Episode
Perjanjian Dengan Roh
Perjanjian Dengan Roh
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
DALAM kegelapan
dan dinginnya udara malam, Djaka Tua tambatkan kudanya di batang pohon kelapa.
Debur ombak serta deru tiupan angin laut selatan terdengar sambung-menyambung
tak berkeputusan. Lelaki berusia lebih setengah abad ini memandang dulu ke arah
laut luas sebelum melangkah menuju gundukan batu membentuk bukit terjal
setinggi sepuluh tombak dan panjang hampir tigaratus kaki di samping kirinya.
Walau sebelumnya cuma satu kali datang ke tempat itu namun Djaka Tua masih
ingat jalan yang harus diambil. Di malam gelap tidak mudah menyusuri lamping
bukit batu terjal serta licin terkikis angin mengandung garam. Sesekali dia
dikejutkan oleh suara kepak sayap kelelawar yang terbang rendah.
Djaka Tua
adalah pembantu di rumah seorang pejabat tinggi yang diam di pinggiran
Kotaraja. Nama sebenarnya Akik Sukro namun karena sampai usia limapuluh tahun
lebih dia belum beristri, teman-teman memanggilnya Djaka Tua. Tidak kawinnya
Akik Sukro mungkin karena cacat yang dideritanya sejak kecil yaitu dia memiliki
sebuah punuk di belakang leher sehingga tidak ada perempuan yang suka padanya
walau sehari-hari dia adalah seorang lelaki baik budi pekerti dan tutur
bicaranya.
Langkah
Djaka Tua terhenti ketika hidungnya mencium bau kemenyan. Ada rasa merinding
namun juga rasa lega karena bau kemenyan itu menandakan tanda orang yang
dicarinya berada di dalam goa di lamping bukit sebelah bawah. Untuk mencapai
goa yang dikenal dengan nama Goa Girijati itu bukan hal yang mudah. Sekali kaki
terpeleset tak ampun lagi Djaka Tua akan jatuh dari lamping bukit batu,
ditunggu hamparan batu-batu cadas lancip di bawah sana.
Bau
kemenyan semakin santar. Sejarak duapuluh langkah di depannya Djaka Tua melihat
satu cegukan di bukit batu. Di dalam cegukan samar-samar ada cahaya tak begitu
terang, membersit keluar dari satu lobang besar yang merupakan mulut sebuah
goa. Walaupun jaraknya cuma duapuluh langkah namun karena harus berhati-hati
maka cukup lama Djaka Tua baru berhasil mencapai cegukan batu dan berdiri di
hadapan mulut goa. Di dalam goa Djaka Tua melihat sebuah pedupaan, mengepulkan
asap tipis menebar bau kemenyan. Benda merah menyala dalam pedupaan adalah
sejenis batu bara langka yang dapat bertahan hidup sampai tujuhratus hari. Dua
langkah di belakang pedupaan, duduk bersila seorang lelaki berpakaian dan ikat
kepala hitam dengan wajah tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis serta
jenggot dan cambang bawuk meranggas lebat. Dua kelopak mata yang tertutup
tampak merah seolah mata itu ada nyala api di sebelah dalam. Dua tangan
bersilang di atas dada. Dari ubun-ubun, telinga kanan dan dua lobang hidung
mengepul keluar asap tipis kehitaman.
Untuk
beberapa lamanya Djaka Tua tertegun di mulut goa. Enam bulan lalu dia
mengantarkan orang itu ke goa. Kini keadaannya jauh berobah, kotor dan angker
menggidikkan. Sementara berdiri Djaka Tua menjadi bingung.
Bagaimana
cara memberi tahu kehadirannya pada orang yang tengah bersemedi. Tadinya dia
hendak berdehem atau batuk-batuk. Namun Djaka Tua sadar, mengganggu dan memutus
semedi orang adalah merupakan satu pantangan besar. Agaknya tak ada jalan lain.
Dia harus menunggu sampai orang itu menyelesaikan semedinya. Tapi berapa lama
dia harus menunggu?
Ternyata
tiga hari tiga malam berada di tempat itu, orang di dalam goa jangankan
menghentikan semedi, bergerak sedikitpun tidak. Djaka Tua mulai gelisah.
Persediaan makanan yang dibawanya hampir habis. Pagi hari keempat bukan saja
makanan sudah habis, malah Djaka Tua diserang demam. Tubuhnya menggigil panas
dingin. Terhuyung-huyung Djaka Tua bangkit berdiri. Dia mengambil keputusan
untuk segera saja meninggalkan tempat itu. Di dalam goa orang yang bersemedi
masih tetap tak bergerak, sepasang mata masih terpejam. Tidak mau ambil perduli
lagi, Djaka Tua segera melangkah pergi.
Baru
menindak dua langkah, sekonyong-konyong dari dalam goa terdengar suara orang
berucap. “Anak manusia bernama Djaka Tua, kembali! Cepat datang menghadap di
depanku!”
Langkah
Djaka Tua tersurut. Dia tahu yang bicara itu adalah orang di dalam goa. Tapi
mengapa suaranya berubah besar dan serak. Djaka Tua melihat sepasang mata orang
yang bersemedi masih tetap terpicing.
“Matanya
masih terpejam. Tapi dia mengenali diriku. Agaknya dia telah mendapatkan satu
ilmu kesaktian.”
Begitu
pikirnya. “Tumenggung Bandoro Wira Bumi, saya Djaka Tua sudah berada di hadapanmu.”
Ternyata
orang yang bersemedi adalah seorang tumenggung, seorang pejabat tinggi
Kerajaan.
“Djaka
Tua, kau berani mengganggu semediku. Lebih dari itu bukankah kau hanya
kuperkenankan datang pada hari tujuh bulan ketujuh? Kau muncul satu purnama
lebih cepat!”
Sangat
ketakutan Djaka Tua rundukkan diri hingga keningnya menyentuh lantai goa.
“Maafkan
saya, Tumenggung. Kalau tidak ada hal yang luar biasa penting saya tidak akan
berani datang menemui Tumenggung di tempat ini. Sebenarnya saya disuruh datang
jauh hari sebelumnya. Namun saya takut melanggar perintah…”
“Bicara
mulutmu seperti anus yang keluarkan kentut!”
maki sang
Tumenggung. “Apa saat ini kau tidak melanggar perintah?”
“Maafkan
saya Tumenggung.” Djaka Tua membungkuk berulang kali.
Tumenggung
Bandoro Wira Bumi tangkap punuk Djaka Tua lalu ditarik ke atas dan dilempar ke
dinding goa. Rasa sakit akibat tubuh yang membentur dinding batu bukan apa-apa
bagi Djaka Tua dibanding dengan rasa takutnya.
“Katamu
ada hal luar biasa penting. Kuharap pentingnya sama dengan harga nyawamu! Kau
tahu apa hukuman bagi orang yang berani mengganggu semediku?”
Wajah
Djaka Tua jadi pucat. Dengan gagap dia menyahuti. “Tahu, saya tahu sekali
Tumenggung…” jawab Djaka Tua. Suaranya kelu seolah lidahnya mendadak menjadi
pendek.
“Apa?!”
sentak sang Tumenggung dengan dua mata masih terpejam.
“Mati…”
jawab Djaka Tua dengan suara serak.
Kepala
Tumenggung Bandoro Wira Bumi mengangguk perlahan beberapa kali. Mulut
sunggingkan seringai angker.
“Katakan
berita luar biasa apa yang hendak kau sampaikan padaku!”
“Mohon
maaf Tumenggung. Saya Ingin memberi tahu kabar gembira kalau Nyi Ayu Retno
Mantili telah melahirkan seorang bayi perempuan beberapa hari lalu. Tepatnya
hari Kemis Pahing, malam hari menjelang ba’dal Isya…”
Kalau ada
petir menyambar di depan hidungnya saat itu, tidak demikian terkejutnya
Tumenggung Bandoro Wira Bumi ketika mendengar ucapan Djaka Tua. Tubuh bergetar.
Asap biru
mengepul keluar dari ubun-ubun, hidung dan telinga. Matanya yang sekian lama
terpejam mendadak sontak terbuka membeliak, kelihatan merah menyala laksana ada
kobaran api. Mulut yang terkancing terbuka dan satu makian dahsyat keluar,
membuat seantero goa batu bergetar.
“Jahanam!
Tidaakkkk…!”
Djaka Tua
yang dalam keadaan tubuh panas dingin karena demam tersurut kaget. Bukan saja
kaget karena teriakan yang begitu keras, tetapi juga kaget melihat Tumenggung
marah sekali. Padahal seharusnya dia bergembira kalau dirinya telah dikaruniai
seorang puteri oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
“Apa yang
terjadi dengan diri Tumenggung? Ilmu apa sebenarnya yang sedang dituntut orang
ini? Aku melihat pikirannya seperti sudah berubah.” Ucapan itu muncul dalam
hati Djaka Tua.
“Djaka
Tua, kau sudah puluhan tahun ikut bersamaku, menjadi pembantu kepercayaan di
rumahku. Kau sadar apa yang barusan kau ucapkan? Kau tidak berdusta, tidak
sedang menyebar kebohongan?”
Dalam
herannya mendengar kata-kata sang Tumenggung, Djaka Tua cepat menjawab.
“Saya
sudah menjadi hamba sahaya sejak ayahanda Tumenggung masih hidup. Bagaimana
mungkin saya berani berkata dusta, bicara bohong?”
“Ketika
aku memilih meninggalkan Retno Mantili enam bulan lalu, dia sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dia tidak pernah mengatakan padaku kalau dia
tengah mengandung. Bagaimana mungkin kini kau datang membawa berita bahwa
perempuan itu telah melahirkan seorang bayi perempuan? Setan mana yang
menghamilinya?”
“Maaf
Tumenggung kalau saya berani mengatakan bahwa Nyi Retno Mantili adalah seorang
gadis desa yang sangat sederhana pikiran serta ilmu pengetahuannya.
Mungkin
saja dia tidak tahu kalau dirinya sedang hamil ketika Tumenggung meninggalkannya.”
“Djaka
Tua! Kau membawa kabar malapetaka bagi diriku! Sekarang kau ikut aku!”
“I… ikut
ke mana, Tumenggung?”
“Menemui
Nyai Tumbal Jiwo!”
“Nyai
Tumbal Jiwo?! Siapa itu, Tumenggung?”
“Jangan
banyak mulut! Jangan banyak tanya! Kau akan lihat sendiri nanti!” teriak
Tumenggung Bandoro Wira Bumi.
Sekali
tangannya bergerak dia sudah mencekal leher Djaka Tua. Lalu seperti membembeng
anak kucing begitulah dia membawa Djaka Tua keluar goa. Manusia biasa, seperti
kejadiannya dengan Djaka Tua sewaktu datang tadi, akan mengalami kesulitan dan
harus berhati-hati berjalan di lamping bukit batu itu. Tapi sang Tumenggung
melangkah cepat bahkan berlari.
Djaka Tua
kemudian merasakan tubuhnya berada di atas kuda, dipacu seperti dikejar setan.
Dia tidak tahu mau dibawa ke mana. Dia tidak tahu siapa itu Nyai Tumbal Jiwo.
Di dalam dirinya yang didera demam panas dingin itu kini semakin menggunung
rasa takut.
*********************
2
TUMENGGUNG
Wira Bumi hentikan kudanya bersamaan dengan mulai turunnya hujan rintik-rintik.
Djaka Tua tidak tahu saat itu berada di mana. Siksa yang mendera tubuhnya yang
panas dingin karena serangan demam kini bertambah. Sekujur badan terasa sakit,
sambungan tulang-belulang seperti bertanggalan. Ketika dia berusaha mengangkat
kepala, tiba-tiba Wira Bumi cekal lehernya. Tubuh Djaka Tua terangkat lalu
bluk! Lelaki berusia setengah abad itu dilempar dari atas kuda, jatuh
bergedebuk di atas tanah. Djaka Tua mengerang. Tulang punggungnya serasa
hancur, sakit bukan main.
“Dosa
kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga menerima azab seperti ini?” keluh
perjaka tua itu dalam hati. Dia angkat kepala, memandang berkeliling. Dia
melihat gundukan-gundukan tanah, banyak sekali. Walau malam begitu gelap dan
rintikan hujan semakin membesar namun Djaka Tua menyadari di mana dia berada
saat itu.
Pekuburan!
Tengkuknya langsung dingin. Jangan-jangan dia hendak dikubur hidup-hidup di
tempat itu.
Tumenggung
Wira Bumi melompat turun dari kuda.
Sepasang
matanya yang merah memandang garang ke arah pembantunya. Asap kehitaman
mengepul dari ubunubun, dua liang telinga serta lobang hidung dan mulutnya.
“Berdiri
cepat! Ikuti aku!”
Terhuyung-huyung
menahan sakit, dingin dan juga lapar, Djaka Tua berdiri lalu melangkah
mengikuti Wira Bumi yang berjalan cepat di depannya. Pada arah yang dituju sang
Tumenggung, Djaka Tua melihat sebuah kuburan. Keadaannya berbeda dibanding
dengar puluhan kuburan yang bertebaran di tempat itu.
Kuburan
yang satu ini onggokan tanahnya lebih padat dan tinggi. Di atas tanah makam
merah ada tebaran kembang melati. Sebuah pohon kemboja bercabang tujuh tumbuh
di kepala kuburan. Antara pohon kemboja dan bagian atas kuburan menggantung
sesaput halimun. Seperti kebanyakan kuburan-kuburan lain, kuburan ini tidak memiliki
batu atau papan nisan. Justru pada bagian tanah yang seharusnya ditancap nisan
terletak sebuah pedupaan mengepulkan asap bau kemenyan. Asap pedupaan mengepul
bergelung ke atas, menembus lapisan halimun, menebar di sela-sela cabang,
ranting serta dedaunan pohon kemboja membentuk satu pemandangan yang membuat
orang jadi mengkirik.
Hanya
tinggal beberapa langkah lagi Tumenggung Wira Bumi dan Djaka Tua akan sampai di
hadapan kuburan mendadak satu bayangan putih berkelebat disertai suara
membentak. “Siapa berani mendatangi makam Nyai Tumbal Jiwo malam buta begini
tanpa ijinku?!”
Kalau
Djaka Tua langsung hentikan langkah, maka Tumenggung Wira Bumi terus saja
berjalan sambil balas membentak.
“Kuncen
Ki Balang Kerso, apa matamu bertambah buta tidak mengenali diriku?”
Bayangan
putih yang kemudian berdiri di hadapan Tumenggung Wira Bumi ternyata adalah
seorang kakek berambut putih riap-riapan, memelihara kumis tebal serta janggut
putih menjulai dada, pakaiannya pun serba putih. Yang tidak sedap dilihat dari
orang tua ini adalah kedua matanya yang gembung besar sehingga kelihatan
tetutup buta walau nyatanya dia bisa melihat jelas keadaan di sekitarnya. Ini
terbukti dari gerakannya yang berkelebat gesit ketika munculkan diri tadi.
“Ah,
sampeyan Tumenggung Wira Bumi rupanya.”
Berucap
sang kuncen. Suaranya bergetar seperti orang menahan dingin. “Adalah aneh,
sampeyan datang sebelum hari perjanjian.”
Tumenggung
Wira Bumi menyeringai. “Dunia ini memang penuh keanehan. Terkadang keanehan itu
berakhir pada kematian!”
Kakek serba
putih yang jadi penjaga makam tertawa mengekeh. “Aku selalu gembira jika ada
orang bicara soal kematian. Siapa tahu aku bakal dapat rejeki besar malam ini.
Tambah satu lagi makam yang bakal aku urus! Hik… hik… hik!”
“Kuncen
Balang Kerso, sejak lama aku tidak suka dirimu. Jangan membuat aku jadi muak
dan muntahkan darah kematian di atas batok kepalamu! Masuklah ke alam roh dan
beritahu kalau aku ingin bertemu Nyai.”
“Begitu?”
Ki Balang Kerso berkata sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. “Kuharap kau
tidak lupa aturan di tempat ini.”
“Kuncen
keparat…”
“Huss!
Jangan bicara kotor di sini kalau tak mau mulutmu pencong dan jadi bisu sampai
kiamat!” Ki Balang Kerso membentak dan mengancam.
“Kuncen
sombong! Aku siap mengikuti aturanmu! Dulu aku mengalahkanmu. Rupanya kau belum
kapok! Kali ini aku bukan saja akan mempecundangimu sekali lagi, tapi sekaligus
memberi pelajaran padamu! Kuburan di tempat ini akan bertambah satu lagi!”
Kuncen
Balang Kerso tertawa gelak-gelak. Dua kakinya digeser. Luar biasa sekali. Saat
itu juga tubuhnya mengapung dua jengkal ke atas. Dua kaki tidak menginjak tanah
lagi!
Kalau
Djaka Tua terkesiap melihat sosok Kuncen yang bisa mengapung itu, tidak
demikian halnya dengan sang Tumenggung.
“Ilmu
kuno Roh Berjalan di Atas Makam! Tololnya kau mau memamerkan di depanku!” ucap
Wira Bumi mengejek. Sekali dia mendengus asap hitam mengepul ke wajah sang
Kuncen. Karena tidak menduga diserang dengan asap, si penjaga makam sempat
gelagapan terbatuk-batuk. Di lain kejap didahului bentakan keras kakek ini
berkelebat lenyap. Lalu, bukk… bukkk!
Tubuh
besar Tumenggung Wira Bumi terpental hampir satu tombak ke depan, tersungkur di
atas sebuah kuburan tua.
Balang
Kerso tertawa mengekeh. “Tumenggung, percuma Nyai mengirimmu juga ke Goa
Girijati! Ilmu apa yang kau dapat? Ternyata kau masih goblok-goblok juga!”
Walau
sempat tertawa dan mengejek namun diam-diam kuncen penjaga makam Nyai Tumbal
Jiwo itu merasa kaget. Dua jotosan yang tadi dihantamkannya ke punggung Wira
Bumi ternyata tidak mendatangkan cidera sama sekali! Padahal, jangankan tubuh
manusia, pohon atau tembok batu saja bisa patah dan jebol!
“Dia
sudah memiliki ilmu kesaktian baru. Aku harus berhati-hati…”
“Tua
bangka pengecut! Beraninya menyerang dari belakang!” rutuk Tumenggung Wira
Bumi.
Kuncen
Balang Kerso ganda tertawa. Tubuhnya masih mengapung di udara. “Apa kau lupa
kalau roh itu gentayangan di mana-mana. Serangannya pun datang dari mana-mana!”
“Kalau
begitu biar kau kujadikan roh gentayangan benaran saat ini juga!”
Habis
keluarkan ucapan Wira Bumi meniup ke depan. Asap hitam menggebu ke sekujur
kepala dan tubuh kuncen penjaga makam. Sosok sang Tumenggung lenyap. Balang
Kerso cepat berkelebat karena dia tahu di balik asap itu akan datang serangan
ganas. Betul saja, saat itu juga sang kuncen melihat dua tangan menderu sebat.
Dia palangkan satu lengan di depan kepala sementara kaki kanan mencuat deras ke
depan, kirimkan satu tendangan.
Balang
Kerso terkesiap ketika dua tangan yang menyerangnya tiba-tiba lenyap dan
tendangannya hanya mengenai udara kosong. Belum habis rasa terkesiapnya
tiba-tiba, bukkk!, kraaakk!
Orang tua
berambut putih penjaga makam menjerit. Tubuhnya terpental lima langkah, terbanting
jatuh di atas sebuah kuburan. Dua tangan terkulai ke samping tak berdaya. Muka
seputih kain kafan, darah mengucur dari sela bibir, nafas megap-megap karena
dada yang sesak serta tulang iga yang patah!
“Pukulan
Di Balik Asap Roh Mencari Pahala…” ucap kuncen Balang Kerso, mengenali jurus
pukulan yang tadi dilancarkan Tumenggung Wira Bumi. “Dia sudah mendapatkan ilmu
itu. Untung Nyai masih melindungiku. Kalau tidak aku…” Belum sempat Balang
Kerso selesaikan ucapannya tiba-tiba Tumenggung Wira Bumi sudah berada di
depannya.
“Saatnya
kau berubah jadi roh benaran!” ucap Wira Bumi geram. Lalu tinju kanannya
menderu ke arah batok kepala sang kuncen.
“Pukulan
Tangan Roh Memberi Rahmat…” Balang Kerso hanya bisa keluarkan ucapan. Dia tak
mampu menangkis ataupun mengelak selamatkan kepala. Sesaat lagi kepala kuncen
akan hancur dihantam pukulan Wira Bumi, tiba-tiba tanah kuburan bergerak-gerak,
lalu desss… desss… desss! Terdengar suara mendesis keras tiga kali
berturut-turut. Saat itu juga tanah kuburan terbelah menganga. Didahului dengan
kepulan asap merah satu bayangan merah melesat keluar dari dalam liang kubur.
Satu suara menggema angker menggidikkan.
“Wira
Bumi, jangan bunuh dia! Dia telah menerima pelajarannya!”
Di
tempatnya tegak berdiri, Djaka Tua tertegun ngeri dan terduduk di tanah.
Mengenali
suara orang, Tumenggung Wira Bumi cepat jatuhkan diri lalu berputar ke arah
kuburan. Di situ berdiri satu sosok nenek keriput yang keadaannya serba merah.
Mulai
dari muka yang angker keriput sampai rambut yang panjang riap-riapan serta
pakaian berupa kain yang diselempangkan di tubuh merah, tinggi tapi agak
bungkuk.
“Nyai
Tumbal Jiwo, maafkan diriku kalau telah berbuat kesalahan.” Wira Bumi keluarkan
ucapan lalu bersujud dan tak berani bangkit.
Si nenek
Nyai Tumbal Jiwo berpaling ke arah kuncen Balang Kerso yang saat itu masih
tergeletak tak berdaya megap-megap di atas sebuah kuburan. Makhluk yang keluar
dari liang lahat ini angkat tangan kirinya. Selarik sinar merah mencuat keluar
dari telapak tangan dan menyapu ke seluruh permukaan kepala serta tubuh kuncen.
“Balang
Kerso! Cideramu sudah sembuh! Bangun dan pergilah!” si nenek berucap. Ketika
mulutnya terbuka kelihatan lidah dan deretan gigi berbentuk caling berwarna
merah. Luar biasa! Saat itu juga tubuh Balang Kerso bergerak. Dia bisa bangkit
berdiri seolah tidak ada bagian tubuhnya yang cidera. Sebelum tinggalkan tempat
itu, kuncen susun sepuluh jari di depan kening, membungkuk sambil berucap.
“Terima kasih Nyai… Terima kasih kau telah menyembuhkan diriku.” Sang kuncen lalu
bergerak pergi namun dia tidak sungguhan tinggalkan tempat itu melainkan
bersembunyi di balik sebatang pohon besar dalam kegelapan malam.
Setelah
Balang Kerso berlalu Nyai Tumbal Jiwo alihkan perhatian pada Wira Bumi yang
sampai saat itu masih bersujud di tanah.
“Bangun
Wira Bumi! Katakan apa urusanmu sampai kau berani muncul sebelum hari
perjanjian. Apa kau tidak sadar asap hitam masih mengepul dari batok kepalamu,
masih keluar dari dua liang telinga, mulut dan lobang hidungmu? Tanda kau belum
menyerap seluruh ilmu kesaktian yang kau semedikan di Goa Girijati karena kau
belum merampungkan jumlah hari pertapaanmu!”
“Maaf
Nyai, saya mengerti sekali. Namun di luar pengetahuanku satu perkara besar
telah terjadi.”
“Hemmm,
begitu? Siapa lelaki berpunuk yang menjelepok di tanah itu?” Sang Nyai
goyangkan kepala ke arah Djaka Tua.
“Dia
pembantuku Nyai. Dia yang memberi tahu tentang terjadinya perkara besar itu.”
“Perkara
besar! Katakan padaku apa gerangan adanya perkara besar itu!”
“Mohon
maaf dan ampunmu Nyai. Istriku yang ketiga Nyi Retno Mantili telah melahirkan
seorang bayi perempuan beberapa hari lalu…”
“Apa?!”
Nyai Tumbal Jiwo berteriak keras. Sepasang matanya bersitkan dua larik cahaya
merah seperti semburan lidah api. “Kutuk sesuai sumpah akan jatuh atas dirimu
Wira Bumi! Kau berlaku fatal! Kau harus membayar mahal untuk kelalaian itu…”
“Aku
mengerti Nyai, aku mohon maaf dan ampunmu.”
“Untuk
kutuk dan sumpah tidak ada maaf dan pengampunan. Kalau istrimu melahirkan
beberapa hari lalu, ketika kau meninggalkannya enam bulan lalu apakah kau tidak
tahu kalau dia tengah hamil?”
“Aku
benar-benar tidak tahu, Nyai. Kau tahu Nyai, Retno Mantili tubuhnya kecil
halus. Aku tidak bisa melihat perubahan pada tubuhnya. Dia tidak menceritakan
padaku kalau sedang mengandung. Dia perempuan desa yang bodoh. Usianya belum
mencapai enambelas ketika aku menikahinya…”
“Tutup
mulutmu Wira Bumi! Dulu kau datang padaku untuk meminta berkah keselamatan,
ilmu kesaktian, harta serta kedudukan. Semua permintaanmu aku kabulkan asal kau
mau mengangkat sumpah! Sekarang ucapkan kembali sumpahmu itu! Agar liang lahat,
langit dan bumi mendengar! Hujan, turunlah lebih besar!”
Mendadak
hujan yang tadi rintik-rintik berubah menjadi lebat. Wira Bumi menggigil. Entah
karena kedinginan entah karena ketakutan.
Tiba-tiba
makhluk serba merah itu hentakkan kakinya ke tanah kuburan. Puluhan bunga
melati yang menebar di atas makam melesat ke arah Wira Bumi. Tumenggung
menjerit kesakitan ketika bunga-bunga melati itu menancap dan melukai tubuhnya.
Empatbelas di kepala, selebihnya menancap di sekujur dada, perut dan paha.
Darah
memercik di wajahnya yang kotor serta membasahi pakaian hitam.
“Masih
untung aku hanya menancapkan kembang melati itu di permukaan kulitmu!
Seharusnya aku masukkan tembus ke dalam benak, dada dan isi perutmu…”
“Maafkan
aku Nyai!.”
“Wira
Bumi! Sekarang lekas kau ulangi sumpah yang pernah kau ucapkan dulu di tempat
ini!”
Tenggorokan
Tumenggung Wira Bumi bergerak naik turun. Dia menatap ke arah Nyai Tumbal Jiwo
seolah minta dikasihani. Namun si nenek balas menatap dengan delikkan mata,
membuat Wira Bumi jadi ciut nyalinya dan segera membuka mulut.
“Aku anak
manusia bernama Wira Bumi. Disaksikan roh penghuni kuburan Kebonagung, aku
bersumpah. Bilamana salah seorang istriku atau salah seorang saudara kandungku
melahirkan seorang bayi, maka musnahlah semua usahaku untuk mendapatkan
keselamatan, ilmu kesaktian, harta serta kedudukan. Kecuali jika aku menebus
dengan kedua mataku atau aku membunuh bayi itu dengan tanganku sendiri atau
melalui seorang suruhan…”
Habis
mengucapkan sumpah itu kembali sekujur Wira Bumi menggigil. Dia merasa sangat
lemas hingga jatuh berlutut.
“Berdiri!”
hardik Nyai Tumbal Jiwo.
Wira Bumi
kerahkan tenaga, perlahan-lahan bangkit berdiri.
“Bagus!
Otakmu masih belum kering untuk mengingat semua sumpah itu!” Nyai Tumbal Jiwo
keluarkan ucapan lalu tertawa panjang. “Sekarang aku tanya padamu anak manusia!
Tebusan mana yang akan kau berikan? Dua matamu atau nyawa anakmu?”
“Aku…”
“Kau tak
bisa menjawab. Kau bimbang! Aku benci pada manusia munafik sepertimu. Minggat
dari hadapanku! Kau akan kehilangan semua yang kau minta!” Nyai Tumbal Jiwo
tampak marah dan pelototkan mata merahnya ke arah sang Tumenggung.
“Nyai…,
aku… aku tidak mungkin menebus kesalahan dengan menyerahkan kedua mataku…”
“Jadi?!”
bentak si nenek. “Bagaimana caramu memenuhi sumpah?”
Hujan
tambah lebat. Sesekali kilat menyambar hingga kawasan pekuburan untuk sekejapan
mata terang benderang. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing.
“Aku, aku
memilih membunuh bayi itu, Nyai…”
“Kau akan
melakukan dengan tanganmu sendiri atau menyuruh orang lain?!” tanya Nyai Tumbal
Jiwo ingin kepastian.
“Aku akan
menyuruh orang lain…”
“Orang
lain. Hmmm… siapa orangnya?!”
Tumenggung
Wira Bumi terdiam. Perlahan-lahan dia putar kepala. Memandang berkeliling mata
membentur Djaka Tua. Pembantu yang sejak tadi berada di tempat itu dan
mendengar semua pembicaraan jadi tersirap pucat ketika melihat majikannya
memandang ke arahnya.
“Dia, dia
orangnya yang akan membunuh bayi itu!” kata Wira Bumi sambil tudingkan telunjuk
tangan kiri tepat-tepat ke arah Djaka Tua.
Djaka Tua
terduduk pucat di tanah. Kagetnya seperti disambar petir.
“Demi
Tuhan, demi Gusti Allah, jangan saya Tumenggung. Jangan saya…” kata Djaka Tua
sambil jatuhkan diri menyembah berulang kali.
Nyai
Tumbal Jiwo tertawa mengekeh.
“Wira
Bumi, kau terpaksa mencari orang lain untuk membunuh bayi itu. Pembantu tak
berguna ini lebih baik kau habisi saat ini juga.”
“Nyai,
apa perintahmu akan aku laksanakan. Djaka Tua, kau tak mengenal budi. Kau layak
menerima kematian!”
Wira Bumi
melangkah cepat mendekati pembantunya yang masih menyembah-nyembah ketakutan.
Bagaimanapun tentu saja Djaka Tua sangat takut menghadapi kematian. Apalagi
dibunuh begitu rupa. Ketika Tumenggung Wira Bumi angkat tangan kanan siap untuk
menggebuk batok kepalanya, pembantu ini berteriak.
“Ampun
Tumenggung, jangan bunuh diriku. Saya akan laksanakan perintahmu. Saya akan
bunuh bayi itu…” Habis berucap begitu Djaka Tua menangis keras.
Sreettt!
Nyai
Tumbal Jiwo keluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya yang berupa selempang
kain merah. Benda itu dilemparkan ke hadapan Djaka Tua, menancap di tanah.
Ketika Wira Bumi memperhatikan kagetnya bukan alang kepalang. Benda yang
menancap di tanah adalah sebilah golok besar bersarung. Golok itu adalah
miliknya sendiri yang digantung dan dipajang di dinding kamar tidurnya.
Sungguh
aneh. Mengapa tahu-tahu senjata itu bisa berada di tangan Nyai Tumbal Jiwo? Si
nenek tertawa panjang.
“Wira
Bumi, bagiku tidak ada yang sulit. Kalau mengambil sesuatu yang berada di
tempat jauh bisa aku lakukan, mengambil jiwa seseorang sama mudahnya bagiku!
Hik… hik… hik!”
Si nenek
tiba-tiba hentikan tawa. Dia memandang melotot pada Djaka Tua.
“Dengan
golok itu kau harus memancung leher bayi yang dilahirkan Retno Mantili! Selesai
kau lakukan letakkan kembali golok di tempat semula, di dinding dalam kamar
Tumenggung Wira Bumi. Kelak aku akan datang untuk memeriksa apakah kau telah
melakukan tugasmu atau tidak. Kau mengerti manusia berpunuk?!”
“Sa… saya
mengerti…” Djaka Tua ketakutan setengah mati.
“Lain
dari itu!” kata Nyai Tumbal Jiwo pula. “Sebagai bukti kau harus membawa
kutungan kepala bayi itu ke tempat ini, letakkan di atas makam! Kau dengar
manusia berpunuk?!”
“Saya
dengar…,” jawab Djaka Tua dengan suara menggigil.
“Sekarang
ambil golok itu. Tinggalkan tempat ini! Kau harus melakukan tugasmu dalam tiga
hari. Paling lambat hari kelima kepala bayi itu sudah ada di sini! Bungkus
dengan kain hitam!”
Dengan
tangan gemetar Djaka Tua cabut golok dari tanah. Ketika dia memutar diri untuk
berlalu si nenek membentak.
“Tunggu!”
Djaka Tua
menahan langkah dan berpaling.
“Apakah
bayi perempuan yang dilahirkan itu sudah diberi nama oleh ibunya?”
Djaka Tua
gelengkan kepala lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Saking takutnya dia
lari begitu saja, padahal kudanya yang tadi ditunggangi Tumenggung Wira Bumi
ada di dekat sana.
Hanya
sesaat setelah Djaka Tua tinggalkan pekuburan Nyai Tumbal Jiwo berkata.
“Wira
Bumi, kalau pembantumu sudah melaksanakan tugasnya, untuk menjaga rahasia kau
harus menghabisi manusia berpunuk itu. Kau mengerti?” Wira Bumi mengangguk.
“Menurutku
kau juga harus menghabisi Retno Mantili!”
Kembali
sang Tumenggung anggukkan kepala. Nyai Tumbal Jiwo tertawa lalu berteriak.
“Hujan!
Aku tidak memerlukanmu lagi!”
Luar
biasa! Keanehan kembali terjadi. Hujan yang turun lebat perlahan-lahan mereda
dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Wira
Bumi, kembalilah ke Goa Girijati. Teruskan tapamu yang masih bersisa satu
purnama. Kalau asap hitam tidak lagi mengepul dari ubun-ubun, liang telinga,
hidung dan mulutmu itu pertanda kau boleh menyelesaikan tapamu karena ilmu
kesaktian yang kau inginkan telah menyatu dalam dirimu. Kau bakal mendapatkan
apa yang kau minta. Keselamatan, kesaktian, harta dan jabatan. Mungkin juga
seorang istri ditambah beberapa gundik. Hik… hik… hik!”
“Terima
kasih Nyai. Aku pergi sekarang…”
“Tidak,
aku yang akan pergi lebih dulu.” jawab si nenek lalu tertawa panjang.
Dess…
dess… dess!
Terdengar
suara mendesis tiga kali. Sosok merah Nyai Tumbal Jiwo berubah jadi asap lalu
melesat masuk ke dalam liang lahat. Begitu ujudnya lenyap, tanah kubur yang
tadi bertebaran berantakan kini kembali bertaut membentuk gundukan merah! Jauh
di dalam perut bumi suara tawa si nenek masih terdengar gaungnya. Asap putih
yang tadi menyelimuti pohon kemboja perlahan-lahan sirna. Udara terasa mencucuk
dingin.
Tumenggung
Wira Bumi usapkan tengkuknya yang basah oleh air hujan. Melangkah cepat ke arah
kuda milik Djaka Tua dan menggebrak binatang itu tinggalkan pekuburan
Kebonagung.
*********************
3
DJAKA Tua
sampai di gedung tempat kediaman Nyi Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi,
keesokan harinya tak lama setelah matahari tenggelam. Begitu sampai dan bertemu
dengan Nyi Retno dia langsung jatuhkan diri, menangis keras.
Nyi Retno
dan beberapa pelayan tentu saja terheranheran.
“Aki…”
begitu Nyi Retno memanggil Djaka Tua, “Apa yang terjadi dengan dirimu? Aku
menyuruhmu menemui Tumenggung di Goa Girijati. Apakah sudah kau lakukan? Apa
kabar yang kaubawa dari suamiku?”
“Sudah
Nyi Retno, sudah…” jawab Djaka Tua. Pembantu ini lalu meratap keras. “Saya tak
bisa melakukannya.
Tidak
mungkin… Maafkan saya Nyi Retno. Maafkan saya… Ampun Nyi Retno, ampun Tuhan!”
Pembantu itu lalu menangis menggerung-gerung.
“Aki, kau
ini kenapa?” tanya Nyi Retno semakin heran sementara bayi yang digendongnya
tiba-tiba menjerit keras dan menangis. Nyi Retno terpaksa membawa masuk bayinya
ke dalam kamar. Sebelum masuk ke kamar, perempuan bertubuh halus ini berkata
kepada salah seorang pelayan perempuan. “Aku akan menyusui bayiku di kamar.
Tanyakan
pada Aki apa yang terjadi dengan dirinya. Kulihat sekujur tubuhnya bergetar.
Jangan-jangan dia kemasukan makhluk halus dari kawasan pantai selatan. Kalau
betul cari orang pandai mengobatinya. Selain itu, aku melihat dia seperti
menyembunyikan sesuatu di balik kain sarungnya.”
Ketika
masuk ke dalam kamar tidur, entah mengapa Nyi Retno Mantili memandang ke salah
satu dinding.
Perempuan
itu berpikir-pikir lalu unjukkan wajah terkejut.
Dia ingat
betul. Di dinding tergantung sebilah golok besar milik Tumenggung. Kini dinding
berada dalam keadaan polos. Golok besar lenyap!
“Golok
itu… Bagaimana bisa lenyap kalau tidak ada yang mencuri. Siapa pelakunya?” Nyi
Retno bertanya-tanya pada diri sendiri.
Karena
harus menyusui bayinya dan menunggu sampai bayi perempuan itu tertidur lelap,
cukup lama berada dalam kamar baru Nyi Retno keluar. Ketika dia keluar, di
bagian gedung sebelah belakang tengah terjadi kehebohan. Pelayan yang datang ke
kamar Djaka Tua untuk mengantar minuman jahe panas menemui kamar dalam keadaan
kosong.
“Kabur!
Pasti dia sudah kabur. Pasti dia yang mencuri golok besar milik Tumenggung yang
dipajang di dinding kamar.” Nyi Retno memberi tahu para pelayan. “Ingat ketika
tadi aku mengatakan dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik kain
sarungnya?”
“Aneh,
Djaka Tua barusan saja datang. Bagaimana sempat-sempatnya dia masuk ke kamar
mencuri golok?
Padahal
Nyi Retno hampir selalu berada di kamar,” kata seorang pelayan.
Seorang
pelayan lain menyatakan rasa tidak percayanya. “Sulit dipercaya Djaka Tua
begitu berani dan lancang mencuri barang milik Tumenggung. Dia sudah puluhan
tahun bekerja di sini. Malah sejak ayahanda Kanjeng Tumenggung masih hidup.”
“Kalau
kalian tidak percaya, ikut aku. Beberapa di antara kalian pernah masuk kamar
tidurku. Tahu di mana golok itu digantung. Lihat sendiri nanti!”
Nyi Retno
Mantili mendahului berjalan menuju kamar tidurnya. Begitu pintu dibuka
menjeritlah istri ketiga Tumenggung Wira Bumi ini. Bayi perempuan yang
ditinggalkannya di atas ranjang dalam keadaan tidur pulas kini sudah tak ada
lagi di situ!
“Bayiku!”
jerit Nyi Retno. “Anakku diculik orang!”
“Lihat!”
Seorang pelayan lelaki berseru menunjuk kedinding kiri. Di situ ada sebuah
jendela dalam keadaan terpentang lebar. Nyi Retno langsung melosoh jatuh, terguling
pingsan di lantai. Para pelayan berpekikan.
Malam itu
juga kejadian di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi segera tersiar ke
berbagai penjuru pinggiran Kotaraja. Keesokan harinya berita itu telah sampai
di Gedung Kepatihan. Patih Kerajaan segera membentuk kelompok pasukan untuk
menyelidik dan melakukan pencarian di dalam Kotaraja, bahkan sampai jauh keluar
Kotaraja. Namun jejak si penculik bayi tidak ditemukan.
Djaka Tua
yang dicurigai sebagai penculik raib seperti ditelan bumi!
Ketika
sang patih berusaha menemui Nyi Retno, perempuan ini berada dalam keadaan
terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat. Mata nyalang, hanya sesekali
berkedip. Diajak bicara mulutnya tetap terkancing. Tak ada suara yang keluar.
Hari demi
hari keadaan Nyi Retno semakin menyedihkan. Dia tidak pernah meninggalkan
kamar, tidak pernah turun dari atas ranjang. Rambut, wajah dan tubuhnya kotor
karena tidak pernah mandi. Sesekali dia menjerit, kadangkadang meratap panjang
dan menangis tersedu-sedu.
Selama
itu tidak ada satupun makanan mengisi perutnya. Untuk minum saja dengan susah
payah pelayan hanya bisa membasahi bibirnya dengan air. Para pelayan di gedung
itu semakin khawatir ketika hari ketujuh Nyi Retno Mantili menunjukkan gejala
aneh yaitu suka menyanyi. Kata atau syair apa yang diucapkan dalam nyanyian
tidak jelas.
Seseorang
mengatakan sudah saatnya kedua orang tua Nyi Retno yang diam di Wonosari diberi
tahu keadaan puterinya. Dua orang anggota pasukan Kepatihan yang diperbantukan
di gedung kediaman Tumenggung dengan suka rela melakukan tugas itu. Namun
sebelum mereka kembali telah terjadi lagi satu hal yang mengggegerkan.
Suatu
tengah malam, ketika dua orang pelayan yang menunggui Nyi Retno tertidur karena
keletihan, seperti mayat hidup Nyi Retno Mantili turun dari ranjang. Dalam
keadaan mata terpejam dia melangkah tanpa suara, membuka pintu kamar.
Keesokan
paginya seisi gedung geger. Nyi Retno Mantili lenyap! Usaha untuk mencari
sia-sia belaka. Usaha untuk menghubungi Tumenggung Wira Bumi tidak dapat
dilakukan karena hanya Djaka Tua yang tahu ke mana perginya sang Tumenggung.
Padahal pembantu itu sendiri telah terlebih dulu raib tak tentu rimbanya.
************************
Kembali
pada malam hari lenyapnya bayi perempuan Nyi Retno Mantili dari gedung kediaman
Tumenggung Wira Bumi.
Djaka Tua
berlari sambil mendukung bayi yang dibuntalnya dalam kain sarung. Pembantu ini
tak tahu mau menuju ke mana. Dia berlari sepembawa kakinya saja.
Dalam
dirinya hanya ada satu keinginan yaitu menyelamatkan sang bayi. Demi Tuhan,
apapun yang terjadi dia tidak akan membunuh bayi tak berdosa itu.
“Tobat
Gusti Allah. Mengapa Tumenggung sampai menuntut ilmu sesat itu. Ke mana aku
harus membawa dan menyelamatkan bayi ini? Aku punya saudara tua di Donorojo.
Aku harus membawa bayi ini ke sana. Tapi bagaimana kalau makhluk roh bernama
Nyai Tumbal Jiwo itu mengetahui. Ya Tuhan, mohon petunjukMu bagaimana aku bisa
menyelamatkan bayi ini.” Pembantu ini jadi bingung dan bertambah bingung ketika
udara malam berubah buruk. Angin bertiup kencang dan hujan mulai turun.
Mula-mula kecil saja namun makin lama bertambah lebat. Bayi dalam gendongan
mulai menangis. Dalam bingungnya Djaka Tua berteduh di bawah sebatang pohon.
Namun
kerimbunan daun pohon tidak dapat menahan curahan air hujan yang begitu lebat.
“Aku
harus mencari tempat berlindung. Kalau sampai kebasahan bayi ini bisa sakit.
Tuhan tolong kami…” Kilat menyambar. Untuk sesaat keadaan di tempat itu jadi
terang benderang. Walau sekilas, mata Djaka Tua masih sempat melihat satu
gundukan tanah berbatu-batu sejarak duabelas langkah di hadapannya. Di samping
kiri gundukan tanah ada sebuah lobang besar membentuk goa. Tidak pikir panjang
lagi Djaka Tua segera lari masuk ke dalam goa. Selain tinggi ternyata goa itu
cukup lapang dan dalam. Djaka Tua duduk bersandar rapat-rapat ke dinding goa
sebelah dalam agar tidak terkena tampiasan air hujan.
Walau
kini terlepas dari kebasahan air hujan, namun Djaka Tua masih tetap bingung
karena bayi yang ada dalam buntalan kain sarung masih terus menangis.
“Mungkin
dia haus. Ya Tuhan, akan aku beri minum apa bayi ini?” keluh Djaka Tua sambil
menepuk-nepuk bahu si bayi. Tiba-tiba bayi dalam dukungannya memekik keras.
“Cah Ayu,
berhentilah menangis. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Jangan menangis
nak. Cep… ceeppp.”
Saat itu
entah dari mana datangnya, kabut tipis muncul menutupi setengah ketinggian
mulut goa. Memperhatikan keanehan ini mendadak tenggorokan lelaki berpunuk ini
seolah tercekik. Mata mendelik dan tubuhnya semakin dirapatkan ke dinding.
Walau dalam goa gelap namun Djaka Tua masih bisa melihat cukup jelas bagaimana
saat itu muncul satu sosok orang tua berpakaian selempang kain putih. Demikian
tingginya orang ini kepalanya tertutup rambut putih hampir menyondak bagian
atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebatang tongkat kayu putih.
Sepasang
matanya walau memandang lembut pada Djaka Tua tapi lelaki ini tetap merasa
ketakutan, membuat sekujur tubuhnya jadi menggigil. Semula dia menyangka yang
muncul ini nenek angker Nyai Tumbal Jiwo, roh penghuni makam Kebonagung.
“Siapa…?”
Tanya Djaka Tua beranikan diri dengan suara bergetar sambil matanya berusaha
memperhatikan ke arah belakang orang tua berselempang kain putih. Dia mendengar
suara hembusan nafas berat di belakang sana namun dia tidak melihat apa atau
siapa yang ada di belakang kakek itu karena pandangannya tetutup kabut.
Sesekali
ada kilapan dua titik besar berwarna hijau. Djaka Tua tambah merinding.
“Sahabat
dalam goa…” Orang di mulut goa menyapa.
Suaranya
halus dan panggilan sahabat membuat Djaka Tua jadi tenteram sedikit. Namun
ucapan berikutnya membuat pembantu di gedung Tumenggung Wira Bumi ini menjadi
tersirap darahnya. “Serahkan bayi itu padaku.”
“Tidak!
Apapun yang terjadi bayi ini tidak akan kuserahkan padamu! Tidak pada
siapapun!” Jawab Djaka Tua setengah berteriak.
Orang tua
di depan goa tersenyum.
“Kalau
kau terus mempertahankan bayi itu, dalam waktu satu hari satu malam dia akan
menemui ajal karena kelaparan dan kehausan. Bukankah kau menginginkan dia tetap
hidup?”
“Tentu,
tentu aku menginginkannya tetap hidup. Itu sebabnya aku melarikan bayi ini.
Tapi untuk menyerahkannya padamu, tidak!”
“Maksudmu
baik sekali. Tapi mau kau apakan bayi itu? Kau tak mampu merawatnya.”
“Lalu,
apa kau mampu? Aku tidak mau menyerahkannya padamu. Aku tidak kenal dirimu.
Jangan-jangan kau kawannya Nyai Tumbal Jiwo!”
Kakek
berambut putih tertawa.
“Sahabat,
dengar baik-baik. Maksud kita berdua samasama luhur. Ingin bayi itu selamat
dari kematian akibat ilmu sesat yang sedang dituntut ayahnya…”
“Eh,
bagaimana kau tahu?” Djaka Tua heran.
“Sudahlah,
Allah akan memberi berkah dan rahmat atas perbuatan baik yang kau lakukan. Aku
akan membawa bayi itu, akan merawatnya baik-baik…”
“Akan
kaubawa ke mana bayi ini?”
“Ke satu
tempat yang baik dan aman. Dia berjodoh denganku. Tidakkah kau perhatikan bahwa
saat ini dia tidak menangis lagi?”
Djaka Tua
perhatikan bayi dalam bedungan kain sarung. Anak perempuan itu memang tidak
menangis lagi bahkan tampak tertidur pulas.
“Bagaimana…?”
Djaka Tua
menatap orang tua di hadapannya beberapa lama. Dia kini seperti menyadari orang
ini bukan manusia sembarangan. Perlahan-lahan dia berdiri.
“Kalau
kau sia-siakan anak ini, biarlah Tuhan akan mengutukmu sampai hari kiamat!” Si
orang tua tersenyum lalu menyahuti.
“Tuhan
tidak pernah mengutuk hambaNya yang berbuat baik. Yang jahat saja masih diberi
petunjuk dan dikasihani.” Ketika orang tua berselempang kain putih mengulurkan
tangan, walau masih ada keraguan namun Djaka Tua ulurkan pula tangannya
menyerahkan si bayi.
“Apakah
anak ini sudah bernama?” Djaka Tua gelengkan kepala.
“Kalau
begitu biar kita berdua memberikan nama padanya. Ken Permata. Kau setuju,
sahabat?”
“Aku
menurut saja. Kurasa nama itu bagus sekali,” kata Djaka Tua pula.
Orang tua
berpakaian selempang kain putih tersenyum lalu berkata.
“Sahabat,
aku melihat sebilah golok bersarung di balik pakaianmu. Senjata itu tak ada
gunanya bagimu. Serahkan padaku…” Djaka Tua terperangah sambil meraba pinggang
pakaiannya. “Orang tua ini luar biasa aneh. Apa matanya bisa menembus melihat
golok yang tersembunyi di balik bajuku?” Dia coba memperhatikan sepasang mata
orang di hadapannya namun karena gelap dia tidak dapat melihat jelas.
“Golok
ini milik Tumenggung Wira Bumi. Aku tidak mungkin menyerahkannya padamu…”
“Aku
tahu. Dengan senjata itu pula dia diperintahkan untuk menggorok batang leher
bayi tak berdosa itu. Betul?” Djaka Tua terdiam.
“Sahabat,
senjata itu sudah menjadi senjata terkutuk. Karena merupakan bagian dari
perjanjian sesat di hadapan roh. Senjata itu tidak boleh berkeliaran bebas di
luaran.”
“Orang
tua, kau rupanya tahu banyak kejadian di pemakaman Kebonagung. Siapa kau
sebenarnya?” Bertanya Djaka Tua.
“Sudahlah,
aku hanya minta kau menyerahkan golok itu padaku. Selama senjata itu ada di
tanganmu kau tak bakal merasa tenteram. Selain itu aku khawatir ada yang akan
berusaha merampasnya dari tanganmu.” Djaka Tua kembali terdiam. Akhirnya dia
mengalah. Tangannya menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan golok besar
bersarung lalu menyerahkannya pada si orang tua.
“Sebelum
aku pergi, harap kamu mau menghadap ke dinding.” Sebenarnya Djaka Tua hendak
menanyakan apa maksud kakek itu menyuruhnya menghadap ke dinding.
Namun
entah mengapa dia ikut saja permintaan orang.
Begitu
Djaka Tua menghadap dinding goa sebelah dalam, si orang tua angkat tangan
kirinya yang memegang tongkat kayu putih. Tongkat diusapkan ke punggung Djaka
Tua yang ada tonjolannya sambil berucap. “Semoga Tuhan memberikan rahmat dan
perlindungan padamu.” Satu cahaya putih keluar dari tongkat yang diusapkan.
Untuk
beberapa lamanya Djaka Tua masih tegak berdiri menghadap ke dinding. Lama-lama
karena orang tua di belakangnya tidak mengeluarkan ucapan lagi, Djaka Tua
palingkan kepala dan berbalik.
Ternyata
orang tua berselempang kain putih tadi tak ada lagi di tempat itu. Sementara
terheran-heran Djaka Tua merasa tubuhnya menjadi enteng dan dia mampu berdiri
tegak. Tak sengaja tangannya mengusap ke punggung.
Astaga!
Punuk yang selama limapuluh tahun menempel di punggungnya kini lenyap entah ke
mana. Tidak percaya Djaka Tua mengusap berulang kali. Masih tidak percaya dia
buka bajunya lalu mengusap punggung. Bagian tubuhnya itu kini memang rata, tak
ada lagi tulang dan daging yang menonjol. Akhirnya lelaki itu jatuh berlutut di
lantai goa, Mulutnya berulang kali mengucap. “Allah Maha Besar. Terima kasih
Tuhan… Terima kasih.” Djaka Tua lalu bersujud syukur di lantai goa.
*********************
4
HARI
pasar di Imogiri selalu ramai oleh orang yang berbelanja. Seorang lelaki
penjual mainan sejak tadi memperhatikan seorang anak perempuan usia belasan
tahun yang tegak di depan deretan barang dagangannya. Anak perempuan itu
bertubuh kecil. Wajahnya sebenarnya cantik dan pakaian yang dikenakan bukan
jenis pakaian orang kebanyakan. Namun sekujur tubuh mulai dari rambut sampai ke
ujung kaki yang tidak memakai kasut kelihatan penuh daki sedang pakaian lusuh
kotor menebar bau tidak sedap.
“Anak,”
pedagang mainan menyapa. “Dari tadi saya lihat anak berdiri memperhatikan ke
arah sini. Apakah anak ingin membeli sesuatu? Kalau tidak harap jangan berdiri
di depan sini. Kalau anak berdiri di depan dagangan saya, akan menghalangi
orang lain yang akan membeli.”
Anak
perempuan itu tidak menjawab. Melainkan menatap sayu pada si pedagang mainan
lalu tampak air mata menetes membasahi kedua pipinya yang kotor.
Pedagang
mainan dan istri yang ada di sebelahnya karuan saja jadi tertegun heran.
“Bu-ne, aku menegur baikbaik.
Kenapa
dia menangis? Apa salah ucapanku atau kasar suaraku?” bisik si pedagang pada
istrinya.
“Kasihan
anak perempuan ini. Usianya masih sangat muda tapi keadaannya begini rupa. Aku
kira otaknya kurang waras,” jawab sang istri.
Perempuan
muda yang menangis usap air matanya. Tiba-tiba dia berkata, “Bapak, Ibu, aku
suka bonekaboneka itu…”
Di antara
barang mainan yang dijual si pedagang memang terdapat sederetan boneka kayu
yang halus dan bagus sekali buatannya. Semua boneka perempuan.
“Kalau
anak suka, silahkan pilih yang mana.” Kata pedagang mainan pula.
“Saya
tidak punya uang,” jawab anak perempuan itu dengan suara parau menahan tangis.
Setelah
berbisik-bisik dengan istrinya lelaki pedagang mainan berkata, “Nak, kau boleh
ambil satu boneka. Tak usah membayar.”
Anak
perempuan itu menatap tercengang pada suami istri pedagang mainan. “Sungguh?”
tanyanya tak percaya.
Suami
istri pedagang mainan itu mengangguk.
Anak
perempuan itu tercenung lalu tawa lebar menyeruak di bibirnya. Sambil menyanyi-nyanyi
kecil dia perhatikan enam buah boneka satu per satu.
“Yang
mana ya wajahnya sama dengan anakku?”
Ucapan
anak perempuan itu membuat sepasang suami istri jadi saling pandang.
“Nah, aku
ambil yang ini saja. Dia mirip anakku. Rambut hitam lebat, mata bagus, bibir
mungil, pipi merah, alis kereng. Bapak, Ibu, aku ambil yang ini, boleh?”
“Boleh,
ambil saja,” jawab istri pedagang mainan.
“Terima
kasih… terima kasih,” kata anak perempuan itu berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk lalu berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan.
“Gusti Allah akan membalas kebaikan Ibu dan Bapak berdua.”
“Anak,
kalau boleh bertanya, apakah situ sudah punya anak?”
“Ssstttt…
Jangan keras-keras bertanyanya. Aku memang sudah punya anak. Tapi anakku hilang
dicolong orang…”
“Ooo…”
Setelah
membungkuk sekali lagi dan layangkan senyum lebar, anak perempuan itu lalu
membawa boneka perempuan yang dipilihnya. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi.
Boneka
didekapkan ke dada. Sesekali diayun-ayun seperti menggendong bayi benaran.
Sepanjang jalan yang dilaluinya semua orang memperhatikan. Ada yang merasa
heran, lebih banyak yang merasa iba. Semuda itu sudah menderita penyakit jiwa.
“Kasihan…”
kata istri pedagang mainan itu pada suaminya. “Kelihatannya dia seperti anak
perempuan baikbaik.
Masih
sangat muda. Mungkin lebih muda dari anak perempuan kita. Heran, apa yang
membuat dia jadi begitu.
Apa benar
dia punya anak dicuri orang?” Tiba-tiba istri pedagang mainan itu melihat
sesuatu, “Pak-ne!”
“Ada
apa?” sang suami bertanya kaget. “Ada barang kita yang hilang?!”
Istri
pedagang mainan melangkah ke depan jejeran barang dagangan. Dia mengambil
sesuatu di dekat deretan boneka kayu. Sebuah benda berkilat diperlihatkannya
pada suaminya. Melihat benda yang dipegang istrinya karuan saja sang suami jadi
terkejut.
“Uang
perak! Bagaimana bisa ada di situ? Uang siapa?”
Si
pedagang mengambil uang perak dan memperhatikan dengan mata tak berkesip.
“Mana aku
ngerti. Wong tahu-tahu sudah ada di sini. Pak, uang ini cukup untuk memborong
seluruh dagangan kita.”
“Betul,
Bu. Coba periksa. Siapa tahu masih ada lagi.”
“Jangan
rakus begitu Pak. Aku punya dugaan. Janganjangan perempuan muda tadi yang
meletakkan uang perak ini.”
“Tapi
tadi dia bilang tidak punya uang.”
“Dia itu
orang aneh. Bisa saja bilang tidak punya uang. Buktinya…”
“Jangan-jangan
dia itu malaikat yang menyaru jadi gembel tidak waras.” Kata sang suami lalu
cepat-cepat masukkan uang perak itu ke dalam koceknya, takut hilang dan takut
berubah jadi daun seperti kejadian aneh yang pernah didengarnya.
************************
Perempuan
pedagang cita dan kain panjang itu bertubuh gemuk gembrot. Muka bulat
berminyak. Hidung besar tapi pesek nyaris sama rata dengan pipi. Matanya yang
sudah belok memandang melotot pada anak perempuan bertubuh kecil yang tegak di
depannya sambil mengayun-ayun boneka kayu seperti mengayun seorang bayi. Mulut
digembungkan lalu dia membentak.
“Jembel
bau! Kowe mau apa berdiri di situ! Lekas pergi atau aku guyur dengan air
selokan!”
Anak
perempuan yang dipanggil jembel bau tersenyum lalu berkata. “Aku ingin kain
panjang itu. Untuk gendongan bayiku ini.” Sambil berkata dia terus ayun-ayunkan
boneka kayunya seperti mengayun-ayun bayi benaran.
“Kalau
mau beli perlihatkan dulu uangmu!” bentak pedagang kain.
“Siapa
bilang aku mau beli. Wong aku tidak punya uang. Mau minta…!”
“Perempuan
setan! Dasar sinting. Aku jualan, bukan tukang pemberi derma! Menyingkir dari
hadapanku!”
Pedagang
kain jadi marah. Dia gulung sehelai kain sarung butut lalu kepretkan ke muka
orang.
Cepat-cepat
anak perempuan bertubuh dan berpakaian kotor rundukkan kepala. Boneka yang
dipegangnya didekapkan ke dada. Sambil melangkah mundur dia berkata.
“Biyungku
gembrot kau galak sekali. Kalau tidak mau bersedekah ya sudah… Anakku sayang,”
anak perempuan itu ciumi wajah boneka. “Orang tidak mau memberi kain bedongan
kita harus sabar. Kau jangan cengeng.” Lalu anak perempuan itu melangkah pergi
sambil menyanyinyanyi kecil dan peluk bonekanya. “Anakku, jangan menangis. Di
dunia ini memang ada orang baik, ada orang jahat. Ada orang pemurah ada orang
pelit. Hiii…”
Tak
selang berapa lama anak perempuan yang dianggap gembel sinting itu lenyap dari
keramaian, pedagang cita bertubuh gemuk berteriak heboh.
“Kainku!
Kain panjangku hilang satu! Tadi masih ada di sini!” Perempuan gemuk ini lari
sana lari sini lalu mengejar ke arah lenyapnya jembel yang membawa boneka tadi.
Namun yang dikejar sudah lenyap entah ke mana.
************************
Tengah
hari panas begitu, berada di sungai kecil berair dangkal dan jernih terasa
nyaman sekali. Yang tidak diduga, pada tikungan sungai berpohon rindang yang
selama ini selalu diselimuti kesunyian saat itu terdengar suara nyanyian
perempuan.
Tidurlah
tidur wahai anakku
Jangan
cengeng jangan menangis
Ayahmu
sedang pergi jauh
Ibu ingin
kau menjadi anak manis.
Tidurlah
tidur wahai anakku
Tidur
dalam pelukan ibu
Jangan
bertanya tentang ayahmu
Karena
tak seorangpun tahu
Orang
yang menyanyi itu duduk berjuntai di atas sebuah batu di pinggir sungai. Dua
kaki dimasukkan ke dalam air yang jernih dan sejuk. Di pangkuannya terlipat
sehelai kain panjang yang masih baru. Di atas kain panjang terbaring sebuah
boneka anak perempuan mungil.
Sambil
bernyanyi orang itu usap-usap kepala boneka sementara air mata mengucur jatuh
ke pipi. Dialah perempuan muda yang dianggap masih anak-anak dan dihadiahkan
boneka oleh penjual mainan di Pasar Imogiri. Dia pula anak perempuan yang
mengambil sehelai kain panjang jualan perempuan gemuk di pasar yang sama. Dan
dia bukan lain adalah Nyi Retno Mantili, istri Tumenggung Wira Bumi yang telah
berubah ingatan akibat lenyapnya bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya.
Satu kali
Nyi Retno Mantili hentikan nyanyian.
“Anakku
jangan menangis. Ah kau pasti haus. Mari ibu susukan dulu. Ceeppp… Ayo jangan
nangis lagi.” Nyi Retno buka dada pakaiannya. Boneka kecil lalu dirapatkan ke
dada kiri. Sepertinya dia benar-benar tengah menyusui boneka yang dianggapnya
sebagai bayi itu.
Tak lama
kemudian kembali nyanyian perempuan malang itu menggema di tikungan sungai.
Sesekali terhenti oleh suara isak tangis menyayat hati.
Entah
telah berapa puluh kali nyanyian itu dilantunkan diulang-ulang. Seperti tidak
menyadari kalau hari telah rembang petang. Cahaya sang surya yang panas garang
kini berubah lembut.
Tidurlah
tidur wahai anakku
Jangan
cengeng jangan menangis
Ayahmu
sedang pergi jauh
Ibu ingin
kau menjadi anak manis
Ketika
Nyi Retno hendak melantunkan bait berikut nyanyiannya, sekonyong-konyong ada
suara lain mendahului. Irama nyanyiannya sama namun dua bait terakhir berikut
dua bait tambahan berbeda syairnya.
Tidurlah
tidur wahai anakku
Tidur
dalam pelukan ibu
Jika kau
mau ikut bersamaku
Mudah-mudahan
panjang umurmu
Selamat
perjalanan hidupmu
Karena
Yang Maha Pengasih melindungi dirimu
Nyi Retno
Mantili keluarkan suara tercekat. Takut akan dirampas orang, boneka kayu
diangkat dan didekapkan ke dada. Memandang ke depan Nyi Retno Mantili melihat
seorang tua yang wajahnya tertutup janggut putih menjulai panjang, memelihara
kumis serta janggut panjang yang juga berwarna putih.
Mula-mula
memang Nyi Retno tampak ketakutan.
Namun
sesaat kemudian mulutnya menyeruakkan senyum disusul suara tawa.
“Hik…
hik… Malaikat dari mana begitu muncul pandai pula bernyanyi.”
Orang tua
yang dipanggil malaikat tersenyum sambil usap janggutnya.
“Anak,
kau begitu asyik menyanyi. Apakah tidak menyadari kalau sebentar lagi sang
surya akan tenggelam, senja akan datang disusul munculnya malam?”
Suara
orang tua itu perlahan saja sikap dan air mukanya tenang.
“Kalau
sang surya tenggelam memangnya kenapa? Kalau senja datang memangnya kenapa?
Tapi kalau malam datang, nah itulah saatnya aku dan bayiku akan mandi di sungai
yang jernih sejuk ini. Karena itu aku harap kau segera berlalu dari tempat ini.
Tidak pantas seorang lelaki berada di dekat tempat perempuan mandi.”
“Ada
tempat mandi yang lebih baik dan lebih terlindung. Kalau kau memang mau mandi,
ikutlah bersamaku.”
“Iiihhh!
Enak saja kau mau mengajakku mandi! Anakku, ada seorang kakek cabul di tempat
ini. Mari kita pergi mencari tempat mandi yang lain di sebelah hilir.” Habis
berkata begitu Nyi Retno Mantili lilitkan kain panjang ke tubuhnya sebelah atas
lalu boneka diselipkan di belakang punggung.
“Anak,
kalau kau pergi ke hilir sungai, ada bahaya menunggumu di sana…” Si orang tua
memberitahu.
“Jangan
menakuti diriku dan anakku!” Ujar Nyi Retno.
“Aku
tidak menakuti. Justru memberi ingat…”
“Kalau
begitu aku akan pergi ke arah hulu sungai.” kata Nyi Retno pula.
“Di arah
itu ada bahaya lebih besar menantimu.”
“Ihhh…
Biar aku masuk hutan saja kalau begitu,” kata Nyi Retno Mantili lalu melangkah
cepat ke arah pepohonan lebat di tepi sungai di sebelah depannya.
Si orang
tua kembali tersenyum dan usap janggutnya lalu melangkah ke hadapan Nyi Retno
Mantili.
“Anak,
kalau kau tak percaya ucapanku, tunggulah barang beberapa lama di tempat ini.
Kau akan mengetahui bahwa aku tidak berdusta…”
“Kek,
siapa percaya pada dirimu. Pergilah, aku ingin menyanyi menidurkan bayiku.”
Lalu Nyi Retno melangkah mondar mandir di tepi sungai sambil melantunkan
nyanyian.
Tidurlah
tidur wahai anakku
Jangan
cengeng jangan menangis
Ayahmu
sedang pergi jauh
Ibu ingin
kau menjadi anak manis
Tidurlah
tidur wahai anakku
Tidur
dalam pelukan ibu
Jangan
bertanya…
Belum
selesai Nyi Retno menyanyikan lagunya tiba-tiba dari arah rimba belantara yang
lebat redup terdengar suara berdesir. Daun-daun pepohonan bergesek mengeluarkan
suara aneh di telinga. Semak belukar bergoyang-goyang. Di lain saat satu
bayangan merah berkelebat. Di lain kejap berdirilah satu sosok angker
mengerikan di depan Nyi Retno Mantili. Membuat perempuan muda yang telah
kehilangan otak warasnya ini berteriak keras, menunjuknunjuk ke depan.
“Setan
merah kesasar dari neraka! Kau mau merampas bayiku! Kau mau menculik bayiku!
Pergi… pergiiii!”
*********************
5
SOSOK
serba merah di depan Nyi Retno Mantili yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo
tertawa cekikikan. “Perempuan sinting! Ucapanmu benar sekali. Aku datang dari
neraka untuk membawamu pergi ke sana!”
“Iiihhh!
Siapa sudi ikut bersamamu!” ucap Nyi Retno.
“Anakku,
ayo kita lekas pergi dari tempat ini! Ada setan hantu merah. Iihhh ngerinya!”
“Setan
perempuan! Jangan berani beranjak dari tempatmu!” bentak Nyai Tumbal Jiwo. Jari
telunjuk tangan kanannya dijentikkan ke arah Nyi Retno. Selarik angin menderu
sebat. Inilah totokan jarak jauh yang ganas bernama Jari Pembungkam Roh.
Sebelum
angin totokan sampai di tubuh Nyi Retno Mantili, orang tua berambut putih
panjang cepat berkelebat menghalangi. Dia angkat tangan kiri, kembangkan
telapak tangan. Tangan itu bergetar keras ketika totokan jarak jauh menerpa.
Seperti menangkap sesuatu orang tua itu rapatkan jari-jari tangan. Lalu sambil
dibuka dia meniupkan tangannya seraya berkata. “Ilmu jahat, kembali ke
majikanmu!”
Nyai
Tumbal Jiwo berteriak kaget dan marah ketika ilmu totokannya dikembalikan
orang.
“Keparat
setan alas! Beraninya kau mencampuri urusanku!” Sekali nenek dari alam roh ini
kibaskan tangan kanannya, totokan yang membalik menyerang dirinya buyar
mengeluarkan suara dess! Membuat dirinya terjajar ke belakang satu langkah. Hal
ini terjadi karena sewaktu mengembalikan angin totokan, kakek berambut putih
panjang menjulai menyertakan sedikit tenaga dalam.
“Tua
bangka jahanam! Wajahmu boleh kau tutup dengan rambut putihmu. Jangan mengira
aku tidak mengenal siapa dirimu!”
“Nyai
Tumbal Jiwo,” kata kakek berambut putih dan berpakaian selempang kain putih.
Suaranya tenang dan perlahan saja. “Kau sudah lama meninggalkan dunia fana.
Mengapa masih mau gentayangan seperti ini?”
Rambut
merah si nenek yang awut-awutan langsung berjingkrak. Mata merah mendelik
seperti bara api. Marahnya bukan main.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas! Aku mau gentayangan ke mana aku suka, apa urusanmu?”
Orang tua
yang dipanggil Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku hanya mengingatkan.
Kalau terlalu lama dalam dunia nyata aku khawatir kau tersesat dan tak bisa
kembali ke dalam alam rohmu.”
“Kakek
setan! Aku tidak perlu nasihatmu! Kau sendiri yang bermukim di dasar telaga
jauh di puncak Gunung Gede mengapa bisa berkeliaran sampai ke sini?!”
“Aku
hadir di sini karena memang sengaja menunggu kedatanganmu. Kau telah membuat
sengsara perempuan bernama Nyi Retno Mantili ini. Sekarang kau malah punya niat
lebih jahat hendak membunuhnya! Setelah mati dan jadi roh gentayangan bukannya
kau bertobat malah masih tega-teganya menebar malapetaka.”
Nenek
serba merah pencongkan mulut. Lalu dia mendongak sambil umbar tawa cekikikan.
“Ah, jadi kau punya maksud hendak menghalangiku! Nyalimu besar sekali!”
Nyai
Tumbal Jiwo berdecak beberapa kali, golang-goleng kepala lalu sambung
ucapannya. “Aku tanya dulu. Apakah saat ini kau membawa nyawa cadangan? Hik…
hik… hik!
Apa kau
lupa bahwa kekuatan roh dari alam gaib berada jauh di atas kekuatan alam
manusia penghuni dunia serba fana ini?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. “Di dunia ini tidak ada yang lebih kuat. Kecuali
kekuatan yang dimiliki Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Siapa saja berani
menghadapiNya akan hancur lebur. Termasuk kau!”
Nyai
Tumbal Jiwo luruskan tubuhnya yang bungkuk lalu tertawa mengekeh. Sepasang mata
menyala. Ketika tertawa kelihatan lidah serta giginya yang berwarna merah.
Lalu
sambil usap-usap dadanya yang kurus ceper, makhluk dari liang kubur ini
berkata.
“Aku
pikir-pikir ada baiknya juga perbuatanmu menghadangku di tempat ini. Kau sudah
terlalu lama hidup di dunia. Tubuhmu sudah bau tanah. Kalau kau mendesak
mencegah apa yang akan aku lakukan, dengan senang hati aku akan menunjukkan
jalan ke pintu neraka untukmu!”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tertawa perlahan. Kembali dia mengusap janggut putihnya lalu
membungkuk. “Terima kasih kau mau berbaik hati. Aku memang belum tahu jalan
menuju pintu neraka. Ada baiknya kau menuntun agar aku tidak tersesat. Ha… ha…
ha…” Sambil tertawa Kiai Gede Tapa Pamungkas melirik ke arah Nyi Retno Mantili
yang tengah mengayun-ayun boneka kayu sambil menyanyinyanyi kecil. Orang tua
ini kibaskan jenggot panjangnya.
“Nyi
Retno, jangan ke mana-mana. Tetap di tempatmu!”
ucap sang
Kiai. Saat itu juga dari ujung jenggotnya melesat satu cahaya putih. Gerakan
Nyi Retno mengayun-ayun boneka mendadak sontak terhenti. Sekujur tubuhnya
terselubung kabut putih.
“Aduh
anakku, mengapa ibumu jadi tidak bisa bergerak?” seru Nyi Retno. “Hai, jangan
kau menangis…”
Sekujur
tubuh Nyi Retno yang masih terbungkus kabut putih menjadi kaku tak bisa
bergerak namun dia masih bisa keluarkan suara.
Melihat
apa yang dilakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas Nyai Tumbal Jiwo sunggingkan
seringai mengejek.
“Kabut
Dewa Pelindung Raga! Kau kira aku tak bisa menembus ilmu picisan itu?! Lihat!”
Sambil
membentak Nyai Tumbal Jiwo jentikkan lima jari tangannya ke arah Nyi Retno.
“Mampus
kau perempuan sinting!”
Wutt…
wutt… wutt… wutt… wutt!
Lima
larik sinar merah berkiblat. Melesat deras menghantam tubuh Nyi Retno yang
terbungkus kabut putih.
Tarr…
tarr… tarr… tarr… tarr!
Lima
letusan dahsyat menggelegar di tikungan sungai. Percikan api bertebaran ke
udara. Nyi Retno terpekik.
Walau
pukulan sakti Lima Jari Akhirat membuat tubuh Nyi Retno Mantili terpental dan
masuk ke dalam sungai dangkal, tersandar ke sebuah batu, namun pukulan itu
tidak mampu menembus kabut putih yang membungkus hingga perempuan muda malang
itu tetap dalam keadaan selamat. Bahkan tubuhnya serta tubuh boneka kayu tidak
sedikitpun basah terkena air!
Dua orang
sakti itu sama-sama terkejut.
Nyai
Tumbal Jiwo telah meyakini ilmu pukulan Lima Jari Akhirat lebih dari duapuluh
tahun. Selama ini tidak ada seorang lawanpun bisa selamat dari serangannya.
Kalau pun mampu bertahan hidup sekujur tubuhnya akan cacat melepuh seperti
terpanggang dan tak akan sembuh seumur hidup. Nenek makhluk dari alam roh ini
sudah lama mendengar nama besar Kiai Gede Tapa Pamungkas dan juga tahu kalau
kakek sakti dari puncak Gunung Gede ini memiliki ilmu yang disebut Kabut Dewa
Pelindung Raga.
Tidak
dinyana hari itu dia bertemu dan menyaksikan kehebatan ilmu membentengi diri
yang tak sanggup ditembus pukulan Lima Jari Akhirat. Diam-diam si nenek jadi
bergeming juga.
Di lain
pihak Kiai Gede Tapa Pamungkas juga merasa kaget. Walau serangan lima larik
sinar merah si nenek tidak sanggup menembus ilmu Kabut Dewa Pelindung Raga,
namun dengan membuat Nyi Retno Mantili terpental sudah cukup bukti bahwa nenek
jahat itu tidak bisa dipandang enteng. Nenek jahat ini benar-benar ingin
menghabisi perempuan muda malang dan tak berdosa itu.
“Kalau
makhluk satu ini dibiarkan terus berkeliaran, bakal celaka rimba persilatan
tanah Jawa,” begitu sang Kiai membatin. Maka dia membuat satu kali lompatan dan
kini hanya terpisah sepejangkauan tangan dari hadapan si nenek.
Walau
nyalinya agak ciut namun Nyai Tumbal Jiwo pandai menyembunyikan. Nenek ini
membentak lantang. “Perlu apa kau mendekati diriku! Aku melihat ada maksud
mesum dalam matamu! Kau tertarik padaku?!”
Wajah
klimis di balik juntaian rambut, kumis dan janggut lebat Kiai Gede Tapa
Pamungkas tampak berubah merah mendengar ucapan Nyai Tumbal Jiwo.
“Kiai! Lekas
menyingkir dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini! Jangan kau berani menyentuh
tubuh istri Tumenggung itu. Apalagi berani membawanya! Hari ini aku masih mau
memberi pengampunan padamu! Tapi lain waktu jika kau berani unjukkan muka di
depanku, aku tak segan-segan merampas jiwamu. Kau akan aku kirim ke alam roh.
Di situ kau akan menjadi budak hamba sahayaku! Pergi!”
Nyai
Tumbal Jiwo dorongkan dua tangan ke arah si kakek.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mendengar ada suara bergemuruh seperti dua batu besar
menggelinding deras ke arahnya. Sambaran angin panas menderu membuat tubuh sang
Kiai tergontai-gontai.
“Pukulan
Angin Roh Pengantar Kematian!” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengenali serangan
lawan. Dia pernah mendengar kehebatan pukulan ini. Walau tidak gentar
menghadapi namun kakek sakti dari telaga di puncak Gunung Gede ini cepat
melesat ke atas sampai satu tombak. Angin pukulan lawan menderu lewat,
menghantam tebing sungai di seberang sana hingga terbongkar longsor!
Nyai
Tumbal Jiwo terkesiap kaget, tidak menyangka lawan bisa lolos dari serangan
mautnya tadi. Dia lebih terkejut lagi ketika merasakan dada kirinya berdenyut.
Ketika
dia menunduk memperhatikan, makhluk dari liang kubur ini langsung menjerit. Dia
tidak merasakan sama sekali tidak menyadari kapan lawan melancarkan serangan
balik. Namun saat itu dada kirinya tahu-tahu kelihatan menggembung merah.
“Tua
bangka cabul! Beraninya kau menyentuh aurat terlarangku!” teriak si nenek.
Padahal yang diserang dan disentuh Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah bagian bahu
kiri di bawah tulang belikat. Namun akibatnya menggembung sampai membengkakkan
payudara kiri si nenek yang tadinya rada ceper.
“Jahanam!
Lari ke mana kau!” teriak Nyai Tumbal Jiwo.
Dia
melompat mengejar ke tepi sungai. Namun terlambat.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas telah berada jauh di sebelah sana, lari sambil menggendong Nyi
Retno Mantili. Seperti berlari di atas tanah, begitulah dia berlari di atas air
sungai menuju ke hulu.
“Jahanam
pengecut!” maki si nenek. Kemudian dia memperhatikan dada kirinya yang
melembung merah. Lalu dia tertawa sendiri. “Sayang, cuma yang kiri yang menjadi
besar. Kalau dua-duanya. Hik… hik… hik. Aku akan lebih montok dari perawan.”
Terbungkuk-bungkuk Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu. Sesekali diusapnya
dada kirinya yang mendenyut sakit. Mulut keluarkan ucapan. “Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Aku tidak rela kau buat jadi mainan seperti ini. Kelak aku akan
ganti membuatmu jadi barang mainanku! Kalau aku tidak sanggup menembus ilmu
kesaktianmu, jangan kau kira aku tidak sanggup menembus imanmu! Hik… hik…
hik!”( Mengenai Kiai Gede Tapa Pamungkas, kakek sakti yang diam di dalam telaga
di puncak timur Gunung Gede kisahnya dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng
episode “Pedang Naga Suci 212” . Sang Kiai adalah guru dari Sinto Weni alias
Sinto Gendeng dan Sukat Tandika alias Tua Gila).
Kepada
kedua muridnya itu dia mewariskan sebilah senjata berbentuk kapak yakni Kapak
Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Ternyata Sinto Weni bukan cuma
mengambil kapak sakti, dia juga membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan
menyembunyikannya di satu tempat. Pedang ini kemudian dipercayakan dan
diserahkan pada Puti Andini. Setelah hancurnya 113 Lorong Kematian dan
meninggalnya Puti Andini untuk kedua kali, pedang ditemukan. Pendekar 212 minta
agar senjata mustika itu diserahkan pada Sinto Gendeng namun ditolak oleh Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai membawa senjata itu kembali ke puncak Gunung
Gede.
*********************
6
SEJAK
pagi angin barat bertiup kencang. Deburan ombak di pantai selatan bergemuruh
tiada henti. Di dalam goa Girijati Tumenggung Wira Bumi bersujud di hadapan
Nyai Tumbal Jiwo.
“Cukup,
sudah saatnya kau harus pergi meninggalkan goa ini. Semua yang kau minta padaku
ada yang telah kesampaian dan ada yang bakal menjadi kenyataan. Yang telah
kesampaian kini kau memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Tidak
sembarang orang sanggup mengalahkanmu, yang akan menjadi kenyataan ialah
keselamatan, kedudukan atau jabatan serta harta melimpah ruah. Sekarang bangkit
dan duduk di hadapanku!”
Tumenggung
Wira Bumi segera bangun dari sujudnya lalu duduk bersila di depan makhluk alam
roh yang serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Nenek ini kembangkan
tangan kanannya yang sejak tadi digenggam.
Ternyata
dalam genggamannya ada tiga helai daun sirih, tujuh kuntum bunga melati dan
sebongkah kecil kemenyan.
Setelah
bunga melati dan kemenyan dimasukkan ke dalam lipatan tiga helai daun sirih, si
nenek menyerahkan lagi pada Tumenggung Wira Bumi. “Malam ini malam Jum’at Legi.
Saat yang paling baik dan ampuh untuk menyantap sirih, melati dan kemenyan.
Kunyah lumatlumat dan telan!”
Tumenggung
Wira Bumi lakukan apa yang diperintahkan Nyai Tumbal Jiwo. Si nenek
memperhatikan sambil mulutnya komat-kamit melafalkan sesuatu. Setelah menelan
sirih, melati dan kemenyan, Tumenggung Wira Bumi merasa tubuhnya menjadi enteng
hangat dan seolah berubah besar. Kepala menyondak langit-langit goa. Tubuh si
nenek dilihatnya menjadi kecil.
“Tumenggung,
sirih kembang melati dan kemenyan yang barusan kau telan menjadi kunci segala
ilmu kesaktian yang telah kau dapatkan. Seumur hidup ilmu itu akan mendekam
dalam dirimu.” Setelah diam dan menatap wajah sang Tumenggung beberapa ketika,
si nenek berwajah angker merah keriputan melanjutkan ucapan. “Saat ini aku
menyampaikan satu kabar buruk padamu. Beberapa waktu lalu aku berhasil menyirap
lewat pendengaran dan penglihatan jarak jauh di mana beradanya Nyi Retno
Mantili…” Si nenek perhatikan wajah Wira Bumi. Wajah sang Tumenggung sama sekali
tidak berubah ketika nama istrinya disebut. “Aku berhasil menemuinya di satu
tempat. Maksudku akan kubawa menemuimu untuk kau habisi sesuai sumpahmu tempo
hari. Aku ingin urusan satu ini bisa tuntas lebih cepat.
Namun
tidak disangka muncul seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia
berhasil menghalangi niatku. Dia kemudian melarikan diri dan istrimu
bersamanya. Aku yakin dia menuju puncak Gunung Gede. Setahuku dia diam di
sebuah telaga. Urusan dendam kesumat dengan kakek ini biar aku yang membereskan.
Karena
aku gagal membunuh, sesuai perjanjian kau tetap harus membunuh istrimu. Kau
harus pergi ke puncak Gunung Gede. Kau dan aku kini mengetahui bahwa pembantumu
Djaka Tua tidak melaksanakan perintah. Dia tidak membunuh bayi yang dilahirkan
Nyi Retno. Di mana dia sekarang berada, juga bayimu tidak diketahui. Seperti
ada satu kekuatan melindungi dirinya. Menjadi tugasmu mencari kedua orang itu
dan membunuh mereka!”
“Bagaimana
dengan golok besar yang harus aku pakai untuk menggorok leher bayi?” tanya
Tumenggung Wira Bumi pula.
“Senjata
itu raib. Mungkin ada pada Djaka Tua. Kau harus mendapatkan golok itu karena
memiliki tuah setelah menjadi bagian dari perjanjianmu! Kau boleh membunuh anak
perempuan dan istrimu tanpa mempergunakan golok itu.”
“Semua
perintah Nyai akan saya lakukan.” Wira Bumi membungkuk dalam-dalam lalu
berdiri.
“Sebelum
Kau kembali ke gedung kediamanmu di Kotaraja, kau harus berendam dulu di dalam
laut sana sampai matahari tenggelam. Setelah itu baru berangkat ke Kotaraja.
Tapi ingat, kau tidak boleh masuk ke dalam gedung kediamanmu sebelum lewat
tengah malam. Dan untuk masuk ke dalam gedung, kau harus lewat pintu belakang.
Jangan sekali-kali masuk melalui pintu depan.
Kau
mengerti, Tumenggung?”
“Aku
mengerti Nyai. Terima kasih atas semua petunjukmu. Terima kasih banyak atas
semua yang telah kau berikan padaku. Kelak aku akan kembali menemuimu untuk
membalas budi baikmu.”
“Kau tak
perlu bersusah payah mencariku. Perjanjian antara kita sudah cukup. Namun ada
satu hal yang harus kau lakukan sebelum pergi…”
“Aku
mengerti. Nyai minta saya berendam dalam air laut..”
Si nenek
tersenyum, “Sebelum mandi berendam air laut, kau harus mandi berendam keringat
lebih dulu. Hal ini harus kau laksanakan setiap saat aku membutuhkan.” Si nenek
hentikan ucapan. Sepasang mata memandang merah berkilat pada Tumenggung Wira
Bumi yang bertubuh kekar besar itu.
“Tumenggung,
aku minta kau melayaniku sebelum pergi. Puluhan tahun di dalam liang kubur
rasanya sungguh menyebalkan.”
Kejut
Tumenggung Wira Bumi bukan alang kepalang.
Sama saja
dia mendengar suara halilintar di depan mata! Habis berkata si nenek langsung
saja buka pakaiannya berupa kain merah yang melilit di tubuh. Tumenggung Wira
Bumi melangkah mundur. Wajahnya tampak gelap melihat sosok bugil si nenek. Dia
memperhatikan, payudara Nyai Tumbal Jiwo sebelah kiri ternyata sangat besar
sedang yang sebelah kanan datar nyaris licin.
“Nyai,
hal ini tidak termasuk dalam perjanjian…” Si nenek menyeringai, mata
dikedipkan.
“Justru
ini adalah patri indah dari perjanjian kita yang aku sebut Perjanjian Dengan
Roh.”
“Nyai,
aku mohon…”
“Tujuh
bulan kau tidak menggauli perempuan. Apa otakmu tidak jadi buntu? Apa dadamu
tidak serasa rengkah? Apa urat-urat aliran darahmu serasa tidak terbakar?!
Lihat tubuhku, apa kau tidak tertarik?”
“Nyai,
aku…”
Si nenek
tempelkan tubuhnya ke tubuh Tumenggung Wira Bumi. Dua tangan merangkul erat.
Sang Tumenggung merasakan tubuhnya panas bergetar. Dalam penglihatannya si
nenek telah berubah menjadi seorang dara secantik bidadari.
Nyai
Tumbal Jiwo tertawa panjang ketika Tumenggung Wira Bumi balas memeluk lalu
dengan penuh nafsu membaringkannya di lantai goa.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas, giliranmu akan tiba…” Ucap si nenek yang tidak sempat lagi
terdengar oleh Tumenggung Wira Bumi akibat nafsu yang telah membakar sekujur
tubuhnya.
************************
Dua belas
purnama setelah bentrokan antara Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan Nyai Tumbal
Jiwo. Di tepi sebuah telaga di bagian timur puncak Gunung Gede, Nyi Retno asyik
bermain-main dengan boneka kayu yang dalam ketidakwarasannya menganggap sebagai
bayi atau anaknya. Sesekali terdengar suaranya tertawa senang.
Lain
ketika dia menyanyi-nyanyi kecil. Lalu sesekali dia meratap menangis.
Dari
bagian lain pinggiran telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah mendatangi.
“Nyi
Retno aku gembira melihat kau senang sekali pagi ini. Kau tertawa-tawa, kau
menyanyi. Apakah kau sudah memberi makan anakmu yang lucu itu?”
“Kiai,”
ucap Nyi Retno yang saat itu rambut, tubuh dan pakaiannya kelihatan bersih.
Badannya tampak jauh lebih gemuk berisi dibanding pertama kali Kiai Gede Tapa
Pamungkas membawanya ke tempat itu setahun lalu.
Kulitnya
bersih dan lebih putih. “Untung kau memberi ingat! Pagi ini aku memang belum
memberinya makan. Ibu macam apa aku ini. Ah, kasihan anakku…”
Dari
sebuah kantong kain yang tergantung di punggungnya Nyi Retno mengeluarkan
sendok kayu. “Anak, ayo makan dulu. Makan yang banyak agar kau gemuk dan sehat.”
Nyi Retno lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya yang memegang sendok seolah
tengah mengaduk makanan. Lalu sendok itu didekatkannya ke mulut boneka kayu.
Demikian dilakukannya berulang-ulang. “Makan yang banyak. Biar gemuk dan
sehat,” katanya setiap kali dia membuat gerakan seperti menyuapi.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas memperhatikan dengan perasaan haru. Dia mampu memberi kesembuhan
pada sosok lahir perempuan yang usianya belum mencapai tujuhbelas tahun itu.
Dia mampu mewariskan beberapa ilmu kesaktian. Namun ada satu hal yang sangat
dirisaukannya. Walau Nyi Retno nampak patuh dan selalu memperhatikan apa yang
diucapkannya, namun dia tak pernah mampu mengembalikan jalan pikiran Nyi Retno
Mantili kembali waras seperti semula.
“Nyi
Retno, sudah berapa usia anakmu sekarang?” bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kalau
aku tidak salah menghitung sudah satu tahun. Eh, apa iya? Nah, mana tua anakku
dengan Kiai?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. “Anak, sudah satu tahun kau masih belum memberinya
nama…”
Nyi Retno
menatap sang Kiai lalu memandang boneka kayu sambil usap-usap kepalanya.
Wajahnya tampak sedih. Air mata mengucur membasahi pipi.
“Kiai,
aku memang sudah menyiapkan sebuah nama untuk anakku ini. Tapi takut nanti
ayahnya tidak setuju. Aku pikir biar ketemu ayahnya dulu. Cuma aku tidak tahu
di mana mencari ayah anakku ini.”
“Kalau
kau memang sudah punya calon nama, ya sudah disebut saja. Soal apakah ayahnya
nanti setuju apa tidak, biar itu urusan nanti. Nyi Retno, siapa nama yang sudah
kau siapkan itu?”
“Mmmm…
Kemuning.” Jawab Nyi Retno Mantili pula.
“Singkat
tapi bagus.”
“Sejak
kecil aku suka pohon kemuning. Buahnya bisa dipakai untuk mengkilapkan kuku.”
“Mulai
hari ini kita akan memanggil anak itu Kemuning.
Nama
bagus, nama bagus…”
Nyi Retno
angkat boneka yang dipegangnya tinggi-tinggi lalu menciumnya berulang kali.
Lalu dia berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai,
kau pernah bilang. Satu ketika aku boleh meninggalkan tempat ini. Kapan? Hari
ini, besok, lusa…?”
“Sebetulnya
aku tetap ingin kau berada di sini sampai keadaan di luar benar-benar aman
bagimu dan puteri kecilmu itu.”
“Aman
bagaimana Kiai? Apa masih ada orang jahat yang ingin membunuhku? Nenek rambut
merah yang di sungai dulu? Aku tidak takut.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas memandang wajah Nyi Retno penuh kagum. “Ternyata ingatannya ke
masa lampau masih cukup jernih. Semoga Tuhan memberi kesembuhan padanya…”
“Kiai,
bukankah Kiai telah membekali diriku dengan berbagai ilmu kesaktian? Selain itu
ke mana aku pergi bukankah Kiai akan mengikuti, menjagaiku, melindungi anakku.
Kau harus menganggap anak ini sebagai cucumu, Kiai!”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil mengusap kepala Nyi Retno orang tua ini
berkata. “Tentu saja. Tentu saja anakmu itu sudah kuanggap cucu sendiri. Namun
aku tidak mungkin selalu ada bersamamu…”
“Kalau
begitu aku boleh pergi sendiri ke mana aku suka. Aduh, senangnya…” Nyi Retno
Mantili tertawa girang, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
“Belum
saatnya Nyi Retno. Tunggulah beberapa lama lagi,” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas
dengan hati masgul.
“Kiai,
kau jahat! Kau pembohong! Aku benci padamu!” ucap Nyi Retno lalu lari ke dekat
pohon.
Si orang
tua mendatanginya, membujuk sambil membelai rambutnya. Dia sering mengusap
kepala dan membelai rambut Nyi Retno sambil mengerahkan hawa sakti. Maksudnya
untuk memberi kesembuhan, agar pikiran Nyi Retno kembali waras. Namun
kesembuhan itu tidak kunjung datang.
“Nyi
Retno, aku akan masuk ke dalam telaga sebentar. Tunggu di sini.”
“Ya, aku
akan tunggu di sini. Anakku mulai rewel. Mungkin dia haus…” Jawab Nyi Retno
Mantili.
Begitu si
orang tua beranjak dari hadapannya, dia buka pakaiannya di bagian atas lalu
dekatkan bibir boneka ke dadanya.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas melangkah ke arah telaga yang airnya selalu bergemericik seolah
mendidih. Sampai di tepi telaga dia tidak berhenti melainkan terus saja
berjalan. Luar biasa! Ternyata kakek ini mampu berjalan di atas air! Tepat di
tengah telaga tiba-tiba besss! Sosok si orang tua raib ke dalam telaga. Air
telaga muncrat sampai setinggi dua tombak. Tak selang berapa lama Kiai Gede
Tapa Pamungkas muncul keluar dari dalam telaga. Di tangannya dia membawa sebuah
benda bergulung seperti sabuk. Benda ini bukan lain adalah Pedang Naga Suci
212.
Seperti
diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, episode berjudul “Kematian
Kedua”, senjata sakti ini muncul di atas perut Puti Andini alias Yang Mulia Sri
Paduka Ratu yang saat itu telah menemui kematiannya yang kedua. Pendekar 212
Wiro Sableng coba mengambil namun dia kedahuluan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang
mendadak muncul di tempat itu. Selaku pemilik pedang dia mengambil senjata
tersebut dan menyimpan sampai ada seseorang yang layak memegangnya. Agaknya
hari itu Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa telah menemukan orang yang cocok untuk
diserahi pedang mustika itu. Yaitu Nyi Retno Mantili. Namun darah orang tua ini
agak berdesir ketika melihat Nyi Retno Mantili tak ada lagi di bawah pohon di
tepi telaga. Hatinya jadi tidak enak. Dia berteriak memanggil berulang kali.
Tak ada jawaban. Seluruh kawasan timur puncak Gunung Gede diselidiki. Nyi Retno
Mantili raib tanpa bekas.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas kembali ke telaga. Duduk di bawah pohon di mana Nyi Retno
terakhir kali duduk menyusukan anaknya. Gulungan Pedang Naga Suci 212
diletakkan di haribaan.
“Ilmu Di
Dalam Kabut Mengunci Diri. Dia pasti pergunakan ilmu yang aku ajarkan itu untuk
kabur dan menghilang…” Sang Kiai tarik nafas dalam. Lama orang sakti ini
tercenung. Kemudian senyum menyeruak di bibirnya. “Kalau benar dia menggunakan
ilmu itu untuk menghindari kejaranku, berarti lagi-lagi satu kenyataan bahwa
otak dan jalan pikirannya masih memiliki bagianbagian kewajaran.” Kiai Gede
Tapa Pamungkas memang sengaja mengajarkan ilmu kesaktian untuk melenyapkan diri
itu pada Nyi Retno agar dapat melindungi diri bila sewaktu-waktu ada orang
hendak berbuat jahat terhadapnya. Kini ilmu itu justru dipergunakan untuk
menyiasati dirinya. Orang tua ini mengusap janggut panjangnya berulang kali
sementara rambut putih menjulai menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu tampak tersenyum
kembali.
“Kalau
dia ingat akan ilmu itu lalu mempergunakannya, berarti ada jalan pikiran serta
kesadaran dalam benaknya.
Ya Tuhan,
lindungilah anak itu ke manapun dia pergi…”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas pejamkan mata. Belum berapa lama mata itu terpejam mendadak
telinganya mendengar suara derap banyak kaki kuda dipacu mendatangi ke arah
telaga.
*********************
7
WALAU
sepasang mata tertutup namun karena memiliki kesaktian tinggi sulit dijajagi,
Kiai Gede Tapa Pamungkas dapat menduga berapa orang saja yang datang dan berada
di sekitar pohon besar di bawah mana dia duduk bersandar. Lima orang penunggang
kuda berada dalam satu kelompok. Orang keenam, juga menunggang kuda berhenti di
depan kelompok lima orang. Kiai Gede Tapa Pamungkas terus saja picingkan mata.
“Orang
tua, aku sudah tahu kau tidak tidur. Jadi tidak perlu berpura-pura,” satu suara
besar dan keras memecah kesunyian di tepi telaga.
Mendengar
teguran orang, Kiai Gede Tapa Pamungkas segera maklum kalau yang barusan bicara
adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia juga merasakan dari
nada suara itu yang bicara berada dalam ketidaksabaran, dan memandang penuh
kebencian padanya.
Maka
tanpa bergerak dan buka kedua mata, Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
“Tiada
yang sangat memalukan dalam hidup ini selain kepura-puraan. Tamu gagah,
berpakaian kebesaran Kerajaan, yang baru datang dari jauh bersama lima
pengiring, kadang-kadang beban hati dan pikiran membuat seseorang hanya bisa
memejamkan mata. Sebaliknya ada orang yang beban hati dan pikiran yang selalu
menghantui dirinya membuat dia tak bisa memicingkan mata. Kedua orang itu tidak
menjalankan kepura-puraan. Contohnya kau dan aku saat ini. Tamu gagah dengan
hiasan bintang tersemat di belangkon warna biru, jika ucapanku tadi keliru
harap jangan diambil hati.”
Penunggang
kuda di sebelah depan dan lima pengiring jadi terkesiap dan tatap wajah si
orang tua lekat-lekat.
Hatinya
berucap, “Sungguh luar biasa. Matanya dalam keadaan terpejam. Tapi tahu kalau
aku mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan, diantar oleh lima pengawal.
Tahu
warna belangkonku. Tahu pula hiasan bintang perak yang tersemat di belangkonku.
Tidak bisa tidak. Dia memang orang yang aku cari. Ciri-cirinya sesuai dengan
yang dikatakan Nyai.”
“Orang
tua, aku senang kau mengetahui aku datang dari jauh, bisa menduga siapa diriku.
Apakah engkau yang dipanggil orang dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas?”
“Tamu
dari jauh, jika kau datang untuk mencariku, aku mengucapkan selamat datang di
puncak Gunung Gede.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas ambil benda bergulung di atas pangkuannya, buka kedua mata lalu
berdiri. Dia kini melihat jelas si penunggang kuda bersama lima pengiringnya.
Keadaan mereka tidak berbeda dengan apa yang tadi diucapkannya dengan mata
terpejam. Sang Kiai sudah bisa menduga siapa adanya tamu yang datang bersama
lima pengawal ini.
Begitu
mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas lelaki bertubuh besar, berpakaian
mewah dengan belangkon biru di atas kepala membuat gerakan sangat enteng.
Kalau
tadi dia masih berada di punggung kuda maka kini hanya sekejapan mata saja dia
sudah berdiri di hadapan sang Kiai. Keluarbiasaan ini tentu saja tidak lepas
dari perhatian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Orang
gagah, jarang sekali tamu berkunjung ke tempat ini. Kedatanganmu tentu membawa
satu hal penting.
Harap kau
suka memberi tahu. Selain itu apakah kau tidak ingin memperkenalkan diri lebih
dulu?”
“Namaku
Wira Bumi. Aku Bendahara Kerajaan…”
“Ah,
tidak sangka hari ini aku mendapat kehormatan dikunjungi seorang petinggi
Kerajaan. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah jabatan itu belum selang
berapa lama dipercayakan pada Yang Mulia?”
Kening
Bendahara Wira Bumi yang sebelumnya adalah Tumenggung tampak mengerenyit.
Ucapan orang dirasakannya mulai menyinggung, tidak enak. Namun karena punya
kepentingan Wira Bumi terpaksa menahan diri dan bertanya. “Orang tua, bagaimana
kau tahu kalau aku baru saja memangku jabatan itu?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. “Lekuk belangkon biru Yang Mulia masih bagus. Hiasan
bintang perak tampak berkilat. Kelepak pakaian Yang Mulia sangat rapi.
Kalau aku
salah menduga harap dimaafkan.” Wira Bumi balas tersenyum.
“Sebagai
yang punya tempat, kalau memang ada yang hendak dibicarakan, aku mengundang
Yang Mulia Bendahara untuk duduk bicara di sawung sebelah sana.”
Wira Bumi
perhatikan sebuah bangunan kecil tanpa dinding di pinggir timur telaga yang
dikatakan si orang tua.
“Aku
lebih suka kita bicara di sini saja.” kata Wira Bumi yang dulu Tumenggung dan
kini jabatannya telah naik setingkat Bendahara Kerajaan.
“Dengan
senang hati. Katakanlah maksud kedatangan Yang Mulia,” ujar Kiai Gede Tapa
Pamungkas pula.
“Aku
mencari seorang perempuan. Masih teramat muda. Usianya belum mencapai
tujuhbelasan. Namanya Nyi Retno Mantili. Dikabarkan selama ini dia berada di
tempat ini bersamamu.”
“Nyi
Retno Mantili,” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengulang menyebut nama itu.
“Kabar yang didapat Yang Mulia benar sekali adanya. Hanya sayang, saat ini Nyi
Retno Mantili sudah tidak ada lagi di sini.”
“Kiai,
apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya Wira Bumi. Dia menatap tajam-tajam ke
wajah sang Kiai yang sebagian tertutup rambut panjang putih menjulai.
“Aku
memberitahu perempuan yang dicari tidak ada lagi di tempat ini.”
Wira Bumi
memandang seputar telaga, memperhatikan sawung lalu kembali berpaling pada
orang tua di depannya.
Pejabat
tinggi Kerajaan ini mulai merasa gusar. “Kiai, aku menaruh curiga kau berdusta
padaku.”
“Kedustaan
adalah permainan setan. Aku tidak suka dengan setan. Berarti aku tidak
berdusta. Nyi Retno Mantili pergi hanya beberapa saat sebelum Yang Mulia dan
para pengiring muncul di tempat ini.”
“Dia
pergi dengan siapa? Sendirian?”
“Dia
pergi bersama Kemuning,” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kemuning?
Siapa Kemuning?” tanya Wira Bumi dengan muka berubah dan dada bergetar.
“Puterinya
yang berumur satu tahun…”
Perubahan
dan bahkan rasa terkejut kelihatan tambah jelas pada wajah Wira Bumi.
“Yang
Mulia Bendahara, kau tak usah terkejut. Anak satu tahun bernama Kemuning itu
hanyalah sebuah boneka kayu yang manis, tapi sangat disayang oleh Nyi Retno
seperti anak sungguhan.”
“Kiai,
aku merasa kau tengah mempermainkan diriku. Nyi Retno Mantili mempunyai seorang
anak perempuan, manusia hidup, bukan boneka kayu!” kata Wira Bumi.
Rahangnya
menggembung. Pelipis bergerak-gerak. “Kiai, harap kau mau menceritakan
bagaimana Nyi Retno bisa berada di tempat ini.
Dengan
tenang dan sambil tersenyum Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Kau bisa muncul
di tempat ini, tentu ada yang memberi petunjuk. Apakah masih perlu aku memberi
keterangan? Bukankah makhluk roh sesat bernama Nyai Tumbal Jiwo itu yang telah
memberi tahu pada Yang Mulia Bendahara?”
Tampang
Wira Bumi tampak menjadi merah. Sekali lagi dia memandang ke arah keliling
telaga dan sawung.
Kemudian
berpaling pada lima pengawal dan memberi perintah. “Periksa sekeliling telaga.
Termasuk sawung itu.
Selidiki
kalau ada jalan atau tempat rahasia. Jika kalian tidak menemukan apa-apa bakar
sawung itu!”
Dua alis
Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas. Orang tua ini hanya tersenyum mendengar
perintah yang diucapkan Wira Bumi. Dia tidak mengatakan sesuatu atau berusaha
mencegah. Tenang saja dia memperhatikan lima pengawal sang pejabat tinggi
Kerajaan memeriksa kawasan telaga. Orang tua ini masih tetap tak bergerak di
tempatnya ketika para pengawal mulai membakar sawung.
Dalam
waktu singkat bangunan di tepi telaga yang terbuat dari kayu yang telah lapuk
itu lumat tak berbentuk lagi.
“Kasihan,
bangunan tempat aku bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa
kini telah menjadi debu.” Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas cukup keras dan
terdengar oleh Wira Bumi.
Bendahara
Kerajaan ini melangkah ke hadapan si orang tua. “Kiai, katakan di mana kau
menyembunyikan Nyi Retno dan puterinya!”
“Agaknya
Yang Mulia Bendahara tadi kurang mendengar dan memperhatikan. Bukankah aku
sudah menerangkan bahwa Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat ini bersama
puterinya yang boneka itu hanya beberapa ketika sebelum Yang Mulia datang ke
tempat ini.”
“Aku
tidak perlu keterangan tentang boneka jahanam itu! Aku menanyakan Nyi Retno
Mantili dan anak perempuannya!” teriak Wira Bumi.
“Yang
Mulia, aku sudah memberi keterangan yang aku tahu. Jangan keliwat memaksa karena
aku tidak berdusta…”
“Cukup!”
hardik Wira Bumi. Dia berpaling pada lima orang pengawalnya. “Pengawal! Tangkap
orang tua ini! Kalau melawan bunuh!”
“Aahh…”
Sang Kiai rangkapkan dua tangan di depan dada. “Seorang pejabat tinggi
Kerajaan, yang punya kekuasaan, begitu mudahnyakah menyuruh menangkap bahkan
membunuh orang tua sepertiku?”
Walau
ucapannya menyindir namun wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas dihiasi senyum.
Lima
pengawal yang rata-rata bertubuh tinggi besar segera mengepung Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sang Kiai menyambut dengan ucapan, “Aku tahu kalian hanya
menjalankan perintah. Karena itu aku tidak akan berlaku kasar.” Habis berkata
begitu sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat ke atas hingga orang-orang yang
hendak meringkusnya hanya menangkap udara kosong.
Kelima
pengawal ini, termasuk Wira Bumi melihat bagaimana tubuh orang tua sakti itu
melayang di udara, turun di telaga dan berjalan di permukaan air!
“Tua
bangka sombong! Kau kira aku takut dengan peragaan ilmu kesaktianmu itu!” Kata
Wira Bumi. Sekali melesat tahu-tahu dia telah berada dan berdiri pula di atas
air telaga, menghadang langkah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Seperti
telah diketahui, setelah bersemedi di Goa Girijati untuk mendapatkan ilmu
kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, salah satu ilmu yang diperoleh Wira Bumi
adalah ilmu berdiri dan berjalan di atas air yang disebut Kaki Roh Melanglang
Air. Kalau ilmu ini dipergunakan untuk berlari, maka kecepatan larinya di atas
rata-rata ilmu lari lain yang ada di rimba persilatan ataupun ilmu lari yang disebut
Seribu Kaki Menipu Jarak milik seorang sakti berjuluk Si Katai Bisu dan telah
lama menemui kematian. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Rahasia Lukisan
Telanjang” ).
Kalau
lima pengawal Wira Bumi terkagum-kagum melihat kehebatan pimpinan mereka, tidak
demikian halnya dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dengan tenang dan masih penuh
hormat dia berkata, “Yang Mulia, tak sengaja kau berdiri tepat di tengah
telaga. Tempat itu adalah alur jalanku masuk menuju kediamanku di dalam telaga.
Aku mohon kau beranjak dari situ.”
Wira Bumi
tertawa. “Kau takut menabrakku, Kiai? Aku tak akan menyingkir dari tempat ini
sebelum kau memberi tahu di mana Nyi Retno Mantili dan puterinya kau
sembunyikan. Selain itu ada satu persoalan yang harus kau pertanggungjawabkan.
Kau telah berlaku kurang ajar terhadap guruku. Kau telah berani meraba aurat
terlarangnya!”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelenggeleng kepala. “Kalau di darat aku bicara
kau tak percaya, mari kita bicara di dalam air. Udara di atas sini agak panas.
Di dalam
air suasananya penuh kesejukan,” kata Kiai penghuni telaga di puncak timur
Gunung Gede itu.
Wira Bumi
sembunyikan rasa terkejutnya mendengar ucapan sang Kiai. Tantangan orang tua
itu tak mungkin dilayaninya. Walau dia mampu berdiri dan berjalan di atas air,
tapi masuk ke dalam air untuk bicara berlama-lama dia tidak mempunyai ilmu
kepandaian karena memang tidak dimiliki dan tidak diajari oleh Nyai Tumbal
Jiwo. Karenanya, ketika dua kaki Kiai Gede Tapa Pamungkas meliuk masuk ke dalam
air telaga, dengan cepat Wira Bumi melesat di permukaan air. Kaki sebelah kanan
menendang ke arah dada si orang tua.
Tendangan
kaki Wira Bumi datangnya lebih cepat dari gerak meluncur tubuh Kiai Gede Tapa
Pamungkas ke dalam air. Wira Bumi menyeringai karena sesaat lagi tendangannya
pasti akan menghancur remuk bahkan bisa membunuh Sang Kiai. Namun dengan tenang
lawan dilihatnya angkat tangan kiri. Telapak dikembang ke arah datangnya
tendangan. Saat itu juga Wira Bumi merasa ada satu kekuatan dengan daya dorong
luar biasa menghan tam ke arah kaki kanannya yang menendang. Bendahara Kerajaan
ini berteriak keras ketika merasa kaki kanannya seolah kaku, tak bisa
digerakkan lagi! Cepat dia kerahkan hawa sakti. Begitu kepala sang Kiai hampir
lenyap dari permukaan air telaga, Wira Bumi menghantam dengan satu tendangan
lagi, kali ini dengan kaki kiri.
Serangan
Wira Bumi kalah cepat dengan gerakan masuknya sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas ke
dalam air.
Tiba-tiba
Bendahara Kerajaan ini merasa ada tangan yang mencekal pergelangan kaki kirinya.
Sebelum dia bisa membebaskan diri tahu-tahu kakinya dibetot keras sekali.
Tak ampun
pejabat tinggi ini amblas masuk ke dalam telaga!
Di dalam
air, Wira Bumi berusaha lepaskan kakinya dari cekalan Kiai Gede Tapa Pamungkas
sambil tangan kanan melepaskan pukulan sakti bernama Angin Roh Pengantar
Kematian. Ilmu ini adalah salah satu dari sekian banyak yang didapat Wira Bumi
dari Nyai Tumbal Jiwo. Air telaga menggemuruh seolah ada benda raksasa
menggelinding dan berubah panas.
Di bagian
bawah air telaga bersibak hebat. Di sebelah atas air muncrat sampai setinggi
dua tombak. Untuk beberapa saat telaga dan kawasan seanteronya bergetar seperti
digoyang gempa.
“Luar
biasa,” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam hati. “Manusia satu ini telah
menguasai ilmu kesaktian perempuan alam roh itu cepat sekali.” Sang Kiai segera
dorongkan tangan kanan ke atas sementara tangan kiri masih mencekal pergelangan
kaki Wira Bumi. Bendahara Kerajaan ini terkejut besar ketika suara
menggelinding membalik ke arahnya. Tubuhnya serta-merta menjadi panas. Selain
itu nafasnya mulai megap-megap karena memang dia tidak punya kekuatan atau ilmu
bertahan lama dalam air. Tekanan udara panas yang begitu kuat membuat
perlahan-lahan darah mulai mengucur dari telinga dan hidung. Pemandangan mata mulai
menggelap dan air mulai masuk ke dalam mulut.
“Wira
Bumi, ini satu peringatan bagimu. Jika kau masih berani unjukkan diri di
kawasan ini atau berani mencelakai Nyi Retno Mantili, aku akan membuat dirimu
masuk liang kubur bersatu dengan gurumu Nyai Tumbal Jiwo! Sekarang pergilah!”
Wira Bumi
mendengar suara mengiang di telinganya.
Cekalan
pada pergelangan kaki kiri lepas. Tubuhnya melesat ke atas permukaan air
telaga. Begitulah keadaannya. Kekuatan roh yang sangat ganas dan dahsyat di
permukaan bumi pada umumnya tidak punya daya di dalam air.
Setelah
keluarkan ancaman Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tak punya niat memperpanjang
urusan apalagi niat jahat untuk membunuh segera melepaskan cekalannya di kaki
orang. Sosok Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan naik mengapung ke
atas.
Lima
orang pengawal berseru kaget ketika tadi melihat sosok atasan mereka lenyap
masuk ke dalam air. Tiga di antara mereka yang pandai berenang siap terjun ke
dalam telaga. Namun niat itu menjadi batal sewaktu menyaksikan munculnya sosok
Wira Bumi yang kemudian mengapung di permukaan air. Sebagian muka dan kepalanya
tertutup darah. Tiga pegawal segera mencebur masuk ke dalam air lalu berenang
membawa tubuh Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan di tepi telaga.
*********************
8
ATAP
tangis menyayat hati yang keluar dari rumah kayu berdinding kajang di pinggir
ladang membuat seseorang yang tengah berkelebat laksana terbang hentikan lari.
Saat itu hujan turun rintik-rintik. Orang ini tegak membelakangi serumpun pohon
bambu, mengena kan baju menyerupai kebaya panjang selutut dan celana ringkas.
Baik baju maupun celana sama terbuat dari bahan bagus dan berwarna biru gelap.
Sesaat orang ini mendongak ke langit lalu menatap ke arah pintu rumah kayu yang
terpentang. Rambut panjang hitam kusut masai menjela sepinggang. Ratapan itu,
ada dua orang yang meratap. Dia bisa merasakan. Ada satu malapetaka besar
menimpa penghuni rumah kayu.
Sang
surya belum lama tenggelam. Udara yang buruk membuat kegelapan yang datang
lebih cepat menyelimuti kawasan desa pertanian di mana rumah kayu itu berada.
Memperhatikan
ke arah rumah kayu, melihat pintu yang terpentang lebar, orang berpakaian biru
segera mendatangi. Langkahnya langsung terhenti ketika dia sampai di ambang
pintu rumah.
Seorang
gadis kecil berusia sekitar delapan tahun tenggelam dalam pelukan seorang
perempuan separuh baya yang menangis menggerung-gerung. Anak perempuan ini
nyaris tidak berpakaian dan ada noda darah di kepala, bahu serta perutnya.
Sekali memperhatikan saja orang berpakaian serba biru di ambang pintu sudah
maklum kalau anak perempuan itu tidak bernyawa lagi.
Di atas
sebuah ranjang kayu beralas tikar, terbujur seorang gadis. Lehernya ke bawah
tertutup sehelai kain.
Hanya
wajahnya yang tersembul kelihatan. Wajah ini penuh tanda siksaan, luka dan noda
darah. Seorang lelaki berambut putih memeluki dan meratapi si gadis yang
seperti gadis kecil satunya, sudah menjadi mayat.
Jerit
tangis suami istri petani di dalam rumah kayu membuat tetangga terdekat datang
berlarian. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah karena di pintu
terhalang oleh sosok orang berpakaian biru bagus yang ternyata adalah seorang
nenek bermuka putih pucat dan tidak satu orangpun mengenal siapa dia adanya.
“Bu-ne
Pipit, apa yang terjadi?” seorang tetangga perempuan bertanya sambil ulurkan
kepala coba melihat ke dalam rumah.
Perempuan
yang ditanya tidak menjawab, terus saja meratapi anak perempuan delapan tahun
yang ada dalam pelukannya.
“Suami
istri petani, ada kejadian apa di rumah ini?”
Nenek
berpakaian biru bagus keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan. Suaranya perlahan
tapi jelas.
Suami
istri petani Kartosumekto kenal baik dengan semua tetangga. Saking dekatnya
mereka sampai tahu dan mengenali suara masing-masing. Kali ini mendengar suara
orang yang mereka tidak kenal, istri petani angkat wajahnya sedikit, menatap ke
arah nenek di ambang pintu lalu menangis kembali. Sang suami, lelaki berambut
putih juga angkat kepala, memandang ke arah si nenek. Agak lama dia memandangi
sebelum membuka mulut, berucap dengan suara lirih.
“Nenek
muka putih, aku tidak kenal kau. Kau bukan penduduk sini. Siapa…?”
“Aku
seorang pengelana Hamba Tuhan yang kebetulan lewat di sini. Aku mendengar suara
orang meratap. Siapa tahu aku bisa menolong…”
Mendengar
ucapan nenek tak dikenal di ambang pintu, suami istri petani menggerung keras.
Dalam musibah yang sudah jatuh menimpa apa artinya lagi pertolongan?
Pertolongan
macam apapun tidak akan membuat kedua anak gadis yang mereka cintai bisa hidup
kembali.
“Tidak
mungkin. Semua sudah terjadi. Dua anakku sudah jadi korban!” Kartosumekto
berkata setengah berteriak lalu kembali menggerung.
“Tenang,
sabarkan hatimu, kuatkan iman. Tawakal kepada Tuhan…”
“Kami
petani miskin. Selama ini tidak pernah lupa Tuhan! Tapi mengapa Gusti Allah
menjatuhkan percobaan begini berat, yang kami tidak bisa menanggungnya. Apa
dosa kesalahan kami?!”
Nenek
berpakaian biru berambut awut-awutan tampak terdiam mendengar ratapan si
petani. Wajahnya yang putih pucat seperti membeku. “Bapak, tolong ceritakan apa
yang terjadi dengan dua anakmu.”
“Mereka
diperkosa lalu dibunuh!”
Kepala si
nenek terangkat, wajah kaku membesi. Penduduk yang ada di depan rumah tampak
kaget dan takut.
“Kau tahu
siapa pelakunya?” perempuan tua di ambang pintu ajukan pertanyaan.
“Siapa
lagi kalau bukan makhluk bernama Hantu Pemerkosa!”
Semua
tetangga yang berada di tempat itu menjadi geger. Wajah mereka tambah
menunjukkan rasa takut amat sangat. Terlebih mereka yang punya anak gadis. Satu
per satu mereka tinggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing.
“Hantu
Pemerkosa…” Nenek berpakaian biru mengulang dalam hati. “Ini kali kedua aku
mendengar nama itu. Apa benar ada hantu yang bisa memperkosa?”
“Bapak,”
si nenek dekati tempat tidur, “Kau melihat perwujudan Hantu Pemerkosa itu?”
Si petani
menggeleng. “Ketika aku kembali ke rumah malam ini, dua anak perempuanku sudah
tewas. Sebelumnya sudah ada seorang gadis di desa ini yang juga diperkosa dan
dibunuh.”
“Kalau
makhluk itu dijuluki Hantu Pemerkosa pasti ujudnya mengerikan. Pasti ada yang
pernah melihat wajahnya. Aku harus menyelidik sebelum dia lari jauh.”
Kata
nenek baju biru muka putih dalam hati.
“Bapak,
aku turut berduka atas musibah yang kau alami. Sedikit pemberian ini mungkin
bisa membantu meringankan bebanmu.” Si nenek lalu letakkan sekeping uang perak
di atas ranjang.
“Nenek,
kau… kau ini siapa?” tanya Kartosumekto.
Namun
perempuan tua berpakaian bagus biru itu telah berkelebat lenyap. Di luar rumah
hujan rintik-rintik mulai berubah menjadi lebat.
************************
Pagi itu
udara segar dan cerah sekali. Langit nyaris tak berawan. Bahkan sang surya
terasa nyaman menyentuh permukaan kulit. Setan Ngompol berjalan mengikuti Wiro
sambil mengomel.
“Hampir
seratus hari kita malang-melintang kian kemari mencari gadis berambut pirang
itu. Jauh-jauh berada di sini sekarang kau ingin kita kembali ke jurang yang
ada air terjunnya itu. Mengapa? Bukankah kau sudah menyelidik sampai ke dasar
jurang dan kau tidak menemukan manusia atau setan sekalipun di tempat itu.”
“Kek, aku
punya perasaan aneh.” jawab Pendekar 212.
“Walau
aku sudah masuk ke dasar jurang, menyelidik dengan mempergunakan ilmu Meraga
Sukma segala, aku memang tidak menemukan gadis yang kita cari. Namun…”
“Namun
apa?” ujar Setan Ngompol dengan mulut dimonyongkan. “Apa kau tidak melihat
kemungkinan.
Keterangan
serta tanda-tanda yang diberikan Wulan Srindi pada kita mengenai Bidadari Angin
Timur bisa saja berlainan dengan kejadian sebenarnya. Melihat bagaimana
kecintaannya padamu, keinginannya menjadi murid Dewa Tuak serta perseteruan
diam-diam antara dia dan Bidadari Angin Timur, bisa saja Wulan Srindi mengarang
cerita.
Siapa
tahu Bidadari Angin Timur memang tidak berada di dalam jurang yang ada air
terjunnya itu. Dia sengaja membuat cerita untuk menarik perhatianmu. Agar dia
bisa dekat denganmu.”
Wiro jadi
garuk-garuk kepala mendengar kata-kata si kakek.
“Dengar
anak sableng,” Setan Ngompol lanjutkan ucapan. “Aku tidak mau ikut kamu
jauh-jauh pergi ke jurang itu kembali.”
“Kalau
begitu kita berpisah di sini,” kata Wiro pula yang membuat kakek tukang ngompol
itu terdiam sambil pegangi perut menahan kencing.
Melihat
orang bimbang Wiro tersenyum. “Sebenarnya kalau ada Ratu Duyung kita bisa
meminta bantuannya.”
“Bantuan
bagaimana?” tanya Setan Ngompol pula.
“Ilmu
Menembus Pandang yang diberikannya padaku, ilmu Meraga Sukma yang aku dapat
dari Nyi Roro Manggut tidak mampu menjajagi di mana beradanya Bidadari Angin
Timur. Ratu Duyung masih punya dua ilmu lagi yang bisa digunakan untuk
mengetahui ada tidaknya orang atau makhluk hidup di dalam jurang itu. Ilmu
pertama yakni mengandalkan cermin sakti bulat yang kau sudah pernah melihatnya.
Jika dengan cermin sakti itu masih tidak bisa tembus, maka dengan ilmu kedua
bernama Menyirap Detak Jantung pasti dia bisa mengetahui ada tidaknya makhluk
hidup di dalam jurang.”
“Gadis
cantik bermata biru itu…” ucap Setan Ngompol.
“Budinya
tinggi, hatinya baik. Aku ingat bagaimana dia pernah memberikan ilmu padaku
untuk bisa bertahan lama di dalam air.” Tiba-tiba si kakek hentikan langkahnya.
“Ada
apa?” tanya Wiro.
“Kita berdua
sudah jadi orang tolol! Kalau memang hanya Ratu Duyung yang mampu membantu,
mengapa kita tidak pergi mencarinya di pantai selatan?”
“Hal itu
memang ada dalam benakku. Tapi kejadian dia pergi begitu saja dengan berkata
dusta padamu bahwa penguasa pantai selatan meminta dia datang, terus terang aku
jadi tidak enak hati. Dia punya ganjalan tertentu terhadapku.”
“Di dalam
kesulitan begini rupa segala perasaan hati dan ganjalan tidak perlu dipikirkan.
Bukankah gurumu Sinto Gendeng pernah mengajarkan ujar-ujar jangan perasaan
mengacaukan pikiran? Kau tidak mau minta bantuan gadis alam roh bernama Bunga.
Kau tidak suka minta pertolongan Ratu Duyung. Sementara kau tidak mampu
melakukan semuanya seorang diri.”
“Pintarnya
kau ngomong!” tukas Wiro. “Apakah kau sendiri pernah mengatur jalan pikiran dan
perasaanmu? Kalau memang bisa mengapa kau ngompol terusterusan?!”
Setan
Ngompol tertawa mengekeh hingga kucurkan air kencing. “Apa hubungan antara
pikiran, perasaan dan ngompol! Kalau aku ngompol itu suka-sukaku sendiri.”
Wiro
tersenyum dan garuk-garuk kepala. Pada saat itulah mendadak ada suara orang
bernyanyi, suara perempuan.
Kemuning
jangan cengeng
Anak
kecil jangan menangis
Aku tahu
kau haus dan lapar
Sabar
jangan menangis
Sebentar
lagi pasti ada air
Sebentar
lagi pasti ada makanan
Ibu tahu
kau rindu pada kakekmu
Ibu tahu
kau kangen pada ayahmu
Kemuning
sabar jangan menangis
Ayahmu
memang jauh
Namun
satu saat kita pasti bertemu
Setan
Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng saling pandang. Si kakek tekap bagian
bawah perutnya. Memandang berkeliling dia berkata. “Setahuku kawasan ini tidak
ada demit atau jin pelayangan…”
“Jin atau
demit mana pandai bernyanyi,” kata Wiro.
“Kalau
memang manusia kita belum melihat orangnya.
Suaranya
seperti masih anak-anak. Jangan-jangan tuyul perempuan. Aduh aku jadi kepingin
kencing!” kata Setan Ngompol sambil cepat-cepat pegangi bagian bawah perutnya.
Serr! Kencingnya keburu muncrat!
“Datangnya
dari balik pohon besar yang menghadap ke lembah sana,” ucap Wiro. “Sebaiknya
kita teruskan saja perjalanan. Jangan mengganggu orang. Kalau jin dan demit
betulan mati kau dicekiknya, Kek!”
“Tunggu,
aku penasaran mau lihat bagaimana raut wajahnya, bagaimana sosok dirinya,” kata
Setan Ngompol pula. “Ayo kita jalan berputar agar bisa melihat dari samping
kanan.”
Wiro
terpaksa mengikuti maunya si kakek. Dari balik serumpun semak belukar lebat di
samping kanan pohon besar, Setan Ngompol dan Wiro melihat seorang perempuan
duduk sambil memangku sebuah boneka. Sementara menyanyi dia usap-usap kepala
boneka seperti mengusap anak sungguhan. Perempuan ini begitu mudanya hingga
seperti masih anak gadis belasan tahun.
“Wiro,”
bisik Setan Ngompol. “Melihat rambut yang awut-awutan kotor tak karuan, baju
dekil begitu rupa, wajah penuh debu, kaki tidak berkasut, menyanyi memangku
boneka, menurutmu apakah perempuan muda itu waras otaknya?”
“Aku
tidak bisa menduga. Kasihan sekali kalau semuda itu otaknya terganggu,” jawab
Wiro.
“Wiro!
Astaga. Lihat dia membuka bajunya. Dia mendekatkan kepala boneka kayu ke dada.
Seperti ibu mau menyusui anak. Oala putihnya…” Habis keluarkan ucapan, serrr!
Tidak tahan Setan Ngompol kucurkan air kencing.
Suara
Setan Ngompol yang memang agak keras sempat terdengar oleh perempuan muda di
bawah pohon yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili.
“Ssshhh,
anakku, ada orang,” ucapnya dan cepat-cepat merapatkan baju di sebelah dada
lalu bangkit berdiri.
Namun
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba satu sosok hitam tinggi besar mengerikan
berkelebat dan tegak di hadapannya. Nyi Retno Mantili terpekik, kaget dan takut
namun kemudian tertawa cekikikan.
Di balik
semak belukar, Wiro Sableng dalam kejutnya menatap terkesima tak berkesip.
Setan Ngompol terkencing-kencing. Tangan kiri menekap aurat sebelah bawah, tangan
kanan pegangi lengan Wiro.
*********************
9
ORANG
tinggi besar yang berdiri di depan Nyi Retno Mantili memiliki wajah mengerikan
seperti setan karena penuh cacat bekas guratan luka. Rambut kelabu awut-awutan
panjang sepundak. Pakaian sebentuk jubah panjang berwarna kelabu. Dua tangan
memakai sarung kain berwarna hitam. Sekujur tubuh orang ini tampak bergetar,
sepasang mata memandang berkilat, hembusan nafas memburu panas. Ada gelegak
niat jahat terkutuk menguasai dirinya yang saat itu ingin dilampiaskan.
“Kemuning,
jangan menangis. Aku tahu kau takut pada setan di depanmu. Aneh siang terang
begini rupa ada setan kesasar.” Nyi Retno usap-usap dada boneka kayu lalu
meneruskan gerakannya hendak berdiri yang tadi tertahan. Namun si muka setan
ulurkan tangan menekan bahu kiri Nyi Retno Mantili.
“Anakku,
setan ini rupanya hendak berbuat jahat pada kita.” kata Nyi Retno lalu tertawa
cekikikan. Sekali dia goyangkan bahu, tangan kiri yang ada di pundaknya
terpental ke atas. Orang di hadapan Nyi Retno tersurut satu langkah, dalam hati
merasa terkejut. Sentakan yang dibuat perempuan berotak tidak waras itu
mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Ketika
orang mundur satu langkah, kesempatan ini dipergunakan Nyi Retno Mantili untuk
segera berdiri. Dia tegak dengan tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri
memegang boneka kayu, diarahkan pada orang di depannya. Seolah boneka itu
adalah senjata atau tameng pelindungnya.
“Kelihatan
seperti gila, tapi berbahaya. Di balik debu yang mengotori mukanya ada satu
wajah cantik. Hmmm… ada satu kenikmatan aneh luar biasa kalau aku bisa
melampiaskan nafsuku yang terpendam selama ini!
Dengan
yang sudah-sudah aku tidak mampu. Melihat yang satu ini hasratku menyala luar
biasa. Siapa bilang aku kehilangan kejantanan! Kesembuhan telah datang atas diriku.”
Sekujur tubuh orang ini kembali bergetar keras.
Hembusan
nafasnya semakin kencang dan panas.
“Nama
anakmu Kemuning? Nama bagus. Aku terharu mendengar nyanyianmu tadi. Bolehkah
aku menggendong anakmu barang sebentar?”
Nyi Retno
Mantili tertawa geli. “Ada setan punya perasaan. Mau menggendong anakku. Hik…
hik… hik!
Siapa
tahu kau setan penculik!” Lalu perempuan ini membentak. “Pergi, jangan berani
mendekat!”
Orang
bermuka seram malah melangkah mendekati dan ulurkan tangan. Gerakannya seperti
hendak mengambil boneka kayu namun tiba-tiba plaakk! Tangannya yang terulur
daratkan satu tamparan keras ke pipi Nyi Retno. Perempuan ini terpekik.
Tubuhnya melintir lalu terbanting, jatuh terlentang di tanah. Darah mengucur di
sudut bibir. Boneka kayu masih ada dalam genggaman tangan kiri. Walau sakit
yang diderita bukan alang kepalang namun Nyi Retno malah sunggingkan senyum.
Getaran di tubuh orang bertopeng semakin menjadi-jadi.
Dalam
pada itu dia merasa heran. Orang lain pasti cidera berat dan pingsan dihajar
tamparannya. Namun perempuan tidak waras bertubuh kecil ini ternyata mempunyai
daya tahan kuat sekali. Tiba-tiba orang ini menyergap kembali. Tangannya
bergerak. Breett! Nyi Retno tak sempat menghindar. Dada pakaiannya robek besar.
Auratnya tersingkap. Perempuan ini menjerit keras.
Di balik
semak belukar Wiro pegang bahu Setan Ngompol. “Kita tidak bisa tinggal diam.
Makhluk jahanam itu jelas hendak memperkosa perempuan gila yang memegang
boneka!”
Setan
Ngompol yang sibuk pegangi bagian bawah perut sebaliknya berkata. “Tunggu, aku
punya firasat jahanam itu tidak bakal mampu melaksanakan niat jahatnya. Selain
itu aku melihat ada orang sembunyi di balik pohon besar sana. Kita jangan
keluar dulu…”
Orang
berwajah setan kembali ulurkan tangan. Kali ini yang diincar adalah pakaian
sebelah bawah Nyi Retno.
Rahang
menggembung, geraham bergemeletakan. Saat itulah tiba-tiba tubuh Nyi Retno
mencelat ke atas dan di lain kejap sungguh luar biasa, dia sudah berdiri di
salah satu cabang pohon besar di bawah mana dia duduk sebelumnya.
Kalau
Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkesiap melihat kejadian tak terduga itu,
lain halnya dengan orang bermuka setan. Nafsu bejat yang menguasai dirinya
membuat dia tidak lagi membaca keadaan dan menilai kemampuan orang. Sekali
jejakkan kaki ke tanah tubuhnya melesat sebat ke atas pohon. Di atas cabang
pohon, Nyi Retno Mantili berseru.
“Kemuning
anakku! Ada orang jahat hendak mencelakai ibumu! Apakah kau akan berdiam diri
saja?!” Habis berkata begitu Nyi Retno pencet pinggang boneka kayu yang
dipegangnya di tangan kiri. Kejap itu juga dari dua mata boneka kayu melesat
keluar dua larik cahaya putih. Cepat sekali cahaya ini menyambar ke arah dada
orang di bawah pohon. Sesaat lagi akan mencapai sasaran tiba-tiba dua cahaya
lenyap. Orang yang diserang tersentak kaget dan ragu bertindak.
Bukkk!
Bukkk!
Cahaya
yang lenyap ternyata telah berubah menjadi dua pukulan dahsyat menghantam dada
orang dengan telak. Inilah ilmu pukulan yang disebut Sepasang Cahaya Batu
Kumala yang didapat Nyi Retno dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tak ampun lagi,
didahului satu jeritan keras tubuh orang yang tengah melayang ke atas pohon ini
terpental ke bawah. Mulut semburkan darah segar. Tubuh jatuh bergedebuk,
tertelungkup di tanah.
“Luar
biasa!” ucap Wiro.
