Hantu Muka Dua
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
KURA-KURA
raksasa itu tengah melayang pesat ke arah utara dan siap menukik menuju satu
kawasan di mana terletak sebuah goa disebut Goa Pualam Lamerah. Mendadak
binatang ini keluarkan suara menguik keras. Di bawah sana, dari kelebatan rimba
belantara tiba-tiba melesat satu cahaya putih. Kalau saja penunggangnya tidak
cepat bertindak, menarik kepala kura-kura ke belakang niscaya kepala binatang
itu akan hancur!
"Ada
pembokong jahat di dalam rimba!" kata si penunggang kura-kura raksasa
dengan rahang menggembung dan mata melotot tak berkesip. Dia adalah seorang
gadis berparas cantik, rambut digulung di atas kepala, mengenakan pakaian
berwarna Jingga. Gadis ini rundukkan kepalanya lalu berbisik pada binatang
tunggangannya. "Laecoklat, lekas kau melayang turun ke arah timur lalu
berballk dan terbang ke jurusan datangnya cahaya serangan tadi…."
Seolah
mengerti kura-kura raksasa bernama Laecoklat itu kepakkan sayapnya demikian
rupa hingga tubuhnya berputar ke arah timur. Di satu tempat kurakura terbang
ini berbalik dan melesat ke bawah. Menjelang mendekati kawasan dari arah mana
tadi ada cahaya putih menyambar, gadis cll atas kura-kura angkat tangan
kanannya. "Aku mau tahu siapa yang kurang ajar berani mencari
perkara!" Lalu gadis ini pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar Jingga
menggebubu.
Di bawah
sana kelihatan daun-daun dan ranting pepohonan amblas bermentalan. Sebelum
daundaun itu luruh ke tanah, kura-kura raksasa telah mendarat di satu tempat.
Gadis di atasnya dengan cepat melompat turun lalu menyelinap sebat di antara
pepohonan. Belum jauh bergerak, si gadis hentikan larinya. Mukanya merah
mengetam pertanda geram. Dua tangannya dikepal. Dari mulutnya serta merta
keluar suara bentakan.
"Memang
sudah kuduga!! Kau rupanya biang racunnya! Tapi sungguh tidak kusangka! Bangsa
Peri itu ternyata makhluk pengecut yang tega mencelakai orang dengan jalan
membokong!"
Orang
yang dibentak tertawa tawar. Sesaat dia usap kepala angsa raksasa di atas mana
dia berada lalu melompat turun. Sambil rangkapkan dua tangannya yang bagus di
atas dada, orang ini, yang adalah seorang gadis cantik bermata biru berkata
dengan suara datar tenang-tenang saja.
"Gadis
genit dan pongah Luhjelita! Wahai! Tak ada yang berlaku pengecut, tak ada yang
berniat membokong! Kalau memang ada niat mencelakai pukulan sakti sinar putihku
tadi pasti tak akan meleset!"
Mendengar
ucapan orang, dara berpakaian Jingga jadi tambah penasaran. "Peri Angsa
Putih! Katakan apa maumu?! Apa tamparanku beberapa waktu lalu masih kurang
nyaman dan kau minta digebuk sekali lagi?!"
(Seperti
dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Hantu Tangan Empat
antara Luhjelita dan Peri Angsa Putih telah terjadi bentrokan cukup hebat
Luhjelita kemudian membawa Wiro dengan kura-kura terbangnya, meninggalkan Peri
Angsa Putih dengan perasaan dendam penasaran. Dapat dimengerti kalau kini sang
Peri menghadangnya di kawasan rimba belantara itu).
Peri
Angsa Putih tertawa panjang. "Luhjelita, aku mencegatmu di tempat ini
untuk menanyakan sesuatu. Kemana kau bawa pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu. Apa yang telah kau lakukan terhadapnya!"
"Astaga!
Jadi hati serta pikiranmu rupanya masih belum lepas dari mengingat pemuda satu
itu!" Luhjelita geleng-gelengkan kepalanya. "Bukankah sudah
jelasjelas kukatakan dia tidak menaruh hati padamu! Buktinya dia mau ikut
bersamaku dan kau ditinggal begitu saja! Sungguh aku tidak mengerti. Lelaki itu
suamimu bukan, kekasih juga bukan! Mengapa merepotkan diri mencarinya?!"
Merah
padam paras Peri Angsa Putih mendengar ucapan Luhjelita. Rasanya ingin dia
melabrak gadis itu saat itu juga. "Luhjelita, jika pemuda itu ikut
bersamamu apa kau mengira dia suka padamu? Kau memang pandai merayu, kau
menjual kecantikanmu dengan bedak genit dan bujuk rayu. Selain itu kau juga
mempergunakan ilmu kepandaianmu secara keji, memaksanya ikut bersamamu! Setelah
itu pasti kau melakukan perbuatan tidak senonoh terhadapnya!"
Luhjelita
tertawa sambil sepasang alisnya dinaikkan ke atas dan hidungnya dipencongkan.
"Cemburu! Kau tidak dapat menyembunyikan rasa cemburumu wahai Peri Angsa
Putih. Padahal pemuda itu bukan suami bukan kekasihmu! Hik… hik… hik! Sungguh
malang nasibmu wahai Peri Angsa Putih. Tak mendapatkan cinta di atas langit
sana, sampai-sampai keleleran ke Negeri Latanahsilam!"
"Gadis
bejat berhati busuk! Dulu kukira hanya kaum lelaki di negerimu saja yang
mendapat julukan hidung belang! Ternyata para gadisnya juga pantas mendapat
julukan itu! Satu di antaranya adalah kau! Semua lelaki kau anggap bisa jatuh
berlutut di hadapanmu! Satu hari kelak kau bakal kena batunya! Huh! Tak layak
bagiku bicara lebih lama dengan manusia rendah sepertimu!" Habis berkata
begitu Peri Angsa Putih balikkan tubuhnya, melangkah menuju ke Laeputih, angsa raksasa
tunggangannya.
"Peri
sinting! Kau yang mencari pangkal sengketa memancingku di rimba ini! Kalau
pelajaranku tempo hari belum cukup biar kuberi pelajaran sekali lagi agar
mulutmu tidak lancang! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara lancang menghina
jika mukamu sudah kurobah menjadi muka setan!"
Sosok
Luhjelita tiba-tiba melesat ke arah Peri Angsa Putih. Sepuluh jari tangannya
yang memiliki kuku-kuku cukup panjang menyambar ke depan. Dari ujung-ujung kuku
itu menderu kepulan asap berwarna Jingga! Yang diserang adalah wajah sang Peri!
"Sepuluh
Kuku Iblis Menggurat Langiti" seru Peri Angsa Putih kaget. Dia tahu betul
keganasan ilmu yang dipergunakan Luhjelita untuk menyerangnya itu. Jangankan
muka orang, batu keras sekalipun bisa hancur terkena cakaran sepuluh kuku itu!
Sambil
berseru keras Peri Angsa Putih cepat menyingkir selamatkan wajahnya. Bersamaan
dengan itu dari sepasang matanya menyembur dua larik sinar biru! Kini Luhjelita
yang terkejut terkesiap dan buru-buru bersurut sambil tarik pulang serangannya.
"Wusss!
Wusss!"
Dua larik
sinar biru memapas satu jengkal di atas jarijari Luhjelita Walau dia berhasil
selamatkan dua tangannya namun tak urung Luhjelita jadi terhuyung-huyung karena
kuda-kuda sepasang kakinya sempat goyah. Selagi dia berusaha mengimbangi diri
Peri Angsa Putih memburu dan tangan kanannya berkelebat sangat cepat.
"Gadis
binal tukang rayu! Aku kembalikan hadiah yang pernah kau berikan tempo
hari!" Peri Angsa Putih berseru keras. Lalu "plaaakk!" Satu
tamparan keras mendarat di pipi kanan Luhjelita. Gadis ini terpekik dan jatuh
terduduk di tanah! Darah berlelehan dari sudut bibirnya yang pecah.
Pemandangannya sesaat berkunang-kunang. Tiba-tiba didahului suara menggembor
Luhjelita melompat bangkit. Dua kakinya dikembangkan dan sedikit menekuk.
Mulutnya komatkamit sementara tangan kanannya yang diangkat ke atas diputar ke
kanan. Angin sedahsyat puting beliung dan memancarkan sinar merah menderu
keluar dari telapak tangan Luhjelita, membuat Peri Angsa Putih tersentak kaget.
"Pukulan
Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi" teriak Peri Angsa Putih.
"Dari mana kau dapatkan ilmu itu kalau bukan dari Hantu Muka Dua!"
"Dari
mana aku dapatkan boleh kau tanyakan pada setan di neraka langit ke
tujuh!" jawab Luhjelita lalu tertawa bergelak.
Peri
Angsa Putih palangkan dua lengannya didepan dada. Sepasang matanya memandang
tak berkesip. Begitu dia anggukkan kepala dari tangan yang bersilang menyambar
keluar satu gelombang sinar biru, menghantam laksana air bah memapasi sinar
merah serangan Luhjelita! Inilah ilmu kesaktian bernama Membalik Langit
Menggulung Bumi, merupakan satu ilmu langka yang dimiliki para Peri dan jarang
sekali dikeluarkan kalau tidakdalam keadaan terdesak.
Seperti
diketahui ilmu pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi yang
dilancarkan Luhjelita adalah satu ilmu ganas yang bisa membuat musuh menemui
ajal dengan sekujur tubuh terkelupas hingga tinggal tulang belulang. Di lain
pihak ilmu Membalik Langit Menggulung Bumi yang dilancarkan Peri Angsa Putih
memiliki kehebatan yang sanggup menggulung setiap serangan lawan yang datang
lalu membalikkannya pada si penyerang. Jika hal itu sampai terjadi maka
Luhjelita akan mengalami nasib "senjata makan tuan"
yakni
menemui ajal oleh ilmu kesaktiannya sendiri. Kini yang menentukan ialah tingkat
kekuatan tenaga dalam masing-masing. Jika tenaga dalam Luhjelita lebih hebat
maka Peri Angsa Putih akan menemui ajal secara mengerikan. Sebaliknya jika
tenaga dalam sang Peri berada di atas lawan maka Luhjelita akan menemui nasib
mengenaskan!
Dalam keadaan
sangat menegangkan begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat
disertai bentakan menggelegar menggetarkan seantero rimba belantara.
"Dua
perawan tolol! Kawin saja belum! Mengapa nekad mencari mati?!"
"Wussss!"
Satu
sinar putih panas dan menyilaukan berkiblat di antara sinar pukulan sakti
Luhjelita dan Peri Angsa Putih. Dua gadis itu sama-sama terpekik dan terpental.
Luhjelita menyangsrang di antara semak belukar. Lelehan darah di mulutnya
tampak bertambah banyak. Kakinya terkangkang demikian rupa hingga auratnya
terpampang tak karuan rupa. Peri Angsa Putih terguling di tanah. Dada
pakaiannya tersingkap robek! badanya mendenyut sakit. Untuk beberapa lamanya ke
dua gadis ini tak bisa bergerak, saling melotot lalu samasama berpaling ke satu
arah di mana saat itu tampak seorang pemuda berambut gondrong terduduk
menyeringai di tanah sambil garuk-garuk kepala.
*********************
2
SEPASANG
mata Luhjelita dan Peri Angsa Putih samasama terbuka lebar. Sementara itu dari
atas hancuran rerantingan dan daun-daun pepohonan dalam keadaan hangus melayang
jatuh menutupi bahu serta badan orang yang mereka pandangi.
"Pendekar
212…" desis Peri Angsa Putih.
"Wiro
Sableng…" desah Luhjelita. Dalam hati gadis satu ini membatin agak
gelisah. "Dia muncul disini. Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang terjadi
di tepi sungai kecil tempo hari…."
Pemuda
yang jatuh terduduk di tanah itu memang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Saat
itu dadanya mendenyut sakit dan jalan darahnya tidak teratur akibat bentrokan
dengan kekuatan tenaga dalam dua gadis berkepandaian tinggi itu. Dia masih
menjelepok di tanah seperti orang kesakitan. Padahal saat itu sebenarnya
diam-diam matanya jelalatan melihat pemandangan yang tak mungkin terhindarkan.
Luhjelita masih melesak terkangkang di dalam semak belukar. Lalu di sebelah
sana Peri Angsa Putih terguling dengan dada terbuka.
Sang Peri
sadar terlebih dulu. Dia segera rapatkan pakaiannya yang robek lalu berdiri.
Luhjelita melompat keluar dari semak belukar lalu membenahi pakaiannya yang
tersingkap awut-awutan di sebelah bawah. Dua gadis cantik ini sama-sama
memaklumi, kalau Wiro tidak muncul menengahi adu kekuatan tenaga dalam mereka,
salah satu dari mereka saat itu pasti menemui ajal dan yang lainnya terluka
hebat!
"Pemandangan
asyik. Gila…. Putih amat! Tapi sayang singkat sekali…" kata sang pendekar
konyol sambil tersenyum lalu bangkit berdiri tak lupa garuk-garuk kepala.
"Kalian
berdua," ujar Wiro. "Pasal lantaran apa maka hendak saling
berbunuhan?"
Luhjelita
yang cerdik dan pandai merayu segera berbuat sesuatu mendahului Peri Angsa
Putih. Dia melangkah mendekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar lalu
bertanya, "Wiro, kau…. Kau tak apa-apa? Maafkan diriku. Aku…."
Mendapat
Periakuan semesra itu tentu saja hati Pendekar 212 menjadi lebih menaruh
perhatian pada Luhjelita. Namun karena tidak mau terpengaruh begitu saja Wiro
mengulangi ucapannya tadi.
"Aku
bertanya. Kalian masih tidak mau menceritakan silang sengketa apa yang ada di
antara kalian?"
Peri Angsa
Putih geleng-gelengkan kepala. Dia hendak menjawab namun lagi-lagi didahului
oleh Luhjelita.
"Kau
tahu sifatku wahai Wiro. Tak mungkin aku mencari lantai terjungkal membuat
silang sengketa. Kalau tidak karena sangat terpaksa, bagiku sangat tidak layak
melayani Peri dari langit ke tujuh ini. Kejadian di tepi telaga tempo hari,
rupanya dia menaruh dendam lalu menghadangku di rimba belantara Ini. Bahkan
sempat hendak membunuhku dengan cara membokong. Wahai, kalau saja tadi kau
tidak muncul dan menolong kami dengan pukulan saktimu, niscaya peri jahat ini
sudah kubuat melayang rohnya ke langit di atas sana!"
"Wiro,
jangan percaya ucapannya!" kata Peri Angsa Putih setengah berteriak.
"Walau hatiku memang sakit menerima Perlakuannya namun tidak ada niat
untuk membunuhnya, apa lagi secara membokong! Aku hanya ingin memberi
peringatan pada gadis ini agar dia tidak bicara, bertingkah dan berbuat
sembarangan! Ternyata sampai saat ini dia masih saja pandai bermanis mulut
padahal diam-diam dia menebar bisa kejahatan di mana-mana!"
Luhjelita
tertawa. "Mudah-mudahan pemuda sahabatku ini mau percaya akan apa yang kau
ucapkan. Wahai, mengapa tidak kau katakan sekalian padanya bahwa kau tengah
mencari-cari dirinya? Padahal seperti yang aku katakan padamu, dia bukan suami bukan
pula kekasihmu!"
Wiro jadi
heran mendengar kata-kata Luhjelita itu. Dilihatnya wajah Peri Angsa Putih
menjadi merah. Sebenarnya dia punya banyak pertanyaan pada dua orang gadis itu
tapi karena mereka saling berperang mulut pendekar kita hanya bisa garuk-garuk
kepala.
"Dia
memang bukan kekasih juga bukan suamiku!"
Peri
Angsa Putih menyahuti ucapan Luhjelita.
"Apapun
hubunganku dengan dirinya bukan urusanmu! Aku tidak menyembunyikan sesuatu.
Sebaliknya kau membekal niat buruk dalam hatimu. Bukankah kau sebenarnya kaki
tangan Hantu Muka Dua?"
Luhjelita
mendengus. "Lagi-lagi kau menyebut Hantu Muka Dua. Peri Angsa Putih,
sungguh pandai kau bermain kata memutar lidah. Bukankah kau yang punya maksud
jahat terhadap pemuda ini? Aku tahu semua tentang bunga mawar kuning yang
hanyut di sungai kecil di satu bukit. Kalau bukan lindungan dari Para Dewa,
sahabatku ini pasti sudah menemui ajal secara mengenaskan."
Kening
Pendekar 212 jadi mengerenyit. Kata-kata Luhjelita itu mengingatkan Wiro pada
kejadian beberapa waktu lalu. Dia segera bertanya. "Luhjelita, apa yang
kau ketahui tentang bunga mawar kuning beracun itu?"
Luhjelita
mencibir ke arah Peri Angsa Putih. "Tanyakan saja padanya. Dia yang punya
pekerjaan! Tapi aku yakin dia akan menyangkal dengan seribu cara…."
Wiro
berpaling pada Peri Angsa Putih. Setelah menatap wajah cantik berwarna biru itu
sesaat dia lantas berkata. "Peri Angsa Putih, kita cukup lama bersahabat
Aku telah menanam budi padamu. Banyak pertolonganmu yang belum dapat aku balas.
Sekarang, apakah kau mau mengatakan perihal mawar kuning beracun yang hampir
mencelakai diriku itu?"
"Wiro,
aku tidak tahu menahu perihal yang kau tanyakan itu. Bunga mawar kuning Aku
tidak mengerti…."
Luhjelita
tertawa. Sambil kembali memegang lengan Pendekar 212 dia berkata. "Kau
lihat dan dengar sendiri wahai Wiro. Bagaimana liciknya Peri ini. Masih bisa
berpura-pura pada saat perbuatan kejinya sudah ketahuan!"
"Gadis
bermulut busuk berhati culas! Perbuatan keji apa yang telah aku lakukan
terhadap dirinya?!" kata Peri Angsa Putih hampir berteriak saking
geramnya.
"Jika
kau mau mendengar akan kubuka kedok kejahatanmu!" kata Luhjelita pula
sambil mengerling dan tersenyum pada Wiro. Namun sebelum gadis ini meneruskan
ucapannya Wiro mengangkat tangan dan cepat berkata. "Luhjelita, biar aku
yang menjelaskan padanya." Lalu Wiro memandang pada Peri Angsa Putih.
Sambil bicara dia memperhatikan sepasang mata biru si gadis untuk menjajagi
apakah benar Peri cantik ini tidak tahu menahu perihal bunga mawar kuning yang
hampir merenggut jiwanya itu.
"Tak
lama setelah aku meninggalkanmu, aku sampai di sebuah bukit Di situ ada telaga
dan aliran sungai kecil. Ketika berada di tepi sungai kulihat sekuntum bunga
mawar berwarna kuning dihanyutkan arus sungai. Karena belum pernah melihat
bunga mawar berwarna kuning, apa lagi bentuknya indah sekali, Ininya Itu
kuambil. Ketika bunga kudekatkan ke hidung dan kucium, mendadak aku tidak
sadarkan diri. Ketika siuman ternyata ada seorang kakek aneh berkepandaian
tinggi menolongku…. Menurut si kakek, bunga mawar kuning itu hanya tumbuh di
lapisan langit ke tujuh dan merupakan bunga tanaman atau peliharaan bangsa
Peri. Mendengar penjelasan itu aku menaruh syak wasangka bahwa ada seseorang
yang bermaksud meracunku dengan bunga itu. Lalu karena bunga itu hanya tumbuh
di negeri Para Peri, aku jadi… hemmm…"
Wiro
tidak teruskan ucapannya. Dia garuk-garuk kepala dan tersenyum namun tetap
mengawasi air muka terutama dua mata Peri Angsa Putih. (Mengenai bunga mawar
kuning yang hampir mencelakai Pendekar 212 harap baca serial sebelumnya
berjudul Hantu Tangan Empat)
"Wahai….
Aku tahu terusan ucapanmu Wiro. Karena bunga mawar kuning itu hanya tumbuh di
negeri kami kecurigaanmu tentu jatuh pada kami bangsa Peri…."
"Dan
karena saat itu kau satu-satunya Peri yang berada di Negeri Latanahsilam maka
jelas kaulah pelakunya. Bukankah begitu wahai sahabatku Pendekar 212 Wiro
Sableng?" ujar Luhjelita pula memojokkan Peri Angsa Putih hingga sang Peri
menjadi merah padam wajahnya. Sambil bicara Luhjelita kembali memegang lengan murid
Sinto Gendeng.
Setelah
menenangkan hatinya yang bergejolak marah Peri Angsa Putih berucap. Seperti
Wiro tadi dia pun bicara dengan memandang tajam ke mata sang pendekar. Pertanda
bahwa dia tidak bergeming untuk menyatakan kebenaran apa yang diucapkannya.
"Wiro,
kalau aku boleh bertanya. Ketika kau meninggalkan diriku, dengan siapakah kau
pergi dan kemanakah kau menuju?"
"Wiro,
hati-hati dengan pertanyaannya! Dia pasti bersilat lidah memutarbalik
kenyataan!" Luhjelita langsung menimpali ucapan Peri Angsa Putih.
Peri
Angsa Putih tetap mengarahkan pandangannya ke mata Wiro. Dengan tenang dia
berkata. "Aku bicara padamu wahai sahabatku Wiro. Bukan dengan gadis itu.
Jangan pegangannya pada lenganmu membuat hatimu menjadi luluh dan otakmu
menjadi tumpul! Kebenaran tidak akan terkubur dengan rayuan semesra
apapun!"
Wiro
garuk-garuk kepala, memandang pada Luhjelita.
Dia
hendak menarik tangannya tapi pegangan Luhjelita justru tambah kuat sementara
senyum dan kerling matanya tambah memikat "Wiro…" kata Luhjelita setengah
berbisik. "Tidak ada gunanya bicara dengan Peri jahat ini. Ayo kita pergi
saja dari sini "
"Wahai!
Kau yang membuka pangkal cerita berbisa. Ketika bisa itu hendak berbalik
menerkam dirimu kau buru-buru hendak tinggalkan tempat ini. Kau merasa takut
kini Luhjelita?"
"Peri
busuk! Siapa takutkan dirimu!" bentak Luhjelita dengan mata membelalang.
Peri
Angsa Putih tersenyum. "Kau memang gadis pemberani. Terutama pada lelaki.
Kau memang tidak takut padaku. Tapi kau takut kalau kedokmu terbuka
sendiri!"
"Hai!
Bagaimana ini!" ujar Wiro. Dia memandang pada dua gadis itu
berganti-ganti.
"Jangan
bingung sendiri wahai pemuda asing," ujar Peri Angsa Putih pula.
"Jawab saja pertanyaanku tadi. Nanti kau akan tahu apa yang sebenarnya
terjadi…."
"Tak
sulit bagiku untuk menjawab!" kata murid Sinto Gendeng pula.
"Kalau
begitu jawablah. Dengan siapa kau pergi, kemana kau menuju?" Peri Angsa
Putih mengulangi pertanyaannya.
"Kau
tahu sendiri karena kau juga melihat. Hemmm…"
Wiro
garuk-garuk kepalanya dan memandang pada Luhjelita. Si gadis ini kembali
layangkan senyum manja dan mesra seraya berbisik. "Kita pergi saja sekarang
juga Wiro…."
"Aku
pergi dengan dia…" kata Wiro pada Peri Angsa Putih.
"Kau
pergi dengan gadis itu. Pergi kemana Wiro? Kau tentu bisa dan mau
mengatakan," kata Peri Angsa Putih pula seolah menuntun.
"Waktu
itu dia mengajakku pergi ke Goa Pualam Lamerah. Namun aku menolak dan akhirnya
kami pergi ke sebuah bukit. Di situ ada telaga serta anak sungai yang
kusebutkan…."
"Wahai,
ingatanmu sangat jernih sekali Wiro. Jadi yang ada di tempat itu adalah kau
dengan dia. Apakah aku juga ada di tempat itu?"
Pendekar
kita gelengkan kepala.
"Berarti
hanya kau dan dia yang berada di tempat itu. Jika kemudian ada bunga mawar
kuning dihanyutkan air sungai, apakah mungkin aku yang menghanyutkannya padahal
aku tidak ada di sana?"
"Mungkin
saja kau muncul secara diam-diam.
Dengan
kepandaianmu kau bisa saja melakukan hal itu!" menukas Luhjelita.
"Kau
tidak tuli wahai Luhjelita. Pemuda itu mengatakan di situ hanya ada kau dan
dia…" kata Peri Angsa Putih.
"Pada
saat kejadian itu, aku tidak lagi bersamasama denganmu Wiro. Bukankah saat itu
aku pergi mandi di telaga dan kau entah berada di mana! Kalau aku berniat
jahat, mengapa tidak aku lakukan pada saat kau bersamaku?!"
"Luhjelita,
kau memang betul. Aku tidak mengikutimu sampai di telaga…" kata Wiro pula.
"Berarti
pada saat antara aku pergi dan kau berada sendiri di tepi sungai kecil, Peri
ini muncul dan membuang bunga mawar beracun itu ke dalam aliran sungai karena
dia tahu kau ada di tepi sungai, pasti kau akanmelihat bunga itu dan
mengambilnya"
"Wiro,"
kata Peri Angsa Putih masih dengan segala ketenangan, "Bunga mawar kuning
itu katamu dihanyutkan arus sungai kecil. Apakah kau tahu dari mana atau di
sebelah mana anak sungai itu berasal?"
"Kalau
aku tidak salah dari telaga di lereng bukit…"
"Wahai,
kau menjawab jujur dan polos. Lalu siapakah yang mandi saat itu di telaga di
lereng bukit itu?"
Wiro
terdiam tapi kemudian segera berpaling memandang ke arah Luhjelita. Di saat
yang sama Luhjelita berteriak keras dan melompat ke arah Peri Angsa Putih.
"Dasar Peri jahat! Kau putarbalikkan kenyataan!
Kau yang
melakukan kebusukan malah kini menuduh diriku!" Tangan kanan Luhjelita
berkelebat ke depan, melancarkan satu jotosan keras ke arah dada Peri Angsa
Putih.
"Luhjelita!
Siapa yang tidak kenal dirimu! Kau menebar bujuk rayu cinta di mana-mana. Tapi
diamdiam kau membekal maksud busuk dalam hatimu!"
balas
berteriak Peri Angsa Putih. Dengan sebat dia hantamkan pula tangan kanannya ke
depan.
"Bukkk!"
Dua
lengan saling beradu keras. Dua gadis samasama terpekik dan mundur dua langkah.
Peri Angsa Putih pegangi lengan kanannya yang tampak bengkak.
Luhjelita
terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Di sela bibirnya terlihat darah mengucur
pertanda dia mengalami luka dalam yang cukup berbahaya. Sambil terus melangkah
mundur Luhjelita memandang penuh geram pada Peri Angsa Putih.
"
Peri jahat! Kalau saat ini aku terpaksa pergi bukan karena aku takut! Jangan
mengira kau telah mengalahkan aku! Lain waktu kalau bertemu aku akan
menghajarmu habis-habisan! Jangan harap kau bisa menginjakkan kaki lagi di
Tanahsilam ini!"
"Luhjelita!
Tunggu! Kau mau kemana?!" berseru Wiro.
"Wiro,
mari sama-sama kita tinggalkan tempat ini.
Jangan
kau sampai terpengaruh dan tertipu oleh Peri jahat itu!"
"Harap
maafkan aku Luhjelita. Kali ini aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Justru aku
ingin kau tetap berada di sini agar masalah yang kita bicarakan bisa menjadi
jelas "
Luhjelita
kelihatan sangat kecewa.
"Tak
apa…. Aku tahu kau mencurigai diriku. Kau telah termakan ucapan Peri jahat itu.
