Muslihat Para Iblis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
BAB I
WALAU
saat itu masih sangat pagi dan sang surya belum muncul namun Lawunggeni merasa
batu di atas mana dia duduk bersila tak ubahnya seperti bara. Untuk beberapa
lamanya orang tua ini memandang dengan mata mendelik tak berkesip pada lelaki
separuh baya yang duduk di depannya. Keadaan Lawunggeni baik pakaian maupun
tubuhnya sungguh mengenaskan. Dulu pakaian yang dikenakannya adalah pakaian
bagus terbuat dari bahan mahal. Kini pakaian itu hanya tinggal
potongan-potongan kain compang-camping, kotor dan bau. Kulit muka dan tubuhnya
hitam melepuh padahal dulu dia memiliki kulit kuning bersih. Keganasan laut
telah merubah orang tua ini seperti jerangkong hidup. Orang yang dipandang
bersikap tenang. Balas memandang seolah tanpa rasa. Hal ini membuat Lawunggeni
menjadi geram. Pelipisnya bergerak-gerak dan rahangnya menggembung tanda dia
berusaha menahan amarah.
“Pangeran
Soma!” tegur Lawunggeni. Suaranya perlahan tapi tajam mendesis.
“Harap
kau mau memakai pikiran dan perasaan. Hampir enam bulan aku mengarungi laut
selatan untuk mencarimu. Kulitku melepuh hangus, pakaian di badan hancur luluh,
kulitku hitam terbakar sengatan matahari. Tubuhku berubah seolah jerangkong
hidup! Dan kau menyambut kedatanganku seolah aku ini cuma patung hidup atau
batu tanpa nyawa! Padahal sudah kukatakan. Aku mengarung lautan menyabung nyawa
untuk mencarimu demi kesembuhan adik perempuanmu satu ayah!”
Lelaki
separuh baya yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Soma sama sekali tidak
bergerak bahkan wajahnya yang setengah putih setengah biru tidak bergeming
menunjukkan perubahan. Sepasang matanya sama sekali tidak memantulkan perasaan
apa-apa. Di dalam mulutnya gigi-giginya bergerak mengunyah sirih campur
tembakau.
”Kau tahu
aku datang tapi kau buta. Kau mendengar apa yang kusampaikan namun kau seperti
tuli! Hatimu telah berubah menjadi batu! Mungkin kau sudah bukan manusia lagi
Pangeran. Kau sama sekali tidak punya perasaan…!”
Perlahan-lahan
lelaki separuh baya itu angkat kepalanya, menengadah memandang ke langit yang
masih dibungkus kegelapan. Mulutnya bergerak menyunggingkan seringai lalu
terbuka.
“Aku
ingin tanya padamu wahai utusan Sri Baginda yang datang dari jauh dan katanya
menyabung nyawa demi kesembuhan seorang gadis. Ketika Sri Baginda menyuruh
orang membuang sosok bayiku dari istana karena malu mempunyai seorang putera
yang cacat muka, apakah dia memakai pikiran dan punya perasaan?! Dia mendengar
nasehat para abdi dalem tapi telinganya tertutup seolah tuli. Hatinya seolah
batu! Ucapanmu barusan mengingatkan aku pada banyak hal di masa silam. Kau tahu
dimana ibuku kini berada ki Lawunggeni? Mengalami nasib dibuang atau mungkin
juga telah disingkirkan dari muka bumi?!! Atas perintah Sri Baginda yang
mengutusmu datang kemari!”
“Pangeran
Soma, apa yang telah terjadi tiga puluh tahun silam tak perlu diungkit. Lagi
pula Sri Baginda telah memesan. Selain meminta obat padamu juga aku diminta
membawamu ke Kotaraja. Hanya saja mengenai Ibumu… aku tidak tahu menahu.
Perempuan itu melenyapkan diri sehari setelah dia tahu bahwa kau dibuang.”
“Ki
Lawunggeni, kau melakukan perjalanan percuma. Kau mengarungi laut selatan
menyabung nyawa sia-sia. Pulanglah, aku tak bisa menolongmu!”
“Pangeran,
aku taitu kemampuanmu. Semua tabib di Puri Agung mengatakan hanya kau yang bisa
menolong adik perempuanmu dari sakit lumpuh yang dideritanya…”
“Aku tak
bisa menolong apa-apa Ki Lawunggeni. Kembalilah ke Kotaraja dan berdoalah.
Hanya Tuhan yang bisa menolong gadis itu…”
“Hatimu
dicekam dendam Pangeran. Aku tahu hanya kau yang bisa mengobatinya. Kalau tidak
aku tak akan bersusah payah datang ke sini. Kami semua yakin gelarmu Raja Obat
Delapan Penjuru Angin bukan nama kosong belaka. Kalau orang lain kau tolong
masa kau tidak mau menyelamatkan diri adikmu sendiri walau dia hanya adik satu
ayah?!”
Perlahan-lahan
Pangeran Soma turunkan kepalanya. Sepasang matanya menatap pada orang tua
utusan Kerajaan itu. Dipandang begitu rupa Ki Lawunggeni menjadi gelisah.
“Ki
Lawunggeni, apakah kau melihat topan mengamuk malam tadi di lautan?!”
Ki
Lawunggeni menjadi heran. “Aneh,” katanya dalam hati. “Lain yang dibicarakan
lain yang ditanyakannya! Jangan-jangan manusia satu ini sudah tidak waras lagi
pikirannya!”
“Aku
bertanya Ki Lawunggeni!”
“Aku
tidak mengerti maksud pertanyaanmu Pangeran. Tapi aku ingat betul malam tadi
tidak ada topan mengamuk di tengah laut.”
“Hemmm…
itu berarti alam tidak menyukai kehadiranmu di tempat ini!” ujar Pangeran Soma.
“Sekali lagi kukatakan kembalilah ke kora saja. Bawa kembali hadiah yang kau
bawa ini! Pangeran Soma goyangkan kepala ke arah seperangkat poci-poci tempat
sirih terbuat dari emas yang diletakkan di atas batu di hadapannya. “Aku hidup
di alam, berteman dan menyatu dengan alam. Aku tidak butuh benda-benda itu.”
Lama Ki
Lawunggeni terdiam. Semakin ditatap wajah Pangeran Soma yang biru sebelah itu
semakin berkobar rasa jengkelnya. Dengan sikap kasar perlengkapan tempat sirih
itu dimasukkannya ke dalam kantong kain. Lalu dia berdiri. Sebelum memutar
tubuh dia berkata. “Ternyata aku menemui seseorang yang tidak seperti aku
perkirakan. Tugas sebagai seorang tabib penyembuh tidak mengenal kebencian.
Sekalipun musuh wajib ditolong. Aku datang ke tempat yang salah. Kasih sayang
sejati ternyata belum menjamah hati sanubarimu Pangeran. Selamat tinggal!”
“Tunggu
dulu Ki Lawunggeni!” ujar Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin tiba-tiba.
Dua jari tangannya diluruskan lalu ditusukkan ke batu merah di hadapannya. Dua
jari tembus ke dalam batu. Ketika ditarik, dua keping batu yang pecah ikut
terangkat. Pangeran Soma cepat menggenggam dua keping batu merah yang lalu
meremasnya.
“Ulurkan
tanganmu Ki Lawunggeni!”
Walau
terkesiap Ki Lawunggeni ulurkan tangan kanannya.
“Kembangkan
telapak tanganmu.”
Kembali
Lawunggeni melakukan apa yang dikatakan orang. Telapak tangan kanannya
dikembangkan lebar-lebar. Pangeran Soma buka tangan kanannya yang menggenggam.
Dari tangan yang terbuka itu mengucur keluar batu merah yang tadi diremasnya
dan telah berubah menjadi bubuk.
“Minumkan
bubuk batu merah itu pada orang yang sakit. Ampasnya jadikan lulur untuk kedua
kaki yang lumpuh.”
“Bubuk
batu…” ujar Ki Lawunggeni dalam hati. “Baru kali ini aku mengetahui bubuk batu
dijadikan obat. Apakah bisa mujarab?” Ada keraguan dalam diri suruhan Sri
Baginda dari Kotaraja ini.
“Aku
dapat membaca apa yang ada dalam pikiranmu, Ki Lawunggeni,” tiba-tiba Raja Obat
Delapan Penjuru Angin berkata. “Jika ada keraguan dalam hatimu silahkan kau
buang saja bubuk itu. Kembali ke Kotaraja dengan berhampa tangan!”
Ki
Lawunggeni seperti disentakkan mendengar ucapan Pangeran Soma itu. “Luar biasa.
Bagaimana dia bisa membaca apa yang ada dalam benakku!” Namun sadar kalau orang
telah memberikan obat yang dimintanya, maka dia cepat-cepat membungkuk.
“Maafkan
diriku. Aku telah salah menduga. Perjalananku ke sini ternyata tidak sia-sia.
Terima kasih Pangeran. Terima kasih banyak…”
“Pergilah…”
Ki
Lawunggeni kembali membungkuk. “Kalau begitu biar kutinggalkan benda ini…” Si
orang tua letakkan kantong kain berisi seperangkat tempat sirih dari emas itu
di atas batu.
Pangeran
Soma menggeleng. “Aku tidak membutuhkan benda itu. Bawa saja…”
“Terima
kasih… Aku pergi sekarang…”
Sesaat
setelah Ki Lawunggenl meninggalkan tempat itu Pangeran Soma alias Raja Obat
Delapan Penjuru Angin bangkit berdiri. Dia tegak tepat di atas batu merah yang
tadi dicungkilnya hingga berlubang. Mulutnya komat-kamit beberapa kali. Ketika
mulut itu dibukanya cairan merah meluncur jatuh. Sesaat kemudian lobang batu
yang tadi pecah tertutup, rata utuh seperti semula.
Pangeran
Soma menarik napas panjang. Dia menatap ke tengah laut sementara di kejauhan
ada sinar kuning seolah mencuat keluar dari dasar samudera. Itulah sinar
pertama sang surya yang mulai terbit. Mendadak Pangeran Soma pejamkan kedua
matanya. Telinganya dihadapkan ke arah lautan lepas.
“Ada anak
manusia tenggelam di dalam laut. Pusaran air tidak membuatnya mati. Arus dasar
laut selatan menggiringnya ke dalam terowongan sebelah atas. Kalau saja aku
bisa menghadangnya sebelum jatuh ke dalam terowongan sebelah bawah, mungkin aku
bisa menyelamatkannya… Tiga mimpiku secara beruntun rupanya menjadi kenyataan.
Aku melihat perahu besar dan perahu kecil. Aku mendengar suara jeritan seolah
membelah langit. Agaknya aku akan mendapat kawan penghuni pulau batu merah ini.
Samakah malang nasibnya dengan diriku?”
Manusia
bermuka biru sebelah ini, yang punya kesaktian mengobati dengan remasan batu
merah melangkah cepat menuju ke bagian selatan pulau batu itu.
****************
BAB II
SOSOK
tubuh Ki Hok Kui tenggelam ke dasar laut. Empat jalur darah yang keluar dari
dua tangan dan dua kakinya yang buntung kelihatan mengerikan. Adalah aneh
belasan ikan hiu ganas yang ada di sekitar situ tak seekorpun memburu dan
menjadikannya mangsa. Hanya beberapa saat lagi tubuh Ki Hok Kui akan sampai di
dasar laut tiba-tiba satu pusaran air menyedotnya. Tubuh buntung itu tertarik
ke atas lalu diseret ke arah pulau batu merah. Kejadiannya cepat sekali. Di
lain kejap sosok Ki Hok Kui lenyap!
Apa yang
telah terjadi?
Dalam
keadaan tidak sadar diri Ki Hok Kui terseret masuk ke dalam sebuah terowongan
batu. Di satu tempat ketika air laut tidak lagi menggenangi terowongan, kalau
tadi tubuhnya seperti melayang dalam air laut maka kini tubuh itu
berguling-guling seperti bola.
“Braaakk!”
Sosok Ki
Hok Kui melabrak dinding batu. Ternyata terowongan itu buntu. Namun tepat di
bagian yang buntu, sebelah atasnya terdapat satu lobang besar. Di sebelah
atasnya lagi lobang itu dikelilingi oleh gundukan batu-batu merah tinggi dan
runcing. Seseorang yang berada di luar sana tidak akan mudah mengetahui kalau
di tempat itu ada sebuah lobang batu.
Sepasang
kaki tersembul dari balik jubah putih yang berkibar-kibar ditiup angin laut.
Itulah kaki Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Dia berdiri di
bagian datar yang sempit di tepi lobang batu. Sinar matahari yang baru terbit
menerangi pinggiran lobang dan menyeruak ke bawah. Ketika Pangeran Soma
memperhatikan ke dalam lobang berubahlah parasnya. Sesaat matanya terpejam dan
mulutnya berucap. “Ini orang Cina yang aku lihat dalam mimpiku. Ternyata anak
manusia ini bernasib jauh lebih malang dari diriku. Gusti Allah, mengapa
malapetaka begitu berat kau timpakan pada dirinya? Tantangan apakah yang hendak
kau berikan padaku ya Allah?”
Pangeran
Soma membuka kembali kedua matanya dan memperhatikan ke dalam lobang batu
merah. “Dua tangan dan dua kaki buntung. Seperti ditebas senjata tajam. Mukanya
tak bisa kulihat jelas, bergelimang dengan darah. Ada sesuatu melekat… ada
sesuatu terikat di dadanya…” Pangeran Soma merunduk. Kepalanya diturunkan
sampai masuk sejauh dua jengkal ke datam lobang batu. “Sebuah kitab…” desis
lelaki ini. Dia membuka matanya lebar-lebar. Berusaha membaca tulisan yang
tertera di sampul kitab.
Hanya
sebagian yang bisa dibacanya karena sebagian lagi tertutup oleh bayangan gelap
batu goa yang tidak tersentuh sinar matahari. Namun Pangeran Soma sudah bisa
menduga. “Kitab Putih Wasiat Dewa…” ucapnya dengan suara bergetar. Kembali dia
teringat pada tiga kali mimpi yang dialaminya. “Tuhan Maha Benar. Petunjuk
dalam mimpi jelas adanya. Gusti Allah… Apa yang harus aku lakukan? Beri aku
petunjuk lebih lanjut.”
Lama
Pangeran Soma menatap sosok tubuh Ki Hok Kui yang terlentang di dasar lobang
pada ujung terowongan buntu. “Lukanya akan membusuk… dia akan mati. Tuhan,
dengan kuasaMu aku ingin menolongnya. Dengan kuasaMu selamatkan nyawa orang
ini.”
Tangan
kanan Pangeran Soma bergerak ke arah satu gundukan batu merah runcing di
samping kirinya.
”Traakkk!”
Ujung
runcing itu dipatahkannya. Lalu tangannya meremas. Perlahan-lahan tangan itu
diturunkan sedalam mungkin ke dalam lobang batu. Lalu lima kali berturutturut
genggamannya dibuka. Pada genggaman pertama batu merah yang telah jadi bubuk
jatuh bertabur dan masuk ke dalam mulut Ki Hok Kui. Taburan kedua dan ketiga
jatuh pada buntungan luka di tangan kiri kanan. Bubuk-bubuk batu merah keempat
dan kelima menyiram di atas luka buntung dua kaki Ki Hok Kui. Dari mulut dan
empat bagian tubuh yang kejatuhan bubuk batu merah itu kelihatan keluar kepulan
asap. Pangeran Soma menarik napas lega. “Tuhan, Kau tolong orang ini…”
Namun
kelegaan Raja Obat Delapan Penjuru Angin ini hanya sesaat. Tiba-tiba dia
merasakan batu merah tempatnya berpijak bergetar keras. Tubuhnya
tergontai-gontai. Pemandangannya nanar. Sepasang lututnya bergoyang goyah.
Makin lama getaran itu semakin keras.
“Gempa!”
seru Pangeran Soma.
”Rrrrrkkkk…
Kraaaakkkk!”
Pangeran
Soma cepat membuang diri ke samping agar tidak terjerembab masuk ke dalam
lobang batu. Untuk beberapa lamanya dia duduk terhenyak di antara dua gundukan
batu merah. Ketika getaran lenyap tanda gempa berakhir perlahan-lahan dia
berdiri. Yang diperhatikannya pertama kali adalah lubang batu itu. Begitu dia
memandang ke dalam berubahlah paras sang Pangeran.
Sosok
tubuh Ki Hok Kui tidak ada lagi di dasar lobang. Dasar lobang itu sendiri kini
kelihatan terbelah rengkah.
”Tubuh
orang itu pasti jatuh ke dalam terowongan sebelah bawah. Aku tak mungkin
menolongnya. Hanya kuasa Tuhan yang mampu menyentuhnya…”
Perlahan-lahan
Pangeran Soma bangkit berdiri. Sambil melangkah mundur melewati celah dua batu
runcing kedua matanya masih terus memandangi lobang batu itu.
****************
BAB III
DUA kuda
hitam berlari kencang menembus kabut dini hari. Kegelapan perlahanlahan sirna
begitu sang surya muncul menyapu permukaan lereng gunung. Kabut pun menghilang.
Butiran-butiran embun di dedaunan menguap pupus. Dua penunggang kuda seolah
berpacu agar lebih dulu sampai di puncak gunung Merapi. Bau busuk aneh
membersit mengikuti kemana mereka pergi. Bila seseorang tidak tahu siapa adanya
mereka atau tidak pernah melihat tampang-tampang keduanya pastilah akan menduga
bahwa jangan-jangan dua orang ini bukan manusia tetapi sebangsa setan atau jin
yang gentayangan sejak pagi buta.
Penunggang
kuda di sebelah kanan mengenakan jubah hitam. Mata kanannya besar mendelik
sedang mata kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah licin di bagian kiri
tapi berambut tebal awut-awutan di sebelah kanan. Pada keningnya orang ini
memiliki tiga guratan aneh. Wajahnya yang garang seram menyerupai setan
tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.
Temannya
yang memacu tunggangannya di sebelah kiri mengenakan pakaian terbuat dari kain
tebal kotor dan rombeng. Mukanya tak kalah mengerikan dari kawannya karena
penuh cacat seperti daging dicacah. Selain itu bagian bawah kelopak kedua
matanya menggembung merah dan selalu basah. Antara dua mata yang seram tapi
juga menjijikkan ini terpancang satu hidung tinggi bengkok seperti paruh burung
elang. Kedua lengannya penuh bulu. Jari-jarinya bukan seperti jari manusia
karena berbentuk cakar dengan kuku-kuku hitam panjang mengandung racun. Di
punggungnya tergantung satu kantong kain yang tadinya berwarna putih tapi kini
kelihatan merah oleh noda darah yang mulai mengering. Entah apa isinya
bungkusan ini tapi yang jelas dari bungkusan itulah membersit sumber bau sangat
busuk itu! Dari ciri-ciri dua orang ini jelas mereka bukan lain adalah dua
bersaudara sumpah darah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
Seperti
dituturkan dalam Episode II (Wasiat Dewa) mereka ditipu oleh Pangeran Matahari
sehingga menenggak racun yang akan membunuh mereka dalam tempo 300 hari. Sang
Pangeran tidak percaya bahwa dua kaki tangannya itu telah benar-benar berhasil
membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng kecuali jika mereka
mampu membawa ke hadapannya kepala Pendekar 212. Selama hal itu tidak mereka
laksanakan maka Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tidak akan mendapatkan obat
pemusnah racun. Jadi mereka hanya tinggal menunggu mati saja.
“Saudaraku
Elang Setan!” berseru Tiga Bayangan Setan. “Bagaimana kalau Pangeran celaka itu
tidak memberikan obat pemusnah racun tiga ratus hari yang mendekam dalam tubuh
kita?!”
Elang
Setan menyeringai. “Kali ini kurasa dia tidak punya alasan. Kalaupun dia
mungkir aku sudah nekad untuk mengadu jiwa! Bagaimana dengan kau?!”
“Aku akan
bertindak lebih cerdik darimu!” jawab Tiga Bayangan Setan.
”Hemmm…
apa maksudmu?!”
“Aku akan
berusaha mencuri Kitab Wasiat Iblis yang dimilikinya terlebih dulu. Selama
kitab sakti itu berada di tangannya sulit bagi kita untuk membunuhnya. Ingat
peristiwa di dekat sumur batu di bukit itu waktu dia membunuh Iblis Tua Ratu
Pesolek? Kitab iblis itu tidak bisa dibuat main!”
“Kau
betul,” kata Elang Setan pula. “Kita harus memancingnya demikian rupa. Kalau
dia sudah dibikin mampus pada salah satu kantong pakaiannya pasti akan kita
temui obat pemusnah racun itu!”
Jalan
menuju ke puncak gunung semakin mendaki tajam, penuh dengan batu-batu terjal.
Di satu tempat kedua orang ini turun dari kuda masing-masing, melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Mereka sama sekali tidak memperdulikan indahnya
pemandangan di kejauhan. Yang mereka pikirkan saat itu adalah secepatnya
mencapai puncak gunung Merapi tempat kediaman Pangeran Matahari guna
menyelesaikan urusan. Sementara itu di puncak gunung, tak berapa jauh dari
sebuah bangunan dua orang gadis asyik bermain air di telaga dangkal berair
jernih dan sejuk. Rambut mereka yang panjang basah riap-riapan di punggung
mereka yang putih. Tiba-tiba gadis di sebelah kanan berbisik pada gadis
satunya.
“Pangeran
datang…”
“Hemmmm…Kalau
begitu kau pergilah. Bukankah hari ini giliranku untuk bersenang-senang
dengannya?”
“Jangan
berkata begitu. Apa kau lupa sang Pangeran seorang lelaki kuat perkasa?!”
“Gila,
aku tak suka bercumbu kalau ada gadis lain di dekatku!”
Gadis di
sebelah kanan tertawa geli. “Apa kau lupa kita ini sebenarnya sudah bukan gadis
lagi? Kita telah memberikan semua yang kita miliki pada pangeran itu!”
“Terserah
kau mau bicara apa. Tapi aku tidak sudi dia mencumbu kita berdua sekaligus…”
“Jangan
bodoh, mengapa kau sengaja melewatkan pengalaman yang sangat hebat ini?!”
Pemuda
bertubuh kekar, berambut tebal hitam yang melangkah cepat menuju telaga
sunggingkan senyum lalu berseru.
“Kekasih-kekasihku
cantik! Mengapa kalian mendahului mandi di telaga?”
“Maafkan
kami Pangeran.” jawab gadis yang berada di tepi telaga. ”Pangeran kami lihat
masih tidur nyenyak. Mana kami berani membangunkan.”
“Pangeran
tampak letih. Kami sengaja membiarkan agar Pangeran bisa istirahat…”
menambahkan gadis satunya.
“Aku
Pangeran Matahari letih?” Lelaki itu tertawa gelak-gelak lalu buka mantel
hitamnya. “Akan aku buktikan pada kalian berdua saat ini juga bahwa aku tidak
pernah mengenal letih!”
Gadis di
pinggir telaga tersenyum genit sedang kawannya tampak bersemu merah wajahnya.
Pangeran
Matahari buka mantel hitamnya. Ketika bajunya ditanggalkan dua gadis melihat
sebuah kitab hitam terikat di dadanya yang tegap berotot dan berbulu.
“Pangeran…
Kau selalu membawa kitab itu kemana kau pergi. Rupanya kitab itu sangat penting
bagimu…”
“Kitab
ini merupakan nyawa kedua bagiku!” jawab Pangeran Matahari seraya meletakkan
pakaiannya di tepi telaga. Kitab Wasiat Iblis diletakkannya hati-hati sekali di
atas bajunya lalu dibungkusnya dengan baju itu.
Air
telaga muncrat menyiprat ke atas ketika pemuda itu melompat masuk ke dalam
telaga. Dua gadis berpekikan. Yang satu merasa gembira dan langsung mendekati
sang Pangeran. Gadis kedua tertegun di tengah telaga dengan muka merah.
Tiba-tiba dia melihat dua sosok mendatangi dari arah kiri telaga.
“Pangeran,
ada yang datang…” Si gadis memberi tahu.
Pangeran
Matahari palingkan kepala. “Jahanam-jahanam itu datang pada waktu yang salah!”
rutuk Pangeran Matahari. Lalu hidungnya mencium bau busuk.
Elang
Setan dan Tiga Bayangan Setan nampak terkejut ketika mendapatkan orang yang
mereka cari ternyata tidak sendirian berada di telaga itu. Walau ada firasat
sang Pangeran akan marah besar namun mereka tidak mau melepaskan pandangan mata
dari dua sosok tubuh bagus dua gadis yang ada dalam telaga, yang satu malah
berada dalam dekapan Pangeran Matahari.
”Bangsat!
Siapa yang menyuruh kalian kemari?!” bentak Pangeran Matahari.
“Kami
tidak menemuimu di rumah sana lalu datang ke sini. Mohon maafmu Pangeran karena
tidak mengira kalau kau tidak sendirian di sini…” jawab Elang Setan.
“Jangan
berani melangkah lebih dekat! Kembali ke rumah dan tunggu aku di sana!”
“Kami
akan menunggu sesuai perintahmu Pangeran,” jawab Elang Setan seraya membungkuk.
Tiga Bayangan Setan juga ikut membungkuk memberi hormat.
“Tunggu
dulu! Apa kalian datang membawa berita baik?!”
Elang
Setan mengangguk. Dia angkat bungkusan kain yang dipanggulnya di bahu kiri. Bau
busuk menyengat membuat dua gadis cepat menutup hidung.
“Hemmmmm…”
Pangeran Matahari menyeringai. “Kalau begitu kalian lekas ke rumah. Aku segera
menyusul!”
“Pangeran!
Kita belum mandi bersama. Kita belum…” berkata gadis dalam rangkulan Pangeran
Matahari.
Sang
Pangeran lepaskan rangkulannya. Setelah membenamkan hidungnya di celah dada si
gadis dia berbisik.
“Ada
urusan sangat penting. Aku tak akan lama. Kalian berdua tetap di sini. Aku
segera kembali!”
Si gadis
mengikuti kepergian Pangeran Matahari dengan pandangan kecewa. Dia berpaling
pada temannya di tengah telaga. Lalu dengan muka cemberut dia berkata. “Dua
manusia bermuka setan dan bau busuk itu rupanya lebih penting daripada kita
berdua.”
“Aku
punya firasat sesuatu yang mengerikan akan terjadi,” jawab gadis di tengah
telaga lalu berenang menuju ke tepian. “Bagaimana kalau kita tinggalkan saja
tempat ini.”
“Tinggalkan
tempat ini? Jangan bertindak bodoh sahabatku. Kita belum sempat
bersenang-senang. Belum menerima hadiah… Kalau Pangeran membatalkan janjinya
malanglah nasib kita!”
“Terus
terang aku tidak percaya pada janji pemuda itu. Selain kita dia punya beberapa
perempuan peliharaan dan kekasih gelap. Salah satu diantaranya gadis cantik
berbadan harum yang mengenakan pakaian tipis warna biru itu.”
”Sebagian
dari ucapanmu ada betulnya. Kalaupun kita tidak dikawini kurasa sudah kepalang
tanggung untuk mundur. Sasaran kita sekarang adalah uang perhiasan dan harta
lainnya. Dan dengar… Jangan sekali-kali kau berani meninggalkan tempat ini.
Kalau Pangeran bilang tunggu di sini kita harus menunggu. Nyawa manusia baginya
tidak lebih berharga dari nyawa seekor lalat…”
Ketika
Pangeran Matahari sampai di bangunan di puncak gunung Merapi, Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan yang duduk di tangga depan segera berdiri. Sang Pangeran
memperhatikan bungkusan yang dipanggul Elang Setan sesaat lalu bertanya.
“Berita
baik apa yang kalian bisa sampaikan padaku? Kalian berhasil mendapatkan kepala
musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Kami
bernasib mujur Pangeran. Perintah Pangeran telah kami laksanakan dengan baik!”
jawab Tiga Bayangan Setan lalu memberi isyarat pada Elang Setan dengan
anggukkan kepala.
Elang
Setan turunkan kantong kain yang dipanggulnya lalu meletakkannya di lantai
bangunan. Bau busuk memancar santar. Perlahan-lahan Elang Setan membuka ikatan
kantong, ketika kantong ditunggingkannya menggelindinglah potongan kepala
manusia di atas lantai. Bau busuk menghampar bukan olah-olah.
“Pangeran
saksikan sendiri…!” kata Elang Setan sambil menyeringai sementara Tiga Bayangan
Setan lantas saja tegak sambil berkacak pinggang. Sepasang mata Pangeran
Matahari membuka besar besar. Di lantai dua langkah di hadapannya tergeletak
potongan kepala manusia berlumuran darah. Rambutnya panjang hitam awut-awutan.
Pada keningnya ada ikatan kain putih. Sang Pangeran membungkuk sedikit agar
dapat meneliti lebih jelas. Satu seringai tersungging di mulutnya.
Perlahanlahan dia berpaling pada Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
“Kalian
manusia-manusia hebat!” memuji Pangeran Matahari. Lalu tertawa bergelak.
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan ikut-ikutan tertawa.
“Ini
memang kepala si keparat Pendekar 212 itu!” ujar Pangeran Matahari pula dengan
wajah berseri. ”Sekarang siapa yang bisa menandingiku dalam rimba persilatan?!”
”Tak
seorangpun Pangeran! Kau sekarang jadi raja di raja dunia persilatan!” kata
Elang Setan.
Pangeran
Matahari kembali memandang pada potongan kepala di lantai. “Aku percaya itu
memang kepala pendekar bangsat itu! Aku kenal betul wajahnya!”
“Kami
gembira kalau kini Pangeran bisa percaya bahwa Pendekar 212 sudah tamat
riwayatnya! Mati di tangan kami dua bersaudara!”
“Ya… ya
aku percaya!” kata Pangeran Matahari pula seraya mengusap-usap telapak
tangannya satu sama lain.
Elang
Setan melirik pada Tiga Bayangan Setan lalu mendehem beberapa kali.
“Pangeran,
turut perjanjian saat ini tentunya kami akan menerima obat pemusnah racun tiga
ratus hari itu…” kata Tiga Bayangan Setan pula.
Pangeran
Matahari menyeringai. “Kalian rupanya benar-benar takut mati! Tak usah
khawatir, janji akan kutepati. Malah kalian akan kuberi hadiah besar!”
“Terima
kasih Pangeran! Terima kasih!” kata Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan
berbarengan sambil membungkuk berulang kali. Sang Pangeran meraba ke balik
mantel hitamnya. Dari sebuah tabung kecil terbuat dari bambu dikeluarkannya dua
butir obat berwarna merah lalu satu demi satu diserahkannya pada kedua orang
bermuka setan di hadapannya itu. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat
menyambut! Namun setelah memegang obat itu mereka tidak segera menelannya. Ada
keraguan pada tampang masing-masing.
“Kalian
tidak mempercayai diriku?!” Pangeran Matahari membentak.
“Ka… kami
tidak bermaksud begitu Pangeran. Cuma mengingat telah dua kali kau menjalankan
muslihat…”
“Keparat!
Muslihat adalah permainan iblis! Aku bukan iblis! Kalau kalian mau mampus buang
saja obat itu!” Pangeran Matahari membentak dengan mata membeliak.
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan serta merta menelan obat yang ada dalam
genggaman mereka. Keduanya tampak pucat ketika mendadak merasa ada hawa panas
menjalar di saluran tenggorokan terus merambat ke perut. Namun perlahan-lahan
hawa panas itu lenyap berganti dengan rasa sejuk.
”Terima
kasih Pangeran…” kata Elang Setan.
”Mengenai
hadiah yang tadi kau katakan itu…” berucap Tiga Bayangan Setan.
Pangeran
Matahari menyeringai. ”Hemmm….Ada dua gadis cantik bertelanjang dalam telaga.
Kalian telah melihatnya, betul…?”
”Benar,
kami telah melihatnya Pangeran!”
”Itu
hadiah besar buat kalian! Kalian boleh memperlakukan apa saja terhadap mereka.
Termasuk membunuhnya! Kalau kalian tega… Ha… ha… ha…!”
Habis
berkata begitu Pangeran Matahari jambak rambut potongan kepala Pendekar 212
lalu melangkah menuruni tangga. Akan halnya Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan
tidak tunggu lebih lama lagi segera menghambur lari menuju telaga. Dua gadis di
dalam telaga tentu saja menjerit ketakutan begitu dua manusia bermuka setan ini
muncul, membuka pakaian dengan cepat lalu menceburkan diri ke dalam air dan
langsung menubruk mereka dan menyeretnya ke tepi telaga. Sekonyong-konyong ada
bayang-bayang jatuh di sekitar mereka. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan
memandang ke langit.
”Dia!”
teriak Elang Setan seraya menunjuk ke atas.
****************
BAB IV
TIGA
Bayangan Setan tak kalah kagetnya. Di udara saat itu tampak tujuh buah payung
melayang dalam keadaan terkembang. Pada gagang payung warna merah bergantung
seorang gadis cantik berpakaian biru berkembang-kembang kuning. Payung merah
melayang turun lebih cepat sementara enam payung lainnya menebar seolah
melindungi payung merah dan si gadis.
“Dia
berani muncul! Benar-benar minta mampus!” kata Tiga Bayangan Setan.
Rahangnya
menggembung dan gerahamnya bergemeletakan. Sejak dirinya dibuat cidera pada
perkelahian beberapa waktu lalu di muara Kali Opak dendam manusia setan ini
terhadap gadis berpayung itu memang bukan main-main. Begitu juga sobatnya si
Elang Setan. Tapi saat itu Elang Setan yang biasanya berangasan entah mengapa
bisa berpikiran lebih jernih. Dia cepat memegang bahu sahabatnya seraya berbisik.
“Kalau
mengikuti dendam kita berdua memang harus memperkosanya lalu menggebuknya
sampai hancur luluh! Tapi lebih baik saat ini kita menghindari…”
“Jangan
bicara ngaco Elang Setan!” hardik Tiga Bayangan Setan.
“Tenang
sobatku! Pakai pikiran sehat! Dua gadis cantik yang sudah ada di tangan ini
belum sempat kita nikmati. Mengapa merepotkan diri mencari urusan dengan gadis
berpayung itu?! Jangan lupa Pangeran Matahari masih berada di puncak gunung
ini. Mendadak dia tahu kita memuslihatinya urusan bisa kapiran!”
Pelipis
Tiga Bayangan Setan bergerak-gerak.
”Kau
betul. Baik, mari kita boyong gadis-gadis ini lalu tinggalkan tempat ini!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan yang dalam keadaan bugil yang segera memanggul
dua gadis yang juga tanpa pakaian sama sekali. Keduanya bergerak cepat
meninggalkan telaga setelah terlebih dulu menyambar pakaian masing-masing. Dua
gadis yang mereka panggul menjerit-jerit tiada hentinya.
”Dua
setan telanjang! Jangan pergi dulu!” seru gadis yang bergelantungan di payung
merah yang tentu saja adalah Puti Andini bergelar Dewi Payung Tujuh.
”Jahanam!”
maki Tiga Bayangan Setan dan cepat menyusup di antara semak belukar.
”Hai! Aku
hanya ingin bertanya!” teriak Puti Andini.
”Bertanyalah
pada iblis telaga!” teriak Elang Setan.
”Apakah
kalian telah menemukan mayat Pendekar 212?!”
”Hah! Itu
yang hendak kau tanyakan!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ketahuilah kami bukan
cuma menemukan mayat pemuda itu tapi juga telah menebas batang lehernya dan
menyerahkan potongan kepalanya pada seseorang!”
Paras
Puti Andini berubah, hatinya berguncang, tapi pikirannya tak lekas terpengaruh.
“Mungkin dua bangat itu tidak berdusta. Ah, celaka kalau begini. Makin berat
dan besar urusanku! Bagaimana caranya sekarang aku mencari jejak Kitab Putih
Wasiat Dewa itu!” Si gadis memandang ke bawah. Sosok Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan masih terlihat di sela-sela pepohonan dan semak belukar. Maka dia
berteriak kembali. “Kepada siapa kalian serahkan kepala Pendekar 212?!”
“Kau
punya kepandaian tinggi! Silahkan menyelidik sendiri!” jawab Tiga Bayangan
Setan.
“Atau
tanya pada setan neraka!” teriak Elang Setan.
“Gadis
sakti! Tolong kami!” Gadis yang berada di panggulan Elang Setan tibatiba
berteriak minta tolong.
“Kalian
gadis-gadis sesat! Memilih hidup jadi pelacur! Perlu apa aku merepotkan diri
menolong kalian!” jawab Dewi Payung Tujuh yang jadi jengkel oleh jawaban dua
bersaudara sumpah darah tadi. Lalu dia kembali berseru pada Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan. “Jika kalian tidak mau memberi tahu tentang Pendekar 212 tak
jadi apa. Jawab pertanyaanku yang satu ini! Apakah puncak gunung int tempat
kediaman orang sakti bergelar Pangeran Matahari?!”
“Ha… ha!
Kau rupanya hendak bergendak dengan sang Pangeran!” berseru Elang Setan. “Kau
memang cocok jadi peliharaannya!”
“Tapi
hati-hati! Sekali dia sudah bosan padamu, kau akan dipesianginya mentahmentah!”
menimpali
Tiga Bayangan Setan. “Walau kau punya tujuh nyawa dan kepandaian setinggi
langit, jangan harap bisa menghadapi keganasan Kitab Wasiat Iblis yang
dimilikinya!”
“Hemmm…
jadi benar kabar yang kusirap. Kitab Wasiat Iblis itu telah jatuh ke tangan
Pangeran Matahari,” Kata Puti Andini dalam hati. ”Aku punya dugaan mungkin
sekali Pangeran Matahari yang memerintah mereka menebas kepala Pendekar 212
lalu diserahkan padanya. Dua manusia setan itu tidak punya daya karena mereka
berada dalam kekuasaan sang Pangeran. Bukankah waktu di pantai tempo hari aku
lihat ada tanda keracunan di bibir mereka?”
Tak lama
kemudian Puti Andini melayang turun menjejakkan kedua kakinya yang berkasut
kulit di tepian telaga. Enam payung sengaja dibiarkannya mengambang
berputar-putar di udara. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tak kelihatan
lagi. Sayupsayup masih terdengar jeritan-jeritan dua gadis yang mereka boyong
namun Puti Andini tidak peduli.
Sambil
memegangi payung merah di atas kepala dia memandang berkeliling.
“Sunyi…
tenang, serba hijau dan segar…” katanya dalam hati. “Tapi di balik semua itu
aku mencium sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang mengerikan di tempat ini…
Hemm, jika keterangan dua manusia setan itu bahwa Pendekar 212 benar-benar
sudah tewas dapat dipercaya, berarti aku akan kehilangan jejak penuntun.
Sebenarnya dia bisa kujadikan sahabat untuk mendapatkan kitab sakti itu. Kini
putus harapanku menyusuri jejak Kitab Putih Wasian Dewa, apalagi
mendapatkannya. Guru pasti akan memarahiku setengah mati. Ah, mengapa dia
memberi tugas begini berat padaku? Tuhan, cobaan apa lagi yang akan aku
hadapi…?”
Selagi
dia memandang berkeliling sekali lagi sekonyong-konyong terdengar suara
bentakan-bentakan di kejauhan. “Ada orang lain di tempat ini. Pangeran
Matahari…?”
desis
Puti Andini dalam hati. Lalu dia mendongak. Seolah bicara pada manusia saja,
dia berkata pada enam payung yang mengambang dan berputar-putar di udara.
“Kalian jangan tertipu angin. Jangan berani kemana mana. Tunggu tanda atau
tunggu sampai aku datang!” Habis berkata begitu gadis ini cepat berkelebat ke
arah datangnya suara bentakan tadi. Dia hentikan langkahnya di balik serumpunan
semak belukar lebat. Bau busuk menghampar menusuk hidung.
Memandang
ke depan dilihatnya sebuah bangunan. Di hadapan bangunan ini terdapat halaman
dan di tengah halaman terpampang satu pemandangan yang membuat Puti Andini
mendelik, berubah pucat wajahnya dan dingin tengkuknya!
Sebatang
tiang bambu menancap di tengah halaman. Pada ujung atas tiang ini menancap
potongan kepala manusia. Inilah rupanya sumber bau busuk yang menyengat itu.
Walau wajahnya tertutup rambut gondrong awut-awutan serta noda darah yang telah
membeku namun Puti Andini masih bisa mengenali. Wajah itu adalah wajah Pendekar
212 Wiro Sableng!
Mendadak
saja si gadis merasakan dadanya berdebar keras dan sesak. “Dua manusia setan
itu tidak berdusta! Mereka memang benar-benar telah memenggal kepala Pendekar
212…!” Puti Andini terduduk terhenyak di tanah di balik semak belukar.
“Walau
guru menyuruh aku membunuhnya, sebetulnya aku tidak ada permusuhan dengan
pemuda itu Belakangan ini aku selalu ingat padanya. Wajahnya sering muncul
dalam bayanganku…” Puti Andini menarik nafas dalam berulang kali. Tanpa
disadarinya sepasang matanya berkaca-kaca. “Untuk terakhir kali aku ingin
mengurus jenazahnya.
Aku hanya
melihat kepalanya. Dimana gerangan badannya…? Mungkin di dalam bangunan? Milik
siapa bangunan itu? Tempat kediaman Pangeran Matahari?”
Selagi
berpikir seperti itu tiba-tiba bayangan hitam berkelebat keluar dari dalam
bangunan. Sesaat kemudian Puti Andini melihat seorang pemuda gagah bertubuh
tinggi kekar berdiri di tengah halaman. Tampangnya yang keras kelihatan merah
mengelam, Pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang matanya menyorotkan hawa
amarah. Orang ini mengenakan mantel hitam. Pada baju hitamnya yang tersingkap
di balik mantel terpampang gambar gunung biru dan matahari kuning.
”Pangeran
Matahari… Pasti dia!” membatin Puti Andini.
“Bangsat!
Jahanam keparat! Berani dia memuslihati diriku!” orang bermantel yang bukan
lain Pangeran Matahari adanya membentak sambil hantamkan kaki kanannya ke
tanah.
Puti
Andini terkesiap ketika melihat bagaimana tanah yang terkena hempasan kaki
melesak sampai setengah jengkal dan berwarna kehitaman.
”Manusia
ini memiliki tenaga dalam tidak di bawah tingkat yang dimiliki guru…” kata Puti
Andini dalam hati.
”Tiga
Bayangan Setan! Elang Setan! Kalian bisa kabur dari puncak Merapi! Tapi kalian
tidak bisa lolos dari kematian! Akan kukelupas kulit tubuhmu! Kucincang daging
serta tulang kalian! Bangsat! Setan! Kurang ajar! Mengapa aku sampai berlaku
bodoh! Seharusnya obat penawar racun tiga ratus hari itu tidak aku berikan pada
mereka!”
Pada
puncak kemarahannya Pangeran Matahari melompat ke atas. Tangan kanannya
menyambar rambut potongan kepala yang menancap di ujung bambu. Dengan geram
potongan kepala Pendeka 212 itu dibantingkan ke tanah.
“Praaakkk!”
Potongan
kepala rengkah lalu menggelinding ka arah semak belukar di balik mana Puti
Andini mendekam bersembunyi. Gadis ini merasakan tubuhnya menggigil berada
sedekat itu dengan potongan kepala. Dia menekap mulutnya agar tidak
mengeluarkan suara. Matanya membeliak memandangi potongan kepala Pendekar 212
itu.
Untuk
beberapa lamanya Pangeran Matahari masih menyumpah sambil melangkah mundar
mandir di halaman bangunan. Tiba-tiba dia ingat.
“Dua
bangsat itu! Mereka pasti masih berada di telaga. Bersenang-senang dengan dua
gadis yang kuhadiahkan! Jahanam! Kalian akan rasakan tanganku! Sekarang kalian
dapat sorga, sebentar lagi akan kusumpalkan neraka ke pantat dan sekujur tubuh
kalian!”
Dengan
beringas Pangeran Matahari berkelebat menuju ke telaga. Sampai di telaga dia
bukan saja tidak menemukan Tiga Bayangan Setan dan dua gadis itu tapi justru
disambut oleh satu pemandangan. Sepasang alis mata Pangeran Matahari
berjingkrak ke atas. Keningnya mengernyit dan dua matanya membeliak. Di atas
tepian telaga enam buah payung berbagai warna melayang berputar-putar.
“Enam
payung warna-warni…” desis sang Pangeran. Lalu satu persatu menyebut warna
payung itu. ”Hitam, hijau, kuning, biru, putih, ungu… Mana satu lagi yang
berwarna merah…” Dia memandang berkeliling. “Jadi betul keterangan yang kudapat
tempo hari. Dewi Payung Tujuh berada di tempat ini…”
Pangeran
Matahari memandang berkeliling dengan mata membeliak tajam. Lalu dia berteriak.
“Dewi Maling Tujuh! Aku tahu kau ada di tempat ini! Harap perlihatkan diri!
Jadi tamu jangan menyelinap seperti tikus comberan!”
Tak ada
jawaban. Pangeran Matahari berteriak sekali lagi. Tetap tak ada jawaban.
”Jahanam!”
makinya. Lalu dia berlari kembali ke tempat kediamannya. Di halaman bangunan
hanya kesunyian menyambutnya. Tak kelihatan siapapun. Namun dia merasakan suatu
kelainan. Dekat potongan kepala Pendekar 212 yang tercampak di tanah tergeletak
satu benda lain seperti kertas.
Begitu
Pangeran Matahari tadi meninggalkan tempat itu, Puti Andini menyibak semak
belukar agar lebih jelas melihat potongan kepala itu. Tidak syak lagi itu
memang kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun! Matanya yang tajam melihat
sesuatu. Dia teringat pada caci maki Pangeran Matahari yang menyumpahi Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan yang dituduh telah memuslihati menipunya.
”Ada
keanehan pada bagian leher itu. Sepertinya kulit luar tidak menyatu dengan
daging di sebelah dalam…” Puti Andini memandang ke jurusan lenyapnya Pangeran
Matahari tadi lalu dengan cepat keluar dari semak-semak. Sambil menahan napas
tangannya yang gemetaran diulurkannya. Matanya dipejamkan begitu jari-jarinya
menyentuh kulit leher pada bagian yang terpotong. Tengkuknya terasa dingin dan
jantungnya berdegup keras menahan rasa ngeri. Puti Andini sentakkan jari-jari
tangannya dua kali.
“Sreettt!
Srettt!”
Terdengar
dua kali suara seperti benda robek. Ketika kemudian dia membuka matanya
terbeliaklah gadis ini. Sebagian dari kulit leher dan kulit wajah potongan
kepala yang tadi disentakkannya kini terkelupas. Kelupasannya berada dalam
pegangannya! Dan wajah asli potongan kepala itu walau tidak tersibak
keseluruhannya tapi cukup jelas terlihat.
“Bukan
wajah Pendekar 212…” desis Puti Andini. Matanya lalu memandangi kelupasan kulit
muka yang dirobeknya. “Topeng tipis. Dua manusia setan itu ternyata memang
benar memuslihati Pangeran Matahari. Potongan kepala orang lain diberi topeng
tipis menyerupai wajah Pendekar 212…”
Puti
Andini campakkan robekan topeng tipis lalu secepat kilat menyelinap
meninggalkan tempat itu. Hanya beberapa saat saja setelah dia berkelebat pergi
Pangeran Matahari muncul kembali. Dia mengobrak abrik semak belukar di sekitar
halaman. Berkelebat menyelidik kian kemari.
“Kurang
ajar! Aku yakin tadi dia pasti ada di sini!” maki sang Pangeran.
Kemudian
diperhatikannya potongan kepala yang menggeletak di tanah. Di dekat potongan
kepala itu ada secarik benda seperti kertas atau kulit. Pangeran Matahari
melangkah mendekati. “Dia merobek topeng tipis di potongan kepala. Hemm.
Agaknya Dewi Payung Tujuh tengah melakukan satu penyelidikan. Mungkin dia
tengah mencari Kitab Wasiat Iblis? Tapi mengapa tidak berani unjukkan diri.
Malah kabur? Akan aku hancurkan enam payungnya yang ditinggal di tepi telaga!”
Pangeran
Matahari cepat kembali ke telaga namun dia kecewa dan marah besar. Saat itu dia
mendengar suara suitan keras enam kali berturut-turut. Datangnya dari udara.
Ketika dia mendongak enam payung yang tadi mengambang di sekitar telaga kini
kelihatan membubung cepat ke udara. Payung ke tujuh berwarna merah berada
paling atas dan pada tangkai payung bergantung gadis cantik berpakaian biru
berkembangkembang. Si gadis melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa
mengejek.
Dalam
marahnya Pangeran Matahari hantamkan kedua tangannya ke udara lepaskan pukulan
”Telapak Matahari”. Terdengar dua suara mendesis berbarengan. Bersamaan dengan
itu dua rangkum angin menebar hawa panas menderu ke udara. Sudah dapat
dibayangkan oleh Pangeran Matahari bahwa enam payung akan hancur lebur dihantam
pukulan saktinya dan si gadis akan cidera berat. Namun dugaannya meleset. Sang
Pangeran lupa memperhitungkan jarak yang terpisah antara dia dengan sasaran.
Saat itu tujuh payung dan Puti Andini sudah terlalu jauh di udara. Walaupun dua
serangan saktinya masih sanggup mencapai sasaran namun daya kekuatannya tak
mampu menciderai. Malah secara luar biasa enam buah payung tiba-tiba berputar
lalu menukik ke bawah membentengi payung merah dan Puti Andini.
“Kurang
ajar! Dewi Payung Tujuh! Apa kau kira bisa lolos dari kematian?!” teriak
Pangeran Matahari.
Lalu dia
busungkan dada dan kerahkan tenaga dalam ke tempat terletaknya Kitab Wasiat
Iblis.
”Bunuh!”
perintah Pangeran Matahari.
Dada dan
Kitab Wasiat Iblis sesaat menjadi panas namun hawa panas itu cepat meredup dan
lenyap. Dari kitab sakti di dadanya sama sekali tidak keluar sinar sakti yang
diharapkan. Pangeran Matahari lipat gandakan tenaga dalamnya. Malah sambil
menepuknepuk kitab itu dia berteriak berulang kali.
“Bunuh!
Bunuh!”
Tidak
terjadi apa-apa. Tak ada sinar maut mencuat keluar dari dada sang Pangeran.
”Kitab
Wasiat Iblis!” desis Pangeran Matahari dengan suara bergetar. “Apa yang
terjadi?! Apa kitab ini telah hilang kesaktiannya?” Saking geramnya
disibakkannya mantel hitamnya lalu dirobeknya baju hitamnya. Kitab Wasiat Iblis
yang diikatkannya di dada tersingkap. Sekali lagi dia mengerahkan tenaga dalam
penuh dan berteriak.
“Bunuh!”
Tetap
saja tidak terjadi apa-apa!
Tampang
sang Pangeran menjadi gelap. Rahangnya menggembung. Kitab Wasiat Iblis
direnggutkannya dari dadanya. Kalau mengikuti kemarahannya mau dia merobek dan
membanting kitab sakti itu ke tanah. Dengan tubuh bergetar akhirnya dia
terduduk di sebuah batu di tepian telaga. Kitab Wasiat Iblis diletakkannya di
pangkuannya dan dipandanginya dengan mata melotot. Sebelumnya sang Pangeran
telah beberapa kali menyaksikan bagaimana Kitab Wasiat Iblis itu secara luar
biasa mengeluarkan sinar maut yang sanggup membunuh. Beberapa orang tokoh silat
kawakan telah menjadi korbannya.
Diantaranya
Iblis Tua Ratu Pesolek (Episode I: Wasiat Iblis) dan Datuk Sengkang Makale
alias Hantu Tinggi Pelebur Jiwa (Episode II: Wasiat Dewa) tanpa dia berbuat
suatu apapun. Sinar kematian itu keluar dari Kitab Wasiat Iblis begitu saja
menghantam mati lawan-lawannya. Sekarang mengapa kesaktian kitab itu tidak
keluar? Sang Pangeran tidak mengetahui bahwa walau kitab itu memiliki kesaktian
dan kekuatan membunuh luar biasa namun jika dirinya tidak diserang maka
kesaktian yang terkandung dalam kitab itu tidak akan keluar! Sekali seseorang
menyerang dan siapa saja yang memegang Kitab Wasiat Iblis terancam
keselamatannya maka barulah kekuatan sakti yang ada di dalam kitab dengan
sendirinya akan keluar mendahului membunuh lawan! Penuh kecewa sang Pangeran
duduk termenung sambil sekali-sekali menjambak rambutnya yang tebal.
”Mungkin
ini disebabkan aku tidak melakukan puasa selama tiga kali malam Jum’at Kliwon
seperti yang dikatakan dalam kitab…” pikir Pangeran Matahari. Namun hatinya
meragu. “Pada saat kitab itu aku dapatkan, tanpa puasa kesaktiannya telah
sanggup membunuh Iblis Tua Ratu Pesolek. Sekarang mengapa bisa jadi begini…?”
Inilah
kali pertama dalam hidupnya Pangeran Matahari menjadi sangat bingung.
Perlahan-lahan dia berdiri tinggalkan telaga. Kitab Wasiat Iblis dimasukkannya
kembali ke balik baju hitamnya yang robek.
****************
BAB V
SUARA
seorang bernyanyi itu datang dari salah satu bukit batu di sebelah timur pulau.
Cukupi jauh dari tempat Wiro berada saat itu. Dia memasang telinga baik-baik,
berusaha mendengar jelas setiap bait nyanyian yang dilantunkan.
Laut
selatan tak pernah tenang
Gelombang
selalu datang menantang
Ribuan
pagi ribuan petang
Tubuh
lapuk ini menunggu kedatangan
Yang
menunggu tua renta malang
Yang
ditunggu budak malang
Apakah
saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah
ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya
kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan
Agar
tubuh tua ini bisa lepas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta
Murid
Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Dia coba mencerna arti nyanyian itu.
”Menunggu ribuan pagi ribuan petang, berarti ada seorang tua bangka di puncak
bukit sana. Yang ditunggu budak malang. Eh, apa aku yang ditunggunya? Apa dia
kenal pada diriku. Yang jelas nasibku saat ini buka cuma malang tapi juga
melintang! Ha… ha… ha!” Pendekar 212 tertawa sendiri. “Bait akhir nyanyian aneh
itu seolah si penyanyi ingin buru-buru mati. Aneh!” Wiro percepat langkahnya.
Karena
ingin cepat-cepat melihat siapa adanya orang yang menyanyi maka Wiro pergunakan
ilmu ”Menembus Pandang” yang didapatnya dari Ratu Buyung ( baca Wasiat Sang Ratu ) Tenaga dalamnya dialirkan
ke matanya kiri kanan. Dia mendongak memandang ke puncak bukit batu di sebelah
Timur. Lalu mata itu dikedipkan dua kali.
Mula-mula
Wiro melihat warna merah berkepanjangan pertanda dimana-mana di atas sana hawa
batu-batu merah yang ada. Kemudian samar-samar dia melihat sesosok tubuh
berjubah putih. Wajahnya tak terlihat jelas karena membelakangi. Kalau dia
ingin melihat bagian depan orang itu berarti dia harus berputar setengah pulau.
”Daripada menghabiskan waktu lebih baik aku terus saja menempuh jalan ini,”
pikir murid Sinto Gendeng.
Suara
nyanyian itu diulang-ulang beberapa kali. Namun pada ulangan keempat mendadak
suara nyanyian lenyap di bait pertengahan.
”Hemm…
Orang tua di puncak bukit sana pasti sudah kecapaian menyanyi,” pikir Wiro.
Tak lama
kemudian dia sampai di kaki bukit batu merah di sebelah timur. Di sini Wiro
baru menyadari satu keanehan. Pulau ini usianya pasti sudah ratusan bahkan
ribuan tahun. Tapi tak satu bagianpun batu-batu di sini diselimuti lumut. Semua
bersih, batu merah asli. Tak terpengaruh oleh cuaca. Karena batu merah itu
tidak licin, meskipun bukit yang didakinya cukup terjal namun Wiro tidak
mengalami kesulitan naik ke atas. Begitu sampai di puncak bukit batu merah Wiro
segera melihat sosok orang berjubah putih itu, duduk di atas sebuah batu merah
pada puncak bukit yang tak seberapa luasnya. Orang ini membungkus kepalanya
dengan sehelai kain putih menyerupai selendang.
Mengira
orang tengah bersemadi maka Wiro melangkah dengan hati-hati, berputar dan
sesaat kemudian sampai di hadapan orang itu. Ternyata selendang putih di
kepalanya menutupi hampir seluruh wajahnya. Hanya sepasang matanya saja yang
kelihatan terpejam. Bagian selendang di bagian mulut kelihatan basah dan
berwarna merah. Sepasang tangan dan kaki orang itu tersembunyi di balik
jubahnya. Wiro mencium bau sirih dan tembakau. Tapi hidungnya yang tajam
mencium bau lain. Karena tiba-tiba orang di hadapannya mengeluarkan suara maka
Wiro tak berkesempatan untuk mengingat-ingat dimana sebelumnya dia pernah
mencium bau itu.
“Ribuan
pagi ribuan petang… Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan… Yang menunggu tua
renta malang… Yang ditunggu budak malang…”
Perlahan-lahan
Wiro duduk bersila di hadapan orang berjubah dan berselendang putih itu.
“Orang
tua, maaf kalau kehadiranku mengganggumu. Apakah kau yang dijuluki Raja Obat
Delapan Penjuru Angin?”
Yang
ditanya menghela napas panjang lalu menjawab. “Kau telah bertemu dengan orang
yang kau cari. Giliran diriku yang bertanya ada keperluan apa kau mencariku
anak manusia? Sebelum kau menjawab pertanyaan itu jawab dulu pertanyaan ini.
Apa kau manusianya yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
”Aku
belum menerangkan siapa diriku bagamana dia bisa menerka? Orang tua ini
benar-benar berkepandaian sangat tinggi,” kata Wiro dalam hati. Maka diapun
menjawab.
“Aku
memang yang oleh orang-orang tolol diberi gelar begitu padahal aku hanya anak
manusia bernama Wiro Sableng!”
Si orang
tua tertawa mengekeh. Bau aneh kembali menusuk hidung Wiro. Dalam hati dia
membatin.
"Menurut
keterangan orang tua ini memiliki wajah biru sebelah. Tapi wajahnya ditutup
begitu rupa, sulit bagiku untuk melihat“
“Anak
manusia, jika kau benar-benar Pendekar 212, perlihatkan padaku Kapak Maut Naga
Geni 212!” tiba-tiba orang di hadapan Wiro berkata.
Wiro
terkesiap. “Bertemu baru sekarang. Bagaimana orang tua ini tahu kalau aku
Pendekar 212 dan punya senjata Kapak Maut Naga Geni 212! Ah, pengetahuannya
tentu luas sekali padahal… Dari tadi dia tak pernah mengeluarkan kedua
tangannya dari balik jubah. Jangan jangan si Raja Obat ini buntung!”
”Aku
menunggu jawabanmu anak muda!”
Wiro
garuk-garuk kepala lalu tersenyum. “Jangan cengengesan di hadapanku! Kalau kau
berani memuslihati diriku berarti umurmu tidak bakal panjang. Kau tak akan
pernah meninggalkan pulau ini…”
”Nasibku
jelek. Senjata mustika itu dan pasangannya sebuah batu hitam sakti lenyap
dicuri orang…”
Si orang
tua geleng-gelengkan kepalanya. “Seperti dalam nyanyianku tadi, kau ternyata
memang seorang budak malang. Apa kau tahu siapa yang telah mencuri dua senjata
saktimu itu?’
”Dua
orang berjuluk Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan…” jawab Wiro.
“Hemmm…
Mereka memang iblis-iblis berkepandaian tinggi. Tapi aku tidak begitu saja
percaya omonganmu. Setahuku Pendekar 212 tidak pernah mengenakan pakaian serba
hitam seperti yang kau kenakan saat ini. Dia selalu pakai baju dan celana
putih. Aku ingin melihat dadamu. Kabarnya di situ ada rajahan angka 212. Jika
kau memang memiliki baru aku bisa percaya!”
“Sialan!
Sulit juga rupanya membuat urusan dengan tua bangka ini!” rutuk Wiro dalam
hati. Lalu dia buka baju hitam pemberian Ratu Duyung di bagian dada.
Sepasang
mata Raja Obat Delapan Penjuru Angin melihat rajah angka 212 pada dada Wiro.
“Kau
sudah saksikan sendiri?” tanya Wiro.
Orang tua
itu anggukkan kepala.
”Nah
sekarang giliranku bertanya…”
”Tunggu
dulu!” memotong Raja Obat Delapan Penjuru Angin. “Ada hubungan apa antara kau
dengan Ratu Duyung?!”
“Eh,
orang ini benar-benar tahu banyak tentang diriku,” pikir Wiro. “Aku berhutang
budi dan nyawa pada penguasa laut itu. Itu saja…”
”Hemm…
Sekarang aku masih ingin satu kepastian. Ulurkan kedua tanganmu. Telapak dibuka
ke atas!”
“Ah orang
tua. Kau rupanya menyuruh aku menirukan lagak pengemis. Tapi mengapa dua tangan
sekaligus?” tanya Wiro sambil tertawa.
“Jangan
berani bergurau padakul* menyentak orang tua. “Lekas ulurkan kedua tanganmu!”
Walau
kini dia mulai jengkel dengan sikap orang tua itu namun Wiro ulurkan juga kedua
tangannya ke depan. Telapak tangan dikembangkan ke atas.
Pada saat
itulah tanpa diduga sepasang tangan si orang tua yang sejak tadi mendekam di
balik jubah tiba-tiba melesat keluar dari balik jubah putih.
”Bukk!”
”Bukk!”
Dua
jotosan laksana palu godam menghantam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
****************
BAB VI
JERITAN
keras meledak keluar dari mulut murid Sinto Gendeng ketika dua jotosan yang
dihantamkan orang tua berjubah dan bertutup kepala putih itu mendarat di dada
dan pipi kanannya. Kepalanya seolah terlempar pecah, dadanya laksana remuk.
Tubuhnya mencelat sampai dua tombak, menggelinding ke lereng bukit, tertahan
pada satu gundukan batu merah runcing! Darah menyembur dari mulutnya. Tubuh
Wiro tergeletak tak berkutik lagi!
Di atas
sana terdengar suara tawa mengekeh lalu satu bayangan putih berkelebat,
melayang turun dan berdiri di hadapan sosok Pendekar 212. Dengan ujung kakinya
orang ini membalikkan tubuh Wiro.
“Ha… ha…
ha! Mampus juga kau akhirnya!” Habis berkata begitu orang ini buka jubah putih
dan selendang penutup wajahnya. Di balik jubah itu ternyata orang ini
mengenakan jubah lain yang kotor dekil serta bau. Tangannya yang tersembul dari
balik jubah penuh dengan koreng bernanah dan menebar bau busuk. Wajahnya lebih
mengerikan lagi karena hancur penuh oleh koreng cacar air busuk yang sama! Tiga
jari kanannya yang tersembul di balik jubah tampak buntung kehitaman. Salah
satu bagian bawah jubahnya hangus seperti pernah terbakar.
Pada
punggungnya tergantung sebuah caping bambu. Dari mulutnya dia menyemburkan
cairan merah sirih dan tembakau. Ketika caping itu dikenakannya di atas
kepalanya dan sehelai kain ditutupkannya ke wajahnya jelaslah sudah orang tua
ini bukan lain adalah si Makhluk Pembawa Bala! Makhluk iblis yang sebelumnya
telah dua kali mencoba membunuh Wiro!
Sambil
tertawa-tawa dia menjambak rambut gondrong Pendekar 212 lalu enak saja dia
menyeret Wiro ke arah timur pulau. Hampir lima puluh tombak menyeret, Makhluk
Pembawa Bala hentikan langkahnya di satu bagian pulau dimana terdapat satu batu
rata berukuran dua kali dua tombak. Di atas batu warna merah ini tergeletak
sesosok tubuh kurus kering seorang tua berambut, berkumis dan berjanggut putih.
Wajahnya sebelah kanan berwarna biru. Saat itu boleh dikatakan orang tua ini
nyaris telanjang karena hanya secarik kain putih kecil yang terselempang di
aurat sebelah bawah perutnya. Melihat keadaannya saat itu yang tak bisa
bergerak maupun bersuara kecuali hanya sepasang matanya saja yang
bergerak-gerak nyatalah dirinya berada dalam keadaan tertotok. Orang tua yang malang
ini bukan lain adalah si Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Makhluk
Pembawa Bala hempaskan tubuh Wiro di samping sosok si orang tua. Pinggul mereka
saling bersentuhan. Wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin berubah pucat ketika
melihat pemuda yang tergeletak di sampingnya. Makhluk Pembawa Bala mendongak ke
langit lalu tertawa gelak-gelak. Dengan kaki kanannya ditendangnya tulang
kering Raja Obat.
”Ini anak
manusia yang kau tunggu dalam nyanyianmu itu?! Ha… ha… ha..!
Nasibnya
memang malang! Dia keburu mampus sebelum sempat melihat tampangmu!”
Makhluk
Pembawa Bala kembali tertawa mengakak. “Eh, kau diam saja! Ah, biar aku berbaik
hati sedikit membuka jalan suaramu agar aku bisa mendengar apa saja uneg-uneg
yang hendak kau keluarkan!”
Makhluk
Pembawa Bala membungkuk lalu menotok pangkal leher sebelah kiri Raja Obat. Saat
itu juga punahlah totokan yang menutup jalan suaranya.
“Kau
bukan manusia tapi iblis! Apa salah pemuda itu hingga kau membunuhnya?!” Begitu
jalan suaranya terbuka Raja Obat langsung membentak.
”Ha… ha…
ha! Mentang-mentang sudah bisa bicara omonganmu tidak sedap masuk ke telingaku.
Kau tidak melihat kenyataan Raja Obat! Kalau aku tega membunuh kecoak satu ini
apa kau kira aku tidak tega mencabut nyawamu?!”
”Tadipun
aku sudah bilang agar kau segera membunuhku! Kau tak bakal mendapatkan
keterangan apa-apa dariku!” jawab Raja Obat.
”Kita
akan lihat! Kita akan lihat!” kata Makhluk Pembawa Bala pula.
”Silahkan
kau mau membunuh aku cara bagaimana! Menghancurkan kepalaku! Mematahkan batang
leherku atau menjebol isi perutku!”
“Ah!
Rupanya kau tahu juga banyak cara mati yang enak! Ha… ha… ha! Tidak…semua cara
yang kau sebutkan itu tidak akan kejadian. Aku punya cara lain yang lebih
sedap… Pertama, satu persatu kuku jari tangan dan kakimu akan kubetot lepas.
Lalu kulit kepalamu akan kukupas. Setelah itu lidahmu… Oh tidak… Lidah
belakangan. Aku masih ingin mendengar jeritanmu. Salah satu matamu akan kukorek
lebih dulu. Setelah itu…hik… hik… hik! Ini yang sedap dan lucu! Kau pasti akan
menikmatinya. Bijimu akan kupencet, kulepas, kupencet. Lepas… pencet… lepas…
pencet! Ha… ha… ha… Kalau suaramu sudah serak karena menjerit baru kuremas
hancur bijimu itu! Ha… ha… ha… ha!”
Selagi
Makhluk Pembawa Bala bicara sambil tiada hentinya tertawa Raja Obat Delapan
Penjuru Angin diam-diam merasakan bahwa pinggul Wiro yang bersentuhan dengan
pinggulnya terasa hangat. Lalu ada denyutan-denyutan halus pada sisi perut si
pemuda. Dari tanda-tanda ini si Raja Obat segera maklum kalau pemuda itu
sebenarnya belum menemui kematian tapi cuma pingsan dengan luka dalam teramat
parah. Hati orang tua ini menjadi lega, Otaknya segera bekerja.
Saat itu
Makhluk Pembawa Bala telah keluarkan sebuah catut besi dari balik jubah
dekilnya. Benda ini ditimang-timangnya beberapa kali lalu dia berlutut di ujung
kaki Raja Obat.
”Aku
masih memberi kesempatan padamu. Memilih mati tersiksa atau kau lekas memberi
tahu dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu!”
”Kalau
hendak membunuhku mengapa tidak langsung saja? Mengapa masih bertanya-tanya?!
Aku sudah bilang tidak tahu menahu soal segala kitab dewa itu! Kalaupun tahu
tak bakal kukatakan pada makhluk durjana macammu.”
Makhluk
Pembawa Bala tertawa gelak-gelak.
”Rupanya
kau memilih menyusul pemuda ini. Kupikir-pikir dalam usiamu yang seratus tahun
ini apa perlunya kau hidup lebih lama! Baik! Jika kau ingin mampus aku tuan
besarmu segera membuka pintu neraka untukmu!”
Makhluk
Pembawa Bala lalu tempelkan ujung catut besi ke kuku ibu jari kaki kanan Raja
Obat. Mulutnya yang korengan bernanah menyeringai, “Umur sudah bangkotan.
Lobang neraka sudah menunggu! Masih tidak tahu diri! Rasakan siksaanku!”
Dua ujung
catut menjepit kuku. Ketika siap untuk disentakkan tiba-tiba Raja Obat berseru.
”Tunggu!”
”Hemmm.
Apa kau mau bicara?!” tanya Makhluk Pembawa Bala pula.
“Ya… ya…
Aku menyerah!” jawab Raja Obat.
“Kalau
begitu lekas bicara! Katakan dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu!”
“Ba…
baik… Tapi untuk mengetahuinya tak bisa diterangkan begitu saja. Aku harus
melakukan sesuatu. Aku harus melihat di alam gaib baru bisa membaca dan
mengatakan…”
“Jangan
berani menipu!”
“Terserah
padamu! Jika tidak percaya aku tak bisa melakukan apa yang kau minta…”
“Apa yang
hendak kau lakukan? Apa kau tidak bisa langsung mengatakan?!”
“Tidak…
Aku harus minta petunjuk dari alam gaib lewat asap batu merah…”
“Apa itu
asap batu merah?”
“Jika
dibacakan mantera dan ditebarkan bubuk batu merah ke udara maka akan kudapat
petunjuk dimana beradanya kitab sakti itu. Petunjuk tak bisa didapat cepat,
tergantung bagaimana alam gaib menerimanya…”
“Aku
tidak percaya!” kata Makhluk Pembawa Bala seraya berdiri lalu melangkah
mundar-mandir.
“Kalau
begitu bunuh aku sekarang saja!” Raja Obat seolah benar-benar pasrah dan tidak
takut sama sekali.
”Setan!”
memaki Makhluk Pembawa Bala seraya tendang rusuk Raja Obat hingga orang tua ini
mengeluh tinggi dan mengerenyit kesakitan. “Baik, aku akan lepaskan totokanmu.
Tapi jika kau berani memuslihatiku kau akan mampus lebih cepat!” Ancam Makhluk
Pembawa Bala lalu dia membungkuk dan lepaskan totokan di tubuh si orang tua.
Begitu
totokan di tubuhnya lepas Raja Obat bangkit dan duduk bersila. Dengan sehelai
kecil kain putih ditutupnya auratnya sebelah bawah lalu dia rangkapkan dua
tangan di depan dada. Sebelum pejamkan matanya dia memberi tahu.
“Aku akan
bersemadi sambil merapal mantera…”
“Cepat
lakukan!” bentak Makhluk Pembawa Bala seraya berkacak pinggang dan mengawasi.
Raja Obat
lalu pejamkan kedua matanya. Mulutnya yang berisi sirih dan tembakau
berkomat-kamit tiada henti. Makhluk Pembawa Bala menunggu tidak sabaran. Tak
selang berapa lama orang tua ini buka kedua matanya. Orang di depannya segera
menghardik.
“Kau
sudah tahu dimana letak kitab sakti itu?!”
”Harap
bersabar…” jawab Raja Obat pendek. Lalu tangan kanannya diulurkan ke depan.
Dengan dua jari tangannya dicungkilnya batu merah di hadapannya. Pecahan batu
ini kemudian diremasnya hingga hancur menjadi bubuk. Selagi perhatian Makhluk
Pembawa Bala tertuju pada tangan kanannya, perlahan-lahan Raja Obat turunkan
tangan kirinya ke bawah. Dua jari mencungkil batu merah di ujung lututnya.
Seperti dengan tangan kanan tadi, pecahan batu diremasnya hingga berubah jadi
bubuk sementara mulutnya terus berkomat kamit.
”Pertunjukan
apa yang hendak diperlihatkan jahanam ini padaku!” rutuk Makhluk Pembawa Bala
semakin tidak sabar.
Mulut si
orang tua tiba-tiba terbuka. Lalu terdengar suaranya berucap. “Alam gaib akan
kusebar persembahan! Sebagai imbalan beri petunjuk padaku. Beri petunjuk padaku
dimana letaknya Kitab Putih Wasiat Dewa. Persembahan harap dibalas dengan
petunjuk agar seimbang budi di alam gaib…”
Perlahan-lahan
Raja Obat angkat tangan kanannya. Bubuk batu merah yang ada dalam genggamannya
disebarkan ke udara. Maka di tempat itu bertebarlah bubuk yang berubah menjadi
asap merah. Untuk beberapa lamanya ada bau aneh yang menindih bau busuk tubuh
Makhluk Pembawa Bala. Untuk beberapa lamanya pula pemandangan si makhluk
tertutup oleh lapisan asap merah. Pada saat itulah dengan cepat Raja Obat
gerakkan tangan kirinya ke samping. Begitu dia berhasil menyentuh mulut Pendekar
212, bubuk batu merah yang ada dalam genggamannya disumpalkannya ke dalam mulut
sang pendekar. Lalu dengan dua ujung jarinya ditotoknya urat besar di leher si
pemuda.
“Hekkk!”
Bubuk
batu merah larut dan masuk ke dalam tenggorokan Wiro terus masuk ke dalam
perutnya.
“Aku
mendengar suara orang tercekik!” Tiba-tiba Makhluk Pembawa Bala berteriak. Dia
mulai curiga.
”Itu
suaraku batuk karena kemasukan debu batu merah. Jangan berani buka suara lagi
dan jangan bergerak dari tempatmu. Kalau tidak semua bisa buyar dan aku tak
dapat petunjuk dari alam gaib!”
Makhluk
Pembawa Bala meskipun marah terpaksa menutup mulut dan tak bergerak dari
tempatnya berdiri yakni sekitar lima langkah di hadapan Raja Obat yang duduk
bersila di atas batu merah.
