Episode Halilintar Di Singosari
Halilintar Di Singosari
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
1
ARUS Kali
Brantas mengalun tenang di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu kecil meluncur
perlahan melawan arus dari arah Trowulan. Di atasnya Ada dua orang penumpang
berpakaian seperti petani. Yang satu berusia hampir setengah abad. Rambutnya
yang disanggul di sebelah atas sebaglan nampak putih. Raut wajahnya yang
terlindung oleh caping lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Kumis dan
janggutnya lebat. Tetapi jika orang berada dekat-dekat padanya dan
memperhatikan wajahnya dengan seksama akan ketahuan bahwa kumis dan janggut
lebat itu adalah palsu.
Orang
bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang
luruslurus ke muka. Sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang
terselip di pinggang, tersembunyi di balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah
pemuda berbadan kekar. Pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain
putih terikat di keningnya. Rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas
kepala, tapi dibiarkan terlepas menjela pundak.
"Gandita,
aku sudah dapat melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung sana,"
berkata lelaki yang lebih tua.
Gandita,
pemuda yang mendayung perahu, meninggikan lehernya sedikit dan memandang jauh
ke muka, Memang diapun dapat melihat pohon cempedak yang dikatakan orang itu
tadi. Pohon cempedak itu tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari
separuh batangnya sampai ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.
"Saya
juga dapat melihatnya dari sini Adipati," ujar Gandita. "Sebentar
lagi kita akan sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kedri itu akan
datang?"
"Manusia
bernama Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti datang.
Kalau dia tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada
satu kali. Sekali lewat jangan harap bakal muncul lagi."
Gandita
mendayung, perahu meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata. Kalau orang-orang
Kediri tidak muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura seperti ini!
Saat demi
saat perahu semakin dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah batangnya
yang membelintang di atas kali Gandita merapatkan perahu ke tebing.
"Tidak
kelihatan siapapun," kata orang yang dipanggil dengan sebutan Adipati. Dia
bernama Wira Seta dan dia memang adalah seorang Adipati dari Madura.
"Saatnya
kita mengeluarkan tanda rahasia," kata Wira Seta.
Gandita
mengangguk. Dia bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini memandang
berkeliling. Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan bibir.
Dari mulut Gandita keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi. Kedua
orang dalam perahu menunggu dengan air muka tampak tegang.
"Aneh,
tak ada sahutan…" kata Wira Seta. "Mungkin mereka belum sampai di
sini?"
Gandita
tidak menyahut.
"Coba
sekali lagi," kata Wira Seta.
Kembali
pemuda itu menirukan suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba ada suara
suitan merobek kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.
Wira Seta
tampak lega. "Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke
darat."
Kedua
orang itu keluar dari perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat. Pada
saat itu rerumpunan semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua orang
berpakaian perajurit Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu
keduanya telah merentang busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan
Gandita.
Panah
beracun, kata Gandita dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat dari
besi berwarna sangat hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.
"Prajurit-prajurit
Kediri, mana pemimpin kalian?" tanya Wira Seta.
Salah
seorang perajurit menjawab. "Kami dipesan agar melihat benda tanda
jatidiri lebih dahulu sebelum membawa pada pemimpin kami."
Gandita
berpaling pada Wira Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di
pinggangnya lalu memperlihatkannya pada perajurit yang masih tegak dengan
membidikkan panah beracun tepat ke arah jantungnya. Keris ini gagang dan
sarungnya terbuat dari perak murni. Pada bagian-bagian tertentu dilapisi emas
serta beberapa buah permata. Pada badan sarung dan gagang keris terdapat ukiran
kepala singa dengan badan berbentuk manusia. Inilah keris Narasinga, salah satu
senjata pusaka Keraton Kediri yang berasal dari sesepuh dan pendiri Kerajaan
yaitu Sang Prabu Kameswara.
Kedua
perajurit Kediri itu segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk lalu
menurunkan busur masing-masing. Yang satu berkata, "Ikuti kami."
Setelah
melewati beberapa kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang agak
terbuka kelihatan sepuluh orang perajurit berkuda. Salah seorang dari mereka,
yang bertindak sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat dia
memandangi lelaki bercaping, berkumis dan berjanggut tebal itu seperti tengah
meneliti. Kemudian cepat dia memberi penghormatan seraya berkata,
"Harap
maafkan, saya tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!"
perajurit-perajurit lainnya segera pula memberi penghormatan.
Wira Seta
membalas penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya, "Mana
pemimpin kalian?"
"Beliau
segera datang. Harap Adipati suka bersabar sesaat." Jawab perajurit yang
ditanya.
Tak lama
kemudian seekor kuda nitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki berusia
hampir enam puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal disanggul
di atas kepala. Orang ini turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira Seta lalu
tersenyum.
"Penyamaran
Adimas Wira Seta rapi sekali. Bertemu di tempat lain sulit bagiku
mengenali."
Di antara
kedua orang sahabat itu Wira Seta memang beberapa tahun lebih muda. Karena
itulah orang dihadapannya memanggilnya dengan sebutan Adimas.
Wira Seta
membuka capingnya. Kedua orang itu lalu saling berpelukan.
"Jauh-jauh
dari Sumenep Dimas tentu letih sekali. Aku ingin membawa Dimas ke
Gelanggelang. Tetapi keadaan kurang mengizinkan. Harap Dimas maklum."
Adipati
Wira Seta mengangguk. "Suatu ketika akan tiba saatnya kita dapat berkumpul
bersama-sama secara terbuka, tanpa rasa takut. Kangmas Adikatwang, apakah kau
ada baikbaik saja?"
"Para
Dewa memberkahi serta melindungiku dan keluarga. Walau hidup di bawah Singosari
penuh tekanan tapi kita terpaksa pasrah. Sudah untung Sang Prabu masih mau
memberikan daerah Gelang-Gelang kepadaku."
Adipati
Wira Seta mernegang bahu Adikatwang, putera Sri Baginda Kertajaya yang pemah
berkuasa di Kediri sebelum Kerajaan itu diserbu dan ditunduk kan oleh Singosari
dibawah pimpinan Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa belasan tahun yang
silam,
"Siapa
yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi," kata Adipati
Wira Seta pula. "Lihat saja dengan diri saya. pengabdian dan jasa apa yang
tidak saya lakukan untuk Kerajaan. Saya tidak mengharapkan dianggap sebagai
pahlawan besar. Jalan pikiran saya dicurigai, perlakuan terhadap diri saya
sungguh menyakitkan. Saya dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja.
Dikucilkan jadi Adipati di Madura yang gersang! Dengan kata lain saya disuruh
makan garam banyak-banyak agar cepat mati!" Wira Seta masih bisa tertawa
dalam mengutarakan uneg-unegnya.
"Aku
mengerti kekecewaan Dimas Wira Seta," kata Adikatwang.
"Kekecewaan,
tekanan dan penghinaan yang kita terima tidak akan berjalan lama. Saya percaya
waktunya untuk Kangmas memegang tampok kekuasaan akan segera datang."
Adikatwang
memandang sejurus pada pemuda yang berdiri di samping Wira Seta lalu bertanya,
"Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?"
"Namanya
Gandita. Dia murid seorang sakti di puncak Gunung Kelud. Dia orang kepercayaan
saya yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita."
Gandita
memberi penghormatan pana Adikatwang lalu kembali tegak dengan sikap siap
seorang perajurit.
"Aku
senang kau membantu Adipati Wira Seta. Pemuda-pemuda gagah sepertimu memang
bakal banyak diperlukan."
"Terima
kasih Adipati," kata Gandita seraya membungkuk.
"Kangmas
Adi, sekarang kita perlu bicara empat mata. Mari kita cari tempat yang
baik."
Raden
Adikatwang mengangguk. "Kalian tetap di sini," katanya pada para
pengawalnya.
Lalu
kedua sahabat ini melangkah ke arah tepian Kali Brantas. Di balik serumpunan
semak belukar tak berapa jauh dari pohon cempedak hutan yang tumbuh miring,
mereka memilih tempat yang baik dan duduk di tanah meneruskan pembicaraan.
"Saya
dan beberapa kawan telah siap menjalankan apa yang jadi rencana. Kami hanya
menunggu keputusan Kangmas saja."
"Berapa
kekuatan orang Adimas keseluruhannya?" tanya Adikatwang.
"Sekitar
dua ribu orang. Semua mereka merupakan perajurit-perajurit terlatih dan
berpengalaman. Semangat mereka tinggi. Mereka rela mengorbankan darah dan nyawa
demi berdirinya kembali Kerajaan Kediri."
Untuk
beberapa lamanya Adikatwang berdiam diri seperti merenung. Dalam dirinya
terjadi pergolakan. Hati kecilnya menyuarakan hal yang berbeda dengan otaknya.
Sebenarnya aku sudah cukup pasrah menerima keadaan. Jika pecah lagi peperangan
yang jadi korban dan banyak menderita pastilah rakyat.
"Apa
Yang Kangmas pikirkan?" bertanya Adipati Wira Seta.
"Kekuatan
kita agaknya memang meyakinkan," berkata Adikatwang,
"Belum
terhitung orang-orang seperti Gandita. Lalu orang-orang dari dunia persilatan.
Para pemuka agamapun menyokong perjuangan kita mendirikan Kediri kembali."
"Apakah
aku harus memberi keputusan sekarang Dimas Wira Seta?"
"Bukankah
untuk maksud itu saya datang jauh-jauh dari Madura?" sahut Wira Seta.
Kembali Adikatwang tampak termenung.
Melihat
hal ini Wira Seta berusaha membakar hati sahabatnya itu dengan mengungkit
peristiwa lama.
"Kangmas,
apakah kau akan melupakan begitu saja perbuatan jahat orang-orang Singosari?
Mereka menyerbu dan menghancurluluhkan negeri kita. Merampas harta kekayaan
rakyat kita. Membunuh ratusan rakyat. Salah satu korban mereka yang terbesar
adalah Sang Prabu Kertajaya, ayahanda Kangmas sendiri. Apakah perkiraan Kangmas
arwah ayahanda Kangmas akan berada dalam keadaan tenteram di swarga loka
sebelum dia melihat kita menuntut balas atas kejahatan dan kekejaman musuh?
Mohon maafmu Kangmas, sebagai seorang sahabat saya akan terpaksa berkata. Kalau
Kangmas mundur dengan rencana ini, saya dan kawan-kawan akan tetap
melaksanakannya. Kediri harus bangun kembali. Tugas dan tanggung jawab itu ada
di pundak orang-orang seperti kita. Apalagi mengingat Kangmas adalah pewaris
tunggal dan syah dari tahta Kerajaan Kediril"
Raden
Adikatwang menarik nafas panjang. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia
berkata. "Kita tetap sama-sama menjalankan rencana besar ini Dimas.
Bagaimana persiapan pasukan?"
"Mereka
sudah lama siap. Tindakan saya yang pertama dalam waktu dekat ini ialah membawa
mereka ke Canggu. Dari sini pasukan akan disebar dalam dua arah. Yang pertama
ke Utara Singosari, sebagian lagi ke arah Selatan sekitar Badud dan Jago."
"Kalau
begitu kita tentukan saja sekarang hari dan saat penyerangan agar pasukan dari
Gelang-Gelang bisa bergabung dalam waktu yang tepat," kata Adikatwang.
"Itu
satu hal yang sangat bagus. Saya mengusulkan agar pasukan Kangmas memperkuat
pasukan yang di Selatan. Saya sudah menyusun satu tipuan yang bakal
menghancurkan Singosari dalam waktu singkat."
Lalu
Adipati Wira Seta memberi tahu rencananya itu.
"Aku
sangat setuju Dimas. Kau memang seorang Panglima Perang yang cerdik. Sang Prabu
kelak akan menyesal seumur hidup telah menyia-nyiakan dirimu."
Wira Seta
tersenyum. Tapi tiba-tiba Adikatwang melihat air muka sahabatnya itu berubah.
"Ada
apa Dimas?" tanya Adikatwang.
"Saya
mencium bau yang sangat tajam. Bau apa ini?" Wira Seta memandang
berkeliling.
Adikatwang
mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Dia mengenali bau yang diciumnya
itu. "Bau buah cempedak," katanya. "Cempedak hutan!"
Wira Seta
cepat berdiri lalu melangkah ke arah ka1i. Adikatwang mengikuti dari belakang.
Mereka bergerak ke jurusan pohon cempedak yang tumbang melintang di atas kali.
Di satu tempat Wira Seta yang berada di sebelah depan hentikan langkah, memberi
tanda pada Adikatwang lalu menunjuk ke arah pohon cempedak.
"Lihat…"
bisiknya. "Ada orang di atas sana."
Adikatwang
memandang ke atas pohon. "Bukankah itu Gandita, pemuda
kepercayaanmu?" kata Adikatwang pula.
"Warna
pakaiannya dan ikat kepalanya memang sama. Rambutnya juga sama panjang. Tapi
itu bukan Gandita," jawab Adipati Wira Seta.
"Jangan-jangan
kita telah kecolongan, Dimas. Bukan mustahil pemuda gondrong di atas pohon itu
adalah mata-mata Singosari. Celaka kita kalau dia telah mendengar semua
pembicaraan kita!"
"Saya
meragukan hal itu Kangmas. Lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon. Makan
cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki. Seorang mata-mata tidak akan
melakukan hal itu."
"Siapapun
dia kita harus menyelidiki. Aku akan memberi tahu para pengawal. Tempat ini
harus segera dikurung. Jangan orang itu sampai melarikan diri. Kau tunggu di
sini. Awasi dia.
"Cepatlah!"
kata Wira Seta. "Suruh Gandita kemari!"
****************
2
ORANG
yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum
sepertinya tidak tahu kalau dirinya diawasi. Dia terus saja menyantap buah itu
sambil duduk berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya. Kulit cempedak dan juga
biji buah itu dibuangnya seenaknya ke bawah. Beberapa potongan kulit dan biji
malah ada yang jatuh ke dalam perahu milik Wira Seta yang ditambatkan di tepi
kali. Jengkelnya Adipati Sumenep itu bukan kepalang. Namun dia tidak mau
bertindak gegabah. Dia maklum, hanya orangberkepandaian tinggi yang
kehadirannya tidak diduga seperti itu. Lalu bukan sembarang orang bisa duduk
berjuntai di batang pohon sambil menyantap buah dengan cara begitu.
Sambil
menikmati buah cempedak yang harum itu si pemuda berambut gondrong sesekali
terdengar menyanyi-nyanyi kecil. Kadang-kadang tangan kirinya tampak
mengusap-usap perut seolah mengukur-ukur apakah dia sudah cukup kenyang.
Sesekali tangannya yang lengket oleh getah buah itu enak saja dipakai untuk
menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
Adikatwang
dan para pengawal muncul di tempat itu bersama Gandita. Tanpa suara mereka
segera mengurung tempat tersebut. Di atas pohon si pemuda masih terus saja
enakenakan menyantap buah cempedak. Wira Seta memberi isyarat pada Gandita.
Pemuda ini melangkah mendekati pohon cempedak lalu berseru.
"Ki
sanak di atas pohon! Turunlah sebentar! Kami ingin bertanya!"
Pemuda di
atas pohon menoleh ke bawah.
Wira Seta
berbisik pada Adikatwang. "Lihat, dia tidak terkejut ketika diteriaki.
Berarti secara diam-diam sebenarnya dia sudah mengetahui kehadiran kita di
sini. Tapi bersikap tidak perduli."
Setelah
memandang ke arah Gandita sesaat, orang di atas pohon kembali meneruskan makan
buah cempedaknya tanpa menjawab seruan orang.
Gandita
berteriak sekall lagi. Lebih keras. "Ki sanak! Aku yakin kau mendengar
seruanku. Harap turun sebentar. Kami ingin bertanya!"
Pemuda di
atas cabang pohon muntahkan biji cempedak dari mulutnya. Biji cempedak ini
jatuh dan masuk ke dalam perahu. Gandita melirik. Ternyata perahu itu sudah
penuh dikotori biji dan kulit buah cempedak.
"Ki
sanak!" teriak Gandita mulai berang. "Apa kau tuli? Tidak mendengar
orang memanggil?!"
"Tidak!
Aku tidak tuli!" tiba-tiba orang di atas pohon menjawab. Suaranya parau
karena dia menjawab sambil mengunyah cempedak. Waktu menjawab kepalanya tidak
dipalingkan ke arah Gandita, membuat pembantu Wira Seta ini menjadi tambah
jengkel.
"Kalau
tidak tuli mengapa orang bertanya kau tidak menjawab?!" Teriak Gandita.
"Soalnya
aku ingin tahu dulu siapa yang bertanya!"
Gandita
hendak menyahuti. Tetapi Adikatwang cepat memegang bahunya dan mendahului
menjawab.
"Kami
penguasa Kediri! Kau berada di wilayah kekuasaan kami! Jadi kami berhak
menyelidik siapa dirimu!"
"Yang
jelas aku bukan penjahat! Tapi aku memang mencuri cempedak ini. Cempedak dalam
hutan tak bertuan, jika kuambil apakah itu namanya mencuri?"
"Ki
sanak kami minta kau turun dulu baru bicara! Sikapmu seperti orang tidak tahu
aturan!" Gandita berteriak.
"Ki
sanak, apakah kau orang yang tahu aturan? Mengganggu orang yang sedang makan?
Jika kau sedang enak-enakan makan apakah kau mau diganggu?"
Adikatwang
memegang bahu Wira Seta. "Jangan-jangan pemuda di atas sana seorang yang
kurang waras. Lebih baik kita tinggalkan saja dia."
"Tidak
Kangmas. Saya berkeyaklnan pemuda itu bukan orang gila. Kita akan lihat!"
Wira Seta lalu ganti berteriak. "Orang muda, jika kau tidak mau turun
untuk kami tanyai, jangan menyesal kalau kami terpaksa menurunkan tangan
keras!"
"Jika
memang ada hal penting yang kalian ingin tanyakan, berteriak saja dari bawah.
Apa susahnya?"
Jawaban
itu membuat marah Wira Seta. Dia memberi isyarat pada Gandita.
"Beri
dia pelajaran!"
Gandita
melangkah lebih dekat ke pohon yang lumbuh di tebing kali itu. Sekali dia
berkelebat tubuhnya melayang ke atas pohon dan kedua kakinya menjejak pada
cabang, tepat di mana pemuda berambut gondrong duduk uncang-uncang kaki sambil
menikmati buah cempedak.
"Hai!
Kau mau cempedak?!" si gondrong menawari.
Plaaak!
Satu
tamparan keras dilayangkan Gandita. Tepat mendarat di pipi kanan pemuda yang
tengah mengunyah cempedak. Buah berikut biji yang ada di dalam mulutnya
menyembur keluar bersama ludah ke muka Gandita!
"Kurang
ajar!" Gandita marah sekali. Kalau tadi tamparan yang dilayangkannya kini
satu jotosan segera dihantamkannya. Saat si pemuda telah terbanting akibat
tamparan keras tadi. Tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang. Tapi kedua
kakinya dengan cekatan menggelung batang pohon hingga tubuhnya tidak jatuh ke
bawah melainkan hanya berputar satu kali pada batang cempedak. Meskipun pipinya
sakit dan bertanda merah namun si gondrong itu memandang menyeringai kepada
Gandita.
Merasa
seperti dipermainkan pembantu kepercayaan Adipati Wira Seta ini lepaskan satu
jotosan.
Bukk!
Jotosan
keras itu mendarat di dada membuat tak ampun lagi yang dijotos terjengkang.
Buah cempedak besar yang tinggal setengah terlepas dari tangannya jatuh ke
bawah. Tubuhnya sendiri menyusul melayang jatuh!
Anehnya
setelah ditunggu sekian lama tidak ada suara tubuh yang jatuh bergedebuk di
tebing sungai atau suara orang jatuh ke dalam air kali. Gandita memandang ke
bawah. Wira Seta dan Adikatwang serta beberapa orang perajurit melompat ke tepi
kali. Apa yang mereka saksikan?
Pemuda
gondrong yang tadi kena jotosan Gandita enak-enak duduk setengah berbaring di
dalam perahu milik Wira Seta. Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan
mulutnya saat itu sudah mengunyah buah itu kembali!
Tentu
saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh
ke atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir
tidak bergoyang. Air Kali Brantaspun tidak tampak beriak!
Di atas
pohon Gandita marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di hadapan
orang banyak. Segera dia melompat ke bawah ke arah perahu. Sambil melayang
turun kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu
itu.
Sekali
ini si gondrong rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu
rupa. Kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu. Pendayung
ini melesat ke atas, melayang ke arah Gandita.
Gandita
menggeram marah. Tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu, kini
terhalang oleh kayu pendayung.
Praakk!
Kayu
pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Kali Brantas.
Gandita membuat gerakan jungkir balik agar tubuhnya tidak salah jatuh ke dalam
air. Sesaat kemudian kedua kakinya sudah menginjak tepian kali. Ketika dia
kembali hendak menyerang pemuda yang masih duduk di atas perahu itu, Wira Seta
cepat memegang bahunya. "Gandita, kau mundurlah. Biar aku yang mengurus
pemuda ini," kata Adipati Sumenep itu. Sekali dia bergerak tubuhnya
melayang dan masuk ke dalam perahu, duduk berhadap-hadapan dengan si pemuda.
"Anak
muda, maafkan kalau orangku tadi bertindak tidak pada tempatnya. Ternyata kau
bukan pemuda biasa."
Pemuda di
hadapan Wira Seta angkat kepala. Dia menatap lelaki itu sesaat. "Ah, kau
ternyata lebih sopan sedikit dari sobat mudamu itu. Kau mau kubagi buah
cempedak ini?"
"Terima
kasih. Aku berpantang makan yang nnanis-manis," jawab Wira Seta.
"Kepandaian seperti yang kau miliki membuat aku kagum. Pemuda sepertimu
sangat dibutuhkan oleh Kerajaan. Apakah kau mau berbakti pada Kerajaan?"
Tanya Wira Seta kemudian.
"Kerajaan
yang mana? Kediri atau Singosari?"
Wira Seta
sesaat terkesiap oleh pertanyaan itu. "Bukan Kediri bukan Singosari. Tapi
satu Kerajaan baru yang kelak akan muncul. Namanya Kediri baru."
"Maafkan
aku orang tua. Aku tidak tertarik," jawab si pemuda lalu kelihatan dia
senyumsenyum.
"Kenapa
kau tertawa?" tanya Adipati Sumenep itu kurang senang.
"Orang
tua, apakah kau ini anggota wayang orang atau pemain sandiwara keliling?"
Paras
Wira Seta menjadi merah.
"Aku
jauh lebih tua darimu. Tidak pantas kau ajak bergurau!"
"Siapa
bergurau? Aku tanya yang wajar-wajar saja. Kalau kau bukan seorang pemain
sandiwara mengapa memakai kumis dan janggut palsu?"
"Aku
tidak akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kau harus menjawab pertanyaanku! Katakan
siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini."
"Pertanyaan
mudah. Jawabnya juga mudah. Namaku Wiro. Aku di sini tengah makan cempedak.
Nah, kau puas orang tua?"
"Tidak,
aku tidak puas." Jawab Wira Seta. "Aku punya kecurigaan kau adalah
seorang mata-mata yang tengah mengintai kami."
Si
gondrong yang adalah Wiro Sableng murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 menyeringai.
"Tuduhanmu
tidak beralasan orang tua, tapi apa yang barusan kau ucapkan justru menimbulkan
kecurigaan dalam hatiku!"
"Adipati,
biar saya menghajar orang ini. Mulutnya terlalu lancang dan sikapnya sangat
kurang ajar!" terdengar suara Gandita.
Wira Seta
mengangkat tangan memberi tanda agar pembantunya itu tetap berada di tempatnya.
Lalu dia berpaling pada pemuda yang duduk dalam perahu di hadapannya.
"Apa
maksudmu? Apa yang kau curigai dan siapa yang kau curigai?" suara Wira
Seta menyentak.
"Jika
kau tidak menyimpan satu rahasia mengapa harus mencurigai orang dan menuduh aku
mata-mata!?"
"Lalu
mengapa kau tahu-tahu muncul di tempat ini. Kau pasti sengaja mencuri dengar
apa yang kami bicarakan di sini!" sergah Wira Seta.
"Orang
tua, kau memang kelewatan. Sebelum kau dan orang-orang itu muncul, aku sudah
sejak pagi berada di tempat ini. Bagaimana kalau kubalik. Justru kaulah
sebenarnya yang tengah memata-matai diriku!"
Raden
Adiatwang maju ke tepi kali. "Dimas, pemuda ini membuat aku mual. Aku akan
perintahkan pengawal menangkapnya. Aku akan bawa dia ke Gelang-Gelang dan
diperiksa di sana! Kalau dia ternyata memang seorang pemuda kurang waras, aku
akan lepaskan dia."
"Aku
punya dugaan dia sengaja bersikap dan bicara konyol seperti orang tidak waras
untuk menutupi sesuatu." Wira Seta melompat keluar dari dalam perahu
seraya berseru, "Para pengawal! Tangkap orang ini!"
"Hajar
kalau melawan!" menimpali Adikatwang.
Enam
orang perajurit Kediri melompat ke dalam perahu. Dua lainnya turun ke dalam
air, mencegat di samping kiri perahu untuk mencegah si pemuda yang hendak
ditangkap agar jangan sampai melarikan diri.