Kuharap satu waktu kau akan sadar. Di balik wajahnya yang cantik itu ada maksud
busuk yang akan mencelakai dirimu. Di balik sinar matanya yang biru bagus itu
ada kobaran api yang akan membakarmu…." Dengan wajah sedih Luhjelita
memutar tubuhnya. Ketika dia hendak melangkah pergi tiba-tiba ada dua sosok
bayangan berkelebat. Luhjelita tampak kaget. Peri Angsa Putih tak kalah
kejutnya tapi masih mampu berlaku tenang. Sebaliknya Pendekar 212 tegak
terheran-heran.
"Luhjelita,
kau memang harus segera meninggalkan tempat ini!" Tiba-tiba salah seorang
yang barusan berkelebat muncul berkata. "Hantu Muka Dua sudah sejak lama
mencarimu!"
Luhjelita
pandangi orang yang bicara padanya itu sesaat lalu berkata. "Kemana aku
mau pergi adalah urusanku sendiri…."
"Wahai!
Aku khawatir Hantu Muka Dua tak sedap makan tak nyenyak tidur karena sudah lama
tidak melihatmu. Jangan tunggu sampai dia jatuh sakit…"
"Memangnya
aku ada hubungan apa dengan Hantu Muka Dua?!" hardik Luhjelita. Gadis ini
keluarkan suara mendengus lalu berkelebat pergi dari tempat Itu.
"Wahai,
galak amat dara satu itu. Pantas Hantu Muka Dua suka padanya. Hik… hik…
hik!"
Orang
yang barusan bicara pada Luhjelita kini berpaling ke arah Peri Angsa Putih lalu
tertawa bergolak.
"Sahabat-sahabatku,
tidak sangka Peri yang hendak kita bunuh ini cantik sekali wajahnya. Kulitnya
sehalus sutera. Putih dan mulus. Senyumnya semanis madu. Ha… ha… ha…! Kalau
kalian berdua setuju biar kuperpanjang sedikit umurnya agar aku bisa bersenang-senang!
Aku tidak takut kutukan Para Peri! Ha…ha… ha!" Orang ini ulurkan lidahnya
berulang kali. Salah satu teman yang diajak bicara menjawabi.
"Dalam
usia setua dan dosa karatan sekujur tubuh, aku tidak menampik menambah sedikit
dosa. Apakah kau mau berbagi kesenangan denganku wahai sahabat?"
Orang-orang
yang barusan muncul itu lalu samasama tertawa bergelak.
*********************
3
ORANG
yang berdiri paling dekat di hadapan Wiro dan Peri Angsa Putih saat itu adalah
seorang kakek berkepala botak berwarna hitam. Hidungnya luar biasa besar hampir
menutupi sebagian mukanya yang keriput.
Orang ke
dua juga seorang kakek, bertubuh kurus kering berambut seperti ijuk. Matanya
cuma satu, yang satu lagi yakni yang sebelah kanan terkatup picak dan sengaja
dipoles dengan cat warna merah. Yang hebatnya, kakek ini tegak sambil mendukung
seorang kakek lain di atas bahunya. Kakek ini juga memiliki rambut seperti ijuk
tapi putih semua.
Sambil
duduk di bahu, si kakek tidak hentinya meniup sebuah seruling yang ujungnya
ditancapi sebuah tengkorak. Suara tiupan seruling itu sember tak karuan. Tapi
si kakek tampak begitu asyik dan dia seperti tidak peduli tengah berada di
mana, tidak acuh keadaan sekitarnya. Hidungnya kembang kempis dan pipinya
terkempot-kempot. Setiap dia meniup, dari mulut, hidung, dua telinga dan
sepasang mata tengkorak mengepul asap hitam!
Wiro
dekati Peri Angsa Putih dan berbisik. "Dari omongan mereka aku menduga
keras mereka adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Apa kau kenal siapasiapa mereka
ini?"
Belum
sempat Peri Angsa Putih menjawab, kakek yang kepalanya botak hitam membuka
mulut. "Sobatku mata picak, apakah pemuda ini yang menurut pesan Hantu
Muka Dua harus kita pesiangi dan kuras darahnya lewat ubun-ubun di kepalanya
yang gondrong?!"
Yang
ditanya kedap-kedipkan mata kirinya beberapa kali baru menjawab. "Wahai!
Dari potongan tubuh dan ciri-cirinya memang tak salah!"
Mendengar
ucapan orang murid Sinto Gendeng maklum kalau kakek-kakek itu jelas membawa
niat yang tidak baik terhadapnya. Dia memandang pada kakek picak lalu kedap-kedipkan
matanya meniru.
Kemudian
sambil sunggingkan seringai mengejek dia berkata. "Matamu cuma satu, apa
kau tidak keliru melihat bahwa aku orang yang dimaksudkan Hantu Muka
Dua?!"
"Kau
pandai melucu!" menyahuti kakek mata picak.
"Setelah
urusan kami dengan Peri Angsa Putih selesai, kau akan kukirim ke tempat setan
neraka melawak!"
"Wah!
Hebat sekali! Baru kali ini aku tahu kalau di neraka sana ada tempat khusus
untuk para setan melawak! Apa kau pernah mampir atau mungkin sudah melihat
sendiri?!" Murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
"Manusia
tidak waras! Biar kubunuh kau sekarang Juga!" bentak kakek picak marah.
Namun kakek botak kepala hitam cepat memberi isyarat.
"Sobatku,
jangan kesusu. Jangan merusak suasana. Biarkan aku bersuka-suka lebih dulu
dengan Peri cantik jelita ini!" Lalu si kakek langsung saja mendekati Peri
Angsa Putih sambil senyum-senyum dan kedip-kedipkan mata sementara kakek yang
berada di atas bahu si picak terus saja meniup suling tengkoraknya. Asap hitam
membumbung ke udara.
Pendekar
212 cepat menghadang. "Kakek hidung cendawan, tunggu dulu! Jelas kau dan
dua kawanmu Ini adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! Heran, di usia sudah bau
tanah begini rupa mengapa kalian masih saja mau berbuat jahat mencelakai orang
lain?!"
"Hik…
hik…! Sahabatku Lahidungbesar! Dengar pemuda itu! Enak saja kau disebutnya
kakek hidung cendawan! Hik… hik… hik! Lucu memang tapi apa kau tidak jadi
jengkel? Lekas katakan padanya kita bukan mau berbuat jahat! Tapi justru
mencari pahala! Hik…hik… hik!" Yang bicara adalah kakek mata picak si
pendukung kakek yang asyik meniup suling tengkorak.
Kakek
yang dipanggil dengan nama Lahidungbesar tertawa panjang. "Anak muda, kami
membunuhmu bukan berarti berlaku jahat berbuat dosa. Tapi justru mencari
pahala! Menurut Hantu Muka Dua kau telah membunuh seorang anak buahnya bernama
Hantu Api Biru. Gara-gara kau dia juga kehilangan seorang pembantu utama
bernama Si Pelawak Sinting.
Apa tidak
pantas kalau Hantu Muka Dua memerintahkan kami membalas dendam mencabut
nyawamu, menguras darahmu lewat ubun-ubun. Kabarnya konon darahmu dan dua
temanmu mujarab untuk menjadi peredam senjata hingga mampu menjadi senjata
sakti mandraguna!"
"Ha…
ha… ha!" Kakek mata picak tertawa. Lalu membentak. "Sekarang agar
kawanku Si Lahidungbesar memberi sedikit pengampunan dan mencabut nyawamu
secara enak, lekas kau beri tahu di mana dua kawanmu berada!"
"Makhluk-makhluk
geblek!" maki Wiro. "Aku sudah bersumpah untuk membunuh Hantu Muka
Dua! Karena kalian kaki tangannya ada baiknya kalian kutumpas lebih dulu!"
"Wahai
sombongnya!" kata kakek mata picak.
"Hai!
Kau majulah! Biar kuremas hidung cendawanmu sampai hancur!" Mengejek Wiro.
Membuat Lahidungbesar keluarkan suara menggeram marah.
Peri
Angsa Putih mendekati Wiro dan cepat berbisik.
"Jangan
kau anggap enteng ke tiga kakek itu. Yang barusan kau tantang memiliki
kepandaian hampir setingkat kakekku Hantu Tangan Empat "
"Apa?"
ujar Pendekar 212 terkesiap kaget.
"Si
botak itu sangat tinggi ilmunya. Kakek yang picak itu bernama Lapicakkanan.
Ilmunya sulit dijajagi.
Tapi yang
sangat berbahaya adalah kakek berambut putih yang didukung di atas bahunya.
Asap hitam dari suling tengkoraknya jika sampai masuk ke dalam tubuh bisa
membuat aliran darah menjadi beku! Kakek satu ini setahuku bernama
Lasulingmaut."
"Siapa
takutkan mereka!" kata Wiro pula walau dia jadi garuk-garuk kepala dan
tengkuknya mendadak menjadi dingin.
"Ikuti
aku, melompat ke atas angsa putih. Kita harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini
sebelum terlambat!"
Mendengar
bisikan Peri Angsa Putih, Wiro menjadi bimbang. Tapi akhirnya dia menjawab.
"Kalau kau mau pergi silakan saja. Aku tetap di sini menghadapi tiga kakek
sambal itu!"
"Wahai….
Bagaimana ini?!" Peri Angsa Putih jadi bingung. Akhirnya dia memutuskan
untuk tetap berada di situ.’
"Hai,
kenapa tidak pergi!" Wiro menegur sementara Lahidungbesar dengan
menyeringai telah bergerak mendekati Peri Angsa Putih. Sambil melangkah dia
berkata. "Lapicakkanan, kau bereskan si gondrong Ini. Aku akan meringkus
Peri cantik ini. Kalau berhasil kau pasti akan mendapat bagian!"
Lapicakkanan
tertawa bergelak lalu basahi bibirnya berulang kali sedang mata kirinya
dikedipkan tiada henti. Di atas bahunya kakek yang bernama Lasulingmaut terus
saja meniup sulingnya. Kelihatannya tambah asyik karena matanya sampai
terpejam-pejam. Tiba-tiba Lahidungbesar menyergap ke depan. Tangan kanannya
menyambar ke arah Peri Angsa Putih. Gerakannya seperti orang hendak menotok.
Ini adalah aneh karena setahu Wiro tidak satu orangpun di Negeri Latanahsilam
memiliki ilmu menotok. Dengan cepat Wiro menghadang gerakan si kakek. Dia
berhasil menelikung pinggang orang.
Sementara
itu tanpa ada yang mengetahui, di atas sebuah pohon besar berdaun rimbun hingga
sulit terlihat dari bawah, mendekam seorang berpakaian rumput kering warna
hitam. Orang ini sulit dilihat wajah aslinya karena seluruh mukanya dilumuri
dengan sejenis tanah liat. Lalu tanah liat ini masih dilapisi pula dengan
sejenis jelaga berwarna hitam. Walau siang bolong begitu sosoknya tidak beda
dengan sosok hantu. Entah sejak kapan dia berada di atas pohon itu. Yang jelas
orang ini merasa sangat cemas menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana.
"Peri
Angsa Putih, ilmunya tinggi. Mungkin tidak sulit baginya menghadapi kakek
berhidung besar itu. Namun jika dikeroyok tiga dan kalau sampai kakek di atas
dukungan turun tangan, wahai aku khawatir dia bisa kelabakan. Bahkan bakal
cidera berat. Lalu pemuda asing berambut gondrong itu. Sampai di mana
kehebatannya? Berdua dengan Peri Angsa Putih apa mungkin mereka menghadapi tiga
kakek sakti kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku ingin sekali menolongnya tetapi
firasat menyuruh aku harus menunggu dulu sampai aku tahu siapa adanya sosok
yang sembunyi di balik sayap angsa putih di sebelah sana. Tapi apakah aku bisa
menunggu, kalau sampai salah satu dari dua orang itu mendapat celaka berarti
hidupku tambah tidak tenteram! Wahai mengapa nasibku jadi begini. Sementara
orang yang kucari masih belum juga kutemukan"
Orang di
atas pohon mendadak berkacakaca ke dua matanya. Dia cepat pergunakan tangan
untuk mengusap mata lalu tetapkan hati. Sambil memperhatikan apa yang terjadi
di bawah pohon sesekali dia mengerling memperhatikan sosok Laeputih, yakni
angsa putih raksasa milik Peri Angsa Putih. Ada siapa sebenarnya di bawah salah
satu sayap angsa raksasa ini?
Sesaat
setelah orang bermuka hitam mendekam di atas pohon, secara tak sengaja dia
melihat sepasang kaki putih muncul di balik sayap sebelah kiri angsa putih.
Dari bentuk sepasang kaki itu dia bisa menduga itu adalah kaki milik seorang perempuan.
Lebih dari itu dia tak bisa menerka namun mendadak saja dadanya berdebar. Kalau
saja dia bisa melihat raut wajah perempuan yang sembunyi di balik sayap angsa
itu.
"Anehnya,
setahuku angsa putih itu galak terhadap siapa saja yang bukan tuannya. Tapi
mengapa orang itu bisa enak-enakan sembunyi di bawah sayapnya tanpa si angsa
menjadi marah…?" Orang di atas pohon kembali memperhatikan pergumulan
antara Wiro dengan Lahidungbesar.
Begitu
berhasil mencekal pinggang lawannya, dengan mempergunakan jurus Kincir Padi
Berputar, Wiro angkat tubuh si kakek, siap untuk dibantingkan ke tanah. Tapi
alangkah kagetnya murid Eyang Sinto Gendeng ketika mendadak dirasakannya sosok
kepala botak hitam berhidung besar itu laksana seberat gunung! Dia tidak mampu
mengangkatnya!
Penasaran
Wiro kerahkan tenaga luar dalam dan mencoba sekali lagi. Keringat sebesar-besar
jagung bercucuran di keningnya.
"Kerahkan
seluruh tenagamu anak muda! Keluarkan semua ilmu kesaktian yang kau miliki!
Asal jangan kau keluarkan isi perutmu! Ha… ha… ha!" mengejek
Lahidungbesar.
"Sialan,
sebentar lagi kubanting kau sampai remuk!" kata Wiro dalam hati. Dia
kerahkan tenaga habishabisan.
Sosok
Lahidungbesar terangkat tapi cuma setengah jengkal. Dan saat itu dari tubuh
sebelah bawah murid Sinto Gendeng tiba-tiba saja keluar angin yang bersuara
nyaring.
"Bruuuttt!"
"Brengsek!
Mengapa aku sampai kentut!" Wiro memaki diri sendiri.
Lapicakkanan
tertawa mengekeh.
"Bangsat
kurang ajar!" Lahidungbesar meludah dan memaki karena angin yang keluar
dari bagian bawah si pemuda menyambar hidungnya dan baunya membuat dia mau
muntah. Tiba-tiba kakek ini membuat gerakan aneh. Tahu-tahu kini Wirolah yang
dicekalnya, ditarik ke atas bahu lalu "braakk!" Pendekar 212
dibantingnya ke tanah!
*********************
4
UNTUK
sesaat lamanya pemandangan Wiro jadi berkunang-kunang. Tulang punggung serasa
hancur. Selagi dia tidak berdaya seperti itu tiba-tiba Lapicakkanan melompat
dan hunjamkan kaki kanannya ke dada Wiro!
"Amblas
dadamu! Hancur jantungmu!" teriak Lahidungbesar.
Sesaat
lagi kaki kanan Lahidungbesar benar-benar akan menghancur remuk tubuh
Pendekar212 Wiro Sableng, tiba-tiba sebuah benda panjang berwarna biru yang
menebar bau harum laksana seekor ular besar melesat antara telapak kaki
Lahidungbesar dan permukaan dada murid Sinto Gendeng.
"Dessss!"
Lahidungbesar
laksana menginjak lapisan karet yang kenyal. Kakinya terpental ke atas.
Tubuhnya ikut melambung setinggi dua tombak. Ketika dia turun kembali
dilihatnya Wiro telah berguling selamatkan diri dan sesaat kemudian tegak
memasang kuda-kuda siap menghadapinya. Dengan geram Lahidungbesar berpaling ke
kiri. Di situ dilihatnya Peri Angsa Putih tegak sambil memegang selendang
sutera biru. Selendang inilah tadi yang dipergunakan sang Peri untuk
menyelamatkan Wiro.
"Wahai!
Peri Angsa Putih menolong pemuda asing.
Ck… ck…
ck…." Lahidungbesar decakkan lidahnya berulang-ulang. "Kalau tak ada
hubungan apa-apa antara kalian berdua pasti kau tidak akan bertindak seperti
itu wahai Peri Angsa Putih. Hemmm… aku membaur hal yang tidak enak.
Lapicakkanan, lekas kau bunuh pemuda itu. Aku akan meringkus Peri bermata biru
itu hidup-hidup!"
"Botak
hitam hidung besar! Kalau kau berani mendekati Peri Angsa Putih kupanggang
tubuhmu saat ini juga!" Wiro membentak sambil Periahan-lahan tangan
kanannya diangkat.
Lahidungbesar
tertawa bergelak. "Barusan kau hampir mampus di tanganku! Selamatkan diri
saja belum mampu bagaimana kau bersombong diri hendak menolong Peri ini?!"
Walau tertawa dan menganggap enteng Pendekar 212 namun diam-diam Lahidungbesar
merasa kaget ketika memperhatikan bagaimana tangan kanan pemuda berambut
gondrong di hadapannya tiba-tiba bergetar dan berubah menjadiputih menyilaukan
seolah terbungkus seduhan perak!
Lahidungbesar
bukan seorang penakut atau mudah menjadi kecut. Namun karena ingin cepat-cepat
menguasai Peri Angsa Putih maka dia memilih berlaku cerdik.
"Lapicakkanan!"
seru Lahidungbesar pada kakek yang mendukung LasulingmauL "Aku tak begitu
bernafsu menghadapi si gondrong itu! Aku lebih bernafsu menghadapi Peri Angsa
Putih!" Habis berkata begitu tanpa tunggu lebih lama si hidung cendawan
itu melesat ke hadapan Peri Angsa Putih. Seperti tadi tangan kanannya bergerak
seolah hendak menotok. Peri Angsa Putih mundur dua langkah lalu kebutkan
selendang sutera di tangan kanannya.
"Wutttt!"
Sinar
biru bertabur di udara. Laksana sebuah jala besar siap melibas sosok
Lahidungbesar. Tapi si hidung besar ini tertawa bergelak. Begitu selendang
sutera biru menyambar dia sengaja susupkan diri, masuk ke dalam selubungan
selendang. Selanjutnya dia membuat gerakan bergulung ke arah lawan.
Peri
Angsa Putih berseru kaget ketika tahu-tahu lawan telah berada hanya satu
langkah di hadapannya. Dengan cepat gadis ini hantamkan tangan kanannya ke
batok kepala Lahidungbesar. Ini adalah satu serangan dahsyat yang jika mengenai
sasaran akan membuat rengkahnya batok kepala. Namun gerakan Peri Angsa Putih
masih kalah cepat dengan gerakan tangan kanan Lahidungbesar. Begitu tangan
kanan kakek botak itu menyambar di depan lehernya, Peri Angsa Putih merasakan
ada satu sambaran angin yang menusuk urat besar di tenggorokannya. Selendang
biru di tangan kirinya terlepas jatuh.
Lehernya
seperti dicekik. Tubuhnya serta meria menjadi lemas. Sang Peri cepat kerahkan
tenaga dalam serta alirkan darah ke lehertapi sia-sia saja. Diatakmampu
membebaskan diri dari kekuatan yang menguasai dirinya.
Di atas
pohon, orang yang mukanya dilumuri tanah liat hitam mendesah penuh kaget.
"Wahai! Ternyata Lahidungbesar benar-benar telah memiliki Ilmu Menjirat
Urati. Aku harus cepat menolong Peri itu!" Orang ini segera hendak
melayang turun. Namun hentikan gerakannya ketika tiba-tiba di bawah sana
dilihatnya pemuda berambut gondrong melompat mendekati Lahidungbesar yang telah
memanggul tubuh Peri Angsa Putih di bahu kirinya.
"Hidung
besar hidung belang! Turunkan gadis itu! Kalau tidak kutambus tubuhmu saat ini
juga!"
Lahidungbesar
tertawa mengejek. "Kau mau menembus tubuhku! Silakan saja! Wahai sungguh
senang mati berdua sambil memeluk gadis jelita ini!" Meski kelihatannya
menganggap enteng lawan namun diam-diam kakek kepala botak berhidung besar ini
merasa was-was juga ketika melihat bagaimana tangan kanan Wiro berubah menjadi
putih menyilaukan seperti seduhan perak tertimpa sinar matahari. Maka cepat dia
berkata pada Lapicakkanan. "Kau hadapi si gondrong itu! Aku akan membawa
Peri ini ke Istana Kebahagiaan. Kutunggu kau di sana…."
"Pergi
saja cepat! Pemuda otak miring ini biar aku dan Lasulingmaut yang
membereskan!" menjawab Lapicakkanan.
Lahidungbesar
cepat berkelebat namun gerakannya tertahan karena di hadapannya telah
menghadang Pendekar 212.
"Tua
bangka jahanam berhidung besar! Kau membuat aku nekad!" Habis membentak
murid Sinto Gendeng langsung saja hantamkan tangan kanannya.
Sinar putih
menyilaukan berkiblat. Hawa panas menerpa Seantero tempat. Beberapa mulut
keluarkan teriakan kaget.
Orang di
atas pohon tersentak!
"Pemuda
gila! Walaupun dia berhasil membunuh kakek itu, apa dia tidak sadar pukulannya
juga akan menghabisi Peri Angsa Putih?!" Orang di atas pohon serta merta
melompat turun sambil tangan kanannya dipukulkan ke bawah. Namun lagi-lagi
gerakannya tertahan karena tiba-tiba kakek yang ada di atas dukungan
Lapicakkanan dan sejak tadi asyik terus meniup suling tengkoraknya, mendadak
cabut suling tengkoraknya lalu disapukan ke bawah! Asap hitam menggebubu keluar
dari setiap lobang yang ada di tengkorak, menyambar dahsyat menghantam cahaya
putih panas pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Blaaarrr!
Blaaar! Blaaarr!"
Letupan
keras disertai pancaran bunga api terang benderang menggema tiga kali
berturut-turut. Wiro terpental dan bergulingan di tanah. Mulutnya terasa asin.
Ketika dia meludah, ludahnya kelihatan merah bercampur darah pertanda ada
bagian tubuhnya yang terluka di sebelah dalam. Dia ingat ucapan Peri Angsa
Putih. Yaitu bahwa asap hitam yang keluar dari dalam tengkorak yang menancap di
seruling Lasulingmaut sanggup membuat darah lawan menjadi beku. Wiro segera
bangkit, gerakkan tangan dan kakinya. Dia merasa lega karena walau di dalam ada
luka tapi lebih dari itu keadaannya tidak kurang suatu apa. Namun murid Eyang
Sinto Gendeng ini melengak kaget ketika dilihatnya kakek bernama Lahidungbesar
tak ada lagi di tempat itu.
"Celaka!
Jahanam hidung besar itukabur bersama Peri Angsa Putih!"
Baru saja
Wiro berkata begitu di samping kanan terdengar suara tawa mengekeh disusul oleh
tiupan seruling sember. Wiro menoleh. Kakek picak memandangnya dengan seringai
serta tawa mengejek. Di atas dukungannya kakek berambut putih tampak asyik
meniup suling tengkoraknya seolah di tempat itu tidak terjadi apa-apa. Walau
memperhatikan hanya sebentar dan diselimuti hawa marah namun murid Sinto
Gendeng melihat satu keanehan. Tadi-tadi tengkorak di ujung seruling itu selalu
mengepulkan asap hitam. Namun sekali ini tidak sedikitpun tampak asap hitam.
"Apa
yang hendak dilakukan jahanam satu ini. Aku harus berhati-hati…" kata Wiro
membatin. Rahangnya menggembung. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kiri
kanan. Tubuhnya bergetar tanda kali ini Wiro siap mengerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya.
Lapicakkanan
tertawa mengekeh lalu kembali sunggingkan seringai mengejek. "Pemuda
gondrong! Kuras seluruh tenaga dalam yang kau miliki! Aku mau lihat sampai di
mana kehebatan orang dari negeri yang katanya seribu dua ratus tahun lebih
maju!"
"Jangan
terpancing! Jangan lakukan apa yang dikatakannya! Jangan kerahkan seluruh
tenaga dalam! Semakin kau mengerahkan semakin mudah baginya melumat
dirimu!"
Tiba-tiba
satu suara menggema dari atas pohon. Wiro belum sempat berpaling Lapicakkanan
dongakkan kepala dan gerakkan mata kanannya yang picak tertutup cat merah.
Selarik sinar merah menderu.
"Wussss!"
Pohon
besar di atas sana mendadak sontak dilamun kobaran api. Lebih dari setengah bagian
atas pohon ini kini tampak gundul hangus. Tapi orang yang tadi berada di tempat
itu telah berkelebat lenyap. Lapicakkanan menggeram marah. Dia mendongak pada
orang yang didukungnya.
"Wahai
Lasulingmaut, siapa menurutmu bangsat di atas pohon tadi yang tahu kelemahan
ilmu Asap Iblis Pembeku Darah milikmu itu?!"
Kakek di
atas dukungan lepaskan ujung suling dari mulutnya. Lalu keluarkan suara jawaban
bergumam yang hanya diketahui dan dimengerti oleh kakek pendukung. "Kau
betul, pasti keparat berjuluk Penolong Budiman. Sudah dua kali dengan ini dia
menggerecoki kita. Kita harus segera mencarinya!"
Kakek di
atas dukungan kembali keluarkan suara bergumam. Kakek yang mendukungnya tampak
kecewa tapi berucap. "Kau benar. Memang bukan saatnya mengejar bangsat
satu itu…."
Kakek di
atas dukungan tiba-tiba rundukkan kepalanya. Mulutnya meniup ke arah Wiro.
Kalau tadi asap hitam menderu keluar dari semua lobang yang ada di tengkorak,
kini asap itu menyambar dahsyat dari mulutnya yang meniup.
Sesaat
murid Eyang Sinto Gendeng jadi bingung apa yang hendak diperbuatnya. Kalau dia
ingat akan ucapan orang di atas pohon tadi dia tidak boleh menyambuti serangan
asap maut Itu dengan pengerahan tenaga dalam. Tapi apa masuk akal? Dengan
tenaga dalam tinggi saja tadi dia tidak mampu menghadapi serangan asap. Apa
lagi tanpa tenaga dalam sama sekali! Dalam bingungnya Wiro akhirnya cabut Kapak
Maut Naga Geni 212. Begitu tenaga dalam disalurkan ke senjata mustika itu dia
langsung membabat. Sinar putih panas disertai gaungan seolah ada seribu tawon
mengamuk seperti hendak meruntuhkan langit membelah bumi!
"Pemuda
tolol! Mempergunakan senjata sakti itu sudah betul! Tapi dia masih saja
mengerahkan tenaga dalam!" Orang bermuka tanah liat hitam memaki sendiri
melihat apa yang dilakukan Wiro. Ucapan itu terdengar di balik serumpunan semak
belukar. Seperti ada petir menghantam bumi, rimba belantara itu sesaatterang
benderang. Tanah terbongkar. Nyala api disertai gulungan asap hitam menggebu.
Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari tangan Wiro. Di atas bahu kawannya kakek
berambut putih kembali meniup.
"Wussss!"
Semburan
asap hitam menyambar ke arah Wiro yang saat itu berusaha menangkap kapak
saktinya yang tengah melayang jatuh ke bawah.
"Benar-benar
tolol! Mencari mati!" Dari balik semak belukar kembali terdengar suara
orang. Lalu "seetttt… seett!" Menyambar selarik sinar hitam yang
mengembang berbentuk kipas. Sinar hitam ini bukan sinar hitam biasa karena
disertai serpihan-serpihan aneh berbentuk bunga-bunga api yang memancarkan
cahaya berkilauan.
