Nyi
Bodong
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
HUTAN
Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelintir ke barat, dalam
keadaan tangan kanan cidera berat, kepala rampok Surah Nenggolo akhirnya sampai
ke tempat yang dituju. Tempat ini terletak dekat sebuah danau kecil,
dikelilingi pohon-pohon besar. Bayangan dedaunan pepohonan yang berbagai ragam
membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul di permukaan
air.
Di
pinggir danau terlihat tiga bangunan beratap rumbia, dua agak kecil dan
tertutup dinding. Satunya besar tanpa dinding. Di dalam bangunan besar sembilan
orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu.
Di kepala
meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, berwajah
cakap, memiliki kening tinggi dan alis mata tebal. Rambut panjang sebahu.
Dibanding semua orang yang ada di tempat itu, dia satusatunya yang berpakaian
dan berpenampilan apik rapi.
Di kiri
kanan meja bambu, duduk delapan orang yang rata-rata telah berusia lebih dari
setengah abad. Dari raut wajah serta pakaian, jelas menunjukkan sebagai orang
rimba persilatan. Satu-satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah
seorang nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua, bermata dingin kelabu.
Di luar
bangunan dua puluh orang bertubuh tegap, memakai blangkon dan pakaian serba
hitam tegak berjagajaga.
Di dada
kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris
bersilang. Lelaki cakap di kepala meja sebelah kanan memandang berkeliling lalu
bertanya, “Keluarga seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?”
Ada yang
menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
“Terimakasih.
Terimakasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton
Kaliningrat yang ke sembilan belas ini. Seperti pertemuan yang sudah-sudah,
Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri
beliau.”
“Pangeran
Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?” seorang
peserta pertemuan bertanya.
“Tentu
saja.” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala.
“Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal
penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal Cina yang
sampai saat ini tidak ketahuan di mana beradanya. Dua orang kerabat kita yang
diketahui membawa madat itu ditemukan tewas. Kita masih menelusuri siapa
pembunuhnya. Dua orang kerabat lainnya kembali dengan tangan hampa, malah salah
seorang dari mereka mendapat. Hal kedua…”
Belum
sempat Pangeran Muda meneruskan ucapan tiba-tiba di kejauhan terdengar satu
jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah sosok
lelaki pendek berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung masuk ke
dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik. Muka sepucat kain
kafan.
Ada luka
cukup dalam di mata kanan yang membuat bola matanya yang juling seperti hendak
meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur berlumuran darah setengah mengering
diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyunghuyung. Kalau tidak lekas dipegang
orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi geger. Seorang
cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan hawa
sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di
sebuah kursi.
“Surah
Nenggolo! Apa yang terjadi?! Mana anak buahmu!” Lelaki yang dipanggil Pangeran
Muda bertanya. Suaranya keras mendesing tajam.
“Delapan
orang anggota saya telah menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon
maafmu.”
“Jangan
dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!” Pangeran Muda di ujung
meja membentak.
Ketakutan
luar biasa Surah Nenggolo menuturkan apa yang dialaminya.
Setelah
mendengar keterangan kepala rampok hutan Ngluwer itu Pangeran Muda
geleng-geleng kepala lalu berkata, “Sulit dipercaya! Kau yang berkepandaian
tinggi dan jadi andalan dipecundangi seorang perempuan muda berotak miring!
Membawa minuman keras! Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Sangat
memalukan!”
Pangeran
Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursi. Lelaki ini
kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua berpakaian
jubah kuning pekat. Walau dia satu-satunya perempuan di tempat itu, namun
agaknya dia memiliki wibawa cukup tinggi hingga dijadikan tempat bertanya.
“Ni
Serdang Besakih, saya ingin segera mengirimkan orang kita ke perbatasan untuk
menyelidik. Mungkin perempuan itu masih berada di sekitar sana. Namun saya
perlu pendapatmu lebih dulu.”
Nenek
berhidung bengkok bermata kelabu gembungkan pipinya yang kempot lalu menjawab,
“Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita
mengirimkan orang. Jika boleh biar aku yang pergi mencari bersama beberapa
orang saudara seperjuangan, saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh
menyusul untuk mengawasi keadaan. Bagaimana pendapatmu?”
“Pendapatku
Nek, kau tidak perlu susah-susah mencari! Aku sudah ada di sini!” Tiba-tiba
satu suara terdengar menyahuti ucapan si nenek.
Semua
orang dalam bangunan sama mendongak ke atas atap karena suara orang yang bicara
datang dari atas sana. Bersamaan dengan itu mendadak atap bangunan yang terbuat
dari rumbia jebol! Satu sosok berwajah putih berpakaian biru disertai suara
tawa mengikik melayang turun, berdiri di atas meja dengan tubuh sempoyongan,
rambut awut-awutan! Tiga buah kendi kecil tergantung diikat pinggang besar.
Satu kendi lagi berada dalam genggaman tangan kiri. Bau minuman keras
menghampar menusuk hidung.
“Dia
orangnya!” teriak Surah Nenggolo sambil menunjuk dengan tangan kiri. Semua
orang yang ada di tempat itu menjadi geger! Lalu untuk sesaat suasana berubah
hening seperti di pekuburan!
“Perempuan
mabok kesasar! Siapa kau?” Seorang yang duduk di deretan kursi sebelah kanan
meja membentak.
Dia
seorang tokoh silat, yang dikenal dengan julukan Gagak Ireng. Berasal dari
pantai utara, mengenakan blangkon dan pakaian warna hitam. Sepuluh kuku jari
tangan dan kaki panjang-panjang berwarna hitam.
Perempuan
muka putih yang berdiri di atas meja bambu seka minuman keras yang membasahi
dagunya, menatap ke arah Gagak Ireng lalu tertawa gelak-gelak. Sementara tubuh
masih terus bergoyang huyung.
“Siapa
bilang aku mabok! siapa bilang aku kesasar!”
katanya.
“Si botak pendek itu yang menuntun aku ke sini. Aku hanya tinggal mengikuti.
Hik… hik… hik!”
Tampang
Surah Nenggolo jadi pucat. Dia sadar kini mengapa perempuan bermuka putih itu
tidak membunuhnya, membiarkan dirinya lari masuk ke dalam hutan. Ternyata dia
dikuntit! Dengan muka pucat kepala rampok yang jadi anggota dan kaki tangan
orang-orang Keraton Kaliningrat ini menatap ke arah Pangeran Muda di ujung
meja.
“Pangeran,
saya tidak tahu kalau dia mengikuti, saya mohon maaf telah berlaku lalai.”
“Botak
tolol!” Gagak Ireng mendamprat. “Kau tak perlu banyak khawatir! Dia tak bakal
lama berada di sini dalam keadaan hidup!”
Karuan
saja tampang Surah Nenggolo jadi semakin pucat.
Perempuan
yang berdiri di atas meja berpaling ke arah Gagak Ireng, menatap tajam,
mencibir lalu tertawa panjang, “Aku baru tahu. Rupanya ada malaikat maut di
tempat ini. Hik… hik… hik!”
Dari
ujung meja Pangeran Muda menegur, “Tamu yang datang tidak diundang. Tahukah
kalau kau telah berbuat dua kesalahan besar?”
Perempuan
bermuka putih alihkan pandangannya ke ujung meja sebelah kanan. “Ah, Pangeran
Muda rupanya yang bicara. Dua kesalahan besar apa yang telah aku perbuat? Mohon
petunjuk Pangeran Muda.” Sekali ini nada suaranya begitu lembut dan sikapnya
sangat menghormati tapi waktu bicara sepasang matanya dikedap-kedipkan sehingga
membuat Pangeran Muda jadi rikuh jengah. Dia segera menjawab, “Kesalahan
pertama kau telah merusak atap bangunan ini. Kesalahan kedua kau berlaku kurang
ajar. Berdiri di atas meja padahal kami tengah mengadakan pertemuan dan di sini
banyak orang-orang tua yang harus kau hormati.”
Sepasang
alis perempuan muka putih mencuat naik, tangan kiri mengusap-usap perut. “Kalau
dua hal itu dianggap kesalahan besar, mohon Pangeran Muda mau mendengar
penjelasanku. Soal atap yang rusak bukan salahku. Atap itu yang salah. Mengapa
dibuat dari rumbia yang lapuk? Lalu perihal aku berdiri di atas meja, kalian
semua selaku tuan rumah yang alpa. Mengapa tidak ada yang menyediakan kursi
untukku? Pangeran lihat sendiri semua kursi sudah ada yang menduduki. Apa salah
besar kalau aku terpaksa berdiri di atas meja? Malah aku rasa ini satu
pemandangan bagus yang jarang kalian saksikan.
Apakah
tubuhku tidak cukup indah untuk kalian nikmati?”
Habis
berkata begitu perempuan di atas meja liuk-liukkan tubuhnya sehingga pinggulnya
kelihatan melebar, dada membusung bergoyang-goyang, pantat dikedut-kedut
songgeng dan wajah mengundang penuh gairah. Semua orang nyaris terpukau hening.
Banyak yang diam-diam mencuri pandang. Mereka seperti baru menyadari kalau
perempuan di atas meja memiliki tubuh sintal kencang menggairahkan. Dan
wajahnya yang putih itu bukannya tidak cantik!
Tiba-tiba
salah seorang dari dua puluh orang berseragam hitam di luar bangunan berteriak,
“Pangeran Muda, biar kami singkirkan perempuan kurang ajar itu!”
Dua puluh
orang bertubuh kekar, berpakaian serba hitam dan rata-rata memiliki kepandaian
silat cukup tinggi sertamerta mengurung bangunan beratap rumbia. Pangeran Muda
angkat tangan kiri memberi tanda.
“Kalian
semua kembali ke tempat. Biar urusan ini kami yang menyelesaikan.”
Di atas
meja perempuan muka putih sapukan pandangannya pada rombongan orang-orang
berpakaian dan berikat kepala hitam itu. Pelipis berdenyut, dada seperti
dipanggang. Mulut terkancing menahan geram luar biasa.
Seseorang
tiba-tiba membentak. Dia adalah si nenek berhidung bengkok Ni Serdang Besakih.
“Perempuan sinting kurang ajar! Lekas turun dari meja! Atau aku patahkan dua
kakimu!”
Orang di
atas meja bambu acuh saja. Dia sama sekali tidak berpaling ke arah si nenek.
Setelah meneguk lahap minuman keras dalam kendi dia tertawa lalu berkata, “Hik…
hik…! Siapa tadi yang mau mematahkan dua kakiku!? Aku mau kenal orangnya!”
Perempuan
di atas meja memandang berkeliling.
Pandangannya
kemudian berhenti pada Ni Serdang Besakih.
“Hemmm…
Nenek peot berhidung bengkok! Kau rupanya orangnya! Mulutmu sombong amat!
Agaknya kau merasa jadi jago di tempat ini. Padahal Pangeran Muda yang jadi
pimpinan di tempat ini tidak berkata apa-apa!
Tapi
biarlah, aku menunggu kapan kau mau mematahkan dua kakiku!”
Habis
berkata begitu gadis ini tarik kaki kiri celana hitam sampai melewati lutut.
Betis sampai ujung pahanya tersingkap putih. Banyak mata jadi melotot. “Kaki
begini bagus, tega-teganya mau dipatahkan. Kasihan amat. Hik… hik! Paling tidak
kakiku ini jauh lebih bagus dari kaki nenek peot itu! Hik… hik… hik!”
Dihina
begitu rupa di hadapan sekian banyak orang yang selama ini menyeganinya, Ni
Serdang Besakih menggeram marah. Wajahnya gelap merah, hidung yang bengkok
mencuat ke depan. Untuk menutupi malu dia pun berkata, “Mematahkan dua kakimu
pekerjaan mudah!
Sebelum
aku sengsarakan dirimu seumur hidup, aku mau tahu siapa namamu, apa kau punya
gelar!”
“Tanya
nama dan gelarku?! Hik… hik… hik!” perempuan di atas meja tertawa, tubuh
menghuyung ke kiri ke kanan.
Perut
diusap-usap dengan tangan kiri. “Nenek hidung bengkok! Kalau kau seorang pemuda
tampan atau lelaki gagah seperti Pangeran Muda yang duduk di sana, pertanyaanmu
pasti kujawab! Malah sekaligus akan kuberi tahu di mana tempat kediamanku! Tapi
kalau cuma tua bangka rongsokan macam dirimu yang bertanya, perlu dan untung
apa aku memberi tahu! Jangan-jangan kau bangsa perempuan yang doyan sesama
jenis! Hik… hik… hik!”
Wajah
keriput Ni Serdang Besakih membesi kaku.
Sepasang
matanya berkilat-kilat menahan amarah. Namun sebagai tokoh silat yang banyak
pengalaman dia tidak mau terpancing dan berlaku sembrono. Matanya cukup tajam.
Walau
perempuan yang berdiri di atas meja masih muda belia seperti mabuk dan kurang
waras namun agaknya dia memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dibuat
main.
Nenek ini
juga memperhatikan meja panjang yang terbuat dari bambu tanpa ada pengganjal di
bagian tengah sama sekali tidak melengkung oleh injakan orang! Selain itu dia
juga bisa menduga, minuman keras di dalam kendi yang sesekali diteguknya bisa
menjadi senjata sangat berbahaya. Tadi dia sudah memperhatikan tangan kiri
Surah Nenggolo yang hancur sementara tangan kiri kelihatan menghitam seperti
hangus dan ada bentolanbentolan kecil.
Di atas
meja perempuan muka putih kembali usap-usap perut di bagian pusar dengan tangan
kiri. Tangan ini kemudian disusupkan ke balik baju biru lalu kembali dia
mengusap. Gerakan tangan ini sejak tadi diperhatikan oleh seorang tokoh rimba
persilatan yang hadir di tempat itu, bernama Kecik Turangga, berjuluk Hantu
Buta Senja.
Orang ini
memiliki kebiasaan aneh. Jika siang berganti malam atau senja hari, dia selalu
menutupi wajahnya dengan sebuah topeng menampilkan muka seorang bermata bengkak
buta. Topeng baru dilepas setelah sang surya terbit di pagi hari. Setelah
memperhatikan wajah, sosok dan gerak-gerik perempuan di atas meja beberapa
lama, tiba-tiba Kecik Turangga berteriak.
“Saudara-saudara
seperjuangan! Aku yakin dia adalah Nyi Bodong!”
Si muka
putih di atas meja tersentak, menatap ke arah Kecik Turangga lalu sunggingkan
seringai. Semua orang yang hadir di tempat itu jadi melengak geger. Nama Nyi
Bodong sejak beberapa waktu belakangan ini muncul secara tiba-tiba dalam rimba
persilatan sebagai seorang tokoh misterius. Setiap muncul pasti ada korban yang
jatuh. Yang jadi sasaran biasanya adalah orang-orang jahat terutama para
pemerkosa. Keadaan di tempat itu hening sesaat. Semua wajah menunjukkan rasa
tegang. Beberapa orang tampak berbisik-bisik.
Pangeran
Muda berdiri dari kursinya. Matanya memandang lekat-lekat ke arah perempuan di
atas meja bambu, dari kepala sampai ke kaki. Lalu sambil mengusap dagu dan
tersenyum dia berkata, “Sungguh tidak disangka dan merupakan satu kehormatan
besar seorang tokoh terkenal yang baru muncul dalam rimba persilatan rupanya
yang menyambangi kami. Nyi Bodong, terima kasih salam hormatku dan semua
saudara yang ada di sini. Mohon maaf kalau sikap perlakuan kami ada yang tidak
berkenan di hati Nyi Bodong. Saat ini saya sampaikan urusan dengan Surah
Nenggolo kami anggap selesai. Surah Nenggolo kelak akan kami jatuhi hukuman
karena telah berani berlaku lancang terhadap Nyi Bodong.”
Perempuan
yang dipanggil Nyi Bodong sunggingkan senyum. “Dia telah menerima hukuman. Apa
Pangeran Muda tidak melihat tangan kanannya yang hancur dan tangan kiri yang
hangus hitam?”
Pangeran
Muda ikut tersenyum. “Hukuman dari Nyi Bodong layak diterimanya. Namun hukuman
dari kami tetap akan diberlakukan.”
Habis
berkata begitu Pangeran Muda memberi tanda dengan jentikan dua jari tangan.
Empat orang berseragam hitam di luar bangunan segera masuk meringkus Surah
Nenggolo. Tak lama kemudian terdengar raungan kepala rampok itu. Walau siang
bolong tetap saja terasa menggidikkan!
Setelah
Surah Nenggolo dibawa pergi Pangeran Muda melirik ke arah Ni Serdang Besakih
dan anggukkan kepala. Melihat isyarat ini si nenek segera berpaling pada
seorang lelaki memakai topi tinggi merah seperti tarbus, memelihara jenggot dan
kumis lebat lalu anggukkan pula kepalanya.
Orang
memakai tarbus merah segera mengambil sesuatu dari kolong meja. Benda ini
kemudian diletakkan di atas meja bambu, hanya dua jengkal dari kedua kaki si
muka putih. Ternyata yang diletakkan adalah seperangkat pakaian berwarna hitam.
Pada dada kiri baju hitam ada sulaman gambar rumah joglo dan keris bersilang.
Perempuan
di atas meja tatap sebentar baju dan celana panjang hitam itu lalu mendongak
dan tertawa panjang. Kemudian dia memandang ke arah orang bertarbus merah.
“Manusia berkumis dan berjenggot tebal. Apa maksudmu meletakkan pakaian hitam
itu di depanku?”
*******************
2
YANG
menjawab pertanyaan si muka putih adalah Ni Serdang Besakih. “Nyi Bodong, kau
telah mendapat anugerah dan kehormatan besar dari Pangeran Muda.”
“Ooo…
baik sekali Pangeran Muda terhadapku. Tapi anugerah dan kehormatan besar apa
yang aku dapatkan?”
“Saat ini
Pangeran Muda telah menganggapmu sebagai salah seorang dari saudara
seperjuangan. Kau telah menjadi salah seorang anggota penting Keraton
Kaliningrat. Kau diberi kehormatan untuk mengenakan pakaian hitam, pakaian
kebesaran itu.” Menerangkan Ni Serdang Besakih.
“Begitu?”
perempuan di atas meja tersenyum. Pandangannya dilayangkan pada kelompok
orang-orang berseragam hitam di luar bangunan pertemuan. Dalam hati dia
membatin. “Aku datang ke tempat yang tidak salah. Tapi aku belum melihat dua keparat
terkutuk itu.”
Palingkan
kepala kembali pada Ni Serdang Besakih, dia berkata, “Saudara seperjuangan.
Memangnya kalian memperjuangkan apa?”
“Ni
Serdang, biar saya yang menerangkan,” kata Pangeran Muda pula dari ujung meja
sebelah kanan. “Nyi Bodong, semua kami di sini adalah saudara bersaudara dalam
perjuangan. Perjuangan kami adalah menegakkan keadilan dan mendirikan
kebenaran. Perjuangan yang kami lakukan saat ini adalah meruntuhkan kekuasaan
orangorang sesat dan rakus, yang berkuasa dengan cara merampas hak orang lain.
Kami melihat kau memiliki hati nurani membela keadilan dan menegakkan
kebenaran.”
“Aku juga
menumpas manusia-manusia jahat terkutuk, seperti tukang perkosa,” menyambung si
muka putih di atas meja bambu.
Pangeran
Muda tersenyum, anggukkan kepala lalu meneruskan ucapannya. “Kami di sini semua
telah bertekad bulat untuk menjadikanmu sebagai seorang saudara baru dalam
perjuangan ini.”
“Soal
segala macam perjuangan bikin kepalaku pusing. Aku tidak mau tahu apa
perjuangan Pangeran Muda dan semua orang yang ada di sini. Yang aku ingin tahu
kalian ini semua siapa sebenarnya? Keraton Kaliningrat, hemmm… Kalau memang
menegakkan keadilan dan kebenaran, mengapa salah seorang dari kalian menjadi
kepala rampok. Aku saksikan sendiri Surah Nenggolo dan anak buahnya membunuh
orang asing dari negeri Cina. Malah dia juga hendak membunuhku!”
“Nyi
Bodong, soal pembunuhan atas orang-orang Cina itu tidak dapat saya jelaskan
sekarang. Kami telah mengakui penyerangan terhadap diri Nyi Bodong sebagai
kekeliruan besar. Untuk itu saya mewakili semua saudara di sini meminta maafmu.
Mengenai Surah Nenggolo yang telah berbuat kurang ajar berani menyerang Nyi
Bodong hukuman mati telah dijatuhkan atas dirinya.”
“Kurasa
Pangeran Muda punya alasan lain menghukum mati manusia satu itu. Karena dirinya
tidak ada kegunaan lagi. Bukankah begitu?”
Pangeran
Muda tersenyum. “Nyi Bodong, kami sangat menjunjung tinggi hukum. Siapa yang
bersalah harus diadili. Sekarang ambillah pakaian itu dan kau akan kami ikut
sertakan dalam pembicaraan selanjutnya.”
Perempuan
di atas meja tatap baju dan celana hitam di dekat kakinya lalu bertanya, “Apa
kalian ingin aku mengenakan pakaian itu sekarang juga?”
Karena
tak ada yang menjawab perempuan muda itu lalu buka kancing baju birunya
sehingga dadanya sebelah atas tersingkap. Pinggul digoyang membuat celana
birunya merosot ke bawah hampir mencapai pinggul. Semua orang jadi terperangah.
Cuma si nenek Ni Serdang Besakih yang tampak asam mukanya dan melengos sambil
berkali-kali golengkan kepala.
“Nyi
Bodong! Tunggu! Kau tak boleh mengenakan pakaian itu di sini. Nanti saja.
Sekarang silahkan diambil dan disimpan dulu.” Teriak Kecik Turangga alias Hantu
Buta Senja yang tadi mengenali si muka putih sebagai Nyi Bodong. Si muka putih
luruskan badan, teguk minuman dalam kendi. Lalu memandang berkeliling dan
berkata, “Jadi saat ini aku berada di tengah-tengah saudara-saudara Keraton
Kaliningrat.”
“Betul
sekali, Nyi Bodong,” jawab Pangeran Muda sementara Ni Serdang Besakih terus
memperhatikan gerak gerik si muka putih.
“Kalau
begitu aku betul-betul datang ke tempat yang tidak salah!”
“Terima
kasih atas pujian Nyi Bodong,” kata Pangeran Muda pula dengan nada gembira.
“Saya akan menyuruh orang menyiapkan kursi. Apakah sekarang Nyi Bodong bersedia
turun dari meja?”
Yang
ditanya mengangguk, dia bergerak melangkah. Enak saja kedua kakinya menginjak
baju dan celana hitam!
Tentu
saja semua yang hadir di tempat itu jadi terkejut, malah banyak yang
menunjukkan wajah tidak senang.
Sambil
dua kakinya terus menginjak pakaian hitam, dia berkata dengan suara lantang,
“Kalian semua dengar baikbaik. Sebelum aku turun dari meja, ada satu hal yang
akan aku katakan!”
“Nyi
Bodong, jika memang ada hal yang hendak disampaikan mengapa ragu? Silahkan
saja,” kata Pangeran Muda masih sabar.
Di tempat
duduknya yang bersebelahan dengan Kecik Turangga, si nenek Ni Serdang Besakih
berbisik, “Hantu Buta Senja, kau yakin perempuan ini benar Nyi Bodong adanya?”
Hantu
Buta Senja usap mukanya. “Aku memang belum pernah melihat langsung orangnya.
Tapi dari ciri-ciri yang aku dengar perempuan satu ini cocok dengan ciri-ciri
Nyi Bodong. Wajah putih, pakaian biru gelap…”
“Membawa
kendi berisi minuman keras segala?” tanya Ni Serdang Besakih.
“Ah… anu.
Ini yang…” suara Hantu Buta Senja jadi gagap. Belum sempat dia bicara jelas, di
atas meja perempuan yang dipanggil Nyi Bodong berkata dengan suara lantang.
“Orang-orang
Keraton Kaliningrat! Ketahuilah! Aku datang ke sini untuk mencari dua orang
anggotamu yang telah melakukan perbuatan keji terkutuk atas diriku! Dua orang
anggota Keraton Kaliningrat telah memperkosaku! Hari ini aku bersumpah untuk
mencabut nyawa mereka! Siapa berani menghalangi akan aku habisi!”
Tempat
pertemuan itu serta merta menjadi geger besar. Semua mata memandang mendelik
pada perempuan di atas meja.
Pangeran
Muda berdiri dari kursinya. Gagak Ireng berteriak, “Nyi Bodong, sungguh
keterlaluan. Bagaimana enak saja kau mengucapkan tuduhan membuat fitnah begini
rupa! Apa kau punya bukti?!”
“Fitnah?!”
Si muka putih tertawa panjang lalu membentak, “Siapa membuat fitnah! Aku masih
ingat tampang dua bangsat itu. Mereka pasti ada di antara orang-orang
berpakaian hitam yang tegak di luar bangunan!”
Pangeran
Muda memandang ke arah Ni Serdang Besakih. Si nenek lalu berdiri dan berkata,
“Aku akan suruh dua puluh orang berpakaian seragam hitam itu berjejer di
hadapanmu. Jika kau mengenali memang ada di antara mereka sebagai orang-orang
yang telah memperkosamu, harap langsung kau tuding!”
Si nenek
lalu bertepuk dua kali. Dua puluh lelaki berpakaian seragam hitam mengenakan
blangkon hitam segera berdiri sejajar di samping meja, di belakang deretan
kursi yang diduduki empat tokoh silat anggota Keraton Kaliningrat. Si muka
putih layangkan pandangan cepat lalu tertawa panjang sambil tubuhnya terhuyung
ke depan dan ke belakang.
“Setan
perempuan otak miring! Kau disuruh mengenali pemerkosamu! Malah tertawa! Apa
yang lucu?” Yang berteriak marah adalah Gagak Ireng. Rupanya tokoh silat satu
ini sudah habis sabarnya.
Di atas
meja perempuan muka putih huyung kiri huyung kanan teguk minuman dalam kendi
hingga wajahnya berubah merah, dua mata bergerak liar. Selesai menenggak habis
minuman keras, dia angkat tangan kanan yang memegang kendi tinggi-tinggi. Lima
jari meremas. Praaak! Kendi pecah berantakan. Si muka putih tertawa kembali.
Entah kapan tangan kanannya bergerak tahu-tahu sembilan keping pecahkan kendi
yang ada di tangan itu melesat laksana bintang berkiblat.
Tokoh
silat Gagak Ireng anggota Keraton Kaliningrat berseru kaget ketika dapatkan
dirinya diserang sembilan kepingan runcing pecahan kendi. Gagak Ireng bukan
tokoh silat sembarangan. Ilmunya tinggi dan nama besarnya cukup dikenal di
daratan Jawa Tengah sampai ke perbatasan Jawa Timur. Namun diserang mendadak
dan dalam kecepatan kilat seperti itu dia jadi terperangah gugup. Gagak Ireng
hantamkan tangan kiri. Gerakannya menangkis masih kurang cepat. Walau empat
pecahan kendi mampu dibuat mental, lima lainnya menyusup tembus. Dua kepingan
menancap di kening. Satu di mata kiri, satu di pipi dan satu lagi tepat pada
urat besar di leher hingga putus dan menyemburkan darah!
Di atas
meja perempuan muka putih tertawa panjang.
“Dua
pemerkosa itu aku tidak melihat mereka! Pasti kalian telah menyembunyikan!”
Teriakan
kemarahan menggeledek dari semua tokoh Keraton Kaliningrat yang ada di tempat
itu. Mereka tidak perdulikan lagi apa yang diucapkan si muka putih.
Beberapa
orang langsung menyerbu ke atas meja. Si muka putih putar tubuh sambil mulutnya
menyembur.
Wuuuurrr!
Minuman
keras yang ada di dalam mulut menyambar ke arah tiga orang yang coba
menerjangnya. Dua orang yang tahu bahaya cepat menghindar selamatkan diri.
Satunya nekad berusaha menyerbu terus namun setengah jalan menjerit keras,
terlempar ke ujung meja. menggeletak tepat di depan kaki Pangeran Muda dalam
keadaan tak bernyawa. Muka hangus hancur penuh lubang mengerikan!
“Saudara-saudara
seperjuangan! Tangkap perempuan celaka itu hidup atau mati!” teriak Pangeran
Muda marah sekali.
Ni
Serdang Besakih dan Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja segera bergerak dari
tempat masing-masing. Dua orang ikut menyusul sementara Pangeran Muda tendang
dua kaki meja hingga patah berantakan. Meja panjang yang terbuat dari bambu itu
serta merta roboh.
Perempuan
muka putih tertawa panjang, melompat ke tanah. Saat itu juga serbuan laksana
air bah datang menggempur. Ni Serdang Besakih berlaku cerdik. Dia mengarahkan
serangannya pada tiga buah kendi yang masih tergantung di pinggang orang karena
menganggap kendi dan isinya merupakan senjata luar biasa berbahaya. Dua kendi
hancur, isinya berhamburan di tanah. Kendi ke tiga menyusul pecah, ternyata
kosong.
Si muka
putih menjerit marah. Tubuhnya berkelebat lenyap seolah berubah jadi bayangan.
Mengamuk dua jurus tanpa berhasil memukul sekian banyak lawan yang mengurung
dia bahkan serangan pada si nenek yang telah menghancurkan tiga buah kendinya.
Namun keadaannya kini mulai terdesak. Apalagi dua puluh orang lelaki berseragam
hitam bukan hanya mengurung kalangan pertempuran tapi juga merangsak maju. Dari
kiri kanan dan sebelah belakang serangan datang sambung menyambung. Belum lagi
yang mendera dari depan. Hanya kegesitan yang luar biasa yang masih mampu
menyelamatkan perempuan muka putih. Tapi sampai berapa lama dia bisa
bertahan??!
Dalam
satu gebrakan hebat walau si muka putih sempat menendang seorang penyerang
hingga dadanya remuk, Ni Serdang Besakih berhasil mendaratkan satu pukulan.
Pukulan itu hanya menyerempet bahu namun daya tolaknya yang keras cukup membuat
lawan terpelintir setengah lingkaran. Saat itulah dari depan datang pukulan
Pangeran Muda yang mendarat telak di dada kiri. Si muka putih menjerit keras.
Tubuhnya terpelanting lima langkah ke belakang dan dalam waktu cepat segera
diringkus oleh Kecik Turangga bersama dua tokoh silat anggota Keraton
Kaliningrat lainnya. Darah tampak mengucur di sudut bibirnya. Ni Serdang
Besakih totok urat besar di bawah ketiak kiri orang hingga perempuan muka putih
ini langsung merasakan seluruh anggota badannya menjadi lemah lunglai.
“Biarkan
dulu dia hidup-hidup! Bawa ke hadapanku! Aku akan mengorek keterangan dari
mulutnya! Setelah itu kalian boleh mengorek jantungnya!” berseru Pangeran Muda.
Kini sikapnya yang sopan halus berubah jadi garang.
“Orang-orang
Keraton Kaliningrat! Kalian ternyata pengecut semua! Beraninya main keroyok!
Kalian kira aku takut mati?! Hik… hik! Pangeran Muda! Ayo bunuh aku saat ini
juga jika kau punya nyali!”
“Nyi
Bodong!” teriak Ni Serdang Besakih. “Ajal sudah di depan mata. Mengapa masih
bicara sombong?!” Dan, plaaakk! Nenek berhidung bengkok itu lepaskan satu
tamparan keras ke pipi si muka putih hingga bibirnya luka dan semakin banyak
darah yang mengucur.
“Tua bangka
keparat! Beraninya menampar dalam keadaan diriku tertotok tak berdaya! Kalau
aku masih hidup kau akan aku bunuh duluan! Jika aku mati dan jadi setan kau
yang pertama kali akan aku cekik!”
Plaaaaakk!
Satu
tamparan lagi dihantamkan Ni Serdang Besakih ke wajah si muka putih. Walau
sakitnya bukan main namun perempuan itu masih bisa keluarkan tawa mengikik lalu
tawanya lenyap dan, cuaaahh! Ludah campur darah disemburkannya ke muka Ni
Serdang Besakih. Si nenek berteriak marah. Matanya yang dingin kelabu tampak
seperti menyala.
“Pangeran
Muda! Biar aku bunuh perempuan keparat ini sekarang juga!”
Lima jari
tangan si nenek menyambar ke leher orang. Inilah serangan ganas yang disebut
Tangan Iblis Membongkar Berhala. Bilamana serangannya mengenai sasaran maka daging,
urat dan tulang leher korban benarbenar akan terbongkar mengerikan!
“Ni
Serdang! Tahan! Aku perlu dia hidup-hidup dulu!
Bawa
perempuan celaka itu ke hadapanku!” teriak Pangeran Muda.
Terpaksa
Ni Serdang Besakih tarik serangan mautnya.
“Nenek
hidung bengkok!” ucap perempuan muka putih sebelum dibawa ke hadapan Pangeran
Muda. “Kalau aku tidak bisa membunuhmu dalam keadaan hidup atau mati jadi
setan, akan ada orang lain yang bakal membuat kau meregang nyawa!”
“Perempuan
setan! Masih saja kau banyak mulut!”
maki Ni
Serdang Besakih. Namun dia ingin tahu juga siapa orang yang dimaksudkan. Maka
dia membentak bertanya, “Siapa setan alas yang akan mewakilimu membunuhku?!”
“Pendekar
212 Wiro Sableng! Dia calon suamiku!”
Ni
Serdang Besakih tersentak kaget. Semua orang juga ikutan terkejut. Si nenek
akhirnya memberi tanda pada tiga orang yang mencekal perempuan muka putih.
“Seret dia ke hadapan Pangeran Muda!”
Selagi
perempuan muka putih yang dalam keadaan tak berdaya diseret ke hadapan Pangeran
Muda sekonyongkonyong menggelegar satu bentakan keras, “Orang-orang Keraton
Kaliningrat! Kalian mencari mati berani menganiaya cah ayuku!”
Semua
orang menduga yang muncul adalah benarbenar Pendekar 212 Wiro Sableng! Namun
mendadak terdengar semburan dahsyat tiga kali berturut-turut.
Wuss!
Wuss! Wuss!
“Awas
semburan cairan berbahaya!” Hantu Buta Senja berteriak memberi ingat. Secepat
kilat dia bersama Ni Serdang Besakih melompat selamatkan diri. Tiga jeritan
terdengar berbarangan. Pangeran Muda berseru kaget, sepasang mata terbeliak
besar. Tiga orang yang menyeret perempuan muka putih terkapar di tanah. Satu
langsung menemui ajal karena mukanya hangus hancur penuh lubang mengerikan. Dua
lagi menggeletak kelojotan sambi!
memegangi
dada yang cidera berat. Bau minuman keras menghampar di tempat itu. Semua orang
Keraton Kaliningrat untuk sesaat jadi terkesiap, diam tak bergerak. Ketika
sosok perempuan muka putih terhuyung jatuh hampir tergelimpang di tanah, satu
tangan panjang laksana belalai merangkul pinggangnya. Cepat sekali tangan aneh
ini melepaskan totokan di ketiak kiri. Begitu dirinya lepas dari totokan, dalam
keadaan agak nanar si muka putih melihat sebuah kendi besar melayang ke
arahnya. Sambil tertawa cekikikan dia tangkap kendi itu dengan dua tangan lalu
meneguk isinya sampai tumpahtumpah membasahi dagu dan dada pakaiannya.
“Cukup
cah ayu! Jangan dihabiskan. Sekarang perhatikan baik-baik! Apa manusia ini
salah seorang anggota Keraton Kaliningrat yang telah memperkosamu?!”
Saat itu
juga dari atap bangunan yang telah jebol melayang turun seorang berpakaian
hitam komprang. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Kulit muka dan tubuh merah.
Tampang seram seperti demit. Di cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah
anting terbuat dari akarbahar. Pada ikat pinggang kulit yang dikenakannya
tergantung
sebelas buah kendi hitam, lebih besar sedikit dari kendi yang dimiliki
perempuan muka putih. Tubuhnya yang gemuk pendek terhuyung-huyung seperti orang
mabok. Hebatnya orang yang melayang turun ini berdiri sambil mencekal leher
seorang lelaki berseragam hitam yang ada cacat bekas luka di dagunya.
“Kuntorandu!”
beberapa mulut keluarkan ucapan terkejut menyebut nama orang yang dicekal si
gemuk pendek. Pangeran Muda mengerenyit. Sepasang alis mata Ni Serdang Besakih
mencuat naik.
Pangeran
Muda melangkah cepat mendekati si nenek yang tegak di samping Hantu Buta Senja.
“Ni Serdang, kau mengenali siapa adanya manusia gemuk pendek berwajah seram
itu?”
“Kalau
saya tidak keliru dia adalah tokoh rimba persilatan yang dijuluki Iblis
Pemabuk!”
“Jadi
rupanya Iblis Pemabuk adalah guru Nyi Bodong!” Hantu Buta Senja ikut bicara.
“Si gemuk
bermuka setan itu bukankah dia dedengkot rimba persilatan yang berjuluk Dewa
Tuak?!” tanya Pangeran Muda pula
“Kami pernah
bertemu Dewa Tuak. Manusia satu ini adalah Iblis Pemabuk. Mereka memang
sama-sama mempergunakan minuman keras sebagai senjata. Tapi bangsat satu ini
jelas adalah Iblis Pemabuk.” ucap Ni Serdang Besakih pula.
Mendengar
ucapan Iblis Pemabuk, perempuan muka putih yang tentunya Wulan Srindi adanya
dan oleh orangorang Keraton Kaliningrat disebut sebagai Nyi Bodong, memandang
dengan mata berkilat ke arah orang yang dicekal lehernya. Dia perhatikan
tampang orang, melihat jelas luka di dagu bekas gigitannya sewaktu diperkosa.
“Cah ayu!
Kau sudah mengenali! Tunggu apa lagi?” Iblis Pemabuk dorong tubuh lelaki
berpakaian hitam yang memang Kuntorandu adanya, yaitu salah satu dari dua orang
Keraton Kaliningrat yang telah memperkosa Wulan Srindi.
Wulan
Srindi menjerit keras. Tubuhnya bergetar hebat lalu melesat ke depan. Tangan
kanan yang memegang kendi besar bergerak.
“Jangan…
Tidak!” Kuntorandu hanya bisa keluarkan dua kata itu lalu, praakkk!
Kendi dan
kepala Kuntorandu sama-sama pecah. Orang-orang Keraton Kaliningrat keluarkan
seruan tertahan. Wulan Srindi tertawa seperti kuda meringkik.
“Mana
yang satunya?!” teriak Wulan Srindi.
“Aku
tidak menemukan. Yang satu ini aku kenali karena ada luka di dagunya.” jawab
Iblis Pemabuk. Semua itu terjadi luar biasa cepat hingga orang-orang Keraton
Kaliningrat setelah berseru kaget kini terkesiap nyaris tak bergerak. Ketika di
sebelah kiri Pangeran Muda akhirnya berteriak keras agar semua orangnya menutup
jalan keluar, Iblis Pemabuk segera menyambar lengan kiri Wulan Srindi.
“Cah ayu.
Ayo kita lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak!
Aku ingin mencari pemerkosa satunya! Aku ingin membunuh nenek keparat berhidung
bengkok itu!”
“Nanti
saja! Sekarang kita pergi dulu!” jawab Iblis Pemabuk. Lalu tangan kirinya yang
bisa panjang langsung merangkul pinggang Wulan Srindi. Sebelum tinggalkan
tempat itu Iblis Pemabuk berpaling ke arah Ni Serdang Besakih. Mulutnya
berucap, “Lepas persoalanmu dengan muridku, antara kita masih ada urusan hutang
piutang! Pada saatnya aku akan menagih berikut bunganya!”
Nenek
berhidung bengkok mendengus, “Kalau kau punya nyali mengapa tidak dibereskan
sekarang?”
Iblis
Pemabuk tertawa bergelak. “Kau akan malu besar kalau rahasia kebejatanmu aku
buka di depan orang banyak ini!”
“Manusia
iblis! Jangan harap kau bisa pergi dari tempat ini!” teriak Ni Serdang Besakih.
Habis berkata begitu si nenek menerjang ke depan. Tapi begitu Iblis Pemabuk
semburkan minuman keras ke arahnya nenek ini terpaksa bersurut mundur sambil
memaki. Di lain kejap Iblis Pemabuk dan perempuan muka putih tak ada lagi di
tempat itu.
**********************
SAMBIL
berlari memanggul tubuh Wulan Srindi, Iblis Pemabuk bertanya, “Cah ayu, sejak
kapan kau berganti nama jadi Nyi Bodong?!”
“Hik…
hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat yang memanggilku begitu. Kurasa cocok juga
nama itu.”
“Tapi
pusarmu tidak bodong.”
“Kalau
begitu tolong kau buat pusarku jadi bodong!” Iblis Pemabuk tertawa gelak-gelak.
“Eh, kau
mau membawa aku ke mana?” tanya Wulan Srindi.
“Ke
tempat seorang sahabat yang bisa mengobatimu. Kau terkena pukulan beracun
Memukul Bukit Meremuk Gunung yang dilepaskan Pangeran Muda. Bagian dadamu tidak
cidera, tapi di sebelah belakang jaringan tubuhmu rusak berat. Dalam tujuh hari
bagian tubuhmu itu akan busuk, nyawamu bisa-bisa tidak tertolong!”
“Jahatnya
Pangeran keparat itu. Lagaknya sopan lemah lembut, tidak tahunya lebih buas
dari setan kepala tujuh!”
Setelah
diam sebentar Wulan Srindi bertanya, “Urusan hutang piutang apa yang ada antara
kau dan nenek hidung bengkok berpakaian kuning itu?”
“Aku tak
bisa memberi tahu,” jawab Iblis Pemabuk. “Kau tidak memberi tahu aku sudah bisa
menduga. Pasti urusan cinta di masa muda! Betul? Hik… hik… hik!”
Iblis
Pemabuk menyengir, ambil satu kendi lalu meneguk isinya.
**********************
BEBERAPA
hari kemudian, ketika Iblis Pemabuk dan Wulan Srindi kembali ke tempat
kediamannya yaitu bangunan di atas pohon dalam rimba belantara, mereka
mendapatkan dua bangunan kayu telah ludas berubah menjadi puing-puing hitam.
Pohon besar di mana dua bangunan itu berada juga tampak gosong sampai ke
ranting.
“Aku
sudah bisa menduga siapa jahanamnya yang membakar tempat kediamanku ini,” kata
Iblis Pemabuk sambil memandang ke atas dan teguk minuman keras dalam kendi.
“Siapa
lagi kalau bukan orang-orang Keraton Kaliningrat!” ucap Wulan Srindi.
Iblis
Pemabuk mengangguk. “Yang jadi biang racunnya pasti nenek hidung bengkok Ni
Serdang Besakih! Beberapa waktu lalu aku pernah memergokinya beberapa kali
berada di sekitar tempat ini. Setiap aku pergoki dia cepat melarikan diri.”
“Jika kau
mempercayainya, biar aku mewakili dirimu mencari dan menghajar nenek satu itu.
Aku juga akan mencari lelaki kedua yang memperkosaku!”
“Cah Ayu,
kau butuh istirahat beberapa lama untuk menyembuhkan luka dalam di bagian punggungmu
sebelah kiri.” jawab Iblis Pemabuk.
“Aku juga
perlu segera mencari calon suamiku, Pendekar 212 Wiro Sableng.”
Iblis
Pemabuk tersenyum. “Semua perlu. Tapi ada waktunya yang tepat. Sekarang ikuti
aku!” Iblis Pemabuk tarik lengan Wulan Srindi.
Dalam serial
Wiro Sableng Pendekar 212, Iblis Pemabuk muncul pertama kali pada Episode
berjudul “Wasiat Sang Ratu”. Iblis Pemabuk memberi tahu Wiro akan kelemahan
Tiga Bayangan Setan yang hendak membunuhnya.
*******************
3
KI
TAMBAKPATI tersentak bangun dari tidur lelapnya ketika pintu gubuk dijebol
orang dan satu sosok hitam tinggi besar berucap keras, “Ki Tambak! Aku butuh
pertolonganmu!”
Orang tua
ahli pengobatan tulang berjuluk Tangan Penyembuh berusia lebih dari tujuh puluh
tahun itu tidak segera bangkit dari atas ranjang. Otaknya bekerja.
“Aku
mengenali suara itu. Jangan-jangan makhluk pembawa malapetaka itu! Perlu apa
dia datang lagi ke sini?”
Ki
Tambakpati perlahan-lahan turun dari atas ranjang kayu. Tangannya bergerak ke
arah empat sudut gubuk! Gubuk kecil jadi terang benderang. Pandangan mata si
orang tua tertumbuk pada orang yang barusan masuk. Dia segera mengenali, tapi
wajahnya mengapa berubah seram seperti setan, penuh cacat guratan luka? Orang
ini berdiri dengan dua tangan berada di belakang tubuh yang mengenakan jubah
kelabu (Kisah kedatangan orang ini pertama kali harap baca Episode berjudul
“Kitab Seribu Pengobatan”).
“Aku
mengenali suara, tapi mengapa wajah berlainan?”
sapa Ki
Tambakpati sambil menatap tamunya dari kepala sampai ke kaki.
“Aku
orang cerdik! Apa sulitnya! Aku bisa merubah wajah sepuluh kali dalam satu
hari!” jawab sang tamu.
“Jadi…
jadi kau adalah orang yang dipanggil Pangeran itu? Yang tempo hari…”
“Sudah!
Bagus kau mampu mengenali diriku!”
“Kalau
kedatangan Pangeran untuk meminta penyembuhan masalah kejantanan tempo hari,
saya tidak mungkin menolong…”
“Ki
Tambak! Aku kemari bukan untuk itu! Seratus hari sudah lewat! Kejantananku
belum pulih! Malah lihat! Aku menerima nasib celaka seperti ini!” Orang yang
dipanggil Pangeran unjukkan dua tangannya yang sejak tadi disembunyikan di
belakang punggung.
Kejut Ki
Tambakpati bukan kepalang. “Gusti Allah! Apa yang terjadi sampai tangan
Pangeran buntung begini rupa?!”
Ternyata
tangan kiri sang Pangeran buntung sebatas setengah jengkal di atas pergelangan.
Darah kering menggumpal di ujung buntungan sementara darah segar masih
kelihatan merembes. Yang hebat dan mengerikan, Pangeran memegang buntungan
tangan kirinya di tangan kanan!
“Ki
Tambak! Tak usah banyak tanya apa yang terjadi!
Tugasmu
menyambung tanganku yang buntung sekarang juga!”
“Sa… saya
perlu tahu kapan terjadinya. Kalau sudah lebih satu hari satu malam sulit
disambung kembali…”
Kata Ki
Tambak sambil meneliti tangan kiri yang buntung dan juga kutungan tangan yang
dipegang di tangan kanan. “Tadi siang! Kejadiannya tadi siang!”
“Kalau
begitu masih dapat saya usahakan. Pangeran silahkan berbaring di atas ranjang…”
Sementara
Ki Tambakpati menyiapkan ramuan obat Pangeran melihat tak ada perubahan dalam
gubuk itu. Tulang belulang manusia berserakan di mana-mana. Empat buah
tengkorak yang sudah tebal tertutup lumut teronggok di sudut kiri belakang.
Dulu ada lima tengkorak. Satu di antaranya dia yang menghancurkan. Dinding
gubuk yang jebol akibat hantamannya tempo hari rupanya sudah diperbaiki.
Di tengah
ruangan, di depan hamparan kulit kambing yang dijadikan tikar, terletak sebuah
belanga tanah. Tampaknya masih baru karena yang lama dia ingat betul hancur
kena tendangannya. Di dalam belanga ada ramuan tulang belulang, daun, kulit dan
akar tetumbuhan serta cairan mengepul asap dan selalu mengeluarkan suara
mendidih walau di bawah belanga sama sekali tidak ada api yang menyala.
Ki
Tambakpati melangkah ke salah satu sudut gubuk. Dua mata dipejamkan, dua
telapak tangan dirapatkan satu dengan yang lain lalu dua lengan diangkat lurus
ke atas. Seperti yang pernah disaksikan sang Pangeran dulu, perlahan-lahan
tubuh orang tua itu terangkat ke atas hingga dua kakinya tidak lagi menginjak
lantai gubuk.
“Daun
sirih pembersih luka!” Ki Tambak berseru. Aneh!
Dari sela
dua telapak tangan menyembul keluar tiga helai daun sirih. Daun-daun ini
kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.
“Kunyit
putih perekat luka!” Orang tua yang berjuluk Tangan Penyembuh itu kembali
keluarkan ucapan disusul melesatnya tiga potongan kunyit putih dari sela
telapak tangan, langsung melayang masuk ke dalam belanga.
“Alang-alang
Dewa Penyambung otot dan urat!” Tiga lembar alang-alang hijau kekuningan
menjulur dari sela telapak tangan lalu melesat masuk ke dalam belanga tanah.
“Tulang
pengganjal dan akar pengikat kesembuhan!”
Kali ini
yang melesat keluar adalah dua potong tulang putih sepanjang tiga jengkal serta
segulung akar berwarna coklat yang masih ada tanahnya.
“Kemenyan
keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang lagi Maha
Penyembuh!”
Serbuk
putih kekuningan berkilau melesat masuk ke dalam belanga.
Suara
mendidih di dalam belanga semakin keras. Kepulan asap semakin tebal. Bau
harumnya kemenyan dan ramuan obat memenuhi ruangan. Perlahan-lahan sosok Ki
Tambakpati turun kembali ke lantai gubuk. Lalu dia menggeser belanga tanah ke
tepi ranjang di mana orang yang tangannya buntung berbaring. Dia mengambil
buntungan tangan lalu sambil memegang tangan kiri yang buntung dia berkata,
“Pangeran, pejamkan matamu. Bertahanlah. Cuma sakit sedikit.” Habis berkata
begitu Ki Tambak tarik kuat-kuat lengan kiri yang buntung dan dimasukkan ke
dalam telaga tanah.
Cesss!
Terdengar
suara seperti besi panas dimasukkan ke dalam air. Asap pekat mengepul. Orang di
atas ranjang terlonjak dan menjerit setinggi langit. Sekujur tubuhnya basah
oleh keringat.
“Tua
bangka jahanam! Apa yang kau lakukan!”
“Pangeran,
kau inginkan kesembuhan. Kau harus berani berkorban menahan sakit!”
Tanpa
perdulikan orang yang masih mencaci maki, Ki Tambakpati ambil buntungan tangan
kiri. Ketika hendak dimasukkan ke dalam belanga dia melihat satu kelainan pada
salah satu jari tangan itu.
“Tua
bangka, kau mempermainkan apa?!” bentak orang di atas ranjang yang masih
menggigil menahan sakit.
Ki Tambak
tidak menyahuti. Buntungan tangan kiri buru-buru dimasukkan ke dalam telaga.
Seperti tadi, terdengar suara dess walau agak perlahan dan asap yang mengepul
tidak begitu pekat. Dari dalam belanga Ki Tambakpati keluarkan dua potongan
tulang dan gulungan akar. Tangan yang buntung dengan sangat hati-hati
dihubungkan satu sama lain lalu ditahan kiri kanan dengan dua potong tulang,
kemudian dibalut diikat kencangkencang dengan akar pohon.
“Pangeran,
pengobatan telah selesai. Jika kau tak banyak bergerak, tulangmu akan mulai
bersambung dalam waktu sepuluh hari. Seminggu kemudian daging, otot dan urat
akan pulih bertaut kembali.”
Mendengar
ucapan Ki Tambakpati sang Pangeran turun dari tempat tidur. “Ki Tambakpati,
apakah kau punya kabar baru tentang Kitab Seribu Pengobatan?”
Ki
Tambakpati menggeleng.
Tanpa
banyak bicara lagi ataupun mengucapkan terima kasih orang yang barusan ditolong
terus saja melangkah ke pintu. Si orang tua ingat hal seperti itu juga
dilakukan orang tersebut ketika dia dulu menolong menyambungkan batang
kemaluannya yang hampir putus. Dia tidak minta upah atau imbalan, namun melihat
sikap orang begitu rupa Ki Tambakpati jadi jengkel lalu berkata, “Pangeran,
sudah dua kali dengan ini kau mendapat musibah. Seperti kataku dulu, apakah kau
pernah berdoa pada Gusti Allah agar mendapat kesembuhan yang cepat dan agar
selanjutnya kau berada dalam perlindunganNya?”
Lelaki di
ambang pintu gubuk menatap orang tua itu sesaat lalu tertawa bergelak.
“Apa kau
lupa aku dulu pernah berkata. Seumur hidup aku tidak pernah berdoa pada Gusti
Allah. Sudah, kau saja yang mendoakan diriku pada Gusti Allah!” Masih mengumbar
tawa yang menjijikkan, orang itu melangkah pergi dan lenyap di kegelapan malam.
Lama
orang tua ahli pengobatan tulang itu tegak merenung di pintu gubuk. Tiupan
angin yang dingin mencucuk baru menyadarkannya. Dia segera beranjak masuk.
Namun belum sempat merapatkan pintu mendadak ada sambaran angin lewat di
depannya, membuat dia terjajar mundur satu langkah. Ketika dia berpaling ke
dalam gubuk si orang tua melihat sosok seorang nenek berwajah putih berdiri di
tengah ruangan. Orang ini lebih dulu memperhatikan keadaan seputar gubuk baru
berpaling pada Ki Tambakpati.
“Aku
terlambat…” Ucapnya perlahan.
Ki
Tambakpati memperhatikan. Nenek muka putih ini mengenakan baju panjang berwarna
biru gelap. Rambut tergerai sampai ke pinggang kusut masai berwarna hitam.
“Sahabat
yang datang di malam buta, apa maksud ucapanmu tadi. Apakah kau tidak keliru
masuk ke dalam gubukku ini?” Ki Tambakpati menegur sementara dua matanya terus
mengawasi.
“Sebelumnya
ada seseorang di tempat ini,” si nenek berkata dan menatap lekat-lekat pada
sepasang mata si kakek.
“Betul
sekali,” jawab Ki Tambakpati. “Dia sudah pergi. Kau mencarinya apakah dia
sahabatmu?”
Si nenek
menggeleng.
“Apa
keperluan orang itu datang kemari?”
“Maaf,
aku tidak pernah memberi tahu pada orang lain perihal orang yang pernah aku
tolong!”
Nenek
muka putih tatap wajah si kakek lalu tersenyum.
“Orang
itu datang menemuimu karena tangan kirinya buntung! Benar?”
Ki
Tambakpati diam saja.
“Ketahuilah,
apa yang telah kau lakukan merupakan satu kebajikan. Namun tanpa kau sadari kau
telah memperpanjang umur kejahatan di atas bumi ini! Banyak lagi korban yang
akan berjatuhan!”
Tentu
saja Ki Tambakpati tercengang mendengar ucapan si nenek. Dengan suara perlahan
dia berkata, “Aku menolong mengobati siapa saja tanpa memperhatikan apakah dia
orang jahat atau orang baik. Kebajikan tidak bisa dipilih-pilih.”
“Mungkin
memang begitu janji atau sumpah ilmu pengobatanmu! Tapi tahukah kau siapa orang
bertangan buntung yang telah kau tolong?”
Ki
Tambakpati menggeleng.
“Dia
dijuluki Hantu Pemerkosa! Beberapa orang gadis telah menjadi korbannya di
beberapa desa! Diperkosa lalu dibunuh!”
“Tidak
mungkin…” kata Ki Tambakpati pula lalu cepatcepat hentikan ucapannya.
“Mengapa
tidak mungkin? Aku menyaksikan sendiri beberapa orang yang jadi korban
kebejatannya!”
“Ah…” Ki
Tambakpati tarik nafas panjang, terduduk di tepi ranjang, menatap ke arah si
nenek sambil gelenggeleng kepala.
“Ilmu
keahlian untuk kebajikan dan kebaikan. Alangkah mulianya…” Setelah mengeluarkan
ucapan itu si nenek muka putih memutar tubuh, melangkah ke pintu.
“Sahabat,
tunggu dulu!” Ki Tambakpati berdiri dan mengejar. “Kau belum memberi tahu siapa
kau adanya. Aku senang mengenal dirimu. Kau membuka jalan pemikiran baru dalam
diriku…”
Si nenek
tersenyum. “Tidak, aku bisa melihat. Jalan pikiranmu tentang kebaikan dan
kebajikan tidak akan pernah berubah. Jika kau melakukan, maka orang yang tidak
kau tolong akan membunuhmu!”
Paras Ki
Tambakpati berubah. Kepala tertunduk. Ketika diangkat kembali, nenek muka putih
berpakaian biru tak ada lagi di hadapannya. Dia mengejar ke halaman. Hanya
kegelapan dan tiupan angin dingin yang menyambut. Terbungkuk-bungkuk Ki
Tambakpati melangkah ke arah pintu gubuk sambil hatinya berkata, “Tuhan, apakah
aku telah keliru menolong orang-orang jahat? Aku mohon petunjukmu ya Tuhan.
Kalau ini merupakan satu dosa, aku mohon ampunanMu. Tapi bagaimana aku akan
menolak orang yang datang minta tolong? Gusti Allah, aku berlindung di bawah
Kekuatan dan KekuasaanMu.”
Di malam
yang dingin itu Ki Tambakpati akhirnya memutar langkah ke arah sumur untuk
mengambil air wudhu. Di dalam gubuk dia melakukan sembahyang tahajud dua
rakaat, memohon petunjuk dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa dan Maha
Mengetahui.
**********************
DALAM
Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh), Pendekar 212 punya maksud menemui
Ratu Duyung untuk mengetahui apakah benar jurang yang ada air terjunnya
benar-benar tidak berpenghuni. Namun dia merasa ada ganjalan karena tindakan
sang ratu yang pergi begitu saja setelah hancurnya 113 Lorong Kematian. Selain
itu sobat seperjalanannya kakek tukang kencing Setan Ngompol tidak begitu
senang jika mereka harus jauh-jauh kembali ke jurang. Saat itu matahari telah
tenggelam, senja datang disusul malam.
“Kek, kita
ini berada di mana dan sebenarnya mau menuju ke mana?” tanya Wiro pada Setan
Ngompol. Yang ditanya menunjuk jauh ke arah sebuah bukit kecil. Pemandangan
agak terlindung oleh kegelapan dan kerapatan pepohonan.
“Lihat,
ada bangunan di sebelah sana. Ada nyala api. Pintunya juga kelihatan dalam
keadaan terbuka. Tanda penghuninya masih belum tidur. Kita ke sana. Siapa tahu
dapat suguhan kopi panas…”
“Paling-paling
air sumur!” tukas murid Sinto Gendeng.
“Paling
tidak ada tempat untuk kita numpang bermalam.”
“Kek,
melihat celanamu yang lepek air kencing serta badanmu yang bau pesing, mana ada
orang yang mau memberi tumpangan bermalam pada kita. Kalau nasib baik aku yang
akan tidur dalam rumah, kau tidur di atas atap.”
Setan
Ngompol tersenyum. “Bisa-bisa yang kejadian sebaliknya,” kata kakek bermata
jereng berkuping lebar ini.
“Aku
kenal dengan penghuni gubuk itu. Karena itu aku mengajakmu ke sana.”
“Siapa
yang tinggal di sana? Janda gemuk di Bantul tempo hari?”
Setan
Ngompol tertawa cekikikan sambil tangannya menekap bagian bawah perut. “Kau
masih saja mengingatingat si gembrot itu. Aku sendiri sudah hampir lupa. Jangan
kau sampai membangunkan keponakan yang ada di bawah perutku. Bisa-bisa
kutinggal sendirian kau di tempat ini! Hik… hik… hik!”
Kedua
orang itu berjalan cepat di antara kerapatan pepohonan. Hanya tinggal sepuluh
tombak dari gubuk di atas bukit tiba-tiba dari pintu keluar seorang perempuan
berpakaian gelap, berwajah putih, berambut panjang riapriapan sampai ke
pinggang. Setan Ngompol cepat menarik Wiro ke balik semak belukar di belakang
sebuah pohon besar.
“Aku
seperti mengenali wajah dan perawakan orang itu…” kata Setan Ngompol pula.
“Jangan-jangan… Dia berkelebat ke timur. Ayo kita potong jalannya!”
“Buat apa
mengikuti orang?!” tanya Wiro seganseganan. “Apa kau tidak memperhatikan? Wajah
dan sosok perempuan itu mirip-mirip nenek yang pusarnya bodong tempo hari!”
“Kek, aku
tidak heran kau mau mengejarnya. Rupanya selama ini kau selalu ingat-ingat dia.
Kesemsem pada pusar bodongnya. Sekarang kau pasti sudah kasmaran jatuh cinta.
Mimpi mau menjilat pusarnya! Gendeng!”
“Terserah
kau mau bilang apa. Aku tetap mau mengejar!”
Wiro
mengalah. Terpaksa mengikuti si kakek menempuh jalan memotong. Dalam waktu
singkat mereka berhasil memapas jalan nenek muka putih. Begitu sampai di
hadapan si nenek, Setan Ngompol hentikan langkah, menjura sambil keluarkan
ucapan, “Nenek muka putih! Selamat bertemu lagi dengan kami dua manusia jelek!”
Kejut si
muka putih bukan alang kepalang. Selain itu wajahnya yang putih menunjukkan kemarahan.
“Kalian
lagi!” bentaknya sambil dua kaki merenggang dan dua tangan diturunkan ke
samping. Jelas nenek ini tengah memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan.
“Ini kali
kedua kalian menghadangku! Apa mau kalian? Minta mampus?!”
Setan
Ngompol langsung jatuhkan diri berlutut dan kucurkan kencing. “Sahabat, jangan
salah mengira. Pertemuan kedua ini sungguh tidak diduga. Ini takdir Yang Maha
Kuasa. Ini mungkin satu tanda kita bisa bersahabat. Sejak melihat bagaimana
tempo hari kau membuat buntung tangan manusia muka setan dengan sihir biru yang
keluar dari pusarmu, aku sangat mengagumi. Ingin berkenalan dan ingin tahu
siapa nama serta gelarmu.”
Nenek
muka putih memandang melotot lalu tertawa panjang. “Rupanya kau senang melihat
aurat perempuan!”
“Anu, soalnya
sampai tua bangka begini baru sekali itu aku melihat ilmu kesaktian seperti
itu. Aku…”
“Hati-hati
dengan kakek satu ini Nek. Orangnya memang rada-rada ganjen! Barangkali temanku
ini naksir samamu Nek,” kata Wiro pula.
“Hemm…
begitu?” ucap si nenek tanpa berpaling pada Wiro. “Lalu kau sendiri bagaimana?!
Kau ganjen apa tidak? Kau juga naksir padaku?! Hik… hik!”
Pendekar
212 jadi cengar cengir garuk-garuk kepala. “Kalau kalian berdua tidak lekas
menyingkir dari hadapanku, sesaat lagi kalian hanya tinggal badan tanpa nyawa!”
Air
kencing Setan Ngompol langsung terpancar. Wiro tarik tangan Setan Ngompol,
membantu si kakek berdiri. Tak sengaja matanya melirik ke arah si nenek dan
dapati si muka putih itu tengah memperhatikan dirinya. Ketahuan mencuri pandang
si nenek melengos dan keluarkan ucapan.
“Kalian
berdua benar-benar menyebalkan!”
“Harap
maafkan diriku dan kakek temanku ini, Nek.”
Si nenek
mendengus. Sekali dia balikkan badan, luar biasa sekali, sosoknya serta merta
lenyap dari tempat itu.
“Kabur
lagi Kek. Tidak kau kejar?” tanya Wiro pada Setan Ngompol.
Si kakek
pehcongkan mulut. “Kalau orang tidak mau bersahabat, ya sudah. Cuma aku menaruh
firasat. Satu ketika kelak dia membutuhkan orang-orang jelek macam kita ini.”
Ketika
Setan Ngompol dan Wiro siap melangkah menuju gubuk kediaman Ki Tambakpati,
tidak terduga tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu tiga orang sudah berdiri
di depan mereka.
Melihat
siapa yang muncul Setan Ngompol berseru gembira. Dia tepuk bahu Wiro. “Nasib
kita ternyata tidak jelek-jelek amat malam ini! Lihat, hilang yang satu, muncul
yang lain!”
*******************
4
SALAH
satu dari tiga orang yang barusan datang langsung membentak. “Kakek bau pesing!
Apa maksudmu dengan ucapanmu tadi?!” Yang membentak adalah seorang nenek
berdandan menor, alias kereng, bedak tebal, bibir dipoles gincu merah menyala
dan dua pipi diberi pemerah-merah. Ketika tersenyum, nenek berpakaian serba
hitam ini, memperhatikan deretan giginya yang berlapis perak berkilat. Yang
hebatnya, di atas kepalanya ada tiga potongan bambu mengepulkan asap hitam,
merah dan biru. Batok kepalanya mengeluarkan suara seperti tungku perapian
tukang besi. Inilah dia si nenek yang dijuluki Hantu Malam Bergigi Perak.
Seperti yang pernah diucapkannya tempo hari, dia akan selalu memata-matai Setan
Ngompol serta Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si nenek
berdiri diapit dua gadis berpakaian ringkas warna biru dan merah. Kulit putih
wajah sama cantik jelita, tidak bisa dibedakan yang mana lebih cantik dari
lainnya. Sementara si nenek memandang melotot pada Setan Ngompol, dua gadis
mengerling sambil lontarkan senyum ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bentak
si nenek Setan Ngompol batuk-batuk lalu menjawab, “Barusan saja seorang sahabat
pergi meninggalkan kami. Kini tahu-tahu kau yang juga sahabat kami muncul pula
di tempat ini. Siapa yang tidak senang? Hati lara terlipur sudah!”
“Kakek
bau pesing! Kau pintar omong! Tapi jangan harap aku suka padamu.”
“Ah, aku…
aku mana mungkin mengharap sampai sejauh itu,” jawab Setan Ngompol sambil
kedipkan mata.
“Bisa
melihat dan memandangmu saja seperti saat ini senangnya sudah bukan main!”
“Tua
bangka ganjen! Katakan siapa sahabatmu yang barusan meninggalkan tempat ini!”
“Terus
terang namanya pun kami belum tahu…” Yang menjawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Goblok!
Katanya sahabat tapi tidak tahu nama! Kau sama gebleknya dengan gurumu si Sinto
Gendeng itu!”
“Nek,
kalau bicara jangan kelewatan! Sekali lagi kau berani menghina guruku,
kuremukkan wajahmu yang seperti kuntilanak kesiangan itu!” bentak Wiro marah
karena gurunya dilecehkan.
Si nenek
ganda tertawa. Dia berpaling pada Setan Ngompol. “Bagaimana ciri-ciri orang
yang katamu sahabatmu itu?!” tanya si nenek.
“Tinggi
semampai. Muka putih, rambut panjang awutawutan. Dia berpakaian biru gelap…”
“Cantik
mana dia dibanding aku?!” tanya si nenek pula.
Salah
seorang gadis di sampingnya yaitu yang berpakaian merah buru-buru keluarkan
ucapan, “Nek, mengapa bertanya yang bukan-bukan?”
“Huss!
Kau anak kecil diam saja!” membentak si nenek.
Lalu dia
berpaling pada Setan Ngompol. “Jawab pertanyaanku! Cantik mana aku dibanding
dia?!”
“Anu Nek…
Kau lebih cantik tentunya. Tapi dia lebih banyak! Ha… ha… ha!” Setan Ngompol
menjawab lalu tertawa gelak-gelak.
Jawaban
seperti inilah yang dikhawatirkan dua gadis berpakaian ringkas warna merah dan
biru. Tapi ternyata sang guru tidak marah malah tertawa mengekeh. Puas tertawa
si nenek berkata, “Sudah! Aku sudah tahu siapa orangnya. Dia pendatang baru
rimba persilatan. Dia dikenal dengan nama Nyi Bodong!”
“Nyi
Bodong…?” Setan Ngompol memandang ke arah Wiro yang berdiri sambil garuk
kepala. “Pantas, aku pernah satu kali menyaksikan pusarnya yang bodong. Pusar
itu bisa mengeluarkan sinar biru mematikan. Aku melihat sendiri bagaimana dia
membuat buntung tangan seorang lawannya!”
“Aku
banyak tahu tentang nenek satu itu. Aku dan muridku sedang menyelidiki siapa
dirinya. Belakangan ini dia diketahui membantai beberapa orang penjahat dan
kini tengah memburu seorang pemerkosa berjuluk Hantu Pemerkosa! Mungkin sekali
Hantu Pemerkosa adalah orang yang telah dibuntungi tangannya oleh Nyi Bodong.”
Hantu
Malam Bergigi Perak berpaling pada Pendekar 212.
“Apa kau
sudah tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan?!”
Wiro
menggeleng.
“Apa kau
tahu di mana beradanya gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur?”
tanya si nenek lagi yang membuat dada murid Sinto Gendeng jadi berdebar.
“Tidak,
aku tidak tahu di mana beradanya gadis itu. Kami tengah menyelidik jejaknya.
Ada tanda-tanda bahwa dia telah menemui kematian. Mengapa kau menanyakan gadis
itu, Nek?” Balik bertanya Wiro.
“Salah
satu dari kalian pernah bilang bahwa gadis itu tahu di mana beradanya kitab
tersebut. Sampai sekarang aku tetap curiga dialah yang mencuri kitab itu. Tapi
kalau memang orangnya sudah mati mau apa lagi. Mau dicari ke mana. Hanya saja
aku melihat ada hal yang tidak wajar.
Orang-orang
rimba persilatan semua tahu bahwa Bidadari Angin Timur adalah kekasihmu. Jika
gadis itu menemui ajal mengapa kau tenang-tenang saja. Mengapa tidak ada
pancaran kesedihan di mata dan wajahmu? Atau mungkin juga kau yang telah
membunuhnya karena bingung terlalu banyak kekasih! Atau mungkin gadis itu sudah
kau buntingi! Karena tak mau bertanggung jawab kau habisi dirinya. Selesai! Hik…
hik… hik!”
“Tuduhanmu
keji amat Nek!” Murid Sinto Gendeng jadi marah. “Kau telah menghina guruku!
Juga telah memfitnah diriku! Jangan harap aku mau menolong mendapatkan Kitab
Seribu Pengobatan itu!”
Dalam
marahnya Wiro segera saja berkelebat tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol
menatap ke arah si nenek lalu geleng-geleng kepala. “Nek, usil mulutmu sudah
sangat keterlaluan. Lain waktu kalau ada setan yang menghamili dirimu, jangan
kau menuduh diriku yang melakukan!”
“Tua
bangka keparat! Jaga mulutmu! Manusia utuh saja masih banyak yang menyukai
diriku! Mengapa aku harus main dengan setan?!” teriak Hantu Malam Bergigi Perak
marah sekali. Kepulan asap dari tiga potongan bambu di atas kepalanya menderu
keras. Dia menerjang ke depan sambil layangkan tangan hendak menampar muka
Setan Ngompol. Namun kakek ini sudah kabur lintang pukang lebih dulu mengikuti
Wiro. Tentunya dengan terkencingkencing. Dengan gemas Hantu Malam Bergigi Perak
memandang berkeliling. Dia dapatkan dua muridnya tak ada lagi di tempat itu.
“Liris
Merah, Liris Biru! Di mana kalian!?”
“Maafkan
kami Nek. Kami berangkat duluan ke goa di Kaliurang! Sebentar lagi hari segera
siang!” salah seorang murid si nenek menjawab.
“Awas!
Kalau aku tidak menemui kalian waktu aku pulang, kalian akan mendapat hukuman
berat!” Si nenek mengancam. Dia memandang ke arah cahaya terang dari sebuah
gubuk di puncak bukit. Dia melihat Setan Ngompol dan Wiro lari ke arah bangunan
itu. Semula ada niatnya hendak mengejar, namun batal karena dia harus melakukan
sesuatu. Selain itu dia ingin cepat-cepat kembali pulang ke Goa Cadasbiru di
Kaliurang untuk melihat apakah benar kedua muridnya Liris Merah dan Liris Biru
berada di goa itu.
Tak lama
setelah Hantu Malam Bergigi Perak tinggalkan tempat itu, dua orang muridnya
yang ternyata sembunyi di balik semak belukar segera keluar. Mereka lari ke
arah gubuk di atas bukit namun tiba-tiba yang tertua di antara mereka yaitu
Liris Merah hentikan lari, menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Saat itu
jarak antara mereka dengan gubuk hanya tinggal belasan tombak.
“Ada
apa?” tanya Liris Biru sang adik.
“Lihat ke
arah gubuk. Ada orang mendekam di atas atap,” jawab Liris Merah. Liris Biru
memperhatikan. Memang benar ada seorang jongkok mendekam di atas atap gubuk
kediaman Ki Tambakpati.
“Kakek
dan pemuda itu sudah masuk ke dalam. Mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang
yang mengintai. Mari kita pindah empat pohon ke depan agar bisa melihat jelas
siapa adanya orang di atas atap.”
Dengan
gerakan cepat tanpa mengeluarkan suara dua murid Hantu Malam Bergigi Perak
berkelebat ke arah bukit. Tiga pohon terlampaui. Pada pohon ke empat keduanya
berhenti dan sembunyi.
“Kalau
aku perhatikan sosok orang di atas atap seperti Nyi Bodong. Sayang mukanya
menghadap ke arah lain. Tunggu saja sampai kita bisa melihat. Kalau putih sudah
pasti memang Nyi Bodong.”
Mendengar
ucapan kakaknya, Liris Biru berkata. “Aku khawatir orang di atas atap… hai! Dia
menggerakkan kepala. Walau sekilas aku sempat melihat wajahnya!”
“Putih!”
ucap Liris Merah menyambungi. “Benar Nyi Bodong. Ada keperluan apa dia
mengintai di atas gubuk.”
“Aku
khawatir dia punya maksud tidak baik. Bagaimana cara kita memberi tahu kakek
dan pemuda itu.”
“Satu-satunya
cara kita masuk saja ke dalam gubuk!”
“Kalau
begitu tunggu apa lagi!”
Sambil
berpegangan tangan dua kakak beradik itu lari ke arah puncak bukit, menuju
gubuk yang pintunya terbuka. Namun belum sempat berkelebat dua tombak,
tiba-tiba orang di atas atap melayang turun. Gerakannya jelas menghadang Liris
Merah dan Liris Biru! Hal ini dipertegas lagi dengan bentakannya.
“Ada
keperluan apa kalian mendatangi tempat ini?!”
Liris
Merah dan Liris Biru adalah dua gadis kakak beradik berhati polos, masih muda
tapi tahu peradatan dunia persilatan serta tahu bagaimana cara harus bersopan
santun. Biasanya mereka akan selalu bersikap baik bila orang menyikapi mereka
secara wajar. Namun kalau ada yang jahil, judes apalagi galak, maka keduanya
akan mempermainkan orang itu sampai mukanya bisa merah seperti kepiting rebus
dan hati panas seperti bara. Setelah perhatikan sejurus nenek bermuka putih dan
berpakaian biru gelap di depannya, Liris Merah membuka mulut, “Kami dua kakak
beradik, mau pergi ke mana siapa boleh melarang?!”
Sang adik
menimpali, “Kau sendiri kami lihat sembunyi di atas atap. Pasti ada maksud tidak
baik. Tapi kami tidak menegur!”
“Urusanku
apa perduli kalian?!”
“Urusan
kami apa pula perdulimu?!”
“Lekas
tinggalkan tempat ini atau aku akan memberi pelajaran sopan santun pada
kalian!”
“Saudaraku
Liris Biru. Walau baru muncul dalam rimba persilatan, selama ini aku mendengar
yang namanya Nyi Bodong itu adalah seorang berhati mulia, kalau bicara lemah
lembut. Namun tegas dalam menghadapi orangorang jahat! Apakah kita berdua yang
muda-muda ini punya tampang penjahat hingga seenaknya diusir dan diancam?!”
“Tenang
saja, kakak,” jawab Liris Biru, “Aku sudah bisa menduga mengapa nenek muka
putih ini tidak senang kita dekat-dekat di sini. Dia takut pemuda yang ada di
dalam gubuk akan terpikat pada kita-kita! Agaknya dia naksir pada si gondrong
itu! Hik… hik… hik!”
“Kau
benar adikku. Padahal di dalam gubuk masih ada seorang kakek bau pesing yang
aku rasa cocok buat dirinya!”
Liris
Merah dan Liris Biru lalu tertawa gelak-gelak. Nenek muka putih langsung
berubah merah seperti saga wajahnya.
“Dua
tikus kecil! Jangan salahkan kalau aku memberi pelajaran keras padamu!” Dua
kaki Nyi Bodong bergeser. Saat itu juga tubuhnya berkelebat lenyap dan, plaak…
plaak!
Liris
Merah dan Liris Biru merasakan tamparan keras di muka masing-masing. Didahului
pekikan menahan sakit serta luapan amarah, dua murid Hantu Malam Bergigi Perak
ini segera saja menyerbu Nyi Bodong. Perkelahian hebat serta merta terjadi.
Walau Liris Merah dan Liris Biru masih muda belia, belum sampai berusia dua
puluh tahun, sebagai murid seorang nenek sakti dan aneh keduanya memiliki
kepandaian silat yang tidak bisa dibuat main. Jurus-jurus serangan mereka penuh
tipu daya sehingga berulang kali lawan nyaris kena disikut, ditendang ataupun
dijotos.
Namun
lawan yang dihadapi bukan pula orang sembarangan. Nyi Bodong ternyata memiliki
gerakan luar biasa cepat. Saat ini dia berada di sebelah kiri, di lain kejap
ketika diserang sudah berpindah ke tempat lain. Lima jurus berlalu dua gadis
cantik kakak dan adik mulai terdesak hebat.
Liris
Merah berseru kaget ketika konde di atas kepalanya ditarik orang hingga
rambutnya yang hitam tebal dan panjang tergerai awut-awutan. Hal yang sama juga
terjadi dengan Liris Biru. Ketika dia merasa jotosan tangan kanannya akan
berhasil mendarat di perut Nyi Bodong tibatiba salah satu telapak tangan lawan
menekan dahinya dan sesaat kemudian konde di kepalanya berbusaian!
Dua kakak
beradik menjerit marah. Satu sama lain saling berpegangan tangan. Tiba-tiba
salah satu dari mereka melesat ke depan, kirimkan tendangan ke arah kepala
lawan. Menyusul satunya jatuhkan diri ke tanah, berguling dan babatkan kaki
memapas ke pinggang Nyi Bodong. Guru mereka menyebut jurus ini dengan nama
Hantu Malam Berbagi Pahala. Memang kehebatannya luar biasa. Lawan yang mencoba
mundur atau melompat untuk selamatkan diri dari tendangan ke arah kepala akan
dihajar oleh serangan susulan yang bisa membabat hancur tulang pinggang.
Nyi
Bodong keluarkan suara meraung seperti srigala hutan. Tubuhnya berkelebat luar
biasa cepat. Di lain kejap tubuh itu mengambang melintang di udara. Tangan dan
kaki bergerak mencari sasaran. Dua kakak beradik terkejut, berusaha selamatkan
diri dengan melompat mundur. Namun terlambat.
Tiba-tiba
dari dalam gubuk berkelebat dua orang. Satunya berteriak. “Kek! Kau tahan si
nenek, aku menahan dua kakak adik itu!”
Bau
pesing menghampar, air kencing bercipratan. Dalam keadaan seperti itu Nyi
Bodong merasa ada orang yang merangkul pinggangnya hingga dia tak mampu
bergerak. Dia jadi bergidik karena merasakan ada cairan hangat membasahi
pakaian dan tubuhnya sebelah bawah!
“Tua
bangka kurang ajar! Beraninya kau memegang tubuhku! Beraninya kau mengencingi
pakaianku!”
Bukkk!
Setan
Ngompol kena disikut bahu kirinya. Walau tubuhnya terjajar beberapa langkah
namun dia tidak mau lepaskan cekalannya di pinggang Nyi Bodong. Akibatnya kedua
orang ini sama-sama jatuh di tanah. Si kakek di sebelah bawah, si nenek di
sebelah atas. Melihat wajah putih cantik yang begitu dekat dengannya, Setan
Ngompol unjukkan senyum mesra. Bibir diruncingkan dan dua mata setengah
dipejamkan. Seolah dia menunggu datangnya ciuman dari sang kekasih! Namun yang
datang bukannya ciuman melainkan satu jotosan keras di keningnya! Si kakek
menjerit kesakitan. Tubuhnya setengah melintir. Pemandangan gelap dan dia
terpaksa melepaskan rangkulannya di pinggang Nyi Bodong.
Pendekar
212 yang menghadapi dua kakak adik cepat menghadang gerakan Liris Merah dan
Liris Biru seraya berteriak, “Tahan! Kita berada di pihak yang sama! Mengapa
bertindak tolol berkelahi tidak karuan?!”
“Manusia
gondrong! Enak saja kau bilang kita berada di pihak yang sama! Siapa sudi!” Nyi
Bodong menghardik. Sebaliknya begitu melihat siapa yang menghalangi mereka,
Liris Merah dan Liris Biru serta merta menjadi kendur amarahnya. Sambil pegangi
pipi masing-masing yang terasa masih sakit, kedua murid Hantu Malam Bergigi
Perak ini mundur beberapa langkah.
“Nyi
Bodong, mengapa kalian jadi berkelahi satu sama lain?” bertanya Setan Ngompol
yang keningnya kini ada satu benjut besar akibat pukulan Nyi Bodong.
“Aku
tidak ada urusan memberi keterangan padamu! Kakek kurang ajar! Tanyakan saja
pada dua kurcaci itu. Masih bau kencur sudah berlagak jadi orang hebat! Untung
kalian muncul kalau tidak saat ini keduanya sudah jadi bangkai!”
“Sombongnya!
Kami belum merasa kalah!” tukas Liris Merah. Gadis ini hendak melangkah
mendekati Nyi Bodong.
Wiro
cepat pegang lengan Liris Merah. Dia sekalian memegang tangan Liris Biru lalu
membawa dua gadis itu menjauhi Nyi Bodong. Sambil berjalan mundur dua gadis
sandarkan kepala mereka ke bahu Pendekar 212 dan lemparkan senyum mengejek ke
arah Nyi Bodong.
“Masih
ingusan sudah pandai berbuat cabul!” ucap Nyi Bodong dengan wajah menunjukkan
kejijikan.
“Kalau
iri kenapa kau tidak memeluk kakek bau pesing itu?!” ucap Liris Biru.
“Dua
kurcaci ingusan! Jika kemudian hari aku bertemu lagi dengan kalian, jangan
harap ada rasa kasihan dalam hatiku!”
Liris
Merah dan Liris Biru sama-sama keluarkan suara berdecak.
“Nyi
Bodong,” kata Liris Merah, “Kau memang orang hebat! Tapi siapa yang minta kasih
sayangmu? Rupanya kau seorang yang suka memberi kasih pada sesama jenis! Hik…
hik… hik!”
“Gadis
kurang ajar! Ini cukup baik untuk menutup mulut busukmu!” Dengan ujung kakinya
Nyi Bodong mengorek sebuah batu sebesar tinju. Batu mencelat ke udara,
ditangkap dengan tangan kanan lalu secepat kilat dilemparkan ke arah Liris
Merah.
“Kakak
awas!” teriak Liris Biru. Namun saat itu Liris Merah masih mengejek Nyi Bodong
dengan cara menyandarkan kepala ke bahu Wiro, mata dipejamkan dan bibir
digerak-gerakkan.
Dua
jengkal lagi batu yang dilemparkan akan menghantam mulut Liris Merah, dengan
sigap Wiro gerakkan tangan kiri.
Wuuutt!
Bettt!
Wiro
memang berhasil menangkap batu yang dilemparkan namun saat itu juga dia
menjerit keras dan campakkan batu ke tanah. Tangan kirinya mengepulkan asap.
Ketika jari-jarinya dikembangkan kelihatan bagaimana tangan kiri itu telah
melepuh terkelupas sampai ke ujung-ujung jari! Dapat dibayangkan bagaimana
kalau batu yang panas laksana bara api itu sampai masuk ke dalam mulut Liris
Merah.
“Nyi
Bodong! Ternyata kau perempuan durjana! Kau melukai tangan orang yang tidak
punya salah!”
Nenek
muka putih tampak terkesiap. Tak menyangka. Lain yang diserang lain yang kena
sasaran. Liris Biru melompat ke tempat berdirinya Nyi Bodong sambil lepaskan
satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tanah terbongkar,
satu lobang besar tampak dalam kegelapan malam. Namun Nyi Bodong sudah raib
seperti ditelan bumi.
Dari
ambang pintu gubuk tiba-tiba terdengar seseorang berseru, “Setan Ngompol, bawa
sahabatmu itu ke dalam. Lukanya sangat berbahaya. Kalau tidak lekas diobati
tangannya bisa busuk!”
*******************
5
DI DALAM
gubuk Ki Tambakpati menyuruh Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di depan belanga
tanah yang mengepulkan asap dan keluarkan suara mendidih. Liris Merah dan Liris
Biru saling berbisik melihat keanehan belanga itu. Tak ada api yang menjarang
tapi cairan di dalam belanga bisa mendidih.
“Kakek
ini dukun atau tukang sihir?” bisik Liris Biru yang segera dipelototi oleh
kakaknya.
“Jangan
bicara sembarangan. Kita tidak tahu ini tempat apa.” ucap Liris Merah pula.
Untuk
beberapa lama Ki Tambakpati berdiri di hadapan Wiro. Mata terpejam, mulut
berkomat-kamit dan telapak tangan kanan dikembang, diarahkan ke mulut belanga.
Suara cairan yang mendidih terdengar semakin keras bahkan sesekali muncrat ke
atas.
“Masukkan
tanganmu ke dalam belanga. Biar dalam, sampai jari-jari menyentuh dasar
belanga!” tiba-tiba Ki Tambakpati berkata.
Pendekar
212 Wiro Sableng tersentak kaget lalu garukgaruk kepala. Liris Merah dan Liris
Biru saling berpandangan dengan wajah tegang. Setan gompol bersandar ke dinding
gubuk sambil pegangi bagian bawah perutnya yang mulai mengucur!
“Anak
muda berambut gondrong! Aku akan memberi perintah satu kali lagi. Jika kau
tidak menuruti maka tangan kirimu akan busuk sampai akhirnya meleleh buntung.
Musuh telah melempar batu yang dibalut dengan ajian ilmu bernama Batu Seribu
Api. Adalah luar biasa kau hanya mengalami luka melepuh terkelupas. Orang lain
mungkin sudah lumer seluruh tangan sampai ke pergelangan! Tapi jangan merasa
hebat! Tanganmu akan busuk dan buntung jika kau tidak mau kuobati. Masukkan
tangan kirimu ke dalam belanga! Cepat!”
Murid
Sinto Gendeng jadi keluarkan keringat dingin. Tangannya dalam keadaan melepuh
terkelupas.
Dimasukkan
ke dalam cairan yang tengah mendidih. Apa tidak gila?! Mana mungkin bisa
disembuhkan dengan cara edan begitu? Wiro memandang ke arah dua gadis kakak
adik. Liris Merah dan Liris Biru tampak saling berpegangan tangan. Keduanya
sama memandang ke arah Wiro, tak berkesip. Wiro menoleh ke arah Setan Ngompol.
Kakek ini hanya manggut-manggut sementara dua tangannya sibuk menahani bagian bawah
perut yang terus ngocor. Alihkan pandangan ke arah Ki Tambakpati, Wiro melihat
orang tua ini masih tegak dengan mata terpejam dan mulut komatkamit. Wiro
menggigit bibir. Walau kuduknya terasa mengkirik tapi akhirnya dia masukkan
juga tangan kirinya ke dalam belanga tanah. Demikian kencangnya dia memasukkan
tangan hingga amblas menjebol bagian bawah belanga!
Wira
melengak kaget, terduduk di tanah, memandang ke arah Ki Tambakpati lalu tertawa
gelak-gelak.
“Keterlaluan!
Kau telah memecahkan belanga obatku! Sekarang malah tertawa. Apa yang lucu?”
“Kek, aku
tak sengaja. Maafkan aku kalau belangamu sampai pecah.” kata Wiro pula. “Aku
tertawa ternyata cairan di dalam belanga sedingin air danau di malam hari.
Tadinya aku mengira cairan itu panas mendidih…”
“Aku
tidak pernah mengatakan cairan itu panas. Sekarang coba perhatikan tangan
kirimu!” ujar Ki Tambakpati pula.
Wiro baru
sadar. Buru-buru dia angkat tangan kiri. Astaga! Telapak tangan dan
jari-jarinya sudah pulih seperti tidak pernah mengalami cidera. Hanya saja lima
jari tangannya tampak agak membengkak. Liris Merah dan Liris Biru
terheran-heran. Setan Ngompol senyum-senyum ikut senang walau kencingnya tetap
saja masih mengucur.
“Dalam
dua tiga hari bengkak tanganmu akan susut. Kau akan sembuh seperti sedia kala.”
Kata Ki Tambakpati.
Wiro
membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih Kek. Aku tak tahu bagaimana cara membalas
budi besarmu ini. Kalau aku boleh tahu siapakah Kakek ini adanya?” Yang
menjawab adalah Setan Ngompol.
“Kakek
ini sudah tiga puluh tahun jadi sahabatku. Namanya Ki Tambakpati. Dijuluki
Tangan Penyembuh.”
Wiro
berdiri lalu membungkuk dalam-dalam. “Ki Tambakpati, aku Wiro Sableng sekali
lagi mengucapkan terima kasih atas budi baikmu menolong diriku menyembuhkan
lukaku. Aku…”
Ucapan
Wiro terhenti karena saat itu tiba-tiba saja Ki Tambakpati tertawa bergelak.
“Nah,
sekarang gantian kau yang tertawa. Sobatku Ki Tambakpati, apa yang lucu?”
bertanya Setan Ngompol.
Ki
Tambakpati usap wajahnya. “Melihat tampang dan gerak-gerikmu serta kau muncul
bersama si tukang ngompol itu, tadi-tadi aku sudah menduga kau ini memang anak
setan murid nenek brengsek Sinto Gendeng!” Wiro jadi melongo.
“Kek,
bagaimana kau tahu sebutan ‘anak setan’ itu…?”
Ki
Tambakpati tersenyum. “Sinto Gendeng gurumu itu adalah teman sepermainanku
semasa kecil. Dia pernah tinggal lama di rumah orang tuaku di pantai selatan.
Dia selalu menyebut anak setan pada orang yang disayanginya. Tapi tidak mudah
untuk mendapatkan rasa sayang nenek gendeng itu! Ha… ha… ha!”
“Ha…
ha…ha!” Setan Ngompol ikutan tertawa senang tapi sambil terkencing-kencing
(Kisah riwayat Sinto Gendeng mulai dari masa bayi sampai dewasa dapat pembaca
ikuti dalam CERMIN yang akan segera terbit dengan judul “Selingkuh Rimba
Persilatan”).
Sementara
orang bicara dan tertawa, Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik. Sang
kakak berkata, “Tidak ada salahnya kalau kita bicara pada kakek bernama Ki
Tambakpati itu. Tapi bagaimana dengan yang lain? Apa mereka pantas untuk
mendengar?”
“Kalau
guru ada di sini dia pasti marah. Tapi dia tak ada. Kita harus punya upaya
sendiri, tidak bisa hanya mengandalkan guru. Soal mereka akan mendengar riwayat
kita, kurasa tidak perlu khawatir. Tampaknya mereka semua bisa dipercaya.”
jawab Liris Biru pula. Liris Merah terdiam seperti berpikir-pikir. Akhirnya
gadis cantik ini berkata, “Baiklah, biar aku yang bicara. Kupikir kalau orang
tidak tahu apa yang menjadi masalah kita, bagaimana mungkin mereka bisa
menolong?” Liris Merah lalu melangkah mendekati Ki Tambakpati.
Kakek
ahli pengobatan ini seolah baru sadar akan kehadiran dua gadis cantik di tempat
itu tersenyumsenyum lalu menyapa, “Aku sampai lupa kalau di sini juga ada dua
tamu cantik jelita. Gadis berpakaian merah dan berpakaian biru, siapakah kalian
berdua?” Sambil bertanya Ki Tambakpati melirik ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Setan Ngompol mendekati Wiro. “Anak setan, kau lihat kakek itu tadi
melirikmu? Pasti dia juga sudah tahu kalau kau tukang main perempuan!”
“Enak
saja kau bicara Kek! Urusi saja air kencingmu!” damprat murid Sinto Gendeng.
“Ki
Tambakpati, saya Liris Merah dan itu adik saya Liris Biru. Apakah saya boleh
menuturkan sesuatu. Saya dan adik saya mempunyai masalah. Siapa tahu Ki
Tambakpati bisa menolong menyembuhkan kami.”
Ki
Tambakpati perhatikan Liris Merah dan Liris Biru dari kepala sampai ke kaki.
“Kalian berdua sama cantik, sama sehat. Kalau kau menyebut memiliki ada
masalah, masalah apa? Jika kau minta aku menyembuhkan diri kalian, apa sakit
kalian? Liris Merah, kau mau menceritakan masalah yang kau maksudkan?”
Liris
Merah mengangguk. “Namun terlebih dulu saya mohon apa yang akan saya sampaikan
menjadi rahasia kita semua di tempat ini. Jangan sampai tersebar di luaran.”
“Aku
memang tukang bocor di sebelah bawah, tapi tidak pernah bocor di sebelah atas.
Aku tidak pernah membuka rahasia orang. Apalagi rahasia dua gadis cantik
seperti kalian.” kata Setan Ngompol pula dengan nada gagah.
Liris
Merah memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid
Sinto Gendeng tersenyum, anggukkan kepala dan berkata, “Kita sudah menjadi
sahabat. Apakah yang kau ragukan?”
“Begini
Ki Tambak,” Liris Merah memulai, “Sejak dilahirkan kami berdua memiliki
kelainan. Yaitu tidak tahan terhadap udara panas. Semakin besar kelainan itu
semakin bertambah. Kami tidak bisa berada di luaran pada siang hari. Itu
sebabnya kalau siang kami selalu tidak bisa pergi terlalu jauh dari tempat
kediaman kami. Kami harus sudah berada di tempat kediaman sebelum malam
berganti siang. Setiap hari kami harus mandi lebih dari sepuluh kali. Jika
mandi tidak menolong kami terpaksa mencari danau, telaga atau sungai untuk
berendam…”
“Aku
ingat pertemuan kita pertama kali,” kata Setan Ngompol pula. “Kalian berdua
keluar dari dalam telaga di malam buta!”
Liris
Merah mengangguk membenarkan. Lalu dia berpaling pada Ki Tambakpati dan
meneruskan ucapannya, “Tadi kami melihat Ki Tambakpati mengobati pemuda itu
secara luar biasa. Kami juga baru tahu kalau Ki Tambakpati adalah orang yang
dijuluki Tangan Penyembuh. Kami mohon, apakah Ki Tambakpati bisa menyembuhkan
kelainan diri kami berdua?”
Semua
orang terdiam. Ki Tambakpati nampak merenung. Wiro dan Setan Ngompol menatap
penuh rasa kasihan pada dua gadis itu.
Setelah
merenung cukup lama Ki Tambakpati akhirnya berkata, “Penyakit yang kalian alami
adalah satu penyakit aneh yang baru kali ini aku dengar dan ketahui. Liris
Merah, Liris Biru. Aku tidak ingin mengecewakan kalian berdua, apalagi kalian
masih sangat muda. Namun penyakit kalian tidak mungkin aku sembuhkan dengan
kemampuan pengobatan yang aku miliki.”
“Mungkin
Ki Tambak tahu seseorang yang harus kami temui dan punya kemampuan untuk
mengobati diri kami berdua? Atau mungkin juga Ki Tambak tahu sejenis obat yang
harus kami dapatkan. Kami akan mencarinya sekalipun sampai ke ujung langit.”
Wajah Ki
Tambakpati tampak sedih. “Saat ini aku tidak bisa menjawab. Entah di kemudian
hari kalau aku mendapat petunjuk. Untuk itu aku harus bersemedi tujuh hari
tujuh malam. Namun kalian berdua jangan terlalu banyak berharap.”
Liris
Biru masih belum menyerah. Gadis ini bertanya, “Ki Tambak, apa kau pernah
mendengar sebuah kitab disebut Kitab Seribu Pengobatan?”
“Memang
pernah aku mendengar. Namun di mana beradanya kitab itu tidak diketahui.
Pemiliknya adalah guru pemuda gondrong ini. Sinto Gendeng sahabatku yang diam
di puncak Gunung Gede. Mungkin di dalam kitab itu ada bagian yang menyebutkan
mengenai penyakit yang kalian idap dan bagaimana cara penyembuhannya.”
“Kitab
itu lenyap dicuri orang sejak beberapa waktu lalu. Saya justru tengah
menjalankan tugas dari Eyang untuk mencarinya,” menjelaskan Pendekar 212.
“Tidak
ada satu orang pun di sini yang bisa menduga siapa pencuri atau di mana
beradanya kitab itu?” tanya Liris Merah.
Tak ada
yang menjawab. Lalu Ki Tambakpati berkata, “Malam ini, sebelumnya ada juga
orang lain yang menanyakan kitab itu. Dia adalah salah seorang dari dua
tamuku.”
“Siapa
orangnya?” tanya Setan Ngompol.
“Aku akan
jelaskan orangnya tapi tidak dapat memberi tahu penyakit yang diidapnya…”
“Siapa
nama orang itu Kek?” tanya Wiro.
“Siapa
namanya itulah yang aku tidak tahu. Namun dia meminta agar dipanggil dengan
sebutan Pangeran. Tak tahu diburuk rupa, sikapnya luar biasa angkuh.”
Pendekar
212 dan Setan Ngompol saling berpandangan.
“Kenapa
kau tidak menolak saja mengobatinya?” tanya Setan Ngompol.
“Hal itu
tak mungkin aku lakukan. Jalan hidup dan ilmu kepandaianku adalah berbuat
kebajikan menolong sesama manusia.”
“Kadang-kadang
kita menjadi susah dan malah berdosa karena terlalu baik terhadap orang lain.”
ucap Pendekar 212 pula.
“Apakah
kalian mengenali siapa adanya orang itu?” Kini Ki Tambakpati yang ajukan
pertanyaan.
“Dia
bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah abu-abu, berwajah seperti setan?” ujar
Wiro.
“Benar.”
jawab Ki Tambakpati.
“Kalau
begitu dia adalah manusia yang dibuntungi tangannya oleh nenek muka putih!”
kata Wiro pula.
“Kalau
sudah tahu aku tak perlu banyak cerita lagi!” ujar Ki Tambakpati.
“Menurut
guru dua gadis ini manusia itu dijuluki Hantu Pemerkosa. Saya punya dugaan
manusia itu aslinya adalah Pangeran Matahari!” kata murid Sinto Gendeng sambil
menatap tak berkedip ke arah Ki Tambakpati. “Kek, ada ciri-ciri lain dari orang
itu yang bisa kau ingat?”
“Wajahnya
yang seperti setan. Aku yakin dia mengenakan topeng tipis. Dia juga
menyombongkan diri bisa bertukar wajah sepuluh kali dalam satu hari…”
“Hanya
itu saja yang bisa kau ingat sobatku?” tanya Setan Ngompol.
“Hanya
itu saja. Tunggu…, ada satu hal. Ketika aku melihat jari kelingking tangan
kirinya buntung, dia marah besar ketika aku memperhatikan…”
“Pangeran
Matahari!” ucap Setan Ngompol sampai terlonjak dan kucurkan air kencing.
“Pasti
dia!” kata murid Sinto Gendeng dengan wajah geram dan dua tangan mengepal.
“Berarti
dia tidak mampus sewaktu rumah kayu di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian
hancur lebur dan terbakar.” kata Setan Ngompol sambil usap daun kuping kanannya
yang terbalik. “Dia juga tidak mati tertimbun runtuhan bukit batu di mana
lorong celaka itu terletak ketika Bunga gadis dari alam roh menghancurkan kawasan
itu. Sepertinya dia punya selusin nyawa. Tapi yang sebelas sudah amblas. Jadi
tetap saja tinggal satu! Hik… hik… hik!”
Si kakek
tertawa sendiri dibarengi kencingnya yang mancur.
Ki
Tambakpati gelengkan kepala. “Sahabatku, tadi kau menyebut ada dua orang tamu
malam ini datang ke tempatmu sebelum kehadiran kami. Siapa yang satunya?” tanya
Setan Ngompol.
“Apakah
dia seorang nenek berwajah putih, rambut riap-riapan, mengenakan pakaian biru
pekat?” Liris Merah mendahului sebelum Ki Tambakpati sempat menjawab.
“Bagaimana
kau tahu?” tanya Ki Tambakpati.
“Saya
melihat dia mendekam sembunyi di atas atap. Ketika kami mendekati rumah ini,
dia menghadang. Kami berdua tidak tahu apa alasannya menyuruh kami pergi. Kami
juga tidak tahu apa dosa kesalahan kami sehingga tadi dia menyerang dengan batu
yang dialiri aji kesaktian jahat Batu Seribu Api seperti Kakek jelaskan.”
“Liris
Merah, kau tahu siapa adanya nenek itu?” tanya Ki Tambakpati.
“Menurut
guru dia adalah pendatang baru rimba persilatan bernama Nyi Bodong.” jawab
Liris Merah.
“Kek, apa
keperluan nenek muka putih itu menemuimu? Apakah dia mengidap satu penyakit?”
tanya Wiro.
“Dia
menanyakan perihal tamuku yang pertama. Si buntung bermuka setan yang senang
dipanggil dengan sebutan Pangeran itu. Benar seperti katamu tadi, si nenek
bernama Nyi Bodong menyebut si Pangeran sebagai Hantu Pemerkosa. Agaknya Nyi
Bodong ingin membunuhnya karena katanya Hantu Pemerkosa telah merusak
kehormatan beberapa gadis desa lalu membunuh korbannya. Namun…” Ki Tambakpati
tidak meneruskan ucapannya dan hal ini tidak begitu menjadi perhatian
orang-orang yang ada dalam gubuk.
“Agaknya
dalam rimba persilatan telah muncul lagi satu tokoh penyelamat orang-orang
tertindas, penegak keadilan, pembasmi manusia-manusia jahat.” kata Setan
Ngompol.
“Kami
setuju saja dengan pendapatmu Kek,” Liris Biru membuka mulut. “Kalau dia orang
baik mengapa Nyi Bodong punya niat jahat terhadap kami?”
Setan
Ngompol hanya bisa terdiam dan usap-usap celananya di sebelah bawah.
“Ki
Tambakpati, kami tidak bisa berada lebih lama di tempat ini. Kediaman kami
cukup jauh. Kami khawatir matahari sudah muncul sebelum kami sampai di sana.
Kami berdua tetap minta budi baik bantuanmu.” Liris Merah memegang lengan
adiknya, berpaling pada Wiro dan berkata, “Bisakah kami bicara denganmu di
luar…?”
Wiro
mengikuti langkah dua gadis itu. Setan Ngompol hendak membuntuti tapi didorong
oleh Wiro hingga masuk kembali ke dalam gubuk.
Sampai di
luar Liris Merah berkata, “Kami sangat memerlukan pertolongan. Apakah benar
Kitab Seribu Pengobatan itu lenyap dicuri orang. Atau hanya sekedar cerita
kosong saja untuk maksud tertentu?”
“Tidak
ada yang bohong. Kitab itu memang lenyap dicuri orang.” menjelaskan Wiro.
“Kalau
kau menemukan, apakah kau mau meminjamkannya pada guru?”
“Tentu.”
sahut Wiro dengan anggukkan kepala.
“Kau
tidak kasihan melihat nasib kami?” tanya Liris Biru.
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Semua orang menaruh kasihan pada kalian. Aku
berjanji akan mendapatkan kitab itu…”
“Kalau
kitab ternyata tidak bisa ditemukan?” tanya Liris Merah.
“Tuhan
Maha Kuasa, setiap penyakit pasti ada obatnya. Kita semua berusaha tapi juga
jangan lupa mohon petunjuk serta pertolonganNya. Berdoa.”
Dua gadis
kakak beradik itu tersenyum.
“Ternyata
kau orang baik…” ucap Liris Biru.
“Memangnya
aku punya tampang penjahat?”
“Penjahat
ya tidak. Cuma guru pernah bilang yang namanya Pendekar 212 Wiro Sableng murid
Sinto Gendeng itu adalah buaya perempuan.”
Wiro
tertawa lebar. Dia memandang ke belakang. “Aku tidak punya ekor. Tangan dan
kakiku berujud tangan dan kaki manusia. Mulutku tidak berupa moncong panjang.
Apakah aku ini menurut kalian seekor buaya?”
Dua gadis
cantik tertawa cekikikan.
“Kami
harus pergi sekarang,” Liris Biru berkata, “Jika kau bisa menolong, kami tidak
akan melupakan jasa dan budi baikmu. Untuk itu harap kau suka menerima ini
sebagai ungkapan di muka balas budi kami.”
Cuupp!
Cuupp!
Pendekart
212 terperangah ketika Liris Merah dan Liris Biru mencium pipinya kiri kanan.
Kedua gadis itu lalu menghambur lari sambil tertawa-tawa. Liris Biru berseru,
“Kalau ada kesempatan datanglah ke tempat kediaman kami di Goa Cadasbiru di
Kaliurang!”
Wiro
hanya garuk-garuk kepala tidak menjawab.
“Serakah
amat! Seharusnya satu ciuman itu jadi bagianku!” kata satu suara. Setan Ngompol
tahu-tahu sudah berada di samping Wiro yang saat itu masih bengong usap-usap
kedua pipinya. “Berani kau datang ke Goa Cadasbiru, habis kau didamprat gurunya
si Hantu Malam Bergigi Perak.”
“Kalau
begitu biar kau saja yang mewakiliku, Kek!” jawab Wiro.
Tanpa
diketahui, di atas pohon besar di salah satu sudut kediaman Ki Tambakpati,
seorang yang sejak tadi mendekam sembunyi unjukkan wajah jengkel luar biasa.
Dalam hati dia mendumel, “Huh, dua gadis hijau. Kasihan diri kalian. Agaknya
sudah terperangkap sikap manis pemuda mata keranjang itu! Lihat saja nanti.
Kalian akan dipermainkan lalu dicampakkan!”
*******************
6
DALAM
Episode sebelumnya (Perjanjian Dengan Roh) diceritakan bagaimana Tumenggung
Wirabumi yang kini sudah naik jabatannya menjadi Bendahara Kerajaan mendatangi
tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di sebuah telaga di puncak timur
Gunung Gede. Sesuai keterangan gurunya yaitu Nyai Tumbal Jiwo, Nyi Retno
Mantili istrinya yang dikabarkan lenyap melarikan diri dari gedung kediaman di
kotaraja, berada di puncak Gunung Gede, di sebuah telaga tempat hunian sang
Kiai.
Bersama
enam orang pengawal Wira Bumi melakukan perjalanan jauh menemui Kiai Gede Tapa
Pamungkas di Gunung Gede. Namun dia kecewa besar, tidak percaya bahkan menjadi
marah ketika mendapat keterangan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa Nyi Retno
Mantili telah pergi tanpa diketahui ke mana tujuannya. Wira Bumi menganggap
Kiai itu telah mendustai dan mempermainkannya. Dalam marahnya Wira Bumi
menyuruh bakar sawung tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas bersembahyang dan
memanjatkan doa. Walau sang Kiai telah bersabar diri namun karena didesak terus
perkelahian tidak dapat dihindari.
Seperti
diketahui setelah bertapa selama tujuh bulan di Goa Girijati Wira Bumi mendapat
berbagai ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, nenek sakti yang mati sesat dan
setelah sekian puluh tahun rohnya masih gentayangan dalam perwujudan seperti
masa hidupnya. Bagaimanapun hebatnya Wira Bumi namun Kiai Gede Tapa Pamungkas
yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai makhluk setengah dewa karena
kesucian dan kesaktiannya, bukanlah tandingan Wira Bumi. Dalam perkelahian di
bawah air, Wira Bumi akhirnya dipecundangi, pingsan dan tubuhnya kemudian
mengapung di permukaan telaga.
Masih
untung bagi pejabat tinggi kerajaan ini karena Kiai Gede Tapa Pamungkas tidak
punya niat jahat untuk membunuhnya. Dia ingin memberi kesempatan pada pejabat
itu untuk keluar dari kesesatan dan bertobat. Wira Bumi diselamatkan oleh para
pengawalnya, dibawa kembali ke kotaraja, bukan membekal penyesalan apalagi
bertobat tapi membawa dendam kesumat luar biasa yang kelak akan dilampiaskannya
secara keji di kemudian hari.
Lewat
satu purnama setelah peristiwa kedatangan Bendahara Wira Bumi bersama para
pengawalnya di Gunung Gede, malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Mencucuk sampai bagian terdalam sumsum tulang. Kawasan telaga di puncak timur
Gunung Gede diselimuti halimun, sepi dan gelap. Pada siang hari air telaga
kelihatan memiliki tiga warna. Selain itu permukaannya selalu bergemericik
seperti kejatuhan tetestetes air hujan.
Tidak
seperti biasanya, di tepi telaga sebelah selatan yang selalu sepi, saat itu
tampak tiga bayangan hitam manusia bergerak cepat, tanpa suara, laksana tiga
setan malam sedang gentayangan. Yang seorang berdiri menunggu di satu tempat
sementara dua lainnya berlari mengintai tepian telaga. Tak selang beberapa lama
dua orang itu kembali bertemu dengan orang yang tegak diam menunggu. Salah
seorang dari yang dua ini berucap perlahan, “Eyang Tuba Sejagat, kami tidak
melihat halangan. Rasanya kita bisa segera memulai pekerjaan.”
Orang
yang dipanggil Eyang Tuba Sejagat bertubuh tinggi kurus, bekulit hitam pekat, bermuka
seperti jerangkong karena wajahnya hanya merupakan kulit pembalut tulang. Bibir
dan dua daun telinga hitam legam.
Begitu
juga sepuluh jari tangan sampai ke ujung kuku, hitam semua. Rambut kelabu
dijalin aneh, menjela sampai ke pinggang. Sosoknya yang mengenakan jubah hitam
agak kebesaran membuat dirinya tampak luar biasa menggidikkan di dalam gelap,
dingin dan sunyi itu.
“Halangan
bukan masalah bagiku. Yang penting apakah kalian sudah mengetahui kalau calon
penghuni alam roh itu saat ini berada di dasar telaga?”
“Kami
sudah meyakini dengan ilmu Aliran Tuba Mendetak Langit dan Bumi.” jawab dua
orang yang juga berpakaian jubah serba hitam dan merupakan pembantu Eyang Tuba
Sejagat. Yang bertubuh agak pendek bernama Jarot Kemukur, temannya bernama
Ciung Gluduk. Kalau sang Eyang tidak memakai blangkon maka kedua pembantunya
ini mengenakan blangkon hitam.
Mendengar
ucapan Jarot Kemukur dan Ciung Gluduk, Eyang Tuba Sejagat angkat kepala,
mendongak memandang langit gelap. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, “Aku
akan mulai. Kalian berdua awasi keadaan sekitar telaga. Jika ada bahaya cukup
memberi tanda dengan mengguratkan kaki ke tanah dua kali.”
Selesai
berucap manusia tinggi kurus berjalin panjang ini melangkah maju mendekati
tepian telaga, berhenti dua jengkal dari ujung air. Perlahan-lahan lelaki
berusia enam puluh tahun ini ulurkan dua tangan ke depan. Dua lengan yang
tertutup jubah hitam ditukikkan sedikit hingga sejarak lima jengkal dari
permukaan air telaga.
Sedikit
demi sedikit dua lengan jubah hitam tampak menggembung, bergerak-gerak seolah
ada dua benda hidup di dalamnya. Tidak menunggu lama, tiba-tiba dari
masing-masing lengan jubah mencuat keluar seekor ular besar bersisik merah.
Mulut terbuka, lidah terjulur di antara deretan gigi-gigi runcing, tiada henti
bergerak. Dari dua lobang hidung binatang ini berhembus keluar asap merah yang
menebar bau sangat menyengat.
“Anak-anakku
Tuba dan Tubi, saat ini kalian punya tugas memenuhi telaga dengan Racun Akar
Bumi. Cepat laksanakan!”
Dua ular
merah mendesis. Keduanya meluncur turun ke bawah ke arah air telaga. Dari mulut
dua ular ini menggelegak keluar cairan berwarna merah pekat dan kental. Sambil
menyemburkan racun yang bernama Racun Akar Bumi, dua binatang itu meluncur
hingga menyusup masuk ke dalam air telaga. Aneh dan mengerikan, saat demi saat
ukuran tubuh dua ular itu semakin bertambah besar hingga mencapai ukuran batang
kelapa. Di tepi telaga Eyang Tuba Sejagat tegak dengan sekujur tubuh bergetar,
lutut menekuk dan keringat memancar di mukanya yang menyerupai tengkorak.
Rambut yang dijalin menjuntai di punggung tampak bergerak-gerak naik seolah
hidup.
Hanya
beberapa saat saja seluruh permukaan air telaga telah berubah warna menjadi
hitam kemerah-merahan. Sosok dua ekor ular bersisik merah sampai pada ujung
ekornya lalu lenyap masuk ke dalam telaga.
Eyang
Tuba Sejagat bergerak mundur tujuh langkah. “Anakku Tuba dan Tubi, kalian sudah
bekerja bagus! Jika tugasmu selesai pulanglah. Aku telah menyediakan sesajen
lezat untuk kalian berdua. Satu bayi lelaki untukmu Tuba, dan satu bayi
perempuan untukmu Tubi.”
Makhluk
tinggi kurus hitam ini keluarkan ucapan lalu tarik dua tangannya yang sejak
tadi direntang ke depan. Pada saat itu tanah di sekeliling telaga terasa
bergetar. Mula-mula perlahan, lalu makin keras. Air danau bergejolak hebat
seolah berubah jadi air laut yang membuntal gelombang ombak setinggi dua
tombak! Pohon-pohon besar di sekitar telaga bergoyang berderak-derak!
“Apa yang
terjadi?” bisik Ciung Gluduk pada Jarot Kemukur.
“Aku
tidak tahu. Apa yang harus kita lakukan?” jawab Jarot Kemukur lalu balik
bertanya.
“Tunggu
saja perintah Eyang.” jawab Ciung Gluduk.
Sekonyong-konyong
didahului oleh muncratnya gulungan air telaga sampai setinggi tiga tombak dan
tumbangnya tiga pohon besar di tepi telaga, muncul dua suara dahsyat seperti
puluhan kerbau digorok berbarengan!
“Jarot
Ciung! Ikuti aku!”
Eyang
Tuba Sejagat berteriak lalu berkelebat ke arah gugusan batu di antara beberapa
pohon besar di tepi telaga. Di sini ketiganya mendekam bersembunyi sambil memperhatikan
apa yang akan terjadi. Eyang Tuba Sejagat tidak pernah mengira kalau dia bakal
menghadapi hal seperti ini.
Blaaar!
Blaaar!
Seperti
kilat menyambar. Dua cahaya terang berwarna merah melesat keluar dari dalam
telaga, menembus kegelapan malam seperti hendak membelah langit!
“Dua ekor
naga raksasa!” Ciung Gluduk sambil pegangi lengan Jarot Kemukur sementara Eyang
Tuba Sejagat mendekam tak bergerak, mata tak berkedip tapi mulut berkomat-kamit
membaca mantera.
Yang
terjadi saat itu adalah dua cahaya merah terang berubah menjadi sosok dahsyat
dua ekor naga besar. Sekujur tubuh dua ekor naga ini tampak mengelupas merah
dan mengepulkan asap. Dua bola mata menjorok keluar seperti mau terbongkar.
Binatang ini menggeliat terbanting-banting kian kemari. Ekor masing-masing
menggelepar tiada henti membuat air telaga muncrat sampai setinggi tiga tombak
dan membanjir ke sekeliling tepian telaga sementara tanah di sekitar telaga
terus bergetar seperti digoncang lindu. Dari mulut dua ekor naga raksasa ini
menyembur keluar cairan biru kehitaman.
Didahului
suara seperti kerbau digorok yang kemudian berganti menjadi suara ringkikan
kuda berbaur dengan raungan srigala hutan, sosok dua naga merah perlahanlahan
meleleh dan jatuh kembali ke dalam telaga membuat air telaga semakin membanjir
ke mana-mana. Sosok dua binatang raksasa itu akhirnya lenyap setelah terlebih
dulu muncul dua gulungan asap merah setinggi pohon kelapa.
Seperti
diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Pedang Naga Suci 212” dua ekor
naga merah itu adalah peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sewaktu sang Kiai
mewariskan dua senjata pusaka kepada dua orang muridnya yaitu Sinto Weni (Sinto
Gendeng) dan Sukat Tandika (Tua Gila) berupa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang
Naga Suci 212, kedua binatang inilah yang membawa senjata-senjata sakti
mandraguna tersebut dari dasar telaga.
Di balik
gugusan batu Eyang Tuba Sejagat mengusap wajah tengkoraknya. “Kita berhasil
membunuh dua naga peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi mana sang Kiai?”
Matanya tak berkesip memperhatikan seantero telaga yang kini mulai terlihat
jelas setelah lenyapnya gelombang air yang membuncah dan pupusnya kepulan asap.
“Saya
rasa Kiai itu sudah jadi bubur, bersatu dengan mulut beracun di dasar telaga.”
jawab Ciung Gluduk. Eyang Tuba Sejagat usap lagi mukanya. Dia merasa was-was.
Tiba-tiba
ada suara riak air di pertengahan telaga. Bersamaan dengan itu di langit bulan
setengah lingkaran menyembul dari balik kabut kelabu hingga pemandangan di
telaga kini cukup benderang.
“Eyang…”
Jarot Kemukur keluarkan suara tertahan ketika perlahan-lahan di permukaan
telaga muncul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas, terbujur menelentang mengapung
lurus, tangan terkembang ke samping, bergoyanggoyang dipermainkan alunan air
telaga. Rambutnya yang putih kini tampak merah, mengapung di atas air.
Pakaiannya selempang kain putih juga tampak merah. Demikian pula janggut,
kumis, kulit muka dan kulit tubuh. Sepasang mata tertutup. Racun jahat bernama
Racun Akar Bumi yang ditabur Eyang Tuba Sejagat melalui dua ekor ular merah
telah membuat dirinya mulai dari rambut sampai ujung kaki menjadi berkeadaan
mengenaskan seperti itu.
“Aku puas
sekarang. Menyaksikan sendiri mayat Kiai Gede Tapa Pamungkas mengapung di
permukaan telaga! Tamat sudah riwayat kehebatan rimba persilatan dari kawasan
Puncak Gunung Gede ini!” Eyang Tuba Sejagat sunggingkan seringai puas. Dia
pegang bahu kedua pembantunya. “Jarot, Ciung, saatnya kita tinggalkan tempat
ini. Ada hadiah besar dari Bendahara Wira Bumi menanti kita di kotaraja!”
Ketiga
orang itu segera beranjak dari balik gugusan batu. Namun baru membalik dan
bergerak dua langkah tiba-tiba dari arah telaga di belakang mereka terdengar
suara air menyiprat keras. Ketika ketiganya berpaling, langsung saja mereka
berteriak kaget.
Sosok
Kiai Gede Tapa Pamungkas yang disangka telah menjadi mayat terapung melesat di
udara. Di lain kejap kakek sakti penghuni telaga itu telah berdiri di depan
mereka!
Ciung
Gluduk dan Jarot Kemukur langsung bersurut tiga langkah sementara Eyang Tuba
Sejagat tetap tidak beranjak dari tempatnya berdiri namun berusaha keras
menekan gejolak yang mendebari dadanya.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berdiri dalam keadaan mata terpejam. Dua tangan lurus di
samping. Rambut, kumis, janggut, kulit wajah dan tangan kaki serta pakaiannya
berwana merah. Namun anehnya walau jelas tadi dia berada dalam telaga, rambut,
wajah, tubuh maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
Perlahan-lahan
sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas terbuka. Ternyata seluruh matanya juga
telah berwarna merah! Bersamaan dengan itu sang Kiai angkat kedua tangannya ke
depan. Kejut Eyang Tuba Sejagat dan dua pembantunya bukan alang kepalang ketika
dua tangan itu berubah menjadi dua ekor ular merah Tuba dan Tubi!
Didahului
dengusan menggidikkan, dua ekor ular meluncur ke arah Ciung Gluduk dan Jarot
Kemukur. Dua pembantu Eyang Tuba Sejagat ini hanya bisa keluarkan pekik
setinggi langit ketika ular-ular merah itu melesat mematuk leher mereka.
Keduanya kelojotan beberapa lama lalu tergeletak tak berkutik dengan sekujur
tubuh berwarna merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Dua ekor ular merah
meluncur turun dari tubuh kedua orang itu, melata cepat di tanah dan menghilang
dalam kegelapan. Tampang tengkorak Eyang Tuba Sejagat tampak berubah, terlebih
ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke arahnya dengan sepasang mata yang
keseluruhan berwarna merah.
“Wiku
Caringin, bukan aku yang membunuh dua pembantumu. Tapi sepasang ular
peliharaanmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa mereka. Kau beruntung
binatang-binatang itu tidak menghabisimu.”
Eyang
Tuba Sejagat jadi terkejut ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama
aslinya. Selama ini hanya dua tiga orang saja dalam rimba persilatan yang
mengetahui nama itu.
“Apalagi
yang kau tunggu di tempat ini? Bukankah kau ingin cepat-cepat ke kotaraja untuk
mengambil hadiah yang telah dijanjikan Bendahara Kerajaan?”
Untuk
beberapa lamanya Eyang Tuba Sejagat alias Wiku Caringin hanya bisa terdiam, tak
bisa keluarkan barang sepatah ucapan pun.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum.
“Jika
bertemu Bendahara Wira Bumi, sampaikan salamku. Katakan padanya agar segera
bertobat sebelum Tuhan menjatuhkan hukuman atas dirinya. Dia harus mencari
istrinya. Bukan untuk dibunuh. Tapi untuk disembuhkan dari segala penyakit jiwa
tekanan batin.”
Habis
berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas tekapkan tangan kanannya ke mulut. Lalu
tangan kiri berkelebat mencekik batang leher orang di hadapannya. Begitu mulut
Wiku Caringin terbuka, Kiai Gede Tapa Pamungkas turunkan tangannya yang menekap
mulut lalu tangan ini ditekapkan ke mulut orang. Saat itu juga warna merah yang
membungkus sekujur tubuh dan pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap.
Hek…
hekkk…!
Eyang
Tuba Sejagat keluarkan suara tercekik berulang kali ketika dia merasa dari
tangan sang Kiai ada cairan mengalir masuk ke dalam mulutnya. Dia berusaha
meronta tapi tubuhnya seperti kaku, tak bisa digerakkan. Saat itu juga sekujur
tubuh, mulai dari rambut sampai ke ujung kaki, termasuk pakaian hitam serta
kedua matanya berubah menjadi merah.
“Wiku
Caringin. Kau telah membunuh dua naga peliharaanku. Sebagai balasan Racun Akar
Bumi milikmu sendiri aku masukkan ke dalam tubuhmu. Jika umurmu panjang kau
masih punya kesempatan untuk menemui Wira Bumi. Jika ajalmu sampai lebih dulu,
bukan aku yang membunuhmu tapi racun milikmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni
dosa kesalahanmu. Pergilah…”
Sepasang
mata Wiku Caringin yang cekung merah menatap garang, tenggorokan turun naik
mengeluarkan suara menggeram. Dadanya seperti mau meledak. Dia tidak takut
mengadu jiwa dengan sang Kiai. Namun dia menyadari kalau keadaannya saat itu
sangat tidak menguntungkan. Yang harus dilakukannya adalah segera mendapatkan
obat pemunah racun yang ada dalam tubuhnya. Perlahan-lahan dia putar tubuh.
Terbungkukbungkuk dan tercekik-cekik melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan
ketika satu bayangan hitam disertai menghamparnya bau pesing berkelebat di
depannya. Menyusul tawa cekikikan.
“Tua bangka
muka tengkorak. Pasti kau habis mandi comberan tempat penampungan darah sapi
potong. Hik… hik… hik!”
Wiku
Caringin angkat kepala. Begitu mengetahui siapa yang berdiri di depannya
langsung dia memaki, “Nenek keparat! Kau sama saja dengan gurumu! Aku bersumpah
membunuh kalian berdua!”
“Hik…
hik! Mengurus nyawa sendiri tidak mampu. Mau mengurus nyawa orang lain!” Orang
yang dimaki perhatikan Wiku Caringin hingga akhirnya lenyap di kegelapan lalu
balikkan badan dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
*******************
7
KIAI Gede
Tapa Pamungkas tatap wajah tua berambut putih jarang dengan lima tusuk konde
menancap di kulit kepalanya. “Sinto, bangunlah. Lupakan segala macam peradatan.
Kadang-kadang aku berpikir. Adalah aneh. Kita tinggal di puncak gunung yang
sama. Tapi bertemu hanya sekali seabad! Dari raut wajahmu, dari tubuhmu yang
semakin bungkuk, aku melihat kau datang membekal satu urusan disertai beban
batin yang cukup berat…”
Sinto
Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 yang juga diam di kawasan puncak Gunung
Gede menatap dengan wajah seolah pasrah lalu berkata, “Kiai, saya memang murid
yang tidak tahu menerima budi. Sampai tua bangka begini masih belum bisa
menyenangkan hati Kiai…”
“Sinto,
aku tidak pernah minta kau atau muridku yang lain menyenangkan diriku apa lagi
membalas budi. Aku sudah sangat merasa senang jika melihat murid-muridku
bahagia.”
Ucapan
Kiai Gede Tapa Pamungkas itu sungguh dalam jika Sinto gendeng mau mengartikan. Puluhan
tahun hidup dia merasa belum menemukan apa yang bernama kebahagiaan itu. Dia
tidak acuh apakah dirinya mau bahagia atau tidak. Namun hati dan kecintaan
seorang guru terkadang melebihi hati orang tua sendiri. Bagaimana dia bisa
membuat gurunya senang kalau dia pribadi belum tahu apa yang dinamakan
kebahagiaan? Kehidupan masa mudanya sampai tua renta begitu lebih banyak duka
daripada sukanya. Setelah terdiam sejurus dia pun berkata, “Saya mengerti Kiai.
Segala dosa karena kurang ajar terhadap Kiai biarlah saya tanggung dunia
akhirat.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas yang adalah guru Sinto Gendeng tersenyum. Dia pegang bahu si
nenek lalu berkata, “Katakanlan tujuan kedatanganmu kemari…”
Sinto
Gendeng memandang ke arah telaga. “Kiai, apa mungkin mata saya yang lamur. Saya
tidak melihat sawung tempat Kiai biasa sembahyang dan berdoa.”
“Ada
orang jahat menyuruh bakar bangunan itu…” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Makhluk
jahanam bernama Wiku Caringin tadi?”
Sang Kiai
menggeleng. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan soal sawung itu. Nanti bisa aku
buat yang baru. Ceritakan saja maksud kedatanganmu, Sinto.”
“Kalau
Kiai tidak mau memberi tahu siapa yang berbuat jahat terhadap Kiai, saya merasa
sedih sekali.” Ucap Sinto Gendeng. Sebagai murid sebenarnya setelah sang guru
berkata begitu dia tidak perlu mendesak. Tapi justru di sinilah watak Sinto
Gendeng yang selalu keras kepala. Tadi masih mending dia menunjukkan sifat
kerasnya itu dengan ucapan yang agak halus. “Kiai, saya mengerti sebelumnya
telah terjadi sesuatu di sini. Mohon Kiai mau memberi tahu. Apa gunanya
ditutup-tutupi?”
Setelah
menarik nafas panjang akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menceritakan juga apa
yang telah dialaminya. Mulai dari pertemuan dan perkelahiannya dengan Nyai
Tumbal Jiwo sampai dengan dia membawa Nyi Retno Mantili ke puncak Gunung Gede.
Lalu kedatangan Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di mana kemudian
terjadi pembakaran sawung disusul dengan perkelahian yang tak bisa dielakkan.
Akhir penuturan adalah munculnya Wiku Caringin alias Eyang Tuba Sejagat bersama
dua pembantunya.
“Kiai,
saya sedih sekali mengetahui sepasang naga merah peliharaan Kiai menemui ajal
di tangan manusia keparat Wiku Caringin itu. Kalau tadi-tadi saya tahu apa yang
telah dilakukannya, tidak akan saya biarkan dia pergi begitu saja. Kiai, semua
apa yang Kiai ceritakan saya ingat baik-baik. Mulai sekarang Kiai bertenang
diri saja di puncak Gunung Gede ini…”
“Apa
maksudmu dengan ucapan itu Sinto?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau
sebenarnya dia sudah bisa menduga.
Sinto
Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke tanah hingga amblas dan mengepulkan asap.
Lima tusuk konde perak yang menancap di batok kepalanya bergoyanggoyang. Mulut
komat kamit memutar susur. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum melihat kelakuan
muridnya si nenek berkulit hitam tinggi kurus itu. Sinto Gendeng gerakkan
tangan kirinya sedikit. Tongkat yang amblas menyembul dan melesat keluar dari
dalam tanah.
“Kau
memamerkan ilmu anak-anak itu padaku, Sinto?”
Ditegur
seperti itu si nenek jadi kelam merah wajahnya tapi mulutnya tertawa lebar. Dia
pindahkan susur dalam mulut dari kiri ke kanan.
“Kiai,
saya hanya ingin mengatakan. Kiai punya murid, seorang nenek butut bau pesing
bernama Sinto Gendeng ini! Tidak pantas Kiai bersusah payah mengurusi
manusiamanusia calon puntung neraka itu! Serahkan semua pada saya Kiai. Sudah
cukup lama juga saya mendekam di puncak Gunung Gede. Kaki ini sudah gatal
rasanya mau gentayangan. Kebetulan sekali ada tugas dari Kiai…”
“Siapa
yang memberikan tugas padamu, Sinto!?”
“Kiai
memang belum memberikan. Tapi saya sudah menerimanya!” jawab Sinto Gendeng lalu
tertawa cekikikan.
Lagi-lagi
sang Kiai hanya bisa menghela nafas panjang.
“Sekarang
apakah kau tidak akan mengatakan maksud kedatanganmu?”
“Maaf
Kiai, tentu saja akan saya katakan. Masalah besar yang tengah saya hadapi
adalah hilangnya Kitab Seribu Pengobatan yang berasal dari Kiai Bangkalan. Ada
manusia setan serakah yang mencurinya. Saya sudah menyelidiki. Saya juga sudah
menyuruh Wiro mencari. Tapi sampai saat ini nihil semua. Kalau kitab itu jatuh
ke tangan manusia jahil dan disalahgunakan, rusak rimba persilatan di tanah
Jawa ini.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tertawa. Lalu bertanya, “Kapan kejadiannya kitab itu dicuri
orang?”
“Sudah
cukup lama. Rasanya sudah hampir sepuluh purnama.”
Sang Kiai
kembali tertawa. “Sebelumnya di mana kau simpan kitab itu?”
“Di gubuk
saya, Kiai. Dalam sebuah peti kayu, dipendam dalam tanah di bawah gentong air!”
menerangkan Sinto Gendeng.
“Kapan
terakhir kali kau memeriksa tempat penyimpanan kitab itu?”
“Sejak
hilangnya saya tidak pernah memeriksa lagi. Buat apa?”
“Jika
nanti kau pulang ke pondokmu, cobalah periksa lagi tempat itu. Aku punya dugaan
kitab itu telah berada di tempatnya semula.”
“Kiai
berseloroh…!”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas menggeleng.
“Bagaimana
mungkin Kiai. Kitab itu jelas-jelas lenyap dicuri orang. Sekarang Kiai
mengatakan telah berada di tempatnya semula.”
“Seseorang
secara diam-diam mengembalikan kitab itu ke tempatnya.”
Sinto
Gendeng terkejut.
“Kiai
sungguh tidak bergurau?”
Sang guru
menggeleng.
“Berarti
orang yang mencurinya yang mengembalikan kitab itu.”
“Bukan.
Ada seorang lain yang melakukan.”
“Siapa
Kiai?”
“Aku
tidak bisa mengatakan.”
“Lelaki
atau perempuan?” Sinto Gendeng mencecar.
“Lelaki.”
“Berarti
Dewa Tuak yang mencuri kitab itu. Dulu saya memang sudah curiga. Dia pasti
mengembalikan setelah peristiwa hancurnya Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Entah buat apa buku itu untuknya. Kalau dia terang-terang minta meminjamkan
saya tidak akan memberikan.”
“Bukan
Sinto, bukan Dewa Tuak yang mencuri ataupun mengembalikan kitab itu.”
menerangkan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Lalu
siapa?”
“Aku
tidak akan mengatakan. Karena bisa saja aku salah menduga. Jadi biar kau atau
muridmu nanti yang mencari tahu sendiri.” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai, kalau begitu izinkan saya minta diri. Saya ingin buru-buru kembali ke
pondok.”
“Tunggu
dulu Sinto. Aku punya satu pesan untukmu. Kalau kau bertemu dengan Wiro
muridmu, suruh dia datang ke sini.”
Si nenek
menatap wajah gurunya. Ini satu hal yang tidak biasa karena selama ini sang
Kiai tidak terlalu dekat dengan muridnya. Tiba-tiba senyum menyeruak di mulut
yang mengunyah susur itu.
“Kiai,
apakah Kiai hendak memperkenalkannya dengan seorang gadis untuk dijodohkan?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tertawa bergelak.
“Apa aku
punya tampang seperti Mak Comblang?” Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
“Perlu
apa anak setan itu disuruh ke sini, Kiai?” si nenek bertanya.
“Rimba
persilatan semakin lama semakin banyak perubahan. Segala macam ilmu kesaktian
berkembang sejalan dengan menghebatnya segala macam kejahatan. Muridmu itu
perlu dihindari dari segala marabahaya yang tidak diinginkan.”
“Kalau
Kiai punya niat seperti itu, saya sangat berterima kasih. Jika bertemu anak
setan itu pesan Kiai akan saya sampaikan. Apakah saya perlu hadir pada
kedatangannya menghadapi Kiai?”
“Jika kau
punya kesempatan sebaiknya kau hadir.”
“Kiai,
apakah saya boleh pergi sekarang?”
“Selama
ini apa kau mendengar kabar tentang kakak seperguruanmu Sukat Tandika?” (Sukat
Tandika adalah nama asli dari Tua Gila)
Sinto
Gendeng merasakan dadanya berdebar mendengar pertanyaan sang Kiai.
Perlahan-lahan dia gelengkan kepala.
“Heran,
ke mana perginya anak satu itu? Apa sudah lenyap ditelan bumi?”
“A…
apakah Kiai juga punya pesan untuknya?” Suara si nenek bertanya agak gagap.
“Sudahlah,
kau boleh pergi sekarang. Nanti seabad lagi baru muncul di sini!”
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. Setelah berlutut di depan gurunya, nenek ini segera
berkelebat pergi. Kiai Gede Tapa Pamungkas melepas dengan pandangan mata.
Dalam
hati dia berkata, “Apakah dia masih mencintai kakak seperguruannya itu?” Orang
tua ini usap janggut putihnya. “Sinto, kau akan terkejut kalau tahu siapa
adanya orang yang mengembalikan Kitab Seribu Pengobatan itu ke pondokmu.”
**********************
WALAU
bisa membuka pintu pondok dengan tangan namun karena tidak sabaran Sinto
Gendeng tendangkan kaki kirinya hingga pintu hancur berantakan, terpentang
lebar. Begitu masuk ke dalam nenek ini berteriak kaget. Di salah satu sudut
ruangan berdiri seorang kakek berjubah putih, dua tangan dirangkap di atas
dada. Rambut jarang putih. Kumis dan janggut tak kalah putih. Wajah yang cekung
nyaris tak berdaging dihias sepasang mata lebar. Dia berdiri sambil tersenyum
pada Sinto Gendeng.
Melihat
orang itu Sinto Gendeng teringat ucapan gurunya. Langsung darah si nenek naik
ke kepala. “Tua bangka Sukat Tandika! Keparat jahanam! Jadi kau rupanya yang
menyuruh mencuri kitab itu!”
Tanpa
banyak menunggu lagi Sinto Gendeng menyerbu. Dari mulutnya menggelegar teriakan
aneh menggidikkan. Kaki kanan menendang lurus ke dada kiri di arah jantung
sementara tangan kanan melancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam luar biasa tinggi. Lantai tanah bergetar, pondok kayu berderak keras.
“Sinto!
Kau menyerang aku dengan jurus Naga Meringkik Menjebol Gunung! Kau mau
membunuhku?!”
Selama
hidupnya Sinto Gendeng baru satu kali mengeluarkan jurus dahsyat itu yakni
sekitar empat puluh tahun silam ketika menumpas seorang tokoh silat yang jadi
bergundal golongan hitam. Jurus Naga Meringkik Menjebol Gunung ini bahkan tidak
pernah diajarkannya kepada Wiro Sableng karena memang luar biasa dahsyat dan
ganas! Tidak heran kalau orang yang diserang dan mengenali jurus maut itu
berseru kaget.
“Pencuri
keparat! Aku ucapkan selamat jalan ke akhirat!” teriak Sinto Gendeng tanpa
perdulikan seruan orang.
“Sinto!
Hentikan!” Teriak kakek berjubah putih yang memang adalah Tua Gila alias Sukat
Tandika dan bukan lain merupakan saudara seperguruan Sinto Gendeng sendiri!
Melihat si nenek tetap nekad meneruskan serangan, Tua Gila tidak bisa berbuat
lain kecuali selamatkan diri. Tubuh si kakek dari kepala sampai ke kaki
kelihatan kelojotan. Kaki merenggang, tangan mengembang. Tiba-tiba tubuh itu
melesat ke belakang melabrak dinding pondok, lalu seperti membal mental ke
kiri.
Sinto
Gendeng mendengus. “Tua Gila! Jurus Orang Gila Mabuk tidak akan menyelamatkanmu
dirimu dari kematian!”
Wuuttt!
Wusss!
Tendangan
kaki kanan Sinto Gendeng berhasil dielakkan Tua Gila. Tendangan itu lewat hanya
setengah jengkal dari pinggul kirinya. Akan halnya serangan berupa pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, walau dengan cara aneh masih
sanggup dihindari si kakek namun sapuan angin pukulan yang begitu dekat masih
sempat menyapu bagian kanan dada kekasih di masa muda Sinto Gendeng itu!
Suara
keluh kesakitan Tua Gila lenyap ditindih suara hancurnya dinding pondok. Sinto
Gendeng melesat keluar. Terdengar suara berderak keras lalu pondok kayu itu
roboh!
Di luar
pondok yang roboh Sinto Gendeng berdiri dengan tangan kanan berkacak pinggang,
tangan kiri bersitekan pada tongkat butut. Mata mendelik besar.
“Menyesal,
mengapa terlalu cepat dia kubunuh! Seharusnya aku siksa lebih dulu!” berkata
Sinto Gendeng dalam hati. Matanya memperhatikan reruntuhan pondok miliknya
sendiri. Mulut yang berisi susur berkomat-kamit. Dia merasa ada yang tidak
beres. Si nenek tancapkan tongkat kayu ke tanah lalu sambil memegang ujung
tongkat dia kerahkan tenaga dalam. Ketika dia membentak keras sambil hentakkan
kaki kanan ke tanah, di tanah kelihatan getaran keras bergerak ke arah depan.
Begitu getaran mencapai tumpukan runtuhan pondok kayu, semua kepingan kayu dan
papan serta hancuran perabotan yang ada bermentalan ke udara.
“Lenyap!
Ke mana perginya bangsat itu. Mengapa aku tidak melihat mayatnya?” Kalau tadi
menyangka Tua Gila berada di dalam timbunan reruntuhan pondok maka kini Sinto
Gendeng hanya melihat tanah rata!
Tiba-tiba
di belakang si nenek terdengar suara orang berucap sayu perlahan, “Sinto, kau
menuduh aku mencuri kitab. Kitab apa? Kalau Kitab Seribu Pengobatan yang kau
maksud, apa kau lupa? Dulu aku yang menyerahkan kitab itu pada muridmu. Muridmu
kemudian menyerahkan padamu. Aku mungkin sejahat-jahatnya manusia di muka bumi
ini. Tapi seumur hidup aku tidak pernah mencuri. Apa dosaku hingga kau ingin
membunuhku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan kesalahanku di masa muda
terhadapmu? Ketika aku meninggalkan dirimu. Apakah kau masih menaruh dendam.
Padahal dalam pertemuan kita terakhir di telaga Gajahmungkur…” (Baca serial
Wiro Sableng dalam Episode Gerhana Di Gajahmungkur)
“Diam!”
Sinto
Gendeng berteriak keras. Lalu balikkan badan. Tangan kanan diangkat ke atas.
Kejap itu juga tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari telah berubah
warnanya laksana dibungkus perak berkilat, menyilaukan.
Tempat
sekitar situ serta-merta dilanda hawa panas. Pukulan Sinar Matahari! Jika yang
melancarkan pukulan itu adalah pemiliknya sendiri maka sulit ada kekuatan
sehebat apapun bisa membendung! Sinto Gendeng rupanya benarbenar sudah nekad
hendak membunuh Tua Gila yang dituduhnya sebagai pencuri kitab.
Di
hadapan Sinto Gendeng, Tua Gila berdiri terbungkukbungkuk sambil pegangi dada
dengan tangan kiri. Mukanya tampak sangat pucat. Matanya yang lebar setengah
terpejam, menatap ke Sinto Gendeng. Dari sela bibir sebelah kiri mengucur darah
segar. Agaknya kakek ini mengalami luka dalam cukup parah akibat serangan Sinto
Gendeng tadi! Namun yang membuat Sinto Gendeng terkesiap ialah sewaktu melihat
dari dua mata Tua Gila yang setengah terpejam itu mengalir jatuh air mata!
Entah
mengapa nafsu untuk membunuh si nenek perlahan-lahan mengendur. Dia turunkan
tangan kanannya. Tangan yang tadi berwarna seperti perak itu sedikit demi
sedikit kembali ke bentuk semula.
“Setan!
Jangan cengeng!” teriak Sinto Gendeng. Lalu dia balikkan diri dan lari ke arah
reruntuhan pondok. Dan berdiri di tanah, tepat di mana sebelumnya terletak
sebuah gentong besar menyimpan air. Gentong itu telah hancur berantakan dan
airnya membuat becek lantai pondok. Sinto Gendeng tancapkan tokat kayunya ke
tanah lalu jatuhkan diri, berlutut. Dengan dua tangan telanjang nenek ini mulai
menggali tanah becek tempat dibekas mana sebelumnya terletak gentong tanah. Tak
terlalu dalam menggali tersembullah sebuah peti terbuat dari kayu besi berwarna
hitam. Darah Sinto Gendeng berdebar keras ketika dia mengangkat peti kayu itu
dari dalam lobang yang digalinya. Peti diletakkan di tanah. Perlahan-lahan
dengan jari-jari tangan gemetar si nenek membuka penutup peti.
Sepasang
mata membeliak. Mulut menganga hingga susur jatuh ke tanah. Tubuh jatuh
terduduk di tanah. Dua tangan diulurkan mengambil sebuah kitab tebal terbuat
dari daun lontar kering yang pada kulit depannya tertera tulisan berbunyi
“Kitab Seribu Pengobatan.”
Sinto
Gendeng dekapkan kitab tebal itu ke dada. Dua matanya tampak berkaca-kaca.
Tidak mau larut oleh perasaan si nenek segera masukkan kitab ke balik pakaian
sebelah kiri. Lalu dari balik pakaian sebelah kanan dia keluarkan sebuah benda
yang ternyata adalah juga sebuah kitab daun lontar yang bagian depannya ada
tulisan “Kitab Seribu Pengobatan.” Kitab ini dimasukkan ke dalam peti kayu besi
hitam, lalu diturunkan ke dalam lobang dan ditimbun dengan tanah.
“Terima
kasih Gusti Allah. Engkau akhirnya menolong pengembalian kitab ini padaku.
Terima kasih Kiai Gede Tapa Pamungkas. Engkau telah memberi petunjuk hingga
kitab ini aku dapat kembali.”
Perlahan-lahan
si nenek berdiri. Cabut tongkatnya dari tanah dan memutar tubuh. Dia ingat pada
Tua Gila. Namun ketika dicari, kakek itu tidak ada lagi di tempatnya semula.
Lama
Sinto Gendeng termenung. Kitab Seribu Pengobatan sudah didapat. Justru mengapa kini
pikirannya jadi kacau dan hatinya tidak enak. Apakah dia menyesal telah
menciderai Tua Gila? Apakah kini dia punya perasaan bahwa mungkin benar bukan
Tua Gila yang mencuri kitab itu?
“Tidak
bisa jadi. Tidak ada orang lain. Semua sesuai petunjuk Kiai. Orang yang
mengembalikan kitab itu seorang laki-laki. Bukan Dewa Tuak. Pasti sudah dia
bangsat pencurinya! Kalau bukan dia siapa lagi? Terakhir sekali dia pergi
dengan gendaknya si Sabai Nan Rancak itu ke Gunung Kerinci di pulau Andalas.
Mungkin perempuan itu yang menyuruhnya mencuri kitab. Tapi aneh juga.
Mengapa
sekarang dia mengembalikan? Mungkin mengembalikan kitab palsu dan
menyembunyikan yang asli?” Perasaan dan dugaan ini muncul di hati si nenek
karena sebelumnya dia telah menempatkan kitab palsu Seribu Ilmu Pengobatan di
dalam peti kayu besi hitam, walau maksudnya adalah untuk menipu orang jahat
yang inginkan kitab itu.
Sinto
Gendeng buru-buru keluarkan Kitab Seribu Pengobatan dari balik baju hitamnya.
Buku diteliti dari setiap sudut, dibolak balik dan setiap halaman dipelototi,
dibalik halaman demi halaman.
“Asli!
Kitab ini benar-benar asli!” Ucap Sinto Gendeng dengan perasaan lega. Sebelum
sempat dia memasukkan kitab itu kembali ke balik bajunya tiba-tiba di tempat
itu meledak tawa cekikikan.
“Nenek
Sinto, dalam catatan di kitab bersamamu itu, apakah banyak orang yang masih
belum membayar hutang padamu?”
“Setan
alas! Siapa berani bermulut konyol di hadapanku!” Sinto Gendeng membentak marah
dan angkat kepala, memandang ke depan. Tak kelihatan siapasiapa. Mendongak ke
atas pohon di seberang sana si nenek kerenyitkan kening yang tinggal kulit
pembalut tulang.
“Hik…
hik…! Mohon maafmu, Nek. Tadinya aku mengira kau sedang meneliti kitab hutang
piutang. Hik… hik… hik…! Nek, apa kau sadar kalau kau punya satu hutang besar
padaku?!”
*******************
8
SINTO
Gendeng menggembor marah. Dua matanya yang cekung seperti mau melompat keluar
dari rongganya. Melihat sikap si nenek perempuan berpakaian biru gelap yang
duduk berjuntai uncang-uncang kaki di dahan pohon besar kembali tertawa. Tangan
kirinya menggoyang-goyang sebuah kendi tanah berisi minuman menebar bau keras.
“Perempuan
di atas pohon! Kalau tidak sedeng kau pasti sinting! Memangnya aku punya hutang
besar apa padamu?”
Orang
yang dihardik tertawa cekikikan. Sinto Gendeng cepat-cepat masukkan Kitab
Seribu Pengobatan ke balik bajunya.
“Perempuan
setan! Siapa kau?!” Sinto Gendeng membentak. Sekali melompat laksana terbang
tubuhnya melesat ke atas pohon dan berdiri di atas dahan, terpisah satu langkah
dari perempuan muda yang telah lebih dulu duduk di dahan itu. Sigap dan cepat
sekali tahu-tahu ujung tongkat di tangan kiri si nenek telah menempel di kening
perempuan di hadapannya.
“Bicara
yang betul! Atau kubuat bolong jidatmu!”
Orang
yang diancam tertawa cengengesan.
“Aduh galaknya!
Nek, apa kau sudah lupa padaku?”
“Setan,
aku bertanya siapa kau adanya! Mengapa tidak memberi tahu? Malah balik
bertanya! Dasar perempuan setan sialan!”
Sambil
memaki Sinto Gendeng perhatikan perempuan yang duduk di dahan pohon mulai dari
rambut sampai ke kaki. Berpakaian biru pekat, berkulit putih. Di tangan kiri
memegang sebuah kendi kecil. Lima kendi tergantung di pinggang.
“Perempuan
setan! Aku rasa-rasa mengenali dirimu! Bukankah kau perawan centil bernama
Wulan Srindi yang dulu pernah mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Dulu kau hitam
jelek, kenapa sekarang jadi putih? Kau mandi lulur kapur di mana?! Hik… hik…
hik…!” Dalam marahnya Sinto Gendeng masih bisa mengejek mempermainkan orang.
“Nenek
Sinto, terima kasih kau masih mengenali diriku! Hanya saja ada dua hal yang kau
keliru. Namaku tidak lagi Wulan Srindi. Orang-orang menyebutku Nyi Bodong.
Lalu, aku sudah tidak perawan lagi! Aku sedang mengandung muda. Dan anak yang
kukandung adalah cucumu sendiri. Karena ayahnya adalah muridmu Pendekar 212 Wiro
Sableng!”
Kejut
Sinto Gendeng laksana disambar petir, “Perempuan setan! Mulutmu sudah sangat
keterlaluan! Aku tidak perduli kau mengandung atau bunting atau apa. Aku ingin
kau mampus saat ini juga!”
Sinto
Gendeng tusukkan tongkat kayu di tangan kiri ke kening perempuan yang mengaku
bernama Nyi Bodong. Tusukan itu datangnya cepat sekali. Namun dalam gerakan
yang jauh lebih cepat Nyi Bodong berhasil selamatkan diri dengan miringkan
kepala.
Wuutt!
Tusukan
tongkat hanya menyambar pinggiran rambut. Nyi Bodong berayun berputar di dahan
pohon.
“Nek,
tega sekali! Apa kau gila mau membunuh mantu sendiri?!”
Nyi
Bodong melesat turun ke tanah. Hanya sekejapan mata saja Sinto Gendeng sudah
menyusul turun dan kedua orang itu kini berhadap-hadapan dalam jarak tiga
langkah!
“Nek,
seperti kataku tadi kau punya satu hutang besar padaku! Aku sudah mengandung.
Aku perlu tanda bukti perjodohan dan perkawinanku dengan Wiro. Sebut saja mas
kawin! Apa saja! Aku tidak meminta yang sudahsudah, tidak menginginkan yang
mahal-mahal!”
“Perempuan
setan! Kau minta mas kawin! Ini aku berikan! Terimalah!”
Habis
memaki begitu Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya dalam jurus Kepala Naga
Menyusup Awan. Jotosan tangan kanan ini laksana kilat menyambar ke kepala Wulan
Srindi alias Nyi Bodong. Seperti tadi, Nyi Bodong membuat gerakan luar biasa
cepat untuk selamatkan kepalanya dari pukulan lawan. Kali ini dengan cara
merunduk. Begitu kepalanya selamat, dari bawah tangan kanannya meluncur ke
atas, menggelitik ketiak si nenek. Karuan saja Sinto Gendeng jadi terpekik
kegelian sampai terkencing dan tentu saja marah besar!
“Perempuan
setan! Umurmu cukup sampai di sini!”
Tidak
pernah Sinto Gendeng disabung kemarahan begini rupa. Sepasang matanya yang
cekung membeliak besar lalu berubah menjadi kebiruan. Nyi Bodong tersentak
kaget. Dia tahu ilmu kesaktian apa yang hendak dikeluarkan si nenek. Dia sadar
tidak bakalan bisa menyelamatkan selembar nyawanya kalau Sinto Gendeng
benar-benar menghantam dirinya dengan ilmu kesaktian itu.
“Nenek
Sinto, ampun Nek. Maafkan diriku! Aku tidak
bermaksud
kurang ajar padamu! Aku mohon diri!”
Glukk…
glukk!
Seruan Nyi
Bodong disusul dengan suara orang meneguk lahap minuman. Lalu, wuusss! Cairan
bau menyengat bertabur ke arah wajah Sinto Gendeng. Pemandangannya tertutup.
Tapi dia tetap nekad melancarkan serangan.
“Perempuan
setan! Kau mau lari ke mana?!”
Dari dua
mata Sinto Gendeng melesat keluar dua larik sinar biru, angker menggidikkan.
Inilah serangan maut yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Dalam hidupnya
jarang sekali si nenek mengeluarkan ilmu kesaktian ini. Ini adalah ilmu kedua
yang tidak pernah diajarkannya kepada Wiro Sableng setelah jurus serangan Naga
Meringkik Menjebol Gunung. Jika sekarang dia menyerang Nyi Bodong dengan ilmu
kesaktian tersebut, jelas bahwa dia benar-benar ingin membunuh perempuan itu!
Namun Nyi Bodong berlaku cerdik, dia mendahului menyerang dan sekaligus
membentengi diri dengan semburan minuman keras. Kalaupun si nenek tetap
melancarkan serangan maka serangan tidak akan mengenai sasaran karena
pandangannya tertutup. Salah-salah malah semburan minuman keras akan menciderai
berat muka si nenek.
“Perempuan
setan! Kau berani mengadu jiwa!” teriak Sinto Gendeng. Nyatanya dua sinar biru
yang berkiblat ganas hanya menghantam udara kosong lalu menghajar pohon besar
di depan sana.
Wusss!
Pohon
besar tenggelam dalam cahaya biru menggidikkan. Asap mengepul. Ketika asap
sirna pohon itu hanya tinggal sosok hangus berwarna biru, lalu perlahanlahan
berderak runtuh menjadi ribuan keping. Kepingankepingan ini kemudian berubah
menjadi debu! Sinto Gendeng berteriak marah ketika dia tidak melihat sosok mayat
Nyi Bodong di antara tebaran debu! Dia berkelebat kian kemari. Namun tetap
tidak menemukan tanda-tanda kematian Nyi Bodong. “Perempuan setan! Benar-benar
setan!”
Baru saja
si nenek memaki, di kejauhan tiba-tiba terdengar suara orang berseru.
“Nenek
Sinto aku mohon maafmu. Aku telah mengambil satu dari lima tusuk konde perak di
kepalamu! Tusuk konde ini akan aku jadikan sebagai tanda mas kawin perkawinanku
dengan muridmu! Sekarang aku tidak sirih lagi ke mana-mana membawa jabang
bayinya Wiro.”
“Setan!”
Sinto Gendeng kembali memaki. Kali ini sambil meraba kepalanya. Ternyata lima
tusuk konde perak yang menancap di kepalanya kini hanya tinggal empat! Si nenek
jadi banting-banting kaki saking marahnya! Lalu terduduk di tanah dengan tubuh
gemetaran.
“Perempuan
setan itu! Apa benar dia Wulan Srindi! Kulitnya berubah. Ilmu kesaktiannya…
Dari mana didapatnya? Membawa enam guci minuman keras. Apa betul dia sudah jadi
murid Dewa Tuak? Hidungku mencium minuman keras yang disemburkannya memang
menyengat. Tapi tidak seharum Tuak Kayangan milik Dewa Tuak! Heran, bagaimana
betina jahanam itu enak saja mengatakan dirinya mengandung jabang bayi Wiro?
Edan! Apa anak setan itu tanpa setahuku memang sudah kawin dengan si centil
keparat itu?! Tertipu kena dirayu perempuan genit itu? Jadi selama ini bukan
Kitab Seribu Pengobatan yang dicarinya. Tapi dia mencari kitab-kitaban di bawah
pusar!” Sinto Gendeng memaki panjang pendek lalu meraba lagi tusuk konde yang
menancap di batok kepalanya. “Sialan! Dia mencuri satu tusuk konde milikku. Aku
harus dapatkan tusuk konde itu kembali! Agaknya aku harus turun gunung mencari
murid setan itu! Aku tak yakin kalau dia kawin begitu saja seperti kawinnya
ayam. Tapi kalau memang perempuan setan itu mengaku sudah dibuntinginya?! Akan
aku patahkan batang lehernya yang di atas dan di bawah! Biar dia tahu rasa!”
Untuk
beberapa lama Sinto Gendeng masih terduduk di tanah. Dia merasa kecewa pada
dirinya sendiri. “Wulan Srindi. Nyi Bodong! Siapapun nama setan perempuan itu!
Anak bau kencing yang baru lahir kemarin! Aku tidak sanggup menghajarnya! Apa
diriku sudah begini rongsokan hingga ilmu silat dan kesaktianku tidak lagi
dapat diandalkan? Melawan anak sinting saja aku tidak mampu!”
Dengan
bersitekan pada tongkat kayu, perlahan-lahan Sinto Gendeng bangkit berdiri.
Namun nenek ini tidak segera tinggalkan tempat itu. Dalam pengaruh amarah yang
luar biasa otaknya masih terus berpikir.
“Kalau
aku pergi ke mana aku harus menuju? Siapa yang akan aku cari lebih dulu?
Mencari anak setan murid keparat itu atau menjejaki setan perempuan tadi. Aku
tahu di mana sarangnya. Dia adalah murid satu perguruan silat di Gunung Lawu.
Apa aku harus mengobrak abrik perguruan itu? Mungkin lebih baik aku mencari
Dewa Tuak lebih dulu untuk minta keterangan lebih jelas? Kakek sialan itu harus
ikut bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi! Lalu bagaimana dengan si
Tua Gila yang telah mencuri dan mengembalikan kitab? Dia tak bakal bisa kabur
jauh. Aku akan segera menemuinya!”
Sinto
Gendeng menatap ke arah bekas pondok kediamannya yang kini telah rata. Wajahnya
yang tak berdaging, hanya tertutup kulit keriput hitam tampak sedih.
“Aku
tidak punya rumah lagi. Mungkin ini satu petunjuk aku harus gentayangan lagi
dalam rimba persilatan. Aku pikirpikir dulu banyak urusan yang masih malang
melintang. Dengan kejadian ini pekerjaanku jadi tambah berat dan banyak. Sial,
mengapa aku harus menghadapi urusan kapiran begini rupa?! Tua bangka bau tanah
begini seharusnya aku hidup tenang menunggu saat kematian!”
Si nenek
ingat sesuatu. Susur yang tadi tersembur dari mulutnya. Susur ini ditemuinya di
tanah. Enak saja, tanpa membersihkan lebih dulu, susur yang kotor bercampur
tanah itu dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dengan mulut terkempot-kempot, dengan
langkah terseok-seok Sinto Gendeng tinggalkan tempat itu. Di satu tempat dia
berhenti. Ingat sesuatu. “Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apa aku harus menemuinya
sebelum pergi?” Si nenek bimbang.
“Eh,
bukankah Kiai meminta aku menyuruh murid setan itu menghadap menemuinya? Aku
tak ingin menggerecoki Kiai. Aahh… agaknya Kiai sudah tahu apa yang telah
terjadi dengan anak setan itu! Jangan-jangan memang benar dia sudah membuntingi
perempuan setan itu!” Si nenek pukulpukul jidatnya sendiri lalu tiba-tiba saja
dia tertawa cekikikan.
“Aku
Sinto Gendeng sudah punya mantu! Bakal punya cucu! Edan! Gelo! Apa rimba
persilatan tidak heboh?! Hik… hik… hik!” Sambil melangkah pergi dia kembali
memukul kening. Di satu tempat dia berkelebat. Dan lenyaplah nenek sakti ini
dari pemandangan.
*******************
9
LEWAT
tengah malam gedung besar kediaman Bendahara Kerajaan tampak masih terang
benderang walau diselimuti kesunyian. Di pintu gerbang ada dua pengawal
berjaga-jaga. Di dalam sebuah kamar besar yang hanya diterangi temaram cahaya
sebuah lampu minyak kecil, Wira Bumi duduk bersila di lantai di atas sehelai
kain putih berbentuk segi tiga, menghadap ke arah matahari terbenam. Ketika dia
baru mulai bersemedi mendadak ada ketukan di pintu kamar. Walau kesal karena
merasa sangat terganggu namun Wira Bumi berdiri juga lalu melangkah membuka
pintu.
Di
hadapannya berdiri seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang bermata
belok. Dia adalah kepala pengawal gedung Bendahara.
“Danang
Kaliwarda, ada apa?”
“Mohon
maaf Raden Mas karena berani mengganggu. Ada seorang tamu menunggu di halaman
belakang. Sebelumnya saya pernah melihat orang itu datang ke sini dan bicara
dengan Raden Mas. Namun kali ini ada keanehan pada dirinya. Seluruh tubuh dan
pakaian mulai dari rambut sampai ke kaki berwarna merah.”
“Dia
menyebut nama?”
“Tidak,
Raden. Dia hanya berkata agar memberi tahu Raden Mas bahwa dia datang untuk
urusan di Gunung Gede.”
Wira Bumi
terdiam sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Padamkan semua lampu di halaman
belakang gedung. Kau tak usah lagi menemui tamu itu. Pergilah berjaga-jaga di
halaman depan.”
Danang
Kaliwarda, kepala pengawal gedung Bendahara memberi hormat lalu cepat-cepat
berlalu. Wira Bumi menunggu beberapa ketika kemudian melangkah cepat menuju
halaman belakang gedung. Ketika dia sampai, halaman belakang sudah berada dalam
keadaan gelap. Satu-satunya penerangan hanyalah saputan cahaya putih dari
langit yang jernih ditaburi bintang. Di pojok tembok halaman belakang sebelah
kanan, dekat sebuah patung besar Dewi Sri, berdiri terbungkuk-bungkuk seorang
lelaki bertubuh tinggi kurus. Tangannya memegangi dada. Nafasnya terdengar
sengal. Wira Bumi segera menghampiri orang ini.
“Eyang
Tuba Sejagat, bukankah aku sudah berpesan tak ada pertemuan kedua di antara
kita di gedung ini? Sesuai perjanjian aku akan menemuimu di satu tempat di tepi
Kali Opak dua hari di muka. Mengapa…”
Wira Bumi
tidak meneruskan ucapannya. Saat itu dia baru menyadari kalau sekujur tubuh
termasuk pakaian orang yang berdiri di hadapannya berwarna merah.
“Eyang,
apa yang terjadi dengan dirimu? Kulit muka, tubuh dan pakaianmu berwarna merah.
Apakah kau telah melaksanakan tugas yang…”
Sang tamu
yang datang di larut malam ke gedung Bendahara Kerajaan itu bukan lain memang
adalah Eyang Tuba Sejagat. Yang beberapa waktu lalu meracuni telaga di puncak
Gunung Gede tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas. Mulutnya terbuka,
batuk-batuk beberapa kali dan ludah bercampur darah meleleh di sudut bibir
sebelah kiri.
“Eyang!
Siapa yang mencelakaimu?!” Wira Bumi pegang bahu kiri kanan Eyang Tuba Sejagat.
“Aku
memang sampai ke puncak Gunung Gede, membunuh dua naga penghuni telaga. Namun
aku tidak berhasil menamatkan riwayat Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dua pembantuku
tewas. Kakek sakti itu malah memasukkan Racun Akar Bumi ke dalam tubuhku. Kau
lihat sendiri, sekujur tubuhku berwarna merah. Aku tak bisa menunggu sampai dua
hari di muka. Itu sebabnya aku terpaksa menemuimu malam ini. Aku akan menemui
seorang tabib untuk minta obat peluntur racun. Obat itu mahal sekali. Aku perlu
biaya. Kalau aku sudah sembuh aku akan melaksanakan tugas berikutnya.
Menghabisi Patih Sawung Giring.”
Eyang
Tuba Sejagat kembali batuk-batuk. Darah kental berbuku-buku berhamburan dari
mulutnya.
“Eyang,
kau tunggu di sini. Aku akan mengambil uang kebutuhan pengobatanmu…” Kata Wira
Bumi. “Aku menunggu. Cepatlah. Aku sudah tidak tahan…”
Wira Bumi
memutar badan, baru berjalan tiga langkah dia berubah pikiran dan kembali
menemui Eyang Tuba Sejagat.
“Ada
apa?” tanya ahli racun berusia lebih enam puluh tahun itu.
“Eyang,
rencanaku berubah.”
“Maksudmu?”
tanya Eyang Tuba Sejagat.
Wira Bumi
tidak menjawab. Namun di dalam gelap tangan kanannya bergerak luar biasa cepat.
Eyang Tuba Sejagat hanya melihat gerakan bahu lalu suara angin berdesir dan,
praakk! Tubuh Eyang Tuba Sejagat tersandar ke tembok halaman belakang, lalu
ambruk tergelimpang di samping patung Dewi Sri. Kepalanya rengkah! Wira Bumi
telah menghajar batok kepala Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan Tangan Roh
Memberi Rahmat yang didapatnya dari Nyai Tumbal Jiwo.
Tanpa
diketahui, seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat itu mendengar semua
pembicaraan dan melihat apa yang terjadi.
**********************
WIRA Bumi
memanggil Danang Kaliwarda. Kepala Pengawal ini diperintahkan untuk membuang
mayat Eyang Tuba Sejagat lalu cepat-cepat masuk ke dalam gedung. Di dalam kamar
yang temaram Wira Bumi kembali duduk bersila di atas kain putih berbentuk segi
tiga. Namun perasaannya kacau, hatinya tidak enak. Dia tidak bisa memusatkan
pikiran untuk mulai bersemedi. Bendahara Kerajaan ini tersentak kaget ketika
dari sudut kamar mendadak ada suara tawa halus disusul ucapan.
“Wira
Bumi, ketika hati sedang gundah dan pikiran sedang kacau yang kau butuhkan
bukanlah semedi. Tapi hiburan…”
Saat itu
pula secara aneh beberapa lampu minyak yang ada dalam kamar menyala hidup
sehingga kamar besar itu menjadi terang benderang. Memandang ke sudut kamar
sebelah, Wira Bumi melihat satu sosok serba merah tegak berdiri sambil
lemparkan senyum ke arahnya.
“Nyai
Tumbal Jiwo!” ucap Wira Bumi dengan suara keras bergetar. Lalu dia bergerak
bangun.
Yang tegak
di sudut kamar besar itu memang adalah Nyai Tumbal Jiwo, guru Wira Bumi dari
alam roh! Seorang nenek berpakaian selempang kain merah, memiliki rambut merah
riap-riapan. Muka keriput, sepasang mata, gigi dan lidah semua berwarna merah!
“Nyai,
kalau kedatanganmu untuk menagih janji, mohon ampun dan maafmu. Aku masih belum
dapat melaksanakan perintah. Nyi Rento Mantili dan puterinya masih belum
ditemukan.”
Si nenek
tertawa lebar mendengar kata-kata Wira Bumi.
“Tanah
Jawa ini sangat luas. Memang tidak mudah mencari dua orang yang barusan kau
katakan itu. Aku tahu kau telah berusaha. Lagi pula kedatanganku kemari belum
untuk menagih janji. Seperti kataku tadi, kau butuh hiburan!”
Air muka
Wira Bumi mengelam merah. Jantungnya berdebar. Tengkuknya langsung dingin. Dia
tahu apa yang dimaksudkan nenek muka merah itu dengan kata hiburan. Selesai
berucap nenek dari alam roh ini berjalan ke arah ranjang besar. Sambil
melangkah dia gerakkan bahu dan pinggul. Pakaiannya yang berupa selempang kain
merah jatuh ke lantai. Dalam keadaan tubuh bugil si nenek naik ke atas ranjang.
Begitu dia merebahkan diri di atas tempat tidur, maka wajah dan sosok si nenek
berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita berkulit mulus. Hanya saja
payudaranya sebelah kiri kelihatan menggembung sangat besar dibanding dengan
yang sebelah kanan. Ini adalah akibat dari perkelahiannya dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Secara tak sengaja sentuhan tangan kakek sakti dari Gunung Gede itu
telah membuat bengkak payudara sebelah kiri si nenek.
“Wira,
aku sangat rindu akan kehangatan tubuhmu. Apakah malam ini sampai menjelang
pagi kita bisa saling melayani?”
Ini
adalah kali ke dua Nyai Tumbal Jiwo merubah ujud dirinya. Kali pertama terjadi
sewaktu Wira Bumi hendak meninggalkan Goa Girijati. Wira Bumi tak kuasa untuk
menolak karena gelora nafsu membakar dirinya. Sekarang kejadian itu agaknya
akan terulang lagi. Tubuh Wira Bumi memanas. Ketika Nyai Tumbal Jiwo pejamkan
mata dan ulurkan lidahnya yang basah merah, lelaki ini tak tahan lagi. Dia
segera pula menanggalkan seluruh pakaian lalu naik ke atas ranjang, masuk ke
dalam peluk rangkul dua tangan dan dua kaki si nenek yang telah berubah ujud
menjadi perempuan cantik jelita.
**********************
HARI
masih gelap namun lapat-lapat di kejauhan terdengar kokok ayam. Nyai Tumbal
Jiwo yang terbaring di atas tubuh Wira Bumi menggeliat. Mulutnya berbisik.
“Pagi segera datang. Aku harus segera kembali ke pekuburan.
Malam ini
kau hebat sekali Wira. Aku sudah menyiapkan satu hadiah untukmu…”
“Nyai,
kau tak usah melakukan hal itu. Kau tak perlu memberikan apa-apa pada saya,”
kata Wira Bumi pula sambil tangannya melingkar di atas punggung Nyai Tumbal
Jiwo. “Kau sudah memberi banyak pada saya. Ilmu kesaktian. Jabatan kedudukan.
Harta…”
Si nenek
yang masih dalam ujud perempuan muda cantik jelita tersenyum. “Hadiah yang aku
berikan padamu bukan berupa barang atau benda berharga. Tapi seorang anak
manusia yang aku totok dan jepit di antara pohon bambu di luar tembok gedung
sebelah selatan.”
“Siapa?”
tanya Wira Bumi terkejut.
“Kau
lihat saja nanti. Kau bisa menanyai orang itu.
Mengorek
keterangan. Setelah itu kau harus mengorek jantungnya. Kau mengerti…?”
Wira Bumi
mengangguk. Si nenek perlahan-lahan turun dari atas ranjang, mengambil
pakaiannya. Lalu masih dalam keadaan bugil dia membuka jendela dan melesat
lenyap keluar kamar. Wira Bumi mencoba bangun. Namun sekujur tubuhnya terasa
sangat letih. Dia terbaring kembali. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia
ingat keterangan Nyai Tumbal Jiwo tentang seorang yang ditotok dan dijepit di
antara pohon bambu. Serta merta Wira Bumi turun dari ranjang, kenakan pakaian
lalu pergi ke bagian selatan tembok gedung.
Di
kawasan itu memang banyak tumbuh pohon-pohon bambu mulai dari yang kecil sampai
yang besar dan tinggi. Di salah satu rumpunan pohon bambu, dia melihat sesosok
tubuh dalam keadaan tak bergerak, terjepit di antara empat batang bambu besar.
Walau sebelumnya dia menyangka yang ada di tempat itu adalah Nyi Retno Mantili,
meski kecewa namun ketika didekati tetap saja membuat Wira Bumi terkejut. Walau
keadaan masih gelap dia masih bisa mengenali siapa adanya orang itu.
“Djaka
Tua!” katanya setengah berseru. Wira Bumi lepaskan totokan di tubuh bekas
pembantunya sewaktu dia masih menjabat sebagai tumenggung dulu. Namun dia tetap
membiarkan lelaki berusia lima puluh tahun itu terjepit di antara empat batang
bambu besar. Satu hal atau perubahan yang segera dilihat Wira Bumi atas diri
Djaka Tua adalah bahwa lelaki itu tidak lagi memiliki punuk di punggungnya.
Wira Bumi usap punggung Djaka Tua. “Agaknya banyak kejadian luar biasa yang
telah kau alami.”
Djaka Tua
tidak menjawab hanya sepasang matanya memperhatikan dengan perasaan takut.
“Kau
menculik puteriku, mencuri golok besar milikku. Kau tidak melaksanakan tugas
yang kuperintahkan! Pantas sekali kalau saat ini kau kuhabisi! Manusia keparat
tidak tahu menerima budi!” Wira Bumi hantamkan satu jotosan ke muka Djaka Tua.
Walau pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam namun tetap saja hidung dan
bibir Djaka Tua luka berdarah.
“Tumenggung…”
Djaka Tua mengira kalau bekas majikannya itu masih menjabat sebagai tumenggung.
“Saya mohon kasihanmu. Ampuni selembar jiwa saya. Saya memang tidak sanggup,
tidak tega membunuh bayi tak berdosa itu. Saya…”
Wira Bumi
jambak rambut Djaka Tua. “Jangan menyebut segala macam dosa! Kau bawa ke mana
bayi itu? Di mana puteriku sekarang?!” bentak Wira Bumi.
“Ampun
Tumenggung. Malam itu ketika saya berada dalam sebuah goa tiba-tiba muncul
seorang kakek tinggi putih. Dia memaksa agar saya menyerahkan bayi. Saya tidak
berdaya… Bayi saya serahkan…”
“Kau tahu
siapa adanya kakek itu?”
Djaka Tua
menggeleng. Wira Bumi hantamkan lagi satu jotosan ke muka lelaki ini. Djaka Tua
meratap kesakitan.
“Di mana
kau sembunyikan golok besar yang seharusnya kau pergunakan untuk menghabisi
bayi dan istriku?!”
“Saya…
Golok itu juga diminta oleh kakek tinggi putih. Saya…”
“Kau tahu
di mana beradanya puteriku dan Nyi Retno Mantili?”
“Tidak,
saya tidak tahu. Saya…”
“Apakah
kakek tinggi putih itu yang melenyapkan punuk di punggungmu?”
“Betul
Tumenggung, dia…”
“Jabatanku
sekarang adalah bendahara kerajaan! Bukan tumenggung lagi!” hardik Wira Bumi.
“Ampun
Raden… Ampun tum… Bendahara kerajaan…”
“Keparat!
Tutup mulutmu untuk selama-lamanya!”
Tangan
kanan Wira Bumi melesat ke leher Djaka Tua. Lidah pembantu ini sampai terjulur
dan sepasang matanya mendelik. Sesaat lagi tulang leher itu akan remuk dan
nyawa Djaka Tua siap putus tiba-tiba terdengar seruan. “Kemuning! Ada orang
jahat mau membunuh orang tak berdaya. Menurutmu apakah kita pantas menolong?!”
Menyusul
terdengar suara tawa cekikikan. Lalu dua larik sinar putih berkiblat.
Buummm!
Buummmm!
Dua
letusan menggelegar.
Tanah di
akar rerumpunan bambu terbongkar. Batangbatang bambu berlesatan ke udara. Saat
itu pula ada kabut aneh muncul menutupi pemandangan. Dalam kejutnya Wira Bumi
menerjang ke depan. Namun dia tidak menemukan siapa pelaku yang melepaskan dua
pukulan sakti tadi. Bendahara kerajaan ini terbeliak besar ketika dapatkan
Djaka Tua tak ada lagi di tempat itu!
“Kurang
ajar! Ada orang pandai menolong pembantu keparat itu! Aku mendengar suara dan
tawa perempuan! Dia menyebut nama Kemuning! Siapa itu?!”
“Raden
Mas, saya mendengar suara letusan. Apa yang terjadi di sini?” Satu suara
bertanya. Yang muncul adalah Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung kediaman
Bendahara Kerajaan.
“Memangnya
kau melihat apa?” balik bertanya Wira Bumi. “Tidak ada terjadi apa-apa di sini.
Kau bermimpi.
Pergilah…”
Wira Bumi tinggalkan kepala pengawal yang kelihatan terheran-heran itu.
Namun
begitu sang bendahara melangkah pergi lelaki ini geleng-geleng kepala. “Banyak
keanehan kulihat di sekitar Raden Mas Wira Bumi malam ini…” ucapnya perlahan.
**********************
DJAKA Tua
lari terseret-seret. Dia berusaha melihat wajah perempuan bertubuh kecil yang
menarik lengannya. Tapi tak berhasil. Dia hanya bisa melihat bagian belakang
orang. Pakaian kusut dekil, rambut hitam tergerai lepas serta sebuah boneka
kayu lucu terselip di bedongan kain pada bagian punggung. Boneka kayu itu
seperti tertawa menatap ke arahnya.
“Hai!
Siapa kau?! Lepaskan tanganku! Kau mau membawa aku ke mana?! Berhenti! Aku tak
bisa lari secepat ini!” Djaka Tua berteriak tiada henti.
“Diam!
Keadaan belum aman! Apa kau mau mati dibunuh orang tadi?!”
“Hai!”
Djaka Tua seperti mengenali suara itu. Dia hendak bertanya tapi tangannya
dibetot orang. Membuat Djaka Tua terpaksa lari lebih cepat padahal nafasnya
terasa mau putus. Di satu rimba belantara perempuan bertubuh kecil lepaskan
pegangannya. Djaka Tua langsung jatuh tersungkur di tanah. Nafas megap-megap.
Muka yang bengap dan luka dihajar Wira Bumi kini berkelukuran digaruk tanah.
“Sekarang
sudah aman! Kau mau bicara, malah berteriak boleh saja!”
Djaka Tua
berdiri lalu balikkan badan. Ketika pandangannya membentur wajah orang, lelaki
ini langsung berteriak.
“Gusti
Allah! Nyi Retno! Kau rupanya!” Djaka Tua jatuhkan diri berlutut lalu
menggerung keras. “Manusia aneh. Diajak bicara malah mewek! Anakku saja
sekarang tak pernah menangis lagi! Kemuning, lihat tua bangka cengeng itu! Lucu
ya? Hik… hik… hik!”
“Nyi
Retno, apa kau tidak mengenali diriku?!”
Orang
yang diajak bicara menggeleng. “Kemuning, apa kau kenal orang ini?” Perempuan
bertubuh kecil yang memang Nyi Retno Mantili adanya gerak-gerakkan kepala
boneka kayu boneka ini kelihatan seperti menggelenggeleng.
“Nyi
Rento, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau berkeadaan seperti ini. Saya
menyesal telah melarikan bayimu! Saya tidak tega, saya tidak sanggup membunuh
anak itu…”
“Hai! Kau
bicara apa? Siapa yang kau sebut Nyi Retno itu? Bayi siapa yang hendak kau
bunuh? Aku tidak pernah kehilangan bayi. Lihat ini anakku. Namanya Kemuning.”
Djaka Tua
jadi terpana heran. Untuk beberapa lamanya dia tak bisa berkata-kata hanya
menatap dengan pandangan sedih. Dalam hati bekas pembantu Nyi Retno ini
berkata, “Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Nyi Retno?
Dia
seperti tidak waras. Dia tidak mengenal diriku. Dia bahkan tidak tahu namanya
sendiri. Boneka dikatakannya anaknya.”
“Hai! Kau
ini siapa? Bicaramu tadi mengapa tak karuan begitu rupa?”
“Nyi
Retno, saya ini Djaka Tua, pembantumu di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi…”
“Wira
Bumi. Tumenggung… siapa itu? Aku tidak kenal.”
“Ya
Tuhan, perempuan ini benar-benar telah kehilangan ingatan.” Djaka Tua menelan
ludahnya berulang kali. “Nyi Retno, Wira Bumi adalah orang yang tadi hendak
membunuhku…”
“Oh itu.
Mengapa dia mau membunuhmu?”
“Karena
saya melarikan bayimu. Saya dituduh menculik. Padahal saya menyelamatkan bayi
itu. Tumenggung memerintahkan saya membunuh bayimu. Juga membunuh Nyi Retno sendiri.”
“Hik…
hik… hik! Lucu juga ceritamu…”
“Nyi
Retno, kau sungguh tidak mengenal diriku? Tidak mengenal Wira Bumi yang suamimu
itu. Kau tidak ingat masa lalumu?!”
“Ihh!
Enak saja kau menyebut Wira Bumi suamiku! Jangan bicara ngacok!” Nyi Retno lalu
angkat tinggi-tinggi boneka kayu yang dibawanya. “Anakku Kemuning, apa ayahmu
bernama Wira Bumi?” Nyi Retno lalu goyanggoyangkan kepala boneka. “Kau lihat
sendiri. Anakku
menggelengkan
kepala. Dia tidak pernah punya ayah bernama Wira Bumi!”
Djaka Tua
tepuk keningnya sendiri. Pembantu ini hampir putus asa. Tak tahu mau bicara apa
lagi. Dia menatap boneka kayu di tangan Nyi Retno. “Anakmu itu cantik dan lucu
sekali. Namanya Kemuning?” Nyi Retno tertawa lalu anggukkan kepala.
“Ah,
agaknya aku harus bicara menurut perasaan hati dan nalurinya. Kalau tidak tak
akan menyambung,” kata Djaka Tua dalam hati. “Den Ayu, berapa umur anakmu?”
“Satu
tahun lebih. Apa kau sudah punya anak?”
Djaka tua
menggeleng. “Aku belum pernah kawin.” jawabnya polos.
Nyi Retno
tertawa gelak-gelak. “Sudah setua ini belum kawin. Apa kau takut kawin atau
tidak ada perempuan yang kau suka?”
“Dulu ada
cacat berupa punuk di punggungku. Belum lama ini ada seorang sakti
menyembuhkan. Bayi Den Ayu saya serahkan padanya. Katanya dia akan menjaga dan
merawat baik-baik…”
“Aku tak
pernah kehilangan bayi. Lihat, anakku Kemuning masih ada di sini!” kata Nyi
Retno sambil senyum dan dekapkan boneka kayu ke dadanya. “Hai, tadi kau cerita
tentang punuk di punggungmu. Ah, punuk itu rupanya yang membuatmu sial. Padahal
kawin tidak perlu pakai punuk! Hik… hik… hik.” Habis tertawa Nyi Retno
bertanya. “Apa tempat kau hendak dibunuh tadi itu terletak di kotaraja?”
“Betul
sekali Nyi Ret… eh Den Ayu. Apa Den Ayu tidak ingat lagi pada gedung besar
kediaman Den Ayu sewaktu menjadi… maksud saya sewaktu tinggal di gedung
Tumenggung?”
Nyi Retno
Mantili gelengkan kepala. Dia tampak berpikir-pikir lalu bertanya. “Bagaimana
kau bisa berada dalam keadaan ditotok dan terjepit pohon bambu?”
“Seorang
nenek bernama Nyai Tumbal Jiwo menangkapku. Aku ditotok, dibawa ke kotaraja.
Dijepit di pohon bambu di belakang gedung kediaman Wira Bumi. Nenek itu adalah
guru Wira Bumi.”
“Kau
berbuat dosa apa sampai orang memperlakukanmu seperti itu.”
“Saya
sudah menceritakan tadi. Saya dituduh menculik dan menyelamatkan bayi. Padahal
saya diperintahkan untuk membunuh bayi itu.”
“Kemuning,
nasibmu jauh lebih baik. Tidak ada orang yang ingin menculikmu. Apalagi mau
membunuhmu. Nah, nak. Sebentar lagi hari akan segera siang. Baiknya kita pergi
dari sini.”
“Nyi… Den
Ayu, tunggu. Kau mau ke mana?”
“Aku mau
membawa anakku jalan-jalan. Udara pagi sangat baik bagi anak-anak.”
“Den Ayu,
kalau boleh, saya mau ikut ke mana kau pergi.”
“Hemm…
Aku curiga ada niat jahat dalam benakmu!”
“Demi
Tuhan! Saya bersumpah tidak ada niat jahat di benak dan hati saya. Kalau boleh
saya bersedia menjadi pengasuh Kemuning.”
“Siapa
namamu?”
“Djaka
Tua. Saya…”
“Djaka
Tua, aku tidak mau ketentraman diriku dan anakku terganggu orang lain. Pergi ke
mana kau suka. Jangan berani mengikutiku.” Habis berkata begitu Nyi Retno
Mantili melangkah pergi. Gerakan kakinya perlahan saja. Namun hanya dua kali
kejapan mata sosoknya lenyap dari pemandangan.
Djaka Tua
menghela nafas panjang. Hatinya sedih dan kecewa. “Dia menyelamatkan diriku
dari kematian di tangan Wira Bumi. Aku sampai tidak sempat mengucapkan terima
kasih. Tapi sedihnya dia tidak mengenali diriku. Tidak mengenali suaminya
sendiri. Dulu dia seorang perempuan halus. Kini memiliki kesaktian luar biasa.
Otaknya tidak waras. Sangat berbahaya seorang berotak miring memiliki kesaktian
hebat. Dia senang kalau diajak bicara tentang anaknya. Mungkin satu-satunya
cara menyembuhkan penyakit jiwanya adalah dengan mempertemukan dirinya dengan
bayinya yang hilang itu. Tapi di mana aku bisa menemukan lagi kakek serba putih
di goa tempo hari itu?” Tanpa tujuan akhirnya Djaka Tua tinggalkan hutan kecil
di pinggiran timur kotaraja itu.
Ketika
sang surya akhirnya muncul di timur, Djaka Tua telah jauh dari kotaraja. Di
satu jalan setapak, langkah bekas pembantu di gedung kediaman Tumenggung Wira
Bumi ini mendadak terhenti. Di depan sana dilihatnya Nyi Retno Mantili duduk di
atas sebuah batu, asyik bermainmain dengan boneka kayu yang dianggapnya sebagai
anak sendiri dan diberi nama Kemuning. Djaka Tua hentikan langkahnya lalu duduk
di tanah, tak berapa jauh dari Nyi Retno. Setelah menunggu cukup lama akhirnya
Nyi Retno memalingkan kepala, memandang kepadanya.
“Manusia
bernama Djaka Tua! Mengapa kau muncul di sini. Rupanya kau sengaja mengikuti
diriku dan Kemuning!”
“Maaf Den
Ayu, hanya satu kebetulan saja saya menempuh jalan ini. Saya tidak tahu kalau
Den Ayu dan Kemuning ada di sini. Kalau Den Ayu tidak suka kehadiran saya,
mohon maaf. Baiknya saya pergi saja.”
Nyi Retno
Mantili memandang ke langit. Tanpa berpaling pada Djaka Tua dia bertanya, “Kau
sungguhan mau mengasuh Kemuning?”
“Apakah…”
Nyi Retno
tersenyum. Dia ulurkan boneka kayu pada Djaka Tua yang segera disambut dan
digendong oleh Djaka Tua seperti menggendong anak sungguhan.
“Ah, anak
itu tidak menangis. Berarti dia suka padamu.” Kata Nyi Retno pula.
“Syukurlah
Kemuning senang pada saya,” kata Djaka Tua pula.
“Jaga dia
baik-baik. Kalau sampai kenapa-kenapa kubuat benjut kepalamu!”
“Nyi
Retno tak perlu khawatir. Saya akan menjaga Kemuning seperti anak sendiri.”
“Kau
bilang belum pernah punya istri. Berarti tidak pernah punya anak. Sekarang
bagaimana kau bisa berkata mau merawat Kemuning seperti anakmu sendiri? Hik…
hik…”
Djaka Tua
tertawa. Dia merasa senang. Meski tidak waras ternyata Nyi Retno masih bisa
berseloroh.
“Nyi
Retno…”
“Djaka
Tua, kau terus-terusan memanggilku Nyi Retno. Aku tidak suka nama itu! Lagi
pula namaku bukan Nyi Retno!”
“Maafkan
saya Nyi… Den Ayu…” kata Djaka Tua perlahan. Hati pembantu ini sedih sekali.
Kalau saja dia bisa melakukan sesuatu untuk menyembuhkan penyakit jiwa
majikannya itu, pasti akan dilakukannya sekalipun dia diminta untuk
mengorbankan nyawa.
“Matahari
mulai menyengat. Tudungi Kemuning dengan kain ini. Aku mendengar ada suara kuda
dipacu. Mungkin orang-orang dari gedung di kotaraja itu. Kita harus segera
menyingkir dari sini. Ayo!”
*******************
10
PUNCAK
Gunung Merapi, malam gelap tanpa rembulan tiada bintang. Angin bertiup kencang
dan dingin dari arah selatan. Lapat-lapat terdengar raungan srigala hutan di
kejauhan lalu kesunyian kembali mencekam.
Namun
tidak lama. Tiba-tiba ada suara gemuruh. Entah dari mana datangnya sebuah
gundukan batu besar menggelinding di lereng gunung sebelah barat. Merambas
semak belukar, menumbangkan beberapa pohon besar dan akhirnya amblas masuk ke
dalam satu kali kecil berair dangkal.
Ketika
batu besar menggelinding, seorang berjubah kelabu berkelebat di udara. Sesekali
orang ini jejakkan kakinya di batu yang menggelinding. Tubuh melesat ke udara.
Setiap kali turun dia kembali jejakkan kaki di batu besar. Begitu seterusnya
sampai batu besar hitam itu masuk dan berhenti menggelinding di sebuah kali
kecil.
Di atas
batu orang tadi berdiri tegak. Kepala mendongak langit. Mata mendelik besar.
Dua kaki direnggangkan. Dua tangan diangkat tinggi-tiggi ke udara. Telapak
tangan terbuka, lima jari kiri kanan terpentang rapat dan lurus. Dari mulutnya
kemudian menggelegar teriakan keras.
“Guru Si
Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku muridmu Pangeran Matahari. Pangeran
Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Pesan
melalui mimpi sudah aku laksanakan! Saat ini aku sudah berdiri di atas batu
perut bumi Gunung Merapi. Saat ini juga aku akan segera melakukan tapa Aras
Langit Aras Bumi! Aku mohon pada malam Jum’at Kliwon mendatang rohmu sudi
datang untuk memberi petunjuk! Banyak manusia jahanam di muka bumi ini yang
telah mencelakai dan menyengsarakan diriku! Aku ingin pembalasan! Aku ingin
petunjuk dan bantuan dari Guru!”
Sunyi.
Lalu di kejauhan kembali terdengar srigala hutan meraung panjang. Lelaki tinggi
besar berjubah kelabu hantamkan tumit kaki kanannya dua kali berturut-turut ke
atas permukaan batu.
Dess!
Desss!
Batu
besar hitam meledak membentuk cegukan. Perlahan-lahan Pangeran Matahari
rendahkan tubuh lalu duduk bersila di dalam cegukan batu. Dua lengan disilang
di depan dada. Masing-masing tangan ditumpangkan di atas bahu kiri kanan.
Kepala yang mendongak perlahanlahan diturunkan dan bersamaan dengan itu
sepasang mata dipejamkan.
**********************
MALAM
Jum’at Kliwon. Udara di Puncak Gunung Merapi dingin bukan kepalang. Apalagi
hujan gerimis mulai turun dan tiupan angin sangat kencang. Ketika malam sampai
di pertengahannya, di kejauhan terdengar raungan panjang srigala hutan.
Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari yang duduk bertapa di atas cegukan
batu besar yang setengah tenggelam dalam kali kecil kelihatan bergetar. Tubuh
itu menggigil seperti diselimuti es. Rahang sang Pangeran menggembung. Geraham
bergemeletakan. Dari mulut dan hidung mengepul keluar asap kemerahan!
Cukup
lama berada dalam keadaan seperti itu, dari arah langit sebelah timur muncul
sebentuk kabut aneh, berputar melayang ke arah kali kecil. Bersamaan dengan itu
muncul dua mata membersitkan cahaya biru. Seekor srigala coklat berdiri di
pinggiran kali, lalu duduk di kedua kaki belakangnya, menatap ke arah batu
besar di tengah kali.
Getaran
tubuh Pengeran Matahari semakin keras. Batu besar di mana dia duduk ikut
bergoyang. Kabut aneh di atas kali bertambah dekat, lalu mengapung diam sejarak
tujuh langkah dari hadapan batu besar. Saat demi saat kabut ini berubah
membentuk sosok samar manusia.
Sedikit
demi sedikit sosok samar ini bertambah jelas dan akhirnya menampilkan ujud
seorang kakek bungkuk, berpakaian rombeng, memiliki rambut putih sepunggung.
Yang
menggidikkan dari manusia ini adalah mukanya yang sangat pucat dihias sepasang
mata besar cekung dan mulut pencong perot. Manusia dari alam roh ini bukan lain
adalah ujud jejadian dari Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran
Matahari yang menemui ajal sewaktu terjadi pertempuran hebat antara para tokoh
silat golongan hitam melawan golongan putih di Pantai Pangandaran. Si Muka
Bangkai tewas di tangan pendekar gendut yang dalam rimba persilatan tanah Jawa
dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti (Baca serial Wiro Sableng berjudul
“Kiamat Di Pangandaran”).
Si Muka
Bangkai menatap ke arah Pangeran Matahari yang bersila di atas batu, berpaling
pada srigala yang duduk di tepi kali lalu, klik! Dia jentikkan ibu jari dan
jari tengah tangan kanan.
“Pergilah!
Aku berterima kasih kau telah menuntunku ke tempat ini!”
Srigala
coklat tinggikan kepala, meraung panjang lalu tinggalkan tempat itu. Si Muka
Bangkai memandang kembali ke arah muridnya.
“Pangeran
Matahari! Aku datang sesuai perjanjian dalam mimpi. Rohku cukup susah
mencarimu. Wajahmu tertutup topeng setan bersambung rambut palsu warna kelabu.
Pakaianmu tidak lagi berwarna hitam tapi sehelai jubah abu-abu! Untung ada
makhluk bernama srigala itu menuntunku ke sini. Mana mantel hitammu?! Apa yang
terjadi dengan dirimu?! Aku ragu, apakah aku benar-benar berhadapan dengan
Pangeran Matahari putera Raja Surokerto dari istri ke tiga bernama Raden Ayu
Siti Hinggil?”
Mendengar
suara sang guru, getaran di tubuh Pangeran Matahari lenyap. Sepasang matanya
yang selama tujuh hari tujuh malam selalu terpejam, perlahan-lahan terbuka.
Lalu dia turunkan dua tangan yang bersilang di bahu.
“Guru!”
Pangeran Matahari berseru lalu berdiri dan membungkuk dalam-dalam. “Aku adalah
muridmu, Pangeran Matahari. Aku mohon maafmu. Kesengsaraan telah membuat diriku
kehilangan banyak hal dan terpaksa berprilaku aneh…” Habis berkata begitu
Pangeran Matahari buka topeng tipis yang membungkus kepala dan rambutnya,
menanggalkan jubah abu-abu hingga kini dia berdiri di atas batu hanya
mengenakan secarik kancut hitam.
Si Muka
Bangkai perhatikan wajah asli dan tubuh muridnya dengan sepasang mata cekung
tak berkesip. Kulit mukanya tampak semakin pucat. Memandang wajah sang murid
yang cacat membuat dia mengernyit. Dia juga melihat ada bekas cidera pada
lengan kiri sang Pangeran. Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng “Kiamat
Di Pangandaran” terjadi perkelahian hebat antara Pangeran Matahari dengan Wiro.
Keduanya jatuh ke dalam jurang.
Pada saat
melayang jatuh Wiro sempat menghajar lawan dengan pukulan berantai. Hidung dan
mulut Pangeran Matahari hancur. Pipi kiri remuk, mata kiri luka parah melesak
ke dalam. Pangeran Matahari jatuh ke dalam jurang yang kemudian diselamatkan
oleh seorang sakti penghuni Jurang Teluk Pananjung bernama Singo Abang. Wiro
sendiri ditolong oleh Dewa Tuak.
“Melihat
mukamu yang hancur-hancuran begini rupa, tidak heran kalau kau benar-benar
menginginkan kematian Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek keparat bernama
Sinto Gendeng itu!”
“Guru,
penderitaanku lebih dari sebuah dendam.”
“Aku
mengerti. Aku melihat cacat di lengan kirimu. Ada bekas sambungan pada tulang
dan daging. Siapa yang punya pekerjaan?”
“Panjang
kisahnya. Apakah Guru mau mendengarkan?”
“Bicaralah.
Kalau perlu sampai pagi. Yang penting kau telah menyelesaikan tapa Aras Langit
Aras Bumi.” jawab Si Muka Bangkai sambil sunggingkan senyum di mulutnya yang
perot. Sampai saat itu sosoknya berdiri mengapung di udara di atas kali kecil.
Pangeran
Matahari memulai ceritanya dari rencana menguasai rimba persilatan tanah Jawa
dengan pendirian Partai Bendera Darah yang berpusat di 113 Lorong Kematian.
Rencana itu sekaligus untuk mengatur jebakan maut bagi musuh bebuyutannya yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun rencana itu menemui kegegalan bahkan bukit
batu di mana 113 Lorong Kematian berada kemudian diruntuh-musnahkan oleh Bunga,
gadis sakti dari alam roh.
“Sebelum
113 Lorong Kematian musnah, aku bertemu dengan seorang pemuda yang muka dan
sekujur tubuhnya berwarna kuning. Dia adalah salah seorang kawan Pendekar 212
yang ikut menyerbu ke dalam lorong. Aku menyirap kabar kalau manusia satu ini
makhluk dari alam lain yang terpesat ke bumi. Saat kutemui dia berada dalam
keadaan tidak berdaya di tepi telaga. Ketika hendak kuhabisi muncul makhluk perempuan
berbentuk bayangan menolong. Aku tak berdaya menghadapinya. Dia berhasil
membawa lari pemuda berkulit kuning itu. Saat itu aku merasa putus asa. Aku
merasa seperti tidak punya kesaktian apa-apa lagi. Menghadapi makhluk bayangan
itu saja aku tidak punya kemampuan. Aku khawatir semua ilmu kesaktian yang aku
dapat dari Guru telah ikut musnah…”
“Tidak,
semua ilmu yang aku berikan padamu masih ada dalam dirimu. Hanya ilmu sedotan
yang kau dapat selama dalam lorong telah terkuras musnah.” kata Si Muka Bangkai
pula.
“Guru,
aku mohon petunjukmu, siapa gerangan adanya makhluk bayangan itu. Bagaimana
caranya aku bisa mengalahkannya. Aku punya firasat akan menemuinya kembali.”
Si Muka
Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada. Tubuh doyong membungkuk ke depan. Mata
dipejam. Sesaat kemudian dia luruskan badan dan buka dua matanya yang cekung.
“Makhluk
perempuan berbentuk bayangan itu memiliki tabir aneh yang hanya sedikit sekali
bisa kutembus.
Mungkin
dia punya hubungan dekat dengan pemuda berkulit kuning itu. Aku punya dugaan
mereka sama-sama datang dari alam lain yang terpisah beratus-ratus tahun dari
alammu sekarang. Namun antara keduanya terdapat perbedaan. Mungkin sekali
perempuan bayangan itu telah mengalami kematian di alamnya…”
“Berarti
dia adalah makhluk alam roh seperti Guru. Juga seperti Bunga gadis jahanam
menghancurkan lorong. Karena sama-sama berada di alam roh, bukankah mudah saja
bagimu untuk menghabisi kedua perempuan itu?” Si Muka Bangkai menyeringai.
“Alam roh
berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Mungkin lebih dari seratus tingkat. Tidak
mudah masuk ke lapisan atau tingkatan lain. Tapi jika mereka gentayangan di
muka bumi ini, tidak mustahil aku bisa menemui dan melabraknya. Akan aku
bereskan mereka satu persatu.
Makhluk
perempuan bayangan itu akan aku selesaikan lebih dulu karena aku melihat dia
yang paling berbahaya bagi masa depanmu ketimbang Wiro Sableng!”
“Terima
kasih, tidak sia-sia aku punya guru sepertimu.” ucap Pangeran Matahari memuji
yang disambut dengan tawa mengekeh oleh Si Muka Bangkai. Kakek ini tahu kalau
kata-kata muridnya itu hanya basa basi kecerdikan belaka. “Pangeran, hanya
itukah yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Banyak,
masih banyak hal lainnya,” jawab Pangeran Matahari. “Semasa Guru hidup dulu,
apakah Guru pernah mendengar riwayat sebuah kitab sakti Kitab Seribu
Pengobatan? Ada kabar bahwa kitab itu dicuri orang. Kalau Guru bisa membantu memberi
tahu di mana beradanya, aku sangat menginginkan kitab itu.”
Kembali
Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada lalu picingkan mata. “Aku
melihat bayangan samar di satu tempat. Ada keperluan apa kau menginginkan kitab
itu?”
“Maaf
Guru, aku tidak mungkin mengatakan mengapa aku menginginkan kitab itu.”
“Kalau
begitu aku juga tidak mungkin memberi tahu di mana beradanya kitab itu.” kata
Si Muka Bangkai pula dengan senyum sinis di wajah.
Pangeran
Matahari terdiam. Hatinya jengkel. Diam-diam dia memaki dalam hati. Namun dia
tidak bisa berbuat lain.
Maka
diapun memberi penuturan. “Sewaktu menyelamatkan diri dari lorong, di satu
tempat tak terduga aku memergoki Bidadari Angin Timur. Kelihatannya dia sedang
kacau pikiran karena ketika kutemui dia dalam keadaan menangis. Aku pergunakan
kesempatan. Setelah kutotok aku siap untuk memperkosanya. Tapi nasib sial
menimpaku. Ada manusia keparat memberi pertolongan.
Dia
membokongku dengan satu pukulan sakti berupa sinar merah. Serangan itu nyaris
membabat putus batang kemaluanku. Aku pergi menemui seorang ahli pengobatan
bernama Ki Tambakpati. Dia bisa menyambung kembali kemaluanku yang putus namun
memberi tahu bahwa sebagai laki-laki aku akan kehilangan kejantananku. Satu
satunya penyembuhan yang bisa dilakukan adalah dengan mendapatkan Kitab Seribu
Pengobatan. Guru, aku inginkan kitab itu. Aku juga ingin tahu siapa bangsatnya
yang telah mencelakaiku!”
Si Muka
Bangkai menyeringai. Mata kembali dipejamkan. Sesaat kemudian kakek bermuka
pucat seperti mayat ini berkata, “Agaknya yang mencelakaimu adalah orang dari
alam yang sama dengan perempuan bayangan itu. Bedanya di dalam alamnya orang
ini masih hidup. Dia memiliki satu keanehan. Sulit bagiku untuk melihat jelas
karena dia punya dinding penyekat terhadap alam roh di mana aku berada. Kelak
jika aku bisa menemukan perempuan bayangan, manusia satu itu akan bisa juga aku
ketahui siapa dia adanya.”
“Lalu
tentang Kitab Seribu Pengobatan?” tanya Pangeran Matahari pula.
Masih
dalam memejamkan mata dan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Si Muka
Bangkai menjawab, “Penglihatan samarku menyatakan kitab itu ada di puncak
Gunung Gede. Terpendam di lantai tanah pondok kediaman Sinto Gendeng. Pondok
itu ini tampak sama rata dengan tanah. Sesuatu telah terjadi di sana. Jika kau
menginginkan kitab itu cepat pergi ke sana karena dalam waktu singkat berita
tentang keberadaan kitab itu di bekas tempat kediaman Sinto Gendeng akan bocor
ke mana-mana. Aku melihat, selain dirimu ada beberapa orang lain yang
menginginkan kitab itu.”
“Guru
adalah aneh,” ucap Pangeran Matahari pula.
“Sinto
Gendeng dan Wiro Sableng menyatakan kitab itu lenyap dicuri orang. Bagaimana
sekarang ternyata masih ada di tempat kediaman Sinto Gendeng?”
“Bisa
saja kedua orang itu menebar berita bohong dengan maksud mengelabuhi. Biar
nyata kau harus pergi ke Gunung Gede, menyelidiki dan dapatkan kitab itu.”
“Akan aku
lakukan, Guru.” jawab Pangeran Matahari.
“Pangeran,
di alam roh aku menyirap banyak terjadi peristiwa perkosaan disertai pembunuhan
belakangan ini. Konon pelakunya disebut dengan nama Hantu Pemerkosa. Berat
dugaanku orang itu adalah kau. Benar?!” Si kakek pencongkan mulut dan delikkan
mata.
Pangeran
Matahari tertawa lebar. “Aku hanya ingin menguji bahwa Ki Tambakpati tidak
menipuku.”
“Maksudmu?”
“Bahwa
akibat cidera di kemaluanku aku akan kehilangan kejantanan, kecuali jika
mendapat pengobatan yang ada petunjuknya dalam Kitab Seribu Pengobatan.”
“Apakah
kau berhasil membuktikan kebenaran ucapannya?”
“Juru
obat itu tidak berdusta. Aku tidak mampu memperdayakan kejantananku.”
“Lalu
mengapa semua perempuan korbanmu mengalami kerusakan pada bagian
keperempuanannya?”
tanya Si
Muka Bangkai dengan mata besar memandang tak berkesip.
“Aku
mempergunakan jari-jari tanganku,” jawab Pangeran Matahari enteng saja.
Si Muka
Bangkai dalam masa hidupnya jauh lebih keji dari sang murid. Namun mendengar
keterangan Pangeran Matahari kakek ini hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Jika
tidak ada hal lain, aku akan segera pergi…”
“Guru,
tunggu. Aku ingin kau memberi petunjuk tentang dua orang perempuan aneh yang
telah menyerangku.
Pertama
seorang perempuan muda bertubuh kecil berotak miring yang membawa boneka kayu
perempuan. Ketika aku hendak memperkosanya dia menyerang dengan dua larik
cahaya putih yang keluar dari mata boneka. Aku menderita luka dalam cukup
parah. Di lain saat pada kejadian dan tempat yang sama muncul seorang nenek
berwajah putih. Dia menuduhku sebagai Hantu Pemerkosa.
Aku
menyerangnya dengan satu pukulan sakti tapi dia balas menghantam dengan satu
sinar biru yang membuat buntung tangan kiriku. Guru, yang luar biasa sinar biru
itu keluar dari pusar nenek bermuka putih. Entah ilmu gila apa yang
dimilikinya. Aku terpaksa lari menyelamatkan diri. Aku ingin tahu apakah nenek
muka putih itu merupakan orang yang sama dengan perempuan muda berotak miring
yang membawa boneka. Jika tidak siapa mereka? Aku yakin nenek muka putih akan
terus menguntit ke mana aku pergi. Guru, aku mohon petunjuk bagaimana untuk
menghadapi mereka.”
Untuk
kesekian kalinya Si Muka Bangkai merenung dengan cara bersidekap lengan dan
pejamkan mata. Sekali ini cukup lama baru dia membuka mata dan berkata,
“Perempuan sinting pembawa boneka punya kaitan dengan seorang pejabat tinggi
kerajaan dan seorang tokoh silat yang tidak dapat aku sirap siapa adanya dan di
mana keberadaannya. Kau tak usah mengkhawatirkan perempuan satu ini, tapi
karena kau sudah menjatuhkan niat jahat sebaiknya untuk sementara menghindari
dengannya. Petinggi kerajaan itu aku sirapi memiliki hubungan dengan seorang
nenek sakti, jahat dan mesum yang juga telah berada di alam roh. Aku berharap
kau tidak akan bertemu dengan nenek ini karena sekali dia melihatmu kau bisa
dijadikannya budak nafsu. Mengenai perempuan yang punya ilmu kesaktian berupa
cahaya maut biru yang bisa keluar dari pusarnya, dia adalah seorang pendatang
baru rimba persilatan tanah Jawa. Kau harus sangat berhati-hati terhadapnya.
Aku coba menembus melihat siapa dirinya tapi ada pelindung berkepandaian tinggi
menghalangi. Ada sebentuk lingkaran merah di sekitar tubuh perempuan ini. Kalau
aku tidak keliru perempuan ini dipanggil dengan nama Nyai atau Nyi Bodong.
Kehadirannya sangat berbahaya bagi semua kawan golongan hitam termasuk dirimu…”
“Guru aku
ingin petunjukmu lebih lanjut! Aku tidak ingin mati mengenaskan di tangan
perempuan bernama Nyi Bodong itu sebelum membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”
Si Muka
Bangkai menghala nafas panjang lalu berkata, “Kau pergilah ke puncak Gunung
Merapi sebelah utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di sana kau akan
menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai begitu kau turun gunung. Di
dalam goa kau akan menemukan sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau
isi dengan minyak kasturi ini.” Dari balik pakaian rombengnya Si Muka Bangkai
keluarkan sebuah tabung terbuat dari bambu. Tabung bambu ini dilemparkan ke
arah Pangeran Matahari yang segera ditangkap oleh sang murid. Si Muka Bangkai
lanjutkan ucapannya, “Pada dinding goa kau akan melihat guratan tulisan yang
aku buat sebagai petunjuk penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara
sampai keadaan aman bagimu, kau hanya boleh menampakkan diri pada malam hari.
Demi keselamatanmu kau harus membawa dan menyalakan lentera itu ke manapun kau
pergi. Kau harus sadar musuhmu kini bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat
itu. Banyak orang lain yang menginginkan nyawamu!
Sebelum
aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baikbaik. Lentera yang aku katakan
tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau air
yang keluar dari tubuh manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing
bahkan air mani! Ha… ha… ha…! Pokoknya semua air yang berasal dari tubuh
manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar kau akan ditimpa malapetaka
besar!”
“Aku akan
ingat baik-baik pantangan itu, Guru. Apakah aku masih boleh mengenakan topeng
muka setan dan rambut palsu kelabu ini?”
“Pergilah
ke goa di puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau lakukan. Satu
hal harus kau ingat. Selesai membaca dan memahami guratan tulisanku di dinding
goa, tulisan itu harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan! Kau mengerti?!”
“Aku
mengerti, Guru. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas semua petunjuk
dan budi baikmu.”
Si Muka
Bangkai menyeringai. “Pertemuan kita cukup sampai di sini. Aku akan kembali ke
alamku. Kau tidak bisa memanggilku lagi sampai tiga ratus hari di muka. Aku
pergi.”
Sosok Si
Muka Bangkai perlahan-lahan berubah menjadi asap samar, berputar beberapa kali
di atas kali sementara di kejauhan terdengar suara raungan srigala. Murid Si
Muka Bangkai merasa tubuhnya bergetar menggigil. Keadaan ini baru lenyap begitu
asap samar membumbung ke udara dan lenyap dalam kegelapan malam.
Pangeran
Matahari perhatikan tabung bambu yang tadi diberikan Si Muka Bangkai. Kayu
penyumpal tabung dibukanya. Tempat itu serta merta ditebari harumnya bau minyak
kasturi.
“Minyak
aneh…” ucap Pangeran Matahari perlahan.
“Lenteranya
pasti lebih aneh lagi. Guru geblek! Apakah tidak ada benda lain yang bisa
diberikannya padaku selain lentera itu?! Edan!”
Sang
Pangeran bangkit berdiri. Dia cepat kenakan jubah kelabu, topeng setan dan
rambut palsu lalu menghambur ke arah utara. Yang dilakukannya saat itu juga
adalah segera pergi ke puncak Gunung Merapi sesuai petunjuk gurunya Si Muka
Bangkai.
**********************
HANYA
beberapa saat saja setelah Pengeran Matahari tinggalkan kali kecil satu
bayangan berkelebat di kegelapan malam. Orang ini memperhatikan ke arah batu
besar lalu dongakkan kepala menghirup udara malam.
“Jelas
dia ada di tempat ini sebelumnya. Ke mana perginya? Aku mencium bau harum aneh.
Setahuku manusia terkutuk itu tidak pernah memakai wewangian.”
Orang ini
memandang berkeliling. “Ada sisa-sisa kabut dalam selubung wangi kasturi.”
Sekali lagi orang ini mendongak menghirup udara malam. Kali ini disertai
pengerahan tenaga dalam. Mulutnya bergumam. Sepasang mata membesar. “Hantu
Pemerkosa. Kau meninggalkan dan membawa bau yang menjadi pangkal celaka bagi
dirimu! Kau tengah menuju ke utara! Aku tahu ke mana tujuanmu.”
Tanpa
menunggu lebih lama orang ini segera berkelebat ke arah utara yakni arah
perginya Pangeran Matahari setelah pertemuan dengan gurunya Si Muka Bangkai
tadi. Namun tak terduga, satu bayangan laksana angin memotong larinya. Di dalam
gelapnya malam makhluk ini membentuk sosok samar seorang kakek bertubuh bungkuk
yang sulit dikenali.
“Makhluk
keparat! Siapapun kau adanya jangan berani berlaku kurang ajar menghalangi
langkahku!”
“Aku
memperingati, kau malah tertawa melecehkan! Jika kau makhluk jejadian maka
rohmu akan menemui kematian untuk kedua kalinya! Kau tak akan bisa lagi
gentayangan. Rohmu akan tergantung antara langit dan bumi!”
Habis
berkata bergitu orang di tepi sungai angkat tangan kiri ke atas. Telapak tangan
diarahkan pada makhluk samar. Lima jari terpentang lurus. Dari mulut orang ini
kemudian keluar suara raungan menggidikkan disusul suara tawa cekikikan,
panjang dan angker. Ketika lima jari membuat gerakan meremas, tangan kanan
bergerak menyibak baju. Perut putih tersingkap menyembulkan pusar bodong
menonjol. Luar biasa!
Wusss!
Dari
pusar bodong itu melesat keluar satu cahaya biru pekat menyilaukan, menyambar
ke arah bayangan samar sosok kakek bungkuk.
“Nyi
Bodong!” Makhluk samar ternyata bisa keluarkan jeritan keras.
Lalu,
buummm!
Sosok
samar melolong dahsyat seolah menembus langit malam. Ujudnya cabik-cabik,
bertebaran dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Anehnya di tempat bekas
lenyapnya sosok samar tadi kini tergelimpang tubuh seekor srigala dalam keadaan
tercabik-cabik mulai dari kepala sampai ke ekor dan mengepulkan asap berbau
busuknya bangkai!
Orang di
tepi kali yang ternyata seorang nenek berwajah putih rapikan rambutnya yang
panjang hitam riap-riapan lalu setelah keluarkan suara mendengus dia berkelebat
ke arah utara.
TAMAT
No comments:
Post a Comment