Rumah Tanpa Dosa
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
1
WULAN
Srindi buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Tubuhnya terasa lemas,
saat itu sudah tiga kali dia mendengar ada langkah-langkah kaki di depan pintu
kamar, tempat di mana sekian lama dia disekap. Ini kali ke empat.
Perlahan-lahan gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih ini bangkit dari
berbaringnya, duduk di tepi tempat tidur, memandang nanar ke arah pintu yang
terkunci. Untung sebelum pergi manusia pocong yang membawanya ke dalam kamar
itu mau berlaku baik melepaskan totokan. Tapi totokan tidak dilepas penuh,
hanya dua pertiganya. Sisa tenaga yang ada hanya sekedar bisa menggerakkan
tangan dan kaki. Tidak mungkin menggerakkan tenaga dalam atau menyalurkan hawa
sakti, apa lagi menjebol pintu mencoba melarikan diri.
Perlahan-lahan
Wulan Srindi melangkah ke pintu. Dia perhatikan keadaan pintu itu sejenak.
Tidak dapat dipastikan apakah terbuat dari batu atos atau besi karena dicat
putih. Pada daun pintu tepat di arah kepala ada sebuah lobang berbentuk kotak
empat persegi. Tak diketahuinya lobang apa itu adanya dan apa kegunaannya.
Wulan tempelkan telinga kiri ke daun pintu. Lagi-lagi dia mendengar suara
langkah itu. Mungkin pengawal, pikir si gadis. Ketika untuk kesekian kalinya
dia mendengar suara langkah orang, Wulan menegur. “Siapa di luar?”
Tak ada
jawaban. Tapi suara kaki melangkah mendadak berhenti.
“Siapa di
luar? Mengapa tidak menjawab?” Wulan mengulangi teguran.
Tiba-tiba
sret! Kotak kecil di depan kepala Wulan Srindi terbuka. Si gadis mundur satu
langkah, memandang memperhatikan ke arah kotak. Dia melihat satu kepala
mengenakan kerudung kain putih. Dua buah mata di balik lobang kecil memandang
berkilat, tak berkesip ke arahnya. Kepala itu mendekat hingga kini hanya salah
satu matanya saja yang berada dalam kotak.
Wulan
perhatikan kilatan yang memancar dari mata di dalam kotak. Dia merasa ada satu
getaran dahsyat dan panas. Itulah cara memandang laki-laki yang gairah terhadap
kecantikan dan kebagusan tubuh seorang gadis. Namun gairah itu disertai rasa
takut yang membuatnya bersikap bimbang.
“Manusia
pocong, kau siapa sebenarnya?”
“Gadis
dalam kamar, kau tak layak bertanya,” jawab orang di luar kamar.
Wulan
mendengar suara keras tapi bergetar pertanda ucapannya dipengaruhi oleh sesuatu
yang ada dalam hatinya.
Manusia
pocong di luar kamar hendak menutup kotak di pintu.
Wulan
cepat berkata.
“Tunggu!”
“Apa
maumu?” “Namaku Wulan Srindi. Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih…”
“Tak usah
banyak bicara. Kami di sini tahu semua siapa dirimu adanya!” menukas manusia
pocong di balik pintu kamar. Dalam hati orang ini merasa heran dan bicara
sendiri. “Wakil Ketua agaknya belum memberi minuman pelupa diri pelupa ingatan
pada gadis ini. Mungkin dia kelupaan atau mungkin memang disengaja? Hemmm, aku
tahu mengapa gadis satu ini diperlakukan istimewa. Wakil Ketua ingin
bersenang-senang. Mungkin dia merasa kurang nikmat kalau si gadis berada dalam
keadaan lumpuh dan hilang ingatan.”
Wulan
melihat kepala berkerudung putih bergerak menjauh dari pintu.
“Tunggu,
jangan pergi. Dengar dulu ucapanku. Kalau kau mau menolongku keluar dari tempat
celaka ini, aku akan berikan apa saja yang kau minta.”
Dibalik
penutup kepala kain putih si manusia pocong menyeringai.
“Kau tak
bisa membujuk diriku. Tidak siapa-pun di tempat ini bisa dibujuk. Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!”
Wulan
Srindi terdiam. Namun di lain saat gadis ini keluarkan tawa panjang.
“Kenapa
kau tertawa?” manusia pocong bertanya.
“Kukira
kau satu-satunya manusia cerdik di tempat ini. Ternyata kau sama saja tololnya
dengan manusia-manusia pocong lainnya!”
“Gadis
kurang ajar! Jangan berani berlancang mulut di tempat ini!”
“Hemm…
Ternyata benar ucapanku. Aku seorang perempuan lebih berani dari kau seorang
lelaki! Buktinya kau menutupi kepala dengan kain putih. Pasti ada sesuatu yang
kau takutkan!”
“Kami
Barisan Manusia Pocong tidak ada satupun yang ditakuti di
dunia
ini. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua!”
“Sudah,
pergi sana! Aku muak mendengar ucapanmu!”
Wulan
Srindi berpura-pura mundur menjauhi kotak di pintu.
Pancingannya
mengena. Manusia pocong sebaliknya kini malah
mendekatkan
matanya ke lobang kotak.
“Pertolongan
macam apa yang kau inginkan?” “Aku sudah katakan tadi. Keluarkan aku dari
tempat ini. Dan aku akan memberikan apa saja yang kau kehendaki!”
“Kami
telah mengeledah pakaianmu. Kau tidak membawa bekal apa-apa waktu masuk ke
sini. Tidak memiliki barang perhiasan tidak juga uang.”
“Apakah
perhiasan dan uang dua hal penting berharga di dunia ini bagi seorang laki-laki
sepertimu?” tanya Wulan Srindi sambil
dekatkan
wajahnya ke lobang kotak.
“Apa
maksudmu?” Manusia pocong di balik pintu bertanya.
Wulan
Srindi tersenyum. Sambil mata setengah dipejamkan dan lidah merah basah
diulurkan membelai bibir dia berkata lirih, berusaha merayu memikat.
“Aku
tahu, mungkin kau sudah begitu lama berada di tempat ini. Menjalankan tugas
penting dari Sang Ketua. Hingga tidak memikirkan lagi kepentingan dan
kebahagiaan diri sendiri. Terkadang uang atau perhiasan, tidak ada artinya
dibanding dengan kebahagiaan dan kenikmatan yang kau dapat dari seorang gadis
sepertiku.”
“Gadis,
kau bicara terlalu berani. Jangan kau coba merayu diriku…”
“Dengar,
aku kini percaya. Kau tidak sama dengan manusia pocong lain yang ada di tempat
ini. Tolong diriku. Keluarkan aku dari sini. Apa sulitnya bagimu? Begitu kita
berada diluar, maka aku adalah milikmu. Tidak hanya sebentar, tapi selama kau
membutuhkanku. Itu tanda terima kasihku padamu.”
“Kau mau
menipuku!”
Alis
kanan Wulan Srindi mencuat ke atas. Dia tersenyum lalu berkata. “Kalau begitu,
agar tidak ada yang tertipu di antara kita, pembicaraan cukup sampai di sini.”
Wulan
Srindi melangkah mundur menjauhi lobang di pintu.
“Apakah
aku bisa mempercayai dirimu?” Manusia pocong bertanya.
“Kepercayaan
harus datang dari dua belah pihak,” jawab Wulan Srindi
Si
manusia pocong terdiam. Seperti berpikir.
“Baik,”
katanya kemudian. “Kau tunggu sebentar. Ada sesuatu yang harus aku periksa. Kau
tunggu sampai aku kembali.”
“Jangan
terlalu lama,” kata Wulan Srindi.
Memang
gadis itu tidak menunggu lama.
Beberapa
saat kemudian si manusia pocong kembali muncul. Wulan mendengar suara berdesir.
Lalu perlahan-lahan dilihatnya pintu putih terbuka.
“Lekas!”
kata manusia pocong. Cepat dia menarik lengan si gadis.
Sambil
melangkah Wulan Srindi coba kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti. Ternyata
dia masih tidak mampu melakukan. Mau tak mau gadis ini terpaksa mengikuti saja
ke mana manusia pocong itu menariknya. Orang membawanya memasuki lorong,
berputar-putar demikian rupa hingga kepalanya pusing. Dia berjalan dengan tubuh
terhuyung.
“Apa kau
tidak bisa jalan lebih cepat?” Manusia pocong bertanya antara tidak sabaran dan
rasa kawatir.
“Diriku
masih setengah tertotok. Kalau kau mau melepaskan totokan di tubuhku, aku tidak
akan merepotkanmu. Malah aku bisa lari mengikutimu.”
“Yang
menotokmu adalah Wakil Ketua. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua dan dia sendiri,
tidak ada orang lain yang mampu membebaskanmu,” jawab manusia pocong. Lalu dia
hentikan langkah, bungkukkan tubuhnya sedikit. Di lain saat Wulan Srindi sudah
berada di atas panggulannya.
“Kau mau
membawa aku ke mana?” tanya gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih itu.
“Kau
minta tolong dikeluarkan dari dalam goa. Kenapa masih bertanya?” Manusia pocong
agak jengkel.
“Goa? Aku
disekap dalam kamar.”
“Kamar
ini ada dalam goa. Goa ini memiliki seratus tiga belas lorong. Bagi orang luar
tidak mudah masuk dan keluar. Sekali tersesat berarti kematian. “
“Tapi aku
harus tahu kau mau membawa aku ke mana.”
“Ada satu
pondokan di kawasan bukit batu. Aku akan membawamu ke sana. Sudah, jangan
banyak bertanya. Dinding lorong ini punya seribu telinga!” Manusia pocong
mempercepat larinya. Tak lama kemudian Wulan Srindi dapatkan dirinya telah
keluar dari dalam lorong sangat panjang dan berliku. Matanya berputar mengawasi
keadaan sekelilingnya. Dia berada di kawasan bukit berbatu-batu. Saat itu fajar
telah menyingsing namun karena kabut mengambang di manamana, keadaan tampak
masih gelap. Hal ini menguntungkan dua orang yang melarikan diri itu karena
sosok mereka tidak mudah terlihat.
Setelah
melewati gundukan batu-batu besar, manusia pocong memutar arah lari ke sebelah
timur. Wulan melihat satu jalan menurun lalu ada kali kecil menghadang di ujung
jalan. Orang yang memanggulnya membelok ke kanan, menyusuri kali ke arah hulu.
Melihat
kali, Wulan lalu berkata. “Turunkan aku di sini saja. Aku bisa mencari jalan
sendiri.”
“Perjanjian
kita tidak begitu,” jawab manusia pocong yang memanggul si gadis dan terus saja
lari.
Wulan
Srindi menggigit bibir. Dia berhasil membujuk orang mengeluarkan dirinya dari
dalam tempat sekapan. Bahaya pertama sudah lewat.
Kini ada
bahaya berikutnya. Bagamana dia bisa membebaskan diri dari tangan manusia
pocong satu ini.
“Aku mau
membersihkan diri dulu di kali. Turunkan aku barang sebentar.”
Manusia
pocong tidak perdulikan permintaan Wulan Srindi. Dia terus saja lari.
Jalan
yang ditempuh semakin sulit karena bebatuan menebar sangat banyak dan tebal
berlapis lumut. Wulan Srindi maklum orang yang melarikannya itu selain memiliki
tenaga dalam juga membekal ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Karena tidak
mudah untuk lari di atas batu-batu yang diselimuti lumut licin. Selewatnya
kawasan berbatu mereka memasuki satu rimba belantara kecil tapi sarat semak
belukar dan pepohonan yang tumbuh sangat rapat. Di antara kerapatan pepohonan
serta semak belukar itulah kemudian Wulan Srindi melihat sebuah pondok kayu tak
berpintu. Salah satu dindingnya telah jebol. Dan kesinilah manusia pocong itu
membawanya.
Wulan
Srindi dibaringkan di lantai pondok kotor berdebu. Gadis ini cepat bangkit dan
melangkah ke sudut pondok. Tadinya dia hendak bergerak ke pintu. Tapi manusia
pocong itu tegak di depan pintu seolah sengaja menghadang. Sesaat orang ini
tegak diam memperhatikan si gadis. Nafasnya memburu karena berlari sejauh itu
sambil mendukung Wulan Srindi. Apa lagi saat itu nafsu mulai merambat membakar
aliran darahnya. Dari tempatnya berdiri di dalam pondok orang ini memperhatikan
keluar. Mata dan telinga dipasang tajam-tajam. Tak ada gerakan mencurigakan.
Tak ada orang yang mengikuti. Dia juga tidak mendengar suara apa-apa selain
hanya suara kumbang hutan menggeru bersahut-sahutan.
Manusia
pocong balikkan tubuh. Wulan Srindi tahu, kini bahaya besar mengancam
kehormatan dan keselamatan dirinya. Dia harus bisa menipu orang ini, paling
tidak mengulur waktu.
“Kau
telah menolongku. Aku berterima kasih. Sayang aku tidak bisa melihat wajahmu.
Hingga kalau kelak bertemu aku mungkin tidak mengenal dirimu.”
Manusia
pocong keluarkan suara tertawa.
“Kau tak
perlu melihat wajahku. Apa lagi mengenal siapa diriku. Budi pertolonganku
berpangkal pada janji yang kau ucapkan sewaktu masih berada dalam kamar
sekapan. Saatnya kau menepati janji. Saatnya aku menagih janji.”
“Tapi aku
ingin lebih dulu melihat wajahmu. Dan kalau kau percaya, lakukan sesuatu agar
totokan di tubuhku musnah.”
“Saat ini
tidak ada lagi waktu untuk bicara. Yang ada waktu untuk bekerja.” Habis berkata
begitu manusia pocong tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah ternyata dia
mengenakan satu pakaian ringkas berupa baju dan celana panjang hitam. Masih
dengan kepala tertutup kerudung putih dia melangkah mendekati Wulan Srindi.
“Buka
pakaianmu,” perintah manusia pocong.
“Dengar,
kita perlu bicara dulu.”
“Aku
sudah bilang tak ada waktu untuk bicara! Kalau kau berusaha menipu dan tidak
mau menanggalkan pakaian, aku bisa melakukannya. Tapi aku akan melakukan secara
kejam. Jangan berani mengingkari perjanjian yang kau buat sendiri! Ingat
ucapanmu waktu di dalam kamar sekapan. Kau mengatakan mau memberi kebahagiaan
dan kenikmatan padaku. Kau bilang begitu berada di luar dirimu adalah milikku
selama aku membutuhkanmu! Sekarang jangan berani mencari dalih!”
“Aku
tahu. Aku juga tahu kau orang baik-baik. Aku…”
“Aku akan
menanggalkan semua pakaianku. Harap kau melakukan hal yang sama. Pada saat
semua pakaianku sudah kutanggalkan dan kau masih tidak berbuat apa-apa, aku
akan menghajarmu sampai sekarat. Aku memang lebih suka melihat dan menggauli
perempuan dalam kesakitan.” Lalu manusia pocong buka baju hitamnya.
“Aku
mohon…”
Wulan
Srindi balikkan badan ke sudut pondok. Tak berani memperhatikan ketika orang di
hadapannya bergerak menanggalkan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya.
Diam-diam Wulan kembali berusaha mengerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa
sakti. Tetap saja dia tidak mampu memusnahkan kekuatan totokan yang masih
menguasai dirinya. Totokan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong memang luar
biasa.
Tiba-tiba
Wulan Srindi merasa ada tangan mencengkeram punggung pakaiannya. Lalu breeet!
Pakaian itu robek sampai ke pinggang. Wulan Srindi menjerit. Dia balikkan tubuh
sambil hantamkan satu pukulan. Tapi pukulan itu begitu lemah. Jangankan tenaga
dalam, tenaga luarnya sajapun tidak punya daya apa-apa. Manusia pocong biarkan
jotosan lemah itu mendarat di dadanya. Tidak terasa apa-apa, hanya seperti
diusap.
Manusia
pocong menyeringai, mendekat penuh nafsu.
“Aku
mohon, jangan kau apa-apakan diriku. Aku bersedia jadi istrimu…” Wulan
keluarkan ucapan, masih berusaha membujuk dan mengulur waktu.
“Kehidupan
dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tidak mengenal apa yang dinamakan
istri! Percuma kau membujukku!”
Tiba-tiba
tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini menyambar ke dada si gadis. Untuk
kedua kalinya Wulan Srindi memekik. Dada pakaiannya robek besar. Tapi pekikan
si gadis kali ini juga dibarengi jeritan si manusia pocong. Entah apa yang
terjadi tubuhnya terpental ke kiri, menghantam dinding pondok yang lapuk hingga
terpentang jebol lalu terlempar ke halaman samping. Bersamaan dengan itu satu
suara tawa mengekeh menggema dalam pondok. Bau harum aneh menebar menyengat
hidung.
“Gluk…
gluk… gluk!”
Ada suara
orang menenggak minuman dengan amat lahap.
**********************
2
DALAM
kagetnya Wulan Srindi pentang mata mendelik, memandang ke depan. Seorang kakek
berjanggut putih menjulai dada, berpakaian selempang kain biru tegak di tengah
pondok sambil tertawa gelak-gelak. Tangan kirinya memegang sebuah bumbung
terbuat dari bambu. Bibir bumbung didekatkan ke mulut. Sikakek lantas buka
mulutnya lebarlebar. Tak ada benda yang mengucur dari dalam bumbung itu.
“Aku
tidak mengenal kakek ini. Apakah dia barusan yang jadi sang penolongku?”
membatin Wulan Srindi. Hatinya harap-harap cemas. Dalam rimba persilatan tanah
Jawa seribu satu macam manusia gentayangan di mana-mana. Terkadang sulit
diterka mana kawan dan mana lawan.
Si kakek
goyang-goyang bumbung di atas mulutnya. Tetap saja tak ada tak ada cairan yang
keluar dari dalam bumbung bambu. Si kakek memaki sendiri.
“Sial!
Kenapa cepat sekali habisnya! Aku tidak memeriksa lagi. Baru tahu saat mau
minum kali ini. Pasti waktu di gunung si Sinto menenggak bukan cuma satu dua
teguk. Nenek geblek! Katanya tidak doyan, tapi tuakku diteguk amblas!”
Entah
disengaja atau memang kebetulan, secara acuh tak acuh kakek ini lemparkan ke
kiri bumbung bambu yang dipegangnya. Saat itu justru manusia pocong yang
terlempar keluar pondok dalam keadaan marah besar tengah melompat masuk ke
dalam pondok untuk mendamprat dan menyerang si kakek. Namun setengah jalan
kepalanya keburu dihantam bumbung bambu hingga kembali dia terpental. Di balik
kain putih penutup kepala, keningnya luka dan benjut besar. Darah mengucur
membuat kain putih di atas kepalanya basah merah.
Seperti
tidak ada kejadian apa-apa, tidak melihat dan tidak mendengar jerit kesakitan
serta caci maki orang, kakek di dalam pondok ambil tabung bambu kedua yang
tergantung di punggungnya. Penutup tabung di buka, dicampakkan seenaknya ke
lantai. Kepala didongakkan lalu tabung diangkat tinggi-tinggi di atas mulut.
Cairan bening yang menebar bau harum menyengat hidung mengucur keluar. Si kakek
cepat buka mulutnya lebar-lebar.
“Gluk…
gluk… gluk!”
Si kakek
meneguk tuak harum yang mengucur keluar dari dalam bumbung bambu dengan lahap.
Matanya sebentar mendelik, sebentar dipejamkan. Sebagian dari tuak membasahi
wajahnya yang keriput, membasahi kumis dan janggut putih serta membasahi dada
pakaian birunya. Tak selang berapa lama baru si kakek turunkan bumbung bambu.
Mukanya kelihatan merah. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu mengusap mulut.
“Tuak
enak, benar-benar sedap. Tak salah kalau orang menyebutnya tuak kayangan. Malah
kalau benar ada tuak di kayangan sana, rasanya mungkin tidak selezat tuakku
ini!” Si kakek tertawa mengekeh sambil usap-usap bumbung bambu. Lalu mulutnya
bicara kembali seenaknya, seolah dia hanya sendirian di tempat itu.
“Mengusap
bumbungnya saja nikmatnya seperti mengusap pantat perempuan montok. Ha… ha…
ha!”
Wulan
Srindi yang sejak tadi memperhatikan si kakek dari sudut pendek jadi tercekat.
“Jangan-jangan
kakek yang kuanggap sebagai tuan penolong ini ternyata adalah seekor bandot tua
doyan tanaman muda,” murid Perguruan Silat Lawu Putih itu membatin. “Anehnya
lagi masakan dia tidak tahu aku ada di sini. Mungkin berpura-pura…” Si gadis
semula hendak memanggil tapi kemudian memutuskan untuk diam saja sambil
memperhatikan terus gerak-gerik orang tua berselempang kain biru itu.
Si kakek
sangkutkan kembali bumbung tuaknya di punggung.
Dia
perhatikan lantai pondok.
“Uh,
kotornya. Debu tebal sampai sejempol. Tadinya aku berniat istirahat
tidur-tiduran di tempat ini barang sehari dua. Kalau kotor begini siapa sudi!
Uh! Malam-malam tidak mustahil tikus dan kecoak mampir di sini. Baiknya aku
pergi saja…”
Si kakek
betulkan letak bumbung bambu di punggung, usap-usap dada pakaiannya yang basah,
membelai jenggotnya yang putih panjang dan juga basah lalu putar tubuh
melangkah ke pintu pondok.
“Kek!”
Si kakek
tertegun berjingkrak. Kelihatan kaget sekali. Entah kaget benaran entah cuma
pura-pura. Dua kaki berhenti melangkah, bahu diputar dan kepala dipalingkan ke
sudut pondok dari mana barusan dia mendengar suara orang menegur.
“Astaga
naga!” si kakek pelototkan mata, usap janggutnya dan balikkan tubuh. “Luar
biasa! Kukira tadi aku sendirian di tempat ini. Untung tadi aku tidak loloskan
celana, dan kencing di sudut pondok sana.” Si kakek geleng-geleng kepala. Lalu
tertawa mengekeh. “Makin lanjut umurku, makin pikun diriku. Bagaimana mungkin
sejak tadi aku tidak melihat, tidak mengetahui kalau ada seorang gadis cantik
di dalam pondok ini. Tapi, ah! Pakaianmu mengapa tidak karuan begitu rupa.”
Si kakek
tutupkan lima jari tangan kanannya di atas dada, tapi jari-jari itu dipentang
lebar hingga tetap saja dia bisa melihat jelas keadaan dada si gadis yang
tersingkap.
Wulan
Srindi baru sadar keadaan dada bajunya yang tersingkap lebar akibat robekan
manusia pocong tadi. Cepat-cepat gadis ini rapikan pakaiannya.
“Kek kau
siapa?” Wulan Srindi bertanya.
Berbarangan
dengan itu si kakek juga ajukan pertanyaan.
“Gadis
cantik, kau siapa?”
Dua-duanya
kemudian sama tertawa. Si kakek maju selangkah, pandangi Wulan Srindi dari
kepala sampai ke kaki.
“Kau
orang sungguhan? Eh, kakimu nginjak lantai apa tidak? Hik… hik… hik!”
“Eh,
memangnya aku ini kau lihat bagaimana Kek?”
“Pondok
ini terpencil dalam rimba belantara. Di kawasan bukit batu jarang didatangi
manusia. Ada seorang gadis cantik begini rupa. Bagaimana aku tidak curiga?”
“Nyatanya
kau sendiri berada di sini,” tukas Wulan Srindi si gadis berkulit hitam manis.
“Berarti aku juga pantas merasa curiga.”
“Aku
muncul di sini kebetulan saja. Eh, jawab dulu kau ini orang sungguhan, bukan
peri bukan dedemit hutan yang muncul menyamar jadi gadis cantik?”
Wulan
Srindi tertawa lebar.
“Terkadang
hantu juga bisa muncul dalam ujud seperti dirimu sekarang ini, Kek.”
Si kakek
angkat tangannya, digoyang-goyang seraya berkata. “Sudah, sudah! Jangan bicara
segala macam hantu dan dedemit. Nanti kita berdua pada kesambet dan jadi hantu
dedemit sungguhan.”
“Kek, kau
telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih.” Wulan Srindi berkata sambil
bungkukkan diri. Karena gerakan ini, dada pakaiannya kembali tersingkap. Si
kakek mendelik menahan nafsu ketika melihat dada yang terbuka itu. Sambil
usap-usap jenggotnya dia memandang ke arah pintu. Saat itu terdengar suara
menggembor disertai makian keras.
“Tua
bangka jahanam! Kupecahkan kepalamu!”
“Eh,
siapa yang bicara?” kejut si kakek. Dia celingukan sebentar lalu berpaling ke
kiri. Di saat bersamaan satu sosok berkelebat. Satu jotosan dahsyat menderu ke
arah pelipis kiri si kakek. Kalau dia tidak lekas menghindar kepalanya pasti
kena dihantam rengkah!
Sambil
berseru kaget, orang tua yang membekal bumbung tuak di punggungnya itu cepat
melompat mundur. Ketika dia hendak balas menyerang, baru disadarinya dengan
siapa dia berhadapan.
“Aha! Ini
baru dedemit sungguhan! Muka ditutup kain putih berdarah. Tapi mengapa tubuh
sebelah bawah polos tidak pakai apaapa! Gila betul! Apa tidak masuk angin?
Pemandangan merusak mata! Kalau seorang gadis berkeadaan sepertimu pasti aku
tidak menolak melihat! Tapi yang macam kamu! Wuaallah! Dedemit geblek! Pergi
sana!”
Ketika
orang tanpa pakaian itu berkelebat kirimkan serangan ke arah si kakek Wulan
Srindi telah lebih dulu membuang muka, memandang ke jurusan lain.
Si
manusia pocong dengan satu-satu pakaian yang dikenakannya saat itu hanyalah
kain penutup kepala, seolah baru sadar jadi kelabakan melihat keadaan dirinya.
Dia segera menyambar jubah putih miliknya yang ada di lantai. Tapi si kakek
lebih dulu menarik jubah itu dengan jempol kaki kirinya, lalu dilempar lewat
pintu keluar pondok.
Manusia
pocong jadi kalap.
“Tua
bangka jahanam!” Dia memaki.
Si manusia
pocong lalu hantamkan dua tangannya sekaligus ke arah si kakek. Dua gelombang
angin menderu dahsyat. Pondok bergoyang seperti mau roboh. Sebelum dua
gelombang angin menyapa si kakek, manusia pocong telah melompat susul
serangannya dengan kirimkan pukulan berantai, dua tangan kiri kanan sekaligus.
Kakek
berselempang kain biru melihat dan merasa dua gelombang angin maut menderu ke
arah dirinya. Cepat dia melompat ke atas hingga kepalanya hampir menyundul atap
pondok.
“Braakk!
Braakkk!”
Dinding
pondok sebelah kanan hancur berantakan di hantam dua angin pukulan manusia
pocong. Manusia pocong berteriak marah. Tidak Perdulikan keadaan dirinya yang
tanpa pakaian sama sekali dengan nekad dia mengejar ke depan. Saat itu si kakek
telah melayang turun kembali sambil dua tangannya sambuti pukulan berantai
lawan.
“Bukk!
Bukkk!”
Dua
tangan saling memukul, saling beradu di udara mengeluarkan suara bergedebukan
tiada hentinya. Satu kali si kakek gerakkan tangan kanan, memutar bumbung bambu
ke depan. Ketika jotosan tangan kanan lawan datang, dengan cepat si kakek
sodokkan pantat bumbung bambu ke arah serangan.
“Krakk!”
Seolah
tidak mendengar suara apa-apa si kakek buka kain penutup bumbung, dongakkan
kepala, buka mulut dan kucurkan tuak di dalam bumbung.
“Gluk…
gluk… gluk!”
Enak saja
si kakek meneguk tuak harumnya sementara di depannya si manusia pocong menjerit
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya yang telah hancur mulai dari
ujung lima jari sampai pengkal pergelangan!
“Orang
gila! Jangan berisik di tempat ini! Pergi sana!” maki si kakek. Lalu tuak
diteguknya satu kali lagi. Setelah itu tuak yang ada dalam mulut disemburkan ke
arah manusia pocong.
“Cuaahhh!”
“Wusss!”
Cairan tuak yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu laksana ratusan jarum
menderu ke arah manusia pocong yang sedang menjerit-jerit kesakitan karena
tangan kanannya yang hancur. Dia tak mampu berkelit, tak sanggup menangkis.
Sosoknya terlempar jauh keluar pondok, terbanting di tanah. Lebih dari empat
lusin lobang muncul di permukaan kulit tubuhnya yang kelihatan hancur, menyusup
ke daging terus ke tulang! Dari lobang-lobang itu mengepul asap kelabu! Si
manusia pocong keluarkan pekik keras, tubuhnya menggeliat beberapa kali lalu
diam tak berkutik lagi. Mati!
Seumur
hidup baru sekali itu Wulan Srindi melihat kematian orang akibat semburan
cairan tuak. Sementara si gadis masih setengah terkesiap, si kakek melangkah
keluar pondok yang sudah doyong dan siap roboh, mendekati mayat manusia pocong.
Dia tarik kain putih yang menutupi kepala orang. Satu wajah tua bundar dan ada
tahi lalat besar di dagu kiri tersingkap. Lama si kakek pandangi wajah itu
hingga perlahan-lahan dua alis matanya yang putih mencuat ke atas. Setelah
menarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala kakek ini keluarkan ucapan. Nada
suaranya menyatakan kesedihan.
“Sahabatku
Ki Sepuh Dalemkawung, benarkah kau ini? Kalau tidak melihat tahi lalat di
dagumu, aku mungkin masih menaruh ragu. Mengapa kau berubah jadi orang jahat?
Kalau tadi-tadi aku tahu ini adalah dirimu, mungkin aku tidak akan tega
membunuhmu.”
Wulan
Srindi tidak berani mendekati. Dari tempatnya berdiri gadis ini bertanya.
“Kek, kau
kenal orang itu?”
Si kakek
melangkah kembali masuk ke dalam pondok.
“Namanya
Sepuh Dalemkawung. Belasan tahun lalu kami pernah bersahabat. Dia orang baik.
Ilmunya tinggi. Serangan tangan kosong yang dilakukannya tadi adalah pukulan
Dua Gelombang Menjebol Dinding Karang. Dia pernah berulang kali membantu
Kerajaan menghancurkan kaum pemberontak di kawasan timur. Adalah aneh kalau
kini dia berbuat seperti ini, berdandan seperti pocong hidup, melakukan
kejahatan, terutama terhadap orang-orang perempuan. Menyedihkan sekali seorang
sahabat menemui ajal mengenaskan seperti ini. Dan gilanya, aku yang
membunuhnya!” Si kakek tepuk keningnya sendiri.
“Kek,”
ujar Wulan Srindi. “Kau tidak membunuh seorang sahabat. Yang kau bunuh adalah
kejahatan.” Si gadis coba menghibur.
Si kakek
tersenyum tawar. Dia hendak meneguk tuak dalam bumbung tapi tak jadi, malah
keluarkan ucapan penyesalan. “Ki Sepuh, kalau saja kau masih hidup dan bisa
bicara, menerangkan apa sebenarnya yang terjadi, aku mungkin bisa mencari tahu
siapa yang jadi biang kerok kejahatan ini.”
Memandangi
si kakek Wulan Srindi lalu ingat. Tahu diri kalau orang benar-benar telah
menolongnya si gadis melangkah ke hadapan si kakek lalu jatuhkan diri berlutut.
“Kek, aku
sangat berterima kasih. Kalau kau tidak muncul saat ini pasti aku sudah…”
Si kakek
usap kepala Wulan Srindi.
“Bangunlah,
tidak pantas manusia berlutut di hadapan manusia lainnya. Aku hanya tidak
mengerti, bagaimana gadis cantik sepertimu bisa kesasar di tempat ini dan tadi
hampir saja dikerjai makhluk terkutuk itu. Gadis, siapa namamu?” “Kek, namaku
Wulan Srindi…”
“Pantas
wajahmu cantik seperti bulan.” Memuji si kakek.
“Aku
murid Perguruan Silat Lawu Putih. Aku dan kakak seperguruan yang menjadi Ketua
Perguruan, meninggalkan perguruan beberapa waktu lalu untuk menyelidiki
pembunuhan atas diri guru dan bekas Ketua kami Surablandong. Kami bernasib
malang. Kakak seperguruanku menemui ajal di tangan manusia pocong. Aku
sendiri…”
“Manusia
pocong?” tanya si kakek.
“Betul
Kek. Salah satu diantaranya yang barusan kau bunuh.”
“Hemm,
dalam perjalanan ke sini beberapa kali aku mendengar makhluk-makhluk itu
disebut orang. Aneh tapi jahat. Kabarnya mereka menculik perempuan-perempuan
bunting. Apa betul?” “Betul sekali Kek…” Lalu Wulan Srindi menuturkan kisahnya,
mulai dari penyamaran yang dilakukannya bersama Ketua Perguruan Silat Lawu
Putih sampai akhirnya dirinya diculik.
“Aneh,
buat apa? Mau diapakan perempuan-perempuan hamil itu?”
“Itu
sebenarnya salah satu hal yang ingin kami selidiki.” Jawab Wulan Srindi pula.
“Murid
yang tengah aku cari, seperti dirimu pasti tidak dalam keadaan bunting. Tapi
melihat dirimu yang juga tidak bunting hampir jadi korban bukan mustahil
muridku bisa pula celaka di tangan makhluk keparat itu. Siapa manusia-manusia
pocong itu sebenarnya?”
“Aku
belum sempat menyelidik. Tahu-tahu sudah kena diculik.”
Si kakek
usap-usap janggut panjangnya.
“Hemm…”
si kakek bergumam. “Turut penuturanmu jelas manusia-manusia pocong ini punya
satu komplotan. Kalau yang disebut Wakil Ketua, tentu ada Ketua. Pasti pula
mereka punya banyak anak buah. Lalu sarang mereka pasti dijadikan tempat
penyekapan perempuan-perempuan hamil itu. Kalau katamu kau dibawa ke sini
sesaat setelah fajar menyingsing, lalu sampai di sini tak selang berapa lama,
berarti markas komplotan itu tidak berapa jauh dari tempat ini.”
“Mungkin
begitu Kek. Satu hal perlu aku beritahu sarang komplotan itu merupakan satu goa
batu. Di dalamnya ada puluhan lorong aneh, panjang dan berliku-liku. Sekali
tersesat masuk dan tak bisa keluar pasti menemui ajal. Menurut manusia pocong
yang membawaku ke sini, lorong itu disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
Si kakek
goleng-goleng kepala.
“Makin
tua umur dunia, makin banyak keanehan terjadi,” kata si kakek lalu dia meneguk
tuaknya beberapa kali.
“Aku
harus menyelidiki tempat itu sebelum bencana semakin merajalela.”
“Aku ikut
bersamamu Kek.” Kata Wulan Srindi pula.
Si kakek
tersenyum.
“Mendekatlah
ke hadapanku,” kata si kakek.
Wulan
Srindi mengikuti perintah. Dia melangkah ke hadapan orang tua itu. Si kakek
pandangi gadis di depannya dari kepala sampai ke kaki.
“Kek, ada
apa?” Si gadis menjadi risih tidak enak.
“Aku
melihat ada kelainan pada gerak-gerikmu…”
“Kek,
sebenarnya aku masih dalam keadaan tertotok.”
“Ah,
benar dugaanku. Tapi totokan yang menguasai dirimu bukan totokan sembarangan.
Anehnya kau masih bisa bergerak, bisa bicara dan mampu berpikir. Membaliklah.
Tahan nafas dan pejamkan mata.”
“Menurut
orang yang barusan kau bunuh, hanya Wakil Ketua dan Ketua manusia pocong yang
bisa membebaskan diriku dari totokan ini.”
“Begitu?
Coba kulihat. Ayo melangkah ke sini.”
Wulan
Srindi ikuti perintah. Dia melangkah mendekati si kakek.
“Baliklah
tubuh. Hadapkan punggungmu padaku. Tahan nafas dan pejamkan mata.”
Kembali
Wulan Srindi lakukan apa yang dikatakan si orang tua.
Begitu
dia menahan nafas dan pejamkan mata, satu tusukan halus melanda punggungnya.
Walau tusukan itu halus dan lembut tapi akibatnya membuat tubuh si gadis
mencelat ke atas. Di dahului satu pekik keras, Wulan Srindi berjumpalitan di
udara dan melayang turun ke bawah dengan dua kaki menginjak lantai pondok lebih
dulu. Di wajahnya yang cantik bermunculan titik-titik keringat. Sesaat mukanya
tampak pucat, lalu secara perlahan berdarah kembali.
“Kek, kau
memusnahkan totokan di tubuhku,” kata Wulan Srindi penuh kagum dan hampir tidak
percaya dan berpikir. Berarti orang tua ini memiliki ilmu kesaktian paling
tidak setingkat Sang Wakil Ketua barisan Manusia Pocong. Mungkin juga sama
dengan tingkat kepandaian Sang Ketua sendiri. “Kek, aku mohon kau sudi
memberitahu siapa dirimu adanya. Aku sangat berterima kasih. Bukan cuma
berhutang budi, tapi juga nyawa dan kehormatan.”
Si kakek
cuma tersenyum. “Kau ini bicara apa,” katanya.
“Kek, aku
mohon. Harap katakan siapa dirimu adanya.”
“Siapa
diriku, itulah hal yang tidak penting.” “Jangan begitu Kek. Bagimu tidak
penting tapi bagiku sangat penting.”
Si kakek
tersenyum, usap-usap janggutnya. Akhirnya berkata.
“Karena
aku doyan minum tuak, orang-orang lantas menyebut diriku Dswa Tuak. Ada-ada
saja. Pada hal jelas aku bukan Dewa. Tapi kakek-kakek rongsokan yang sudah bau
tanah!” Habis berkata begitu si orang tua tertawa mengekeh.
Terkejutlah
Wulan Srindi mendengar ucapan orang. Kembali dia jatuhkan diri.
“Kek,
ketika guruku Surablandong masih hidup, beliau sering menceritakan tentang
kisah tokoh-tokoh rimba persilatan tanah Jawa. Salah seorang yang disebut dan
diceritakan beliau adalah dirimu. Hari ini sungguh aku bersyukur bisa bertemu denganmu.
Lebih dari itu karena ternyata engkaulah penolongku, tokoh rimba persilatan
yang selama ini kami kagumi.”
“Berdiri,
jangan berlutut!” Si kakek membentak.
“Tidak
Kek, aku akan tetap berlutut sebelum kau memenuhi satu permintaanku.”
“Permintaan?
Memangnya kau mau minta apa? Ingin merasakan minum tuakku? Nanti kau mabok.
Baru tau!”
Wulan
Srindi angkat kepalanya, tersenyum. Lalu dengan sungguh-sungguh dia berkata.
“Aku
tidak akan bangun sebelum Kakek mengiyakan bahwa kau mau mengambil aku jadi
muridmu.”
Dewa Tuak
tertegun sesaat lalu sambil tersenyum dia berkata.
“Kau
keliwat menganggap diriku sebagai orang hebat. Aku tidak punya apa-apa selain
bumbung tuak ini…”
“Aku
lebih baik mati berlutut di tempat ini daripada tidak jadi muridmu.”
“Gadis
bengal. Aku masih banyak urusan. Antaranya mencari muridku…”
“Katakan
saja siapa muridmu. Aku akan mencarikannya untukmu. Asal aku dijadikan muridmu
lebih dulu. Biar tidak diajarkan ilmu kepandaian apapun aku rela.”
“Anak
gadis, kau sendiri pasti banyak urusan. Kembalilah ke perguruanmu. Daerah
sekitar sini terlalu berbahaya bagimu. Jangan kau sampai kena diculik orang
untuk kedua kali.”
“Tidak
Kek, aku tidak akan kembali ke perguruan. Aku akan ikut ke mana kau pergi.”
“Benar-benar
gadis bengal!” ujar Dewa Tuak dengan suara keras tapi wajah tuanya unjukkan
senyum. “Dengar, aku berjanji satu saat akan menjengukmu di Gunung Lawu.”
“Dan kau
akan mengambilku jadi murid. Begitu? Ujar Wulan Srindi, masih berlutut dan
kepala masih ditundukkan. Sepuluh jari tangan dirangkapkan di depan dada. “Tapi
Kek, berapa lama aku harus menunggu? Satu tahun? Dua tahun…?”
“Sudah,
begini saja, kalau kau tidak suka kembali ke Gunung Lawu, tolong aku mencarikan
seseorang,” kata Dewa Tuak pula.
“Mencari
seseorang? Siapa? Muridmu itu?” “Bukan. Seorang pemuda berjuluk Pendekar 212
Wiro Sableng.”
Wulan
Srindi terkesiap, angkat kepalanya sedikit, pandangi wajah si kakek lalu
merunduk kembali.
“Aku
sudah lama mendengar nama besar dan kehebatan Pendekar
212. Tapi
belum pernah bertemu orangnya. Kata orang tidak mudah mencari pendekar satu
itu. Lalu aku juga menyirap kabar, dia seorang pendekar mata keranjang. Punya
banyak kekasih. Cantik-cantik semua…”
“Kau
tidak kalah cantik dengan semua mereka itu,” jawab Dewa Tuak sambil tersenyum.
Dada sang
dara jadi berdebar. “Apa maksudmu, Kek?”
“Sudah,
sekarang terserah padamu. Kau punya pilihan mau melakukan apa. Kembali ke
Gunung Lawu atau mencari pendekar itu. Kalau mencari Wiro dan bertemu,
ceritakan padanya apa yang telah terjadi dengan dirimu. Juga ceritakan
pertemuan kita ini.”
“Aku akan
lakukan Kek. Cuma aku ada satu pertanyaan lagi…” Wulan Srindi mendengar suara
si kakek bergumam. Lalu gadis ini merasakan satu usapan di kepalanya. Ketika
dia mengangkat muka, Dewa Tuak tak ada lagi di dalam pondok.
**********************
3
DALAM
Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan bahwa seorang anggota komplotan
manusia pocong yang disebut Satria Pocong menemui Yang Mulia Ketua yang saat
itu masih berada di halaman Rumah Tanpa Dosa. Kepada Sang Ketua dilaporkan
tentang adanya seorang penyusup yang kini terperangkap dalam lorong delapan
belas. Ketua Barisan Manusia Pocong memerintahkan Wakil Ketua bersama anggota
pelapor untuk segera menyelidiki perkara tersebut.
Di tengah
jalan Wakil Ketua memerintahkan Satria Pocong agar berangkat lebih dulu ke
lorong delapan belas, menunggunya di sana dan jangan melakukan sesuatu sebelum
dia datang. Wakil Ketua kemudian memasuki satu terowongan batu menuju kamar
kediamannya. Di tempat inilah dia telah menyekap Wulan Srindi, gadis anak murid
Perguruan Silat Lawu Putih setelah lebih dulu dua pertiga dari kekuatan yang
ada dalam dirinya dilumpuhkan dengan totokan. Sebelum pergi ke lorong delapan
belas dorongan nafsu yang ada dalam tubuhnya membuat dia terlebih dulu ingin
bersenang-senang dengan gadis itu.
Namun
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong jadi terkejut besar ketika dapati kamar
dalam keadaan kosong. Wulan Srindi lenyap.
“Tubuhnya
dibawah pengaruh totokan. Pintu kamar hanya bisa dibuka dengan tombol batu rahasia.
Tidak mungkin gadis itu kabur sendiri. Pasti ada yang menolong. Ada penghianat
di tempat ini! Kurang ajar!” Sang Wakil Ketua gerakkan jari-jari tangan
kanannya hingga mengeluarkan suara berkeretekan membentuk tinju. Tidak menunggu
lebih lama dia segera melompat ke pintu lalu menghambur ke kanan. Tak lama
kemudian dia telah memasuki bagian dalam mulut terowongan yang disebut 113
Lorong Kematian. Sambil lari dalam hati dia menghitung menyebut angka dan arah.
“Lima
puluh kiri. Tiga puluh kanan. Empat puluh kiri. Lima puluh kanan…” Wakil Ketua
sudah berulang kali melewati lorong tersebut. Namun dia tetap menghitung angka
dan menyebut arah agar tidak tersesat. Sekali seseorang kesasar dalam
terowongan yang memiliki 113 lorong tersebut, sulit baginya akan keluar lagi.
Ketika
mencapai lorong 18, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong hentikan lari. Di
depannya menggeletak sosok putih seorang Satria Pocong. Mengerang megap-megap
siap menemui ajal. Kain putih yang menutupi wajahnya tampak basah merah oleh
darah. Dari bentuk sosoknya Sang Wakil Ketua mengetahui orang ini adalah Satria
Pocong yang tadi disuruhnya pergi lebih dulu ke lorong 18.
Wakil
Ketua berlutut di samping sosok Satria Pocong. Hidungnya mencium bau aneh.
Sepasang mata mengerenyit ketika melihat kain putih yang menutupi kepala anak
buahnya itu selain basah oleh darah juga dipenuhi puluhan lubang kecil.
“Aneh.”
ucap Wakil Ketua. Dengan tangan kiri ditariknya ke atas kain putih penutup
kepala Satria Pocong. Sang Wakil Ketua langsung melengak. Lututnya goyah, tubuh
tersurut ke belakang. Muka yang tersembul di balik kain putih penutup kepala
tampak melepuh hangus. Di seluruh kulit muka kelihatan lobang-lobang kecil
mengepulkan asap tipis. Darah menggenang di mata yang mendelik besar. Wakil
Ketua pegang urat besar di leher Satria Pocong. Masih ada denyutan halus.
“Satria
Pocong! Katakan apa yang terjadi!”
Bibir
anggota Barisan Manusia Pocong itu bergetar. Matanya bergerak. Darah yang
menggenang meleleh ke pipi. Mulutnya mengucapkan sesuatu. Namun yang keluar adalah
lelehan darah.
“Kurang
ajar!” rutuk Wakil Ketua. Dia memandang berkeliling. Di ujung lorong sebelah
sana dia melihat satu lagi sosok putih tergelimpang. Pandangannya kembali pada
Satria Pocong yang tergeletak di sampingnya. Tidak sabaran dia tekan
tenggorokan orang itu hingga darah menggelegak keluar. Kau bisa bicara! Kau
harus bisa bicara! Katakan apa yang terjadi!” Wakil Ketua ulangi ucapannya.
Setengah berteriak.
“Grekk…
hekkkk… Ka… kakek rambut put… putih. Ilmunya ting… tinggi sekal… A… aku…
Hekkk!” Tenggorokan Satria Pocong keluarkan suara tercekik. Ucapannya putus.
Mata nyalang tergenang darah, tak berkesip. Nyawanya keburu melayang sebelum
sempat berikan keterangan lebih lanjut.
Wakil
Ketua bangkit berdiri, bertolak pinggang.
Mata liar
memandang ke setiap sudut terowongan yang memiliki banyak sekali lorong dan
cabang-cabangnya. Sambil usap-usap tengkuknya dia berkata perlahan.
“Kakek
rambut putih. Siapa manusia itu? Tidak ada orang lain di tempat ini. Orang yang
menyusup? Kalau memang dia, di mana bangsat itu sekarang?” Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong memandang ke arah ujung lorong. Memperhatikan cabang-cabang
lorong yang memenuhi kiri kanan lorong di mana dia berada. “Satria Pocong satu
ini setahuku memiliki kepandaian silat tiga tingkat di bawahku. Kalau ada orang
bisa membantainya berarti…” Wakil Ketua tidak teruskan ucapan. Dia melangkah
mendekati sosok manusia pocong satu lagi yang terkapar di depan sana. Ketika
dia memperhatikan kain putih penutup kepala, ada sedikit bercak darah, tidak
ada lobang-lobang kecil seperti pada penutup kepala manusia pocong yang barusan
meregang nyawa. Menyangka Satria Pocong satu ini masih hidup, dia segera
lepaskan kain penutup kepala. Untuk kedua kalinya dia dibuat melengak kaget.
Muka yang tersembul di balik kain putih penutup kepala ini memang tidak hangus
tidak melepuh. Tapi mulai dari kening sampai ke pertengahan hidung muka itu
rengkah. Darah pada rengkahan kepala mulai mengering. Siapa saja yang melihat
pasti akan bergidik.
Suara
geram menggembor keluar dari tenggorokan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
Tiba-tiba matanya melihat ada cairan menggenang di lantai lorong. Dia
memperhatikan sesaat, lalu usapkan jari-jari tangannya di atas cairan. Terasa
dingin. Sewaktu jarinya didekatkan ke hidung, dia mencium bau harum aneh.
“Seperti
bau nira. Mungkin juga tuak…” Membatin Sang Wakil Ketua lalu bangkit berdiri,
memandang berkeliling. “Aku berada di lorong delapan belas. Kakek rambut putih
yang katanya tersesat di sekitar sini tidak kelihatan. Mungkin dia berusaha
mencari jalan, lalu nyasar di lorong lain. Dia tak bakal bisa ke mana-mana.
Nanti saja kucari. Sekarang aku harus mengejar jahanam yang melarikan diri
itu.” Sang Wakil Ketua segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
TAK
berapa lama setelah Dewa Tuak tinggalkan dirinya Wulan Srindi keluar dari dalam
pondok. Walau memikir nasihat si kakek agar dia kembali ke Perguruan di Gunung
Lawu ada benarnya, namun gadis ini memilih menyelidik ke mana perginya orang
tua aneh berkepandaian tinggi yang telah menolongnya itu. Berat dugaannya Dewa
Tuak akan menyelidik sarang komplotan Barisan Manusia Pocong. Maka dia segera
tinggalkan rimba belantara kecil, lari ke arah bukit batu.
Seperti
yang diduga Wulan Srindi, Dewa Tuak memang menyelidiki kawasan bukit batu di
sebelah barat rimba belantara. Kakek berkepandaian tinggi dengan pengalaman
selangit ini setelah memutari bukit batu beberapa lama akhirnya menemui goa
yang jadi mulut terowongan sarang kediaman manusia pocong. Tanpa ragu kakek ini
segera masuk ke dalam goa. Di luar goa Wulan Srindi mendekam di balik sebuah
batu besar. Dia tak berani terus mengikuti Dewa Tuak masuk ke dalam goa.
Sebelumnya sewaktu diculik Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong dia telah
menyaksikan sendiri keadaan lorong di dalam bukit batu. Dalam kebimbangannya
akhirnya gadis ini memilih untuk tetap sembunyi di balik batu. Siapa tahu si
kakek akan muncul keluar kembali.
Lama
sekali dia mendekam di belakang batu besar tiba-tiba berkelebat satu bayangan
putih. Dari bentuk sosoknya Wulan Srindi segera mengenali manusia pocong itu
adalah Wakil Ketua yang sebelumnya telah menculik dirinya. Wulan cepat
merunduk, bergerak lebih jauh ke balik batu besar.
DI LUAR
113 lorong Kematian hari telah lama terang. Matahari pagi mengusir sebagian
kabut yang banyak menggantung di kawasan bukit berbatu sehingga dengan matanya
yang tajam cukup mudah bagi Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong melihat
jejak-jejak kaki di bebatuan berlumut.
“Orang
lari di atas batu berlumut, membawa beban tubuh manusia. Tidak terpeleset,
berarti si pengkhianat memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Aku belum bisa
menduga siapa dia adanya. Tapi aku sudah bisa menduga ke mana dia membawa gadis
itu. Jalan ini mengarah ke pondok kayu di dalam rimba.”
Wakil
Ketua lari laksana bayangan setan. Tak selang berapa lama dia sudah melihat
bangunan di balik pepohonan dan semak belukar lebat itu. Lima puluh langkah
dari pondok kayu dia hentikan lari, memperhatikan. Pondok itu tampak doyong
berat, siap roboh. Salah satu dindingnya terpentang jebol. Ketika dia
memperhatikan halaman kiri di samping dinding yang jebol, kagetnya bukan alang
kepalang. Dia melihat satu sosok lelaki tanpa pakaian menggeletak di tanah.
Kain putih penutup kepala tercampak di dekatnya. Dua kali lompatan saja Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong ini sudah sampai di samping sosok tak berpakaian
itu.
Ki Sepuh
Daiemkawung!” ucap kaget Wakil Ketua dan suaranya setengah tercekik ketika dia
mengenali wajah orang yang tergelimpangan di tanah itu. Ada benjut dan luka
besar di kening. Lalu di bagian tubuh dia melihat puluhan lobang mengerikan
pada kulit dan daging yang melepuh hangus.
Jahanam!
Kau rupanya yang jadi pengkhianat. Tua bangka tak tahu diri! Masih suka gadis
yang pantas jadi cucunya!” maki Wakil Ketua tanpa merasa kalau sebenarnya
diapun punya maksud keji dan mesum terhadap Wulan Srindi. Kaki kirinya
bergerak. Tubuh Ki Sepuh Daiemkawung terpental sampai dua tombak.
“Bangsat
pengkhianat ini melarikan Wulan Srindi. Tapi gadis itu sendiri entah berada di
mana. Apakah dia sudah sempat menodai gadis itu lalu membunuhnya. Kemudian
membuang mayatnya di tempat lain? Di sekitar sini banyak jurang dalam. Lalu
siapa yang membunuh Dalemkawung? Kakek rambut putih yang disebutkan Satria
Pocong dalam lorong?” Sang Wakil Ketua terus berpikir. “Dalemkawung tidak
mungkin telah menodai gadis itu. Tidak secepat itu.”
Wakil
Ketua melompat ke dalam pondok yang hampir roboh. Di sini dia hanya menemui
seperangkat pakaian hitam, jubah dan kain putih penutup kepala.
Sambil
pegang dagunya Wakil Ketua membatin. “Mungkin si keparat Dalemkawung belum
sempat menodai gadis itu. Keburu dibunuh…” Wakil Ketua membatin seolah
menghibur diri sendiri. Manusia pocong ini kemudian putar kepala, memperhatikan
bagian dalam pondok. Pandangannya membentur sebuah bumbung bambu. Benda ini
segera diambil. Ketika diperhatikan dan dibolak balik, ada cairan yang keluar.
Wakil Ketua dekatkan hidungnya ke mulut bumbung.
“Cairan
ini sama baunya dengan cairan dalam lorong. Tuak! Berarti orang yang membunuh
Dalemkawung adalah orang yang sama yang membunuh dua Satria Pocong di dalam
lorong! Bangsat itu katanya tersesat sekitar lorong delapan belas. Aku harus
segera ke sana. Sekali dia masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian,
pasti tidak bisa keluar selamatkan diri! Sial, tak ada kesempatan bagiku
mencari gadis itu.”
Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong benar-benar marah besar. Gadis cantik yang sudah
jadi miliknya lenyap entah ke mana karena pengkhianatan Ki Sepuh Dalemkawung.
Tiga orang anak buahnya dibunuh orang! Setiap anggota Barisan Manusia Pocong
bukanlah orang-orang biasa. Mereka adalah orang-orang pilihan yang harus
memiliki kepandaian silat tinggi, Kesaktian serta tenaga dalam yang dapat
diandalkan. Itu sebabnya mereka dijuluki Satria Pocong. Tidak mudah membunuh
salah seorang dari mereka. Dan kalau sampai tiga orang sekaligus tewas seperti
yang terjadi, pastilah si pembunuh seorang berkepandaian sangat tinggi.
“Kalau
memang ada kakek berambut putih menyusup masuk dan jadi pembunuh liga Satria
Pocong, pasti dia berkepandaian tinggi. Jangan-jangan dia seorang tokoh rimba
persilatan.” Begitu Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong membatin sambil lari
memasuki 113 Lorong Kematian. Dia harus berlaku waspada. Mata dipentang tajam,
telinga dipasang. Bukan mustahil kakek rambut putih itu mendadak muncul di
depannya.
Di balik
batu besar, Wulan Srindi yang masih berada dalam kebimbangan apakah akan masuk
ke dalam goa batu jadi bertambah bimbang ketika dilihatnya Wakil Ketua memasuki
mulut goa. Kalau dia menyusul masuk lalu tertangkap untuk kedua kalinya, pasti
dia tak akan bisa selamatkan diri lagi untuk selama-lamanya.
LORONG 21
memiliki 7 anak lorong. Di dalam anak lorong ke 5 Dewa Tuak duduk menjelepok
sambil mengusap-usap bumbung bambu yang terletak di pangkuannya.
“Sarang
manusia pocong. Aku berada dalam sarang manusia pocong…” Si kakek berucap.
“Tiga anggota mereka sudah kubunuh. Tentu masih banyak yang lainnya. Tadi salah
seorang dari mereka berhasil kabur. Pasti melapor pada atasannya. Sebentar lagi
ada yang akan muncul di tempat ini. Lorong celaka, bagaimana aku bisa keluar
dari sini? Semua lorong bentuknya sama. Bagaimana mungkin ada tempat jahanam
seperti ini?!” Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Tadi setelah menghabisi dua
orang manusia pocong yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya dia berusaha
kembali ke mulut goa. Keluar dari lorong 18 dia kesasar memasuki cabang-cabang
lorong atau menemui lorong buntu. Akhirnya dalam keadaan letih kakek ini
dudukkan diri di lantai cabang lorong ke 5 dari lorong utama 21.
“Aku
harus mencari jalan keluar! Tolol sekali kalau aku sampai mampus di tempat
celaka begini rupa!”
Sebelum
berdiri Dewa Tuak angkat bumbung bambunya. Dari beratnya bumbung dia tahu kalau
tuak di dalamnya hanya tinggal setengah.
“Cuma
satu bumbung tuak kini yang kumiliki. Isinya hanya tinggal setengah. Edan, di
mana aku bisa mendapatkan bahan untuk membuat tuak baru!” Penutup bumbung
dibuka. Bumbung ditempelkan ke bibir. Biasanya tuak yang mencurah akan
ditenggak dengan lahap. Karena tinggal sedikit kali ini si kakek terpaksa
berhemat-hemat.
Baru
sedikit tuak harum itu memasuki tenggorokannya tiba-tiba satu benda melesat dan
menancap di pantat bumbung. Dewa Tuak sampai tercekik saking kagetnya. Dengan
mata mendelik dia turunkan bumbung. Sepasang mata tambah membelalak ketika
melihat benda apa yang menancap di ujung bumbung bambu. Sebuah bendera kecil
berbentuk segi tiga. Berwarna merah dan basah. Bendera Darah!
**********************
4
WALAU
kaget terkesiap melihat bendera aneh menancap di ujung bumbung bambu, di lain
saat Dewa Tuak keluarkan suara tawa mengekeh.
“Siapa
pula yang mau-mauan bercanda di tempat gila seperti ini!” katanya sambil
bangkit berdiri. Tapi begitu berdiri tegak lurus, masih memegang bumbung tuak
di tangan kiri tahu-tahu di depannya sudah berdiri satu sosok berjubah dan
bertutup kepala putih.
“Aha!
Sampean rupanya Manusia pocong yang katanya doyan menculik perempuan-perempuan
bunting! Sayang aku tidak bisa melihat tampangmu. Hingga sulit kuduga apa kau
ini lelaki, perempuan atau makhluk banci-bancian!”
“Tua
bangka sinting!” bentak manusia pocong di hadapan Dewa Tuak. Suaranya keras,
membuat gema panjang di Seantero lorong dan menggetarkan lantai batu. Getaran
itu menjalar masuk pada dua kaki Dewa Tuak, namun lenyap sebelum mencapai
ketinggian lutut. “Jangan berani bicara kurang ajar sembarangan di hadapanku!”
Meski
kaget mendengar dahsyatnya bentakan orang Dewa Tuak menyeringai. Diam-diam tadi
dia sudah mengukur kehebatan tenaga dalam manusia pocong yang memancar dalam
suara bentakannya. Memang jarang-jarang ada orang memiliki tingkat tenaga dalam
setinggi yang dimiliki makhluk serba putih ini. Namun si kakek tidak merasa
khawatir. Tingkat tenaga daiam orang masih berada di bawahnya. Maka enak saja
sambil letakkan bumbung bambu di bahu kiri dia keluarkan ucapan.
“Manusia
pocong, kau tentunya punya jabatan tinggi di tempat ini. Makanya bisa bicara
sombong dan membentak segala. Usiaku bisa tiga kali usiamu! Kau pantas
memanggil aku Eyang. Ayo lekas menghormat, cium tanganku dan minta maaf pada
Eyangmu ini!” Habis berucap Dewa Tuak ulurkan tangannya minta disalami. Tapi
sikapnya jelas mengejek karena telunjuk jari tangan sengaja digerakkan
dikedat-kedut seperti orang memainkan benang layangan sementara dari mulutnya
yang kempot menyembur tawa menge-keh.
Di balik
kain penutup kepala, sepasang mata manusia pocong mendelik besar. Rahangnya
menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Tapi agaknya dia bisa mengendalikan
kemarahan. Sambil berkacak pinggang dan decakan lidah beberapa kali, dia
berkata.
“Aku suka
pada manusia-manusia pemberani. Tapi sayang kau tidak bisa mengukur diri. Tidak
sadar berada di mana!”
“Ah,
begitu…?” Dewa Tuak berpura-pura kaget. Dia memandang seputar lorong. “Kurasa
aku belum buta. Di tempat ini aku hanya melihat dinding-dinding batu.
Lorong-lorong tak karuan. Lalu melihat dirimu! Apa hebatnya? Eh, coba beritahu
Eyangmu ini! Memangnya tempat ini tempat apa?”
“Tua
bangka sinting! Ketahuilah. Kau berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Siapa masuk tidak bisa keluar lagi! Mati di tempat ini! Kecuali Yang
Mulia Ketua memberi pengampunan! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang wajib dicintai!”
“Eh,
apakah Ketuamu seorang perempuan hingga hanya dia seorang wajib dicintai?!”
Dewa Tuak menyeletuk ucapan orang.
“Dasar
kakek sinting! Ketua kami jelas seorang laki-laki!”
“Nah,
nah! Kalau kau mencintai Ketuamu yang laki-laki berarti kau sebangsa makhluk
yang suka pada makhluk sejenis! Ha… ha… ha! Dan kalau kau punya seorang Ketua,
berarti kau hanya salah seekor cecunguknya saja! Ha… ha… ha!”
Saat itu
meledaklah amarah Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong. Tadinya dia masih ingin
menanyakan untuk memastikan apa benar kakek ini yang telah membunuh tiga Satria
Pocong. Dia juga ingin mengorek keterangan di mana Wulan Srindi berada. Namun
ledakan amarah membuat dia jadi kalap dan serta merta melompat kirimkan
serangan maut ke arah Dewa Tuak. Tangan kanan menderu ganas mencari sasaran di
batok kepala si kakek. Memang sinting apa yang dilakukan si kakek dalam
menghadapi serangan maut itu. Dewa Tuak mundur satu langkah. Tangan kiri putar
bumbung bambu di bahu, kepala setengah menengadah dipalingkan ke kiri.
“Gluk…
gluk… gluk!”
Dewa Tuak
teguk tuak dalam bumbung tiga kali berturut-turut lalu bersurut mundur sambil
rundukkan kepala namun mulutnya tibatiba menyembur!
“Wusss!”
Tuak
dalam mulut Dewa Tuak menderu ke arah dada Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Tuak
setan!” maki Wakil Ketua. Dia serta merta ingat pada cairan yang sebelumnya
ditemui di dalam lorong dan pondok kayu. Secepat kilat Wakil Ketua melompat
mundur selamatkan diri. Sambil melompat dia kibaskan tangan kanannya hingga
menebar gelombang angin. Dengan kibasan tangan kanan yang disertai kekuatan
tenaga dalam itu Wakil Ketua berusaha menangkis serangan sekaligus menggebuk.
Angin kibasan tangannya sanggup membuat sosok Dewa Tuak goyang terhuyung namun
dia sendiri berseru kaget ketika dapatkan lengan kanan jubah putihnya kepulkan
asap. Ketika diperhatikan lengan jubah itu telah dipenuhi belasan lobang-lobang
kecil. Lalu begitu dia singsingkan lengan jubah, tampak beberapa bagian kulit
lengannya merah melepuh! Asap mengepul dari empat buah lobang kecil di
permukaan kulit. Dinginkan kuduk manusia pocong ini. Namun amarah yang membakar
dirinya serta rasa tanggung jawab akan pengamanan kawasan 113 Lorong Kematian
membuat dia tidak mau menyerah begitu saja. Didahului suara menggereng Wakil
Ketua angkat dua tangan ke depan.
Dewa Tuak
tersentak kaget ketika melihat bagaimana sepasang tangan lawan mendadak berubah
lebih panjang dan lebih besar. Lima jari tangan mencuat membentuk kuku-kuku
binatang lalu dalam keadaan dikepalkan, dua tangan serentak menghantam ke
depan. Dua larik cahaya merah tipis membayangi gerakan.
“Ilmu
pukulan apa yang hendak dilancarkan jahanam ini?” membatin Dewa Tuak dan
berlaku waspada.
Masih
beberapa jengkal di sebelah depan angin dua jotosan manusia pocong telah terasa
menyambar dingin, menggetarkan dada. Lapisan cahaya merah tampak semakin
terang. Tidak mau berlaku ayal Dewa Tuak cepat singkirkan diri ke samping
sambil sodokkan ujung bumbung bambu yang masih ditancapi bendera kecil
berbentuk segitiga.
“Braakkk!
Byaar!”
“Settt!
Cleepp!”
Dua mulut
sama keluarkan seruan kaget.
Yang
pertama seruan yang keluar dari mulut Dewa Tuak ketika dua jotosan lawan yang
lewat menghantam dinding batu lorong di sampingnya hingga terbongkar, membentuk
dua lobang besar hangus kehitaman!
Seruan
kedua keluar dari mulut wakil Ketua. Sewaktu kakek lawannya menyodokkan ujung
bumbung bambu ke arah dada dia berhasil berkelit dengan mudah. Namun tidak
diduga, Bendera Darah yang menancap di ujung bambu mendadak melesat ke arah
kepalanya. Saat itu kedudukan Wakil Ketua sudah memepet ke dinding lorong batu
sebelah kiri. Dia hanya mampu merunduk dan geserkan kepalanya sedikit. Bendera
Darah menancap di kain putih penutup kepala, di sisi kening sebelah kanan.
Masih untung bendera itu tidak menancap di matanya. Hanya menyusup di kain
putih, menggores sedikit pelipis kanan.
Masih
dalam keadaan terperangah Wakil Ketua lihat si kakek tenggak tuak dalam
bumbung. Lalu sekali berkelebat tahu-tahu bagian bawah bumbung bambu telah
menghantam ke arah dada, menyambar membalik ke kepala lalu membabat menggebuk
ke arah leher. Luar biasa sekali. Seumur hidup belum pernah Wakil Ketua barisan
Manusia Pocong ini melihat serangan berantai begitu cepat dan ganas. Tiga
serangan laksana kilat dan ditujukan pada kepala serta dua bagian tubuh
mematikan!
Walau
mendapat serangan dahsyat begitu rupa namun Wakil Ketua dengan gerakan-gerakan
tak kalah cepat masih mampu menghindar selamatkan diri. Namun ada satu hal yang
ditakutkannya yakni kalau si kakek kembali lancarkan serangan dengan semburan
tuak. Sebelum hal itu kejadian dia cepat angkat tangan kiri. Tangan ini
bergetar keras pertanda Sang Wakil Ketua tengah alirkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Namun entah mengapa dia batalkan niat. Dengan cepat dia putar tubuh
lalu berkelebat memasuki lobang di samping kiri.
“Makhluk
setan! Sampean mau kabur ke mana!” Teriak Dewa Tuak. Kakek ini cepat mengejar.
Namun dilorong yang dimasukinya dia tidak melihat bayangan manusia pocong itu.
Dewa Tuak mengejar ke lorong sebelah kanan. Kosong. Lari lagi memasuki lorong di
samping kiri depan. 0-rang yang dikejar tak kelihatan akhirnya si kakek
tersesat memasuki lorong 22 pada anak lorong ke 3.
“Sial!
Aku kesasar lagi! Lorong celaka! Bagaimana bisa begini! Banyak sekali
lika-likunya!” rutuk Dewa Tuak lalu sandarkan punggungnya ke dinding lorong.
“Bangsat itu kabur. Pasti memberitahu Ketuanya. Sebentar lagi mereka pasti
datang. Lebih baik aku istirahat kumpulkan tenaga.” Lalu enak saja orang tua
ini baringkan tubuhnya di lantai batu. Bumbung bambu di letakkan di atas perut.
Sesaat kemudian terdengar suara dengkurnya memenuhi lorong.
DI DALAM
Ruang Kayu Hitam Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong memandang tak berkesip
ke arah Wakil Ketua yang barusan saja datang melapor apa yang telah terjadi.
Pelipisnya bergerak-gerak, rahang menggembung terkatup.
“Tiga
Satria Pocong tewas terbunuh. Berarti kita hanya tinggal memiliki tujuh Satria
Pocong. Yang Mulia Ketua, saya punya kewajiban untuk mencari pengganti. Bukan
cuma tiga tapi lebih banyak lagi.”
“Yang
saat ini aku pikirkan bukan cuma mengganti anggota yang terbunuh. Tapi jauh
lebih penting dari itu adalah bagaimana menangani kakek tua yang kini berada
dalam lorong. Aku merasa pasti dia masuk ke sini bukan karena tersesat. Tapi
membekal satu maksud. Menyelidiki kita! Dan semua kejadian ini berpangkal pada
nafsu bejatmu ingin meniduri gadis bernama Wulan Srindi itu…”
“Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Saya rasa antara si kakek janggut putih dan gadis anak
murid Perguruan Lawu Putih itu tidak ada hubungan apa-apa.” Menjawab Wakil
Ketua.
“Picik!
Sungguh tolol! Apa kau tidak melihat rentetan kenyataan yang terjadi?!” semprot
Yang Mulia Ketua dengan suara beringas. “Pertama gadis itu diculik Dalemkaeung.
Dibawa kabur ke pondok di rimba belantara. Di situ kau menemui mayat
Dalemkawung, tapi si gadis tidak kelihatan. Si pembunuh juga tidak ada. Tapi
tahu-tahu kakek itu muncul di dalam lorong. Apa kau tidak berpikir bagaimana
kakek jahanam itu tahu jalan ke sini, lalu bisa masuk ke dalam lorong kalau
tidak diberitahu oleh Wulan Srindi?!”
“Maafkan
saya Yang Mulia Ketua. Saya kira ucapan Yang Mulia Ketua benar adanya.
“Bukan
cuma kamu kira! Tapi memang begitu kenyataannya! Tolol!” Membentak Sang Ketua.
“Sekarang aku ingin kejelasan. Terangkan sekali lagi ciri-ciri kakek janggut
putih itu!”
“Bukan cuma
janggutnya yang putih, rambut dan kumisnya juga putih. Berpakaian selempang
kain biru. Membawa satu bumbung bambu berisi tuak. Tadinya mungkin dua. Yang
satu saya temukan di dalam pondok dalam keadaan hancur. Tuak minumannya itu
sekaligus merupakan senjata berbahaya.” Wakil Ketua lalu singkapkan lengan
jubah tangan kanan. Memperlihatkan kulit lengannya yang melepuh serta beberapa
lobang luka. “Yang Mulia Ketua bisa saksikan sendiri lengan saya. Ini akibat
semburan tuak kakek itu.”
“Mengapa
kau tidak pergunakan senjata andalanmu?” Tiba-tiba Sang Ketua bertanya.
“Tadinya
memang saya sudah siap melakukan. Tapi saya punya pikiran lain. Harap Yang
Mulia Ketua memberi maaf kalau saya lancang punya rencana.” Menerangkan Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Apa yang
ada di otakmu?”
“Kakek
itu memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi sekali. Tuaknya luar biasa
berbahaya. Bukankah kita membutuhkan orang-orang semacam dia walau dia telah
membunuh tiga anggota kita?”
Yang
Mulia Ketua tidak menjawab. Sambil rangkapkan tangan di depan dada dia
melangkah mundar-mandir di dalam Ruang Kayu Hitam.
“Selain
itu Yang Mulia Ketua, saatnya kita menguji kesetiaan dan kehebatan Yang Mulia
Sri Paduka Ratu.”
Ketua
Barisan Manusia Pocong hentikan langkah, menatap ke arah Sang Wakil Ketua lalu
berkata. “Sekali ini aku memuji kecerdasan otakmu! Aku akan menemui Yang Mulia
Sri Paduka Ratu di Rumah Tanpa Dosa. Apakah kau sudah memasang genta di depan
tempat kediamannya?”
“Saya
sudah memerintahkan dua orang anggota untuk melakukan. Saat ini pasti sudah
terpasang,” jawab Wakil Ketua.
“Kau
segera masuk ke dalam lorong. Berjaga-jaga di sekitar Lorong Dua Puluh Lima.
Kita bakal mendapat satu tangkapan besar! Kau tahu siapa adanya kakek itu?”
Wakil
Ketua gelengkan kepala.
“Kakek
berjanggut putih, yang selalu membawa bumbung tuak ke mana-mana adalah salah
satu dedengkot rimba persilatan. Dia dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Kalau
bisa membuatnya berada di barisan kita banyak hal bakal dapat kita lakukan.
Antara lain memancing tokoh rimba persilatan lainnya, termasuk Pendekar 212
Wiro Sableng!”
“Dewa
Tuak…” ucap Wakil Ketua sambil usap-usap lengan kanannya yang cidera. “Aku
pernah mendengar nama tokoh rimba persilatan itu. Kalau dia bisa dibekuk dan
dijadikan anggota Barisan Manusia Pocong, semakin mudah bagiku untuk
membalaskan dendam kesumat terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.”
**********************
5
KETUA
Barisan Manusia Pocong berdiri di hadapan bangunan panggung berbentuk bulat.
Keseluruhan bangunan terbuat dari kayu termasuk atap yang terbuat dari ijuk
dicat warna putih. Pada bagian depan, di bawah atap, dekat tangga setengah
lingkaran menuju bagian atas bangunan, terdapat sebuah genta yang talinya
menjulai ke bawah, hampir menyentuh tanah. Inilah yang disebut Rumah Tanpa
Dosa, berada dalam satu lembah kecil, jauh di utara Telaga Sarangan.
Sebagaimana sunyinya lembah, begitu pula senyap keheningan menyelimuti rumah
panggung ini.
Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong berdiri di depan Rumah Tanpa Dosa, dekat
tangga. Sesaat dia memperhatikan keadaan bangunan. Delapan jendela dan satu
pintu dalam keadaan tertutup. Yang Mulia Ketua ulurkan tangan menjangkau tali
yang menjulai dekat tangga kayu. Perlahan-lahan tali itu disentakkan, tiga kali
berturutturut. Suara genta menggema di seantero lembah, lama baru menghilang.
Tidak terjadi apa-apa. Pintu ataupun jendela tidak bergerak, tidak satupun yang
terbuka.
Untuk
kedua kalinya Sang Ketua sentakkan tali genta. Kembali suara genta
mengumandang, bergaung keras dan panjang. Dari balik kain putih penutup kepala
sepasang mata Sang Ketua memperhatikan ke arah atas. Tetap saja tak kelihatan
ada gerakan.
Tangan
yang memegang tali genta bergerak. Hendak menarik tali itu untuk ke tiga
kalinya. Tapi mendadak Sang Ketua batalkan niat. Dua kaki dihentakkan ke tanah.
Saat itu juga tubuhnya melesat ke atas, melewati tangga kayu berbentuk setengah
lingkaran. Namun begitu dua kaki menginjak lantai atas rumah panggung putih,
mendadak ada hawa aneh menjalar dan menyengat kakinya. Bersamaan dengan itu
satu gelombang angin, entah dari mana datangnya mendadak menderu menghantam
dadanya. Membuat Sang Ketua terlempar. Dalam kejutnya manusia pocong ini
keluarkan seruan keras. Sewaktu terpental dan melayang di udara, dia masih bisa
menguasai diri. Berjungkir balik dua kali lalu melayang turun ke bawah. Walau
dua kaki masih bisa menyentuh tanah namun kelihatan lututnya agak goyah. Sang
Ketua memandang berkeliling. Untung tak ada siapa-siapa di tempat itu. Kalau
sampai ada anggota Barisan Manusia Pocong melihatnya terpental begitu rupa
wibawanya bisa jatuh. Tidak ada hujan tidak ada angin bagaimana dia bisa
tunggang langgang seperti itu. Orang lantas akan mempertanyakan sampai di mana
sebenarnya tingkat kepandaiannya.
“Rumah
Tanpa Dosa…” ucap Sang Ketua perlahan dan bergetar. “Kekuatan dahsyat apa yang
ada dalam bangunan ini? Penghuni Aksara Batu Bernyawa memang melarang mendekati
rumah. Tapi dia tak pernah memberitahu hal aneh seperti ini.” Manusia pocong
usap dadanya. Tak ada rasa sakit akibat hantaman angin aneh tadi. Dua kakinya
juga tidak cidera walau ada hawa masuk menyengat. “Kalau memang ada orang
berbuat jahat, niscaya aku telah celaka. Apakah gadis itu yang melakukan?”
Yang
Mulia Ketua mendongak ke atas, perhatikan pintu dan deretan jendela. Lalu dia
berteriak.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu! Aku tahu kau ada di dalam. Kau tahu aku ada di luar
sini! Aku sudah membunyikan genta sampai dua kali. Sesuai perjanjian, mengapa
kau tidak keluar?!”
Sunyi tak
ada jawaban. Angin lembah bertiup agar keras, membuat pakaian dan kain putih
penutup kepala Sang Ketua berkibarkibar.
Tiba-tiba
dari bagian atas rumah panggung putih mengumandang suara tertawa. Tawa
perempuan. Menyusul ucapan lantang.
“Yang
Mulia Ketua! Kau melanggar pantangan! Bangunan ini tidak boleh diinjak dan
dijamah manusia-manusia yang telah tersentuh dosa. Itu sebabnya disebut Rumah
Tanpa Dosal”
Sang
Ketua terkesiap. “Aneh,” ucapnya dalam hati. “Bagaimana dia tahu rahasia yang
tersembunyi dalam rumah panggung ini. Janganjangan penghuni Aksara Batu
Bernyawa merasuk ke dalam jiwanya?” Setelah menatap tajam ke arah bagian atas
bangunan, manusia pocong ini berkata.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, aku sudah memberi tanda dengan menarik genta. Sampai dua
kali. Mengapa Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak keluar? Apa kau lupa pada
ketentuan yang berlaku di tempat ini? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Yang
Mulia Ketua,” terdengar jawaban dari atas rumah. “Aku belum lama berada di
tempat ini. Tapi aku telah berkesempatan mengarang satu tembang. Apakah kau
sudi mendengar sebelum aku keluar?”
“Perempuan
gila! Lain yang aku katakan, lain yang dia ucapkan!” Maki Yang Mulia Ketua
dalam hati. Dia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu namun dari dalam Rumah
Tanpa Dosa tiba-tiba mengumandang suara nyanyian.
Kehidupan
muncul secara aneh
Kematian
datang tidak disangka
Di dalam
bukit batu
Ada
seratus tiga belas lorong
Siapa
masuk akan tersesat
Tidak ada
jalan keluar
Sampai
kematian datang menjemput
Di dalam
lembah
Ada Rumah
Tanpa Dosa
Inilah
tempat teraman bagi makhluk tidak berdosa
Bendera
Darah lambang kematian
Tiada
daya menentang ajal
Darah
suci bayi yang dilahirkan
Pembawa
kehadiran Nyawa
Kedua
Sambungan hidup insan tak bernyawa
Di dalam
lorong ada kesepian
Di dalam
kesepian ada kehidupan
Di dalam
lorong ada kesunyian
Di dalam
kesunyian ada kematian
Mau tak
mau Ketua Barisan Manusia Pocong merasa tercekat juga mendengar nyanyian itu.
Apa lagi orang yang menyanyi tutup nyanyiannya dengan tawa panjang. (Dalam Episode
pertama berjudul “113 Lorong Kematian” diceritakan bahwa nyanyian itu sempat
didengar oleh Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten Demak ketika dia
dijebloskan ke dalam kamar penyekapan. Hanya saja suara nyanyian itu terdengar
terputus-putus karena si penyanyi dan Aji Warangan terpisah jauh)
“Apa yang
salah?” pikir Sang Ketua. “Mungkin dia belum meneguk Minuman Selamat Datang
yang disediakan di dalam kamar? Minuman pelupa diri pelupa ingatan? Atau
dirinya kebal terhadap racun. Padahal khusus untuk dirinya racun yang
disuguhkan tiga kali lebih kuat dari yang diberikan pada orang lain. Mungkin
ada satu kekuatan melindungi dirinya? Pedang Naga Suci 212? Tapi aku sudah
menggeledah tubuhnya. Pedang sakti mandraguna itu tak ada padanya. Aku harus
menguji. Kalau dia tidak berada dalam kekuasaanku, urusan bisa kacau. Nyanyian
tadi, dia tidak boleh mengulangi lagi. Dia menyanyi dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Kalau suara nyanyiannya sampai di luar kawasan bukit batu, ada
orang mendengar. Urusan bisa jadi kacau.”
Yang
Mulia Ketua kembali memperhatikan ke arah atas bangunan panggung putih. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu! Ingat! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Aku minta Sri Paduka Ratu segera keluar dari dalam Rumah Tanpa
Dosa, menemuiku di sini!”
Tak ada
jawaban.
Yang
Mulia Ketua mulai jengkel.
Dia
berteriak sekali lagi. Masih sunyi.
“Setan
alas!” Sang Ketua merutuk. “Ada yang tidak beres!” Rasa jengkelnya kini
disertai aliran hawa kemarahan. Perlahan-lahan dia angkat tangan kanannya.
Tangan itu tampak bergetar pertanda ada tenaga dalam berkekuatan tinggi tengah
disalurkan. “Aku akan menghitung sampai lima! Jika dia tidak muncul sampai
hitungan terakhir akan kuhancurkan bangunan ini!”
Baru saja
Sang Ketua selesai berucap dalam hati seperti itu tibatiba tanah yang
diinjaknya bergetar dan seperti tadi satu gelombang angin menderu menghantam ke
arah tangan kanan. Manusia pocong ini keluarkan jeritan keras. Tubuhnya
terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Tangan kanan terasa sangat panas
seperti dpendam dalam bara api. Sadar kalau lagi-lagi dia berhadapan dengan
kekuatan dahsyat tidak kelihatan yang menguasai Rumah Tanpa Dosa, cepat-cepat
dia turunkan tangan yang tadi siap melepas satu pukulan sakti.
Hanya
sesaat kemudian pintu di bagian atas Rumah Tanpa Dosa terbuka. Di lain kejap satu
bayangan putih meluncur turun. Bau sangat wangi menebar. Di hadapan Yang Mulia
Ketua berdiri tegak serba putih seorang manusia pocong. Di sebelah atas sosok
ini mengenakan sehelai kain putih tebal penutup kepala dengan dua lobang di
bagian mata. Diatas penutup kepala yang berbentuk pocong itu menempel sebuah
mahkota kecil berwarna hijau berkilat. Di bawah ujung penutup kepala sebelah
belakang, menjulai rambut hitam sepinggang.
Kalau di
sebelah atas bagian kepala tertutup kain putih tidak tembus pandang maka di
sebelah bawah manusia pocong ini mengenakan jubah putih terbuat dari bahan yang
begitu tipis menerawang. Sehingga walau samar terlihat satu sosok tubuh
perempuan yang sangat elok, namun memiliki gerak-gerik yang serba kaku. Dia
berdiri dengan kepala ditegakkan dan dua mata memandang lurus ke depan. Inilah
Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Dalam
kagumnya melihat pesona kebagusan tubuh Sang Ratu. Yang Mulia Ketua masih
merasa sedikit bimbang. “Dia telah mengenakan perangkat pakaian keratuannya.
Pasti juga telah meneguk Minuman Selamat Datang. Tapi apakah ingatannya
benar-benar telah terkikis dan berubah? Perlu segera aku selidiki dulu.”
“Yang
Mulia Ketua, aku telah ada di hadapanmu. Harap katakan apa keperluanmu.” Sri
Paduka Ratu keluarkan ucapan.
Sesaat
Yang Mulia Ketua menatap tak ber-kesip. Seperti tadi ada sekelumit perasaan
bimbang dalam hatinya. Untuk mengatasi hal ini maka dia ingin lebih dulu
menguji.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, ada satu tugas yang harus kau lakukan. Namun sebelum
tugas kuterangkan, harap Yang Mulia mengucapkan Salam Perjanjian.”
Sang Ratu
dongakkan kepala lalu berucap lantang. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,”
ucap Yang Mulia Ketua. Namun dia masih belum puas dan lanjutkan ujiannya. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, harap kau mau mengatakan siapa dirimu dan bagaimana kau
bisa berada di tempat ini. Lalu apa yang kau ketahui mengenai tempat ini.”
“Siapa
diriku itulah yang aku tidak ketahui. Bagaimana aku sampai di sini merupakan
sesuatu di luar ingatanku. Aku hanya tahu bahwa diriku diam di satu bangunan
putih disebut Rumah Tanpa Dosa. Lain dari itu mengenai keadaan di tempat ini
aku tidak tahu apa-apa.”
Yang
Mulia Ketua benar-benar puas. Maka diapun berkata. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
kau telah mengarang sebuah tembang. Bait liriknya amat bagus. Suaramu merdu
sekali ketika menyanyikan. Namun jangan kau melupakan aturan di tempat ini.
Segala sesuatu berada di bawah pengawasanku. Berarti setiap tindak perbuatan
harus seizinku. Aku tidak memperkenankan dirimu untuk menyanyikan tembang itu,
apalagi dengan suara keras disertai pengerahan tenaga dalam. Apa jawabmu?”
Dua mata
di balik kain penutup kepala memandang ke arah Sang Ketua. Ada larikan sinar
aneh keluar dari sepasang mata itu, yang membuat
Sang
Ketua merasa bergetar. Maka dia segera membentak.
“Apa
jawabmu?!”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,”
ucap Sang Ketua dengan perasaan lega. “Sekarang ikuti aku. Ada satu tugas yang
harus kau lakukan.” Sang Ketua balikkan badan, melangkah keluar dari lembah.
Sang Ratu mengikuti dengan gerakan aneh. Kepala menghadap lurus ke depan, dua
tangan dan kaki bergerak kaku seolah tidak punya persendian tapi dia bisa
bergerak cepat di belakang orang yang diikutinya. Di satu tempat, begitu keluar
dari dalam lembah, Yang Mulia Ketua berpaling dan berkata. “Yang Mulia Sri
Paduka Ratu, kita harus bergerak cepat. Ikuti aku!” Sekali berucap dan sekali
berkelebat Sang Ketua telah melesat jauh, berkelebat melewati bangunan rumah
tua berijuk hitam. Dia tidak mendengar suara deru orang berlari di sebelah
belakang. Tapi ketika dia menoleh Sang Ketua jadi leletkan lidah. Yang Mulia
Sri Paduka Ratu ternyata hanya berada setengah langkah di belakangnya. Tubuhnya
berlari laksana meluncur, seolah tidak menginjak tanah! Kembali Sang Ketua
ingin menguji. Dia lipat gandakan daya kecepatan larinya. Berpaling ke belakang
dia dapatkan Sang Ratu masih tetap terpaut hanya setengah langkah! Berarti
kalau mau, gadis yang hidup dengan nyawa kedua ini bisa lari lebih cepat dan
melewatinya dengan mudah!
**********************
6
DI DALAM
lorong 22 pada anak lorong ke 3 Dewa Tuak tidak tahu entah berapa lama dia
tertidur di lantai lorong. Dia terbangun dari lelapnya ketika ada bau wangi
masuk ke dalam jalan pernafasannya. Masih mata terpejam dia berkata dalam hati.
“Ini bukan bau harum tuakku. Ada satu bau lain masuk ke dalam penciumanku.”
Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Begitu melihat ada tiga sosok putih
berdiri di ujung lorong, sejarak lima langkah dari tempatnya berada, kakek ini
segera bangkit berdiri. Mata dikucak lalu si kakek memperhatikan. Manusia
pocong yang tegak di samping kiri, dari lengan jubah kanannyS yang basah bekas
semburan tuak segera dikenalinya sebagai manusia pocong yang sebelumnya telah
berkelahi dengan dia lalu kabur melarikan diri.
“Aha, kau
tadi kabur.” Dewa Tuak keluarkan ucapan seraya tudingkan ibu jari tangan kanan
ke arah Wakil Ketua. “Aku sudah menduga. Kau pasti kembali membawa teman.
Ternyata dua manusia pocong sekaligus. Satu laki-laki tinggi besar. Satu lagi
perempuan berpakaian seronok. Kepala ditutup malah pakai mahkota segala, tapi
lucunya aurat sebelah bawah diobral ke mana-mana! Tidak sangka, di lorong
celaka begini rupa ada juga pemandangan bagus! Ha… ha… ha!”
Dewa Tuak
letakkan bumbung tuak di atas bahu kiri. Memandang pada pocong bermahkota di
depannya lalu sambung ucapannya tadi.
“Pocong
perempuan, baiknya kau berganti pakaian. Tukar pakaian putih tipis itu dengan
pakaian yang lebih baik. Salah-salah nanti kau bisa masuk angin dan perutmu
jadi bunting. Eh, maksudku perutmu nanti jadi melendung masuk angin! Ha… ha…
ha!”
“Tua
bangka sinting! Kau tidak tahu siapa kedua orang ini!” Tibatiba Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong menghardik lantang hingga suaranya menggetarkan lorong
batu di mana orang-orang itu berada.
“Mana aku
tahu. Bertemupun baru sekali ini! Tapi biar aku menduga. Mungkin ini Raja dan
Ratu Makhluk Pocong penghuni Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?” ujar Dewa
Tuak. “Kalau aku salah harap kau betulkan!”
“Tua
bangka sinting, dengar baik-baik. Kau berhadapan dengan Yang Mulia Ketua
Barisan Manusia Pocong dan Yang Mulia Sri Paduka Ratu!”
“Kalau
begitu dugaanku hanya meleset sedikit. Tadinya aku kira manusia pocong yang
tinggi besar ini Rajamu. Tapi bukan. Kalau memang Raja pasti dandanannya
seronok seperti Ratumu ini. Mungkin cuma pakai kain penutup kepala tapi di
sebelah bawah telanjang bulat. Seperti manusia pocong yang minta mati di rimba
belantara sana!”
Amarah
Sang Wakil Ketua jadi meledak. Apa lagi sebelumnya si kakek telah sempat
menghajarnya. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Dewa Tuak. Tangan
kiri digerakkan. Di dalam lengan jubah terdengar suara sesuatu bergeser.
“Wakil
Ketua, tunggu!” Tiba-tiba Yang Mulia Ketua berseru sambil angkat tangan kiri.
Sejak tadi dia tegak berdiam diri karena memperhatikan si kakek dengan seksama.
Berdasarkan keterangan Wakil Ketua ditambah dengan ciri-ciri yang kini
disaksikannya sendiri dugaannya tidak meleset. Kakek ini memang salah seorang
dedengkot rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Diam-diam
hatinya merasa gembira. Mendapatkan dan menguasai tokoh silat sehebat yang satu
ini bukan hal mudah.
Mendengar
seruan serta gerak isyarat tangan Sang Ketua, dengan geram Wakil Ketua turunkan
tangan, mundur selangkah. Yang Mulia Ketua bergerak ke samping Yang Mulia Sri
Paduka Ratu, lalu ajukan pertanyaan, sekaligus menguji daya ingat dan daya
pikir Sang Ratu.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, apa kau pernah melihat, atau pernah kenal dengan tua
bangka itu?”
Sepasang
mata di balik kain putih penutup kepala memandang tak berkesip ke arah Dewa
Tuak. Lalu terdengar suara jawaban.
“Seekor
sapi tua berjanggut putih, aku tak pernah melihat. Siapa sudi mengenal
dirinya.”
“Daya
ingat dan daya pikirnya sudah musnah,” ucap Yang Mulia Ketua, gembira dalam
hati.
Di depan
tiga orang manusia pocong. Dewa Tuak keluarkan tawa mengekeh. “Kau tak kenal
diriku tak jadi apa. Kau bilang aku seekor sapi tua berjanggut putih mungkin
ada benarnya. Tapi bagaimana aku mengenali dirimu kalau wajah disembunyikan di
balik kain penutup kepala?”
“Kalau
ingin melihat wajahku mengapa tidak melepas sendiri kain pocong penutup
kepalaku?!” Yang Mulia Sang Ratu balas menjawab. Membuat Yang Mulia Ketua jadi
terkejut. Kawatir si kakek yang berilmu tinggi menyergap dan benar-benar
lakukan apa yang ditantang Sang Ratu maka dia cepat maju satu langkah seraya
berkata.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, lekas lumpuhkan sapi janggut putih itu. Jangan dibunuh!”
“Aku
hanya seekor sapi tua berjanggut putih, masakan ada yang tega mau mencelakai!”
ucap Dewa Tuak. Bumbung bambu di bahu kiri digeser ke dekat mulut. Lalu gluk…
gluk… gluk, dia tegak tuak kayangan tiga kali berturut-turut.
“Sri
Paduka Ratu, hati-hati. Tuak dalam mulutnya jika disemburkan bisa jadi senjata
mematikan,” memberi tahu Wakil Ketua.
“Yang Mulia,
lekas lumpuhkan bangsat tua itu!” Sang Ketua mengulangi perintah.
Wajah
dibalik kain penutup kepala menyeringai.
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!”
“Eh, aku
pernah mendengar Wakil Ketua ucapkan kata-kata seperti itu. Edan,
manusia-manusia apa mereka ini sebenarnya?” membatin Dewa Tuak.
Tiba-tiba
Sang Ratu maju dua langkah. Dewa Tuak memperhatikan Kakek ini merasa heran. Dia
melihat gerakan kaku seperti patung kayu berjalan. Didahului satu lengkingan
keras tiba-tiba Sang Ratu hantamkan tangan kanannya ke depan. Lagi-lagi
terlihat bagaimana gerakan tangan itu begitu kaku. Dewa Tuak mula-mula
menganggap enteng serangan orang. Dia dorongkan bumbung bambu ke depan. Tapi
kaget orang tua ini bukan alang kepalang ketika dia merasakan satu gelombang
angin laksana batu raksasa berguling dahsyat. Dia cepat mundur dan tarik
bumbung bambunya. Tapi terlambat. “Braakkk!”
Bumbung
bambu di tangan Dewa Tuak hancur. Tuak harum muncrat ke mana-mana. Walau kaget
setengah mati tapi kakek ini tidak kehilangan kewaspadaan. Mulutnya dibuka dan
byuuur! Tuak di dalam mulut menyembur ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Yang
Mulia, awas!” Memperingatkan Wakil Ketua yang sudah merasakan keganasan
semburan tuak si kakek.
Tapi Sang
Ratu tidak menggeser kedua kakinya. Sosoknya tetap berdiri kaku. Hanya satu
jengkal semburan tuak akan mendarat di muka, dada dan perutnya tiba-tiba Sang
Ratu goyangkan kepala.
“Wuuttt!”
Rambut
panjang Sang Ratu berubah laksana sebuah tameng hitam, bukan saja menangkis
semburan tuak, malah sekaligus menghantamkannya kembali ke arah si kakek.
Karuan saja Dewa Tuak terkejut besar. Sambil berseru keras dia cepat melompat
mundur. Ketika si kakek melompat mundur dua langkah, Sang Ratu membarangi
dengan gerakan kaku. Tubuhnya seperti melayang lalu wuuut! Kembali rambut
hitamnya berkelebat di udara. Dan des… des… des!
Terdengar
tiga kali suara amblasnya urat besar di tiga bagian tubuh Dewa Tuak ketika
ujung rambut yang seolah berubah menjadi benda keras membuat tiga kali totokan.
Orang tua ini masih sempat keluarkan jeritan keras lalu tubuhnya roboh ke
lantai lorong. Mulut ternganga, mata mendelik. Sekujur tubuh kaku mulai dari
kepala sampai ujung jari kaki.
“Luar
biasa!” memuji Sang Ketua. Baru kali ini dia melihat ilmu totokan seperti itu.
Ujung rambut yang lunak, bisa berubah seperti benda keras.
Wakil
Ketua leletkan lidah, keluarkan suara berdecak. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Kau hebat sekali!”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!” Sang Ratu keluarkan ucapan. Lalu balikkan tubuh.
“Tugas sudah kujalankan. Saatnya aku kembali ke Rumah Tanpa dosa.”
Yang
Mulia Ketua membungkuk hormat lalu berkata. “Ikuti saya Yang Mulia Sri Paduka
Ratu,” katanya. Sebelum tinggalkan tempat itu dia memberi perintah pada Wakil
Ketua. “Panggil tua bangka itu. Masukkan ke dalam Ruang Peristirahatan.
Suguhkan Minuman Selamat Datang. Sediakan Pakaian Persalinan.”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan,” jawab Wakil Ketua. Lalu
dengan cepat tubuh kaku Dewa Tuak dipanggulnya di bahu kiri.
Yang
disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu berbentuk segi tiga
berpintu besi. Setiap orang yang hendak dijadikan anggota Barisan Manusia
Pocong selalu dimasukkan ke ruangan ini. Di atas pintu besi ada sebuah lobang
kecil, cukup besar untuk mengintai ke dalam. Di sebelah kanan terdapat tempat
tidur batu beralaskan tikar jerami. Lalu ada seperangkat meja dan kursi yang
juga terbuat dari batu. Ke dalam ruangan inilah Dewa Tuak dimasukkan,
dibaringkan di atas tempat tidur batu.
Tak
selang berapa lama masuklah seorang perempuan muda yang dari bentuk perutnya
jelas dia dalam keadaan hamil. Perempuan ini membawa sebuah keranjang berisi
sebuah teko terbuat dari tanah. Di samping teko ada seperangkat jubah dan kain
penutup kepala putih. Dewa Tuak yang terbaring menelentang tak bisa bergerak
tak bisa bicara ikuti gerak gerik perempuan hamil itu dengan putaran sepasang
mata.
“Semua
orang di tempat celaka ini mengenakan pakaian seperti pocong. Mengapa perempuan
bunting ini berpakaian biasa-biasa saja. Apa yang dibawanya dalam keranjang…”
“Perempuan
hamil letakkan keranjang di atas meja batu lalu berpaling ke arah Dewa Tuak dan
keluarkan ucapan.
“Orang
tua, saya akan menyuguhkan Minuman Selamat Datang untukmu. Untuk itu saya akan
membantu. Setelah beberapa lama kau akan tertidur. Berarti kau bisa
beristirahat. Bila kau terbangun, jalan suaramu akan terbuka dengan sendirinya.
Saya meninggalkan sehelai jubah dan kain putih penutup kepala. Bila totokan di
tubuhmu mulai punah dan kau mulai bisa menggerakkan tangan serta kaki, kenakan
jubah dan kain penutup kepala itu. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.” Dewa Tuak
memaki panjang pendek dalam hati. Saat itu dia seperti merasa ada tuak dalam
mulutnya. Dia berusaha menyembur. Tapi jangankan menyembur, membuka mulut saja
dia tidak mampu. Apa lagi saat itu memang tidak ada tuak dalam mulutnya.
Perempuan
hamil keluarkan teko tanah dari dalam keranjang dengan tangan kanan. Lalu dia
mendekat ke ranjang batu. Dengan tangan kirinya dia memencet pipi Dewa Tuak
hingga mulut si kakek terbuka sedikit. Perlahan-lahan dia lalu kucurkan cairan
bening yang ada di dalam teko ke mulut orang tua itu. Begitu cairan masuk ke
dalam mulut Dewa Tuak berusaha untuk menyemburkan. Tapi bibirnya tidak
bergetar, lidah tidak bergeming. Sedikit demi sedikit cairan dalam teko masuk
ke dalam mulut, turun ke tenggorokan dan sampai di perut.
“Perempuan
bunting celaka!” rutuk Dewa Tuak yang hanya menggema dalam hati. “Apa yang kau
lakukan terhadap diriku! Kau meracuni aku?! Kalau aku bisa keluar hidup-hidup
dari tempat celaka ini akan kepencet perutmu sampai bayimu merojol keluar!”
Air
bening di dalam teko habis. Sesaat kemudian Dewa Tuak merasa tubuhnya sangat
letih. Matanya yang sejak kena ditotok nyalang tak berkesip secara aneh
perlahan-lahan menutup.
Perempuan
hamil tersenyum. Sambil melangkah ke luar kamar dia berkata. “Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai.
**********************
7
DI TANGGA
pendapa Gedung Kepatihan di Kotaraja empat orang gadis cantik duduk saling
berdiam diri. Sebentar-sebentar mata mereka diarahkan ke pintu gerbang. Setiap
terdengar derap kaki kuda mereka berpaling. Namun orang yang mereka tunggu
tidak kunjung datang.
Gadis
pertama cantik jelita berpakaian biru, bertubuh tinggi semampai dan berambut
pirang, duduk sambil sandarkan punggung ke tiang besar pendapa. Dia adalah
Bidadari Angin Timur, si cantik rimba persilatan yang dikagumi bukan saja
kecantikan dan kebagusan potongan tubuhnya, tapi juga ketinggian ilmu silat
serta kesaktiannya. Kalau tersenyum di pipi kiri kanannya muncul lesung pipit
menambah kecantikannya.
Gadis
kedua bersimpuh dekat sebuah arca. Pakaiannya ketat hingga bentuk tubuhnya yang
padat dan bagus tampak jelas mempesona. Rambut hitam panjang digelung di atas
kepala. Sepasang mata dipejamkan. Dia duduk tidak bergerak. Dua tangan
diletakkan di pangkuan. Sikapnya seperti tengah bersamadi. Tapi sebenarnya saat
itu dia tengah menerapkan satu ilmu yang disebut Menembus Pandang. Dia mencoba
memantau keberadaan orang yang ditunggu. Namun dia tidak melihat apa-apa dalam
rona alur pandangan gaibnya. Berarti orang yang ditunggu masih berada di tempat
jauh, di luar jangkauan kekuatan ilmu. Atau mungkin juga memang tidak tengah
menuju ke tempat dia berada. Ketika perlahan-lahan mata yang terpejam
dibukakan, terlihatlah sepasang bola mata berwarna biru, indah menawan. Si
cantik satu ini bukan lain adalah Ratu Duyung. Dalam rimba persilatan tanah
Jawa dikenal sebagai salah satu orang yang dipercayakan ikut mengawasi dan
menguasai kawasan laut selatan.
Gadis ke
tiga tak kalah cantiknya dengan Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Seperti
Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur, dia juga memiliki wajah cantik, berkulit
putih mulus. Seperti Bidadari Angin Timur gadis satu ini juga mempunyai lesung
pipit di kedua pipinya. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas warna ungu agar
longgar hingga menyembunyikan raut tubuhnya yang padat sintal. Di pinggangnya
melilit sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Secarik pita ungu menghias
rambutnya. Saat itu dia duduk di tangga gedung Kepatihan sambil memegang dan
mempermainkan ujung seledang ungu di mana terdapat guratan angka 212. Angka ini
digurat sendiri oleh Pendekar 212 Wiro Sableng pada kisah pertemuan mereka pertama
kali. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran”) Dalam
petualangannya di rimba persilatan gadis ini pernah menyamar dan dijuluki “Dewi
Kerudung Biru” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Keris Tumbal Wilayuda”)
Anggini, itulah nama si gadis dan dia bukan lain adalah murid Dewa Tuak.
Gadis
keempat berpakaian serba kuning. Mulai dari baju dan celana, ikat pinggang
sampai pada ikat kepala. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang. Agak kesal
dia berdiri dari duduknya lalu melangkah mundar mandir dan sesekali memandang
kelangit di mana bulan hari kedua kelihatan muncul samar-samar di balik saputan
awan tipis. Sang dara yang satu ini adalah Sutri Kaliangan, putri Patih
Kerajaan Selo Kaliangan. (Mengenai kisah pertemuan dan persahabatan Putri Patih
Kerajaan ini dengan tiga gadis dan Pendekar 212 Wiro Sableng harap baca serial
Wiro Sableng berjudul “Badik Sumpah Darah” terdiri dari 7 Episode) Di samping
Bidadari Angin Timur, Sutri Kaliangan hentikan langkah menatap ke arah bulan
tipis di langit, memandang pada gadis berambut pirang di sebelahnya lalu
berucap.
“Sesuai
perjanjian Pendekar 212 Wiro Sableng akan datang ke sini. Seharusnya dia muncul
malam kemarin. Tapi sampai saat ini dia belum muncul. Apakah dia lupa…”
“Biasanya
Wiro selalu tepat janji. Kemungkinan lupa tidak masuk akal.” Menjawab Bidadari
Angin Timur. “Dia dan juga kita punya banyak pekerjaan yang belum selesai.
Mencari Pedang Naga Suci Dua Satu Dua, mencari Kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan…”
“Mungkin
ada sesuatu halangan yang membuat dia tidak dapat memenuhi perjanjian. Tidak
bisa datang ke sini.” Kata Anggini pula.
Ratu
Duyung ikut bicara. “Tadi aku coba menjajaki dengan Ilmu Menembus Pandang. Tapi
aku tidak bisa melihat apa-apa. bayangan tipispun tidak nampak. Berarti Wiro
belum berada di sekitar Kotaraja. Masih sangat jauh di tempat lain. Dan kita
tidak tahu di mana adanya tempat lain itu.”
“Ratu
Duyung,” kata Sutri Kaliangan seraya mendekati gadis bermata biru itu dan duduk
di sampingnya. “Bukankah kau memiliki sebuah cermin sakti yang bukan saja bisa
dipakai sebagai senjata, tapi juga dapat dipergunakan untk melihat sesuatu yang
masih gaib dalam pandangan mata manusia?” Ratu Duyung anggukkan kepala. Anggini
segera mendekati kedua orang itu.
Bidadari
Angin Timur untuk sesaat masih tetap tidak beranjak dari duduknya. Dari tadi
diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik dan setiap ucapan Sutri Kaliangan.
Dalam hati gadis berambut pirang ini membatin. “Dari tadi kuperhatikan, puteri
Patih Kerajaan ini tampak pa ling gelisah. Dia begitu mengharapkan kehadiran
Wiro. Padahal tempat ini semata dipergunakan untuk janji pertemuan antara aku,
Anggini dan Ratu Duyung dengan Wiro. Dia hanya diminta menyediakan tempat
pertemuan ini. Sebenarnya bisa saja pertemuan dilakukan di tempat lain. Jangan-jangan
gadis satu ini telah menaruh hati pada Wiro…”
Ratu
Duyung keluarkan cermin bulat dari balik pakaiannya. Perlahan-lahan Bidadari
Angin Timur berdiri dari duduknya, bergabung dengan tiga gadis itu. Sang Ratu
pejamkan mata. Mulut dikatup rapat. Tenaga dalam dialirkan pada tangan kanan
yang memegang gagang cermin. Sebenarnya Ratu Duyung bisa melihat segala sesuatu
yang muncul di dalam cermin tanpa memejamkan mata. Tapi inilah keanehannya.
Dengan memejamkan mata justru penglihatannya lebih terang dan daya jangkaunya
lebih jauh. Tangan kanan yang memegang gagang cermin mendadak bergetar. Kelopak
mata Ratu Duyung bergerak-gerak. Mulutnya yang sejak tadi terkancing,
perlahan-lahan terbuka.
“Aku
melihat telaga besar. Indah sekali pemandangannya. Ada gunung di kejauhan. Ah!
Telaga dan gunung menghilang. Ratu Duyung terdiam. Getaran tangannya semakin
kencang. Cermin bulat ikut bergetar. “Ada rimba belantara… ada lembah batu.
Lembah berganti bukit batu. Gelap… apa ini? Terowongan panjang, berliku-liku.
Eh, ada bayangan-bayangan putih aneh berkelebat. Lenyap lagi! Muncul rumah tua.
Hilang! Berganti dengan rumah putih… rumah panggung warna putih…”
Sampai di
situ getaran tangan kanan Ratu Duyung semakin keras. Wajahnya tampak tegang.
Keringat mencicir di kening. Selain bergetar keras cermin sakti terasa tambah
berat. Dia gerakkan tangan kiri. Kini dia pegang gagang cermin dengan dua
tangan. Tapi getaran bertambah hebat. Ratu Duyung coba bertahan. Mata semakin
rapat dipejamkan. “Rumah panggung putih. Berputar! Semakin besar. Ada suara
keras. Suara apa ini. Suara lonceng… bukan. Suara genta aneh. Keras sekali… aku
tak tahan, aku tak sanggup. Teman-teman. Tolong… Telingaku bisa pecah!
Kawan-kawan…”
Seperti
didorong satu kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan tubuh Ratu Duyung terhuyung
keras ke belakang. Cermin bulat terlepas dari genggaman, mencelat mental ke
udara. Anggini cepat meloncat menyambar benda itu. Bidadari Angin Timur dan
Sutri Kaliangan segera bertindak menolong Ratu Duyung.
“Ratu kau
tak apa-apa?” tanya Sutri Kaliangan.
Bidadari
Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan lalu mengusap keringat yang membasahi
wajah pucat Ratu Duyung.
Setelah
menarik nafas panjang beberapa kali, dalam keadaan dada turun naik, Ratu Duyung
berkata. “Tidak pernah aku mengalami yang seperti ini.” Suaranya perlahan
sekali, hampir tidak kedengaran. Tenaganya seolah terkuras.
“Ratu,
apa yang terjadi? Apa yang kau lihat?” tanya Sutri Kaliangan.
Ratu
Duyung menarik nafas dalam-dalam, baru menjawab.
“Mula-mula
aku melihat sebuah telaga besar dan gunung di kejauhan. Mendadak bayangan
telaga dan gunung lenyap. Kemudian ada lembah batu, lalu bukit batu. Muncul
bayangan gelap. Dalam gelap aku melihat lorong panjang, banyak sekali. Lalu ada
kelebatan bayangbayang putih.” Ratu Duyung diam sejenak baru menyambung. “Saat
itu sebenarnya kepalaku terasa pusing. Tubuhku berkeringat, detak jantung keras
dan aku merasa letih sekali. Di kaca muncul bayangan sebuah rumah tua. Rumah tua
berganti dengan rumah putih berbentuk aneh…”
“Kami
mendengar kau menyebut rumah panggung putih,” kata Sutri Kaliangan.
“Benar,
rumah panggung putih. Rumah ini berputar aneh, mengeluarkan suara mengerikan
dan bertambah besar. Bergerak seperti mau menerjangku. Lalu ada suara luar
biasa kerasnya. Suara lonceng, bukan… bukan lonceng. Suara genta, hampir
menyerupai suara gong. Aku tidak tahan. Kupingku seperti terbongkar. Kepalaku
laksana mau pecah. Gagang cermin yang aku pegang terasa panas lalu terpental. Tubuhku
letih sekali. Tulang-tulang serasa rontok. Masih untung aku tidak pingsan atau
cidera di dalam…” Ratu Duyung raba dadanya dengan tangan kiri lalu seka
keringat yang menggantung di dagunya. Ketika tangannya diletakkan di pangkuan,
terkejutlah gadis bermata biru ini. Telapak tangan kirinya kelihatan merah
kehitaman. Dia balikkan tangan kanan. Astaga! Tangan inipun kelihatan merah
kehitaman!
“Ada
kekuatan aneh menyerangku dari kejauhan…”
“Seberapa
jauhnya?” tanya Anggini.
“Tidak
dapat kupastikan. Paling tidak sehari perjalanan berkuda,” jawab Ratu Duyung.
Bidadari
Angin Timur, Anggini dan Sutri Kaliangan jadi saling pandang. Kalau ada satu
kekuatan yang jaraknya satu hari perjalanan melakukan serangan dan mampu
membuat cidera tangan orang yang diserang, maka dapat dibayangkan kalau
kekuatan yang menyerang itu berada di hadapan sasaran. Niscaya Ratu Duyung bisa
hancur lebur mulai dari kepala sampai ke kaki! Ratu Duyung diam-diam juga
merasakan apa yang saat itu terpikir oleh ketiga gadis sahabatnya.
“Sulit
dipercaya,” kata Anggini.
“Tidak
masuk akal,” menimpali Bidadari Angin Timur. Sementara Sutri Kaliangan berdiam
diri tapi sepasang matanya tak luput dari memandang Ratu Duyung terus-terusan.
Seperti ada sesuatu yang dipikirkan dalam benaknya. Hal ini diam-diam
perhatikan sikap puteri Patih Kerajaan ini.
“Ratu,
ini cerminmu,” kata Anggini sambil menyerahkan cermin bulat yang tadi berhasil
disambarnya sewaktu mental dari pegangan Ratu Duyung.
“Ada satu
kekuatan aneh luar biasa. Mungkin sekali bersumber dalam rumah panggung
berwarna putih itu,” Ratu Duyung sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu
sama lain disertai dengan mengalirkan hawa sakti. “Keanehan lain, aku sama
sekali tidak melihat bayangan Wiro.”
“Ratu,”
kata Bidadari Angin Timur sambil memegang lengan Ratu Duyung. “Jika kau
memusatkan perhatian untuk melihat Wiro dalam cermin sakti, lalu yang muncul
bayangan-bayangan lain. Apakah ini mempunyai arti tertentu?”
“Hal
seperti ini, sudah kukatakan tadi, belum pernah kejadian.” Jawab Ratu Duyung.
Dia perhatikan dua tangannya. Warna hitam pada dua telapak tangan telah
berkurang banyak. Kini hanya tinggal warna merah. Kembali gadis ini usapkan dua
telapak tangan satu sama lain. “Kalau saja aku boleh menduga antara apa yang
aku lihat, rasanya kelak akan ada hubungannya dengan Wiro. Bagaimana kaitannya
tak bisa kumengerti.”
“Telaga,
lembah, gunung, serta bukit batu yang kau lihat dalam cermin itu,” berucap
Sutri Kaliangan, “apakah kau bisa mengenali atau mungkin mengetahui di mana
beradanya? Mungkin juga bisa menduga telaga apa, gunung di mana.”
Ratu
Duyung berpikir sejenak lalu menggeleng. “Aku hanya bisa mengukur jarak. Itupun
hanya satu dugaan. Semua yang aku lihat itu berada sekitar satu hari perjalanan
berkuda dari sini.”
Diam-diam
Bidadari Angin Timur punya prasangka sendiri dalam hatinya. “Mungkin saja dia
tahu semua tempat yang dilihatnya dalam cermin sakti. Tapi tidak mau
memberitahu. Dia mengatakan hanya bisa mengukur jarak. Satu hari perjalanan
naik kuda dari sini. Apa ceritanya itu bisa dipercaya? Mungkin saja dia sengaja
merahasiakan apa yang diketahuinya untuk tujuan tertentu…”
“Ratu,
kalau kau tahu jaraknya, mungkinkah kau juga bisa menduga arahnya?” tanya Sutri
Kaliangan. “Karena kalau kita tahu arah, dengan mudah kita bisa menemukan
tempat itu. sebera-papun jauhnya.”
“Seandainya
kita bisa menemukan tempat itu, lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Ratu
Duyung.
“Aku
punya dugaan Wiro akan muncul di sini!” Jawab Sutri Kaliangan sambil letakkan
tangan di atas gagang pedang.
Tiga
gadis menatap ke arah Sutri Kaliangan.
“Aku
tahu, kalian tidak percaya,” Sutri Kaliangan kembali berucap setelah
memperhatikan cara memandang tiga gadis cantik itu. “Tapi dengar dulu. Bukankah
tadi Ratu Duyung mengatakan ada keterkaitan antara Wiro dengan bayangan yang
muncul dalam cermin? Hanya sayang, kita tidak tahu di mana tempat-tempat itu
beradanya.” Sutri Kaliangan berdiri, menatap ke langit lalu melangkah
mundar-mandir.
“Apalagi
yang ada dalam benak gadis ini?” ucap Bidadari Angin Timur dalam hati sambil
memperhatikan gerak-gerik putri Patih Kerajaan itu. “Niatnya untuk bisa bertemu
Wiro seolah tidak bisa dicegah.”
Tiba-tiba
Sutri Kaliangan hentikan langkah. Dia ingat sesuatu dan mendekati Ratu Duyung
kembali, berlutut di sampingnya.
“Ratu
sahabatku. Waktu tadi kau memegang cermin sakti dan mulai melihat
bayangan-bayangan yang muncul di dalamnya, kau duduk di lantai pendapa. Ingat
saat itu kau menghadap ke arah mana?”
“Aku
masih ingat. Ratu Duyung menghadap ke arah pintu gerbang sana,” yang menjawab
Anggini.
“Benar,
aku memang menghadap ke jurusan pintu gerbang itu,” kata Ratu Duyung kemudian.
“Berarti
di arah itulah tempat-tempat yang kau lihat dalam cermin sakti. Telaga, gunung,
bukit batu, lembah. Rumah panggung warna putih! Semua di arah itu. Arah pintu
gerbang. Menurut mata angin, arah pintu gerbang adalah arah ke timur, sedikit
melenceng ke utara. Berarti tepatnya arah antara timur dan timur laut. Kalau
kita berkuda satu harian ke sana, semua tempat itu pasti kita temui!” Sutri Kaliangan
kembali berdiri. “Para sahabat, rasanya aku tidak mau menunggu lebih lama.
Kalau kita berangkat malam ini, besok paling lambat di sana sama seperti ini,
kita sudah sampai di tujuan. Siapa yang bersedia berangkat bersamaku sekarang
juga?”
Tidak ada
yang menjawab.
Putri
Patih Kerajaan itu tampak kecewa. Dia pandangi satu persatu wajah tiga gadis
cantik di hadapannya lalu berkata.
“Aku
tidak ingin mengatakan. Takut kalian menganggap aku berlebihan atau punya niat
buruk mengharapkan kejadian tidak baik atas diri Wiro. Tapi terus-terang aku
katakan pada kalian saat ini, aku punya firasat Wiro akan muncul di
tempat-tempat yang ada dalam cermin. Dan di situ dia akan menghadapi bahaya
besar!”
Di antara
tiga gadis masih tidak ada yang bicara.
“Kalau
kalian tidak mau berangkat bersamaku, kalian boleh tidur enak-enakan di
Kepatihan ini. Aku akan berangkat sendirian sekarang juga.”
“Aku ikut
bersamamu,” kata Ratu Duyung seraya bangkit berdiri.
“Siapa
lagi?” tanya Sutri Kaliangan sambil menatap pada Anggini dan Bidadari Angin
Timur. Tapi dua gadis ini tidak memberi tanggapan. “Baiklah Ratu, agaknya hanya
kita berdua yang akan berangkat malam ini. Aku akan menyuruh orang menyiapkan
dua ekor kuda untuk kita. Dan jika sahabatku Bidadari Angin Timur dan Anggini
berubah pikiran, kalian boleh meminta masing-masing seekor kuda pada penjaga.”
Tak lama
setelah Ratu Duyung dan Sutri Kaliangan meninggalkan gedung. Kepatihan,
Bidadari Angin Timur memandang ke arah pintu gerbang. Tanpa palingkan kepala
dia bertanya pada Anggini.
“Sahabatku
Anggini, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Tuan
rumah sudah pergi. Rasanya kita tidak mungkin berada lebih lama di tempat ini.”
“Kau
ingin mengikuti Ratu Duyung dan Sutri?”
Anggini
berdiam cukup lama. Jawabannya kemudian justru berupa pertanyaan. “Bagaimana
dengan kau?”
“Sebenarnya
tidak ada salahnya kita menyusul mereka. Kita sudah tahu arah yang mereka tuju.
Malah kita bisa minta kuda untuk tunggangan. Hanya sayang, saat ini aku
tiba-tiba ingat pada satu urusan lain yang harus aku lakukan. Jadi sahabatku
Anggini, kita terpaksa berpisah sementara di tempat ini.”
Tanpa
menunggu jawaban Anggini, Bidadari Angin Timur berdiri dari duduknya dan sekali
berkelebat gadis ini telah lenyap di balik tembok timur gedung Kepatihan. Tapi
tanpa setahu Anggini, Bidadari Angin Timur kembali memasuki halaman dalam
gedung Kepatihan dari sebelah belakang, langsung menuju kandang kuda. Setelah
memilih kuda yang besar dan tegap gadis ini tinggalkan tempat itu melalui pintu
belakang.
Untuk
beberapa saat Anggini tertegun sendirian di pendapa gedung Kepatihan. Namun ada
suara hati kecilnya berkata. “Bidadari Angin Timur, kau tidak bisa menipuku.
Waktu bicara tadi kau tidak berani menatap mataku. Aku tahu kau berdusta. Aku
tahu tidak ada urusan lain yang harus kau lakukan. Dan aku tahu kau akan
menyusul dua gadis itu. Kau lebih suka pergi sendirian karena tidak senang
berjalan seiring denganku. Apa yang kau cari Bidadari Angin Timur? Tidak ingin
aku berada disampingmu ketika kau berjumpa dengan Wiro?” Secercah senyum menyeruak
di bibir murid Dewa Tuak ini. “Aku sudah sejak lama ingin mendapatkannya.
Nyatanya tak pernah kesampaian. Hingga akhirnya aku dihinggapi rasa kecewa yang
berujung pada satu keiklasan. Aku menerima nasib tidak berjodoh dengan pemuda
itu. Namun bukan berarti ini satu peluang bagimu. Karena aku merasa ada seorang
gadis lain yang mungkin telah mendapat tempat di dalam hati Wiro.”
Merasa
Bidadari Angin Timur sudah pergi jauh, Anggini menemui seorang penjaga dan
minta disediakan seekor kuda. Tak selang berapa lama gadis inipun tinggalkan
gedung Kepatihan melalui pintu depan.
**********************
8
DALAM
Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan nasib sial yang menimpa Setan
Ngompol. Kakek satu ini hampir kena digerebek pasukan Kadipaten Magetan dibawah
pimpinan Adipati Sidik Mangkurat selagi menginap di rumah seorang janda di
pinggiran Kotaraja. Dia dituduh sebagai manusia pocong yang telah membuat
keonaran di Magetan, menculik, membunuh. Hal itu terjadi gara-gara di rumah
sang janda ditemukan seperangkat jubah dan kain putih tutupan kepala berbentuk
pocong. Setan Ngompol berhasil melarikan diri tapi dalam pengejaran dia hampir
kena dibekuk oleh Adipati Sidik Mangkurat. Untung saat itu muncul Pendekar 212.
Setan Ngompol dapat diselamatkan. Setelah puas saling bercerita panjang lebar
di sebuah pedataran rumput, Wiro memberitahu.
“Malam
nanti aku janji bertemu dengan tiga gadis di Gedung Kepatihan. Bersama Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan mereka menunggu aku disana.”
Saat itu
Setan Ngompol mengenakan jubah putih yang dibawa Adipati Magetan karena sewaktu
kabur dari rumah janda di Bantul dia hanya mengenakan selembar celana kolor
butut.
“Tiga
gadis cantik itu,” kata Setan Ngompol pula sambil melipat kain putih tutupan
kepala lalu menyelipkannya di balik pinggang jubah. “Ratu Duyung. Bidadari
Angin Timur dan Anggini?”
Wiro
anggukkan kepala.
“Lumayan
lama aku tidak melihat mereka. Aku ikut bersamamu.”
“Memang
ada baiknya kau ikut Kek,” kata Wiro. Kedua orang itu lalu naik ke punggung dua
ekor kuda yang mereka ambil dari orang-orang kadipaten Magelang.
“Betul,
aku kangen sama mereka. Mereka pasti juga kangen sama bau pesingku! Ha… ha…
ha!”
Belum
lama meninggalkan pedataran rumput, Setan Ngompol menunjuk ke arah kejauhan. Di
arah timur kelihatan seorang penunggang kuda. Orang ini memacu kudanya cepat
sekali dan jelas mendatangi ke arah mereka. Wiro dan Setan Ngompol perlambat
lari kuda masing-masing. Tak lama kemudian penunggang kuda itu berhenti di
hadapan Wiro dan Setan Ngompol. Debu yang membumbung ke udara menutupi
pandangan. Sesaat setelah debu turun Wiro dan Setan Ngompol memperhatikan.
Keduanya segera mengenali si penunggang kuda. Hampir berbarangan sama-sama
berseru.
“Loh
Gatra!”
“Sahabatku
Wiro, Kakek Setan Ngompol! Syukur kita bisa bertemu di sini. Aku dalam
perjalanan menuju Kotaraja…”
“Kami
berdua juga dalam perjalanan ke Kotaraja,” menerangkan Setan Ngompol.
Wiro
sendiri saat itu diam-diam perhatikan raut air muka lelaki muda bernama Loh
Gatra. Di balik wajah yang diselimuti debu Wiro melihat ada satu bayangan
kecemasan. Wiro lalu berkata. “Setelah peristiwa berdarah di bukit Watu Ireng
tempo hari, kami hanya mendengar kabar gembira bahwa kau melangsungkan
pernikahan dengan Nyi Larasati. Tapi di mana kalian berada dan menetap tidak
kami ketahui. Apakah kalian berdua baik-baik saja?”
“Berita
yang kalian dengar benar adanya. Aku menikah dengan Nyi Larasati…” Loh Gatra
diam sesaat dan tatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam hati dia tahu
kalau Nyi Larasati yang kini jadi istrinya pernah jatuh hati terhadap sang
pendekar. “Setelah menikah,” Loh Gatra lanjutkan keterangannya, “aku membawa
Nyi Lara ke desa kelahiranku di Jatipuro, di selatan Gunung Lawu. Kami menetap
di situ. Aku punya beberapa bidang kebun dan sawah, juga ternak. Udara di sana
sejuk, keadaan aman tenteram. Namun suatu malam terjadi malapetaka besar…” Loh
Gatra buka destar di kepalanya, usap rambutnya beberapa kali lalu menggigit bibir
gelengkan kepala. (Siapa adanya Loh Gatra dan bagaimana kisahnya dapat pembaca
ikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Badik Sumpah Darah terdiri dari 7
Episode)
“Sahabatku
Loh Gatra, katakan apa yang terjadi,” ucap Wiro.
“Nyi
Lara, istriku diculik makhluk aneh. Kejadiannya dua hari lalu. Waktu itu
menjelang pagi. Aku terbangun ketika mendengar suara jeritan perempuan. Nyi
Lara tak ada lagi di sampingku. Aku menghambur keluar dan masih sempat melihat
seorang berpakaian aneh menunggang kuda memboyong istriku. Aku berusaha
mengejar tapi penculik jahanam itu berhasil menghilang dengan cepat…”
Wiro dan
Setan Ngompol sama-sama terkejut mendengar keterangan Loh Gatra itu.
“Loh
Gatra, katamu tadi orang yang menculik Nyi Lara berpakaian aneh. Aneh
bagaimana?” tanya Wiro.
“Dia
mengenakan jubah putih. Kepala ditutup dengan kain putih, di sebelah atas
diikat seperti pocong…”
“Manusia
pocong…” ucap Setan Ngompol sambil buru-buru pegang perut di bawah pusar.
Loh Gatra
berpaling pada si kakek. Untuk pertama kalinya dia menyadari pakaian jubah
putih yang dikenakan Setan Ngompol. Yakni jubah putih yang dilemparkan Adipati
Magetan dan kemudian diambil si kakek. Cara memandang Loh Gatra membuat Setan
Ngompol merasa tidak enak. Wiro juga merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba
Loh Gatra keluarkan teriakan keras seraya menunding ke arah Setan Ngompol.
“Kau!”
Setan
Ngompol tersentak kaget sampai kucurkan air kencing. Wiro sendiri ikut
terkesiap.
Begitu
membentak Loh Gatra melesat dari punggung kudanya. Laksana terbang dia melayang
ke arah Setan Ngompol sambil hantamkan satu jotosan kilat ke arah kepala si
kakek.
“Hai!”
Setan Ngompol berteriak. “Serrr!”
Sambil
pancarkan air kencing kakek ini cepat rundukkan tubuh sama rata dengan punggung
kuda laiu jatuhkan diri ke tanah. Baru dua kaki menginjak tanah tahu-tahu Loh
Gatra sudah kembali menyerbunya.
“Loh
Gatra! Apa-apaan ini?!Mengapa kau menyerangku!” Teriak Setan Ngompol seraya
membuat gerakan berkelit dan menangkis.
“Bukk!
Bukkk!”
Dalam
satu gebrakan hebat sepasang lengan Setan Ngompol yang dipakai menangkis saling
beradu dengan tangan Loh Gatra. Si kakek pancarkan air kencing keluarkan
keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Sebaliknya Loh Gatra walau
memiliki kecepatan bergerak dan menyerang namun tingkat tenaga dalamnya masih
di bawah si kakek. Karuan saja walau berhasil memukul lawan lelaki muda ini
terpental sampai setengah tombak. Dua tangannya bergetar sakit. Rasa sakit
membuat Loh Gatra jadi kalap. Dia kembali menyerbu. Namun saat itu Wiro sudah
melompat turun dari kudanya dan tegak di hadapan Loh Gatra, menghalangi orang
lain untuk lancarkan serangan berikutnya.
“Tua
bangka jahanam! Kau harus mati! Harus mati! Kau yang menculik istriku!”
“Gila!”
teriak Setan Ngompol sambil tekap jubah putihnya di bagian bawah perut yang
kuyup oleh air kencing. “Enak saja tanpa juntrungan kau menuduhku!”
“Sahabat
Loh Gatra, tenang. Sabarkan dirimu! Ada yang tidak beres.” Wiro berkata sambil
angkat dua tangan ke atas, berusaha menghalangi Loh Gatra yang kembali nekad
hendak menyerang Setan Ngompol.
“Wiro!
Kalau kau melindungi jahanam penculik ini, aku bersumpah membunuh kalian
berdua!” Teriak Loh Gatra. Lalu tangannya bergerak ke pinggang.
“Srett!”
Selarik
cahaya putih berkilauan di bawah teriknya sorotan sinar matahari. Sebilah keris
terbuat dari perak tergenggam di tangan Loh Gatra. Senjata ini tampak bergetar
dan memancarkan cahaya menyilaukan pertanda Loh Gatra menggenggam keris itu
sambil kerahkan tenaga dalam penuh. Pertanda bahwa dia tidak main-main dengan
ancamannya. Wiro perhatikan keris di tangan Loh Gatra. Dulu lelaki ini memiliki
sebuah keris sakti mandraguna bernama Keris Tumbal Bekisar. Setahunya senjata
tersebut telah hancur dihantam Badik Sumpah Darah sewaktu Loh Gatra berkelahi
melawan Adipati Salatiga Jatilegowo. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Meraga
Sukma ) Berarti Loh Gatra telah membekal sebuah keris baru dan tingkat
kehebatannya pasti tidak kalah dengan Keris Tumbal Bekisar.
Dengan
sikap hati-hati Wiro melangkah maju, mempersempit celah ruangan Loh Gatra untuk
menyerang Setan Ngompol.
“Loh
Gatra, kita sudah sejak lama bersahabat. Jika ada sesuatu yang tidak beres mari
kita selesaikan dulu dengan berbicara. Aku yakin ada kesalah pahaman.”
Loh Gatra
mendengus lalu berkata. “Wiro aku mengerti kalau kau membela tua bangka jahanam
ini. Kau lebih lama bersahabat dengan dia dibandingkan diriku! Tapi satu hal
perlu kau ketahui. Aku yakin dialah yang telah menculik Nyi Lara.”
“Mulut
dangkal otak cetek!” teriak Setan Ngompol.” Istrimu di mana, aku di mana! Setan
apa yang menyusup ke dalam otakmu hingga menuduh aku menculik Nyi Lara!”
“Loh
Gatra, kau menuduh tentu punya bukti. Tolong katakan apa alasan atau bukti yang
kau miliki hingga menuduh kakek tukang ngompol ini sebagai penculik istrimu.”
“Aku
punya bukti! Aku merasa tidak perlu bicara banyak dengan kalian berdua! Minggir
Wiro. Atau aku terpaksa menghajarmu!”
Murid
Sinto Gendeng gelengkan kepala. Tangan kiri diulurkan hendak memegang bahu Loh
Gatra. Tapi lelaki ini cepat kibaskan tangan kanannya yang memegang keris.
“Breeet!”
Ujung
keris membabat robek lengan bahu putih Wiro sebelah kanan. Kalau Wiro tidak
cepat melompat mundur niscaya bukan cuma bajunya yang robek, daging lengannya
juga akan kena ditoreh.
Wiro
pandangi bajunya yang robek, berpaling pada Loh Gatra, masih bisa senyum dan
sambil garuk-garuk kepala dia berkata.
“Loh
Gatra, salah paham bisa merubah persahabatan jadi perseteruan. Mari kita bicara
dulu.”
Loh Gatra
gelengkan kepala. Pandangan matanya menyorot. Senyum dan gerakan menggaruk
kepala sang pendekar dianggapnya seperti meremehkan dirinya.
“Aku
minta kau minggir Wiro! Menyingkir! Cepat!” Teriak Loh Gatra.
Ketika
Wiro tidak juga beranjak dari hadapannya Loh Gatra tusukkan keris di tangan ke
dada murid Sinto Gendeng. Satu jengkal ujung keris akan sampai di permukaan
dada, Wiro gerakkan tangan kiri menepis serangan hingga lengan Loh Gatra
terangkat ke atas. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar ke arah
pergelangan. Loh Gatra merasa tangannya terpuntir begitu rupa. Ketika Wiro
lepaskan cekalan di pergelangannya, keris yang tadi di pegangnya telah lenyap.
Memandang ke bawah, senjata itu dilihatnya telah amblas masuk ke dalam tanah!
Dalam keadaan kalap, didahului teriakan keras Loh Gatra menerjang ke depan. Dua
tangan dihantamkan. Tapi tangan kiri Wiro menyusup lebih dulu. Telapaknya
menyentuh pertengahan dada lawan, sekali tangan itu didorongkan, Loh Gatra
terpental satu tombak, jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa lamanya dia
terduduk tak bergerak. Sorot mata dan dadanya yang turun naik menyatakan amarah
besar masih menguasai dirinya. Namun saat itu dia merasa tubuhnya lemah sekali.
Padahal tadi Wiro hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalam dan lebih mengandalkan
tenaga luar agar Loh Gatra tidak cidera. Hanya saja gerakan berupa dorongan
tangan yang tadi dilakukannya adalah jurus Dewa Topan Menggusur Gunung yang
didapat dari gurunya Tua Gila, dedengkot rimba persilatan pulau Andalas.
Merupakan salah satu jurus langka dengan bobot berkekuatan luar biasa.
Wiro
dekati Loh Gatra, ulurkan tangan kanan. Agak ragu Loh Gatra ulurkan pula tangan
kanannya, Wiro kemudian membantu Loh Gatra berdiri. Tegak berhadap-hadapan Wiro
melihat sorotan mata penuh amarah Loh Gatra mulai meredup. Dia masih mengerling
ke arah Setan Ngompol tapi wajahnya tidak lagi membersitkan luapan amarah.
Sesaat dia memandang ke tanah tempat kerisnya dibuat amblas oleh Wiro. Lalu
lelaki ini menarik nafas panjang.
“Aku
dalam bingung dan marah besar. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku
salah bertindak…”
Wiro
tersenyum. “Agar tidak ada yang salah mari kita bicara baikbaik.” Wiro memberi
isyarat agar Setan Ngompol mendekat. Agak takuttakut kakek ini melangkah
sambil pegangi perut. Setelah ketiganya saling berhadapan Wiro lantas berkata.
“Sahabatku!
Loh Gatra, sekarang kita bisa bicara. Kau mulai duluan.”
Loh Gatra
menarik nafas panjang sekali lagi baru membuka mulut.
“Seperti
aku terangkan tadi, istriku diculik orang. Sebelum kabur menunggang kuda, aku
masih sempat melihat jelas si penculik. Dia berpakaian serba putih. Kepalanya
ditutup kain putih yang diikat seperti ikatan jenasah. Seperti pocong. Ketika
aku perhatikan pakaian kakek ini, lalu aku lihat pula carikan kain putih yang
menjulur jubahnya, ada tali putih ikatan, tiba-tiba saja aku menaruh curiga,
buka cuma curiga, malah begitu yakin bahwa dialah manusia pocong yang telah
menculik Nyi Larasati, istriku. Itu sebabnya aku menjadi kalap…”
Pendekar
212 berpaling pada Setan Ngompol.
“Kek, sekarang
giliranmu memberikan penuturan.”
Setan
Ngompol batuk-batuk, usap-usap kuping kanannya yang terbalik.
“Sudah
dua kali aku ketuduhan sebagai penculik. Loh Gatra, apakah istrimu Nyi Lara
sedang hamil?”
Loh Gatra
terkejut mendengar pertanyaan Setan Ngompol itu.
“Kek,
dari mana kau tahu?”
“Sebelumnya
aku dituduh menculik perempuan hamil oleh orang-orang Kadipaten Magetan.
Gara-gara di rumah tempat aku menginap di Bantul, ditemukan seperangkat pakaian
manusia pocong.” Lalu kepada Loh Gatra Setan Ngompol ceritakan apa yang telah
kejadian dengan dirinya termasuk bagaimana dia mendapatkan jubah putih serta
penutup kepala berbentuk ikatan pocong.
Cukup
lama Loh Gatra terdiam mendengar cerita si kakek. Lalu dengan suara perlahan
dia berkata. “Aku mengadakan perjalanan jauh sampai kesini justru karena
mendapat penjelasan dari seorang perajurit Kadipaten Magetan. Katanya Adipati
dan serombongan pasukan tengah melakukan pengejaran terhadap seorang manusia
pocong yang terlihat berada sekitar Bantul. Aku ikut mengejar ke sini. Sampai
bertemu kalian dan terjadi semua kesalah pahaman ini. Kek, kuharap kau mau
memaaafkan kecerobohanku.”
Setan
Ngompol tersenyum lebar lalu angguk-anggukkan kepala.
“Dari
semua cerita yang aku dengar,” kata Wiro. “Agaknya memang ada manusia pocong
yang muncul di Bantul. Tujuannya menculik Rana Suwarte…”
“Sekaligus
mau memfitnah dan mencelakai diriku,” ucap Setan Ngompol pula.
“Mungkin
aku keliru mengejar jejak penculik. Ada beberapa orang menerangkan bahwa
kawasan di utara Telaga Sarangan diduga besar sebagai sarangnya komplotan
manusia pocong penculik perempuanperempuan hamil…”
“Aneh,
mengapa ada orang mau menculik perempuan hamil. Padahal yang gadis saja
kelelaran di mana-mana. Cantik-cantik,” kata Wiro sambil garuk kepala.
“Pasti
ada sesuatu dibalik semua kejahatan ini. Manusia-manusia pocong bukan cuma
menculik, tapi juga membunuh secara kejam siapa saja yang berani menghalangi
atau mengejar mereka. Salah seorang korban penculikan adalah Nyi Upit Suwarni,
puteri tunggal Ki Mantep Jalawardu, Kepala Desa Plaosan. Yang tewas jadi korban
Ki Mantep sendiri, menantunya. Lalu Surablandong, orang yang pernah jadi Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih. Aji Warangan, Kepala pasukan kadipaten Magetan
lenyap, tidak diketahui nasibnya, apa masih hidup atau juga sudah tewas. Konon,
ada beberapa orang rimba persilatan yang ikut lenyap. Kebanyakan korban
penculikan dan korban pembunuhan memang berasal dari kawasan sekitar Telaga
Sarangan…”
“Berarti
komplotan manusia pocong itu memang punya sarang di daerah itu,” kata Setan
Ngompol.
“Banyak
orang menduga demikian, termasuk aku dan Adipati Magetan. Tapi, sebegitu jauh
diselidiki sarang komplotan manusia pocong itu tidak berhasil ditemui,” kata
Loh Gatra pula. “Wiro, Setan Ngompol, aku harus kembali ke Jati-puro. Istriku
yang hamil enam bulan berada di tangan manusia-manusia jahat itu. Aku tidak
tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Selain itu dibalik semua kejahatan
ini pasti ada satu hal dahsyat mengerikan. Mungkin aku tidak akan dapat
menghadapinya sendirian. Mungkin juga aku akan menemui ajal di tangan mereka
seperti para pengejar lainnya.” Loh Gatra naik ke punggung kudanya. Sebelum
kuda dibedal Wiro berkata.
“Tunggu,
aku ikut bersamamu! Seperti yang kau duga, aku juga punya kecurigaan. Ada satu
perkara besar dibalik peristiwa penculikan perempuan-perempuan hamil itu.
Mungkin mereka dijadikan tumbal. Mungkin juga bayi-bayi mereka diperjual
belikan. Mungkin kejadiannya lebih mengerikan dari yang kita duga. Semua itu
pasti akan membawa satu bencana besar bagi rimba persilatan.”
“Wiro,
apa kau lupa kalau punya janji bertemu dengan tiga gadis malam ini di Gedung
Kepa-tihan?” Setan Ngompol mengingatkan Pendekar 212.
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Aku tidak lupa. Aku minta bantuanmu mewakili
diriku menemui puteri Patih Kerajaan dan tiga gadis. Katakan aku tidak dapat
memenuhi janji karena ada urusan sangat penting bersama Loh Gatra. Kuharap kau
menyusul ke Telaga Sarangan. Kalau para gadis ingin ikut bersamamu silahkan
saja…”
“Itu
memang maumu,” ujar Setan Ngompol sambil senyumsenyum.
Tiga orang
itu berpisah. Wiro dan Loh Gatra memacu kuda ke arah timur. Setan Ngompol ke
arah Kotaraja. Celakanya di tengah jalan pikiran kakek tukang ngompol ini
bercabang. Dia ingat pada janda gemuk putih di Bantul. Perjalanan ke Kotaraja
melalui Bantul. Apa salahnya dia mampir dulu di rumah sang janda. Paling tidak
untuk memberitahu kalau dirinya dalam keadaan selamat. Lalu dia harus mengambil
pakaiannya yang tertinggal. Mengenakan jubah putih panjang itu terasa risih
bagi si kakek. Lagi pula kalau ngompolnya kumat, air kencing langsung saja
meluncur ke bawah, tidak mandek dulu di bawah perut.
“Kalau
ngompol, enaknya memang pakai celana. Terasa hangathangat basahnya.
Hah… ha…
ha.” Setan Ngompol tertawa sendiri.
Sampai di
Bantul, dalam suka citanya bertemu lagi dengan sang janda, malam itu Setan
Ngompol tidak pergi ke Gedung Kepatihan. Dia baru pergi ke sana malam
berikutnya. Itupun setelah larut malam pada saat empat gadis telah meninggalkan
gedung tersebut setelah menunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul.
**********************
9
KEDAI
nasi besar berbentuk rumah panggung rendah itu terletak di persimpangan tiga
jalan menuju Magetan, Plaosan dan Sa-rangan. Pemiliknya seorang lelaki, duda
separuh baya bernama Danarejo. Namun nama ini sudah lama dilupakan orang. Para
pelanggan kedai nasi terkenal itu lebih suka memanggil sang pemilik dengan nama
Ki Sedap Roso, sesuai dengan nama kedai nasinya yang terpampang di satu papan
besar di bawah atap depan bangunan.
Seperti
biasanya setiap siang kedai itu selalu ramai dikunjungi orang yang datang dari
mana-mana atau kebetulan lewat untuk bersantap mengisi perut. Menjelang
matahari condong ke barat baru suasana di tempat itu menjadi sepi. Kalaupun ada
pengunjung mereka bukan datang untuk makan tapi sekedar minum teh atau kopi
sambil mencicipi beragam penganan.
Di sudut
kedai, seperti sengaja memencilkan diri dari para pengunjung lainnya, duduk
seorang gadis berwajah cantik, berkulit hitam manis. Pelayan telah sejak tadi
menghidangkan teh manis hangat. Macam-macam juadah terhidang di depannya. Namun
si gadis masih belum meneguk teh atau mencicipi kue-kue. Sebentar-sebentar dia
memperhatikan orang-orang yang ada di dalam kedai. Sesekali dia memandang ke
arah pintu. Dan tak jarang pula perhatiannya ditujukan pada Ki Sedap Roso yang
tengah sibuk menghitung dan mengaturngatur uang di laci mejanya.
Di sudut
lain dari kedai, duduk seorang mengenakan caping. Walau kepala dan seluruh
wajahnya tak kelihatan karena tertutup caping, namun dari bentuk tubuh dan
pakaiannya dia jelas seorang perempuan.
Dua orang
pengunjung meninggalkan kedai. Untuk pertama kalinya gadis berkulit hitam manis
menyentuh cangkir minuman dan meneguk teh manis hangat. Sesaat dia melirik pada
orang bercaping lalu gadis ini berdiri, melangkah ke tempat Ki Sedap Roso.
Pemilik kedai angkat kepala, tersenyum lebar melihat siapa yang berdiri di
depannya. Dia tutup laci meja. Matanya yang berpengalaman segera maklum kalau
gadis cantik di hadapannya adalah seorang dari rimba persilatan. Maka dengan
ramah Ki Sedap Roso menegur.
“Gadis
gagah, kau tentu datang dari jauh. Apa sudah puas meneguk minuman dan menyantap
juadah? Kenapa buru-buru pergi?”
“Ki Sedap
Roso, saya butuh keterangan. Ada sesuatu hendak saya tanyakan pada Aki.”
“Hemm,
hal apakah?”
“Kedai
Aki begini besar, terkenal ke mana-mana. Pengunjung datang dari berbagai
tempat. Mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat Kerajaan dan juga
orang-orang rimba persilatan. Orang yang saya tanyakan mungkin pernah
berkunjung ke sini. Ki Sedap Roso, mungkin Aki kenal dan tahu di mana saya bisa
menemui seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212?”
“Ah,
perihal pendekar itu yang hendak ditanyakan tamuku. Gadis gagah. Kalau aku
boleh lebih dulu bertanya, siapakah kau adanya? Seingatku baru sekali ini kau
mampir ke kedaiku.”
“Nama
saya Wulan Srindi. Saya murid Perguruan Silat Lawu Putih.” Si gadis mengatakan
siapa dirinya secara terus-terang.
“Ah,
sejak tadi aku sudah menduga kalau tamuku saat ini adalah orang gagah rimba
persilatan.” Ki Sedap Roso membungkuk menyatakan hormat
“Ki Sedap
Roso. kau jawab saja pertanyaan saya tadi.”
“Aku
mendengar kabar meninggalnya Ki Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu
Putih. Aku turut berduka cita. Malah aku juga mendengar kabar dua hari lalu
banyak anak murid perguruan tewas di tangan makhluk aneh menyerupai pocong
hidup.”
“Aki, kau
belum menjawab pertanyaan saya.”
“Pendekar
212 Wiro Sableng.” Pemilik kedai nasi itu tarik nafas panjang lebih dulu baru
meneruskan ucapannya. “Nama besar itu dikenal di mana-mana. Aku juga sering
mendengar. Tapi bertemu dengan orangnya aku belum pernah. Kata orang mencarinya
sama saja dengan mencari hantu. Sulit sekali. Tapi secara tidak terduga
sewaktuwaktu dia bisa muncul begitu saja. Aku tidak tahu apa dia pernah mampir
di kedaiku ini. Begitu banyak dan hebatnya cerita mengenai dirinya hingga aku
sendiri bingung. Jangan jangan semua itu hanya cerita atau legenda yang
disampaikan orang dari mulut ke mulut.”
“Aki,
pendekar bernama Wiro Sableng itu bukan cuma cerita kosong. Bukan cuma legenda.
Orangnya benar-benar ada. Kalau tidak saya tidak akan mencarinya.”
“Gadis
gagah, kalau aku tahu mengenai Pendekar 212, pasti aku ceritakan padamu. Tak
ada yang akan aku sembunyikan. Cuma kalau aku boleh memberi saran, untuk
mencari seorang tokoh rimba persilatan mengapa tidak minta bantuan orang dari
rimba persilatan pula? Apa lagi kau juga seorang dari dunia persilatan. Pasti
tahu betul liku-liku rimba hijau persilatan.”
Wulan
Srindi renungkan ucapan pemilik kedai itu. Memang ada benarnya. Tapi tidak
mudah mencari dan menemui orang-orang rimba persilatan. Apa lagi para tokohnya.
Perlahan-lahan gadis ini berpaling ke sudut kedai di mana duduk tamu perempuan
bercaping lebar.
“Gadis
yang kau pandangi itu,” kata Ki Sedap Roso dengan suara perlahan, “aku bisa
menduga dia adalah orang rimba persilatan. Mengapa tidak bertanya saja
padanya?”
“Nasihatmu
akan saya turuti,” kata Wulan Srindi pula. “Aki, tadi kau menyebut makhluk aneh
menyerupai pocong hidup. Apa yang kau ketahui tentang mereka?”
Pemilik
kedai gelengkan kepala. “Tidak banyak yang aku ketahui. Katanya makhluk itu
muncul secara mendadak. Menculik perempuan hamil, membunuh siapa saja yang coba
menghalangi atau berani mengejar. Salah satu korbannya adalah puteri tunggal
Kepala Desa Plaosan yang kabarnya tengah hamil tujuh bulan. Suaminya dibunuh,
Kepala Desa juga.”
“Hanya
itu yang Aki ketahui?”
“Hanya
itu.”
Wulan
Srindi kembali palingkan kepala ke sudut kedai. Ki Sedap Roso ikut berpaling.
Astaga! Tamu bercaping lebar tadi tak ada lagi di tempatnya. Dia lenyap seperti
angin. Di atas meja kelihatan sejumlah uang yang agaknya sengaja ditinggalkan
sebagai pembayar minuman dan makanan.
Wulan
Srindi keluarkan kepingan uang logam dari balik pakaian lalu berkata. “Ki
Sedap, saya akan mencari keterangan mengenai Pendekar 212 sesuai nasihatmu.”
Sebelum
Wulan Srindi bergerak dari hadapan pemilik kedai, satu tangan besar berbulu
letakkan sebilah golok di atas meja. Lalu terdengar suara parau bertanya.
“Siapa
mencari tahu tentang Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Wulan
Srindi melihat wajah Ki Sedap Roso langsung pucat. Gadis ini berpaling. Orang
yang barusan meletakkan golok di atas meja ternyata seorang tinggi besar,
berpakaian dan berdestar serba hitam. Kulit mukanya hitam berkilat. Kumis,
janggut dan cambang bawuknya meranggas tebal. Di lehernya tergantung sebuah
kalung kain hitam besar berbentuk segi empat. Kuping kiri dan cuping hidung
sebelah kiri dicanteli giwang emas.
“Warok
Jangkrik,” Ki Sedap Roso cepat membungkuk. “Satu kehormatan besar kau sudi
mampir di kedai buruk ini. Silahkan duduk, saya akan menyiapkan hidangan
untukmu.”
“Jangkrik!
Tutup mulutmu! Aku tidak bicara padamu. Aku bicara pada gadis ini!” Sentak
orang yang dipanggil dengan nama Warok Jangkrik.
Ki Sedap
Roso cepat-cepat membungkuk dan memohon maaf berulang kali. Pinggulnya
ditekankan ke laci uang. Kawatir kalau orang di hadapannya itu akan membuka
laci lalu menjarah isinya.
Warok
Jangkrik palingkan kepala, memandang pada Wulan Srindi. Si gadis saat itu juga
tengah memperhatikan. Warok Jangkrik tersenyum lebar dan kedipkan mata kirinya
yang belok merah.
“Warok
Jangkrik…” Ucap Wulan Srindi. “Aku pernah dengar namamu. Bukankah kau dedengkot
kepala rampok rimba belantara Sarnigaluh?”
Warok
Jangkrik tertawa bergelak sementara para pengunjung kedai yang ketakutan satu
demi satu segera tinggalkan tempat itu. “Seorang gadis cantik mengetahui siapa
diriku! Ha… ha…! Sungguh aku berbangga hati!”
“Sarnigaluh
jauh di sebelah barat. Kau muncul di tempat ini jauh di sebelah timur. Pasti
ada sesuatu yang membawamu datang ke sini. atau mungkin di barat kau mengalami
banyak kesulitan hingga mengungsi di sini?”
Kembali
Warok Jangkrik tertawa gelak-gelak.
“Aku
muncul di mana aku suka! Dan setiap aku muncul pasti ada rejeki besar menunggu!
Contohnya siapa menduga kalau hari ini aku akan bertemu dengan seorang gadis
gagah dan cantik sepertimu!” Warok Jangkrik basahi bibir dengan ujung lidah,
tenggorokannya tampak bergerak menelan air liur.
“Hemmm,
begitu?” ucap Wulan Srindi. Walau masih sangat muda, belum punya banyak
pengalaman dalam rimba persilatan namun dari gerak-gerik, serta sikap bicara
Warok Jangkrik dia sudah maklum kalau manusia satu ini membekal maksud buruk
terhadap dirinya. “Warok, tadi kau bertanya siapa mencari tahu mengenai Wiro
Sableng. Apa kau tahu di mana beradanya pendekar itu?”
“Katakan
dulu siapa dirimu, baru aku menjawab pertanyaanmu.”
“Aku
Wulan Srindi. Anak murid Perguruan Silat Lawu Putih.” Seperti pada pemilik
kedai tadi, Wulan Srindi sengaja menerangkan siapa dirinya agar orang tidak
berani berbuat macam-macam.
“Ah,
sungguh satu kehormatan aku bisa berhadapan dengan seorang anak murid satu
perguruan silat besar.” Warok Jangkrik menjura. “Hanya sayang, aku mendengar kabar
buruk tentang perguruanmu itu.”
“Hal itu
tidak perlu kau pikirkan. Katakan saja kalau kau memang tahu di mana beradanya
Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Kau
membawa kuda?” Tanya Warok Jangkrik.
Wulan
Srindi mengangguk.
“Ikuti
aku!”
Warok
Jangkrik ambil golok besar di atas meja, selipkan di pinggang lalu melangkah ke
pintu.
“Wulan,”
ucap Ki Sedap Roso setengah berbisik. “Aku nasihatkan, jangan kau ikuti orang
itu. Dia garong besar! Jahat dan ganas! Berbahaya…”
“Terima
kasih Aki. Saya hanya mengikuti nasihatmu tadi. Ingin tahu tentang seorang
pendekar rimba persilatan, tanyakan pada orang rimba persilatan.”
“Memang
aku berkata begitu. Tapi Warok Jangkrik bukan manusia baik-baik. Dulu dia
rampok besar di kawasan barat. Kini pindah menjarah ke wilayah timur sini.”
“Aki tak
usah kawatir. Kalau dia berbuat macam-macam pada saya, akan saya jadikan dia
satu macam!”
Ki Sedap
Roso hanya bisa gelengkan kepala.
Warok
Jangkrik seperti yang dikatakan Ki Sedap Roso dulunya adalah dedengkot kepala
rampok hutan Sarnigaluh di wilayah barat, memiliki beberapa orang anak buah.
Kepala rampok ini sebut Warok Jangkrik karena kepalanya yang besar dan mukanya
yang hitam berkilat menyerupai jangkrik besar, jangkrik keliongan. Selain itu
jika sedang marah dia selalu mendahului makiannya dengan kata-kata jangkrik!
Suatu
ketika Warok Jangkrik mengetahui adanya sebuah peta rahasia menyangkut harta
karun dalam jumlah besar milik Kerajaan. Dua orang yang secara tidak sengaja
mengetahui peta itu adalah Ki Kalimanah dan cucunya, seorang anak lelaki
bernama Boma Wanareja. Ki Kalimanah bekerja di Keraton sebagai perawat kuda.
Suatu ketika Ki Kalimanah dan Boma mengadakan perjalanan melewati rimba
belantara Sarnigaluh. Warok Jangkrik dan beberapa anak buahnya yang sudah punya
rencana jahat melakukan penghadangan. Dia memaksa Ki Kalimanah untuk
menceritakan tempat disembunyikan harta karun Kerajaan sesuai dengan apa yang
pernah dilihatnya dalam peta. Ki Kalimanah tidak mau menerangkan. Kakek ini
disiksa sampai babak belur. Gagal menguras keterangan dari mulut Ki Kalimanah,
Warok Jangkrik ganti menyiksa Boma Wanareja.
Seperti
kakeknya Boma juga tidak mau memberi keterangan. Dalam marahnya Warok Jangkrik
dan anak buahnya hendak membunuh Boma. Di saat mau hendak merenggut itulah
muncul seorang tua berselempang kain putih yang kemudian diketahui adalah
perwujudan Kiai Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng, tokoh besar rimba
persilatan yang hidup di alam gaib. Kakek ini bukan saja menyelamatkan Boma,
tapi juga menghajar Warok Jangkrik dan anak buahnya. Salah seorang dari tiga
anak buah Warok Jangkrik menemui ajal. Warok Jangkrik sendiri dan juga sisa dua
anak buahnya kalau tidak dimintakan pengampunan oleh Boma pasti akan menemui
ajal di tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Boma kemudian dibawa oleh Kiai Gede
Tapa Pamungkas ke tempat kediamannya di Gunung Bismo, diangkat menjadi murid.
Di kemudian hari anak ini menemukan nasib menyedihkan, terbunuh secara tidak
sengaja oleh Sinto Gendeng. Untuk menebus dosa kesalahannya Kiai Gede Tapa
Pamungkas menugaskan Sinto Gendeng untuk kelak mewariskan ilmu kepandaiannya
pada seorang anak lelaki bernama
Boma Tri
Sumitro yang dilahirkan di dunia lain. Konon anak itu akan dijadikan sebagai
Pendekar Tahun 2000 untuk menghadapi kekuatan jahat para pendekar golongan
hitam. (Kisah Warok Jangkrik dan Boma Wanareja dapat diikuti dalam serial Wiro
Sableng berjudul Si Cantik Dalam Guci. Sedang kisah Boma Tri Sumitro sudah
terbit dalam serial Boma Gendenk. Empat Episode pertama yaitu Suka Suka Cinta,
ABG, Tripping, Macho, Episode berikutnya Topan Di Borobudur, Tenda Biru Candi
Mendut, Bonek Candi Sewu, Rembulan Di Prambanan)
**********************
10
DI
KEJAUHAN Gunung Lawu tampak menjulang tinggi. Wulan Srindi memacu kuda
mengikuti Warok Jangkrik melewati jalan menurun berliku dan berbatu-batu lalu
menanjak tajam memasuki kawasan hutan jati. Di satu tempat Warok Jangkrik
hentikan kudanya. “Ada apa?” tanya Wulan Srindi. “Selewat hutan jati ini, ada
lembah kecil. Di situ ada satu rumah tua. Kita menuju ke sana,” Warok Jangkrik
segera hendak membedal kudanya.
“Tunggu.
Kalau hanya untuk memberi keterangan tentang Pendekar 212 Wiro Sableng, mengapa
kita menempuh perjalanan sejauh ini?”
Warok
Jangkrik tatap wajah gadis cantik hitam manis itu sesaat. Lalu matanya melirik
ke arah kejauhan. Dia melihat kepala seekor kuda di balik serumpun semak
belukar, dekat sebatang pohon jati besar. Kepala rampok ini menyeringai.
“Tipuanku mengena. Emas satu kantong itu akan segera jadi milikku.” Hatinya
membatin.
“Aku
curiga,” kata Wulan Srindi pula.
Warok
Jangkrik tertawa lebar. “Wulan Srindi, adalah tolol kalau baru sekarang mau
menaruh curiga! Seharusnya tadi-tadi sewaktu masih di kedai Ki Sedap Roso kau
berpikir sepuluh kali untuk mengikutiku!”
“Jadi
benar, rupanya kau menipuku!”
Warok
Jangkrik tidak menjawab. Sambil mengumbar tawa bergelak dia tarik tali kekang
tunggangannya. Kuda itu menghambur meninggalkan hutan jati untuk kemudian
menuruni sebuah lembah.
“Warok
Jangkrik!” teriak Wulan Srindi. “Kalau kau menipuku, apa lagi bermaksud jahat!
Kupecahkan kepalamu!” Si gadis sentakkan tali kekang kuda, menghambur mengejar
Warok Jangkrik.
Hutan
jati sampai pada ujungnya. Seperti yang dikatakan Warok Jangkrik tadi
selewatnya hutan jadi ada lembah kecil. Di bibir lembah sebelah utara kelihatan
satu rumah kayu. Saat itu Warok Jangkrik telah sampai di pertengahan lembah,
terus memacu kudanya ke arah bangunan. Wulan Srindi sesaat hentikan kudanya,
menggigit bibir dan berpikir-pikir. Hati kecilnya sebenarnya menyuruh dia
memutar kuda dan tinggalkan tempat itu. Namun hasrat besar ingin mengetahui
keberadaan Pendekar 212 membuat gadis ini akhirnya melarikan kudanya menuruni
lembah. Apa lagi saat itu seolah terbayang kembali ke-matian kakak
seperguruannya yang juga merupakan Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yakni Parit
Juwana. Yang disaksikannya dengan mata kepala sendiri. Parit Juwana menemui
ajal di tangan Wakil Ketua Manusia Pocong. Dendam yang berkobar membuat dia
bersedia menempuh kesulitan apa saja asal dapat membalaskan sakit hati kematian
Parit Juwana serta saudara-saudara seperguruan lainnya. Selain itu kalau saja
bukan Dewa Tuak yang memintanya untuk mencari Pendekar 212 Wiro Sableng mungkin
hatinya akan mendua melakukan hal itu.
Begitu
sampai di depan rumah tua yang terletak di bibir lembah sebelah utara, Warok
Jangkrik turun dari kuda. Tunggangannya ini dibiarkan bebas tidak ditambatkan.
Tak lama kemudian Wulan Srindi sampai di tempat itu, langsung melompat turun
dari punggung kuda.
“Kita
sudah sampai di tujuan. Sekarang katakan apa yang kau ketahui tentang Wiro
Sableng. Apakah dia ada di dalam rumah ini?”
“Jawaban
ada di dalam rumah. Mengapa tidak segera masuk?” Ujar Warok Jangkrik.
Jengkel
ada, penasaran juga ada, sekali lompat saja gadis anak murid Perguruan Silat
Lawu Putih ini telah melesat masuk ke dalam rumah tua. Ternyata bagian atas
bangunan itu tidak beratap lagi hingga cahaya matahari masuk menerangi bagian
dalam rumah.
Wulan
Srindi memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Warok Jangkrik yang saat itu
berdiri tegak di ambang pintu rumah tua.
“Tidak
ada siapa-siapa di sini! Warok Jangkrik! Jangan kau berani menipuku!” Bentak
Wulan Srindi.
Dibentak
si gadis Warok Jangkrik cuma menyeringai. Tiba-tiba dia masukkan dua jari tangannya
ke dalam mulut. Saat itu juga satu suitan keras keluar dari mulut kepala rampok
ini. Dari atap rumah yang terbuka melayang turun empat sosok. Gerakan cepat dan
dua kaki mendarat di lantai lebih dulu, hampir tanpa suara. Empat sosok ini
ternyata empat orang berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Ke empatnya
langsung mengurung Wulan Srindi.
“Kurang
ajar! Warok Jangkrik! apa-apaan ini?!” Teriak Wulan Srindi.
Warok
Jangkrik menyeringai. Dia melangkah ke sudut rumah, duduk di lantai sambil
bersandar ke dinding. Lapat-lapat di luar sana dia mendengar suara kuda
mendatangi.
“Anak-anak,
aku tidak mau susah. Aku mau terima bersihnya saja! Telanjangi gadis ini!”
Wulan
Srindi seperti mendengar petir menggelegar di depan mata. “Warok Jahanam! Aku
bersumpah akan memecahkan kepalamu!” Teriak si gadis. Lalu sambil memasang
kuda-kuda dia berkata pada empat orang yang mengurung. “Kalau kalian mau mampus
duluan, tunggu apa lagi! Maju!”
Salah
seorang anak buah Warok Jangkrik yang mengurung Wulan Srindi bernama Si Comot.
Dia dikenal paling rakus dan ganas dalam menjarah setiap korbannya. Selain itu
jika melihat perempuan cantik, tangannya pasti meraba menggerayang.
“Kawan-kawan,”
kata Si Comot pada tiga temannya sambil lidah dijulurkan membasahi bibir.
“Kalian bertiga lihat saja. Biar aku yang melaksanakan perintah Warok!”
“Jangan
enak sendiri! Kami juga punya kewajiban menjalankan tugas pimpinan!” teriak
anggota rampok di sebelah kanan yang dikenal dengan nama Si Galah Jangkung
alias Si Galah Ceking karena tubuhnya yang tinggi tapi kurus kering.
Takut
kedahuluan tiga temannya Si Comot segera bergerak. Tubuhnya berkelebat ke arah
Wulan Srindi, dua tangan bergerak cepat sekali. Yang kiri menyambar ke arah
wajah si gadis sementara yang kanan secara kurang ajar meraba ke dada.
Dalam
amarah mendidih Wulan Srindi hadapi serangan kurang ajar lawan dengan jurus
Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua tangan memukul kesamping seperti kipas
terkembang. Kaki kiri bersitekan ke lantai membuat pijakan atau kuda-kuda
kokoh, lalu bersamaan dengan itu kaki kanannya melesat ke depan menendang ke
arah selangkangan lawan!
“Bukk!
Bukk!”
Dua
tangan Si Comot terpental ke samping begitu kena dihantam pukulan Wulan Srindi.
Si Comot keluarkan seruan tertahan, kaget sekali. Sambil menahan sakit dia kibas-kibaskan
dua tangannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis cantik yang
dipandang enteng dan hendak dilecehkannya itu ternyata memberikan perlawanan
dengan ilmu silat tidak rendah. Kalau tidak cepat tiga temannya menyerbu,
bagian bawah perutnya bisa saja tadi kena dimakan tendangan lawan!
Sebagai
murid Perguruan Silat Lawu Putih walau tenaga dalamnya belum mencapai tingkat
tinggi, dalam ilmu silat kepandaian Wulan Srindi hanya dua tingkat di bawah
kepandaian Parit Juwana, mendiang Ketua perguruan. Namun dikeroyok empat rampok
yang memiliki ilmu silat tinggi setelah bertahan selama sembilan jurus, Wulan
Srindi mulai terdesak. Di antara empat pengeroyok yang paling berbahaya adalah
Si Galah Jangkung. Gerak tangannya cepat sekali. Selain itu dua tangannya yang
panjang berkelebat sering tidak terduga.
Memasuki
jurus ke dua belas. Wulan Srindi berhasil menghantamkan sikunya ke dada salah
seorang lawan, namun pada saat itu pula dari samping kiri berkelebat tangan Si
Galah Jangkung.
“Brett!”
Bahu kiri
baju ringkas yang dikenakan Wulan Srindi koyak besar. Sebelumnya baju ini telah
robek di bagian punggung dan dada sewaktu gadis ini hendak digagahi oleh
manusia pocong bernama Sepuh DalemKawung. Kini keadaan pakaian Wulan Srindi
jadi awut-awutan. Sebagian tubuhnya tersingkap depan belakang. Membuat empat
anak buah Warok Jangkrik jadi tambah bernafsu. Sementara Warok Jangkrik sendiri
masih tetap duduk tak bergerak di sudut rumah. Hanya sepasang matanya yang
melotot besar tak berkesip sesekali berputar liar memperhatikan tubuh Wulan
Srindi yang tersingkap di sana-sini.
Wulan
Srindi sendiri saat itu memilih lebih baik mati daripada tercemar dan dirusak
kehormatannya. Dalam keadaan terdesak dia berikan perlawanan hebat. Jurus-jurus
ilmu silatnya yang diberi nama selalu berkaitan dengan alam, dilancarkan dalam
bentuk serangan luar biasa ganas.
Di jurus
ke sembilan belas Wulan Srindi dapat menjotos muka Si Comot hingga darah
mengucur dari hidungnya yang patah. Namun inilah batas terakhir gadis murid
Perguruan Silat Lawu Putih ini menunjukkan kehebatannya. Dua lawan kembali
berhasil merobek pakaiannya. Selagi dia kebingungan menutupi auratnya, Si Galah
Jangkung membetot celananya.
Wulan
Srindi menjerit keras, hantamkan dua tangan ke depan. Mendadak betis kirinya
disambar satu tendangan. Tak ampun gadis ini jatuh terjengkang di lantai. Tiga
anggota rampok segera meringkusnya. Rampok ke empat yang hidungnya remuk yakni
Si Comot, dengan muka penuh darah seperti kesetanan merobeki pakaian si gadis.
Warok
Jangkrik tertawa mengekeh. Dalam tertawa dia dia pasang telinga dan melirik ke
arah pintu. Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan biru berkelebat masuk ke
dalam rumah. Lalu terdengarlah pekik empat anak buahnya. Si Comot terpental ke
dinding rumah sebelah kiri. Kepala menghantam dinding. Kening hancur. Tubuh
meliuk tak bergerak dan tak bernafas lagi. Si Galah Jangkung terkapar sambil
pegangi tulang dadanya yang remuk. Mulut megap-megap mengucurkan darah.
Nyawanya tak tertolong. Dua anggota rampok lainnya bernasib lebih mujur karena
hanya remuk tulang pinggul dan patah tulang belikat. Keduanya terduduk di
lantai, mengerang menahan sakit sambil memandang ke depan di mana tegak berdiri
seorang gadis cantik berpakaian biru, berambut pirang. Tubuh dan pakaian
menebar bau harum semerbak. Mereka tahu gadis inilah tadi yang mengirimkan
serangan hebat hingga keduanya cidera patah dan remuk tulang. Sementara dua
kawan mereka menemui ajal. Tapi agaknya ada yang aneh dengan gadis ini. Karena
begitu selesai lancarkan serangan ganas, kini dia berdiri kaku, tak bisa
bergerak tak dapat keluarkan suara. Bahkan sepasang matanya yang bagus tidak
mampu berkedip!
Selagi
dua anggota rampok ini menahan sakit sambil terheran memandangi si cantik
berbaju biru, saat itu pula mereka melihat ada seseorang tinggi besar berdiri
tepat di sebelah belakang si gadis. Mereka melihat satu tangan bergerak. Sebuah
benda dilemparkan ke udara. Sebuah kantong kulit. Satu tangan menangkap kantong
itu. Tangan Warok Jangkrik! Kepala rampok ini menyeringai. Dia melangkah dekati
Wulan Srindi yang tengah berusaha bangkit. Warok Jangkrik daratkan satu totokan
di tubuh Wulan Srindi. Tubuh yang kaku itu kemudian dipanggulnya di bahu kiri.
“Warok,
tunggu!” teriak salah seorang anggota rampok.
“Pemimpin,
jangan tinggalkan kami!” rampok satunya ikut berteriak.
Dalam
keadaan menahan sakit keduanya berusaha berdiri, terbungkuk-bungkuk ke pintu.
Di ambang pintu Warok Jangkrik berdiri seolah menunggu dua anak buahnya. Tapi
begitu mereka sampai di
hadapannya,
Warok Jangkrik berturut-turut hantamkan dua tendangan. Tak ampun lagi dua
anggota rampok ini mencelat mental kembali ke dalam rumah. Keduanya
bergedebukan di lantai. Tak satupun yang bergerak karena masing-masing sudah
putus nyawa dengan perut hancur di sebelah dalam!
**********************
11
SOSOK
tinggi besar yang tadi melemparkan kantong kulit dan ditangkap oleh Warok
Jangkrik, bergerak melangkah ke hadapan gadis berpakaian serba biru berambut
pirang. Gadis ini tegak kaku tak bergerak, tak bisa keluarkan suara bahkan
sepasang matanya tidak mampu berkedip! Dan sepasang mata yang bagus ini
mendadak memancarkan rasa takut ketika melihat orang yang berdiri di
hadapannya. Si tinggi besar ini mengenakan sehelai jubah putih menjela tanah.
Kepala tertutup kerudung yang juga terbuat dari kain putih. Dari keseluruhan
wajahnya hanya sepasang matanya yang kelihatan di balik dua lobang kecil pada
kain penutup kepala. Sepasang mata ini memiliki bola mata aneh membersitkan
sinar menggidikkan.
“Makhluk
aneh. Menyerupai pocong hidup…” Gadis baju biru tidak teruskan ucapan dalam
hatinya. Tengkuk terasa dingin. “Aku tidak mendengar suaranya berkelebat. Aku
juga tidak merasakan jari tangan yang melakukan totokan. Bagaimana aku
tahu-tahu tidak bisa bergerak tidak bisa bicara. Warok Jangkrik pergi begitu
dia muncul di sini. Apa hubungan antara keduanya. Satu menjebak satu
menungguku. Lalu gadis berkulit hitam yang diboyong Warok Jangkrik? Mungkin dia
salah satu pemain dalam jebakan ini?” Sadar dirinya diancam bahaya besar serta
merta si gadis berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk membuyarkan totokan.
Tapi dia tidak mampu melakukan.
Di balik
kain putih kepala makluk tinggi besar berjubah putih menyeringai. Dari urat
yang menonjol tegang di permukaan leher putih jenjang, dia mengetahui kalau
gadis di hadapannya tengah berusaha memusnahkan totokan dengan pengerahan
tenaga dalam dan hawa sakti.
“Totokan
yang menguasai dirimu adalah totokan Menjerat Urat Melumpuh Syaraf. Jangankan
dirimu, sepuluh tokoh utama rimba persilatan tanah Jawa sekalipun tidak akan
mampu membebaskanmu.”
Si gadis
maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi dan
jelas punya niat baik terhadap dirinya. Dia tidak boleh bertindak gegabah.
Namun amarah membuat dia keluarkan makian.
“Jahanam
kurang ajar! Siapa kau sebenarnya! Apa tujuanmu menotok diriku! Berani kau
berbuat yang bukan-bukan, aku bersumpah mencincang tubuhmu!” Makian gadis
berbaju biru hanya terucap di dalam hati karena mulutnya tak mampu bersuara.
“Bidadari
Angin Timur. Jadi inilah ujud orangnya.” Si tinggi besar keluarkan ucapan
sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan mulut keluarkan suara berdecak
kagum. Dua matanya menatap berkilat. “Wajah cantik jelita, rambut pirang, mata
bagus. Kulit putih, tubuh elok tinggi semampai. Aku tidak ingat apakah kita
pernah bertemu sebelumnya. Dengar Bidadari, aku tidak malu berterus-terang
padamu. Pada pertemuan kita saat ini, tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada
dirimu. Apa jawabmu?”
“Jahanam
gila!” maki gadis berpakaian biru yang memang Bidadari Angin Timur adanya.
Ingin sekali saat itu dia menerkam dan merobek mulut atau memecah kepala orang
di hadapannya. Lagi-lagi suara makiannya hanya di dalam hati karena tidak bisa
bicara.
“Aku
mendengar kabar. Konon kau adalah salah seorang dari sekian banyak kekasih
gelap Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Ha… ha… ha! Benar begitu?” Sambil
tertawa bergelak orang berjubah dan bertutup kepala kain putih itu memutari
Bidadari Angin Timur dan berhenti melangkah begitu sampai lagi di hadapan si
gadis. “Apa bahagianya menjadi kekasih gelap. Apa lagi kau hanya seorang dari
sekian banyak gadis yang terjebak dalam tipu daya asmara murahan Pendekar itu.”
Dari
balik kain penutup kepala orang tinggi besar tatap wajah Bidadari Angin Timur.
Si gadis balas memandang. Dia dapatkan sepasang bola mata manusia menyerupai
pocong di hadapannya ini berbentuk aneh. “Cantik sekali. Luar biasa cantik.”
Orang di hadapan Bidadari Angin Timur kembali keluarkan ucapan berupa
puji-pujian. “Bidadari Angin Timur, bersediakah kau kujadikan kekasih? Ah, aku
seharusnya tak perlu bertanya. Saat ini aku punya kekuasaan atas dirimu. Aku
bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuhmu! Oh tidak, tidak… Aku tidak akan
membunuh orang secantikmu. Apa lagi aku punya pantangan membunuh. Tapi dengar,
kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang sambil menunggu kemunculan
Pendekar Dua Satu Dua di tempat ini! Kalau dia muncul akan kuselesaikan dendam
lama yang sudah karatan di dalam tubuhku. Kau bisa menyaksikan kematian kekasih
tak bergunamu itu dengan mata kepala sendiri. Setelah itu… Ha… ha… ha!” Si
tinggi besar maju satu langkah. Dua tangannya diulurkan membelai pipi Bidadari
Angin Timur. Dua tangan itu kemudian turun kebahu, turun lagi ke bawah mengusap
pinggul. Si tinggi besar leletkan lidah. Tenggorokannya turun naik.
“Kata
orang tubuhmu mulus tanpa cacat. Ingin sekali aku melihat membuktikannya.
Kekasihku, izinkan aku membuka pakaianmu.” Habis berkata begitu orang tinggi
besar gerakkan dua tangannya ke atas dada pakaian Bidadari Angin Timur. Nafas
panas memburu. Jari-jari tangan bergerak membuka pita-pita kecil pengancing
pakaian biru di bagian dada.
“Ah… tak
pernah aku melihat yang begini putih, begini bagus. Kekasihku, aku benar-benar
jatuh cinta padamu.” Kepala yang tertutup kain putih itu dirundukkan ke dada
Bidadari Angin Timur yang tersingkap. Belum sempat kepala dan dada bersentuhan
tiba-tiba satu cahaya kuning melesat dari atas atap, menerpa ke dalam rumah.
Orang
berjubah keluarkan seruan kaget. Dia cepat menyingkir namun cahaya kuning masih
sempat menyerempet tubuhnya hingga dia terpental ke belakang. Punggungnya
melabrak dinding rumah. Dinding papan yang sudah lapuk itu amblas jebol. Sosok
orang berjubah tersekat dalam jebolan. Marah manusia satu ini bukan alang
kepalang. Lima jari tangan kiri kanan dipentang ke depan. Luar biasa! Lima jari
tangan ini jadi berubah sangat besar dan kuku-kuku hitam mencuat mengerikan
dari ujung-ujung jari. Namun begitu matanya memperhatikan ke depan, memandang
sosok yang berdiri di samping gadis berbaju biru, amarahnya mendadak mereda.
Dadanya berdebar.
Di
sebelah Bidadari Angin Timur saat itu berdiri seorang pemuda berpakaian coklat.
Sekujur tubuh, mulai dari kepala yang botak sampai ujung kaki yang telanjang
berwarna kuning. Bahkan bagian mata yang seharusnya berwarna putih juga
terlihat kuning. Ketika dia menyeringai lidahnya juga tampak kuning!
Orang
berjubah keluarkan diri dari dalam lobang di dinding. Berdiri tegak, mendadak
terkesiap karena baru sadar kalau sebagian jubahnya sebelah depan tampak
berwarna kuning.
“Pukulan
yang dilepaskan bedebah ini, menyerupai pukulan makhluk dari alamku! Aku memang
menyirap kabar kalau dirinya juga sudah terpesat ke tanah Jawa ini. Tapi
ujudnya mengapa berbeda. Untuk membuktikan aku harus lancarkan serangan!”
Orang
berjubah kembangkan dua tangan ke samping. Tubuhnya tiba-tiba berputar. Sosok
yang berputar membentuk kerucut terbalik. Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur
bergoyang-goyang dan terasa disedot ke arah orang yang berputar. Dia tak
mungkin bertahan. Sesaat lagi tubuhnya akan masuk ke dalam putaran yang
menyedot tiba-tiba pemuda berpakaian coklat bertubuh kuning berseru sambil
dorongkan tangan kanan ke arah orang yang berputar.
“Ilmu
Tangan Hantu Tanpa Suaral Manusia yang sembunyikan wajah di balik penutup
kepala! Dari mana kau mencuri ilmu itu?!”
Kejut
orang yang ditegur bukan olah-olah!
“Memang
dia! Pasti dia!” kata orang ini dalam hati. Saat itu selarik sinar kuning dari
pukulan yang dilepaskan si pemuda menderu tinggal sejarak satu langkah dari hadapannya.
Dengan cepat manusia berjubah putih besarkan mata. Ketika sepasang mata ini
dikedipkan, dua larik cahaya hijau panjang berbentuk segi tiga lancip di bagian
ujung terdepan, menyembur ganas ke arah pemuda berkulit kuning.
“Hantu
Hijau Penjungkir Roh\” Seru si pemuda berkulit kuning. Dengan cepat dia melesat
ke udara hingga sebagian tubuhnya keluar dari atap bangunan. Dari atas pemuda
ini gerakkan dua kaki menendang ke bawah. Dua gelombang cahaya kuning membabat
laksana topan prahara. Sebelum rumah tua lapuk itu hancur berantakan, orang
berjubah cepat menyambar tubuh Bidadari Angin Timur yang terlempar ke udara.
Tapi dia kalah cepat. Pemuda kulit kuning telah lebih dulu melesat ke bawah.
Satu kaki ditendangkan ke arah si jubah putih sementara tangan kanan disusupkan
ke bawah
ketiak
Bidadari Angin Timur.
“Dukkk!”
Untuk
kedua kalinya si jubah putih terpental. Kali ini sambil semburkan muntahan
cairan warna kuning dari mulutnya. Sesaat wajahnya kelihatan kuning. Tubuhnya
bergetar hebat, merinding dingin karena sadar bahwa barusan dia terlepas dari
bahaya racun jahat. Kalau saja tadi dia tidak muntahkan cairan kuning maka satu
racun sangat berbahaya akan mendekam di bagian tubuhnya yang kena tendangan.
Mulutnya komat-kamit. Amarah membuat dia gelap mata.
“Makhluk
kuning jahanam! Kau tak akan dapatkan gadis itu hidup-hidup!” Habis berkata
begitu si jubah putih angkat tangan kanan ke atas, diputar setengah lingkaran.
“Cukup!”
teriak pemuda berkulit kuning. Tangan kanannya dikepal, lalu diangkat ke atas.
Kepala itu kelihatan dibungkus cahaya kuning.
Sesaat
orang berjubah merasa bimbang. Dalam hati dia merutuk habis-habisan.
“Pemuda
muka tai!” bentak si jubah putih. “Aku tahu siapa kau adanya! Sejak dulu kau
memang biang racun penghalang segala pekerjaanku! Jangan kira aku takut padamu!
Hari ini aku masih berbaik hati mengampuni selembar nyawamu! Tapi lain kali
kalau aku datang mencarimu jangan harap nyawamu ketolongan. Aku akan membuat
tubuhmu amblas ke dalam tanah! Akan kukubur kau hidup-hidup!” Selesai membentak
orang berjubah segera putar tubuh. Dinding rumah ditabraknya begitu saja.
Pemuda botak berkulit kuning hendak mengejar. Tapi kawatir akan keselamatan
gadis dalam pelukannya dia batalkan niat. Di kejauhan sana manusia berdandan
seperti pocong telah berada di pinggiran lembah sebelah timur.
Perlahan-lahan
pemuda berkulit kuning turunkan tubuh Bidadari Angin Timur.
“Ini pertemuan
kita yang kedua. Aku sangat gembira bisa melihatmu lagi. Sahabat, apakah kau
masih ingat diriku?” Pemuda botak menatap tersenyum sambil usap kepalanya.
Ketika Bidadari Angin Timur tidak menjawab dan tidak bergerak baru dia ingat.
“Tololnya aku ini. Sahabat cantik dalam keadaan tertotok aku malah ajak bicara.
Eh…” Si pemuda mendadak tutup mulut hentikan ucapan lalu tertawa sendiri. “Kau
tahu, di negeri asalku totok berarti payudara…” Pemuda itu usap lagi kepala
botaknya, perhatikan Bidadari Angin Timur dari kepala sampai ke kaki lalu
geleng-geleng kepala. Melihat sikap orang Bidadari Angin Timur diam-diam merasa
kawatir. Mungkin pemuda itu tidak mampu melepaskan totokan yang menguasai
dirinya. Berarti sampai berapa lama dia akan berada dalam keadaan seperti itu
hingga ada seseorang yang mampu menolong?
Pemuda
botak berkulit kuning perhatikan bagian leher Bidadari Angin Timur. Saat itu
bagian dada pakaian si gadis yang tadi sempat dibuka orang berjubah dan
berkerudung kain putih masih dalam keadaan tersingkap. Namun sedikitpun dia
tidak memperhatikan pemandangan yang tidak akan dilewatkan oleh mata lelaki
manapun.
“Tak ada
tanda di lehermu,” ucap si pemuda. Dia melangkah ke belakang Bidadari Angin
Timur “Maafkan kalau aku terpaksa menyentuhmu. Aku harus mengetahui bagian mana
dari tubuhmu yang ditotok.” Bidadari Angin Timur merasakan dua kali usapan di
punggungnya kiri kanan. “Tidak terasa ada bekas totokan di punggungmu. Hemmm…”
Sambil usap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis dia kembali berdiri di
hadapan Bidadari Angin Timur. “Menjerat Urat Melumpuh Syaraf! Pasti dia
menotokmu dengan ilmu itu. Ilmu curian! Semua ilmu kepandaiannya kebanyakan
hasil curian dari para tokoh di Negeri Latanahsilam.”
Bidadari
Angin Timur semakin merasa kawatir. “Agaknya dia memang tidak bisa menolong.
Celaka diriku…”
Pemuda
itu tatap paras cantik gadis di depannya lalu tersenyum. “Jangan kawatir. Aku
bisa membebaskanmu. Asa! kau tidak marah kepalamu aku pegang-pegang.” Bidadari
Angin Timur merasa lega. “Lakukan apa saja asal aku bisa kau bebaskan,” katanya
pasrah dalam hati. Dari sikap si pemuda dia yakin orang tidak akan
memperlakukannya secara kurang ajar.
“Sahabat,
aku akan berdiri di belakangmu. Aku akan menyusupkan tangan ke bawah rambut
pirangmu di bagian tengkuk, terus naik ke atas sampai ke ubun-ubun. Kau tidak
akan merasa sakit, hanya ada sedikit rasa panas. Justru hawa panas itulah yang
akan membuyarkan totokan yang menguasai dirimu. Aku akan melakukan sekarang.
Harap maafkan kalau aku harus memegang kepalamu. Aku tahu, orang di negeri ini
menganggap kepala sebagai bagian tubuh paling terhormat. Jadi dianggap kurang
ajar kalau kepala kita sampai dipegang orang lain. Begitu, betul?”
Kalau
saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu Bidadari Angin Timur pasti tersenyum
dan mengiyakan ucapan si pemuda. Setelah menatap wajah si gadis sesaat, pemuda
muka kuning melangkah ke belakang Bidadari Angin Timur. Seperti yang
dikatakannya tadi, tangan kanannya disusupkan ke tengkuk di bawah rambut
pirang, terus naik ke atas kepala hingga telapak tangannya menyentuh ubun-ubun.
Bidadari Angin Timur tidak menunggu lama. Hawa panas yang dikatakan pemuda itu
kini mulai terasa menyengat kepalanya, menjalar ke muka, turun ke tubuh. kalau
saja mulutnya tidak terkancing, saat itu Bidadari Angin Timur pasti akan
berteriak keras. Hawa yang turun ke telapak kakinya panas luar biasa seolah dia
tengah berdiri di atas bara api.
Pemuda
berkulit kuning turunkan tangannya ke tengkuk. Sesaat tangan itu masih menyusup
ke bawah rambut pirang Bidadari Angin Timur. Begitu pegangan dilepas si pemuda
sudah berada di hadapan si gadis kembali.
“Hai, kau
sudah bebas dari totokan. Mengapa diam saja?!” Ucap si pemuda.
“Apa?!”
Bidadari Angin Timur terkejut.
Ucapannya
keluar tanpa sadar. Kepalanya dipalingkan. Tangannya digerakkan. Gadis ini
berteriak keras saking girangnya. Malah diluar sadar dia hendak melompat
memeluki pemuda berkulit kuning itu. Karuan saja si pemuda mundur teratur
seperti ketakutan.
“Kau,
bukankah kau Hantu Jatilandak yang katanya berasal dari negeri seribu dua ratus
tahun silam? Yang lenyap begitu saja tempo hari setelah menolong Setan
Ngompol!?”
“Aku
gembira kau masih ingat diriku. Mana teman-temanku yang lain. Wiro, Naga
Kuning, kakek tukang kencing Setan Ngompol…” (Riwayat pertemuan Bidadari Angin
Timur dan Hantu Jatilandak pertama kali dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng
berjudul Melati Tujuh Racun sedang mengenai Hantu Jatilandak bisa dibaca dalam
serial Wiro di Negeri Latanahsilam antaranya dalam Episode berjudul Hantu
Jatilandak)
“Panjang
cerita mengenai mereka…”
“Kalau
begitu cerita tentang dirimu saja. Bagaimana kau bisa hampir celaka di tangan
orang tadi.”
“Ada yang
menjebakku. Antara kau dan manusia berpakaian serba putih tadi, apakah sudah
saling mengenal sebelumnya?”
“Kami sudah
lama berseteru. Di negeri Latanahsilam dia dikenal sebagai makhluk paling
jahat. Namanya Hantu Muka Dua. Kalau saja kepalanya tidak ditutupi dengan kain
putih kau bisa melihat keadaan kepalanya. Dia memiliki dua wajah, satu di depan
satu di belakang…”
Bidadari
Angin Timur jadi ternganga mendengar ucapan Hantu Jatilandak.
“Kalau
tidak menyaksikan sendiri kau tidak akan percaya. Aku…”
“Jatilandak,
aku sangat berterimakasih atas pertolonganmu. Namun saat ini ada sesuatu yang
harus aku lakukan. Seorang gadis berada dalam bahaya besar. Diculik rampok
jahat. Aku harus menyelamatkannya. Rasanya si penculik belum lari jauh…”
“Dalam
perjalanan ke tempat ini tadi, aku melihat orang lari keluar lembah menuju arah
selatan. Pakaian hitam-hitam. Dia lari sambil memanggul seseorang. Mungkin itu
orang yang kau maksudkan?
“Pasti!”
“Kalau begitu aku ikut bersamamu. Aku bisa memberitahu arah lari si penculik
itu,” kata Jatilandak.
Keduanya,
segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sempat melangkah, Jatilandak
tiba-tiba tarik tangan Bidadari Angin Timur. Sebuah benda melayang di udara,
melesat satu jengkal di depan wajah si gadis lalu menancap di papan lapuk
runtuhan rumah tua.
“Benda
apa?!” kejut Bidadari Angin Timur.
Jatilandak
dekati papan, membungkuk dan mencabut benda yang menancap lalu diperlihatkan
pada Bidadari Angin Timur. Benda itu ternyata sebuah bendera kecil berbentuk
segi tiga, basah oleh cairan merah berbau amis.
TAMAT
No comments:
Post a Comment