"Pukulan
Menebar Budi Hari Ke tiga!" seru Lapicakkanan dengan tampang berubah
sementara di atasnya kakek berambut ijuk warna putih menggumam keras. Ke duanya
kaget dan kecut ketika melihat bagaimana cahaya hitam berbentuk kipas itu
mendorong dengan dahsyat pukulan Asap Iblis Pembeku Darah yang disemburkan
Lasulingmaut. Dua kakek terdorong ke belakang. Tubuh mereka bergetar hebat.
Kakek di
sebelah atas cepat melintangkan suling tengkoraknya di depan dada. Lalu benda
ini diputarnya seperti titiran. Walau dia dan kawannya masih merasakan adanya
tekanan cahaya hitam lawan yang tak kelihatan namun dua kakek aneh itu merasa
lega karena mereka mampu meredam serangan mematikan itu. Ketika cahaya hitam
yang disebut Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga itu menyapu lewat di bawah kaki
mereka si kakek sebelah atas keluarkan lagi suara bergumam. Kali ini lebih
keras.
"Aku
tahu, aku sudah dengar Lasulingmaut! Walau hatiku panas memang ada baiknya kita
tinggalkan tempat ini! Urusan dengan pemuda gondrong itu biar kita selesaikan
lain waktu. Sialan…. Keparat betul! Dia muncul lagi! Seperti dulu setiap muncul
dia tak pernah memperlihatkan diri!"
Lapicakkanan
pegang pinggang kakek yang didukungnya lalu bersiap memutar diri untuk
tinggalkan tempat itu. Namun baru membuat setengah lingkaran tiba-tiba satu
cahaya menyilaukan menyambar ke arah dadanya. Bersamaan dengan itu ada suara
menggaung aneh disertai hantaman hawa luar biasa panas. Sambil berteriak keras
kakek bermata picak ini melompat mundur. Kakek yang didukungnya menggumam keras
lalu cepat-cepat kembangkan dua kakinya. Sambaran sinar menyilaukan yang bukan
lain adalah sabetan Kapak Maut Naga Geni 212 lewat di dada Lapicakkanan dan
hanya seujung kuku memapas di atas dua kaki Lasulingmaut.
"Pemuda
keparat! Mampus kau!" teriak Lapicakkanan marah sekali. Matanya yang picak
digerakkan. Namun belum sempat dia menyemburkan api merah dari matanya itu
kapak sakti warisan Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede kembali
membabat. Sekali ini Lapicakkanan tak bisa mengelak. Kaki kirinya sebatas paha
amblas papas dimakan Kapak Maut Naga Geni 212. Darah menyembur. Tubuhnya
mendadak sontak digerogoti hawa panas.
Lapicakkanan
meraung keras. Lasulingmaut yang ada di atasnya melompat turun sambil tangannya
melemparkan sesuatu. Saat itu juga terdengar letupan keras lalu asap pekat
kelabu menutupi pemandangan. Ketika asap itu lenyap, dua kakek aneh tak ada
lagi di tempat itu.
Wiro
hentakkan kaki penuh geram. Dia memandang berkeliling. Mencari-cari. Tidak tampak
siapa-siapa. Bahkan orang di atas pohon dan kemudian bersembunyi di balik semak
belukar, yakni orang yang tadi menolongnya dari serangan Asap Iblis Pembeku
Darah juga tidak kelihatan. Di udara terdengar suara menguik. Wiro cepat
mendongak. Dia melihat Laeputih melayang terbang menuju ke timur. Di
punggungnya duduk perempuan berambut lepas, panjang terurai ditiup angin.
"Aneh,
angsa putih raksasa itu adalah milik Peri Angsa Putih. Lalu siapa perempuan
yang menungganginya itu. Hendak dibawanya kemana angsa itu? Mengapa Laeputih
bersikap jinak?"
Selagi
Wiro memperhatikan sambil bertanya-tanya, tiba-tiba di arah barat tampak
melayang kura-kura raksasa ditunggangi perempuan berpakaian Jingga.
"Luhjelita,"
desis Wiro. "Ternyata dia masih ada di sekitar sini. Melihat arah
terbangnya jelas dia seperti mengikuti angsa putih. Aku harus menolong Peri
Angsa Putih! Kakek keparat bernama Lahidungbesar Itu pasti membawanya ke Istana
Kebahagiaan! Aku akan menyusul ke sana. Tapi bagaimana dengan Naga Kuning dan
Si Setan Ngompol? Apakah mereka telah berhasil mendapat kesembuhan dari Hantu
Raja Obat?"
Sesaat
Wiro jadi bimbang. Akhirnya dia tetap mengambil Keputusan untuk berangkat
menuju Istana Kebahagiaan. Ketika dia hendak bergerak pergi mendadak
pandangannya membentur selendang biru milik Peri Angsa Putih yang tadi terjatuh
di tanah. Wiro segera ambil selendang ini, melipatnya lalu memasukkannya ke
balik pakaiannya.
*********************
5
DI ATAS
sebuah pembaringan batu yang dialasi permadani dan bantal-bantal empuk terbuat
dari rumput kering, Hantu Muka Dua berbaring dengan mata terpejam, ditemani
setengah lusin gadis cantik berpakaian serba minim. Diantara mereka ada yang
memijat-mijat tangan atau kaki, ada pula yang memijitmijit kepalanya. Seorang
gadis bermuka bulat berbadan sintal sesekali menyuapkan sejenis buah menyerupai
anggur ke dalam mulut Hantu Muka Dua yang saat itu terbaring dengan penampilan
wajah seorang lelaki separuh baya. Sudah beberapa kali gadis ini berusaha
memasukkan buah itu ke dalam mulut Hantu Muka Dua, namun Hantu Muka Dua entah
apa sebabnya sejak tadi selalu mengatupkan mulut Di sisi kanan bersimpuh gadis
ke enam, gadis paling cantik dari semua gadis yang ada di ruangan itu. Gadis
ini memegang sehelai kipas daun yang dikipaskipaskannya ke arah Hantu Muka Dua
dan menebar bau harum. Beberapa waktu berlalu tanpa ada yang berani bicara dan
Hantu Muka Dua masih saja berbaring dengan mata terpejam.
Gadis
yang memegang kipas bernama Luhkiniki. Diantara semua gadis yang ada di Istana
Kebahagiaan Itu memang yang satu ini adalah kesayangan Hantu Muka Dua dan lebih
berani dari yang lain-lainnya.
"Wahai
Hantu Muka Dua, Junjungan kami para penghuni Istana Kebahagiaan, Raja Diraja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam. Sejak tadi kau berbaring berdiam diri
pejamkan mata. Mungkinkah sakit menjangkit badan atau adakah sesuatu yang
kurang mengenakkan? Kalau memang berkenan di hati sudilah Junjungan memberi
jawaban."
"Jangan
ganggu aku dengan berbagai ucapan dan pertanyaan. Aku tidak sakit! Tapi sedang
kalut pikiran. Banyak yang aku pikirkan saat ini! Kalian lakukan saja apa
kewajiban kalian! Dan awas! Jangan suapi lagi aku dengan buah celaka itu!
Jangan berani berisik apa lagi bertanya!"
"Wahai
Junjungan, maafkan kami kalau berlaku menyakiti hatimu. Tidak maksud hati
berlaku kurang ajar. Kalau memang ada kekalutan pikiran dan kau mau
menceritakan, siapa tahu kami bisa membantu…" berucap gadis yang memegang
kipas.
"Luhkiniki,
aku sayang padamu. Tapi saat kalut begini jangan kau berbanyak mulut! Jangan
kira aku tidak tega menampar mukamu yang cantik itu!"
Mendengar
kata-kata Hantu Muka Dua itu, gadis bernama Luhkiniki memandang pada lima
kawannya lalu tutup mulutnya tak berani bersuara lagi. Beberapa waktu lagi
berlalu. Sesekali Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti mendengkur. Tapi semua
gadis itu tahu sang Junjungan bukan tengah tertidur lelap. Tiba-tiba Hantu Muka
Dua bergumam. Lalu mulutnya terbuka.
"Tidak
mungkin! Tidak mungkin!"
Dua wajah
Hantu Muka Dua depan belakang tampak mengucurkan keringat sebesar
butiran-butiran jagung.
Kalau
saja tidak takut kena marah, Luhkiniki sebenarnya ingin bertanya apa yang tidak
mungkin itu. Namun karena takut gadis ini dan kawan-kawannya lebih baik memilih
diam. Mendadak Hantu Muka Dua bangkit dari berbaring. Duduk di pembaringan,
memandang berkeliling. Lalu berkata lagi. "Tidak mungkin! Tidak mungkin
Lakasipo! Tidak mungkin kau saudaraku! Tanda berbentuk gambar bunga dalam
lingkaran yang ada di bawah lengan dekat ketiak kananmu itu mungkin hanya satu
kebetulan saja! Kita tidak bersaudara. Haram bagiku bersaudara denganmu!
Seharusnya aku bunuh kau saat itu Lakasipo! Tapi jahanam betul! Mengapa aku
berlaku tolol! Mengapa tidak aku lakukan!"
Seperti
dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jati Landak di sebuah pulau
terjadi pertarungan hidup mati antara Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan
Hantu Muka Dua. Saat itu Hantu Muka Dua hendak menghabisi Lakasipo. Hampir
Hantu Muka Dua akan merenggut nyawa lawannya itu tiba-tiba dia melihat tanda
seperti jarahan berupa gambar bunga dalam lingkaran di lengan sebelah dalam
dekat ketiak kanan Lakasipo. Dia serta merta ingat pada tanda yang sama yang
ada pada lengannya sebelah dalam dekat ketiak kanan. Terbayang oleh Hantu Muka
Dua wajah seorang kakek bernama Lamanyala. Terngiang di telinganya ucapan orang
tua itu.
"Ketahuilah,
kau memiliki tiga orang saudara. Semuanya laki-laki. Ketika banjir besar
melanda daerah tempat kediamanmu puluhan tahun silam, kalian berempat
dihanyutkan air bah ke empat penjuru angin. Semua saudaramu masih hidup. Begitu
kabar yang aku sirap. Namun di mana mereka berada tidak aku ketahui dan tidak
aku selidiki. Satu hal yang aku ketahui kalian berempat memiliki tanda aneh di
bawah lengan kanan sebelah atas, dekat ketiak. Tanda itu berupa gambar
setangkai bunga dalam lingkaran…."
Hantu Muka
Dua memandang berkeliling. Pandangannya berhenti pada wajah jelita Luhkiniki.
Memberanikan diri gadis ini berkata. "Wahai Hantu Muka Dua, Raja Diraja
Segala Hantu, penguasa Kerajaan yang berpusat pada Istana Kebahagiaan, hal
apakah yang tengah kau alami? Tadi matamu terpejam tapi kau tidak tidur. Kau
tiba-tiba bicara sesuatu tetapi kau tidak mengigau. Kau menyebut-nyebut tidak
mungkin. Apa yang tidak mungkin wahai Hantu Muka Dua. Tidak dapatkah kami
menolongmu dari kekalutan yang membuncah pikiranmu?"
Hantu
Muka Dua sesaat masih menetap Luhkiniki.
Kemudian
dia memandang ke pintu. "Sudah belasan hari mereka pergi. Sampai saat ini
apakah masih belum kembali?"
"Wahai,
gerangan siapa yang Junjungan pertanyakan? Sudilah menyebut nama agar kami bisa
menjawab…" berkata Luhkiniki.
"Yang
kutanyakan adalah tiga sahabat tangan kananku di Istana Kebahagiaan ini. Si
Lahidungbesar, Lapicakkanan dan Lasulingmaut!" jawab Hantu Muka Dua pula
dengan suara agak berang.
Baru saja
Hantu Muka Dua selesai berucap tibatiba di luar ruangan ada orang berseru.
"Hantu
Muka Dua Junjungan Penguasa Istana Kebahagiaan! Kami bertiga yang kau tanyakan
ada di luar sini! Mohon waktu untuk menghadap! Kami membawa kabar buruk!"
Dua wajah
Hantu Muka Dua sesaat berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat. Setelah hatinya
tenang wajahnya depan belakang kembali pada wajah dua lelaki separuh baya.
"Pintu
batu tidak dikunci. Dorong dan masuklah!" Hantu Muka Dua berkata. Matanya
memandang tak berkesip ke ujung ruangan. Dinding ruangan itu perlahan-lahan
bergerak ke kiri. Dua orang kakek kelihatan tegak di seberang sana. Salah
seorang di antaranya mendukung satu sosok yang paha kirinya buntung. Dari
kutungan tubuh ini kelihatan darah masih mengucur. Enam gadis yang ada di
ruangan itu menjerit ngeri.
Membuat
Hantu Muka Dua jadi tergagau kaget dalam kejutnya. "Gadis-gadis jahanam!
Keluar kalian semua! Tinggalkan ruangan ini!" hardik Hantu Muka Dua. Enam
gadis cantik serta merta menghambur lari dan menghilang lewat sebuah pintu yang
ada di balik tiang besar berukir.
Dua kakek
di ambang pintu bertindak hendak melangkah masuk.
"Jahanam!
Jangan berani masuk mengotori kamar ketiduranku dengan darah busuk!" Hantu
Muka Dua kembali berteriak marah. Dia melompat ke arah pintu yang terbuka. Saat
itu dua wajahnya telah berubah menjadi muka raksasa yang menakutkan. Hidung
besar, mulut berbibir tebal, taring mencuat dan rambut, kumis serta janggut
lebat awut-awutan! Sepasang matanya yang besar memandang seperti mau menelan
dua kakek di depannya. Lalu dia memperhatikan kakek buntung paha yang ada dalam
dukungan kakek berhidung besar berkepala botak hitam.
Dengan
suara bergetar menahan amarah Hantu Muka Dua bertanya. "Apa yang terjadi
dengan Lapicakkanan?! Lasulingmaut! Lahidungbesar! Jawab!"
Kakek di
sebelah kanan yang berambut seperti ijuk berwarna putih keluarkan suara
bergumam lalu masukkan ujung suling yang ditancapi tengkorak dan meniup satu
kali. Suling itu keluarkan suara sember disertai mengepulnya asap hitam dari
lobang mata, hidung, mulut dan telinga tengkorak.
"Keparat!
Lasulingmaut! Apa kau tak bisa bicara wajar?!" menghardik Hantu Muka Dua.
Rambut di kepalanya dan kumis tebal di bawah hidungnya sampai naik berjingkrak!
Yang dihardik, yakni kakek yang membawa suling, kembali meniup sulingnya. Suara
sember terdengar lagi dan asap hitam kembali mengepul.
"Jahanam!
Kau mau membunuh aku dengan asap beracun itu! Kau memang sialan! Tak pernah
bisa bicara wajar!" Hantu Muka Dua berpaling pada kakek yang mendukung
orang tua buntung paha. "Kau juga tidak bisa bicara wajar? Atau Perlu
kurobek dulu mulutmu?! Lahidungbesar! Ayo ceritakan apa yang terjadi!"
"Maafkan
kami wahai Hantu Muka Dua. Maafkan aku! Sesuai perintahmu kami berhasil
menghadang Peri Angsa Putih bahkan sekaligus menemukan kekasihmu
Luhjelita!"
Mendengar
kata-kata kakek yang hidungnya besar itu dua wajah Hantu Muka Dua depan
belakang berubah menjadi muka lelaki separuh baya kembali. Dia mendesah sambil
pejamkan mata. "Wahai Luhjelita kekasihku…. Bagaimana keadaannya? Lama
nian dia tidak menyambangiku. Lama nian aku tidak melihat wajahnya yang jelita.
Lama nian aku tidak melihat lekuk tubuhnya yang bagus putih dan kencang…."
"Luhjelita
ada baik-baik saja wahai Hantu Muka Dua," jawab Lahidungbesar. Lalu dia
melanjutkan.
"Keberuntungan
kami malah lebih besar dari yang kami duga. Di tempat di mana Luhjelita dan
Peri Angsa Putih berada, di situ juga ada pemuda asing dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang yang kau suruh bunuh itu!"
"Maksudmu
pemuda gondrong sinting bernama Wiro Sableng itu?"
"Benar
sekali wahai Hantu Muka Dua…. Tapi seperti katamu, pemuda itu tidak lagi
bersosok kerdil. Tidak setinggi lutut! Tubuhnya sama besar dengan kita!"
"Jahanam!
Siapa yang menolongnya hingga bisa jadi besar begitu rupa?!"
"Kami
tidak tahu. Kami tidak sempat menyelidik…."
"Apa
dua kawannya juga ada di situ? Seorang bocah banyak tingkah dan seorang kakek
bau pesing?"
Lahidungbesar
gelengkan kepala.
Hantu
Muka Dua menatap tajam pada kakek bernama Lahidungbesar lalu pandangannya turun
pada sosok buntung paha yang digendong si kakek. "Aku sudah bisa
menduga-duga apa yang terjadi! Tapi kau harus menerangkan mengapa Lapicakkanan
berada dalam keadaan seperti ini! Siapa yang mencelakainya. Peri Angsa Putih
atau pemuda bernama Wiro Sableng itu?!"
Kakek
mata picak dalam gendongan kakek hidung besar keluarkan erangan panjang
sementara darah masih mengucur dari pahanya yang buntung. "Hantu Muka Dua
Aku tak tahan. Sekujur tubuhku terasa panas…. Panas sekali "
Hantu
Muka Dua perhatikan buntungan di paha Lapicakkanan. "Ini bukan luka biasa.
Sebagian pahanya yang masih bersisa kelihatan hangus seperti dipanggang…."
"
Kakek bernama Lasulingmaut mendongak. Matanya berkaca-kaca. Dari mulutnya
keluar suara bergumam. Setelah meniup sulingnya satu kali kakek ini usut air
matanya.
"Wahai
Hantu Muka Dua. Sahabatku ini terkena sambaran kapak sakti milik pemuda bernama
Wiro Sableng itu "
"Jahanam
besar! Kalian bertiga ternyata tidak becus!" Dua muka Hantu Muka Dua
kembali berubah menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan.
"Sebenarnya
hal mudah bagi kami untuk membereskan pemuda itu. Malah Peri Angsa Putih telah
kami tawan…."
"Apa?!"
Hantu Muka Dua tersentak. "Di mana Peri Itu sekarang?"
"Aku
sembunyikan di sebuah sumur melintang dekat jalan masuk ke Istana Kebahagiaan
di sebelah utara…."
"Jangan
bermain culas denganku Lahidungbesar. Gadis itu harus kau bawa ke hadapanku!
Aku sudah lama menyarang dendam terhadapnya. Walau aku tidak boleh membunuhnya
tapi aku sudah lama berniat untuk merampas kehormatannya. Bahkan aku akan
membuatnya hamil mengandung! Agar segala kutuk jatuh pada dirinya!" Hantu
Muka Dua basahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Rangkungannya turun
naik dan dua wajahnya berubah menjadi wajah dua orang pemuda gagah. Ini
pertanda bahwa dirinya telah dirasuki nafsu birahi kotor!"
"Hantu
Muka Dua, wahai! Kau tentu tidak lupa. Bukankah kita sudah membuat perjanjian?
Jika aku berhasil meringkus Peri Angsa Putih maka Peri itu akan menjadi
bagianku untuk bersuka-suka sebelum kau masukkan ke dalam ruang penyiksaan,
Ruangan Obor Tunggal!"
"Memang
kita sudah membuat perjanjian. Tapi aku kuasa untuk merubah segala perjanjian!
Apa seorang Raja Diraja seperti aku harus mendapatkan barang bekas? Kau mau
memberi sisa padaku Lahidungbesar? Katakan berapa nyawa yang kau miliki!"
Tampang raksasa kembali muncul di dua wajah Hantu Muka Dua.
"Wahai
Hantu Muka Dua, kau adalah Junjungan dan Raja Diraja Segala Hantu, pembangun
Kerajaan Kebahagiaan, Penguasa Tunggal di Istana Kebahagiaan, mana aku berani
membantah. Jika kau memang menginginkan Peri Angsa Putih, aku akan membawanya
ke sini!"
"Peri
itu telah menghancurkan tempat kediamanku terdahulu. Dia menimbun dengan lahar
panas…." (Baca riwayat Hantu Muka Dua sebelumnya dalam serial Wiro Sableng
berjudul Peri Angsa Putih)
"Apa
perintahmu akan kami patuhi wahai Hantu Muka Dua," kata kakek bernama
Lahidungbesar.
"Panas…
sekujur tubuhku terasa panas. Hantu Muka Dua, aku tak tahan…" ucapan itu
kembali meluncur dari mulut kakek bernama Lapicakkanan.
"Sekujur
tubuhnya dijalari racun senjata sakti berbentuk kapak milik pemuda bernama Wiro
Sableng itu…" menjelaskan Lahidungbesar.
"Tak
usah khawatir. Aku akan mengobatinya. Aku akan memberikan kesembuhan
padanya!" kata Hantu Muka Dua. Dia melangkah mendekati Lahidungbesar yang
mendukung kakek buntung Lapicakkanan. Tangan kanannya diangkat ke atas. Lalu
secepat kilat diayunkan ke bawah.
"Praaakkk!"
Kepala
Lapicakkanan langsung pecah!
"Manusia
tak berguna! Apa guna hidup berlamalama!" kata Hantu Muka Dua. Saat itu
wajahnya beberapa ketika berubah menjadi muka raksasa kemudian kembali ke muka
lelaki separuh baya.
Lahidungbesar
merasakan tengkuknya menjadi dingin. Sosok Lapicakkanan yang telah jadi mayat
terlepas dari gendongannya. Tapi sebelum menyentuh lantai kaki kanan Hantu Muka
Dua telah menendang hingga mayat itu mencelat mental sampai beberapa tombak.
Hantu
Muka Dua usap-usap telapak tangannya satu sama lain. Dia melirik pada
Lasulingmaut lalu berpaling pada Lahidungbesar. "Tadi kau mengatakan
sebenarnya kalian dengan mudah bisa membereskan pemuda dari negeri asing itu.
Nyatanya kalian memang tidak mampu! Apa yang terjadi?!" Hantu Muka Dua
membentak membeliak.
"Ada
seorang berkepandaian tinggi menolong pemuda itu," jawab Lahidungbesar.
"Kau
tahu siapa?!"
Lasulingmaut
bergumam keras lalu tiup suling tengkoraknya. Matanya tampak berkaca-kaca
seperti tadi.
"Jangan
cengeng!" bentak Hantu Muka Dua pada kakek berambut ijuk putih yang selama
ini kemanamana selalu didukung oleh Lapicakkanan. Hantu Muka Dua berpaling pada
Lahidungbesar. "Kau tahu atau tidak ta hu siapa adanya orang yang membantu
Wiro?!"
"Orangnya
tidak menunjukkan diri. Tapi kami berdua yakin dia adalah orang yang selama ini
menjadi tanda tanya besar di Negeri Latanahsilam yaitu Si Penolong
Budiman."
Tampang
Hantu Muka Dua mendadak sontak berubah menjadi tampang kakek-kakek pucat. Ini
satu pertanda selain kaget dia juga merasa tidak enak.
"Bagaimana
kau bisa yakin wahai hidung besar…?" Hantu Muka Dua ajukan pertanyaan.
"Orang
itu lepaskan pukulan berupa tebaran sinar hitam yang ada serpihan-serpihan
aneh. Apa lagi kalau bukan Pukulan Menebar Budi. Yang dihantamkannya saat itu
adalah Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga!"
Mendengar
keterangan Lahidungbesar itu sepasang mata Hantu Muka Dua mendelik besar. Lalu
dia usap-usap mukanya sebelah depan berulang kali. Dalam hati dia membatin.
"Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga saja sudah membuat anak buahku
kelabakan. Belum lagi Pukulan Menebar Budi Hari Ke empat, Ke lima, Ke enam dan
Ke tujuh! Siapa adanya manusia satu ini harus diselidiki, diringkus dan
dihabisi. Tapi mungkinkah dia Dewa yang turun ke bumi melakukan
penyamaran?" Hantu Muka Dua memandang pada dua kakek di hadapannya lalu
berkata.
"Aku
melihat pertanda buruk. Sudah sebelas malam aku seolah melihat wajah-wajah
aneh. Beberapa kali aku melihat gambar bunga dalam lingkaran. Sayang Lagandrung
dan Lagandring sudah mampus! Kalau mereka masih hidup mungkin bisa memberi
keterangan yang aku harapkan. Selama ini kabut rahasia selalu menyelubungi
kehidupanku. Aku tak pernah tahu asal usulku. Aku tak pernah tahu siapa ayah siapa
ibuku! Wahai!" Sambil bicara rawan seperti itu Hantu Muka Dua usap-usap
bagian bawah lengan dekat ketiak kanannya di mana terdapat tanda berbentuk
bunga dalam lingkaran!
"Junjungan,
Raja Diraja Segala Hantu, mengapa kau bicara seolah memperlihatkan kelemahan
hati kerendahan jiwa?"
Ucapan
Lahidungbesar itu membuat Hantu Muka Dua seolah tersadar." Kau betul wahai
Lahidungbesar. Percuma aku mengaku diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu di
Negeri Latanahsilam, percuma aku membangun Istana Kebahagiaan sebagai pusat
kekuasaan Kerajaan baru! Percuma aku dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu! Ha… ha… ha!"
Sebelum
kita lanjutkan apa yang akan dilakukan Hantu Muka Dua terhadap Peri Angsa Putih
yang kena ditawan oleh Lahidungbesar, dalam Bab berikutnya kita ikuti dulu
serangkaian kejadian di masa puluhan tahun silam.
*********************
6
LELAKI
yang membekal parang terbuat dari batu biru di tangan kanannya itu hentikan
lari di ujung jurang. Memandang ke bawah sesaat dia jadi tercekat.
"Jurang
batu…. Dalam sekali! Celaka! Tak mungkin kuterjuni…." Dia silangkan parang
di depan dada lalu berpaling ke belakang. Belum selesai dia membuat gerakan
tiba-tiba sesosok tubuh melayang di udara, membuat gerakan berjumpalitan dua
kali. Di lain kejap sosok ini sudah tegak di hadapannya dengan muka menyeringai
garang dan membersitkan nafas menyapu panas sampai ke permukaan wajahnya.
"Latumpangan!
Tempat larimu sudah putus! Kau hanya punya tiga pilihan! Mampus bunuh diri
menerjuni jurang! Mati di tanganku atau menyerahkan Jimat Hati Dewa
padaku!"
‘Orang
yang memegang parang biru mendengus lalu meludah ke tanah. "Selama Parang
Langit Biru masih berada di tanganku, jangan kau berani mencari mati wahai
Lasedayu!"
Lasedayu
si muka garang tertawa bergelak. "Parang Langit Biru hanya ciptaan alam.
Apakah sanggup melawan diriku Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam
ini?!"
"Kau
bermimpi atau mungkin juga mengigau! Sudah sejak dua puluh tahun lalu kau tidak
lagi menjadi Wakil Para Dewa di muka bumi ini! Hak Perwakilanmu telah dicabut
karena Para Dewa meragukan kesetiaan dan kelurusan hatimu! Buktinya saat ini
kau sengaja mengejar aku, memaksa untuk mendapatkan benda yang bukan
hakmu!"
"Aku
memaksa, kau tidak mau menyerahkan! Wahai! Sungguh buruk bakai jadinya bagi
dirimu wahai Latumpangan!" ujar Lasedayu pula.
"Terserah
padamu! Aku sudah siap berjibaku sampai tetes darah terakhir, sampai hembusan nafas
penghabisan!" Latumpangan geser dua kakinya memasang kuda-kuda kokoh.
"Sayang
sekali otakmu dirasuk seribu kebodohan dan hatimu dihantui seribu kepicikan!
Kau memilih mati dari pada menyerahkan benda yang kuminta. Tapi aku masih
memberi kesempatan sekali lagi agar kau mau berpikir. Kau mau menyerahkan Jimat
Hati Dewa itu padaku agar bisa selamat?"
