Hantu Selaksa Angin
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
1
SENGATAN
sinar matahari di wajah dan sekujur badannya menyadarkan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Perlahan-lahan dia buka kedua matanya tapi serta merta dipicingkan
kembali, tak tahan oleh silaunya cahaya matahari. Sambil melindungi matanya dengan
tangan kiri Wiro mencoba bangkit dan duduk di tanah.
“Ampun,
sekujur tubuhku sakit bukan main. Tulangtulang serasa copot. Kepalaku mendenyut
tak karuan. Apa yang terjadi dengan diriku…?” Wiro buka kembali sepasang
matanya. Lalu memandang berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada di satu
kawasan berbatu-batu di kaki sebuah bukit kecil. Pakaiannya kotor bahkan ada
robekanrobekan di beberapa tempat. Lengan serta kakinya lecet. Ketika dia
meraba kening sebelah kiri ternyata kening itu benjut cukup besar. Di depan
sana dia melihat beberapa pohon besar bertumbangan. Semak belukar berserabutan
dan bertebaran di mana-mana.
“Kaki
bukit batu… Pohon-pohon tumbang… Sunyi. Di mana ini… Bagaimana aku bisa berada
di tempat ini?” Wiro kembali memandang berkeliling. Dia coba mengingat-ingat
sambil menggaruk kepala. Seperti diceritakan dalam episode terdahulu, “Rahasia
Perkawinan Wiro”, sebelum dinikahkan oleh Lamahila, si nenek juru nikah itu
telah memberi minuman yang disebut Embun Murni kepada Wiro. Akibat meneguk
minuman aneh itu Wiro menjadi seperti hilang kesadarannya dan mau melakukan apa
yang dikatakan si nenek. Bahkan dia tidak sadar kalau telah melakukan upacara
pernikahan dengan Hantu Santet Laknat yang berubah ke ujud aslinya, berupa
seorang dara cantik jelita bernama Luhrembulan.
“Edan!”
Wiro tepuk keningnya sendiri. “Otakku tak bisa bekerja! Jangan-jangan otakku
sudah tak ada lagi dalam batok kepala!” Wiro jitak-jitak keningnya sendiri
hingga mengeluarkan suara tuk… tuk… tuk. Pendekar ini lalu menyeringai sendiri.
“Ah…! Dari bunyinya jelas otakku masih ada dalam kepala. Tapi mengapa aku tak
bisa berpikir, tak bisa mengingat-ingat! Agaknya aku harus menenangkan diri,
atur jalan nafas dan peredaran darah!
Jangan-jangan
telah terjadi sesuatu dengan diriku!” Wiro ingat pada senjatanya. Dia susupkan
tangan ke balik pakaian. Dia merasa lega. Ternyata Kapak Maut Naga Geni 212
masih terselip di pinggangnya. Lalu batu sakti hitam pasangan kapak juga ada di
dekat senjata itu.
Untuk
sesaat Wiro genggam hulu kapak sakti bermata dua itu. Hawa sejuk memasuki
tangannya, perlahan-lahan mengalir ke dalam tubuh. Di dalam aliran darah hawa
sejuk itu berubah menjadi hangat. Bilamana perasaan dan pikirannya menjadi
tenang, Wiro rubah duduknya jadi bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha,
mata dipejamkan. Begitu dirasakannya ada ketenangan dalam dirinya, sang
pendekar mulai mengerahkan hawa sakti serta mengatur pernafasan dan aliran
darah dalam tubuhnya. Tak selang berapa lama didahului dengan menghirup udara
segar lewat hidung, kemudian perlahan-lahan menghembuskannya lewat mulut, Wiro buka
sepasang matanya.
“Hemmm…
Syukur otakku tidak sableng benaran. Kini aku ingat apa yang terjadi. Aku
berada di puncak bukit ketika tiba-tiba badai datang mengamuk. Mungkin aku
dihantam badai celaka itu, terlempar ke bawah bukit ini.
Sebelum
terlempar aku ingat betul. Ada satu suara memanggil namaku. Siapa dia…? Luh…
Luhrembulan! Astaga…! Bukankah gadis cantik penjelmaan Hantu Santet Laknat itu
yang memanggil aku sebagai suaminya? Katanya aku dan dia telah dinikahkan oleh
Lamahila. Ya Tuhan! Bagaimana semua itu bisa terjadi?!”
Pendekar
212 Wiro Sableng serta merta bangkit berdiri.
Dia
memandang ke puncak bukit. “Luhrembulan… Apakah dia masih ada di atas bukit
itu? Jangan-jangan badai telah mencelakainya. Apakah aku harus menyelidik naik
ke atas bukit? Tapi kalau aku memang sudah jadi suaminya, bisabisa aku… Gila!
Aku tak mau cari penyakit. Lebih baik segera aku angkat kaki saja dari tempat
ini!” Wiro layangkan lagi pandangan ke arah puncak bukit lalu tanpa menunggu
lebih lama dia segera balikkan badan untuk melangkah pergi. Tapi belum sempat
langkah dibuat tibatiba dari balik serumpunan semak belukar melesat dua sosok
tubuh. Lalu dari atas sebatang pohon miring, laksana seekor burung besar
melayang turun seorang berpakaian serba hitam. Dari sepasang matanya menyambar
dua larik kobaran api.
Murid
Eyang Sinto Gendeng tersurut satu langkah. Dia cepat memasang kuda-kuda. Dua
kaki tegak merenggang seperti dipantek ke tanah. Dua tangan disilang di depan
dada. Saat itu dia dapatkan dirinya telah dikurung oleh tiga orang. Ternyata
tidak cuma tiga! Orang ke empat muncul dari balik tumbangan pohon besar. Dia
melangkah sambil menggoyang sebuah rebana yang ada kerincingannya di tangan
kiri. Mukanya yang kempot keriputan cengar-cengir. Barisan giginya tonggos
berserabutan ke depan. Setiap langkah yang dibuatnya seperti orang menari
mengikuti suara kerincingan yang sesekali diseling tabuhan rebana. Di
punggungnya tersisip sebuah payung terbuat dari rangkaian daun-daun kering.
Lalu di sebelah bawah kelihatan celananya yang di bagian belakang selalu
didodorkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap tersingkap ke mana-mana!
“Pelawak
Sinting palsu! Jahanam ini dulu yang hampir mencelakaiku di sarangnya Hantu
Muka Dua…” membatin Wiro. “Kabarnya sejak didamprat saudara kembarnya Si
Pelawak Sinting asli, dia telah berubah baik. Sekarang dia muncul di sini! Apa
membawa niat baik atau niat jahat! Apa dia muncul bersama yang lain-lain ini?”
Wiro
melirik ke samping kiri. Di situ tegak sosok berjubah hitam berwajah dan
bertubuh jerangkong. Makhluk ini bukan lain adalah Sang Junjungan, guru Hantu
Santet Laknat. Sebelumnya Wiro memang tidak pernah melihat makhluk ini hingga
tidak mengetahui siapa dia adanya.
Orang ke
tiga berdiri berdampingan dengan orang ke empat. Yang di sebelah kanan ternyata
adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Otaknya yang terletak di atas kepala
tampak mendenyut keras, mukanya mengelam pertanda orang tua berkepandaian
tinggi ini tengah berusaha menindih hawa amarah yang saat itu menggelegak di
dadanya. Dua matanya memandang garang tak berkesip ke arah Pendekar 212.
Sebaliknya Wiro balas memandang dengan hidung dan mulut dipencongkan. Dalam
hati dia berkata. “Bangsat tua yang otaknya di luar kepala ini yang telah
mencelakai diriku. Kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat, tendangan
beracunnya pasti membuat aku saat ini sudah berada di alam roh! Sialan betul!”
Di
sebelah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tegak seorang kakek berpakaian serba
ungu. Dialah Lawungu, kakek yang pernah disantet oleh Hantu Santet Laknat. Berkat
sebuah sendok sakti terbuat dari emas bernama Sendok Pemasung Nasib kakek yang
hampir meregang nyawa ini berhasil ditolong dan disembuhkan.
Tidak
beda dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kakek satu ini juga memandang
penuh geram pada Wiro.
Seperti dituturkan
dalam episode “Badai Fitnah Latanahsilam”, demi menolong Pendekar 212 Wiro
Sableng,
Hantu Santet Laknat mengikat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan ular
jejadian yang sebenarnya adalah tali yang terbuat dari akar gantung pohon
besar. Ilmu hitam si nenek ternyata berhasil membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tidak berdaya. Hantu Santet Laknat kemudian melarikan Wiro, membawanya ke
sebuah gubuk di satu bukit di mana dia memberikan pengobatan pada sang pendekar
hingga sembuh.
Begitu
juga Lawungu. Ketika dia muncul dan hendak menolong Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab, Naga Kuning dan Setan Ngompol bersama Betina Bercula yang juga muncul
tak terduga di tempat itu segera bertindak. Kakek satu ini berhasil mereka
lumpuhkan dengan jalan menotok. Setelah itu baik Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab maupun Lawungu dipermainkan habis-habisan oleh ketiga orang itu. Lawungu
dikencingi mulutnya oleh Setan Ngompol sedang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
pakaiannya sebelah bawah perut disusupi berbagai binatang seperti kalajengking,
kodok, semut rangrang, kadal, cacing dan sebagainya.
Bagaimana
kini dua kakek sakti itu bisa membebaskan diri lain tidak adalah berkat
pertolongan Si Pelawak Sinting palsu yang kebetulan lewat di tempat itu. Semula
Si Pelawak Sinting yang otaknya agak miring angin-anginan ini tidak mau
menolong kedua orang itu. Namun setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga
melepaskan ikatan di tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu memusnahkan
totokan yang membuat kaku tegak Lawungu. Malah kemudian karena ingin tahu apa
yang hendak dilakukan dua kakek itu, Si Pelawak Sinting palsu mengikuti
perjalanan keduanya.
“Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Lawungu jelas tidak bersahabat denganku!
Sebelumnya mereka hendak menggantungku. Nyawaku pasti amblas kalau tidak
ditolong Hantu Santet Laknat. Si muka jerangkong ini melihat gerak-geriknya dia
juga tidak berada di pihakku. Entah si Pelawak Sinting brengsek itu…” Begitu
Wiro membatin. Dia memutuskan berdiam diri. Menunggu apa yang hendak diperbuat
orang-orang yang telah mengurungnya itu. Ternyata Wiro tidak menunggu lama.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuka mulut pertama kali. Suaranya keras
lantang dan bergetar.
***********************
2
PEMUDA
asing seribu laknat seribu keparat! Akhirnya kutemui juga kau! Kali ini jangan
harap bisa lolos dari tanganku!”
“Orang
tua! Percuma otakmu berada di luar kepala. Kau pasti masih saja menuduhku
sebagai perusak dan penganiaya dua cucumu!”
“Hal itu
sudah jelas!” ikut bicara Lawungu. “Sebelum sahabatku ini membunuhmu lekas kau
memberitahu di mana beradanya nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat itu!”
Seperti
diketahui, Lawungu membekal dendam kesumat sangat besar terhadap si nenek
karena Hantu Santet Laknatlah yang telah menyantet tubuhnya hingga hampir
menemui ajal dalam keadaan membusuk. Sebenarnya diam-diam Lawungu dan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab juga tengah mencari Setan Ngompol dan Naga Kuning
yang beberapa waktu lalu telah mengerjainya. Tapi karena ada rasa takut
terhadap Naga Kuning, maka Lawungu tidak menanyakan tentang kedua orang itu
pada Wiro.
Wiro
melirik ke arah orang bermuka tengkorak berbadan jerangkong yang dipanggil
dengan sebutan Sang Junjungan. Orang ini tegak tak bergerak. Rambut putih di
batok kepalanya kelihatan aneh. Di dalam sepasang matanya yang bolong kelihatan
cahaya merah seperti ada kobaran api di dalam kepalanya. “Agaknya si makhluk
jerangkong ini tidak datang bersama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan kakek
jubah ungu itu,” Wiro menduga dalam hati.
Tiba-tiba
ada suara kerincingan disusul suara rebana ditabuh. “Na… na… na… Ni… ni… ni!”
Di sebelah sana si Pelawak Sinting mulai menyanyi sambil menari. Pantatnya
tersingkap ogel-ogelan kian kemari!
“Jahanam
sinting! Berhenti menabuh rebana! Tutup mulut dan berhenti menari! Aku tidak membawamu
kemari! Kau yang mengikuti perjalanan kami berdua. Jadi harap kau tahu diri!
Jangan mengacau urusan orang lain! Kalau tidak bisa berdiam diri lindang hapus
dari sini!” Yang membentak penuh marah adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Dibentak
seperti itu Si Pelawak Sinting tampak kaget. Mukanya yang keriput sampai pucat
sesaat. Lalu dia geleng-geleng kepala. “Nasibku buruk amat! Karena hati gembira
aku menari dan menyanyi. Tapi orang menganggap aku mengacau! Aku diusir pergi!
Mungkin suaraku tidak bagus! Tarianku buruk!”
“Pelawak
Sinting! Jangan kau mengomel tak karuan di sini!” Lawungu ikut membentak.
Si
Pelawak Sinting letakkan rebananya di atas kepala. Lalu di atas rebana ini
diletakkannya gagang daun payung. Walau melangkah sambil goleng-golengkan
kepala tapi rebana dan payung itu tidak jatuh. Sembari berjalan ke arah satu
pohon besar kakek ini menjawabi bentakan Lawungu dengan gerutuan.
“Terima
kasih! Aku tidak mengomel. Hanya saja apa kau tidak bisa mengingat budi orang?
Kalau aku tidak menemukan kalian berdua, kalau bukan aku yang menolong kalian
akan mati membusuk di tengah rimba belantara! Tidak kalian usirpun aku memang
ingin pergi!
Orang
sinting macamku mana cocok di satu tempat dengan orang-orang hebat seperti
kalian!” Si Pelawak Sinting songgengkan pantatnya lalu teruskan langkahnya.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab marah bukan main. Lawungu hendak mengejar kakek
itu tapi Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab cepat memberi isyarat dan berkata.
“Biarkan
saja orang gila itu pergi! Kita tidak membutuhkannya lagi! Urusan kita adalah
dengan pemuda jahanam ini!”
“Na… na…
na! Ni… ni… ni! Terima kasih! Begitulah sifat manusia. Ketika membutuhkan,
mengemis bahkan menjilat pantat orangpun mau! Hik… hik! Tapi kalau sudah
terlepas dari kesulitan, uhhh… Sombongnya minta ampun. Hik… hik… hik!” Sambil
melangkah ke arah pohon besar di depannya Si Pelawak Sinting palsu terus
nyerocos. “Orang bijak berkata bahwa orang tua-tua itu menjadi pegangan hati
dan perasaannya, menjadi cermin otak dan jalan pikirannya, menjadi panutan
sikap dan tindakannya. Tapi kalian berdua semakin tua semakin lupa diri. Tidak
heran kalau berkat dan perlindungan para Dewa tidak sampai atas diri kalian!
Musibah berkepanjangan. Tidak heran makhluk yang namanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab kini tidak punya kemampuan lagi untuk jadi tempat bertanya dan tempat
mencari jawab! Na… na… na! Ni… ni… ni! Hik… hik!”
Wajah
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjadi merah padam mendengar kata-kata Si
Pelawak Sinting palsu itu. Wiro sendiri sempat tercengang tapi sekaligus
membatin.
“Jangan-jangan
apa yang dikatakan kakek sinting itu benar adanya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab telah kehilangan kepandaiannya dalam mengetahui banyak hal. Karena sikap
dan perbuatannya telah banyak menyimpang. Tidak lagi mendapat restu Yang
Kuasa!”
Otak di
atas kepala Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendenyut keras seperti hendak
meledak keluar. “Tua bangka jahanam ini harus kupatahkan batang lehernya
sekarang juga!” katanya penuh geram.
“Sabar
wahai kerabatku! Jangan sampai terpancing! Manusia tak berguna itu bisa kita
urus kemudian. Yang penting pemuda ini dulu!” Kembali Lawungu memberi ingat
sahabatnya itu.
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab terpaksa tekan amarahnya yang meluap. Dia dan Lawungu
berpaling kembali menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng. Akan halnya Si Pelawak
Sinting ternyata kakek ini tidak benarbenar pergi. Begitu dia kelindungan di
balik pohon, dengan satu lompatan enteng dia melesat ke atas pohon lalu duduk
di salah satu cabang. Luar biasanya walau dia membuat lompatan cukup tinggi,
rebana dan payung di atas kepalanya tidak bergerak seolah menempel erat.
Kerincingan yang ada di sekeliling rebana juga tidak mengeluarkan suara
sedikitpun!
“Pemuda
asing! Apa kau mendadak jadi bisu! Tidak mau menjawab pertanyaanku! Di mana
beradanya Hantu Santet Laknat! Kami tahu dia yang membawamu setelah mencelakai
sahabatku ini!” Lawungu kembali membuka mulut.
“Dia
memang membawaku. Dia mengobati luka dalam akibat tendangan beracun kakek yang
otaknya di luar
kepala
ini! Setelah menolong diriku dia pergi begitu saja. Di mana dia kini berada aku
tidak tahu!”
“Hemmm…”
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab keluarkan suara bergumam. “Setelah menerima
budi orang kau unjukkan sikap baik, sengaja melindungi dirinya. Tidak mau
memberitahu di mana dia berada! Makin jelas bagiku kalau kau memang terlibat
cinta dengan nenek jahat buruk itu!”
Wiro jadi
kesal. Dalam hati dia membatin. “Tua bangka berotak geblek! Kalau kau melihat
ujud asli Hantu Santet Laknat, rasanya aku berani bertaruh mencungkil mataku
sendiri. Kau pasti terpikat habis-habisan padanya!” Wiro pandangi otak si kakek
yang bertengger berdenyut di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng lalu
meneruskan ucapannya.
“Aku
memang tidak tahu di mana nenek itu berada! Bukan karena ingin melindunginya.
Tapi karena aku orang tolol tidak tahu apa-apa! Sebaliknya kau orang pintar!
Percuma kau bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kalau tidak mampu
mengetahui di mana Hantu Santet Laknat berada. Mungkin benar ucapan Si Pelawak
Sinting tadi. Kau telah kehilangan kepandaianmu karena kelewat sombong! Mulai
hari ini biar kuganti namamu menjadi Hantu Sejuta Tolol Sejuta Dungu!”
Mendidihlah
amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendengar ejekan Pendekar 212. Apalagi
Lawungu ikut membakar.
“Sahabatku!
Orang tak mau memberi keterangan. Apalagi yang ditunggu. Kita habisi dia
sekarang juga!”
“Kau
benar Lawungu! Tanganku memang sudah gatal ingin menghajarnya! Dia tidak layak
berada lebih lama di bumi Latanahsilam ini! Tempatnya adalah alam kematian!
Rohnya akan tergantung sengsara antara langit dan bumi! Aku lebih puas jika aku
sendiri yang menghabisinya!”
Begitu
selesai berucap Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab langsung menerjang.
Sebenarnya
melihat Wiro dalam keadaan hidup merupakan satu tanda tanya besar bagi kakek
sakti yang otaknya ada di luar batok kepala ini. Sebelumnya dalam satu
perkelahian dia berhasil menghantam dada Pendekar 212 dengan Tendangan Hantu
Racun Tujuh. Selama ini tidak ada satu orangpun yang selamat dari tendangan
itu. Kalaupun mampu bertahan maka dalam waktu dua hari akhirnya akan menemui
ajal. Kalau Wiro masih hidup berarti memang ada seorang berkepandaian tinggi
yang telah menolongnya. Tetapi sulit dipercaya kalau Hantu Santet Laknat yang
menolong pemuda ini. Walau tadi dia menuduh Wiro mempunyai hubungan asmara
dengan Hantu Santet Laknat namun setahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab si
nenek sejak lama berseteru hebat dengan Wiro dan kawan-kawannya.
Sosok
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melesat di udara. Kakek sakti ini siap melancarkan
pukulan yang disebut Menara Mayat Meminta Nyawa. Ini merupakan salah satu
serangan sangat berbahaya. Jelas si kakek memang ingin membunuh Wiro. Sang
pendekar tentu saja tidak tinggal diam. Sebelumnya dia mempunyai rasa hormat
dan kagum terhadap orang tua ini. Ternyata sifat dan sikap serta bicara Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab jauh berbeda dengan apa yang diduganya. Karenanya
Wiropun tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu dirinya diserang dia segera siapkan
pukulan Sinar Matahari di tangan kanan sedang tangan kiri digerakkan untuk
melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Tiba-tiba dari arah kiri
menggelegar satu bentakan. Suara bentakan ini seolah datang dari liang jurang
batu yang dalam hingga untuk beberapa lamanya menggema di seantero tempat.
“Tahan
serangan!”
Menyusul
berkelebat satu bayangan hitam, membuat gerakan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
tertahan. Sosoknya sesaat seperti mengapung di udara lalu terdorong ke samping.
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab terkejut besar. Terlebih ketika dia melihat yang
barusan memapaki serangan mautnya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng adalah si
jubah hitam muka tengkorak tubuh jerangkong.
“Makhluk
salah ujud! Tempatmu seharusnya di neraka! Jadi kalau kau sesat datang kemari
jangan berani mencampuri urusan orang!” Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
membentak marah. “Setahuku bukankah kau adalah guru Hantu Santet Laknat. Kita
memang tidak berada di satu pihak. Tapi adalah aneh kau membela pemuda asing
yang menjadi musuh muridmu itu! Malah bukankah kau yang selama ini memberi
perintah pada Hantu Santet Laknat untuk menghabisi pemuda asing ini bersama
teman-temannya?! Jangan memaksa diriku untuk ikut menghabisi dirimu saat ini
juga!”
Makhluk
muka tengkorak yang dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan tertawa bergelak.
“Otak
anehmu rupanya tahu banyak. Kau tentunya makhluk paling pintar di bumi Negeri
Latanahsilam ini. Tapi mengapa tadi pemuda itu menyebutmu sebagai Hantu Sejuta
Tolol Sejuta Dungu! Ha… ha… ha…! Orang tua berotak aneh! Kau dengar baik-baik.
Langit di atas bumi Latanahsilam ini boleh tetap sama. Samudera yang
mengelilingi negeri ini juga tetap sama. Tapi ujud hubungan manusia bisa
berubah!”
“Apa
maksudmu?” tanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
“Sahabatku!
Kau tidak perlu bicara berpanjang lebar pada makhluk yang kesasar datang dari
liang kubur ini! Kau bunuh pemuda asing itu! Aku biar menghabisi jahanam sesat
bermuka tengkorak bertubuh jerangkong ini!” Yang bicara adalah Lawungu.
Ketika
Sang Junjungan memapasi serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Pendekar 212
sebenarnya juga merasa heran. Semula dia menduga makhluk muka tengkorak itu
menghalangi serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab karena dia tidak ingin
kedahuluan. Karena pasti dia juga membekal maksud untuk membunuh dirinya. Namun
mendengar ucapan si muka tengkorak tadi, hati sang pendekar jadi
bertanya-tanya.
Setuju
akan ucapan Lawungu maka Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab segera menyerbu. Dari
tangan kanannya yang dihantamkan ke arah Wiro menderu keluar satu gulungan
sinar putih sebesar batang kelapa. Dalam jarak beberapa langkah dari Wiro
tiba-tiba sinar ini memecah menjadi tujuh! Inilah kedahsyatan ilmu pukulan yang
disebut Menara Mayat Meminta Nyawa!
Di bagian
lain Lawungu sudah menghantam pula ke arah si muka tengkorak. Dua tangannya
dipukulkan ke depan. Dua larik sinar ungu berkiblat dari ujung-ujung lengan
jubahnya! Si muka tengkorak berseru keras ketika merasakan tubuhnya mulai dari
kepala sampai ke kaki laksana dihimpit dua dinding batu!
“Pukulan
Bumi Langit Menghimpit Roh!” teriak si muka tengkorak mengenali pukulan yang
dilepaskan Lawungu.
***********************
3
SETELAH
berteriak makhluk muka tengkorak tubuh jerangkong yang dikenal dengan panggilan
Sang Junjungan itu angkat dua tangannya di depan dada, lalu ditepiskan ke kiri
dan ke kanan. Bersamaan dengan itu dia goyangkan kepalanya. Dari sepasang
matanya yang hanya merupakan bolongan melesat keluar dua larik lidah api. Lalu
dari dua tangannya yang tadi dipukulkan menyilang menderu satu gelombang angin
yang dahsyatnya bukan alang kepalang!
Wusss!
Wusss!
Bummm!
Sang
Junjungan terpental dua tombak.
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede terbeliak kaget ketika melihat apa yang
terjadi dengan sosok Sang Junjungan. Akibat pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh
yang dilancarkan Lawungu, tubuh makhluk muka tengkorak badan jerangkong itu
ciut gepeng laksana habis digencet dua batu besar! Walau masih berdiri tapi
tingginya hanya tinggal selutut. Dari tubuh gepeng itu mengepul asap kelabu.
Dari mata, telinga, liang hidung dan mulutnya mengucur cairan putih.
“Aneh,
apakah makhluk ini memiliki darah berwarna putih…” pikir Wiro. Dia terus
memperhatikan.
Tubuh
gepeng Sang Junjungan berdiri dengan lutut goyah, terhuyung limbung. Jubah
hitamnya menjela-jela di tanah dan kelihatan hangus robek di beberapa bagian,
menyembulkan sosok tubuhnya yang hanya merupakan tulang belulang putih. Sang
Junjungan gerak-gerakkan kepalanya berulang kali. Dua tangannya digeliatkan ke
samping. Lalu sepasang kakinya yang tinggal pendek dihentak-hentakkan ke tanah.
Rambut putihnya berjingkrak tegak seperti kawat. Tiba-tiba, rrrttttt!
Seperti
sebuah benda kenyal terbuat dari karet, tubuh Sang Junjungan membal ke atas,
berubah panjang, kembali ke bentuknya semula!
Di bagian
lain kakek berjubah ungu Lawungu terduduk di tanah. Mukanya yang penuh keriput
kelihatan merah kelam dan mengepulkan asap seperti udang baru direbus. Bahu dan
dadanya tersentak-sentak. Dari mulutnya mengucur darah merah. Jubah ungunya tak
karuan rupa, hangus dan cabik-cabik di sana-sini. Matanya terbelalak memandang
ke arah Sang Junjungan.
“Seumur
hidup baru kali ini pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh yang kulepaskan tidak
sanggup memusnahkan lawan! Seharusnya dia sudah hancur ludes berkeping-keping.”
Lawungu batuk-batuk beberapa kali.
Dari
mulutnya menyembur darah kental. “Aku terluka di dalam…” si kakek menyadari apa
yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat ditekapkan ke dada untuk
mengalirkan tenaga dalam.
Dengan
susah payah Lawungu coba bangkit berdiri. Mukanya semakin mengelam merah ketika
di depan sana makhluk muka tengkorak keluarkan suara tertawa mengekeh.
Tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara rebana ditabuh, disusul gema suara
kerincingan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke atas pohon besar.
Ternyata
Si Pelawak Sinting palsu berada di atas pohon itu, duduk berjuntai di salah
satu cabang sambil memukul rebana dan menggoyang kerincingannya. Ketika tahu
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke arahnya, kakek geblek ini julurkan
lidahnya! Sang Junjungan kembali tertawa mengekeh. Lalu dia hentikan tawanya
dan memandang dengan dua bolongan merah yang merupakan mata di kepala
tengkoraknya.
“Sudah
lama aku mendengar kehebatan pukulan sakti Bumi Langit Menghimpit Roh! Ternyata
hanya ilmu kosong tak ada apa-apanya! Lawungu, apa kau masih punya daya
menghadapiku barang dua tiga jurus lagi?!”
Rahang
Lawungu sampai menggembung dan keluarkan suara bergemeretak saking marahnya
mendengar ejekan orang. Kakek ini jadi kalap.
“Makhluk
sesat keparat! Aku mengadu nyawa denganmu! Tempatmu di pusaran neraka! Aku akan
kembalikan kau ke sana!”
Wuuuttt!
Tubuh
Lawungu berkelebat. Sosoknya berubah menjadi bayang-bayang ungu. Dibarengi
suara menggemuruh bayang-bayang ungu itu kemudian menebar menjadi lima,
melabrak ke arah Sang Junjungan. Inilah serangan yang disebut Badai Lima
Penjuru. Sosok Sang Junjungan seolah dihantam badai yang datang dari lima
penjuru, semuanya melabrak dari arah depan!
Makhluk
muka tengkorak keluarkan teriakan keras. Lalu melompat setinggi dua tombak.
Sambil menghindari serangan Badai Lima Penjuru orang ini pukulkan dua tangannya
ke depan. Belasan larikan sinar biru menggelegar di udara, bergulung membuntal
membentuk dua jaring besar yang kemudian menukik menerpa ke arah Lawungu.
“Api
Iblis Penjaring Roh!” seru Lawungu kaget. Dia yang sudah tahu kehebatan jaring
api biru ini segera jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauh. Jaring
pertama jatuh di atas sebuak semak belukar. Semak belukar ini langsung
tenggelam dan musnah dalam kobaran api. Jaring kedua mendarat di atas sebuah
batu besar. Batu ini bergemeretak keras, hancur lebur dalam kepingan berwarna
merah menyala!
Lawungu
usap mukanya yang pucat. Tengkuknya keluarkan keringat dingin. Nyalinya bukan
saja ciut akibat serangan ganas dua buah jaring api biru tadi, tapi dia juga
jadi terperangah karena serangan Badai Lima Penjuru yang dilancarkannya hanya
menghantam udara kosong lalu menyambar beberapa pohon besar hingga
bertumbangan.
Dalam
hati Lawungu membatin. “Kalau aku terus melayani makhluk ini dalam pertempuran
jarak jauh, cepat atau lambat aku pasti akan kena dicelakainya. Tak ada jalan
lain. Aku harus mengeluarkan ilmu Menyatu Jazad Dengan Alam. Tubuhnya harus aku
pantek ke pohon atau ke batu. Tapi bagaimana caranya aku bisa merangsak
mendekatinya!”
Sementara
itu di bagian yang lain Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi serbuan
serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tubuh si kakek telah berubah menjadi
bayang-bayang putih. Tendangan dan pukulannya mendera ganas. Wiro yang
sebelumnya pernah berkelahi melawan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan hampir
menemui ajal akibat tendangan Hantu Racun Tujuh berlaku sangat hati-hati.
Dalam
lima jurus pertama Wiro keluarkan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang
didapatnya dari Tua Gila. Walau dia bisa mengimbangi namun ada rasa khawatir
lawan akan berhasil menjebol pertahanannya. Maka murid Sinto Gendeng menghantam
dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera, disusul dengan terjangan
Segulung Ombak Menerpa Karang. Selagi lawan dibikin sibuk Wiro lanjutkan
gerakannya dengan jurus-jurus hebat dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab
Putih Wasiat Dewa.
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersentak kaget ketika merasakan gelombang serangan
lawan mengeluarkan hawa aneh yang membuat tubuhnya tertekan ke belakang
sementara kuda-kuda sepasang kakinya menjadi berat, membuat dia sulit bergerak
cepat walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Karenanya tidak
menunggu lebih lama kakek ini segera keluarkan ilmu andalannya yaitu Memeluk
Bumi Menghantam Matahari.
Tangan
kiri Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendadak berubah menjadi panjang. Meluncur
seperti ular besar, melibat ke bagian belakang Wiro. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya datang menggebuk dari depan. Pendekar 212 keluarkan seruan
tertahan ketika tibatiba merasa lehernya kena dicekal lalu ditarik ke depan. Di
saat yang sama dari depan datang melabrak jotosan tangan kanan lawan yang
mempunyai daya berat atau bobot sebesar lima puluh kati!
Wiro
cepat bentengi dirinya dengan jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Dua
tangannya menghantam ke kiri dan ke kanan.
Bukk!
Bukkk!
Dua
lengan saling beradu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab hampir tidak percaya
ketika merasa dua kakinya terangkat dari tanah sampai satu jengkal. Tangan
kanannya yang dipakai menjotos seperti dihantam pentungan besi. Sambil menahan
sakit kakek ini terpaksa melompat mundur. Wiro yang menyangka berhasil mendesak
lawan dengan cepat kirimkan serangan susulan dalam jurus Kepala Naga Menyusup
Awan. Tangan kanannya laksana kilat menyusup ke atas, mencari sasaran di dagu
si kakek. Tetapi justru saat itu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah menunggu
dengan ilmu yang bisa membuat lawan menjadi kaku dan gagu tanpa menyentuh.
Tangan kanannya diletakkan di otak di atas kepalanya. Lalu tangan kiri
dipukulkan di depan.
“Pukulan
Membuhul Urat Mengikat Otot! Wiro! Cepat menghindar!” Tiba-tiba ada orang
berteriak.
Pendekar
212 serta merta ingat. Dengan ilmu itulah dulu dia pernah dilumpuhkan oleh
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Ketika dia dibawa lari diselamatkan Hantu
Santet Laknat dia hanya mampu memusnahkan kelumpuhan pada jalan suaranya tapi
dia sama sekali tidak sanggup membebaskan tubuhnya dari kekakuan.
“Benar-benar
goblok kalau aku sampai dua kali kena dikerjai kakek sialan ini!” pikir Wiro.
Tapi entah mengapa dua kakinya mendadak seperti hilang rasa. Otaknya masih
bekerja menyuruhnya segera melompat tapi saat itu Wiro merasa seolah dia tidak
punya kaki lagi!
“Celaka!”
keluh murid Sinto Gendeng. “Kakek sialan ini pasti punya ilmu aneh! Aku tak
bisa menggerakkan kaki! Aku tak bisa melompat selamatkan diri!”
Sesaat
lagi angin pukulan yang melumpuhkan itu akan menyentuh muka dan tubuh Pendekar
212 mendadak ada suara siutan keras. Sebuah benda ungu melayang di udara,
memapas antara Wiro dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Lalu terdengar suara
orang berteriak.
“Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Tahan serangan!”
Kakek berjubah
putih yang otaknya di atas kepala itu tersentak kaget Dia cepat menarik pulang
tangannya ketika menyadari apa dan siapa yang melayang di hadapannya itu. Namun
terlambat! Angin pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot telah lebih dulu menerpa
sosok yang melayang di depan Wiro. Begitu terkena sosok ini langsung kaku dan,
buukkk! Jatuh bergedebuk keras di tanah!
“Lawungu!”
teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu dengan cepat dia jatuhkan diri
menubruk sosok Lawungu yang tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku. Mulutnya
terbuka tapi suaranya yang keluar hanya suara megapmegap.
Sang
Junjungan tertawa mengekeh sambil rangkapkan tangan di depan dada. Dialah tadi
yang telah melemparkan sosok Lawungu untuk dipakai sebagai tameng melindungi
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya antara Lawungu dan Sang Junjungan kembali
terjadi pertempuran hebat. Ternyata Lawungu tidak mampu menghadapi lawannya.
Delapan jurus di muka dalam keadaan terdesak hebat, Sang Junjungan berhasil
menggebuknya dengan beberapa pukulan. Ketika dia terhuyung hampir roboh, Sang
Junjungan yang melihat bahaya besar mengancam Wiro segera sambar tubuh Lawungu
lalu dilemparkannya ke arah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah melepas
pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot, Akibatnya tak ampun lagi serangan yang
melumpuhkan itu menghantam kawan sendiri!
Suara
tawa Sang Junjungan membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab seperti dipanggang.
Darahnya mendidih. Otak di dalam selubung bening di atas kepalanya mendenyut
keras dan mengepulkan asap!
Perlahan-lahan
dilepaskannya sosok Lawungu yang tadi dirangkulnya. Kepalanya diangkat.
Sepasang matanya membeliak memandangi makhluk muka tengkorak. Tibatiba tokoh
utama rimba persilatan Latanahsilam ini kebutkan lengan jubahnya kiri kanan.
Didahului suara menderu dan sambaran sinar putih, sepuluh benda berbentuk paku
hitam melesat ke arah makhluk muka tengkorak. Karena masih asyik tertawa ketika
menyadari kalau dirinya dibokong orang, sepuluh paku hitam itu telah berada
dekat sekali di depan kepala dan tubuhnya!
“Kurang
ajar! Pembokong curang!” teriak Sang Junjungan. Dia cepat bergerak namun masih
kalah cepat dengan datangnya sambaran sepuluh paku.
Tiba-tiba
dari samping berkiblat satu sinar putih menyilaukan. Lalu di antara suara
seperti tawon mengamuk terdengar suara berdentringan. Delapan paku hitam patah
bermentalan. Dua lainnya terlempar entah ke mana. Sekilas Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab masih sempat melihat sosok senjata kapak bermata dua sebelum
lenyap ke balik pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Dari atas pohon kembali
terdengar tabuhan rebana dan suara nyaring kerincingan si Pelawak Sinting.
Kekeh panjang Sang Junjungan yang tadi sempat terhenti sewaktu diserang senjata
rahasia yang dilepaskan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kini kembali meledak.
Di atas pohon Si Pelawak Sinting menimpali dengan tabuhan rebana dan goyangan
kerincingan.
Walau
darahnya mendidih, amarahnya menggelegak, namun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
masih bisa menggunakan jalan pikiran sehat. Dalam keadaan seperti itu tidak ada
gunanya dia melanjutkan pertempuran melawan dua musuh yang ternyata memiliki
kepandaian tinggi itu. Dengan cepat dia angkat tubuh Lawungu lalu dipanggul di
bahu kanan. Setelah lemparkan pandangan menyorot pada Sang Junjungan dan Wiro,
kakek ini segera berkelebat pergi dari tempat itu. Sang Junjungan hentikan
tawanya, mengusap muka tengkoraknya dengan telapak tangan yang hanya merupakan
tulang belulang putih lalu berpaling ke arah Wiro.
“Anak
muda! Lekas datang ke hadapanku!” Tiba-tiba Sang Junjungan berkata dengan suara
lantang keras.
“Ah,
makhluk salah kaprah ini pasti marah padaku! Aku lupa menghaturkan terima
kasih. Padahal dia tadi sudah menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab!” Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke hadapan Sang Junjungan.
Hatinya agak bimbang dan juga kecut. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat
makhluk bermuka tengkorak dan bertubuh jerangkong yang bukan saja memiliki
kepandaian tinggi tapi juga bisa bicara! Sekaligus angker menyeramkan!
“Orang
tua…” Wiro menegur.
“Tunggu
dulu!” Sang Junjungan memotong. “Bagaimana kau bisa tahu aku ini orang tua!
Padahal mukaku tidak berkulit tidak berdaging! Mukaku berbentuk tengkorak
terdiri dari tulang! Dan gigi-gigiku masih utuh semua!” Wiro garuk-garuk
kepalanya tak bisa menjawab.
Sang
Junjungan tertawa mengekeh. Wiro merasa kuduknya dingin. Suara makhluk itu
ketika bicara apalagi sewaktu tertawa terdengar aneh, seperti keluar dari
jurang batu yang dalam. “Celaka betul makhluk satu ini. Aku tak tahu apa dia
lawan atau teman.”
“Makhluk
muka tengkorak…”
“Wahai!
Itu lebih tepat! Teruskan ucapanmu! Apa yang hendak kau ucapkan!” Sang
Junjungan berkata.
“Tadi kau
telah menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku
mengucapkan terima kasih padamu.”
Sang
Junjungan mendongak ke langit lalu kembali tertawa mengekeh.
“Tapi ada
satu hal yang jadi pertanyaan bagiku!” Wiro berkata. “Antara kita tidak saling
kenal sebelumnya. Mengapa kau menolongku?”
“Anak
muda! Kau bernasib untung! Ketahuilah, sebelumnya justru aku telah
memerintahkan seseorang untuk membunuhmu!”
Wiro
terkejut “Lalu… lalu mengapa sekarang kau malah menyelamatkan diriku?” tanya
murid Sinto Gendeng.
“Hal itu
harus dan wajib kulakukan. Karena kau adalah menantuku!”
Kaget
Wiro bukan olah-olah. Dia sampai tersurut dua langkah. Matanya memandang
membelalak, mulut ternganga.
“Apa… apa
maksudmu?” tanya Wiro dengan suara bergetar.
“Dengar
baik-baik anak muda. Belum lama ini aku menyirap kabar bahwa kau telah
melangsungkan pernikahan di Bukit Batu Kawin dengan Hantu Santet Laknat yang
konon telah berubah ujud menjadi seorang gadis cantik jelita bernama
Luhrembulan…”
“Aku
tidak pernah…”
“Bicaraku
belum habis!” menukas Sang Junjungan.
“Hantu
Santet Laknat adalah muridku. Lebih dari itu dia telah kuanggap sebagai anak!
Kalau kau kawin dengan dia bukankah berarti kau adalah menantuku? Yang juga
bisa kuanggap sebagai anak pula?!”
“Celaka…
celaka!” keluh Wiro berulang-ulang. Air mukanya tampak pucat. Ketika makhluk
muka tengkorak melangkah mendekatinya, mau tak mau Wiro bertindak mundur.
“Anak
muda, lekas kau berlutut di hadapanku. Aku mertuamu! Kau harus menaruh hormat
dan patuh pada diriku! Ha… ha… ha!”
Wiro
garuk kepalanya habis-habisan. Rasa takut membuat saat itu dia jadi kepingin
kencing. Makhluk di hadapannya itu memiliki kesaktian luar biasa. Jika dia
menolak berlutut makhluk itu pasti akan marah besar. Tapi jika dia mematuhi
berlutut buntutnya bisa jadi panjang.
“Sialan
betul! Aku tidak tahu makhluk ini apa lelaki apa perempuan. Atau banci! Aku
harus mencari akal…” pikir murid Sinto Gendeng. Dia lalu melangkah mendekati
makhluk muka tengkorak dengan tubuh membungkukbungkuk, seolah siap untuk
berlutut di hadapan ‘sang mertua’.
Melihat
sikap Wiro, Sang Junjungan dongakkan kepala tengkoraknya lalu tertawa panjang
mengekeh. Saat itulah Wiro tiba-tiba membalikkan badannya lalu melompat ke
balik pohon besar. Dari sini dia melesat ke belakang semak belukar lalu ambil
langkah seribu, lari sekencang yang bisa dilakukannya.
“Menantu
kurang ajar! Menantu tidak tahu diri! Mengapa kau berani lari?!” teriak Sang
Junjungan marah sekali.
Di atas
pohon besar tiba-tiba terdengar suara rebana ditabuh diseling suara
kerincingan.
“Sang
Junjungan! Jangankan dia anak manusia! Aku saja yang buruk ini kalau jadi
menantumu pasti tidak bisa nyaman melihat tampangmu! Mana ada di negeri ini
orang yang mau jadi menantu makhluk salah ujud sepertimu! Ha… ha… ha!”
“Monyet
sinting di atas pohon! Siapa sudi mengambilmu jadi menantu! Berpakaian saja
tidak keruan! Pantat hitam gosongmu kau tebar ke mana-mana! Coba kau makan dulu
bekas tanganku ini!” Sang Junjungan gerakkan tangan kanannya.
Di atas
pohon Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Goyang dan tabuh rebananya lalu
melompat lenyap, tepat ketika pukulan tangan kosong yang dilepaskan Sang
Junjungan sampai dan menghantam cobang pohon tempatnya tadi duduk berjuntai.
Cabang pohon itu hancur berkeping-keping!
***********************
4
OMBAK
besar bergulung dahsyat dan memecah di teluk Labuntusamudera di kawasan selatan
Negeri Latanahsilam. Seorang berpakaian serba kuning berlari kencang,
berkelebat ke arah timur teluk tak lama setelah sang surya memunculkan diri
siap menerangi jagat raya. Ketika segulung ombak luar biasa besarnya menderu di
arah teluk, sosok berpakaian kuning itu yang ternyata adalah seorang nenek
bermuka kuning hentikan larinya. Tiga buah sunting di atas kepalanya
bergoyang-goyang. Nenek ini yang bukan lain adalah Hantu Selaksa Angin alias
Hantu Selaksa Kentut alias Luhkentut diam sejenak. Dua matanya berkilat-kilat
besar menatap ke arah laut. Didahului suara teriakan nyaring dia melompat
setinggi dua tombak. Begitu dua kakinya menginjak pasir dia kembali lari. Kali
ini bukan menyusuri teluk tapi malah ke arah laut, menyongsong datangnya
gelombang ombak besar.
Byuuurrrrr!
Ombak setinggi rumah itu bergulung lalu menimbun sosok berpakaian kuning dan
akhirnya memecah di pasir hitam Teluk Labuntusamudera.
Butt…
prett! Nenek berpakaian kuning pancarkan angin keras dari bagian bawah tubuhnya
lalu tertawa gelak-gelak. Sekujur tubuhnya mulai dari atas kepala sampai ke
kaki dan juga seluruh pakaian kuningnya basah kuyup. Dia baringkan tubuhnya di
atas pasir. Dua kakinya dinaikkan ke atas dan ditendang-tendangkan. Kembali
dari bagian bawah tubuhnya keluar suara butt prett-butt prett.
Beberapa
kali ombak kecil datang mengguyur tubuhnya. Puas berbasah-basah Hantu Selaksa
Angin bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju pertengahan teluk. Di satu
tempat yang kelindungan di balik kerapatan pohon-pohon kelapa dan semak belukar
nenek ini menemukan sebuah goa batu. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk ke dalam
goa tersebut.
Bagian
dalam goa berbentuk segi empat dengan atap batu menyerupai kerucut. Udara di
tempat ini terasa sejuk. Hantu Selaksa Angin melangkah ke sudut kanan goa di
mana terdapat hamparan tikar jerami kering. Perlahanlahan si nenek mendudukkan
dirinya di atas tikar jerami itu. Dia menatap sejurus ke langit-langit goa yang
berbentuk kerucut lalu dari mulutnya meluncur ucapan.
“Wahai
guruku, Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud, aku muridmu datang menghadap…”
Suara si
nenek menggema perlahan di dalam goa batu itu. Dia menunggu tak bergerak sambil
sepasang matanya yang kuning menatap terus ke langit-langit goa. “Tak ada
jawaban, jangan-jangan dia tak ada di sini… Atau mungkin dia marah karena sejak
pergi dulu aku tak pernah mengunjunginya di tempat ini.” Hantu Selaksa Angin
membatin. Setelah menunggu sesaat lagi dia kembali mengulang. “Guru, apakah kau
ada di dalam goa? Aku muridmu datang menghadap.”
Tiba-tiba
di ujung kerucut langit-langit goa kelihatan satu bintik kecil memancarkan
cahaya putih terang. Lalu terdengar suara halus menggema di dalam goa.
“Hantu
Selaksa Angin muridku. Aku gembira kau akhirnya muncul. Tadinya aku merasa
kecewa karena setelah belasan tahun baru sekali ini kau kembali ke goa. Sejak
kau meninggalkan goa belasan tahun silam aku menyirap kabar di luar sana telah
terjadi banyak hal. Aku berharap rakhmat akan menjadi bagian penghuni Negeri
Latanahsilam. Tetapi justru malapetaka dan bencana terjadi di mana-mana,
maksiat dan dosa berkubang di hampir setiap penjuru negeri. Muridku, harap kau
ceritakan padaku apa yang telah kau alami dan lakukan selama ini. Bagaimana
dengan penyakit dirimu, apakah kau berhasil mendapat kesembuhan? Yang paling
penting apakah selama ini kau telah mampu mengetahui siapa dirimu adanya?”
“Wahai
Guru, aku gembira kau telah menyirap apa yang terjadi di luaran sana. Hingga
aku tidak perlu menutur berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku, aku
berhasil menemukan seorang pemuda asing dan dua kawannya. Konon mereka datang
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Pemuda inilah yang telah
memberitahu obat yang harus kumakan agar penyakit kentutku lenyap. Belasan
tahun aku kentut terus-terusan tanpa bisa ditahan. Gara-gara ubi yang menjadi
makanan satu-satunya selama aku berada di goa ini…”
Di
langit-langit goa kembali ada kelihatan bintik yang memancarkan sinar terang
tadi. Lalu menyusul suara menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si
nenek.
“Jadi
penyakit kentutmu benar-benar telah lenyap wahai muridku?”
“Lenyap
habis seluruhnya memang tidak. Masih ada tertinggal sedikit. Tapi justru aku
sengaja tak mau menghilangkannya. Karena terdengarnya indah bagus. Begitu kata
pemuda yang menolongku itu…”
Gema tawa
sang guru yang dipanggil dengan nama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud mememuhi
goa. Bintik terang kembali bercahaya.
“Muridku,
dulu kentutmu panjang dan berulang-ulang. Aku ingin mendengar bagaimana
bunyinya sekarang setelah diobati oleh pemuda asing itu…”
“Kalau
guru memang mau mendengar, akan kulakukan. Mohon maafmu Guru. Terus terang
sejak tadi sebenarnya aku memang sudah tidak tahan mau kentut!” kata Hantu
Selaksa Angin pula sambil menekap mulutnya menahan ketawa. Lalu butt prett! Dia
pancarkan kentutnya. Karena berada di dalam ruangan batu maka kentut itu
menggema beralun-alun!
Kembali
sang guru yang tidak kelihatan rupa ataupun ujudnya itu tertawa gelak-gelak.
“Muridku, obat apa yang telah diberikan pemuda itu hingga kau mendapatkan
kesembuhan seperti sekarang ini?”
“Dia
meyuruh saya makan kibul ayam sebanyak tujuh puluh tujuh buah…”
“Kibul
ayam. Benda apa itu, bagaimana ujudnya?” bertanya Datuk Tanpa Bentuk Tanpa
Ujud.
“Itu
Guru… Bagian lancip yang menempel di pantat ayam…” menerangkan Hantu Selaksa
Angin.
“Aha…!”
Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud berseru lalu tertawa gelak-gelak (Mengenai
riwayat kibul ayam ini harap baca episode sebelumnya berjudul “Hantu Langit
Terjungkir”).
“Muridku,
jika kau sudah puas dengan kentutmu yang indah itu, berarti kau telah mencapai
kesembuhan. Apakah kau telah menghaturkan terima kasihmu pada pemuda dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?”
“Aku
memang merencanakan untuk mencarinya dan menyampaikan rasa terima kasihku.
Namun sebelum hal itu kesampaian kuketahui dia ternyata seorang jahanam besar…”
“Jahanam
besar bagaimana maksudmu, muridku?”
“Dia
menimbulkan bencana busuk dan keji di manamana!”
“Bencana
busuk keji yang bagaimana?”
“Dia
ternyata seorang pemuda hidung belang. Dia telah merusak kehormatan seorang
gadis baik-baik bernama Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua orang cucu
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kabarnya dia juga berselingkuh dengan Peri
Angsa Putih. Lalu diketahui pula dia juga yang telah menghamili Peri Bunda!”
Sang
Datuk yang tidak kelihatan ujudnya terdengar mendesah dan tarik nafas dalam.
“Muridku, kalau benar pemuda itu telah menebar kekejian di mana-mana sungguh
sangat disayangkan. Namun antara kau dengan dirinya ada hutang piutang yang
harus dilunasi. Dalam membalas budi seseorang kau tidak boleh melihat siapa dia
adanya. Dia pernah menolong dirimu, berarti kau harus berusaha membalas
budinya…”
“Aku
telah melakukan banyak hal untuknya. Juga menolong dua temannya…”
“Kalau
itu kau rasakan pantas dan sudah cukup memang tak perlu kau berbuat terlalu
banyak. Tapi mengenai kekejian yang dikabarkan telah dilakukannya, kurasa harus
kau selidiki kebenarannya. Tidak baik menuduh seseorang busuk, jahat dan keji
kalau tidak ada saksi jujur dan bukti nyata…”
“Mengenai
kemesuman yang dilakukan pemuda itu terhadap dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab, tokoh itu sendiri yang bicara memberi kesaksian…”
“Muridku,
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab memang adalah satu tokoh besar dan sangat
dihormati di Negeri Latanahsilam. Bukan saja karena ilmu silat dan kesaktiannya
yang tinggi, tapi juga karena dengan kemampuannya melihat ke masa depan dan
masa silam, membaca segala sesuatu yang bersifat gaib. Namun belakangan ini
rasa-rasanya dia telah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Dia terlalu
banyak mendekatkan diri dalam urusan dunia dan kepentingan diri sendiri.
Akibatnya lama kelamaan dia kehilangan kemampuan untuk melihat ke dalam alam
gaib. Aku meragukan kemampuannya. Apakah dia memang masih bisa diandalkan
sebagai tokoh tempat bertanya dan mencari jawab. Sebagai contoh, dia hanya
menurutkan kata hati, kemarahan dan dendam kesumat atas musibah yang menimpa
dua cucunya. Tapi apakah dia pernah menyelidik? Aku menyirap kabar dua cucunya
itu mempunyai kelainan yang menjijikan… Jadi muridku, dalam segala suatu
perkara, penyelidikan adalah sangat penting. Jangan hanya percaya pada apa yang
kita dengar saja. Jangan hanya percaya pada berita yang disampaikan orang dari
mulut ke mulut…”
“Nasihatmu
akan aku perhatikan Datuk…”
“Sekarang
ada hal lain yang lebih penting dari penyakit kentutmu itu. Yaitu mengenai
penyakit yang menyangkut ingatanmu pada masa silam. Apakah kau sudah
mendapatkan kesembuhan? Apakah kau sudah mengetahui siapa dirimu sebenarnya
serta riwayat atau asal usul dirimu?”
Karena
Hantu Selaksa Angin alias Hantu selaksa Kentut tidak segera menjawab, sang
Datuk yang tidak kelihatan orangnya dan hanya terdengar suaranya berkata.
“Sekedar mengingatkanmu wahai muridku. Seperti yang aku pernah ceritakan
padamu, kau kutemukan tergeletak pingsan di atas lumpur hitam di antara
batu-batu besar yang bertebaran di muara sungai Lahulupanjang. Mungkin kau
salah satu korban yang dihanyutkan banjir besar yang sebelumnya terjadi di
kawasan utara. Perutmu gembung sampai ke dada. Aku memerlukan tujuh hari tujuh
malam untuk mengeluarkan air kotor yang ada dalam perut dan rongga dadamu.
Ketika hari ke dua belas kau siuman ternyata kau tidak ingat siapa dirimu, tak
ingat apa yang telah terjadi dengan dirimu. Juga tidak ingat asal usulmu.
Kemudian kuketahui ada satu luka besar di belakang kepalamu. Mungkin ini akibat
benturan dengan benda keras. Aku rasa, benturan inilah yang telah mempengaruhi
daya ingatanmu…”
Mendengar
penjelasan sang Guru, Hantu Selaksa Angin pegang dan usap-usap bagian belakang
kepalanya. Dia merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera luka yang
telah sembuh dan meninggalkan bekas. Sang Datuk teruskan ucapannya.
“Namun…
muridku, aku juga menaruh dugaan.
Hilangnya
daya ingatmu mungkin juga disebabkan oleh satu penderitaan sangat berat yang
bersarang mulai dari hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau siuman kau
mempunyai satu sifat aneh. Yakni suka akan warna dan benda apa saja yang
berwarna kuning. Itu sebabnya kau membuat sendiri jubah berwarna kuning.
Mengecat wajahmu dengan jelaga kuning. Memakai sunting dan subang serta kalung
dan gelang warna kuning. Selama bertahun-tahun aku memberi pelajaran ilmu silat
dan kesaktian padamu di dalam goa ini, aku berusaha menyembuhkan kesadaranmu.
Tetapi tidak berhasil. Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang
mampu membuat kau mengingat-ingat siapa dirimu sebenarnya?”
Si nenek
terdiam sejurus. Lalu gelengkan kepala.
“Aku
yakin selama belasan tahun di luaran kau bertemu banyak orang. Apakah tidak
satupun di antara mereka yang menimbulkan rasa ingat dalam dirimu…?”
“Aku
tidak bisa memastikan wahai Guru. Hanya saja…”
Hantu
Selaksa Kentut mendongak ke langit-langit ruangan, memperhatikan bintik terang
yang ada di ujung kerucut pertanda gurunya masih berada di tempat itu. “Hanya
saja satu kali aku memang pernah bertemu beberapa kali dengan seorang kakek
aneh. Dia berjalan dan mempergunakan dua tangannya sebagai kaki. Kakek ini
dijuluki Hantu Langit Terjungkir. Satu kali dia pernah menyebutkan ‘asap’.
Samar-samar aku ingat dulu ada seseorang yang sangat suka pada ikan asap atau
ikan pindang itu. Tapi aku lupa siapa orangnya. Aku berusaha menyelidik,
meneliti wajah kakek itu. Walau aku berhasil melihat jelas-jelas wajahnya tapi
kesadaranku tetap saja tidak muncul. Daya ingatku tidak datang. Aku tidak bisa
mengetahui siapa dia sebenarnya.”
“Aku bisa
membantu. Menurut kabar yang aku sirap nama sebenarnya dari kakek berjuluk
Hantu Langit Terjungkir itu adalah Lasedayu. Dia pernah mendekam selama puluhan
tahun di Lembah Seribu Kabut. Apakah nama dan penjelasanku ini bisa menimbulkan
satu daya ingat dalam benakmu wahai muridku?”
Nenek
wajah kuning berusaha keras mengerahkan daya ingatnya. Matanya dipejamkan.
Namun sampai keringat memercik di keningnya dia tak mampu mengingat.
“Maafkan
diriku Guru. Aku tidak tahu siapa adanya orang bernama Lasedayu itu.”
“Kalau
begitu aku sarankan padamu agar kau mencari kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir itu. Ikuti ke mana dia pergi sampai kau mendapatkan satu petunjuk
mengenai dirinya.”
“Hal itu
akan aku lakukan Guru…”
“Selain
itu kau juga harus berusaha mencari Hantu Raja Obat. Siapa tahu dia bisa
menyembuhkan penyakitmu.”
“Baik
Guru. Petunjukmu akan aku laksanakan. Maaf Guru, aku mau kentut dulu…”
Butt…
prett!
Sang Guru
yang dipanggil dengan sebutan Datuk Tanpa Bentuk Tanda Ujud tertawa panjang.
“Muridku, belum lama berselang beberapa kali aku mendapat petunjuk dari alam
gaib. Suatu senja ketika aku berada di tempat ini, tiba-tiba ada satu cahaya
terang menggantung di depan goa.
Hidungku
membaui sesuatu yang sangat harum. Aku berusaha mendekati cahaya itu agar bisa
melihat lebih jelas. Namun seperti ada satu kekuatan yang membuat aku tidak
bisa mendekati cahaya itu. Kemudian kudengar satu suara gaib berkata padaku.
‘Wahai anak manusia, ketahuilah, akan terjadi satu peristiwa besar di bumi
Negeri Latanahsilam ini. Karena itulah, sebelum hari kejadian, lakukan sesuatu.
Carilah Allah. Dialah Tuhanmu Seru Sekalian Alam, Maha Besar dan Maha Pengasih
Maha Penyayang, Penguasa Tunggal Jagat Raya, Pencipta Langit dan Bumi serta
Makhluk yang ada di antaranya termasuk dirimu.’ Muridku, apakah kau mendengar
kata-kataku?”
“Aku
mendengar wahai Datuk,” jawab nenek muka kuning.
“Aku
tidak mengerti ucapan gaib itu. Aku berusaha membuka mulut hendak bertanya tapi
mulutku terkatup, lidahku seperti terkancing. Kemudian cahaya terang benderang
yang ada di depan goa lenyap. Begitu juga bau harum semerbak. Saat itu mendadak
aku bisa membuka mulut dan bertanya. ‘Suara dari alam gaib! Siapakah kau
adanya?!’ Di kejauhan terdengar jawaban. Tapi ucapannya hanya pengulangan dari
kata-kata yang kudengar sebelumnya. Aneh, apa kiranya yang akan terjadi di
Negeri Latanahsilam ini. Lalu siapa yang dimaksudkan dengan Allah oleh suara
gaib itu. Siapa pula Tuhan. Bagaimana aku harus mencari? Setahuku bukankah para
Dewa yang menjadi junjungan dan pelindung kita semua di negeri ini?”
“Tunggu
dulu!” Hantu Selaksa Angin berkata. “Aku ingat, aku pernah mendengar.
Orang-orang dari negeri seribu dua ratus mendatang itu. Kalau aku tidak salah
mereka pernah menyebut nama itu. Tuhan… Gusti Allah…”
“Kalau
benar begitu wahai muridku, ada satu tugas baru lagi bagimu. Selidikilah
melalui orang-orang itu siapa adanya Tuhan dan Gusti Allah itu. Tapi yang lebih
penting saat ini bagimu ialah mendahului mencari kesadaran atau dirimu
sendiri…”
“Aku
mengerti Datuk…”
“Aku
telah memberi banyak ilmu kepandaian padamu. Pergunakan semua itu di jalan yang
baik. Jika kau tidak ada pertanyaan atau ingin mengatakan sesuatu, aku akan
segera meninggalkan tempat ini.”
“Datuk
Guruku, sebelum kita berpisah, aku mohon, sudilah Datuk memperlihatkan bentuk
diri dan ujud Datuk padaku… Selama belasan tahun kita bersama, banyak pelajaran
dan budi baik yang aku terima darimu. Tapi tidak barang sekalipun aku pernah melihat
jazad darimu.”
Bintik
terang di langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan bersinar
menyilaukan. Lalu terdengar suara sang Datuk. “Muridku, saat ini aku belum bisa
memperlihatkan diri. Dan aku tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh mata
insani sepertimu. Harap kau tidak kecewa. Suatu kali kita pasti akan bertatap
ujud. Selamat tinggal muridku. Datanglah ke goa ini jika kau menemukan
sesuatu…”
“Terima
kasih Datuk,” kata Hantu Selaksa Angin lalu membungkuk sampai keningnya hampir
menyentuh lantai goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak bisa
menahan kentutnya. Akibatnya butt prett! Kentutnya memancar. Di langit-langit
goa bintik terang lenyap, pertanda Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada lagi
di tempat itu.
***********************
5
SEBELUM
mengikuti apa yang akan dilakukan Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa
Kentut setelah dia meninggalkan goa di teluk Labuntusamudera itu, kita kembali
pada Luhcinta dan Luhsantini. Seperti dikisahkan dalam episode sebelumnya,
“Rahasia Perkawinan Wiro”,
kedua
orang itu meninggalkan Bukit Batu Kawin setelah menyaksikan upacara pernikahan
Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Hantu Santet Laknat yang berubah menjelma
menjadi seorang gadis cantik bernama Luhrembulan. Karena datang terlambat
Luhsantini dan Luhrembulan tidak mengetahui siapa sebenarnya Luhrembulan itu.
Luhcinta
yang masih berada dalam keadaan pingsan akibat tidak tahan melihat upacara
pernikahan Wiro dengan Luhrembulan, oleh Luhsantini dilarikan ke goa di mana
mereka sebelumnya berada. Luhsantini membaringkan Luhcinta di lantai goa lalu
setelah memeriksa keadaan gadis itu, istri Hantu Bara Kaliatus ini cepat-cepat
mengerahkan tenaga dalamnya ke tubuh Luhcinta melalui pergelangan tangan dan
dada. Karena pingsannya Luhcinta bukan akibat cidera atau luka dalam maka
sesaat kemudian gadis ini sadarkan diri.
Begitu
siuman, belum lagi dia membuka mata dari mulutnya keluar desahan halus. “Wiro…
Wiro. Kau tahu perasaanku terhadapmu. Sampai hati kau…” Ingatan Luhcinta
semakin pulih. Dia berusaha menahan isak lalu membuka matanya. Pandangannya
membentur wajah Luhsantini. “Kau…” desis Luhcinta karena tidak mengira kalau
ada orang lain di tempat itu. Mungkin malu karena telah ketelepasan bicara,
Luhcinta balikkan dirinya menghadap ke dinding goa.
Luhsantini
diam memperhatikan. Dalam hati dia berkata. “Dugaanku ternyata benar. Gadis ini
memang mencintai pemuda asing bernama Wiro itu… Apa yang harus aku lakukan
untuk menolongnya? Pernikahan Wiro dengan gadis tak dikenal itu tak mungkin
dibatalkan.
Berarti
Luhcinta akan kehilangan orang yang dicintainya selama-lamanya…”
“Luhsantini…”
tiba-tiba terdengar suara Luhcinta.
“Aku di
sini Luhcinta. Ada apa? Ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu…?”
“Aku
tahu, aku ingat. Kau pasti yang membawaku dari bukit itu ke sini… Aku berterima
kasih padamu, Luhsantini.”
“Benar,
kau tak usah khawatir. Kau tidak cidera atau mengalami luka apa-apa…”
“Aku
tahu. Walau tak ada cidera atau luka yang terlihat di mata namun… Ada luka yang
tak mungkin terlihat oleh mata lain. Hanya aku yang bisa merasakannya wahai
Luhsantini.”
Luhsantini
jadi terdiam haru mendengar kata-kata Luhcinta itu. Dipegangnya bahu si gadis.
“Luhsantini…”
“Yaa…?”
“Apakah
benar apa yang kita saksikan di Bukit Batu Kawin itu?” tanya Luhcinta. Air mata
yang tak terbendung mulai mengalir jatuh ke pipinya yang pucat. Luhsantini tak
kuasa menjawab. Sementara itu tanpa setahu kedua orang itu di luar goa
seseorang menyelinap dan mencuri dengar semua pembicaraan Luhsantini dan
Luhcinta. Dari pakaian hitam serta mukanya yang tertutup lapisan tanah liat
berjelaga hitam sudah dapat diterka orang ini adalah Si Penolong Budiman,
manusia aneh berkepandaian tinggi.
“Kau
masih ada di sampingku Luhsantini?”
“Ya, aku
masih di sini. Di dalam goa ini bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu…”
“Kau baik
sekali. Aku sangat berterima kasih. Tetapi mengapa kau tidak menjawab
pertanyaanku tadi?”
Luhsantini
gigit bibirnya. Matanya jadi ikut berkaca-kaca karena dia bisa merasakan
keperihan hati Luhcinta kehilangan orang yang dikasihinya. “Kau harus tabah,
Luhcinta…”
“Aku
cukup tabah Luhsantini. Sejak kecil kesengsaraan hidup telah mendera diriku.
Laksana hantaman palu godam di besi panas, membuat diriku menjadi seorang yang
sanggup kukuh dalam ketabahan. Tetapi, mengapa kejadian dan perubahan yang satu
ini begitu tiba-tiba? Begitu berat hingga bahuku tak sanggup memikulnya? Aku
masih belum bisa menemukan ayahku dan kini aku kehilangan seorang calon ayah.”
Luhcinta seka air mata yang berderai jatuh di pipinya.
Di luar
goa, Si Penolong Budiman sesaat tampak termenung. “Tidak kusangka dia sangat
mencintai pemuda itu. Ah…” Orang ini menarik nafas dalam lalu gelenggelengkan
kepalanya.
“Ketabahan
tidak mengajarkan kita untuk berputus asa wahai Luhcinta…” terdengar suara
Luhsantini.
“Aku
tidak putus asa. Tapi cobaan ini datangnya begitu bertubi-tubi…”
“Luhcinta,
jangan sampai kehilangan pemuda itu kau seolah menemui jalan buntu dalam
hidupmu. Seolah kau sampai di satu jalan di mana pada ujung jalan menghadang
sebuah jurang batu yang dalam dan gelap. Aku sendiri mengalami nasib yang jauh
lebih parah dari keadaanmu. Aku kehilangan suami dan juga kehilangan seorang
anak darah dagingku sendiri. Kau jauh masih beruntung. Masa depan masih terbuka
lebar di hadapanmu…”
“Aku
menyangsikan wahai Luhsantini, apakah aku masih punya masa depan. Dari
kehancuran masa silam apa yang bisa diambil sebagai pegangan masa depan. Dan
sekarang aku mengalami nasib seperti ini…” Luhcinta kembali menyeka air
matanya.
“Luhcinta,
siapakah gadis yang beruntung mempersuamikan pemuda itu?”
Saat itu
seperti terngiang kembali di telinga Luhcinta suara lantang Lamahila si juru
nikah. “Wiro Sableng dan Luhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan
disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan
semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat
berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri.”
Luhcinta
mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin. Dia menggigil. Melihat ini
Luhsantini berkata.
“Cuaca
memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan unggun.
Biar goa ini menjadi hangat…”
“Tidak
usah Luhsantini, aku masih bisa menahan gejolak cobaan ini. Pertanyaanku tadi…
kau tahu siapa adanya gadis yang menjadi istri Wiro itu?”
“Aku tak
pernah melihat gadis itu sebelumnya. Lamahila menyebut namanya Luhrembulan.
Satu nama yang juga rasanya asing bagiku dan bagi semua orang di Negeri
Latanahsilam ini…”
“Apapun
keanehan yang terjadi rasanya tidak mungkin Wiro mengawini seorang yang tidak
dikenalnya. Berarti Wiro sebelumnya memang telah lama mengenal Luhrembulan…”
“Sulit
aku menduga wahai Luhcinta. Aku merasa seperti ada keanehan dalam semua
kejadian ini…”
“Kejadian
bagaimana maksudmu?”
“Entahlah,
aku tidak bisa mengatakan tapi aku dapat merasakan,” jawab Luhsantini. Lalu
sambil membelai rambut Luhcinta, Luhsantini berkata. “Maafkan kalau
pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu wahai Luhcinta. Namun aku ingin tahu,
apakah selama ini pemuda itu mengetahui kalau kau mencintainya…?”
“Aku tak
tahu. Aku tak bisa menduga,” jawab Luhcinta dengan mata basah menatap tak
berkedip pada Luhsantini.
“Kau tak
pernah mengatakan terus terang padanya dengan ucapan atau tanda isyarat bahwa
kau mencintainya?”
Luhcinta
tersenyum sedih. “Luhsantini, kita ini samasama perempuan. Mana mungkin
perempuan berlancang diri terlebih dulu menyatakan cintanya terhadap seorang
pemuda?”
“Aku
mengerti…”
“Lagi
pula sejak beberapa waktu belakangan ini aku banyak diselimuti rasa bingung.”
“Kau
bingung? Apa yang membuatmu bingung?”
“Pertama,
kenyataan bahwa begitu banyak gadis dan perempuan jatuh cinta terhadap pemuda
itu…”
“Wahai!
Bagaimana kau bisa berkata begitu. Apa kau punya bukti…?”
“Untuk
melihat seorang jatuh cinta tidak perlu bukti segala. Dari sikap, cara bicara, bahkan
cara memandang saja kita sudah bisa mengetahui bahwa seorang mencintai seorang
lainnya.”
“Kalau
kau tahu coba katakan siapa saja yang menurutmu telah jatuh cinta pada pemuda
asing itu!”
“Misalnya
saja Luhjelita. Lalu Luhtinti. Yang paling gila Si Hantu Santet Laknat.
Kemudian Peri Angsa Putih. Dan terakhir sekali Peri Bunda, bahkan Peri
Sesepuh!”
Luhsantini
geleng-gelengkan kepala lalu sambil tersenyum. “Untung aku tidak termasuk dalam
daftarmu…”
“Masih
ada hal lain yang menimbulkan kebingungan dalam diriku,” melanjutkan Luhcinta.
“Apa?”
“Di
seluruh Negeri Latanahsilam kini tersiar kabar kalau Wiro telah melakukan
hubungan mesum dengan Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua cucu Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Juga ada kemungkinan telah melakukan hubungan badan
dengan Hantu Santet Laknat. Yang paling menghebohkan ialah tuduhan bahwa pemuda
itu telah menghamili Peri Bunda!”
Di luar
goa kembali Si Penolong Budiman menarik nafas dalam mendengar pembicaraan kedua
orang itu. Namun sekali ini tarikan nafasnya agak keras hingga terdengar sampai
ke dalam goa.
“Tunggu…”
bisik Luhsantini. “Aku merasa ada seseorang di luar sana. Aku akan menyelidik…”
“Kita
sama-sama menyelidik” kata Luhcinta lalu bangkit berdiri.
“Tak ada
siapa-siapa!” kata Luhsantini sambil memandang sekitar goa. “Padahal tadi jelas
sekali aku mendengar seperti ada suara orang menarik nafas…”
“Kita
masuk saja. Mungkin hanya suara desau angin atau dedaunan yang saling
bergesek,” kata Luhcinta. Dia memegang lengan Luhsantini. Kedua orang itu masuk
kembali ke dalam goa.
Ke mana
lenyapnya Si Penolong Budiman? Ketika menyadari kehadirannya sudah diketahui
orang dengan cepat manusia berwajah tanah liat ini melesat ke satu pohon besar
berdaun lebat. Dia mendekam bersembunyi di sana. Begitu Luhcinta dan Luhsantini
masuk kembali ke dalam goa cepat-cepat dia melompat ke pohon yang lain lalu
lenyap tak kelihatan lagi. Sepanjang larinya kembali ke telaga di mana dia
meninggalkan Hantu Langit Terjungkir, hatinya terasa goncang. Batinnya berulang
kali berkata.
“Gadis
itu… Dia mencintai pemuda asing itu? Luhcinta, dia mencintai Wiro! Ah…!”
Kembali
ke dalam goa. Luhcinta dan Luhsantini melanjutkan pembicaraan mereka. “Aku
tidak menyalahkan begitu banyak gadis dan perempuan bahkan sampai ke bangsa
Peri jatuh cinta terhadap pemuda asing itu. Selain kegagahan wajahnya serta
ketinggian ilmunya, dia mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi biar ada seribu
orang mencintainya, apakah dia mencintai salah satu dari mereka?”
“Pertanyaanmu
itu sudah terjawab Luhsantini. Wiro telah memilih Luhrembulan sebagai istrinya.
Berarti gadis itulah yang dicintainya.”
Luhsantini
menarik nafas panjang. Sambil gelengkan kepala dia berkata. “Seperti kataku
tadi, ada keanehan di balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal
bernama Luhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar nanti keadaan yang
akan mengungkapnya sendiri. Lalu mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar
bahwa pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau memang itu benar
sungguh sangat disayangkan. Aku tak tahu lagi mau bicara apa. Tapi Luhcinta,
kalau boleh aku mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita
perpanjang. Jangan kau sampai berlarut-larut tenggelam dalam perasaan hatimu
sendiri.”
“Aku
setuju,” jawab Luhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata.
“Luhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku
bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran.
Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia
kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku.
Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak
beradik. Perkawinan yang membawa malapetaka. Apakah aku ini masih pantas
disebut manusia?”
“Luhcinta…
apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?” bertanya Luhsantini ketika dilihatnya
sepasang mata Luhcinta tampak memandang sayu dan kosong. Ada sekelumit senyum
menyeruak di bibir Luhcinta. Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran
yang memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya
sesaat. Di lain ketika Luhsantini melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
mengeluarkan kilatan aneh. Lalu terdengar Luhcinta berkata. “Luhsantini, aku
ingin menyelidik. Harus! Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis bernama
Luhrembulan itu!”
Luhsantini
pandangi wajah Luhcinta seketika. Sebenarnya dia ingin menasihati agar Luhcinta
tidak perlu melakukan hal itu. Namun khawatir perasaan dan jiwa si gadis akan
semakin tertekan Luhsantini akhirnya berkata.
“Jika itu
keinginanmu, sebaiknya kita datangi tempat kediaman si juru nikah Lamahila!”
“Tepat!
Kita cari nenek itu sekarang juga!” kata Luhcinta. Kedua orang itu segera
bangkit berdiri.
Namun
sebelum sempat melangkah ke mulut goa tibatiba di luar sana terdengar suara
tawa bergelak dahsyat sekali.
“Dua
perempuan di dalam goa! Jangan kalian berani menyelidik persoalan menyangkut
anak dan menantuku! Ini peringatan dariku! Dan ini contoh akibatnya kalau
berani lancang melanggar!”
Di luar
goa terdengar deru angin keras sekali. Menyusul berkiblatnya cahaya merah
seperti ada lidah api membeset turun dari langit.
Wussss!
Bummmm!
Braaakkk!
Mulut goa
batu hancur berkeping-keping. Kepingannya berpelantingan di udara, berubah
menjadi bara-bara menyala. Di dalam goa Luhsantini dan Luhcinta cepat jatuhkan
diri ke lantai batu. Lidah api menderu lewat di atas punggung mereka.
“Kurang
ajar! Siapa berani main gila terhadap kita!”
teriak
Luhsantini marah. Sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi, perempuan berpakaian serba merah ini menerobos keluar. Tapi
sampai di luar tidak kelihatan siapa-siapa. Hanya di kejauhan terdengar suara
bergelak, menggema di seantero tempat lalu lenyap.
“Aneh,
tak bisa kuduga siapa adanya manusia itu!” kata Luhsantini.
“Dia
menyebut Luhrembulan dan Wiro sebagai anak dan menantunya! Siapa dia?!” kata
Luhcinta pula sambil kepalkan tinju.
“Melihat
pukulan yang dilancarkannya bukan mustahil dia adalah Hantu Bara Kaliatus…”
ujar Luhsantini. “Tapi kau tahu, aku adalah bekas istrinya. Aku tak punya anak
perempuan…”
“Mungkin
tanpa setahumu, suamimu itu telah kawin dengan perempuan lain? Bukankah
perpisahan kalian berdua cukup lama, seumur seorang gadis remaja?”
Luhsantini
menatap wajah Luhcinta dalam-dalam.
Dipegangnya
lengan gadis itu seraya berkata. “Aku tidak tahu Luhcinta, tak bisa aku
menduga… Masakan selama ini tak pernah tersiar kabar kalau Hantu Bara Kaliatus
punya istri lagi dan punya anak? Wiro sebagai menantunya? Wahai! Tak masuk di
akalku!” Luhsantini terdiam beberapa saat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana
sekarang? Apa yang akan kita lakukan?”
“Walau
ada orang mengancam, aku tetap akan menyelidik siapa adanya Luhrembulan. Aku
akan mencari nenek juru nikah bernama Lamahila itu…” jawab Luhcinta penuh
kepastian. Tekadnya teguh dan bulat sudah!
***********************
6
KITA
ikuti dulu ihwal kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir yang aslinya bernama
Lasedayu, ayah kandung dari empat orang anak yang terlahir membawa tanda bunga
dalam lingkaran pada lengan sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu
dengan dua orang yang memiliki tanda tersebut yakni Lakasipo alias Hantu Kaki
Batu dan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.
Pagi itu
Hantu Langit Terjungkir tegak bersandar di batang sebuah pohon tak jauh dari
tepi telaga. Kaki ke atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai
kaki. Tangan kanannya yang cidera akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan
masih dibalut dengan segulung pelepah pisang. Begitu sosok berjubah hitam
bermuka dilapisi tanah liat hitam muncul di hadapannya, dia segera menegur.
“Sahabat
bermuka tanah liat, sejak pagi kau menghilang tanpa memberitahu ke mana kau
pergi. Begitu kembali kulihat kau berubah sikap…”
“Kek, apa
maksudmu?” tanya orang bermuka tanah liat yang di Negeri Latanahsilam dikenal
dengan panggilan Si Penolong Budiman.
“Walau
wajahmu tertutup tanah liat hitam, tetapi aku tahu kau sedang diselimuti rasa
gundah yang amat sangat. Kau tengah tenggelam dalam rasa bingung. Bukankah
begitu adanya?”
“Anu Kek…
Bagaimana tanganmu yang patah?”
Hantu
Langit Terjungkir tertawa mengekeh. Sambil pegang lengannya yang cidera dia
berkata. “Tanganku sudah banyak kesembuhannya. Tapi jangan kau mengalihkan
pembicaraan. Apa yang merisaukan hatimu? Katakan dari mana kau sejak pagi buta
tadi?”
Karena
didesak akhirnya Si Penolong Budiman bercerita juga. “Kau ingat ceritaku bahwa
Luhsantini dan Luhcinta berada di sebuah goa tak jauh dari telaga ini?”
“Wahai!
Aku memang sudah menduga kau pasti menyelinap ke sana. Di mana bunga mekar
berada, ke situ biasanya kumbang melayang. Tentu banyak sekali yang kalian
bicarakan…”
“Tidak
Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Aku
justru mencuri dengar pembicaraan dua perempuan itu…”
“Kau
bangsa orang yang suka menguping rupanya.
Coba kau
ceritakan apa saja yang kau dengar,” kata Hantu Langit Terjungkir pula. Lalu
dia rebahkan tubuhnya di tanah.
Si
Penolong Budiman menuturkan semua pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta yang
sempat didengarnya di dalam goa sebelum dia kemudian terpaksa meninggalkan
tempat itu karena takut ketahuan.
“Pemuda
asing itu. Namanya Wiro Sableng. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan
nyawaku. Tapi mengenai gadis bernama Luhrembulan sungguh tak pernah aku
mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Latanahsilam ini tidak ada gadis
bernama seperti itu…” Si kakek menatap ke dalam mata Si Penolong Budiman.
“Sahabatku,
aku merasakan dari nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau menyebut nama
Luhcinta, ada suatu getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai gadis itu
wahai sahabatku?”
“Kek,
aku…”
Hantu
Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Katakan saja terus terang…”
“Dia
mencintai pemuda asing bernama Wiro Sableng itu!”
“Kalaupun
memang begitu tapi sekarang apa artinya lagi? Bukankah si pemuda telah kawin
dengan gadis bernama Luhrembulan? Kau punya kesempatan besar untuk mendapatkan
Luhcinta… Kau harus cepat, jangan membuang-buang waktu!”
“Kau ini
ada-ada saja Kek. Mukaku saja begini! Mana ada gadis yang mau padaku!” Si
Penolong Budiman gelenggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Kek, tidak mungkin…”
“Maksudmu
tidak mungkin dia mau denganmu? Ha…ha… ha! Aku tahu di balik lapisan tanah liat
itu kau memiliki wajah tak kalah gagah dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu. Sekarang tinggal terserah padamu. Apakah kau akan tetap menyembunyikan
wajahmu di balik tanah liat?”
“Aku
telah bersumpah tidak akan menanggalkan tanah liat ini sebelum apa yang tengah
kuselidiki terungkap secara nyata!” Si Penolong Budiman lupa kalau dia pernah
memperlihatkan wajah aslinya pada Luhcinta.
“Kerabatku,”
kata Hantu Langit Terjungkir. “Jangan suka mudah bersumpah. Lagi pula urusan
selidik menyelidik itu bisa diatur kemudian. Yang penting kau harus cepat-cepat
berusaha mendapatkan Luhcinta. Jika kau malu, aku mau jadi perantara
menemuinya. Mengatakan padanya bahwa kau mencintainya! Setuju?!”
“Jangan
Kek! Aku harap jangan kau lakukan hal itu!”
“Aneh kau
ini! Mau tapi malu. Suka tapi berpura-pura!”
“Aku
tidak malu, aku tidak berpura-pura…”
“Lalu apa
sebenarnya?! Jangan-jangan kau ini sebenarnya seorang perempuan adanya! Ha… ha…
ha!”
“Aku tidak
bisa mengatakan padamu Kek…”
“Kalau
begitu katakan pada kami!” tiba-tiba ada suara menyeruak. Membuat kaget Hantu
Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman. Jika ada dua orang mendatangi tempat
itu tanpa mereka mendengar dan mengetahui lebih awal, itu sudah cukup menjadi
pertanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak menunggu lama, dari
balik sebuah batu besar hitam di tepi telaga berkelebat muncul dua sosok. Satu
mengenakan jubah hijau pekat satunya lagi berjubah kuning gelap.
Hantu
Langit Terjungkir goyangkan kepalanya agar bisa melihat jelas siapa yang
datang. Si Penolong Budiman cepat bangkit berdiri dan memutar tubuh. Yang
berjubah kuning gelap adalah seorang kakek berambut putih kelabu awut-awutan.
Mata kanan sipit kecil sebaliknya mata kiri besar membeliak. Di pinggangnya
kakek ini membekal sebilah senjata berbentuk clurit besar berwarna hitam legam.
Di
sebelah kakek berjubah kuning gelap tegak berdiri seorang nenek yang
penampilannya luar biasa aneh dan menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya
seperti terkelupas. Hidungnya nyaris gerumpung. Bola mata kanannya terbujur
keluar, setengah tergantung di pipinya yang tidak berdaging. Nenek ini tidak
mempunyai tangan kanan alias buntung. Tapi di atas keningnya menempel satu
potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tangan kanan sendiri! Seperti si
kakek dia membekal sebilah clurit berwarna putih berkilauan.
Siapakah
dua tua bangka aneh ini? Dalam rimba persilatan Latanahsilam mereka pernah
dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta. Si kakek bernama Lajahilio
sedang si nenek bernama Luhjahilio. Selama puluhan tahun mereka mengelana,
hidup bersama bermesraan tanpa nikah. Itu sebabnya mereka dijuluki Sepasang
Hantu Bercinta.
Seperti
banyak para tokoh di masa itu, sepasang kakek ini ternyata telah jatuh ke
tangan Hantu Muka Dua dan dijadikan kaki tangan suruhannya. Akibatnya mereka
bentrokan dengan berbagai pihak. Terakhir sekali mereka bertempur menghadapi
Luhcinta. Walau Luhcinta banyak mengalah dan mengingatkan kedua orang itu agar
kembali ke jalan yang benar namun mereka tidak mau perduli.
Terutama
si nenek yang terus mendesak Luhcinta dengan serangan-serangan ganas. Akhirnya
terpaksa Luhcinta menghajar nenek itu dengan pukulan sakti disebut Pukulan
Kasih Mendorong Bumi. Si nenek amblas ke dalam dinding batu. Ketika kakek
kekasihnya menariknya keluar dari batu, dirinya menjadi cacat mengerikan,
terutama di bagian wajah, dada dan perut. Kulit serta dagingnya terkelupas,
menyembulkan tulang putih menggidikkan! Mata kanannya terbetot keluar!
(Mengenai riwayat Lajahilio dan Luhjahilio harap baca dua episode sebelum ini
berjudul “Rahasia Patung Menangis” dan “Rahasia Mawar Beracun”).
Saat itu
Hantu Langit Terjungkir telah bangkit berdiri, dua tangan menginjak bumi, dua
kaki naik ke atas. Dari balik celah-celah rambut putihnya dia perhatikan
gerakgerik dua tamu tak diundang itu.
Si
Penolong Budiman walau berdiri dengan sikap tenang sambil rangkapkan dua tangan
di depan dada namun penuh waspada. Luhjahilio perhatikan Hantu Langit
Terjungkir dengan wajah sinis sementara mata kanannya yang melotot keluar
bergerak-gerak mengerikan. Mata kirinya melirik sekilas pada Si Penolong
Budiman. Mulutnya dipencongkan lalu dia berkata.
“Hantu
Langit Terjungkir, aku mengenali siapa dirimu. Kau bangsa manusia yang tidak
pernah berdusta!”
“Terima
kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud
tersembunyi!” menyahuti Hantu Langit Terjungkir.
Luhjahilio
kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang menempel di
atas keningnya kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Lajahilio mendekat dan
berbisik. “Aku tidak takut pada manusia yang hidup menyungsang itu. Tapi harap
kau berhati-hati pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam itu. Kalau
aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si Penolong Budiman? Ingat, dia
yang dulu menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!” (Baca episode
berjudul “Rahasia Patung Menangis”).
“Aku
ingat!” jawab si nenek. “Tapi kau diam sajalah Lajahilio. Biar aku yang bicara.
Biar aku yang mengatur! Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau
langsung membokong Hantu Langit Terjungkir!” Memang antara dua kekasih yang
hidup selama puluhan tahun itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu
tingkat lebih tinggi.
Luhjahilio
kemudian alihkan perhatiannya pada Hantu Langit Terjungkir. “Makhluk yang
hidupnya menyungsang, kaki ke atas kepala ke bawah. Harap kau memberitahu di
mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu!”
Sementara
Si Penolong Budiman terkejut mendengar pertanyaan si nenek, Hantu Langit
Terjungkir keluarkan tawa mengekeh. Diam-diam Si Penolong Budiman khawatir
kalau Hantu Langit Terjungkir memberitahu di mana beradanya Luhcinta. Maka dia
memberi isyarat dengan kedipan mata. Namun dia tidak mengetahui apakah si kakek
mengerti arti isyaratnya itu.
“Luhjahilio…”
kata Hantu Langit Terjungkir. “Biasanya hanya seorang pemuda yang menanyakan di
mana beradanya seorang gadis cantik. Tapi kau yang neneknenek buruk justru yang
mengajukan pertanyaan… Aku mungkin masih bisa mengerti seandainya kekasihmu si
Lajahilio itu yang bertanyakan Luhcinta! Ha… ha… ha!”
“Tua
bangka keparat! Jangan kau berani menghina istriku!” hardik Lajahilio marah
besar. Dia hendak menerjang tapi cepat dipegang oleh Luhjahilio.
“Istrimu
katamu…?!” ujar Hantu Langit Terjungkir sambil sibakkan rambut putih yang
menutupi wajahnya. Bola matanya berputar-putar memperhatikan Lajahilio lalu
tertawa gelak-gelak. “Sejak kapan kau kawin dengan nenek itu? Siapa yang mengawinkan
kalian? Ha… ha… ha! Kalian mau aku bicara tidak berdusta tapi kalian sendiri
bicara tidak karuan!”
Lajahilio
tak dapat lagi menahan amarahnya. Sekali terjang saja kaki kanannya menderu ke
arah dada Hantu Langit Terjungkir. Ini bukan tendangan biasa. Sekali mengenai
sasarannya dada Hantu Langit Terjungkir pasti akan hancur luluh!
“Lajahilio!
Kau buas sekali! Jangan-jangan sudah lama kekasihmu si nenek buruk itu tidak
mau bermesraan denganmu! Ha… ha… ha!”
Hantu
Langit Terjungkir kerahkan hawa sakti yang didapatnya sewaktu berada di Lembah
Seribu Kabut (Baca Episode berjudul “Rahasia Kincir Hantu”). Sekujur badannya
mendadak sontak memancarkan sinar kebirubiruan disertai menebarnya hawa dingin.
Tubuh si kakek berubah laksana kabut, melesat mumbul ke atas. Tendangan
Lajahilio mendera udara kosong kemudian menghantam pohon besar tempat Hantu
Langit Terjungkir tadi tegak bersandar.
Braakkk!
Pohon
yang batangnya seukuran pemelukan manusia itu hancur berkeping-keping. Lalu
dengan suara menggemuruh tumbang ke tanah!
Lajahilio
menggembor keras lalu berteriak. “Hantu salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa
lolos dari senjataku ini!” Lalu manusia berjubah kuning gelap ini gerakkan
tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjatanya yang berbentuk sebuah
clurit besar berwarna hitam legam. “Kekasihku, jangan turutkan amarahmu!
Biarkan aku bicara dulu dengan kakek jahanam itu! Soal nyawanya kurasa bisa
kita urus kemudian!”
Lajahilio
banting kaki mendengar kata-kata si nenek. Dia berusaha menepiskan tangan kekasihnya
itu, tapi si nenek mencekalnya dengan kencang. “Turuti kemauanku! Atau kau
tidak ingin aku punya kesempatan untuk membalas dendam?!”
“Huh!”
Lajahilio unjukkan tampang merengut. Masih penuh geram dia sisipkan senjatanya
kembali ke pinggang.
Si nenek
Luhjahilio berpaling pada Hantu Langit Terjungkir. “Sekarang harap kau
memberitahu di mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu! Jika kau berani
macam-macam aku akan biarkan kekasihku mencincang tubuhmu mulai dari kaki
sampai kepala!”
“Nenek
sesat! Orang telah memindahkan tangan kananmu ke kening! Seharusnya itu sudah
cukup menjadi pelajaran dan peringatan bagimu! Tapi rupanya kau memang tidak
bisa dibuat sadar!”
“Keparat
hidup menyungsang! Jangan banyak mulut di hadapanku! Tanganku sebenarnya sejak
tadi sudah gatal untuk mempesiangi tubuhmu! Kau mau mengatakan di mana gadis
bernama Luhcinta itu atau mampus sekarang juga?!” Tangan kiri si nenek bergerak
ke pinggang di mana tergantung clurit putih berkilat.
Hantu
Langit Terjungkir tidak takut ancaman orang. Sambil menyeringai dia berkata.
“Aku baru
memberitahu kalau kau mau mengatakan mengapa kau mencari gadis itu?” tanya
Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kau
bertanya aku akan menjawab!” kata si nenek pula. “Kau lihat keadaan mukaku! Kau
lihat dada dan perutku. Putih hanya tinggal tulang belulang. Lihat hidungku!
Lihat mata kananku yang terjulur keluar! Ini semua adalah akibat perbuatan
gadis bernama Luhcinta itu! Dia memukulku hingga melesak masuk ke dalam dinding
batu!”
“Wahai!
Kau memang patut dikasihani! Tetapi mengapa gadis itu menghajarmu kalau tidak
ada sebab musababnya?!”
“Tua
bangka jahanam! Jangan kau memperpanjang pembicaraan dengan segala macam
pertanyaan! Lekas katakan di mana Luhcinta berada!” Tangan kiri si nenek
bergerak menggenggam gagang clurit besar yang memantulkan cahaya angker
berkilauan terkena sinar matahari. Di sampingnya si kakek yang jadi kekasihnya
tidak tinggal diam. Dia juga segera menghunus senjatanya.
***********************
7
TAHAN!
Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua sabit besar itu! Setahuku dulu kalian
memiliki senjata berbentuk pedang terbuat dari batu merah. Mana senjata itu
sekarang?! Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup?! Ha… ha… ha!”
Wuuttt!
Clurit
putih di tangan kiri Luhjahilio berkelebat dan tahutahu bagian tajamnya sudah
melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir. Sekali renggut saja leher kakek ini
pasti akan amblas putus.
Seperti
diketahui, ilmu kepandaian Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu telah amblas
dirampas Hantu Muka Dua. Peristiwanya terjadi ketika Hantu Muka Dua dengan
mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang didapatnya dari makhluk bernama
Lamanyala, berhasil mencungkil pusar Lasedayu yakni bagian tubuh yang menjadi
pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi, namun
secara diam-diam di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Lasedayu
berhasil menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapat
diandalkan dan bukan sembarangan orang bisa menjajalnya. Itu sebabnya walau
lehernya sudah dikalungi Luhjahilio dengan clurit besar, dia masih bisa
cengar-cengir, malah julur-julurkan lidahnya. Lalu dia berkata. “Aku hidup
sudah puluhan tahun. Sudah lebih dari cukup! Kalau kau memutuskan leherku saat
ini, aku akan sangat berterima kasih, Luhjahilio. Lakukanlah!”
“Tua
bangka gila! Kau benar-benar minta mati! Aku masih mau memberi kesempatan!
Katakan di mana Luhcinta!”
“Wahai…!
Kalau kau sangat mendesak baiklah akan aku katakan. Harap kau pasang telinga.
Dengar baik-baik!”
“Kek,
jangan kau beritahu!” teriak Si Penolong Budiman.
“Jangan
campuri urusan orang!” bentak Lajahilio. Sekali berkelebat tahu-tahu ujung
clurit hitamnya sudah mendekam di atas perut manusia bermuka tanah liat itu!
Sekali
tangan itu bergerak, jebollah perut orang dan ususnya akan berhamburan keluar!
Si
Penolong Budiman tampak tenang saja. Tapi diamdiam dia segera kerahkan tenaga
dalam pada dua tangannya. Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati mengadu
jiwa dengan Lajahilio.
“Tenang…
Tenang semua!” Hantu Langit Terjungkir berkata. “Aku akan beritahu di mana
gadis itu berada…”
“Katakan
cepat! Dari tadi kau cuma berceloteh tak karuan!” bentak Luhjahilio.
“Gadis
itu berada di tempat yang aku tidak tahu!” kata Hantu Langit Terjungkir pula
lalu tertawa gelak-gelak.
“Keparat
jahanam! Mampus kau!” teriak Luhjahilio.
Tangan
kirinya yang memegang clurit putih siap disentakkan.
Di
sebelah sana Lajahilio juga tidak berdiam diri. Tanpa banyak cerita dia siap
menekankan ujung clurit hitamnya untuk merobek perut Si Penolong Budiman!
Namun
dalam keadaan yang sangat menegangkan itu tidak terduga mendadak berkelebat
satu bayangan kuning.
Butt!
Prett!
Gerakan
bayangan yang sangat sebat disertai bunyi suara kentut mau tak mau menyita
perhatian Sepasang Hantu Bercinta yang siap menghabisi Hantu Langit Terjungkir
dan Si Penolong Budiman. Ternyata tidak hanya kelebatan bayangan kuning dan
suara kentut yang muncul. Di saat bersamaan dua larik sinar kuning berbentuk
tombak menderu ke arah Luhjahilio dan Lajahilio!
“Tombak
Kuning Pengantar Mayat!” teriak Luhjahilio dan Lajahilio hampir berbarengan.
Tampang sepasang kakek nenek ini menjadi seputih kain kafan. Keduanya sama-sama
jatuhkan diri menghindari sambaran sinar kuning sambil tetap meneruskan niat
untuk menghabisi dua lawan mereka. Namun saat itu Hantu Langit Terjungkir dan
Si Penolong Budiman sudah bergerak lebih dahulu!
Dua kaki
Hantu Langit Terjungkir yang ada di udara tibatiba sekali melesat ke bawah. Dua
tumitnya menghantam ke arah batok kepala Luhjahilio. Si nenek tahu betul
kehebatan dua kaki lawan. Terlambat dia selamatkan diri batok kepalanya akan
amblas dihantam dua tumit Hantu Langit Terjungkir. Selagi perhatiannya tersita
pada serangan lawan, dia cepat rundukkan kepala sementara tangan kirinya
bekerja, menarik clurit besar yang melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir.
Tapi sekali ini si nenek kalah cepat dengan gerakan tangan kanan lawan.
Hantaman dua kaki yang dilancarkan Hantu Langit Terjungkir ke arah kepala
Luhjahilio sebenarnya hanya tipuan belaka. Begitu perhatian lawan terbagi dan
membuat gerakan mengelak, Hantu Langit Terjungkir cepat melesat mumbul ke atas
untuk lepaskan leher dari kalungan clurit. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
dipukulkan.
Bukkkk!
Kraaakkk!
Luhjahilio
terpental dua tombak, bergulingan di tanah sambil keluarkan suara raungan. Dari
mulutnya menyembur darah kental. Clurit putihnya terlepas jatuh entah ke mana.
Ketika dia bangkit terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang remuk
dilabrak jotosan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir, mata kanannya yang
sebelumnya terbujur kini tak kelihatan lagi. Mata itu kini hanya tinggal lobang
digenangi darah menggidikkan. Matanya yang satu bergerak liar kian kemari
mencari cluritnya. Kemudian nenek ini keluarkan seruan tertahan ketika di sebelah
sana dilihatnya kekasihnya tergeletak tak bergerak!
Walau
lolos dari maut, namun Hantu Langit Terjungkir ternyata mengalami cidera cukup
parah. Ketika tadi dia menghantam si nenek, dia pergunakan tangan kanannya.
Kakek ini lupa kalau tangannya itu masih dibalut dan belum sembuh betul dari
patah akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan beberapa waktu lalu. Begitu
dipergunakan menghantam dada lawan, tak ampun lengan yang patah itu ambruk
kembali! Si kakek terguling di tanah, menggeliat-geliat menahan sakit. Si
Penolong Budiman cepat menghampiri orang tua ini, mendukungnya dan membawanya
ke tempat yang aman dekat sebuah batu besar di tepi telaga.
“Kek, kau
tak apa-apa?”
“Sial
betul nasibku! Mengapa aku begitu tolol pergunakan tangan kanan memukul lawan!
Tangan ini pasti sudah patah lagi! Celaka betul!”
“Aku akan
menolongmu. Mari kulihat dulu lenganmu,”
kata Si
Penolong Budiman sambil hendak membuka pelepah pisang yang membalut lengan si
kakek.
“Jangan
pikirkan diriku. Awasi dulu sepasang kakek nenek sesat itu! Mereka tidak
segan-segan membokong kita secara curang!”
“Tak usah
khawatir Kek. Si nenek cidera berat akibat pukulanmu! Kekasihnya kakek satu itu
agaknya tak akan sadar dalam waktu satu minggu!”
Apa yang
terjadi dengan Lajahilio seperti yang disaksikan oleh si nenek kekasihnya?
Ketika
tadi sinar kuning berbentuk tombak menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian
Lajahilio jadi terbagi. Dia merasa masih punya kesempatan untuk menambus perut Si
Penolong Budiman. Karena itu sambil jatuhkan diri ke samping dia betot
celuritnya demikian rupa. Namun manusia muka tanah liat telah lebih dulu
bergerak. Tangan kiri memukul lengan Lajahilio hingga dirinya terpental ke
samping. Bersamaan dengan itu tangan kanannya didorongkan ke depan. Gerakannya
perlahan saja. Dari tangan kanan itu menyembur keluar selarik sinar hitam yang
merebak berbentuk kipas. Dalam larikan sinar hitam berkilauan sinar-sinar
terang aneh seperti bunga api.
“Pukulan
Menebar Budi!” teriak Lajahilio. Kakek ini serta merta menyingkir selamatkan
diri. Tapi terlambat. Larikan sinar hitam keburu menyapu tubuhnya mulai dari
dada sampai ke lutut!
Wuuuusss!
Lajahilio
menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu terkapar di tanah tak
berkutik lagi. Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak hangus
mengepulkan asap hitam!
Pukulan
yang barusan dilepaskan si muka tanah liat memang pukulan yang disebut Pukulan
Menebar Budi. Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di Negeri
Latanahsilam dan sangat ditakuti lawan. Pukulan Menebar Budi tersebut berjumlah
tujuh yakni Pukulan Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi Hari
ke Tujuh. Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam Lajahilio adalah Pukulan
Menebar Budi Hari Pertama.
Akibatnya
seperti disaksikan sendiri. Kalau sampai dia menghantam dengan Pukulan Menebar
Budi Hari ke Dua, saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi. Rupanya
manusia muka tanah liat ini masih mempunyai rasa belas kasihan hingga tidak mau
menjatuhkan tangan terlalu keras. Tapi karena jarak mereka begitu dekat maka
akibat yang menimpa Lajahilio sungguh parah walau orang ini tidak sampai
meregang nyawa.
“Jahanam!
Kau membunuh kekasihku!” teriak Luhjahilio. Terhuyung-huyung nenek yang juga
mengalami cidera parah ini jatuhkan diri ke atas tubuh Lajahilio lalu
menggerung keras. Di antara suara gerungan itu tiba-tiba terdengar suara tawa
mengikik disusul suara butt prett!
“Luhjahilio
nenek sesat! Kau dan kekasihmu samasama tak tahu diri! Masih untung orang tidak
membunuh kekasihmu itu! Kau sendiri, apa peringatanku masih kurang jelas? Aku
sudah memindahkan tangan kananmu ke jidat! Tapi kau masih saja menjalani hidup
jahat dan sesat! Apa tanganmu yang satu lagi mau aku pindahkan ke selangkangan?!
Hik… hik… hik…!”
Mata
kanan Luhjahilio kucurkan darah. Mata kirinya bergerak berputar memandang ke
arah sosok serba kuning yang tertawa cekikikan di hadapannya.
“Hantu
Selaksa Angin! Aku menyatakan perang tujuh turunan denganmu! Kau akan rasakan
pembalasanku!”
Nenek
muka kuning songgengkan pantatnya lalu butt prett! Dia pancarkan kentutnya.
“Tua bangka tolol! Anak saja kau tidak punya, apalagi cucu! Bagaimana kau bisa
bicara tak karuan menyatakan perang tujuh turunan?! Hik… hik… hik! Bagusnya kau
lekas angkat kaki dari tempat ini! Bawa kekasihmu itu selagi bisa
diselamatkan!”
Luhjahilio
meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah. Dengan matanya yang tinggal satu
dia membeliak memandang ke arah Si Penolong Budiman.
“Makhluk
muka tanah liat, nasibmu tak akan kalah sengsara dari nenek keparat itu! Lihat
saja pembalasanku nanti!” Habis berkata begitu Luhjahilio lalu coba mengangkat
tubuh kekasihnya. Maksudnya hendak didukung di pundak kirinya. Ternyata dia
tidak mampu melakukan.
“Aku mau
menolongmu mendukung kakek butut itu. Katakan saja kau mau bawa dia ke mana dan
kau mau bayar aku dengan apa?! Hik… hik… hik!”
Mendengar
ejekan Hantu Selaksa Angin itu Luhjahilio jadi mendidih amarahnya. Melupakan
keadaan dirinya sendiri dia sambar clurit hitam milik Lajahilio yang tergeletak
di tanah lalu menyerbu Hantu Selaksa Angin. Dalam satu gebrakan saja dia sudah
kirimkan dua babatan dan satu bacokan.
Butt
prett!
Hantu
Selaksa Angin pancarkan kentutnya lalu cepat berkelebat. Ketika lengan jubah
kirinya dikebutkan, selarik cahaya kuning berkiblat. Seperti tadi waktu
menolong Hantu Langit Terjungkir dan makhluk muka tanah liat, nenek muka kuning
itu kembali lepaskan pukulan Tombak Kuning Pengantar Mayat. Walau diserang
dengan pukulan sakti itu, namun Luhjahilio tetap nekad, terus saja menerjang
dengan clurit besar di tangan kiri. Hantu Selaksa Angin arahkan pukulan
saktinya ke tangan kiri lawan.
Cahaya
kuning berbentuk tombak kembali berkiblat di udara.
Traanggg!
Luhjahilio
terpekik keras. Clurit hitamnya patah dua dan terlepas mental. Tangan kirinya
bergetar keras dan ada rasa sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sadar dalam
keadaan seperti itu dia tak bakalan dapat menghadapi lawan, Luhjahilio
banting-banting kaki. Dengan tangan kirinya dia cekal leher berjubah kuning
Lajahilio lalu seret si kakek meninggalkan tempat itu sambil keluarkan kutuk
serapah.
“Nenek
sesat! Kalau saja kau tahu diri akan kukembalikan tangan kananmu ke tempat
semula!” kata nenek muka kuning mengantar kepergian Luhjahilio.
Mendengar
ucapan itu Luhjahilio hentikan langkahnya dan berteriak.
“Aku
tidak perlu belas kasihanmu nenek muka comberan! Kalau tiba saatnya aku akan
pindahkan nyawamu ke pusaran neraka langit ke tujuh!”
Butt
prett!
Hantu
Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut jawab ucapan Luhjahilio dengan
pancaran kentutnya lalu tertawa cekikikan. Tak lama setelah Luhjahilio
meninggalkan tempat itu bersama kekasihnya, Hantu Selaksa Angin berpaling ke
arah orang bermuka tanah liat yang tengah menolong Hantu Langit Terjungkir.
Nenek muka kuning ini segera mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si
kakek lalu berkata. “Huh! Seperti anak kecil! Cuma sakit sedikit saja tapi
mengerang tak putus-putus!”
Hantu
Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi kepalanya. “Tua bangka tukang
kentut! Kau rupanya! Kau tidak merasa bagaimana sakitnya karena bukan kau yang
cidera!”
Si kakek
tempelkan belakang tangan kirinya ke bibir lalu preettt! Dia tirukan suara
kentut si nenek. Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau masih pandai
menirukan kentutku! Padahal suara dan irama kentutku sudah berbeda dari dulu!
Hik… hik… hik! Makhluk yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke bawah, dulu
kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi ikan asap atau ikan pindang.
Apa kau masih mau melakukannya?!” (Baca episode berjudul “Hantu Santet
Laknat”).
“Nenek
muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan! Lama-lama
aku jadi muak melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!”
“Tua
bangka tak tahu diri!”
“Nenek
sialan, apa maksudmu?!”
“Rupanya
kau masih suka melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek sepertiku ini!
Itu sebabnya kau suruh aku pergi!”
“Nek,” Si
Penolong Budiman menengahi pembicaraan.
“Orang
tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau jangan
mengajaknya bicara dulu…”
“Manusia
muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli saja! Apa kau punya kemampuan
menolong tukang ikan pindang itu?!”
“Nenek
muka kuning itu ingin kubuat jadi ikan pepes rupanya!” kata Hantu Langit
Terjungkir pula.
“Dulu kau
suka ikan asap ikan pindang. Sekarang kau suka ikan pepes. Nanti kau suka ikan
apa lagi? Hik… hik…hik! Dengar, jika aku bisa menolong tanganmu yang patah apa
kau mau menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Memangnya
kau tabib atau dukun? Puah!” Hantu Langit Terjungkir pencongkan mulutnya.
“Aku
memang bukan tabib, juga bukan dukun. Apalagi dukun beranak! Hik… hik… hik!
Tapi sekali lihat saja aku sudah tahu tanganmu yang patah itu sudah mulai
membusuk! Tak ada harapan untuk disembuhkan!”
Hantu
Langit Terjungkir jadi terdiam. Dia melirik pada Si Penolong Budiman. Manusia
muka tanah liat ini berkata. “Jangan dengarkan ucapannya Kek. Dia
menakut-nakuti dirimu. Aku pasti bisa menolongmu…”
“Aku
hanya memberitahu!” kata Hantu Selaksa Angin.
“Kalau
tangan kananmu sampai busuk dan kelak kau cuma punya satu tangan, apakah kau
masih bisa berjalan dengan mempergunakan hanya satu tangan? Tua bangka tolol!
Kelak kau berjalan dengan tangan kiri. Makan dengan tangan kiri! Lalu cebok
dengan tangan kiri juga! Hik… hik… hik! Perlu apa berlama-lama melihat orang
tolol! Kalau bukan guruku yang menyuruh mencarimu, mana sudi aku melihat
tampangmu yang lebih jorok dari pengemis ini!” Setelah berkata begitu si nenek
segera bergerak hendak tinggalkan tempat itu.
Hantu
Langit Terjungkir kembali melirik pada Si Penolong Budiman. Akhirnya kakek ini
berseru. “Nenek muka kuning! Tunggu dulu! Aku bersedia menjawab pertanyaanmu.
Tapi aku ingin agar kau mengobati tanganku lebih dulu!”
“Kalau
aku mengobatimu lebih dulu, apa nanti kau akan memenuhi janji menjawab
pertanyaanku?”
“Nek,
kakek sahabatku ini bukan orang berhati culas. Kalau setelah kau obati ternyata
dia ingkar, biar aku mematahkan tangannya yang satu lagi!” kata Si Penolong
Budiman pula.
Butt
prett!
Yang
berbunyi bukanlah kentut si nenek muka kuning, tapi suara mulut dan tangan
Hantu Langit Terjungkir sengaja meniru suara kentut si nenek.
Hantu
Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Baik, aku akan tolong kakek sahabatmu ini.
Tua bangka jelek, ayo ulurkan tangan kananmu!”
Masih
dalam keadaan berbaring Hantu Langit Terjungkir ulurkan tangannya yang cidera.
Si nenek perhatikan tangan itu sesaat. “Hemmm… apa kataku. Tanganmu sudah
busuk. Malah kulihat sudah mulai ada belatungnya kecil-kecil!”
Hantu
Langit Terjungkir jadi kaget. Dia buka matanya lebar-lebar memperhatikan. Tapi
dia tidak melihat apa-apa. Apalagi belatung seperti yang dikatakan si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau mana bisa melihat belatungnya.
Matamu hanya bisa melihat gadis cantik. Bukan begitu? Hik… hik… hik!”
“Kau mau
menolongku atau mau bersenda gurau?!” Hantu Langit Terjungkir jadi jengkel.
“Walah,
sudah tua bangka kau masih cepat marah. Sudah, kalau kau tak sabaran sekarang
juga akan kuobati tanganmu!” Si nenek buang sisa-sisa pelepah pisang yang masih
menempel di tangan kanan Hantu Langit Terjungkir. Caranya melakukan hal itu
seenaknya saja hingga si kakek menjerit-jerit kesakitan.
Butt
prett!
“Jangan
cengeng!” bentak si nenek muka kuning setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan
kirinya dia usap tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang patah sementara
mulutnya berkomat-kamit Masih dengan tangan kirinya dia cekal tangan itu di
bagian siku. Lalu dipelintirnya kuat-kuat!
Klek!
Tangan
kanan Hantu Langit Terjungkir tanggal di bagian siku! Si kakek menjerit
setinggi langit. Saking sakitnya dia hendak berguling-guling di tanah. Tapi si
nenek cepat injak dadanya. “Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!”
bentak si
nenek.
“Uh… uh…
uh…” Hantu Langit Terjungkir terpaksa menahan rasa sakitnya walau muka dan
badannya sampai mandi keringat. Hantu Selaksa Angin kemudian melangkah
mendekati sebatang pohon. Potongan tangan Hantu Langit Terjungkir
ditempelkannya di pohon itu. Lalu, krakkk! Dia mematahkan cabang pohon yang
besar dan panjangnya kira-kira sama dengan tangan si kakek. Potongan cabang
pohon itu lalu enak saja disambungkannya ke tangan kanan Hantu Langit
Terjungkir.
“Untuk
sementara kau pakai dulu cabang pohon itu sebagai pengganti tanganmu yang
patah!” kata si nenek sambil menyeringai.
Si
Penolong Budiman tersentak kaget. Hantu Langit Terjungkir sendiri membeliak
besar.
“Kau
menipuku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah.
***********************
8
NENEK
muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett!
Lalu
unjukkan wajah cemberut. “Siapa yang menipumu kakek buruk?!”
“Tadi kau
mengatakan akan mengobati tanganku yang patah. Ternyata tanganku kau
tanggalkan, kau tempel di pohon. Lalu kau ambil patahan cabang pohon dan kau
tempelkan di tanganku!”
“Walah,
memang begitu caraku menolongmu!” jawab Hantu Selaksa Angin.
“Aku
lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu seperti
ini!” ujar Hantu Langit Terjungkir sementara Si Penolong Budiman tertegak tak
tahu mau berbuat atau bicara apa.
“Ck… ck…
ck… Kau benar-benar bangsa manusia yang tidak tahu ditolong orang. Aku telah
pergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu. Itu bukan ilmu
sembarangan. Aku menghabiskan waktu belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu
yang patah sengaja aku tempel di pohon. Sementara kau tidak punya tangan,
bukankah ada baiknya kuganti dulu dengan batang kayu? Nanti kalau tanganmu yang
di pohon sudah bertaut kembali tulangnya baru kukembalikan ke tempatnya semula!
Paling lama kau hanya menunggu beberapa hari sampai tanganmu sembuh! Nanti aku
pasti akan memasangkannya ke tanganmu itu kembali!”
“Cara
pengobatanmu tidak masuk akal! Kau menipuku…!” teriak Hantu Langit Terjungkir.
“Itulah
kalau hidup cuma tahu ikan asap, hanya tahu ikan pindang! Sekarang kau juga
tahu ikan pepes! Ditolong orang malah menuduh menipu! Coba kau perhatikan! Apa
tanganmu yang kusambung dengan cabang pohon itu terasa sakit?”
“Memang
tidak! Tapi aku tidak sudi punya tangan batang kayu seperti ini!”
“Sombongnya
manusia satu ini!” mengomel si nenek.
“Selama
puluhan tahun kau hidup kaki ke atas kepala ke bawah. Apa kau pernah berkata
tidak sudi hidup menyungsang seperti itu?!”
Mendengar
ucapan si nenek, Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam.
“Nek,
bagaimana kalau selama di pohon terjadi apaapa dengan tangan kakek sahabatku
itu?” Si Penolong Budiman bertanya.
“Apa
maksudmu manusia muka tanah liat?”
“Mungkin
saja potongan tangan itu dipagut dan dimakan ular. Atau dimakan musang…”
“Kalau
kau memikir sampai di situ mudah saja jawabnya! Suruh kakek yang punya tangan
itu berjaga-jaga siang malam di bawah pohon sampai tangannya sembuh! Kalau
nanti tangannya masih saja dijadikan santapan binatang hutan, mungkin itu sudah
nasibnya! Hik… hik…hik! Bukankah tugasku hanya menolongnya? Bukan menjadi
pengawal tangan buntungnya? Kalau kau merasa sahabatnya kau harus membantunya!”
Butt
prett! Si nenek kentut dulu lalu meneruskan ucapannya. “Sekarang sesuai
perjanjian kau harus menjawab beberapa pertanyaanku.”
“Aku
tidak akan menjawab apapun!” Hantu Langit Terjungkir berkata setengah
berteriak.
Si nenek
tampak jengkel. Matanya yang kuning memandang tajam pada Hantu Langit
Terjungkir. “Aku sudah menduga kau akan ingkar janji. Tapi tak jadi apa! Aku
akan pergi, tapi tanganmu kubawa serta!”
Lalu
dengan mulut berkomat-kamit si nenek hendak tanggalkan tangan kanan Hantu
Langit Terjungkir yang menempel di batang pohon.
“Kek,
sebaiknya kau menjawab saja apa yang hendak ditanyakannya. Kurasa tak ada
susahnya. Daripada urusan menjadi panjang tak karuan…” Si Penolong Budiman
memberi nasihat
“Aku…!
Wahai! Sialan! Sudah! Baik aku akan jawab. Apa yang mau kau tanyakan!” Hantu Langit
Terjungkir akhirnya mengalah juga.
Hantu
Selaksa Angin tatap wajah si kakek beberapa saat baru berkata. “Kau dikenal
dengan nama Hantu Langit Terjungkir. Waktu lahir kau pasti punya nama. Aku
ingin tahu siapa namamu sebenarnya.”
“Kau
menanyakan namaku segala! Apa juga perlu hari dan bulan lahirku? Rupanya kau
mau meramal menujumi diriku atau bagaimana?”
“Jangan
banyak bicara yang tak karuan. Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu kakek
buruk?”
Hantu
Langit Terjungkir pandangi nenek muka kuning itu mulai dari sunting yang
menancap di kepalanya, turun ke lehernya yang penuh dengan untaian kalung
sampai ke kaki. Semuanya serba kuning. Dalam benak dan hati si kakek berbagai
pertanyaan muncul. Sambil melangkah seputar si nenek Hantu Langit Terjungkir
membatin.
“Nenek
aneh serba kuning ini. Siapa dia sebenarnya? Aku yakin dia sengaja memoles
wajahnya dengan semacam cat kuning. Aku akan menjawab pertanyaannya tapi nanti
aku akan balas bertanya…”
“Kalau
kau memang ingin tahu, nama asliku Lasedayu.”
“Lasedayu…
Lasedayu…” Si nenek ketuk-ketuk keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk.
“Hemmm…Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namamu buruk
seperti tampangmu! Aku tidak kenal nama itu!”
“Lebih
bagus kau tidak kenal siapa diriku!” menyahuti si kakek.
“Aku
memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak menyuruh…”
“Siapa
gurumu?” bertanya Si Penolong Budiman.
“Aku
tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu muka hitam!”
“Kau tak
mau menjawab tak jadi apa,” kata Si Penolong Budiman tenang.
“Sudah tua
bangka begini apakah kau punya istri, Lasedayu?” Si nenek ajukan pertanyaan
kedua.
“Kalau
aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!” tanya Lasedayu alias Hantu
Langit Terjungkir.
Butt
prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah tertawa cekikikan dia berkata.
“Jawab saja pertanyaanku!”
“Aku tak
punya istri!”
“Maksudmu
kau tidak pernah kawin? Tak pernah punya anak?!”
“Nenek
muka kuning! Aku tidak suka semua pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku
atau bagaimana?”
“Jangan-jangan
kau kaki tangan Hantu Muka Dua.” Si Penolong Budiman menimpali.
“Aku
bukan kaki tangan Hantu Muka Dua! Soal menyelidiki aku memang sedang
menyelidiki dirimu!”
“Untuk
apa?!” sentak Hantu Langit Terjungkir.
“Aku
tidak tahu!” jawab si nenek.
“Tua
bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
“Aku
memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya, tanganmu yang di pohon itu kubuat
remuk hingga kau tidak punya tangan kanan lagi seumur-umur. Bagaimana, mau kita
coba? Mau kubuktikan kalau diriku bisa tidak waras?!”
Ketika si
kakek tidak menjawab, Hantu Selaksa Angin tertawa gelak-gelak. “Kakek buruk.
Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau pernah kawin? Kalau pernah siapa nama
istrimu. Lalu apa kau pernah punya anak?”
“Nenek
muka kuning, kau harus jawab pertanyaanku dulu. Apa perlu kau menyelidiki
diriku?”
“Sudah
kukatakan tadi. Guruku yang menyuruh!”
“Siapa
gurumu?!”
“Aku
tidak tahu!”
“Betul-betul
gila! Kau disuruh gurumu tapi kau tidak tahu siapa gurumu!”
“Aku
tidak dusta! Karena aku memang tidak pernah melihat ujudnya!”
“Kau
punya guru, tapi tidak tahu ujudnya! Gurumu angin atau sebangsa kentut yang
keluar dari pantatmu itu?!”
“Jangan
kau berani menghina guruku. Tua bangka bermulut tak karuan. Kau yang gila,
bukan aku! Aku tak mau lagi bicara denganmu!”
“Bagus,
sekarang aku yang bicara! Aku yang bertanya! Siapa namamu sebenarnya?”
“Aku
tidak tahu!”
“Apa kau
pernah punya suami?”
“Hik…
hik! Jika aku tak punya suami apa kau mau jadi lakiku? Hik… hik!”
“Sialan betul!”
maki Hantu Langit Terjungkir.
Sebaliknya
si nenek banting-banting kaki lalu tanpa banyak bicara lagi putar tubuhnya.
Setelah pancarkan kentutnya satu kali diapun tinggalkan tempat itu.
“Syukur
nenek sinting itu sudah pergi!” kata Hantu Langit Terjungkir lega. Tetapi
sebenarnya si nenek tidak pergi. Setelah menghilang dari pandangan mata kedua
orang itu diam-diam dia menyelinap kembali, melompat ke atas sebatang pohon
berdaun lebat di seberang telaga. Dari sini dia mengawasi Hantu Langit
Terjungkir dan Si Penolong Budiman sambil kerahkan kesaktiannya untuk mendengar
apa yang dibicarakan kedua orang itu.
“Nenek
muka kuning itu benar-benar aneh…” kata Hantu Langit Terjungkir. “Apa maksudnya
menyelidiki diriku. Katanya disuruh gurunya. Tapi dia tidak tahu mau
memberitahu siapa gurunya.”
“Kau
tidak bisa mengenali atau menduga siapa dia adanya, Kek?” tanya Si Penolong
Budiman. Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala.
“Aku
menduga dia tengah menyelidiki dirimu dan masa silammu Kek.”
“Bisa
saja. Tapi untuk apa?”
“Kuncinya
ada pada gurunya. Sayangnya dia tidak mau memberitahu siapa gurunya! Katanya
dia tak pernah melihat ujud sang guru. Apa memang bisa begitu?”
“Sebaiknya
kita tidak membicarakan nenek sinting itu!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
Tiba-tiba dia ingat dan berseru. “Wahai! Celaka diriku!”
“Ada apa
Kek?”
“Tanganku
yang menempel di pohon! Kalau tulangnya yang patah bertaut kembali, bagaimana
aku menyambungkannya ke tubuhku?!” Wajah si kakek jadi pucat.
“Berarti
dalam waktu beberapa hari di muka nenek itu akan datang kembali mencarimu Kek.”
“Kalau
dia datang, kalau tidak…!”
Di atas
pohon di seberang telaga Hantu Selaksa Angin senyum-senyum mendengar percakapan
kedua orang itu.
“Lasedayu…
Lasedayu…” katanya berulang kali dalam hati.
“Ah, aku
tidak kenal nama itu. Aku tidak ingat lagi…” Si nenek pukul-pukul kepalanya
sendiri.
************************
**
PAGI hari
ke empat ketika Hantu Langit Terjungkir bangun, seperti hari-hari sebelumnya
yang pertama sekali diperhatikannya adalah pohon di mana tangan kanannya yang
patah ditempelkan oleh Hantu Selaksa Angin. Sekali ini begitu dia memandang ke
pohon langsung dia tersentak kaget dan melompat bangun sambil berseru memanggil
Si Penolong Budiman.
Manusia
muka tanah liat ini serta merta terbangun pula. “Ada apa Kek?”
“Tanganku!
Lihat ke pohon sana! Tanganku tak ada lagi di pohon itu! Pasti sudah dibawa
lari binatang hutan! Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu
benar-benar telah menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan kucari nenek keparat
itu. Kalau bertemu biar dua tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia
rasa!”
Hantu
Langit Terjungkir pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.
Si
Penolong Budiman dapat merasakan kemarahan si kakek. “Nenek sinting itu memang
perlu diberi pelajaran!”
katanya.
Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-tiba
manusia bermuka tanah liat ini berseru keras. “Kek!”
“Ada
apa?!” tanya Hantu Langit Terjungkir kesal.
“Tangan
kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!”
“Astaga!”
Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik besar.
Ternyata tangannya yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah
berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat
cabang pohon yang tadinya dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di
tanah. Si kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas,
diturunkan ke bawah. Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!
“Nenek
itu! Wahai! Aku telah berburuk sangka! Ternyata dia tidak menipuku. Ternyata
dia benar-benar menolongku! Tanganku yang patah dan telah sembuh
disambungkannya kembali!”
Hantu
Langit Terjungkir memandang pada Si Penolong Budiman dengan sepasang mata
berkaca-kaca. “Dosa besar aku padanya, wahai kerabatku! Nenek muka kuning itu
menyembuhkan tanganku yang patah. Menyembuhkannya kembali! Aku tidak tahu kapan
dia melakukan. Pasti malam tadi!”
“Kek,
kalau dia melakukan secara diam-diam berarti dia menolongmu tanpa menginginkan
balas jasa. Berarti hatinya polos. Tapi mungkin juga…” Si Penolong Budiman
tidak meneruskan ucapannya. Tapi justru malah tersenyum.
“Tapi apa
muka tanah liat? Kau tidak meneruskan ucapanmu. Kau tersenyum seperti ada yang
lucu…”
“Kek, dia
menolongmu secara diam-diam mungkin karena dia malu…”
“Malu?
Aku tak mengerti…”
“Setahuku,
jika seorang perempuan malu-malu terhadap seorang lelaki berarti dia menyimpan
satu perasaan tertentu…”
“Perasaan
tertentu apa maksudmu?” tanya Hantu Langit Terjungkir pula.
“Maafkan
aku Kek. Mungkin nenek itu suka padamu,” jawab Si Penolong Budiman.
Hantu
Langit Terjungkir berteriak. “Gila kau! Aku dan dia sudah tua bangka begini
masih mau bersuka-sukaan! Gila!”
Si
Penolong Budiman tertawa lebar. “Yang namanya cinta itu Kek, kalau datang tidak
memilih waktu, tempat dan usia!”
“Kau
gila!” Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba
tawanya berhenti. Dia pandangi muka yang tertutup tanah liat kering itu.
Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
“Kau
hendak mengatakan apa Kek? Ada suatu perasaan yang tiba-tiba mengendap di lubuk
hatimu?”
“Aku
tidak tahu! Tapi nenek itu ternyata seorang yang baik sekali. Kalau saja aku
bisa menemuinya lagi. Aku akan mengucapkan terima kasih padanya…”
“Hanya
mengucapkan terima kasih saja Kek?”
“Lalu apa
lagi?!”
“Bagaimana
kalau terbukti dia memang menyukai dirimu. Apakah kau mau padanya. Maksudku mau
kawin dengannya?”
Wajah
Hantu Langit Terjungkir menjadi merah. Namun sambil senyum-senyum dia berkata.
“Nenek itu, mana mungkin dia suka padaku. Aku terus-terusan dikatakannya kakek
buruk. Lagipula keadaanku yang selalu kaki di atas kepala di bawah begini…”
“Justru
mungkin karena keadaanmu inilah yang menimbulkan rasa kasihan dalam dirinya
padamu. Rasa kasihan berganti dengan rasa suka…”
Si kakek
garuk-garuk pipinya yang tidak gatal. “Aku… Hemmm… Kalau dia memang punya hati
terhadapku, rasanya tak ada salahnya aku membalas dengan perasaan yang serupa…”
“Kau mau
kawin dengan Hantu Selaksa Angin itu Kek?”
“Yaaa…
Aku mau apalagi nenek satu itu memang aneh, tapi rasa-rasanya aku cocok dengan
dirinya. Selama puluhan tahun, sejak aku kehilangan istri dan anakanakku, aku
hidup sengsara sebatang kara. Mungkin para Dewa menakdirkan sudah saatnya
hidupku harus berubah…”
“Kalau
begitu sehabis mandi di telaga kita cari saja nenek itu. Sekalian kita mencari
Lakasipo dan Hantu Bara Kaliatus yang menurutmu kau yakin adalah sebagai dua
dari empat anakmu yang lenyap itu…”
“Cari
nenek itu dulu! Dua anakku bisa menyusul kemudian!” kata Hantu Langit
Terjungkir seraya kedipkan matanya lalu tertawa gelak-gelak.
Di
seberang telaga, di atas pohon berdaun rimbun Hantu Selaksa Angin dengan
kesaktiannya walaupun agak sayup-sayup masih dapat mendengar semua percakapan
Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Wajahnya
yang kuning tampak berseri-seri. Senyum tak henti-hentinya menyeruak di
mulutnya. Berulang kali dia mengusapi wajahnya. Lalu dalam hati dia berkata.
“Kakek satu itu sebenarnya tak buruk-buruk amat Walau keadaannya seperti itu
tapi hatinya pasti baik. Katanya dia mau kawin dengan aku! Hik… hik… hik!
Bagaimana ini! Aku harus memberitahu Sang Datuk. Aku harus menemui Guru! Hik…
hik… hik! Ada orang yang mau mengawini aku! Wahai bagaimana rasanya kawin!
Apakah dulu aku pernah kawin…?! Aku tak ingat lagi! Hik… hik… hik.” Tanpa
mengeluarkan suara dan goyangan pada pohon, nenek muka kuning ini berkelebat
turun dan lenyap di arah timur telaga.
***********************
9
HUJAN
turun dengan lebat membuat malam menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar
menerangi jagat. Lalu suara guntur menggelegar seperti hendak
menjungkirbalikkan bumi. Di bawah hujan lebat itu dua bayangan berkelebat ke
arah selatan. Ketika sekali lagi kilat menyabung dan keadaan terang benderang
sesaat, kelihatanlah bahwa dua bayangan itu adalah dua sosok perempuan berwajah
cantik. Mereka bukan lain adalah Luhcinta dan Luhsantini yang tengah dalam
perjalanan menuju tempat kediaman Lamahila.
Luhsantini
yang mengetahui letak rumah juru nikah terkenal di Negeri Latanahsilam itu
berlari di sebelah depan. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti mencari tempat
berteduh. Namun karena sudah terlanjur diguyur hujan keduanya terus saja
melanjutkan perjalanan. Selain itu Luhcinta mendesak terus agar bisa menemui
Lamahila secepatnya.
Lamahila
memiliki beberapa rumah namun dia lebih sering berada di rumah yang terletak di
sebuah bukit kecil di selatan, tak jauh dari kawasan pantai. Karena bukit itu
tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan maka dari jauh bangunan kediaman sang
juru nikah telah terlihat menghitam dalam kegelapan malam dan curahan air
hujan.
Bangunan
itu cukup besar, berhalaman luas. Kedua orang yang mendatangi langsung menuju
pintu depan.
“Tak ada
nyala dian atau obor di dalam rumah. Janganjangan nenek itu tak ada di sini…”
kata Luhcinta.
“Kita
masuk saja. Setahuku Lamahila memang suka bergelap-gelap,” jawab Luhsantini.
Dia melangkah ke depan pintu yang terbuat dari papan tebal. Sambil mengetuk
keras Luhsantini berteriak.
“Nenek
Lamahila! Nenek Lamahila! Kau ada di rumah?!”
Sampai
berulang kali pintu diketuk dan diteriaki namun tak ada jawaban, Luhsantini
hendak mengetuk untuk kesekian kalinya. Saat itulah dia menyadari kalau pintu
papan itu ternyata tidak dikunci.
“Kawasan
ini memang aman. Tapi adalah aneh kalau si nenek tidak mengunci rumahnya. Ini
di luar kebiasaannya…” kata Luhsantini. Lalu dengan tangan kirinya dia
mendorong. Daun pintu terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Lewat celah
pintu kedua orang itu memandang ke dalam.
“Gelap…
Agaknya nenek itu memang tidak ada di sini,”
Luhsantini
berkata setengah berbisik. Dia mendorong lagi daun pintu lebih lebar.
“Nenek
Lamahila! Kau ada di dalam?!” Luhsantini memanggil. Tetap tak ada jawaban.
Tiba-tiba kilat menyambar dan guntur menggelegar membuat dua perempuan ini
sama-sama terkejut.
“Kalau
nenek itu memang tidak ada di rumah, apa yang akan kita lakukan?” tanya
Luhsantini.
“Kita
menumpang berteduh saja. Menunggu sampai pagi. Siapa tahu nenek itu kemudian
muncul,” jawab Luhcinta.
Luhsantini
membuka pintu lebih lebar. Ketika dia hendak melangkah masuk mendadak ada suara
berkelik disusul suara mendesir. Luhcinta yang mendengar lebih dulu dengan
cepat menarik tangan Luhsantini. Kedua orang itu jatuh saling tindih di lantai
serambi rumah kayu. Dua benda hitam berdesing di atas mereka.
“Apa-apaan
kau ini?!” tanya Luhsantini. Luhcinta menjawab dengan acungan jari telunjuk
tangan kanannya.
Sambil
menunjuk dia goyangkan kepala ke kiri. Berubahlah paras Luhsantini. Pada tiang
serambi rumah besar tampak menancap dua buah pisau berbentuk aneh. Gagangnya
masih bergetar bergoyang-goyang.
“Ada
orang memasang peralatan rahasia di dalam rumah. Diarahkan ke pintu. Jika pintu
dibuka peralatan itu akan bekerja, melesatkan senjata pembunuh. Siapa yang
berada di depan pintu dan terlambat menyelamatkan diri akan ditambus
pisau-pisau itu!”
“Manusia
pengecut! Akan kuhajar habis-habisan orang yang memasang peralatan rahasia
itu!” kata Luhsantini geram seraya beringsut menjauhi pintu. “Tapi apa maunya
Lamahila memasang peralatan pembunuh itu?!”
“Bukan
dia yang memasang. Orang lain,” jawab Luhcinta. “Saat ini aku mengawatirkan,
jangan-jangan Lamahila sendiri berada dalam bahaya. Bagaimana kalau kita masuk
menjebol atap?”
“Setuju!”
jawab Luhsantini.
Di bawah
hujan yang masih mengucur lebat dua perempuan itu bergerak ke samping rumah.
Mereka mendapatkan bagian tanah yang agak tinggi. Dari sini keduanya lalu
melompat setinggi dua tombak. Naik ke atas wuwungan atau atap yang terbuat dari
jerami.
“Kau
siap?” tanya Luhsantini. Tangan kanannya diangkat ke samping kepala. Begitu
Luhcinta mengangguk Luhsantini hantamkan tangan kanannya ke bawah. Serangkum
angin dahsyat menderu membobolkan atap rumah. Sebuah lobang besar terkuak.
Tanpa menunggu lebih lama dua orang ini terjun ke bawah. Di lain saat mereka
telah berada di dalam rumah kayu. Sesaat mereka sengaja tegak tak bergerak
untuk membiasakan mata dengan kegelapan.
“Rumah
ini kosong…” bisik Luhcinta.
“Kita
periksa dulu. Kau di sebelah depan, aku di bagian belakang.” Luhsantini
bergerak lebih dulu. Tiba-tiba dia hampir terpekik dan serta merta hentikan
langkah lalu menghindar ke samping.
“Ada
apa?” tanya Luhcinta.
“Aku
menginjak sesuatu. Sepertinya tubuh manusia…”
Luhsantini
memperhatikan ke lantai. Luhcinta mengikuti pandangan kerabatnya itu. Keduanya
langsung berubah pucat ketika melihat apa yang tergeletak di lantai. Sosok si
juru nikah Lamahila. Tergeletak tertelentang di lantai. Dua buah pisau seperti
yang tadi hampir mencelakai dua perempuan itu menancap di kening dan lehernya.
Muka serta dada nenek sang juru nikah ini bersimbah darah mengerikan. Dalam
keadaan begitu rupa, tiba-tiba di luar sana terdengar suara tawa aneh, seolah
keluar dari liang jurang yang dalam.
“Dua
perempuan tolol! Aku sudah melarang kalian untuk menyelidik perihal anak dan
menantuku! Kalian mengabaikan! Kini kalian muncul di tempat ini, membunuh nenek
juru nikah bernama Lamahila itu!”
“Siapa
kau?!” teriak Luhsantini.
“Kami
tidak membunuh! Nenek ini sudah jadi mayat pada saat kami masuk ke dalam
rumah!” berteriak Luhcinta.
Kembali
di luar sana menggema suara tawa. “Jangan berdusta! Aku melihat sendiri kalian
berdua melemparkan masing-masing sebilah pisau ke arah Lamahila. Satu menancap
di kening. Satu menembus lehernya! Kalian masih hendak berdusta?!”
“Tuduhan
busuk dan keji!” teriak Luhcinta.
“Kau
berani bicara tak berani ujukkan muka!”
“Biarlah
aku jadi orang pengecut! Kalian berdua memang orang-orang gagah berani. Berarti
kalian juga harus berani mempertanggungjawabkan pembunuhan atas diri Lamahila!
Aku akan segera menyebar kabar ke suluruh Negeri Latanahsilam! Ha… ha… ha!”
“Jahanam
kurang ajar! Makhluk di luar sana sengaja menjebak dan memfitnah kita!” kata
Luhsantini.
“Suaranya
datang dari samping rumah sebelah kanan!”
bisik Luhcinta.
Dia memberi isyarat pada Luhsantini. “Kau terus layani dia bicara. Aku akan
naik ke atas atap dan menghantamnya dari sana!” Begitu habis bicara Luhcinta
melesat ke atas atap rumah lewat bagian yang jebol. Di dalam rumah Luhsantini
kembali berteriak. “Makhluk pengecut! Walau kau tidak berani unjukkan muka tapi
dari suaramu aku sudah bisa menduga siapa kau adanya!”
“Hebat!
Dugaan tidak ada artinya dibanding dengan kenyataan yang akan aku sebar luaskan
di Negeri Latanahsilam. Dua perempuan bernama Luhcinta dan Luhsantini membunuh
Lamahila. Marah besar karena nenek itu telah menikahkan pemuda asing bernama
Wiro dengan seorang gadis! Ha… ha… ha! Cemburu dan keputus-asaan memang bisa
merubah seseorang menjadi pembunuh tanpa perasaan! Ha… ha… ha!”
Sementara
di dalam rumah Luhsantini terus berusaha melayani ucapan-ucapan orang di luar
sana, di atas atap Luhcinta sudah mengetahui di mana kira-kira beradanya orang
yang bicara dengan suara menggema aneh itu. Tak menunggu lebih lama dia
lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke balik serumpun semak belukar.
Dia sengaja melepaskan pukulan yang disebut Tangan Dewa Merajam Bumi. Dengan
pukulan ini lawan bukan saja bisa cidera berat tapi serta merta menjadi lumpuh
dan tak bisa melarikan diri lagi. Semak belukar rambas bertaburan. Di dalam
gelap terdengar suara orang mengeluh.
“Kena!”
teriak Luhcinta. Dinding di samping kanan rumah Lamahila jebol. Sosok
Luhsantini melesat keluar.
Perempuan
ini rupanya tak sabar untuk keluar dari rumah lewat atap. Dia langsung menghantam
jebol dinding bangunan lalu menerobos keluar.
“Luhcinta!
Di sebelah sini! Aku melihat ada sosok melarikan diri di sebelah sini!” teriak
Luhsantini seraya menghambur ke arah kegelapan. Dari atas atap, masih di bawah
hujan lebat Luhcinta melayang turun sambil kembali menghantam ke arah yang
ditunjukkan Luhsantini.
Luhsantini
sendiri telah mendahului pula dengan satu pukulan ganas. Dua pukulan sakti
melanda bukit kecil itu. Tiba-tiba dari arah yang menjadi sasaran hantaman dua
perempuan itu berkiblat dua jalur lidah api! Menyambar ke arah Luhsantini dan
Luhcinta. Karena datangnya lidah api ini lebih cepat dari pukulan tangan kosong
yang mereka lepaskan, baik Luhcinta maupun Luhsantini terpaksa menyingkir
selamatkan diri. Ketika mereka hendak mengejar kembali mereka tidak menemukan
siapa-siapa. Luhcinta usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Bisa kau
menduga siapa orang yang melarikan diri itu?” tanya Luhcinta.
“Suaranya
sama dengan suara orang yang mengancam dan menghancurkan goa beberapa waktu
lalu… Kita harus bertindak cepat sebelum tersiar fitnah di Negeri Latanahsilam
bahwa kita telah membunuh Lamahila.”
“Kita
tidak berbuat, mengapa harus takut?!” ujar Luhcinta pula.
“Aku
ingat sesuatu,” kata Luhsantini. “Lamahila punya seorang pembantu. Namanya Laduliu.
Dia pasti tahu apa yang berlangsung di Bukit Batu Kawin. Dia pasti tahu siapa
adanya Luhrembulan!”
“Kau tahu
tempat kediaman orang itu?” tanya Luhcinta.
“Ikuti
aku! Tempatnya cukup jauh. Mungkin menjelang dinihari kita baru sampai di
sana.”
“Kita harus
bertindak cepat Luhsantini, Aku khawatir pembantu bernama Ladului itu tengah
terancam pula nyawanya!”
Dalam
gelapnya malam dan lebatnya hujan, dua perempuan itu berkelebat lenyap
meninggalkan bukit kecil. Apa yang diduga Luhcinta ternyata memang betul.
Ketika bersama Luhsantini dia sampai ke tempat kediaman Ladului di kaki timur
Bukit Batu Kawin, orang itu mereka temui dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Laduliu menemui ajal dengan cara sama seperti dialami Lamahila. Dua buah pisau
menancap di leher dan dada tepat jantungnya!
“Kejam
sekali! Aku bersumpah mencari sampai dapat siapa pembunuh keji itu!” kata Luhcinta
sambil kepalkan jari-jari tangannya.
Luhsantini
melangkah ke pintu. Namun dia berpaling kembali, memperhatikan mayat Laduliu.
“Ada apa
Luhsantini?” tanya Luhcinta.
“Tunggu
dulu. Mayat ini. Aku mau memeriksa sekali lagi…” jawab Luhsantini. Lalu perempuan
ini berbalik dan jongkok di samping mayat Laduliu. Sepasang matanya
memperhatikan lekat-lekat wajah dan sosok mayat. “Ini bukan Laduliu!” kata
Luhsantini sesaat kemudian. “Aku ingat betul. Pembantu Lamahila bernama Laduliu
itu bertubuh agak kurus, sudah tua. Yang mati ini bertubuh agak gemuk dan masih
muda…”
Paras
Luhcinta berubah. Seberkas harapan muncul dalam hatinya. “Berarti…
Jangan-jangan si pembunuh telah kesalahan tangan. Salah sasaran. Dia menemui
orang ini di dalam rumah, mengiranya Laduliu lalu membunuhnya…”
“Jalan
pikiranmu sama denganku!” kata Luhsantini.
“Berarti
kita masih ada kesempatan. Mencari Laduliu!”
Luhcinta
pegang tangan kerabatnya itu lalu menariknya.
“Kita
harus bertindak cepat…” katanya. Kedua perempuan itu segera tinggalkan tempat
tersebut.
***********************
10
HANTU
Selaksa Angin lari sekencang yang bisa dilakukannya. Saking cepatnya dia
berlalu hanya kelebatan warna kuning jubahnya saja yang kelihatan. Setelah
mendengar percakapan Hantu Langit Terjungkir dengan Si Penolong Budiman nenek
ini dengan perasaan hati penuh gembira meninggalkan telaga, lari menuju kawasan
pantai selatan di mana terletak Teluk Labuntusamudera. Di teluk ini terdapat
sebuah goa. Seperti diceritakan sebelumnya di dalam goa inilah si nenek selalu
menemui gurunya, suatu makhluk tanpa ujud bernama Sang Datuk yang hanya dikenal
lewat suaranya saja.
“Lasedayu!
Lasedayu! Aku mau kawin! aku mau kawin dengan kakek itu! Hik… hik… hik…!
Bagaimana rasanya kawin! Apa aku pernah kawin sebelumnya? Aku tak ingat Tapi
hik… hik! Pantatku rasanya jadi gatal!”
Ketika
matahari mulai condong ke barat, sepasang telinga Hantu Selaksa Angin mulai
mendengar deru ombak di kejauhan. Hatinya gembira. Debur ombak yang terdengar
pertanda dia sudah dekat ke tempat tujuan. Agar lebih cepat sampai di goa,
Hantu Selaksa Angin sengaja menempuh jalan setapak, memintas langsung tanpa
harus berputar mengikuti teluk.
Selagi
berlari kencang dengan perasaan penuh suka cita tiba-tiba si nenek kerenyitkan
kening. Di jalan setapak yang lurus dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan
sana ada seorang kakek mengenakan jubah coklat gelap, berkepala agak botak.
Kumis, janggut dan alis putih. Kakek ini duduk menjelepok seenaknya di tengah
jalan. Sepasang matanya terpejam-pejam. Tangan kirinya memegang sebatang pipa
berwarna kuning yang asyik disedotnya sampai pipinya terkempot-kempot. Asap
tembakau yang menebar bau harum aneh mengepul dari ujung pipa kuning. Ketika
Hantu Selaksa Angin sampai di hadapan si kakek, karena jalan setapak itu kecil
dan sempit dengan sendirinya dia tidak bisa terus lewat dan terpaksa berhenti.
Berdiri sedekat itu Hantu Selaksa Angin jadi berdebar dadanya. Pipa kuning si
kakek tak dikenal ternyata terbuat dari emas murni! Hati si nenek jadi
tergerak. Seperti diketahui nenek satu ini sangat suka pada setiap benda
berwarna kuning, apalagi yang terbuat dari emas. Sampai saat itu di lehernya
masih tergantung kalung sendok emas sakti yang pernah dirampasnya dari tangan
Lakasipo sewaktu hendak diserahkan pada Hantu Langit Terjungkir.
“Pipa
dari emas. Wahai bagusnya! Siapa gerangan adanya kakek beralis putih ini?”
membatin Hantu Selaksa Angin. Diam-diam hatinya mulai tergoda ingin memiliki
pipa emas itu. Namun begitu dia ingat Lasedayu yang ingin mengawininya itu, si
nenek serta merta menegur.
“Makhluk
tolol! Mengapa melintang di tengah jalan! Aku mau lewat! Harap beri jalan!”
Kakek
beralis putih yang duduk di jalan setapak sedot pipanya dalam-dalam sampai dua
pipinya menjadi kempot lalu hembuskan asap tembakau dari mulut dan hidungnya.
Bau harum aneh tembakau menebar ke mana-mana. Perlahan-lahan si kakek buka dua
matanya. Dua mata ini tidak segera memandang ke arah si nenek, tapi mendongak
dulu ke arah langit. Lalu dari mulutnya yang ompong keluar suara tawa berderai,
lama dan panjang. Dia tertawa seperti dibarengi satu perasaan mendalam hingga
dari sudut-sudut matanya meleleh air mata.
“Tujuh
hari tujuh malam menunggu! Ternyata tidak siasia!
Akhirnya
orang yang aku tunggu datang juga!” Ucapan itu keluar dari mulut kakek berjubah
coklat tua.
“Kakek
tolol! Tujuh hari tujuh malam kau menunggu! Menunggu siapa?! Ayo lekas
menyingkir atau mau kuinjak kepalamu yang botak!”
Si kakek
yang duduk di tanah cabut pipanya dari sela bibir, memutar bola matanya menatap
ke arah si nenek sambil hembuskan lagi asap tembakau dari mulutnya. Lalu dalam
keadaan masih duduk dia bungkukkan badan memberi hormat.
“Tujuh
hari tujuh malam menunggu. Siapa lagi kalau bukan menunggu dirimu wahai nenek
agung berwajah kuning! Nenek tercantik di kawasan Negeri Latanahsilam! Hatiku
senang, hatiku puas! Jerih payahku menunggu saat ini telah terbayar! Aku
mengucapkan selamat datang dan selamat bertemu denganmu wahai Hantu Selaksa
Angin alias Hantu Selaksa Kentut!”
Butt
prett!
Si nenek
pancarkan kentutnya. Setelah pandangi si kakek dengan sepasang matanya yang
kuning, dia berkata.
“Baru
sekali bertemu kau sudah memuji! Pujianmu membuat aku curiga! Siapa kau adanya
kakek alis putih! Mengapa berani menghadang jalanku! Apa keperluanmu sengaja
menunggu aku di tempat ini sampai tujuh hari tujuh malam!”
Si kakek
alis putih kembali membungkuk.
“Aku yang
rendah bukan orang terkenal seperti dirimu. Hingga kalaupun kusebutkan siapa
diriku kau pasti tidak tahu…”
“Kau tak
perlu bicara panjang lebar. Katakan saja siapa namamu apa keperluanmu! Kalau
kau terlalu banyak bicara akan kusumpal mulutmu dengan kentutku!”
“Maafkan
diriku wahai Hantu Selaksa Angin. Orang hebat sepertimu tentu banyak
kepentingan, banyak urusan. Aku harus tahu diri, tak boleh mengganggu terlalu
lama. Wahai, jika kau ingin tahu namaku, panggil saja diriku yang rendah ini
Hantu Berpipa Emas!”
“Hantu
Berpipa Emas! Tak pernah aku dengar nama itu sebelumnya!” kata si nenek sambil
cibirkan mulut.
“Itulah!
Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang terkenal seperti dirimu…”
Dalam
hati si nenek berkata. “Kau bisa saja bukan orang terkenal. Tapi aku dapat
mengukur. Kau memiliki ilmu kepandaian tinggi di balik sikapmu yang penuh
hormat dan pandai bicara!”
“Kau sudah
menyebut siapa dirimu! Sekarang katakan apa keperluanmu menghadang diriku di
tengah jalan begini rupa!”
“Maafkan
diriku! Aku bukan menghadangmu wahai Hantu Selaksa Angin. Aku menunggumu di
sini. Tujuh hari tujuh malam penuh sabar. Aku menunggumu karena hendak
menyerahkan satu barang sangat berguna!”
“Barang
apa?!” tanya si nenek.
Hantu
Berpipa Emas cabut pipanya dari mulut lalu mengetuk-ngetukkan pipa ini ke
pahanya hingga tembakau yang menyala jatuh ke tanah. Ujung pipa ditiup-tiupnya
beberapa kali sampai bersih, lalu badan pipa emas itu disekanya dengan ujung
jubahnya hingga berkilat-kilat. Setelah membersihkan, pipa itu diangsurkannya
ke arah si nenek.
“Pipa
emas ini. Benda inilah yang akan kuserahkan padamu! Harap kau sudi menerima
dengan hati gembira karena aku menyerahkan dengan hati ikhlas!”
Walau
setengah tak percaya bakal mendapat rezeki besar seperti itu si nenek sambil
tersenyum ulurkan tangannya hendak mengambil pipa. Namun sebelum sempat jari
tangannya menyentuh pipa emas itu si kakek alis putih tiba-tiba menarik pipa.
“Kurang
ajar! Kau mempermainkan aku!” bentak si nenek gusar.
“Harap
maafkan diriku yang rendah wahai Hantu Selaksa Angin,” kata si kakek alis putih
sambil membungkuk. “Siapa berani mempermainkanmu. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu
terlebih dulu sebelum menyerahkan pipa emas ini padamu…”
“Mengatakan
apa?!” sentak Hantu Selaksa Angin jadi tak sabaran.
“Maksudku
begini… Pipa ini jelas-jelas dan pasti akan kuserahkan padamu. Tapi sebagai
gantinya aku minta sesuatu darimu. Pasti kau tidak keberatan dan setuju saja…”
“Kau
minta ganti sesuatu? Sesuatu apa?” tanya si nenek.
“Aku
tahu, di balik dada pakaianmu tergantung sebuah sendok emas. Kalungmu sudah
begitu banyak. Sendok buruk yang satu itu tentu tak ada harganya bagimu. Ini
terimalah pipa emasku. Berikan padaku sendok emas itu…”
Hantu
Selaksa Angin tak segera menjawab. Tangan kirinya meraba ke dada di mana
tergantung sendok emas yang disebut Sendok Pemasung Nasib. Kebimbangan terlihat
di wajahnya yang kuning. Melihat ini Hantu Berpipa Emas segera membuka mulut.
“Apa yang
kau bimbangkan. Sendok butut yang ada padamu walau terbuat dari emas tak ada
artinya dengan pipa ini. Pipa emas ini belasan kali lebih berat dari sendok
itu. Jika kau gantung di lehermu, kau akan kelihatan lebih gagah dan agung! Apa
kau tidak suka pada pipa emas ini?”
“Aku
suka, tapi sendok yang kau minta tak bisa kuberikan!”
“Wahai,
mengapa begitu?”
“Sendok
itu sudah kujanjikan pada seseorang yang pernah menolongku!”
Hantu
Berpipa Emas kembali perdengarkan tawa berderai sampai air matanya membasahi
sudut-sudut matanya.
“Janji
masa sekarang setipis kabut di pagi hari. Begitu mentari muncul kabutpun
hilang! Janji masa sekarang sulit dipertahankan, apalagi kalau kita memiliki
kepentingan dan pilihan lebih utama. Aku tahu, bukankah sendok emas itu hendak
kau berikan pada seorang pemuda asing bernama Wiro Sableng?!”
Terkejut
si nenek mendengar kata-kata Hantu Berpipa Emas itu. “Bagaimana kau bisa
tahu?!”
“Tak ada
gunanya sendok itu kau berikan pada pemuda asing itu wahai Nenek Selaksa Angin.
Lagipula pemuda itu entah berada di mana sekarang. Mungkin juga sudah menemui
ajal karena banyak pihak yang ingin merenggut nyawanya! Bukankah dia yang
selama ini dikabarkan berbuat mesum di mana-mana?!”
Kebimbangan
semakin nampak di wajah si nenek. Si alis putih kembali mengipas. “Sendok itu
selama ini hanya bisa kau jadikan sebagai hiasan tak berguna. Tapi kalau kau
memiliki pipa ini, lihat apa yang bakal dapat kau lakukan!” Habis berkata
begitu si kakek kerahkan tenaga dalamnya lalu hantamkan pipa kuning ke arah
sebuah batu besar yang terletak sekitar tiga tombak di sebelah sana.
Wusss!
Selarik
sinar kuning berkiblat.
Byaaarr!
Batu
besar di sebelah sana mengeluarkan suara seperti hancur tapi tetap terlihat
utuh tak bergerak. Namun ketika si kakek meniup ke depan, batu besar itu
berubah menjadi debu dan beterbangan ke udara!
Sementara
Hantu Selaksa Angin terkejut dan terbelalak, Hantu Berpipa Emas tergelak-gelak
sampai kucurkan air mata.
“Hantu
Selaksa Angin, harap maafkan diriku yang rendah. Jangan anggap aku sengaja
membanggakan ilmu kepandaian padamu. Aku hanya sekedar ingin memperlihatkan
bahwa pipa emas ini jauh lebih berharga daripada sendok butut itu!”
Si nenek
tak dapat lagi menahan dorongan hatinya. Segera saja dia tanggalkan Sendok
Pemasung Nasib dan menyerahkannya pada si kakek. Padahal sendok sakti ini
adalah satu-satunya benda yang bisa mengembalikan kesaktian Hantu Langit
Terjungkir serta membuatnya bisa berdiri secara wajar kaki di bawah kepala di
atas. Pada ujung sendok emas itu masih melekat pusar Hantu Langit Terjungkir
yang dulu dicungkil oleh Hantu Muka Dua. Pusar itu kini seperti telah membatu,
kotor tertutup debu tebal. Begitu sendok diangsurkan ke arahnya, Hantu. Berpipa
Emas langsung menyambar. Lalu sambil membungkuk dia mengucapkan terima kasih
berulang kali.
“Aku
sudah memberikan sendok yang kau minta! Sekarang lekas serahkan pipa emas itu!”
kata si nenek seraya ulurkan tangannya, siap untuk mengambil.
“Wahai!
Aku sampai terlupa!” kata si kakek. Perlahanlahan dia bangkit berdiri. Astaga!
Ternyata kakek ini memiliki tubuh jangkung luar biasa. Sosoknya sampai satu
setengah kali tinggi si nenek hingga Hantu Selaksa Angin terpaksa memandang
mendongak padanya.
“Hantu
Selaksa Angin, aku siap menyerahkan benda yang kau minta!” berucap si kakek.
Lalu dia ulurkan tangannya yang memegang pipa emas. Hanya sesaat lagi si nenek
akan menyentuh pipa itu, tiba-tiba Hantu Berpipa Emas gerakkan tangan kanannya.
Cahaya kuning berkelebat. Ujung pipa menyambar ke kepala Hantu Selaksa Angin.
Praakkk!
***********************
11
HANTU
Selaksa Angin menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak, tergeletak
di jalan setapak. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan luka besar menguak di
keningnya. Mukanya yang kuning bersimbah darah. Baru saja nenek ini mampu
berlutut di tanah, Hantu Berpipa Emas sudah melompat ke hadapannya dan tertawa
bergelak.
“Nenek
tolol! Ilmumu boleh setinggi langit tapi otakmu ternyata sedangkal kubangan!
Ha… ha… ha!”
“Kau
menipuku! Keparat jahanam! Kau menipuku! Kau menyerangku secara pengecut! Kau
bakal merasakan pembalasanku!”
“Kau tak
akan punya kesempatan membalas dendam nenek tolol! Karena aku akan menghabisi
riwayatmu saat ini juga!”
Sekujur
tubuh Hantu Selaksa Angin bergetar dilanda hawa amarah. Dua tangannya dinaikkan
ke dada, jari-jari yang terkepal dibuka. Dua larik sinar kuning yang kemudian
berubah menjadi putih memancar pada dua tangan si nenek. Bau harumnya setanggi
menyambar hidung. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat dingin.
“Ha… ha…
ha! Kau hendak keluarkan Pukulan Salju Putih Latinggimeru! Aku mau lihat sampai
di mana kehebatan ilmu kesaktian itu. Tapi harap kau terima dulu hadiah dariku!”
Kakek alis putih tertawa bergelak. Lalu wuuutt! Kaki kanannya menderu ke dada
orang. Kalau tadi darah mengucur keluar dari luka di kening si nenek maka kini
darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan jarak dekat itu. Untuk kedua
kalinya Hantu Selaksa Angin terkapar di tanah, menggeliat-geliat keluarkan
erangan panjang dan megap-megap sulit bernafas.
“Nenek
tolol, mana kentutmu! Aku mau dengar kentutmu yang butt preett itu!” ejek Hantu
Berpipa Emas. Tangan kanan memegang pipa emas, tangan kiri memegang Sendok
Pemasung Nasib.
Dalam
keadaan setengah sekarat Hantu Selaksa Angin melapat aji kesaktian untuk
merubah dirinya menjadi kepompong. Namun Hantu Berpipa Emas tidak memberi
kesempatan. Dengan pipa emas di tangan kanannya kembali dia menghantam kepala si
nenek. Yang jadi sasaran kali ini adalah bagian belakang kepala di atas telinga
kanan di mana ada cacat bekas luka lama. Untuk kesekian kalinya Hantu Selaksa
Angin terpental. Terkapar di tanah. Dua sunting yang menancap di kepalanya
hancur. Rambutnya yang kuning berubah menjadi merah oleh kucuran darah dari
luka besar hantaman pipa emas.
“Aku tak
ingin mati… Aku tak mau mati! Aku akan kawin! Lasedayu… Guru… Aku harus menemui
Guru…”
kata-kata
itu keluar dari mulut si nenek. Dia kumpulkan seluruh sisa tenaga yang ada dan
berusaha bangkit berdiri.
“Sudah
mau mampus masih sempat-sempatnya mengigau!” kata Hantu Berpipa Emas lalu
tertawa gelakgelak.
Dia
sisipkan pipa emasnya ke pinggang. Lalu pindahkan Sendok Pemasung Nasib ke
tangan kanan. Begitu Hantu Selaksa Angin mencoba berdiri, Hantu Berpipa Emas
tusukkan sendok emas ke tenggorokan si nenek!
Pada saat
itulah tiba-tiba menggelegar satu suitan keras. Disusul berkiblatanya sinar
putih menyilaukan. Hawa panas tiba-tiba menghampar laksana matahari terik
berada satu jengkal di atas kepala. Serentak dengan itu suara aneh seperti
seribu tawon mengamuk terdengar menyakitkan telinga.
Craaassss!
Hantu
Berpipa Emas keluarkan jeritan setinggi langit. Tubuhnya terlempar dua tombak
lalu bergulingan di tanah. Darah membersit ke mana-mana. Di udara tampak
melayang dua buah benda. Yang pertama adalah potongan tangan kanan Hantu
Berpipa Emas. Benda kedua adalah sendok emas yang tadi hendak dicucukkan kakek
itu ke leher Hantu Selaksa Angin!
Satu
bayangan putih berkelebat ke udara, dengan cepat menyambar sendok emas. Lalu
dengan gerakan jungkir balik dua kali berturut-turut bayangan putih itu
melayang turun ke tanah. Tepat di samping Hantu Selaksa Angin yang saat itu
megap-megap berusaha keras mencoba berdiri. Tapi roboh kembali. Sebelum
tubuhnya jatuh ke tanah, bayangan putih tadi cepat merangkul pinggangnya.
“Nek,
bertahanlah! Aku akan menolongmu!”
Hantu
Selaksa Angin masih bisa membuka matanya untuk melihat siapa yang menolong
dirinya. “Kau…”
katanya
perlahan lalu butt prett. Sehabis pancarkan kentutnya si nenek langsung
pingsan. Orang yang menolongnya cepat melakukan totokan pada beberapa jalan
darah si nenek. Darah yang mengucur dari kepala dan meleleh dari mulut Hantu
Selaksa Angin serta merta berhenti. Sambil memanggul sosok si nenek, si
penolong memutar tubuh ke arah Hantu Berpipa Emas yang saat itu jatuh berlutut
di tanah sambil pegangi tangan kanannya yang buntung dan masih terus
mengucurkan darah. Dalam menahan sakit, matanya berkilat-kilat memandang ke
arah orang yang tadi menyerang dan membabat putus tangan kanannya.
“Kapak
bermata dua…” desis Hantu Berpipa Emas.
“Pasti
dia pemuda asing yang dikatakan Hantu Muka Dua…” Hantu Berpipa Emas kumpulkan
seluruh kekuatannya. Dia sanggup berdiri namun sekujur tubuhnya saat itu terasa
seperti dipanggang. Ujung tangannya yang buntung hangus kehitaman.
“Aku
keracunan. Kapak bermata dua itu pasti mengandung racun jahat! Celaka!” Hantu
Berpipa Emas menggembor keras lalu balikkan tubuhnya. Terhuyunghuyung kakek ini
lari sekencang yang bisa dilakukannya. Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai.
Dia putar Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya lalu meniup. Darah Hantu
Berpipa Emas yang tadi masih menempel di mata kapak serta merta sirna.
“Sebentar
lagi sore akan memasuki senja. Ke-mana harus kubawa nenek tukang kentut ini!”
Wiro memandang berkeliling sambil berpikir-pikir.
Tiba-tiba
secara aneh, seolah mengetahui apa yang dipikirkan Wiro, si nenek buka matanya
sedikit. Dari mulutnya keluar suara perlahan. “Berjalan ter… terus ke arah
kiri. Di balik seder… sederetan pohon kelapa yang tumbuh rapat. Ada satu goa.
Bawa aku masuk ke sana… Aku mau kawin! Aku harus bertemu Guru memberitahu!”
“Nek, kau
mengigau atau bagaimana?!” tanya Wiro.
Namun si
nenek hanya menjawab dengan kentut satu kali lalu pingsan kembali!
“Tua
bangka geblek! Sudah mau mati masih juga bisa kentut!” kata murid Sinto Gendeng
dalam hati. Dia masukkan senjatanya ke balik baju putih, simpan Sendok Pemasung
Nasib di balik pinggang. Lalu seperti yang dikatakan si nenek dia segera
berlari cepat ke arah kiri. Tak lama berlari Wiro temukan goa yang dikatakan si
nenek. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk. Di dalam goa yang sejuk itu Wiro
bujurkan sosok Hantu Selaksa Angin di atas lantai.
Baru saja
sosok si nenek terbaring tiba-tiba di atas langit-langit goa yang berbentuk
kerucut kelihatan satu cahaya putih berkilat. Bersamaan dengan itu entah dari
mana datangnya, di atas lantai goa jatuh dua buah benda. Ketika diperhatikan
ternyata daun pisang yang dilipat-lipat.
“Aneh,
tak ada orang lain di goa ini. Satu-satunya jalan masuk adalah pintu goa
sebelah sana. Bagaimana dua bungkus daun pisang itu bisa berada di dalam goa?
Siapa yang melemparkan? Jangan-jangan goa ini goa siluman! Jangan-jangan si
nenek tadi hanya mengigau menyuruh aku membawanya ke tempat ini!”
Baru saja
murid Sinto Gendeng berkata dalam hati seperti itu, mendadak cahaya aneh di
langit-langit goa menyala lebih terang. Lalu berkumandang satu suara halus.
“Anak
muda berbudi baik. Lekas kau ambil dan bungkus daun pisang di atas lantai…”
Wiro
tersentak kaget. Dia memandang seputar ruangan. Berpaling ke mulut goa. Dia tak
melihat siapa-siapa.
“Anak
muda, lekas lakukan apa yang aku katakan!”
“Siapa
kau?!” Wiro bertanya sambil kembali memandang berkeliling.
“Siapa
diriku nanti ada yang bakal menerangkan. Sekarang lekas lakukan apa yang aku
katakan. Dalam bungkusan daun pisang sebelah kanan ada sejenis bubuk putih.
Masukkan bubuk itu ke dalam mulut Hantu Selaksa Angin. Buat agar dia bisa
menelan seluruh bubuk. Kalau sudah, ambil bungkusan daun pisang kedua. Tebarkan
bubuk hitam dalam bungkusan itu ke semua luka yang ada di dada dan kepala Hantu
Selaksa Angin. Aku berterima kasih padamu wahai anak muda!”
“Sunyi,
yang bicara tadi itu apa sudah meninggalkan goa ini atau bagaimana?” pikir Wiro
sambil garuk-garuk kepala. Dia ingat pada ucapan makhluk tanpa ujud tadi. Wiro
segera mengambil bungkusan daun pisang di lantai sebelah kanan. Begitu
dibukanya bungkusan itu memang berisi bubuk putih. Dengan cepat bubuk itu
dimasukkannya ke dalam mulut si nenek. Lalu dengan satu totokan perlahan, lidah
si nenek yang tadinya kelu bergerak demikian rupa hingga seluruh bubuk yang ada
dalam mulutnya masuk ke dalam tenggorokan.
Wiro
mengambil bungkusan daun pisang kedua. Di dalam bungkusan daun pisang ini
ditemuinya bubuk hitam. Sesuai ucapan makhluk tanpa ujud tadi murid Sinto
Gendeng tebarkan bubuk itu pada kening, kepala bagian belakang serta dada Hantu
Selaksa Angin yang cidera berat akibat keganasan kakek bernama Hantu Berpipa
Emas yang kini telah melarikan diri. Dengan ujung jubah kuning yang dikenakan
si nenek Wiro bersihkan noda-noda darah di muka dan kepala Hantu Selaksa Angin.
Sambil menunggu apa yang bakal terjadi dengan si nenek, Pendekar 212 perhatikan
seputar ruangan goa berbentuk empat persegi itu. Beberapa kali dia mendongak
memperhatikan langit-langit goa berbentuk kerucut. Pada ujung kerucut dia
melihat satu titik putih, bersinar seperti permata.
“Goa
aneh. Udara di sini terasa sejuk. Apakah ini tempat kediaman nenek tukang
kentut ini? Sombong amat dia punya goa sebagus ini!” kata Wiro dalam hati.
Tiba-tiba dilihatnya sosok si nenek menggeliat. Lalu ada suara erangan halus.
Wiro membungkuk dan tepuk-tepuk pipi kanan Hantu Selaksa Angin.
“Nek,
sadar Nek. Nek…!”
Namun
nenek itu tidak segera siuman. Wiro garuk kepalanya. “Mungkin harus kubantu
dengan tenaga dalam dan kapak sakti.” Wiro segera keluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212. Cahaya kapak memantul ke dinding dan atap goa. Ketika bertemu dengan
titik putih di langit-langit goa, titik putih memancarkan cahaya terang,
menyambar ke arah kapak. Begitu menyentuh mata kapak, cahaya terang itu
berpijar terang dan memecah menjadi empat lalu setiap pecahan melesat ke arah
empat sudut atap goa. Saat itu juga tempat itu menjadi terang benderang.
“Apa yang
terjadi?!” ujar Wiro terheran-heran seraya pandangi empat titik bercahaya
terang di empat sudut atas goa. Saat itu tiba-tiba menggema satu suara yang
sulit diduga oleh Wiro dari arah mana datangnya karena suara itu seolah datang dari
empat sudut goa.
“Anak
muda, sinar jati diriku mampu bersatu dengan cahaya sakti senjatamu! Itu satu
pertanda kita saling berjodoh!”
Murid
Sinto Gendeng tersentak kaget. “Yang bicara ini lelaki atau perempuan?” pikir
Wiro. “Makhluk tanpa ujud itu menyebut-nyebut soal jodoh. Jangan-jangan dia
minta kawin dengan aku! Celaka!”
“Orang
yang barusan bicara! Siapa kau? Apakah aku bisa melihat dirimu?!”
“Anak
muda, teruskan dulu usahamu menolong muridku. Nanti kita bicara lagi,” jawab
suara yang orangnya tidak kelihatan itu.
“Aneh…
benar-benar aneh,” membatin Wiro. Lalu dia letakkan dua tangannya di atas mata
kapak. Perlahanlahan dia mulai kerahkan tenaga dalam dari perut, naik ke dada
lalu disalurkan pada dua tangannya. Begitu tenaga dalam memasuki kapak dan mengalir
ke dalam dada si nenek, sosok Hantu Selaksa Angin tersentak keras. Dari
mulutnya keluar suara erangan panjang. Lalu begitu suara erangan lenyap, dari
bagian bawah tubuh si nenek memancarkan kentut. Kali ini tidak seperti
biasanya, kentut si nenek panjang bertalu-talu seolah-olah tidak ada
putus-putusnya dan menebar bau busuk sekali.
“Sialan!
Bisa tanggal hidungku!” maki Wiro. Dia segera ambil kapaknya, menghambur keluar
goa dan meludahludah berulang kali sambil gosok-gosok hidungnya. Tak selang
berapa lama di dalam goa terdengar suara dari orang tanpa ujud tadi.
“Anak
muda, kau telah menyembuhkan muridku! Aku berterima kasih padamu. Sekarang
masuklah kembali ke dalam goa!”
Sambil
menekap hidungnya karena khawatir tempat itu masih dipenuhi bau kentut busuk,
Wiro masuk ke dalam goa. Begitu masuk dilihatnya nenek muka kuning telah duduk
di lantai, bersandar ke dinding, memandang ke arahnya. Si nenek tersenyum
padanya. Tapi ketika melihat Wiro menekap hidungnya dia langsung bertanya.
“Mengapa
kau masuk sambil memencet hidung! Memangnya aku atau tempat ini bau?”
“Tadi
memang bau Nek. Kentutmu membuncah tempat ini! Hidungku seperti disambar
petir!”
“Kentutku
tak pernah bau! Saat ini aku tidak mencium bau apa-apa! Jangan kau
mengada-ada…!”
“Tadi
Nek, waktu aku menolongmu. Mungkin sekarang baunya sudah hilang!” kata Wiro
pula lalu lepaskan jarinya yang dipakai memencet hidung. “Benar Nek, sekarang
bau kentut busuknya sudah hilang!”
Hantu
Selaksa Angin tertawa cekikikan.
“Nek,
tadi ada orang bicara di tempat ini. Ada suara tapi orangnya tidak kelihatan…”
“Tunggu!”
si nenek memotong. “Tadi kau bilang menolongku. Menolong apa?”
Belum
sempat Wiro menerangkan tiba-tiba suara tanpa ujud memenuhi seantero goa.
“Muridku
Hantu Selaksa Angin, pemuda itu telah menyelamatkan jiwamu. Dia membawamu ke
tempat ini dalam keadaan sekarat bersimbah darah… Apa yang terjadi dengan
dirimu sebelumnya?”
Hantu
Selaksa Angin tampak kaget “Guru aku…” Si nenek perhatikan pakaiannya. Dua
tangannya, lalu mengusap muka dan meraba rambutnya. Lalu ditariknya belasan
kalung yang bergelantungan di lehernya. Matanya memperhatikan gelang-gelang
kuning di kedua tangannya. Kemudian satu-satunya sunting kuning yang masih melekat
di kepalanya dicabutnya. Dia memandang berkeliling lalu menatap ke
langit-langit goa. “Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud! Apa yang terjadi dengan
diriku…?!”
“Wahai,
apa maksud pertanyaanmu itu, muridku?”
“Jubah
kuning ini, sunting kuning, gelang kuning, kalung-kalung kuning. Kulit
tanganku. Bahkan rambutku! Semua berwarna kuning! Mengapa aku berdandan seperti
ini?! Apa yang terjadi dengan diriku!”
“Muridku,
sesuatu agaknya telah terjadi dengan dirimu. Suaramupun kini terdengar berubah!
Wahai para Dewa jika ini benar-benar terjadi aku bersimpuh di hadapanmu
menghaturkan rasa terima kasih atas rakhmatmu…”
“Guru…”
“Muridku,
selama ini kau menyebut dirimu Hantu Selaksa Angin, terkadang Hantu Selaksa
Kentut. Kau juga acap kali memakai nama Luhkentut! Jika rakhmat penyembuhan
dari para Dewa telah menjadi bagianmu, aku bertanya sekarang. Apakah kau ingat
siapa namamu sebenarnya?”
“Namaku
sebenarnya?” ujar Hantu Selaksa Angin. “Kau bergurau Guru. Masakan aku tidak
ingat namaku sendiri. Aku Luhpingitan…”
“Muridku!
Dewa telah memberikan kesembuhan padamu! Ingatanmu telah pulih kembali! Wahai!
Bagaimana keajaiban ini bisa terjadi?! Muridku, aku akan mengajukan beberapa
pertanyaan lagi. Aku ingin membuktikan bahwa kesembuhan benar-benar telah kau
alami!”
“Aku
tidak mengeri Guru…” ujar si nenek. Dia berpaling pada Wiro dan bertanya. “Kau
mengerti?” Murid Sinto Gendeng menggaruk lalu gelengkan kepala.
“Muridku,
aku pernah menuturkan padamu perihal riwayat pertama kali aku menemui dirimu.
Aku akan mengulanginya kembali. Kau kutemukan pertama kali tergeletak pingsan
di muara sungai Lahulupanjang. Menurut kabar yang aku sirap pada masa itu, di
sebelah utara telah terjadi malapetaka air bah besar. Mungkin sekali kau salah
satu korban yang dihanyutkan banjir tetapi selamat tak sampai menemui ajal.
Apakah kini penuturanku itu bisa mengingatkanmu pada apa yang sebenarnya telah
kau alami puluhan tahun silam?”
Sepasang
mata kuning Hantu Selaksa Angin terbuka lebar, memancarkan sinar aneh. Dia
menatap ke langitlangit kamar, memandang seputar ruangan lalu memperhatikan ke
arah mulut goa. Tiba-tiba nenek ini mulai terisak-isak. Suara isakannya berubah
menjadi tangisan dan berlanjut menjadi ratapan panjang yang menyayat hati.
“Nek,
kenapa kau menangis…?” tanya Wiro heran.
“Muridku…
Kau menangis, kau meratap sedih. Berarti pikiranmu mengingat sesuatu yang
terjadi di masa silam. Katakan padaku muridku. Hentikan tangismu. Ceritakan
padaku riwayat masa silam darimu wahai Luhpingitan…”
“Guru…”
Hantu Selaksa Angin meraba ke bagian belakang kepalanya, di dekat telinga
sebelah kanan. “Guru, aku ingat, bukankah kau pernah mengatakan, ketika kau
menemui diriku di muara sungai, pada bagian belakang kepalaku ini ada satu luka
besar akibat benturan benda keras. Mungkin kepalaku menghantam batu besar sewaktu
dihanyutkan banjir. Siang tadi aku berkelahi melawan seorang mengaku bernama
Hantu Berpipa Emas. Dia hendak merampas sebuah sendok emas…” Si nenek ingat.
Dia
segera tanggalkan semua kalung yang menggelantung di lehernya. Lalu menjerit
“Sendok itu! Sendok emas sakti itu hilang!” Si nenek langsung hendak
menggerung.
Wiro
cepat keluarkan Sendok Pemasung Nasib yang ada dalam saku bajunya dan
menyerahkannya pada si nenek. “Sendok yang kau cari itu kebetulan berhasil
kurebut kembali dari Hantu Berpipa Emas…” Wiro letakkan sendok emas itu di
pangkuan si nenek.
Luhpingitan
lepaskan nafas lega.
***********************
12
MURIDKU,
barang milikmu yang hilang ternyata diselamatkan pemuda itu. Lagi-lagi kau
berhutang budi besar padanya. Sekarang teruskan ceritamu…” kata sang guru yang
ada suara tapi tidak menunjukkan ujud itu.
“Hantu
Berpipa Emas menghantam kepalaku sampai dua kali dengan pipanya. Satu kali di
kening, satu lagi di bagian belakang kepala. Tepat di bagian yang dulu pernah
cidera akibat benturan keras! Guru, mungkin hantaman kakek jahat itu tepat di
tempat dulu aku kehilangan ingatan, secara tak sengaja membuat ingatanku kini
kembali pulih!”
“Benar
muridku. Tapi itu adalah sebab belaka. Yang Kuasa justru yang menyembuhkan
dirimu. Teruskan ceritamu, Luhpingitan.”
“Seingatku
waktu itu memang terjadi bencana banjir besar di kawasan tempat kediamanku.
Penduduk setempat tidak berdaya melawan keganasan alam. Aku dan empat anakku
dihanyutkan banjir…” Sampai di sini si nenek kembali tak dapat menahan tangis.
“Tabahkan
hatimu wahai muridku! Kuatkan jiwamu! Teruskan kisahmu…”
“Datuk…
Guru… Aku dan empat anakku dihanyutkan banjir besar. Kami terpisah bercerai
berai. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah keempat anakku, semuanya lakilaki,
selamat dari malapetaka…” Sampai di sini Luhpingitan tak dapat lagi menahan
tangisnya. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa diam termangu mendengar
penuturan si nenek.
Sang guru
yang tak berwujud menunggu sampai tangis muridnya mereda. “Luhpingitan, kau
bercerita tentang empat anakmu. Apakah kau ingat nama-nama mereka?”
“Waktu
itu mereka masih kecil-kecil. Aku dan suamiku masih belum sempat memberi mereka
nama…”
“Kau dan
suamimu! Wahai, kau menyebut suamimu. Apakah kau ingat siapa nama suamimu?”
“Tentu
aku masih ingat Guru. Namanya Lasedayu!” Wiro tersentak kaget.
Si nenek
kerenyitkan kening. “Kau kenal pada Lasedayu?”
“Nek, aku
pernah bertemu beberapa kali dengan kakek itu. Dia yang selama ini dikenal
dengan nama Hantu Langit Terjungkir! Dia pernah menuturkan riwayat malangnya
padaku! Sendok emas yang ada di pangkuanmu itu justru pernah aku minta untuk
menolong dirinya!”
Luhpingitan
terpekik. “Lasedayu! Dia! Wahai para Dewa! Dialah yang menyatakan bersedia
mengawini diriku. Dia…dia suamiku! Aku bertemu dengannya belum lama ini. Aku
malah sempat mempermainkannya! Betapa kurang ajarnya diriku ini! Aku harus
segera ke telaga itu! Aku harus segera menemuinya…”
Si nenek
hentikan ucapannya lalu menutup mulut menahan tawa. “Guru, sebenarnya
kedatanganku ke sini adalah untuk memberitahu padamu bahwa kakek bernama Hantu
Langit Terjungkir alias Lasedayu itu mau mengawini diriku. Ternyata dia adalah
suamiku sendiri! Dia tak perlu mengawini diriku! Karena aku adalah istrinya!
Pantas dia menyebut ikan asap, ikan pindang! Dia memang suka sekali makanan
itu!” Si nenek bangkit berdiri. “Guru, aku minta diri. Wiro kuharap kau mau
menyertaiku ke telaga di mana suamiku berada. Kita sama-sama menyerahkan sendok
emas sakti ini untuk menyembuhkan dirinya…”
“Muridku,”
tiba-tiba sang Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud keluarkan suara kembali. “Aku
gembira kau telah mengalami kesembuhan. Kegembiraanku malah bertambah karena
kau tahu siapa dan di mana beradanya suamimu yang bernama Lasedayu itu. Sewaktu
kau pingsan tadi aku telah berkata pada pemuda asing ini yang ternyata adalah
seorang baik-baik. Aku berkata padanya bahwa dia berjodoh dengan diriku…”
Sampai di
situ Wiro cepat dekati Luhpingitan dan berbisik. “Nek, gurumu ini laki-laki
atau perempuan?”
“Aku
sendiri tidak tahu! Mengapa kau bertanya…?”
“Aku
khawatir dia mau minta kawin dengan aku!” jawab Wiro.
“Gila
kau! Betapa lancangnya mulutmu!” kata si nenek sambil delikkan mata.
Saat itu
goa dipenuhi suara tawa Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. “Anak muda, bicara soal
jodoh bukan berarti selalu menyangkut perkawinan. Ketika aku melihat kapak
bermata dua yang kau pergunakan untuk menolong Luhpingitan, aku segera maklum
kalau inti ilmu kepandaian dan kesaktian yang kumiliki sebenarnya bersumber
sama dengan senjata yang kau punyai itu. Aku tak bisa menjelaskan dan bagimu
mungkin tak masuk akal. Tapi melihat bagaimana titik putih di ujung kerucut
bersatu dengan cahaya senjatamu lalu memecah menjadi empat, itulah satu
pertanda bahwa nenek moyang kita berasal dari rumpun yang sama…”
“Aku
tidak mengerti…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Kau tak
perlu mengerti,” jawab makhluk tanpa ujud.
“Aku
sudah mewariskan banyak ilmu kepandaianku pada Luhpingitan. Aku bermaksud
meneruskannya padamu wahai anak muda. Kau akan menerima semua ilmuku dari
Luhpingitan…”
“Aku tak
berani menerima. Aku tidak punya maksud…” Si nenek muka kuning tertawa
cekikikan. “Wiro, kau mendengar apa ucapan guruku. Ucapan itu berarti perintah
bagiku. Saat ini aku ingin segera menemui suamiku. Setelah itu semua ilmu
kepandaian yang ada padaku akan kuajarkan padamu…”
“Maafkan
aku Nek. Bukan aku menolak atau bermaksud sombong. Tapi betul-betul aku tidak
berani menerima kebaikan hatimu itu…”
“Anak
muda, saat ini kau menolak, kami tak bisa memaksa. Tapi di lain waktu jika
hatimu terbuka jangan segan-segan memberitahu muridku bahwa kau bersedia
menerima semua pelajaran ilmu kesaktian darinya. Saat ini biarlah aku berikan
satu ilmu kepandaian yang mungkin ada gunanya bagi dirimu kelak di kemudian
hari. Menataplah ke langit-langit goa. Pusatkan perhatianmu pada titik cahaya
yang ada di ujung kerucut…”
“Datuk,
aku tidak berani…”
Ucap Wiro
terputus karena tiba-tiba Luhpingitan mencekal kepalanya dari belakang lalu
didongakkan ke atas hingga kepala Wiro terpentang dan matanya memandang ke arah
titik yang memancarkan cahaya terang di atas goa. Saat itu juga terdengar suara
berdesir. Titik bercahaya itu melesat ke arah mulut Wiro yang agak terbuka.
Hekkk!
Wiro
keluarkan suara tercekik ketika ada hawa sejuk aneh meluncur masuk ke dalam
mulutnya, melewati tenggorokan terus masuk ke dalam tubuhnya. Bersamaan dengan
itu empat cahaya terang yang ada di empat sudut langit-langit goa menderu ke
arah kepala Wiro. Kembali murid Sinto Gendeng merasakan ada hawa sejuk
menjalari tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Anak
muda bernama Wiro, kau kini menguasai ilmu yang disebut Empat Penjuru Angin
Menebar Suara. Dengan ilmu itu kau bisa bicara dan suaramu terdengar di empat
penjuru hingga orang yang berniat jahat terhadapmu akan bingung dan ketakutan
sendiri…”
“Guru…
Datuk… Aku…”
Sang
Datuk keluarkan suara tertawa lalu berkata. “Jika kau tempelkan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kananmu lalu kau bicara, maka suaramu akan terdengar di
empat penjuru.”
“Datuk,
aku… Aku ingat. Hantu Tangan Empat juga memiliki ilmu seperti yang kau berikan
padaku ini. Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Apakah…?”
“Tak
perlu heran. Hantu Tangan Empat pernah menjadi muridku puluhan tahun silam.
Tapi karena orangnya bersifat angin-anginan aku hanya memberikan satusatunya
ilmu itu padanya. Sekarang aku harus pergi. Selamat tinggal anak muda. Jika ada
kesempatan, di lain waktu kita akan bertemu lagi. Muridku Luhpingitan, aku
segera meninggalkan goa ini. Ingat, kau punya kewajiban untuk mengajarkan semua
kesaktianmu pada pemuda itu…”
“Akan aku
lakukan Datuk,” kata Luhpingitan pula.
Wiro
merasa ada angin menyambar di hadapannya. Lalu di atas sana cahaya putih
benderang di atas langitlangit yang berbentuk kerucut sirna tanpa bekas.
“Guru
sudah pergi. Sekarang saatnya kita meninggalkan goa ini,” kata Luhpingitan
pula. Lalu tanpa malu-malu nenek ini pegang lengan Wiro dan menariknya keluar
goa. Di luar ternyata sang surya mulai menggelincir memasuki titik
tenggelamnya.
Sambil
berlari mengikuti si nenek Wiro berkata. “Nek, aku gembira kau mengalami
kesembuhan dan bisa mengingat masa silammu kembali. Tapi aku melihat satu
kelainan pada dirimu.”
Hantu
Selaksa Angin hentikan larinya. “Kelainan apa maksudmu, Wiro?”
“Sejak
kau keluarkan kentut yang baunya gila-gilaan itu, kuperhatikan kau tidak
kentut-kentut lagi!”
“Eh, apa
iya?” si nenek jadi bertanya sambil usap-usap pantatnya.
“Aku
tidak dusta. Aku mengira mungkin kau tidak mau berlaku kurang ajar di hadapan
gurumu,” kata Wiro pula.
“Memang,
seharusnya aku sudah kentut beberapa kali hah? Kalau aku tidak kentut-kentut
bisa jadi penyakit kentutku sudah sembuh keseluruhan. Biar kucoba dulu!” Si
nenek lalu angkat sedikit jubah kuningnya lalu songgengkan pantatnya. Sampai
matanya mendelik dan keningnya keringatan tetap saja kentutnya tidak mau
keluar. Si nenek keluarkan suara mengedan.
“Sudah
Nek, jangan dipaksa!” kata Wiro. “Nanti yang keluar bukan angin tapi induknya
alias kecepirit!”
Tapi
Hantu Selaksa Angin masih mau mencoba. Dia goyang-goyangkan pantatnya yang
disonggengkan. Kentutnya tak mau juga keluar.
“Sudah
Nek, ayo kita lanjutkan perjalanan. Jangan dipaksa kentut kalau memang tidak
bisa!”
Si nenek
tidak perduli. Dan kembali goyang-goyangkan pantatnya. Saking kesalnya Wiro
tepuk pantat Hantu Selaksa Angin dengan tangan kirinya.
Butt
prett!
Si nenek
langsung pancarkan kentutnya. Lalu dia tertawa cekikikan melihat Wiro melompat
jauhkan diri.
TAMAT
No comments:
Post a Comment