Perahu
kecil dijejali enam orang pengawal, tujuh dengan Wiro tentu saja tidak dapat
menampung orang sebanyak itu. Perahu ini langsung amblas terbalik. Semua orang
yang ada diatasnya jatuh masuk ke dalam air, tidak terkecuali Wiro.
Semua
orang di tepi kali kemudian terkejut ketika mereka mendengar suara
teriakanteriakan delapan perajurit yang ada di dalam kali. Satu demi satu
tubuh mereka seperti ditarik ke dalam air. Ketika mereka akhimya muncul kembali
suasana di tepi Kali Brantas itu menjadi heboh. Tidak satupun lagi dari ke
delapan perajurit Kediri yang keluar dari kali itu kini mengenakan celana!
Dalam keadaan tubuh setengah telanjang pada bagian yang paling rawan itu,
mereka kalang kabut berusaha menutupi aurat!
Dalam
keadaan seperti itu di seberang kali terdengar suara tertawa mengakak. Semua
orang di tepi Barat kali memandang ke seberang. Di tepi Timur Kali Brantas
kelihatan pemuda berambut gondrong itu tegak sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Di kedua tangannya dia memegang delapan helai celana panjang yang sebelumnya
dikenakan oleh delapan perajurit. Satu demi satu celana itu dilemparkannya ke
dalam kali, hanyut dibawa arus ke hilir.
"Penghinaannya
sudah keterlaluan!" geram Adikatwang sambil mengepalkan tinju.
"Lepaskan panah beracun!" teriaknya. Tiga orang anak buahnya segera
menyiapkan busur dan panah beracun. Tetapi ketika tiga panah itu melesat ke seberang
kali, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah lenyap. Hanya suara tertawanya yang masih
kedengaran di kejauhan.
"Manasia
itu tidak gila!" kata Adikatwang.
"Kalau
dia memang sempat mendengar pembicaraan kita, keadaan bisa sangat
berbahaya," ujar Wira Seta pula. Air mukanya tampak jadi gelisah.
"Aku
akan sebar orang untuk mencari jejaknya." Adikatwang juga tampak tidak
tenang.
Yang
paling terpukul adalah Gandita. Pemuda itu berulang kali kelihatan mengepalkan
kedua tinjunya bahkan membanting-banting kaki. Dia memisahkan diri dari
orang-orang di tepi kali itu. Dalam hatinya dia tidak habis pikir. Tamparanku
seharusnya sudah cukup membuat pemuda itu cedera berat. Tapi bahkan jotosanku
seperti tidak ada apa-apanya! Aku malu sekali! Dimana mukaku hendak kuletakkan.
Apa kata Adipati Wira Seta nantinya. Juga bagaimana pula pandangan Raden
Adikatwang. Padahal dia baru saja memujiku. Aku murid orang sakti dari Gunung
Kelud. Digembleng selama bertahun-tahun. Tapi ternyata tidak mampu menghadapi
anak desa tadi. Wiro… Namanya Wiro. Belum pernah aku mendengar seorang pendekar
dengan nama itu. Siapa dia sebenarnya? Aku harus mencarinya. Aku harus
menantangnya. Berkelahi sampai seratus bahkan seribu jurus kalau perlu. Aku
harus menghajarnya dan membuatnya bertekuk lutut! Hanya itu satu-satunya cara
untuk mengembalikan kepercayaan Adipati Wira Seta dan Raden Adikatwang.
Untuk
melepaskan rasa geram dan amarah yang seperti membakar dadanya Gandita memukul
batang pohon yang ada di depannya.
Braaak!
Kulit
pohon pecah, bagian dalamnya hancur. Terdengar suara bergemuruh ketika pohon
itu patah dan tumbang.
Satu
tangan memegang bahu Gandita. Pemuda ini mengira orang itu adalah pemuda
gondrong yang telah mempermalukannya. Cepat dia membalik seraya menghantamkan
tinju dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Angin pukulannya terdengar
menggidikkan.
Tapi
Gandita cepat menarik pulang tangannya ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya. Pemuda ini jatuhkan diri dan berkata.
"Adipati,
maafkan saya. Saya kira…."
Adipati
Wira Seta mengangguk. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini
Gandita."
"Saya
tidak berguna jadi pembantu Adipati," berterus terang pemuda itu.
"Jangan
berkata begitu anak muda. Hidup ini penuh cobaan dan tantangan. Apapun yang
telah terjadi hanya satu pengalaman agar dimasa mendatang kita harus belajar
lebih banyak. Aku tetap percaya kau adalah pembantuku yang terbaik. Berdirilah.
Kita akan segera kembali ke Sumenep."
Sambil
mengusap mukanya Gandita bangkit berdiri. Apapun yang dikatakan oleh sang Adipati
tidak membuat rasa sakit hatinya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
berkurang.
****************
3
SEBATANG
panah beracun yang dibidikkan dari seberang Kali Brantas menancap di batang
pohon. Kulit pohon ini kelihatan menghitam pertanda betapa jahat dan
berbahayanya racun panah. Pendekar 212 sendiri saat itu sudah jauh meninggalkan
tepi Timur Kali Brantas tapi dia masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Ketika
dadanya terasa agak sesak dan perutnya sakit karena terus-terusan tertawa akhirnya
dia duduk di gundukan akar sebuah pohon besar.
Tawanya
sesaat berhenti. Dibukanya bajunya yang basah lalu diperasnya sampai sekering
mungkin. Ketika dia ingat lagi akan apa yang dilakukannya terhadap
prajurit-prajurit Kediri itu, Wiro tak dapat menahan diri. Kembali dia tertawa
gelak-gelak. Tetapi saat itu ternyata dia tidak tertawa sendirian. Ada orang
lain yang ikut tertawa bersamanya.
Tertawa
itu demikian keras dan hebatnya sehingga murid Eyang Sinto Gendeng merasakan
akar pohon yang didudukinya ikut bergetar. Wiro hentikan tawanya. Orang lain
itu masih terus tertawa. Akhirnya Wiro juga ikut-ikutan tertawa kembali.
Sambil
tertawa dan garuk-garuk kepala dia memandang berkeliling. Mencari dimana dan
siapa gerangan orang yang tertawa itu. Suara tawanya keras tanda pasti orangnya
berada di dekat-dekat situ. Tiba-tiba ada air mengucur dari atas. Air yang
terasa agak hangat ini jatuh di pundak Wiro. Wiro mengusapnya lalu hidungnya
membaui sesuatu.
"Kurang
ajar! Air kencing!" teriak Pendekar 212 sewaktu dia membaui pesingnya air
yang jatuh di badannya. Dia melompat dari duduknya dan mendongak ke atas pohon.
Mata Wiro Sableng jadi mendelik.
Di atas
pohon itu pada sebuah cabang yang tidak seberapa besar dilihatnya duduk seorang
lelaki bertubuh luar biasa gemuknya. Dia duduk sambil tertawa-tawa yang membuat
tubuhnya terguncang-guncang. Orang ini mengenakan celana hitam dan sehelai baju
putih yang tak bisa dikancingkan karena kesempitan. Rambutnya disanggul ke
atas. Dadanya yang gembrot dan perutnya yang berlemak tersembul.
Kedua
matanya yang sangat sipit sampal basah karena tertawa. Tapi bukan matanya saja
yang basah. Ternyata bagian bawah perutnya juga ikut basah lalu tiris ke bawah.
Air kencingnya inilah yang mengucur jatuh menimpa Pendekar 212 yang saat itu duduk
dibawah pohon!
Wiro usap
bahunya yang terkena air kencing dengan baju yang barusan diperasnya. Dia
hendak memaki habis-habisan, tetapi otaknya bekerja cepat.
Dalam
hatinya dia berkata. Kerbau bunting di atas pohon itu bukan manusia
sembarangan. Beratnya pasti lebih dari dua ratus kati. Tapi lihat, dia bisa
duduk di cabang pohon yang begitu kecil! aku lngat pada sahabatku Raja Penidur
yang luar biasa gemuknya. Tapi kerbau bunting di atas pohon ini jauh lebih
gemuk!
Wiro
menunggu sampal orang itu berhenti tertawa. Tapi nyatanya si gemuk ini tawanya
semakin menjadi-jadi. Air kencingnya juga maslh terus tiris ke bawah membuat
Wiro terpaksa menjauh dari pohon.
Setelah
ditunggu-tunggu dan tawanya tidak juga berhenti, Wiro jadi kesal. Dia
berteriak.
"Kerbau
Bunting di atas pohon! Berhenti tertawa! Kau telah mengencingiku!"
Suara
tawa sirap. Di atas pohon orang gemuk itu tampak berpaling ke kiri dan ke
kanan. "Kerbau Bunting? Ada yang menyebut aku Kerbau Bunting? Lucu sekali!
Hidup seratus lima puluh tahun baru hari ini ada yang memanggil diriku Kerbau
Bunting! Ha…ha…ha…ha…haaaa!" Tubuh si gemuk berguncang-guncang dan suara
tawanya kembali menguncang.
"Sialan!"
maki Wiro. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya melihat seekor Ular
Keket hijau besar menempel di atas sehelai daun dekat rumpunan semak belukar.
"Hemmmm…."
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku
mau lihat apakah kau masih bisa tertawa kalau mulutmu kujejali binatang
ini!"
Meskipun
agak geli-geli Wiro mengangkat Ular Keket dari atas daun lalu dilemparkannya ke
atas pohon.
Si gemuk
di atas pohon yang masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika sebuah
benda hijau bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar. Cepat dia
meniup ke bawah. Ular Keket itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel di
perutnya yang tersembul di sela baju yang tidak terkancing!
"Wadauuuuw….!
Ular! Ular Keket…! Tolong..!"
"Tolong!"
Sekujur
tubuh si gemuk menggigil. Mukanya yang tadi merah karena tertawa terusterusan
kini menjadi pucat pasi.
Ternyata
dia takut sekali pada Ular Keket yang kini menempel di perutnya yang gendut
berlemak itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Kedua tangannya bergerak kian
kemari kalang kabut. Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang itu
tepi tak jadi karena merasa sangat jijik. Saking bingungnya dia melompat ke
cabang pohon yang lain. Bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Tolong!
Wadauwww…. Ular…. Tolong!" teriak si gendut lagi.
Di bawah
pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa terpingkal- pingkal.
"Rasakan
olehmu sekarang! Masih untung binatang itu tidak nyemplung ke dalam mulutmu!
"Tolong!
Aduh! Bagaimana ini! Tolongggg…. !" Dari atas pohon kini kelihatan makin
deras air kencing yang mengucur ke bawah.
"Gila!
Berapa gentong air yang tersimpan dalam perut Kerbau Bunting itu. Kencingnya
tak habis-habis!"
"Tolong…!
Aduh…! Ampunnnn! Tolong! Ada Ular Keket di perutku! Batara Dewa Tolong diriku….
!" Lama-lama Wiro jadi kasihan juga melihat si gemuk itu.
Dia
patahkan sebuah ranting lalu melompat melesat ke atas pohon tempat di mana si
gemuk bergelantung ketakutan setengah mati.
Dengan
ujung ranting disingkirkannya Ular Kaket hijau besar yang menempel di perut si
gendut lalu dia melayang turun ke tanah kembali.
Di atas
pohon jeritan ketakutan si gemuk langsung berhenti. Tubuhnya mandi keringat.
"Terima
kasih…! Terima kasih! Heh, siapa yang menolongku?!" Si gendut memandang ke
kanan dan ke kiri.
"Hai!
Aku di bawah sini!" terlak Wiro. "Kerbau Bunting itu pasti sudah tahu
aku berada di sini. Tapi dia berpura-pura saja!"
Si gendut
memandang ke bawah. Dagunya tertahan oleh dadanya yang gembrot. Tapi dia bias
melihat Wiro di bawah sana.
"Ah,
kau di situ rupanya!" Lalu si gendut lepaskan pegangannya pada cabang
pohon. Tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Sebuah batu kecil saja kalau jatuh ke
tanah pasti akan mengeluarkan suara berdebuk. Tapi ketika kedua kaki si gendut
yang beratnya lebih dari dua ratus kali itu menginjak tanah Wiro memperhatikan
dan tidak mendengar ada sedikit suarapun! Kerbau Bunting ini benar-benar manusia
luar biasa, kata Wiro dalam hati.
Di
hadapan Wiro si gemuk menjura lucu seraya berkata, "Sobatku Muda. Terima
kasih. Kau telah menolong aku dari binatang celaka itu!"
Wiro
tertawa gelak-gelak. Si gemuk ikut-ikutan tertawa. Tapi tiba-tiba dia hentikan
tawanya dan bertanya.
"Eh,
Sobatku Muda. Mengapa kau tertawa? Apa Ada yang lucu pada diriku?"
"Jelas
tubuhmu dari ujung rambut sampal ujung jempol sangat lucu!"
"Apakah
kau tadi yang memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting?"
"Betul."
sahut Wiro dan menyangka si gendut itu akan marah. Tapi justru orang di
depannya malah tertawa gelak-gelak sampai sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
"Lucu…
Lucu sekali sebutan itu. Seratus lima puluh tahun hidup malang-melintang dimuka
bumi, baru sekali ini ada yang memberikan nama lucu begitu padaku. Terima kasih
sobatku muda!"
Wiro jadi
melongo mendengar kata-kata itu.
"Heh,
tadi aku bertanya kenapa kau tertawa waktu aku bilang terima kasih. Bukankah
kau yang telah menolongku menyingkirkan Ular Keket celaka itu?"
"Benar
Sobatku Gendut."
"Sobatku
Gendut? Ah, sekarang kau menyebut aku dengan nama itu! Kau seorang sahabat yang
benar-benar lucu!" Si gendut lalu tertawa gelak-gelak sampai ke dua
matanya basah.
"Terima
kasih. Kau telah menolongku. Aku benar-benar takut pada binatang seperti itu.
Cuma kenapa kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tertawa waktu aku
bilang terima kasih?"
"Kau
tidak tahu! Sebetulnya akulah yang tadi melemparkan binatang itu ke
padamu!" jawab Wiro polos.
Si gemuk
tampak terkejut. "Kau… Kau yang melemparkannya?" tanyanya.
Wah, kali
ini Kerbau Bunting ini pasti marah besar! Membatin Pendekar 212. Lalu dia
mengangguk. "Ya, aku yang melemparkannya!" Wiro lalu berjaga-jaga
kalau-kalau si gendut itu menjadi marah dan menghantamnya.
"Kau…?"
Kening si gendut tampak mengerenyit.
Matanya
yang sangat sipit seperti mau mendelik tapi tidak bisa dan tetap saja sipit.
Tibatiba dari mulutnya meledak keluar suara tawa mengakak.
Lucu, aku
sangka dia bakalan marah. Ternyata tidak. Malah tertawa gelak-gelak. Mahluk
aneh macam apa dia ini sebenarnya!
Seperti
tahu apa yang dipikirkan Wiro si gemuk hentikan tawanya dan berkata. "Aku
tertawa dan aku tidak marah. Karena kau orang jujur dan bicara polos!" Si
gendut pegang kedua bahu Wiro lalu mengguncang-guncangnya dengan keras hingga
Pendekar 212 merasa tubuhnya seperti diguncang gempa yang dahsyat. Tapi
diam-diam dia merasakan ada hawa aneh yang mengalir lewat kedua bahunya. lubuhnya
mendadak terasa enteng!
Astaga!
Orang ini seperti sengaja mengalirkan semoga aneh ke dalam tubuhku! Kata Wiro
dalam hati begitu menyadari tubuhnya menjadi lebih enteng.
"Sobatku
muda, aku mau tanya," berkata si gendut. "Mengapa kau tadi
melemparkan Ular Keket itu padaku?"
"Karena
kau mengencingi aku!" jawab Wiro.
"Hah?!
Aku mengencingimu?!" Si gendut bermata sipit itu seperti terkejut.
"Bagaimana mungkin?" Lalu dia memperhatikan bagian bawah celana
hitamnya. Dipegangnya selangkangan-nya. Terasa basah. Lalu tangannya yang tadi
memegang celananya yang basah disapukan di depan hidung. Bau pesing.
"Gila! Aku memang kencing rupanya!" kata si gendut ini. Dia diam
sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
"Kalau
aku mengencingi itu bukan disengaja Sobatku Muda!" kata si gemuk itu
sambil mengusap kedua matanya yang basah. "Ada sebab yang membuatku
terkencing-kencing. Aku tadi tertawa terpingkal-pingkal dan kau kebetulan ada
dibawah pohon! Walaupun begitu kuharap kau sudi memaafkan diriku!"
Wiro diam
saja. Sesaat kemudian dia bertanya.
"Apa
yang membuatmu tertawa terpingkal-pingkal?" "Aku melihat satu
kejadian lucu di tepi Kali Brantas!"
"Kejadian
apa?" Wiro menyambung pertanyaannya.
"Aku
melihat…ha…ha…ha…" Si gendut belum sempat meneruskan ucapannya dia sudah
keburu tertawa. "Aku melihat… Ha… ha.., ha… ha… Ada…ada… ada delapan orang
prajurit Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar darl air
dalam keadaan bugil! Anunya pada bergelantungan kemana-mana….! He…ha…ha! Apakah
itu menurutmu tidak lucu? Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka!
Lucu….! Ha…. he …ha…" Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Kedua matanya yang
sipit memandang lekat-lekat kepada Wiro Sableng.
Apa yang
ada dalam pikiran si gendut ini, Wiro bertanya dalam hati.
"Heh?"
Bukankah… Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan perajurit Kediri
itu?!" Wiro tertawa lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia mengangguk dan
berkata. "Memang. Aku yang menelanjangi mereka. Mereka hendak
menangkapku!"
Si gemuk
tertawa mengekeh. "Kau ternyata pemuda jahil! Lain kali kalau mau
menelanjangi orang, jangan orang lelaki, tapi cari orang perempuan! Ha… ha… ha…
ha…!"
Wiro jadi
ikut-ikutan tertawa.
"Mengapa
mereka hendak menangkapmu?"
"Karena
aku makan cempedak." Jawab Wiro.
Lalu dia
bertanya. "Apakah seseorang bisa ditangkap karena makan cempedak?"
"Mana
ada pasalnya orang ditangkap makan cempedak. Kecuali kalau cempedak itu buah
curian. Atau kau makan sambil berpelukan dengan bini orang! Ha…ha…ha…ha…!"
Wiro
geleng-geleng kepala. Seumur hidup belum pernah dia bertemu dengan orang
seperti ini. Gemuk luar biasa dan juga lucu luar biasa.
"Hari
sudah siang! Aku masih punya keperluan lain. Sobatku Muda, aku mau pergi
sekarang." berkata si gendut.
"Ke
mana tujuanmu sebenarnya?"
"Ah,
hal itu tidak bisa kukatakan padamu. Jangan marah. Ha…ha…ha…"
"Aku
mengucapkan terima kasih padamu. Kau telah menanam budi baik padaku."
"Eh,
kau ini bicara apa Sobatku Muda?" tanya si gendut.
"Kau
berpura-pura Sobatku Gendut. Waktu memegang kedua bahuku tadi, kau diam-diam
mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Lalu aku merasa tubuhku lebih ringan
dari sebelumnya."
Si gendut
tertawa gelak-gelak. "Anggap saja itu sebagai pembayar dosaku
mengencingimu! Ha…. ha… ha…!" Habis berkata begitu dia masukkannya dua
jari tangan kanannya ke mulut. Lalu terdengar suara suitan. Dari balik semak
belukar menyeruak keluar
seekor
keledai, kecil pendek dan kurus.
"Tungganganku
sudah datang menjemput. Aku pergi. Selamat tinggal Sobatku Muda!"
Wiro
terkejut. "Kau… Kau hendak menunggangi keledai sekecil itu?" tanya
Wiro heran.
"Memangnya
kenapa?" balik bertanya si gendut.
"Tubuhmu
besar dan berat! Baru berjalan lima langkah keledai itu akan jadi mejret!"
Si gendut
tertawa gelak-gelak. "Kau saksikan saja nanti apakah binatang ini mejret
atau tidak!" Si gendut melompat. Sekali lompat saja dia sudah duduk di
punggung keledai kurus itu. "Ayo jalan!" seru si gendut seraya
menepuk pinggul binatang tunggangannya. Keledai itu melangkah. Ternyata
jalannya cepat sekali. Setelah lewat sepuluh langkah si gendut berpaling.
"Apakah kau lihat keledai ini mejret?!" teriaknya. Lalu dia tertawa
mengekeh.
Wiro
garuk-garuk kepala. Kedua matanya memperhatikan. Lalu. Astaga! Keledai itu
ternyata berkaki enam. Yang dua adalah kaki si gendut sendiri! Kedua kakinya
ternyata menjejak tanah dana berjalan seperti biasa. Hanya pantatnya saja
rupanya yang menumpang duduk di punggung si keledai. Itupun tidak sampai
menekan tubuh tunggangannya karena sebenarnya dia berjalan kaki seperti biasa!
Wiro
tertawa gelak-gelak. "Hai Sobat!" teriak Wiro. "Sebelum pergi
kau mau memberi tahu siapa namamu?!"
"Selama
seratus lima puluh tahun hidup, aku tidak pernah memakai namaku. Kini aku jadi
lupa apakah aku punya nama atau tidak. Tapi orang- orang menggelariku Dewa
Ketawa! Gelaran lucu! Ha…ha..ha…! Tapi mungkin mereka betul! Mungkin gelar itu
cocok bagiku!" Si gendut lalu menepuk pinggul keledai kurusnya. Binatang
ini melangkah lebih cepat. Kedua kaki si gendut juga bergerak lebih cepat.
Sesaat kemudian orang dan tunggangannya itu lenyap di balik kerapatan pepohonan
dan semak belukar.
Wiro
masih tertegak di tempatnya semula. Dewa Ketawa. Belum pernah aku mendengar
nama itu sebelumnya. Dia mungkin seumur dengan Dewa Tuak. Aku tidak mengerti
mengapa dia mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Sayang aku menyelidiki
apakah dia orang Kediri atau orang Singosari. Dia sendiri rupanya tidak
kepingin tahu namaku. Kerbau Bunting yang aneh… Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya lalu tinggalkan tempat itu.
****************
4
SETELAH
Adipati Wira Seta dan Gandita meninggalkan tempat pertemuan rahasia di tepi
Kali Brantas itu, Raden Adikatwang dan rombongannya segera kembali ke
Gelang-gelang yang dijadikan pusat Kerajaan Kediri pada masa itu. Rombongan ini
sengaja menempuh rimba belantara untuk menghindari pertemuan dengan pihak-pihak
yang tidak diinginkan dan bisa membocorkan rahasia.
Dalam
perjalanan kembali ini Adikatwang lebih banyak berdiam diri. Suara hatinya
berkata tiada henti. Apakah memang dia harus mengangkat senjata bersama Wira
Seta, memberontak terhadap kekuasaan Singosari. Mustikah Sang Prabu dihabisi
riwayatnya? Haruskah semua itu dicapai dengan pertumpahan darah? Bukankah
nantinya bakal banyak rakyat yang menderita? Kalau aku menang apakah aku memang
layak memegang tampuk kekuasaan? Memerintah dikelilingi oleh orang-orang
Singosari yang tentunya akan menanam dendam sakit hati pula atas kekalahan
mereka, atas kematian teman dan keluarga mereka?
Ketika
suara hati Adikatwang berkata begitu, telinganya seperti mengiang suara jawaban
yang lebih keras dan menggetarkan.
Adikatwang
kau adalah turunan dan pewaris syah singgasana Kediri. Dulu orang-orang
Singosari merebut kekuasaan dan merampas tahta Kerajaan Kediri dari moyangmu!
Sekarang saatnya untuk membalaskan segala sakit hati! Sekarang saatnya untuk
mengangkat senjata. Kau tidak sendirian. Dimana-mana orang akan mendukung
perjuanganmu. Ada ribuan perajurit yang bersedia mengorbankan darah dan jiwa
raganya demi berdirinya kembali Kerajaan Kediri. Kesempatan hanya datang satu
kali. Kalau kau mengabaikannya kau akan tetap menjadi hamba sahaya di bawah
tekanan Singosari!
Adikativang
mengusap wajahnya. Sikapnya yang berdiam diri Itu bukan tidak diperhatikan oleh
para perajurit yang mengawalnya. Namun tak ada satu orangpun dari mereka yang
berani mengatakan resuatu. Rombongan itu bergerak dalam kesunyian lanpa ada
yang bicara.
Di satu
tempat telinga Adikatwang mendengar sesuatu. Dia hentikan kudanya dan memandang
berkeliling.
"Ada
apakah Sri Baginda?" tanya seorang pengawal. Para pengikut Adikatwang yang
setia selalu memanggil Adikatwang dengan sebutan Sri Baginda. Walaupun pemimpin
mereka itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tiada berdaya di satu
wilayah yang kecil pula, namun mereka tetap menganggap Adikatwang adalah raja
mereka, Raja Kediri.
"Aku
mendengar sesuatu…" Jawab Adikatwang.
Sepuluh
pengawal memasang telinga. Mereka saling pandang. Beberapa saat kemudian salah
seorang dari mereka" berkata. "Kami tidak, mendengar suara
apa-apa."