Setan
Ngompol menimpali. “Seumur hidup baru kali ini aku melihat ilmu kesaktian
berbentuk cahaya yang berubah menjadi gebukan. Siapa yang bisa menduga!
Astaga!
Wiro! Lihat! Perempuan di atas pohon lenyap!”
Murid
Sinto Gendeng memandang ke arah cabang pohon. Memang benar, perempuan tidak
waras yang memegang boneka tak ada lagi di cabang pohon. Yang kelihatan di sana
hanya kabut putih samar-samar. Untuk melenyapkan diri meninggalkan tempat itu
dan tidak mungkin dikejar siapapun, Nyi Retno Mantili pergunakan ilmu Di Dalam
Kabut Mengunci Diri yang juga dipelajarinya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas di
puncak timur.
Tertelungkup
di tanah perlahan-lahan si muka setan berambut kelabu bergerak bangun. Tangan
kiri bersarung tangan hitam menyeka noda darah di dagu.
“Perempuan
edan! Kulumat tubuhmu!” teriaknya marah sekali. Lalu dia melesat ke udara,
berjungkir balik satu kali dan akhirnya tegak berdiri di tanah. Tangan kanan
diarahkan ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili tadi berada. Jelas dia
hendak melepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun gerakannya tertahan karena orang yang hendak dihantam tak ada lagi di
atas pohon sana.
“Perempuan
keparat! Lari ke mana kau?!” teriak orang bertopeng sambil memandang
berkeliling siap menghantam sekaligus juga ada rasa khawatir kalau dirinya akan
dibokong.
“Kau yang
keparat!” Satu suara membentak. Suara perempuan.
“Wiro
lihat!” ucap Setan Ngompol yang berada bersama Pendekar 212 di balik serumpunan
lebat semak belukar.
Dia
menunjuk ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili sebelumnya berada.
Saat itu
di atas cabang pohon berdiri seorang nenek berwajah putih angker, berambut
hitam sepinggang, berpakaian serba biru. Pandangan matanya menyorot ke arah
orang bermuka cacat penuh guratan luka, dua tangan dirangkap di atas dada.
“Perempuan
kecil yang memegang boneka tadi telah berubah menjadi seorang nenek angker!”
kata Setan Ngompol sementara Pendekar 212 garuk-garuk kepala tapi memperhatikan
dengan mata tidak berkesip.
“Kalau
memang dia berubah, seharusnya masih memegang boneka. Nenek di atas pohon tidak
memegang boneka…” Ucap Wiro kemudian.
“Mungkin
sudah dimasukkan dalam saku pakaian, atau disimpan di mana,” jawab Setan
Ngompol.
Di atas
cabang pohon nenek muka putih tiba-tiba tudingkan telunjuk tangan kiri ke arah
si muka setan.
“Kau!”
teriaknya. Suara nyaring menggeledek. “Kemarin petang kau berada di desa
Kaligesing. Memperkosa seorang gadis kecil serta kakaknya lalu membunuh
keduanya! Sebelumnya kau juga telah melakukan perbuatan keji serupa atas diri
perempuan di beberapa desa.
Hantu
Pemerkosa! Akui perbuatanmu dan aku akan memberikan kematian sedikit lebih
nyaman bagimu!”
Mendongak
ke atas pohon mula-mula orang yang dituding kelihatan terperangah heran. Namun
kemudian dia keluarkan suara tawa bergelak. “Tua bangka di atas pohon! Lagakmu
seperti malaikat yang serba tahu apa yang telah aku lakukan! Kau menyebutku
Hantu Pemerkosa. Sungguh satu kehormatan besar! Kalau saja kau berusia muda,
walau jelek aku masih mau menidurimu! Ha… ha… ha!” Habis tertawa gelak-gelak si
muka setan membentak. “Nenek muka putih! Apakah kau jejadian dari perempuan
yang tadi membawa boneka?!”
Perempuan
tua di atas pohon dongakkan kepala. “Aku bicara lain, kau bicara lain! Aku
sudah memberi kesempatan. Sayang kau menyia-nyiakan. Kematian memang harus
merupakan akhir mengenaskan bagi manusia bejat sepertimu!”
Dari
mulut si nenek kemudian keluar suara raungan keras dan panjang seperti suara
lolongan serigala di rimba belantara. Walau saat itu pagi hari dan matahari
bersinar terang tak urung Wiro dan Setan Ngompol merasa merinding juga.
Sebaliknya si muka setan angkat tangan kanan lalu dipukulkan ke atas pohon.
Tiga larik sinar menderu ganas.
Tiga
cahaya berkiblat. Di atas pohon suara raungan si nenek lenyap. Tangan kiri
dipentang, telapak mengembang diarahkan ke bawah pohon. Tangan kanan bergerak
menyingkapkan baju biru di bagian perut. Kelihatan perut putih disertai pusar
yang menonjol bodong. Serentak dengan itu lima jari tangan kiri membuat gerakan
meremas. Sesaat kemudian selarik sinar biru gelap melesat keluar dari pusar
bodong itu, menghantam ke arah tiga larik cahaya pukulan sakti yang dilepaskan
orang di bawah pohon.
Bumm!
Buumm! Buumm!
Tiga
dentuman dahsyat menggelegar. Pohon besar berderak-derak. Tanah bergetar. Di
udara lidah api berpercikan. Tiga larik sinar pukulan sakti musnah. Si muka
setan menjerit keras. Tubuh terpental dan jatuh punggung terbanting ke tanah.
Lengan kirinya putus kena disambar sinar biru yang keluar dari pusar bodong si
nenek muka putih di atas pohon.
Sekali
lagi perempuan tua itu pentang tangan kirinya.
Ketika
dia kembali hendak menyibakkan baju biru di bagian perut tiba-tiba ada suara
mengiang masuk ke dalam telinga kirinya.
“Nyi
Bodong, di mana kau. Lekas kembali!”
Gerakan
nenek muka putih tertahan. “Kiai, saya tengah melakukan satu kebajikan.
Menghabisi seorang pemerkosa…”
“Nyi
Bodong, perbuatanmu sangat terpuji. Namun aku sudah mengingatkan. Jangan keluar
ke mana-mana sebelum kau merampungkan ilmu yang akan aku wariskan!”
“Kiai,
aku sudah membuktikan sendiri. Walau belum rampung tapi aku sanggup menghajar
si pemerkosa itu…”
“Nyi
Bodong, jangan nakal. Turut apa kataku! Lekas kembali! Aku khawatir ada orang
mengikuti. Aku merasakan selain kau dan si pemerkosa ada dua orang lain
bersembunyi di tempat itu. Mereka mungkin orang baik, tapi bisa juga punya
maksud jahat…”
“Dengan
ilmu Pusar Pusara yang Kiai berikan, saya tidak takut menghadapi siapapun.”
“Nyi
Bodong, dalam rimba persilatan, takabur adalah langkah pertama dari kekalahan.
Ingat hal itu baik-baik. Sekarang cepat laksanakan perintah. Bertindak selalu
hatihati, penuh waspada. Kalau sampai ada orang yang tahu di mana kau berada
semua urusan bisa jadi tak karuan.
Lekas
kembali!” suara mengiang kembali memberi perintah pada nenek muka putih yang
dipanggil dengan sebutan Nyi Bodong.
“Kiai,
saya mohon maafmu. Bukan niat saya untuk berlaku takabur. Saya hanya merasa
bangga mendapat kepercayaan Kiai hingga diwarisi ilmu kesaktian. Saya segera
kembali.” Nenek muka putih memandang ke bawah pohon.
“Hantu
Pemerkosa! Sayang aku ada kepentingan lain.
Kali ini
lenganmu yang aku bikin buntung. Lain kali kalau bertemu, batang lehermu yang
akan aku tebas!”
Didahului
suara tawa cekikikan keras dan panjang nenek di atas pohon melesat lenyap. Di
satu tempat ketika dia siap untuk berkelebat ke arah timur, tiba-tiba dua orang
muncul di depannya. Si nenek terkesiap kaget. Ingat akan ucapan jarak jauh yang
disampaikan sang Kiai. Wajahnya yang putih berubah menjadi merah.
“Dua
manusia jelek! Kalian seperti sengaja menghadang. Kalau kalian berani berbuat
macam-macam, kalian akan celaka!” Walau jelas membentak pada dua orang yang ada
di hadapannya namun si nenek palingkan wajahnya yang merah ke arah lain seolah
melecehkan.
Dua orang
yang barusan muncul yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan
Ngompol untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun melongo.
Sepasang
mata si nenek mengerling. Wajahnya yang merah kembali berubah putih. Lalu
sekali balikkan diri nenek aneh ini lenyap laksana ditelan bumi.
“Sialan
kita dibilang dua manusia jelek!” Setan Ngompol mengumpat. “Kalau bertemu
sekali lagi aku yakin bisa merayunya. Akan aku buat dia bertekuk lutut,
tergilagila dan memuji aku sebagai kakek ganteng di seantero jagat!”
Wiro
tersenyum. “Kek, aku perhatikan gerakannya benar-benar seperti setan.
Berkelebat lenyap. Membalik hilang! Apa tadi kau memperhatikan bagaimana muka
putih nenek itu berubah merah sewaktu dia melihat kita?”
“Merah
berarti jengah. Aih, mungkin saja dia terpesona malu-malu melihat kegantengan
diriku!” kata Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian
bawah perutnya.
“Aku
ingin mengejarnya!” kata Wiro. Saat itu seperti ada yang menggerakkan hati sang
pendekar.
“Buat
apa?!” tanya Setan Ngompol, “Kau tertarik pada pusarnya yang putih bodong? Ha…
ha… ha! Jangan membuat aku cemburu! Terus terang kalau bisa dan ada kesempatan
aku ingin menghisap pusar itu! Ha… ha… ha!
Pasti
sedap dan siapa tahu aku bisa dapat sari ilmunya!
Ha… ha…
ha!” Setan Ngompol terpingkal-pingkal dan tentu saja sambil kucurkan air
kencing.
“Kek,
ikuti aku!” kata Wiro seraya berlari ke tempat di mana orang bermuka setan
terkapar dalam keadaan tangan kiri buntung akibat disambar sinar biru yang
keluar dari pusar bodong nenek berwajah putih itu.
Namun
sosok si muka setan berjubah kelabu tak ada lagi di tempat itu.
“Kabur!”
ucap Setan Ngompol.
“Kutungan
lengannya juga lenyap. Tadi aku lihat jatuh di sebelah sini.” ujar Wiro. “Aku
menaruh curiga…”
“Curiga
bagaimana?” tanya Setan Ngompol.
“Ketika orang
berjubah kelabu melancarkan serangan ke arah nenek muka putih di atas pohon,
pukulan tangan kosongnya melesatkan tiga sinar. Kuning, hitam dan merah. Aku
ingat sekali Pangeran Matahari memiliki ilmu pukulan sakti bernama Gerhana
Matahari yang memancarkan sinar tiga warna seperti itu. Mungkin…”
“Mungkin
saja makhluk seram tadi memang dia,” kata Setan Ngompol. “Tapi suaranya berbeda
dengan suara keparat itu. Rambutnya kelabu, lalu wajahnya mengapa bisa cacat
mengerikan seperti itu?”
“Ketika
rumah kayu di Seratus Tigabelas Lorong Kematian hancur lebur kita tidak
menemukan mayat Pangeran Matahari. Aku yakin dia masih hidup. Bangsat secerdik
Pangeran Matahari, satu hari dia bisa bertukar sepuluh wajah…”
“Lalu
sekarang apa yang harus kita lakukan? Meneruskan perjalanan ke jurang seperti
rencana semula. Atau mengejar manusia muka setan yang disebut Hantu Pemerkosa
itu. Atau mencari tahu ke mana kaburnya si nenek yang punya pusar bodong putih
berkilat?” Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
“Nenek
muka putih tadi,” kata Wiro pula. “Menurutmu apakah dia benar berubah bentuk
dari perempuan muda yang membawa boneka kayu?”
“Aku
punya dugaan begitu,” jawab Setan Ngompol. “Aku lebih suka kita mencarinya
daripada kembali ke jurang atau mengejar makhluk muka setan itu.”
Wiro
kembali menggaruk kepala. “Jika manusia muka setan berjubah kelabu itu memang
Pangeran Matahari, berarti perempuan muda membawa boneka memiliki kepandaian
luar biasa. Tidak sembarang orang mampu menghajar sang Pangeran seperti itu.
Lalu jika dia memang hendak menghajar Pangeran Matahari mengapa harus berubah
ujud menjadi nenek-nenek segala? Perempuan aneh. Ilmunya juga aneh.”
“Nah, kau
bingung kan? Juga bingung kita mau menuju ke mana?” Setan Ngompol tertawa.
“Sudah ikuti saja aku.”
Lalu
kakek ini tarik tangan murid Sinto Gendeng.
*********************
10
KITA
telusuri dulu apa yang terjadi dengan Wulan Srindi, murid Perguruan Silat Lawu
Putih yang telah diperkosa dua orang dari Keraton Kaliningrat yaitu Kuntorando
dan Pekik Ireng. Setelah melarikan diri dari Jatilandak yang sebenarnya telah
menolongnya, gadis itu lari masuk ke dalam rimba belantara sambil
berteriakteriak tiada henti. Peristiwa dahsyat yang menimpa dirinya telah
membuat jiwa dan pikiran gadis ini rusak hebat.
Keadaannya
tidak beda dengan orang yang terganggu ingatan.
Di satu
bagian rimba belantara redup karena ditumbuhi pohon besar berdaun lebat, selagi
berlari kencang tanpa arah sambil menjerit tiada henti, tiba-tiba satu tangan
panjang aneh seperti belalai gajah menjulai dari atas pohon, menggelung
pinggang Wulan Srindi. Saat itu juga suara jeritan si gadis lenyap. Seperti ada
yang menarik, tubuh Wulan Srindi melesat ke atas pohon, lalu dibawa berlari
dari satu pohon ke pohon lain hingga akhirnya lenyap di antara kelebatan dedaunan.
Jatilandak yang berusaha mengejar gadis ini kehilangan arah.
Di atas
sebatang pohon, entah dari mana datangnya mendadak muncul seekor ular besar
berkulit hijau bermata merah, kepala mendongak, mulut terbuka, meluncur di atas
dahan siap mematuk batok kepala Wulan Srindi.
Hanya
tinggal dua jengkal kepala ular terpisah dari kepala si gadis sekonyong-konyong
ada suara menyembur.
Wusss!
Bau
menyengat hidung menghampar. Ular besar mendesis lalu byaaarr! Kepala binatang
ini hancur bertaburan. Tubuh ular seberat hampir seratus limapuluh kati ini
sesaat bergelung melingkar, bergelantungan di dahan pohon lalu perlahan-lahan
merosot ke bawah dan jatuh bergedebuk di tanah. Di atas pohon terdengar suara
tawa mengekeh lalu menyusul orang menenggak minuman penuh lahap.
Glukk…
glukk… glukk!
Wulan
Srindi buka mulut hendak memaki. Tetapi mulut itu tak bisa digerakkan dan tak
ada suara yang bisa dikeluarkan. Mata si gadis mendelik besar melihat wajah
merah seram orang yang memangku dirinya.
“Cah Ayu,
berkulit hitam manis! Kau mau bicara apa? Biar aku buka dulu jalan suaramu”
Orang seram meneguk cairan di dalam sebuah kendi. Lalu cairan ini disemburkan
ke leher Wulan Srindi. Saat itu juga totokan pada urat besar di leher yang
membuat Wulan Srindi tak bisa bicara terbuka musnah. Si muka seram berkulit
merah tertawa.
“Nah,
sekarang bicaralah sesukamu Cah Ayu!”
Begitu
totokan lepas, mulut bisa digerakkan dan jalan suara kembali terbuka langsung
Wulan Srindi menghambur ucapan keras dan kasar. “Setan, dedemit, hantu keparat!
Lepaskan!
Turunkan tubuhku ke tanah! Beraninya kau memangkuku! Kau mau berbuat apa
membawaku ke atas pohon! Kau mau memperkosaku?! Lepaskan! Turunkan aku ke
tanah!” Habis berkata begitu Wulan Srindi hendak berteriak namun mulutnya cepat
ditekap orang.
Orang
yang duduk memangku Wulan Srindi di cabang pohon tertawa mengekeh.
“Kalau
saja kejadian ini puluhan tahun lalu ketika aku masih muda remaja, mungkin aku
akan tergiur melakukan apa yang kau katakan tadi! Memangku gadis secantikmu,
tubuh nyaris bugil, ha… ha… ha siapa tahan!”
“Jahanam!
Kalau kau tidak segera melepaskan dan menurunkan aku ke tanah, aku bersumpah
menggeragot lehermu, menghisap darahmu!”
“Wah,
wah… wah! Kau bukan gadis sejahat itu! Dengar, aku akan membawamu ke satu
tempat yang aman. Di situ kau bisa menerangkan apa yang telah terjadi pada
dirimu!”
“Setan
alas! Siapa sudi ikut denganmu!” teriak Wulan Srindi membuat orang yang
memangkunya geleng-geleng kepala.
“Pikiranmu
sedang kacau. Aku bisa menduga. Ada satu kejadian dahsyat menimpamu! Tidak ada
salahnya kau ikutan minum agar pikiranmu bisa tenang kembali!”
“Setan,
kau mau memberikan racun apa padaku?! Tidak apa! Aku lebih baik mati daripada
hidup tersiksa seumur-umur!” teriak Wulan Srindi ketika dia melihat sebuah
kendi tanah berwarna hitam didekatkan ke mulutnya.
“Aku
bukan setan, bukan demit, bukan hantu. Aku adalah iblis! Iblis! Kau dengar?!
Ha… ha… ha! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Minum biar banyak!”
Wulan
Srindi merasa ada jari-jari tangan menekan lehernya, membuat dia terpaksa
membuka mulut. Lalu dari dalam kendi hitam mengucur cairan menebar bau keras
menyengat pernafasan. Wulan Srindi merasa mulutnya seperti disengat api ketika
cairan itu melewati tenggorokannya. Dia berusaha menyemburkan, berusaha memaki
namun semakin banyak cairan panas masuk ke dalam mulut. Dada serasa terbakar,
kening mendenyut sakit, pandangan mata sebentar terang sebentar gelap. Bahkan
dia merasa sepasang matanya seperti mau melompat keluar. Wajahnya yang berkulit
hitam manis kelihatan sangat merah. Dari tenggorokan keluar suara glek, glek,
glek sementara dada yang tidak tertutup bergerak naik turun. Dalam keadaan
seperti itu, akibat minuman sangat keras yang masuk ke dalam perut akhirnya
Wulan Srindi kehilangan ingatan, jatuh pingsan. Orang yang memangkunya tertawa
mengekeh. Kendi kosong dibuang, tubuh Wulan Srindi diletakkan di bahu kiri.
Sekali berkelebat dia sudah berada di tanah lalu melarikan si gadis ke arah
utara.
************************
Ketika
siuman dari pingsan, Wulan Srindi dapatkan dirinya terbaring di atas ranjang
kayu beralaskan tikar jerami. Memandang berkeliling ternyata dia berada dalam
sebuah kamar berdinding kayu. Di kaki ranjang, ada seperangkat pakaian terdiri
dari baju dan celana panjang berwarna biru pekat. Wulan sadar keadaan dirinya
yang nyaris telanjang. Tanpa pikir panjang dia segera ambil pakaian di tepi
ranjang dan cepat mengenakannya.
Pakaian
itu terdiri dari sehelai celana panjang ringkas serta baju berbentuk kebaya dalam
selutut.
Selesai
berpakaian Wulan melangkah ke sebuah jendela terbuka di dinding kiri ruangan.
Begitu memandang keluar gadis ini melengak kaget. Betapa tidak. Dia dapatkan
bangunan di mana dia berada saat itu ternyata terletak di atas satu pohon
tinggi dan besar. Tak jauh dari seberang sana ada satu pohon besar. Di pohon
itu terdapat pula sebuah bangunan kayu. Wulan melihat ada pintu dan jendela
dalam keadaan tertutup.
Wulan
sekali lagi memandang seputar ruangan.
Ternyata
di situ juga ada sebuah pintu. Cepat-cepat pintu dibukanya dan si gadis
keluarkan suara tertahan karena begitu pintu terbuka dia langsung berhadapan
dengan tempat kosong. Kalau sebelumnya ada orang tinggal di situ bagaimana dia
naik dan turun? Wulan tidak melihat tangga dan alat lain yang bisa dipakai
untuk turun ke tanah.
“Gila!
Rumah di atas pohon. Bagaimana aku bisa berada di sini?!” Wulan Srindi
berpikir. Kemudian malah tertawa dan menjerit. Pikirannya kacau. Dia coba lagi
mengingat-ingat. Ada seorang lelaki bermuka seperti dedemit, mencekokkan
minuman keras ke dalam mulutnya.
“Makhluk
seram yang mengaku iblis itu, di mana dia? Mungkin dalam bangunan di pohon
sana? Pasti dia sengaja menyekapku di sini!” Wulan Srindi tegak terdiam.
Memandang
ke bawah, tengkuknya terasa gamang. Beberapa saat kemudian air mata meluncur di
pipinya. Tiba-tiba gadis ini menjerit, lalu duduk di salah satu sudut rumah
kayu menekapi wajah yang kotor dan pucat. Dia menjerit sampai suaranya parau.
Begitu dia tak mampu lagi menjerit kini berganti suara tangisnya yang terdengar
berkepanjangan menyayat hati.
Wulan
Srindi tidak sadar berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Gadis ini baru
hentikan tangis ketika mendadak dia mendengar ada orang bersiul-siul diseling
tawa bergelak. Wulan berdiri. Melangkah ke pintu, memandang ke bawah. Di antara
kerapatan cabang dan ranting serta daun pohon dia melihat seorang bermuka seram
seperti setan, bertubuh gemuk pendek melangkah sambil bersiul-siul. Kulit muka
dan tubuhnya tampak merah. Sambil berjalan sesekali dia meneguk minuman yang
ada dalam kendi hitam. Orang ini mengenakan baju longgar dan celana komprang
hitam. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar digelantungi selusin
kendi hitam. Sebagian sudah kosong sebagian lagi masih terisi penuh minuman
keras terbuat dari ketan kesukaannya.
Langkahnya
aneh, huyung kiri oleng kanan. Terkadang seperti mau terjerembab jatuh ke
depan, sesekali seperti mau terjengkang ke belakang. Keadaannya tidak beda
dengan orang tengah mabuk berat.
“Dedemit
muka merah! Dia yang mencekoki dengan minuman celaka itu! Selagi aku tidak
sadar jangan-jangan dia telah melakukan perbuatan keji atas diriku!” ucap Wulan
Srindi. “Biar mampus dia sekarang!”
Wulan
Srindi meraba pakaiannya. Seperti diketahui sebagai murid Perguruan Lawu Putih
dia pernah membekal sejenis senjata rahasia berbentuk bulat berduri, terbuat
dari tembaga kuning yang disebut Elmaut Kuning. Meraba sekujur lekuk pakaiannya
tentu saja Wulan tidak menemukan lagi senjata rahasia itu. “Sial! Hilang di
mana?!” Wulan memaki sendiri. Rahang menggembung. Sepasang mata berkilat tak
berkesip ke bawah sana. Tiba-tiba gadis ini angkat tangan kanannya. Didahului
jeritan keras tangan itu dihantamkan ke bawah, ke arah orang gemuk pendek yang
tengah berjalan sambil bersiul-siul dan sesekali meneguk minuman keras dalam
kendi tanah warna hitam. Satu gelombang angin dahsyat menderu dari rumah kayu
di atas pohon.
Wusss!
Kraak! Braak!
Ranting-ranting
pohon berpatahan. Tiga dahan hancur dan dedaunan luruh beterbangan. Wulan
Srindi telah melepas satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi disebut
Menyapu Bukit Menjebol Lembah.
“Hai!
Setan alas dari mana berani membokongku?!”
Teriak si
gemuk pendek di bawah pohon. Walau tubuhnya tampak huyung seperti orang mabuk
namun begitu ada serangan ganas menyambar tubuh itu meliuk ke depan seperti mau
jatuh. Angin pukulan sakti lewat di atas punggung. Si muka merah seram teguk
minuman dalam kendi.
Byaarrr!
Tanah di
samping kiri orang gemuk pendek berwajah seram merah terbongkar membentuk satu
lobang besar berwarna hitam! Orang ini tertawa bergelak lalu sambil meneguk
minuman keras dalam kendi sepasang matanya melirik ke atas pohon.
“Hekk!”
Orang
berwajah seram ini keluarkan suara tercekik.
“Oala,
Cah Ayu! Kau rupanya yang punya pekerjaan nakal! Awas akan aku puntir telingamu!
Kalau perlu aku gebuk pantatmu!”
Habis
berkata begitu si gemuk berkulit merah ini gantungkan kendi hitam ke pinggang
lalu sekali berkelebat tubuhnya melesat ke arah rumah di atas pohon!
Di depan
pintu rumah di atas pohon Wulan Srindi menjerit keras lalu tubuhnya melayang ke
bawah. Tangan kiri mendekap dada, tangan kanan yang dalam keadaan mengepal
diarahkan pada orang gemuk pendek yang melesat dari arah berlawanan. Sesaat
lagi pasti akan terjadi tabrakan hebat antara kedua orang itu!
“Oala,
anak edan! Apa yang kau lakukan?! Kau mau mati barengan apa?! Ha… ha… ha!”
*********************
11
HANYA
sepejangkauan lagi dua orang itu akan bertabrakan hebat di udara, tiba-tiba
sosok si gemuk muka seram meliuk miring ke kanan. Tangan kirinya secara aneh
berubah panjang, menggelung pinggang Wulan Srindi. Berbarengan dengan itu
jari-jari tangan kanan menotok urat besar di punggung. Saat itu juga sekujur
tubuh Wulan Srindi menjadi kaku. Kini nanya mulutnya saja yang mampu
berteriak-teriak.
Sampai di
dalam rumah kayu di atas pohon, si gemuk muka merah bercelana komprang hitam
lemparkan Wulan Srindi hingga terduduk di sudut ruangan.
“Manusia
muka setan! Lepaskan totokan di tubuhku! Aku ingin membunuhmu!”
Orang
yang dimaki ambil kendi hitam lalu meneguk isinya dengan lahap sampai
berlelehan di dagu dan membasahi baju sementara dua matanya mengawasi Wulan Srindi.
“Kenapa
kau ingin membunuhku?!” tanya si gemuk sambil menyeka mulut.
“Sewaktu
aku pingsan kau pasti telah mencabuliku!”
Kendi
hitam di tangan si gemuk melesat ke depan.
Braakkk!
Kendi remuk hancur di dinding hanya satu jengkal di atas kepala Wulan Srindi.
Pecahan kendi bertaburan dan minuman keras membasahi rambut, wajah dan sebagian
pakaiannya. Si gadis terdiam namun kemudian tertawa cekikikan.
“Edan!
Baru sekali ini aku menghadapi orang edan!
Perempuan
lagi! Kalau hati tidak kasihan, kalau tidak ingin menolong, perduli setan aku
mau mengurusi!”
Wulan
Srindi hentikan tawanya. Dua matanya menatap garang ke arah si gemuk pendek
bermuka merah.
“Kau
kasihan?! Ingin menolong?! Mau mengurusi?!
Hik… hik…
hik! Manusia bermuka wajar saja hatinya bisa sejahat setan! Apalagi kau yang
punya muka setan! Hatimu pasti sejahat iblis!”
“Cah Ayu!
Ucapanmu membuat aku tersinggung. Cukup aku melihatmu sampai di sini!” Orang
itu ambil satu kendi yang tergantung di pinggang. Minum bergelegukan. Masih
tinggal setengah kendi dibanting ke lantai. Lalu dia melangkah ke pintu.
“Hik…
hik! Setan bisa juga ngambek!”
Ucapan
Wulan Srindi membuat si gemuk hentikan langkah dan berpaling. Lalu tertawa
gelak-gelak. Si muka merah ini rupanya punya sifat lekas marah tapi cepat pula
baik.
“Manusia
muka kepiting rebus. Kau ini siapa sebenarnya?” bertanya Wulan Srindi.
“Aku
manusia gelandangan! Tukang mabuk!”
“Sebelumnya
kau bilang dirimu adalah iblis!” kata Wulan Srindi pula.
“Kau
boleh menyebut aku apa saja! Asal jangan menuduh aku yang bukan-bukan!”
“Hik…
hik… Dirimu mengingatkan aku pada guruku!”
“Siapa
gurumu? Kau sendiri…”
“Kau akan
terkejut kalau tahu siapa guruku. Apalagi tahu siapa diriku!”
“Cah Ayu,
seumur hidup tidak ada satu manusia yang bisa membuat aku terkejut! Hanya satu
hal yang bisa membuat aku terkejut!”
“Hik…
hik! Apa?!” tanya Wulan Srindi pula.
“Kalau
minuman keras sari ketan kedoyananku tak ada lagi di dunia! Ha… ha… ha!” Si
gemuk ini hendak mengambil satu kendi yang masih penuh berisi minuman keras
namun tak jadi. “Eh, kau belum menerangkan siapa gurumu, siapa dirimu.”
“Aku
adalah murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!”
Wajah
merah si gemuk pendek kelihatan tambah merah.
“Nah,
sekarang kau ternyata bisa kubuat terkejut! Hik… hik… hik!”
“Siapa
bilang aku terkejut?!” jawab orang di hadapan Wulan Srindi lalu sambung
ucapannya. “Aku tahu kau dusta. Karena rimba persilatan tahu kalau manusia
berjuluk Dewa Tuak cuma punya seorang murid. Kalau tak salah bernama Anggini.
Padahal, tidak banyak diketahui orang, sebenarnya selain Anggini kakek itu juga
punya murid lain. Perempuan, aku lupa namanya. Tapi yang jelas bukan kau!”
“Kau bisa
saja mengarang cerita. Yang jelas banyak peristiwa terjadi dalam rimba
persilatan. Selama ini rupanya kau tidak pernah menyimak kabar. Kau mungkin
hanya sibuk dengan kendi hitammu itu. Kau pasti terkejut kalau aku katakan
diriku adalah jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede!”
“Jodoh
dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng!”
mengulang
si muka seram berkulit merah dengan kening mengerenyit lalu tertawa mengekeh.
Ternyata manusia satu ini memang sulit dibikin terkejut. “Ngacok! Kau bicara
apa Cah Ayu! Semua orang tahu kalau pendekar yang kau sebutkan sudah dijodohkan
dengan Anggini. Hanya saja perjodohan itu memang tidak ketahuan juntrungannya
sampai saat ini…”
“Karena
tidak ketahuan juntrungan itulah maka Sinto Gendeng memutuskan aku pengganti
Anggini untuk jodoh muridnya,” potong Wulan Srindi dengan wajah senyumsenyum.
“Cah Ayu,
jangan kau menganggap aku ini makhluk tolol. Jangan kau kira aku tidak kenal
dengan Pendekar 212!”
“Kalau
begitu kelak kau bisa kujadikan saksi pernikahanku. Hik… hik… hik! Kau bersedia
bukan?”
“Ngacok!
Lebih baik kau ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu.”
“Apa yang
terjadi dengan diriku?” Wulan Srindi terdiam.
Lalu
butir-butir air mata perlahan-lahan meluncur turun ke pipinya.
“Oala,
kok malah mewek, nangis?”
“Aku
tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Terlalu keji, terlalu memalukan.”
“Kalau
kau mau cerita siapa tahu aku bisa menolong.”
“Aku
tidak butuh pertolonganmu…”
“Kau
sudah menerima sebagian dari pertolonganku,” kata si muka merah sambil
senyum-senyum.
“Kau mau
minta imbalan?!”
“Jangan
bicara ngacok lagi, Cah Ayu.”
“Aku
korban kebejatan dua manusia biadab…” Wulan Srindi ingin menekap wajahnya
dengan kedua tangan.
Namun
karena masih dalam keadaan tertotok hal itu tak bisa dilakukan. Gadis malang
ini akhirnya hanya bisa berteriak, lalu menggerung menangis. Setelah tangisnya
reda dan terus dibujuk oleh si gemuk pendek bermuka seram merah akhirnya Wulan
menuturkan apa yang telah dialaminya beberapa waktu lalu.
Beberapa
saat setelah Wulan Srindi menceritakan nasib malangnya, si gemuk pendek
bertanya. “Dua orang yang merusak kehormatanmu itu, kau tahu namanya?”
“Tidak.”
“Menurutku
keduanya berseragam pakaian hitam. Pada dada kiri baju mereka ada sulaman
benang kuning rumah joglo serta dua keris saling bersilang.”
“Benar.”
jawab Wulan Srindi. “Kau mengenal siapa mereka?”
“Keraton
Kaliningrat. Mereka adalah orang-orang dari Keraton Kaliningrat.” Menerangkan
si gemuk pendek muka seram merah.
“Aku
belum pernah mendengar nama keraton itu. Di mana letaknya?” tanya Wulan Srindi
pula.
“Yang
disebut Keraton Kaliningrat hanyalah nama saja. Keraton yang berbentuk gedung
tak pernah ada. Keraton itu bisa saja ada di kawasan utara atau muncul di
barat. Bisa di selatan atau di timur. Tergantung di mana para tokoh dan
anggotanya saat itu berada. Biasanya hanya untuk beberapa lama lalu berpindah
lagi ke tempat lain…”
“Manusia-manusia
Keraton Kaliningrat apakah mereka itu merupakan manusia-manusia jahanam jahat
atau…”
“Setahuku
mereka adalah kaum pemberontak. Beberapa orang rimba persilatan berkepandaian
tinggi ikut bergabung dengan mereka. Kebanyakan dari mereka hanya berkepandaian
biasa-biasa saja. Namun mereka memiliki ilmu kebal, tahan pukulan tak mempan
senjata tajam.”
“Kau tahu
kelemahan ilmu mereka?”
Si gemuk
pendek tertawa lebar. “Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau punya niat untuk balas
dendam.”
“Sampai
jadi bangkai dan mendekam di liang kubur pun aku tetap akan membalaskan dendam
kesumat sakit hati.”
Si gemuk
ambil sebuah kendi, meneguk isinya sampai mukanya tambah merah. “Jika bertemu
lagi dengan kedua orang pemerkosa itu, kau masih mengenali tampang mereka?”
“Pasti.
Salah satu dari mereka sempat aku gigit dagunya. Gigitan itu pasti meninggalkan
cacat di wajahnya.”
“Cah Ayu,
kalau kau ingin balas dendam biar aku memoles dirimu lebih dulu. Aku butuh
seratus hari untuk melakukannya…”
“Apa
maksudmu?” tanya Wulan Srindi curiga.
Yang
ditanya cuma tertawa, teguk lagi minuman keras dalam kendi. Tiba-tiba cairan
dalam mulut disemburkan ke wajah dan tubuh Wulan Srindi. Si gadis menjerit.
Wajah dan sebagian tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Si gemuk menyembur
sekali lagi. Aneh, kalau tadi terasa panas kini Wulan Srindi merasa wajah dan
badannya menjadi dingin sejuk. Namun gadis itu belum menyadari kalau saat itu
kulit wajah, tangan dan dua kakinya telah berubah putih.
*********************
12
JALAN
tanah yang melewati rimba belantara Ngluwer, merupakan jalan pintas terdekat
yang menghubungi daerah selatan dengan kawasan utara sampai ke Mungkid dan
Magel sudah lama tidak dilewati orang.
Terutama
para pedagang. Mereka lebih suka memilih jalan berputar di sebelah timur
melewati kaki Gunung Merapi.
Walau
lebih jauh setengah hari perjalanan namun lebih aman. Belakangan ini hutan
Ngluwer telah menjadi sarang sekelompok perampok jahat. Mereka bukan saja
membegal harta benda orang yang lewat di situ, tapi juga tak segan-segan membunuh
para korban.
Siang itu
di pinggiran hutan sebelah barat ada serombongan orang berkuda terdiri dari
sembilan orang. Delapan orang berkulit kuning, bermata sipit, mengenakan topi
merah dan pakaian berbentuk jubah bagus berkilat juga berwarna merah. Beberapa
di antara mereka memelihara kumis panjang menjulai. Selain itu kedelapan orang
ini membekal sebatang tombak yang ujungnya berbentuk pisau besar, tergantung di
depan pelana. Orang kesembilan seorang penduduk asli, agaknya bertindak sebagai
penunjuk jalan.
Ada satu
keanehan pada rombongan delapan orang asing ini. Empat orang membawa tambur,
empat orang lagi membawa terompet. Setiap menempuh jalan sejarak tiga ratus
tombak mereka berhenti. Yang membawa tambur segera memukul tambur. Yang membawa
terompet segera pula meniup terompet masing-masing. Setelah cukup lama
memainkan peralatan bebunyian itu rombongan melanjutkan perjalanan. Sekitar
tigaratus tombak di muka mereka berhenti lagi lalu melakukan hal yang sama,
memukul tambur meniup terompet.
Siapakah
sebenarnya rombongan aneh ini? Terutama delapan orang asing itu? Mereka adalah
awak kapal milik seorang pedagang dari daratan Cina yang beberapa waktu lalu
dijarah barang bawaannya ketika diduga merapat di Tuban, ternyata kemudian
diketahui berlabuh di Morodemak. Dari sekian banyak barang yang dirampas, satu
di antaranya adalah yang sangat berharga yaitu sebuah kantong kulit berisi
candu dan madat. Penjarahan kapal dagang itu agaknya telah disiapkan dan diatur
sedemikian rupa. Tujuan utama para perampok sebenarnya memang adalah madat
seberat lebih dari 50 kati. Dua orang perampok yang menyamar sebagai perajurit
Kerajaan yaitu Surojantra dan Jaliteng berhasil melarikan kantong kulit berisi
madat itu. Kedua perampok ini sebenarnya adalah kaki tangan kaum pemberontak
yang tengah mencari dana dan dikenal dengan sebutan orang-orang Keraton
Kaliningrat.
Seperti
diceritakan dalam episode sebelumnya, Kitab Seribu Pengobatan, Surojantra dan
Jaliteng menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Madat satu kantong kemudian
jatuh ke tangan Rakadanu dan Galirenik yang punya tugas untuk mendapatkan madat
tersebut. Mereka adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Namun sebelum sempat
kembali ke markas, keduanya menemui ajal di tangan murid kembar Hantu Malam
Bergigi Perak. Madat satu kantong besar kini berada di tangan si nenek sakti
bermuka angker itu. Sementara dua orang dari Keraton Kaliningrat lainnya,
Kuntorandu dan Pekik Ireng, yang diperintahkan untuk mengamankan madat, tidak
berhasil menemui dua temannya. Malah kemudian mereka bertemu Wulan Srindi dan
memperkosa gadis itu.
Rombongan
delapan awak kapal dagang Cina yang berlabuh di Morodemak mendapat perintah
untuk mencari dan menemukan kembali madat yang telah dijarah. Di bawah pimpinan
nakhoda Long Cie mereka membawa seorang penunjuk jalan sekaligus juru bahasa.
Sang penunjuk jalan yang bernama Amangrejo mengetahui kalau sejak beberapa lama
rimba belantara Ngluwer telah menjadi sarang perampok ganas. Dengan dugaan
bahwa para perampok hutan inilah yang telah merampas kantong berisi madat, maka
Amangrejo membawa rombongan awak kapal Cina ke kawasan itu. Karena tidak tahu
pasti di mana letak sarang para penjahat maka mereka pergunakan siasat untuk
memancing dan menarik perhatian. Yaitu mereka sengaja menabuh tambur dan meniup
terompet.
Setelah
hampir setengah harian mundar-mandir di pinggiran rimba belantara Ngluwer
pancingan mereka akhirnya berhasil juga.
Di satu
tempat selain kerasnya rombongan memukul tambur dan meniup terompet, tiba-tiba
dari dalam hutan terdengar suara suitan-suitan nyaring saling berbalasan dari
beberapa penjuru. Tak berselang berapa lama muncul duabelas orang berpakaian
dan berikat kepala kuning pekat. Tampang garang, rata-rata memelihara cambang
bawuk liar. Sekali bergerak keduabelas orang ini telah mengurung rombongan
orang asing penabuh tambur peniup terompet.
Amangrejo
segera turun dari kudanya. Sementara delapan awak kapal dari Cina tetap di atas
kuda masingmasing.
Amangrejo
membungkuk beberapa kali lalu keluarkan ucapan. Penunjuk jalan ini sadar sekali
kalau saat itu dia tengah berhadapan dengan kelompok perampok yang bisa menilai
nyawa manusia tidak lebih berharga dari seekor kodok dalam comberan.
“Salam
hormat dan persahabatan untuk para kerabat dari hutan Ngluwer. Mohon tanya
siapakah yang bertindak sebagai pimpinan dari para kerabat di sini?!”
Duabelas
orang yang mengurung rombongan berkuda hampir semua bertubuh tinggi besar dan
galak. Namun yang maju ke arah Amangrejo justru adalah seorang bertubuh pendek,
berkumis dan bercambang bawuk lebat tapi berkepala botak plontos. Sepasang mata
berwarna merah namun juling. Hingga walau tampak galak tapi ada lucunya juga.
Amangrejo agak bingung. Jelas orang melangkah ke hadapannya namun pandangan
matanya tertuju ke jurusan lain!
“Kami
adalah orang-orang hutan Ngluwer tidak butuh penghormatan kalian. Kami tidak
merasa ada persahabatan antara kita!” Si pendek bermata juling keluarkan
ucapan. Walau pendek namun suaranya besar serak. Dia bicara sambil dua tangan
diletakkan di pinggang dan sepasang mata juling memandang berputar.
Mendengar
ucapan orang yang tidak bersahabat Amangrejo cepat-cepat membungkuk. “Ah, harap
maafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan para sahabat.”
Si pendek
bermata juling goyangkan kepala ke arah depan penunggang kuda di belakang Amangrejo.
“Siapa
delapan monyet bermata sipit berdandan bagus ini?! Apakah rombongan pengamen
dari negeri seberang, membawa tambur dan terompet segala?!”
“Mereka
adalah awak kapal dagang dari Tiongkok.
Mereka
ingin mencari keterangan tentang satu kantong candu yang lenyap dijarah di
pelabuhan Morodemak…”
“Mencari
keterangan atau ingin menuduh kami yang merampok candu itu? Bicara yang jelas!”
Bentak si juling pendek.
“Dengar,
kami datang hanya untuk mencari keterangan.
Kalau
para sahabat tahu, orang-orang ini bersedia menebus candu itu dengan
barang-barang perhiasan senilai satu setengah kali harga candu.”
Si pendek
juling pencongkan mulut. Dia memandang berkeliling pada sebelas temannya.
Keduabelas orang itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
“Kau yang
jadi kacung orang asing!” si jereng menuding pada Amangrejo. “Siapa namamu?!”
“Nama
saya Amangrejo.”
“Amangrejo!
Kalau dirimu cuma seorang kacung penunjuk jalan, kami tidak heran kau berlaku
tolol! Tapi jangan berani membagi ketololan pada kami orang-orang hutan
Ngluwer! Kalau kalian membawa perhiasan yang harganya satu setengah kali nilai
candu, coba katakan apakah ada manusia yang lebih tolol dari kalian di kolong
langit ini?!”
Ucapan si
pendek berkepala botak itu disambut gelak tawa kawan-kawannya yang sebelas
orang.
“Amangrejo,
kami masih mau berbaik-baik denganmu.
Coba
perlihatkan dulu barang-barang perhiasan yang kalian bawa.”
Amangrejo
berpaling pada rombongan orang-orang berjubah merah lalu bicara dalam bahasa
Cina. Salah satu dari delapan orang asing yang menunggang kuda dan memelihara
kumis panjang menjulai yang bukan lain adalah nakhoda Long Cie menyahuti.
Amangrejo lalu berpaling kembali ke arah si pendek botak.
“Menurut
nakhoda Long Cie, pimpinan awak kapal, dia akan memperlihatkan perhiasan itu,
bahkan akan memberikan pada kerabat setelah dia melihat dan menerima candu.”
Tampang
si botak tampak menggembung merah.
“Katakan
pada keparat mata sipit itu! Aku Surah Nenggolo pimpinan orang-orang hutan
Ngluwer di tempat ini! Di sini berlaku peraturan kami. Mulutku hukumku! Jika
dia tidak suka dan tidak mau ikut aturan kami silahkan pergi. Tapi dia tetap
harus menyerahkan semua barang perhiasan yang dibawa. Atau mereka semua menukar
dengan meninggalkan nyawa!”
Amangrejo
menyampaikan apa yang dikatakan si botak pendek. Waktu bicara mata kirinya
dikedipkan. Long Cie mengangguk lalu bicara pada dua temannya. Dua orang itu
mengeluarkan masing-masing satu peti kayu dari kantong pelana masing-masing
lalu turun dari kuda dan meletakkan dua peti di tanah, beberapa langkah di
hadapan Surah Nenggolo.
“Bagus,”
kata si gemuk botak pula. “Sekarang suruh semua orang itu turun dari kuda
mereka.” Permintaan itu diteruskan Amangrejo pada Long Cie.
Bagi
nakhoda kapal, ini adalah suatu permintaan aneh. Dia memutuskan untuk tetap
berada di atas kuda namun menyuruh turun lima anak buah kapal yang masih duduk
di atas kuda. Kelima orang ini gantungkan tambur dan terompet mereka di leher
kuda masing-masing lalu turun ke tanah.
Surah
Nenggolo perhatikan Long Cie beberapa lama lalu mendekati seorang anak buahnya
dan berbisik. “Sipit satu itu agaknya punya otak cerdik pandangan tajam. Jika
terjadi keributan kau harus membunuhnya lebih dulu.”
Setelah
itu Surah Nenggolo menyuruh dua orang anak buahnya yang lain membuka penutup
peti kayu yang tergeletak di tanah.
Begitu
tutup dua peti terbuka menghamburlah delapan ekor ular kobra dan langsung
menyerang ke arah para perampok. Surah Nenggolo dan sebelas anak buahnya jadi
kalang kabut. Dua orang kena dipatuk ular kobra menjerit keras, roboh ke tanah,
kelojotan beberapa ketika lalu kaku tak bergerak lagi.
Surah
Nenggolo berteriak seperti anjing melolong. Seperti kesurupan dia berkelebat
kian kemari, menabas, membacok dengan golok besarnya ke arah ular-ular kobra besar.
Beberapa anak buahnya datang membantu. Sebentar saja delapan ular kobra
bergeletakan mati di tempat itu.
Kini
perhatian Surah Nenggolo dan sisa sembilan anak buahnya tertuju pada rombongan
awak kapal dagang Cina.
“Jahanam
keparat! Kucincang kalian semua!” teriak Surah Nenggolo. Tubuhnya berkelebat
enteng. Delapan dari sembilan anak buahnya ikut menghambur. Golok besar di
tangan kanan diputar sebat menghadapi tujuh orang awak kapal yang telah turun
ke tanah dan menyerbu dengan bersenjatakan golok panjang. Amangrejo sendiri
kabur berlindung di tempat yang aman.
Pertempuran
berlangsung hebat tapi cepat. Setelah membuat beberapa kali gebrakan enam orang
awak kapal dagang Cina yang bersenjatakan golok berseru kaget ketika tusukan
dan bacokan senjata mereka sama sekali tidak mempan terhadap tubuh lawan.
Senjata masingmasing seperti membal malah ada yang sampai terlepas mental.
Selagi mereka terkejut dan takut Surah Nenggolo dan anak buahnya dengan cepat
membalas serangan.
Kurang
dari dua jurus, keenam orang awak kapal dagang itu berkaparan di tanah. Darah
mengucur dari luka-luka mengerikan yang menguak di kepala, dada dan perut!
Sementara
itu anak buah yang tadi dibisiki Surah Nenggolo dengan golok di tangan melesat
ke arah nakhoda Long Cie yang saat itu masih duduk di atas kuda. Goloknya
berkelebat ke perut Long Cie. Awak kapal ini sentakkan tali kekang kuda,
berkelit ke kiri. Ketika lawan menyerang kembali Long Cie sudah memegang
sebatang tombak.
Traangg!
Tombak
dan golok beradu di udara. Anak buah Surah Nenggolo berseru kaget ketika
dapatkan senjatanya terlepas mental dari genggaman. Selagi tubuhnya melayang ke
tanah, tombak di tangan Long Cie menusuk deras ke depan.
Craass!
Tombak
bermata seperti pisau besar itu menembus dada anak buah Surah Nenggolo. Orang
ini hanya bisa keluarkan keluhan pendek. Mulut menganga mata mendelik. Long Cie
lepas tombaknya. Tubuh yang sekarat di ujung tombak jatuh terbanting ke tanah.
Surah
Nenggolo menggembor marah. Bersama beberapa anak buahnya dia segera mengejar
Long Cie yang tengah memutar tunggangannya.
“Serang
kudanya!” Teriak Surah Nenggolo.
Tiga
golok besar melesat di udara. Satu menyambar ke arah kepala kuda, satu ke kaki,
satu lagi ke jurusan perut.
Dengan
sigap Long Cie cabut golok panjang di balik punggung. Senjata itu diputar untuk
melindungi diri dan kuda tunggangannya.
Traang!
Traang! Traang!
Terdengar
tiga kali suara berdentrangan. Tiga golok yang dilemparkan anak buah Surah
Nenggolo mental, satu di antaranya patah dua. Surah Nenggolo nekad memburu.
Dia sama
sekali tidak menyerang nakhoda itu tapi berusaha membabat salah satu kaki kuda.
Namun Long Cie lebih cepat. Sambil membungkuk dia babatkan golok besar di
tangan kanannya dengan deras ke dada pemimpin rampok hutan Ngluwer ini.
Breett!
Dada
pakaian Surah Nenggolo robek besar. Manusia botak pendek ini cepat jatuhkan
diri ke tanah. Sesaat mukanya tampak pucat ketika dilihatnya nakhoda kapal
dagang Cina itu memutar kuda. Surah Nenggolo cepat lemparkan golok besarnya ke
arah Long Cie. Namun satusatunya awak kapal dagang yang hidup ini masih bisa
selamatkan diri dengan menjatuhkan diri sama rata di punggung kuda. Golok yang
dilempar Surah Nenggolo melesat hanya seujung kuku di atas punggung Long Cie.
Selain
mempunyai jabatan sebagai nakhoda kapal dagang rupanya Long Cie juga mempunyai
kepandaian silat lumayan.
“Keparat
jahanam! Aku bersumpah akan mencarimu di Morodemak!” teriak Surah Nenggolo
marah besar. Si botak usap mukanya beberapa kali. “Bangsat satu itu tidak mau
turun dari kudanya. Apakah dia…” Tiba-tiba sudut mata Surah Nenggolo melihat
semak belukar di depan sana bergerak. Dia segera hantamkan pukulan tangan
kosong.
Angin
deras menderu.
Braaakk!
Semak
belukar terbongkar hancur. Satu jeritan terdengar. Ketika Surah Nenggolo
melompat dan menyelidik ke balik semak belukar dia menemukan Amangrejo sudah
jadi mayat dengan darah masih mengucur dari mulut.
“Keparat
pengkhianat! Mau-mauan jadi kaki tangan orang asing! Sekarang rasakan sendiri!”
Si botak ludahi mayat Amangrejo lalu pergi menemui anak buahnya yang kini
tinggal sembilan orang.
“Kita
harus menemui pimpinan. Orang Cina sudah tahu kalau kelompok kita yang menjarah
candu. Padahal candu celaka itu entah berada di mana sekarang! Aku akan
berangkat duluan. Siapa di antara kalian yang bisa menunggang cepat memilih
kuda yang ditinggalkan orang Cina itu. Ikut aku!”
Surah
Nenggolo melompat ke atas seekor kuda besar.
Ketika
dia hendak menggebrak binatang itu tiba-tiba seorang anak buahnya berteriak.
“Surah! Lihat! Di atas pohon!”
*********************
13
SURAH
Nenggolo mendongak, memandang ke atas pohon yang ditunjuk anak buahnya. Di atas
dahan paling tinggi, duduk berjuntai seorang perempuan berpakaian biru berwajah
putih. Pinggangnya dililit satu ikat pinggang kulit besar. Pada ikat pinggang
ini tergantung lima buah kendi kecil berwarna hitam. Kendi keenam berada di
tangan kiri. Sambil duduk ongkang-ongkang kaki perempuan berpakaian biru teguk
minuman keras yang ada dalam kendi hitam hingga wajahnya berubah kemerahan.
Sesekali dia sunggingkan seringai ke arah orang-orang di bawah pohon.
“Hanya
seorang perempuan muda kurang ingatan, perlu apa diurusi!” seorang anak buah
Surah Nenggolo bernama Jantring keluarkan ucapan.
“Kau
hanya melihat dengan mata, tidak pakai otak!” damprat Surah Nenggolo. “Dia
bukan gadis sinting biasa.
Dia punya
kepandaian. Kalau tidak bagaimana bisa berada di atas pohon, menenggak minuman
dalam kendi. Kita harus menyelidik. Jangan-jangan dia mata-mata Kerajaan.
Jantring,
coba kau naik ke atas pohon. Paksa perempuan itu turun ke tanah!”
Jantring
merasa menyesal keluarkan ucapan. Namun karena ini adalah perintah atasan maka
segera saja dia jejakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas pohon.
“Ooo…
ooo! Siapa yang mengundangmu naik ke atas pohon?!” Perempuan yang duduk di
cabang pohon teguk cairan dalam kendi. Ketika Jantring hampir mencapai dahan
pohon di mana dia berada tiba-tiba si muka putih ini semburkan cairan dalam
mulutnya.
Wusss!!!
Jantring
tidak menduga akan mendapat serangan seperti itu. Dia coba menggapai cabang
pohon di sebelah kiri sekaligus berusaha melindungi muka dengan tangan yang
lain dari semburan cairan berbau sangat menyengat.
Tapi
gagal. Semburan cairan mengenai mukanya. Rampok hutan Ngluwer ini terpental dan
menjerit setinggi langit.
Suara
jeritan itu tersentak putus ketika tubuhnya jatuh bergedebuk di tanah. Surah
Nenggolo dan anak buahnya cepat mendatangi. Semua mengerenyit ngeri ketika
melihat bagaimana wajah Jantring nyaris tak bisa dikenali lagi. Hancur hangus
penuh lubang.
Di atas
pohon, perempuan berwajah putih tertawa panjang cekikikan.
Amarah si
botak bermata juling Surah Nenggolo meledak melihat kematian Jantring. Didahului
satu teriakan dahsyat dia hendak melesat menyerbu ke atas pohon.
Namun
salah seorang anak buahnya cepat menahan, memegang lengannya lalu berbisik.
“Perempuan
aneh itu berada di atas pohon. Kalau diserang… lihat apa yang terjadi pada
Jantring.” Ucapan si anak buah membuat Surah Nenggolo sadar akan sesuatu.
Dengan
mata berkilat dia ambil golok yang ada di tangan dua orang anak buahnya. Lalu
dua senjata ini dilemparkan ke atas pohon. Tapi orang yang jadi sasaran
serangan ternyata tidak ada lagi di dahan tempat tadi dia duduk. Dua golok
menembus dedaunan, melesat di udara kosong.
Suara
cekikikan kembali menggema di dalam rimba belantara. Mau tak mau selain
terperangah Surah Nenggolo dan anak buahnya jadi merinding juga.
“Botak
pendek! Apa matamu sudah buta?! Aku berada di sini! Mengapa menyerang tempat
kosong?! Hik… hik… hik!”
Para
perampok hutan Ngluwer jadi terkejut geger ketika mereka melihat perempuan yang
tadi diserang dengan golok ternyata memang telah berpindah ke pohon lain dan
duduk tertawa-tawa di salah satu cabang pohon.
“Kalian
sungguh tidak berbudi! Aku mau mengundang minum. Kalian malah menyerang!”
“Perempuan
muka putih! Setan atau apapun kau adanya! Jangan jual lagak di atas pohon!
Turun ke sini!” teriak Surah Nenggolo sambil menjambak sendiri cambang bawuknya
saking kesal.
Orang
yang diteriaki tertawa panjang.
“Apakah
aku cantik hingga kau menganggap aku jual lagak?!” Perempuan di atas pohon
liukkan badan hingga sebagian pinggang dan perutnya tersingkap menggairahkan.
Dia kemudian menatap ke arah Surah Nenggolo lalu meneguk minuman keras dalam
kendi hitam. Setelah usap lelehan cairan di sekitar bibirnya dia berkata dengan
suara keras. “Botak pendek! Kau minta aku turun ke tanah! Aku malah mau
mengundangmu naik ke atas pohon biar aku suguhi minuman sedap yang membuat
badan jadi segar, mata nyalang, pikiran lepas, dada lapang! Hik… hik… hik!
Apa kau
dan anak buahmu malu-malu menerima undanganku?! Apakah aku tidak cukup cantik
dan menggiurkan untuk duduk berhangat-hangat berdampingan dengan kalian di atas
pohon ini? Hik… hik… hik!”
Mendengar
ucapan orang yang menyuruh mereka naik ke atas pohon Surah Nenggolo dan anak
buahnya yang kini tinggal delapan orang saling pandang. Salah seorang dari
mereka membisiki. “Surah, jangan-jangan perempuan di atas pohon itu tahu…”
“Kita
harus menyelidik siapa dia adanya. Lalu membunuhnya!” Surah Nenggolo potong
ucapan anak buahnya.
Dia
memandang ke atas pohon lalu berkata dengan suara keras. “Perempuan muda…”
“Perempuan
muda!” orang di atas pohon mengulang ucapan Surah Nenggolo dengan suara keras
lantang. “Kau memanggil aku perempuan muda. Apakah menurutmu aku ini tidak
gadis lagi?! Kurang ajar! Jangan kau berani menghina!” Habis berteriak
perempuan ini keluarkan suara menggerung seperti menangis.
Melihat
orang bersikap aneh, Surah Nenggolo cepat berkata. “Gadis cantik di atas pohon,
harap maafkan kalau aku salah memanggil dirimu. Juga terima kasih atas undangan
minum. Namun aku rasa dahan pohon itu terlalu sempit untuk kami sembilan orang!
Bagaimana kalau kau saja yang turun ke sini! Mari kita bicara. Siapa tahu aku
bisa melupakan kematian tiga anak buahku dan kita bisa bersahabat!”
Perempuan
muka putih berpakaian biru gelap di atas pohon tertawa panjang. Agaknya dia
senang dipanggil gadis cantik. Dia tutup tawanya dengan berkata. “Bagus juga.
Ternyata kau bukan manusia bangsa pendendam.
Aku pikir
mungkin kita memang bisa bersahabat! Aku penuhi permintaanmu. Aku segera
turun!” Habis keluarkan ucapan perempuan itu gerakkan tangan kirinya.
Kraakk!
Dahan
pohon sebesar paha manusia patah, melayang jatuh ke tanah. Perempuan muka putih
menyusul turun.
Ketika
dia sampai di bawah kakinya tidak langsung menginjak tanah, tapi bertumpu pada
patahan dahan pohon. Tubuhnya tegak tak bisa diam. Bergoyang huyung ke kiri ke
kanan, sesekali oleng ke depan atau ke belakang. Keadaannya tidak beda orang
mabok.
Melihat
orang berdiri tidak menginjak tanah, Surah Nenggolo dan semua anak buahnya
saling pandang.
“Hai!
Sesuai permintaan aku sudah turun. Sekarang kenapa kalian kelihatan seperti bengong?!
Mari kita minum-minum…” Perempuan muka putih angkat tangannya yang memegang
kendi hitam.
Surah
Nenggolo maju dua langkah. Dia tidak berani terlalu dekat dengan perempuan yang
berdiri di atas dahan pohon. Sebaliknya orang yang didatangi memandang lekatlekat.
Pertama
ke arah dada pakaian kuning Surah Nenggolo yang robek besar akibat sambaran
pedang Long Cie tadi. Dia melihat di balik pakaian kuning di sebelah luar, di
bagian dalam kepala rampok ini mengenakan pakaian lain berwarna hitam.
Pandangan kedua diarahkan pada wajah Surah Nenggolo.
“Tampangmu
lucu! Ternyata matamu jereng! Hik… hik… hik! Pantas tadi kau keliru melakukan
serangan! Hai aku bisa mengobati mata julingmu. Dicongkel yang kiri dipindah ke
kanan, yang kanan dipindah ke kiri. Mau?”
Rahang
Surah Nenggolo menggembung. Walau marah dan jengkel namun dia jawabi ucapan
orang dengan tenang.
“Sekarang
kita telah menjadi sahabat. Boleh-boleh saja kita bicara lucu-lucuan. Apakah
kami boleh tahu siapa gerangan nama sahabat, apakah juga punya gelar atau
julukan gagah dalam rimba persilatan? Selama ini kami terlalu lama mendekam
dalam hutan hingga tidak tahu kalau ada tokoh-tokoh baru rimba persilatan yang
bermunculan. Harap sahabat kami gadis cantik sudi memberi tahu.”
Perempuan
muka putih mendongak lalu tertawa panjang. “Yang namanya rampok itu tentu saja
selalu mendekam dalam hutan. Kalau ada mangsa, baru muncul seperti tadi kau dan
anak buahmu membantai orang-orang Cina.”
Tampang
Surah Nenggolo tampak merah mendengar ucapan yang mengejek itu.
“Eh, tadi
kau tanya nama dan gelarku. Menurutmu apa nama yang bagus dan gelar yang pantas
untukku?”
Mendengar
pertanyaan orang Surah Nenggolo jadi kesal. Namun dia berlaku cerdik dan
alihkan pembicaraan.
“Sahabat,
aku lihat sedari tadi kau hanya berdiri di atas dahan pohon. Mengapa tidak
turun ke tanah agar kita bisa segera menikmati minuman yang kau tawarkan?”
“Hai, apa
kau tidak melihat kasut kakiku masih baru?
Aku tidak
mau mengotori alas kaki baru ini!” jawab perempuan muka putih sambil angkat
salah satu kakinya.
Ternyata
dia memang mengenakan kasut yang masih baru sebagai alas kedua kakinya.
“Kau juga
tetap tidak mau memberi tahu siapa dirimu pada kami kawan-kawan barumu?”
“Tidak
ada perlunya. Kalian mau ikutan minum atau tidak?”
“Sahabat,
jika kau menyembunyikan siapa dirimu, kami menaruh curiga. Jangan-jangan kau
adalah mata-mata yang dikirim Kerajaan!” Kata Surah Nenggolo pula.
“Ah,
kalau kau punya kecurigaan seperti itu berarti kau tidak sebenarnya jujur ingin
bersahabat denganku!
Manusia
jereng atau juling sepertimu ini tidak bisa dipercaya! Hik… hik! Sekarang
terpaksa aku membatalkan niat mengundang kalian minum. Lebih baik aku minum
sendiri!”
Gluk…
gluk… gluk.
Selagi si
gadis asyik meneguk minuman keras dalam kendi Surah Nenggolo memberi tanda pada
delapan anak buahnya. Pada tiga anak buah yang terdekat dia berkata. “Serang
sampai dia turun dari atas dahan. Jaga jarak. Hatihati semburan minuman keras.
Jangan sampai kena digebuk.” Tanpa banyak menunggu delapan orang anak buah
Surah Nenggolo, empat bersenjata golok, empat mengandalkan tangan kosong segera
menyerbu.
“Kurang
ajar! Benar-benar tidak berbudi! Mula-mula katanya bersahabat. Lalu menaruh
curiga. Sekarang malah menyerang!” Si muka putih berteriak marah. Satu sambaran
golok yang mengarah kepalanya ditangkis dengan kendi di tangan kiri. Kendi
hancur berantakan.
Orang
yang menyerang terpekik ketika satu tendangan menghantam dan membobol perutnya.
Darah menyembur dari mulut, sebagian memercik mengotori kaki kanan perempuan
muka putih. Perempuan ini berteriak marah.
“Jahanam
kurang ajar! Kau memecahkan kendiku! Kau mengotori kasut baruku! Mampus semua!”
Dalam kemarahannya perempuan itu melesat setinggi satu tombak ke udara. Korban
kedua jatuh ketika lagi-lagi kaki si muka putih berkelebat kirimkan tendangan
yang membuat pecahnya kepala salah seorang anggota rampok hutan Ngluwer.
Pada
waktu perempuan itu melesat ke arah Surah Nenggolo cepat pergunakan kesempatan
menendang dahan kayu yang tergeletak di tanah hingga terpental jauh.
Ketika
lawan melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Surah Nenggolo berteriak.
“Sekarang!” Dengan sebilah golok di tangan bersama anak buahnya yang kini
bersisa enam orang Surah Nenggolo menyerbu perempuan muka putih. Serangan dari
tujuh penjuru ini yang disebut jurus Menjepit Bumi Membantai Gunung sungguh
ganas luar biasa. Sasaran serangan tak mungkin selamatkan diri.
Namun apa
yang terjadi? Ketika tujuh lawan menyerbu secepat kilat perempuan muka putih
luncurkan tubuh ke bawah. Dia menyelinap di antara kaki-kaki lawannya sambil
pukulkan tangan kiri kanan.
Bukkk!
Buukkk!
Dua
anggota rampok terpental dan jatuh terbanting ke tanah. Namun cepat bangkit
kembali.
“Bangsat
perempuan! Jangan kabur!” teriak Surah Nenggolo.
“Siapa
kabur! Aku di sini! Hik… nik… hik!”
Terdengar
jawaban disusul tawa cekikikan.
Gluk…
gluk… gluk!
Semua
kepala dipalingkan. Surah Nenggolo melihat perempuan muka putih itu ternyata
berdiri dengan tangan kiri di pinggang, mulut meneguk minuman keras dalam kendi
hitam sementara sepasang mata mengawasi dua orang anggota rampok yang tadi
berhasil digebuknya.
Hebatnya
perempuan ini tidak langsung berdiri di tanah tapi tegak di atas mayat salah
seorang awak kapal dagang Cina! Seperti tadi tubuhnya tampak terhuyung-huyung
kian kemari.
*********************
14
MELIHAT
semua yang terjadi, salah seorang anak buah Surah Nenggolo dekati pimpinannya
dan berbisik, “Surah, lebih baik kita menghindar saja. Melawan perempuan
sinting tapi berkepandaian tinggi kita bisa habis semua.”
“Tutup
mulutmu! Aku yang mengatur perintah! Bukan kau!” semprot Surah Nenggolo. “Aku
masih penasaran.
Kita serang
sekali lagi dengan jurus Langit Terang Memancung Rembulan. Cari senjata! Apa
saja!”
Semua
anggota rampok segera mengambil tombak dan golok yang bergeletakan banyak di
tanah. Masing-masing kini memegang dua senjata termasuk sang pemimpin.
Sementara
perempuan muka putih masih asyik-asyikan meneguk minuman keras dalam kendi
hitam. Didahului teriakan keras dari Surah Nenggolo, tujuh pasang tangan
bergerak. Empatbelas senjata melesat ke udara, mengarah sasaran, mulai dari
kepala sampai ke betis perempuan muka putih.
Tiba-tiba
dalam satu kecepatan sulit dibayangkan, orang yang diserang seperti tumbang
jatuh punggung ke tanah. Sementara lebih dari selusin senjata menyambar ganas
kurang setengah jengkal dari atas tubuhnya, si muka putih gulingkan diri di
tanah. Sambil berguling tangan kiri lepaskan satu pukulan tangan kosong, mulut
semburkan minuman keras. Dua orang anak buah Surah Nenggolo menjerit. Kedua–nya
roboh ke tanah, melejang-lejang kelojotan. Empat kawan mereka diam terpaku,
kaget dan mulai leleh nyali masing-masing.
“Jahanam
kurang ajar! Aku mengadu jiwa denganmu!”
teriak
Surah Nenggolo marah besar. Tubuhnya melesat mengejar perempuan muka putih yang
masih bergulingan di tanah. Tangan kanan menghantam dua kali berturut turut ke
arah punggung.
“Mati
kau!” teriak Surah Nenggolo.
Buumm!
Bumm! Byaarr! Byaarr!
Dua
letusan keras menggelegar. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Asap hitam
mengepul. Di balik asap terdengar tawa cekikikan. Tiba-tiba sebuah kendi hitam
melayang ke arah kepala Surah Nenggolo. Kepala rampok ini menangkis dengan
pukulan tangan kiri. Kendi hancur berantakan. Kendi itu ternyata kosong.
“Botak
jereng! Aku di sini!”
Surah
Nenggolo berpaling ke belakang. Saat itu juga satu pukulan keras menghantam
dadanya. Manusia bertubuh pendek ini terpental sampai dua tombak, tapi segera
bangun tanpa cidera sedikitpun.
“Hemmm…
aku sudah menduga,” ucap perempuan muka putih sambil menyeringai. Dia maju
selangkah. Kaki kiri diselipkan ke punggung mayat awak kapal dagang Cina yang
tergeletak di tanah. Begitu kaki itu digerakkan ke atas dan sosok mayat melesat
di udara ke arah Surah Nenggolo dan anak buahnya berdiri, perempuan muka putih
cepat melompat. Sesaat kemudian dia telah berdiri di atas mayat awak kapal
dagang yang meluncur di udara.
Dalam
kagum dan juga rasa kecut yang mulai membayangi dirinya, Surah Nenggolo berikan
perintah pada anak buahnya. “Kalian serang mayatnya. Perempuan keparat itu
serahkan padaku!”
Empat
anggota rampok yang sebenarnya sudah ciut nyalinya namun takut pada pimpinan
mereka terpaksa menghambur maju dan lancarkan serangan ke arah mayat yang
dipakai tumpangan untuk meluncur. Sementara Surah Nenggolo angkat tangan kanan.
Tangan itu tampak bergetar hebat dan berubah warna menjadi kehitaman.
Kepala
perampok ini memang punya satu pukulan sakti disebut Wesi Kala Item. Pukulan
sakti ini mengandung racun sangat jahat. Lawan yang hanya terkena sapuan
anginnya saja pasti akan cidera kulitnya dan cacat sengsara seumur hidup.
Empat
pukulan keras menghantam mayat awak kapal hingga dagingnya remuk dan
tulang-tulang berderak patah.
Tubuh
perempuan yang berada di atas sosok mayat kelihatan oleng seperti mau jatuh ke
tanah.
“Hai, aku
pinjam kepalamu!” teriak si muka putih lalu blek! Enak saja kaki kirinya
hinggap di kepala salah seorang rampok. Bersamaan dengan itu dia tarik lepas
sebuah kendi. Sambil meneguk minuman keras dalam kendi kaki kanannya mencari
sasaran kepala perampok yang berdiri paling dekat. Tak ampun lagi rampok ini
terpental melintir dan terkapar di tanah dengan rahang rengkah.
Wuss!
Cahaya
hitam berkiblat dari tangan Surah Nenggolo yang melepas pukulan Wesi Kala Item.
Perempuan muka putih bergumam. Mulutnya terbuka menyembur minuman keras.
Dess!
Dess! Buum!
Satu
letupan keras menggema di tempat itu, meng goncang rimba belantara Ngluwer.
Surah Nenggolo tutupi muka dengan kedua tangan. Mulut berteriak keras. Tubuh
terjengkang di tanah. Dua tangannya tampak hangus dan ada bercak-bercak hitam.
“Celaka!”
ucap kepala rampok ini dengan muka pucat.
Racun
Wesi Kala Item yang dilepas, akibat semburan minuman keras lawan ternyata
berbalik mengenai kedua tangannya sendiri.
Tawa
cekikikan mengumbar di udara. Putuslah nyali kepala rampok hutan Ngluwer ini
walau di depan sana dilihatnya perempuan muka putih terhuyung-huyung lalu jatuh
berlutut di tanah akibat letupan keras tadi.
Ketika
Surah Nenggolo menghambur kabur tinggalkan tempat itu, tiga orang anak buahnya
yang masih hidup telah minggat lebih dulu. Dua orang yang hancur kakinya hanya
bisa mengerang merasakan sakit amat sangat.
“Hik…
hik! Botak mata jereng! Enak saja mau kabur! Tunggu dulu! Ada yang akan aku
tanyakan padamu!”
Surah
Nenggolo percepat lari, masuk ke dalam hutan.
Namun
kakinya seperti dipantek ketika mendadak di depan sana sosok perempuan muka
putih tahu-tahu muncul menghadang. Tubuh terhuyung-huyung, mulut menyeringai.
Kepala rampok ini segera memutar arah lari.
Lagi-lagi
dia terperangah karena perempuan tadi sudah ada di hadapannya dan sekali
tangannya bergerak baju kuning yang dikenakannya robek besar. Seperti tadi yang
dilihat dan diduga perempuan muka putih ternyata di balik baju kuning, kepala
rampok ini mengenakan sehelai pakaian hitam. Pada dada kiri ada sulaman benang
kuning rumah joglo dan sepasang keris bersilang. Melihat sulaman ini perempuan
muka putih berteriak keras, mata mendelik seperti memandang setan!
“Benar
dugaanku! Kau orang Keraton Kaliningrat.”
Secepat
kilat jari telunjuk tangan kanan perempuan muka putih menusuk kelopak mata
kanan Surah Nenggolo.
“Dengar,
matamu akan aku cungkil jika kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan!”
“Jangan!
Ampuni selembar jiwaku! Aku akan jawab apa saja yang kau tanyakan!” Kepala
rampok itu tampak sangat ketakutan. Tubuh menggigil, wajah seputih kertas.
“Di mana
sarangmu! Di mana Keraton Kaliningrat?!”
“Aku…
sarang kami di dalam rimba belantara. Selalu berpindah-pindah. Sejak beberapa
lama ini kami menjadikan hutan Ngluwer sebagai markas…”
“Bagus!
Sekarang katakan di mana letak Keraton Kaliningrat. Apa letaknya sama dengan
sarangmu?”
“Yang namanya
Keraton Kaliningrat tak ada ujud tak ada bentuk. Letaknya bisa di mana saja!”
“Bangsat
juling! Siapa percaya ucapanmu!” Tusukan jari di kelopak mata kanan semakin
dalam, menembus kulit hingga darah mulai mengucur. Surah Nenggolo menahan sakit
setengah mati. Dia merasa bola matanya seperti mau melompat keluar.
“Aku
tidak berdusta. Kau boleh mencungkil mataku!
Kau boleh
membunuhku tapi kau tidak akan mendapat jawaban lain.”
“Begitu?”
si muka putih menyeringai. “Kalau begitu antarkan aku ke tempat di mana
terakhir kali beradanya Keraton Kaliningrat!”
“Percuma
saja. Kau tidak akan menemukan siapa-siapa di tempat itu.”
“Hemmm…”
Si muka putih bergumam, berpikir-pikir.
“Gadis
cantik, aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku. Aku bersumpah benar-benar
tidak tahu apa-apa mengenai Keraton Kaliningrat. Dalam jajaran mereka aku tak
lebih dari seorang kacung.”
“Kau
seorang kacung? Kasihan sekali. Hik… hik. Baiklah, aku akan mengampuni selembar
nyawamu. Jika kau bertemu dengan orang-orang Keraton Kaliningrat katakan bahwa
kita bersahabat. Sekarang ulurkan tangan kananmu. Aku ingin berjabatan tangan
denganmu!”
“Ah, kau
baik sekali. Terima kasih…” Surah Nenggolo jatuhkan diri berlutut dan
membungkuk berulang kali. Lalu dia angkat tangan kanan, siap untuk menyalami.
Tiba-tiba
sebuah kendi hitam berkelebat, lalu praakkk!
Surah
Nenggolo menjerit setinggi langit. Tangan kanannya mulai dari jari sampai ke
pergelangan hancur!
Si muka
putih tertawa bergelak lalu dorong dada Surah Nenggolo dengan kaki kiri hingga
orang ini terguling jatuh.
“Tangan
yang memiliki ilmu setan harus dihancurkan. Sekarang pergilah, aku tidak suka
melihat tampangmu!”
Susah
payah Surah Nenggolo berdiri, terbungkukbungkuk menahan sakit lalu lari masuk
ke dalam hutan Ngluwer secepat yang bisa dilakukannya. Perempuan muka putih
tersenyum. Dia menunggu sebentar lalu melesat ke atas sebatang pohon besar.
************************
Hutan
Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelincir ke barat Surah
Nenggolo baru sampai ke tempat yang ditujunya. Tempat itu adalah sebuah danau
kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Sosok dan dedaunan pohon yang berbagai
ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul ke
permukaan air.
Di
pinggir danau ada beberapa tanah yang agak terbuka. Di sini berdiri tiga buah
bangunan beratap rumbia.
Dua agak
kecil dan berdinding, satunya besar tapi tanpa dinding. Di bangunan besar
tampak banyak orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu.
Di kepala
meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh tahun,
berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis tebal. Rambut tebal panjang
sebahu. Dibanding semua orang yang ada di tempat itu dia satu-satunya yang
berpakaian bagus dan mewah. Di kiri kanan meja duduk duabelas orang yang
rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Di antara mereka, raut wajah
serta pakaian jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-satunya
perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh
burung kakak tua, bermata dingin berwarna kelabu. Di sebelah luar sekitar
empatpuluh orang bertubuh tegap, berpakaian dan ikat kepala hitam tegak
berjaga-jaga. Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning
rumah joglo dan dua keris bersilang.
Lelaki di
kepala meja sebelah kanan berkeliling lalu bertanya. “Keluarga seperjuangan
yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?”
Ada yang
menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
“Terima
kasih. Terima kasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan
Keraton Kaliningrat yang ke sembilanbelas ini. Seperti yang sudah-sudah
Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri
beliau.”
“Pangeran
Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?”
seorang peserta pertemuan bertanya.
“Tentu
saja.” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala.
“Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal
penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal dagang Cina
yang sampai saat ini tidak diketahui di mana beradanya. Dua orang kerabat kita
tewas. Dua orang lagi kembali dengan tangan hampa. malah membawa musibah. Hal
kedua…”
Belum
sempat Pangeran Muda meneruskan ucapannya tiba-tiba di kejauhan terdengar satu
jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah satu sosok
pendek seorang lelaki berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung
masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik. Muka
sepucat kain kafan. Ada luka di mata kanan yang membuat bola matanya seperti
hendak meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur dan berlumuran darah
setengah kering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyung-huyung.
Kalau
tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan
menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian
tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak
ini lalu didudukkan di sebuah kursi.
“Surah
Nenggolo! Apa yang terjadi dengan dirimu?!
Mana anak
buahmu?!” Lelaki di kepala meja kanan bertanya. Suara bergetar menahan
perasaan.
“Delapan
orang menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon maafmu…”
“Jangan
dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!” Pangeran Muda di ujung
meja membentak.
Ketakutan
sekali Surah Nenggolo yang kepala rampok hutan Ngluwer itu menuturkan apa yang
terjadi.
“Seorang
perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dia yang punya pekerjaan.
Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Memalukan.”
Pangeran
Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursinya. Lelaki
ini kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua. Walau dia
satusatunya perempuan di tempat itu, agaknya dia memiliki wibawa cukup tinggi
hingga dijadikan tempat bertanya.
“Ni
Serdang Besakih, saya ingin mengirimkan orang kita ke perbatasan. Mungkin
perempuan sinting itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu
lebih dulu.”
“Pangeran
Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita mengirimkan
orang. Jika boleh aku yang pergi mencari bersama beberapa orang saudara
seperjuangan. Saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul untuk
mengawasi keadaan. Bagaimana pendapatmu?”
“Pendapatku
Nek, kau tak perlu susah-susah mencari. Aku sudah ada di sini!”
Tiba-tiba
satu suara terdengar.
Semua
orang dalam bangunan sama mendongak ke atas atap karena suara orang yang bicara
datang dari arah sana. Bersamaan dengan itu mendadak atap bangunan yang terbuat
dari rumbia jebol. Satu sosok berpakaian biru disertai suara tawa mengikik
melayang turun ke bawah, berdiri di atas meja! Bau minuman keras mengampar menusuk
hidung.
“Dia
orangnya!” teriak Surah Nenggolo sambil menunjuk dengan tangan kiri. Semua
orang yang ada di tempat itu menjadi geger! Lalu suasana berubah hening seperti
di pekuburan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment