WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya : Bastian Tito
***************
1
PEMUDA
baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak bukit. Angin dari timur bertiup
melambai-lambaikan rambutnya yang gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak
tadi hampir tiada berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri
dengan megahnya pintu gerbang Kotaraja.
Sudah
hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu. Sudah jemu dan letih
matanya memandang terus-terusan ke arah pintu gerbang. Namun manusia-manusia
yang ditunggunya belum juga kelihatan muncul. Sebetulnya dia bisa menuruni
bukit itu dan langsung memasuki Kotaraja. Tapi dia ingat pesan gurunya, di
Kotaraja penuh dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat
kelas satu pentolan-pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu tinggi sehingga
menyelesaikan perhitungan di dalam Kotaraja sama saja mencemplungkan diri ke
dalam jebakan dimana dia tak mungkin lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan ke
luar maka itu ialah jalan kepada kematian! Dia menunggu lagi. Sekali-sekali dia
memandang ke jurusan lain untuk menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya.
Kemudian bila dia memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya
yang buntung sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan gurunya
sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan.
“Hari ini
kuperbolehkan kau meninggalkan tempat ini, Pranajaya. Tapi kelak dikemudian
hari kau musti kembali kemari untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini
kugodok. Kau pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang
telah membunuh kau punya bapak…. Tempo hari aku sudah pernah terangkan. Kau
masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu?”
“Mereka
adalah Tiga Setan Darah, guru,” jawab Pranajaya.
“Betul,”
kata sang guru.
“Ketiganya
berada di Kotaraja. Sudah sejak lama kuketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya
Baginda. Tapi ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu dengan
mereka di dalam Kotaraja. Itu barbahaya besar karena Kotaraja penuh dengan
tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan Baginda…“
“Dengan
bekal ilmu yang guru, wariskan serta pedang Ekasakti yang guru berikan tak satu
lawanpun yang saya takutkan di atas bumi ini. Apalagi saya tahu bahwa saya
berada di atas kebenaran!” Empu Blorok tersenyum dan rangkapken kedua tangannya
dimuka dada.
“Aku
sedang mendengar ucapan jantanmu,” kata Empu Blorok pula.
“Tapi
walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam Kotaraja sangat berbahaya bagi
keselamatan jiwamu. Di samping itu aku mengingat pula akan tugas yang hendak
kuberikan padamu. Jadi Prana, ringkas kata kau musti membereskan Tiga Setan
Darah di luar Kotaraja, bagaimana caranya terserah kau.” Sang murid
manggut-manggutkan kepalanya.
“Tadi
guru menyebutkan satu tugas untukku… Mohon penjelasan lebih lanjut,” kata
Pranajaya.
“Bila
perhitunganmu dengan Tiga Setan Darah telah selesai maka kau harus pergi ke
Pulau Seribu Maut.” Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak
pula tahu di mana letaknya. Maka diapun menanyakannya.
“Pulau
itu,” menjawab Empu Blorok, “terletak diujung timur pulau Jawa. Di situ bercokol
seorang manusia bernama Bagaspati.
Dulunya
dia adalah kawan baikku. Tapi kemudian mencuri sebuah senjata mustikaku dan
melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia membuat keonaran di mana-mana
dan berbuat kejahatan! Kau harus mengambil senjata muutika itu kembali dari
tangannya Pranajaya. KaIau dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti
dilakukan!”
“Baik
guru,” kata Pranajaya lalu tanyanya.
“Senjata
apakah yang telah dicuri oleh Bagaspati itu?”
“Sebuah
cambuk, Prana. Cambuk Api Angin namanya!”
“Tugas
dari guru akan aku jalankan. Mohon doa restu,” kata Pranajaya. Ketika dia
hendak pamitan Empu Blorok berkata, “Tunggu sebentar Prana. Masih ada yang
hendak kuterangkan padamu.” ”Soal apa guru?.”
“Soal
dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu…?” Prana memperhatikan tangan
kirinya lalu mengangguk. Aneh terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal
tangan itu, padahal sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok
dan sang guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu.
“Waktu
bapakmu dibunuh,” berkata Empu Blorok.
“Dia
sedang tidur di atas balai-balai di sampingmu. Tiga Setan Darah menyerbu masuk
dan salah seorang diantara mereka segera membacokkan sebilah pedang! Bapakmu
seorang yang berilmu tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut
itu dia segera melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang namun
akibatnya ujung pedang terus menyambar lenganmu dan membabat putus sikumu. Kau
saat itu masih orok, Prana… Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui
ajalnya. Sebelum Tiga Setan Darah mencincangmu, kakakku Empu Krapel berhasil
menyelamatkanmu dan menyerahkanmu kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup
mata, kalau tidak tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah begini!”
Pranajaya
terdiam seketika. Dendam membara di lubuk hatinya. Lalu tanyanya.
“Yang
manakah diantara Tiga Setan Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau
sedang tidur itu. Empu…?”
“Aku
kurang tahu, Prana” sahut Empu Blorok.
“Keterangan
kakakkku waktu membawa kau ke sini kurang jelas.” Karena tak ada lagi yang akan
dibicarakan maka Pranajaya berkata, ”Murid minta diri, guru. Muhon, doa
restumu….” Empu Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu sambil akhirnya
Pranajaya hilang dikejauhan. Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya ke
arah pintu gerbang Kotaraja. Suasana tidak berubah seperti tadi-tadi. Dua
pengawal berdiri di sisi-sisi pintu gerbang, masing-masing memegang sebatang
tombak. Tak ada yang lalu lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian.
“Sampai
berapa lama lagi aku musti menunggu?” tanya Pranajaya pada dirinya sendiri.
Hatinya kesal. Sebenarnya dia tidak takut memasuki Kotaraja untuk lekas-lekas
membuat perhitungan dengan Tiga Setan Darah. Malah ini adalah satu permulaaan
baginya untuk menjajaki sampai di mana ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya
ysng dimilikinya serta sampai di mana pula kehebatan tokoh-tokoh silat di
Kotaraja itu! Namun dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh
bertindak gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia musti
menunggu terus. Manunggu sampai Tiga Setan Darah keluar dari pintu gerbang
Kotaraja. Menurut keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang pengawal
istana yang disogoknya dengan sekeping emas, hari itu Tiga Setan Darah akan
meninggalkan Kotaraja, pergi ke satu tempat di selatan untuk satu keperluan
penting. Atau mungkin pengawal istana itu telah menjual keterangan dusta
kepadanya? Letih berdiri akhirnya Pranajaya duduk di tanah, bersandar ke
sebatang pohon. Sepasang matanya senantiasa ditujukan ke pintu gerbang Kotaraja
itu.SEMENTARA itu di Kotaraja ………. Orang itu berdiri di halaman belakang
istana. Dia telah menyelidik ke kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit
serta bulu tengkuk dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya di dalam kandang
kuda istana yang besar itu. Hatinya lega. Ini satu pertanda bahwa Tiga Setan
Darah masih berada di dalam istana. Orang ini menunggu siambil membayangkan
hadiah apa yang kira-kira bakal diberikan Tiga Setan darah kepadanya kelak. Dua
pengawal di pintu belakang Istana menjura hormat sewaktu tiga orang berjubah
merah, berambut dan bermuka yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah
cepat menuju kandang kuda. Orang laki-laki tadi segera mendekati Tiga Setan
Darah. Setelah menjura dia berkata, “Bolehkah aku bicara dengan kalian…?” Tiga
Setan Darah yang paling tua menghentikan langkahnya dan hendak mendamprat. Saat
itu bersama dua orang kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan panting
tapi kini ada seseorang yang mengganggu. Ini sangat menggusarkannya. Sewaktu
melihat bahwa laki-laki yang berkata tadi itu adalah seorang pengawal Istana
yang dikenalnya, Tiga Setan Darah tertua ini surut jugs sedikit amarahnya.
“Ada
perlu apa kau?!” tanyanya kasar.
“Ada
keterangan panting yang bakal kusampaiken Tiga Setan Darah.”
“Hemm…
Coba katakan cepat,” kata Setan Darah tertua sambil mengerling pada dua orang
kawannya.
“Seorang
asing hendak berbuat jahat tarhadap kalian bertiga….”
“Hah…
apa?!”
“Malam
tadi aku tengah makan di kedai,” menuturkan pegawai Istana itu. Namanya Camar
Pawang.
“Lalu ada
seorang asing mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan tentang
Tiga Setan Darah dia akan memberikan hadiah sekeping emas. Aku segera maklum
bahwa orang asing itu bukan bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga.
Kuambil emas itu dan kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan palsu!”
“Apa yang
itu orang asing tanya dan apa yang kau terangkan padanya?” tanya Tiga Setan
Darah kedua.
“Dia
tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian bertiga meninggalkan Istana dan keluar
dari Kotaraja.”
“Apa,
jawabmu?” tanya Setan Darah Ketiga.
“Kuberikan
keterangan dusta. Kukatakan bahwa Tiga Setan Darah hari ini akan pergi ke satu
tempat di selatan untuk satu urusan penting…“ Setan Darah pertama melototkan
mata. Saat itu dia dan kawan-kawannya memang hendak berangkat ke satu tempat
untuk menjalankan tugas Baginda, tapi bukan ke selatan melainkan ke daerah
barat Kotaraja.
“Aku
tidak percaya!” kata Setan Darah pertama, “Coba, mana emas itu, aku mau Iihat!”
Camar Pawang mengeruk sakunya dan mengeluarkan sekeping kecil emas yang diterimanya
dari orang asing itu.
Setan
Darah pertama mengambil kepingan emas itu, memperhatikannya lalu sambil
menimang-nimang emas itu dia bertanya,
“Bagaimana
ciri-ciri orang asing itu?!”
“Dia
masih muda, Tampangnya cakap, berbaju biru dan tangan kirinya buntung. Di balik
baju birunya, di sebelah punggung menyembul ujung gagang pedang….”
“Hem…”
Setan Darah pertama menggumam. Dia anggukanggukkan kepala beberapa kali.
“Ada lagi
yang hendak kau katakan?” Camar Pawang menggeleng.
“Kalau
begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat berlalu dari hadapan kami!” bentak Setan
Darah pertama. Camar Pawang mundur satu langkah dan memandang pada kepingan
emas yang masih ditimang-timang Setan Darah Pertama.
“Emas
itu..,” kata Camar Pawang.
“Emas
bapak moyangmu!” semprot Setan Darah Kedua,
“Sudah
untung kau tidak kami gebuk, masih mau minta emas! Pergi!” Camar Pawang
memandang pada Setan Darah Pertama. Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh
daw membalikkan badannya sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku
jubahnya. Camar Pawang menelan ludah. Sudah dibayangkannya dia bakal mendapat
hadiah dari Tiga Setan Darah, tapi malah emas yang diterimanya dari si orang
asing kini diambil oleh manusia bermuka merah itu! Camar Pawang menyumpah
habis-habisan dalam hatinya dan meninggalkan tempat itu. Di depan pintu kandang
kuda, Setan Darah Pertama hentikan langkah dan bertanya pada kedua orang
kawannya.
“Apa
pendapat kalian?” tanyanya. Setan Darah kedua mengusap dagunya lalu berkata,
“Jika keterangan kunyuk kepala dua itu betul pastilah orang asing itu menunggu
kita di satu tempat di daerah selatan…”
“Aku
merasa heran juga,” membuka mulut Setan Darah Ketiga, “seingatku kita tak
pernah bikin urusan dengan seorang pemuda bertangan buntung. Apa maksud manusia
itu mencari keterangan tentang kita sebenarnya?” Setan Darah Pertama merenung
sejenak.
“Kalau
mau, kita masih ada waktu untuk menyelidik ke selatan.” Dua orang kawannya
menyetujui hal itu. Ketiganya segera mengambit kudanya masingmasing.
*****************
2
ANGIN
dari timur bertiup lagi melambai-lambaikan rambut dan lengan kiri baju biru
yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk kesekian kalinya pemuda ini memandang lagi
ke arah utara maka membesilah parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang.
Tiga penunggang kuda kelihatan ke luar dari pintu gerbang Kotaraja. Kuda-kuda
dan penunggangnya berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat kepada
jumlah penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada warna pakaian mereka,
Prana segera maklum bahwa mereka bukan lain daripada Tiga Setan Darah yang
memang sedang dittunggutunggunya sejak tadi! Tiga manusia yang telah membunuh
ayahnya! Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba! Tanpa
menunggu lebih lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian sekali dia gerakkan
kedua kakinya, maka pemnda ini sudah lenyap dari puncak bukit. Tubuhnya laksana
angin topan berlari kencang menuruni lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak
bakal dilalui Tiga Setan Darah. Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya
laksana tak pernah menginjak bumi! ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu
mengentengi tubuh hebat yang telah dikuasainya! Pranajaya sampai diliku jalan
lebih dahulu dari Tiga Setan Darah. Pemuda ini menunggu dengan hati tegang tapi
tetap tenang. Dia maklum Tiga Setan Darah manusia-manusia berilmu tinggi
karenanya dia tidak boleh bertindak ceroboh. Suara derap kaki kuda terdengar
semakin dekat akhirnya muncullah penunggangpenunggang kuda itu satu derni satu
di tikungan jalan.
“Berhenti!”
teriak Pranajaya sambil angkat tangan kanannya. Tiga Setan Darah sama-sama
hentikan kuda masingmasing dan memandang menyorot pada pemuda yang berdiri di
tengah jalan dihadapan mereka. Keterangan Camar Pawang tidak dusta. Benar
pemuda yang diterangkan ciri-cirinya itulah yang saat ini menghadang mereka.
Parasnya cakap, rambut gondrong, berpakaian biru dan tangan kirinya buntung
sebatas siku sedang dibalik punggurig kelihatan menyembul gagang pedang.
“Pemuda
tangan bunting!,” kata Setan Darah pertama dengan suara keras.
“Apa-apaan
ini?!” Pranajaya menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu. Lalu tanyanya
dengan membentak, “Kalian Tiga Setan Darah?!” Prana bertanya untuk meyakinkan.
“Sompret!”
maki Setan Darah Kedua. “Siapa kau yang berani menghalangi perjalanan kami! Apa
sudah bosan hidup?!”
“Aku
Pranajaya!” memberitahu si pemuda. Setan Darah tertua menyeringai dan
mengeluarkan suara mengekeh.
“Orang
muda, kami memang Tiga Setan Darah yang terkenal itu. Ada maksud apa kau
menghadang kami! Dari pegawai Istana yang kau sogok dengan sekeping emas itu
kami mendapat keterangan yang kau mau cari urusan! Apa betul!” Sebelum
Pranajaya menjawab, Setan Darah Ketiga sudah membuka mulut, “Orang hina! Lekas
angkat kaki dari sini sebelum kupuntir kepalamu!”
“Rupanya
dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa..!” kata Setan Darah Kedua.
Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki terkembang. Sinar di matanya semakin
menyorot sedang di air mukanya membayangkan kebencian dan dendam yang meluap!
“Tiga
Setan Darah! Kalian tentunya betum melupakan peristiwa beberapa belas tahun
yang silam. Ingat waktu kalian mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang
bernama Wijaya?! ” Tentu saja Tiga Setan Darah terkejut. Ketiganya saling
mengerling kemudian Setan Darah Ketiga menjawab, “Manusia buntung, kami masih
ingat. Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu?!”
“Aku
adalah anak orang yang kau bunuh itu!” jawab Pranajaya tanpa tedeng
aling-aling.
“Oh…
begitu?!,” desis Setan Darah Pertama.
“Kawan-kawan!”
seru Setan Darah Kedua, “tentunya pemuda buruk ini adalah bayi yang kita bacok
buntung tangannya dulu itu!”
“Betul!”
sahut Prana. Dia maju satu langkah.
“Yang
mana diantara kalian yang membacokku?!” Setan Darah Pertama tertawa bekakakan.
“Pemuda
ingusan, apakah kemunculanmu kali ini hendak menuntut balas atas kematian kau
punya bapak dan karena kehilangan lengan kirimu itu?!!” Pranajaya menggeleng
perlahan.
“Lahtas?!”
tanya Setan Darah tertua dengan heran.
“Aku
datang bukan buat menuntut balas,” kata Pranajaya, “tapi untuk, meminta jiwa
busuk kalian!” Tiga Setan Darah sama-sama tertawa membahak.
“Pemuda buntung,”
ejek Setan Darah kedua, “kau mimpi di siang bolong!” Setan Darah Pertama
menimpali,
“Bapakmu
Yang punya dua tangan kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual tampang!”
Setan Darah Ketiga tidak tinggal diam
“Mungkin
kau kepingin cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka?” tanyanya. Dan ketiga
manusia bermuka merah itu tertawa lagi terbahakbahak.
“Manusia-manusia
muka kepiting rebus,” sentak Pranajaya dengan geram, ”silahkan turun dari kuda
kalian. Atau mungkin kalian mau mampus di atas kuda masing masing”?
Merahlah
Tiga Setan Darah mendengar ucapan Pranajaya itu Setan Darah Pertama kebutkan
lengan jarbah sebelah kanan. Serangkum sinar merah menyarnbar dahsyat ke arah
Pranajaya. Pasir dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini.
Pranajaya cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah lewat di
sebelahnya segera pula pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke arah Setan Darah
Pertama. Satu gelombang angin yang padat dan keras menggumpal menyerang ke arah
tenggorokan Setan Darah pertama. Ini adalah pukulan “angin sewu” Setan Darah
pertama tidak mengelak sebaliknya tetap berdiri di tempat dan lambaikan tepi
jubah sebelah kiri. Sekali pukul saja maka buyarlah angin pukulan jarak jauh
Pranajaya! Tapi betapa kagetnya si muka merah ini karena begitu buyar, buyaran
angin pukulan itu kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang
pertama tadi karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus menyerang ke
arah dua belas jalan darah yang mematikan ditubuhnya! Setan Darah Pertama
berseru nyaring lalu melompat tiga tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap
tubuhpya menukik ke arah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah
berhadapan dalam jarak tiga langkah.
“Setan
Darah Pertama, biar aku yang kermus pemuda keparat itu!,” teriak Setan Darah
Ketiga. Setan Darah Pertama tidak ambil perduli. Dengan ganasnya dia menyerang.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menusuk ke muka.
“Makan
jariku ini, laknat!” teriaknya. Serangan ilmu jari “pencungkil karang” memang
hebat dan ganas. Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos
sekalipun akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang jari itu! Dan
kini sepasang jari itu menyerang ke mata kiri kanan Pranajaya!
Pranajaya
hanya melihat lawan menggerakkan tangan kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang
jari lawan sudah di depan hidungnya! Pemuda ini cepat rundukkan kepala. Dia
berhasii melewatkan tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang
bersamaan sekaligus pukulkan tinju kanannya ke muka! Setan Darah Pertama
melihat serangannya yang mematikan tadi dapat dilewati segera pergunakan tepi
telapak tangan kanannya uatuk menghantam bahu Pranajaya! Kedua orang itu
sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun keduanya lebih
monginginkan untuk meneruskan serangan masing-masing dan menghindar secara
ambilan saja. Maka dalam kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda
dada lawan sedang tepi telapak tangan kanan Setan Darah Pertama mendarat dengan
kerasnya di bahu kiri Pranajaya! Kedua orang ini sama-sama mengeluh sakit.
Pranajaya terguling di tanah. Setan Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke
belakang den jatuh duduk! Mukanya pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak
ke dalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat manusia muka merah ini bersila di
tanah dan kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan nafas. Diam-diam dia
terkejut melihat Pranajaya dapat berdiri kembali meskipun dengan tubuh
termiring-miring! Pukulan telapak tangan kanannya tadi mengandalkan lebih dari
separo tenaga dalamnya, tapi si pemuda masih sanggup berdiri dan masih hidup Di
lain pihak Pranajaya merasakan tuang bahunya laksana patah! Badannya miring ke
kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia tidak memiliki kekuatan tenaga dalam yang
sempurna pastilah jiwanya sudah melayang! Prana memperhatikan Setan Darah
Pertama yang saat itu tegak kembali dengan pandangan mata menyorotkan maut!
Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali! Pukulan jotos sewu yang
disangkakannya akan merenggut nyawa lawan kiranya cuma membuat manusia muka
merah itu terhampar jatuh duduk di tanah! Dua orang Setan Darah lainnya yang
sudah gatal-gatal tangan mereka untuk segera turun tangan mengurung Pranajaya
dari kiri kanan.
“Biar aku
yang pecahkan kepala bangsat ini sendirian!” teriak Setan Darah Pertama
beringas.
“Ah!
Kunyuk buntung ini terlalu bagus untuk mampus ditanganmu sendirian,” jawab
Setan Darah Kedua.
“Biar
kami bantu!” Maka tanpa menunggu lebih lama kedua orang itu segera menyerbu.
Setan Darah Pertama tidak berkata apa-apa. Meski hatinya beringas tapi dia
memaklumi dan melihat kenyataan sendiri bahwa pemuda rambut gondrong berbaju
biru itu tidak berilmu rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu
Setan Darah Pertama diam saja. Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa
membuat Pranajaya harus bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati.
Tubuhnya hampir lenyap dalam telikungan bayangan jubah merah ketiga lawannya.
Tiada terasa lima belas jurus telah berlalu. Setan Darah Pertama mengkal bukan
main.
“Kawan-kawan
ternyata tikus buntung ini punya ilmu yang diandalkan juga!” dia berseru.
“Bagaimana
kalau kita bentuk barisan tiga bayangan siluman?!” Setan Darah yang dua orang
lainnya menyetujui. Dan pada jurus yang keenam belas itu maka ketiganya segera
melancarkan serangan hebat yang dinamakan barisan tiga bayangan siluman. Setan
Darah Pertama setengah merunduk. Seranganserangannya selalu mengarah bagian
kedua kaki lawan sedang Setan Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana
dan Setan Darah Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik ke
bawah dan selalu melancarkan serangan ke bagian kepala Pranajaya. Dalam setiap
saat ketiganya bisa berganti tempat dan mengambil alih kedudukan masing-masing,
terutama bila salah seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap
Pranajaya mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua
lainnya dengan cepat sekali datang memburu mengirimkan seranganserangan maut!
Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala kehebatan yang ada maka
sedikit demi sedikit mulai kendurlah perlawanan Pranajaya. Pemuda bertangan
satu itu kini bertahan mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan
terdesak hebat! Tiba-tiba Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia adalah seorang
pemuda berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan bertangan kosong
dengan tangan kosong pula. Namun menghadapi pengeroyokan tiga musuh besar itu,
di dalam keadaan yang kepepet pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat
itu bukanlah suatu tindakan yang pengecut. Sambil berteriak, “Lihat pedang!”
maka Pranajaya cabut pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu
membabat ketiga jurusan, membuat dengan serta merta buyarnya barisan tiga
bayangan siluman! Sambil bersurut mundur Tiga Setan Darah memperhatikan pedang
Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya. Setan Darah Kedua
berbisik pada kawan-kawannya, “Heh, pedang itu pasti senjata mustika! Kita
musti dapat merampasnya !”
“Jangan
pikir soal senjata itu dulu” jawab Setan Darah Pertama.
“Yang
penting tangkap bangsat ini hidup-hidup. Aku ada rencana tersendiri untuk
menamatkan riwayatnya. Kalian….
“ Setan
Darah Pertama tidak sempat mengakhiri ucapannya. Saat itu Pranajaya sudah
menyerbu. Sinar putih dari pedang bertabur ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar
dan masing-masing mereka segera cabut senjata. Setan Darah Pertama mengeluarkan
sepasang tombak bermata dua. Setan Darah Kedua mengeluarkan sepasang gada
sedang Setan Darah Ketiga mengeluarkan sepasang golok. Kesemua senjata ini
berwarna merah dan kesemuanya merupakan senjata-senjata mustika sakti ! Percaya
akan kehebatan pedang Ekasaktinya, Pranajaya teruskan menyerang ketiga lawan
itu. Trang…. trang…. trang….! Tiga kali pedang putih itu beradu dengan
senjata-senjata lawan. Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget!
Senjata-senjata lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja pedang
Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali
berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas! Sementara itu Tiga Setan
darah sudah tegak memencar. Satu lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan
Setan Darah Kedua. Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta merta
menyerbu ke arah Pranajaya !
**************
3
PERTEMPURAN
manusia tiga lawan satu itu, kecamukan enam senjata lawan satu pedang
berlangsung penuh kehebatan dan mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat
gerakan yang salah pastilah salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan
senjata. Sinar merah jubah dan senjata-senjata Tiga Setan Darah
bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata Pranajaya. Berkali-kali pemuda
ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan tombak atau hantaman gada ketiga
lawannya. Jika saja Pranajaya tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang
sempurna serta kegesitan yang luar biasa, sudah sejak tadi-tadi mungkin dia
akan mienjadi pecundang. Prana berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang
putihnya membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai yang
dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok. Sepuluh jurus telah berlalu.
Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Setan Darah masih belum sanggup membuktikan
kehebatan nama baser mereka selama ini. Malah pada jurus keduapuluh satu, Setan
Darah Ketiga berseru tertahan dan menyurut mundur! Ternyata jubah merahnya
robek besar disambar ujung pedang lawan! Masih untung kulit dadanya tidak kena
diserempet !
“Bedebah!”
rutuk iaki-laki itu.
“Jangan
harap kau bisa bernafas sampai tiga kali kejapan mata!” Dengan amarah yang
meluap Setan Darah Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan
menyerbu Pranajaya.
“lngat
Setan Darah Ketiga!” teriak Setan Darah Pertama.
“Pemuda
ini aku mau tangkap hidup-hidup!”
“Lebih
bagus kalau dicincang lumat saja!” sahut Setan Darah Ketiga.
“Aku yang
jadi pemimpin kalian!” teriak Setan Darah Pertama marah.
“Kau
harus ikut apa yang ku katakan!”
Setan
Darah Ketiga menindas kemarahannya sedapat-dapatnya. Menekan luapan amarah
karena dia menyadari bahwa dia musti tunduk pada Setan Darah Pertama.
Pertempuran seru berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan Darah telah
mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat mereka yang lihai dan banyak tipu-tipu
liciknya. Lima jurus berlalu maka Pranajaya mulai pula terdesak. Trang!
Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan senjatanya dengan senjata Setan Darah
Pertama. Sebelum bunga api yang bergemerlap lenyap, sebelum murid Empu Blorok
itu sempat menarik senjatanya maka sepasang gada dan golok Setan Darah
lain-lainnya sudah datang menjepit pedang Ekasakti di tangan Pranajaya. Prana
kerahkan tenaga dalamnya. Dengan sekuat tehaga dicobanya melepaskan pedang dari
jepitan enam senjata lawan! Tapi sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang
mustika namun tiada berdaya di jepit oleh enam senjata mustika lawan! Pedang
itu laksana lengket. Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain
baginya kecuali melepaskan pedangnya pada gagang pedang, menyerahkan
bulat-bulat senjatanya ke tangan lawan! Setan Darah Pertama tertawa mengekeh.
“Sekarang
kau baru tahu siapa kami hah?!”
“Tikus
buntung hendak bernyali besar beginilah jadinya!” ejek Setan Darah Ketiga. Tiba
tiba, tiada terduga dengan bergantungan pada gagang pedang yang dijepit lawan,
tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki kanannya menendang dan karena tidak
menyangka, Setan Darah Pertama tidak keburu menghindar! Setan Darah Pertama
mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua
tulang iganya telah patah dilanda tendangan Pranajaya!
“Anjing
buduk!” maki Setan Darah Kedua begitu melihat kawannya kena dihantam lawan.
Tanpa menunggu lebih lama manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di
tangan kanan ke pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak
keburu menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam keadaan tubuh
kaku laksana patung! Setan Darah Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan
Pranajaya.
“Bagaimana
lukamu?” tanya Setan Darah Kedua.
“Bangsat
ini telah mematahkan dua tulang igaku,” jawab Setan Darah Pertama setengah
menggeram.
“Detik
ini juga dia akan terima balasannya!” Habis berkata begitu Setan Darah Pertama
lancarkan satu tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Pemuda ini
menggelinding beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya
tertotok tiada berdaya namun perasaan masih tetap ada dan mulutnya masih bisa
mengeluarkan suara erangan kesakitan! Setan Darah Pertama masih belum puas.
“Ini satu
lagi!” katanya dan untuk kedua kalinya.kaki kanannya mengirimkan satu
tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah muka Pranajaya. Pemuda ini
berusaha menahan jeritan yang hendak melesat dari tenggorokannya meski bibirnya
pecah, dua buah giginya patah dan hidungnya mengucurkan darah kental panas !
Setan Darah Pertama memburu lagi. Ketika dia hendak menendang sekali lagi,
Setan Dareh Kedua memegang bahunya.
“Kali ini
dia bisa mampus! Apa kau lupa akan rencanamu sendiri?!” Setan Darah Pertama
menarik pulang kaki kanannya. Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah
kemudian dia berteriak,
“Setan
Darah Ketiga, ambil tali!” Setan Darah Ketiga melemparkan seutas tali kepada
laki-laki itu.
“Pemuda
edan!” kata Setan Darah Pertama sambil belutut dihadapan Pranajaya yang saat
itu megap-megap.
“Sebentar
lagi kau akan rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau tubuhmu kuat
kau akan hidup sampai ke Kotaraja. Tapi kalau tidak, kau akan mampus di tengah
jalan!” Habis berkata begitu Setan Darah Pertama segera mengikat pergelangan
tangan kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain diikatkannya ke leher
kudanya. Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang bakal
diterimanya! Pemuda ini berteriak, “Setan Darah keparat! Bunuh aku sekarang
juga!” Setan Darah Pertama tertawa.
“Kau
memang akan mampus, kunyuk buntung!” jawab Setan Darah Pertama.
“Akan
mampus, tapi dengan cara perlahan-lahan! Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau
dapat saksikan keindahan pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati
cara begitu?!” Setan Darah Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat
sesuatu dan memandang berkeliling.
“Mana
pedangnya?!”
“Aku
sudah ambil!” jawab Setan Darah Ketiga.
“Bagus!”
Setan Darah pertama tepuk pinggul kuda merahnya dengan keras. Binatang itu
meloncat ke muka siap untuk berlari kencang dan menyeret tubuh Pranajaya mulai
dari liku jalan itu sampai ke Kotaraja. Namun disaat itu dari muka kelihatan
berkelebat sesosok bayangan putih disertai dengan suara tertawa lantang yang
bernada mengejek.
“Kekejamanmu
sangat keterlaluan Tiga Setan Darah!” kata pendatang baru ini dengan membentak.
Tiga Setan Darah Pertama dan kedua kawannya dengan serta merta mengehentikan
kuda masing-masing. Sepasang mata Tiga Setan Darah Pertama memandang ke muka
dengan menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua rahangnya mengatup
menonjol!
“Cindur
Rampe!” hardik Setan Darah Pertama.
“Setahuku
kau ada tugas di sselatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan jangan
ikut campur urusan kami!” Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga
menjadi kaki tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda dengan
Tiga Setan Darah namun antara resi ini dengan ketiga Setan Dorah sejak lama
terdapat perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan ini sebenamya adalah
akibat bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam satu pertemuan pernah Cindur
Rampe menantang Tiga Setan Darah. Hampir terjadi pertempuran hebat namun
tokoh-tokoh istana lainnya berhasil mencegah mereka. Namun sejak itu pula
diantara mereka semakin memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang
sewaktu- waktu bisa meledak! Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek
macam janggut kambing. Sambil sunggingkan senyum mengejak dia berkata, “Tentu
pemuda malang itu akan kau seret ke Kotaraja. Semua orang akan melihat
kekejamanmu. Kau akan dapat nama dan kira-kira berapa puluh ringgit pula kau
akan dapat upah dari Baginda?!” Setan Darah Kedua penasaran sekali. Dia majukan
kudanya satu langkah.
“Soal
kekejaman kau tidak lebih baik dari kami resi muka kambing!” sentak Setan Darah
Kedua. Cindur Rampe tertawa dingin.
“Cindur
Rampe, kuharap segera berlalu. Aku muak melihat tampangmu!” menyambungi Setan
Darah Ketiga. Resi itu tertawa lagi. Lalu katanya,
“Aku
sendiri sudah sejak lama kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting
rebus!” Setan Darah Pertama kertakkan geraham.
“Cindur
Rampe, agaknya kau sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin masih
belum puas dengan pertengkaran dalam pertemuan tempo hari?!”
“Ah…
rupanya kau masih belum lupakan hal itu!” kata Cindur Rampe. Dia melirik
sebentar pada Pranajaya yang megap-megap hampir kehabisan nafas.
“Selama
matahari masih terbit di timur, selama air sungai masih mengalir ke laut. Tiga
Setan Darah tak pernah melupakan hal itu!”
“Bagus
sekali jika demikian!” menyahuti Cindur Rampe.
“Kuharap
di lain kesempatan kita bisa menyelesaikannya!” Setan Darah Pertama mengekeh.
“Menentang
kami sama dengan menentang angin topan! Menentang Tiga Setan Darah sama dengan
menentang gunung karang! Jangan terlalu pongah dan buta resi muka kambing!”
“Nama
kalian memang sudah kesohor, apalagi kebejatan dan kekejaman kalian! Tapi kalau
cuma cecunguk-cecungkuk macammu, sepuluh orangpun aku akan layani!” Naiklah
darah Tiga Setan Darah.
“Rupanya
kau mau mampus sekarang juga, resi keparat!” bentak Setan Darah Kedua. Dia
melompat ke muka dan kirimkan satu serangan tangan kosong! Cindur Rampe melompati
ke samping sambil tertawa.
“Jangan
terlalu kesusu monyet muka merah! Ini hari aku masih ada urusan. Di lain ketika
aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk menerabas batang lehermu dan dua
kambratmu itu! Ini kukembalikan seranganmu!” Habis berkata begitu Cindur Rampe
kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin panas mengebu ke arah Setan Darah
Kedua. Pukulan yang dilepaskan Cindur Rampe adalah pukulan ireng weliung yang
kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga Setan Darah. Karenanya Setan Darah Kedua
melompat dua tombak ke atas.
“Wuss !”
Angin
pukulan menghantam pohon kayu di tepi jalan. Kejap itu juga batang kayu itu
hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya!
Terkejutlah
Tiga Setan Darah. Rupa-rupanya resi Cindur Rampe betul-betul inginkan jiwa
mereka! Setan Darah pertama dan ketiga segera melompat dari kuda masing-masing,
siap untuk mengeroyok resi itu. Tapi Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan
meninggalkan tempat itu sambil berseru, “Sampai nanti Tiga Setan Darah. Kuharap
kalian suka bersabar menunggu saat kematian kalian!”
“Anjing
buduk! Jangan lari!” teriak Setan Darah Kedua. Tapi Cindur Rampe sudah lenyap
dari pemandangan. Setan Darah Pertama memaki dan menyumpah nyumpah.
“Lain
hari kita tak perlu kasih hati pada si muka kambing itu!,” katanya. Dia
melompat kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua orang kawankawannya. Ketika
kuda Setan Darah Pertama bergerak, maka tubuh Pranajaya mulai terseret. Tubuh
pemuda murid Empu Blorok ini akan terseret sepanjang perjalanan menuju
Kotaraja. Bila Pranajaya bernasib baik, dia akan tetap hidup sampai di
Kotaraja. Jika tidak nyawanya akan lepas di tengah jalan dan dia akan menemui
kematian dalam keadaan yang mengerikan. Sampai di manakah kekuatan tubuh
manusia menahan siksaan yang kejam luar biasa itu?
***************
4
KALI
WELANGMANUK telah dua hari yang lalu mereka seberangi. Lembah Manukwilis di
mana terletak Gedung Biara Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua
orang itu berlari dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala menyeberangi
kali-kali kecil, kadangkala mendaki dan menuruni bukit dan saat itu keduanya
barusan saja keluar dari sebuah rimba belantara. Matahari telah sampai ke
ubun-ubun mereka tatkala keduanya sampai di satu persimpangan jalan. Pemuda
rambut gondrong hentikan larinya. Orang yang disampingnya juga melakukan hal
yang sama. Ketika pemuda itu membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun
saling bertemu. Si pemuda mengukir senyum dibibirnya dan berkata, “Agaknya kita
terpaksa berpisah di sini, Sekar.” Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak
menjawab. Kedua matanya yang bening masih balas menatap pandangan si pemuda.
Dan si pemuda segera bisa memaklumi. Dari sinar mata gadis itu di ketahuinya
bahwa perpisahan itu merupakan satu hal yang berat bagi si gadis. Sambil
tertawa si pemuda berkata, “Di lain ketika aku berharap kita bisa bertemu
loagi, Sekar.” Dia menjura sedikit dan berkata lagi, “Jangan lupa sampaikan
salam hormatku pada gurutnu Empu Tumapel….“ ”Wiro..,” si gadis membuka mulut
untuk pertama kalinya. Suaranya perlahan, setengah berbisik. ”Kau sendiri mau
terus ke manakah?” tartyanya.
“Aku… ah…
Manusia macamku ini pergi membawa kakinya saja. Mengembara tiada tentu tujuan.”
“Mengembara
adalah satu hal yang kucita-citakan sejak aku berhasil menuntut balas kematian
ibu bapak dan saudarasaudaraku,” kata Sekar pula.
“Tapi kau
musti kembali ke tempat gurumu! Kau pernah bilang waktu di tepi sungai tempo
hari. Ingat…” Sekar ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara Pensuci
Jagat suatu malam mereka berkemah di tepi sungai yang banyak sekali ikannya.
Sambil menikmati ikan panggang, mereka bicara-bicara dan Sekar telah
menceritakan tentang gurunya di Goa Blabak, tentang segala hal mengenai
dirinya. Malam sejuk di tepi sungai itu tak akan pernah dilupakan oleh Sekar.
Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia luar pada malam itulah dia benar-benar
merasakan bahwa dirinya adalah seorang gadis. Seorang gadis yang disaat itu
untuk pertama kalinya merasakan betapa indahnya berada di samping seorang
pemuda. Betapa romantisnya. Dan Sekar ingat sewaktu Wiro memegang dan
meremas-remas jari tangannya. Waktu, Pendekar 212 itu memeluknya, merangkulnya
erat-erat dan sewaktu pemuda itu melumas bibirnya dengan ciuman yang mesra,
hangat menyentak-nyentakkan darahnya! Ingat pula bagaimana dia bergayut dan tak
mau melepaskan tubuh si pemuda dan seperti orang mabuk anggur mereka melakukan
apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu kemudian berakhir tanpa penjelasan
karena semua itu dimulai dengan kesadaran yang berapi-api!
“Aku bisa
menunda kembali kepertapaan,” kata Sekar
“Keberatan
kalau aku ikut sama-sama dengan kau….?” Wiro Sableng tertawa.
“Tentu
saja tidak,” kata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini meskipun hatinya tidak
menyetujui hal itu.
“Tapi kau
musti ingat Sekar. Mengembara dalam dunia persilatan bukan berarti
berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan! Pengembaraan di dunia persilatan
adalah persoalan hidup atau mati!”
“Aku toh
juga orang persilatan, Wiro.”
“Betul.
Namun kini belum masanya kau memulai pengembaraan. Yang penting kau musti
kembali ke tempat gurumu dulu.” Sekar menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Kemudian katanya,
“Sekar,
jangan jadi anak kecil. Salah-salah kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan
menyambangimu di Goa Blabak. Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan
dan aku yang sebelah kiri, yang menuju ke Kotaraja.”
“Aku ikut
dengan kau ke Kotaraja,” berkata Sekar.
“Busyet!”
kata Wiro Sableng dalam hati dan digaruknya lagi kepalanya.
“Bisa
berabe Sekar. Bisa berabe!,” katanya pada gadis itu.
“Gadis
secantikmu ini kalau masuk ke Kotaraja pasti semua mata laki-laki akan melotot!
Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu bagaimana…?!“
“Aku
tidak takut,” kata gadis sembilan belas tahun itu. Wiro menghela nafas dalam
dan angkat bahu.
“Kotaraja
penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan
kau…”
“Kalau
kita tidak berbuat kejahatan kenapa musti takut masuk ke Kotaraja?,” ujar si
gadis. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah memasuki jalan sebalah
kiri. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak berlalu dari
persimpangan jalan itu menempuh jalan sebelah kanan. Tapi hatinya menjadi
bimbang. Dipandangnya punggung Sekar. Gadis itu melangkah dengan langkah tetap
bahkan kini mulai berlari. Wiro Sableng akhirnya membalikkan langkah dan
berlari menyusul Sekar.
PENDEKAR
212 dan Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai sehabis mengisi perut sewaktu
di jalan dihadapan mereka menderu derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga
penunggangnya laki-laki mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan
bermuka merah. Yang membuat kedua orang ini terkejut bukanlah karena memandang
muka-muka yang aneh serta lucu itu tapi adalah sewaktu menyaksikan bagaimana dibelakang
kuda yang paling depan ikut terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung!
Pakaian birunya hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat
dikenali lagi. Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan debu. Tak
dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati!
“Biadab!”
desis Sekar sewaktu ketiga penunggang kuda itu berlalu.
“Aku tak
bisa membiarkan kekejaman itu, Wiro!” Sekar segera hendak melompat ke muka dan
mengejar. Tapi Wiro Sableng cepat memegang lengan gadis ini.
“Jangan
bodoh, Sekar!” katanya.
“Kita
tidak tahu siapa tiga manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu
laki-laki yang diseret. Mungkin laki-laki ini seorang jahat!”
“Aku
tidak yakin, justru manusia-manusia muka merah itulah yang bertampang buas
kejam!”
“Aku
tahu, tapi jangan bertindak gegabah, Sekar. Ini Kotaraja!”
“Persetan
dengan Kotaraja!” tukas si gadis.
“Sudah
tak usah ngomel. Mari kita ikuti mereka!” ujar Wiro pula. Keduanya segera
meninggalkan tempat itu. Tiga penunggang kuta itu memasuki sebuah gedung tua
tak berapa jauh dari Istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi dibawa ke
dalam. Kemudian gedung itupun sunyi senyap.
“Kita
masuk ke dalam Wiro,” bisik Sekar.
“Kataku
jangan gegabah,” kata Pendekar 212 dengan pelototkan mata. Di seberanginya
jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di seberang jalan itu.
“Saudara
kau lihat tiga penunggang kuda tadi?” tanya Wiro. Orang itu mengangguk. Bulu
tengkuknya masih meremang mengingat apa yang disaksikannya tadi.
“Siapa
ketiga manusia itu?” tanya Wiro Sableng lagi.
“Mereka
adalah Tiga Setan Darah.”
“Tiga
Setan Darah…?” ujar Wiro. Pasti itu nama julukan mereka pikir Wiro. Dan dari
nama julukan ini nyatalah bahwa memang mereka bukan manusia baik-baik! Kemudian
tanpa ditanya orang tadi berkata lagi.
“Mereka
adalah kaki tangan pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam luar biasa…!”
“Kenapa
Baginda memelihara setan-setan macam mereka?!” tanya Wiro.
“Untuk
menjaga keamanan Istana dan Kerajaan. Tapi Baginda tidak tahu kebejatan
pembantu-pembantunya itu…”
“Kenapa
rakyat tidak mau kasih tahu?”
“Kalau
mau mampus boleh saja!” jawab laki-laki itu.
“Kau
kenal siapa itu orang yang diseret dengan kuda?” Laki-laki itu menggeleng. Wiro
Sableng kembali menyeberang jalan menemui Sekar.
“Kau
bicara apa dengan dia?” Wiro menerangkan dengan cepat lalu kedua orang ini
segera hendak menyeberang memasuki halaman gedung tua tapi mereka segera
berlindung cepat-cepat di balik sebatang pohon besar karena dari samping gedung
ketiga penunggang kuda tadi kelihatan memacu kudanya masing-masing meninggalkan
gedung! Begitu mereka lenyap di kejauhan, Wiro dan Sekar segera memasuki
halaman gedung. Mereka menuju ke samping dan berhenti dihadapan sebuah pintu kayu.
Wiro memandang berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa raguragu Pendekar 212
ulurkan tangan mendorong pmtu kayu itu. Aneh sekali! Meski pintu itu terbuat
dari kayu namun Wiro tak berhasil mendorongnya dengan sekuat tenaga luar!
Setelah mengerahkan seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu
berkereketan dan terbuka sedikit demi sedikit.
Begitu
daun pintu kayu itu terbuka lebar maka tiba-tiba dari hadapan mereka berdesing
lima buah senjata berbentuk anak panah berwarna merah!
“Sekar!
Awas!” teriak Pendekar 212. Cepat-cepat pemuda ini menarik lengan si gadis ke
samping. Lima senjata rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala dan di
muka hidung mereka. Dua dari panah merah itu menancap dibatang sebuah pohon.
Sesaat kemudian batang pohon itu sampai ke cabang-cabang, ranting dan
daun-daunnya menjadi merah! Nyatalah bahwa senjata-senjata ratiasia itu
mengandung racun yang amat jahat! Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 212
dengan leletkan lidah berkata pelahan, “Keparat betul! Tempat ini pasti penuh
dengan senjata rahasia. Kita harus hati-hati Sekar.” Wiro menyuruh gadis itu
berdiri lebih ke samping. Kemudian dengan kaki kirinya pendekar ini menendang
pintu kayu itu sekuat tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu
pula selusin senjata rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di. depan
mereka. Beberapa diantaranya menancap lagi dibatang pohon yang sama! Pendekar
212 menyeringai.
“Lihai
juga,” katanya pelahan.
“Sebaiknya
kau tunggu di sini Sekar…”
“Aku ikut
bersamamu!” kata Sekar tegas.
“Di dalam
gedung tua ini pasti lebih banyak bahaya. Jangan jadi orang tolol!” Gadis
berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan si pemuda melainkan tanpa tedeng
aling-aling terus masuk melewati pintu yang tadi telah ditendang bobol. Mau tak
mau Wiro juga melangkah mengikuti. Seperti suasana di luar, dibagian belakang
gedung itupun diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara.
Tembok hijau berlumut. Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput liar.
Dengan
sikap berhati-hati kedua orang ini melangkah menuju ke tangga yang berhubungan
dengan pintu belakang gedung. Wiro berjalan di depan. Ketika salah satu kakinya
menginjak tanah di dekat anak tangga yang terbawah tanah itu dirasakannya
mencekung aneh dan lembut. Wiro cepat tarik kakinya dan melangkah mundur!
“Ada
apa?” tanya Sekar dengan berbisik. Pendekar 212 tidak menjawab melainkan
melangkah menghampiri sebuah pot bunga besar yang bunganya sudah mati karena
tak pernah disiram. Pot bunga yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki
anak tangga yang tadi dipijaknya. Pada detik itu juga terdengar satu ledakan.
Tanah di kaki anak tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur
berkeping-keping. Wiro meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri ke tanah.
Tubuh mereka kotor tersembur tanah dan kepingan batu tangga!
“Gedung
setan apa ini?!” rutuk Wiro sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya. Dia
berpaling pada Sekar dan berkata, “Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke
Kotaraja. Kini kau lihat sendiri!”
“Tak usah
bertengkar terus-terusan, Wiro” menyahuti murid Empu Tumapel itu.
“Kita
harus cepat mencari laki-laki tangan buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke
sini!” Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian belakang
gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal dihadangnya bila dia
menaiki anak tangga dan membuka pintu itu! Dalam dia berpikir-pikir demikian
tiba-tiba dilihatnya Sekar mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu
belakang gedung. Angin pukulan menderu dahsyat dan…
Braak!
Pintu itu
pecah berantakan.
Sekar dan
Wiro menunggu. Tak ada terjadi apa-apa.
“Aku tak
percaya kalau pintu itu tidak menyembunyikan rahasia maut!” kata Wiro Sableng.
Dijangkaunya sebuah arca kecil yang sudah puntung di dekat tangga sebelah
kanan. Arca itu kemudian digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu.
Begitu arca mencapai pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca lenyap jatuh
ke dalam sebuah lobang dan lantai kembali menutup!
“Gedung
edan!” rutuk Wito Sableng.
“Kau
masih punya nyali untuk masuk kedalamnya?!”
“Mengapa
tidak?!” ujar Sekar.
“Aku
kagum dengan keberanianmu,” puji Wiro sejujurnya.
“Bersiaplah,
kita melompat ke dalam lewat pintu itu. Kerahkan seluruh ilmu mengentengi
tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu bukan mustahil perangkap semua!” Kedua
orang ini bersiap-siap untuk menerobos pintu yang sudah bobol. Mendadak pada
saat itu pula di halaman depan terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut.
“Mereka
kembali!” bisik Sekar. Gadis ini segera keluarkan senjatanya yaitu besi
berantai yang ujungnya diganduli bola besi berduri. Inilah senjata “Rantai
Petaka Bumi” yang dahsyat. Wiro berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu
menggamit dan berbisik pada Sekar, “Cepat lompat ke atas genteng!” Si gadis
melotot.
“Apa kau
tidak punya nyali menghadapi mereka? Manusiamanusia terkutuk semacam itu harus
dilenyapkan dari muka bumi, Wiro! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng
sana!” Wiro menggerendeng.
“Kita
belum tahu siapa yang datang itu! Kalau benar mereka, dari atas genteng kita
bisa mengintai bagaimana mereka masuk ke dalam gedung!” Sekar hendak mengatakan
sesuatu. Tapi Wiro Sableng sudah membetot lengannya dan melompat ke atas
genteng bersama-sama!
Keduanya
menunggu. Suara kaki-kaki kuda berhenti sebentar, lalu terdengar lagi memasuki
halaman samping.
“Bukan
mereka,” desis Wiro dan Sekar memalingkan kepalanya ke halaman samping.
**************
5
YANG
DATANG ternyata seorang penunggang kuda berkepala gundul. Sepasang matanya
juling. Hidungnya sangat pesek, hampir sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan
dan kakinya sangat pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia
ini cuma memakai cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya
terkempit sebilah bambu berbentuk pikulan!
“Monyet
terlepas dari mana ini?!” bisik Wiro Sableng.
“Dia
bukan manusia sembarangan Wiro,” desis Sekar.
“Kau
kenal dia?” tanya Wiro.
“Guruku
pernah bilang manusia yang berciri-ciri macam dia. Melihat pada senjata yang
dikempitnya aku yakin dia mustilah Si Setan Pikulan!”
“Buset!
Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek dari Setan Pikulan itu?!” seringai Wiro.
Penunggang kuda yang datang itu memang Setan Pikulan. Nama sebenarnya Munding
Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang besar di muka tangga pintu belakang.
Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu dia memandang berkeliling.
Diangguk-anggukannya kepalanya. Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang
hancur sambil mengusap-usap kepalanya yang botak.
“Tiga
Setan Darah!” Setan Pikulan berteriak.
“Apa
kalian ada di dalam?!” Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main,
menggetarkan seantero halaman belakang gedung tua itu, menggetarkan genteng di
mana Wiro dan Sekar berada.
“Tenaga
dalarnnya hebat sekali,” bisik Wiro pada Sekar.
“Ah,
rupanya kalian tak ada di rumah!” terdengar Setan Pikulan berkata. ”Sayang sekali!
Sayang sekali! Ada dua orang tamu dari jauh, tuan rumah tidak ada! Sayang
sekali!”
Wiro dan
Sekar sama terkejut dan saling berpandangan Mereka yakin dua orang tamu yang
dimaksudkan oleh manusia kate itu pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut
kedua orang ini di bawah terdengar bentakan Setan Pikulan.
“Cecunguk-cecunguk
yang di atas genteng, lekas turun! Mataku yang juling tak bisa ditipu! Ayo
turun!” Sekar segera bergerak hendak melompat turun. Tapi Wiro menarik bajunya
kuningnya.
“Biar aku
yang turun,” kata murid Eyang Sinto Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto
Gendeng ini dengan cepat melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan
memperhatikan cara dan gerakan melompat si pemuda dan juga memperhatikan ketika
sepasang kaki Wiro menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama sekali tiada
mendengar sedikit suarapun dari beradunya kaki dan tanah. Wiro Sableng menjura
sewajarnya dan dengan senyum ramah dia berkata,
“Kalau
aku tak salah, bukankah saat ini aku berhadapan dengan orang gagah yang dijuluki
Setan Pikulan?” Setan Pikulan menyeringai.
“Rupanya
matamu tajam juga orang muda. Harap beritahu siapa kau.”
“Ah…, aku
ini seperti yang kau katakan tadi, cuma cecunguk biasa saja…” jawab Wiro.
“Kenapa
sembunyi di atas atap dan kenapa kawanmu cecunguk yang satu lagi itu tidak mau
turun?!” Wiro tertawa dan berseru, “Sekar, turunlah.” Sewaktu Sekar turun dan
berdiri di samping Wiro Sableng maka menyeringailah Setan Pikulan.
“Ternyata
seorang gadis cantik!” katanya. Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah sedang
kedua matanya yang juling semakin juling karena memandang dekat-dekat pada
paras Sekar yang cantik jelita.
“Melihat
kepada tindak tandukmu pastilah kalian datang ke sini bukan dengan maksud baik.
Apa lagi penghuni rumah tidak ada. Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga
Setan Darah jika mereka mengetahui ada cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan
membuat kerusuhan di rumahnya?”
“Harap
jangan salah sangka Setan Pikulan. Kami ke sini sebetulnya mengejar seorang
pencuri. Tapi dia lenyap entah ke mana…!” kata Wiro berdusta. Setan Pikulan
tertawa mengekeh.
“Sama aku
tak usah bicara dusta! Lekas terangkan siapa kalian dan apa maksud kalian ke
sini!! Kalian musti tahu bahwa Tiga Setan Darah adalah kambratku dan aku berhak
turun tangan menghukum kalian bila kalian ternyata bersalah!”
“Kalau
kau kawannya Tiga Setan Darah, tentu kau juga seorang tokoh Istana!” ujar Wiro.
“Apa aku
tokoh Istana atau bukan tak perlu tanya!.” sentak Setan Pikulah.
“Lekas
jawab pertanyaanku tadi!”
“Kami
cecunguk!” sahut Wiro.
“Kau
sendiri tadi sudah bilang!” Marahlah Setan Pikulan.
“Seharusnya
kubetot putus lidahmu, pemuda hina dina!” hardik Setan Pikulan.
“Tapi
dengar… kalau kau mau tinggalkan gadis cantik ini buatku, aku tak mau bikin
panjang urusan. Aku tak akan laporkan pada Tiga Setan Darah bahwa kalian telah
mongobrak-abrik rumahnya ini…!” Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam.
“Biar aku
betul-betul monyet sekalipun, aku tidak sudi menjadi mangsa bejatmu!” Setan
Pikulan tertawa. Wiro berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia
berkata pada si gadis, “Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini
menunjukkan di mana laki-laki buntung itu disekap. Kau musti purapura marah…”
Pendekar 212 memandang pada Setan Pikulan lalu berkata, “Aku akan tinggalkan
gadis ini padamu. Dia memang tidak berguna. Tapi harus ada imbalannya…!”
“Wiro!
Apa kau sudah gila?!” teriak Sekar pura-pura marah dan melototkan mata. Wiro
tak ambil perduli.
“Bagaimana?”
tanyanya pada Setan Pikulan.
“Katakan
maumu!.”
“Seorang
kawanku telah dilarikan oleh Tiga Setan Darah dan disekap di gedung tua ini.
Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini penuh senjata senjata rahasia dan
perangkap-perangkap! Kalau kau mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya
dari sini, gadis tak berguna ini kuserahkan padamu…!”
“Baik!”
Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk kesekian kalinya dibasahinya lagi
bibirnya sebelah barah. Sementara itu Sekar memaki-maki Wiro Sableng tiada
hentinya. Setan Pikulan melompat dari kudanya.
“Bagaimana
aku yakin kalau kalian tidak menipuku?!” tanya manusia kate berkepala gundul
ini.
“Kau
terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku menipumu berarti aku tak bisa
menyelamatkan kawanku yang disekap oleh Tiga Setan Darah.” jawab Wiro Sableng.
“Betul
juga,” kata Setan Pikulan.
“Tapi
untuk benar-benar meyakinkan biar kulakukan ini dulu…” Dan dengan satu gerakan
cepat luar biasa Setan Pikulan menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal
leher Sekar. Saat itu juga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa
bergerak. Wiro memaki dalam hati.
“Ikut
aku!” Setan Pikulan berkata. Lalu melesat memasuki pintu belakang yang tadi
sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh oleh Sekar.
“Ruangan
dalam ini penuh dengan alat dan senjata rahasia. Perhatikan langkahku!” kata si
kate kepala gundul. Dia melangkah enam tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi
dinding hingga akhirnya sampai dihadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi
pintu itu terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking.
Dengan ujung jarinya Setan Pikulan menunjuk.
“Cepat
masuk!” teriak Setan Pikulan. Wiro Sableng melompat masuk ke dalam kamar itu.
Begitu masuk begitu pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate itu
berpaling pada Wiro.
“Kau
lihat pintu dinding sana?” Wiro mengangguk.
“Kalau
kau melangkah sepanjang lantai ini ke sana, kau akan kejeblos masuk ke dalam
liang batu! Kita harus bergerak sepanjang tepi dinding sebelah kiri! Mari…”
Sambil menyusuri lantai di tepi dinding sebelah kiri Wiro Sableng bertanya,
“Mengapa
Tiga Setan Darah memasang demikian banyak alat dan senjata rahasia serta
perangkap di gedung tua ini?!”
“Itu tak
perlu kau tanyakan. Bukan urusanmu!” sahut Setan Pikulan. Setan Pikulan membuka
pintu dihadapannya. Kamar kedua itu kosong lagi. Dan dinding sebelah muka
mereka kelihatan sebuah pintu lain.
“Kali ini
kita musti menyusuri tepi lantai di samping kanan,” kata Setan Pikulan. Wiro
mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga, keempat dan kelima dalam gedung
itu kosong semua.
“Mungkin
sekali kawanmu itu disekap di ruang batu karang di bawah tanah!” kata Setan
Pikulan.
“Apakah
kau tahu tempat itu?” tanya Wiro Sableng. Si kate merenung sejenak.
“Ikuti
aku,” katanya. Mereka ke luar dari kamar nomer lima itu. Di kamar nomer enam
mereka berhenti. Setan Pikulan meneliti lantai kamar dengan sepasang matanya
yang juling. Kemudian dia mendangak ke atas. Pada langit-langit kamar kelihatan
tergantung sebuah kawat yang ujungnya diganduli lampu minyak yang besar sekali.
Setan Pikulan melompat ke atas dan menarik kawat itu satu kali. Aneh sekali
tiba tiba lantai di samping kanan ruangan membuka dan sebuah tangga batu
kelihatan. Keduanya melangkah ke tepi liang itu. Ruang di bawah sana agak gelap
hanya diterangi oleh sebuah pelita. Samar-samar Wiro Sableng melihat sesosok
tubuh menggeletak di lantai ruangan. Pakaiannya tak kelihatan apa warnanya tapi
tangan kirinya buntung.
“Itu
kawanmu?” tanya Setan Pikulan. nBetul.”
“Lekaslah
turun, sebelum Tiga Setan Darah kembali ke sini kita musti tedah meninggalkan
tempat ini!” Tanpa pikir panjang Wiro Sableng segera menuruni anak tangga.
Begitu dia menginjakkan kaki di lantai ruangan batu karang dia terkejut sewaktu
di atas didengarnya suara tertawa bergelak Setan Pikulan.
“Manusia
tolol geblek! Aku tahu kau mau menipu! Sekarang kau sendiri yang masuk
perangkap! Kau akan mampus di ruang batu karang itu! Mayatmu akan busuk!”
“Bedebah
keparat!” teriak Wiro. Dia melompat kembali ke atas. Tapi secepat kilat Setan
Pikulan melesat ke udara, menarik kawat gantungan lampu dan dengan serta merta
lantai di ruangan itu tertutup kembali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masuk
perangkap sudah!
*************
6
SETAN
PIKULAN melesat dari pintu menuju ke halaman belakang gedung. Ketika dia
melangkah kehadapan Sekar, gadis ini yang tubuhnya masih kaku tegang karena
ditotok segera bertanya, “Mana kawanku?” Munding Sura alias Setan Pikulan
tertawa buruk.
“Kalian
kira aku ini kambing tolol yang bisa ditipu mentah-mentah?” ujarnya. Dia
berdiri dekat-dekat dihadapan Sekar. Kepalanya cuma sampai kepinggang gadis
itu.
“Dengar
gadis molek,” kata Setan Pilarlan seraya usap perut Sekar dengan tangan
kirinya.
“Manusia
kurang ajar!” maki Sekar.
“Lepaskan
totokanku, cepat!” Setan Pikulan tertawa gelak-gelak.
“Gadis
molek, siapa-siapa manusia yang berani menipuku pasti kukirim ke akherat!
Kawanmu telah kujebloskan ke dalam ruang batu karang…!” Setan Pikulan tertawa
lagi. Sekar kaget bukan main mendengar keterangan ini. Dia tahu sendiri bahwa
Wiro Sableng bukan pemuda sembarangan. Ilmu Silat dan kesaktiannya tinggi sekali.
Dia bahkan telah menyaksikan kehebatan pemuda itu di Biara Pensuci Jagat
sewaktu bertempur melawan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, tapi kenapa kini dia
bisa terjebak dan masuk ke dalam perangkap ruang batu? Apakah ilmu Setan
Pikulan jauh tebih tinggi dari Wiro? Atau mungkin manusia kate bermuka buruk
ini telah membokong dan menipu Wiro secara pengecut?
“Terhadapmu
gadis molek…,” berkata lagi si kate kepala gundul, dia berjingkat dan
mengulurkan tangannya mengelus dagu Sekar. Gadis ini memaki habis-habisan.
Setan Pikulan tertawa bergelak. Dan akhirnya Sekar meludahi muka manusia buruk
itu.
“Sompret
kau!” bentak Setan Pikulan. Tapi dia tidak sebenarbenarnya marah. Dengan
tertawa-tawa ditariknya ujung baju kuning Sekar dan disekanya mukanya yang
disembur ludah itu.
“Kalau
kau tidak secantik ini pasti sudah kuremas hancur kau punya, muka! Kau kuampuni
tapi musti ikut ketempatku! Untuk selanjutnya kau akan jadi perempuan
peliharaanku!”
“Bedebah
keparat. Lekas lepaskan totokanku kalau tidak kelak jiwamu tak akan kuampuni!”
Setan Pikulan tertawa gelak-gelak.
“Kau
galak sekali. Aku mau lihat apakah di tempat tidur kau juga akan segalak ini….
He… he…he…?!” Sekar memaki dan meludahi lagi muka laki-laki kate itu. Setan
Pikulan tak menunggu lebih lama. Dilakukannya lagi satu totokan yang membuat
mulut Sekar menjadi bungkam bisu tak bisa mengeluarkan suara lagi! Kemudian
secepat kilat manusia kate itu meraih pinggang Sekar, melompat ke atas kudanya
dan meninggalkan tempat itu.
SEMENTARA
itu di ruang batu karang di bawah gedung kediaman Tiga Setan Darah…. Begitu
Wiro Sableng melompat dan sampai di anak tangga teratas, lantai di atasnya
tertutup dengan cepat! Pendekar ini memaki habis-habisan. Diterjangnya lantai
di atas tangga itu dengan satu tendangan keras yang disertai aliran tenaga
dalam. Jangarrkan bobol, berbekaspun tendangannya itu tidak! Penasaran sekali
Wiro Sableng alirkan separoh dari tenaga dalamnya ke kaki dan untuk kedua
kalinya dia menendang lagi. Lantai karang yang merupakan langit-langit ruang
batu itu keras dan atosnya bukan olah-olah. Tendangan Wiro Sableng hanya
senggup membuat langit-langit itu tergetar sedikit saja!
“Sialan!”
gerutu Pendekar 212. Kini seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kaki. Dengan
bentakan dahsyat pendekar ini menendang ke atas. Ruang batu itu bergoncang!
Tapi bagian yang ditendang tidak mengalami perobahan sedikitpun! Wiro menghela
nafas dalam. Keringat dingin mengucur dikeningnya. Penuh penasaran pemuda ini
salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan sampai tangan itu tergetar.
Kedua kakinya merenggang. Dalam keadaan seperti itu, bila dia berdiri di tanah
pastilah kedua kakinya akan melesak sedalam lima atau sepuluh senti. Tapi di
atas lantai karang yang atos itu, hal itu tidak terjadi. Perlahan-lahan
jari-jari tangan pendekar 212 menekuk membentuk tinju.
“Ciaaat!”
Didahului dengan bentakan menggeledek itu Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya
ke atas. Jari-jari yang terkepal membuka. Satu gumpalan angin keras laksana
batu besar bergulung-gulung dan melesat menghantam bagian atas ruangan batu
didekat kepala tangga! Inilah pukulan kunyuk melempar buah! Ruang batu itu
bergoncang dahsyat. Angin pukulan memantul kembali, memadamkan pelita yang
terletak di lantai. Dan ruangan batu kurang itu dengan serta merta menjadi
gelap gulita. Tangan di depan matapun tak kelihatan ! Wira Sableng
menggerendeng, memaki diri sendiri, memaki akan ketololannya sendiri.
Seharusnya dia memperhitungkan bahwa pukulannya itu tadi akan dapat memadamkan
pelita di ruang batu itu. Dia berpikir-pikir untuk melepaskan pukan sinat
matahari. Tapi Wiro khawatir kalau-kalau pukulannya itu juga tidak mempan dan
akan membalik menghantam dirinya sendiri serta manusia yang menggeletak di
ruangan itu! Sejak masuk ke dalam ruang batu karang itu baru Wiro ingat pada
laki-laki bertangan buntung yang tadi hendak ditolongnya. Wiro melangkah
perlahan-lahan sampai akhirnya kedua kakinya menyentuh tubuh laki-laki itu. Dia
berlutut. Digoyang-goyangnya tubuh laki-laki itu. Tiada suara. Tubuh itu basah
oleh keringat dan gelimangan darah. Wiro meletakkan telapak tangan kanannya di
dada laki-laki itu. Lama sekali baru dia berhasil merasakan degupan jantung
yang sangat halus dan pelahan! Ternyata manusia itu masih hidup. Dengan cepat
Wiro Sableng salurkan tenaga dalamnya melalui dada dan pergelangan tangan kanan
laki-laki itu. Seperempat jam berlalu. Masih tak ada reaksi apa-apa. Mungkin
manusia itu tak ada harapan lagi untuk diselamatkan jiwanya, pikir Wiro.
Tubuhnya sudah keringatan. Mengerahkan tenaga dalam selama seperempat jam tanpa
terputus-putus merupakan hal yang sangat berat, kurang hati-hati salah-salah
bisa membuat diri sendiri menjadi rusak di dalam! Ketika sepeminuman teh lewat
maka baru terasa laki-laki itu memberikan reaksi. Tubuhnya bergerak sedikit.
Kemudian terdengar suara erangannya. Erangan yang hampir tak kedengaran. Wiro
kerahkan lagi tenaga dalamnya sampai tubuhnya menjadi lemas. Dia tersandar
kedinding dan mengatur jalan nafas serta darahnya. Kemudian telinganya
mendengar erangan laki-laki itu lebih keras. Erangan kesakitan yang mengeriken!
“Di mana
aku?” lapat-lapat Wiro mendengar laki-laki itu bertanya.
“Sobat,
kau sudah siuman?”
“Kau
siapa…?” desis laki-laki itu.
“Apa kau
bisa membuka matamu?”
“Ya,
sedikit. Tapi semua gelap sekali!”
“Ya,
ruangan ini memang gelap. Ruang batu karang yang tak beda dengan liang kubur!
Kita sama-sama bernasib sial! Disekap di tempat terkutuk ini…”
“Kenapa
kita bisa disekap di sini….. Siapa yang menjebloskan kita…?”
“Ya.
Namaku Pranajaya…”
“Meski
kau terkurung di sini, nasibmu sebenarnya masih untung Prana,” kata Wiro.
Pranajaya menghela nafas dalam.
“Kau kuat
sekali. Kurasa jarang ada manusia yang sanggup bertahan dan masih hidup diseret
dengsn kuda seperti kau.”
“Aku… aku
diseret dengan kuda…?” tanya Prana.
“Ya.
Sudahlah, sebaiknya kau duduk bersila. Atur jalan nafas, aliran darah dan
tenaga dalammu…” ”Tidak mungkin…,” desis Prana.
“Seluruh
tubuhku tidak punya tenaga sedikitpun. Tulang-tulangku serasa remuk!”
“Kau
begitu berbaring sajalah sementara aku mencari akal bagaimana kita bisa ke luar
dari tempat terkutuk ini!” kata Pendekar 212.
“Kau
masih belum menerangkan namamu,” ujar Pranajaya.
“Panggil
aku Wiro…..“
“Kau juga
seorang dari dunia persilatan?”
“Sudah,
aku bilang berbaring sajalah,” potong Wiro.
“Aku
musti berpikir. Kita musti ke luar dari tempat celaka ini!” Pranajaya menutup
mulutnya. Sekujur tubuhnya sakit tiada terkirakan. Sedikit demi sedikit dalam
keadaan berbaring itu dicobanya mengatur jalan nafas, darah dan tenaga
dalamnya.
“Plaak!”
Wiro memukul
keningnya sendiri. Tangan kanannya mengeruk saku pakaiannya. Dari dalam saku
ini diambilnya sebuah kantong kecil berisi beberapa buah pil. Diambilnya
sebutir
“Aku
sampai lupa Prana, ngangakan mulutmu. Telan obat ini. Seperempat jam mungkin
kau bisa lebih kuatan……” Dalam gelap itu Pranajaya mengangakan mulutnya dan
Wiro mencari-cari dengan tangannya mulut pemuda itu. Bila bertemu maka
dimasukkannya pil itu ke dalam mulut Pranajaya.
Beberapa
menit kemudian……
“Rasa
sakitku agak berkurang…” kata Prana pelahan.
“Syukur……”
“Saudara
Wiro bagaimana…” Pranajaya tidak meneruskan pertanyaannya. Di dalam gelap itu
dirasakannya Wiro berdiri. Kemudian tubuhnya didukung den dibawa ke salah satu
sudut ruangan.
“Apa yang
hendak kau lakukan?” tanya Pranajaya. Wiro tak menjawab. Dia melangkah ke
tengah ruangan kembali. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah batu hitam
yang bertuliskan angka 212 serta Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini
memancarkan sinar yang menerangi ruang batu itu. Meski tidak cukup terang tapi
Wiro dapat melihat di mana pelita yang tadi padam terletak. Mata kapak dan batu
hitam diadu satu sama lain. Lidah api menyembur ke arah pelita dan pelita
itupun menyala kembali. Ruang batu karang menjadi terang benderang. Kini kedua
manusia itu baru bisa meneliti paras dan diri masing-masing. Paras Pranajaya
mengerikan untuk dipandang. Kulit mukanya hampir keseluruhannya mengelupas,
demikian juga kulit sekujur badannya. Salah satu telinganya hampir sumplung,
hidung lecet. Pakaian robek-robek. Kulit kepala ada yang mengelupas dan darah,
keringat serta debu membungkus tubuh Pranajaya mulai dari ujung rambut sampai
ke kaki! Pendekar 212 kertakkan rahang menahan hatinya yang seperti terbakar
melihat keadaan tubuh laki-laki bertangan buntung itu. Kesalahan apakah yang
telah dibuatnya sampai disiksa demikian biadabnya? Wiro tak mau berpikir lebih
lama. Saat itu yang musti dilakukan ialah mencari jalan ke luar. Dengan Kapak
Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng melangkah menuju ke tangan batu paling
atass. Dia memandang pada Pranajaya dan berkata, “Kalau senjataku ini tiada
sanggup menghancurkan langit-langit ruangan batu karang ini berarti kita akan
mampus di sini sobat.” Pranajaya tak berkata apa-apa. Hatinya kecut, dan
sedingin es. Wiro mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni di
putar-putar di atas kepala. Senjata itu mengeluarkan angin yang deras dan suara
mengaung laksana deru ribuan tawon. Angin senjata membuat api pelita mati lagi.
Pada saat itu terdengar bentakan menggeledek dan di saat yang bersamaan pula
terdengar suara
“buumm!”
Ruang
batu bergoncang keras. Wiro terhuyung-huyung, tubuhnya dihujani oleh guguran
dan puing-puing batu karang. Pranajaya terpelantihp dan terhampar di lantai
ruang betu. Ketika Wiro memandang ke atas dia berseru girang, “Prana, kita
berhasil!” Ternyata batu karang tebal yang atos keras yang menjadi atap ruang
batu itu tiada sanggup menghadapi Kapak Naga Geni 212. Sekali Wiro
menghantamkan senjata pemberian gurunya itu maka hancur leburlah atap batu
karang. Lobang baser terbuka tepat di atas anak tangga paling atas. Pendekar
212 memasukkan kapaknya ke balik pinggang kemudian turun ke bawah kembali,
mendukung tubuh Pranajaya dan mepinggalkan ruangan batu karang itu dengan
cepat. Tapi sewaktu mereka sampai di halaman belakang, seorang penunggang kuda
bermuka merah, berambut dan berjubah merah tahu-tahu muncul menghadang mereka.
Setan Darah Pertama!
****************
7
PADA
WAKTU Setan Pikulan keluar dari pekarangan gedung tua membawa lari Sekar, maka
di ujung jalan di belakangnya tiga penunggang kuda muncul. Mereka bukan lain
Tiga Setan Darah yang baru saja kembali dari luar Kotaraja.
“Hai,
kalau aku tak salah lihat itu si kepala gundul Setan Pikulan!” seru Setan Darah
Pertama.
“Betul!”
menyahut Setan Darah Kedua.
“Dia
memboyong perempuan dan keluar dari rumah kita! Apa yang telah terjadi?!” Tiga
Setan Darah sama memacu kuda masing-masing lebih cepat namun Setan Pikulan sudah
lenyap dari pemandangan mereka sewaktu ketiganya sampai di depan pintu halaman
gedung tua.
“Kalian
berdua kejar manusia itu,” perintah Setan Darah Pertama.
“Aku akan
menyelidiki tempat kita. Pasti terjadi apaapa yang tak diingini!” Setan Darah
Kedua dan Ketiga segera meninggalkan tempat itu sedang Setan Darah Pertama
dengan cepat memasuki halaman gedung kediamannya. Apa yang disangkakannya
ternyata betul! Pintu samping ditemuinya melompong bobol. Belasan senjata
rahasia berbentuk panah bertebaran di tanah dan beberapa lainnya menancap di
batang pohon Setan Darah Pertama memaki dalam hati.
“Apa ini
si kate kepala gundul itu yang melakukannya?” manusia bermuka merah ini
membathin.
“Kalau
betul kelak aku akan kasih pelajaran pada manusia keparat itu!” Dilewatinya
pintu yang telah bobol itu dan ketika sampai di halaman belakang kekagetannya
bertambah-tambah sewaktu menyaksikan tanah dari anak tangga sebelah bawah pintu
belakang hancur berantakan sedang pintu belakang itu sendiri juga bobol pecah!
“Setan alas!
Setan alas!” maki manusia muka merah itu. Dia memandang berkeliling dan merasa
heran karena dia tidak melihat arca yang seharusnya berada di halaman itu!
Siapa yang melakukan ini semuanya? Apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan Setan
Pikulan yang tadi dilihatnya ke luar dari pintu halaman, memboyong seorang
perempuan?! Sudut mata Setan Darah Pertama menangkap satu gerakan. Cepat-cepat
dia palingkan kepala. Sepasang mata Setan Darah Pertama melotot. Dihadapannya
berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih-putih. Dia tidak
kenal dengan pemuda ini. Yang membuat Setan Darah Pertama begitu terkejut ialah
karena pemuda ini memanggul Pranajaya yang sebelumnya telah disekapnya dalam
ruang batu karang! Setan Darah Pertama berpikir cepat. Jika si pemuda asing ini
adalah kawan Pranajaya dan menolong Prana keluar dari ruang batu karang,
pastilah dia yang telah menghancurkan pintu samping dan pintu belakang gedung
kediamannya. Dan di dalam gedung pasti pula dia telah membuat kerusakan yang
lebih hebat lagi. Lantas, apa pula hubungan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya
ke luar dari halaman gedung dengan memboyong seorang perempuan?! Setan Darah
Pertama jadi bingung sendiri! Matanya menatap tajam. Kalau betul pemuda belia
ini yang telah membebaskan Pranajaya dari dalam ruang batu maka ini adalah hal
yang sangat tak bisa dipercaya oleh Setan Darah Pertama. Untuk masuk ke dalam
gedung tua saja seseorang harus melalui rintangan-rintangan senjata rahasia
yang bisa membawa maut! Kalaupun dia sanggup masuk ke dalam, belum tentu dia
tahu rahasia bagaimana membuka pintu ruang batu karang. Mungkin dia
mempergunakan ilmu kesaktian dan membobolkan pintu ruang batu? Selama
bertahun-tahun tak ada satu kekuatanpun yang sanggup mendobrak pintu ruang batu
karang itu. Apalagi manusia muda bertampang dogol seperti yang saat itu berdiri
memanggul tubuh Pranajaya dihadapannya. Di lain pihak Pendekar 212 Wiro Sableng
memandang pula tepat-tepat kepada Setan Darah Pertama. Dia ingat manusia inilah
yang telah menyeret Pranajaya tadi sepanjang jalan. Dia tenangtenang saja dan
tidak perlu terkejut melihat si muka merah ini. Cuma yang diam-diam membuat dia
khawatir ialah karena saat itu dia sama sekali tidak melihat Sekar! Tak ada
dugaan lain selain bahwa gadis itu pasti sudah dilarikan oleh si kate Setan
Pikulan!
“Pemuda
asing, siapa kau?!” bentak Setan Darah Pertama dengan suara menggeledek.
Sekaligus dia hendak menunjukkan bahwa dia bukan manusia sembarangan. Wiro
Sableng cengar cengir seenaknya.
“Jangan
cengar cengir tak karuan! Cepat beritahu siapa kau dan mengapa nyalinu begitu
besar membuat keonaran di sini?!”
“Wiro….,”
Pranajaya berbisik.
“Manusia
muka kepiting rebus ini adalah musuh besarku! Salah satu dari Tiga Setan
Darah….” Wiro tertawa mendengar ucapan “kepiting rebus” itu.
“Setan
alas!” sentak Setan Darah Pertama.
“Kau kira
kau berhadapan dengan siapakah berani tertawa seenak perutmu?!”
“Masakah
orang tertawa saja tidak boleh!” sahut Wiro Ssbleng. Darah Setan Darah Pertama
naik ke kepala
“Kalau
kau masih bicara bertele, nyawamu akan kukirim menghadap setan neraka!” ancam
Setan Darah Pertama dan tangan kanannya dinaikkan ke atas, siap untuk
melancarkan satu pukulan tangan kosong!
“Sabar…
sabar sobat!” kata Wiro.
“aku
adalah kawan pemuda ini. Sebagai kawan, sepantasnya aku menolong bila dia
mendapat kesukaran…. Bukan begitu Tiga Setan Darah?!”
“Hemm…
manusia buruk macammu rupanya sudah tahu juga berhadapan dengan siapa saat
ini!” ujar Setan Darah Pertama.
“Karena
kau kawan pemuda itu, terpaksa kalian berdua kuseret kembali ke ruang batu
karang!”
Habis
berkata demikian Setan Darah Pertama lentingkan kelima jarinya ke muka. Lima
larik sinar merah menyambar ke arah lima bagian tubuh Wiro Sableng! Inilah ilmu
totokan jarak jauh bernama totokan lima jari yang sangat lihai sekali! Pendekar
212 Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Sekali melompat ke samping, lima
sinar totokan itu dapat dihindarkannya sekaligus! Ini membuat Setan Darah
Pertama menjadi gusar.