Tentu
saja para perajurit itu tidak atau belum mampu mendengar suara yang datangnya
sangat sayup-sayup di kejauhan di dalam rimba belantar itu. Karena kesaktiannya
Adikatwang bisa mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh para
pengikutnya.
"Ikuti
aku… Tapi harap kalian waspada. Tangan kalian jangan jauh di senjata."
kata Adikatwang. Maka sepuluh perajurit itu segera menempelkan tangan pada
senjata masingmasing. Mereka bergerak mengikuti Adikatwang.
Tak
selang berapa lama Adikatwang kembali hentikan kudanya dan berkata. "Suara
itu semakin jelas. Apakah kalian bisa mendengarnya sekarang?"
"Ya…
Kami dapat mendengarnya sekarang," jawab beberapa perajurit bersamaan.
"Apa
yang kalian dengar?" Adikatwang mengulangi.
"Itu…
suara…suara orang sesenggukan. Suara orang menangis." jawab perajurit di
samping Adikatwang.
Adikatwang
mengangguk. "Tidakkah aneh ada ingin menangis di dalam rimba belantara
seperti? Mari kita bergerak ke arah suara. Kita akan lihat siapa adanya orang
yang menangis itu."
Kembali
sepuluh perajurit mengikuti pimpinan mereka bergerak ke arah kanan yaitu dari
mana datangnya suara orang menangis terisak-isak. Berapa puluh langkah
menunggangi kuda, di suatu tempat yang agak terbuka, duduk di atas sebatang
kayu yang sudah lapuk tampak seorang kakek berkulit hitam tengah menangis.
Tangisnya sedih sekali dan setiap saat dia mengusap kedua matanya yang basah
dengan ujung kaln putih yang diselempangkan di dada. Melihat kepada rambutnya
yang digelung di atas kepala serta pakaiannya, tampaknya kakek hitam ini adalah
seorang Resi. Tetapi Adikatwang yang mengenali orang tua itu tahu betul kalau
kakek itu bukanlah seorang Resi atau Brahmana.
"Dewa
Sedih! Sungguh suatu rahmat dari para dewa kalau saat ini aku bisa menemuimu!
Aku memang sudah lama mencarimu. Dicari-cari tidak ketemu tahu-tahu muncul
sendiri!"
Kakek
yang dipanggil dengan julukan Dewa Sedih itu turunkan kedua tangannya. Melihat
wajahnya, sekalipun dia tidak menangis, orang akan menyaksikan satu wajah yang
selalu membayangkan kesedihan. Kedua alis matanya yang hitam menjulai bawah.
Mulutnya mengkerut. Sekalipun dia tersenyum maka mimik wajah itu tetap saja
menunjukkan kesedihan.
Begitu
melihat Adikatwang, orang tua ini berkata perlahan, "Raden…" Lalu
kembali dia menangis terisak-isak. Siapa yang mendengarkan pasti akan merasa
sedih.
Adikatwang
yang sudah tahu sifat orang tua ini hanya bisa tersenyum. "Dewa Sedih, kau
berada jauh dalam hutan begini. Menangis sedih sekali. Apakah pasal
sebabnya?"
Dewa
Sedih geleng-geleng kepala. Dia mengusap muka dan wajahnya berulang kali.
"Aku… Aku melihat sesuatu di telapak tangan kiriku…" katanya lalu
kemball menggerung seperti anak kecil.
"Mana
coba kulihat telapak tangan kirimu…" kata Adikatwang pula.
Orang tua
itu kembangkan telapak tangan kirinya di hadapan Adikatwang.
"Lihat
sendiri," katanya. "Lihat, sesuatu akan terjadi sesuatu peristiwa
besar yang sangat menyedihkan…" Dewa Sedih meneruskan tangisnya.
"Aku
tidak melihat apa-apa," kata Adikatwang sambil tersenyum. Tapi diam-diam
hatinya berdetak. Walaupun bersifat aneh dan terkadang menjengkelkan, setiap
ucapan orang tua ini tidak boleh dianggap sepi. Dia mengatakan satu peristiwa
besar yang sangat menyedihkan akan terjadi. Apakah dia sudah punya firasat
kalau…?
"Mata
Raden buta rupanya!" terdengar Dewa Sedih berkata setengah memaki.
"Masakan gambar yang begini jelas di telapak tanganku Raden tidak
melihat?"
"Kau
betul Dewa Sedih. Mata orang tolol sepertiku mana punya kemampuan melihat
sehebat kedua mata yang kau miliki. Coba kau ceritakan dengan jelas, apa yang
kau lihat di telapak tanganmu."
Sambil
sesenggukan Dewa Sedih kembangkan talapak tangannya dan memperhatikan
lekat-lekat. Sesenggukannya berubah menjadi tangisan keras. Di antara tangisnya
terdengar ucapannya. "Perang… ada perang. Darah di mana-mana… Mayat di
mana-mana. Sedih… menyedihkan sekali. Dewa Batara kasihani mereka. Tolong
mereka… Jauhkan malapetaka itu. Hik…hik…hik…"
Paras
Adikatwang jadi berubah. Begitu juga sepuluh orang prajurit yang ada di tempat
itu. Mereka saling pandaug bahkan ada yang mulai berbisik-bisik Orang tua ini
sungguh luar biasa kesaktiannya. Dia mampu melihat apa yang bakal terjadi dalam
waktu dekat ini. Kalau apa yang ditetahuinya itu diberitahukannya pada orang
iain, bisa celaka…
"Dewa
Sedih, dari pada kau menangis di rimba belantara ini, lebih baik ikut bersamaku
ke Gelang-gelang. Aku memerlukan bantuanmu. Ada pekerjaan besar menunggumu.
Imbalannya tentu saja besar pula."
"Aku
tak mau hidup terikat ikut dengan orang lain. Biarkan aku sendirian di sini.
Tangisku belum selesai." Lalu kembali Dewa Sedih menangis tersedu-sedu.
"Dewa
Sedih, jangan kau salah kira. Aku atau siapapun tidak ada yang akan mengikatmu.
Di Gelang-gelang kau bebas mau pergi kemana, mau melakukan apa. Bahkan menangis
di sana akan lebih nikmat…"
"Maksudmu?"
tanya Dewa Sedih. Tangisnya terhenti.
"Di
sana kau bisa menangis dengan diiringi gamelan. Apa tidak hebat?!"
"Menangis
diiringi gamelan?"
"Betul."
Jawab Adikatwang sungguh-sungguh.
"Ah…
Aku jadi lebih sedih. Kasihan pemain-pemain gamelan itu nantinya. Mereka tidak
akan mampu mengikuti suara orang menangis… Pergilah kalian. Aku mau menangis
sampai mati."
"Kalau
kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak binatang
buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana. Diterkam
harimau. Atau dipagut ular berbisa!"
Mendengar
kata-kata Adikatwang itu paras Dewa Sedih berubah. Dia seperti ketakutan tetapi
anehnya air mukanya justru kelihatan kuyu sedih.
"Kalau
begitu biar aku ikut bersama Raden," kata Dewa Sedih dan cepat bangkit
berdiri.
"Ikut
aku itu sudah pasti Dewa Sedih. Tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu yang
berjuluk Dewa Ketawa itu? Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama
kami."
"Ah
si kentut gendut Dewa Ketawa itu aku tidak mengaku saudara padanya. Aku selalu
diejeknya, dihina dan ditertawai."
"Itu
urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu. Yang penting kau tahu di mana
kita bias menemukannya?" tanya Adikatwang.
Dewa
Sedih Menggeleng.
"Coba
lihat di telapak tanganmu," kata Adikatwang pula.
"Ah,
kau betul Raden. Aku baru ingat…" Masih sesenggukan dan wajah menunjukkan
kesedihan mendalam Dewa Sedih kembangkan lebar-lebar telapak tangan kirinya.
Lalu memperhatikan tanpa berkesip. Beberapa saat kemudian dia mengangkat
kepalanya, memandang kepada Adikatwang.
"Gajah
buduk itu sebelumnya berada di tepi Kali Brantas sebelah Tenggara. Kini kulihat
dia menunggangi keledai bobroknya menuju ke Barat. Jangan-jangan dia dalam
perjalanan menuju Tumapel di Singosari."
Adikatwang
merasa tidak enak mendengar ramalan Dewa Sedih itu. "Dewa Sedih, apakah
kau bisa memanggil adikmu itu lalu sama-sama membantu di Kediri."
Dewa
Sedih menggelengkan kepala. "Orang sedih dia mana bisa disatukan dengan
orang ketawa. Raden harus memilih. Percaya padaku atau lebih suka padanya. Yang
jelas kami berdua tidak bisa seiring sejalan."
Adikatwang
mengusap dagunya. "Baiklah," katanya.
"Kalau
begitu kau yang akan kuambil. Hentikan tangismu dan jangan terlalu
cengeng."
"Aku
tidak cengeng! Aku hanya sedih!" kata Dewa Sedih hampir berteriak. Marah dia
rupanya. Tapi walaupun begitu tampangnya tetap saja murung.
"Aku
tahu… Aku tahu…" kata Adikatwang. "Aku juga sedih."
"Raden
juga sedih? Jadi kita sama-sama sedih. Kalau begitu mari kita sama-sama
menangis!"
Manusia
geblek! Maki Adikatwang dalam hati. Kalau bukan karena kesaktianmu jangan harap
aku mau membawa manusia gila sepertimu.
****************
5
SIANG itu
langit cerah. Diiringi oleh para pengawal, bersama-sama Patih Raganatha,
beberapa orang Pendeta dan Panglima Perang Kerajaan Aruajaya, Sang Prabu
melangkah menuruni tangga Candi Jago yang terletak di sebelah Selatan Tumapel.
Raja Singosari itu baru saja melakukan upacara keagamaan. Candi Jago sengaja
didirikan oleh Sang Prabu sebagai tempat pemujaan terhadap ayahandanya yaitu
mendiang Wisnu Wardhana. Seorang hamba sahaya membawa payung kuning
berumbai-umbai merah untuk melindungi Sri Baginda dari sengatan matahari.
Ketika
kaki kiri Sang Prabu Singosari menginjak anak tangga terakhir di bagian depan
Candi, tiba-tiba di langit petir menyambar terang benderang. Bersamaan dengan
itu menggelegar suara guntur. Bumi berguncang, Langit laksana terbelah. Semua
orang yang ada di depan Candi Jago tampak terhuyung. Getaran yang dahsyat
terasa sampai ke jantung mereka. Wajah mereka termasuk Sang Prabu tampak
berubah pucat oleh rasa kejut yang bukan alang kepalang.
"Petir
di tengah hari…" desis Sri Baginda seraya memandang pada Patih Raganatha
sementara para Pendeta tampak menundukkan kepala sambil merapal bacaan-bacaan
suci. "Apakah artinya ini Mamanda Patih?"
"Saya
tidak dapat menjawabnya saat ini Sang Prabu. Sebaiknya kita kembali cepat-cepat
ke Tumapel." Menjawab Patih Raganatha. "Memang kita perlu mengkaji
apa arti petunjuk para Dewa yang diberikan melalui kejadian tadi."
Sri
Baginda mengangguk. Wajahnya agak murung. Dia maklum petir dan guntur tadi
merupakan suatu pertanda yang tidak baik. Mungkin tidak baik bagi dirinya,
mungkin sekali bagi Kerajaan. Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di
Singosari ini? Berucap Sri Baginda dalam hatinya.
Sang
Prabu naik ke atas kereta. Rombongan yang baru saja melakukan upacara keagamaan
itu bergerak cepat menuju Keraton Tumapel. Di tengah jalan, Patih Raganatha
yang duduk di samping Sri Baginda berkata. "Sang Prabu, jika saya boleh
mengusulkan, begitu sampai di Keraton sebaiknya kita mengadakan pertemuan.
Sebenarnya hal ini sudah agak lama kami inginkan. Pertanda di Candi Jago tadi
membuat saya merasakan pertemuan itu sebagai suatu yang mendesak."
Sang
Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu. Namun akhirnya dia
menganggukkan kepala. "Beritahu yang lain-lain," katanya.
Begitu
sampai di Keraton Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa
dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mendadak.
Patih dan
Panglima serta beberapa Pendeta mengikuti.
Setelah
semua orang duduk di tempat masing-masing berkatalah Sang Prabu.
"Mamanda
Patih, sekarang coba Mamanda memberikan penjelasan, apakah kejadian di Candi
Jago siang tadi merupakan suatu pertanda? Jika benar pertanda apakah? Buruk
atau baik?"
Patih
Rapanatha menghaturkan sembah terlebih dahulu baru menjawab.
"Daulat
Sang Prabu. Saya hanya tahu sedikit soal tanda-tanda ciptaan para Dewa. Saya
takut mengemukakannya kalau-kalau keliru. Saya merasa sebaiknya kita meminta
orang tertua di antara kita saja yang bicara. Yaitu Pendeta Mayana."
Semua
orang menyetujui ucapan Patih KerajaaniItu. Sang Prabu berpaling pada orang tua
berambut sangat putih seperti kapas, bermata bening yang duduk di samping
Panglima Argajaya. Dialah Pendeta Mayana.
"Terima
kasih kalau Sang Prabu mempercayai dan mau mendengar petunjuk dari kami,"
kata sang Pendeta pula setelah membungkuk terlebih dahulu. "Petir dan
guntur di siang hari ketika tidak ada hujan adalah suatu petunjuk jelas akan
terjadi sesuatu besar di bumi Singosari. Sesuatu itu mungkin mendatangkan
kebaikan, namun sebaliknya bisa juga membawa malapetaka…"
"Saya
tidak percaya kalau kejadian tadi merupakan pertanda akan datangnya
malapetaka," berkata Sang Prabu. "Kita orang-orang Singosari saat ini
berada dalam keadaan berkecukupan. Hasil sawah ladang dan ternak melimpah ruah.
Keadaan Kerajaan aman tenteram. Semua karena, perlindungan dan anugerah para
Dewa. Kita orang-orang Singosari selalu taat pada agama. Selalu mengingat dan
menghaturkan doa sembah kepada para leluhur. Jadi tidak mungkin Para Dewa akan
menjatuhkan malapetaka di Kerajaan ini. Sulit bagi saya menerima begitu saja
artian yang Pendeta Mayana barusan sampaikan."
"Mohon
dimaafkan kalau ucapan kami tidak berkenan di hati Sang Prabu. Kita semua di
sini tentu saja memohon pada Dewata agar negeri kita dijauhi dari segala
malapetaka maupun bencana dalam bentuk apapun. Kami hanya sekedar mengingatkan
bahwa yang buruk dan yang baik itu bisa saja terjadi tanpa terduga. Namun
apakah Sang Prabu berkenan mendengarkan beberapa petunjuk lainnya yang
berkaitan dengan kejadian siang tadi di Candi Jago?"
"Beberapa
petunjuk apa maksud Pendeta Mayana?" tanya Raja pula.
"Untuk
itu biarlah kami minta Panglima Argajaya atau Patih Raganatha yang memberikan
penjelasan," kata Pendeta Mayana.
Sang
Prabu menganggukkan kepalanya ke arah Patih Raganatha. Sang Patih lalu membuka
mulut. "Orang kita di Madura melaporkan ada tanda-tanda hahwa Adipati Wira
Seta telah menambah kekuatan pasukan Kadipaten. Berkali-kali terlihat adanya
latihan perangperangan. Setahu saya, kita tidak pernah meminta Sumenep untuk
melakukan hal itu. Lalu mengapa Adipati Wira Seta berbuat demikhian? Jawabnya hanya
satu yaitu bahwa dia mempunyai suatu rencana. Dan rencana itu tidak sulit untuk
diterka. Dia tengah menyusun kekuatan untuk memberontak pada Singosari."
Alis mata
Sang Prabu nampak naik ke atas. Keningnya berkerut. "Wira Seta hendak
memberontak? Tak masuk akal! Bukankah dia sekarang inenjadi Raja Kecil di
Madura? Lebih tinggi kedudukannya dari pada di Tumapel ini. Sikapnya selama ini
tidak menunjukkan perubahan sedikitpun. Dia mensyukuri jabatan dan tugas yang
diberikan. Bagaimana sekarang tahu-tahu Mamanda Patih mengatakan dia menyusun
kekuatan hendak berontak? Bukankah latihan perang-perangan suatu hal biasa saja
bagi suatu Kerajaan sebesar Singosari ini? Apalagi Madura dipisahkan oleh laut
dengan tanah Jawa. Patut dia memperkuat diri untuk berjaga-jaga terhadap
hal-hal yang tidak diinginkan. Sesungguhnya apakah yang terjadi di Keraton
Tumapel ini? Saya mencium ada orang-orang yang tidak suka terhadap Adipati Wira
Seta."
Paras
Patih Raganatha tampak berubah merah. Dalam hati dia merasa sangat menyesal telah
mengeluarkan kata-kata tadi.
Padahal
apa yang diucapkannya adalah sejujurnya tidak ada niatan memburukkan orang lain
apa lagi mengkhianati. Diam-diam sang patih menjadi sangat sedih.
Karenanya
dia memutuskan untuk tidak membuka mulut lagi.
Sang
Prabu berpaling pada Argajaya. "Panglima, apakah kau tidak akan mengatakan
sesuatu?"
Panglima
Pasukan Kerajaan ini sesaat tampak meragu.
Dia
melirik pada Patih Ragantha. Dia merasa hiba terhadap orang tua itu. Dengan
maksud hendak membelanya maka diapun berkata.
"Memang
ada yang hendak saya laporkan, Sang Prabu. Itu jika Sang Prabu berkenan
mendengarnya…"
"Apakah
ada sangkut pautnya dengan kejadian siang tadi?" tanya Raja pula.
"Saya
tidak berani mengatakan begitu," sahut Argajaya karena dia kawatir dirinya
akan ditempelak seperti Patih Raganatha "Yang ingin saya sampaikan ialah
menyangkut keadaan dan keamanan negeri. Sesuai dengan tugas dan kewajiban saya
menjaga Kerajaan."
"Kalau
begitu katakanlah," perintah Sang Prabu.
"Daulat
Sang Prabu. Sang Prabu ingat sewaktu utusan Raja Cina keturunan Mongol Kubilai
Khan datang ke Singosari beberapa waktu lalu?"
"Saya
ingat. Semua kita di sini pasti ingat hal itu." jawab Sang Prabu pula.
"Kejadian
dimana kita mengusir utusan itu setelah terlebih dahulu membuat cacat muka pemimpin
mereka tidak dapat tidak akan membuat murka Raja Cina. Saya kawatir kalau Raja
Cina sewaktu-waktu memerintahkan balatentaranya untuk menyerbu kemari."
Sri
Baginda tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Panglima Pasukannya itu.
"Orang
asing kalau diberi hati, mereka akan menginjak kita. Apalagi kalau kita
memperlihatkan sikap takut! Ingat hal itu baik-baik bagi semua yang ada di
sini!" Sri Baginda memandang satu persatu wajah-wajah di hadapannya.
"Mengenai penghinaan yang kita lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina
itu, apakah kalian tidak melihat bahwa itu adalah lebih ringan dibanding dengan
penghinaan yang mereka lemparkan pada kita. Mereka meminta agar kita tunduk
kepada Kerajaan Cina!" Pelipis Sang prabu tampak bergerak-gerak tanda dia
menahan kemarahan besar. "Kubilai Khan boleh mengirim serdadunya kemari.
Raja Cina itu boleh menyerbu Singosari. Kita akan memukul mereka sampai hancur.
Tidak ada satu Kerajaanpun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh.
Mereka mungkin bisa menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka
putus, mereka akan jadi sasaran hantu kelaparan atau senjata lawan!"
Panglima
Argajaya dalam hati mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang Prabu.Tetapi
bagaimana kalau Adipati Wira Seta mempergunakan kesempatan. Bergabung dengan
pasukan Cina untuk menyerbu Singosari? Rasa-rasanya Singosari hanya akan
sanggup bertahan satu hari satu malam. Setelah itu…
Hal
itulah yang dikawatirkan oleh Argajaya dan juga diketahui oleh Patih Raganatha.
Bahkan para Pendeta yang hadir di situ saat itu juga dapat meraba jalan pikiran
kedua orang tokoh Kerajaan tersebut. Namun tidak satupun yang berani
mengemukakannya karena takut dituduh yang bukan-bukan.
Melihat
Argajaya diam saja Sang Prabu lantas bertanya.
"Masih
ada lagi yang hendak mengemukakan sesuatu? Kalau tidak pertemuan ditutup sampai
di sini."
Patih
Raganatha melirik kepada Argajaya. Panglima Pasukan Singosari yang mengerti
arti lirikan ini membungkuk dalam-dalam dan berkata.
"Izinkan
saya menyampaikan sesuatu Sang Prabu."
Sang
Prabu mengangguk.
"Ada
seorang pelapor memberi tahu tentang pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta
dengan penguasa di Kediri."
"Maksudmu
Raden Adikatwang?"
"Betul
sekali Sang Prabu."
"Apa
yang dilaporkan orang itu?" tanya Sang Prabu.
Lalu
panglima Argajaya menceritakan pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta
dengan Adikatwang beberapa waktu lalu di sebuah hutan tak berapa jauh dari Kali
Brantas.
"Ini
cerita baru yang sungguh tidak enak didengar. Bahkan mengejutkan!" kata
Raja pula. "Tetapi saya lagi-lagi sulit mempercayainya. "Saya tahu
betul selama ini Adikatwang menghambakan dirinya penuh kejujuran dan kesetiaan
pada Singosari. Itu sebabnya kita memberikan kekuasaan di Gelang-gelang
kepadanya. Upetinya tidak pernah putus. Apakah orang sebaik itu bisa dipercaya
akan melakukan pemberontakan? Dan kawan pemberontaknya adalah Wira Seta yang
juga mengabdi begitu baik terhadap Kerajaan?"
Orang-orang
yang ada di tempat itu, terutama Patih Raganatha dan Panglima Argajaya merasa
putus asa dan sangat kecewa atas tanggapan yang diberikan oleh Raja mereka.
Sang Prabu rupanya memaklumi hal ini. Maka diapun bertanya.
"Siapa
pelapor yang kau katakan itu Panglima?"
"Seorang
pemuda bernama Wiro."
"Dia
orang Singosari?"
"Dia
mengaku dari Barat. Dari Gunung Gede." Jawab Argajaya.
"Ahhhh…Orang
dari Barat!" ajar Sang Prabu sambil menarik napas panjang. "Bukan
mustahil dia adalah sisa-sisa turunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran
yang kita semua tahu bahwa mereka tidak punya hubungan baik dengan Singosari
sejak jaman nenek moyang kita."
Mendengar
ucapan Raja mereka itu Argajaya apalagi Patih Raganatha tidak bisa berbuat
apa-apa selain berdiam diri.
"Orang
bernama Wiro itu, di mana dia sekarang? Apakah kita bisa menanyainya secara
lebih seksama?"
Mendengar
pertanyaan Sang Prabu itu Argajaya segera menjawab. "Jika Sang Prabu
berkenan menemuinya, saya bisa menyuruhnya panggil saat ini juga."
"Bawa
dia ke mari," kata Sri Baginda.
Argajaya
berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan cepat. Dia menemui dua orang
pengawal. Kedua pengawal itu lalu bergegas menuruni tangga Keraton, berjalan
menuju ke tembok bagian Timur di mana terletak sebuah bangunan yang
dipergunakan sebagai tempat bermalam para pengawal. Tak lama kemudian kedua
pengawal itu muncul kembali bersama sebrang pemuda berpakaian putih-putih dan
berambut gondrong. Dia melangkah diapit dua pengawal sambil senyum-senyum.
Ketika
pemuda itu sampai di hadapan Sang Prabu, dia segera menjura memberi
penghormatan tetapi masih tetap sambil senyum-senyum. Hal ini mendatangkan rasa
tidak enak di hati Sang Prabu.
Sikapnya
cukup hormat tapi rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda ini, kata
Sri Baginda dalam hati.
"Orang
muda, namamu Wiro?" tanya Raja.
"Betul
Sang Prabu."
"Kau
keturunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran?"
Wiro
garuk-garuk kepalanya, kurang mengerti maksud pertanyaan itu. "Kalau soal
keturunan, saya kurang jelas. Saya dibesarkan di puncak Gunung Gede. Hanya itu
yang saya tahu."
"Panglimaku
melaporkan bahwa kau mengetahui adanya pertemuan rahasia antara Raden
Adikatwang dari Kediri dengan Adipati Wira Seta di Sumenep. Betul?"
"Betul
sekali Sang Prabu," jawab Wiro.
"Di
mana pertemuan itu diadakan. Kapan?"
"Tiga
hari lalu. Dekat Kali Brantas. Tak jauh dari pohon cempedak yang batangnya melintang
di atas kali. Waktu itu saya sedang enak-enak makan cempedak di atas pohon.
Lalu…"
"Hal
itu tidak perlu diceritakan," memotong Argajaya yang jadi risih mendengar
Wiro menccritakan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan
Raja.
Sang
Prabu melirik pada Panglima Argajaya lalu geleng-gelengkan kepala. Argajaya
seperti tak bisa bernafas melihat sikap dan cara Wiro memberi keterangan.
Seolah-olah Sang Prabu adalah temannya, bukan dianggap sebagai Raja.
"Laporanmu
tidak bisa dipercaya. Kecuali kalau bisa memberikan bukti-bukti. Kau bisa
menunjukkan bukti-bukti tentang adanya pertemuan itu?" tanya Raja Sri
Baginda.
Wiro jadi
garuk-garuk kepala mendengar perfanyaan itu. Lalu dia ingat akan peristiwa di
kali. "Saya bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta," berkata
Wiro. "Bisa ditanyakan pada delapan orang perajurit Kediri yang sempat
saya telanjangi di sungai!"
Patih
Raganatha dan Panglima Argajaya jadi berubah paras mereka. Para Pendeta
tundukkan kepala, beberapa di antaranya senyum-senyum.
"Cukup!"
Sri Baginda berdiri dad duduknya. "Kau tidak bisa memberikan bukti. Malah
bicara ngawur!"
Wiro jadi
jengkel.
"Sang
Prabu, kewajiban saya hanya melapor. Karena saya merasa Singosari dalam bahaya.
Bukan tugas saya memberikan bukti-bukti. Itu adalah tugas orang-orang Singosari
sendiri untuk menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya. Jika saya
berkata dusta saya bersedia dihukum!"
"Orang
muda!" bentak Argajaya. "Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!"
Wiro
menatap wajah Panglima Singosari itu, sesaat lalu berkata, "Saya yang
tolol mana berani mengajari Raja. Jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi
saja dari sini."
Wiro
hendak memutar tubuhnya.
"Kau
kutuduh memberi keterangan palsu dan fitnah! Siapa dirimu harus
diselidiki!"
Ucapan
Raja Singosari itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan langkahnya.
"Tangkap
pemuda gondrong ini!" perintah Sang Prabu.
Wiro terkejut
karena tak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Enam perajurit berbadan
kukuh segera melompat dan mencekal kedua tangannya lalu ditelikungkan ke
punggung.
Wiro
sampai mengerenyit karena kesakitan. Sebuah belenggu besi segera hendak
dikatupkan pada kedua pergelangannya.
Murid
nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menjadi kalap. Kaki kanan dan
kedua tangannya bergerak dengan cepat.
Tiga
perajurit terpekik lalu terjengkang di lantai di hadapan Sang Prabu. Tiga
lainnya tegak memaing kaku dalam keadaan tertotok!
****************
6
SEMUA
orang yang ada di ruangan pertemuan terkejut sekali menyaksikan kejadian itu.
Tidak sembarang orang mampu melumpuhkan enam orang penyerang sekaligus dalam
satu gerakan kilat yang hampir tidak terlihat. Panglima Argajaya dalam hati
harus mengakui bahwa dia bahkan Patih Raganatha, mungkin tidak bakal mampu
melakukan hal itu. Pemuda yang mengaku bernama Wiro ini memiliki ilmu silat
tinggi. Apakah dia juga mempunyai tenaga dalam dan kesaktian yang hebat?
Berpikir Argajaya dan juga Raganatha. Sementara para Pendeta yang duduk tidak
bergerak di tempat masing-masing dan tidak dapat menyembunyikan air muka rasa
kagum mereka.
Sri
Baginda tidak ingin orang-orang yang ada di situ sempat terpengaruh oleh
kehebatan yang barusan diperlihatkan pemuda berambut gondrong itu. Maka diapun
berkata dengan suara keras.
"Kalian
saksikan sendiri! Dia muncul dengan sikap berpura-pura seperti orang dungu.
Tapi nyatanya memiliki kepandaian tinggi. Jelas dia membekal maksud yang tidak
baik. Apa kalian masih be1um percaya kalau dia sebenarnya seorang mata-mata
pihak yang mempunyai maksud jahat terhadap Singosari?!"
Tidak ada
yang membuka suara. Panglima Argaraya melangkah mendekati Sang Prabu lalu
berbisik. "Maafkan saya Sang Prabu. Jika dia memang nemiliki ilmu tinggi,
bukankah lebih baik memanfaatkannya untuk kepentingan Kerajaan?"
Sri
Baginda memandang pada Panglimanya dengan wajah beringas. "Kenapa kau
bicara tolol Panglima? Kau ingin kita memelihara anak harimau. Kalau pada suatu
hari dia akan menerkam kita?!"
Argajaya
terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi. Saat itu terdengar suara Raja keras
sekali.
"Panglima
Argajaya! Aku perintahkan kau meringkus pemuda itu!"
"Tapi
Sang Prabu…"
"Kau
berani menolak perintahku, Panglima?" Kedua mata Sri Baginda membelalak.
"Siap
Sang Prabu!" jawab Argajaya. Lalu Panglima Kerajaan ini melompat ke
hadapan
Wiro.
"`Serahkan dirimu secara baik-baik. Kecuali kalau kau ingin kugasak sampai
remuk!"
Wiro
menatap wajah Panglima itu dengan sinis. "Panglima," katanya.
"Saya tahu kau hanya menjalankan perintah walau hati kecilmu menentangnya.
Tetapi
jika kau sampai menangkap diriku, itu adalah kesalahan yang keterlaluan. Kau
tahu aku tidak punya salah apa-apa…"
"Tutup
mulutmu! Aku tidak segan-segan membunuhmu di hadapan Sang Prabu!" hardik
Panglima Argajaya.
Dada
murid Eyang Sinto Gendeng seperti terbakar mendengar ucapan Argajaya itu.
Sebelumnya dia percaya penuh pada keterangan tentang pertemuan rahasia antar
Raden Adikatwang dan Wira Seta. Itu sebabnya aku mau disuruhnya menunggu sampai
ada kesempatan untuk menemui Raja. Kini dia berubah. Jangankan membela,
membunuhpun dia mau! Panglima tak bisa dipercaya. Panglima ular kepala dua!
"Kalau
kau hendak menangkapku silakan. Aku, orang Gunung yang tidak punya daya!"
kata Wiro. Lalu dia tegak dengan kaki dikembangkan dan bahu merunduk. Tangan
kanannya bergetar karena ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ.
Saat itu
Wiro tiba-tiba mendengar ada suara mengiang di kedua telinganya.
"Anak
muda, walau hatimu terbakar tapi jangan unjukkan kekuatan di tempat ini. Aku
percaya kau bisa merobohkan Panglima Argajaya dalam dua tiga kali gerakan. Tapi
apakah itu perlu? Serahkan saja dirimu baik-baik. Mengalah secara kesatria
tidak ada celanya. Ada saatnya kau bisa membebaskan diri. Itu harus kau lakukan
pada saat yang tepat. Jika kau melawan dan mempergunakan kekerasan semakin kuat
dugaan Sang Prabu bahwa kau adalah mata-mata musuh. Lagi pula betapapun kepandaian
yang kau miliki, jika Raja mengerahkan seluruh orang pandai dalam Istana kau
pasti akan mengalami kesulitan."
Wiro
memandang pada orang-orang yang ada di ruangan itu. Sulit baginya untuk menduga
siapa yang barusan mengeluarkan ucapan itu dengan nempergunakan ilmu
mengirimkan suara yang tidak terdengar oleh orang lain, kecuali orang yang
dituju. Yang bicara pasti bukan Argajaya atau Patih Raganatha, apalagi Sang
Prabu. Wiro memandang ke jurusan para Pendeta. Mereka duduk dengan sikap tenang
dan balas memandang dengan air muka yang agak berubah.
Aku yakin
salah seorang dari mereka yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu.
Tapi yang
mana …? Wiro menatap wajah Pendeta Mayana. Pandangannya dipusatkan pada kedua
mata sang pendeta yang sangat bening. Hatinya berdetak, Pendeta satu inilah
yang diduganya mengeluarkan peringatan itu. Memikir bahwa petunjuk yang
disampaikan lewat suara tadi benar adanya maka Wiro batalkan niatnya untuk
melakukan perlawanan. Dia berpaling pada Panglima Argajaya.
"Saya
tidak punya salah, tidak punya dosa. Jika setetes kebajikan yang hendak saya
berikan pada Singosari dianggap satu kesalahan besar, Panglima boleh saja
menangkap saya. Namun kelak Panglima in melihat kenyataan bahwa apa yang
dilakukan adalah keliru. Saat ini saya yakin ada beberapa orang dari yang hadir
di sini mempunyai pendapat yang sama dengan apa yang saya katakan. Tetapi
mereka tidak bersedia mengatakan secara terus terang."
Wiro
tersenyum ketika melihat para Pendeta yang ada di ruangan itu sama menundukkan
kepala. Murid Sinto Gendeng itu lalu ulurkan kedua tangannya. Seorang perajurit
cepat membelenggu kedua pergelangan tangan Wiro dengan belenggu besi sementara
beberapa orang perajurit lainnya sibuk menolong enam kawan mereka yang cidera.
"Bawa
tawanan ini ke penjara di tembok Timur Keraton. Jangan lepaskan belenggunya.
Dua orang harus selalu mengawal pintu penjara siang malam." Kata Panglima
Argajaya pada bawahannya.
Sepuluh
orang perajurit segera menggiring Wiro meninggalkan ruangan itu. Sebelum
melangkah pergi, Pendekar 212 berhenti di depan Argajaya. Dia keluarkan suara
bersiul lalu berkata, "Terimakasih atas perlakuan yang sangat mengesankan
ini. Saya merasa sebagai tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri, juga
bukan perampok. Kau tak usah kawatir saya akan melarikan diri. Karena itu saya
tidak memerlukan belenggu besi ini!"
Wiro
salurkan tenaga dalam dan hawa panas dari perutnya. Kedua tangannya bergetar
dan tampak berubah warna menjadi putih seperti perak. Sang pendekar telah
merapal aji kesaktian ilmu pukulan matahari.
Belenggu
besi tampak seperti leleh. Lalu traakk!
Belenggu
itu terbelah dua. Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu Wiro
berpaling ke arah Sang Prabu. Dia menjura dengan sikap mengejek lalu melangkah
ke arah pintu. Ketika melewati Pendeta Mayana murid Sinto Gendeng ini tersenyum
polos. Kedipkan matanya dan berbisik, "Terima kasih atas petunjuk
tadi…"
Pendeta
Mayana hanya diam saja. Tidak mau memberikan reaksi apa-apa karena kawatir
sikapnya akan menimbulkan rasa curiga dalam diri Sang Prabu dan dapat
memperburuk suasana.
Pada saat
Wiro mencapai pintu ruangan digiring oleh para pengawal tiba-tiba terdengar
satu suitan nyaring yang membuat semua orang terkesiap. Wiro hentikan
langkahnya. Dia mendengar suara berdering.
Entah
dari mana munculnya sebuah benda melesat dan menancap di tiang kayu jati besar
di tengah ruangan. Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah
sebuah tusuk kundai yang terbuat dari perak. Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut
etika dia mengenali benda itu. Tusuk kundai tersebut adalah perhiasan yang
biasa dipakai gurunya di kepala. Eyang, katanya dalam hati. Kau ada di sini…
Pada
ujung tusuk konde yang berbentuk gelungan, tersisip segulungan daun lontar
kering. Semua orang yang ada di situ memandang pada Sang Prabu, seolah menunggu
isyarat atau perintah apa yang harus mereka lakukan.
"Ada
orang berkepandaian tinggi mengirimkan pesan. Punya ilmu tapi tidak punya nyali
untuk unjukkan diri!" kata Sang Prabu pula. Dia memandang berkeliling.
Semua orang, termasuk Wiro melakukan hal yang sama. Namun tidak satupun melihat
orang yang melemparkan tusuk kundai itu tadi. Bahkan bayangannya pun tidak.
Sang
Prabu akhirnva memandang Panglima Argaraja.
"Panglima,
ambil tusuk kindai itu!" perintah sang Prabu.
Panglima
Argajaya segera melangkah ke tiang besar lalu mencabut tusuk kundai yang
menancap di situ. Tusuk kundai serta daun lontar yang tersisip diperhatikannya
seketika lalu diserahkannya pada Raja. Sri Baginda membuka gulungan daun
lontar. Di situ ternyata ada sederetan tulisan berbunyi :
Jika
seseorang membuat muridku menderita tanpa salah, maka penderitaan akan menimpa
orang itu lebih parah.
Wiro
merasa tidak enak ketika Sri Baginda memandang dengan wajah membesi ke arahnya.
Dilihatnya Sang Prabu menyerahkan daun lontar pada Panglima Argajaya. Argajaya
membaca apa yang tertulis di situ lalu memberikan daun itu pada Patih
Raganatha.
"Kecurigaanku
tidak melesetl Orang yang mengaku guru pemuda itu ternyata ada di sini. Apa
lagi yang mereka lakukan kalau bukan sama-sama berkomplot dengan musuh
Singosari! Murid dan guru sama saja kurang ajarnya. Berani dia memberi teguran
dengan cara seperti itu!" Sehabis berkata begitu Sri Baginda bantingkan
tusuk kundai perak yang dipegangnya ke lantai. Benda ini menancap sampai
setengahnya ke dalam lantai batu yang keras. Lalu Raja Singosari ini berpaling
pada Patih Raganatha.
"Besok
siapkan sidang pengadilan kilat bagi pemuda itu. Tapi satu hal sudah jelas. Dia
harus dijatuhi hukuman mati!"
"Daulat
Sang Prabu," jawab Patih Raganatha.
Paras
Wiro jadi berubah mendengarkan kata-kata dari Baginda itu. Tak ada jalan 1ain.
Dia harus melarikan diri saat itu juga. Ketika dia siap hendak melakukan hal
itu tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Murid Eyang Sinto Gendeng
cepat memutar tubuh seraya menghantamkan tangan kanannya.
Bukk!
Jotosannya
tepat menghantam dada orang. Orang yang menyerang ini terpental tiga langkah
dan jatuh tergelimpang di lantai. Dari mulutnya terdengar suara erang
kesakitan. Di saat yang sama ketika jotosannya mengenai orang Wiro sendiri
merasakan satu totokan melanda dadanya dengan telak hingga saat itu juga
sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Di dapannya
Panglima Argajaya berusaha bangkit dengan tubuh terhuyung-huyung. Di sela
bibirnya ada lelehan darah. Pukulan Wiro telah membuat Panglima Singosari ini
terluka dalam yang cukup parah!
Wiro
digotong empat orang prajurit menuju halaman belakang Keraton. Di tembok
sebelah Timur rombongan ini membelok ke kanan melewati arah pintu. Dari sini
mereka akan menyeberangi sebuah jalan besar yang mengelilingi Keraton. Di
seberang jalan ada sebuah bangunan batu berbentuk panjang. Ke bangunan inilah
Pendekar 212 akan dibawa.
Ketika
rombongan itu baru saja hendak menyeberangi jalan seorang penunggang kuda
melintas dengan cepat. Di belakangnya ada dua orang pengawal mengikuti.
Tiba-tiba penunggang kuda di sebelah depan membalik ke arah rombongan yang
tengah menyeberang. Orang di atas kuda itu ternyata adalah seorang gadis remaja
berparas cantik sekali. Dia mengenakan pakaian ringkas. Rambutnya yang panjang
hitam dijalin satu lalu digelung di atas kepala. Dua orang penunggang kuda yang
bertindak sebagai pengawal segera bertanya.
"Raden
Ayu Gayatri, mengapa kita berhenti?"
Gadis di
atas kuda tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya. Dia membawa kudanya ke depan
rombongan yang tengah menggotong Wiro. Empat orang perajurit yang menggotong
langsung meletakkan Wiro begitu saja di tanah. Bersama enam oran perajurit
lainnya mereka membungkuk menghatur sembah.
Dalam
keadaan tertelentang di tanah Pendek. 212 Wiro Sableng jadi tercengang ketika
melihat semua perajurit yang mengawalnya memberi penghormatan seperti itu
terhadap si gadis. Dalam hati dia berkata. Ah, dia rupanya. Siapa gadis
sebenarnya? Mengapa semua perajurit menghormat seperti sikap menghormat seorang
Raja? Dulu waktu kutanya dia tidak mau memberi tahu nama, juga tidak di mana
dia tinggal
Gadis
cantik berpakaian ringkas tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya tadi. Dia
memperhatikan Wiro yang tertelentang di tanah, tidak bergerak tidak bersuara.
Hanya bola matanya saja yang berputar-putar.
Apa yang
terjadi dengan dirinya? Tangan dan kakinya tidak bergerak. Sekujur tubuhnya
seperti kaku. Bersuarapun dia tidak bisa. Keadaannya seperti orang ditotok.
Gadis itu melompat turun dari kudanya.
"Siapa
pimpinan dalam rombongan ini?" Si gadis ajukan pertanyaan.
Seorang
perajurit maju ke depan. "Hamba Den Ayu…"
"Mau
dibawa kemana orang ini?"
"Atas
perintah Sang Prabu tawanan ini hendak dijebloskan ke dalam penjara."
"Tawanan?
Hendak dijebloskan ke dalam penjara?!" Paras si gadis tampak berubah. Dia
memandang pada Wiro. Lalu kembali bertanya pada si pengawal. "Apa
kesalahannya?"
Pengawal
menjawab. "Dia mata-mata musuh."
Si gadis
kembali memandang ke arah Wiro. Dia mata-mata musuh? Benarkah? Tidak mungkin.
Aku tak percaya. Kalau bukan karena dia diriku…
"Dia
bukan mata-mata. Aku tahu betul hal itu. Harap kalian segera melepaskan
dirinya. Biarkan dia pergi dari sini!"
Semua
orang yang ada di jalanan itu tentu saja sangat terkejut mendengar ucapan si
gadis sementara Pendekar 212 hanya bisa menatap.
"Kami
menghormati Raden Ayu dengan segala ucapannya," kata perajurit yang jadi
pimpinan. "Tetapi mana mungkin kami menyalahi perintah Sang Prabu. Mohon
Raden Ayu mengerti dan memaafkan."
"Katakan
di mana Sang Prabu berada saat ini?" tanya gadis yang dipanggil dengan
sebutan Raden Ayu Gayatri itu.
"Sang
Prabu ada di ruangan pertemuan Keraton bersama Patih dan Panglima serta para
Pendeta."
Gadis
cantik itu berpaling pada dua orang yang mengawalnya dan berkata. "Latihan
menunggang kuda cukup sampai di sini dulu." Lalu gadis ini melompat ke
atas kudanya dan membedal binatang ini memasuki halaman Timur Keraton. Empat
orang perajurit meneruskan menyeberangi jalan, menggotong Wiro menuju bangunan
penjara.
Pertemuan
di dalam keraron segera akan berakhir ketika Raden Ayu Gayatri memasuki ruangan.
Kecuali Sang Prabu semua orang yang ada di situ menjura memberikan
penghormatan.
"Gayatri,
kau tidak berlatih menunggang kud hari ini?" tanya Sri Baginda.
"Sudah
tapi tidak sampai selesai. Ananda harap kedatangan Ananda tidak mengganggu
Ayahanda." kata Gayatti pu1a. Ternyata dia adalah anak Sang Prabu. Gayatri
bungsu dari empat orang puteri bersaudara.
"Kau
tidak mengganggu. Pertemuan baru saja selesai," jawab Sang Prabu. Dia
menatap pada puterinya sesaat, lalu bertanya, "Ada apa Gayatri. Agaknya
ada sesuatu yang penting?"
Gayatri
menggangguk.
"Katakanlah.
Atau kau ingin hanya kita berdua saj di ruangan ini? Jika itu maumu, Ayahada
akan minta semua orang yang ada di sini untuk pergi…"
"Tidak
perlu. Biarkan semuanya tetap di sini agar bisa ikut mendengar," jawab
Puteri Raja pula. Sang Prabu Singosari menjadi agak heran mendengar kata-kata
puterinya itu. "Ada apakah sebenarnya Gayatri?"
"Di
jalan saya berpapasan depgan perajurit yang tengah menggotong seorang pemuda ke
penjara."
"Hemmm,
kau melihat rombongan itu rupanya."
"Ananda
minta agar pemuda itu dilepaskan." Kalau ada ledakan keras yang
menghancurkan ruangan itu mungkin tidak sedemikian terkejutnya Sang Prabu,
Patih dan Panglima Singosari sementara para Pendeta tegak tak bergerak tanpa
dapat menyembunyikan air muka mereka yang menunjukkan rasa heran.
"Kau
minta tawanan itu dilepaskan, Gayatri?" tanya Sang Prabu. Ketika puterinya
mengangguk, Raja Singosari ini lanjutkan pertanyaannya. "Katakan apa
sebabnya."
"Dia
bukan mata-mata musuh. Bukan orang jahat."
"Rupanya
kau sudah mengenal pemuda asing itu sebelumnya. Anakku, katakan apa hubunganmu
dengani pemuda itu. Jangan kau berani memberi malu keluarga Istana
Singosari!"
"Kalau
bukan karena dia ananda saat ini sudah tidak ada lagi."
"Apa
maksudmu Gayatri?" kejut Sang Prabu Singosari. "Apa yang telah
terjadi dengan dirimu?!"
"Tadinya
Ananda sengaja merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar sepuluh hari lalu.
Tapi saat ini Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya. Agar Ayahanda
bersedia memenuhi permintaan Ananda membebaskan pemuda itu." Lalu Raden
Ayu Gayatri menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh
Sang Prabu maupun Permaisuri.
****************
7
PAGI itu
ketika seorang pengasuh di Kaputren memberi tahu bahwa dua orang pengawal yang biasa
melatihnya menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang Prabu mengatakan
bahwa dirinya kurang sehat. Latihan hari itu ditunda saja sampai besok.
Sebenarnya Gayatri punya rencana sendiri yang sudah sejak lama ingin
dilakukannya.
Di sebuah
hutan kecil di Timur Laut Singosari, tak berapa jauh dari Gunung Bromo sejak
lama diketahui orang banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran dan
bentuk. Warnanya juga macam-macam dan sangat menarik hati. Raden Ayu Ciayatri
ingin sekali pergi ke sana untuk melihat dan menangkap binatang-binatang itu
lalu mengawetkannya dan menjadikannya benda pajangan. Namun sebagai seorang
puteri Raja hal itu tidak mungkin dilakukannya. Paling tidak harus ada pengawal
mendampinginya. Hal inilah yang tidak disukai sang puteri. Dia merasa seperti
terkekang dan dibatas gerak-geriknya kalau ke manamana selalu dikawal, Karena
itu secara diam-diam dia mempersiapkan tangguk dan kantong besar untuk
menangkap kupu kupu itu. Dia akan pergi seorang diri dengan menunggang kuda. Dia
merasa sudah cukup mahir menunggang kuda tanpa pengawal atau pelatih. Kini
tinggal menunggu kesempatan saja. Dan hari itu dirasakannya adalah hari yang
paling tepat karena diketahuinya Sang Prabu bersama Patih dan Panglima Kerajaan
akan melakukan perjalanan ke Selatan.
Setelah
dua orang pelatih yang merangkap pengawal meninggalkan Kaputeran dan pengasuh
berlalu, Gayatri segera mengganti pakaiannya dengan celana dan baju ringkas.
Rambutnya diikat dengan sehelai sapu tangan kuning. Jaring dan tangguk penangkap
kupukupu diambilnya dari balik sebuah lemari besar. Sebilah golok pendek
diselipkannya di pinggang. Lalu tanpa setahu siapapun dia menyelinap ke kandang
kuda di belakang Kaputren. Tak lama kemudian puteri bungsu Raja Singosari ini
tampak membalap kudanya meninggalkan Tumapel ke arah Timur Laut.
Sebagai
seorang Puteri Raja Gayatri tidak pernah pergi jauh meninggalkan Keraton.
Kalaupun pergi dia selalu dikawal. Hal ini menyebabkan dia tidak banyak tahu
seluk beluk di luar Keraton dan akibatnya dalam perjalanan menuju hutan yang
banyak kupu-kupunya itu gadis ini tersesat ke sebuah hutan lain yang juga
terletak di Timur Laut, dipisahkan dengan hutan kupu-kupu oleh sebuah kali
dangkal.
Setelah
cukup lama berada dalam hutan yang salah itu, Gayatri merasa heran karena dia
sama sekali tidak menemukan seekor kupu-kupupun. Keadaan hutan dilihatnya aneh.
Pepohonannya lebat dan tua tetapi di mana-mana terdapat bebatuan dan
jurang-jurang kecil.
"Jangan-jangan
kupu-kupu itu hanya cerita dusta aja," membatin Gayatri. Dalam keadaan
letih gadis ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja. Malangnya dia
tidak berhasil mencari jalan pulang ialah berputar-putar dalam rimba itu sampai
akhirnya matahari condong ke Barat. Rasa takut dan menyesal telah melakukan
perjalanan itu seorang itu mulai muncul dalam dirinya. Sementara itu yang
membuatnya tambah gelisah ialah karena kuda tunggangannya sebentar-sebentar
mengeluarkan suara meringkik. Seolah-olah ada sesuatu yang ditakutkan binatang
ini.
"Tenang….
Tenanglah Grudo," kata Gayatri sambil mengelus kuduk kudanya. "Aku
tahu kau tentu letih. Tapi kita harus segera keluar dari hutan ini. Kita harus
dapat mencari jalan pulang. Ayo Grudo, jalan terus, kita harus pulang sebelum
malam tiba…"
Tapi
binatang dan tuannya itu tidak mampu keluar dari rimba belantara itu. Di sebuah
mata air kecil Gayatri membiarkan kudanya minum. Dia sendiri tidak berani
meneguk mata air itu. Tiba-tiba Grudo mengangkat kepalanya lalu meringkik
keras-keras sambil menaikkan kaki tinggi-tinggi, membuat Gayatri hampir jatuh
terbanting ke tanah. Kuda itu kelihatan seperti ketakutan.
"Grudo,
tenang. Tak ada apa-apa…" kata Gayatri coba menenangkan kuda dan juga
dirinya sendiri. Baru saja gadis ini berkata begitu tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara menggereng. Gayatri berpaling. Nyawanya seperti lepas ketika
hanya sepuluh langkah di belakangnya, dekat sebatang pohon besar tegak merunduk
seekor harimau besar hitam belang kuning.
Harimau
sebesar anak sapi itu tiba-tiba mengaum. Aumannya laksana guntur. Jantung Gayatri
seperti mau copot. Grudo, kuda tunggangannya meringkik keras lalu menghambur
lari sekencang-kencangnya. Gayatri jatuhkan diri sama rata di atas punggung
binatang itu, memagut leher kudanya kuat-kuat. Sekali dia berpaling ke
belakang. Wajah gadis ini menjadi pucat pasi ketika ternyata dilihatnya harimau
besar itu mengejar dan sangat dekat di belakangnya.
"Lari
yang kencang Grudo! Lari yang kencang!" teriak Gayatri sambil memukul
terus menerus pinggul kudanya dengan tangan kanan. Tiba-tiba di sebelah depan
tidak terduga, di antara kerapatan pepohonan menghadang sebuah batu besar Grudo
coba menghindari dengan membelok ke kiri. Tapi di belokan yang tajam dan sangat
tiba-tiba itu membuat tubuh Gayatri terbanting keras ke kanan. Pegangannya pada
leher kuda terlepas. Tubuh gadis itu terlempar. Masih untung dia jatuh di atas
rerumpunan semak belukar hingga tidak mengalami cidera berat. Hanya pakaiannya
saja yang robek dan kulitnya tergurat di beberapa tempat.
Gayatri
cepat turun dari semak-semak itu. Namun baru saja kakinya menginjak tanah
harimau besar itu tahu-tahu sudah berada tujuh langkah di hadapannya! Binatang
ini rundukkan tengkuknya tanda dia siap menerkam mangsanya. Ketakutan setengah
mati Gayatri gerakan tangan ke pinggang. Maksudnya hendak mengambil golok yang
diselipkannya. Tapi senjata itu tak ada lagi di pinggangnya. Telah mencelat
mental entah ke mana sewaktu tadi dia jatuh dari kuda.
Untuk
melarikan did tidak mungkin. Melawanpun tebih tidak mungkin. Dalam keadaan
tidak berdaya begitu rupa yang bisa dilakukan Gayatri hanyalah berteriak minta
tolong. Tapi siapakah yang akan menolongnya dalam rimba belantara yang sunyi
itu?
Harimau
besar itu mengaum dahsyat. Tubuhnya menerkam ke depan. Dua kaki depannya siap
membeset ke arah dada sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di
leher Gayatri!
Hanya
sesaat lagi binatang buas itu akan melahap mangsanya, tiba-tiba dari balik
sebatang pohon menderu satu sambaran angin yang sangat deras. Angin ini
menghantam tubuh harimau itu hingga terpental beberapa tombak, terkapar di
tanah, bangun terhuyung-huyung. Kepalanya digelenggelengkan. Lalu terdengar
aumannya yang menggetarkan rimba belantara. Untuk beberapa saat lamanya
binatang ini hanya mengaum saja. Rupanya hantaman angin keras tadi walau tidak
mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya nanar. Saat itu Gayatri terduduk di
tanah dengan muka pucat. Dia tidak mampu lagi berteriak, apalagi beranjak
menyelamatkan diri. Di saat gadis ini seperti pasrah menerima kematian di
tangan harimau itu, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat di depannya. Lalu dia
melihat seorang pemuda berambut gondrong tegak membelakangi antara dia dan
harimau.
"Raja
hutan!" terdengar pemuda itu berkata. "Aku tidak ingin membunuhmu.
Tapi aku juga tidak suka kau membunuh gadis ini. Lekas tinggalkan tempat
ini!"
Harimau
besar seperti mengerti ucapan orang keluarkan suara menggereng marah. Tubuhnya
merunduk tanda dia siap menerkam pemuda berambut gondrong itu.
"Ah,
jadi kau tak mau diajak berunding…." Ucapan si pemuda terputus ketika
harimau di depannya melompat menerkam. Dengan cepat pemuda itu merunduk. Sambil
merunduk tangan kanannya menjotos ke atas.
Bukk!
Harimau
besar itu terpental satu tombak ke kiri. Raungannya menggetarkan hutan. Dua
tulang iganya patah. Tapi begitu menjejakkan kaki di tanah binatang ini cepat
berputar dan kembali menerkam si pemuda.
"Binatang
tolol! Dikasihani malah minta digebuk!" Dengan gerakan cepat pemuda itu
melompat ke samping menghindari serangan harimau. Begitu serangan lewat tangan
kirinya menghantam ke depan. Kembali terdengar suara bergedebuk. Harimau besar
itu melintir di udara lalu jatuh tergelimpang tanah. Pipinya remuk. Mata
kanannya mengeluarkan darah. Binatang ini meraung keras dan menggapai-gapaikan
kedua kaki depannya lalu dengan tubuh huyung dia mencoba berdiri. Si pemuda
menghantam kalau binatang ini menyerang kembali. Tapi ternyata harimau itu
melangkah mundur lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan tempat itu.
Sadar
kalau dirinya baru raja terlepas bahaya maut Gayatri sandarkan diri ke batang
pohon lalu menangis keras sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Pemuda
berambut gondrong melangkah mendekati seraya berkata.
"Gadis
berani, harimau itu sudah kabur. Bahaya sudah berlalu…."
Gadis
berani? Aku dikatakannya gadis berani, membatin Gayatri. Aku ketakutan setengah
mati, malah bilang aku gadis berani!
Perlahan-lahan
gadis itu turunkan kedua tangan. Si pemuda terkesiap ketika melihat wajah sang
dara.
Wajahnya
cantik sekali. Sepasang matanya bening kaca.
"Saya…
saya bukan gadis berani. Tadi saya ketakutan setengah mati…" kata Gayatri
polos. "Ah, ternyata kau bukan saja pemberani tapi juga jujur. Kau tahu
hanya gadis yang berani
yang mau
masuk ke dalam hutan seorang diri sepertimu." "Sebenarnya saya
tersesat. Tujuan saya bukan hutan ini." "Apapun tujuanmu adalah
sangat berbahaya mengadakan perjalanan seorang did. Apalagi
memasuki
hutan. Apa yang kau lakukan dalam hutan ini?" "Saya mencari
kupu-kupu," jawab Gayatri. "Kupu-kupu? Ah, di sini mana ada
kupu-kupu. Hutan yang banyak kupu-kupunya terletak
di
sebelah Timur." "Itu sebabnya saya katakan saya tersesat. Kau tinggal
di sekitar sini?" "Agak jauh dari sini…." "Saya Wiro. Kau
siapa?" "Saya…." Gayatri sadar dia tak mungkin memberi tahu
namanya. "Maaf…. saya tidak bisa
memberi
tahu nama." Wiro tersenyum. Berani masuk hutan tapi takut memberi tahu
nama. Pasti ada satu rahasia
yang coba
disembunyikannya. "Saya berhutang nyawa padamu. Kau telah menyelamatkan
saya dari raja hutan tadi…" Wiro garuk-garuk kepala. "Hutang uang
memang ada. Kalau hutang nyawa mana ada?"
katanya.
"Ucapan itu lebih pantas dari pada menyebut segala hutang nyawa,"
kata Wiro pula.
"Sebentar
lagi matahari akan tenggelam. Kita harus meninggalkan hutan ini."
"Ya, saya harus segera pulang. Tapi saya tak mungkin pulang tanpa
Grudo." "Grudo? Siapa Grudo?" tanya Wiro. "Kuda saya. Saya
kehilangan binatang itu. Dia lenyap entah ke mana ketika dikejar
harimau."
"Apakah kudamu seekor kuda betina. Berwarna coklat, ada warna putih di
atas
mulutnya?"
"Benar, bagaimana kau tahu?" "Saya sempat melihatnya. Saya akan
memanggilnya agar datang kemari." "Kau bisa memanggil kuda? Kau
bergurau…"
"Lihat
saja!"
Wiro lalu
mendongak ke atas. Dia mengerahkan sedikit tenaga dalamnya ke dada lalu ke
leher. Kedua iangannya diletakkan di samping kepala. Masing-masing ibu jari
menutupi liang telinga dan empat jari lainnya digerak-gerakkan. Gayatri hampir
tak dapat menahan ketawa melihat sikap pemuda ini. Dari mulut Wiro kemudian,
terdengar suara keras seperti ringkikan kuda jantan. Si gadis sampai menekap
telinganya saking kerasnya ringkikan itu. Wiro membuat suara meringkik itu tiga
kali lalu diam sebentar. Sesaat kemudian dia mengulangnya lagi. Begitu sampai
empat kali berturut-turut.
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara ringkikan kuda seolah membalas ringkikan yang
dibuat Wiro.
"Itu
suara Grudo!" seru Gayatri. Dia memandang ke arah kejauhan dari arah mana
kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi.
Wiro
kembali meringkik.
Tak
selang beberapa lama seekor kuda betina oklat muncul dari balik pepohonan.
"Grudo!"
pekik Gayatri lalu lari dan memeluk kuda betina itu. Ketika Wiro datang
mendekat Gayatri bertanya. "Saya belum pernah bertemu dengan orang
sepertimu. Mampu berkelahi dengan harimau. Menyelamatkan nyawa saya dari bahaya
naut. Lalu pandai memanggil kuda…."
Wiro
tertawa lebar mendengar kata-kata Gayatri itu. "Tidak ada yang
hebat," katanya. "Aku hanya menirukan suara ringkikan kuda jantan.
Kuda betinamu mendengar lalu mendatangi. Kuda begitu rupanya. Betina mencari
jantan. Manusia pemuda mencari gadis. Ha… ha… ha…."
Diam-diam
dalam hatinya Gayatri suka sekali pada pemuda ini. Tapi saat itu dia harus
segera pulang. Dia memandang pada Wiro lalu berkata. "Saya tidak tahu
bagaimana membalas budi baikmu. Saya benar-benar berterima kasih. Saya harus
pergi sekarang…."
Wiro
mengangguk. "Saya akan mengantar kanmu sampai ke tepi hutan."
"Kau
baik sekali. Tapi kita tidak bisa menunggangi kuda ini berdua."
"Asal
kau tidak memacu binatang itu secepat kau membedalnya sewaktu dikejar harimau,
saya pasti dapat mengikutimu," kata Wiro pula.
Gayatri
tertawa lepas. Ditepuknya pinggang Grudo. Kuda ini mulai bergerak. Mula-mula
perlahan. Wiro berlari mengikuti dari belakang sambil sekali-sekali memberi
tahu arah mana yang harus diambil. Gayatri mempercepat lari kudanya sambil
sesekali melirik ke belakang. Setiap dia berpaling dilihatnya pemuda itu tetap
berada dalam jarak yang sama dari kudanya. Dicobanya lebih mempercepat lari
Grudo lalu dia melirik lagi. Tetap saja Wiro dilihatnya berada dalam jarak yang
sama.
Pemuda
ini bukan orang sembarangan. Dia pasti murid seorang sakti. Ah, kalau dia mau
membaktikan diri di Keraton, niscaya Ayahanda mau memberikan jabatan cukup
tinggi padanya. Begitu Gayatri berpikir sambil menunggangi kudanya.
Di tepi
hutan gadis itu hentikan kudanya.
"Wiro,
terima kasih kau telah mengantarkan saya sampai di sini. Saya akan pulang. Kita
berpisah di sini. Saya berharap bisa bertemu denganmu lagi!"
Wiro seka
keringat yang membasahi keningnya.
"Saya
juga berharap begitu. Hanya sayang kau tidak memberi tahu nama. Rumahmupun saya
tidak ahu."
"Jangan
berkecil hati Wiro. Kelak kau akan kuberi tahu. Atau ada orang yang akan
memberi tahu." Gadis itu terdiam sesaat. Lalu tangannya bergerak
menanggalkan sebuah peniti di dada pakaiannya. Benda itu diserahkannya pada
Wiro seraya berkata. "Saya berikan dengan hati tulus. Terimalah Wiro tak
berani menyambuti. Tapi si gadis nemaksa. Begitu peniti berpindah tangan
Gayatri segera memacu Grudo meninggalkan tempat Itu. Wiro memperhatikan sampai
si gadis lenyap di kejauhan. Lalu diperhatikannya benda yang ada dalam
genggamannya.
"Astaga,
ini peniti emas. Pasti mahal sekali harganya!" kata Wiro. Pada bagian atas
peniti yang agak lebar terdapat tulisan dalam bahasa Jawa kuna yang tidak
dimengerti Wiro. Sambil memandang ke arah lenyapnya Gayatri tadi, Wiro masukkan
peniti emas itu ke dalam saku pakaiannya.
****************
8
SEMUA
orang yang ada di ruang pertemuan itu termasuk Sang Prabu terdiam mendengar
penuturan Raden Ayu Gayatri.
"Ada
yang ingin menyampaikan sesuatu?" Sang Prabu akhirnya membuka mulut
bertanya.
"Kalau
diperkenankan, saya ingin mengatakan sesuatu," Patih Raganatha berkata.
Ketika Sang Prabu mengangguk diapun meneruskan bicaranya. Mohon maaf Sang
Prabu, mungkin saya salah. Turut apa yang diceritakan Puteri Sang Prabu saya menaruh
kesimpulan bahwa mungkin sekali pemuda dari Gunung Gede itu memang bukan
mata-mata."
"Hemm…"
Raja bergumam. "Ada alasan kuat Mamanda Patih mengatakan begitu?"
"Jika
dia berada di pihak yang menyeterui Singosari pasti dia telah menculik Puteri
Gayatri waktu di hutan itu," jawab Patih Raganatha.
"Dia
tidak melakukan itu karena saat berada di hutan dia tidak tahu siapa sebenarnya
Puteriku," kata Sang Prabu pula mementahkan pendapat Sang Patih. Patih
Kerajaan terdiam. Tak ada yang bicara. Sang Prabu kemudian bertanya, "Ada
lagi yang ingin menyampaikan sesuatu? Saran, permintaan?"
Tak ada
yang menjawab. Sang Prabu berpaling pada puterinya. "Ananda Gayatri, kau
tetap pada pendirianmu agar pemuda itu dibebaskan?"
Gayatri
mengangguk. Maka Sang Prabupun berkata. "Gayatri, sesungguhnya kau telah
membuat beberapa kesalahan yang bisa mencemarkan nama baik keluarga Keraton
Singosari."
Puteri
bungsu terkejut dan memandang tak mengerti pada Ayahandanya.
"Pertama,
kau meninggalkan Keraton tanpa meminta izin atau memberi tahu siapapun. Kedua
kau pergi ke tempat yang berbahaya tanpa pengiring atau pengawal sama sekali.
Ketiga kau berada di hutan berdua-duaan dengan seorang pemuda asing yang
dicurigai mempunyai maksud jahat terhadap Singosari. Kesalahan keempat, kau malah
meminta agar pemuda asing itu dilepaskan!"
Untuk
beberapa saat lamanya Gayatri tidak dapat berkata apa-apa mendengar ucapan
Ayahandanya itu. Semua orang memandang padanya. Para Pendeta diam-diam merasa
hiba.
Sebetulnya
Gayatri ingin segera berlalu dari tempat itu. Dia tahu kalau Ayahandanya punya
sifat tidak suka dibantah. Namun hati kecilnya merasa tidak enak kalau semua
kesalahan harus dituduhkan pada dirinya. Maka puteri bungsu ini akhirnya
memutuskan untuk bicara.
"Ayahanda,
untuk hal pertama dan kedua Ananda mengaku salah dan bersedia menerima hukuman.
Namun untuk hal ketiga dan keempat sulit bagi Ananda menerimanya. Pertemuan itu
sama seka tidak direncanakan. Pemuda asing itu seolah-olah dimunculkan oleh
Bathara Agung ketika Ananda berada dalam bahaya maut. Siapapun dia adanya dia
telah menyelamatkan Ananda. Karena dia orang kebanyakan mungkin kita tidak
perlu ingat apalagi membalas budi jasanya itu. Tetapi jika kemudian kita
menuduhnya sebagai orang yang punya niat jahat terhadap Singosari, mata-mata
musuh… entah tuduhan apa lagi, Ananda rasa itu sungguh sangat bertentangan
dengan pikiran bijaksana dan peri keadilan. Semoga para Dewa mengampuni
kekeliruan kita."
Habis
berkata begitu Gayatri haturkan sembah lalu melangkah cepat ke pintu.
Paras
Sang Prabu tampak merah padam. "Gayatri!" teriaknya.
Puteri
bungsu itu hentikan langkah dan berpaling.
"Sebagai
anak kau tidak layak berkata seperti itu! Urusan Kerajaan aku yang
mengendalikan bersama tiga orang Maha Menteri yaitu Patih, Panglima dan
Pendeta! Aku terpaksa menjatuhkan hukuman padamu. Mulai saat ini kau tidak
diperkenankan meninggalkan Kaputeran. Berapa lamanya sampa ada keputusan lebih
lanjut!"
Kedua
mata Gayatri membesar. Ada air mata merebak di kedua matanya. Gadis ini cepat
menggigit bibirnya keras-keras hingga berdarah. Rasa sakit membuat dia mampu
menahan tangis. Dia melangkah meninggalkan ruangan itu dengan menguatkan diri,
membusungkan dada menegakkan kepala. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan jiwa
pada orang-orang yang ada di situ, terutama Ayahandanya. Tapi di ambang pintu
tiba-tiba Gayatri hentikan langkahnya dan berpaling. Lalu terdengar gadis ini
berkata.
"Saya
ingat pada kisah yang ditulis dalam sebuah kitab kuna. Seekor pelanduk yang
lari ketakutan di tengah hutan ditangkap oleh Penguasa Rimba. Dituduh mencuri
makanan. Ternyata tuduhan itu kemudian tidak pernah terbukti. Karena tidak
pernah diperiksa apa yang sebenarnya menyebabkan si pelanduk melarikan diri.
Padahal dia melarikan diri karena ketakutan dikejar babi hutan dan srigala yang
berlomba hendak memangsanya. Seorang pemuda yang tidak diketahui kesalahannya
ditangkap. Dijebloskan ke dalam penjara. Mengapa tidak seorangpun yang
memikirkan untuk menyelidiki Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta? Saya tidak
memerlukan jawaban karena karena saya tahu semua orang yang ada disini adalah
orang-orang pandai yang tidak layak diajari…"
"Gayatri!"
hardik Sang Prabu dengan muka anerah padam dan marah sekali. "Keluar kau
dari ruangan ini!"
Puteri
Sang Prabu haturkan sembah lalu membalik dan berlalu dari ambang pintu dengan
cepat.
Pendeta
Mayana menarik nafas lalu berkata. "Sang Prabu, mohon maafmu.
"Mungkin kita memang perlu untuk mengusut langsung dua orang yang tadi
disebutkan Puteri Gayatri yaitu Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta."
Kalau
saja yang bicara itu bukan Pendeta Mayana orang tertua yang paling dihormati
Paduka, pastilah Raja Singosari ini akan membentaknya. Sang Prabu duduk kembali
ke tempatnya. Sambil mengusap-usap dagunya dia berkata perlahan.
"Saya
akan pikirkan hal itu Mamanda Patih."
Namun
nyatanya Sang Prabu tidak pernah memikirkan hal itu, apalagi memerintahkan
melakukan penyelidikan. Kelak hal ini akan menjadikan penyesalan harus
dibawanya bersama ajalnya.
*******************
RUANGAN
di mana Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung adalah sebuah ruangan batu yang
terletak di bagian bawah bangunan panjang. Pintunya terbuat dari besi yang
bagian atasnya berbentuk jeruji-jeruji sebesar pergelangan tangan.
Di luar
pintu yang digembok itu, dua orang pengawal melakukan penjagaan di bawah
penerangan sebuah obor yang dikaitkan di dinding. Ketika malam tiba keadaan di
dalam dan di luar bangunan sepi sekali. Angin malam sesekali bertiup dingin.
Dari arah
tembok Keraton sebelah Utara kelihatan sesosok tubuh berjalan cepat dalam
kegelapan malam. Orang ini ternyata menuju ke arah bangunan berbentuk panjang.
Dia mengenakan jubah ahu-abu yang bagian lehernya di lengkapi sebuah topi
berbentuk kerudung. Bentuk kerudung ini menyembunyikan hampir keseluruhan wajahnya
hingga mukanya tidak dapat dilihat dan sulit dikenall.
Di pintu
depan bangunan dua orang pengawal segera mendatangi. Orang berjubah
mengeluarkan secarik kertas. Begitu melihat kertas tersebut dua pengawal tampak
menjura lalu memberi jalan bagi orang berkerudung untuk masuk ke dalam
bangunan.
Orang ini
langsung menuju tangga yang membawanya ke sebuah lorong batu pendek. Di ujung
lorong ada sebuah pintu besi dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti tadi orang
berkerudung ini keluarkan kertas dan memperlihatkannya pada kedua pengawal.
Namun kali ini dia mendapat kesulitan.
"Kami
mendapat pesan, kalau bukan Patih atau Panglima Kerajaan yang datang, kami
tidak boleh membuka pintu ini." berkata salah seorang pengawal.
Orang
berkerudung tampak kurang senang mendengar ucapan pengawal pintu penjara. Tapi
dengan sabar dia berkata, "Kau lihat sendiri. Surat itu dibubuhi Cap
Kerajaan. Berarti adalah perintah Prabu Singosari."
"Kami
memang melihatnya, namun kami tetap berpegang pada perintah yang telah
diberikan."
"Berarti
kalian berani menyanggah perintah Raja?" orang berkerudung menggertak.
Tapi dua
pengawal itu tidak mempan digertak. Yang satu berkata, "Mana kami berani
membangkang perintah Raja. Asalkan Panglima atau Patih Kerajaan bisa hadir di
sini, kami tentu akan membuka pintu penjara."
Pengawal
yang satu lagi malah menyambung dengan berucap, "Harap dimaatkan. Siapa di
situ sebenarnya kamipun tidak mengenali. Mengapa menutupi wajah dengan
kerudung?"
"Kalian
berdua telah melihat Cap Kerajaan. Tapi masih berani menolak perintah. Kalian
berdua akan mendapat hukuman berat!"
Baru saja
orang berkerudung berkata begitu tiba-tiba di ujung lorong terdengar suara
orang berkata.
"Aku
datang membawa Surat Perintah dengan Cap Kerajaan yang asli! Kalian harus
membebaskan tahanan itu!"
Dua
pengawal dan orang berkerudung sama-sama terkejut. Ketiganya berpaling ke arah
ujung lorong. Semuanya lebih terkejut lagi ketika mengenali siapa yang datang.
****************
9
BEGITU
orang yang barusan bicara sampai di depan pintu ketiga orang itu segera
membungkuk memberi penghormatan. Lalu salah seorang pengawal cepat bertanya.
"Raden
Ayu Gayatri, Putri Prabu Singosari, ada keperluan apakah hingga menyempatkan
diri dan sudi datang ke tempat ini?"
"Saya
datang membawa Surat Perintah dari Sang Prabu untuk membebaskan tawanan bernama
Wiro," jawab orang yang barusan datang yang ternyata adalah puteri bungsu
Raja Singosari sendiri yaitu Gayatri. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas
sderhana seperti pakaian berlatih menunggang kua. Dengan tangan kirinya dia
menyodorkan sehelai kertas yang dibubuhi Stempel Kerajaan. Surat itu berisi
atas perintah Raja Singosari, tahanan bernama Wiro harus segera dibebaskan.
Pengawal
pintu yang membaca surat tersebut membungkuk dua kali lalu berkata. "Raden
Ayu, mohon dimaafkan. Kami tidak bisa membebaskan tahanan. Tadipun orang ini
menunjukkan surat yang sama…"
"Aneh!"
kata Gayatri sambil memandang tajam pada orang berkerudung. Dia tidak mengenali
siapa adanya orang ini. "Coba tunjukkan surat yang kau bawa!"
Orang
berkerudung menyerahkan surat yang dipegangnya. Gayatri memperhatikannya
sebentar lalu berkata. "Palsu! Surat ini palsu! Yang aku bawa adalah yang
asli! Lepaskan tahanan itu, cepat!"
"Maaf
Raden Ayu, asli atau tidaknya surat itu kami tidak bisa memenuhi permintaan
Raden Ayu.. Kecuali jika Panglima atau Patih Kerajaan sendiri ada di sini.
Mohon maaf dari Raden Ayu…."
Mendengar
ucapan si pengawal puteri Raja Singosari itu menjadi marah. "Lalu apa kau
menganggap aku ini lebih rendah dari Panglima atau Patih Kerajaan?!"
Gayatri membentak.
Dua
perajurit tampak pucat dan cepat-cepat membungkuk.
"Maafkan
kami Raden Ayu. Kami hanya perajurit-perajurit rendah yang menjalankan
perintah…."
"Kalian
perajurit-perajurit dungu!"
Dua
perajurit tundukkan kepala tidak berani menatap wajah puteri raja itu. Gayatri
berpaling pada orang berkerudung di sebelahnya.
"Siapa
kau? Mengapa mereyeinbunyikan rupa di balik kerudung?"
Pertanyaan
si gadis membuat orang berkerudung menjadi gugup dan tidak segera menjawab.
Dalam hati dia berkata. Aku tak perlu takut. Maksudku dan maksudnya sama. Maka
orang inipun segera membuka mulut untuk mengatakan siapa dirinya. Tapi
tiba-tiba saat itu ada satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang nenek
bungkuk telah berdiri di depan ke empat orang itu. Bentuk tubuh dan tampangnya
yang angker membuat semua orang ada di situ jadi terkesiap dan kecut.
Si nenek
bertubuh tinggi kurus. Kulitnya sangat hitam, tipis keriputan seolah hanya tinggal
kulit pembalut tulang. Kedua pipi dan rongga matanya cekung hingga jika
memandang kelihatan menggidikkan. Sepasang alis dan rambutnya yang jarang
berwarna putih. Pada kepalanya ada lima buah tusuk kundai perak berkilat.
Rambutnya yang jarang tidak memungkinkan tusuk kundai itu disisipkan. Dan
nyatanya kelima tusuk kundai itu disisipkan pada kulit kepalanya! Nenek seram
ini mengenakan kebaya lusuh gombrong dan sehelai kain panjang dekil sebatas
betis. Mulutnya yang perot kelihatan menyeringai.
"Orang-orang
tolol meributkan Surat dan Cap Kerajaan. Padahal aku yang datang membawa Cap
yang asli! Ini!" Si nenek berkata sambil acungkan tinjunya.
"Nenek,
kau siapa?" tanya salah seorang pengawal pintu memberanikan diri.
Sementara
itu orang berkerudung memperhatikan perempuan tua ini dengan mata tidak
berkesiap. Melihat kepada tusuk kundainya, tak salah lagi pasti dia. Tapi
apakah keadaannya benar-benar sudah setua ini? Ah, apakah dia masih
mengenaliku?
Orang
berkerudung ini sesaat membayangkan masa beberapa puluh tahun yang silam. Namun
bayangan itu menjadi buyar ketika si nenek membentak perajurit di hadapannya.
"Kacoak
macammu tidak perlu bertanya siapa diriku!" Lalu nenek ini melangkah ke
depan, pintu besi. Sekali tangannya mengantam gembok besar dari besi yang ada
di pintu tanggal berantakan.
Dua
perajurit sampai tersurut mundur saking kagetnya. Gayatri dan orang berkerudung
terperangah. Tidak dapat dipercaya tangan yang kurus kering seperti tangan
jerangkong itu mampu memukul hancur gembok besi begitu rupa.
Dewa
Bathara, kata orang berkerudung dalam hati. Aku yakin kini memang dia. Hanya
dia yang punya kesaktian melakukan hal itu!
Dua
pengawal pintu yang tiba-tiba sadar akan tugas dan kewajiban mereka segera
melompat ke hadapan si nenek sambil menghunus senjata.
"Nenek
tua! Kau berani melakukan perusakan! Kami terpaksa menangkapmu!"
"Baik!"
jawab si nenek. Lalu, dia tertawa mengekeh. "Tapi kau coba dulu Cap
Kerajaan ini!"
Dua
tangan si nenek melesat ke depan.
Bukk!
Bukk!
Dua
pengawal jatuh ke lantai tak sadarkan diri lagi. Di kening masing-masing
kelihatan benjut sebesar telor ayam!
Nenek
angker itu kembali perdengarkan suara tertawa menggidikkan. Lalu sekali kakinya
bergerak pintu besi ruangan penjara jebol terpentang lebar.
Di dalam
ruangan batu itu tampak sosok Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur menelentang di
lantai dalam keadaan tidak bergerak karena masih di bawah pengaruh totokan yang
dibuat oleh Argajaya.
"Anak
bandel! Ini akibat kau tidak menuruti petunjukku! Di suruh ke Barat malah
ngeluyur ke Timur!" si nenek terdengar mengumpat. Lalu enak saja kakinya
menendang.
Bukk!
Tubuh
Wiro terpental. Ternyata tendangan itu bukan tendangan sembarangan. Karena
begitu ditendang totokan yang menguasai Wiro serta-merta buyar terlepas!
Dapatkan
dirinya bebas dari totokan, bisa bergerak dan bicara kembali, Wiro Sableng
segera menjura menghormat pada si nenek lalu berkata.
"Eyang,
murid mohon maafmu karena tidak mengikuti petunjuk. Murid tersesat ke Singosari
karena maksud baik hendak berbakti memberi tahu adanya bahaya yang mengancam
Kerajaan. Tapi…."
"Itulah
ketololanmu! Berbakti bukan pada orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.
Aku tahu kau tidak mengharapkan imbalan atau menyimpan rasa pamrih. Tapi apakah
bukan sialan namanya kalau maksudmu menolong malah kau kini yang digolong?
Lekas keluar dari tempat celaka ini. Ikuti aku!"
Jadi
pemuda itu ternyata adalah muridnya. Berarti benar guru dan murid ini berada di
Singosari. Orang berkerudung hendak maju mendekati tapi Gayatri lebih cepat
mendatangi.
"Pemuda
itu tidak boleh kemana-mana. Dia harus ikut bersama saya!"
Si nenek
menatap wajah Gayatri sejurus lalu menyeringai. "Kau rupanya naksir pada
muridku. Sampai-sampai membuat Surat Perintah palsu. Dari mana kau dapat Cap
Kerajaan itu, gadis jelita?"
Paras
Gayatri tampak kemerahan.
Di saat
yang sama orang berkerudung berkata. "Pemuda itu tidak akan ikut satupun
di antara kalian. Aku yang akan membawanya keluar dari tempat ini. Anak muda,
ayo ikut aku!"
Si nenek
tertawa cekikikan.
"Muridku
laris rupanya. Banyak orang yang menginginkan dirinya. Manusia-manusia
keblinger! Aku gurunya lebih berhak dari pada kalian! Menyingkir dari sini atau
terpaksa kalian kugebuk satu persatu!
Gayatri
menjadi bimbang. Kalau nenek ini memang guru pemuda yang hendak dilepaskannya
berarti maksudnya untuk menolong sudah kesampaian walau orang lain yang
melakukan. Lain halnya dengan lelaki berjubah dan berkerudung. Dia melangkah
cepat mendekati Wiro seraya berkata. "Sekarang bukan saatnya kau harus
mengikuti gurumu. Cepat ikuti aku! Apa kalian tidak tahu kalau diri kalian
dalam bahaya?!"
Si nenek
cepat bergerak memotong jalan orang berkerudung. Sepasang mata mereka saling
bentrokan. Ada satu perasaan aneh yang membuat kedua orang ini jadi bergetar
hati masing-masing.
"Orang
berkerudung siapa kau ini? Harap buka kerudungmu. Perlihatkan wajahmu agar
kukenali, "kata Wiro.
"Waktu
kita singkat sekali. Sebentar lagi pengawal-pengawal pengganti akan datang.
Kalau sampai ada yang melihat apa yang terjadi di sini, kau bias menemui
kesulitan lebih besar. Mungkin sebelum matahari terbit kau sudah
digantung!"
"Aku
mau lihat siapa yang berani menggantung muridku!" kata si nenek. Lalu
ujung jari telunjuk tangan kanannya diluruskan dan didorongkan ke arah dada
orang berkerudung.
"Menyingkir
dari hadapanku!"
Orang
berkerudung terkejut ketika merasakan bagaimana jari yang kurus kecil si nenek
laksana sepotong besi mendorong dadanya dengan kuat. Dia berusaha bertahan tapi
dadanya jadi mendenyut sakit dan perlahan-lahan tubuhnya terdorong. Dia akan
segera terjengkang kalau tidak cepat mengerahkan tenaga dalam ke bagian dada.
Tenaga dalam yang dikerahkannya berbentuk satu tenaga lembut tetapi yang punya
kesanggupan menahan tekanan berat.
Si nenek
terkesiap ketika merasakan bagaimana daya dorongnya yang kuat seolah-olah
amblas masuk ke dalam permukaan selembut kapas. Matanya cepat menatap mata
orang berkerudung di depannya. Aku seperti pernah melihat mata ini. Tapi lupa
di mana dan kapan. Aku tak punya waktu untuk memikirkannya saat ini. Si nenek
tarik pulang tangannya dan berpaling pada muridnya. Namun sebelum dia sempat
mengatakan sesuatu pada Wiro tiba-tiba di dengarnya orang berkerudung di
depannya berkata perlahan hingga hanya dia saja yang mendengar.
"Sinto
Weni, lekas tinggalkan tempat ini. Aku tunggu kau di sebuah pondok di Lembah
Bulan Sabit…." Habis berkata begitu orang berkerudung putar tubuhnya dan
cepat sekali dia sudah berada di ujung lorong lalu lenyap di balik tembok batu.
Nenek
kurus jangkung tampak berubah wajahnya yang angker. Kedua matanya seperti
hendak melompat oleh rasa terkejut. Selama puluhan tahun hidup hanya beberapa
orang saja yang tahu nama aslinya itu. Dia dikenal dengan sebutan nenek angker
Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Orang
berkerudung itu! Siapa dia?! Bagaimana dia bisa tahu nama asliku?! Hanya ada
satu jawaban. Dia pasti salah satu dari orang-orang yang kukenal di masa muda!
Aku harus mengejarnya! Aku harus mencari tahu siapa dia adanya!
Sinto
Gendeng berpaling pada muridnya "Anak gendeng, lekas kau pergi dari sini.
Aku tidak melarang kau melakukan kebaikan dan kebajikan. Tapi jika itu hanya
akan menyulitkan dirimu, jangan harap aku bakal menolongmu lagi!"
"Eyang,
saya… " Wiro tidak teruskan ucapannya. Sang guru sudah berkelebat dan
lenyap dari , hadapannya. Wiro garuk-garuk kepala lalu berpaling pada gadis di
sebelahnya.
"Saya
tidak menduga kalau kau adalah puteri Raja Singosari." Lalu Wiro
membungkuk.
Halilintar
di Singosari memberi penghormatan.
"Saya
tidak perlu segala macam peradatan seperti itu."
"Kau
telah menolongku…."
"Bukan
saya, tapi gurumu sendiri." Jawab Gayatri.
"Paling
tidak kau telah berusaha melakukan sesuatu untuk mengeluarkan diri saya dari
sini. Saya sangat berterima kasih…"
Gayatri
tersenyum. "Budi pertolonganmu tempo hari belum dapat saya balas,
Wiro…"
"Ah,
hal itu tidak perlu disebut-sebut," jawab murid Sinto Gendeng.
"Dengar,
kita tidak bisa berada lama-lama di tempat ini. Saya harus pergi. Sebelum
matahari terbit pergilah ke Lembah Bulan Sabit di sebelah Selatan Kotaraja. Di
situ ada sebuah pondok papan. Tunggu sampai saya datang."
Wiro
hendak menanyakan sesuatu. Tetapi Gayatri sudah membalikkan tubuh meninggalkan
tempat itu.
****************
10
LEMBAH
Bulan Sabit terletak di sebelah Selatan Tumapel, di satu daerah yang jarang di
datangi orang karena kawasan ini sering dipergunakan oleh Prabu Singosari dan
para petinggi Kerajaan untuk berburu. Malam itu udara dingin sekali dan
kesunyian yang mencekam sesekali ditandai oleh suara siuran angin.
Di lembah
yang berbentuk bulan sabit itu terdapat sebuah pondok papan. Pondok ini
biasanya dipakal sebagal tempat beristirahat oleh orang-orang Keraton Singosari
yang berburu di kawasan itu.
Di dalam
gelap dan dinginnya malam menjelang dini hari itu seseorang tampak berkelebat
cepat dari arah Timur. Inilah sosok di nenek Sinto Gendeng, guru Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
Aku tidak
melihat bayangan orang berkerudung itu. Kalau dia menempuh jalan memintas itu
tidak mengherankan. Tapi bilamana dia mengambil jalan yang sama yang aku
tempuh. Sungguh luar biasa kepandaiannya. Sinto Gendeng membatin sambil berlari
menuruni lembah. Di satu bagian lembah, dikelilingi oleh beberapa pohon besar
pondok papan itu dengan mudah terlihat walaupun malam gelap.
Si nenek
berlari cepat ke arah bangunan ini. Tinggal beberapa belas langkah lagi dari
pondok itu, Sinto Gendeng telah dapat melihat sosok tubuh orang berkerudung
tegak di bagian depan bangunan. Pondok ini ternyata sebuah bangunan yang diberi
dinding papan pada bagian kiri kanan dan belakang sedang bagian depan dibiarkan
terbuka. Sebuah balai-balai kayu terletak di bagian kiri.
Ah,
ternyata dia sudah sampai duluan, kata Sinto Gendeng ketika dia melihat orang
itu. Nenek ini naik ke baglan depan pondok papan. Untuk beberapa saat kedua
orang ini hanya saling pandang dari jarak tiga langkah.
Kegelapan
tidak memungkinkan bagi Sinto Gendeng untuk melihat jelas apalagi mengenali
orang itu. Maka diapun berkata.
"Kau
tahu namaku. Siapa kau sebenarnya? Kau menyuruh aku datang ke sini. Apa
perlunya?"
Wajah di
balik kerudung tersenyum.
"Kau
tidak mengenaliku? "
"Kau
menyembunyikan wajahmu di balik kerudung. Mana mungkin aku mengenali. Tetapi
suaramu… suaramu mengingatkan aku pada seseorang yang aku pernah kenal sekitar
empat puluh tahun yang silam…" Sinto Gendeng hentikan ucapannya. Tiba-tiba
saja dia merasakan jantungnya berdebar keras.
"Empat
puluh tahun bukan waktu yang singkat," kata orang berkerudung disertai
tarikan nafas dalam. "Tapi perubahan kulihat sangat menyolok pada
dirimu." masih tegak membelakangi Sinto Gendeng perlahan-lahan orang itu
membuka jubahnya. Di balik jubah itu dia mengenakan pakaian putih.
"Kau
seorang Pendeta Tantrayana…" kata Sinto Gendeng.
"Kau…
Katakan siapa dirimu sebenarnya. Apakah kau bukannya…. Ah, mustahil. Orang yang
pernah kukenal itu sudah meninggal empat puluh tahun yang lalu."
Orang
berpakaian pendeta membuka kerudungnya dan mencampakkannya ke lantai pondok.
Perlahan-lahan dia memutar tubuh menghadap ke ar. si nenek. Kedua mata Sinto
Gendeng terbuka lebar Merasa masih belum jelas dia melangkah mendekati
tiba-tiba langkahnya tertahan. Malah kini dia surut sampai dua langkah. Dia
melihat wajah itu kini dengan jelas. Dia mengenali orang itu.
"Ananta…
Jadi benar kau rupanya!" Nenek itu merasakan sekujur tubuhnya bergetar.
"Atau aku salah lihat?"
Karena
terlalu asyik dalam percakapan ke dua orang itu tidak mengetahui kalau sesosok
bayangan berkelebat di dekat pondok papan lalu mendekam di tempat gelap. Orang
ini bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng.
Sesuai dengan pesan Gayatri malam itu sekeluarnya dari penjara Wiro segera
menuju pondok di Lembah Bulan Sabit itu. Baik Wiro maupun Gayatri tidak
mengetahui kalau sebelumnya orang berkerudung telah membuat janji pula dengan
Sinto Gendeng untuk bertemu di tempat itu. Walaupun hatinya jadi tidak enak
namun diam-diam Wiro mendengarkan percakapan ke dua orang itu.
"Tidak,
kau tidak salah lihat Sinto. Yang berdiri di hadapanmu ini memang Ananta
Wirajaya. Sahabatmu empat puluh tahun lalu! Sahabat yang pernah mencintaimu dan
yang juga pernah kau cinta! Hanya sayang perjalanan nasib tidak dapat
menyatukan kita sebagai…"
Wiro jadi
melongo mendengar kata-kata orang yang bicara dengan gurunya itu. Dari
tempatnya bersembunyi Wiro mengenali orang berpakaian Pendeta bukan lain adalah
Pendeta Mayana, salah seorang dari tiga Maha Menteri yang menjadi pembantu
utama Prabu Singosari. Kemudian kembali terdengar suara sang pendeta.
"Ananta…"
kata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan untuk menyembunyikan getaran
hatinya. Namun tetap saja suara itu terdengar bergetar. "Masa empat puluh
tahun lalu tidak mungkin akan kembali. Apa yang terjadi dulu tidak perlu
diungkit apalagi disesalkan. Dulu kita orang-orang muda yang keras hati,
sombong, tidak mau mengalah, terlalu menyanjung ilmu dan kesaktian. Apa vang
akhirnya kita dapat? Kini kita hanya jadi orang-orang tua yang tidak lebih dari
sebatang kayu yang sudah dimakan rayap!"
"Sinto
Weni, apakah kau menyembunyikan sesuatu di balik keadaan tubuh dan
wajahmu?"
Sinto
Gendeng tersentak. "Apa maksudmu Ananta?"
"Aku
setuju kata-katamu tadi. Kita adalah orang-orang tua yang sudah jadi kayu
dimakan rayap, sudah bau tanah karena hampir masuk liang kubur. Tapi aku merasa
pasti tidak seharusnya kau seperti ini. Wajahmu tidak mungkin seperti yang aku
lihat. Juga keadaan tubuhmu…"
"Apa
yang kau lihat adalah kenyataan Ananta. Tidak ada yang tidak berubah di dunia
ini."
"Aku
tidak yakin," jawab Ananta Wirajaya alias Pendeta Mayana. "Boleh aku
melihat wajahmu yang asli, Sinto?"
"Eh,
kau kira apakah saat ini kepalaku adalah kepala palsu? Terbuat dari
kayu?!" Sinto Gendeng coba bergurau.
"Kepalamu
tidak palsu. Hanya saja kau…Maafkan kalau dugaanku salah. Kau menyembunyikan
seluruh kepala dan wajahmu di balik sebuah topeng. Mungkin juga kau mengenakan
topeng tipis yang menutupi sekujur tubuhmu…"
Sinto
Gendeng tertawa panjang. Dia menatap ke mata Sang Pendeta yang bening itu. Nenek
sakti yang keras hati ini tidak sanggup menatap kedua mata Ananta Wirajaya.
Kekerasan hatinya seperti mencari oleh kenangan masa lalu. Dadanya berdebar.
Perlahan terdengar Sinto Gendeng berkata. ‘"Aku tidak bisa berdusta
padamu. Memang aku menutupi kepala, wajah dan tubuhku dengan sesuatu."
"Ah…"
Pendeta Mayana berdesah.
Di dalam
kegelapan Wiro Sableng jadi terkesiap mendengar pembicaraan gurunya dengan
Pendeta Mayana itu. Jika dia tidak mendengar sendiri rasanya tak akan pernah
dia percaya kalau wajah yang bertahun-tahun dilihatnya itu ternyata adalah
bukan wajah asli si nenek. Lalu didengarnya suara Sinto Gendeng.
"Aku
tidak mungkin memperlihatkan wajahku yang asli padamu, Ananta. Tidak pada
siapapun. Bahkan muridku yang hidup bersamaku lebih dari sepuluh tahun tidak
pernah mengetahuinya. Aku merasa lebih tenteram dengan wajah dan tubuh seperti
ini…"
"Ketenteraman
hidup tidak terletak pada wajah, Sinto," kata Ananta Wirajaya yang di
Keraton Singosari dikenal sebagai Pendeta Mayana itu. "Tapi di sini,"
sambungnya sambil menekapkan telapak tangan kirinya ke dada.
Untuk
beberapa lamanya Sinto Gendeng tidak bisa berkata apa-apa. Pendeta Mayana maju
mendekatinya hingga jubah pendetanya hampir menyentuh pakaian si nenek.
Berada
sangat dekat begitu rupa membuat Sinto Gendeng merasakan darahnya mengalir
lebih cepat dan jantungnya berdetak lebih keras.
"Ananta,
aku harus pergi sekarang. Aku merasa senang setelah sekian puluh tahun bisa
bertemu denganmu lagi."
"Sinto…"
kata Ananta Wirajaya. Suaranya tercekat seperti lidahnya menjadi kelu saat itu.
"Aku tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin tidak akan
pernah lagi. Selama perpisahan empat puluh tahun lalu aku tidak pernah
melupakan berjumpa mengapa kau ingin berlalu secepat ini. Apakah kau masih
menanam rasa sakit hati terhadapku…?"
Sinto
Gendeng menggeleng. "Tidak, tidak ada rasa sakit hati. Semua yang terjadi
di masa lalu biarlah berlalu."
Ananta
Wirajaya menarik nafas panjang.
"Kalau
kau memang ingin pergi aku tak dapat mencegah. Aku pasrah." kata Ananta
Wirajaya. "Cuma aku mohon untuk terakhir kali, izinkan aku melihat
wajahmu. Sekejappun sudah cukup menjadi obat bagi penderitaan dan pelepas rindu
selama empat puluh tahun. Mungkin perlu kau ketahui. Aku merubah jalan hidup,
meninggalkan dunia persilatan dan menjadi seorang Pendeta Tantrayana sejak aku
menyadari kesalahanku, mengecewakanmu."
Jadi dia
telah menjadi Pendeta sejak empa puluh tahu silam, kata Sinto Gendeng dalam
hati.
"Aku
meminta Sinto, Bolehkah…?"
Hati
nenek sakti dari Gunung Gede itu seperti leleh. Perlahan-lahan kedua tangannya
diangkat ke bagian bawah lehernya. Jari-jarinya menarik satu lapisan sangat
tipis yang selama ini menutupi wajahnya. Ketika lapisan itu tersingkap
kelihatan satu wajah berkulit halus putih. Wajah itu memang sudah tua dan ada
keriputnya tetapi bekas-bekas kecantikan masih membayang sangat menonjol.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. Gila! Tidak pernah aku
menyangka dia menyembunyikan wajahnya yang asli. Ternyata meskipun tua tapi
cantik. Di waktu muda pasti wajahnya membuat setiap lelaki blingsatan
melihatnya!
Pendeta
Mayana yang aslinya bernama Ananta Wirajaya untuk beberapa lamanya menatap
wajah di depannya dengan pandangan mesra. Semua yang pernah dialaminya empat
puluh tahun silam bersama perempuan yang dikenalnya dengan nama Sinto Weni itu
seolah terbayang kembali. Perlahan-lahan dia mengangkat tangan kanannya.
Jari-jari tangannya membelai pipi Sinto Weni.
Diperlakukan
mesra seperti itu Sinto Weni merasakan dirinya tergetar. Sesaat dia tenggelam
dalam rasa bahagia. Tapi nenek sakti ini cepat sadar diri. Dia mundur dua
langkah sambil cepat-cepat menutup kembali lapisan tipis ke wajahnya yang asli,
"Aku
harus pergi Ananta. Maafkan aku…"
Walau
sedih Ananta Wirajaya tampaknya pasrah. Dia menganggukkan kepala. "Kau tak
ingin meninggalkan pesan apa-apa?" tanyanya.
"Ya,
memang ada pesanku," jawab Sinto Gendeng. "Jaga dirimu baik-baik. Aku
mendapat firasat ada sesuatu peristiwa besar akan terjadi di Singosari…"
"Firasatmu
sama dengan firasatku," sahut Ananta Wirajaya. "Hanya saja sayang aku
dalam posisi yang lemah untuk memberi ingat Sang Prabu."
"Suatu
ketika kiranya kita bisa bertemu lagi, Ananta."
"Memang
itu yang jadi harapanku."
"Tolong
kau perhatikan muridku yang bernama Wiro Sableng itu…"
"Sableng?
Mengapa kau berikan nama aneh itu pada muridmu?" tanya Ananta Wirajaya
heran. Sampai saat itu dia mengira pemuda yang muncul di Keraton Tumapel itu
bernama Wiro saja. Ternyata ada Sablengnya!"
Sinto
Gendeng tersenyum. "Dia anak baik, polos. Dia memang suka bicara
ceplas-ceplos. Tapi hatinya putih dan jujur. Ilmunya memang tinggi, tapi lebih
suka mengikuti kemauan hati dari pada kehendak otak. Tolong kau lihat-lihat dia
dan beri teguran jika tindak tanduknya salah. Aku menduga dia sedang berkeliaran
di Singosari ini. Entah apa yang dicarinya…"
Di
tempatnya bersembunyi di kegelapan Pendekar 212 Wiro Sableng kembali
garukgaruk kepala mendengar ucapan gurunya itu.
Setelah
memegang lengan Ananta Wirajaya sesaat yang membuat sang pendeta merasa seribu
bahagia Sinto Gendeng berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Wiro menarik nafas
lega. Dia berpikir-pikir apakah akan terus mendekam di situ atau keluar saja.
Sementara Gayatri masih juga belum kelihatan. Bagaimana kalau gadis itu muncul
selagi Pendeta Mayana masih berada di tempat itu? Selagi dia berpikir-pikir
begitu tahu-tahu sang pendeta sudah berdiri di hadapannya.
Wiro jadi
kaget. Sambil garuk-garuk kepala dia berdiri dan membungkuk memberi hormat pada
orang tua di hadapannya.
Pendeta
Mayana tersenyum.
"Orang
yang kau tunggu rupanya belum datang?"
Pertanyaan
itu membuat Wiro terkejut besar.
Dari mana
dia tahu? Pikir Wiro.
Pendeta
Mayana tersenyum. "Hidup ini terkadang aneh. Kita manusia tidak bisa
menentukan karena semuanya berada di tangan Yang Kuasa. Kau telah mendengar
sendiri bagaimana jalan hidupku bersama gurumu. Namun sebagai manusia kita
perlu mawas diri. Ini membuat kita paling tidak bisa menjadi tabah menghadapi
apa yang bakal terjadi…"
"Saya
tidak mengerti maksud Pendeta," kata Wiro pula.
Kembali
orang tua itu tersenyum.
"Gadis
itu mencintaimu Wiro…."
"Hah?!"
Pendekar 212 terkesiap kaget. Wajahnya tentu saja menunjukkan rasa tidak
percaya. "Pendeta pastilah bergurau…" katanya.
"Aku
tidak bergurau atau mengada-ada, anak muda. Pertolongan dan budi baikmu, sikap
jujur polosmu membuat dia merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah
dirasakannya. Kehidupannya selama ini terkungkung dalam Keraton. Kau adalah
satu-satunya pemuda yang datang dalam kehidupannya pada saat dia membutuhkan
seseorang. Kemunculanmu juga membuat dia melihat sesuatu yang selama ini tidak
dilihat atau didapatkannya didalam Keraton…."
"Taruh
kata apa yang Pendeta katakan itu betul, lalu apa yang akan saya lakukan? Apa
yang musti saya perbuat?"
"Kau
mencintai gadis itu?"
Pendekar
212 Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala.
"Pendeta
tahu siapa adanya Raden Ayu Gayatri. Saya tahu siapa saya. Saya tak lebih dari
seekor kodok di bawah tempurung atau pungguk merindukan bulan… Jurang pemisah
perbedaan antara kami sangat luas. Saya lebih banyak menaruh hormat padanya
dari pada memendam perasaan yang bukan-bukan."
"Anak
muda, tahukah kau bahwa cinta melenyapkan segala perbedaan? Bahwa cinta
menyingkirkan segala pembatasan…"
"Di
mata pendeta Mayana mungkin begitu. Tapi di mata Sang Prabu pasti lain. Kita
orang Jawa selalu akan melihat kepada bibit, bebet dan bobot. Saya tahu siapa
bibit saya, apa bebet dan bobot saya"
"Bibit,
bebet dan bobot. Memang tiga hal itu harus menjadi bahan pertimbangan. Namun
terkadang di balik pengagungan terhadap tiga hal itu, manusia sering kali
khilaf sehingga karena terlalu mengharapkan akhirnya mendapatkan sesuatu yang
lain dari yang diinginkan Katakanlah bahwa kau tidak punya bibit, bebet ataupun
bobot. Namun dengan pribadimu apa adanya saat ini ditambah dengan apa yang kau
miliki sekarang ini kau mempunyai peluang untuk mendapatkan satu kedudukan
dalam Keraton. Mengapa kau tidak mengabdikan diri pada Kerajaan? Dengan
kepandaianmu kau bisa mendapatkan kedudukan tinggi dalam jajaran pasukan
Kerajaan atau pengawal Keraton. Aku menaruh keyakinan, kepandaian yang kau
miliki saat ini tidak berada di bawah apa yang dimiliki Panglima Pasukan
Kerajaan yang sekarang. Bukan maksudku merendahkannya."
"Lalu
apa yang harus saya lakukan Pendeta Mayana?" tanya Wiro yang jadi pusing
mendengar tutur cakap Pendeta Mayana yang begitu panjang lebar.
"Aku
tidak bisa memberi tahu apa yang harus kau lakukan, apalagi kalau sampai
menyuruhmu. Kau kajilah sendiri. Jika kau mencintai Gayatri dan menginginkannya
sebagai pendamping hidupmu, pergunakan kemampuanmu sebagai batu loncatan.
Bilamana kau sudah menduduki satu jabatan penting dalam Istana, rasanya tak ada
alasan bagi Sang Prabu untuk tidak memikirkan kau sebagai menantunya…"
"Pendeta
Maya, saya dilahirkan sebagai orang persilatan, hidup saya selama ini dalam
rimba persilatan. Istana atau Keraton bukan tempat saya "
Orang tua
itu tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. "Orang banyak berlomba-lomba
bahkan mungkin saling sikut untuk bisa mendapatkan satu kedudukan rendah saja.
Kau justru mempunyai peluang. Mengapa kau sia-siakan anak muda? Apa akan kau
tunggu setelah kau tua renta seperti aku ini?"
"Saya
sangat menghargai semua ucapan dan dorongan yang kau berikan Pendeta Mayana.
Hanya mungkin saya terlalu bodoh untuk mampu berpikir ke arah itu. Terus terang
saya sudah cukup bahagia bisa jadi sahabat Raden Ayu Gayatri " kata murid
Eyang Sinto Gendeng pula.
‘Pendeta
Mayana memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. "Dia sudah datang. Aku
harus pergi. Tidak pantas orang tua ikut mendengar pembicaraan orang-orang
muda…."
Di
kejauhan terdengar suara derap kaki kuda.
Pendeta
Mayana yang di masa mudanya dikenal dengan nama Ananta Wirajaya itu mengambil
jubah dan kerudungnya yang tercampak di lantai pondok lalu bergerak pergi.
"Pendeta,
tunggu dulu!" seru Wiro.
Tapi
sekali berkelebat orang tua berambut putih itu sudah lenyap. Wiro hanya bisa
garukgaruk kepala. Wiro berpaling ketika derap kaki kuda terdengar muncul di
samping kanannya. Seorang pemuda berpakaian ringkas warna biru gelap dengan
kepala ditutup sehelai sapu tangan lebar muncul menunggang kuda dari arah
kegelapan. Di bawah hidungnya ada sebaris kumis tipis. Jika sebelumnya tidak
pernah bertemu, Pendekar 212 tentu tidak akan mengenali orang ini. Dia bukan
lain adalah Gayatri, puteri Prabu Singosari yang dalam keadaan menyamar.
Pendekar
212 cepat menyongsong kedatangan gadis itu.
"Kau
sudah lama berada di sini?" tanya Gayatri.
Wiro
mengangguk. Gadis itu turun dari kudanya lalu melangkah ke pondok dan duduk di
atas balai-balai kayu.
"Maafkan
kalau sebelumnya saya bersikap tidak pantas. Saya tidak tahu kalau Raden Ayu
adalah puteri Raja Singosari."
Gayatri
tersenyum mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Ah, gadis
ini cantik sekali. Ada apa dia meminta aku datang ketempat ini.
"Bagaimana
samaran saya?" bertanya Gayatri.
"Sangat
bagus. Sukar orang lain mengenali Raden Ayu."
"Ah!
Tidak usah memanggil saya dengan sebutan itu, Wiro," kata Gayatri.
"Saya
tidak berani berlaku lancang. Bagaimana pun Raden Ayu harus saya hormati."
Gayatri hendak membantah. Tapi Wiro cepat berkata dengan mengalihkan pada hal
lain. "Walau menyamar seperti ini tetapi keselamatan Raden Ayu tetap saja
terancam. Apa lagi tanpa pengiring atau pengawal sama sekali."
"Saya
mengerti. Kabarnya mata-mata musuh bertebaran di mana-mana."
"Kalau
saya boleh bertanya, mengapa Raden Ayu meminta saya datang ke pondok ini?"
"Tidak
ada satu orangpun percaya pada keteranganmu. Saya telah berusaha meyakini
Ayahanda akan bahaya yang akan mengancam Singosari. Tapi percuma. Bagaimanapun
dia adalah ayah saya. Bila Kerajaan terancam berarti keselamatannya juga
terancam. Saya ingin kau melakukan sesuatu untuk saya. Untuk Kerajaan…"
"Kemampuan
apa yang saya miliki hingga Raden Ayu mempercayai?" tanya Wiro.
"Saya
kagum akan kesaktian gurumu. Dia sanggup menghancurkan gembok besi dengan
tangan kbsong. Jika gurunya sehebat itu muridnya tentu tidak seberapa
beda."
"Raden
Ayu keliwat memuji. Saya cuma orang gunung "
"Gadis
itu tertawa lebar. Kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh. "Wiro,
saya ingin kau menyelidiki gerak-gerik Adikatwang. Saya yakin dia sumber
malapetaka yang akan menghancurkan Singosari." Ketika diperhatikannya Wiro
masih saja berdiri, Gayatri berkata. "Duduklah di sini, di samping saya
"
Wiro
duduk di sebelah si gadis. Duduk berdekatan seperti itu sang pendekar dapat
mencium harumnya bau tubuh dan pakaian sang dara.
"Maafkan
saya Raden Ayu. Saya tidak mungkin mencampuri urusan Kerajaan. Singosari
mempunyal seorang Patih, seorang Panglima. Bukankah mereka lebih punya kewajiban
dan tanggung jawab untuk menjaga keamanan Kerajaan?"
"Mereka
sudah jadi dungu karena terlalu patuh pada Ayahanda. Saya yakin sebenarnya
mereka pasti sadar akan bahaya yang mengancam." Gayatri tampak gelisah.
Murid Eyang Sinto Gendeng serasa terbang ketika Gayatri memegang tangannya
seraya berkata. "Wiro, saya tidak punya kakak laki-1aki. Saya menganggapmu
sebagai kakak sendiri. Bahkan lebih dari kakak. Itu sebabnya saya
mempercayaimu!.."
Dia
menganggap aku sebagai kakak, lebih dari kakak. Mengapa dia tidak terus terang
mengatakan aku sebagai kekasih? Gila! Wiro memaki sendiri dalam hati. Masakan
aku si sableng ini punya kekasih puteri Keraton Singosari? Bercinta dengan
Puteri Raja?! Sudah gila aku ini agaknya!
"Wiro,"
Gayatri masih memegang tangan pemuda itu. "Kau tadi bilang tidak mungkin
mencampuri urusan Kerajaan. Karena Singosari punya Patih, punya Panglima. Saya
tambahkan juga punya Raja. Saya mengerti. Salah-salah kau bisa dituduh lagi
sebagai orang jahat yang bersekutu dengan kelompok yang ingin menumbangkan Sang
Prabu. Tapi bagaimana kalau ada orang-orang dari dunia persilatan ikut campur
membela orang-orang jahat itu. Apakah itu tidak bisa dipakal alasan bagimu
untuk turun tangan membantu Singosari?"
Gadis ini
benar-benar cerdik! "Raden Ayu, kau ternyata cerdik sekali. Alasan itu
mungkin mengena."
Gayatri
tersenyum manis sekali. Kini tangannya bergerak menggenggam jari-jari pemuda
itu. "Hidup harus cerdik Wiro. Sebelum orang lain mempergunakan
kecerdikannya untuk menindas kita."
Wiro
mengangguk. "Raden Ayu," katanya. "Jika suatu ketika kelak
keturunan Raja Singosari mempunyai Ratu maka saya yakin kaulah orangnya."
Gayatri
tertawa berderai. "Jangan dulu ingat-ingat Singosari di masa tahunan
mendatang. Kita bicara saja dulu bahwa kau mau membantu. Demi Singosari dan
juga demi saya…"
"Apa
yang Raden Ayu ingin saya lakukan?"
"Selidiki
gerak-gerik Adikatwang di Gelang-Gelang. Usahakan mendapatkan bukti-bukti nyata
dan saksi atas maksud jahatnya yaitu bersekongkol dengan Adipati Wira Seta dari
Sumenep. Jika itu sudah kau dapat, hubungi saya. Kita bersama-sama akan menghadap
Ayahanda. Masakan nanti Ayahanda tidak akan mau percaya?"
"Saya
mengenal sifat orang seperti Sang Prabu. Sulit diubah. Apa lagi saat ini saya
tak lebih dari seorang buronan. Bagaimana Sang Prabu bisa percaya?"
"Lupakan
dulu sifat Sang Prabu. Kau bersedia mengabulkan permintaan saya Wiro?"
Wiro diam
sesaat. Terbayang wajah gurunya. Apakah Eyang Sinto Gendeng tidak akan
mendampratnya habis-habisan, mungkin menggebuknya sampai babak belur jika nenek
sakti itu nanti mengetahui dia telah melanggar larangannya untuk tidak ikut
campur urusan Kerajaan?
"Baiklah.
Saya akan melakukan apa yang saya bisa." Meluncur ucapan itu dari mulut
Pendekar 212.
"Saya
mengucapkan terima kasih yang sangat dalam Wiro." Nada suara Gayatri jelas
terharu. "Yang Kuasa akan menolong dan memberkatimu Saya harus pergi
sekarang. Takut kesiangan. Apakah kau masih menyimpan peniti emas yang saya
berikan tempo hari?"
Wiro
mengangguk. "Apakah Raden Ayu hendak memintanya kembali?" Wiro meraba
pinggangnya di mana dia menyimpan peniti emas itu baik-balk.
Gayatrl
tertawa lebar lalu menggeleng. "Tentu saja tidak," kata puteri bungsu
Prabu Singosari itu. "Saya hanya ingin kau menyimpannya baik-baik…"
"Saya
selalu menjaganya baik-baik. Jangan Raden Ayu kawatir." Lalu enak saja
murid Sinto Gendeng meneruskan ucapannya begini. "Kalau saya rindu pada
Raden Ayu saya akan mengeluarkan peniti emas itu, memandanginya, membelainya
dan menciumnya." Wiro melirik. Dalam gelap dilihatnya wajah gadis di
sampingnya bersemu merah tapi bibirnya tersenyum. "Saya tidak punya apa-apa
yang dapat saya berikan sebagai pengganti peniti emas itu. Kalau Raden Ayu sudi
menerima hanya ini yang bisa saya berikan. "Lalu Wiro membuka kain putih
pengikat kepalanya dan menyerahkan benda ini pada Gayatri.
"Ah…
Terima kasih," kata Gayatri seraya mengambil kain pengikat kepala itu lalu
mengikatkannya ke kepalanya sendiri.
Hati
Pendekar 212 berbunga-bunga. Gadis baik, katanya dalam hati. Kain ikat kepala
jelek begitu mau saja dia menerima. Malah langsung diikatkan ke kepalanya.
"Saya
senang memakal ikat kepala ini," kata Gayatri pula. "Kalau tidur,
kain ini akan saya letakkan di samping bantal saya "
Ala Mak!
Jangan-jangan betul kata Pendeta Mayana bahwa dia mencintaiku!
Gayatri
berdiri tapi jari-jari tangannya masih memegang dan saling bersilang dengan
jarijari tangan Wiro.
Wiro ikut
berdiri. Keduanya tegak berhadap-hadapan dekat sekali. Wiro dapat merasakan
hembusan nafas dan keharuman tubuh puteri Raja itu.
"Saya
pergi sekarang Wiro…."
"Terima
kasih atas semua yang telah Raden Ayu lakukan untuk saya," ujar Wiro.
Dilihatnya gadis itu mengangkat kepalanya dan tersenyum padanya. Kedua matanya
yang sebening kaca tampak bercahaya. Wiro menundukkan kepalanya mencium kening
Gayatri?. Mencium kedua matanya yang indah itu. Kedua pipinya. Ketika Pendekar 212
mengecup bibir Gayatri terasa kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Lalu
dirasakannya kedua tangan gadis itu merangkul.erat-erat seperti tidak akan
dilepaskan lagi. Wiro balas memeluk. Dada mereka bersatu erat. Wiro dapat
merasakan detak jantung Gayatri. Kemudian pelukan gadis itu lepas.
"Aneh…"
bisik Wiro sambil membelai pipi Gayatri.
"Aneh?
Apa yang aneh?" tanya si gadis.
"Aku
bermesraan dengan seorang gadis cantik tapi mempunyai kumis "
Gayatri
memekik kecil. Tangan kanannya meraba kumis palsunya lalu tiba-tiba tangan itu
bergerak ke dada Wiro dan habislah dada pendekar ini dicubitinya hingga Wiro
terlonjaklonjak kesakitan.
"Sudah….
sudah!" kata Wiro sambil menjauhi dadanya.
"Saya
harus pergi sekarang,.,," kata Gayatri kemudian.
"Saya
tahu. Hati-hati…." berbisik Pendekar 212.
"Kau
juga hati-hati…." kata si gadis seraya tersenyum. Dia mundur beberapa
langkah lalu membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya.
Namun
langkah gadis ini tertahan.
****************
11
SATU
bentakan menggeledek dalam kegelapan malam.
"Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212! Kita bertemu kembali! Apakah kau sudah siap untuk
menyambung peristiwa di tepi Kali Brantas tempo hari?!"
Murid
Eyang Sinto Gendeng terkejut besar. Dia mengenali suara itu dan juga mengenali
siapa adanya orangnya. Bukan lain Gandita, pemuda kepercayaan pembantu Adipati
Wira Seta dari Sumenep.
Hemm,
rupanya kadal satu ini masih menyimpan dendam terhadapku. Bagaimana dia tahu
gelarku. Jangan-jangan dia memang telah melakukan penyelidikan dan merencanakan
balas dendam.
Pendekar
212 sama sekali tidak takut apapun alasan kemunculan Gandita. Sudah pasti untuk
membalaskan sakit hati dipermainkan dan dipermalukan dulu itu. Yang
dikawatirkan Wiro saat itu justru adalah keselamatan Raden Ayu Gayatri, puteri
bungsu Sang Prabu Singosari. Kalau Gandita tahu siapa sebenarnya pemuda
berkumis itu, urusan bisa jadi celaka.
Tadi aku
seperti melihat ada bayangan di sebelah sana. Apakah pengkhianat ini datang
bersama seorang lain? Berpikir sampai di situ Wiro cepat melangkah mendekati
gadis yang menyamar itu. Dengan suara perlahan dia berkata. "Lekas naik ke
atas kuda. Tinggalkan tempat ini segera."
"Siapa
orang itu?" Gayatri bukannya pergi malah ajukan pertanyaan.
"Nanti
saja saya terangkan. Sekarang lekas pergi…!"
Melihat
air muka Wiro dan mendengar nada suaranya Gayatri segera melangkah menuju
kudanya. Pada saat yang bersamaan Gandita melompat ke hadapan Wiro, tegak
bertolak pinggang dengan seringai buruk tersungging di mulutnya.
"Penghinaan
yang kau lakukan dulu, hari ini harus kau bayar dengan bunganya, Pendekar
212!"
Wiro
tertawa lebar.
"Sebagai
orang persilatan kau rupanya tidak berpikiran cerdas. Otakmu perlu diasah.
Hatimu
perlu dikikir. Rupanya pelajaranku tempo hari tidak cukup, tidak membuatmu
kapok dan tahu diri. Itu sebabnya kau mencariku. Datang untuk minta pelajaran
atau hajaran tambahan! Katakan saja apa maumu pendekar sombong. Apa kau tidak
sadar kau telah salah jalan sesat?!"
"Keparat
bermulut besar! Biar hari ini aku Gandita merobek mulutmu!" teriak Gandita
marah sekali. Tangan kanannya berkelebat. Lima jari tangannya menyambar ke
mulut Wiro.
Pendekar
212 terkejut dan juga heran ketika menyaksikan gerakan lawan yang sangat cepat.
Padahal dulu ketika pertama kali berhadapan meskipun kepandaiannya tidak rendah
tapi gerakan Gandita termasuk lamban.
Murid
Sinto Gendeng tentu saja tidak tinggal diam. Dari gerak bahu lawan dia sudah
dapat membaca apa yang hendak dilakukan orang. Dia menggeser kaki ke kiri
sambil memiringkan kepala. Barsamaan dengan itu tinju kanannya dihantamkan ke
arah muka lawan dalam kecepatan luar biasa.
Gandita
menyadari bahwa serangan Wiro akan mengenai kepalanya sebelum dia sempat
merobek mulut lawannya itu. Dengan cepat dia tarik pulang serangannya lalu
melompat mundur dua langkah. Dari tempat dia berdiri dengan kuda-kuda baru
Gandita lepaskan satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan angin keras.
Selagi angin pukulan yang disertai tenaga dalam cukup tinggi itu menyambar
pemuda ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang lalu dia melompat ke arah
lawan. Tahu-tahu tangan kanannya sudah mencekal sebilah golok. Senjata ini
dibabatkannya ke perut Pendekar 212. Wiro merasakan adanya sambaran angin
dingin keluar dari golok pertanda golok itu bukan senjata biasa.
"Ha….
ha! Kau ternyata bukan saja sombong dalam ketidakcerdasanmu, tapi juga berlaku
pengecut. Adat seorang persilatan tangan kosong dilawan tangan kosong. Ternyata
kau berlaku licik memakai golok!"
"Jangan
banyak cakap! Kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!" bentak Gandita
menantang.
"Untuk
menghadapi anak masih bau air tetek macammu buat apa pakai senjata segala!
Cukup nanti aku menjewer telingamu dengan tangan kosong saja!" sahut Wiro
sambil menyeringai mengejek.
Tampang
Gandita tampak merah diejek seperti itu. Kemarahannya menggelegak. Terlebih
ketika serangan goloknya tadi tidak berhasil mencapai sasaran karena dengan
cepat lawan
melompat
ke belakang. Dia menyergap kembali dengan geram. Goloknya menderu ganas.
"Ganditai
Tunggu dulu!" Wiro tiba-tiba berseru.
"Bangsat!
Apa maumu?!" bentak Gandita.
"Hai!
Di tempat angker seperti ini jangan bermulut kotor. Salah-salah kau bisa
dicekik dedemit!"
"Lekas
katakan apa maumu!"
"Aku
mau bicara…" kata Wiro.
"Kau
mencari dalih karena takut?!"
Wiro
tertawa bergelak. "Sekalipun kau punya delapan tangan, delapan kaki dan
empat kepala aku tidak bakal takut! Aku hanya ingin agar kau sadar. Apa
untungnya jadi pengkhianat jadi pemberontak. Bukan mustahil kau hanya dijadikan
alat oleh Adikatwang dan Adipati Wira Seta. Jika tujuan mereka sudah tercapai
mungkin saja kau nanti akan ditendangnya!"
"Mulutmu
keji, memfitnah dan menghasut!" tukas Gandita. "Aku mengenal mereka
dari kecil. Mereka tidak sejahat yang kau katakana!"
"Kalau
mereka bukan orang jahat lalu mengapa menyusun rencana gila, berkomplot hendak
menumbangkan singgasana Prabu Singosari?!"
"Kau
orang kampong! Mana tahu segala urusan orang-orang besar!" jawab Gandita
sombong.
Wiro
ganda tertawa. "Walau aku orang kampung, jelek jelek begini aku tidak
pernah berkhianat pada Kerajaan. Tidak seperti kau jadi puntung pemberontak!
Harap kau mau berpikir sekali lagi. Belum terlambat untuk insyaf. Apalagi kalau
kau bisa menyadarkan Adikatwang dan Wira Seta."
"Jadi
hanya itu yang hendak kau katakan?!" tanya Gandita.
"Masih
ada," jawab Wiro. "Kau lebih suka berbuat dosa dad pada mencari
pahala!"
"Eh,
apa pula maksudmu?!" tanya Gandita agak heran.
"Memberontak
adalah pekerjaan sesat dan dosa besar. Berbakti pada Kerajaan adalah pahala
besar…"
"Siapa
sudi berbakti pada Prabu Singosari anak cucu pembunuh Raja Kediri! Kau saja
yang sana pergi mencari pahala!"
"Dengar
dulu Gandita. Kau bisa berbuat pahala pada Kerajaan dan sebagal imbalan pasti
kau akan mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi…"
"Hemmm…
rupanya kau cecunguk Keraton Singosari yang dibayar untuk membujukku!"
"Tidak
ada yang membayarku. Aku juga tidak membujukmu. Aku ingin agar kau sadar!
Jangan pergunakan kepandaianmu yang secuil untuk pekerjaan gila jadi
pemberontak!"
"Setan!
Aku tidak gila! Semua yang aku lakukan sudah kupikirkan masak-masak."
"Mungkin
keliwat masak hingga jadi busuk!" kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
"Setan!
Kalau tidak kucincang kau belum puas rasanya!"
Gandita
gerakkan tangan kanannya. Goloknya kembali berkelebat. Serangannya kali ini
adalah kepala lawan. Wiro cepat rundukkan kepala sambil melompat mundur satu
langkah. Begitu golok menyambar lewat murid Eyang Sinto Gendeng ini mencoba
menyergap ke depan dan kirimkan satu jotosan ke perut Gandita. Namun tiba-tiba
golok pendekar dari Gunung Kelud itu menyambar ke bawah. Jika Wiro tidak lekas
menarik pulang serangannya, lengannya pasti dibabat putus!
"Hebat
juga kampret sialan ini!" maki Wiro dalam hati. Tengkuknya terasa dingin.
Ilmu golok Gandita memang tidak bisa dibuat main-main. Serangan-serangannya
selain ganas juga bisa berubah atau susul menyusul secara tidak terduga.
Memasuki
jurus ke delapan Gandita berada di atas angin. Serangan goloknya datang
bergulung-gulung, bukan cuma dari satu penjuru, tetapi seolah-olah bertebar
dari berbagai arah dan semua itu dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Raden Ayu
Gayatri yang tegak di dekat kudanya merasa cemas melihat Pendekar 212 mulai
terdesak hebat. Hendak membantu dia tidak punya kepandaian apa-apa. Diam-diam
dia berusaha mencari akal bagaimana caranya agar dapat menolong Wiro, pemuda
kepada siapa dia menaruh rasa suka kalau belum mau dikatakan cinta.
Sebaliknya
Wiro yang semakin mengawatirkan keselamatan si gadis berulang kali memberikan
isyarat agar Gayatri segera pergi dari tempat itu. Gandita bukannya tidak
melihat isyarat yang diberikan Wiro itu namun karena perhatiannya ditujukan
pada Wiro dan ingin membunuh lawannya itu secepat yang bisa dilakukannya maka
dia tidak begitu memperdulikan Gayatri.
Setelah
terdesak hebat terus menerus, murid Eyang Sinto Gendeng kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya dan dia sengaja
berkelebat lebih cepat. Sampai dua jurus di muka Wiro sepertinya kini sanggup
mengimbangi serangan lawan dan mulai melancarkan serangan-serangan balasan.
Namun dua jurus selanjutnya didahului oleh satu bentakan keras Gandita robah
total permainan goloknya dan kini Pendekar 212 kembali terdesak hebat. Dalam
satu gebrakan keras menegangkan golok di tangan Gandita berkiblat membuat
silangan-silangan aneh.
Breettt…brettt…brettt!
Pakaian
Wiro robek di tiga tempat di makan ujung golok Gandita!
Kalau
Wiro sempat keluarkan seruan tertahan dan tengkuknya menjadi dingin, maka
Gayatri tak dapat lagi menahan kecemasannya gadis ini terpekik. Habis memekik
baru dia sadar dan cepat-cepat menekap mulutnya. Tapi suaranya sudah kepalang
terdengar oleh Gandita.
Pemuda
dari Gunung Kelud itu melintangkan goloknya di depan dada dan memandang ke arah
Gayatri. Untuk beberapa saat lamanya dia memperhatikan dengan tajam lalu tampak
sering di mulutnya.
"Pemuda
berkumis! Jadi kau seorang perempuan rupanya! Melihat potongan tubuh dan raut
mukamu pasti kau seorang gadis yang cantik jelita. Kau berdiri saja di sana.
Jangan ke mana-mana! Sehabis membereskan manusia satu ini kita bakal punya
kesempatan untuk berbincang-bincang! Bermesraan kalau perlu!"
Karena
tidak dapat menahan marahnya mendengar ucapan Gandita, Gayatri membuka mulut
dan mendamprat dengan suara keras. "Pemberontak busuk! Hatimu bukan saja
jahat tapi mulutmu juga kotor!"
Gandita
tertawa. Dia berpaling pada Wiro dan berkata. "Ha …ha…! Rupanya Pendekar
212 habis berbuat mesum dalam pondok itu dengan seorang gadis yang sengaja
menyamar sebagai laki-laki. Hebat! Menyuruh orang berbuat pahala dirinya
sendiri melakukan dosanya!"
"Setan
alas! Kau kira aku ini manusia cabul!" teriak Wiro marah. Dia menerjang ke
depan. Gandita menyongsong dengan goloknya. Kembali terjadi perkelahian seru.
Dan kembali pula dalam waktu dekat murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak oleh
serangan golok yang benar-benar luar biasa. Belum pernah Wiro melihat ilmu
golok sehebat itu. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan mengeluarkan
pukulan-pukulan sakti atau mulai menghadapi lawannya dengan ilmu silat orang gila
yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas atau segera saja mengeluarkan
Kapak Maut Naga Geni 212. Selagi dia menimbang-nimbang begitu rupa, sekali lagi
golok lawan berkelebat dan kali ini leher bajunya yang kena disambar robek.
Ujung golok bahkan sempat mengiris samping kiri lehernya hingga terluka dan
mengeluarkan darah. Paras Gayatri menjadi pucat. Wiro keluarkan keringat
dingin.
"Wiro!
Lakukan sesuatu! Keluarkan senjatamu!" teriak Gayatri.
Murid
Eyang Sinto Gendeng kini sadar dia memang harus melakukan sesuatu. Mungkin juga
mengeluarkan senjata seperti yang diteriakkan Gayatri tadi. Maka dia segera
gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjata mustika Kapak
Maut Naga Geni 212.
Namun
belum sempat dia mencabut senjata itu tiba-tiba dari dalam gelap terdengar
suara tertawa gelak-gelak. Suatukan suara tawa biasa. Tanah terasa bergetar dan
telinga mengiang sakit.
Itu suara
tawa si gendut Kerbau Bunting! Ada apa dia muncul di tempat ini. Hendak
menolongku? Pikir Wiro. Gandita sendiri yang kembali hendak menyerbu sesaat
jadi tertegun. Dari arah kegelapan di sebelah kirinya kelihatan muncul satu
kepala yang aneh. Astaga! Ternyata kepala seekor keledai!
Tak
mungkin binatang ini yang tadi tertawa! Membatin Gandita. Dia tak menunggu
lama. Sesaat kemudian sosok keledai itu semakin jelas. Lalu tampak seorang
bertubuh gemuk luar biasa yang menjadi penunggang keledai kurus kecil itu.
Gila!
Bagaimana mungkin keledai kecil kerempeng itu sanggup ditunggangi manusia yang
beratnya lebih dari dua ratus kati! Gandita semakin heran. Lalu dia melihat
ternyata si gendut itu hanya menempelkan pantatnya saja di atas punggung
keledai karena kedua kakinya menjejak tanah seperti orang berjalan biasa!
Gandita mulai menduga-duga siapa adanya manusia gemuk ini.
Si
penunggang keledai masih tertawa-tawa sampai keluar air mata dari sepasang
matanya yang sipit. Baju dan celana hitamnya jelas kesempitan. Dadanya yang
gembrot dan perutnya yang melendung kelihatan berguncang-guncang kalau dia
tertawa. Orang ini memandang pada Wiro, berpaling pada Gandita lalu menoleh
pada Gayatri. Setelah itu dia kembali tertawa gelak-gelak.
"Hai!
Kenapa kalian berhenti berkelahi! Padahal aku datang ke sini untuk
menonton!" kata si gendut. Dia melirik pada Gayatri lalu tertawa mengekeh
hingga dia terpaksa mengusut air mata yang keluar dari kedua matanya.
Manusia
aneh. Pikir Gayatri. Apakah dia teman atau musuh Wiro. Kalau dia kelak membantu
pemuda pemberontak itu Wiro bisa celaka. Aku juga! Walaupun hatinya cemas tapi
sampai saat itu dia tetap saja tegak di tempat itu.
"Gendut
gila!" tiba-tiba Gandita berteriak. "Hentikan tawamu! Pergi dari
sini! Jangan mengganggu urusanku!"
Dibentak
seperti itu si Gendut tampak terkesiap. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian
kembali terdengar suara tawanya menggelegar.
"Mana
ada aturannya orang tidak boleh ketawa! Ha… ha… ha! Tempat ini bukan milik
nenek moyangmu mengapa berani menyuruh aku pergi! Siapa yang mengganggu
urusanmu?! Jangan coba membanyol. Nanti aku bisa ketawa sampai ngompol! Kalau
aku ngompol apakah kau mau mencebokkan?! Ha… ha… ha …!"
Gandita
marah sekali mendengar kata-kata si gendut itu. "Gendut gila! Kalau kau
tidak berhenti tertawa, kusumpal mulutmu dengan golok ini!"
"Eh!"
si gendut tampak terkejut. Matanya yang sipit dicobanya membuka lebar-lebar
tapi tetap saja sipit! "Astaga! Benaran kau hendak menyumpal mulutku
dengan golok itu?! Jangan! Kalau kau mau menyumpal jangan dengan golok. Tapi
dengan pisang goreng atau ubi rebus! Baru sedap!"
Pendekar
212 garuk-garuk kepala melihat tingkah si gendut yang dikenalnya sebagai Dewa
Ketawa dan yang dulu biasa dipanggilnya dengan sebutan Kerbau Bunting!
Kalau
menurutkan kemarahannya mau rasanya Gandita menyerang si Gendut di atas keledai
dengan goloknya saat itu juga. Namun dia berlaku cerdik. Mengapa menambah musuh
baru sedangkan urusan dengan Wiro belum terselesaikan? Di samping itu Gandita
merasa bahwa si gendut ini tidak berada di pihaknya. Dugaan Gandita tidak salah
karena saat itu didengarnya si gendut. berkata pada Wiro.
"Sobatku
Muda, aku gembira bisa ketemu kau lagi! Ha.., ha… ha …!"
"Dewa
Ketawa, aku juga gembira!" sahut Wiro. "Cuma sayang aku sedang ada
urusan dengan pemuda pemberontak ini!"
"Ah,
dia pemberontak rupanya! Ha… ha…ha…!" Dewa Ketawa lalu berpaling pada
Gandita.
"Masih
bau kencur sudah berani memberontak. Hal anak muda! Kau minum dulu kencingku!
Kalau sudah mampu minum kencingku baru boleh memberontak! Ha… ha… ha…!"
Rahang
Gandita menggembung tanda amarahnya menggelegak. Tapi dia pandai membaca
keadaan. Apalagi tadi dia mendengar Wiro menyebut nama si gendut ini. Siapa
tidak kenal dengan orang sakti bergelar Dewa Ketawa? Otak cerdiknya bekerja.
Lalu mulutnya berkata.
"Orang
tua gemuk, kalau kau betul Dewa Ketawa, aku minta maaf tadi tidak berlaku
hormat terhadapmu. Ketahuilah kakakmu si Dewa Sedih sudah bergabung dengan kami
untuk menumbangkan kekuasaan tidak syah Prabu Singosari! Sebagai adik tentu
tidak ada salahnya kau juga ikut kami!"
Wiro
terkejut mendengar ucapan Gandita itu. Sebaliknya Dewa Ketawa tenang-tenang
saja, malah dia kembali perdengarkan suara tawanya. Mula-mula perlahan lalu
makin keras dan makin keras! Tiba-tiba clep! Tawanya dihentikan. Dewa Ketawa
membentak.
"Siapa
sudi mengaku kakak pada manusia sesat bernama Dewa Sedih itu! Dan kau mau,
kasih hadiah apa kalau aku bersedia bergabung dengan kalian kaum
pemberontak?!"
"Dewa
Ketawa! Kau hendak…"
Orang tua
bertubuh gemuk itu memandang pada Wiro sambil memalangkan jari telunjuknya di
depan mulut. "Diam, jangan bersuara. Biar monyet ini memberi tahu apa
hadiah untukku!"
"Dengar
Dewa Ketawa, Raja yang baru pasti akan memberimu harta dan uang berlimpah. Kau
pasti akan diberikannya jabatan tinggi di Istana!"
Dewa
Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Gandita itu. "Bocah geblek!
Aku Tanya hadiah apa yang bisa kau berikan padaku. Bukan hadiah dari Raja. Lagi
pula siapa Raja barumu itu?!"
Wajah
Gandita tampak menjadi merah.
"Dengar
anak muda," kata Dewa Ketawa pula.
"Jika
kau mau mengorek jantungmu sendiri lalu memberikannya padaku, baru aku mau
bergabung dengan kalian!"
Jika
diturutkannya hawa amarahnya mau rasanya Gandita menyerang orang tua gendut itu
dengan goloknya. Tapi lagi-lagi dia berlaku cerdik. Jika dia melibatkan Dewa
Ketawa dalam perkelahian, berarti dia akan menghadapi dua lawan sekaligus yaitu
Wiro dan Dewa Ketawa. Maka dia berusaha menekan amarahnya terhadap si gemuk itu
dan kini segala kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 dalam bentuk
serangan ganas. Kedua pendekar muda itu kembali berkelahi.
Dewa
Ketawa tertawa mengekeh melihat perkelahian itu tapi lama-lama dia tampak
seperti jemu.
"Perkelahian
membosankan! Buat apa ditonton! Lebih baik aku pergi saja! Ha… ha… ha….!"
Dewa Ketawa putar keledainya.
"Orang
tua, kau mau ke mana?" tiba-tiba satu suara menegurnya.
Dewa
Ketawa berpaling ke arah datangnya suara itu. Dilihatnya yang barusan bicara
adalah pemuda berkumis tipis berwajah klimis. Sesaat dipandanginya wajah dan
tubuh orang itu lalu meledaklah ketawanya.
"Biasanya
lelaki yang suka jadi banci! Baru hari ini aku lihat ada gadis yang mau jadi
banci! Ha… ha… ha!" Dewa Ketawa lambaikan tangannya dan mengedipkan
matanya yang sipit pada Gayatri.
"Orang
tua! Tunggu!" kembali Gayatri berseru. "Apa kau tidak mau menolong
sahabatmu Wiro?"
"Ah!
Siapa sudi menolong orang tolol! Ilmunya segudang kepandaiannya selangit.
Mengapa tidak dipergunakan?! Dia bisa menghadapi cecunguk pemberontak itu
seorang diri. Dia tidak butuh pertolonganku!" Habis berkata begitu Dewa
Ketawa mengekeh. Lalu kedua kakinya bergerak mengiringi empat kaki keledai
kurus pendek itu. Wiro hendak berseru memanggil namun saat itu Gandita kembali
menyerbu dengan goloknya sedang si kakek gendut telah lenyap dalam kegelapan
malam.
Pendekar
212 sambut serangan Gandita dengan jurus dan pukulan "Kilat menyambar
puncak gunung." Pukulan ini berupa satu tabasan tepi telapak tangan yang
dahsyat, yang dipelajarinya dari Tua Gila, seorang sakti di Pulau Andalas
beberapa tahun lalu.
Mendengar
deru pukulan lawan serta ada hawa panas yang menyambar, mau tak mau Gandita
berpikir dua kali untuk meneruskan serangannya. Tangan kanan Wiro menyambar di
samping golok terus melesat ke arah pergelangan tangannya. Gandita terpaksa
tarik pulang serangannya sambil. Tapi begitu tubuhnya terlontar ke kanan
tiba-tiba sekali dia membuat gerakan aneh. Lalu tangan kirinya menyambar dan
berhasil menjambak rambut Wiro Sableng yang gondrong. Sekali dia menjentakkan
tangan kirinya maka tubuh Pendekar 212 dan terbanting jatuh punggung ke tanah.
Wiro merasakan tulang punggungnya seolah remuk. Sedang kepalanya yang tadi
sempat dijambak lawan masih mendenyut sakit. Meski pemandangannya sedikit
berkunang dia masih sempat berpikir. Gerakan orang ini jauh lebih cepat dari
dulu. Agaknya dia telah menimba ilmu baru. Aku harus berhati-hati pada kampret
satu ini! Selagi Pendekar 212 berusaha bangkit berdiri, tiba-tiba dari depan
Gandita sudah menyerbu kembali dengan goloknya!
Murid
Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menggeram. Dengan cepat dia alirkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan lalu memukulkannya ke arah lawan.
Wuttt!
Segulung
angin menggempur ke depan mengeluarkan suara menderu seperti ombak mengamuk di
tepi pantai. Inilah pukulan sakti bernama "Segulung ombak menerpa
karang."
Gandita
merasakan serangannya tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan. Tangannya
yang memegang senjata bergoyang-goyang sedang sekujur tubuhnya bergetar.
Semakin dia mengerahkan tenaga luar dalam untuk menerjang tembok gaib itu
semakin sulit keadaannya karena kekuatannya seperti membalik menggempur dirinya
sendiri.
Wiro
maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya
namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro
maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya
namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro
cepat tambah kekuatan tenaga dalam ke telapak tangan kanan. Tiba-tiba dia
dorongkan telapak tangan itu dan sekaligus membalikkannya.
Di saat
itu pula ketika merasa datangnya tekanan tenaga dalam lawan, Gandita kerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Justru disinilah kesalahannya. Tenaga dalamnya
terhimpit telak di bawah tenaga dalam Wiro!
Begitu
dua kekuatan tenaga dalam saling bentrokan, tubuh Gandita tampak terpuntir
keras seperti ditabrak angin punting beliung, lalu terpental sampai enam
langkah. Golok di tangannya terlepas jatuh.
"Jahanam!"
maki Gandita dalam hati. "Bangsat ini harus segera kubunuh!" Murid
orang sakti dari Gunung Kelud ini cepat berdiri. Namun dadanya terasa sakit
sekali. Gerakannya yang sudah setengah berdiri jatuh kembali. Dia jatuh
berlutut sambil pegangi dada. Marah dan sangat penasaran membuat pemuda ini
berusaha bangkit kembali.
Karena
dipaksakan sedang tubuh di bagian dalam terluka parah dia jadi terbatuk-batuk
beberapa kali. Tiba-tiba ada darah segar menyembur keluar dari mulutnya!
Tadinya
murid Eyang Sinto Gendeng kembali hendak menyerbu. Tapi begitu lawan dilihatnya
terluka dalam cukup parah dia hanya berdiri berkacak pinggang.
"Syukur-syukur
kau sudah kapok! Kalau belum silahkan menyerang lagi!" ejek Wiro.
Gandita
meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah.
"Manusia
keparat! Kau jangan merasa cepat-cepat menang. Aku punya niat untuk menghabisi
nyawamu malam ini juga. Niat itu harus terlaksana! Lihat keris!"
Tangan
kanan Gandita bergerak ke balik pinggang pakaiannya. Lalu kelihatan pancaran
sinar kuning bercampur putih dalam kegelapan. Memandang ke depan Wiro melihat
Gandita telah menggenggam sebilah keris besar di tangan kanan dan sarungnya di
tangan kiri. Senjata ini terbuat dari perak murni bercampur paduan emas. Gagang
dan sarungnya berhlas beberapa butir batu permata. Inilah keris Narasinga yang
merupakan salah satu senjata pusaka Keraton Kediri dan berasal dari sesepuh
serta pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara. Senjata yang sudah berusia
puluhan tahun ini tentu saja merupakan senjata sakti mandraguna. Dari sinarnya
saja Wiro sudah maklum kalau Keris itu bukan merupakan senjata sembarangan dan
dia harus berhati-hati.
Sebagai
puteri raja tentu saja Gayatri mengenali senjata itu. Gadis ini tidak mengerti
mengapa senjata pusaka Keraton bisa berada di tangan seorang pemberontak
seperti Gandita.
Saat itu
Gandita sendiri sudah menyerbu seraya menusukkan keris Narasinga. Wiro cepat
berkelit. Ujung keris lewat hanya setengah jengkal dari keningnya. Matanya
terasa perih oleh sambaran angin keris sakti itu. Ketika lawan menyerbu kembali
Pendekar 212 kerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan siapkan did dengan
melipatgandakan tenaga dalam. Untung saja saat itu Gandita mengalami luka dalam
yang cukup parah hingga gerakannya menjadi lamban dan kadang-kadang rasa sakit
pada dadanya membuat serangannya seperti tertahan-tahan.
Kalau
tidak akan sulitlah bagi Wiro untuk menghadapinya dengan mengandalkan
pukulanpukulan tangan kosong walaupun mengandung tenaga dalam dan aji
kesaktian.
Setelah
menggempur terus-terusan tanpa hasil sedang dadanya sendiri terasa semakin
sakit Gandita mulai berpikir sebaiknya dia tinggalkan saja tempat itu.
Justru
saat itu terdengar Gayatri berteriak. "Wiro! Keris itu senjata pusaka
milik Kerajaan! Tidak layak berada di tangan seorang pengkhianat? Usahakan
untuk merampasnya!"
Gandita
terkejut mendengar seruan Gayatri. Perempuan yang menyamar dua tahu senjata di
tanganku ini. Siapa dia sebenarnya. Jangan-jangan… Gandita tak sempat berpikir
lebih jauh karena saat itu Wiro tiba-tiba menyergap dengan satu jotosan tangan
kirinya menyambar berusaha merampas keris.
Gandita
yang mulai mencium bahaya dan takut kalau-kalau Wiro sempat merampas keris
Narasinga yang selama ini dipercayakan padanya untuk di simpan meloncat mundur
beberapa langkah.
"Pendekar
212! Sayang aku masih ada keperluan lalu yang lebih penting. Kalau saat ini aku
pergi jangan kira kau sudah merasa menang. Aku akan datang kembali untuk
membedol nyawa anjingmu! Kau tunggu saja saat kematianmu!" Habis berkata
begitu Gandita sarungkan keris Narasinga dan menyimpannya kembali di balik pinggang
pakaiannya.
Wiro
menyeringai. "Yang aku kawatir yang muncul nanti bukan tubuh kasarmu
sungguhan, tapi setanmu atau roh halusmu! Luka dalam yang kau derita tidak bisa
dianggap enteng! Mungkin kau duluan yang menemul ajal dari pada aku!"
Gandita
meludah ke tanah sekali lagi. Dia lalu berputar seperti hendak meninggalkan
tempat itu. Namun tiba-tiba sekali dia membalik. Tangan kanannya bergerak. Lima
buah benda hitam yang merupakan senjata rahasia berupa paku-paku kecil halus
beracun melesat di udara, menyambar ke arah Pendekar 212.
"Laknat
keparatI" teriak Wiro marah. Tangan kanannya bergerak menghantam dengan
pukulan "benteng topan melanda samudera." Segulung angin dahsyat
menyambar membuat semua senjata rahasia yang dilepaskan Gandita mencelat
mental. Pukulan sakti itu selanjutnya menerpa ke arah Gandita. Namun pemuda ini
sudah lebih dahulu berkelebat ke balik sebatang pohon besar lalu menghilang
ditelan kegelapan malam.
Braakkk!
Batang
pohon kayu berderak keras dilanda pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
"Wiro!
Kau tak apa-apa?!" terdengar Gayatri berseru lalu gadis ini setengah
berlari menghampiri Pendekar 212.
"Saya
tak kurang suatu apa. Terima kasih," jawab Wiro. "Seharusnya Raden
Ayu cepatcepat pergi tadi…"
"Mana
mungkin saya pergi sewaktu dirimu terancam bahaya."
Ah, dia
mengawatirkan keselamatanku, Pikir Wiro. Lalu dia teringat pada Pendeta Mayana
yang mengatakan bahwa gadis itu mencintainya.
"Kalau
saja saya mempunyai kepandaian hebat, sudah saya bunuh pemuda pemberontak itu
tadi," kata Gayatri pula.
"Dia
akan menerima hukumannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Kalau dia
tidak segera mendapatkan obat nyawanya tak akan tertolong."
"Saya
menyumpah biar dia menemui ajal!" kata Gayatri.
"Sekarang
saatnya Raden Ayu meninggalkan tempat ini."
"Ya,
cuma… Saya ingin kau mengantarkan saya sampai di pinggir Timur Kotaraja."
"Saya
tidak membawa kuda," ujar Wiro walau sebenarnya dia bisa mengikuti kuda
gadis itu dengan berlari.
"Apa
susahnya menunggang kuda berduaan. Kalau kau suka," jawab Gayatri.
Pendekar
212 merasakan dadanya berdebar. Sambil senyum dan garuk-garuk kepala
dipeganginya pinggang puteri Prabu Singosari itu dengan kedua tangannya lalu
dinaikkannya ke atas kuda. Wiro sendiri kemudian hendak duduk di belakang si
gadis.
"Eh,
kau seharusnya duduk di sebelah depan Wiro!" ujar Gayatri pula.
"Di
sebelah manapun tak jadi soal!" sahut Wiro seraya melompat ke atas
punggung kuda, duduk di depan Gayatri. Lalu perlahan-lahan kuda bernama Grudo
itu mulai bergerak. Setelah lewat beberapa lama Gayatri berkata.
"Kuda
ini seperti sakit pinggang. Mengapa tidak kau pacu agar kita lekas
sampai?"
"Maafkan
saya Raden Ayu. Seumur hidup baru sekali ini saya menunggang kuda dengan
seorang gadis yang sangat cantik, puteri Raja pula. Mana saya mau
menyia-nyiakan kesempatan?"
"Eh,
kau mulai bicara melantur. Apa maksudmu?"
Wiro
tertawa lebar. "Maksud saya, biar lebih lama sampainya ke Kotaraja.
Berarti saya bisa lebih lama berdua-dua seperti ini dengan Raden Ayu…!"
"Tidak
saya sangka kau ternyata seorang pemuda ceriwis!" kata Gayatri pula. Lalu
cubitannya mendarat berulang-ulang di punggung Pendekar 212 hingga pemuda ini
tersentaksentak antara geli dan kesakitan.
"Kalau
Raden Ayu terus mencubit, saya akan memacu kuda ini ke jurusan lain. Saya akan
menculik dan menyekap Raden Ayu di satu tempat!"
"Iih!
Jika kau lakukan itu, aku bukan cuma mencubitmu Wiro. Tapi akan
menggigitmu!" kata Gayatri pula. Lalu dia membuat gerakan seperti hendak
menggigit bahu kanan Pendekar
212.
"Digigit mungkin sakit. Tapi terus terang saya ingin juga merasakan
gigitan Raden Ayu," sahut Wiro.
Karena
gertakannya tidak mempan Gayatri jadi kehabisan akal. Digelungkannya kedua
tangannya ke pinggang Wiro. Sambil memeluk jari jari tangannya menggelitiki
pinggang pemuda itu hingga Wiro terpekik-pekik kegelian dan terpaksa memacu
kudanya lebih cepat.
TAMAT
No comments:
Post a Comment