Bulan Sabit Di Bukit Patah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
1
GOA itu
terletak di lereng timur Bukit Siangok. Bagian dalamnya berlapis batu-batu
pualam. Bebatuan ini selain memancarkan cahaya terang juga mengeluarkan hawa
sejuk di waktu siang dan menebar udara hangat di malam hari. Siapa saja, bahkan
lebih dari satu orang bisa tinggal di goa itu untuk jangka waktu lama karena
tak berapa jauh dari goa terdapat sebuah perigi dangkal berair jernih. Di
lereng di atas goa ada satu hutan kecil ditumbuhi berbagai pohon buah yang bisa
dimakan. Selain itu Juga banyak berkeliaran ayam hutan yang tidak terlalu sulit
ditangkap untuk dijadikan santapan.
Untuk
mencapai goa yang terletak di bagian bukit terpencil ini jalan yang harus
ditempuh cukup sulit. Penduduk beberapa dusun di sekitar kaki Bukit Siangok
jangankan naik ke bukit, mendekat di sekitar kaki bukit saja tak ada yang
berani. Konon di kawasan bukit banyak berkeliaran harimau besar. Terkadang binatang
ini tidak muncul sendirian, ada kalanya berombongan atau anak beranak. Ada yang
mempercayai kalau binatang-binatang buas itu merupakan peliharaan orang sakti.
Namun siapa orangnya dan di mana tepat tempat kediamannya tidak diketahui.
Penduduk hanya menduga-duga bahwa binatang buas itu adalah masih anak buah
Inyiek Batino yang dikenal sebagai Ratu Sekalian Harimau Betina di tanah
Minangkabau.
Menjelang
pertengahan hari dari arah utara kelihatan empat orang berkelebat cepat. Salah
seorang dari mereka berlari sambil memanggul sosok perempuan muda berbadan
elok, berambut hitam terurai. Keempat orang ini ternyata menuju ke Bukit
Siangok yang ditakuti penduduk beberapa dusun itu.
Dengan
ketinggian ilmu kesaktian yang dimiliki, empat orang itu berlari secepat tiupan
angin. Tidak selang beberapa lama mereka telah berada di lereng timur Bukit
Siangok, di mana goa tadi berada.
“Ini
tempat rahasia yang aku ceritakan.” Berkata orang yang pertama sekali mencapai
mulut goa. Orang ini berusia lebih setengah abad. Mukanya aneh karena ditutupi
bulu hitam di sebelah kanan dan bulu putih di bagian kiri. Baju serta celana
galembong hitam yang dikenakannya kotor oleh debu dan selepotan tanah. Di
pinggang orang ini tergantung sebilah pedang tapi cuma sarungnya saja yang ada.
Inilah Tuanku Laras Muko Balang, salah seorang tokoh utama yang terlibat dalam
usaha mencari puteri Pangeran Tiongkok bernama Chia Swie Kim yang kemudian
diberi nama Puti Bungo Sekuntum, digelari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok oleh
Datuk Marajo Sati, Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk Luhak Nan Tigo. Seperti
dituturkan dalam “Mayat Kiriman Di Rumah Gadang”, pedang sakti Al Kausar
miliknya yang terbuat dari perak murni dan konon berasal dari tanah Arab
terjatuh di tanah tak sempat diambilnya ketika terjadi perkelahian antara
dirinya dengan Wiro dan Si Kamba Mancuang. Masih untung dia bisa melarikan diri
selamatkan nyawa sekaligus memboyong Puti Bungo Sekuntum.
Akan
halnya gadis cantik Puti Bungo Sekuntum, saat itu tergeletak dalam keadaan
tertotok di panggulan bahu kiri seorang lelaki berdestar dan berpakaian serba
merah yang bukan lain adalah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Rambut panjang
hitam tergerai awut-awutan, wajah pucat dan dua mata tertutup.
Sekali-sekali
Pandeka Bumi Langit meniup-niup tangan kanannya yang merah melepuh. Sewaktu
terjadi pertarungan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan mengandalkan ilmu
silat Sitaralak dia berhasil menyarangkan pukulan bernama Tigo Alu Mangupak
Lasuang.
Wiro
semburkan darah akibat terluka di dalam walau tidak parah. Pandeka Bumi Langit
sendiri mengelupas kulit tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai ke
pergelangan akibat hawa panas yang memancar keluar dari tubuh Wiro berasal dari
kapak sakti yang berada dalam badan sang pendekar. (Baca: “Fitnah Berdarah Di
Tanah Agam”)
Orang
ketiga yang ikut bersama Tuanku Laras Muko Balang tentu saja adalah Ki Bonang
Talang Ijo, orang tua sakti dari Kuto Gede di tanah Jawa. Kakek bersorban dan
berjubah hijau ini, yang menjadi pimpinan rombongan pencari Kupu Kupu Giok
Ngarai Sianok keadaannya mengenaskan sekaligus menggidikkan. Ketika bertarung
melawan Datuk Panglimo Kayo, walau dia berhasil membuat lawan akhirnya menemui
ajal, namun Datuk Panglimo Kayo sempat menginjak hancur kening dan mata
kanannya. Kini kening dan mata itu dibalut sehelai kain hitam tebal. Blangkon
hijau berbunga hijau yang merupakan salah satu senjata andalan masih bertengger
di atas kepala.
Tak jauh
di sebelah kiri Ki Bonang berdiri seorang lelaki bermata sipit berkulit kuning.
Tangan kanan dibalut di bagian siku. Inilah Perwira Muda TengSien yang daun
telinga kanannya sumplung dihantam patahan goloknya sendiri sewaktu berkelahi
melawan Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti diketahui dia adalah orang
kepercayaan Pangeran Chia di daratan Tiongkok yang merupakan ayah dari Chia
Swie Kim. Perwira berkepandaian tinggi ini bersama tiga orang anak buahnya yang
telah lebih dulu menemui ajal ditugaskan untuk mengejar dan membawa kembali
Chia Swie Kim yang didalam tubuhnya terdapat sebuah benda pusaka keramat milik
Kerajaan yaitu Kupu Kupu Mata Dewa. Di dalam menjalankan tugas Perwira Muda itu
diberi wewenang untuk menyerahkan hadiah berupa batangan-batangan emas sebanyak
dua peti kepada siapa saja yang membantu mendapatkan puteri sang Pangeran. Satu
peti telah diberikan kepada Ki Bonang dan semua orang yang memberikan
pertolongan. Sisa satu peti disimpan di satu tempat rahasia dan baru akan
diserahkan kalau Chia Swie Kim dalam bentuk seorang gadis ataupun dalam ujud
kupu kupu batu giok berhasil ditemukan dan untuk selanjutnya dibawa kembali ke
Tiongkok. (Baca episode pertama berjudul “Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”)
Dari air
muka Teng Sien yang tembam keringatan dan kotor terpancar perasaan jengkel
kalau tidak mau dikatakan marah. Dia tengah menghadapi satu hal yang tidak disukainya.
Dia telah mencium ada hal-hal yang tidak beres dengan orang-orang yang kini
membantunya.
“Kalian
semua cepat masuk ke dalam goa. Kita aman di sini. Kita butuh istirahat…”
Berkata Tuanku Laras Muko Balang. Lalu dia mendekati Pandeka Bumi Langit untuk
mengambil Puti Bungo Sekuntum dari atas bahu dan membawanya masuk ke dalam goa.
Sewaktu
Ki Bonang Talang Ijo hendak melangkahkan kaki mengikuti Tuanku Laras, Perwira
Muda Teng Sien cepat memegang bahu si kakek dan berkata.
“Aku
tidak akan masuk ke dalam goa. Bukan ini yang aku inginkan! Bukan begini
perjanjian kita! Aku punya tanggung jawab besar pada Pangeran Chia dan Kaisar
Tiongkok. Aku harus segera membawa gadis itu ke Tionggoan. Dalam ujudnya
seperti sekarang ini atau dalam bentuk kupu kupu Giok! Mengapa orang bermuka
belang masih menahan gadis itu? Apa yang hendak dilakukannya? Aku punya
kecurigaan.” (Tionggoan: Daratan Tiongkok)
“Perwira,
sabar… tenang. Kita masuk dulu ke dalam goa. Istirahat barang sebentar apa
salahnya. Kita bicara di dalam…” Ki Bonang Talang Ijo menjawab sambil membujuk
dan memegang bahu Teng Sien.
Mendengar
suara orang bicara di belakang dan kemudian melihat Teng Sien tidak mau
beranjak dari tempatnya, Tuanku Laras bertanya pada Ki Bonang Talang Ijo. Orang
tua dari Kuto Gede ini memang satusatunya yang mengerti bahasa Cina di dalam
rombongan. Karena itu dia juga bertindak sebagai juru bahasa antara Teng Sien
dengan Ki Bonang dan anggota rombongan lainnya.
“Ada apa
Ki Bonang? Apa yang dibicarakan Perwira itu?”
Mendengar
pertanyaan Tuanku Laras, Ki Bonang dengan polos memberi tahu apa yang dikatakan
Teng Sien.
Tampang
Tuanku Laras berubah meregang. Bulu hitam putih yang tumbuh menyelimuti
wajahnya berjingkrak berdiri.
“Katakan
pada Perwira Cina itu! Jika dia tidak mau masuk atau mau Undang hapus dari
tempat ini lebih baik dia pergi saat ini juga!”
(Undang
hapus: pergi/angkat kaki) “Tapi ingat!” Tuanku Laras cepat menyambung
ucapannya. “Jangan harap aku akan menyerahkan gadis Cina ini padanya.
Sebaliknya dia punya kewajiban menyerahkan sisa satu peti emas pada kita!
Gara-gara urusan yang dibawanya banyak sahabat kita di negeri ini menemui ajal!
Ki Bonang, beri tahu apa yang aku katakan padamu! Nanti aku ingin bicara dengan
Ki Bonang melanjutkan pembicaraan yang terputus tempo hari.”
“Sahabatku
Tuanku Laras, kita semua tidak pernah menduga kalau dalam membantu Perwira Cina
itu akan jatuh begitu banyak korban dan terjadi silang sengketa di negeri ini.
Semua rencana telah salah arah. Yang penting sekarang bagaimana urusan ini bisa
selesai dengan baik…”
“Ki
Bonang, seperti aku, kau terlibat dalam masalah besar ini. Jadi jangan sekarang
kau berpura-pura menyesal!”
Ki Bonang
Talang Ijo tidak menyahuti ucapan orang tapi dalam hati dia berkata “Manusia
satu ini sudah salah kaprah! Apa yang ada di benaknya? Ingin mendapatkan emas
tapi tidak mau menyerahkan gadis itu. Perwira Cina itu bicara dan punya jalan
pikiran benar. Aku menduga ada satu rencana mencari keuntungan sendiri dalam
benak Tuanku Laras. Dia bersikap seolah dialah yang kini jadi pimpinan dalam
rombongan. Padahal aku yang mengajaknya serta…
Tentu saja
ki Bonang tidak mau menyampaikan ucapan Tuanku Laras pada Perwira Muda Teng
Sien. Karena kalau hal itu diberitahu pastilah Perwira Cina itu akan menjadi
marah dan bisa-bisa mengamuk. Maka kembali Ki Bonang membujuk agar Teng Sien
mau masuk dulu ke dalam goa. Akhirnya Teng Sien masuk juga diikuti Pandeka Bumi
Langit di sebelah belakang.
Goa
berlapis batu-batu pualam di lereng timur Bukit Siangok itu ternyata. cukup
besar. Gundukan batu-batu pualam putih setinggi pinggul membentuk dan membagi
bagian dalam gua menjadi empat ruangan. Tuanku Laras masuk ke dalam ruangan
paling ujung. Ki Bonang di ruangan sebelah, lalu Pandeka Bumi Langit di ruangan
kiri. Perwira Teng Sien sambil mulut komat-kamit mengeluarkan suara
menggerendeng dudukkan diri dengan kesal di lantai batu pada ruangan sebelah
kanan yaitu yang paling dekat ke mulut goa.
Tak
selang beberapa lama terdengar suara Tuanku Laras memanggil Ki Bonang.
“Ki
Bonang. Kita harus bicara dan mengambil keputusan sekarang juga!” Kata Tuanku
Laras begitu Ki Bonang duduk di depannya. Sebenarnya tokoh silat dari tanah
Jawa ini tidak suka menghadapi sikap Tuanku Laras yang seolah dialah yang jadi
pimpinan dalam rombongan. Namun dia diam saja sambil memperhatikan keadaan
sekeliling ruangan.
Di
sebelah kiri Pandeka Langit Bumi pura-pura tidur tapi diamdiam telinganya
menguping apa yang dibicarakan ke dua orang itu. Sementara itu Puti Bungo
Sekuntum telah dibaringkan di lantai goa masih dalam keadaan tertotok tak bisa
bergerak tak mampu bersuara. Namun telinga dapat mendengar semua pembicaraan
orang yang ada di dalam goa.
“Ki
Bonang sahabatku,” berujar Tuanku Laras, “Kau belum memberi jawaban atas
rencana yang pernah aku beri tahu. Hal itu tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Perwira Cina itu sudah saatnya harus dihabisi!”
***********************
2
KI BONANG
Talang Ijo terkejut mendengar kata-kata orang bermuka belang yang duduk
dihadapannya itu. Sebelumnya memang Tuanku Laras pernah bicara bahwa dia ingin
mengusir Perwira Muda Teng Sien bahkan membunuhnya bilamana perlu. Saat itu Ki
Bonang tidak begitu menanggapi. Rupanya si muka belang ini tidak main-main
dengan ucapan serta rencananya.
“Tuanku
Laras, mengapa kita musti membunuh Perwira Cina itu. Dia datang minta tolong
padaku laiu aku minta tolong pada Tuanku Laras dan teman-teman di sini. Kita
sudah menerima pembayaran satu peti emas. Kita akan mendapatkan peti kedua
setelah menyerahkan gadis itu pada Teng Sien. Bukankah begitu perjanjiannya?”
Rahang Tuanku Laras menggembung. Lalu dia menyeringai dan enak saja meludah di
lantai goa. Wajah cacat Ki Bonang Talang Ijo tampak berubah merah. Dia merasa
tersinggung dan terhina oleh perilaku meludah yang barusan dilakukan Tuanku
Laras. Bukan saja karena dia merasa jauh lebih tua tapi dimatanya Tuanku Laras
adalah salah seorang dari bawahan, anak buahnya.
“Ki
Bonang, orang minta tolong wajib dibantu.” Ucap Tuanku Laras tanpa
memperhatikan raut wajah Ki Bonang yang berubah. “Tapi kalau permintaannya
telah menjadi malapetaka bagi kita yang menolong apa kita masih mau melanjutkan
pertolongan? Sudah berapa kerabatku menemui ajal. Aku kehilangan pedang sakti
Al Kausar. Kau sehdiri… Coba lihat dirimu. Kening hancur mata terpuruk buta!
Kau masih mau menolong Perwira Muda itu? Bagaimana kalau dia menggagahi gadis
itu ditengah jalan lalu membunuhnya. Apa Ki Bonang mau bertanggung jawab?!”
“Mana dia
berani melakukan hal itu. Ke manapun dia pergi pasti akan diburu orang-orang
Kerajaan. Dia akan dipancung! Tapi itu biar menjadi urusannya. Urusan kita
menyerahkan gadis itu padanya dan dia menyerahkan satu peti emas pada kita.
Urusan selesai. Habis perkara. Perwira itu pulang ke Tiongkok, aku pula ke
Jawa.”
“Ki
Bonang, kita tidak tahu banyak tentang siapa adanya Perwira Muda Teng Sien.
Mungkin saja dia sebenarnya adalah penjahat besar di daratan Tiongkok. Sekarang
aku ingin bertanya. Apa kau sejalan dengan rencanaku atau tidak?” “Tuanku
Laras, aku…”
“Kalau
kita bunuh Perwira itu, emas yang satu peti tinggal kita bagi dua. Kau pulang
ke Jawa akan menjadi orang kaya raya!”
Ki Bonang
terdiam. Rupanya ucapan Tuanku Laras mendatangkan kebimbangan dalam hatinya.
Sesaat kemudian Ki Bonang bertanya.
“Saat ini
kita tinggal bertiga. Bagaimana dengan sahabat kita Pandeka Bumi Langit?”
Bertanya Ki Bonang.
Tuanku
Laras tinggikan kepala, memandang ke ruangan di sebelah kiri di mana Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik berada. Saat itu dilihatnya sang Pandeka duduk
bersandar ke dinding goa, mata terpejam mulut terbuka dan mengeluarkan suara
mengorok perlahan. Setengah berbisik Tuanku Laras kemudian menjawab pertanyaan
Ki Bonang Talang Ijo.
“Dia
cukup kita beri tambahan satu batang emas saja. Biar nanti aku yang mengatur.”
“Kalau
dia menolak?” tanya Ki Bonang.
“Gilirannya
kita habisi!” Jawab Tuanku Laras Muko Belang.
Ki Bonang
Talang Ijo tidak menjawab.
“Sekarang
katakan padaku di mana satu peti emas itu disimpan Teng Sien. Ki Bonang pernah
mengatakan kalau Ki Bonang tahu tentang keberadaan emas itu. Kita bisa pergi
sama-sama mengambilnya.”
“Aku
memang tahu. Tapi bagaimana mungkin aku menyalahi perjanjian dengan Teng Sien?”
kata Ki Bonang pula. Walau hatinya tergoda untuk mendapatkan tambahan batangan
emas yang begitu banyak tapi dia tidak akan memberi tahu di mana satu peti
batangan emas yang lain berada. Dalam hati orang tua itu membatin. “Kalau aku
beri tahu sama saja aku menggadaikan nyawa. Setelah dia nekad membunuh Teng
Sien dan Pandeka Bumi Langit pasti aku pula yang akan dibantainya.”
Apa yang
ada di benak Ki Bonang begitu pula yang diperkirakan Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik yang saat itu pura-pura tidur, dalam hati dia berkata. “Ki Bonang,
sekali kau memberi tahu di mana emas itu berada maka nyawamu hanya tinggal
bilangan hari saja.”
“Aku
kecewa mendengar ucapan Ki Bonang…” Tuanku Laras berkata. “Rupanya aku harus
bertindak sendiri.”
“Maafkan
aku Tuanku Laras. Tapi kita harus berlaku hati-hati agar jangan salah
bertindak.” Jawab Ki Bonang. Lalu kakek ini alihkan pembicaraan dengan
bertanya. “Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Lalu ke mana tujuan kita
selanjutnya?” Ki Bonang bertanya mengalihkan pembicaraan.
“Kita
melanjutkan perjalanan pada saat matahari tenggelam. Saat ini aku belum bisa
memberi tahu ke mana tujuan kita.”
Tuanku
Laras tersenyum. Senyuman yang terasa aneh di mata Ki Bonang karena belum
pernah dia melihat Tuanku Laras tersenyum polos seperti itu. Biasanya orang ini
kalau tersenyum selalu dibayangi air muka menunjukkan sikap sinis atau
melecehkan orang.
Sambil
mendekatkan kepalanya ke samping wajah Ki Bonang, Tuanku Laras berkata setengah
berbisik.
“Kau
betul. Gadis ini hanya akan menjadi beban saja. Tapi beban yang sangat
membahagiakan…”
“Apa
maksud Tuanku Laras?” Tanya Ki Bonang sementara hatinya menduga-duga.
“Aku
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku tidak akan melepas gadis satu ini.
Aku akan mengambilnya menjadi istri.”
Ki Bonang
Talang Ijo sampai ternganga saking tercengangnya mendengar ucapan Tuanku Laras.
Lalu dia cepat tersenyum dan berkata.
“Maafkan
diriku Tuanku Laras. Setahu saya bukankah Tuanku Laras sudah punya tiga orang
istri…?”
Meskipun
matanya membeliak merah dan bulu hitam putih dimukanya berjingkrak tegak Tuanku
Laras masih mampu menjawab dengan suara tenang.
“Aku bisa
beristri sampai empat orang. Siapa yang melarang? Adat membenarkan. Agama
mengizinkan!”
“Aku
mengerti Tuanku Laras. Hanya saja, kalau Tuanku Laras melakukan hal itu, lantas
apa bedanya dengan perbuatan yang telah dilakukan Datuk Marajo Sati?”
Mendidihlah
amarah Tuanku Laras Muko Batang mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. Mata
mendelik merah, rahang menggembung dan semua bulu yang menutupi wajahnya
berdiri kaku. Tangan kanannya tiba-tiba dipukulkan ke bawah.
“Braakk!”
Salah
satu gundukan batu pualam putih di lantai gua hancur berkeping-keping. Lantai
goa sendiri melesak amblas sampai satu jengkal.
“Ki
Bonang! Kalau kau bukan seorang sahabat sudah ku pecahkan kepalamu seperti aku
memecahkan batu ini!” Ucap Tuanku Laras setengah berteriak hingga suaranya
menggelegar di dalam gua, membuat Pandeka Bumi Langit yang pura-pura tidur
membuka kedua matanya sebentar lalu meneruskan tidur bohong-bohongannya. Di
dekat mulut goa Perwira Muda Teng Sien berdiri dari duduknya, memandang ke arah
Tuanku Laras dan Ki Bonang lalu duduk kembali di tempatnya sambil geleng-geleng
kepala. Hatinya semakin tidak suka. Niatnya untuk segera membawa Puti Bungo
Sekuntum semakin besar.
Tuanku
Laras Muko Balang yang masih belum reda amarahnya kembali berteriak.
“Ki
Bonang! Jaga mulutmu kalau bicara! Jangan samakan aku dengan Datuk Marajo Sati
keparat itu! Dia menyekap gadis ini sebagai gendakl Aku akan mengawininya!
Melalui pernikahan yang syah! Apa kau kira aku ini lelaki mata keranjang yang
tidak punya martabat?!”
Ki Bonang
hanya bisa mengangguk-angguk kepala beberapa kali.
“Tuanku
Laras, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.” Belangkon
hijau yang sejak tadi dipegang cepat-cepat dikenakan lalu Ki Bonang berdiri.
“Kau mau
ke mana Ki Bonang?” tanya Tuanku Laras.
“Aku mau
ke luar goa. Ingin menghirup udara segar…”
“Di dalam
goa ini aman dan udaranya sejuk. Apa Ki Bonang tidak merasakan?”
“Aku
tidak lama. Sebentar juga masuk kembali.”
“Agaknya
Ki Bonang tidak suka aku mengambil Puti Bungo Sekuntum menjadi istri? Rupanya
Ki Bonang juga punya hasrat terhadap gadis ini?” Tuanku Laras bertanya sambil
mengusap punggung Puti Bungo Sekuntum yang tergolek tak bergerak di lantai.
Ki Bonang
tertawa.
“Aku
sudah tua. Jika aku mau di tanah Jawa aku bisa mempunyai dua belas gundik! Tapi
bagiku jaman untuk bercinta mengumbar nafsu sudah lewat…” Ki Bonang berdiri
lalu melangkah keluar goa.
“Ki
Bonang!” Tuanku Laras memanggil.
Ki Bonang
Talang Ijo hentikan langkah, berbalik menoleh ke arah Tuanku Laras. Lelaki
bermuka belang itu berkata.
“Ki
Bonang, kalau kau punya niat hendak meninggalkan tempat ini sebaiknya bicara
terus terang!”
Ki Bonang
Talang Ijo menyeringai lalu menjawab.
“Seperti
kata Tuanku Laras tadi, aku ingin menjadi orang kaya raya kalau pulang ke tanah
Jawa.”
Tuanku
Laras Muko Balang tertawa mengekeh.
“Kau
sahabatku yang cerdik!” Memuji Tuanku Laras walau dalam hati ini dia punya
pikiran, jangan-jangan orang tua dari tanah Jawa ini yang harus dibunuhnya
lebih dulu. “Ki Bonang, kau tunggu saja, nyawamu hanya tinggal seujung kuku!”
Ki Bonang
rapikan belangkon di atas kepala lalu teruskan langkah ke mulut goa.
Namun
masih satu langkah kakinya akan mencapai mulut goa tiba-tiba di luar sana
terdengar suara angin menderu disusul suara binatang menguik keras. Begitu
hebatnya hantaman angin hingga dinding di mulut goa batu bergetar. Satu
bayangan putih berkelebat.
Di lain
kejap satu kaki menderu ke depan.
Duukk!
Ki Bonang
keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terlempar ke dalam goa. Terjengkang di lantai
batu, mulut kucurkan darah. Walau menderita cidera luka di dalam yang cukup
parah namun orang tua ini dengan cepat melompat bangun. Dalam menahan sakit
serta amarah yang menggelegak Ki Bonang merasa sekujur tubuhnya bergeletar
ketika melihat siapa yang berdiri menghadang di mulut goa!
***********************
3
DI MULUT
goa tegak berdiri seorang berjubah putih. Dagu tertutup janggut hitam yang
sebagian telah memutih. Di bahu kiri orang ini bertengger seekor burung elang
putih yang patah sayap kirinya. Sepasang mata menatap menyorot ke arah Ki
Bonang Talang Ijo, melirik sebentar pada Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit yang
saat itu telah melompat berdiri dari kepura-puraan tidurnya. Mata galak merah
si jubah putih juga memperhatikan ke jurusan Tuanku Laras Muko Balang yang
dengan gerakan cepat menyambar tubuh Puti Bungo Sekuntum lalu bangkit berdiri.
Luar
biasanya, orang berjubah putih ini tidak menjejak lantai mulut goa tapi
sepasang kaki berdiri di atas segulung sorban putih berumbai, mengambang di
udara.
“Manusia-manusia
durjana! Akhirnya aku temui juga kalian!” Orang berjubah di mulut goa keluarkan
ucapan membentak. Sorban yang bergulung di bawah kaki tiba-tiba melayang ke
udara lalu turun menutupi kepalanya. Saat itu juga tubuhnya bergerak turun dan
dua kaki yang mengenakan kasut kaki kini menjejak lantai goa.
Tuanku
Laras Muko Balang mendengus. Teng Sien menggerendeng panjang.
“Urusan
lagi! Urusan lagi! Aku sudah bilang apa guna pergi ke tempat ini! Seharusnya
aku sudah membawa gadis itu! Seharusnya aku sudah mendapatkan kupu-kupu batu
Giok dan kembali ke Tionggoan!”
Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik membuka mulut membalas ucapan orang berjubah putih di
mulut goa yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati.
“Datuk
Marajo Sati! Pucuk Para Datuk Luhan Nan Tigo! Menyebut kami manusia-manusia
durjana! Padahal kau biang segala kedurjanaan di negeri ini!”
“Kau
membunuh Datuk Panglima Kayo!” Tuanku Laras berteriak dari ujung goa. Mata
memandang membara ke arah Datuk Marajo Sati.
Datuk
Marajo Sati delikkan mata. Tubuh bergetar. Alang Putih Rajo Di Langit yang
bertengger di bahu menguik keras. Sayap dikembangkan. Siap hendak melesat
menyerang Tuanku Laras Muko Balang. Datuk Marajo Sati cepat usap punggung
binatang ini.
Ki Bonang
yang berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati batuk-batuk beberapa kali. Setelah
menyeka darah yang meleleh di dagu, orang tua ini berkata.
“Datuk
Marajo Sati, tanpa sebab kau menyerangku. Aku memaafkan perbuatanmu. Sekarang
apakah kita bisa bicara dengan tenang dan baik-baik?”
“Kita
baru bicara kalau jahanam bermuka belang itu menyerahkan gadis yang diculik
itu!”
Menjawab
Datuk Marajo Sati sambil menunjuk ke arah Puti Bungo Sekuntum yang berada di
atas panggulan bahu kanan Tuanku Laras.
“Ha… ha!”
Tuanku Laras tertawa keras. “Jadi kau kemari rupanya mencari gendakmu ini! Tua
bangka tak tahu diuntung! Sudah punya istri muda dan cantik masih saja mau
menyekap daun muda yang satu ini! Belum puas kau rupanya setelah berhari-hari
mengurungnya di dalam goa kediamanmu di Ngarai Sianok!”
“Baru
beberapa hari kehilangan gendak sudah macam orang gila tidak karuan rupa!”
Menimpali Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Ki Bonang
angkat tangan kiri, berusaha menenangkan suasana. Namun Datuk Marajo Sati sudah
kehilangan kesabaran.
“Alang
Putih Rajo Di Langit,” sang Datuk bicara pada burung elang di atas bahu
kirinya. “Beri jawaban pada manusia bermulut busuk berhati setan berpakaian dan
berdestar merah itu! Aku akan menghajar biang bergundalnya!”
Mendengar
ucapan sang Datuk Elang putih menguik keras lalu melesat ke arah Pandeka Bumi
Langit. Di saat yang sama Datuk Marajo Sati melompat ke arah Tuanku Laras Muko
Balang.
“Ki
Bonang! Teng Sien! Bunuh manusia jahanam itu!” teriak Tuanku Laras.
Ki Bonang
dan Perwira Muda Teng Sien coba menghalangi terjangan Datuk Marajo Sati. Namun
keduanya terpelanting akibat lebih dulu terkena kibasan tubuh besar sang datuk.
“Manusia
keparat bernama Tuanku Laras! Aku tahu kau dan kaki tanganmu yang ada di goa ini
yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo! Jangan berani memfitnah kejahatan
busuk kalian pada diriku!”
Pada saat
melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang dari sorban putih di atas kepala
Datuk Marajo Sati menderu dua belas angin memancarkan cahaya putih, menyambar
ke arah Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien. Inilah jurus serangan
dari ilmu kesaktian bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Siapa saja yang
sampai terkena sambarannya pasti akan berubah menjadi patung hidup, tak bisa
bergerak tak mampu bersuara! Jika tidak tertolong sampai matahari tenggelam
nyawanya akan amblas. Di kepala dan tubuhnya akan muncul lubang luka mengerikan
sebanyak dua belas buah!
Begitu
mendengar suara deru angin disertai memancarnya larikan cahaya putih Ki Bonang
Talang Ijo cepat kebutkan belangkon hijau. Serangkum angin disertai kerlapan
cahaya hijau menyambar menghadang serangan ganas yang datang dari sorban putih
di atas kepala Datuk Marajo Sati.
Dari
samping kiri, Teng Sien yang kini membekal sebilah golok baru menyerbu ke arah
Datuk Marajo Sati. Lancarkan serangan berupa dua bebatan kilat ke arah tubuh
dan satu bacokan ganas ke jurusan leher.
“Blaarr…
blaarr… blaarr!”
Letusan
keras menggelegar sampai enam kali di dalam goa begitu dua belas cahaya putih
yang menyembur dari sorban Datuk Marajo Sati bentrokan saling hantam dengan
taburan cahaya hijau yang keluar dari belangkon di tangan kanan Ki Bonang.
Pandeka
Bumi Langit yang melihat kesempatan baik segera susupkan pukulan tangan kosong
ke arah lawan namun gerakannya tertahan karena kaget oleh sambaran Alang Putih
Rajo Di Langit berupa cakaran dua kaki dan patukan paruh.
Goa batu
pualam dipenuhi kilatan cahaya putih dan hijau. Perwira Muda Teng Sien cepat
merunduk ketika kaki kanan Datuk Marajo Sati melesat ke kepalanya. Ki Bonang
berseru kaget sewaktu belangkon hijau di tangan kanan tiba-tiba breett! Robek
besar disambar tangan kiri Datuk Marajo Sati lalu bukkk! Oleh lawan robekan
belangkon dihantamkan ke kepala Ki Bonang. Walau dia masih mampu membuat
gerakan mengelak namun tak urung potongan belangkon miliknya sendiri masih
sempat menyambar menepis telinga kanannya hingga hancur! Lengkap sudah
kerusakan di wajah sebelah kanan tokoh silat dari Kuto Gede ini. Sebelumnya
kening dan mata kanan hancur, kini telinga kanan remuk tak karuan rupa!
Sebenarnya
pukulan menyusup ke arah dada yang dilancarkan Pandeka Bumi Langit akan
berhasil mendarat telak di dada Datuk Marajo Sati, kalau saja Elang putih
bermata merah peliharaan sang datuk tidak datang menyambar.
“Breett!”
Leher
baju merah Pandeka Bumi Langit robek besar. Sambaran kuku Elang putih menggores
luka kulit dan daging lehernya sementara sayap kanan membeset pipi di bawah
mata kiri hingga menimbulkan luka mengucurkan darah. Saat itu juga pipi dan
leher Pandeka Bumi Langit menggembung merah kebiruan. Kepalanya terasa panas.
Ternyata paruh dan kuku cakar Elang putih mengandung racun jahat!
“Binatang
jahanam celaka! Teriak Pandeka Bumi Langit kesakitan sekaligus marah besar.
Sambil melompat dua tangan berkelebat ke udara dalam gerakan ilmu silat
Sitaralak. Elang putih menguik keras dan berusaha mematuk tangan kanan Pandeka
Bumi Langit yang berhasil mencekal kaki kanannya. Sebelum binatang ini bisa
membebaskan diri Pandeka Bumi Langit telah menghantamkan tubuh dan kepala binatang
ini ke dinding goa! Alang Putih Rajo Di Langit menguik keras, menggelepar lalu
tak bergerak lagi. Walau burung elang itu sudah meregang nyawa dengan kepala
dan sebagian tubuh hancur namun seperti kesetanan Pandeka Bumi Langit masih
terus menghantamkan tubuhnya berulang kali ke dinding goa hingga akhirnya
hancur luluh tak berbentuk lagi!
Datuk
Marajo Sati menggembor keras mengetahui apa yang terjadi dengan burung Elang
peliharaannya. Namun dia tidak bisa melakukan sesuatu karena saat itu tubuhnya
tengah melesat di sepanjang goa, menyambar ke arah sosok Puti Bungo Sekuntum
yang ada di bahu kanan Tuanku Laras. Dua tangan sang datuk bergerak cepat. Dari
sorban kembali menderu dua belas larikan cahaya putih ke arah musuh.
Gerakan
kilat Datuk Marajo Sati agaknya tidak sempat membuat Tuanku Laras menyelamatkan
gadis yang dipanggul. Sosok Puti Bungo Sekuntum berhasil disambar Datuk Marajo
Sati sementara dua belas cahaya putih Meniup Dua Belas Jalan Darah menghantam
kepala dan tubuh Tuanku Laras!
Ki Bonang
dan Pandeka Bumi Langit serta Teng Sien sama berseru kaget melihat apa yang
terjadi. Namun di lain kejap perasaan terkejut itu menjadi bagian semua orang
di dalam goa ketika hantaman dua belas cahaya sorban sakti membuat tubuh Tuanku
Laras Muko Balang hancur berkeping-keping lalu berubah menjadi asap.
“Ilmu
Bayangan Menipu Matai Jahanam pengecut!” teriak Datuk Marajo Sati menyebut nama
ilmu kesaktian yang dipergunakan Tuanku Laras untuk menyelamatkan diri. Dia
berusaha hendak mengejar Tuanku Laras namun membatalkan niat Dia sudah
mendapatkan Puti Bungo Sekuntum. Perlu apa lagi mengejar manusia bermuka belang
itu. Lebih penting menyelamatkan dan membawa gadis itu ke tempat yang aman.
Namun
kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang sewaktu tubuh gadis yang dipanggulnya
tiba-tiba berubah ringan lalu berderak hancur berkeping-keping dan berubah pula
menjadi asap! Lalu ke mana lenyapnya sosok Tuanku Laras dan gadis Cina yang
asli?
“Manusia
bangsat keparat! Kau bisa menipuku dengan ilmu jahanammu! Tapi kau tidak bisa lolos
di tanganku!”
Secepat
kilat Datuk Marajo Sati melesat ke ujung goa. Dia yakin di ujung sana ada satu
pintu rahasia. Kalau tidak mana mungkin Tuanku Laras melenyapkan diri sekaligus
memboyong si Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok!
Dugaan
Datuk Marajo Sati tidak keliru. Setelah melewati beberapa tikungan akhirnya dia
sampai di ujung goa. Di situ ternyata memang terdapat sebuah pintu rahasia yang
berhubungan dengan kawasan Bukit Siangok. Pintu rahasia ini terbuat dari batu.
Orang yang tidak bermata tajam tidak dapat membedakannya dengan atap dan
dinding goa. Sekali kaki kanan Datuk Marajo Sati menendang pintu batu hancur
berantakan.
Keluar
dari jebolan pintu rahasia Datuk Marajo Sati hanya disambut desir tiupan angin
serta suara bergemerisik daun-daun pepohonan. Sang Datuk menyumpah
habis-habisan. Beberapa kali kakinya dihujamkan ke tanah hingga membentuk
lobang besar. Beberapa kali dia memukul batang pohon hingga bertumbangan.
Sadar
kalau tidak bisa mengejar Tuanku Laras, Datuk Marajo Sati ingat pada tiga orang
ada di dalam goa.
“Mereka
harus bertanggung jawab! Kalau tidak bisa memberi keterangan akan kubantai
mereka semua!”
Dengan
cepat Datuk Marajo Sati masuk kembali ke dalam goa batu pualam. Namun sampai di
dalam dan sampai dia keluar lagi dari mulut goa, Ki Bonang, Teng Sien dan
Pandeka Bumi Langit tidak kelihatan lagi batang hidungnya! Kembali Datuk Marajo
Sati menyumpah panjang pendek.
Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum. Di langit tampak jelas dua ekor
harimau kuning belang hitam, ditunggang dua orang gagah, melesat di udara lalu
dengan cepat melayang turun di Bukit Siangok, hanya beberapa langkah di hadapan
Datuk Marajo Sati yang berdiri di depan mulut goa.
***********************
4
AIR MUKA
Datuk Marajo Sati berubah. Yang pertama turun dari atas dua ekor harimau kuning
belang hitam ternyata adalah Datuk Kuning Nan Sabatang, Datuk Penguasa dan
Penghulu di Luhak Agam. Mukanya yang berwarna kuning tampak tegang membesi.
Sepasang mata merah besar menatap tak berkedip. Ujung kumis tebal mencuat ke
atas. Tangan kanan mengusap kain sarung yang melintang di bahu sementara tangan
kiri bersitekan ke hulu keris yang terselip 4i pinggang sebelah depan. Di
sebelah Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri Datuk Penghulu dari Luhak Lima Puluh
Kota yaitu Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang jernih dan selalu tenang kali ini
tampak kelam dan garang.
Merasa
tidak sedap akan kehadiran dua Datuk bawahannya ini, maka Datuk Pucuk Marajo
Sati segera menegur.
“Datuk berdua!
Ada apa kalian datang ke tempat ini?!”
Datuk
Marajo Sati masih marah dan mendendam atas perbuatan dua Datuk ini bersama
Datuk Panglimo Kayo tempo hari. Menurut Datuk Marajo Sati, tiga Datuk itu
bersama Pakih Jauhari pemuda bekas kekasih istrinya yang bernama Gadih Puti
Seruni serta penduduk beberapa dusun telah berkomplot memfitnah dan hendak
membunuhnya di Ngarai Sianok. (Baca “Fitnah Berdarah Di Tanah Agam”)
Datuk
Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling pandang seketika. Lalu Datuk
Bandaro Putih palingkan kepala ke arah Datuk Marajo Sati dan berkata.
“Justru
kamilah yang ingin bertanya dan ingin tahu. Gerangan apa maka Datuk Pucuk
sampai berada di tempat ini! Setahu kami ini adalah goa rahasia milik Tuanku
Laras Muko Balang.”
“Aku mau
berada di mana itu urusanku!” jawab Datuk Marajo Sati. “Kalau kalian sudah tahu
ini tempat siapa, maka tidak ada pertanyaan kalian yang pantas aku jawab.”
Habis
keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati segera bergerak hendak tinggalkan tempat
ini. Namun dua orang Datuk di hadapannya segera pula bergerak menghadang.
“Tunggu,
jangan pergi dulu Datuk,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang sementara Datuk
Bandaro Putih tegak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada.
Marahlah
Datuk Marajo Sati. Dia membentak garang.
“Kalian berdua
hendak berlaku kurang ajari Berani menghalangi jalanku?! Waktu di Ngarai
Sianok, kalau tidak karena ingin menyelamatkan orang lain, kalian sepatutnya
sudah kuhajar. Sekarang masih berani kalian menjual lagak di hadapanku!”
“Datuk
Pucuk Datuk Marajo Sati, harap tenang. Jangan marah dulu. Kami datang untuk
bertanya dan ingin mendapatkan keterangan jujur. Kalau itu tidak kami dapatkan
maka kami berdua memilih berkubang darah di tempat ini!”
Sepasang
mata Datuk Marajo Sati membeliak mendengar ucapan Datuk Bandaro Putih yang
selama ini dikenalnya sebagai Datuk yang paling tenang dan selalu bicara lembut
di antara tiga Datuk Luhak Nan Tigo.
“Ucapan
hebat! Sejuk di pangkal tapi mengandung api di ujung! Kalian benar-benar
membuat aku marah! Apa maksud kalian?!” hardik Datuk Marajo Sati.
“Kami
datang membawa kabar buruk!” berkata Datuk Kuning Nan Sabatang.
Datuk
Bandaro Putih menyambung, “Saudara kita Datuk Panglimo Kayo mati dibunuh orang.
Jenazahnya dikirim ke rumah gadang kediamannya di Batusangkar. Sungguh keji
sekali!”
“Aku
sudah mendengar kabar itu,” kata Datuk Marajo Sati dengan suara dingin.
“Syukur
kalau Datuk sudah tahu. Lalu mengapa Datuk Pucuk tidak datang melayat? Tidak
ikut menyampaikan rasa duka cita kepada istri dan kerabat yang ditinggalkan.
Tidak pula ikut mengantar jenazah ke kubur.”
“Kelalaianku
itu memang menjadi dosa yang akan aku tanggung. Tapi aku melakukan semua itu
karena harus mengerjakan sesuatu yang sangat penting. Aku punya tanggung jawab
besar untuk menyelamatkan dan mendapatkan kembali gadis Cina yang diculik oleh
komplotan orang asing yang dipimpin orang bernama Ki Bonang Talang Ijo.
Beberapa tokoh di negeri ini ikut terlibat. Dan kalian berdua bersama Datuk
Panglimo Kayo yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas keselamatan gadis
asing di negeri ini malah bergabung membantu manusia-manusia laknat itu!”
“Sungguh
luhur dan sangat tinggi budi Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati,” kata Datuk Kuning
Nan Sabatang. “Menyelamatkan seorang gadis asing sementara kerabat yang mati
dibunuh orang tidak Datuk acuhkan. Maaf saja Datuk. Kami punya dugaan lain.
Bahkan mungkin bukan dugaan. Tapi satu kenyataan! Datuk tidak melayat jenazah
Datuk Panglimo Kayo karena Datuklah orang yang membunuhnya!”
Rahang
Datuk Marajo Sati menggembung. Sepasang matanya seperti hendak melompat keluar
dari rongga. Sorban di atas kepala naik satu jengkal lalu turun lagi. Walau
singkat tapi cukup untuk memperlihatkan asap putih yang mengepul dari ubun-ubun
sang Datuk!
“Selain
itu!” Datuk Kuning Nan Sabatang meneruskan ucapan lantangnya. “Beberapa saat
sebelum mayat Datuk Panglimo Kayo muncul, Inyiek harimau sakti tunggangannya
terlebih dulu dikirim dalam keadaan mati di rumah gadang. Baik Inyiek maupun
Datuk Panglimo Kayo tubuh mereka sama-sama dilibat potongan Rantai Pintu Akhirat!
Hanya kita bertiga yang tahu kelemahan ilmu kesaktian Datuk Panglimo Kayo! Kami
berdua bersumpah bumi dipijak langit dijunjung! Bukan kami yang mencelakai
Datuk Panglimo Kayo! Berarti tinggal Datuk seorang yang menjadi ayam putih
terbang siang! Datuk mencelakai dan membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Datuk
Kuning Nan Sabatang! Jaga bicara. Jangan sampai kurobek mulut busukmu! Berani
sekali kau menuduh dan memfitnahku sebagai orang yang telah membunuh Datuk
Panglimo Kayo!”
“Kami
bicara bukan seperti orang barasian di tengah hari.” Yang menjawab Datuk
Bandaro Putih. “Kami punya satu bukti kalau memang Datuk yang membunuh Datuk
Panglimo Kayo. Robekan sorban Datuk tergenggam di tangan jenazah Datuk Panglimo
Kayo. Semua orang di Batusangkar mengetahui hal ini. Berita keji ini bahkan
telah tersebar hampir ke seluruh Luhak Tanah Datar!” (barasian: mimpi)
“Astagafirullah
hal aziemm…”! Datuk Marajo Sati mengucap berulang kali. Amarah menggelegak.
Darah seperti hendak menyembur dari ubun-ubun di atas kepala. Sorban putihnya
berulang kali naik turun. “Mulut busuk fitnah keji! Menyingkirlah kalian berdua
dari hadapanku! Atau kalian akan jadi bangkai tak terkubur di tempat ini!”
“Jangan
meradang! Tahan sedikit amarahmu Datuk Marajo Sati! Pergunakan akal sehat dan
hati jernih!” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Ketika Datuk menghabisi Datuk
Panglimo Kayo, apa tidak terlintas di benak, tidak tergugah di hati, siapa
Datuk Panglimo Kayo itu sebenarnya. Dia bukan saja sahabat kerabat ke mudik dan
ke hulu, bahkan dia adalah Mamak dari Gadih Putih Seruni. Yang berarti adalah
masih mertua Datuk sendiri! Datuk terlahir sebagai orang beradat, hidup sebagai
orang beragama dan dipercayakan menjadi Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo. Setan apa
yang masuk ke dalam tubuh Datuk hingga membunuh sahabat dan saudara kami itu!”
(Mamak: Paman)
“Kalian
berdua sama jahanamnya!” teriak Datuk Marajo Sati. “Aku bersumpah tidak
membunuh Datuk Panglimo Kayo. Kalau aku berdusta neraka jahanam bagianku!”
Datuk
Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih saling berpandangan sambil
sunggingkan senyum mengejek pertanda tidak mempercayai apa yang dikatakan orang
di hadapan mereka.
Dalam
amarah yang menggelegak Datuk Marajo Sati tidak dapat lagi menahan hati. Kesabarannya
habis sudah!
“Bett…
bett!”
Sorban
putih di atas kepala Datuk Marajo Sati berkelebat dan ujungnya menghantam dua
kali berturut-turut ke arah dada dua orang di hadapannya. Jangankan dada
manusia, batu gunung pun bisa hancur berkeping-keping jika sampai dihantam
ujung Sorban Seribu Sakti itu.
Di antara
para Datuk yang ada di Luhak Nan Tigo, sebagai Datuk Pucuk atau Datuk Pimpinan
Datuk Marajo Sati memiliki ilmu silat dan kesaktian paling tinggi. Begitu ujung
sorbannya menghantam sosok tubuhnya sendiri lenyap dari pemandangan sehingga
siapapun yang jadi lawan tidak akan berkesempatan mengerahkan serangan balasan.
Inilah jurus silat yang dinamakan Di Balik Kabut Naga Mematuk.
Hanya
saja saat itu yang dihadapi Datuk Marajo Sati bukanlah dua lawan berkepandaian
rendah. Begitu melihat ujung sorban mencuat ke atas, Datuk Kuning Nan Sabatang
cepat kebutkan sarung yang melintang di dada lalu melesat tinggi ke udara dan
di lain kejap telah berdiri di cabang sebuah pohon besar.
Datuk
Bandaro Putih juga tidak kalah sebat. Secepat kilat dia kebutkan lengan kiri
baju hitam, lalu melompat ke atas batu menonjol di atas mulut goa. Dengan
demikian kini Datuk Marajo Sati terjepit di tengah-tengah. Sadar akan
kedudukannya yang berbahaya. Datuk Marajo Sati segera melompat mundur hingga
kini dia bisa melihat jelas dua orang yang menjadi lawannya. Sorban kembali
bergulung di atas kepala.
“Pengecut!
Mengapa menjauh melarikan diri! Dosa kalian memfitnahku lebih kejam dari
pembunuhan! Apa kalian tiba-tiba takut menghadapi kematian?!” teriak Datuk
Marajo Sati. “Cabut Karih kalian! Mari bertarung sampai darah berkubang nyawa
melayang!” (Karih: Keris)
Habis
keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati cabut keris besar yang tersisip di pinggang
sebelah depan. Konon keris ini diberi nama Rajo Kaluak Sambilan (Raja Keluk
Sembilan) karena memiliki luk sembilan lengkungan. Senjata yang berlapis perak
murni ini berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Di tanah
Minang, jika keris sakti atau keris pusaka sudah terhunus keluar dari sarang
berarti pertarungan keris melawan keris sampai mati tidak dapat dihindarkan
lagi!
Namun di
atas cabang pohon Datuk Kuning Nan Sabatang bersikap belum mau melayani
tantangan orang. Di dinding goa Datuk Bandaro Putih memperhatikan penuh
waspada. Tangan kiri menekan hulu keris tangan kanan siap menghantam jika lawan
kembali menyerang.
“Datuk
Marajo Sati!” berseru Datuk Kuning Nan Sabatang. “Kalau Allah memang sudah
menentukan kami berdua harus menghembuskan nafas di tempat ini, masakan kami
mampu mencari selamat. Tapi sebelum kami menemui ajal, ada satu perkara lagi
yang kami ingin kejelasan.”
“Jahanam!
Aku tidak ingin bicara lagi dengan kalian berdua! Najis!” teriak Datuk Marajo
Sati. Pergelangan tangan kanan yang memegang keris bergerak menyentak. Keris
besar berluk sembilan itu serta merta pancarkan cahaya putih menyilaukan.
Pertanda sang Datuk telah mengerahkan tenaga dalam penuh.
Walau
jarak mereka cukup jauh namun keris sakti di tangan Datuk Marajo Sati mampu
mencapai lawan karena sang Datuk memiliki ilmu bernama Tangan Sakti Menggapai
Puncak Gunung. Melihat sikap Datuk Marajo Sati yang jelas-jelas siap untuk
kembali menyerang, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat sambung ucapannya tadi.
“Perkara
yang kami maksudkan itu, apa benar Datuk telah melakukan perbuatan maksiat, berbuat
dosa besar! Melakukan zinah! Berhari-hari menyekap seorang gadis Cina di goa
kediaman Datuk di Ngarai Sianok. Kami sempat melihat gadis itu sebelum diculik
oleh orang-orang asing. Kami juga sempat memeriksa ke dalam goa Datuk dan
menemukan beberapa potong pakaian perempuan serta bedak dan pemerah bibir untuk
berhias. Kami tidak percaya Datuk yang mengenakan pakaian itu dan berhias diri
seperti perempuan. Ha… ha… ha. Bukan begitu Datuk Bandaro Putih?!”
Datuk
Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak. Datuk Kuning
Nan Sabatang berteriak.
“Kami
sudah melihat dan sudah mengetahui. Tapi kami ingin pengakuan jujur dari
Datuk!”
Air muka
Datuk Marajo Sati berubah semerah saga.
“Jahanam
kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Tidak ada yang harus aku akui! Karena aku
tidak pernah melakukan perbuatan keji apapun! Aku malahan semata-mata Lillahi
Ta Allah menolong gadis itu. Kalian tidak tahu ceritanya kini justru menuduhku
berbuat maksiat! Kalian berdua pasti sudah terkena hasut orang-orang asing itu!
Percaya pada pemuda kurang ajar bernama Pakih Jauhari! Percaya pada orang dusun
yang tolol! Tebus fitnah busuk kalian dengan kematian!”
Datuk
Kuning Nan Sabatang keluarkan tawa bergelak.
“Datuk
Marajo Sati, kalau memang hasrat mau menolong, banyak orang yang patut ditolong
di negeri ini. Mengapa Datuk hanya menolong gadis asing yang cantik? Dengan
cara menyekapnya di dalam goa tempat kediaman Datuk? Sungguh naif sekali…! Ha…
ha… ha!”
Keris
Rajo Kaluak Sambilan di tangan Datuk Marajo Sati pancarkan cahaya benderang
menyilaukan.
“Wutttt!”
Selarik
cahaya putih melesat keluar dari ujung keris sakti. Di udara cahaya ini
terbelah menjadi dua. Belahan pertama dengan kecepatan kilat menyambar ke arah
Datuk Bandaro Putih di dinding goa, belahan kedua menyambar ke jurusan Datuk
Kuning Nan Sabatang di atas cabang pohon. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi
akan menghantam sasaran tiba-tiba setiap belahan cahaya mencuat berserabut
menjadi sembilan ujung tombak panas membara merah!
“Sembilan
Tombak Hantu Gunung Berapil” teriak Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan
Sabatang hampir berbarengan! Keduanya dengan cepat hantamkan dua tangan
sekaligus untuk menahan serangan lalu menghindar dengan melompat terjun ke
tanah!
“Wuss!
Wusss!”
Dua ujung
lengan kiri baju hitam dua Datuk sama-sama terbakar hangus mengepulkan asap.
Walau sepuluh jari tangan sampai ke telapak tampak menjadi hitam hangus namun
cidera yang dialami tidak sampai parah karena dua Datuk yang diserang telah
lebih dulu memagari diri dengan semacam ilmu kebal.
“Datuk
sesat Datuk Keparat! Kami mengadu nyawa denganmu!” teriak Datuk Kuning Nan
Sabatang lalu melayang turun ke tanah. Tangan kanan kini sudah menggenggam
keris pusaka bernama Datuk Angin Kataun. Begitu dibabatkan senjata ini
mengeluarkan suara laksana badai melanda lautan!
Dari arah
kiri Datuk Bandaro Putih melesat ke bawah sambil acungkan keris yang
menyemburkan nyala api berwarna biru! Konon keris yang bernama Nago Gunung
Singgalang ini terbuat dari batu sakti berusia tiga ratus tahun yang terpendam
di dasar kawah Gunung Singgalang.
“Traang!
Traang!” Bunga api berpijar. Meski tiga bilah keris belum sama sekali saling
bersentuhan namun dalam keterpautan jarak senjata-senjata sakti itu sudah
saling berlaga dan mengeluarkan suara berdentangan.
Walau
memiliki kesaktian dan keris yang lebih besar namun diserang dua orang
berkepandaian tinggi membuat Datuk Marajo Sati terjajar sampai tiga langkah ke
belakang. Ilmu Sembilan Tombak Hantu Gunung Merapi meredup lenyap. Dada mendenyut
sakit. Sang Datuk menggeram marah. Di saat yang sama dua Datuk sudah
menjejakkan kaki ke tanah, sengaja menjaga jarak. Keris sudah disarungkan.
Wajah mereka tampak pucat.
“Datuk
Marajo Sati! Kita sudahi pertarungan sampai di sini. Tidak ada gunanya diteruskan.
Siapa menang jadi arang, yang kalah jadi debu! Sebenarnya kami datang membawa
surat perintah dari Penghulu Tertinggi tanah Minang, Sri Baginda Raja di
Pagaruyung. Tadinya jika Datuk mau bersikap jujur dan berjiwa besar kami tidak
merasa perlu mengeluarkan surat itu. Tapi nyatanya Datuk malah mau menang
sendiri padahal kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka. Datuk
pucuk, terimalah surat perintah ini!” (kilat beliung sudah ke kaki, kilat
cermin sudah ke muka: apa yang terjadi sudah nyata) Dari balik baju hitamnya
Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota keluarkan selembar kain yang
tergulung pada sebatang bambu kuning sepanjang dua jengkal. Dengan mengerahkan
tenaga dalam Datuk Bandaro Putih lemparkan bambu itu, tapi sengaja tidak
diarahkan pada Datuk Marajo Sati melainkan dilempar ke arah dinding batu dekat
mulut goa hingga bambu menancap sepertiganya sementara gulungan kain berputar
keluar dari lilitan dan menjulai ke bawah.
Datuk
Marajo Sati tidak perdulikan surat perintah yang menancap di dinding batu.
Wajah beringas menatap garang ke arah dua Datuk. Mulut menggembor keras lalu
menggelegar suara teriakan.
“Manusia-manusia
durhaka! Mampuslah kalian berdua!”
Masih
menggenggam keris sakti di tangan kanan, Datuk Marajo Sati guratkan kaki
kanannya keras-keras ke tanah hingga mengeluar
kan
kepulan asap angker. Lalu!
“Rerrrrttttttttt!”
Debu
mengepul ke udara.
Tanah di
depan kaki Datuk Marajo Sati tiba-tiba mengeluarkan suara berderak lalu
terbelah memanjang, menjalar ke arah Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk
Bandaro Putih berdiri.
Dua Datuk
tersentak kaget
“Awas!
Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpol” teriak Datuk Bandaro Putih. Bersama Datuk
Kuning Nan Sabatang dengan cepat dia membuat gerakan melompat selamatkan diri.
Namun dalam tegang dan kalut keduanya saling melompat ke arah yang bersamaan
hingga tubuh mereka saling bentur! Dalam keadaan seperti itu dari tanah yang
terbelah menderu suara angin keras, mengeluarkan kekuatan menyedot kencang dan
ganas luar biasa. Sebelum dua Datuk sempat mengimbangi diri, tubuh keduanya
sudah tertarik ke bawah siap dijepit dan dikubur hidup-hidup oleh tanah yang
terbelah.
“Celaka!”
teriak Datuk Bandaro Putih.
“Allahu
Akbar!” Datuk Kuning Nan Sabatang menyeru nama Tuhan!
Dalam
keadaan tegang seperti itu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat Hanya
tinggal dua jengkal saja kaki dua Datuk akan amblas tersedot ke dalam belahan
tanah si bayangan hitam dengan gerakan cepat berhasil merangkul pinggang mereka
lalu melompat membawa keduanya ke tempat yang aman, menjauhi tanah yang
terbelah dan menyedot!
“Hik…
hik… hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa.
“Sahabatku,
kau memang hebat! Dua Datuk itu harus berterima kasih padamu! Hik… hik… hik!”
***********************
5
TIDAK
menyangka ada orang yang akan menolong, selain merasa bersyukur, dua Datuk
tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut mereka. Datuk Bandaro Putih dan Datuk
Kuning Nan Sabatang cepat lepaskan diri dari rangkulan orang yang menolong lalu
berbalik. Mereka jadi sama-sama kernyitkan kening ketika melihat di depan
mereka berdiri seorang pemuda berbaju dan bercelana galembong hitam, berambut
panjang sebahu, mengenakan kopiah hitam. Datuk Bandaro Putih hendak berkata
menyampaikan rasa terima kasih namun mulutnya tertahan karena saat itutiba-tibaberkelebat
seorang berpakaian putih dan di lain kejap telah berdiri di samping kiri pemuda
gondrong berpakaian hitam. Rambut putih digulung di atas kepala, bagian
belakang dibiarkan tergerai. Ketika menyeringai kelihatan barisan gigi yang
dilapis perak. Dua tangan memulai di sisi, panjang hampir menyentuh tanah. Di
balik punggung pakaian putihnya menyembul gagang sebilah pedang terbuat dari
perak.
Dua Datuk
tentu saja tercengang melihat kemunculan si nenek yang sangat mereka kenal.
Ditambah lagi perempuan tua ini tadi menyeru si pemuda sebagai sahabat.
“Kamba
Mancuang Tangan Menjulai!” tegur Datuk Kuning Nan Sabatang. “Tidak salahkah
mata kami melihat? Benar kau ini, murid InyiekSusu Tigo yang berdiri di hadapan
kami?!”
Si nenek
tersenyum. Pantulan sinar matahari membuat gigi peraknya berkilau. Setelah
terlebih dulu kedipkan mata nenek ini baru menjawab.
“Pandangan
Datuk berdua tidak keliru. Mata kalian tidak salah lihat. Aku ini memang si
Kamba Mancuang Tangan Menjulai.”
Walau
kini merasa lega namun dua Datuk masih was-was.
“Kamba
Mancuang, dan terutama kau anak muda berambut panjang, kami berterima kasih kau
telah menyelamatkan kami dari serangan keji Datuk sesat itu!” berucap Datuk
Bandaro Putih.
Si nenek
menyeringai. Pemuda berambut panjang tersenyum sambil anggukkan kepala dan
sedikit membungkuk. Kopiah di atas kepala diangkat. Saat itu Wiro mengenakan
baju lengan panjang dan celana galembong hitam serta kopiah yang tidak lagi
kekecilan pemberian si Kamba Mancuang.
Datuk
Kuning Nan Sabatang lantas bertanya pada si nenek.
“Pemuda
ini, benar dia sahabatmu?”
Si Kamba
Mancuang anggukkan kepala lalu berkata, “Namanya Wiro Sableng. Dia berasal dari
tanah Jawa…”
Pemuda di
samping si nenek yang memang adalah pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum dan
kembali membungkuk ke arah dua orang Datuk sambil kopiah hitam di atas kepala
sekali lagi diangkat ke atas.
Datuk
Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang samasama saling pandang lalu
berpaling kembali pada si nenek.
“Kamba
Mancuang, kami mendengar kabar yang tidak sedap tentang dirimu. Mudah-mudahan
ini tidak benar. Konon kau dan saudara kembarmu terlibat dalam satu komplotan
sesat dengan beberapa orang asing. Akibat perbuatan kalian beberapa tokoh di
negeri ini menemui ajal. Lalu pemuda sahabatmu ini dikabarkan menjadi salah
seorang penyebab semua kerusuhan di negeri ini.”
Si nenek
pencongkan mulut Dia menatap sebentar pada pemuda di sampingnya.
“Jelaskan
saja Nek, biar kau tidak menjadi korban salah duga.”
Berkata
Wiro, “Kalau kau sudah bicara nanti ganti aku yang menjelaskan…”
Si Kamba
Mancuang anggukkan kepala.
“Datuk
berdua, sebagian ucapanmu mungkin benar. Tapi sekarang aku sudah tidak ada
urusan lagi dengan segala macam komplotan yang kau sebut sesat itu. Selain itu
saudara kembarku telah menemui ajal dibunuh manusia-manusia jahanam itu! Ini
sudah cukup menjadi hukuman batin bagiku! Aku…”
Belum
sempat Si Kamba Mancuang meneruskan ucapan tiba-tiba Datuk Marajo Sati yang
sejak tadi memperhatikan maju selangkah sambil membentak keras.
“Tua
bangka busuk bergigi perak! Tidak ada yang perlu kau jelaskan! Aku sudah tahu
siapa dirimu. Kau bertanggung jawab atas kematian beberapa tokoh. Termasuk
sahabatku Sutan Paduko Alam di pesisir barat. Lekas datang ke hadapanku!
Berlutut minta ampun!”
Mendengar
dirinya dimaki sebagai tua bangka busuk lalu diminta datang berlutut, karuan
saja hati Si Kamba Mancuang menjadi panas. Dia sudah bicara polos tapi orang
malah mencaci maki. Dalam marahnya si nenek akhirnya tertawa tergelak-gefak.
Aneh juga! Puas tertawa dia gerakkan kaki melangkah ke arah Datuk Marajo Sati.
Namun Wiro cepat menahan bahunya dan berbisik, “Nek, biar aku yang bicara,”
Lalu murid Sinto Gendeng mendahului maju ke hadapan Datuk Marajo Sati.
“Datuk
yang saya hormati, biarkan saya mewakili nenek sahabatku itu. Saya sudah datang
ke hadapanmu. Apa yang hendak kau katakan. Apakah saya harus berlutut juga?!”
Sepasang
mata Datuk Marajo Sati membeliak besar berkilat berapi-api, Sorban di kepala
naik ke atas pertanda amarahnya meluap besar. Namun dia tersurutdan terkesiap
ketika Wiro tiba-tiba mengambil tangan kanannya lalu mendekatkan ke hidung dan
mencium tangan itu. Datuk Marajo Sati cepat-cepat menarik tangannya. Dulu
ketika pertama kali menemui sang Datuk di dalam goa di Ngarai Sianok hal yang
sama yaitu mencium tangannya juga dilakukan Wiro pertanda hatinya memang polos
dan bersih tiada niat jahat. Namun jabat dan ciuman tangan itu tidak
menyurutkan amarah Datuk Marajo Sati.
“Laki-laki
berambut seperti perempuan! Jangan kau berpura-pura beradat bersopan santun!
Berlagak sebagai Pandeka Gadang Mantiko Langek Kau lebih busuk dari nenek satu
itu! Ingat sewaktu secara kurang ajar kau menyusup ke dalam goa kediamanku di
Nagari Sianok? Saat itu aku telah memaafkanmu tapi dengan peringatan. Jika aku
masih melihatmu berkeliaran di tanah Minang ini maka aku akan menganggapmu
sebagai musuh yang harus dihabisi!” (Pandeka Gadang: Pendekar Besar) (Mantiko
langek: Konyol kurang ajar)
“Datuk,
saya dan nenek ini sengaja mencari Datuk untuk…” Sebenarnya Wiro hendak,
menceritakan pertemuan dan pertarungannya dengan Tuanku Laras dan kawan-kawan
di mana akhirnya manusia bermuka belang itu melarikan diri sambil memboyong
seorang gadis Cina cantik jelita. Namun Wiro keburu dihardik sang Datuk.
“Tutup
mulutmu! Jangan berpura-pura menunjukkan sikap bersahabat padaku! Barusan saja
kau membela dua Datuk di sana yang hendak membunuhku!”
Sudah
Datuk, biarkan saya dan nenek itu memberi penjelasan lebih dulu…”
“Pemuda
bernama Wiro Sableng!” tiba-tiba Datuk Bandaro Putih berteriak, “Kau ini berada
di pihak mana sebenarnya? Menolong kami tapi sekaligus coba berbaik-baik dengan
Datuk pembunuh itu! Ular kepala dua kau rupanya!”
“Bukan
cuma ular kepala dua! Tapi ular kepala dua belas!” Tibatiba ada dua suara
berteriak berbarengan.
***********************
6
SESAAT
kemudian di tempat itu telah berdiri satu sosok besar aneh. Ujudnya adalah dua
pemuda bertubuh dempet di bagian punggung. Satu berkumis biru, yang satu lagi
berkumis merah. Tubuh dempet itu mengenakan satu jubah besar berwarna merah
gelap. Dua pemuda dempet ini diketahui berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo. Di
tanah Minang selain dikenal
sebagai
dua mahluk aneh yang punya ilmu kepandaian tinggi juga diketahui senang
mengajak perempuan tua apa lagi muda untuk berbuat mesum. Mereka merasa mampu
memberi kesenangan lebih karena memiliki bagian-bagian tubuh yang serba dua.
Konon banyak perempuan yang memang gatal mencari pemuda ini untuk mendapatkan
pengalaman dan kepuasan. Ternyata jika sudah satu kali sempat berhubungan
perempuan itu akan tergila-gila dan mencari mereka. Kelebihan yang mereka
miliki dipergunakan oleh Tengku Mudo Sagalo Duo untuk memperalat perempuan itu
melakukan apa saja yang mereka inginkan. Salah seorang di antaranya adalah
Niniek Panjalo yang kemudian menemui ajal di tangan Wiro. (Baca Episode
sebelumnya berjudul “Mayat Kiriman di Rumah Gadang. “)
Kemunculan
Tengku Mudo Sagalo Duo sebenarnya adalah mengejar Si Kamba Mancuang. Sejak
pertama kali melihat si nenek keduanya sudah sama menaksir. Apa lagi mereka
pernah mendengar satu rahasia perihal siapa sebenarnya murid Inyiek Susu Tigo
ini. Namun mereka tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Pendekar 212
yang sebelumnya telah sempat membuat mereka merasa jerih.
Karena
sudah kepalang tanggung dan keburu terlihat Tengku Mudo Sagalo Duo tidak
mungkin bersurut pergi begitu saja.
“Mahluk
najis pengacau!” bentak Datuk Marajo Sati. “Urusan apa kau muncul di sini!
Lekas menyingkir pergi!”
“Datuk
Pucuk Luhak Nan Tigo yang kami hormati,” pemuda dempet berkumis merah di sisi
kanan berkata sambil bungkukkan badan hingga saudara dempetnya tertarik ke
atas. Ketika bicara kelihatan barisan gigi yang ternyata juga berwarna merah.
Pemuda ini dipanggil orang dengan nama Sunguik Merah. Saudaranya yang berkumis
dan bergigi biru bernama Sunguik Biru. (Sunguik: kumis)
“Kami
berdua datang bukan untuk mengacau urusan Datuk. Mana berani kami melakukan.
Kami justru datang untuk memperingan pekerjaan Datuk. Perihal pemuda berambut
seperti padusi itu, dia memang pengacau sesat dari tanah Jawa yang harus
dihabisi. Lalu Datuk harus pula menghadapi dua Datuk angkuh pandai memfitnah
itu. Padahal mereka harus tunduk dan patuh terhadap Datuk. Bukankah mereka
bawahan Datuk? Lalu ditambah satu lagi nenek bergigi perak murid inyiek Susu
Tigo. Empat orang yang harus Datuk Lawan sekaligus. Kami tahu dengan ilmu Datuk
yang tinggi mereka semua bisa saja Datuk pesiangi. Tapi bagaimana kalau nenek
ini kami saja yang menghadapi. Berarti berkurang satu lawan Datuk bertarung.
Selain itu kami diberi tugas oleh Tuanku Laras untuk mengambil pedang Al Kausar
yang dicuri nenek ini. Kami diminta meringkusnya dan membawa ke hadapan Tuanku
Laras Muko Balang!”
Datuk
Badaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama unjukkan wajah kaget
mendengar disebutnya pedang Al Kausar, Datuk Marajo Sati sendiri sesaat terdiam
mendengar ucapan Sunguik Merah itu. Kepala didongakkan tapi sepasang mata
melirik ke arah belakang punggung Si Kamba Mancuang di mana tersembul sebilah
gagang pedang terbuat dari perak yang sebenarnya sejak tadi sudah jadi
perhatiannya. Dari bentuk gagang serta cahaya yang memancar dia maklum kalau
senjata itu bukan pedang sembarangan. Menghadapi empat lawan sekaligus, dengan
kemampuan yang dimiliki sebenarnya Datuk Marajo Sati sama sekali tidak menaruh
rasa takut. Kalaupun dia menemui ajal paling tidak tiga orang lawan akan
bersimbah darah!
Namun
jika pedang yang ada pada si nenek benar pedang Al Kausar milik Tuanku Laras
Muko Balang maka dia harus memperhitungkan keberadaan senjata yang kehebatannya
sudah diketahui. Datuk Marajo Sati bukan pula orang yang pendek akal apa lagi
tolol dan mau saja mendengar ucapan orang. Dia juga maklum apa maksud
sebenarnya dari dua pemuda dempet itu hendak meringkus si nenek. Tak lain
hendak berbuat mesum! Setelah terdiam sejurus maka sang Datuk berkata.
“Sunguik
Merah, Sunguik Biru! Kalian berdua boleh melakukan apa saja terhadap nenek itu!
Aku tidak perduli! Tapi lebih dulu katakan ke mana Tuanku Laras Muko Balang dan
kawan-kawannya membawa gadis Cina yang mereka culik!”
Tampang
Datuk Bandaro Putih berkerenyut. Setengah berbisik dia berkata pada Datuk
Kuning Nan Sabatang. “Hati dan otak Datuk Pucuk benar-benar sudah terpasung
pada gadis Cina gendaknya itu. Orang bicara lain dia berucap lain.”
Sementara
itu Wiro merasa heran dua pemuda dempet berkumis merah biru masih punya nyali
datang ke tempat itu dan bicara sombong hendak meringkus Si Kamba Mancuang.
Wiro cepat dekati si nenek dan berbisik.
“Nek,
kalau dua pemuda dempet saling kentut ini berani muncul di sini, aku mengira
ada sesuatu yang diandalkannya. Aku tidak yakin dia bisa membujuk Datuk Marajo
Sati. Dugaanku mereka tidak datang cuma berdua. Pasti ada…”
“Dugaanmu
kurasa betul. Lain daripada itu aku rasa mereka mengincar diriku…”
Wiro
miringkan mulut lalu tertawa, “Nek, kau jangan membuat aku cemburu…”
Si Kamba
Mancuang tertawa cekikikan.
“Nek,
kalau tiba saatnya akan aku gebuk hancur kepala dua pemuda itu atas bawah…!”
“Kalian
berdua!” Di seberang sana Datuk Marajo Sati tiba-tiba membentak sambil delikkan
mata ke arah dua pemuda dempet “Kalau tidak mau memberi tahu ke mana Tuanku
Laras jahanam melarikan gadis Cina itu, aku akan sangat-sangat berbaik hati
membelah tubuh kalian hingga tidak malakok lagi!” (malakok: dempet)
Enak saja
Sunguik Biru menjawab, “Datuk, jika kau ingin tahu di mana gadis Cina itu
berada bersama Tuanku Laras, tolong kau rampas dulu pedang Al Kausar dari nenek
itu dan serahkan pada kami.”
“Palasik
jahanam! Manusia mesum! Berani kau memerintahku!” teriak Datuk Marajo Sati
marah luar biasa. (Palasik: di sini merupakan makian kemarahan. Arti sebenarnya
adalah semacam mahluk yang kepalanya bisa tanggal dari leher lalu gentayangan
mencari korban untuk dihisap darahnya) “Sudah saatnya mahluk najis macam kalian
disingkirkan ke dalam neraka ke tujuh!”
Sepasang
mata Datuk Marajo Sati memandang berkilat ke arah dua pemuda dempet. Dia
berusaha membuat kedua orang ini tidak leluasa bergerak dengan ilmu Mengunci
Gerak Tangan Pandangan Mata. Sementara itu Sorban Seribu Sakti di atas kepala
Datuk Marajo Sati terbuka dari gulungannya. Tangan kanan sang Datuk cepat
menyambar salah satu ujung sorban. Ujung yang lain dikebutkan ke udara dua kali
berturut-turut. Inilah jurus sorban maut bernama Duo Kilek Manyemba Gunung
Singgalang Merapil (Dua Kilat menyambar Gunung Singgalang Merapi)
“Taarr!Taarrr!”
Dua
kilatan menyilaukan berkiblat di udara. Menyambar ke arah kepala dua pemuda
dempet yang saat itu akibat pandangan mata yang memancarkan hawa sakti dari
Datuk Marajo Sati membuat walau hanya sebentar dua kaki mereka bergetar dan
terasa agak berat.
Wiro
cepat melompat ke tengah kalangan sambil berseru.
“Datuk! Jika
dua manusia najis ini tahu di mana gadis Cina itu berada, mengapa hendak
dibunuh! Biar saya dan Si Kamba Mancuang mewakili Datuk untuk meringkus mereka
dan mengorek keterangan!”
Pendekar
212 dorongkan dua telapak tangan melepas pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan
dalam gerak jurus bernama Membuka Jendela Memanah Rembulan. Begitu angin
pukulan saling bentrok dengan dua cahaya putih yang keluar dari ujung sorban
Datuk Marajo Sati maka dess… dess! Wiro terjajar ke belakang. Ujung lengan baju
hitamnya kepulkan asap. Tangan mulai dari ujung jari sampai ke bahu terasa
kesemutan. Jari-jari tangan sampai ke telapak tampak membiru.
Khawatir
dalam keadaan seperti itu ada orang yang menyerang maka Wiro cepat jatuhkan
diri ke tanah.
Datuk
Marajo Sati sendiri berteriak marah ketika melihat bagaimana ujung sorban
saktinya yang terkena sambaran angin pukulan Wiro terpental lalu lepas dari
pegangan sementara ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuh membuat dadanya
berdenyut sakit. Dalam keadaan seperti itu dia tersentak kaget dan keluarkan
seruan tertahan ketika menyaksikan bagaimana sambil jatuhkan diri ke tanah Wiro
tarik ujung sorban putih hingga meleset dan bergulung melingkari kopiah hitam
yang ada di atas kepalanya!
Walau
yakin Wiro tidak cidera dan malah mampu mempermainkan sorban lawan namun ketika
melihat Wiro menjatuhkan diri di tanah, Si Kamba Mancuang yang merasa khawatir,
cepat cabut pedang Al Kausar dari balik punggung pakaian. Ternyata senjata yang
tidak bersarung ini dibungkus dengan libatan kain putih. Sekali si nenek
menyentakkan tangan maka libatan kain putih dengan cepat bergulung membuka.
Karena memang tidak akan dipergunakan untuk menyerang orang tapi sekedar
melindungi Wiro, maka si nenek hanya berdiri berjaga-jaga di samping Pendekar
212. Justru di saat itu terjadi satu hal yang tidak terduga.
Dua
pemuda dempet menjerit keras ketika dua ekor harimau kuning besar entah dari
mana datangnya tahu-tahu telah melompat ke arah mereka. Harimau di sisi kanan
langsung menyambar menggigit tangan kanan Sunguik Merah dan Sunguik Biru.
“Binatang
jahanam! Mampuslah!” teriak Sunguik Merah sambil menghantamkan tangan kiri ke
kepala harimau besar. Hal yang sama dilakukan oleh Sunguik Biru.
Sesaat
lagi sebelum dua pukulan yang bisa membuat kepala dua harimau besar rengkah
mengenai sasarannya tiba-tiba dua bayangan hitam berkelebat dari arah belakang.
Keduanya langsung duduk di punggung dua harimau besar sambil salah satu tangan
ditusukkan ke ubun-ubun Sunguik Merah dan Sunguik Biru. Ludah membusa dari
mulut dua pemuda dempet ini. Tubuh mereka langsung tersentak kaku tak mampu
bergerak. Hanya mulut yang masih bisa keluarkan teriakanteriakan keras. Dua
harimau melesat makin tinggi ke udara. Di atas punggung harimau-harimau sakti
ini duduk dua orang berpakaian dan berdestar hitam. Mereka bukan lain adalah
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang.
***********************
7
MENGETAHUI
kalau apa yang terjadi adalah perbuatan Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning
Nan Sabatang, Sunguik Merah segera berteriak. “Datuk berdua! Mengapa Datuk
melakukan ini? Menganiaya kami! Apa salah kami?!” Pemuda bernama Sunguik Merah
berteriak.
“Siapa
yang menganiaya?! Kami hanya ingin membawamu berjalan-jalan barang sebentar!”
Menyahuti Datuk Bandaro Putih sambil menyeringai, “Bukankah selama hidup baru
sekali ini kalian terbang di udara? Sambil berjalan-jalan melihat keindahan
nagari kami ingin bertanya. Kecuali kalau kalian Ingin cepat-cepat turun dengan
cara terjun ke bawahi”
“Datuk
berdua sudah gila rupanya!” Yang berteriak kini Sunguik Biru. “Kalau ingin
bertanya mengapa menyiksa kami seperti ini?! Mengapa membawa kami terbang ke
udara! Mengapa tidak bertanya di daratan saja?!”
Dua Datuk
cuma tertawa. Datuk Kuning Nan Sabatang lalu berkata, “Dari bicara kalian tadi
dengan Datuk Pucuk Marajo Sati rupanya kalian tahu di mana beradanya Tuanku
Laras Muko Balang. Katakan kepada kami di mana manusia muka belang berbulu itu
dan gadis culikannya berada!”
“Datuk
berdua! Apakah menginginkan Tuanku Laras atau gadis Cina itu. Jangan-jangan
Datuk berdua telah jatuh hati pula pada wajah yang cantik, kulit putih mulus
dan tubuh elok montok…”
“Plaakkk!”
Datuk
Bandaro Putih tampar pipi Sunguik Biru hingga sudut bibir sebelah kiri robek
mengucurkan darah.
“Jangan
berani bicara kurang ajar pada kami Datuk pimpinan Luhak!” kata Datuk Bandaro
Putih. Tangan kanannya yang tadi menampar masih menggantung di udara dalam
keadaan bergetar, siap untuk menampar kembali atau bahkan menjotos batok kepala
Sunguik Biru
Melihat
saudara dempetnya ditampar hingga luka Sunguik Merah merasa tidak senang lalu
keluarkan ucapan menantang.
“Kalau
kami tidak mau memberi tahu Datuk berdua mau berbuat apa?!”
Datuk
Bandaro Putih siap hendak menghajar Sunguik Merah. Tapi Datuk Kuning Nan
Sabatang memegang lengannya, berpaling pada Sunguik Merah lalu tertawa
gelak-gelak.
“Jawabnya
mudah saja. Aku akan perintahkan dua harimau melepas gigitan di tangan kalian.
Kalian boleh bergembira terjun jatuh ke bawah. Coba kalian lihat apa yang ada
di bawah sana!” Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Putih dua pemuda berjuluk
Tengku Mudo Sagalo Duo itu tukikkan pandangan ke bawah. Saat itu mereka berada
di atas sebuah bukit batu hitam yang di puncaknya terdapat beberapa telaga. Dua
pemuda dempet ini serta merta mengenali bukit itu. Mereka tahu pula kalau di
setiap telaga dihuni oleh lusinan buaya besar yang kelaparan dan jarang bertemu
manusia!
“Bukit
Batu Lubuk Buaya!” teriak Sunguik Merah. Wajahnya dan wajah saudaranya yang
sejak tadi sudah pucat kini jadi tambah tidak berdarah karena ketakutan
setengah mati.
“Datuk
berdua orang baik orang beragama. Mengapa hendak berbuat sekejam itu
menjatuhkan kami ke bukit batu yang banyak buaya laparnya?!” ucap Sunguik Biru
dengan suara bergetar.
“Mahluk
bejat seperti kalian sebenarnya sudah lama harus disingkirkan dari muka bumi
ini! Tapi siapa tahu kalian masih bisa berbuat kebajikan mengurangi dosa-dosa
bejat kalian selama ini!” Kata Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dengar,
kami tidak tahu di mana Tuanku Laras berada. Tadi kami hanya bicara membual
mengharapkan Datuk Marajo Sati mau merampas pedang Al Kausar dari tangan si
nenek.” Memberi tahu Sunguik Merah.
“Betul,
sebenarnya kami memang tidak tahu di mana beradanya Tuanku Laras,” Sunguik Biru
sambung ucapan Sunguik Merah.
Datuk
Kuning Nan Sabatang tepuk pinggul kanan harimau yang ditunggangi. Binatang ini
segera lepaskan gigitannya di tangan kanan Sunguik Merah. Tak ampun lagi sosok
dua pemuda dempet itu berayun melayang menggantung ke bawah namun masih
tertahan karena harimau yang ditunggangi Datuk Bandaro Putih masih menggigit
lengan kanan Sunguik Biru. Kedua pemuda dempet itu menjerit-jerit ketakutan.
Yang paling keras jeritannya Sunguik Biru karena luka gigitan harimau di
lengannya semakin besar menguak.
“Datuk!
Ampun! Jangan jatuhkan kami! Kami akan memberi tahu! Kami akan bicara! Tapi
turunkan dulu kami ke tanah!” Sunguik Merah berseru. Bagian bawah jubahnya
telah basah oleh air kencing yang tidak tertahankan lagi dan terpancar tak
karuan.
“Kau
hanya menipu!” teriak Datuk Bandaro Putih. Lalu membawa harimau tunggangannya
melayang lebih tinggi.
“Demi
Tuhan! Kami bersumpah!” teriak Sunguik Biru ketakutan setengah mati.
“Aha!
Masih punya Tuhan kalian rupanya!” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. Lalu dia
memberi isyarat pada Datuk Bandaro Putih. Harimau besar yang masih menggigit
tangan kanan Sunguik Biru perlahan-lahan melayang turun ke bawah hingga
akhirnya sampai di salah satu puncak bukit batu hitam, hanya dua langkah dari
pinggiran sebuah jurang batu terjal sedalam hampir tiga puluh tombak. Di dasar
jurang terdapat sebuah telaga dihuni banyak buaya besar berkulit coklat
kehitaman yang sudah cukup lama tidak mengenyam makanan lezat apa lagi yang
namanya tubuh manusia.
Sambil
perhatikan lengan masing-masing yang luka dan berlumuran darah dua pemuda
dempet itu menggerung kesakitan. Saat itu keduanya masih dalam keadaan tak
mampu bergerak. Tanpa turun dari punggung harimau Datuk Bandaro Putih
membentak.
“Sekarang
beri tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang atau kami lempar kalian ke
dalam jurang…”
“Datuk
berdua, sebenarnya… sebenarnya ada keperluan apa menanyakan keberadaan Tuanku
Laras. Bukankah…”
Datuk
Kuning Nan Sabatang jadi kesal. Dia majukan harimau tunggangan mendekati dua
pemuda dempet lalu kaki kiri diangkat, diletakkan di atas dada Sunguik Merah,
siap untuk menendang.
“Sunguik
Merah! Jawab saja apa yang kami tanya. Kalau kau berani berpanjang mulut,
jurang di dekat kalian cukup dalam. Sekali aku tendang dadamu, kau bersama
saudara mesummu akan terpental masuk ke dalam jurang. Sampai di dasar kalian
sudah berubah lumat. Kalau masih hidup, belasan buaya di dalam telaga siap
menyantap kalian hingga tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh kalian!”
“Jangan
Datuk, jangan! Kami berdua mohon ampun dan kasihan. Apakah… apakah Datuk berdua
tidak akan lebih dulu melepaskan ilmu yang membuat kami tak bisa bergerak ini?”
Sunguik Biru berkata berhiba-hiba.
Dua Datuk
mana mau percaya.
“Sekali
lagi kau berpanjang bicara, kudongak kalian berdua masuk jurang!” hardik Datuk
Kuning Nan Sabatang. Lalu kaki kirinya yang menempel di dada Sunguik Merah
didorongkan sehingga dua sosok dempet itu terhuyung-huyung ke arah jurang,
(dongak: tendang)
“OndeMak!
Datuk! Tunggu! Jangan menendang!” teriak Sunguik Biru dengan muka pucat. Saat
itu tubuhnya memang menghadap ke arah jurang hingga rasa takutnya bukan alang
kepalang, nyawa serasa terbang. Lalu dia berkata pada saudara dempetnya.
(OndeMak!: Aduh Ibu!)
“Sunguik
Merah lekas kau beritahu pada Datuk. Aku belum mau mampus. Apa lagi mati
bergulung jatuh ke dasar jurang batu, ditunggu buaya-buaya lapar!”
“Baik…
baik… Aku akan bicara,” jawab Sunguik Merah. “Datuk berdua, sebenarnya kami
tidak tahu pasti di mana saat ini beradanya Tuanku Laras. Ke mana dia membawa
gadis Cina yang kabarnya pernah disekap Datuk Marajo Sati itu. Belum lama ini
secara tak sengaja kami bertemu dengan Tuanku Laras. Dia menyuruh kami merampas
pedang Al Kausar miliknya yang berada di tangan Si Kamba Mancuang…”
“Pedang Al
Kausar bukan senjata sembarangan. Mengapa manusia muka belang itu mempercayai
kalian untuk mendapatkannya kembali?” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dia
sibuk mengurusi gadis Cina itu!” jawab Sunguik Biru.
Dua Datuk
saling pandang dan diam-diam sama bisa menerima penjelasan Sunguik Biru.
“Kalian
berdua mau melakukan perintah Tuanku Laras. Mengapa?!” tanya Datuk Bandaro
Putih. “Setahu kami selama ini kalian tidak punya hubungan dekat dengan
dirinya.”
“Kami
dijanji jika berhasil akan diberi satu batangan emas murni,” jawab Sunguik
Merah.
“Kalian
percaya?!” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Tentu
saja,” jawab Sunguik Merah. “Tuanku Laras memperlihatkan beberapa batang emas
yang ada padanya!”
Dua Datuk
kembali saling berpandangan. Ini satu hal yang baru bagi mereka. Dari mana
Tuanku Laras mendapatkan batangan emas itu?
“Lalu
bagaimana selanjutnya?” tanya Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Jika
pedang Al Kausar sudah didapat kami disuruh pergi ke Bukit Batu Patah, di bekas
tempat berdirinya Istana lama Kerajaan Pagaruyung. Kami harus mengantarkan pada
malam hari ketiga bulan baru. katanya dia akan menunggu di sana.”
“Mengapa
di Bukit Batu Patah dan mengapa harus hari ketiga bulan baru?” tanya Datuk
Bandaro Putih.
“Itu yang
kami tidak tahu,” jawab Sunguik Merah pula.
Dua Datuk
terdiam. Sejurus kemudian Datuk Kuning Nan Sabatang berkata, “Kami akan
menyelidik. Jika ternyata kalian menipu umur kalian tidak akan lama. Sebelum
bulan setengah lingkaran muncul di langit malam kalian sudah kami temui dan
kami habisi!”
Selesai
keluarkan ucapan dua Datuk siap menggebrak harimau masing-masing.
“Datuk!
Tunggu! Bagaimana dengan kami?!” teriak Sunguik Merah. “Tubuh kami masih kaku
tak bisa bergerak! Kami tidak mau mati tagang di tempat cilako ini!” (tagang:
tegang/kaku) (cilako: celaka)
“Sebelum
matahari tenggelam kalian berdua akan bebas dengan sendirinya!” jawab Datuk
Bandaro Putih.
Belum
sempat dua harimau besar melesat ke udara menerbangkan dua Datuk tiba-tiba dari
dalam jurang terdengar suara menderu keras. Batu-batu di dinding jurang runtuh
hancur berkepingkeping, debu mengepul ke udara. Di lain kejap tiba-tiba satu
sosok aneh yang tadinya melata melesat di dinding jurang kini berdiri di
hadapan dua pemuda dempet!
Mahluk
yang muncul ini sungguh dahsyat!
***********************
8
SUNGUIK
Merah dan Sunguik Biru walaupun berada dalam keadaan kaku tak mampu bergerak
namun masih bisa merasakan bagaimana tubuh mereka menjadi bergetar dan tengkuk
seperti diguyuraires!
Mahluk
yang berdiri di hadapan mereka ujudnya setengah perempuan setengah buaya. Leher
ke atas atau bagian kepala berbentuk kepala seekor buaya berkulit putih bermata
biru. Di atas kening antara kedua mata melekat sebuah batu permata memancarkan
cahaya hijau.
Dari
leher ke bawah sosok mahluk ini tidak beda dengan sosok seorang perempuan muda
bertubuh bagus dan elok menawari serta berkulit putih mulus. Keelokan dan
keputihan ini terlihat jelas karena dari leher sampai ke pusar tubuh itu tidak
tertutup apa-apa. Dari pusar ke bawah mahluk perempuan berkepala buaya putih
ini mengenakan sehelai kain songket merah setinggi lutut hingga terlihat
betisnya yang putih menawan.
Perempuan
berkepala buaya ini memiliki dua tangan dan dua kaki tidak beda dengan manusia.
Dalam ujud yang seperti itu tubuhnya menebar bau harum mewangi. Dua pemuda dempet
sama menelan ludah. Mata menatap tak berkesip, tenggorokan turun naik. Ingatan
mereka sekilas kembali pada masa beberapa waktu lalu.
Kemunculan
sang mahluk membuat dua Datuk terkejut dan serta merta menahan gerakan harimau
tunggangan yang hendak melesat terbang ke udara. Melirik ke arah kiri mereka
melihat sepasang pemuda dempet pucat pasi tampang mereka, jelas menunjukkan
ketakutan.
“Inyiek
Ratu Buayo.” Sunguik Merah dan Sunguik Biru samasama keluarkan suara bergetar.
Kalau saja dua kaki mereka bisa digerakkan saat itu keduanya sebenarnya sudah
memutuskan untuk menghambur lari lintang pukang! (Buayo: Buaya)
“Bagus!”
tiba-tiba sosok perempuan muda berkepala buaya berucap. Suaranya menyerupai
suara seorang gadis, sejuk dan lembut terdengar di telinga. Padahal
kata-katanya cukup membuat bulu kuduk orang yang mendengar jadi berdiri dingin!
“Dua
Datuk Luhak sahabatku telah mengantarkan kalian berdua hingga aku tidak perlu
susah-susah mencari. Tinggal mempesiangi saja! Hik… hik!”
Tengku
Mudo Sagalo Duo terdiam. Lalu Singuik Merah walaupun nyali mulai leleh coba
berkata menegur.
“Inyiek
Ratu Buayo. Apakah kau baik-baik saja…?”
“Hmm…
Jangan berpura-pura menegur berbasa-basi,” menjawab mahluk perempuan setengah
telanjang berkepala buaya. “Banyak yang tidak baik dengan diri ini! Semua sebab
ulah kalian berdua…”
“Inyiek,”
Sunguik Biru berkata setengah berbisik. “Dua Datuk di sebelah sana telah
membuat kami tak bisa melangkah tak mampu
menggerakkan
tangan. Tolong Inyiek bebaskan kami…”
Inyiek
Ratu Buayo dongakkan kepala lalu tertawa.
“Itu
hanya satu hukuman kecil. Hukuman dariku jauh lebih besar!”
“Inyiek,
kalau kami bisa bebas, kita bisa bersenang-senang kembali seperti dulu-dulu…”
“Bersenang-senang
seperti dulu!” Inyeik Ratu Buayo mengulang ucapan Sunguik Merah. Batu permata
hijau di keningnya bersinar terang. Sepasang mata yang biru pancarkan cahaya
angker.
“Puan!”
Tiba-tiba perempuan bertubuh perempuan bertubuh molek berkepala buaya itu
meludah. Ludahnya bukan seperti manusia biasa meludah tapi seperti seorang manuang
seember air! Ketika ludah itu mengenai satu gundukan batu, batu langsung
membuih dan meleleh!
Datuk
Bandaro Putih berpaling pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Ludah Hantu Buayo”,
bisik Datuk Bandaro Putih menyebut ilmu Inyiek Ratu Buayo.
Menyaksikan
sang Inyiek meludah seperti itu bertambah pucatlah wajah dua pemuda dempet.
Kalau ludah tadi disemburkan ke kepala atau tubuh mereka dapat dibayangkan apa
yang terjadi. Agaknya perempuan muda berkepala buaya itu tidak mungkin dibujuk
apa lagi dirayu.
“Inyiek,
kami berdua sebenarnya…”
“Tutup
mulut! Jangan banyak bicara!” Mahluk kepala buaya membentak memotong ucapan
Singuik Biru. “Culas penipu! Busuk bejat dan luar biasa mesum! Katamu hanya aku
seorang yang jadi kekasihmu. Ternyata kalian berkeliaran ke mana-mana mengumbar
nafsu! Bukan saja kalian sudah meniduri diriku tapi juga menipu mengambil harta
perhiasan milikku! Kalaupun dua Datuk itu tidak membawa kalian kemari apa
kalian mengira bisa lolos dari pembalasanku?”
Mendengar
ucapan Inyiek Ratu Buayo dua Datuk jadi merasa jengah. Sebenarnya mereka ingin
cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang
sementara urusan sendiri belum selesai. Namun bagaimana pun juga mereka ingin
pula mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Inyiek,
kami bukan menipu. Bagaimanapun Inyiek tetap satusatunya kekasih kami sehidup
semati di tanah Minang ini. Kami pergi hanya karena ada urusan…”
Mendengar
kata-kata Sunguik Merah, perempuan muda berkepala buaya membuka mulut
lebar-lebar hingga kelihatan bagian dalam mulutnya yang penuh dengan deretan
gigi besar dan runcing mengerikan. Untuk beberapa saat gelak tawa angker
menggema keluar dari mulut mahluk kepala buaya.
“Pergi
selama enam bulan tidak kabar tidak berita! Sehidup semati! Kalian yang hidup
aku yang kalian buat mati jadi bangkai hidup! Satu-satunya kekasih di tanah
Minang! Padahal puluhan perempuan sudah kalian gauli kalian tiduri! Hik… hik!
Manusia-manusia mesum terkutuk, aku pula yang hendak kalian tipu! Kepalaku yang
hendak kalian gadai!”
“Inyiek,
kalau Inyiek mau mengambil kembali semua perhiasan yang pernah Inyiek berikan
pada kami, kami akan segera lakukan. Malah akan kami tambah dengan apa yang
kami miliki. Asal Inyiek mau melepas ilmu yang membuat kami tidak bisa
bergerak.”
“Baik!
Akan aku bebaskan kalian!” kata mahluk perempuan kepala harimau. Dua tangan
disilang di atas dada. Lalu disentakkan dengan tiba-tiba.
“Wuutttt!”
Dari bagian
tubuh sebelah belakang Inyiek Ratu Buayo mencuat keluar sebentuk ekor panjang
besar, berwarna coklat kehitaman, bergerigi lentur namun lebih keras dari besi!
Rupanya inilah ekor sang Inyiek!
Dua
pemuda dempet yang dijuluki Tengku Mudo Sagalo Duo tersentak kaget.
“Inyiek
Ratu! Mulai saat ini kita bisa bersama-sama lagi. Kami berjanji tidak akan
pergi ke mana-mana. Kami tidak akan meninggalkanmu barang sepicingpun!” Sunguik
Biru berseru ganti membujuk.
Inyiek
Ratu Buayo tertawa panjang.
“Kalian
berdua memang tidak akan pergi ke mana-mana!”
Habis
keluarkan ucapan itu ekor di belakang tubuh Inyiek Ratu Buayo melesat menyambar
ke bagian bawah tubuh dua pemuda dempet yang tertutup jubah. Ekor buaya yang
walau kelihatan lentur tapi lebih keras dari besi itu menghantam dua pasang
kaki. Terdengar suara berderak dibarengi jeritan dua pemuda dempet
Dua
pasang kaki buntung bergeletakan di tanah. Kalau tadi dua pasang kaki itu tidak
mampu bergerak kini dalam keadaan buntung tampak berkelojotan di atas bebatuan
yang telah digenangi darah.
Bersamaan
dengan itu tubuh Tengku Mudo Sagalo Duo roboh di atas batu lalu terguling masuk
ke dalam jurang! Suara jeritan dua pemuda dempet itu menggelegar menggidikkan.
Sunguik Merah masih mampu berteriak.
“Inyiek!
Ampun kami! Tolong! Jangan sampai kami jatuh ke dasar jurang! Datuk! Tolong…!”
Lalu
suara jeritan lenyap. Hening sesaat. Kemudian terdengar suara air telaga di
dasar jurang membuncah. Belasan buaya lapar yang ada di tempat itu bersirebut
cepat menyantap dua tubuh dempet.
Dua Datuk
di atas punggung harimau sampai mengelus kuduk masing-masing saking
tercekatnya.
“Dua
Datuk penjaga negeri. Jika tidak ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan aku
merasa tak ada gunanya berada lebih lama di tempat ini.”
Datuk
Bandaro Putih mengusap wajah beberapa kali. Lalu berkata. Mata tidak berani
menatap ke arah tubuh yang setengah telanjang itu.
“Inyiek
Ratu Buayo. Kami sudah lama mendengar riwayat dirimu. Beruntung sekali hari ini
kami bisa bertemu. Kami ingin berterima kasih karena Inyiek telah mengerjakan
apa yang sebelumnya menjadi niat kami.”
Kepala
buaya Inyiek Ratu Buayo mengangguk. Matanya yang biru tampak redup. “Kematian
mereka sudah nyata. Kematian diriku yang belum jelas. Padahal dosa ini sudah
setinggi langit sedalam lautan…” Ucapan mahluk kepala buaya ini seolah
menyesali nasib dirinya.
“Inyiek,
Allah itu Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Jika Inyiek mau minta ampun dan bertobat pasti Allah akan
mengampuni segala dosa Inyiek. Seberapapun besarnya…”
“Begitu…?”
Kepala berbentuk kepala buaya itu menganggukangguk. Lalu terdengar suaranya
lirih. “Aku memang sudah lama melupakan Tuhan Seru Sekalian Alam…”
“Ada
kalanya manusia memang bersifat seperti itu Inyiek, sering melupakan Tuhan,”
kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Namun yang patut kita ketahui, Tuhan tidak
pernah melupakan kita betapapun buruk ujud kita, betapapun besar dosa kita.
Itulah kerohimannya Allah.”
Inyiek
Ratu Buayo terdiam. Sepasang mata birunya semakin redup. Perlahan-lahan air
mata jatuh bercucuran dari kedua mata itu.
Datuk
Bandaro Putih menghela nafas dalam.
“Sahabatku
Inyiek Ratu Buayo. Air mata adalah ungkapan hati nurani penuh kejujuran.
Pertanda bahwa Inyiek sudah mendekatkan diri pada Allah Yang Maha Kuasa,
pertanda bahwa Inyiek siap bahkan saat ini mungkin sudah menyatakan bertobat…”
“Inyiek,
mungkin Inyiek harus meninggalkan tempat ini. Mencoba hidup di tempat lain yang
lebih baik…” berkata Datuk Kuning Nan Sabatang menyambung ucapan Datuk Bandaro
Putih.
“Mungkin
memang harus begitu. Tapi ke mana aku harus pergi. Bagaimana dengan
anak-anakku? Lalu apakah orang mau menerima diriku dalam keadaan seperti ini…?”
Dua Datuk
maklum apa yang dimaksud Inyiek Ratu Buayo dengan sebutan “anak-anak”. Tidak
lain adalah puluhan ekor buaya yang ada di dasar jurang serta beberapa telaga
yang terdapat di atas bukit batu.
“Inyiek,
serahkan semua kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Allah
menciptakan dunia, Allah pula yang akan mengatur segala isi dan kejadiannya.
Jika inyiek punya kesempatan datanglah ke Luhak kami. Kami ada amalan baik.
Inyiek akan langsung berhadapan dan memohon kepada Tuhan. Mudah-mudahan Inyiek
bisa berubah ujud.”
“Datuk
berdua, kalian baik sekali. Aku sangat berterimakasih. Sekarang mataku jadi
lebih terbuka. Sesungguhnya begitu banyak orang buruk dan jahat di dunia ini,
tapi rupanya masih lebih banyak mereka yang berhati putih dan bersifat baik
seperti Datuk berdua. Bilakah Datuk berkenan menerima kedatanganku?”
“Secepat
yang bisa Inyiek lakukan. Namun kalau bisa datanglah di penghujung bulan di
muka…”
“Mengapa
begitu lama sekali?” tanya mahluk perempuan muda kepala buaya.
“Karena
saat ini kami tengah menghadapi satu urusan besar.” Datuk Bandaro Putih yang
menjawab.
Inyiek
Ratu Buayo terdiam lalu anggukkan kepala. Dia cukup tahu diri untuk tidak
menanyakan apa urusan besar yang tengah dihadapi kedua Datuk tersebut.
“Aku
benar-benar sangat berterima kasih pada Datuk berdua…”
“Kalau
begitu mulai hari ini gantilah pakaian Inyiek. Tutupi aurat. Dan yang paling
penting mulai melakukan sholat lima waktu…” kata Datuk Bandaro Putih pula.
Inyiek
Ratu Buayo Putih rapatkan mulut, anggukkan kepala.
“Tapi
ujudku yang seperti ini, lalu keningku yang tak mungkin sujud…”
Dua Datu
k tersenyum mendengar kata-kata mahluk kepala buaya itu.
“Tuhan
tidak pernah menolak sembah sujud umatnya. Sholat seseorang tidak ditentukan
oleh baik atau buruk rupanya. Itulah Kebesaran Tuhan.”
Setelah
membungkuk memberi penghormatan dan melambaikan tangan dua Datuk melesat ke
udara di atas punggung harimau tunggangan masing masing.
Inyiek
Ratu Buayo usapkan dua tangan di atas kepala. Sepasang mata biru yang
berlinangan dipicingkan. Dalam hati dia berkata, “Tuhan rupanya memang masih
sayang padaku. Dia telah mendatangkan dua Datuk itu, memberi jalan dan
petunjuk. Terima kasih dua Datuk. Terima kasih Tuhan. Engkau memang Allah Yang Akbar…”
***********************
9
KITA
kembali pada Datuk Marajo Sati. Sorban sakti yang bisa dipergunakan sebagai
alat tumpangan pembawa terbang tak ada lagi. Harimau kuning belang hitam yang
jadi binatang peliharaan dan bisa ditunggangi melayang di udara masih terbujur
sakit di Ngarai Sianok akibat serangan racun Ilmu Santuang Panyasek yang
dilancarkan Tuanku Laras Muko Balang (baca episode sebelumnya “Mayat Kiriman Di
Rumah gadang”) Kerenanya Datuk Marajo Sati kini kerahkan ilmu lari yang selama
ini jarang dipergunakan bernama Tabang Di Bumi Malayang DiLangiek (Terbang Di
Bumi Melayang Dt Langit). Ketika langit di arah timur memancarkan cahaya merah
kekuningan pertanda tak lama lagi sang surya akan tenggelam, di satu tempat
sepi yang dirasakan aman yaitu di tepi satu anak sungai berair jernih dan
dangkal, sang Datuk duduk di atas sebuah batu besar.
Sebuah
benda yang sejak tadi diselipkan di pinggang dicabut dikeluarkan. Benda ini
bukan lain adalah potongan bambu berlilit secarik kain putih yang merupakan
Surat Perintah Sri Baginda Raja Di Pagaruyung. Sebagaimana diketahui Surat
Perintah itu dibawa dan dilemparkan oleh Datuk Bandaro Putih hingga menancap di
dinding batu dekat mulut goa. Walau sebelumnya tidak mau perduli dengan surat
itu namun ketika berkelebat pergi Datuk Marajo Sati mengambilnya dengan
sambaran tangan kiri.
Di bawah
terang cahaya merah kekuningan sinar matahari Datuk Marajo Sati buka gulungan
kain putih yang melilit di batang bambu. Dia berusaha menenangkan diri waktu
membaca apa yang tertulis di atas kain itu walau dua tangan yang memegang Surat
Perintah tampak sedikit bergetar.
Surat
Perintah itu didahului dengan kata Basmallah ditulis dalam bahasa Melayu dan
beraksara Arab Gundul.
Terhunjuk
Datuk Pucuk,
Datuk
Marajo Sati
Datuk
Pimpinan Luhak Nan Tigo
Berita
buruk mengenai diri Datuk Pucuk telah tersiar dari mulut ke mulut dan telah
pula dihembuskan angin sampai ke telinga kami di singgasana Nagari Adat
Bertuah, Kerajaan Pagaruyung.
Kebenaran
harus di jejak diselidiki agar keadilan bisa ditegakkan. Jangan sampai karena
seekor kerbau berkubang, sekandang kena lumpurnya. Jangan karena nilai setitik
rusak susu sebelanga. Jangan pula karena perbuatan satu orang kutuk dan azab
Allah jatuh menimpa seisi negeri.
Karena
urusan ini sangat patut dirahasiakan sampai kebenaran terungkap maka kami
memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke bekas Istana lama Kerajaan
Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk memberi kesaksian pada utusan yang telah
kami percaya. Waktunya malam hari bulan sabit malam ketiga.
Bilamana
Datuk tidak bersalah maka Allah akan melindungi. Tetapi jika Datuk memang orang
berdosa maka Datuk akan menjadi orang teraniaya. Hanya ampun dan tobat Datuk
yang menyelamatkan Datuk. Tapi itu adalah Hukum Akhirat. Hukum Dunia tetap
Datuk pertanggungjawabkan pada anak Nagari dan Kerajaan.
Semoga
Allah melindungi dan memberi rakhmat pada kita semua.
Amin.
Sri
Baginda Raja Pagaruyung
Yang
Dipertuan Raja Muning Alam Syah
Untuk
beberapa saat lamanya Datuk Marajo Sati masih duduk di atas batu besar di
pinggir batang air (sungai kecil) itu. Namun wajahnya tampak mengelam, tubuh
meregang kaku dan bergetar.
“Kalau
aku dijadikan orang yang teraniaya. Maka seluruh nagari akan aku buat sengsara!
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang pasti manusia-manusianya yang
berada di balik keluarnya Surat Perintah ini.” Dua tangan Datuk Marajo Sati
yang masih memegang bambu dan kain putih Surat Perintah meremas gemas.
“Dess!
Desss!”
Dari
genggaman sang Datuk melesat keluar nyala api. Batangan bambu dan kain putih
hancur dan musnah dilamun api. Bagian yang masih tersisa berupa arang dan debu
dimasukkan ke dalam saku celana galembong hitam. Lalu kepala diangkat menatap
ke langit.
“Malam
ini bulan malam pertama munculnya bulan sabit. Berarti waktunya dua malam dari
sekarang. Wahai Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Aku insan tidak bersalah!
Mengapa aku harus takut menghadapi perintahmu? Tuhan Seru Sekalian Alam. Kau
Maha Mengetahui dan Maha Melihat!”
Perlahan-lahan
Datuk Marajo Sati bangkit berdiri. Ternyata batu besar yang tadi didudukinya
telah berubah ceguk dan hitam serta mengepulkan asap!
Itulah
akibat hawa amarah yang keluar tanpa disadari sang Datuk!
KETIKA
malam itu bulan sabit hari pertama muncul membayang putih di langit, seorang
pemuda berpakaian biru gelap mengendapendap di balik sederetan pohon ambacang,
tak jauh dari sebuah rumah besar bergonjong yang terletak di pinggiran timur
Kota Gadang. Mata si pemuda menatap ke arah jendela di bagian depan rumah
sebelah kanan yang disebut anjungan. Sewaktu bergerak hendak berpindah ke pohon
ambacang di sebelah kanan, mendadak langkah pemuda tadi tertahan. Dada
berdebar, wajah berubah pucat. Di hadapannya, hanya beberapa langkah saja ada sebuah
kuburan terbuat dari batu pualam kelabu.
Bulu
kuduk si pemuda meregang dingin ketika telinganya tiba-tiba menangkap ada suara
menyerupai orang menggembor ke luar dari kuburan.
Sambil
membungkuk dan melangkah mundur pemuda itu susun sepuluh jari di atas kening
seraya mulut berucap perlahan, suara bergetar.
“Datuk…
Datuk Indomo… Saya Pakih Jauhari. Maafkan saya. Tiada maksud hendak mengganggu
ketentraman Datuk di alam arwah. Saya datang dengan maksud baik. Kalau Datuk
mengizinkan, kalau Tuhan meredhoi saya masih tetap ingin…”
Datuk
Indromo adalah ayah kandung Gadih Putih Seruni yang telah meninggal dunia dan
dikubur di halaman dekat rumah kediamannya. Konon lelaki ini menghembuskan
nafas terakhir setelah terlebih dahulu mengalami sakit akibat rasa sakit hati
yang tidak berkenan atas perkawinan anak perempuannya dengan Datuk Marajo Sati.
Ucapan
terputus. Si pemuda ternyata adalah Pakih Jauhari bekas kekasih Gadih Putih
Seruni yang kemudian diambil menjadi istri oleh Datuk Marajo Sati cepat merapat
ke batang pohon besar di sebelahnya. Di halaman kiri rumah rumah besar
berkelebat seorang bertubuh tinggi besar berpakaian serba hitam. Cepat sekali
dia sudah berada di tangga samping rumah, naik ke atas dan tanpa kesulitan
membuka pintu lalu menghilang masuk ke dalam rumah.
Di balik
pohon Pakih Jauhari berulang kali berkata. “Aku yakin… Pasti dia… Tapi mengapa
tidak memakai sorban. Kepala sulah tersingkap…”
Tidak
menunggu lebih lama begitu sosok tinggi besar tadi masuk ke dalam rumah gadang,
Pakih Jauhari segera berlari masuk ke dalam kolong. Tepat di bawah kamar
ketiduran Gadih Putih Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang dulu pernah menjadi
kekasihnya dan sampai saat ini masih sangat dicintainya. Pemuda ini berusaha
mencuri dengar pembicaraan di atas rumah, namun papan lantai terlalu tebal dan
jaraknya terlalu jauh.
Sementara
itu di dalam rumah gadang. Di atas pembaringan Gadih Putih Seruni yang sejak
beberapa hari ini memang sulit tidur memicingkan mata palingkan kepala ke arah
pintu ketika telinganya mendengar suara pintu dibuka orang. Pelita minyak di
dalam kamar nyala apinya memang sengaja dikecilkan.
“Ibu…”
Gadih Putih Seruni menyangka ibunya yang datang. Ternyata yang masuk ke dalam
kamar adalah lelaki tinggi besar yang serta merta dikenalinya.
“Seruni,
ini aku. Datuk Marajo Sati. Suamimu.”
Mendengar
suara orang Gadih Putih Seruni segera turun dari tempat tidur. Dia hendak
membesarkan nyala api pelita minyak tapi segera dicegah oleh Datuk Marajo Sati.
“Datuk…”
Gadih Putih Seruni terduduk di tepi tempat tidur. Dua tangan memegang dada,
wajah pucat merebak hendak menangis. Tapi dia masih bisa menahan dan keluarkan
ucapan. “Datuk… Mengapa Datuk berkeadaan seperti ini. Datang tengah malam hari
seperti sembunyi-sembunyi. Mana sorban Datuk…?”
Keadaan
Datuk Marajo Sati saat itu memang tidak karuan rupa. Pakaian kotor berdebu,
wajah kusut dan kepala yang hampir botak tidak tertutup sorban.
Datuk
Marajo Sati cepat dekati istrinya, membelai rambut Gadih Putih Seruni lalu
berkata.
“Aku
mohon maaf, sekian lama tidak mengunjungimu. Sebagai suami dosaku terlalu
besar…”
“Saya
tidak memikirkan hal itu Datuk. Yang saya khawatirkan adalah diri dan
keselamatan Datuk. Saya mendengar berita yang telah tersebar luas di seluruh
nagari…”
“Aahh…
Syukur kau sudah mengetahui hingga aku tidak perlu menceritakan apa yang telah
terjadi. Tapi ada satu hal sangat perlu aku beritahukan. Semua cerita dan
pergunjingan tentang diriku adalah fitnah belaka. Semua ini adalah perbuatan
Pakih Jauhari, pemuda jahanam itu! Tidak bisa dia mendapatkan dirimu, aku yang
dikerjainya! Bersaksi kepada Allah dan RasulNya, aku tidak pernah berbuat zinah
dengan gadis Cina yang aku beri nama Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu! Demi
Allah semua yang aku lakukan adalah untuk menolong semata. Dia dikejar dan
hendak dibunuh orang yang datang memburunya dari daratan Cina, dibantu seorang
tokoh silat dari Jawa serta beberapa tokoh silat di tanah Minang ini. Sekarang
gadis itu entah di mana beradanya. Dibawa lari oleh Tuanku Laras dan
kawankawannya. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan jiwa dan
kehormatannya. Istriku, apakah kau bisa mempercayai diriku…?”
“Datuk…”
Gadih Putih Seruni tidak bisa meneruskan ucapannya. Dua tangan ditutupkan ke
wajah lalu terdengar suara tangisnya sesenggukan.
“Istriku,
aku tidak bisa berlama-lama di sini. Raja di Pagaruyung telah mengeluarkan
perintah akan mengadili diriku melalui seorang utusan. Hal itu akan dilakukan
pada bulan sabit malam ketiga di Bukit Batu Patah, di bekas Istana Pagaruyung
lama. Aku tidak gentar menghadapi semuanya…”
“Kalau
Raja di Pagaruyung ingin menyidik mengapa tidak dikumpulkan orang cerdik pandai
dan para ulama terkemuka se-nagari dan perkaranya digelar di Balairung secara
terbuka?”
“Sri
Baginda Maharaja agaknya masih bertenggang rasa. Tidak mau membuat perkara ini
meruyak besar. Tapi sekali lagi aku katakan. Aku tidak gentar. Karena aku tidak
membekal secuil dosa dan kesalahanpun. Bumi bisa berbalik. Ranah Minang ini
bisa terjungkir dan keadilan bisa saja berbalik menjauhi diriku. Mungkin aku
akan dipancung atau dibuang keluar rantau. Mungkin juga aku akan jadi korban
pembunuhan gelap. Jika itu terjadi, tabahkan hatimu, dekatkan diri selalu pada
Tuhan dan minta pertolongan serta perlindungan dariNya. Aku pergi sekarang…”
Sekali
lagi Datuk Marajo Sati membelai rambut istrinya. Lalu dia membuka jendela dan
memilih keluar dengan cara melompat lewat jendela itu daripada melalui pintu
dari mana tadi dia masuk.
Gadih
Putih Seruni tidak tahu berapa lama dia tegak tertegun di belakang jendela,
memandang ke arah halaman samping yang gelap ketika tiba-tiba dia mendengar
suara pintu kamar terbuka dan ada orang melangkah masuk. Kali ini pasti ibunya
yang datang. Tapi ketika dia memutar tubuh dan melihat orang yang berdiri di
hadapannya, berubahlah parasnya.
***********************
10
“UDA…”
Suara Gadih Putih Seruni bergetar begitu melihat pemuda yang tegak di
hadapannya. Mata terbeliak memandang tak percaya. “Sungguh berani sekali Uda
datang kemari…” (Uda: Kakak)
Pakih
Jauhari tidak bergerak dari tempatnya tegak. Mulut kemudian berucap.
“Seruni,
rupanya kau tidak senang aku datang mene-muimu?”
“Bukan
begitu Uda. Saya senang melihat Uda datang, tidak kurang suatu apa. Datuk
Marajo Sati baru saja datang ke sini. Baru saja pergi. Kalau sampai dia melihat
Uda, Uda pasti akan dibunuhnya!”
“Aku
sudah tahu. Aku melihat dia masuk ke rumah itu. Seruni, keadaan di luar sana
sudah sangat tegang. Raja di Pagaruyung kabarnya akan mengusut perkara
memalukan yang dilakukan Datuk…”
“Datuk
tadi memang bercerita begitu. Menurutnya semua ini gara-gara Uda. Uda katanya
yang menebar fitnah…”
“Seruni,
semua perbuatan Datuk Marajo Sati sudah diketahui orang senagari. Apa yang aku
lakukan bukan fitnah tapi kenyataan. Di samping cintaku padamu yang tak mungkin
hapus. Datuk Luhak Agam dan Datuk Luhak Lima Puluh Kota tengah mengejarnya.
Raja di Pagaruyung telah pula turun tangan…”
“Sudahlah
Uda, saya tidak mau mendengar cerita itu berpanjang lebar. Buruk atau baiknya
Datuk adalah suami saya walaupun saya tidak pernah mencintainya. Sekarang
katakan mengapa Uda datang malam-malam begini menyelinap menemui saya. Kalau
selesai cerita Uda, lekas pergi. Saya takut Ibu terbangun dan masuk ke dalam
kamar ini…”
“Seruni,
aku gembira mendengar ucapanmu bahwa kau tidak mencintai Datuk Marajo Sati.
Berarti diriku yang buruk ini masih ada tempat di dalam hatimu. Aku telah lama
merencanakan sesuatu. Malam ini kurasa saat yang tepat untuk memberi tahu
padamu. Empat hari di muka ada sebuah kapal barang akan berlayar ke tanah Jawa.
Beberapa orang anak buah kapal adalah teman-temanku. Mereka bersedia membawa
kita ke tanah Jawa. Sampai di tanah Jawa kita akan mencari usaha bagaimana
caranya agar ada kadi atau orang tua yang bisa menikahkan kita.”
Sepasang
bola mata Gadih Putih Seruni membesar. Menatap tak berkesip ke arah pemuda yang
tegakdi hadapannya.
“Uda,
saya memang tidak pernah mencintai Datuk Marajo Sati. Dan sampai saat ini kasih
sayang saya pada Uda tidak pernah pudar. Tapi apa yang barusan Uda katakan
sungguh tidak berani saya melakukan. Bagaimanapun juga saya adalah masih istri
syah Datuk Marajo Sati. Dosa besar akan menghadang kita dan anak keturunan kita
jika kita lakukan apa yang Uda rencanakan itu. Dosa kita akan jauh lebih besar
dan lebih berat dari apa yang sekarang dituduhkan orang senagari ini terhadap
Datuk… Seandainya saya ini belum menikah dengan Datuk, pergi kawin lari
menurutkan kata hati tetap akan saya pikir dulu masak-masak. Saya tidak ingin
memberi malu nama baik keluarga, mencoreng arang di kening. Menginjak adat
melanggar ajaran agama. Saya tidak ingin arwah ayah saya menjadi tidak tenteram
di alam baka…” Waktu bicara sepasang mata Seruni tampak berkaca-kaca dan
dadanya turun naik.
“Seruni,
aku tahu kau sedang bingung karena kedatangan Datuk tadi. Mungkin juga takut.
Selama aku masih berada di dekatmu jangan pernah merasa takut Aku akan memberi
waktu bagimu untuk berpikir. Jika kau menerima apa yang aku katakan, datanglah
dua hari lagi ke bekas Istana Pagaruyung di Bukit Batu Patah. Datang malam
hari, seorang diri. Aku akan menunggumu di sana. Di tempat itu ada seorang
jalan Mamakku yang bertugas menjaga bekas Istana itu. Dia akan membantu kita
sampai kita pergi ke pesisir barat untuk berlayar…” {jalan Mamak: masih Paman)
“Maafkan saya Uda. Saya tidak berani melakukan hal itu…”
Pakih
Jauhari melangkah mendekati Gadih Putih Seruni. Memeluk perempuan itu erat-erat
lalu mencium keningnya.
“Kekasih
buah hati, belahan jiwa pengarang jantung, kutunggu kau malam dua hari lagi. Di
Bukit Batu Putih. Bekas Istana Kerajaan Pagaruyung di Gudam. Jangan kecewakan
hati orang yang sangat mencintaimu ini. Besok pagi, aku akan menyuruh sahabatku
si Leman menjemputmu dengan kereta. Perjalanan ke Bukit Batu Patah cukup Jauh…”
“Saya
tidak mengerti…” bisik Gadih Putih Seruni.
“Apa yang
tidak kau mengerti Seruni?”
“Mengapa
harus dua malam lagi. Dan tempatnya musti di Bukit Batu Patah…?”
“Itu
tempat yang paling aman. Memangnya ada apa Seruni…?”
Gadih
Putih Seruni hanya menggelengkan kepala.
“Aku
pergi sekarang Seruni. Jaga dirimu baik-baik…”
Ketika
Pakih Jauhari telah keluar dari kamar itu baru Gadih Putih Seruni sadar.
“Seharusnya
aku katakan padanya bahwa dua malam di muka Datuk Marajo Sati juga akan datang
ke Bukit Batu Patah. Ah, mengapa mulut ini tak bisa bicara…” Apakah… apakah aku
harus memenuhi permintaan pemuda itu. Apa yang akan terjadi jika nanti bertemu
dengan Datuk Marajo Sati? Mungkin aku harus menyuruh seseorang menemui pemuda
itu bahwa di malam yang sama Datuk Marajo juga akan ada di sana. Bisa-bisa
Pakih Jauhari juga akan diadili dengan tuduhan penebar fitnah…” Gadih Putih
Seruni telungkupkan badan di atas pembaringan. Malam itu dia tidak bisa
memejamkan mata sepicingpun. Terhuyung-huyung dia baru turun dari suara Azan
menggema untuk mengingatkan umat akan kewajiban bersembahyang Subuh. Dalam hati
dia membatin.
“Tuhan,
aku akan bersujud menghadapmu. Tolong ya Tuhan, lindungi kami semua. Beri saya
ketabahan menghadapi segala cobaan ini…”
**************************
PEMBACA
yang budiman. Saatnya kita kembali pada sang Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang menerbangkan Tengku Mudo
Sagalo Duo, melesat ke udara dengan menunggang harimau sakti sementara Datuk
Marajo Sati juga lenyap entah ke mana, maka murid Sinto Gendeng kini tinggal
berdua dengan nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Wiro
memperhatikan dinding batu dekat mulut goa. Kain bersurat yang tergulung pada
sebatang bambu dan menancap di dinding batu tidak kelihatan lagi. Wiro dan juga
si nenek maklum kalau sebelum meninggalkan tempat itu Datuk Marajo Sati telah
mengambil surat itu.
Sementara
Wiro kemudian menatap ke langit memperhatikan dua harimau yang ditunggangi dua
datuk melesat membawa terbang sosok dua pemuda dempet, si nenek sentakkan
tangan kanan. Kain putih panjang melesat bergulung melibat pedang Al Kausar.
Senjata itu disusupkan kembali ke balik punggung jubah putihnya.
Wiro
masih terus menatap ke langit. Mulutnya berkata. “Tadinya kita datang ke sini
untuk menjernihkan suasana. Bicara pada dua Datuk Luhak dan Datuk Pucuk. Siapa
mengira kejadiannya bisa begini.”
Si nenek
mengikuti arah pandangan Wiro lalu bertanya. “Menurutmu mengapa dua Datuk
melarikan pemuda dempet itu? Lalu ke mana mereka hendak membawanya?”
Wiro
angkat kopiah hitam yang dilingkari sorban, menggaruk kepala lalu menjawab.
“Aku
punya dugaan begini Nek. Dua Datuk ingin mengorek keterangan dari dua pemuda
dempet di mana beradanya Tuanku Laras. Jika tahu di mana manusia muka belang
itu berada berarti di situ juga ada gadis Cina yang dijuluki Kupu Kupu Giok
Ngarai Sianok itu. Mungkin sekali dua Datuk ingin mengetahui langsung dari
gadis itu apa benar Datuk Marajo Sati telah melakukan perbuatan mesum terhadap
dirinya. Lalu dua Datuk sengaja menerbangkan dua pemuda dempet, menjauhkan dari
Datuk Marajo agar Datuk Marajo tidak mendengar apa yang mereka bicarakan dan
mengetahui di mana keberadaan gadis Cina itu…”
“Hemmm…”
Si Kamba Mancuang tersenyum bergumam. “Otakmu encer juga…”
“Bukan
cuma otaknya! Tempurung kepalanya juga akan aku buat encer seperti lilin
disambar api!” Tiba-tiba satu suara garang menimpali ucapan si nenek.
***********************
11
SI KAMBA
Mancuang tersentak kaget. Pendekar 212 bersurut mundur sambil memegang sorban
yang membungkus kopiah hitam dikepalanya.
“Oala!
Pasti dia!” Ucap Wiro setengah berbisik pada Si Kamba Mancuang.
Sesaat
kemudian di tempat itu muncul seorang bertubuh gemuk besar, tegak dengan kepala
tertutup gulungan kain hitam menapak di tanah sementara dua kaki ke atas.
Rambut, kumis dan janggut kasar menjulai. Dia hanya mengenakan celana hitam.
Dada tertutup bulu lebat namun jelas kelihatan menonjol tiga buah puting susu.
Sepuluh jari tangan yang mengenakan cincin batu aneka warna bergerak-gerak
tiada henti. Dua telinga dicanteli anting-anting besar terbuat dari suasa.
Sepasang mata yang besar memandang membehak ke arah Wiro dan si nenek.
Tiba-tiba
weettt! Tubuh besar gemuk itu bergerak. Kejap itu juga dia telah berdiri di
atas dua kakinya.
“Inyiek!
Guru!” seru Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sementara murid Sinto Gendeng
tertegun setengah melongo. Sambil dalam hati berkata. “Tewas aku! Guru nenek
ini pasti akan melanjutkan niatnya membunuh diriku!”
Yang
berdiri di hadapan Wiro dan Si Kamba Mancuang memang adalah tokoh silat paling
ditakuti di ranah Minang yaitu Inyiek Susu Tigo yang sekaligus merupakan guru
Si Kamba Mancuang.
“Kalian
berdua! Mengingat apa yang telah kalian lakukan seharusnya aku bunuh kalian
saat ini juga!” Inyiek Susu Tigo membuka mulut. “Tapi aku masih berbaik hati.
Masih mau mengampuni.” Mata belok Inyiek Susu Tigo berputar menatap ke arah
muridnya. “Kamba Mancuang! Serahkan padaku senjata curian yang terselip di
punggungmu! Sesudah itu kalian berdua boleh pergi!”
“Inyiek,
sebenarnya kami…”
“Pemuda
gelandangan berambut seperti perempuan! Tutup mulutmu! Kau juga mencuri sorban
milik Datuk Marajo Sati!” Inyiek Susu Tigo membentak Wiro ketika sang pendekar
coba keluarkan ucapan.
Kamba
Mancuang cepat menengahi. “Inyiek, jika Inyiek berjanji tidak akan mengapa-apa
kami, denai siap menyerahkan senjata yang Inyiek minta. Senjata ini memang
bukan milik denai…” Habis berkata begitu si nenek lalu cabut pedang Al Kausar
yang terselip di balik pakaian punggung pakaian. Entah mengapa sebelum
diserahkan, kain putih panjang yang membalut pedang terlebih dahulu dibuka oleh
si nenek. Lalu pedang dalam keadaan telanjang itu baru diserahkan pada sang
guru. Dengan cepat Inyiek Susu Tigo mengambil pedang lalu membentak.
“Kalian
berdua lekas lindas hapus dari hadapanku! Jika di kemudian hari aku tahu kalian
masih berbuat macam-macam akan aku jadikan kalian satu macam alias kucincang
sampai lumat dengan pedang ini! Lekas pergi!” (lindas hapus: menyingkir pergi)
Si Kamba
Mancuang memberi isyarat pada Wiro.
“Kami
akan segera pergi Inyiek. Terima kasih Inyiek mengampuni kami berdua. Sebelum
pergi apakah Inyiek juga inginkan sorban curian ini?” Wiro lalu buka gulungan
sorban milik Datuk Marajo Sati yang melingkar di kopiah hitam di atas kepala.
Sang
Inyiek menyambar sorban itu. Tapi bukan untuk diambil melainkan dibanting
hingga amblas ke dalam tanah.
“Sorban
bau seperti ini apa perlunya bagiku!” ucap Inyiek Susu Tigo. “Kalian berdua
tunggu apa lagi?!”
Dibentak
begitu rupa tidak banyak bicara lagi kedua orang itu segera berlalu dari
hadapan Inyiek Susu Tigo. Namun tak berapa lama kemudian tiba-tiba Wiro
hentikan lari.
“Nek, aku
rasa ada sesuatu yang tidak beres!” kata Pendekar 212 pula.
“Sudah,
nanti saja kita bicara. Makin cepat dan makin jauh kita meninggalkan Inyiek
makin baik…”
“Tunggu
dulu Nek. Tidaklah kau melihat keganjilan pada diri gurumu?”
“Apa
maksudmu Wiro?” tanya Si Kamba Mancuang.
“Pertama,
seharusnya dia marah besar begitu melihat kita. Aku kabur dari dalam telaga.
Kau ada bersamaku. Jelas kau berkhianat terhadapnya. Padahal niatnya semula
jelas hendak membunuhku apapun yang terjadi…”
“Dia
merasa pedang Al Kausar yang aku berikan padanya merupakan imbalan yang layak.
Itu sebabnya dia tidak mengingat lagi hal itu…” berkata si nenek.
“Bisa
jadi begitu,” sahut Wiro. “Tapi ada hal lain lagi. Mengapa gurumu tidak
menanyakan pada kita di mana keberadaan si gendut Denok Tuba Biru. Padahal
bukankah ia setengah mati jatuh hati pada gadis itu dan sudah menganggapnya
sebagai istri? Kurasa gadis itu jauh lebih penting dari sebilah pedang. Gurumu
bisa uring-uringan dan mati berdiri kalau tidak mendapatkan gadis berbulu
ketiak panjang itu!” (Mengenai bagaimana Inyiek Susu Tigo tergila-gila pada
Denok Tuba Biru baca serial sebelumnya berjudul “Fitnah Berdarah Di Tanah
Agam”)
Si Kamba
Mancuang termenung. Selagi dia berpikir-pikir sambil menggulung kain putih yang
sebelumnya dibalutkan pada pedang Al Kausar Wiro tiba-tiba memegang lengannya.
“Nek, aku
punya firasat buruk! Kita tidak tahu ke mana perginya gurumu. Tapi ada baiknya
kita kembali ke tempat tadi dia mendatangi kita!”
Si nenek
tidak berkata apa-apa melainkan mengikuti saja ditarik dan dibawa lari oleh
Pendekar 212. Sewaktu tak selang berapa lama mereka sampai ke tempat tadi
mereka bertemu dengan Inyiek Susu Tigo, mereka masih melihat satu kenyataan
yang mengejutkan walaupun kenyataan itu kemudian segera sirna.
Di tanah
tampak kepingan-kepingan aneh tubuh manusia tanpa darah, seperti kepingan
patung hancur. Lalu ada robekan kain-kain hitam dan hancuran sepuluh cincin
berbatu. Hanya sekejapan kemudian semua benda dalam bentuk ratusan kepingan itu
berubah menjadi asap lalu lenyap dari pemandangan!
“Ilmu
Bayangan Menipu Matai” ucap Si Kamba Mancuang setengah berteriak dan wajah
berubah.
“Tuanku
Laras! Jahanam keparat!” Wiro menyumpah.
“Berarti
tadi jejadiannya yang muncul menirukan ujud guruku! Kita tertipu Wiro!”
Wiro
angkat kopiah hitam lalu garuk kepala habis-habisan. Kemudian dia berusaha
membujuk si nenek.
“Sudahlah,
tidak perlu terlalu dirisaukan. Pedang itu memang bukan milik kita.”
“Bukan
soal milik siapa. Tapi jika Tuanku Laras bisa mendapatkan senjata itu kembali
akan sulit bagi siapapun untuk menghadapinya!” kata si nenek pula.
“Nek aku
percaya di atas langit masih ada langit lagi.”
Si nenek
menatap ke langit.
“Heh, aku
tidak mengerti apa maksud kata-katamu itu! Ayo coba kau terangkan!”
Wiro
tersenyum lalu menjawab, “Artinya banyak perempuan cantik di negeri ini. Tapi
yang paling cantik adalah dirimu!”
Si nenek
terpekik. Tangan kiri dipukulkan ke dada Wiro. Wiro tertawa gelak-gelak.
Mendadak si nenek terdiam. Parasnya yang tadi kemerahan kini berubah memutih.
Dada berdebar dan dalam hati dia membatin. “Apakah… apakah dia mengetahui siapa
diriku sebenarnya? Mungkin saudara kembarku Si Kamba Pesek pernah menerangkan
atau keterlepasan bicara…?”
“Nek, apa
yang harus kita lakukan sekarang…” “Jangan bicara dulu. Aku tengah memikirkan
sesuatu.” “Kau tahu dirimu cantik. Apa lagi yang perlu dipikirkan?” Wiro
kembali menggoda.
Si nenek
angkat ke atas tangan kanannya yang memegang kain putih bekas pembungkus pedang
Al Kausar. “Inyiek pernah memberikan ilmu untuk mengikuti sebuah benda yang ada
di tempat jauh. Tapi aku tidak pernah mempergunakan. Aku juga tidak tahu apa
bisa aku terapkan… Dengan kain putih ini aku bisa mengetahui di jurusan mana
beradanya pedang Al Kausar karena sebelumnya kain ini telah bersentuhan dengan
senjata itu!”
“Hebat!”
Puji Wiro. Pinggang si nenek dipeluk lalu tubuhnya di angkat tinggi-tinggi ke
atas.
Si nenek
tidak berusaha menurunkan diri ke tanah. Dia berkata, “Tapi butuh waktu. Paling
tidak lebih dari satu hari satu malam.”
“Kalau
begitu lakukan sekarang! Kita cari tempat yang baik.”
Wiro
turunkan Si Kamba Mancuang ke tanah. Begitu diturunkan dia langsung mencium
pipi dan leher berulang-ulang hingga si nenek terpekik kegelian. Di saat itu,
seperti yang pernah dialami sebelumnya walau sekilas Wiro kembali melihat
perubahan pada wajah dan raut tubuh si nenek.
“Seperti
dulu, paras dan tubuhnya berubah jika aku peluk dan aku cium. Berarti jika ada
rangsangan… Kalau nenek ini sebangsa mahluk jejadian, bisa-bisa aku celaka di
kemudian hari…”
“Wiro,
kau keterlaluan. Kalau ada orang yang melihat…” Si nenek berkata sambil
palingkan wajah ke arah lain, tak berani menatap sang pemuda.
“Bukan
aku yang keterlaluan Nek.”
“Lalu
siapa?”
“Langit!”
jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek
kernyitkan hidung dan selanjutnya hanya bisa mengulum senyum.
***********************
12
BUKIT
Batu Patah di Gudam. Merupakan sebuah bukit yang dianggap keramat karena di
sinilah dulu berdirinya satu bangunan besar yang disebut Rumah Gadang Nan
Sambilan Ruang, yakni Istana pertama Kerajaan Pagaruyung. Konon sampai bukit
ini diberi nama Bukit Batu Patah dikarenakan di salah satu lerengnya terdapat
dua buah batu besar dalam keadaan terpisah seperti patah dan menurut cerita
dulunya utuh bersambung menyatu. Meski telah lama ditinggalkan namun bekas
bangunan istana itu masih dipelihara dan dijaga oleh seorang lelaki tua bekas
perajurit Kerajaan.
Matahari
belum tenggelam langit masih benderang dan tentu saja bulan sabit hari ketiga
masih jauh dari saat kemunculannya. Dari arah kaki bukit seorang berpakaian dan
berikat kepala biru memacu kuda ke lereng bukit. Kuda yang sudah berlari
kencang itu masih dicambuk dengan tali kecil agar berlari lebih kencang, agar
sampai lebih cepat ke tujuan yakni bukan lain bangunan bekas Istana di lereng
bukit sebelah timur.
Orang di
atas kuda adalah Pakih Jauhari. Sesuai pintanya pada Gadih Putih Seruni yang
merupakan istri Datuk Marajo Sati si pemuda akan menunggu kedatangan kekasihnya
itu di bekas bangunan Istana. Dia khawatir terlambat datang. Namun ketika
sampai di lereng bukit sebelah timur dia tidak melihat kereta atau pedati.
Berarti dia tidak terlambat. Sang kekasih belum sampai. Mudah-mudahan masih
dalam perjalanan dan akan segera datang.
Begitu
melompat turun dari kuda, tanpa menambatkan binatang itu lebih dulu Pakih
Jauhari langsung menaiki tangga di samping kanan bangunan. Sampai di atas rumah
dia berteriak memanggil.
“Mamakl
Mamak Jambek! Saya Pakih sudah datang. Di mana Mamak?” (Mamak: Paman)
Tak ada
orang di dalam rumah besar yang lantai dan dinding papannya sudah mulai lapuk.
Tak ada suara jawaban. Pakih Jauhari memeriksa di sembilan ruangan namun sang
paman tidak ditemukan. Akhirnya pemuda ini keluar dari rumah, turun ke halaman.
Dia mencari ke sumur besar dihalaman belakang, memeriksa sekitar bangunan
tempat tabuh diletakkan (tabuh: beduk) sang Paman masih belum ditemukan. Pakih
Jauhari pindah ke halaman depan rumah besar di mana terdapat tiga buah
rangkiang. (rangkiang = tempat penyimpanan/lumbung padi) Sementara itu cahaya
sang surya mulai meredup pertanda akan segera masuk ke ufuk tenggelamnya.
Rangkiang pertama dilewati, begitu juga rangkiang kedua. Ketika Pakih Jauhari
bergerak ke rangkiang ketiga di paling ujung kiri darahnya tersirap.
Di bawah
kolong rangkiang Pakih Jauhari melihat satu sosok tergeletak. Pemuda ini segera
berlari mendekati dan berteriak keras ketika mengenali sosok itu adalah sosok
paman yang tengah dicarinya. Lelaki yang telah berusia hampir tujuh puluh tahun
ini tergeletak dengan mata nyalang menatap ke langit. Baju putih lengan panjang
tampak robek besar dan basah merah oleh darah! Di bawah robekan baju yaitu di
bagian dada melintang satu luka memanjang.
“Paman
Jambek! Apa yang terjadi! Siapa yang melakukan perbuatan kejam ini!” Pakih
Jauhari jatuhkan diri ke tanah, cepat meletakkan kepala pamannya di atas paha
dan kembali berteriak. Mulut orang tua yang sejak tadi terkancing membuka
sedikit. Suaranya antara terdengar dan tiada ketika menyebut nama Allah.
“Allahu
Akbar… La llla… haillallah. Mataku kabur, aku tidak bisa melihat. Tapi aku
mengenali suaramu. Pakih Jauhari anakku, benar kau yang datang?”
“Benar
mamak, ini saya Pakih Jauhari…” jawab si pemuda.
“Katakan
apa yang terjadi. Siapa…”
“Pakih…
si… siang tadi ada or… orang datang. Mukanya berbulu putih dan hitam. Dia… dia
memaksaku menunjukkan di mana satu… satu pet… pti emas disembunyL. kan. Aku
tidak tahu perihal emas yang dikatakannya. Dia berkata ada orang me… menyimpan
satu peti emas di sini. Aku pasti tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak bL. bisa
menjawab. Di… dia tidak percaya. Dia lalu meng… aniaya diriku. Aku melawan.
Ilmu silatnya tinggi… tinggi sekali. Terakhir sekali dia menca… but sebilah
pedang…”
“Mamak,
beritahu pada saya siapa adanya orang itu…”
Sepasang
mata Mamak Jambek yang menatap nyalang tampak memudar.
“Aku
tidak tahu Pakih. Dia mengenakan destar dan pakaian hit… am. Dia membawa
sebilah pe… pedang sakti terbuat dari perak. Dia… Pakih, saatnya sudah dekat…”
“Mamak…
apakah Seruni sudah datang ke sini…?”
Mulut
sang paman hanya terbuka menganga. Tak ada lagi suara yang keluar. Pakih
Jauhari menggerung keras.
“Pembunuh
durjana! Akan kucari kau sampai dapat! Akan aku bunuh! Akan aku cincang!”
“Anak
muda bermulut besar. Aku pembunuh Mamakmu sudah ada di sini! Aku mau lihat
bagaimana caramu mencincang diriku!”
Tiba-tiba
ada yang bicara. Pakih Jauhari kaget luar biasa. Ketika berpaling dia melihat
lelaki tinggi besar berdestardan berpakaian hitam. Wajahnya tertutup bulu. Bulu
hitam di sebelah kanan, bulu putih di sebelah kiri.
“Kau! Kau
pasti Tuanku Laras Muko Balang! Manusia durjana!” Pakih Jauhari berteriak
marah.
Kepala
paman yang dipangku diletakkan di tanah lalu Pakih Jauhari melompat. Secepat
kilat tangannya menyambar ke arah pinggang orang di depannya. Maksudnya hendak
merampas pedang Al Kausar yang tergantung di pinggang orang. Namun sambaran si pemuda
yang hanya berbekal silat kampung dengan mudah dapat dihindari dan sebaliknya
dia harus menerima satu jotosan dari lawan yang memang Tuanku Laras Muko Balang
adanya.
Pakih
Jauhari mengeluh kesakitan. Darah mengucur dari hidung yang dihantam pukulan.
Selagi dia terhuyung-huyung, Tuanku Laras Muko Balang sudah mencekik lehernya
lalu tubuh pemuda ini diangkat tinggi-tinggi ke udara.
“Kalau
Mamakmu tidak tahu di mana peti berisi emas itu disembunyikan, kau pasti tahu!
Lekas bicara!”
Sepasang
mata Pakih Jauhari membeliak besar. Mulut ternganga dan lidah terjulur. Nafas
megap-megap sementara darah masih meleleh keluar dari hidung. Kepala berusaha
digeleng-geleng pertanda dia juga tidak tahu mengenai peti berisi emas yang
ditanyakan.
“Brukkk!”
Tuanku
Laras Muko Balang bantingkan pemuda itu ke tanah.
Untuk
beberapa lama Pakih Jauhari terkapar nanar. Sekujur tulang di bagian belakang
tubuhnya seolah remuk. Ketika dia berusaha bangkit dan duduk di tanah tahu-tahu
ujung pedang yang runcing sudah menempel di tenggorokan.
“Aku
memberi kesempatan sekali lagi padamu! Ada orang menyembunyikan satu peti emas
di bekas bangunan Istana. Mungkin juga dikubur di halaman sekitar bangunan. Kau
pasti tahu dan mau mengatakan. Atau nasibmu akan sama celaka seperti Mamakmu!”
Muka
pucat Pakih Jauhari, basah oleh keringat ketakutan. Tenggorokan dan dada turun
naik. Mata mendelik.
“Ampun,
ambo tidak tahu. Ambo…!” (Ambo: Saya)
“Pemuda
keparat! Susul Mamakmu di narako!”
Tangan
Tuanku Laras Muko Balang yang memegang gagang pedang Al Kausar bergerak.
Saat
itulah tiba-tiba berkelebat tiga bayangan. Salah seorang diantaranya berseru.
“Tuanku
Laras! Jangan bunuh pemuda itu! Seperti pamannya dia memang tidak tahu apa-apa
tentang peti emas itu!”
Tuanku
Laras Muko Balang terkesiap sebentar. Perlahan-lahan dia tarik pedang Al Kausar
lalu berpaling. Mulutnya menyerukan seringai pencong.
“Bagus!
Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu betul di mana beradanya
peti berisi emas itu!” Mulut Tuanku Laras Muko Balang berucap. Kaki kiri
bergerak menendang.
“Bukk!”
Pakih
Jauhari terpental muntah darah. Terguling di tanah. Megapmegap antara sadar
dan pingsan.
Sementara
itu udara mulai agak gelap. Di langit bulan sabit malam ketiga telah muncul
memperlihatkan diri.
***********************
13
TIGA
orang yang muncul di halaman bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung adalah Ki
Bonang Talang Ijo yang kini tidak lagi mengenakan blangkon hijau, Perwira Muda
Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Setelah
Tuanku Laras kabur meninggalkan mereka begitu saja sambil membawa gadis Cina
Chia Swie
Kim alias
Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok, ke tiga orang itu berunding apa yang akan mereka
lakukan.
Secara
berbisik-bisik Ki Bonang mengusulkan pada Teng Sien agar mereka segera menuju
ke bangunan Istana lama di Bukit Batu Patah di mana sebelumnya satu peti emas
telah disembunyikan. Sebaliknya Teng Sien yang tidak pedulikan benda berharga
itu merasa lebih penting mendahulukan mencari dan menemukan Chia Swie Kim.
Setelah Pandeka Bumi Langit diajak ikut berunding akhirnya ke tiga orang itu
sepakat akan melakukan perjalanan ke Bukit Batu Patah sembari di tengah jalan
menyelidiki mencari jejak Tuanku Laras Muko Balang. Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik membawa kedua orang itu ke beberapa tempat yang diduga kemungkinan
berada dan bersembunyinya Tuanku Laras. Namun dua hari berlalu tanpa hasil.
Karena sudah berada cukup dekat dengan Bukit Batu Patah akhirnya Teng Sien
menyetujui usul Ki Bonang untuk segera saja lebih dulu memeriksa keberadaan
satu peti emas yang disembunyikan sebelumnya di tempat itu, Mereka sampai di
permulaan malam.
Ketika
tiba di bekas bangunan Istana lama Kerajaan Pagaruyung, kejut Ki Bonang dan
Perwira Muda Teng Sien bukan alang kepalang melihat Tuanku Laras Muko Balang
berada di tempat itu.
“Dia
membunuh Jambek Magang penjaga bangunan Istana. Sekarang hendak membunuh pula
kemenakannya. Heran, dari mana dia mengetahui kalau emas yang satu peti itu
disembunyikan di kawasan ini?” bisik Ki Bonang pada Teng Sien.
“Rahasia
bisa saja bocor,” jawab Teng Sien. “Saat ini aku ingin sekali menabas batang
lehernya,” jawab Teng Sien. “Tapi dia datang sendirian. Di mana dia
meninggalkan Chia Swie Kim? Celaka besar kalau dia telah membunuh gadis itu.”
“Tuanku
Laras tidak akan membunuh gadis itu. Karena dia ingin memperistrikannya. Dia
pasti menyembunyikan di satu tempat,” jawab Ki Bonang.
Di
samping kedua orang itu Pandeka Bumi Langit berkata, “Ki Bonang kita harus
menyelamatkan pemuda itu. Dia hendak dibunuh padahal tidak punya kesalahan.”
Maka
ketiga orang itu melompat ke hadapan Tuanku Laras sambil Ki Bonang mengeluarkan
seruan agar Tuanku Laras tidak membunuh Pakih Jauhari.
Seruan Ki
Bonang disambut Tuanku Laras dengan seringai pencong disusul ucapan.
“Bagus!
Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu betul di mana beradanya
peti berisi emas itu!”
“Tuanku
Laras. Mengenai emas itu pasti akan menjadi bagian kita bersama jika gadis Cina
itu sudah diserahkan pada Perwira Muda ini. Kami tidak punya maksud untuk
menipu Tuanku Laras. Kecuali jika Tuanku Laras berniat serakah hendak
memilikinya sendiri!” Menjawab Ki Bonang.
“Kepalamu
yang hancur, matamu yang remuk pasti membuat telingamu telah menjadi tuli! Ki
Bonang! Apa kau tidak mendengar?! Berapa kali sudah kukatakan. Emas itu lebih
dulu baru gadis Cina aku serahkan!”
Teng Sien
geleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya diletakkan di gagang golok besar yang
terselip di pinggang. Dalam bahasa Cina dia berkata pada Ki Bonang. “Aku tidak
percaya monyet muka belang ini. Aku ingin membunuh manusia satu ini sekarang
juga!”
“Sabar
perwira. Kita harus mencari upaya yang terbaik agar Chia Swie Kim selamat, kau
mendapatkan Kupu Kupu Giok dan emas itu tidak diserakahi jahanam itu seorang
diri”. Habis membujuk sang perwira Muda Teng Sien Ki Bonang lalu berkata pada
Tuanku Laras Muko Balang. “Tuanku Laras, apapun yang terjadi di antara kita
sebaiknya dilupakan dulu. Dalam perjalanan ke sini kami melihat ada sebuah
kereta dikawal oleh prajurit Kerajaan Pagaruyung dari Istana Baso. Pasti sekali
mereka tengah menuju ke sini. Ada gerakan apa…”
“Setan
atau iblis sekalipun yang datang berkereta ke tempat ini apa perduliku!” Bentak
Tuanku Laras memotong ucapan Ki Bonang.
“Kalau
begitu silang sengketa antara kita tidak bisa lagi dihindari! Kalau hidup,
hidup bersama. Kalau mati, mati semua!”
Tuanku
Laras tertawa gelak-gelak. Dia menunjuk ke arah Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik lalu keluarkan ucapan.
“Pandeka!
Kau berada di pihak mana?! Jika berada di pihakku lekas berdiri di sebelahku!
Bunuh kedua jahanam ini!”
Pandeka
Bumi Langit tertawa.
“Ketika
di gua di Bukit Siangok kau menyangka aku tertidur pulas. Padahal aku mendengar
semua pembicaraanmu dengan Ki Bonang. Saat itu kau berkata bahwa untukku cukup
tambahan satu batang emas saja. Jika aku menolak maka kau juga akan menghabisi
diriku sebagaimana kau hendak membunuh Perwira Cina itu! Apakah Tuanku Laras
masih perlu bertanya di pihak mana aku berada?!”
Tuanku
Laras pencongkan mulut.
“Orang
bodoh memang lebih baik memilih mampus lebih dulu!” Sambil berucap Tuanku Laras
Muko Balang berkelebat ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Pedang Al
Kausar di tangan kanan menderu ganas. Cahaya putih berkiblat di udara yang
temaram.
Dengan
gerakan cepat Pandeka Bumi Langit melompat mundur. Sambil melompat dia loloskan
kain sarung yang menyilang di bahu. Ketika lawan lancarkan serangan jurus kedua
Pandeka Bumi Langit kebutkan kain sarung ke udara. Selagi kain sarung membuntal
berputar mengeluarkan suara bergemuruh disertai sapuan angin deras, Pandeka
Bumi Langit membungkuk dan kaki kanan menyapu menyambar tulang kering kaki kiri
Tuanku Laras. Inilah jurus yang disebut Kincir Berputar Alu Menumbuk. “Brett…
breett!”
Kain
sarung robek besar. Tuanku Laras berseru kaget ketika kaki kanan lawan masih
sempat menepis kaki kirinya hingga tubuhnya sedikit terhuyung. Melihat Tuanku
Laras agak hilang keseimbangan dengan nekat Pandeka Bumi Langit menyerbu dengan
ilmu silat sitaralak dalam jurus bernama Bumi Dibawah Langit Diatas. Tangan
kiri berkelebat ke arah dagu sedang tangan kanan menghantam ke bagian perut.
Kalau dua serangan itu sempat mengenai sasaran maka dagu Tuanku Laras akan
remuk, tulang leher bergeser dan di sebelah bawah perut bisa terbongkar!
Kenekatan
Pandeka Bumi Langit membuat dia lupa bahwa lawan yang dihadapinya adalah
seorang tokoh silat besar dengan ketinggian ilmu hampir dua tingkat di atasnya.
Itu jika Tuanku Laras mengandalkan tangan kosong. Namun saat itu dia
menggenggam pedang sakti Al Kausar yang membuat tingkat kehebatannya menjadi
lebih dari dua kali dari kehebatan Pandeka Bumi Langit. Sebelum dua pukulan
sitaralak sempat menyentuh dagu dan perut Tuanku Laras, seperti memiliki mata
pedang Al Kausar bergerak aneh, menebas ke arah dua tangan lawan. Kalaupun
Pandeka Bumi Langit sanggup mengelak maka tetap saja salah satu tangannya akan
kena ditebas putus!
Ki Bonang
berseru tegang, Perwira Teng Sien yang memang sudah sangat jengkel dan benci
terhadap Tuanku Laras Muko Balang segera cabut golok besar di pinggang lalu
secepat kilat dilempar ke arah orang yang mukanya ditumbuhi bulu hitam putih
itu.
“Aha!
Sekarang ada dua orang yang minta mati cepat! Teng Sien tunggu giliranmu!”
Tuanku Laras berteriak. Pedang Al Kausar yang dipegangnya terus menderu ke arah
tangan Pandeka Bumi Langit sementara tangan kiri yang memegang sarung pedang
dipergunakan untuk menangkis mental serangan golok Teng Sien.
Seperti
yang sudah diduga, Pendeka Bumi Langit memang hanya mampu selamatkan salah satu
dari dua tangannya. Ketika Pedang Al Kausar siap menebas putus tangan kirinya
tiba-tiba terdengar suara berdesir. Sebuah benda panjang yang ternyata adalah
kain putih melesat di udara laksana seekor ular terbang. Dengan cepat kain
putih itu melibat pedang Al Kausar.
“Bukkk!”
Pedang
yang seharusnya membabat putus tangan kiri Pandeka Bumi Langit, karena sudah
tergulung kain putih kini tak lebih dari sebuah pentungan. Apa lagi sebelum
melesat di udara seseorang telah mengisi kain itu dengan tenaga dalam hingga
sanggup menahan ketajaman mata pedang sakti. “Kraakk!”
Pandeka
Bumi Langit menjerit keras. Lengan kirinya patah. Itu adalah lebih baik
daripada putus! Menahan sakit hingga tubuhnya bergetar, Pandeka Bumi Langit
jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah menjauhi Tuanku Laras.
Dalam
keterkejutan, semua orang berpaling ke arah datangnya kain putih panjang tadi.
Mereka melihat dua orang berkelebat mendatangi. Keduanya ternyata adalah pemuda
berambut seperti padusiyaitu Pendekar 212 Wiro Sableng ditemani Si Kamba
Mancuang. Ternyata si nenek ini dengan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya
Inyiek Susu Tigo, walau menghabiskan waktu satu hari satu malam, dengan kain
putih yang pernah bersentuhan dengan pedang Al Kausar berhasil menjajagi dan
menunjukkan di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang. Secara kebetulan hal
itu terjadi pada malam bulan sabit hari ke tiga, bersamaan dengan kedatangan
Pakih Jauhari, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik ke
Bukit Batu Patah yang hendak memeriksa keberadaan satu peti yang disembunyikan
jauh hari sebelumnya.
“Ki
Bonang!” Tiba-tiba berteriak. “Tadi kau mengatakan ada rombongan Kerajaan yang
tengah menuju ke sini! Ternyata yang datang adalah kapuyuak muda dan cigak gaek
ini!” (kapuyuak: kecoak) (cigak gaek: beruk/monyet tua)
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar deru suara detak roda kereta dan hentakkan kaki-kaki
kuda. Lalu ada suara orang berteriak menyahuti ucapan Tuanku Laras tadi.
“Siamang
bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang hendak diadili belum kelihatan
di tempat ini. Perlu apa kami datang terburu-buru! Rupanya kau sudah siap-siap
menjadi saksi!” (Siamang: monyet besar biasanya berbulu hitam).
Disebut
Siamang bulu diwajah Tuanku Laras berjingkrak kaku saking marahnya. “Pedang
sakti, coba berikan sambutan selamat datang pada orang bermulut kurang ajar
itu!”
“Wuuut!”
Tuanku
Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke udara. Senjata sakti ini serta
merta menderu berputar-putar dan melesat laksana kilat ke arah datangnya suara
orang yang berteriak tadi.
TAMAT
No comments:
Post a Comment