Bayi
Titisan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
SEJAK Ken
Permata ketitisan roh Nyi Harum Sarti, Datuk Rao Basaluang Ameh melihat banyak
perubahan terjadi atas diri bayi yang berusia hampir dua tahun itu. Dari hari
ke sehari tubuh anak perempuan Nyi Retno Mantili dari suaminya yang mendiang
Patih Kerajaan bernama Wira Bumi itu mengalami pertumbuhan pesat. Tubuh
bertambah besar dan bertambah tinggi. Dalam waktu beberapa bulan saja keadaan Ken
Permata tidak beda dengan seorang anak yang telah berusia lima tahun. Bicaranya
lancar. Ucapan-ucapan cerdik seperti seorang dewasa. Apa yang terjadi dengan
anak itu tidak lepas dari perhatian Mande Saleha, perempuan yang menjaga Ken
Permata sejak masih orok.
Suatu
hari ketika anak perempuan itu bermain-main di luar ditemani harimau putih
sakti Datuk Rao Bamato Hijau, Mande Saleha menemui Datuk Rao Basaluang Ameh di
dalam goa batu pualam. (Mande = ibu) Sebenarnya dia ingin membawa serta
Baiduri, Ibu Susu Ken Permata. Tapi perempuan separuh baya ini akhirnya
memutuskan untuk datang seorang diri saja. Ketika dia masuk ke dalam goa batu
pualam, sang Datuk tengah membaca khidmat sebuah kitab bertuliskan huruf Arab
yang beberapa hari lalu didapatnya dari seorang sahabat, seorang pedagang
bangsa Parsi.
Setelah
menunggu sampai Datuk Rao menyelesaikan bacaan dan menutup kitab, baru Mande
Saleha berani keluarkan ucapan.
"Datuk,
saya datang mengganggu untuk membicarakan hal diri anak awak Ken Permata.
Sebenarnya saya sudah sejak lama ingin menemui dan bicara dengan Datuk. Namun
saya takut Datuk kurang berkenan di hati…"
Datuk Rao
Basaluang Ameh beberapa ketika menatap perempuan di hadapannya itu dengan
sepasang matanya yang kelabu ke biru-biruan.
"Mande
Saleha, aku sudah maklum. Kegelisahanmu kegelisahanku juga. Kekawatiranmu
kekawatiranku juga. Langsung saja, apa yang hendak kau sampaikan?”
"Datuk
maafkan saya kalau seolah berlaku lebih prihatin dari Datuk. Saya kira Datuk
melihat sendiri perubahan yang terjadi atas keadaan diri Ken Permata. Usianya
belum dua tahun namun keadaannya menyamai anak perempuan yang telah berusia
lima-enam tahun. Dia tumbuh dewasa lebih cepat dari kodrat Allah dan kemauan
alam. Tapi bagi saya bukan perubahan keadaan bentuk badan itu saja yang
mengawatirkan. Yang saya cemaskan adalah perubahan sifat dan bicaranya.
Sekarang dia lebih suka tidur sendiri daripada bersama saya. Dia menolak kalau
saya rangkul apa lagi saya dukung. Dia lebih suka tidur di atas tikar di lantai
rumah gadang daripada bergolek satu ketiduran dengan saya. Kadangkadang, kalau
saya tersentak bangun tengah malam, saya dapati anak itu tidak ada di dalam
kamar. Ketika saya cari ternyata dia berada di halaman samping, duduk atau
membaringkan diri di atas lesung. Atau duduk di tangga rumah kecil tempat
menyimpan padi. Sesekali sebelum saya menemuinya, saya coba mengintai. Pernah
kedapatan oleh saya mulutnya bergerak-gerak. Dia seperti bicara dengan
seseorang. Tapi suaranya tidak terdengar dan orang yang diajaknya bicara tidak kelihatan.
Saya benar-benar cemas Datuk. Saya kawatir penitisan yang terjadi atas Ken
Permata telah merusak pikiran anak itu.”
Datuk Rao
Basaluang Ameh terdiam baberapa jurus. Setelah mengusap wajah yang barsih
kelimis orang tua ini berkata.
“Sejak
beberapa waktu belakangan ini ada roh yang berusaha mendekati anak itu."
"Apakah
itu tidak berbahaya Datuk?"
“Berbahaya,
sangat berbahaya. Itu sebabnya aku telah mamagari tempat kediaman kita ini
sampai seputar Danau Maninjau dangan Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Selain
itu setiap malam aku sembanyang Tahajjud, aku memohon perlindungan atas diri
anak itu dari Yang Maha Kuasa.”
“Saya
tahu, Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu pastilah sangat hebat. Mudah-mudahan
iImu itu bisa melindungi Ken Permata. Tidak sampai terjadi seperti dahulu.
Ketika dia diculik orang, dilarikan ke tanah Jawa. Datuk sampai-sampai meminta
pertolongan para Datuk sahabat dari berbagai penjuru pulau Andalas…" (Baca
"Bayi Satu Suro")
"Selain
itu pada Datuk Rao Bamato Hijau telah aku pesankan agar menjaga dan mengawasi
Ken Permata baik siang apa lagi di waktu malam." Ucap Datuk Rao Basaluang
Ameh. Apa yang dikatakan dan dikawatirkan perempuan di hadapannya memang cukup
beralasan. Beberapa waktu lalu Ken Permata berhasil dilarikan Wira Bumi bersama
gurunya Nyai Tumbal Jiwo dengan cara menyamar sebagai harimau putih peliharaan
sang Datuk dan suami Baiduri.
"Apa
masih ada hal lain yang hendak kau katakan atau masih kau cemaskan Mande
Saleha?"
"Terus
terang Datuk, rasa cemas saya memang tidak berkeputusan. Bagi saya Ken Permata
sudah sebagai anak darah daging saya sendiri. Datuk, saya ingin memberi tahu.
Ken Permata beberapa kali entah sadar entah tidak berkata pada saya. Bahwa dia
ingin meninggalkan Danau Maninjau namun hatinya masih terkait sayang pada rumah
gadang dan Datuk, pada saya dan pada ibu susunya. Ucapannya seperti orang
dewasa. Bukan seperti ucapan anak-anak, apalagi ucapan seorang bayi berusia
belum dua tahun. Katanya lagi, walau dia belum mau pergi, namun kalau orang
yang menjemput sudah datang maka dia terpaksa akan pergi juga…"
Raut muka
Datuk Rao Basaluang Ameh berubah.
"Mande
Saleha, apakah anak itu mengatakan siapa yang akan menjemputnya?"
Mande
Saleha menggeleng. Lalu berkata.
"Saya
pernah bertanya siapa orang itu atau bagaimana ciri-cirinya, lelaki atau
perempuan. Tapi Ken Permata menjawab, “Nantilah Mande, nanti akan saya
ceritakan pada Mande.” Selain itu Ken Permata juga menceritakan. Orang itu acap
kali menemuinya pada malam hari ketika dia antara jaga dan tidur. Orang itu
banyak menceritakan tentang dirinya, siapa ibunya, siapa ayahnya. Bahwa ayahnya
telah menemui kematian. Dia juga diberi tahu siapa yang telah membunuh
ayahnya."
"Jika
cerita anak itu memang benar, berarti satu malapetaka besar akan terjadi. Dia
akan mencari pembunuh ayahnya. Orang yang membunuhnya adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng…" Datuk Rao Basaluang Ameh gelengkan kepala sambil mengucap
menyebut nama Tuhan berulang kali.
"Saleha,
kau bisa menduga siapa orang itu?" tanya Datuk kemudian.
"Kalau
menduga saya bisa saja tapi tak berani mengatakan. Mungkin Datuk lebih bisa
menerka."
"Kau
ingat kejadian yang kau ceritakan padaku beberapa waktu lalu? Sebelum penitisan
gaib terjadi atas diri Ken Permata?"
"Saya
ingat Datuk."
"Ada
seorang perempuan tua bertubuh tinggi berambut putih. Masuk ke dalam kamar
tempatmu dan Ken Permata tidur. Dia mengenakan pakaian panjang kuning
berbunga-bunga. Ada seperangkat sunting pendek di kepalanya. Dialah orang yang
dimaksud Ken Permata. (Baca "Janda Pulau Cingkuk") Yang kelak akan
datang menjemputnya. Namun bisa juga yang muncul adalah roh yang menitis ke
dalam tubuhnya. Bekas Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti. Tapi Saleha, hal
lain bisa saja terjadi…"
"Hal
lain bagaimana maksud Datuk?" tanya Mande Saleha pula.
"Bisa
saja anak itu pergi sendirian, meninggalkan tempat ini, mengikuti dorongan gaib
tanpa menunggu kedatangan perempuan tua tadi."
"Saya
benar-benar takut kalau hal itu terjadi. Saya memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, meminta perlindungan atas diri anak itu… Dia sebenarnya tidak tahu
apa-apa. Ada kekuatan gaib di luar dirinya yang mengatur jalan nasibnya."
"Itulah
yang dinamakan takdir. Manusia masih bisa merubah dan melawan nasib. Tapi tidak
ada manusia yang bisa melawan takdir." Ucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang
saat itu pula teringat pada Laras Parantili, kekasih di masa mudanya yang telah
bertindak sebagai pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata.
"Mungkin…mungkin
kita harus cepat-cepat mempertemukan anak itu dengan ibu kandungnya Datuk. Kita
tidak bisa hanya menunggu sampai Pendekar 212 menjemputnya ke sini sebagaimana
yang Datuk inginkan. Apalagi kenyataannya dia telah mengetahui siapa pembunuh
ayahnya."
"Kau
mungkin betul Saleha. Mungkin itu yang harus kita lakukan." Kata Datuk Rao
pula. "Panggil anak itu. Bawa dia ke sini. Kita bisa bicara mengajuk
hatinya…"
"Akan
saya panggil dan bawa dia ke sini Datuk." Kata Mande Saleha lalu
cepat-cepat keluar dari goa. Tak lama kemudian perempuan ini muncul kembali
dengan wajah pucat dan nafas mengengah.
“Ada apa
Saleha?" tanya sang Datuk heran tak bersyak wasangka.
"Ken
Permata! Anak itu ada di pucuk pohon Kayu Manis besar di tepi danau. Harimau
putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau tidak bisa barbuat apa-apa. Hanya barputar-putar
dan menggereng di sakitar bawah pohon. Dia menunggu, kawatir Ken Permata
tergelincir jatuh.”
“Ken
permata di pucuk pohon Kayu Manis! Bagaimana mungkin?" ujar Datuk Rao lalu
dengan serta merta melompat keluar goa diikuti Mande Salaha.
Ketika
Datuk Rao Basaluang Ameh sampai di tepi Danau Maninjau sebelah timur, orang tua
ini berhenti berlari, tegak terpana penuh perasaan tak percaya. Seperti yang
dikatakan Mande Saleha, harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau melangkah
memutari pohon kayu manis besar. Sekali-sekali kepalanya mendongak ke atas
pohon. Di atas pohon ini, pada pucuk yang paling ujung, di satu dahan yang
tidak seberapa besar, sambil berpegangan ke ranting pohon, berdiri Ken Permata,
anak perempuan yang belum berusia dua tahun tapi memiliki bentuk badan seukuran
anak berumur lima tahun. Sambil menggoyang-goyang kaki dan mengayun-ayunkan
tubuh, anak ini bernyanyi-nyanyi tiada henti. Datuk Rao mengucap berulang kali.
"Allah
Maha Besar! Aneh! Dia memiliki ilmu meringankan tubuh. Dia mempunyai ilmu
kesaktian. Ilmu titisan!"
Mande
Saleha berteriak cemas berulang kali, memanggil-manggil anak perempuan itu,
Datuk Rao berseru.
"Cucu
Datuk Ken Permata! Kau gembira sekali hari ini. Sampai-sampai menyanyi di atas
pohon. Turunlah, menyanyi di dekatku agar Datuk bisa lebih jelas mendengar
bagusnya suaramu…!
Tanpa
menoleh ke bawah dari atas pohon Ken Permata menyahuti.
"Datuk
di sini lebih enak. Udaranya nyaman, pemandangan indah. Mengapa Datuk tidak
naik saja ke atas pohon? Jangan lupa membawa serta Mande Saleha. Kita bernyanyi
bersama-sama!"
"Celaka
Datuk. Kalau kakinya sampai terpeleset tergerajai, anak itu akan jatuh ke
tanah. Tolong dia Datuk. Cepat diturunkan…"
"Tenang
Saleha, aku akan menurunkannya…" Kata Datuk Rao pula. Sekali menjejak kaki
kanan ke tanah, orang tua sakti ini melesat ke atas pohon kayu manis. Begitu
sampai di atas cabang tempat Ken Permata berdiri Datuk Rao cepat ulurkan tangan
untuk menangkpp pinggang si anak. Tapi wuutt! Dia hanya menangkap angin! Karena
sesaat sebelum Datuk Rao mengulurkan tangan Ken Permata lebih dulu meluncurkan
diri ke bawah, tertawa gelak-gelak lalu melompat dari satu cabang ke cabang
lain. Tak lama kemudian terdengar suara anak itu di bawah pohon.
"Datuk!
Saya sudah turun ke bawah! Habis Datuk lama sekali saya tunggu tidak mau
naik-naik, tidak mau menyanyi bersama saya di atas pohon!"
Datuk Rao
mengucap kaget. Memandang ke bawah memang dilihatnya Ken Permata sudah berada
di bawah pohon. Berdiri di samping Mande Saleha. Anak ini tertawa-tawa girang
sambil mengelus tengkuk harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao
Basaluang Ameh cepat melayang turun ke tanah.
"cucu
Datuk hebat sekali!" memuji Datuk Rao Basaluang Ameh sambil membelai
kepala Ken Permata. "Cucuku, ceritakan pada kakekmu Ini bagaimana kau bisa
naik dan turun lagi dari pohon besar itu."
"Ada
orang yang membawa saya Kek," jawab Ken Permata.
Mande
Saleha merasa kuduknya dingin merinding. Perempuan ini memandang berkeliling
lalu mendongak ke atas pohon besar. Lalu dia berbisik pada Datuk.
"Hantu
Haru-haru. Pasti mahluk itu hendak menculik Ken Permata."
Hantu
Haru-haru adalah sejenis mahluk halus yang pada masa itu banyak gentayangan di
Pulau Andalas, suka menculik anak keeil dan membawanya ke atas pohon tinggi
antara lain pohon kelapa.
"Bukan,
bukan Hantu Haru-haru… Ada mahluk lain," jawab Datuk Rao Basaluang Ameh
lalu tidak menunggu lebih lama segera mendukung Ken Permata, setengah berlari
membawanya ke goa batu pualam.
Begitu
sampai di dalam goa Datuk Rao Basaluang Ameh bertanya pada Ken Permata.
"Cucu
Datuk…. Orang yang membawamu naik ke atas pohon tadi, apakah dia seorang lelaki
atau seorang perempuan?"
"Perempuan
Kek. Orangnya cantik rancak…."
Datuk Rao
Basaluang Ameh tereengang mendengar jawaban Ken Permata. “Otak dan jalan
pikirannya bukan seperti anak-anak lagi. Dia sudah lebih dewasa dari usia
sebenarnya. Pasti roh perempuan yang pernah menjadi Ratu Laut Utara, Nyi Harum
Sarti…" Datuk menatap ke luar goa. Lalu mulutnya berucap perlahan. Ada
nada kekecewaan pada suaranya. “Laras Parantili, aku sungguh sedih kau sampai
mau menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri anak ini. Apakah kau tak
bisa menduga kalau kelak di kemudian hari akan timbul bencana besar akibat
penitisan roh seorang manusia berhati jahat ke dalam diri seorang anak perempuan
yang masih bersih dan suci?
*******************
2
KITA
telah mengetahui apa yang telah terjadi dengan Ken Permata. Sekarang mari kita
ikuti perjalanan sang ibu yakni Nyi Retno Mantili setelah dibawa oleh Manusia
Paku Sandaka Arto Gampito. Dalam serial berjudul ”Perjodohan Berdarah"
diceritakan setelah menyelamatkan Nyi Retno Mantili dari Serikat Tiga Momok
yang hendak merobek tubuh dan menyantap hati, ginjal serta jantungnya, Manusia
Paku berhasil membujuk dan membawa perempuan malang itu ketempat kediaman
gurunya di satu goa yang terletak pada sisi barat jurang batu pualam.
Di dalam
serial Wiro Sableng berjudul “Dendam Manusia Paku" diceritakan bagaimana
setelah sekian lama dijadikan budak nafsu, dengan mempergunakan Kapak Geni 212
milik Wiro, Manusia Paku Sandaka Arto Gampito pada akhirnya berhasil membunuh
Dewi Ular. Dalam keadaan tubuh penuh luka bergelimang darah Dewi Ular ditendang
masuk ke dalam sebuah jurang batu mengandung pualam. Namun entah apa yang ada
di benak Manusia Paku, sesaat setelah Dewi Ular jatuh ke dalam jurang diapun
ikut pula menyusul menghambur diri terjun ke dalam jurang yang sama.
Rupanya
benar ujar-ujar yang mengatakan sebelum ajal berpantang mati. Ini yang terjadi
dengan Sandaka. Seorang sakti yang diam di dalam sebuah goa di dinding barat
jurang batu pualam menyelamatkan pemuda itu. Setelah mendengar penuturan
Sandaka mengenai riwayat dirinya, si orang tua sakti menaruh hiba lalu
mengambilnya menjadi murid, diajak tinggal bersama di dalam goa.
Sang guru
yang dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Datuk Sipatoka kabarnya berasal
dari Pulau Andalas sebelah Utara. Setelah puluhan tahun menghuni goa di jurang
batu pualam itu dia kemudian dikenal juga dengan nama Datuk Batu Pualam.
Sebagai
orang sakti Datuk Sipatoka mengetahui bahwa di dasar jurang di mana terdapat
satu kawah sempit tersimpan sepasang keris sakti tak bersarung yang diduga
milik Kerajaan, bernama Keris Nagasona. Konon salah satu kesaktian keris yang
satu jantan satu betina ini adalah mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Karenanya Datuk Sipatoka menaruh keyakinan bahwa sepasang senjata sakti itu
juga mampu melenyapkan puluhan baja putih yang menancap di tubuh muridnya. Hal
itu diberitahukannya pada Sandaka.
Namun
tidak mudah untuk mendapatkan sepasang keris sakti tersebut. Sang Datuk
menyirap berita yang berasal dari sebuah kitab bernama Kitab Seribu Petunjuk
Kuna dan memberitahu pada muridnya bahwa pada malam Sekatan yang akan datang,
didahului dangan tanda munculnya Bintang Kalimukus di langit maka saat itulah sapasang
keris sakti akan keluar dari tempat pertapaannya selama belasan tahun di dasar
kawah jurang batu pualam. Sepasang keris itu sendiri konon telah berusia dua
ratus tahun.
Bagaimana
dengan Dewi Ular? Apakah benar-benar menemui ajal pada saat dirinya terpental
ke dalam jurang batu pualam akibat tendangan Sandaka?
Dalam
keadaan tubuh penuh luka bekas bacokan kapak sakti bergelimang darah dan siap
meregang nyawa Dewi Ular melayang jatuh ke dalam jurang. Tidak disangka-sangka
dari dalam sebuah goa di dinding timur muncul seorang perempuan sakti
menyelematkannya. Perempuan bertubuh gemuk ini bernama Kunti Rao, merupakan
musuh bebuyutan Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam yang tinggal dalam goa
di dinding barat jurang. Dewi Ular bukan saja diselamatkan tapi juga diambil
jadi murid. Namun sang guru bernasib buruk. Dewi Ular yang culas secara keji
kemudian membunuh Kunti Rao mempergunakan paku emas yang telah berubah hitam
yang ditusukkan ke pusarnya oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika di
Kotaraja tengah berlangsung perayaan Sekaten, pada malam harinya di langit di
atas jurang benar-benar muncul, Bintang Kalimukus. Di sekitar mulut jurang batu
pualam saat itu t.elah berkumpul serombongan tokoh dari Keraton di bawah
pimpinan Pangeran Ipong Nalakudra. Pangeran ini telah sekian lama menderita
menyakit lumpuh. Dia percaya sepasang keris sakti Nagasona mampu memberi
kesembuhan pada penyakitnya. Itu sebabnya bersama pengiringnya yang terdiri
dari tokoh-tokoh silat Kerajaan dia mendatangi jurang batu pualam untuk mendapatkan
dua keris sakti.
Ternyata
yang datang ke tempat itu bukan cuma rombongan dari Keraton, tapi juga Ratu
Ular bersama sang murid, Dewi Ular yang telah lebih dulu berada di tempat itu.
Lalu tidak terduga datang pula tokoh sakti utama rimba persilatan yang dikenal
dengan julukan Si Raja Penidur. Tokoh yang jarang muncul ini dan sepanjang
tahun boleh dikatakan selalu tidur, sekali memperlihatkan diri maka ini
merupakan pertanda bahwa satu peristiwa besar akan terjadi di tempat itu.
Sementara
itu Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Anggini murid DewaTuak juga telah berada
di sekitar jurang batu pualam. Sepasang pendekar muda mudi ini dicurigai oleh
Pangeran Ipong dan para pengikutnya sebagai hendak merampas keris Nagasona.
Padahal keduanya tidak tahu-menahu keberadaan senjata sakti itu. Mereka datang
ke jurang batu pualam justru karena mencurigai bahwa Dewi Ular sebenarnya masih
hidup sambil mencari tahu apa yang terjadi dengan Manusia Paku Sandaka.
Ketika
malam itu akhirnya Bintang Kalimukus muncul di langit, di dasar jurang dua
keris sakti Nagasona mencuat keluar dari dalam kawah dan para tokoh rimba
persilatan berkelahi hebat untuk mendapatkan. Ternyata yang beruntung adalah
Ratu Ular. Begitu dia berhasil menangkap sepasang keris sakti dengan cepat Ratu
Ular sapukan dua keris ke tubuh muridnya hingga tubuh Dewi Ular yang tadinya
penuh cacat luka bekas hantaman Kapak Naga Geni 212 sembuh dengan seketika.
Kekuatan, tenaga dalam serta kesaktiannya pulih.
Dengan
mengandalkan dua keris sakti Ratu Ular kemudian berusaha menghabisi semua tokoh
silat yang ada di tempat itu. Dia nyaris hampir membunuh Datuk Sipatoka alias
Datuk Batu Pualam. Ketika dia mengejar dan hendak menghabisi Manusia Paku
Sandaka Pendekar 212 Wiro Sableng segera masuk ke dalam kancah pertarungan
dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan. Ternyata kapak mustika sakti tidak
mampu menghadapi sepasang keris pusaka. Wiro terpental, kapak sakti lepas dari
pegangannya. Sesaat lagi Ratu Ular hendak melancarkan serangan yang mematikan
tiba-tiba Si Raja Penidur jatuhkan diri di dasar jurang tapi dalam keadaan mata
terpejam mulut mengorok alias tidur lelap! Di mulutnya masih terselip pipa
berasap! Enak saja dia menggolekkan diri di atas satu batu besar. Selagi semua
orang terkesiap melihat kemunculan tokoh utama rimba persilatan yang
berperilaku aneh ini, Wiro cepat mengambil Kapak Naga Geni 212 yang tercampak
di batu jurang.
Melihat
kemunculan Si Raja Penidur, apa lagi ketika Wiro membangunkan tokoh rimba
persilatan yang memiliki kesaktian luar biasa ini, Ratu Ular tampak gelisah.
Dia segera membisiki Dewi Ular untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun
ketika guru dan murid bersiap kabur, tahu-tahu Si Raja Penidur sudah
menghadang. Setelah hembuskan asap pipa dan menguap lebar Si Raja Penidur
menegur.
"Untari,
kau masih saja berkelakuan macammacam. Apa kekecewaan masa muda masih
menghantui dirimu?"
Semua
orang yang ada di atas permukaan kawah di dalam jurang batu pualam
terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk, tapi tak ada yang berani bertanya.
Siapa yang bernama Untari itu? Ratu Ular? Lalu mereka melihat perubahan pada
wajah Ratu Ular. Sikapnya kini menunjukkan rasa gelisah kalau tidak mau
dikatakan takut. Takut pada siapa?
"Raja
Penidur," tiba-tiba Ratu Ular berucap. "Urusan masa lalu tidak perlu
diungkit-ungkit…"
"Ah!
Jadi dialah yang bernama Untari! Sang Ratu Ular!" bisik Pendekar 212 Wiro
Sableng pada Anggini.
"Kalau
begitu katamu, baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal yang harus kau
tinggalkan,” kata Si Raja Penidur.
"Hemmm,
dua hal apakah itu?" tanya Ratu Ular.
Si Raja
Penidur menyedot pipa dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara hingga
tempat itu dipenuhi bau tembakau yang tidak sedap. Setelah menguap dan mengucak
kedua matanya baru dia menjawab.
"Pertama
serahkan padaku sepasang keris Nagasona. Dua senjata mustika sakti itu bukan
milikmu."
"Lalu
apakah dua keris ini milikmu?" tukas Ratu Ular dengan wajah sunggingkan
seringai sinis.
"Memang
jelas bukan milikku. Aku hanya jadi perantara untuk mengembalikan pada
pemiliknya. Sebentar lagi utusan pemilik akan datang untuk mengambil…"
Ratu Ular
tertawa panjang. "Ceritamu enak sekali didengarnya. Rupanya kau sekarang
telah jadi seorang perantara. Bagiku seorang perantara tidak lebih dari seorang
kacung."
Si Raja
Penidur tenang saja mendengar dirinya dikatakan sebagai kacung. Setelah meniup
pipa dalam-dalam dan menghembuskan asap ke udara dia menjawab. "Aku hanya
memberi tahu. Aku tidak bicara dusta. Tidak pernah…"
"Kecuali
terhadapku?" Ratu Ular cepat potong ucapan Si Raja Penidur.
Si Raja
Penidur sesaat berubah parasnya lalu terkekeh perlahan. "Kau tadi
mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit. Menurutku ini adalah
penyelesaian yang paling baik."
"Kau
belum mengatakan hal yang kedua." Ratu Ular alihkan pembicaraan.
"Hal
kedua yang harus kau tinggalkan di tempat ini adalah perempuan muda berjuluk
Dewi Ular itu…”
Sepasang
alis Ratu Ular berjingkat. Dua bola mata membesar.
"Apa
urusanmu dengan diri muridku? Kau hendak memperlakukannya seperti yang kau
perbuat padaku puluhan tahun silam?"
Pendekar
212 dan semua orang yang ada di tempat itu jadi saling pandang mendengar ucapan
Ratu Ular. Rupanya ada jalinan hubungan sangat dekat antara Ratu Ular dan Raja
Penidur di masa puluhan tahun silam.
Si Raja Penidur
batuk-batuk beberapa kali lalu menguap lebar-lebar.
"Aku
sudah mengatakan dua hal permintaanku. Terserah padamu mau memenuhi atau
tidak.”
"Aku
harus tahu dulu apa yang hendak kau lakukan terhadap muridku.”
"Aneh
kalau kau masih bertanya. Apa kau tidak menyadari kesalahan besar yang telah
dibuatnya? Dosanya setinggi langit sedalam lautan. Mulai dari ubun-ubun sampai
ke telapak kaki! Membunuh tokohtokoh rimba persilatan tak berdosa. Bahkan
teganya membunuh gurunya sendiri! Kau kira dia bisa lolos begitu saja dari
hukuman? Tapi mengingat hubunganmu dengan diriku, aku tidak akan bertindak
terlalu keras padanya. Aku bersedia melindungi dirinya dari balas dendam
orang-orang rimba persilatan yang mengerikan. Aku akan mengatur hukuman yang
terbaik bagi dirinya.”
"Hukuman
terbaik bagi dirinya adalah ikut bersamaku. Sekarang juga! Jangan ada yang
berani mengganggu menghalangi!" kata Ratu Ular pula tegas.
"Terserah
padamu. Aku sudah menawarkan yang terbaik. Mataku sudah mulai mengantuk. Aku
ingin menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi.”
"Aku
tidak akan memenuhi permintaanmu, Raja Penidur! Seperti kau tidak pernah
memenuhi apa-apa terhadap diriku! Kau mau tidur silahkan. Aku tidak perduli
sekalipun kau tidak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya!"
"Ah,
sayang sekali kalau begitu," kata Raja Penidur lalu menguap tak acuh.
Ratu Ular
memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua perempuan itu segera melangkah pergi.
Namun baru berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada cahaya putih melayang
turun. Ketika cahaya mencapai pertengahan jurang, semua orang yang ada di
tempat itu jadi tertegun. Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat
cantik. Berpakaian lilitan kain sutera putih halus. Kalau saja lilitan kain
tidak tebal maka pakaian itu nyaris tembus pandang memperlihatkan tubuhnya yang
putih elok. Udara di dasar kawah kini dipenuh bau harum semerbak yang keluar
dari tubuh dan pakaian si gadis.
Raja
Penidur cabut pipa dari sela bibir, menguap lebar-lebar lalu berpaling pada
Ratu Ular. "Utusan yang ditunggu telah datang. Aku tidak bisa membantumu
lagi, Untari…"
Ratu Ular
terkesiap. Dewi Ular tampak tegang. Gadis cantik berpakaian sutera putih
melayang turun dan berdiri di hadapan Ratu Ular. Wiro dan Anggini melihat
bagaimana dua kaki putih bagus si gadis sama sekali tidak menjejak batu di
dasar jurang. Walau kagum melihat kecantikan dan keelokan tubuh orang namun
diam-diam Wiro merasa tengkuknya dingin.
Dia
segera maklum kalau gadis ini bukan manusia biasa.
Si gadis
yang oleh Raja Penidur disebut sebagai utusan menjemput dua keris sakti
anggukkan kepala seraya ulurkan dua tangan. Memberi isyarat pada Ratu Ular agar
segera menyerahkan keris Nagasona.
Ratu Ular
melangkah mundur. Tangan kiri mengusap kepala ular besar yang bergelung di
lehernya, tangan kanan memberi tanda pada Dewi Ular. Sang murid yang mengerti
isyarat ini segera siapkan paku hitam. Didahului teriakan keras Ratu Ular maka
guru dan murid lancarkan tiga serangan ganas.
*******************
3
SERANGAN
pertama adalah serangan ular besar yang menggelantung di leher Ratu Ular.
Binatang ini melesat laksana anak panah mematuk ke arah gadis cantik berpakaian
sutera putih. Serangan kedua berupa cahaya kuning yang keluar dari paku hitam
di tangan Dewi Ular. Paku hitam ini dulunya adalah paku emas yang didapat Wiro
dari Eyang Sinto Gendeng untuk melumpuhkan Dewi Ular. Oleh Dewi Ular paku ini
kemudian dijadikan senjata sakti mandraguna. Walau keadaannya sekarang hitam
namun sinar maut yang dipancarkannya tetap berwarna kuning emas.
Serangan
ketiga inilah serangan yang terhebat datang menghambur dari sepasang keris
sakti berupa hamparan dua cahaya kuning terang benderang menyilaukan sekaligus
menggidikkan.
Manusia
biasa, betatapun tinggi ilmu silat dan kesaktiannya, dihantam tiga serangan
sakaligus seperti itu akan sulit lolos selamatkan diri. Si Raja Penidur tampak
kerenyitkan kening melihat datangnya serangan sambil siap membantu kalau sampai
gadis cantik berpakaian sutera putih tidak sanggup menahan hantaman tiga
serangan. Wiro sendiri sudah merapal ajian Pukulan Sakti Sinar Matahari. Tangan
kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah menjadi putih perak. Malah dengan
jengkel dia berteriak. Memaki Ratu Ular dan Dewi Ular sebagai pengecut.
Namun
gadis jelita yang dua kakinya tidak berpijak ke dasar kawah tampak tenang saja.
Sambil tersenyum dan lemparkan lirikan ke arah murid Sinto Gendeng dia membuat
lemah gemulai laksana seorang penari padahal yang dihadapi adalah serangan
maut!
Si gadis
lambaikan tangan kiri dengan gerakan perlahan. Tiga serangan yang menyambar ke
arahnya seolah-olah disedot masuk ke dalam telapak tangan kiri yang
dikembangkan.
Tiga
larik sinar kuning dari sepasang keris sakti dan satu lagi dari paku hitam di
tangan Dewi Ular lenyap pupus seperti asap dihembus angin.
"Cleepp!"
Bersamaan
dengan itu kapala ular besar menempel di telapak tangan kiri gadis berpakaian
sutera putih. Binatang ini mendesis keras. Menggeliat berusaha melepaskan diri.
Namun sekali lima jari tangan si gadis meremas maka kepala binatang jahat
berbisa itu hancur remuk. Tubuh sampai ke ekor yang masih utuh dalam keadaan
menggelepar-gelepar, dilempar amblas ke dalam dasar kawah jurang batu pualam.
Sekali gadis cantik meniup maka tangannya yang berlumuran darah ular bersih
kembali.
Masih
dengan gerakan seperti penari, tangan kanan gadis cantik yang oleh Raja Penidur
disebut sebagai utusan untuk mengambil sepasang keris Nagasona, bergerak
melambai ke depan. Ratu Ular merasa satu kekuatan dahsyat menerpa membuat dua
kakinya goyah dan tubuh terjajar ke belakang. Belum sempat mengimbangi diri dia
melihat sesuatu berkelebat di depannya, lalu tahu-tahu dua keris sakti yang
dipegangnya di tangan kiri kanan telah berpindah ke tangan kanan gadis cantik
di hadapannya.
Ratu Ular
berteriak keras. Dia menerjang ke depan. Dalam jarak begitu dekat dua tangan
bukan saja melancarkan serangan tangan kosong ganas tapi dua tangan itu
tiba-tiba berubah menjadi sepasang tombak dengan kepala berbentuk ular senduk
hijau!
Dua mata
gadis cantik membesar, dua alis naik ke atas. Tangan kiri digerakkan. Gerakan
lembut tapi mengandung tenaga dahsyat!
"Trakk!
Traakk!"
Bukan
cuma dua tombak berbentuk kepala ular kobra jejadian yang hancur tapi dua
tangan Ratu Ular ikut patah dan remuk mulai dari pertengahan lengan sampai ke
ujung jari. Raungan keras perempuan ini menggelepar di dalam jurang batu.
Melihat
gurunya celaka begitu rupa didahului jeritan tak kalah kerasnya Dewi Ular
kembali menyerbu dengan paku hitam bertuah. Gadis yang diserang lagi-lagi
lambaikan tangan kiri.
"Kraakk!"
Paku
hitam hancur luluh. Begitu juga tangan kanan Dewi Ular yang tadi memegang
senjata itu. Guru dan murid sama terhuyung lalu tubuh mereka saling
berbenturan.
"Dewi,
kita tak mungkin keluar hidup-hidup dari tempat ini. Kalaupun mampu tak ada
gunanya hidup dalam keadaan cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku
lakukan."
"Saya
mengerti Ratu. Saya siap…" sahut DewiUlar. Dengan cepat diam-diam dia
kerahkan ilmu kesaktian bernama Membalik Mata Menipu Pandang.
Tidak ada
satu orangpun yang menduga, tidak ada yang menyangka maupun mampu mencegah
ketika Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras sama-sama lari lalu
menghujamkan kepala masingmasing ke dinding jurang batu pualam.
Suara
remuknya kepala kedua orang ini terdengar luar biasa menggidikkan! Tubuh mereka
tergelimpang tak bernyawa di atas gundukan batu di samping kawah di dasar
jurang. Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu dipagut kesunyian.
Gadis
cantik berpakaian sutera putih palingkan kepala ke arah Raja Penidur. Datuk
rimba persilatan ini maklum arti pandangan itu. Si gadis akan segera
meninggalkan jurang batu pualam.
Sebelum
pergi, atas permintaan Si Raja Penidur gadis cantik berpakaian sutera putih
mengusapkan sepasang keris Nagasona ke tubuh Datuk Sipatoka dan Manusia Paku
Sandaka. Saat itu juga luka dalam yang dialami Datuk Sipatoka akibat hantaman
Ratu Ular tadi serta merta menjadi sembuh. Sementara sapuan dua keris sakti
membuat tiga puluh paku baja putih yang menancap di sekujur kepala, muka dan
tubuh Sandaka tercabut bermentalan, jatuh ke dalam dasar jurang. Tubuh Sandaka
kepulkan asap berbau busuk.
Si Raja
Penidur menguap lalu kucak mata dan berkata.
"Terima
kasih, kau telah mengobati dua sahabat kami. Gadis utusan penjemput sepasang
keris sakti, kau boleh pergi. Serahkan keris Nagasona pada pemiliknya di pantai
selatan. Jika sebentar nanti kau berada di atas jurang, ada seorang Pangeran
yang telah puluhan tahun menderita lumpuh. Tolong sembuhkan penyakitnya dengan
keris sakti itu. Sampaikan sa
lamku
pada Sang Penguasa Agung Samudera Selatan.”
Gadis
yang diajak bicara hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ketika dia memutar
tubuh siap hendak melesat ke atas jurang, tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng
berseru.
"Gadis
cantik! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku juga menderita sakit. Mungkin luka
dalam. Tolong sembuhkan. Usapkan keris sakti itu ke dadaku…" Lalu Wiro
cepat-cepat buka kancing bajunya dan melangkah mendekati si gadis sambil
sodorkan dada. Si gadis tertegun sesaat lalu tersenyum.
Si Raja
Penidur cabut pipa dari sela bibir. Jaraknya dengan Wiro saat itu cukup jauh
tapi seperti bisa mulur tangan itu menjadi panjang dan pipa lalu diketukkan ke
kepala murid Sinto Gendeng.
"Anak
sableng! Jangan berani macam-macam! Siapa tidak tahu akal bulusmu! Minta diusap
segala!"
"Plettaaakk!"
Pipa Si
Raja Penidur mandarat di kening Pendekar 212 hingga saat itu juga jidat Wiro
jadi benjut banjol sebesar telur ayam. Sakitnya bukan main karena Si Raja
Penidur memang sengaja mengalirkan hawa sakti ke ujung pipa yang bisa membuat
orang kesakitan setengah mati. Tapi Wiro juga tidak tinggal diam. Sebelum ujung
pipa mendarat di keningnya dia kerahkan tenaga dalam mengandung hawa lembut.
Walau keningnya tetap benjol tapi ujung pipa Si Raja Penidurjadi bengkok!
Membuat manusia gemuk sakti ini mendelik sesaat lalu kembali sepasang matanya
redup dan dia menguap lebar-lebar.
Gadis
cantik berpakaian sutera putih tertawa. Lalu dia meniup ke arah wajah Wiro.
Saat itu juga benjol besar di kening sang pendekar dan rasa sakit serta merta
lenyap! Selagi Wiro tertegun si gadis sudah melesat ke atas jurang.
"Ah,
tidak diusap pun tak jadi apa. Nafasnya segar dan sejuk seperti embun pagi,
seharum kembang melati! Rugi kau tidak merasakan tiupannya Kek!" Wiro
tertawa gelak-gelak.
"Kelakuan
konyolmu masih tidak berubah!" kata Si Raja Penidur sambil berusaha
meluruskan pipanya yang bengkok. "Gadis hendak kau permainkan tadi bisa
saja dia adalah si pemilik sapasang keris Nagasona yang sebenarnya…"
Sambil
mengusap kaning murid Sinto Gendeng bertanya. "Kalau begitu gadis tadi itu
siapa sebenarnya Kek?"
"Bagaimana
kalau dia adalah Ratu Penguasa Samudera Selatan… " "Maksudmu Kek,
Nyai Roro Kidul?" tanya Wiro lagi. "Apa ada Ratu lain yang jadi
penguasa di kawasan itu?" tukas Raja Penidur.
"Ah…!"
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
Raja
Penidur masih terus berusaha meluruskan pipanya yang bengkok tapi tidak
bisa-bisa. Lalu dia mengomel, memaki pada Wiro.
"Lihat
pekerjaan kurang ajarmu, kalau pipa ini tidak bisa kupergunakan lagi, aku akan
membetot lepas menanggalkan salah satu tangannya. Tulang tanganmu akan kujadikan
pipa pengganti pipa bengkok sialan ini!"
Wiro
tertawa. Lalu membungkuk, ulurkan kepala dan meniup. Saat itu juga pipa yang
bengkok lurus kembali.
"Dasar
anak setan!" Semprot Si Raja Penidur.
Wiro
tertawa gelak-gelak.
*******************
4
TEPAT empat
puluh hari setelah peristiwa hebat di dasar jurang batu pualam di mana Ratu
Ular dan Dewi Ular menemui kematian, pagi hari ketika Sandaka Arto Gampito
terbangun dari tidurnya pemuda ini tersentak kaget lalu berteriak keras. Dia
dapati tiga puluh paku baja murni yang sebelumnya telah lenyap dari kepala dan
tubuhnya kini muncul dan ada lagi.
Teriakan
sang murid membuat Datuk Sipatoka mendatangi. Orang tua ini tertegun begitu
melihat apa yang terjadi dengan si pemuda.
“Sandaka,
seperti apa yang sudah aku katakan padamu, seharusnya pagi ini kau boleh
meninggalkan goa. Tapi dengan adanya kejadian ini…"
"Datuk,
bagaimana hal ini bisa terjadi. Bagaimana paku-paku jahanam ini muncul lagi dan
menancap di kepala, muka serta tubuhku? Apakah ini pekerjaan jahat roh Datuk
Bululawang yang dulu menancapkan paku-paku celaka ini?"
Datuk
Sipatoka alias Datuk Batu Pualam merenung sejenak lalu gelengkan kepala.
Mulutnya berucap perlahan.
"Ini
bukan pekerjaan roh Datuk Bululawang. Aku lebih menduga ini adalah perbuatan
roh Ratu Ular atau Dewi Ular atau kedua-duanya. Sandaka, ikuti aku!"
Sandaka
ikuti gurunya keluar dari goa lalu turun ke dasar jurang. Mereka pergi ke
bagian kawah di mana dulu atas tekanan Si Raja Penidur Ratu Ular dan Dewi Ular
tewas melakukan bunuh diri. Dasar kawah diselimuti bau busuk. Dan di situ
mereka hanya menemui satu mayat yang telah sangat rusak. Dari sisa-sisa
pakaiannya jelas bahwa mayat itu adalah mayat Ratu Ular.
"Ini
mayat Ratu Ular! Di mana mayat Dewi Ular?!" Sandaka berkata sambil
memandang berkeliling.
"Muridku,
dugaanku tidak salah. Apa yang terjadi atas dirimu adalah perbuatan Dewi utar.
Perempuan iblis itu tidak mati sungguhan. Dia pasti menggunakan satu ilmu
kesaktian untuk menipu semua orang ketika dia mengikuti gurunya melakukan bunuh
diri dengan membenturkan kepala ke dinding batu jurang."
"Jadi
Dewi Ular saat ini masih hidup?"
Datuk
Sipatoka anggukkan kepala.
"Aku
berlaku lalai. Seharusnya aku sudah duludulu turun ke dasar jurang ini untuk
menyelidiki keadaan." Sang Datuk menarik nafas dalam lalu menyambung
ucapan. "Sandaka, aku terpaksa membatalkan rencana kepergianmu. Aku ingin
kalau kau meninggalkan jurang batu ini keadaanmu bersih tanpa paku. Paling
tidak aku mendapat petunjuk bagaimana cara menyembuhkan dirimu.”
"Mungkin
aku harus pergi ke laut selatan. Mencari gadis berpakaian sutera putih itu.
Meminta agar dia mau menolong diriku sekali lagi dengan sepasang keris
Nagasona.”
Datuk
gelengkan kepala.
"Sampai
kiamat mungkin kau tak akan bisa menemui gadis itu, Kalaupun kau bisa menemuinya,
belum tentu keris sakti Nagasona bisa dipergunakan untuk penyembuhan penyakit
yang sama untuk kedua kalinya…”
"Kalau
begitu biar aku mencari Dewi Ular. Aku akan membunuh perempuan iblis itu. Akan
aku cerai beraikan sekujur tubuhnya!"
"Muridku,
hal yang terbaik adalah memohon dan meminta petunjuk pada Yang Maha
Kuasa."
"Lalu
apa yang harus kita lakukan, Datuk?"
"Mari
kita bersemedi."
Setelah
guru dan murid sama-sama bertapa salama dua puluh satu hari tanpa makan dan
minum hingga tubuh meraka nyaris seperti jerangkong, akhimya sang guru mendapat
petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Petunjuk itu agak aneh, tapi bagaimanapun juga
itulah hasil yang didapat dan harus dilakukan demi kesembuhan sang murid.
"Sandaka,
Yang Maha Kuasa telah memberi petunjuk padaku. Mungkin kau juga sudah merasakan
getarannya di dalam tubuhmu."
"Datuk,
aku memang merasakan sesuatu dalam diriku. Aku mohon Datuk mau menjelaskan apa
petunjuk yang Datuk dapats ekarang juga."
Setelah
menatap wajah muridnya yang malang itu sejurus, Datuk Sipatoka alias Datuk Batu
Pualam memberi tahu bahwa keadaan diri Sandaka Arto Gampito bisa disembuhkan,
puluhan paku dapat dilenyapkan kalau pemuda itu nikah dengan seorang perempuan
berkepandaian tinggi berotak miring! Masih menurut petunjuk, bilamana Manusia
Paku telah melakukan hubungan badan dengan perempuan yang dinikahinya itu
sebanyak 21 kali maka seluruh paku yang menancap di tubuhnya akan rontok dan
musnah.
Lama
Sandaka termenung. "Siapa perempuannya yang mau dinikahi oleh lelaki
seperti diriku ini?" Ucap si pemuda lirih.
Datuk
Sipatoka terdiam sesaat. Hatinya merasa terenyuh mendengar ucapan sang murid.
"Perempuan
gila alias sinting itu petunjuk yang aku dapat. Datangnya dari Yang Di Atas.
Kau tak perlu meragukan…" kata Datuk Sipatoka pula.
Maka pada
suatu hari atas perkenan sang guru Manusia Paku pergi meninggalkan jurang batu
pualam disertai pesan bahwa dia tidak boleh kembali kecuali menemukan dan
membawa perempuan dimaksud. Selain itu dia juga tidak boleh mempergunakan semua
ilmu silat dan ilmu kesaktian yang didapatnya dari sang guru secara sembarangan
terutama sebelum dirinya mengalami kesembuhan dari paku baja putih.
Ternyata
tidak mudah bagi Manusia Paku Sandaka mencari dan mendapatkan perempuan seperti
yang disyaratkan oleh sang guru. Memang dia bisa menemukan perempuan gila di
mana-mana, mulai dari yang muda sampai tua renta. Namun yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi itulah yang sulit dicari.
Setelah
menghabiskan waktu hampir dua tahun mencari dan dalam keadaan putus asa
akhirnya suatu hari dari suami istri pedagang mainan anak di Kotaraja Sandaka
mendengar cerita tentang seorang perempuan muda berwajah cantik, berotak tidak
waras tapi memiliki ilmu silat dan kasaktian tinggi.
Sandaka
melakukan penyelidikan sampai dia mendapatkan kabar yang lebih jelas tentang
keberadaan perempuan muda berotak miring itu. Dari kabar yang disirapnya
diketahui perempuan itu bernama Nyi Retno Mantili tinggal di tempat kediaman
seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede dan
ada dugaan bahwa sang Kiai menjadi pelindung bahkan telah mengambil perempuan
itu menjadi muridnya.
Maka
Manusia Paku Sandaka segera berangkat menuju puncak Gunung Gede. Seperti yang
dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Perjodohan Berdarah"
Manusia Paku sampai di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas ketika sang
Kiai tengah bicara dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung parihal
perjodohan mereka. Karena tidak menemui Nyi Retno Mantili dan tidak punya
urusan dengan segala perjodohan sang pendekar sahabatnya itu diam-diam tanpa
diketahui siapapun Manusia Paku tinggalkan tempat kediaman Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
Mungkin
memang sudah berjodoh bahwa dia akhirnya akan bertemu dengan orang yang dicarinya.
Suatu hari ketika kejadian Nyi Retno Mantili dikeroyok kedua kalinya oleh Tiga
Momok yang hendak membunuh dan mengorek isi tubuhnya, Manusia Paku
menyelamatkan perempuan itu.
Merasa
orang telah menyelamatkan nyawa Nyi Retno Mantili bersikap bersahabat dengan
Manusia Paku dan mau saja diajak ikut untuk menemui Datuk Sipatoka. Dalam
perjalanan berkali-kali Nyi Retno Mantili mengatakan bahwa ayah dari Kemuning,
boneka kayu yang dianggapnya sebagai anak, adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Manusia Paku yang kenal baik dengan Wiro hanya tertawa gelak-gelak mendengar
ucapan Nyi Retno Mantili. Saat itu Manusia Paku Sandaka berkata.
"Aku
tahu, kau memang punya suami. Mustahil kau punya anak tapi anakmu tidak punya
ayah. Suamimu adalah Patih Kerajaan bernama Wira Bumi. Tapi bukankah dia sudah
menemui ajal? Tewas di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu hendak
menyelamatkan bayimu?"
"Kau
sama saja gilanya dengan yang lain-lain!" Kata Nyi Retno Mantili dengan
nada kesal dan wajah cemberut.
"Maksudmu?"
tanya Sandaka sambil usap wajahnya yang penuh ditancapi paku baja putih.
"Aku
tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak kenal siapa itu Wira Bumi! Aku
tidak punya bayi selain Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi! Bukan Patih
Kerajaan!"
"Lalu
siapa?!"
"Pendekar
212 Wiro Sableng."
Manusia
Paku kaget sampai hentikan lari. Dia turunkan Nyi Retno Mantili dari
panggulannya dan bertanya. "Siapa? Kau tadi menyebut siapa?!"
"Apa
kau tuli?!"
"Tidak.
Aku tidak tuli. Tapi coba katakan sekali lagi!" Nyi Retno Mantili runcingkan
bibirnya yang mungil.
"Ayah
Kemuning itu Pendekar 212 Wiro Sableng! Nah dengar sekarang? Ngerti
sekarang?"
Manusia
Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak.
KETIKA
beberapa waktu kemudian Manusia Paku Sandaka sampai di goa batu pualam dengan
membawa Nyi Retno Mantili, pemuda ini mengalami hal yang sungguh tidak terduga.
Di dalam goa dia tidak menemukan Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam sang
guru, tapi yang dijumpainya di situ sesosok jerangkong tengkorak manusia,
tergeletak di lantai goa tersandar ke dinding.
"Jerangkong
siapa?" tanya Nyi Retno Mantili begitu diturunkan dari panggulan bahu
kiri. "Anakku Kemuning bisa sakit ketakutan." Lalu perempuan ini
mendekapkan boneka kayu ke dadanya. Dia memandang berkeliling. Lalu bertanya
lagi. "Mana gurumu? Apa jerangkong lni gurumu?"
"Diam
dulu Nyi Retno.” Kata Manusia Paku dengan suara bergetar. "Jangan banyak
bertanya. Aku… sesuatu terjadi di dalam goa ini, Aku tidak tahu apa ini
jerangkong guru atau siapa… " Kata Manusia Paku pula sambil sepasang
matanya memperhatikan sekujur jerangkong mulai dari kepala sampai ke kaki.
Ketika dia memperhatikan leher dan tangan kiri jerangkong, pemuda ini berteriak
keras. Di leher jerangkong melingkar sebuah kalung dan di lengan kiri ada
gelang hitam. Keduanya terbuat dari akar bahar. Dia sangat mengenali. Kalung
dan gelang itu adalah milik gurunya semasa hidup. Berarti jerangkong yang ada
di hadapannya itu adalah jerangkong Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam.
Manusia
Paku berteriak sekali lagi hingga seantero goa batu bergetar dan Nyi Retno
Mantili sampai terhuyung-huyung, cepat-cepat menutup dua telinganya yang terasa
sakit.
"Guru!
Apa yang terjadi dengan dirimu?!” Teriak Manusia Paku Sandaka sambil jatuhkan
diri dan merabai jerangkong mulai dari tengkorak kepala sampai ke pinggang.
Mulut terisak menahan tangis. "Guru, siapa yang melakukan perbuatan keji
ini?! Siapa yang membunuhmu?!"
Sambil
berteriak Manusia Paku pukulkan tinju kanannya berulang kali ke lantai goa
hingga lantai batu itu pecah-pecah dan melesak.
*******************
5
“MANUSIA
sinting. Mengapa kau menangisi jerangkong yang belum ketahuan gurumu atau
bukan… Nyi Retno Mantili menegur.
"Diam!"
teriak Manusia Paku marah menggeledek hingga Nyi Retno Mantili tersurut mundur.
"Aku pasti sekali ini jenazah gu ruku! Aku mengenali kalung dan gelang
akar bahar yang masih melekat di leher dan lengan kirinya! Jangan kau berani
mengacau jalan pikiranku dengan ucapan macam-macam!"
“Siapa
yang membuat pikiranmu kacau. Pikiranmu justru kacau sendiri! Hik…hik!
Bagaimana kalau jerangkong ini bukan jerangkong gurumu tapi jerangkong orang
lain. Lalu ada lagi seorang lain yang menggantungkan kalung di leher dan
melingkarkan gelang di tangan. Apa tidak kacau?! Kau tidak bisa meyakini ini
jerangkong gurumu atau bukan! Hik…hik!"
"Diam!"
Sandaka kembali menghardik. Sepasang matanya tampak menyala merah dan basah
oleh air mata. "Aku yakin ini adalah jerangkong Datuk Sipatoka!"
"Hik…hik,
aku sudah sering melihat orang menangisi jenazah. Tapi kalau yang menangisi
jerangkong baru sekali ini!"
"Perempuan
sinting! Sekali lagi kau berani bicara ngaco, kupatahkan batang lehermu!"
Teriak Manusia Paku lalu melompat dan mencekik leher Nyi Retno Mantili.
"Hik…hik!
Kalau begini sifat manusia yang mau menikahi diriku lebih baik aku minggat!
Sudah seram mengerikan tak karuan rupa, bau, kasar pula! Kemuning, mari kita
tinggalkan tempat ini! Mari kita cari ayahmu!"
Habis
berkata begitu Nyi Retno Mantili tendangkan kaki kanannya ke perut Manusia
Paku. Kelihatannya tendangan asal-asalan saja tapi sebenarnya mengandung tenaga
dalam tinggi pemberian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Bukkk!"
Tubuh
tinggi besar Manusia Paku Sandaka terpental, punggung terbanting ke dinding.
Perutnya walau tidak cidera tapi sakit bukan kepalang seperti mau pecah. Aneh
dia tidak unjukkan tampang marah. Seperti sadar mendengar ucapan orang, Sandaka
jatuh berlutut di lantai goa. Ketika dia melihat Nyi Retno Mantili memutar
tubuh hendak melangkah keluar goa, dengan suara sayu pemuda ini berkata.
"Aku
mohon, jangan pergi…"
Nyi Retno
Mantili hentikan langkah. Dia mengusap kepala boneka seraya berkata.
"Kemuning, ada lelaki cengeng meminta kita jangan pergi. Bagaimana
menurutmu? Apa kita tinggalkan saja dia?"
"Nyi
Retno, kau harapanku satu-satunya untuk mendapatkan kesembuhan. Aku mohon
jangan pergi…"
"Hemmm…
Untung anakku menggelengkan kepala tanda dia tidak mau pergi. Aku mengikuti apa
katanya. Baiklah, aku tidak mau pergi. Asal kau tidak kasar lagi padaku…”
"Nyi
Retno, aku berjanji tidak akan kasar lagi padamu. Dan aku berterima kasih kau
tidak meninggalkan diriku. Aku akan memeriksa jenazah guruku sekali lagi."
"Buat
apa periksa lagi. Dia sudah menemui ajal. Mungkin sudah lebih dari setahun lalu
dia menghembuskan nafas jadi mayat…"
"Mungkin
lebih dari itu. Mungkin dua tahun lalu. Tak lama setelah aku meninggalkannya,
pergi mencarimu. Aku hanya ingin mengetahui apa yang menyebabkan kematian
guru."
"Apa
kau tidak melihat ada tanda berupa bintik kebiru-biruan di pertengahan
keningnya?" Ucap Nyi Retno Mantili pula.
Manus!a
Paku Sandaka terkejut. Dia perhatikan kening tengkorak.
"Aku
tidak melihat bintik biru yang kau katakan itu." Berkata Sandaka.
"Coba
kau bersihkan tengkorak di bagian kening."
Sandaka
memperhatikan. Bagian kening tengkorak memang kotor, diselimuti lumut tipis dan
debu yang banyak beterbangan di musim kering
seperti
itu. Perlahan-lahan Sandaka usap-usap kening tengkorak. Begitu debu dan lumut
tipis pupus dia memang menemukan satu bintik biru bahkan bukan cuma bintik tapi
membentuk lobang kecil seujung jari kelingking. Sandaka berpaling kagum pada
Nyi Retno.
"Matamu
tajam karena kau memiliki kesaktian yang orang lain tidak memiliki. Yang Kuasa
memang telah memberi petunjuk bahwa kaulah satu-satunya orang yang bisa menjadi
penyembuh keadaan diriku…"
Tiba-tiba
dari lobang itu meneuat keluar kepala seekor ular hitam belang coklat bermata
merah. Begitu keluar dari lobang tengkorak binatang ini berubah besar dan
dengan gerakan kilat meliuk menyambar ke arah kepala Manusia Paku Sandaka.
"Awas!"
teriak Nyi Retno Mantili memperingatkan.
Walau
tidak melihat tapi Sandaka bisa mendengar suara mendesis. Dia tahu ada bahaya
besar mengancam. Dengan cepat dia bergerak mundur sambil palingkan kepala. Saat
itulah dia melihat ular hitam besar belang coklat.
"Mahluk
jahanam! Pasti kau yang membunuh guruku!"
"Settt!"
Mulut
ular hitam belang coklat yang memiliki gigi-gigi runcing berbisa mematuk keras
tepat di pertengahan kening Manusia Paku.
"Plaaakk!"
ManusiaPaku
Sandaka terlempar, jatuh terduduk di lantai goa. Kepala ular terpental, darah
mengucur dari mulutnya yang hancur. Apa yang terjadi? Ketika patukan maut
mendarat di kening Manusia Paku,saat itu juga kening pemuda itu berubah menjadi
lapisan batu pualam putih keabu-abuan, keras atos luar biasa.
Ilmu yang
selama ini dituntut dari Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam keluar dengan
sendirinya, melindungi si pemuda dari ancaman maut! Selagi ular besar
terhuyung-huyung keluarkan desis kesakitan Manusia Paku gerakkan tangan kiri.
"Kraakkk!"
Kepala
ular hancur dalam remasan tangan kiri Sandaka. Bangkai ular kemudian dilempar
ke luar goa, masuk ke dalam jurang. Sebelum menyentuh dasar jurang, selagi
melayang di udara bangkai itu tiba-tiba membentuk bola api lalu meledak
bertaburan.
"Ular
jejadian!" Ucap Nyi Retno Mantili. Perempuan muda ini usap kepala boneka
kayu. "Kemuning tempat ini sangat berbahaya bagi diri klta. Manusia paku
bruntalan! Aku ingin kau membawaku keluar dari sini sekarang juga! Lupakan
segala macam pernikahan!"
Pada saat
itu tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan.
"Sandaka!
Ternyata kau masih tetap perkasa. Malah lebih perkasa dari dua tahun silam!
Hanya sayang kau melakukan hal yang aku tidak suka! Kau datang membawa seorang
calon istri, perempuan sinting gila! Jika kau mau membunuh perempuan itu di
hadapanku, kuampuni selembar nyawamu! Dan kita berdua akan hidup berdampingan
kembali!"
Nyi
RetnoMantili tersentak kaget. Dia balas tertawa. Suara tawanya melengking
panjang dan dalam sampai ke dasar jurang.
"Kemuning
ada mahluk betina jejadian ingin orang membunuh ibumu! Sungguh aku ingin
melihat tampangnya. Kalau bicaranya ngacok, tampangnya pasti jelek tidak
karuan! Hik…hik…hik!"
Manusia
Paku sendiri, yang mengenali suara itu terkejut besar. Dia memandang
berkeliling. Lari ke mulut goa tapi tidak melihat siapa-siapa.
"Perempuan
yang barusan bicara! Aku tahu kau siapa! Aku mengenali suaramu!" Sebagai
jawaban kembali terdengar suara tertawa panjang.
"Sandaka!
Aku benar-benar merasa bahagia. Kau masih mengenali suaraku. Itu tak lain satu
pertanda bahwa kau masih mencintai diriku!"
"Dewi
Ular! Perlihatkan dirimu!" teriak Sandaka. Rahang menggembung, mata
menyala.
Tiba-tiba
dari dasar jurang batu mencuat keluar satu cahaya hitam dan wuss! Cahaya ini
melesat di depan mulut goa, membentuk ujud mahluk yang membuat Nyi Retno
Mantili terpekik dan cepat-cepat memeluk erat boneka kayu dalam gendongannya.
*******************
6
DI DEPAN
mulut goa berdiri sosok perempuan berpakaian hijau panjang. Rambut tergerai
awut-awutan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah berbentuk ular berwarna hijau
belang hitam. Wajahnya yang sebenarnya cantik terlihat mengerikan karena bagian
kening rengkah, hidung dan mata kiri melesak. Di atas kepala ada sebuah mahkota
kecil terbuat dari emas berupa kepala ular dalam keadaan penyok setengah hancur
dan melesak ke dalam batok kepala. Tangan kanan yang tertutup lengan pakaian
buntung sebatas pergelangan. Buntungan ini disambung tangan besi dengan lima
jari membentuk kepala ular.
Begitu
melihat siapa yang berdiri di hadapannya untuk sesaat Sandaka jadi tertegun.
Betul apa yang dikatakan mendiang gurunya dua tahun silam. Dewi Ular masih
hidup! Sandaka membentak.
"Dewi
Ular! Akui terus terang! Kau telah membunuh guruku Datuk Sipatoka! Dan kau juga
yang mencelakai diriku dengan paku-paku keparat ini!"
Perempuan
setengah manusia setengah ular di depan goa menyeringai lalu dongakkan kepala.
Setelah menghambur tawa panjang dia menjawab bentakan Manusia Paku Sandaka.
"Aku
membunuh siapa saja yang menyatakan diri sebagai musuhku. Aku mencelakakan
siapa saja yang mencelakakan diriku! Lihat! Buka matamu lebat-lebar! Lihat! Apa
yang terjadi dengan diriku! Ini semua garagara perbuatan terkutukmu bersama
teman-temanmu tokoh rimba persilatan! Aku memang telah membunuh gurumu tua
bangka busuk bernama Datuk Sipatoka itu! Kalau aku sudah membunuh sang guru,
apa salahnya saat ini aku juga membunuh muridnya. Sekaligus bersama gendak
perempuan sinting yang hendak kau nikahi!"
"Perempuan
iblis! Dosamu selangit tembus sedalam lautan! Kau tak layak hidup lebih lama di
muka bumi ini!"
Dewi Ular
tertawa tinggi.
"Aku
mau lihat kau mau berbuat apa!"
Habis
berkata begitu sosok Dewi Ular meluncur ke atas. Dalam keadaan mengambang di
depan mulut goa tiba-tiba laksana kilat, wuutt! Ekornya menyambar ke depan.
Sambaran
ekor yang sanggup menghancurkan batu sebesar rumah ini melesat ke depan. Yang
diserang bukannya Manusia Paku Sandaka tapi justru Nyi Retno Mantili!
"Nyi
Retno! Awas!" teriak Sandaka melompat ke depan. Tangan kiri menarik Nyi
Retno Mantili ke dalam goa, tangan kanan menangkis serangan ekor ular.
Sesaat
lagi ekor ular siap menggebuk hancur tangan kanan Sandaka, tiba-tiba tangan itu
mulai dari ujung jari sampai sebatas bahu berubah menjadi putih kelabu.
"Plaakk!
Blaaarrr!"
Lapisan
batu pualam sakti yang menyelubungi tangan Manusia Paku Sandaka hancur
berkepingkeping. Pemuda ini terjengkang di lantai goa, nyaris menghimpit tubuh
Nyi Retno Mantili yang sudah lebih dulu tergeletak di lantai goa setelah
ditarik Sandaka.
Dewi Ular
menjerit keras. Bukan saja karena marah melihat Sandaka tidak mengalami cidera
tapi juga ketika melihat ekornya yang berbentuk ular luka besar nyaris buntung.
"Manusia
jahanam! Aku mau Iihat apa Ilmu Batu Pualammu sanggup menghadapi Ilmu Tujuh Api
Siluman!" Habis berteriak Dewi Ular gembungkan mulut lalu menghembus. Dari
sepasang mata, dua lubang hidung, mulut dan dua liang telinga menyembur keluar
tujuh gelombang api, membuntal membentuk kepala mahluk siluman mengerikan.
Nyi Retno
Mantili menjerit. Dalam ketakutan dan marahnya perempuan ini remas pinggang
boneka kayu. Dua larik sinar putih mencuat dahsyat dari dua mata boneka kayu,
melabrak ke arah dua siluman api. Ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala! Dua siluman
api menggerung keras, hancur berkeping-keping. Dua siluman api lainnya segera
menyerbu Nyi Retno tapi dihantam dengan dua larik sinar hijau yang menyembur
keluar dari sepasang matanya.
Tiga
siluman api yang masih ada menggembor keras. Satu menyerang ke arah Nyi Retno
Mantili, dua lainnya menerjang Sandaka. Saat itu tiga mahluk siluman ini telah
merubah diri menjadi buntalan bola api yang serta merta memenuhi goa dan siap
membakar kedua orang itu. Sandaka cepat terapkan Ilmu Batu Pualam pemberian
Datuk Sipatoka. Saat itu juga seluruh tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam.
Dia bisa
bertahan walau mungkin tidak lama. Tapibagaimana dengan Nyi Retno?
"Nyi
Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan membantumu." teriak Sandaka.
"Tidak,
apapun yang terjadi aku tetap di sini bersamamu!" jawab Nyi Retno Mantili
yang membuat Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia memeluk
perempuan itu bersama boneka kayunya.
"Kalian
berdua rupanya sudah saling mencinta!" Dewi Ular berseru. Dia mendengar
apa yang tadi dikatakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan berterima
kasih padaku karena memberi kesempatan bagi kalian untuk mati bersama!"
Sandaka
berbisik pada Nyi Retno.
"Kita
harus dapat membunuh perempuan iblis itu! Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku
harus memancing untuk mengetahui di mana dia berada! Aku perlu bonekamu!"
"Untuk
apa?" tanya Nyi Retno.
"Lihat
saja nanti."
"Akan
kuserahkan… Tapi aku mau tanya satu hal dulu. Hik…hik…hik. Kau pasti marah.”
"
Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!"
"Aku
tahu, tapi ini urusan penting!"
"Cepat
katakan apa yang mau kau tanya?!"
"Gurumu
sudah jadi jerangkong alias sudah mati. Apa kau masih hendak menikahi
diriku?!"
"Itu
urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus bisa keluar dari goa ini dalam
keadaan selamat!" Jawab Sandaka. "Boneka kayu…"
Nyi Retno
serahkan boneka kayu pada Sandaka seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan
boneka tapi anakku Kemuning. Satu saja rambutnya kau buat rontok aku hajar kau
sampai setengah mati!"
Sandaka
kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang matanya dan saat itu juga dua mata
berubah warna menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang pinggang boneka
kayu erat-erat.
"Kunti
Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama asli Dewi Ular. "Kalau kau
menghentikan serangan api siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa
ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona padamu. Dengan senjata sakti
itu kau bisa menyembuhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah serta tubuh
ularmu!"
"Manusia
tolol! Kau kira kau bisa menipuku?! Keris Nagasona ada di pantai selatan!"
"Setahun
lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya Ratu Laut Selatan untuk memegang sepasang
keris mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!"
Dewi Ular
tertawa panjang.
"Kalau
keris sakti itu ada padamu mengapa tubuhmu masih ditancapi paku? Mengapa kau
tidak mampu menyembuhkan diri sendiri?!"
"Keris
Nagasona tidak bisa menyembuhkan penyakit yang sama pada diri seseorang sampai
dua kali."
"Aku
tetap tidak percaya padamu! Kau punya dendam kesumat besar terhadapku! Pasti
kau mau menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api bersama gendakmu itu, aku
akan tetap mendapatkan keris Nagasona. "DewiUlar meniup ke depan. Kobaran
api menggemuruh, bergerak mendekati Sandaka dan Nyi Retno Mantili.
"Perempuan
setan! Aku ingin membunuhnya sekarang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya
berusaha mengambil boneka kayu dari tangan Sandaka.
"Jangan
berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah aku katakan!" kata Sandaka penuh
kawatir Nyi Retno akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka tidak sanggup
selamatkan diri dari tambusan api siluman.
"Kau
keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris Nagasona tidak punya
kemampuan melawan api. Keris ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan
untuk menyembuhkan diri. Apa kau tidak ingin hidup sampai seratus tahun lagi
bahkan seribu tahun lagi dalam keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan
tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular seperti sekarang ini?!"
Dewi Ular
terdiam sesaat. Lalu dia berteriak. "Kalau begitu lemparkan sepasang keris
sakti itu ke arahku!"
"Aku
tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas berteriak Sandaka. Tiba-tiba
gelombang api siluman mereda. Namun Sandaka masih belum melihat perempuan itu.
"Kunti!
Aku belum melihatmu!"
"Aku
di sini!"
Gelombang
api menyurut turun sampai sebatas dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular
yang disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas. Lalu dia melihat
kepala dan sebagian tubuh perempuan itu.
"Kunti!
Aku akan melemparkan keris Nagasona ke arahmu!" teriak Sandaka.
"Lakukan
cepat!"
"Kau
berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno Mantili keluar dari goa ini dalam
keadaan selamat!" "Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat
lemparkan keris Nagasona!" Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya.
Yang ada di tangan itu bukansepasang keris Nagasona
tetapi
boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu cahaya hijau yang ada dalam sepasang
mata si pemuda memancar menyorot terang.
"Hai!
Mana kerisnya?! teriak Dewi Ular sambil mengapungkan diri ke atas, Saat itulah
dia melihat sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya hijau!
"Manusia
jahanam kurang ajar! Kau menipuku!"
Dewi Ular
gerakkan tangan kanannya. Manusia Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka
memencet pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar
dari sepasang mata boneka. Bersamaan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur
pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak tertutup pemandangannya oleh
nyala kobaran api baru menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar maut
sudah berada di depan matanya!
Dewi Ular
hanya mampu berteriak marah, masih berusaha menyingkir selamatkan diri namun
terlambat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala, dada, perut dan
sepasang kaki. Tidak menunggu lebih lama Sandaka segera melesat keluar goa
sambil mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas jurang batu pualam.
Namun hawa panas api siluman telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi
sebagian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Pemuda ini tidak mampu mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya
melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno Mantili maka daya jatuh ke
bawah jadi dua kali lebih cepat.
Sandaka
berusaha melentingkan tubuh ke dinding jurang sebelah kanan. Namun gerakannya
tidak leluasa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus lapisan kaku batu
pualam. Gerakan melenting yang dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke
arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan dinding jurang!
"Braakk!"
Punggung
dan batu yang menonjol beradu keras. Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang
hancur luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili terlepas.
"Nyi
Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menyelamatkanmu!" Sandaka berseru
lalu pemuda ini jatuh pingsan.Tubuhnya melayang ke dasar jurang.
Nyi Retno
Mantili menjerit keras. Dia bukan berusaha menyelamatkan diri tapi malah
melesat ke bawah menyusul jatuhnya Sandaka. Dia berusaha menggapai tubuh pemuda
itu, namun jarak mereka terlalu jauh.
"Nyi
Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan dirimu!" Teriak Sandaka.
"Jika
aku selamat sedangkan kau tidak buat apa?! Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati
bersamamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi Retno Mantili
yang selama ini diketahui memiliki otak tidak waras tapi saat itu menyatakan
ingin mati bersama dengan Manusia Paku Sandaka!
*******************
7
HANYA
beberapa kejapan mata tubuh Sandaka akan terhempas di dasar jurang yang
dipenuhi batu pualam keras dan runcing, hanya beberapa saat saja kepala Nyi
Retno Mantili akan membentur dinding jurang, tiba-tiba di atas jurang ada
teriakan teriakan keras. Lalu tampak dua orang berkelebat terjun ke dalam
jurang. Gerakan mereka ringan dan sebat sekali. Laksana dua ekor burung raksasa
keduanya melayang menuju dasar jurang batu pualam. Yang satu menyambar ke arah
tubuh Manusia Paku Sandaka, satunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili.
Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua orang itu berhasil menangkap
tubuh-tubuh yang melayang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di sela-sela
bebatuan di dasar jurang.
“Syukur…syukur
kita bisa menyelamatkan mereka. Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku
merasa sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku terasa dingin. Kukira
bulu ketiakku rontok semua. Ternyata masih utuh. Hik…hik…hik."
Yang
bicara ini adalah seorang perempuan gemuk gembrot mengenakan pakaian berupa
celana monyet warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat tebal
hitam tersembul keluar. Dia yang barusan menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini
berwajah aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis kuning. Telinga
dicanteli anting-anting besar dari perak. Rambut seperti lidi, tegak mencuat di
atas kepala. Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah.
Orang
kedua yang menolong Nyi Retno Mantili adalah pemuda gondrong berpakaian dan
berikat kepala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot dia senyum-senyum.
Sesekali dia usap kepala Nyi Retno Mantili.
"Aku
tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkanganku terasa dingin. Kantong
menyanku seperti hilang! Waktu kuraba untung masih ada!"
Perempuan
gemuk dan pemuda gondrong lalu tertawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam
keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan dan tertawa gelak-gelak?
Yang gondrong
bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah
Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu bersama komplotannya pernah hendak
membunuh Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan ginjalnya. Bagaimana
Wiro dan Denok Tuba Biru bisa berada di tempat itu dan sama-sama memberi
pertolongan?
Seperti
diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro Sableng "Janda Pulau
Cingkuk") Pendekar 212 menerima penjelasan dari Bujang Gila Tapak Sakti
bahwa Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka ke tempat kediaman
gurunya dan ada maksud kalau Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk
melenyapkan puluhan paku yang menancap di kepala, wajah dan tubuhnya.
Karena
Wiro memang sedang mencari Nyi Retno Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken
Permata yang ada di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh di Danau Maninjau,
dan dia tahu pula di mana letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah
Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cempaka ke dasar laut selatan, murid
Sinto Gendeng segera berangkat menuju jurang batu pualam tempat kediaman guru
Sandaka.
Dalam
perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro tidak sengaja bertemu dengan Denok
Tuba Biru yang juga tengah menuju ke tempat yang sama guna menyambangi Sandaka
yang pernah mengampuni jiwanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh Nyi
Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul "Perjodohan
Berdarah") Wiro sendiri sebelumnya juga telah pernah bertemu dengan Denok
Tuba Siru sewaktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya pertama kali
mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu Nenek Kembaran Ketiga Eyang Sepuh
Kembar Tilu ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca "Si Cantik
Gila Dari Gunung Gede")
Mula-mula
Wiro merasa curiga melihat si gembrot berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira
perempuan aneh berdada besar dan berperut gembrot serta berpaha gempal ini
telah memata-matai perjalanannya dan punya niat jahat.
"Gembrot!
Kalau kau punya niat jahat macammacam terhadapku, mukamu yang tembam akan
kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ketiakmu aku cabuti sampai
botak!"
Mendengar
ancaman Wiro, Denok Tuba Biru bersurut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan.
"Pendekar,
kau mau menggebuki diriku sampai bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan
cabuti bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan mencium! Kalau kau
mau boleh saja!" Lalu si gembrot ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu
tebal hitam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gembrot
dari dada sampai ke bawah perut bergoyang-goyang.
Wiro
akhirnya bersedia melakukan perjalanan bersama perempuan itu. Ternyata kedua
orang ini cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu dan jorok-jorok!
Ketika
Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang batu pualam, tiba-tiba dari dalam
jurang mereka mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali itu adalah
suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada dua tubuh melayang jatuh ke dasar
jurang, tidak tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera terjun ke dalam
jurang.
Dengan
ilmu kesaktian yang mereka miliki secara luar biasa keduanya berhasil
menyelamatkan Nyi Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retna Mantili walau masih
pingsan tampaknya tidak mengalami cidera. Lain halnya dengan Sandaka. Bagian
tubuh sebelah belakang Manusia Paku ini tampak memar kebirubiruan. Pemuda ini
beruntung melindungi dirinya dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam. Sehingga ketika
punggungnya menghantam tonjolan batu runcing di dinding jurang lapisan batu
pualam hancur berkeping-keping namun tubuhnya masih bisa terselamatkan. Walau
demikian setelah siuman ternyata pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri.
Dia hanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan. Wiro dan Denok Tuba Biru
berusaha menolong dengan mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun tidak
berhasil.
"
Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu Pualam seharusnya aku sudah mati
saat ini. Mati akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka
keluarkan ucapan menyesali nasib.
"Sobatku
Sandaka, jangan berputus asa, Kau hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat
benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan segera sembuh." Wiro
menghibur.
"Aku
berterima kasih kalian telah datang menolong. Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku
kawatir dia telah tiada. Aku tidak mampu menyelamatkannya. Kalaupun aku hidup
tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka ini tidak akan pernah lenyap dari
tubuhku."
"Kau
tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam keadaan selamat. Tapi masih
pingsan." Menerangkan Denok Tuba Biru.
Sementara
perempuan gemuk ini berusaha menyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan
apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perempuan iblis Dewi Ular itu
benar-benar telah menemui ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam
ujud mahluk jahat Lainnya.”
Tak
selang berapa lama terdengar suara tarikan nafas panjang. Lalu disusul jeritan
keras. Itulah jeritan Nyi Retno Mantili yang baru sadar dari pingsan.
"Sandaka…”
Ucapan itu pertama kali keluar dari mulut Nyi Retno Mantili. Lalu perempuan ini
bergerak duduk. "Kemuning…" Nyi Retno menyebut nama. anaknya si
boneka kayu lalu memandang berkeliling. Belum sempat melihat sosok Sandaka yang
terbujur dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini kembali menjerit.
"Kemuning! Ayahmu ada di sini!"
Denok
Tuba Biru mengernyit heran mendengar ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak
mengatakan sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja.
"Kemuning!
Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!"
Nyi Retno
Mantili keluarkan boneka kayu dari balik dada pakaiannya lalu kepala boneka itu
diusapusapkannya ke pipi Pendekar 212.
"Anak
manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau tidak menangis. Bagus…bagus. Aku
memang tidak suka punya anak cengeng. Hik…hik…hik."
Mau tak
mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno
Mantill itu. Wiro belai belakang kepala Nyi Retno.
"Nyi
Retno aku senang bisa menemuimu walau dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur
kau selamat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi… "
"Sandaka!"
Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana dia?!"
"Nyi
Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu telah menyelamatkan diriku. Telah
menyelamatkan kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku bersyukur pada Yang
Maha Kuasa. Dia masih mengasihi diriku. Walau cidera berat tapi aku masih
bernafas… "
Nyi Retno
Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro lalu dia jatuhkan diri di samping
Manusia Paku Sandaka.
"Aku
bersumpah akan membunuh perempuan ular itu! Aku bersumpah!"
"Dewi
Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang membunuhnya waktu di goa. Apa kau
tidak ingat?"
"Ya
aku ingat…" Nyi Retno anggukkan kepala. Tiba-tiba sepasang mata Nyi Retno
Mantili terpentang lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jeritan keras.
Tangan kiri menunjuk ke arah dinding jurang sebelah kiri.
"Ada
apa Nyi Retno? "tanyaWiro.
Denok
Tuba Biru memandang berkeliling. Dia merasa kehadiran sesuatu tapi tidak
melihat apa-apa.
"Lihat!
Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di sana!"Teriak Nyi Retno Mantili.
Wiro
terapkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke
arah yang ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gendeng tercekat.
Tengkuknya terasa dingin.
"Gila!
Bagaimana mungkin!"
*******************
8
YANG
disaksikan Pendekar 212 memang luar biasa. Mengapung di depan dinding jurang
sebelah timur. Tampak sosok Dewi Ular dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali.
Tubuh bugil itu mengeluarkan cahaya kebiruan menggidikan. Wajahnya yang cantik
pucat pasi seperti mayat Dan sepasang mata, dua liang telinga dan dua lobang
hidung serta dari mulut, menggeliat-geliat ular merah berbelang hitam. Binatang
yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta lobang duburnya!
"Mati….
Mati! Siapapun yang ada di tempat ini harus mati! Harus ikut bersamaku ke alam
arwah! Matiii! Hik…hik…hik!”
Sosok
bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan yang lain-lainnya yang berada di
dasar jurang. Dari sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur keluar
larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang batu pualam serta merta tenggelam
dalam cahaya merah.
Dengan
gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat, mengambil boneka kayu dari tangan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka maka dua cahaya
putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke
arah datangnya serangan Dewi Ular. Wiro tidak tinggal diam.
Tangan
kanan yang sudah berubah menjadi putih perak dihantamkan ke depan. Selarik
gelombang cahaya putih luar biasa panas menderu, mendorong Pukulan Sepasang
Cahaya Batu Kumala yang tadi dilepaskan Nyi Retno Mantili. Itulah Pukulan Sakti
Sinar Matahari!
"Bummm!
Bummmm!"
Dua
letusan hebat menggelegar di dalam jurang. Hawa panas menghampar dahsyat.
Beberapa bagian dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di dasar jurang
terbelah. Air kawah menggelegat dan muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang
terdengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan srigala gurun pasir!
Denok
Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap tubuh Sandaka agar tidak terpental
sementara Nyi Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan wajah pucat
pasi. Dada mendenyut sakit. Wiro sendiri jatuh berlutut sambil dua tangan
dipentangkan ke depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang hebat.
Cahaya
menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan Sepasang Batu Kumala lenyap bersamaan
dengan musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jejadian. Sosok sepuluh
ekor ular jejadian dan tubuh Dewi Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam jurang kini
menghampar bau kemenyan yang membuat semua orang jadi bergidik mengkirik.
Sandaka
berbisik pada Denok Tuba Biru.
"Apa
yang terjadi?”
"Aku
tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi Retno menjerit lalu ada cahaya merah.
Wiro dan Nyi Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara jeritan perempuan
seperti loloogan srigala. Sekarang ada bau kemenyan."
"Dewi
Ular…” ucap Sandaka. "Kali ini dia akan tenggelam di alam arwah untuk
selama-lamanya. Dia tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi. Aku tahu
betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan bau kemenyan menjadi akhir
riwayatnya… Rohnya akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib dalam ujud
seekor srigala…"
"Aneh,
mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya Denok Tuba Biru.
"Ayah
Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya seekor ular. Keduanya mahluk jejadian
yang sudah lama mendekam di alam gaib.” Menerangkan Sandaka.
"Ternyata
ada mahluk yang lebih kapiran dari diriku… Hik…hik!" Si gembrot bermuka
biru tertawa cekikikan.
Wiro
menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil berkata. "Kita harus segera
meninggalkan jurang ini. Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman.”
"Kau
benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan aku di tempat ini.” "Aku
tidakakan meninggalkanmu. Kalau aku pergi kau juga harus ikut!" kata Nyi
Retno Mantili pula.
"Nyi
Retno, kau danWiro saja yang pergi. Aku akan menunggui Sandaka di tempat ini
sampai dia sembuh dari kelumpuhan." Berkata DenokTuba Biru.
"Nyi
Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih kalian mau memperhatikan
diriku.Tapi…"
"Aku
akan menggendongmu asal kau mau berjanji." Nyi Retno Mantili memotong
ucapan Sandaka.
Sandaka
tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?"
"Kalau
kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah sembuh, kau tidak akan
menikahiku!"
Sandaka
terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa menatap. Wiro garuk-garuk kepala.
"Selama
ini aku selalu menginginkan kesembuhan dari sengsara paku-paku celaka ini.
Tekadku untuk hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun takdir agaknya
menentukan lain. Nyi Retno, kau satu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau
memang tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah. Aku memang sudah
menduga kalau tidak akan pernah bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk
selama-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan diriku. Jika umur sama
panjang, jika Yang Maha Kuasa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan
bertemu lagi."
Denok
Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata.
"Aku
akan tetap di sini. Aku akan berusaha mengobati sebisaku sampai cidera di
punggung Sandaka sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah bersama Nyi Retno
Mantili. Bukankah kau punya niat hendak membawanya menemui anaknya yang bernama
Ken Permata itu demi kesembuhan sakit ingatannya?"
"Aku
bingung…" kata Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku juga menginginkan
kesembuhan sahabatku Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama
bertahun-tahun…" Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi
Retno…"
"Aku
tahu apa yang akan kau ucapkan.” Menukas Nyi Retno Mantili. "Bagaimana
mungkin aku bisa menikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku
Kemuning."
"Nyi
Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku… "
"Jadi
kau menolak mengakui sebagai ayah Kemuning?!" Suara Nyi Retno Mantili
setengah membentak."Lalu selama ini siapa kau sebenarnya?!"
Pendekar
212 garuk kepala, tersenyum, menggeleng beberapa kali lalu berkata.
"Baiklah,
aku mau saja dan tidak menolak kau sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah
kau tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh kau mau diajaknya ke
tempat ini. Setelah sampai di sini kau menolak. Lihat keadaan Sandaka, apa kau
tidak kasihan?"
"Aku
hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah bilang mau nikah dengan dia!"
Untuk
beberapa lama suasana di dasar jurang batu pualam itu menjadi sunyi karena
tidak ada satu orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka sangat sedih. Lalu
terdengar suara Nyi Retno Mantili memecah kesunyian.
"Selama
ini tidak ada orang yang kasihan pada diriku. sudah aku katakan. Aku akan
menggendong Sandaka keluar dari dalam jurang ini.”
"Nyi
Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Apapun yang terjadi. Kau
pergilah bersama Wiro. Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian
selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang menungguiku di tempat ini."
"Aku
merasa tidak ada urusan dengan ayah Kemuning. Kalau kau tidak mau pergi, aku
juga tidak akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili lalu
dudukkan diri di atas satu gundukan batu.
Semua
orang jadi bingung mendengar ucapan dan melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun
karena menyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa dan pikiran mereka
hanya diam saja. Denok Tuba Biru kemudian mendekati Wiro lalu berbisik.
"Kau
pernah menceritakan riwayat kesembuhan Sandaka. Bagaimana kalau aku yang
dinikahinya? Begitu saja repot!"
Wiro
menatap si gembrot berwajah biru itu beberapa ketika. Dia hendak tertawa
terbahak-bahak tapi batalkan niat dan balas berbisik.
"Kau
tahu, perempuan yang harus dinikahi Sandaka adalah seerang perempuan sakti
berkepandaian tinggi. …"
"Lalu
apa aku bukan perempuan? Banci? Hik…hik! Apa aku tidak punya kesaktian dan
kepandaian tinggi?" tanya Denok Tuba Biru sambi! tusuk-tusuk rusuk kiri
Wiro dengan ujung jari tangan kanan hingga murid Sinto Gendeng menggeliat
kegelian.
"Bukan
cuma itu. Perempuannya juga harus yang otaknya tidak waras alias gila alias
sinting!"
"Hemm…
Aku memang belum gila dan sinting beneran. Tapi gejala-gejalanya sudah ada, iya
kan?! Aku punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak…
Wiro tertawa.
"Gembrot! Kau bukannya sinting tapi tolol! Ini bukan urusan bulu
ketiak!"
Denok
Tuba Biru tertawa ha ha hi hi.
"Kau
suka pada pemuda itu?"Wiro bertanya.
"Terserah
kau mau menilai bagaimana. Tapi aku menginginkan dia bisa sembuh dan lepas dari
azab tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan dia denganmu pun aku
maul Hik…hik!"
Wiro
menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut
itu kini yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan.
"Gembrot
muka biru, aku tidak tahu mau menjawab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka,
Kalau dia mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan edan ini bisa
dibereskan. Tapi yang penting apakah dia bisa mendapatkan kesembuhan dari
pernikahan denganmu? Bagaimana kalau penyakitnya malah ketambahan?!"
Denok
Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini menjadi bimbang setelah mendengar
kata-kata terakhir Pendekar212.
"Sudah,
aku lebih baik mendekam di dasar jurang ini saja menungguinya sambil berusaha
mengobati." Kata si gembrot berbulu ketiak lebat.
"Aku
punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama menggotong Sandaka keluar dari dalam
jurang. Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang baik untuknya. Dalam
perjalanan ke sini aku melihat ada satu gubuk tua tak jauh dari jurang. Kita
bisa membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi aku akan berusaha mencari
seseorang untuk mengobatinya…"
"Aku
menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama
kita?"
"Kalau
Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan dia tidak akan mengikuti. Biar aku
yang bicara padanya."
Setelah
dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau diajak meninggalkan tempat itu. Malah
dengan kesaktian yang dimilikinya perempuan ini membantu menggotong tubuh
Sandaka di bagian pinggang. Denok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala,
Wiro di bagian kaki. Sekali ketiganya mengerahkan tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh maka sosok lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke
atas jurang.
Tak
berapa jauh dari jurang batu pualam memang terdapat sebuah gubuk tua yang biasa
dipakai oleh para penebang kayu di hutan untuk beristirahat. Sandaka di bawa ke
gubuk ini. Setelah berbaring beberapa saat Sandaka berkata.
"Terima
kasih pada kalian semua. Aku kini berada di tempat yang aman dan baik. Wiro dan
Nyi Mantili, sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi. Pergilah ke
danau Maninjau untuk menemui Ken Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di
sini. Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh…"
"Gila!
Yang sakit memangnya aku atau kau?!" ucap Nyi Retno Mantili dengan mata
melotot. Sandaka memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik.
"Kau
harus menotok Nyi Retno. Baru bisa membawanya pergi dari sini."
"Danau
Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang. Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat
untuk membawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk kepala. Wiro ingat
pada batu sakti milik Ratu Laut Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat
batu itu." Kalau saja Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru masih ada
padaku…."
"Walau
tidak dengan batu itu kau pasti punya cara lain untuk pergi ke sana. Aku dengar
kau punya ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma…”
Wiro
merenung sejenak lalu kembangkan telapak tangan kanan. Telapak tangan ditiup
sambil mulut berucap perlahan.
"Datuk
Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu pertolonganmu."
Saat itu
juga pada telapak tangan kanan Pendekar 212 muncul gambar kepala harimau putih
bermata hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng.
Tanah
bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang lain-lain berada berderak-derak
seperti hendak roboh. Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul
seekor harimau putih besar bermata hijau. Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti
peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan selama ini
memelihara Ken Permata, bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan
dengan Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan.
Begitu
Wiro mendatangi harimau putih segera menjilati tangan sang pendekar. Wiro
mengusap tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil berkata.
"Datuk,
aku sangat berterima kasih kau mau datang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa aku
dan Nyi Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh."
Harimau
putih menggereng perlahan.
Mendadak
terdengar jeritan Nyi Retno Mantili.
"Wiro,
binatang celaka apa yang kau bawa ke sini! Lihat, anakku Kemuning menangis
ketakutan setengah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno Mantili
menghambur tinggalkan tempat itu.
"Nyi
Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat mengejar. Denok Tuba Biru telah
lebih dulu berkelebat sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup Jalan
Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dua larik sinar biru menusuk punggung dan
betis kiri Nyi Retno Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun kaku
walau mulutnya masih terus berteriak-teriak. Wiro cepat usap urat besar di
leher kiri kanan Nyi Retno Mantili hingga dia tidak bisa lagi keluarkan suara.
Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan itu dan melompat ke punggung Datuk
Rao Bamato Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat meninggalkan tempat itu
Wiro berkata pada Sandaka.
"Sobatku,
apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi Retno Mantili akan sembuh setelah
bertemu dengan bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat melenyapkan tiga puluh
paku bala yang menancap di tubuhmu?"
Sandaka
menghela nafas dalam. "Nasib manusia ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya
berusaha. Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka kebahagiaan akan
menjadi bagian diriku dan mungkin itu merupakan setengah dari kesembuhan
diriku. Paling tidak kesembuhan batin."
"Kau
orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan kembali ke sini secepat yang
bisa aku lakukan. Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi Retno
Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi dan memberkahi kita semua.”
Sandaka
lambaikan tangan kanan. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato
Hijau menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk tua berderak-derak.
Sesaat kemudian harimau sakti itu melesat ke udara laksana hendak menembus
langit lalu lenyap dari pemandangan bersama dua penunggangnya.
*******************
9
DI TEPI
danau Maninjau Ken Permata duduk di atas batu, dua kaki dijuntaikan ke dalam
air. Di samping anak perempuan itu duduk Mande Saleha, perempuan yang menjaga
dan mengasuhnya. Sesekali angin dari tengah danau bertiup sejuk. Ikan-ikan
bilis berkerumun jinak tak jauh dari batu tempat kedua orang itu duduk.
"Anak
Mande Ken Permata, anak rancak parmato hati, Hari sudah rembang petang. Lihat
matahari sudah merah warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita
pulang ke rumah gadang. Berlama-lama di sini Datuk pasti akan mencari.”
Anak
perempuan yang belum mencapai usia dua tahun itu dengan suara lincah menjawab.
“Mande
tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak akan mencari kita. Beliau tadi ada
di balik pohon besar sana memperhatikan kita. sekarang Datuk sudah kembali ke
goa pertapaannya."
Dengan
perasaan heran Mande Saleha berpaling ke arah pohon besar tak jauh dari tepi
danau. Dia tidak melihat siapa-siapa. Sambil memeluk anak yang kini memiliki
tubuh lebih besar dari usianya, Mande Saleha barkata.
"Mande
tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi memang Datuk ada di balik pohon kita berdua
tetap harus kambali ke rumah gadang."
"Mande,
saya tidak akan pulang sebelum orang yang akan menemui saya datang."
Terkejut
Manda Saleha mendengar ucapan Ken Permata.
"Anakku,
apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang akan datang menemuimu?"
"Kalau
Mande mau melihat orangnya, duduk saja di sini bersama saya…"
Mande
Saleha menatap anak perempuan itu beberapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk,
kini anak itu dipangku sambil terus dipeluk erat-erat. Ada kekawatiran dalam
diri perempuan ini.
Mande
Saleha memandang berkeliling. Dia tidak melihat orang lain di tempat itu. Di
tengah danau juga tidak ada biduk yang berlayar mencari ikan.
"Anakku,
kita harus pulang sekarang juga.” Mande Saleha lalu turun dari batu, melangkah
ke tepi telaga sambil terus mendukung Ken Permata. Tapi dengan hanya bergerak
sedikit saja anak perempuan itu telah meluncur turun ke tanah, lalu lari
kembali ke tepi danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang bahu anak itu.
Ketika dia hendak mendukung kembali sang pengasuh merasa heran. Tubuh Ken
Permata berat sekali hingga jangankan untuk mendukung, mengangkat saja dia
tidak mampu.
"Anakku,
apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa tubuhmu menjadi seberat batu raksasa?"
Ken
Permata tersenyum, tidak menjawab pertanyaan pengasuhnya, malah berkata.
"Mande,
orang yang hendak menemui saya sudah datang." Ken Permata bicara sambil
sepasang mata beningnya menatap ke arah danau.
Mande
Saleha cepat memperhatikan ke arah danau. Tidak kelihatan satu orang pun, juga
tidak ada perahu. Namun kemudian dia melihat sebuah batangan kayu mengapung di
permukaan danau, bergerak perlahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana
dia dan Ken Permata berdiri. Bersamaan dengan itu telinganya menangkap suara
tiupan serunai. Jantung Mande Saleha berdetak, dada berdebar.
"Serunai
itu… Aku pemah mendengar sebelumnya. Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah… Apakah
memang dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam hati. Lalu
perempuan ini membungkuk sedikit dan berbisik ke telinga si anak perempuan.
"Nak, mana orang yang katamu hendak menemui dirimu?"
"Ah
Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu
di tengah danau…"
Mande
Saleha memperhatikan ke arah danau. "Anakku, Mande tidak melihat apa-apa.
Yang Mande lihat hanya batang kayu terapung."
"Aduh
Mande, orang itu berada di atas batang kayu itu Mande. Masakan Mande tidak
melihat?" ujar Ken Permata.
Mande
Saleha membuka mata lebar-lebar. Mengucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak
melihat orang yang dikatakan Ken Permata.”
Bulu
kuduk Mande Saleha merinding.
"Anakku,
jangan-jangan kau melihat mahluk halus. Sebelum kau keteguran dan menyebabkan
kau bisa jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini…" Perempuan itu lalu
menarik tangan Ken Permata. Tapi seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat
menyebabkan Mande Saleha tidak mampu membuatnya bergerak sedikitpun.
"Mande,
orang itu melambaikan tangan memanggil. Saya harus menemuinya…"
"Tidak,
kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus tetap di sini bersama Mande!"
Mande Saleha lalu mendekap Ken Permata erat-erat. Tapi dengan mudah anak
perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi danau. Selanjutnya sulit dipercaya
tubuh Ken Permata melayang di udara, melesat ke arah batang kayu terapung di
permukaan danau dan berdiri di atas batang kayu itu! Mande Saleha berteriak
memanggil. Dia merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak sekecil itu,
yang masih bayi belum berusia dua tahun mampu melesat di udara, lalu berdiri di
atas batang kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang dewasa saja tidak
semudah itu mampu melakukan kalau tidak memiliki kepandaian tinggi.
"Onde
mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo didapat anak ini hingga dia bisa
melompat dan berdiri di atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu Datuk
tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi kesaktian padanya." Mande
Saleha lalu berteriak memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya serak.
Tak lama
kemudian sang pengasuh jadi terperangah. Di atas batang kayu, di depan Ken
Permata dia melihat ada sosok seseorang. Mula-mula samar, perlahan-lahan
berubah bertambah jelas. Perempuan tua ini menepuk-nepuk bahu Ken Permata,
sementara batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau. Mande Saleha berteriak
sejadi-jadinya namun clepp! Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang
tiba-tiba menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak bisa mengeluarkan
suara, apa lagi berteriak.
"Nenek
itu…" ucap Mande Saleha hanya di dalam hati sementara mata terpentang
lebar ke arah danau. Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha lantas
saja dapat mengenali perempuan tua yang ada di atas batang kayu bersama Ken
Permata. Detak jantung dan dugaannya ternyata benar.
"Memang
dia…" desis Mande Saleha. Nenek tua yang berdiri di hadapan Ken Permata di
atas batang kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu malam beberapa
waktu lalu pernah menyelinap masuk ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala
yang berambut putih perak digulung dihias lima sunting rendah terbuat dari
suasa. Pakaian kebaya panjang kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam.
Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Parantili! Kekasih Datuk Rao
Basaluang Ameh di masa muda.
Dalam
"Janda Pulau Cingkuk" dituturkan bahwa pada suatu malam Laras
Parantili mendatangi Datuk Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken Permata
akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi
Ratu Laut Utara. Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia kena ditipu oleh
bekas kekasih di masa mudanya itu dengan racun kuning sehingga sang datuk
pingsan tak sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak mampu mencegah
terjadinya penitisan. Mande Saleha sendiri sempat melihat Laras Parantili dan
sempat pula menyaksikan berlangsungnya penitisan.
"Dia
muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia hendak berbuat jahat lagi. Celaka apa
yang hendak dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko! Lindungi anak
itu, lindungi Ken Permata.
Mande
Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh
lunglai. Tiba-tiba ada satu cahaya putih berkelebat ke arahnya. Sesaat kemudian
dia mendengar suara.
"Perempuan
pengasuh bayi titisan. Berucaplah kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini.
Katakanlah: Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan
selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok tengah
hari tepat. Kau harus datang seorang diri"
Beberapa
totokan kemudian mendarat di kepala Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri
kanan, lalu pada bagian bawah dagu dekat tenggorokan.Yang terakhir ada usapan
di bagian mulutnya. Satu keanehan kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha
seperti orang kurang ingatan mengeluarkan ucapan yang selalu diulang-ulang:
"Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan
selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah
hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
*******************
10
SUARA
jeritan Mande Saleha membuat berhamburan keluar penghuni rumah gadang yang
terletak tak jauh dari tepian Danau Maninjau. Sebelum orang-orang itu sampai di
tempat Mande Saleha berada, Datuk Rao Basaluang Ameh sudah lebih dulu tiba di
tempat itu. Dia terkejut sekali melihat keadaan perempuan pengasuh Ken Permata
ini. Lebih-lebih ketika menyaksikan dan mendengar Mande Saleha yang bicara
terus mengulang ucapan yang sama seperti orang kemasukan roh gaib.
"Pendekar
212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke
Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus
datang seorang diri."
Datuk Rao
Basaluang Ameh mengucap istigfar berulang Kali.
"Saleha,
kau ini keteguran mahluk halus atau bagaimana?" Sang Datuk pegang bahu
perempuan itu lalu menggoncang tubuhnya. Tapi Mande Saleha terus saja bicara
seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya. Datuk Rao perhatikan wajah, terutama
sepasang mata Mande Saleha. Dua mata perempuan itu lebih banyak nyalang
daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris tidak bergerak. Lalu dia melihat ada
tanda kebiruan di pelipis kiri kanan sarta tenggorokan samentara mulut bicara
terus mangulang-ulang ucapan.
"Totokan
Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini pakerjaan Laras Parantili! Tanpa sadar
perempuan ini bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!"
Dengan
cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil saluang (semacam seruling) emas yang
terselip di pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di tubuh Mande Saleha.
Saat itulah tiba-tiba satu bayangan putih melesat disertai suara orang berucap.
"Datuk,
dia menyebut nama saya. Biar saya yang melepas totokannya!"
Belum
sempat Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling tahu-tahu desss…dess…dess!
Dua
tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu tusukan lagi di tenggorokan
membuat totokan yang menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas dari
totokan perempuan ini mengeluh panjang, menggeliat lalu terguling di tanah.
Muka pucat pasi. Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Datuk Rao usap
kepala dan wajah Mande Saleha. Mulai sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata
ini menggerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan hingga Mande Saleha
menghentikan tangisnya sendiri. Orang tua ini berpaling ke kanan di mana
berdiri sosok tegap pemuda berambut gondrong berpakaian putih yang saat itu
cepat-cepat membungkuk hormat, menyalami dan mencium tangannya.
"Datuk,
saya muridmu. Terima salam hormat saya dan mohon dimaafkan kalau tadi saya
telah berbuat lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong Ibu ini…"
Orang tua
sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu si pemuda.
"Pendekar
dari tanah Jawa, aku memang sudah lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau
datang ke sini dalam keadaan kurang menggembirakan…" Sang Datuk melirik ke
arah harimau putih bermata hijau peliharaannya yang tegak di samping si pemuda
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Diatas punggung binatang
sakti ini terbujur melintang menelungkup seorang perempuan bertubuh mungil
dalam keadaan seperti tertidur pulas. "Perempuan itu, apakah istri Patih
Kerajaan tanah Jawa?" Bertanya Datuk Rao.
Wiro
mengangguk lalu kembali meminta maaf atas kelancangannya meminta tolong Datuk
Rao Bamato Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Maninjau ini. Saya…"
"Anak
muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk berbuat baik yang diredohi Allah
seseorang wajib mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi Retno sudah
berada di sini untuk kita pertemukan dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah
terjadi."
"Datuk,
apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Ken
Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika sebelum kau sampai di sini."
Wiro
terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau sampai dua kali bayi Nyi Retno
diculik orang dari pengawasan orang tua berkepandaian tinggi seperti Datuk Rao
Basaluang Ameh yang telah memberikan banyak ilmu kesaktian padanya dan telah
dihormatinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya Ken Permata pernah
diculik oleh Wira Bumi dibantu oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga
datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu dapat diselamatkan. (Baca
serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Bayi Satu Suro")
"Datuk,
apakah Datuk tahu siapa yang menculik bayi Nyi Retno Mantili?"
Datuk Rao
Basaluang Ameh anggukkan kepala.
"Aku
sudah bisa menduga karena hanya satu orang yang bisa menembus ilmu kesaktian
Selusin Jaring Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi bayi itu. Agar
lebih jelas mari kita tanyakan pada Mande Saleha apa yang telah terjadi. Dia
sudah berhenti menangis, keadaannya sudah mulai tenang."
"Saya
juga ingin menanyai mengapa dia menyebut-nyebut nama saya. Meminta saya datang
seorang diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau ingin mendapatkan
Ken Permata dalam keadaan selamat."
"Orang
jahat tengah memasang jebakan untuk kita, terutama dirimu.”
"Siapa
Datuk?" tanya Wiro pula.
"Nanti
kau akan tahu sendiri."
Diikuti
Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh mendatangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala
perempuan itu sang Datuk berkata.
"Saleha,
hentikan tangismu! Katakan apa yang terjadi."
"Saya
mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau menghukum saya bagaimana. Saya telah
berusaha menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu muncul or…orang
itu Datuk. Dia datang lagi… Saya tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari
dekapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau dan berdiri di samping
perempuan tua itu, di atas batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke
tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi."
"Orang
itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa dia Saleha? Apa kau
mengenalinya?"tanya Datuk Rao.
"Dia
perempuan tua bersunting suasa yang muncul di rumah gadang waktu terjadi
penitisan atas diri Ken Permata."
Datuk Rao
menghela nafas panjang. Wajahnya yang kelimis langsung berubah. "Ternyata
memang dia…" ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras
Parantili."
"Laras
Parantili. Siapa dia Datuk? Saya tidak pernah mendengar nama orang ini
sebelumnya," Tanya Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir
janganjangan roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang muncul kembali.
"Saya juga heran mendengar keterangan Ibu ini. Ken Permata bayi yang
menurut saya belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah danau dan
berdiri di atas batang kayu terapung. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang
berkepandaian silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai puncaknya. Bagaimana bisa terjadi?"
"Laras
Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh menyebut nama sang kekasih di masa
muda dengan suara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana mungkin. Aku
telah melindungi seputar tempat ini dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala.
Ternyata dia masih bisa menembusnya. Mungkin dia memiliki bubuk bunga sakti
penangkal ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu?" Si orang tua merenung
sejenak lalu berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah kekasihku di
masa muda. Kami tidak kunjung jadi menikah karena berbagai kendala yang muncul
secara tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui kalau kekasihku itu
memiliki hati yang tidak seputih wajahnya tidak pula sebersih pakaian yang
dikenakannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia bisa berubah. Namun
kenyataannya hal itu tidak terjadi. Malah dengan kemunculannya menjadi
pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia telah membuktikan
kalau dirinya tidak berubah, dia tetap culas seperti di masa lalu."
"Datuk,
saya ikut merasa sedih mendengar cerita Datuk. Tapi ada yang tidak saya
mengerti. Ken Permata ketitisan. Ketitisan roh siapa?"
"Bayi
itu ketitisan roh seorang perempuan muda yang mengaku Ratu Laut Utara bernama
Nyi Harum Sarti…"
Kejut
Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan iblis itu rupanya yang punya
pekerjaan. Saya tahu, dia memang pernah mengancam akan melakukan penitisan atas
diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa berbuat keji pada seorang bayi yang tidak
berdosa?" (Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti
bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Cinta Tiga
Ratu”)
"Ken
Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua tahun lagi. Tubuhnya tumbuh besar
menyerupai anak lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu kesaktian.
Ilmu kesaktian itu berasal dari roh yang menitis atas dirinya."
"Sangat
berbahaya…" ucap Wiro sambil menggaruk kepala. Lalu dia berpaling pada
perempuan pengasuh Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil menolong
perempuan ini berdiri Wiro bertanya.
"Ibu
coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana menghilangnya Ken Permata bersama
perempuan yang menculiknya itu."
Setelah
memandang berkeliling perempuan itu menunjuk ke tengah danau. "Keduanya
berada di atas sebuah batang kayu. Meluncur ke tengah danau. Lalu ada cahaya
putih menyelubungi sekujur tubuh saya. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa
lagi. Saya bicara terus tapi saya tidak tahu apa yang saya katakan…"
Datuk Rao
Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan sekeliling danau,
Mereka tidak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Saleha. Wiro bertanya
lagi.
"Ibu,
Ken Permata dan perempuan tua bersunting itu, apakah dia lenyap masuk ke dalam
danau atau melayang naik ke udara?"
"Saya
tidak tahu… saya tidak melihat. Tiba-tiba saja keduanya lenyap."
"Datuk,
kalau Datuk mengizinkan dan memberi petunjuk saya akan segera menuju lereng
barat Gunung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak membawa Ken
Permata ke dasar Danau Maninjau tapi ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya
harus mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno Mantili…"
"Kita
pergi berdua…" kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Tapi
bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini tadi terus menerus berucap saya harus
datang seorang diri jika ingin Ken Permata selamat?"
Datuk Rao
mengangguk. Dia sapukan saluang emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih
terbaring menelungkup di atas punggung harimau putih sakti bermata hijau. Lalu
berkata pada Wiro.
"Totokanmu
pada tubuh perempuan itu sudah aku lenyapkan. Mulai sekarang dia akan tidur
sepanjang hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali." Datuk Rao
berkata pada Mande Saleha dan harimau putih. "Kembalilah kau ke rumah
gadang. Jaga perempuan itu. Dan kau Datuk Rao Bamato Hijau, awasi kawasan ini.
Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku."
Harimau
putih merunduk dan menggereng perlahan. Wiro mengusap tengkuknya lalu
berkelebat mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih dulu berkelebat
ke arah timur di mana di kejauhan Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan
puncak disaput awan putih kelabu.
*******************
11
TEPAT
tengah hari keesokannya, hujan lebat mengguyur Gunung Merapi ketika Wiro sampai
di lereng barat. Dia berhenti di satu lamping gunung di mana terdapat dinding
batu berwarna kuning dan merah pekat. Di beberapa tempat dinding batu ini
membentuk tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Sambil memandang berkeliling Wiro
keluarkan ucapan.
"Datuk,
apakah Datuk ada di sekitar sini?"
Terdengar
suara jawaban pertahan, hampir merupakan bisikan di telinga kiri sang pendekar.
"Aku
ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh bicara…”
“Tapi
Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini
nama suatu tempat atau nama benda…”
“Naiklak
ke atas dinding batu merah kuning. Terus mendaki sampai kau menemukan satu
pedataran kecil ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedataran kau akan
melihat batu-batu hitam bertebaran dalam berbagai bentuk. Pada bagian tengah
pedataran ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu bercabang dua,
besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga tombak. Itulah Tunggul Hitam. Cepat
pergi ke sana dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menjawab apapun yang
kau tanyakan. Aku tidak ingin urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan
mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum tahu siapa saja yang berada
bersama Ken Permata. Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali
terpikat atau tertipu dengan apa yang kau lihat!”
Wiro
mengangguk kepalanya yang basah riapriapan. Dalam hati dia berkata. "Eh,
memangnya aku mau melihat apa? Perawan bugil? Nenek peot tidak berpakaian? Atau
dua ekor kucing lagi kawin? "Wiro tertawa-tawa seorang diri. Ketika
memperhatikan ke atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup terjal dan
licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan membuat batu-batu itu menjadi
sangat licin. Kelihatannya memang tidak ada cara lain mencapai pedataran di
atas sana kecuali harus melewati hamparan batu yang membentuk dinding terjal
licin.
Setelah
memusatkan pikiran dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat
ke udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat menjejakkan kaki di
salah satu tonjolan batu berwarna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga
kali dia berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian atas dinding batu terjal
dan dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak
belukar setinggi dada. Semak belukar ini bukan semak belukar biasa, tapi penuh
dengan duri yang laksana hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah. Hujan
dan tiupan angin yang cukup kencang membuat semak belukar berduri itu sangat
berbahaya. Sementara dia masih memperhatikan keadaan di tempat aneh itu,
pakaian putih Wiro sudah robek terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu
kanan. Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Dalam udara dingin Wiro
serta merta merasakan ada hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih
besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata goresan duri telah membuat
kulitnya menggembung kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas!
"Kurang
ajar! Duri semak belukar ini mengandung racun! Betul ucapan Datuk. Orang hendak
menjebak mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau duri di tempat ini
mengandung racun? Atau mungkin ada orang yang belum lama menabur racun di
pedataran ini. Benar-benar kurang ajar!"
Pendekar
212 cepat kerahkan tenaga dalam serta hawa sakti yang disalurkan dari Kapak
Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti diketahui Wiro
memiliki kekebalan terhadap racun namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi
diri lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati.
Hujan
mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar dan kilat menyabung di langit. Wiro
memperhatikan ke depan. Dia melihat banyak gundukan batu menyembul di antara
semak belukar berduri. Gundukan batu itu kebanyakan berbentuk bulat namun ada
pula yang menyerupai binatang besar. Di salah satu bagian pedataran tersembul
batu hitam berbentuk pohon bercabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga
tombak.
"Tunggul
Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti yang dikatakan Datuk?" ucap
Wiro. Dia lalu ingat. Dia tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu orangpun di tempat itu. Dia
kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa,
Tiba-tiba Wiro merasa tanah gunung yang dipijaknya bergetar. Lalu ada suara
berdesing panjang. Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika di depan
sana batu yang disebut Tunggul Hitam perlahan-lahan bergerak naik ke atas,
makin tinggi hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di tanah dan suara
berdesing serta merta lenyap begitu Tunggul Hitam berhenti bergerak naik.
Sesaat
kemudian samar-samar Wiro melihat bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul
Hitam. Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa berdiri di cabang
kiri kanan. Orang yang kecil duduk berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang
rata.
"Ken
Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!" ucap Wiro dalam hati, Dia
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar
yang ada sejarak dua belas langkah dari hadapan Tunggul Hitam. Namun baru saja
dua kakinya bergerak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di hadapannya
laksana mahluk hidup mencuat tegak. Puluhan duri menyambar ke depan seperti tangan
setan mencakar!
"Brett!
Brettt! Breetttt!"
Baju Wiro
robek besar pada tiga tempat di bagian dada dan perut. Membuat sang pendekar
bersurut dan cepat memeriksa. Untung cakaran semak berduri hanya merobek baju,
tidak sampai menyentuh kulit atau daging dada dan perutnya.
"Semak
belukar keparat! Jangan harap kalian masih bisa mencelakaiku lagi!"
Habis
berkata begitu dia angkat dua tangan ke udara sambi! berteriak.
"Kapak
Naga Geni 212! Batu Sakti Hitam!"
Kejapan
itu juga kapak dan batu sakti yang ada dalam tubuh Wiro tahu-tahu telah berada
di tangan kanan dan tangan kiri. Seperti dikisahkan dalam serial Wiro Sableng
berjudul "Lentera Iblis" Kiai Gede Tapa Pamungkas secara gaib telah
memasukkan dua senjata sakti itu ke dalam tubuh Pendekar 212. Dengan cara berseru
menyebut nama kedua senjata itu maka kapak dan batu secara gaib pula keluar
dari dalam tubuh Wiro dan langsung tergenggam di tangan. Dengan mengerahkan
lebih dari setengah tenaga dalam yang dimiliki, Wiro menggosokkan batu hitam
sakti ke mata Kapak Naga Geni 212.
"Wusss!"
Satu
gelombang api yang bukan olah-olah besarnya menderu melanda pedataran yang
dipenuhi semak belukar berduri. Walau semak belukar itu dalam keadaan basah
karena baru kejatuhan hujan namun gelombang api yang luar biasa dahsyatnya membakar
musnah semak belukar itu hanya dalam beberapa kejapan mata saja! Kini di
pedataran luas itu hanya terlihat gundukan-gundukan batu hitam besar berbagai
bentuk dan ukuran serta Tunggul Hitam yang menjulang setinggi tiga tombak.
Kepulan asap untuk beberapa lama bergulung-gulung di atas bebatuan. Begitu
kepulan asap sirna, kapak dan batu sakti lenyap pula. Tiga orang yang berada di
atas Tunggul Hitam kini terlihat jelas.
Yang
pertama adalah Ken Permata. Bayi yang belum berusia dua tahun tapi memiliki perawakan
seperti anak lima tahun ini duduk di bagian atas Tunggul Hitam yang rata sambil
uncang-uncang kaki tanpa rasa gamang ataupun takut. Wiro merasa heran melihat
keberanian dan keadaan bayi ini.
Orang
kedua seorang nenek tua mengenakan kebaya panjang kuning bersulam bunga perak,
bercelana panjang hitam. Rambutnya yang putih seperti perakdigulung di atas
kepala, ditancapi lima sunting pendek terbuat dari suasa merah kekuningan.
Ujung selendang biru yang melingkar di lehernya melambai-lambai di tiup angin.
Wajahnya walau sudah lanjut masih ada bayangan kecantikan di masa muda, anggun
namun ada pancaran sifat keangkuhan. Nenek ini berdiri di cabang Tunggul Hitam
sebelah kanan.
"Nenek
bersunting itu pasti Laras Parantili, kekasih Datuk. Heran, mengapa dia mau-mauan
menjadi pelindung sang penitis! Berseberangan dengan Datuk, padahal di masa
muda mereka pernah menjalin kasih. Tapi… cinta memang bisa berubah jadi
macam-macam!" Murid Sinto Gendeng tertawa cengengesan. Sambil garuk-garuk
kepala dia perhatikan orang ke tiga yang berdiri di atas batu berbentuk pohon
yang disebut batu Tunggul Hitam pada cabang sebelah kiri. Pada pakaiannya ada
noda merah melintang panjang di dada. Walau wajahnya cacat di bagian mulut dan
pipi kiri serta agak teleng namun Wiro masih bisa mengenali perempuan muda ini
adalah Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. Wiro juga melihat bagaimana
sepasang telapak kaki Nyi Harum Sarti sama sekali tidak menginjak cabang batu
Tunggul Hitam. Pertanda bahwa perempuan ini adalah roh yang muncul secara
jejadian.
"Kepala
teleng, mulut hancur-hancuran. Pasti itu bekas tendangan Bidadari Angin
Timur," membathin Wiro. Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul
"Cinta Tiga Ratu" dituturkan bagaimana dalam keadaan meregang nyawa
setelah dibelah dadanya dengan Pedang Naga Suci 212 oleh Ratu Duyung, Nyi Harum
Sarti alias Ratu Laut Utara palsu ditendang kepalanya oleh Bidadari Angin Timur
hingga mulutnya hancur, tulang leher bergeser menyebabkan kepalanya menjadi
teleng. Gadis cantik berambut pirang itu melakukan hal tersebut karena merasa
sangat marah dan dendam besar terhadap Nyi Harum Sarti yang telah melontarkan
kata-kata di hadapan sekian banyak tokoh rimba persilatan bahwa Bidadari Angin
Timur adalah janda dari kepala pasukan Kesultanan Cirebon.
Setelah
memperhatikan, tidak tunggu lebih lama Wiro cepat melompat ke atas batu hitam
besar berbentuk kerbau berbaring, yang hanya terpisah sejarak sekitar dua belas
langkah dari batu Tunggul Hitam.
Nenek
bernama Laras Parantili dan ujud jejadian Nyi Harum Sarti tidak bergerak. Hanya
sepasang bola mata mereka saja yang tampak berputar mengawasi. Di puncak batu
Tunggul Hitam Ken Permata duduk tertawa-tawa, masih uncang-uncang ke dua kaki.
"Kalian
semua yang di atas batu Tunggul Hitam!" Wiro yang sudah tidak sabaran
berteriak keras. "Aku sudah datang ke tempat ini seorang diri! Lekas
serahkan bayi di atas Tunggul Hitam."
Sunyi
sesaat lalu si nenek dan perempuan bermuka cacat berkepala teleng umbar tawa bergelak.
"Pemuda
gondrong muka gemblong! Siapa kau?! Sudah kesasar datang ke sini berteriak pula
tak karuan macam orang kemasukan!"
*******************
12
MATA
Pendekar 212 mendelik membeliak. Jengkel penasaran dirinya di katakan kesasar,
muka gemblong dan kemasukan! Tapi dasar sableng enak saja dia menyahuti.
"Kalian
berdua! Yang tua seperti walang sangit kurang makan! Yang berkepala teleng
seperti ayam keselak jagung! Ha…ha…ha! Aku mencium bau tidak sedap. Apa kalian
berdua tadi pagi sudah beol tapi tidak sempat cebok? Kalian juga bermata lamur
rupanya! Tidak bisa menbedakan gemblong dengan lontong! Atau kalian berdua
inginnya singkong? Pantas kau bau Jigong! Ha…ha…ha!" Habis berteriak
begitu Wiro lalu tertawa gelak-gelak sambil hidung dipencet dengan dua jari
tangan kiri dan mulut meludah-ludah.
Laras
Parantili kerenyitkan kening. Nyi Harum Sarti keluarkan makian menggerendeng
sementara Ken Permata di atas puncak Tunggul Hitam masih terus duduk
tertawa-tawa sambil uncang-uncang kaki.
"Pemuda
sinting! Kami tidak suka melihat kehadiranmu di sini. Lekas angkat kaki atau
kau akan mati sia-sia!" Nyi Harum Sarti kini yang berteriak.
"Oala!"
Wiro pencongkan mulut, telengkan kepala meniru telengnya kepala roh perempuan
jejadian itu. "Kalian mempermainkanku! Itu tidak lucu! Aku bisa-bisa
bukannya tertawa melihat kelakuan kalian, tapi malah kentut! Ha…ha…ha! Kalian
mengirim pesan melalui perempuan bernama Mande Saleha yang kalian siksa dengan
ilmu keji kalian! Sekarang aku sudah di sini, kalian mau berlagak aneh macam
orang sinting. Kalian berjanji akan menyerahkan bayi itu! Kalian berlagak tidak
suka padaku. Kalian pasti berpura-pura. Padahal paling tidak salah satu dari
kalian pasti suka padaku! Ha…ha…ha!" Wiromenatap ke arah Nyi Harum Sarti
dan kedip-kedipkan mata.
Wajah
cacat roh jejadian Nyi Harum Sarti berubah merah mendengar kata-kata Wiro.
Sebelumnya dia memang telah jatuh cinta pada sang pendekar dan hal ini
dikatakannya terus terang di hadapan banyak tokoh rimba persilatan. Kalau
sekarang dia bersikap bermusuhan maka ini adalah suatu keanehan.
"Aku
ingin kalian segera menyerahkan bayi itu! Sekarang juga! Atau kalian akan
menyesal!"
Wiro
angkat tangan kanannya yang serta merta berubah warna menjadi putih perak
sebatas siku ke bawah. Sang pendekar siap melepas Pukulan Matahari.
Si nenek
Laras Parantili angkat tangan kirinya.
"Tunggu
dulu!" serunya. Lalu dia berpaling pada Nyi Harum Sarti yang berada di
cabang kiri Tunggul Hitam. "Ratu Laut Utara…" Ah! Si nenek masih
memanggil Nyi Harum Sarti dengan sebutan Ratu Laut Utara! "Apa benar
pemuda gondrong ini yang bernama Wiro Sableng barjuluk Pendekar 212?"
"Memang
dia orangnya!" Jawab Nyi Harum Sarti dengan suara datar dan wajah cacat
dingin.
Mendengar
jawaban Nyi Harum Sarti, Laras Parantili bertanya. "Pemuda gondrong!
Apakah kau datang ke sini seorang diri?!"
"Kalian
yang minta begitu! Aku hanya melakukan! Sekarang malah banyak tanya
segala!" jawab Wiro kesal.
Si nenek
tertawa. Tiba-tiba dia lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah sebuah batu
besar sejarak sepuluh langkah dari samping kiri Wiro.
"Wuuuttt!
Braaakkk!"
Serangkum
angin dahsyat menderu, membuat hancur berkeping-keping batu besar yang
dihantam. Saat itu juga dari hancuran batu berkelebat sosok seorang tua
berpakaian putih! Datuk Rao Basaluang Ameh!
"Ah,
ternyata kau berdusta! Kau datang bersama orang yang tidak kami ingini! Berarti
kau tidak akan mendapatkan bayi itu dalam keadaan selamat!" Sambil bicara
Laras Parantili melirik memperhatikan Datuk Basaluang Ameh yang kini berdiri di
atas sebuah batu besar di arah kanan Wiro sambi! menimang saluang emas.
"Kalian
kira Cuma kalian yang bisa membuat aturan?! Kalian punya aturan! Aku juga punya
aturan sendiri! Aku mau datang dengan siapa itu urusanku! Lagi pula yang datang
bersamaku bukan orang sembarangan. Aku tidak yakin kau bisa melupakan atau mau
berpura-pura lupa. Apakah kau tidak mengenali orang tua berpakaian putih ini?
Kekasihmu tercinta di masa muda?! Yang aku sebut namanya adalah Datuk Rao
Basaluang Ameh!"
Raut
wajah Laras Parantili berubah merah seperti saga.
"Ah,
wajahmu berubah merah! Pertanda kau memang masih mencinta dirinya. Tapi mengapa
berpura-pura? Malah kini berserikat dengan perempuan teleng itu, memusuhi
Datuk?"
"Pemuda
edan! Bicara tak karuan macam orang sinting. Itulah kalau gurunya gendeng
muridnya sableng beneran!"
"Tua
bangka kurang ajar!" bentakWiro marah. "Kau berani menghina guruku
Sinto Gendeng! Luar biasa sombong! Sikapmu seperti orang hebat berpikiran
waras. Padahal sebenarnya otakmu ada di dengkul. Selain sombong kau juga culas!
Khianat apa yang telah kau perbuat terhadap guruku Datuk Rao Basaluang Ameh!
Sudah peot kisut begini apa kau kira bisa dapat lelaki muda lebih baik dari
Datuk? Puahhh!"
"Pemuda
sinting! Kurobek mulutmu berani bicara soal hubunganku dengan Datuk Rao!"
Wiro
jerengkan mata dan cibirkan bibir.
Lima
sunting suasa di kepala Laras Parantili berjingkrak tegang dan kepulkan asap
tipis pertanda si nenek dilanda amarah luar biasa. Rahang menggembung, mata
berkilat-kilat. Datuk Rao Basaluang Ameh yang sejak tadi diam sa]a, setelah
berdehem beberapa kali lantas berkata berusaha menyurutkan ketegangan yang siap
meledak.
"Laras
Parantili, aku memang tidak diundang datang ke sini. Namun aku punya kewajiban
untuk hadir. Karena segala perbuatan yang kau lakukan telah menyimpang dari
kelayakan sebagai seorang pendekar golongan putih rimba persilatan. Atau
mungkin kini kau telah berubah hitam, menjadi pelindung mahluk roh jejadian
yang kau sebut sebagai Ratu Laut Utara itu? Sungguh disayangkan. Di usia
selanjut ini, apasebenarnya yang masih kau harapkan dalam kehidupanmu? Bukankah
mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan hal yang paling baik dari pada berbuat
kemungkaran? Jika kau mau keluar dari jalan sesat dan menyerahkan bayi bernama
Ken Permata itu maka aku dan Pendekar 212 akan tinggalkan tempat ini. Dan aku akan
mengakhiri urusan penculikan bayi ini sampai di sini."
Laras
Parantili tersenyum, rangkapkan dua tangan di depan dada lalu berkata.
"Datuk,
bicaramu seperti khotbah saja. Enak juga didengar. Tapi kau bukan siapa-siapa
lagi bagiku. Kau tidak layak mengatur diriku karena kau tidak mampu mengatur
diri sendiri. Soal bayi bernama Ken Permata dia bukan anak bukan cucumu. Tak
ada sangkut paut darah daging antara kalian berdua. Setahuku kau tidak lebih
dari pada kacung yang ketitipan untuk menjaganya. Masa pengasuhanmu sudah
berakhir. Kami datang untuk mengambil…"
"Tua
bangka sialan! Berani kau menghina Datuk! Hatimu kotor, mulutmu sebusuk
comberan!" Wiro yang sudah tidak sabaran untuk menghajar si nenek kembali
hendak menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun Datuk Rao cepat memberi
tanda mencegah.
"Laras,
lalu apa perlunya kau meminta muridku datang ke sini, menjanjikan keselamatan
bagi bayi bernama Ken Permata itu? Jika kau bermaksud jahat hendak menjebak,
mungkin kau akan lebih dulu masuk lobang perangkap!" kata Datuk Rao pula.
"Janji
keselamatan tidak berlaku lagi. Kalian berdua sudah melanggar aturan yang kami
tetapkan!"
"Aturan
kentut busuk!" teriak Wiro. "Kau berani menghina guruku. Aku akan
menjadikan kau babu seumur-umur di negeri neraka!" Habis berteriak
Pendekar 212 segera melompat tinggi ke udara, melesat ke arah Tunggul Hitam
yang berupa pohon batu setinggi tiga tombak.
Melihat
gerakan yang dibuat Wiro, dalam marahnya karena dibilang mau dijadikan babu
neraka Laras Parantili segera berseru pada Nyi Harum Sarti.
"Ratu,
apa lagi yang kita tunggu!"
Mendengar
seruan si nenek Nyi Harum Sarti yang menyebut diri masih sebagai Ratu Laut
Utara segera mendongak ke arah bayi di puncak batu Tunggul Hitam.
"Ken
Permata! Bayi titisan roh sukmaku! Bunuh orang berambut gondrong itu! Dia
manusianya yang telah membunuh ayahmu!" Habis berteriak Nyi Harum Sarti
sapukan tangan kanannya ke atas. Selarik sinar kelabu menyapu sekujur tubuh Ken
Permata, mulai dari kepala sampai ke kaki.
Satu
keanehan terjadi. Sosok bayi berusia kurang dua tahun dan berpenampilan seperti
anak lima tahun itu tundukkan kepala.
Lalu
tubuh sang bayi tiba-tiba berubah menjadi luar biasa besar. Begitu dia melompat
turun, kaki menjejak tanah, pedataran bergetar, kepala hampir setinggi batu
Tunggul Hitam. Ken Permata telah berubah menjadi seorang bayi raksasa. Wiro dan
Datuk Rao hanya setinggi pusarnya! Kejut kedua orang ini bukan alang kepalang!
Ketika bayi raksasa ini menyeringai, kelihatan barisan gigi dan caling panjang
runcing!
Belum
pupus kejut Pendekar 212, bayi raksasa Ken Permata telah menyerbunya dengan
satu pukulan jarak jauh yang menebar sinar hijau.
"Pukulan
Mambang Laut Utara!" ucap Wiro tersentak. Ilmu kesaktian itu adalah milik
Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. "Berarti bayi itu bukan saja
ketitisan sifat tapi juga menguasai ilmu kesaktian yang dimiliki roh Nyi
Harurri Sarti!"
Secepat
kilat Wiro selamatkan diri dengan melesat ke kiri, jatuhkan diri ke tanah.
Sambil berguling murid Sinto Gendeng melepas Pukulan Sinar Matahari tapi tidak
diarahkan pada bayi raksasa melainkan dihantamkan ke cabang kiri batu Tunggul
Hitam di mana roh jejadian Nyi Harum Sarti berada. Bagi Wiro walaupun jelas
bayi aneh itu yang menyerang namun dia tidak mau membalas serangan. Kawatir
kalau hantamannya akan mencelakai sang bayi. Nyi Harum Sarti yang menjadi
sumber kekuatan bayi raksasa, mahluk yang harus dimusnahkan lebih dulu.
Sinar
putih Pukulan Matahari berkiblat panas menyilaukan. Datuk Rao Basaluang Ameh
tidak tinggal diam. Dia sapukan saluang emas ke atas. Cahaya kuning laksana
kipas mengembang menderu di udara disertai suara desingan seruling mencucuk
pendengaran. Seperti Wiro, orang tua ini tidak mengarahkan serangannya ke arah
bayi raksasa melainkan yang dituju adalah Laras Parantili yang berdiri di
cabang kanan Tunggul Hitam.
Mendapat
serangan pukulan sakti yang menggegerkan rimba persilatan Nyi Harum Sarti di
atas cabang kiri batu Tunggul Hitam tidak bergerak sedikitpun. Malah sambil
tertawa melengking dia menggoyang tubuh dan kepalanya yang teleng. Sembilan
rangkum gelombang angin memancarkan cahaya biru mencuat keluar dari tubuhnya,
langsung menyergap cahaya putih panas Pukulan Sinar Matahari. Begitu Saling
bertabrakan satu letusan dahsyat menggelegar. Lereng barat Gunung Merapi
laksana dilanda gempa. Ujung pedataran di sebelah selatan runtuh longsor.
Beberapa
batu besar hitam di pedataran hancur berkeping-keping. Tapi anehnya batu
Tunggul Hitam tidak rusak sedikitpun. Ini karena Nyi Harum Sarti telah
menerapkan ilmu yang bernama Dinding Gaib Laut Utara. Dengan ilmu ini dia mampu
melindungi setiap benda mati dari serangan atau hantaman yang datang dari luar.
Kalau akibat bentrokan dahsyat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sampai jatuh
terhenyak di tanah pedataran maka di atas cabang kiri batu Tunggul Hitam sosok
jejadian Hitam Nyi Harum Sarti hanya tergontai-gontai beberapa kali.
Begitu
tubuhnya terjengkang di tanah, Wiro melihat bayi raksasa melompat ke arahnya
lalu hunjamkan kaki kanan ke arah dada.
"Gila!"
Wiro berteriak. Secepat kilat dia berguling ke kiri.
"Bruuuukkk!"
*******************
13
HUNJAMAN
kaki kanan Ken Permata membuat lobang besar sedalam be
tis di
tanah pedataran. Menyaksikan itu Wiro merasa nyawanya seperti terbang. Ketika
bayi raksasa hendak menyerbunya kembali, kali ini dengan tendangan kaki kiri,
secepat kilat dia melesat selamatkan diri, melompat ke atas sebuah batu hitam.
Bayi raksasa rundukkan tubuh sambil dua tangan dengan sangat cepat menyambar ke
arah dada pakaian Wiro. Kali iniWiro tidak sempat lagi mengelak, dia juga
merasa ragu melancarkan serangan. Takut menciderai ken Permata. Akibatnya tubuh
Wiro diangkat tinggi-tinggi lalu dibantingkan ke tanah. Sebelum jatuh Wiro
masih berusaha berjungkir balik. Namun tetap saja dia jatuh dengan punggung
menghantam tanah. Wiro merasa tulang belulangnya seperti hancur. Darah meleleh
di sela bibir. Untuk beberapa lama dia terkapar tak bergerak.
"Bayi
jahanam! Kalau aku serang apa lagi kalau sampai mati berarti Nyi Retno Mantili
tidak akan pernah bertemu bayinya ini. Dia tidak akan pernah dapat disembuhkan
dari penyakit jiwanya! Gila! Apa yang harus aku lakukan?!"
Wiro
kerahkan tenaga dalam, Alirkan hawa sakti. Terapkan ilmu meringankan tubuh.
Ketika bayi raksasa kembali mendekat dia telah mampu berdiri, melompat ke
punggung si bayi lalu menotok bayi ltu di bagian ubun-ubun, leher dan punggung.
Tiga totokan sekaligus.
Tokoh
silat berkepandaian tinggi sekalipun, apa lagi manusia biasa akan rubuh, paling
tidak kaku tegang terkena tiga totokan itu. Namun si bayi raksasa hanya
menyeringai. Bagian yang ditotok menggembung sebentar lalu surut kembali.
Ternyata totokan Wiro tidak satupun yang mempan. Tidak sanggup melumpuhkan sang
bayi! Sang bayi kembali ulurkan kedua tangan. Berusaha menangkap dua kaki Wiro
yang masih menginjak punggungnya. Kalau si bayi berhasil menangkap dua kaki
Wiro lalu membantingkan sang pendekar ke bawah dengan kepala menghujam tanah
lebih dulu maka tamatlah riwayat murid Sinto Gendeng ini!
"Aku
terpaksa harus bertindak lebih keras. Kalau tidak bisa konyol sendiri!"
Pikir Wiro. Dengan menerapkan Ilmu Belut Menyusup Tanah hingga dua kakinya
menjadi licin Wiro berhasil lolos dari cekalan bayi raksasa. Dia cepat melompat
ke bawah. Begitu menginjak tanah dengan cepat Wiro menjotos pinggang si bayi.
Lagi-lagi karena kawatir dia sengaja hanya mengandalkan sedikit tenaga dalam.
Bayi raksasa menggeliat. Memekik keras lalu memutar tubuh. Wiro tidak memberi
kesempatan. Dia kembali memukul. Kali ini pukulannya ditujukan ke perut bayi.
"Bukkk!"
Bayi yang
dipukul terjajar beberapa langkah, menggerung pendek. Lalu menyeringai Wiro
jadi jengkel. Kini dia bermaksud hendak menghantam lebih keras dengan
pengerahan tenaga dalam lebih banyak. Yang diarah adalah bagian bawah perut.
Namun ada rasa tidak tega.
Selagi
Wiro dalam keadaan bimbang dari atas cabang kiri batu Tunggul Hitam Nyi Harum
Sarti membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar ke bawah. Dua kaki menggelantung
di cabang batu Tunggul Hitam. Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah Wiro.
Larikan sinar hitam menderu tiada henti. Wiro menangkis dengan balas melepas
pukulan jarak pendek. Namun karena dari samping kiri dia melihat bayi raksasa
siap hendak menyerangnya. Murid Datuk Rao dan Sinto Gendeng ini dengan cepat
melompat ke atas puncak Tunggul Hitam. Dari sini dia melepas dua pukulan.
Tangan kiri lancarkan serangan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Tangan kanan
lepaskan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Api. Merasa belum puas dengan dua
pukulan sakti itu. Wiro kerahkan tenaga dalam ke arah mata. Saat itu juga dari
kedua matanya melesat keluar dua larik cahaya hijau membentuk sepasang pedang
panjang menggidikkan. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang Dewa.
Ketiga ilmu kesaktian yang dipergunakan untuk menyerang Nyi Harum Sarti didapat
Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh melalui Kitab Putih Wasiat Dewa yang
dipelajarinya secara tekun. Adapun Ilmu Sepasang Pedang Dewa karena
keganasannya maka dia hanya boleh mempergunakan dua kali dalam satu tahun.
Nyi Harum
Sarti kembali putar tubuhnya. Kali ini luar biasa cepat hingga tubuh itu
laksana kitiran. Dua tangan ikut berputar tak ubah seperti dua bilah pedang.
Tiba-tiba tubuh yang berputar pada cabang kiri batu Tunggul Hitam melesat
lepas. Menyambar ke arah Wiro.
"Plaakk!"
Pinggiran
telapak tangan kanan Nyi Harum Sarti berhasil menghantam dada Wiro membuat
Pendekar 212 mencelat hampir setengah tombak dan terhempas ke tanah. Dadanya
laksana terbelah. Sakitnya bukan kepalang. Dalam keadaan nafas megap-megap dari
mulut sang pendekar menyembur darah segar!
Wiro
menggeliat. Coba berdiri.
"Gila!
Jangan-jangan dadaku sudah belah!" Wiro usap dadanya. Begitu bisa berdiri
dia cepat totok tubuhnya sendiri di beberapa tempat. Rasa sakit berkurang dan
kucuran darah serta merta berhenti.
Walau
berhasil menciderai Wiro cukup parah, namun mahluk alam roh Nyi Harum Sarti
harus membayar mahal. Salah satu dari dua serangan berupa pukulan tangan kosong
yang dilancarkan Wiro menghantam dada kirinya dengan telak hingga Nyi Harum
Sarti menjerit setinggi langit. Dadanya remuk sampai ke punggung. Selagi
tubuhnya terkulai limbung dan siap jatuh ke tanah, salah satu larikan sinar
hijau Sepasang Pedang Dewa memapas lehernya!
"Crasss!"
Leher
putus!
Tubuh
jatuh terbanting ke tanah. Setelah memijarkan cahaya hitam tubuh ini berubah
menjadi kepulan asap yang dengan cepat membubung ke udara.
Hal yang
sama terjadi dengan kutungan kepala berwajah cacat Nyi Harum Sarti. Kepala
mahluk alam roh ini terpelanting ke cabang kiri batu Tunggul Hitam. Sebelum mengeluarkan
pijaran cahaya hitam dan berubah jadi asap, mulut pencong keluarkan ucapan
lantang disusul suara tawa cekikikan.
"Aku
belum mati! Aku tidak kalah! Mahluk titisanku akan menghabisi kalian berdua!
Aku akan muncul lagi! Hik… hik…hik!"
Kutungan
kepala melesat ke udara, berpijar hitam, berubah jadi asap dan melesat di
udara. Di satu ketinggian kepulan asap hitam yang berasal dari tubuh dan kepala
mahluk alam roh Nyi Harum Sarti bergabung satu sama lain. Sesaat kemudian di
udara tampak sosok utuh Nyi Harum Sarti. Mahluk jejadian ini melesat ke arah
langit dan lenyap dari pemandangan.
Bayi
titisan Ken Permata keluarkan teriakan keras. Gigi besar dan taring panjang
mencuat keluar. Walau sampai saat itu tidak satu patah katapun keluar dari
mulutnya namun jelas dia menaruh amarah terhadap Wiro. Dengan sebat dia
melompat menyergap sang pendekar.
Sekarang
kita Iihat pertarungan yang terjadi antara Datuk Rao Basaluang Ameh dengan sang
kekasih di masa muda yaitu Laras Parantili. Datuk Rao berkalikali berteriak agar
Laras Parantili hentikan serangan, hentikan pertarungan.
"Laras!
Mahluk roh yang menjadi sahabatmu itu sudah musnah! Hentikan serangan! Mari
kita bicara!" Teriak Datuk Rao sambil kibaskan seruling emas menangkis
serangan lawan. Walau si nenek menyerang mengandalkan tangan kosong namun dua
tangannya tidak beda seperti dua batangan besi keras. Setiap terjadi bentrokan
tangan dengan seruling terdengar suara berdentrangan dan bunga api bewarna
kuning berpijar di udara, Lama-lama sang datuk merasa kawatir suling saktinya
akan menjadi rusak. Maka seperti tadi dia mengulangi teriakannya, berusaha
membujuk Laras Parantili. Hanya sayang yang dibujuk semakin beringasan dan
memperhebat gempuran!
"Kalau
sahabatku musnah apa kau kira aku takut menghadapi kalian sendirian?! Saat ini
aku yang telah menjadi pewaris tunggal kerajaan Laut Utara sebelum aku serahkan
pada Ken Permata lima belas tahun di muka!"
Datuk Rao
Basaluang Ameh terkesiap mendengar ucapan Laras Parantili. Begitu juga Pendekar
212 Wiro Sableng yang ikut mendengar. Jadi inilah alasan si nenek mengapa dia
melindungi terjadinya penitisan dan berpihak pada mahluk roh Nyi Harum Sarti.
Dia ingin memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Laut Utara! Lupa dia sudah berapa
usianya!
"Laras!
Kau telah berbuat keliru! Pemegang tahta Kerajaan Laut Utara adalah Ayu
Lestari! Nyi Harum Sarti Ratu palsu yang merampas tahta dari Ayu Lestari!"
"Tua
bangka tolol! Tutup mulutmu! Mari kita bertarung sampai seribu jurus! Saat ini
juga harus ditentukan aku atau kau yang bakalan menemui ajal!"
"Laras,
sadar dan bertobatlah! Kalau kau mau mengikuti nasihatku aku berjanji kita akan
bisa hidup bersama. Jika kau suka kita akan melakukannya mulai hari ini melalui
pernikahan yang syah! Segala sesuatunya belum terlambat."
Laras
Parantili tertawa panjang. Hidung mendengus, mulut dipencongkan. Lontarkan
seringai mengejek pada sang Datuk.
"Tua
bangka tak tahu diri. Kau mimpi setengah jalan Datuk! Kambing saja tidak sudi
kawin denganmu, apalagi aku! Kau boleh kawin dengansetan hantu
pelayangan!" teriak Laras Parantili lalu kembali menggempur si kakek.
"Setan
perempuan kurang ajar! Beraninya kau menghina guruku!" Teriak Pendekar 212
Wiro Sableng yang menjadi marah besar mendengar ucapan sangat menghina yang
dikeluarkan si nenek. "Aku bersumpah akan membuatmu malu seumur hidup saat
ini juga! Kau yang akan aku buat jadi kambing betina! Kalau perlu aku cabuti
seluruh bulu di tubuhmu!"
Begitu
berteriak Wiro berkelebat ke arah Laras Parantili yang saat itu tengah
menggempur Datuk Rao dengan serangan tangan kosong, pukulan berantai. Karena
sang datuk melawan setengah hati mengingat kecintaannya pada si nenek maka tak
urung dua pukulan lawan bersarang di dada dan satu lagi menghajar telak
keningnya hingga bengkak lebam sampai ke mata. Pada saat itulah Wiro menyergapnya
dari belakang. Lalu breett! Brett! Punggung pakaian sampai ke pinggang dan
malah sampai ke bagian lebih bawah yaitu celana panjang hitam si nenek robek
besar, merosot ke bawah!
Laras
Parantili memekik keras. Datuk Rao berseru kaget. Selagi si nenek kelabakan
menutupi auratnya sebelah belakang, Wiro bertindak lebih gila.
"Tua
bangka bermulut comberan! Makan tanganku ini!"
"Plaak!
Plaakk!"
Wiro
tampar pipi Laras Parantili kiri kanan, Selagi si nenek sempoyongan Wiro
ulurkan tangan kiri. Breetttt! Dia tarik pakaian si nenek mulai dari dada
sampai ke bawah. Kini keadaan si nenek yang pakaiannya robek depan belakang
nyaris bugil!
"Kambing
betina bugil! Rasakan kau sekarang!" ucap Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Laras
Parantili menjerit sekali lagi. Dengan nekad dia tendangkan kaki kanannya yang
tepat mengenai perut Pendekar 212 hingga Wiro terpental dan jatuh duduk di
tanah. Mulutnya mengeluarkan suara seperti mau muntah tapi yang keluar semburan
darah! Dalam keadaan seperti itu walau dia ingin sekali menghabisi Wiro namun
Laras Parantili tidak sanggup menahan malu. Nenek ini putar tubuh, lalu seeepat
kilat berkelebat tinggalkan pedataran Tunggul Hitam.
Sebelum
jatuh terguling ke tanah Wiro masih sempat berbuat jahil, menjambret pinggang
celana panjang hitam Laras Parantili. Sekali tarik saja maka tanggallah celana
yang sudah tidak karuan rupa itu!
Kutuk
serapah menghambur dari mulut Laras Parantili. Rasa malu luar biasa membuat si
nenek memang tidak sanggup bertahan lebih lama di tempat itu. Sekali berkelebat
dia sudah lenyap dari pedataran Tunggul Hitam!
“Wiro,
tidak seharusnya kau berbuat begitu…" kata Datuk Rao Basaluang Ameh sambil
menyeka darah yang mengucur dari luka di keningnya.
Wiro tak
bisa menjawab. Tubuhnya terkapar tertelentang. Perut sakit sekali seperti mau
pecah akibat tendangan Laras Parantili tadi. Dada laksana terbelah oleh
hantaman pinggiran tangan kanan Nyi Harum Sarti. Darah masih mengucur dari
mulutnya. Datuk Rao membungkuk, berusaha menolong Wiro berdiri. Namun saat itu
dari belakang melompat bayi raksasa Ken Permata.
"Datuk,
awas… !"
Wiro
berteriak. Namun suaranya begitu lemah dan peringatannya agak terlambat. Saat
itu tendangan bayi raksasa telah menghantam pantat sang Datuk, Orang tua ini
mencelat sampai dua tombak. Wiro berusaha menyambuti tubuh itu tapi malah ikut
terpental dan terguling di tanah lalu sama-sama terbujur berdampingan.
Bayi
raksasa menyeringai. Memekik keras lalu melompat dan berdiri di antara kedua
orang yang berada dalam keadaan tak berdaya itu . Dia berpaling ke kiri dan ke
kanan seolah-olah mau memilih. Yang mana antara Wiro dan sang Datuk yang akan
dihabisi lebih dulu, Ternyata bayi titisan roh jahat Nyi Harum Sarti ini
memilih ke dua-duanya. Kaki kanan diangkat, siap diinjakkan ke kepala Pendekar
212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu tangan kanan bergerak melepas pukulan
maut bernama Tiga Tombak Utara Memantek Nyawa. Ilmu kesaktian ini adalah yang
didapat Ken Permata dari penitisan yang dilakukan Nyi Harum Sarti. Cahaya hitam
berkiblat, lalu memecah menjadi tiga larikan berbentuk tiga kepala tombak,
melesat ke arah kepala, dada dan perut Pendekar 212!
"Datuk,
aku tidak pernah mengira akan mati bersebelahan dengan dirimu!" ucap Wiro.
"Muridku!
Jangan pasrah putus asa!" teriak Datuk Rao Basaluang Ameh. "Tangkis
dengan Pukulan Harimau Dewa! Aku akan membantu dengan aliran tenaga
dalam!"
Lalu
Datuk Rao Basaluang Ameh pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah. Saat itu
juga dari tangan itu mengalir keluar tenaga dalam dan hawa sakti, langsung
masuk ke dalam tubuh Wiro. Tidak menunggu lebih lama Pendekar 212 segera tiup
tangan kanannya. Saat itu juga pada telapak tangan itu muncul gambar harimau
putih bermata hijau. Wiro lalu dorongkan tangan kanan ke arah datangnya
serangan yang dilepas oleh bayi raksasa. Dari telapak tangan kanan Wiro mencuat
keluar suara deru angin luar biasa dahsyat disertai suara gerengan harimau.
"Trang…trang!"
Dua
kepala tombak hitam mencelat mental hancur berkeping-keping. Tapi celakanya
kepala tombak ke tiga dari Tiga Tombak Laut Utara Memantek Nyawa masih bisa
lolos. Menderu tepat ke arah jantung Pendekar 212!
*******************
14
SEKEJAP
lagi ujung tombak ke tiga akan menancap di dada dan menembus sampai ke jantung
Pendekar 212 tiba-tiba satu benda putih melayang di udara disertai deru angin
sangat kencang.
Lalu
terdengar ada perempuan berteriak. "Kemuning! Ada bayi aneh hendak
membunuh ayahmu!"
Bersamaan
dengan menggemanya suara teriakan maka dua larik sinar putih berkiblat di
udara.
"Traangg!"
Tombak
Laut Utara Memantek Nyawa yang siap menghabisi riwayat Pendekar 212 patah
berkepingkeping, mencelat ke udara. Di pedataran kini tampak harimau putih
sakti Datuk Rao Bamato Hijau. Binatang ini lari menghampiri Wiro, lalu berdiri
dengan sikap melindungi sang pendekar. Tak jauh dari situ berdiri Nyi Retno
Mantili dengan mata berkilat sambil pegangi boneka kayu. Dia melirik sebentar
ke arah Wiro lalu alihkan pandangan pada bayi raksasa yang juga tengah menatap
ke arahnya dengan pandangan aneh.
Tiba-tiba
Nyi Retno Mantili berteriak keras. Tangan kanan yang memegang boneka kayu
diangkat ditujukan pada bayi raksasa. Lima jari memencet keras. Dua larik sinar
putih Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala berkiblat ke arah bayi raksasa.
"Nyi
Retno! Jangan menyerang bayi raksasa! Dia anakmu!" teriak Wiro. Lalu
seperti mendapat satu kekuatan Wiro melompat. Da masih sempat mendorong tangan
kanan Nyi Retno Mantili ke atas hingga dua larik cahaya putih yang mengarah
pada bayi raksasa bergeser jauh dari sasaran.
"Kemuning!
Ayahmu pasti sudah gila menolong mahluk aneh yang hendak membunuhnya!"
teriak Nyi Retno Mantili.
"Nyi
Retno, tenang. Dengar baik-baik, Bayi besar perempuan itu bukan musuhku, bukan
pula musuhmu. Dia adalah anakmu Ken Permata!"
Nyi Retno
Mantili menatap Wiro sejenak lalu tertawa cekikikan.
"Gilamu
kumat lagi! Aku tidak kenal siapa itu Ken Permata! Aku tidak pernah merasa
punya anak bernama Ken Permata. Anakku dia! Kemuning!" Nyi Retno Mantili
acungkan boneka kayu ke arah Wiro.
Bagaimana
kejadiannya Nyi Retno Mantili bisa sampai ke pedataran Tunggul Hitam dibawa
oleh harimau putih sakti? Seperti diceritakan sebelumnya Datuk Rao telah
melepas totokan di tubuh perempuan itu lalu membuatnya tertidur dan baru akan
terbangun kalau mereka kembali ke Danau Maninjau. Ternyata Nyi Retno Mantili
bangun lebih cepat dari yang diduga. Perempuan ini langsung berteriak-teriak
mencari Wiro.
Mande
Saleha yang ketakutan akan terjadi apa-apa meminta harimau putih untuk membawa
Nyi Retno Mantili ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi di mana Wiro
dan Datuk Aao berada.
Saat itu
Datuk Aao Basaluang Ameh telah berdiri dan melangkah mendekati Nyi Retno.
Harimau putih bermata hijau bergerak, melangkah berputar-putar mengelilingi
bayi raksasa. Si bayi sendiri tegak diam tak bergerak. Sepasang matanya masih
terus memandang sayu ke arah Nyi Retno. Seperti ada sesuatu di jalan
pikirannya. Kalau saja dia bisa bicara pasti dia akan mengatakan sesuatu. Sejak
tubuhnya menjadi besar aneh seperti itu dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan
sepotong katapun!
"Nyi
Retno," tegur Datuk Rao Basaluang Ameh begitu berdiri di hadapan Nyi
Retno. "Banyak kejadian yang telah menimbulkan kedukaan dan kesengsaraan.
Termasuk derita yang kaualami…"
"Eh,
kakek yang matanya bengkak ini siapa?" Nyi Retno bertanya pada Wiro.
"Dia Datuk Rao Basaluang Ameh, guruku." Menerangkan Wiro.
"Oala!
Kemuning! Ayahmu ini bicara apa. Kita tahu gurunya adalah nenek keriput
berkulit hitam bau pesing bernama Sinto Gendeng! Sekarang kenapa dia mengaku-aku
kakek ini sebagai gurunya?"
"Nyi
Retno mengenai aku ini siapa tidak perlu dipersoalkan." Kata Datuk Rao
dengan suara lembut sambil meletakkan tangannya di bahu kiri Nyi Retno dan
diam-diam mengalirkan hawa sakti sejuk, "Yang penting saat ini adalah kau
telah bertemu dengan bayimu bernama Ken Permata. Bayi dari hasil perkawinanmu
dengan Wira Bumi. Bayi yang diselamatkan oleh pembatumu bernama Djaka Tua. Kau
ingat Nyi Retno…?"
"Hik…hik!
Orang tua ini pandai sekali bercerita. Tapi sebagian ceritanya dusta!" Nyi
Retno Mantili keluarkan ucapan sambil usap-usap wajah boneka kayu.
"Kalau
aku dusta, aku minta maat padamu Nyi Retno. Tapi ceritaku yang mana yang kau
anggap dusta?" tanya Datuk Rao sambil kini tangannya mengusap kepala Nyi
Retno Mantili dan kembali mengalirkan hawa sakti sejuk.
Nyi Retno
kibaskan tangan yang mengusap kepalanya.
"Wiro
ayah Kemuning saja tidak pemah memegang kepalaku. Kau yang aku tidak kenal
siapa beraniberaninya…"
Datuk Rao
tersenyum.
"Nyi
Retno, maafkan kalau aku yang tua ini telah berlaku lancang. Selama ini aku
begitu dekat dengan puterimu Ken Permata. Aku telah menganggap dirinya sebagai
cucu sendiri. Dan kau aku anggap sebagai anak. Namun…"
"Orang
di tempat ini gila semua rupanya!" Kata Nyi Retno Mantili dengan muka
cemberut. "Aku sudah bilang tidak pernah punya anak, punya bayi atau
puteri bernama Ken Permata!"
Wiro
menggaruk kepala. Datuk Rao masih tersenyum. Keduanya berpaling ke arah batu
Tunggul Hitam. Mereka melihat kejadian aneh. Bayi raksasa Ken Permata yang tadi
begitu ganas hendak membunuh Wiro kini duduk diam menjelepok di tanah. Sepasang
matanya tidak lagi beringas tapi menatap sayu tak berkesip ke arah Nyi Retno
Mantili.
"Wiro,
apakah kau melihat satu keanehan pada pandangan mata bayi itu…? Dia seperti
mengharapkan sesuatu, mendambakan sesuatu…"
"Benar
Datuk. Saya dapat merasakan…" jawab Wiro. "Anak itu sepertinya merasa
ada getaran batin dalam dirinya. Mungkin Yang Maha Kuasa tengah memberikan satu
petunjuk padanya… Mungkinkah bayi itu punya rasa kalau Nyi Retno Mantili adalah
ibu kandungnya…"
Datuk Rao
terdiam mendengar ucapan Wiro. Dia tidak menyangka si pemuda mempunyai perasaan
yang begitu halus hingga menangkap getaran batin antara sang bayi dengan
ibunya. Datuk Rao berpaling pada Nyi Retno.
"Nyi
Retno, kau belum menjawab ceritaku yang mana yang kau katakan dusta."
Nyi Retno
Mantili timang-timang boneka kayu beberapa ketika lalu menjawab.
"Aku
tidak pernah kawin dengan orang bernama Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak
bernama Ken Permata. Itu kedustaanmu orang tua. Tapi kau tidak dusta soal
pembantuku yang bernama Djaka Tua. Eh, apa kau tahu kalau pembantuku itu sudah
mati digantung orang-orang Kerajaan?"
Datuk Rao
mengangguk. "Nasibnya malang sekali. Semoga Tuhan memberikan tempat yang
paling baik baginya di alam akhirat.”
Nyi Retno
memandang berkeliling. Dia tertawa cekikikan ketika melihat bayi raksasa
perempuan yang duduk menjelepok di tanah di depan batu Tunggul Hitam. Lalu
perempuan ini berkata pada boneka kayu. "Kemuning, kau lihat bayi besar
itu. Lucu sekali. Makannya pasti sepuluh bakul! Hik…hik…hik!" Nyi Retno
kemudian berkata pada Wiro. "Aku tidak suka kau membawaku ke sini. Perlu
apa? Di mana ini? Aku ingin kembali ke tanah Jawa. Aku ingin menemui
Sandaka…"
"Nyi
Retno, kau dan Wiro akan segera kembali ke tanah Jawa. Sebelum pergi apakah kau
tak ingin memegang atau mengusap kepala bayi raksasa ini?" tanya Datuk Rao
pula.
"Ihh…
Perlu apa aku mengusap kepalanya. Lihat, giginya besar-besar. Calingnya panjang
runcing. Bisabisa nanti aku digeragotnya!"
"Bayi
ini bayi baik. Dia tidak akan berbuat jahat padamu. Dia sebaik anakmu Kemuning.
Karena sebenarnya dia dan Kemuning masih barsaudara." Kata Wiro pula.
"Geblek!
Mana mungkin Kemuning bersaudara dengan bayi aneh itu!" kata Nyi Retno
Mantili.
"Nyi
Retno, tidakkah kau menyadari? Bayi besar itu dari tadi memandangmu. Dia akan
sangat bahagia kalau kau mengusap kepalanya…"
"Kalian
berdua sama rewelnya. Baiklah aku akan mengusap kepala bayi bercaling itu. Tapi
satu kali saja!"
"Satu
kalipun tak jadi apa Nyi Retno. Mari kugendong agar kau bisa mengusap
kepalanya." Wiro lalu mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanannya. Agak
takut-takut dia kemudian membawa perempuan itu ke hadapan bayi raksasa.
"Nah, sekarang ulurkan tanganmu. Usap kepalanya…"
Nyi Retno
tidak segera melakukan apa yang dikatakan Wiro sementara Datuk Rao
memperhatikan dengan perasaan cemas. Persentuhan lahir merupakan kunci dari
persentuhan batin. Dengan kunci itulah Datuk Rao akan coba membuka ingatan Nyi
Retno kembali. Bayi besar sendiri yang kini benar-benar berubah sikapnya
dongakkan kepala, menatap Nyi Retno MantiIi. Wiro pegang lengan Nyi Retno.
"Usap Nyi Retno, usap kepalanya. Sesudah itu kita akan meninggalkan tempat
ini. “
Nyi Retno
Mantili akhirnya ulurkan tangan kanan. Telapak tangan diletakkan di atas rambut
bayi raksasa lalu dia mengusap satu kali. Saat itu juga terjadi satu keanehan.
Nyi Retno Mantili terpekik. Wiro dan Datuk Rao keluarkan seruan tertahan. Bayi
besar yang menyeramkan itu begitu diusap satu kali kepalanya oleh Nyi Retno
Mantili tiba-tiba berubah kembali menjadi bayi sebesar aslinya yakni Ken
Permata seusia kurang dari dua tahun. Gigi besar dan taring di dalam mulutnya
lenyap! Begitu berubah bayi ini langsung menangis. Dua tangan diulurkan ke arah
Nyi Retno Mantili. Nyi Retno bersurut mundur.
"Nyi
Retno, bayi itu suka padamu. Dia minta digendong." kataWiro.
"Aku
tak mau menggendongmu! Kau bukan Kemuning! Kau bukan anakku!" Kata Nyi
Retno pula.
"Nyi
Retno, gendonglah barang sebentar. Sampai dia berhenti menangis. Kelihatannya
dia suka padamu, juga suka pada Kemuning…" Berkata DatukRao.
"Aku
tidak mau. Aku takut Kemuning marah… "
"Tidak,
Kemuning tidak akan marah. Malah Iihat. Kemuning ingin menciumnya…" Wiro
lalu menarik boneka kayu yang dipegang Nyi Retno Mantili dan menempelkan wajah
boneka kayu itu di pipi Ken Permata. "Nah, apa kataku! Kemuning tidak
marah. Lihat, Kemuning malah tertawa-tawa."
Nyi Retno
Mantili tersenyum.
"Boneka
ini lucu juga. Siapa namanya?" Tanya Nyi Retno.
"Dia
bukan boneka. Dia manusia sungguhan. Namanya Ken Permata. Bayi cantik.
Milikmu…”
"Milikku?"
"Benar
Nyi Retno. Dia milikmu. Apakah kau mau membawanya serta ke tanah Jawa?"
Nyi Retno
menggeleng. "Tidak. Nanti merepotkan saja…"
"Dia
anak baik. Dia akan jadi teman bermain Kemuning. Sekarang gendonglah. Sebentar
saja…"
"Dia
cengeng! Dari tadi menangis terus."
"Itu
karena dia kepingin kau gendong, Nyi Retno." kata Datuk Rao.
Wiro
gendong bayi kecil Ken Permata lalu diulurkan pada Nyi Retno Mantili. Nyi Retno
diam saja. Tapi matanya menatap wajah bayi cantik yang menangis itu. Sepasang
mata mereka saling beradu pandang. Sepasang mata ibu dan anak. Nyi Retno
sisipkan boneka kayu ke punggung pakaiannya. Lalu perlahan-lahan perempuan ini
ulurkan tangan.
"Aku
tak mau menggendong lama-lama. Aku akan menggendong sebentar saja." Ucap
Nyi Retno Mantili.
Begitu si
bayi berada dalam dukungan Nyi Retno Mantili, satu cahaya hitam melesat keluar
dari tubuh Ken Permata.
"Roh
titisan meninggalkan tubuh bayi itu…" bisik Datuk Rao pada Wiro.
"Kekuatan kasih sayang sang Ibu memusnahkan semua kejahatan yang ada dalam
tubuh bayi itu…"
"Tapi
apakah Nyi Retno bisa kembali waras. Bisa menyadari kalau Ken Permata adalah
anak kandungnya?"
"Kita
tunggu saja. Aku merasa sesuatu akan terjadi…" jawab Datuk Rao Basaluang
Ameh. "Bantu aku berdoa pada Yang Maha Kuasa."
Wiro dan
Datuk Rao memperhatikan. Nyi Retno Mantili yang tadi hanya mau mendukung si
bayi sebentar saja kini ternyata masih terus mendekapnya sementara si bayi
memeluknya sambil menangis. Dua jantung saling balas berdetak. Dua aliran darah
saling menggetarkan rasa. Ketika Nyi Retno Mantili mengangkat kepalanya, Wiro
dan Datuk Rao melihat bagaimana sepasang mata bening perempuan cantik bertubuh
mungil itu kini tampak berkaca-kaca.
"Nyi
Retno, apakah kau sudah puas menggendongnya? Kalau sudah serahkan kembali bayi
itu padaku." Kata Datuk Rao pula yang sebenarnya ingin menjajagi hati dan
perasaan Nyi Retno Mantili.
"Aku
masih ingin menggendongnya. Dia anak baik. Hatiku merasa tenteram saat memeluknya.
Siapa nama bayi ini…?"
"Ken
Permata," jawab Wiro.
"Bayi
ini…" Nyi Retno usap wajah si bayi yang basah oleh air mata. "Bayi
ini…" Nyi Retno memandang ke arah Wiro. "Katamu dia bayiku. Anakku.
Kau…kau tidak dusta?"
"Tidak
Nyi Retno, aku tidak berdusta."
Nyi Retno
berpaling pada Datuk Rao. Orang tua ini cepat berkata. "Aku juga tidak
berdusta. Bayi bernama Ken Permata itu adalah anak yang lahir dari rahimmu dan
pernah lenyap sewaktu diselamatkan oleh pembantumu…"
"Nyi
Retno, coba kau perhatikan.” Kata Wiro pula. "Cantiknya bayi itu sama
dengan cantiknya wajahmu. Hidung, alis serta bibirnya juga sama denganmu…"
Nyi Retno
terdiam. Diam memandang ke arah kejauhan seperti coba merenung. Perlahan-lahan
ingatan masa silam sedikit demi sedikit muncul membayang dalam benaknya. Namun
memang tidak mudah mengembalikan kewarasan seseorang yang pernah hilang dan
telah menderita selama hampir dua tahun hanya dengan cerita walau saat itu dia
melihat sendiri sang bayi.
"Lalu
Kemuning?"
Wiro
menggaruk kepala. Saling pandang dengan Datuk Rao.
"Kemuning
saudara Ken Permata. Keduanya sama-sama anakmu, Nyi Retno.” Datuk Rao yang
bicara.
"Jadi
aku punya dua anak?"
"Betul…"
jawab Wiro.
"Dua-duanya
perempuan?"
"Betul.."
Menyahuti sang Datuk.
"Dan
kau ayahnya juga? Ayah Kemuning dan ayah Ken Permata?"
Wiro
menggaruk kepala. "Benar, aku ayah mereka…"
"Aku
punya dua anak… Aku gembira…" Nyi Retno tertawa sebentar lalu menangis.
Wajahnya berubah tidak seperti biasa. Pandangan matanya juga kini lain.
Suara dan
nada ucapannya jauh berbeda.
"Ya
Allah, turunkan rakhmatmu. Beri kesembuhan pada perempuan ini," ucap Datuk
Rao dalam hati sambil mengucapkan istigfar berulang kali.
"Wiro,
aku mau membawa anak-anakku pulang ke tanah Jawa. Aku, aku juga ingin melihat
Sandaka. Akan aku katakan padanya kalau aku sebenarnya punya dua anak. Ken
Permata dan Kemuning. Dulu dia hanya tahu kalau aku cuma punya satu orang anak.
Kemuning ini…" Nyi Retno lalu mengambil boneka kayu yang disisipkannya di
punggung pakaian. Lama dia menatap boneka kayu itu sementara air mata jatuh
bercucuran. Boneka kayu kemudian dicium berulang kali.
"Wiro,
Nyi Retno belum sembuh sempurna. Tapi wajah, sikap serta bicaranya menunjukkan
sudah jauh berubah. Kau harus segera membawanya ke tanah Jawa. Bawa dia pulang
ke tempat kediamannya. Jika dia melihat semua benda atau tempat, apa saja yang
ada di masa lalunya, kiranya itu akan membawa kesembuhan yang lebih cepat dalam
dirinya."
"Saya
akan melakukan apa yang Datuk katakan. Bisakah saya membawa mereka sekarang
juga? Saya butuh bantuan sahabat Datuk Rao Bamato Hijau…"
Baru saja
Wire mengucapkan kata-kata itu harimau putih bermata hijau segera mendatangi
lalu rundukkan tubuh di depan Wiro dan Nyi Retno Mantili.
GUBUK tua
dalam rimba belantara tak jauh dari jurang batu pualam. Manusia Paku Sandaka
terbaring di lantai gubuk, ditemani Denok Tuba Biru.
"Aku
mendengar suara sesuatu melayang di udara. Mendatangi ke arah gubuk ini…"
kata Sandaka. Baru saja dia berucap tiba-tiba ada sahutan.
"Sahabat,
kami memang sudah sampai di sini!"
Lalu
seekor harimau putih besar muncul, menggereng perlahan di depan gubuk,
ditunggangi Wiro, Nyi Retno Mantili, Ken Permata dan boneka kayu Kemuning.
Tentu saja Sandaka dan si gembrot Denok Tuba Biru merasa gembira. Ternyata Wiro
dan Nyi Retno hanya pergi kurang dari dua hari.
"Sahabat
berdua, aku gembira bisa bertemu lagi dengan kalian. Bagaimana keadaan kalian?”
Sandaka dan Denok Tuba Biru terheran-heran. Ada perubahan pada diri perempuan
mungil ini.
"Sakit
pada punggungku sudah jauh berkurang. Jika dipaksakan rasanya aku sudah bisa
duduk…" Jawab Sandaka.
"Bayi
cantik ini, apakah dia yang bernama Ken Permata?" tanya Denok Tuba Biru
sambil mengusap pipi merah si bayi.
Yang
menjawab Nyi Retno sendiri. "Benar, dia anakku. Sekarang aku punya dua
anak. Ken Permata dan Kemuning."
Sandaka
tertawa. Berpaling ke arah Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mendekat. Lalu
Sandaka berbisik.
"Apakah
Nyi Retno mengalami kesembuhan setelah bertemu bayinya?"
Wiro
mengangguk dan diam-diam merasa sedih karena dengan kesembuhan Nyi Retno
berarti pakupaku yang ada di kepala dan tubuh Sandaka tidak dapat dilenyapkan.
"Sekarang
otaknya sudah waras, tidak gila lagi?" Sandaka bertanya lagi ingin
meyakinkan.
"Benar,"
jawab Wiro.
"Aku
bersyukur…"
"Sandaka
walau aku gembira ada kesembuhan pada diri Nyi Retno Mantili, tapi aku sedih
mengingat keadaan dirimu. Berarti syarat untuk melenyapkan tiga puluh paku di
tubuhnya tidak mungkin dilaksanakan. Tapi biar semua kita serahkan pada Yang
Kuasa Gusti Allah."
"Aku
juga sudah pasrah. Ini semua sudah kehendak Yang Kuasa. Sudahtakdir…"
"Tapi
bagaimana kalau aku bicara dulu dengan Nyi Retno Mantili. Lalu menanyakan
padanya apakah dia masih bersedia nikah denganmu?"
Sandaka
tertawa."Waktu tidak waras saja dia tidak mau nikah denganku. Apa lagi
setelah waras, Kau ini mau membanyol yang tidak-tidak saja."
"Kau
tunggu saja di sini. Aku akan menemuinya. Aku akan bicara dulu dengannya. Kau
berdoa saja di sini…”
"Kalau
ada Malaikat mendengar ucapanmu, Malaikat pasti tertawa." Kata Sandaka
pula.
"Ssttt.
Jangan sebut-sebut Malaikat. Setahuku Malaikat itu tidak pernah tertawa. Tapi
mampu memberikan rakhmat pada manusia. Nah, kau tunggu di sini…"
Wiro lalu
membawa Nyi Retno Mantili keluar gubuk. Keduanya bicara cukup lama. Ketika
akhirnya Wiro masuk kembali ke dalam gubuk bersama Nyi Retno Sandaka berusaha
tenang walau hatinya sebenarnya sangat cemas. Apalagi dilihatnya Wiro berulang
kali menggelengkan kepala.
Sesaat
kemudian Wiro, Nyi Retno Mantili yang menggendong Ken Permata dan membawa
boneka kayu, serta Tuba Biru sudah duduk di samping Sandaka. Wiro mengusap
wajah berulang kali, menggaruk kepala tiada henti, menambah kecemasan yang ada
dalam diri Sandaka.
"Sahabatku,"
Wiro mulai bicara. "Aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Selebih dari
itu semuanya berada di tangan Gusti Allah."
Sandaka
merasa benar-benar putus harapan. Dia menatap ke atap gubuk. Berusaha
mengendalikan perasaan hingga tubuhnya bergetar dan dadanya turun naik.
"Aku
mengerti Wiro, kau sahabat baik. Aku sangat berterima kasih padamu. Manusia
tidak bisa menolak kehendak Yang Kuasa." Berucap Sandaka dengan suara
bergetar.
"Benar
sahabatku. Manusia tidak bisa menolak kehendak Yang Kuasa." Jawab Wiro.
Lalu dia berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno, sampaikan pada
sahabatku Sandaka apa yang hendak kau katakan."
Nyi Retno
Mantili usap kepala boneka kayu lalu membelai rambut Ken Permata. Matanya
kemudian menatap ke arah Sandaka. Tapi mulutnya tidak mengeluarkan ucapan
apa-apa.
Wiro jadi
garuk kepala.
"Nyi
Retno. Kau sudah berjanji tadi. Sekarang katakan saja…"
Setelah
masih diam beberapa lama akhirnya Nyi Retno Mantili berkata.
"Sandaka,
aku bersedia dinikahkan dan menjadi istrimu."
Kejut
Manusia Paku Sandaka Arto Gampito bukan alang kepalang. Si gembrot Denok Tuba
Biru terperangah. Saking kaget dan juga gembiranya Sandaka tiba-tiba berteriak
keras. Lupa akan sakit di punggungnya pemuda ini melompat ke atas hingga
menjebol atap gubuk. Ketika dia menjejakkan kaki di halaman, tiga puluh paku
yang menancap di kepala, wajah serta sekujur tubuhnya telah lenyap! Kuasa Tuhan
memang di atas segala-galanya. Walau Nyi Retno Mantili kini sudah berubah
menjadi orang waras namun keikhlasannya untuk bersedia menjadi istri Sandaka
membuat pemuda ini tetap mendapat kesembuhan.
Perlahan-lahan
Sandaka jatuhkan diri berlutut lalu
bersujud
di tanah. Mulutnya berucap.
"Terima
kasih Gusti Allah. Terima kasih atas pertolonganMu hingga saya mendapatkan
kesembuhan. Saya berjanji akan mengasihi dan menjaga baik-baik istri saya, Nyi
Retno Mantili. Saya berjanji akan menyayangi dua anaknya, Ken Permata dan
boneka kayu Kemuning…"
Pada saat
Sandaka jatuhkan diri berlutut, Nyi Retno Mantili cepat-cepat keluar dari dalam
gubuk yang atapnya sudah jebol. Wiro segera mengikuti. Tapi Denok Tuba Biru
cepat memegang tangannya.
"Wiro,
sekarang giliranku untuk mengatakan
bahwa aku
bersedia kau nikahi dan menjadi istrimu…" "Apa?!" Dua mata
Pendekar 212 mendelik besar. Si gembrot Denok Tuba Biru tertawa gelak-gelak
lalu enak
saja merangkulkan dua tangannya ke bahu sang pendekar hingga bulu ketiaknya
yang lebat bersembulan menyentuh leher Wiro, membuat murid Sinto Gendeng
merinding kegelian!
TAMAT
No comments:
Post a Comment