Sang Pembunuh
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
SATU
DI UFUK
barat cahaya sang surya mulai memudar. Warnanya yang putih benderang
perlahan-lahan berubah kuning kemerahan pertanda tak selang berapa lama lagi
akan memasuki titik tenggelam. Cahaya kuning ini menyaput sebuah bukit batu di
selatan Losari yang puncaknya berbentuk aneh yaitu merupakan dua buah dinding
tinggi pipih dan saling terpisah hanya sejarak satu jari. Jika angin bertiup
melewati celah maka akan terdengar suara seperti tiupan seruling. Penduduk desa
sekitar kaki bukit menganggap bukit itu angker. Boleh dikatakan tak ada
seorangpun yang berani menginjakkan kaki di sekitar kaki bukit dan mereka
memberi nama bukit itu Bukit Batu Bersuling.
Pada
petang menjelang senja itu empat orang kelihatan berkelebat dari arah timur.
Gerakan mereka luar biasa cepat dan nyaris tanpa suara. Pertanda mereka adalah
orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi. Di depan sekali Rayi Jantra,
bertindak sebagai penunjuk jalan. Lelaki muda yang masih menjabat Kepala
Pasukan Kadipaten Losari ini berkat pengobatan yang diberikan Purnama, dalam
waktu dua hari mengalami kesembuhan dari cidera yang dialaminya.
Di
belakang Rayi Jantra berlari kakek berkepala botak plontos berpakaian
compang-camping, menggantung empat buah batok kelapa di leher. Kakek ini adalah
Pengemis Empat Mata Angin yang telah menyelamatkan Rayi Jantra ketika dibuang
di jurang oleh orang-orang Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
Sambil
berlari sebentar-sebentar si kakek menoleh ke belakang ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng.
“Hai
gondrong! Kapan kau akan memperbaiki letak anuku…” Si kakek bertanya.
“Sssshhh.
Sepanjang jalan kau mungkin sudah bertanya seratus kali! Tenang saja Kek….”
jawab Wiro.
“Siapa
bisa tenang! Kalau aku kencing mancurnya ke atas, bukan ke bawah!” Pengemis
Empat Mata Angin meradang. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya
(Misteri Pedang Naga Merah) karena kejahilan Pengemis Empat Mata Angin, dengan
mempergunakan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad yang didapatnya dari Luhkentut
yaitu seorang nenek sakti di negeri Latanahsilam, Wiro mempermainkan si kakek
dengan cara menanggalkan anggota rahasianya. Ketika dipasang kembali Wiro
sengaja memasang terbalik. Ini yang membuat Pengemis Empat Mata Angin menjadi
khawatir uring-uringan dan terus-terusan mendesak bertanya.
“Kek,
kita tengah menghadapi urusan besar. Nanti kalau sudah beres pasti anumu itu
aku perbaiki
letaknya!”
Pengemis Empat Mata Angin hanya bisa menggerutu panjang pendek mendengar ucapan
Wiro. Orang ke empat dalam rombongan adalah Purnama, gadis jelita dari
Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Dia
berlari di samping Wiro dan senyum-senyum melihat Pengemis Empat Mata Angin
yang berlari sambil mengomel. “Aku mendengar suara tiupan suling…” Wiro
keluarkan ucapan.
“Kita
hampir sampai,” menyahuti Rayi Jantra. Dia menunjuk ke arah utara. Di kejauhan
di atas pepohonan rimba belantara tampak tersembul menjulang Bukit Batu
Bersuling. “Jika angin bertiup melewati celah dua lamping bukit akan
mengeluarkan suara seperti suara seruling.” Menerangkan Rayi Jantra. Lalu dia
menyambung ucapannya. “Di sekitar sini biasanya banyak berkeliaran para
pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Hati-hati, setiap saat serangan
bisa muncul membawa maut.”
“Aku
tidak sudi mati dengan anuku terbalik!” Kata Pengemis Empat Mata Angin pula
masih kesal.
Rayi
Jantra menyelinap ke balik kerapatan pepohonan, berlari cepat di satu jalan
setapak yang mendaki. Begitu jalan berubah menurun, di bawah sana kelihatan
satu bangunan besar beratap rumbia tanpa dinding. Rayi Jantra hentikan lari,
memandang tajam-tajam ke arah bangungan, pasang telinga.
“Aneh,
mengapa sepi-sepi saja? Menurut perhitunganku malam ini akan ada pertemuan.
Ternyata tak ada seekor kudapun dalam bangunan itu. Tak ada tamu yang datang.”
“Jangan-jangan
kedatangan kita ke sini ada yang membocorkan,” ucap Purnama.
“Siapa?”
tanya Rayi Jantra. Tak ada yang memberikan jawaban.
“Mana
bangunan yang dinamai Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” tanya Wiro sambil
membuka caping bambu pemberian Eyang Sinto Gendeng.
“Ikuti
aku,” jawab Rayi Jantra.
Angin
menjelang senja semakin kencang. Suara seperti tiupan seruling terdengar
bertambah keras. Rayi Jantra dan tiga orang lainnya lewati bangungan beratap
rumbia, berlari memasuki sebuah jalan kecil diapit deretan batu hitam setinggi
dua tombak. Jalan kecil itu tertutup batu-batu bulat pipih. Namun keempat orang
itu berlari di atasnya tanpa batu bergesek atau mengeluarkan suara. Mereka
sampai di sebuah rumah panggung yang keadaannya kotor sekali.
“Jadi ini
istana yang kau katakan itu…?” tanya Wiro.
Rayi
Jantra cepat menjawab dengan goyangkan tangan lalu berbisik. “Aku melihat
semakin banyak keanehan. Pertama keadaan yang sepi. Kedua, rumah panggung ini
setahuku selalu dijaga oleh beberapa pengawal bercelana dan berdestar hitam,
bertelanjang dada membekal golok. Ilmu golok mereka tidak bisa dianggap enteng.
Saat ini tak seorangpun dari mereka tampak mata hidungnya.”
“Aku
malah mencium adanya jebakan…” ucap Wiro pula sambil menggaruk kepala dan
memandang berkeliling.
“Kita
turun ke bawah,” kata Rayi Jantra. “Istana bejat itu ada di kolong bangunan
ini. Aku bimbang apakah kita bisa memasuki. Setahuku pintu masuk hanya lewat
satu pintu rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membukanya.”
Keempat
orang itu segera menuruni tangga. Di sebelah bawah mereka menemui sebuah dinding
batu warna merah. Pada bagian tengah dinding terdapat sebuah pintu dalam
keadaan terbuka.
“Pintu
rahasia itu…” ucap Rayi Jantra perlahan sambil memperhatikan ke depan setengah
tidak percaya. “Lagi-lagi aneh. Biasanya pintu rahasia itu selalu dalam keadaan
tertutup.”
“Agaknya
orang memberikan sambutan istimewa bagi kita. Ah pasti banyak sedekahan di
dalam sana,” ucap Pengemis Empat Mata Angin sambil usap kepalanya yang botak
plontos. “Aku kepingin tahu sorga apa yang ada dalam istana itu. Ha… ha… ha…”
Rayi
Jantra, Wiro dan Purnama memperhatikan ke dalam bangunan lewat pintu batu yang
terbuka. Gelap. Wiro kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu
Duyung untuk melihat dan memeriksa keadaan dalam bangunan yang gelap itu. Namun
tak berhasil. “Aneh, sudah beberapa kali aku mencoba tapi Ilmu Menembus Pandang
tidak bekerja. Apakah ada orang sakti yang mampu menolak di dalam bangunan
gelap itu? Atau ada yang tidak beres dengan diriku.” Wiro bertanya-tanya dalam
hati.
“Kita
masuk…” bisik Rayi Jantra.
“Hati-hati
senjata rahasia,” kata Purnama. “Biar aku yang masuk duluan.” Lalu si cantik
dari negeri 1200 tahun silam ini melesat ke dalam bangunan batu lewat pintu di
dinding merah yang terbuka. Ketika melewati ambang pintu sosoknya berubah
samar. Sampai di dalam bangunan tubuhnya kembali nyata seperti semula. Tidak
terjadi apa-apa. Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin tidak menunggu
lama langsung menerobos masuk. Di dalam gelap empat orang yang barusan masuk
itu serta merta bisa mengetahui kalau di ruangan batu itu bukan hanya mereka
yang ada.
“Anak-anak!
Ada rombongan tamu besar datang mengapa ruangan dibiarkan dalam keadaan gelap?!
Sungguh tidak sopan!” Tiba-tiba satu suara membahana di dalam ruangan batu.
Wiro dan kawan-kawan merasakan ada getaran di dinding dan lantai batu yang
mereka pijak.
Saat itu
juga ruangan yang tadi gelap mendadak menjadi terang benderang. Delapan buah
obor besar tiba-tiba menyala di delapan tempat Wiro dan kawan-kawan cepat
memperhatikan keadaan. Belum selesai meneliti kembali suara tadi berucap
menggetarkan ruangan.
“Di luar
angin agak kencang dan udara mulai dingin. Sebaiknya pintu ruangan ditutup
saja!”
Ada suara
berkesiur halus lalu pintu batu dinding merah yang tadi terbuka bergeser
menutup.
“Ada
rencana jahat!” bisik Purnama.
Wiro
pegang lengan gadis itu, memberi tanda kalau dia juga sudah tahu. Rayi Jantra
serta Pengemis Empat Mata Angin juga sudah menyadari hal ini.
Di ujung
ruangan, di dinding kiri kanan, terpisah sejarak dua belas kaki berdiri
masing-masing empat orang lelaki rata-rata bertubuh tinggi besar, mengenakan
celana hitam dan bertelanjang dada. Kepala diikat sehelai destar hitam. Di
pinggang tergantung melintang sebilah golok besar.
Di antara
ke delapan orang ini tegak seorang kakek berjubah biru. Mata kanan yang cacat
ditutup potongan kulit warna hitam. Kaki yang tersembul di ujung jubah
berbentuk sepasang kaki kuda lengkap dengan ladam besinya. Mata kiri memandang
tak berkesip pada Rayi Jantra. Sebaliknya Rayi Jantra menatap dengan pandangan
penuh dengan dendam kesumat. Rahang menggembung pelipis bergerak-gerak.
“Ki
Sentot Balangnipa! Bergundal Istana bejat! Kau yang menyuruh melempar tubuhku
ke dalam jurang! Hari ini aku bersumpah membalas kebiadabanmu!” Rayi Jantra
ucapkan kata-kata itu dalam hati dengan tubuh bergetar karena berusaha menahan
diri.
Sementara
Rayi Jantra dipanggang amarah dendam kesumat, Pendekar 212 Wiro Sableng
memikirkan kenyataan yang dilihatnya. Ki Sentot Balangnipa ada di tempat itu.
Berarti dia ada sangkut pautnya dengan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Lalu
ketika dia menyerbu gedung kediaman Adipati Brebes untuk menyelamatkan Loan Nio
Nikouw dari kebejatan Adipati Karta Suminta, Ki Sentot Balangnipa juga ada di
gedung itu. Malah mereka sempat bentrokan dimana saat itu Ki Sentot
menyerangnya dengan Pedang Naga Merah mirip sang paderi. Berarti Adipati Brebes
yang dibunuhnya itu mungkin punya hubungan dengan Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Mungkin dia pemilik bangunan yang disebut istana yang tak lain dari
sebuah rumah judi dan tempat mesum. Berarti kalau dua dadu setan itu memang
ada, maka dialah pemiliknya. Murid Sinto Gendeng ini tak sempat meneruskan
jalan pikirannya karena saat itu antara Rayi Jantra dan Ki Sentot Balangnipa
terjadi perang mulut.
Ki Sentot
Balangnipa alias Si Kuda Iblis cukup terkesiap besar ketika melihat salah satu
dari empat orang yang berada dalam ruangan ternyata adalah Rayi Jantra. Kepala
Pasukan Kadipaten Losari yang disangkanya telah tamat riwayatnya di dalam
jurang tapi ternyata masih hidup.
“Ki
Sentot! Bergundal Istana mesum! Kau terkejut melihat diriku?! Apa pandanganmu
masih cukup jelas melihat hanya dengan satu mata?!” Rayi Jantra keluarkan
ucapan lantang.
Ki Sentot
Balangnipa dongakkan kepala. Amarah membuat kepalanya untuk sesaat berubah
menjadi kepala kuda benaran, keluarkan ringkikan keras lalu jawab ucapan orang
sambil wajah sunggingkan seringai mengejek.
“Manusia
malang, aku hanya bertanya-tanya. Yang ada di tempat ini apa Rayi Jantra
benaran atau rohnya yang gentayangan jadi setan penasaran!”
“Mahluk
setengah manusia setengah binatang! Kasihan sekali! Ternyata penglihatanmu
benar-benar sudah tidak karuan! Dari pada picak memang bagusnya kubuat dua matamu
buta kiri kanan!”
Ki Sentot
Balangnipa tahan amarah dengan keluarkan tawa meringkik. Dia melirik ke samping
kiri Rayi Jantra dimana berdiri Purnama. Dia tidak mengetahui siapa adanya
gadis ini namun mengenali Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek lalu alihkan
pandangan pada Pendekar 212 yang mengenakan caping. Sepasang mata membesar,
mulut kembali sunggingkan seringai.
“Kau!”
sentak Ki Sentot Balangnipa sambil tudingkan jari telunjuk ke arah Wiro. “Kau
boleh sembunyikan kepala dan tampangmu dibalik caping! Tapi jangan menyangka
aku tidak tahu siapa kau! Kau Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng pembunuh
Adipati Karta Suminta dari Brebes!”
Wiro
keluarkan suara bersiul, buka capingnya, lalu membungkuk seolah memberi
penghormatan pada Ki Sentot Balangnipa.
“Kakek
muka kuda, aku kepingin tahu apa kemaluanmu juga menyerupai kemaluan kuda!”
Habis berkata begitu Wira tertawa gelak-gelak. Rayi Jantra dan Pengemis Empat
Mata Angin juga ikutan terbahak-bahak. Tampang Ki Sentot Balangnipa merah
mengelam seperti saga. Rahang menggembung. Wiro lanjutkan ucapannya. “Kurasa
kau lebih pantas memakai caping ini untuk menutupi matamu yang picak! Ini
pakailah!”
Habis
berkata begitu wuuttt! Wiro lemparkan caping bambu ke arah si kakek. Lemparan
ini bukan lemparan biasa karena disertai aliran tenaga dalam. Caping melesat
mengeluarkan suara menderu. Ki Sentot Balangnipa memaki dan cepat rundukkan
kepala. Dia tahu betul, walau hanya sebuah caping dari bambu namun kalau sampai
membabat batang lehernya pasti amblas putus!
Caping
melesat hanya sejarak satu kuku di atas kepala Ki Sentot Balangnipa alias si
Kuda Iblis. Pinggiran caping menancap di dinding batu sedalam setengah jengkal.
Untuk sesaat tampang Ki Sentot tampak pucat.
“Ck… ck…
ck!” Yang mengeluarkan suara berdecak adalah seorang kakek pendek mengenakan
pakaian selempang hitam dan sejak tadi berdiri di sudut ruangan sambil dua
tangan dirangkap di atas dada. Manusia satu ini memiliki keanehan menggidikkan.
Selain rambutnya yang berwarna kuning dan dua bola mata berwarna putih berkiblar
seperti perak, kulit muka dan tubuh setiap saat berganti warna yaitu merah,
lalu biru kemudian berubah lagi menjadi hijau. Begitu terus-terusan. Setiap dia
melepas nafas dari hidungnya keluar kepulan asap warna ungu. Setelah menatap
Wiro sesaat kakek ini berkata. “Caping buntut itu tidak pantas menjadi penghias
dinding ruangan!” Lalu dia meniup. Selarik cahaya ungu menyambar caping yang
menancap di dinding. Saat itu juga caping bambu berubah menjadi bubuk dan
melayang jatuh ke lantai batu!
“Ck… ck…
ck.” Suara berdecak kali ini bukan dibuat oleh kakek rambut kuning tapi oleh
Purnama. Dia arahkan tangan kirinya ke tumpukan bubuk caping di lantai batu.
Selarik sinar biru begermerlap berkelebat. Di lain kejap gadis jelita ini sudah
memegang caping milik Wiro di tangan kiri dalam keadaan utuh.
***********************
DUA
WALAU
tersentak kaget melihat kehebatan ilmu gadis jelita berpakaian biru itu namun
kakek pendek rambut kuning cepat sembunyikan keterkejutannya dengan keluarkan
tawa bergelak lalu berkata. “Ki Sentot hari ini aku benar-benar gembira. Kita
kedatangan para tamu berkepandaian tinggi. Tapi ilmu sihir kampungan apa
perlunya dikagumi! Ha… ha… ha!”
Wiro
dekati Rayi Jantra lalu berbisik.
“Rayi.
kau pernah menghajar Ki Sentot Balangnipa sampai mata kanannya buta. Aku pernah
menggebuknya. Jika sekarang dia unjukkan nyali besar pasti dia mengandalkan tua
bangka yang kulitnya bisa berubah warna seperti bengkarung itu. Kau tahu siapa
adanya kakek itu?”
“Aku
tidak tahu pasti.” Jawab Rayi Jantra. “Aku hanya pernah mendengar cerita.
Mungkin dia adalah orang yang dijuluki Raja Racun Bumi Langit. Dia punya
hubungan dekat dengan para pejabat di kerajaan barat dan timur. Sifatnya sangat
culas hingga dia juga dijuluki Ular Kepala Sepuluh! Aku…”
Rayi
Jantra tidak sempat lanjutkan kata-katanya karena saat itu si kakek aneh
keluarkan ucapan. Suaranya menggetarkan seantero ruangan batu.
“Ki
Santot, kalau ini manusianya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Dua
Satu Dua, bukankah kepalanya dihadiahi lima ringgit emas oleh Adipati Losari?”
“Betul
sekali Raja Racun Bumi Langit,” sahut Ki Sentot Balangnipa. Ternyata kakek
pendek berambut kuning itu memang Raja Racun Bumi Langit seperti yang diduga
Rayi Jantra. “Dia memang bergundal penjahat yang membunuh Adipati Brebes Karta
Suminta. Aku menyaksikan sendiri peristiwanya.”
“Berarti
kita tidak perlu susah-susah mencari. Dia datang sendiri. Kita tinggal memotes
kepalanya. Dan dapat hadiah lima ringgit emas!” Raja Racun Bumi Langit tertawa
bergelak. Asap ungu mengepul keluar dari hidung dan mulutnya.
Murid
Sinto Gendeng menyeringai. Orang mempermainkan dan menganggap enteng dirinya.
Biar dia memberi sedikit pelajaran.
“Kakek
pendek rambut kuning. Jika kau memang inginkan kepalaku dan mau dapatkan lima
ringgit emas, kau tak perlu susah-susah turun tangan. Biar aku sendiri
menyerahkan padamu!”
Wiro
kerahkan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Dipadu dengan Ilmu Meraga Sukma
yang didapatnya dari Nyi Roro Manggut, seorang nenek sakti yang jadi salah satu
orang kepercayaan Ratu Penguasa samudera selatan Nyai Roro Kidul. (Baca serial
Wiro Sableng berjudul “Meraga Sukma”) Wiro cengkeramkan tangan kanan ke dagu
dan rahang. Tangan kiri menekan batok kepala. Dua tangan bergerak serentak ke
arah yang berlawanan.
“Kreek!”
Kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng tanggal dari leher.
Raja
Racun, Ki Sentot dan delapan lelaki bercelana hitam melengak kaget luar biasa.
Purnama dan Rayi Jantra serta Pengemis Empat Mata Angin ternganga bergidik.
“Wiro,
apa yang kau lakukan?!” ujar Purnama penuh khawatir. Dia hendak mendekat Wiro
tapi lengannya cepat dipegang Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek berbisik.
“Ilmu gila itu yang dipakainya mencopot anuku. Jangan diganggu. Kalau sampai
jalan pikirannya kacau bisa berbahaya.”
Pendekar
212 melangkah ke arah Raja Racun Bumi Langit membawa kepalanya sendiri.
“Kau
inginkan kepalaku! Ambillah!” Kutungan kepala keluarkan ucapan dan Wiro
angsurkan kepalanya dekat-dekat ke muka si kakek. Mata dipelototkan, lidah
dijulur. Karuan saja Raja Racun Bumi Langit jadi bergidik dan menyingkir
mundur. Rambut kuning berjingkrak saking kaget dan ngeri. Kulit muka yang
berubah-ubah warna berhenti pada warna hijau. Nyalinya bergetar, tengkuk terasa
dingin.
Karena
orang tidak menyambuti kepalanya Wiro melangkah mundur. Kepala ditempelkan
kembali ke kutungan leher. Sebenarnya hati sang pendekar merasa kebat-kebit
khawatir kalau kepalanya tidak tersambung kembali. Ilmu Menahan Darah Memindah
Jasad selama ini hanya dipergunakan terhadap lawan atau orang lain. Belum
pernah dipergunakan untuk diri sendiri. Apalagi dipadu dengan Ilmu Meraga
Sukma. Tapi untung kepala itu menempel seperti semula. Wiro merasa lega.
“Manusia
kulit bengkarung. Ternyata nyalimu cuma sampai di pantat!” Wiro mengejek.
Meski
marah dimaki begitu rupa tapi Raja Racun Bumi Langit masih mampu kendalikan
diri. Dia tidak mau bertindak salah sebelum rencana utamanya dilaksanakan. Dia
tidak menyangka akan berhadapan dengan orang-orang yang ilmu kesaktiannya
begitu hebat. Maka kakek ini segera berbisik pada Ki Sentot.
“Kita
harus bertindak cepat. Kalau tidak urusan bisa jadi kapiran!”
Ki Sentot
Balangnipa maklum kalau Raja Racun ingin segera melaksanakan rencana besarnya,
maka dia maju selangkah.
“Kalian
tamu. Kami tuan rumah. Walau kalian datang menyusup pertanda punya niat buruk,
kami masih punya sopan santun untuk bertanya. Ada keperluan apa kalian datang
ke sini?!”
“Kami
ingin memastikan bahwa tempat ini adalah apa yang disebut Istana Seribu Rejeki
Seribu Sorga. Sarang judi dan tempat mesum terkutuk! Kami ingin tahu siapa
penguasa atau pimpinan di sini!” Yang bicara adalah Rayi Jantra.
“Kami
mengetahui ada dua buah dadu disebut dadu setan. Dipergunakan sebagai alat
judi, alat menipu dan menguras siapa saja yang ikut bermain! Kami ingin kalian menyerahkan
dua buah dadu itu!” Wiro kini yang keluarkan ucapan.
Pengemis
Empat Penjuru Angin ikut membuka mulut.
“Tadinya
aku mengira bisa mencari rejeki sedekahan besar di tempat sini. Ternyata yang
ada ruang kosong melompong serta manusia-manusia jejadian. Satu mahluk setengah
manusia setengah kuda. Satu lagi setengah manusia setengah kadal! Kuda dan
kadal mana bisa memberi sedekah! Ha… ha…. ha.”
Raja
Racun Bumi Langit ikutan tertawa. Begitu hentikan tawa dia menatap ke arah
Purnama.
“Gadis
jelita! Dibalik keharuman tubuhmu aku mencium kalau kau sebenarnya adalah
mahluk dari alam lain. Apakah kau juga mau ikutan bicara?”
Diam-diam
Purnama merasa kagum akan ketinggian ilmu kakek rambut kuning yang mampu
mengetahui siapa dirinya.
“Aku
menyirap kabar kalau yang namanya Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu selain
dijadikan tempat perjudian dan tempat mesum, juga dijadikan tempat pertemuan
para tokoh tertentu yang hendak menghancurkan kerajaan di barat!”
Raja
Racun Bumi Langit tersenyum. Dia memandang pada Ki Sentot Balangnipa lalu dua
kakek ini tertawa
gelak-gelak.
Ki Sentot berkata. “Kalian semua tidak buta! Apa tempat ini pantas disebut
istana?!” “Memang tidak!” jawab Rayi Jantra. “Kalian telah lebih dulu
merubahnya!” Ki Sentot Balangnipa mendengus. Wiro sambung ucapan Rayi Jantra.
“Kalau ini bukan bangunan penting dan rahasia lalu apa perlunya
kehadiran
kalian di sini! Untuk menjaga kecoak dan tikus?!”
“Dengar,”
kata Raja Racun pula. “Aku ingin bertanya. Siapa yang memperdayai dan
memperbodoh kalian untuk menyelidik istana yang tak pernah ada itu. Siapa pula
yang membuat kalian jadi orang-orang tolol dan mempercayai keberadaan dua buah
dadu setan! Orang-orang di kerajaan barat atau seorang paderi perempuan berasal
dari Tiongkok?”
“Kami
tidak ada sangkut paut dengan siapapun!” Jawab Rayi Jantara.
Wiro maju
selangkah hingga dia kini berhadap-hadapan dengan Ki Sentot Balangnipa. Dia
tiup muka si kakek. Saking geramnya dia langsung hantamkan satu jotosan ke muka
Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat tangkap tinju kanan si kakek. Dua tangan
bergetar. Aliran tenaga dalam sama-sama dikerahkan. Ki Sentot Balangnipa merasa
tangannya panas pertanda tenaga dalamnya masih berada dibawah lawan. Dengan
satu sentakan keras dia cepat-cepat menarik tangan kanannya. Kakek ini beruntung
karena kalau terlambat pasti tangan kanannya itu akan hancur karena saat itu
Wiro sudah mengerahkan ilmu Koppo yaitu ilmu mematahkan tulang yang didapatnya
dari Nenek Neko di Negeri Sakura. Ki Sentot Balangnipa bersurut dua langkah
penuh geram sambil usap-usap tangan kanannya dengan tangan kiri.
“Aku mau
balik bertanya! Siapa yang memperbodoh dan membayar kalian untuk jual tampang
di tempat ini!” Hardik Pendekar212.
Raja
Racun tersenyum. “Berdebat tak akan ada habisnya. Bagaimana kalau aku
mengajukan satu tawaran bagus. Bagaimana kalau kalian berempat bekerja dan jadi
anak buahku saja! Kalian akan mendapat bayaran besar. Dalam waktu enam bulan
dari hasil bayaran itu kalian bisa membangun rumah sebagus istana!”
Wiro
menggaruk kepala lalu tertawa, diikuti oleh Purnama, kakek pengemis dan Rayi
Jantra.
Pengemis
Empat Mata Angin angsurkan tangan kanannya yang memegang batok. “Aku mau bukti
dulu.
Aku minta
sedekah!” Setelah menunggu sesaat dan Raja Racun Bumi Langit hanya diam saja
kakek pengemis tertawa mengekeh. “Memberi sedekah saja kau tidak mampu!
Bagaimana mau membayar kami berempat dengan bayaran yang
bisa
membuat istana?! Ha… ha… ha!”
“Manusia
rambut kuning. Tawaranmu menarik juga,” kata Wiro sambil garuk kepala. “Sebelum
kami setuju menerima, kami perlu tahu siapa pimpinan kalian dan kami
orang-orang tolol ini tetap minta kalian menyerahkan, paling tidak memberi tahu
dimana beradanya dua dadu setan.”
Raja
Racun Bumi Langit goleng-goleng kepala.
“Aku
jarang memberi tawaran bagus. Kalian malah menyia-nyiakan kesempatan.” Kakek
rambut kuning ini dekati Ki Sentot Balangnipa lalu berkata. “Ki Sentot, seperti
dugaanku semula, orang-orang itu memang tak bisa dibujuk. Saatnya kita
menyelesaikan pekerjaan. Aku tak mau urusan jadi bertele-tele. Lakukan
sekarang!”
Mendengar
ucapan kakek rambut kuning Ki Sentot Balangnipa menatap ke arah Wiro dan
kawan-kawan.
“Diberi
berkah malah minta sengsara!” ucapnya. Lalu dia berpaling pada delapan lelaki
bercelana hitam dan berteriak berikan perintah.
“Cincang
mereka semua!”
“Srett!”
Delapan
golok besar berkiblat dicabut dari sarungnya lalu berdesing di udara menyerbu
ke arah Wiro dan kawan-kawan.
Delapan
lelaki bercelana hitam bertelanjang dada yang menyerang itu rata-rata memiliki
ilmu golok tingkat tinggi. Selain ganas, gerakan mereka cepat luar biasa dan
kesiuran senjata yang mereka pegang mengeluarkan hawa dingin. Wiro yang berada
paling depan dibuat kaget ketika ujung golok salah seorang lawan menderu di
depan hidungnya sementara dari samping kiri lawan kedua membabatkan golok ke
pinggang.
Pendekar
212 cepat melompat mundur. Hidungnya terasa dingin sewaktu ujung golok menyapu
lewat hanya sepertiga jengkal.
“Brettt!”
Baju
putih Wiro robek besar di pinggang. Lelaki yang menyerang cepat berbalik begitu
serangannya tidak mampu melukai lawan. Dia menerjang sambil bacokkan golok.
Namun jotosan Wiro menghantam mukanya lebih dulu. Hidung hancur, gigi rontok,
tubuh tergelimpang di lantai. Kawannya yang tadi hampir memapas buntung hidung
sang pendekar menerima nasib lebih jelek. Tendangan kaki kanan Wiro mendarat
telak di dadanya. Tubuhnya mencelat terbanting ke dinding, muntah darah lalu
melosoh jatuh tak berkutik lagi.
Di bagian
lain ketika dua orang menyerbu ke arahnya, Rayi Jantra membuat gsrakan melompat
setinggi setengah tombak. Dia berhasil menjambak rambut penyerang paling dekat.
Sekali sentak saja lawan dibuat jungkir balik menghantam lantai batu, menemui
ajal dengan kepala pecah. Goloknya yang terpelanting di udara cepat disambar
Rayi Jantra lalu trang! Rayi Jantra pergunakan golok untuk menangkis serangan
lawan kedua.
Bentrokan
senjata membuat penyerang terjajar ke belakang. Selagi dia coba imbangi diri
Rayi Jantra lemparkan golok di tangan kanannya. Senjata ini menancap telak di
pertengahan dada lawan.
“Kek,
biar aku yang melayani empat ekor monyet ini. Kau tenang sajalah!” kata Purnama
pada Pengemis Empat Mata Angin ketika empat orang lelaki bertelanjang dada
dengan golok di tangan menyerbu ke arah mereka.
“Aku mau
cari sedekahan!” jawab si kakek sambil dua tangannya yang memegang batok kelapa
berkelebat ke depan.
Namun
Purnama sudah mendahului. Caping di tangan kiri dicampakkan lalu dua tangan dia
angkat ke depan. Dua larik angin halus bersiur dan empat penyerang tahu-tahu
tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Saking penasaran karena
kedahuluan Purnama, Pengemis Empat Mata Angin kemplangi kepala ke empat orang
itu dengan batok kelapanya hingga benjut dan kucurkan darah. Lalu kakek ini
menggeledahi celana keempat orang itu dan berhasil menemukan beberapa keping
uang tembaga.
“Lumayan…
lumayan!” katanya sambil tertawa mengekeh lalu masukkan uang logam itu ke dalam
kantong kain buntut yang tergantung di dada.
Ternyata
serangan yang dilakukan delapan lelaki bercelana hitam bersenjata golok tadi
hanyalah satu umpan atau tipuan saja sesuai rencana Raja Racun Bumi Langit.
Karena begitu perkelahian terjadi Raja Racun cepat hentakkan kaki kanannya ke
salah satu bagian di lantai batu. Ternyata di situ ada bagian lantai yang
berhubungan dengan alat rahasia. Saat itu juga lantai bergeser membentuk lobang
empat persegi. Tidak menunggu lebih lama Raja Racun melompat masuk ke dalam
lobang sambil mulut meniupkan asap ungu dan dua tangan bergerak melempar empat
buah benda berbentuk bola berwarna perak.
Ki Sentot
Balangnipa terkejut. Apa yang dilakukan Raja Racun tidak sesuai dengan yang
diatur sebelumnya. Mereka akan keluar dari ruangan itu lewat lobang rahasia di
lantai secara bersama-sama.
“Raja
Racun! Tunggu!”
Di dalam
lobang terdengar suara tawa Raja Racun Bumi Langit.
“Ki
Sentot! Aku sudah lama tidak senang dirimu! Kau layak mampus bersama
manusia-manusia tolol itu! Selamat menikmati Racun Inti Bumi. Ha… ha… ha!”
“Jahanam
kurang ajar! Manusia culas!” Kejut Ki Sentot Balangnipa. Racun Inti bumi adalah
racun paling jahat yang dimiliki Raja Racun Bumi Langit. Racun ini terdiri dari
empat unsur yaitu Racun Tanah, Racun Air, Racun Api dan Racun Udara. Tidak ada
satu orangpun yang bisa lolos dari kematian jika menghisapnya.
Sosok
Raja Racun tak kelihatan lagi di dalam lobang. Pada saat lantai menutup kembali
sampai setengahnya, dengan nekad Ki Sentot Balangnipa terjunkan diri ke dalam
lobang. Namun hanya bagian dada ka bawah yang lolos. Lobang batu keburu
menutup.
Kraakkk!
Tubuh Ki
Sentot Balangnipa terjepit. Dada hancur putus. Sebelum menemui ajal kakek ini
keluarkan suara meringkik. Kepala berubah jadi kepala kuda. Setelah itu ujudnya
kembali ke bentuk semula. Potongan tubuhnya tergeletak menelungkup di lantai
batu hanya bagian dada sampai kepala.
Sementara
itu di empat sudut ruangan mengepul dahsyat empat asap berwarna merah, hijau,
kuning dan biru. Udara terasa pengap dan panas. Lantai yang kering seperti ada
basahan air. Hawa panas laksana ada kobaran api besar.
“Awas
racun jahat! Tutup jalan parnafasan!” teriak Rayi Jantra.
Purnama
gerakkan bahu. Cahaya biru begemerlap keluar dari tubuh, melindungi diri serta
tiga orang lainnya. Namun cahaya sakti biru ini hanya mampu menahan sedikit
keganasan racun yang memenuhi ruangan batu, tak mampu melindungi jalan
pernafasan. Wiro sadar apa yang terjadi. Jika tidak cepat meloloskan diri
mereka semua akan menemui ajal di ruangan itu. Dia lepaskan pukulan Sinar
Matahari, menghantam ke arah salah satu dinding batu. Ruangan batu tergoncang dahsyat.
Namun apakah pukulan sakti itu tidak mampu menjebol dinding. Sementara kepulan
asap empat warna mulai bersatu bergulung-gulung di udara membentuk racun luar
biasa jahat yang dinamakan Racun Inti Bumi.
Ke empat
orang itu merasakan dada menyesak dan lutut gontai. Pemandangan mendadak gelap
dan tubuh menjadi lemas. Rayi Jantra jatuh duluan, terguling di lantai batu.
Mulutnya keluarkan busa. Menyusul Pengemis Empat Mata Angin. Wiro berusaha
keluarkan Kapak Naga Geni 212 untuk dipakai menghancurkan dinding. Namun
keadaannya sudah sangat lemah. Purnama satu-satunya yang masih mampu berdiri
tegak berusaha kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuh. Dua bahu digoyang.
Cahaya gemerlap memancarkan ribuan percikan bunga api berwarna biru melesat di
udara. Cepat sekali ribuan percikan cahaya warna biru ini menyatu membentuk
sebuah bola besar lalu melesat ke arah pintu rahasia di mana sebelumnya Wiro
dan kawan-kawan masuk.
“Bummm!”
Ruangan
batu laksana dihantam gempa. Langit-langit ruangan mau runtuh. Dinding seolah
mau jebol dan lantai laksana amblas. Tujuh dari delapan obor besar padam. Ilmu
kesaktian Purnama yang disebut Menggusur Gunung Menjungkir Langit ternyata
tidak sanggup menjebol pintu rahasia. Malah kini dia dan Wiro serta Rayi Jantra
dan Pengemis Empat Mata Angin tergeletak megap-megap di lantai ruangan yang
keadaannya berubah redup karena tinggal satu obor yang menyala. Dari hidung dan
telinga ketiga orang itu keluar cairan berwarna hijau.
Sementara
itu delapan lelaki bercelana hitam berkaparan dalam keadaan sudah tak bernyawa
lagi. Sebagian menemui ajal akibat racun yang menembus jalan pernafasan. Muka
dan sekujur kulit tubuh mereka berwarna belang-belang merah, biru dan kuning.
“Purnama….”
Wiro berbisik sambil berusaha menggapai dan memegang tangan Purnama. “Kau punya
kemampuan untuk keluar dari sini. Kembali ke sosok aslimu. Pergilah….”
“Tidak….”
jawab Purnama perlahan lirih. “Apapun yang terjadi aku akan bersamamu di tempat
ini.” Lalu gadis dari masa 1200 tahun silam ini kumpulkan tenaga dan berusaha
menggulingkan diri hingga berhasil mendekati Wiro. Begitu tubuh mereka
bersentuhan Purnama berusaha memeluk sang pendekar. Wajahnya didekatkan ke muka
Wiro. Mulutnya masih sanggup membisikkan kata-kata. “Kalau memang ada kematian
kedua bagiku, aku ingin dan rela mati bersamamu di tempat ini dalam
pelukanmu….”
Pendekar
212 gerakkan tangan untuk merangkul punggung Purnama. Namun dua tangan itu
terjatuh lemas ke lantai. Wiro dan Purnama terkulai tak berkutik.
Ruang batu
tenggelam dalam kesunyian sementara kepulan asap racun makin membuntal ganas.
Tiba-tiba kesunyian itu terusik lapat-lapat oleh satu suara aneh. Suara menderu
tak berkeputusan. Datangnya dari arah dinding merah, arah letak pintu rahasia
dimana tadi Wiro dan kawan-kawan masuk.
***********************
TIGA
KAWASAN
samudera selatan, yang dikenal sebagai daerah luas kekuasaan Nyi Roro Kidul.
Petang itu laut tampak tenang. Cahaya sang surya yang tak selang berapa lama
akan segera tenggelam membuat sebagian permukaan laut berwarna merah
kekuning-kuningan. Di dasar laut dalam sebuah bangunan besar bagus memiliki
tiga buah menara, seorang nenek cebol berambut putih panjang yang dikenal
dengan panggilan Nyi Roro Manggut duduk di tepi kasur tebal memegang dan
menatap sehelai sapu tangan biru muda bernoda darah yang telah mengering.
Ingatannya kembali pada satu peristiwa di masa waktu lalu. Ketika dia
mempergunakan sapu tangan biru muda itu untuk menyeka noda darah yang ada di
wajah seorang pemuda gagah bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar 212.
“Aneh,
mengapa aku tiba-tiba ingat pada pemuda yang aku sebut bocah ingusan itu,” ucap
si nenek perlahan. Matanya yang juling bergerak-gerak, kepala manggut-manggut.
“Perasaanku tak enak. Dadaku berdebar. Sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin
sekali dia berada dalam bahaya besar. Nyawanya terancam. Tidak pernah kejadian
hal seperti ini. Aku harus menyelidik….”
Si nenek
duduk bersila, letakkan sapu tangan biru muda di atas pangkuan, tubuh tak
bergerak lalu pejamkan mata. Hanya sesaat, tiba-tiba tubuhnya bergetar dan ada
cahaya merah berkelebat memasuki ruang penglihatannya. Dalam pandangan sepasang
mata si nenek yang terpejam, dia melihat langit berwarna aneh. Seorang pemuda
berpakaian putih berlari menjauhi langit merah darah yang hendak menggulungnya.
Namun dua kakinya goyah, tubuh tersungkur jatuh. Sekilas pada keningnya tampak
kilatan satu cahaya hijau.
Nenek
cebol buka kedua matanya kembali, menarik nafas dalam beberapa kali lalu
bergerak bangkit. Tangan kiri mengusap wajah keriput yang basah oleh keringat.
“Memang dia! Wiro dalam bahaya. Ada tanda hijau di keningnya. Pertanda dia
telah menyalah gunakan cara pemakaian ilmu yang aku berikan. Aku harus menemui
Junjungan Agung sekarang juga!”
Nyi Roro
manggut tinggalkan bangunan tiga menara, melesat di dasar laut menuju ke satu
bangunan luar biasa indahnya, berwarna dan bercahaya kuning karena hampir
seluruh dindingnya dilapisi emas murni. Di atas bangunan terdapat satu menara
besar dikelilingi delapan menara kecil yang juga dilapisi emas.
Beberapa
penjaga disetiap pintu yang dilalui si nenek tidak berani menghalangi. Dan
semua pintu bangunan emas itu terbuka dengan sendirinya begitu si nenek berada
tujuh langkah di depannya.
Tak tana
kemudian Nyi Roro Manggut sampai di sebuah ruang terbuka yang amat bagus. Pada
dua sudut ruangan terdapat pendupaan besar mengepulkan asap kekuningan menebar
bau harum kayu cendana. Tiga buah dinding seolah terbuat dari kaca hingga apa
yang ada di luar, yakni pemandangan laut yang luar biasa indahnya kelihatan
nyata serasa bisa digapai tangan. Ratusan macam ikan laut berbagai warna dan
ukuran berenang kian kemari diantara terumbu karang dan tetumbuhan laut. Di
kejauhan sayup-sayup terdengar gema alunan gamelan.
Dinding
ke empat yaitu dinding yang ada di hadapan Nyi Roro Manggut tertutup hiasan
tujuh lapis tirai tipis tujuh warna dan dari balik tirai menebar bau harum
mewangi yang menindih harum kayu cendana dari dua pendupaan. Si nenek berlutut
rapatkan dua tangan lalu diangkat di atas kepala.
“Junjungan
Agung Nyi Roro Kidul, saya Nyi Roro Manggut mohon ijinmu untuk meninggalkan
kawasan istana. Ada seorang kerabat membutuhkan pertolongan di dunia luar
sana.”
“Nyi Roro
Manggut, aku sudah mengetahui. Orang itu memang perlu segera diselamatkan. Karena
jika terjadi apa-apa dengan dirinya rimba persilatan akan mengalami goncangan
hebat. Kawasan samudera selatan dimana kita berada akan terkena imbasnya.
Selain itu orang-orang kawasan laut utara akan merasa lebih leluasa bertindak
jahat terhadap kita. Pergilah sekarang juga karena waktumu sangat sedikit. Aku
khawatir kau tak punya kesempatan. Aku mengijinkan kau mempergunakan Batu
Mustika Angin agar kau bisa segera sampai di tempat orang yang membutuhkan
pertolongan.” Satu suara halus lembut menjawab dari balik tujuh lapis tirai.
“Terima
kasih atas perhatian dan ijin Junjungan Agung. Selain itu ada satu hal yang
perlu saya tanyakan. Orang yang hendak saya tolong ini pernah saya berikan Ilmu
Meraga Sukma. Saya mendapat pertanda bahwa dia telah memadu ilmu itu dengan
ilmu lain. Saya mohon petunjuk Junjungan Agung apakah setelah menyelamatkan
dirinya saya perlu menjatuhkan hukuman, mengambil ilmu itu kembali atau
bagaimana?”
“Ilmu
dari alam kita selama ini memang tidak boleh digabung atau dipadu dengan ilmu dari
alam lain. Namun keadaan sudah banyak berubah. Jika maksudnya baik dan hasil
paduan itu lebih banyak manfaatnya mengapa tidak? Bahkan boleh jadi kita bisa
saja mempelajari apa yang telah dilakukan orang itu.”
Nyi Roro
Manggut membungkuk dalam.
“Terima kasih
atas petunjuk Junjungan Agung. Saya mohon diri sekarang. Atas ijin Nyi Roro
Kidul saya akan mengambil Batu Mustika Angin di ruang penyimpanan benda
pusaka.”
“Pergilah
dan tetap ingat keterbatasan waktumu berada di dunia luar sana. Selesai
menolong orang segera kembali ke sini.”
“Perintah
Junjungan Agung akan saya perhatikan. Saya pergi sekarang.”
Setelah
membungkuk sekali lagi dengan langkah bersurut mundur Nyi Roro Manggut
tinggalkan ruangan besar yang sangat indah itu.
Diantar
dua orang pengawal si nenek mengambil sebuah batu sakti yang disebut Batu
Mustika Angin Laut Kencana Biru yang disimpan di sebuah ruangan sangat rahasia.
Pintu ruangan hanya bisa dibuka dan ditutup oleh Nyi Roro Kidul dan dengan
kesaktiannya hal ini mampu dilakukan dari kejauhan.
Batu
Mustika Angin Laut Kencana Biru berbentuk bulat lonjong hampir menyerupai telur
ayam dan memancarkan cahaya kebiru-biruan. Begitu memegang batu dan melafalkan
satu mantera dalam hati, sosok Nyi Roro Manggut lenyap, seolah berubah menjadi
angin. Dengan kecepatan laksana angin pula dia melesat keluar dari samudera
selatan, menembus udara petang dikala sang surya tengah menggelincir masuk ke
titik tenggelamnya.
Ketika
Nyi Roro Manggut laksana terbang keluar menembus melewati Tembok Karang Abadi
yang merupakan batas kawasan kediaman Nyi Roro Kidul dan langsung menembus
permukaan laut, di pantai sebelah timur seorang gadis berpakaian hitam dihias
manik-manik putih dan hijau hentikan larinya. Rambut hitam tergerai panjang
disibak ke belakang. Dua orang gadis jelita yang jadi pengiringnya berhenti
pula berlari, salah seorang dari mereka bertanya.
“Ada apa,
Ratu?”
“Kalian
lihat ke arah utara sana. Ada cahaya kebiruan. Ada kerabat penting meninggalkan
kawasan kediaman Ratu Nyi Roro Kidul….” Orang yang dipanggil dengan sebutan
Ratu menjawab. Dua pengiring memandang ke arah utara. Namun mereka tidak
melihat apa-apa. Si cantik berambut panjang dan mengenakan pakaian hitam bertabur
manik-manik putih serta hijau keluarkan sesuatu yang ternyata adalah sebuah
cermin bulat. Setelah menatap sesaat ke dalam cermin, dia lalu berkata.
“Nyi Roro
Manggut…. Ah, dia membekal Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Pertanda dia
tengah melakukan satu perjalanan jauh dan cepat serta sangat penting. Kemana…?”
Si gadis
cantik bukan lain adalah Ratu Duyung gerak-gerakkan cermin sakti di tangannya.
Samar-samar dia melihat satu bukit batu, lalu sosok tubuh manusia yang
bergelimpangan di tanah. Hatinya mendadak berdebar. “Terlalu samar. Satu tempat
sangat jauh. Mungkinkah dia….? Tak mungkin aku menyusul. Bagaimana baiknya?
Apakah aku harus menemui sang Ratu untuk menanyakan? Belum lama aku
mendatanginya. Aku khawatir Sang Ratu merasa terganggu….” Setelah merenung
sejenak walau hatinya merasa tidak enak akhirnya Ratu Duyung memutuskan untuk
menunggu di tempat itu sampai Nyi Roro Manggut kembali. Dua pengiring diminta
untuk meninggalkannya sendirian di tempat itu.
EMPAT
orang tak berdaya, tergeletak siap meregang nyawa di dalam ruangan batu yang
sebelumnya memang merupakan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Mereka tidak
dapat mendengar suara menderu di luar bangunan dimana mereka terperangkap Racun
Inti Bumi. Dinding batu merah bergetar hebat. Suara menderu terdengar semakin
kencang. Sesekali diseling suara benda keras jebol dan pecah serta suara aneh
seperti kerbau melenguh.
“Kraakk!
Dess!”
Tiba-tiba
salah satu bagian pintu batu merah berderak hancur. Sebuah lobang besar
menguak. Tekanan tinggi yang ada di dalam ruangan batu menghambur keluar,
membersitkan Racun Inti Bumi dalam bentuk kepulan asap biru, merah, kuning dan
hijau luar biasa dahsyat. Satu mahluk aneh berduri sebesar anak kerbau yang ada
di depan lobang terpental, keluarkan jeritan melenguh lalu terkapar tak
bergerak lagi. Mahluk ini ternyata adalah seekor landak raksasa. Duri lebat
coklat yang menutupi badannya banyak yang patah. Darah menggelimangi muka dan
hampir seluruh sosok tubuh binatang ini. Cairan hijau meleleh dari mulut.
“Gusti
Allah! Tolong! Mudah-mudahan aku tidak terlambat!”
Mendadak
ada orang berseru. Lalu satu bayangan hijau berkelebat, menerobos masuk ke
dalam bangunan batu melalui lobang di dinding pintu merah. Begitu berada di
dalam, orang ini yang bukan lain adalah Nyi Roro Manggut keluarkan seruan
kaget.
“Racun
jahat! Luar biasa jahat!” Si nenek cepat tutup jalan penciuman begitu dadanya
terasa sesak setelah sempat menghirup sisa-sisa Racun Inti Bumi yang masih ada
di dalam bangunan bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.Memandang berkeliling
dia melihat sosok seorang gadis tertelungkup di atas tubuh Pendekar
212. Lalu
di sebelah sana berguling seorang kakek botak dan seorang lelaki muda.
Nyi Roro
Manggut angkat tangan kanan ke atas. Mulut merapal mantera. Lima kuku jari mengeluarkan
cahaya biru. Cahaya menjalar hingga sekejapan tubuhnya tampak berwarna biru.
Ketika cahaya biru lenyap sosok si nenek telah berubah. Tingginya menjadi dua
kali dan besarnya hampir tiga kali dari semula. Inilah ilmu kesaktian yang
disebut Menggunung Raga Melaut Tenaga. Dengan gerakan cepat Nyi Roro Manggut
mengangkat
Purnama dan Rayi Jantra lalu ditumpuk letakkan di atas bahu kiri Wiro dan
Pengemis Empat Mata
Angin
dipanggul di bahu kanan. Lalu sekali berkelebat nenek ini melesai keluar dari
bangunan batu,
menerobos
lewat lobang besar di dinding merah.
Di luar
goa keadaan mulai gelap karena sang surya telah tenggelam. Di udara terdengar
suara aneh seperti suara tiupan seruling. Walau heran tapi si nenek tidak
perdulikan suara itu. Nyi Roro Manggut baringkan ke empat orang yang barusan
diselamatkannya di tanah. Sosoknya yang tinggi besar pancarkan cahaya biru dan
ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang nenek cebol.
Ketika
memperhatikan sosok empat orang yang tadi dilemparkannya keluar bangunan beracun,
kejut Nyi Roro Manggut bukan kepalang. Sekujur kulit orang-orang itu, mulai
dari muka sampai ke kaki kelihatan belang empat warna yaitu merah, hijau,
kuning dan biru. Si nenek segera mengenali.
“Racun
inti Bumi. Racun paling jahat kedua setelah Racun Inti Neraka!”
Cepat si
nenek telungkupkan tubuh keempat orang itu. Satu demi satu dia totok dua urat
besar di pangkal leher mereka. Setelah menunggu beberapa lama tidak terjadi
apa-apa tidak ada sosok yang bersuara apa lagi bergerak. Si nenek jadi cemas.
Nyi Roro Manggut balikkan kembali tubuh keempat orang itu hingga terbaring
menelentang lalu tangan kiri ditempelkan di dada mereka.
“Masih
hidup…,” ucap si nenek begitu dia merasa ada suara degup jantung di dada Wiro
walau sangat halus. “Aku harus menyedot keluar racun yang ada dalam tubuhnya.
Apakah masih keburu?” Nyi Roro Manggut cengkeramkan sepuluh jari tangannya ke
kening dan batok kepala Wiro lalu kerahkan tenaga sakti untuk menyedot. Si
nenek tiba-tiba mengeluh pendek. Dada terasa sakit dan jalan nafas seperti
terkancing. Ketika dia memaksa tubuh cebolnya terpental tiga langkah.
Hal yang
sama dialami Nyi Roro Manggut ketika dia berusaha menyedot racun jahat dari
dalam tubuh Rayi Jantra. Si nenek kecewa. Dia tidak mengira ilmu kepandaian
yang dimilikinya selama ini ternyata tidak mampu menyelamatkan kedua orang itu.
Ketika memeriksa Pengemis Empat Mata Angin, si nenek dapatkan kakek kepala
botak itu telah menemui ajal.
Nyi Roro
Manggut dekati sosok landak raksasa. Dia memperhatikan. Pada tubuh binatang itu
hanya terdapat dua warna racun yaitu hijau dan merah. “Binatang jejadian. Bukan
mahluk alam sini.” Nyi Roro Manggut membungkuk. Seperti yang dilakukannya pada
Wiro dan Rayi Jantra dia lalu cengkeramkan sepuluh jari tangan di kepala landak
besar itu. Begitu dia mengerahkan tenaga dalam, binatang itu melenguh keras.
Tubuhnya melesat setinggi satu tombak ke udara lalu ketika terbanting jatuh di
tanah keadaannya berubah menjadi sosok seorang pemuda berpakaian kelabu dengan
kulit berwarna merah dan hijau. Wajah dan tangan penuh luka bercelemong darah.
Ketika diperiksa oleh Nyi Roro Manggut ternyata pemuda ini masih bernafas.
Keadaannya tidak separah yang dialami orang-orang lainnya. “Hemmm…. Dia punya
kesaktian dari alam lain.” Si nenek membatin lalu berpaling ke arah Purnama.
Lewat sepasang mata dia mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya. Dia melihat
satu cahaya aneh membungkus tubuh gadis jelita itu. Sambil usap dagu Nyi Roro
Manggut berkata perlahan. “Kau juga bukan mahluk alam sini. Kau punya kesaktian
lebih hebat dari pemuda itu. Seharusnya kau mampu menolak racun jahat itu.”
Nyi Roro
Manggut letakkah tangan kiri di atas dada Purnama. Tidak terasa suara detak
jantung. Dia pegang urat besar di pangkal kiri leher si gadis. Tidak ada
getaran denyut aliran darah. “Tak ada detak jantung. Tak ada aliran darah. Tapi
aku tahu kau masih hidup. Mungkin kau punya nyawa lebih dari satu!” Nyi Roro
Manggut
cengkeramkan
sepuluh jari tangan ke kepala Purnama.
“Desss!”
.
Si nenek
keluarkan pekik terkejut ketika sosok gadis yang ditolongnya tiba-tiba lenyap
dan berubah jadi kepulan asap biru. Lalu terlihat sosok samar yang
perlahan-lahan kembali berubah menjadi sosok utuh seperti semula. Sosok ini
coba berdiri. Namun seperti tidak punya kekuatan roboh jatuh dan terguling di tanah.
“Mati?”
pikir Nyi Roro Manggut lalu memeriksa.
***********************
EMPAT
TIBA-TIBA
sepasang mata Purnama terbuka. Mata itu berputar bergerak, memandang ke arah
Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin. Ketika pandangannya membentur
sosok Jatilandak, detak jantungnya seolah berhenti sesaat
“Anakku,
bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau masih hidup….”
Purnama
perhatikan keadaan dirinya sendiri. Ketika melihat tangan kirinya gadis ini
jadi tercekat “Racun empat warna….” ucapnya dalam hati. Jalan pikirannya
ternyata masih cukup jernih. Bibir bergetar. Dia berpaling menatap si nenek
kembali.
“Nek,
pasti kau yang telah menyelamatkan diriku dan para sahabat. Aku sangat
berterima kasih. Namun nyawa kami masih terancam. Aku tahu kau bukan orang
sembarangan. Saat ini aku tak punya daya tak punya tenaga. Pinjamkan seluruh
tenaga dalam dan hawa saktimu padaku. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa
menyelamatkan nyawa orang-orang itu dan diriku sendiri.”
“Heh?”
Nyi Roro Manggut tercekat mendengar ucapan Purnama. “Tidak mungkin… tidak
mungkin aku melakukan itu.”
“Di
alammu dan di alamku banyak hal yang tidak mungkin. Tapi di alam sini segalanya
serba mungkin. Ulurkan tanganmu tekankan telapak tangan kiri di tumit kananku,
telapak tangan kanan ke tumit kiri. Cepat lakukan. Waktu kita tidak banyak.
Jika kau ingin menyelamatkan Wiro lakukan sekarang juga. Demi Tuhan
lakukanlah!”
Wajah si
nenek tampak berubah. “Kau menyebut nama Tuhan. Padahal kau mahluk alam lain.
Apa di alammu ada Tuhan? Apa kau mengenal Tuhan?”
Purnama
menarik nafas dalam. “Nek, kau hanya membuang waktu saja. Tapi biar kujawab
pertanyaanmu. Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan. Kau dan aku ada di dalam
alam yang sama. Apa itu bukan berarti kita mempunyai Tuhan yang sama. Apakah
untuk menolong kami….”
Nyi Roro
Manggut angkat tangan kirinya. “Sudah… sudah.” Si nenek lalu menatap ke arah
Pendekar 212. “Ah, bocah ingusan itu. Pesan Junjungan Agung. Aku harus
menolongnya. Tapi bagaimana kalau gadis alam gaib ini menipuku? Bagaimana kalau
setelah tenaga dalam dan hawa sakti aku berikan, dia tidak mengembalikan?”
“Nek!
Waktu kita tidak lama!” Berseru Purnama.
Setelah
tetapkan hatinya Nyi Roro Manggut akhirnya lakukan apa yang dikatakan Purnama.
Telapak tangan kiri ditekankan ke tumit kanan dan telapak tangan kanan
ditekankan di tumit kiri Purnama.
“Desss!”
“Desss!”
Nenek
cebol menjerit keras ketika tubuhnya terpental dua tombak lalu berguling lemas.
Dia coba bangkit tapi terhuyung lalu jatuh terlentang. Tubuhnya seolah tidak
memiliki tulanglagi.
“Gusti
Allah, apa yang terjadi dengan diriku! Gadis itu menguras seluruh tenaga dalam
dan hawa sakti yang aku miliki!”
Kalau si
nenek terpental dan terbanting di tanah maka Purnama mencelat ke udara, lalu
melayang turun dalam ujud utuh. Begitu menginjak tanah dia cepat mendekati
Wiro. Mulutnya berucap. “Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus tiga puluh.
Pengobatan ke lima ratus dua puluh enam. Dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa Maha Penyembuh agar kami semua mendapat kesembuhan.”
Habis
keluarkan ucapan sesuai dengan apa yang dibaca dan diingatnya dalam Kitab
Seribu Pengobatan Purnama pentang empat jari tangan kanan yaitu ibu jari, jari
telunjuk, jari tengah dan jari manis. Keempat jari yang seolah berubah menjadi
empat potongan besi itu kemudian drtotokkan ke keningnya sendiri!
“Craass!
Kraaakkk!”
Empat
jari menembus daging dan tulang kening hingga di kening itu kini kelihatan
empat buah lobang. Begitu lobang terkuak maka mengucur empat cairan
masing-masing berwarna merah, hijau, kuning dan biru. Dalam keadaan seperti
itu, agak terhuyung-huyung Purnama mendekati Wiro dan Rayi Jantra. Dengan empat
jarinya dia menotok kening ke dua orang itu hingga berlobang empat dan
mengucurkan cairan empat warna. Dia lalu memeriksa sosok Pengemis Empat Mata
Angin dan hanya bisa merasa sedih mengetahui si kakek sudah tidak bernyawa lagi.
Purnama kemudian berpindah pada sosok puteranya. Terhadap Jatilandak Purnama
hanya pergunakan dua jari untuk menotok kening yaitu sesuai dengan dua warna
yang terlihat di kulit tubuh, merah dan hijau. Begitu dua buah lobang muncul di
kening, cairan merah dan hijau langsung mengucur.
Selesai
melakukan semua pekerjaan itu Purnama cepat menghampiri Nyi Roro Manggut yang
terlentang di
tanah
dalam keadaan lemas tak mampu bergerak sedikitpun. “Hah, apa yang hendak
dilakukannya. Jangan-jangan dia hendak membunuhku!” pikir si nenek. “Nek, aku
akan kembalikan tenaga dalam dan hawa sakti yang tadi aku pinjam. Maaf kalau
aku harus
menginjak
tanganmu.” Gadis dari negeri 1200 tahun silam itu kemudian injak telapak tangan
kiri kanan si nenek hingga Nyi Roro
Manggut
berteriak kesakitan. “Dess!” “Dess!” Purnama dan Nyi Roro Manggut sama-sama
keluarkan jeritan keras. Kalau Purnama kemudian terpental
hampir
sepuluh langkah lalu jatuh terguling di tanah maka si nenek mencelat ke udara
dan walau mampu jatuh dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu namun sempat
terkencing-kencing!
“Wong
edan! Baru sekali ini aku sampai mengalami ngompol seperti ini. Memalukan! Aku
terpaksa harus mandi kembang tujuh rupa sebelum masuk ke laut selatan!” Nyi
Roro Manggut lalu melangkah menghampiri Purnama yang tergeletak di tanah
sementara cairan empat warna masih mengucur dari empat buah lobang di
keningnya. “Mahluk hebat!” puji si nenek. “Aku telah menyangka buruk. Tadinya
aku mengira kau tidak akan mengembalikan tenaga dalam dan hawa saktiku.”
Purnama
tersenyum. “Kau yang hebat Nek. Aku berterima kasih kau telah sudi menolong.”
“Gadis
cantik, aku tahu sedikit mengenai Racun Inti Bumi yang mencelakaimu dan
kawan-kawan. Warna yang ada di kulit kalian akan hilang satu hari satu warna.
Berarti untuk pulih kembali sudah membutuhkan empat hari….”
“Tidak
jadi apa Nek. Yang penting kami semua sudah selamat, hanya tinggal menunggu
kesembuhan….” Sebenarnya ihwal ini sudah diketahui Purnama dari Kitab Seribu
Pengobatan. “Eh, kalau boleh aku bertanya dari mana kau mendapatkan ilmu cara
pengobatan seperti yang kau lakukan tadi?” bertanya Nyi Roro Manggut. “Aku
mendapat petunjuk dari sebuah kitab kuno bernama Kitab Seribu Pengobatan,”
jawab Purnama. Dia ingat sampai saat itu masih tidak diketahui siapa pencuri dan
dimana keberadaan kitab tersebut.
“Aaaah….
Aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Sungguh luar biasai!” Nyi Roro Manggut
manggut-manggut beberapa kali. “Sekarang apa yang bisa aku lakukan? Cairan
empat warna masih mengalir dari empat buah lobang di kening kalian. Bagaimana
cara menghentikannya?”
“Tak usah
khawatir Nek, jika nanti angin dari laut mulai bertiup agak kencang dan kepala
kami menjadi dingin, cairan berwarna itu akan berhenti mengucur…” “Lalu empat
buah lobang menganga yang ada di keningmu, juga di kening dua orang lain itu?
Apa kalian akan hidup dengan kening bolong seumur-umur?”
Purnama
terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia lalu berkata. “Ini yang agak
merisaukan aku Nek. Menurut petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan untuk
menghilangkan lobang yang ada di kening, kepala kami harus disiram air laut.
Kami harus mandi dan mencelupkan kepala di laut….”
“Laut,
apakah laut jauh dari sini?” tanya Nyi Roro Manggut
“Tidak
seberapa jauh. Ada sebuah teluk di sebelah utara. Aku dan puteraku….”
“Eh,
siapa yang kau maksud puteramu itu?” Nyi Roro Manggut bertanya memotong ucapan
Purnama.
“Pemuda
berpakaian kelabu yang masih pingsan di sebelah sana,” jawab Purnama pula.
Si nenek
memandang ke arah Jatllandak. Dia ingat, sebelumnya sosok pemuda itu adalah
seekor landak raksasa. Bagaimana ceritanya seorang cantik dan masih gadis
seperti itu punya seorang putera yang ujud aslinya adalah seekor landak. Ingin
dia bertanya namun akhirnya membatalkan niat.
“Nek,
setelah kucuran cairan berwarna berhenti, tenaga dalam dan semua kesaktianku,
juga puteraku belum akan kembali. Dengan mengandalkan tenaga luar kami mungkin
mampu pergi sendiri ke teluk. Tapi bagaimana dengan Wiro dan Rayi Jantra. Walau
kucuran cairan racun empat warna berhenti, namun mereka masih belum punya
tenaga untuk pergi ke laut. Berjalanpun mereka tidak akan mampu.”
“Kalau
begitu aku yang akan membawa kailan masuk semua ke teluk. Tapi….”
“Tapi apa
Nek?” Selain bingung apakah nenek cebol itu mampu membawa mereka berempat ke
teluk, Purnama juga merasa cemas ada sesuatu yang menjadi ganjalan si nenek.
“Apakah aku punya waktu?” “Maksudmu Nek?” “Sepertimu, aku berasal dari alam
lain. Tanpa ijin dari pimpinanku Junjungan Agung tidak mungkin bisa
berada
lama di alam sini….” “Kalau aku boleh tahu siapa gerangan Junjungan Agung itu,
Nek?” tanya Purnama. “Nyi Roro Kidul, pemimpin, penguasa dan pemelihara
kedamaian laut selatan.” “Ah… aku pernah mendengar riwayatnya. Aku sangat
mengagumi Ratu-mu itu Nek.” “Dengar… Eh, siapa namamu? Apa kau punya nama?”
Purnama
tertawa. “Pendekar Dua Satu Dua memberi aku nama Purnama.”
“Begitu?”
Si nenek manggut-manggut beberapa kali dan ikutan tertawa. Dia memandang ke
arah sosok Wiro yang tergeletak di tanah. Dalam hati berkata. “Bocah ingusan,
kau tentu memberi nama itu tidak cuma-cuma! Paling tidak kau sudah pemah
memeluk atau mencium gadis ini!”
“Nek, ada
apa kau senyum-senyum?” tanya Purnama.
Nyi Roro
Manggut angkat kedua bahunya lalu gelengkan kepala.
“Nek,
kalau waktumu memang terbatas dan kau memang bisa menolong, setelah cairan
berwarna berhenti mengucur….”
“Sudah
kau tak usah kawatir. Urusan dengan Junjungan Agung biar aku yang nanti
bertanggung jawab. Aku akan membawa kalian sekarang juga ke teluk….”
“Nek,
bagaimana dengan jenasah Pengemis Empat Mata Angin,” bertanya Purnama.
Saat itu
Wiro dan Rayi Jantra telah mulai siuman dari pingsannya. Sebagian pembicaraan
Nyi Roro Manggut dan Purnama sempat mereka dengar. Rayi Jantra merasa sangat
sedih mengetahui kalau Pengemis Empat Mata Angin telah tewas. “Aku belum sempat
membalas budi, kakek itu sudah pergi duluan. Kalau bukan dia yang menolongku di
jurang, aku sudah lama jadi bangkai.” Ucap Rayi Jantra dalam hati. Lalu Kepala
Pasukan Kadipaten Losari ini kumpulkan tenaga untuk bisa sekedar keluarkan
ucapan. “Nek, sebelum pergi aku mohon, tolong jenasah kakek itu diurus.
Dikubur. Jangan ditinggal tergeletak begitu saja.”
“Urusan
kecil!” jawab Nyi Roro Manggut. Nenek ini hantamkan tangan kanannya ke bawah.
Tanah bermuncratan membentuk sebuah lobang besar.
“Kalian
tengah melakukan apa?” Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya perlahan dari
tempatnya tergeletak. Dia merasa heran ketika tubuh dan mukanya kejatuhan
muncratan tanah.
“Kami
hendak mengubur jenasah kakek Pengemis Empat Mata Angin.” Menerangkan Purnama.
“Kasihan
kakek itu….” ucap Wiro. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. “Tunggu! Jangan dikubur
dulu!”
“Memangnya
kenapa?” tanya Purnama.
“Ingat
apa yang telah aku lakukan terhadapnya? Rohnya tidak akan tenteram di alam
akhirat kalau letak…. letak… anunya itu masih terbalik.”
Wajah
Purnama tampak berubah. Gadis ini ingat kalau anggota rahasia Pengemis Empat
Mata Angin yang pernah ditanggalkan Wiro dengan ilmu Menahan Darah Memindah
Jasad masih dalam keadaan terbalik. (Kisah lucu sampai Wiro menanggalkan
anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin dan kemudian memasangnya kembali sengaja
terbalik dapat dibaca dalam Episode sebelumnya berjudul “Misteri Pedang Naga
Merah”).
“Kau mau
melakukan apa?”
“Aku akan
coba memperbaiki letaknya kembali.”
“Dalam
keadaan seperti ini apa kau sanggup melakukan?” tanya Purnama.
Saat itu
Nyi Roro Manggut datang mendekati dan bertanya. “Kalian bicara apa? Ada apa
sebenarnya ini? Mengapa jenasah kakek botak itu tak segera dikubur?”
Purnama
tak bisa menjawab. Akhirnya Wiro yang bicara.
“Nek, aku
butuh pertolonganmu. Tolong tarik aku ke dekat jenasah kakek botak itu.”
“Eh, kau
mau melakukan apa?”
“Sudah,
lakukan saja Nek,” ucap Wiro.
Karena
Nyi Roro Manggut tidak mau melakukan apa yang dikatakan Wiro maka Purnama lalu
cekal pergelangan kaki sang pendekar dan menariknya hingga berada di samping
jenasah kakek pengemis. Nyi Roro Manggut mengikuti langkah Purnama dan berdiri
di samping jenasah Pengemis Empat Mata Angin.
“Nek,
kalau tidak aku terangkan kau tidak akan mengerti.” Dengan suara perlahan
karena tubuhnya nyaris tiada daya Wiro lalu menerangkan apa yang telah
dilakukannya pada Pengemis Empat Mata Angin. “Kakek itu pernah bilang, kalau
dia mati, dia tidak akan tenteram jika anunya itu masih dalam keadaan terbalik.
Sekarang agar rohnya tenteram aku harus membalikkan kembali letak anunya kakek
itu.”
“Oala!
Bocah ingusan! Dari dulu kau memang selalu jahil. Kini orang lain kau bikin
susah termasuk aku!” si nenek cebol berkata setengah mengomel.
“Nek,
tolong kau tarik ke bawah celana panjang kakek botak itu.”
“Apa?!”
Nyi Roro Manggut tersentak kaget dan delikkan mata.
“Aku tak
mungkin memperbaiki letak anggota rahasianya kalau celananya tidak dibuka,”
ucap Wiro pula.
“Kau
gila!”
“Nek,
kalau nanti roh kakek itu gentayangan, bukan aku yang dicarinya tapi dirimu.
Karena kau tidak mau menolong!”
“Perduli
setan!” jawab si nenek.
“Terserahmu
Nek, aku hanya mengingatkan.”
“Nek,
tolong. Lakukan apa yang dikatakan sahabatku itu….” Rayi Jantra berucap.
Diam-diam
Nyi Roro Manggut jadi mengkirik juga kuduknya mendengar ucapan Wiro tadi. Dia
tidak mau mendapat susah. Apalagi kalau sampai terhalang kembali pulang ke laut
selatan. Akhirnya dia membungkuk dan tarik celana Pengemis Empat Mata Angin
hingga anggota rahasianya tersingkap. Purnama cepat-cepat balikkan diri. Walau
sudah melengos tak sengaja si nenek sempat melihat aurat terlarang itu dan
mulutnya langsung ketelepasan bicara.
“Weh, kok
jelek amat!”
“Nek,
memangnya kau pernah melihat anu yang lain yang lebih bagus?” Wiro ketelepasan
bicara pula, bertanya seenaknya.
“Bocah
ingusan geblek! Sudah mau mati masih saja bicara ngelantur!” damprat Nyi Roro
Manggut lalu palingkan wajahnya yang tersipu malu.
“Nek,
tolong angkat tangan kananku. Letakkan di atas anunya si kakek.”
“Edan!
Kau benar-benar keterlaluan!”
“Nek…”
Dengan
lebih dulu melengos si nenek lakukan juga apa yang dikatakan Wiro.
Setelah
tangan kanannya berada di bagian bawah perut Pengemis Empat Mata Angin, Wiro
masih memerlukan pertolongan si nenek.
“Satu
permintaan lagi, Nek…”
“Edan!
Apa lagi?”
“Alirkan
tenaga dalammu ke tangan kananku,” jawab Wiro.
Nyi Roro
Manggut menarik nafas panjang, menoleh pada Purnama. Ketika gadis dari negeri
1200 tahun silam ini anggukkan kepala si nenek letakkan tangan kanannya di atas
bahu kanan Wiro lalu alirkan tenaga dalam. Dengan kekuatan tenaga yang
diberikan Nyi Roro Manggut murid Sinto Gendeng mampu mengerahkan ilmu Menahan
Darah Memindah Jasad dan berhasil memindah serta memperbaiki letak anggota
rahasia Pengemis Empat Mata Angin yang tadinya terbalik.
“Sudah Nek,”
ucapWiro.
“Apanya
yang sudah?” tanya Nyi Roro Manggut.
“Anunya
si kakek sudah aku putar.”
“Lalu?!”
“Tolong
kau lihat, apa letaknya sudah bagus, sudah lempang.”
“Setan
alas!” Nyi Roro Manggut memaki jengkel dan marah. Dia lalu gulingkan tubuh Wiro
ke samping dan siap untuk memasukkan jenasah Pengemis Empat Mata Angin ke dalam
lobang. “Tunggu Nek! Celananya belum dinaikkan! Anunya belum tertutup!” ucap
Wiro. “Perduli setan aku!” kata si nenek. Lalu dia dorong tubuh Pengemis Empat
Mata Angin ke dalam lobang. “Celaka Nek! Bagaimana kalau di alam roh burungnya
kakek itu nanti terbang kelayapan karena celananya
tidak
ditutup. Pasti kau yang dicari dan dipatuknya!”
“Perduli
setan!” Ucap Nyi Roro Manggut hampir berteriak sementara Purnama hanya bisa
tersenyum geli dan geleng-gelengkan kepala. Dia sudah banyak mendengar dan
melihat keusilan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun yang sekali ini benar-benar
edan. Padahal keadaan Wiro saat itu masih belum terlepas penuh dari ancaman
bahaya Racun Inti Bumi.
***********************
LIMA
DENGAN
mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dan Ilmu Menggunung
Raga Melaut Tenaga Nyi Roro Manggut yang memanggul Wiro, Rayi Jantra, Purnama
dan Jatilandak di bahu kiri kanan, dalam bilangan kejapan mata saja telah
berada di Teluk Losari. Angin mengandung garam bertiup dingin. Di langit bulan
sabit tampak samar tertutup saputan awan tipis. Deburan ombak menderu tak
berkeputusan. Tak jauh di tengah laut, beberapa buah pulau kelihatan menghitam
seperti gundukan batu dalam gelapnya malam.
“Purnama…
Kau bisa mendengar suaraku?” Nyi Roro Manggut keluarkan ucapan.
Sunyi tak
ada jawaban. Sesaat kemudian baru terdengar suara gadis dari negeri
Latanahsilam itu. “Aku mendengar Nek. Aku mendengar suara debur ombak. Kita….”
“Kita
sudah sampai di teluk. Apa yang harus aku lakukan. Melemparkan kalian semua ke
dalam laut?” bertanya Nyi Roro Manggut.
“Baringkan
kami di atas pasir. Kalau ombak datang kepala kami akan terguyur air laut.
Lobang-lobang di kening kami akan lenyap. Dengan ijin Tuhan kami semua akan
terbebas dari racun jahat Inti Bumi. Tenaga dalam serta semua kesaktian yang
kami miliki akan pulih kembali. Begitu petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan….”
Saat itu
si nenek masih memanggul keempat orang tersebut di bahu kiri kanan, Entah
mengapa hatinya mendadak terasa tidak enak. Setelah berpikir sejenak dia
berkata.
“Sudah,
aku akan bawa kalian ke dalam laut. Biar aku ikut mandi sekalian. Hik… hik…
hik….”
Lalu,
tidak menunggu lebih lama nenek sakti dari laut selatan itu berlari merancah
laut menerobos ombak. Baru air laut mencapai sebetis dan tubuh keempat orang
yang dipanggulnya masih belum terkena air laut, entah dari mana datangnya
tiba-tiba muncul dua buah perahu meluncur cepat ke arah teluk. Diantara deru
ombak ada orang berseru keras.
“Siapa
yang berani mengotori laut kawasan kakuasaan Ratu Laut Utara malam-malam buta
begini!”
Dua
perahu semakin dekat. Di atas perahu sebelah kanan berdiri seorang kakek
berambut kelabu riap-riapan, mengenakan jubah kuning. Pada pertengahan kening,
melintang sampai ke pipi kiri ada cacat bekas luka yang membuat mata kirinya
agak terpuruk hingga wajahnya tampak angker seram. Dua tangan dirangkap di atas
dada. Kaki kiri dicelup ke dalam air laut, dijadikan pendayung dan membuat
perahu melesat pesat di atas air. Kakek inilah yang barusan keluarkan saruan.
Di atas
perahu kedua tampak seorang kakek berjubah biru, berkepala botak dan memiliki
wajah berwarna merah. Walau sudah tua namun sosoknya yang tinggi besar dan
buncit tampak masih kukuh tegap. Di tangan kiri dia memegang sebuah dayung kayu
besar yang dicelupkan ke dalam air laut. Setiap kali dia mengayuh, perahu
melesat cepat dipermukaan air laut. Siapa gerangan dua orang tua berkepandaian
tinggi ini?
Sewaktu
terdengar suara seruan tadi, empat orang di atas bahu kiri kanan Nyi Roro
Manggutcoba bergerak mengangkat kepala untuk melihat ke depan,
“Nek, aku
mencium bahaya. Lekas lemparkan kami ke dalam laut!” Purnama keluarkan ucapan.
Wiro
sendiri saat itu ketika melihat kakek berjubah biru bermuka merah terkesiap.
“Kakek muka merah di atas perahu. Aku pernah melihat orang ini sebelumnya.
Dimana… kapan?”
Sebelum
ingatan Pendekar 212 pulih, tubuhnya sudah dilempar Nyi Roro Manggut ke dalam
laut bersama tiga orang lainnya. Si nenek sendiri kemudian mundur tiga langkah,
sosok kembali ke ujud semula pendek cebol, mata menatap tak berkesip ke arah
dua perahu. Ketika perahu mendekat dia segera mengenali kakek berjubah kuning
namun tidak tahu siapa adanya kakek bermuka merah berkepala botak di atas perahu
satunya.
Begitu
Wiro, Purnama, Rayi Jantra dan Jatilandak masuk ke dalam air laut, kepala
mereka terasa dingin. Dari lobang-lobang di kening menyembur hawa panas yang
membuat air laut berbusah empat warna. Saat itu juga terjadi satu keanehan.
Secara bersamaan empat lobang di kening Wiro, Purnama, Rayi Jantra serta dua
lobang di kening Jatilandak lenyap. Kekuatan luar, tenaga dalam serta kesaktian
yang mereka miliki serta merta pulih walau kulit mereka masih belang-belang.
Keempat orang munculkan diri ke permukaan air laut, berseru keras, lalu
serentak melesat ke udara dan berdiri berjejer tegak di pasir pantai. Mereka
kemudian sama-sama mendekati Nyi Roro Manggut. Wiro mencari-cari, memandang
seputar laut. Dia tidak melihat lagi kakek muka merah kepala botak tadi. Orang
tua itu lenyap bersama perahunya. Mendadak Wiro ingat. Kakek botak muka merah
itu adalah kakek yang dilihatnya di luar tembok halaman gedung Kadipaten
Losari. Kakek yang membunuh perajurit Jumena.
“Mungkin
dia mengenali diriku,” pikir Wiro. Lalu bertanya pada Nyi Roro Manggut “Nek,
kau melihat kemana lenyapnya kakek muka merah di atas perahu satunya?”
Sebelum
si nenek sempat menjawab, di depan sana, di atas perahu yang sudah berhenti,
kakek berjubah kuning yang mukanya ada parut memanjang cacat bekas luka sudah
lebih dulu membuka mulut, keluarkan suara lantang.
“Nyi Roro
Manggut! Sahabat lama! Jauh-jauh dari selatan, ada apa gerangan muncul di laut
utara?!”
Si nenek
pandang sesaat kakek di atas perahu, mendongak ke langit seolah menatap bulan
sabit lalu tertawa panjang. Dalam tertawa dia sengaja kerahkan tenaga dalam dan
hawa sakti hingga permukaan laut bergetar dan perahu di depan sana bergoyang
oleng. Kakek jubah kuning jadi terkesiap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Dua
kaki laksana dipancang di atas lantai perahu. Hawa sakti menembus sampai ke
permukaan air laut. Namun goncangan perahu di atas mana dia berada hanya
berkurang sedikit pertanda tenaga dalam kakek ini masih berada jauh di bawah
Nyi Roro Manggut.
Setelah
puas tertawa nenek sakti dari kawasan laut selatan, pembantu utama Nyi Roro
Kidul turunkan pandangan, berpaling ke arah kakek berjubah kuning lalu berucap.
“Pengging Kuntala! Kau rupanya. Belasan tahun tidak bertemu, kurasa kau sudah
jadi tulang-belulang, bersatu dengan dasar laut utara!”
“Nyi Roro
Manggut! Kau masih seperti dulu saja! Sikap pongah bicara sombong! Tidak tahu
diburuk rupa! Ha… ha… ha! Apa kau tidak sadar kalau telah mengotori kawasan
laut Utara. Kau kencing dimana, mengapa berani cebok di sini?!”
Nyi Roro
Manggut angguk-anggukan kepala beberapa kali. Lalu menjawab. “Baru air kencing
saja kau sudah kalang kabut! Kau ingin aku berak di sini saat ini juga?! Hik…
hik… hik!” . “Nenek buruk jahanam! Berani kau…”
“Kakek
jubah kuning!” tiba-tiba Wiro membentak memotong bentakan Pengging Kuntala.
“Jangan berani bicara kurang ajar pada nenek ini kalau tidak mau kutambah cacat
di mukamu! Jawab pertanyaanku! Tadi kau muncul bersama seorang kakek botak muka
merah! Kemana lenyapnya sobatmu itu?! Katakan siapa dia adanya dan dimana aku
bisa menemui!”
Si kakek
di atas perahu yang bernama Pengging Kuntala berpaling ke arah orang yang
barusan bertanya padanya. Seperti melihat orang di kejauhan, dia tudungkan
telapak tangan kiri di atas mata. “Malam boleh gelap, tampangmu boleh
belang-belang. Tapi aku masih bisa mengenalimu. Bukankah kau pemuda bernama
Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua?”
Wiro
heran bagaimana kakek yang baru sekali itu dijumpainya bisa mengetahui siapa
dirinya. Apalagi wajahnya masih tertutup empat warna Racun Inti Bumi. Pasti
kakek botak muka merah tadi yang memberi tahu. Lalu bagaimana si muka merah itu
mengenal dirinya kalau bukan karena pertemuan pada malam Kematian Jumena?!
Pengging
Kuntala berpaling pada Rayi Jantra seolah tidak acuhkan pertanyaan Wiro. “Dan
kau, bukankah kau Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari? Mengapa ikutan
berada di sini?” Tanpa menunggu jawaban orang kakek berjubah kuning ini
kemudian memandang ke arah Purnama dan Jatilandak. “Kalian berdua aku tidak
kenal. Tapi kalian tetap akan mendapat hukuman karena ikutan mengotori kawasan
laut utara!”
Mendengar
ucapan si kakek Wiro jadi kesal.
“Tua
bangka muka parut! Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Kalau
aku tak mau menjawab?” sahut Pengging Kuntala pula menantang.
Wiro
menyeringai. “Kalau kau tak mau menjawab, biar aku tamb kotoran di laut utara
ini!” Selesai keluarkan ucapan, Wiro miringkan tubuhnya sedikit lalu enak saja
dia rorotkan celana ke bawah dan serr! Air kencingnya mengucur ke dalam air
laut. Dia ingat pada sobat tuanya Setan Ngompol. Kalau kakek tukang beser itu
ada di situ pasti keadaannya jadi bertambah seru!
“Manusia
kurang ajar! Kau mencari mati!” teriak Pengging Kuntala marah dan merasa sangat
dihina. Dari atas perahu dia hantamkan tangan kanan ke arah Wiro.
“Wuuss!”
Selarik
sinar kuning menyambar Pendekar 212 disertai suara gemuruh seperti topan
melabrak. Inilah pukulan sakti yang disebut Badai Laut Utara Mengamuk.
“Pengging
Kuntala! Jangan cuma berani pada bocah ingusan! Aku lawanmu! Bukankah sejak kau
diusir dari laut selatan sudah lama kita tidak pernah saling jajal ilmu
kepandaian?!”
“Nenek
buruk sombong! Jika itu maumu aku tidak menolak!” Jawab Pengging Kuntala. Kakek
ini lipat gandakan hawa sakti dan tenaga dalamnya. Serangan yang tadi ditujukan
pada Wiro kini diarahkan pada si nenek.
“Wusss!”
Teluk
Losari kuning terang benderang oleh sinar pukulan sakti yang dilepaskan Pengging
Kuntala disertai deru dahsyat laksana badai mengamuk. Air laut muncrat setinggi
dua tombak. Kalau sampai Nyi Roro Manggut terkena hantaman pukulan sakti itu,
tubuhnya akan hancur berkeping-keping dan kepingan tubuh itu kemudian akan
leleh mengerikan.
“Hebat!”
si nenek berteriak seolah memuji. Namun kemudian dia tertawa mengekeh seperti
melecehkan. Dia tahu serangan pukulan apa yang dilancarkan Pengging Kuntala.
“Pukulan
lama ilmu butut! Apa kau tidak punya ilmu baru sejak minggat belasan tahun?”
Nyi Roro
Manggut cepat angkat kedua tangannya.
Pengging
Kuntala menggembor marah. Pukulan yang memang sudah dimiliki sejak puluhan
tahun lalu. Dulu ketika masih mengabdi pada Nyai Roro Kidul pukulan itu diberi
nama Badai Laut Selatan. Setelah dia minggat ke utara dan menjadi orang
krpercayaan Ratu Laut Utara nama pukulan tersebut diganti menjadi Badai Laut
Utara Mengamuk. Ilmu pukulan sakti yang telah dimilikinya sejak puluhan tahun
itu kini kehebatannya telah berlipat janda. Kakek ini yakin dengan sekali
hantam saja si nenek cebol akan hancur luluh sekujur tubuhnya.
“Terima
kasih untuk seranganmu! Biar aku kembalikan dengan segala kerendahan hati!” Nyi
Roro Manggut gerakkan dua tangannya. Dua larik cahaya biru berkiblat.
