Photo

Photo

Sunday, 19 January 2020

135. Rumah Tanpa Dosa



Rumah Tanpa Dosa
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito


**********************
1

WULAN Srindi buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Tubuhnya terasa lemas, saat itu sudah tiga kali dia mendengar ada langkah-langkah kaki di depan pintu kamar, tempat di mana sekian lama dia disekap. Ini kali ke empat. Perlahan-lahan gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih ini bangkit dari berbaringnya, duduk di tepi tempat tidur, memandang nanar ke arah pintu yang terkunci. Untung sebelum pergi manusia pocong yang membawanya ke dalam kamar itu mau berlaku baik melepaskan totokan. Tapi totokan tidak dilepas penuh, hanya dua pertiganya. Sisa tenaga yang ada hanya sekedar bisa menggerakkan tangan dan kaki. Tidak mungkin menggerakkan tenaga dalam atau menyalurkan hawa sakti, apa lagi menjebol pintu mencoba melarikan diri.
Perlahan-lahan Wulan Srindi melangkah ke pintu. Dia perhatikan keadaan pintu itu sejenak. Tidak dapat dipastikan apakah terbuat dari batu atos atau besi karena dicat putih. Pada daun pintu tepat di arah kepala ada sebuah lobang berbentuk kotak empat persegi. Tak diketahuinya lobang apa itu adanya dan apa kegunaannya. Wulan tempelkan telinga kiri ke daun pintu. Lagi-lagi dia mendengar suara langkah itu. Mungkin pengawal, pikir si gadis. Ketika untuk kesekian kalinya dia mendengar suara langkah orang, Wulan menegur. “Siapa di luar?”
Tak ada jawaban. Tapi suara kaki melangkah mendadak berhenti.
“Siapa di luar? Mengapa tidak menjawab?” Wulan mengulangi teguran.
Tiba-tiba sret! Kotak kecil di depan kepala Wulan Srindi terbuka. Si gadis mundur satu langkah, memandang memperhatikan ke arah kotak. Dia melihat satu kepala mengenakan kerudung kain putih. Dua buah mata di balik lobang kecil memandang berkilat, tak berkesip ke arahnya. Kepala itu mendekat hingga kini hanya salah satu matanya saja yang berada dalam kotak.
Wulan perhatikan kilatan yang memancar dari mata di dalam kotak. Dia merasa ada satu getaran dahsyat dan panas. Itulah cara memandang laki-laki yang gairah terhadap kecantikan dan kebagusan tubuh seorang gadis. Namun gairah itu disertai rasa takut yang membuatnya bersikap bimbang.
“Manusia pocong, kau siapa sebenarnya?”
“Gadis dalam kamar, kau tak layak bertanya,” jawab orang di luar kamar.
Wulan mendengar suara keras tapi bergetar pertanda ucapannya dipengaruhi oleh sesuatu yang ada dalam hatinya.
Manusia pocong di luar kamar hendak menutup kotak di pintu.
Wulan cepat berkata.
“Tunggu!”
“Apa maumu?” “Namaku Wulan Srindi. Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih…”
“Tak usah banyak bicara. Kami di sini tahu semua siapa dirimu adanya!” menukas manusia pocong di balik pintu kamar. Dalam hati orang ini merasa heran dan bicara sendiri. “Wakil Ketua agaknya belum memberi minuman pelupa diri pelupa ingatan pada gadis ini. Mungkin dia kelupaan atau mungkin memang disengaja? Hemmm, aku tahu mengapa gadis satu ini diperlakukan istimewa. Wakil Ketua ingin bersenang-senang. Mungkin dia merasa kurang nikmat kalau si gadis berada dalam keadaan lumpuh dan hilang ingatan.”
Wulan melihat kepala berkerudung putih bergerak menjauh dari pintu.
“Tunggu, jangan pergi. Dengar dulu ucapanku. Kalau kau mau menolongku keluar dari tempat celaka ini, aku akan berikan apa saja yang kau minta.”
Dibalik penutup kepala kain putih si manusia pocong menyeringai.
“Kau tak bisa membujuk diriku. Tidak siapa-pun di tempat ini bisa dibujuk. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Wulan Srindi terdiam. Namun di lain saat gadis ini keluarkan tawa panjang.
“Kenapa kau tertawa?” manusia pocong bertanya.
“Kukira kau satu-satunya manusia cerdik di tempat ini. Ternyata kau sama saja tololnya dengan manusia-manusia pocong lainnya!”
“Gadis kurang ajar! Jangan berani berlancang mulut di tempat ini!”
“Hemm… Ternyata benar ucapanku. Aku seorang perempuan lebih berani dari kau seorang lelaki! Buktinya kau menutupi kepala dengan kain putih. Pasti ada sesuatu yang kau takutkan!”
“Kami Barisan Manusia Pocong tidak ada satupun yang ditakuti di
dunia ini. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua!”
“Sudah, pergi sana! Aku muak mendengar ucapanmu!”
Wulan Srindi berpura-pura mundur menjauhi kotak di pintu.
Pancingannya mengena. Manusia pocong sebaliknya kini malah
mendekatkan matanya ke lobang kotak.
“Pertolongan macam apa yang kau inginkan?” “Aku sudah katakan tadi. Keluarkan aku dari tempat ini. Dan aku akan memberikan apa saja yang kau kehendaki!”
“Kami telah mengeledah pakaianmu. Kau tidak membawa bekal apa-apa waktu masuk ke sini. Tidak memiliki barang perhiasan tidak juga uang.”
“Apakah perhiasan dan uang dua hal penting berharga di dunia ini bagi seorang laki-laki sepertimu?” tanya Wulan Srindi sambil
dekatkan wajahnya ke lobang kotak.
“Apa maksudmu?” Manusia pocong di balik pintu bertanya.
Wulan Srindi tersenyum. Sambil mata setengah dipejamkan dan lidah merah basah diulurkan membelai bibir dia berkata lirih, berusaha merayu memikat.
“Aku tahu, mungkin kau sudah begitu lama berada di tempat ini. Menjalankan tugas penting dari Sang Ketua. Hingga tidak memikirkan lagi kepentingan dan kebahagiaan diri sendiri. Terkadang uang atau perhiasan, tidak ada artinya dibanding dengan kebahagiaan dan kenikmatan yang kau dapat dari seorang gadis sepertiku.”
“Gadis, kau bicara terlalu berani. Jangan kau coba merayu diriku…”
“Dengar, aku kini percaya. Kau tidak sama dengan manusia pocong lain yang ada di tempat ini. Tolong diriku. Keluarkan aku dari sini. Apa sulitnya bagimu? Begitu kita berada diluar, maka aku adalah milikmu. Tidak hanya sebentar, tapi selama kau membutuhkanku. Itu tanda terima kasihku padamu.”
“Kau mau menipuku!”
Alis kanan Wulan Srindi mencuat ke atas. Dia tersenyum lalu berkata. “Kalau begitu, agar tidak ada yang tertipu di antara kita, pembicaraan cukup sampai di sini.”
Wulan Srindi melangkah mundur menjauhi lobang di pintu.
“Apakah aku bisa mempercayai dirimu?” Manusia pocong bertanya.
“Kepercayaan harus datang dari dua belah pihak,” jawab Wulan Srindi
Si manusia pocong terdiam. Seperti berpikir.
“Baik,” katanya kemudian. “Kau tunggu sebentar. Ada sesuatu yang harus aku periksa. Kau tunggu sampai aku kembali.”
“Jangan terlalu lama,” kata Wulan Srindi.
Memang gadis itu tidak menunggu lama.
Beberapa saat kemudian si manusia pocong kembali muncul. Wulan mendengar suara berdesir. Lalu perlahan-lahan dilihatnya pintu putih terbuka.
“Lekas!” kata manusia pocong. Cepat dia menarik lengan si gadis.
Sambil melangkah Wulan Srindi coba kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti. Ternyata dia masih tidak mampu melakukan. Mau tak mau gadis ini terpaksa mengikuti saja ke mana manusia pocong itu menariknya. Orang membawanya memasuki lorong, berputar-putar demikian rupa hingga kepalanya pusing. Dia berjalan dengan tubuh terhuyung.
“Apa kau tidak bisa jalan lebih cepat?” Manusia pocong bertanya antara tidak sabaran dan rasa kawatir.
“Diriku masih setengah tertotok. Kalau kau mau melepaskan totokan di tubuhku, aku tidak akan merepotkanmu. Malah aku bisa lari mengikutimu.”
“Yang menotokmu adalah Wakil Ketua. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua dan dia sendiri, tidak ada orang lain yang mampu membebaskanmu,” jawab manusia pocong. Lalu dia hentikan langkah, bungkukkan tubuhnya sedikit. Di lain saat Wulan Srindi sudah berada di atas panggulannya.
“Kau mau membawa aku ke mana?” tanya gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih itu.
“Kau minta tolong dikeluarkan dari dalam goa. Kenapa masih bertanya?” Manusia pocong agak jengkel.
“Goa? Aku disekap dalam kamar.”
“Kamar ini ada dalam goa. Goa ini memiliki seratus tiga belas lorong. Bagi orang luar tidak mudah masuk dan keluar. Sekali tersesat berarti kematian. “­
“Tapi aku harus tahu kau mau membawa aku ke mana.”
“Ada satu pondokan di kawasan bukit batu. Aku akan membawamu ke sana. Sudah, jangan banyak bertanya. Dinding lorong ini punya seribu telinga!” Manusia pocong mempercepat larinya. Tak lama kemudian Wulan Srindi dapatkan dirinya telah keluar dari dalam lorong sangat panjang dan berliku. Matanya berputar mengawasi keadaan sekelilingnya. Dia berada di kawasan bukit berbatu-batu. Saat itu fajar telah menyingsing namun karena kabut mengambang di mana­mana, keadaan tampak masih gelap. Hal ini menguntungkan dua orang yang melarikan diri itu karena sosok mereka tidak mudah terlihat.
Setelah melewati gundukan batu-batu besar, manusia pocong memutar arah lari ke sebelah timur. Wulan melihat satu jalan menurun lalu ada kali kecil menghadang di ujung jalan. Orang yang memanggulnya membelok ke kanan, menyusuri kali ke arah hulu.
Melihat kali, Wulan lalu berkata. “Turunkan aku di sini saja. Aku bisa mencari jalan sendiri.”
“Perjanjian kita tidak begitu,” jawab manusia pocong yang memanggul si gadis dan terus saja lari.
Wulan Srindi menggigit bibir. Dia berhasil membujuk orang mengeluarkan dirinya dari dalam tempat sekapan. Bahaya pertama sudah lewat.
Kini ada bahaya berikutnya. Bagamana dia bisa membebaskan diri dari tangan manusia pocong satu ini.
“Aku mau membersihkan diri dulu di kali. Turunkan aku barang sebentar.”
Manusia pocong tidak perdulikan permintaan Wulan Srindi. Dia terus saja lari.
Jalan yang ditempuh semakin sulit karena bebatuan menebar sangat banyak dan tebal berlapis lumut. Wulan Srindi maklum orang yang melarikannya itu selain memiliki tenaga dalam juga membekal ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Karena tidak mudah untuk lari di atas batu-batu yang diselimuti lumut licin. Selewatnya kawasan berbatu mereka memasuki satu rimba belantara kecil tapi sarat semak belukar dan pepohonan yang tumbuh sangat rapat. Di antara kerapatan pepohonan serta semak belukar itulah kemudian Wulan Srindi melihat sebuah pondok kayu tak berpintu. Salah satu dindingnya telah jebol. Dan kesinilah manusia pocong itu membawanya.
Wulan Srindi dibaringkan di lantai pondok kotor berdebu. Gadis ini cepat bangkit dan melangkah ke sudut pondok. Tadinya dia hendak bergerak ke pintu. Tapi manusia pocong itu tegak di depan pintu seolah sengaja menghadang. Sesaat orang ini tegak diam memperhatikan si gadis. Nafasnya memburu karena berlari sejauh itu sambil mendukung Wulan Srindi. Apa lagi saat itu nafsu mulai merambat membakar aliran darahnya. Dari tempatnya berdiri di dalam pondok orang ini memperhatikan keluar. Mata dan telinga dipasang tajam-tajam. Tak ada gerakan mencurigakan. Tak ada orang yang mengikuti. Dia juga tidak mendengar suara apa-apa selain hanya suara kumbang hutan menggeru bersahut-sahutan.
Manusia pocong balikkan tubuh. Wulan Srindi tahu, kini bahaya besar mengancam kehormatan dan keselamatan dirinya. Dia harus bisa menipu orang ini, paling tidak mengulur waktu.
“Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Sayang aku tidak bisa melihat wajahmu. Hingga kalau kelak bertemu aku mungkin tidak mengenal dirimu.”
Manusia pocong keluarkan suara tertawa.
“Kau tak perlu melihat wajahku. Apa lagi mengenal siapa diriku. Budi pertolonganku berpangkal pada janji yang kau ucapkan sewaktu masih berada dalam kamar sekapan. Saatnya kau menepati janji. Saatnya aku menagih janji.”
“Tapi aku ingin lebih dulu melihat wajahmu. Dan kalau kau percaya, lakukan sesuatu agar totokan di tubuhku musnah.”
“Saat ini tidak ada lagi waktu untuk bicara. Yang ada waktu untuk bekerja.” Habis berkata begitu manusia pocong tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah ternyata dia mengenakan satu pakaian ringkas berupa baju dan celana panjang hitam. Masih dengan kepala tertutup kerudung putih dia melangkah mendekati Wulan Srindi.
“Buka pakaianmu,” perintah manusia pocong.
“Dengar, kita perlu bicara dulu.”
“Aku sudah bilang tak ada waktu untuk bicara! Kalau kau berusaha menipu dan tidak mau menanggalkan pakaian, aku bisa melakukannya. Tapi aku akan melakukan secara kejam. Jangan berani mengingkari perjanjian yang kau buat sendiri! Ingat ucapanmu waktu di dalam kamar sekapan. Kau mengatakan mau memberi kebahagiaan dan kenikmatan padaku. Kau bilang begitu berada di luar dirimu adalah milikku selama aku membutuhkanmu! Sekarang jangan berani mencari dalih!”
“Aku tahu. Aku juga tahu kau orang baik-baik. Aku…”
“Aku akan menanggalkan semua pakaianku. Harap kau melakukan hal yang sama. Pada saat semua pakaianku sudah kutanggalkan dan kau masih tidak berbuat apa-apa, aku akan menghajarmu sampai sekarat. Aku memang lebih suka melihat dan menggauli perempuan dalam kesakitan.” Lalu manusia pocong buka baju hitamnya.
“Aku mohon…”
Wulan Srindi balikkan badan ke sudut pondok. Tak berani memperhatikan ketika orang di hadapannya bergerak menanggalkan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Diam-diam Wulan kembali berusaha mengerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa sakti. Tetap saja dia tidak mampu memusnahkan kekuatan totokan yang masih menguasai dirinya. Totokan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong memang luar biasa.
Tiba-tiba Wulan Srindi merasa ada tangan mencengkeram punggung pakaiannya. Lalu breeet! Pakaian itu robek sampai ke pinggang. Wulan Srindi menjerit. Dia balikkan tubuh sambil hantamkan satu pukulan. Tapi pukulan itu begitu lemah. Jangankan tenaga dalam, tenaga luarnya sajapun tidak punya daya apa-apa. Manusia pocong biarkan jotosan lemah itu mendarat di dadanya. Tidak terasa apa-apa, hanya seperti diusap.
Manusia pocong menyeringai, mendekat penuh nafsu.
“Aku mohon, jangan kau apa-apakan diriku. Aku bersedia jadi istrimu…” Wulan keluarkan ucapan, masih berusaha membujuk dan mengulur waktu.
“Kehidupan dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tidak mengenal apa yang dinamakan istri! Percuma kau membujukku!”
Tiba-tiba tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini menyambar ke dada si gadis. Untuk kedua kalinya Wulan Srindi memekik. Dada pakaiannya robek besar. Tapi pekikan si gadis kali ini juga dibarengi jeritan si manusia pocong. Entah apa yang terjadi tubuhnya terpental ke kiri, menghantam dinding pondok yang lapuk hingga terpentang jebol lalu terlempar ke halaman samping. Bersamaan dengan itu satu suara tawa mengekeh menggema dalam pondok. Bau harum aneh menebar menyengat hidung.
“Gluk… gluk… gluk!”
Ada suara orang menenggak minuman dengan amat lahap.


**********************
 2

DALAM kagetnya Wulan Srindi pentang mata mendelik, memandang ke depan. Seorang kakek berjanggut putih menjulai dada, berpakaian selempang kain biru tegak di tengah pondok sambil tertawa gelak-gelak. Tangan kirinya memegang sebuah bumbung terbuat dari bambu. Bibir bumbung didekatkan ke mulut. Sikakek lantas buka mulutnya lebar­lebar. Tak ada benda yang mengucur dari dalam bumbung itu.
“Aku tidak mengenal kakek ini. Apakah dia barusan yang jadi sang penolongku?” membatin Wulan Srindi. Hatinya harap-harap cemas. Dalam rimba persilatan tanah Jawa seribu satu macam manusia gentayangan di mana-mana. Terkadang sulit diterka mana kawan dan mana lawan.
Si kakek goyang-goyang bumbung di atas mulutnya. Tetap saja tak ada tak ada cairan yang keluar dari dalam bumbung bambu. Si kakek memaki sendiri.
“Sial! Kenapa cepat sekali habisnya! Aku tidak memeriksa lagi. Baru tahu saat mau minum kali ini. Pasti waktu di gunung si Sinto menenggak bukan cuma satu dua teguk. Nenek geblek! Katanya tidak doyan, tapi tuakku diteguk amblas!”
Entah disengaja atau memang kebetulan, secara acuh tak acuh kakek ini lemparkan ke kiri bumbung bambu yang dipegangnya. Saat itu justru manusia pocong yang terlempar keluar pondok dalam keadaan marah besar tengah melompat masuk ke dalam pondok untuk mendamprat dan menyerang si kakek. Namun setengah jalan kepalanya keburu dihantam bumbung bambu hingga kembali dia terpental. Di balik kain putih penutup kepala, keningnya luka dan benjut besar. Darah mengucur membuat kain putih di atas kepalanya basah merah.
Seperti tidak ada kejadian apa-apa, tidak melihat dan tidak mendengar jerit kesakitan serta caci maki orang, kakek di dalam pondok ambil tabung bambu kedua yang tergantung di punggungnya. Penutup tabung di buka, dicampakkan seenaknya ke lantai. Kepala didongakkan lalu tabung diangkat tinggi-tinggi di atas mulut. Cairan bening yang menebar bau harum menyengat hidung mengucur keluar. Si kakek cepat buka mulutnya lebar-lebar.
“Gluk… gluk… gluk!”
Si kakek meneguk tuak harum yang mengucur keluar dari dalam bumbung bambu dengan lahap. Matanya sebentar mendelik, sebentar dipejamkan. Sebagian dari tuak membasahi wajahnya yang keriput, membasahi kumis dan janggut putih serta membasahi dada pakaian birunya. Tak selang berapa lama baru si kakek turunkan bumbung bambu. Mukanya kelihatan merah. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu mengusap mulut.
“Tuak enak, benar-benar sedap. Tak salah kalau orang menyebutnya tuak kayangan. Malah kalau benar ada tuak di kayangan sana, rasanya mungkin tidak selezat tuakku ini!” Si kakek tertawa mengekeh sambil usap-usap bumbung bambu. Lalu mulutnya bicara kembali seenaknya, seolah dia hanya sendirian di tempat itu.
“Mengusap bumbungnya saja nikmatnya seperti mengusap pantat perempuan montok. Ha… ha… ha!”
Wulan Srindi yang sejak tadi memperhatikan si kakek dari sudut pendek jadi tercekat.
“Jangan-jangan kakek yang kuanggap sebagai tuan penolong ini ternyata adalah seekor bandot tua doyan tanaman muda,” murid Perguruan Silat Lawu Putih itu membatin. “Anehnya lagi masakan dia tidak tahu aku ada di sini. Mungkin berpura-pura…” Si gadis semula hendak memanggil tapi kemudian memutuskan untuk diam saja sambil memperhatikan terus gerak-gerik orang tua berselempang kain biru itu.
Si kakek sangkutkan kembali bumbung tuaknya di punggung.
Dia perhatikan lantai pondok.
“Uh, kotornya. Debu tebal sampai sejempol. Tadinya aku berniat istirahat tidur-tiduran di tempat ini barang sehari dua. Kalau kotor begini siapa sudi! Uh! Malam-malam tidak mustahil tikus dan kecoak mampir di sini. Baiknya aku pergi saja…”
Si kakek betulkan letak bumbung bambu di punggung, usap-usap dada pakaiannya yang basah, membelai jenggotnya yang putih panjang dan juga basah lalu putar tubuh melangkah ke pintu pondok.
“Kek!”
Si kakek tertegun berjingkrak. Kelihatan kaget sekali. Entah kaget benaran entah cuma pura-pura. Dua kaki berhenti melangkah, bahu diputar dan kepala dipalingkan ke sudut pondok dari mana barusan dia mendengar suara orang menegur.
“Astaga naga!” si kakek pelototkan mata, usap janggutnya dan balikkan tubuh. “Luar biasa! Kukira tadi aku sendirian di tempat ini. Untung tadi aku tidak loloskan celana, dan kencing di sudut pondok sana.” Si kakek geleng-geleng kepala. Lalu tertawa mengekeh. “Makin lanjut umurku, makin pikun diriku. Bagaimana mungkin sejak tadi aku tidak melihat, tidak mengetahui kalau ada seorang gadis cantik di dalam pondok ini. Tapi, ah! Pakaianmu mengapa tidak karuan begitu rupa.”
Si kakek tutupkan lima jari tangan kanannya di atas dada, tapi jari-jari itu dipentang lebar hingga tetap saja dia bisa melihat jelas keadaan dada si gadis yang tersingkap.
Wulan Srindi baru sadar keadaan dada bajunya yang tersingkap lebar akibat robekan manusia pocong tadi. Cepat-cepat gadis ini rapikan pakaiannya.
“Kek kau siapa?” Wulan Srindi bertanya.
Berbarangan dengan itu si kakek juga ajukan pertanyaan.
“Gadis cantik, kau siapa?”
Dua-duanya kemudian sama tertawa. Si kakek maju selangkah, pandangi Wulan Srindi dari kepala sampai ke kaki.
“Kau orang sungguhan? Eh, kakimu nginjak lantai apa tidak? Hik… hik… hik!”
“Eh, memangnya aku ini kau lihat bagaimana Kek?”
“Pondok ini terpencil dalam rimba belantara. Di kawasan bukit batu jarang didatangi manusia. Ada seorang gadis cantik begini rupa. Bagaimana aku tidak curiga?”
“Nyatanya kau sendiri berada di sini,” tukas Wulan Srindi si gadis berkulit hitam manis. “Berarti aku juga pantas merasa curiga.”
“Aku muncul di sini kebetulan saja. Eh, jawab dulu kau ini orang sungguhan, bukan peri bukan dedemit hutan yang muncul menyamar jadi gadis cantik?”
Wulan Srindi tertawa lebar.
“Terkadang hantu juga bisa muncul dalam ujud seperti dirimu sekarang ini, Kek.”
Si kakek angkat tangannya, digoyang-goyang seraya berkata. “Sudah, sudah! Jangan bicara segala macam hantu dan dedemit. Nanti kita berdua pada kesambet dan jadi hantu dedemit sungguhan.”
“Kek, kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih.” Wulan Srindi berkata sambil bungkukkan diri. Karena gerakan ini, dada pakaiannya kembali tersingkap. Si kakek mendelik menahan nafsu ketika melihat dada yang terbuka itu. Sambil usap-usap jenggotnya dia memandang ke arah pintu. Saat itu terdengar suara menggembor disertai makian keras.
“Tua bangka jahanam! Kupecahkan kepalamu!”
“Eh, siapa yang bicara?” kejut si kakek. Dia celingukan sebentar lalu berpaling ke kiri. Di saat bersamaan satu sosok berkelebat. Satu jotosan dahsyat menderu ke arah pelipis kiri si kakek. Kalau dia tidak lekas menghindar kepalanya pasti kena dihantam rengkah!
Sambil berseru kaget, orang tua yang membekal bumbung tuak di punggungnya itu cepat melompat mundur. Ketika dia hendak balas menyerang, baru disadarinya dengan siapa dia berhadapan.
“Aha! Ini baru dedemit sungguhan! Muka ditutup kain putih berdarah. Tapi mengapa tubuh sebelah bawah polos tidak pakai apa­apa! Gila betul! Apa tidak masuk angin? Pemandangan merusak mata! Kalau seorang gadis berkeadaan sepertimu pasti aku tidak menolak melihat! Tapi yang macam kamu! Wuaallah! Dedemit geblek! Pergi sana!”
Ketika orang tanpa pakaian itu berkelebat kirimkan serangan ke arah si kakek Wulan Srindi telah lebih dulu membuang muka, memandang ke jurusan lain.
Si manusia pocong dengan satu-satu pakaian yang dikenakannya saat itu hanyalah kain penutup kepala, seolah baru sadar jadi kelabakan melihat keadaan dirinya. Dia segera menyambar jubah putih miliknya yang ada di lantai. Tapi si kakek lebih dulu menarik jubah itu dengan jempol kaki kirinya, lalu dilempar lewat pintu keluar pondok.
Manusia pocong jadi kalap.
“Tua bangka jahanam!” Dia memaki.
Si manusia pocong lalu hantamkan dua tangannya sekaligus ke arah si kakek. Dua gelombang angin menderu dahsyat. Pondok bergoyang seperti mau roboh. Sebelum dua gelombang angin menyapa si kakek, manusia pocong telah melompat susul serangannya dengan kirimkan pukulan berantai, dua tangan kiri kanan sekaligus.
Kakek berselempang kain biru melihat dan merasa dua gelombang angin maut menderu ke arah dirinya. Cepat dia melompat ke atas hingga kepalanya hampir menyundul atap pondok.
“Braakk! Braakkk!”
Dinding pondok sebelah kanan hancur berantakan di hantam dua angin pukulan manusia pocong. Manusia pocong berteriak marah. Tidak Perdulikan keadaan dirinya yang tanpa pakaian sama sekali dengan nekad dia mengejar ke depan. Saat itu si kakek telah melayang turun kembali sambil dua tangannya sambuti pukulan berantai lawan.
“Bukk! Bukkk!”
Dua tangan saling memukul, saling beradu di udara mengeluarkan suara bergedebukan tiada hentinya. Satu kali si kakek gerakkan tangan kanan, memutar bumbung bambu ke depan. Ketika jotosan tangan kanan lawan datang, dengan cepat si kakek sodokkan pantat bumbung bambu ke arah serangan.
“Krakk!”
Seolah tidak mendengar suara apa-apa si kakek buka kain penutup bumbung, dongakkan kepala, buka mulut dan kucurkan tuak di dalam bumbung.
“Gluk… gluk… gluk!”
Enak saja si kakek meneguk tuak harumnya sementara di depannya si manusia pocong menjerit terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya yang telah hancur mulai dari ujung lima jari sampai pengkal pergelangan!
“Orang gila! Jangan berisik di tempat ini! Pergi sana!” maki si kakek. Lalu tuak diteguknya satu kali lagi. Setelah itu tuak yang ada dalam mulut disemburkan ke arah manusia pocong.
“Cuaahhh!”
“Wusss!” Cairan tuak yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu laksana ratusan jarum menderu ke arah manusia pocong yang sedang menjerit-jerit kesakitan karena tangan kanannya yang hancur. Dia tak mampu berkelit, tak sanggup menangkis. Sosoknya terlempar jauh keluar pondok, terbanting di tanah. Lebih dari empat lusin lobang muncul di permukaan kulit tubuhnya yang kelihatan hancur, menyusup ke daging terus ke tulang! Dari lobang-lobang itu mengepul asap kelabu! Si manusia pocong keluarkan pekik keras, tubuhnya menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
Seumur hidup baru sekali itu Wulan Srindi melihat kematian orang akibat semburan cairan tuak. Sementara si gadis masih setengah terkesiap, si kakek melangkah keluar pondok yang sudah doyong dan siap roboh, mendekati mayat manusia pocong. Dia tarik kain putih yang menutupi kepala orang. Satu wajah tua bundar dan ada tahi lalat besar di dagu kiri tersingkap. Lama si kakek pandangi wajah itu hingga perlahan-lahan dua alis matanya yang putih mencuat ke atas. Setelah menarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala kakek ini keluarkan ucapan. Nada suaranya menyatakan kesedihan.
“Sahabatku Ki Sepuh Dalemkawung, benarkah kau ini? Kalau tidak melihat tahi lalat di dagumu, aku mungkin masih menaruh ragu. Mengapa kau berubah jadi orang jahat? Kalau tadi-tadi aku tahu ini adalah dirimu, mungkin aku tidak akan tega membunuhmu.”
Wulan Srindi tidak berani mendekati. Dari tempatnya berdiri gadis ini bertanya.
“Kek, kau kenal orang itu?”
Si kakek melangkah kembali masuk ke dalam pondok.
“Namanya Sepuh Dalemkawung. Belasan tahun lalu kami pernah bersahabat. Dia orang baik. Ilmunya tinggi. Serangan tangan kosong yang dilakukannya tadi adalah pukulan Dua Gelombang Menjebol Dinding Karang. Dia pernah berulang kali membantu Kerajaan menghancurkan kaum pemberontak di kawasan timur. Adalah aneh kalau kini dia berbuat seperti ini, berdandan seperti pocong hidup, melakukan kejahatan, terutama terhadap orang-orang perempuan. Menyedihkan sekali seorang sahabat menemui ajal mengenaskan seperti ini. Dan gilanya, aku yang membunuhnya!” Si kakek tepuk keningnya sendiri.
“Kek,” ujar Wulan Srindi. “Kau tidak membunuh seorang sahabat. Yang kau bunuh adalah kejahatan.” Si gadis coba menghibur.
Si kakek tersenyum tawar. Dia hendak meneguk tuak dalam bumbung tapi tak jadi, malah keluarkan ucapan penyesalan. “Ki Sepuh, kalau saja kau masih hidup dan bisa bicara, menerangkan apa sebenarnya yang terjadi, aku mungkin bisa mencari tahu siapa yang jadi biang kerok kejahatan ini.”
Memandangi si kakek Wulan Srindi lalu ingat. Tahu diri kalau orang benar-benar telah menolongnya si gadis melangkah ke hadapan si kakek lalu jatuhkan diri berlutut.
“Kek, aku sangat berterima kasih. Kalau kau tidak muncul saat ini pasti aku sudah…”
Si kakek usap kepala Wulan Srindi.
“Bangunlah, tidak pantas manusia berlutut di hadapan manusia lainnya. Aku hanya tidak mengerti, bagaimana gadis cantik sepertimu bisa kesasar di tempat ini dan tadi hampir saja dikerjai makhluk terkutuk itu. Gadis, siapa namamu?” “Kek, namaku Wulan Srindi…”
“Pantas wajahmu cantik seperti bulan.” Memuji si kakek.
“Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih. Aku dan kakak seperguruan yang menjadi Ketua Perguruan, meninggalkan perguruan beberapa waktu lalu untuk menyelidiki pembunuhan atas diri guru dan bekas Ketua kami Surablandong. Kami bernasib malang. Kakak seperguruanku menemui ajal di tangan manusia pocong. Aku sendiri…”
“Manusia pocong?” tanya si kakek.
“Betul Kek. Salah satu diantaranya yang barusan kau bunuh.”
“Hemm, dalam perjalanan ke sini beberapa kali aku mendengar makhluk-makhluk itu disebut orang. Aneh tapi jahat. Kabarnya mereka menculik perempuan-perempuan bunting. Apa betul?” “Betul sekali Kek…” Lalu Wulan Srindi menuturkan kisahnya, mulai dari penyamaran yang dilakukannya bersama Ketua Perguruan Silat Lawu Putih sampai akhirnya dirinya diculik.
“Aneh, buat apa? Mau diapakan perempuan-perempuan hamil itu?”
“Itu sebenarnya salah satu hal yang ingin kami selidiki.” Jawab Wulan Srindi pula.
“Murid yang tengah aku cari, seperti dirimu pasti tidak dalam keadaan bunting. Tapi melihat dirimu yang juga tidak bunting hampir jadi korban bukan mustahil muridku bisa pula celaka di tangan makhluk keparat itu. Siapa manusia-manusia pocong itu sebenarnya?”
“Aku belum sempat menyelidik. Tahu-tahu sudah kena diculik.”
Si kakek usap-usap janggut panjangnya.
“Hemm…” si kakek bergumam. “Turut penuturanmu jelas manusia-manusia pocong ini punya satu komplotan. Kalau yang disebut Wakil Ketua, tentu ada Ketua. Pasti pula mereka punya banyak anak buah. Lalu sarang mereka pasti dijadikan tempat penyekapan perempuan-perempuan hamil itu. Kalau katamu kau dibawa ke sini sesaat setelah fajar menyingsing, lalu sampai di sini tak selang berapa lama, berarti markas komplotan itu tidak berapa jauh dari tempat ini.”
“Mungkin begitu Kek. Satu hal perlu aku beritahu sarang komplotan itu merupakan satu goa batu. Di dalamnya ada puluhan lorong aneh, panjang dan berliku-liku. Sekali tersesat masuk dan tak bisa keluar pasti menemui ajal. Menurut manusia pocong yang membawaku ke sini, lorong itu disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
Si kakek goleng-goleng kepala.
“Makin tua umur dunia, makin banyak keanehan terjadi,” kata si kakek lalu dia meneguk tuaknya beberapa kali.
“Aku harus menyelidiki tempat itu sebelum bencana semakin merajalela.”
“Aku ikut bersamamu Kek.” Kata Wulan Srindi pula.
Si kakek tersenyum.
“Mendekatlah ke hadapanku,” kata si kakek.
Wulan Srindi mengikuti perintah. Dia melangkah ke hadapan orang tua itu. Si kakek pandangi gadis di depannya dari kepala sampai ke kaki.
“Kek, ada apa?” Si gadis menjadi risih tidak enak.
“Aku melihat ada kelainan pada gerak-gerikmu…”
“Kek, sebenarnya aku masih dalam keadaan tertotok.”
“Ah, benar dugaanku. Tapi totokan yang menguasai dirimu bukan totokan sembarangan. Anehnya kau masih bisa bergerak, bisa bicara dan mampu berpikir. Membaliklah. Tahan nafas dan pejamkan mata.”
“Menurut orang yang barusan kau bunuh, hanya Wakil Ketua dan Ketua manusia pocong yang bisa membebaskan diriku dari totokan ini.”
“Begitu? Coba kulihat. Ayo melangkah ke sini.”
Wulan Srindi ikuti perintah. Dia melangkah mendekati si kakek.
“Baliklah tubuh. Hadapkan punggungmu padaku. Tahan nafas dan pejamkan mata.”
Kembali Wulan Srindi lakukan apa yang dikatakan si orang tua.
Begitu dia menahan nafas dan pejamkan mata, satu tusukan halus melanda punggungnya. Walau tusukan itu halus dan lembut tapi akibatnya membuat tubuh si gadis mencelat ke atas. Di dahului satu pekik keras, Wulan Srindi berjumpalitan di udara dan melayang turun ke bawah dengan dua kaki menginjak lantai pondok lebih dulu. Di wajahnya yang cantik bermunculan titik-titik keringat. Sesaat mukanya tampak pucat, lalu secara perlahan berdarah kembali.
“Kek, kau memusnahkan totokan di tubuhku,” kata Wulan Srindi penuh kagum dan hampir tidak percaya dan berpikir. Berarti orang tua ini memiliki ilmu kesaktian paling tidak setingkat Sang Wakil Ketua barisan Manusia Pocong. Mungkin juga sama dengan tingkat kepandaian Sang Ketua sendiri. “Kek, aku mohon kau sudi memberitahu siapa dirimu adanya. Aku sangat berterima kasih. Bukan cuma berhutang budi, tapi juga nyawa dan kehormatan.”
Si kakek cuma tersenyum. “Kau ini bicara apa,” katanya.
“Kek, aku mohon. Harap katakan siapa dirimu adanya.”
“Siapa diriku, itulah hal yang tidak penting.” “Jangan begitu Kek. Bagimu tidak penting tapi bagiku sangat penting.”
Si kakek tersenyum, usap-usap janggutnya. Akhirnya berkata.
“Karena aku doyan minum tuak, orang-orang lantas menyebut diriku Dswa Tuak. Ada-ada saja. Pada hal jelas aku bukan Dewa. Tapi kakek-kakek rongsokan yang sudah bau tanah!” Habis berkata begitu si orang tua tertawa mengekeh.
Terkejutlah Wulan Srindi mendengar ucapan orang. Kembali dia jatuhkan diri.
“Kek, ketika guruku Surablandong masih hidup, beliau sering menceritakan tentang kisah tokoh-tokoh rimba persilatan tanah Jawa. Salah seorang yang disebut dan diceritakan beliau adalah dirimu. Hari ini sungguh aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Lebih dari itu karena ternyata engkaulah penolongku, tokoh rimba persilatan yang selama ini kami kagumi.”
“Berdiri, jangan berlutut!” Si kakek membentak.
“Tidak Kek, aku akan tetap berlutut sebelum kau memenuhi satu permintaanku.”
“Permintaan? Memangnya kau mau minta apa? Ingin merasakan minum tuakku? Nanti kau mabok. Baru tau!”
Wulan Srindi angkat kepalanya, tersenyum. Lalu dengan sungguh-sungguh dia berkata.
“Aku tidak akan bangun sebelum Kakek mengiyakan bahwa kau mau mengambil aku jadi muridmu.”
Dewa Tuak tertegun sesaat lalu sambil tersenyum dia berkata.
“Kau keliwat menganggap diriku sebagai orang hebat. Aku tidak punya apa-apa selain bumbung tuak ini…”
“Aku lebih baik mati berlutut di tempat ini daripada tidak jadi muridmu.”
“Gadis bengal. Aku masih banyak urusan. Antaranya mencari muridku…”
“Katakan saja siapa muridmu. Aku akan mencarikannya untukmu. Asal aku dijadikan muridmu lebih dulu. Biar tidak diajarkan ilmu kepandaian apapun aku rela.”
“Anak gadis, kau sendiri pasti banyak urusan. Kembalilah ke perguruanmu. Daerah sekitar sini terlalu berbahaya bagimu. Jangan kau sampai kena diculik orang untuk kedua kali.”
“Tidak Kek, aku tidak akan kembali ke perguruan. Aku akan ikut ke mana kau pergi.”
“Benar-benar gadis bengal!” ujar Dewa Tuak dengan suara keras tapi wajah tuanya unjukkan senyum. “Dengar, aku berjanji satu saat akan menjengukmu di Gunung Lawu.”
“Dan kau akan mengambilku jadi murid. Begitu? Ujar Wulan Srindi, masih berlutut dan kepala masih ditundukkan. Sepuluh jari tangan dirangkapkan di depan dada. “Tapi Kek, berapa lama aku harus menunggu? Satu tahun? Dua tahun…?”
“Sudah, begini saja, kalau kau tidak suka kembali ke Gunung Lawu, tolong aku mencarikan seseorang,” kata Dewa Tuak pula.
“Mencari seseorang? Siapa? Muridmu itu?” “Bukan. Seorang pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng.”
Wulan Srindi terkesiap, angkat kepalanya sedikit, pandangi wajah si kakek lalu merunduk kembali.
“Aku sudah lama mendengar nama besar dan kehebatan Pendekar
212. Tapi belum pernah bertemu orangnya. Kata orang tidak mudah mencari pendekar satu itu. Lalu aku juga menyirap kabar, dia seorang pendekar mata keranjang. Punya banyak kekasih. Cantik-cantik semua…”
“Kau tidak kalah cantik dengan semua mereka itu,” jawab Dewa Tuak sambil tersenyum.
Dada sang dara jadi berdebar. “Apa maksudmu, Kek?”
“Sudah, sekarang terserah padamu. Kau punya pilihan mau melakukan apa. Kembali ke Gunung Lawu atau mencari pendekar itu. Kalau mencari Wiro dan bertemu, ceritakan padanya apa yang telah terjadi dengan dirimu. Juga ceritakan pertemuan kita ini.”
“Aku akan lakukan Kek. Cuma aku ada satu pertanyaan lagi…” Wulan Srindi mendengar suara si kakek bergumam. Lalu gadis ini merasakan satu usapan di kepalanya. Ketika dia mengangkat muka, Dewa Tuak tak ada lagi di dalam pondok.


**********************
3

DALAM Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan bahwa seorang anggota komplotan manusia pocong yang disebut Satria Pocong menemui Yang Mulia Ketua yang saat itu masih berada di halaman Rumah Tanpa Dosa. Kepada Sang Ketua dilaporkan tentang adanya seorang penyusup yang kini terperangkap dalam lorong delapan belas. Ketua Barisan Manusia Pocong memerintahkan Wakil Ketua bersama anggota pelapor untuk segera menyelidiki perkara tersebut.

Di tengah jalan Wakil Ketua memerintahkan Satria Pocong agar berangkat lebih dulu ke lorong delapan belas, menunggunya di sana dan jangan melakukan sesuatu sebelum dia datang. Wakil Ketua kemudian memasuki satu terowongan batu menuju kamar kediamannya. Di tempat inilah dia telah menyekap Wulan Srindi, gadis anak murid Perguruan Silat Lawu Putih setelah lebih dulu dua pertiga dari kekuatan yang ada dalam dirinya dilumpuhkan dengan totokan. Sebelum pergi ke lorong delapan belas dorongan nafsu yang ada dalam tubuhnya membuat dia terlebih dulu ingin bersenang-senang dengan gadis itu.
Namun Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong jadi terkejut besar ketika dapati kamar dalam keadaan kosong. Wulan Srindi lenyap.
“Tubuhnya dibawah pengaruh totokan. Pintu kamar hanya bisa dibuka dengan tombol batu rahasia. Tidak mungkin gadis itu kabur sendiri. Pasti ada yang menolong. Ada penghianat di tempat ini! Kurang ajar!” Sang Wakil Ketua gerakkan jari-jari tangan kanannya hingga mengeluarkan suara berkeretekan membentuk tinju. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke pintu lalu menghambur ke kanan. Tak lama kemudian dia telah memasuki bagian dalam mulut terowongan yang disebut 113 Lorong Kematian. Sambil lari dalam hati dia menghitung menyebut angka dan arah.
“Lima puluh kiri. Tiga puluh kanan. Empat puluh kiri. Lima puluh kanan…” Wakil Ketua sudah berulang kali melewati lorong tersebut. Namun dia tetap menghitung angka dan menyebut arah agar tidak tersesat. Sekali seseorang kesasar dalam terowongan yang memiliki 113 lorong tersebut, sulit baginya akan keluar lagi.
Ketika mencapai lorong 18, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong hentikan lari. Di depannya menggeletak sosok putih seorang Satria Pocong. Mengerang megap-megap siap menemui ajal. Kain putih yang menutupi wajahnya tampak basah merah oleh darah. Dari bentuk sosoknya Sang Wakil Ketua mengetahui orang ini adalah Satria Pocong yang tadi disuruhnya pergi lebih dulu ke lorong 18.
Wakil Ketua berlutut di samping sosok Satria Pocong. Hidungnya mencium bau aneh. Sepasang mata mengerenyit ketika melihat kain putih yang menutupi kepala anak buahnya itu selain basah oleh darah juga dipenuhi puluhan lubang kecil.
“Aneh.” ucap Wakil Ketua. Dengan tangan kiri ditariknya ke atas kain putih penutup kepala Satria Pocong. Sang Wakil Ketua langsung melengak. Lututnya goyah, tubuh tersurut ke belakang. Muka yang tersembul di balik kain putih penutup kepala tampak melepuh hangus. Di seluruh kulit muka kelihatan lobang-lobang kecil mengepulkan asap tipis. Darah menggenang di mata yang mendelik besar. Wakil Ketua pegang urat besar di leher Satria Pocong. Masih ada denyutan halus.
“Satria Pocong! Katakan apa yang terjadi!”
Bibir anggota Barisan Manusia Pocong itu bergetar. Matanya bergerak. Darah yang menggenang meleleh ke pipi. Mulutnya mengucapkan sesuatu. Namun yang keluar adalah lelehan darah.
“Kurang ajar!” rutuk Wakil Ketua. Dia memandang berkeliling. Di ujung lorong sebelah sana dia melihat satu lagi sosok putih tergelimpang. Pandangannya kembali pada Satria Pocong yang tergeletak di sampingnya. Tidak sabaran dia tekan tenggorokan orang itu hingga darah menggelegak keluar. Kau bisa bicara! Kau harus bisa bicara! Katakan apa yang terjadi!” Wakil Ketua ulangi ucapannya. Setengah berteriak.
“Grekk… hekkkk… Ka… kakek rambut put… putih. Ilmunya ting… tinggi sekal… A… aku… Hekkk!” Tenggorokan Satria Pocong keluarkan suara tercekik. Ucapannya putus. Mata nyalang tergenang darah, tak berkesip. Nyawanya keburu melayang sebelum sempat berikan keterangan lebih lanjut.
Wakil Ketua bangkit berdiri, bertolak pinggang.
Mata liar memandang ke setiap sudut terowongan yang memiliki banyak sekali lorong dan cabang-cabangnya. Sambil usap-usap tengkuknya dia berkata perlahan.
“Kakek rambut putih. Siapa manusia itu? Tidak ada orang lain di tempat ini. Orang yang menyusup? Kalau memang dia, di mana bangsat itu sekarang?” Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong memandang ke arah ujung lorong. Memperhatikan cabang-cabang lorong yang memenuhi kiri kanan lorong di mana dia berada. “Satria Pocong satu ini setahuku memiliki kepandaian silat tiga tingkat di bawahku. Kalau ada orang bisa membantainya berarti…” Wakil Ketua tidak teruskan ucapan. Dia melangkah mendekati sosok manusia pocong satu lagi yang terkapar di depan sana. Ketika dia memperhatikan kain putih penutup kepala, ada sedikit bercak darah, tidak ada lobang-lobang kecil seperti pada penutup kepala manusia pocong yang barusan meregang nyawa. Menyangka Satria Pocong satu ini masih hidup, dia segera lepaskan kain penutup kepala. Untuk kedua kalinya dia dibuat melengak kaget. Muka yang tersembul di balik kain putih penutup kepala ini memang tidak hangus tidak melepuh. Tapi mulai dari kening sampai ke pertengahan hidung muka itu rengkah. Darah pada rengkahan kepala mulai mengering. Siapa saja yang melihat pasti akan bergidik.
Suara geram menggembor keluar dari tenggorokan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong. Tiba-tiba matanya melihat ada cairan menggenang di lantai lorong. Dia memperhatikan sesaat, lalu usapkan jari-jari tangannya di atas cairan. Terasa dingin. Sewaktu jarinya didekatkan ke hidung, dia mencium bau harum aneh.
“Seperti bau nira. Mungkin juga tuak…” Membatin Sang Wakil Ketua lalu bangkit berdiri, memandang berkeliling. “Aku berada di lorong delapan belas. Kakek rambut putih yang katanya tersesat di sekitar sini tidak kelihatan. Mungkin dia berusaha mencari jalan, lalu nyasar di lorong lain. Dia tak bakal bisa ke mana-mana. Nanti saja kucari. Sekarang aku harus mengejar jahanam yang melarikan diri itu.” Sang Wakil Ketua segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
TAK berapa lama setelah Dewa Tuak tinggalkan dirinya Wulan Srindi keluar dari dalam pondok. Walau memikir nasihat si kakek agar dia kembali ke Perguruan di Gunung Lawu ada benarnya, namun gadis ini memilih menyelidik ke mana perginya orang tua aneh berkepandaian tinggi yang telah menolongnya itu. Berat dugaannya Dewa Tuak akan menyelidik sarang komplotan Barisan Manusia Pocong. Maka dia segera tinggalkan rimba belantara kecil, lari ke arah bukit batu.
Seperti yang diduga Wulan Srindi, Dewa Tuak memang menyelidiki kawasan bukit batu di sebelah barat rimba belantara. Kakek berkepandaian tinggi dengan pengalaman selangit ini setelah memutari bukit batu beberapa lama akhirnya menemui goa yang jadi mulut terowongan sarang kediaman manusia pocong. Tanpa ragu kakek ini segera masuk ke dalam goa. Di luar goa Wulan Srindi mendekam di balik sebuah batu besar. Dia tak berani terus mengikuti Dewa Tuak masuk ke dalam goa. Sebelumnya sewaktu diculik Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong dia telah menyaksikan sendiri keadaan lorong di dalam bukit batu. Dalam kebimbangannya akhirnya gadis ini memilih untuk tetap sembunyi di balik batu. Siapa tahu si kakek akan muncul keluar kembali.
Lama sekali dia mendekam di belakang batu besar tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Dari bentuk sosoknya Wulan Srindi segera mengenali manusia pocong itu adalah Wakil Ketua yang sebelumnya telah menculik dirinya. Wulan cepat merunduk, bergerak lebih jauh ke balik batu besar.
DI LUAR 113 lorong Kematian hari telah lama terang. Matahari pagi mengusir sebagian kabut yang banyak menggantung di kawasan bukit berbatu sehingga dengan matanya yang tajam cukup mudah bagi Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong melihat jejak-jejak kaki di bebatuan berlumut.
“Orang lari di atas batu berlumut, membawa beban tubuh manusia. Tidak terpeleset, berarti si pengkhianat memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Aku belum bisa menduga siapa dia adanya. Tapi aku sudah bisa menduga ke mana dia membawa gadis itu. Jalan ini mengarah ke pondok kayu di dalam rimba.”
Wakil Ketua lari laksana bayangan setan. Tak selang berapa lama dia sudah melihat bangunan di balik pepohonan dan semak belukar lebat itu. Lima puluh langkah dari pondok kayu dia hentikan lari, memperhatikan. Pondok itu tampak doyong berat, siap roboh. Salah satu dindingnya terpentang jebol. Ketika dia memperhatikan halaman kiri di samping dinding yang jebol, kagetnya bukan alang kepalang. Dia melihat satu sosok lelaki tanpa pakaian menggeletak di tanah. Kain putih penutup kepala tercampak di dekatnya. Dua kali lompatan saja Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ini sudah sampai di samping sosok tak berpakaian itu.
Ki Sepuh Daiemkawung!” ucap kaget Wakil Ketua dan suaranya setengah tercekik ketika dia mengenali wajah orang yang tergelimpangan di tanah itu. Ada benjut dan luka besar di kening. Lalu di bagian tubuh dia melihat puluhan lobang mengerikan pada kulit dan daging yang melepuh hangus.
Jahanam! Kau rupanya yang jadi pengkhianat. Tua bangka tak tahu diri! Masih suka gadis yang pantas jadi cucunya!” maki Wakil Ketua tanpa merasa kalau sebenarnya diapun punya maksud keji dan mesum terhadap Wulan Srindi. Kaki kirinya bergerak. Tubuh Ki Sepuh Daiemkawung terpental sampai dua tombak.
“Bangsat pengkhianat ini melarikan Wulan Srindi. Tapi gadis itu sendiri entah berada di mana. Apakah dia sudah sempat menodai gadis itu lalu membunuhnya. Kemudian membuang mayatnya di tempat lain? Di sekitar sini banyak jurang dalam. Lalu siapa yang membunuh Dalemkawung? Kakek rambut putih yang disebutkan Satria Pocong dalam lorong?” Sang Wakil Ketua terus berpikir. “Dalemkawung tidak mungkin telah menodai gadis itu. Tidak secepat itu.”
Wakil Ketua melompat ke dalam pondok yang hampir roboh. Di sini dia hanya menemui seperangkat pakaian hitam, jubah dan kain putih penutup kepala.
Sambil pegang dagunya Wakil Ketua membatin. “Mungkin si keparat Dalemkawung belum sempat menodai gadis itu. Keburu dibunuh…” Wakil Ketua membatin seolah menghibur diri sendiri. Manusia pocong ini kemudian putar kepala, memperhatikan bagian dalam pondok. Pandangannya membentur sebuah bumbung bambu. Benda ini segera diambil. Ketika diperhatikan dan dibolak balik, ada cairan yang keluar. Wakil Ketua dekatkan hidungnya ke mulut bumbung.
“Cairan ini sama baunya dengan cairan dalam lorong. Tuak! Berarti orang yang membunuh Dalemkawung adalah orang yang sama yang membunuh dua Satria Pocong di dalam lorong! Bangsat itu katanya tersesat sekitar lorong delapan belas. Aku harus segera ke sana. Sekali dia masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, pasti tidak bisa keluar selamatkan diri! Sial, tak ada kesempatan bagiku mencari gadis itu.”
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong benar-benar marah besar. Gadis cantik yang sudah jadi miliknya lenyap entah ke mana karena pengkhianatan Ki Sepuh Dalemkawung. Tiga orang anak buahnya dibunuh orang! Setiap anggota Barisan Manusia Pocong bukanlah orang-orang biasa. Mereka adalah orang-orang pilihan yang harus memiliki kepandaian silat tinggi, Kesaktian serta tenaga dalam yang dapat diandalkan. Itu sebabnya mereka dijuluki Satria Pocong. Tidak mudah membunuh salah seorang dari mereka. Dan kalau sampai tiga orang sekaligus tewas seperti yang terjadi, pastilah si pembunuh seorang berkepandaian sangat tinggi.
“Kalau memang ada kakek berambut putih menyusup masuk dan jadi pembunuh liga Satria Pocong, pasti dia berkepandaian tinggi. Jangan-jangan dia seorang tokoh rimba persilatan.” Begitu Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong membatin sambil lari memasuki 113 Lorong Kematian. Dia harus berlaku waspada. Mata dipentang tajam, telinga dipasang. Bukan mustahil kakek rambut putih itu mendadak muncul di depannya.
Di balik batu besar, Wulan Srindi yang masih berada dalam kebimbangan apakah akan masuk ke dalam goa batu jadi bertambah bimbang ketika dilihatnya Wakil Ketua memasuki mulut goa. Kalau dia menyusul masuk lalu tertangkap untuk kedua kalinya, pasti dia tak akan bisa selamatkan diri lagi untuk selama-lamanya.
LORONG 21 memiliki 7 anak lorong. Di dalam anak lorong ke 5 Dewa Tuak duduk menjelepok sambil mengusap-usap bumbung bambu yang terletak di pangkuannya.
“Sarang manusia pocong. Aku berada dalam sarang manusia pocong…” Si kakek berucap. “Tiga anggota mereka sudah kubunuh. Tentu masih banyak yang lainnya. Tadi salah seorang dari mereka berhasil kabur. Pasti melapor pada atasannya. Sebentar lagi ada yang akan muncul di tempat ini. Lorong celaka, bagaimana aku bisa keluar dari sini? Semua lorong bentuknya sama. Bagaimana mungkin ada tempat jahanam seperti ini?!” Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Tadi setelah menghabisi dua orang manusia pocong yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya dia berusaha kembali ke mulut goa. Keluar dari lorong 18 dia kesasar memasuki cabang-cabang lorong atau menemui lorong buntu. Akhirnya dalam keadaan letih kakek ini dudukkan diri di lantai cabang lorong ke 5 dari lorong utama 21.
“Aku harus mencari jalan keluar! Tolol sekali kalau aku sampai mampus di tempat celaka begini rupa!”
Sebelum berdiri Dewa Tuak angkat bumbung bambunya. Dari beratnya bumbung dia tahu kalau tuak di dalamnya hanya tinggal setengah.
“Cuma satu bumbung tuak kini yang kumiliki. Isinya hanya tinggal setengah. Edan, di mana aku bisa mendapatkan bahan untuk membuat tuak baru!” Penutup bumbung dibuka. Bumbung ditempelkan ke bibir. Biasanya tuak yang mencurah akan ditenggak dengan lahap. Karena tinggal sedikit kali ini si kakek terpaksa berhemat-hemat.
Baru sedikit tuak harum itu memasuki tenggorokannya tiba-tiba satu benda melesat dan menancap di pantat bumbung. Dewa Tuak sampai tercekik saking kagetnya. Dengan mata mendelik dia turunkan bumbung. Sepasang mata tambah membelalak ketika melihat benda apa yang menancap di ujung bumbung bambu. Sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga. Berwarna merah dan basah. Bendera Darah!


**********************
4

WALAU kaget terkesiap melihat bendera aneh menancap di ujung bumbung bambu, di lain saat Dewa Tuak keluarkan suara tawa mengekeh.
“Siapa pula yang mau-mauan bercanda di tempat gila seperti ini!” katanya sambil bangkit berdiri. Tapi begitu berdiri tegak lurus, masih memegang bumbung tuak di tangan kiri tahu-tahu di depannya sudah berdiri satu sosok berjubah dan bertutup kepala putih.
“Aha! Sampean rupanya Manusia pocong yang katanya doyan menculik perempuan-perempuan bunting! Sayang aku tidak bisa melihat tampangmu. Hingga sulit kuduga apa kau ini lelaki, perempuan atau makhluk banci-bancian!”
“Tua bangka sinting!” bentak manusia pocong di hadapan Dewa Tuak. Suaranya keras, membuat gema panjang di Seantero lorong dan menggetarkan lantai batu. Getaran itu menjalar masuk pada dua kaki Dewa Tuak, namun lenyap sebelum mencapai ketinggian lutut. “Jangan berani bicara kurang ajar sembarangan di hadapanku!”
Meski kaget mendengar dahsyatnya bentakan orang Dewa Tuak menyeringai. Diam-diam tadi dia sudah mengukur kehebatan tenaga dalam manusia pocong yang memancar dalam suara bentakannya. Memang jarang-jarang ada orang memiliki tingkat tenaga dalam setinggi yang dimiliki makhluk serba putih ini. Namun si kakek tidak merasa khawatir. Tingkat tenaga daiam orang masih berada di bawahnya. Maka enak saja sambil letakkan bumbung bambu di bahu kiri dia keluarkan ucapan.
“Manusia pocong, kau tentunya punya jabatan tinggi di tempat ini. Makanya bisa bicara sombong dan membentak segala. Usiaku bisa tiga kali usiamu! Kau pantas memanggil aku Eyang. Ayo lekas menghormat, cium tanganku dan minta maaf pada Eyangmu ini!” Habis berucap Dewa Tuak ulurkan tangannya minta disalami. Tapi sikapnya jelas mengejek karena telunjuk jari tangan sengaja digerakkan dikedat-kedut seperti orang memainkan benang layangan sementara dari mulutnya yang kempot menyembur tawa menge-keh.
Di balik kain penutup kepala, sepasang mata manusia pocong mendelik besar. Rahangnya menggembung. Gerahamnya ber­gemeletakan. Tapi agaknya dia bisa mengendalikan kemarahan. Sambil berkacak pinggang dan decakan lidah beberapa kali, dia berkata.
“Aku suka pada manusia-manusia pemberani. Tapi sayang kau tidak bisa mengukur diri. Tidak sadar berada di mana!”
“Ah, begitu…?” Dewa Tuak berpura-pura kaget. Dia memandang seputar lorong. “Kurasa aku belum buta. Di tempat ini aku hanya melihat dinding-dinding batu. Lorong-lorong tak karuan. Lalu melihat dirimu! Apa hebatnya? Eh, coba beritahu Eyangmu ini! Memangnya tempat ini tempat apa?”
“Tua bangka sinting! Ketahuilah. Kau berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Siapa masuk tidak bisa keluar lagi! Mati di tempat ini! Kecuali Yang Mulia Ketua memberi pengampunan! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang wajib dicintai!”
“Eh, apakah Ketuamu seorang perempuan hingga hanya dia seorang wajib dicintai?!” Dewa Tuak menyeletuk ucapan orang.
“Dasar kakek sinting! Ketua kami jelas seorang laki-laki!”
“Nah, nah! Kalau kau mencintai Ketuamu yang laki-laki berarti kau sebangsa makhluk yang suka pada makhluk sejenis! Ha… ha… ha! Dan kalau kau punya seorang Ketua, berarti kau hanya salah seekor cecunguknya saja! Ha… ha… ha!”
Saat itu meledaklah amarah Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong. Tadinya dia masih ingin menanyakan untuk memastikan apa benar kakek ini yang telah membunuh tiga Satria Pocong. Dia juga ingin mengorek keterangan di mana Wulan Srindi berada. Namun ledakan amarah membuat dia jadi kalap dan serta merta melompat kirimkan serangan maut ke arah Dewa Tuak. Tangan kanan menderu ganas mencari sasaran di batok kepala si kakek. Memang sinting apa yang dilakukan si kakek dalam menghadapi serangan maut itu. Dewa Tuak mundur satu langkah. Tangan kiri putar bumbung bambu di bahu, kepala setengah menengadah dipalingkan ke kiri.
“Gluk… gluk… gluk!”
Dewa Tuak teguk tuak dalam bumbung tiga kali berturut-turut lalu bersurut mundur sambil rundukkan kepala namun mulutnya tiba­tiba menyembur!
“Wusss!”
Tuak dalam mulut Dewa Tuak menderu ke arah dada Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Tuak setan!” maki Wakil Ketua. Dia serta merta ingat pada cairan yang sebelumnya ditemui di dalam lorong dan pondok kayu. Secepat kilat Wakil Ketua melompat mundur selamatkan diri. Sambil melompat dia kibaskan tangan kanannya hingga menebar gelombang angin. Dengan kibasan tangan kanan yang disertai kekuatan tenaga dalam itu Wakil Ketua berusaha menangkis serangan sekaligus menggebuk. Angin kibasan tangannya sanggup membuat sosok Dewa Tuak goyang terhuyung namun dia sendiri berseru kaget ketika dapatkan lengan kanan jubah putihnya kepulkan asap. Ketika diperhatikan lengan jubah itu telah dipenuhi belasan lobang-lobang kecil. Lalu begitu dia singsingkan lengan jubah, tampak beberapa bagian kulit lengannya merah melepuh! Asap mengepul dari empat buah lobang kecil di permukaan kulit. Dinginkan kuduk manusia pocong ini. Namun amarah yang membakar dirinya serta rasa tanggung jawab akan pengamanan kawasan 113 Lorong Kematian membuat dia tidak mau menyerah begitu saja. Didahului suara menggereng Wakil Ketua angkat dua tangan ke depan.
Dewa Tuak tersentak kaget ketika melihat bagaimana sepasang tangan lawan mendadak berubah lebih panjang dan lebih besar. Lima jari tangan mencuat membentuk kuku-kuku binatang lalu dalam keadaan dikepalkan, dua tangan serentak menghantam ke depan. Dua larik cahaya merah tipis membayangi gerakan.
“Ilmu pukulan apa yang hendak dilancarkan jahanam ini?” membatin Dewa Tuak dan berlaku waspada.
Masih beberapa jengkal di sebelah depan angin dua jotosan manusia pocong telah terasa menyambar dingin, menggetarkan dada. Lapisan cahaya merah tampak semakin terang. Tidak mau berlaku ayal Dewa Tuak cepat singkirkan diri ke samping sambil sodokkan ujung bumbung bambu yang masih ditancapi bendera kecil berbentuk segitiga.
“Braakkk! Byaar!”
“Settt! Cleepp!”
Dua mulut sama keluarkan seruan kaget.
Yang pertama seruan yang keluar dari mulut Dewa Tuak ketika dua jotosan lawan yang lewat menghantam dinding batu lorong di sampingnya hingga terbongkar, membentuk dua lobang besar hangus kehitaman!
Seruan kedua keluar dari mulut wakil Ketua. Sewaktu kakek lawannya menyodokkan ujung bumbung bambu ke arah dada dia berhasil berkelit dengan mudah. Namun tidak diduga, Bendera Darah yang menancap di ujung bambu mendadak melesat ke arah kepalanya. Saat itu kedudukan Wakil Ketua sudah memepet ke dinding lorong batu sebelah kiri. Dia hanya mampu merunduk dan geserkan kepalanya sedikit. Bendera Darah menancap di kain putih penutup kepala, di sisi kening sebelah kanan. Masih untung bendera itu tidak menancap di matanya. Hanya menyusup di kain putih, menggores sedikit pelipis kanan.
Masih dalam keadaan terperangah Wakil Ketua lihat si kakek tenggak tuak dalam bumbung. Lalu sekali berkelebat tahu-tahu bagian bawah bumbung bambu telah menghantam ke arah dada, menyambar membalik ke kepala lalu membabat menggebuk ke arah leher. Luar biasa sekali. Seumur hidup belum pernah Wakil Ketua barisan Manusia Pocong ini melihat serangan berantai begitu cepat dan ganas. Tiga serangan laksana kilat dan ditujukan pada kepala serta dua bagian tubuh mematikan!
Walau mendapat serangan dahsyat begitu rupa namun Wakil Ketua dengan gerakan-gerakan tak kalah cepat masih mampu menghindar selamatkan diri. Namun ada satu hal yang ditakutkannya yakni kalau si kakek kembali lancarkan serangan dengan semburan tuak. Sebelum hal itu kejadian dia cepat angkat tangan kiri. Tangan ini bergetar keras pertanda Sang Wakil Ketua tengah alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun entah mengapa dia batalkan niat. Dengan cepat dia putar tubuh lalu berkelebat memasuki lobang di samping kiri.
“Makhluk setan! Sampean mau kabur ke mana!” Teriak Dewa Tuak. Kakek ini cepat mengejar. Namun dilorong yang dimasukinya dia tidak melihat bayangan manusia pocong itu. Dewa Tuak mengejar ke lorong sebelah kanan. Kosong. Lari lagi memasuki lorong di samping kiri depan. 0-rang yang dikejar tak kelihatan akhirnya si kakek tersesat memasuki lorong 22 pada anak lorong ke 3.
“Sial! Aku kesasar lagi! Lorong celaka! Bagaimana bisa begini! Banyak sekali lika-likunya!” rutuk Dewa Tuak lalu sandarkan punggungnya ke dinding lorong. “Bangsat itu kabur. Pasti memberitahu Ketuanya. Sebentar lagi mereka pasti datang. Lebih baik aku istirahat kumpulkan tenaga.” Lalu enak saja orang tua ini baringkan tubuhnya di lantai batu. Bumbung bambu di letakkan di atas perut. Sesaat kemudian terdengar suara dengkurnya memenuhi lorong.
DI DALAM Ruang Kayu Hitam Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong memandang tak berkesip ke arah Wakil Ketua yang barusan saja datang melapor apa yang telah terjadi. Pelipisnya bergerak-gerak, rahang menggembung terkatup.
“Tiga Satria Pocong tewas terbunuh. Berarti kita hanya tinggal memiliki tujuh Satria Pocong. Yang Mulia Ketua, saya punya kewajiban untuk mencari pengganti. Bukan cuma tiga tapi lebih banyak lagi.”
“Yang saat ini aku pikirkan bukan cuma mengganti anggota yang terbunuh. Tapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana menangani kakek tua yang kini berada dalam lorong. Aku merasa pasti dia masuk ke sini bukan karena tersesat. Tapi membekal satu maksud. Menyelidiki kita! Dan semua kejadian ini berpangkal pada nafsu bejatmu ingin meniduri gadis bernama Wulan Srindi itu…”
“Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Saya rasa antara si kakek janggut putih dan gadis anak murid Perguruan Lawu Putih itu tidak ada hubungan apa-apa.” Menjawab Wakil Ketua.
“Picik! Sungguh tolol! Apa kau tidak melihat rentetan kenyataan yang terjadi?!” semprot Yang Mulia Ketua dengan suara beringas. “Pertama gadis itu diculik Dalemkaeung. Dibawa kabur ke pondok di rimba belantara. Di situ kau menemui mayat Dalemkawung, tapi si gadis tidak kelihatan. Si pembunuh juga tidak ada. Tapi tahu-tahu kakek itu muncul di dalam lorong. Apa kau tidak berpikir bagaimana kakek jahanam itu tahu jalan ke sini, lalu bisa masuk ke dalam lorong kalau tidak diberitahu oleh Wulan Srindi?!”
“Maafkan saya Yang Mulia Ketua. Saya kira ucapan Yang Mulia Ketua benar adanya.
“Bukan cuma kamu kira! Tapi memang begitu kenyataannya! Tolol!” Membentak Sang Ketua. “Sekarang aku ingin kejelasan. Terangkan sekali lagi ciri-ciri kakek janggut putih itu!”
“Bukan cuma janggutnya yang putih, rambut dan kumisnya juga putih. Berpakaian selempang kain biru. Membawa satu bumbung bambu berisi tuak. Tadinya mungkin dua. Yang satu saya temukan di dalam pondok dalam keadaan hancur. Tuak minumannya itu sekaligus merupakan senjata berbahaya.” Wakil Ketua lalu singkapkan lengan jubah tangan kanan. Memperlihatkan kulit lengannya yang melepuh serta beberapa lobang luka. “Yang Mulia Ketua bisa saksikan sendiri lengan saya. Ini akibat semburan tuak kakek itu.”
“Mengapa kau tidak pergunakan senjata andalanmu?” Tiba-tiba Sang Ketua bertanya.
“Tadinya memang saya sudah siap melakukan. Tapi saya punya pikiran lain. Harap Yang Mulia Ketua memberi maaf kalau saya lancang punya rencana.” Menerangkan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Apa yang ada di otakmu?”
“Kakek itu memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi sekali. Tuaknya luar biasa berbahaya. Bukankah kita membutuhkan orang-orang semacam dia walau dia telah membunuh tiga anggota kita?”
Yang Mulia Ketua tidak menjawab. Sambil rangkapkan tangan di depan dada dia melangkah mundar-mandir di dalam Ruang Kayu Hitam.
“Selain itu Yang Mulia Ketua, saatnya kita menguji kesetiaan dan kehebatan Yang Mulia Sri Paduka Ratu.”
Ketua Barisan Manusia Pocong hentikan langkah, menatap ke arah Sang Wakil Ketua lalu berkata. “Sekali ini aku memuji kecerdasan otakmu! Aku akan menemui Yang Mulia Sri Paduka Ratu di Rumah Tanpa Dosa. Apakah kau sudah memasang genta di depan tempat kediamannya?”
“Saya sudah memerintahkan dua orang anggota untuk melakukan. Saat ini pasti sudah terpasang,” jawab Wakil Ketua.
“Kau segera masuk ke dalam lorong. Berjaga-jaga di sekitar Lorong Dua Puluh Lima. Kita bakal mendapat satu tangkapan besar! Kau tahu siapa adanya kakek itu?”
Wakil Ketua gelengkan kepala.
“Kakek berjanggut putih, yang selalu membawa bumbung tuak ke mana-mana adalah salah satu dedengkot rimba persilatan. Dia dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Kalau bisa membuatnya berada di barisan kita banyak hal bakal dapat kita lakukan. Antara lain memancing tokoh rimba persilatan lainnya, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng!”
“Dewa Tuak…” ucap Wakil Ketua sambil usap-usap lengan kanannya yang cidera. “Aku pernah mendengar nama tokoh rimba persilatan itu. Kalau dia bisa dibekuk dan dijadikan anggota Barisan Manusia Pocong, semakin mudah bagiku untuk membalaskan dendam kesumat terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.”


**********************
5

KETUA Barisan Manusia Pocong berdiri di hadapan bangunan panggung berbentuk bulat. Keseluruhan bangunan terbuat dari kayu termasuk atap yang terbuat dari ijuk dicat warna putih. Pada bagian depan, di bawah atap, dekat tangga setengah lingkaran menuju bagian atas bangunan, terdapat sebuah genta yang talinya menjulai ke bawah, hampir menyentuh tanah. Inilah yang disebut Rumah Tanpa Dosa, berada dalam satu lembah kecil, jauh di utara Telaga Sarangan. Sebagaimana sunyinya lembah, begitu pula senyap keheningan menyelimuti rumah panggung ini.
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong berdiri di depan Rumah Tanpa Dosa, dekat tangga. Sesaat dia memperhatikan keadaan bangunan. Delapan jendela dan satu pintu dalam keadaan tertutup. Yang Mulia Ketua ulurkan tangan menjangkau tali yang menjulai dekat tangga kayu. Perlahan-lahan tali itu disentakkan, tiga kali berturut­turut. Suara genta menggema di seantero lembah, lama baru menghilang. Tidak terjadi apa-apa. Pintu ataupun jendela tidak bergerak, tidak satupun yang terbuka.
Untuk kedua kalinya Sang Ketua sentakkan tali genta. Kembali suara genta mengumandang, bergaung keras dan panjang. Dari balik kain putih penutup kepala sepasang mata Sang Ketua memperhatikan ke arah atas. Tetap saja tak kelihatan ada gerakan.
Tangan yang memegang tali genta bergerak. Hendak menarik tali itu untuk ke tiga kalinya. Tapi mendadak Sang Ketua batalkan niat. Dua kaki dihentakkan ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat ke atas, melewati tangga kayu berbentuk setengah lingkaran. Namun begitu dua kaki menginjak lantai atas rumah panggung putih, mendadak ada hawa aneh menjalar dan menyengat kakinya. Bersamaan dengan itu satu gelombang angin, entah dari mana datangnya mendadak menderu menghantam dadanya. Membuat Sang Ketua terlempar. Dalam kejutnya manusia pocong ini keluarkan seruan keras. Sewaktu terpental dan melayang di udara, dia masih bisa menguasai diri. Berjungkir balik dua kali lalu melayang turun ke bawah. Walau dua kaki masih bisa menyentuh tanah namun kelihatan lututnya agak goyah. Sang Ketua memandang berkeliling. Untung tak ada siapa-siapa di tempat itu. Kalau sampai ada anggota Barisan Manusia Pocong melihatnya terpental begitu rupa wibawanya bisa jatuh. Tidak ada hujan tidak ada angin bagaimana dia bisa tunggang langgang seperti itu. Orang lantas akan mempertanyakan sampai di mana sebenarnya tingkat kepandaiannya.
“Rumah Tanpa Dosa…” ucap Sang Ketua perlahan dan bergetar. “Kekuatan dahsyat apa yang ada dalam bangunan ini? Penghuni Aksara Batu Bernyawa memang melarang mendekati rumah. Tapi dia tak pernah memberitahu hal aneh seperti ini.” Manusia pocong usap dadanya. Tak ada rasa sakit akibat hantaman angin aneh tadi. Dua kakinya juga tidak cidera walau ada hawa masuk menyengat. “Kalau memang ada orang berbuat jahat, niscaya aku telah celaka. Apakah gadis itu yang melakukan?”
Yang Mulia Ketua mendongak ke atas, perhatikan pintu dan deretan jendela. Lalu dia berteriak.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Aku tahu kau ada di dalam. Kau tahu aku ada di luar sini! Aku sudah membunyikan genta sampai dua kali. Sesuai perjanjian, mengapa kau tidak keluar?!”
Sunyi tak ada jawaban. Angin lembah bertiup agar keras, membuat pakaian dan kain putih penutup kepala Sang Ketua berkibar­kibar.
Tiba-tiba dari bagian atas rumah panggung putih mengumandang suara tertawa. Tawa perempuan. Menyusul ucapan lantang.
“Yang Mulia Ketua! Kau melanggar pantangan! Bangunan ini tidak boleh diinjak dan dijamah manusia-manusia yang telah tersentuh dosa. Itu sebabnya disebut Rumah Tanpa Dosal”
Sang Ketua terkesiap. “Aneh,” ucapnya dalam hati. “Bagaimana dia tahu rahasia yang tersembunyi dalam rumah panggung ini. Jangan­jangan penghuni Aksara Batu Bernyawa merasuk ke dalam jiwanya?” Setelah menatap tajam ke arah bagian atas bangunan, manusia pocong ini berkata.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, aku sudah memberi tanda dengan menarik genta. Sampai dua kali. Mengapa Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak keluar? Apa kau lupa pada ketentuan yang berlaku di tempat ini? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Yang Mulia Ketua,” terdengar jawaban dari atas rumah. “Aku belum lama berada di tempat ini. Tapi aku telah berkesempatan mengarang satu tembang. Apakah kau sudi mendengar sebelum aku keluar?”
“Perempuan gila! Lain yang aku katakan, lain yang dia ucapkan!” Maki Yang Mulia Ketua dalam hati. Dia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu namun dari dalam Rumah Tanpa Dosa tiba-tiba mengumandang suara nyanyian.
Kehidupan muncul secara aneh
Kematian datang tidak disangka
Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput
Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa
Inilah tempat teraman bagi makhluk tidak berdosa
Bendera Darah lambang kematian
Tiada daya menentang ajal
Darah suci bayi yang dilahirkan
Pembawa kehadiran Nyawa
Kedua Sambungan hidup insan tak bernyawa
Di dalam lorong ada kesepian
Di dalam kesepian ada kehidupan
Di dalam lorong ada kesunyian
Di dalam kesunyian ada kematian
Mau tak mau Ketua Barisan Manusia Pocong merasa tercekat juga mendengar nyanyian itu. Apa lagi orang yang menyanyi tutup nyanyiannya dengan tawa panjang. (Dalam Episode pertama berjudul “113 Lorong Kematian” diceritakan bahwa nyanyian itu sempat didengar oleh Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten Demak ketika dia dijebloskan ke dalam kamar penyekapan. Hanya saja suara nyanyian itu terdengar terputus-putus karena si penyanyi dan Aji Warangan terpisah jauh)

“Apa yang salah?” pikir Sang Ketua. “Mungkin dia belum meneguk Minuman Selamat Datang yang disediakan di dalam kamar? Minuman pelupa diri pelupa ingatan? Atau dirinya kebal terhadap racun. Padahal khusus untuk dirinya racun yang disuguhkan tiga kali lebih kuat dari yang diberikan pada orang lain. Mungkin ada satu kekuatan melindungi dirinya? Pedang Naga Suci 212? Tapi aku sudah menggeledah tubuhnya. Pedang sakti mandraguna itu tak ada padanya. Aku harus menguji. Kalau dia tidak berada dalam kekuasaanku, urusan bisa kacau. Nyanyian tadi, dia tidak boleh mengulangi lagi. Dia menyanyi dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau suara nyanyiannya sampai di luar kawasan bukit batu, ada orang mendengar. Urusan bisa jadi kacau.”
Yang Mulia Ketua kembali memperhatikan ke arah atas bangunan panggung putih. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Ingat! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Aku minta Sri Paduka Ratu segera keluar dari dalam Rumah Tanpa Dosa, menemuiku di sini!”
Tak ada jawaban.
Yang Mulia Ketua mulai jengkel.
Dia berteriak sekali lagi. Masih sunyi.
“Setan alas!” Sang Ketua merutuk. “Ada yang tidak beres!” Rasa jengkelnya kini disertai aliran hawa kemarahan. Perlahan-lahan dia angkat tangan kanannya. Tangan itu tampak bergetar pertanda ada tenaga dalam berkekuatan tinggi tengah disalurkan. “Aku akan menghitung sampai lima! Jika dia tidak muncul sampai hitungan terakhir akan kuhancurkan bangunan ini!”
Baru saja Sang Ketua selesai berucap dalam hati seperti itu tiba­tiba tanah yang diinjaknya bergetar dan seperti tadi satu gelombang angin menderu menghantam ke arah tangan kanan. Manusia pocong ini keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Tangan kanan terasa sangat panas seperti dpendam dalam bara api. Sadar kalau lagi-lagi dia berhadapan dengan kekuatan dahsyat tidak kelihatan yang menguasai Rumah Tanpa Dosa, cepat-cepat dia turunkan tangan yang tadi siap melepas satu pukulan sakti.
Hanya sesaat kemudian pintu di bagian atas Rumah Tanpa Dosa terbuka. Di lain kejap satu bayangan putih meluncur turun. Bau sangat wangi menebar. Di hadapan Yang Mulia Ketua berdiri tegak serba putih seorang manusia pocong. Di sebelah atas sosok ini mengenakan sehelai kain putih tebal penutup kepala dengan dua lobang di bagian mata. Diatas penutup kepala yang berbentuk pocong itu menempel sebuah mahkota kecil berwarna hijau berkilat. Di bawah ujung penutup kepala sebelah belakang, menjulai rambut hitam sepinggang.
Kalau di sebelah atas bagian kepala tertutup kain putih tidak tembus pandang maka di sebelah bawah manusia pocong ini mengenakan jubah putih terbuat dari bahan yang begitu tipis menerawang. Sehingga walau samar terlihat satu sosok tubuh perempuan yang sangat elok, namun memiliki gerak-gerik yang serba kaku. Dia berdiri dengan kepala ditegakkan dan dua mata memandang lurus ke depan. Inilah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Dalam kagumnya melihat pesona kebagusan tubuh Sang Ratu. Yang Mulia Ketua masih merasa sedikit bimbang. “Dia telah mengenakan perangkat pakaian keratuannya. Pasti juga telah meneguk Minuman Selamat Datang. Tapi apakah ingatannya benar-benar telah terkikis dan berubah? Perlu segera aku selidiki dulu.”
“Yang Mulia Ketua, aku telah ada di hadapanmu. Harap katakan apa keperluanmu.” Sri Paduka Ratu keluarkan ucapan.
Sesaat Yang Mulia Ketua menatap tak ber-kesip. Seperti tadi ada sekelumit perasaan bimbang dalam hatinya. Untuk mengatasi hal ini maka dia ingin lebih dulu menguji.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, ada satu tugas yang harus kau lakukan. Namun sebelum tugas kuterangkan, harap Yang Mulia mengucapkan Salam Perjanjian.”
Sang Ratu dongakkan kepala lalu berucap lantang. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,” ucap Yang Mulia Ketua. Namun dia masih belum puas dan lanjutkan ujiannya. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu, harap kau mau mengatakan siapa dirimu dan bagaimana kau bisa berada di tempat ini. Lalu apa yang kau ketahui mengenai tempat ini.”
“Siapa diriku itulah yang aku tidak ketahui. Bagaimana aku sampai di sini merupakan sesuatu di luar ingatanku. Aku hanya tahu bahwa diriku diam di satu bangunan putih disebut Rumah Tanpa Dosa. Lain dari itu mengenai keadaan di tempat ini aku tidak tahu apa-apa.”
Yang Mulia Ketua benar-benar puas. Maka diapun berkata. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu, kau telah mengarang sebuah tembang. Bait liriknya amat bagus. Suaramu merdu sekali ketika menyanyikan. Namun jangan kau melupakan aturan di tempat ini. Segala sesuatu berada di bawah pengawasanku. Berarti setiap tindak perbuatan harus seizinku. Aku tidak memperkenankan dirimu untuk menyanyikan tembang itu, apalagi dengan suara keras disertai pengerahan tenaga dalam. Apa jawabmu?”
Dua mata di balik kain penutup kepala memandang ke arah Sang Ketua. Ada larikan sinar aneh keluar dari sepasang mata itu, yang membuat
Sang Ketua merasa bergetar. Maka dia segera membentak.
“Apa jawabmu?!”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,” ucap Sang Ketua dengan perasaan lega. “Sekarang ikuti aku. Ada satu tugas yang harus kau lakukan.” Sang Ketua balikkan badan, melangkah keluar dari lembah. Sang Ratu mengikuti dengan gerakan aneh. Kepala menghadap lurus ke depan, dua tangan dan kaki bergerak kaku seolah tidak punya persendian tapi dia bisa bergerak cepat di belakang orang yang diikutinya. Di satu tempat, begitu keluar dari dalam lembah, Yang Mulia Ketua berpaling dan berkata. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu, kita harus bergerak cepat. Ikuti aku!” Sekali berucap dan sekali berkelebat Sang Ketua telah melesat jauh, berkelebat melewati bangunan rumah tua berijuk hitam. Dia tidak mendengar suara deru orang berlari di sebelah belakang. Tapi ketika dia menoleh Sang Ketua jadi leletkan lidah. Yang Mulia Sri Paduka Ratu ternyata hanya berada setengah langkah di belakangnya. Tubuhnya berlari laksana meluncur, seolah tidak menginjak tanah! Kembali Sang Ketua ingin menguji. Dia lipat gandakan daya kecepatan larinya. Berpaling ke belakang dia dapatkan Sang Ratu masih tetap terpaut hanya setengah langkah! Berarti kalau mau, gadis yang hidup dengan nyawa kedua ini bisa lari lebih cepat dan melewatinya dengan mudah!


**********************
6

DI DALAM lorong 22 pada anak lorong ke 3 Dewa Tuak tidak tahu entah berapa lama dia tertidur di lantai lorong. Dia terbangun dari lelapnya ketika ada bau wangi masuk ke dalam jalan pernafasannya. Masih mata terpejam dia berkata dalam hati. “Ini bukan bau harum tuakku. Ada satu bau lain masuk ke dalam penciumanku.” Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Begitu melihat ada tiga sosok putih berdiri di ujung lorong, sejarak lima langkah dari tempatnya berada, kakek ini segera bangkit berdiri. Mata dikucak lalu si kakek memperhatikan. Manusia pocong yang tegak di samping kiri, dari lengan jubah kanannyS yang basah bekas semburan tuak segera dikenalinya sebagai manusia pocong yang sebelumnya telah berkelahi dengan dia lalu kabur melarikan diri.
“Aha, kau tadi kabur.” Dewa Tuak keluarkan ucapan seraya tudingkan ibu jari tangan kanan ke arah Wakil Ketua. “Aku sudah menduga. Kau pasti kembali membawa teman. Ternyata dua manusia pocong sekaligus. Satu laki-laki tinggi besar. Satu lagi perempuan berpakaian seronok. Kepala ditutup malah pakai mahkota segala, tapi lucunya aurat sebelah bawah diobral ke mana-mana! Tidak sangka, di lorong celaka begini rupa ada juga pemandangan bagus! Ha… ha… ha!”
Dewa Tuak letakkan bumbung tuak di atas bahu kiri. Memandang pada pocong bermahkota di depannya lalu sambung ucapannya tadi.
“Pocong perempuan, baiknya kau berganti pakaian. Tukar pakaian putih tipis itu dengan pakaian yang lebih baik. Salah-salah nanti kau bisa masuk angin dan perutmu jadi bunting. Eh, maksudku perutmu nanti jadi melendung masuk angin! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka sinting! Kau tidak tahu siapa kedua orang ini!” Tiba­tiba Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong menghardik lantang hingga suaranya menggetarkan lorong batu di mana orang-orang itu berada.
“Mana aku tahu. Bertemupun baru sekali ini! Tapi biar aku menduga. Mungkin ini Raja dan Ratu Makhluk Pocong penghuni Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?” ujar Dewa Tuak. “Kalau aku salah harap kau betulkan!”
“Tua bangka sinting, dengar baik-baik. Kau berhadapan dengan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong dan Yang Mulia Sri Paduka Ratu!”
“Kalau begitu dugaanku hanya meleset sedikit. Tadinya aku kira manusia pocong yang tinggi besar ini Rajamu. Tapi bukan. Kalau memang Raja pasti dandanannya seronok seperti Ratumu ini. Mungkin cuma pakai kain penutup kepala tapi di sebelah bawah telanjang bulat. Seperti manusia pocong yang minta mati di rimba belantara sana!”
Amarah Sang Wakil Ketua jadi meledak. Apa lagi sebelumnya si kakek telah sempat menghajarnya. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Dewa Tuak. Tangan kiri digerakkan. Di dalam lengan jubah terdengar suara sesuatu bergeser.
“Wakil Ketua, tunggu!” Tiba-tiba Yang Mulia Ketua berseru sambil angkat tangan kiri. Sejak tadi dia tegak berdiam diri karena memperhatikan si kakek dengan seksama. Berdasarkan keterangan Wakil Ketua ditambah dengan ciri-ciri yang kini disaksikannya sendiri dugaannya tidak meleset. Kakek ini memang salah seorang dedengkot rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Diam-diam hatinya merasa gembira. Mendapatkan dan menguasai tokoh silat sehebat yang satu ini bukan hal mudah.
Mendengar seruan serta gerak isyarat tangan Sang Ketua, dengan geram Wakil Ketua turunkan tangan, mundur selangkah. Yang Mulia Ketua bergerak ke samping Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lalu ajukan pertanyaan, sekaligus menguji daya ingat dan daya pikir Sang Ratu.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apa kau pernah melihat, atau pernah kenal dengan tua bangka itu?”
Sepasang mata di balik kain putih penutup kepala memandang tak berkesip ke arah Dewa Tuak. Lalu terdengar suara jawaban.
“Seekor sapi tua berjanggut putih, aku tak pernah melihat. Siapa sudi mengenal dirinya.”
“Daya ingat dan daya pikirnya sudah musnah,” ucap Yang Mulia Ketua, gembira dalam hati.
Di depan tiga orang manusia pocong. Dewa Tuak keluarkan tawa mengekeh. “Kau tak kenal diriku tak jadi apa. Kau bilang aku seekor sapi tua berjanggut putih mungkin ada benarnya. Tapi bagaimana aku mengenali dirimu kalau wajah disembunyikan di balik kain penutup kepala?”
“Kalau ingin melihat wajahku mengapa tidak melepas sendiri kain pocong penutup kepalaku?!” Yang Mulia Sang Ratu balas menjawab. Membuat Yang Mulia Ketua jadi terkejut. Kawatir si kakek yang berilmu tinggi menyergap dan benar-benar lakukan apa yang ditantang Sang Ratu maka dia cepat maju satu langkah seraya berkata.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lekas lumpuhkan sapi janggut putih itu. Jangan dibunuh!”
“Aku hanya seekor sapi tua berjanggut putih, masakan ada yang tega mau mencelakai!” ucap Dewa Tuak. Bumbung bambu di bahu kiri digeser ke dekat mulut. Lalu gluk… gluk… gluk, dia tegak tuak kayangan tiga kali berturut-turut.
“Sri Paduka Ratu, hati-hati. Tuak dalam mulutnya jika disemburkan bisa jadi senjata mematikan,” memberi tahu Wakil Ketua.
“Yang Mulia, lekas lumpuhkan bangsat tua itu!” Sang Ketua mengulangi perintah.
Wajah dibalik kain penutup kepala menyeringai.
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Eh, aku pernah mendengar Wakil Ketua ucapkan kata-kata seperti itu. Edan, manusia-manusia apa mereka ini sebenarnya?” membatin Dewa Tuak.
Tiba-tiba Sang Ratu maju dua langkah. Dewa Tuak memperhatikan Kakek ini merasa heran. Dia melihat gerakan kaku seperti patung kayu berjalan. Didahului satu lengkingan keras tiba-tiba Sang Ratu hantamkan tangan kanannya ke depan. Lagi-lagi terlihat bagaimana gerakan tangan itu begitu kaku. Dewa Tuak mula-mula menganggap enteng serangan orang. Dia dorongkan bumbung bambu ke depan. Tapi kaget orang tua ini bukan alang kepalang ketika dia merasakan satu gelombang angin laksana batu raksasa berguling dahsyat. Dia cepat mundur dan tarik bumbung bambunya. Tapi terlambat. “Braakkk!”
Bumbung bambu di tangan Dewa Tuak hancur. Tuak harum muncrat ke mana-mana. Walau kaget setengah mati tapi kakek ini tidak kehilangan kewaspadaan. Mulutnya dibuka dan byuuur! Tuak di dalam mulut menyembur ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Yang Mulia, awas!” Memperingatkan Wakil Ketua yang sudah merasakan keganasan semburan tuak si kakek.
Tapi Sang Ratu tidak menggeser kedua kakinya. Sosoknya tetap berdiri kaku. Hanya satu jengkal semburan tuak akan mendarat di muka, dada dan perutnya tiba-tiba Sang Ratu goyangkan kepala.
“Wuuttt!”
Rambut panjang Sang Ratu berubah laksana sebuah tameng hitam, bukan saja menangkis semburan tuak, malah sekaligus menghantamkannya kembali ke arah si kakek. Karuan saja Dewa Tuak terkejut besar. Sambil berseru keras dia cepat melompat mundur. Ketika si kakek melompat mundur dua langkah, Sang Ratu membarangi dengan gerakan kaku. Tubuhnya seperti melayang lalu wuuut! Kembali rambut hitamnya berkelebat di udara. Dan des… des… des!
Terdengar tiga kali suara amblasnya urat besar di tiga bagian tubuh Dewa Tuak ketika ujung rambut yang seolah berubah menjadi benda keras membuat tiga kali totokan. Orang tua ini masih sempat keluarkan jeritan keras lalu tubuhnya roboh ke lantai lorong. Mulut ternganga, mata mendelik. Sekujur tubuh kaku mulai dari kepala sampai ujung jari kaki.
“Luar biasa!” memuji Sang Ketua. Baru kali ini dia melihat ilmu totokan seperti itu. Ujung rambut yang lunak, bisa berubah seperti benda keras.
Wakil Ketua leletkan lidah, keluarkan suara berdecak. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kau hebat sekali!”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!” Sang Ratu keluarkan ucapan. Lalu balikkan tubuh. “Tugas sudah kujalankan. Saatnya aku kembali ke Rumah Tanpa dosa.”
Yang Mulia Ketua membungkuk hormat lalu berkata. “Ikuti saya Yang Mulia Sri Paduka Ratu,” katanya. Sebelum tinggalkan tempat itu dia memberi perintah pada Wakil Ketua. “Panggil tua bangka itu. Masukkan ke dalam Ruang Peristirahatan. Suguhkan Minuman Selamat Datang. Sediakan Pakaian Persalinan.”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan,” jawab Wakil Ketua. Lalu dengan cepat tubuh kaku Dewa Tuak dipanggulnya di bahu kiri.
Yang disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu berbentuk segi tiga berpintu besi. Setiap orang yang hendak dijadikan anggota Barisan Manusia Pocong selalu dimasukkan ke ruangan ini. Di atas pintu besi ada sebuah lobang kecil, cukup besar untuk mengintai ke dalam. Di sebelah kanan terdapat tempat tidur batu beralaskan tikar jerami. Lalu ada seperangkat meja dan kursi yang juga terbuat dari batu. Ke dalam ruangan inilah Dewa Tuak dimasukkan, dibaringkan di atas tempat tidur batu.
Tak selang berapa lama masuklah seorang perempuan muda yang dari bentuk perutnya jelas dia dalam keadaan hamil. Perempuan ini membawa sebuah keranjang berisi sebuah teko terbuat dari tanah. Di samping teko ada seperangkat jubah dan kain penutup kepala putih. Dewa Tuak yang terbaring menelentang tak bisa bergerak tak bisa bicara ikuti gerak gerik perempuan hamil itu dengan putaran sepasang mata.
“Semua orang di tempat celaka ini mengenakan pakaian seperti pocong. Mengapa perempuan bunting ini berpakaian biasa-biasa saja. Apa yang dibawanya dalam keranjang…”
“Perempuan hamil letakkan keranjang di atas meja batu lalu berpaling ke arah Dewa Tuak dan keluarkan ucapan.
“Orang tua, saya akan menyuguhkan Minuman Selamat Datang untukmu. Untuk itu saya akan membantu. Setelah beberapa lama kau akan tertidur. Berarti kau bisa beristirahat. Bila kau terbangun, jalan suaramu akan terbuka dengan sendirinya. Saya meninggalkan sehelai jubah dan kain putih penutup kepala. Bila totokan di tubuhmu mulai punah dan kau mulai bisa menggerakkan tangan serta kaki, kenakan jubah dan kain penutup kepala itu. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.” Dewa Tuak memaki panjang pendek dalam hati. Saat itu dia seperti merasa ada tuak dalam mulutnya. Dia berusaha menyembur. Tapi jangankan menyembur, membuka mulut saja dia tidak mampu. Apa lagi saat itu memang tidak ada tuak dalam mulutnya.
Perempuan hamil keluarkan teko tanah dari dalam keranjang dengan tangan kanan. Lalu dia mendekat ke ranjang batu. Dengan tangan kirinya dia memencet pipi Dewa Tuak hingga mulut si kakek terbuka sedikit. Perlahan-lahan dia lalu kucurkan cairan bening yang ada di dalam teko ke mulut orang tua itu. Begitu cairan masuk ke dalam mulut Dewa Tuak berusaha untuk menyemburkan. Tapi bibirnya tidak bergetar, lidah tidak bergeming. Sedikit demi sedikit cairan dalam teko masuk ke dalam mulut, turun ke tenggorokan dan sampai di perut.
“Perempuan bunting celaka!” rutuk Dewa Tuak yang hanya menggema dalam hati. “Apa yang kau lakukan terhadap diriku! Kau meracuni aku?! Kalau aku bisa keluar hidup-hidup dari tempat celaka ini akan kepencet perutmu sampai bayimu merojol keluar!”
Air bening di dalam teko habis. Sesaat kemudian Dewa Tuak merasa tubuhnya sangat letih. Matanya yang sejak kena ditotok nyalang tak berkesip secara aneh perlahan-lahan menutup.
Perempuan hamil tersenyum. Sambil melangkah ke luar kamar dia berkata. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.


**********************
7

DI TANGGA pendapa Gedung Kepatihan di Kotaraja empat orang gadis cantik duduk saling berdiam diri. Sebentar-sebentar mata mereka diarahkan ke pintu gerbang. Setiap terdengar derap kaki kuda mereka berpaling. Namun orang yang mereka tunggu tidak kunjung datang.
Gadis pertama cantik jelita berpakaian biru, bertubuh tinggi semampai dan berambut pirang, duduk sambil sandarkan punggung ke tiang besar pendapa. Dia adalah Bidadari Angin Timur, si cantik rimba persilatan yang dikagumi bukan saja kecantikan dan kebagusan potongan tubuhnya, tapi juga ketinggian ilmu silat serta kesaktiannya. Kalau tersenyum di pipi kiri kanannya muncul lesung pipit menambah kecantikannya.
Gadis kedua bersimpuh dekat sebuah arca. Pakaiannya ketat hingga bentuk tubuhnya yang padat dan bagus tampak jelas mempesona. Rambut hitam panjang digelung di atas kepala. Sepasang mata dipejamkan. Dia duduk tidak bergerak. Dua tangan diletakkan di pangkuan. Sikapnya seperti tengah bersamadi. Tapi sebenarnya saat itu dia tengah menerapkan satu ilmu yang disebut Menembus Pandang. Dia mencoba memantau keberadaan orang yang ditunggu. Namun dia tidak melihat apa-apa dalam rona alur pandangan gaibnya. Berarti orang yang ditunggu masih berada di tempat jauh, di luar jangkauan kekuatan ilmu. Atau mungkin juga memang tidak tengah menuju ke tempat dia berada. Ketika perlahan-lahan mata yang terpejam dibukakan, terlihatlah sepasang bola mata berwarna biru, indah menawan. Si cantik satu ini bukan lain adalah Ratu Duyung. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal sebagai salah satu orang yang dipercayakan ikut mengawasi dan menguasai kawasan laut selatan.
Gadis ke tiga tak kalah cantiknya dengan Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Seperti Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur, dia juga memiliki wajah cantik, berkulit putih mulus. Seperti Bidadari Angin Timur gadis satu ini juga mempunyai lesung pipit di kedua pipinya. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas warna ungu agar longgar hingga menyembunyikan raut tubuhnya yang padat sintal. Di pinggangnya melilit sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Secarik pita ungu menghias rambutnya. Saat itu dia duduk di tangga gedung Kepatihan sambil memegang dan mempermainkan ujung seledang ungu di mana terdapat guratan angka 212. Angka ini digurat sendiri oleh Pendekar 212 Wiro Sableng pada kisah pertemuan mereka pertama kali. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran”) Dalam petualangannya di rimba persilatan gadis ini pernah menyamar dan dijuluki “Dewi Kerudung Biru” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Keris Tumbal Wilayuda”) Anggini, itulah nama si gadis dan dia bukan lain adalah murid Dewa Tuak.

Gadis keempat berpakaian serba kuning. Mulai dari baju dan celana, ikat pinggang sampai pada ikat kepala. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang. Agak kesal dia berdiri dari duduknya lalu melangkah mundar mandir dan sesekali memandang kelangit di mana bulan hari kedua kelihatan muncul samar-samar di balik saputan awan tipis. Sang dara yang satu ini adalah Sutri Kaliangan, putri Patih Kerajaan Selo Kaliangan. (Mengenai kisah pertemuan dan persahabatan Putri Patih Kerajaan ini dengan tiga gadis dan Pendekar 212 Wiro Sableng harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Badik Sumpah Darah” terdiri dari 7 Episode) Di samping Bidadari Angin Timur, Sutri Kaliangan hentikan langkah menatap ke arah bulan tipis di langit, memandang pada gadis berambut pirang di sebelahnya lalu berucap.

“Sesuai perjanjian Pendekar 212 Wiro Sableng akan datang ke sini. Seharusnya dia muncul malam kemarin. Tapi sampai saat ini dia belum muncul. Apakah dia lupa…”
“Biasanya Wiro selalu tepat janji. Kemungkinan lupa tidak masuk akal.” Menjawab Bidadari Angin Timur. “Dia dan juga kita punya banyak pekerjaan yang belum selesai. Mencari Pedang Naga Suci Dua Satu Dua, mencari Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan…”
“Mungkin ada sesuatu halangan yang membuat dia tidak dapat memenuhi perjanjian. Tidak bisa datang ke sini.” Kata Anggini pula.
Ratu Duyung ikut bicara. “Tadi aku coba menjajaki dengan Ilmu Menembus Pandang. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. bayangan tipispun tidak nampak. Berarti Wiro belum berada di sekitar Kotaraja. Masih sangat jauh di tempat lain. Dan kita tidak tahu di mana adanya tempat lain itu.”
“Ratu Duyung,” kata Sutri Kaliangan seraya mendekati gadis bermata biru itu dan duduk di sampingnya. “Bukankah kau memiliki sebuah cermin sakti yang bukan saja bisa dipakai sebagai senjata, tapi juga dapat dipergunakan untk melihat sesuatu yang masih gaib dalam pandangan mata manusia?” Ratu Duyung anggukkan kepala. Anggini segera mendekati kedua orang itu.
Bidadari Angin Timur untuk sesaat masih tetap tidak beranjak dari duduknya. Dari tadi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik dan setiap ucapan Sutri Kaliangan. Dalam hati gadis berambut pirang ini membatin. “Dari tadi kuperhatikan, puteri Patih Kerajaan ini tampak pa ling gelisah. Dia begitu mengharapkan kehadiran Wiro. Padahal tempat ini semata dipergunakan untuk janji pertemuan antara aku, Anggini dan Ratu Duyung dengan Wiro. Dia hanya diminta menyediakan tempat pertemuan ini. Sebenarnya bisa saja pertemuan dilakukan di tempat lain. Jangan-jangan gadis satu ini telah menaruh hati pada Wiro…”
Ratu Duyung keluarkan cermin bulat dari balik pakaiannya. Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur berdiri dari duduknya, bergabung dengan tiga gadis itu. Sang Ratu pejamkan mata. Mulut dikatup rapat. Tenaga dalam dialirkan pada tangan kanan yang memegang gagang cermin. Sebenarnya Ratu Duyung bisa melihat segala sesuatu yang muncul di dalam cermin tanpa memejamkan mata. Tapi inilah keanehannya. Dengan memejamkan mata justru penglihatannya lebih terang dan daya jangkaunya lebih jauh. Tangan kanan yang memegang gagang cermin mendadak bergetar. Kelopak mata Ratu Duyung bergerak-gerak. Mulutnya yang sejak tadi terkancing, perlahan-lahan terbuka.
“Aku melihat telaga besar. Indah sekali pemandangannya. Ada gunung di kejauhan. Ah! Telaga dan gunung menghilang. Ratu Duyung terdiam. Getaran tangannya semakin kencang. Cermin bulat ikut bergetar. “Ada rimba belantara… ada lembah batu. Lembah berganti bukit batu. Gelap… apa ini? Terowongan panjang, berliku-liku. Eh, ada bayangan-bayangan putih aneh berkelebat. Lenyap lagi! Muncul rumah tua. Hilang! Berganti dengan rumah putih… rumah panggung warna putih…”
Sampai di situ getaran tangan kanan Ratu Duyung semakin keras. Wajahnya tampak tegang. Keringat mencicir di kening. Selain bergetar keras cermin sakti terasa tambah berat. Dia gerakkan tangan kiri. Kini dia pegang gagang cermin dengan dua tangan. Tapi getaran bertambah hebat. Ratu Duyung coba bertahan. Mata semakin rapat dipejamkan. “Rumah panggung putih. Berputar! Semakin besar. Ada suara keras. Suara apa ini. Suara lonceng… bukan. Suara genta aneh. Keras sekali… aku tak tahan, aku tak sanggup. Teman-teman. Tolong… Telingaku bisa pecah! Kawan-kawan…”
Seperti didorong satu kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan tubuh Ratu Duyung terhuyung keras ke belakang. Cermin bulat terlepas dari genggaman, mencelat mental ke udara. Anggini cepat meloncat menyambar benda itu. Bidadari Angin Timur dan Sutri Kaliangan segera bertindak menolong Ratu Duyung.
“Ratu kau tak apa-apa?” tanya Sutri Kaliangan.
Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan lalu mengusap keringat yang membasahi wajah pucat Ratu Duyung.
Setelah menarik nafas panjang beberapa kali, dalam keadaan dada turun naik, Ratu Duyung berkata. “Tidak pernah aku mengalami yang seperti ini.” Suaranya perlahan sekali, hampir tidak kedengaran. Tenaganya seolah terkuras.
“Ratu, apa yang terjadi? Apa yang kau lihat?” tanya Sutri Kaliangan.
Ratu Duyung menarik nafas dalam-dalam, baru menjawab.
“Mula-mula aku melihat sebuah telaga besar dan gunung di kejauhan. Mendadak bayangan telaga dan gunung lenyap. Kemudian ada lembah batu, lalu bukit batu. Muncul bayangan gelap. Dalam gelap aku melihat lorong panjang, banyak sekali. Lalu ada kelebatan bayang­bayang putih.” Ratu Duyung diam sejenak baru menyambung. “Saat itu sebenarnya kepalaku terasa pusing. Tubuhku berkeringat, detak jantung keras dan aku merasa letih sekali. Di kaca muncul bayangan sebuah rumah tua. Rumah tua berganti dengan rumah putih berbentuk aneh…”
“Kami mendengar kau menyebut rumah panggung putih,” kata Sutri Kaliangan.
“Benar, rumah panggung putih. Rumah ini berputar aneh, mengeluarkan suara mengerikan dan bertambah besar. Bergerak seperti mau menerjangku. Lalu ada suara luar biasa kerasnya. Suara lonceng, bukan… bukan lonceng. Suara genta, hampir menyerupai suara gong. Aku tidak tahan. Kupingku seperti terbongkar. Kepalaku laksana mau pecah. Gagang cermin yang aku pegang terasa panas lalu terpental. Tubuhku letih sekali. Tulang-tulang serasa rontok. Masih untung aku tidak pingsan atau cidera di dalam…” Ratu Duyung raba dadanya dengan tangan kiri lalu seka keringat yang menggantung di dagunya. Ketika tangannya diletakkan di pangkuan, terkejutlah gadis bermata biru ini. Telapak tangan kirinya kelihatan merah kehitaman. Dia balikkan tangan kanan. Astaga! Tangan inipun kelihatan merah kehitaman!
“Ada kekuatan aneh menyerangku dari kejauhan…”
“Seberapa jauhnya?” tanya Anggini.
“Tidak dapat kupastikan. Paling tidak sehari perjalanan berkuda,” jawab Ratu Duyung.
Bidadari Angin Timur, Anggini dan Sutri Kaliangan jadi saling pandang. Kalau ada satu kekuatan yang jaraknya satu hari perjalanan melakukan serangan dan mampu membuat cidera tangan orang yang diserang, maka dapat dibayangkan kalau kekuatan yang menyerang itu berada di hadapan sasaran. Niscaya Ratu Duyung bisa hancur lebur mulai dari kepala sampai ke kaki! Ratu Duyung diam-diam juga merasakan apa yang saat itu terpikir oleh ketiga gadis sahabatnya.
“Sulit dipercaya,” kata Anggini.
“Tidak masuk akal,” menimpali Bidadari Angin Timur. Sementara Sutri Kaliangan berdiam diri tapi sepasang matanya tak luput dari memandang Ratu Duyung terus-terusan. Seperti ada sesuatu yang dipikirkan dalam benaknya. Hal ini diam-diam perhatikan sikap puteri Patih Kerajaan ini.
“Ratu, ini cerminmu,” kata Anggini sambil menyerahkan cermin bulat yang tadi berhasil disambarnya sewaktu mental dari pegangan Ratu Duyung.
“Ada satu kekuatan aneh luar biasa. Mungkin sekali bersumber dalam rumah panggung berwarna putih itu,” Ratu Duyung sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain disertai dengan mengalirkan hawa sakti. “Keanehan lain, aku sama sekali tidak melihat bayangan Wiro.”
“Ratu,” kata Bidadari Angin Timur sambil memegang lengan Ratu Duyung. “Jika kau memusatkan perhatian untuk melihat Wiro dalam cermin sakti, lalu yang muncul bayangan-bayangan lain. Apakah ini mempunyai arti tertentu?”
“Hal seperti ini, sudah kukatakan tadi, belum pernah kejadian.” Jawab Ratu Duyung. Dia perhatikan dua tangannya. Warna hitam pada dua telapak tangan telah berkurang banyak. Kini hanya tinggal warna merah. Kembali gadis ini usapkan dua telapak tangan satu sama lain. “Kalau saja aku boleh menduga antara apa yang aku lihat, rasanya kelak akan ada hubungannya dengan Wiro. Bagaimana kaitannya tak bisa kumengerti.”
“Telaga, lembah, gunung, serta bukit batu yang kau lihat dalam cermin itu,” berucap Sutri Kaliangan, “apakah kau bisa mengenali atau mungkin mengetahui di mana beradanya? Mungkin juga bisa menduga telaga apa, gunung di mana.”
Ratu Duyung berpikir sejenak lalu menggeleng. “Aku hanya bisa mengukur jarak. Itupun hanya satu dugaan. Semua yang aku lihat itu berada sekitar satu hari perjalanan berkuda dari sini.”
Diam-diam Bidadari Angin Timur punya prasangka sendiri dalam hatinya. “Mungkin saja dia tahu semua tempat yang dilihatnya dalam cermin sakti. Tapi tidak mau memberitahu. Dia mengatakan hanya bisa mengukur jarak. Satu hari perjalanan naik kuda dari sini. Apa ceritanya itu bisa dipercaya? Mungkin saja dia sengaja merahasiakan apa yang diketahuinya untuk tujuan tertentu…”
“Ratu, kalau kau tahu jaraknya, mungkinkah kau juga bisa menduga arahnya?” tanya Sutri Kaliangan. “Karena kalau kita tahu arah, dengan mudah kita bisa menemukan tempat itu. sebera-papun jauhnya.”
“Seandainya kita bisa menemukan tempat itu, lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Ratu Duyung.
“Aku punya dugaan Wiro akan muncul di sini!” Jawab Sutri Kaliangan sambil letakkan tangan di atas gagang pedang.
Tiga gadis menatap ke arah Sutri Kaliangan.
“Aku tahu, kalian tidak percaya,” Sutri Kaliangan kembali berucap setelah memperhatikan cara memandang tiga gadis cantik itu. “Tapi dengar dulu. Bukankah tadi Ratu Duyung mengatakan ada keterkaitan antara Wiro dengan bayangan yang muncul dalam cermin? Hanya sayang, kita tidak tahu di mana tempat-tempat itu beradanya.” Sutri Kaliangan berdiri, menatap ke langit lalu melangkah mundar-mandir.
“Apalagi yang ada dalam benak gadis ini?” ucap Bidadari Angin Timur dalam hati sambil memperhatikan gerak-gerik putri Patih Kerajaan itu. “Niatnya untuk bisa bertemu Wiro seolah tidak bisa dicegah.”
Tiba-tiba Sutri Kaliangan hentikan langkah. Dia ingat sesuatu dan mendekati Ratu Duyung kembali, berlutut di sampingnya.
“Ratu sahabatku. Waktu tadi kau memegang cermin sakti dan mulai melihat bayangan-bayangan yang muncul di dalamnya, kau duduk di lantai pendapa. Ingat saat itu kau menghadap ke arah mana?”
“Aku masih ingat. Ratu Duyung menghadap ke arah pintu gerbang sana,” yang menjawab Anggini.
“Benar, aku memang menghadap ke jurusan pintu gerbang itu,” kata Ratu Duyung kemudian.
“Berarti di arah itulah tempat-tempat yang kau lihat dalam cermin sakti. Telaga, gunung, bukit batu, lembah. Rumah panggung warna putih! Semua di arah itu. Arah pintu gerbang. Menurut mata angin, arah pintu gerbang adalah arah ke timur, sedikit melenceng ke utara. Berarti tepatnya arah antara timur dan timur laut. Kalau kita berkuda satu harian ke sana, semua tempat itu pasti kita temui!” Sutri Kaliangan kembali berdiri. “Para sahabat, rasanya aku tidak mau menunggu lebih lama. Kalau kita berangkat malam ini, besok paling lambat di sana sama seperti ini, kita sudah sampai di tujuan. Siapa yang bersedia berangkat bersamaku sekarang juga?”
Tidak ada yang menjawab.
Putri Patih Kerajaan itu tampak kecewa. Dia pandangi satu persatu wajah tiga gadis cantik di hadapannya lalu berkata.
“Aku tidak ingin mengatakan. Takut kalian menganggap aku berlebihan atau punya niat buruk mengharapkan kejadian tidak baik atas diri Wiro. Tapi terus-terang aku katakan pada kalian saat ini, aku punya firasat Wiro akan muncul di tempat-tempat yang ada dalam cermin. Dan di situ dia akan menghadapi bahaya besar!”
Di antara tiga gadis masih tidak ada yang bicara.
“Kalau kalian tidak mau berangkat bersamaku, kalian boleh tidur enak-enakan di Kepatihan ini. Aku akan berangkat sendirian sekarang juga.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Ratu Duyung seraya bangkit berdiri.
“Siapa lagi?” tanya Sutri Kaliangan sambil menatap pada Anggini dan Bidadari Angin Timur. Tapi dua gadis ini tidak memberi tanggapan. “Baiklah Ratu, agaknya hanya kita berdua yang akan berangkat malam ini. Aku akan menyuruh orang menyiapkan dua ekor kuda untuk kita. Dan jika sahabatku Bidadari Angin Timur dan Anggini berubah pikiran, kalian boleh meminta masing-masing seekor kuda pada penjaga.”
Tak lama setelah Ratu Duyung dan Sutri Kaliangan meninggalkan gedung. Kepatihan, Bidadari Angin Timur memandang ke arah pintu gerbang. Tanpa palingkan kepala dia bertanya pada Anggini.
“Sahabatku Anggini, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Tuan rumah sudah pergi. Rasanya kita tidak mungkin berada lebih lama di tempat ini.”
“Kau ingin mengikuti Ratu Duyung dan Sutri?”
Anggini berdiam cukup lama. Jawabannya kemudian justru berupa pertanyaan. “Bagaimana dengan kau?”
“Sebenarnya tidak ada salahnya kita menyusul mereka. Kita sudah tahu arah yang mereka tuju. Malah kita bisa minta kuda untuk tunggangan. Hanya sayang, saat ini aku tiba-tiba ingat pada satu urusan lain yang harus aku lakukan. Jadi sahabatku Anggini, kita terpaksa berpisah sementara di tempat ini.”
Tanpa menunggu jawaban Anggini, Bidadari Angin Timur berdiri dari duduknya dan sekali berkelebat gadis ini telah lenyap di balik tembok timur gedung Kepatihan. Tapi tanpa setahu Anggini, Bidadari Angin Timur kembali memasuki halaman dalam gedung Kepatihan dari sebelah belakang, langsung menuju kandang kuda. Setelah memilih kuda yang besar dan tegap gadis ini tinggalkan tempat itu melalui pintu belakang.
Untuk beberapa saat Anggini tertegun sendirian di pendapa gedung Kepatihan. Namun ada suara hati kecilnya berkata. “Bidadari Angin Timur, kau tidak bisa menipuku. Waktu bicara tadi kau tidak berani menatap mataku. Aku tahu kau berdusta. Aku tahu tidak ada urusan lain yang harus kau lakukan. Dan aku tahu kau akan menyusul dua gadis itu. Kau lebih suka pergi sendirian karena tidak senang berjalan seiring denganku. Apa yang kau cari Bidadari Angin Timur? Tidak ingin aku berada disampingmu ketika kau berjumpa dengan Wiro?” Secercah senyum menyeruak di bibir murid Dewa Tuak ini. “Aku sudah sejak lama ingin mendapatkannya. Nyatanya tak pernah kesampaian. Hingga akhirnya aku dihinggapi rasa kecewa yang berujung pada satu keiklasan. Aku menerima nasib tidak berjodoh dengan pemuda itu. Namun bukan berarti ini satu peluang bagimu. Karena aku merasa ada seorang gadis lain yang mungkin telah mendapat tempat di dalam hati Wiro.”
Merasa Bidadari Angin Timur sudah pergi jauh, Anggini menemui seorang penjaga dan minta disediakan seekor kuda. Tak selang berapa lama gadis inipun tinggalkan gedung Kepatihan melalui pintu depan.


**********************
8

DALAM Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan nasib sial yang menimpa Setan Ngompol. Kakek satu ini hampir kena digerebek pasukan Kadipaten Magetan dibawah pimpinan Adipati Sidik Mangkurat selagi menginap di rumah seorang janda di pinggiran Kotaraja. Dia dituduh sebagai manusia pocong yang telah membuat keonaran di Magetan, menculik, membunuh. Hal itu terjadi gara-gara di rumah sang janda ditemukan seperangkat jubah dan kain putih tutupan kepala berbentuk pocong. Setan Ngompol berhasil melarikan diri tapi dalam pengejaran dia hampir kena dibekuk oleh Adipati Sidik Mangkurat. Untung saat itu muncul Pendekar 212. Setan Ngompol dapat diselamatkan. Setelah puas saling bercerita panjang lebar di sebuah pedataran rumput, Wiro memberitahu.

“Malam nanti aku janji bertemu dengan tiga gadis di Gedung Kepatihan. Bersama Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan mereka menunggu aku disana.”
Saat itu Setan Ngompol mengenakan jubah putih yang dibawa Adipati Magetan karena sewaktu kabur dari rumah janda di Bantul dia hanya mengenakan selembar celana kolor butut.
“Tiga gadis cantik itu,” kata Setan Ngompol pula sambil melipat kain putih tutupan kepala lalu menyelipkannya di balik pinggang jubah. “Ratu Duyung. Bidadari Angin Timur dan Anggini?”
Wiro anggukkan kepala.
“Lumayan lama aku tidak melihat mereka. Aku ikut bersamamu.”
“Memang ada baiknya kau ikut Kek,” kata Wiro. Kedua orang itu lalu naik ke punggung dua ekor kuda yang mereka ambil dari orang-orang kadipaten Magelang.
“Betul, aku kangen sama mereka. Mereka pasti juga kangen sama bau pesingku! Ha… ha… ha!”
Belum lama meninggalkan pedataran rumput, Setan Ngompol menunjuk ke arah kejauhan. Di arah timur kelihatan seorang penunggang kuda. Orang ini memacu kudanya cepat sekali dan jelas mendatangi ke arah mereka. Wiro dan Setan Ngompol perlambat lari kuda masing-masing. Tak lama kemudian penunggang kuda itu berhenti di hadapan Wiro dan Setan Ngompol. Debu yang membumbung ke udara menutupi pandangan. Sesaat setelah debu turun Wiro dan Setan Ngompol memperhatikan. Keduanya segera mengenali si penunggang kuda. Hampir berbarangan sama-sama berseru.
“Loh Gatra!”
“Sahabatku Wiro, Kakek Setan Ngompol! Syukur kita bisa bertemu di sini. Aku dalam perjalanan menuju Kotaraja…”
“Kami berdua juga dalam perjalanan ke Kotaraja,” menerangkan Setan Ngompol.
Wiro sendiri saat itu diam-diam perhatikan raut air muka lelaki muda bernama Loh Gatra. Di balik wajah yang diselimuti debu Wiro melihat ada satu bayangan kecemasan. Wiro lalu berkata. “Setelah peristiwa berdarah di bukit Watu Ireng tempo hari, kami hanya mendengar kabar gembira bahwa kau melangsungkan pernikahan dengan Nyi Larasati. Tapi di mana kalian berada dan menetap tidak kami ketahui. Apakah kalian berdua baik-baik saja?”
“Berita yang kalian dengar benar adanya. Aku menikah dengan Nyi Larasati…” Loh Gatra diam sesaat dan tatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam hati dia tahu kalau Nyi Larasati yang kini jadi istrinya pernah jatuh hati terhadap sang pendekar. “Setelah menikah,” Loh Gatra lanjutkan keterangannya, “aku membawa Nyi Lara ke desa kelahiranku di Jatipuro, di selatan Gunung Lawu. Kami menetap di situ. Aku punya beberapa bidang kebun dan sawah, juga ternak. Udara di sana sejuk, keadaan aman tenteram. Namun suatu malam terjadi malapetaka besar…” Loh Gatra buka destar di kepalanya, usap rambutnya beberapa kali lalu menggigit bibir gelengkan kepala. (Siapa adanya Loh Gatra dan bagaimana kisahnya dapat pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Badik Sumpah Darah terdiri dari 7 Episode)

“Sahabatku Loh Gatra, katakan apa yang terjadi,” ucap Wiro.
“Nyi Lara, istriku diculik makhluk aneh. Kejadiannya dua hari lalu. Waktu itu menjelang pagi. Aku terbangun ketika mendengar suara jeritan perempuan. Nyi Lara tak ada lagi di sampingku. Aku menghambur keluar dan masih sempat melihat seorang berpakaian aneh menunggang kuda memboyong istriku. Aku berusaha mengejar tapi penculik jahanam itu berhasil menghilang dengan cepat…”
Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkejut mendengar keterangan Loh Gatra itu.
“Loh Gatra, katamu tadi orang yang menculik Nyi Lara berpakaian aneh. Aneh bagaimana?” tanya Wiro.
“Dia mengenakan jubah putih. Kepala ditutup dengan kain putih, di sebelah atas diikat seperti pocong…”
“Manusia pocong…” ucap Setan Ngompol sambil buru-buru pegang perut di bawah pusar.
Loh Gatra berpaling pada si kakek. Untuk pertama kalinya dia menyadari pakaian jubah putih yang dikenakan Setan Ngompol. Yakni jubah putih yang dilemparkan Adipati Magetan dan kemudian diambil si kakek. Cara memandang Loh Gatra membuat Setan Ngompol merasa tidak enak. Wiro juga merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba Loh Gatra keluarkan teriakan keras seraya menunding ke arah Setan Ngompol.
“Kau!”
Setan Ngompol tersentak kaget sampai kucurkan air kencing. Wiro sendiri ikut terkesiap.
Begitu membentak Loh Gatra melesat dari punggung kudanya. Laksana terbang dia melayang ke arah Setan Ngompol sambil hantamkan satu jotosan kilat ke arah kepala si kakek.
“Hai!” Setan Ngompol berteriak. “Serrr!”
Sambil pancarkan air kencing kakek ini cepat rundukkan tubuh sama rata dengan punggung kuda laiu jatuhkan diri ke tanah. Baru dua kaki menginjak tanah tahu-tahu Loh Gatra sudah kembali menyerbunya.
“Loh Gatra! Apa-apaan ini?!Mengapa kau menyerangku!” Teriak Setan Ngompol seraya membuat gerakan berkelit dan menangkis.
“Bukk! Bukkk!”
Dalam satu gebrakan hebat sepasang lengan Setan Ngompol yang dipakai menangkis saling beradu dengan tangan Loh Gatra. Si kakek pancarkan air kencing keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Sebaliknya Loh Gatra walau memiliki kecepatan bergerak dan menyerang namun tingkat tenaga dalamnya masih di bawah si kakek. Karuan saja walau berhasil memukul lawan lelaki muda ini terpental sampai setengah tombak. Dua tangannya bergetar sakit. Rasa sakit membuat Loh Gatra jadi kalap. Dia kembali menyerbu. Namun saat itu Wiro sudah melompat turun dari kudanya dan tegak di hadapan Loh Gatra, menghalangi orang lain untuk lancarkan serangan berikutnya.
“Tua bangka jahanam! Kau harus mati! Harus mati! Kau yang menculik istriku!”
“Gila!” teriak Setan Ngompol sambil tekap jubah putihnya di bagian bawah perut yang kuyup oleh air kencing. “Enak saja tanpa juntrungan kau menuduhku!”
“Sahabat Loh Gatra, tenang. Sabarkan dirimu! Ada yang tidak beres.” Wiro berkata sambil angkat dua tangan ke atas, berusaha menghalangi Loh Gatra yang kembali nekad hendak menyerang Setan Ngompol.
“Wiro! Kalau kau melindungi jahanam penculik ini, aku bersumpah membunuh kalian berdua!” Teriak Loh Gatra. Lalu tangannya bergerak ke pinggang.
“Srett!”
Selarik cahaya putih berkilauan di bawah teriknya sorotan sinar matahari. Sebilah keris terbuat dari perak tergenggam di tangan Loh Gatra. Senjata ini tampak bergetar dan memancarkan cahaya menyilaukan pertanda Loh Gatra menggenggam keris itu sambil kerahkan tenaga dalam penuh. Pertanda bahwa dia tidak main-main dengan ancamannya. Wiro perhatikan keris di tangan Loh Gatra. Dulu lelaki ini memiliki sebuah keris sakti mandraguna bernama Keris Tumbal Bekisar. Setahunya senjata tersebut telah hancur dihantam Badik Sumpah Darah sewaktu Loh Gatra berkelahi melawan Adipati Salatiga Jatilegowo. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Meraga Sukma ) Berarti Loh Gatra telah membekal sebuah keris baru dan tingkat kehebatannya pasti tidak kalah dengan Keris Tumbal Bekisar.

Dengan sikap hati-hati Wiro melangkah maju, mempersempit celah ruangan Loh Gatra untuk menyerang Setan Ngompol.
“Loh Gatra, kita sudah sejak lama bersahabat. Jika ada sesuatu yang tidak beres mari kita selesaikan dulu dengan berbicara. Aku yakin ada kesalah pahaman.”
Loh Gatra mendengus lalu berkata. “Wiro aku mengerti kalau kau membela tua bangka jahanam ini. Kau lebih lama bersahabat dengan dia dibandingkan diriku! Tapi satu hal perlu kau ketahui. Aku yakin dialah yang telah menculik Nyi Lara.”
“Mulut dangkal otak cetek!” teriak Setan Ngompol.” Istrimu di mana, aku di mana! Setan apa yang menyusup ke dalam otakmu hingga menuduh aku menculik Nyi Lara!”
“Loh Gatra, kau menuduh tentu punya bukti. Tolong katakan apa alasan atau bukti yang kau miliki hingga menuduh kakek tukang ngompol ini sebagai penculik istrimu.”
“Aku punya bukti! Aku merasa tidak perlu bicara banyak dengan kalian berdua! Minggir Wiro. Atau aku terpaksa menghajarmu!”
Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. Tangan kiri diulurkan hendak memegang bahu Loh Gatra. Tapi lelaki ini cepat kibaskan tangan kanannya yang memegang keris.
“Breeet!”
Ujung keris membabat robek lengan bahu putih Wiro sebelah kanan. Kalau Wiro tidak cepat melompat mundur niscaya bukan cuma bajunya yang robek, daging lengannya juga akan kena ditoreh.
Wiro pandangi bajunya yang robek, berpaling pada Loh Gatra, masih bisa senyum dan sambil garuk-garuk kepala dia berkata.
“Loh Gatra, salah paham bisa merubah persahabatan jadi perseteruan. Mari kita bicara dulu.”
Loh Gatra gelengkan kepala. Pandangan matanya menyorot. Senyum dan gerakan menggaruk kepala sang pendekar dianggapnya seperti meremehkan dirinya.
“Aku minta kau minggir Wiro! Menyingkir! Cepat!” Teriak Loh Gatra.
Ketika Wiro tidak juga beranjak dari hadapannya Loh Gatra tusukkan keris di tangan ke dada murid Sinto Gendeng. Satu jengkal ujung keris akan sampai di permukaan dada, Wiro gerakkan tangan kiri menepis serangan hingga lengan Loh Gatra terangkat ke atas. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar ke arah pergelangan. Loh Gatra merasa tangannya terpuntir begitu rupa. Ketika Wiro lepaskan cekalan di pergelangannya, keris yang tadi di pegangnya telah lenyap. Memandang ke bawah, senjata itu dilihatnya telah amblas masuk ke dalam tanah! Dalam keadaan kalap, didahului teriakan keras Loh Gatra menerjang ke depan. Dua tangan dihantamkan. Tapi tangan kiri Wiro menyusup lebih dulu. Telapaknya menyentuh pertengahan dada lawan, sekali tangan itu didorongkan, Loh Gatra terpental satu tombak, jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa lamanya dia terduduk tak bergerak. Sorot mata dan dadanya yang turun naik menyatakan amarah besar masih menguasai dirinya. Namun saat itu dia merasa tubuhnya lemah sekali. Padahal tadi Wiro hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalam dan lebih mengandalkan tenaga luar agar Loh Gatra tidak cidera. Hanya saja gerakan berupa dorongan tangan yang tadi dilakukannya adalah jurus Dewa Topan Menggusur Gunung yang didapat dari gurunya Tua Gila, dedengkot rimba persilatan pulau Andalas. Merupakan salah satu jurus langka dengan bobot berkekuatan luar biasa.
Wiro dekati Loh Gatra, ulurkan tangan kanan. Agak ragu Loh Gatra ulurkan pula tangan kanannya, Wiro kemudian membantu Loh Gatra berdiri. Tegak berhadap-hadapan Wiro melihat sorotan mata penuh amarah Loh Gatra mulai meredup. Dia masih mengerling ke arah Setan Ngompol tapi wajahnya tidak lagi membersitkan luapan amarah. Sesaat dia memandang ke tanah tempat kerisnya dibuat amblas oleh Wiro. Lalu lelaki ini menarik nafas panjang.
“Aku dalam bingung dan marah besar. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku salah bertindak…”
Wiro tersenyum. “Agar tidak ada yang salah mari kita bicara baik­baik.” Wiro memberi isyarat agar Setan Ngompol mendekat. Agak takut­takut kakek ini melangkah sambil pegangi perut. Setelah ketiganya saling berhadapan Wiro lantas berkata.
“Sahabatku! Loh Gatra, sekarang kita bisa bicara. Kau mulai duluan.”
Loh Gatra menarik nafas panjang sekali lagi baru membuka mulut.
“Seperti aku terangkan tadi, istriku diculik orang. Sebelum kabur menunggang kuda, aku masih sempat melihat jelas si penculik. Dia berpakaian serba putih. Kepalanya ditutup kain putih yang diikat seperti ikatan jenasah. Seperti pocong. Ketika aku perhatikan pakaian kakek ini, lalu aku lihat pula carikan kain putih yang menjulur jubahnya, ada tali putih ikatan, tiba-tiba saja aku menaruh curiga, buka cuma curiga, malah begitu yakin bahwa dialah manusia pocong yang telah menculik Nyi Larasati, istriku. Itu sebabnya aku menjadi kalap…”
Pendekar 212 berpaling pada Setan Ngompol.
“Kek, sekarang giliranmu memberikan penuturan.”
Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap kuping kanannya yang terbalik.
“Sudah dua kali aku ketuduhan sebagai penculik. Loh Gatra, apakah istrimu Nyi Lara sedang hamil?”
Loh Gatra terkejut mendengar pertanyaan Setan Ngompol itu.
“Kek, dari mana kau tahu?”
“Sebelumnya aku dituduh menculik perempuan hamil oleh orang-orang Kadipaten Magetan. Gara-gara di rumah tempat aku menginap di Bantul, ditemukan seperangkat pakaian manusia pocong.” Lalu kepada Loh Gatra Setan Ngompol ceritakan apa yang telah kejadian dengan dirinya termasuk bagaimana dia mendapatkan jubah putih serta penutup kepala berbentuk ikatan pocong.
Cukup lama Loh Gatra terdiam mendengar cerita si kakek. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Aku mengadakan perjalanan jauh sampai kesini justru karena mendapat penjelasan dari seorang perajurit Kadipaten Magetan. Katanya Adipati dan serombongan pasukan tengah melakukan pengejaran terhadap seorang manusia pocong yang terlihat berada sekitar Bantul. Aku ikut mengejar ke sini. Sampai bertemu kalian dan terjadi semua kesalah pahaman ini. Kek, kuharap kau mau memaaafkan kecerobohanku.”
Setan Ngompol tersenyum lebar lalu angguk-anggukkan kepala.
“Dari semua cerita yang aku dengar,” kata Wiro. “Agaknya memang ada manusia pocong yang muncul di Bantul. Tujuannya menculik Rana Suwarte…”
“Sekaligus mau memfitnah dan mencelakai diriku,” ucap Setan Ngompol pula.
“Mungkin aku keliru mengejar jejak penculik. Ada beberapa orang menerangkan bahwa kawasan di utara Telaga Sarangan diduga besar sebagai sarangnya komplotan manusia pocong penculik perempuan­perempuan hamil…”
“Aneh, mengapa ada orang mau menculik perempuan hamil. Padahal yang gadis saja kelelaran di mana-mana. Cantik-cantik,” kata Wiro sambil garuk kepala.
“Pasti ada sesuatu dibalik semua kejahatan ini. Manusia-manusia pocong bukan cuma menculik, tapi juga membunuh secara kejam siapa saja yang berani menghalangi atau mengejar mereka. Salah seorang korban penculikan adalah Nyi Upit Suwarni, puteri tunggal Ki Mantep Jalawardu, Kepala Desa Plaosan. Yang tewas jadi korban Ki Mantep sendiri, menantunya. Lalu Surablandong, orang yang pernah jadi Ketua Perguruan Silat Lawu Putih. Aji Warangan, Kepala pasukan kadipaten Magetan lenyap, tidak diketahui nasibnya, apa masih hidup atau juga sudah tewas. Konon, ada beberapa orang rimba persilatan yang ikut lenyap. Kebanyakan korban penculikan dan korban pembunuhan memang berasal dari kawasan sekitar Telaga Sarangan…”
“Berarti komplotan manusia pocong itu memang punya sarang di daerah itu,” kata Setan Ngompol.
“Banyak orang menduga demikian, termasuk aku dan Adipati Magetan. Tapi, sebegitu jauh diselidiki sarang komplotan manusia pocong itu tidak berhasil ditemui,” kata Loh Gatra pula. “Wiro, Setan Ngompol, aku harus kembali ke Jati-puro. Istriku yang hamil enam bulan berada di tangan manusia-manusia jahat itu. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Selain itu dibalik semua kejahatan ini pasti ada satu hal dahsyat mengerikan. Mungkin aku tidak akan dapat menghadapinya sendirian. Mungkin juga aku akan menemui ajal di tangan mereka seperti para pengejar lainnya.” Loh Gatra naik ke punggung kudanya. Sebelum kuda dibedal Wiro berkata.
“Tunggu, aku ikut bersamamu! Seperti yang kau duga, aku juga punya kecurigaan. Ada satu perkara besar dibalik peristiwa penculikan perempuan-perempuan hamil itu. Mungkin mereka dijadikan tumbal. Mungkin juga bayi-bayi mereka diperjual belikan. Mungkin kejadiannya lebih mengerikan dari yang kita duga. Semua itu pasti akan membawa satu bencana besar bagi rimba persilatan.”
“Wiro, apa kau lupa kalau punya janji bertemu dengan tiga gadis malam ini di Gedung Kepa-tihan?” Setan Ngompol mengingatkan Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Aku tidak lupa. Aku minta bantuanmu mewakili diriku menemui puteri Patih Kerajaan dan tiga gadis. Katakan aku tidak dapat memenuhi janji karena ada urusan sangat penting bersama Loh Gatra. Kuharap kau menyusul ke Telaga Sarangan. Kalau para gadis ingin ikut bersamamu silahkan saja…”
“Itu memang maumu,” ujar Setan Ngompol sambil senyum­senyum.
Tiga orang itu berpisah. Wiro dan Loh Gatra memacu kuda ke arah timur. Setan Ngompol ke arah Kotaraja. Celakanya di tengah jalan pikiran kakek tukang ngompol ini bercabang. Dia ingat pada janda gemuk putih di Bantul. Perjalanan ke Kotaraja melalui Bantul. Apa salahnya dia mampir dulu di rumah sang janda. Paling tidak untuk memberitahu kalau dirinya dalam keadaan selamat. Lalu dia harus mengambil pakaiannya yang tertinggal. Mengenakan jubah putih panjang itu terasa risih bagi si kakek. Lagi pula kalau ngompolnya kumat, air kencing langsung saja meluncur ke bawah, tidak mandek dulu di bawah perut.
“Kalau ngompol, enaknya memang pakai celana. Terasa hangat­hangat basahnya.
Hah… ha… ha.” Setan Ngompol tertawa sendiri.
Sampai di Bantul, dalam suka citanya bertemu lagi dengan sang janda, malam itu Setan Ngompol tidak pergi ke Gedung Kepatihan. Dia baru pergi ke sana malam berikutnya. Itupun setelah larut malam pada saat empat gadis telah meninggalkan gedung tersebut setelah menunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul.


**********************
 9

KEDAI nasi besar berbentuk rumah panggung rendah itu terletak di persimpangan tiga jalan menuju Magetan, Plaosan dan Sa-rangan. Pemiliknya seorang lelaki, duda separuh baya bernama Danarejo. Namun nama ini sudah lama dilupakan orang. Para pelanggan kedai nasi terkenal itu lebih suka memanggil sang pemilik dengan nama Ki Sedap Roso, sesuai dengan nama kedai nasinya yang terpampang di satu papan besar di bawah atap depan bangunan.
Seperti biasanya setiap siang kedai itu selalu ramai dikunjungi orang yang datang dari mana-mana atau kebetulan lewat untuk bersantap mengisi perut. Menjelang matahari condong ke barat baru suasana di tempat itu menjadi sepi. Kalaupun ada pengunjung mereka bukan datang untuk makan tapi sekedar minum teh atau kopi sambil mencicipi beragam penganan.
Di sudut kedai, seperti sengaja memencilkan diri dari para pengunjung lainnya, duduk seorang gadis berwajah cantik, berkulit hitam manis. Pelayan telah sejak tadi menghidangkan teh manis hangat. Macam-macam juadah terhidang di depannya. Namun si gadis masih belum meneguk teh atau mencicipi kue-kue. Sebentar-sebentar dia memperhatikan orang-orang yang ada di dalam kedai. Sesekali dia memandang ke arah pintu. Dan tak jarang pula perhatiannya ditujukan pada Ki Sedap Roso yang tengah sibuk menghitung dan mengatur­ngatur uang di laci mejanya.
Di sudut lain dari kedai, duduk seorang mengenakan caping. Walau kepala dan seluruh wajahnya tak kelihatan karena tertutup caping, namun dari bentuk tubuh dan pakaiannya dia jelas seorang perempuan.
Dua orang pengunjung meninggalkan kedai. Untuk pertama kalinya gadis berkulit hitam manis menyentuh cangkir minuman dan meneguk teh manis hangat. Sesaat dia melirik pada orang bercaping lalu gadis ini berdiri, melangkah ke tempat Ki Sedap Roso. Pemilik kedai angkat kepala, tersenyum lebar melihat siapa yang berdiri di depannya. Dia tutup laci meja. Matanya yang berpengalaman segera maklum kalau gadis cantik di hadapannya adalah seorang dari rimba persilatan. Maka dengan ramah Ki Sedap Roso menegur.
“Gadis gagah, kau tentu datang dari jauh. Apa sudah puas meneguk minuman dan menyantap juadah? Kenapa buru-buru pergi?”
“Ki Sedap Roso, saya butuh keterangan. Ada sesuatu hendak saya tanyakan pada Aki.”
“Hemm, hal apakah?”
“Kedai Aki begini besar, terkenal ke mana-mana. Pengunjung datang dari berbagai tempat. Mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat Kerajaan dan juga orang-orang rimba persilatan. Orang yang saya tanyakan mungkin pernah berkunjung ke sini. Ki Sedap Roso, mungkin Aki kenal dan tahu di mana saya bisa menemui seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212?”
“Ah, perihal pendekar itu yang hendak ditanyakan tamuku. Gadis gagah. Kalau aku boleh lebih dulu bertanya, siapakah kau adanya? Seingatku baru sekali ini kau mampir ke kedaiku.”
“Nama saya Wulan Srindi. Saya murid Perguruan Silat Lawu Putih.” Si gadis mengatakan siapa dirinya secara terus-terang.
“Ah, sejak tadi aku sudah menduga kalau tamuku saat ini adalah orang gagah rimba persilatan.” Ki Sedap Roso membungkuk menyatakan hormat
“Ki Sedap Roso. kau jawab saja pertanyaan saya tadi.”
“Aku mendengar kabar meninggalnya Ki Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih. Aku turut berduka cita. Malah aku juga mendengar kabar dua hari lalu banyak anak murid perguruan tewas di tangan makhluk aneh menyerupai pocong hidup.”
“Aki, kau belum menjawab pertanyaan saya.”
“Pendekar 212 Wiro Sableng.” Pemilik kedai nasi itu tarik nafas panjang lebih dulu baru meneruskan ucapannya. “Nama besar itu dikenal di mana-mana. Aku juga sering mendengar. Tapi bertemu dengan orangnya aku belum pernah. Kata orang mencarinya sama saja dengan mencari hantu. Sulit sekali. Tapi secara tidak terduga sewaktu­waktu dia bisa muncul begitu saja. Aku tidak tahu apa dia pernah mampir di kedaiku ini. Begitu banyak dan hebatnya cerita mengenai dirinya hingga aku sendiri bingung. Jangan jangan semua itu hanya cerita atau legenda yang disampaikan orang dari mulut ke mulut.”
“Aki, pendekar bernama Wiro Sableng itu bukan cuma cerita kosong. Bukan cuma legenda. Orangnya benar-benar ada. Kalau tidak saya tidak akan mencarinya.”
“Gadis gagah, kalau aku tahu mengenai Pendekar 212, pasti aku ceritakan padamu. Tak ada yang akan aku sembunyikan. Cuma kalau aku boleh memberi saran, untuk mencari seorang tokoh rimba persilatan mengapa tidak minta bantuan orang dari rimba persilatan pula? Apa lagi kau juga seorang dari dunia persilatan. Pasti tahu betul liku-liku rimba hijau persilatan.”
Wulan Srindi renungkan ucapan pemilik kedai itu. Memang ada benarnya. Tapi tidak mudah mencari dan menemui orang-orang rimba persilatan. Apa lagi para tokohnya. Perlahan-lahan gadis ini berpaling ke sudut kedai di mana duduk tamu perempuan bercaping lebar.
“Gadis yang kau pandangi itu,” kata Ki Sedap Roso dengan suara perlahan, “aku bisa menduga dia adalah orang rimba persilatan. Mengapa tidak bertanya saja padanya?”
“Nasihatmu akan saya turuti,” kata Wulan Srindi pula. “Aki, tadi kau menyebut makhluk aneh menyerupai pocong hidup. Apa yang kau ketahui tentang mereka?”
Pemilik kedai gelengkan kepala. “Tidak banyak yang aku ketahui. Katanya makhluk itu muncul secara mendadak. Menculik perempuan hamil, membunuh siapa saja yang coba menghalangi atau berani mengejar. Salah satu korbannya adalah puteri tunggal Kepala Desa Plaosan yang kabarnya tengah hamil tujuh bulan. Suaminya dibunuh, Kepala Desa juga.”
“Hanya itu yang Aki ketahui?”
“Hanya itu.”
Wulan Srindi kembali palingkan kepala ke sudut kedai. Ki Sedap Roso ikut berpaling. Astaga! Tamu bercaping lebar tadi tak ada lagi di tempatnya. Dia lenyap seperti angin. Di atas meja kelihatan sejumlah uang yang agaknya sengaja ditinggalkan sebagai pembayar minuman dan makanan.
Wulan Srindi keluarkan kepingan uang logam dari balik pakaian lalu berkata. “Ki Sedap, saya akan mencari keterangan mengenai Pendekar 212 sesuai nasihatmu.”
Sebelum Wulan Srindi bergerak dari hadapan pemilik kedai, satu tangan besar berbulu letakkan sebilah golok di atas meja. Lalu terdengar suara parau bertanya.
“Siapa mencari tahu tentang Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Wulan Srindi melihat wajah Ki Sedap Roso langsung pucat. Gadis ini berpaling. Orang yang barusan meletakkan golok di atas meja ternyata seorang tinggi besar, berpakaian dan berdestar serba hitam. Kulit mukanya hitam berkilat. Kumis, janggut dan cambang bawuknya meranggas tebal. Di lehernya tergantung sebuah kalung kain hitam besar berbentuk segi empat. Kuping kiri dan cuping hidung sebelah kiri dicanteli giwang emas.
“Warok Jangkrik,” Ki Sedap Roso cepat membungkuk. “Satu kehormatan besar kau sudi mampir di kedai buruk ini. Silahkan duduk, saya akan menyiapkan hidangan untukmu.”
“Jangkrik! Tutup mulutmu! Aku tidak bicara padamu. Aku bicara pada gadis ini!” Sentak orang yang dipanggil dengan nama Warok Jangkrik.
Ki Sedap Roso cepat-cepat membungkuk dan memohon maaf berulang kali. Pinggulnya ditekankan ke laci uang. Kawatir kalau orang di hadapannya itu akan membuka laci lalu menjarah isinya.
Warok Jangkrik palingkan kepala, memandang pada Wulan Srindi. Si gadis saat itu juga tengah memperhatikan. Warok Jangkrik tersenyum lebar dan kedipkan mata kirinya yang belok merah.
“Warok Jangkrik…” Ucap Wulan Srindi. “Aku pernah dengar namamu. Bukankah kau dedengkot kepala rampok rimba belantara Sarnigaluh?”
Warok Jangkrik tertawa bergelak sementara para pengunjung kedai yang ketakutan satu demi satu segera tinggalkan tempat itu. “Seorang gadis cantik mengetahui siapa diriku! Ha… ha…! Sungguh aku berbangga hati!”
“Sarnigaluh jauh di sebelah barat. Kau muncul di tempat ini jauh di sebelah timur. Pasti ada sesuatu yang membawamu datang ke sini. atau mungkin di barat kau mengalami banyak kesulitan hingga mengungsi di sini?”
Kembali Warok Jangkrik tertawa gelak-gelak.
“Aku muncul di mana aku suka! Dan setiap aku muncul pasti ada rejeki besar menunggu! Contohnya siapa menduga kalau hari ini aku akan bertemu dengan seorang gadis gagah dan cantik sepertimu!” Warok Jangkrik basahi bibir dengan ujung lidah, tenggorokannya tampak bergerak menelan air liur.
“Hemmm, begitu?” ucap Wulan Srindi. Walau masih sangat muda, belum punya banyak pengalaman dalam rimba persilatan namun dari gerak-gerik, serta sikap bicara Warok Jangkrik dia sudah maklum kalau manusia satu ini membekal maksud buruk terhadap dirinya. “Warok, tadi kau bertanya siapa mencari tahu mengenai Wiro Sableng. Apa kau tahu di mana beradanya pendekar itu?”
“Katakan dulu siapa dirimu, baru aku menjawab pertanyaanmu.”
“Aku Wulan Srindi. Anak murid Perguruan Silat Lawu Putih.” Seperti pada pemilik kedai tadi, Wulan Srindi sengaja menerangkan siapa dirinya agar orang tidak berani berbuat macam-macam.
“Ah, sungguh satu kehormatan aku bisa berhadapan dengan seorang anak murid satu perguruan silat besar.” Warok Jangkrik menjura. “Hanya sayang, aku mendengar kabar buruk tentang perguruanmu itu.”
“Hal itu tidak perlu kau pikirkan. Katakan saja kalau kau memang tahu di mana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Kau membawa kuda?” Tanya Warok Jangkrik.
Wulan Srindi mengangguk.
“Ikuti aku!”
Warok Jangkrik ambil golok besar di atas meja, selipkan di pinggang lalu melangkah ke pintu.
“Wulan,” ucap Ki Sedap Roso setengah berbisik. “Aku nasihatkan, jangan kau ikuti orang itu. Dia garong besar! Jahat dan ganas! Berbahaya…”
“Terima kasih Aki. Saya hanya mengikuti nasihatmu tadi. Ingin tahu tentang seorang pendekar rimba persilatan, tanyakan pada orang rimba persilatan.”
“Memang aku berkata begitu. Tapi Warok Jangkrik bukan manusia baik-baik. Dulu dia rampok besar di kawasan barat. Kini pindah menjarah ke wilayah timur sini.”
“Aki tak usah kawatir. Kalau dia berbuat macam-macam pada saya, akan saya jadikan dia satu macam!”
Ki Sedap Roso hanya bisa gelengkan kepala.
Warok Jangkrik seperti yang dikatakan Ki Sedap Roso dulunya adalah dedengkot kepala rampok hutan Sarnigaluh di wilayah barat, memiliki beberapa orang anak buah. Kepala rampok ini sebut Warok Jangkrik karena kepalanya yang besar dan mukanya yang hitam berkilat menyerupai jangkrik besar, jangkrik keliongan. Selain itu jika sedang marah dia selalu mendahului makiannya dengan kata-kata jangkrik!
Suatu ketika Warok Jangkrik mengetahui adanya sebuah peta rahasia menyangkut harta karun dalam jumlah besar milik Kerajaan. Dua orang yang secara tidak sengaja mengetahui peta itu adalah Ki Kalimanah dan cucunya, seorang anak lelaki bernama Boma Wanareja. Ki Kalimanah bekerja di Keraton sebagai perawat kuda. Suatu ketika Ki Kalimanah dan Boma mengadakan perjalanan melewati rimba belantara Sarnigaluh. Warok Jangkrik dan beberapa anak buahnya yang sudah punya rencana jahat melakukan penghadangan. Dia memaksa Ki Kalimanah untuk menceritakan tempat disembunyikan harta karun Kerajaan sesuai dengan apa yang pernah dilihatnya dalam peta. Ki Kalimanah tidak mau menerangkan. Kakek ini disiksa sampai babak belur. Gagal menguras keterangan dari mulut Ki Kalimanah, Warok Jangkrik ganti menyiksa Boma Wanareja.
Seperti kakeknya Boma juga tidak mau memberi keterangan. Dalam marahnya Warok Jangkrik dan anak buahnya hendak membunuh Boma. Di saat mau hendak merenggut itulah muncul seorang tua berselempang kain putih yang kemudian diketahui adalah perwujudan Kiai Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng, tokoh besar rimba persilatan yang hidup di alam gaib. Kakek ini bukan saja menyelamatkan Boma, tapi juga menghajar Warok Jangkrik dan anak buahnya. Salah seorang dari tiga anak buah Warok Jangkrik menemui ajal. Warok Jangkrik sendiri dan juga sisa dua anak buahnya kalau tidak dimintakan pengampunan oleh Boma pasti akan menemui ajal di tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Boma kemudian dibawa oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas ke tempat kediamannya di Gunung Bismo, diangkat menjadi murid. Di kemudian hari anak ini menemukan nasib menyedihkan, terbunuh secara tidak sengaja oleh Sinto Gendeng. Untuk menebus dosa kesalahannya Kiai Gede Tapa Pamungkas menugaskan Sinto Gendeng untuk kelak mewariskan ilmu kepandaiannya pada seorang anak lelaki bernama
Boma Tri Sumitro yang dilahirkan di dunia lain. Konon anak itu akan dijadikan sebagai Pendekar Tahun 2000 untuk menghadapi kekuatan jahat para pendekar golongan hitam. (Kisah Warok Jangkrik dan Boma Wanareja dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Si Cantik Dalam Guci. Sedang kisah Boma Tri Sumitro sudah terbit dalam serial Boma Gendenk. Empat Episode pertama yaitu Suka Suka Cinta, ABG, Tripping, Macho, Episode berikutnya Topan Di Borobudur, Tenda Biru Candi Mendut, Bonek Candi Sewu, Rembulan Di Prambanan)


**********************
10

DI KEJAUHAN Gunung Lawu tampak menjulang tinggi. Wulan Srindi memacu kuda mengikuti Warok Jangkrik melewati jalan menurun berliku dan berbatu-batu lalu menanjak tajam memasuki kawasan hutan jati. Di satu tempat Warok Jangkrik hentikan kudanya. “Ada apa?” tanya Wulan Srindi. “Selewat hutan jati ini, ada lembah kecil. Di situ ada satu rumah tua. Kita menuju ke sana,” Warok Jangkrik segera hendak membedal kudanya.
“Tunggu. Kalau hanya untuk memberi keterangan tentang Pendekar 212 Wiro Sableng, mengapa kita menempuh perjalanan sejauh ini?”
Warok Jangkrik tatap wajah gadis cantik hitam manis itu sesaat. Lalu matanya melirik ke arah kejauhan. Dia melihat kepala seekor kuda di balik serumpun semak belukar, dekat sebatang pohon jati besar. Kepala rampok ini menyeringai. “Tipuanku mengena. Emas satu kantong itu akan segera jadi milikku.” Hatinya membatin.
“Aku curiga,” kata Wulan Srindi pula.
Warok Jangkrik tertawa lebar. “Wulan Srindi, adalah tolol kalau baru sekarang mau menaruh curiga! Seharusnya tadi-tadi sewaktu masih di kedai Ki Sedap Roso kau berpikir sepuluh kali untuk mengikutiku!”
“Jadi benar, rupanya kau menipuku!”
Warok Jangkrik tidak menjawab. Sambil mengumbar tawa bergelak dia tarik tali kekang tunggangannya. Kuda itu menghambur meninggalkan hutan jati untuk kemudian menuruni sebuah lembah.
“Warok Jangkrik!” teriak Wulan Srindi. “Kalau kau menipuku, apa lagi bermaksud jahat! Kupecahkan kepalamu!” Si gadis sentakkan tali kekang kuda, menghambur mengejar Warok Jangkrik.
Hutan jati sampai pada ujungnya. Seperti yang dikatakan Warok Jangkrik tadi selewatnya hutan jadi ada lembah kecil. Di bibir lembah sebelah utara kelihatan satu rumah kayu. Saat itu Warok Jangkrik telah sampai di pertengahan lembah, terus memacu kudanya ke arah bangunan. Wulan Srindi sesaat hentikan kudanya, menggigit bibir dan berpikir-pikir. Hati kecilnya sebenarnya menyuruh dia memutar kuda dan tinggalkan tempat itu. Namun hasrat besar ingin mengetahui keberadaan Pendekar 212 membuat gadis ini akhirnya melarikan kudanya menuruni lembah. Apa lagi saat itu seolah terbayang kembali ke-matian kakak seperguruannya yang juga merupakan Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yakni Parit Juwana. Yang disaksikannya dengan mata kepala sendiri. Parit Juwana menemui ajal di tangan Wakil Ketua Manusia Pocong. Dendam yang berkobar membuat dia bersedia menempuh kesulitan apa saja asal dapat membalaskan sakit hati kematian Parit Juwana serta saudara-saudara seperguruan lainnya. Selain itu kalau saja bukan Dewa Tuak yang memintanya untuk mencari Pendekar 212 Wiro Sableng mungkin hatinya akan mendua melakukan hal itu.
Begitu sampai di depan rumah tua yang terletak di bibir lembah sebelah utara, Warok Jangkrik turun dari kuda. Tunggangannya ini dibiarkan bebas tidak ditambatkan. Tak lama kemudian Wulan Srindi sampai di tempat itu, langsung melompat turun dari punggung kuda.
“Kita sudah sampai di tujuan. Sekarang katakan apa yang kau ketahui tentang Wiro Sableng. Apakah dia ada di dalam rumah ini?”
“Jawaban ada di dalam rumah. Mengapa tidak segera masuk?” Ujar Warok Jangkrik.
Jengkel ada, penasaran juga ada, sekali lompat saja gadis anak murid Perguruan Silat Lawu Putih ini telah melesat masuk ke dalam rumah tua. Ternyata bagian atas bangunan itu tidak beratap lagi hingga cahaya matahari masuk menerangi bagian dalam rumah.
Wulan Srindi memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Warok Jangkrik yang saat itu berdiri tegak di ambang pintu rumah tua.
“Tidak ada siapa-siapa di sini! Warok Jangkrik! Jangan kau berani menipuku!” Bentak Wulan Srindi.
Dibentak si gadis Warok Jangkrik cuma menyeringai. Tiba-tiba dia masukkan dua jari tangannya ke dalam mulut. Saat itu juga satu suitan keras keluar dari mulut kepala rampok ini. Dari atap rumah yang terbuka melayang turun empat sosok. Gerakan cepat dan dua kaki mendarat di lantai lebih dulu, hampir tanpa suara. Empat sosok ini ternyata empat orang berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Ke empatnya langsung mengurung Wulan Srindi.
“Kurang ajar! Warok Jangkrik! apa-apaan ini?!” Teriak Wulan Srindi.
Warok Jangkrik menyeringai. Dia melangkah ke sudut rumah, duduk di lantai sambil bersandar ke dinding. Lapat-lapat di luar sana dia mendengar suara kuda mendatangi.
“Anak-anak, aku tidak mau susah. Aku mau terima bersihnya saja! Telanjangi gadis ini!”
Wulan Srindi seperti mendengar petir menggelegar di depan mata. “Warok Jahanam! Aku bersumpah akan memecahkan kepalamu!” Teriak si gadis. Lalu sambil memasang kuda-kuda dia berkata pada empat orang yang mengurung. “Kalau kalian mau mampus duluan, tunggu apa lagi! Maju!”
Salah seorang anak buah Warok Jangkrik yang mengurung Wulan Srindi bernama Si Comot. Dia dikenal paling rakus dan ganas dalam menjarah setiap korbannya. Selain itu jika melihat perempuan cantik, tangannya pasti meraba menggerayang.
“Kawan-kawan,” kata Si Comot pada tiga temannya sambil lidah dijulurkan membasahi bibir. “Kalian bertiga lihat saja. Biar aku yang melaksanakan perintah Warok!”
“Jangan enak sendiri! Kami juga punya kewajiban menjalankan tugas pimpinan!” teriak anggota rampok di sebelah kanan yang dikenal dengan nama Si Galah Jangkung alias Si Galah Ceking karena tubuhnya yang tinggi tapi kurus kering.
Takut kedahuluan tiga temannya Si Comot segera bergerak. Tubuhnya berkelebat ke arah Wulan Srindi, dua tangan bergerak cepat sekali. Yang kiri menyambar ke arah wajah si gadis sementara yang kanan secara kurang ajar meraba ke dada.
Dalam amarah mendidih Wulan Srindi hadapi serangan kurang ajar lawan dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua tangan memukul kesamping seperti kipas terkembang. Kaki kiri bersitekan ke lantai membuat pijakan atau kuda-kuda kokoh, lalu bersamaan dengan itu kaki kanannya melesat ke depan menendang ke arah selangkangan lawan!
“Bukk! Bukk!”
Dua tangan Si Comot terpental ke samping begitu kena dihantam pukulan Wulan Srindi. Si Comot keluarkan seruan tertahan, kaget sekali. Sambil menahan sakit dia kibas-kibaskan dua tangannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis cantik yang dipandang enteng dan hendak dilecehkannya itu ternyata memberikan perlawanan dengan ilmu silat tidak rendah. Kalau tidak cepat tiga temannya menyerbu, bagian bawah perutnya bisa saja tadi kena dimakan tendangan lawan!
Sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih walau tenaga dalamnya belum mencapai tingkat tinggi, dalam ilmu silat kepandaian Wulan Srindi hanya dua tingkat di bawah kepandaian Parit Juwana, mendiang Ketua perguruan. Namun dikeroyok empat rampok yang memiliki ilmu silat tinggi setelah bertahan selama sembilan jurus, Wulan Srindi mulai terdesak. Di antara empat pengeroyok yang paling berbahaya adalah Si Galah Jangkung. Gerak tangannya cepat sekali. Selain itu dua tangannya yang panjang berkelebat sering tidak terduga.
Memasuki jurus ke dua belas. Wulan Srindi berhasil menghantamkan sikunya ke dada salah seorang lawan, namun pada saat itu pula dari samping kiri berkelebat tangan Si Galah Jangkung.
“Brett!”
Bahu kiri baju ringkas yang dikenakan Wulan Srindi koyak besar. Sebelumnya baju ini telah robek di bagian punggung dan dada sewaktu gadis ini hendak digagahi oleh manusia pocong bernama Sepuh DalemKawung. Kini keadaan pakaian Wulan Srindi jadi awut-awutan. Sebagian tubuhnya tersingkap depan belakang. Membuat empat anak buah Warok Jangkrik jadi tambah bernafsu. Sementara Warok Jangkrik sendiri masih tetap duduk tak bergerak di sudut rumah. Hanya sepasang matanya yang melotot besar tak berkesip sesekali berputar liar memperhatikan tubuh Wulan Srindi yang tersingkap di sana-sini.
Wulan Srindi sendiri saat itu memilih lebih baik mati daripada tercemar dan dirusak kehormatannya. Dalam keadaan terdesak dia berikan perlawanan hebat. Jurus-jurus ilmu silatnya yang diberi nama selalu berkaitan dengan alam, dilancarkan dalam bentuk serangan luar biasa ganas.
Di jurus ke sembilan belas Wulan Srindi dapat menjotos muka Si Comot hingga darah mengucur dari hidungnya yang patah. Namun inilah batas terakhir gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih ini menunjukkan kehebatannya. Dua lawan kembali berhasil merobek pakaiannya. Selagi dia kebingungan menutupi auratnya, Si Galah Jangkung membetot celananya.
Wulan Srindi menjerit keras, hantamkan dua tangan ke depan. Mendadak betis kirinya disambar satu tendangan. Tak ampun gadis ini jatuh terjengkang di lantai. Tiga anggota rampok segera meringkusnya. Rampok ke empat yang hidungnya remuk yakni Si Comot, dengan muka penuh darah seperti kesetanan merobeki pakaian si gadis.
Warok Jangkrik tertawa mengekeh. Dalam tertawa dia dia pasang telinga dan melirik ke arah pintu. Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan biru berkelebat masuk ke dalam rumah. Lalu terdengarlah pekik empat anak buahnya. Si Comot terpental ke dinding rumah sebelah kiri. Kepala menghantam dinding. Kening hancur. Tubuh meliuk tak bergerak dan tak bernafas lagi. Si Galah Jangkung terkapar sambil pegangi tulang dadanya yang remuk. Mulut megap-megap mengucurkan darah. Nyawanya tak tertolong. Dua anggota rampok lainnya bernasib lebih mujur karena hanya remuk tulang pinggul dan patah tulang belikat. Keduanya terduduk di lantai, mengerang menahan sakit sambil memandang ke depan di mana tegak berdiri seorang gadis cantik berpakaian biru, berambut pirang. Tubuh dan pakaian menebar bau harum semerbak. Mereka tahu gadis inilah tadi yang mengirimkan serangan hebat hingga keduanya cidera patah dan remuk tulang. Sementara dua kawan mereka menemui ajal. Tapi agaknya ada yang aneh dengan gadis ini. Karena begitu selesai lancarkan serangan ganas, kini dia berdiri kaku, tak bisa bergerak tak dapat keluarkan suara. Bahkan sepasang matanya yang bagus tidak mampu berkedip!
Selagi dua anggota rampok ini menahan sakit sambil terheran memandangi si cantik berbaju biru, saat itu pula mereka melihat ada seseorang tinggi besar berdiri tepat di sebelah belakang si gadis. Mereka melihat satu tangan bergerak. Sebuah benda dilemparkan ke udara. Sebuah kantong kulit. Satu tangan menangkap kantong itu. Tangan Warok Jangkrik! Kepala rampok ini menyeringai. Dia melangkah dekati Wulan Srindi yang tengah berusaha bangkit. Warok Jangkrik daratkan satu totokan di tubuh Wulan Srindi. Tubuh yang kaku itu kemudian dipanggulnya di bahu kiri.
“Warok, tunggu!” teriak salah seorang anggota rampok.
“Pemimpin, jangan tinggalkan kami!” rampok satunya ikut berteriak.
Dalam keadaan menahan sakit keduanya berusaha berdiri, terbungkuk-bungkuk ke pintu. Di ambang pintu Warok Jangkrik berdiri seolah menunggu dua anak buahnya. Tapi begitu mereka sampai di
hadapannya, Warok Jangkrik berturut-turut hantamkan dua tendangan. Tak ampun lagi dua anggota rampok ini mencelat mental kembali ke dalam rumah. Keduanya bergedebukan di lantai. Tak satupun yang bergerak karena masing-masing sudah putus nyawa dengan perut hancur di sebelah dalam!


**********************
11

SOSOK tinggi besar yang tadi melemparkan kantong kulit dan ditangkap oleh Warok Jangkrik, bergerak melangkah ke hadapan gadis berpakaian serba biru berambut pirang. Gadis ini tegak kaku tak bergerak, tak bisa keluarkan suara bahkan sepasang matanya tidak mampu berkedip! Dan sepasang mata yang bagus ini mendadak memancarkan rasa takut ketika melihat orang yang berdiri di hadapannya. Si tinggi besar ini mengenakan sehelai jubah putih menjela tanah. Kepala tertutup kerudung yang juga terbuat dari kain putih. Dari keseluruhan wajahnya hanya sepasang matanya yang kelihatan di balik dua lobang kecil pada kain penutup kepala. Sepasang mata ini memiliki bola mata aneh membersitkan sinar menggidikkan.
“Makhluk aneh. Menyerupai pocong hidup…” Gadis baju biru tidak teruskan ucapan dalam hatinya. Tengkuk terasa dingin. “Aku tidak mendengar suaranya berkelebat. Aku juga tidak merasakan jari tangan yang melakukan totokan. Bagaimana aku tahu-tahu tidak bisa bergerak tidak bisa bicara. Warok Jangkrik pergi begitu dia muncul di sini. Apa hubungan antara keduanya. Satu menjebak satu menungguku. Lalu gadis berkulit hitam yang diboyong Warok Jangkrik? Mungkin dia salah satu pemain dalam jebakan ini?” Sadar dirinya diancam bahaya besar serta merta si gadis berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk membuyarkan totokan. Tapi dia tidak mampu melakukan.
Di balik kain putih kepala makluk tinggi besar berjubah putih menyeringai. Dari urat yang menonjol tegang di permukaan leher putih jenjang, dia mengetahui kalau gadis di hadapannya tengah berusaha memusnahkan totokan dengan pengerahan tenaga dalam dan hawa sakti.
“Totokan yang menguasai dirimu adalah totokan Menjerat Urat Melumpuh Syaraf. Jangankan dirimu, sepuluh tokoh utama rimba persilatan tanah Jawa sekalipun tidak akan mampu membebaskanmu.”
Si gadis maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi dan jelas punya niat baik terhadap dirinya. Dia tidak boleh bertindak gegabah. Namun amarah membuat dia keluarkan makian.
“Jahanam kurang ajar! Siapa kau sebenarnya! Apa tujuanmu menotok diriku! Berani kau berbuat yang bukan-bukan, aku bersumpah mencincang tubuhmu!” Makian gadis berbaju biru hanya terucap di dalam hati karena mulutnya tak mampu bersuara.
“Bidadari Angin Timur. Jadi inilah ujud orangnya.” Si tinggi besar keluarkan ucapan sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan mulut keluarkan suara berdecak kagum. Dua matanya menatap berkilat. “Wajah cantik jelita, rambut pirang, mata bagus. Kulit putih, tubuh elok tinggi semampai. Aku tidak ingat apakah kita pernah bertemu sebelumnya. Dengar Bidadari, aku tidak malu berterus-terang padamu. Pada pertemuan kita saat ini, tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada dirimu. Apa jawabmu?”
“Jahanam gila!” maki gadis berpakaian biru yang memang Bidadari Angin Timur adanya. Ingin sekali saat itu dia menerkam dan merobek mulut atau memecah kepala orang di hadapannya. Lagi-lagi suara makiannya hanya di dalam hati karena tidak bisa bicara.
“Aku mendengar kabar. Konon kau adalah salah seorang dari sekian banyak kekasih gelap Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Ha… ha… ha! Benar begitu?” Sambil tertawa bergelak orang berjubah dan bertutup kepala kain putih itu memutari Bidadari Angin Timur dan berhenti melangkah begitu sampai lagi di hadapan si gadis. “Apa bahagianya menjadi kekasih gelap. Apa lagi kau hanya seorang dari sekian banyak gadis yang terjebak dalam tipu daya asmara murahan Pendekar itu.”
Dari balik kain penutup kepala orang tinggi besar tatap wajah Bidadari Angin Timur. Si gadis balas memandang. Dia dapatkan sepasang bola mata manusia menyerupai pocong di hadapannya ini berbentuk aneh. “Cantik sekali. Luar biasa cantik.” Orang di hadapan Bidadari Angin Timur kembali keluarkan ucapan berupa puji-pujian. “Bidadari Angin Timur, bersediakah kau kujadikan kekasih? Ah, aku seharusnya tak perlu bertanya. Saat ini aku punya kekuasaan atas dirimu. Aku bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuhmu! Oh tidak, tidak… Aku tidak akan membunuh orang secantikmu. Apa lagi aku punya pantangan membunuh. Tapi dengar, kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang sambil menunggu kemunculan Pendekar Dua Satu Dua di tempat ini! Kalau dia muncul akan kuselesaikan dendam lama yang sudah karatan di dalam tubuhku. Kau bisa menyaksikan kematian kekasih tak bergunamu itu dengan mata kepala sendiri. Setelah itu… Ha… ha… ha!” Si tinggi besar maju satu langkah. Dua tangannya diulurkan membelai pipi Bidadari Angin Timur. Dua tangan itu kemudian turun kebahu, turun lagi ke bawah mengusap pinggul. Si tinggi besar leletkan lidah. Tenggorokannya turun naik.
“Kata orang tubuhmu mulus tanpa cacat. Ingin sekali aku melihat membuktikannya. Kekasihku, izinkan aku membuka pakaianmu.” Habis berkata begitu orang tinggi besar gerakkan dua tangannya ke atas dada pakaian Bidadari Angin Timur. Nafas panas memburu. Jari-jari tangan bergerak membuka pita-pita kecil pengancing pakaian biru di bagian dada.
“Ah… tak pernah aku melihat yang begini putih, begini bagus. Kekasihku, aku benar-benar jatuh cinta padamu.” Kepala yang tertutup kain putih itu dirundukkan ke dada Bidadari Angin Timur yang tersingkap. Belum sempat kepala dan dada bersentuhan tiba-tiba satu cahaya kuning melesat dari atas atap, menerpa ke dalam rumah.
Orang berjubah keluarkan seruan kaget. Dia cepat menyingkir namun cahaya kuning masih sempat menyerempet tubuhnya hingga dia terpental ke belakang. Punggungnya melabrak dinding rumah. Dinding papan yang sudah lapuk itu amblas jebol. Sosok orang berjubah tersekat dalam jebolan. Marah manusia satu ini bukan alang kepalang. Lima jari tangan kiri kanan dipentang ke depan. Luar biasa! Lima jari tangan ini jadi berubah sangat besar dan kuku-kuku hitam mencuat mengerikan dari ujung-ujung jari. Namun begitu matanya memperhatikan ke depan, memandang sosok yang berdiri di samping gadis berbaju biru, amarahnya mendadak mereda. Dadanya berdebar.
Di sebelah Bidadari Angin Timur saat itu berdiri seorang pemuda berpakaian coklat. Sekujur tubuh, mulai dari kepala yang botak sampai ujung kaki yang telanjang berwarna kuning. Bahkan bagian mata yang seharusnya berwarna putih juga terlihat kuning. Ketika dia menyeringai lidahnya juga tampak kuning!
Orang berjubah keluarkan diri dari dalam lobang di dinding. Berdiri tegak, mendadak terkesiap karena baru sadar kalau sebagian jubahnya sebelah depan tampak berwarna kuning.
“Pukulan yang dilepaskan bedebah ini, menyerupai pukulan makhluk dari alamku! Aku memang menyirap kabar kalau dirinya juga sudah terpesat ke tanah Jawa ini. Tapi ujudnya mengapa berbeda. Untuk membuktikan aku harus lancarkan serangan!”
Orang berjubah kembangkan dua tangan ke samping. Tubuhnya tiba-tiba berputar. Sosok yang berputar membentuk kerucut terbalik. Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergoyang-goyang dan terasa disedot ke arah orang yang berputar. Dia tak mungkin bertahan. Sesaat lagi tubuhnya akan masuk ke dalam putaran yang menyedot tiba-tiba pemuda berpakaian coklat bertubuh kuning berseru sambil dorongkan tangan kanan ke arah orang yang berputar.
“Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suaral Manusia yang sembunyikan wajah di balik penutup kepala! Dari mana kau mencuri ilmu itu?!”
Kejut orang yang ditegur bukan olah-olah!
“Memang dia! Pasti dia!” kata orang ini dalam hati. Saat itu selarik sinar kuning dari pukulan yang dilepaskan si pemuda menderu tinggal sejarak satu langkah dari hadapannya. Dengan cepat manusia berjubah putih besarkan mata. Ketika sepasang mata ini dikedipkan, dua larik cahaya hijau panjang berbentuk segi tiga lancip di bagian ujung terdepan, menyembur ganas ke arah pemuda berkulit kuning.
“Hantu Hijau Penjungkir Roh\” Seru si pemuda berkulit kuning. Dengan cepat dia melesat ke udara hingga sebagian tubuhnya keluar dari atap bangunan. Dari atas pemuda ini gerakkan dua kaki menendang ke bawah. Dua gelombang cahaya kuning membabat laksana topan prahara. Sebelum rumah tua lapuk itu hancur berantakan, orang berjubah cepat menyambar tubuh Bidadari Angin Timur yang terlempar ke udara. Tapi dia kalah cepat. Pemuda kulit kuning telah lebih dulu melesat ke bawah. Satu kaki ditendangkan ke arah si jubah putih sementara tangan kanan disusupkan ke bawah
ketiak Bidadari Angin Timur.
“Dukkk!”
Untuk kedua kalinya si jubah putih terpental. Kali ini sambil semburkan muntahan cairan warna kuning dari mulutnya. Sesaat wajahnya kelihatan kuning. Tubuhnya bergetar hebat, merinding dingin karena sadar bahwa barusan dia terlepas dari bahaya racun jahat. Kalau saja tadi dia tidak muntahkan cairan kuning maka satu racun sangat berbahaya akan mendekam di bagian tubuhnya yang kena tendangan. Mulutnya komat-kamit. Amarah membuat dia gelap mata.
“Makhluk kuning jahanam! Kau tak akan dapatkan gadis itu hidup-hidup!” Habis berkata begitu si jubah putih angkat tangan kanan ke atas, diputar setengah lingkaran.
“Cukup!” teriak pemuda berkulit kuning. Tangan kanannya dikepal, lalu diangkat ke atas. Kepala itu kelihatan dibungkus cahaya kuning.
Sesaat orang berjubah merasa bimbang. Dalam hati dia merutuk habis-habisan.
“Pemuda muka tai!” bentak si jubah putih. “Aku tahu siapa kau adanya! Sejak dulu kau memang biang racun penghalang segala pekerjaanku! Jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku masih berbaik hati mengampuni selembar nyawamu! Tapi lain kali kalau aku datang mencarimu jangan harap nyawamu ketolongan. Aku akan membuat tubuhmu amblas ke dalam tanah! Akan kukubur kau hidup-hidup!” Selesai membentak orang berjubah segera putar tubuh. Dinding rumah ditabraknya begitu saja. Pemuda botak berkulit kuning hendak mengejar. Tapi kawatir akan keselamatan gadis dalam pelukannya dia batalkan niat. Di kejauhan sana manusia berdandan seperti pocong telah berada di pinggiran lembah sebelah timur.
Perlahan-lahan pemuda berkulit kuning turunkan tubuh Bidadari Angin Timur.
“Ini pertemuan kita yang kedua. Aku sangat gembira bisa melihatmu lagi. Sahabat, apakah kau masih ingat diriku?” Pemuda botak menatap tersenyum sambil usap kepalanya. Ketika Bidadari Angin Timur tidak menjawab dan tidak bergerak baru dia ingat. “Tololnya aku ini. Sahabat cantik dalam keadaan tertotok aku malah ajak bicara. Eh…” Si pemuda mendadak tutup mulut hentikan ucapan lalu tertawa sendiri. “Kau tahu, di negeri asalku totok berarti payudara…” Pemuda itu usap lagi kepala botaknya, perhatikan Bidadari Angin Timur dari kepala sampai ke kaki lalu geleng-geleng kepala. Melihat sikap orang Bidadari Angin Timur diam-diam merasa kawatir. Mungkin pemuda itu tidak mampu melepaskan totokan yang menguasai dirinya. Berarti sampai berapa lama dia akan berada dalam keadaan seperti itu hingga ada seseorang yang mampu menolong?
Pemuda botak berkulit kuning perhatikan bagian leher Bidadari Angin Timur. Saat itu bagian dada pakaian si gadis yang tadi sempat dibuka orang berjubah dan berkerudung kain putih masih dalam keadaan tersingkap. Namun sedikitpun dia tidak memperhatikan pemandangan yang tidak akan dilewatkan oleh mata lelaki manapun.
“Tak ada tanda di lehermu,” ucap si pemuda. Dia melangkah ke belakang Bidadari Angin Timur “Maafkan kalau aku terpaksa menyentuhmu. Aku harus mengetahui bagian mana dari tubuhmu yang ditotok.” Bidadari Angin Timur merasakan dua kali usapan di punggungnya kiri kanan. “Tidak terasa ada bekas totokan di punggungmu. Hemmm…” Sambil usap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis dia kembali berdiri di hadapan Bidadari Angin Timur. “Menjerat Urat Melumpuh Syaraf! Pasti dia menotokmu dengan ilmu itu. Ilmu curian! Semua ilmu kepandaiannya kebanyakan hasil curian dari para tokoh di Negeri Latanahsilam.”
Bidadari Angin Timur semakin merasa kawatir. “Agaknya dia memang tidak bisa menolong. Celaka diriku…”
Pemuda itu tatap paras cantik gadis di depannya lalu tersenyum. “Jangan kawatir. Aku bisa membebaskanmu. Asa! kau tidak marah kepalamu aku pegang-pegang.” Bidadari Angin Timur merasa lega. “Lakukan apa saja asal aku bisa kau bebaskan,” katanya pasrah dalam hati. Dari sikap si pemuda dia yakin orang tidak akan memperlakukannya secara kurang ajar.
“Sahabat, aku akan berdiri di belakangmu. Aku akan menyusupkan tangan ke bawah rambut pirangmu di bagian tengkuk, terus naik ke atas sampai ke ubun-ubun. Kau tidak akan merasa sakit, hanya ada sedikit rasa panas. Justru hawa panas itulah yang akan membuyarkan totokan yang menguasai dirimu. Aku akan melakukan sekarang. Harap maafkan kalau aku harus memegang kepalamu. Aku tahu, orang di negeri ini menganggap kepala sebagai bagian tubuh paling terhormat. Jadi dianggap kurang ajar kalau kepala kita sampai dipegang orang lain. Begitu, betul?”
Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu Bidadari Angin Timur pasti tersenyum dan mengiyakan ucapan si pemuda. Setelah menatap wajah si gadis sesaat, pemuda muka kuning melangkah ke belakang Bidadari Angin Timur. Seperti yang dikatakannya tadi, tangan kanannya disusupkan ke tengkuk di bawah rambut pirang, terus naik ke atas kepala hingga telapak tangannya menyentuh ubun-ubun. Bidadari Angin Timur tidak menunggu lama. Hawa panas yang dikatakan pemuda itu kini mulai terasa menyengat kepalanya, menjalar ke muka, turun ke tubuh. kalau saja mulutnya tidak terkancing, saat itu Bidadari Angin Timur pasti akan berteriak keras. Hawa yang turun ke telapak kakinya panas luar biasa seolah dia tengah berdiri di atas bara api.
Pemuda berkulit kuning turunkan tangannya ke tengkuk. Sesaat tangan itu masih menyusup ke bawah rambut pirang Bidadari Angin Timur. Begitu pegangan dilepas si pemuda sudah berada di hadapan si gadis kembali.
“Hai, kau sudah bebas dari totokan. Mengapa diam saja?!” Ucap si pemuda.
“Apa?!” Bidadari Angin Timur terkejut.
Ucapannya keluar tanpa sadar. Kepalanya dipalingkan. Tangannya digerakkan. Gadis ini berteriak keras saking girangnya. Malah diluar sadar dia hendak melompat memeluki pemuda berkulit kuning itu. Karuan saja si pemuda mundur teratur seperti ketakutan.
“Kau, bukankah kau Hantu Jatilandak yang katanya berasal dari negeri seribu dua ratus tahun silam? Yang lenyap begitu saja tempo hari setelah menolong Setan Ngompol!?”
“Aku gembira kau masih ingat diriku. Mana teman-temanku yang lain. Wiro, Naga Kuning, kakek tukang kencing Setan Ngompol…” (Riwayat pertemuan Bidadari Angin Timur dan Hantu Jatilandak pertama kali dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Melati Tujuh Racun sedang mengenai Hantu Jatilandak bisa dibaca dalam serial Wiro di Negeri Latanahsilam antaranya dalam Episode berjudul Hantu Jatilandak)

“Panjang cerita mengenai mereka…”
“Kalau begitu cerita tentang dirimu saja. Bagaimana kau bisa hampir celaka di tangan orang tadi.”
“Ada yang menjebakku. Antara kau dan manusia berpakaian serba putih tadi, apakah sudah saling mengenal sebelumnya?”
“Kami sudah lama berseteru. Di negeri Latanahsilam dia dikenal sebagai makhluk paling jahat. Namanya Hantu Muka Dua. Kalau saja kepalanya tidak ditutupi dengan kain putih kau bisa melihat keadaan kepalanya. Dia memiliki dua wajah, satu di depan satu di belakang…”
Bidadari Angin Timur jadi ternganga mendengar ucapan Hantu Jatilandak.
“Kalau tidak menyaksikan sendiri kau tidak akan percaya. Aku…”
“Jatilandak, aku sangat berterimakasih atas pertolonganmu. Namun saat ini ada sesuatu yang harus aku lakukan. Seorang gadis berada dalam bahaya besar. Diculik rampok jahat. Aku harus menyelamatkannya. Rasanya si penculik belum lari jauh…”
“Dalam perjalanan ke tempat ini tadi, aku melihat orang lari keluar lembah menuju arah selatan. Pakaian hitam-hitam. Dia lari sambil memanggul seseorang. Mungkin itu orang yang kau maksudkan?
“Pasti!” “Kalau begitu aku ikut bersamamu. Aku bisa memberitahu arah lari si penculik itu,” kata Jatilandak.
Keduanya, segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sempat melangkah, Jatilandak tiba-tiba tarik tangan Bidadari Angin Timur. Sebuah benda melayang di udara, melesat satu jengkal di depan wajah si gadis lalu menancap di papan lapuk runtuhan rumah tua.
“Benda apa?!” kejut Bidadari Angin Timur.
Jatilandak dekati papan, membungkuk dan mencabut benda yang menancap lalu diperlihatkan pada Bidadari Angin Timur. Benda itu ternyata sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga, basah oleh cairan merah berbau amis.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4496 - 4499

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4496-4499 Thomas benar-benar tercengang saat melihat pemandangan di depannya, wajahnya luar biasa.  "Ini...i...