****************
BAB VII
PADA saat
bubuk batu merah masuk ke dalam tubuhnya terjadilah hal yang luar biasa. Tubuh
Pendekar 212 yang saat itu menderita luka dalam yang amat parah dan keadaannya
tak beda dengan orang yang sedang sekarat diserang oleh satu aliran sakti hawa
sejuk. Setelah mengalir ke seluruh jalan darahnya hawa ini berkumpul di bagian
dada yakni pada bagian yang kena hantaman Makhluk Pembawa Bala. Saat itulah
Wiro perlahan-lahan kembali siuman. Pipi kanan dan dadanya mendenyut sakit.
Lalu dirasakannya hawa sejuk aneh menyengat dadanya. Rasa sejuk mendadak
berubah menjadi sengatan hawa panas luar biasa. Mulut Pendekar 212 terbuka
lebar hendak berteriak karena kesakitan. Tapi tak ada suara yang keluar. Dia
coba menggerakkan tangan untuk memegang dada. Tak bisa. Sadarlah murid Sinto Gendeng
kalau saat itu dirinya berada dalam keadaan tertotok. Dia coba melirik ke
samping. Di udara dilihatnya ada tebaran asap merah menutupi pemandangan. Lalu
telinganya mendengar suara orang meracau seperti membaca mantera.
“Aku
ingat betul. Makhluk Pembawa Bala menghantamku dengan tiba-tiba. Aku pingsan.
Sekarang berada di mana diriku ini? Asap aneh apa di depanku itu. Siapa pula
yang sedang membaca mantera?” Berbagai pertanyaan muncul dalam hati Pendekar
212. Perlahan-lahan sengatan hawa panas lenyap. Hawa sejuk kembali muncul di
sekitar dada. Tapi tidak lama karena hawa sejuk ini bergerak mengalir menuju ke
atas, naik ke kepala Wiro mengarah pipi kanannya yang saat itu bengkak besar
hingga matanya hampir tertutup. Di sebelah dalam ada bagian tulang pipinya yang
retak.
Wiro
merasa kepalanya seperti dipanggang ketika tiba-tiba hawa sejuk lenyap berganti
dengan hawa panas yang menghantam laksana sambaran petir. Kalau saja dirinya
tidak tertotok saat itu niscaya jeritannya setinggi langit.
”Gila!
Apa yang terjadi dengan diriku! Siapa yang punya pekerjaan ini?!” rutuk
Pendekar 212 dalam hati.
Ketika
hawa panas hilang berganti dengan hawa sejuk Wiro merasakan sakit di kepalanya
lenyap, bengkak besar di mukanya sebelah kanan telah berkurang walau matanya
masih agak menggembung.
“Ada
seseorang mengobati diriku. Siapa…?” Wiro berusaha membalikkan badan dan
memutar kepala tapi tidak mampu karena dirinya masih berada dalam keadaan
tertotok.
Pada saat
itulah tiba-tiba murid Sinto Gendeng mendengar suara halus seperti nyamuk
mengiang di telinganya.
“Ada
orang sakti menyampaikan sesuatu padaku…” ujar Wiro dalam hati.
“Anak
muda… Sebentar lagi asap merah di depanmu akan pupus. Kau akan melihat seorang
memakai caping di kepalanya, mengenakan jubah kotor tegak beberapa langkah di
depanmu. Kau harus membunuh manusia itu. Pergunakan ilmu kesaktianmu yang
paling hebat. Kau harus mampu membunuhnya dengan sekali menghantam. Kalau tidak
kau dan juga aku akan celaka besar!”
Wiro
hendak menjawab tapi tak mampu. Sesuai petunjuk yang didengarnya murid Sinto
Gendeng ini segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan kanan.
Saat itu juga sepasang lengannya sampai ke ujung kuku berubah menjadi seputih
perak. Ini satu pertanda bahwa Pendekar 212 siap melancarkan pukulan “Sinar
Matahari” dengan tenaga dalam penuh!
”Tua
bangka keparat!” tiba-tiba. Wiro mendengar suara orang membentak. “Apa kau
sudah mendapat petunjuk?! Aku sudah tidak sabaran! Aku punya firasat kau hendak
menipuku! Lebih baik kau kubunuh saat ini juga!”
“Kalau
kau bersabar sedikit lagi, aku segera mendapat petunjuk. Di hadapanku sudah
terlihat sesuatu. Aku akan mengatakan padamu apa yang aku lihat. Aku melihat
seorang nenek dengan wajah seseram setan. Di kepalanya ada satu mahkota
memancarkan sinar kehijauan. Di tangan kanannya dia memegang sebuah tongkat
besi berwarna kuning. Aku lihat dia berucap mengatakan sesuatu. Aku dengar dia
mengatakan… mengatakan…”
“Mengatakan
apa?!” sentak Makhluk Pembawa Bala.
Saat itu
asap merah bubuk batu merah perlahan-lahan mulai menipis. Seperti yang
dikatakan ngiangan suara di telinganya, walau dengan sudut matanya Wiro dapat
melihat sesosok tubuh berdiri beberapa langkah di hadapannya. Orang ini memakai
caping di kepalanya, mengenakan sehelai jubah butut. Tangan dan mukanya
mengerikan karena dipenuhi cacar air bernanah dan menebar bau busuk.
“Makhluk
Pembawa Bala!” kata Wiro dalam hati.
Amarah
langsung naik ke kepalanya. “Aku sudah menduga…” Maka Pendekar 212 segera
kerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangan kanan kiri.
”Nenek
bermuka setan mengatakan…” kembali terdengar suara Raja Obat sambil tangan
kirinya dengan cepat bergerak ke arah punggung dan pangkal leher Pendekar 212.
“Nenek itu mengatakan siapa yang ingin mengetahui dimana tersembunyinya Kitab
Putih Wasiat Dewa maka dia harus mendengarkan dengan telinga terpentang dan
mata terpejam. Makhluk Pembawa Bala harap kau buka telingamu baik-baik dan
pejamkan kedua matamu!”
Makhluk
Pembawa Bala yang tegak beberapa langkah dari hadapan si Raja Obat segera
pasang telinga baik-baik. Ketika dia hendak memejamkan mata, di balik asap
merah yang semakin menipis tiba-tiba dia melihat sosok tubuh Pendekar 212. Lalu
pandangannya membentur wajah si pemuda dan samar-samar melihat sepasang mata
Wiro yang terbuka.
“Eh…
Pemuda itu bukankah dia tadi sudah mati…?!” Makhluk Pembawa Bala angkat tangan
kanannya dan maju selangkah. ”Jahanam! Tua bangka keparat! Kau menipuku!”
teriak Makhluk Pembawa Bala marah. Tangan kanannya dihantamkan pada Raja Obat.
Justru pada saat itu pula sosok Pendekar 212 melompat ke hadapannya. Dari jarak
hanya tiga langkah murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan ”Sinar Matahari” dengan
tangan kiri kanan. Dua larik sinar panas menyilaukan berkiblat.
Suara
Jeritan Makhluk Pembawa Bala tenggelam oleh gemuruh dua pukulan “Sinar
Matahari” yang menghantam dirinya. Tubuh orang ini mencelat ke udara dalam
keadaan cerai berai, hangus dan mengepulkan bau menggidikkan!
Sepasang
kaki yang hancur hangus melesat ke timur. Potongan badan dengan isi perut
berbusaian mencelat ke barat. Dua tangan terlepas entah kemana. Bagian dada dan
kepala yang hancur melesat ke utara ke arah lautan lepas!
Di tengah
laut selatan yang saat itu ombaknya mulai besar akibat tiupan angin kencang
dari utara, sebuah jukung kelihatan meluncur pesat membelah ombak. Perahu kecil
ini ditumpangi oleh seorang nenek berdandan aneh yang mengingatkan kita pada
Iblis Tua Ratu Pesolek. Meskipun sudah tua keriputan namun si nenek berdandan
mencorong. Bibir dan pipi dicat merah. Bedak putih kekuningan hampir setebal
dempul menutupi wajahnya. Sepasang alis hitam mencuat ke atas. Sanggulnya rapi
dan bagus. Dia mengenakan sehelai baju panjang berwarna hitam dengan
bunga-bunga putih. Selagi enak-enak di dalam perahu yang dihantam gelombang itu
tiba-tiba dia melihat satu benda melayang di udara.
“Burung
bukan, kampret juga bukan! Makhluk apa yang melayang itu…?” si nenek membatin
seraya berdiri tegak di atas jukung dan terus mendongak memperhatikan benda
yang melayang di udara. Alisnya yang mencuat mengernyit. Dia tidak dapat
memastikan benda apa itu adanya. “Tak puas kalau aku tidak tahu benda apa yang
melayang itu!” katanya dalam hati. Ketika benda di udara hampir lewat di atas
kepalanya, si nenek angkat tangan kanannya. Terjadilah satu hal yang hebat.
Benda yang melayang di udara seolah-olah tertahan. Ketika si nenek
memutar-mutarkan tangannya benda itu ikut berputar.
Begitu si
nenek gerakkan tangannya perlahan-lahan ke bawah, benda yang di udara
seolah-olah tersedot ikut tertarik ke bawah. Sesaat kemudian ”braakkk!” Benda
itu jatuh bergedebuk di lantai perahu di hadapan si nenek. Bau busuk bercampur
bau sangitnya daging yang terpanggang melanda hidungnya.
Sepasang
mata perempuan tua berdandan mencorong itu mendelik besar. Yang dilihatnya saat
itu adalah potongan tubuh manusia mulai dari dada sampai ke kepala dalam
keadaan terpanggang hangus mengerikan!
”Oo
ladalah! Seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan pemandangan begini rupa!
Manusia atau binatang yang menggeletak di hadapanku ini?” ujar si nenek. Sambil
menekap hidungnya dia coba meneliti lalu geleng-gelengkan kepala. ”Tak bisa
kukenali…” katanya. “Aku tak mau ketumpangan makhluk busuk seperti ini.
Pergilah!”
Sekali
kaki kirinya menendang maka potongan tubuh dan kepala yang mengerikan itu, yang
bukan lain adalah potongan tubuh dan kepala Makhluk Pembawa Bala mencelat
mental sampai beberapa tombak dan jatuh ke dalam laut, dilamun ombak dan amblas
tenggelam tak kelihatan lagi.
****************
BAB VIII
PENDEKAR
212 jatuhkan diri ke atas batu datar merah. Berlutut dengan dada turun naik.
Wajahnya yang masih bengkak tampak agak pucat. Perlahan-lahan dia duduk
bersila, atur jalan napas, darah dan tenaga dalam. Ketika dia berpaling ke kiri
pandangannya membentur orang tua bermuka biru itu. Wiro segera bangkit berdiri,
melangkah mendekati lalu berlutut di hadapannya. Untuk beberapa lamanya dia
memandangi wajah berbelang biru, rambut, janggut dan kumis panjang memutih itu.
“Orang
tua, aku berterima kasih padamu. Kalau tidak dengan pertolonganmu aku pasti
sudah menemui ajal di tangan Makhluk Pembawa Bala itu. Aku berhutang budi dan
nyawa padamu dan tak tahu bagaimana harus membalasnya…” Wiro membungkuk hormat
sampai tiga kali.
“Makhluk
Pembawa Bala itu memang jahat busuk, ganas dan licik. Sejak satu tahun
belakangan ini dia malang melintang di laut selatan. Pasti ada sesuatu yang
dicarinya. Sekaligus menunggu seseorang untuk dibunuh… Mungkin sekali ada yang
menyuruhnya.”
“Pasti
diriku yang diarahnya. Siapa yang menyuruhnya apakah kau tahu orangnya?” tanya
Wiro. Yang ditanya menggeleng.
“Ada
permusuhan apa antara kau dengan dirinya hingga dia inginkan nyawamu?!”
“Aku
tidak tahu. Dua kali dia menghadangku di tengah lautan. Aku berhasil lolos.
Kali yang ketiga dia memuslihati diriku dengan menyamar menjadi…”
Si orang
tua tersenyum. “Dia menyamar menyerupaiku dan berhasil mengelabuimu…”
“Sekali
lagi aku berterima kasih atas pertolonganmu,” kata Wiro pula.
“Pertolonganku
belum selesai. Putar dudukmu. Hadapkan punggungmu ke arahku…”
Walau
tidak mengerti apa maksud orang tua itu namun Wiro memutar duduknya
membelakangi. Pada saat itulah tanpa suara dan tanpa disadari oleh Wiro
tiba-tiba orang tua di belakangnya mengangkat tangan kanan dan menghantam
punggungnya.
“Bukkk!”
Wiro
Sableng menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai satu tombak, terbanting
menelungkup di atas batu merah. Punggungnya laksana hancur luluh. Bersamaan
dengan teriakannya tadi dari mulutnya menyembur darah hitam berbuku-buku. Wiro
mencoba bangkit. Terhuyung-huyung sambil menyeka darah yang membasahi pinggiran
mulutnya dia mendatangi si orang tua lalu jatuhkan diri di hadapannya dan
membentak dengan mata melotot.
”Orang
tua, kau hendak membunuhku…?!”
“Aku
hanya membersihkan sisa-sisa darah beku yang masih bersarang di dadamu akibat
pukulan Makhluk Pembawa Bala itu. Jika darah beku itu terus mendekam di
tubuhmu, kau akan menemui ajal dalam waktu dekat setelah disiksa oleh penyakit
yang sulit disembuhkan…”
”Terima
kasih, lagi-lagi kau telah menolongku,” kata Wiro begitu menyadari bahwa apa
yang dilakukan orang tua itu tadi adalah menolongnya. Sesaat Wiro pandangi
orang yang duduk di hadapannya itu lalu berkata. “Orang tua, melihat pada
ciri-cirimu aku yakin bukankah kau orang yang digelari Raja Obat Delapan
Penjuru Angin itu?”
Yang
ditanya tersenyum lalu menjawab.
“Kau
sudah tahu siapa diriku. Sekarang katakan siapa dirimu.”
”Namaku
Wiro Sableng. Aku murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede…”
“Gunung
Gede jauh sekali dari tempat ini. Jika kau menyabung nyawa untuk menyeberangi
daratan mengarungi lautan berarti ada sesuatu yang sangat penting menjadi
tujuanmu.”
Wiro lalu
menceritakan pengalamannya ditolong pertama kali oleh anak buah Ratu Duyung (baca
Episode II: Wasiat Dewa). “Ketika aku dilepas pergi oleh Ratu Duyung, di tengah
laut mendadak muncul dua orang berkulit hitam yang tubuhnya bersirip seperti
ikan. Mereka bermaksud membunuhku tapi aku berhasil lolos. Belum lama selamat
dari dua makhluk keparat itu tiba-tiba Makhluk Pembawa Bala muncul pula.
Nasibku masih untung. Sebelum ajalku sampai di tangan makhluk busuk itu enam
orang anak buah Ratu Duyung walaupun dalam keadaa samar-samar kulihat datang
menolongku. Rupanya Makhluk Pembawa Bala tidak punya nyali melawan mereka lalu
melarikan diri…”
“Cerita
dan pengalamanmu luar biasa! Tapi kau belum mengatakan apa tujuanmu datang ke
pulau ini…”
“Aku
mendapat petunjuk dari Ratu Duyung bahwa sebuah pulau yang keseluruhannya
terdiri dari batu merah terletak di tenggara. Aku harus menuju ke pulau itu.
Namun seperti yang kututurkan tadi, di tengah laut aku dihadang oleh
orang-orang yang hendak membunuhku. Dalam keadaan pingsan perahuku mungkin
sekali terombang ambing ke pulau ini. Lalu entah apa yang terjadi aku dapatkan
diriku berada di sebuah batu datar miring berwarna merah. Baru saja aku siuman
tiba-tiba ada satu benda bersinar melayang jatuh dari angkasa, menembus ke
dalam batok kepalaku. Setelah itu aku seperti ditelan waktu. Aku melihat satu
jalinan kisah seperti satu mimpi yang panjang…”
“Hebat
sekali… Hebat sekali apa yang kau tuturkan tadi,” kata Raja Obat Delapan
Penjuru Angin. “Tapi mengapa kau masih belum mengatakan apa tujuanmu mencari
pulau batu merah ini?”
“Aku
mendapat tugas dari guruku Eyang Sinto Gendeng serta dua tokoh silat yaitu Si
Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Mereka menyuruh aku mencari dan mendapatkan
sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut mereka kau
satu-satunya orang yang mengetahui di mana beradanya kitab itu.”
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin tertawa. “Aku hanya seorang tukang obat tak berguna.
Kemampuanku serba terbatas termasuk pengetahuanku. Bagaimana mungkin mereka
bisa menduga bahwa aku satu-satunya orang yang mengetahui dimana beradanya
kitab sakti itu?”
”Ketika
bertemu dengan Ratu Duyung, perempuan sakti itu juga memberi tahu bahwa memang
hanya kau yang mengetahui hal kitab sakti itu.”
”Hemmmmm..
Ratu Duyung. Dia memang manusia luar biasa. Cantik dan memiliki kepandaian
tinggi,” kata si orang tua pula. “Anak muda. Orang-orang yang menyuruhmu itu
benar-benar memberikan tugas maha berat padamu. Kau tahu mengapa mereka
inginkan kitab itu?”
“Menurut
mereka dalam dunia persilatan akan muncul sebuah kitab sakti yakni Kitab Wasiat
Iblis. Barang siapa yang memilikinya akan menjadi raja di raja dunia
persilatan. Karena kitab ini berdasarkan pada ajaran hitam yang sesat maka
harus dimusnahkan. Hanya ilmu yang terkandung dalam Kitab Putih Wasiat Dewa
yang sanggup mengalahkan kesaktian Kitab Wasiat Iblis. Kini kitab iblis itu
kabarnya sudah jatuh ke tangan seorang sakti sesat dan jahat yaitu Pangeran
Matahari.”
Untuk
pertama kalinya Raja Obat Delapan Penjuru Angin meludah membuang cairan sirih
dan tembakau yang ada di mulutnya ke atas batu merah di sampingnya. Anehnya
cairan itu seolah meresap ke dalam batu, sesaat kemudian lenyap tak berbekas.
“Anak
muda, selama tujuh puluh tahun aku memencilkan diri di pulau ini…”
“Tujuh
puluh tahun?” mengulang Wiro sambil menatap lekat-lekat ke wajah si orang tua.
Lalu dia memandang sekeliling pulau. Sejauh mata memandang hanya batu,
bebukitan dan pegunungan merah yang tampak. Sama sekali tak satu tetumbuhanpun
yang kelihatan. Tujuh puluh tahun memencilkan diri? Siapa sebenarnya si Raja
Obat ini?
Pemberontak
yang dikejar-kejar lalu lari ke sini?” Begitu Wiro membatin. Dia tidak tahu
kalau sebenarnya si orang tua adalah seorang Pangeran.
“Makhluk
Pembawa Bala dan dirimu adalah dua manusia terakhir yang mendatangi pulau ini
setelah tujuh puluh tahun. Kau bisa membayangkan. Sekian lama aku tak pernah
meninggalkan pulau. Bagaimana mungkin aku mengetahui segala urusan dunia
persilatan di luar sana, termasuk kitab yang kau katakan itu…?!”
”Jadi?!”
seru Wiro lalu terdiam. Hanya matanya saja yang memandang besar dan tak
berkesip pada Raja Obat yang duduk bersila di depannya dengan air muka tidak
berubah. “Jadi kau sama sekali… benar-benar kau tidak mengetahui tentang Kitab
Putih Wasiat Dewa itu?”
”Mendengarnyapun
baru sekali ini?’ jawab Raja Obat.
Wiro
menarik napas panjang. Lalu ”plaakk!” Dia menepuk jidatnya sendiri dengan
telapak tangan kanan. Dia seperti terhenyak di atas batu merah yang
didudukinya.
Dalam
hati dia setengah mengeluh setengah menyumpah. “Celaka! Percuma aku jauhjauh
menyabung nyawa! Lebih baik mati saja agar tidak kecewa sebesar ini!” Saking
kesalnya Wiro lalu garuk-garuk kepalanya hingga rambutnya yang gondrong
awutawutan.
Kemudian
dia memandang pada si Raja Obat tak berkesip. Satu hal teringat dalam benaknya.
“Jangan-jangan si muka belang ini Raja Obat palsu pula dan hendak
memuslihatiku!” pikir Pendekar 212.
”Raja
Obat,” ujar Wiro pula. “Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di pulaumu ini
aku mendengar suara orang menyanyi. Bukankah kau yang menyanyi itu?”
Si Raja
Obat tidak menjawab. Hanya menatap Wiro dengan air muka tidak berubah. Namun
sesaat kemudian dia bertanya. “Mengapa kau bertanya begitu?”
“Ah,
tidak apa-apa!” jawab murid Sinto Gandeng. ”Suara yang menyanyi jelek tak enak
didengar. Lebih bagus suara kaleng rombeng diberi batu lalu digoyanggoyang…”
Wiro
melirik. Dilihatnya paras belang si orang tua agak berubah sedikit.
Dalam
hati Wiro tertawa. ”Rasakan kau. Kena batunya aku sindir!” Lalu dia meneruskan.
”Tapi
bait-bait dalam nyanyiannya itu mengingatkan aku akan sesuatu!”
“Sesuatu
apa?” tanya Raja Obat.
“Bahwa
berdusta atau memuslihati orang itu hanyalah pekerjaan manusiamanusia culas
seperti Makhluk Pembawa Bala yang sudah kojor itu. Tak layak dilakukan oleh
orang-orang yang dianggap mempunyai kepentingan untuk berbaik budi dan menolong
sesamanya…”
“Ah, aku
ingat pada seorang Biksu di Kotaraja. Ucapanmu hampir bersamaan dengan Biksu
itu. Kau punya bakat jadi Biksu!” Raja Obat lalu tertawa gelak-gelak.
“Menjadi
Biksu, menjadi pemuka agama atau tokoh silat ataupun hanya seorang rakyat
jelata sepertiku sama saja. Seseorang tidak dipandang dari siapa dirinya. Tapi
dari apa yang dikatakannya dan apa yang dilakukannya!” jawab Wiro pula. Lalu
dia melirik lagi. Kembali dilihatnya tampang si Raja Obat yang belang biru itu
berubah. ”Rasakan!” maki Wiro lagi dalam hati.
“Anak
muda, bait-bait dalam nyanyian itu setahuku tak ada sangkut pautnya dengan apa
yang kau ucapkan…”
”Nah,
nah!” kata Wiro dalam hati seraya menyeringai. “Secara tidak langsung dia
mengakui bahwa memang dialah si penyanyi. Tapi biar saja aku tak mau membuatnya
malu.”
Sambil
menggaruk kepalanya Wiro kemudian berkata.
“Raja
Obat, nyanyian yang kudengar itu seolah Menceritakan tentang seorang tua renta
yang telah puluhan tahun menunggu kedatangan seorang budak malang. Pertemuan
dengan budak itu adalah akhir penantian datangnya satu harapan bahwa dia akan
kembali menghadap Yang Kuasa tanpa beban batin. Aku berharap, akulah budak
malang dalam nyanyian itu dan kaulah orang tua gagah yang melakukan penantian!”
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin menatap wajah Pendekar 212 beberapa ketika lalu tertawa
gelak-gelak.
”Wiro,
dalam sikap bodohmu ternyata kau adalah seorang cerdik. Memang aku telah
menunggumu sejak tujuh puluh tahun yang lalu…”
”Tujuh
puluh tahun yang lalu?” ulang Wiro dengan nada tidak percaya dan mata membesar.
”Gila! Saat itu aku masih belum lahir. Jadi anginpun rasanya belum!” Raja Obat
tertawa.
”Tujuh
puluh tahun lalu ada dua kejadian yang tak pernah kulupakan. Pertama,
kedatangan seorang utusan Kerajaan bernama Lawunggeni. Meminta obat untuk
puteri Sri Baginda yang adalah juga adikku lain ibu…”
Terkejutlah
Wiro mendengar keterangan Raja Obat itu.
”Jadi,
kalau begitu kau adalah seorang Pangeran!” katanya.
Si orang
tua hanya tersenyum kecil. “Sri Baginda mengucilkan diriku karena malu
mempunyai seorang anak bermuka cacat seperti ini… Selama bertahun-tahun aku
dibuang di sebuah hutan. Aku hidup sendirian hanya berteman alam. Tetumbuhan
dan binatang. Ibuku jatuh sakit. Jiwanya terguncang hebat. Diam-diam dia
meninggalkan kawasan Istana tanpa seorangpun mengetahui. Saat ini kurasa dia
sudah tak ada lagi.”
“Aku ikut
sedih mendengar kisahmu. Lalu bagaimana kau bisa menjadi seorang ahli dalam
ilmu pengobatan…?” tanya Wiro pula.
“Tuhan
memberi petunjuk, alam memberi jalan. Selama di hutan aku mengetahui dan
mempelajari bahwa akar pepohonan, kulit dan daun tetumbuhan, darah dan daging
serta kulit binatang masing-masing mempunyai daya pengobatan yang ajaib…”
“Di
hutan, aku bisa memaklumi karena hutan mengandung seribu satu macam obat jika
manusia memang mau menyelidiki. Tapi di pulau batu ini. Seperti yang aku lihat
sama sekali tidak ada pohon, tetumbuhan, apa lagi binatang!”
”Tuhan menjadikan
obat bukan hanya dari tetumbuhan dan hewan. Tapi juga dari batu! Dengan batu
merah di pulau inilah aku menyembuhkan adik perempuanku dari kelumpuhan. Juga
dengan batu merah pula aku menolongmu hingga luka dalammu yang parah bisa
sembuh dan tulang pipimu yang retak bisa bertaut kembali…”
“Luar
biasa! Batu bisa dijadikan obat… Bagaimana caranya?” tanya Wiro terheran heran.
“Kalau
tidak melihat sendiri memang sulit mempercayai,” sahut Raja Obat. Lalu dengan
dua tangan kanannya ditusuknya batu di depannya hingga pecah berkepingkeping.
Diambilnya satu kepingan batu yang lancip tajam. Dengan gerakan tak terduga
Raja Obat lalu menorehkan batu itu ke lengan Pendekar 212 hingga Wiro berseru
kaget dan kesakitan. Darah mengucur dari daging lengannya yang terkoyak.
“Apa yang
kau lakukan ini?!” teriak Wiro.
“Kau
ingin membuktikan bahwa batu bisa dijadikan obat. Bukan begitu?!”
“Tapi kau
bukan mengobatiku. Malah mencelakai!” teriak Wiro lagi.
Tenang
saja si Raja Obat ambil dua pecahan batu merah. Lalu diremasnya hingga
kepingan-kepingan batu itu menjadi hancur sehalus bubuk. Bubuk batu merah ini
kemudian ditebarnya di atas goresan luka pada lengan Wiro. Asap tipis mengepul
dari luka itu. Ketika asap lenyap luka di lengan Wiro telah bertaut kembali.
Yang terlihat hanya tebaran bubuk merah. Begitu si orang tua menyapu bubuk itu
maka terlihat keadaan lengan Wiro seperti semula seolah tak pernah terluka
sedikitpun!
“Bukan
main. Kau memang hebat dan pantas menyandang gelar Raja Obat Delapan Penjuru
Angin!” memuji Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Sekarang, apakah kau masih tak
mau menceritakan perihal Kitab Putih Wasiat Dewa itu?”
Orang tua
di hadapan Wiro tersenyum. “Kau pandai mengatur jalan percakapan. Tapi akhirnya
kau tetap pada tujuan semula. Aku suka padamu anak muda. Aku hanya berkisah
satu kali. Jadi kau dengar baik-baik.”
****************
BAB IX
TUJUH
puluh tahun yang silam, menurut Raja Obat Delapan Penjuru Angin sesosok tubuh
buntung tanpa tangan dan kaki terdampar ke pulau batu merah lewat sebuah
terowongan di bawah pulau.
“Menurut
taksiranku, orang itu berusia hampir sama denganku, yaitu sekitar tiga puluh
tahun. Melihat kepada kulit dan wajahnya aku yakin dia berasal dari Tiongkok.
Orang Cina…”
Wiro yang
ingat pada penuturan Ratu Duyung langsung saja memotong. “Ratu Duyung pernah
mengatakan padaku, orang Cina itu adalah Ki Hok Kui, murid Kanjeng Sri Ageng
Musalamat yang bergelar Tiat Thouw Houw alias Harimau Kepala Besi!”
Raja Obat
tersenyum. “Selain keterangan Ratu Duyung apakah kau ingat dengan apa yang
terjadi dengan dirimu sebelumnya? Di luar sadarmu kau tenggelam ke dalam alam
gaib masa tujuh puluh tahun yang lalu itu…”
“Betul
sekali. Dalam alam aneh itu aku melihat segala sesuatunya seolah-olah aku
berada di dalamnya. Bahkan aku melihat Jenderal Suma bercinta polos-polosan
dengan kekasih gelapnya yang bernama Louw Bin Nio bergelar Tjui-hun Hui-mo
alias Iblis Terbang Pencabut Nyawa…”
“Hal-hal
yang agak seronok rupanya melek baik-baik dalam benakmu, anak muda!” menyindir
Raja Obat hingga Wiro hanya bisa mesem-mesem sambil garuk kepala.
Si orang
tua lantas melanjutkan penuturannya.
”Aku
berusaha mengobati luka pada empat anggota badannya yang buntung dan memasukkan
bubuk batu merah ke dalam mulutnya. Satu hal menarik perhatianku. Pada dada
orang Cina ini ada terikat sebuah kitab. Mungkin terbuat dari daun lontar. Aku
sempat membaca tulisan pada sampul kitab. Di situ tertulis Kitab Putih Wasiat
Dewa…”
Murid
Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar keterangan si Raja Obat. “Apa yang
terjadi kemudian? Apa yang kau lakukan?” tanyanya.
“Sesuatu
yang tak terduga terjadi dengan sekonyong-konyong. Aku belum sempat turun
memasuki lobang di ujung terowongan itu. Tiba-tiba terjadi satu gempa dahsyat.
Batu merah di dasar lubang terowongan rengkah. Sosok Ki Hok Kui itu amblas ke
bawah. Setahuku di bawah sana ada sebuah terowongan lagi. Dia pasti jatuh ke
sana…”
“Raja
Obat,” kata Wiro dengan suara bergetar, ”Jadi kau tak sempat mengambil Kitab
Putih Wasiat Dewa yang kau lihat terikat di dada Ki Hok Kui?!”
Orang tua
itu menggeleng. “Aku juga tak mungkin menolong Ki Hok Kui karena setelah dia
amblas celah batu di dasar lobang terowongan secara aneh bertaut kembali
setelah terjadi gempa berikutnya…”
”Jadi
kitab sakti itu ikut amblas bersama sosok Ki Hok Kui?” tanya Wiro dan dia tak
perlu menunggu jawaban. Untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini seperti
terhenyak. “Raja Obat, selama tujuh puluh tahun mendekam di pulau ini apakah
kau mengetahui kalau Hok Kui masih hidup atau sudah mati di dasar terowongan
batu sana? Apa kau tak pernah menyelidik dengan masuk ke dalam laut lalu
mencari terowongan kedua itu?”
“Sebentar
lagi aku akan membawamu ke mulut terowongan yang bermuara di dalam lautan itu.
Kau akan saksikan sendiri apa penghalangnya. Di laut sekitar terowongan atas
maupun bawah siang malam selalu berkeliaran ikan-ikan hiu penyantap daging
manusia!”
“Jangan-jangan
orang itu sudah menemui ajalnya…” kata Wiro perlahan. Putuslah harapannya untuk
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya
kosong. Lalu dia berpaling pada Raja Obat. “Orang tua, seperti kusaksikan tak
ada pohon tak ada tetumbuhan pulau ini. Selama tujuh puluh tahun berada di sini
kau hidup makan apa…?”
“Rezeki
dari Tuhan selalu ada bagi setiap hambaNya,” Jawab Raja Obat. “Ombak melempar
berbagai macam ikan ke mulut terowongan. Binatang-binatang itulah yang jadi
santapanku.”
“Maksudmu
kau panggang dulu atau bagi mana?”
“Tak ada
api di pulau ini. Tak ada kayu untuk pemanggang…”
“Jadi kau
makan mentah-mentah?”
Raja Obat
tersenyum. “Tak ada makanan paling sedap di dunia ini selain ikan mentah yang
segar.”
Tenggorokan
Pendekar 212 jadi turun naik mendengar ucapan itu.
“Eh,
kulihat tenggorokanmu turun naik. Seleramu menitik rupanya mendengar nikmatnya
ikan mentah…”
“Justru
aku seperti mau muntah!” jawab Wiro polos.
Raja Obat
tertawa mengekeh. “Justru kau akan segera mencobanya, anak muda. Kecuali kalau
kau ingin berpuasa selama kau berada di sini.”
”Aku akan
berusaha mencapai terowongan tempat Ki Hok Kui berada…”
Raja Obat
menarik napas dalam lalu berkata, ”Puluhan tahun berada di sini aku telah
berulang kali mencoba hal itu. Lewat mulut terowongan di dalam laut selalu gagal
karena terhalang oleh ikan-ikan hiu buas. Pernah pula kucoba untuk membobol
dari atas sini agar ada jalan tembus ke terowongan di bawah sana namun sia-sia
saja. Jari-jari tanganku tak mampu melakukannya. Setiap kucungkil batu merah di
atas terowongan dengan jari-jari tanganku secara aneh beberapa hari kemudian
batu itu membentuk lapisan baru di atasnya.”
“Menurutmu
apakah Ki Hok Kui masih hidup di bawah sana?” tanya Wiro.
”Itulah
yang aku masygulkan…” sahut Raja Obat.
”Apakah
kau pernah mencium bau busuknya mayat manusia?”
Raja Obat
menggeleng.
”Kalau
orang itu masih hidup tentu dia sudah tua renta sepertimu. Kalau ternyata dia
sudah meninggal lama, berarti sia-sia semua apa yang telah aku lakukan!”
”Kau
memiliki ilmu pukulan yang hebat. Bagaimana kalau kau coba membobolkan
terowongan sebelah atas agar bisa tembus ke terowongan sebelah bawah?”
“Aku akan
coba! Baiknya sekarang juga. Tapi… Raja Obat, apakah kau tidak kedinginan hanya
menutupi tubuhmu dengan sehelai kain sekecil itu?”
”Aku
sudah terbiasa dengan alam di pulau ini. Namun untuk sopannya biar aku
mengambil pakaian dulu. Aku tahu kau tak suka memandangi tubuh tua kurus kering
seperti jerangkong ini. Lain halnya kalau aku seorang gadis berwajah cantik dan
punya badan mulus. Ha… ha… ha… !”
Raja Obat
membawa Wiro ke sebuah lekukan batu. Di dalam lekukan batu ini terletak sebuah
peti terbuat dari besi yang bagian luarnya sudah karatan. Terdengar suara
berkereketan ketika penutup peti dibuka. Dari dalam peti ini Raja Obat
mengeluarkan sebuah jubah putih yang langsung dikenakannya. Dari sini dia
membawa Wiro ke pertengahan pulau batu di mana terdapat satu lobang yang
merupakan ujung sebuah terowongan. Dasar lobang digenangi air dan beberapa ekor
ikan sebesar ibu jari kaki kelihatan berkeliaran kian kemari.
“Itu
makananku…” kata Raja Obat sambil menunjuk pada ikan-ikan itu. ”Nah kau sudah
siap?”
“Apa yang
harus aku lakukan?” tanya Wiro.
“Kerahkan
tenaga dalam penuh. Lepaskan pukulan saktimu yang paling hebat. Hantam dasar
lobang itu. Di bawah sana ada sebuah lobang yang merupakan ujung terowongan di
mana Ki Hok Kui berada. Jika kau mampu menjebol dasar terowongan ini, kita akan
bisa melihat apakah Ki Hok Kui masih hidup dan apakah Kitab Putih Wasiat Dewa
Hu masih ada padanya…”
Wiro
segera melangkah lebih dekat ke tepi lobang. Tangan kanannya diangkat. Tenaga
dalam dialirkan penuh. Tangan kanan itu segera berubah menjadi seputih perak,
panas dan menyilaukan.
“Raja
Obat…” tiba-tiba Wiro berpaling dan turunkan tangannya.
”Ada
apa?” tanya si orang tua heran.
“Jika
lobang itu kuhancurkan, kau akan kehilangan tempat penampungan ikanikan yang
jadi santapanmu sehari-hari…”
Raja Obat
jadi terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 itu. “Eh, anak muda. Kau benar
juga. Tapi… Hemmm! Ya sudah! Hantam saja! Soal makananku biar kita pikirkan
nanti saja!” kata orang tua itu akhirnya.
Wiro lalu
angkat tangan kanannya. Tapi mendadak dia turunkan tangannya kembali dan
memandang pada Raja Obat.
“Eh, ada
apa lagi?” tanya orang tua itu.
”Bagaimana
kalau pukulan saktiku bukan saja menghancurkan lobang itu tapi menciderai
bahkan bisa membunuh Ki Hok Kui di bawah sana…?”
“Ah, ini
susahnya!” ujar Raja Obat sambil usap-usap dagunya yang berjanggut putih
panjang.
Tiba-tiba
Wiro ingat akan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. “Biar
kucoba…” katanya. Lalu matanya diarahkan tepat-tepat pada lobang batu merah.
Tenaga dalam dialirkan ke kepala. Sepasang matanya kemudian dikedipkan dua
kali.
”Eh, apa
yang tengah dilakukan anak ini,” bertanya Raja Obat dalam hati. Samar-samar
Wiro melihat sebuah lobang lain di bawah lobang yang ada di hadapannya. Namun
hanya itu yang mampu dilihatnya. Setelah itu seperti ada satu kekuatan dahsyat
menerpa ke arahnya membuat kepalanya terhuyung ke belakang dan kedua matanya
sakit laksana dicucuk.
“Kau
barusan melakukan apa?!” tanya Raja Obat.
Wiro
hanya menggelengkan kepala. Hatinya bimbang. Namun saat itu didengarnya Raja
Obat berkata. “Kau mau melakukan atau tidak? Tak ada jalan lain untuk
mengetahui apakah orang itu ada di terowongan kedua atau tidak. Terserah padamu
anak muda… Tugasku sudah selesai memberi petunjuk…”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Tadi aku memang tidak melihat apa-apa di dalam lubang
kedua. Namun mungkin saja Ki Hok Kui berada di dalam terowongan, tak jauh dari
lobang itu…”
“Bagaimana
Wiro?!” Raja Obat bertanya dengan nada mendesak.
“Baiklah.
Aku terpaksa melakukan. Kalau orang Cina itu sampai mati oleh pukulan saktiku,
dosanya biar kau yang tanggung!”
“Apa?!
Tunggu dulu! seru Raja Obat. “Enak saja kau bicara!”
Wiro
menyeringai.
“Kalau
kau tak mau menanggung sendirian, baik. Kita bagi dua. Kau menanggung separuh,
dosa yang separuh lagi aku yang tanggung. Adil ‘kan?!”
“Gila!”
maki Raja Obat.
“Dunia
ini memang sudah gila Raja Obat. Suka atau tidak kita sebenarnya telah ikut
larut dalam kegilaan itu!” jawab Wiro pula.
“Kalau
begitu kau hantamlah!” kata Raja Obat akhirnya.
“Tidak,
sebelum kau mengatakan setuju dosa pembunuhan ini dibagi dua!”
Raja Obat
menggerutu panjang pendek. “Sukamulah! Aku menurut saja!”
****************
BAB X
DIDAHULUI
satu bentakan keras Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam lobang. Sinar putih
menyilaukan berkiblat. Satu dentuman keras menggelegar. Pulau batu merah itu
bergetar laksana dilanda gempa. Baik Wiro maupun Raja Obat sama-sama
terpelanting dan jatuh duduk beberapa tombak jauhnya dari lobang terowongan.
”Kau tak
apa-apa, Raja Obat?” tanya Wiro.
“Aku
baik-baik saja, cuma pantatku terasa geli-geli!” jawab Raja Obat yang membuat
Wiro tergoncang-goncang menahan tawa. “Ayo kita lihat apa hasil hantamanmu!”
Kedua
orang itu segera bangkit berdiri dan melangkah ke tepi lobang batu merah. Dua
pasang mata memandang terperangah dan melotot ke dalam lobang batu lalu saling
pandang satu sama lain.
“Kau
saksikan sendiri Wiro. Ada kekuatan aneh yang tak bisa kita tembus…”
Wiro garuk-garuk
kepala dan terduduk di tepi lobang. ”Tidak mungkin… Tidak mungkin!” katanya
berulang kali.
“Apa yang
tidak mungkin?” tanya si Raja Obat.
Wiro tak
menjawab. Dia berdiri dan melangkah cepat ke arah satu gundukan batu merah
setinggi manusia yang terletak kira-kira lima tombak dari tempat mereka berada.
Dua tombak dari gundukan batu itu Wiro berhenti. Tangan kanannya diangkat ke
atas. Tenaga dalam dikerahkan. Lalu “wuusss!”
Sinar
putih panas berkiblat.
”Braaakkk!
Byaaarr!”
Satu
dentuman keras menggelegar.
Gundukan
batu di depan sana hancur berantakan. Setiap kepingan yang mencelat ke udara
seolah berubah menjadi bara menyala dan mengepulkan asap!
Raja Obat
terkesiap menyaksikan kejadian itu. Sebaliknya seperti tak percaya Wiro
memandang hancuran batu lalu perhatikan tangan kanannya.
“Orang
tua, kau saksikan sendiri pukulan Sinar Matahari yang baru kulepaskan sanggup
menghancurkan gundukan batu besar, tebal dan tinggi itu. Lalu…” Wiro berpaling
ke arah lobang terowongan. Penasaran, dengan langkah cepat dia mendatangi,
berdiri di tepi lobang lalu menghantam.
Untuk
kesekian kalinya pulau batu merah itu dilanda gelegar dentuman dan bergetar
hebat. Wiro yang berada di tepi lobang terbanting jatuh punggung. Raja Obat
tergontai-gontai lalu roboh!
Tak
perduli tulang punggung dan tulang pantatnya sakit murid Sinto Gendeng cepat
berdiri dan melangkah ke tepi lobang batu. Si Raja Obat mengikut dari belakang.
Ketika keduanya memandang ke bawah, masing-masing sama keluarkan seruan
tertahan. Seperti tadi, lobang batu itu tidak mengalami kerusakan sedikitpun.
Air laut tergenang jernih dan ikan kecil-kecil masih berenang kian kemari!
Raja Obat
pegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. “Wiro, ada satu kekuatan yang tak bisa
kita kalahkan. Mungkin ini membawa pada satu petunjuk…”
”Bagiku
petunjuknya sudah jelas,” kata Pendekar 212 pula.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
tidak berjodoh dengan Kitab Putih Wasiat Dewa itu!”
“Jangan
cepat berputus asa…”
“Raja
Obat, aku bukan orang yang mudah menyerah. Tapi kalau kenyataan begitu rupa
kurasa tak ada gunanya…”
”Dengar
anak muda! Dengar dulu ucapanku! Tujuh puluh tahun silam. Sehari setelah Ki Hok
Kui amblas ke dalam terowongan kedua, pada malam harinya aku bermimpi. Tidak…
Bukan bermimpi! Tapi ada yang datang padaku. Mula-mula aku dengar suara tiupan
seruling. Tak lama kemudian menyusul gelegar suara auman binatang buas yang
menggetarkan seantero pulau. Setelah itu muncul bayangan seorang tua bertubuh
sangat tinggi. Mengenakan selempang kain putih. Bola matanya berwarna biru
angker. Dia memegang sebatang tongkat kayu putih. Di pinggangnya tersisip
sebuah salung, yakni seruling khas orang seberang. Dia tidak datang sendiri
tapi membawa seekor binatang besar. Seekor harimau putih yang memiliki mata
hijau menggidikkan. Sosok tubuh mereka antara ada dan tiada, seolah terbuat
dari asap atau kabut tipis. Namun apa yang diucapkannya cukup jelas masuk ke
telingaku. Aku masih ingat katakatanya.
”Pangeran
Soma, anak manusia bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Aku Datuk Rao
Basaluang Ameh dan sahabatku ini adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Hari ini
sesuatu telah terjadi di pulau dan kau tahu apa yang terjadi itu".
Seorang
anak manusia yang datang dari negeri jauh atas kehendak Yang Kuasa telah
tersesat ke pulau ini dan mendekam dalam terowongan batu yang menjadi sumber
kehidupanmu. Dia datang membawa sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat
Dewa. Kitab ini berusia ratusan tahun dan dititipkan secara turun temurun pada
orangorang tertentu. Kitab ini mengandung satu ilmu kesaktian yang mampu
membendung angkara murka disebabkan oleh perbuatan manusia-manusia iblis. Hanya
ilmu dalam kitab inilah yang akan sanggup menumpas ilmu jahat dan segala ilmu
hitam yang hendak menguasai dunia secara keji.
Namun
kitab ini hanya berjodoh pada satu orang yang telah ditentukan oleh takdir.
Tujuh puluh tahun dari sekarang orang itu akan muncul di pulau ini.
Kepadanyalah kau harus memberi tahu di mana kitab itu berada. Kau berada di
bawah satu amanat. Jika kau memberitahukan hal ihwal kitab itu pada orang lain
yang tidak berhak, maka malapetaka akan jatuh atas dirimu…”
Raja Obat
memandang pada Wiro dan berkata. “Waktu itu entah aku sadar entah tidak, aku
bertanya pada orang tua yang muncul membawa harimau putih itu. Datuk Rao, tujuh
puluh tahun bukan kurun waktu yang pendek. Apakah aku masih akan hidup selama itu?
Sang Datuk menjawab. Pangeran Soma soal umur, soal hidup dan mati manusia hanya
Tuhan yang tahu. Kau tak usah pertanyakan hal itu Aku masih belum puas. Lalu
aku bertanya lagi. Siapa adanya orang yang akan muncul itu? Bagaimana aku tahu
bahwa dialah orangnya? Datuk Rao menjawab. Lihatlah ke samping kirimu Pangeran.
Perhatikan
baik-baik. Kau akan melihat bayangan orang yang kumaksudkan itu. Aku lalu
berpaling ke kiri. Tiba-tiba saja seperti dalam kabut, aku melihat sosok
seorang pemuda kekar, berambut gondrong, mengenakan pakaian serba hitam.
Bajunya tidak berkancing. Tiupan angin menyingkapkan pakaiannya dan aku melihat
ada tiga rajah di dadanya. Angka 212! Sosok yang kulihat itu ternyata adalah
dirimu, Wiro! Ketika tadi pertama kali aku melihat kau aku tahu bahwa memang
kaulah orang yang aku tunggu selama kurun waktu tujuh puluh tahun itu. Sebelum
pergi Datuk Rao Basaluang Ameh mengajarkan sebait nyanyian padaku. Aku
menyanyikan lagu itu pada saat aku mengetahui kedatanganmu di pulau ini.”
”Bagaimana
kau bisa mengetahui kedatanganku?” tanya Wiro ingin tahu.
”Datuk
Rao juga memberikan sebuah benda aneh padaku. Katanya pada saat aku mengetahui
kau akan datang batu itu harus aku letakkan demikian rupa lalu merapal satu
bacaan. Lalu berseru begini:
Terbanglah
tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun
menukik
bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di
dalam
dirimu ada petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal
malapetaka.
Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di delapan penjuru
angin.
Gusti Allah tempat semua kekuatan itu berpulang menjadi satu. Batu sakti batu
pembawa
petunjuk. Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik
bumi.
Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa”
Wiro ternganga
mendengar ucapan si orang tua. Sambil memegang lengan Raja Obat dia berkata.
”Aku Ingat! Waktu itu hari baru berganti malam dan aku baru saja sadar dari
pingsan. Sebelumnya memang aku mendengar ada nyanyian aneh. Kau yang bernyanyi.
Lalu belum sempat aku berdiri tiba-tiba di angkasa aku melihat ada sebuah benda
bercahaya melayang turun cepat sekali. Laksana kilat! Kukira bintang jatuh! Aku
jadi kaget setengah mati ketika menyadari benda bercahaya itu jatuh ke arahku,
masuk ke dalam batok kepalaku! Aku menjerit. Sekujur tubuhku terasa dingin
bukan kepalang seolah aku dipendam di dalam gunung es. Ketika aku siuman ada
beberapa keanehan. Luka di keningku sembuh dengan sendirinya. Lalu aku sadari
penuh dalam pingsanku aku melihat apa yang terjadi di daratan Tiongkok masa
tujuh puluh tahun lalu sampai akhirnya Ki Hok Kui dibantai secara keji dan
mencebur masuk ke dalam laut tak jauh dari pulau ini.”
Raja Obat
anggukkan kepalanya beberapa kali lalu berkata. “Kedatanganmu telah kuketahui
dalam mimpiku malam tadi. Aku melihat satu ombak besar bergulung menuju pulau
batu merah ini. Di atas ombak aku lihat sosok dirimu. Dari mimpi itu aku sudah
maklum bahwa kau akan segera datang ke tempat ini. Itu sebabnya dari pagi aku
sudah duduk menunggu sambil melantunkan nyanyian yang diajarkan Datuk Rao
Basaluang Ameh…” Raja Obat hentikan keterangannya. Dia menatap pada pemuda yang
duduk di hadapannya. Sejurus kemudian dia berkata lagi. “Kau tadi menyebut
Delapan Sabda Dewa. Dalam kemunculannya tujuh puluh tahun lalu Datuk Rao pernah
menyebutnya…Apa kau ingat unsur-unsur delapan sabda itu?”
Wiro
mengangguk.
“Coba kau
sebutkan,” kata Raja Obat pula ingin menguji.
“Tanah,
air, api, udara, bulan, matahari, kayu dan batu…”
Si orang
tua tersenyum lalu mengangguk-angguk. “Hebat! Kau bisa mengingat semua. Datuk
Rao pernah memberi tahu padaku. Tapi otakku tidak setajam otakmu. Aku selalu
lupa delapan sabda itu. Apalagi kalau disuruh menyebut sesuai urut-urutannya…”
Wiro
menghela napas panjang.
“Anak
muda, kau tampak gelisah, tapi juga masih ada bayangan putus asa pada wajahmu…”
“Kau
berulang kali mengatakan kitab itu berjodoh padaku. Tapi buktinya aku ataupun
kau tak mampu berbuat apa-apa. Rasanya lebih baik aku meninggalkan tempat ini.
Mungkin aku perlu minta petunjuk lebih jauh dari tua-tua dunia persilatan.
Mungkin juga menemui Ratu Duyung untuk bertanya…”
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin terdiam.
”Aku
tidak tahu bagaimana harus mencegahmu. Aku yakin sekali bahwa Kitab Putih Wasiat
Dewa memang sudah ditakdirkan jatuh ke tanganmu, sesuai dengan petunjuk gurumu
dan dua tokoh silat yang kau katakan itu, juga sesuai amanat Datuk Rao. Yang
kau perlukan hanyalah bersabar dan mencari jalan mencari akal…”
”Bersabar
telah jadi bagianmu. Kau telah bersabar selama tujuh puluh tahun menunggu
kedatanganku. Mencari jalan dan mencari akal ada baiknya juga menjadi
bagianmu…”
“Wiro,
apa jadinya kalau kitab sakti itu sampai jatuh ke tangan orang lain? Tugasmu
adalah mendapatkan kitab itu untuk menyelamatkan dunia persilatan…."
"Apa
yang kau ucapkan barusan memang betul orang tua. Tapi aku dapat mengukur
kemampuan sendiri. Aku tak mungkin mendapatkan kitab itu. Jika sampai jatuh ke
tangan orang lain maka itu adalah takdir yang sebenarnya. Aku mohon maaf dan
aku merasa lebih baik pergi saja…."
Baru saja
Wiro berkata begitu tiba-tiba ada satu suara merdu terdengar di udara di antara
desau angin laut.
"Kita
belum saling bertemu bertatap muka. Mengapa buru-buru hendak meninggalkan pulau
yang indah ini?!"
Raja Obat
dan Wiro sama-sama terkejut. Serta merta keduanya palingkan kepala.
****************
BAB XI
Kalau
Raja Obat Delapan Penjuru Angin terkesiap dan tak percaya melihat ada seseorang
tahu-tahu muncul di pulau batu merah itu maka sebaliknya murid Sinto Gendeng
keluarkan seruan lalu bersiul panjang.
"Aaaaahhhhh….
Mungkin yang ini yang berjodoh denganku!" kata Wiro sambil pentang matanya
lebar-lebar.
Di
hadapan mereka saat itu berdiri seorang gadis mengenakan baju panjang hitam
berbunga-bunga putih. Wajahnya cantik sekali dan sikapnya genit. Dia berdiri
sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dan senyum bermain di mulut. Kecantikan
dan sikap genitnya inilah yang membuat Wiro tadi sampai keluarkan siulan
panjang.
"Gadis
cantik aku menghormatimu sebagai tetamu. Katakan siapa dirimu…." Raja Obat
menegur.
Gadis tak
dikenal itu masih memandang pada Wiro. Tanpa mengalihkan matanya dia menjawab
pertanyaan Raja Obat.
"Orang
tua kau menganggap aku sebagai tetamu. Rupanya kau merasa diri jadi pemilik dan
tuan rumah di pulau batu gersang tak berpenghuni ini. Kalau begitu mengapa kau
tidak segera menyuguhkan minuman untuk tamu agungmu ini?" Habis berkata
begitu si gadis tertawa ha-ha hi-hi.
"Aha!"
ujar Wiro. "Suaramu semerdu kicau burung, tawamu semerdu buluh perindu.
Kalau aku boleh bertanya naik apa kau datang kemari?"
Si gadis
tersenyum dan kedipkan matanya.
”Hemmm…
Jelas aku ke sini tidak jalan kaki! Hik…hik…hik! Maunya aku ke sini digendong
olehmu! Hik… hik… hikk! Aku bukan burung jadi tak bisa terbang! Pemuda ganteng
tapi tolol! Tentu saja aku ke sini naik perahu!”
Mendengar
jawaban orang Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Aku senang dengan gadis sepertimu.
Cantik dan pandai bergurau…”
Raja Obat
memotong ucapan Wiro. “Kau kemari tidak secara kebetulan, bukan?”
“Apa kau
kira aku sengaja ke sini untuk menyambangi dirimu dan melihat tampangmu yang
jelek ini? Hik…hik…hik. Masih banyak pemuda gagah di dunia ini yang sedap untuk
dipandang. Terus terang aku menyesal tersesat ke tempat ini. Masih untung ada
seorang pemuda gagah di sini! Hik…hik…hik… Kalau tidak kacau sudah
pemandanganku! Hik…hik…hik!
”Kau
belum menerangkan siapa dirimu…” kata Wiro lalu bangkit berdiri dan melangkah
ke arah si gadis. Terpisah tinggal tiga langkah dari hadapan gadis itu
tiba-tiba Wiro mendengar ada suara mengiang di telinganya.
“Wiro,
jaga jarakmu dan hati-hatilah. Aku melihat siapa gadis ini sesungguhnya. Di
balik wajahnya yang cantik aku melihat wajah seorang nenek berdandan
mencorong…”
“Eh?!”
Wiro berpaling ke arah Raja Obat karena dia tahu orang tua itulah yang barusan
menyampaikan ucapan itu padanya. Dalam hati Wiro berkata. “Aku tidak buta. Yang
kulihat jelas seorang gadis cantik jelita. Tapi Raja Obat tak mungkin berdusta.
Apakah
gadis ini siluman laut yang menampakkan diri sebagai gadis cantik?” Wiro lalu
amati sepasang kaki si gadis. Tapi pakaiannya yang dalam menjala batu tempatnya
berdiri membuat Wiro tak bisa melihat kaki si gadis. Penasaran Wiro maju
mendekat.
“Maafkan
kalau aku sedikit jahil!” kata Wiro. Lalu dengan cepat tangan kirinya
menyingkap bagian bawah pakaian panjang gadis itu. Wiro melihat sepasang kaki
berkasut menginjak batu dan dua betis putih bagus.
“Dia
bukan setan bukan siluman!” kata murid Sinto Gendeng dalam hati. “Bagaimana
Raja Obat bisa bicara begitu tadi…” Lalu Wiro turunkan kembali pakaian si
gadis.
Gadis di
hadapannya dongakkan kepala dan tertawa panjang. “Kau sudah melihat betisku
yang putih dan bagus. Mengapa tanggung-tanggung. Apakah kau tidak ingin melihat
bagian tubuhku yang lain-lain?”
Paras
belang Raja Obat Delapan Penjuru Angin berubah. Sebaliknya Wiro Sableng tertawa
lebar. Enak saja mulutnya nyeplos bicara. “Kalau rejeki kami memang besar
mengapa tidak ingin? Bukankah menolak rejeki termasuk salah satu dosa?”
“Hik…hik…
hik! Pemuda ganteng, aku suka cara bicaramu. Kau suka bergurau, aku juga.
Rupanya kita punya sifat dan selera sama. Hemm. Kau bisa jadi kekasihku…”
Gadis
cantik itu keluarkan lidahnya yang merah basah dan beberapa kali membasahi bibirnya
dengan ujung lidah. “Kalau kau memang jujur mau melihat tubuhku, aku tidak akan
menutup rejekimu. Tapi bagaimana dengan sahabatmu orang tua berjubah putih
itu?”
Bagian
putih wajah Raja Obat kelihatan menjadi merah. Lalu Wiro enak saja menjawab.
“Tua atau muda sama saja. Yang namanya laki-laki tidak ada beda. Sekarang
terserah kau…”
Si gadis
tersipu-sipu. Dia berpaling pada Raja Obat lalu berkata. “Orang tua, kalau kau
memang tidak suka tutup saja matamu. Atau menoleh ke belakang. Tapi lebih aman
kalau kau angkat kaki meninggalkan tempat ini…”
”Sudah,
tak usah perdulikan dia!” ujar Wiro. “Apa yang hendak kau pertunjukkan padaku?”
Si gadis
melirik ke arah Raja Obat. Orang tua itu tidak beranjak dari tempatnya. Juga
tidak menoleh ke belakang atau memejamkan matanya.
”Kau
benar!” kata si gadis tiba-tiba pada Wiro.
”Benar
apa?” tanya Pendekar 212.
“Tadi kau
bilang laki-laki itu tua atau muda sama saja. Sahabatmu orang tua itu ternyata
tidak berpaling, tidak memejamkan mata dan juga tidak pergi dari sini. Berarti
dia juga suka! Hik… hik… hik…”
”Wiro…”
tiba-tiba mengiang suara Raja Obat di telinga Pendekar 212. “Aku memang tidak
berpaling, tidak memejamkan mata dan juga tidak pergi dari sini. Ada satu
keanehan pada gadis itu. Aku sudah melihat. Cuma sayang kau tidak percaya.
Apapun pendapatmu aku tetap di sini dengan mata terpentang. Aku khawatir dia
tadi telah mencuri dengar apa yang kita bicarakan.”
Wiro
sesaat garuk kepalanya sambil menatap wajah cantik di depannya.
“Kau
sudah siap?” tanya si gadis.
Wiro
mengangguk.
Gadis
berpakaian hitam berkembang putih itu gerakkan kedua tangannya ke bawah
menyingsingkan pakaian ke atas. Makin ke atas, makin ke atas dan lalu dengan
gerakan cepat tahu-tahu pakaian itu sudah tanggal dari tubuhnya!
Sepasang
mata Pendekar 212 terpentang lebar. Darahnya mengalir lebih cepat dan sekujur
tubuhnya mendadak sontak menjadi panas menyaksikan gadis cantik tanpa selembar
benangpun kini menutupi auratnya, tegak hanya dua langkah di hadapannya dengan
kaki terkembang dan tangan bertolak pinggang. Sikapnya benar-benar menantang.
Lain halnya dengan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Walau sepasang matanya
menatapi tubuh telanjang itu namun pandangannya tampak kosong dan di balik
kebugilan si gadis itu justru dia melihat sesuatu yang membuat hatinya
diam-diam merasa cemas.
“Pemuda
ganteng! Sekarang aku menantangmu!” kata si gadis sambil kembali ulurkan
lidahnya yang merah.
“Menantang
bagaimana maksudmu…?” tanya Wiro.
Si gadis
tertawa cekikikan. “Kau pura-pura tidak tahu padahal aku tahu nafsumu sudah
sampai di tenggorokan! Hik…hik…hik. Dengar aku sudah menanggalkan seluruh
pakaian. Sekarang kutantang agar kau juga membuka semua pakaianmu. Bukankah
kita punya selera sama?!”
“Ah…”
Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau sekedar melihatmu begini siapa saja suka. Aku
paling nomor satu. Tapi kalau kau suruh aku membuka pakaian, walah! Aku tidak
mau jadi orok lagi!”
”Kau
sungguhan tidak mau menikmati apa yang kau lihat?
“Aku
sungguhan. Melihat saja bagiku sudah cukup. Aku tak berani lebih dari itu…”
”Kau
tidak merasa rugi?”
”Rugi
tidak, untung juga tidak. Anggap saja impas!” jawab Wiro sambil menyeringai
sementara di belakangnya Raja Obat Delapan Penjuru Angin jengkel bukan main
melihat sikap dan mendengar kata kata Pendekar 212 itu.
”Dengar,
tidak sepuluh tahun sekali aku mempelihatkan diriku seperti ini. Kalau aku
sudah mengenakan pakaianku walau kau minta sambil menangis air mata darah aku
tak bakal mau menanggalkannya kembali!”
“Gadis
cantik, sebaiknya kau kenakan pakaianmu kembali. Kalau masuk angin kau bisa
berabe,” kata Wiro pula.
”Hemm…
Kau juga tak ingin menyentuh tubuhku? Kau tinggal pilih bagian mana yang kau
senang…”
”Terima
kasih…”
“Kau
berlagak malu karena ada orang tua itu disini?”
”Bukan
begitu. Sinar matahari mulai menyengat. Sayang kalau kulitmu yang mulus sampai
disengat panas…”
Gadis itu
tersenyum. “Kau jujur. Aku suka padamu. Baiklah, aku tidak akan mempermainkan
dirimu lebih lama. Akan kuperlihatkan padamu siapa aku sebenarnya…” Habis
berkata begitu si gadis lalu goyangkan pinggulnya.
****************
BAB XII
MURID
Sinto Gendeng tergagau dan keluarkan seruan tertahan. Dua matanya masih
terpentang lebar tapi kini dia menyaksikan satu pemandangan berbeda seperti
langit dan bumi. Sementara itu Raja Obat Delapan Penjuru Angin tetap tenang
walau diam-diam dia tetap berwaspada. Di hadapan Wiro kini bukan lagi tegak
seorang gadis berwajah cantik dengan tubuh polos mulus. Wajah cantik itu kini
telah berubah menjadi wajah seorang neneknenek yang dilumuri bedak setebal
dempul. Sepasang alis mata diberi penghitam dan mencuat ke atas. Bibir dan pipi
semerah saga. Tubuh telanjang yang tadi begitu bagus dan mulut putih kini telah
berubah menjadi tubuh kurus kering berkulit keriput. Sepasang payudaranya yang
tadi membusung kencang kini hanya tinggal sepasang daging leper menjijikkan.
Yang tetap sama dari manusia ini hanya sanggul rambut di kepalanya hitam dan
rapi. Perlahan-lahan si nenek kenakan pakaiannya kembali.
Sambil
garuk-garuk kepala Wiro bertanya. ”Nenek cantik, siapa kau ini sebenarnya?”
Dipanggil
nenek cantik perempuan berdandan mencorong di hadapan Wiro tertawa mengekeh.
”Seumur hidup baru sekali ini ada orang yang memanggil aku dengan sebutan itu.
Nenek cantik! Aku suka panggilan itu. Kau benar-benar suka membanyol. Aku
senang bergurau. Kita rupanya benar benar cocok satu sama lain. Apakah kau
masih suka kujadikan kekasihku?”
Ditanya
begitu Pendekar 212 jadi mesem-mesem dan kembali garuk-garuk kepalanya.
“Eh, aku
memperhatikan. Kalau sedang menghadapi sesuatu yang membuatmu tercekat kau
selalu menggaruk-garuk kepalamu… Untung!”
”Untung
bagaimana?” tanya Wiro tidak mengerti.
”Untung
kau menggaruk kepalamu yang sebelah atas. Kalau kau menggaruk kepala yang lain…
Hik… hik… hik!”
Wiro
terbatuk-batuk mendengar ucapan si nenek. ”Kau belum mengatakan siapa dirimu
sebenarnya,” ujar murid Sinto Gendeng.
”Juga
harap terangkan ada keperluan apa kau datang ke sini?” ikut bicara Raja Obat.
Si nenek
julurkan kepalanya ke arah Raja Obat. ”Eh, kukira kau sudah tidur tadi…”
katanya sambil senyum-senyum. “Kalau menurut umur seharusnya aku cocok
denganmu. Tapi maaf saja sobatku tua, aku lebih suka dengan anak muda ini walau
aku tahu dia belum tentu suka padaku. Hik… hik… hik…”
“Apakah
kau tidak mau menerangkan siapa dirimu?” tanya Wiro.
”Hemmm…
Apa susahnya menerangkan diriku,” jawab si nenek. Tapi mendadak dia putuskan
ucapannya dan mendongak ke langit.
”Eh,
kampret tua ini mengapa tiba-tiba menangis?” ujar Wiro dalam hati ketika
melihat si nenek teteskan air mata. Air mata itu segera berguling di atas kedua
pipinya yang berbedak tebal.
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin juga terheran heran melihat perihal si nenek.
”Nek, ada
apa kau menangis…?” Wiro bertanya seraya ulurkan tangan dan memegang lengan
kiri perempuan tua itu. Yang dipegang lalu meremas tangan Wiro dengan jari-jari
tangan kanannya. Sesaat kemudian pegangannya dilepaskan.
“Aku
mempunyai seorang saudara kembar… Namanya tak perlu kalian tahu! Dia dikenal
dengan julukan Iblis Tua Ratu Pesolek…” Sampai di situ si nenek hentikan
ucapannya. Dia menyeka air mata di kedua pipinya.
Di saat
yang sama Wiro mendengar suara Raja Obat mengiang di telinganya.
“Aku
pernah dengar siapa adanya Iblis Tua Ratu Pesolek itu. Seorang nenek yang mau
melakukan kejahatan apa saja asal diberi imbalan barang berharga seperti perhiasan,
uang. Kalau saudaranya jahat kurasa yang satu ini tidak seberapa beda. Tetap
waspada anak muda. Dia bisa merubah dirinya menjadi seekor singa lapar yang
siap menyergapmu…”
Wiro
tidak perdulikan peringatan Raja Obat. Dia malah berkata pada si nenek.
“Kalau
saudara kembarmu itu berjuluk Iblis Tua Ratu Pesolek, apakah kau menyandang
gelar Iblis Muda Ratu Pesolek…?”
Yang
ditanya tersenyum sedikit namun senyum itu tidak dapat menutup kesedihannya.
“Aku tidak menyandang gelar apa-apa. Tapi orang-orang brengsek di dunia
persilatan memanggilku Iblis Putih Ratu Pesolek. Mungkin ini disebabkan karena
aku punya cara dan jalan hidup yang bertentangan dengan kakak kembarku itu…”
“Lalu apa
maksud kedatanganmu ke pulau ini dan pakai menyamar serta telanjang segala dan
tahu-tahu kini menangis?” tanya Wiro.
“Walau
kakakku orang jahat tapi dia tetap kakak kembar sedarah sedaging. Beberapa
waktu yang lalu aku mendengar dia menemui ajal dibunuh orang. Aku berusaha
mencari jenazahnya untuk diurus baik-baik. Di samping itu aku sudah punya tekad
bulat untuk mencari siapa pembunuh jahanam itu dan membalaskan sakit hati
dendam kesumat kematian kakak kembarku…”
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin menarik napas lega karena mengetahui bahwa perempuan tua
itu datang ke pulau bukan untuk membuat kejahatan walau tadi segala
perbuatannya membuat dia jadi panas dingin. Namun orang tua ini kembali jadi tidak
enak ketika mendengar Wiro ajukan pertanyaan.
“Lalu kau
kira apakah pembunuh kakak kembarmu itu ada di pulau ini? Dia mungkin?!” Wiro
enak saja tudingkan ibu jari tangan kanannya ke arah Raja Obat.
Iblis
Putih Ratu Pesolek gelengkan kepala. “Aku ke sini sebetulnya tersesat tidak
sengaja… Dalam perjalanan di laut selatan aku melihat sebuah benda melayang di
udara.
Mula-mula
kukira burung atau kelelawar. Tapi ketika benda itu jatuh di lantai perahu
ternyata adalah satu kepala manusia, busuk dan terpanggang. Tak dapat kukenali.
Namun satu hal kuketahui kepala itu datangnya dari arah pulau ini. Lalu aku
coba menyelidik kemari. Yang kutemui kau yang ganteng dan temanmu yang tua
jelek itu!”
Wiro
tersenyum dan berpaling pada Raja Obat yang saat itu dilihatnya jadi meringis
asam mukanya yang belang.
“Iblis
cantik…” kata Wiro perlahan. ”Apakah kau sudah tahu siapa pembunuh kakak
kembarmu itu?”
Si nenek
rapikan sanggulnya, permainkan ujung lidahnya di atas bibir. Sikapnya yang
mendendam tertutup oleh gayanya yang genit. Dia mengangguk. “Mereka berdua…”
jawabnya. “Sepasang manusia setan…”
“Apa?!”
Wiro bertanya setengah berseru karena mendadak saja dia ingat pada dua musuh
besarnya.
“Yang
satu bernama Tiga Bayangan Setan. Jahanam satunya dikenal dengan nama Elang Setan!”
“Ah! Kita
punya musuh-musuh yang sama rupanya!” ujar Wiro.
“Apa
maksudmu?” tanya si nenek. “Apa mereka juga membunuh kakak kembarmu?!”
Kalau
tidak menahan diri Wiro hampir meledak suara tawanya. “Aku tidak punya saudara
kembar. Kalau punya pasti kasihan dia…”
“Eh,
kasihan bagaimana?” tanya Iblis Putih Ratu Pesolek pula sambil kerenyitkan
keningnya hingga sepasang alisnya yang tebal hitam tambah mencuat ke atas.
“Tampangku
sudah begini jelek. Kalau punya kakak kembar pasti tampangnya lebih jelek!”
Iblis
Putih Ratu Pesolek tatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu meledaklah tawa si
nenek ini.
”Wiro!
Kita punya urusan besar! Mengapa kau membuang waktu berkonyolkonyol melayani
perempuan itu!” Suara Raja Obat tiba-tiba mengiang di telinga murid Sinto
Gendeng. Tapi Wiro cuma tenang saja dan memberi isyarat dengan gerakan tangan
agar Raja Obat mau bersabar.
“Satu
hari suntuk aku mendengar senda guraumu aku bisa ngompol habishabisan!”
Iblis
Putih Ratu Pesolek berucap sambil menyeka pipinya kiri kanan. Setelah hentikan
ketawa dia lalu ajukan pertanyaan.
“Tadi kau
menerangkan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan juga adalah musuh-musuh
besarmu. Perbuatan keji apa yang telah mereka lakukan terhadapmu?”
“Mereka
berdua berniat membunuhku. Mereka berhasil dan pergi begitu saja, tidak mengira
kalau aku sebenarnya masih hidup. Seseorang kemudian menolongku. Aku selamat
namun dua senjata mustika milikku mereka curi…”
“Senjata
apa?”
Wiro
hendak menerangkan tapi lewat kepandaiannya mengirimkan suara secara diam-diam
Raja Obat memperingatkan. “Wiro, jangan memberi keterangan banyak pada orang
yang tidak kau ketahui siapa dan bagaimana dirinya…”
Wiro
melangkah mendekati Raja Obat dan bicara setengah berbisik. ”Dia secara jujur
menceritakan diri dan keadaannya. Menurutmu apakah aku perlu membatasi diri?
Siapa tahu dia malah bisa membantu…”
Raja Obat
terdiam lalu setelah menarik napas dalam dia berkata. “Terserah padamulah anak
muda…”
“Eh, apa
yang dikatakan sahabat tuamu itu?’ tanya Iblis Putih Ratu Pesolek ketika Wiro
kembali ke hadapannya. “Tidak apa-apa, dia cuma mau mengatakan sedang sakit
perut dan mau buang hajat. Aku bilang silahkan saja tapi aku tidak menjamin
kalau nanti kau diam-diam akan mengintipnya waktu buang hajat!”
”O…
lala!” si nenek pelototkan mata tapi kemudian tertawa gelak-gelak. “Apa
untungnya aku mengintip tubuh peot begitu? Paling-paling aku cuma akan melihat
terong bonyok! Hik…hik…hik!”
Kedua
orang itu jadi sama-sama tertawa riuh membuat Raja Obat selain heran juga
jengkel dan mengomel dalam hati habis-habisan.
Setelah
puas tertawa Wiro lalu menerangkan. ”Senjata milikku yang dicuri dua manusia
setan itu adalah sebilah kapak bermata dua dan pasangannya sebuah batu hitam…”
Iblis
Putih Ratu Pesolek mendongak ke langit. ”Aku tidak seperti kakakku suka malang
melintang kemana mana di rimba persilatan. Tapi kalau kau menyebut kapak
bermata dua, setahuku di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki
senjata seperti itu. Apakah kau Pendekar…?”
Si nenek
tidak teruskan ucapannya saking hatinya terguncang keras.
”Dugaanmu
tepat. Aku monyet jelek yang dijuluki orang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Gelar gila padahal kemampuanku dibanding dengan dirimu aku masih kalah jauh…”
“Anak
muda, nama besarmu sudah bertahun-tahun kudengar dengan penuh rasa kagum.
Rejekiku sungguh besar kalau hari ini aku bisa bertemu denganmu. Kau pandai
merendah diri. Aku benar-benar suka padamu. Jika Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan pernah berniat keji hendak membunuh lalu mencuri dua senjata mustikamu
sedang mereka juga adalah musuh-musuh besarku, berarti kita memang berjodoh
satu sama lain. Paling tidak untuk sama-sama seperjalanan mencari dua bangsat
itu! Terakhir sekali ada yang melihat mereka berada di muara Kali Opak, tengah
bicara dengan seorang gadis yang membawa tujuh buah payung.”
“Gadis
membawa tujuh buah payung? Ah, dialah yang menyelamatkan aku dari tangan dua
setan itu…” Saat itu Wiro jadi terkenang pada Puti Andini yang berjuluk Dewi
Payung Tujuh dan rasanya ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu.
“Kabarnya
dia cantik dan berilmu tinggi…” kata si nenek seolah cemburu.
“Tidak
secantikmu di masa muda,” jawab Wiro yang membuat Iblis Putih Ratu Pesolek jadi
terbatuk-batuk beberapa kali.
“Pendekar
212, kau pandai mengajuk hati orang. Apakah kau menerima ajakanku pergi
seperjalanan?”
”Nenek
cantik, terus terang aku suka pergi sama-sama dengan kau. Namun…”
”Namun!
Nah buntutnya ini yang jelek!” kata si nenek yang sudah maklum kalau sang
pendekar tak mungkin diajaknya pergi sama-sama.
“Jangan
salah mengira. Selain masih punya urusan yang belum selesai di tempat ini, aku
juga mendapat keterangan bahwa dua senjata mustikaku itu telah diserahkan oleh
dua setan tadi pada seseorang…”
“Berarti
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah diperalat seseorang untuk membunuhmu
dan mencuri kapak serta batu mustika itu… ‘
“Tepat
sekali!”
“Apa kau
sudah tahu siapa biang racunnya?”
Wiro
anggukkan kepala. “Dia musuh bebuyutanku, seorang pendekar sesat dikenal dengan
julukan Pangeran Matahari”
Paras si
nenek mendadak sontak berubah. Jangan-jangan dia juga yang membunuh saudara
kembarku…”
”Kau
harus memastikan hal itu agar tidak kesalahan tangan…”
“Tapi
bagaimanapun juga Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memang sudah saatnya
harus disingkirkan dari muka bumi. Kejahatan mereka sudah bertumpuk, lebih
tinggi dari gunung! Dan bangsat yang bernama Pangeran Matahari itu kabarnya
telah memiliki satu ilmu baru. Ilmu Iblis yang bersumber pada sebuah kitab…”
(Seperti diketahui yang membunuh Iblis Tua Ratu Pesolek adalah Pangeran
Matahari. Baca Episode I: Wasiat Iblis)
“Kitab
Wasiat Iblis! Dia memang telah memiliki kitab itu. Yang akan menjadikannya raja
di raja dunia persilatan…”
“Kalau
tidak ada yang mencegah kiamatlah dunia persilatan ini…”
“Nenek
cantik, mengingat kau juga digelari orang sebagai perempuan iblis, maaf bicara
aku masih belum tahu kau ini di pihak mana adanya…”
Si nenek
tersenyum. ”Tadi sudah kukatakan, jalan hidupku berbeda dengan kakak kembarku.
Nasib dan mukaku yang jelek. Tapi hatiku rasa-rasanya tidak seperti itu. Cuma
terus terang sebagai manusia biasa walau mungkin sudah bau-bau tanah kalau ada
lelaki yang mau bercumbu denganku masakan aku menolak. Apa kau punya minat anak
muda? Kalau kau sudah tua sepertiku nanti, kelak kau akan merasakan sendiri
bahwa rangsangan itu makin dikekang semakin mau meledak. Kalau kau tidak
percaya coba tanyakan saja pada kawanmu si tua itu. Tapi kurasa dia malu-malu
mengakuinya, hik…hik…hik!” Iblis Putih Ratu Pesolek lalu tertawa cekikikan.
“Nenek
cantik, perbedaan antara kita tidak menghalangi untuk bersahabat…”
“Hanya
bersahabat, tidak pakai cumbu-cumbuan segala?” tanya si nenek.
“Itu bisa
kita bicarakan nanti…”
“Anak
muda gila!” makian itu mengiang di telinga Wiro. “Jangan kau berani membuat
janji dan memberikan harapan pada orang seperti dia. Sekali dia menagih dia
akan mengejarmu sampai ke liang kubur sekalipun!”
Wiro
garuk-garuk kepalanya.
“Kau
menggaruk kepala, pasti ada sesuatu yang menyekat hatimu. Aku tahu sejak tadi
sahabat tuamu secara diam-diam mengirimkan ucapan-ucapan padamu walau aku tidak
tahu apa yang dikatakannya…”
“Tak usah
perdulikan sahabatku itu. Dia orang tua yang baik…”
”Baiklah
pemuda gagah. Aku sungguh gembira bisa bertemu dengan pendekar besar yang
selama ini kukagumi segala tindak tanduknya. Aku setuju dengan kata-katamu
tadi. Persahabatan melebihi segala-galanya. Tapi kalau ada bumbu-bumbunya tentu
akan lebih sedap bukan?” Si nenek mendongak ke langit. “Matahari sudah tinggi.
Aku harus tinggalkan tempat ini untuk mencari manusia keji penyebab kematian
kakak kembarku.
Sebelum
pergi aku ingin tanyakan satu hal padamu. Apakah hari sepuluh bulan sepuluh
punya arti bagimu?”
“Hari
sepuluh bulan sepuluh…?” ulang Wiro dan coba mengingat-ingat. Lalu dia
menggelengkan kepala walau agak meragu.
“Ini ada
artinya bagimu?” tanya si nenek lagi. Lalu dari balik dada pakaiannya dia
mengeluarkan secarik kertas yang sudah lecak. “Bacalah!” katanya seraya
menyerahkan kertas itu pada Wiro.
Wiro
mengambil kertas yang disodorkan. Di situ tertera sebait tulisan. Hari Sepuluh
Bulan Sepuluh di Pangandaran.
Begitu
membaca apa yang tertulis di kertas tersebut paras Pendekar 212 mendadak
berubah. Dia lalu tepuk kepalanya sendiri. ”Astaga!” desisnya.
“Kau
ingat sekarang, anak muda?” ujar si nenek.
Wiro
mengangguk. “Dari mana kau mendapatkan surat ini? Siapa yang membuatnya?”
“Seorang
sahabat…”
“Iblis
Pemabuk?”
“Nah, kau
sudah tahu orangnya?” kata Iblis Putih Ratu Pesolek pula. “Hari sepuluh bulan
sepuluh masih cukup lama. Kalau tidak mungkin bertemu lagi berarti kita akan
bertemu pada hari tersebut. Eh, apakah kau sudah mendapat undangan serupa dari
si pemabuk aneh itu! Karena dia lebih banyak membunuh orang daripada
menunjukkan sikap bersahabat.”
“Aku
bertemu dengannya di tempat kediaman Ratu Duyung…”
”Ratu
Duyung!” seru si nenek. Lalu berdecak berulang kali. “Kau sungguh beruntung
bisa masuk ke tempat kediamannya. Eh, apakah kau sudah diajaknya tidur? Hik…
hik… hik!”
Wiro
tertawa lebar. “Pertanyaanmu ada-ada saja nenek cantik…”
Si nenek
kembali mendongak ke langit. “Sayang matahari sudah tinggi. Aku harus pergi
sekarang, sebelum pergi apakah aku boleh menciummu?”
Wiro
belum sempat menjawab ataupun menyingkir tahu-tahu.
“Cup!
Cup!”
Pipinya
kiri kanan kena dicium si nenek. Ketika dia memandang ke depan Iblis Putih Ratu
Pesolek telah berkelebat pergi. Hanya suara tawa cekikikannya terdengar
menggema di seantero pulau perlahan-lahan sirna di kejauhan.
“Enak dicium
orang itu?” tanya Raja Obat sambil senyum-senyum sementara Wiro gosok-gosok
pipinya kiri kanan dengan kedua tangan. Wiro mendekat dan duduk di hadapan si
orang tua. “Raja Obat rasanya akupun harus bersiap pergi…”
”Kau
hendak melupakan Kitab Putih Wasiat Dewa begitu saja? Mengabaikan tugas dari
guru dan dua tokoh persilatan yang kau hormati? Menganggap enteng bencana besar
yang bisa membuat kiamat rimba persilatan?”
Wiro
terdiam sesaat. “Aku tidak mungkin dapatkan kitab sakti itu. Mungkin saat ini
belum entah nanti. Itu sebabnya aku pergi untuk mencari petunjuk lebih lanjut.
Mungkin aku harus menemui ketiga orang itu…”
Raja Obat
gelengkan kepala. “Petunjuk sudah kau terima. Di mana beradanya kitab itu sudah
kau ketahui. Tinggal kita mencari akal bagaimana mendapatkannya.”
“Satu-satunya
jalan adalah terowongan di bawah laut yang kau katakan itu. Tapi ikan-ikan hiu
pemangsa manusia berkeliaran di sana…” kata Wiro. “Obat bubuk batu merahmu,
apakah bisa dipakai untuk meracuni ikan-ikan itu?’
“Obatku
untuk menyembuhkan makhluk, bukan untuk membunuh,” jawab Raja Obat pula.
”Kalau
aku masuk ke dalam laut dan membunuh binatang-binatang itu dengan pukulan Sinar
Matahari…”
“Itu
lebih celaka lagi, Wiro. Setiap kau membunuh seekor ikan hiu di sekitar mulut
terowongan, sepuluh kawannya akan muncul membantaimu!”
“Kalau
begitu jelas tak ada jalan untuk mendapatkan kitab itu. Kita juga tidak tahu
apakah Ki Hok Kui masih ada di dalam lobang sana… Lalu apa gunanya kita
berdebat?”
“Bukan
berdebat anak muda, tapi mencari segala akal. Aku ingin, semua orang juga
ingin, jika kau meninggalkan pulau ini Kitab Putih Wasiat Dewa sudah menjadi
milikmu…”
“Apa yang
harus aku lakukan…?” ujar Wiro perlahan.
Ditanya
seperti itu Raja Obat juga tak bisa menjawab. Sekonyong-konyong di kejauhan
terdengar suara orang berteriak.
“Penghuni
pulau, aku datang menjalankan amanat! Harap beri tanda dimana kau berada!”
Suara
teriakan itu menggema keras dan untuk beberapa lamanya baru lenyap dari
pendengaran Raja Obat dan Wiro Sableng. Saat teriakan menggema batu pulau yang
diduduki kedua orang itu ikut bergetar.
“Gangguan
baru datang pula…” kata Raja Obat.
“Yang
datang orangnya pasti memiliki kepandaian sangat tinggi serta tenaga dalam
sempurna,” ujar Wiro pula.
Raja Obat
berdiri. Sekali berkelebat orang tua ini melesat dan naik ke atas sebuah batu
besar di tempat ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat orang yang
berteriak itu jauh di sebelah barat pulau. Saat itu Wiro sudah melesat pula dan
tegak di samping Raja Obat.
”Melihat
caranya datang dengan memberi tahu lebih dulu berarti orang ini siapapun adanya
dia punya niat baik. Lekas kau beri tanda agar dia tahu kita berada di sini.”
”Tanda
akan aku berikan. Namun aku tidak setuju dengan ucapanmu. Bahwa orang itu punya
niat baik baru bisa dibuktikan kalau kita sudah menyelidik. Hati-hati dan
jangan bertindak lengah!”
Raja Obat
lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
”Aku ada
di sini! Jika datang membawa maksud baik silahkan kemari. Jika membawa maksud
keji terselubung lebih baik segera angkat kaki!”
Teriakan
Raja Obat tak kalah hebatnya dengan teriakan orang tadi. Pendatang di sebelah
barat segera melihat Raja Obat dan Wiro di puncak batu itu. Dia balas
mengangkat tangan lalu berlari mendatangi.
****************
BAB XIII
DALAM
waktu singkat orang itu sudah sampai di hadapan Wiro dan Raja Obat. Ternyata
dia seorang lelaki muda bertubuh tinggi kekar, mengenakan pakaian serba putih
yang tidak dikancing hingga dadanya yang penuh otot terpentang lebar. Keningnya
diikat dengan sehelai kain putih. Rambutnya berombak tebal dan panjang. Di atas
sepasang matanya yang memandang dengan sikap tajam melintang sepasang alis
tebal hitam. Bibirnya yang tipis panjang dan hidungnya yang tinggi menandakan
kekerasan hati. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah kuyup.
“Orang
muda, kau telah berhadapan dengan penghuni pulau. Harap jelaskan siapa dirimu
dan ada keperluan apa datang ke sini.” Menegur Raja Obat.
Mendengar
ucapan itu, orang yang barusan datang segera menjura lalu menganggukkan kepala
pada Wiro.
“Kau
tentu Raja Obat Delapan Penjuru Angin, aku gembira akhirnya bisa menemuimu.
Namaku Mahesa Kelud. Aku datang menjalankan amanat dari Ratu Duyung…”
Wiro dan
Raja Obat saling berpandangan.
“Jadi
Ratu Duyung yang mengirimkanmu ke pulau ini?’ tanya Raja Obat.
Pemuda
itu mengangguk. Dia berpaling pada Wiro. Sekali lagi dia menganggukkan kepala
memberi hormat “Kau tentunya Pendekar 212 yang terkenal itu…”
“Ah,
bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wiro.
“Ratu
Duyung yang mengutusku kemari sebelumnya telah memberi tahu bahwa kelak di
pulau ini selain bertemu dengan Raja Obat, aku juga akan bertemu dengan seorang
pemuda gagah bergelar Pendekar 212…”
“Tempat
kediaman Ratu Duyung rasanya sangat jauh dari sini. Bagaimana kau bisa
menemukan pulau ini dengan mudah?” bertanya Wiro.
“Tidak
mudah, aku menghabiskan waktu sehari penuh. Itupun dibantu dengan panduan anak
buah Ratu Duyung dan ditarik beberapa ekor ikan lumba-lumba…”
“Jadi kau
kesini setengah berenang… Pantas pakaianmu basah kuyup…”
“Kira-kira
begitu…” jawab orang yang mengaku bernama Mahesa Kelud.
“Apa
amanat yang kau bawa hingga Ratu Duyung mengutusmu ke sini?” tanya Raja Obat.
”Sebelumnya
Ratu Duyung berulang kali memantau lewat cermin saktinya. Dia mengetahui
kesulitan yang kalian hadapi di tempat ini…”
“Kesulitan
apa?’ tanya Wiro.
“Dia
tidak mengatakan dengan rinci. Cuma memberi tahu bahwa kalian tengah mengalami
kesulitan dan aku harus membantu…”
“Kalau
kau tidak tahu kesulitan yang kami hadapi bagaimana mungkin bisa membantu?” ujar
Raja Obat pula.
“Ratu
Duyung hanya mengatakan agar aku menghancurkan batu merah, membuka jalan sebuah
lobang di bawah pulau…”
Terkejutlah
Raja Obat dan Pendekar 212 mendengar kata-kata orang yang tidak mereka kenal
itu.
“Hanya
itu yang dikatakannya, tak ada hal-hal lain?” bertanya Raja Obat.
Mahesa
Kelud menggeleng. Baik Raja Obat maupun Wiro Sableng tidak dapat memastikan
apakah orang ini benar-benar tidak mengetahui perihal Kitab Putih Wasiat Dewa
itu.
“Saudara
muda kami sangat berterima kasih dan menghargai kedatanganmu. Namun kami
meragukan apakah kau bisa menolong kami dari kesulitan. Sebelumnya kami berdua
telah bekerja keras namun sia-sia. Kau diamanatkan untuk menghancurkan batu
merah. Kau membawa peralatan apa?’
Atas
pertanyaan Raja Obat itu Mahesa Kelud mengangkat kedua tangannya lalu
mengepalkan tinjunya.
“Aku cuma
punya sepasang tangan ini. Raja Obat…”
Kembali
Raja Obat dan Wiro Sableng saling berpandangan.
“Pukulan
sakti Sinar Matahari saja tidak mampu menjebol batu merah di bagian lobang itu.
Kalaupun aku memiliki Kapak Naga Geni 212 saat ini juga belum tentu senjata
mustika itu akan mampu menjebol lapisan batu merah. Dia sesumbar mampu menjebol
batu merah dengan mengandalkan sepasang tinju! Benar-benar konyol! Tetapi aku
tak boleh terlalu memandang sebelah mata. Bukankah ada ujar-ujar yang
mengatakan di atas langit masih ada langit lagi…?!” Begitu Pendekar 212 berkata
dalam hati.
“Raja
Obat dan Pendekar 212, aku tidak punya waktu banyak. Tunjukkan bagian mana yang
harus kujebol nanti akan kukerjakan…”
“Kucing
besar yang basah kuyup ini kuharap saja tidak bermulut besar. Biar aku menguji
lebih dulu!” kata Wiro dalam hati.
“Sobat,
kami berdua ingin melihat kemampuanmu. Coba kau hantam batu merah besar di
samping kananmu itu.”
Mahesa
Kelud berpaling ke kanan. ”Aku tidak menyalahkan kalian. Sebelumnya kita tidak
saling kenal. Tahu-tahu aku muncul berlagak seperti seorang maha jago. Tapi
jika kalian ingin mengujiku, mana mungkin aku menampik?!”
Habis
berkata begitu Mahesa Kelud maju mendekati batu besar. Tangan kanannya
berkelebat.
“Bukkkk!”
“Byaaarrr!”
Batu
merah sebesar sosok tubuh gajah yang kena jotosan Mahesa Kelud hancur lebur
berantakan. Wiro garuk-garuk kepala. “Dengan salah satu pukulan sakti aku juga
mampu menghancurkan batu itu. Tapi apakah dia mampu menghancurkan batu di
lobang ujung terowongan sana?”
“Orang
muda kau telah memperlihatkan satu hal yang luar biasa. Bagaimana aku tahu
bahwa kau benar-benar dikirim oleh Ratu Duyung dan tidak datang dengan maksud
culas.”
Mendengar
ucapan itu Mahesa Kelud menjawab. “Menurut Ratu Duyung Pendekar 212 mempunyai
kemampuan untuk melihat jauh. Saat ini Ratu Duyung sengaja menunggu, siap
dengan cermin saktinya. Jika kau mengadakan sambung rasa pasti kau akan mampu
melihat sang Ratu dan mendapatkan tanda-tanda darinya.”
Raja Obat
memandang pada Pendekar 212. “Aku hanya memiliki ilmu Menembus Pandang. Tak
mungkin dipergunakan untuk melihat jauh…” kata Wiro pula.
“Ratu
menyadari hal itu. Itu sebabnya dia sengaja menunggu sampai kau melakukan
sesuatu. Katanya lewat cermin sakti dia akan menyalurkan tenaga dalam dan hawa
aneh hingga kau sanggup melihatnya walau terpisah sangat jauh…”
Murid
Sinto Gendeng segera kerahkan tenaga dalamnya ke kepala lalu kedipkan sepasang
matanya dua kali berturut-turut. Kepalanya bergoyang-goyang oleh munculnya satu
gelombang angin halus. Sesaat kemudian dia melihat laut membiru. Lalu ada
cahaya matahari seolah keluar dari dalam laut.
Kemudian
walaupun samar-samar dia melihat sebuah benda memantulkan sinar menyilaukan.
Itulah pantulan cahaya yang jatuh pada cermin yang dipegang Ratu Duyung. Tak
selang berapa lama Wiro melihat wajah sang Ratu menganggukkan kepala beberapa
kali. Lalu perlahan-lahan bayangan wajah itu lenyap.
“Aku
melihat sang Ratu. Dia memberi tanda yang bisa dipercaya bahwa kau memang
utusannya…”
Raja Obat
lalu memegang bahu Mahesa Kelud. ”Ikuti aku…” katanya. Orang tua ini
berkelebat. Tubuhnya melayang turun dari bukit batu, dengan cepat dia berjalan
menuju lobang di ujung terowongan. Mahesa Kelud mengikuti. Wiro menyusul di
belakang.
Tak lama
kemudian mereka sampai di pertengahan pulau di mana terletak lobang pada ujung
terowongan. Raja Obat berdiri di pinggir lobang.
“Ini
lobangnya. Dasar lobang dulunya rengkah akibat gempa. Kemudian secara aneh
bertaut kembali. Sanggupkah kau menjebolnya dengan kekuatan pukulanmu?”
“Semoga
Tuhan membantu kita semua,” jawab Mahesa Kelud pada Raja Obat Delapan Penjuru
Angin. Dia melangkah ke tepi lobang batu.
“Tunggu
dulu!” seru Wiro.
“Ada apa
Wiro?” tanya Raja Obat.
”Kita
perlu memberi tahu bahwa di bawah lobang ini ada sebuah lobang lagi. Ki Hok Kui
besar kemungkinan berada di sana. Jika pukulan yang menjebol lantai lobang
sebelah atas sempat mengenai dirinya…”
“Jangan
khawatir Pendekar 212… Pukulanku hanya akan menghancurkan benda yang kita
inginkan. Sekalipun ada sehelai rambut di belakang batu itu niscaya tidak akan
tersentuh… Hanya saja kita terpaksa membunuh ikan-ikan kecil itu.”
Baik Wiro
maupun Raja Obat menjadi lega mendengar keterangan Mahesa Kelud itu.
Lalu
lelaki ini kerahkan tenaga dalamnya dan disalurkan pada sepuluh jari tangan
yang telah mengepal membentuk tinju. Otot-otot lengan Mahesa Kelud mengembang.
Uratnya bertonjolan. Rahangnya mengencang. Tiba-tiba dia melompat masuk ke
dalam lobang. Bagian tubuh sebelah atas masuk lebih dulu. Dua tangan menghantam
ke dasar lobang batu merah.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
“Byaarr!”
“Byaaar!”
Dua
jotosan dahsyat menghantam dasar lobang hingga hancur berantakan. Semua
hancuran batu merah dan ikan-ikan kecil tak satupun yang amblas ke dalam tetapi
mental dan muncrat ke atas lobang. Hebatnya lagi walau pecahan-pecahan batu
mengenai kepala dan mukanya namun Mahesa Kelud sama sekali tidak cidera barang
sedikitpun!
“Betul-betul
luar biasa!” seru Wiro ketika dia melihat sebuah lobang besar kini menganga di
bawah sana. Cukup untuk jalan masuk dua orang sekaligus. Raja Obat turun lebih
dulu disusul oleh Wiro sementara Mahesa Kelud tetap berdiri di luar. Masuk ke
dalam lobang ujung terowongan kedua mula-mula dua orang itu tidak dapat melihat
apa-apa. Selain cahaya matahari yang masuk agak terbatas juga debu hancuran
batu merah masih menghalang di sebelah atas.
Setelah
mendekam beberapa saat sepasang mata Wiro dan Raja Obat menjadi biasa dan bisa
melihat keadaan seluruh lobang bahkan sebagian terowongan sebelah kanan.
Memandang
berkeliling, mata Raja Obat membentur sesuatu di lantai lobang. Orang tua ini
tercekat dan tersurut satu langkah.
”Pendekar
212, kita terlambat. Ki Hok Kui telah lama menemui kematian. Tapi apa yang kita
cari berada di depan mata…” Raja Obat berkata.
Wiro
cepat menyorongkan badan dan kepalanya di samping sosok Raja Obat Delapan
Penjuru Angin. Memandang ke depan murid Sinto Gendeng melihat sebuah jerangkong
manusia tanpa tangan dan kaki tergeletak dalam keadaan utuh di lantai goa batu
merah arah terowongan. Pakaian yang melekat di tubuh tengkorak ini sebagian
besar sudah hancur. Pada tulang-tulang dada jerangkong tergeletak sebuah benda
yang tak lain adalah Kitab Putih Wasiat Dewa. Kitab yang terbuat dari daun
lontar ini ternyata dalam keadaan utuh walau ada beberapa bagian ujung sebelah
atas dan bawah mulai hancur dan tertutup lumut. Pada sampul kitab sebelah depan
jelas terlihat tulisan dalam huruf Jawa kuno :Kitab Putih Wasiat Dewa.
Sekian
lama mencari dan mengejar kitab sakti itu, begitu berhadapan Pendekar 212
justru merasa merinding sendiri dan tak berani langsung mengulurkan tangan
mengambilnya. Dalam hati malah dia sempat berkata. “Kitab sakti, bentuknya
biasa-biasa saja malah sudah butut…”
“Kau
tunggu apa lagi anak muda? Kitab yang kau cari sudah di depan mata.
Ambillah…”
Raja Obat memberi jalan pada murid Sinto Gendeng untuk mengambil kitab sakti
itu.
Mendengar
ucapan si orang tua Wiro dengan gemetar ulurkan tangan kanannya untuk mengambil
Kitab Putih Wasiat Dewa. Begitu jari-jari tangan Pendekar 212 menyentuh kitab
sakti tiba-tiba di kejauhan terdengar lantunan suara seruling. Bersamaan dengan
itu satu auman dahsyat menggelegar menggetarkan seantero pulau dan seolah hendak
merobohkan lobang dan terowongan dimana kedua orang itu berada. Wiro terkesiap
kaget dan cepat bertindak mundur sementara Kitab Putih Wasiat Dewa telah berada
dalam pegangannya.
“Dia
datang…” bisik Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
“Dia
siapa?” tanya Wiro tak mengerti.
“Kau
lihat saja. Sebentar lagi dia akan menampakkan diri…”
Wiro
memandang ke depan. Matanya dibuka lebar-lebar tapi diam-diam tengkuknya terasa
dingin juga dan lututnya bergetar. Di hadapannya di arah terowongan dia hanya
melihat benda tipis putih, entah kabut entah asap.
****************
BAB XIV
Perlahan-lahan
kabut tipis itu berubah membentuk dua sosok makhluk. Yang pertama adalah sosok
seorang tua bertubuh sangat tinggi, memiliki wajah gagah. Dia mengenakan
selempang kain putih. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat terbuat
dari kayu putih. Kegagahan wajahnya hampir tertutup oleh keangkeran sepasang
matanya yang berwarna biru, yang memandang seolah-olah menembus. Pada
pinggangnya orang tua ini menyisipkan sebatang saluang yakni sebuah suling
besar khas Minangkabau. Di sebelahnya mendekam seekor harimau besar berwarna
putih memiliki bola mata berwarna hijau. Dua makhluk yang muncul dari dalam
kabut putih ini adalah Datuk Rao Basaluang Ameh dan harimau pengiringnya Datuk
Rao Bamato Hijau. Bersamaan dengan terbentuknya sosok dua Datuk itu mendadak
sontak ruangan di dalam lobang dan terowongan menjadi sangat dingin hingga baik
Wiro maupun Raja Obat menggigil kedinginan. Padahal selama puluhan tahun Raja
Obat sudah terbiasa dengan dinginnya udara di pulau batu merah itu, tetap saja
orang tua ini menjadi goyah lututnya.
“Aduh,
mengapa udara tiba-tiba menjadi dingin! Kalau terus-terusan begini aku
bisa-bisa tak sanggup menahan kencing!” kata Wiro dalam hati padahal saat itu
tengkuknya sudah merinding oleh angkernya suasana.
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin segera membungkuk memberi hormat. Dia menendang kaki Wiro
agar segera memberi penghormatan.
“Eh, dua
makhluk ini sama dengan yang aku lihat sewaktu diriku tenggelam ke dalam arus
masa lampau…” pikir Wiro. Lalu dia cepat-cepat membungkuk.
“Pangeran
Soma…” Datuk Rao angkat bicara. “Tujuh puluh tahun kita tidak bertemu. Tujuh
puluh tahun kau membuktikan kesabaranmu, menunggu sesuai amanatku.
Hari ini
tugasmu selesai. Aku dan Datuk Rao Bamato Hijau mengucapkan terima kasih padamu
dan puji syukur pada Yang Maha Kuasa bahwa akhirnya apa yang kita rencanakan
tujuh puluh tahun lalu kini menjadi kenyataan walau seorang gagah dari kita
yaitu Ki Hok Kui telah mendahului. Ketahuilah Raja Obat, semua apa yang terjadi
adalah atas jalan dan kehendak Allah. Kita semua hanyalah para pelaku yang
memikul beban menjalankan tugas. Ada yang hendak kau sampaikan Pangeran?”
“Pertama
sekali kita memang patut memanjatkan puji syukur pada Gusti Allah yang telah
memberi kekuatan pada kita hingga semua apa yang Datuk inginkan bisa
terlaksana. Selanjutnya masih ada amanat yang harus kami laksanakan hingga
petunjuk lebih jauh dari Datuk sangat diperlukan.”
Datuk Rao
Basaluang Ameh mengangguk sedang Datuk Rao Bamato Hijau keluarkan gerengan
perlahan.
“Pangeran
karena semua tugas sudah kau laksanakan maka kau kini bebas untuk melakukan apa
saja. Namun jika aku boleh memberi petunjuk ada baiknya kau meninggalkan pulau
ini. Kembali ke Kerajaan. Di sana kau akan lebih banyak manfaatnya daripada di
sini. Di sana kau bisa berbuat lebih banyak kebajikan daripada di sini. Perlu
kau ketahui Ayahandamu Sri Baginda telah lama wafat. Kau harus merintis kembali
hubungan darah yang selama ini terputus dengan saudara-saudaramu…”
“Terima
kasih Datuk. Kata-kata Datuk akan saya perhatikan,” jawab Pangeran Soma alias
Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Datuk Rao
Basaluang Ameh memalingkan kepalanya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Pandangan sepasang mata biru angker itu membuat murid Sirrto Gendeng tercekat.
“Anak
manusia terlahir bernama Wiro Saksana, oleh gurumu kau diberi nama Wiro Sableng
dan oleh dunia persilatan kau dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Hari
ini akhirnya kita bertemu muka juga…”
“Astaga…”
membatin Wiro. ”Bagaimana makhluk ini bisa tahu nama asliku.”
Sang
Datuk melanjutkan. “Tujuh puluh tahun yang silam nama dan rupamu sudah tertanam
di alam gaib dan hanya beberapa orang pandai saja mengetahui. Lewat liku
perjalanan panjang, terakhir lewat mimpi si Raja Penidur kau akhirnya terlibat
penuh dalam urusan besar ini. Urusan menyelamatkan dunia persilatan dari kiamat
yang akan ditimbulkan oleh manusia-manusia keji berhati iblis. Hari ini Kitab
Putih Wasiat Dewa itu sampai di tanganmu. Karena memang begitu takdir
mengatakan. Tugasmu sangat berat. Kau harus menjaga kitab itu seperti menjaga
nyawamu sendiri sebelum kau akhirnya mempunyai kesempatan untuk memusnahkan
kitab hitam orang-orang sesat pembawa malapetaka yaitu Kitab Wasiat Iblis. Kau
telah mengetahui di tangan siapa beradanya Kitab Wasiat Iblis itu. Kejahatan
memang selalu satu langkah lebih dulu dari kebenaran. Tapi satu hal yang pasti
kebenaran tidak pernah tunduk dan kalah dari kejahatan. Dalam alam gaib yang
kau lihat ketika kau pingsan, kau telah mengetahui sebagian isi Kitab Putih
Wasiat Dewa. Aku tahu kau telah menghafal dengan baik apaapa yang disebut
sebagai Delapan Sabda Dewa. Tugasmu sekarang adalah membuka halaman kelima yang
selama ini tak satu orangpun diperkenankan membuka dan membaca apalagi
mempelajari isinya. Pulau batu merah ini adalah tempat yang baik bagimu untuk
meresapi segala isi Kitab Putih Wasiat Dewa yang hanya terdiri dari delapan
halaman itu. Tapi jika kau ingin pergi ke tempat lain yang kau lebih suka tak
ada yang melarang. Kitab itu hanya berjodoh denganmu. Bila kau telah selesai
mempelajari isinya harus kau simpan baik-baik. Karena kelak pada seratus tahun
dimuka baru ada orang lain yang berjodoh lagi dengan kitab itu. Sekarang harap
kau berlutut di hadapanku. Berlutut bukan berarti kau menyembahku atau aku
merasa lebih tinggi darimu. Hanya Tuhan yang disembah umat dan tiada manusia
yang lebih tinggi di mata Tuhan kecuali ketakwaannya…”
Dengan
menggoyangkan tongkat kayu putihnya Datuk Rao Basaluang Ameh memberi isyarat
pada Wiro agar maju lalu berlutut di hadapannya. Dengan menabahkan diri Wiro
melakukan apa yang diperintah. Dia maju sampai sejarak satu langkah dari
hadapan Datuk Rao Basaluang Ameh, lalu berlutut.
“Apa
gerangan yang hendak dilakukannya terhadapku?” membatin murid Sinto Gendeng.
Matanya melirik pada Datuk satu lagi yakni si harimau putih besar. Moncong
binatang ini hanya dua langkah dari hadapannya di sebelah kanan!
Datuk Rao
Basaluang Ameh meletakkan tongkat kayu putihnya di atas kepala Wiro. “Arahkan
kepalamu ke kanan dan ulurkan lehermu. Menunduk sedikit…”
Sesuai
yang diperintah Wiro Sableng putar kepalanya ke kanan, lehernya dipanjangkan
dan kepala agak ditundukkan. Dengan sikap seperti itu kepalanya berada sangat
dekat dengan mulut harimau putih. Napas sang pendekar mendadak menjadi sesak
dan lututnya bergetar keras.
“Datuk
Rao Bamato Hijau,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh seraya angkat tongkat putihnya
dari atas kepala Pendekar 212. ”Temanmu sudah siap…”
Harimau
putih besar itu menggereng keras. Wiro merasa seolah-olah dilemparkan mental ke
langit ke tujuh. Tiba-tiba binatang itu melangkah mendekatinya. Kepalanya
diulurkan dan mulutnya dibuka besar-besar. Lalu haummm!
Kepala
Pendekar 212 amblas masuk ke dalam mulut Datuk Rao Bamato Hijau! Nyawa murid
Sinto Gendeng serasa terbang. Selangkangannya mendadak sontak basah tanda dia
tak dapat lagi menahan kencingnya!
“Kalau
binatang ini sampai mengatupkan mulutnya, putus leherku!” ujar Wiro dalam hati.
Lututnya goyah.
Di dalam
mulut harimau Wiro merasa kepalanya dilanda hawa panas dan sejuk silih
berganti. Sekujur pakaian hitamnya telah basah oleh keringat. “Apa yang tengah
dilakukan binatang ini? Mau diapakan diriku ini oleh si Datuk…?” Wiro merasa
makin lama nafasnya makin pengap.
“Cukup
Datuk,” terdengar suara Datuk Rao Basaluang Ameh.
Datuk Rao
Bamato Hijau mengaum keras. Karena kepalanya masih berada di dalam mulut
harimau putih itu maka Wiro merasa seolah kepalanya pecah amblas disambar
petir. Sewaktu harimau putih menarik mulutnya, sekujur kepala Pendekar 212
kelihatan basah kuyup. Dari mata, hidung dan telinga serta mulutnya kelihatan ada
darah mengucur. Raja Obat tampak gelisah tetapi Wiro sendiri tidak merasa sakit
apa-apa.
“Datuk,
bersihkan dulu kepala dan muka temanmu,” kata Datuk Rao Basaluang
Ameh pada
sang harimau. Binatang ini ulurkan lidahnya. Lalu dengan lidah itu dijilatinya
seluruh kepala dan muka Pendekar 212. Rambut Wiro menjadi kering, noda-noda
darah di mukanya menjadi bersih.
Wiro
menarik napas lega. Lalu cepat-cepat mau berdiri.
“Tunggu,
pekerjaan Datuk Rao Bamato Hijau masih belum selesai,” kata Datuk Rao Basaluang
Ameh.
”Walah!
Mau diapakan lagi diriku ini?” pikir Wiro. Namun tak berani menolak atau
membantah.
“Ulurkan
tangan kananmu Pendekar 212. Lima jari tangan harus dikepal kuatkuat,” perintah
Datuk Rao.
Wiro
ulurkan tangan kanannya.
“Datuk…”
kata Datuk Rao Basaluang Ameh pada harimau putih di sebelahnya.
Binatang
ini maju dua langkah, ulurkan kepalanya dan buka lebar-lebar mulutnya.
“Haummmm!“
Tangan
kanan Wiro sampai sebatas siku lenyap masuk ke dalam mulut harimau itu.
“Gila!
Jangan sampai binatang ini kemasukan setan dan menggerogot putus tanganku!
Uhhh… Perutku mendadak sakit. Jangan-jangan aku sudah kecipirit!”
Sesaat
kemudian seperti tadi Wiro merasakan ada hawa panas dan sejuk menjalari
tangannya silih berganti.
“Cukup
Datuk…” kata Datuk Rao Basaluang Ameh. Harimau putih bersurut. Wiro cepat tarik
tangannya. “Untung tanganku masih utuh!”
“Buka
kepalanmu Pendekar 212 dan kembangkan telapak tanganmu lebar-lebar,” kata Datuk
Rao Basaluang Ameh selanjutnya.
Wiro
Sableng buka kepalan dan kembangkan telapak tangan kanannya lebar-lebar.
“Apa yang
kau lihat di telapak tanganmu Pendekar 212?” tanya Datuk Rao Basaluang Ameh.
Ketika
dia memperhatikan terkejutlah murid Sinto Gendeng. Raja Obat yang tegak di
sampingnya tak kalah kagetnya. Pada telapak tangan kanan Wiro tertera sangat
jelas gambar kepala harimau putih.
“A…ada
gambar kepala harimau putih Datuk…” jawab Wiro dengan mulut bergetar.
“Itu
gambar temanmu Datuk Rao Bamato Hijau. Berarti kini kau telah memiliki satu
kekuatan dahsyat Wiro. Jika kau tiup satu kali gambar itu akan lenyap. Jika kau
tiup lagi gambar itu akan muncul. Bersamaan dengan munculnya gambar itu tubuhmu
sudah dialiri kekuatan yang membuatmu mampu menghadapi lawan tangguh. Kau bisa
menghancurkan benda apa saja tanpa harus mengalirkan tenaga dalam. Tapi ingat
dan selalu ingat, setiap ilmu bukan segala-galanya…”
Wiro
masih melotot memandang telapak tangan kanannya lalu dia melirik pada Datuk Rao
Bamato Hijau. Harimau putih ini mengaum keras membuat Wiro tergagau dan Raja
Obat tersurut.
“Datuk
Rao Bamato Hijau, kita sekarang berteman. Jangan takuti diriku…”
Datuk Rao
Basaluang Ameh tersenyum. “Datuk Rao Bamato Hijau merasa senang berteman
denganmu. Kau tak usah takut padanya Wiro. Pada saat kau memerlukannya dia akan
muncul secepat kilat menyambar…”
Wiro mengangguk
tapi matanya kembali memandangi tangannya. Dia ingin tahu. Tangan kanannya itu
didekatkannya ke mulut. Lalu dia meniup. Gambar kepala harimau putih serta
merta lenyap. Wiro masih belum percaya. Kembali dia meniup. Gambar kepala
harimau itu kembali muncul!
“Pangeran
Soma dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tugas kami berdua sudah selesai. Kini tugas
besar menghadang kalian, terutama kau Wiro. Selamatkan dunia persilatan. Makin
cepat kau menyingkirkan Kitab Wasiat Iblis makin baik bagi rimba persilatan. Semuanya
kini mempertaruhkan diri dalam tanganmu Wiro. Jaga dirimu baikbaik. Jaga betul
Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Kau harus berhasil. Jika aku merasa perlu untuk
menyampaikan sesuatu padamu, aku akan muncul…”
“Terima
kasih Datuk Rao,” kata Wiro pada orang tua berselempang kain putih itu.
Lalu dia
berpaling pada harimau besar. Terima kasih teman…” Binatang ini buka mulutnya
lebar-lebar lalu mengaum keras seolah mengatakan sesuatu menyambut ucapan Wiro
tadi.
Datuk Rao
Basaluang Ameh berpaling pada Raja Obat dan berkata. “Beritahu pemuda ini agar
membersihkan tanda merah bekas kecupan bibir di kedua pipinya…”
Pendekar
212 terkejut dan cepat mengusap pipinya kiri kanan. Sementara itu
perlahan-lahan sosok dua makhluk di hadapannya kembali berubah menjadi kabut putih
tipis dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Hawa dingin yang tadi mencekam ikut
sirna. Keadaan di dalam lobang di ujung terowongan itu berubah menjadi panas.
Wiro memandang berkeliling.
“Aneh,
lobang batu sesempit ini bagaimana tadi kita berempat bisa berada di sini…?”
ujar Pendekar 212 terheran-heran Lalu dia pandangi tangan kanannya kembali.
“Orang
bernama Mahesa Kelud itu memiliki ilmu pukulan hebat luar biasa. Sanggup
menjebol batu di lobang. Menurut Datuk Rao kini aku sudah memiliki satu ilmu
yang hebat. Aku mau buktikan sampai di mana kehebatanku. Apa ilmu baruku
sanggup menghancurkan batu merah ini?”
Wiro
memutar tubuhnya menghadap ke dinding batu di ujung terowongan.
“Tanpa
tenaga dalam aku sanggup menghancurkan apa saja!” katanya. Lalu dia mundur
selangkah. Tangan kanannya dikepal. Hanya mengandalkan tenaga luar murid Sinto
Gendeng hantam batu merah di depannya. Langsung saat itu juga dia terpekik
sambil kibas-kibaskan tangan kanannya. Dinding batu di hadapannya sama sekali
tidak bergeming. Malah ketika memperhatikan ternyata jari-jari tangannya lecet
dan bengkak! Hampir terlepas ucapan kotor dari mulutnya. ”Raja Obat,
jangan-jangan aku sudah kena dimuslihati Datuk Rao. Kau dengar sendiri tadi
ucapannya mengatakan bahwa aku kini telah memiliki satu ilmu pukulan yang bisa
menghancurkan apa saja! Buktinya? Kau lihat sendiri tanganku! Untung tidak ada
jari-jariku yang patah!”
Raja Obat
Delapan Penjuru Angin tertawa lebar.
“Eh,
sudah aku ditipu orang dan kesakitan setengah mati kau malah menertawaiku!
Jangan-jangan kau berkomplot dengan dua makhluk asap tadi!”
“Anak
muda. jangan cepat menduga salah. Tak ada yang menipu memuslihatimu. Kau
sendiri yang salah!”
”Nah…nah!
Sekarang malah kau menuduhku yang salah! Apa-apaan ini sebenarnya?!”
“Waktu
kau memukul dinding batu merah itu, apakah di telapak tanganmu sudah ada gambar
temanmu si harimau putih itu?”
”Eh?!”
Wiro kembangkan telapak tangan kanannya. Dia lalu berpaling pada si orang tua
di sampingnya. “Kau betul… Memang aku yang ngaco!” katanya. Habis berkata
begitu lalu meniup telapak tangan kanannya. Serta merta di telapak tangan itu
muncul gambar kepala harimau putih. Lalu dia mundur kembali satu langkah.
“Sekarang!”
teriak Pendekar 212 sambil menghantam menjotos dinding batu di depannya.
Terdengar suara menggelegar. Dinding batu merah amblas hancur berantakan!
Murid
Sinto Gendeng jadi terperangah sendiri. “Kau betul Raja Obat. Datuk Rao dan
harimau putih itu tidak menipu. Aku yang tolol!” Lalu dia tiup telapak tangan
kanannya. Gambar kepala harimau putih serta merta lenyap.
Raja Obat
menepuk bahu Pendekar 212. “Simpan Kitab Putih Wasiat Dewa itu dan kita harus
keluar dari dalam lobang ini.” Lalu orang tua itu mendahului keluar dari dalam
lobang batu. Wiro cepat memasukkan kitab sakti ke balik pakaiannya. Tapi dia
tidak segera menyusul Raja Obat keluar dari dalam lobang. Dia melangkah ke
mulut terowongan di mana tergeletak sosok jerangkong Ki Hok Kui. Dipegangnya
batok kepala tengkorak dan diusapnya berulang kali sambil berkata.
“Kalau
kau masih hidup tentu sudah jadi kakek saat ini. Kakek Ki Hok Kui, jasamu
membawa Kitab Putih Wasiat Dewa ke tanah Jawa ini hanya Tuhan saja yang bisa
membalas dengan pahala besar. Aku harus pergi sekarang Kek. Aku berterima kasih
padamu. Semoga aku bisa melanjutkan tugasmu. Aku doakan agar kau mendapat
tempat yang paling baik di akhirat. Tapi doakan juga aku ya, agar aku berhasil
dan siapa tahu bisa jalan-jalan ke negeri leluhurmu di Tiongkok sana!”
Di atas
lobang Raja Obat yang sempat mendengar doa Wiro itu walau tidak sabaran tapi
jadi senyum-senyum juga mendengar segala apa yang diucapkan Wiro itu.
“Selamat
tinggal kakek Ki Hok Kui!” Wiro mengusap sekali lagi batok kepala tengkorak itu
lalu melesat keluar lobang.
Begitu
berada di atas lobang kembali yang pertama sekali dilakukannya adalah mencari
lelaki bernama Mahesa Kelud tadi.
“Eh,
kemana orang sakti yang tadi menolong kita menjebol dasar lobang batu merah…”
tanya Wiro sambil mencari-cari.
Raja Obat
memandang berkeliling. Tapi Mahesa Kelud memang tak ada lagi disitu.
“Rasanya
dia sengaja pergi duluan. Tidak mau berbasa basi menerima ucapan terima kasih
kita,” kata Raja Obat.
”Kelak
aku akan mencari orang gagah itu untuk menghaturkan terima kasih,” kata Wiro
pula. (Siapa adanya Mahesa Kelud harap baca serial Mahesa Kelud karangan
Bastian Tito)
“Aku
ingat pada ucapan Datuk Rao tadi. Rasanya memang sudah saatnya aku meninggalkan
pulau batu ini. Kembali ke Kotaraja. Kau mau sama seperjalanan denganku?” tanya
Raja Obat pada Pendekar 212.
“Aku suka
sekali pergi bersamamu. Namun ada satu hal yang aku pikirkan saat ini…”
“Apa…”
”Mungkin
ada baiknya aku kembali dulu ke tempat Ratu Duyung. Dia banyak membantuku dalam
usaha mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa ini. Dia juga memberiku ilmu yang
sangat berharga. Kalau bukan orang-orangnya yang menyelamatkan, aku tak akan
pernah sampai di pulau ini…”
”Hemmm..
Hutang budi memang satu hal yang sulit untuk dibayar. Apakah kau punya pikiran
untuk menolongnya dari penyakitnya? Membebaskannya dari kutukan dengan jalan
memenuhi permintaannya melakukan hubungan badan…?”
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. “Ratu Duyung pernah bercerita bahwa dia telah mencoba
menghubungimu untuk meminta obat penyembuhan…”
“Betul,
itu terjadi puluhan tahun lalu sewaktu aku masih dikucilkan di tengah hutan…
Aku tak bisa menolongnya. Penyakit karena kutukan tidak dapat disembuhkan
dengan obat.”
”Puluhan
tahun lalu katamu? Jadi berapa umurnya saat ini?”
”Seratus
tahun… Mungkin dua ratus tahun!” Jawab Raja Obat. “Eh, mengetahui umur Ratu
Duyung apakah kini kau jadi hilang selera?”
Wiro
tertawa lebar. “Terus terang aku tak bisa melupakannya. Aku harus menemuinya
kapan-kapan. Tapi kalau boleh aku bertanya mengapa dia tidak meminta lelaki
lain untuk melakukan hal itu. Misalnya lelaki muda yang gagah utusannya tadi si
Mahesa Kelud itu…”
Raja Obat
menggelengkan kepala. “Masalahnya bukan masalah nafsu Wiro. Tapi menyangkut
semacam kasih sayang tulus. Dia tak mungkin melakukannya dengan orang yang
tidak dicintainya…”
“Maksudmu…
Maksudmu Ratu Duyung mencintaiku?” tanya Wiro.
“Bukan
cuma dia Wiro. Tapi kalau bisa aku sebutkan satu persatu di antaranya
Pandansuri anak angkat almarhum Raja Rencong dari Utara. Lalu Anggini murid
Dewa Tuak. Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu masih ada Bidadari Angin Timur,
Dewi Payung Tujuh…”
“Sudah…
sudah!” seru Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Bagaimana kau bisa tahu semua
itu?!”
Raja Obat
tertawa mengekeh. “Tuhan memberikan beberapa kelebihan pada tua renta buruk
ini… Kalau saja aku masih muda sepertimu hemm…”
Wiro
membalas senda gurau Raja Obat itu dengan gurauan pula. “Kau menyesal terlanjur
lahir cepat? Walau sudah tua bukankah kau bisa meramu obat kuat hingga mampu
berbuat lebih hebat dari anak muda?! Ha… ha… ha! Kalau kau nanti meramu obat
kuat itu jangan lupakan diriku. Tinggalkan barang segenggam! Ha…ha…ha!”
Raja Obat
tertawa pencong lalu berkata. “Kau sudah siap meninggalkan pulau ini dan
seperjalanan denganku?”
”Tentu
saja!”
“Maaf
saja anak muda. Aku merasa malu berjalan sama-sama denganmu!”
“Eh,
memangnya ada apa Raja Obat?” tanya Wiro.
“Di
pipimu kiri-kanan masih ada tanda merah bekas kecupan Iblis Putih Ratu Pesolek
itu!”
“Eh,
bukankah tadi waktu di lobang sudah kubersihkan?!”
“Apanya
yang kau bersihkan. Tanda itu masih ada!”
“Jangan
bergurau Raja Obat!”
“Siapa
yang bergurau?!”
“Wah…
wah!” Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menggosok pipinya kiri kanan.
“Sudah hilang?” tanyanya pada Raja Obat.
Yang
ditanya menggeleng. Kini Wiro pergunakan baju hitamnya dan menggosok
keras-keras.
“Tetap
tidak hilang!” memberi tahu Raja Obat.
“Gila!
Alat pewarna bibir apa yang dipakai nenek setan itu. Jangan-jangan sebangsa cat
yang tak bisa dihapus. Tapi tunggu dulu. Aku belum mencoba yang ini!”
Wiro
ludahi kedua telapak tangannya kiri kanan. Dengan basahan ludah dia
membersihkan kedua pipinya.
“Percuma
saja Wiro. Tanda bibir bekas kecupan itu tak mau hilang. Kau harus mencari
sejenis minyak untuk menghilangkannya!”
“Mati
aku! Bagaimana aku bisa kemana-mana seperti ini?!“
“Agaknya
kau terpaksa memakai topeng atau memakai cadar!”
“Nenek
setan keparat!“ maki Wiro.
TAMAT
No comments:
Post a Comment