“Desss!
Desss!”
Di atas
perahu Pengging Kuntala berseru kaget ketika tubuhya terdorong dan perahu
menjadi oleng. Sebelum dia bisa mengimbangi diri tiba-tiba cahaya kuning
pukulan saktinya menghantam balik ke arah dirinya. Akibat bentrokan dengan dua
larik sinar biru tangkisan Nyi Roro Manggut, cahaya kuning berubah menjadi
kobaran api luar biasa dahsyat. Si kakek menjerit keras sewaktu jubah kuningnya
meletup dan nyala api membakar sekujur tubuhnya! Setelah menjerit sekati lagi
Pengging Kuntala ceburkan diri ke dalam laut. Kini hanya kelihatan perahu yang
tadi ditumpanginya dilamun kobaran api. Untuk beberapa saat lamanya nyala api
mengambang di permukaan laut seolah ada lapisan minyak yang terbakar.
Nyi Roro
Manggut berpaling pada empat orang di sampingnya. “Kakek sialan itu sudah
kabur. Dia pasti mengadu pada pimpinannya. Ratu kurang ajar yang katanya
menjadi penguasa kawasan laut utara.”
“Nek,
siapa adanya kakek berjubah kuning tadi?” tanya Wiro.
“Dulu dia
adalah salah seorang yang ditugaskan Nyi Roro Kidul untuk menjaga tembok batas
kawasan pantai selatan. Mungkin merasa dirinya lebih hebat dari hanya seorang
penjaga tembok batas Kerajaan bawah laut, sekitar dua puluh tahun silam dia
minggat tanpa pamit. Kemudian belum lama ini diketahui dia telah menjadi orang
kepercayaan perempuan jalang yang menamakan diri Ratu Laut Utara, penguasa laut
utara. Orang-orang laut utara punya sikap bermusuhan dengan kami orang-orang
dari laut selatan. Mereka selalu berusaha membuat kekacauan. Selain itu juga
coba membujuk orang-orang kepercayaan Nyi Roro Kidul untuk bergabung dengan
mereka.”
“Nek,
kalau Ratu Laut Utara aku pernah kenal. Orangnya baik,” kata Wiro pula.
“Namanya Ayu Lestari. Dia mendapat warisan keratuan dari Ratu yang asli…”
“Ayu
Lestari yang kau kenal itu sekarang sudah jadi orang sekapan. Dipendam oleh
Ratu palsu berhati jahat di dasar laut. Kakek tadi menjadi salah satu orang
kepercayaan si ratu jahat!” (Mengenai Kisah Ayu Lestari yang jadi Ratu Laut
Utara harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Pembalasan Ratu Laut Utara”).
“Lalu
kakek botak muka merah tadi? Apa kau kenal dia?” tanya Wiro lagi.
“Aku tak
kenal si botak itu. Dia kabur dengan perahunya ketika aku melemparkan kalian ke
dalam laut.” Jawab Nyi Roro Manggut. “Ah, aku lihat kalian sudah pulih semua.
Tidak ada lagi lobang di kening…”
“Semua
berkat pertolonganmu Nek. Kami sangat berterima kasih…”
Nyi Roro
Manggut goyangkan kepalanya ke arah Jatilandak. “Jangan berterima kasih pada
aku saja. Ingat Gusti Allah yang menolong kalian. Selain itu, pemuda ini ikut
membantu menyelamatkan kailan. Dengan ujudnya yang seperti landak dia membobol
dasar tembok batu dimana kalian terkurung.”
Wiro dan
Rayi Jantra langsung membungkuk seraya mengucapkan terima kasih pada Jatilandak
yang disambut putera Purnama ini dengan sikap rikuh.
“Aku
sampai di sini secara kebetulan belaka,” menjelaskan Jatilandak. “Aku diam-diam
mengikuti perjalanan ibu karena katanya ada mahluk alam gaib yang selalu
menjahili dirinya.”
“Kau anak
baik,” kata Nyi Roro Manggut pula. “Urusanku sudah selesai. Aku harus kembali
ke selatan.”
“Tunggu,
jangan pergi dulu Nek,” Wiro cepat pegang tangan si nenek:.
“Apa
maumu bocah ingusan?” Mendadak si nenek ingat sesuatu. “Eh, apa kipas kayu
cendana yang aku titipkan padamu sudah kau serahkan pada kakek itu?” Nyi Roro
Manggut bertanya.
“Maksudmu
Kakek Segala Tahu, Nek?”
“Memangnya
kau berikan pada siapa kipas itu?”
“Sudah
Nek, jangan khawatir. Kakek Segala Tahu sangat senang. Walau dia tidak mengatakan
tapi aku tahu dia akan berusaha mencari dan menemuimu.”
Nyi Roro
Manggut tersenyum.
“Nah,
kalian baik-baik saja. Aku harus pergi sekarang.”
“Nyi
Roro, aku berterima kasih atas pertolonganmu. Aku masih menyimpan baik-baik
sapu tangan pemberianmu. Kalau kau memang mau pergi, bolehkan aku menitipkan
pesan untuk seseorang?”
“Pasti
titipan untuk seorang gadis!” ucap si nenek pula.
Wiro
tertawa. “Ada pesan untuk Ratu Duyung dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia
diminta datang bersamaku menemui orang tua itu. Aku akan menunggunya di tepi
telaga di puncak timur Gunung Gede pada saat rembulan empat belas hari bulan di
muka.”
Nyi Roro
Manggut melirik sekilas pada Purnama lalu berkata. “Anu… hemm, baik, akan aku
sampaikan pada gadis bermata biru itu. Jika kau bertemu lagi dengan Kakek
Segala Tahu, katakan aku menunggunya di Istana Tiga Menara di dasar samudera
selatan.”
“Pasti
aku sampaikan Nek,” jawab Wiro. Lalu buru-buru dia ambil tangan kanan si nenek
dan menciumnya. “Sekali lagi terima kasih Nek.”
Nyi Roro
Manggut pegang bahu sang pendekar dan berkata perlahan. “Kalau saja tidak ada
orang-orang itu kau pasti bukan mencium tanganku. Tapi mencium pipiku.”
“Kalau
kau memang suka aku akan melakukannya sekarang juga, Nek!” jawab Wiro.
Lalu
cuupp… cuupp! Enak saja Wiro cium pipi si nenek kiri kanan! Nyi Roro Manggut
terpekik. Orang-orang yang menyaksikan terkesiap kaget melihat kejadian itu.
Lalu sama-sama tertawa.
“Bocah
ingusan konyol!” Nyi Roro Manggut tarik telinga kiri Pendekar 212 sambil
tertawa panjang. Belum habis gema tawanya, sosok si nenek sudah lenyap di
kegelapan malam.
“Sebaiknya
kita segera pergi saja dari teluk ini,” berkata Wiro. “Kalau kakek bermuka
cacat tadi adalah kaki tangan Ratu Laut Utara yang jahat, bukan mustahil dia
akan muncul kembali membawa kawan-kawan. Melayani mereka berarti menghambat
urusan kita.”
Namun
sebelum sempat beranjak dari tempat itu tiba-tiba dari arah pantai sebelah
timur terlihat dua penunggang kuda memacu tunggangan masing-masing ke arah
mereka. Dua orang ini membawa serta seekor kuda cadangan. Sampai di hadapan
keempat orang itu mereka segera melompat turun dan memberi salam. Wiro dan
kawan-kawan membalas salam. Yang datang ternyata seorang pemuda gagah dan
seorang gadis jelita. Wiro segera mengenali sang pemuda sedang si gadis cantik
dia menduga-duga apa pernah bertemu sebelumnya.
***********************
ENAM
“SAHABAT
Panjirama, sungguh tidak disangka kita bisa bertemu lagi…” Wiro menyapa. Pemuda
gagah yang disebut dengan nama Panjirama menatap Pendekar 212 sesaat. Lalu
berkata. “Wajahmu yang tertutup empat warna aneh membuat aku agak sulit
mengenali dirimu. Tapi aku masih bisa mengenali suaramu. Bukankah kau sahabat
yang tak mau memperkenalkan nama dan telah menolong kami di sebuah candi ketika
kami berkelahi melawan Pengemis Mata Putih dan anak buahnya.” (Mengenai
perkenalan Wiro dengan Panjirama harap baca serial sebelumnya berjudul “Dadu
Setan”).
“Kau
keliwat merendah. Padahal kau dan kawanmu saat itu yang telah menolongku,”
jawab Wiro pula. Dia melirik pada gadis jelita di samping Panjirama lalu
bertanya. “Panji, mana adikmu Ariadarma?”
Ditanya
begitu Panjirama tersenyum. Akhirnya pemuda ini berkata. “Sekarang aku terpaksa
berterus terang. Ariadarma memang adikku. Tapi sebenarnya dia adik perempuan
yang saat bertemu denganmu dalam penyamaran sebagai seorang pemuda berkumis.
Dialah orangnya.” Panjirama berpaling pada gadis cantik di sebelahnya.
Wiro
menggaruk kepala. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. Ah, jadi benar apa
yang aku lihat saat itu melalui ilmu Menembus Pandang. Pemuda berkumis kecil
bernama Ariadarma itu ternyata memang seorang perempuan. Seorang gadis cantik.”
“Kalau
begitu siapa sahabat berdua ini sebenarnya?” tanya Wiro.
“Saat ini
agaknya kami tidak perlu lagi menyembunyikan siapa kami adanya. Sahabat, aku
adalah Walang Sungsang bergelar Pangeran Cakrabuana. Dan ini adikku Nyai Rara
Sintang. Kami kakak beradik berasal dari Kerajaan Pajajaran. Kami putera-puteri
Prabu Siliwangi.”
Mendengar
ucapan pemuda yang dikenalnya dengan nama Panjirama itu, Pendekar 212 segera
bungkukan badan memberi penghormatan. Hal yang sama juga dilakukan olah Rayi
Jantra, Purnama dan Jatilandak.
“Ah, tak
perlu memakai segala peradatan,” ucap Panjirama alias Walang Sungsang alias
Pangeran Cakrabuana seraya menepuk bahu Pendekar 212.
Wiro
kemudian memperkenalkan ketiga sahabatnya ini pada Pangeran Cakrabuana dan Nyai
Rara Santang. Ketika memperkenalkan diri Rayi Jantra membungkuk seraya berkata.
“Saya Rayi Jantra, kita pernah bertemu. Apakah Pangeran Cakrabuana masih
ingat?”
Pemuda di
hadapan Rayi Jantra memperhatikan wajah Rayi Jantra yang berbelang-belang itu
beberapa lamanya. Kemudian dia berseru dan melangkah mendekat lalu merangkul
Kepala Pasukan Kadipaten Losari itu.
“Benar-benar
pertemuan tidak disangka. Kami berdua punya pesanan dari Ayahanada Prabu
Silrwangi untuk mencari sahabat, untuk menyerahkan satu barang titipan. Nanti
akan aku serahkan padamu. Biar aku bicara dulu dengan sahabatmu si gondrong
ini.”
Sambil
menggaruk kepala Wiro berkata. “Ketika berada di candi, aku sama sekali tidak
mengetahui siapa adanya sahabat berdua. Waktu itu aku…” Wiro tidak meneruskan
ucapannya melainkan memandang pada Nyai Rara Santang.
Puteri
Kerajaan Pajajaran itu tersenyum. “Aku tahu…” katanya. “Kau mempergunakan ilmu
kepandaian untuk mengetahui siapa diriku sebenarnya.” “Aku mengaku bersalah.
Aku memang manusia jahil. Dan aku minta maaf,” ucap Wiro polos. “Kau sudah
dimaafkan,” kata Nyai Rara Santang pula. “Kau mungkin tidak menyadari. Karena
perbuatan
jahilmu
itu kau tidak mampu lagi mengerahkan ilmu kesaktian untuk melihat di luar batas
kemampuan manusia biasa. Tapi sekarang karena sudah kumaafkan, kurasa ilmu itu
sudah kembali.”
Karuan
saja murid Sinto Gendeng jadi terperangah dan garuk-garuk kepala. Dia kini
ingat. Sebelumnya beberapa kali dia pernah mengerahkan Ilmu Menembus Pandang
pemberian Ratu Duyung itu. Namun selalu gagal. Wiro tidak menyangka kalau Nyai
Rara Santang punya kemampuan menjajagi ilmu kepandaiannya. Dia merasa lega dan
membungkuk. “Sekali lagi aku mohon maaf.” Lalu Wiro bertanya. “Sahabat berdua,
apakah mempunyai hubungan dengan seorang nenek sakti yang sudah tewas berjuluk
Eyang Sepuh Kembar Tilu?”
Dua kakak
beradik itu tampak terkejut.
“Kami
memang punya hubungan dengan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tapi kami tidak tahu
kalau beliau sudah tewas. Siapa yang membunuhnya?” bertanya Pangeran
Cakrabuana. “Kami justru tengah menyelidiki siapa pembunuh nenek itu,” jawab
Wiro. “Mengapa sahabat menanyakan perihal hubungan kami?” Nyai Rara Santang
bertanya. “Sebelum menghembuskan nafas nenek sakti itu berpesan agar aku
menemui Nyai Rara Santang dan mencari pembunuhnya.”
Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Rara Santang saling pandang. Sang adik kemudian berkata.
“Kami memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar Tilu untuk disampaikan hanya
pada satu orang tertentu. Dan ini merupakan satu hal yang rahasia.”
“Kalau
boleh tahu, siapa orang itu?” tanya Wiro pula. “Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.” Nyai Rara Santang
hentikan ucapan dan menatap wajah belang pemuda di hadapannya. “Apakah kau….”
“Mohon
dimaafkan. Akulah si sableng murid Eyang Sinto Gendeng itu.” Kata Wiro pula
sambil membungkuk. Setelah meluruskan tubuh dia bertanya. “Kalau boleh aku
tahu, mengapa Nyai Rara Santang memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar
Tilu?”
Nyai Rara
Santang memandang pada kakaknya. Pangran Cakrabuana memberi isyarat anggukan
kepala. Lalu Nyai Rara memberi keterangan. “Sebenarnya ini merupakan hal yang
ssangat rahasia. Tapi kami percaya padamu dan juga pada para sahabat lain yang
ada di sini. Kami tidak begitu berhasrat menjadi pewaris tahta Kerajaan
Pajajaran yang sekarang berada di tangan ayahanda Prabu Siliwangi. Kami
dalamsatu usaha hendak mendirikan sebuah kerajaan di wilayah Cirebon. Ini satu
pekerjaan yang tidak mudah. Banyak pihak yang berusaha menghalangi. Terutama
dari para pejabat Kerajaan di timur dan kaki tangannya para tokoh rimba
persilatan. Selain itu mereka juga berusaha membujuk para pejabat dari beberapa
kerajaan di barat termasuk Pajajaran. Mereka memiliki kekuatan serta dana
besar. Kami tidak tahu, hanya bisa mengira-ngira dari mana mereka mendapat dana
tersebut. Kami membutuhkan banyak bantuan dari orang-orang yang bisa diandalkan
dan dapat dipercaya. Baik semasa dalam usaha mendirikan maupun setelah Kerajaan
Cirebon nanti berdiri.
Salah
seorang yang sangat kami percayai adalah sahabat kami sendiri. Kami punya
rencana untuk meminta kesudian sahabat untuk kelak menjabat Panglima
Balatentara Kerajaan Cirebon.”
Wiro
menggaruk kepala dan tadinya hendak tertawa. Namun melihat kesungguhan pada
wajah dua kakak adik dihadapannya maka diapun berkata. “Sungguh luar biasa.
Hari ini aku menerima kepercayaan besar. Nyai Rara Santang, Pangeran Cakrabuana
aku sangat berterima kasih dan sangat menghormati apa yang menjadi rencana para
sahabat berdua. Namun ijinkan aku untuk mempertimbangkan permintaan itu.
Mungkin aku juga perlu nasihat kawan-kawan yang lain…”
“Kami
dapat memaklumi,” kata Pangeran Cakrabuana. “Kalau kami boleh bertanya apa yang
membuat pendekar dan tiga sahabat berada di Teluk Losari malam-malam begini. Lalu
mengapa kulit wajah serta tangan kalian berwarna hijau, merah, kuning dan
biru?”
Wiro lalu
menuturkan riwayat bagaimana mereka sampai berada di teluk itu. Mendengar
penjelasan sang pendekar Nyai Rara Santang berkata. “Sepanjang yang kami
ketahui Raja Racun Bumi Langit adalah salah seorang kaki tangan orang-orang
yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Cirebon.” Puteri Kerajaan Pajajaran ini
kemudian berpaling pada kakaknya. “Kanda Walang Sungsang, kita datang
terlambat. Tapi itu ada baiknya. Secara tidak langsung kita sudah melihat
keculasan orang-orang laut utara.”
Tanpa
diminta kemudian Pangeran Cakrabuana menceritakan bahwa kedatangannya ke Teluk
Losari malam itu adalah untuk bertemu dengan Pengging Kuntala selaku wakil Ratu
Laut Utara.
“Kami
bermaksud melakukan perundingan dengan Pengging Kuntala. Meminta agar
pimpinannya yaitu Ratu Laut Utara tidak mencampuri apa lagi menghalangi maksud
kami mendirikan Kerajaan Cirebon. Selama ini kami tahu sang Ratu berada di
belakang layar. Memerintahkan orang-orangnya untuk menghancurkan kami. Kami
juga punya dugaan keras Ratu Laut Utara bekerjasama dengan para pejabat
Kerajaan di timur serta musuh dalam selimut dari Kerajaan di barat”
“Karena
telah terjadi bentrokan antara para sahabat dengan Pengging Kuntala dan kami
menduga kakek itiu mungkin sudah tewas, paling tidak luka parah maka kami rasa
kami akan terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati Kami berharap sahabat
Wiro mau memenuhi harapan kami ini.”
Wiro
anggukkan kepala. Sambil menggaruk-garuk dia kemudian bertanya. “Apakah sahabat
berdua tidak merasa perlu menghubungi Adipati Losari? Dia salah seorang pejabat
tinggi di wilayah barat yang besar kuasa dan pengaruhnya,”
“Begitu
besar kuasa dan pengaruhnya hingga dia telah memerintahkan menangkap sahabat
hidup atau mati dengan imbalan lima ringgit emas?” ujar Pangeran Cakrabuana
pula sambil tersenyum.
Wiro
tertawa. “Adipati itu hanya tahu aku sebagai pembunuh Adipati Brebes. Tapi
tidak mau tahu kejahatan apa yang telah dilakukan Adipati Brebes hingga aku
membunuhnya.”
“Kami
berdua tahu sedikit banyak tentang keburukan perilaku Karta Suminta Adipati
Brebes. Kami yakin sahabat punya atasan kuat untuk membunuhnya.” Ucap Pangeran
Cakrabuana pula. “Mengenai Adipati Losari, dia pejabat yang baik. Kami
bersahabat dengan Adipati Raden Seda Wiralaga. Dia sangat mendukung usaha kami
untuk mendirikan Kerajaan Cirebon. Sepulang dari Gunung Jati kami akan
menyambanginya.” Menjelaskan Pangeran Cakrabuana.
Nyai Rara
Santang berpaling pada Jatilandak lalu berkata. “Sementara sahabat Wiro
mempertimbangkan permintaan kami, tidak ada salahnya kami juga menawarkan satu
jabatan tinggi lainnya pada sahabat. Jika berkenan sahabat bisa ikut bersama
kami saat ini juga. Jika perlu waktu untuk berpikir temui kami di mesjid besar
Gunung Jati. Kami akan berada di sana selama dua minggu.”
“Saya
merasa mendapat penghargaan sangat besar. Saya mengucapkan terima kasih. Saya
tidak punya kemampuan apa-apa. Tapi saya punya keinginan untuk membantu apa
saja yang bisa saya lakukan….” jawab Jatilandak sambil membungkuk hormat.
“Namun saat ini saya perlu tetap bersama teman-teman. Kami tengah menghadapi
satu urusan besar…”
“Jatilandak,”
berucap Purnama pada puteranya “Untuk melakukan suatu perbuatan baik serta
pengabdian luhur rasanya tak ada di antara kami yang keberatan kalau kau ikut
bersama dua sahabat ini.”
Sebenarnya
Jatilandak merasa tertarik dengan ajakan Nyai Rara Santang itu. Ada beberapa
hal yang mendorongnya. Pertama mencari pengalaman baru. Kedua dia masih merasa
kurang enak melakukan perjalanan bersama-sama Wiro sejak peristiwa hubungannya
dengan Bidadari Angin Timur tempo hari (Baca serial Wiro Sableng berjudul
“Bendera Darah”). Hal ketiga dia merasa ibunya akan menjadi rikuh didampingin
terus-menerus karena dia tahu sang ibu tengah jatuh cinta pada pendekar 212
Wiro Sableng. Tidak mustahil tadi ibunya sengaja memberikan semangat agar dia
mau mengikuti dua muda-mudi dari Kerajaan Pajajaran itu karena merasa kurang
enak jika dia hadir terus di tengah perjalanan bersama Wiro.
Melihat
Jatilandak bimbang, Pangeran Cakrabuana berkata. “Kebetulan kami membawa kuda
cadangan. Kita bisa pergi bersama-sama saat ini juga.”
Wiro
pegang bahu Jatilandak. “Tak usah khawatir dengan segala yang tengah kami
hadapi. Tawaran baik dari dua sahabat ini jangan sampai ditolak.”
Jatilandak
menatap ke arah ibunya. Purnama tersenyum dan angggukan kepala.
“Mungkin
sudah jadi perlangkahan saya. Mengabdi pada sahabat berdua….”
“Tidak,
kau tidak mengabdi pada kami. Tapi menjadi sahabat kami…” kata Rara Santang
pula. Lalu gadis ini ambil ujung tali kekang kuda cadangan dan menyerahkannya
pada Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tak bisa menolak lagi.
Pangeran
Cakrabuana mendekati Rayi Jantra. Dari dalam kantong kain yang dibawanya dia
mengeluarkan sebilah kujang dibungkus sarung yang masih baru. Melihat senjata
itu, hati Rayi Jantra berdetak. Walau masih terbungkus sarung namun dia punya
perasaan bahwa senjata itu adalah miliknya yang sirna dan kembali ke tempat
asalnya. Kujang dicabut keluar dari sarung. Cahaya kuning memancar menerangi
tempat itu. Sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata lima terbuat dari
emas mumi dipadu batu keramat dari Gunung Salak dan baja putih dari tanah
Banten.
Rayi
Jantra merasa gembira ketika mengenali senjata itu memang adalah kujang sakti
miliknya yang dulu diberikan sendiri oleh Pangeran Cakrabuana kepadanya.
“Rayi
Jantra, kau mau menceritakan bagaimana senjata sakti Kujang Emas Kiai Pasundan
ini kembali padaku?”
“Pangeran,
saya mohon maaf. Senjata itu terpaksa saya pergunakan ketika bertempur melawan
Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis, salah seorang bergundal yang jadi
pengawal apa yang dinamakan Istana Seribu
Rejeki
Seribu Sorga. Saya berhasil menusuk mata kanan Ki Sentot Balangnipa. Sebelum
saya pingsan Kujang Emas Kiai Pasundan melesat dan kembali pada Pangeran.”
(Kisah kujang ini dapat dibaca dalam serial sebelumnya berjudul “Dadu Setan”)
Pangeran
Cakrabuana mengangguk-angguk. Kujang disarungkan kembali lalu diserahkan pada
Rayi Jantra. “Terimalah kembali. Jaga baik-baik senjata bertuah ini.”
Rayi
Jantra ambil senjata sakti itu. Letakkan di atas kepala lalu bungkukkan badan
seraya berkata. “Terima kasih Pangeran.” Rayi Jantra selipkan senjata sakti itu
di balik pakaian di pinggang kiri.
“Pangeran
dan Nyai Rara,” Wiro berkata. “Sebelum pergi aku ingin bertanya. Apakah pernah
mendengar tentang dua buah benda yang disebut dadu setan?”
“Kami
pernah menyirap kabar tentang seorang paderi dari Tiongkok yang datang kesini
dan konon tengah mencari dua buah dadu itu,” kata Nyai Rara Santang pula.
Pangeran
Cakrabuana melanjutkan ucapan adiknya. “Kami juga mendengar kabar bahwa selain
merupakan senjata sakti dua buah dadu itu telah dipergunakan sebagai alat judi
untuk mengeruk kekayaan menghimpun dana besar. Dana besar ini konon sebahagian
dipergunakan untuk membiayai penumpasan usaha kami mendirikan Kerajaan Cirebon.
Kami berusaha mencari tahu siapa yang menjadi dalangnya. Namun sampai saat ini
belum berhasil. Salah satu tujuan kami untuk nanti menemui Adipati Losari Seda
Wiralaga adalah menanyai perihal dua buah dadu itu.”
“Apakah
sebelumnya Pangeran dan Nyai Rara Santang berdua pernah mendengar satu tempat
yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” bertanya Rayi Jantra.
“Kami
sering mendengar. Kalau Istana itu benar-benar ada, besar kemungkinan itulah
tempat para musuh kami menggarap kekayaan untuk mendanai penumpasan usaha
mendirikan Kerajaan Cirebon. Konon tempat itu tak jauh dari teluk ini. Di arah
selatan…”
“Kami
sudah mendatangi tempat itu. Letaknya di kaki sebuah bukit batu. Ternyata
tempat itu kosong. Di situ kami hampir menemui ajal dijebak Raja Racun Bumi
Langit.”
“Tabir
asap tambah terkuak.” Kata Pangeran Cakrabuana pula. “Kalau diusut dan dicari
tahu untuk siapa Ki Sentot Balangnipa dan Raja Racun Bumi Langit bekerja, akan
ketahui siapa dalang dibalik Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami punya
rencana untuk menyelidik. Namun masih ada satu urusan penting yang harus kami
lakukan di Gunung Jati…”
“Sahabat
berdua, untuk sementara biar kami yang mewakili mencari dadu setan itu. Banyak
sahabat kami serta orang-orang tak berdosa yang telah tewas gara-gara benda
celaka itu.” Kata Pendekar 212 pula.
“Kami
berdua sangat berterima kasih jika pendekar mau melakukan hal itu,” ucap
Pangeran Cakrabuana.
“Saya ada
satu pertanyaan, jika dua sahabat tidak berkeberatan.” Purnama yang sejak tadi
diam membuka mulut.
“Silahkan,
sahabat yang cantik hendak bertanya apa?” ujar Nyai Rara Santang pula. Sepasang
matanya memperhatikan dan mulutnya tersenyum. Saat itu dia sudah bisa merasakan
bahwa Purnama bukanlah gadis biasa dan memiliki ilmu kesaktian yang sulit
dijajaki ketinggiannya. Kalau saja dia bisa mengajak gadis ini.
“Pangeran,
Nyai Rara, apa pernah mendengar nama atau kenal dengan Pangeran Kumbara
Ajiwinata?”
“Dia
salah seorang keponakan Ayahanda kami Prabu Siliwangi.” Jawab Pangeran
Cakrabuana. “Ada apakah sahabat menamakan dianya?”
“Ada
seorang bernama Danang Seta. Dia salah seorang yang mengetahui tempat rahasia
bernama istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Namun dia keburu tewas di hadapan
makam kekasihnya, seorang gadis bernama Ningrum. Sebelum terbunuh pemuda itu
memperlihatkan sebilah keris kecil yang dipakai orang untuk membunuh
kekasihnya. Menurut Danang Seta keris itu adalah milik Pangeran Kumbara
Ajiwinata…”
Untuk
beberapa saat lamanya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang sama-sama
terdiam. Kemudian sang Pangeran berkata. “Aku tidak menaruh sangka kalau
Pangeran Kumbara ikut terlibat menjadi kaki tangan orang-orang yang hendak
menghambat berdirinya Kerajaan Cirebon…”
“Menurut
Danang Seta sebelum mati. keris itu adalah buatan seorang empu di Karang ampel,
bernama Empu Barada.” Purnama menambahkan keterangannya. Lalu dari balik
pakaiannya gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengeluarkan sebilah keris.
Ujung senjata ini ada noda darah yang telah mengering dan pada dua belah
gagangnya ada hiasan sebutir intan.
Melihat
senjata itu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang serta merta mengenali.
“Keris
Gunung Intan.” Ucap dua kakak beradik itu hampir bersamaan. Lalu sang kakak
menambahkan. “Kami tidak mengarang cerita. Tapi kami tahu betul bahwa sejak dua
tahun silam senjata ini telah diberikan kepada seorang sahabatnya oleh Pangeran
Kumbara.”
“Apakah
Pangeran tahu siapa nama sahabat itu?” tanya Rayi Jantra.
“Kalau
aku tidak salah namanya Bayumurti. Kabarnya dia sekarang menjadi Adipati Brebes
pengganti Adipati Karta Suminta.” ucapnya. “Sulit dipercaya kalau Bayumurti
ikut terlibat dalam hal yang berbau kejahatan. Tapi ada baiknya para sahabat
melakukan penyelidikan. Banyak hal yang membuat seseorang bisa berubah. Uang,
jabatan….”
“Dan
perempuan…” sambung Pendekar 212 sambil tersenyum. Lalu dia berkata. “Petunjuk
Pangeran akan kami ikuti. Kami akan menemui Adipati Brebes yang baru itu.”
“Agar
tidak mendapat kesulitan, jika berhadapan dengan Bayumurti katakan padanya
bahwa kami berdua yang mengutus para sahabat untuk melakukan penyelidikan.”
Berkata Nyai Rara Santang.
Pangeran
Cakrabuana menyambung ucapan adiknya. “Malam sudah jauh larut. Ijinkan kami
melanjutkan perjalanan dan membawa serta sahabat Jatilandak.”
Jatilandak
mendatangi ibunya.
“Ibu,
saya mohon diri.”
Jatilandak
yang sekarang berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah telah disembuhkan oleh
sang ibu berkat petunjuk Kitab Seribu Pengobatan mencium tangan Purnama. Sambil
mengusap kepala puteranya Purnama berkata. “Pergilah, kau tak usah merisaukan
diriku. Aku akan selalu memperhatikan dirimu dari jauh…”
Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memperhatikan sementara dalam hati
masing-masing bertanya-tanya bagaimana seorang gadis cantik seperti Purnama
bisa punya seorang putera yang sudah pemuda begitu rupa.
Jatilandak
kemudian memberikan penghormatan dengan membungkukkan diri pada Wiro dan Rayi
Jantra lalu melompat ke atas punggung kuda, memacu tunggangannya mengikuti
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang yang telah lebih dulu membedal kuda
masing-masing.
Setelah
tiga orang itu lenyap dalam kegelapan malam wiro bertanya pada Purnama. “Kau
tidak pernah bercerita tidak pernah mengatakan kalau keris kecil itu ada
padamu.”
“Kejadiannya
sewaktu kau meminta aku memata-matai paderi perempuan dari Tiongkok itu.
Senjata itu aku ambil setelah Danang Seta tewas. Sayang aku tidak melihat siapa
pembunuhnya.” Menerangkan Purnama lalu keris Gunung Intan yang sejak tadi
dipegangnya diserahkan pada Pendekar 212.
***********************
TUJUH
DALAM
perjalanan menuju Brebes untuk menemui Adipati Bayumurti, Rayi Jantra, Wiro dan
Purnama mampir di sebuah kedai minuman. Menyantap ubi dan pisang rebus ditemani
secangkir teh manis hangat pagi hari itu sungguh sedap rasanya. Pengunjung
kedai cukup ramai. Semua orang yang ada di kedai merasa heran melihat ada tiga
orang tamu yang kulit wajah serta tangan dan kakinya berbelang empat warna.
Namun mereka tidak berani memperhatikan secara berlebihan apa lagi
mempergunjingkan karena maklum tiga tamu itu pasti orang dari rimba hijau dunia
persilatan.
Wiro dan
kawan-kawan melihat pada salah satu dinding papan kedai minuman menempel
sehelai kertas bergambar wajahnya. Pada kertas selebaran itu tertulis kata-kata
dirinya sebagai buronan pembunuh dan siapa mampu menangkap hidup atau mati akan
mendapat hadiah lima ringgit emas. Selebaran itu ditandatangani oleh Seda
Wiralaga, Adipati Losari. Sebetulnya Wiro telah melihat dan membaca selebaran
itu yakni yang dibawa oleh Eyang Sinto Gendeng ketika bertemu beberapa waktu
lalu.
“Untung
Raja Racun Bumi Langit membuat mukaku belang-belang. Hingga tak ada satu
orangpun di kedai ini yang tahu kalau akulah buronan sialan itu,” kata Wiro
sambil tersenyum dan menggaruk kepala.
Selesai
membayar, ketika Wiro dan kawan-kawan siap hendak meninggalkan kedai, di
halaman rumah minuman itu berhenti sebuah gerobak. Di samping kusir gerobak
duduk seorang lelaki separuh baya berwajah klimis, bertubuh kurus tinggi. Di
dalam gerobak terdapat tumpukan peti barang serta keranjang. Rayi Jantra dan
Purnama sudah berdiri, namun Wiro memberi isyarat dan tetap saja duduk di
bangku kayu. Matanya memperhatikan tak berkesip lelaki tinggi kurus yang turun
dari gerobak dan melangkah masuk ke dalam kedai, duduk di salah satu sudut.
“Orang
yang barusan masuk…” bisik Wiro pada Rayi Jantra dan Purnama. “Dia mengenakan
jas tutup kebesaran. Lihat kancing ke dua dari atas. Bentuk dan warnanya agak
berbeda dari empat kancing lainnya.”
“Tampaknya
dia seorang pedagang.” Kata Rayi Jantra sambil memperlihatkan si tinggi kurus
lalu memandang ke arah gerobak yang penuh dengan barang di halaman kedai.
Dari
dalam saku pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kancing baju yang dulu diberikan
Eyang Sepuh Kembar tilu padanya sebelum menemui ajal. Setelah diperhatikan
ternyata kancing baju yang terbuat dari kayu keras itu sama bentuk dan warnanya
dengan empat kancing jas tutup yang dikenakan lelaki tinggi kurus itu.
“Mari
kita temui orang itu,” kata Wiro pula.
Belum
lagi sempat mengupas pisang rebus di atas meja, lelaki klimis tinggi kurus
merasa heran dan terganggu ketika dua orang pemuda dan seorang gadis berwajah
belang-belang mendatangi lalu langsung duduk di hadapannya.
“Ada apa,
kalian siapa? Pemain sandiwara topeng?” Orang itu bertanya.
Wiro
tersenyum, cepat menjawab. “Bapak, mohon maaf. Kami tidak bermaksud mengganggu.
Jas tutup yang Bapak kenakan. Kami sangat tertarik. Potongannya bagus dan
bahannya pasti mahal.”
“Lalu
kenapa?” tanya orang di hadapan Wiro sambil mengusap-usap dada pakaiannya yang
barusan dipuji Wiro.
Wiro
memegang bahu Rayi Jantra. “Sahabat saya ini sangat tertarik pada jas tutup
yang Bapak kenakan. Kami tahu Bapak seorang pedagang. Tentu punya banyak uang.
Tapi kalau Bapak tidak keberatan, kami ingin membeli jas tutup Bapak. Maaf
kalau kami dianggap lancang.” Selesai bicara Wiro lalu meletakkan sekeping
perak murni di atas meja.
Sepasang
mata lelaki baya yang mengenakan jas tutup membesar. Dongan sekeping perak itu
dia bisa membuat atau membeli dua bahkan mungkin tiga helai jas tutup baru.
“Pemuda
gondrong muka belang, kau bicara tidak main-main?”
“Tentu
saja tidak,” jawab Wiro. “Hanya saja kami mohon maaf. Kalau Bapak sudi menjual
jas itu, Bapak harus menyerahkannya sekarang juga.”
“Eh, gila
kau gondrongi!” Si tinggi kurus tampak seperti marah. Tapi kemudian tanpa
banyak bicara lagi orang ini ambil kepingan perak murni dan segera dimasukkan
ke dalam saku celana. Lalu dia membuka jas tutup yang dikenakannya, dilipat
baik-baik dan diletakkan di atas meja.
“Terima
kasih, bolehkan kami mengetahui siapa nama Bapak?” tanya Pendekar 212.
“Namaku
Bentar Jagung. Aku pedagang. Semua orang di daerah ini tahu diriku.”
“Ah,
Bapak orang terkenal rupanya….”
Dipuji
begitu rupa pedagang bernama Bentar Jagung itu berkata. “Jika kalian juga butuh
celanaku, aku bersedia menjualnya. Tidak mengapa pulang ke rumah cuma pakal
kolor. Ha…ha…ha.”
“Terima
kasih. Sahabat saya ini hanya ingin membeli jas tutup.” Wiro mengambil jas di
atas meja, pura-pura memperhatikan dengan penuh kagum. Lalu berkata “Bagus
sekali. Jarang orang yang punya jas tutup seperti ini. Boleh kami tahu dimana
Bapak menjahitnya? Atau mungkin membelinya sudah dalam keadaan jadi?”
“Jas
tutup itu aku dapat dari seorang sahabat. Namanya Dali Rumpun. Seseorang
memberikan jas ini padanya dengan perintah agar jas tutup itu dibakar. Dia
tidak membakar, malah menjualnya padaku.”
“Aneh,
ada orang menyuruh bakar pakaian sebagus dan semahal ini. Bapak Bentar Jegung,
apa Bapak tahu siapa orang yang menyuruh bakar jas tutup itu?”
Si
pedagang bermuka klimis gelengkan kepala.
Wiro tahu
orang ini berdusta.
“Kita
sudah bersahabat. Mengapa Bapak tidak mau menerangkan…”
“Aku tak
mau mengatakan.” Jawab si pedagang memotong ucapan Wiro.
Wiro
meletakkan lagi sekeping perak di atas meja. Agak lebih kecil dari kepingan
perak yang tadi.
“Itu
untuk pembayar harga celanaku?” tanya Bentar Jegung. Lalu dia berdiri. Kedua
tangannya siap hendak menanggalkan celana panjang lurik hitam yang
dikenakannya.
“Tidak,”
jawab Wiro. “Itu hadiah kalau Bapak mau memberitahu orang yang memberikan jas
tutup itu pada Dali Rumpun.”
Bentar
Jegung mengusap-usap dagunya beberapa lama. Bibir bawah digigit-gigit. Sambil
berpikir-pikir dia memandang seputar kedai. Akhirnya dia memandang pada Wiro
kembali dan berkata.
“Baik,
akan kukatakan padamu. Tapi hanya kau sendiri yang tahu. Jangan diberi tahu
pada orang lain. Termasuk dua temanmu ini.”
“Tentu!
Tak akan saya beri tahu pada orang lain,” kata murid Sinto Gendeng pula sambil
senyum-senyum. “Kita sudah bersahabat. Jadi harus saling percaya. Bukan
begitu?”
Bentar
Jegung merunduk, dekatkan mulutnya ke telinga kiri Wiro lalu membisikkan sebuah
nama. Sepasang alis mata Pendekar 212 berjingkat ke atas, mata membesar lalu
mulut tersenyum.
“Terima
kasih Bapak. Terima kasih… Kami berangkat duluan.”
“Ya… ya.”
Sahut Bentar Jogung sambil mengusap-usap kepingan perak dalam saku celana
panjang yang kini jadi dua.
Wiro
serahkan jas tutup pada Rayi Jantra. Lalu ketiga orang itu segera tinggalkan
kedai minuman.
Setelah
meninggalkan kedai minuman cukup jauh Purnama berkata. “Kita ke timur, mencari
Adipati Brebes. Semua pekerjaan ini menyangkut dadu setan. Bagaimana dengan
Pedang Naga Merah. Bukankah kau juga harus mendapatkan senjata sakti itu?”
“Pedang
Naga Merah sampai saat ini masih berada di tangan Nio Nio Nikouw. Aku tidak
begitu berkhawatir. Cepat atau lambat paderl perempuan itu akan muncul
sendiri.” Jawab Wiro.
“Aku
masih sangat penasaran dengan lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan. Gara-gara
kelalaianku hal itu terjadi….”
“Semua
urusan kita hadapi satu persatu. Mudah-mudahan kitab itu bisa kita temukan.”
Wiro pegang lengan Purnama. Lalu keduanya lari mengejar Rayi Jantra yang berada
di sebelah depan.
“Wiro,
nama siapa yang tadi dibisikkan Bentar Jegung padamu waktu di kedai?” bertanya
Purnama.
“Kau tak
bakalan percaya.” Ucap Wiro.
“Siapa?”
“Bayumurti.
Adipati Brebes yang hendak kita temui.”
“Berarti,
jangan-jangan dialah dalang semua pembunuhan sekaligus jadi pengelola Istana
Seribu Rejeki Seribu Sorga.”
“Kita
lihat saja nanti…,” jawab Pendekar 212.
****************************
KEMBALI
ke kedai minuman. Hanya sesaat setelah Wiro dan kawan-kawan meninggalkan tempat
itu pedagang bernama Bentar Jegung dengan cepat keluar dari kedai. Dia
mengambil sehelai pakaian hitam dari atas gerobak lalu menyelinap ke balik
sebuah pohon besar. Di balik pohon itu tertambat seekor kuda coklat. Bentar
Jegung lepaskan tali tambatan kuda lalu melompat ke punggung binatang itu.
Gerobak dan kusir ditinggal begitu saja. Kuda tunggangannya dipacu ke arah
timur melewati jalan pintas yang tak banyak diketahui orang.
****************************
KETIKA
Wiro dan kawan-kawan sampai di Gedung Kadipaten Brebes, matahari telah
tenggelam dan keadaan mulai gelap. Tidak seperti biasanya, di depan pintu
gerbang tampak banyak sekali para pengawal. Di tembok halaman kiri kanan
kelihatan sekitar empat puluh perajurit berjaga-jaga.
“Aku
punya firasat, Adipati Brebes sudah tahu kedatangan kita.” Ucap Wiro. Dia lebih
dulu sampai di depan pintu gerbang. Pengawal Kepala cepat mendatangi dan
menegur galak. Orangnya bermuka hitam bopengan.
“Kalian
manusia-manusia muka belang. Ada keperluan apa? Lekas menyingkir dari sini
kalau tidak mau kugebuk kepala kalian dengan tombak ini!” Kepala Pengawal Pintu
Gerbang melintangkan tombak besi di depan dada.
Wiro
tersenyum dan garuk kepala.
“Kau
perajurit hebat. Kedatangan kami bertiga untuk menghadap Adipati Bayumurti.”
Kepala
Pengawal perhatikan ke tiga orang itu beberapa ketika lalu bertanya pada
Pendekar 212. “Kau siapa?!”
“Namaku
Wiro. Ditambah Sableng. Jadi Wiro Sableng,” jawab murid Sinto Gendeng.
“Hah!”
Kepala Pengawal unjukkan wajah kaget. Dia tidak menyangka pendekar terkenal ini
mukanya belang-belang dan datang lebih cepat dari yang diduga. “Adipati memang
menunggu kedatanganmu! Yang aku dengar Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng
mukanya tidak belang-belang….”
“Soal
tampangku mengapa dipermasalahkan. Kami bertiga tengah mempelajari ilmu
bengkarung.” Jawab Wiro pula.
“Hmmm,
begitu?” ujar si muka bopeng percaya saja. ‘Tapi, hanya kau seorang yang
diperkenankan masuk!”
“Kami
datang bertiga dan ingin masuk bertiga.”
“Tidak
bisa! Kalau kau membangkang silahkan minggat dari sini!”
Wiro
garuk kepala.
“Kami
diutus oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang dari Pajajaran.”
Mendengar
keterangan Wiro, Kepala Pengawal Pintu Gerbang lantas berkata. “Kalian tunggu
disini. Jangan berani bergerak barang sejengkalpun! Aku akan melapor dulu pada
Adipati.” Orang ini masuk ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi. Dia membuka
pintu gerbang lebih lebar dan memberi isyarat agar ke tiga orang itu masuk.
Dalam perjalanan dari pintu gerbang menuju gedung Kadipaten sekitar dua puluh
perajurit mengawal di sisi kiri kanan.
“Lihat
sikap para pengawal itu…” bisik Wiro pada Rayi Jantra. “Ada yang tidak beres.”
Purnama
mendekati Wiro. Lalu ganti berbisik. “Kalau benar Bayumurti menjadi dalang
semua kejadian ini, rasanya dia tidak akan bertindak seperti ini. Pasti dia
sudah memerintahkan para pengawal untuk meringkus kita.”
“Bayumurti
tahu kita bukan tikus yang mudah diringkus. Pasti dia telah merencanakan satu
jebakan untuk kita.” Ucap Rayi Jantra.
“Ada apa
bicara berbisik-bisik?!” bentak Kepala Pengawal bermuka bopeng, “Jalan terus!”
Wiro dan
kawan-kawan dibawa dan disuruh menunggu di pendopo gedung Kadipaten. Kepala
Pengawal masuk ke dalam gedung memberi tahu atasannya. Tak lama kemudian
Adipati Bayumurti keluar menemui tamunya. Berdiri di hadapan ketiga orang itu
sang Adipati tampak heran. Seumur hidup dia belum pernah melihat orang bermuka
belang empat warna. Yang mana Pendekar 212 Wiro Sableng? Pemuda gondrong di
hadapannya.
“Apa
benar kalian datang diutus oleh putera-puteri Prabu Siliwangi dari Pajajaran?”
Bayumurti bertanya.
“Benar
sekali Adipati.” Jawab Wiro. Murid Sinto Gendeng merasa heran. Adipati ini
tidak menanyakan perihal mukanya dan muka Rayi Jantra serta Purnama yang
belang-belang. Apakah dia sudah dilapori oleh pengawal muka bopeng sebelumnya?
Atau sudah lebih dulu mengetahui keadaan diri mereka. Tapi bagaimana dan siapa
yang memberi tahu?
Bayumurti
menatap Rayi Jantra sejurus lalu bertanya. “Apakah aku mengenal dirimu?”
“Aku Rayi
Jantra.”
“Rayi
Jantra! Kepala Pasukan Kadipaten Losari!”
“Betul
sekali Adipati.”
“Mengapa
keadaanmu seperti ini. Bukankah seharusnya kau berada di Losari?” Bayumurti
perhatikan jas tutup yang ada di kepitan Rayi Jantra. Melirik ke arah Purnama
lalu karena Rayi Jantra tak menjawab pertanyaannya, Adipati Brebes ini
berpaling pada pemuda gondrong dihadapannya. “Kau pasti pendekar terkenal Wiro
Sableng. Pendekar Dua Satu Dua….”
“Betul
sekali Adipati. Maaf kalau kedatangan kami mengganggumu. Tapi kami tidak akan
lama. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang ingin mengetahui bagaimana
ceritanya keris yang pernah diberikan oleh Pangeran Kumbara Ajiwinata pada
Adipati bisa berada diluaran dan sempat membunuh seseorang di Losari?”
Wiro
lantas keluarkan Keris Gunung Intan tak bersarung. Adipati Bayumurti tekap
mulut dan dagunya dengan tangan kanan, berusaha menindih keterkejutannya.
“Aku
sendiri tidak mengerti bagaimana senjata pemberian Pangeran Kumbara itu berada
diluaran….”
“Bagaimana
mungkin Adipati bisa berkata begitu?” tanya Rayi Jantra. “Bukankah seharusnya
senjata ini disimpan di satu tempat yang terjaga baik?”
“Keris
itu….” Bayumurti gelengkan kepala dan tidak meneruskan ucapannya.”
“Adipati,
kami tidak memaksa kalau kau tidak mau memberi tahu.” Kata Wiro pula. Lalu dia
mengambil jas tutup yang ada dalam kepitan Rayi Jantra. Sambil membentangkan
pakaian itu Wiro berkata. “Jas ini kami dapat dari seseorang. Orang itu
mengatakan jas tutup ini adalah milik Adipati. Kami punya dugaan pemilik jas tutup
ini adalah pembunuh seorang sahabat kami seorang nenek bernama Eyang Sepuh
Kembar Tilu. Sebelum dibunuh rupanya nenek itu masih sempat menyambar salah
satu kancing jas tutup. Namun kami tidak percaya dan tak mungkin mau menduga
kalau Adipatilah pembunuh nenek itu.” Wiro ambil kancing kayu yang ada dalam
saku celananya, lalu ditunjukkan pada Bayumurti. Kancing kayu itu sangat sama
dengan empat kancing yang melekat di jas tutup.
Setelah
memperhatikan sebentar, Bayumurti bertanya.
“Siapa
orang yang memberikan jas tutup dan mengatakan kalau jas tutup itu adalah
milikku?”
“Namanya
Bentar Jegung. Katanya dia seorang pedagang terkenal.”
“Begitu?”
Bayumurti tersenyum.
Tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat dan seorang lelaki tinggi kurus berpakaian serba
hitam tahu-tahu sudah berdiri di tempat itu. Bentar Jegung! Karuan saja Wiro,
Rayi Jantra dan Purnama jadi heran melihat bagaimana pedagang tinggi kurus yang
menjual jas tutup di kedai minuman tadi pagi tahu-tahu kini berada di Gedung
Kadipaten! Ketiga orang ini serta merta bersikap penuh waspada.
Masih
tersenyum Bayumurti bertanya pada Wiro. “Pendekar, ini orang yang kau
maksudkan?”
“Benar
sekali Adipati.” Jawab Wiro dan agar orang tidak merasa di atas angin dia
sengaja tidak bertanya mengapa orang itu kini berada di tempat itu atau apa
hubungannya dengan sang Adipati.
Lelaki
tinggi kurus membuka mulut “Namaku bukan Bentar Jegung. Tapi Ki Surat
Balangnipa. Aku adalah adik dari Ki Sentot Balangnipa!”
Kejut
Wiro dan kawan-kawan terutama Rayi Jantra bukan alang kepalang. Tapi mereka
masih bisa bersikap tenang. Kejutan terjadi lagi ketika Adipati Bayumurti
berkata.
“Dia
adalah orang kepercayaan yang bekerja sebagai mata-mata.”
Keadaan
di pendopo untuk beberapa lamanya hening seperti dikuburan. Keheningan itu
tiba-tiba dipecahkan oleh gelak tawa Adipati Bayumurti.
“Kalian
tak perlu terkejut, tak usah takut! Kita adalah orang-orang di pihak yang sama.
Aku tahu kalian tengah menyelidik soal apa. Aku akan memberi tahu siapa yang
jadi biang racun semua kejadian ini. Namun sehabis berjalan jauh| kalian tentu
letih, haus dan lapar. Sementara menunggu makan malam disiapkan, silahkan
mencicipi teh hangat lebih dulu.”
‘“Adipati,
kau baik sekali. Tak usah repot-repot. Mungkin kau bisa menerangkan apa maksud
ucapanmu bahwa kita adalah orang-orang dipihak yang sama?” bertanya Wiro.
“Sahabat,
tunda dulu pertanyaanmu itu. Mari kita mereguk minuman lebih dulu.” Jawab
Adipati Bayumurti sambil memegang pundak kiri Pendekar 212 dengan tangan kiri.
Sembari memegang Adipati ini kerahkan tenaga dalam hingga murid Sinto Gendeng
merasa bahunya laksana ditindih batu besar ratusan kati. Orang yang tak punya
kemampuan apa-apa saat itu juga pasti jatuh ambruk bahkan tulang pundaknya bisa
patah!
Sadar
orang hendak menjajal kekuatan dirinya, Wiro segera kerahkan hawa sakti ke
pundak kiri. Diam-diam Adipati Bayumurti merasa kaget ketika ada satu kekuatan
dahsyat menerpa tangan kirinya. Sebelum tangan kiri terpental dia cepat
menarik. Memandang ke bawah Bayumurti melihat ada kepulan asap tipis keluar
dari lantai batu yang berada di bawah kedua injakan kakinya. Adipati yang masih
muda belia ini maklum kalau mau pemuda gondrong bermuka belang di hadapannya
itu bisa membuatnya mati konyol, paling tidak luka di dalam saat itu juga.
Ternyata nama besar Pendekar 212 yang dikenal di delapan penjuru angin bukan
nama kosong belaka.
“Aku
terpaksa merubah rencana semula. Aku tak mungkin menangani sendiri manusia satu
ini. Apalagi dia membawa dua teman yang pasti tingkat kepandaiannya tidak
rendah.” Membatin Bayumurti lalu untuk menutupi keterkejutannya dia sengaja
sunggingkan senyum. Apa yang terjadi tidak luput dari penglihatan Ki Surat
Balangnipa. Diam-diam nyali orang ini mulai bergetar.
Saat itu
seorang pelayan perempuan keluar membawa nampan besar berisi lima cangkir teh
manis hangat dicampur jahe. Setelah masing-masing mengambil satu cangkir,
Adipati Bayumurti segera mempersilahkan ketiga tamunya meneguk minuman.
Karena
memang haus Rayi Jantra segera saja hendak meneguk minumannya. Tapi Wiro yang
sejak tadi sudah merasa tidak enak dan bersikap waspada saat itu juga entah
mengapa menaruh curiga dan menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Dia melihat ada
selarik genangan cairan biru di dalam teh. Murid Sinto Gendeng serta merta
berteriak.
“Jangan
diminum! Teh itu ada racunnya!”
Wiro
lemparkan cangkir tanah yang dipegangnya hingga menghantam cangkir yang ada di
depan mulut Rayi Jantra. Duah buah cangkir pecah berantakan. Begitu cairan
dalam cangkir menyentuh lantai, sekilas terlihat asap kebiruan mengepul.
“Bayumurti,
kami datang tidak bermaksud jahat! Mengapa kau ingin membunuh kami dengan racun
yang dimasukkan dalam minuman?!”
Pemuda
yang belum satu minggu menjabat sebagai Adipati Brebes itu ganda tertawa.
“Siapa
bilang kedatangan kalian tidak dibekali niat jahat! Pendekar Dua Satu Dua, aku
bersedia melepaskan dua temanmu jika kau mau menyerahkan diri. Kau aku tangkap
karena telah melakukan pembunuhan atas diri Adipati Brebes yang lama!”
“Ah!
Rupanya kau sudah jadi kaki tangan Adipati Losari!”
“Hukum
berlaku dimana-mana!” jawab Bayumurti. “Apakah kau mau menyerah secara
baik-baik atau aku harus mematahkan batang lehermu lebih dulu?!”
Pendekar
212 tertawa lebar. Dari bentrokan tenaga dalam tadi dia sudah tahu sampai
dimana tingkat kehebatan sang Adipati. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata.
“Belum satu minggu jadi Adipati sifatmu sudah sombong sekali. Sayang sekali.
Jabatanmu sekarang punya masa depan cemerlang. Tapi agaknya kau sengaja
menghancurkan diri sendiri. Siapa yang membujuk dan menipumu, Bayumurti?”
Rahang
Bayumurti menggembung. Sepuluh jari tangan diremas hingga mengeluarkan suara
berkeretekan. Dia seperti hendak menelan dan melumat Wiro. Namun sampai saat
itu dia tidak membuat gerakan atau tanda-tanda hendak menyerang.
Tanpa
banyak bicara Wiro segera melesat menerjang Bayumurti. Dia membuka serangan
dengan jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan kanan melesat ke arah kepala
Bayumurti. Lawan yang diserang yang sadar bahwa tingkat kepandaiannya masih
jauh di bawah Pendekar 212 berlaku cerdik. Setelah melompat mundur dia
berteriak.
“Ki
Surat! Ringkus pembunuh ini!”
Si tinggi
kurus berpakaian serba hitam menyeringai. Didahului bentakan keras dia melesat
ke arah Wiro. Sementara tubuhnya melayang di udara dua tangannya mendadak
berubah panjang. Sepuluh ujung kuku mencuat menyerupai tali temali. Bersilang
berwarna merah dan mengepulkan asap. Inilah yang disebut Ilmu Jaring Api. Sudah
banyak musuh yang kena diringkus Ki Surat Balangnipa. Selain jarang yang bisa
meloloskan diri, sekali masuk dalam libatan jaring, musuh akan menemui ajal
dengan tubuh hangus tercabik-cabik.
“Ki Surat
Balangnipa! Aku lawanmu!” Tiba-tiba Rayi Jantra berteriak lantang. Masih
mengempit jas tutup di ketiak kiri dia menghadang gerakan orang.
Ki Surat
Balangnipa tertawa mengejek. “Rupanya kau sudah kepingin mati lebih dulu.
Majulah! Biar aku balaskan dendam kesumat kakakku!”
“Sett…
settt!”
Sepuluh
tali temali merah menderu, melibas ke arah Rayi Jantra. Kepala Pasukan
Kadipaten Losari ini dorongkan dua tangannya. Dua larik cahaya putih berkilau
berkiblat.
“Dess!
Taarr…tarrr!”
Ki Surat
Balangnipa tersentak kaget ketika melihat sepuluh tali temali merah yang siap
hendak menggulung Rayi Jantra terdorong ke belakang. Orang ini segera kerahkan
seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya.
“Wusss!”
Sepuluh
tali temali merah menggebubu dahsyat. Saat itu juga terdengar seruan Rayi
Jantra. Sekujur tubuhnya terlibat oleh sepuluh tali temali merah. Pakaian
kepulkan asap, termasuk jas tutup yang dikepit di ketiak kiri. Daging tubuh
luka. Ki Surat Balangnipa silangkan dua lengan. Sekali dia menarik kedua lengan
itu maka hangus dan hancurlah tubuh Rayi Jantra. Namun sebelum ajal berpantang
mati! Dari samping kiri berkelebat bayangan biru Purnama. Bersamaan dengan itu
melesat cahaya biru begemerlap ke arah Ki Surat Balangnipa.
***********************
DELAPAN
GADIS
CANTIK dari Latanahsilam itu melepas Ilmu Menahan Raga Menyerap Tenaga, membuat
Ki Surat Balangnipa berseru kaget. Kakek ini tidak mampu gerakkan dua tangan
yang bersilang hingga dia tak bisa meringkus Rayi Jantra dengan Ilmu Jaring
api. Malah bukan cuma tangan, kedua kakinyapun kini terasa lemas tak mampu
digerakkan.
“Perempuan
jahanam! Apa yang kau lakukan pada diriku!” teriak Ki Surat Balangnipa pada
Purnama. Walau anggota badan tak berdaya namun Ki Surat bisa bersuara. Satu
jotosan keras tiba-tiba menghantam wajahnya, membuat hidungnya remuk, bibir
pecah, darah mengucur. Dalam kalapnya Rayi Jantra siap menghabisi lawan yang
tidak berdaya ini dengan pukulan tepi telapak tangan ke batok kepala. Purnama
cepat menahan bahu pemuda itu seraya berkata. “Jangan dibunuh. Kita perlu dia
hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Tuan besarnya sudah tak ada lagi di
tempat ini.”
Saat itu
baru Rayi Jantra dan Wiro menyadari kalau Adipati Bayumurti tidak ada lagi di
tempat itu. Sementara di luar sana puluhan perajurit pengawal Gedung Kadipaten
datang menyerbu dengan berbagai senjata di tangan. Wiro cepat panggul tubuh Ki
Surat Balangnipa. Beberapa perajurit menghamburkan panah. Namun sasaran telah
lenyap dalam kegelapan malam.
“Kalian
mau membawa aku kemana?!” Ki Surat Balangnipa berteriak.
“Huss!
Tenang sajalah! Kita jalan-jalan sebentar!” jawab Pendekar 212 sambil mengeplak
kepala Bentar Jegung alias Ki Surat Balangnipa.
Wiro
membawa mata-mata kaki tangan Adipati Brebes itu ke sebuah parit busuk di
pinggiran kota. Di tepi parit dia lebih dulu menggeledah celana Ki Surat
Balangnipa dan menemukan dua keping perak yang tadi pagi diberikannya di kedai
minuman.
“Bangsat
pencuri! Perak itu sudah jadi milikku! Kembalikan!” teriak Ki Surat Balangnipa
marah.
“Kau
mendapatkannya karena menipuku!” jawab Wiro lalu masukkan dua keping perak ke
kantong celananya. Tanpa perdulikan kutuk serapah orang Wiro kemudian ceburkan
Ki Surat Balangnipa ke dalam kubangan hingga hanya tinggal kepala saja yang
muncul di permukaan air berlumpur kotor dan busuk itu.
“Bentar
Jegung! Ki Surat Balangnipa! Siapapun namamu! Katakan siapa sebenarnya pemilik
jas tutup yang kau jual padaku itu!”
“Di
warung minuman pagi tadi aku sudah menerangkan! Pakaian itu milik Adipati
Bayumurti. Dia memberikan pada sahabatku Dali Rumpun. Dali disuruh membakar
pakaian itu tapi dia menjualnya padaku.”
“Kau
berdusta!” kata Wiro pula dan kembali tangannya mengeplak batok kepala Ki Surat
Balangnipa. “Aku tahu Bayumurti yang memerintahmu mengarang cerita untuk
menjebakku! Apa perlunya bagimu pakaian yang kebesaran ini. Dari potongan jas
tutup itu aku juga tahu pemiliknya adalah seorang berperut gendut buncit. Ayo
katakan siapa orangnya?!”
“Aku
tidak tahu!”
“Pendusta
sialan!” Kini Wiro jitak kening Ki Surat Balangnipa. Karena bukan jitakan biasa
maka kening itu jadi benjol bengkak. Ki Surat Balangnipa gembungkan rahang
menahan sakit.
“Kau
pernah dengar Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?” Wiro kembali ajukan
pertanyaan.
Ki Surat
Balangnipa gelengkan kepala.
“Plaaak!”
Wiro keplak jidat Ki Surat Balangnipa di bagian yang benjol hingga orang ini
menjerit kesakitan. “Kalau kakakmu Ki Sentot Balangnipa adalah kaki tangan
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga, sedikit banyak paling tidak kau juga ikut
jadi cecunguknya!”
“Aku tak
mau bicara! Kau mau bunuh aku silahkan saja! Apa kau kira aku takut mati?.’“
Wiro
tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang. “Nyalimu hebat juga! Kau pasti
punya nyawa cadangan hingga sesumbar tidak takut mati!” Wiro usap-usap belakang
kepala Ki Surat Balangnipa lalu bertanya. “Katakan kemana kaburnya Adipati
Bayumurti.”
“Aku
tidak tahu.”
“Kau
pasti tahu!” bentak Rayi Jantra. Tidak dapat menahan jengkel dia hantamkan satu
jotosan ke mata kiri Ki Surat Balangnipa. Kalau jotosan ini mengenai sasarannya
pasti mata kiri Ki Surat akan hancur. Wiro cepat pegang lengan Rayi Jantra
seraya berkata.
“Sebelum
kita hajar, ada baiknya kita beri makan dulu sampai kenyang cecunguk pendusta
ini!” Melirik ke kiri Wiro melihat seekor kodok buduk coklat sejak tadi ada di
atas sebuah batu. Wiro cepat tangkap binatang ini lalu bertanya lagi pada Ki
Surat kemana perginya Bayumurti. Yang ditanya tetap menjawab tidak tahu. “Agar
kau lebih lancar bicara dusta biar aku berikan makanan enak untukmu! Kata orang
kodok goreng enak sekali! Kurasa kodok mentah jauh lebih sedap! Nah, makanlah!”
Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Wiro pencet pipi Ki Surat
Balangnipa. Begitu mulut terbuka tangan kanan Wiro sumpalkan kodok hidup ke
dalam mulut itu.
“Huk…
huk… huk!” Ki Surat Balangnipa berusaha semburkan kodok buduk hidup yang
mencuit dan melejang-lejang di dalam mulut tapi tidak bisa karena Wiro dengan
cepat menyumpalkan lumpur busuk ke dalam mulut itu. Ki Surat megap-megap, mata
terbeliak, tenggorokan turun naik.
“Kata
orang makanan tanpa bumbu penyedap tidak enak. Ki Surat ini aku berikan bumbu
penyedap padamu!” Sambil tertawa-tawa dari pingggir parit Wiro sunggingkan
pantat tepat ke muka Ki Surat. Lalu buutt! Wiro pancarkan kentut keras dan
panjang dan tentu saja bau!
“Huk…
huk… huk!”
“Aku akan
keluarkan kodok itu dari dalam mulutmu. Kau mau bicara?!” Wiro bertanya.
Ki Surat
Balangnipa dalam keadaan megap-megap masih nekad gelengkan kepala. “Sialan!”
maki murid Sinto Gendeng.
“Biar
kupecahkan saja kepalanya sekarang juga!” kata Rayi Jantra. “Habis makan enak
dia perlu diberi minuman lezat!” Lalu Wiro benamkan kepala Ki Surat berulang
kali ke dalam parit busuk. Terakhir sekali kepala itu muncul di permukaan
parit, Ki Surat Balangnipa sudah tidak sadarkan diri lagi.
“Manusia-manusia
pengecut! Beraninya menganiaya orang yang tidak berdaya!” Satu bentakan
tiba-tiba terdengar disusul suara berkesiuran.
“Sett…sett…
settt!”
“Awas
senjata rahasia!” teriak Wiro seraya pukulkan tangan kiri ke depan. Sebuah benda
hitam panjang sejengkal terpental di hantam angin pukulan. Rayi Jantra dan
Purnama sama-sama jatuhkan diri ke tanah ketika dua benda yang sama melesat dan
lewat di atas punggung mereka. Salah satu dari senjata rahasia itu menancap
pada batang pohon di samping kiri Purnama. Wiro cepat mencabut dan
memperhatikan.
“Paku
berduri…” ucap Wiro.
“Aku
pernah melihat senjata rahasia ini sebelumnya. Sewaktu menguntit paderi
perempuan dari Tiongkok itu di satu pekuburan di Losari.” Berkata Purnama.
“Aku tahu
siapa pemilik senjata ini,” kata Rayi Jantra sambil perhatikan paku berduri
yang dipegang Wiro.
“Siapa?”
tanya Wiro pula.
“Bayumurti.”
“Kurang
ajar! Jangan-jangan dia dalang semua kekacauan ini.” Kata Wiro lalu dia
masukkan paku berduri ke dalam kantong celananya. Pada saat itulah entah dari
mana datangnya tiba-tiba bergelimpangan dua sosok tubuh berpakaian jubah
kuning. Satu tergeletak kaku tak bergerak, satunya menangis ha-hu ha-hu! Yang
menangis ini adalah seorang kakek muka merah berkepala botak. Kaget Wiro dan
kawan-kawan bukan kepalang. Terlebih dia mengenali kakek muka merah ini adalah
orang yang dilihatnya pada malam tewasnya Jumena. Orang ini kemudian muncul di
teluk Losari bersama Pengging Kuntala mengenakan jubah biru. Orang kedua yang
tergeletak kaku ternyata adalah seorang nenek rambut kelabu. Mata merah
mendelik tak berkesip. Telinga dicanteli anting terbuat dari tulang jari
manusia. Di lehernya menancap sebuah benda hijau tipis, yang ketika
diperhatikan ternyata benda itu adalah sehelai daun mengkudu. Dari sudut bibir
si nenek meleleh darah kental.
“Aneh,
mengapa nenek kembar jejadian Eyang Sepuh Kembar tilu bisa bersama-sama dengan
kakek muka merah?” pikir Wiro.
Tiba-tiba
kakek kepala botak gerakkan dua tangan ke atas kepala. Ketika tangan itu
menarik bagian kepala botak sebelah atas, muncullah satu kepala nenek rambut
kelabu.
“Kalian
berdua rupanya!” seru Pendekar 212. Kedua nenek ini bukan lain adalah kembaran
jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
“Apa yang
terjadi?” tanya Rayi Jantra.
“Ha-hu
ha-hu…”
Wiro jadi
curiga dan cekal bahu nenek yang tadi pakai topeng kakek muka merah kepala
botak. “Nek, jadi kau orang yang menyaru memakai topeng kakek muka merah.
Membunuh Jumena dan muncul di Teluk Losari bersama kaki tangan Ratu Laut Utara!
Ternyata kau musuh dalam selimut!”
“Ha-hu
ha-hu!” Si nenek gelengkan kepala dan goyangkan tangan kiri berulang kali. Dia
menunjuk-nunjuk pada kembarannya yang tergeletak tak bergerak lalu
membanting-banting topeng kakek muka merah seraya tangan kiri menunjuk ke arah
kejauhan. Purnama jatuhkan diri di samping nenek yang tergeletak di tanah.
Setelah memeriksa, gadis dari alam 1200 tahun silam ini gelengkan kepala. “Tak
mungkin ditolong. Ajalnya sudah di depan mata. Dia tewas akibat daun pantangan
yang menancap di leher. Lagi pula dia bukan mahluk biasa….”
Mendengar
ucapan Purnama, nenek satunya menggerung keras. Dia nekad hendak mencabut daun
mengkudu di leher saudara kembarnya namun cepat dicegah oleh Wiro.
“Jangan
sentuh daun itu! Kau bisa celaka!” Wiro berpaling pada Purnama. “Mungkin bisa
dicoba penyembuhan dengan petunjuk Kitab Seribu Pengobatan…?”
Purnama
pejamkan mata. Sesaat kemudian mata dibuka. “Aku hanya bisa berusaha…” Lalu
gadis dari Latanahsilam ini sambung ucapannya. “Kitab Seribu Pengobatan.
Halaman seratus sembilan puluh enam. Pengobatan ke…”
Belum
sempat Purnama menyelesaikan ucapan yang dilafalkan berdasarkan apa yang telah
diserapnya dari Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba nenek yang tergeletak di
tanah keluarkan suara mengorok keras lalu hek! Nyawanya putus.
Bersamaan
dengan itu sosoknya mengepulkan asap kelabu, membumbung ke udara dan akhirnya
lenyap dalam kegelapan malam. Yang masih tertinggal di tanah adalah daun
mengkudu yang tadi menancap di lehernya. Nenek satunya langsung menjerit Rayi
Jantra dan Wiro berusaha menenangkan.
“Nek, kau
harus menceritakan pada kami apa yang terjadi dengan saudaramu sebelumnya. Kau
juga harus memberi tahu dari mana kau mendapatkan topeng kakek muka merah itu.”
“Ha-hu
ha-hu…” Si nenek gulingkan diri di tanah, meraung meratapi kematian saudara
kembarnya yang kemudian secara aneh jasadnya lenyap ke alam gaib.
Sementara
menunggu sampai si nenek tenang Wiro, Purnama dan Rayi Jantra dapatkan belang
empat warna yang ada pada wajah dan tubuh mereka kini tinggal tiga yakni merah,
biru dan kuning. Warna hijau telah lenyap. Ini sesuai dengan petunjuk dalam
Kitab Seribu Pengobatan bahwa empat warna itu akan hilang satu persatu selama
empat hari.
Setelah
nenek rambut kelabu tampak agak tenang Wiro dan Purnama serta Rayi Jantra
berusaha mendapat keterangan. Setiap ditanya nenek gagu ini selalu menunjuk ke
arah kejauhan. Setiap kali keluarkan suara ha-hu-ha-hu dia selalu membanting
topeng kakek muka merah ke tanah. Wiro ambil topeng kakek muka merah dari
tangan si nenek. Wiro ingat sebelumnya dia telah meminta tolong pada dua nenek
kembar untuk menyelidik dan mencari siapa adanya kakek muka merah berkepala
botak. Ternyata salah seorang dari kembar muncul membawa sebuah topeng kakek
muka merah botak dan sekaligus membawa saudaranya yang tengah sekarat. Berarti
manusia dengan ujud seorang kakek muka merah kepala botak itu sebenarnya tak
pernah ada. Keberadaannya hanyalah seseorang yang mengenakan topeng untuk
menutupi jati dirinya. Wiro juga ingat Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal
akibat daun mengkudu, sama dengan daun yang menancap di leher nenek kembar yang
barusan menemui ajal dan lenyap ke alam gaib. Pembunuh kedua nenek itu tidak
dapat tidak adalah orang yang sama. Siapa?
“Bayumurti…
Agaknya dia manusia biang racun dibalik semua kejadian ini. Jangan-jangan dadu
setan itu ada padanya.” Wiro pegang bahu nenek rambut kelabu. “Nek, kau selalu
menunjuk ke barat. Antarkan kami ke arah yang kau tunjuk!”
“Ha-hu
ha-hu…” Si nenek mengangguk. Lalu dia menunjuk ke wajah Wiro, Rayi Jantra dan
Purnama yang belang-belang. “Ha-hu ha-hu.” Si nenek rupanya ingin bertanya apa
yang terjadi.
“Ada
kakek jahil meracuni kami. Namanya Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan
kita akan segera bertemu setan alas itu!” jawab Wiro. “Ha-hu ha-hu.”
***********************
SEMBILAN
KOKOK
ayam terdengar di kejauhan. Di arah timur kaki langit tampak memancar cahaya
terang kemerahan pertanda tak lama lagi pagi segera datang dan malam akan
berganti siang. Di ujung sebuah alun-alun, nenek rambut kelabu jubah kuning
hentikan lari.
“Ha-hu
ha-hu…” Si nenek menunjuk ke arah seberang alun-alun dimana terlihat sebuah
bangunan besar bertembok setinggi kepala. Wiro berpaling pada Rayi Jantra.
“Rayi,
kau datang ke rumah sendiri.”
Rayi
Jantra tersenyum kecut. “Gedung Kadipaten Losari…,” ucapnya perlahan sambil
menatap ke depan. “Aku melihat keanehan. Tidak ada perajurit, tidak tampak
pengawal. Pintu gerbang depan terpentang lebar. Tak ada satu oborpun yang
menyala!”
Wiro
tersenyum. “Sekarang minyak mahal, Gedung Kadipaten berhemat diri, sengaja
mematikan obor menjelang pagi. Ha… ha! Ayo Rayi. Apa kau tidak senang akan
bertemu lagi dengan atasanmu Adipati Losari Raden Seda Wiralaga.”
Tiba-tiba
terdengar suara suitan keras. Pendekar 212 menyeringai. “Kawan-kawan,
kedatangan kita sudah diketahui penghuni gedung.”
“Ha-hu
ha-hu…” Nenek jubah kuning menunjuk-nunjuk ke arah gedung dengan tangan kiri
sedang tangan kanan mengangkat-angkat topeng wajah kakek muka merah kepala
botak.
“Nek, kau
hendak memberi tahu kalau kau menemukan topeng ini di dalam gedung sana. Lalu
orang yang membunuh saudara kembarmu juga berada di dalam gedung itu.” Purnama
sambil pegang bahu nenek rambut kelabu.
“Ha-hu
ha-hu! Ha-hu ha-hu!” Si nenek menyahuti sambil anggukkan kepala berulang kali.
Wiro
ambil topeng kakek muka merah dari tangan nenek rambut kelabu sementara Rayi
Jantra masih memegang jas tutup yang bagian lengan serta bahunya hangus ketika
dia diserang oleh Ki Surat Balangnipa dengan Ilmu Jaring Api. Lelaki yang
sebenarnya adalah Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini mendahului berjalan ke
arah pintu gerbang. Wiro, Purnama dan si nenek segera mengikuti. Namun sampai
di pintu gerbang si nenek tidak terus masuk.
“Ha-hu
ha-hu!” Si nenek menunjuk ke halaman gedung lalu ke arah pinggiran tembok.
Ternyata di halaman gedung Kadipaten bertebaran banyak sekali daun mengkudu.
Sementara sepanjang sisi dalam tembok gedung berderet-deret pohon mengkudu
setinggi pinggang. Agaknya pohon ini bukan ditanam tapi hasil tebangan lalu
ditancap ke tanah begitu saja. Penghuni gedung rupanya telah berjaga-jaga dari
bahaya yang bisa ditimbulkan oleh mahluk jejadian kembaran Eyang Sepuh Kembar
Tilu yang kini hanya tinggal seorang.
“Ha-hu
ha-hu.” Nenek rambut kelabu geleng-geleng kepala.
“Nek,
agar aman bagimu biar tempat ini kubersihkan lebih dulu dari daun-daun celaka
itu!” Wiro berkata lalu angkat kedua tangan ke atas. Tangan kanan melepas
pukulan Angin Puyuh sementara tangan kiri yang diputar-putar lancarkan pukulan
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Seluruh daun mengkudu yang ada di
halaman Gedung Kadipaten beterbangan ke udara, melesat ke langit dan lenyap
dari pemandangan.
Ketika
murid Sinto Gedeng arahkan dua tangannya ke sepanjang sisi tembok gedung yang
penuh ditancapi pohon mengkudu, serta merta pohon-pohon itu tercabut dari
tanah, mental ke udara. Malah tembok di bagian timur yang terkena sapuan angin
pukulan roboh bergemuruh. Pada saat itulah dari bagian belakang gedung
bermunculan puluhan perajurit Kadipaten. Mereka menebar di sepanjang sisi
tembok kiri kanan gedung.
Keadaan
mulai terang-terang tanah ketika Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga orang
lainnya memasuki pintu gerbang dan melangkah cepat di halaman depan Gedung
Kadipaten. Sebelum mencapai pertengahan halaman dimana terdapat dua buah arca
besar berupa singa bersayap, tiba-tiba dari dalam gedung melesat keluar tiga
orang. Mereka kemudian tegak berjajar menghadang jalan.
“Braakk!”
Ada suara
keras di sebelah belakang. Ketika Wiro dan kawan-kawan menoleh ternyata pintu
gerbang telah ditutup. Di depan pintu berdiri sepuluh orang perajurit
bersenjata tombak. Pada setiap ujung tombak menancap tiga helai daun mengkudu.
“Ha-hu
ha-hu!” Nenek rambut kelabu tampak pucat. Dia angkat tangan kanan, siap untuk
menghantam sepuluh perajurit yang membawa daun pantangan di ujung tombak
masing-masing.
“Nek,”
bisik Purnama. “Tahan dulu serangan. Aku akan melindungimu jika pasukan
bertombak itu menyerbumu.”
“Ha-hu
ha-hu!”
Sepuluh
perajurit bersenjata tombak hanya tegak di depan pintu gerbang yang sudah
tertutup, tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang si nenek.
Orang
pertama yang menghadang langkah Wiro dan kawan-kawan dan kini berdiri di ujung
kanan ternyata adalah Adipati Brebes Bayumurti. Jelas sudah kalau Adipati ini
telah berserikat dan jadi kambrat Adipati Losari Seda Wiralaga. Di pinggangnya
tergantung sebilah golok besar.
Orang
kedua yang tegak di samping kanan Bayumurti adalah seorang kakek berjubah
kuning. Muka dan sebagian tangannya tampak hitam gosong. Mata kiri terpuruk dan
dikening sampai ke pipi kiri ada cacat bekas luka. Rambut warna kelabu sulah
sebelah akibat terbakar. Manusia ini ternyata adalah Pengging Kuntala, orang
kepercayaan Ratu Laut Utara. Satu malam lalu dia dibuat cidera hebat oleh Nyi
Roro Manggut sewaktu terjadi perkelahian di Teluk Losari. Sungguh luar biasa
dia bisa sembuh secepat itu.
Orang
ketiga nenek kurus kerempeng berambut awut-awutan. Perempuan tua ini hanya
mengenakan sehelai kain panjang hitam, sama sekali tidak memadai baju hingga
tubuh atasnya terbuka telanjang memperlihatkan dada tipis penuh tulang serta
dua payudara ceper kisut. Si nenek tidak hentinya tersenyum sementara dengan
kepala mendongak dan mata meram melek dua tangannya mempermainkan puting
susunya yang besar hitam. Sesekali dari mulutnya keluar suara mendesah lirih.
Nenek ini dikenal dengan nama Ni Lawang Soka, berasal dari laut utara,
merupakan salah seorang dari sekian banyak orang kepercayaan Ratu Laut Utara
dan dia adalah orang bawaan Pengging Kuntala. Ilmu kesaktiannya dua tingkat di
atas kakek muka gosong itu.
Di bagian
depan gedung, tepatnya di kiri kanan serambi yang berhubungan dengan tangga
batu tujuh undak, terdapat masing-masing sebuah jendela besar. Di jendela
sebelah kanan duduk seorang kakek bertubuh pendek, berpakaian selempang kain
hitam, berambut kuning. Sepasang mata putih berkilat seperti perak. Kulit
mukanya berubah berganti-ganti merah, hijau dan biru. Dia duduk bersila dan
dipangkuannya ada satu pendupaan berisi bara menyala. Sikapnya seperti tidak
acuh akan apa yang terjadi saat itu di halaman gedung. Sambil duduk dia tidak
henti meniup bara pendupaan. Tiupan serta hawa yang keluar dari hidungnya
memancarkan asap berwarna ungu.
“Raja
Racun Bumi Langit musuh besar kita juga ada di tempat ini,” bisik Wiro pada
Rayi Jantra.
“Dia
tengah meramu racun jahat!” jawab Rayi Jantra.
Di
sebelah belakang Purnama mendadak merasa tidak enak. Matanya tak berkesip
menatap ke arah Raja Racun yang duduk di jendela. “Kakek itu tengah menyiapkan
sesuatu. Aku punya dugaan apa yang dikerjakannya ditujukan untuk menangkal
diriku!” Membatin gadis dari negeri Latanahsilam itu. “Aku harus menghancurkan
pendupaan yang ada dipangkuannya.”
Di atas
jendela Raja Racun Bumi Langit keluarkan tiga buah benda bulat hitam. Sekali
meremas, tiga benda itu serta merta hancur luluh. Hancuran ditebar di atas bara
menyala dalam pendupaan. Asap mengepul dan bau sangit aneh serta merta menebar
di Seantero tempat.
“Buah
damar!” ucap Purnama dengan suara bergetar. “Kakek itu menebar hancuran buah
damar ke atas bara pendupaan. Buah damar merupakan buah pantangan bagi diriku.
Aneh, bagaimana Raja Racun Bumi Langit tahu buah pantangan itu.”
Tiba-tiba
di belakang mereka terdengar suara halus tawa perempuan. Lalu ada suara terpaan
angin. Suara tawa kemudian lenyap dikejauhan.
“Siapa
yang tertawa?” tanya Wiro pada Purnama.
“Perempuan
jahanam itu! Aku mengenali suaranya!” ucap Purnama
“Siapa?”
tanya Wiro lagi.
“Perempuan
celaka dari Latanahsilam. Ingat sewaktu aku bertempur melawan mahluk samar. Kau
muncul menyelamatkan diriku. Nah, mahluk samar itulah yang barusan berada di
sini. Aku yakin, dia yang membuka rahasia pantangan buah damar itu. Sampai saat
ini masih sulit bagiku untuk mengetahui siapa dia adanya. Barusan dia telah
kabur dari sini karena kalau sampai mencium atau tersapu asap damar diapun akan
celaka.”
“Purnama,
kau lekas pergi dari sini. Mungkin kau bisa menghindar dulu ke atas wuwungan
gedung. Tapi jika kau terancam bahaya cepat tinggalkan tempat ini. Nanti aku
akan menemuimu di tempat kediamanmu di bukit batu Teluk Losari.”
Purnama
pegang lengan sang pendekar sesaat lalu melesat ke atap Gedung Kadipaten.
“Gadis
alam gaib! Kau mau kabur kemana?!” Raja Racun Bumi Langit berteriak. Sambil
memegang pendupaan di tangan kanan dia melesat dari jendela gedung. Mulut
menggembung. Begitu meniup, dari mulut ini melesat dua buah benda bulat hitam,
menyambar ke arah sosok Purnama yang tengah melayang di udara menuju ke atas
atap Gedung Kadipaten.
Purnama
berseru kaget ketika mengetahui dua benda yang melesat ke arahnya adalah dua
buah damar. Dengan membuat gerakan jungkir balik di udara gadis dari negeri
1200 tahun silam ini berhasil selamatkan diri dari serangan dua buah damar. Dia
cepat berkelebat ke atas atap gedung. Namun baru saja injakkan kaki di genteng
bangunan tahu-tahu Raja Racun Bumi Langit sudah berdiri di hadapannya, hanya
terpisah sejarak lima langkah.
Didahului
tawa bergelak pendek rambut kuning itu tiup asap pendupaan ke arah Purnama
tanpa gadis ini punya kesempatan untuk selamatkan diri. Sesaat lagi asap damar
akan menyentuh tubuh dan masuk ke dalam penciuman Purnama tiba-tiba satu
bayangan hitam berkilau berkelebat. Purnama dapatkan dirinya didorong orang
hingga dia jatuh terguling di atas atap. Bersamaan dengan itu terdengar suara
genta. Atap Gedung Kadipaten bergoyang keras. Puluhan genteng merosot. Selarik
sinar biru berbentuk kipas terbuka menebar memapas buyar asap damar lalu
menghantam sosok Raja Racun Bumi Langit. Serangkum asap damar yang bergerak
liar sempat terhirup oleh Purnama hingga gadis ini batuk-batuk. Dalam keadaan
megap-megap dia jatuhkan diri tertelungkup di genteng bangunan. Purnama cepat
kerahkan hawa sakti dan meniup lewat mulut, menghembus melalui hidung. Untuk
beberapa saat pemandangan berkunang-kunang. Dua matanya terasa seperti
terselubung uap panas.
Pendupaan
di tangan kanan kakek pendek rambut kuning hancur. Kepingan pendupaan dan bara
api bertebaran kemana-mana. Raja Racun meraung marah.
“Raja
Racun Bumi Langit, aku membawa pesan dari Ratu penguasa laut selatan. Jika kau
mau bertobat atas semua perbuatan jahatmu selama ini dan hidup sebagai orang
baik-baik, maka selembar nyawamu akan diampuni.” Satu suara perempuan
berkumandang di atas atap.
“Aku
tidak punya urusan dengan Ratu-mu!” teriak Raja Racun Bumi Langit marah sekali
karena merasa terhina. “Biar rohmu yang kembali menghadap Ratu-mu guna memberi
laporan!”
Raja
Racun hantamkan tangan kanan ke arah bayangan hitam begemerlap sementara tangan
kiri menebar sejenis racun berwarna merah. Dari mulut dan hidungnya mengepul
asap ungu yang juga mengandung racun jahat.
Sekali
lagi terdengar suara genta aneh di atas Gedung Kadipaten. Kali ini lebih
dahsyat dari yang pertama tadi dan membuat runtuh atap bangunan sebelah barat.
Raja Racun terjengkang di atas atap. Di depan mata dia melihat cahaya biru
bersilang beberapa kali lalu bett! Cahaya biru itu menghantam ke arah tubuhnya.
Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Genta Biru Menatap Langit. Raja Racun
menjerit keras dan muntahkan darah segar.
Di atap
gedung, dalam keadaan tertelungkup di atas genteng, sepasang mata Purnama
terbuka lebar menatap ke arah sosok elok tertutup pakaian hitam bertabur
manik-manik putih perak dan merah.
“Wajah
cantik. Sepasang mata biru. Aku pernah mendengar cerita tentang diri penolongku
ini. Apakah dia orangnya…?” ucap Purnama dalam hati.
Kita
kembali ke halaman Gedung Kadipaten Losari.
Hanya
selang seketika setelah Bayumurti, Pengging Kuntala dan Ni Lawang soka tegak
berjajar di halaman, dari dalam gedung berjalan keluar seorang lelaki tinggi
besar berperut buncit. Dia masih mengenakan baju tidur putih dan celana putih.
Wajah berminyak agak pucat, dihias janggut dan kumis tipis. Sepasang mata
tampak merah. Di tangan kanan orang ini memegang sebatang ranting kecil daun
mengkudu. Sambil melangkah dia tepuk-tepukkan daun mengkudu ke telapak tangan
kiri. Agaknya dia sengaja memegang ranting dan daun pohon mengkudu ini untuk
berjaga-jaga dari nenek kembar berambut kelabu. Inilah Seda Wiralaga, Adipati
Losari.
Yang
membuat Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan jadi terkesima adalah ketika
melihat orang yang melangkah di samping sang Adipati. Orang ini bukan lain adalah
Kiang Loan Nio Nikouw. Sang paderi, sebagaimana biasa mengenakan pakaian merah.
Pakaian ini tampak kurang rapi, berkerimuk seperti baru dipakai tidur. Kali ini
dia tanpa tutup muka dan kepala hingga kelihatan wajahnya yang cantik serta
kepala yang botak polos. Di tangan kiri Loan Nio Nikouw memegang Pedang Naga
Merah, yang sesuai dengan perintah Eyang Sinto Gendeng harus diambil dan
didapatkan Wiro.
Pendekar212
tak habis pikir. Bagaimana paderi perempuan ini berada di Gedung Kadipaten.
Kalau terkait hubungan dengan Bayumurti yang merupakan sahabatnya di masa
kecil, mengapa sikapnya terhadap Adipati Brebes tampak begitu akrab? Malah
keduanya keluar berbarengan dari dalam gedung dengan keadaan pakaian serta raut
wajah seperti orang yang baru bangun tidur.
“Ha-hu
ha-hu!” nenek kembar jejadian di samping Purnama keluarkan suara. Tangan kiri
menepuk-nepuk topeng kakek botak muka merah yang dipegang Wiro, tangan kanan
menunjuk-nunjuk ke arah Adipati Seda Wiralaga. Lalu tangan kanan
dituding-tuding ke leher sendiri dan mata dipelototkan.
Wiro
segera mengerti apa yang hendak dikatakan si nenek. Dia berucap cukup keras
sehingga semua orang mendengar.
“Nek, kau
hendak mengatakan kalau lelaki berperut buncit itu adalah pemilik topeng kakek
botak muka merah!”
“Ha-hu ha-hu!”
si nenek mengangguk berulang kali.
“Kau juga
memberi tahu bahwa orang itulah yang membubuh saudara kembarmu dengan lemparan
daun mengkudu,” ucap Wiro.
“Ha-hu
ha-hu!” Nenek rambut kelabu kembalimengangguk.
Di depan
tangga gedung, Adipati Seda Wiralaga menatap tajam ke halaman. Dia hanya
melihat Wiro, Rayi Jantra dan nenek rambut kelabu. Menurut keterangan Bayumurti
ada seorang gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi dan sangat
berbahaya. Untuk menghadapi orang ini Raja Racun Bumi Langit sudah menyiapkan
kekuatan penangkal sesuai petunjuk seorang perempuan aneh bertubuh samar yang
datang tadi.
“Loan
Nio, aku tidak melihat gadis yang dikatakan Bayumurti itu,” kata Adipati Seda
Wiralaga. Dari caranya menyebut nama sang paderi kentara bahwa mereka punya
hubungan sangat akrab walau belum lama saling mengenal. Apa yang telah terjadi
dalam hubungan yang sangat singkat itu?
“Aku juga
tidak melihat Raja Racun Bumi Langit,” jawab Loan Nio Nikouw.
Pada saat
itulah terdengar suara bentakan-bentakan di atas atap disertai suara genta aneh
sebanyak dua kali. Pada suara genta kali kedua disusul suara gemuruh runtuhnya
atap gedung sebelah barat. Adipati Seda Wiralaga cepat memerintahkan Bayumurti
untuk naik ke atas atap guna menyelidiki apa yang terjadi. Namun belum sempat
Adipati Brebes itu bergerak, tiba-tiba dari atas wuwungan melayang tiga sosok
tubuh. Sosok pertama langsung terkapar. Karena kepalanya yang menyungsap lebih
dulu maka tak ampun lagi kepala itu pecah mengerikan. Adipati Seda Wiralaga dan
semua orang yang berada di pihaknya terkejut besar kalau tak mau dikatakan
geger. Tampang mereka tampak berkerut. Karena sosok yang melayang jatuh dan
kini tak bernyawa lagi itu adalah sosok Raja Racun Bumi Langit. Sang Adipati
sulit mempercayai orang yang sangat diandalkannya itu kini menemui kematian
dalam cara mengerikan begitu rupa. Tidak sembarang orang bisa membunuh kakek
satu ini. Jangankan pendekar sehebat Wiro Sableng, gurunya saja yaitu Sinto
Gendeng akan sulit mampecundangi Raja Racun. Lalu siapa orang hebat yang telah
membunuh kakek itu?
Sementara
itu dua sosok lain yang melayang turun adatab Purnama dan seorang gadis jelita
bermata biru, rambut hitam tergerai panjang, mengenakan pakaian hitam ketat
bertabur manik-manik dengan potongan sangat rendah di bagan dada serta belahan
tinggi di kedua sisi. Purnama berdiri di samping kiri Wiro, si cantik bermata
biru tegak satu langkah di sebelah kanan sang pendekar. Adipati Seda Wiralaga
sampai tak berkesip memandang keelokan tubuh dan kecantikan paras si gadis.
“Ratu
Duyung!” ucap Pendekar 212.
***********************
SEPULUH
RATU
DUYUNG berpaling sekilas ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu gadis jelita
bermata biru maju dua langkah ke arah Seda Wiralaga.
“Adipati
Seda Wiralaga, perkenalkan aku adalah Ratu Duyung dari Laut Selatan. Mohon
dimaafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteraman di tempat ini. Aku datang
ke sini atas perintah Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul untuk menjemput kakek
bernama Pengging Kuntala dan nenek bernama Ni Lawang Soka.”
Kalau
kakek berjubah kuning muka gosong Pengging Kuntala tersurut mundur satu langkah
dan pencongkan mulut mendengar ucapan Ratu Duyung maka nenek bernama Ni Lawang
Soka hamburkan tawa bergelak. Sambil terus dongakkan kepala dan permainkan dua
punting susunya yang besar hitam dengan jari-jari tangan dia kemudian berkata.
“Siapapun
kau adanya katakan pada Ratumu. Dia kelewat sombong dan gila kuasa! Apa tidak
cukup punya kekuasaan di laut selatan dan kini mau menguasai kami orang-orang
di laut utara? Sekarang kau silahkan pergi atau aku akan membuat wajahmu yang
cantik menjadi rusak dan kau akan menyesal seumur-umur!”
“Ni
Lawang Soka, ilmu kesaktianmu mungkin jauh di atas ilmu yang aku miliki. Tapi
aku datang membekal Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit. Ini satu pertanda
bahwa Ratu Nyi Roro Kidul tidak main-main dalam memberikan tugas padaku.”
Perlahan-lahan
Ni Lawang Soka turunkan kepala yang sejak tadi mendongak memandang ke langit
yang kini telah terang karena pagi telah datang. Sepasang matanya diarahkan ka
tubuh Ratu Duyung. Samar-samar di balik pakaian si gadis bermata biru sebalah
kanan dia melihat sebuah benda bulat memancarkan cahaya berwarna hijau. Lalu
pada dada sebelah kiri ada benda yang berwarna kebiru-biruan. Si nenek segera
mengetahui, selain membekal Batu Mustika Alas Samudara Atap Langit, Ratu Duyung
juga membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru, batu sakti yang mampu
membuat seseorang dapat berada di satu tempat yang jauh dalam kecepatan kilat
kejapan mata. Seperti diketahui sebelumnya batu mustika sakti itu telah
dipinjamkan kepada Nyi Roro Manggut sewaktu menolong Pendekar 212 Wiro Sableng
dan kawan-kawan di Teluk Losari.
“Pasti
gadis jahanam ini yang telah membunuh Raja Racun Bumi Langit,” pikir si nenek.
Hal yang sama juga monjadi dugaan Adipati Seda Wiralaga dan Bayumurti. Walau
sudah melihat kenyataan namun Nli Lawang Soka tampaknya tidak merasa jerih. Si
nenek kembali umbar tawa panjang. “Jika kau merasa mampu meringkus diriku dan
Pengging Kuntala, mengapa tidak segera melakukan?!” Si nenek malah menantang.
Dua tangannya yang mompermainkan puting susu kini bergerak turun mengusap-usap
bagian bawah payudaranya yang kisut. Tiba-tiba nenek itu pencet kedua payu
daranya. Dua puting susu berjingkrak kencang dan terjadilah satu hal yang luar
biasa. Dari dua puting ausu besar hitam itu melesat keluar semburan cairan
berwarna putih.
“Wuuss!
Wuuss!” Dua larik semburan air kemudian berubah menjadi api merah kebiruan.
Ilmu Susu Neraka! Dua puting susu si nenek memang merupakan sumber ilmu kesaktian
andalannya.
Ratu
Duyung berseru kaget, secepat Kilat dia melompat; ke samping. Itupun masih
kurang cepat karena ujung rambutnya sempat tersambar salah satu semburan api
merah biru. Ketika Ni Lawang Soka hendak melancarkan serangan susulan. Pendekar
212 Wiro Sableng cepat menghadang.
“Nek,
dari tadi aku ingin sekali meraba dua payudaramu! Ah. aku benar-benar
terangsang melihat kebagusan dadamu. Terutama sepasang pentil yang besar hitam
itu….” Wiro keluarkan ucapan dengan mata setengah dipejam dan mulut
diruncing-runcingkan sambil sesekali lidah dijulur. Seumur hidup belum pernah
ada orang apalagi seorang pemuda yang berkata seperti itu. Mau tak mau Ni
Lawang Soka jadi terkesiap dan tahan gerakan. Kesempatan ini dipergunakan Wiro.
Secepat kilat dua tangannya berkelebat ke depan membentot payudara si nenek.
Sepasang payudara kempes yang mulur panjang itu kemudian diikat di buhulnya
satu sama lain. Ni Lawang Soka menjerit keras. Kesakitan setengah mati. Memang
dua payudara yang kempes bergelayutan itu merupakan pusat kekuatan ilmu
kesaktiannya. Tapi sebagai seorang perempuan dua payudara itu merupakan titik
kelemahan. Si nenek berusaha melepaskan payudaranya yang terikat. Namun semakin
dicoba ikatan itu semakin keras mengancing dan rasa sakit semakin tidak
tertahankan. Dari puting susu si nenek keluar cairan putih muncrat-muncrat.
Sebagian berubah warna menjadi api merah kebiruan. Ni Lawang Soka melompat
nekad ke arah Wiro, berusaha merangkul sang pendekar. Rupanya dia bermaksud
bunuh diri. Mati bersama. Wiro cepat menghindar. Namun muncratan cairan putih
yang berubah jadi api ada yang berhasil menyerempet bahu kirinya. Bukan saja
bahu pakaian sang pendekar yang terbakar hangus, daging bahunya ikut terluka.
Wiro jatuh terduduk di tanah. Seku|ur tubuhnya terasa panas dingin. Tangan kiri
sulit digerakkan. Didahului teriakan dahsyat Ni Lawang Soka melompat. Kaki
kanannya menderu ke arah kepala Wiro. Kaki itu bukan hanya menendang. Tapi dari
lima kuku jari si nenek yang hitam bersamaan dengan tandangan melesat pula lima
larik cahaya hitam.
Wiro
jatuhkan diri ke tanah. Tendangan si nenek memang berhasil dielakkan namun
larik sinar hitam terus mengikuti dan menyambar ke arah lima bagian tubuh mulai
dari kepala sampai ke kaki.
Rayi
Jantra berteriak sambil babatkan Kujang Kiai Pasundan. Purnama gerakkan dua
bahu, lesatkan cahaya biru bergemerlap. Mereka berusaha menyelamatkan
Pendekar212 Wiro Sableng. Namun mendahului gerakan kedua orang itu, dari dada
kanan Ratu Duyung tiba-tiba Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit milik Nyai
Roro Kidul pancarkan cahaya hijau pekat.
“Wusss!”
Ni Lawang
Soka menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai ke depan tangga Gedung
Kadipaten. Begitu ambruk di tanah tubuh ini tak berbentuk lagi. Hanya tinggal
menyerupai bubuk hijau mengepulkan asap.
Melihat
sobatnya menemui ajal dengan cara luar biasa mengerikan begitu rupa, putuslah
nyali Pengging Kuntala. Tanpa menunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan
berkelebat kabur.
Untuk
kedua kalinya Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit pancarkan cahaya terang
hijau pekat. Sesaat kemudian di depan sana Pengging Kuntala menjerit keras.
Kakek satu ini menemui ajal tidak berbeda jauh dengan yang dialami Ni Lawang
Soka.
Ratu
Duyung tegak setengah tertegun. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Batu
Mustika sakti yang melekat padanya yang telah bertindak sendiri menyelamatkan
Wiro, membunuh Ni Lawang Soka dan Pengging Kuntala. Seantero tempat diselimuti
kesunyian. Purnama dan Rayi Jantra cepat mendatangi Wiro.
Rayi
Jantra totok beberapa urat utama di tubuh Wiro sementara alirkan hawa sakti ke
dalam badan sang pendekar melalui punggung. Sesaat kemudian walau luka di bahu
kiri masih meninggalkan rasa perih namun Wiro sudah mampu menggerakkan tangan
dan rasa panas dingin di sekujur tubuh lenyap. Dia cepat berdiri. Pada saat
itulah Adipati Bayumurti tiba-tiba melompat ke depan. Golok besar di tangan
kanannya menyambar ke arah Rayi Jantra. Diserang begitu rupa Rayi Jantra yang
sejak tadi sudah gatal tangan, segera hunus Kujang Kiai Pasundan. Tiba tiba
Adipati Losari Seda Wiralaga berteriak keras.
“Hentikan
perkelahian! Aku mau bicara!”
Semua
orang hentikan gerakan.
“Rayi
Jantra!” Adipati Seda Wiralaga menuding dengan telunjuk tangan kiri ke arah
Rayi Jantra. ”Saat ini kau bukan lagi Kepala Pasukan Kadipaten.”
“Apa
perduliku! Kau punya urusan besar denganku! Kau yang memberi perintah
membunuhku di kaki Bukit Batu Bersuling!”
“Dengar
Rayi Jantra! Kau bisa dapatkan jabatan itu kembali jika bersatu dengan pihak
kami!” kata Seda Wiralaga pula.
“Dua
manusia dajal yang jadi andalanmu sudah mampus. Rupanya kau mulai ketakutan
Adipati…,” Rayi Jantra mengejek. Lalu lemparkan jas tutup ke hadapan Seda
Wiralaga. “Pakaian itu milikmu. Pakaian itu yang kau kenakan sewaktu membunuh
Eyang Sepuh Kembar Tilu dan merampas dua buah dadu dari Tionggoan yang ada
padanya!”
Sebelum
Seda Wiralaga sempat mengatakan sesuatu Wiro menyambung ucapan Rayi Jantra.
“Kancing ke dua dari atas berbeda dengan empat kancing lainnya. Karena kancing
ke dua itu sempat direnggut Eyang Sepuh Kembar Tilu sebelum kau membunuhnya.
Bukan begitu ceritanya?” Wiro keluarkan kancing kayu yang ada di saku
pakaiannya lalu dilempar di depan kaki Adipati Seda Wiralaga. Sang Adipati
memperhatikan kancing kayu itu dengan mata mendelik lalu menghardik.
“Orang-orang
gila muka belang! Kalian bukan saja bicara gila tapi memfitnah diriku! Pendekar
gondrong muka belang, pembunuh Adipati Karta Suminta! Aku sendiri yang akan
menarik tali gantunganmu!”
Wiro tersenyum.
“Kau kemudian mengatur jebakan untukku. Jas tutup kau berikan pada Bayumurti.
Lalu kaki tanganmu yang bernama Ki Surat Balangnipa kalian suruh memakai jas
tutup itu.”
“Bangsat
sableng, kau pandai mengarang cerita!”
“Begitu?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Tapi ceritaku belum selesai.” Lalu Wiro lemparkan
topeng kakek botak muka merah ke hadapan Adipati Losari. “Kau mengenakan topeng
ini ketika membunuh Jumena setelah terlebih dulu mengalihkan perhatian dengan
meledakkan rumah jaga. Kau juga muncul di teluk Losari bersama tua bangka
bernama Pengging Kuntala mengenakan topeng ini.”
“Anjing
bermulut busuk!” maki Seda Wiralaga.
Dimaki
seperti itu murid Sinto Gendeng cuma menyeringai. Dia teruskan ucapannya. “Dua
nenek kembar sahabatku menyelidik ke gedung ini. Mereka berhasil menemukan
topeng kakek muka merah itu. Kau tak bisa mengelak. Kau berusaha membunuh
mereka dengan daun pantangan. Namun salah seorang dari mereka berhasil lolos
membawa topeng itu sebagai barang bukti!”
“Ha-hu
ha-hu!” nenek rambut kelabu jubah kuning keluarkan suara seolah membenarkan
semua apa yang dikatakan Wiro.
“Hebat
sekali cerita dustamu!” teriak Seda Wiralaga.
“Masih
ada yang lebih hebat!” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng. “Setelah berhasil
merampas dua buah dadu setan yang berasal dari perut Nyi Inten Kameswari dari
tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu kau membunuh beberapa orang untuk menghilangkan
jejak. Manusia-manusia malang yang jadi korbanmu adalah Anom Miharja, suami Nyi
Inten Kameswari. Lalu seorang gadis bernama Ningrum. Gadis itu menemui ajal
dengan sebilah keris kecil menancap di lehernya setelah lebih dulu kau tiduri!
Ini kerisnya!” Wiro keluarkan keris Gunung Intan yang didapatnya dari Purnama.
‘“Menurut cerita keris ini sudah menjadi milik Adipati Bayumurti. diberikan
kepadanya oleh salah seorang Pangeran. Lewat keris ini aku bisa mencium bau
busuk hubunganmu dengan Bayumurti. Tapi aku tidak tahu hadiah apa yang sudah
janjikan pada Adipati bau kencur ini hingga dia mau berserikat dalam kejahatan
bersamamu!”
“Manusia
buronan! Jangan berani menghina dan memfitnah diriku!” teriak Bayumurti marah.
“Kalau
kau tidak mau dihina, tidak mau difitnah. apakah kau mau memberi keterangan
bagaimana keris yang katanya ada padamu ini bisa menancap di leher gadis
bernama Ningrum? Apa kau mau mengakui bahwa kau sebenarnya yang membunuh
Ningrum untuk melindungi tuan besarmu ini?!” Tukas Pendekar 212 yang membuat
Bayumurti jadi sengit, muka mengelam merah, dua tangan dikepal. “Lalu apakah
kau juga bisa menerangkan paku berduri yang merupakan senjata rahasia milikmu
ini. Bagaimana bisa menancap di jidat seseorang yang telah membunuh Danang
Seta? Kau sengaja membunuh orang itu untuk melenyapkan jejak. Tapi dasar tolol
kau meninggalkan jejak berupa senjata rahasia ini. Lalu apa kau juga bisa
menerangkan bagaimana ceritanya malam tadi ada tiga paku berduri yang sama
menyerang kami di tepi telaga?”
“Aku
tidak suka melihat kalian menyiksa Ki Surat Balangnipa yang tidak berdaya!”
jawab Bayumurti dengan mata menyala.
“Oo…
begitu?” Wiro garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak. “Ada dua hal yang
perlu aku katakan. Pertama kami tidak menyiksa orang bernama Ki Surat
Balangnipa itu. Kami hanya memandikannya di parit karena menurut penglihatan
kami dia sudah lama tidak mandi. Bau badannya menyengat hidung. Apa salah kalau
kami memandikannya? Ha… h a…ha!” Wiro tertawa gelak-gelak lalu sambung
ucapannya. “Hal kedua. Dengan kau mengeluarkan ucapan bahwa kau tidak suka
melihat kami memandikan Ki Surat Balangnipa, secara tidak sadar kau telah
mengakui bahwa kau membokong kami secara pengecut malam tadi dan senjata
rahasia berbentuk paku berduri ini memang adalah milikmu!”
Tubuh
Bayumurti bergetar panas mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Tapi dia tak
bisa keluarkan suara. Wiro lanjutkan ucapan. “Adipati Seda Wiralaga, aku tahu
dua buah dadu dari Tiongkok itu ada padamu. Hal itu membuat kami menduga keras
bahwa kaulah yang menjadi bandar judi dan bandar rumah mesum yang di sebut
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami berhasil menemukan bangunan celaka itu.
Namun dalam keadaan kosong, ditunggui oleh Ki Sentot Balangnipa dan dajal yang
sudah mampus Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan berat kau adalah bandar
besar tempat judi dan tempat mesum itu. Apakah kau mau memberi tahu dimana
letak Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang baru? Aku dan kawan-kawan ingin
sekali melihatnya.”
“Pemuda
sinting! Apakah bicaramu sudah selesai?!” bentak Adipati Seda Wiralaga.
“Aku
punya satu pertanyaan. Mungkin dua buah dadu itu sudah kau berikan pada paderi
perempuan yang berdiri di sebelahmu karena katanya dia diutus oleh sebuah
perguruan di Tiongkok sana untuk mencari dan mendapatkan dua buah dadu itu.”
“Sudah!
Cukup kau bicara ngaco!” teriak Adipati Seda Wiralaga. “Adipati Bayumurti,
pimpin semua orang untuk menangkap si gondrong itu hidup atau mati! Siapa coba
menghalangi atau membantu, bunuh mereka semua!”
Ratu
Duyung dekati Pendekar 212. Begitu berada di samping Wiro dia berbisik, “Aku
barusan menerapkan ilmu Menembus Pandang pada paderi botak itu. Aku melihat di
balik pakaiannya, dalam sebuah kantong kain ada dua buah dadu.”
“Berarti
Seda Wiralaga telah memberikan dadu setan itu pada si paderi,” ujar Wiro.
“Belum
tentu. Seda Wiralaga tidak tolol. Coba kau periksa sosok Adipati buncit itu
dengan Ilmu Menembus Pandang.”
Wiro
lakukan apa yang dikatakan Ratu Duyung, Dia tersentak sewaktu melihat di
pinggang sang Adipati ada sebuah kantong putih berisi dua buah dadu. “Ah…!”
Wiro keluarkan seruan tertahan.
“Kau
melihat dua dadu itu?” tanya Ratu Duyung.
“Aku
melihat dua dadu lain. Edan, besar sekali seperti anak kucing.”
“Jangan
bergurau!” Ratu Duyung jengkel sekali. Mukanya bersemu merah.
“Ya, ya…
Aku sudah melihat. Ada dua dadu di balik pinggang pakaian Adipati itu. Dalam
satu kantong kain putih. Berarti ada dua pasang dadu. Yang mana yang asli?”
“Pasti
yang ada pada Adipati itu!” jawab Ratu Duyung.
Pembicaraan
kedua orang itu terputus sampai di situ. Bayumurti serta puluhan perajurit
termasuk sepuluh orang bersenjatakan tombak yang ditancapi daun mengkudu datang
menyerbu. Perajurit yang sepuluh ini sesuai perintah, mereka mengarahkan
serangan pada nenek rambut kelabu. Adipati Seda Wiralaga sendiri bersama Loan
Nio Nikouw saat itu juga sama-sama balikkan diri lalu dengan cepat berkelebat
pergi tinggalkan halaman, masuk dan lenyap di dalam gedung.
“Adipati
keparat! Kau mau kabur kemana?” teriak Wiro. Setelah meminta Purnama agar
melindungi nenek rambut kelabu Wiro melesat masuk ke dalam gedung Kadipaten.
Di dalam
gedung Kadipaten yang besar keadaannya ternyata sepi tapi mencekam. Adipati
Seda Wiralaga dan Paderi Loan Nio lenyap tak berbekas.
“Kalau
aku tidak segera menemukan kedua orang itu, akan kuhancurkan seluruh bangunan
ini!” Wiro mengancam dalam hati.
Tiba-tiba
ada suara berkesiur. Empat buah senjata rahasia berbentuk pisau terbang tanpa
gagang melesat dari empat jurusan menyerang Wiro dengan arah sasaran kepala,
dada dan punggung serta perut. Dia cepat jatuhkan diri seraya melepas satu
pukulan, membuat mental pisau terbang yang mengarah perutnya sementara tiga
pisau lainnya menghantam tempat kosong lalu satu menancap di lantai batu, dua
menembus dinding ruangan.
Wiro
cepat bergerak bangun. Namun belum sempat berdiri, masih dalam keadaan setengah
membungkuk, tiba-tiba langit-langit ruangan terbuka dan saat itu juga dua belas
tombak melesat ke bawah.
“Kurang
ajar!” Wiro memaki. Dia berguling di lantai sambil hantamkan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera dengan dua tangan sekaligus.
***********************
SEBELAS
PUKULAN
dahsyat yang dihantamkan Wiro bukan saja membuat selusin tombak patah, tetapi
langit-langit ruangan juga runtuh, terus menembus menghancurkan atap!
“Adipati
keparat! Pengecut! Kau sembunyi dimana atau sudah kabur?!” Teriak murid Sinto
Gendeng. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang berusaha menjajaki dimana sembunyinya
Seda Wiralaga. Ketika matanya tak sengaja memandang ke lantai, sang pendekar
jadi terkejut. Di bawah lantai gedung dia melihat satu ruangan besar,
dikelilingi sepuluh buah kamar tidur. Di tengah ruangan ada satu meja besar
empat persegi warna hijau, bergaris membentuk kotak bertuliskan angka 1 sampai
12.
“Meja
judi. Judi dadu. Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga ternyata dipindah dan ada di
bawah Gedung Kadipaten! Siapa yang akan mengira! Kurang ajar!” Baru saja
Pendekar 212 memaki tiba-tiba dari balik sebuah tiang besar berkiblat satu
cahaya merah disertai menyambarnya angin panas, tepat di depan hidungnya! Wiro
cepat melompat mundur. Craass! Tak urung ada ujung rambutnya di atas kening
yang terbabat putus. Selain itu Wiro merasa ada satu kekuatan dahsyat memukul
tubuhnya hingga dia terjajar ke belakang. Dada berdenyut sakit Ketika Wiro
meraba sudut bibirnya dia terkejut. Jari-jari tangannya merah oleh lelehan
darahnya sendiri. Sang pendekar mengalami luka dalam.
Wiro
membentak marah tapi jadi terkesima ketika orang yang barusan menyerang
ternyata adalah Kiang Loan Nio Nikouw. Saat itu Wiro melihat sang paderi
terpental tiga langkah, hampir jatuh duduk di lantai kalau dia tidak bertopang
pada Pedang Naga Merah yang ada di tangan kanannya. Seperti yang dialami Wiro
paderi ini juga merasa dadanya laksana ditindih batu besar dan nafas menjadi
sesak. Wajah yang cantik berubah pucat dan di sudut bibirnya juga mengucur
lelehan darah.
“Nio
Nio….” ucap Wiro. “Tadi aku heran melihat kau bersama Adipati Seda Wiralaga.
Kini tambah heran lagi mengapa kau menyerangku!”
“Pemuda
bejat! Aku bukan cuma menyerangmu! Tapi aku bersumpah membunuhmu!” Menyahut
paderi perempuan itu dengan suara setengah berteriak dan wajah cantik berubah
garang luar biasa.
“Nio Nio,
apa yang terjadi dengan dirimu?!” Tanya Wiro. Ketika dilihatnya sang paderi
kembali hendak menyerang dengan Pedang Naga Merah Wiro cepat berteriak.
“Jangan! Tahan serangan! Kita berdua bisa celaka!”
“Persetan!
Aku tidak takut mati!” jawab Loan Nio Nikouw.
Wiro cepat
melompat menjauh. “Nio Nio, aku tahu kau sudah dapatkan dua buah dadu itu!
Mengapa tidak segera kembali ke Tionggoan?”
“Aku
tidak akan meninggalkan tanah Jawa ini sebelum membunuhmu!”
“Apa
salahku?!” tanya Wiro.
Sang
paderi tertawa panjang. “Manusia bejat! Kau pandai berpura-pura! Dosa
kesalahanmu sedalam laut setinggi langit! Kau telah memperkosaku!”
“Hah!
Apa?! Lagi-lagi tuduhan gila itu!”
“Kau
melakukannya di dalam goa!”
“Pasti
pemuda geblek bernama Liok Ong Cun itu yang bicara bohong padamu! Dia punya
dendam besar padaku! Dia sengaja memfitnah diriku!”
“Kali ini
dia tidak bohong! Tidak memfitnah! Justru dia yang menemukan diriku di dalam
goa setelah kau gagahi!”
“Nio Nio.
Aku tidak akan pernah berlaku sekeji itu terhadap perempuan manapun! Apa lagi
terhadap dirimu yang telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku!”
“Loan
Nio, aku datang! Pemuda terkutuk ini memang harus segera dibunuh! Aku akan
membantumu agar kali ini dia tidak bisa lolos lagi!” Seseorang berteriak dalam
bahasa Cina. Satu bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu telah
berdiri seorang muda mengenakan topeng tengkorak. Rambut dikepang ke belakang,
tangan kanan menempel di gagang sebilah pedang yang dipegang di tangan kiri.
Liok Ong Cun!
“Loan
Nio, aku bersumpah! Pemuda bejat ini yang telah merusak kehormatanmu di goa
itu! Aku melihat sendiri ketika dia melarikan diri keluar goa!” Sepasang mata
Liok Ong Cun memandang laksana dikobari api ke arah Wiro.
“Nio Nio,
dulu pemuda sialan ini mulutnya pernah aku kencingi! Ternyata sekarang dia jadi
bisa bicara lancar sekali! Aku yakin barusan dia bicara dusta! Seperti kataku
tadi aku tidak mungkin mencelakai orang yang telah beberapa kali menyelamatkan
jiwaku!”
“Itulah
kebusukanmu! Air susu kau balas dengan air tuba!” tukas Loan Nio Nikouw.
“Hik…
hik!” Mendadak ada suara orang tertawa cekikan. Suara anak-anak. “Pendekar
sableng, apa benar kau pernah minum air susu gadis cantik kepala botak ini?!
Hik… hik… hik. Aku juga mau! Hik… hik… hik!”
“Jahanam
kurang ajar! Siapa yang bicara?!” teriak Liok Ong Cun marah besar walau tidak
mengerti apa yang diucapkan orang. Dia berpaling ke arah suara orang yang
barusan tertawa dan berucap. Wiro dan Loan Nio Nikouw juga ikut menoleh. Di
depan tiang sana, terpisah sejarak tujuh langkah berdiri seorang anak lelaki
berpakaian serba hitam berambut jabrik! Di sampingnya tegak senyum-senyum
seorang nenek berwajah angker seperti setan, berjubah biru. Sepuluh kuku tangan
panjang hitam. Tampang Liok Ong Cun jadi berubah ketika dia mengenali kedua
orang ini yang bukan lain adalah bocah jahil Naga Kuning dan si nenek sakti
berjuluk Gondoruwo Patah Hati.
“Kalian
berdua! Lekas menyingkir dari sini! Kalau tidak kutebas batang leher kalian!”
Liok Ong Cun membentak sambil hunus Pedang Ular Hijau.
“Hik…
hik! Dia bicara apa? Belum kapok dia rupanya sehabis kuhajar dengan Ilmu Kuku
Api!” kata Gondoruwo Patah Hati pula.
“Dia
takut rahasianya kita buka,” jawab Naga Kuning.
“Kalian
berdua,” kata Wiro. “Kalau mengetahui sesuatu lekas bicara!”
Naga
Kuning melirik ke arah Loan Nio Nikouw baru berkata. “Beberapa waktu lalu kami
terpesat di satu rimba belantara. Tiba-tiba kami melihat pemuda muka tengkorak
ini keluar dari goa. Di luar goa dia tampak seperti orang bingung. Lalu dia
berteriak-teriak dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Tapi jelas sekali dia
menyebut-nyebut nama Loan Nio. Kemudian dia masuk ke dalam goa. Keluar-keluar
memapah gadis botak ini…”
Merasa
orang tengah membicarakan perihal dirinya Liok Ong Cun cabut pedang dan
melompat ke hadapan Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati. “Pergi!” teriaknya.
Pedang di tangan diangkat tinggi-tinggi lalu dibacokkan ke arah Naga Kuning.
“Traangg!”
Liok Ong
Cun tersentak kaget ketika melihat bagaimana Pedang Naga Merah alias Ang Liong
Kiam di tangan Loan Nio Nikouw menangkis Pedang Ular Hijau miliknya.
“Loan
Nio. Apa-apaan kau inil”
“Ong
Cun,” ucap Loan Nio Nikouw. “Dari apa yang dijelaskan anak itu aku kini tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Kau lagi-lagi berdusta. Kau pandai mengarang
cerita membuat siasat lalu memfitnah orang, padahal kau sendiri yang jadi
dajalnya. Teganya kau melakukan perbuatan bejat itu terhadapku!”
“Aku
bersumpah tidak merusak kehormatanmu!” teriak Liok Ong Cun.
“Matilah
bersama sumpahmu!” Tanpa banyak bicara lagi Loan Nio Nikouw lantas menyerbu
Liok Ong Cun dengan Pedang Naga Merah. Karena kecintaannya terhadap Loan Nio
mula-mula pemuda bertopeng muka tengkorak itu tak mau melawan. Namun setelah
terdesak dan dia sadar sang paderi tidak main-main, Liok Ong Cun terpaksa
pergunakan Pedang Ular Hijau atau Ceng Coa Kiam untuk membela selamatkan diri.
Dua anak murid perguruan Siauw Lim terlibat dalam perkelahian luar biasa hebat.
Walaupun usia lebih muda dan adalah adik seperguruan, namun Loan Nio Nikouw
punya pengalaman lebih banyak serta tenaga dalam lebih tinggi. Selain itu
kecepatan ilmu pedangnya sulit ditandingi. Ditambah pedang yang ada di
ditangannya bukanlah senjata sembarangan, setelah bertempur lebih sepuluh jurus
Liok Ong Cun mulai terdesak. Pada jurus kedua belas Liok Ong Cun pergunakan
jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi untuk menangkis serangan
Pedang Naga Merah dalam jurus Naga Merah Membela Bumi yang dilancarkan Loan Nio
Nikouw.
“Traangg!”
Dua
pedang sakti beradu di udara. Bunga api memercik. Liok Ong Cun kalah tenaga.
Pedang Ular Hijau terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai bersamaan dengan
lepasnya sarung pedang yang dipegang di tangan kiri. Pedang Naga Merah menderu
deras. Liok Ong Cun menjerit sewaktu ujung pedang menggurat robek topeng
tengkoraknya mulai dari kening terus melintang di pipi kiri melompat melabrak
sebuah jendela kayu dan kabur meninggalkan Gedung Kadipaten. Darahnya bececeran
di lantai.
Selagi
Loan Nio Nikouw tertegun, menyesali diri sendiri dan berkata dalam hati.
“Mengapa aku hanya menggurat mukanya, tidak menabas batang lehernya…” tiba-tiba
dua orang melesat masuk ke dalam ruangan besar. Lalu terdengar seruan.
“Aku
dapat pedangnya!”
“Aku
mengambil sarungnya!”
Loan Nio
Nikouw tersentak kaget Dia perhatikan kedua tangannya. Astaga! Ternyata Pedang
Naga Merah yang tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang yang tadi dipegang
di tangan kiri sudah lenyap! Apa yang terjadi? Loan Nio Nikouw menatap ke
depan. Sang paderi keluarkan seruari tertahan sementara Wiro sendiri selain
kaget juga merasa gembira.
Di dekat
tiang besar berdiri sepasang kakek nenek sambil tertawa-tawa. Si nenek yang
berdandan menor dan mengenakan jubah serta celana panjang hitam bukan lain
adalah Eyang Sinto Gendeng. Di tangan kanannya dia memegang Pedang Naga Merah.
Di samping Sinto Gendeng berdiri seorang kakek berpakaian selempang kain putih
berambut dan berjanggut putih, kulit muka tipis, sepasang mata cekung. Kakek
ini memegang sarung Pedang Naga Merah. “Dugaanku terjawab sudah. Si nenek
berbaju bagus, berdandan mencorong. Ternyata dia menemui kekasih lama…,” kata
Wiro dalam hati.
Wiro
cepat membungkuk memberi penghormatan. “Eyang Sinto, Kakek Tua Gila….”
Diam-diam Wiro merasa lega kakek nenek itu berhasil mengambil Pedang Naga Merah
berikut sarungnya dari tangan Loan Nio Nikouw. Kalau dia yang melakukan pasti
akan terjadi perkelahian hebat yang bisa mencelakakan mereka berdua.
“Tua
bangka pencuri! Kembalikan pedangku!” Teriak Loan Nio Nikouw lalu menerjang ke
arah Sinto Gendeng. Tangan kanan berusaha merampas pedang sementara tangan kiri
memukul ke arah kepala si nenek. Sambil tertawa cekikikan Sinto Gendeng elakkan
serangan lalu melesat ke arah jendela diikuti Tua Gila. Loan Nio Nikouw
langsung mengejar sambil lepaskan satu pukulan sakti. Jendela dan sebagian
dinding ruangan hancur dilanda pukulan sang paderi. Namun sepasang kakek nenek
sudah lenyap. Diluar terdengar seruan si nenek. “Anak setan! Jangan lupa kau
harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas bersama Ratu Duyung!”
Setelah
kakek nenek itu lenyap kini kemarahan Loan Nio ditumpahkan pada Pendekar 212.
“Kau kenal dua tua bangka itu! Katakan siapa mereka. Dimana aku bisa mencari
keduanya!” Sambil bertanya berteriak sang paderi menyerang Wiro habis-habisan.
“Nio Nio.
Tahan serangan. Pedang Naga Merah itu memang pantas diambil kakek nenek tadi.”
“Apa
katamu?! Jadi kalian berkomplot!”
Wiro
melompat menjauh. “Dengar dulu keteranganku. Nenek jubah hitam itu adalah
guruku. Si kakek sahabatnya. Menurut riwayat, bukankah pedang itu kau dapat
dari Bayumurti semasa kanak-kanakmu di Semarang?”
“Apa
perdulimu!”
“Dengar
dulu. Aku belum habis bicara. Pedang itu sebenarnya adalah milik dan merupakan
putera sepasang muda-mudi, perwujudan hasil perkawaninan sebilah kapak dan
sebilah pedang. Kakek nenek tadi mengambil pedang bukan untuk mencuri. Tapi
mengembalikan pada pemiliknya. Jika pedang masih berada di tanganmu kau akan
mengalami malapetaka. Apa kau tidak menyadari ada rasa sakit di dada setiap kau
menyerangku dengan pedang itu? Kalau pedang berada di luaran, rimba persilatan
akan dilanda marabahaya.”
“Dusta
besar! Pedang itu sama nilainya dengan nyawaku! Kau harus memberi tahu kemana
perginya dua tua bangka itu! Atau aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Nio Nio,
dari pada meributkan soal pedang yang memang bukan milikmu, lebih baik kau
membantuku mencari kemana kaburnya Adipati Seda Wiralaga!”
“Kau
boleh mencarinya sampai ke neraka!” teriak Loan Nio llikouw lalu didahului
jeritan keras dia menyerang Wiro. Serangan sang paderi luar biasa ganas. Wiro
sempat kena gebuk di bagian dada dan perut.
“Nio Nio.
Kalau kau tidak segera menemukan Adipati itu, kau tidak akan mendapatkan dua
buah dadu yang kau cari untuk selama-lamanya!”
Sang
paderi hentikan serangan. “Apa maksudmu? Kau bicara apa?! Aku tak perlu Adipati
itu. Aku sudah dapatkan dua buah dadu yang kucari!”
“Aku tahu
Adipati itu telah memberikan dua buah dadu padamu. Tapi apakah kau sudah
meneliti? Dua buah dadu yang ada padamu adalah dadu-dadu palsu!”
Wajah
Loan Nio Nikouw berubah. “Bagaimana kau bisa tahu dua dadu itu palsu! Kau
berusaha menipuku!”
“Keluarkanlah
dan periksa!” ucap Wiro pula.
Antara
percaya dan tidak yang membuatnya bingung, sang paderi akhirnya keluarkan
sebuah kantong kain hitam dari balik pakaian merahnya. Dari dalam kantong dia
gelindingkan dua buah dadu ke telapak tangan kiri. Sepasang matanya
memperhatikan lekat-lekat. Wajah cantik sang paderi kemudian tampak berkerut
dua mata membesar, sepasang alis berjingkrak lalu mulut berteriak.
“Adipati
jahanam! Manusia terkutuk! Kau membujukku akan memberikan dua buah dadu jika
bersedia membantu menghadapi Pendekar Dua Satu Dua dan kawan-kawan. Ternyata
kau menipuku! Kau memberikan dadu-dadu palsu! Aku akan cincang tubuhmu sampai
lumat!” Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu berkelebat ke bagian belakang
gedung. Dia tahu satu kamar rahasia dimana dia menduga Seda Wiralaga berada di
tempat itu. Wiro mengikuti. Ternyata sang paderi dan Wiro tidak perlu mencari
jauh. Ketika sampai di halaman belakang mereka melihat Adipati Seda Wiralaga
tengah bertempur melawan Rayi Jantra disaksikan oleh Ratu Duyung, Purnama,
nenek rambut kelabu, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sampai saat itu sang
Adipati yang bersenjatakan sebilah keris pusaka masih memegang ranting daun
mengkudu di tangan kirinya. Rupanya dia tetap merasa khawatir nenek kembar
jejadian akan menyerang dirinya.
Sebenarnya
Adipati Seda Wiralaga bertempur dalam keadaan hati kecut nyali nyaris leleh.
Dia tahu, walau dia bisa mengalahkan Rayi Jantra dia tidak akan mampu lolos
dari begitu banyak tokoh silat yang mengelilinginya. Dalam keadaan seperti itu
akhirnya sang Adipati berubah nekad.
Walau
membekal Kujang Kiai Pasundan yang sakti mandraguna, ternyata tidak mudah bagi
Rayi Jantra untuk menghadapi Seda Wiralaga. Gerakan sang Adipati juga memiliki
tenaga luar dalam yang lebih tinggi. Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke
sembilan belas dua senjata beradu keras. Bunga api memercik. Adipati Seda
Wiralaga tergoncang sedikit sebaliknya Kujang Kiai Pasundan di tangan Rayi
Jantra terlepas mental dan Rayi Jantra sendiri terjajar tiga langkah ke
belakang.
Pada saat
itulah satu bayangan merah berkelebat menyambar kujang lalu terdengar suara
bentakan.
“Adipati
keparat! Kau merayu lalu menipuku! Kau memberikan dua dadu palsu! Berikan dua
dadu yang asli bersama nyawamu!”
Adipati
Seda Wiralaga terkejut. “Loan Nio, tahan serangan! Kau pasti telah diperdayai
pendekar jahanam itu!”
Tanpa
perduli ucapan orang Kujang Kiai Pasundan di tangan Loan Nio Nikouw berkelebat
ganas dan luar biasa cepat dalam jurus-jurus mematikan. Cahaya kuning
menggidikkan berkiblat tiada henti. Keris dan kujang beradu beberapa kali.
Dalam satu gebrakan hebat Loan Nio lemparkan dua buah dadu seraya berteriak.
“Makan
dadu palsu ini!”
Adipati
Seda Wiralaga cepat mengelak dari dua buah dadu yang melesat ke arah kepalanya.
Dia bisa selamatkan diri. Namun dikejap yang sama Kujang Kiai Pasundan di
tangan kanan Loan Nio Nikouw berkelebat dalam jurus Menusuk Matahari Membelah
Rembulan.
“Brettt!”
Bukan
cuma pakaian putih sang Adipati yang robek, tapi perut buncitnya ikut amblas
dimakan ujung kujang. Darah menyembur, usus besar memberojol keluar. Keris di
tangan kanan terlepas. Ranting daun mengkudu di tangan kiri ikut jatuh ke
tanah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh nenek rambut kelabu kembaran
jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tubuhnya melesat ke udara. Kaki kanan
menghajar kepala Seda Wiralaga hingga pecah bersamaan dengan menancapnya Kujang
Kiai Pasundan di dada kiri, langsung menembus jantung. Loan Nio Nikouw jatuhkan
diri di tanah, menekap wajah menahan tangis.
“Ha-hu
ha-hu… hekkk!” Bersamaan dengan putusnya ajal Adipati Seda Wiralaga, penyakit
gagu yang diindap nenek rambut kelabu serta merta lenyap. Si nenek sesenggukan
sesaat lalu berucap. “Eyang Sepuh, kami sudah membalaskan sakit hati dendam
kesumat kematianmu. Semoga kau kini bisa tenteram di alam akhirat. Eyang,
sekarang aku sudah tidak gagu lagi.”
Tiba-tiba
Loan Nio Nikouw ingat sesuatu. Dia melompat dari duduknya, buru-buru
menghampiri mayat Seda Wiralaga. Tanpa rasa ngeri dia memeriksa tubuh Adipati
itu. Tapi dia tidak menemukan benda yang dicarinya.
“Pemuda
gondrong itu pasti menipuku. Atau Adipati keparat ini telah menyembunyikan dua
dadu itu di satu tempat?” membatin sang paderi.
“Nio Nio,
apakah kau mencari benda ini?”
Loan Nio
Nikouw palingkan kepala. Pendekar 212 tersenyum lalu keluarkan sesuatu dari
dalam sebuah kantong kain putih yang tadi telah lebih dulu diambilnya dari
balik pakaian Adipati Seda Wiralaga yaitu ketika sang paderi terduduk di tanah
sambil menekan muka sementara Rayi mencabut kujang miliknya dari dada Adipati
Losari itu.
Dari dalam
kantong kain meluncur keluar dua buah dadu yang segera ditampung Wiro ditelapak
tangan kiri.
“Ini
dadu-dadu yang asli.” Ucap Wiro sambil menimang-nimang dua buah dadu.
“Berikan
padaku!” kata Loan Nio Nikouw seraya melangkah cepat ke arah Wiro.
Wiro masukkan
kembali dua buah dadu ke dalam kantong kain putih. Tapi tidak menyerahkannya
pada sang paderi melainkan berkata. “Aku tidak akan memberikan dua buah dadu
ini padamu. Kecuali kau mengembalikan padaku Kitab Seribu Pengobatan yang kau
curi waktu peristiwa penyerangan Walang Gambir alias Kobra Biru di dangau tempo
hari.”
Loan Nio
Nikouw ternganga. Lalu paderi ini tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku
yang mencuri kitab itu?”
“Di
tempat kejadian tak ada orang lain kecuali kau dan Bunga, sahabatku dari alam
roh. Bunga tak mungkin mencuri karena dia tak bisa membawa benda asing ke
alamnya. Tinggal kau. Lagi pula aku pernah menerapkan satu ilmu untuk memeriksa
dirimu. Dan aku melihat kitab itu memang ada di tubuhmu.”
“Kau
memang lelaki kurang ajar!” ucap sang paderi tapi dengan wajah tersenyum. Di
balik punggungnya dia membuka ikatan tali halus lalu mengeluarkan sebuah kitab
tebal terbuat dari daun lontar. “Aku sebenarnya tak pernah bermaksud sungguhan
mencuri kitab ini. Aku hanya berjaga-jaga. Kalau kau duluan menemukan
dua buah
dadu dan tak mau memberikan padaku, maka kitab ini akan kujadikan alat pemaksa.
Ambillah.” “Kau cerdik, juga baik hati.” Kata Wiro pula sambil menyambut kitab
yang diserahkan. Naga Kuning mendekati Loan Nio Nikouw. “Kurasa sekarang kita
sudah jadi sahabat. Karena itu aku akan
menyerahkan
padamu benda ini.” Dari balik pinggangnya Naga Kuning keluarkan sebuah seruling
perak. Loan Nio Nikouw sampai berseru girang melihat suling miliknya itu.
“Bagaimana ceritanya sampai suling ini ada padamu?” “Suling itu terjatuh dari
pinggangmu ketika orang muka tengkorak mendukungmu keluar goa.”
Menerangkan
Naga Kuning. “Aku sangat berterima kasih,” kata Loan Nio Nikouw sambil pegang
bahu si bocah. “Kau lucu. Baru sekali ini aku melihat perempuan kepalanya
botak. Apakah aku boleh mencium
kepalamu?”
Permintaan
si bocah membuat Loan Nio tertawa. Tapi dia menjawab juga. “Kalau kau suka
silahkan saja,” lalu sang paderi merunduk sedikit Naga Kuning majukan
hidungnya. Kepala botak sang paderi tercium harum. Namun sebelum hidung si
bocah dan kepala botak bersentuhan, Gondoruwo Patah Hati segera jewer dan tarik
telinga kiri Naga Kuning.
“Gunung,
jangan macam-macam! Orang mengira kau masih anak-anak. Padahal kau sudah kakek
tua bangka!” Naga Kuning terpekik kesakitan namun tak berani membantah ketika
dia ditarik si nenek meninggalkan tempat itu. Wiro tertawa gelak-gelak
sementara Loan Nio Nikouw senyum-senyum. Setelah kedua orang itu pergi baru
Wiro menyadari kalau Ratu Duyung dan Purnama tak ada lagi di tempat itu.
“Mereka pasti saling cemburu…,” pikir Wiro lalu berpaling pada Rayi Jantra.
Rayi hanya bisa angkat bahu dan berkata. “Aku ke halaman depan dulu. Banyak
mayat bergelimpangan di sana. Termasuk Bayumurti….”
“Siapa
yang membunuh Bayumurti?” tanya Wiro.
“Purnama
“ Jawab Rayi Jantra lalu melangkah pergi.
“Saudara
Wie…” Loan Nio Nikouw menyapa Pendekar 212 dengan sebutan yang sudah lama tak
pernah diucapkannya. Wiro tersenyum. “Malam nanti kebetulan ada kapal dari
Tionggoan yang datang ke Teluk Losari menjemputku. Sebenarnya aku ingin berada
lebih lama di sini…” “Aku mengerti. Tugasmu belum selesai sebelum dua buah dadu
kau serahkan pada pimpinanmu. Aku hanya bisa berharap, satu ketika kau akan
kembali lagi ke tanah Jawa ini.”
Loan Nio
Nikouw anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Aku pasti kembali. Mencari
manusia bejat muka tengkorak itu!” Paderi cantik ini lalu tundukkan kepala
berusaha menyembunyikan linangan air mata. Dia melirik ke samping, ke arah
nenek rambut kelabu. Si nenek pura-pura melihat ke jurusan lain.
“Wiro…”
ucap Loan Nio Nikouw perlahan sekali, setengah berbisik. “Sebenarnya aku malu
mengatakan hal ini. Apa iagi diriku tidak lagi sesuci sebagaimana aku datang
pertama kali. Tapi jika aku tidak mengatakan tidak ada kelegaan di hatiku seumur-umur.
Jauh di lubuk hatiku, aku… aku sebenarnya telah jatuh cinta padamu sejak
pertama kali aku melihatmu. Jalan nasib membawa diriku ke dalam keadaan seperti
ini. Aku mohon kau memaafkan segala sikap dan perbuatanku yang buruk, mungkin
juga jahat..”
“Kau
gadis baik. Aku tidak akan melupakanmu, Nio Nio,” ucap Wiro. Lalu dipeluknya
Loan Nio Nikouw. Sang paderi membalas pelukan itu dengan rangkulan kencang
sementara air mata jatuh berderai membasahi pipinya.
“Aku
pergi Wiro. Aku….”
“Tenangkan
dan tabahkan hatimu, Nio Nio. Aku berdoa untuk semua kebaikan bagimu.”
“Terima
kasih,” ucap Loan Nio Nikouw lalu lepaskan pelukannya. Belum sepuluh langkah
paderi dari Tionggoan itu berjalan tiba-tiba nenek rambut kelabu mengejar.
“Ada
apa?” tanya Loan Nio Nikouw sementara Wiro memperhatikan agak merasa heran.
“Sahabat
muda, aku tahu kau tengah mengalami kesulitan. Kalau aku boleh menolong dan kau
memang tidak mau melahirkan seorang bayi tanpa ayah, aku punya obat peluntur.”
“Obat
peluntur, obat apa itu?” tanya sang paderi.
“Obat
untuk menggugurkan kandunganmu,” jawab si nenek dengan suara sengaja
dipelankan.
Loan Nio
Nikouw tercengang dan tidak dapat menyembunyikan perubahan raut wajahnya.
“Bagaimana kau tahu keberadaanku…”
Si nenek
tersenyum. Dia mengambil satu kantong kecil dan hitam dan menyerahkannya pada
Loan Nio Nikouw. “Di dalam kantong ini ada bubuk obat. Campur dengan air panas.
Minum setiap malam tiga hari berturut-turut…”
“Nek,
aku…” Loan Nio Nikouw pandangi kantong hitam di tangan si nenek dengan rasa tak
percaya. Perlahan-lahan dia ulurkan tangan mengambil kantong kain itu lalu
memeluk si nenek. Air matanya kembali berlinangan. “Nek, kau menghindarkan
diriku dari malu besar yang sulit bagiku mengatakan bagaimana menanggungnya.”
“Selamat
jalan sahabat muda. Kalau aku mendengar kabar tentang dirimu kelak, aku hanya
ingin mendengar kabar yang baik-baik…”
Loan Nio
Nikouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia cium pipi si nenek kiri kanan. Lalu
mencabut seruling perak yang terselip di pinggangnya.
“Ini
untukmu Nek. Aku hanya bisa memberikan suling ini sebagai tanda terima kasih.
Ambillah.”Nenek rambut kelabu semula hendak menolak pemberian itu. Namun
melihat wajah tersenyum tapi berurai air mata sang paderi akhirnya dia ambil
juga suling itu lalu memeluk dan balas mencium.
Setelah
Loan Nio Nikouw pergi jauh si nenek hampiri Wiro. Sang pendekar menegur
bercanda. “Wah, kau diberi suling. Aku mengapa tidak diberi…?”
“Jangan
serakah. Kau sejak lahir sudah punya suling!” jawab nenek rambut kelabu. Wiro
tertawa gelak-gelak lalutampar pantat si nenek. Seperti yang sudah-sudah begitu
mendapat tamparan di bagian tubuh sebelah bawah ujud si nenek langsung berubah
menjadi seorang perempuan muda berwajah jelita.
“Hemm…
Kau sengaja bersalin rupa. Kau hendak merayuku? Aku kasih suling baru kau tahu
rasa!”
“Kalau
kau berani keluarkan suling, aku ketok sulingmu dengan suling perak ini!”
Perempuan muda mengancam.
“Aku mau
lihat bagaimana kau melakukannya!” kata wiro pula sambil tertawa-tawa.
Perempuan
muda cantik itu tertawa cekikikan lalu lari menjauh ketika Wiro mendatanginya.
****************************
Satu
bulan setelah tewasnya Adipati Seda Wiralaga, Rayi Jantra diangkat menjadi
Adipati Losari. Pedang Ular hijau atau Ceng Coa Kiam milik Liok Ong Cun yang
ditinggal begitu saja oleh pemiliknya diambil dan disimpan oleh Rayi Jantra.
Kelak dikemudian hari pedang ini akan menjadi masalah besar karena Liok Ong Cun
kini bermuka cacat masih berkeliaran di tanah Jawa.
Setelah
Adipati Seda Wiralaga tewas dan Istana Seribu Rejeki Seribu Mesum dihancurkan
oleh Rayi Jantra, Kerajaan Cirebon berdiri. Jatilandak, putera Luhmintari yang
bernama Purnama telah diangkat menjadi salah seorang Kepala Pasukan Kerajaan
oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang. Namanya diganti menjadi Tubagus
Kesumaputra. Sementara itu sesampainya di Tionggoan, setelah menyerahkan dua
buah dadu pada Wakil Ketua perguruan Siauw Lim, Loan Nio Nikouw memencilkan
diri di satu puncak gunung. Dia berubah pikiran untuk menggugurkan kandungannya
dengan obat yang diberikan nenek jejadian kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu.
Sang paderi punya rencana dahsyat. Bilamana si anak yang akan dilahirkannya
sudah besar kelak, anak itu akan disuruhnya mencari dan membunuh Liok Ong Cun.
Kepada si anak akan ditanamkannya cerita yaitu bahwa Liok Ong Cun adalah orang
yang telah membunuh ayah kandungnya. Jadi adalah kewajiban si anak membalas
dendam kematian sang ayah.
TAMAT
No comments:
Post a Comment