“Punya
sedikit ilmu saja hendak diandalkan!” ejeknya.
“Aku mau
lihat sampai di mana kedikjayaanmu bocah konyol!.” Serentak dengan itu Setan
Darah Pertama melompat dari kudanya.
“Silahkan
turunkan dulu kunyuk dibahumu itul” kata Setan Darah Pertama.
“Tiga
Setan Darah, meski kau seorang bejat yang sebenarnya tidak pantas hidup di
dunia ini, tapi aku tak punya permusuhan denganmu. Harap minggir beri jalan….!”
“Kentut
bapak moyangmu!” teriak Setan Darah Pertama.
“Lekas
turunkan pemuda itu, dalam satu jurus nyawamu pasti akan minggat dari badan!”
Sebenarnya Wiro bukan tak mau baku hantam dengan manusia terkutuk ini, tapi
karena dia mengkhawatirkan keselamatan Sekar dan musti mencari gadis itu maka
sekali ini diusahakannya untuk menghindari pertempuran. Tapi agaknya si muka
kepiting rebus tak memberi kesempatan terhadapnya. Dan ini membuat murid Eyang
Sinto Gendeng itu mulai luntur pula kesabarannya.
“Iblis
muka merah!” bentak Wiro Sableng.
“Untuk
menghadapi kau kenapa musti susah-susah turunkan tubuh kawanku ini segala?”
Mendidihlah darah Setan Darah Pertama. Seumur hidupnya tak pernah dia mendapat
hinaan demikian.
“Kalau
begitu kalian akan mampus sama-sama!” teriaknya lantang.
Setan
Darah Pertama kebutkan kedua lengan jubahnya. Dua angiri merah yang amat
dahsyat menderu ke arah Wiro Sableng. Dalam jarak dua tombak saja panasnya
sudah memerihkan kulit.
“Awas
Wiro, pukulan itu beracun!” membisik Pranajaya. Lalu tambahnya
“Manusia
ini bukan sembarangan, ilmunya tinggi. Lebih baik kau sandarkan aku ke pohon
sana….!”
“Ah, tak
usah khawatir sobat..,” jawab Wiro. Satu tombak dua larikan sinar merah itu
menyambar kearahnya dengan membentak nyaring Pendekar 212 berkelebat. Tubuhnya
lenyap dari hadapan Setan Darah Pertama. Kaget Setan Darah Pertama bukan
main-main. Tak tahu dia gerakan kilat apa yang dipergunakan oleh si pemuda
lawannya hingga lebih cepat dari kejapan mata pemuda itu sudah lenyap dari
pemandangannya. Cepat-cepat dia membalik. Wiro dan Prana dilihatnya sudah
berada di pintu samping.
“Kau mau
lari ke mana bedebah?!” bentak Setan Darah Pertama dan memburu dengan cepat
seraya lancarkan satu jotosan jarak jauh yang hebat. Serangan ini membuat murid
Eyang Sinto Gendeng melompat ke samping lalu membalik.
“Iblis
muka merah, kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Kelak di lain hari
kita bakal berhadapan kembali!”
“Cuma
nyawamu yang bisa pergi dari sini keparat!” teriak Setan Darah Pertama. Dia
memburu lagi. Tapi langkahnya terhenti. Wiro telah melepaskan satu pukulan yang
mendatangkan angin yang amat hebat, membuat pasir di halaman itu menggebu
laksana kabut tebal menderu ke arah Setan Darah Pertama membuat pemandangannya
tertutup. Ketika dia menerobos kabut pasir itu dengan cepat, Wiro Sableng dan
Pranajaya sudah lenyap! Setan Darah Pertama menyumpah habis-habisan.
Orang-orang yang berada di tengah jalan cepat-cepat menghindar ke tepi sewaktu
Setan Pikulan memacu kudanya dengan kecepatan yang luar biasa. Debu beterbangan
di belakang diterpa oleh keempat kaki kuda tunggangan manusia bertubuh kate
itu. Seorang pejaian kaki berkata pada kawannye di tepi jalan.
“Lihat,
si kate kepala gundul itu membawa seorang perempuan lagi!”
“Ya,
parasnya cantik sekali!” Sahut kawannya. Diangkatnya bahunya lala berkata lagi,
“Manusia
dajal itu rupa-rupanya tak pernah bosan dengan perempuan. Di gedungnya sudah
belasan perempuan yang jadi peliharaannya! Kini satu lagi bakal menjadi korban
kebejatan nafsunya. Kasihan perempuan itu…”
“Aku
sangat menyesalkan Baginda. Beliau…” Laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya
karena di belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda. Keduanya berpaling.
“Ini
lagi…,” kata laki-laki tadi pelahan.
“Bergundal-bergundal
Baginda. Mereka tidak ada beda dengan Si Setan Pikulan!” Dua penunggang kuda
itu berlalu dengan cepat. Mereka bukan lain dari Setan Darah Kedua dan Ketiga
yang tengah mengejar Setan Pikulan! Di sebuah gedung kecil di pinggiran
Kotaraja, Munding Sura alias Setan Pikulan menghentikan kudanya.
“Ah,
manisku. Kita sudah sampai!” katanya seraya mendukung Sekar dan melompat dari
kudanya. Di ruang dalam tiga orang perempuan muda yang cantik-cantik tengah
duduk berbicara Mereka adalah sebagian dari peliharaanpeliharaan Setan Pikulan.
Ketiganya memandang pada Setan Pikulan dan perempuan yang ada dalam
dukungannya. Mereka tak berkata dan tak berbuat apa-apa selain hanya memandang.
Dan di dalam hati masing-masing, mereka sudah tahu apa yang bakal dialami
parempuan yang dibawa Setan Pikulan itu ketika mereka melihat laki-laki itu melangkah
menuju ke kamar di ujung ruangan! Kemudian pintu kamar itupun tertutuplah.
Di dalam
kamar…….
Setan
Pikulan menutupkan pintu dengan tumit kakinya. Dengan tertawa mengekeh-ngekeh
manusia ini membaringkan Sekar di atas tempat tidur. Kemudian dia melangkah ke
meja dan meneguk tuak dari dalam sebuah kendi. Minuman keras ini dengan serta
merta menghangati tubuh dan menambah gelora nafsu terkutuk Setan Pikulan.
Dengan memegang kendi itu di tangan dia melangkah kembali ke tempat tidur dan
duduk di samping Sekar.
“Ah,
parasmu yang cantik basah oleh keringat dan debu. Biar aku bersihkan…. kata
Setan Pikulan. Lalu dengan tangan kirinya diusapnya kening serta pipi Sekar.
Gadis ini memaki dalam hati. Hanya itu, yang bisa dilakukannya. Dia tak bisa
membuka mulut ataupun menggerakkan anggota badannya karena telah ditotok. Cuma
mimik mukanya yang menyatakan demikian. Setan Pikulan meneguk tuaknya kembali.
“Eh, kau
tentu haus” Setan Pikulan mengedipkan matanya beberapa kali. Lalu dibukanya
totokan pada tubuh Sekar. Gadis itu kini bisa bicara dan mendengar tapi
tubuhnya tetap kaku tak bisa digerakkan.
“Ini,
minumlah, kau tentu haus manisku!”
“Manusia
biadab! Lepaskan totokanku! Keluarkan aku dari sini!” teriak Sekar.
“Kau
masih saja galak,” desis Setan Pikulan dan mencubit dagu Sekar.
“Ini
minum!,” katanya. Bibir kendi didekatkannya ke bibir gadis itu. Sekar
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tapi kemudian dia mendapat akal. Dibukanya
mulutnya sedikit. Tuak di dalam kendi itu diteguknya dua kali. Setan Pikulan
tertawa gembira. Tapi tiba-tiba ! Tuak yang sudah diteguk tadi tiba-tiba
disemburkan kembali oleh Sekar dan karena tidak diduga sama sekali oleh Setan
Pikulan, laki-laki,ini tak sempat lagi menghindar! Dia berteriak kesakitan dan
melemparkan kendi di tangannya ke dinding. Kendi pecah berantakan isinya
membasahi lantai! Untung saja Sekar dalam keadaan ditotok sehingga dia tak bisa
mengalirkan darah dan tenaga dalamnya! Jika saja semburan tuak tadi disertai
dengan aliran tenaga dalam niscaya hancur dan butalah mata Setan Pikulan. Namun
demikian semburan tadi sudah cukup membuat matanya sakit sekali dan untuk
beberapa saat lamanya tak bisa membuka kedua matanya itu! Sambil mengeringi
mukanya yang basah dan mengucakngucak kedua matanya Setan Pikulan memaki
habis-habisan!
“Gadis
gila! Kalau kau tidak sekurang ajar itu terhadapku pasti aku akan perlakukan
kau baik-baik. Tapi kini kau akan rasakan sendiri !” Setan Pikulan mengucak
lagi kedua matanya. Pemandangannya sudah terang kini. Kedua matanya yang juling
memandang dengan berapi-api. Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Maka habislah
seluruh tubuh Sekar diciuminya. Gadis itu menjerit tiada henti.
“Menjeritlah
sampai lidahmu copot!” kata Setan P,kulan dengan tertawa mengekeh. Ciumannya
datang lagi bertubi-tubi. Kemudian bukan hanya ciuman saja lagi. Sepasang
tangan manusia kate ini membuat dua kali gerakan.
“Breet!”
“Breet!”
Pakaian
kuning yang dikenakan Sekar robek besar. Dadanya tersingkap lebar!
“Dadamu
bagus dan putih sekali!” seru Setan Pikulan seperti gila. Dan kemudian
betul-betul macam orang gila muka dan bibirnya melumasi dada Sekar yang sampai
saat itu masih menjerit-jerit. Sekar menjerit lagi lebih keras sewaktu sepasang
tangan Setan Pikulan menggerayang meremasi dadanya !
“Braak !”
Pintu
kamar terpentang lebar. Salah satu papannya pecah! Kaget Setan Pikulan bukan
olah-olah! Sebelum dia berpaling, dari pintu sudah membentak satu suara .
“Munding
Sura! Hentikan perbuatan kotormu itu!”
***************
8
BEGITU
berpaling begitu Setan Pikulan alias Munding Sura hendak mendamprat marah. Tapi
sewaktu melihat siapa yang berdiri dihadapannya dia hanya mengeluarkan suara
menggerendeng. Di belakang laki-laki yang masuk ke dalam kamar itu masih ada
seorang lainnya. Setan Pikulan bangkit dari tempat tidur.
“Kalau
tidak memandang kepada nama besar serta hubungan kita sesama tokoh-tokoh
pembantu Baginda, pasti aku sudah tendang kau ke luar dari kamar ini Setan
Darah Kedua!” Setan Darah Kedua tertawa bergumam. Dia rangkapkan tangan di muka
dada sementara kawannya melangkah ke sampingnya. Sepasang mata Setan Darah
Kedua menatap tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur. Hatinya terkesiap
juga memandangi paras cantik dengan tubuh dalam keadaan setengah telanjang itu!
Seperti Setan Pikulan, diapun seorang yang suka perempuan!
“Setan
Darah, lekas katakan apa maksud kedatangan kalian !”
“Sewaktu
memasuki ujung jalan kau kelihatan ke luar dari tempat kediaman kami membawa
perempuan itu!” kata Setan Darah Kedua. Kepalanya digoyangkannya sedikit ke
arah Sekar.
“Ada
perlu apa kau ke tempat kami dan siapa ini perempuan?!”
“Siapa
ini perempuan bukan urusanmu!” jawab Setar Pikulan.
“Kalau
kau memandang mukaku, aku juga matih mau memandang muka padamu, Setan Pikulan,”
kata Setan Darah Kedua.
“Kuharap
kau tak usah bicara kasar!” Setan Darah Kedua tertawa dingin. Setan Darah
Ketiga buka mulut,
“Melihat
caramu ke luar dari gedung kami dan melarikan perempuan ini jelas sudah kau
membuat apa-spa yang tak diingini d tempat kami!” Setan Pikulan meludah ke
lantai.
“Aku ke
sana sebetulnya untuk menyambangi kalian…”
“Itu satu
kehormatan.” memotong Setan Darah Kedua dengan nada sinis.
“Kalian
tidak ada. Pintu samping kutemui dalam keadaan hancur. Senjata-senjata rahasia
bertancapan di pohon dan bertebaran di tanah. Halaman belakang kacau balau dan
pintu belakang gedung kalian juga , kutemui dalam keadaan terpentang bobol….”
“Hemmm…,”
gumam Setan Darah Ketiga.
“Siapa
yang melakukannya?!”
“Mana aku
tahu!” sahut Setan Pikulan.
“Jangan
dusta Munding Sura!” sentak Setan Darah Kedua.
“Hanya
beberapa orang saja yang tahu rahasia masuk ke gedung itu, diantaranya kau!”
“Jadi kau
menuduh aku membuat kerusakan di gedung itu?”
“Aku
tanya siapa yang melakukan, bukan menuduh!” sahut Setan Darah Kedua ketus.
“Aku sudah
bilang tidak tahu! Dan sekali tidak tahu, tetap tidak tahu. Sekarang silahkan
angkat kaki dari sini!”
“Baik
Munding Sura. Tapi ingat…” ujar Setan Darah Ketiga.
“Bila
nanti terbukti kau berbuat…”
“Tak usah
mengancam sompret!” maki Setan Pikulan. Setan Darah Ketiga melangkah maju.
Setan Darah Kedua menarik lengan jubahnya dan berkata pada Setan Pikulan,
“Sekarang memang baru cuma ancaman. Kelak kalau kami tahu bahwa kau betul-betul
telah membuat keonaran di tempat kami, ancaman itu akan menjadi kenyataan,
Munding!” Munding Sura yang bergelar Setan Pikulan tertawa mencemooh!
“Dasar
manusia-manusia tidak tahu diri!” katanya. ”Kalian tahu, sewaktu aku datang ke
sana ada dua cecunguk yang sembunyi di atas genteng! Satu diantaranya gadis
ini, yang lain seorang pemuda! Aku paksa mereka turun dan paksa agar memberi
keterangan. Mereka menerangkan tengah mencari seorang kawan yang kalian seret
ke tempat kalian! Mereka bermakpud membebaskannya! Aku pikir kalau manusia itu
adalah musuhmu maka pasti yang dua lainnya adalah kambratnya juga. Si gadis,
kutotok dan kawannya kutipu kujebloskan dalam ruang batu karang di dasar
gedung! Kalian dengar semua itu?! Seharusnya kalian berterima kasih padaku dan
bukan mengoceth tak karuan! Sekarang berlalu dari hadapanku sebelum kesabaran
habis!” Setan Darah Kedua menarik lengan baju kawannya. Keduanya sama– sama
melangkah ke pintu. Tapi tiba-tiba Sekar berseru. “Setan Darah! Jangan kena
ditipu oleh bangsat kepala botak ini!” Tentu saja kedua Setan Darah itu sama
hentikan langkah dan balikkan badan!
“Apa yang
diterangkannya semua adalah dusta!”
“Heh, begitu…?!”
“Gadis
edan apa mulutmu mau kupecahkan?!” bentak Setan Pikulan.
“Berani
kau bicara lagi betul-betul kupecahkan mulutmu!”
“Biarkan
dia bicara, Munding Sura!” kata Setan Darah Kedua.
“Tapi kau
lepaskan dulu totokanku!” kata Sekar.
“Aku akan
terangkan apa yang telah diperbuatnya ditempatmu! Dan bukan itu saja, aku akan
bersedia ikut dengan kalian!”
“Ah…,”
Setan Darah Kedua mengusap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain.
“Satu
usul yang baik! Memang kau telah pantas bersamaku daripada kambratku yeng kate
buruk ini!” Marahlah Setan Pikulan.
“Saat ini
aku tidak memandang nama besar atau mukamu lagi Setan Darah keparat! Tidak
perduli meski kita sama-sama orang Istana!”
“Gadis
itu sudah membuka kedok kedustaanmu!”
“Dia yang
dusta! Bohong besar!”
“Dusta
atau tidak tapi aku percaya omongannya. Dan aku dengar dia sendiri yang mau
ikut bersamaku!” Setan Darah Kedua mengekeh. Mulut Setan Pikulan komat kamit.
“Boleh,”
katanya.
“Silahkan
bawa gadis itu. Tapi begitu tanganmu menyentuh tubuhnya, kepalamu akan hancur
lebih dulu!” Setan Darah Kedua tertawa bergelak.
“Nama
besar Setan Pikulan memang sudah lama kami dengar, Tapi hendak manantang Tiga
Setan Darah yang kesohor sama saja seperti biduk kecil yang hendak melawan
gelombang sebesar gunung!” Kini Setan Pikulan yang tertawa mangekah.
“Orang
sombong memang terlalu sering lupa diri! Kita walau bagaimanapun masih sama
sama manusia. Aku bukan biduk dan kalian bukan gunung! Bicara jangan ngaco!”
“Agaknya
jalan kekerasan tak bisa dihindarkun, Setan Pikulan!” kata Setan Darah Ketiga
sambil usut-usut lengan jubahnya.
“Kukira
demikian, Lagi pula memang sudah sejak lama aku ingin membuktlkan sampai di
mana kehebatan nama Tiga Setan Darah itu. Jangan-jangan cuma bangsa kroco bau
terasi saja! Apalagi sekarang cuma ada dua orang!”
“Kita
akan saksikan siapa yang kroco manusia buruk!” sahut Setan Darah Kedua. Dia
berpaling pada kawannya dan berkata,
“Kau
lepaskan totokan gadis itu, biar aku yang kasih pelajaran pada manusia jenis
kacoak ini!” Setan Darah Ketiga melompat ke arah tempat tidur. Dua jari
tangannya siap untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar, tapi dari samping Setan
Pikulan tidak tinggal diam. Tubuhnya yang kate melasat ka muka satu tendangan
yang dahsyat dilancarkannya ke arah tangan Setan Darah Ketiga. Tentu saja Setan
Darah Ketiga tidak mau ambil risiko hancur tangannya. Cepat-cepat dia tarik
pulang tangannya, menggeser kaki dan kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri!
Selarik
sinar merah menyambar ke arah selangkangan Setan Pikulan! Ini adalah satu
serangan yang benar-benar mematikan! Tapi si kate kepala gundul bukan manusia
kemarin. Dia membentak dan melompat ke atas. Dari atas dia kirimkan satu
jotosan dan satu tendangan! Setan Darah Ketiga merunduk sementara sinar
pukulannya tadi telah melanda dan menghancurkan tembok kamar! Di ruang sebelah
terdengar pekikan beberapa orang perempuan! Serangan gencar Setan Pikulan
menjadi batal sewaktu dari samping Setan Darah Kedua tusukkan dua jari
tangannya ke rusuk. Setan Pikulan yang tahu betul kehebatan dua jari itu cepat
menghindar dan sekaligus dua tangannya dipukulkan ke muka! Setan Darah Kedua
cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu melihat dua gelombang angin hitam ke
luar dari jotosan-jotosan lawannya.
“Ilmu
pukulan sepasang tinju hitammu tiada berguna terhadapku manusia buruk!” ejek
Setan Darah Kedua. Sementara kawannya baku hantam dengan Setan Pikulan. Setan
Darah Ketiga pergunakan kesempatan untuk membebaskan Sekar dari totokan. Namun
kali yang kedua inipun tidak berhasil karena saat itu Setan Pikulan sudah menyambar
senjatanya yang ampuh yang menyebabkan dia sampai dijuluki Si Setan Pikulan
dalam dunia persilatan. Senjatanya itu bukan lain ialah sebuah pikulan dari
bambu! Meskipun dari bambu tapi karena merupakan senjata sskti maka kekuatannya
lebih hebat dari baja! Setan Darah Ketiga cepat-cepat buang diri ke samping
sewaktu ujung pikulan menusuk ke kepalanya. Setan Darah Kedua mengomel.
“Tolol!,”
makinya,
“lepaskan
dia dengan totokan jarak jauh!” Habis berkata begitu Setan Darah Kedua segera
keluarkan sanjatanya yaitu sepasang gada. Dalam ilmu mengentengi tubuh dan
tenaga dalam serta kegesitan bergerak Setan Pikulan tidak di bawah kedua Setan
Darah itu, apalagi saat itu pikulan saktinya sudah berada di tangan. Namun
menghadapi dua lawan yang berada dalam jarak terpisah di mana dia musti pula
melindungi Sekar agar jangan sampai gadis itu berhasil dibebaskan lawan dari
totokannya maka ini adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi Si Setan
Pikulan! Setiap saat dia harus membagi serangan pada kedua lawan dan melindungi
Sekar! Setan Pikulan putar senjatanya laksana titiran.Pikulan itu dimainkan
dalam jurus-jurus silat toya. Angin deras dan suara mengaung memenuhi kamar
itu. Namun senjata lawan yang dihadapi Setan Pikulan bukan pula senjata biasa!
Bagaimanapun dia mempercepat gerakannya dan mendesak Setan Darah Kedua dengan
hebat namun pada jurus kesembilan belas Setan Pikulan tak berhasil menghalangi
Setan Darah Ketiga melepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh yang
membuat terlepasnya totokan di tubuh Sekar! Begitu bebas secepat kilat gadis
itu merapikan pakaiannya.
“Saudari,
kau menghindarlah ke sudut sana! Tunggu sampai kami membereskan monyet kontet
ini!,” kata Setan Darah Kedua. Sekar merasa syukur bahwa hasutannya termakan
oleh kedua Setan Darah sehingga kini dia lepas dari totokan. Dia tahu baik
Setan Pikulan maupun manusia-manusia bermuka dan berjubah merah itu tiada beda
satu sama lain. Dia berpikir-pikir apakah akan masuk ke gelanggang pertempuran
untuk turut mengeroyok Setan Pikulan yang telah membuat kekejian terhadapnya
atau lebih baik menyingkir dulu dari situ sebelum timbul pula urusan baru
dengan manusia-manusia iblis bermuka merah itu! Si gadis mengambil keputusan
yang terakhir. Apa lagi dia ingat bahwa sewaktu dibawa lari oleh Setan Pikulan
dari gedung kediaman Tiga Setan Darah tadi, sahabatnya Wiro Sableng masih
tertinggal di sana, dikurung dalam ruang batu karang. Maka gadis ini
cepat-cepat melompat ke pintu. Namun apa lacur! Bersamaan dengan itu sesosok
tubuh melompat pula dari luar dan cepat berhadap-hadapan dengan Sekar diambang
pintu itu !
****************
9
MANUSIA
ini berambut gondrong, bermuka dan berjubah merah parsis seperti yang dikenakan
dua orang Setan Darah yang tengah bertempur di dalam kamar. Pasti tidak manusia
ini adalah kawan dari dua Setan Darah lainnya itu pikir Sekar. Di lain pihak
manusia yang berdiri diambang pintu yang memang Setan Darah Pertama adanya
menduga keras bahwa Sekar adalah perempuan yang tadi terlihat dilarikan oleh
Setan Pikulan dari gedungnya. Meskipun dia tertarik sekali akan kecantikan si
gadis dihadapannya namun saat itu Setan Darah Pertama masih diliputi kemarahan
yang meluap yaitu sesudah dia menyaksikan kerusakan-keruasakan di gedungnya
serta dibikin seperti main-mairan sewaktu bertempur melawan Pendekar 212.
“Kalian
tolol semua!” bantak Setan Darah Pertama sewaktu menyaksikan dua kawannya yang
mengeroyok Setan Pikulan tapi mendapat tekanan-tekanan yang hebat bahkan
sesungguhnya sudah mulai terdesak.
“Menghadapi
si kate keling ini saja tidak mampu!” Di saat itu Setan Pikulan mengamuk dengan
hebatnya. Senjatanya bersiur-siur. Dua ujung pikulan menyambar dan memapas,
kadang-kadang menusuk ganas dalam jurus-jurus gencar yang penuh dengan
tipu-tipu yang membahayakan keselamatan kedua Setan Darah. Mendengar bentakan
Setan Darah Pertama, Setan Darah Ketiga segera cabut sepasang goloknya.
Pertempuran dalam kamar itu bertambah hebat. Tapi sepasang mata Setan Darah
Pertama bisa melihat bahwa kedua kambratnya itu masih berada di bawah angin, Si
kate kapala gundul berkelebat ganas hampir tak kelihatan. Pikulannya
menderu-deru bahkan anginnya sampai mengibarngibarkan jubah yang dipakainya!
Tanpa tunggu lebih lama Setan Darah Pertama segera bergerak ke tengah ruangan.
Kasempatan ini lekas dipergunakan olah Sekar untuk meninggalkan tempat itu.
Tapi Setan Darah Pertama berseru.
“Hai
gadis manis! Tunggu dulu! Kau mau ke mana?!” Sakar tak menyahuti malah tancap
gas larikan diri tapi satu sambaran angin menyapu kedua kakinya, membuat kaki
gadis itu menjadi kaku tegang dan laksana dipakukan ke lantai tak dapat
bergerak lagi! Setan Darah Petema telah melepaskan totokan jarak jauh yang
lihai sekali, Sekar sendiri tak tahu kalau dirinya akan diserang dari belakang
begitu rupa maka kini dia terpaksa tegak di lantai tak berdaya! Dikerahkannya
tenaga dalamnya ke kaki untuk membuyarkan totokan Setan Darah Pertama, tapi
sia-sia belaka!
“Tahan
dulu! Aku mau bicara!” Setan Darah Pertama berseru. Kedua orong kawannya segera
melompat ke tepi kamar. Dengan pandangan berapi- api Setan Derah Pertama
memanndang pada Setan Pikulan.
“Munding
Sura kaukah yang membuat keonaran di tempatku?!” Munding Sura alias Setan
Pikulan tertawa tawar.
“Kau dan
dua kambratmu ini sama saja menuduh seenaknya. Kau kira…..”
“Setan
Darah Pertama,” ujar Setan Darah Kedua.
“Kita tak
perlu banyak bicara dengan kunyuk hitam ini. Kami sudah tahu memang dia sengaja
mencari urusan terhadap kita, Dia telah menyelundup ke tempat kita!” Setan
Pikulan tertawa lagi.
“Tentu
saja nyalimu tambah besar karena satu kambratmu telah datang, lagi ke sini,”
katanya.
“Sebelum
terlambat apakah kalian masih mau teruskan urusan gila ini?!”
“Kunyuk
hitam!” hardik Setan Darah Pertama.
“Tiga
Setan Darah tak pernah bikin urusan setengah-setengah! Kawan-kawan, bersiap
membentuk barisan tiga bayangan siluman!.” Maka Tiga Setan Darahpun segera
membentuk barisan yang sangat diandalkan mereka itu. Di lain pihak Setan
Pikulan yang sudah memaklumi kehebatan ilmu silat lawan-lawannya itu segera
pasang kuda-kuda baru. Dan sebelum barisan tiga bayangan siluman bergerak Setan
Pikulan sudah berteriak-keras dan berkelebat bersama senjatanya! Setan Darah
Pertama bergeser ke samping mengelakkan sambaran senjata Setan Pikulan yang
melanda ke arah pinggangnya. Manusia bermuka merah ini kemudian merunduk dengan
cepat dan kirimkan serangan berantai ke arah kedua kaki lawan. Setan Darsh Ketiga
melesat ke atas, menukik lagi dan laksana seekor .burung elang tiada hentinya
melancarkan pukulan-pukulan maut ke kepala Setan Pikulan! Barisan tiga bayangan
siluman ini memang cukup terkenal dikalangan tokoh-tokoh Kotaraja. Setan
Pikulan sendiri juga sudah tahu tapi baru kali ini menyaksikannya dan disaat
itu dirinya pula yang menjadi bulan-bulanan! Namun Setan Pikulan bukan pula
tokoh silat kemarin. Tubuhnya berkelebat laksana bayang-bayang, menerobos dan
mengelak diantara hujan serangan lawan sedang senjatanya menderu kian kemari.
Kegesitan ditambah dengan keampuhan jurus-jurus silat yang dimainkannya banyak
sekali menolong Setan Pikulan sehingga meski dikeroyok tiga dalam sepuluh jurus
dia masih bisa bertahan bahkan dua tiga kali berturut-turut membagi serangan
pada ketiga lawannya. Lambat laun Tiga Setan Darah dibikin sibuk. Barisan tiga
bayangan siluman tiada berarti lagi. Ketiganya kini mulai terdesak! Setan Darah
Pertama memaki dalam hati! Untung saja pertempuran itu tidak terjadi di tempat
terbuka, tidak disaksikan umum! Kalau saja orang luar tahu, pasti nama besar
Tiga Setan Darat akan menjadi luntur! Setan Darah Pertama keluarkan sepasang
tombak bermata dua dari balik jubahnya. Melitat ini dua Setan Darah yang lain
yang tadi sewaktu membentuk tiga bayangan siluman telah memasukkan senjata
mereka, kini segera pula mengeluarkan senjata masing-masing kembali!
Setan
Pikulan kertakkan rahang. Tiga pasang senjata di tangan musuh-musuhnya itu
adalah senjata-senjata mustika sakti. Dia bersangsi apakah kini dia akan
sanggup menghadapi manusiamanusia bermuka merah itu! Setan Pikulan coba
memancing dengan ucapan agar musuhnya tidak bertempur secara mengeroyok. Maka
dia pun berkata, “Nama Tiga Setan Darah memang tersohor! Tapi hari ini aku
sendiri menyaksikan bahwa mereka cuma bangsa bunglonbunglon bernyali rendah
bangsa pengecut kelas wahid! Tokoh-tokoh silat yang beraninya main keroyok!”
“Mengocehlah
seenakmu manusia kontet! Sebentar lagi gadaku ini akan membuat otakmu
bertaburan.” hardik Setan Darah Kedua serayra putar-putarkan gadanya.
“Setan
Darah Pertama, tunjukkanlah bahwa kau bukan seorang pengecut! Mari kita
bertempur satu lawan satu sampai seribu jurus!” Setan Darah Pertama tertawa
gelak-gelak.
“Sampai
seribu jurus katamu?! Tiga juruspun kau belum tentu bisa bertahan manusia
kacoak!”
“Huh!
Betapa memalukan kalau dunia persilatan mengetahui bahwa Tiga Setan Darah
beraninya cuma main keroyok! Persis macam anjing-anjing kurap yang mengeroyok
seekor kucing yang ditakutinya!” Marahlah Setan Darah Pertama mendengar cacian
anjing kurap itu. Dia berikan isyarat pada dua kawannya. Serentak dengan itu
ketiganya segera menyerbu Setan Pikulan. Enam senjata laksana taburan hujan
menderu mencari sasaran ditubuh Setan Pikulan. Yang dikeroyok mempertahankan
diri dengan sebat. Sepuluh jurus berlalu. Keringat telah membasahi tubuh Setan
Pikulan yang cuma mengenakan cawat itu! Gerakan dan putaran pikulannya semakin
sebat namun sesungguhnya daya pertahanan manusia ini jurus demi jurus semakin
lemah. Beberapa kali ujung-ujung pikulannya beradu dengan salah satu senjata
lawan membuat senjata itu kadang-kadang hampir terlepas dan genggamannya yang
licin oleh keringat!
“Ha… ha…
ha…! Sampai berapa lama lagikah kau akan sanggup bertahan Munding Sura?!”
Mengejak Setan Darah Pertama.
“Sampai
batok kepalamu hancur oleh ujung senjataku ini!” sahut Setan Pikulan seraya
tusukkan ujung pikulannya ke kepala lawan. Setan Darah Pertama sampokkan
tombaknya yang ditangan kanan untuk menangkis tapi senjata lawan berputar cepat
dan kini ujung yang lain menotok ke dadanya dengan sangat cepat! Setan Darah
Pertama kertakkan rahang! Dia bersurut satu langkah dan dibantu oleh Setan
Darah Kedua, keduanya menangkis serangan Setan Pikulan. Tiga senjata bentrokan
satu sama lain mengeluarkan suara keras. Tiga tangan tergetar! Begitu
senjatanya membentur senjata lawan, Setan Darah Pertama cepat pergunakan ujung
tombaknya yang bermata dua untuk menjepit ujung pikulan. Dia berhasi! Segera
tombak hendak diputarnya. Tapi Setan Pikulan tidak bodoh! Pikulan digerakannya
dari atas ke bawah. Ujung yang lain menderu ke bawah perut Setan Darah Pertama.
Di saat yang sama pula Setan Pikulan melompat ke atas karena kedua kakinya!
Genap dua puluh jurus sudah! Setan Pikulan benar-benar sudah mandi keringat.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Senjatanya menyapu membuat satu lingkaran sedang
dari balik cawatnya dikeluarkannya sejenis senjata rahasia berbentuk paku
rebana!
“Awas
paku rebana beracun!” teriak Setan Darah Pertama. Tiga Setan Darah
masing-masing kebutkan lengan jubah mereka. Sinar merah yang keluar dari ujung
lengan jubah itu membuat mental sembilan buah paku-paku rebana yang dilepaskan
Setan Pikulan!
“Licik!”
maki Setan Darah Pertama.
“Kalian
kunyuk-kunyuk muka merah yang pengecut kelas wahid!” semprot Setan Pikulan. Dan
kembali diputarnya senjatanya dengan sebat. Namun serangan-serangannya tiada
berarti. Daya tahannya semakin kendur. Pada jurus ke duapuluh sembilan kedua
ujung senjatanya sekaligus beradu dengan gada serta tombak lawan.
Di detik
itu pula sepasang golok Setan Darah Ketiga membabat dari atas ke bawah hendak
menetak pangkal lehernya dari dua jurusan. Tak ada cara lain yang paling baik
untuk menghindarkan diri dari pada menjatuhkan badan kebawah. Dan memang inilah
yang dilakukan oleh si kate Munding Sura. Sambil jatuhkan diri manusia yang
berjuluk Setan Pikulan ini kirimkan satu tendangan ke arah bawah perut Setan
Darah Ketiga! Setan Darah Ketiga keliwat yakin bahwa bacokan sepasang goloknya
akan berhasil sehingga dia melupakan pertahanan dirinya sendiri! Kecepatan
turun golok-golok itu tak dapat rnendahului kecepatan jatuhnya tubuh Setan
Pikulan. Golok Setan Darah Ketiga beradu satu sarna lain sebaliknya tendangan
Setan Pikulan cuma sedikit saja dapat dilaksanakannya.
“Buuk!”
Tendangan
Setan Pikulan mendarat di pinggul kiri Setan Darah Ketiga. Manusia ini
terpelanting beberapa tombak dan untuk beberapa lamanya tergelimpang di lantai
kamar merintih kesakitan! Meski berhasil mengelakkan serangan gotok-golok maut
tadi dan mernbuat Setan Darah Ketiga melingkar di lantai namun posisi Setan
Pikulan sendiri di saat itu tidak menguntungkan sama sekali! Salah satu ujung
pikulannya telah dijepit sepasang tombak bermata dua dan dalam keadaan tubuh
masih membungkuk di lantai begitu rupa sukar bagi Setan Pikulan uratuk melepaskan
jepitan senjata lawan atas senjatanya. Hanya ada dua keputusan yang harus
diambil oleh Setan Pikulan. Melepaskan senjatanya atau memutar Pikulan itu
sambil mengerahkan tenaga dalam! Setan Pikulan merasa lebih baik memutar
senjatanya sekalipun pikulan itu akan patah daripada menyerahkan senjata
tersebut mentah-mentah ke tangan lawan! Setan Pikulan gerakkan kedua tangannya
!
“Kraak!”
Pikulannya
benar-benar patah!
“Bedebah!”
maki Setan Pikulan. Salah satu dari patahan pikulan itu dihantamkannya ke arah Setan
Darah Pertama tapi dapat dielakkan. Patahan yang kedua ditusukkannya ke muka
Setan Darah Kedua, namun dia keliwat kesusu! Di saat melemparkan patahan
senjata yang pertama kepada Setan Darah Pertama, Setan Pikulan tak dapat
mengontrol posisinya, tak dapat melihat posisi lawan lainnya. Justru diwaktu
dia menyodokkan patahan pikularn maka Setan Darah Kedua lebih cepat dari itu
setan Darah Kedua hantamkan ujung gadanya ke dada Setan Pikulan.
“Buuuk!!”
“ Setan
Pikulan mengeluh tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. tersandar ke
dinding lalu melosoh duduk ke lantai, muntahkan darah segar! Mukanya menjadi
pucat laksana kain kafan dan nafasnya megap-megap! Setan Darah Pertama tertawa
terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Setan Pikulan.
“Ha… ha…
Nyatanya memang kau cuma manusia jenis kacoak! Apakah saat ini kau masih
sanggup memperlihatkan kehebatanmu huh!”
“Setan
alas mampuslah!” teriak Setan Pikulan. Tangan kanannya memukul ke muka.
Seberkas sinar hitam menyambar ke arah Setan Darah Pertama, membuat manusia
muka merah ini memaki dan cepat-cepat menghindar ke samping. Setan Pikulan
sendiri kembali muntahkan darah segar. Dengan beringas Setan Darah Pertama
angkat salah satu tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk ditancapkan ke batok
kepala Setan Pikulan!
“Tunggu
dulu!,” Setan Darah Ketiga berseru. Penasaran Setan Darah Pertama membentak
“Tunggu apa lagi, sompret!”
“Kematian
yang begitu cepat terlalu bagus baginya, Setan Darah Pertama!”
“Hem, kau
punya rencana apa?!”
“Kau bisa
merasakan dan membayangkan bagaimana seorang jago silat yang ditakuti cacat
seumur hidup, tak bisa lagi memainkan silat dan ilmu kesaktiannya?! Cacat
seumur hidup! Lebih mengertikan dari kematian sobat!”
“Cepat
bilang terus terang rencanamu!” tukas Setan Darah Pertama penasaran. Setan
Darah Ketiga tertawa sedingin es. Dia melangkah ke hadapan Setan Pikulan yang
tersandar di dinding antara sadar dan tiada.
“Inilah
rencanaku Setan Darah Pertama!” seru Setan Darah Ketiga. Serentak dengan itu
sepasang goloknya berkelebat.
“Craas!”
Buntunglah
kedua tangan Setan Pikulan. Dacah muncrat. Setan Pikulan meraung keras lalu
rubuh di lantai bermandikan darah! Setan Darah Ketiga tertawa panjang-panjang.
Dia memandang pada kedua koleganya dan berkata, “Dia akan hidup terus! Tapi
hidupnya akan dirongrong oleh rasa kenyerian! Dendam kesumat yang membara!
Namun tak satu apapun yang akan bisa dilakukannyal Karena dia cacat
selama-lamanya!” Meledaklah tawa Tiga Setan Darah itu. Setan Darah Pertama
menepuk-nepuk bahu Setan Darah Ketiga.
“Betul!
Betul sekali katamu! Dia tidak marnpus, tapi hidupnya lebih mengerikan dari
pada benar-benar mampus! Sekarang mari kita tinggalkan tempat sialan ini! Di
luar ada seorartg gadis jelita menunggu kita. Kita bawa dia ke gedung dan suruh
dia membuka bajunya satu demi satu! Kalau tidak mau kita yang tolong
membukanya….!”
Suara
tertawa ketiga manusia itu meledak lagi di dalam kamar itu! Ketiganya menuju ke
pintu! Setan Darah Pertama tanpa banyak cerita segera menotok tubuh Sekar,
sehingga tubuh gadis ini kaku tegang tak bisa bergerak tak bisa buka suara!
Tiba-tiba Setan Darah Kedua hentikan langkah.
“Tunggu
dulu..”, katanya.
“Kita
semua tahu dirumah ini Setan Pikulan punya banyak, perempuan peliharaan!
Cantik-cantik! Di mana mereka semua?!”
“Heh?!”
Setan Darah Pertama yang memanggul tubuh Sekar kerenyitkan kening.
“Terserah
kalau kau mau cari perempuan-perempuan itu Aku tetap yang ini!,” kata Setan
Darah Pertama pula kemudian. Setan Darah Kedua memandang pada kambratnya yang
seorang lagi.
“Kau
bagaimana?,” tanyanya.
“Aku
tetap tinggal bersamamu di sini,” jawab Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama
tertawa.
“Puaskan
dirimu di sini sobatsobat, tapi jangan lupa untuk datang ke gedung kita. Kita
masih ada tugas, mencari Pranajaya, anak si Wijaya keparat itu!” Kedua Setan
Darah anggukkan kepala. Begitu Setan Darah Pertama berlalu bersarna Sekar,
mereka segera memeriksa kamarkamar di dalam rumah itu. Dalam kamar yang paling
belakang akhirnya mereka menemui juga perempuan-perernpuan peliharaan Setan
Pikulan. Semuanya rnasih muda-muda dan berparas rata-rata cantik, bertubuh
rnontok molek! Kedua Setan Darah berdiri diambang pintu, memandag kepada
rnereka dengan hidung kembang kempis dan mata bersinar-sinar. Perempuan-perempuan
muda itu berjumlah empat orang semuanya. Mereka memandang dengan ketakutan pada
manusia-manusia diambang pintu itu. Setan Darah Kedua menyengir.
“Kalian
tak usah takut pada kami. Kami jauh lebih baik daripada si kate kepala gundul
itu!”
Setan
Darat Ketiga yang sudah tak sabaran berbisik, “Masingmasing kita kebagian dua
orang. Kau pilih yang mana…?” Setan Darah Kedua meneliti sebentar lalu
menjawab, “Yang baju ungu dan baju biru itu….”
“Sompret
kau pilih yang cantik semua!”° desis Setan Darah Ketiga.
“Begini
saja, kau boieh ambil si baju ungu dan salah seorang lainnya, aku si baju biru
dan satu orang lainnya pula. Atau sebaliknya!”
“Baik,”
Setan Darah Kedua mengangguk. Dia, melompat ke muka. Empat perempuan itu
menjerit. Setan Darah Kedua segera merangkul perempusn baju ungu dan salah
seorang kawannya sedang Setan Darah Ketiga menarik si baju biru bersrama
kawannya yang keempat.
“Di sini
saja, sobat?!” tanya Setan Darah Kedua
“Sinting
kau! Kau pindah ke kamar sebelah sana!” Dengan tertawa-tawa Setan Darah Kedua
memboyong dua orang perempuan cantik itu dan membawanya ke kamar sebelah!
***************
10
PENDEKAR
212 wiro sableng membawa Pranajaya ke luar Kotaraja sebelah tenggara. Dia
berhenti di tepi sebuah telaga dan membaringkan tubuh pemuda itu di atas
rerumputan. Dia sudah sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro
memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian menyandarkannya ke
sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan yang sudah dibasahkan dengan air
telaga dibersihkannya seluruh luka-luka di tubuh Pranajaya. Setengah jam
kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur jalan nafas serta darah. Ketika
disuruhnya mengatur tenaga dalam Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng
berlutut di belakang pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di
punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya.
Lima menit kemudian.
“Coba
kerahkan lagi,” kata Wiro. Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya
kepertengahan perut! Dia berhasil berseru gembira!
“Wiro
Tenaga dalamku telah pulih!” Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir
balik beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu mencapai
tanah!
“Gerakan
dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali Prana,” puji Wiro. Pranajaya
tersenyum jumawa.
“Ini
semua adalah berkat pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus!
Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padamu!” Wiro Sableng bersiul.
“Hutang
budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada di dunia ini, saudara
Prana,” sahut Wiro Sableng. ”Kau tahu, budi baik itu Tuhan yang memasukannya ke
dalam hati nurani kita. Dan nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah
kita semua berhutang!” Pranajaya tertawa.
“Walau
bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar sekali padamu. Kuharap Tuhan
memanjangkan umurku dan bisa membalas semua pertolonganmu…“ Wiro Sableng
geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu Prana dan berkata, “Di samping
nasib baik dan pertolongan Tuhan, tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti,
Prana.”
“Ah, aku
cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak tahu apa-apa…!” jawab Pranajaya
rendahkan diri. Wiro tertawa.
“Seorang
pemuda gunung yang dogol pasti sudah mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan
masih hidup!” Prana angkat bahu.
“Sekarang
terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib demikian,” kata Wiro Sableng pula.
“Aku
dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah. Mereka telah membunuh
bapakku dan salah seorang dari mereka membacok buntung lengan kiriku ini! Di
samping itu. Empu Blorok juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya
yang dicuri oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati.”
“Senjata
apa yang dicuri itu?” kepingin tahu Wiro.
“Sebuah
cambuk bernama Cambuk Api Angin.”
“Namanya
hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali,” ujar Wiro.
“Kau
sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol?” tanya Wiro kemudian. Pranajaya
mengangguk.
“Di Pulau
Seribu Maut,” jawab pemuda tangan buntung itu.
“Pulau
Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak pernah dengar!”
“Menurut
guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa…“
“Cukup
jauh dari sini,” kata Wiro.
Prana
mengangguk lagi.
“Aku
bernasib sial,” katanya.
“Tiga
Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena
disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan jiwapun aku tetap musti
bisa membereskan ketiga bangsa itu!” Prana berdiri dari duduknya.
“Kau mau
ke mana?!” tanya Wiro.
“Kembali
ke Kotaraja untuk-mencari Tiga Setan Darah!” Wiro berdiri pula.
“Dengan
pakaian macam ini kau mau masuk ke Kotaraja?” Prana memandang ke dirinya.
Seluruh pakaian birunya sudah hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu.
Pemuda ini menggigit bibir. Wiro tertawa.
“Aku ada
satu stel persediaan pakaian,” katanya. Dari balik punggungnya Pendekar 212
mengeluarkan sebuntal pakaian.
“Ini,
pakailah,” Wiro melemparkan pakaian itu. Prana menyambutnya. “Terima kasih,”
kata pemuda ini lalu cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar.
“Aku juga
akan ke Kotaraja,” kata Wiro “Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke mana.
Aku musti cari dia!”
“Kalau
begitu kita pergi sama-sama,” ujar Pranajaya.
“Tiga
Setan Darah musti mampus ditanganku!,” murid Empu Blorok ini kepalkan tinju
tangan kanannya.
“Salah
seorang dari mereka telah merampas pedang warisan guruku! Mereka musti
benar-benar mampus!” Wiro menepuk bahu Pranajaya.
“Sudah
sobat, mari kita berangkat!” Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan
ilmu lari cepat masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu
matahari telah menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya memperhatikan
gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata tajam dan berpikiran
cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu Wiro hanya mengeluarkan setengah
bagian saja dari kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan
keseluruhan kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia
akan ketinggalan jatuh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin siapa dan
murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah menerangkan
tentang tokoh-tokoh silat ternama di rimba persilatan. Tapi tak pernah
menyebut-nyebut seorang pendekar muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari
itu akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang Kotaraja. Wiro Sableng
memperlambat larinya.
“Kulihat
ada kelainan di pintu gerbang saat ini,” kata Wiro. Pranajaya memperhatikan ke
arah pintu gerbang. Apa yang diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang
Kotaraja kelihatan sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua
orang yang berdiri di situ.
“Aku
mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan kita..,” kata Pranajaya.
“Kita lihat
saja. Jika betul tak usah ragu-ragu untuk memberi sedikit hajaran pada mareka,
Prana!” Begitu sampai di pintu gerbang Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu
gerbang berjejer rapi, masing– masing memalangkan tombak. Salah seorang dari
mereka maju membentak.
“Berhenti!”
Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing. Mereka memperhatikan,
rata-rata tampang pengawal-pengawal itu bengis semua. Yang tadi membentak
berpaling pada salah seorang kawannya dan bertanya,
“Apakah
ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat melarikan diri dari Kotaraja?!” Pengawal
yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti pakaian namun pengawal itu masih
dapat mengenali Pranajaya dan juga Wiro Sableng.
Pengawal
yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia segera
hendak buka mulut berikan perintah namun Wiro Sableng dengan cengar cengir
mendahului.
“Pengawal,
omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa pakai memaki kunyuk segala?! Coba
kacakan mukamu di telapak kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yartg
kunyuk atau kau yang monyet!” Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat
tinggi-tinggi kaki kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang
tadi memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang!
“Bangsat
rendah! Kau lebih pantas mampus dari pada ditangkap hidup-hidup!” Pengawal ini
secepat kilat tusukkan tombaknya kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda
tertawa.
“Sompret
betul!,” makinya kemudian.
“Orang
suruh berkaca malah menyerang! Ini makan kakiku!” Hampir tak kelihatan bagaimana
cepatnya gerakan kaki murid Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya
sudah mendarat didagu si pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya
mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang tanpa
kabarkan diri! Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar mengurung!
“Bedebah
laknat!,” kata salah seorang dari mereka, “lebih baik kalian serahkan diri.
Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!”
“Siapa
yang minta tolong soal nyawa padamu tikus pintu gerbang!” damprat Wiro.
“Ulurkan
kedua tangan kalian!” perintah pengawal yang seorang itu sambil mengeluarkan
segulung tali besar.
“Kalian
harus kami seret kehadapari Tiga Setan Darah!”
“Oh, jadi
manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang menyuruh kalian menghadang kami di
sini?!” bentak Pranajaya.
“Tak usah
banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian!” Wiro Sableng, palingkan kepala pada
Prana dan kedapkan matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, “Kalau betul
Tiga Setan Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa
berbuat apa-apa selain serahkan diri…” Dan Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya
pada pengawal itu seraya berkata,
“Tapi
saudara, kawanku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat juga dia….?!”
“Aku
bilang tak usah banyak mulut!” sentak si pengawal. Tali yang ditangannya dengan
cepat digulung dan mengikat kedua pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat.
Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak. Terdengar satu
pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara, terbanting ke atas atap pintu
gerbang Kotaraja, mengeluh sebentar lalu merosot jatuh ke tanah dengan
mengeluarkan suara bergedebuk! Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro
Sableng. Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar
matahari sore! Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya bergerak
cepat tiada henti. Disekitarnya terdengar suara, “plak… plak… plak” dan hanya
dalam tempo lebih dari sekejapan mata saja kedelapan pengawal itu sudah
bertumpukan di tanah, pingsan dihantam tamparan Wiro Sableng! Pranajaya, si
murid Empu Blorok hampir, tak percaya melihat apa yang disaksikannya itu.
Delapan orang sekaligus dibikin roboh pingsan dalam tempo demikian singkatnya!
Benar-benar dia kagum sekali! Dia berdiri terlongong-longong!
“Sobat!,”
Wiro menepuk bahunya.
“Jangan
jadi patung. Mari! Kau tokh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!”
Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari menyusul Wiro Sableng.
Tiba-tiba Wiro hentikan larinya.
“Kita
bodoh,” katanya, “di Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu
akan menujukan perhatiannya pada kita.” Keduanya meneruskan perjalanan dengan
melangkah cepat. Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah.
Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada Pranajaya.
“Sobat,
aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu
ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap. Musti si Setan Pukulan yang telah
melarikannya! Keparat betul!”
“Kau tahu
ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan?” tanya Prana. Wiro gelengkan kepala
dan menggerendeng,
“Aku akan
cari keterangan,” katanya.
“Sementara
itu coba kau selidiki dulu gedung tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku
pasti kembali ke sini!” Prana menyetujui usul Wiro.
“Hati-hati,”
memperingatkan Wiro.
“Gedung
tua ini banyak jebakan dan senjata rahasianya!” Pranajaya mengangguk lalu
cepat-cepat memasuki halaman gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping
yang sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung sejenak.
Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat rahasianya, maka menurut dia
jalan yang seaman-amannya untuk masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng!
Maka tanpa pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi
tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung tua! Kedua
kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
“Setan
Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat
terkutUk tukang rusak kehormatan perempuan!”
Habis
berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan,
beberapa papan panglari patah!
****************
11
SEPERTI
telah dituturkan Setan Darah Pertama dengan memboyong murid Empu Tumapel
meninggalkan tempat kediaman Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini langsung
membawa Sekar ke gedungnya, membaringkan gadis itu di lantai salah sebuah
kamar. Gedung tua itu hampir tidak berperabotan bahkan satu tempat tidurpun tak
terdapat di sana! Saat itu Sekar masih berada dalam keadaan tertotok. Tak
satupun yang dapat dibuat Sekar sewaktu dengan nafas kembang kempis dan nafsu
menggelegak Setan Darah Pertama sambil menyeringai buruk membuka pakaian gadis
itu satu demi satu! Gadis itu tertelentang di lantai kamar tanpa sehelai
pakaianpun menutupi tubuhnya yang mulus itu kini. Senjata pemberian Empu
Tumapel “Rantai Petaka Bumi” yang ditemui Setan Darah Pertama melilit di
pinggang Sekar, diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar. Setan Darah
Pertama membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sepasang matanya laksana
dikobari api, memandang tak berkedip pada tubuh Sekar yang menggeletak di
lantai.
“Tubuh
bagus… tubuh bagus! He… he… he… he….!” Setan Darah Pertama menyeringai.
Kemudian tanpa menunggu lebih lama manusia bermuka merah ini membuka jubahnya.
Jubah itu dilemparkannya ke sudut kamar! Sepasang tombak bermata dua dan pedang
milik Pranajaya diletakkannya dekat kepala Sekar. Manusia ini baru saja
berbaring dan menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan tangannya sewaktu laksana
halilintar di siang hari bolong dia mendengar suara bentakan menggeledek dan
bobolnya genteng di atas kamar itu!
“Setan
Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat
terkutuk tukang rusak kehormatan perempuan!”
Seperti
seekor singa Setan Darah Pertama melompat dan menyambar pedang Ekasakti di atas
lantai. Berdiri bulu kuduk Pranajaya menyaksikan manusia yang berdiri tanpa
pakaian dihadapannya itu! Berdiri bulu kuduk bukan karena ngeri tapi karena
merasa sangat geramnya ! Di lain pihak Setan Darah Pertama tidak pula kurang
geramnya. Ternyata manusia yang menerobos masuk lewat genteng kamar bukan lain
Pranajaya, pemuda tangan buntung yang memang tengah dicaricarinya!
“Budak
bedebah! Dicari-cari tidak ketemu, sekarang datang sendiri antarkan nyawa!”
“Iblis
bejat!” balas membentak Pranajaya.
“Bertiga
dan mengeroyok kau memang unggul, tapi sekarang kita satu lawan satu!” Setan
Darah Pertama tertawa buruk! Diacungkannya pedang Ekasakti yang ditangan
kanannya.
“Kau
lihat pedang ini huh?! Senjata milikmu ini sendiri yang akan menebas kau punya
batang leher!” Habis berkata begitu Setan Darah Pertama menerjang ke muka.
Tangannya bergerak, pedang menderu ke arah Pranajaya. Cepat-cepat si pemuda
bertangan buntung melompat ke samping dan lepaskan pukulan angin sewu! Setan
Darah Pertama yang tahu kehebatan ilmu pukulan tangan kosong ini buru-buru
menyingkir dan menyambar jubah merahnya di sudut kamar! Kesempatan ini
dipergunakan oleh Pranajaya untuk mengirimkan pukulan jotos sewu, satu ilmu
pukulan yang diwarisinya dari Empu Blorok yang tak kalah hebatnya dengan ilmu
pukulan angin sewu tadi! Angin keras pukulan Pranajaya membuat jubah Setan
Darah Pertama mental sehingga pemiliknya tak berhasil mengambilnya! Dengan
memaki terpaksa Setan Darah Pertama melompat lagi ke samping! Sewaktu Pranajaya
mengintip di atas genteng dan menginjakkan kaki di lantai kamar itu sekaligus
dia mengetahui bahwa gadis yang menggeletak di lantai kamar berada dalam
keadaan tertotok. Karenanya ketika Setan Darah Pertama melompat ke samping,
pemuda ini cepat cepat pergunakan tangan kirinya untuk melepaskan totokan di
tubuh Sekar! Begitu tubuhnya lepas dari totokan begitu Sekar berteriak,
“Saudara
awas!” Pranajaya mendengar suara sambaran angin dibelakangnya. Secepat kilat
pemuda ini jatuhkan diri ke muka. Pedang Ekasakti membabat setengah jengkal di
atas bahu kanannya! Prana terus menggulingkan diri dan dalam gerakan yang sudah
diperhitungkan pemuda ini dalam berguling berhasil menyambar sepasang tombak
bermata dua milik Setan Darah Pertama! Di lain pihak Sekar dengan sangat cepat
segera mengenakan pakaiannya yang tadi sudah dipereteli Setan Darah Pertama.
Dia merasa heran melihat pemuda bertangan buntung itu masih hidup malah dalam
keadaan segar bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong pemuda ini? Tapi Wiro
sendiri di mana sekarang?! Sekar tidak bisa berpikir lamalama. Begitu
mengenakan pakaian, gadis ini segera mengambil Rantai Petaka Bumi miliknya yang
diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar! Sementara itu si pemuda tangan
buntung terdengar membentak, “Iblis muka merah!” Prana acungkan sepasang tombak
bermata dua yang keduanya sekaligus digenggamnya di tangan kanan.
“Kita
samasama bersenjata sekarang! Mungkin senjata yang ditanganku ini yang akan
lebih dulu mengambil nyawa pemiliknya sendiri!” Setan Darah Pertama kertakkan
geraham. Tubuhnya berkelebat. Pedang di tangan manusia ini menabur sinar putih.
Jurus yang dikeluarkan Tiga Setan Darah hebatnya luar biasa sekali karena dalam
saat itu juga Pranajaya segera terbungkus serangan-serangan pedang Ekasakti
miliknya sendiri! Pranajaya membentak keras. Gerakan murid Empu Blorok ini tak
kalah sebat. Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja kini dan dua tombak
bermata dua di tangannya menderu-deru. Dalam jurus pertama yang luar biasa hebatnya
itu, senjata-senjata mereka beradu sampai empat kali berturut-turut dan
memercikkan bunga api yang menyilaukan mata!
“Saudara!
Kuharap kau suka mundur!” tiba-tiba Pranajaya mendengar seruan gadis yang tadi
dilepaskannya totokannya.
“Manusia
iblis laknat terkutuk ini harus mampus ditanganku!” Pranajaya mengerling dan
melihat Sekar berdiri sambil memutar-mutar sebuah senjata berbentuk rantai yang
ujungnya diganduli bola besi berduri! Tanpa perdulikan seruan si gadis Prana
terus kirimkan serangan-serangan gencar terhadap Setan Darah Pertama. Dalam
pertemuannya pertama kali di luar Kotaraja, Pranajaya memang tiada sanggup
menghadapi Setan Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga. Namun,kali ini
pertempuran jauh berbeda, satu lawan satu! Dan keluar biasaannya lagi ialah
karena mereka bertempur dengan memegang senjata milik lawan masing-masing!
“Saudara!
Mundurlah!” seru Sekar tidak sabar sewaktu pertempuran gencar itu memasuki
jurus ke tiga. Gadis ini sudah tak dapat menahan kesabaran den dendam
kesumatnya terhadap Setan Darah Pertama, manusia yang telah menelanjangi dan
hampir saja merusak kehormatannya!
“Tidak
bisa saudari!” seru Pranajaya membalas.
“Bangsat
yang satu ini musti mampus ditanganku!”
“Nyawanya
miliku!” teriak Sekar dan dia melompat ke muka sambil menyabetkan Rantai Petaka
Bumi. Senjata itu menderu laksana angin topan, membuat kedua orang yang
bertempur terpaksa sama melompat mundur ! Pranajaya penasaran sekali. Dia
berpaling.
“Saudari
kuharap, kau jangan mencampuri urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya
lekas-lekas berlalu tinggalkan tempat ini!”
“Berlalu?!”
sahut Sekar ketus!
“Sebelum
kupecahkan kepala bangsat bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan tempat
ini!”
”Aku tahu
kebejatan yang telah dilakukannya yang membuat kau begitu inginkan jiwanya,”
kata Pranajaya.
“Tapi itu
tak seberapa….”
“Tak
seberapa katamu?!” sentak Sekar dengan mata melotot!
“Manusia
macam apa kau ini?! Perbuatan mesum terkutuk kau katakan hal yang tak
seberapa!” Sementara kedua orang itu berdebat, Setan Darah Pertama memutar
otak. Dia cuma seorang diri di situ, menghadapi dua lawan yang sama-sama
inginkan jiwanya. Meski kedua lawan itu kini saling bertengkar namun bukan
tidak mustahil keduanya akan sama-sama menggempurnya bersirebut cepat mencabut
jiwanya! Dalam pertempuran beberapa jurus tadi Setan Darah Pertama telah pula
dapat mengukur kehebatan Pranajaya. Satu lawan satu memang sukar juga baginya
untuk menghadapi pemuda tangan buntung itu ! Satu-satunya jalan yang paling
baik bagi Setan Darah Pertama saat itu ialah kabur dari situ dan kembali lagi
bersama dua orang konco-konconya! Tanpa pikir panjang manusia bermuka merah ini
segera menyambar jubahnya dan melompat ke atas genteng! Tapi kejut Setan Darah
Pertama bukan olah-olah sewaktu dari atas genteng dari mana Pranajaya menerobos
tadi bersiur angin laksana badai, melanda ke arahnya membuat tubuhnya terhempas
hampir jatuh duduk di lantai kamar jika dia tidak cepat melompat ke samping dan
jungkir balik dua kali berturut-turut. Sebelum dia mendongak ke atas sepasang
telinga Setan Darah Pertama mendengar suara tertawa gelak-gelak! Sesosok tubuh
muncul di atas atap dan duduk di palang kayu!
“Dua muda
mudi bertengkar rebutkan jiwa manusia busuk! Si busuk cari kesempatan untuk
larikan diri! Ha…. ha…. ha…. ha!” Prana dan Sekar menengadah ke atas genteng
dan kedua orang ini sama-sama berseru,
“Wiro!”
Sekar
terkejut sewaktu melihat Pranajaya kenal pada Wiro Sableng. Setan Darah Pertama
memandang penuh amarah meluap ke atas genteng itu. Orang yang tertawa dan
bicara serta duduk di atas itu bukan lain dari pemuda rambut gondrong yang
sebelumnya telah membebaskan dan melarikan Pranajaya dari ruang batu karang
yang kemudian bertempur sebentar dengan dia lalu larikan diri! Sambil kenakan
jubahnya dengan cepat Setan Darah Pertama yang sebenarnya sudah semakin menciut
nyalinya melihat kemunculan lawan baru ini, membentak keras,
“Bagus
sekali! Semua musuhmusuhku sudah lengkap di sini! Silahkan turun pemuda
sedeng!”
“Mulutmu
terlalu besar! Apakah kambrat-kambratmu yang dua orang lainnya juga ada di sini
heh?!”
“Tak usah
banyak mulut! Jika punya nyali silahkan turun. Kalau tidak lekas minggat dari
sini!” Mendengar ini Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Penasaran sekali Setan
Darah Pertama berteriak memancing.
“Kalau
kau tak berani baku hantam di sini, aku masih bersedia melayanimu di halaman
luar!”
“Bertempur
di halaman luar lalu cari kesempatan untuk larikan diri lagi…?!” Wiro Sableng
tertawa lagi gelak-gelak! Setan Darah Pertama mendamprat dalam hati karena
pancingannya diketahui lawan. Agaknya dia tak punya kesempatan lain daripada
harus menghadapi ketiga musuhmusuhnya itu atau sekurang-kurangnya salah seorang
dari mereka! Diam-diam Setan Darah Pertama salurkan seluruh tenaga dalamnya
pada kedua ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak garang! Satu tangan meninju
ke atas, tangan yang lain menjentik ke arah Pranajaya dan Sekar! Selarik besar
sinar merah yang sangat panas menderu ke arah Pendekar 212 yang duduk
ongkang-ongkang di atas atap kamar sedang lima larikan kecil sinar merah yang
merupakan totokan-totokan beracun menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan
Pranajaya. Sekar putar Rantai Petaka Bumi, Prana menghindar ke samping sambil
kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah Pertama! Di atas
genteng Wiro kelihatan gerakkan tangan kirinya. Satu angin dingin menderu
memapasi angin merah panas Setan Darah Pertama dan membuat buyar serangan
manusia muka merah itu. Penuh beringas Setan Darah Pertama melompat ke atas dan
menyerang dengan pedang Ekasakti milik Pranajaya! Kini Wiro Sableng gerakkan
tangan kanannya. Gumpalan angin keras menyambar ke arah Setan Darah Pertama.
Inilah pukulan kunyuk melempar buah yang tak asing lagi dari Pendekar 212.
Meski cuma mempergunakan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya dalam
melancarkan pukulan ini, namun tak urung Setan Darah Pertama terkejut hebat dan
cepatcepat menyingkir ke samping dan kembali turun ke lantai. Keringat dingin
memercik di muka manusia yang berwarna merah itu. Nyalinya benar-benar menciut!
Ilmu pukulan apakah yang dimiliki dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di
atas genteng itu yang demikian hebatnya sehingga dia tiada sanggup menerimanya?!
“Setan
muka merah, apakah kau betul-betul tidak tahu di mana dua kambratmu yang lain
berada?!” tanya Wiro Sableng dari atas. ”Di mana mereka berada itu bukan
urusanmu!” jawab Setan Darah Pertama keras sekedar untuk melenyapkan rasa
bergidiknya. Wiro tertawa.
“Rupanya
kau sendiri kurang begitu tahu. Biar aku tunjukkan di mana mereka berada!,”
kata Pendekar 212 pula. Kedua tangannya kelihatan ke luar dari lowongan
genteng. Sesaat kemudian bila tangan itu bergerak turun maka dua sosok tubuh
manusia berjubah merah laksana dua batang pisang melesat ke bawah, jatuh dengan
keras di atas lantai kamar dihadapan Setan Darah Pertama ! Muka Setan Darah
Pertama berubah pucat. Bulu kuduknya berdiri. Kedua kambratnya itu menggeletak
di lantai dengan kepala pecah, darah dan otak bermuncratan ! Sewaktu
meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro berhasil mencari keterangan di mana letak
tempat kediaman Setan Pikulan. Karena lebih mengawatirkan keselamatan Sekar
maka Pendekar 212 memutuskan lebih baik saat itu saja dia langsung ke tempat si
Setan Pikulan. Tapi apa yang ditemuinya di situ mengejutkannya. Setan Pikulan
menggeletak di sebuah kamar! Kedua tangannya buntung putus. Manusia ini tiada
bergerak-gerak tapi masih hidup megap-megap. Dalam berpikir-pikir apa yang
telah terjadi dengan Setan Pikulan dan terus mencari di mana Sekar berada
akhirnya dia mendobrak sebuah kamar dan menemui Setan Darah Kedua tengah
merusak kehormatan dua orang perempuan muda!
“Setan
alas benar!” teriak Wiro. Hanya dalam dua jurus saja Setan Darah Pertama dibikin
tak berdaya di makan totokan Wiro. Mula-mula manusia ini tak mau menerangkan di
mana kawannya yang lain berada tapi setelah dipaksa akhirnya Wiro mengetahui
juga dan mendapatkan Setan Darah Ketiga di kamar sebelah, juga tengah merusak
kehormatan dua orang perempuan muda! Nasib Setan Darah Ketiga tidak beda dengan
kawannya yang terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini segera kena ditotok
oleh Wiro dan sekligus keduanya dibawa oleh Wiro ke gedung tua tempat kediaman
Tiga Setan Darah. Kedatangannya di sana disambut oleh suasana yang tak terduga
pula! Sekar dan Prana dilihatnya saling bertengkar sedang Setan Darah Pertama
dalam keadaan telanjang bulat siap-siap hendak melarikan diri! Untuk beberapa
lamanya muka Setan Darah Pertama masih memucat dan kedua lututnya goyah
menyaksikan kematian dua orang koleganya itu di muka hidungnya sendiri. Putus
asa karena mengetahui tak ada jalan untuk lari serta kalap melihat kematian
kawan-kawannya, maka Tiga Setan Darah Pertama kiblatkan pedang Ekasakti dan
mengamuk menerabas Sekar serta Pranajaya! Maka pertempuran seru segera terjadi.
“Sekar
sebaiknya kau mundur saja!” Wiro berseru dari atas genteng.
“Tidak
bisa Wiro. Bangsat ini hampir saja merusak kehormatanku!,” jawab Sekar seraya
putar senjatanya dengan sebat.
“Aku
mengerti. Tapi kau telah diselamatkan oleh Prana sedang Prana mempunyai dendam
kesumat belasan tahun terhadap bangsat itu! Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah
Pertama itu!” Akhirnya Sekar mengalah juga dan ke luar dari kalangan
pertempuran. Keputusasaan, kekalapan dan nyali yang telah melumer itulah yang
bersarang di diri Setan Darah Pertama. Laksana banteng terluka manusia berjubah
merah ini mengamuk hebat dan ganas sekali. Serangan-serangannya berbahaya dan
penuh tipu-tipu licik. Namun itu semua tiada arti bagi Pranajaya yang
menghadapi musuhnya itu dengan hati panas pula tapi kepala dingin penuh
ketenangan ! Sembilan belas jurus berlalu cepat. Wiro bersiul-siul seenaknya.
“Pertempuran
hebat!” seru pemuda dari gunung Gede itu.
“Ayo
Prana! Lawanmu sudah mulai kewalahan! Satu dua jurus di muka pasti senjata
milik iblis yang ditanganmu itu akan merenggut nyawanya!” Apa yang dikatakan
Pendekar 212 menjadi kenyataan. Dalam jurus keduapuluh satu laksana seorang
penari Pranajaya meliuk mengelakkan sambaran pedang Ekasakti yang dibabatkan
Setan Darah Pertama kepinggangnya. Pedang itu membalik lagi dengan ganasnya.
Prana geser kedua kaki dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang dalam
genggamannya ke muka Setan Darah Pertama. Iblis bermuka merah ini rundukkan
kepala! Tapi tusukan tadi cuma tipu belaka, karena begitu pedang lawan lewat
dan tusukan tombaknya tersorong ke muka dengan serta merta Pranajaya gebukkan
sepasang tombak itu ke kepala Setan Darah Pertama! Setan Darah Pertama melompat
ke samping! Tapi betapapun cepatnya dia tetap terlambat. Meski bisa selamatkan
kepala namun dia tak sanggup menghindarkan bahunya dari hantaman senjata
miliknya sendiri itu !
“Kraak!”
Tulang
bahu Setan Darah Pertama yang sebelah kanan hancur remuk! Setan Darah Pertama
melolong macam anjing! Tubuhnya miring dan terjerongkang ke lantai. Dalam
keadaan seperti itu dia masih hendak menyapukan pedang di tangan kanannya ke
kaki Prana, tapi senjata itu terlepas dari tangannya yang sudah tak ada daya
kekuatan lagi! Empat mata tombak ditekankan oleh Pranajaya ke batang leher
Setan Darah Pertama. Tenggorokan manusia muka merah ini kelihatan turun naik.
Muka nya mengerenyit dan keringat membasahi sekujur tubuhnya.
“Setan
Darah!,” desis Pranajaya.
“Apa kau
masih ingat saat-saat sewaktu kau membunuh ayahku dulu?! Apa kau masih ingat
sewaktu tangan kiriku ini kau buntungkan dulu?!”
“Orang
muda..,” ujar Setan Darah Pertama, “kasihani diriku yang buruk ini! Kalau kau
ampunkan jiwaku, kelak aku akan berikan hadiah besar serta jabatan tinggi di
Istana !” Prana tertawa. Wiro Sableng mengekeh.
“Jangan
dengar mulut kentut iblis itu, Prana!” memperingatkan Wiro. Pranajaya
mengangguk.
“Manusia
macam dia siapa yang mau percaya!,” menyahuti pemuda bertangan buntung itu.
Prana lemparkan ke samping dua tombak milik Setan Darah Pertama dan membungkuk
cepat mengambil pedangnya! Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya sedikit tapi
ujung pedang kini menggantikan empat mata tombak yang menekan batang lehernya !
“Apa yang
dulu kau lakukan terhadap bapakku, kini akan kau rasakan sendiri, Setan Darah!”
“Craas!”
Setan
Darah Pertama meraung setinggi langit. Pedang Ekasakti membabat buntung
mengerikan! Setan Darah Pertama melejanglejang! Dia berteriak, “Bunuh aku!
Bunuh saja segera !”
“Rupanya
kunyuk muka merah itu tidak takut mampus, Prana!” ejek Wiro dari atas genteng.
“Ya,
karena dia akan ketemu dengan setan-setan yang jadi kambrat-kambratnya di
neraka!” sahut Pranajaya. Kemudian dengan tak ampun lagi pemuda itu tusukkan
ujung pedangnya ke batang leher Setan Darah Pertama. Manusia ini mengeluarkan
suara seperti ayam disembelih. Tubuhnya masih melejang-lejang beberapa lama
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan
tubuh!
“Sobat-sobat,
urusan kita di sini sudah selesai. Mari segera tinggalkan tempat sialan ini!”
seru Wiro Sableng. Sekar dan Prana saling berpandangan sebentar, kemudian si
gadis melompat ke atas genteng disusul oleh Pranajaya. Namun baru saja ketiga
orang itu sampai di halaman luar, terkejutlah mereka. Kira-kira lima puluh
orang prajurit Kerajaan telah mengurung tempat itu dan delapan manusia aneh
berdiri memencar, memandang dengan pandangan yang menggidikkan ke arah mereka.
Salah seorang dari yang delapan ini berteriak. Suaranya melengking macam
perempuan.
“Tikus-tikus
bermuka manusia! Jangan harap kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!”
**************
12
MANUSIA
yang berteriak itu adalah seorang laki-laki berkepala sangat besar dan botak
tapi berbadan kecil dan pendek. Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan
membayangkan maut! Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling
memperhatikan manusia-manusia itu satu demi satu.
“Celaka
sobat,” bisik Pranajaya.
“Mereka
pastilah tokohtokoh silat kelas satu, orang-orangnya Istana!”
“Kita
memang lagi sialan,” gerendeng Pendekar 212. Sepasang matanya dengan tenang
menyapu delapan sosok tubuh manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung
mereka. Orang kedua sesudah Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya
mengenakan cawat dan keseluruhan tubuhnya mulai, dari kaki sampai ke muka
dicoreng moreng dengan sejenis cat berbagai warna. Tampangnya mengerikan untuk
dipandang. Namanya Bagulpraksa tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau
Siluman. Manusia ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing kurus dan
berjanggut biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Si Janggut Biru.
Yang ke empat, yang berdiri di ujung kanan sendirian agak terpisah dari
lain-lainnya ialah seorang neneknenek tua keriput bertelinga lebar. Telinganya
yang lebar ini membuyut ke bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena
diganduli oleh anting-anting aneh yang besar luar biasa dan berbentuk arit. Dia
bukan lain tokoh silat Istana yang dikenal dengan nama julukan Si Telinga Arit
Sakti. Wiro sapukan pandangannya pada tokoh silat lain yang berada di sebelah
kiri ini berdiri memencar empat orang lainnya. Yang pertama seorang laki-laki
berjubah hitam tapi yang mukanya dicat putih sehingga tampangnya cukup
menggidikkan untuk dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang
pernah didengar Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu Hitam Muka Putih
tokoh silat golongan hitam yang berhati sejahat iblis! Orang yang selanjutnya
berdiri dengan tubuh terbungkukbungkuk. Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang
sekali dan berwarna hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang merajai
daerah selatan Jawa Timur! Manusia ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang
dikenal oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe manusia yang muncul sewaktu dia
hendak diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja beberapa waktu yang lalu!
Cindur Rampe seorang resi kejam yang juga memelihara janggut kambing berwarna
putih. Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan berambut
panjang macam perempuan, digulung di atas kepala! Namanya tidak satu orangpun
yang tahu. Dia dikenal dengan julukan Si Picak Dari Utara. Jelaslah bahwa ke
delapan orang itu bukan manusiamanusia sembarangan. Ini segera diketahui oleh
Wiro dan kawankawan. Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima
puluh prajurit-prajurit Kerajaan yang mengurung halaman gedung itu! Si kepala
besar badan kecil. pendek Gonggoseta maju selangkah kehadapan kehadapan ketiga
orang itu dan membuka mulut lagi, “Kalian semua musti mampus di sini! Kalian
dengar tikus-tikus bermuka manusia?!” Pendekar 212 Wiro Sableng memandang
sebentar pada Sekar dan Pranajaya lalu kemba ia palingkan muka menghadapi
Gonggoseta. Dan disaat itu Gonggoseta kembali membentak, “Kalian hanya diberi
kesempatan untuk menerangkan nama masing-masing agar tidak mampus secara
penasaran!”
Wiro
Sableng mengulum senyum dan buka mulut dengan suara lunak, “Ah, rasa-rasanya
kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka manusia ini tidak mempunyai permusuhan
dengan sobat-sobat semua.”
“Sompret!”
semprot Gonggoseta.
“Jangan
sebut kami sobatsobatmu!” Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut.
“Lantaran
apakah yang membuat kalian semua ingin jiwa kami?! Kenalpun baru hari ini!”
Gonggoseta tertawa melengking dan memandang pada kawan-kawannya.
“Sobat-sobatku!”
serunya, “kalian dengar omongan tikus gondrong itu?! Mereka tak ada permusuhan
dengan kita! Tidak mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!”
Gonggoseta meludah ke tanah!
“Apa
kalian masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Ah,”
Wiro angkat bahu, “justru itu memang yang kami kepingin tahu!” Gonggoseta
kembali keluarkan tertawa melengking.
“Aku
Gonggoseta..,” dia terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan nama atau
gelar tujuh orang kawannya.
“Kami
semua adalah tokoh– tokoh Istana, hulubalang-hulubalang Kerajaan!” Wiro Sableng
manggut-manggut.
“Tidak
disangka-sangka…,” ujar pendekar ini.
“Setan
alas, apa yang tidak kau sangka!” sentak Gonggoseta sementara
kambrat-kambratnya yang lain tetap menunggu dengan tenang.
“Tidak
disangka-sangka kalau hari ini kami akan bertemu dengan tokoh-tokoh silat
Istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan hebat semua! Sungguh satu kehormatan
bagi kami!” Gonggoseta tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar
menggerendeng.
“Cuma
kami belum tahu, urusan apakah yang membuat kalian semua inginkan jiwa kami?!”
tanya Wiro.
“Tikus
busuk! Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian telah membunuh Setan Pikulan dan
Tiga Setan Darah. Mereka adalah kawan-kawan kami!”
“Kalian
salah sangka!” jawab Wiro cepat.
“Kami
tidak membunuh Setan Pikulan…”
“Jangan
jual kentut!” hardik Gonggoseta. Wiro Sableng tertawa, “Siapa yang jual
kentut!” jawabnya.
“Kentut
puteri yang paling cantikpun dijagat ini tak ada yang orang akan mau beli!”
Paras Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang membesi. Ini adalah satu
penghinaan! Mereka dipermain-mainkan! Di lain pihak Pranajaya menggigit bibir!
Bagaimana Wiro masih bisa bergurau menghadapi bahaya macam begini?! Pemuda
bertangan buntung ini sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat
pesan gurunya. Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi.
Berurusan dengan mereka berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju
kuning ini dilihatnya juga berada dalam ketegangan. Gonggoseta maju lagi
selangkah!
“Sret!”
Dari
balik punggungnya manusia kepala besar ini cabut sebilah golok empat persegi
panjang yang lebarnya satu setengah jengkal! Senjata ini berkilauan ditimpa
sinar matahari sore!
“Sebut
nama kalian masing-masing cepat! Atau kalian mampus penasaran!”
“Dengar
Gonggoseta,” menyahuti Wiro Sableng.
“Kami
tidak dusta, kami sama sekali tidak membunuh Setan Pikulan.”
“Jika
bukan kalian lantas siapa?! Juga siapa yang membunuh Tiga Setan Darah di dalam
sana?!” Wiro angkat bahu.
“Mana
kami tahu,” jawabnya Dia memandang ke langit di sebelah barat.
“Gonggoseta,
hari sudah sore. Matahari sebentar lagi mau tenggelam. Beri kami jalan.
Sebaiknya kalian lekas mencari dan menyelidik siapa sebenarnya pembunuh
kawan-kawanmu itu sebelum hari menjadi malam dan sebelum dia lari jauh…” Tubuh
Si Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk ke muka. Dari mulutnya terdengar
suara menggerendeng. Lalu katanya, “Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak
sabar untuk cepat-cepat mengkermus manusia-manusia keparat ini! Kita semua
sudah tahu bahwa mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan Darah. Tunggu apa
lagi?!” Habis berkata begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras. Kedua
tangannya yang berkuku panjang menyambar ke muka Wiro Sableng! Cepat-cepat
Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro maklum, walau bagaimanapun kini
pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh orang tokoh-tokoh silat lainnya
dilihatnya telah bergerak pula, masing-masing keluarkan senjata! Karenanya
Pendekar 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri menghantam ke muka ke
arah Cakar Iblis sedang tangan kanan menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212
Sekar dan Prana tidak pula tinggal diam melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan
Pedang Ekasakti! Begitu serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis
balikkan badan dan kembali menyerang dengan jurus yang lebih hebat dari pertama
tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini sewaktu tubuhnya menjadi limbung
disambar serangkum angin yang ke luar dari pukulan tangan kiri Wiro Sableng!
Dua diantara tokoh-tokoh silat Istana itu yakni Si Telinga Arit Sakti dan Hantu
Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu melihat senjata yang digenggam Wiro
Sableng.
“Kapak
Naga Geni 212!” seru mereka hampir bersamaan. Yang lain-lainnya tersentak
kaget! Mereka belum pernah melihat senjata yang pernah menggegerkan dunia
persilatan itu, cuma mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau
hari ini mereka menyaksikan senjata mustika sakti itu berada dalam tangan
seorang pemuda berambut gondrong bertampang dogol anak-anak! Rasa heran tak
percaya itu tidak berjalan lama dan berubah menjadi keterkejutan dan kemarahan
yang amat sangat sewaktu Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban
pertama yaitu Si Picak Dari Utara! Si Picak Dari Utara menjerit keras dan tubuh
dengan dada mandi darah dihantam kapak sakti itu laksana ratusan tawon
mengaung, anginnya menderu-deru sedang dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar
suara siulan yang diseling dengan suara tertawa aneh dan bentakan-bentakan!
Bila siulan itu terdengar, bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu
pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya sudah lenyap ditelan kecepatan
geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh pengeroyoknya. Sekar dan
Pranajaya putar senjata masing-masing dan menghadapi tiga orang pengeroyok
sementara Wiro yang berpunggung-punggungan dengan mereka menghadapi empat pengeroyok
lainnya! Lima puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam bentuk lingkaran. Mereka
memang sudah diberitahu untuk mengambil posisi demikian dan tidak turut
menyerang!
“Rapatkan
serangan!” teriak Gonggoseta karena sampai lima jurus di muka tak satupun yang
sanggup mereka lakukan untuk membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu!
Dalam jurus ketujuh Harimau Siluman mengurung persis macam harimau dan dari
mulutnya mengepul asap tujuh warna yang mengerikan!
“Tutup
jalan nafas!” teriak Wira memberi ingat. Sekar dan Pranajaya segera melakukan
hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya keburu menghendus hawa beracun asap
tujuh warna itu. Tak ampun pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh
gontai. Di saat itu Si Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke
perut gadis itu
“Trang! “
Bunga api
memercik!
Tusukan
tongkat besi Si Janggut Biru terpapas ke samping karena dilanda badan pedang
Ekasakti di tangan Pranajaya! Jurusjurus berikutnya semakin seru! Limapuluh
prajurit hampir tak sanggup melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang
bertempur itu saking cepatnya! Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap
beracunnya dari mulut. Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak, “Harimau
Siluman, silahkan makan asapmu sendiri!” Habis berkata begitu Wiro pukulkan
tangan kirinya. Pukulan angin puyuh yang dikerahkan dengan setengah bagian
tenaga dalam itu hebatnya bukan main. Asap tujuh warna yang dihembuskan Harimau
Siluman menjadi buyar berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri!
Harimau Siluman menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan mulut
serta matanya mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap tujuh warna. Manusia
ini keluarkan. sebutir pil penawar racun, tapi sebelum pil itu sempat
ditelannya, racun asap tujuh warna sudah merambas ke jantung dan paru-parunya.
Tak ampun lagi Harimau Siluman menggeletak mati di tanah! Di saat yang sama
Wiro Sableng mendengar suara jeritan Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya
pemuda itu terhuyunghuyung dengan tangan terluka parah dihantam senjata
berbentuk arit di tangan Si Telinga Arit Sakti !
“Mampuslah!”
teriak Telinga Arit Sakti. Aritnya menyambar ke leher Prana yang saat itu sudah
tak bersenjata lagi karena tadi telah terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung
arit! Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat
membalik kembali, murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi menghindar.
Si
Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh.
“Wuss! “
Telinga
Arit Sakti berseru kaget dan lompat tujuh tombak ke atas. Satu sinar putih
telah melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya bukan main dan menyilaukan mata.
Belum lagi dia turun ke tanah disebelah sana sebelas orang prajurit Kerajaan
terdengar menjerit dan rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa!
“Pukulan
Sinar Matahari!” teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya masih pucat. Yang
lain-lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri!
“Pemuda
keparat, apakah kau murldnya Si Sinto Gendeng?!” bentak Hantu Hitam Muka Putih
!
“Tanya
pada penjaga neraka!” jawab Pendekar 212. Sekali Kapak Naga Geni di tangannya
berkelebat maka terdengarlah pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir
terbelah dua. Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah!
Tubuhnya angsrok saat itu juga ke tanah ! Gonggoseta menerjang kalap. Golok
empat seginya yang amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil
mengelak gesit Wiro berteriak, “Prana, bawa Sekar dari sini! Tunggu aku di tepi
telaga di luar Kotaraja. Cepat!”
“Tidak
mungkin, Wiro…,” jawab Prana.
“Aku tak
sanggup melakukannya. Racun arit perempuan keparat itu telah menyesakkan nafas
dan melemahkan sekujur badanku! Sekar sendiri entah masih hidup entah tidak…..”
Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik pada tubuh Sekar yang melingkar di
tantah dan putar Kapak Naga Geninya untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut
Biru dan cakar maut Si Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro
Sableng yang tajam masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu masih bernafas,
cuma keadaannya memang kritis akibat telah mencium asap beracun yang dihembuskan
oleh Harimau Siluman. Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pil
dari balik pakaian putihnya.
“Prana!.”
serunya.
“Lekas
telah pil ini dan berikan satu kepada Sekar.”
Melihat
ini Gonggoseta segera berusaha untuk menghalang! Dua butir pil yang melesat ke
arah Prana hendak ditendangnya dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng
bergerak lebih cepat ke arah manusia pendek berkepala besar ini. Selarik sinar
menyilaukan menyambar Gonggoseta!
“Pukulan
sinar matahari!” seri Si Telinga Arit Sakti.
“Gonggoseta,
lekas lompat menghindar!” memperingatkan perempuan sakti ini. Mendengar
peringatan itu dan maklum akan kehebatan pukulan sinar matahari yang tadi sudah
disaksikannya sendiri. Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat!
Kaki kanannya kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan Gonggoseta, Kaki
kanannya itu melepuh hangus dan mengeluarkan asap sewaktu dilanda pukulan sinar
matahari. Tubuhnya terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya,
dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan rangsangan racun yang
menjalar dari kaki kanannya! Namun semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun
agaknya yang sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat
penawarpun yang sanggup memusnahkan racun pukulan sinar matahari! Gonggoseta
meraung-raung dan bergulingan di tanah, kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak
lagi tanda nyawanya lepas sudah! Kehebatan pukulan sinar matahari yang
dilepaskan Wiro tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga
seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi pekik kematian enam orang prajurit
yang tersambar pukulan sinar matahari! Keenamnya laksana daun-daun kering
disambar angin keras, berpelantingan dan mati seketika itu juga! Meski dalam
keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau tidak hati-hati tangannya sendiri
bisa tersambar pukulan sinar matahari namun dengan susah payah akhirnya
Pranajaya berhasil juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu
segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke dalam mulut
Sekar. Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu semakin meluaplah
kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya yaitu Si Telinga Arit
Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru. Keempatnya mengurung
Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut Biru laksana taburan hujan
menderu-deru menyambar ke seluruh tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar
Iblis yang mengandung racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran
dibagianbagian tubuh Wiro yang berbahaya. Arit ditangan Si Telinga Arit Sakti
berkelebat cepat memapas kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya
lepaskan pukulan ireng weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam
dan beracun! Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak menjadi
dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut mereka itu sampai sepuluh
jurus di muka masih belum sanggup merubuhkan Pendekar 212. Jangankan
merubuhkan, untuk melukai sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang
Sinto Gendeng itupun mereka tiada sanggup! Dan lebih membuat mereka penasaran
betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya ke luar suara siulan
yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada mengejek! Pil yang
diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memang mengandung khasiat yang luar
biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng sendiri yang meramunya. Pada waktu
pertempuran dijurus ke sepuluh berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai
merasakan keadaan tubuhnya puluh kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan
darah yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya gadis
itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala.
“Prana,
lekas tinggalkan tempat ini! Bawa Sekar!” berseru lagi Wiro. Pranajaya
mengambil pedang Ekasakti yang tercampak di tanah lalu berdiri. Apa yang
dilakukannya bukanlah mengikuti ucapan Wiro melainkan terus menyerbu ke dalam
kalangan pertempuran !
“Pemuda
tolol!” damprat Wiro.
“Disuruh
selamatkan diri malah bertempur!” Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus
babatkan pedangnya ke arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi
empat tokoh silat Istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka ditambah dengan
munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat itu menjadi terdesak total! Tubuh
keempatnya terbungkus sinar pedang dan sinar kapak dan agaknya pertahanan
mereka itu tak akan berjalan lebih lama. Dalam waktu singkat pasti
sekurang-kurangnya salah seorang dari mereka akan menjadi korban lagi!
“Tahan!
Hentikan pertempuran ini!” teriak Cindur Rampe seraya melompat ke luar dari
kalangan. Sejak mulanya dia memang tak mau ikut-ikutan membela kematian Tiga
Setan Darah karena antara dia dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai
perselisihan yang belum terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut
terpaksa juga Cindur Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat
perhitungan dengan Wiro dan kawan-kawannya.
“Apa
maumu Cindur Rampe?!” tanya Wiro dengan melintangkan kapak di muka dada
sementara Sekar saat itu sudah berdiri di sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi
di tangan kanan.
“Antara
kami dan kalian tak ada permusuhan. Karenanya tak perlu pertempuran gila ini
diteruskan…!” Wiro tertawa tawar.
“Tadipun
aku sudah bilang! Tapi kalian semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan
kalian sudah melayang jiwanya!” Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya dan
memberi isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak mengikuti Cindur
Rampe tapi tak jadi kaena saat itu terdengar bentakan Si Telinga Arit Sakti.
“Cindur
Rampe resi keparat! Apakah nyalimu sepengecut begini?! Apa kau relakan begitu
saja empat kawan kita menemui kematian ?!” Paras Cindur Rampe menjadi merah.
“Perempuan
edan!” balasnya membentak, “jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan yang
lain-lainnya mau meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian mencari mampus!”
Cindur Rampe langkahkan kedua kakinya.
“Kalau
begitu biar kau yang mampus lebih dulu pengecut!” teriak Telinga Arit Sakti dan
perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe. Kedua orang itupun terlibatlah
dalam satu pertempuran seru. Wiro tertawa rnengekeh. Dia berpaling pada Prana
dan Sekar,
“Kawan-kawan
mari kita tinggalkan tempat ini,” katanya.
“Biar
saja mereka baku hantam satu sama lain!”
“Kalian
tak akan berlalu dari sini tikus-tikus keparat!” Wiro putar kepala. Yang
membentak adalah Si Cakar Iblis. Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang
berkuku-kuku panjang diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri
dengan hati bimbang, apakah akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi
pertempuran. Cakar Iblis menggerung dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya
rnengeluarkan sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh sinar hitam itu mencurah
ke arah Wiro. Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni ke muka. Sepuluh larikan
sinar hitam buyar tapi di lain kejapan sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis
tahu-tahu sudah berada di depan muka Pendekar 212! Wiro Sableng terkejut sekali
dan menyurut kebelakang! Sepuluh kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan
terdengar kekeh Si Cakar Iblis,
“Kau tak
akan bisa selamatkan jiwamu dari jurus sepuluh ular berbisa berebut buah ini!”
katanya.
Wiro
memaki Dia melompat ke belakang tapi secepat lompatannya itu begitu pula
cepatnya sepuluh kuku itu memburunya lagi !
“Mampuslah!”
Teriak Si Cakar Iblis dan kedua tangannya laksana kilat menggapai ke muka
Pendekar 212. Terdengar satu jeritan ! Pendekar 212 usap parasnya dan
memperhatikan bagaimana Si Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua
lengannya terpapas buntung dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus
serangan balasan yang amat luar biasa hebatnya !
“Manusia
keparat… maki Si Cakar Iblis. Darah memancur dari kedua pergelangan tangannya.
“Sekalipun
kau menang, jiwamu tidak akan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan
mencekik batang lehermu….”
“Sialan!
Sudah mau mati masih omong besar!” damprat Wiro Sableng. Sekali kaki kanannya
bergerak maka mentallah Si Cakar Iblis ! Wiro berpaling pada Si Janggut Biru.
“Bagaimana?
Mau coba-coba rasanya mampus sobat?!” tanya Wiro pula. Si Janggut Biru meludah
ke tanah. Tanpa berkata apa-apa segera ditinggalkannya tempat itu. Wiro
memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang tengah bertempur hebat dengan Cindur
Rampe.
“Bertempurlah
terus sampai salah seorang dari kalian mampus!” seru Wiro. Lalu dengan cepat
bersama Sekar dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit kerajaanpun
yang berani dan bernyali menghalangi mereka ! Sementara itu Si Telinga Arit
Sakti berteriak keras, “Cindur Rampe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus
kejar ketiga bangsat itu!”
Cindur
Rampe melompat mundur.
“Aku
masih mau hidup Arit Sakti!” kata Cindur Rampe pula.
“Kalau
kau mau mengejar mereka silahkan!” Cindur Rampe berkelebat meninggalkan tempat
itu. Si Telinga Arit Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal seorang diri
dan menyaksikan lima mayat kawan-kawannya yang menggeletak mati di halaman
gedung itu, diam-diam diapun merasa kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak
akan ada gunanya dia mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini
berkelebat dan lenyap kejurusan timur!
*****************
13
WAKTU
mereka menghentikan lari masing-masing, ketiganya telah berada jauh di luar
Kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro membuka pembicaraan dengan senyum di
bibir.
“Sobat-sobat,
ke mana kita sekarang?” Sekar tidak memberikan jawaban. Pranajaya memperhatikah
paras gadis ini sebentar lalu berkata, “Aku akan terus ke timur. Ke Pulau
Seribu Maut, mencari Cambuk Api Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh
Bagaspati!” Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata, “Pulau
Seribu Maut, Cambuk Api Angin. Bagaspati.. nama-nama yang hebat. Perjalananmu
ke ujung Jawa Timur pasti merupakan suatu hal yang menarik. Saudara Prana, kau
keberatan bila aku ikut bersamamu….?” Pranajaya berseru gembira.
“Memang
itu yang aku harapharapkan Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar
didapat!” Wiro Sableng tertawa.
“Bagaimana
dengan kau Sekar?” tanya murid Eyang Sinto Gendeng itu. Prana memandang
lekat-lekat pada gadis itu. Di balik pandangannya itu tersembunyi suatu
perasaan kecemasan. Dan perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro
berkata, “Kau musti kembali ke tempat gurumu….” Tapi si gadis justru gelengkan
kepala.
“Aku ikut
bersamamu… bersama kalian…” kata Sekar. Wiro Sableng kerenyitkan kening.
“Pengalamanmu
di Kotaraja kurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini
dengan seribu satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau Seribu Maut
pasti lebih berbahaya dari pengalamanmu di Kotaraja.”
“Apakah
kau terlalu menganggap aku ini orang perempuan bangsa kurcaci yang takut segala
macam bahaya?!” tukas Sekar. Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu
masih memandang pada Sekar.
“Dia
memang pintar omong!,” kata Wiro pula.
“Adatnya
keras. Mautnya dia musti maunya juga! Urusan laki-laki mau disamakan dengan
urusan perempuan….”
“Sudah!”
potong Sekar seraya membalikkan badan memunggungi kedua pemuda itu. Wiro
Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.
“Yang aku
khawatirkan,” kata Pendekar 212 pula, “kalau-kalau gurumu kelak akan salah
sangka dan menduga kami yang menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh
bahaya ini!”
“Soal
guruku itu soalku dengan beliau. Yang penting sekarang kita sama-sama pergi ke
Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang persilatan tidak boleh mencari
pengalaman?”
“Tentu
saja boleh” sahut Wiro sementara Pranajaya sampai saat itu tak sepatahpun
membuka mulut selain memandang seperti tadi-tadi pada Sekar.
“Tapi
sekarang belum saatnya,” menyambungi Wiro.
“Kau tak
berhak melarangku Wiro. Siapapun tak berhak melarang ke mana aku mau pergi…!”
“Berabe!
Berabe!” ujar Wiro Sableng.
“Bagaimana
Prana, kita ajak dia…?” Pranajaya angkat bahu.
“Terserah
padamu, Wiro.” Wiro Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang.
“Baik
Sekar, kau boleh ikut bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan
kau dan kami tak sanggup- menolongmu, jangan kelak menyesalkan kami berdua…!”
Maka tak lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan berkelebat dan dengan
mengeluarkan ilmu lari masing-masing mereka tinggalkan tempat itu dengan sangat
cepat.
MALAM itu
malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari tiga orang itu dalam
perjalanan mereka menuju Pulau Seribu Maut di ujung timur pulau Jawa. Mereka
berhenti di tepi sebuah anak sungai berair jernih. Langit bersih kebiruan.
Bintang-bintang bertaburan dan bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk
itu. Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api unggun lalu
melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu duduk di sebuah batu
besar, tengah melamun seorang diri. Prana datang mendekat. Untuk beberapa
lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara. Si pemuda memandang ke langit
lepas. Dia mendapat bahan untuk membuka pembicaraan, “Bagus betul malam yang
sekali ini.” Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan
bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya.
“Wiro
belum kembali?” tanya gadis itu.
“Belum,”
sahut Prana. Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain
yang tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu itu.
Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam yang lalupun
pemuda itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana. Seakan-akan kepergiannya
itu merupakan hal yang disengaja. Pranajaya berdehem beberapa kali untuk
menghilangkan sekatan yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita
Sekar dari samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan malam
yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang.
“Kau
masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku malam pertama yang lalu,
Sekar…,” berkata Pranajaya. Suaranya sekali ini tiada bernada ditelan sendiri
oleh gema gemetar suaranya itu. Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan
kepalanya.
“Apakah
tak akan pernah ada balasan?” tanya Pranajaya. Si gadis memandang lagi ke hulu
sungai lalu membuka mulut, “Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang
musti dipikirkan Prana…“
Suara
Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu mengiang telinga Pranajaya
kedengarannya Paras pemuda ini membeku merah. Ditundukkannya kepalanya.
“Kurasa
bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,” ujar pemuda itu pula
“Lalu….?”
“Kau
mencintai dia…?” tanya Prana seberani mungkin.
“Dia
siapa?”
“Tak usah
berpura-pura….” Sekar memandang pemuda itu sebentar.
“Maksudmu
Wiro?” tanyanya. Si pemuda anggukkan kepala. Sekar tertawa.
“Suara
tertawamu aneh, Sekar,” bisik Pranajaya.
“Seolah-olah
membenarkan pertanyaanku tadi.” Sekar diam.
“Aku
memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Wiro….”
“Kau tak
usah cemburu Prana”
“Terus
terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya. Aku iri,” kata Pranajaya
dengan hati laki-laki.
“Tapi
kecemburuan dan iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa
diri atau mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku cemburu
dan iri pada Wiro, tapi aku menghormati dan menghargainya sebagai seorang
sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku berhutang budi serta nyawa.
Bahkan lebih dari itu aku mengganggap Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai
saudara kandung sendiri….” Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan
ucapanucapannya.
“Aku
menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan apa-apa jika dibandingkan
dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah dan jasmaninya tidak mempunyai cacat
apa-apa. Yang lebih utama dia adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur
dan kudus….. Jika kau mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi
persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup berdua
dan berbahagia….”
“Antara
aku dan Wiro tak ada hubungan apa-apa, Prana,” memotong Sekar.
“Tak
sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu.” Pranajaya memandang ke langit di
atasnya. Diperhatikannya bulan sabit dan dia berkata .
“Mungkin,
tapi kau tak bisa menipu dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata
hatimu. Kau mencintai dia…..” Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari
kakinya yang mungil bagus.
“Aku tak
ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana.”
“Jadi tak
ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu penolakan Sekar…” Sepi
menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya. Dipandanginya paras
Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban dari gadis itu maka Prana memutar
tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya.
Di pandanginya tubuh yang berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu,
dipandanginya kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang
buntung itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu
mulutnya mernanggil,
“Prana…”
Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua kaki Pranajaya
berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si pemuda palingkan kepala.
Diantara keputus-asaan yang menyelimuti wajahnya di malam sejuk itu kelihatan
sekelumit pengharapan. Dan matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu
ucapan selanjutnya.
“Prana…..”
“Ya,
Sekar…”
“Bersediakan
kau menunda pembicaraanmu ini sampai berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut
nanti…?”
Si
pemuda.merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Aku bersedia Sekar meski aku tahu
mungkin tak ada harapan sama~sekali bagiku….”
“Mungkin
yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan, Prana,” kata Sekar.
Pranajaya
murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis itu. Kemudian sekelumit senyum
tersungging dibibirnya.
“Kuharapkan
saja demikian, Sekar,” kata Prana. Lalu ditinggalkannya tempat itu.
***************
14
DI PAGI
HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan berdiri di tepi pantai di
ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan gugusan pulau-pulau. Ada yang
berkelompok-kelompok, ada yang terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan
kelihatan di manamana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta
pakaian mereka. Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, “Di situ
ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di mana letak Pulau
Seribu Maut dan sekalipun menyewa perahu serta membeli perbekalan.” Wiro mengangguk.
Ketiganya segera menuju ke perkampungan itu. Seorang nelayan tua mereka temui
tengah memperbaiki jala di teluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya, “Bapak,
yang manakah di antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau
Seribu Maut?” Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan membuka
topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar.
“Kau
bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?” ujar nelayan tua ini. Prana mengangguk.
“Kalau
tak tahu jelasnya kira-kira saja,” berkata Wiro. Si nelayan hela nafas dalam.
“Umurku
enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru kudengar ada seorang yang bertanya
di mana letak Pulau Seribu Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi.
“Apakah
kalian hendak menuju ke sana?”
“Betul”
sahut Prana.
Mata yang
sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan tua itu memperhatikan ketiga
manusia itu dengan lebih teliti.
“Kalian
tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau kalian bernyali
menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah gerangan yang membawa kalian begitu
berniat meriuju ke snna?”
“Ah tak
ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja,” jawab Prana. Si nelayan tertawa.
“Kepingin
tahu dan menemui kematian di sana…? Nak, dengar… hanya manusia-manusaa yang mau
lekaslekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut….”
“Namanya
memang menyeramkan,” kata Wiro sambil usapusap dagu.
“Tapi
sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai pulau itu demikian ditakuti
orang-orang?”
“Ah,
kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak…. di situ bersarang
gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang bernama Bagaspati. Setiap
perahu atau kapal yang lewat diselat Madura ini pasti dirampok,
manusia-manusianya dibunuhi. Kampungku inipun tak urung menjadi korban
kejahatan Bagaspati dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan
dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan dan
memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa
nak. Kalau melawan berarti mati…..”
“Kenapa
tidak pindah ke kampung lain?” tanya Sekar.
“Lebih
berabe lagi!” jawab si nelayan.
“Kalau
kami berani pergi dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua
macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam…”
“Pernah
berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?” tanya Prana.
“Pernah
dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa meninggalkan tempat tidur karena
masih pening di landa tamparannya.“
Wiro
Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa buah perahu yang berada di
tepi pantai itu.
“Perahu-perahu
bapak?” tanya Wiro. Si nelayan mengangguk.
“Bisa
kami sewa sebuah?”
“Untuk
pergi ke Pulau Seribu Maut?!.”
“Ya.”
Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku
memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi walau bagaimanapun aku tak
mau cari urusan yang bisa mempercepat kematianku! Tak ada satu orangpun yang
akan mau menyewakan perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik
perahupun yang akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau
kematian!”
“Kalau
begitu bapak terangkan saja letaknya.“
“Tidak
bisa nak… tidak bisa…” Si nelayan lalu cepat-cepat meninggalkan ketiga orang
itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan lalu pergi ke pusat kampung. Dan
sebagaimana yang dikatakan nelayan tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun
yang mau menyewakan perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut.
Juga ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau
angker tersebut.
“Penduduk
di sini sialan semua!” gerutu Wiro Sableng.
“Pada
mati ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak
sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah! Geblek!”
“Kita tak
bisa salahkan penduduk Wiro,” ujar Prana.
“Kalau
begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!” kata Wiro mengalih
pembicaraan. Prana mengangguk.
“Rakit
kurasa lebih baik daripada perahu. Ombak di selat ini cukup besar…”
Menjelang
tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah
rakit yang laksana “terbang” memecah gelombang air laut, melaju dalam kecepatan
yang luar biasa, semakin lama semakin jauh dari pantai ! Beberapa nelayan yang
perahu mereka kebetulan dilewati oleh rakit itu tersentak kaget. Mereka
hampir-hampir tak dapat mempercayai pandangan mata mereka. Apakah mereka telah
mengimpi di siang bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut
gentayangan di depan mereka?! Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada
di atas rakit itu. Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak
besar tapi untuk mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan
dengan sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka
percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua orang
pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan mereka sebagai
pendayung yang membuat rakit tersebut laksana terbang!
“Jangan-jangan
jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana,” kata seorang nelayan pada kawannya
yang berada dalam sebuah perahu jauh dimuka rakit itu. Dia dan kawannya
sama-sama mengusap mata berkalikali.
“Hai,
lihat! Mereka menuju ke sini!” seru Warana.
“Celaka
kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita!”
Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu
pandayung mereka mencelup ke dalam air laut, rakit yang berisi tiga manusia itu
sudah berhenti dihadapan mereka! Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang
mereka lihat adalah benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat
mereka menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang
datang menganggu mereka!
“Saudara,
yang manakah Pulau Seribu Maut?” bertanya laki-laki muda yang bertangan
buntung. Baik Warana maupun nelayan yang satu lagi hanya terduduk bermuka pucat
dalam perahu mereka tanpa bisa membuka mutut. Wiro memandang keheranan, juga
Sekar.
“Hai, apa
kalian tak dengar orang bertanya?!” seru Wiro Sableng. Warana membuka mulut
tapi tak ada suara yang ke luar.
“Kalian
seperti orang yang ketakutan!” ujar Wiro. Prana juga melihat bayangan ketakutan
itu pada wajah kedua nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak
mau perduli. Dia bertanya lagi .
“Di mana
letak Pulau Seribu Maut ?!”
“Saudara-saudara…
apa kalian… kalian…” Warana tak berani meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya
kawannya mencelupkan pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka
segera bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu
pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja perahunya hanya
mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak. Ternyata Wiro Sableng telah
memegang ujung belakang perahu mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua
orang itu. Mereka berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka.
Ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!
“Nelayan-nelayan
geblek! Apa kalian sudah gila semua teriakteriak tak karuan?!” bentak Wiro.
“Tolong!
Tolong …. !” teriak Warana. Kawannya meniru berteriak macam itu pula.
“Saudara-saudara
kami bukan rampok atau bajak!” seru Pranajaya. . Wiro garuk-garuk kepalanya dan
melangkah kehadapan Warana.
“Keblinger
betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi teriak-teriak minta tolong ?!”
“Tolong
jin laut! Tolong… !”
Wiro,
Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian berbisik pada Prana,
“Keduanya
menyangka kita jin laut…!” Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan
menepuk-nepuk pipi nelayan ini.
“Kau kira
kami ini bukannya manusia apa?! Sompret! Kami manusia-manusia macam kau
saudara! Ayo jawab kenapa kalian teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu
Maut?!” Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras teriakannya.
“Manusia
tak berguna pergilah!” sentak Wiro Sableng seraya melepaskan jambakannya.
Begitu dilepas begitu Warana sambar pendayung dan bersama kawannya mengayuh
cepat meninggalkan rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar
berkata, “Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia
seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan dengan kecepat laksana
angin!” Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena tertawa itu.
Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam.
“Agaknya
tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di mana letak Pulau itu…”
kata Wiro.
“Kita
musti cari sampai dapat!” Prana kertakkan rahang. Wiro memandang pada Sekar.
Gadis itu dilihatnya memandang ke arah utara tanpa berkesip.
“Apa yang
kau perhatikan?” tanya Wiro. Sekar tak menjawab dan dia masih memandang
kejurusan utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di
tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya dipemandangan mata
mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja.
“Bagaimana
kalau kita arahkan rakit kita ke sana?” mengusulkan Sekar. Wiro dan Prana
saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit itupun menggebulah di atas air
laut yang muncrat di belah bagian muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu
semakin dekat juga.
“Salah
satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya Wiro,” kata Prana. Wiro
Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di atas pulau itu memang
keiihatan banyak beterbangan burung-burung.
“Itu
bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!” seru Wiro tiba-tiba
ketika, matanya yang tajam dapat mengenal burung-burung itu. Prana pelototkan
mata.
“Sekar,
putar kemudi ke arah pulau itu!” kata Prana. Dan sesaat kemudian rakit itupun
meluncur berputar ke arah pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas
keadaan pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di
sekitar teluk yang sempit.
“Hai
benda apa itu?!” mendadak sontak Sekar berseru. Wiro dan Prana berpaling ke
arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat
ke arah mereka.
“Ikan
raksasa!” seru Sekar pula. Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam
besar itu memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro
masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu lenyap
dari permukaan air.
“Aku
merasa tidak enak,” desis Prana.
“Kita
musti waspada,” kata Wiro. Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda
hitam yang luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian
tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan “plup” sekaligus menelan
rakit serta ketiga penumpangnya!
“Celaka!”
seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan yang menutup. Wiro mernukul
lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara bergetar tapi aapa yang
dipukulnya itu sama sekali tidak hancur !
“Gila,
apa-apa ini!” teriak Pendekar 212.
Dia tak
bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap
bahkan tangan di depan matapun tidak kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak
Naga Geni dan batu hitam untuk membuat penerangan. Namun sebelum tangannya
menyentuh senjata sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap
kelihatan sinar biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya
tubuh kedua orang itu ! Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun
yang telah disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan
pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang begemerlap,
seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk
ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam dan tutup semua
inderanya. Satu menit kemudian dia berhasil menolak hawa beracun itu lalu
dengan cepat keluarkan dua butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari
tubuh Sekar dan Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya.
Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana Wiro berada
seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. Pendekar 212 segera
jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat itu keduanya sudah mulai
sadar. Wiro segera membisiki, “Berbuatlah pura-pura pingsan terus! Jangan
lakukan apa-apa sebelum kuberi tanda!” Terdengar lagi suara berkereketan
kemudian tubuh mereka terasa menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas
dihangati oleh sinar matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya.
Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak.
“Surengwilis!
Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari keterangan tentang
pulau kita?!”
“Betul
pemimpin!” terdengar jawaban seseorang. Wiro Sableng membuka matanya lebih
lebaran.
Dan
dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia
berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang luar biasa tinggi dan besar
badannya. Menurut taksiran Wiro manusia ini mungkin lebih dua meter tingginya!
Tampangnya beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat
dan berangasan! Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak.
Dia mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya tergantung
sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah tengkorak kepala
manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher laki-laki ini.
“Hem…,”
si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu menggumam. Dia memandeng
berkeliling, “Apa ada diantara kalian yang kenal pada mereka?!” Tak ada suara
jawaban.
“Kalau
begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!” ujar si tinggi besar.
“Penggal
kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk
disuruh menari telanjang malam ini dan tidur bersamaku!” Beberapa kaki kelihatan
melangkah kehadapan ketiga orang itu. Wiro berbisik pada kedua-kawannya,
“Sekarang, sobat-sobat!” Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu
segera melompat dari tanah di mana mereka menggeletak !
*****************
15
KEJUT
semua orang yang ada di situ bukan kepalang! Tapi anehnya si tinggi kekar malah
keluarkan suara tertawa mengkeh.
“Ha . . .
ha! Kalian kira mataku bisa ditipu huh?!” Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya
bahwa ucapan si tinggi kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal
kepala mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam hati.
“Sebelum
kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan,” berkata si tinggi besar yang
berjubah hitam bergaris-garis putih. Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang
pedang.
“Ada
keperluan apa kau mencari tempat ini?!”
“Apakah
ini Pulau Seribu Maut?!,” balas menanya Pranajaya. Si tinggi kekar tertawa
lagi.
“Kalian
memang sudah berada di Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan
melepas nyawa masing-masing?” Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212
tetap tenangtenang saja. Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar.
“Aku
mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!”
“Setan
alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak perutmu! Terima mampus!” Satu
hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin menderu ke arah leher
Prana. Pemuda ini cepat-pepat menyingkir ke samping. Ujung sebilah kelewang
menderu di muka hidungnya !
“Tahan!”
seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi menyerang dengan kelewang
bersurut mundur. Si tinggi kekar pelototkan mata pada Pranajaya.
“Manusia
tangan buntung!,” katanya, “aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati!
Tapi kau masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa kau dan
kawan-kawanmu mencari pulau kami!”
“Kedatanganku
atas tugas guruku!”
“Hem….
aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu manusia-manusia dari dunia
persilatan! Terangkan apa tugasmu dan siapa gurumu!” ujar si tinggi besar
Bagaspati.
“Aku diperintahkan
untuk mengambi! Cambuk Api Angin yang telah kau curi dari guruku!” Bagaimanapun
Bagaspati menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan
perubahan.
“Apakah
kau muridnya Empu Blorok?!” tanyanya membentak. Prana anggukkan kepala.
“Mana
cambuk itu?! Lekas serahkan padaku!” Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati.
Tanah yang dipijak bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga
dalam itu.
“Nyalimu
sungguh besar tangan buntung!,” kata Bagaspati seraya melangkah kehadapan Prana.
“Sreet !”
Tiba-tiba
Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini berwarna hitam legam bersinar
yang menggidikkan. Dia hentikan langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu
membentak, “Lekas sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia
persilatan tanpa tahu namanya!” Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang
Ekasaktinya. Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu.
“Aku
datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau kau menghadapinya dengap
kekerasan tak ada jalan lain daripada menabas batang lehermu!”
“Bedebah
sontoloyo!” teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya berkelebat ganas, menderu
ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus merupakan tiga buah serangan berantai yang
dahsyat !
Murid
Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan senjatanya. Pedang putih
dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara keras dan memercikkan bunga api !
Terdengar seruan Prana. Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya.
Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri Bagaspati!
“Ha… ha….
ha…. Gurumu keliwat sembrono manusia tangan buntung! Murid masih berilmu cetek
disuruh mencari Bagaspati!” Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
“Sebut
namamu cepat!” perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu
perlahanlahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.
“Bagaspati,”
terdengar satu suara dari samping, “Sebelum kau bunuh kawanku ini, harap beri
kesempatan padaku untuk bicara…..!” Bagaspati palingkan kepala dengan penuh
kegusaran.
“Rambut
gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!” Pendekar 212
Wiro Sableng tersenyum.
“Kami
datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang telah kau pinjam dari
Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama besar sepertimu menyambut kedatangan
kami dengan perlakuan seperti ini?”
“Pemuda
geblek! Pulau ini adalah Pulau Seribu Maut! Kematian bisa terjadi setiap detik!
Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan kurang ajar berarti mati!” kata
Bagaspati dengan membentak marah dan muka merah.
“Ah ….
kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus,” menukasi Pendekar 212
sambil cengar cengir seenaknya.
“Kawanku
sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk Api Angin.
Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau sudah serahkan cambuk itu
padanya! Malah-malah kini kau rampas pedang kawanku!”
“Pemimpin!
Yang satu ini biar aku yang bereskan!” satu manusia bertubuh tegap maju dengan
kapak besar ditangan kanan. Namanya Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui
kedatangan Prana dan kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati.
Bagaspati anggukan kepala.
“Lekas
bereskart dia, Sureng!”
“Sobat
kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak begitu senang membunuh
manusia bertangan kosong!” bentak Surengwilis yang saat itu sudah berdiri
dihadapan Wiro Sableng. Wiro Sableng garuk kepala.
“Aku tak
ada senjata. Bisa pinjam pedang hitammu, Bagaspati?!” Tentu saja kemarahan
Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik ke kepala.
“Sureng!
Lekas bunuh manusia keparat itu!” teriaknya. Kapak di tangan Surengwilis
menderu laksana topan. Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar
jeritan Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak yang
tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng! Semua mata
melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian itu. Di ujung sana
Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri gontai seketika sambil
memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti hendak mengatakan sesuatu tapi yang
ke luar dari mulut itu bukan suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat
kemudian tubuh Surengwilis melosoh pingsan ke tanah!
“Anak-anak
tangkap hidup-hidup keparat ini!” perintah Bagaspati penuh kemarahan. Habis
berkata begitu dia segera menyerang Prana dengan pedang di tangan. Satu
tusukkan cepat dikirimkannya kepada Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping
kanan Bagaspati membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun
saat itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati
cepat-cepat urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu membalik
lagi dan menderu ke perutnya ! Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain
Sekar dengan senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati
tiada terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada Prana
dan Sekar! Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya menangkap Pendekar
212 maka lima manusia bertubuh katai maju ke muka. Masing-masing mereka
memegang sebuah jala hitam. Satu diantara kelimanya berteriak memberi komando
maka lima pasang tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari
kaki sampai ke kepala Wiro Sableng. Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya
sekaligus! Angin deras memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu
tiada sanggup dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan
kecepatan luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan Wiro Sableng. Murid
Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si katai yang
memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan kini menjirat sampai ke
bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat kaki kiri Wiro Sableng. Jala ketiga
melibat pinggang, jala ke empat membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima
melingkar di betis kaki kanan. Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima
manusia katai itu dan semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka
sekali tarik saja tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan bergulingan di tanah.
Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar 212
kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. Tapi kejut Wiro Sableng tidak
terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan bahwa dia tak sanggup merobek atau
membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari tangannya Wiro lipat gandakan
tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka! Malah libatan jala semakin ketat. Tubuh
Wiro terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai anak buah Bagaspati segera
mengurungnya. Masing-masing mereka siap membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar
212.
Wiro
pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh ujung jari hendak
melanda menotok badannya maka terdengarlah bentakan yang luar biasa kerasnya.
“Ciaat !”
Dua larik
sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan menderu! Lima manusia katai
mencelat dan meraung. Ketika tubuh mereka terhempas ke tanah kelihatanlah
bagaimana pakaian dan kulit mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada
berkutik lagi tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang
masih bernafas! Wiro telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus !
Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai itu menemui
kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera menggempur Pendekar 212. Di
lain pihak Bagaspati sendiri saat itu tengah mendesak hebat Pranajaya yang
bertangan kosong dan Sekar yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama
kedua muda mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus! Pendekar 212
memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh orang anak buah Bagaspati yang
memegang berbagai macam senjata mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat
menduga sampai di mana kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka
cuma mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk
mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam membunuh kawan
sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 212 menyapu muka-muka bajak laut
yang semakin maju dan memperketat pengurungan.
“Kalian mau
main keroyok?!” kertas Wiro.
“Boleh!”
kedua telapak tangan dipentang ke muka.
“Tapi
sebelum kalian mulai, aku masih satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua
berjanji mau hidup menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak
laut, niscaya aku ampuni jiwa kalian!” Seorang bajak berbadan tegap yang cuma
memakai celana dan berbadan penuh bulu meludah ke tanah!
“Jangan
mengigau pemuda keparat!” semprotnya.
“Tubuhmu
akan tercincang lumat!” Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya.
“Pulau
ini Pulau Seribu Maut! Berat kalian yang keras-keras kepala akan mati dalam
seribu cara! Majulah!” Si dada berbulu memandang berkeliling.
“Kawan-kawan!
Mari berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!” Habis berkata
begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh manusia laksana
lingkaran air bah datang menyerang ! Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa
bergoncang, liangliang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun
keenam puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan!
“Manusia-manusia
tolol! Pergilah!” teriak Wiro Sableng. Kedua tangannya diputar di atas kepala,
demikian cepatnya laksana titiran. Dari kedua telapak tangan Pendekar 212
menderu-deru angin dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur!
Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka seperti
ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut mereka bukan
main. Dan belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba membentak sekali lagi! Kesembilan
belas orang bajak laut itu berpelantingan laksana daun kering disapu angin!
Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan angin puyuh!
Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka dan babatkan senjata
masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi. Dan belasan bajak kembali
terpelanting! Suasana menjadi kacau balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi
tak berani maju ke muka sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan angin
puyuhnya!
“Kenapa
pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?!” tanya Wiro mengejek.
“Ayo
majulahl Bukankah kalian mau mencincang aku?!” Mendadak Pendekar 212 mendengar
suara beradunya senjata dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya
kepalanya, Wiro masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati
berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi yang menjadi senjata Sekar. Pedang
hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si gadis. Sekar tak punya
kesempatan mengelak karena saat itu perhatiannya telah terpukau oleh putusnya
senjatanya serta rasa sakit yang menjalari lengan kanannya akibat beradu
senjata tadi! Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan tangan
kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. Tapi tiada guna. Babatan
pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan Bagaspati sendiri masih sempat putar
pedang Ekasakti di tangan kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin
sewu itu! Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan merobek
perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping menderu selarik sinar putuh
yang dahsyat! Demikian dahsyatnya sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang
tangan kanannya dan melompat ke belakang beberapa tombak !
“Wuss !”
Pukulan
sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin bajak laut itu! Mata Bagaspati
kelihatan tambah besar dan tambah merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar
terlambat sedikit saja dia metompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar
putih pukulan lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat
belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang masih hidup
berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing, sama sekali tidak menyerang
atau mengeroyok Wiro Sableng !
“Keparat!
Kenapa kalian melongo semua?! Lekas bereskan setan alas yang satu ini!”
Anggota-anggota bajak laut itu bimbang seketika. Namun karena ngeri pada
kemarahan serta hukuman yang kelak bakal mereka terima dari pimpinan merta, dua
puluh orang diantaranya segera maju dan serentak menyerang.
“Manusia
tolol! Kalian minta mampus saja!” teriak Wiro. Dengan serta merta dia pukulkan
tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian kalinya menderu. Dan pukulan sinar
matahari yang sekali ini meminta korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu.
Pekik maut terdengar di mana-mana !
“Siapa
yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan maju!” teriak Wiro. Tak
satu anggota bajakpun yang bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak,
berdiripun lutut mereka sudah goyah! Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan
apakah yang telah dilepaskan Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede
ini palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.
“Bagaspati,
jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api Angin, dan berjanji membubarkan
gerombolan bajak yang- kau pimpin selama ini lalu kembali jadi manusia
baik-baik, masih belum terlambat bagimu untuk kuberi ampun!” Bagaspati tertawa
mengejek.
“Kepongahanmu
setinggi gunung!” jawabnya.
“Meski
ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak akan sudi menyerah padamu
kecuali kalau kau yang terlebih dulu serahkan jiwa padaku!” Wiro Sableng
bersiul dan tertawa gelak-gelak.
“Kau bisa
juga bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak mempunyai
kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka! Silahkan mulai!”
“Cabut
senjatamu setan alas!” bentak Bagaspati.
“Ini
senjataku Bagaspati!” Wiro acungkan kedua tangannya.
“Kalau
begitu aku akan mampus penasaran!” Bagaspati lemparkan pedang Ekasakti yang di
tangan kirinya. Pedang mustika milik Prana itu menderu laksana kilat ke
arahnya. Wiro miringkan kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan
menancap di batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya.
“Wiro,
biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!”
“Ah, kau
tak usah mengotori tangan dengan darah manusia maling ini, Prana,” kata Wiro
pula dengan suara keras lantang.
Prana
sadar bahwa Wiro telah menolongnya dari satu kedudukan yang merugikan. Dia tahu
bahwa dia tak bakal sanggup menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro
bukan saja telah menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka
sama sekali !
“Ayo
seranglah!” teriak Wiro ketika Bagaspati masih dilihatnya berdiri tak bergerak.
“Kau
terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!” desis Bagaspati. Tubuhnya
membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai dua dim. Ini
satu tanda bahwa dia tengah kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan
serangan yang dahsyat! Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di
malam buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat menderu ke
arah perut dan kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam membuat satu jurus yang
mengandung lima serangan berantai !
“Ciaat!
“ Wiro
lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan ini berhasil membuat
tendangan lawan batal namun pukulan itu sendiri kemudian dibikin buyar oleh
sambaran angin pedang Bagaspati! Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua
membuka serangan dengan jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan kanan
dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri meluncur ke atas
dalam gerakan vang cepat laksana kilat sukar dilihat mata dan terdengarlah
seruan tertahan Bagaspati! Betapakan tidak. Detik itu juga dirasakannya pedang
hitamnya telah terlepas dari tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat!
Dan bila dia memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan
Wiro Sableng !
“Ha…. ha,
bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan pertempuran ini?!” Muka Bagaspati
mengelam merah.
“Setan
alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api Angin bukan?! Baik! Aku akan
keluarkan senjata itu. Tapi bukan untuk diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin
kau mati konyol!” Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat
kemudian maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, berwarna
merah. Bagaspati mengekeh.
“Ini
ambillah!” Cambuk Api Angin di tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin
laksana topan dan semburan lidah api yang luar biasa panasnya!
“Prana!
Sekar Lekas menyingkir!” teriak Wiro seraya buang diri ke samping beberapa
tombak! Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa di belakang
Wiro. Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan yang mental di udara
maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, semuanya hangus ditelan api!
Diam-diam Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula Cambuk Api Angin menderu
kembali. Wiro kiblatkan pedang hitam milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat
bagaimana anak-anak buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! Pedang
hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api menyembur! Wiro berseru kaget
dan cepat-cepat lepaskan pedang hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi
merah, terbakar api Cambuk sakti !
“Keparat!,”
maki Wiro dalam hati.
“Hebat
sekali Cambuk Api Angin itu!” Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung.
Suaranya seperti petir susul menyusul! Pendekar 212 menjadi sibuk! Melompat
kian kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah! Semua
itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin yang ganas! Pranajaya
sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian hebatnya. Diam-diam pemuda ini
merasa khawatir apakah Wiro akan sanggup bertahan sampai lima jurus di muka
Pakaian Wiro dilihatnya sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong
acakacakan, mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih juga
menderu-deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat! Dua jurus di muka Pendekar 212
benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak hebat dan dipaksa bertahan
mati-matian! Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu
tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan menggidikkan
tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar putih, kelihatan menabur angin
yang memerihkan kulit menderu sedang suara seperti ratusan tawon terdengar
datang dari segala jurusan dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan!
Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman macam suara petir
terdengar tiada henti. Angin laksana topan menggebu dan lidah api hampir setiap
saat menyembur ganas! Namun kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu
tidak leluasa seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan
putih sinar Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng ! Bagaimanapun Bagaspati
rubah jurus-jurus silat dan percepat permainan cambuknya tetap saja dia merasa
semakin kepepet.
“Terima
jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!” seru Wiro. Bagaspati hanya mendengar
suara Wiro saja. Serangan Wiro yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama
sekali tidak sanggup dilihatnya karena cepatnya ! Dan tahu-tahu…
“Craas!”
Lalu
terdengar lolongan Bagaspati. Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya.
Tangan kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut Naga
Geni 212 sampai sebatas bahu ! Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati
macam orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk macam
orang celeng! Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari pembuluh-pembuluh darahnya.
Ketika pemandangannya berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin
bajak ini melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti!
Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri !
“Bunuh
saja aku! Bunuh!” teriak Bagaspati karena tidak sanggup merasakan sakit yang
menggerogoti dirinya akibat serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh
tubuhnya! Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai beberapa
saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas, maka tubuh itupun
menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati dengan tubuh menelentang mulut
berbusah dan mata melotot ke langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya!
Pendekar 212 tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka lenyaplah noda darah pada
mata Kapak Naga Geni 212. Dia melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin.
“Senjata
hebat,” katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk Api Angin itu diberikannya
pada Pranajaya.
“Terima kasih
Wiro” kata Prana dengan penuh gembira tapi juga haru. Di saat itu Wiro Sableng
sudah melangkah kehadapan anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka
tak lebih dari tiga puluh lima orang kini.
“Kalian
semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan kematian itu!” seru Wiro dengan
suara lantang.
“Kuharap
ini menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan
pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup sebagai manusia baik-baik. Banyak
pekerjaan baik seperti jadi nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji
kalian itu kami bertiga akan ampunkan nyawa kalian!”
Hening
sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba jatuhkan diri berlutut.
Kawan-kawannya juga kemudian menyusul berlutut. Wiro garuk-garuk kepala.
“Buset!
Orang suruh berjanji kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan
disembahsembah! Bangun semua!” teriak Wiro. Semua anggota banjak itu cepat
bangkit berdiri. Pada paras mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta
niat untuk kembali hidup sebagai orang baik-baik.
“Tampang-tampang
kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau kelak ada diantara kalian yang masih
kutemui hidup dalam jalan jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian
terima!” Wiro berpaling pada kedua kawannya.
“Sudah
saatnya kita tinggalkan tempat ini kawan-kawan.” Prana dan Sekar mengangguk.
Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas anggota bajak berseru,
“Tunggu
!”
“Ada
apa?!” tanya Wiro.
“Di pulau
ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang dan uang. Apa yang akan kami
lakukan dengan benda-benda itu?!”
“Busyet
kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata dan jadikan modal buat
hidup baik-baik!” sahut Wiro. Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya
berkata, “Kami tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu pada
kalian bertiga!” Pendekar 212 berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum.
“Terima
kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau uang, tapi Cambuk
Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami musti pergi!”
Ketika
rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak buah Bagaspati itu
menawarkan akan mengantarkan mereka ke pantai Jawa tapi mereka menolak.
“Rakit
ini cukup baik dan lebih cepat jalannya,” jawab Wiro. Dan betapa anehnya bagi
bekas anak-anak buah Bagaspati itu sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur
dalam kecepatan luar biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan
Wiro dan Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung!
PANTAI
Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lama kemudian, diwaktu sang surya
mulai kemerahan warnanya di ufuk barat maka sampailah mereka di ujung timur
Pulau Jawa.
“Kita
telah sampai sobat-sobatku!” seru Wiro. Dia yang pertama sekali melompat ke
daratan. ”Dan ini adalah saat perpisahan kita.” Prana dan Sekar sama-sama
terkejut. Wiro sebaliknya tertawa.
“Tugasmu
telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah berhasil ditemui….”
“Tapi
Wiro…..” Ucapan Prana ini dipotong oleh Wiro.
“Di lain
hari kelak kita pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin
kukatakan pada kalian.” Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan
senyum-senyum.
“Kalian
ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak sungai dulu itu?”
Prana dan Wiro saling panda mengingat-ingat dan begitu ingat masing-masing
mereka sama memandang pada Wiro.
“Maaf
saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat itu….” Paras Sekar dan Prana
menjadi merah dengan serta merta. Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat
malam di tepi sungai waktu mereka membicarakan soal cinta itu.
“Sobat-sobatku,
kalian boleh saja buat seribu janji. Tapi kalian pertama-tama musti kembali ke
tempat guru kalian! Urusan jodoh guru kalian musti diberi tahu….” Paras kedua
orang itu semakin memerah. Wiro tertawa bergelak.
“Nah
sobat-sobatku, setamat tinggal. Kudoakan agar kalian bahagia.”
“Wiro
tunggu dulu!” seru Prana dan Sekar hampir bersamaan. Namun tubuh Pendekar 212
sudah berkelebat. Prana merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa
cuilan pada dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada
lagi!
“Aku tak
akan melupakan dia.“ desis Prana.
“Kelak
bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia Wiro.” Prana putar
kepalanya. Pandangannya bertemu dengan pandangan Sekar. Meski cuma pandang
memandang, tapi semua itu menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka
saling melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit dan
matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment