Meraga Sukma
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
Tiba-tiba
secara aneh tempat tidur besar itu bergerak meluncur mendekati wiro. Demikian
dekatnya hingga wiro dapat melihat jelas kecantikan wajah dan kebagusan tubuh
nyi roro manggut. "kau masih ingin menolak, pendekar 212? Aku tahu hatimu
bimbang. Di dalam dirimu ada hati nurani yang dibungkus oleh satu hasrat yang
tidak bisa kau ingkari. Tidurlah di sampingku. Kita sudah menjadi sepasang
suami istri. Aku siap melayanimu." nyi roro ulurkan tangannya. Wiro
garuk-garuk kepala. Dalam hati dia berkata. "ngacok! Kapan nikahnya aku
sama dia!" "wiro…." "maafkan aku nyi roro. Aku sudah
melupakan untuk mendapatkan ilmu meraga sukma itu. Aku akan berusaha mencari
cara lain untuk menyelamatkan bunga." nyi roro manggut turun dari tempat
tidur. Berdiri di hadapan wiro dan pegang pundak si pemuda dengan kedua
tangannya. Tiba-tiba nyi , roro manggut dekatkan mulutnya ke wajah sang
pendekar 212
ADIPATI
Salatiga Jatilegowo memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan. Sosok Nyi
Larasati tergeletak melintang di atas pangkuannya. Dalam hati orang ini merutuk
tak henti-henti.
"Kurang
ajar! Bagaimana kakek jahanam itu bisa mengikuti aku sampai ke sini? Kalau dia
berlaku nekad terpaksa aku menghabisinya!"
Jatilegowo
berpaling ke belakang. Dua prajurit yang ikut bersamanya masih belum kelihatan.
Hatinya merasa tak enak.
"Jangan-jangan
mereka telah menemui ajal di tangan jahanam itu," pikir sang Adipati. Dia
berusaha mempercepat lari kudanya. Tapi dengan beban dua orang seperti itu sang
kuda tidak mampu lagi berlari lebih cepat walau didera sekalipun.
Sebelumnya
Jatilegowo punya rencana begitu berhasil mendapatkan Nyi Larasati dia akan
membawa janda itu ke Salatiga. Di sana akan diadakan perhelatan pesta
perkawinan sekaligus pengumuman penggabungan Kadipaten Temanggung dan Kadipaten
Salatiga di bawah kekuasaannya sesuai dengan persetujuan Sri Baginda. Tapi
dengan kemunculan kakek berambut biru yang tidak diduganya sama sekali, dia
terpaksa merubah rencana. Kuda diarahkan ke selatan menuju Bandongan. Di desa
itu dia memiliki sebuah rumah yang selama ini ditinggal kosong.
Ketika
sang surya terbit di timur, kemudian bergerak naik memancarkan sinarnya yang
benderang dnn mulai hangat, Jatilegowo merasa agak loga. Tak ada yang
mengejarnya. Lari kudapun diperlambat. Sebelum tengahari dia memperkirakan akan
sampai di Bandongan. Dugaannya tidak meleset. Sebelum mentari mencapai titik
tertinggi Jatilegowo bersama janda boyongannya telah memasuki Desa Bandongan.
Rumah
kosong milik Jatilegowo terletak di bibir lembah subur berpemandangan indah.
Ada satu aliran air jernih tak berapa jauh dari rumah itu. Jatilegowo hentikan
kudanya dekat aliran air. Binatang itu dibiarkan mereguk air segar. Dia sendiri
menggendong Nyi Larasati yang masih berada dalam keadaan tertotok, melangkah
menuju rumah.
Di depan
pintu rumah Jatilegowo hentikan langkah. Sunyi. Sang Adipati menyeringai. Dia
suka akan kesunyian seperti itu. Dengan kaki kirinya dia kemudian mendorong
daun pintu yang terbuat dari papan tebal. Pintu terbuka, mengeluarkan suara
berkereketan. Jatilegowo melangkah masuk. Tapi baru satu kaki menginjak lantai
rumah, tiba-tiba dari dalam terdengar suara tawa mengekeh. Membuat Jatilegowo
tersentak dan cepat tarik kakinya ke belakang.
"Jatilegowo!
Aku sudah bilang. Dunia ini kecil dan sempit. Kau masih berlaku nekad hendak
mencoba lari dariku? Mana mungkin! Mana mungkin! Ha… ha… ha!"
Kejut
Jatilegowo seperti disambar petir. Dia segera melompat mundur, keluar dari
dalam rumah. Dia maklum, bahaya besar mengancam di depan mata. Tubuh Nyi
Larasati cepat-cepat diletakkan di satu tempat di samping sebuah batu besar.
Lalu dia bergerak mendekati rumah, berhenti tujuh langkah di depan pintu yang
terpentang lebar sementara dari dalam rumah masih mengumbar suara tawa
bergelak.
Jatilegowo
kertakkan rahang. Tinju kanan dikepalkan.
"Sarontang!
Keluarlah! Katakan apa maumu!"
Berteriak
Jatilegowo. Tangan kanannya ditempelkan ke pinggang kiri di mana terselip
sebuah senjata sakti mandraguna. Badik Sumpah Darah senjata yang didapatnya
dari seorang kakek sakti di tanah Makassar, bernama Daeng Wattansopeng. (Baca
dua Episode sebelumnya yakni "Badik Sumpah Darah" dan "Mayat
Persembahan")
Belum
lenyap gema teriakan Jatilegowo, suara tawa di dalam rumah sirna. Lalu satu
bayangan melesat ke luar pintu, melayang di udara, jungkir balik dua kali untuk
kemudian turun ke bawah dnn tegak tiga langkah di hadapan Jatileciowo. Luar
biasa sekali gerakan orang ini, pertanda dia memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sudah sampai pada puncaknya. Dan manusia satu ini ternyata bukan lain
kakek berambut biru berminyak.
"Hebat!
Dulu kau memanggil aku dengan sebutan kakek Sarontang. Kini Sarontang saja!
Hebat! Tapi kurang ajar! Ha… ha… ha!"
Jatilegowo
mendengus.
"Perlu
apa memakai segala bahasa halus dan peradatan terhadap manusia sepertimu!"
"Oo
begitu?! Ha… ha… ha!" Si kakek berambut biru kembali umbar tawa panjang.
"Benar rupanya lidah tidak bertulang. Hati bisa menjadi batu. Manusia
bicara semaunya sesuai kebutuhan perut dan pantatnya! Ha… ha… ha!"
"Aku
muak mendengar suara tawamu! Katakan bagaimana kau bisa mengikuti aku sampai ke
sini?!" bentak Jatilegowo.
Sarontang
menyeringai.
"Jatilegowo,
apa kau lupa?! Aku yang bernama Sarontang ini sebenarnya adalah Aryo Probo,
Pangeran Kerajaan Pakubuwon! Aku lebih tahu setiap jengkal seluk beluk Tanah
Jawa di kawasan ini dari padamu! Selagi kau masih orok aku sudah malang
melintang di daerah ini!"
"Lalu
apa maumu mengikuti diriku! Kau inginkan janda muda cantik bernama Nyi Larasati
ini?!" Kembali Jatilegowo membentak.
Sarontang
tertawa bergelak.
"Kau
tanya mengapa aku mengikuti dirimu? Aku punya sejuta alasan! Tapi tidak untuk
mendapatkan janda cantik itu. Kau tahu seleraku. Kau pernah bermain cinta
denganku! Apa kau lupa?!"
Mendengar
ucapan terakhir si kakek Jatilegowo keluarkan suara seperti orang mau muntah.
Memang jika dia ingat peristiwa terkutuk itu, rasa jijik membuat perutnya
bergulung mual.
"Tua
bangka mesum! Dosa bejatmu tak akan terampunkan!"
Sarontang
menyeringai.
"Justru
aku mengejarmu sejak kau kabur dari Tanah Makassar karena dirimu membawa dua
dosa besar pengkhianatan!"
"Hehmm!
Kau seperti malaikat yang hendak mengadili insan! Aku kawatir otakmu sudah
sejak lama miring Sarontang!"
Diejek
orang begitu rupa si kakek bukannya marah malah kembali umbar tawa panjang.
"Dosa
pertamamu! Kau membunuh pemuda bernama Bontolebang yang jadi kekasihku! Kau bunuh
secara keji dan mayatnya kau kirimkan padaku sebagai Mayat Persembahan! Sungguh
kurang ajar dan keterlaluan! Dosa keduamu! Kau membawa kabur Badik Sumpah Darah
asli. Memberikan badik palsu padaku! Dua dosa itu sudah cukup alasan bagiku
untuk menguliti tubuhmu saat ini juga!"
Jatilegowo
sunggingkan seringai mengejek.
"Tadi
kau berlaku seperti malaikat. Kini seperti tukang potong sapi hendak menguliti
diriku! Jangan bicara ngacok di hadapanku Sarontang!
Kalau mau
gila pergilah ke tempat lain! Aku nasihatkan, sebaiknya kau lekas angkat kaki
dari hadapanku sebelum kuhabisi! Pangeran Aryo Probo, apa kau tidak sayang
tahta kerajaan yang selama ini kau inginkan? Apa kau benar-benar ingin mampus
sebelum merasakan bagaimana nikmatnya jadi Raja? Bagaimana nikmatnya duduk di
atas tahta Kerajaan dalam Keraton yang indah dan serba mewah? Dengan permaisuri
serta dikelilingi para gundik yang canti-cantik?!"
Sarontang
hanya ganda tertawa.
"Mulutmu
ternyata cukup pandai menghasut. Tapi siapa mau mendengar. Hasutanmu hanya
tipuan keji karena penuh racun dan bisa. Dengar Jatilegowo, aku datang untuk
minta Badik Sumpah Darah asli. Serahkan padaku sekarang juga! Karena senjata
itu aku perlukan untuk mendapatkan tahta Kerajaan!"
Jatilegowo
menyeringai lalu gelengkan kepala.
"Aku
tidak akan memberikan badik itu pada siapa pun! Juga tidak padamu! Jika kau
ingin merampas tahta Kerajaan silakan kau lakukan sendiri. Aku kawatir tahta
yang kau idamkan selama ini akan menjadi tahta berdarah! Kau akan menemui
kematian sebelum berhasil menyentuhnya!"
"Bicara
soal kematian mungkin kau yang bakal mampus duluan dariku, Jatilegowo! Kecuali
kau mau menyerahkan badik itu padaku sekarang juga! Serahkan!"
"Tua
bangka takabur! Kau akan kubuat mati tak berkubur!" bentak Jatilegowo.
Habis berkata begitu Adipati Salatiga ini menggebrak maju, hantamkan tangan
kiri kanan ke arah dada si kakek.
"Bukk…
bukkk… bukkk… bukkk!"
Empat
jotosan kilat, keras dan bertenaga dalam tinggi melanda dada Sarontang. Jangankan
terpental atau menjerit kesakitan, bergeming sedikit pun sosok si kakek tidak.
Di wajahnya sama sekali tidak membersit kerenyit kesakitan! Malah Sarontang
kemudian tertawa bergelak.
Kagetlah
Jatilegowo. Jotosannya tadi jangankan manusia. Tembok batu sekali pun bisa
jebol hancur!
Sarontang
masih umbar tawa bergelak. Tibatiba dia angkat tangan kanannya ke atas lalu
berseru.
"Anak-anak!
Bunuh manusia pengkhianat ini!"
Begitu
ucapan Sarontang berakhir tiba-tiba menggemuruh suara aneh menggidikkan. Seperti
raungan anjing tapi juga menyerupai lolongan manusia!
Jatilegowo
tersentak kaget dan mundur dua langkah. Dia ingat peristiwa di Gunung
Lompobatang. Sarontang mempunyai peliharaan manluk-mahluk aneh. Pada saat-saat
tertentu mahluk-mahluk itu diberinya makan berupa burung-burung yang
beterbangan di udara. Apakah dia membawa serta mahluk-mahluk peliharaannya itu
ke Tanah Jawa? Jatilegowo tidak pernah melihat bagaimana bentuk mahlukmahluk
peliharaan Sarontang itu. Dia mendongak ke atas. Suara menggemuruh semakin
keras. Lalu dia melihat puluhan benda aneh melesat dari langit seolah keluar
dari perut matahari!
"Wuuuttt…
wuuuttt!"
"Bettt…
betttt!"
"Kraakk…
kraaakkk!"
"Bukkk!
Byaaarrr!"
Puluhan
mahluk menyambar ke arah Jatilegowo. Adipati Salatiga ini cepat jatuhkan diri
ke tanah lalu cepat pula bangkit berdiri. Ketika dia berhasil bangkit dan
memandang ke depan, pucatlah tampang Jatilegowo.
Dua buah
pohon cukup besar di depan sana berpatahan lalu tumbang ke tanah. Di samping
dikir tak jauh dari aliran air, batu besar di dekat mana dia membaringkan Nyi
Larasati hancur berkeping-keping. Suara raung dan lolongan kembali menderu. Di
udara berlesatan puluhan mahluk menyerupai kelelawar tapi memiliki dua tangan
berkuku panjang hitam seperti manusia dan kepala menyerupai srigala bertaring
penuh lumuran darah!
Seumur
hidup Jatilegowo tidak pernah melihat mahluk aneh dan seram seperti ini.
Kelelawar bukan, manusia bukan, srigala juga bukan! Dan inilah rupanya yang
disebut Sarontang sebagai anak anak peliharaannya. Yang sanggup menabas batang
pohon, menghancurkan batu besar!
"Bunuh!"
Tiba-tiba
Sarontang berteriak.
"Wuutt…
wuuttt!"
"Beettt…
beettt!"
Puluhan
mahluk aneh menukik ke bawah, melesat menyambar menyerang dengan mengeluarkan
suara mengerikan. Jatilegowo merunduk, sambil jatuhkan diri dia hantamkan dua
tangan ke atas. Dia berhasil memukul dua mahluk aneh hingga terpental. Tapi dua
mahluk itu tidak cidera sedikit pun malah meraung melolong tambah beringas.
Jatilegowo sendiri ketika berusaha bangkit terkejut pucat ketika melihat
bagaimana lengannya kiri kanan telah bergelimang darah, ternyata di balik
lengan pakaian birunya yang robek besar, daging tangannya telah terkuak koyak,
entah kena cakaran entah disambar taring mahluk-mahluk aneh.
"Bunuh!"
Kembali
terdengar Sarontang berteriak.
Raung dan
lolongan mahluk aneh semakin hebat. Puluhan berkelebat, menyambar ke arah
Jatilegowo. Dalam takutnya Jatilegowo ikut berteriak keras. Di saat genting
mengerikan begitu rupa dia ingat pada senjata sakti mandraguna yang tersisip di
pinggang kirinya. Tangan kanannya yang berlumuran darah segera bergerak ke
pinggang. Di lain kejap di udara siang yang terang benderang itu berkiblat
sinar biru kehitaman.
"Craass…
crassss… craasss!"
Raung
lolongan menggelegar keras menggidikkan.
Darah
berciparatan di udara.
Enam
mahluk aneh jatuh berkaparan di tanah dalam keadaan terkutung-kutung, meraung
sambi! meronta geliatkan tangan, melolong delikkan mata lalu melosoh diam tak
berkutik lagi.
Sarontang
menggerung keras saksikan enam anak-anak peliharaannya menemui kematian begitu
rupa. Dalam marah yang menggelegak matanya terkesima melihat benda di tangan
kanan Jatilegowo. Badik Sumpah Darah! Senjata itu bergelimang darah. Darah
berasal dari luka besar di tangan Jatilegowo bercampur darah yang berasal dari
pembantaian tubuh anak-anak peliharaannya!
*********************
2
ASAP
kelabu mengepul keluar dari ubunubun Sarontang. Sepasang matanya berubah merah
tapi tampak berkaca-kaca. Mulutnya berkomat kamit merapal sesuatu. Tibatiba
mulut itu berteriak.
"Bunuh!"
Sunyi
sesaat lalu puluhan mahluk aneh yang melayang di udara mendadak berubah menjadi
besar, hampir dua kali besar semula. Dari kepala masing-masing mengepul asap
kelabu seperti yang keluar dari ubun-ubun Sarontang. Kesunyian hanya sekejapan.
Sesaat kemudian didahului gemuruh raung lolongan puluhan mahluk itu melesat
menyerbu ke arah Jatilegowo. Meski panik setengah mati melihat apa yang terjadi
tapi Jatilegowo berusaha tabahkan diri. Di tengah serbuan puluhan mahluk aneh,
dua kakinya laksana menancap ke tanah. Tangan yang memegang Badik Sumpah Darah
dihantamkan ke atas. Sinar biru kehitaman menderu dahsyat, membentuk lingkaran
membentengi Jatilegowo dari setiap serbuan mahluk halus.
"Wuuuttt…
wuttt…!"
"Bett…
bettt…."
"Craasss…
craasss… craasssi"
Sarontang
menjerit keras ketika meiihat bagaimana anak-anak peliharaannya satu persatu
terpental, jatuh ke tanah dalam keadaan mati terkutung-kutung.
"Celaka!
Badik Sumpah Darah tidak bisa dibuat main!" Dada Sarontang bergetar.
Selagi dia terkesima kembali mahluk-mahluk aneh peliharaannya mati berjatuhan
di depan mata.
"Anak-anak!
Pulang!" Sarontang akhirnya berteriak.
Lolongan
dan raungan menggelegar lalu terdengar suara sayap bergelepakan. Sesaat
kemudian belasan mahluk aneh yang masih hidup melesat tinggi ke udara, berputar
di atas kepala Sarontang dua kali lalu melesat ke arah timur hingga akhirnya
lenyap dari pemandangan. Kini di tempat itu kembali hanya tinggal Sarontang dan
Jatilegowo serta Nyi Larasati yang terbujur di dekat batu besar yang telah
hancur. Dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak bisa bersuara janda cantik
ini menyaksikan semua apa yang terjadi. Tadinya dalam hati dia berharap kakek
berambut biru berminyak itu akan mampu mengalahkan Jatilegowo hingga dia punya
kesempatan untuk selamat. Tetapi begitu melihat bagaimana mahluk-mahluk aneh
peliharaan si kakek akhirnya terbang melarikan diri, rasa takut kembali
menyelimuti diri Nyi Larasati.
"Sarontang!
Kau telah menyaksikan apa yang terjadi!" Tiba-tiba Jatilegowo keluarkan
ucapan. "Aku memberi kesempatan padamu untuk meninggalkan tempat
ini!"
Sarontang
tak segera menjawab. Dalam hati dia membatin. “Badik itu, aku harus bisa
merampas dari tangannya." Lalu si kakek berkata. "Aku baru pergi dari
sini kalau kau mau menyerahkan badik itu!"
"Tua
bangka tak tahu diri! Diberi pengampunan malah minta mampus!"
Sarontang
tak mau menunggu lebih lama. Begitu orang membentak kakek ini segera melesat ke
depan. Tangan kanannya dihantamkan. Kepala digoyangkan. Lilitan tali yang
terbuat dari usus manusia yang ada di keningnya melesat menyambar laksana
cambuk ke arah leher Jatilegowo. Bersamaan dengan itu si kakek kirimkan
serangan susulan berupa tendangan ke arah dada lawan.
Seperti
diketahui Sarontang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang sudah
sampai pada puncaknya. Gerakan tiga serangannya yang laksana kilat itu mau tak
mau membuat Jatilegowo tersentak kaget. Cepat dia membuat gerakan mengelak
sambil babatkan Badik Sumpah Darah.
Hantaman
tangan serta sambaran lilitan tali berhasil dielakkan Jatilegowo. Malah badik
sakti di tangan kanannya nyaris mendera paha kanan Inwan. Entah bagaimana
tahu-tahu kaki kanan si knkek mendadak terangkat ke atas. Tendangan ynng tadi
mengarah dada kini melabrak bahu kniinn Jatilegowo, membuat Adipati Salatiga
ini terpental dan terjengkang jatuh. Sarontang tidak sia-siakan kesempatan.
Selagi lawan masih terkapar di tanah begitu rupa dia lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung hawa sakti. Pukulan dahsyat ini memancarkan cahaya
kelabu karena dialiri tenaga dalam tinggi. Jatilegowo tidak punya kesempatan
untuk selamatkan diri.
"Jahanam
keparat! Makan badikku!"
Dalam
saat genting begitu rupa Jatilegowo kerahkan tenaga dalam lalu babatkan Badik
Sumpah Darah. Cahaya biru kehitaman yang keluar dari badik sakti langsung
berbenturan dengan sinar kelabu pukulan sakti Sarontang.
Anehnya
benturan dahsyat itu tidak mengeluarkan suara letusan. Yang kelihatan hanya
bunga api berpijaran lalu terdengar keluhan Sarontang. Kakek berambut biru
berminyak ini terjajar ke belakang sambil satu tangan memegangi kening, sementara
tangan lain diletakkan di atas dada. Tali yang melibat kening dan dipergunakan
sebagai senjata untuk menyerang lawan telah berubah menjadi kepulan arang. Pada
kulit kening si kakek kelihatan garis melingkar merah kehitaman seolah daging
di kening itu telah ditoreh dengan besi panas. Lalu dari mulut Sarontang
mengucur lelehan darah pertanda dia menderita luka dalam yang cukup parah.
"Aku
tahu betul, keparat ini tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Bagaimana dia bisa
menciderai diriku di sebelah dalam. Pasti dia mendapatkan kekuatan dahsyat dari
badik yang dipegangnya!’ mambantin Sarontang.
"Manusia
jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!" Berteriak Sarontang. Lalu dengan
nekad kakek ini menerjang ke arah lawan sambil dua tangan membuat gerakan aneh,
didorong ke depan.
"Wuss!
Wusssi"
Sepuluh
kuku jari tangan Sarontang mendadak mencuat panjang, memancarkan cahaya hitam.
Menyambar ganas ke leher dan muka Jatilegowo. Inilah ilmu yang disebut
"Sepuluh Kuku Setan." Di Tanah Bugis dan Makassar ilmu ini menjadi
momok nomor satu bagi para tokoh persilatan baik golongan putih maupun hitam.
"Breett!"
Leher
baju biru Jatilegowo robek besar. Kalau tidak cepat dia menarik badannya ke
belakang niscaya lehernya akan amblas berbusaian disambar lima kuku hitam
tangan kanan Sarontang.
Melihat
serangan lima kuku tangan kanannya hampir berhasil mencelakai lawan, Sarontang
lipatgandakan kekuatan dorongan serangan lima kuku tangan kiri.
Namun
saat itu tiba-tiba satu cahaya biru kehitaman berkelebat ganas. Sarontang
maklum apa yang dilakukan lawan. Cepat kakek ini mundur dua langkah sambil
tarik serangan tangan kiri. Namun terlambat.
"Craa…
crass… crass… crass… crasss!"
Sarontang
melompat mundur sambil keluarkan pekik kesakitan. Lima jari tangan kanannya
kepulkan asap biru. Bersamaan dengan itu hawa panas luar biasa menggerogoti
tangan kirinya. Dia merasa tangan itu laksana lumer. Sarontang kucurkan
keringat dingin, kerahkan tenaga menahan sakit. Ketika diperhatikan dia
saksikan bagaimana lima kuku jari tangan kirinya terbabat putus. Sisa kuku yang
masih menempel di ujungujung jari tampak hangus kehitaman dan mengepulkan
asap.
Jatilegowo
tertawa bergelak.
"Sarontang
kakek mesum! Umurmu tak bakal lama! Racun badik akan merasuk ke dalam tubuhmu,
menghancurkan pembuluh darah menjebol jantungmu! Ha… ha… ha!"
Pucatlah
wajah tua Sarontang. Dia tahu Jatilegowo tidak bisa dusta. Racun Badik Sumpah
Darah yang berasal dari Pohon Tuba jahat luar biasa. Sekali racun itu masuk ke
dalam tubuh tidak satu mahluk hidup pun bisa bertahan.
"Jahanam!"
rutuk Sarontang. Dia gerakkan tangan kanannya ke tangan kiri. Lalu kraakk!
Sarontang pelintir dan tanggalkan tangan kirinya sendiri sebatas pergelangan!
Kutungan tangan kiri ketika dicampakkannya ke tanah telah berubah menjadi
sangat hitam. Dia masih beruntung. Walau tangan kirinya kini hancur buntung
tapi racun jahat Badik Sumpah Darah tidak sampai masuk ke dalam tubuhnya!
Jatilegowo
tertawa mengekeh.
"Sarontang.
Kau memang bisa selamat dari racun badik, tapi kau tidak bisa selamat dari
badiknya sendiri!"
Habis
berkata begitu Jatilegowo melompat ke depan sambil kirimkan satu tusukan ganas.
Tapi Sarontang yang sudah tahu gelagat cepat melesat ke udara. Kakek ini
sengaja melesat ke atas satu pohon besar, lalu berpindah ke pohon lain dan
akhirnya lenyap dari pemandangan. Jatilegowo yang tidak punya kemampuan untuk
berbuat seperti itu, tak bisa melakukan pengejaran. Dia hanya menyumpah
habis-habisan. Saat ini dia memang bisa membuat si kakek tak berdaya dan
melarikan diri. Namun dia maklum satu saat orang tua itu akan muncul kembali
untuk dapatkan Badik Sumpah Darah dan membunuh dirinya. Selama Sarontang masih
hidup dia akan merasa tidak tenteram.
Untuk
beberapa lamanya Jatilegowo memandang ke arah lenyapnya si kakek di atas
deretan pohon-pohon sebelah sana. Kemudian dia perhatikan koyakan iuka pada dua
tangan kiri kanan. Dengan badik yang dipegang di tangan kanan Jatilegowo
ucapkan senjata itu ke tangan kiri. Asap biru kehitaman mengepul. Ketika asap
lenyap, luka mengerikan di tangan kirinya ikut lenyap.
Jatilegowo
menyeringai. Dia letakkan Badik Sumpah Darah di kening lalu cium senjata sakti
mandraguna itu. Badik kemudian dipindah ke tangan kiri. Lalu seperti tadi
senjata sakti mandraguna ini diusapkan ke tangan kanan yang luka parah akibat
serangan mahluk-mahluk halus peliharaan Sarontang. Asap biru mengepul, begitu
asap sirna, luka di tangan kanan Jatilegowo ikut lenyap. Kembali Jatilegowo
letakkan badik sakti di atas kening. Sambil mencium senjata itu dia berkata.
"Terima kasih badik sakti. Aku akan menjaga dirimu baik-baik. Harap kau
juga mau menjaga diriku baik-baik."
Mendadak
ada suara derap kaki kuda meninggalkan tempat itu. Jatilegowo tersentak kaget.
Dia ingat pada Nyi Larasati. Secepat kilat dia melompat ke balik hancuran batu
besar di mana tadi dia membaringkan janda itu. Seperti disambar petir begitu
terkejutnya Adipati Salatiga ini ketika dapatkan sosok Nyi Larasati tak ada
lagi di tempat itu.
"Jahanam!
Siapa berani mati punya pekerjaan! Nyi Lara! Nyi Lara! Di mana kau?"
teriak Jatilegowo. Dia memandang berkeliling. Kuda besar miliknya masih ada di
tempat itu. Tadi dia mendengar suara derap kaki kuda. Berarti orang melarikan
Nyi Lara menunggang kuda. Siapa? Mungkin Sarontang yang kembali lagi secara tak
terduga, membawa kuda dan menculik Nyi Larasati?
"Tidak
mungkin setan tua keparat itu," ujar Jatilegowo dalam hati. "Tak
mungkin dia. Lalu siapa…?" Jatilegowo tak bisa menjawab. Dia hanya bisa
menyumpah habis-habisan lalu melompat ke atas kudanya. Bintang ini segera
dipacu ke arah lenyapnya suara derap kaki kuda tadi.
*********************
3
DALAM
Episode sebelumnya (Tahta Janda Berdarah) diceritakan bahwa Wiro minta
pertolongan Ratu Duyung untuk mempertemukannya dengan Nyi Roro Manggut. Sesuai
petunjuk Kakek Segala Tahu, Nyi Roro memiliki satu-satunya ilmu kesaktian yang
bisa dipergunakan Wiro untuk menolong Bunga keluar dari sekapan guci tembaga
Iblis Kepala Batu Alis Empat. Ketika Wiro mengutarakan maksudnya Ratu Duyung
tidak memberikan jawaban. Menyangka gadis bermata biru ini tidak mau
menolongnya karena baru sembuh dan mungkin masih berada di bawah pengaruh
petaka besar yang baru dialami yakni dicelakai oleh Nyi Ragil dengan ilmu
Mengupas Raga hingga dadanya mengalami luka mengerikan, maka tanpa mau memaksa
Wiro akhirnya tinggalkan puncak Bukit Menoreh. Agaknya dia harus berusaha
sendiri mencari Nyi Roro Manggut yang konon berdiam di dasar samudera kawasan
selatan. Di puncak Bukit Menoreh saat itu ada Bidadari Angin Timur dan Anggini.
Bujang Gila Tapak Sakti telah pergi duluan ke Temanggung.
Tidak
dinyana ternyata Ratu Duyung mengejar Wiro dan berhasil menyusul sang pendekar
di satu tempat. Kepada Bidadari Angin Timur dan Anggini Ratu Duyung sebelumnya
dia memberi tahu karena ada satu keperluan di Kotaraja maka dia terpaksa
meninggalkan dua gadis sahabatnya itu.
"Menurutmu…."
berkata Bidadari Angin Timur pada Anggini sesaat setelah Ratu Duyung tinggalkan
Bukit Menoreh. "Apakah dia benarbenar pergi ke Kotaraja?"
Anggini
tersenyum.
"Kau
bisa menduga sendiri. Menurutmu bagaimana?" balik bertanya murid Dewa
Tuak.
"Kita
sama tahu," jawab Bidadari Angin Timur. "Antara Ratu Duyung dan Bunga
sejak peristiwa Wiro menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur Kutuk telah terjadi
perselisihan yang tak mungkin diperbaiki. Bunga berpendapat Ratu Duyung secara
licik telah memperdayai Wiro dan berhasil mendapatkan kejantanan pemuda itu.
Padahal kita tahu hal tersebut sebenarnya tidak pernah kejadian. Kesembuhan
Ratu Duyung dari penyakit kutukan semua karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam perselisihan yang masih berlarut-larut, bagaimana mungkin sekarang Ratu
Duyung mau dan rela menolong Wiro membebaskan Bunga dari sekapan guci Iblis
Kepala Batu?" (Mengenai peristiwa di Puri Pelebur Kutuk harap baca serial
Wiro Sableng berjudul "Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11
Episode)
Anggini
tak segera menjawab. Gadis itu berdiam diri seolah tengah memikirkan sesuatu.
Sesaat kemudian baru Anggini berkata.
"Dari
sudut pandanganmu hal itu memang bisa seperti yang kau katakan. Tapi dari sudut
pandangan Ratu Duyung sendiri, bukankah ini berarti satu kesempatan baginya
untuk lebih mendekatkan diri dengan Wiro?"
"Dengan
kata lain kau tidak yakin Ratu Duyung benar-benar pergi ke Kotaraja?"
Anggini
menggeleng. "Dia tidak ke Kotaraja. Aku yakin saat ini Ratu Duyung tengah
mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Lalu
kita mau berbuat apa?" tanya Bidadari Angin Timur pula sambil melirik pada
Anggini.
"Kau
punya usul apa, sahabatku?" balik bertanya Anggini.
"Aku
bisa pergi ke mana saja aku suka. Namun aku justru memikirkan dirimu."
"Memikirkan
diriku?" Anggini berucap heran.
Bidadari
Angin Timur mengangguk. "Dalam rimba persilatan sudah bukan rahasia lagi.
Hampir semua orang mengetahui kalau gurumu Dewa Tuak ingin menjodohkan dirimu
dengan Pendekar 212…."
"Ah,
perkara yang satu itu tak usah kita bicarakan," kata Anggini. Selain
memang tidak suka membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro, Anggini juga
maklum kalau Bidadari Angin Timur adalah salah satu dari sekian banyak gadis
yang menginginkan pemuda yang dikasihinya itu.
"Kau
tak ingin membicarakan perjodohanmu. Tak ingin membicarakan jalan hidupmu di
kemudian hari. Itu hakmu, aku tak berani memaksa.Tapi sebagai sahabat, kalau
aku boleh bertanya mengapa kau tidak suka membicarakan hal itu…."
"Mengenai
perjodohanku dengan Wiro itu hanya maksud baik guruku saja. Dari pihak Wiro dan
gurunya Eyang Sinto Gendeng dingin-dingin saja. Menurutmu apakah perjodohan itu
bisa dipaksakan?"
"Tentu
saja jodoh tidak bisa dipaksakan. Tapi bisa diatur…." jawab Bidadari Angin
Timur. "Kita suka orang tak mau. Orang mau kita tak suka. Mana mungkin
kejadian?"
"Nah
kalau kau bisa berucap seperti itu, berarti kau sudah tahu permasalahannya.
Jadi kita tak usah membicarakan berpanjang-panjang. Sekarang hanya tinggal kita
berdua di puncak bukit ini. Tak lama lagi pagi segera datang. Apa yang hendak
kita lakukan?" bertanya Anggini.
"Kita
dimintai pertolongan mencari Pedang Naga Suci 212 oleh Wiro…." kata
Bidadari Angin Timur pula.
"Betul,
lalu apa yang akan kita lakukan? Ke mana kita akan pergi?" tanya Anggini.
"Sebaiknya
kita tinggalkan saja bukit ini. Sambil berjalan kita bisa bicara ke mana kita
akan pergi. Tapi jika aku boleh memilih, aku akan pergi ke tempat di mana
kira-kira beradanya Pangeran Matahari."
"Mengapa
begitu?" tanya Anggini.
"Dia
biang racun dari segala malapetaka yang terjadi belakangan ini. Lalu, aku juga
tidak akan pernah melupakan bahwa dialah yang telah menghamili lalu membunuh
adik kembarku sendiri!" (Mengenai kematian gadis bernama Pandan Arum
kisahnya dapat dibaca dalam "Kiamat Di Pangandaran" Episode terakhir
dari "Wasiat Iblis" terdiri dari 8 Episode)
Bidadari
Angin Timur memegang lengan Anggini. Dua gadis itu menuruni bukit sambil
berpegangan tangan. Dalam hati Bidadari Angin Timur muncul selarik kegembiraan.
Kini dia tahu pasti bahwa perjodohan antara Anggini dengan Wiro hanya tetap
menjadi satu niat belaka, yang tak akan mungkin menjadi kenyataan. Berarti bagi
Bidadari Angin Timur seorang saingan dalam memperebutkan cinta Pendekar 212,
yaitu gadis bernama Anggini yang saat itu berjalan berdampingan bersamanya,
tidak perlu dikhawatirkan lagi. Puti Andini yang juga mencintai Wiro telah
meninggal dunia. Bunga gadis alam roh yang bagaimanapun juga sampai kiamat tak
mungkin bersatu sebagai suami istri dengan Wiro. Jadi kini hanya Ratu Duyung
seorang yang harus diperhatikannya.
"Sahabat,
apa yang tengah kau pikirkan sambil melangkah?"
Suara
Anggini mengejutkan Bidadari Angin Timur. Gadis ini tersenyum. Tapi tak
menjawab.
SANG
SURYA mulai condong ke barat ketika Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung
turun dari biduk kecil yang ditumpanginya sampai di satu muara di kawasan
selatan. Kini samudera luas terbentang di hadapan mereka. Ratu Duyung memandang
ke langit, memperhatikan letak matahari.
"Kita
tunggu sampai sang surya masuk ke tempat tenggelamnya. Pada saat itu kita baru
masuk ke dalam laut," kata Ratu Duyung.
"Kenapa
tidak masuk sekarang saja?" tanya Pendekar 212.
"Ada
hitungannya Wiro…."
"Hitungan?
Hitungan apa?" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Hitungan
agar kita sampai pada waktu yang tepat dan baik. Agar maksud dan tujuan bisa
terlaksana dengan baik pula…."
"Aku
tidak mengerti. Tapi aku menurut apa yang baik menurutmu saja," kata Wiro.
Lalu dia meneruskan. "Ingat peristiwa beberapa waktu lalu ketika pertama
kali kau membawaku masuk ke dalam laut di pantai selatan ini?"
Ratu
Duyung tersenyum. "Apa yang masih kau ingat, Wiro?"
"Waktu
itu sehabis pertempuran besar di Pangandaran. Aku naik kereta putih bersamamu.
Kereta itu menuruni pantai, masuk ke dalam laut. Aku ketakutan…."
"Kau
takut mati. Tapi tidak mati kan?" ujar Ratu Duyung pula sambil tersenyum.
"Sekarang
kau tidak membawa kereta. Bagaimana caranya kita bisa masuk ke dalam
laut?"
Ratu
Duyung tertawa.
"Tanpa
kereta kita bisa lebih cepat sampai ke tujuan. Atau mungkin kau punya usul
bagaimana caranya kita bisa sampai lebih cepat?"
Pendekar
212 tertawa. Lalu gelengkan kepala.
"Wiro,
satu hal harus kau ingat baik-baik," kata Ratu Duyung. "Keadaan
samudera kawasan selatan saat ini, dibanding ketika dulu pertama kali kau
bersamaku masuk ke sana, jauh berbeda. Dulu aku masih menjadi orang dalam yang
bisa bergerak bebas ke mana aku suka. Sekarang setelah aku terlepas dari
kutukan berkat pertolonganmu, aku bukan lagi orang dalam. Langkahku terbatas.
Gerak gerikku akan diawasi. Jadi kita harus berlaku sangat hati-hati. Jangan
sampai berbuat salah atau keliru. Begitu berada dalam air, kau harus
mengerahkan Ilmu Menembus Pandang hingga daya penglihatanmu bisa lebih luas.
Lalu satu hal lagi. Sebelum kita sampai ke kawasan tempat kediaman Nyi Roro
Agung, di dalam air kau tidak akan bisa bicara. Jadi jangan coba-coba membuka
mulut. Kecuali kalau kau Ingin perutmu kembung kemasukan air laut!"
"Semua
ucapanmu akan kuperhatikan Ratu," kata Wiro pula. "Mengenai Nyi Roro
Manggut yang akan kita temui itu. Apakah dia…."
"Ingat,
aku bukan lagi orang dalam. Aku punya pantangan. Tidak boleh menerangkan segala
sesuatu menyangkut isi samudera kawasan selatan. Mengenai Nyi Roro Manggut,
kalau Nyi Roro Agung memberi izin kau akan bertemu sendiri dengan dia. Kau bisa
mengajukan seribu satu pertanyaan."
"Bagaimana
kalau Nyi Roro Agung tidak memberi izin?" tanya Wiro.
"Berarti
kita harus menunggu sampai bulan purnama mendatang. Saat itu biasanya Nyi Roro
Agung bersikap baik dan mengabulkan segala sesuatu yang dipinta."
Wiro
menarik nafas dalam, menggaruk kepala. Lalu lama sekali dia memandang ke tengah
laut sementara sang surya semakin condong ke barat.
"Apa
yang tengah kau pikirkan? Apa yang ada dalam benakmu?" bertanya Ratu
Duyung.
"Kau
ingat sewaktu terjadi pertempuran antara guruku Eyang Sinto Gendeng dengan si
gendut Bujang Gila Tapak Sakti di Bukit Menoreh?"
"Saat
itu aku masih dalam keadaan terluka berat. Terbaring tak berdaya. Tapi apa yang
terjadi sempat kusaksikan semua. Dua orang itu, apa yang terjadi dengan diri
mereka. Berkelahi mau saling berbunuhan. Padahal masih satu golongan, dan
selama ini ia selalu bersahabat…."
"Orang-orang
berkepandaian tinggi memang terkadang suka berlaku aneh," kata Wiro.
"Tapi aku yakin mereka tidak ada maksud untuk sungguhan saling
membunuh."
"Lalu
apa maksud pertanyaanmu tadi, apa kau ingat akan pertempuran mereka?"
tanya Ratu Duyung pula.
"Aku
pernah mendengar ucapan orang-orang tua. Katanya seorang guru tidak pernah
mewariskan seluruh kepandaiannya pada muridnya. Menurutmu bagaimana?"
"Bukan
menurutku bagaimana," jawab Ratu Duyung. "Tapi justru aku mau tahu
kenapa kau bertanya seperti itu. Agaknya ada satu ganjalan dalam dirimu?"
Wiro
menggaruk kepala. Memandang ke tengah laut. "Sudahlah, lupakan saja apa
yang aku tanyakan tadi."
Ratu
Duyung pegang tangan Wiro. "Jangan kau berkata seperti itu. Apa yang
menjadi ganjalan dalam dirimu tidak akan pernah lenyap hanya dengan ucapan
seperti itu. Satu ketika hal itu akan muncul kembali…."
"Hemmm….
Baiklah. Akan aku sampaikan apa yang menjadi unek-unekku. Ketika Eyang Sinto
Gendeng dibuat panik oleh serangan hawa dingin Bujang Gila Tapak Sakti, guruku
itu menyerang dengan dua larik sinar biru yang keluar dari sepasang matanya.
Dua sinar itu seperti sepasang pedang raksasa, membabat bersilangan.
Dahsyatnya
bukan kepalang. Puncak gunung karang sekali pun kalau kena dihantam pasti akan
papas buntung…."
Wiro
hentikan ucapannya ketika dilihatnya Ratu Duyung tersenyum.
"Ratu,
mengapa kau tersenyum?"
"Aku
maklum sudah. Eyang Sinto Gendeng tidak pernah mengajarkan atau memberikan ilmu
itu padamu. Itu yang membuat hatimu kecewa dan menjadi ganjalan. Mungkin juga
merasa dirimu tidak dipercaya untuk menguasai ilmu itu."
"Apa
yang kau katakan memang benar adanya…."
"Eyang
Sinto Gendeng pasti punya alasan mengapa tidak mewariskan ilmu itu. Atau belum
mewariskan ilmu itu padamu."
Wiro
mengangguk.
"Beliau
memang pernah berkata. Aku belum pantas, belum bisa dipercaya untuk memiliki
ilmu itu," kata Wiro pula. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Munculnya Sinto Gendeng")
"Kalau
begitu kau tak perlu kecewa. Satu ketika ilmu luar biasa itu pasti akan
diajarkannya padamu."
"Sewaktu
Bujang Gila Tapak Sakti dilabrak serangan itu, dalam kejutnya pemuda gendut itu
berseru menyebut ilmu yang dikeluarkan Eyang Sinto Gendeng. Sepasang Sinar Inti
Roh."
"Wiro
sebaiknya kau tak usah menurutkan perasaan. Bukankah ada ujar-ujar mengatakan.
Jangan perasaan menipu jalan pikiran…."
Wiro
tertawa. Dibelainya punggung Ratu Duyung sehingga gadis bermata biru ini merasa
sejuta kebahagiaan. Dua matanya yang biru bagus dipejamkan. Dalam keadaan
seperti itu dia berkata.
"Wiro,
jika kau masih belum puas, mungkin aku bisa membantu."
"Kau
mau meminta guruku agar mengajarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu
padaku?" tanya Wiro.
Ratu
Duyung gelengkan kepala lalu berkata. "Aku juga memiliki ilmu kesaktian
menyerupai ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dua mataku bisa mengeluarkan sinar
biru atau hijau, menyambar bersilang seperti sepasang pedang. Tapi dibanding
dengan Sepasang Sinar Inti Roh, ilmu yang kumiliki kehebatannya mungkin tidak
ada sepersepuluhnya. Kalau kau suka, aku bisa mengajarkan dan memberikan ilmu
itu padamu."
"Ratu…."
ujar Wiro. "Aku senang sekali mendengar ucapanmu itu. Tapi aku sudah
terlalu banyak berhutang budi padamu. Kau telah memberikan beberapa ilmu
kesaktian padaku. Aku tak berani menerima budi lebih banyak. Di samping itu
sebenarnya aku juga telah memiliki ilmu mirip-mirip seperti yang dipunyai Eyang
Wiro. Namanya ilmu Sepasang Pedang Dewa. Aku dapat dari Datuk Rao Basuluang
Ameh, seorang mahluk setengah roh setengah manusia yang konon telah meninggal
sekitar seratus tahun lalu. tapi jika dibanding dengan ilmu Sepasang Sinar Inti
Roh milik guruku, ilmu Sepasang Pedang Dewa agaknya masih berada satu dua
tingkat di bawah…."
"Wiro,
jika kau bicara perihal budi, ketahuilah budi hanyalah sekedar ucapan. Dari apa
yang didapatnya si penerima budi akan menanam dan mendapatkan kebaikan di
kemudian hari. Sedang si pemberi budi sendiri tidak kehilangan apaapa….
"Terima
kasih Ratu, aku tak mau membebani diriku dengan terlalu banyak ketanaman
budi." Kata Wiro pula sambil memegang lengan Ratu Duyung. Sang Ratu
letakkan tangannya di atas tangan Wiro yang memegang lengannya.
"Wiro,
aku jadi berpikir. Gurumu memiliki ilmu yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh.
Kau punya ilmu Sepasang Pedang Dewa, dan aku punya ilmu Sepasang Pedang Sinar
Dasar Samudera. Tiga ilmu kesaktian itu memiliki kesamaan. Samasama keluar
dari dalam mata. Menurutmu apakah ketiganya tidak bersumber pada ilmu yang
sama? Warisan dari seorang tokoh sakti mandraguna yang sama?"
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.
"Bisa
jadi. Tapi siapa yang mau menyelidik?" Wiro diam sebentar lalu melanjutkan
ucapannya. "Ratu Duyung, saat ini kita tengah menghadapi satu urusan
besar. Aku tahu kau ada perselisihan dengan Bunga. Tetapi ketulusan hatimu
menunjukkan bahwa budimu begitu luhur. Kau masih mau membantu aku untuk
menyelamatkan gadis dari alam roh itu…."
Ratu
Duyung diam saja. Dalam hati dia berkata. "Tak mungkin bagiku untuk
mengatakan terus terang padamu Wiro. Bahwa aku menolong gadis alam roh itu
semata-mata karena cinta kasihku padamu. Sebagai manusia biasa aku tidak bisa
melepaskan diri dari berbagai rasa dan harapan."
Perlahan-lahan
Ratu Duyung sandarkan kepalanya ke dada bidang berotot Wiro. Sang pendekar
merangkul bahu Ratu Duyung, memeluknya erat-erat lalu perlahan-lahan rundukkan
kepala mencium kepala gadis itu. Ratu Duyung tengadahkan wajahnya. Ketika dia
menarik mesra kepala sang pendekar dan sesaat lagi bibir mereka akan saling
kecup, tiba-tiba Wiro sadar. Jari-jari tangannya ditempelkan di atas bibir sang
dara hingga bibir mereka tidak jadi saling bersentuhan.
"Kita
tengah menghadapi urusan besar. Seperi katamu tadi jangan perasaan kita
mempengaruhi pikiran."
Ratu
Duyung buka sepasang matanya yang bagus yang barusan sempat dipejamkan,
mendesah lirih.
"Sejak
lama aku merindukan keadaan seperti Ini Wiro. Kau dan aku berdua-dua.
Tapi…." Ratu Duyung menarik nafas dalam. "Aku mengerti. Kita tengah
menghadapi urusan besar. Mungkin aaja penguasa kawasan ini tidak suka melihat
tindak tanduk kita hingga apa yang kita harapkan dari mereka tidak kesampaian.
DI BALIK
serumpunan semak belukar lebat tak jauh dari tempat Wiro dan Ratu Duyung
berada, dua gadis cantik yang sejak tadi sembunyi memperhatikan Wiro dan Ratu
Duyung samasama kelihatan jengah paras masing-masing. Keduanya lalu sama-sama menarik
nafas panjang.
"Anggini,
aku tak mau lebih lama berada di tempat ini. Lebih baik kita pergi sekarang
juga…." Yang bicara adalah gadis berpakaian biru tipis dan tubuhnya
menebar bau harum. Dia bukan lain Bidadari Angin Timur, gadis yang selama ini begitu
mendalam cintanya terhadap Wiro. Dadanya terasa sesak. Sepasang matanya
berkaca-kaca.
Gadis di
sebelahnya yaitu Anggini, pegang tangan Bidadari Angin Timur. Dua tangan yang
saling berpegangan itu sama berkeringat dan dingin.
"Aku
tahu perasaanmu, sahabatku," kata Anggini yang bicara sambil memandang ke
jurusan lain karena dua matanya juga tampak mulai basah. Walau dia sadar
sepenuhnya bahwa perjodohannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng sulit akan
menjadi kenyataan, namun dia tidak bisa menipu diri sendiri. Saat itu rasa
cemburu menyumpal relung hatinya karena seperti Bidadari Angin Timur dia pun
mengasihi Wiro.
KETIKA
sang surya masuk ke titik tenggelamnya, kawasan samudera selatan mulai
diselimuti kegelapan. Keheningan alam hanya ditandai oleh tiupan angin yang
kini terasa agak mencucuk.
"Sudah
saatnya Wiro," kata Ratu Duyung.
"Pegang
lengan kiriku. Jangan lepaskan sebelum kepalamu berada tiga tombak di bawah
permukaan air. Nanti aku akan memberi tanda. Kau siap?"
Wiro
mengangguk. Dia merasa sedikit tegang. Ratu Duyung angkat tangan kirinya. Wiro
segera pegang lengan gadis itu. Satu hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuh
Pendekar 212. Hawa ini merambat lebih banyak di bagian dada, leher, jalan
pernafasan termasuk hidung dan mulut serta mata. Inilah hawa sakti yang bisa
membuat Wiro berada dalam lautan seperti dia berada di daratan.
Wiro dan
Ratu Duyung melangkah bergandengan tangan di atas pasir pantai. Pecahan ombak
membasahi kaki dan pakaian mereka. Saat demi saat sepasang kaki ke dua orang
itu memasuki air laut semakin dalam. Ketika air laut mencapai pinggang Wiro
mulai merasa dingin. Di sebelahnya Ratu Duyung tampak tenang.
Air laut
naik sampai ke dada. Terus naik mencapai leher. Tak selang berapa lama kepala
kedua orang itu tak kelihatan lagi, lenyap di bawah permukaan air. Di dalam air
Wiro melangkah terus. Gerakannya tambah cepat. Air laut bersibak keras di kiri
kanannya. Wiro mengikuti. Tangannya memegang lengan si gadis erat-erat.
Kemudian dia merasakan dua kakinya tidak menginjak pasir lagi. Di sebelahnya
Ratu Duyung mulai berenang. Wiro ikut berenang. Lalu sang Ratu sentakkan tangan
kirinya. Itulah tanda yang dikatakan Ratu Duyung. Berarti saat itu mereka telah
berada tiga tombak di bawah permukaan air laut. Wiro lepaskan pegangannya pada
lengan kiri Ratu Duyung. Lalu dia sadar kalau dia belum mengerahkan Ilmu
Menyusup Pandang. Segera dia keluarkan ilmu ini. Satu keanehan serta merta
terasa. Keadaan yang tadi remang-remang kini menjadi lebih terang seolah dia
berada di udara terbuka dalam keadaan rembang sore.
*********************
4
MAKIN
jauh masuk ke dasar samudera air laut terasa tambah dingin. Wiro terpaksa
kerahkan hawa sakti hangat ke sekujur tubuh agar gerakannya berenang tidak
kaku. Saat itu dia tertinggal jauh di belakang Ratu Duyung. Di satu tempat Ratu
Duyung berhenti, menunggu sampai Wiro mendekat. Gadis ini kemudian menunjuk ke
arah depan. Memandang ke arah yang ditunjuk, di kejauhan Wiro melihat satu
dinding batu kelabu, membujur dari kiri ke kanan. Demikian tinggi dan
panjangnya dinding ini hingga tidak kelihatan bagian atas dan tak tampak ujung
jari kiri maupun kanan. Lapat-lapat Wiro mendengar suara bebunyian seperti
alunan gamelan.
Wiro
hendak membuka mulut bertanya. Air laut langsung masuk ke dalam mulutnya. Ratu
Duyung mengangkat tangan memberi tanda lalu berkata.
"Wiro,
kau belum masuk ke dalam kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung. Jadi belum mampu
untuk bicara. Dengar saja apa yang aku ucapkan."
Ratu
Duyung menunjuk ke arah dinding kelabu
"Itu
Tembok Karang Abad. Pembatas kawasan kediaman Nyi Roro Agung dengan dunia luar.
Tembok itu berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Tidak satu kekuatan dari luar
pun bisa menembus tembok itu. Kita harus masuk melalui Pintu Gerbang Naga Biru.
Letaknya di sebelah sana. Ikuti aku…."
Ratu
Duyung berenang menyusuri pinggiran Tembok Karang Abadi ke arah barat. Makin
jauh berenang keadaan semakin redup dan air laut bertambah dingin. Hawa panas
yang diandalkan Wiro untuk melindungi diri dari dinginnya air laut ternyata
masih bisa ditembus hingga pemuda ini berenang setengah menggigil. Melihat Wiro
sering-sering tertinggal di belakang dan cara berenangnya yang tersendat-sendat
Ratu Duyung segera dekati si pemuda. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke
dada Wiro lalu perlahanlahan dia alirkan hawa sakti ke dalam tubuh sang
pendekar. Tak selang berapa lama Wiro merasakan tubuhnya menjadi hangat dan
pemandangannya jernih kembali. Dia angguk-anggukkan kepala pada Ratu Duyung
sebagai tanda ucapan terima kasih.
Ratu
Duyung kembali berenang ke arah barat. Di kejauhan Wiro melihat ada bagian
dinding berbcnluk gapura tinggi. Di atas gapura bergelung patung besar seekor
naga berwarna biru. Agaknya itulah Pintu Gerbang Naga Biru, pikir Wiro.
Hanya
beberapa belas tombak menjelang sampai ke Pintu Gerbang Naga Biru, tiba-tiba
pada Tembok Karang Abadi kelihatan dua belas titik bercahaya terang kebiruan.
Titik cahaya ini makin lama makin besar dan tambah terang. Lalu selagi Wiro
memperhatikan dan bertanya cahaya apa gerangan itu adanya tiba-tiba bett… bett…
bett! Dua belas titik terang menembus tembok. Di lain kejap kelihatan dua belas
sosok gadis berwajah cantik berambut panjang tergerai melesat dalam air dan
dalam waktu singkat telah mengurung Wiro serta Ratu Duyung. Di tangan
masing-masing gadis cantik tergenggam sebuah tongkat memancarkan warna biru
terang.
Yang
membuat murid Sinto Gendeng jadi terkesima bukan saja kecantikan wajah dua
belas gadis, bukan pula rambut yang hitam tergerai lepas, bukan kehebatannya
yang sanggup menembus dinding karang. Tetapi juga pakaian yang begitu minim
yang melekat di tubuh dua belas gadis hingga keadaan mereka nyaris polos.
Selagi Wiro terkagum-kagum begitu rupa, tibatiba salah seorang gadis yang
memegang tongkat paling besar membentak. Agaknya dia adalah pimpinan dari
rombongan gadis-gadis cantik itu.
"Siapa
berani mati memasuki kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung tanpa izin?"
Wiro
garuk-garuk kepala tak bisa menjawab. Gadis yang barusan bicara melesat ke
arahnya. Tongkat biru menyala disorongkan ke depan kepala Pendekar 212.
"Ah…."
Gadis pembawa tongkat besar keluarkan seruan tertahan. Dia tidak menyangka
orang yang berada di hadapannya ternyata seorang pemuda berwajah sangat gagah.
Belasan tahun hidup di dasar samudera baru hari itu dia melihat pemuda segagah
yang ada dihadapannya. Tapi ingat tugas, dia tak mau larut dalam perasaan.
Kembali gadis ini membentak.
"Kau
siapa? Apa keperluanmu berada di tempat ini?!"
"Nyi
Kantili, aku yang membawa pemuda itu ke sini. Harap maaf kalau aku tidak sempat
memintakan izin. Waktu dan kemampuanku sangat terbatas." Satu suara
tiba-tiba menggema di dalam air.
Nyi
Kantili dan sebelas gadis bertongkat biru menyala sama palingkan kepala ke arah
kiri. Dua belas gadis ini keluarkan seruan pendek ketika mengetahui siapa yang
barusan bicara.
"Ratu
Duyung! Ah, kau rupanya…." ujar gadis bernama Nyi Kantili.
"Kawan-kawan, berikan penghormatan pada Ratu Duyung!"
Dua belas
gadis di bawah pimpinan Nyi Kantili membungkuk dalam sambil membabatkan tongkat
masing-masing dua kali berturut-turut.
"Nyi
Kantili dan para sahabat. Terima kasih atas penghormatan itu. Rasanya semua itu
tidak perlu lagi diberikan padaku. Kita ini hidup dalam alam yang
berbeda…."
"Ratu
Duyung, walau bagaimanapun kau adalah yang pernah menjadi pimpinan dan sahabat
kami. Kami merasa bahagia bisa bertemu lagi dengan dirimu." Nyi Kantili
melirik pada Wiro lalu bertanya. "Ratu Duyung, kalau kami boleh bertanya
siapakah adanya pemuda ini? Kau tadi berkata bahwa kaulah yang membawa dirinya
ke sini."
"Nyi
Kantili, pemuda ini bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212. Beberapa waktu
lalu dia telah pernah datang ke kawasan kekuasaan Nyi Roro Agung namun waktu
itu kami datang dari arah Pangandaran hingga kau tidak berkesempatan menemuinya
karena tugasmu di wilayah ini. Jauh dari Pangandaran…."
"Hmm….
Kami memang pernah mendengar peristiwa hebat itu. Waktu itu walau tidak bisa
menemui dirimu tapi kami para sahabat merasa bahagia bahwa kau berhasil lepas
dari hukum kutukan…."
"Semua
berkat pertolongan pemuda bernama Wiro ini," kata Ratu Duyung pula.
"Ooh,
jadi dia…?" Kembali Nyi Kantili dan sebelas gadis lainnya arahkan
pandangan pada wajah gagah Pendekar 212. "Ratu Duyung, harap kau suka
memberi tahu maksud kehadiranmu di sini. Kami tidak bisa terlalu lama berada di
luar Tembok Karang Abadi."
"Aku
mengerti," jawab Ratu Duyung. "Nyi Kantili, untuk satu keperluan
sangat penting pemuda sahabatku ini ingin bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Aku
minta pertolonganmu dan para sahabat untuk membawanya ke hadapan Nyi Roro
Manggut. Tentunya setelah mendapat izin dari Nyi Roro Agung."
"Apa
yang kau mintakan akan kami lakukan. Namun kami tak bisa mengajakmu
serta…."
"Nyi
Kantili, aku tahu. Sejak perubahan diriku aku tidak bisa keluar masuk kawasan
kediaman Nyi Roro Agung sebebas seperti dulu lagi. Sampaikan salam hormatku
pada Nyi Roro Agung dan Nyi Roro Manggut. Aku akan tetap berada di sini sampai
pemuda sahabatku selesai dengan urusannya."
"Ratu
Duyung, kami akan menolong sebisa yang kami lakukan. Kami merasa senang bisa
bertemu denganmu. Kami harus pergi sekarang," kata Nyi Kantili.
Ratu
Duyung mengangguk dan lambaikan tangan. Pada Wiro dia berkata. "Ikutlah
bersama Nyi Kantili dan kawan-kawannya. Ingat, begitu kau sampai di balik Tembok
Karang Abadi kau baru bisa bicara."
Wiro
lambaikan tangan pada Ratu Duyung lalu bergerak mengikuti Nyi Kantili dan
sebelas gadis lainnya. Kalau tadi mereka keluar dengan cara menembus Tembok
Karang Abadi maka karena membawa Wiro para gadis itu melewati Pintu Gerbang
Naga Biru.
Di
hadapan pintu gerbang Nyi Kantili membuat gerakan-gerakan seperti menusuk,
membabat dan membacok dengan tongkat besar biru bercahaya di tangan kanannya,
gerakan-gerakan itu bukan gerakan sembarangan karena merupakan sembilan gerakan
rahasia yang mampu membuka Pintu Gerbang Naga Biru. Selesai membuat gerakan
sembilan, secara aneh pintu gerbang yang terbuat dari batu kelabu dan memiliki
dua buah daun pintu mengeluarkan suara berdesir lalu bergerak membuka ke dalam.
Enam
orang anak buah Nyi Kantili melesat masuk. Nyi Kantili sendiri memberi isyarat
pada Wiro agar mengikuti. Sebelum bergerak Wiro berpaling pada Ratu Duyung.
Setelah lambaikan tangan murid Sinto Gendeng ini segera berenang melewati
pintu. Pada saat kepalanya tepat berada di bawah pintu gerbang, tiba-tiba
terdengar suara menggemuruh. Air laut bergelombang menimbulkan
gelembung-gelembung aneh. Pintu gerbang bergetar, mengeluarkan suara berderik.
Ada sesuatu bergerak di atas sana. Ketika Nyi Kantili dan anak buahnya
mendongak ke atas mereka sama mengeluarkan pekik terkejut. Patung Naga Biru
besar yang melingkar di atas pintu gerbang kelihatan menggerakkan kepala dan
ekornya.
"Nyi
Kantili! Patung Naga Biru hidup!" seru seorang anak buah Nyi Kantili.
"Batara
Tunggal! Gusti Allah Maha Kuasa!" mengucap Nyi Kantili dengan suara
gemetar sementara sebelas anak buahnya menunjukkan wajah pucat. Bagaimana
mungkin selama ratusan tahun patung Naga Biru yang terbuat dari batu, mendekam
diam kaku membatu tiba-tiba kini bisa menggerakkan kepala dan ekor seolah
hidup!"
Di
tempatnya berdiri Ratu Duyung juga ikut terkejut. "Ya Tuhan, pertanda
apakah ini?" mem batin sang Ratu lalu bergerak menjauh menjaga segala
kemungkinan.
Di atas
pintu gerbang besar Naga Biru buka mulutnya. Air menyembur dari dalam mulut
disertai suara menggumuruh yang membuat Seantero tempat kembali bergetar. Lidah
menjulur merah, taring mencuat mengerikan. Tiba-tiba binatang itu bergerak
meluncur ke bawah.
Nyi
Kantili mendorong punggung Wiro.
"Pendekar
212 lekas masuk!"
Wiro
melesat melewati bagian bawah pintu gerbang. Nyi Kantili mengikuti, disusul
lima gadis anak buahnya yang berada di sebelah belakang. Tapi lebih cepat dari
gerakan orang-orang itu, di atas sana Naga Biru meluncur ke bawah. Air laut
laksana terbelah. Tepat pada saat semua orang sudah masuk ke dalam dan pintu
gerbang tertutup kembali, sosok Naga Biru telah melingkar di hadapan mereka.
Badan bergelung di dasar samudera sedang kepala tegak mendongak siap hendak
menerkam.
"Celaka!
Bertemu Nyi Roro Manggut saja belum! Ternyata nyawaku akan amblas di tempat
ini!" membatin Pendekar 212.
*********************
5
KITA
tinggalkan dulu peristiwa hebat yang terjadi di balik Tembok Karang Abadi, di
belakang Pintu gerbang Naga Biru. Kita kembali pada Adipati Jatilegowo yang tengah
memacu kudanya ke arah derap kaki kuda di kejauhan. Siapa pun penunggang kuda
di depan sana dia yakin adalah orang yang telah melarikan Nyi Larasati.
Pengejaran
yang dilakukan Jatilegowo memasuki hutan jati di sebelah barat Tegalrejo. Di
satu bebukitan sekeluarnya dari hutan jati Jatilegowo melihat orang yang
dikejarnya menyusuri anak Kali Progo menuju ke selatan. Karena kenal betul
seluk beluk kawasan itu, Jatilegowo menuruni bukit; mengambil jalan memotong.
Tak selang berapa lama dia berhasil mendahului orang yang dikejarnya lalu
menghadang di satu jalan mendaki.
"Jahanam!
Tanganku .sudah gatal ingin menghajar bangsat minta mampus berani mati
melarikan Nyi Larasati!" kata Jatilegowo. Tanpa turun dari kudanya lelaki
tinggi besar ini keluarkan Badik Sumpah Darah. Dengan ujung senjata sakti ini
dia membuat torehan dalam seputar batang sebuah pohon lalu menunggu. Tak selang
berapa lama di kejauhan kelihatan seorang penunggang kuda menuruni bukit dengan
cepat. Di pangkuannya melintang sosok seorang perempuan yang bukan lain Nyi
Larasati adanya.
Beberapa
tombak lagi penunggang kuda itu akan sampai di tempatnya berada, Jatilegowo
dorong kuat-kuat bagian atas batang pohon yang telah ditorehnya.
"Kraaakkk!" Pohon cukup besar itu berderak patah lalu
tumbang
menggemuruh, jatuh melintang di tengah jalan. Kuda yang tengah berlari cepat di
jalan menurun meringkik keras, coba hentikan larinya. Akibat berhenti mendadak
dua orang yang ada di atas punggungnya mencelat mental. Nyi Larasati mencelat
lebih tinggi dan lebih jauh sementara si penunggang kuda yang rupanya memiliki
kepandaian cukup tinggi, walau terlempar begitu rupa namun ketika jatuh ke
tanah dia masih mampu tegak di atas dua kakinya. Malah dengan sigap dia membuat
gerakan kilat ke arah jatuhnya sosok Nyi Larasati. Sebelum tubuh janda yang
masih dalam keadaan tertotok itu jatuh ke tanah dengan cepat orang ini membawa
Nyi Larasati ke tempat yang dianggapnya aman. Namun baru bergerak empat langkah
tiba-tiba satu bayangan tinggi besar berkelebat di depannya. Satu bentakan
menggeledek.
"Jahanam
Loh Gatra! Kau rupanya!"
Orang
yang mendukung dan menyelamatkan Nyi Larasati saat itu memang adalah Loh Gatra,
pemuda cakap cucu Ki Sarwo Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung.
Dalam
Episode pertama (Badik Sumpah Darah) dikisahkan bagaimana Loh Gatra atas
perintah kakeknya pergi ke satu bukit kapur di selatan Gunung Merbabu untuk
mencari orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu. Dari kakek ini diharapkan bisa
didapat keterangan mengenai di mana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Menurut
Ki Sarwo Ladoyo, Wiro adalah satusatunya orang rimba persilatan yang bisa
menolong Nyi Larasati dari maksud jahat Adipati Jatilegowo serta menyelamatkan
Kadipaten Temanggung dari kehancuran.
Dalam
perjalanan menuju bukit kapur Loh Gatra dihadang oleh tiga orang tak dikenal.
Ketiga orang itu kemudian diketahui adalah orang-orang suruhan Adipati
Jatilegowo yang berusaha menggagalkan rencana Loh Gatra untuk mencari Kakek
Segala Tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam keadaan terdesak hebat dan
luka muncullah Wiro menyelamatkan Loh Gatra. Loh Gatra sendiri tidak tahu kalau
yang telah menolongnya itu sebenarnya adalah Pendekar 212 yang tengah
dicarinya.
Ketika
beberapa waktu kemudian Jatilegowo dan rombongannya muncul di Kadipaten
Temanggung dan memaksa Nyi Larasati untuk dijadikan istri, keributan tak dapat
dihindari. Dalam kemarahan yang menggelegak Jatilegowo berlaku nekad hendak
menghabisi Nyi Larasati dengan pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit."
Saat itulah Loh Gatra berkelebat menghadang. Dengan bersenjatakan sebilah keris
sakti pemberian kakeknya Ki Sarwo Ladoyo yakni keris Tumbal Bekisar, Loh Gatra
menyabung nyawa menyelamatkan Nyi Larasati yang diam-diam dicintainya. Namun
ilmu silat Loh Gatra masih jauh di bawah tingkat ilmu silat yang dimiliki Jatilegowo.
Pemuda itu tak sanggup menghadapi pukulan "Dua Gunung Meroboh
Langit." bahkan kakeknya ikut kena hantaman hingga cidera berat.
Di
saat-saat genting begitu rupa mucul Wiro. Sebelumnya di Kadipaten Temanggung
telah lebih dulu muncul pemuda gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Bagaimanapun
hebatnya Jatilegowo, Adipati ini tak mungkin menghadapi dua pendekar yang
tingkat kepandaian silat dan kesaktiannya telah menggegerkan rimba persilatan
tanah Jawa itu. Tapi Jatilegowo tetap nekad. Apalagi dia tahu bahwa Wiro-lah
yang telah membuat tanda bekas kecupan di leher istri mudanya. Maka Jatilegowo
perintahkan pasukannya untuk menyerbu Kadipaten Temanggung.
Wiro
masih mau memberi nasihat agar Jatilegowo membawa pasukannya kembali ke
Salatiga. Ketika Adipati ini masih tetap keras kepala maka bersama Bujang Gila
Tapak Sakti Wiro menggembosi ilmu "Dua Gunung Meroboh Langit" yang
dimiliki Jatilegowo. Bahkan tidak cuma sampai di sana. Dengan ilmu
"Menahan Darah Memindah Jazad" yang didapatnya di Negeri
Latanahsilam, Wiro seenaknya memindahkan hidung Andipati Jatilegowo ke kening.
Dalam keadaan babak belur habis-habisan serta dihina demikian rupa Jatilegowo
bersama pasukannya akhirnya tinggalkan Kadipaten Temanggung.
"Pemuda
jahanam! Turunkan Nyi Lara! Lalu datang berlutut di hadapanku untuk menerima
kematian!"
Bentakan
Jatilegowo tidak membuat takut Loh Gatra. Pemuda ini malah menjawab dengan
suara tak kalah keras.
"Pelajaran
dari Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti rupanya tidak membuatmu jera! Kau
masih berkeliaran meneruskan niat kejimu! Nyi Lara tidak suka padamu! mengapa
memaksa malah menculiknya! Kebejatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau telah
membunuh kakekku!"
"Pemuda
keparat! Bagus kalau kau sudah tahu kalau kakekmu telah jadi bangkai! Sebentar
lagi kau akan segera menyusul kakekmu itu! Kau mencampuri urusanku telah
kelewat jauh. Turunkan Nyi Lara! Atau kalian berdua akan kubantai
sekaligus!"
Loh Gatra
tidak takut ancaman Jatilegowo terhadap dirinya. Tapi jika Nyi Larasati sampai
cidera, itu yang dikawatirkannya. Karenanya pemuda ini segera baringkan tubuh
Nyi Larasati di bawah sebatang pohon.
"Bagus!
Sekarang datang ke hadapanku untuk menerima kematian!" kata Jatilegowo
begitu Loh Gatra selesai membaringkan tubuh Nyi Lara di tanah.
Loh Gatra
balikkan badan. Begitu dia menghadapi Jatilegowo di tangan kanannya pemuda ini
telah menggenggam sebilah keris terbuat dari perak murni, memancarkan cahaya
terang berkilauan. Inilah Keris Tumbal Bekisar, pemberian Ki Sarwo Ladoyo
kakeknya. Dulu ketika bertempur melawan Jatilegowo, kalau tidak memegang
senjata bertuah ini Loh Gatra niscaya menemui ajal dihantam pukulan "Dua
Gunung Meroboh Langit." Loh Gatra menyaksikan sendiri bagaimana Pendekar
212 Wiro sableng dan temannya si gendut Bujang Gila Tapak Sakti memusnahkan ilmu
pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit" yang dimiliki Jatilegowo. Karena
itu dia yakin kali ini dia akan dapat menghadapi Adipati Salatiga itu,
menyelamatkan Nyi Larasati dan sekaligus menuntut balas atas kematian kakeknya.
Si pemuda sayangnya tidak tahu, walau Jatilegowo tidak lagi memiliki ilmu
pukulan maut "Dua Gunung Meroboh Langit", namun dia kini membekal
sebilah senjata sakti mandraguna yang kehebatannya lebih dahsyat dari ilmu
pukulan itu.
Jatilegowo
sunggingkan senyum mengejek.
"Ternyata
kau masih menyimpan senjata rongsokan itu! Kau mau membunuh aku dengan keris
itu?! Silakan maju! Cari bagian tubuhku paling empuki"
Dengan
sikap menantang tapi air muka merendahkan Jatilegowo buka dada bajunya lalu
tangannya dilambaikan memberi isyarat agar Loh Gatra mendekat.
Diejek
dan dianggap enteng seperti itu Loh Gatra jadi terpancing marah. Tenaga dalam
dialirkan ke tangan kanan hingga pancaran cahaya Keris Tumbai Bekisar tambah
terang.
"Lihat
serangan!" teriak Loh Gatra. Tubuhnya melesat ke depan. Keris Tumbal
Bekisar lenyap, berubah menjadi cahaya kemilau, membeset ke arah dada lalu
membabat ke atas mengincar tenggorokan! Inilah jurus yang disebut "Bekisar
Menyabung Gunung Menghujat Matahari".
"Loh
Gatra! Jurusmu hanya pantas untuk menyerang anak kecil!" teriak Loh
Jatilegawa lalu sambil tertawa bergelak dia mundur dua langkah. Begitu serangan
keris lewat dia gerakkan tangan kanan untuk memukul hancur sambungan siku kanan
lawan. Tapi Loh Gatra cepat merubah kedudukan kakinya, dengan tubuh dimiringkan
dia kembali membabatkan Keris Tumbal Bekisar. Suara angin menggidikkan menderu
dahsyat keluar dari ujung runcing dan badan keris. Kali Ini yang diarah adalah
lambung Jatilegowo hingga manusia tinggi besar ini berseru kaget dan cepat
melompat selamatkan perutnya.
Loh Gatra
tak mau memberi kesempatan. Jurus "Bekisar Menyabung Topan" yang tadi
gagal diteruskannya dengan jurus "Bekisai Menyabung Dinding Karang."
Keris di tangan Loh Gatra bergetar demikian rupa hingga kelihatan seolah
berubah menjadi enam buah, menderu ganas dari pinggang kiri ke arah dada kanan,
begitu tidak mengenai sasaran membalik dari bahu kanan ke arah leher!
"Hebat!"
teriak Jatilegowo. Dia kembangkan tangan kirinya untuk menangkis serangan maut
Keris Tumbal Bekisar.
"Wuuutt!"
"Craasss!"
Keris
Tumbal Bekisar menancap tepat di pertengahan telapak tangan kiri Jatilegowo.
Ketika keris itu dicabut darah langsung menyembur. Anehnya walau cidera begitu
rupa Jatilegowo seperti tidak merasakan apa-apa. Ingat peristiwa sewaktu
dirinya diserang oleh mahluk aneh peliharaan Sarontang? Walau dua lengannya
koyak besar berlumuran darah namun dia tidak merasakan apa-apa. Ini adalah
berkat kesaktian Badik Sumpah Darah yang seolah telah menyatu dengan tubuhnya.
Sementara
Loh Gatra terkesima melihat sikap lawan, dengan tenang Jatilegowo keluarkan
Badik Sumpah Darah. Senjata ini kemudian diusapkannya ke telapak tangan
kirinya. Serta merta luka bekas tusukan keris di telapak tangan itu sirna
bahkan darah yang mengotori tangan Jatilegowo ikut lenyap.
"Luar
biasa! Ilmu apa yang dimiliki Adipati jahanam ini!" membatin Loh Gatra.
"Dia mampu menahan sakitnya luka! Badiknya mampu menyembuhkan
cidera!"
Di
hadapan Loh Gatra Jatilegowo tertawa mengekeh.
"Aku
minta agar kau memilih bagian tubuhku paling empuk! Kau cuma menusuk telapak
tanganku! Ha… ha… ha! Sekarang giliranku mencari bagian tubuhmu yang lunak!
Lihat badik!"
Habis
berkata begitu Jatilegowo menerjang sambil babatkan Badik Sumpah Darah. Sinar
biru kehitaman berkiblat angker disertai deru menggidikkan.
Loh Gatra
maklum kalau senjata di tangan lawan bukan senjata sembarangan. Dia cepat
menyingkir ke kiri sambil susupkan Keris Tumbal Bekisar di arah bawah tangan
lawan. Ujung keris mengarah tepat ke jantung Jatilegowo. Yang diserang
menyeringai sinis dan keluarkan suara mendengus. Tiba-tiba tubuh besar
Jatilegowo melesat ke atas. Tapi setengah jalan tubuh yang melayang itu menukik
ke bawah. Badik Sumpah Darah membabat ganas ke arah kepala Loh Gatra.
Jurus
"Bekisar Menyusup Mega" yang dilancarkan Loh Gatra ke arah jantung
Jatilegowo disambut lawan dengan jurus "Badik Sakti Menebas Genta".
Sebenarnya
saat itu serangan Loh Gatra maupun Jatilegowo masih bisa dielakkan oleh
masing-masing pihak. Namun tidak terduga tumit kanan Loh Gatra terserandung
akar pohon yang menyembul di permukaan tanah. Walau hanya
Sebentar
dia kehilangan keseimbangan namun Jatilegowo tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Badik di tangan kanan Adipati Salatiga ini berkelebat ganas ke arah muka cucu
Ki Sarwo Ladoyo!
Dalam
keadaan seperti itu tidak ada kemungkinan bagi Loh Gatra untuk selamatkan diri
dengan cara mengelak atau singkirkan dari serangan lawan yang datang cepat luar
biasa. Satu-satunya jalan untuk cari selamat ialah dengan cara menangkis badik
lawan dengan keris di tangan.
"Traang!"
Dua
senjata sakti saling bentrokan di udara. Dua cahaya biru kehitaman dan putih
berkilauan bersabung. Bunga api memercik berpijaran.
Loh Gatra
keluarkan seruan tertahan. Dengan muka pucat pemuda ini melompat setengah
tombak ke belakang. Ketika dia memperhatikan, dalam genggaman tangan kanannya
hanya tinggal gagang dan sedikit sisa badan keris. Keris Tumbal Bekisar telah
buntung dibabat Badik Sumpah Darah. Buntungannya mencelat mental entah ke mana!
Selagi Loh Gatra terkesiap begitu rupa didahului bentakan menggeledek tiba-tiba
Jatilegowo kembali menyerang.
Dengan
mengandalkan tangan kosong tak mungkin Loh Gatra mampu menghadapi lawan. Lalu
senjata apa yang akan dipergunakan? Dia tak punya senjata lain selain Keris
Tumbal Bekisar yang kini telah buntung dan berubah hitam.
Untuk
sedikit menghalangi serangan lawan Loh Gatra lemparkan gagang keris yang masih
ada dalam genggamannya lalu secepat kilat dia melompat mematah cabang sebatang
pohon kecil. Dengan cabang pohon sebagai senjata, Loh Gatra berjibaku coba
menyambut serangan Jatilegowo.
Ganda
tertawa Jatilegowo babatkan Badik Sumpah Darah.
"Kraakk!
Kraaakk!"
Beberapa
kali kena dibabat badik sakti, cabang pohon yang dijadikan senjata untuk
bertahan oleh Loh Gatra habis dibabat buntung. Kini cabang itu hanya tinggal
dua jengkal panjangnya!
"Celaka!"
keluh Loh Gatra. Pemuda ini terpaksa melangkah mundur ketika Jatilegowo
mendatanginya dengan Badik Sumpah Darah terpentang angker di tangan kanan.
"Wuuuttt!"
Serangan
pertama berhasil dielakkan Loh Gatra.
"Wuttt!"
Loh Gatra
masih mampu selamatkan diri dari sambaran badik berikutnya yang semakin dekat.
Ketika
serangan ke tiga dilancarkan Jatilegowo, dengan berlindung di balik kuda
miliknya Loh Gatra masih bisa bertahan.
"Jahanam!
Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" gertak Jatilegowo. Lalu saking
kesalnya Adipati Salatiga ini tusukkan badik saktinya ke lambung kuda yang
dijadikan tameng perlindungan oleh Loh Gatra.
Kuda
besar warna coklat ini meringkik krias dua kali berturut-turut. Dua kaki
depannya tersentak naik ke atas. Dari mulutnya keluar busa kuning. Sekali lagi
binatang ini meringkik lalu tubuhnya terhempas ke tanah. Empat kaki
melejang-lejang beberapa kali lalu akhirnya diam.
Kuda
malang ini menemui ajal dengan sekujur kulit sampai ke bulunya berubah menjadi
hitam akibat racun luar biasa jahat dari Badik Sumpah Darah! Racun badik yang
berasal dari Pohon Tuba berusia ratusan tahun itu memang luar biasa. Kalau kuda
sebesar itu saja bisa dibuat meregang nyawa demikian rupa, dapat dibayangkan
bagaimana kejadiannya dengan tubuh manusia!
Pada saat
kuda coklat besar miliknya roboh ke tanah Loh Gatra melompat ke balik pohon
besar. Dengan cepat dia menyambar tubuh Nyi Larasati untuk dibawa lari. Namun
baru sempat membungkuk, belum lagi tangannya menyentuh tubuh janda itu
tiba-tiba seseorang berkelebat di sampingnya dan satu tendangan keras melanda
pinggulnya.
Tak ampun
lagi Loh Gatra terlempar sampai satu tombak, terguling-guling di tanah. Tulang
pinggulnya sakit bukan kepalang, mungkin remuk. Ketika susah payah dia berusaha
bangkit berdiri, tiba-tiba satu sosok tinggi besar melompat dihadapannya.
Itulah Jatilegowo yang tegak menghunus Badik Sumpah Darah. Seringai maut
bermain di mulutnya.
"Loh
Gatra! Kau bakal menunggang bangkai kudamu pergi ke neraka menyusul kakekmu!
Ha… ha… ha!"
"Kau
mau bunuh aku! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" teriak Loh Gatra sambil
tangan kanannya bergerak ke pinggul seperti mengurut bagian yang cidera terkena
tendangan. Tapi sebenarnya tangan itu menyusup ke balik pinggang pakaian di
mana terselip sebuah senjata rahasia terbuat dari besi putih berbentuk bintang.
Ketika tangan itu bergerak, satu cahaya putih menderu di udara.
Jatilegowo
berseru kaget dan marah sekali ketika melihat ada benda melesat ke arahnya.
"pembokong
jahanam!" maki Jatilegowo. Dia cepat miringkan kepala ke kiri. Tapi tak
urung saiah satu mata bintang senjata rahasia yang dilemparkan Loh Gatra masih
sempat menyerempet daun telinganya sebelah kanan hingga luka dan mengucurkan
darah.
Didahului
bentakan marah yang sekaligus merupakan teriakan kesakitan Jatilegowo melompat
sambil babatkan Badik Sumpah Darah ke arah leher Loh Gatra. Cucu Ki Sarwo
Ladoyo itu tak mampu membuat gerakan menyelamatkan diri atau menangkis. Pemuda
ini hanya berdiam diri seperti pasrah.
Hanya
sesaat lagi ujung badik beracun akan membabat batang leher Loh Gatra tiba-tiba
satu bayangan putih berkelebat. Satu tangan mendorong bahu Jatilegowo hingga
sosok tinggi besar Adipati Salatiga ini terjajar ke samping. Ujung badik maut
lewat seujung kuku di depan leher Loh Gatra!
*********************
6
ADIPATI
Jatilegowo berteriak marah. Sambil membabatkan Badik Sumpah Darah dia berbalik.
Bayangan putih yang tadi mendorongnya cepat melompat mundur. Dua tangan
dipentang ke depan. Saat itu juga udara di tempat itu terasa dingin luar biasa.
"Jahanam!
Kau rupanya!" teriak Jatilegowo ketika melihat siapa yang berdiri
cengengesan di depannya sambil mengipas-ngipaskan kopiah hitam ke mukanya yang
bulat gembrot, merah keringatan.
"Jahanam!
Kau rupanya! Sama!" Orang itu keluarkan ucapan meniru bentakan Jatilegowo
lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya ini membuat gelombang udara dingin
seperti mencucuk. Jatilegowo kertakkan rahang berusaha bertahan. Loh Gatra
terbungkuk-bungkuk, sekujur tubuh menggigil. Sementara Nyi Larasati yang
terbujur kaku di bawah pohon juga merasa ada udara dingin menyelimuti hingga
janda cantik ini bergeletar sekujur tubuhnya.
Di
hadapan Jatilegowo saat itu berdiri seorang pemuda gemuk luar biasa, rambut
gondrong. celana hitam komprang, baju terbalik dan sehelai kain sarung butut
melintang di atas bahunya. Di tangan kanannya si gendut ini memegang sebuah
peci hitam yang dikipas-kipaskan ke wajahnya yang keringatan. Aneh, sementara
semua orang kedinginan dia sendiri kepanasan dan keringatan. Padahal udara
dingin yang menyungkup seantero tempat itu adalah hasil perbuatannya!
"Gendut
jahanam! Kau memang masuk dalam daftar kematian manusia-manusia keparat yang
akan kubunuh! Berani datang sendiri, hingga aku tidak susah-susah
mencari!"
"Bujang
Gila Tapak Sakti…." ujar Loh Gatra yang mengenali siapa adanya si gendut.
Dia merasa bersyukur atas kemunculan pemuda yang telah menyelamatkan dirinya
dari tangan maut Jatilegowo. Dia lantas ingat bagaimana bersama Pendekar 212
Wiro Sableng dulu bukan saja Adipati Salatiga itu telah dipermainkan, malah
digembosi ilmu kesaktiannya. Dan di saat itu pula Loh Gatra ingat, bukankah
Pendekar 212 waktu itu secara aneh telah memindahkan hidung Jatilegowo ke
keningnya? Bagaimana sekarang cacat wajahnya itu pulih dan hidungnya kembali
berada di tempat semula?
Jatilegowo
sendiri juga ingat, pemuda gendut inilah dulu yang mempermalukannya
habishabisan, menggembosi kesaktiannya hingga dia kehilangan ilmu pukulan
hebat yang disebut "Dua Gunung Meroboh Langit." Tidak heran kalau
Jatilegowo sangat mendendam dan inginkan kematian Bujang Gila Tapak Sakti
sebagaimana dia juga ingin membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Eh!"
seru Bujang Gila Tapak Sakti sambil menuding Jatilegowo. "Dulu kawanku
memindah hidungmu ke jidat! Sekarang mengapa tampangmu bisa bagus kembali?
Tukang solder mana yang pandai mendadani tampangmu?! Kalau aku bisa bertemu dia
akan kuminta memindahkan kemaluan kuda yang mati itu ke atas hidungmu biar
tampangmu tambah bagus!" Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti
tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang buncit
berayun-ayun.
Amarah
Jatilegowo dihina seperti itu jadi meledak. Asap tipis mengepul dari
ubun-ubunnya.
Tangannya
yang memegang Badik Sumpah Darah bergetar. Tanpa banyak bicara, didahului suara
menggembor keras Jatilegowo melompat ke arah si gendut. Badik sakti berkiblat
di udara.
"Wah,
marah dia rupanya!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar, peci kupluk
hitam di tangan kanan cepat disungkupkannya ke kepala. Lalu tangan kanannya
diangkat ke atas, telapak mengembang terbuka diarahkan pada Jatilegowo.
Satu
gelombang angin dingin luar biasa menggempur Adipati Salatiga itu. Sesaat
tubuhnya mengambang di udara, tertahan tak bisa maju. Tapi begitu tangan
kanannya membabatkan Badik Sumpah Darah ke depan dan selarik sinar biru
kehitaman berkiblat, gelombang hawa dingin yang menahan gerakan serangannya
serta merta terbelah buyar!
Bujang
Gila Tapak Sakti berseru kaget ketika merasakan hawa dingin yang dilepasnya
jebol bahkan bergerak membalik menyerangnya. Dengan cepat dia kibaskan tangan
kiri. Serangan hawa dingin terpental ke samping. Baru saja dia selamat dari
gelombang dahsyat miliknya sendiri tiba-tiba senjata di tangan lawan telah
membeset di depan kepalanya!
"Edan!"
maki Bujang Gila Tapak Sakti. Tubuhnya yang gendut luar biasa, enteng sekali
melesat beberapa langkah ke belakang. Tahu bahaya dan ganasnya Badik Sumpah
Darah, pemuda gendut ini cepat loloskan sarung bututnya. Dengan sarung ini dia
hadapi serangan ganas senjata lawan yang datang bertubi-tubi.
Jatilegowo
kerahkan seluruh tenaga dan menyerang dengan segala kecepatan yang bisa
dilakukan. Sambaran angin yang keluar dari sa-rung di tangan si gendut menahan
atau membuat mental setiap serangannya.
"Jahanam!
Masakan hanya sehelai sarung butut dan bau sanggup mengalahkan badik
saktiku!" maki Jatilegowo dalam hati. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam,
genggam badik lebih erat lalu lancarkan serangan berantai laksana curahan
hujan. Udara tertutup oleh larikan sinar biru kehitaman yang sabungmenyabung
mengurung sosok gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
"Breett!"
Satu
tusukan kilat selagi sarung berkelebat di udara membuat sarung itu robek besar.
Bujang Gila Tapak Sakti terkesiap dan maklum kalau senjata di tangan lawannya
benar-benar tidak bisa dibuat main. Maka dia berseru pada pemuda bernama Loh
Gatra.
"Loh
Gatra! Lekas tinggalkan tempat ini. Selamatkan Nyi Larasati!"
Mendengar
teriakan si gendut, Loh Gatra segera melompat ke arah pohon. Namun gerakannya
tak terduga dipotong oleh Jatilegowo. Badik Sumpah Darah kembali berkiblat,
membeset udara, mencari sasaran di dada Loh Gatra. Maksud si pemuda hendak
mendekati sosok Nyi Larasati yang terbaring di bawah pohon gagal. Malah dadanya
tak urung hampir dikoyak sambaran senjata maut di tangan Jatilegowo.
"Edan!"
kembali Bujang Gila Tapak Sakti memaki. "Senjata di tangan Adipati keparat
itu harus bisa kurebut!" Lalu si gendut menerobos menghadang serangan
Jatilegowo kembali dengan mempergunakan kain sarung. Dalam amarahnya Jatilegowo
membabat habis-habisan. Terdengar suara bret-bret berulang kali. Robekan kain
sarung bertebaran di udara. Sesaat kemudian, kain sarung di tangan si gendut
hanya tinggal seukuran kecil sebesar sapu tangan!
"Hah?!"
Bujang Gila Tapak Sakti pelototkan matanya yang belok. "Benar-benar
edan!" Si gendut palingkan kepala ke arah Jatilegowo.
"Adipati,
aku minta badik saktimu! Atau aku pecahkan kepalamu!"
"Babi
gendut! Jangan cuma mengancam! Buktikan ucapanmu!" ejek Jatilegowo dengan
suara lantang.
"Begitu?!"
ujar Bujang Gila Tapak Sakti. Dia tanggalkan kopiah hitam kupluk di kepala,
berkipas-kipas beberapa kali lalu bett! Tubuh gendutnya berkelebat lenyap dan
mendadak terdengar seruan kaget Jatilegowo ketika tibatiba lengannya yang
memegang badik dicekal orang dari samping.
Tahu
bahaya Jatilegowo hantamkan tangan kirinya.
"Bukkk!"
Pukulan
kilat tak terduga itu memang mengenai sasaran yakni dada gembrot Bujang Gila
Tapak Sakti, tapi sebaliknya bukkk! Kening Jatilegowo juga kena dihantam
pukulan tangan kanan si gendut!
Jatilegowo
melintir kesakitan. Kepalanya seperti pecah. Pemandangannya berkunang gelap. Di
keningnya kelihatan satu benjolan besar. Di sebelah bawah benjolan ada luka
cukup besar mengucurkan darah. Walau cidera cukup berat begitu rupa tapi dia
berhasil selamatkan Badik Sumpah Darah yang hendak dirampas lawan. Dengan
senjata ini dia cepat usap keningnya. Benjolan besar serta luka yang
mengucurkan darah serta merta lenyap.
Bujang
Gila Tapak Sakti sendiri tegak setengah tertegun melihat kehebatan badik di
tangan lawan. Sambil usap-usap dadanya yang kena dihajar orang dia berkata
dalam hati.
"Heran,
kerbau saja jika kupukul seperti itu akan pecah kepalanya. Ilmu apa yang
didapat Adipati keparat itu setelah menghilang beberapa bulan. Badik di
tangannya itu bukan saja merupakan senjata berbahaya tapi juga punya kemampuan
pengobatan luar biasa. Aku harus berjibaku dapatkan senjata itu!"
Bujang
Gila Tapak Sakti sungkupkan peci kupluknya di atas kepala. Dengan tangan kosong
dia kembali menyerbu Jatilegowo. Setiap serangan yang dilancarkannya dia selalu
kerahkan tenaga dalam tinggi yang membawa alur gelombang sangat dingin.
Jatilegowo memang sempat dibuat terdesak beberapa jurus, namun untuk
benar-benar mampu menembus pertahanan lawan sulit dilakukan Bujang Gila Tapak
Sakti. Badik di tangan Jatilegowo menjadi satu kendala luar biasa. Malah
memasuki jurus-jurus selanjutnya si gendut ganti terdesak. Di satu saat ketika
keadaannya terdesak hebat Bujang Gila Tapak Sakti terpaksa keluarkan pukulan
Dua Puncak Mahameru Murka. Dua gelombang angin luar biasa dingin yang
memancarkan cahaya seputih salju menderu ke arah Jatilegowo.
Adipati
Jatilegowo ini merasakan tubuhnya seperti ditindih dua gunung es. Lututnya
goyah, kepalanya laksana leleh. Dia cepat kerahkan tenaga. Ketika sosoknya
hampir jatuh terduduk di tanah, satu hawa hangat keluar dari dalam Badik Sumpah
Darah, menjalar ke dalam tubuhnya. Pada saat kekuatannya pulih kembali,
Jatilegowo melesat ke udara. Mulut keluarkan bentakan garang dan tangan kanan
membabat ke atas.
"Dess!
Desss!"
Dua
letupan yang tidak keras tapi memijarkan cahaya berapi mencuat di udara. Jatilegowo
terpental satu tombak, jatuh berlutut di tanah. Mulutnya menggumam darah.
Sementara Bujang Gila Tapak Sakti terguling menggelinding. Sosok gemuk ini
tiba-tiba melenting ke udara, lalu brukkk! Jatuh duduk menjelepok di tanahl Di
depannya Adipati Jatilegowo usapkan badik sakti di atas dada. Seperti tidak
menderita cidera apa-apa sosoknya kemudian bangkit berdiri lalu dengan Badik
Sumpah Darah terhunus di tangan dia melangkah mendekati si gendut yang saat itu
megap-megap berusaha mengatur jalan darah dan pernafasan.
"Jangan
bunuh dia!" teriak Loh Gatra sambil memburu, berusaha menghadang
Jatilegowo.
"Kalian
berdua sudah ditakdirkan mampus bersama!" kertak Jatilegowo. Lalu senjata
di tangan kanannya ditusukkan ke dada Loh Gatra. Pemuda ini masih mampu
mengelak. Namun ketika Jatilegowo mengejar, memburunya dengan serangan kedua,
Loh Gatra tak sanggup selamatkan diri. Sewaktu Jatilegowo angkat tangan
kanannya dan siap menghunjamkan senjata maut itu ke tubuh si pemuda tiba-tiba
satu bayangan berkelebat di balik pohon besar. Lalu terdengar suara derap kaki
kuda menghambur.
"Loh
Gatra! Nyi Larasati diculik orang!" teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Loh Gatra
terkesiap kaget. Jatilegowo juga tersentak. Loh Gatra mengejar ke arah pohon,
tapi dia tidak melihat apa-apa kecuali dapatkan sosok Nyi Larasati memang tak
lagi di tempat itu. Jatilegowo yang sebelumnya hendak menghabisi Loh Gatra dan
Bujang Gila Tapak Sakti jadi lupa rencana. Dia lebih mementingkan mengejar si
penculik Nyi Larasati. Maka tanpa perdulikan kedua orang itu dia segera
berkelebat mengejar ke arah lenyapnya suara derap kaki kuda.
Jatilegowo
boleh dikatakan cukup mengenal seluk beluk daerah itu. Melalui jalan memotong
dia mampu melakukan pengejaran dengan cepat. Namun di satu tempat tiba-tiba
terdengar beberapa kali suara letusan. Tahu-tahu kawasan di mana dia berada
telah tertutup kabut tebal, membuat Adipati itu tenggelam dalam kegelapan, tak
sanggup melanjutkan pengejaran.
Untuk
beberapa lamanya Jatilegowo terpaksa berdiam diri, tegak menunggu. Begitu kabut
tebal surut dan akhirnya lenyap, pertama sekali yang dilihatnya adalah sebuah
pecahan benda bulat di tanah borbentuk manggis terbelah. Jatilegowo ambil benda
ini, memperhatikan dengan seksama. Dia mengenali.
"Sarontang
keparat! Dia lagi! Aku pernah melihat benda ini di tempat kediamannya. Ini
salah satu senjata rahasia miliknya, jahanam! Kabut Penyesat Mata."
Jatilegowo menggeram marah. Pelipisnya bergerak-gerak. Dia cabut Badik Sumpah
Darah yang tersisip di pinggang. Letakkan senjata sakti mandraguna ini di atas
keningnya. Lalu mulutnya berucap.
"Darah
Sarontang menjadi reguk minumanmu. Nyawanya menjadi hias tumbal dirimu. Bantu
aku mengejar manusia jahanam itu!"
Setelah simpan
kembali Badik Sumpah Darah di balik pinggangnya Jatilegowo segera tinggalkan
tempat itu. Kira-kira lari sepcminuman teh ke arah timur, di satu tempat
tiba-tiba dia mendengar suara orang mengerang. Ingin tahu dan ingin melihat
siapa adanya oiang itu Jatilegowo menyelinap ke balik serumpunan semak belukar.
Dia mendengar suara an menggericik. Semak belukar disibakkan, pertama sekali
dia melihat sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur ke sebuah telaga kecil
berbatu-batu. Lalu di tepi telaga, duduk bersandar ke sebuah batu besar
dilihatnya seorang nenek berdandan menor. Sepasang alis kereng hitam, gincu
tebal menutupi bibir, pipi yang keriput diberi merah-merah. Nenek ini duduk
sambil tiada hentinya mengerang kesakitan. Dia pegangi tangan kanannya yang buntung
dengan tangan kiri. Sesekali dia mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok
ini dia menciduk air telaga yang sejuk lalu mengguyur tangannya yang buntung.
Jatilegowo
keluar dari balik semak-semak.
"Nek,
siapa kau. Mengapa berada di tempat ini dan apa yang terjadi dengan dirimu.
Buntung di tanganmu aku lihat masih baru…."
Sepasang
mata si nenek berputar melirik. Ketika melihat yang menegur seorang lelaki
tinggi besar, dengan kumis melintang berkilat menghiasi wajahnya yang jantan
garang, cahaya genit membayang di mata si nenek. Dia mendehem beberapa kali
lalu berkata.
"Orang
gagah berkumis tebal melintang, apa matamu sudah lamur? Hari masih begini
siang, terang benderang. Kau memanggil aku nenek. Buka matamu
lebar-lebar."
Jatilegowo
hendak tertawa bergelak. Tapi ditahannya. Dia berkata. "Aku belum buta!
Yang aku lihat memang seorang tua bangka berdandan…." Jatilegowo hentikan
ucapannya. "Astaga!" Dia kucak-kucak matanya berulang kali. Orang
yang tadi dilihatnya sebagai nenek buntung berdandan tak karuan kini tampak
berupa seorang gadis berwajah cantik jelita dan tangan sempurna, berpakaian
sangat tipis hingga tembus pandang, memandang ke arahnya penuh daya tarik
mengundang.
"Panas
begini terik, kau barusan saja dari satu perjalanan jauh. Dari wajahmu aku bisa
melihat ada satu perkara besar yang tengah kau hadapi. Untuk melepas lelah dan
bertutur sapa membagi duka serta pengalaman, mengapa kau tidak duduk di
sampingku?" Habis berkata begitu gadis jelita itu menggeser duduknya,
sengaja memberi tempat bagi Jatilegowo.
"Rejeki
besar, gadis ini ternyata tidak kalah cantiknya dengan Sri Kemuning, istri
mudaku. Juga tak kalah dengan kejelitaan Nyi Larasati. Tempat begini sepi,
udara begini sejuk. Hanya aku berdua dengan dia."
Jatilegowo
tersenyum lebar, usap-usap dagunya. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia duduk di
samping si gadis.
"Tubuhku
memang letih, aku memang dalam satu perjalanan jauh. Dan aku memang tengah
menghadapi satu perkara besar. Sungguh luar biasa. Gadis semudamu ini bagaimana
bisa mempunyai kepandaian menduga apa yang terjadi dan dialami seseorang
seperti yang barusan kau ucapkan?"
Sang dara
tersenyum manis.
"Raut
air muka di wajahmu yang gagah tak bisa ditutupi. Semua orang akan bisa
menduga, bukan cuma diriku." Si gadis bicara merendah, membuat Jatilegowo
tambah tertarik.
"Hari
begini panas, pakaian dan tubuhku kotor. Keringat kering di badan. Air telaga
itu tampak begitu sejuk. Ingin sekali rasanya aku terjun dan mandi."
"Aneh,"
ucap si gadis.
"Apa
yang aneh?" tanya Jatilegowo.
"Perasaan
kita sama. Dari tadi aku ingin mandi menyejukkan diri dalam telaga. Tapi mandi
sendirian apa nikmatnya? Orang gagah, apakah kau mau menemani aku mandi?"
Jatilegowo
tertawa lebar. Tubuhnya mendadak terasa panas. Sang dara dilihatnya kedipkan
mata. Lalu terdengar suaranya penuh manja.
"Orang
gagah mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."
Darah di
tubuh Jatilegowo semakin panas dan semakin cepat mengalirnya. Lelaki ini memang
sudah cukup lama tidak berdekatan dengan perempuan. Karenanya tidak tunggu
lebih lama dia segera lakukan apa yang diminta si gadis. Tangannya dengan cepat
melepas tali-tali kecil pengikat bajunya. Sesaat kemudian, ketika punggung dan
dadanya tersingkap putih, tiba-tiba terdengar suara orang berkata.
"Nyi
Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi mencari obat untuk
menyembuhkan luka buntungan tanganmu! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan
lelaki lain! Sungguh keterlaluan!"
Suara
ucapan orang membuat si gadis yang telah terbuka setengah pakaiannya menjadi
terkejut dan palingkan kepala. Saat itu juga wajah dan tubuhnya kembali berubah
ke bentuk aslinya yakni sosok seorang nenek-nenek bertangan buntung!
*********************
7
KITA
kembali dulu pada peristiwa setelah terjadi pertempuran hebat antara tokoh
golongan putih dengan Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai di Bukit Menoreh (Baca
Episode sebelumnya berjudul "Tahta Janda Berdarah")
Satu
sosok tinggi hitam dengan kepala ditancapi empat buah tusuk konde berlari
secepat kilat dalam gelapnya malam, meninggalkan bayangan angker di sebelah
belakang, seolah dirinya setan yang tengah gentayangan di malam buta.
Sebelumnya di kepala itu ada lima tusuk konde. Namun satu di antaranya telah
dipergunakan untuk menghantam Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai yang melarikan
diri.
"Nyi
Ragil…. Kau telah membunuh saudara Tua Gila. Aku tidak akan membiarkan dirimu
tenteram seumur hidup. Ke mana pun kau pergi akan kukejar."
Orang
yang berlari tidak tahu sudah sejauh mana dia meninggalkan Bukit Menoreh
melakukan pengejaran. Dia terperangah sendiri ketika di timur muncul cahaya
terang pertanda fajar telah menyingsing. Orang ini hentikan larinya. Saat
itulah dia baru sadar kalau sekujur dirinya sangat letih. Dia mendengar suara
kicau burung di sekitarnya. Lalu lapat-lapat ada suara riak air. Dia melangkah
ke arah suara ini hingga akhirnya menemui sebuah telaga kecil di tengah
kerapatan pepohonan dan semak belukar.
"Aku
capai sekali, haus… ingin mandi. Tapi apakah aku perlu mandi?! Hik.. hik…
hik!" Orang yang tertawa jatuhkan dirinya di tepi telaga. Lalu dia ulurkan
tangan untuk menciduk air, maksudnya mau meneguk air telaga lalu mencuci muka.
Tiba-tiba
entah dari mana datangnya, entah siapa yang bicara terdengar suara menggema.
Suara perempuan.
"Sinto
Gendeng, air telaga itu lebih suci dari dirimu yang penuh dosa. Jangan kau
berani menyentuhnya. Apa lagi minum dan dipakai mandi!"
Orang di
tepi telaga yang memang adalah Sinto Gendeng nenek sakti dari puncak Gunung
Gede, guru Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget. Kibaskan air telaga yang
sempat diciduknya lalu berdiri di tepi telaga sambil berkacak pinggang.
Sepasang matanya yang berada dalam rongga cekung berputar, memandang garang
seputar telaga.
"Mahluk
betina yang barusan bicara! Siapa kau? Mengapa berani bicara tidak berani
unjukkan diri?!"
"Kau
tidak cukup pantas melihat diri kami!" Ada jawaban, juga suara perempuan.
Dan tetap saja Sinto Gendeng tidak bisa mengetahui dari mana asalnya.
Nenek
sakti itu mendengus.
"Kami!
Huh! Jadi kalian berdua! Sama-sama tidak berani unjukkan tampang! Berarti
samasama jelek! Mungkin kalian berdua punya wajah bopeng. Atau hidungnya
gerumpung. Mungkin juga picak sebelah matanya! Hik… hik… hik!"
"Sinto
Gendeng, menjauh dari telaga!"
"Kurang
ajar!" Sinto Gendeng hentakkan kaki kanannya. Hentakan ini bukan gerakan
biasa tapi mengandung tenaga dalam tinggi luar biasa, apalagi disertai tawa
kemarahan. Tanah bergetar. Batu-batu dan tanah sekitar telaga berjatuhan ke
dalam air. Pohon-pohon besar keluarkan suara berderak. Dedaunan runtuh luruh
dan jatuh ke tanah.
"Manusia
penuh dosa, tidak ada gunanya memamerkan kehebatan tenaga dalam di hadapan
kami. Jika kami mau, tubuhmu bisa kami benamkan ke dalam tanah!"
"Oo
la la!" Sinto Gendeng mendongak lalu tertawa melengking. Diam-diam matanya
memandang berputar, telinga dipasang tajam. "Bicara sombong amat! Baik,
aku mau tahu bagaimana caranya kalian membenamkan diriku ke dalam tanah! Tapi
lebih dulu kalian berdua harus unjukkan tampang!"
Habis
berkata begitu Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya ke arah satu pohon besar
yang diperkirakan di situlah tempat dua orang yang tadi bicara mendekam.
Sinar
putih berkiblat. Hawa panas menghampar. Sesaat rimba belantara sekitar telaga
itu menjadi terang berderang. Lalu bummm! Wusss!
Pohon
besar yang kena dihantam Pukulan Sinar Matahari tenggelam dalam kobaran api
ialu kraakk! Pohon ini tumbang menggemuruh.
Dua tawa
cekikikan memenuhi gemuruhnya suara pohon yang tumbang.
"Sinto
Gendeng! Orang lain mungkin bisa kagum melihat kehebatan pukulan saktimu tadi.
Tapi kami berdua menganggap pukulan itu tidak ada apa-apanya!"
"Saudaraku,
dia minta memperlihatkan bagaimana cara kita membenamkan dirinya ke tanah.
Bagaimana menurutmu?"
"Tidak
ada salahnya kita penuhi permintaannya itu! Kau sudah siap?!"
"Sudah!
Mari!"
Di tepi
telaga Sinto Gendeng keluarkan caci maki panjang pendek. Tapi sambil memaki dia
siapkan dua pukulan sakti. Pukulan pertama berupa pukulan pertahanan yakni
Benteng Topan Melanda Samudera satunya pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Begitu dua orang tersebut unjukkan diri maka dia akan menghantam dengan dua
pukulan sakti itu. Malah diam-diam dia juga telah menyiapkan ilmu sakti
Sepasang Pedang Inti Roh di kedua matanya.
Tapi dua
orang yang ditunggu tidak kunjung muncul.
"Pengecut!"
teriak Sinto Gendeng.
Tiba-tiba
terdengar suara orang bernyanyi berpasangan. Satu suara tinggi, satunya suara
rendah. Dua-duanya suara perempuan.
"Tembang
Puspita Loro," desis Sinto Gendeng mengenali nyanyian itu. Tengkuknya
mendadak mengkirik. Tembang itu adalah nyanyian yang biasa dialunkan pada
saat-saat terjadi kedukaan. Misal pada saat ada seseorang meninggal dunia.
Selagi
Sinto Gendeng berusaha mencari-cari di mana adanya dua perempuan yang menyanyi
itu tiba-tiba dia merasa ada satu hawa aneh di sekeliling tubuhnya. Sesaat
kemudian satu kekuatan yang tidak kelihatan, laksana himpitan sebuah gunung,
menekan dirinya ke bawah.
"Jahanam!
Minta mati berani membokong licik!" Sinto Gendeng berteriak marah lalu
hantamkan dua tangannya ke atas. Namun pukulan sakti Benteng Topan Melanda
Samudera dan Segulung Ombak Menerpa Karang tidak mau keluar! Malah tekanan
berat yang datang dari atas semakin hebat. Dua kaki Sinto Gendeng mulai
bergetar lalu menekuk. Dia kerahkan tenaga dalam untuk bertahan akibatnya dess…
desss! Sepasang kakinya yang hitam tinggal kulit pembalut tulang melesat ke
dalam tanah!
Kejut
nenek sakti ini bukan alang kepalang. Dia pukulkan dua tangannya ke udara dalam
gerakan "Kipas Sakti Terbuka". Bersamaan dengan itu dia keluarkan
pula Ilmu Belut Menyusup Tanah untuk bisa loloskan diri dari tanah tempat
kakinya terbenam. Namun sia-sia saja. Setiap apa yang dilakukannya membuat
tubuhnya semakin melesak ke dalam tanah! Kini tubuhnya telah terbenam sampai
sebatas pinggul!
Sinto
Gendeng keluarkan keringat dingin. Seumur hidup nenek yang tidak pernah merasa
jerih ini untuk pertama kalinya merasa takut yang amat sangat. Makin jauh
terbenam ke dalam tanah, makin terasa lemas sekujur tubuhnya. Suara teriakan
dan makiannya yang tadi terdengar tidak berkeputusan kini lenyap. Dada si nenek
turun naik. Nafasnya megap-megap.
Tekanan
dari atas masih belum berhenti. Sosok Sinto Gendeng amblas sampai ke perut,
lalu lebih dalam lagi sampai ke dada.
"Kalian
siapa… kalian siapa? Apa dosaku sampai mengazab diriku seperti ini?"
Ucapan itu keluar berkepanjangan dari mulut Sinto Gendeng.
Suara dua
perempuan menyanyikan lagu Puspito Loro lenyap. Saat itulah berbarengan dengan
munculnya sang surya di ufuk timur dua sosok aneh muncul di permukaan telaga.
Sosok ini perwujudan dua perempuan tua berwajah sama, jernih bersih yang dari
rautnya menandakan di masa mudanya mereka merupakan gadis-gadis cantik. Rambut
mereka yang putih melambai-lambai ditiup angin pagi, berkilauan laksana perak.
Yang luar biasanya tubuh dua perempuan tua ini, mulai dari dada sampai ke kaki
berupa tubuh seekor naga berwarna putih. Sosok dua perempuan tua bertubuh naga
ini seolah-olah mengapung di tepian telaga. Entah dari mana datangnya kabut
mendadak muncul di permukaan air.
"Sinto
Gendeng," perempuan tua di sebelah kanan keluarkan ucapan. "Kami
sudah unjukkan diri. Apakah kau mengenali siapa adanya kami berdua?"
Sinto
Gendeng buka matanya lebar-lebar lalu gelengkan kepala. "Aku tidak
mengenali. Aku tidak tahu siapa kalian. Katakan… katakan siapa kalian."
"Kami
Sepasang Naga Putih Kembar. Aku bernama Naga Nini, adikku bernama Naga Nina.
Nah, kami sudah memperkenalkan diri. Apalagi yang hendak kau tanyakan."
"Kalian….
Meng… mengapa memendam diriku begini rupa. Apa dosaku dan kesalahanku…."
ujar Sinto Gendeng dengan suara gemetar.
"Kalau
ingin kami mengatakan, dosamu terlalu banyak Sinto Gendeng. Tapi dosamu
terakhir yang ada sangkut pautnya dengan diri kami adalah pembunuhan yang kau
lakukan terhadap seorang anak lelaki berusia lima belas tahun. Bernama Boma
Wanareja."
"Aahhhh….
Anak itu," ujar Sinto Gendeng dengan mata berputar liar. "Aku
membunuhnya secara tidak sengaja. Aku mengira dia orang yang telah membunuh
Datuk Mudo Carano Ameh, orang yang kusangka adalah Tua Gila Dari Andalas. Aku
tidak sengaja karena tidak tahu. Aku ketelepasan tangan dan seumur hidup aku akan
menyesali perbuatanku itu!"
Sepasang
Naga Putih sama-sama gelengkan kepala. Lalu seperti menyanyi tadi, sama-sama
pula keduanya berucap.
"Kau
tidak ketelepasan tangan Sinto. Kau juga bukan tidak sengaja. Sebelum menemui
ajal anak itu sempat berteriak bahwa dia bukan pembunuh Datuk Mudo Carano Amen.
Tapi karena sudah biasa gatal tangan membunuh sembarangan, kau tidak perdulikan
teriakan orang. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari! Sungguh keji!
Pukulan sakti yang sanggup menghancur gunung itu kau pakai untuk membunuh
seorang bocah tidak berdaya!"
Sinto
Gendeng keiuarkan suara menggerung mendengar kata-kata Sepasang Naga Putih.
"Kalian
berdua boleh saja tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah aku tidak punya niat
jahat membunuh anak itu!"
"Kematian
sudah terjadi! Anak yang mati tak mungkin dibuat hidup kembali! Dosamu tak
mungkin dilebur. Jadi saat ini pantas sekali kami membenamkan dirimu di
tanah!" Berkata Naga Nini.
Naga Nina
menyambung. "Sebenarnya kami ingin memendam tubuhmu di puncak Gunung Gede,
di samping makam Boma Wanareja. Namun ketika kami datang ke sana kau tengah
gentayangan ke mana-mana…."
"Aku
bukan gentayangan. Aku justru tengah mengejar Nyi Ragil, pembunuh sebenarnya
dari Datuk Mudo Carano Amen!" jawab Sinto Gendeng setengah berteriak.
"Sekali
pun Nyi Ragil punya tujuh nyawa dan kau membunuhnya sampai tujuh kali, Boma
tidak akan dapat hidup kembali…." ujar Naga Nini.
"Kalian…
kalian bukan manusia. Mahluk apa kailan aku tidak perduli. Tapi apa sangkut
paut kalian dengan Boma Wanareja?!"
"Kami
adalah Sepasang Naga pelindung anak itu. Ketika kejadian kau membunuh Boma,
kami baru saja menyelesaikan tapa di Gunung Wilis." Menerangkan Naga Nina.
Naga Nini
menyambungi. "Sekarang kau sudah tahu dosamu. Berarti kau harus menyadari
bahwa cukup pantas dirimu kami hukum dipendam dalam tanah begitu rupa!"
"Tidak
bisa! Kalian bukan Tuhan yang bisa menghukumku seenaknya!" teriak Sinto
Gendeng lantang.
Sepasang
Naga Putih tertawa panjang.
"Ketika
kau membunuhi musuh-musuhmu apa terpikir olehmu bahwa kau juga bukan Tuhan yang
bisa menghukum dan membunuh orang lain seenaknya?!"
"Jahanam!
Kalian berdua tidak lebih dari mahluk keji yang kesasar! Keluarkan aku dari
dalam tanah. Mari kita bertempur secara satria!"
Kembali
Sepasang Naga Putih tertawa.
"Selamat
tinggal Sinto Gendeng!" Naga Nini dan Naga Nina berucap lalu didahului
dengan menebarnya kabut putih, sosok kedua mahluk aneh itu lenyap dari tepian
telaga.
"Jahanam
pengecut!" teriak Sinto Gendeng karena dua mahluk pergi begitu saja tanpa
berani melayani tantangannya. Dia mengira dengan perginya Sepasang Naga Putih
dia akan bisa keluar dari pendaman. Tapi tetap saja sia-sia. Tekanan berat di
sebelah atas tidak kunjung lenyap, masih menindih kepala dan bahunya. Sinto
Gendeng pukuli kepalanya sendiri lalu menggerung keras.
Mengenai
riwayat/kisah Boma dapat pembaca ikuti dalam buku-buku serial Boma Gendenk :
Episode I Suka Suka Cinta Episode II ABG (Anak Baru Gendenk) Episode III
Tripping Episode IV Muridku Machoku
Pengarang
: BASTIAN TITO
Penerbit
: DUTA MEDIA
*********************
8
KEMBALI
kepada apa yang terjadi di kawasan samudera kekuasaan Nyi Roro Agung, di balik
tembok Karang Abadi, di belakang Pintu Gerbang Naga Biru. Seperti dituturkan
dalam akhir Bab Ke Empat ketika Pendekar 212 Wiro Sableng baru saja melesat
melewati pintu gerbang, patung batu yang membentuk sosok seekor naga berwarna
biru yang selama ratusan tahun mendekam di atas bangunan pintu gerbang
tiba-tiba seolah hidup, meluncur ke bawah. Air laut terbelah. Sosok Naga Biru
bergelung melingkari Nyi Kantili dan lima orang gadis jelita anak buahnya serta
Pendekar 212 Wiro Sableng. Kepala binatang ini tegak mendongak, matanya yang
merah memancarkan sinar maut, siap hendak menerkam siapa saja yang ada di bawah
sana.
Tiba-tiba
dari hidung dan mulut Naga Biru melesat cairan berwarna kebiru-biruan. Saat itu
juga air laut di sekitar tempat itu menebar bau harum semerbak. Di tempat lain,
dalam peristiwa lain keharuman ini akan mendatangkan rasa sejuk. Tapi yang
dirasakan Pendekar 212 saat itu justru adalah suasana angker menggidikkan,
suasana berbau kematian!
Tiba-tiba
ekor Naga Biru melenting ke atas. Air laut mencuat laksana kepulan asap.
Bersamaan dengan itu Naga Biru buka mulutnya lebar-lebar. Lalu dengan kecepatan
luar biasa, kepala itu melesat turun ke bawah. Nyi Kantili dan semua anak
buahnya keluarkan seruan tertahan. Mereka sudah membayangkan apa yang bakal
terjadi. Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng akan amblas masuk ke dalam mulut Naga
Biru, seterusnya ditelan masuk ke dalam perut.
Sesaat
lagi kepala dan tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut Naga Biru,
tiba-tiba binatang yang tadinya adalah batu mati ini rundukkan kepalanya hingga
dagu dan leher menyentuh dasar samudera. Sepasang matanya yang tadi bersinar
garang kini meredup sayu, sesekali dikedip-kedipkan. Kalau tadi mulutnya
mengeluarkan cairan aneh dan menimbulkan gelombang air laut yang dahsyat, kini
mulut itu terkatup rapat, mengeluarkan suara menggeru perlahan. Sikap binatang
raksasa ini berubah menjadi jinak. Ketika lidahnya diulurkan, lidah ini
dipergunakan untuk menjilat-jilat dua kaki Wiro.
"Nyi
Kantili, apa yang terjadi?!" salah seorang anak buah Nyi Kantili bertanya.
Bersama Nyi Kantili dan teman-temannya saat itu dia tegak ketakutan, merapat ke
pintu gerbang.
"Aku
tak bisa menduga," jawab Nyi Kantili. "Kalian semua tetap berlaku
waspada!"
Dijilati
kedua kakinya seperti itu membuat Wiro takut ada geli pun ada. Dia sampai
terlonjaklonjak menahan geli.
"Binatang
ini, apa maunya. Tadi begitu galak seperti mau menelanku. Sekarang mengapa jadi
begini jinak. Apakah…."
Belum
habis Wiro berucap dalam hati tibatiba Naga Biru angkat kepalanya ke arah
pinggang kiri Wiro di mana tersisip Kapak Maut Naga Geni
212.
Dengan mulutnya Naga Biru singkapkan pakaian Wiro. Begitu senjata sakti mandraguna
warisan Eyang Sinto Gendeng itu tersembul sang naga menjilat-jilatnya lalu
sekali mulutnya menyedot Kapak Maut Naga Geni 212 melesat masuk ke dalam
mulutnya.
"Astaga!
Kapakku ditelan!" Seru Wiro tercekat. Dalam bingung dia juga merasa
kawatir.
Bagaimana
dia bisa mendapatkan senjata itu kembali? Berkelahi melawan Naga Biru? mustahil
dia bisa menghadapi naga raksasa ir. Sekali tubuhnya dikibas atau ditelan
hidup-hidup, tamatlah riwayatnya.
Selagi
Wiro kebingungan Naga Biru dilihatnya letakkan kepala di dasar samudera, mata
dipejamkan dan dari mulutnya ada suara menggeru halus. Beberapa saat berlalu.
Tibatiba Naga Kuning angkat kepalanya kembali. Mata yang terpejam dibuka
merah. Mulut menganga. Lalu seperti meniup, dari dalam mulut Naga Biru melesat
keluar Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini secara luar biasa tersisip
kembali ke balik pinggang Wiro. Saat itu juga Wiro merasa ada hawa aneh
mengalir dari dalam kapak memasuki seluruh tubuhnya. Tubuhnya terasa ringan.
Ketika hawa aneh memasuki kepalanya, pemandangannya menjadi lebih terang dan
telinganya kini bisa menangkap suara-suara yang sebelumnya tidak terdengar.
"Aneh,"
membatin Pendekar 212. Dia pandangi sosok Naga Biru di hadapannya.
Naga Biru
kedipkan sepasang mata lalu angguk-anggukkan kepala tiga kali berturut-turut.
Kemudian dengan suara menggemuruh sosoknya melesat ke atas, hinggap bergelung
ke tempatnya semula di atas pintu gerbang dan berubah kembali menjadi batu
mati.
Nyi
Kantili dan anak buahnya segera mendekati Wiro.
"Pendekar
212, kau tidak apa-apa?" tanya Nyi Kantili yang sejak tadi merasa kawatir.
"Aku
tidak apa-apa," jawab Wiro.
"Kejadian
aneh," ucap salah seorang anak buah Nyi Kantili.
"Memang
luar biasa. Tidak pernah terjadi yang seperti tadi. Patung batu mati berbentuk
naga itu bisa hidup. Tidak pernah kejadian yang seperti ini." Ucap Nyi
Kantili pula.
"Mungkin
kau tahu apa sebabnya?" tanya Wiro.
"Kami
tak bisa menjawab. Kami tidak tahu. Mungkin nanti bisa kita tanyakan pada Nyi
Roro Manggut. Pendekar, mari ikuti kami."
"Tunggu
sebentar. Aku akan memeriksa senjataku lebih dahulu." Kata Wiro. Lalu
dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi ditelan Naga Biru. Ketika
senjata itu dipegang Wiro menjadi heran.
"Kenapa
bisa jadi enteng begini rupa?"
Wiro
memeriksa.
Ternyata
senjata itu menjadi lebih bersih dari keadaannya semula. Dua mata kapak
memancarkan cahaya terang walaupun dia memegang tanpa mengerahkan tenaga dalam.
Di sekujur mata dan gagang kapak samar-samar terlihat cahaya merah seolah
membungkus senjata sakti itu.
"Mahluk
itu, aku yakin dia telah memberikan satu kekuatan tambahan pada diriku dan pada
Kapak Maut Naga Geni 212," membatin murid Sinto Gendeng. Wiro mendongak ke
atas memandang pada sosok Naga Biru, si batu mati. Lalu Wiro membungkuk
dalam-dalam sampai tiga kali, kemudian berucap.
"Sahabat
di atas sana, siapa pun kau adanya, aku mengucapkan terima kasih."
Sepasang
mata patung naga tiba-tiba memancarkan cahaya merah dan berkedip tiga kali.
Wiro
tersenyum, garuk-garuk kepala sambil lambaikan tangan dia berenang mengikuti
Nyi Kantili dan anak buahnya.
MAKIN
jauh berenang makin keras terdengar suara alunan gamelan. Setelah melewati
sebuah taman yang sangat indah tapi sunyi, Wiro dan rombongannya sampai di
sebuah bangunan besar memiliki tiga pintu dan tiga menara tinggi di atasnya.
Pintu sebelah tengah paling besar dan menaranya juga paling tinggi.
Nyi
Kantili menghampiri pintu sebelah kiri. Dia memberi isyarat pada salah seorang
anak buahnya. Si anak buah lalu menarik seutas tali kuning yang berhubungan
dengan sebuah genta yang terletak di atas pintu. Suara genta mengalun aneh
terdengarnya di telinga murid Sinto Gendeng.
Sesaat
setelah genta berdentang, pintu yang tertutup perlahan-lahan terbuka. Tiga
sosok melesat keluar. Ketiganya ternyata gadis-gadis jelita mengenakan pakaian
hijau berkilat. Yang dua mengambil tempat di kiri kanan pintu sementara gadis
ketiga menghampiri Nyi Kantili.
Nyi
Kantili segera mendatangi gadis itu.
"Saya
Nyi Kantili pimpinan rombongan. Kami datang membawa seorang tamu untuk menemui
Nyi Roro Manggut."
Gadis
yang diberi tahu anggukkan kepala lalu bertanya.
"Siapa
tamu yang kalian bawa?"
"Namanya
Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga geni 212. Dia datang dari Tanah
Jawa."
"Katakan
apa keperluannya menemui Nyi Roro Manggut."
"Saya
hanya pengawal, tak layak bertanya. Biar Nyi Roro Manggut sendiri yang nanti
ajukan pertanyaan," jawab Nyi Kantili pula.
Si gadis
melirik ke arah Pendekar 212. Diamdiam dadanya jadi berdebar. Seorang tamu
segagah pemuda itu jarang sekali berkunjung ke tempat mereka. Kalau pun ada
yang datang biasanya tua-tua dan bukan untuk menemui Nyi Roro Manggut.
"Kalian
tunggu di sini. Aku akan memberi tahu Nyi Roro Manggut apa bersedia menerima
tamu ini." Lalu pada temannya si gadis berkata.
"Kalian
tetap berjaga-jaga di sini, jangan ada yang boleh masuk sebelum aku
kembali."
Si gadis
menghilang masuk ke balik pintu. Tak lama kemudian dia muncul kembali. Melirik
sebentar ke arah Wiro lalu memandang pada Nyi Kantili dan berkata.
"Nyi
Roro Manggut tidak bersedia menerima tamu ini."
Pendekar
212 Wiro Sableng karuan saja jadi terkejut mendengar kata-kata si gadis. Nyi
Kantili juga tampak kecewa.
"Kalian
hanya diberi kesempatan untuk datang lagi tiga purnama di muka."
Wiro
garuk-garuk kepala. Nyi Kantili memandang padanya.
"Bagaimana?"
tanya Nyi Kantili.
Wiro
pencongkan mulut. "Kalau orang tidak bersedia menerima dan bertemu diriku,
mau bilang apa? Tiga purnama rasanya terlalu lama." Wiro berpaling pada
gadis di depannya. "Sampaikan rasa terima kasihku pada Nyi Roro Manggut.
Tapi menunggu tiga bulan percuma saja. Orang yang akan aku tolong mungkin sudah
menemui ajal untuk kedua kalinya."
Gadis
yang diajak bicara kerutkan kening.
"Kalian
manusia-manusia yang hidup di daratan, bukankah cuma punya satu nyawa? Mengapa
kau menyebut ada orang menemui ajal untuk kedua kalinya?"
"Jawabannya
akan aku berikan tiga purnama di muka," jawab Wiro sambil tersenyum.
Si gadis
kelihatan bersemu merah wajahnya diejek begitu rupa. Dia memberi tanda pada dua
anak buahnya yang tegak di kiri kanan pintu. Dua gadis itu segera bersiap
hendak menutup pintu kembali.
Wiro
tiba-tiba ingat sesuatu.
"Tunggu!"
serunya.
Dari
balik pakaiannya dia keluarkan sebuah kaleng rombeng yang diterimanya dari
Kakek Segala Tahu. Sambil menyodorkan kaleng butut itu kepada si gadis dia
berkata.
"Tolong
berikan kaleng ini pada Nyi Roro Manggut."
Tentu
saja si gadis jadi pelototkan mata.
"Beraninya
kau menghina pimpinan kami dengan menyerahkan kaleng butut dan kotor
menjijikkan itu!" Bentak sang dara penjaga pintu.
Wiro
menyeringai. Dia goyangkan kaleng butut itu. Saat itu juga suara kerontang
kaleng rombeng yang diisi bebatuan itu menggema keras di Seantero tempat. Air
laut menggelombang.
Suara
alunan gamelan terhenti beberapa ketika.
Para
gadis di depan pintu termasuk Nyi Kantili dan lima anak buahnya sama menekap
telinga tak tahan suara kerontang kaleng yang menusuk seolah terasa sampai
mencucuk benak.
"Kau
pelayan dari pimpinanmu. Kewajibanmu untuk menyerahkan kaleng ini pada Nyi Roro
Manggut. Siapa bilang aku menghina pimpinan kalian. Kaleng ini milik seorang
tokoh rimba persilatan Tanah Jawa. Aku dipesan untuk menyerahkannya pada Nyi Roro
Manggut. Kalian tidak mau menerima aku sebagai tamu tidak apa. Tapi jangan
berani menolak pesanan orang. Jika kalian sampai salah berbuat apa tidak takut
kena dampratan Nyi Roro Manggut?"
Kata-kata
Wiro membuat si gadis berpakaian hijau berkilat jadi terdiam sesaat. Akhirnya
dia ulurkan tangan seraya berkata.
"Baik,
aku terima kaleng ini. Akan kusampaikan pada Nyi Roro Manggut. Tapi kalian
semua harap segera tinggalkan tempat ini!"
Wiro
tersenyum, kedipkan matanya lalu membungkuk memberi penghormatan. Tiga gadis
masuk kembali. Pintu ditutup. Begitu sampai di dalam, salah satu dari mereka
berkata.
"Kalau
saja pemuda itu tidak setampan yang aku lihat, mungkin sudah kulabrak agar
mengerti tata tertib di kawasan ini."
Temannya
yang satu ikut bicara.
"Nyi
Nuning, buat apa kaleng itu kau ambil dan mau kau serahkan pada Nyi Roro
Manggut. Buang saja! Salah-salah kita semua bisa kena damprat."
"Aku
rasa kaleng ini bukan benda sembarangan. Ingat ucapan si pemuda. Kaleng ini
milik seorang tokoh rimba persilatan Tanah Jawa. Lalu ketika kaleng ini
diguncangnya, ada suara dahsyat membuat air laut bergelombang, gamelan berhenti
mengalun dan telinga kita seperti kemasukan angin panas."
Dua gadis
yang tadi banyak bicara akhirnya tak mau berkata apa-apa lagi. Mereka hanya mengikuti
Nyi Nuning menuju tempat kediaman Nyi Roro Manggut.
Sampai di
tempat yang dituju Nyi Roro Manggut seperti biasanya hanya mau bicara dari
balik sehelai tirai hingga sosok dan wajahnya tidak kelihatan.
"Nyi
Roro Manggut, kami Nyi Nuning dan kawan-kawan datang kembali."
"Tamu
tak diundang itu sudah kau suruh pergi?" Suara lembut bertanya dari balik
tirai.
"Sudah
Nyi Roro. Hanya saja sebelum pergi dia menyerahkan sebuah benda pada kami untuk
disampaikan pada Nyi Roro Manggut. Menurut tamu ilu. benda ini adalah milik
seorang tokoh rimba peisilalan Tanah Jawa."
"Nyi
Nuning, kau tahu aturan di tempat ini. Jika aku tidak bersedia menerima sang
tamu berarti aku juga tidak mau menerima barang titipan apa pun dari siapa
pun!"
Dua teman
Nyi Nuning sama memandang pada Nyi Nuning.
"Nyi
Roro Manggut, harap maafkan diri kami. Menurut sang tamu, benda ini bukan benda
biasa."
"Hemm,
begitu? Lantas benda apa itu adanya? Sesuatu yang terbuat dari emas? Atau batu
permata sebesar kepalan?!" ujar Nyi Roro Manggut dari balik tirai.
"Bukan
benda terbuat dari emas, bukan pula batu permata sebesar kepalan Nyi Roro
Manggut. Melainkan sebuah kaleng rombeng yang di dalamnya berisi
batu-batu."
Sunyi
sejenak. Tiba-tiba dari balik tirai terdengar suara Nyi Roro Manggut.
"Apa
katamu Nyi Nuning? Benda itu sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu?"
"Betul
sekali Nyi Roro Manggut."
Dari
balik tirai terdengar suara tercekat lalu satu tangan mencuat keluar.
"Serahkan benda itu padaku!" Nyi Nuning serahkan kaleng rombeng itu
pada orang yang mengulurkan tangannya dari balik tirai, kaleng diambil lalu
untuk kedua kali terdengar suara orang keluarkan seruan tertahan.
"Gusti
Allah, jadi masih hidup dia rupanya!"
Sunyi
sesaat.
"Nyi
Nuning?!"
"Saya
di sini Nyi Roro Manggut."
"Lekas
temui kembali tamu itu. Antar dia masuk ke sini!" "Tapi Nyi Roro,
tamu itu dan para pengawal sudah saya suruh pergi," sahut Nyi Nuning.
"Oo ladalah! Tewas aku! Nyi Nuning!" "Saya Nyi Roro
Manggut!" "Cari! Kejar tamu itu sampai dapat. Bawa dia ke sini! Atau
kau dan dua anak buahmu akan menerima hukuman berat!"
Nyi
Nuning dan dua anak buahnya ketakutan setengah mati. Ketiga gadis itu segera
tinggalkan ruangan, menghambur ke arah pintu keluar.
SETELAH
pintu tertutup kembali Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya pergi, malah duduk di
dekat sebuah arca berbentuk seekor singa di samping pintu sebelah luar.
"Pendekar
212, perlu apa kau duduk di situ? Kami sudah siap mengantarkanmu ke pintu
gerbang keluar." Berkata Nyi Kantili.
"Kalian
pergi saja. Aku akan menunggu di sini. Aku yakin tiga gadis tadi akan keluar
lagi dan mempersilakan aku masuk menemui Nyi Roro Manggut."
"Pendekar
212, kau dengar sendiri gadis bernama Nyi Nuning itu tadi berkata. Nyi Roro
Manggut tidak bersedia menemuimu. Kalaupun suka, kau harus menunggu sampai tiga
purnama di muka."
Wiro
tersenyum.
"Tenang
Nyi Kantili, tenang saja. Tunggu. Setelah Nyi Roro Manggut melihat kaleng
rombeng itu, dia akan berubah pikiran dan akan bersedia menemuiku…."
"Aneh,
memangnya kenapa?" tanya Nyi Nuning.
Wiro angkat
kepalanya. Setelah menerima aliran hawa aneh yang diberikan Naga Biru
pendengarannya menjadi jauh lebih tajam. Saat itu dia mendengar ada kaki-kaki
halus berlari cepat di lorong di belakang pintu.
"Aku
tak bisa menjawab mengapa Nyi Roro Manggut bakal berubah pikiran. Yang jelas
saat ini aku mendengar ada orang berlari di balik pintu. Sebentar lagi mereka
akan segera muncul."
Nyi
Kantili dan anak buahnya tidak percaya. Mereka ingin cepat-cepat mengantar Wiro
ke pintu gerbang keluar.
Wiro
sendiri tetap saja duduk tenang-tenang dekat arca singa.
Tiba-tiba
pintu terbuka. Tiga gadis berpakaian hijau berkilat muncul kembali. Wiro
memandang tertawa pada Nyi Kantili.
"Nyi
Kantili," ucap murid Sinto Gendeng. "Apa kataku!"
*********************
9
NYI
NUNING membawa Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki sebuah ruangan besar. Di
tengah ruangan terdapat sebuah tirai berbentuk lingkaran, terbuat dari kain
tebal berwarna biru muda berkilat. Wiro tidak tahu apa yang ada di balik tirai
tersebut. Namun telinganya yang kini menjadi sangat tajam mendengar suara
seseorang berkata perlahan, menyatakan kekecewaan.
"Ah….
Bukan dia. Tapi seorang pemuda yang aku tidak kenal. Atau mungkin dia sengaja
merubah ujud, menyamar? Tapi sepanjang pengetahuanku dia tidak punya ilmu
kesaktian seperti itu. Dan dia paling tidak suka menyamar."
Wiro
usap-usap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut-janggut kasar tak tercukur.
Dalam hati dia membatin. "Jika orang di dalam tirai keluarkan ucapan
seperti itu berarti dia punya kemampuan menembus melihat keluar tirai. Aku sendiri
tak bisa melihat ke dalam sana walau Naga Biru aneh itu telah memberikan hawa
sakti yang sanggup membuat aku melihat segala sesuatu lebih jelas. Coba aku
pergunakan Ilmu Menembus Pandang dari Ratu Duyung." Wiro lalu alirkan
tenaga dalam ke mata, mata dikedipkan. Namun tetap saja dia tidak bisa melihat
apa-apa di balik tirai biru tebal. "Tidak tembus!" ucap Wiro dalam
hati. "Kesaktian orang ini sungguh luar biasa!"
"Nyi
Roro," Nyi Nuning yang tegak di samping Pendekar 212 berucap. "Tamu
yang Nyi Roro suruh panggil sudah hadir di ruangan ini."
"Aku
tahu… aku tahu." Terdengar ucapan perempuan dari dalam tirai. Suaranya
perlahan, merdu dan penuh kelembutan. "Kau dan anak buahmu silakan
meninggalkan ruangan . Jangan lupa menutup pintu."
"Perintah
Nyi Roro akan kami laksanakan," kata Nyi Nuning. "Tapi apakah kami
tidak perlu menunggui, berjaga-jaga?"
Pendekar
212 Wiro Sableng tadi memperhatikan. Ketika orang di balik tirai bicara, tirai
biru tebal bergerak-gerak bergelombang laksana permukaan samudera. "Hebat!
Perempuan itu pasti memiliki tenaga dalam luar biasa. Suaranya sanggup membuat
tirai tebal bergerak-gerak. Baru sekali ini aku menyaksikan kejadian seperti
ini!"
Dari
dalam tirai ada suara menjawab ucapan Nyi Nuning tadi.
"Nyi
Nuning, buat apa kau menunggui. Perlu apa pengawalan? Yang datang cuma seorang
bocah ingusan, kelihatannya kurang waras pula. Tidak ada yang perlu
dikawatirkan. Kalian boleh pergi. Jangan lupa menutup pintu. Berjagalah di
luar. Tidak boleh satu orang pun masuk ke ruangan ini tanpa izinku."
Wiro
menjadi jengkel disebut bocah ingusan kurang waras. "Sialan!" maki
Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Nyi
Nuning memberi isyarat pada dua anak buahnya. Tiga gadis cantik itu terlebih
dulu membungkuk dalam-dalam sebelum mereka kemudian meninggalkan ruangan itu.
Wiro
memandang memperhatikan tirai biru berbentuk lingkaran di hadapannya. Dia
melangkah mendekati. Tiba-tiba dari balik tirai suara lembut menegur. Untuk
kesekian kalinya Wiro melihat bagaimana tirai tebal itu bergoyang bergelombang.
"Tak
ada yang menyuruh, mengapa mengatur langkah berani mendekati Tirai Samudera
Biru?"
"Aahhh…."
Wiro hentikan langkah, tegak diam tapi garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum.
"Bocah
ingusan, benar kau manusia bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212? Bukannya seseorang yang pernah aku kenal lalu masuk ke sini
dengan cara merubah perwujudan menyamar diri?" Orang di balik tirai
bertanya. Walau nada bicara mengejek tapi suaranya tetap lembut.
Wiro jadi
kesal. "Kalau tidak aku kerjai, belum tahu rasa dia!"
Wiro
batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Orang di balik tirai, salam
hormatku untukmu. Terima kasih kau telah mengizinkan aku masuk ke ruangan bagus
ini walau kau rupanya agak malu-malu unjukkan diri. Sebelum menjawab
pertanyaanmu tentang siapa diriku sebenarnya, izinkan aku membuang ingus lebih
dulu!"
Dengan
ujung jari Wiro tekap cuping hidung kanan lalu sekuat tenaga keluarkan angin
dari hidung yang terbuka. Selesai satu lubang, dia semburkan angin keras dari
lubang hidung kedua.
Setiap
dia menyembur, tirai biru bergoyang keras. Orang di dalam tirai berteriak
marah. "Tamu kurang ajar! Jangan berani mengotori ruangan dan Tirai
Samudera Biru!"
"Aahh,
aku mohon maaf. Hidungku gatal sekali. Aku tak tahan kalau tidak menyemprotkan
ingus. Eh, bukankan tadi kau menyebut aku bocah ingusan? Aduh, tidak sengaja.
Ingusku nempel di tiraimu yang bagus. Biar aku bersihkan…." Wiro pura-pura
hendak melangkah. Padahal memang tidak ada ingus atau kotoran lain yang
menempel di tirai biru.
Orang di
balik tirai kembali melarang. Walau suaranya keras tapi tetap saja bernada
lembut.
"Tetap
di tempatmu. Jangan berani bergerak. Apalagi mendekati tirai. Sekarang jawab
pertanyaanku. Apa kau Pendekar 212 Wiro benaran atau cuma perujudan jejadian
dari seorang yang menyamar?"
"Ah,
dari dalam tirai kau bisa lihat sendiri. Aku berdiri dengan dua kaki menginjak
lantai. Aku bukan bangsa manusia jejadian karena orang tuaku manusia betulan.
Aku juga bukan bangsa atau turunan hantu atau dedemit. Memangnya kau kira aku
ini siapa? Kalau tidak percaya apa kau mau lihat aku loloskan pakaian telanjang
bulat?!" Habis berkata begitu Wiro pura-pura hendak loloskan celana
putihnya.
"Jangan
berani kurang ajar! Kalau kau berani melakukan itu, seumur-umur kau akan kubuat
telanjang bugil terus-terusan!"
Wiro
tertawa lebar lalu tarik kembali tangannya.
"Jawab
pertanyaanku tadi bocah ingusan!"
"Aku
datang apa adanya. Aku tidak merubah ujud, tidak menyamar. Seperti kau lihat
sendiri. Aku ini ‘kan bocah ingusan kurang waras. Tapi manusia betulan!
Sekarang aku mau tanya, apakah kau Nyi Roro Manggut orang yang ingin kutemui
dengan segala hormat?"
Bukannya
menjawab, orang dalam tirai bicara lain dan bertanya.
"Sebelumnya
kau memberikan sebuah kaleng butut pada Nyi Nuning. Dengan pesan agar
diserahkan padaku. Dari siapa kau menerima benda itu?"
"Dari
seorang kakek ingusan yang otaknya sama dengan diriku. Sama-sama kurang
waras," jawab Wiro sambil menyeringai.
Orang di
dalam tirai terdiam. "Rasakan!" ujar Wiro dalam hati. Tiba-tiba di
dalam tirai terdengar suara tertawa merdu.
"Kau
pandai bergurau. Aku suka orang yang pandai bercanda. Tapi kau bercanda tidak pada
tempatnya. Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa."
"Bagaimana
bisa tahu! Habis kau menutup dirimu sembunyi di balik tirai!" sahut Wiro
yang jadi kesal dan lupa bahwa dia datang ke situ membawa satu kepentingan
besar yakni mendapatkan ilmu kesaktian untuk menyelamatkan Bunga gadis dari
alam roh yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat.
"Kau
tidak lulus syarat yang aku tentukan agar dapat menghadapku."
"Aku
tidak tahu di tempat ini ada persyaratan lulus atau tidak segala. Mengapa tidak
memberi tahu lebih dulu? Walah biyung!" Wiro garukgaruk kepala lalu
lanjutkan ucapannya. "Kalau kau memang punya persyaratan dan aku kau
nyatakan tidak lulus, tidak jadi apa. Aku dengan suka rela akan tinggalkan
tempat ini. Tapi, kembalikan dulu padaku kaleng butut yang aku titipkan melalui
pengawalmu."
Orang
didalam tirai tercekat diam. Sesaat kemudian terdengar suaranya bertanya.
"Kalau
aku tidak mengembalikan?"
"Berarti
kau seorang, pencuri. Apakah di kawasan keramat ini boleh tinggal seorang
pencuri?"
Mendengar
kata-kata Pendekar 212 orang di dalam tirai tertawa panjang.
"Bocah
ingusan berotak kurang waras. Ternyata selain pandai bergurau kau juga pandai
bicara. Sekarang hentikan semua senda gurau. Jawab pertanyaanku. Siapa yang
tadi kau sebutkan sebagai kakek ingusan berotak kurang waras si pemilik kaleng
butut ini?"
"Aku
memanggilnya Kakek Segala Tahu."
Orang di
dalam tirai keluarkan suara desahan panjang lalu menarik nafas dalam berulang
kali.
"Di
mana dan kapan kau terakhir kali bertemu dengan kakek itu?"
"Di
Bukit Menoreh, pada suatu malam beberapa waktu yang lalu." Jawab Wiro.
"Bukit
Menoreh…. Ah, bagaimanakah. keadaannya sekarang? Apakah masih seindah
dulu?" Perempuan di dalam tirai bicara perlahan seolah bicara pada dirinya
sendiri.
"Orang
dalam tirai, apakah kau pernah ke Bukit Menoreh?"
"Bocah
ingusan, sebelum kau lahir aku sudah berada di tempat itu."
"Oh,
begitu?" Wiro garuk-garuk kepala kembali sambil senyum-senyum.
"Seberapa
jauh kenalnya dirimu dengan Kakek Segala Tahu?" Orang dalam tirai melingkar
bertanya.
"Aku
menganggap dia sebagai kakek sendiri. Kakek benaran. Tapi dia orangnya aneh.
Lebih banyak menghilang hingga sulit ditemui."
"Waktu
dia memberikan kaleng ini, apakah dia memberi pesan untukku?"
"Tidak.
Kakek Segala Tahu tidak menitipkan pesan apa-apa. Dia hanya bilang, berikan
kaleng ini padamu. Dan kau pasti akan memberikan ilmu kesaktian padaku untuk
menolong gadis dari alam roh."
"Jadi
dia tidak memberi pesan apa-apa? Ahhh…." Perempuan dalam tirai kembali
mendesah dan menarik nafas panjang. Lalu dengan suara sangat perlahan, tapi
bisa didengar oleh Wiro orang itu berkata.
"Kelihatannya
dia tidak melupakan diriku. Tapi mengapa tanpa pesan sama sekali?" Diam
sejenak. Ruang besar dengan tirai berbentuk lingkaran di dalamnya diselimuti kesunyian.
"Apakah kakek itu masih suka mengenakan caping?" Tiba-tiba orang di
dalam tirai bertanya.
"Ke
mana-mana dia selalu pakai caping. Malah waktu kencing, buang air besar dan
tidur capingnya itu tidak pernah dibuka!"
Perempuan
di dalam tirai tertawa. Namun suara tawanya bukan suara tawa bahagia karena
dalam tawa itu ada rasa ganjalan yang mungkin ada hubungannya dengan masa lalu
dan ada kaitannya dengan Kakek Segala Tahu.
Sementara
orang tertawa Wiro membatin. "Agaknya orang di dalam tirai banyak tahu perihal
Kakek Segala Tahu."
"Orang
di dalam tirai, kalau aku boleh bertanya. Apakah kau Nyi Roro Manggut
adanya?"
"Ya…
ya, memang aku Nyi Roro Manggut."
"Aku
tidak bisa bicara dengan orang yang terus-terusan sembunyi di balik tirai.
Apakah kau tidak mungkin keluar dari tirai memperlihatkan diri?"
"Mungkin
saja," jawab orang yang ditanya. "Tapi aku perlu kejelasan atas
beberapa hal. Tadi kau mengatakan kakek yang memberikan kaleng ini berucap jika
kaleng kauberikan padaku maka aku akan bersedia memberi ilmu kesaktian untuk
menolong gadis dari alam roh. Ilmu kesaktian apa yang kau maksudkan, lalu siapa
gadis dari alam roh itu? Apa yang telah terjadi?"
"Menurut
kakekku itu kau memiliki ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma. Seorang
sahabatku, gadis dari alam roh bernama Suci, biasa dipanggil Bunga, disekap
oleh seorang tokoh silat jahat dalam sebuah guci tembaga. Kakekku bilang hanya
dengan ilmu Meraga Sukma aku bisa menyelamatkan gadis dari alam roh itu. Itu
sebabnya dia menyuruhku ke sini untuk menemui sorang bernama Nyi Roro Manggut.
Yaitu dirimu. Aku sangat berharap, tapi tidak tahu apakah kau mau menolong. Mau
memberikan ilmu itu."
Lama tak
ada suara jawaban dari dalam tirai.
"Nyi
Roro Manggut? Apakah kau masih di dalam situ?" tanya Wiro.
"Aku
tidak ke mana-mana. Aku masih di sini." Terdengar jawaban. "Orang
jahat yang menyekap sahabatmu itu, siapakah dia?"
"Tokoh
silat golongan hitam berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Apakah kau
mengenalnya?" tanya Wiro.
"Aku
mengenalnya seperti mengenal telapak tanganku sendiri…."
Wiro
garuk-garuk kepala. "Jika Nyi Roro Manggut kenal baik dengan manusia iblis
itu, besar kemungkinan dia tidak akan mau memberikan Ilmu Meraga Sukma,"
pikir Wiro.
"Nyi
Roro, apakah kau bersahabat dengan Iblis Kepala Batu?" bertanya Pendekar
212.
"Aku?
Nyi Roro Manggut bersahabat dengan Iblis Kepala Batu?" Nyi Roro tertawa
panjang. "Manusia jahat satu itu sudah saatnya disingkirkan dari muka bumi
ini."
Wiro
merasa lega. "Jadi Nyi Roro, kau bersedia memberikan Ilmu Meraga Sukma
padaku?"
"Eh,
apakah kau pernah mengucapkan permintaan? Kau hanya menuturkan keterangan Kakek
Segala Tahu, tidak meminta ilmu itu padaku."
Murid
Sinto Gendeng tertawa dan garuk-garuk kepala. Dia memang belum mengatakan
maksudnya. Maka cepat-cepat Wiro berkata.
"Nyi
Roro, maafkan kelalaianku. Aku datang ke sini atas petunjuk Kakek Segala Tahu,
menemuimu untuk mendapatkan Ilmu Meraga Sukma. Semoga kau berkenan."
"Gadis
dari alam roh itu, apakah kalian hanya sekedar bersahabat. Atau ada hubungan
lain?"
"Dia
lebih dari sahabat. Dia telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku. Aku banyak
berhutang budi padanya."
"Budi….
Sesuatu yang sangat baik. Tapi kerap kali menjadi beban di pundak
manusia."
"Nyi
Roro Manggut, kita sudah sejak tadi bercakap-cakap. Tapi sampai saat ini aku
belum melihat dirimu. Apakah memang ini satu pantangan kau tidak boleh
memperlihatkan diri terhadap tamu yang datang?"
"Aku
kawatir kau akan terkejut melihat diriku."
"Ah,
selama kau tidak punya dua kepala empat tangan dan empat kaki masakan aku akan
terkejut," jawab Wiro pula.
Di dalam
tirai Nyi Roro Manggut tertawa mer-du. "Bocah ingusan, kukabulkan
permintaanmu."
Lalu
terdengar suara berdesir. Tirai biru tebal berbentuk lingkaran terbuka. Di
tengah ruangan ada satu hamparan permadani berbentuk bulat. Di atas permadani
ini terdapat satu bantalan tebal. Dan di atas bantalan empuk inilah duduk
bersimpuh orang bernama Nyi Roro Manggut itu.
Ketika
memandang wajah dan sosok Nyi Roro Manggut Wiro jadi terkesiap kaget.
"Ah…." Dia sampai keluarkan desah tertahan.
*********************
10
SELAGI
Nyi Roro Manggut memperhatikan pemuda gondrong di hadapannya itu dari kepala
sampai ke kaki, Wiro sendiri menatap Nyi Roro dengan air muka kejut tak
percaya. Ternyata Nyi Roro Manggut adalah seorang nenek bertubuh cebol.
Sepasang matanya juling, hidung pesek hampir sama rata dengan dua pipi berkulit
keriput. Rambut putih panjang, menjela sampai ke bantalan yang didudukinya.
Sesekali kepalanya diangguk-anggukan seperti orang tersedak. Mung-kin ini
sebabnya dia bernama Nyi Roro Manggut alias Nyi Roro Angguk.
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Kesal ada, mau tertawa pun ada. Dia tidak
menyangka kalau orang yang namanya Nyi Roro Manggut itu begini rupa
penampilannya. "Sekarang rasanya aku tidak akan jengkel kalau dia
memanggil diriku bocah ingusan. Paling tidak nenek satu ini usianya sama dengan
Eyang Sinto Gendeng."
"Kakek
Segala Tahu sialan!" Wiro memaki.
"Bocah
ingusan, siapa yang barusan kau maki dalam hati?"
Wiro
tersentak lalu tertawa lebar sambil garukgaruk kepala. "Luar biasa, nenek
cebol ini bisa mendengar suara hatiku!"
"Nyi
Roro, aku barusan ingat pada Kakek Segala Tahu. Waktu dia menerangkan mengenai
dirimu, dia mengatakan kau adalah seorang gadis cantik jelita…."
Nyi Roro
Manggut anggukkan kepala dua kali lalu tertawa panjang dan merdu. Tidak dapat
dipercaya suara tawa semerdu itu keluar dari seorang nenek jelek bermata
juling.
"Hidup
di alammu sana memang tidak boleh selalu percaya pada ucapan orang. Dan pada
saat melihat sekali pun kau tidak bisa percaya pada pandangan matamu. Hidup di
dunia penuh dengan kata manis puji sanjungan tapi juga bantak tipu
dayanya."
Wiro cuma
anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. "Yang aku lihat jelas-jelas saat
ini adalah nenek cebol jelek, mata juling. Bagaimana aku harus tidak mau
percaya pada pandangan mata sendiri?"
Nyi Roro
Manggut tersenyum. "Kau kecewa melihat keadaanku karena tidak sesuai
dengan ucapan sahabatmu Kakek Segala Tahu?"
Wiro
golongkan kepala. "Tidak, aku cuma ingin menjitak kepala Kakek Segala Tahu
kalau bertemu nanti. Dia mendustai diriku…."
"Kualat
kau kalau melakukan hal itu," kata Nyi Roro Manggut pula sambil tersenyum.
"Kau sungguh-sungguh ingin mendapatkan Ilmu Meraga Sukma?"
"Dengan
izinmu, aku sangat mengharap. Demi keselamatan sahabatku Bunga."
Nyi Roro
Manggut mengangguk.
"Untuk
mendapatkan ilmu itu ada dua hal yang harus kau lakukan. Jika kau tidak mampu
melakukan maka Ilmu Meraga Sukma tidak mungkin kuberikan padamu."
"Harap
Nyi Roro mau memberi tahu kedua syarat itu. Mudah-mudahan aku bisa
melakukan…."
"Bukan
mudah-mudahan, tapi harus kau lakukan. Untuk itu kau harus berjanji."
"Maaf
Nyi Roro Manggut, aku tidak bisa berjanji untuk sesuatu yang tidak aku ketahui.
Turut ucapanmu tadi jangan percaya perkataan orang. Walau sudah melihat sekali
pun kita masih bisa -tertipu pada apa yang kita lihat."
Nyi Roro
Manggut tatap wajah Pendekar 212. Dalam hatinya ada rasa kagum terhadap pribadi
pemuda yang dipanggilnya dengan sebutan bocah ingusan itu.
"Pendekar
212, aku mulai saja dengan syarat pertama. Kau siap mendengarkan?"
"Aku
siap Nyi Roro…."
"Kita
akan masuk ke sebuah kamar. Di kamar itu kau harus mencumbui diriku layaknya
seorang suami mencumbui istrinya."
Murid
Sinto Gendeng sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Nyi Roro Manggut
itu. Dia pandangi si nenek dengan mata tak berkesip, mulut ternganga.
"Jangan
diam melongo. Jawab pertanyaanku. Kau sanggup melakukan hal itu atau
tidak?"
"Nyi
Roro, aku memang sangat inginkan Ilmu Meraga Sukma untuk menolong sahabatku
Bunga. Tapi kalau aku harus mencumbuimu, aku…." Wiro gelengkan kepala.
"Maafkan aku Nyi Roro. Aku tak bisa melakukan hal itu…."
"Berarti
kau tidak menjalani hal yang diisyaratkan. Berarti kau tidak akan mendapatkan
Ilmu Meraga Sukma. Berarti kau tidak bisa menolong sahabatmu."
"Tidak
jadi apa Nyi Roro. Aku tidak mau melakukan hal itu sekali pun akhirnya aku
tidak mendapatkan ilmu dan menolong sahabatku Bunga."
"Kau
tidak mau karena aku seorang nenek cebol dan jelek?" tanya Nyi Roro
Manggut.
"Sekali
pun kau seorang bidadari, aku tetap tidak akan mau melakukan hal itu."
Jawab Wiro pula.
"Sungguh?"
"Sungguh!"
jawab murid Sinto Gendeng tegas. "Nyi Roro, aku telah mengganggu dirimu,
maafkan. Aku minta diri untuk meninggalkan tempat ini."
"Tunggu
dulu. Aku akan menguji dulu ucapan mu tadi." Habis berkata begitu klik…
klik… klik! Nyi Roro Manggut jentrikkan tangannya tiga kali berturut-turut.
Ruangan besar itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah kamar yang sangat bagus dan
mewah. Nyi Roro Manggut lenyap entah ke mana. Ketika Wiro memandang ke samping
kiri di situ ada sebuah tempat tidur rendah dilengkapi bantal-bantal lembut.
Dan di atas tempat tidur itu tergolek sosok seorang gadis yang wajahnya luar
biasa cantik. Kepalanya tidak manggut-manggutan lagi. Saat itu juga tercium bau
wangi harum semerbak dan lapat-lapat terdengar suara alunan gamelan.
"Wiro,
inilah ujud diriku sebenarnya sebagaimana ucapan sahabatmu Kakek Segala Tahu.
Sekarang apakah kau masih menolak melakukan syarat yang aku sebutkan?"
Pendekar
212 Wiro Sableng terkesiap. Nafasnya tertahan. Matanya masih memandang tak
berkesip. Suara yang barusan bicara sama seperti suara Nyi Roro Manggut yang
nenek tadi. Wiro menggosok matanya.
Di atas
pembaringan gadis cantik tertawa panjang.
"Wiro,
sekali ini pandanganmu tidak tertipu. Inilah ujud diriku sebenarnya. Ujud Nyi
Roro Manggut yang asli. Mendekatlah ke mari, berbaring di sebelahku. Saat ini
kita telah menjadi suami istri. Aku bersedia melayanimu…." Sambil berucap
si gadis gerakkan kakinya hingga pakaiannya yang terbelah menyingkapkan
sobagian auratnya sebelah bawah.
"Gila!"
ujar murid Sinto Gendeng.
"Wiro,
kau ingin Ilmu Meraga Sukma. Kau ingin menolong sahabatmu gadis bernama Bunga
itu. Kau tunggu apa lagi?"
"Nyi
Roro…."
"Ah,
suaramu gemetar menyebut namaku. Mendekat ke mari…."
"Nyi
Roro, aku mengagumi kecantikan wajah dan kebagusan tubuhmu. Tapi sayang, aku
tetap tidak bisa menerima permintaanmu."
"Kau
takut berdosa?"
"Semua
orang bisa saja berdosa. Tapi untuk urusan yang beginian aku tidak bisa.
Maafkan aku…."
"Aku
sudah menjadi istrimu. Berarti tidak ada dosa apa pun atas dirimu jika kau
mencumbui diriku…."
"Tidak
Nyi Roro. izinkan aku keluar dari sini."
"Wiro,
ketika kau menyelamatkan Ratu Duyung dari kutukan, kau bersedia menidurinya.
Mengapa saat ini kau menolak melakukan hal yang sama?"
"Kau
salah menduga Nyi Roro. Mungkin juga mendengar cerita yang keliru. Aku tidak
pernah meniduri Ratu Duyung. Keselamatannya dari kutukan itu adalah atas
kehendak dan kuasa Gusti Allah."
"Begitu?"
"Memang
begitu," jawab Wiro.
Tiba-tiba
secara aneh tempat tidur besar itu bergerak meluncur mendekati Wiro. Demikian
dekatnya hingga Wiro melihat jelas kecantikan wajah nan kebagusan tubuh Nyi
Roro Manggut.
"Kau
masih ingin menolak, Pendekar 212? Aku tahu hatimu bimbang. Dengar, kau adalah
manusia biasa, terdiri dari daging, tulang dan darah. Di dalam dirimu ada hati
nurani yang dlbungkus oleh satu hasrat yang tidak bisa kau Ingkari. Tidurlah di
sampingku. Kita sudah menjadi sepasang suami istri. Aku siap melayanimu."
Nyi Roro ulurkan tandannya.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dalam hati dia berkata. "Ngacok! Ke pan nikahnya aku
sama dia!"
"Wiro…,"
"Maafkan
aku Nyi Roro."
"Kau
benar-benar menolak?"
"Aku
sudah melupakan untuk mendapatkan Ilmu Meraga Sukma itu. Aku akan berusaha
mencari cara lain untuk menyelamatkan Bunga."
Nyi Roro
Manggut turun dari atas tempat tidur besar. Berdiri di hadapan Wiro dan pegang
pundak kiri kanan si pemuda dengan kedua tangannya. Wiro merasa nafasnya
seperti berhenti dan darahnya seperti tidak mengalir lagi.
Nyi Roro
Manggut tiba-tiba dekatkan mulutnya ke wajah sang pendekar. Wiro mengira
dirinya hendak dicium. Ternyata Nyi Roro Manggut berbalik.
"Kau
lulus syarat pertama…."
Wiro
lepaskan nafas lega.
"Tapi
masih ada satu syarat lagi yang harus kau laksanakan. Kau bersedia
melakukan?"
Wiro
mengangguk. "Kalau aku punya kemampuan," jawabnya.
Nyi Roro
Manggut mundur dua langkah.
Seperti
tadi dia jentikkan tangannya tiga kali. Kamar besar dengan tempat tidur mewah
serta merta lenyap. Tapi ujud dirinya tidak berubah, tetap sebagai seorang
gadis cantik jelita berpakaian tipis.
"Wiro,
lihat ke sisi kananmu." Ucap Nyi Roro Manggut.
Wiro
berpaling ke arah yang dikatakan. Dia melihat satu pemandangan aneh. Kira-kira
dua puluh langkah di sebelah kanan terdapat serumpunan semak belukar dan
jejeran pohonpohon besar. Di tengah semak belukar ada sebuah goa yang
batu-batunya terbuat dari batu menyala, panas merah menyala. Di mulut goa terdapat
satu batu empat persegi yang juga merupakan batu menyala panas, mengepulkan
asap menggidikkan.
Nyi Roro
merobek ujung pakaiannya, membuntalnya lalu melemparkan ke atas batu empat
persegi.
"Bleepp!"
Serta
merta robekan pakaian itu berubah menjadi kobaran api lalu lenyap jadi
asap." Dari sudut ruangan Nyi Roro Manggut mengambil sebuah jambangan
terbuat dari besi. Jambangan besi ini dilemparkannya ke atas batu.
"Cesss!"
Hanya
dalam waktu sekejapan saja benda itu dikobari api, leleh dan akhirnya amblas
lenyap!
"Wiro,
tanggalkan semua pakaian luarmu. Melangkah ke mulut goa. Lalu kau harus duduk
bersila di atas batu menyala itu!."
Murid
Sinto Gendeng melengak kaget. Berpaling pada Nyi Roro Manggut.
"Nyi
Roro…."
*********************
11
ITU
SYARAT kedua. Kalau kau ingin dapatkan Ilmu Meraga Sukma. Kalau kau ingin
menolong sahabatmu Bunga."
Wiro
garuk kepala habis-habisan. Dia memandang pulang balik dari wajah cantik jelita
Nyi Roro Manggut yang tersenyum padanya ke batu merah menyala di mulut goa.
"Gila,
besi saja amblas begitu rupa. Apalagi pantatku jika aku duduk bersila di
atasnya!"
"Wiro,
aku tidak punya waktu lama. Kau mau menjalankan syarat atau tidak?"
Wiro
gigit-gigit bibirnya. Dia coba menguatkan nati menabahkan semangat.
"Nyi
Roro, aku akan lakukan apa yang kau syaratkan," jawab Wiro dengan mata
menatap tajam ke arah goa dan batu menyala empat persegi.
Nyi Roro
Manggut tersenyum, anggukkan kepala.
Wiro
melangkah ke arah goa merah menyala. Masih lima belas langkah hawa panas dari
goa dan batu di dalamnya telah menerpa dirinya. Wiro melangkah terus walau saat
itu rasanya tubuhnya seperti terpanggang. Sepuiuh langkah dari depan goa dia
hentikan langkah, di sini Wiro buka baju serta celana panjang putih yang
dikenakannya.
Kapak
Maut Naga Geni 212 dan kantong hitam berisi batu sakti diletakkan di atas
tumpukan pakaian. Otot-otot di dada dan perutnya menggembung keras. Kulit
tubuhnya berubah merah.
"Tuhan,
tolong saya…." ucap Wiro dalam hati ketika rasa kebimbangan menyeruak
dalam dirinya. Kemudian dengan langkah mantap dia berjalan ke arah goa. Makin
dekat ke goa semakin Keras hawa panas yang menerpanya. Tubuhnya laksana leleh.
Matanya perih sakit luar biasa seolah ada ratusan jarum menusuk.
Tepat di
depan goa Wiro balikkan badan, melangkah mundur lalu rundukkan badan, siap
untuk duduk di atas batu empat persegi merah menyala. Wiro menggigit bibirnya
kencangkencang hingga luka dan berdarah saking tak kuat menahan hawa panas
yang menghantam tekujur tubuhnya terutama di bagian belakang. Wiro pejamkan
mata. Tubuhnya bergetar hebat, basah oleh keringat yang seolah berupa guyuran
air panas mendidih. Wiro dudukkan tubuhnya di atas batu menyala panas.
"Cosss!"
Suara
kencang terdengar pada saat tubuh Wiro duduk di atas batu menyala. Dia sudah
siap untuk amblas dan leleh bahkan mati mengenaskan! Tapi hal itu tidak
terjadi, yang dirasakannya adalah hawa dingin luar biasa tibatiba memasuki
tubuhnya, berasal dari batu merah menyala yang didudukinya, dan dari batu
menyala goa di sekelilingnya. Rahangnya sampai bergemeletakkan. Dia coba
kerahkan tenaga dalam, kerahkan hawa hangat dari pusar tapi tidak berhasil.
Tubuhnya makin lama makin dingin dan kaku. Dalam keadaan bersila dan dua tangan
dirangkapkan di depan dada dia seolah telah berubah jadi patung es. Asap putih
mengepul dari setiap sudut tubuh terutama dari ubun-ubun di atas batok
kepalanya. Lalu darah kelihatan mengucur dari sepasang mata, telinga dan
hidung, juga dari sela bibir. Wiro merasa tubuhnya makin lama semakin kecil
lalu lenyap. Ketika sosoknya hadir kembali, dia merasaka ada sesuatu yang
bergerak keluar dari tubuh kasar itu. Dia seperti pindah ke satu sama alam lain
di mana dia hanya melihat kekosongan sejauh mata bisa memandang. Pada saat itulah
dia mendengar suara Nyi Roro Manggut berkata.
"Pendekar
212, bangkit dari atas batu. Berjalan ke hadapanku."
Seperti
orang yang setengah kena sirap Wiro berdiri dari batu merah menyala lalu
melangkah ke arah Nyi Roro Manggut. Sepuluh langkah meninggalkan batu dan goa,
hawa panas tiba-tiba kembali menerpanya, kali ini dari belakang. Wiro berjalan
terus hingga akhirnya sampai di hadapan Nyi Roro Manggut.
"Wiro,
berputarlah, lihat ke arah goa." Ucap Nyi Roro Manggut pula.
Wiro
lakukan apa yang dikatakan orang. Ketika dia berpaling dan melihat ke arah goa
terkejutlah murid Sinto Gendeng ini. Di sana, di atas batu empat persegi merah
menyala dia melihat sosoknya sendiri dalam keadaan duduk bersila, dua tangan
dirangkapkan di depan dada.
Wiro raba
muka, tubuh dan hampir sekujur tubuhnya sendiri.
"Eh,
bagaimana bisa begini? Aku yang benaran yang mana?" ucap Wiro.
Nyi Roro
Manggut tertawa panjang. Dia menunjuk ke arah goa.
"Sosok
yang duduk bersila di atas batu merah panas itu adalah sosokmu yang asli. Yang
berdiri di sini adalah sukmamu. Inilah yang disebut Ilmu Meraga Sukma. Si
pemilik ilmu bisa meninggalkan tubuh kasarnya, melanglang buana dengan sukmanya
yang bisa menembus ke mana-mana, bahkan masuk ke dalam lobang semut, lolos
melewati lobang jarum sekali pun."
"Ah,
jadi aku telah dapatkan ilmu itu. Terima kasih Nyi Roro. Tapi…."
"Tapi
apa Pendekar 212?"
"Bagaimana
aku kembali ke sosokku yang asli?"
"Kau
takut tak bisa kembali dan nyasar gentayangan tak karuan di jalanan?" Nyi
Roro Manggut tertawa panjang. "Kalau kau ingin meraga sukma, kau harus
duduk bersila seperti tadi, mengosongkan pikiran, menutup mata dan pendengaran
lalu lafalkan Basmallah tiga kali, kemudian mengucap Meraga Sukma tiga kali.
Setelah itu sukmamu akan keluar dari dalam tubuh. Kau bisa melakukan apa saja
asal yang baik-baik…."
Wiro
tersenyum. Ingat percakapannya dengan Kakek Segala Tahu. Bahwa dengan ilmu itu
dia bisa mengintip gadis kencing, masuk ke dalam kamar pengantin baru dan
berbagai perbuatan nakal lainnya.
"Mengapa
kau tersenyum?" Nyi Roro Manggut bertanya.
"Tidak,
tidak ada apa-apa Nyi Roro Manggut," jawab Wiro. "Lalu Nyi Roro
Manggut, bagaimana caranya sukmaku masuk kembali ke dalam tubuh kasar?"
"Kau
kembali mengucap Basmallah tiga kali, disusul mengatakan dalam hati Meraga
Sukma Kembali Pulang juga tiga kali. Maka sukmamu akan menyatu kembali dengan
tubuh kasarmu."
"Luar
biasa! Aku benar-benar berterima kasih padamu Nyi Roro Manggut."
"Dengan
Ilmu Meraga Sukma kau bisa masuk ke dalam guci tembaga tempat sahabatmu gadis
alam roh itu disekap. Kau bisa mengeluarkannya dengan sangat mudah. Semudah
tadi kau menanggalkan pakaian…."
Wiro
garuk-garuk kepala.
"Sekarang
apakah kau mau gentayangan dulu atau kembali menyatu dengan tubuh
kasarmu?"
"Ah,
aku ingin cepat-cepat masuk kembali. Takut masuk angin," kata Wiro sambil
tertawa dan usap dada serta perutnya yang telanjang. Lalu dia ingat sesuatu dan
bertanya. "Nyi Roro Manggut. Setiap aku mau mengeluarkan Ilmu Meraga
Sukma, apakah aku harus membuka seluruh pakaian lebih dulu?"
Nyi Roro
Manggut tersenyum. "Kau tadi kusuruh membuka pakaian karena itulah salah
satu syarat untuk memasukkan ilmu itu ke dalam tubuhmu. Masih untung kau tidak
kusuruh bugil. Selanjutnya untuk menerapkan ilmu itu kau tidak perlu membuka
pakaian segala."
Wiro
tertawa.
"Aku
mengerti, aku mengerti. Sekarang aku mau kembali saja, menyatu dengan
ragaku."
"Tunggu,
sebelum kau menyatu dengan jazad aslimu ada satu hal yang harus aku beri tahu.
Ilmu Meraga Sukma bukan ilmu sembarangan. Jadi hanya boleh kau pergunakan pada
saat-saat tertentu ketika segala ilmu kepandaianmu yang Inln tidak berdaya
menghadapi tantangan. Kemudian pada suatu ketika, ketika kau bermaksud mengeluarkan
ilmu itu, mungkin saja Ilmu itu tidak bisa dipergunakan. Berarti Gusti Allah
tidak atau belum memperkenankan kau mempergunakan ilmu tersebut pada saat itu.
Kau mengerti?"
Wiro
anggukkan kepala.
"Sekarang
kalau kau mau kembali ke tubuhmu asli silakan saja."
Wiro
mengucap Basmallah tiga kali, menyebut Meraga Sukma Kembali Pulang tiga kali.
Seperti
ada satu kekuatan yang membimbing, cepat sekali, sosok Pendekar 212 melesat ke
arah sosok yang duduk di atas batu. Sesaat kemudian satu sentakan halus pada
urat besar di lehernya membuat Wiro berada di alamnya semula. Hawa dingin
kembali menyerangnya tapi kali ini dia sanggup bertahan. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri dari batu merah menyala, melangkah kembali ke arah Nyi Roro
Manggut berdiri. Kali ini tak ada lagi terpaan hawa panas di belakangnya. Malah
ketika dia menoleh ke belakang, goa, batu empat persegi, semak belukar dan
jejeran pohon-pohon besar tidak kelihatan lagi, lenyap entah ke mana. Kini dia
dan Nyi Roro Manggut kembali berada di ruangan pertama kali dia masuk.
Wiro
mengenakan baju dan celana putihnya kembali. Setelah menyimpan batu hitam dan
menyisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 dia mendekati Nyi Roro Manggut, membungkuk
dalam-dalam.
"Ah,
bocah ingusan! Tadi ketika datang kau tidak memberi salam dan tidak membungkuk
hormat seperti itu. Sekarang setelah kuberi ilmu sikapmu sopan amat."
Wiro
tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. "Tadi, aku tidak tahu mau menghormat
siapa. Soalnya kau sembunyi di dalam Tirai Samudera Biru."
"Ya,
sudah, kau memang pandai bicara." Dari balik pakaiannya Nyi Roro Manggut
keluarkan sehelai sapu tangan biru muda. "Di wajahmu banyak lelehan darah
yang hampir mengering." Wiro terkejut karena tidak melihat sendiri.
"Waktu kau duduk di batu panas tadi, darah mengucur dari hidung, mulut,
kening, telinga serta pinggiran mata. Biar aku tolong membersihkan.
Merunduklah."
"Ah,
kau baik sekali. Terima kasih Nyi Roro Manggut." Wiro lalu tundukkan
kepalanya. Dengan sapu tangan biru Nyi Roro Manggut membersihkan semua noda
darah yang ada di wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Nyi
Roro Manggut, apakah aku boleh meminta sapu tangan itu?" tanya Wiro.
"Buat
apa?" balik bertanya Nyi Roro Manggut.
"Untuk
kenang-kenangan. Bahwa aku punya seorang sahabat dan tuan penolong di tempat
Ini."
Nyi Roro
Manggut tersenyum. "Sapu tangan bernoda darah ini biar aku yang menyimpan.
Kau ambil yang ini, yang masih baru." Lalu gadis jelita itu keluarkan lagi
sehelai sapu tangan bini mudn dan diserahkannya pada Wiro. Setelah menyimpan
sapu tangan biru bernoda darah Nyi Roro Manggut bertanya. "Sekarang kau
hendak melakukan apa?"
"Kalau
boleh aku ingin cepat-cepat kembali."
Dari
balik pinggang pakaiannya Nyi Roro Manggut keluarkan sebuah benda yang ternyata
adalah sehelai kipas terbuat dari kayu cendana sangat tipis, menebar bau harum.
"Aku
titip kipas ini padamu. Tolong berikan pada kakek yang memberiku kaleng butut
itu."
Wiro
mengambil kipas yang diberikan. Lalu mengamati.
"Kipas
bagus, boleh aku buka?"
Nyi Roro
Manggut mengangguk.
Wiro lalu
membuka kipas kayu cendana itu. Di sebelah dalam kipas itu penuh dengan ukiran
bagus sekali. Di bagian tengah terpampang dua buah ukiran wajah. Satu wajah
seorang pemuda gagah, satunya wajah seorang gadis cantik jelita. Dari ukiran
wajah si gadis Wiro segera mengenali itu adalah wajah Nyi Roro Manggut.
"Nyi
Roro, saya mengenali wajahmu di kipas ini. Kalau aku boleh bertanya, siapakah
wajah pemuda gagah di sebelahmu?"
Nyi Roro
Manggut tersenyum.
"Kau
boleh tanyakan nanti pada Kakek Segala Tahu." Jawab Nyi Roro Manggut.
"Sebenarnya,
apa hubunganmu dengan kakekku itu?" tanya Wiro pula.
Kembali
orang yang ditanya tersenyum dan berkata. "Tanyakan saja pada kakekmu
langsung."
Wiro
garuk-garuk kepala. Lalu lipat kipas kayu cendana itu kembali dan simpan di
balik pakaiannya.
"Nyi
Roro Manggut…." Wiro berdiri dan berucap sambil pandangi wajah cantik
gadis di depannya. "Aku minta diri. Aku sangat berterima kasih atas semua
kebaikan hatimu, mau memberikan Ilmu Meraga Sukma padaku. Sekarang…"
Ketika
Pendekar 212 tidak meneruskan ucapannya Nyi Roro Manggut bertanya.
"Sekarang
apa?"
"Sekarang,
harap kau jangan marah dan menduga yang bukan-bukan…."
"Kau
belum mengatakan bagaimana aku mau marah dan menduga yang bukan-bukan."
Wiio
garuk-garuk kepala. Setelah mengumpulkan keberaniannya baru dia berkata.
"Sekarang,
sebelum pergi bolehkah aku memelukmu?"
Nyi Roro
Manggut terdiam, menatap wajah lang pendekar lalu tertawa merdu. Sambil tertawa
gadis ini kembangkan dua tangannya.
"Gadis
mana tidak bahagia dipeluk oleh pemuda sepertimu," ucap Nyi Roro Manggut.
Kedua Orang itu saling mendekati lalu saling berangkulan erat dan lama.
"Terima
kasih Nyi Roro, kau baik sekali…." bisik Wiro ke telinga Nyi Roro Manggut.
Nafas hangat yang menyapu daun telinganya membuat Nyi Roro Manggut menggeliat
dan mendesah Halus.
"Kau
pemuda hebat. Pantas Naga Biru keluar dari alam batu untuk menemui dan memberi
berkah padamu. Sehingga kau dengan bebas sampai ke ruangan ini…."
"Ah,
jadi kau tahu kejadian itu."
"Semua
apa yang terjadi di kawasan ini tak luput dari perhatianku walau sepanjang hari
-aku berada dalam Tirai Samudera Biru. Wiro, jika ada kesempatan datanglah
kembali ke sini. Dengan membekal sapu tangan biru itu kau bisa bebas melewati
setiap pintu yang menuju ke tempat kediamanku."
"Undanganmu
itu akan sangat aku perhatikan Nyi Roro," jawab Wiro seraya tangannya
mengusap membelai punggung lembut Nyi Roro Manggut.
Nyi Roro
sendiri dengan manja susupkan kepalanya ke dada bidang Pendekar 212 Wiro
Sableng. Tiba-tiba suara alunan gamelan di kejauhan lenyap. Bau harum semerbak
tubuh dan pakaian Nyi Roro Manggut juga sirna, berganti dengan bau lain yang
kurang sedap. Sosok yang dipeluk Wiro penuh mesra itu terasa lain, seperti
menggantung di atas lantai ruangan.
Perlahan-lahan
Wiro buka dua matanya yang dipejamkan.
"Astaga!"
Wiro
melihat. Mendelik besar. Ternyata yang dipeluknya saat itu bukan sosok Nyi Roro
Manggut yang berupa gadis cantik jelita melainkan Nyi Roro Manggut yang pertama
kali dilihatnya yakni seorang nenek cebol bermata Juling dan tiada hentinya
manggut-manggut. Wiro cepat lepaskan pelukannya.
Nyi Roro
Manggut tertawa panjang, melompat turun ke lantai lalu lari ke tengah ruangan.
Duduk di atas bantalan tebal. Tirai kain biru bergerak memutar. Sesaat kemudian
sosok Nyi Roro Manggut si nenek lenyap di balik Tirai Samudera Biru.
Wiro
pencongkan mulutnya, bahunya terlonjak-lonjak beberapa kali. Kemudian dia
melangkah mendekati tirai lalu membungkuk dalam-dalam.
"Nyi
Roro Manggut, aku Wiro Sableng mohon diri. Sekali lagi aku mengucapkan terima
kasih atas budi baikmu."
"Selamat
jalan bocah ingusan. Jaga dirimu baik-baik. Ingat, jangan pergunakan Ilmu
Meraga Sukma untuk mengintip gadis kencing…."
"Eh,
bagaimana dia bisa tahu?" pikir Wiro.
Lalu
sambil menggeleng-geleng dan garuk-garuk kepala dia melangkah ke pintu. Di
belakangnya terdengar suara tawa panjang dan merdu Nyi Roro Manggut.
TAMAT
No comments:
Post a Comment