Misteri Pedang Naga Merah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
JUMENA
prajurit Kadipaten Losari yang tengah tertidur pulas tak jauh dari pintu
gerbang timur, tenggelam dalam mimpi aneh. Dalam mimpi dia melihat dua orang
lelaki berkepala sangat besar mendaki keluar dari sebuah jurang yang
mengepulkan kabut kelabu. Lelaki pertama seorang kakek bungkuk bertongkat kayu
dan bercaping hijau, menaiki jurang sambil memegang lengan lelaki muda di
belakangnya. Padahal lelaki muda inilah yang seharusnya menuntun si kakek naik
ke atas jurang. Setiap dia menarik nafas panjang, caping hijau di atas kepala
si kakek naik ke atas sampai satu jengkal lalu turun lagi. Waktu caping naik ke
atas kelihatan kepala si kakek yang luar biasa besar.
Kabut
tipis sesaat lenyap. Sekilas dalam mimpinya Jumena melihat wajah orang di
belakang kakek bercaping. Prajurit ini tersentak dari mimpi dan terbangun
duduk. Mukanya keringatan padahal saat itu dia berada di udara terbuka dan
malam hari pula. Dia mengenali wajah itu. Tapi mengapa kepalanya berubah besar?
“Ini kali
kedua aku mengimpikan Raden Rayi Jantra dan kakek bercaping itu. Berkepala
sangat besar, keluar dari jurang. Apa artinya …?” Setelah merenung cukup lama
kantuk Jumena datang lagi. Prajurit ini kembali berselunjur dan meneruskan
tidurnya.
Belum
lama pulas seorang prajurit temannya datang menghampiri dan membangunkan.
Jumena
nyalangkan dua mata, letakkan tangan kanan di gagang golok besar yang terletak
di pangkuannya lalu menatap pada prajurit yang berdiri di hadapannya.
“Ada apa?
Aku rasa belum giliranku jaga,” Jumena merasa tergangu.
“Ada
orang mencarimu.” Prajurit yang membangunkan memberi tahu lalu melangkah pergi.
Jumena
menggeliat. Mengucak mata kemudian menoleh ke samping kiri. Pandangannya
membentur sosok tegap seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih.
Prajurit yang berbaring bersandar ke tembok batas timur Kadipaten Losari ini
kerenyitkan kening lalu berdiri.
“Kau…Aku
tidak lupa padamu,” kata Jumena. ”Aku mengira tidak akan menemuimu lagi. Waktu
di jurang kau pergi begitu saja.”
“Jumena,
aku juga tidak lupa padamu. Itu sebabnya aku mencarimu.”
“Malam-malam
buta, hemmm rasanya hampir pagi. Ada apa?”
“Jumena,
kita duduk dan bicara di balik pohon besar sana saja,” kata si rambut gondrong
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede. Wiro pegang bahu prajurit itu lalu membawanya ke
balik pohon besar tak jauh dari pintu gerbang timur Kadipaten Losari.
Sampai di
balik pohon setelah duduk berhadap-hadapan Jumena bertanya lagi. “Ada apa? Eh,
sampai saat ini aku belum tahu namamu.”
“Panggil
aku Wiro,” jawab Pendekar 212. “Jumena, waktu di jurang kau memberi tahu
tentang atasanmu bernama Rayi Jantra yang katamu dibuang ke jurang. Apakah
mayatnya sudah ditemukan?”
Jumena
menggeleng. “Ada keanehan.”
“Keanehan
bagaimana?” tanya Wiro.
“Kejadian
di jurang aku laporkan pada Prajurit Kepala. Prajurit Kepala lanjut melapor
pada Adipati Losari Raden Seda Wiralaga. Hari itu juga Adipati mengirim pasukan
besar ke jurang di perbatasan. Semua mayat berhasil diangkat ke atas jurang.
Keadaannya sangat rusak. Empat jenasah tak dikenal bermuka hangus. Dua mayat
kemudian diketahui adalah prajurit Kadipaten bernama Lebak dan Meneng. Jenasah
Raden Rayi Jantra tidak ditemukan.”
“Mungkin
mayatnya tidak termasuk yang dibuang di jurang.”
“Boleh
jadi. Namun ada keanehan lain. Aku bermimpi. Sampai dua kali. Kali kedua
barusan saja. Dalam mimpi aku melihat Raden Rayi Jantra berpegangan tangan
dengan seorang kakek bercaping hijau. Kepala mereka besar sekali. Keduanya
berusaha mendaki jurang, naik ke atas.”
“Jangan-jangan
atasanmu itu masih hidup.” Wiro coba mengartikan mimpi Jumena.
“Mudah-mudahan
begitu. Kalau dia masih hidup dan kembali bertugas, aku pasti akan mendapat
kenaikan pangkat. Dia janji padaku.” Jumena menghela nafas panjang. “Kau belum
menerangkan apa keperluanmu. Apa masih mau menanyakan soal kancing kayu tempo
hari?” (Mengenai pertemuan Wiro dengan Jumena pertama kali harap baca Episode
sebelumnya berjudul “Dadu Setan”)
Wiro
tertawa, menggaruk kepala. Jumena menatap wajah sang pendekar. Sepasang matanya
membesar. Tiba-tiba dia berkata, “Aku ingat sesuatu!”
“Apa?”
tanya Pendekar 212.
“Wajahmu!”
Wiro
mengusap mukanya. “Kenapa wajahku?”
“Sama
dengan yang dibuat juru lukis itu! Eh, namamu tadi siapa?”
“Aku tdak
mengerti maksudmu. Juru lukis apa?”
“Wiro!
Kau pasti orangnya!”
“Bicara
yang benar. Jangan sepotong-sepotong!”
“Kau tahu
perihal kematian Adipati Brebes?”
“Aku
mendengar ceritanya,” jawab Wiro. Dalam hati dia berkata, “Aku yang membunuh
manusia bejat itu!”
“Atas
perintah Adipati Losari, berdasarkan keterangan saksi termasuk seorang kakek
berjuluk Si Kuda Iblis alias Ki Sentot Balangnipa, seorang juru gambar membuat
lukisan wajah si pembunuh. Aku sempat melihat gambar yang sekaligus surat
perintah penangkapan itu ketika hendak ditunjukkan pada Adipati Losari. Wajah
yang dibuat juru lukis itu adalah wajahmu! Besok siang surat selebaran akan
ditempel dimana-mana. Kau dituduh sebagai pembunuh Adipati Brebes.
Diperintahkan tangkap hidup atau mati! Imbalannya lima ringgit emas! Kau
orangnya yang bernama Wiro Ssableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua? Betul?
Pasti betul!”
Wiro
terkejut namun dengan tenang dia berkata, “Adipati Brebes pantas dihabisi
karena hendak
menodai
seorang gadis sahabatku. Berita menyebar cepat sekali. Mengapa Adipati Losari
di wilayah barat yang mengeluarkan surat penangkapan, bukan pejabat Kerajaan di
wilayah timur?”
“Adipati
Brebes Karta Suminta adalah sahabat kental Adipati Losari Seda Wiralaga. Aku
rasa saat ini di wilayah timur kau juga sudah dicari.”
Wiro
menggaruk kepala. “Kau prajurit Losari. Setelah tahu siapa aku mengapa tidak
menangkapku?”
Jumena
usap-usap golok besar yang dipegangnya lalu tertawa.
Ikutan
menggaruk kepala. “Aku prajurit kecil. Ingin hidup tenang. Kalau aku
menangkapmu, apa kau tidak bakal menekuk batang leherku? Aku banyak mendengar
cerita tentang kehebatanmu. Seorang prajurit butut sepertiku ingin melawan
pendekar besar sepertimu? Ha-ha! Aku tidak mau mencari penyakit. Apalagi
mencari mati!”
“Kau
tidak tergiur pada hadiah lima ringgit emas? Kau bisa melaporkan aku pada
atasanmu atau langsung pada Adipati Losari. Selain lima ringgit emas mungkin
kau bakal dapat kenaikan pangkat dua tingkat sekaligus!”
Prajurit
Jumena tersenyum. “Aku ingin hidup tenang. Apa arti lima ringgit emas kalau
kelak nyawaku bakalan amblas! Lagipula kalau Adipati Brebes hendak menodai
seorang gadis, rasanya dia memang pantas dibunuh! Selama ini gedung kediamannya
dikenal sebagai sarang keluar masuk gadis-gadis cantik, bahkan istri orang. Ada
yang datang karena mengharap imbalan atau hadiah besar. Ada yang memang
perempuan nakal. Tapi banyak juga yang diambil secara paksa.”
“Jadi kau
tidak akan menangkapku? Tidak akan melapor pada atasanmu?” tanya Wiro pula.
Prajurit
Kadipaten Losari itu gelengkan kepala.
Wiro
tepuk-tepuk bahu Jumena.
“Aku
mendengar banyak cerita hebat tentang dirimu. Antara lain kau memiliki sebuah
senjata yang disebut Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua. Katanya senjata itu
bisa mengeluarkan api, angin panas dan mengeluarkan suara mengaung dahsyat. Aku
tak melihat kau membekal senjata sakti itu. Dimana kau simpan? Boleh aku
melihat dan memegangnya barang sebentar?”
Wiro
tertawa, “Nanti, satu kali akan aku perlihatkan padamu.”
Jumena
tampak kecewa. Wiro pegang bahu prajurit itu. “Jumena, kau kenal seorang pemuda
bernama Danang Seta dari desa Jatiwaluh?”
“Dia
sahabatku sejak kecil. Teman sepermainan.” Jawab Jumena. “Kenapa kau tanyakan
dirinya? Memangnya kau kenal dia?”
“Sahabatmu
tewas dibunuh orang petang menjelang malam tadi.”
Jumena
terkejut bukan main. Rasa tak percaya membuat dia lama menatap wajah Wiro.
Setelah menghela nafas panjang dan menahan sengguk prajurit ini berkata
perlahan. “Kasihan Danang. Kematiannya pasti ada kaitan dengan apa yang
diketahuinya tentang satu tempat rahasia. Padahal mungkin dia cuma tahu
sedikit. Kekasihnya, seorang gadis bernama Ningrum yang tahu banyak.”
“Ningrum
juga sudah menemui ajal. Dibunuh!” Menerangkan Wiro.
Jumena
terbelalak. “Bagaimana kejadiannya?”
Wiro lalu
menuturkan sesuai cerita yang didengarnya dari Purnama.
“Jadi
Ningrum juga dibunuh,” Jumena gelengkan kepala berulang kali. Setelah mengusap
wajahnya dia berkata, “Gadis kekasih Danang Seta itu belakangan ini dibanjiri
harta kekayaan luar biasa. Tapi dirinya juga dipenuhi berbagai rahasia. Mungkin
Adipati Brebes yang membunuhnya?”
Wiro
menggeleng. “Adipati itu menemui ajal lebih dulu. Sudah kukatakan, aku yang
membunuh Karta Suminta.”
Jumena
terdiam beberapa lama. Akhirnya dia berkata. “Atasanku Rayi Jantra pernah
mengungkapkan rasa curiganya terhadap Ningrum puteri Surah Pamulih itu. Ningrum
diketahui banyak berhubungan dengan para ejabat tinggi di wilayah timur dan
barat. Ada kabar selentingan bahwa Ningrum membantu orang-orang di timur untuk
menggagalkan usaha orang di barat yang hendak mendirikan satu kerajaan di
pantai utara. Danang pernah bilang Ningrum sulit ditemui. Di rumah dia hanya
ada tiga atau empat hari dalam sebulan. Selebih itu tidak diketahui dimana dia
berada.”
“Ada
orang yang ingin membungkam Danang Seta dan Ningrum,” kata Wiro pula.
Jumena
mengangguk. Dia meraba tengkuk sendiri yang mendadak terasa dingin. Ada rasa
takut muncul dalam diri prajurit ini.
“Jumena,
ingat apa yang kau sampaikan padaku waktu bertemu di jurang?”
“Aku
ingat, tapi mungkin tidak semuanya,” jawab Jumena.
“Kau
cerita tentang kematian Nyi Inten Kameswari yang makamnya dibongkar lalu
jenasahnya ditemukan dalam keadaan perut robek terbongkar. Kau juga cerita
tentang Anom Miharja, suami Nyi Inten yang katanya mati bunuh diri tapi menurut
atasanmu dia dibunuh. Kau juga cerita tentang ditemukannya mayat beberapa orang
Cina. Tentang Raden Rayi Jantra yang berusaha menyelidiki asal usul kekayaan
Anom Miharja dan Nyi Inten. Lalu yang aku tidak bisa lupa, kau bicara tentang
dua buah dadu yang saling diperebutkan beberapa tokoh sakti. Diantaranya
Pengemis Muka Bopeng, Raden Kumalasakti dan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Ketiga
orang itu sudah tewas semua! Dibunuh!”
“Ya,
sekarang aku jadi ingat. Aku cerita apa adanya sesuai yang aku ketahui. Turut
apa yang aku dengar Pengemis Muka Bopeng dibunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu di
sebuah warung. Dia menyamar sebagai Raden Kumalasakti dan berusaha dapatkan dua
buah dadu. Yang diberikan si nenek padanya ternyata dadu palsu. Raden
Kumalasakti yang asli kemudian dibunuh oleh Pengemis Siang Malam…”
“Aku
menyaksikan kematian Raden Kumalasakti. Kejadiannya di sarang Pengemis Siang
Malam,” kata Wiro pula. “Yang jadi pertanyaan, jika Eyang Sepuh Kembar Tilu
memberikan dua buah dadu pada Raden Kumalasakti berarti sebelumnya sudah ada
perjanjian di antara mereka bahwa dua buah dadu memang harus diserahkan pada
Raden Kumalasakti. Nah, siapa Raden Kumalsakti ini sebenarnya?”
“Aku
hanya tahu walau dia bukan orang dari wilayah barat tapi banyak hubungan dengan
para petinggi di sini.”
“Kau tahu
mengapa dia inginkan dua buah dadu?”
Jumena
menggeleng.
“Kau tahu
mungkin si Raden ini dan si nenek Eyang Sepuh Kembar Tilu berada di bawah
perintah atau bekerja untuk orang yang sama? Siapa kira-kira?”
“Aku
tidak tahu,” jawab Jumena.
Wiro
penasaran. “Sebelum menemui ajal, Danang Seta sahabatmu berkata bahwa kau tahu
satu tempat rahasia bergelimang uang, harta dan perempuan. Menurut Danang,
Ningrum kekasihnya mungkin ada sangkut pautnya dengan tempat itu. Beri tahu
padaku tempat apa itu dan dimana letaknya.”
“Pastinya
tempat itu berbentuk apa aku tidak tahu. Juga tepat letaknya. Namun ada yang
mengatakan tak jauh dari Losari ada sebuah bangunan rahasia di sebuah bukit
batu ….”
Belum
sempat prajurit Jumena mengakhiri ucapannya tiba-tiba di kejauhan ledakan
dahsyat menggoncang seantero kawasan disusul nyala api terang benderang serta
suara jerit kematian. Lalu ada orang berteriak.
“Api!
Rumah juga terbakar!”
******************
2
WIRO
terhuyung-huyung. Telinganya mendenyut pekak. Jumena sempat mencabut golok
namun terpental dan jatuh terduduk. Sekitar dua puluh langkah dari pintu
gerbang di tembok timur itu terdapat sebuah rumah jaga. Ledakan dahsyat membuat
rumah jaga hancur berkeping-keping. Kobaran api membumbung ke udara. Sebelumnya
ada dua prajurit di dalam rumah jaga itu. Ketika ledakan menggelegar keduanya
mencelat mental lalu tergelimpang di tanah dalam keadaan tubuh hangus buntung
tercabik-cabik dan anggota badan cerai berai. Wiro cepat melompat ke arah rumah
jaga yang sudah rata dengan tanah.
Saat itu
dari balik deretan rumpun bambu lebat melesat keluar seekor kuda hitam.
Penunggangnya seorang kakek berjubah biru gelap, berwajah merah, berkepala
botak. Di balik punggung jubah kelihatan sebatang ranting pohon mengkudu
lengkap dengan delapan helai daunnya. Sementara semua orang yang ada di situ lari
ke jurusan rumah jaga yang hancur, kakek berkuda justru membedal tunggangannya
ke arah berlawanan.
Walau
sempat melihat Wiro tidak perdulikan si kakek. Dia tengah memperhatikan dengan
tengkuk merinding dua prajurit yang menemui ajal secara mengerikan ketika
tiba-tiba di belakang sana terdengar jeritan seseorang. Jeritan Jumena! Wiro
berpaling kaget.
Kakek
berwajah merah raib bersama kudanya di kegelapan. Jumena tampak tergelimpang di
tanah. Sebilah golok, golok miliknya sendiri menancap di pertengahan dadanya.
Wiro berteriak lalu menghambur menghampiri.
“Jumena!”
Sepasang
mata Jumena tinggal putihnya saja. Tubuh bergelimang darah. Namun telinga masih
bisa mendengar dan mulutnya masih sanggup berucap.
Dalam
bingungnya Wiro pegang gagang golok yang menancap di tubuh prajurit itu. Hendak
ditarik tapi tak jadi karena takut darah akan bertambah banyak mengucur.
“Jumena!
Siapa yang membunuhmu?” Wiro bertanya setengah berteriak.
“Kakek
mu…muka merah pen…penunggang kuda it..itu…” Suara Jumena tersendat-sendat.
“Kau tahu
siapa dia?” tanya Wiro lagi.
Mulut
Jumena terbuka, bibir bergetar. Tak ada suara yang keluar.
“Kau tadi
menyebut bukit batu. Bukit batu apa? Dimana?” tanya Wiro. Namun prajurit itu
tak mampu menjawab. Matanya nyalang. Nyawanya putus sudah!
Saat itu
beberapa orang prajurit Kadipaten berdatangan. Di antara kerumunan para
prajurit seorang perempuan bertutup wajah, berikat kepala serta berpakaian
merah kembang-kembang menyeruak ke depan. Dari mulutnya keluar bentakan.
“Saudara
Wie! Kau membunuh prajurit itu!”
Wiro
tersirap kaget. Lepaskan pegangannya pada gagang pedang dan memandang melotot
pada orang yang barusan keluarkan ucapan dan ternyata bukan lain adalah Kiang
Loan Nio Nikouw. Sementara itu salah seorang prajurit yang berkerumun di tempat
itu berkata.
“Dia
membunuh kawan kami! Ketika kami datang dia masih memegang gagang golok!”
“Siapa
nama prajurit yang dibunuh ini?” tanya sang paderi dari Tionggoan pada
prajurit-prajurit
Kadipaten.
“Jumena!”
“Aah!”
Wajah dibalik kain merah paderi Loan Nio berubah. “Aku sudah menduga namanya
Jumena.” Sang paderi berpaling pada Pendekar 212 dan lanjutkan ucapannya.
“Saudara
Wie, kau bukan cuma sengaja membunuhnya. Tapi punya niat jahat untuk menutupi
satu rahasia dan perkara besar yang tengah aku selidiki!”
“Nionio,
aku tidak membunuh prajurit itu. Seorang kakek bermuka merah, menunggang kuda
yang melakukan!” jawab Wiro.
Loan Nio
Nikouw memandang para prajurit di depannya. Lalu bertanya. “Prajurit Kadipaten,
apa kalian melihat seorang kakek bermuka merah menunggang kuda?”
Enam
prajurit yang ada di tempat itu sama gelengkan kepala.
“Pemuda
gondrong ini mengarang cerita! Jelas dia yang membunuh Jumena! Dia masih
memegang gagang golok ketika kami datang! Kawan-kawan mari kita tangkap bangsat
pembunuh ini! Kalau melawan cincang sampai lumat!”
“Kalian
semua yang gila! Kalian yang mengarang cerita! Aku tidak membunuh Jumena! Dia
sahabatku!” Wiro rasanya ingin sekali menampar mulut prajurit yang barusan
bicara.
“Saudara
Wie, kau terlalu banyak berdusta. Aku tahu orang-orang ini tak akan mampu
menangkapmu! Apalagi mencincangmu! Biar aku yang akan turun tangan melakukan!”
“Nionio,
apa maksudmu?” Wiro bertanya dengan mata mendelik.
“Aku
berharap kau bisa dijadikan sahabat untuk menolong. Ternyata kau musuh dalam
selimut! Cukup lama aku bercuriga padamu. Kecurigaanku ternyata menjadi
kenyataan. Seharusnya tempo hari aku biarkan dirimu dibunuh Ki Beringin Reksa
dan Walang Gambir! Sekarang saatnya kau harus disingkirkan!”
Sepasang
mata Loan Nio Nikouw tampak seperti menyala. Habis keluarkan ucapan dia
gerakkan tangan ke punggung.
“Srett”
Cahaya
merah memancar terang ketika Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah keluar dari
sarungnya. Tanpa banyak cerita lagi senjata mustika itu langsung dibabatkan ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Nionio!
Tahan! Mari kita bicara dulu!” teriak Wiro sambil melompat mundur.
Sang
paderi hanya menyeringai dan keluarkan suara mendengus. Pedang mustika di
tangan kanannya terus berkelebat. Hanya setengah jengkal lagi senjata sakti itu
akan membabat perut Pendekar 212 tiba-tiba Loan Nio Nikouw menjerit kaget.
Bersamaan dengan itu tubuhnya terpental. Kalau dia tidak cepat imbangi diri
niscaya akan jatuh duduk di tanah. Di balik cadar penutup wajahnya tampak
berubah pucat, mata membesar dan tengkuk dingin.
“Dadaku
mendenyut sakit. Pelipisku sakit bukan main. Dua kakiku goyah! Apa yang
terjadi?” Loan Nio Nikouw berucap dalam hati. Dia pandangi senjatanya. Tangan
kanannya yang memegang pedang bergetar dan terasa kesemutan. Dia merasa lega
melihat senjata saktinya berada dalam keadaaan utuh.
Dengan
cepat paderi perempuan ini memasang kuda-kuda baru. Mata menatap tak berkesip
ke arah Pendekar 212.
Hal yang
sama terjadi dengan tubuh Wiro. Malah keadaannya lebih parah. Tubuh terhuyung
ke belakang lalu jatuh duduk di tanah. Hal ini terjadi karena ketika menyerang
Loan Nio Nikouw kerahkan tenaga dalam sementara Wiro tidak. Dia merasa seperti
ditiban batu besar yang membuat sekujur tubuh seolah luluh lantak. Wiro ingat
pada kejadian sewaktu Ki Sentot Balangnipa menyerangnya dua kali dengan Pedang
Naga Merah di Kadipaten Brebes. Mereka sama-sama terpental dan sama-sama
terluka di dalam. Wiro cepat alirkan hawa sakti ke seluruh tubuh.
“Nionio!
Tahan! Tunggu! Kita bicara dulu!” teriak Wiro ketika melihat sang paderi
melangkah ke arahnya, siap menyerang kembali. Tapi sang paderi tidak perduli.
“Sial!
Kenapa urusan jadi begini?” Wiro memaki lalu melompat bangun. Melihat sorotan
mata yang begitu galak dari Nionio Nikouw Wiro sadar orang tak bisa diajak
bicara. Maka dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Wiro sadar pedang
di tangan paderi itu bukan senjata sembarangan. Selain itu Nionio Nikouw juga
memiliki ilmu silat dan ilmu pedang hebat. Kalau tidak bisa menjaga diri, dia
bisa konyol di tangan paderi nekad ini.
“Wuttt!”
Pedang Naga Merah berkelebat dalam jurus bernama Naga Merah Membelah Bumi.
Jurus ini berupa bacokan ganas dari atas ke bawah. Cahaya merah berkiblat. Wiro
cepat membungkuk dan rundukkan kepala. Begitu pedang sakti lewat di samping
kepalanya kaki kanan ditendangkan ke arah kaki lawan. Namun seperti tadi ada
kekuatan gaib tak kelihatan yang saling hantam. Kali ini Wiro tersungkur.
Untung dia masih bisa gulingkan diri hingga mukanya tidak berkelukuran dihantam
tanah. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa tertelungkup diam. Kepalanya yang
tadi hendak dibacok terasa seperti remuk. Mulut lelehkan darah kental. Di
depannya Loan Nio Nikouw terpental dan terjengkang di tanah. Cadar merah
penutup wajahnya tanggal, tercampak ke tanah. Seperti Wiro di sudut bibir
paderi ini tampak ada lelehan darah sementara wjahnya yang cantik kelihatan
pucat pasi.
Tiba-tiba
Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu semburkan darah di mulutnya.
“Pemuda
jahat!” Sang paderi yang biasanya memanggil Wiro dengan sebutan Saudara Wie
kini menyebut sang pendekar sebagai pemuda jahat. “Kau boleh punya ilmu setan!
Apa kau kira aku tidak bisa melukai dan mencincangmu?”
Mulut
sang paderi berkomat-kamit entah melafalkan apa. Wiro cepat berdiri bangkit.
Tangan kanan dimelintangkan di atas dada. Loan Nio Nikouw angkat pedang ke
atas. Ujung pedang mengarah ke kepala Wiro. Menusuk cepat ke arah kening. Murid
Eyang Sinto Gendeng bersurut satu langkah. Tangan di depan dada bergerak ke
depan. Dalam melindungi diri sambil lancarkan serangan Benteng Topan Melanda
Samudera Wiro sengaja mengibas, tidak melancarkan pukulan. Di dalam hatinya
pemuda ini masih punya rasa tidak tega untuk mencelakai sang paderi. Padahal
orang sudah nekad hendak membunuhnya. Sebelumnya waktu di goa, pukulan sakti
itu telah membuat Liok Ong Cun muntah darah.
“Bess!”
Angin
keras melabrak ke depan. Tubuh Loan Nio Nikouw bergetar. Dia berusaha bertahan.
Dua kaki laksana menancap di tanah. Wiro merasa pukulannya tertahan tembok
gaib. Di depannya ujung lancip Pedang Naga Merah keluarkan dua kali kilatan
cahaya merah.
“Tembus!”
Tiba-tiba
paderi perempuan itu berteriak keras.
Pedang
Naga Merah yang tadi hendak menusuk kening lawan, laksana kilat tiba-tiba melesat
ke samping kanan lalu membalik membuat babatan dahsyat ke arah pinggang. Inilah
jurus ilmu pedang yang disebut Menusuk Matahari Membelah Rembulan.
Wiro
merasa dua kakinya laksana dipantek ke tanah, tak bisa digerakkan untuk
melompat cari selamat. Dia mendengar suara bergemuruh seolah ada batu besar
menggelinding menghantam dirinya dari samping kanan.
Mata
Pedang Naga Merah mendarat telak di pinggang kanan Pendekar 212.
“Brett!”
“Tring!”
Wiro
terpental ke samping. Sebuah benda putih panjang yang menahan hantaman pedang
sakti mencelat dari pinggang bajunya yang robek dan jatuh di tanah. Benda ini
adalah suling perak milik Loan Nio Nikouw yang ditemukan oleh dua nenek kembar
dan kemudian diserahkan pada sang pendekar. Keberadaan suling perak di pinggang
Wiro boleh dikatakan sebagai ikut menyelamatkan sang pendekar selain adanya
kekuatan gaib yang kembali muncul secara aneh.
Pada saat
Wiro terguling jatuh dan terkapar megap-megap disertai lelehan darah mengucur
di sudut mulut, Loan Nio Nikouw telah lebih dulu tergelimpang tertelungkup di
tanah. Paderi ini semburkan ludah bercampur darah sampai dua kali. Mulut
keluarkan erangan, namun sepasang mata mendelik besar memandang ke arah suling
perak miliknya yang jatuh di tanah.
“Sulingku….
Ah pemuda jahat ini ternyata pencurinya.” Dengan dada turun naik karena sulit
bernafas, tangan kanan masih memegang Pedang Naga Merah, Loan Nio Nikouw
beringsut ke depan hingga akhirnya dia berhasil menggapai suling perak. Begitu
suling perak berada dalam genggaman tangan kirinya, paderi ini semburkan lagi
ludah dan darah lalu jatuh pingsan.
Saat itu
setelah seolah lupa akan nasib mengerikan yang menimpa dua kawan mereka di
rumah jaga, puluhan prajurit Kadipaten Losari yang berada di tempat itu merasa
sadar. Salah seorang di antara mereka berteriak.
“Tangkap
pemuda gondrong pembunuh Jumena itu!”
“Jangan
ditangkap! Langsung cincang saja!” Seorang prajurit lain balas berteriak.
Belasan
golok dicabut siap dibacokkan. Lusinan tombak siap dihunjam. Pada saat yang
begitu genting tiba-tiba terdengar suara ha-hu ha-hu. Dua bayangan samar
berkelebat mengangkat tubuh Pendekar 212.
Puluhan
prajurit terkesiap. Tidak yakin apakah yang menggotong pemuda gondrong itu
manusia atau setan atau mahluk apa. Mereka baru mengejar dan melempar tombak
serta golok sewaktu dua sosok samar berupa dua nenek berambut kelabu berjubah
kuning melarikan Wiro ke arah timur.
“Kejar!
Jangan biarkan lolos!” Seorang pengawal berteriak.
Tiba-tiba
dari arah pintu gerbang ada seorang berucap.
“Yang
sudah kabur tak usah dikejar! Nyawanya hanya tinggal beberapa hari saja! Namun
kalian semua tetap mendapat hukuman karena telah berlaku lalai.”
Semua
prajurit menoleh ke arah pintu gerbang timur. Melihat orang tinggi besar,
berjanggut dan berkumis tipis yang berdiri di pintu gerbang itu, mereka serta
merta jatuhkan diri berlutut.
“Ada tamu
asing terluka. Perempuan pula! Mengapa kalian biarkan dia tertelungkup di
tanah? Apa kalian tidak punya rasa hiba perikemanusiaan? Bawa dia ke gedung
Kadipaten!”
Habis
berkata begitu orang di pintu gerbang memutar tubuh dan melangkah masuk ke
halaman dalam. Dia naik ke atas sebuah gerobak kuda. Sais gerobak segera
menarik tali kekang. Orang ini adalah Adipati Losari Raden Mas Seda Wiralaga.
Empat
prajurit segera menggotong tubuh Loan Nio Nikouw. Namun sebelum sempat mencapai
pintu gerbang timur tiba-tiba melesat satu bayangan biru. Orang ini bergerak
luar biasa cepat. Empat prajurit yang menggotong Loan Nio Nikouw terjengkang
kena hantaman kaki dan tangan. Dengan gerakan kilat si baju biru menyambar
tubuh sang paderi lalu membawanya kabur dan lenyap dalam kegelapan malam.
Seorang
prajurit yang sempat melihat wajah si baju biru berteriak .
“Setan
tengkorak menculik gadis asing!”
Adipati
Seda Wiralaga yang mendengar teriakan itu terkejut bukan main. Dengan cepat dia
menyuruh sais memutar gerobak ke arah pintu gerbang. Sebelum mencapai pintu
gerbang, dari atas gerobak dia melesat ke udara. Tembok setinggi hampir satu
setengah tombak dilewati begitu saja. Namun bayangan Loan Nio Nikouw dan orang
yang memboyongnya kabur tak kelihatan lagi.
Ketika
belasan prajurit mendatanginya Adipati Losari ini langsung mendamprat.
“Kalian
tolol semua! Cari Ki Sentot Balangnipa! Perempuan asing itu harus diselamatkan!
Kerahkan pasukan berkuda untuk mengejar!”
******************
3
LIOK ONG
CUN memboyong Kiang Loan Nio Nikouw ke goa dimana dulu Wiro pernah membawanya
setelah diselamatkan dari perbuatan mesum Adipati Brebes Karta Suminta. Sampai
di goa pemuda yang menutup wajahnya dengan topeng tengkorak ini tak berani
membuat api unggun. Khawatir akan menarik perhatian orang-orang Kadipaten yang
diketahuinya tengah melakukan pengejaran. Untungnya saat itu sudah hampir pagi.
Walau di dalam goa diselimuti kegelapan, di luar keadaan sudah mulai
terangterang tanah.
Liok Ong
Cun duduk di samping sosok Loan Nio Nikouw yang terbaring menelentang masih
dalam keadaan tak sadarkan diri. Tangan kanan diulur memegang urat nadi di
pergelangan tangan kiri sang paderi. Lewat urat nadi itu dia merasakan denyut
jantung Loan Nio Nikouw yang tidak teratur dan terkadang lemah hampir tak
terasa. Dalam hati, dia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan gadis itu.
Ketika menyelamatkan sang paderi dia masih sempat melihat Pendekar 212 Wiro
Sableng dilarikan dua nenek aneh, dikejar puluhan prajurit Kadipaten.
Saat itu
keadaan agak gelap di dalam goa tidak memungkinkan Ong Cun memeriksa Loan Nio
Nikouw lebih seksama. Untuk membantu memberi kekuatan agar bisa bertahan pemuda
berkepandaian tinggi ini alirkan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya
ke tubuh Loan Nio Nikouw lewat pergelangan tangan.
Tak lama
kemudian di ufuk timur fajar menyingsing dan cahaya sang surya merambat masuk
ke dalam goa. Liok Ong Cun kini dapat melihat jelas sosok Loan Nio Nikouw.
Wajah sang paderi tampak pucat. Di pipi dan dagu kiri ada lelehan darah
setengah mengering. Tangan kiri memegang seruling perak, sementara tangan kanan
menggenggam Ang Liong Kiam.
“Loan Nio
terluka di dalam. Kelihatannya di sebelah dada. Aku harus membuka pakaiannya, “
Liok Ong Cun berucap dalam hati.
Beberapa
saat pemuda ini duduk terdiam, mata menatap sosok sang paderi. Rasa rikuh yang
ada dalam hatinya hanya berlangsung seketika. Karena saat itu bersamaan dengan
debaran jantung yang mengeras dan aliran darah yang cepat serta memanas,
mendadak muncul satu suara di lubuk hatinya. Suara iblis yang membuat tubuhnya
bergetar oleh rangsangan.
“Liok Ong
Cun, kau tahu gadis ini sejak dulu tidak pernah mencintaimu. Kau tidak akan
pernah dapat memilikinya apalagi menikahinya. Kau harus pergunakan siasat.
Tiduri gadis itu. Ini saat yang paling baik bagimu untuk melakukan. Kalau hal
itu kau laksanakan maka kau akan berhasil menundukkannya. Jangan tunggu ssampai
dia sadar…”
Liok Ong
Cun usap keringat yang membasahi tengkuknya. Dua tangan gemetar keras sewaktu
diulurkan membuka baju merah dan menyibakkan pakaian dalam berupa kain putih
penutup dada Loan Nio Nikouw. Untuk beberapa lama pemuda ini menatap terpesona
melihat keelokan dada Loan Nio Nikouw yang putih kencang walau ada tanda merah
kebiruan di celah antara dua payudara. Pemuda ini tarik nafas dalam, terduduk
tak bergerak di lantai goa. Semakin dia memandang wajah dan dada Loan Nio
Nikouw, semakin keras debar jantung, semakin kencang dan semakin cepat aliran
darahnya. Maksud untuk menolong kini tenggelam oleh gejolak nafsu terkutuk.
Cuping
hidung Liok Ong Cun mengembang, dada turun naik dan nafas memburu.
Perlahan-lahan tangan kanannya yang sejak tadi berada di atas dada sang paderi
mulai bergerak mengusap. Sentuhan pertama terasa nikmat luar biasa, membuat
Liok Ong Cun serasa terbakar. Sekujur tubuhnya bergeletar oleh rangsangan
hebat.
“Loan
Nio, kalau saja kau mau jadi istriku, aku tak perlu melakukan hal ini…” Liok
Ong Cun berucap.
“Liok Ong
Cun, jangan bicara tolol! Dari dulu kau tahu gadis ini tak pernah menyukaimu.
Kau selama ini hanya bermimpi mengharapkannya akan jadi istrimu! Jangan tunggu
sampai dia sadar. Kesempatan hanya datang satu kali…” Lagi-lagi ada suara lain
di lubuk hati pemuda she Liok ini. Dia rundukkan kepala mencium wajah sang
paderi. Mulutnya berucap perlahan. “Loan Nio, sekarang kau tak akan pernah
lepas lagi dari tanganku…” Wajah si pemuda turun ke leher, ciumannya lalu
meluncur ke dada. Sementara dua tangannya merayap ke bagian tubuh terlarang. Sewaktu
tangan kanan Liok Ong Cun meluncur ke bawah, ke arah pinggang celana si gadis,
tiba-tiba di luar sana terdengar suara derap kaki kuda. Menyusul suara
seseorang berteriak.
“Ada goa
di sini! Kalian berdua coba periksa!”
Dua orang
berpakaian prajurit Kadipaten melompat turun dari atas kuda, cepat masuk ke
dalam goa sementara prajurit ketiga berjaga-jaga dan tetap berada di atas
tunggangannya. Hanya sesaat kemudian terdengar dua jeritan keras disusul
mencelatnya sosok dua prajurit yang barusan masuk ke dalam goa. Keduanya
tergelimpang dengan kepala remuk tak bernyawa lagi. Kaget prajurit ketiga yang
berada di depan goa dan masih duduk di punggung kuda bukan alang kepalang.
Sambil mencabut golok dia melompat turun.
“Kurang
ajar! Siapa berani membunuh prajurit Kadipaten?”
Belum
sempat mencapai mulut goa tiba-tiba dari dalam goa melesat satu bayangan biru.
Prajurit malang itu hanya melihat satu sambaran cahaya hijau. Dia coba
menangkis dengan golok di tangan kanan.
“Traangg!”
Golok
besar patah dua. Prajurit yang masih memegang kutungan senjata itu keluarkan
suara menggorok lalu terjungkal roboh. Darah menyembur dari lehernya yang
nyaris putus!
Liok Ong
Cun berdiri dengan dada turun naik. Dibalik topeng wajahnya mengelam akibat
nafsu yang tertahan serta kemarahan luar biasa. Tiga ekor kuda meringkik keras.
Yang seekor langsung menghambur. Yang dua lagi berputar-putar lalu cepat
ditangkap oleh Liok Ong Cun dan tali kekangnya diikatkan ke sebatang pohon.
Setelah memperhatikan keadaan sekeliling dan merasa aman, tidak tunggu lebih
lama dia masuk kembali ke dalam goa. Saat itu Loan Nio Nikouw masih belum
sadar. Masih tergeletak terlentang di lantai goa sementara pakaian tersingkap
mulai dari atas sampai ke bawah.
Nafsu
Liok Ong Cun yang tadi tertahan kini menggelegak kembali. Malah setelah
membunuh tiga prajurit Kadipaten dirinya jadi bertambah ganas. Kalau tadi
rabaan dan sentuhannya masih dilakukan secara lembut kini berubah menjadi kasar
karena nafsu telah membuat dirinya menjadi setan. Pemuda ini jatuhkan diri di samping
Loan Nio Nikouw. Memeluk dan menciumi sang paderi. Tak lama kemudian di dalam
goa itu terdengar jeritan Liok Ong Cun yang mirip seperti lenguh suara kerbau
disembelih yaitu ketika dia sampai pada puncak kenikmatan nafsu bejatnya.
Liok Ong
Cun tidak tahu berapa lama dia terbaring mandi keringat ketika tiba-tiba
telinganya menangkap suara tarikan nafas diiringi gerakan tubuh Loan Nio Nikouw
yang terbujur di sampingnya.
“Liok Ong
Cun! Lekas bangun! Pergunakan siasat!” Suara iblis di hati Liok Ong Cun kembali
bicara. Pemuda ini cepat bangun dan kenakan pakaian lalu rapikan baju serta
celana panjang Loan Nio Nikouw. Saat itu sang paderi walau sudah mulai siuman
namun sepasang matanya masih terpejam. Liok Ong Cun tepuktepuk pipi Loan Nio
Nikouw. Begitu dua mata Nikouw ini mulai terbuka, dengan gerakan cepat pemuda
ini melompat keluar goa.
Begitu
sampai di luar goa Liok Ong Cun berteriak keras.
“Loan
Nio! Kau ada di dalam goa?”
Tak ada
jawaban.
“Loan
Nio!”
Sepasang
mata Loan Nio Nikouw perlahan-lahan terbuka.
“Siapa
yang berteriak…. Seperti suara Liok Ong Cun…” Loan Nio Nikouw tiba-tiba pegangi
perut. Ada rasa perih di sebelah bawah auratnya. Dia menatap ke atas. Berpaling
ke samping. Terkejut ketika menyadari dirinya ada dalam sebuah goa. Lebih dari
itu dia masih bisa mengenali, goa ini adalah goa dimana dulu dia pernah berada
ketika dibawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bagaimana
aku bisa berada di sini lagi? Apa yang terjadi…” Sang paderi bergerak bangun,
coba duduk bersandar di dinding goa. Saat itulah dia melihat keadaan baju serta
celananya yang tersingkap tak karuan. Langsung Loan Nio Nikouw menjerit keras.
Sebelumnya dia pernah mengalami hal seperti itu. Tapi kini keadaannya jauh
lebih parah.
Di luar goa
Liok Ong Cun cabut pedang Ceng Coa Kiam atau Pedang Ular Hijau, berteriak
menyebut nama Loan Nio lalu melompat masuk.
“Loan
Nio! Kau ada di sini! Apa yang terjadi! Ah, jangan-jangan aku terlambat!”
Inilah
sandiwara terkutuk yang tengah dilakukan Liok Ong Cun sesuai dengan bisikan
iblis di dalam hatinya yang kotor keji. Si pemuda jatuhkan diri di samping sang
paderi.
“Loan
Nio, ketika aku sampai di sekitar goa, aku melihat pemuda berambut gondrong
jahat itu berkelebat keluar lalu kabur ke arah timur. Aku urung mengejar karena
mendengar jeritanmu. Ada tiga prajurit Kadipaten tewas di luar sana. Loan Nio
aku khawatir sesuatu telah terjadi dengan dirimu. Sesuatu yang keji telah
dilakukan oleh si gondrong keparat itu!” Sambil berkata Liok Ong Cun peluk Loan
Nio Nikouw. Dalam keadaan terguncang berat seperti itu walau dia tidak suka
pada Liok Ong Cun namun antara sadar dan tidak Loan Nio Nikouw biarkan saja
dirinya dipeluk. Dia menangis dalam pelukan si pemuda. Tiba-tiba paderi itu
berteriak keras. Tangan dan kakinya menerjang. Liok Ong Cun sampai terpental.
Loan Nio Nikouw rapikan pakaiannya, ambil pedang dan suling perak lalu lari
keluar goa.
“Loan
Nio! Kau mau kemana?” Liok Ong Cun mengejar. Dia cepat cekal lengan kiri paderi
itu. “Loan Nio, kau perlu waktu dan tempat untuk menenangkan diri. Aku tahu
satu rumah kayu di tengah hutan tak jauh dari sini. Di sana kau pasti aman.
Mari aku antar kau ke sana…”
“Ong Cun,
Aku merasa… sesuatu terjadi dengan diriku. Aku…”
“Aku tahu
Loan Nio. Itu sebabnya kau harus ikut aku ke tempat yang aman…”
Loan Nio
kembali menangis. Memandang berkeliling dia melihat tiga orang berpakaian
prajurit Kadipaten tergeletak tewas. Di sebelah sana ada dua ekor kuda
tertambat di sebatang pohon. Dia hanya menurut sewaktu Liok Ong Cun menolong menaikkannya
ke atas punggung salah seekor kuda. Lalu keduanya tinggalkan tempat itu.
******************
DI DALAM
rumah di tengah hutan belantara itu terdapat sebuah ranjang bambu beralas
jerami kering.
“Loan
Nio, berbaringlah. Izinkan aku memeriksa dirimu. Aku tak sengaja melihat tanda
merah kebiruan di pertengahan dadamu. Kau terluka di dalam. Cukup parah. Aku
akan berusaha mengobatimu…”
“Terima
kasih. Dadaku memang terasa sakit sekali. Seperti remuk. Aku masih
mengingat-ingat bagaimana asal kejadiannya. Tapi, bisakah kau meninggalkan aku
barang beberapa lama. Aku bisa mengobati diriku sendiri. Selain itu aku ingin
istirahat dan ketenangan…”
Liok Ong
Cun unjukkan wajah hiba, belai kening dan rambut sang paderi. Dengan telapak
tangan didekapnya dua pipi sang paderi. “Loan Nio, jika itu maumu, baiklah. Tak
jauh dari sini ada sebuah telaga. Airnya dangkal tapi ikannya banyak. Sementara
kau beristirahat aku akan menangkap ikan besar-besar untukmu. Kau perlu makan…”
Loan Nio
Nikouw tersenyum. Senyum yang selama ini tak pernah dilihat Liok Ong Cun,
apalagi senyum yang khusus ditujukan padanya.
“Istirahatlah.
Tidur kalau bisa. Aku tidak akan lama,” kata Liok Ong Cun pula. Dia
memberanikan diri mencium kening Loan Nio Nikouw. Hati pemuda ini
berbunga-bunga. Ternyata sang paderi tidak menolak atau menghindari ciuman itu.
Ketika
sang surya menaik tinggi, Liok Ong Cun kembali ke rumah kayu di tengah hutan
belantara. Dia berjalan cepat sambil bersiul-siul membawa empat ekor ikan besar
yang siap untuk dipanggang.
“Loan
Nio! Aku kembali.”
Liok Ong
Cun buka pintu rumah. Sesaat dia tertegun karena dapatkan Loan Nio Nikouw tidak
ada di atas ranjang, tidak ada di dalam rumah.
“Loan
Nio?”
Tak ada
jawaban. Liok Ong Cun keluar, menyelidik seputar rumah kayu. “Loan Nio!” Suara
teriakan pemuda itu menggelegar di seantero rimba belantara. Tak ada jawaban,
sang paderi tetap tak kelihatan. Pemuda bertopeng muka tengkorak ini tidak
mengetahui kalau saat itu ada dua pasang mata memperhatikannya di balik
rumpunan semak belukar.
“Mungkin
dia pergi ke telaga. Menempuh jalan lain. Berselisih jalan dengan aku. Aku
kesini dia kesana.” Memikir begitu Liok Ong Cun cepat kembali ke telaga. Namun
tetap saja Loan Nio Nikouw tidak ditemui. Telaga dan sekitarnya sunyi seperti
pekuburan.
“Kemana
perginya gadis itu? Melarikan diri atau ada yang menculik?” Liok Ong Cun
berdiri di tepi telaga sambil berpikir-pikir.
“Tadi dia
tersenyum padaku. Tidak menolak ketika kucium keningnya. Atau… mungkin dia
sudah tahu jelas apa yang terjadi dengan dirinya? Mungkin juga dia tahu kalau
aku yang melakukan?” Pemuda ini usap wajahnya yang tertutup topeng muka
tengkorak.
“Kalau
dia tahu aku yang melakukan perbuatan itu, pasti saat ini dia sudah mencari dan
membunuhku!” Liok Ong Cun tarik nafas panjang lalu memutuskan kembali ke rumah
di tengah hutan.
Ketika
dia sampai di rumah kayu, Liok Ong Cun melihat dua orang berdiri di depan pintu.
Seorang nenek berjubah biru, memiliki muka seram, rambut kelabu awut-awutan.
Orang kedua seorang bocah berambut jabrik berusia sekitar dua belas tahun.
Mengenakan
pakaian hitam bergambar naga kepala kuning di bagian dada. Anak ini tampak
tengah melongok-longok ke dalam rumah. Si bocah jelas bukan lain adalah Naga
Kuning sementara si nenek sudah pasti sang kekasih yang dikenal dengan julukan
Gondoruwo Patah Hati. Seperti diketahui Naga Kuning sebenarnya adalah seorang
kakek sakti berusia lebih dari seratus tahun dan dikenal dengan julukan Kiai
Paus Samudera Biru. Si nenek yang berpenampilan seram asli bernama Ning Intan
Lestari, walau sudah lanjut usia namun bisa memperlihatkan ujud aslinya di masa
muda, yaitu berupa seorang perempuan cantik jelita.
“Kalian
siapa?” Liok Ong Cun langsung membentak, marah dan juga penuh curiga. Tentu
saja dalam bahasa Cina.
Naga
Kuning bersurut kaget. Sementara si nenek tegak tenang-tenang saja.
“Orang
bermuka tengkorak tadi Nek. Wah, dia marah besar! Lihat, matanya mendelik. Tadi
dia ngomong bahasa apa?” Naga Kuning keluarkan ucapan.
“Dia
orang Cina. Ingat kabar ditemukannya mayat beberapa orang Cina di pantai Losari
beberapa waktu lalu? Jangan-jangan orang ini salah satu di antara para
pendatang asing itu,” Gondoruwo Patah Hati menjawab.
“Gadis
yang tadi kabur dari dalam rumah juga orang Cina,” ucap si bocah. “Kita tidak
mengerti bahasa orang ini. Jauh-jauh mengikuti ternyata Cuma bikin urusan.
Sudah, kita pergi saja.”
Si nenek
ikut saja ucapan si bocah. Tapi ketika keduanya hendak melangkah pergi Liok Ong
Cun segera menghadang. Dengan suara lebih merendah pemuda ini bertanya.
“Kalian
siapa? Mengapa bisa berada di sini?”
“Kami
tidak mengerti bahasamu!” berkata Gondoruwo Patah Hati sambil goyang-goyangkan
tangan kanan.
Liok Ong
Cun geleng-geleng kepala. Dia sadar kalau orang tidak tahu bahasa yang
diucapkannya. Maka sambil membuat gerakan tangan dia memperagakan pertanyaan.
”Kalian apa melihat seorang perempuan berpakaian merah? Tadi dia ada di dalam
rumah kayu ini…”
Melihat gerakan
tangan orang Naga Kuning berkata, “Nek, aku bisa menduga. Dia bertanya
perempuan yang ada di dalam rumah. Yang tadi kita lihat lari keluar dalam
keadaan pakaian tak karuan rupa.”
“Aku rasa
begitu,” sahut si nenek. Lalu nenek ini memandang pada Liok Ong Cun dan
menunjuknunjuk ke arah kanan. Di situ ada jalan setapak di antara kelebatan
semak belukar.
“Perempuan
dalam rumah lari ke sana?” Liok Ong Cun bertanya sambil ikut menunjuk.
Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati sama-sama anggukkan kepala.
Liok Ong
Cun membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Dia siap memutar langkah untuk
mengejar Loan Nio Nikouw ke arah jalan setapak namun tiba-tiba tampangnya di
bawah topeng tengkorak berubah. Sepasang mata membeliak ketika secara tak
sengaja dia melihat sebuah benda putih yang bukan lain adalah suling perak
milik Loan Nio Nikouw, terselip di pinggang pakaian hitam Naga Kuning.
“Ternyata
kalian berdua bukan orang baik-baik. Kalian telah berbuat jahat mencuri suling
perak milik Loan Nio Nikouw! Mungkin kalian punya teman-teman yang telah
menculik Nikouw itu dan coba menipuku!”
Liok Ong
Cun cabut pedang Ceng Coa Kiam. Mata mendelik dan senjata ditudingkan ke arah
suling di pinggang si bocah. Melihat hal ini anak berambut jabrik berkata.
“Waduh
Nek! Si muka tengkorak marah sekali! Dia pasti mengira aku mencuri suling perak
ini! Lihat, dia hendak menyerangku!”
“Gunung,”
Gondoruwo Patah Hati memanggil si bocah dengan nama aslinya. “Jika dia meminta
secara baik-baik kau boleh serahkan suling itu. Tapi jika dia memaksa secara
kurang ajar jangan berikan! Lagi pula suling itu bukan miliknya. Tapi milik
perempuan cantik yang jatuh ke tanah waktu lari dari dalam rumah!”
“Wutt!”
Cahaya
hijau berkiblat ketika pedang Ceng Coa Kiam berkelebat membabat ke arah
pinggang Naga Kuning. Si bocah berambut jabrik ini cepat melompat mundur.
Ketika Liok Ong Cun memburu dia cepat melesat ke atas. Di udara membuat gerakan
jungkir balik. Begitu melayang turun tertawa haha-hihi tangan kanannya menderu
kirimkan serangan ke kepala lawan dalam jurus Naga Murka Menjebol Bumi.
Liok Ong
Cun berseru kaget. Bukan saja tidak menyangka lawan sanggup loloskan diri dari
serangan kilatnya tadi, tapi malah mampu membalas serangan dengan satu pukulan
cepat. Tidak percaya kalau anak sekecil itu bisa mempermainkannya, Liok Ong Cun
babatkan lengan kanan ke atas menangkis pukulan.
“Bukk!”
Dua
lengan saling beradu. Naga Kuning mengeluh pendek, lentingkan tubuh ke atas dan
melompat turun ke tanah. Liok Ong Cun sendiri tampak meringis kesakitan. Kalau
tidak cepat dia imbangi diri pasti akan jatuh terduduk di tanah. Ketika
memperhatikan lengan kirinya ternyata lengan itu telah bengkak merah!
“Bocah
setan!” Liok Ong Cun memaki marah. “Sampai dimana kehebatanmu!” Pemuda muka
tengkorak ini lalu menyerbu Naga Kuning dengan jurus Thian Yau Te Soan atau
Langit Goyang Bumi Berputar. Pedang Ular Hijau menyentak garang laksana ular
sungguhan. Udara dan tanah seperti dibuncah lindu. Naga Kuning merasa kepalanya
jadi pening dan dua kaki bergetar goyah.
“Manusia
sialan!” maki Naga Kuning. Dia cepat kerahkan tenaga dalam ke kaki dan hawa
sakti ke kepala. Bersamaan dengan itu tangan kanannya ditarik ke belakang siap
melepas satu pukulan tangan kosong mengandung kekuatan tenaga dalam yang bisa
menumbang pohon menghancurkan batu besar. Liok Ong Cun sebaliknya membentak
keras dan kembali lancarkan serangan pedang.
Walau
maklum kekasihnya itu tidak akan mudah dijadikan sasaran pedang sakti di tangan
lawan namun Gondoruwo Patah Hati melompat maju seraya berkata.
“Gunung,
biar aku yang melayani bangsat muka tengkorak ini! Aku ingin mencoba ilmu
baruku!”
“Ah kamu
Nek. Terserahlah! Tanganmu sudah gatal rupanya. Padahal kalau gatal bagusnya
dipakai mengusap-usap tubuhku saja! Hik…hik!” kata si bocah berambut jabrik bercanda
jahil lalu melompat mundur.
Gondoruwo
Patah Hati hadapi lawan bersenjata mustika dengan tangan kosong. Dua tangan
dipentang ke atas.
“Krek…krek…”
Sepuluh jari tangan keluarkan suara berkeretak lalu dari ujung-ujung jari
mencuat kuku panjang memancarkan cahaya hitam menggidikkan.
Walau
Liok Ong Cun kerenyitkan kening melihat sepuluh jari tangan si nenek namun
pemuda ini sama sekali tidak merasa jerih.
“Nenek
muka setan! Kau boleh punya segala macam ilmu iblis! Kau baru tahu rasa kalau
sudah kutabas dua lenganmu!” Liok Ong Cun membentak keras.
Pedang
Ceng Coa Kiam menderu keras mengincar ke arah pinggang. Namun setengah jalan
membalik dan membabta ke arah tenggorokan, Gondoruwo Patah Hati gerakkan dua
tangan. Sepuluh larik sinar hitam melesat seolah berubah menjadi
potongan-potongan besi.
“Traang…traang!”
Bunga api
memercik di udara. Liok Ong Cun berseru kaget. Ceng coa Kiam hampir terlepas
dari genggaman. Melihat kejadian ini si pemuda jadi ciut nyalinya. Masih untung
mata pedangnya tidak gompal. Selain itu dia juga ingat pada Loan Nio Nikouw
yang harus dikejarnya.
“Dua
mahluk setan! Jangan mengira aku pergi karena takut! Lain hari jika bertemu
lagi aku akan menabas buntung batang leher kalian!”
“Hai! Kau
inginkan suling?” Naga Kuning berseru sambil angkat suling perak tinggi-tinggi.
Liok Ong
Cun tidak perduli. Dia terus lari memasuki jalan setapak diantara kelebatan
semak belukar. Gondoruwo Patah Hati jentikkan lima jari tangan kanannya.
“Wusss!”
Lima
larik sinar merah panas menyambar ke arah Liok Ong Cun.
Tapi si
nenek memang tidak ada niat untuk mencelakai pemuda itu. Serangannya hanya
merambas dan menghanguskan semak belukar di samping kanan Liok Ong Cun. Itupun
sudah membuat pemuda ini seperti mau pancarkan air kencing saking kaget dan
kabur lintang pukang sambil memaki panjang pendek.
“Hebat
Nek,” Naga Kuning memuji. “Ilmu Kuku Api-mu nyaris sempurna.”
“Apakah
kau masih minta diusap?” tanya Gondoruwo Patah Hati sambil pentang sepuluh jari
tangannya yang berkuku panjang hitam.
“Tergantung,
bagian mana yang mau kau usap!” jawab Naga Kuning.
“Bocah
gatal!” damprat si nenek.
Naga
Kuning tertawa cekikikan. Lalu bertanya, “Nek, kau bisa menduga apa sebenarnya
yang terjadi antara dua orang asing tadi?”
“Menurutku
mereka adalah sepasang kekasih yang baru saja mengerjakan hal terlarang.
Kelihatannya
mereka melakukan waktu masih di goa.” Jawab Gondoruwo Patah Hati. “Menurutmu
bagaimana?” Si nenek balik bertanya.
Naga
Kuning usap-usap suling perak di tangan kirinya. Dia menyeringai lalu menjawab.
“Yang aneh bagiku adalah sewaktu kita tak sengaja memergoki mereka di goa yang
ada mayat tiga prajurit Kadipaten. Lelaki muka tengkorak keluar dari goa,
berteriak-teriak lalu masuk lagi ke dalam goa. Dia tidak gila. Aku punya dugaan
dia tengah melakukan satu sandiwara keji. Kita menguntit mereka naik kuda
sampai di rumah kayu ini. Ketika si muka tengkorak pergi, yang perempuan kabur
melarikan diri. Nek, apapun yang mereka lakukan aku mengira perbuatan itu tidak
dilakukan atas dasar suka sama suka. Kau menyaksikan sendiri ketika keluar goa
pakaian perempuan muda itu tak karuan rupa, malah ada bagian yang robek. Yang
perempuan mungkin baru sadar dan menyesal telah berbuat keliru sewaktu berada
di rumah kayu. Itu sebabnya dia melarikan diri. Nek, bagaimana kalau sekarang
kita masuk ke dalam rumah kayu. Memeriksa…”
Si nenek
besarkan mata, senyum-senyum lalu gelengkan kepala.
“Heh,
mengapa kau tidak mau? Katanya mau mengusap aku.”
“Yang aku
khawatir sampai di dalam rumah bukan aku yang mengusapmu tapi kau yang mengusap
diriku. Hik…hik…hik. Kalau di dalam sana kau punya pikiran ngawur dan aku tak
kuasa menampik, hik…hik…hik.” Si nenek tertawa gelak-gelak.
“Usilnya
mulutmu!” kata Naga Kuning sambil menepuk pantat si nenek. Gondoruwo Patah Hati
terpekik lalu mengejar. Naga Kuning melesat ke atas punggung salah satu dari
dua ekor kuda yang sebelumnya dipergunakan oleh Liok Ong Cun dan Loan Nio
Nikouw lalu menggebrak kabur sambil tertawa panjang. Si nenek tidak tinggal
diam. Dia segera melompat ke punggung kuda satunya dan memacu binatang itu ke
arah perginya si bocah berambut jabrik.
“Gunung!
Awas kau! Aku tidak akan mengusap tubuhmu! Tapi meremas!” teriak si nenek.
Di depan
sana terdengar jawaban Naga Kuning. “Wow Nek! Remasanmu pasti mantap asyik! Aku
suka! Hik…hik…hik!”
******************
4
PUNCAK
TIMUR Gunung Gede. Sang surya belum lama menampakkan diri di ufuk timur. Hujan
rintik-rintik yang mulai turun tidak mengusik Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat
itu kakek sakti tokoh sepuh rimba persilatan yang dianggap setengah dewa ini
duduk bersila di tepi telaga tiga warna. Saputan angin membuat rambut dan
janggut putihnya yang panjang melambai-lambai.
Sejak dua
minggu lalu sang Kiai merasa kurang tenteram di tempat kediamannya di gedung
batu pualam yang terletak di dasar telaga. Sekejappun dia tidak bisa
memicingkan mata, apalagi terlelap tidur. Ada hawa aneh menjalari sekujur
tubuhnya. Di bagian kepala, ubun-ubun dan dua pelipis sering berdenyut.
Tenggorokan, mulut dan bibir terasa kering. Di sebelah bawah sepasang kakinya
kesemutan seolah hilang rasa. Selain itu sesekali tubuhnya terasa panas dingin
seperti diserang demam. Yang lebih aneh, terkadang dia merasakan ada tekanan
keras di pertengahan dada. Puncaknya terjadi malam tadi selagi dia duduk
berzikir. Tiba-tiba bangunan batu pualam kediamannya bergetar keras. Baru
sekali ini hal seperti itu terjadi. Apakah telaga diguncang gempa? Apakah bumi
ini mau kiamat?
Dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara berkerontangan tiada
henti. Sang Kiai keluar dari dalam kamar tidurnya, terhuyung-huyung melangkah
masuk ke sebuah ruangan di sebelah kamar tidurnya. Di pintu ruangan langkah
sang Kiai terhenti. Ada hawa luar biasa dingin membersit keluar dari dalam
ruangan yang agak redup itu. Suara berkerontangan terdengar semakin keras.
“Pedang Naga
Suci Dua Satu Dua…” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan bibir bergetar.
Setengah menggigil orang tua ini melangkah masuk ke dalam ruangan.
Di bagian
tengah ruangan terdapat sebuah meja batu pualam warna biru. Di atas meja ini
terletak satu peti kaca berukuran panjang tiga perempat tombak. Di dalam peti
kaca kelihatan sebilah pedang mengeluarkan cahaya putih dan memancarkan hawa
dingin. Pada badan pedang tertera guratan tiga buah angka. Angka 212. Gagang
pedang terbuat dari gading kuning berbentuk kepala seekor naga betina. Di dalam
peti kaca senjata itu tampak bergerak-gerak tiada henti mengeluarkan suara
berkerontangan disertai kepulan asap tipis.
Menyaksikan
kejadian itu mulut Kiai Gede Tapa Pamungkas langsung berkomat-kamit. Dua tangan
diulurkan menyentuh peti kaca. Terasa hawa dingin luar biasa seolah dia
memegang batangan es. “Pedang sakti…” sang Kiai berucap perlahan. “Apapun yang
terjadi tenangkan dirimu.
Berlindunglah
dibawah Kuasa dan Kasih Tuhan Seru Sekalian Alam.” “Settt!” Tiba-tiba pedang putih
di dalam peti kaca berhenti bergerak. Lalu seperti seekor ular bergulung
hingga
menyerupai bentuk ikat pinggang. Namun pada saat yang sama sang Kiai mengalami
satu kejadian hebat. Satu kekuatan tak kelihatan menghantam dadanya. Tubuh sang
Kiai bergoncang hebat. Walau tidak sampai terpental atau rebah namun dada
mendenyut sakit dan nafas menyesak. Ketika selempang kain putih di bagian dada
disibakkan, Kiai Gede Tapa Pamungkas terkejut. Di pertengahan dadanya tampak
tanda merah kebiruan seolah dia baru saja dihantam satu jotosan atau tendangan
keras. Kiai Gede Tapa Pamungkas bersandar ke dinding ruangan, atur jalan darah
dan tenaga dalam serta alirkan hawa sakti ke bagian dada yang cidera. Ketika
kakek ini mengusap bibirnya yang kering jari-jarinya menyentuh cairan hangat.
Begitu diperhatikan ternyata cairan itu adalah darah yang keluar dari dalam
mulutnya. Hantaman kekuatan gaib tadi telah membuat Kiai sakti ini terluka di
dalam! Orang lain mungkin akan roboh pingsan, bahkan menemui ajal!
Sang Kiai
duduk di lantai. Mata dipejamkan, hati dan pikiran disatukan. Dalam hati dia
berkata. “Ya Tuhan, Engkau Yang Maha Kuasa Maha Mengetahui. Petunjuk apakah
yang tengah Kau berikan padaku? Adakah aku telah berniat salah, atau mungkinkah
aku telah bertindak keliru. Jika aku salah melangkah berbuat dosa mohon
ampunan-Mu Ya Allah. Namun tolong tunjukkan padaku apa arti semua ini.”
Satu
malam suntuk Kiai Gede Tapa Pamungkas berdoa dan menunggu. Namun petunjuk Yang
Kuasa tak kunjung datang. Dalam keadaan tubuh tak karuan rasa, letih dan panas
dingin, keesokan paginya orang tua ini memutuskan keluar dari gedung batu
pualam, naik ke permukaan telaga dan duduk di salah satu pinggirannya. Mulai
bersamadi mengheningkan cipta dan rasa.
Sampai
saat itu hujan terus turun dan makin lebat. Sesekali kilat menyambar disusul
gelegar suara guntur. Tubuh dan pakaian sang Kiai yang tak basah dan tak
tersentuh air hujan itu diam tak bergerak. Menjelang tengah hari mata yang
sejak tadi terpejam tiba-tiba berkedut. Perlahan-lahan sepasang mata dibuka.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melihat banyak cahaya biru muncul di arah timur. Tak
selang berapa lama melayang turun lima sosok gadis berwajah cantik. Luar
biasanya mereka mampu berdiri di atas permukaan air telaga seolah berdiri di
atas tanah biasa. Kawasan telaga serta merta menjadi terang benderang oleh
cahaya biru.
Gadis
yang berdiri p paling depan berpakaian ketat dilapisi manik-manik putih dan
merah. Bagian dada pakaian begitu rendah dan di sebelah samping ada belahan
hampir mencapai pinggul. Rambut hitam tebal digulung di atas kepala. Di sebelah
depan ada sebuah mahkota kecil terbuat dari kerang merah. Gadis luar biasa
cantik ini memiliki sepasang mata berwarna biru, menghias diri dengan kalung,
anting serta gelang terbuat dari kerang hijau.
Di kiri
kanan gadis bermata biru berdiri masing-masing dua orang gadis yang tak kalah
cantik, mengenakan pakaian ketat hitam dengan belahan rendah pada dada dan
belahan tinggi di sebelah samping. Keempat gadis ini mengangkat tangan kanan
mengembang lima jari. Dari ujung-ujung jari memancar cahaya biru. Cahaya inilah
yang membuat keadaan di sekitar telaga menjadi terang benderang.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas, mohon maafmu kalau kehadiran saya dan para pengiring
mengganggu ketenteraman Kiai.” Si cantik bermata biru menyapa. Belum pernah
sang Kiai mendengar suara perempuan sebening dan selembut suara si mata biru
ini.
“Tamu
terhormat dari manakah yang datang menyambangi diriku di tempat terpencil dan
pada waktu cuaca buruk begini rupa?” Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya. Matanya
agak risih melihat dandanan lima gadis cantik. Maka diapun berkata. “Jika
kalian memiliki pakaian lain harap mau mengganti. Cuaca kurang baik akhir-akhir
ini, udara dingin, hujan dan angin bertiup kencang. Aku khawatir kalian nanti
sakit.”
Gadis
bermata biru tersenyum. Dia berpaling pada empat pengiringnya. Liama gadis ini
kemudian usapkan tangan kiri masing-masing dari atas ke bawah. Saat itu juga
pakaian yang mereka kenakan berubah menjadi jubah berlengan panjang. Menutup
sempurna aurat mereka, bahkan kakipun kini tidak kelihatan.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas lepaskan nafas lega. “Terima kasih. Sekarang kalian boleh
menerangkan siapa kalian dan ada maksud baik apa datang kesini.”
“Saya dan
kawan-kawan diutus oleh penguasa dan pelindung laut selatan.”
“Ah, jadi
kalian ini adalah orang-orangnya Nyi Roro Kidul?”
“Betul
Kiai…”
Mendengar
itu sang Kiai segera hendak bergerak bangkit untuk memberi penghormatan tapi
cepat dicegah oleh si mata biru.
“Kiai,
tak usah memakai peradatan segala. Kami tahu Kiai kurang sehat…”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum.
“Aku
rasa-rasa pernah mengenalmu. Sering mendengar keberadaanmu dalam rimba
persilatan. Waktu penyerbuan ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, bukankah
kau ada di sana? Tapi untuk tidak salah menduga mohon diberi tahu dengan siapa
aku berhadapan saat ini.”
Si mata
biru sebenarnya segan memberi tahu siapa dirinya. Namun khawatir dianggap
kurang menghormati akhirnya dia menerangkan. “Kiai, saya ini Ratu Duyung…”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas ternganga tercengang namun sesaat kemudian dia tertawa lebar.
Kepala digeleng-geleng lalu diangguk-anggukkan. Dalam hati orang tua ini
berkata. “Jadi inilah gadis paling cocok menjadi pasangan hidup cucu muridku
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng…”
Si mata
biru tatap wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Ah,
apakah dia mendengar suara hatiku tadi?” Membatin sang Kiai. Lalu dia berucap.
“Ratu Duyung, ceritakan maksud kedatanganmu dan para pengiring.”
“Kiai,
kami tidak lama. Nyi Roro Kidul minta kami memberi tahu bahwa sesuatu yang
hebat akan terjadi dalam rimba persilatan tanah Jawa jika tidak segera
dilakukan pencegahan.”
“Mohon
aku dijelaskan hal apakah itu?”
Di utara
kilat menyambar disusul gelegar guntur yang membuat air telaga bergoyang-goyang
dan tanah di tepian telaga bergetar.
“Saat ini
di tanah Jawa telah kedatangan seorang gadis cantik dari negeri Tiongkok.
Menurut kabar dia adalah seorang paderi. Dia datang membekal sebilah pedang
mustika bernama Ang Liong Kiam atau Pedang Naga merah. Menurut penglihatan Nyi
Roro Kidul konon pedang sakti itu adalah hasil perkawinan maya antara Kapak
Naga Geni Dua Satu Dua dan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Bila Pedang Naga
Merah dipergunakan untuk menyerang pemilik Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua, keduanya akan mendapat celaka yang bisa
merenggut jiwa. Begitu juga jika antara Kapak Naga Geni dan Pedang Naga Suci
sampai bersilang sengketa. Selain itu kehadiran Pedang Naga Merah akan
menimbulkan banyak bencana terutama bagi yang memilikinya, kecuali senjata itu
disucikan lebih dulu oleh Kiai selaku sepuhnya…”
Kejut
Kiai Gede Tapa Pamungkas bukan alang kepalang. Namun kakek sakti ini masih bisa
menguasai diri walau wajahnya jelas tampak berubah. Dia lantas ingat akan apa
yang terjadi dengan Pedang Naga Suci 212 di dalam peti kaca.
“Tuhan
Maha Besar. Tuhan berbuat sekehendak-Nya……” Kiai Gede Tapa Pamungkas berucap
perlahan lalu menarik nafas panjang berulang kali.
“Ratu
Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas jerih payahmu datang ke sini untuk
menyampaikan pesan. Sampaikan salam hormat dan terima kasihku pada Nyi Roro
Kidul. Pesannya akan sangat aku perhatikan.”
“Salam
Kiai akan kami sampaikan. Sekarang saya dan para pengiring mohon diri.”
“Ratu
Duyung, apakah kau punya kabar tentang cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng?” Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
Ditanya
mengenai sang pendekar Ratu Duyung tampak agak sedikit rikuh.
“Sejak
peristiwa penyerbuan ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tempo hari, saya
tidak pernah bertemu dengan dia, Kiai.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mengangguk. “Aku mendengar kabar bahwa orang berjuluk Pangeran
Matahari telah menemui ajal beberapa waktu lalu. Benarkah? Siapa yang
membunuhnya? Bagaimana kejadiannya?”
“Saya
juga hanya mendengar kabar Kiai. Tidak menyaksikan sendiri. Pangeran Matahari
tewas di puncak Gunung Merapi dihakimi para tokoh rimba persilatan. Saya dengar
dia menemui ajal secara mengerikan sekali. Saya rasa hal itu sangat pantas
menjadi bagiannya. Ah, cukup lama saya sudah mengganggu Kiai. Saya dan para
pengiring mohon diri.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas bangun dari duduk bersilanya.
“Ratu
Duyung, jika kau berkesempatan bertemu dengan Wiro, datanglah berdua ke sini…”
“Ada
apakah Kiai?” tanya Ratu Duyung dengan dada berdebar.
Sang Kiai
tersenyum. “Aku hanya ingin ngobrol,” jawab orang tua itu.
Ratu
Duyung tak menjawab, hanya menganggukkan kepala beberapa kali, lalu melangkah
mundur sambil rundukkan kepala memberi penghormatan.
Tak lama
setelah Ratu Duyung pergi, Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke langit. Saat itu
hujan telah reda. Sambil pejamkan mata orang tua ini menghitung hari. “Hari ini
Rabu Pon menurut hitungan Jawa. Lusa hari Kamis Wage, berarti malam Jum’at
Kliwon, waktu yang tepat bagiku menemui kedua mahluk itu. Perkawinan maya…”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tarik nafas dalam dan geleng-gelengkan kepala.
“Jika
semua berlangsung sesuai kewajaran seharusnya yang muncul dan terlahir adalah
sebilah keris sakti mandraguna. Bukan sebilah pedang. Lalu bagaimana pedang itu
bisa berada di tangan seorang paderi asing dari negeri Cina?” Kiai Gede Tapa
Pamungkas memandang berkeliling lalu menatap ke langit. Hujan telah berhenti.
Langit tampak biru cerah. Perlahan-lahan orang tua ini langkahkan kaki memasuki
telaga, melangkah di permukaan air. Tepat di pertengahan telaga tubuhnya
meluncur ke bawah dan lenyap dari pemandangan.
******************
5
MALAM
Jum’at Kliwon. Kepulan asap berbau belerang tercium santar dan terasa hangat
keluar dari dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Saat itu menjelang tengah malam.
Udara dingin luar biasa. Sepotong batang kecil pohon cemara menancap di tanah
kawah yang miring. Di ujungnya menyala api yang menjadi penerangan di tempat
itu. Di sebelah kanan batang cemara yang menyala ada satu pendupaan menebar
harumnya bau kemenyan, menyekat bau belerang.
Di atas
sebuah batu berwarna kekuningan berdiri sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tegak
dengan dua tangan dirangkapkan di atas dada. Sesekali tangan kanannya diulurkan
menjatuhkan potongan-potongan kemenyan ke dalam pendupaan. Janggut dan
pakaiannya melambai-lambai ditiup angin. Sepasang mata menatap ke arah barat,
di mana pada arah yang tidak kelihatan menjulang Gunung Burangrang. Pada
saatsaat tertentu dia alihkan pandangan ke arah timur, di jurus beradanya
Gunung Bukit Tunggul.
Malam
bergulir perlahan tetapi pasti. Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan gugusan
bintang di langit. Dia tahu saat itu sudah melewati tengah malam. Orang tua
sakti yang selalu tenang dalam menghadapi segala kejadian kali ini
memperlihatkan ada bayangan rasa cemas di wajahnya yang klimis, terlebih ketika
angin bertiup kencang dan hujan rintik mulai turun. Sang Kiai perhatikan nyala
api di ujung potongan kayu cemara. Kalau api itu sampai padam, maka itu adalah
satu pertanda bahwa usaha yang dilakukannya saat itu akan menemui kegagalan.
Dia harus menunggu dua puluh satu hari. Sementara itu dikhawatirkan bencana
besar dalam rimba persilatan akan menjadi kenyataan sebagaimana yang
disampaikan oleh Ratu Duyung selaku utusan Nyi Roro Kidul, penguasa laut
selatan.
“Tuhan,
hanya kepada Engkau aku berharap. Hanya kepada Engkau aku minta tolong,” Kiai
Gede Tapa Pamungkas mengucap dalam hati.
Tiba-tiba
di sebelah timur, di arah puncak Gunung Bukit Tunggul kelihatan cahaya putih
berkilau tiada henti. Hujan rintik-rintik serta merta sirna dan tiupan angin
yang tadi begitu kencang lenyap. Kiai Gede Tapa Pamungkas tampungkan dua tangan
ke atas sambil hati mengucapkan perasaan bersyukur.
Hanya
sesaat kemudian setelah terjadinya kilatan cahaya putih di sebelah timur, di
arah barat dari jurusan Gunung Burangrang berkiblat pula cahaya putih agak
kebiruan.
“Naga
Geni, Naga Suci aku melihat cahaya kalian. Aku sudah menunggu cukup lama. Harap
kalian segera datang di hadapanku. Aku ingin menuntaskan semua persoalan malam
ini juga.”
Baru saja
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengeluarkan ucapan tiba-tiba dua cahaya di arah barat
dan timur melesat laksana kilat ke jurusan kawah Gunung Tangkuban Perahu. Dua
cahaya itu kemudian muncul di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam bentuk
samar dua ekor ular besar.
“Perlihatkan
ujud nyata kalian!” Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
“Dess!”
Sosok
samar di sebelah kanan meletup buyar lalu menyatu kembali dan membentuk ujud
seekor naga jantan berwarna putih, yang tadi disebut sebagai Naga Geni. Di atas
keningnya menempel sebuah batu permata besar berwarna merah. Binatang ini
kedipkan matanya yang berwarna merah tiga kali, gelungkan tubuh bagian bawah
sementara tubuh bagian atas tegak agak merunduk menatap ke arah Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
“Dess!”
Hal yang sama
terjadi dengan sosok samar di sebelah kiri. Setelah meletup dan buyar lalu
membentuk ujud seekor naga betina, memiliki permata besar berwarna hijau di
atas kening. Sepasang matanya yang hijau dikedipkan tiga kali lalu gelungkan
ekor, sementara tubuh sebelah atas tegak dengan kepala agak merunduk. Inilah
naga betina yang dipanggil dengan nama Naga Suci.
Setelah
tatap dua mahluk dahsyat yang dalam keadaan tegak bergelung begitu rupa
tingginya hampir satu tombak di atas kepala Kiai Gede Tapa Pamungkas, si orang
tua berkata.
“Naga
Geni, Naga Suci, terima kasih kalian telah bersedia datang memenuhi
panggilanku. Sebelum kita bicara harap kalian tunjukkan ujud asli kalian.”
Dari
masing-masing kepala sepasang naga keluar kepulan asap tipis yang menebar bau
harum mengalahkan santarnya bau kemenyan pendupaan. Lalu ada tabir merah dan
putih kebiruan membungkus Naga Geni dan Naga Suci. Sewaktu tabir itu perlahan
sirna, ujud dua ekor naga berubah menjadi ujud seorang pemuda tampan dan
seorang gadis berwajah cantik jelita. Si pemuda mengenakan destar merah, rambut
menjulai panjang sebahu, bertelanjang dada berbulu, memakai celana panjang
hitam berkilat serta sabuk besar terbuat dari kain merah berkilat melingkar di
pinggang. Di keningnya menempel sebuah batu permata sebesar ujung jari
kelingking berwarna merah berkilau. Sang gadis jelita mengenakan pakaian
seperti kemben. Di kening menempel sebuah permata juga berwarna biru. Sepasang
muda-mudi ini menyalami sang Kiai dan mencium tangan orang tua itu.
“Puluhan
tahun telah berlalu. Kalian ternyata masih tetap segagah dan secantik pertama
kali aku melihat kalian. Ini satu berkah yang harus kalian syukuri pada Tuhan
Yang Maha Kuasa.”
Mendengar
ucapan, sang pemuda Naga Geni dan si gadis Naga Suci rundukkan tubuh namun tak
mengeluarkan ucapan apa-apa. Setelah menatap sepasang muda-mudi itu sejurus,
Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
“Naga
Geni, Naga Suci, ada satu kenyataan terjadi di rimba persilatan. Seorang paderi
dari negeri jauh datang ke tanah Jawa membekal sebilah pedang bernama Ang Liong
Kiam atau Pedang Naga Merah. Nyi Roro Kidul penguasa samudera selatan, melalui
seorang utusannya memberi tahu bahwa pedang itu adalah hasil hubungan
perkawinan diri kalian berdua. Aku tidak akan melanjutkan ucapanku sebelum aku
mendengar terlebih dahulu apa pendapat kalian berdua.”
Naga Geni
memandang pada Naga Suci lalu berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai,
apa yang Kiai dengar, apa yang disampaikan utusan Nyi Roro Kidul memang benar
adanya. Kami telah menempuh jalan keliru dalam penantian perkawinan sakral.
Alam penantian yang telah berlangsung puluhan tahun itu kami akhirnya tersesat
dalam alam cinta kasih yang keliru. Kami berbuat diluar kepatutan, kami
melakukan dosa hingga akhirnya Naga Suci melahirkan seorang anak dalam bentuk
sebilah pedang. Untuk semua yang telah kami lakukan itu kami mohon maaf
kepadamu dan mohon ampun pada Tuhan. Kami bersedia untuk menerima hukuman.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tatap wajah Naga Geni sesaat lalu berpaling pada Naga Suci.
“Naga
Suci, apakah pengakuan Naga Geni itu menjadi pengakuanmu juga?”
“Benar
Kiai. Saya mengaku salah. Saya rela menerima hukuman. Cuma ada satu permintaan
saya. Maksud saya permintaan kami berdua.”
“Apa
permintaan kalian?”
“Hukuman
apapun yang akan dijatuhkan jangan sampai kami dipisahkan. Kalaupun kami akan
dihukum mati jasad kami berdua dalam satu liang kubur. Saat ini kami sudah
sangat menderita, sengsara. Karena sejak Pedang Naga Merah lahir, kami hidup
terpisah, Naga Geni di Gunung Bukit Tunggul. Saya di Gunung Burangrang. Selain
itu kami tak pernah bertemu dengan putera kami walau ujudnya hanya sebilah
pedang.” Ucapan Naga Suci tersendat-sendat dan sepasang matanya berkaca-kaca.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas terdiam, untuk beberapa lama tak bisa berkata apa-apa karena
haru. Setelah menarik nafas panjang dia baru bersuara.
“Aku
memanggil kalian bukan untuk menghukum. Tapi mencari jalan bagaimana
menyelamatkan dunia persilatan dari bencana yang tak pernah terduga.” Sang Kiai
lalu sibakkan kain putih pakaiannya di bagian dada. “Tanda merah ini adalah
hantaman dahsyat kekuatan gaib yang keluar dari Pedang Naga merah, Pedang Naga
Suci atau Kapak Naga Geni. Pedang yang terlahir dari hasil hubungan kalian akan
menimbulkan bencana bagi siapa saja yang memilikinya serta orang-orang sekitarnya.
Aku mengharap kalian berdua berusaha mencari pedang itu, mengambilnya dan
menyimpannya di satu tempat yang aman. Kalian harus melakukan itu karena pedang
itu adalah anak kalian berdua.”
“Kiai,
kami memang rindu pada anak kami. Namun hal itu tidak mungkin kami lakukan.
Karena usia pedang belum mencapai seratus tahun.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berpaling pada Naga Geni yang barusan bicara. “Maksudmu?”
“Kiai,
seratus tahun dalam ukuran usia pedang sama dengan dua puluh tahun ukuran alam
di sini. Jika ukuran tahun itu belum tercapai kami akan hangus dan menemui ajal
pada saat bersentuhan dengan pedang. Kami tidak takut akan kematian karena
menanggung akibat perbuatan kami. Namun itu tidak menolong karena sekalipun
kami menemui ajal, Pedang Naga Merah akan tetap ada….”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tercengang dan geleng-gelengkan kepala. “Rimba persilatan harus
diselamatkan. Banyak korban yang bakal jatuh. Apa yang harus aku lakukan?”
“Kiai,
satu-satunya jalan untuk mengamankan pedang itu adalah dengan jalan
menyatukannya dengan Kapak Naga Geni serta Pedang Naga Suci selama tujuh hari
tujuh malam. Dan selama waktu itu kami harus mendampingi tanpa boleh tidur
barang sekejappun. Kita perlu seseorang untuk mendapatkan Pedang Naga Merah.”
“Kalau
aku bisa mendapatkan pedang itu, apakah kalian berdua bersedia menjadi
pendamping?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
“Kami
bersedia melakukan apa saja sesuai dengan kemampuan demi menebus dosa kesalahan
kami, “ jawab Naga Geni.
“Benar
Kiai, kami sangat sayang pada Putera Langit. Kami bersedia menerima bencana
asal dia tidak terganggu apalagi sampai menderita. Kami juga sangat berharap
dan melakukan segala daya agar dia bisa berada di tangan kami.”
“Tunggu
dulu. Siapa yang kau maksudkan dengan Putera Langit?” tanya Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
“Anak
kami itu Kiai. Kami memberi nama Putera Langit pada pedang itu.” Menerangkan
Naga Suci. “Ah….” Kiai Gede Tapa Pamungkas terpana sesaat lalu tersenyum. Sambil
mengusap janggut putihnya dia berkata. “Nama bagus. Sangat gagah
kedengarannya.”
“Kiai,”
ucap Naga Suci. “Sebagai orang tuanya kami sudah sangat rindu untuk dapat
bertemu lagi dengan anak kami itu. Sampai Kiai memanggil kami saat ini, kami
baru tahu kalau Putera Langit sudah berada lagi di tanah Jawa ini. Memang sejak
beberapa minggu belakangan ini saya merasa tanda-tanda tertentu. Baru tahu arti
tanda-tanda itu setelah bertemu Kiai.”
“Pedang
itu konon berada di tangan seorang paderi perempuan dari Tiongkok. Adalah aneh,
senjata sakti mandraguna yang adalah putera kalian itu bisa berada di tangan
orang asing di negeri jauh.”
“Kiai,
ini menyangkut satu kisah lama. Semua terjadi karena kelalaian kami. Selain itu
kami selalu dihantui rasa takut karena telah berbuat salah. Biar saya
menceritakan pada Kiai,” kata Naga Geni pula.
“Sewaktu
pedang baru berusia beberapa hari dan panjangnya hanya setengah jengkal,
terjadi banjir bandang. Pedang tercecer di satu tempat ketika saya tengah
berusaha menyelamatkan Naga Suci. Pedang kemudian ditemukan oleh seorang bocah
bernama Bayumurti yang tinggal di Semarang. Anak ini menganggap pedang kecil
itu sebagai barang mainan. Pedang kemudian diberikan Baayumurti sebagai tanda
mata pada seorang gadis Cina teman sepermainannya yang kemudian pulang bersama
orang tuanya ke Tiongkok. Ketika kami mengetahui hal itu, gadis Cina itu telah
berlayar ke Tiongkok. Kejadiannya lebih dari dua belas tahun silam. Saya yakin
paderi yang muncul saat ini membawa Pedang Naga Merah adalah gadis Cina dulu
itu.”
Setelah
terdiam dan merenung sejenak Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya berkata. “Kisah
luar biasa. Benar-benar luar biasa. Naga Geni, Naga Suci, kalian sekarang boleh
pergi. Bilamana Pedang Naga Merah sudah berada ditanganku, aku akan memanggil
kalian kembali. Di tempat ini.”
“Kiai,
kami mohon maafmu dan kami mohon diri.”
“Tunggu
dulu…” Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
“Ada apa
Kiai?” tanya Naga Geni.
Bertahun-tahun
kalian memisahkan diri. Satu tinggal di timur, satu di barat. Untuk apa menyiksa
diri? Kalian boleh memilih tinggal bersama di Gunung Burangrang atau di Gunung
Bukit Tunggul.”
Naga Geni
dan Naga Suci saling berpandangan. Mereka hampir tak percaya mendengar apa yang
dikatakan si orang tua. Sebelumnya mereka menyangka akan mendapat dampratan
bahkan hukuman. Ternyata kini sang Kiai ingin mempersatukan mereka kembali.
“Kiai,”
kata Naga Geni pula. “Betulkah kata Kiai itu? Kami boleh tinggal bersama?”
Suaranya tersendat karena haru sementara Naga Suci usap air mata yang
menggelinding di pipinya.
“Ya, aku
mengizinkan. Asal saja kalian bisa menjaga diri. Jangan sampai lahir lagi
pedang ini pedang itu atau Putera Langit yang baru.” “Kiai, saya mengucapkan
banyak terima kasih,” kata Naga Geni.
“Saya
juga,” kata Naga Suci pula. ”Kiai telah memberikan kepercayaan. Mudah-mudahan
kami tidak akan berbuat keliru lagi.”
“Selanjutnya
kami akan merundingkan dimana kami berdua akan tinggal. Kami akan memberi tahu
pada Kiai. Sekarang kami mohon diri.” Naga Geni menyambung ucapan Naga Suci.
Naga Geni
dan Naga Suci kemudian menyalami dan mencium tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Perlahan-lahan ujud sepasang muda-mudi gagah dan cantik ini berubah menjadi
naga lalu melesat ke udara dan di satu arah lenyap dari pemandangan.
Walau
saat itu udara dingin luar biasa namun wajah dan tubuh serta pakaian sang Kiai
basah oleh keringat. Untuk beberapa lamanya dia kembali duduk bersila di tepi
telaga. Tubuhnya yang tadi terasa letih kini agak nyaman. Hawa panas dingin
mulai berkurang. Orang tua sakti ini ingat pada peristiwa puluhan tahun silam
ketika dia pertama kali menerima Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212
dari kakek gurunya. Sang kakek menerangkan, suatu ketika kelak, dari perkawinan
antara Kapak dan Pedang akan lahir sebilah keris sakti mandraguna. Kenapa kini
yang muncul sebilah pedang dan membawa malapetaka pula? Karena senjata itu
dilahirkan dari perkawinan maya yang keliru?
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berdiri. “Aku harus mencari seseorang untuk mendapatkan Pedang
Naga Merah dari tangan paderi asing itu. Mungkin aku harus menemui Sinto
Gendeng….” Sang Kiai tarik nafas panjang. Kemudian dia keluarkan satu siulan
keras. Lalu mulut itu berucap.
“Kaki
Putih, aku membutuhkan dirimu…”
Saat itu
juga di kejauhan terdengar suara ringkikan keras. Kurang dari sekejapan mata
muncullah seekor kuda hitam. Hebatnya, walau tubuh hitam namun keempat kakinya,
mulai dari lutut ke bawah berwarna putih. Kuda tinggi besar ini rundukkan
kepala lalu menjilat tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas kiri kanan. Setelah
mengusap tengkuk kuda bernama Kaki Putih ini, sang Kiai segera melompat naik ke
punggungnya.
“Antar
aku ke puncak utara. Menemui nenek bernama Sinto Gendeng yang dulu pernah kau
buat jatuh karena dia mengencingi punggungmu!”
Kuda
hitam berkaki putih meringkik panjang seolah tertawa mendengar kata-kata sang
Kiai.
******************
6
DUA NENEK
kembar rambut kelabu bermata merah untuk beberapa lama duduk berdiam diri
sambil pandangi Pendekar 212 Wiro Sableng yang tergeletak di lantai berdebu
dalam keadaan tidak sadar diri. Saat itu menjelang pagi dan mereka berada di
dalam sebuah rumah tua setengah runtuh yang telah lama ditinggal penghuninya.
“Ha-hu
ha-hu.” Nenek sebelah kanan keluarkan suara, tangan kiri menunjuk ke dada Wiro,
tangan kanan ditepukkan ke dada sendiri lalu dilambaikan ke arah luar bangunan.
Dengan isyarat ini dia memberi tahu saudara kembarnya bahwa Wiro menderita
cidera di dada, dia akan memeriksa dan mengobati si pemuda. Untuk itu dia minta
saudaranya itu keluar dulu dari dalam rumah.
Nenek
satunya pencongkan mulut. Balas memberi isyarat yang mengatakan bahwa dia yang
akan memeriksa Wiro dan saudaranya itu saja yang keluar dari situ. Yang diberi
isyarat geleng-geleng kepala. Dua nenek sama-sama unjukkan tampang cemberut.
Akhirnya melalui gerak isyarat keduanya menyetujui bahwa mereka berdua akan
bersama-sama memeriksa dan mengobati Wiro.
Maka
nenek sebelah kiri mulai membuka pakaian putih sang pendekar. Temannya
membantu. Begitu baju terbuka kelihatan dada yang bidang kekar. Dua mata si
nenek sama-sama bersinar, mulut merekah senyum, dua tangan sama-sama mengusap.
Namun ketika melihat ada tanda merah kebiruan di pertengahan dada keduanya
sama-sama keluarkan suara tertahan.
“Ha-hu
ha-hu!”
Nenek
yang satu keluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubah kuning. Kesempatan
ini dipergunakan oleh saudara kembarnya untuk menyeka lelehan darah setengah
mengering di sudut bibir Wiro sambil pergunakan kesempatan membelai pipi sang
pendekar. Si nenek satunya langsung saja menepuk tangan saudara kembarnya itu.
Yang ditepuk hanya mesem-mesem. Dari dalam kantong kain nenek pertama tadi mengambil
dua butir obat berwarna putih. Obat dimasukkan ke dalam mulut Wiro lalu dengan
dua jari tangan kiri dia menotok tenggorokan pemuda itu. Saudaranya ikut
menotok urat besar di beberapa bagian tubuh Wiro yaitu pangkal leher, dada dan
dekat ulu hati.
“Ha-hu
ha-hu!” Nenek sebelah kanan menunjuk telapak kaki Wiro.
Keduanya
kemudian sama-sama mengangkat kaki Wiro kiri kanan lalu telapak kaki, di bagian
tumitditekan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti. “Ha-hu ha-hu!” Dua telapak kaki keluarkan kepulan asap merah. Di saat
yang sama dua kaki Wiro melejang keras hingga dua nenek kembar terjengakang.
Walau kaget namun keduanya unjukkan wajah gembira. Darah mengucur kental di
sudut mulut Pendekar 212. Perlahan-lahan kesadarannya muncul. Wiro menggeliat
sambil keluarkan suara mengerang lalu berusaha bangun. Dua nenek membantu dan
menyandarkannya ke dinding rumah.
“Ha-hu
ha-hu!”
Wiro
tatap dua nenek kembar di depannya lalu tersenyum. Dua nenek kembar bersorak
gembira.
“Ha-hu
ha-hu!”
Dari
balik jubah dua nenek keluarkan secarik kain lalu berebutan menyeka lelehan
darah di mulut dan dagu sang pendekar.
Wiro
tampak kaget dan sadar kalau dirinya terluka di dalam. Saat itu baru dia
merasakan rasa sakit di dadanya. Ketika diperhatikan, dia melihat ada tanda
merah kebiruan dipertengahan dada.
“Siapa
yang menghantamku. Aku terluka di dalam. Bagaimana kejadiannya?” Ingatan murid
Sinto Gendenggini belum sepenuhnya pulih.
Dua nenek
sama-sama memberi isyarat dengan gerakan tangan sambil keluarkan suara ha-hu
ha-hu coba memberi keterangan. Namun melihat semua gerak isyarat itu Wiro malah
jadi bingung. Dia coba mengingat-ingat apa yang terjadi.
“Aku
berada di tembok timur Kadipaten Losari….” Wiro berucap perlahan.
“Ha-hu
ha-hu!” Dua nenek angguk-anggukkan kepala. Wiro melintangkan jari telunjuk di
atas bibir. Dua nenek mesem-mesem.
“Ada
prajurit yang dibunuh. Namanya Jumena… Aku dituduh sebagai pembunuh. Aku
diserang. Lalu muncul Paderi Cina itu..”
“Ha-hu
ha-hu!” Dua nenek unjukkan wajah marah. Tangan kanan digerak-gerakkan seolah
memegang senjata tajam.
“Nionio
Nikouw. Dia menyerangku dengan pedang memancarkan cahaya merah. Aku terpental
roboh. Sebelum pingsan aku melihat paderi itu juga tergeletak di tanah…”
“Ha-hu
ha-hu!” Dua nenek angkat tangan masing-masing, membuat gerakan menimang-nimang
lalu menunjuk ke lantai rumah.
“Ya…ya.
Aku tahu maksud kalian. Kalian menggotongku. Lalu membawa aku ke sini. Lalu
mengobatiku. Kalian pasti meraba-raba tubuhku…”
Dua nenek
tertawa cekikikan.
“Terima
kasih. Makin banyak hutang budi dan nyawaku pada kalian….”
“Ha-hu
ha-hu,” dua nenek berseru sambil goyang-goyangkan tangan.
“Kalian
bisa saja minta aku tidak memikirkan hal itu. Yang aku pikirkan justru
bagaimana cara membalas semua hutang besar ini.”
Dua nenek
tiba-tiba ulurkan wajah sambil salah satu tangan menepuk-nepuk pipi
masing-masing.
Wiro
tertawa lebar. “Begitu? Jadi dengan mencium pipi kalian, semua hutang piutang
kalian aggap impas lunas? Geblek!”
“Ha-hu
ha-hu.”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Baiklah, aku akan mencium kalian sebagai tanda terima
kasih. Tapi bagiku tetap saja aku punya hutang budi dan nyawa pada kalian.
Mungkin baru bisa dianggap impas kalau aku berhasil mencari tahu siapa pembunuh
kakak kembar kalian Eyang Sepuh Kembar Tilu.”
Dua nenek
tidak menyahuti. Masih tetap ulurkan wajah. Wiro tersenyum. Pertama sekali
diciumnya nenek sebelah kanan. Lalu beralih mencium nenek sebelah kiri.
“Ha-hu
ha-hu!”
Ketika
menarik kepalanya Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Wajah buruk dua nenek itu
telah berubah menjadi wajah cantik dua perempuan muda berkulit putih. Rambut
yang kelabu tampak hitam. Mata yang merah juga berubah hitam. Hanya pakaian
mereka yang tidak berubah yaitu tetap jubah kuning. Selain itu tubuh serta pakaian
dua perempuan jelita ini menebar bau harum mewangi.
Murid
Sinto Gendeng batuk-batuk, garuk-garuk kepala. Dua nenek yang kini berujud dua
perempuan muda cantik masih tak bergerak. Kepala masih terulur.
“Heh, mau
dicium lagi?” tanya Wiro.
““Ha-hu
ha-hu!” Dua perempuan muda menyahuti sambil anggukkan kepala berulang kali.
Wiro
peluk keduanya, lalu menciumi berganti-ganti berulang kali. Dua perempuan itu
sesekali membalas ciuman Wiro.
“Sudah…sudah!”
Wiro akhirnya lepaskan rangkulan serta hentikan ciuman. Dua perempuan muda
tersipu-sipu. “Baiknya kalian kembali ke ujud semula. Nanti aku bisa pusing,
kalian jadi pening lalu nanti bisa-bisa ada yang bunting!”
Wiro
tertawa gelak-gelak. Dua perempuan muda cekikikan sambil tangan mereka menjalar
mencubiti paha sang pendekar. Perlahan-lahan ujud mereka kembali ke bentuk
semula, yakni dua nenek berwajah seram, rambut kelabu dan bermata merah.
“Nah,
begitu lebih baik. Jalan pikiranku jadi tidak terganggu. Ingat, walau sudah
kucium tapi aku tetap punya hutang pada kalian.”
“Ha-hu
ha-hu!”
Wiro
menghela nafas panjang lalu berdiri. Dua nenek ikutan berdiri. Wiro memandang
keluar lewat dinding rumah tua yang sudah ambruk. Ingatannya kembali pada apa
yang sebelumnya dialami.
“Jumena,
prajurit itu. Kasihan dia tewas dibunuh. Aku yakin pembunuhnya adalah orang tua
bermuka merah yang menunggang kuda. Tapi, siapa dia? Mengapa membunuh prajurit
tak berdosa?”
“Ha-hu
ha-hu!”
“Eh,
kalian melihat penunggang kuda itu?”
Dua nenek
anggukkan kepala.
“Betul
dia yang membunuh prajurit Kadipaten bernama Jumena?” Dua nenek kembali
mengangguk.
“Lantas
mengapa kalian tidak mencegah?”
Dua nenek
peragakan gaya orang menunggang kuda, lalu tangan diletakkan di kening,
menunjuknunjuk ke atas, kemudian memegang punggung. Wiro geleng-geleng kepala.
Sulit dia mengerti apa yang tengah diterangkan dua nenek itu. Nenek di samping
kiri kemudian berjongkok. Dengan jari tangannya dia membuat gambar di lantai
berdebu. Ternyata gambar sehelai daun. Lalu nenek ini tempelkan tangan kanan di
kening sambil tangan kiri menunjuk ke gambar daun.
Wiro
mengerenyit, menggaruk kepala.
“Daun…daun
di kening…”
“Ha-hu
ha-hu!”
Wiro
menggaruk lagi. Dua nenek kembali menunjuk ke atas lalu dua tangan diturunkan
ke bawah, menempel ke badan dan mata dipejamkan.
“Orang
mati,” ucap Wiro.
Dua nenek
mengangguk, “Ha-hu ha-hu!”
“Aku
mengerti! Daun menempel di kening orang mati. Siapa yang mati? Tunggu… aku
ingat. Saudara kembar kalian. Eyang Sepuh Kembar Tilu waktu menemui ajal ada
daun mengkudu di keningnya.”
“Ha-hu
ha-hu!” Dua nenek peragakan lagi orang menunggang kuda, menunjuk ke gambar daun
lalu menepuk punggung.
“Orang
naik kuda. Di punggung… Kenapa punggungnya?”
Dua nenek
menunjuk lagi ke gambar daun di lantai rumah.
“Hemm. …
Orang berkuda ada daun di punggungnya…”
“Ha-hu
ha-hu!” Dua nenek anggukkan kepala berulang kali.
“Daun….daun
apa? Daun mengkudu?”
Dua nenek
bersorak, acungkan jempol lalu mengangguk-angguk.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia coba merangkai semua keterangan dua nenek itu. “Ada
penunggang kuda. Yang aku lihat orangnya kakek muka merah. Membunuh prajurit
bernama Jumena. Kalian berdua melihat tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena
orang berkuda membawa daun pantangan, daun mengkudu di punggungnya. Jika kalian
sampai tersentuh daun itu bisa celaka menemui ajal seperti Eyang Sepuh Kembar
Tilu. Benar begitu?”
Dua nenek
mengangguk. “Ha-hu ha-hu.”
“Ini luar
biasa,” kata Wiro pula. “Waktu ada ledakan dan waktu prajurit Jumena dibunuh,
kalian berdua belum menampakkan diri. Betul?”
Dua nenek
mengangguk.
“Berarti
kasat mata kalian berdua tidak kelihatan. Tapi kakek penunggang kuda itu tanpa
melihat dia mengetahui kehadiran kalian. Itu sebabnya dia berjaga diri dengan
membawa daun mengkudu, ditaruh di punggung. Jika dia tahu daun itu adalah daun
pantangan bagi kalian, berarti kemungkinan dialah orang yang membunuh Eyang
Sepuh Kembar Tilu!”
“Ha-hu
ha-hu!” Dua nenek keluarkan suara keras dan unjukkan wajah seram geram.
“Eyang
Sepuh Kembar Tilu dibunuh karena ada sangkut paut dengan dadu setan. Jumena
dibunuh karena dia tahu satu rahasia besar. Aku rasa kematian kedua orang ini
ada kaitannya…” Wiro melangkah mondar-mandir. Waktu hentikan langkah dia ajukan
pertanyaan. “Paderi Cina itu, kalau aku tidak salah ingat, waktu dia
menyerangku denganpedang merah, dia terjungkal roboh lebih dulu. Kalian tahu
apa yang kemudian terjadi dengan dirinya?”
Nenek
kembar di sebelah kanan membuat peragaan orang digotong dan dilarikan. Nenek
satunya membuat gambar tengkorak di lantai berdebu.
“Jadi ada
orang yang menolong dan melarikannya. Seorang bermuka tengkorak.”
“Ha-hu
ha-hu!”
“Pasti
pemuda Cina bernama Liok Ong Cun itu. Kalian pernah melihatnya di telaga…” Wiro
mengusap dadanya yang sesekali terasa sakit. Tiba-tiba saja dia teringat pada
Purnama. Si jelita dari
Latanahsilam
itu. Hatinya membatin. “Dalam keadaan genting biasanya dia muncul menampakkan
diri.
Mengapa
sekali ini tidak? Apa dia tidak lagi berada di dekatku?”
“Nenek
berdua, aku tidak akan menahanmu lama-lama di tempat ini. Kalian boleh pergi.
Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Jika
aku boleh minta tolong lagi, harap kalian mencari tahu dimana dan siapa adanya
kakek muka merah yang membunuh Jumena…”
Dua nenek
unjukkan wajah takut.
“Tidak
perlu takut. Manusia itu tidak akan terus-terusan membawa daun mengkudu kemana
dia pergi.”
“Ha-hu
ha-hu…”
“Dari
dandanan dan bentuk wajahnya aku rasa dia seorang dari rimba persilatan. Aku
belum pernah melihat tampang kakek itu sebelumnya.”
“Ha-hu
ha-hu.” Dua nenek membuat gerakan tangan.
“Kalian
betanya aku mau kemana?”
“Ha-hu
ha-hu.”
“Aku akan
ke Losari. Menurut Jumena mulai pagi ini lukisan wajahku ditempel dan disebar
di kota Kadipaten itu. Ada hadiah lima ringgit emas bagi siapa yang menangkapku
hidup atau mati. Aku dituduh telah membunuh Adipati Brebes. Aku mau tahu apa
benar, tampangku sudah malang-melintang dimanamana. Aku jadi orang terkenal
sekarang! Ha ha!”
Wiro
lambaikan tangan. Dua nenek membalas dengan letakkan tangan kanan di atas bibir
lalu dilambaikan. Keduanya melesat pergi dan lenyap dari pemandangan.
Belum
sekejapan dua nenek meninggalkan rumah tua, tiba-tiba terdengar ringkikan kuda
disusul seruan nyaring.
“Anak
setan! Rupanya kau sudah kehabisan gadis cantik. Sampai-sampai mengambil dua
neneknenek peot jelek jadi gendakmu!”
Wiro
melengak kaget. Dia segera melompat ke halaman samping rumah tua.
******************
7
DI
HALAMAN samping rumah tua berdiri seekor kuda hitam berkaki putih. Di atas
punggungnya duduk dengan sikap keren seorang nenek berkulit hitam, berdandan
medok tebal nyaris celemongan. Pakaiannya sehelai jubah hitam selutut dan
celana panjang juga berwarna hitam. Pakaian ini kelihatan bagus dan masih baru.
Tangan kanan memegang satu gulungan kertas. Di balik punggung jubah tersembul
sebatang tongkat kayu Di leher kuda tergantung sebuah caping bambu. Si nenek
pencongkan mulut kempotnya lalu menyeringai.
Astaga!
Kalau bukan lima tusuk konde perak yang menancap di batok kepala, Pendekar 212
Wiro Sableng hampir-hampir tidak mengenali nenek aneh ini. Apalagi setelah
mengendus dalam-dalam dia tidak mencium bau pesing.
“Eyang
Sinto!” Seru Wiro begitu mengenali nenek penunggang kuda berdandan medok ini
bukan lain adalah gurunya. Pemuda ini cepat-cepat mendatangi Sinto Gendeng,
menyalami dan mencium tangannya.
“Nek,
maaf kalau saya hampir tidak mengenalimu. Dandananmu lain sekali. Bedak putih,
alis kereng hitam, bibir merah mencorong, pipi diberi merah-merah. Pakaianmu
kelihatannya baru. Lalu hemmmm…” Wiro mendongak sambil menghirup udara
dalam-dalam. “Kau pakai obat atau wewangian apa hingga saya tidak mencium bau
pesing tubuh dan pakaianmu?”
“Plaakk!”
Si nenek
kemplangkan gulungan kertas di tangan kanan ke kepala muridnya. “Aku berdandan
macam apa, aku mau mengenakan pakaian cara apa, aku mau bau pesing atau tidak,
bukan urusanmu. Enak saja kau bicara!” Si nenek lalu sodokkan ujung gulungan
kertas ke dada muridnya. “Tanda merah ini! Apa bekas gigitan dua nenek jelek
tadi?”
Wiro
garuk kepala. Dia masih berpikir-pikir apa yang terjadi dengan Eyang Sinto
Gendeng. Bersolek mencorong dan berpakaian rapi serta tampak begitu gembira.
“Kau tak
bisa menjawab! Nah, bilang saja habis berbuat apa kau dengan dua nenek itu?”
Wiro
tertawa. “Eyang, mereka itu sahabatku. Tanda di dada ini bekas pukulan. Mereka
tadi mengobatiku. Mereka telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku.”
Si nenek
menyeringai. Dia ingat tanda yang sama yang dilihatnya di dada Kiai Gede Tapa
Pamungkas waktu bertemu empat hari lalu. Tapi dasar jahil, dia masih menggoda
muridnya.
“Nah,
nah. Waktu diobati pasti tadi kau diraba-raba. Lalu kau balas meraba! Betul
‘kan? Apa nikmatnya meraba tubuh peot! Hik…hik…hik!”
Wiro ikut
tertawa gelak-gelak.
Si nenek
ketukkan lagi gulungan kertas di tangan kanan ke kepala Wiro lalu berkata.
“Lihat ini!” Gulungan kertas disodorkan pada Wiro.
Wiro
ambil gulungan kertas lalu membukanya. Disitu terpampang lukisan kasar wajahnya
disertai tulisan besar :
“PENDEKAR
212 WIRO SABLENG. Buronan pembunuh. Siapa yang bisa menangkap Hidup Atau Mati
Mendapat Hadiah Lima Ringgit Emas. Tertanda Adipati Losari. SEDA WIRALAGA”
“Di
tengah jalan aku menemui selebaran itu ditempel di sebuah pohon. Pasti banyak
lagi di tempat lain, terutama di sekitar Losari. Kasihan, kepala bau apekmu
dihargai cuma lima ringgit emas. Murah buaaanget! Hik…hik…hik.” Setelah tertawa
si nenek bertanya. “Siapa yang kau pateni?” Sinto Gendeng pindahkan susur yang
dikunyah dalam mulut dari kiri ke kanan lalu kucurkan ludah merah ke tanah.
“Karta
Suminta. Adipati Brebes.” Menjawab Pendekar 212.
“Gila!
Dia bukan manusia sembarangan. Banyak temannya orang-orang berkepandaian
tinggi!”
“Saya
tahu Eyang. Tapi dia orang jahat.”
“Gendeng!
Banyak orang jahat di muka bumi ini! Kenapa kowe bunuh Adipati itu?” tanya
Sinto Gendeng dengan mata mendelik.
“Dia
hendak memperkosa seorang sahabat saya, Eyang.” Jawab Wiro.
“Sahabatmu
yang mana? Anggini? Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung atau gadis dari alam roh
itu. Eh, siapa namanya? Ada dua kalau aku tidak salah!”
“Bunga
dan Purnama, Nek.” Ucap Wiro.
“Ya…ya!
Apa salah satu dari mereka yang hendak diperkosa Karta Suminta?”
“Bukan
Nek. Bukan salah satu dari mereka.”
“Ah,
rupanya kau punya kekasih baru? Hik…hik…hik! Beri tahu aku siapa orangnya!”
“Seorang
gadis Cina. Seorang paderi,” jawab Wiro pula.
“Oala!”
Sinto Gendeng dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
“Benar
rupanya cerita Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada gadis cantik datang dari Cina.
Ternyata dia telah jadi kekasih barumu! Hik…hik! Cepat juga cara kerjamu, anak
setan!”
“Namanya
Nionio Nikouw. Dia bukan kekasih saya, Nek. Dulu dia sahabat. Tapi sekarang
sudah jadi musuh. Tadi malam di tembok timur Kadipaten dia berusaha hendak
membunuh saya.”
“Dengan
sebilah pedang berwarna merah?”
“Bagaimana
Eyang tahu?”
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas bercerita padaku lima hari yang lalu. Tapi saat ini aku mau
dengar cerita dari mulutmu. Mulai dari kematian Adipati Brebes sampai
kemunculan gadis Cina yang kini kau bilang sudah jadi musuhmu itu!” Habis
berkata begitu Sinto Gendeng melesat dari punggung kuda, duduk berjuntai di
talang rumah yang sudah hampir roboh, mulut komat-kamit mengunyah susur. Kalau
saja nenek ini tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, diduduki
seperti itu talang rumah pasti sudah runtuh!
Memenuhi
permintaan gurunya Wiro menceritakan semua apa yang diketahui dan apa yang
terjadi. Mulai dari kedatangan para tokoh silat dari Tionggoan, perihal dadu
setan sampai kejadian tadi malam dimana dia hendak dibunuh oleh Nionio Nikouw
dan berakhir pada pertolongan dua nenek kembar.
Mulut
Sinto Gendeng terpencong-pencong mendengar kisah sang murid. “Kau tahu asal
usul pedang merah yang kini ada di tangan paderi Cina itu?”
Wiro
menggeleng.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas mendatangiku di puncak utara Gunung Gede. Dia bercerita
banyak. Pedang itu konon bernama Pedang Naga Merah. Pedang itu adalah anak
haram yang lahir dari perkawinan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Pedang naga
Suci Dua Satu Dua.”
Wiro
terkesiap. Garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak.
“Anak
setan! Jangan asal mangap! Mengapa kau ketawa? Apa yang lucu?” Sinto Gendeng
membnetak sambil delikkan matanya yang memiliki rongga dalam. Lima tusuk konde
di atas kepala bergoyang-goyang.
“Nek,
bagaimana mungkin kapak dan pedang kawin lalu punya anak haram sebilah pedang!”
“Anak
setan! Kau tahu apa. Gusti Allah punya kuasa! Biar aku kasih pengertian padamu!
Kau sendiri yang barusan cerita setiap ada orang menyerangmu dengan Pedang Naga
Merah kau dan orang itu pasti terpental. Lihat bekas hantaman di dadamu itu!
Itu satu pertanda ada satu kekuatan gaib hebat yang mencegah terjadinya
pertumpahan darah. Mana ada pasalnya seorang anak berani membunuh ayahnya
sendiri? Maksudku pedang merah itu adalah anak dan kapak di dalam tubuhmu
adalah ayahnya. Jika sampai terjadi si anak membunuh ayah maka berarti kualat!
Itu sebabnya ada satu kekuatan gaib yang membentengi dirimu juga membentengi si
penyerang. Tapi kekuatan itu begitu luar biasa hingga muncul sebagai serangan
hebat yang tak bisa dielakkan oleh orang yang diserang maupun yang menyerang.”
Eyang
Sinto pindahkan lagi susur di dalam mulut dari kiri ke kanan. Lalu berkata.
“Anak setan, apa kau lupa. Kau kawin-kawinan dengan perempuan cantik bernama
Nyi Retno mantili itu, anak kalian ternyata sebuah boneka kayu! Hik…hik…hik!”
Wiro
hanya bisa menyengir mendengar kata-kata sang guru. Dia meraba-raba perut,
menggosok dada. Seperti diketahui, Kiai Gede Tapa Pamungkas secara gaib telah
memasukkan Kapak Naga Geni ke dalam tubuh Wiro (baca serial Wiro Sableng
Episode “Lentera Iblis”)
Mengenai
boneka kayu Nyi Retno Mantili bisa dibaca kisahnya dalam serial Wiro Sableng
Episode “Perjanjian Dengan Roh”.
“Di alam
fana ini…” Sinto Gendeng lanjutkan cerita. “Naga Geni bisa memunculkan diri
berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah, tidak jelek sepertimu!”
“Iya Nek,
saya memang jelek. Bau apek lagi!” kata Wiro sambil mencibir.
“Naga
Suci mampu muncul sebagai seorang gadis cantik! Pedang Naga Merah yang
merupakan anak mereka, mereka beri nama Putera Langit. Menurut keterangan Naga
Geni sewaktu masih kecil pedang itu pernah hilang. Ditemui seorang anak bernama
Bayumurti di Samarang lalu diberikan pada seorang anak perempuan sewaktu dia
mau pulang ke Cina. Anak perempuan Cina itu pasti adalah paderi yang sekarang
berada di tanah Jawa ini.”
Wiro
manggut-manggut. Dia ingat Nionio Nikouw memang pernah menceritakan tentang
seorang sahabat yang tengah dicarinya. Anak bernama Bayumurti itu yang tentunya
sekarang sudah menjadi seorang pemuda sebaya sang paderi.
“Nek, aku
ingat sesuatu. Orang bernama Bayumurti ini mungkin sekali adalah salah seorang
Kepala Pasukan Kerajaan timur yang namanya menjadi terkenal karena beberapa
waktu yang lalu berhasil menghancurkan sarang perampok di hutan Jatiuruk dan
membunuh dedengkot pimpinannya.”
“Begitu?”
ucap Sinto Gendeng. Dia tidak tampak tertarik pada keterangan Wiro. Lalu si
nenek meneruskan. “Selain itu kehadiran Pedang Naga Merah yang bisa dianggap
sebagai senjata liar, dapat menimbulkan orang malapetaka pada pemilik maupun
orang sekitarnya. Buktinya paderi itu hampir diperkosa. Kau hampir dijagal!”
Eyang Sinto Gendeng kemudian menceritakan bagaimana kejadian Pedang Naga Merah
seperti yang didengarnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Aku
diperintahkan Kiai untuk menemuimu. Kau ditugaskan mencari dan mengambil pedang
itu dari tangan paderi Cina.”
Wiro
menggaruk kepala. “Mengapa musti saya Eyang?”
“Apa
katamu?!” Si nenek mendelik. “Ooo… Aku tahu. Maunya kau aku yang harus mencari
pedang itu! Beraninya kau memerintah diriku!”
“Maafkan
saya Eyang. Saya tidak bermaksud begitu. Kalau Kiai dan Eyang memerintahkan
saya, tentu saja akan saya laksanakan. Namun saya minta waktu.”
“Maksudmu?”
“Sekarang
ini saya tengah menyelidiki satu perkara menyangkut dadu setan yang tadi saya
ceritakan. Perkara ini berkaitan dengan paderi Cina itu. Kalau pedangnya
diambil, semua urusan bisa kacau. Saya tak mungkin mendapatkan dadu setan,
tidak mampu membuka rahasia yang menyelubungi kematian beberapa sahabat dan….”
”Huss!
Ceritamu panjang amat! Aku tidak mau dengar semua itu! Yang aku tahu kau harus
menyerahkan Pedang Naga Merah ke tanganku paling lambat dalam tempo tiga puluh
hari!”
“Tiga
puluh hari Nek? Apa tidak bisa ditambah? Soalnya saya…”
“Kau kira
aku tengah berdagang apa! Kau berani menawar-nawar!”
“Maafkan
saya Eyang. Kalau pedang itu saya dapatkan, harus saya antar kemana?” Wiro
mengalah karena tahu tidak bakal menang dalam bicara dengan si nenek.
“Aku
tunggu kau di puncak Gunung Gede. Dan kau harus datang bersama Ratu Duyung!”
Kening
Pendekar 212 jadi mengkerut. “Mengapa harus dengan Ratu Duyung Nek?”
“Anak
setan! Kau ini banyak tanya sekali! Mana aku tahu! Itu kehendak Kiai Gede Tapa
Pamungkas!”
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Eh, apa
jawabmu?!” sentak si nenek.
“Ba …
baik Nek. Saya akan datang bersama Ratu Duyung.”
“Dalam
waktu paling lambat tiga puluh hari!”
“Dalam
waktu tiga puluh hari!” Wiro mengulangi ucapan gurunya.
“Nek,
saya bermaksud menyelidik kakek muka merah penunggang kuda yang membunuh
prajurit Jumena itu. Dia bisa jadi salah satu kunci semua perkara besar ini.
Mungkin kau mengenali siapa orang itu adanya?”
Sinto
Gendeng pencongkan mulut. Lalu menjawab. “Mana aku tahu! Monyet pantatnya juga
merah! Tapi bukan pembunuh prajurit itu, ‘kan?”
Selagi
Wiro merasa penasaran mendengar ucapan gurunya itu si nenek melesat dari atas
talang rumah, turun di punggung kuda hitam. Dia ambil caping bambu yang
tergantung di leher kuda lalu caping dilemparkan ke arah Wiro.
“Anak
setan! Kau sedang dicari orang! Kau perlu menutupi kepala dan wajahmu! Pakai
ini!”
“Terima
kasih Nek.” Ucap Wiro masih jengkel. Dia tangkap caping yang dilempar.
Disangkanya
sang guru akan segera pergi, ternyata nenek itu masih duduk di atas punggung
kuda hitam berkaki putih, menatap ke arahnya.
“Eyang
Sinto, kau masih ingin mengatakan sesuatu?”
“Ingat
cerita pedang merah aku jadi ingat pada guyonan orang. Kau pernah dengar
guyonan Puteri Raja dari Negeri Keling?”
Dalam
herannya Wiro gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Ada apa dengan nenek
ini. Seumur hidup baru kali ini dia bersifat aneh seperti ini. Mau bicara soal
guyonan segala.”
“Anak
setan, kau dengar ceritaku.” Kata Sinto Gendeng pula. “Ada seorang puteri
Kerajaan Keling bernama Bebinaki yang tidak mau kawin-kawin. Tapi diketahui
punya dua orang kekasih. Yaitu pemuda bernama Jahembut, seorang pengusaha yang
punya seratus lebih kapal dagang. Pemuda lainnya seorang saudagar batu permata
kaya raya, bernama Gempursingh. Satu ketika istana dilanda kehebohan. Sang
puteri diketahui berbadan dua alias hamil alias bunting.”
“Jelas
bukan aku yang melakukan, Nek.” Celetuk Wiro bergurau.
“Anak
setan! Kau tak usah bicara. Dengar saja ceritaku!” bentak Sinto Gendeng. Lalu
dia meneruskan. “Raja Bajeber dan Permaisuri Simpulkani berusaha mencari tahu
siapa yang telah membuat puteri mereka melendung begitu rupa. Tak ada yang tau.
Hik…hik. Bebinaki ditanyai tidak mau mengaku walau dipaksa berulang kali.
Akhirnya anak yang dikandung lahir. Seorang lelaki. Diberi nama Bajened. Konon
masing-masing dua kekasih sang puteri yaitu si Jahembut dan Gempursingh mengaku
bahwa Bajened adalah anak mereka, merekalah ayah sang bayi. Mereka inginkan
anak itu. Istana kembali dilanda kehebohan. Bagaimana membuktikan bahwa ayah si
Bajened ini adalah Jahembut atau Gempursingh….”
“Wah Nek,
kalau melihat nama saya kira si Gempursingh itu yang punya pekerjaan,” kata
Wiro pula memotong cerita sang guru.
“Setan,
kau memotong ceritaku saja dari tadi!” Kata Sinto Gendeng sambil delikkan mata.
Kemudian dia melanjutkan. “Akhirnya setelah satu tahun berlalu Raja dan
Permaisuri melalui seorang juru tenung berhasil menemukan satu cara untuk
mengetahui siapa sebenarnya ayah Bajened. Jahembut dan Gempursingh dipanggil ke
istana. Di halaman berumput di belakang Istana dibentang sehelai permadani
besar. Di atas permadani diletakkan sebuah permata yaitu sebagai pelambang diri
Gempursingh. Selain permata, di atas permadani juga diletakkan mainan sebuah
kapal-kapalan sebagai pelambang diri Jahembut. Bajened yang berusia satu tahun
lalu diturunkan dari gendongan, diletakkan di atas permadani. Jika anak ini
lebih dulu memegang mainan kapal-kapalan, berarti Jahembut-lah ayahnya. Tapi
jika anak itu menyentuh permata lebih dulu, berarti Gempursingh-lah bapak anak
itu. Setelah merangkak berputar-putar di atas permadani, anehnya Bajened sama
sekali tidak menaruh perhatian pada kapal-kapalan ataupun batu permata apalagi
menyentuhnya. Malah tidak terduga anak ini tinggalkan permadani, merangkak di
atas halaman berumput ke arah sebuah benda yang tergeletak di tanah dan
ternyata adalah sebilah arit pemotong rumput. Arit itu adalah milik Tajidun,
pemuda yang bekerja sebagai juru taman di istana. Berarti ayah Bajened adalah
si Tajidun itu!”
Wiro
tertawa gelak-gelak mendengar cerita sang guru.
“Wah,
tajinya si Tajidun mantap juga ya Nek. Guyonanmu bagus Nek. Ada lagi yang
lain?”
“Cukup
satu itu dulu! Aku harus pergi! Jagan lupa tugasmu menemukan Pedang Naga
Merah.”
“Baik
Nek.” Wiro lalu menyalami dan mencium tangan Eyang Sinto Gendeng. Sambil
menggaruk kepala memperhatikan kepergian sang guru Wiro berkata dalam hati.
”Ada apa sebenarnya dengan nenek itu. Dia tampak sangat gembira. Berpakaian
rapi bagus dan baru. Berdandan mencorong. Hemm… Kalau aku hubungi riwayat Kapak
Naga Geni dan Pedang Naga Suci selain Kiai Gede Tapa Pamungkas hanya ada dua
orang yang saling terkait. Yaitu Eyang sendiri dan Tua Gila. Eh, jangan-jangan
nenek ini hendak bertemu dengan kakek itu. Kekasih di masa mudanya! Ha…ha!
Pantas dia kelihatan gembira, bersolek dan berdandan seperti itu!”
Wiro
kembangkan kembali gulungan kertas yang dipegangnya.
“Sialan!”
makinya dalam hati. Gulungan kertas kemudian dibanting hingga amblas masuk ke
dalam tanah. Caping bambu lalu ditaruh di atas kepala. Sambil melangkah dia
ingat pada Ratu Duyung.
“Dimana
aku harus mencari gadis bermata biru itu. Terakhir sekali dia bersama si kakek
Setan Ngompol. Tapi waktu kakek itu muncul, dia tidak ikut.” Wiro hendak
menggaruk kepala.
Namun
tangannya terhalang oleh caping bambu. Pemuda ini memaki sendiri dalam hati
sambil ketuk-ketuk caping di kepalanya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. “Untung!
Untung Eyang Sinto tadi tidak bertanya tentang Kitab Seribu Pengobatan. Kalau
dia tahu kitab itu hilang lagi pasti aku didampratnya habis-habisan. Sial!
Siapa yang tega-teganya mencuri kitab itu?!”
Baru saja
Wiro menggerendeng seperti itu tiba-tiba dia mendengar suara bentakan-bentakan
keras diseling tawa cekikikan. Suara itu datangnya dari arah kanan dimana
terdapat sebuah bukit dialiri satu kali kecil. Baik yang membentak maupun yang
tertawa dua-duanya adalah suara perempuan. Wiro segera lari ke arah bukit.
Hanya
sesaat setelah Wiro pergi, satu bayangan samar seorang perempuan muda
berpakaian serba putih berkelebat. Dia letakkan kembangan tangan di atas tanah,
tepat dimana tadi Wiro membanting gulungan kertas. Luar biasa sekali! Gulungan
kertas yang amblas di dalam tanah itu tertarik dan melesat ke luar. Dengan cepat
perempuan samar ambil gulungan kertas, sambil duduk di satu gundukan tanah dia
membuka lalu membaca.
“Ah, dia
dalam kesulitan. Apakah aku harus menolong? Maukah dia menerima pertolonganku?”
Perlahan-lahan bayangan samar berubah utuh. Dalam kejelasan sosoknya ternyata
dia adalah Bunga alias Suci, gadis alam roh, salah seorang dari sekian banyak
gadis yang mengasihi Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajah pucat Bunga tampak sedih.
Hatinya kembali berkata. “Sejak kemunculan perempuan bernama Purnama itu, dia
sepertinya tidak lagi memperdulikan diriku. Bagaimana aku harus berbuat?
Mungkin aku harus tahu diri kalau diriku bukan pasangan yang cocok baginya. Dia
insan dunia fana. Aku mahluk dari alam roh. Mungkin aku harus berlaku pasrah…”
Bunga
usut air mata yang membasahi pipinya. Perlahan-lahan bangkit berdiri.
“Mungkin
aku tidak perlu khawatir dengan Purnama. Namun apakah Wiro sadar akan bahaya
yang mengancam yang datang dari paderi Cina itu? Seandainya aku datang
menemuinya, menceritakan semua duga dan firasatku. Apakah dia mau mempercayai?”
Bunga gelengkan kepala. Setelah menghela nafas dalam akhirnya Bunga campakkan
ke tanah kertas yang dipegangnya lalu tinggalkan tempat itu.
******************
8
PEMANDANGAN
dari lamping bukit batu itu indah sekali. Di timur membentang pedataran
berumput ditumbuhi berbagai macam bebungaan. Di sebelah utara menjulang gunung
biru. Di kaki gunung terbentang hamparan sawah dibelah oleh sebuah sungai yang
siang itu tampak berkilau oleh saputan cahaya sang surya. Ke arah barat
membentang Teluk Losari dengan air laut yang kelihatan berwarna
kehijau-hijauan.
Di satu
bagian datar lamping bukit batu yang terletak di kawasan selatan, dua orang
duduk bersila berhadap-hadapan sementara angin sejuk bertiup perlahan. Beberapa
langkah di belakang mereka terdapat sebuah mulut goa berbentuk segi empat. Yang
duduk di sebelah kanan seorang pemuda berwajah tampan berkulit putih, berambut
lebat ikal dan hitam, mengenakan baju dan celana abu-abu. Dia adalah
Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun lalu. Berkat petunjuk
dalam Kitab Seribu Pengobatan, pemuda yang dulu tubuhnya berwarna kuning pekat
serta ditumbuhi duri-duri panjang dan tajam itu kini telah mengalami
kesembuhan. Keadaannya tidak beda dengan pemuda biasa.
Perempuan
muda cantik jelita berpakaian biru yang duduk di hadapan Jatilandak saat itu
adalah Luhmintari, yang bukan lain ibu Jatilandak sendiri yang oleh Wiro
kemudian diberi nama Purnama. Sang ibu inilah yang telah menyembuhkan penyakit
serta keadaan tubuh puteranya berdasarkan cara pengobatan dalam Kitab Seribu
Pengobatan. Mereka sangat bersyukur dan merasa berhutang budi besar pada
Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah sudi meminjamkan kitab tersebut. Saat itu
ibu dan anak ini tengah berbincangbincang membicarakan beberapa hal penting.
“Ibu,
saya sudah menyelidik. Rasanya tidak ada kemungkinan bagi kita dan para kerabat
lainnya bisa kembali ke negeri Latanahsilam, ke alam seribu dua ratus tahun
silam…”
Luhmintari
terdiam sesaat lalu berucap perlahan. “Agaknya Latanahsilam hanya akan tinggal
sebagai kenangan. Yang penting sekarang adalah kita bisa hidup kerasan di tanah
Jawa ini. Lihat tempat ini. Sejuk nyaman. Pemandangan indah sekali dan ada
sebuah goa yang bagus untuk ditempati.“ Walau punya putera seusia Jatilandak
namun keadaan Luhmintari tidak beda seperti seorang gadis remaja. “Anakku,
sejak berpisah di kaki Gunung Merapi dengan gadis bernama Bidadari Angin Timur
itu, apa kau pernah bertemu lagi dengan dia?”
Jatilandak
menggeleng. “Kami hanya sempat berbuat janji. Akan bertemu lagi di air terjun
Batu putih tepat pada satu Suro. Sampai saat ini aku belum tahu dimana letak
air terjun itu dan kapan satu Suro itu.”
Luhmintari
tertawa. “Kau banyak teman. Kau bisa menanyakan pada mereka.”
“Ibu,
menurutmu bagaimanakah gadis itu?”
“Maksudmu?”
Luhmintari balik bertanya pada puteranya. “Ah, seharusnya aku tak perlu
bertanya. Kau telah jatuh hati pada si rambut pirang itu.”
Wajah
Jatilandak menjadi merah.
“Sudah,
kau tak perlu menjawab. Jawabannya sudah kulihat di wajahmu yang merah.
Menurutku dia baik-baik saja. Cantik luar biasa. Kalau kau memang bisa
mendapatkannya mengapa tidak? Namun…”
“Namun
apa Ibu?” tanya Jatilandak.
“Turut
cerita yang aku dengar gadis itu sejak lama menyukai Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng…” Waktu menyebut nama sang pendekar wajah Luhmintari tampak berseri dan
sepasang matanya berbinar cerah. Namun sesaat kemudian ada bayangan lain yang
merupakan satu ganjalan.
“Yang aku
dengar memang begitu. Namun kabarnya sahabatku Pendekar Dua Satu Dua itu
seperti tidak menyambuti perhatian Bidadari Angin Timur.”
“Dari
mana kau tahu?” tanya Luhmintari dengan pandangan mata tak berkesip.
Jatilandak
hanya tersenyum dan angkat bahu.
“Tidak
ada salahnya kau mendekati gadis itu. Tapi hati-hati dan tahu dirilah. Kita ini
bukan orang-orang yang berasal dari negeri ini. Mereka semua tahu. Di depan
kita mereka semua bersikap baik. Tapi di lubuk hati mereka mana mungkin kita
menyelami. Bisa saja mereka menganggap tingkatan kita berada di bawah mereka.
Selain itu Bidadari Angin Timur tahu keadaan dirimu sebelumnya. Ini bisa
merupakan ganjalan. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan saja mereka memang
tulus semua.”
“Ibu, dua
hari aku beada di sini bersamamu aku sering melihat Ibu lebih banyak melamun.
Apakah Ibu merasa kesepian atau tengah memikirkan sesuatu?”
Luhmintari
menghela nafas dalam. “Memang banyak yang menjadi pikiran dalam benakku….”
“Memikirkan
seseorang?”
Perempuan
cantik dari Latanahsilam it tak menjawab.
“Ibu tak
mau berterus terang padaku.”
“Ada
sesuatu yang aku risaukan.”
“Kalau
Ibu mau mengatakan mungkin aku bisa membantu.” Kata Jatilandak pula.
Luhmintari
kembali menghela nafas dalam. Lalu berkata. “Sejak beberapa waktu belakangan
ini ada satu mahluk yang selalu mengikuti diriku. Dia muncul secara tiba-tiba.
Terkadang dia berbuat jahil dan mengucapkan kata-kata kotor. Terkadang dia
seolah mampu mengacaukan jalan pikiranku.”
“Ibu tahu
siapa orangnya?”
“Jika dia
memang orang dari negeri ini, sudah sejak lama dapat aku ketahui. Namun
ternyata aku mengalami kesulitan menjajagi. Hal ini memberi pertanda bahwa
mahluk itu berasal dari negeri Latanahsilam. Pernah satu kali aku menyidik
dengan ilmu Penciuman Nafas Sepanjang Badan. Dari baunya aku tahu dia memang
berasal dari negeri leluhur kita. Jahatnya, dia tidak mau menampakkan diri.
Pengecut! Aku tidak tahu sakit hati apa yang ada pada dirinya hingga dia
berlaku jahil padaku!”
“Mahluk
itu, laki-laki atau perempuan?” tanya Jatilandak.
“Perempuan,”
jawab Luhmintari.
Jatilandak
berpikir dan berusaha mengingat-ingat. “Setahuku ada seorang mahluk yang
disebut gadis dari alam roh. Namanya Bunga. Aku mengenalnya ketika kami
bersama-sama menumpas komplotan yang bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Dari pembicaraan para sahabat aku ketahui bahwa gadis alam roh itu
adalah kekasih Pendekar Dua Satu Dua. Jangan-jangan dia yang selama ini
menjahilimu.”
“Aku tak
berani berburuk sangka,” jawab Luhmintari alias Purnama.
“Namun
aku menyangsikan. Karena jika dia memang mahluk alam roh dari dunia di sini,
aku pasti
bisa
melihat bahkan mencekalnya. Tapi mahluk yang sering mengikutiku ini sulit untuk
dilihat. Pertanda dia bukan dari alam sini. Aku sudah yakin dia berasal dari
Negeri Latanahsilam.”
“Biar Ibu
merasa aman aku akan mendampingi Ibu sampai beberapa lama. Sampai kita bisa
mengetahui siapa adanya mahluk itu. Aku bersumpah untuk menghabisinya jika dia
sampai mencelakai Ibu.”
“Terima
kasih kau mau berbuat begitu. Tapi Ibu tidak merasa takut. Hanya agak
terganggu. Tidak tahu apa maunya mahluk itu."
"Selain
mahluk jahil itu, apakah ada hal lain yang menjadi pikiran Ibu?" tanya
Jatilandak pula. "Aku merasa perlu berterus terang padamu mengenai satu
hal," Jatilandak tatap wajah ibunya. Coba menerka apa yang hendak
dikatakan Luhmintari.
"Sejak
pertama kali bertemu di negeri ini dengan pemuda bernama Wiro itu, Ibu merasa
seolaholah…." Luhmintari tidak bisa meneruskan ucapannya. Jatilandak
pegang tangan Luhmintari. "Ibu menyukai pemuda itu?" Sang putera
langsung menduga.
"Lebih
dari menyukai." Jawab sang ibu polos.
"Ibu
mengasihinya? Mencintainya?" Luhmintari menatap ke arah laut hijau di
kejauhan lalu perlahan anggukkan kepala. Jatilandak terdiam untuk beberapa
jurus lamanya. "Ibu tahu, mencintai pendekar itu akan banyak kendala dan
ganjalan yang akan Ibu hadapi. Yang paling berat karena begitu banyak gadis
cantik menyukainya."
"Aku
tahu tahu hal itu. Namun apakah Wiro menyukai, maksudku mengasihi mereka?"
"Apakah
Wiro mengetahui kalau Ibu mencintainya?" "Walau sehari-hari dia
kelihatan bersikap aneh, terkadang lugu, sering berlaku konyol bahkan kurang
ajar, namun Ibu tahu dia seorang yang punya perasaan dalam. Ibu yakin dia tahu
kalau Ibu menyukainya. Cuma, entahlah. Rasanya seperti Ibu dia juga punya
banyak kendala.” Luhmintari menatap ke langit. "Jatilandak, sang surya
sudah tinggi. Ibu harus pergi dulu. Apakah kau akan tetap di sini sampai Ibu
kembali?"
"Kalau
Ibu tak mau ditemani aku ingin pergi mencari Bidadari Angin Timur. Aku tak bisa
menunggu sampai hari yang disebut Satu Suro itu."
"Kalau
begitu, baiknya kita berangkat sekarang saja. Di kaki bukit kita
berpisah." Ibu dan anak lalu tinggalkan bukit batu. Di kaki bukit batu
Jatilandak pergi ke arah timur sedang Luhmintari menuju ke utara. Setelah
berjalan seorang diri cukup jauh, Luhmintari merasa ada saputan angin dingin di
kuduknya.
"Hemm…mahluk
jahil kurang ajar itu muncul lagi. Sekali ini agaknya aku harus menghajarnya.
Biar dia tahu rasa!" Di kejauhan Luhmintari melihat ada sebuah bukit. Dia
segera lari ke arah bukit. Turut penciumannya serta pendengaran halus tajam
yang dimilikinya dia tahu kalau mahluk tadi masih terus mengikuti. Begitu sampai
di puncak bukit, Luhmintari hentikan langkah bertolak pinggang lalu keluarkan
ucapan keras.
"Banyak
mahluk dan manusia pengecut di muka bumi ini! Tapi terus-terusan menjadi
pengecut adalah hal memalukan! Mengapa kau tidak berani unjukkan diri! Apa
maumu sebenarnya?!" Ucapan keras Luhmintari disambut oleh suara gelak tawa
perempuan.
"Mahluk
bernama Luhmintari yang konon kini bernama Purnama! Hik… hik! Kau tidak layak
melihat ujudku!" Ibu Jatilandak ini terkesiap. Dalam hati dia berkata.
"Hanya orang-orang Latanahsilam yang tahu nama asliku! Semakin kuat
keyakinanku kalau mahluk jahil ini benar-benar berasal dari Latanahsilam!"
"Sombong
sekali! Atau memang benar-benar pengecut!" "Kau boleh memaki dari
pagi sampai malam! Aku tidak akan melayani permintaanmu!"
"Dasar
pengecut! Mengapa aku tidak layak melihat ujudmu?! Takut ketahuan siapa diri
buruk dan busuk" Luhmintari mengejek.
"Hik
… hik! Karena aku masih perawan gadis asli. Sedang kau perempuan yang pernah
kawin dan melahirkan! Kau hanya gadis jejadian!"
Paras cantik
Luhmintari alias Purnama bersemu merah.
"Mahluk
pengecut! Ujudmu pasti buruk! Aku masih tetap seorang gadis walau sudah
menikah! Itu hukum dan kenyataan di Latanahsilam! Kau sendiri apa pernah
menikah? Tampangmu pasti buruk. Buktinya tidak ada pemuda di Latanahsilam yang
suka padamu! Kau boleh sombong dengan kegadisanmu. Tapi kau lupa kau bukan lain
hanya seorang perawan tua! Aku tahu sekarang! Kau terpesat ke negeri ini karena
ingin mencari laki! Tapi tidak ada yang mau! Itu sebabnya kau jadi gadis gatal,
dengki menggangguku!"
Sambil
bicara Luhmintari kerahkan hawa sakti ke mata serta perdayakan ilmu Nafas
Sepanjang Badan. Dia berusaha untuk melihat siapa adanya mahluk dihadapannya
itu. Namun dia hanya melihat bayangan sangat samar. Seorang perempuan
berpakaian putih, berambut panjang hitam tergerai lepas.
Terdengar
suara orang meludah lalu teriakan marah. Mahluk samar goyangkan kepala.
"Wuttt!”
Rambut
hitam melesat, memapas tak ubah seganas pedang tajam.
Luhmintari
cepat melompat mundur. Pohon kecil di sampingnya terbabat buntung dan kepulkan
asap.
"Mahluk
jahat pengecut! Bukan kau saja yang bisa menyerang!" teriak Luhmintari
lalu goyangkan dua bahunya. Saat itu juga dari tubuhnya memancar keluar cahaya
biru bergemerlap. Mahluk samar merasa ada satu kekuatan dahsyat menerjang ke
arahnya. Dia coba bortahan sambil dorongkan dua tangan.
"Bumm!
Bummm!"
Dua
ledakan dahsyat menggelegar di puncak bukit. Mahluk samar menjerit keras, Sosok
gaibnya terpental ke bawah bukit namun secepat kilat dia melesat kembali ke
arah lawan. Luhmintari sendiri saat itu jatuh berlutut di tanah, wajah seputih
kertas dan rambutnya yang tadi tergulung kini terlepas panjang menjela
pinggang.
"Luhmintari!
Perempuan tolol pemimpi di siang bolong! Tidak tahu ;malu! Kau tidak akan pernah
mandapatkan pemuda itu! Kau tak akan pernah kawin untuk kedua kali! Yang
menjadi nasibmu adalah kematian untuk kedua kali! Terima ajalmu!"
Dua
kilatan cahaya pulih berkiblat di puncik bukit. Bersamaan dengan itu terdengar
suara menggelegar. Langit laksana mau runtuh, bukit seperti hendak terbongkar.
Luhmintari berteriak lantang. Cahaya biru bergulung keluar dari tubuhnya
menyambut hantaman dua kilatan cahaya putih. Untuk beberapa lama di puncak
bukit itu terlihat satu pemandangan luar biasa. Gulungan cahaya biru saling
dorongmendorong dengan dua cahaya putih. Nyala api memercik mengerikan. Dua
kaki Luhmintari bergetar dan perlahan-lahan terdorong ke belakang. Gadis dari
Latanahsilam ini lipat gandakan tenaga dalam. Namun hekkk! Darah menyembur dari
mulutnya.
Mahluk
samar tertawa panjang.
"Luhmintari!
Kematianmu sudah di depan mata!"
Dua larik
cahaya putih memancar terang sementara cahaya biru yang keluar dari tubuh
Luhmintari berubah redup. Sesaat lagi tubuh Luhmintari akan terpental hancur
luluh tiba-tiba berkelebat seorang berpakaian putih, mengenakan caping bambu.
Luhmintari kemudian mendengar suara seseorang berkata. Di saat yang sama dia
merasa ada dua telapak tangan hangat menempel di punggungnya.
"Purnama,
kerahkan tenagamu. Kita serang bersama-sama!"
"Wiro!"
ucap Luhmintari alias Purnama. Mengenali suara itu, Luhmintari seolah mendapat
satu kekuatan luar biasa. Begitu dia merasa ada hawa hangat memasuki tubuhnya
lewat punggung yang menandakan ada aliran tenaga dalam luar biasa hebat membantunya,
gadis dari negeri 1200 tahun silam Ini goyangkan bahu lalu pukulkan dua tangan.
Satu mengarah lurus ke depan, satunya ke udara.
"Blaar!
Blaaar!"
Bukit
laksana dihantam halilintar. Daun-daun pepohonan meranggas gugur dan jatuh ke
tanah dalam keadaan hangus kehitaman. Belasan lobang tampak terkuak di tanah
bukit. Di udara yang mendadak redup terdengar jeritan perempuan. Lalu kutuk
serapah. "Luhmintari! Kau tak akan pemah bisa mengalahkanku! Aku akan
selalu menghantuimu kemana kau pergi! Kau tak akan pernah mendapatkan pemuda
itu! Tidaakkkk!”
Luhmintari
balikkan tubuh. Si cantik ini tenggelam dalam pelukan hangat Pendekar 212 Wiro
Sableng. Darah yang mengucur di bibirnya membasahi baju putih sang pendekar.
Dia batuk-batuk beberapa kali. Suaranya agak tersendat ketika menyebut nama
pemuda itu.
"Wiro.
Kau mengenakan caping…."
Wiro
mendudukkan gadis itu di tanah sementara udara perlahan mulai cerah. Setelah
menyeka darah di dagu Purnama Wiro membuka caping lalu bertanya. “Apa yang
terjadi? Aku lihat kau berkelahi seperti orang kesurupan. Aku tidak melihat
lawanmu. Aku coba melihat dengan ilmu menembus pandang. Tapi tidak berhasil.
Tadi aku hanya sempat mendengar teriakannya."
"Wiro,
aku juga tidak tahu pasti siapa mahluk itu. Dia sejak lama mengikuti diriku
tapi tak pernah berani unjukkan diri…" "Pasti mahluk dari alam
gaib." "Ya, dari Latanahsilam," kata Luhmintari. "Kau tidak
bisa mengenali?"
"Sulit.
Terlalu samar. Tadi aku sempat melihat bayangan sosok seorang perempuan pakaian
putih berambut hitam panjang."
"Kau
kenal Bunga?" tanya Wiro.
"Aku
pernah melihatnya. Tapi aku yakin bukan dia mahluknya. Karena tadi setelah kita
hantam bersama ujudnya sempat kulihat sekilas berubah seperti sosok seorang
nenek tua. Tapi sangat samar. Tak bisa kukenali. Wiro, aku senang kau datang.
Aku bahagia kau mau menolong. Wiro, bajumu kotor oleh darahku…"
Pendekar
212 tersenyum. Merangkul hangat Luhmintari lalu bertanya. "Mahluk itu tadi
keluarkan ucapan bahwa kau tidak akan pernah mendapatkan pemuda itu. Pemuda
siapa maksudnya?"
Purnama
surukkan wajah cantiknya di dada Pendekar Wiro Sableng. Dia hanya bisa
menggeleng perlahan. Namun dalam hati dia bekata. "Kau tahu siapa adanya
pemuda itu Wiro. Kau tahu. Aku tengah memeluknya erat-erat saat ini…."
"Purnama,
mahluk tadi mungkin memendam satu kemarahan. Mungkin kau mengasihi seorang
pemuda yang juga dikasihinya. Dan dia merasa kau telah merebut kekasihnya
itu."
Purnama
terdiam. Namun hatinya tak tahan lagi. Sudah saatnya dia harus berterus terang.
"Wiro,
memang itu agaknya yang kejadian. Kau tahu, kaulah pemuda yang jadi rebutan
itu! Apakah selama ini kau tidak menyadari kalau aku….”
Purnama
tidak sanggup meneruskan ucapannya. Desah tangis memutus kata-katanya. Murid
Sinto Gendeng sendiri saat itu masih merangkul tubuh Purnama dengan tangan
kanan sementara tangan kiri menggaruk kepala.
"Purnama,"
bisik Pendekar 212. "Kita baru beberapa kali bertemu. Bagaimana mungkin….
Ah, aku mengerti. Kau telah beberapa kali menolongku, menyelamatkan
jiwaku."
"Barusan
kau telah melakukan hal yang sama," kata Purnama pula.
Wiro
belai rambut panjang hitam dan harum si gadis. Lalu berkata. "Purnama, kau
masih ingat paderi Cina bernama Nionio Nikouw itu?"
Purnama
angkat kepalanya dari dada Wiro, menatap wajah si pemuda sejurus. "Ada apa
dengan paderi itu?"
Wiro
melihat ada bayangan rasa cemburu di wajah cantik jelita itu. Sambil memegang
dagu Purnama ini dia berkata. "Paderi itu membekal sebilah pedang bernama
Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah. Aku mendapat tugas dari guruku Eyang
Sinto Gendeng untuk mengambil senjata mustika itu…"
"Mengapa?"
"Pedang
itu sebenarnya bukan milik Nionio Nikouw. Tapi milik para sepuh alam gaib rimba
persilatan tanah Jawa."
"Aku
tidak mengerti."
Wiro lalu
menceritakan riwayat Pedang Naga Merah yang oleh Naga Geni dan Naga Suci diberi
nama Putera Langit
"Kisah
luar biasa…" kata Purnama begitu Wiro mengakhiri penuturannya.
"Rasanya tidak akan mudah bagimu untuk mendapatkan pedang itu. Paderi itu
tidak akan menyerahkan pedang begitu saja. Pedang itu sama dengan
nyawanya."
"Aku
tahu kesulitan itu. Tapi aku menerima tugas Eyang Sinto yang harus dilaksanakan.
Apapun yang terjadi."
"Tugasmu
bertambah berat. Karena bukankah sampai saat ini belum ketahuan dimana
beradanya Kitab Seribu Pengobatan? Belum diketahui siapa pencurinya"
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. "Kepalaku cuma satu, tangan hanya dua. Bagaimana
aku harus melaksanakan semua ini?"
Purnama
tersenyum. "Kepalamu memang satu, tangan cuma dua. Tapi otakmu ada seribu.
Kau punya banyak akal."
Wiro
tertawa gelak-gelak lalu memegang bahu Purnama dan berbisik. "Kau mau ikut
mencari paderi Cina itu?”
Wajah
Purnama berseri-seri.
"Wiro
aku pernah bilang selama kau tidak menolak aku akan pergi kemana kau pergi.
Lagi pula lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan itu sebagian adalah tanggung jawab
kelalaianku. Kau tahu dimana mencari paderi itu?"
"Dia
pernah bercerita tentang seorang sahabat di masa kecil. Tinggal di Semarang.
Cerita itu juga aku dengar dari Eyang Sinto. Sahabat kecil yang sekarang
tentunya sudah jadi pemuda itu bernama Bayumurti, salah seorang dari empat
Kepala Pengawal Kerajaan Timur.”
"Kalau
begitu kita pergi ke Semarang."
"Tidak
perlu. Aku mendengar kabar Bayumurti telah diangkat menjadi Adipati Brebes,
mengganti Karta Suminta.”
"Berarti
kita menyelidik ke Brebes." Kata Purnama pula. Wiro mengangguk.
Tiba-tiba
di lereng bukit sebelah timur ada kilatan cahaya merah. Mula-mula hanya berupa
titik, kemudian melesat ke arah mereka makin besar dan makin besar.
"Wusss!"
Wiro
cepat menarik pinggang Purnama. Keduanya jatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan ke arah lereng bukit sebelah barat.
"Bummm!”
Puncak
bukit laksana ditebas pedang raksasa. Bagian atas gundul berhamburan ke udara.
Wiro dan Purnama sama lepaskan nafas lega. Keduanya bersihkan tanah yang
mengotori tubuh dan pakaian.
"Pasti
mahluk perempuan kurang ajar itu!" kata Purnama, "Dia tak berani
mendekat. Mengirimkan serangan dari jauh! Pengecut!"
“Kita
harus berhati-hati. Kita berdua jadi incarannya,” kata Wiro pula lalu
meletakkan caping di kepalanya.
"Baru
sekali ini aku lihat kau memakai caping. Takut kepanasan?"
"Adipati
Losari membuat selebaran. Menangkap diriku hidup atau mati. Imbalannya lima
ringgit
emas. Aku
terpaksa harus menutupi sebagian wajah jelekku," jawab Wiro pula.
"Wiro,
kau ingin aku bersamamu seperti ujudku saat ini. Atau sembunyi kembali di alam
gaib?" tanya Purnama.
"Hemmm.
aku rasa aku lebih suka melihat wajahmu.”
"Begitu?"
Wiro
mengangguk.
"Dess!"
saat itu juga ujud Purnama berubah. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan hanya
bagian kepala, melayang di samping Wiro.
"Purnama,
apa-apaan ini?!"
Wajah
jelita itu tertawa. "Tadi kau bilang lebih suka melihat wajahku! Nah
sesuai ucapanmu tubuhku mulai dari leher sampai ke kaki aku sembunyikan."
Wiro
tertawa gelak-gelak. Dicubitnya pipi merah Purnama hingga gadis ini terpekik,
"Maksudku aku suka melihat wajah dan tubuhmu yang utuh. Kalau
sepotong-sepotong seperti ini orang yang melihat bisa heboh!”
Purnama
tertawa lagi.
"Dess!"
Tubuhnya
kembali utuh mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Nah,
begini?" tanya Purnama sambil berdiri bertolak pinggang dan membalikkan
tubuh beberapa kali.
Wiro
tersenyum. "Ya, seperti itu. Tapi tunggu. Harus aku periksa dulu.
Jangan-jangan tubuhmu hanya angin melompong!" Wiro lalu ulurkan dua tangan
memegang kepala, turun memegang pipi. "Tidak, kepalamu bukan angin….” Dua
tangan Wiro turun lagi ke bawah, memegang pundak. Ketika dua tangan itu turun
hendak meraba dada, padahal Wiro Cuma pura-pura, Purnama langasung mencubit
perut Pendekar 212 hingga pemuda ini melintir terbungkuk kesakitan. Purnama
tertawa gelak-gelak lalu tarik tangan Wiro.
******************
9
BAYUMURTI,
Adipati Brebes pengganti Karta Suminta yang baru saja mengadakan perjalanan
jauh, memasuki gedung Kadipaten dengan sekujur badan teasa letih. Di ruang
tengah gedung dia membasahi muka dengan air pancuran kecil di samping kolam
yang baru dibuat. Sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan
Bayumurti masuk ke dalam kamar, langsung merebahkan diri di atas ranjang.
“Raden,
apakah saya boleh menyalakan lampu minyak dalam kamar?” tanya seorang pelayan
yang berdiri di ambang pintu.
“Tidak
usah. Tutup saja pintunya. Sisakan sedikit celah agar cahaya dari luar masuk.”
Pelayan
melakukan apa yang dikatakan Bayumurti lalu pergi.
Hampir-hampir
tertidur, tiba-tiba Adipati ini menyadari bahwa dia tidak sendirian di dalam
kamar itu. Cepat Bayumurti bergerak bangun. Memandang seputar kamar. Ternyata
benar! Di salah satu sudut ruangan yakni di ujung kiri ranjang ada sebuah kursi
kayu. Di atas kursi duduk seorang yang meskipun gelap masih dapat dikenali
bahwa dia adalah perempuan. Apalagi ada aroma bau wewangian keluar dari tubuh
dan pakaiannya.
“Siapa?!”
Bayumurti
bertanya. Suaranya datar tanda dia dapat menguasai diri dalam keterkejutan.
Namun tangannya langsung mencekal gagang sebilah keris yang terselip di
pinggang.
“Nyalakan
lampu. Kau akan melihat siapa diriku.” Perempuan di atas kursi menjawab.
Suaranya halus dan merdu.
Bayumurti
segera menyalakan sebuah lampu minyak yang terletak di atas meja batu pualam di
dinding kiri kamar. Begitu keadaan menjadi terang Bayumurti melihat yang duduk
di atas kursi adalah seorang perempuan mengenakan pakaian biru, rambut hitam
dilepas bagus namun wajahnya tertutup sehelai kain biru. Di pangkuannya
melintang sebilah pedang bersarung perak berlapis emas.
“Luar
biasa! Seorang perempuan bercadar mampu masuk ke dalam gedung Kadipaten,
menembus kamar tidurku tanpa seorang penjagapun mengetahui!”
Perempuan
yang duduk di kursi tertawa perlahan.
“Kau tak
mengenali diriku. Kau tidak mengenali suaraku. Tidak heran. Berapa tahun kita
tak pernah bertemu? Lebih dari dua belas tahun.”
“Tunggu,
sebelum kau meneruskan bicara, harap buka cadar biru penutup wajahmu. Aku harus
tahu dulu siapa kau!”
“Bayumurti,
apa kau tidak ingin melakukannya sendiri? Seperti sewaktu kita masih kecil,
bermain bersama teman-teman. Kau jadi penjahat, aku jadi puteri culikan…"
Adipati
Brebes itu tertegun seketika. Lalu dia melangkah mendekat perampuan itu. Tangan
kiri melepas cadar biru sementara tangan kanan masih tetap memegang huluk keris
di pinggang.
Bayumurti
melihat satu wajah cantik sekali, berkulit putih, bermata bening bagus, hidung
kecil mancung, bibir merah menyeruak senyum.
"Kau
bisa mengingat siapa aku sekarang?"
Bayumurti
letakkan kain biru penutup wajah di tepi tempat tidur. Dia coba mengingat-ingat
tapi tidak berhasil. Lalu dia gelengkan kepala.
"Dua
belas tahun silam. Kau memberikan sebuah kenang-kenangan padaku. Sebuah pedang
kecil. Menyerupai mainan. Panjang sejengkal. Kau ingat sekarang?"
Sepasang
alis mata tebal Bayumurti naik ke atas. Dua mata menatap tak berkesip.
Tiba-tiba mulutnya berseru.
"Loan
Nio! Sulit aku percaya kalau ini benar-benar kau!"
Bayumurti
melangkah maju. Dua tangan diulurkan hendak memeluk tapi tak jadi. Dua tangan
ditarik kembali. Perempuan cantik di atas kursi letakkan pedang di meja di
samping kursi lalu berdiri. Kini dia justru yang ulurkan tangan merangkul
lelaki muda itu. Pelukannya erat hangat dan lama. Darah Bayumurti jadi
bergelora. Dia membalas pelukan itu lebih kencang dan lebih hangat.
"Dua
belas tahun berpisah, aku tidak pernah melupakanmu," bisik si cantik yang
bukan lain adalah Kiang Loan Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Tampaknya
dia tidak akan cepat-cepat melepaskan pelukannya.
"Loan
Nio, aku juga selalu ingat dirimu. Namun sejak kau pergi sama sekali tidak ada
kabar. Tahutahu saat ini kau muncul seolah bidadari yang turun dari langit Ah,
kau memang bidadari. Sejak kecil dulu aku sering memanggilmu bidadari.
Ingat?"
Loan Nio
tersenyum, anggukkan kepala berulang kali.
"Bagaimana
ceritanya kau tiba-tiba muncul dan tahu aku di sini?"
"Aku
akan cerita. Mengenai dirimu, kabar seperti angin. Menebar cepat. Ketika
pertama kali aku menginjakkan kaki di Losari, aku menyelidik dan tahu kalau kau
telah menjadi seorang Kepala Pasukan di Kerajaan Timur. Kemudian aku menyirap
kabar baru bahwa kau telah diangkat menjadi Adipati di kota ini, menggantikan
Adipati lama yang tewas dibunuh." Perlahan-lahan Loan Nio lepaskan
pelukannya. "Ada satu hal yang perlu aku beri tahu. Kau mungkin tidak
percaya."
Loan Nio
melangkah ke meja kecil untuk mengambil pedang. Senjata ini dicabut dari sarung
hingga kamar itu menjadi terang oleh kilauan cahaya merah.
"Senjata
luar biasa!" ucap Bayumurti kagum.
"Pedang
ini adalah pedang kecil yang dulu kau berikan padaku sebagai hadiah. Waktu aku
dan orang tuaku kembali ke Tiongkok.”
"Apa…
?" Tentu saja Bayumurti tidak bisa percaya.
"Kau
tidak percaya, aku juga tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri
kenyataannya. Setelah bertahun-tahun di tanganku, pedang ini berubah besar dan
panjang serta memiliki kesaktian luar biasa. Aku sendiri terkejut setengah
mati. Aku tak berani menceritakan pada orang tuaku. Tidak pada siapapun. Juga
tidak pada suhuku di Perguruan Siauwlim.”
"Ah,
kau telah menjadi seorang pendekar kangouw rupanya!" (kangouw = rimba
persilatan Tiongkok)
"Bayu,
pedang itu bukan senjata sembarangan. Mungkin tidak ada duanya di dunia ini.
Karena gagangnya berbentuk kepala naga dan badan pedang memancarkan cahaya
merah, aku memberinya nama Pedang Naga Merah atau Ang Liong Kiam."
"Aku merasa bersyukur telah menemukan dan memberikannya padamu." Kata
Bayumurti pula.
"Seumur
hidup tidak akan putusnya aku merasa berterima kasih padamu," jawab Loan
Nio Nikouw.
"Loan
Nio, apakah kau datang ke sini bersama orang tuamu?" Paderi perempuan itu
sarungkan kembali pedang sakti.
"Aku
datang sendiri. Membekal tugas dari Wakil Ketua Perguruan." Loan No diam
sebentar seperti berpikir. Lalu dia berkata. "Bayu, kau harus tahu kalau
aku sekarang sudah menjadi seorang paderi."
“Paderi?”
Loan Nio Nikouw mengangguk lalu gerakkan tangannya ke kepala, menarik lepas
rambutnya yang hitam panjang yang ternyata rambut palsu, menyibak kepalanya
yang botak. Bayumurti terdiam sesaat. Ketika Loan Nio hendak mengenakan rambut
palsunya kembali Adipati ini mencegah.
"Jangan,
aku suka melihatmu tanpa rambut itu. Kau cantik sekali Loan Nio. Ah…"
"Kau
senang diriku tanpa rambut?" tanya sang paderi. Bayumurti mengangguk. Loan
Nio tertawa.
"Loan
Nio, kau tidak rikuh kita berdua-dua dalam kamar ini? Apa lagi sekarang kau
telah menjadi seorang paderi?" Paderi perempuan itu gelengkan kepala.
Malah dia kemudian tutupkan pintu kamar yang masih sedikit terbuka dan
menguncinya sekaligus.
"Aku
rindu padamu. Malam ini aku akan tidur di sini sampai menjelang pagi.
Boleh?" Bayumurti kembali dibuat terkejut mendengar ucapan itu hingga dia
tidak bisa menjawab. Loan Nio Nikouw duduk ke kursi.
"Bayu,
selain menemuimu karena rindu, aku juga butuh bantuanmu. Semoga kau bisa
menolong."
"Apapun
permintaanmu aku pasti akan berusaha membantu. Ada apa Loan Nio?"
"Aku
ditugaskan mencari sepasang benda yaitu dua buah dadu yang disebut sebagai dadu
setan."
"Aku
pernah mendengar tentang dua buah dadu itu. Kabarnya keberadaan dua dadu itu di
tanah Jawa telah menyebabkan banyak orang menemui ajal. Malah ada kabar
mengatakan bahwa kematian Adipati Brebes Karta Suminta ada sangkut pautnya
dengan benda itu. Beberapa tokoh rimba persilatan terlibat. Termasuk Pendekar
Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia dituduh sebagai pembunuh Karta Suminta.
Selebarannya sebagai orang buronan ada dimana-mana."
Disebutnya
nama Wiro membuat Loan Nio Nikouw terdiam. Menurut Liok Ong Cun, pendekar itu
telah merusak kehormatannya di goa. Dan yang sangat merisaukan hatinya
seharusnya dia sudah datang bulan beberapa hari lalu. Namun sampai hari itu hal
itu tidak terjadi. Selain itu perutnya kerap kali terasa mual. Tanda-tanda yang
menakutkan. Kalau dia sampai hamil, berarti celaka besar menghadang dirinya.
"Bayu,
aku ingin bercerita lebih banyak. Namun tubuhku terasa letih. Bolehkah aku
beristirahat dan tidur di ranjang itu untuk beberapa ketika?"
"Silahkan, jika kau mau. Aku akan keluar sambil berjaga-jaga."
"Tidak, tetap saja di sini. Aku ingin tidur dalam pelukanmu."
Jantung
Bayumurti jadi berdebar. Darahnya memanas.
"Bayu,
ingat waktu kau mencium aku pertama kali…? Aku tidak pernah melupakan hal
itu."
"Itu
terjadi waktu kita main-mainan di masa kecil. Waktu itu permainan kita kau jadi
anak, aku jadi ayah.” jawab Bayumurti. Diam-diam walau hasratnya menggelora
namun ada kegelisahan muncul di hati Adipati Brebes yang baru ini. "Loan
Nio, kau tidurlah. Aku keluar sebentar…"
"Tidak,
jangan tinggalkan aku Bayu…" Loan Nio pegang tangan lelaki muda itu
kencang sekali. "Kemarilah…"
Bayumurti
tetap berdiri di tempatnya. "Apa yang terjadi dengan gadis ini? Dia muncul
secara tibatiba. Bicara tentang dadu setan. Lalu sikapnya yang sangat berani.
Aku tahu di masa kanak-kanak dulu dia sangat suka dan sayang padaku. Tapi kini
aku dan dia sudah sama-sama dewasa. Harus ada batasan. Aku khawatir…."
"Bayu,
aku kedinginan…."
"Aku
akan mengambilkan selimut untukmu."
"Aku
tidak butuh selimut. Aku butuh dirimu. Peluk aku Bayu. Hanya tubuhmu yang bisa
memberi kehangatan pada diriku. Aku menyukaimu sejak masa kanak-kanak dulu.
Apakah kau tidak menyukaiku." Loan Nio Nikouw tarik tangan Bayumurti. Kali
ini lebih kuat hingga keduanya jatuh tergolek di atas ranjang.
"Loan
Nio, suka di masa kanak-kanak tidak bisa disamakan dengan suka di masa
dewasa."
"Aku
tidak ingin mendengar ucapan seperti itu," kata Loan Nio Nikouw pula
sambil dua kakinya disilang merangkul pinggang Bayumurti.
Sampai di
sini, walau nafsu mulai membakar namun rasa takut lebih kuat berkecamuk.
Bayumurti lepaskan dirinya dari pelukan tangan dan rangkulan kaki Loan Nio
Nikouw.
"Loan
Nio, ada sesuatu dalam dirimu. Mungkin semua yang kau lakukan dan kau ucapkan
terjadi diluar sadarmu."
Paderi
perempuan itu tertawa.
"Bayu,
dengar baik-baik. Aku suka padamu. Jika kau tidak suka padaku, buruk sekali
nasib diriku."
"Aku
juga suka padamu, Loan Nio. Tapi bukan berarti kita bisa berbuat kehendak hati
kita."
"Bayu,
aku ingin malam ini milik kita berdua."
"Loan
Nio, maafkan aku…"
"Kau
menolak. Berarti aku harus membunuh manusia satu itu!"
Loan Nio
bangkit dan turun dari atas ranjang.
"Kau
hendak membunuh siapa, Loan Nio? Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya
Bayumurti heran. "Sikap dan tutur bicaramu aneh."
"Dari
kecil aku memang aneh! Apa kau baru tahu sekarang?" jawab Loan Nio sambil
tersenyum. Dia melangkah ke jendela. Membuka daun jendela lalu sekali melompat
tubuhnya melesat keluar kamar, lenyap di kegelapan halaman samping gedung
Kadipaten.
Bayumurti
tidak berusaha mengejar. Dia hanya berdiri di belakang jendela memperhatikan
kepergian Loan Nio Nikouw sambil hati masih bertanya-tanya. "Ada apa
dengan gadis itu. Aku merasa ada suatu maksud yang coba disembunyikannya di
balik semua sifat dan sikapnya tadi. Atau mungkin ada seseorang mengirimnya
untuk menghancurkan diri dan kedudukanku?"
******************
10
DALAM
perjalanan ke arah timur Wiro dan Purnama melewati kawasan bukit dan jurang
batu yang cukup terjal. Kusir gerobak yang mereka sewa tidak berani memacu dua
kuda penarik gerobak terlalu cepat. Hampir setengah harian berada di kawasan
itu akhirnya mereka memasuki satu jalan menurun ditumbuhi banyak pohon kelapa.
Pemandangan di bawah sana indah sekali. Di sebelah barat tampak laut luas
kehijauan.
"Aku
haus." Kata Pendekar 212 lalu minta kusir gerobak berhenti dekat sebatang
pohon kelapa yang banyak buahnya dan masih muda-muda. Wiro tepuk bahu kusir gerobak
sedang tangannya yang lain menunjuk ke arah buah kelapa.
"Raden,
kalau Raden menyuruh saya mengambil buah kelapa, maaf saja. Saya tidak bisa
memanjat." Kata kusir gerobak pula, seorang lelaki berusia setengah abad.
"Kalau
begitu aku pinjam golokmu," kata Wiro.
Kusir
gerobak loloskan golok dari sarung yang terselip di pinggang, serahkan pada
Wiro. Setelah mengusap badan golok beberapa kali, Wiro lemparkan senjata itu ke
atas, ke arah pohon kelapa yang banyak buahnya.
"Crass!"
Golok
menabas. Tiga buah kelapa melayang jatuh. Golok berputar di udara. Wiro
gerakkan tangan. Golok melesat turun dan sesaat kemudian sudah berada dalam
genggaman tangan kirinya. Wiro serahkan golok pada kusir gerobak. "Tolong
dikupas kelapanya. Selesai minum kita lanjutkan perjalanan."
Setelah
puas meneguk air kelapa rombongan siap melanjutkan perjalanan. Namun mendadak
dua kuda penarik gerobak meringkik keras dan angkat dua kaki depan ke atas,
membuat gerobak hampir saja terguling.
Bersamaan
dengan itu terdengar suara orang berkata. “Tenang … tenang. Kuda penarik
gerobak! Tidak perlu takut! Kalian ‘kan tidak mencuri kelapaku!"
Dua kuda
mendadak jadi jinak lalu turunkan kaki masing-masing.
Wiro
memberi isyarat pada Purnama. "Ada orang aneh menghadang gerobak,"
bisik Wiro. Lalu dia tarik lengan si gadis dan sama-sama melompat turun dari
gerobak.
Di tengah
jalan saat itu ada seorang kakek bertubuh tinggi, kurus kerempeng, berpakaian
rombeng compang-camping. Di dadanya tergantung sebuah kantong kain yang sudah
lusuh. Dua tangan terkulai panjang di samping melewati lutut. Kepala di sebelah
atas tengah botak plontos sedang di samping rambut putih menjulai panjang
sampai ke bahu. Sepasang mata tampak sipit, nyaris tertutup. Di leher
tergantung empat buah batok kelapa. Melihat Wiro dan Purnama, kakek ini
menyeringai.
"Hati-hati
Wiro," bisik Purnama. "Kakek ini kelihatannya bukan orang
sembarangan.”
"Kalian
berdua, habis menenggak air kelapa milikku lantas mau pergi begitu saja. Enak
betul!"
Wiro dan
Purnama saling pandang. Wiro lalu keduanya buru-buru membungkuk. Wiro berkata.
"Mohon maafmu, orang tua. Kami kebetulan lewat dan kebetulan haus. Melihat
banyak kelapa…."
"Semua
serba kebetulan katamu! Ha…ha…hal! Tetap saja kalian aku namakan pencuri!”
"Sekali
lagi mohon maafmu, Kek. Kami bersedia membayar tiga buah kelapa yang airnya
sudah kami minum,” kata Wiro pula.
"Begitu?
Ha.. ha… ha! Kalian punya banyak duit rupanya! Baik, kalian mau bayar berapa?”
bertanya kakek kurus kerempeng.
Dari
salah satu kantong pakaiannya Wiro keluarkan sekeping uang logam bolong terbuat
dari tembaga laki disodorkan pada si kakek. Si kakek mengambil uang itu,
membolak-baliknya beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. Waktu ketawa
kelihatan gusinya atas bawah yang tidak bergigi lagi.
“Uang
butut untuk tiga buah kelapa! Sungguh tidak pantas!” Lalu enak saja orang tua
tinggi kerempeng ini masukkan uang tembaga bolong ke dalam mulut. Dan krek…
krek… krek, terdengar suara mulutnya mengunyah uang logam itu. Padahal dia sama
sekali tidak punya gigi barang sepotongpun!
Kusir
gerobak ternganga Wiro dan Purnama walau terkesiap namun kini tambah berlaku
waspada. Kakek aneh berkepandaian tinggi ini bisa saja punya niat jahat dan
melakukan sesuatu secara mendadak.
"Kek,”
Purnama berkata. “Dengan uang itu sebetulnya kami bisa membeli sepuluh pohon
kelapa, bukan cuma tiga buah kelapa. Harap kau sudi menerima."
Si kakek
perhatikan Purnama. Matanya yang tadi sipit tiba-tiba membuka besar sekali.
Lalu dia kembali tertawa.
"Aku
tidak mau bicara dengan gadis cantik!” katanya. "Perempuan cantik hanya
mengacaukan jalan pikiran. Urusan bisa-bisa jadi ngawur dan tidak selesai! Aku
hanya mau bicara sama pemuda ini. Gondrong! Kelapaku bukan kelapa sembarangan.
Aku menyebutnya Kelapa Dewa. Jadi jangan kurang ajar membayar murah!”
"Lalu
kau minta bayaran berapa Kek?" Wiro mengalah sambil mengeruk lagi saku
pakaiannya padahal Purnama memberi isyarat untuk mencegah.
Sambil
usap-usap kepalanya yang botak si kakek enak saja berkata. "Aku minta
bayaran lima ringgit emas!" Wiro dan Purnama, juga kusir gerobak sama-sama
terkesiap kaget.
"Kenapa
kalian diam? Bilang saja mau bayar atau tidak?!"
"Kek,
tentu saja kami mau bayar. Tapi jumlah yang kau minta tidak masuk akal. Lagi
pula kami tidak punya uang sebanyak itu!”
Si kakek
menyeringai. Kembali memperlihatkan gusinya yang tak bergigi.
"Uang
yang aku minta sama dengan harga kepalamu! Bukan begitu? Aku tidak mengambil
kepalamu dan menyerahkannya pada Adipati Losari. Nah apa tidak adil kalau
sekarang kau memberi aku lima ringgit emas?!”
Wiro
terkejut. Jadi berita selebaran yang dibuat Adipati Losari Seda Wiralaga
rupanya sudah sampai di telinga kakek aneh ini.
"Kalau
tak mampu bayar ya sudah. Urusan bisa saja dibikin sederhana.” Kakek kurus
kerempeng lepas tiga dari empat batok kelapa yang tergantung dilehemya lalu
dilempar ke tanah. "Pulangkan air kelapaku! Kalian bertiga kencing di
batok itu!"
Wiro
melengak terkejut. Lalu tertawa gelak-gelak. Sambil membuat gerakan hendak
menurunkan celananya dia berkata. "Aku dan kusir gerobak ini bisa saja
kencing di batok itu. Tapi sahabatku gadis ini mana mungkin melakukan hal
itu."
"Mungkin
atau tidak aku tidak perduli. Bagaimana caranya dia mau kencing, itu urusannya.
Aku juga tak bakal ngintip. Apa selama ini dia tidak pernah kencing. Ha …ha…
ha!"
Purnama
jadi marah. "Orang tua! Lama-lama kau jadi tambah kurang ajar. Baik aku
akan kencing di batok itu. Tapi nanti kau harus minum air kencingku sampai
habis! Bagaimana caranya kau mau minum, pakai mulut, hidung atau dengkulmu itu
urusanmu!"
Si kakek
menatap terkesiap lalu tertawa bergelak.
"Gadis
cantik, silahkan kau ambil salah satu dari tiga batok kelapa itu!"
Tidak
tunggu lebih lama Purnama segera melompat mengambil batok kelapa di sebelah
tengah. Tapi begitu tangannya menyentuh, dia tidak sanggup mengambil batok
kelapa itu. Batok seperti menempel ke tanah. Memperhatikan hal itu Wiro segera
mendekat si kakek, membungkuk memberi penghormatan lalu berkata.
"Orang
tua, kami berterima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Ini membuat kami
harus berhatihati dalam melakukan setiap perbuatan. Kami mohon maafmu.
Sekarang kami mohon izin untuk meneruskan perjalanan."
"Cek…
cek… cek… cek!" Si kakek keluarkan suara berdecak. "Enak sekali.
Kelapaku dijarah. Diminta bayar tidak sanggup. Disuruh kencing juga tidak mau.
Sudah, aku memberi keringanan pada kalian. Salah satu dari kalian harus tinggal
di sini untuk jadi kacungku!" Si kakek memperhatikan satu persatu ke tiga
orang itu. Mulai dari Wiro, lalu kusir gerobak, akhirnya Purnama. Setelah cukup
lama dia memperhatikan si gadis maka dia berkata. "Aku pilih kusir gerobak
itu!"
"Tidak
bisa kek! Dia harus ikut bersama kami!" Ucap Wiro.
"Gondrong!
Kau harus bersyukur. Aku meminta kusir gerobak. Bukan sahabatmu yang cantik
ini!"
"Walau
dia cuma kusir gerobak, tapi kami tetap membelanya." Kata Wiro pula.
"Kalau
begitu sikap dan langkah kalian, memang pantas aku memberi pelajaran! Kalau mau
jadi maling jadi maling besar. Jangan cuma jadi maling kelapa!" Habis
keluarkan ucapan si kakek gerakkan tangannya. Tiga batok kelapa melesat ke
atas, bertumpuk jadi satu dengan batok yang keempat di atas telapak tangan
kiri. Si kakek bersiul keras. Saat itu juga empat batok melayang ke udara,
ketika turun si kakek cepat menyambuti. Dan astaga! Ternyata tangan orang tua
aneh ini kini telah bertambah, bukan cuma dua, tapi sudah jadi empat!
Masing-masing tangan memegang sebuah batok kelapa!
"Gondrong!
Kau duluan!" Hardik si kakek. Tubuhnya melesat ke arah Wiro. Empat tangan
bergerak cepat. Dari dalam batok kelapa menyambar cahaya masing-masing berwarna
merah, biru, hitam dan kuning!
"Empat
Batok Menebar Pahala!" Si kakek berseru menyebut jurus serangannya.
Diserang
seperti itu Wiro tentu saja tidak tinggal diam. Dia buka caping di atas kepala.
Setelah melompat ke belakang menghindari empat sinar yang menyambar dia
lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan mengandalkan hampir setengah dari
kekuatan tenaga dalamnya. "Wuuttt!”
Pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung menderu.
Tubuh si
kakek bergoncang keras namun dua kakinya masih menginjak tanah. Malah mulutnya
umbar suara tertawa.
"Empat
Batok Minta Sedekah!"
Si kakek
kurus berpakaian rombeng gerakkan empat tangan. Sinar empat warna lenyap. Namun
empat tangan si kakek berubah jadi panjang. Tanpa sama sekali menggeser dua
kakinya, empat tangan menghantam ke arah Wiro. Dahsyat sekali karena empat
bagian tubuh yang sekaligus jadi sasaran serangan!
Murid
Sinto Gendeng hadapi serangan lawan dengan jurus Kipas Sakti Terbuka. Dua
tangan dikembang ke atas lalu membeset ke samping.
“Bukk!
Bukk!”
Dua
lengan beradu. Si kakek menggerung kesakitan. Sementara Wiro terpental. Kini
dua tangan si kakek yang lain melesat panjang dan plak….plak! Dua batok kelapa
menghajar bagian dada serta pundak Wiro, membuat pendekar ini roboh ke tanah
tapi cepat melompat bangkit.
Yang
membuat Wiro kaget adalah ketika menyaksikan dua buah batok kelapa yang tadi
menghantam dirinya kini menempel di bagian dada dan pundak. Sementara itu di
empat tangan si kakek tetap terlihat empat buah batok kelapa. Wiro coba tarik
dua batok kelapa yang menempel di tubuhnya. Ternyata tidak bisa! Makin dipaksa
makin kencang dua batok kelapa itu menempel. Ketika dia kerahkan tenaga dalam
untuk menanggalkan, kulit serta daging pundak dan dadanya seolah-olah ikut
tertarik. Sakitnya bukan main.
Si kakek
tertawa. “Mau lagi?!”
“Sett…
plak… plak!"
Dua
tangan melesat panjang. Wiro lagi-lagi tak bisa mengelak. Kini ada dua batok
kelapa lagi yang menempel. Di perut dan pinggul.
"Ha…
ha… ha!" Kakek tinggi kerempeng tertawa bergelak. Empat tangannya melesat
tiada henti. Saat itu lebih dari dua puluh batok kelapa telah melekat di
kepala, muka, dada serta punggung Pendekar 212.
"Jahanam!
Ilmu setan apa ini?!" Teriak Wfro. Dua tangannya sibuk kalang-kabut coba
menanggalkan batok-batok kelapa terutama yang menempel di bagian wajah.
"Orang
tua! Kalau kau tidak memusnahkan batok kelapa itu jangan menyesal!"
Purnama berteriak mengancam.
"Gadis
cantik! Kau juga mau batok kelapa? Mau ditaruh dimana? Ayo bilang! Mau di dada
kiri kanan biar tambah montok? Ha… ha… ha!"
"Tua
bangka kurang ajar!" Wajah Purnama mengelam. Dia lambaikan tangan kanannya
ke arah si kakek. Serangkum angin menyapu. Saat itu juga orang tua ini tampak
kelojotan lalu sekujur tubuhnya diam, tak bisa bergerak. Mulut ikut gagu hanya
mampu mengeluarkan suara uuhh….uuhhh. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam dan
hawa sakti untuk membuyarkan kelumpuhan yang melanda dirinya. Tapi tak mampu.
Purnama
cepat mendekat Wiro. Dia coba melepaskan salah satu batok kelapa yang menempel
di tubuh Wiro. Tapi tidak berhasil. Setelah memperhatikan dan memeriksa sekujur
tubuh Wiro, Purnama berkata.
"Wiro,
kosongkan pikiranmu. Menatap lurus ke depan. Jangan mengerahkan hawa sakti atau
tenaga dalam. Aku akan mencoba. Mudah-mudahan berhasil…" Wiro menggaruk
kepalanya yang ditempeli dua batok kelapa. "Kalau tidak berhasil, seumur
hidup aku akan jadi manusia batok! Kakek sialan!"
Purnama
bentangkan sepuluh jari tangan. Satu persatu setiap ujung jari ditiup. Hingga
mengepulkan asap tipis. Lalu tanpa pengerahan tenaga dalam gadis dari negeri
1200 tahun silam ini totok seluruh bagian tubuh Wiro di antara celah-celah
belasan batok kelapa. Wiro merasa dirinya laksana digigit ribuan semut hingga
dia menggigil menahan sakit. Lalu terjadi keanehan. Sekujur badannya mandi
keringat
"Pluk…pluk…pluk…”
Satu
persatu batok yang menempel di kepala, muka serta sekujur tubuh Wiro terlepas
dan jatuh ke tanah. Begitu menyentuh tanah batok jejadian ini melayang ke arah
si kakek lalu lenyap. Di saat bersamaan dua tangan jejadian si kakek ikut
sirna, namun keadaannya masih tetap tidak bisa bergerak tidak mampu bersuara.
Wiro
dekati si kakek.
"Kek,
kau keterlaluan mempermainkan orang."
"Uuhh…
uhh… uhhh."
"Sekarang
giliranku mempermainkanmu!"
Wiro
turunkan tangan kanannya ke bawah lalu ditekapkan ke bagian bawah perut si
kakek. Orang tua ini merasa bagian di antara dua pahanya dingin-dingin sejuk.
Mata berkedap-kedip. "Uhh…. uhhh… uhhh." "Wiro, apa yang kau
lakukan?" Purnama bertanya. Sang pendekar letakkan telunjuk tangan kiri di
atas bibir, wajah tersenyum dan mata dikedip. Sesaat kemudian, perlahan-lahan
dia bergerak mundur menjauhi kakek tinggi kurus itu lalu melangkah ke arah satu
pohon besar. Tangan kanannya yang ditekap seolah memegang sesuatu kini
dikembangkan lalu ditempelkan ke batang pohon. Ketika Wiro turunkan tangan
Purnama langsung membuang muka. Kusir gerobak terbelalak. Si kakek sendiri
seperti mau melompat tanggal sepasang matanya. Bagaimana tidak. Benda yang
ditempelkan Wiro di batang pohon itu, dari bentuk serta warnanya jelas adalah
anggota rahasia miliknya!
"Uuhhhh…."
Si kakek meraung panjang. Purnama tak berani berbalik. Dalam hati dia berkata.
"Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Pasti Wiro mendapatkan dari Hantu
Selaksa Angin sewaktu berada di Latanahsilam…."
"Kek,
kalau mau kencing, kencing sajal Ha… ha … ha! Mari kuambilkan
tampungannyal" Murid Sinto gendeng lalu ambil salah satu batok kelapa di
tangan si kakek dan letakkan di bawah pohon sambil tiada henti tertawa.
"Uuhhh….uuuhhhhhh."
Si kakek meraung. Dalam hati dia menyumpah habis-habisan.
Waktu itu
di atas pohon ada seekor bajing liar warna coklat. Sepasang mata membesar
berkedapkedip. Hidung dan moncong mengendus-endus. Rupanya binatang ini sudah
melihat keberadaan anggota rahasia milik si kakek yang menempel di batang
pohon. Perlahan-lahan sang bajing merayap turun mendekat.
"Uuuhhh….uuhhhhhh!"
Si kakek tak bisa berbuat apa selain mendelik dan keluarkan suara uhhh..
berkepanjangan. Dalam hati dia tak habis pikir dan keluarkan kutuk serapah.
Ilmu iblis apa yang dimiliki si gondrong itu hingga bisa memindahkan anggota
rahasianya ke batang pohon. Kalau sampai bajing di atas pohon melahap barangnya
itu celakalah dia seumur-umur!
Wiro
memberi isyarat pada Purnama lalu melompat ke atas gerobak.
"Wiro,
orang tua itu. Kau akan meninggalkannya dalam keadaan sebegitu rupa?"
"Kalau
kau mau membebaskannya dari kaku dan gagu silahkan. Tapi aku tidak akan
mengembalikan perkutut bututnya itu ke tempat semula!" Jawab Wiro sambil
senyum-senyum.
Karena
kasihan Purnama lambaikan tangan kanan. Serangkum angin menyapu tubuh si kakek.
Saat itu juga dia mampu bergerak dan berteriak kalang kabut. Pertama sekali
dilakukannya adalah berbalik membelakangi orang-orang itu lalu turunkan
celana. Dia ingin memastikan bahwa anggota rahasianya benarbenar sudah
dipindah ke pohon. Kakek ini terkesiap pucat ketika menyaksikan bagian bawah
perutnya kini memang ternyata licin kosong melompong!
"Tunggu!
Jangan pergi dulu! Bagaimana ini! Hai!" Si kakek lari mondar-mandir dari
pohon ke gerobak.
Wiro
tertawa gelak-gelak. Supir gerobak juga ikutan ngakak. Hanya Purnama yang
berdiam diri, tak berani menoleh ke arah pohon.
"Gadis
cantik! Tolong!" si kakek pegang tangan Purnama.
Menyembah-nyembah
berulang kali. "Tolong! Minta sahabatmu itu mengembalikan anuku yang
disana! Ampun, tolong…. Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa!"
Makin
keras teriakan si kakek, makin kalang kabut dia, makin keras pula tawa Wiro dan
kusir gerobak.
"Ayo
jalan!" Wiro berkata pada kusir gerobak.
"Ampun!
Jangan pergi! Tolong dulu!" Si kakek ambil kantong kain yang tergantung di
dadanya. Isi kantong dituang ke lantai gerobak di depan kaki Wiro. Isinya
ternyata puluhan uang logam. "Gondrong! Kau boleh ambil semua uang itu!
Itu pencarianku selama satu bulan! Ambil! Tapi tolong! Ampun! Kembalikan
barangku!"
"Sabar
Kek…" kata Wiro sambil pegang bahu si kakek. "Burung merpati itu
selalu terbang pulang ke sarangnya. Nanti burungmu juga akan kembali."
"Tidak
mungkin! Burungku tak ada sayapnya!" jawab si kakek yang membuat Wiro dan
kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama sendiri tak dapat menahan gelinya.
Gadis ini duduk tundukkan wajah tersipu-sipu.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara orang batuk-batuk. Lalu dari
balik pohon besar muncul seorang lelaki muda yang berjalan tertatih-tatih
dengan bantuan dua tongkat kayu di bawah ketiak. Dua kakinya dibalut dedaunan
dan ditopang dengan potongan kayu. Wajahnya penuh bekas luka yang mulai
mengering. Orang ini menatap ke arah gerobak, memandang ke jurusan si kakek.
Lalu menoleh ke batang pohon di sampingnya. Karuan saja lelaki muda ini jadi
tersentak kaget, mengerenyit, akhirnya tertawa dan geleng-geleng kepala.
"Ilmu
Menahan Darah Memindah Jasad." Lelaki dekat pohon keluarkan ucapan.
Wiro terkejut.
Garuk kepala dan berkata perlahan. "Purnama, kau kenal orang itu. Dia tahu
dan menyebut ilmu yang aku pergunakan untuk memindahkan anunya si kakek ke
batang pohon."
"Aku
tidak kenal orang itu. Sebaiknya kita jangan pergi dulu, Wiro."
Wiro
memberi isyarat pada kusir gerobak lalu melompat turun.
"Kek,"
orang di samping pohon menegur; "Aku sudah bilang jangan berlaku jahil.
Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!"
"Aku
menyesal. Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menjajalnya. Aku ingin
melihat dia mengeluarkan ilmu Pukulan Sinar Matahari. Tapi yang dikeluarkannya
Pukulan Menjambret Burungku! Ampun…."
Sampai di
hadapan lelaki muda bertongkat Wiro bertanya. "Sahabat, siapa dirimu? Dua
kakimu kulihat cidera parah. Sekujur tubuhmu penuh luka. Kakek itu apamu?"
"Kau
tidak mengenal diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu. Kau yang selama ini sangat
kukagumi. Aku banyak mendengar cerita tentang kehebatanmu. Termasuk berbagai
macam ilmu kesaktian yang kau miliki. Satu diantaranya adalah yang tadi aku
sebutkan. Bukankah aku saat ini berhadapan dengan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
Dua Satu Dua Wiro Sableng?"
"Aku
memang Wiro. Tapi aku tidak sehebat yang kau bayangkan. Sahabat, kau belum
menerangkan siapa dirimu."
"Aku
Rayi Jantra."
Wiro
kaget bukan kepalang tapi juga gembira. Dia tidak menduga akan bertemu dengan
Kepala Pasukan Kadipaten Losari yang memang tengah dicarinya itu.
"Sahabatmu
Jumena ternyata benar. Dia tidak yakin kau telah menemui ajal. Dia berkali-kali
pernah mengimpikan dirimu. Bersama seorang kakek. Mungkin kakek yang lagi
kalang kabut itu? Siapa dia?"
"Dia
Pengemis Empat Mata Angin, guru Pengemis Siang Malam yang keluarganya pernah
kau selamatkan dari tangan manusia-manusia jahat Kumalasakti, Kuncir Merah dan
Ki Beringin Reksa…."
"Kalau
dia tahu aku pernah menolong muridnya, mengapa dia berbuat jahat
terhadapku?"
"Dia
tidak jahat. Sebenarnya dia hanya ingin menjajal dirimu. Seperti diriku, dia
sudah lama mendengar kehebatanmu. Dia ingin melihat Pukulan Sinar Matahari yang
kau miliki. Namun caranya jahil. Hingga akhirnya dia babak belur sendiri."
Wiro
tersenyum, garuk-garuk kepala dan memandang ke arah Pengemis Empat Mata Angin
yang saat itu berdiri di depan pohon, pandangi barang miliknya. Dia ingin
mengambil anggota rahasianya itu tapi takut menyentuh. Akhirnya dalam bingung
orang tua ini hanya berlutut di tanah sambil kening disandarkan ke pohon.
"Aku menyesal memperlakukannya seperti itu. Nanti akan aku kembalikan
barangnya ke tempat asal. Bagaimana kau sampai mengenal dirinya?"
"Waktu
aku dibuang ke jurang atas perintah Ki Sentot Balangnipa, Pengemis Empat Mata
Angin tengah bertapa di dasar jurang. Dia berusaha menolong orang-orang yang
dilempar, namun hanya aku seorang yang bisa diselamatkan."
"Aku
mendengar riwayatmu dari Jumena. Sayang perajurit itu tewas di tangan seorang
pembunuh gelap. Aku tengah menyelidiki siapa orang itu. Banyak pekerjaan yang
harus aku lakukan. Aku butuh pertolonganmu. Menurut Jumena kau tahu tentang
satu tempat rahasia di satu bukit."
"Aku
sudah mendengar kematian Jumena." Kata Rayi Jantra pula. "Mengenai
yang tadi kau tanyakan, baiknya kita bicara di tempat yang aman. Ada sebuah
lorong batu tak jauh dari sini. Selama dalam pengobatan aku tinggal di sana
ditemani kakek pengemis itu."
"Sahabatku
ini ahli pengobatan," kata Wiro sambil memegang bahu Purnama.
"Mudah-mudahan dia bisa membantu mempercepat kesembuhanmu."
Rayi
Jantra membungkuk dalam. "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih."
"Kita
naik gerobak saja. Biar aku jalan kaki." Kata Wiro pula.
"Tunggu!"
tiba-tiba terdengar teriakan Pengemis Empat Mata Angin. "Gondrong! Kau
lebih baik membunuhku kalau tidak mengembalikan…”
"Tenang
Kek. Akan aku kembalikan perabotanmu itu sekarang juga," kata Wiro lalu
melangkah ke pohon. Tangan kanannya ditekapkan ke barang milik si kakek yang
menempel di pohon dan hampir disantap bajing liar. Lalu perabotan antik itu
ditempelkan kembali di tempat semula.
Sesaat
setelah Wiro dan orang-orang itu pergi si kakek cepat-cepat buka celananya. Ah!
Dia merasa lega. Barang antiknya sudah kembali di tempat semula. Tapi ketika
lebih memperhatikan Pengemis Empat Mata Angin jadi tersentak kaget. Dia
langsung berteriak dan mengejar rombongan.
"Hai!
Tunggu dulu!"
"Ada
apa lagi Kek?" tanya Wiro.
"Anuku!"
"Kenapa
anumu? Bukankah sudah aku kembalikan ke sarangnya?"
"Benar!
Tapi kau memasangnya terbalik! Kantong menyannya ada di sebelah atas.
Seharusnya dibawah!"
Wiro,
Rayi Jantra dan kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama tersipu merah
wajahnya.
"Baik
Kek! Nanti aku betulkan! Tapi sebenarnya terbalik begitu lebih angker lebih
mantap Kek! Kata Wiro pula disambut gelak tawa semua orang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment