka di dada Ratu Duyung tak mungkin disembuhkan.
Gadis cantik bermata biru itu akan cacat seumur hidup.
Tiba-tiba
Wiro ingat kejadian sebelumnya. Ketika dia bertempur melawan Nyi Ragil dan
mengeluarkan Ilmu Koppo untuk mematahkan tulang-tulang tangan lawan, si nenek
balas menyerang dengan ilmu Mengupas Raga hingga tangan kanannya terkelupas
seperti digarang api. Kemudian si nenek mengobati luka itu dengan sejenis
cairan ajaib yang disimpan dalam sebuah tabung. Cairan itu mampu menyembuhkan
cidera di tangan Wiro hingga utuh kembali seolah tidak terjadi apa-apa
sebelumnya.
“Tabung
berisi cairan itu… Aku harus mendapatkan tabung itu!” kata Wiro dalam hati.
“Ratu,
kau tunggu di sini…” bisik Wiro seraya membelai kening dan rambut di atas
kening sang dara. “Aku tahu obat yang bisa menyembuhkan luka di dadamu. Aku
akan mengambilnya. Aku segera kembali. Bertahanlah. Anggini, tolong jaga dia
baik-baik…”
Belaian
tangan Pendekar 212 merupakan sejuta sejuk terasa di tubuh dan hati Ratu
Duyung. Wajah pucatnya tampak tersenyum. Matanya mengedip perlahan.
“Aku akan
bertahan Wiro… Aku berusaha bertahan. Tapi apa yang akan kau lakukan?” Ucapan
itu menyeruak dalam hati Ratu Duyung.
“Wiro,
kau mau ke mana?” tanya Anggini.
Wiro
melompat bangkit. Ketika dia hendak berkelebat pergi ke arah lenyapnya Nyi
Ragil dan Si Muka Bangkai, satu benda keras menusuk dadanya, menahan
gerakannya. Bagaimanapun dia mencoba kerahkan tenaga, tetap saja tak mampu
melangkah barang setindakpun. Benda keras yang menekan dada Pendekar 212 adalah
ujung tongkat butut milik Eyang Sinto Gendeng.
“Anak
setan! Orang bertanya tak kau jawab. Sekarang aku yang bertanya! Kau mau ke
mana?!”
“Nek,
aku… aku mau mengejar Nyi Ragil…” jawab Wiro.
“Amboi!”
Di sebelah sana Bujang Gila Tapak Sakti berseru. “Baru ditinggal sebentar saja
kau sudah rindu pada yayangmu itu! Ha… ha…ha!” Dari ucapan si gendut rupanya
dia sudah lama berada di Bukit Menoreh. Kalau tidak mana mungkin tahu panggilan
yayang itu.
“Gendut
sialan!” maki Wiro. “Nek, beri aku jalan!” ujar Wiro pada gurunya.
“Anak
setan! Jawab dulu pertanyaanku. Ada keperluan apa tibatiba kau mau mengejar
nenek berdandan celemongan itu? Janganjangan kau memang sudah tergila-gila
padanya. Jangan-jangan ucapan kebo buduk itu benar adanya!”
“Eyang,
Nyi Ragil punya sejenis cairan obat yang bisa menyembuhkan luka menganga di
dada Ratu Duyung. Sebelumnya tanganku ini hancur terkelupas tak karuan. Dengan
obat itu tanganku bisa sembuh kembali. Lihat…” Wiro unjukkan tangan kanannya
dekatdekat ke wajah Sinto Gendeng.
Si nenek
cuma menyeringai. “Tanganmu memang kulihat tidak apa-apa. Jangan-jangan tua
bangka gila dandan itu menyirapmu. Aku tahu dia punya ilmu yang disebut Membuta
Mata.”
“Nek,
percaya padaku! Hanya cairan milik Nyi Ragil yang mampu menyembuhkan luka di
dada Ratu Duyung. Kalau tidak gadis itu akan cacat seumur-umur!”
Sinto
Gendeng pencongkan hidungnya. Dia bembeng kain panjang bau pesing dengan tangan
kiri lalu sambil melangkah ke arah. Ratu Duyung si nenek berkata.
“Coba aku
lihat sebagaimana parahnya luka gadis itu.”
Ketika
Sinto Gendeng mendatangi, Anggini yang tengah memangku kepala Ratu Duyung cepat
rundukkan badannya seraya menyapa.
“Eyang
Sinto, salam hormatku untukmu.”
Sepasang
mata si nenek melirik pada Anggini yang dulu pernah ingin dijodohkan Dewa Tuak
dengan Wiro. Nenek ini anggukkan kepalanya sedikit lalu merunduk, dekatkan
kepala ke dada Ratu Duyung. Begitu melihat jelas luka itu, kepalanya
cepat-cepat ditarik. Sinto Gendeng telah sering melihat kematian atau orang
mengalami luka hebat. Tapi luka di dada Ratu Duyung benar-benar membuatnya
bergidik. Saking geramnya si nenek tusukkan tongkatnya ke tanah.
“Nyi
Ragil jahanam! Belum pernah aku melihat luka mengerikan seperti ini!” ujar
Sinto Gendeng. Lalu tangan kanannya yang memegang tongkat digerakkan. Ujung
tongkat bergetar aneh, membuat tusukan pada empat tempat di sekitar dada Ratu
Duyung yang terluka parah. Ratu Duyung terpekik. Dari dadanya yang ditusuk ujung
tongkat mengepul asap hitam dan merah. Dari mulutnya membersit darah kental
Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
“Aku
hanya bisa melegakan jalan nafas, mengatur jalan darah, membendung racun…”
“Jadi kau
izinkan aku mengejar Nyi Ragil, Nek?” tanya Wiro penuh harapan.
Sinto
Gendeng gelengkan kepala. Wiro jadi meradang. Semua orang yang ada di tempat
itu juga heran dan jengkel dengan sikap Sinto Gendeng. Ratu Duyung hanya bisa
merintih pasrah. Terdengar dia berucap perlahan.
“Aku
ingin mati saja. Para sahabat antarkan aku ke pantai selatan. Aku ingin
menghembuskan nafas terakhir di dasar samudera.”
Semua
orang jadi terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung. Bukit Menoreh seperti
tenggelam dalam kesunyian. Suara angin dan gesekan dedaunan pun tidak
terdengar.
“Eyang, aku
terpaksa…” Wiro gerakkan tangan kanannya untuk memukul tongkat yang tiba-tiba
ditusukkan Sinto Gendeng ke dada, menahan gerakannya. Si nenek putar ujung
tongkat yang menempel di dada muridnya. Saat itu juga tangan kanan Wiro yang
hendak memukul menjadi lemas, tak mampu digerakkan! Sinto Gendeng tertawa
cekikikan.
“Mahluk
aneh… Benar-benar edan!” kata Bidadari Angin Timur dalam hati. “Muridnya mau
menolong orang tapi malah dihalangi!”
Masih
tertawa cekikikan Sinto Gendeng berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti yang
saat itu duduk menjelepok di tanah sambil berkipas-kipas dengan peci hitam
butut.
“Kebo
buduk! Jangan duduk saja enak-enakan! Cepat datang ke mari!” Tiba-tiba Sinto
Gendeng berteriak.
Bujang
Gila Tapak Sakti palingkan kepala, tapi cuma tersenyum dan tak beranjak dari
tempatnya duduk. Malah sambil berkipas-kipas dia berkata. “Uhh… Gila, mengapa
malam terasa bertambah panas!”
“Kebo
buduk! Apa telingamu torek, tidak mendengar orang memanggil?!” teriak Sinto
Gendeng marah.
Bujang
Gila Tapak Sakti mencibir.
“Bujang
Gila Tapak Sakti! Aku butuh bantuanmu! Hanya kau yang bisa menyembuhkan luka di
dada gadis ini!”
Si gendut
terkejut. Dia memandang ke arah Sinto Gendeng.
“Apa
katamu Nek? Hanya aku yang bisa menyembuhkan luka di dada gadis itu? Ah… Jangan
bercanda. Tabib terkenal pun tidak bakal sanggup menolong gadis itu. Muridmu
bisa membantu tapi kau halangi. Aku mengantuk, aku mau tidur. Jangan
mengganggu!”
Bujang
Gila Tapak Sakti menguap lebar-lebar lalu kenakan peci hitam di atas kepalanya
yang berambut lebat gondrong. Peci yang kebesaran itu masuk kupluk sampai
sebatas alis. Lalu perlahan-lahan tubuhnya yang gemuk dilonjorkan di tanah.
“Kurang
ajar!” rutuk Sinto Gendeng. “Aku mau lihat apa kau benar-benar bisa tidur
molor!” Si nenek alirkan hawa aneh ke dalam tongkat di tangan kanannya. Tongkat
itu lalu ditancapkan di tanah sambil dua matanya mendelik tak berkesip,
memandang ke arah tongkat lalu menyusuri tanah. Begitu pandangannya membentur
tubuh si gendut Bujang Gila Tapak Sakti, Sinto Gendeng kedipkan dua matanya.
Saat itu juga Bujang Gila Tapak Sakti menjerit keras. Tubuh gendut berbobot
ratusan kati itu mencelat setengah tombak ke udara, kepulkan asap. Si gendut
tampak kelabakan, berjingrak-jingkrak seperti orang gila sambil berteriak.
“Gila!
Panas sekali! Nenek peot! Apa yang kau lakukan?! Tubuhku panas sekali! Udara
panas sekali! Aduh aku pingin kencing! Gila!”
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. Tongkat yang ditancapkannya di tanah diputar-putar
kian ke mari. Di depan sana Bujang Gila Tapak Sakti semakin keras jeritannya
dan tambah tak karuan tingkahnya.
“Nenek
peot! Kalau kau tidak hentikan perbuatan gilamu, kuguyur kau dengan es!” Bujang
Gila Tapak Sakti mengancam.
“Angin
es? Hik… hik… hik! Siapa takut!” jawab Sinto Gendeng.
“Tua
bangka sialan!” maki Bujang Gila Tapak Sakti. Si gendut ini angkat dua
tangannya. Telapak diarahkan pada Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit. Ketika
dua tangan didorong terdengar suara menderu. Dua gelombang angin luar biasa
dinginnya melesat ke atas kepala dan ke arah kaki Sinto Gendeng. Gelombang hawa
dingin ini lalu merasuk tembus memasuki tubuh Sinto Gendeng dari dua arah yakni
arah kepala dan arah kaki.
Si nenek
terpekik. Sosoknya tersentak hebat. Bentrokan hawa sakti panas yang ada dalam
tubuhnya dengan hawa dingin serangan lawan menyebabkan kepulan asap di
mana-mana. Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Tapi hawa dingin
keburu menggusur dirinya. Nenek ini menjerit. Dia menggeru menggigil
kedinginan.
“Celaka!
Tubuhku seperti ditelan es! Aku mau kencing! Tapi tidak bisa! Tubuhku jadi
kaku! Kebo buduk! Hai! Hentikan perbuatan konyolmu! Kalau tidak…!”
Semua
orang yang ada di tempat itu juga dilanda hawa dingin luar biasa, membuat
mereka seolah telah berubah menjadi patung menggigil. Bujang Gila Tapak Sakti
tertawa tergelak-gelak sambil gosokgosok dua telapak tangannya.
“Kau mau
kencing, kencing saja Nek. Tapi kurasa tidak bisa! Semua bagian tubuhmu sudah
rapat dan kaku! Ha… ha… ha!”
“Setan
alas! Berani kurang ajar! Kubuat buntung tubuhmu!”
Sinto
Gendeng delikkan matanya yang cekung. Ketika mata itu dikedipkan dua larik
sinar biru melesat, memapas ganas laksana sepasang pedang yang menabas
bersilangan. Kalau tadi Bujang Gila Tapak Sakti masih tertawa-tawa, tapi kini
melihat dua sinar biru angker melesat dari sepasang mata si nenek kagetlah si
gendut keponakan Dewa Ketawa dan Dewa Sedih ini.
“Sepasang
Sinar Inti Roh. Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan seruan tercekat. “Edan!
Ternyata bukan cerita bohong! Jadi nenek perot ini benar-benar memiliki ilmu
kesaktian itu!”
Bujang
Gila Tapak Sakti cepat jatuhkan tubuhnya yang gendut sama rata dengan tanah.
Sambil jatuhkan diri dua tangan didorongkan ke atas. Dua gelombang angin dingin
memancarkan cahaya seputih salju melesat ke udara.
“Dua
Puncak Mahameru Murka!” kini Sinto Gendeng yang keluarkan seruan tertahan
menyebut pukulan sakti yang barusan dilepas Bujang Gila Tapak Sakti.
“Dess!
Desss!”
“Blaaarrr!”
Dua larik
sinar biru bertaburan di udara, membuat puncak Bukit Menoreh sesaat jadi terang
benderang. Dua gelombang angin putih dingin runtuh ke tanah seperti salju yang
leleh dilanda teriknya sinar sang surya.
*******************
8
SOSOK
gendut Bujang Gila Tapak Sakti terkapar di tanah. Pakaian dan kulit muka serta
badannya kelihatan kehijau-hijauan. Tubuhnya terasa sakit, persendian seperti
tanggal semua. Matanya yang belok untuk beberapa lama mendelik menatap langit
kelam di atas bukit. Bagian bawah perutnya basah kuyup. Akibat beradu kekuatan
dengan Sinto Gendeng tadi si gendut ini sampai terkecing-kencing. Di lain
tempat Sinto Gendeng jatuh berlutut sambil pegangi bagian bawah perutnya.
Tubuhnya masih bergetar, bukan saja akibat bentrokan kekuatan dengan Bujang
Gila Tapak Sakti, tapi juga disebabkan hawa dingin yang masih mempengaruhi
dirinya.
“Aku
terdesak mau kencing, tapi tidak bisa…” si nenek berkata dalam hati. “Gila
anuku seperti kejang!” Si nenek mulai kelabakan.
Perlahan-lahan
Bujang Gila Tapak Sakti bangun. Dapati dua tangan dan kakinya berwarna
kehijauan dia coba mengusap. Tapi warna itu tak mau hilang. Dia mengusap
wajahnya yang keringatan. Walau dia tidak bisa melihat mukanya sendiri tapi dia
yakin kulit mukanya juga telah berwarna hijau.
“Sepasang
Sinar Inti Roh…” desis Bujang Gila Tapak Sakti. Dia bangkit berdiri, melangkah
mendekati Sinto Gendeng. Tangan kanannya diangkat mengancam.
“Nek,
kalau kau tidak mengobati kulit muka dan tubuhku, saat ini juga aku akan
membuat tubuhmu menjadi patung es seumur-umur!”
Sinto
Gendeng maklum ancaman si gendut itu bukan gertakan belaka. Dengan ilmu
kesaktian aneh yang berdasarkan hawa dingin yang didapatnya selama dipendam di
puncak Gunung Semeru, pemuda itu pasti bisa melakukan. Tapi dasar Sinto Gendeng,
tidak pernah takut terhadap apa dan siapapun, enak saja dia menjawab.
“Kau
membuat aku jadi patung es! Aku juga bisa membuatmu jadi patung leleh!”
“Kalau
begitu mari kita adu kekuatan kembali!” tantang Bujang Gila Tapak Sakti.
“Siapa
takut tantanganmu!” Sinto Gendeng berteriak seraya bangkit berdiri.
Saat itu
Wiro cepat melompat. “Bujang Gila Tapak Sakti! Eyang Sinto Gendeng! Kurasa
kalian belum jadi orang-orang gila! Mengapa berlaku konyol mencari celaka?!
Seorang gadis sahabatku di sini dalam keadaan luka parah! Kita harus memikirkan
bagaimana menolongnya! Bukan mempertontonkan segala ilmu kesaktian yang tidak
pada tempatnya!”
Sinto
Gendeng delikkan mata. Bujang Gila Tapak Sakti pelototkan mata beloknya.
“Kalian
geblek semua!” maki Wiro.
“Anak
setan, kurobek mulutmu berani memaki!” bentak Sinto Gendeng.
“Eyang,
kalau kau mau meneruskan perbuatan tolol silahkan berkelahi sampai sama-sama
mati konyol!” jawab Wiro.
“Anak
setan! Siapa berkelahi! Kami cuma bermain-main! Siapa mau mati konyol! Yang
pada mati saja kalau bisa ngomong pingin hidup kembali! Hik… hik… hik!” Saking
kesalnya Wiro tinggalkan si nenek.
Sinto
Gendeng sendiri menggerakkan tangan ke balik pakaian, keluarkan sebuah benda
berbentuk empat persegi sebesar ujung kuku jari kelingking.
“Kebo
buduk! Aku akan berikan obat pemusnah warna hijau di tubuhmu! Tapi kau juga
harus memberi obat padaku!”
“Obat,
obat apa?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti unjukkan wajah heran. Entah
benar-benar heran atau cuma pura-pura. Tampang Sinto Gendeng mengelam. Kulit
mukanya yang hitam seperti tambah hitam.
“Aku… aku
dari tadi terdesak mau kencing. Tapi tidak bisa! Hawa dingin sialan pukulanmu
membuat tubuhku jadi lengket, rapat…” Bujang Gila Tapak Sakti tertawa bergelak.
“Seharusnya
kau bersyukur Nek!” kata si gendut ini.
“Bersyukur?!
Gila! Apa maksudmu?!”
Senyum-senyum
Bujang Gila Tapak Sakti menjawab. “Ribuan, bahkan jutaan kaum perempuan di
dunia ini mencari reramuan agar bisa lengket dan rapat! Kau sudah
mendapatkannya tanpa susah-susah! Apa tidak perlu bersyukur?!”
“Keparat
setan alas! Jahanam bermulut kotor!” maki Sinto Gendeng panjang pendek.
Wiro
menutup mulut menahan tawa. Bidadari Angin Timur dan Anggini saling pandang
dengan wajah jengah.
“Nek,
bilang saja saluranmu mampet! Jadi aku tidak keliru memberi obat!” kata Bujang
Gila Tapak Sakti. Dia buka kopiah kupluk di atas kepala. Dari dalam kopiah ini
dia mengambil sebutir obat berwarna putih. Lalu mengacungkannya ke arah Sinto
Gendeng.
“Ini obat
mampet saluranmu! Lemparkan obat di tanganmu padaku, aku akan berikan obat ini
padamu!”
“Setan!”
Sinto Gendeng masih memaki tapi lemparkan juga obat berbentuk empat persegi
yang sejak tadi dipegangnya. Begitu obat melayang di udara Bujang Gila Tapak
Sakti lalu lemparkan pula benda putih di tangannya. Kedua orang itu menyam-buti
obat masing-masing hampir berbarengan lalu sama-sama memasukkannya ke dalam
mulut. Beberapa saat berlalu. Bujang Gila perhatikan dua tangan kakinya.
Sedikit demi sedikit dia melihat warna hijau pada tangan dan kakinya mulai
sirna dan akhirnya lenyap sama sekali. Saat itu tiba-tiba terdengar pekik kecil
Sinto Gendeng. Nenek ini terbirit-birit lari ke balik pohon besar sambil
menarik kain panjangnya ke atas. Tak lama kemudian dari balik pohon terdengar
suara serr… serrr!
Ditunggu
agak lama akhirnya Sinto Gendeng keluar juga dari balik pohon besar.
“Sudah
lega sekarang Nek?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Tidak
lengket lagi Eyang?!” Wiro ikut menimpali.
“Kalian
anak setan sialan!” maki Sinto Gendeng.
Wiro
garuk-garuk kepala lalu beranikan diri berkata. “Eyang, tadi kau bilang cuma
kebo buduk ini yang bisa menyembuhkan luka di dada Ratu Duyung…”
“Memang
cuma dia,” jawab Sinto Gendeng.
“Aku
merasa tidak punya kemampuan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti sambil
tepuk-tepukkan kopiah hitamnya ke tangan kiri lalu kembali dikenakan di atas
kepala.
“Aku tahu
kau punya satu ilmu yang berpusat pada inti hawa dingin Pegunungan Semeru. Ilmu
itu bernama Tangan Dewa Mengusap Bumi. Kau bisa pergunakan ilmu itu untuk
menyembuhkan segala macam luka. Termasuk luka di dada Ratu Duyung…”
Bujang
Gila Tapak Sakti terdiam. Matanya menatapi si nenek.
Dalam
hati dia berkata. “Aku memang punya ilmu itu. Jarang aku pergunakan. Bagaimana
nenek satu ini tahu aku punya ilmu itu, tahu kalau ilmu tersebut bisa
dipergunakan untuk menyembuhkan segala macam luka.”
“Nek, kau
mengada-ada. Aku sendiri tidak tahu…”
“Kebo
buduk! Perlu apa banyak bicara! Lakukan saja apa yang aku katakan. Pergunakan
ilmu itu. Usapkan tangan kananmu ke dada Ratu Duyung…”
“Usapkan
tangan kananmu ke dada Ratu Duyung…” ucapan Sinto Gendeng mengiang di telinga
Bujang Gila Tapak Sakti. Dia menyeringai, perhatikan tangan kanannya sendiri
lalu memandang ke arah Ratu Duyung. Lidahnya dijulurkan membasahi bibir.
“Mengusap dada Ratu Duyung yang cantik itu. Walau dalam keadaan luka rasanya…”
“Kebo
buduk! Tunggu apa lagi?! Kau mau melakukannya atau tidak?!”
Bujang
Gila Tapak Sakti buka kopiah hitamnya, dipakai kembali, dibuka lagi lalu
dipakai lagi. Perlahan-lahan dia melangkah ke tempat Ratu Duyung terbaring di
atas pangkuan Anggini. Si gendut ini duduk bersila di samping sosok Ratu
Duyung. Keringat makin banyak mengucuri muka dan tubuhnya.
“Ilmu
Tangan Dewa Mengusap Bumi,” membatin Bujang Gila Tapak Sakti. Dia perhatikan
tangan kanannya, melirik ke arah dada Ratu Duyung. Dada di sebelah kanan memang
dikoyak luka mengerikan, tapi dada di sebelah kiri jelas kelihatan memutih
mulus. Bujang Gila Tapak Sakti leletkan lidah. Dia melirik pada Sinto Gendeng
lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bujang
Gila, jika kau memang mampu lakukanlah segera,” kata Anggini.
Bujang
Gila Tapak Sakti mengangguk.
“Ratu
Duyung, harap maafkan diriku. Aku terpaksa menyentuh dadamu…” berkata Bujang
Gila Tapak Sakti sebelum melakukan pengobatan.
Ratu
Duyung yang saat itu pejamkan matanya menjawab dengan suara perlahan.
“Lakukanlah.
Jangan memikirkan apa-apa selain niat tulus untuk menolongku.”
Walau
mulutnya berucap begitu diam-diam Ratu Duyung merasa bergetar juga sekujur
tubuhnya. Selama ini belum pernah satu tangan lelakipun menyentuh dirinya, apa
lagi di bagian dada. Bahkan ketika berdua-dua dengan Wiro di sebuah Puri
beberapa waktu lalu, pendekar itu tidak pernah menyentuh auratnya di bagian
yang terlarang.
*******************
9
AGAK
gemetar, tubuh dan wajah tambah ke-ringatan Bujang Gila Tapak Sakti ulurkan
tangan kanan ke atas permukaan dada sebelah kanan Ratu Duyung. Begitu tangan
yang berisi ilmu kesaktian Tangan Dewa Mengusap Bumi itu bersentuhan dengan
tubuh Ratu Duyung, dari luka di dada si gadis mengepul asap merah disertai bau
tidak enak. Tubuh Ratu Duyung sebelah atas tersentak terangkat sampai satu
jengkal, lalu perlahan-lahan turun kembali ke pangkuan Anggini.
Bujang
Gila Tapak Sakti kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya.
Perlahan-lahan dia mulai mengusap dada yang terluka. Asap merah berubah menjadi
kelabu lalu berubah lagi menjadi putih. Kalau semua orang yang menyaksikan
sama-sama memandang dengan dada berdebar ke arah dada Ratu Duyung, sebaliknya
Bujang Gila Tapak Sakti sendiri mengusap dada si gadis sambil mendongak ke
atas, seolah tak berani melihat.
Ketika
asap putih perlahan-lahan lenyap menghilang, semua orang yang ada di sana,
terutama Anggini yang berada paling dekat dengan Ratu Duyung sama-sama
melengak. Luka mengerikan di dada kanan Ratu Duyung lenyap! Aurat di bagian
dada itu kini terlihat menyembul besar, putih dan mulus. Bersamaan dengan itu
Ratu Duyung dapatkan rasa sakit di sekujur tubuh terutama di atas dada
berkurang dan akhirnya sirna. Sungguh satu keajaiban sukar dipercaya. Tangan
Bujang Gila Tapak Sakti masih terus mengusap. Matanya yang belok melotot ke
langit.
“Kebo
buduk sialan! Jangan berlaku kurang ajar!” tiba-tiba Sinto Gendeng membentak.
“Luka gadis itu sudah pulih! Kau masih terus mengusapi dadanya! Kebo kurang
ajar!”
“Aku
tidak memperhatikan. Bagaimana tahu kalau lukanya sudah sembuh! Cuma memang
kalau tadi aku merasa dadanya rata saja, lalu berubah seperti ada
munjung-munjungnya.” Jawab Bujang Gila Tapak Sakti. Tampangnya yang bulat
keringatan seperti kaget tapi kemudian senyum-senyum. Tangan kanannya masih
saja terus meraba dan mengusap. Entah lupa entah pura-pura.
“Kau
pura-pura tidak tahu! Kau cuma mau menggerayangi tubuh orang!” semprot Sinto
Gendeng. Lalu dengan tongkat kayunya dipukulnya lengan si gendut.
Sementara
Wiro juga ulurkan tangan menjitak jidat si gendut. “Wadauuuw!” Bujang Gila
berteriak kesakitan. Dia segera tarik tangan sedang tangan kiri menekap
jidatnya yang kena jitak. Tapi mulutnya senyum-senyum. Dia rapikan kopiah hitam
kupluk di atas kepalanya.
Anggini
cepat menutupi sebisanya dada Ratu Duyung yang tersingkap. Masih diselimuti
rasa tidak percaya akan apa yang dilihatnya diam-diam Anggini merasa bersyukur
luka Ratu Duyung berhasil disembuhkan. Kegembiraannya jadi bertambah ketika
melihat Ratu Duyung gerakkan tubuh dan mampu berdiri. Sambil dekapkan cermin
bulat di atas dada Ratu Duyung membungkuk ke arah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Sahabat,
aku sangat berterima kasih. Aku tidak akan melupakan budi pertolonganmu.”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa lebar dan usap mukanya yang keringatan berulang kali.
Tangan kanannya yang tadi mengusap dada Ratu Duyung kini diusap-usapkan ke dada
sendiri sambil matanya setengah terpejam seolah mengingat-ingat usapannya di
dada Ratu Duyung.
“Ratu,
jangan berterima kasih padaku,” menyahuti Bujang Gila Tapak Sakti. “Tapi
berterima kasih pada Gusti Allah dan nenek bau pesing ini…”
Sinto
Gendeng delikkan mata, menggerutu panjang pendek.
“Eyang
Sinto, aku juga berterima kasih padamu,” kata Ratu Duyung selanjutnya. Si nenek
hanya menjawab dengan anggukkan kepala. Matanya masih melotot marah pada Bujang
Gila Tapak Sakti. Lalu dia palingkan kepala pada Wiro.
“Eyang,”
kata Wiro. “Ada beberapa hal yang kami semua di sini perlu menanyakan,” Wiro
keluarkan ucapan.
“Anak
setan! Justru aku yang banyak pertanyaan untuk kalian!” jawab Sinto Gendeng.
Wiro juga
terdiam. Yang lain-lain tak berani bersuara. Semua memandang pada nenek bau
pesing berkulit hitam yang kepalanya ditancapi lima buah tusuk konde perak,
kini tinggal empat karena satu tadi telah dipakai untuk melempar Nyi Ragil yang
melarikan diri.
“Kalian
semua dengar!” ucap Sinto Gendeng. “Cukup lama aku meninggalkan Gunung Gede.
Tiga minggu lalu aku kembali. Aku temukan segala macam keanehan di kawasan
tempat kediamanku!
Pertama,
di satu tempat aku menemukan dua buah makam aneh. Dua makam itu kosong,
sepertinya bekas digali orang! Anak setan, apa yang kau ketahui perihal dua
makam itu?!” Sinto Gendeng bertanya pada muridnya tapi sepasang matanya yang
cekung angker memandang berkeliling ke arah Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur,
Anggini dan juga Bujang Gila Tapak Sakti.
“Eyang,
katamu kau menemukan dua makam di Gunung Gede. Kedua-duanya dalam keadaan
kosong bekas digali orang.”
“Betul!
Apa kau sudah budek, tidak mendengar apa yang barusan aku bilang?” jawab Sinto
Gendeng. “Pada salah satu makam malah ada papan nisan berbunyi Di Sini
Beristirahat Untuk Selamanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku mengira itu
benar-benar makam liang kuburmu. Tapi ternyata kosong! Dan kenyataannya sampai
hari ini aku melihat kau memang masih hidup, masih bernafas!”
Wiro
menggaruk kepala, memandang sebentar pada tiga gadis cantik lalu berkata.
“Eyang,
kami tahu memang di puncak Gunung Gede ada dua buah makam. Tapi setahu kami
hanya satu makam yang kosong bekas digali. Aku dan tiga gadis itu yang
membongkarnya. Makam satunya lagi tak mungkin kosong. Kami yang menggali makam
itu, lalu menguburkan gadis bernama Puti Andini di situ.”
Muka tak
berdaging Sinto Gendeng mengerenyit. Matanya yang cekung seperti mau melompat.
“Puti Andini, gadis berjuluk Dewi Payung Tujuh, cucu Sabai Nan Rancak itu mati
katamu? Dikubur di puncak Gunung Gede. Kau dan tiga gadis itu yang mengubur?!”
“Benar
Eyang, kami yang mengubur,” menjawab Anggini.
“Jadi
mustahil ada dua makam kosong. Mustinya cuma satu. Karena yang satu berisi
jenazah Puti Andini,” kata Wiro pula.
“Anak
setan! Aku tidak bicara dusta! Dua makam itu kutemui dalam keadaan kosong!”
kata Sinto Gendeng dengan suara keras.
“Apa yang
terjadi?” Wiro garuk-garuk kepala, memandang pada Bidadari Angin Timur, Ratu
Duyung dan Anggini.
“Mudah
saja jawabnya!” Bujang Gila Tapak Sakti ikut bicara.
“Berarti
ada orang mencuri mayat Puti Andini!”
Semua
orang terdiam.
“Siapa?”
Bidadari Angin Timur ajukan pertanyaan.
“Untuk
apa?” Ratu Duyung ikut mempertanyakan.
“Anak
setan! Sebaiknya kau ceritakan semua kejadian agar aku tidak bingung!” kata
Sinto Gendeng pula. (Untuk jelasnya mengenai kisah dua makam di puncak Gunung
Gede harap baca serial Wiro Sableng Episode berjudul “Makam Ke Tiga” dan
“Senandung Kematian”)
Setelah
mendengar penuturan Wiro, Sinto Gendeng berkata.
“Bukan
mustahil setelah kalian pergi, Pangeran Matahari yang telah melarikan diri
muncul kembali dan mencuri mayat Puti Andini.”
“Bisa
jadi, tapi untuk apa?” tanya Ratu Duyung.
“Apa
kalian lupa? Gadis itu memiliki sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 212!
Pasti itu yang menjadi incaran Pangeran keparat itu!”
“Kalau
memang inginkan pedang mengapa tidak mengambil pedangnya saja, tapi bersusah
payah menculik jenazah Puti Andini segala…”
“Pedang
Naga Suci 212 tidak mungkin disentuh oleh orang yang bermaksud jahat. Aku
sendiri tidak berjodoh pernah melepuh tanganku ketika memegangnya!” menjelaskan
Sinto Gendeng. Lalu dia menyambung ucapannya. “Apapun yang terjadi, ada satu
teka-teki besar di balik lenyapnya Puti Andini. Aku memerintahkan pada kalian
untuk menyelidiki…”
“Eyang,
aku memang telah meminta tiga gadis sahabatku ini untuk menyelidiki lenyapnya
Pedang Naga Suci 212. Tapi masalah dan halangan datang silih berganti. Mereka
belum sempat berbuat banyak dalam menyelidik pedang sakti yang hilang itu. Tapi
bagaimanapun juga sesuai perintah Eyang kami akan menyelidiki. Namun kami
sendiri saat ini tengah menghadapi beberapa persoalan. Eyang, kami butuh
petunjukmu…”
“Persetan
persoalan kalian. Persoalanku belum selesai!” kata Sinto Gendeng. “Ada satu hal
lagi. Di dalam pondok kediamanku, dekat pintu belakang ada sebuah gentong air
besar. Ketika aku masuk ke dalam pondok walau sangat tidak kentara tapi aku
tahu kalau gentong itu belum lama berselang telah digeser orang. Di bawah
gentong, di dalam tanah aku menanam sebuah peti kayu besi hitam. Dalam peti ini
tersimpan sebuah kitab sangat langka berisi seribu macam ilmu pengobatan.
Ketika aku periksa aku menemukan peti kayu besi hitam. Tapi kitab itu tak ada
di dalam peti. Seseorang telah mencurinya!” Sinto Gendeng layangkan padangan
tajam pada semua orang di depannya.
Wiro
garuk-garuk kepala. Bujang Gila Tapak Sakti berkipas-kipas dengan peci
hitamnya. Sementara tiga gadis sama tundukkan kepala ketika disorot pandangan
mata angker si nenek. Sinto Gendeng arahkan pandangan pada Wiro.
“Anak
setan! Satu-satunya orang luar yang tahu tempat penyimpanan kitab itu hanya
dirimu! Dulu kau sendiri yang membawanya setelah kau dapat dari Kiai Bangkalan.
Kau serahkan padaku. Jika kau ingin mengambilnya kembali hanya tinggal
memberitahu, meminta. Tidak usah mencuri!”
“Nek, aku
memang menggeser gentong, mengeluarkan Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Mencari sesuatu. Setelah apa yang kucari kutemukan kitab itu aku masukkan
kembali ke dalam peti, kutanam di tanah dan kututup dengan gentong air. Aku
sama sekali tidak mengambil atau mencurinya.
“Kalau
begitu ada setan kepala hitam yang mencuri!” ujar Sinto Gendeng sambil
menyeringai,
“Aku
bersumpah Eyang, aku benar-benar tidak mencuri kitab itu.”
“Perlu
apa kau mengeluarkan kitab itu dari dalam peti. Apa yang kau cari?” tanya Sinto
Gendeng.
Wiro lalu
menceritakan perihal sakitnya Patih Kerajaan akibat patukan ular dan hanya
mampu disembuhkan dengan kembang Melati Tujuh Racun.
“Eyang,
aku merasa ikut bersalah mencelakai Patih Kerajaan. Lagi pula aku telah
berjanji pada anak sang patih akan mencari obat pemusnah racun ular yang
melumpuhkan ayahnya…”
“Sobatku
Wiro, kau tidak mengatakan jelas anak Patih Kerajaan itu. Apakah dia seorang
lelaki, seorang perempuan atau banci!” Yang memotong bicara Wiro adalah Bujang
Gila Tapak Sakti. “Gendut brengsek! Kau selalu menyudutkan diriku! Sudah lama
aku ingin menggasak mulut usilmu!” Wiro jadi jengkel penasaran.
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan.
“Anak
setan! Sobatmu si kebo buduk itu betul. Kau tidak mengatakan jelas siapa adanya
anak patih itu!”
“Dia
seorang gadis. Bernama Sutri. Orangnya cantik jelita dan punya ilmu silat
tinggi!”
“Nah,
seharusnya begitu kau menjelaskan. Baru ketahuan serunya jalan cerita!” kata
Bujang Gila Tapak Sakti pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Anak
setan, pantas kau mati-matian ingin menolong Patih Kerajaan. Tidak tahunya sang
patih punya seorang anak gadis cantik jelita! Hik… hik… hik! Ayo lanjutkan
ceritamu!” kata Sinto Gendeng pula.
Dengan
menahan mengkal Wiro lanjutkan ceritanya.
“Di dalam
kitab, aku menemukan petunjuk bahwa satu-satunya obat kesembuhan bagi Patih
Kerajaan adalah kembang melati itu. Menurut seorang sahabat kembang melati itu
berwarna hitam. Dia berjanji akan bantu mencari. Mungkin Eyang tahu atau pernah
mendengar di mana aku bisa mendapatkan?”
Sinto
Gendeng gelengkan kepala. Lalu berkata. “Aku harus mengejar nenek keparat
bernama Nyi Ragil itu. Dia telah membunuh Datuk Muda, mungkin mengira orang itu
adalah saudara sepupu Tua Gila. Wajah dan penampilan sang Datuk memang mirip-mirip
saudara si Tua Gila itu…”
“Nek,”
kata Wiro. “Walau ini satu berita menyedihkan, aku masih bersyukur ternyata
yang jadi korban bukan guruku Tua Gila. Sebelumnya Nyi Ragil sesumbar
mengatakan bahwa yang dibunuhnya adalah Tua Gila. Agaknya antara kau dan dia
ada dendam kesumat lama.”
“Mengenai
riwayatku dengan setan perempuan gila dandan itu tak usahlah kau ketahui…”
Sinto Gendeng rupanya tak mau menuturkan riwayat perseteruannya dengan Nyi
Ragil di masa silam.
“Nek, aku
mohon petunjukmu. Mungkin kau tahu. Kau turut berada di Pangandaran sewaktu
kebo buduk Bujang Gila Tapak Sakti membunuh Si Muka Bangkai, guru Pangeran
Matahari. Barusan saja dia muncul di tempat ini bersama Nyi Ragil. Aku tak
mengerti. Bagaimana hal ini bisa terjadi…”
Sinto
Gendeng menyeringai. “Setiap manusia yang sudah mati pasti tidak bisa hidup
lagi! Yang tadi bukan Si Muka Bangkai asli. Aku sudah lama menyirap kabar kalau
Si Muka Bangkai punya saudara kembar yang ilmu kesaktiannya tidak kalah dengan
Si Muka Bangkai sendiri. Kemungkinan sekali kakek tadi adalah saudara kembaran
Si Muka Bangkai. Aku harus mengejar Nyi Ragil untuk minta pertanggungan jawab
atas kematian Datuk Muda. Aku pergi sekarang…”
“Nek…”
panggil Wiro.
Sinto
Gendeng hentikan langkahnya, berpaling dan bertanya.
“Anak
setan! Apa lagi yang hendak kau tanya?!”
“Bukan
bertanya Nek, cuma mau memberi tahu,” jawab Wiro.
Belum
apa-apa dia sudah senyum-senyum.
“Hmm…
Memberi tahu apa?” tanya Sinto Gendeng lagi.
“Tadi kau
habis kencing di balik pohon sana. Jangan lupa cebok Nek…”
“Anak
setan kurang ajar! Sialan!” Maki Sinto Gendeng. Kualat kau berani mempermainkan
diriku!” habis memaki si nenek berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
*******************
10
SETELAH
Sinto Gendeng meninggalkan tempat itu Wiro melangkah mendatangi Ratu Duyung
yang saat itu tegak berkumpul bersama Bidadari Angin Timur dan Anggini. Ada
satu hal penting yang perlu dibicarakannya dengan gadis itu. Tapi tiba-tiba
Bujang Gila Tapak Sakti mendekati, memegang tangannya.
“Gendut!
Apa lagi yang hendak kau lakukan? Kau mau mengatakan sesuatu mempermainkan
diriku?!” tanya Wiro.
“Tenang
sobat Wiro, tenang. Bergurau diantara teman hal yang lumrah! Lihat, kipasku
sampai ambrol saking ingin membela kekasihmu yang berambut pirang itu!” “Gendut
brengsek!”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa lebar. “Kata orang di dunia ini memang harus ada
manusia-manusia brengseknya seperti aku. Sebagai minyak pelicin roda. Kalau
tidak dunia ini akan seret berputarnya.”
“Kepalamu
yang minta diputar!”
“Wiro,
sebenarnya aku datang membawa kabar penting. Bakal ada kejadian besar di
beberapa tempat. “,
“Kejadian
apa?” tanya Wiiro.
“Ingat
Nyi Larasati, janda Adipati Temanggung yang cantik jelita itu?”
“Memangnya
ada apa dengan dirinya?
Temanggung
sudah aman sekarang. Jatilegowo Adipati Salatiga yang ingin mengawini Nyi
Larasati secara paksa dikabarkan lenyap entah ke mana sejak beberapa bulan
lalu,” kata Wiro.
“Siapa
bilang Temanggung aman bagi janda cantik itu. Jatilegowo memang menghilang.
Tapi satu minggu lalu dia tahu-tahu muncul! Di Kadipaten Salatiga. Dan kau tahu
apa yang kini hendak dilakukannya?”
“Jika dia
menghilang lalu muncul kembali berarti ada sesuatu yang menjadi andalannya.
Mungkin saja dia membawa seorang tokoh silat yang bisa membantunya. Atau dia
memiliki ilmu baru yang membuat dia nekad dan tidak takut pada siapa saja
termasuk kau dan aku!”
“Dengar,
Jatilegowo pasti akan menculik memaksa Nyi Larasati mengawininya. Itu jelas.
Tapi dia juga akan mencari kita-kita ini untuk membalaskan dendam kesumat tempo
hari!”
“Kau
takut?!” tanya Wiro.
“Weeehhh!
Siapa takut setan alas satu itu!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu cibirkan
mulutnya. “Aku akan berangkat ke Temanggung sekarang juga.”
“Kalau
tujuanmu untuk menolong Nyi Larasati itu baik. Tapi kalau tersembunyi niat
hendak mendapatkan dirinya berarti kau tak tahu diri!”
“Sambil
menyelam minum air apa salahnya?” tukas Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kalau
yang kau minum air bersih. Kalau air comberan?!” ujar Wiro.
Si gendut
tertawa bergelak sampai dada dan perutnya yang gembul berguncang-guncang. “Kau
ikut aku, sama-sama ke Temanggung?”
Wiro
gelengkan kepala. “Ada banyak urusan penting yang harus aku lakukan. Mencari
Melati Tujuh Racun. Mencari seorang bernama Nyi Roro Manggut. Membebaskan Bunga
dari sekapan keparat Iblis Kepala Batu Alis Empat. Lalu mencari Pangeran
Matahari, pembunuh Puti Andini. Tugas lainnya, mencari Kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan. Gila! Bagaimana semua ini bisa terjadi?! Apa mungkin aku melakukan
semuanya?”
“Mengenai
melati tujuh racun, bukankah itu tanggung jawab Gondoruwo Patah Hati. Nenek
kekasih si Naga Kuning itu yang mencelakai Patih Kerajaan. Jadi biar dia yang
mencari obat penyembuhnya,” ujar Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Wiro
mengangguk. “Memang Gondoruwo Patah Hati yang
melemparkan
ular berbisa ke dalam celana Patih Selo Kaliangan. Namun itu terjadi sewaktu
dilakukan penggerebekan terhadap diriku. Si nenek sebenarnya punya tujuan untuk
menolongku. Lagi pula aku sudah terlanjur berjanji pada Sutri, puteri patih itu
untuk menolong mencari penyembuhan atas diri ayahnya…”
“Dengan
kata lain kau mau menyiksa dan mengorbankan diri hanya karena terpikat pada
dara cantik itu.” Bujang Gila Tapak Sakti berkata sambil kedip-kedipkan matanya
yang belok.
“Siapa
bilang aku terpikat padanya. Dia menolong aku memberitahu sarang Iblis Kepala
Batu agar aku dapat membebaskan Bunga…” jawab Wiro.
“Hemm…
saling tolong-menolong diantara kekasih bukankah itu hal yang wajar-wajar
saja?” kembali Bujang Gila Tapak Sakti menggoda. (Riwayat celakanya Patih Selo
Kaliangan dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng Episode “Makam Ke Tiga”)
“Bisa
saja kau berkata begitu sobatku gendut. Buktinya kau ingin menolong Nyi
Larasati. Bukankah kau juga terpikat padanya? Apa kau kira Nyi Larasati suka
padamu yang seperti gajah bengkak ini?”
“Pemuda
gendut sepertiku jarang ada di dunia. Jadi tidak salah kalau banyak dicari gadis
cantik. Katanya kalau tidur tidak perlu pakai kasur lagi. Ha… ha… ha!” Puas
tertawa, setelah mengusap mukanya yang keringatan si gendut berkata. Aku minta
diri. Jika urusan di Temanggung selesai aku akan membantumu. Wiro, aku bicara
jujur. Sebenarnya…”
“Sebenarnya
apa?” tanya Wiro ketika Bujang Gila Tapak Sakti tidak meneruskan ucapannya.
“Sebenarnya
Nyi Larasati mengharapkan kau yang datang ke Temanggung, bukan aku si kebo
gendut ini.”
Wiro
menghela nafas panjang.
“Sampaikan
salamku pada janda cantik itu. Dan terima kasih kau telah menyelamatkan
Bidadari Angin Timur. Juga terima kasih untuk segala senda guraumu yang
menjengkelkan!”
Si gendut
tertawa bergelak.
“Kipas
bututku amblas dihantam pukulan Mengupas Raga Nyi Ragil. Aku harus membuat
kipas baru. Panasnya udara membuat aku seperti mau leleh. Aku pergi Wiro…” Si
gendut kedipkan matanya lalu tinggalkan tempat itu. Gerakannya biasa-biasa saja
tapi dalam waktu singkat dia sudah berada di lereng selatan Bukit Menoreh.
Sejauh itu suara tawanya masih terdengar mengumandang.
Wiro
segera menemui Bidadari Angin Timur, Anggini dan Ratu Duyung. Beberapa saat
lamanya suasana terasa kaku. Tak ada yang bicara. Akhirnya Wiro membuka
percakapan dengan memberitahu bahwa Bujang Gila Tapak Sakti pergi ke Temanggung
untuk menolong Nyi Larasati dari maksud buruk Adipati Salatiga Jatilegowo.
“Terakhir
kita berpisah di Gunung Gede,” kata Wiro. “Waktu itu Anggini menderita cidera
cukup berat. Kalian tentu berhasil menemukan alang-alang biru yang kukatakan
itu…”
“Kami
memang berhasil. Ternyata mujarab sekali. Setelah minum air tumbukan akar dalam
dua hari cideranya pulih.” Menerangkan Ratu Duyung.
“Aku
berterima kasih…” kata Anggini sambil menatap wajah pemuda yang dikasihinya
itu.
“Ratu,
kau sendiri bagaimana sekarang?”
“Sehat,
seolah tidak pernah mengalami apa-apa. Aneh juga cara pengobatan Bujang Gila
Tapak Sakti itu. Tapi kalau boleh rasanya cukup sekali saja dia mengobati
diriku seperti itu.”
Anggini
dan Bidadari Angin Timur sama-sama tertawa mendengar ucapan Ratu Duyung itu.
“Wiro,”
berkata Anggini. “Kami bertiga merasa menyesal. Sampai saat ini kami belum
berhasil mencari tahu di mana beradanya pedang Naga Suci 212. Pangeran
Mataharipun tidak terdengar kabar beritanya. Dia seolah melenyapkan diri ke
perut bumi.”
“Itu berartj
sewaktu-waktu dia pasti akan muncul secara tidak terduga,” kata Wiro pula. Lalu
dia berpaling pada Ratu Duyung.
“Beberapa
waktu lalu aku bertemu dengan Kakek Segala Tahu. Orang tua itu memberi
petunjuk. Untuk bisa membebaskan Bunga dari dalam guci Iblis Kepala Batu, aku
harus memiliki ilmu Meraga Sukma. Nah ilmu ini konon dimiliki oleh Nyi Roro
Manggut. Aku disarankan agar mendapatkan ilmu tersebut dari Nyi Roro Manggut.
Kalian bertiga pernah tahu atau mendengar nama Nyi Roro Manggut itu? Dia diam
di dasar samudera kawasan selatan.”
Angginj
dan Bidadari Angin Timur sama menggeleng. Ratu Duyung diam saja, tundukkan
kepala.
“Ratu,
menurut Kakek Segala Tahu, kau satu satunya yang bisa menolong aku masuk ke
dasar samudera, mencari dan menemui Nyi Roro Manggut. Apa kau bersedia
menolong?”
Untuk
beberapa saat lamanya Ratu Duyung tidak menjawab. Dia masih berdiri dengan
kepala ditundukan. Dalam hatinya terjadi satu peperangan antara kebencian dan
kebaikan untuk menolong. Seperti diketahui antara Bunga si gadis alam roh telah
terjadi silang sengketa yang tidak bisa dianggap enteng. Sewaktu Wiro berada di
dalam Puri Pelebur Kutuk bersama Ratu Duyung guna menolong satu Ratu dari kutuk
yang menimpa dirinya, Bunga berusaha menghalangi karena dia khawatir Wiro kelak
akan menjadi budak nafsu Ratu Duyung. Padahal sebenarnya sang Ratu tidak punya
niat jahat. Sejak itu permusuhan diantara mereka jadi berlarut-larut karena
dalam perselisihan itu ikut berpengaruh rasa cinta mereka terhadap Pendekar
212. Pada pertemuan di Bukit Ampel (baca serial Wiro Sableng berjudul “Tiga
Makam Setan”) antara Bunga dan Ratu Duyung kembali terjadi perselisihan yang
nyaris berubah menjadi baku hantam dahsyat. Tidak mengherankan ketika ditanya
Wiro apakah dia bersedia menolong mencari dan menemui Nyi Roro Manggut agar
dapat membebaskan Bunga dari sekapan guci Iblis Kepala Batu, Ratu Duyung hanya
diam saja. Anggini dan Bidadari Angin Timur yang sudah mengetahui perselisihan
antara Ratu Duyung dan Bunga memilih diam, tak mau keluarkan ucapan.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia bisa menduga adanya ganjalan di lubuk hati Ratu Duyung.
Setelah menarik nafas dalam murid Sinto Gendeng ini coba tersenyum lalu berkata
dengan suara lembut sambit memegang lengan si gadis bermata biru itu.
“Aku
lupa, kau baru saja sembuh dari luka parah. Walau keadaanmu kelihatan baik-baik
saja tapi kurasa kau perlu istirahat. Biar aku berusaha sendiri mencari jalan
menemui Nyi Roro Manggut.”
Ratu
Duyung angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru bercahaya saling bertemu
pandang dengan dua mata Wiro. Mulutnya terbuka sedikit tapi tak ada kata-kata
yang keluar. Wiro palingkan kepala pada Anggini dan Bidadari Angin Timur,
“Kalian
berdua tentu juga berada dalam keletihan amat sangat. Berarti juga perlu
istirahat. Pergilah ke tempat lain yang kalian senangi. Aku akan ke pantai
selatan, berusaha mencari Nyi Roro Manggut. Kita berpisah di sini,
mudah-mudahan bisa bertemu lagi secepatnya.” Selesai berucap Pendekar 212
segera tinggalkan puncak Bukit Menoreh. Berlari cepat ke arah tenggara. Menjelang
pagi, ketika langit di sebelah timur mulai terang, Wiro-menyadari kalau ada
seseorang mengikutinya. Agaknya orang ini memiliki ilmu lari tingkat tinggi.
Karena dia selalu bisa menjaga jarak.
Di satu
tempat Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Dia sengaja menerabas
semak-semak itu untuk meninggalkan tanda lalu melompat ke satu pohon tak
seberapa tinggi. Wiro tidak menunggu lama. Satu bayangan berkelebat. Lalu
muncul sosok si penguntit. Orangnya mengenakan pakaian ketat panjang bermanik
manik. Di atas kepalanya ada satu mahkota kecil terbuat dari kerang biru. Siapa
lagi kalau bukan Ratu Duyung! Wiro garuk-garuk kepala.
“Aneh,
mengapa dia mengikuti diriku?” pikir Pendekar 212 sambil memperhatikan ke
bawah.
Ratu
Duyung berhenti di depan semak belukar rambas. Dilewatinya semak-semak itu,
memandang jauh ke depan lalu berbalik ke tempat semula. Sepasang matanya
mencari-cari. Saat itulah terdengar suara seseorang.
“Ratu,
kau mencariku? Aku di sini!”
Ratu
Duyung putar tubuh. Ketika dia mendongak satu sosok melayang dari atas pohon.
Di lain kejap dia telah berhadap-hadapan dengan orang yang sejak malam tadi
dikuntitnya.
“Wiro,”
ujar Ratu Duyung. “Kau pergi cepat-cepat. Aku tidak keburu memberikan jawaban.”
Murid
Sinto Gendeng tersenyum.
“Apakah
sekarang kau sudah bisa memberikan jawaban?” Ratu Duyung mengangguk.
“Aku akan
antarkan kau ke tempat kediaman Nyi Roro Manggut.”
“Terima
kasih,” ujar Wiro. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang menjadi sebab gadis
cantik bermata biru itu berubah pikiran. Setelah Wiro pergi
Ratu
Duyung diam-diam merasa menyesal tidak memberikan jawaban atas permintaan
tolong sang pendekar. Karena jika dia mau mengantar Wiro berarti banyak
kesempatan baginya untuk berdua-dua dengan pemuda yang dicintainya dan pernah
menyelamatkan dirinya dari kutukan itu. Dengan demikian dia akan mempunyai
banyak kemungkinan untuk lebih mendekatkan diri serta merebut hati Wiro.
Memikir sampai ke situ, dengan alasan bahwa ada satu keperluan di Kotaraja,
Ratu Duyung meninggalkan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Namun walau tanpa
mengucapkan dua gadis ini sudah maklum kalau sebenarnya Ratu Duyung pergi
mengejar Wiro.
Setelah
menatap paras Ratu Duyung sebentar, Wiro-berkata. “Aku tahu kau memang ingin menolong.
Cuma waktu di Bukit Menoreh malam tadi kau merasa sungkan terhadap dua gadis
itu. Kau berusaha menjaga hati mereka dari kecemburuan…”
Wajah
Ratu Duyung bersemu merah.
Wiro
pegang tangan sang Ratu. “Jalanlah duluan. Aku akan mengikuti dari belakang.”
“Tidak,
aku lebih suka kita jalan berdampingan,” jawab Ratu Duyung.
Wiro
tertawa lalu pegang tangan sang dara.
*******************
11
DI
PENDAPA gedung Kadipaten Ki Sarwo Ladoyo sesepuh Kadipaten Temanggung yang
telah mengabdi pada dua Adipati bersiap-siap untuk berangkat ke Kotaraja. Kuda
dan dua pengawal telah menunggu di halaman. Tiba-tiba seorang prajurit
mendatangi tergopoh-gopoh, dengan wajah pucat berkata memberitahu.
“Ki
Sarwo, Adipati Salatiga Jatilegowo datang bersama para pengiringnya. Mereka ada
di…”
Belum
sempat prajurit itu menyudahi ucapannya, di luar sana terdengar kuda meringkik.
Lalu satu sosok tinggi besar melesat memasuki pendapa, berdiri berkacak
pinggang di hadapan Ki Sarwo, mengumbar tawa bergelak. Sesaat kemudian dua
orang berpakaian prajurit Salatiga menyusul masuk dan tegak di kiri kanan si
tinggi besar.
“Ki Sarwo
Ladoyo! Anjing tua berjuluk Pendekar Badai Pesisir Selatan! Kukira kau sudah
mampus! Ternyata masih hidup! Pasti kau banyak makan enak selama tinggal di
gedung Kadipaten ini! Ha… ha.. ha!”
Disebut
anjing tua Ki Sarwo Ladoyo bergetar sekujur tubuhnya. Darah naik ke kepala.
Namun orang tua yang punya banyak pengalaman hidup ini berusaha bersikap
tenang, memperhatikan orang yang berdiri di depannya. Dulu selama berbulan-bulan
dia pernah mengalami cidera akibat dihantam orang yang berdiri di depannya itu
dengan pukulan yang disebut “Dua Gunung Meroboh Langit.” Ilmu ganas ini
kemudian digembosi Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. (Baca Episode “Badik
Sumpah Darah”) Kini walau dia sudah sembuh, keadaan Ki Sarwo masih sedikit
lemah. Namun gelegak amarah seolah memacu munculnya kekuatan baru dalam tubuh
si orang tua.
Orang
bertubuh tinggi besar ini memiliki kumis tebal melintang berkilat karena selalu
dipoles dengan sejenis minyak. Di bawah blangkon yang menghias kepalanya
menjulai rambut tebal gondrong. Pakaiannya bagus dan mewah, terbuat dari kain
tebal biru berhias sulaman burung garuda warna kuning di dada kiri. Perhiasan
emas melingkar di leher dan pergelangan tangannya. Dia bukan lain adalah
Jatilegowo, Adipati Salatiga yang selama beberapa bulan dikabarkan lenyap entah
ke mana.
Terakhir
sekali Ki Sarwo melihat Jatilegowo adalah ketika Adipati Salatiga itu bertempur
hebat melawan Pendekar 212 Wiro Sableng. Selain berhasil mengalahkan Jatilegowo
dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang didapatnya dari Negeri
Latanahsilam Wiro telah memindahkan hidung sang Adipati ke kening. Kini Ki
Sarwo menyaksikan hidung sang Adipati telah kembali di tempatnya semula.
Kemungkinan menghilangnya Jatilegowo ini adalah untuk menyembuh mengembalikan
hidungnya itu dari kening ke tempat semustinya di atas mulut.
“Ki
Sarwo, aku datang untuk menemui Nyi Larasati. Aku tidak akan memerintah dua
kali! Bawa Nyi Larasati ke hadapanku sekarang juga!”
“Sejak
dua minggu lalu Nyi Larasati sudah tidak tinggal di gedung ini lagi,” jawab Ki
Sarwo.
“Jangan
berdusta!” bentak Jatilegowo.
Ki Sarwo
menyeringai. “Orang-orang di gedung Kadipaten ini tidak pernah mengenal
kedustaan. Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang pergilah. Tinggalkan
tempat ini. Jangan coba membuat keonaran di sini!”
“Tua
bangka kurang ajar! Beraninya kau memerintahku!”
“Plaakk!”
Satu
tamparan melanda wajah kiri Ki Sarwo. Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting
dan terkapar di lantai pendapa. Terhuyunghuyung Ki Sarwo bangkit berdiri.
“Manusia
durjana! Sampai mati kau tak akan pernah tobat rupanya!”
“Kau yang
harus bertobat sebelum kubikin amblas nyawamu!”
teriak
Jatilegowo. Lalu Adipati Salatiga kirimkan tendangan dahsyat ke arah dada Ki
Sarwo. Si orang tua masih bisa menyingkir selamatkan diri. Tendangan Jatilegowo
menghantam tiang pendapa hingga patah berantakan.
Melihat
orang masih bisa menghindar dari tendangannya Adipati Jatilegowo menggeram
marah. Didahului bentakan garang Jatilegowo kembali menyerang Ki Sarwo. Dua
jurus Ki Sarwo masih bisa bertahan. Jurus-jurus selanjutnya orang ini menjadi
bulan-bulanan tendangan dan kepalan Jatilegowo. Ketika Ki Sarwo akhirnya
terkapar babak belur di lantai pendapa Jatilegowo masih hantamkan satu
tendangan ke dada Ki Sarwo hingga orang tua ini mencelat mental, ambruk di
depan sebuah arca. Dadanya hancur. Ki Sarwo mengerang pendek, menggeliat lalu
muntah darah, akhirnya roboh tanpa nyawa!
Prajurit
yang tadi melapor kemunculan Jatilegowo tanpa menunggu lebih lama segera
menghambur lari tinggalkan gedung Kadipaten.
“Kalian
berdua! Geledah gedung ini! Cari Nyi Larasati!” Jatilegowo memerintah pada dua
orang prajurit Salatiga yang ikut bersamanya.
Kedua
prajurit ini segera laksanakan perintah sang Adipati. Tak lama kemudian mereka
muncul bukannya membawa Nyi Larasati tetapi bersama seorang perempuan separuh
baya dan seorang lelaki berusia lebih setengah abad. Dua orang itu dilemparkan
ke hadapan Jatilegowo, merangkak di lantai, ketakutan setengah mati.
“Adipati,
maafkan kami. Kami tidak berhasil menemukan Nyi Larasati. Gedung ini kosong.”
Memberi tahu salah seorang prajurit.
“Kalian
siapa?!” Hardik Jatilegowo.
“Saya…
saya Tasmih… Juru masak Kadipaten. Saya jangan diapaapakan. Saya orang tidak
berdosa… tidak bersalah…”
“Kau
siapa?!” Jatilegowo membentak orang satunya.
“Ampun
Raden, saya… saya Kadirun…”
“Kadirun…
Hemm. Apa tugasmu di gedung ini?” tanya Jatilegowo kasar.
“Saya… saya
juru taman gedung. Saya juga tidak punya salah, tidak punya dosa. Jangan
disakiti Den.”
Jatilegowo
menyeringai. Dia coba mengingat-ingat. “Kadirun! Bukankah kau orangnya yang
dikabarkan punya tiga istri?!”
“Bu…
bukan cuma dikabarkan Den. Memang betulan. Saya punya tiga istri…” jawab si
juru taman.
Jatilegowo
tertawa lebar. “Kau laki-laki hebat! Berdirilah, mendekat ke sini!”
Kadirun
membungkuk-bungkuk dia melangkah ke hadapan Jatilegowo. Sang Adipati
menepuk-nepuk bahu juru taman ini lalu berkata. “Juru taman Kadirun. Berapa
usiamu sekarang?”
“Saya,
enam puluhan Den.”
Jatilegowo
tertawa keras. “Usia enam puluh. Dan kau punya tiga istri untuk dilayani!
Laki-laki hebat! Aku iri padamu! Sudah enam puluh tapi masih punya tenaga
seperti kuda! Ha… ha… ha! Juru taman, apa rahasiamu! Obat apa yang kau minum
hingga begitu perkasa. Kabarnya salah seorang istrimu masih berusia di bawah
tiga puluh tahun.”
Kadirun
tertawa ditahan, malu-malu.
“Saya
tidak punya rahasia apa-apa Adipati. Juga tidak pernah minum obat…”
“Begitu?”
Jatilegowo kembali tepuk-tepuk bahu juru taman itu.
Kepalanya
dirundukkan sedikit. Setengah berbisik dia bertanya. “Kau tahu di mana Nyi
Larasati berada?”
“Jeng Ayu
Larasati meninggalkan gedung ini dua minggu lalu Den,” menerangkan Kadirun.
“Kau tahu
pergi ke mana?”
“Mohon
maaf, saya tidak tahu Den.”
Jatilegowo
berpaling pada Tasmih.
“Juru
masak, kau tahu ke mana perginya Nyi Larasati?”
Tasmih
geleng-gelengkan kepala. Wajahnya menunjukkan ketakutan.
“Kukira
kalian berdua berdusta!”
“Kami,
kami tidak berdusta Den,” Tasmih dan Kadirun berucap hampir berbarengan.
“Majikan
kalian pergi, kalian tidak tahu! Aku tidak percaya!”
Jatilegowo
menyeringai. Dia berpaling pada salah seorang pengawalnya.
“Prajurit!
Potong kemaluan juru taman ini! Dia boleh punya tiga sampai sepuluh istri! Tapi
tak akan ada gunanya lagi sekarang! Ha… ha… ha!”
Kadirun
seperti disambar petir. Tasmih jatuhkan mukanya ke lantai, tak berani melihat
ke mana-mana, apalagi ke arah sang Adipati.
“Srett!”
Prajurit
yang diperintah hunus goloknya. Senjata itu berkilat-kilat terkena sinar
matahari pagi yang baru naik. Kadirun menggigil sekujur tubuh, wajahnya seputih
kertas.
“Jangan
Den, saya bersumpah tidak dusta! Saya tidak tahu ke mana perginya Nyi
Larasati…” Kadirun berucap setengah meratap sambil jatuhkan diri berlutut di
lantai.
“Kau
lebih suka menyelamatkan Nyi Larasati daripada barang sendiri dan tiga istri!”
ucap Jatilegowo. Lalu dia berteriak.
“Prajurit!
Laksanakan tugasmu!”
Dibantu
temannya, prajurit yang memegang golok mendorong Kadirun hingga terlentang di
lantai pendapa. Celana hitamnya ditarik paksa. Kolor dibetot lepas. Prajurit
yang memegang golok maju mendekat. Ketika dia siap mengayunkan senjata itu
Kadirun berteriak keras.
“Adipati
ampun! Jangan! Saya akan bicara! Saya akan katakan!”
“Adipati
Jatilegowo menyeringai. Sambil pelintir ujung kumis tebalnya dia gerakkan
tangan satunya memberi tanda. Prajurit yang mencekal Kadirun lepaskan cekalan.
Yang memegang golok mundur sambil sarungkan senjatanya kembali.
“Bangun!
Bicara!” bentak Jatilegowo.
Juru
taman Kadirun tarik kolornya ke atas dan kenakan celana hitamnya kembali lalu
bangkit, duduk bersila sambil rundukkan kepala hampir menyentuh lantai pendapa.
“Bicara!
Jangan cuma menungging-nungging! Nanti kutendang hancur bokongmu!” teriak
Jatilegowo.
“Ampun
Adipati, setahu saya… setahu saya Nyi Larasati berangkat ditemani Loh Gatra…”
“Bangsat
setan alas! Aku tidak tanya dia pergi ditemani siapa! Aku tanya Nyi Larasati
pergi dan berada di mana?!” bentak Jatilegowo.
Kakinya
diangkat dan diletakkan di atas batok kepala sang juru taman. Dengan tubuh dan
suara gemetar Kadirun berkata.
“Nyi Lara
berada di…”
Keterangan
meluncur dari mulut Kadirun yang dilanda ketakutan setengah mati. Tasmih si
juru masak hanya bisa membenamkan kepala ke lantai pendapa. Hatinya menangis.
Dia sudah bisa membayangkan apa yang bakal terjadi dengan bekas majikannya, Nyi
Larasati.
*******************
12
DESA
Windusari terletak di sebelah timur Gunung Sumbing, setengah hari perjalanan di
selatan Temanggung. Malam itu, di ruang dalam rumah Kepala Desa Ronosantiaki,
Kepala Desa bersama istrinya tengah bicara dengan Nyi Larasati, janda almarhum
Adipati Temanggung yang masih keponakannya.
“Anakku
Larasati,” kata Ronosantiaki memulai pembicaraan.
“Paman sudah
bicara dengan bibimu. Kami tahu kau senang menetap di sini dan kami berdua juga
gembira kau bisa berada di tengah-tengah kami. Apalagi mengingat sampai saat
ini kami masih belum dikarunia seorang anakpun oleh Gusti Allah. Kau sudah kami
anggap sebagai puteri sendiri. Namun terkadang Paman merasa sedih…”
“Sedih
bagaimana, Paman?” tanya Nyi Larasati yang walau kecantikannya tidak berubah
tapi perawakannya kini terlihat agak kurusan.
“Semasa
di Temanggung sebagai istri Adipati kehidupanmu serba senang. Segala sesuatunya
serba tersedia. Ada banyak pembantu yang mengurusi rumah tanggamu. Tapi di sini
justru kau bekerja keras, mencuci, memasak, membenahi rumah…”
Nyi
Larasati tersenyum.
“Mengapa
Paman berpikir sampai ke situ? Bagi seorang perempuan pekerjaan memasak,
mencuci dan membenahi rumah adalah pekerjaan yang merupakan kewajiban
sehari-hari. Lagi pula saya tidak merasa bekerja keras. Saya suka dengan semua
pekerjaan itu.”
“Paman
dan Bibi senang mendengar ucapanmu itu. Namun selain hal itu ada satu
kekawatiran dalam diri Paman dan Bibimu ini…”
“Nah,
nah. Tadi Paman menyebut kesedihan. Kini kekawatiran. Boleh saya tahu apa yang
Paman kawatirkan?” tanya Larasati pula.
“Keselamatanmu
anakku. Keselamatanmu,” jawab Ronosantiaki yang Kepala Desa Windusari itu.”
“Memangnya
banyak rampok dan orang jahat di desa ini Paman?”
Ronosantiaki
gelengkan kepala. Sang istri membuka mulut. “Bukan, rampok atau-orang jahat
yang kami kawatirkan. Kami kawatir kalau persembunyianmu di sini bocor,
diketahui Adipati Salatiga. Dia pasti akan datang ke sini…”
“Saya
mendengar kabar sudah beberapa bulan ini dia tidak ada lagi di Salatiga…”
“Itu
bukan menjadi jaminan bahwa dia tidak akan muncul mencarimu, anakku,” kata
Ronosantiaki. “Paman yakin ada sesuatu yang dikerja kannya. Mungkin sekali
mencari ilmu tambahan untuk membalaskan dendam kesumat terhadap para pendekar
yang dulu pernah menghajarnya di Temanggung.”
Nyi
Larasati terdiam. Yang terbayang saat itu adalah wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Paman,
jangan terlalu kawatir. Rumah ini cukup aman bagi saya…”
“Tidak
anakku. Aku dan Bibimu sudah berunding. Kau akan kami ungsikan ke satu tempat
yang benar-benar aman. Di Kalijajar ada seorang sahabat. Aku akan menitipkanmu
di sana sampai keadaan benar-benar aman.”
“Kalau
mau Paman begitu, saya tak bisa menampik,” kata Nyi Larasati walau hati
kecilnya kurang menyetujui maksud sang Paman.
“Kita
berangkat besok pagi bersamaan dengan fajar menyingsing. Kereta dan beberapa pengawal
berkuda sudah kusiapkan. Sekarang karena sudah cukup larut, masuklah ke
kamarmu. Kau perlu istirahat. Kalijajar jauh dari sini. Lebih dari satu hari
perjalanan.”
**********************
MALAM itu
di atas pembaringan sulit bagi Nyi Larasatimemicingkan mata. Perubahan dirinya
dari seorang istri Adipati yang dihormati dan hidup sangat berkecukupan menjadi
seorang janda yang kini tidak punya apa-apa lagi baginya bukan hal merisaukan.
Dia sanggup menghadapi semua perubahan ini walau dengan segala kepedihan. Namun
memang satu ada hal yang ditakutinya. Yakni Jatilegowo, Adipati Salatiga yang
memaksa mengambil dirinya jadi istrinya.
“Kalau
saja pemuda bernama Wiro itu ada di sini, aku akan merasa bahagia dan aman,”
bisik hati Nyi Larasati. “Di mana dia berada sekarang? Bagaimana aku bisa
bertemu dengan dia?”
Menjelang
pagi, dalam keadaan capai akhirnya Larasati tertidur. Belum lama memicingkan
mata, satu mimpi seram menghantui tidurnya. Dalam mimpi itu Nyi Larasati
dapatkan dirinya di satu rimba belantara penuh dengan segala macam mahluk halus
jejadian menyeramkan. Ada kutungan kepala menyambar sambil menyemburkan darah.
Ada mahluk bertubuh manusia berkepala srigala yang hendak mencabik-caik
dirinya. Lalu ada pula mahluk dengan sosok setinggi pohon kelapa, berlidah api,
menjulur kian ke mari hendak menjilat membakar dirinya. Yang paling menyeramkan
adalah satu mahluk tinggi besar penuh bulu tanpa pakaian berusaha menangkap dan
memperkosanya. Mahluk ini memiliki tampang seperti Adipati Jatilegowo. Di satu
tebing tinggi, Nyi Larasati tidak dapat melarikan diri lagi karena di
hadapannya menganga jurang batu cadas sangat dalam. Nyi Lara memilih lebih baik
mati daripada dirusak kehormatannya. Maka diiringi jeritan panjang menggidikkan
Nyi Larasati hamburkan dirinya ke dalam jurang. Saat itulah dia tersentak
bangun.
Nyi Lara
duduk di tepi tempat tidur. Diusapnya wajahnya yang penuh keringatan. Debaran
di dadanya masih terasa keras. Dari bawah bantal diambilnya sebuah benda. Benda
ini adalah secarik kain putih bertuliskan angka 212. Seperti dituturkan Episode
pertama (Badik Sumpah Darah) potongan kain ini diberikan Wiro pada Loh Gatra
untuk disampaikan pada Nyi Lara sebagai pertanda bahwa Wiro akan menolong
dirinya dari tangan jahat Adipati Salatiga Jatilegowo.
Atas
nasihat Ki Sarwo, kain putih itu disimpan Nyi Larasati baikbaik. Setiap hatinya
gundah atau rindu bertemu dengan sang pendekar Nyi Lara mengeluarkan kain itu,
membelai dan menciuminya. Kini untuk kesekian kalinya Nyi Lara mengambil kain
itu, meletakkannya di atas dada yang masih berdebar akibat mimpi buruk. Dengan
kain putih bertuliskan angka 212 di atas dada Nyi Lara baringkan dirinya
kembali di atas tempat tidur. Matanya dipejamkan. Berusaha tidur. Di luar sana
lapat-lapat Nyi Lara mendengar suara berisik. Nyi Lara nyalangkan mata. Sunyi.
Tak terdengar suara apa-apa lagi. Nyi Lara pejamkan matanya kembali. Tiba-tiba
ada langkah-langkah kaki, terdengar berat menggetarkan lantai kamar. Lalu pintu
kamar terbuka. Karena pikirannya hampir tak pernah lepas dari mengingat
Pendekar 212 Wiro Sableng, ketika satu sosok tinggi besar masuk langsung saja
Nyi Lara membuka mulut menyebut nama sang pendekar.
“Wiro…?!”
Jawaban
yang didapat Nyi Lara adalah suara tawa bergelak. Kaget setengah mati Nyi Lara
bangkit dari tidurnya. Perempuan muda ini menjerit keras ketika melihat siapa
adanya orang yang berdiri di ambang pintu, memandang menyeringai kepadanya. Dia
seperti melihat demit kepala tujuh!
“Nyi
Lara, kau berteriak. Karena terkejut atau bahagia bertemu kembali dengan
diriku?!” Orang di ambang pintu keluarkan ucapan.
“Kau!
Keluar! Pergi!” teriak Nyi Larasati.
Di luar
kamar ada suara orang berlari mendatangi.
“Nyi
Lara, anakku! Ada apa?!”
Itu suara
Kepala. Desa Ronosantiaki. Sesaat kemudian Kepala Desa ini menghambur masuk ke
dalam kamar. Dia segera mengenali sosok Jatilegowo.
“Adipati!”
“Aku
datang untuk menjemput calon istriku! Kau keberatan?!” ucap Jatilegowo.
“Sampai
mati aku tidak mau jadi istrimu! Keluar?!” teriak Nyi Larasati.
“Adipati,
kau dengar sendiri ucapan keponakanku! Aku mohon jangan melakukan kekerasan!”
“Aku
berjanji tidak akan ada kekerasan! Asal jangan ada yang berani membantah
kemauanku! Nyi Larasati, ikut aku!”
“Tidak!
Pergi!”
“Kau
membuatku kehilangan kesabaran!” Rahang Jatilegowo menggembung. Dia melompat ke
ujung tempat tidur hendak menangkap Nyi Lara. Tapi dari belakang Ronosantiaki
memegangi tubuhnya.
“Adipati!
Jangan lakukan! Kasihani kami orang-orang kecil!”
“Kalian
orang-orang kecil tak tahu diri!” bentak Jatilegowo. Sekali dia membalikkan
badan sambil hantamkan tinju kanan maka bukkk!
Kepala
Desa Windusari terpental keluar pintu. Hidungnya mengucurkan darah kena jotosan
keras yang dilancarkan Jatilegowo. Orang tua ini megap-megap sulit bernafas.
Dua orang anak buah Jatilegowo menyeretnya lalu melemparkannya ke halaman
samping.
“Paman!”
teriak Nyi Lara. Dia coba melarikan diri ke arah pintu.
Tapi
Jatilegowo lebih cepat. Sambil tangan kiri merangkul pinggang, dua jari tangan
kanannya menotok urat besar di pangkal leher Nyi Lara. Dalam keadaan kaku tak
bisa bergerak tak dapat bersuara Jatilegowo letakkan sosok Nyi Lara di atas
bahu kanannya. Dia memberi isyarat pada dua prajurit lalu mendahului berkelebat
keluar rumah. Di ruang tengah istri Kepala Desa sambil menjerit-jerit berusaha
menahan tubuh besar Jatilegowo. Tapi sekali dorong saja perempuan ini terpental
jauh. Kepalanya membentur pinggiran meja, membuatnya pingsan tak sadarkan diri
begitu menggeletak di lantai. Dengan cepat diikuti dua anak buahnya Jatilegowo
keluar dari dalam rumah menuju halaman depan. Di situ telah menunggu empat ekor
kuda. Kuda keempat adalah kuda cadangan yang disiapkan untuk membawa Nyi
Larasati.
Ketika
Jatilegowo dan dua pengawalnya sampai di halaman tempat mereka menambatkan
kuda, alangkah kagetnya mereka. Di atas kuda tunggangan milik Jatilegowo duduk
seorang kakek berambut biru berminyak. Di keningnya melingkar tali berbentuk
jalin terbuat dari usus manusia. Sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan
lontarkan seringai angker, kakek berambut biru yang duduk di atas kuda umbar
suara tawa keras dan panjang.
“Jatilegowo,
dunia ini ternyata kecil dan sempit! Kau mengira bakal dapat lari ke ujung
dunia. Ternyata ujung duniamu hanya sampai di Desa Windusari ini! Ha… ha… ha!”
“Adipati,
siapa kakek kurang ajar ini?!” Prajurit di samping Jatilegowo bertanya.
“Kalian
berdua bunuh tua bangka keparat itu!” perintah Jatilegowo.
Dua
prajurit serta merta menghunus senjata. Begitu keduanya menyerang kakek di atas
kuda, Jatilegowo cepat melompat ke atas kuda lain, menghambur lari ke arah
matahari terbit.
“Orang
tua berambut biru di atas kuda kertakkan rahang. Ketika dua golok menyambar,
dia tendang-kan kaki kiri sementara tangan kanan bergayut ke leher kuda lalu
menyusul kaki kanan menyentak ke depan.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Dua
prajurit mencelat mental. Yang satu tak bangun lagi karena tendangan tepat
menghantam lehernya. Tulang lehernya patah. Dari tenggorokannya keluar suara
aneh. Sosoknya menggeliat beberapa kati lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
Prajurit
kedua yang kena tendangan pada bahu kirinya dengan geram memungut goloknya yang
tadi terlepas lalu dengan nekad menyerang kakek berambut biru kembali. Sekali
ini yang diserang tidak memberi hati lagi. Setelah menangkis serangan golok
dengan lipatan lutut, tangan kanannya menghantam deras ke batok kepala si
prajurit.
“Praakk!”
Batok
kepala itu pecah. Si prajurit melayang nyawanya sebelum tubuhnya mencium tanah!
Si kakek
di atas kuda keluarkan suara mendengus.
“Jatilegowo,
kau mau lari ke mana! Sekalipun kau lari ke neraka jangan kira aku tak sanggup
mengejar!” Kakek ini sentakkan tali kekang kuda. Binatang itu menghambur ke
depan, berlari kencang ke arah lenyapnya Jatilegowo bersama janda culikannya.
JATILEGOWO
memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan. Sosok Nyi Larasati tergeletak
melintang di atas pangkuannya. Dalam hati orang ini merutuk tak henti-hentinya.
“Kurang
ajar! Bagaimana jahanam itu bisa mengikuti aku sampai ke sini?! Kalau dia
berlaku nekad terpaksa aku menghabisi dirinya!”
Jatilegowo
berpaling ke belakang. Dua prajurit yang ikut bersamanya masih belum muncul.
Hatinya merasa tidak enak.
“Jangan-jangan
mereka menemui ajal di tangan jahanam itu,” pikir Jatilegowo. Dia mempercepat
lari kudanya. Tapi dengan beban dua orang seperti itu sang kuda tidak mampu
berlari lebih cepat walau didera sekalipun.
Sebelumnya
Jatilegowo punya rencana begitu berhasil mendapatkan Nyi Larasati dia akan
membawa janda itu ke Salatiga. Tapi dengan kemunculan kakek berambut biru yang
tidak diduganya sama sekali, dia terpaksa merubah rencana. Kudanya diarahkan ke
selatan menuju Bandongan. Di desa itu dia memiliki sebuah rumah yang selama ini
ditinggalkan kosong.
Ketika
sang surya terbit di timur kemudian bergerak naik dengan memancarkan sinarnya
yang benderang, Jatilegowo merasa agak lega. Tak ada yang mengejarnya. Lari
kuda diperlambat. Sebelum tengah hari dia memperkirakan akan sampai di
Bandongan. Dugaannya tidak meleset. Sebelum mentari mencapai titik tertingginya
Jatilegowo bersama orang boyongannya telah memasuki Desa Bandongan.
Rumah
kosong milik Jatilegowo terletak di bibir lembah subur berpemandangan indah.
Ada satu aliran air jernih tak berapa jauh dari rumah itu. Jatilegowo hentikan
kudanya di sini. Binatang itu dibiarkannya mereguk air segar. Dia sendiri
menggendong Nyi Larasati, melangkah ke arah rumah. Dengan kaki kiri Jatilegowo
mendorong pintu rumah yang terbuat dari papan tebal. Pintu terbuka mengeluarkan
suara berkereketan. Jatilegowo melangkah masuk. Tapi baru satu kaki menginjak
bagian dalam rumah tiba-tiba dari dalam terdengar suara tawa mengekeh.
“Jatilegowo!
Aku sudah bilang. Dunia ini kecil dan sempit. Kau masih berlaku nekad hendak
mencoba lari dariku? Ha… ha… ha!”
Kejut
Jatilegowo seperti disambar petir. Dia cepat melompat mundur, keluar dari dalam
rumah. Tubuh Nyi Larasati diletakkannya di satu tempat di samping sebuah batu
besar. Lalu dia melangkah kembali ke arah rumah, berhenti tujuh langkah di
depan pintu yang terbuka sementara dari dalam rumah masih terdengar suara tawa
bergelak.
“Sarontang!
Keluarlah! Katakan apa maumu!” Berteriak Adipati Jatilegowo. Tangan kanannya
ditempelkan ke pinggang kiri di mana terselip sebuah senjata sakti mandraguna.
Badik Sumpah Darah!
Belum
lenyap gema teriakan Jatilegowo, di dalam rumah suara tawa bergelak sirna. Lalu
satu bayangan melesat ke udara, jungkir balik dua kali untuk kemudian turun ke
tanah dan tegak tiga langkah di hadapan Jatilegowo. Luar biasa sekali gerakan
orang ini. Dan dia ternyata bukan lain adalah kakek berambut biru berminyak.
“Hebat!
Dulu kau memanggil aku dengan sebutan kakek Sarontang! Kini Sarontang saja!
Hebat! Tapi juga kurang ajar! Ha… ha…ha!”
Jatilegowo
mendengus. “Perlu apa memakai segala bahasa halus dan peradatan terhadap
manusia sepertimu!”
“Oo
begitu?! Ha… ha… ha!” Si kakek berambut biru kembali umbar tawa panjang. “Benar
rupanya lidah tidak bertulang. Manusia bicara semaunya sesuai dengan kebutuhan
perut dan pantatnya! Ha…ha… ha!”
“Aku muak
mendengar suara tertawamu! Katakan bagaimana kau bisa mengikuti aku sampai ke
sini! Juga katakan apa maumu mengikuti diriku! Kau inginkan janda muda cantik
bernama Nyi Larasati itu?!”
“Jatilegowo!
Apa kau lupa, aku yang bernama Sarontang ini sebenarnya adalah Aryo Probo,
Pangeran Kerajaan Pakubuwon! Aku lebih tahu seluk beluk Tanah Jawa di kawasan
ini daripada dirimu! Kau tanya mengapa aku mengikutimu? Aku punya sejuta
alasan! Tapi tidak untuk mendapatkan janda cantik itu. Kau tahu seleraku. Kau
pernah bermain cinta denganku! Apa kau lupa?!” (Mengenai riwayat Sarontang
harap baca Episode sebelumnya yakni “Badik Sumpah Darah” dan “Mayat
Persembahan”) Jatilegowo keluarkan suara seperti orang mau muntah. Sebaliknya
Sarontang keluarkan suara mendengus.
“Aku
mengejarmu sejak kau kabur dari tanah Makassar, membawa dua dosa besar
pengkhianatan!”
“Hemm…
Kau seperti malaikat yang hendak mengadili insan! Aku kawatir otakmu sudah
miring Sarontang!”
Diejek
begitu rupa Sarontang tertawa bergelak.
“Dosa
pertamamu, kau membunuh pemuda bernama Bontolebang yang jadi kekasihku! Kau
bunuh dan kau kirimkan mayatnya padaku sebagai Mayat Persembahan! Kurang ajar
dan keterlaluan! Dosa kedua, kau membawa kabur Badik Sumpah Darah asli,
memberikan badik palsu padaku! Dua dosa itu sudah cukup untuk membuat aku
menguliti tubuhmu saat ini juga!”
Jatilegowo
sunggingkan seringai mengejek. “Tadi kau berlaku seperti malaikat. Kini seperti
tukang potong sapi hendak menguliti diriku! Jangan bicara ngacok! Lebih baik
kau angkat kaki dari sini sebelum kau kuhabisi! Pangeran Aryo Probo, apa kau
tidak sayang pada tahta Kerajaan yang selama ini kau inginkan?! Apa kau
benar-benar ingin mampus sebelum merasakan bagaimana enaknya jadi Raja?!”
“Aku
minta kau menyerahkan Badik Sumpah Darah padaku sekarang juga. Justru senjata
itu aku perlukan untuk mendapatkan tahta Kerajaan!”
Jatilegowo
gelengkan kepala.
“Aku
tidak akan memberikan badik itu pada siapapun! Juga tidak padamu! Jika kau
ingin merampas tahta Kerajaan silahkan lakukan sendiri. Aku kawatir tahta yang
kau idamkan itu akan menjadi tahta berdarah! Kau akan menemui kematian sebelum
berhasil menyentuhnya!”
“Bicara
soal kematian mungkin kau yang bakal mampus duluan dari aku. Kecuali kau mau
menyerahkan badik itu padaku sekarang juga! Serahkan!”
“Tua
bangka takabur! Kau akan kubuat mati tak berkubur!” Habis berkata begitu
Jatilegowo menggebrak maju, hantamkan tangan kiri kanan ke arah dada si kakek.
“Bukkk…
bukk… bukkk… bukkk!”
Empat
jotosan keras bertenaga dalam tinggi melanda dada Sarontang. Jangankan
terpental atau menjerit kesakitan, sedikitpun sosok si kakek tidak bergeming
dan tidak ada kerenyit kesakitan pada wajahnya. Kagetlah Jatilegowo. Jotosannya
tadi jangankan manusia. Tembok batu sekalipun akan jebol hancur. Sarontang
tertawa mengekeh. Dia angkat tangan kanannya ke atas lalu berseru.
“Anak-anak!
Bunuh manusia pengkhianat ini!”
Begitu
ucapan Sarontang berakhir tiba-tiba menggemuruh suara lolongan menggidikkan.
Tidak jelas apakah itu suara lolongan anjing atau raungan manusia.
Jatilegowo
tersentak kaget dan undur dua langkah. Dia ingat peristiwa di Gunung
Lompo-batang. Sarontang mempunyai peliharaan mahluk-mahluk aneh. Pada saat-saat
tertentu mahluk-mahluk itu diberi makan berupa burung-burung yang beterbangan
di udara. Apakah dia membawa serta mahluk-mahluk peliharaannya itu ke Tanah
Jawa…?
TAMAT
No comments:
Post a Comment