Latumpangan
menggeleng. "Jimat ini adalah titipan Dewa. Aku tidak akan menyerahkan
pada siapapun!"
"Wahai!
Benar-benar sangat disayangkan!" Lasedayu gerakkan sepuluh jari tangan
kanannya. Jari-jari tangan itu keluarkan suara berkeretekan. Bersamaan dengan
itu mulutnya membentuk seringai buruk.
"Serahkan
Jimat Hati Dewa!" Lasedayu membentak sambil ulurkan tangan kanannya.
Meminta! Suara bentakannya menggelegar sampai ke dalam jurang. Sepasang matanya
membelalang menyeramkan.
Namun
Latumpangan tidak takut. "Bukan jimat yang akan kau dapat! Makan mata
parangku!" Tangan kanan Latumpangan berkelebat.
"Wuuutttt!"
Sinar
biru berkiblat begitu Parang Langit Biru membabat ke depan. Lasedayu cepat
tarik tangannya yang diulurkan. Sambaran angin pedang terasa dingin dan membuat
tubuhnya sebelah depan tergetar, me maksa kakinya bergeser lersurut setengah
langkah.
Dalam
hati dia berkata. "Parang Langit Biru boleh juga! Tapi persetan! Siapa
takut!"
Kaki
kanan Lasedayu menyapu ke depan, berusaha menendang betis kiri Latumpangan.
Yang diserang membuat babatan menukik untuk menangkis sekaligus membacok kaki
lawan. Namun serangan Lasedayu itu hanya tipuan belaka. Begitu sinar biru pedang
bertabur ke bawah, dia hentakkan kaki kirinya. Saat itu juga tubuhnya melesat
setinggi dua tombak. Sambaran parang batu lewat menderu.
Dari
atas, tangan kanan Lasedayu menyambar ke arah batok kepala Latumpangan dalam
kecepatan luar biasa.
"Pecah
kepalamu!" teriak Lasedayu.
Latumpangan
rundukkan kepalanya. Sambil selamatkan diri dia tusukkan Parang Langit Biru ke
arah dada lawan yang mengambang di atasnya. Lasedayu kertakkan rahang,
menggeram marah karena dia tahu bagaimanapun cepatnya hantaman tangannya ke
kepala Latumpangan, ujung parang lawan akan menembus dadanya lebih dulu!
Masih
melayang di udara Lasedayu pergunakan kaki kiri untuk menendang. Namun luput!
Sementara itu parang biru terus menusuk ke atas! Lasedayu keluarkan teriakan
keras. Bersamaan dengan itu dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya seolah
terbanting ke samping. Latumpangan percepat gerakannya menusuk,
"Rasakan!"
teriaknya. Parang biru amblas ditubuh sebelah kanan Lasedayu. Ternyata hanya
menusuk di celah sempit antara ketiak dan rusuk lawan! Walau selamat tapi
Lasedayu tahu betul bahaya besar yang mengancamnya. Jika lawan bertindak cepat
dan sigap, mata parang yang sangat tajam itu bisa merobek tembus daging dan
memutus tulang-tulang iganya. Dan memang itulah sepertinya yang akan dilakukan
Latumpangan. Tangan kanannya diputar demikian rupa tapi bukan untuk menyayat ke
arah tubuh melainkan dibabatkan ke belakang untuk memutus lengan kanan
Lasedayu!
Lasedayu
yang tahu bahaya segera jatuhkan tubuhnya ke bawah. Parang lawan yang ada di
ketiaknya seolah dijadikan tempat luncuran. Sebelum, bagian tajam mata parang
berputar, dengan tangan kirinya Lasedayu mencekal pergelangan tangan kanan
Latumpangan. Sesaat kemudian tangan kiri Lasedayu ikut meremas jari-jari lawan.
Lalu "kraakkk..kraaaakkk!"
Dua kali
suara patahan tulang hampir tak terdengar karena lenyap ditindih jeritan
Latumpangan.
Parang
Langit Biru jatuh tercampak berkerontangan di tanah yang berbatu-batu.
Latumpangan sendiri tersurut beberapa langkah sambil matanya melotot memandangi
tangan kirinya yang memegangi lengan dan jari-jari tangan kanannya yang telah
hancur. "Remasan Sepuluh Jari Hantu…!" desis Latumpangan menyebut
ilmu lawan yang menciderainya. Tiba-tiba seperti kalap Latumpangan berteriak
keras. Lalu tangan kirinya laksana kilat menghantam berulang kali ke depan.
"Bukkk!
Bukkkk! Bukkkk!"
Tubuh
Lasedayu terangkat sampai tiga kali berturutturut begitu jotosan Latumpangan
mendarat susul menyusul di dadanya.
"Puaskan
hatimu Latumpangan! Pukul terus sesukamu!" kata Lasedayu sambil menyeringai
buruk.
"Bukkk!
Bukkk! Bukkkk!"
Kembali
Latumpangan menghujani tubuh lawan dengan pukulan-pukulan keras. Kembali sosok
Lasedayu terangkat ke udara bahkan kini dari mulutnya kelihatan ada darah
mengucur. Tapi dia masih saja menyeringai.
"Cukup
Latumpangan!" Tiba-tiba Lasedayu berteriak.
Tangannya
kiri kanan berkelebat ke sekujurtubuh lawan, mulai dari kepala sampai ke dada.
"Kraaakk…kraaakkk…
kraaakk!" Suara patah dan hancurnya tulang terdengar mengerikan berulang
kali. Remasan Sepuluh Jari Hantu! Bertubi-tubi menghantam Latumpangan!
Sosok
Latumpangan terhuyung-huyung tak karuan dan dari mulutnya keluar jerit
kesakitan tak berkeputusan. Tulang batok kepalanya amblas. Tulang kening dan
tulang pipinya sebelah kanan hancur. Darah berselemak menutupi wajahnya. Itu
masih ditambah lagi dengan tulang bahu kiri kanan yang remuk serta dua tulang
iga melesak patah.
Lasedayu
tertawa bergelak. "Aku menawarkan madu, kau lebih suka racun! Wahai!
Silakan kau teguk sendiri!"
"Lasedayu
keparat! Aku pasrah mati! Tapi kau juga harus ikut mampus bersamaku!" kata
Latumpangan dengan suara keras namun sember bergetar. Tiba-tiba Latumpangan
melompat nekad merangkul tubuh Lasedayu. Lalu dengan sekuat tenaga dia menarik
Lasedayu ke tepi jurang. Niatnya rupanya adalah untuk menjatuhkan diri
bersama-sama lawannya ke dalam jurang batu! Tentu saja Lasedayu tidak mau mati
konyol begitu rupa.
Dengan
tumit kirinya Lasedayu memijak gagang Parang Langit Biru yang tergeletak di
tanah. Begitu parang melesat mental ke atas segera disambarnya dengan tangan
kiri. Setelah itu terdengar jeritan Latumpangan. Matanya terpentang besar,
membeliak ke udara. Rangkulannya pada tubuh Lasedayu terlepas. Sosok
Latumpangan Periahan-lahan melosoh ke bawah lalu terkapar tertelentang di
tanah. Parang Langit Biru miliknya menancap di tubuhnya. Menembus pinggangnya
dan kiri ke kanan!
Pada saat
itu di langit sebelah utara mendadak menggelegar suara guntur dibarengi kilatan
cahaya terang. Sesaat Lasedayu terkesiap. "Aneh, langit cerah.
Tak ada
mendung apa lagi hujan. Mengapa ada gelegar guntur dan sambaran petir…."
Membatin Lasedayu.
Namun dia
tidak mau memikirkan keanehan itu lebih lanjut. Dengan cepat dia jongkok di
samping mayat Latumpangan, menggeledah ke balik pakaian orang itu. Di pinggang
pakaian Latumpangan yang terbuat dari kulit kayu sangat tebal dia menemukan
benda yang dicarinya, sebuah kantong sebesar kepalan tangan, terbuat dari
sejenis daun yang sangat liat.
Lasedayu
pergunakan kuku-kuku jarinya yang panjang hitam untuk merobek kantong daun.
Dari dalam kantong itu muncul sebuah benda berbentuk segumpal daging berwarna
kemerah-merahan. Gumpalan daging ini bergerak berdenyut-denyut seolah hidup!
"Jimat
Hati Dewa…" desis Lasedayu dengan suara serta tangan bergetar. Seringai
menyeruak di mulutnya. Namun laksana direnggut setan seringai itu lenyap ketika
tiba-tiba dari langit sebelah utara dimana tadi menggelegar suara guntur
disertai berkiblatnya petir, melesat sebuah benda berwarna merah. Belum habis
kejut Lasedayu tahu-tahu seorang kakek yang kulit muka dan tubuhnya berwarna
merah telah tegak di hadapannya. Kakek ini memegang sebatang tongkat aneh yang
mulai dari pangkal sampai ke ujungnya dikobari nyala api berwarna merah.
Sepasang mata si kakek yang juga seolah dikobari api menatap tajam pada
Lasedayu. Begitu dia membuka mulut dan bicara, lidahnya tampak seperti dibuat
dari api.
"Lasedayu,
lekas kau serahkan Jimat Hati Dewa Itu padaku!"
"Wahai!
Kau siapa?" tanya Lasedayu. Suaranya keras dan dalam hati dia menduga-duga
siapa adanya makhluk aneh di hadapannya itu.
*********************
7
KOBARAN
api di dua mata dan lidah si kakek yang muncul dari atas langit menjilat ke
depan.
"Aku
Wakil atau Utusan Para Dewa! Datang diperintahkan untuk mengambil Jimat Hati
Dewa yang kini kau pegang itu…." Si kakek ulurkan tangan kirinya.
Ternyata
telapak dan jari-jari tangannya itu juga dijilati api!
Terkejutlah
Lasedayu mendengar ucapan si kakek.
"Tunggu
dulu! Aku juga Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam ini! Antara kita berada
dalam kedudukan sama! Jangan kau berani memerintah diriku!"
"Lasedayu,
kedudukanmu sebagai Wakil Para Dewa, seperti dikatakan Latumpangan telah
dicabut sejak dua puluh tahun lalu. Para Dewa sudarj banyak murka padamu sejak
lama. Hari ini kau membunuh Latumpangan dan punya niat jahat hendak menguasai
Jimat Hati Dewa yang bukan menjadi hakmu! Aku tidak sudi bicara
berpanjang-panjang. Serahkan Jimat itu! Sekarang!"
"Kau
tidak sudi bicara berpanjang-panjang. Aku tidak sudi menyerahkan benda yang kau
minta!"
"Lasedayu,
kau berani menantang Wakil Para Dewa?" suara si kakek bernada mengancam.
"Aku
mau tahu kau hendak berbuat apa padaku!" menantang Lasedayu.
Si kakek
angkat tangan kirinya yang memegang tongkat.
"Wusssss!"
Tongkat
di tangan si kakek berubah menjadi sebuah cambuk apL "Kau berani
membangkang, kau akan menerima azab!" Si kakek yang mengaku Wakil Para
Dewa kembali gerakkan tangan kirinya.
"Wusss!"
Petir api
menggelegar dahsyat mengerikan, berputar di udara lalu menghantam ke arah kaki
orang di hadapannya. Lasedayu berteriak kaget dan cepat melompat. Kaki celana
kulit kayu sebelah kiri hangus. Daging kakinya tampak terkelupas merah.
"Jahanam!
Berani kau menciderai diriku!" teriak Lasedayu. Dia hantamkan tangan
kanannya. Lepaskan satu pukulan tangan kosong. Si kakek cepat menyingkir ketika
melihat satu sinar kuning berkiblat menyambarnya. Sambil mengelak dia gerakan
cambuk apinya.
"Wusss!
Taaarrrrr!"
Nyala api
panjang menembus kiblatan cahaya kuning. Saat itu juga cahaya kuning bertabur
berantakan dengan mengeluarkan suara letusan keras!
Tangan
kiri si kakek bergetar keras. Cambuk api yang dipegangnya mental ke udara. Dia
cepat menguasai senjata itu sementara Lasedayu terjajar sampai tiga langkah.
Mukanya pucat. Tangan kanannya seperti kaku. "Kakek itu mampu
menghancurkan Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning…." Diam-diam Lasedayu
menjadi kecut. "Akan kucoba dengan Pukulan Tangan Dewa Warna Biru yang
paling hebat!"
Lasedayu
lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tanpa menunggu lebih lama dia
segera menghantam. Si kakek rupanya sudah tahu apa yang hendak dilakukan
Lasedayu. Sambil menekuk lutut dan miringkan tubuh ke kiri, dia putar cambuk
apinya begitu melihat cahaya biru menderu keluar dari tangan kanan lawan.
"Wussss!"
Cambuk api menderu di udara.
"Taarrr!
Byaaaarrr!"
Lasedayu
berseru kaget. Cepat dia gulingkan diri di tanah ketika melihat cambuk api di
tangan lawan menghancurkan Pukulan Dewa Warna Biru yang tadi dilepaskan.
"Taarrr!
Taaarrr! Taaarrr!"
Cambuk
api mengejar dan menghantam ke arah Lasedayu tiga kali berturut-turut. Dua batu
besar yang terkena hantaman cambuk api hancur berentakan dan hancurannya
berubah menjadi keping-keping merah membara!
Dua kali
Lasedayu berhasil lolos dari hantaman cambuk api, namun kali yang ke tiga dia
tak mampu lolos. Cambuk itu mendarat melintang di permukaan dadanya, mulai dari
bahu kiri bersilang ke pinggang kanan. Tubuhnya terpental ke udara sampai dua
tombak. Lasedayu terbanting dan terkapar di tanah. Di sampingnya tanah yang
tadi terkena hantaman cambuk kelihatan terbelah dalam dan hangus.
Kakek
Wakil Para Dewa sesaat tatap sosok Lasedayu yang tak berkutik itu. Dia
mendengus dan berkata.
"Kematian
semudah dan secepat membalik tangan. Mengapa manusia masih memPeriihatkan
ketinggian hati yang sebenarnya hanyalah satu kebodohan belaka?!"
Kakek ini
gerakkan tangan kirinya. Cambukapinya kembali berubah ke bentuk semula yakni
sebatang tongkat berapi. Lalu dengan mulut komat kamit dia melangkah mendekati
sosok tak bergerak Lasedayu. Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati
Dewa yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Lasedayu tiba-tiba tidak
disangka-sangka kaki kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu melesat ke
arah dada si kakek.
"Bukkkk!"
Sang
Wakil Para Dewa menjerit keras. Tubuhnya terpental tiga tombak, terbanting
jatuh punggung pada sebuah batu besar dan dari mulutnya menyembur darah kental!
"Wahai,
mengapa aku bertindak lengah! Belum mati jahanam itu rupanya!" keluh si
kakek. Memandang ke depan dilihatnya Lasedayu terbungkuk-bungkuk berusaha
bangkit berdiri. Walau dadanya serasa hancur si kakek cepat bangun. Tangan
kirinya digerakkan. Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk menyala.
"Kali
ini harus kuputus lehernya! Harus kutanggalkan kepalanya!" Si kakek
berkomat kamit sambil putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api bergetar,
meliuk-liuk laksana sosok ular hidup. Begitu dia menyentak maka cambuk api itu
melesat ganas ke udara, mengeluarkan suara menggidikkan disertai nyala api
seperti hendak membakar langit!
Di depan
sana, ketika cambuk api membuat dua kali putaran di udara dengan segala
kedahsyatannya, Lasedayu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya. Jimat Hati Dewa
yang berupa gumpalan daging merah hidup itu dimasukkannya ke dalam mulutnya
lalu dikunyahnya mentah-mentah!
Kakek
Wakil Para Dewa berteriak kaget.
"Tidak!
Jangan lakukan itu!"
Seperti
orang kesurupan Lasedayu mempercepat kunyahannya. Daging yang dikunyah keluarkan
darah merah kehitaman dan mengucur dari dalam mulutnya. Dari tenggorokannya ada
suara seperti srigala menggeram tak berkeputusan. Sepasang matanya menatap
membeliak dan garang pada si kakek.
"Jangan!
Lasedayu! Jangan kau telan benda dalam mulutmu! Semburkan keluar!"
Lasedayu
tidak peduli. Kunyahannya semakin cepat. Darah yang keluar dari mulutnya
bertambah banyak. Lalu gluk… gluk… gluk! Haaaaah! Jimat Hati Dewa ditelannya,
amblas ke dalam perut lewat tenggorokannya. Begitu sang jimat berada dalam tubuh
Lasedayu, terjadilah satu hal luar biasa. Justru inilah yang sejak tadi
ditakutkan si kakek.
"Celaka
wahai Para Dewa! Celakalah Negeri ini! Ampuni diriku! Aku tak sanggup mencegah!
Jimat itu berada dalam perutnya. Hawa sakti telah mengalir dan bersatu dalam
darahnya!" Wakil Para Dewa menjerit sambil jatuhkan diri.
Sosok
Lasedayu tampak bergetar hebat. Lalu dari dalam tubuhnya seolah ada satu cahaya
biru membersit Ketika cahaya itu lenyap, luka menganga yang melintang
mengerikan di dada Lasedayu secara aneh mendadak sontak lenyap tak berbekas. Di
saat yang sama lelaki ini merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan. Di dalam
badannya ada satu kekuatan sangat dahsyat yang siap meledak setiap saat! Ketika
dia menggeserkan dua kakinya dan tak sengaja mengalirkan tenaga dalam ke kaki
itu, tanah berbatu yang dipijaknya amblas sampai satu jengkal dan keluarkan
kepulan asap. Dari mulut yang bercelemongan darah membersit suara menggereng.
Matanya menyorot ganas memperhatikan cambuk api yang menderu dahsyat di udara lalu
menyambar ke arah lehernya!
Jika saja
Lasedayu tidak menelan Jimat Hati Dewa, pada saat cambuk api melilit dan
disentakkan dari lehernya, pastilah leher itu akan hancur putus dan kepalanya
akan menggelinding di tanah! Namun yang terjadi justru sebaliknya. Cambuk api
keluarkan suara "dess… desss… desss" berulang kali disertai kepulan
asap seolah diguyur air. Lalu kelihatan bagaimana cambuk itu terputus-putus
menjadi beberapa bagian. Begitu si kakek melompat kaget dia lihat dan dapatkan
cambuk apinya telah berubah kembali menjadi se batang tongkat yang kini
panjangnya hanya tinggal dua jengkal!
"Kakek
yang mengaku Wakil Para Dewa! Takdir telah berbalik menentukan lain! Hari ini
kau terpaksa serahkan nyawamu padaku!" Lasedayu maju mendekat sambil
tertawa bergelak.
"Kau
akan terkutuk seumur-umur jika berani membunuhku!" kata si kakek seraya
melemparkan potongan tongkatnya ke arah Lasedayu. Benda berapi ini melesat
menyambar ke tenggorokan Lasedayu. Sekali Lasedayu mengangkat tangan kirinya,
tongkat itu berhasil ditangkapnya lalu diremasnya hingga hancur.
Jarak
antara ke dua orang itu bertambah dekat. Hanya terpisah satu tombak tiba-tiba
Lasedayu pukulkan tangan kanan. Serangkum angin yang memancarkan cahaya kuning
berkiblat ganas, menyambar ke arah si kakek! Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning
sebelumnya pernah dipergunakan Lasedayu untuk menyerang lawannya itu dan amblas
tak berdaya ditangkis cambuk api milik si kakek. Namun kali ini si kakek tidak
lagi memiliki tongkat ajaib atau cambuk saktinya. Selain itu Jimat Hati Dewa
yang kini telah menyatu dalam tubuh Lasedayu dan menjadi satu kekuatan dahsyat
membuat pukulan itu jadi berlipat ganda kehebatannya. Begitu cahaya kuning
menghantam langsung si kakek terpental. Masih melayang di udara tubuh sebelah
kanannya yang terkena sambaran pukulan hancur di bagian bahu sampai ke sisi
sebelah kanan. Sisi kanan si kakek kini hanya tinggal satu gerakan atau lobang
besar. Tulangtulang iganya serta sebagian isi dada dan perutnya bisa terlihat
dengan jelas. Darah mengucur menggidikkan. Tapi aneh dan luar biasanya si kakek
Wakil Para Dewa itu sama sekali tidak menemui ajal. Sesaat dia masih berusaha
berdiri. Dengan langkah sempoyongan dia mendekati mayat Latumpangan lalu
mencabut Pedang Langit Biru yang menembus tubuh orang itu. Semula Lasedayu
mengira si kakek akan pergunakan senjata itu untuk menyerangnya. Ternyata
kemudian Periahan-lahan tubuhnya yang kini nyaris tinggal separoh itu melayang
ke atas.
Lasedayu
berusaha mengejar sambil lepaskan satu pukulan lagi yakni Pukulan Tangan Dewa
Warna Biru. Seperti diketahui pukulan ini jauh lebih dahsyat dari pukulan
Tangan Dewa Warna Kuning. Akan tetapi saat itu sosok si kakek sudah berada jauh
di luar daya capai pukulan. Namun Lasedayu sudah cukup puas. Dia bukan saja
telah menciderai lawan, yang lebih penting saat itu Jimat Hati Dewa telah
mendarah daging dalam tubuhnya hingga kini dia menjadi seorang sakti mandraguna
luar dalam. Sebelum berkelebat menghilang ke ufuk langit arah utara si kakek di
atas sana keluarkan ucapan yang ditujukan pada Lasedayu.
"Wahai
anak manusia berhati jahat. Apa yang kau lakukan hari ini terhadapku kelak akan
membuat jatuhnya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari hidupmu akan
kau jalani dalam kesengsaraan. Aku akan meminta kepada Para Dewa agar hidup
keluargamu morat marit dalam sengsara. Jika kelak kau punya anak maka kau tidak
akan memiliki mereka. Si bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi
musuhmu paling besar di alam ini!"
Kakek
gila! Wahai! Kau boleh mengoceh meminta kutukan Dewa. Siapa takut!"
Lasedayu lepaskan pukulan Tangan Dewa Warna Biru. Namun tidak sanggup mencapai
sasaran sementara si kakek yang tubuhnya nyaris tinggal sebelah sudah melesat
lebih jauh ke atas dan akhirnya lenyap di langit sebelah utara.
*********************
8
BEBERAPA
belas tahun setelah kejadian di tepi jurang… "Wahai istriku Luhpingitan,
aku akan meninggalkanmu dan anak-anak. Aku pergi tak akan lama, hanya sekitar
sepuluh tahunan. Jika aku kembali maka aku akan membawa kalian ke Lembah Bulan
Sabit. Di situ aku sudah membangun satu rumah besar untuk tempat tinggal kita
yang baru…."
Perempuan
bernama Luhpingitan memandang sedih pada suaminya. Walau masa sepuluh tahun di
Negeri Latanahsilam sama dengan setahun di tanah Jawa namun seolah tak sanggup
dia menatap mata sang suami, perempuan itu alihkan pandangannya ke arah tempat
tidur besar terbuat dari batu berlapiskan jerami kering. Di atas tempat tidur
itu terbaring empat anak laki-laki masing-masing berusia setahun, dua tahun,
tiga tahun dan empat tahun sesuai ukuran usia di Negeri Latanahsilam yang tidak
sama dengan negeri lainnya pada masa itu. Ke empat anak itu tengah tertidur
nyenyak dalam dinginnya udara menjelang pagi.
"Lasedayu
wahai suamiku. Sebelum kau pergi, apakah kau tidak akan memberi nama dulu pada
ke empat anak kita?"
Mendengar
pertanyaan istrinya Itu Lasedayu tersenyum.
Sambil
memegang bahu Luhpingitan dia menjawab. "Istriku, jangan kau merasa sedih.
Aku memang sudah menyiapkan masing-masing sebuah nama untuk mereka. Nama-nama
itu akan kusebut dan beritahu padamu kelak jika aku kembali sepuluh tahun
mendatang…."
"Suamiku,
sebenarnya sejak beberapa waktu belakangan ini muncul banyak kekhawatiran dalam
diriku. Aku sering mimpi buruk tentang dirimu, tentang ke empat anak kita.
Mereka…."
"Luhpingitan,
orang di Negeri Latanahsilam ini menyebut mimpi adalah rampai bunganya tidur.
Buruk atau baiknya yang akan terjadi adalah suratan Para Dewa di atas
langit…."
"Justru
aku juga telah beberapa kali kedatangan Dewa dalam mimpiku wahai Lasedayu.
Sepertinya ada yang tidak disenangi Para Dewa terhadap kita sekeluarga…."
Lasedayu
tersenyum namun diam-diam dia teringat pada kejadian belasan tahun silam ketika
dia berkelahi dengan Wakil Para Dewa dan berhasil menciderai kakek itu. Walau
hatinya mendadak tidak enak, pada istrinya Lasedayu tetap saja berkata lembut
dan menghibur.
“Sudahlah
Luhpingitan, aku akan berangkat sekarang. Tenangkan hatimu. Lihat anak-anak
kita. Mereka tidur nyenyak, mereka gemuk-gemuk semua tanda sehat. Dan lihat
tanda bunga dalam lingkaran yang ada di bawah lengan kanan dekat ketiak mereka.
Itu adalah tanda dari Para Dewa bahwa kelak mereka akan menjadi orang-orang
gagah di Negeri ini. Empat putera Lasedayu dari istri bernama Luhpingitan akan
menjadi orang-orang hebat tanpa tandingan. Wahai, aku pergi, jaga mereka
baik-baik….”
“Lasedayu…”
kata Luhpingitan sambil memegang tangan suaminya. Matanya entah mengapa
mendadak saja berkaca-kaca begitu menatap ke empat anaknya. “Anak-anak itu.
Aku….”
Lasedayu
merangkul istrinya lalu berbisik. “Jika kau masih khawatir aku akan usahakan
mempersingkat perjalanan. Aku berjanji akan kembali dalam waktu lima tahun….”
Luhpingitan
sandarkan kepalanya ke dada Lasedayu.
“Kalau
begitu janjimu alangkah gembiranya hatiku. Pergilah wahai suamiku. Jaga dirimu
baikbaik….”
Di malam
dingin menjelang pagi Lasedayutinggalkan anak istrinya di tempat kediaman
mereka yang terletak di satu kaki bukit dekat aliran sebuah sungai besar.
Lasedayu
sampai di tepi sungai pada saat langit di ufuk timur kelihatan terang pertanda
sang surya segera akan muncul menerangi jagat Dia menarik nafas dalam-dalam.
Hawa segar memenuhi rongga dadanya. Belum sempat lelaki ini menghembuskan nafas
dari dadanya tiba-tiba telinganya menangkap suara menggemuruh dari arah hulu
sungai. Lalu mendadak langit yang tadi mulai terang kini kembali menghitam. Dua
kali kilat menyambar disusul oleh gelegar guruh yang menggetarkan tanah!
“Wahai,
Ini satu pertanda alam yang tidak baik. Apa yang bakal terjadi?!” membatin
Lasedayu. Hatinya serta merta terasa tidak enak. Suara menggemuruh semakin
keras dan dahsyat. “Sepertinya ada air bah datang melanda dari hulu!” Baru saja
Lasedayu berkata begitu angin keras bertiup. Tubuhnya sampai terpental dua
tombak. Dengan cepat lelaki ini menggapai satu pohon besar tapi “kraakk!” Pohon
itu tumbang dihantam angin. Langit tambah kelam. Gelegar guruh tiada henti.
Hujan lebat mendadak turun. Air sungai bergerak aneh. Lalu dari arah hulu
tiba-tiba menderu gelombang air bah yang bukan olah-olah dahysatnya. Jangankan
semak belukar, dan pepohonan. Batu-batu besar yang ada di sepanjang tepi sungai
porak poranda dihantam air.
“Banjir
tiga ratus tahun!” seru Lasedayu menyebut air bah yang biasanya terjadi sekali
dalam tiga ratus tahun. Wajahnya tegang sekali. Dia memandang ke arah barat, ke
jurusan tempat kediamannya. “Anak istriku! Aku harus kembali!”
Laksana
terbang Lasedayu melompat ke sebuah batu besar yang bergulingan dihantam air
bah. Dari atas batu ini dia melayang dan injakkan kaki di atas tumbangan pohon
besar. Sesaat dia bingung. Kemana lagi dia hendak melompat. Kemana mata
memandang hanya gelombang air yang terlihat. Tiba-tiba satu putaran air
menghantam batang kayu di atas mana Lasedayu berada.
“Celaka!”
seru Lasedayu. Pada saat batang kayu yang dipijaknya mencelat mental dia cepat
melompat. Di udara dia jungkir balik satu kali lalu sebelum batang kayu tadi
tenggelam di dalam air dengan cepat dia menggapai, memegang batang kayu itu
erat-erat. Malangnya batang kayu ini meluncur deras ke arah sebuah batu besar.
Benturan tak dapat dihindarkan. Lasedayu menjerit keras. Tulang punggungnya
terasa seperti hancur luluh ketika tubuhnya sebelah belakang beradu keras
dengan batu besar. Lelaki ini langsung jatuh pingsan namun dua tangannya masih
tetap memeluk erat batang kayu yang merupakan satu-satunya benda penyelamat
nyawanya!
*************************
LASEDAYU
duduk terbungkuk-bungkuk di tanah yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di
sebelah belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pandangan matanya sayu.
Kalau saja dia bisa meminta rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati.
Periahanlahan dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi dipergunakan untuk
menopang keningnya. Memandang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang
disana-sini masih digenangi air. Lasedayu sampai di tempat itu malam tadi. Dan
kini matahari menjelang tenggelam. Berarti hampirsatu hari penuhdia terduduk di
situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta perasaan hancur di dalam
hati. Otaknya seperti mau gila menghadapi kenyataan ini.
"Rata
semua…. Rumahku, lenyap tak berbekas. Para Dewa…. Wahai tunjukkan padaku dimana
mereka berada. Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini padaku! Anak istriku…
Luhpingitan, anak-anakku….Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka
sekarang?"
Tenggorokan
Lasedayu turun naik. Dadanya terasa sesak. Matanya berkaca-kaca. Suara
isakannya tak bisa ditahan. Isakan ini kemudian berubah menjadi ratap tangis
memilukan. "Wahai…. Apa kesalahanku. Apa kesalahan anak istriku…
Luhpingitan, anak-anakku! Dimana kalian?!" Lasedayu kembali letakkan
tangan kanannya di atas kening. "Kalau saja aku tidak pergi mungkin aku
masih bisa menolong mereka…."
Lasedayu
kembali meratap. Dia tundukkan kepalanya hampir menyentuh tanah yang becek.
Rasanya ingin dia menghunjamkan dirinya ke dalam tanah dan mati terkubur di
tempat bekas rumahnya itu.
Lasedayu
menarik nafas dalam. Pandangannya jauh ke depan tapi kosong. Dia ingat sesuatu!
Tiba-tiba pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan pandangan
matanya menjadi beringas. Dua tangannya dikepalkan di atas paha. Dari mulutnya
keluar suara memaki.
"Jahanam!
Ini pasti akibat ulah ucapan keji Wakil Para Dewa itu!" Seolah terngiang,
Lasedayu mendengar kembali ucapan Wakil Para Dewa di masa kejadian belasan
tahun silam.
“Wahai
anak manusia berhati jahat. Apa yang kau lakukan hari ini terhadapku kelak akan
membuat jatuhnya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari hidupmu akan
kau jalani dalam kesengsaraan. Aku akan memohon pada Para Dewa agar hidup
keluargamu morat-marit dalam sengsara. Jika kelak kau punya anak maka kau tidak
akan memiliki mereka. Si bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi
musuhmu paling besar di alam ini!"
Sosok
Lasedayu bergeletar. "Ucapan keji itu agaknya telah menjadi kenyataan.
Kutukan Dewa telah jatuh atas diriku!"
Sesaat
setelah matahari tenggelam dan tempat itu diselimuti kegelapan mendadak
Lasedayu mendengar suara bisikan halus, seolah datang dari lubuk hatinya.
"Wahai
Lasedayu, tiada gunanya kau berhiba diri duduk di tempat ini. Sampai seratus
tahun pun kau di sini kau tak mungkin menemukan istri dan empat anakmu.
Bangkitlah! Tinggalkan tempat ini! Cari anak istrimu walau kau harus berjalan
jutaan tombak dan menghabiskan waktu ratusan tahun!"
"Wahai!
Siapa kau yang bicara padaku seperti itu?!"
Lasedayu
keluarkan suara seraya memandang berkeliling.
"Aku
suara hati nuranimu. Aku ada di dalam hatimu!"
suara
jawaban itu menggema di dalam dada Lasedayu. Lelaki ini usap mukanya berulang
kali. Dia memandang lagi berkeliling. Lalu Periahan-lahan dia bangkit berdiri.
*********************
9
PULAU
karang kecil di pantai barat Negeri Latanahsilam itu adalah pusat arus air laut
berputar. Tidak mengherankan kalau sepanjang hari sepanjang tahun di sekitar
pulau selalu terdengar suara seperti mengaung. Suara ini ditimbulkan oleh
kencangnya arus yang berputar dan ditepis oleh derasnya tiupan angin laut.
Serombongan
burung camar melayang di udara. Beberapa diantara burung-burung ini memisahkan
diri lalu menukik turun ke tengah pulau di mana terdapat satu tonjolan batu
karang rata. Burung-burung ini, yang membawa rumput-rumput segar dalam jepitan
paruh mereka hinggap di atas satu gundukan batu berwarna kehijauan berselimut
lumut. Burung-burung camar itu kemudian mulai menggesek-gesekkan kaki
masing-masing pada gundukan tempat mereka hinggap sambil mengeluarkan kicau
berisik. Tiba-tiba gundukan berlumut itu bergerak. Di sebelah tengah ada bagian
menyerupai sepasang tangan. Lalu di sebelah atas dua lobang kecil membuka,
menyerupai mata! Astaga, benda berupa gundukan berlumut ini ternyata satu benda
hidup adanya! Dan ketika satu lobang lagi membuka di bagian atas di bawah dua
lobang kecil tadi, terdengarlah suara orang bicara!
"Kawan-kawanku….
Wahai camar laut. Kalian datang lagi membawa makanan untukku…. Aku sangat
berterima kasih pada kalian. Sejak kakek yang memeliharaku meninggal dunia,
jasa kalian tidak terhingga! Kalau kalian tidak selalu datang membawa
rumput-rumput segar untuk makananku pasti sudah sejak lama aku menjadi bangkai
tulang belulang berserakan di puncak pulau karang ini!"
Burung-burung
camar kembali menggesekkan kaki mereka di atas kepala makhluk aneh yang duduk
di atas batu karang sambil keluarkan suara kicau tiada henti. Makhluk berlumut
gerakkan tangan kanannya. Satu persatu dia mengambil rerumputan segar yang terjepit
di paruh burung-burung itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan mulai
mengunyah memakannya. Sambil makan rumput dia pergunakan tangan kiri untuk
mengusap dan membelai binatang-binatang yang selalu datang membawakan makanan
untuknya itu.
"Kalian
berjasa besar. Kalian memberikan nafas kehidupan padaku. Wahai burung-burung
camar, aku tidak bakal melupakan budi kalian seumur-umur…."
Burung-burung
di atas kepala makhluk aneh itu keluarkan kicau riuh. Sesaat setelah semua
rumput segar yang mereka bawa diambil dan habis dimakan, binatang-binatang itu
merentangkan sayapnya lalu terbang ke udara diikuti pandangan sepasang mata si
makhluk aneh. Dari mulutnya keluar ucapan setengah berdesah.
"Terima
kasih…. Terima kasih wahai kawan-kawanku. Enam puluh tahun…. Sudah enam puluh
tahun aku berada di tempat ini. Kalau menuruti kata-kata si kakek yang sudah
meninggal itu aku harus berada di sini sepuluh tahun lagi. Setelah itu aku
harus masuk ke alam pengembaraan, menjajal segala ilmu kepandaian yang kumiliki
sambil mencari tahu dimana dan siapa adanya ayah bundaku…."
"Wahai
makhluk di puncak batu karang tempat arus berputar! Jika kau mengikuti
petunjukku, kau tak perlu harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi! Sebelum
sang surya tenggelam hari ini, kau sudah boleh meninggalkan pulau karang!"
Makhluk
di atas batu karang tersentak kaget. Dia mendongak ke atas. Di antara silaunya
sinar matahari dia melihat ada sebuah benda berwarna merah melayang turun dari
sebelah utara. Belum sempat dia berkejap, benda ini tahu-tahu sudah sampai di
hadapannya! Kejut si makhluk aneh bukan alang kepalang! Sosok yang tegak di
depannya saat itu adalah sosok seorang kakek yang keadaannya sungguh
mengerikan. Sekujur badannya dikobari nyala api. Namun sosok sebelah kanan
yaitu bagian bahu sampai ke pinggang hanya merupakan satu lobang besar
menggidikkan. Makhluk berlumut di atas batu bisa melihat isi dada dan perut
serta genangan darah di dalamnya.
"Makhluk
api yang sosokmu hanya tinggal sebelah! Siapa kau adanya! Apa maksud ucapanmu
tadi?!"
Yang
dftanya menyeringai. Lidah api membersit dari mulutnya. Sepasang matanya juga
memancarkan nyala api. "Namaku Lamanyala. Sejak dua ratus tahun silam aku
adalah Wakil Para Dewa di Negeri ini. Kau sendiri, apakah kau bisa menerangkan
siapa adanya dirimu wahai makhluk berlumut?!"
Yang
ditanya tergagau lalu bungkam tak bisa menyahut.
Makhluk
berapi yang mengaku bernama Lamanyala tertawa mengekeh hingga lidah api keluar
dari mulut, mata dan sepasang telinganya. "Enam puluh tahun hidup di
tempat terpencil ini! Kau tidak tahu dirimu sendiri. Bahkan kau tidak punya
nama. Sungguh malang hidupmu wahai makhluk berlumut! Untuk mengurangi
kemalangan itu biar saat ini aku memberi nama padamu. Agar kau mengenali dirimu
sendiri dan aku mudah menyebut memanggilmu. Wahai apakah kau suka kupilihkan
sebuah nama untukmu?"
Makhluk
berlumut masih membisu.
Kakek
bertubuh api melanjutkan. "Aku akan namakan kau Labahala."
Makhluk
berlumut yang sampai saat itu masih duduk di atas batu karang dongakkan
kepalanya. Dua matanya memandang tak berkesip pada si makhluk api. "Wahai!
Nama yang kau berikan padaku sungguh tak sedap didengar dan buruk sekali arti
maknanya! Apa tak ada nama yang lebih baik dari itu!"
Si kakek
bernama Lamanyala dan mengaku Wakil Para Dewa tertawa bergelak. "Berpuluh
tahun bahkan sejak kau masih ada di rahim ibumu, aku sudah menyirap
memperhatikan keadaan dirimu serta meramal keadaanmu di masa mendatang. Mengingat
siapa dirimu maka nama itu adalah yang paling tepat untukmu!"
"Kau
bukan ayahku bukan pula kerabat keluarga! Apa hakmu memberi aku nama?!"
Kembali
Lamanyala tertawa panjang. "Makhluk berlumut, kau tahu apa tentang ayahmu!
Kau tahu apa tentang kerabatmu! Satu-satunya makhluk yang kau kenal adalah
kakek gurumu yang sudah mati itu! Satu-satunya kerabat yang dekat denganmu
hanyalah burung-burung camar yang selalu datang membawakan rumput makanan
bagimu! Dan kau tidak tahu burung-burung itu sebenarnya adalah suruhan Para
Dewa hingga kau tidak menemui ajal percuma di pulau terpencil ini! Sekarang
apakah kau tidak berterima kasih pada Para Penguasa di atas sana?! Berani
menolak nama pilihan yang kuberikan?!"
Terkejutlah
makhluk berlumut. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri.
"Labahala,
kau dengar baik-baik. Kehidupan masa depanmu sudah ada dalam bayangan benakku!
Aku akan memberi petunjuk dan kau hanya tinggal menjalankan!"
"Kalau
aku tidak mau mengikuti dan menjalani petunjukmu, kau mau berbuat apa wahai
Lamanyala?"
"Tidak
ada makhluk setololmu di muka bumi ini! Jika kau masih terus mendekam di tempat
ini apa yang akan kau dapat? Dan jika Para Dewa menghentikan anugerahnya
melalui burung-burung camar itu, apa kau bisa bertahan hidup sampai satu tahun
di muka? Di tempat ini kau hanya mendapatkan angin, embun, terik panas matahari
dan lumut!"
"Guruku
telah mengajarkan berbagai ilmu padaku! Itu sudah memberikan kepuasan tiada
tara padaku!"
"Kau
punya ilmu katamu, bagus! Tapi kapan kau mempergunakan ilmu itu? Apa yang kau
dapat dari ilmumu itu? Kau tidak lebih dari seekor cacing tanah terpencil di
pulau celaka ini! Apakah kau akan menghabiskan hidupmu seumur-umur di tempat
ini?! Sebaliknya jika kau ikut petunjukku, kelak kau akan
mendapatkan
berbagai ilmu kesaktian mandraguna, yang akan menjadikanmu makhluk tiada
tandingan."
"Menurut
guru. Sepuluh tahun lagi aku boleh meninggalkan pulau. Mengembara kemana aku
suka sambil memanfaatkan semua Ilmu yang kumiliki! Aku sudah cukup puas dengan
ilmu yang aku miliki! Aku tidak Periu ilmu tambahan. Juga tidak dari kau wahai
makhluk api!"
"Wahai,
sungguh picik jalan pikiranmu. Rupanya lumut bukan hanya menutupi tubuhmu
sebelah luar tapi juga sudah membungkus otakmu! Ha… ha… ha!"
"Wahai!
Jangan keliwat menghina makhluk api! Akan kuPeriihatkan padamu bahwa aku bukan
makhluk bodoh!" Habis berkata begitu makhluk berlumut yang oleh Wakil atau
Utusan Para Dewa diberi nama Labahala hantamkan tangan kanannya ke batu karang
datar yang ada di depannya.
"Braaakkk!"
Batu
karang amblas membentuk lobang besar sementara pecahannya berkeping-keping
melayang ke udara. Makhluk berlumut meniup. Pecahan-pecahan batu karang yang
ternyata sebenarnya telah hancur itu berubah, beterbangan menjadi debu dan
luruh ke tanah!
"Kau
bisa menghancurkan, tapi apakah kau sanggup mengembalikan debu karang itu ke
bentuknya semula?" bertanya kakek api Lamanyala.
"Aku
tidak mengerti…" jawab makhluk berlumut.
"Kau
tidak mengerti! Ha… ha… ha! Lihat apa yang aku lakukan!" Kakek api ulurkan
tangan kanannya lalu disapukan ke tanah. Debu hancuran batu karang yang tadi
dipukul makhluk berlumut membubung ke udara, menyatu kembali secara aneh. Si
kakek gerakan tangan kanannya dua kali, kali ketiga dia seperti memukul ke arah
lobang di depan makhluk berlumut.
"Wuuttt!
Seetttt! Setttt! Bluuupppp!"
Lobang
besar akibat hantaman pukulan tadi kini tertutup oleh gumpalan debu, rata tak
berbekas seperti keadaan semula!
Labahala
hanya bisa leletkan lidah menyaksikan kejadian itu. Kakek api menyeringai lebar
lalu berkata.
"Sungguh
hebat ilmu pukulan Menghancur Karang Membentuk Debu yang kau Periihatkan
padaku. Wahai, bukankah itu nama pukulan yang barusan kau Periihatkan padaku?
Hik… hik… hik!"
Makhluk
berlumut terkesiap kaget. Tidak mengerti bagaimana si kakek api tahu nama
pukulan yang barusan dikeluarkannya.
"Makhluk
berlumut yang aku beri nama Labahala, jika kau mengikuti petunjukku kau akan
dapatkan berbagai ilmu yang jauh lebih hebat dari yang barusan kau Periihatkan.
Kau tak Periu menunggu sepuluh tahun. Sebelum sang surya tenggelam hari ini kau
sudah boleh meninggalkan pulau ini! Terserah apakah kau mau menerima berkah
atau tetap jadi cacing tanah dengan sejuta ketololan!"
Makhluk
berlumut merenung sejenak. Lalu dia bertanya. "Petunjuk apa yang hendak
kau berikan padaku wahai kakek api?"
"Pertama,
kau akan kuwariskan beberapa ilmu kepandaian yang akan membuatmu kelak menjadi
makhluk tanpa tandingan di Negeri Latanahsilam. Semua akan tunduk padamu dan
kau akan menjadi Raja Di Raja Segala Makhluk bergelar Hantu yang ada di Negeri
itu…."
"Dari
guru saya pernah mendengar bahwa Para Hantu di Negeri Latanahsilam adalah para
tokoh sakti mandraguna yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya"
"Kau
tak usah khawatir! Dengan ilmu yang aku berikan mereka akan tunduk di bawah
telapak kakimu! Kau akan menjadi Raja Di Raja! Untuk itu kelak kau harus
membangun satu Kerajaan yang berpusat pada satu istana yang harus kau beri nama
Istana Kebahagiaan. Di dalam istana itu kau akan menemukan kesaktian dan
kehebatanmu. Di dalam istana itu kau akan menemukan kebahagiaan dunia tiada
taranya. Karena di istanamu itu akan berkumpul semua perempuan cantik delapan
penjuru angin. Hik… hik… hik! Aku tanya apa kau tidak suka hidup seperti
itu…?!"
Si
makhluk berlumut leletkan lidahnya di ujung bibir. Perbuatannya ini sudah cukup
memberi tanda pada kakek api bahwa orang di hadapannya itu menyukai apa yang
didengarnya dan berarti bersedia mengikuti apa-apa yang dikatakannya.
"
Labahala, begitu kau menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam maka kau berhak
menyandang gelar Hantu Muka Dua, dan dirimu adalah pelambang makhluk Hantu
Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Haha…ha…!"
Labahala
kerenyitkan kening. Gelar dan pelambang yang dikatakan si kakek api sungguh
angker terdengar di telinganya. "Kakek Lamanyala, gelar dan pelambang yang
kau sebutkan barusan "
Si kakek
angkat tangan kanannya yang dikobari api mulai dari bahu sampai ke telapak.
"Aku tahu apa yang ada dalam benak dan hatimu. Gelar dan pelambang yang
kusebutkan tadi adalah yang paling cocok untukmu karena aku akan membuatmu
demikian rupa hingga keadaanmu menjadi memiliki satu kepala dengan dua muka
seumur hidupmu!"
"Kek,
aku…."
"Jangan
bicara! Jangan memutus ucapanku sebelum selesai!" Kakek api membentak.
Kobaran api di muka dan matanya menjilat ke depan membuat makhluk berlumut
cepat-cepat tarik kepalanya ke belakang takut terbakar. "Dengar Labahala,
sebelum kau tinggalkan pulau ini kau wajib membersihkan diri di pantai pulau
sebelah timur. Lalu begitu kau berada di Negeri Latanahsilam maka kau akan
memiliki kepala dengan empat pasang macam muka. Muka Pertama adalah muka aslimu
yakni muka lelaki separuh baya. Putih di sebelah depan. Itu muka jahatmu. Lalu
hitam di sebelah belakang, itu muka baikmu. Muka ke dua adalah muka seorang
kakek pucatpasi, sama warna depan dan belakang. Kau akan memiliki muka ini jika
kau berada dalam keadaan kaget atau takut. Muka ke tiga akan muncul jika kau
sedang bergairah atau naik nafsu terhadap lawan jenismu. Kau akan memiliki dua
muka anakmuda yang sangat tampan. Putih di sebelah depan, hitam di bagian
belakang. Muka terakhir adalah mukamu yang paling dahsyat. Wajahmu depan
belakang akan berubah menjadi wajah raksasa jika kau sedang marah!"
Tidak
terasa si makhluk berlumut usap mukanya sebelah depan dan gosok-gosok kepalanya
sebelah belakang. Lamanyala tertawa. "Belum, kepalamu masih belum berubah
wahai Labahala. Kepalamu masih tetap memiliki satu wajah. Ha… ha… ha! Sekarang
dengar apa yang harus kau lakukan begitu berada di Negeri Latanahsilam. Pertama
sekali kau harus mencari makhluk sakti bernama Hantu Tangan Empat Dia memiliki
beberapa ilmu kesaktian. Satu yang paling hebat adalah ilmu pukulan bernama
Tangan Hantu Tanpa Suara. Kau harus merampas ilmu itu dari tangannya. Dengan
akal kejimu kau harus menundukkan Hantu Tangan Empat karena saat ini dialah
yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Selesai urusanmu dengan Hantu Tangan
Empat kau harus mencari seorang berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Makhluk ini diam
di satu tempat bernama Kubangan Lalumpur. Dari dia kau harus merampas ilmu
kesaktian bernama Hantu Hijau Penjungkir Roh. Bilamana dua tugas itu sudah kau
selesaikan maka kau harus pergi ke satu lembah di selatan Negeri Latanahsilam.
Lembah ini bernama Lembah Seribu Kabut Di situ ada seorang pertapa bernama
Lasedayu. Kesaktiannya konon lebih tinggi dari Hantu Tangan Empat. Jadi kau
harus hati-hati terhadap makhluk satu ini. Dia memiliki banyak ilmu kepandaian.
Satu diantaranya adalah pukulan ganas bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk
Kerak Bumi. Semua ilmu yang dimiliki Lasedayu dengan mudah bisa kau dapati
hanya dengan jalan mencungkil dan merampas pusarnya! Kau paham wahai
Labahala?"
"Aku
paham wahai Lamanyala. Namun jika Lasedayu memiliki kepandaian tinggi tentu sulit
untuk mencungkil merampas pusarnya "
"Kau
benar. Tapi jika kau mempergunakan alat ini pekerjaan itu akan jadi
mudah…." Kakek api lalu masukkan tangan kirinya ke dalam lobang di sisi
kanan tubuhnya. Dari dalam rongga ini dikeluarkannya sebuah benda yang
diselimuti darah kental.
*********************
10
LABAH ALA
kernyitkan kening. Dia tidak tahu benda apa yang dipegang si kakek api Wakil
Para Dewa itu. Si kakek mendongak ke langit, pejamkan matanya lalu meniup.
Serta merta darah yang melumuri benda yang dipegangnya lenyap. Kini kelihatan
ujud benda itu, ternyata adalah sebuah sendok aneh bergagang pendek, terbuat
dari emas murni memancarkan cahaya kuning berkilauan.
"Ini
adalah Sendok Pelangkah Nasib. Dengan benda ini dengan mudah kau bisa mengorek
pusar Lasedayu. Ambillah, simpan baik-baik. Benda ini hanya boleh kau keluarkan
pada saat kau siap mencungkil pusar Lasedayu. Jika telah selesai kau harus
pergi ke tepi pantai, menghadap ke utara lalu buang Sendok Pelangkah Nasib ke
dalam laut Secara gaib sendok ini akan kembali padaku…."
Si kakek
api ulurkan tangannya yang menyala. Dengan hati-hati Labahala ambil benda itu.
Tangannya bergetar begitu memegang sendok emas dan kuduknya terasa dingin.
Setelah memperhatikan sejenak Sendok Pelangkah Nasib dimasukkannya ke balik
sosoknya yang penuh lumut.
"Labahala,
kelak kau akan menjadi Raja Di Raja Para Hantu di Negeri Latanahsilam. Dalam
perjalanan hidupmu ada satu pantangan yang harus kau ingat baik-baik. Yaitu kau
sekali-kali tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa.
Termasuk binatang yang betina…."
"Wahai,
mengapa begitu Kek?" tanya makhluk berlumut
"Pantangan
sudah begitu kejadiannya. Tak ada pertanyaan untuk hal itu dan tak ada jawabnya
bagimu!" kata Lamanyala pula. "Ada beberapa hal lagi yang harus kau
lakukan wahai Labahala. Begitu Hantu Tangan Empat jatuh dalam kekuasaanmu, kau
harus memerintahkannya untuk pergi ke Negeri Seribu Dua Ratus Mendatang. Negeri
itu disebut Tanah Jawa. Hantu Tangan Empat satu-satunya makhluk di Latanahsilam
yang punya kesaktian untuk menembus jarak serta perbedaan waktu. Di Tanah Jawa
dia harus mencari tiga manusia. Yang pertama bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Yang ke dua seorang bocah aneh dipanggil
dengan sebutan Naga Kuning atau Naga Cilik. Yang ke tiga seorang kakek berjuluk
Si Setan NgompoL Salah satu dari ke tiga orang itu memiliki sebuah batu sakti
bernama Batu Pembalik Waktu. Batu itu harus kau dapatkan untuk mencegah
orang-orang di Tanah Jawa bisa masuk ke dalam alammu. Sebaliknya dengan
memiliki batu itu kau bisa masuk ke dalam alam seribu dua ratus tahun
mendatang. Bilamana kau berhasil menjejakkan kaki di Tanah Jawa, segudang ilmu
kepandaian akan mudah kau dapatkan. Lebih dari itu kau bisa pula menjadi Raja
Di Raja di Negeri asing itu…."
"Kakek
Lamanyala, aku sangat berterima kasih atas semua petunjukdan apa yang kau
berikan padaku. Setelah membersihkan diri aku segera akan berangkat menuju
Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Lasedayu. Namun wahai Kakek Lamanyala, jika
aku boleh bertanya mengapa sampai aku yang terpilih menerima semua berkah
ini?"
Si kakek
api tertawa lebar. Ketika mulutnya terbuka kobaran api menjilat-jilat keluar.
"Takdir dan perjalanan nasibmu sudah begitu Labahala. Kau terpilih
menerima rezeki besar. Sekarang dengar, masih ada satu dua petunjuk lagi yang
harus kau dengar dariku wahai Labahala. Tiga manusia yang kusebutkan tadi bisa
menjadi bencana bagimu karena itu harus kau bunuh mereka setiap ada kesempatan.
Tetapi mereka juga memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Darah yang
mengalir di tubuh mereka bisa kau jadikan cairan sakti peredam senjata apa saja
yang kau inginkan hingga senjatamu itu menjadi satu sen- jata mustika sakti
mandraguna. Jadi bunuh dia tapi ambil darahnya! Petunjuk selanjutnya akan
sampai kepadamu melalui mimpi-mimpi."
"Terima
kasih atas petunjukmu Kek," kata makhluk berlumut lalu rundukkan tubuhnya
ke depan sampai keningnya hampir menyentuh tanah. Si kakek api tertawa senang.
Dia ulurkan tangan kirinya menepuknepuk bahu Labahala. Karuan saja makhluk
berlumut ini kelojotan karena kobaran api yang ada di tangan si kakek langsung
membakar bahunya, membuat lumut di bagian tubuh itu hangus kering.
"Aku
pergi sekarang wahai Labahala. Sudah tiba saatmu untuk mandi membersih
diri!" Habis berkata begitu si kakek ulurkah tangan kanannya mencekal
kuduk Labahala. Sekali dia menyentakkan tangan itu maka melesatlah sosok
makhluk berlumut itu, melayang di udara dan akhirnya jatuh di dalam laut
dangkal di pantai timur pulau karang.
"Labahala!
Bersihkan tubuhmu dari selimut lumut! Setelah itu pergi ke pantai sebelah
selatan. Kau akan menemukan sebuah perahu. Kayuh perahu itu menuju daratan
Negeri Latanahsilam. Selamat jalan wahai Raja Di Raja Segala Hantu! Selamat
jalan wahai Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"
Di dalam
air laut Labahala memandang berkeliling. Dia mendengar suara itu tapi sama
sekali tidak melihat sosok si kakek api. Anehnya ketika dia "mengusap
lengannya, lumut hijau yang telah bertahun-tahun membungkus tubuhnya hingga
menyerupai lapisan batu terkelupas rontok. Labahala terkesiap. Digosoknya
bagian tubuh yang lain. Hal yang sama terjadi. Labahala mengusap wajahnya.
Beberapa kali mengusap saja seluruh wajahnya serta merta menjadi bersih!
Kembali ke pulau karang ternyata kakek Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam
masih berada di tempatnya semula. Seringai lebar menguak di wajahnya. Dari
mulutnya meluncur ucapan.
"Lasedayu,
dendamku puluhan tahun silam akan segera terbalaskan! Kau tidak pernah tahu
siapa sebenarnya yang mencelakai dirimu! Kau akan hidup sengsara terkutuk
seumur-umur! Celakalah kau Lasedayu!"
Kakek
yang tubuhnya geroak dan terbungkus nyala api itu tertawa panjang dan puas.
Namun tawanya mendadak sontak lenyap ketika di langit ada cahaya putih disusul
suara mengiang di ke dua telinganya.
"Lamanyala,
Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kami memang menginginkan hukuman
dijatuhkan atas diri Lasedayu. Namun bukan dengan cara seperti yang telah kau
kerjakan. Pelaksanaan hukuman bukan berarti membakar dan menebar dendam. Apa lagi
kau sadar penuh siapa adanya Lasedayu dan siapa pula adanya makhluk berlumut
yang kau beri nama Labahala itu!"
Si kakek
api menatap ke langit. Lalu rapatkan dua tangan dan letakkan di atas kening.
Lututnya ditekuk sedikit
"Wahai
Junjungan Dari Atas Langit, mohon maaf kalau aku telah keliru bertindak. Namun
bukan maksud hati membakar dan menebar dendam. Kalau Junjungan melihat keadaan
diriku yang sengsara dan mengerikan begini rupa, hukuman apakah yang akan
setimpal sebagai balasan atas kejahatan Lasedayu terhadap diriku puluhan tahun
silam? Selain itu wahai Junjungan, bukankah karena perbuatan Lasedayu pula maka
Jimat Hati Dewa raib selama-lamanya, tak mungkin kembali lagi ke tangan para
Junjungan?"
"Lamanyala,
sebenarnya kami telah menyiapkan satu hukuman yang setimpal terhadap Lasedayu.
Namun kedahuluan oleh tindakanmu. Sungguh disayangkan kau mengambil keputusan
dan bertindak sendiri, tidak menaruh hormat dan berunding dulu dengan kami.
Karenanya segala apa yang kelak terjadi sepenuhnya akan menjadi tanggung
jawabmu!"
Rahang si
kakek api menggembung. Telinganya panas dan hatinya meradang. "Wahai Para
Junjungan, sudah nasib diri kami manusia di bumi ini. Jika salah langsung
diterpa, jika celaka tidak pernah diambil kira. Puluhan tahun aku hidup dengan
sosok hanya tinggal sebelah! Siapa yang peduli akan kesembuhanku? Manusia di
bumi tidak, para Dewa di langit juga tidak! Tapi ketika aku mengambil keputusan
memperkarakan makhluk jahat bernama Lasedayu, kesalahan justru ditimpakan pada
diriku! Wahai Junjungan, seperti katamu, aku akan ber- tanggung jawab akan
segala apa yang terjadi sebagai akibat perbuatanku! Tapi ketahuilah, mulai saat
ini jangan disebut lagi diriku ini sebagai Wakil Para Dewa Di Negeri
Latanahsilam! Kelak Labahala tidak hanya akan membuat kegegeran di permukaan
bumi Latanahsilam tapi juga akan membuat heboh Para Dewa di atas langit
sana!"
Si kakek
tundukkan kepala, tekuk lututnya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Di
langit sinar putih menyambar ke atas pulau namun Lamanyala telah lenyap tanpa
bekas!
*********************
11
KITA
kembali ke Istana Kebahagiaan. Seperti dituturkan dalam Bab Lima kakek sakti
bernama Lapicakkanan yang buntung paha kirinya akibat tebasan Kapak Maut Naga
Geni 212 akhirnya menemui ajal dibunuh Hantu Muka Dua karena menganggap kakek
itu tidak ada gunanya lagi. Saat itu matahari mulai naik. Udara tampak cerah.
Dari sebuah jalan rahasia di sebelah timur Istana Kebahagiaan kelihatan seorang
kakek berkelebat cepat, lari sambil mendukung seorang kakek di atas bahunya.
Kakek yang berlari adalah Lahidungbesar sedang yang didukung sudah dapat
ditebak ialah Lasulingmaut adanya. Seperti biasanya sambil didukung
Lasulingmaut tiup suling tengkoraknya yang mengeluarkan suara sember dan
mengepulkan asap hitam.
"Lasulingmaut!"
sambil berlari Lahidungbesar berkata.
"Ini
kali pertama dan kali terakhir aku mendukungmu! Jangan samakan aku dengan
Lapicakkanan. Aku tidak sudi mendukungmu kemana aku pergi. Aku bukan keledai
tunggangan!"
Lasulingmaut
si kakek aneh yang tak pernah bicara menyeringai lalu tiup sulingnya yang mengeluarkan
suara sember. Setelah itu dia bergumam beberapa kali.
"Aku
tahu kau marah! Wahai terserah padamu! Apapun yang terjadi! Apapun yang kau
lakukan, jika urusan ini selesai aku tetap tidak akan mau mendukungmu lagi!
Sialan!"
Lasulingmaut
tiup lagi suling tengkoraknya hingga asap hitam berkepulan. Tiba-tiba suling
itu melesat ke arah wajah kakek hidung besar. Kali ini tak ada kepulan asap.
Tapi ujung suling berkelebat mengarah ke mata kanan Lahidungbesar!
Lahidungbesar menggembor marah dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Siap
untuk memukul hancur suling yang ditancapi tengkorak itu. Kakek yang
didukungnya menggumam keras lalu gerakkan tangannya sedikit. Suling yang
dipegangnya serta merta melenceng ke kiri. Hantaman tangan Lahidungbesar hanya
mengenai udara kosong. Untuk pertama kalinya Si Lasulingmaut keluarkan suara
tertawa aneh bergumam.
"Lasulingmaut
jahanam keparat! Wahai! Kau hendak menusuk mataku! Membuat aku picak seperti
Lapicakkanan!" teriak Lahidungbesar marah.
Di
belakang ke dua orang itu, empat orang lelaki bertubuh tegap, mengenakan
pakaian kulit kayu berbentuk jubah coklat dilengkapi kopiah tinggi juga
berwarna coklat berlari sebat membawa sebuah tandu terbuka. Pada bagian
pertengahan tandu itu berbentuk kursi. Di atas kursi ini duduklah Raja Diraja
Segala Hantu, penguasa Istana Kebahagiaan yang disebut Junjungan alias Hantu
Muka Dua.
"Kalian
berdua di depan sana!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua berseru pada dua kakek
yang tengah bertengkar.
"Kita
tengah menghadapi satu urusan besar!
Jika tidak
segera berhenti bertengkar, jangan salahkan kalau kepala kalian kupecahkan
seperti aku memecahkan kepala Lapicakkanan!"
Hidung
besar kakek bernama Lahidungbesar mengembang tambah besar. Mulutnya menggerutu
lalu diam. Di atasnya Lasulingmaut bergumam keras lalu tiup suling
tengkoraknya.
Di sebuah
lereng bukit berbatu-batu Lahidungbesar hentikan larinya. Yang disebut sumur
melintang seperti dikatakan oleh kakek itu ternyata adalah sebuah goa batu di
lamping bukit sedalam tiga tombak. Sepanjang bagian dasar goa ada hamparan batu
rata setinggi pinggul hingga goa itu tidak bedanya merupakan sebuah
pembaringan. Karena saat itu sinar sang surya berada di sisi lain dari lereng
bukit maka bagian dalam goa batu tersebut tidak terlihat jelas.
"Wahai
Junjungan Hantu Muka Dua, ini sumur melintang tempat aku meninggalkan Peri
Angsa Putih," berkata Lahidungbesar, memberi tahu Hantu Muka Dua.
Hantu
Muka Dua memberi isyarat. Empat pengusung tandu segera turunkan tandu ke tanah.
Sepasang mata Hantu Muka Dua membesar berbinar-binar. Tatapannya tidak beralih
ke arah goa yang gelap. "Kau tunggu apalagi Lahidungbesar! Lekas keluarkan
Peri itu dari dalam sumur melintang. Pastikan dia masih berada di bawah
pengaruh Ilmu Menjirat Urat yang aku ajarkan padamu!"
"Jangan
khawatir Junjungan. Sampai saat ini dia pasti berada dalam keadaan tidak
berdaya." Lahidungbesar diam-diam merasa menyesal telah memberftahu bahwa
Peri Angsa Putih berada di dalam goa itu. Padahal sebenarnya dia sudah punya
niat keji untuk mengumbar nafsu merusak kehormatan sang Peri. Periahan-lahan
Lahidungbesar turunkan Lasulingmaut dari dukungannya. Lalu dia melangkah ke
mulut goa, membungkuk, terus masuk merangkak sejauh setengah tombak. Begitu
tangannya menyentuh dua kaki dia tidak segera menarik tapi diusap-usapnya lebih
dulu. Usapannya naik ke betis. Nafas Lahidungbesar memburu dilanda nafsu.
Hidungnya yang besar tambah mengembang. Kalau saja Hantu Muka Dua tidak ada di
situ, pasti tangannya akan menggerayang lebih ke atas.
"Lahidungbesar!
Apa yang kau lakukan berlamalama di dalam sumur itu!" Hantu Muka Dua
berteriak tidak sabaran.
"Sebentar
wahai Junjungan. Sumur ini agak sempit…"
jawab
Lahidungbesar yang disambut dengan suara tiupan suling semberoleh Lasulingmaut.
Kakek satu ini agaknya sudah tahu apa yang tengah dilakukan kawannya itu.
Ketika
menarik sepasang kaki itu dalam gelap Lahidungbesar merasa heran dan membatin.
"Aneh, mengapa sosok Peri ini jadi sangat berat. Waktu kakinya kupegang
terasa kasar. Lalu mengapa betisnya seperti ada bulu-bulunya. Keras berotot.
Seharusnya halus dan lembut." Sesaat kakek hidung besar ini berhenti
menarik. Dia mengendus-endus. Lalu kembali berkata dalam hati." Seingatku
sosok Peri Angsa Putih menebar bau harum mewangi. Saat ini aku seperti mencium
bau keringat. Ada yang tidak beres "
Walau
hatinya kini mendadak merasa tidak enak Lahidungbesar kembali menarik dua kaki.
Ketika dia sampai di ujung sumur melintang, pada bagian yang terang dia melihat
ke bawah, memperhatikan.
"Wahai!"
Lahidungbesar berseru. Tampangnya berubah pucat tanda terkejut amat sangat
"Lahidungbesar!
Ada apa?!" bertanya Hantu Muka Dua.
Lasulingmaut
turunkan sulingnya dari mulut, menatap tajam ke arah mulut goa.
"Ka…
kaki itu…" jawab Lahidungbesar. Namun ucapannya terputus dan berubah
menjadi jerit kesakitan setinggi langit ketika satu tendangan menghantam
dadanya keras luar biasa!
Darah
menyembur merah dari mulut kakek itu. Karena sebagian mulutnya tertutup oleh
hidungnya yang besar maka muncratan darah bersibak membasahi separuh muka,
leher dan bajunya. Tubuh Lahidungbesar terbanting ke lamping batu lalu roboh
terduduk di tanah! Mukanya sepucat kain kafan! Lasulingmaut melompat empat
langkah menjauhi mulut goa sambil keluarkan suara bergumam. Hantu Muka Dua
berteriak marah.
"Jahanam
di dalam sumur melintang! Siapa kau!"
Dua kaki
yang terjuntai di mulut goa bergerak ke atas ke bawah, menimbulkan dua
gelombang angin deras, membuat semua orang yang ada di depan goa cepat-cepat
menyingkir. Sesaat kemudian orang yang ada dalam goa itu melompat keluar sambil
tertawa bergelak.
"Kurang
ajar! Pendekar 212 Wiro Sableng! Kau rupanya!" teriak Hantu Muka Dua
marah. Walau marah namun diam-diam hatinya jadi tidak enak. Maksud
kedatangannya jauh-jauh ke tempat itu adalah untuk menemui Peri Angsa Putih,
musuh besarnya. Tapi kini yang keluar dari dalam sumur melintang itu adalah
orang lain yang juga merupakan musuh besarnya yang selama ini telah
berkali-kali ingin dibunuhnya! Hantu Muka Dua memandang mendelik pada
Lasulingmaut, lalu pada Lahidungbesar dan membentak. "Lahidungbesar!
Bagaimana bisa pemuda asing jahanam ini yang ada di dalam sumur melintang! Mana
Peri Angsa Putih yang kau katakan itu?! Kalian mempermainkan aku hah?!"
Wajah Hantu Muka Dua depan belakang langsung berubah menjadi wajah-wajah
raksasa menggidikkan. Sepasang matanya mendelik pada dua kakek di depannya.
Lasulingmaut
hanya gembungkan mulut lalu bergumam, membuat Hantu Muka Dua tambah marah.
Lahidungbesar gelengkan kepala dengan dada sesak. Dia coba membuka mulut hendak
menjawab tapi yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan semburan darah.
Di depan goa, orang yang barusan melompat keluar tegak dengan kaki terkembang,
tangan dilipat di depan dada dan mulut sunggingkan seringai mengejek. Suara
tertawa lalu keluar dari mulutnya. Mulamula Periahan lalu mengeras. Seperti
disaksikan semua orang yang ada di situ, orang ini memang adalah Pendekar 212
Wiro Sableng!
"Hantu
Muka Dua! Sungguh sial nasibmu! Maksud hati mencari Peri, tak tahunya hanya
datang mencari mati!"
Rahang
Hantu Muka Dua menggembung. Gerahamnya mengeluarkan suara bergemeretakan.
"Pemuda asing! Jangan bicara sombong di hadapan Raja Diraja Segala Hantu,
penguasa tunggal Istana Kebahagiaan! Aku memang sudah lama mencarimu! Hari ini
jangan harap kau bisa lolos dari kematian! Jangan mimpi bisa kembali
hidup-hidup ke negeri asalmu!"
Setelah
membentak Hantu Muka Dua masih sempat berpikir apa sebenarnya yang telah
terjadi dan dimana beradanya Peri Angsa Putih. Hal yang sama juga menjadi tanda
tanya di diri Lahidungbesar sementara Lasulingmaut seperti biasanya unjukkan
sikap tidak acuh. Hal ini membuat kemarahan Hantu Muka Dua menjadi tambah
menggelegak. Dia berpaling pada Lahidungbesar dan berkata. "Kalian yang
punya pekerjaan! Kalian yang bertanggung jawab! Lekas bunuh pemuda asing itu!
Dan tunjukkan padaku dimana Peri Angsa Putih!"
Lahidungbesar
tak bisa menjawab karena dia memang tidak tahu apa sebenarnya yang telah
terjadi. Mengapa tahu-tahu Pendekar 212 telah berada di tempat itu dan juga
tidak tahu dimana beradanya Peri Angsa Putih saat itu. Selain itu Lahidungbesar
berada dalam keadaan terluka parahi di dalam akibat tendangan Wiro. Nafasnya
megap-megap dan tulang dada serta beberapa iganya ada yang hancur.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara perempuan berseru. "Hantu Muka
Dua, kau mencari diriku?! Aku ada di sini!"
Hantu
Muka Dua dan semua orang yang ada di lereng bukit batu itu kecuali Wiro
palingkan kepala ke arah datangnya suara. Di atas sebuah batu besar di tempat
ketinggian kelihatan Peri Angsa Putih tegak di samping Laeputih angsa raksasa
tunggangannya. Ternyata di situ dia tidak sendirian. Di sebelahnya tegak
seorang gadis ramping tinggi semampai mengenakan pakaian biru. Di keningnya
menempel sekuntum bunga tanjung kuning. Semua orang terpesona melihat
kecantikan gadis satu ini yang tak kalah anggun dengan Peri Angsa Putih.
"Luhcinta…"
desis Hantu Muka Dua. "Bagaimana dia bisa bergabung dengan Peri Angsa
Putih. Apa hubungan antara dua gadis itu…." Penguasa Istana Kebahagiaan
ini lantas ingat pada peristiwa ketika dia berhasil menjebak dan membawa gadis
itu ke tempat kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam sebelum digusur oleh Peri
Angsa Putih beberapa waktu lalu. Kemunculannya pasti membawa dendam. Karena
Hantu Muka Dua tahu Luhcinta bukan gadis sembarangan dan merupakan murid
seorang nenek sakti bernama Hantu Lembah Laekatakhijau dan juga merupakan cucu
kandung nenek sakti lainnya yang dijuluki Hantu Penjunjung Roh.
Mengingat
sampai di situ Hantu Muka Dua diamdiam menjadi was-was. Apalagi dia mempunyai
pantangan membunuh perempuan. Akan cukup sulit baginya untuk menghadapi
langsung dua gadis jelita berkepandaian tinggi itu. Dia memandang berkeliling,
menghitung jumlah orang dan mengukur kekuatan di pihaknya. Walau dia tidak
meremehkan kemampuan dua kakek sakti yang ada bersamanya namun Hantu Muka Dua
tetap saja merasa khawatir. Kakek hidung besar jelas tidak bisa diandalkan
lagi. Maka makhluk yang mengaku Raja Diraja Segala Hantu ini lantas memberi
isyarat pada empat orang lelaki berjubah yang menjadi pengusungnya. Melihat
tanda ini ke empat orang itu segera keluarkan suitan keras. Dua kali
berturut-turut. Hanya beberapa saat setelah suitan menyentak keras maka tiga
sosok berkelebat dan muncul tegak di samping Hantu Muka Dua. (Siapa adanya
Luhcinta, riwayatnya bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Rahasia
Bayi Tergantung)
Sosok
pertama adalah seorang nenek berkaki pendek sebelah, mengenakan pakaian kulit
kayu warna-warni. Walau dia jelas berambut panjang riap-riapan dan memakai
anting di dua telinganya, namun perempuan tua ini di bawah bibirnya ditumbuhi
bulu-bulu menyerupai kumis lelaki! Yang angkernya dari nenek ini ialah dia
mempunyai sepasang tangan berkuku panjang, berwarna hitam dan dilebati
rambut-rambut hitam berjingkrak! Si nenek adalah salah satu kaki tangan Hantu
Muka Dua yang dikenal dengan julukan Si Pembedoi Usus! Julukan ini sesuai
dengan kebiasaannya yang selalu membunuh lawannya dengan
cara
merobek perut membetot usus!
Peri
Angsa Putih yang mengenali siapa adanya nenek satu ini diam-diam merasa
terkejut karena tidak menyangka si nenek yang selama ini memang tidak disenangi
oleh Para Peri dan Dewa ternyata telah bergabung di Istana Kebahagiaan menjadi
kaki tangan Hantu Muka Dua!
Orang ke
dua adalah seorang lelaki separuh baya yang mukanya diberi pupur tebal, alis
terang dan gincu merah mencorong. Rambutnya keriting aneh, panjang menjulai
sampai bahu. Walau dia mengenakan pakaian laki-laki namun sikap tingkahnya
seperti perempuan, sebentar-sebentar tersenyum dan mematik-matik rambutnya. Di
hidungnya dia memakai sebentuk subang bermata yang memancarkan cahaya
berkilat-kilat. Sesekali dia mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng dan
kedip-kedipkan matanya lalu mencibir pada Lasulingmaut yang memperhatikannya
dengan pandangan mengejek sambil keluarkan suara ber- gumam. Di Negeri
Latanahsilam orang ini dikenal dengan nama Si Betina Bercula. Nama ini cukup
menjadi pertanda bahwa dia sebenarnya adalah seorang lelaki yang punya kelainan
dan menjalani hidup sebagai perempuan. Konon selama belasan tahun dia lenyap
tak diketahui kemana perginya. Begitu muncul tahu-tahu dia sudah menjadi orang
kepercayaan Hantu Muka Dua.
Kalau
Luhcinta tidak mengetahui siapa adanya Si Betina Bercula, lain halnya dengan
Peri Angsa Putih. Melihat Si Betina Bercula dia langsung merasa khawatir
terhadap keselamatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Apalagi dari sikapnya dia jelas
mengincar pemuda asing itu.
Orang ke
tiga yang muncul bersama nenek Si Pembedol Usus dan Si Betina Bercula dikenali
Wiro bukan lain adalah Si Pelawak Sinting. Seorang kakek aneh yang pernah
menunjukkan sikap baik menolong sang pendekar tetapi kemudian menjebloskannya
ke sebuah lobang maut dan ternyata dia adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Namun
saat itu Wiro menjadi bingung dan sulit menerka apakah Si Pelawak Sinting yang
muncul ini adalah yang palsu atau yang asli.
Seperti
diceritakan dalam serial terdahulu (berjudul Hantu Tangan Empat) Pelawak
Sintingyang asli adalah seorang kakek baik-baik. Kakek ini mempunyai kesukaan
bernyanyi sambil menari. Kemana-mana selalu membawa payung daun yang diletakkan
di atas kepala serta membekal sebuah tambur terbuat dari batang kayu yang
dilubangi lalu salah satu sisinya ditutup dengan kulit binatang yang
dikeringkan. Selain itu caranya berpakaian selalu mendodorkan celananya bagian
belakang ke bawah hingga pantatnya yang hitam dan kasap tersingkap ke
mana-mana.
"Sialan
benar!" kata Wiro memaki dalam hati sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana aku mengetahui kakek ini Pelawak Sinting asli yang baik atau
Pejawak Sinting palsu yang jahat! Dulu Pelawak Sinting yang asli telah merampas
payung serta tambur itu dari Si Pelawak Sinting palsu. Pelawak Sinting palsu
adalah kakak kembar yang asli. Tapi sekarang kakek itu muncul membawa payung
dan tambur seperti milik Pelawak Sinting. Apakah dia yang asli atau yang palsu
tapi berhasil mendapatkan atau membuat sendiri payung daun dan tambur
itu?!" Pendekar 212 coba mengingatingat.
"Antara
dua kakek sinting kembar itu memang sulit dibedakan. Mulutnya sama-sama
tonggos, mata sama belok dan hidung sama pesek. Lalu pantat juga sama-sama
hitam burik! Bahkan suaranya tidak beda sedikitpun. Suara… suara… Aku ingat
sekarang. Pelawak Sinting yang asli tidak bisa menyebut namaku dengan lempang.
Dia tidak bisa menyebut Wiro seolah lidahnya kelu melafatkan huruf ‘er’. Selain
itu dia suka cegukan seperti anak kecil.
Walau aku
yakin kakek ini adalah Si Pelawak Sinting palsu tapi ada baiknya aku menguji
dulu agar tidak kesalahan tangan."
"Sobatku
kakek Pelawak Sinting!" Wiro berseru.
"Aku
gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa kau masih ingat namaku…?"
Payung di
atas kepala Si Pelawak Sinting mumbul ke atas. Kakek ini monyongkan mulutnya
yang tonggos.
"Aku
masih belum buta! Bukankah kau pemuda asing bernama Wiro Sableng itu? Tidak
sangka aku mendapat perintah untuk membunuhmu kembali!"
Telinga
Wiro seperti mengiang. "Dia mampu menyebut namaku dengan benar. Berarti
dia memang Si Pelawak Sinting palsu sialan itu!" Wiro membatin. Lalu dia
berkata lagi. "Walau kau sudah mendapat hajaran dari adikmu rupanya kau
belum kapok! Apa kali ini kau akan menjebloskan aku lagi ke dalam
lubang?!"
Belum
sempat Si Pelawak Sinting palsu yang bernama Labodong itu menjawab, Betina
Bercula goyangkan pinggulnya. Sambil mematik merapikan rambutnya dia berkata.
"Wahai…. Hik… hik…. Kalau kau memang ingin masuk lobang biar sekali ini
aku yang mencarikan lobang untukmu. Hik… hik…. Orang muda bertampang gagah.
Mari aku bisikkan sesuatu padamu!"
Habis
berkata begitu Si Betina Bercula melompat ke hadapan Pendekar 212. Wiro segera
mundur menjauh. Tapi lengannya sudah terpegang dan tahu-tahu mulut Betina
Bercula sudah berada dekat telinga kirinya. Wiro cepat tarik tangan dan jauhkan
kepalanya. Namun Betina Bercula masih sempat menjilat daun telinga sang
pendekar. Sambil tertawa cekikikan lelaki yang berperangai banci ini kembali ke
tempatnya semula.
"Wahai!
Telingamu pahit-pahit asin. Tapi lumayan! Enak juga! Hik… hik… hik!"
Wiro usap
telinganya yang barusan dijilat tengkuknya terasa merinding. Dalam hati dia
memaki panjang pendek.
"Kalian
semua dengar!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua membentak. "Kita kemari bukan
untuk bergurau. Tapi untuk menangkap Peri itu hidup-hidup, juga kawannya yang
berpakaian biru itu. Tugas paling utama adalah membunuh pemuda asing bernama
Wiro Sableng itu!"
"Penguasa
tertinggi Istana Kebahagiaan! Kami siap melakukan!" kata Lahidungbesar
sambil mencoba tegak tapi terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.
"Makhluk
tak berguna! Lebih baik aku pecahkan saja kepalamu seperti Lapicakkanan!"
kata Hantu Muka Dua.
Lasulingmaut
bergumam panjang. Dia angkat suling tengkoraknya. Sambil mengerahkan tenaga
dalam ujung suling itu ditusuk-tusukkannya ke beberapa bagian tubuh kakek
kawannya. Walau apa yang dilakukan si kakek tidak menyembuhkan luka dalam
Lahidungbesar namun hebatnya Lahidungbesar kini merasa ada satu kekuatan besar
masuk ke dalam badannya yang membuat dia mampu bangkit berdiri. Begitu kakek
ini berdiri, Lasulingmaut segera melompat naik ke atas bahunya.
Nenek
berjuluk Si Pembedol Usus kembangkan dua tangannya lalu keluarkan pekik keras.
Sekali berkelebat dia sudah mendahului melesat ke arah ketinggian dan jejakkan
kaki dua. tombak di depan batu besar di mana Peri Angsa Putih dan Luhcinta berada.
Si Pelawak Sinting palsu berkelebat pula mengikuti gerakan si nenek. Ketika
Lahidungbesar hendak melompati Pendekar 212, Si Betina Bercula cepat berkata.
"Pemuda
satu itu bagianku! Jangan ada yang berani menyentuhnya!"
"Jangan
kau berani main-main di hadapan Junjungan kita!" bentak Lahidungbesar
sementara di atasnya Lasulingmaut mulai tiup suling tengkoraknya dan kepulkan
asap beracun yang sanggup membuat beku aliran darah! Lahidungbesar kelihatan
marah tapi sebenarnya dia merasa gembira karena dalam keadaan terluka di dalam
seperti itu dia tidak Periu turun tangan melakukan serangan. Tapi di atas
pundaknya Lasulingmaut yang sudah gatal ingin segera turun tangan bergumam
marah.
"Siapa
main-main! Lihat bagaimana aku membunuhnya!" balas berteriak Si Betina
Bercula. Tubuhnya melesat melewati dua kakek itu dan sesaat kemudian tangan
kirinya menyambar ke arah leher Wiro dalam gerakan menabas yang sangat ganas!
Tentu saja murid Eyang Sinto Gendeng segera menyingkir selamatkan diri. Tapi
baru saja dia bergerak tiba-tiba tangan kanan Betina Bercula melesat ke bawah
perutnya!
"Sialan!"
maki Wiro. Karena tidak menyangka dan lagi pula gerakannya mengelak tertahan
oleh lamping batu yang ada di belakangnya sementara serangan lawan datangnya
seperti kilat, Wiro hampir tak punya kesempatan untuk selamatkan diri.
Tapi
gilanya ternyata apa yang dilakukan Betina Bercula hanyalah meraba bagian tubuh
di bawah pusar Pendekar 212 lalu melompat menjauh. Sambil tertawa cekikikan dia
usapkan tangannya yang barusan meraba ke hidungnya sendiri!
"Banci
kurang ajar!" rutuk Pendekar 212 marah sekali dan merinding kuduknya.
Sambil kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dia melompat dan menghantam ke
arah Si Betina Bercula. Namun saat itu pula Lahidungbesar yang dihardik oleh
Hantu Muka Dua berkelebat dari samping menghadangnya. Dari atas dukungannya
Lasulingmaut bergumam keras lalu babatkan suling tengkoraknya. Asap hitam
mengepul menyambar ke kepala murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini!
*********************
12
KITA
ceritakan sedikit bagaimana Luhcinta sampai berada di tempat itu. Sesaat
setelah Peri Angsa Putih dibawa kabur oleh Lahidungbesar, Luhcinta yang tengah
melanjutkan perjalanan sambil melakukan penyelidikan tentang asal usul dirinya
sampai di tempat berlangsungnya perkelahian. Hatinya gembira karena dia melihat
Pendekar 212 di kejauhan. Namun pemandangan lain membuat gadis ini merasa tidak
enak. Selain itu sudah sejak beberapa hari ini Luhcinta merasa seolah ada
seseorang yang selalu membayangi perjalanannya dari jauh. Luhcinta menemukan Laeputih
angsa milik Peri Angsa Putih di balik batu-batu bukit tapi si pemiliknya
sendiri tidak kelihatan di tempat itu. Ketika dia mendekati binatang ini, dia
melihat ada sepasang kaki putih tersembul di bawah sayap angsa.
"Ada
perempuan bersembunyi di bawah sayap angsa itu. Mungkinkah sang Peri?
Jangan-jangan sesuatu terjadi dengan dirinya," pikir Luhcinta. Dia
mempercepat langkahnya. Belum sempat dia mencapai Laeputih tiba-tiba seorang
gadis berpakaian ungu menyelinap keluar dari balik sayap angsa. Gerakannya
cepat sekali. Luhcinta hendak memanggil, tapi gadis itu telah berkelebat lenyap
di balik bebatuan. "Siapa gadis itu? Mengapa dia sembunyi lalu melarikan
diri kalau tidak membekal maksud kurang baik?" Luhcinta sampai di samping
angsa raksasa.
"Laeputih,
mana Peri Angsa Putih. Mengapa kau seperti memencilkan diri di balik
batu?" Luhcinta bertanya dan usap-usap leher angsa putih itu. Laeputih
rundukkan kepalanya sambil keluarkan suara mendesah halus. Dua sayapnya
direntang dan digesek-gesekkan ke bawah. Luhcinta menduga-duga apa kira-kira
yang hendak disampaikan binatang itu kepadanya. Laeputih kemudian mematuk-matuk
bebatuan di depannya dan sayapnya dikepakkan berulang kali.
"Hemmm….
Laeputih, mungkin kau menyuruhku naik ke atas punggungmu dan mengajakku
terbang. Baik…baik, aku akan menunggangimu…." Luhcinta ingat pada Wiro dan
hentikan ucapannya. Dia memandang ke arah kejauhan. Wiro dilihatnya masih
berada di tempat tadi, tegak seorang diri sambil memegang sehelai selendang
berwarna biru. "Kalau aku tidak salah menduga, selendang itu adalah milik
Peri Angsa Putih. Apakah sang Peri memberikannya pada Wiro…?"
Luhcinta
merenung sambil gigit-gigit bibirnya. Laeputih kembali mematuk-matuk dan
keluarkan suara mendesah tanda tidak sabaran.
"Wahai,
kau sudah tidak sabar rupanya sahabatku. Baik, aku akan naik ke punggungmu.
Tapi aku harus berhati-hati. Jangan sampai aku jatuh wahai Laeputih. Terbangkan
aku ke tempat di mana beradanya Peri Angsa Putih " Sekali melompat
Luhcinta telah berada di atas angsa putih itu. Tanpa menunggu lebih lama
Laeputih segera melesat terbang ke arah timur. Wiro yang berada di bawah sempat
melihat Laeputih bertanya-tanyii siapa adanya penunggang berbaju biru yang
jelas bukan Peri Angsa Putih adanya. Selagi dia bertanya-tanya seperti itu tak
lama kemudian Wiro melihat seekor kura-kura terbang melintas di udara. Dari
arah yang ditujunya agaknya kura-kura itu mengikuti angsa putih dari kejauhan.
Wiro sudah tahu siapa adanya penunggang kura-kura terbang itu. Yakni bukan lain
dara cantik bernama Luhjelita.
Saat itu
Wiro ingat dan ingin sekali menemui dua temannya yaitu Naga Kuning dan Setan
Ngompol. Pada saat ditinggal mereka masih menunggui obat yang diberikan oleh
Hantu Raja Obat agar tubuh mereka juga bisa dibesarkan seperti keadaannya sekarang.
Namun akhirnya Wiro mengambil keputusan untuk segera menuju ke Istana
Kebahagiaan. Karena dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Peri Angsa Putih.
Selain itu dia hendak mencari kejelasan mengenai siapa sebenarnya orang yang
hendak meracuninya dengan bunga mawar kuning. Peri Angsa Putih atau Luhjelita.
Sebelum
Wiro meninggalkan tempat itu menuju Istana Kebahagiaan yang menjadi sarang
Hantu Muka Dua, orang bermuka tanah liat hitam yang oleh Lahidungbesar dan
kawan-kawan diduga adalah Si Penolong Budiman, telah lebih dulu meninggalkan
tempat itu. Seperti Wiro diapun hendak menuju Istana Kebahagiaan. Namun
sepanjang jalan dia selalu melihat ke udara memperhatikan angsa putih yang
terbang ditunggangi gadis berpakaian biru. Sambil lari dia membatin. Setiap dia
membatin detak jantungnya mengeras dan hatinya berdebar.
"Sayang,
aku tidak sempat melihat wajah perempuan yang terbang bersama angsa putih itu.
Melihat keadaan tubuhnya mungkin dia gadis yang selama ini kucari. Wahai….
Kalau saja Para Dewa menolong dan aku bisa menemukannya, mungkin derita batin
selama puluhan tahun ini bisa terobati. Bagaimanapun aku harus bertemu, harus
melihatnya sebelum kematian menjadi bagianku…." Sepasang mata orang aneh
ini tampak berkaca-kaca. Ketika dia memandang lagi ke udara dilihatnya ada
seekor kura-kura raksasa terbang mengikuti angsa putih di kejauhan.
Ternyata
Laeputih membawa Luhcinta ke lereng bukit dimana terletak sumur melintang.
Bagaimanapun cerdiknya angsa putih itu namun tak mungkin baginya untuk memberi
tahu bahwa Peri Angsa Putih ada di dalam goa itu. Binatang ini hanya hinggap di
lereng batu yang terdekat sambil sesekali menjulurkan kepalanya ke arah goa dan
keluarkan suara menguik halus. Karena terlindung oleh satu batu besar Luhcinta
tidak dapat melihat mulut goa. Selagi dia berpikir-pikir coba mengertikan
petunjuk apa yang berusaha diberikan oleh angsa putih itu, tiba-tiba di bawah
sana dilihatnya Wiro berlari mendaki lereng bukit berbatubatu. Saking
gembiranya gadis ini hendak berseru memanggil sang pendekar. Namun maksudnya
dibatalkan ketika di salah satu lamping bukit sebelah barat dia melihat satu
sosok hitam mendekam memperhatikan. Ketika dia memandang ke jurusan itu, orang
di balik batu segera menyelinap menghilang.
"Pasti
itu orang yang mengikutiku sejak beberapa hari ini…" kata Luhcinta dalam
hati. Setelah berpikir sejenak gadis ini akhirnya menuruni lereng bukit menemui
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sendiri sebenarnya telah melihat sosok angsa
putih di atas bukit batu sana. Dia tidak menduga kalau penunggangnya adalah
dara cantik bernama Luhcinta yang sejak pertemuan mereka pertama kali selalu
dikenangnya. Apalagi kakek gendut Si Hantu Raja Obat yang menolong
membesarkannya pernah membisikkan kata-kata yang kadang-kadang terngiang di
telinganya: "Ratusan orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada
satu pemuda yang berkenan di hatinya. Kau!"
"Aku
senang bertemu denganmu Wiro. Apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya
Luhcinta.
"Aku
juga gembira bisa melihatmu lagi. Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini? Kau
datang menunggang angsa milik Peri Angsa Putih," ujar Pendekar 212.
"Agaknya
kita tengah mencari orang yang sama. Peri pemilik angsa itu…."
"Peri
itu ditawan dan dibawa kabur oleh anak buah Hantu Muka Dua. Aku tengah dalam
perjalanan menuju Istana Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua…"
menerangkan Wiro.
Luhcinta
terkejut mendengar penjelasan Wiro itu.
"Angsa
putih itu secara aneh menurunkan aku di lereng bukit ini. Berkali-kali dia
menjulurkan kepalanya ke arah sana. Aku tidak tahu…. Tapi agaknya dia berusaha
memberitahukan sesuatu…."
Wiro
memandang ke arah yang ditunjuk Luhcinta. Seperti si gadis pandangannya juga
terhalang oleh batu besar di lamping bukit
"Ada
satu hal ingin kukatakan. Seseorang mengikutiku sampai di lereng bukit batu
ini," memberitahu Luhcinta.
"Aku
tahu. Aku melihatnya dari bawah. Seorang penunggang kura-kura terbang. Aku
kenal orangnya. Seorang gadis bernama Luhjelita "
"Kalau
begitu ada dua orang yang mengikutiku," kata Luhcinta pula. Lalu gadis ini
menunjuk ke arah kejauhan dan menceritakan tentang sosok hitam yang dilihatnya.
"Tak
ada siapa-siapa di situ…" kata Wiro memperhatikan.
"Orang
itu sudah sejak beberapa hari ini menguntitku. Pasti dia mempunyai maksud tidak
baik. Gadis penunggang kura-kura itu juga tidak kelihatan lagi. Aneh…."
"Kalau
begitu kau harus berhati-hati," kata Wiro lalu dia memperhatikan
gerakan-gerakan yang dibuat oleh angsa putih. "Binatang itu selalu
menjulurkan kepalanya ke arah batu besar di bawah sana. Coba kuselidiki.
Mungkin ada sesuatu di balik batu itu. Apakah kau membaui sesuatu?" Wiro
bertanya sambil mendongak, berusaha membaui aliran udara.
"Aku
seperti mencium bau harum…" kata Luhcinta.
"Betul!
Itu adalah harum bau tubuh dan pakaian Peri Angsa Putih!" kata Wiro pula.
"Kau tunggu di sini. Aku akan memeriksa ke balik batu besar itu."
Sambil
memperhatikan Wiro menuruni lereng bukit, dalam hati Luhcinta berkata.
"Sampai sedekatmana hubungan pemuda itu dengan Peri Angsa Putih.
Bagaimana
dia bisa mengenali harum bau tubuh dan pakaian sang Peri…? Wahai…. Mengapa aku
berpikir sampai ke situ. Kalaupun antara mereka ada jalinan hubungan tertentu
kurasa wajar-wajar saja. Bukankah Peri bermata biru itu sangat cantik dan baik
budi peri lakunya?" Luhcinta termangu sesaat. Dia tersentak ketika
mendengar teriakan Wiro dari balik batu.
"Luhcinta!
Lekas kemari! Aku menemukan Peri Angsa Putih!"
Luhcinta
segera menuruni lereng bukit batu. Wiro dilihatnya berdiri di depan sebuah goa.
Ketika dia merunduk dan memperhatikan ke dalam goa benar saja. Di dalam sana
terbujur sosok perempuan berpakaian sutera putih dan menebar bau harum.
"Jangan-jangan
dia sudah jadi mayat. Mati dibunuh…" kata Luhcinta dengan wajah cemas.
"Waktutadi
kusentuh kakinya masihterasa panas. Tolong aku menarik tubuhnya keluar dari
dalam goa."
Dua orang
itu kemudian menarik tubuh Peri Angsa Putih yang ada dalam goa atau sumur
melintang lalu membaringkannya di satu tempat datar. "Dia masih bernafas,
tapi tubuhnya tidak bergerak. Mungkin pingsan…."
Wiro
gelengkan kepala lalu menceritakan apa yang terjadi dengan Peri Angsa Putih
waktu berkelahi melawan kakek bernama Lahidungbesar.
"Berarti
dia terkena ilmu penyirap tubuh yang disebut Ilmu Menjirat Urat. Orang yang
berada di bawah pengaruh ilmu ini akan menjadi seperti pingsan, mata terpejam
tubuh tak bisa digerakkan. Setahuku itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki
Hantu Muka Dua."
"Hantu
Muka Dua pasti telah mengajarkannya pada Lahidungbesar," kata Wiro. Lalu
dia berlutut di samping tubuh Peri Angsa Putih. Di leher sang Peri sebelah
kanan kelihatan tanda kebiru-biruan. "Ilmu totokan tanpa menyentuh…"
kata Wiro dalam hati. Lalu dia ulurkan tangannya, siap untuk menotok urat besar
di leher sang Peri. Di sampingnya Luhcinta mengeluarkan suara tertahan. Wiro
berpaling. Dilihatnya gadis itu memandang padanya dengan wajah kemerahan.
Pendekar
212 garuk-garuk kepala lalu tertawa. Dalam hati dia membatin. "Mungkin
gadis ini cemburu kalau aku menyentuh Peri Angsa Putih." Memikir begitu
maka Wiro berkata. "Luhcinta, hanya ada satu cara untuk membebaskan Peri
Angsa Putih dari sirapan Ilmu Menjirat Urat. Yaitu menotok uratnya yang
kelihatan biru itu…."
Paras
Luhcinta mendadak tambah merah. Gadis ini palingkan mukanya ke jurusan lain.
"
Walah, apalagi yang salah ini…?" pikir Wiro sambil garuk-garuk kepala
Begitu dia ingat meledak tawanya.
"Mengapa
kau tertawa?" tanya Luhcinta heran.
"Aku
melihat wajahmu merah sampai ke telinga. Aku tahu sebabnya. Kau mungkin
menganggap aku kurang ajar. Bukankah totok di negeri ini berarti payudara
perempuan? Ha… ha… ha…"
"Kau!
Kalau sudah tahu mengapa masih menyebut?!" tanya Luhcinta merengut. Tapi
mulutnya mengembang, bibirnya bergetar lal u tawanya menyembur tak tertahankan
lagi. Karena malu gadis ini akhirnya tutup wajahnya dengan dua tangan.
"Seharusnya
aku mengatakan tutuk. Bukan to…."
"Sudah!
Kita harus segera menolong Peri Angsa Putih…" kata Luhcinta pula.
"Kau
yang melakukan, aku akan memberi tahu caranya." Lalu Wiro luruskan dua
jari tangan kanannya.
"Kerahkan
tenaga dalammu ke tangan. Dua ujung jari yang diluruskan harus menutuk urat
besar di leher itu. Tapi ingat, pada saat jari menutuk, tenaga dalam harus
sudah sampai di ujung-ujung jari. Bukan sebelum atau sesudahnya…."
"Aku
takut kesalahan. Kau saja yang melakukan," kata Luhcinta sambil
menggeleng.
Wiro
pegang tangan kanan si gadis. "Luruskan dua jarimu. Yang tengah dan yang
telunjuk." Luhcinta diam saja. Dia pandangi tangan Wiro yang memegangi
lengannya. Tangannya bergetar aneh. Getaran itu terasa sampai ke dada.
Membuatnya seolah tenggelam dalam satu kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah
dirasakan. Seumur hidup baru sekali itu Luhcinta dipegang tangannya oleh
seorang lelaki. Dia ingin menarik, tetapi seperti ada yang mendorong agar dia
tidak melakukan hal itu. "Hai, katamu kita harus segera menolong Peri ini.
Kau tunggu apa lagi Luhcinta?"
Sementara
itu tanpa setahu ke dua orang yang sedang berpegangan tangan ini, di balik
sebuah batu besar seorang gadis berpakaian Jingga menggigit bibirnya
memperhatikan Wiro dan Luhcinta. "Aku memang sudah menduga. Ternyata gadis
bernama Luhcinta itu lebih berbahaya dari pada Peri Angsa Putih…."
Tidak
tahan melihat Wiro berpegang-pegangan dengan Luhcinta,, gadis dibalik batu itu
yang bukan lain Luhjeiita adanya akhirnya balikan diri, tinggalkan lereng bukit
itu menuju ke satu tempat yang dikelilingi batu-batu tinggi di mana dia
meninggalkan kura-kura raksasa tunggangannya. Baru saja dia duduk di punggung
kura-kura coklat itu tiba-tiba sudut matanya melihat satu bayangan berkelebat
dekat batu besar di sebelah kiri. Luhjelita berpaling. Dia agak tergagau ketika
melihat di atas batu besar yang hanya terpisah kurang dari sepuluh tombak di
sebelah kirinya tegak seorang berpakaian serba hitam. Mukanya tertutup oleh
sejenis tanah liat yang dicat hitam hingga siapa adanya orang ini atau
bagaimana wajah aslinya sulit dikenali.
"Setan
alas gentayangan siang bolong!" Luhjelita memaki sendiri lalu menggebrak
tunggangannya.
"Tunggu!
Katakan, apakah kau gadis anak murid Nenek sakti dari Lembah Laekatakhijau
bernama Luhmasigi?!"
Karena
masih berada dalam keadaan kesal. Luhjelita yang biasanya genit dan pandai
merayu ini menjawab seenaknya. "Setan hitam di siang bolong! Kalau
bertanya tentang katak, jangan bicara denganku. Tapi bicara dengan kodok! Hik…
hik… hik!"
Habis
berkata begitu Luhjelita tepuk keras-keras punggung Laecoklat kura-kura
tunggangannya. Binatang ini serta meria melesat ke udara meninggalkan sosok
serba hitam di atas batu sana.
Kembali
pada Wiro dan Luhcinta. "Sekarang alirkan tenaga dalammu "
Luhcinta
bukannya melakukan apa yang dikatakan Wiro, tapi malah pandangi pemuda itu
dengarimatanya yang bening bagus. Dipandangi seperti itu pendekar kita jadi
bingung sendiri. "Kalau begini, sampai pagi tak akan jadi-jadinya aku
menolong Peri Angsa Putih." Lalu Wiro kerahkan tenaga dalamnya.
Aliran
hawa sakti itu menyusup masuk ke dalam dua jari Luhcinta. Begitu ujung jari si
gadis bergetar tanda tenaga dalam yang dialirkan sudah mencapai ujungujung
jari, Wiro segera tusukkan jari-jari itu ke bagian leher Peri Angsa Putih yang
kebiru-biruan. Saat itu juga Peri Angsa Putih buka sepasang matanya yang biru.
Dia melihat langit. Lalu melihat Luhcinta dan terakhir sekali pandangannya
membentur Wiro.
"Di
mana aku.Apa yang terjadi? Wahai Luhcinta…."
Peri
Angsa Putih bangkit dan duduk. Matanya kemudian melihat tangan Wiro yang masih
memegangi tangan Luhcinta. Luhcinta cepat-cepat menarik lengannya sementara
Wiro coba tersenyum sambil garukgaruk kepala. Dilihatnya paras Peri Angsa Putih
berubah.
"Kalian
berdua… sedang apa di sini?" tanya sang Peri perlahan dan ada nada
kecemburuan dalam pertanyaannya itu. Wiro tak bisa menjawab. Luhcinta juga tidak
mengeluarkan suara. Dalam hatinya gadis ini berkata. "Jangan-jangan Peri
ini menduga aku tengah berbuat yang bukan-bukan di tempat ini bersama
Wiro."
"Wiro,
bagaimana aku… kita bisa berada di sini?" Peri Angsa Putih kembali
bertanya.
"Nanti
saja aku ceritakan. Sekarang kita harus melakukan sesuatu untuk menjebak orang
yang membawamu ke mari. Kau dan Luhcinta sembunyi di balik bebatuan. Biar aku
yang masuk ke dalam goa itu."
Ternyata
seperti yang diceritakan sebelumnya Lahidungbesar memang kena dijebak ketika
dia muncul lagi di tempat itu bersama rombongan orang-orang Istana Kebahagiaan.
Bukan saja dijebak malah dadanya sempat dihantam tendangan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
*********************
13
SEKARANG
kita ikuti apa yang terjadi dengan Luhcinta dan Peri Angsa Putih. Begitu nenek
Si Pembedol Usus dan Pelawak Sinting berkelebat ke hadapan mereka Luhcinta
segera menyongsong. Dengan suara lembut dia menegur. "Sepasang kakek dan
nenek, kami tahu kalian adalah orang baik-baik. Di dalam hati kalian pasti ada
apa yang dinamakan kasih sayang. Lalu mengapa tega hendak menyerang kami? Kalau
hanya karena alasan kalian adalah kaki tangan Hantu Muka Dua dan mengharapkan
imbal jasa berupa harta atau kedudukan, ketahuilah kalian telah tertipu.
Imbalan kasih sayang tidak sebagus dan seindah imbalan kejahatan. Bukankah
lebih baik bagi kalian meninggalkan tempat ini, meninggalkan Istana Kebahagiaan
dan Hantu Muka Dua. Berbuat baik di jalan yang penuh kasih antara
sesama…?"
Nenek
berkumis halus pandangi Luhcinta sesaat, lalu sambil menuding dengan telunjuk
tangan kanannya dia tertawa cekikikan. "Aku yang tua hendak diberi
pelajaran oleh seekor cecunguk hijau! Hik… hik… hik! Sungguh menggelikan. Di
ujung kematian kau masih bisa bersyair wahai gadis yang keningnya ada bunga
tanjung!"
Di
sebelah si nenek, kakek bernama Si Pelawak Sinting menyahuti. "Tapi
sahabatku, syair gadis itu lumayan bagus. Bisa kujadikan bahan nyanyian
pengiring tarianku!" Lalu kakek Ini pukul tamburnya, dan menari
berjingkat-jingkat dan mulai menyanyi. "Na…na… na ..Ni._ ni… ni "
Peri
Angsa Putih yang tidak sabaran melihat kelakuan kakek ini segera membentak.
"Pelawak Sinting, adik kembarmu pernah memberi pengampunan padamu!
Pemuda
asing bernama Wiro Sableng itu tempo hari juga batal dari niat membunuhmu!
Nyatanya kau tidak kapok! Masih memalsukan diri sebagai Pelawak Sinting dan
masih jadi kaki tangan Mantu Muka Dua! Hari ini biaraku yang memberi pelajaran
padamu agar kau bisa kapok seumur hidup!"
"Na…
na… na.„. Ni… ni… ni!" Si Pelawak Sinting bernyanyi lalu mencibir.
"Peri Angsa Putih, tempatmu di langit di atas sana! Mengapa turut campur
urusan orang di Negeri Latanahsilam?!"
"Wahai
kakek bernama Pelawak Sinting. Di dalam otakmu aku yakin tidak ada kesintingan.
Di dalam hatimu pasti ada kasih. Jangan lihat siapa adanya Peri sahabatku ini.
Tapi dengar apa ujarnya. Pergilah dari sini sebelum terlambat "
"Pelawak
Sinting! Jangan dengar ucapan gadis hijau bau susu ini!" bentak si nenek
Pembedol Usus.
Habis
membentak dia langsung menerjang Luhcinta. Tangan kanannya yang hitam dan
berbulu panjang melesat ke perut si gadis. Dari cara orang menyeran jelas nenek
itu memang hendak membobol perutnya!
Luhcinta
masih sempat menarik nafas dalam tanda kecewa. Lalu dia cepat melompat ke
samping menghindarkan diri dari serangan si nenek. Tapi alangkah kagetnya gadis
ini ketika tangan kanan Si Pembedol Usus meluncur tambah panjang seolah bisa
diulur! Luhcinta terpekik kaget.
"Na…
na… na…. Ni… ni… ni…!" Si Pelawak Sinting terus bernyanyi dan memukul
tamburnya namun sepasang matanya yang belok melirik tajam ke arah Peri Angsa
Putih.
Peri
Angsa Putih yang tahu ketinggian ilmu dan keganasan nenek berkumis halus
berkaki pendek sebelah itu, apa lagi ketika melihat bagaimana sekali menggebrak
saja dia siap untuk menghantam jebol perut Luhcinta, tanpa tunggu lebih lama
segera goyangkan kepalanya. Dua larik sinar biru menderu keluar dari sepasang
matanya, membeset ke arah nenek Si Pembedol Usus!
"Peri
sesat! Kau telah banyak mencelakai kawankawanku! Hari ini aku mewakili mereka
menghukummu!" teriak Si Pembedol Usus. Nenek ini marah sekali. Karena dua
larik sinar biru dari mata sang Peri memaksa dia menarik pulang serangannya
yang tadi .
dianggapnya
dapat merobek perut Luhcinta. Didahului pekik melengking sosok si nenek melesat
dua tombak ke atas. Tapi aneh dan mengerikannya dua tangannya yang hitam
melayang tertinggal di sebelah bawah seolah tanggal dari persendian, melesat
menyambar ke perut sang Peri.
"Dua
Tangan Pembetot Roti!" seru Peri Angsa Putih mengenali serangan ganas yang
dilancarkan si nenek.
Dengan
tenang dia membuat gerakan mengelak. Namun tidak disangka, dari sebelah atas
kaki kanan lawan yang tadi melayang ke udara, menderu mengincar batok kepalanya
sebelah belakang! Dan lebih celakanya lagi di saat yang sama payung daun milik
Si Pelawak Sinting berputar melayang, menyambar ke arah leher kanan Peri Angsa
Putih. Seperti diketahui payung itu walau terbuat dari daun kering namun
memiliki kehebatan luar biasa Jangankan tubuh manusia, pohon atau batu saja
pasti akan putus jika sampai kena tersambar. Diserang dari tiga jurusan seperti
itu sungguh sulit bagi Peri Angsa Putih untuk selamatkan diri. Salah satu dari
tiga serangan pasti akan bersarang di tubuhnya yaitu dua sambaran tangan yang
akan merobek dan membedol ususnya, tendangan pada bagian belakang kepala atau
terabasan payung daun!
Luhcinta
kaget besar. Peri Angsa Putih yang barusan menolongnya dari serangan si nenek
kini malah dikeroyok ganas seperti itu. "Wahai! Jika kasih tidak lagi
dapat menyejukkan hati menyehatkan pikiran, jangan salahkan kalau kekerasan
merupakan jalan keluar yang tidak enak!" Gadis itu berseru. Tubuhnya
bergerak seperti sosok seorang penari. Dua tangannya dengan lemah gemulai
didorongkan ke arah Si Pelawak Sinting.
"Pelawak
Sinting! Awas! Serangan Tangan Dewa Merajam Bumi" Yang berteriak memberi
ingat Si Pelawak Sinting adalah Hantu Muka Dua. Tapi terlambat. Di depan sana
payung yang hendak membabat putus bahu kanan Peri Angsa Putih mental hancur
bertaburan. Tamburnya ikut terlempar berantakan. Di saat yang sama Si Pelawak
Sinting terpental jauh. Mulutnya muntahkan darah segar. Tubuhnya terbanting ke
atas tanah berbatu-batu. Menggerung kakek ini segera berkelebat bangkit Tapi
dia hanya bisa keluarkan suara gerungan karena dapatkan sekujur tubuhnya lumpuh
tak berdaya, tak bisa lagi digerakkan barang sedikitpun!
Itulah
keganasan serangan Tangan Dewa Merajam Bumi yang dilancarkan Luhcinta. Siapa
saja yang sampai terkena maka tubuhnya akan menjadi lumpuh tak berdaya, sulit
disembuhkan alias bakalan cacat seumur hidup. Selama ini Luhcinta jarang sekali
mengeluarkan Ilmu itu. Dia lebih suka menasehati lawan agar insaf dan bertobat.
Namun jika lawan tidak bisa lagi diajak bicara dan tetap membangkang malah
nekad maka tak ada jalan lain!
"Gadis
setan alas! Hari ini biar aku mencabut pantangan membunuh perempuan asal kau
bisa kuhabisi!"
teriak
Hantu Muka Dua marah besar melihat apa yang terjadi dengan Si Pelawak Sinting.
Sampaisampai dia punya niat menyalahi larangan. Manusia berwajah dua yang saat
itu menampilkan muka-muka raksasa angkat dua tangannya. Yang satu siap melepas
pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh satunya lagi hendak menghantamkan pukulan
Tangan Hantu Tanpa Suara.
Ilmu
kesaktian bernama Hantu Hijau Penjungkir Roh itu merupakan satu sinar hijau
berbentuk segi tiga yang bisa membuat sasaran menjadi leleh lunak seperti
lumpur. Aslinya ilmu yang dirampasnya dari Hantu Lumpur Hijau itu melesat
keluar dari sepasang mata Namun belakangan Hantu Muka Dua mampu mengeluarkan
dari tangan kiri atau kanan hingga kehebatannya menjadi berlipat ganda. Selain
itu pukulan Tangan Hantu Tanpa Suara yang dirampas Hantu Muka Dua dari Hantu
Tangan Empat bisa membuat sosok Luhcinta tersedot sebelum dihancur luluhkan!
Pada saat yang sangat menegangkan begitu rupa tiba-tiba Betina Bercula
berkelebat ke hadapan Hantu Muka Dua dan berseru.
"Wahai
Junjungan Raja Diraja Segala Hantu! Mengapa bertindak bodoh mau menyengsarakan
diri sendiri melanggar pantangan membunuh perempuan?! Biar aku yang akan
menghabisi gadis binal berpakaian biru itu! Tapi aku mohon jangan kau suruh
bunuh dulu pemuda asing bernama Wiro Sableng itu! Kau tahu maksudku bukan? Aku
sudah jatuh hati padanya pada pandangan pertama! Hik… hik… hik!"
Hantu
Muka Dua tersadar. Sambil turunkan dua tangannya dia membentak.
"Banci
sialan! Lekas kau habisi gadis bernama Luhcinta itu!" Hantu Muka Dua lalu
berpaling pada empat lelaki bertubuh besar yang menjadi pengusungnya.
Dan
berteriak berikan perintah. "Kurung pemuda asing itu. Jangan biarkan dia
lolos. Beri tahu dua kakek itu agar tidak membunuhnya!"
Empat
lelaki pengusung tandu hentakkan kaki kanan ke tanah membuat bukit batu
bergetar. Lalu "sreet… sreettt." Mereka cabut kain coklat penutup
kepala dan kibaskan di udara. Kain itu serta merta berubah bentuk seperti
sebuah segi tiga dan menjadi kaku seperti sebilah besi sehingga merupakan
sebuah senjata berbahaya!
Melihat
sang Junjungan kabulkan permintaannya, Betina Bercula jatuhkan diri berlutut
"Terima kasih wahai Junjungan. Kau mengabulkan permintaanku!"
Sikap
Betina Bercula benar-benar seperti menghormat dan berterima kasih. Tapi sambil
menjura dan berkata dua tangannya enak saja meluncur ke depan memegangi paha
Hantu Muka Dua. Tangannya lalu mengusap naik ke atas.
"Banci
jahanam! Jangan sampai aku berubah pikiran dan menggebuk batok kepalamu!"
bentak Hantu Muka Dua.
Betina
Bercula cepat melompat bangkit tersenyum cengengesan sambil usap-usap rambutnya
yang keriting lalu tertawa cekikikan. Dia segera berpaling ke arah Luhcinta.
Namun sebelum sempat bergerak lebih jauh tiba-tiba terdengar satu jeritan
merobek langit. Dua tangan aneh nenek Si Pembedol Usus yang melayang di udara
kelihatan berselomotan darah. Dalam genggamannya melingkar berkelojotan usus
manusia. Mengerikan luar biasa untuk disaksikan. Luhcinta keluarkan suara
seperti mau muntah. Betina Bercula terpekik ngeri. Apa yang terjadi?
Janganjangan Peri Angsa Putih telah jadi korban keganasan nenek satu itu!
*********************
14
PADA
waktu Lasulingmaut menggebukkan suling tengkoraknya dan asap beracun mengepul
ganas, Pendekar 212 Wiro Sableng segera tutup jalan nafas dan rundukkan kepala
seraya balas menghantam dengan pukulan Segalung Ombak Menerpa Karang. Wiro berlaku
cerdik. Yang digempurnya bukan kakek di atas dukungan tetapi justru kakek yang
mendukung yakni Si Lahidungbesar. Seperti diketahui Lahidungbesar sebelumnya
telah terluka parah di bagian dada sebelah dalam akibat tendangan Wiro. Tulang
dada dan beberapa iganya remuk. Walau dia telah diberi tambahan kekuatan oleh
Lasulingmaut namun keadaan lukanya yang cukup parah membuat Lahidungbesar hanya
bisa bertahan selama empat jurus. Di jurus-jurus selanjutnya dia mulai
kelabakan menjadi bulan-bulanan serangan Wiro. Apa lagi Wiro sengaja menghantam
dengan pukulanpukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi.
Lahidungbesar
mulai terhuyung-huyung. Dua kakinya tidak mampu lagi membentuk kuda-kuda
bertahan apalagi menyerang. Menyadari keadaan kawan yang mendukungnya seperti
itu Lasulingmaut keluarkan suara bergumam keras. Dia sedot sulingnya
menghirup’asap beracun dalam tengkorak. Lalu asap itu disemburkannya berulang
kali ke arah Pendekar 212. Sambil menyembur tangan kanannya bergerak
menghantamkan suling tengkorak. Sesekali tubuhnya melesat ke udara lalu menukik
lancarkan serangan berupa gebukan yang selalu diarahkan ke kepala Wiro. Selesai
menggebuk dia kembali hinggap di bahu Lahidungbesar.
Untuk
beberapa jurus Wiro terpaksa bertahan menghadapi serangan beruntun yang
dilancarkan kakek berambut putih itu. Walau dia mampu menahan nafas menjaga
diri dari rasukan asap beracun namun lamalama ada juga asap yang menembus jalan
pernafasan Pendekar 212 Wiro Sableng. Akibatnya aliran darah sang pendekar
mulai tidak teratur.
"Celaka!"
keluh Wiro dalam hati. Dia segera kerahkan hawa sakti untuk mengatur jalan
darah dan raba Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghindari diri dari keracunan.
Seperti diketahui selama digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung
Gede, Wiro telah dibekali berbagai ilmu antaranya ilmu kebal racun. Namun
kehebatan luar biasa dari asap tengkorak Lasulingmaut masih sanggup menembus
benteng pertahanannya walau tidak sampai membuat dirinya jatuh celaka.
Lasulingmaut memang bukan kakek sembarangan. Kakek yang tidak mampu berjalan
jauh dengan kakinya sendiri juga tidak bisa bicara ini satu kali berhasil
menipu Wiro. Ujung sulingnya membeset di bahu kiri sang pendekar.
"Breettt!"
Baju
putih Pendekar 212 robek besar. Kulit bahunya ikut terkelupas. Darah mengucur.
Di saat yang sama di kakek menyembur ke depan." Wussss!" Asap hitam
beracun melabrak ke arah wajah Wiro. Sambil tutup jalan nafas Wiro jatuhkan
diri berlutut. Tangan kiri lepaskan pukulan Sinar Matahari. Diarahkan pada
Lasulingmaut. Selagi cahaya putih menyilaukan dan panas berkiblat di udara Wiro
berguling di tanah. Begitu bangkit dia hanya tinggal setengah langkah dari
hadapan Lahidungbesar.
Kakek
berhidung besar itu menggertak beringas. Kaki kanannya diangkat untuk menendang
kepala Wiro. Justru ini adalah satu kesalahan besar. Dalam keadaan semakin
lemah seperti itu dan masih mendukung kawannya di atas bahu, dia kehilangan
keseimbangan. Bukan saja tendangannya tidak mengenai sasaran tapi ketika Wiro
keluarkan jurus silat bernama Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa yang
diwarisinya dari Tua Gila di Pulau Andalas, Lahidungbesar tak mampu lagi
selamatkan diri. Lasulingmaut yang tahu bahaya serta meria melompat cari
selamat dan hinggap di atas sebuah batu besar dengan mulut menggembung
keluarkan suara menggumam. Matanya melotot memperhatikan apa yang terjadi
dengan temannya.
Saat itu
Wiro berhasil menangkap pinggang Lahidung besar. Ketika dia siap untuk menjotos
si kakek di arah hidungnya yang besar tiba-tiba matanya sempat melihat bahaya
besar mengancam Peri Angsa Putih. Dua tangan aneh Si Pembedol Usus melayang di
udara siap untuk merobek perut dan membedol usus Peri itu tanpa terelakkan. Di
saat yang sama serangan payung berputar dan tendangan kaki di belakang kepala
datang pula dengan segala keganasannya. Walau serangan di kepala dapat
dielakkan dengan merunduk cepat dan serangan payung dihancurkan oleh Luhcinta
namun serangan dua tangan aneh yang mengapung di udara tak mungkin dihindarkan.
Sesaat
lagi dua tangan Si Pembedol Usus akan merobek perut Peri Angsa Putih dan
membetot semua isi yang ada di dalamya tiba-tiba sesosok tubuh melayang di depan
tubuh sang Peri.
Di atas
sana si nenek Pembedol Usus berseru kaget Dia tidak mampu menahan gerak dua
tangannya yang mengapung di udara. "Breettt!" Terdengar suara
robeknya perut menyusul jeritan setinggi langit. Peri Angsa Putih terjajar ke
belakang. Lalu terpekik dan memandang ke bawah ke arah perutnya. Mukanya yang
barusan pucat seperti mayat jadi berdarah ketika menyadari bahwa bukan perutnya
yang robek dan bukan ususnya yang bergelantungan dalam genggaman dua tangan di
depan sana.
"Braaakk!"
Sosok yang
tadi melayang di depan sang Peri roboh ke tanah. Itulah tubuh kakek bernama
Lahidungbesar yang tadi dilemparkan Wiro untuk membenteng melindungi Peri Angsa
Putih dari serangan dua tangan si nenek Pembedol Usus. Tiga orang menggerung
marah menyaksikan kejadian itu. Yang pertama tentu saja pemilik dua tangan yang
kesalahan menjebol perut dan membunuh kawan sendiri yaitu nenek Si Pembedol
Usus. Yang ke dua adalah Hantu Muka Dua dan yang ke tiga kakek berambut putih
Lasulingmaut. Karena tidak mampu lagi berjalan atau berlari dengan kaki sendiri
kakek ini gulingkan dirinya ke bawah. Sambil menggelinding dari lereng batu dia
lemparkan tongkat tengkoraknya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Wiro
yang telah kerasukan oleh asap hitam beracun di samping terkesiap sendiri
melihat apa yang terjadi dengan Lahidungbesar yang tadi dilemparkannya, sesaat
berada dalam keadaan lengah. Dia baru sadar kalau dirinya diserang orang pada
saat suling tengkorak itu hanya tinggal tiga jengkal lagi dari pelipis kirinya.
Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik batu besar di samping kiri
melesat satu bayangan hitam. Luar biasa sekali gerakan orang ini karena dia
mampu menangkap suling tengkorak yang sesaat lagi akan menghantam kepala
Pendekar 212!.
Wiro
melengak kaget. Berpaling dia dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang
berpakaian serba hitam. Wajah orang ini tertutup sejenis tanah liat yang juga
berwarna hitam.
"Makhluk
hitam, aku tidak tahu kau ini setan kesiangan atau manusia sepertiku! Yang aku
tahu kau barusan telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang budi berhutang nyawa
padamu. Aku menghaturkan terima kasih " Wiro lalu membungkuk dalam-dalam.
"Kraaakk!
Kraaakkk!"
Tangan
hitam yang mencekal suling tengkorak bergerak meremas secara aneh. Suling dan
tengkorak hancur berkeping-keping. Asap hitam mengepul tapi sudah kehilangan
racun jahatnya.
"
Astaga’" Pendekar 212 tercekat kaget. "Sahabatku, aku melihat
sendiri! Kau menghancurkan suling dan tengkorak itu dengan ilmu mematah tulang
bernama Koppo! Bagaimana mungkin?! Dari mana kau mendapatkan ilmu itu? Siapa
kau sebenarnya? Harap sudi memberitahu…." Seperti diketahui Wiro sendiri
memiliki ilmu yang sama yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura.
Di balik
wajahnya yang tebal tertutup tanah liat hitam, orang berpakaian hitam
tersenyum, "kau menyebutnya ilmu Koppo. Aku menamakannya ilmu Keppeng.
Mungkin
bersumber dari orang dan negeri yang sama " Sambil bicara si hitam ini
memandang ke jurusan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. "Wahai sahabat,
sebenarnya aku ingin sekali menemui salah seorang dari kalian di sini. Namun
agaknya kali ini bukan saat yang tepat. Aku khawatir orang yang akan kutemui
akan salah menduga…."
"Katakan
apa kePeriuanmu. Aku pasti membantu!" kata Wiro.
Si hitam
gelengkan kepala. Dia membuang hancuran suling dan tengkorak lalu
menggosok-gosok telapak tangannya satu sama lain. "Jika umur sama panjang
kita pasti bertemu lagi wahai sahabat Mungkin pada saat itulah aku minta tolong
padamu!"
"Aku
akan menolongmu kapan saja. Sekarang!" kata Pendekar 212.
Orang
bersosok serba hitam ini memandang lagi ke jurusan Peri Angsa Putih dan
Luhcinta. Lalu berpaling pada Wiro. "Selamat tinggal sahabat…." Baru
saja dia berucap sosoknya lantas berkelebat lenyap.
"Luar
biasa cepat gerakannya…" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Saat itu
tiba-tiba Luhcinta berlari dari ketinggian lereng bukit sana disusul oleh Peri
Angsa Putih.
"Wiro,
orang serba hitam tadi! Dia yang selama ini menguntit membayangi aku…."
"Astaga!
Mengapa kau tidak cepat memberitahu!" ujar Wiro pula. "Dia sudah
pergi. Tapi jika melihat caranya bicara dan bagaimana dia barusan menyelamatkan
diriku, aku punya dugaan dia tidak bermaksud jahat padamu…."
"Lalu
mengapa dia selalu mengikutiku?"
"Mungkin
itu satu hal yang harus kau selidiki. Siapa tahu dia ada sangkut pautnya dengan
masalah yang tengah kau selidiki. Tentang asal usulmu…."
Berubahlah
paras Luhcinta mendengar ucapan Wiro. Suaranya bergetar ketika berkata.
"Kau mungkin benar. Kalau begitu aku akan mengejar ke jurusan dia lenyap
tadi…."
"Jangan,
jika dia punya kepentingan pasti dia yang akan mencarimu. Lagi pula urusan di
tempat ini belum selesai. Apakah kau akan meninggalkan aku begitu saja"
Luhcinta
tertegun karena tidak menyangka ucapan Itu akan keluar dari mulut pemuda yang
selama ini diam-diam selalu dikenangnya. Ketika Wiro berucap begitu, Peri Angsa
Putih sampai pula di tempat itu. Gadis bermata biru ini seperti Luhcinta juga
jadi tertegun mendengar kata-kata Wiro itu. Namun dasar perasaan mereka saling
berbeda. Kalau Luhcinta tertegun saking gembiranya maka Peri Angsa Putih
tertegun karena tiba-tiba saja muncul rasa cemburu di lubuk hatinya.
"Aku
mendengar sendiri ucapan pemuda itu begitu mesra dan Luhcinta menatap Wiro tak
kalah mesranya.
Wahai,
sampai sejauh mana sebenarnya hubungan ke dua orang ini. Jangan-jangan aku
hanya…." Peri Angsa Putih gigit bibirnya sendiri. Ketika tiba-tiba tiga
orang muncul di tempat itu dan semua perhatian orang tertuju pada si pendatang
ini diam- diam Peri Angsa Putih balikkan tubuh, berlari ke puncak bukit dan
lenyap di balik bebatuan.
*********************
15
WALAU
amarah Hantu Muka Dua, Lasulingmaut dan nenek Si Pembedol Usus meluap luar
biasa melihat kematian Lahidungbesar namun ke dua orang ini jadi terpaksa
menahan diri ketika melihat munculnya sosok orang serba hitam yang selama ini
menjadi nomor satu di kalangan orang Istana Kebahagiaan, apa lagi begitu muncul
langsung menangkap dan meremas hancur suling tengkorak. Selain itu empat orang
pengusung tandu yang barusan diperintah untuk mengurung
Pendekar
212 saat itu sama-sama terkesiap dan ciut nyali masing-masing begitu melihat
Lahidungbesar meregang nyawa dengan cara sangat mengerikan. Apa lagi saat itu
Si Pelawak Sinting terkapar di tanah dalam keadaan lumpuh tidak berdaya. Betina
Bercula, walaupun tak kurang suatu apa tapi nyalinya telah leleh. Banci satu
ini tengah berpikir bagaimana bisa meninggalkan tempat itu dengan aman. Tidak
ketahuan Hantu Muka Dua juga tidak ketahuan pihak lawan.
"
Penolong Budiman…" desis Hantu Muka Dua dan Lasulingmaut hampir
berbarengan. "Jadi ini ujud sosoknya.
Naga-naganya
urusan bisa tidak karuan kalau aku meneruskan apa mauku. Jahanam betul! Yang
hendak dibunuh tak dapat dilaksanakan, yang hendak diculik tak dapat dilakukan!
Hari ini terpaksa aku harus mengalah lagi!" Hantu Muka Dua memberi isyarat
pada empat pengusung tandu agar segera mengangkatnya. Namun mendadak terjadi
perubahan. Orang serba hitam sehabis bicara dengan Wiro pergi begitu saja.
Nyali Hantu Muka Dua kembali bangkit. Dia memberi isyarat lagi pada empat
pengusung tandu, juga pada Betina Bercula. Dia sendiri segera turun dari tandu,
siap untuk memimpin serangan terhadap Wiro dan kawan-kawan.
Si nenek
Pembedol Usus melayang turun dan cepat hendak memasang kembali dua tangannya
yang tadi ditanggalkannya secara aneh. Namun belum sempat dia bergerak
tiba-tiba tiga orang melesat muncul dari balik batu-batu besar di lereng bukit
itu. Salah seorang di antara mereka berteriak.
"Kencingi
cepat! Kencingi! Biar tidak bisa kembali ke tempat asalnya!"
Berdesir
darah si nenek Pembedol Usus. Wajahnya langsung pucat mendengar teriakan itu.
Dengan cepat dia melayang turun menyambar dua tangannya yang masih mengapung di
udara dan masih berlumuran darah sementara isi perut Lahidungbesar yang tadi
dibedolnya berhamparan di tanah! Namun si nenek kalah cepat. Seorang bocah
berambut jabrik berpakaian serba hitam telah lebih dulu mencekal dua potongan
tangan lalu melemparkannya pada seorang kakek berkuping lebar yang tegak dekat
sebuah batu besar. Begitu dua potongan tangan jatuh di hadapannya kakek ini
berbalik, rorotkan celananya ke bawah lalu "serrr….!" Dia kencingi
dua tangan yang tergeletak di tanah itu.
Nenek Si
Pembedol Usus meraung keras. Dari kutungan tangannya mengepul asap disertai
kucuran darah.
Selagi
semua orang terkesiap melihat kejadian itu, Pendekar 212 Wiro Sableng berseru
gembira.
"Naga
Kuning! Kakek Setan Ngompol!"
Naga
Kuning yang sosok tubuhnya kini sudah menjadi besar lambaikan tangan pada Wiro.
Si Setan Ngompol tarik celana bututnya ke atas baru berbalik dan tertawa
mengekeh. Lupa akan suasana yang dihadapinya Wiro melompat menemui ke dua orang
itu.
"Wiro,
kami berhasil! Hantu Raja Obat menepati janjinya. Lihat! Kami sekarang sama
sebesar dengan kau!" kata Naga Kuning bangga. Wiro tertawa bergelak. Setan
Ngompol mulai jelalafan matanya memperhatikan Peri Angsa Putih dan Luhcinta.
Nenek Si
Pembedol Usus yang sudah jejakkan kakinya di tanah tiba-tiba membentak.
"Gendut keparat! Pasti kau yang memberi tahu pada orang-orang dari negeri
asing itu! Pasti kau yang menyuruh mereka mengencingi dua tanganku hingga tak
mungkin lagi kupasangkan ke badan! Jahanam betul! Aku bersumpah akan
membunuhmu!"
Seorang
kakek gendut yang mukanya bulat dan ada tompel besar di pipi kiri saat itu
duduk uncanguncang kaki di atas sebuah batu besar tertawa mengekeh hingga perut
dan dadanya yang gembrot berguncang-guncang. Inilah Si Hantu Raja Obat, makhluk
aneh yang telah mengobati Wiro hingga sosoknya menjadi sebesar orang-orang di
Negeri Latanahsilam. Ternyata dia juga telah mengobati dua kawan Wiro yakni
Naga Kuning dan kakek berjuluk Si Setan Ngompol.
"Kalau
kau sudah tahu dan ingin membunuhku, apakah kau mau melakukannya
sekarang?!" Hantu Raja Obat bertanya sambil melirik pada Luhcinta lalu
tersenyum dan kedipkan matanya. Antara Luhcinta dan Hantu Raja Obat memang
sudah saling mengenal dan kakek gendut ini pernah berhutang budi terhadap si
gadis.
Mendengar
ucapan Hantu Raja Obat, Si Pembedol Usus hanya menggerutu panjang pendek.
"Kalau
kau memang masih butuh dua tanganmu itu, silakan ambil saja!" kata Setan
Ngompol ikut bicara.
"Tua
bangka sialan! Kau juga akan kubunuh nanti! Dua tangan itu tak ada gunanya! Tak
bisa dipasangkan lagi ke tubuhku! Jahanam!"
"Bisa
atau tidak bisa baiknya diambil saja Nek. Di buat sop dan disantap kurasa masih
cukup enak!" kata Naga Kuning pula membuat si nenek tambah meluap
amarahnya tapi tak berani berbuat apa karena jerih pada Hantu Raja Obat. Dia
melirik pada Hantu Muka Dua, lalu tanpa banyak cerita lagi segera tinggalkan
tempat itu.
Hantu
Muka Dua sendiri menggeram panjang pendek. Tadi dia merasa lega dengan perginya
Penolong Budiman yang berkepandaian sangat tinggi itu. Tapi kini muncul Hantu
Raja Obat yang diketahuinya bersifat aneh dan memiliki ilmu sulit dijajagi.
Dari pada cari perkara dia segera naik ke atas tandu. Tapi Hantu Raja Obat
cepat menegur.
"Kerabatku
Hantu Muka Dua! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara beberapa hal padamu! Satu
di antaranya tentang tanda bunga dalam lingkaran!"
Pucatlah
dua wajah Hantu Muka Dua mendengar kata-kata Hantu Raja Obat itu. "Aku tak
ada waktu melayanimu!" jawabnya.
"Percayalah,
sahabatku ini orang baik-baik!" berkata Wiro. "Dia tidak akan
mengencingi tangan atau kakimu!"
Hantu
Raja Obat tertawa mengekeh. "Betul! Apa yang dibilang pemuda ini memang
betul! Ha… ha…ha!"
Hantu
Muka Dua memaki habis-habisan. Wajahnya depan belakang berubah menjadi wajah
raksasa. Dia gerakkan tangannya ke pinggang. Ketika tangan itu diangkat
terdengar satu letusan kecil lalu asap hijau menggebubu menutup pemandangan.
"Hantu
pengecut! Pasti dia kabur sudah!" teriak Hantu Raja Obat. Benar saja,
begitu asap hijau luruh lenyap, sosok Hantu Muka Dua tak kelihatan lagi di atas
tandu. Melihat kejadian ini empat orang anak buahyang mengusungnya serta merta
melarikan diri berserabutan.
"Hantu
Muka Dua! Jangan tinggalkan aku!" seru kakek rambut putih Lasulingmaut.
Setan Ngompol dekati kakek ini lalu usap-usap rambutnya yang putih.
"Kau
mau kukencingi atau kutampar? Kau membuat susah sahabatku si pemuda itu
ya?!"
"Kita
sama-sama tua, mengapa berani dalam keadaan aku tidak berdaya?" kata
Lasulingmaut.
"Kau
pandai bicara! Sudah, biar kutampar saja mulutmu sampai perot!" Setan
Ngompol usap-usap telapak tangannya satu sama lain lalu yang kanan bergerak.
"Plaakkk! Byaaar!" Si kakek tidak menampar Lasulingmaut tapi menampar
sebuah batu di samping kakek itu. Batu hancur berantakan. Tentu saja
Lasulingmaut menjadi kecut. Wajahnya langsung pucat memasi.
"Ayo
jawab, kau mau kutampar atau kukencingi?!" bentak Setan Ngompol sambil
jambak rambut putih si kakek.
"Aku…
aku memilih dikencingi saja…" jawab Lasulingmaut ketakutan setengah mati.
Semua
orang yang ada di situ tertawa bergelak. Dan suara tawa makin menjadi-jadi
ketika gilanya Si Setan Ngompol benar-benar mengencingi kepala Lasulingmaut.
Selagi semua orang tertawa riuh sambil memperhatikan perbuatan Setan Ngompol,
Betina Bercula pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Sayang mata Si Setan
Ngompol sempat melihat. Tanpa membetulkan celananya dia segera melompat
mengejar dan mencekal leher orang.
"Ah,
ternyata kau lumayan cantik. Aku tidak akan mengencingimu. Kau mau aku
apakan?" tanya si kakek seraya sunggingkan senyum dan kedipkan matanya.
Setan Ngompol sama sekali tidak tahu kalau yang dihadapinya bukan perempuan
sungguhan.
"Kau
kencingipun aku suka…" jawab Betina Bercula sambil balas tersenyum genit
membuat Setan Ngompol jadi blingsatan. "Tapi kalau mau mengencingiku
jangan di depan orang banyak ini. Kita cari tempat yang enak…."
"Jangan
bercanda! Kau mau menjajalku atau bagaimana?!" tanya Setan Ngompol.
"Aku
sungguhan. Masakan berani bercanda dengan kakek segagah ini?" Makin
blingsatan Setan Ngompol mendengar pujian itu. Apa lagi sambil bicara Betina
Bercula lingkarkan tangannya dengan mesra di pinggang Setan Ngompol dan
menuntunnya ke balik sebuah batu besar.
"Kek!"
Wiro berseru. "Orang itu bukan per…." Wiro mengingatkan. Tapi Naga
Kuning cepat menyikut iganya.
"Biar
saja. Sebentar lagi kakek gatal itu pasti tahu rasa!" kata Naga Kuning
sambil menahan tawa.
Betul
saja. Tak lama setelah Setan Ngompol lenyap di balik batu besar tiba-tiba
terdengar teriakannya. "Aduh! Aduuhhh! Perempuan gila! Kau apakan aku! Kau
kira aku ini kelapa yang mau diremas jadi santan! Aduuhhh!"
Ketika
Wiro, Hantu Raja Obat dan Naga Kuning melompat ke balik batu mereka dapatkan Si
Setan Ngompol terbaring di tanah sambil tekapi bawah perutnya menahan sakit.
Betina Bercula tak kelihatan karena memang sudah kabur melarikan diri.
"Enak
Kek?!" tanya Wiro.
"Sialan
kau! Enak bapak moyangmu! Mau pecah rasanya kepalaku atas bawah!"
Suara
tawa meledak lagi di tempat itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment