WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya :
Bastian Tito
***************
1
SAMPAI
menjelang tengah malam pesta perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan dengan
putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi
masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan
serta sambil menikmati permainan gamelan dan suara pesinden Nit Upit Warda yang
lembut mengalun membawakan tembang “Kembang Kacang.”
Kedua
mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk
diantara para tamu dibarisan kursi paling depan, tepat dimuka panggung. Ki
Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki
Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama istrinya.
Karena
masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah dari dua desa yang
berdekatan maka dengan sendirinya suasana perkawinan meriah dan besar-besaran.
Malam itu adalah malam pesta perkawinan yang pertama dan besok lusa akan
dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada
menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulang-tulang sampai ke
sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang.
Beberapa
orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur seenaknya
di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak ketinggalan
ketularan kantuk sehingga Ageng Comal menghentikan permainan sampai di situ.
Ki Lurah
Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing berdiri
dari kursi mereka dan disertai beberapa orang lainnya kemudian melangkah
mengiringi kedua penganten masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke
dalam kamar!
Namun,
belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah, dari atas atap mendadak
berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat ke atas panggung! Kedua kakinya
menjejak taron (salah satu alat bunyi-bunyian dalam permainan gamelan) sedang
kedua tangan berkacak pinggang.
Jarak
atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi manusia tadi melompat ke
atas taron tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali
tidak bergerak ataupun bergeser!
Orang ini
masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi.
Rambutnya
gondrong sampai ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu terbayang sifat buas,
apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara
lagi.
Pemuda
ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga menjela-jela di atas
taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam dengan bunga besar-besar
berwarna kuning. Pada belakang kain penutup kepalanya tertancap sebuah bunga
kertas yang juga berwarna kuning.
Melihat
alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh seorang pemuda tak
dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan
ini maju melangkah sambil membentak.
“Pemuda
kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan batang lehermu!”
Seringai
menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak suara tertawa yang menggetarkan
dan menggidikkan serta membuat liang telinga seperti ditusuk-tusuk!
Suara
tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal tadi dengan serta
merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yang duduk terhenyak tidur di
kursi terbangun oleh kedahsyatan tertawa si jubah hitam dan semua mata
ditujukan adanya.
Beberapa
orang yang mengenali ciri-ciri pemuda di atas taron itu berseru kaget.
“Pendekar Pemetik Bunga!”
Maka
suasana itupun mendadak sontak menjadi gempar penuh ketegangan. Yang memiliki
senjata segera menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas
Madan berbisik pada menantunya, “Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat!”
Sedang Ki
Lurah Jambar Wulung berbisik pula pada istrinya, “Wiri, cepat masuk ke dalam.
Bawa besanmu serta…”
Rana
Wulung yang memang pernah mendengar dan mengetahui siapa adanya manusia
bergelar “Pendekar Pemetik Bunga” itu segera memegang lengan istrinya lalu
membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah Jambar Wulung serta besannya mengikuti
di belakang mereka.
Namun
baru saja mereka bergerak satu langkah, pemuda jubah hitam di atas taron
membentak garang.
“Siapa
berani meninggalkan tempat ini berarti mampus!”
Semua
yang melangkah jadi berhenti.
Ki Lurah
Jambar Wulung hendak melangkah kea rah panggung, besannya – Rantas Madan –
memegang lengannya dan berbisik, “Jangan tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah
Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan berbahaya. Biar aku yang bicara…”
Habis
berkata demikian Ki Lurah Rantas Madan maju ke depan panggung. Dia menegur
dengan nada seramah mungkin.
“Pendekar
Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga. Kalau kau ke sini hendak
memberikan restu ucapan selamat kepada puteri dan menantuku, sebelumnya aku
haturkan terima kasih.”
“Ah..,”
Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada kemudian tertawa
bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam karena tertawa itu. Dan
dalam tertawa itu sesungguhnya kedua matanya memandang tajam kepada Ning
Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung bibirnya dengan telapak tangan.
“Orang
tua, kau sedikit lebih ramah dari besanmu,” kata Pendekar Pemetik Bunga pula.
”Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan buat kasih ucapan selamat tapi
sebaliknya.”
Pendekar
Pemetik Bunga untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak.
“Aku
datang untuk menjemput puterimu, Ki Lurah,” katanya. “Dia sudah ditakdirkan
menjadi milikku!”
Berubahlah
air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung dan
Ning Leswani. Suasana sehening dipekuburan.
Tegang
mencekam.
Ki Lurah
Jambar Wulung tak dapat lagi menahan hati dan luapan amarahnya.
“Setan
alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan batok kepala
sintingmu itu!”
Pendekar
Pemetik Bunga mendengus.
“Mulutmu
keliwat besar, Ki Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?!” bentak Pendekar Pemetik
Bunga.
Sebagai
jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Laki-laki ini tidak memiliki
ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu kebathinan. Namun dalam ilmu silat
luar dia sudah menjajakinya sampai tingkat teratas. Karenanya tidak
mengherankan gerakannya melompat ke atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun
Pendekar Pemetik Bunga menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis dan air muka
mengejek.
Matanya
yang tajam dan pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah melihat dan
mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung hanya memiliki ilmu silat luar, tak
mempunyai isi apa-apa!
Di lain
pihak, begitu kedua kakinya menginjak lantai panggung, begitu Jambar Wulung
berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu silatnya ilmu silat yang tak
memiliki tenaga dalam, namun serangan yang dilancarkannya menimbulkan angin
deras.
“Huh,
segala silat picisan. hendak diandalkan!” ejek Pendekar Pemetik Bunga. “Makan
sikutku ini, Ki Lurah!” Manusia ini kelihatan menggeserkan kaki kirinya sedikit
dan tahu-tahu terdengar suara, “ngek!”
Suara itu
keluar dari mulut Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini terpelanting menabrak gong
besar di sudut panggung sebelah kanan, terus jatuh ke bawah panggung bersama
alat bunyi-bunyian itu dengan menimbulkan suara hiruk pikuk.
Begitu
terhampar di tanah Jambar Wulung tak bangun lagi alias pingsan. Dua tulang
iganya telah hancur remuk di makan sikut Pendekar Pemetik Bunga!
Melihat
ayahnya dibuat demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung.
Tapi
sebelum dia bergerak, mertuanya – Ki Lurah Tantas Madan – cepat memegang
bahunya. Orang tua ini segera mendahului hendak melompat ke panggung tapi di
atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadap-hadapan dengan Pendekar
Pemetik Bunga!
“Pemuda
keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu!”
Ageng
Comal dengan mempergunakan pukulan gong menyerbu ke muka. Pemuda yang diserang
rundukkan kepala. Begitu pukulan gong berdesing di atasnya, cepat sekali tangan
kirinya meluncur ke muka. Ageng Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat
melihat serangannya lewat serta menyaksikan serangan balasan lawan dengan sigap
memiringkan tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat
menyongsong pukulan lawan!
Secara
ilmu luar, memang walau bagaimanapun kepalan tak akan menang melawan lutut. Dan
adalah sangat berbahaya bagi seorang yang menyerang dengan tinju bila dia
meneruskan niatnya menyerang lutut yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar
Pemetik Bunga sama sekali tidak menarik pulang serangannya!
“Ageng
Comal!! Lekas tarik tanganmu!” teriak seorang dibawah panggung berteriak
memberi peringatan.
Tapi,
“Braak!”
Kasip
sudah!
Pemimpin
kesenian gamelan itu menjerit. Tubuhnya terguling pingsan di lantai panggung.
Tulang tempurung lututnya hancur, kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua
mata melotot. Semua muka pucat den semua mulut melongo!
Bagaimanakah
tidak! Pemuda jubah hitam di atas panggung itu merobohkan lawannya tanpa
bergeser satu langkahpun!
Di lain
kejap seorang lain telah melompat pula ke atas panggung.
Orang itu
adalah Rantas Madan yang sudah sejak tadi tak dapat lagi menahan hati panasnya.
Pendekar
Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang tua itu.
“Kau juga
mau cari penyakit hah?!” hardiknya.
“Selagi
masih ada waktu berlututlah minta ampun! Hukumanmu pasti kuperingan!,” kata
Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh.
“Jangan
ngaco, orang tua! Kalau mau konyol marilah!” Tentu saja ditantang demikian rupa
membuat Ki Lurah Rantas Madan semakin berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu
lebih lama laki-laki ini yang pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping
menerkam ke muka.
Dalam
jarak satu meter saja serangannya sudah menimbulkan angin bersiuran yang tajam
dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga.
Yang
diserang maklum bahwa lawannya yang seorang ini berbeda dengan dua orang yang
terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya tadi, Pendekar Pemetik Bunga lantas
mengangkat dan melambaikan tangan kirinya ke muka. Setiap angin keras yang
menggetarkan panggung bersuit memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya
dengan serta merta buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara
setinggi lima tombak, hampir menyundul atap panggung!
Dengan
cekatan Ki Iurah Rantas Madan jungkir balik di udara kemudian dengan gerakan
kilat menukik dan menghantamkan tangan kanannya ke arah lawan! inilah jurus
“Walet Menukik Lembah!”
Pemuda
bertampang gagah tapi buas garang itu terkejut sekali sewaktu merasakan angin
panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat dia rundukkan tubuh sebatas pinggang dan
balas mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kanan.
Ki Lurah
Rantas Madan terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke atas, melabrak dan
membobolkan atap panggung, lenyap dari pemandangan untuk kemudian terdengar
gedebuk tubuhnya sembilan tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh
kepalanya lebih dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan
beberapa perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten perempuan
itu hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung dan seorang lainnya, menahan
mereka.
Rana
Wulung seorang pemuda terpelajar yang tak kenal satu jurus ilmu silatpun! Namun
menyaksikan kematian ayah serta mertuanya itu gelaplah pemandangannya! Keris
perhiasan penganten yang tersisip di pinggang segera dicabut. Ketika melompat
ke atas panggung kaki kanannya hampir terserandung!
“Ho-ho!
Temanten juga mau ikut-ikutan minta digebuk?!” teriak Pendekar Pemetik Bunga.
“Kubunuh
kau keparat!” bentak Rana Wulung menggeledek. Keris di tangan kanannya
ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga.
“Budak
tolol!” maki Pendekar Pemetik Bunga.
Sekali
pemuda jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang dipegang Rana Wulung
sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan
kanannya!
Suata
tertawa Pendekar Pemetik Bunga kemudian terdengar mengumandang diseantero
panggung. Kemarahan dan sakit hati Rana
Wulung
tiada terperikan. Dengan kedua tinju terpentang dia menyerbu ke muka.
“Edan
betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Masih tak melihat tingginya gunung
dalamnya lautan!” Dan manusia ini segera menyongsong serangan Rana Wulung
dengan tendangan maut yang mengarah lambung!
Kalau
saja Rana Wulung seorang yang mengetahui sedikit ilmu silat, dalam posisinya
seperti saat itu sebenarnya dia masih sanggup dan punya kesempatan untuk
mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke samping. Tapi sayang,
pemuda ini tidak tahu apa-apa tentang persilatan dan kaki maut Pendekar Pemetik
Bunga sementara itu semakin dekat menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah
kejapan lagi pasti robeklah perut Rana Wulung. Ning Leswani menjerit. Ibu Rana
Wulung juga menjerit untuk kemudian jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan
apa yang bakal dialami anaknya!
Beberapa
orang mengeluarkan seruan tertahan. Agaknya tak satupun yang bisa berbuat
apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana Wulung bakal menemui kematiannya pada hari
pernikahannya itu!
***************
2
DI SAAT
ajal sudah di depan mata, di saat maut hendak merenggut maka tiada terduga, di
saat itu pula dari bawah panggung sebelah barat melesat sebuah benda yang
mengeluarkan cahaya berkilau. Benda ini melesat ke arah kaki kanan Pendekar
Pemetik Bunga yang mencari maut di perut Rana Wulung!
Tentu
saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi terkejut dan terpaksa menarik pulang
serangannya. Benda yang berkilau itu lewat dan menghantam taron sehingga alat
bunyi-bunyian ini terbalik dan hancur berantakan! Benda apakah yang sehebat itu
dan siapa gerangan yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung
dari kematian?!
“Pembokong
licik! Cepat unjukkan diri,” teriak Pendekar Pemetik Bunga marah sekali.
Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barang panggung.
Di bagian
barat panggung berdiri beberapa orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang tajam
tidak berhasil kali ini menduga siapa gerangan manusia yang telah melemparkan
senjata rahasia tadi.
Dengan
marah Pendekar Pemetik Bunga mengangkat tangan kanannya ke udara dan berteriak,
“Kalau tidak ada yang mengunjuk diri, semua yang ada di panggung barat pasti
kubikin mampus!”
Seorang
laki-laki tua yang berdiri di belakang sebuah kursi di bagian barat panggung
berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian bagus dan bertopi tinggi
yang dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang
bangsawan atau hartawan. Dia mengangkat kursi yang di depannya ke samping dan
melangkah ke muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung.
“Cepat
beri tahu siapa kau!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih
belum diturunkan dan kini telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang tua
berpakaian bogus.
“Aku
hanya seorang tamu yang mengunjungi pesta perkawinan ini, orang muda….”
“Hem…
cuma seorang tamu saja berani campur tangan! ilmu melemparkan senjata rahasia
pengecut tadikah yang kau andalkan?!”
Orang tua
itu berbatuk-batuk lagi.
“Meski
cuma tamu buruk begini,” katanya, “Aku juga adalah sahabat baik dari tuan rumah
dan besannya. Sungguh tidak enak sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang
nahas tanpa bersedia turun tangan!”
“Oo
begitu? Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga pula.
“Sanggupkah
kau menerima pukulan tangan kananku?!” Orang tua berpakaian bagus itu tertawa
dingin.
“Orang
muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih
besar lagi sehingga aku yang tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan…”
“Orang
gendeng yang tak tahu gunung Semeru di depan hidung!
Terima
pukulan Tapak Jagat ini!”
Si orang
tua cepat menyingkir ke samping waktu Pendekar Pemetik Bunga menghantamkan
telapak tangan kanannya kedepan.
Semua
orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah bekas tempat
si orang tua berpakaian bogus tadi menjadi berlubang besar di landa ilmu
pukulan ‘Tapak Jagat’ si pemuda jubah hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi
jungkir balik berpatahan sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang tua tidak
cepat menyingkir tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya!
Namun di saat itu semua orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama memaklumi
bahwa si orang tua bukanlah orang tua sembarangan!
Tidak
sembarang orang yang sanggup mengelak dari pukulan ‘Tapak Jagat” itu!
“Orang
tua, apakah kau masih tetap berlaku pengecut tak mau kasih tahu nama?!”
“Ah,
namaku atau siapa aku kau tak perlu tahu. Aku tanya, apakah kau sudi angkat
kaki dari sini atau tidak?!”
“Sombong
betul” tukas Pendekar Pemetik Bunga. “Jangan kira aku jerih terhadapmu.
Silahkan naik ke atas panggung!”
Si orang
tua menghela nafas panjang dan menggosok-gosok kedua tangannya. “Rupanya memang
aku harus turun tangan tidak tanggung-tanggung,” katanya pelahan tapi cukup
terdengar oleh semua orang.
“Betul!
Memang dalam dunia persilatan tidak boleh tanggung-tanggung!” menimpali
Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau kau berani cari perkara, kau tak boleh
tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa!”
Dan sekejap
kemudian kedua orang itupun sudah berhadap-hadapan di atas panggung, disaksikan
puluhan pasang mata, disaksikan oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke
sudut panggung. Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun dia maklum kalau
orang tua ini berilmu tinggi dan Rana Wulung berharap moga-moga si orang tua
benar-benar bisa menjadi tuan penolongnya.
“Apakah
kau masih punya simpanan senjata rahasia tadi, orang tua?” tanya Pendekar
Pemetik Bunga.
Si orang
tua tertawa dan balas mengejek. “Kalau kau punya senjata keluarkalah, biar
kuhadapi dengan tangan kosong!”
“Sombong
betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya dia
lepaskan dua pukulan tangan kosong yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras.
Si orang tua bersuit nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat
berkelebat mencari posisi baru dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah
hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran
seru. Lima jurus berlalu cepat!
Pendekar
Pemetik Bunga penasaran sekali melihat ketangguhan lawan. Didahului dengan
bentakan nyaring dia mempercepat permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan
bayang-bayang kini dan dua jurus di muka dia sudah berhasil mendesak lawannya.
“Terima
jurus kematianmu, orang tua!” seru Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula
pukulannya yang menyilang aneh membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang
cepat menyingkir sewaktu melihat serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya
ke muka, ke arah mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata”
yang ganas.
Pendekar
Pemetik Bunga tentu saja tak mau kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di
lain pihak dia juga tak mau tarik pulang pukulannya yang ganas. Karenanya
dengan cepat pemuda itu miringkan tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya Itu
mempercepat perbawa serangan tengannya ke arah pinggang lawan.
Si orang
tua sadar kalau tusukan jari tangannya tak bakal mancelakai lawan sebaliknya
dirinya terancam bahaya besar, lekas-lekas menjejak panggung dan melompat ke
atas. Begitu lolos dari gebukan lengan maut, si orang tua laksana alap-alap
menukik ke bawah dan lepaskan satu tendangan dua pukulan.
Jurus
“Menembus Kabut Mengintip Rembulan” yang dilancarkan si orang tua dikenal baik
oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan menyebut jurus itu, si
pemuda berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah
empat jalan darah berbahaya dari si orang tua!
Meski
masih dalam terkejut karena lawan mengetahui jurus yang dimainkannya namun si
orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan!
“Orang
tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan
apakah kau dengan Rah Kuntarbelong? Lekas jawab!
Apa kau
muridnya, hah?!”
Si orang
tua menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menduga nama
gurunya!
Dan
Pendekar Pemetik Bunga sesaat kemudian tertawa bergelak.
“Tidak
menyahut berarti betul!” katanya. “Bagus sekali kalau begitu. Aku memang punya
urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong!
Sebagai
permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!”
“Jangan
banyak mulut Pendekar terkutuk!” bentak si orang tua.
”Tahu
pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan
kening dan memandang tajam ke muka. Si orang tua dilihatnya berdiri dengan kaki
merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah, tinju mengepal sedang tangan kanan
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Lengan
kanan itu kelihatan berwarna biru.
“Ah cuma
pukulan Kelabang Biru…” ejek Pendekar Pemetik Bunga tapi diam-diam dia kerahkan
tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan karena dia sudah pernah
tahu kehebatan pukulan Kelabang Biru yang mengandung racun jahat itu yakni
sewaktu berhadapan di selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. “Lekaslah
keluarkan supaya kau sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari
kentut belaka!”
Geraham
si orang tua bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya sudah
terpusat di lengan dan lengan sampai ke ujung ujung jari sudah berwarna sangat
biru.
Tiba-tiba
terdengarlah teriakan yang seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Si
orang tua kelihatan menghantamkan lengan kanannya ke depan. Selarik sinar biru
dengan ganas menggebu ke arah Pendekar
Pemetik
Bunga. Di saat itu pula Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan
melepaskan pukulan “Tapak Jagat” yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga
dalamnya!
Begitu
dua angin pukulan bertemu terdengarlah suara berdentum laksana gunung meletus!
Tiang-tiang panggung patah, lantai dan keseluruhan panggung ambruk! Alat
bunyi-bunyian yang ada di atas panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar
panggung dan roboh tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang
sebuah pohon!
Kedua
orang yang bertempur, sewaktu panggung roboh cepat mencelat meninggalkan
panggung. Dan ketika mereka berdiri kembali berhadap-hadapan kelihatanlah
bagaimana pucatnya paras si orang tua. Satu pertanda bahwa saat itu dia
menderita luka di dalam yang parah sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga
berdiri sambil melontarkan senyum mengejek pada lawannya.
“Jika kau
masih gila untuk menempuh jalan kekerasan, jangan harap nyawamu akan
tertolong!”
Si orang
tua tahu, jika dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan pertempuran,
pastilah akan mencelakai dirinya sendiri yang saat itu sudah terluka parah di
bagian dalam. Tapi untuk menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah
bertentangan sekali dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri
dan mengatur jalan nafas serta aliran darah. Tapi dia tak berhasil. Nafas dan
aliran darahnya sudah tak karuan lagi!
“Budak,
keluarkan kau punya senjata!” bentak si orang tua.
“Ah,
kalau kau mau keluarkan senjata silahkan, tak usah memancing segala!” sahut si
pemuda dengan tertawa bergelak.
Mendengar
ini si orang tua tak sungkan-sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk hitam yang
ditaburi mutiara dari Pinggangnya.
“Lusinan
tokoh-tokoh jahat sudah mampus dimakan sabuk mutiara ini, budak terkutuk! Kini
kau adalah korban selanjutnya!”
”Tak usah
bicara panjang lebar! Lekas majulah!” bentak si pemuda dan dalam hati dia
berpikir-pikir sampai di mana, kehebatan sabuk mutiara itu.
Si orang
tua menggeru. Dia maju dua langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan kiri.
Nyatalah dia seorang kidal. Dia menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada
kali yang ketiga sambil melompat ke muka si orang tua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan
sabuk mutiara itu sangat mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana
dilanda bertubi-tubi oleh ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam
dan andalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak sebat.
Namun tak
urung akhirnya dia kena di desak.
“Setan
alas!” maki pemuda itu. Untung saja lawannya sudah terluka di dalam yang
teramat parah sehingga gerakan-gerakannya agak lamban.
Melihat
bahwa lawannya agak jerih dan terdesak, si orang tua mempercepat gerakannya.
Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga membungkuk dan kemudian berdiri lagi dengan
memegang tepi jubah hitamnya. Sekali dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa
yang sangat pengap menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang keluar dari
sabuk mutiara si orang tua! Si orang tua merasa kepengapan menyambar hidungnya.
Nafasnya yang memang sudah tidak normal kini menjadi tambah tak teratur.
Ternyata sabuk mutiara yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghadapi
kehebatan jubah hitam lawan! Semakin lama tubuhnya semakin lemah, dadanya sesak
dan pemandangannya mengabur!
“Pemuda
keparat, lihat ini!” seru si orang tua. Tangan kanannya lenyap ke dalam saku
baju dan ketika ke luar lagi maka selusin senjata rahasia yang menyilaukan
menyambar ke arah si pemuda.
Pendekar
Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke bawah
dengan cepat. Angin pengap yang dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan
berpelantingan. Tujuh lainnya di sapu dan membalik menyerang pemiliknya
sendiri! Malangnya si orang tua tak menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya
tak ampun lagi ditembusi ke tujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang tua
itu mengeluarkan pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya tergelimpang di tanah.
Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya.
Pendekar
Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia
melangkah ke hadapan mayat si orang tua dan membungkuk, Sabuk mutiara
direnggutkannya dari tangan kiri mayat lalu dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya
badannya. Matanya memandang sekilas pada Ning Leswani yang berdiri dengan tubuh
gemeter dan muka pucat pasi.
Kemudian
dia memandang berkeliling. Dan serunya . “Siapa lagi yang inginkan mampus
silahkan maju dengan cepat.”
Tak satu
orangpun yang bergerak dari tempatnya.
Sambil
tertawa panjang Pendekar Pemetik Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si
gadis cepat menyurut mundur. “Gadis manis, kau tak perlu takut padaku! Kau
harus tahu, kunyuk yang bernama Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu.
Lebih pantas jika kau ikut aku…”
“Manusia
biadab! Pergi…!” teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Dia
maju melangkah. Ibu Ning Leswani yang coba menghalanginya sambil
berteriak-teriak dengan sekali tepis saja tersungkur ke tanah.
“Pergi!”
teriak Ning Leswani lagi.
“Ya, kita
pergi sama-sama manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang
memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya tangannya untuk meraih pinggang
gadis itu. Justru pada saat itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring.
“Pendekar
terkutuk! Tarik tanganmu…!”
***************
3
PENDEKAR
Terkutuk Pemetik Bunga hentikan gerakan tangannya yang hendak menjamah tubuh
Ning Leswani. Kepalanya di putar.
Sepasang
matanya membentur sosok tubuh seorang laki-laki tua berbadan bungkuk, berambut
dan berjanggut putih. Orang tua yang berselempang kain putih ini berdiri dengan
sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanan.
“Siapa
kau?” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Yang
ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah.
Ketukan ini membuat semua orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak
menjadi bergetar. Bambu kuning di tangan si orang tua pastilah satu senjata
yang sangat hebat. Dan orang-orang yang masih ada di situ, yang membenci
terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa punya harapan kembali atas kemunculan si
orang tua berselempangan kain putih ini.
“Lekas
jawab!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau akan mati percuma!”
Si
janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah.
Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah hitam.
“Ratusan
hari turun gunung, puluhan minggu mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan
menyeberangi sungai memasuki hutan belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh…
he… he… he… he …!”
“Kau
masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”
“Namaku
tidak penting, manusia bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban
yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan yang silam…?”
Pendekar
Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik.
“Sembilan
laki-laki tak berdosa kau bunuh. Dua diantaranya adalah muridku. Empat orang
perempuan di desa itu kau bawa kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu
semua…?!”
“Hem….”
Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa kali. “Tidak, aku tidak lupa,”
katanya dengan terus terang.
“Bagus
sekali kalau kau tidak lupa!” ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya
di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar. “Orang-orang desa telah
datang kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu….”
“Berapa
uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?!”
ejek Pendekar Pemetik Bunga.
Wajah si
orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun
mereka tidak datang ke puncak gunung Bromo, memang sudah sejak lama aku berniat
turun tangan membekuk batang lehermu…!”
Pendekar
Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, “Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari
gunung Bromo?!”
Si orang
tua kini balas tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap
janggut putihnya yang panjang menjela sampai ke dada.
“Kalau
sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau
masih perlu aku memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!”
maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah.
“Kalau
aku kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi
panjang-panjang seperti tadi.
Naiklah
darah Pendekar Pemetik Bunga.
“Manusia
tolol yang tidak tahu gunung Semeru berdiri di muka hidung, terima kematianmu
dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik
Bunga
sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk
Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah
senjata
Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, manusia bejat?!”
“Tanya
pada setan di neraka nanti!” sahut Pendekar Pemetik
Bunga
seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang
menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk
Bambu Kuning cepat menghindar. “Rupanya kau bukan saja manusia bejat tukang
bunuh dan tukang perkosa tapi juga pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning
kiblatkan tongkat bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya
menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir beterbangan akibat
angin kedua senjata sakti itu!
Pendekar
Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya
menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti
gempurannya itu! Dengan serta merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam
sekejap Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun
sekali si orang tua memekik keras dan sekali dia putar tongkat bambunya dalam
jurus yang aneh maka keluarlah dia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini
gempuran tongkat bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda
tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapatkan dirinya
terdesak hebat oleh gempuran lawan.
Apalagi
sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek
dan berkata. “Jurus ketiga ini adalah jurus kematianmu, manusia bejat! Bukan
jurus kematianku!” Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan
semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan
alas keparat!” maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali
dia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri
diulurkan untuk menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan
yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar
Pemetik Bunga berdiri kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan
gelombang angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam
menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang
menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam
jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi
lamban. Orang tua itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Namun sia-sia saja. Dirasakannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya
laksana tersumbat.
Sukar
baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang tua segera atur jalan darah
dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu dia mempercepat gerakannya!
Namun
kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang
tanggung. Sebentar saja serangan-serangan bambu kuning lawan sudah
dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang
tua itu tidak bisa mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan
sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!
Pendekar
Pemetik Bunga kembali keluarkan suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya
telah berada di atas angin. “Ha…ha…! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk
desa hanya untuk mencari kematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar
terkutuk jangan terlalu besar harapan!” kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam
tiga perempat dari tenaga dalamnya dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba,
“Bluuss!”
Selarik
asap kuning menyembur dari mulut si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut
bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan
dan saat menutup jalan nafas tadi membuat gerakannya mengendur. Sewaktu din
menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap
kuning, bambu di tangan kanan lawan datang menderu!
Si pemuda
kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh
angin pengap tepi jubah hitamnya!
Pendekar
Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian dia
berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi.
Sewaktu berdiri mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini
keluarkan keringat dingin juga!
“Kau kira
kau bisa lari dari sini, manusia bejat?!” hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya
membuka dan asap kuning menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar Pemetik Bunga
kembali tutup jalan nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi
jubah dan sambaran sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah
lawan. Si orang tua melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali
menyemburkan asap kuning dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi
kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian
apakah yang dikandung oleh asap kuning yang keluar dari mulut lawannya sehingga
angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba
pemuda itu menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin pengap
menyerang ketenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari
atas ke bawah!
Si orang
tua ganda tertawa menghadapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar,
tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa
“Sreet!”
Sabuk
mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena disambar den terlepas
mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda sendiri dengan jungkir balik susah
payah baru berhasil ke luar dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap
kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya
membeliak, mulutnya komat kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang tua
melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin salju!
“Nyawa
anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, pemuda terkutuk!” kata Datuk Bambu
Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran
manusia macam kau!”
“Aku
masih belum menyerah keparat!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih
komat-kamit. Matanya dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat
Datuk Bambu Kuning.
“Aku
memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa
sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”
“Soal
nyawa soal mudah,” tukas Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.
Diam-diam
dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat
kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengeluarkan sinar
menggidikkan. “Orang tua edan, kau lihat jari ini?! “
Datuk
Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan
kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah.
Pendekar
Pemetik Bunga tertawa mengekeh. “Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk
Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot
memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda.
Ketika
jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda membuat lingkaran. Datuk Bambu Kuning
berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu
Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den
sebagian lagi ke dada!
“Makan
jariku ini, Datuk keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap
itu juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu
laksana topan prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama
Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk
Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin pukulan bambu kuning dan
sambaran asap kuningnya buyar berantakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin
hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat
menyingkir tapi kasip!
Orang tua
itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angina hitam menyambar tubuhnya.
Dan terdengarlah jeritnya melengking langit!
Datuk
Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya
tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendekar
Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu dia
menggerakkan kakinya baru disadariya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke
dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning
Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.
Makian
yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani
menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar
Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai
pagi, sampai ketika matahari muncul di utuk timur desa masih diselimuti oleh
kehebohan atas apa yang telah terjadi!
Ki Lurah
Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa
berbagai senjata dan menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik
Bunga. Namun ke mana manusia durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari,
mereka sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui
Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehormatannya!
Dan
seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu
mereka sebanyak itu bisa membekuk batang lehernya!
Rantas
Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding
dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik
matahari membakar kulit di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi
kudanya di samping Rantas Madan. Hati pemuda ini hancur sudah! Dendam
kesumatnya terhadap Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika
rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu
yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak,
kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu.”
Ki Lurah
Rantas Madan terkejut lalu memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa
burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar-putar naik turun di atas puncak
sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu dihentikannya rombongan.
“Kita ke
sana!” mengambil keputusan Rantas Madan. Masing-masing kemudian memacu kuda
mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini
menghentikan kudanya dan meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi.
Diikuti oleh anggota-anggota rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah
serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung
gagak terbang ke udara.
Rana
Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat.
“Tuhanku!”
seru pemuda itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak.
Tiba-tiba
laksana orang kalap dia melompat ke muka sambil berseru nyaring . “Nining!
Nining!”
Ning
Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar benangpun yang menutupi
auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah
berlubang-lubang dipatuk gagak-gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang
itulah yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan
dan rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas
Madan sendiri hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir
tak sanggup melihat anak kandung yang dikasihinya menemui kematian dalam cara
yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku….”
desis laki-laki itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas
tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat
anaknya dengan baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau
memecahkan dadanya saat itu!
***************
4
MUNCULNYA
Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut, darah dan noda benar-benar menggemparkan
dunia persilatan. Kekejaman dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama
malang melintang beberapa bulan belakangan ini benar-benar merupakan satu
tantangan bagi dunia persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini
tak dapat dibiarkan lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari
golongan putih kabarnya telah turun tangan membuat perhitungan dengan Pendekar
Pemetik Bunga. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat dunia
persilatan tambah geger!
Bagaimanakah
tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat
mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga.
“Ilmu
Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi biang momok
mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti
silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa
ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak
di daerah mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak
berdosa!
Kejahatan,
kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar
Pemetik Bunga itu telah sampai pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah
hari tepat. Matahari berada dititik tertingginya.
Keterikan
sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk
itu. Asap belerang dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi
satu dengan halimun dan menutupi pemandangan.
Di satu
bagian dari puncak gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh
sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang laki-laki tubuhnya kurus sekali,
hampir tinggal kulit pembalut tulang.
Tubuh
yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada air
mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa manusia ini umurnya
sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang sampai ke
pinggang itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar
pelita.
Orang tua
ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan
cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik
tenggelamnya, ketika sinar kuning emas berpadu dengan sinar kemerahan menyaputi
langit di ufuk barat barulah Begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya
kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini
berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari
pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung
Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh
kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di
sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela
nafas dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi
yang indah dan suci itu telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala
macam kemesuman, kejahatan, kebejatan!
Begawan
Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan batu
diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke balik selempangan kain putih di
pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan
pelita dalam ruangan batu itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu
terdapat sebuah batu besar.
Dengan
mempergunakan tangan kirinya Begawan ini menggeser batu itu hingga menutupi
pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan
hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan kiri! Sampai dimana kehebatan
tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang
itu sungguh tak dapat dijajaki!
Bila
angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam
bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak gunung
Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun maka Begawan itupun
menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan
dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya.
Sekali-sekali melompati jurang batu yang lebarnya sampai tiga – empat tombak.
Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan
Begawan Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
* * *
Tikungan
jalan itu terletak di tempat yang ketinggian. Sinar matahari panasnya seperti
mau memanggang kulit. Burung-burung kecil yang berlindung di balik daun-daun
pepohonan berkicau tiada hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari
sehari itu.
Pemuda
berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus
menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di
cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan
hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan,
cabang pohon yang diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor
kucingpun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi
anehnya, diberati oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai,
bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang
sakti mandraguna yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, pastilah hal
itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman
tah berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.
“Sialan,
apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”
Tiba-tiba
pemuda itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat
seringai tajam. Jauh di bawah bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan
dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh
selusin penunggang kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa
sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan
pasti akan melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.
Kira-kira
dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan gemerataknya
suara roda kereta mendekati tikungan jalan.
Karena
tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang penunggang kuda agak
memperlambat lari kuda masing-masing.
Pada saat
itulah pemuda rambut gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan suara
memerintah yang menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa
ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta
kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing.
Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua
laki-laki yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat
kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!”
Begitu si
pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggang
kuda yang paling muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke
atas dan bertanya dengan membentak.
“Orang
asing! Kau siapa?!”
“Buset!
Kau punya nyali membentak aku hah? Apa kau punya jiwa rangkap!”
Si
penunggang kuda mendengus. “Caramu memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai niat
jahat!”
“Betul
sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini kalau kalian semua tidak
mau cilaka!”
Penunggang
kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan melihat sikap dan tempat di mana
pemuda rambut gondrong itu duduk sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa
manusia asing itu seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan
jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu
silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor menghadapi si pemuda rambut gondrong!
“Kalau
kau seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah
riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat”
Pemuda di
atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawanya menggetarkan tikungan
jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan suara
tertawa itu telah membuat satu tangan halus menyibakkan tirai kereta den
memunculkan sebuah kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus
mulus.
“Manusia-manusia
tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat kalian punya jiwa tapi malah
berlagak jago!” bentak orang di atas cabang pohon! “Silahkan cabut senjata
kalian agar kalian semua tidak mampus percuma!”
Habis
berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya
berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang
kuda terpelanting dari punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur
remuk dimakan tendangan kaki kanan pemuda tadi!
Yang
sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak
segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan
orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka
dada tetap berada di atas kereta.
Sebentar
saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah
siuran golok dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali
dia membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil
mengelakkan sembilan serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba
pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan tebasan
golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul.
Empat
pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang
lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah.
‘Tegal
Ireng!” teriak pemimpin rombongan. “Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan
yang lain-lainnya menahan bangsat ini!”
Kusir
kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan
melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu pemuda rambut gondrong
dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa. Dia membuat lompatan setinggi
tiga tombak. Dua orang pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan.
Bersamaan dengan Itu tangan kanannya dihantamkan ke arah dua ekor kuda penarik
kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang
sangat dahsyat Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan
kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari
dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin
rombongan, dengan sangat penasaran cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya.
Dengan sepasang golok, bersama dua orang kawannya dia menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk
tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-manusia
tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda
rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang
ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-manusia itu mengenduskan suara
seperti tercekik sewaktu tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut
masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan
rubuhnya tubuh mereka ke tanah!
Pemuda
berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya sambaran angin di belakangnya.
Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.
Sebatang
golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!
*****************
5
Kurang
ajar betul!” teriak pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya. Lihai
sekali golok maut itu berhasil ditangkapnya lalu dilemparkannya ke arah kereta.
Laki-laki
yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si pemuda
dengan serta merta melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan
di tanah. Golok menancap di bangku kayu pada bagian depan kereta!
Kusir
kereta yang menyadari bahwa dirinya kini tinggal sendirian, melihat serangannya
tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak cerita kusir ini
segera ambil langkah seribu seraya berteriak. “Den Ayu Galuh Warsih lekas lari
selamatkan dirimu!”
“Kunyuk
tengik!” teriak pemuda berjubah hitam sambil keluarkan dengusan. “Kalau mau
lari, larilah sendiri ke neraka!”
Sekali
pemuda ini lambaikan tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon
dilanda angin dahsyat yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!
Di saat
itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh
ramping, berkulit hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan
paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya merinding melihat sosok-sosok
mayat pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan!
Gadis itu
menyurut beberapa langkah sewaktu pemuda berjubah hitam melangkah mendekatinya.
“Ah,
dewiku, kenapa takut padaku?” ujar si pemuda dengan mengulum senyum. “Namamu
Galuh Warsih bukan? Dan kau anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betul?”
Galuh
Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda,
pada sunggingan senyumnya nyata kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan!
Gadis ini
terpekik sewaktu sekali lompat saja si pemuda sudah berada dihadapannya.
“Saudara,
kau siapa? Mengapa membunuh pengawal-pengawalku?!”
Meski
takutnya bukan main namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan
itu.
Yang
ditanya tertawa.
“Ah..,
itu satu pertanyaan yang pantas dijawab,” katanya. Tangan kirinya
ditopangkannya ke sanding belakang kereta. “Namaku tak seberapa perlu dewiku
sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga.”
Paras
Galuh Warsih laksana kain kafan, putih seperti tiada berdarah. Sebaliknya
pemuda yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.
“Dan
kalau dewiku bertanyakan mengapa aku membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah
karena mereka sedeng semua! Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah
minta mati!”
“Ayahku
Bupati Kaliurang pasti akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan
inil”
Pendekar
Pemetik Bungs tertawa mengekeh. “Sudahlah,” katanya, “di tempat bangkai-bangkai
berserakan ini kita tak usah banyak bicara.
Kau ikut
aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana…”
“Tidak!”
“Di bukit
sana ada sebuah pondok!”
‘Tidak,
aku tidak mau! Aku tidak sudi ikut sama kau manusia biadab!” teriak Galuh
Warsih.
“Di situ,
di pondok itu nanti kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku
manis….” Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh
Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua
tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda
berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus dia
sudah merangkul pinggang Galuh Warsih.
Galuh
Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni
punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu
tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul gembira laksana angin
cepatnya tubuh Galuh Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!
Hampir
sepeminum teh kemudian maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu
yang menghempas-hempas pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar
Pemetik Bungs membuat manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya
agar lekas-lekas sampai ke pondok itu dan agar lekas pula melampiaskan nafsu
bejat terkutuknya!
Tapi
betapa terkejutnya Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu
sepasang telinganya menangkap suara nyanyian.
Yang
lebih mengejutkan ialah karena suara nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok
kayu dihadapannya itu!
Dua tahun
dilepas pergi,
Dua tahun
turun gunung,
Dua tahun
berbuat keji,
Dua tahun
tak tahu untung.
Lima
tahun belajar percuma
Lima
tahun dididik tiada guna
Kehancuran
dimana-mana
Pembunuhan
di mana-mana
Semua
karena buta hati dan buta mata
Semua
karena buta rasa
Percuma
bagusnya gunung
Percuma
tingginya gunung
Kalau
meletus bencana di mana-mana
Anak
manusia lupa daratan
Anak
manusia membuat kebejatan
Apakah
selusin nyawa di badan?
Apakah
ilmu setinggi awan?
Pendekar
Pemetik Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun
punggungnya, yang masih berteriak-teriak meskipun suaranya parau segera
ditotoknya. Dipasangnya telinganya sedang kedua matanya memandang tajam-tajam
ke arah pintu pondok yang terbuka. Tak satu sosok manusiapun yang dapat
dilihatnya dari tempat dia berdiri.
Namun
suara nyanyian tadi kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu!
Dua tahun
dilepas pergi,
Dua tahun
turun gunung….
Ada suatu
rasa aneh menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa aneh ini bukan saja
hanya sekedar menyelinap, tapi juga membuat hatinya menciut-ciut dan dadanya
berdebar. Dia melangkah kembali, pelahan kini.
Mata
memandang tajam, ke pintu pondok yang terbuka, sikap penuh waspada.
Lima
tombak dari hadapan pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan
langkah. Bayangan seseorang dapat dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan
mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang laki-laki
tua bertubuh kurus kering berselempang kain putih. Janggut dan rambutnya yang
hitam menjelang panjang sampai ke pinggang.
“Guru!”
seru Pendekar Pemetik Bunga.
Tubuh
Galuh Warsih segera diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang
pohon lalu dia sendiri berlari dan berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di
ambang pintu pondok.
Si orang
tua, yang bukan lain dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya
dengan pandangan mata sedingin salju setajam pisau!
“Betulkah
kau ini si Wirapati?”
Masih
berlutut, Pendekar Pemetik Bunga angkat kepalanya. “Betul guru. Masakan guru
lupa sama murid sendiri!” Diam-diam Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati merasa
bergidik jugs melihat cara memandang gurunya.
“Guru…!”
Begawan
Citrakarsa tidak perdulikan seruan kaget muridnya melainkan meneruskan, “Mataku
masih belum kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul!
Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak
ada di atas bumi ini…”
“Guru!”
seru si murid sekali lagi.
Begawan
Citrakarsa tetap tak ambil perduli seorang pemuda terkutuk yang di delapan
penjuru angin dikenal sebagai Pendekar Pemetik Bunga!
Berubahlah
paras Pendekar Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa yang
telah dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh
gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada
Begawan itu.
“Selama
ini aku dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang mengutamakan ilmu untuk
kebaikan, dan welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi
kini dari delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku!
Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa malu yang tiada terkira! Semua itu adalah
akibat perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!”
“Guru,”
kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu
“Rupanya guru telah tertiup oleh segala fitnah yang dilontarkan manusia-manusia
biang racun! Lima tahun murid dididik dan digembleng oleh guru masakan
sesudahnya turun gunung murid mau membuat kekotoran yang mencemarkan nama guru
itu?! Semua fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid malang melintang di
dunia persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam…!”
Begawan
Citrakarsa tertawa tawar. “Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah,
Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kau
mau menipu aku, tunggulah sampai mataku buta!”
Pendekar
Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, “Guru salah
duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan
murid tolong dan lepaskan dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok!”
Lagi-lagi
Begawan Citrakarsa tertawa tawar.
“Lidah
tidak bertulang memang bisa diputar balik!” katanya. “Tapi mataku tidak bisa
diputar balik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan
jalan tadi! Masihkah kau mau berdusta di dalam kebejatanmu?!”
Kini
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya
terkatup rapat-rapat
“Tak
perlu kau berlutut dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke
mukaku, sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi sebagai murid!”
Rahang
Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak.
“Kejahatanmu
laksana laut tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang
berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?!”
Kaget
Pendekar Pemetik Bunga bukan alang kepalang!
Dipandangnya
paras Begawan Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas menyatakan
bahwa apa yang diucapkannya itu bukan main-main!
“Guru….”
“Aku
bukan gurumu!” bentak Begawan Citrakarsa.
Perlahan-lahan
Pendekar Pemetik Bunga berdiri.
“Guru,
kau betul-betul hendak membunuhku?” tanya pemuda itu, “atau cuma main-main saja
… ?”
“Bicara
soal kematian bukan bicara main-main budak terkutuk!” hardik Begawan
Citrakarsa.
“Bersiaplah
untuk mampus!”
Begawan
itu angkat tangan kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
“Wuss!”
Asap
putih mengepul dahsyat melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya
mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak pernah dikenalnya atau diajarkan kepadanya
sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang tua betul-betul
bertekat hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap
putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke
samping sampai dua tombak!
“Bagus!
Kau masih bisa mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka murid
laknat!” gertak Begawan Cirakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya
yang kurus memukul bersama-sama.
Sinar
putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!
****************
6
Serangan
ganas ini membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat sampai tiga tombak ke atas
dan berseru nyaring, “Orang tua aku masih menaruh hormat pada kau! Hentikan
seranganmu!”
“Hormat
nenek moyangmu!” maki Begawan Citrakarsa beringas. Kedua tangannya kembali
melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik
menyelamatkan diri.
Wirapati
atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini.
“Begawan!”
serunya lantang, “jika kau tak hentikan senuigan, terpaksa aku mengadu jiwa
dengan kau! Harap jangan menyesal!”
Begawan
Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya.
Tubuhnya
berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di
atas bukit itu terbang bertaburan akibat keras dahsyatnya angin serangan sang
Begawan!
Pendekar
Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya
dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam dan ilmu
membentengi tubuh yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya
sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar
asap putih yang panas beracun itu!
Dalam
tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya
kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai.
Namun
memasuki jurus kedua belas walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada
sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa,
tubuhnya mencelat mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di lantai
tanah dalam pondok!
Begawan
Citrakarsa tidak menunggu sampai di situ saja. Mulutnya berkomat kamit. Tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini.
Dan
sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka, lidah api yang dahsyat menyambar laksana
topan prahara! Dalam sekejapan mata saja pondok itu tenggelam dalam kobaran
api! ‘Tamatlah riwayatmu murid terkutuk!,’ Begitu Begawan Citrakarsa membatin.
Tapi si orang tua menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok tubuh
bekas muridnya itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka
Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa
tadi telah menyebabkan luka yang cukup parah di bagian dalam tubuhnya!
Begawan
Citrakarsa sendiri diam-diam merasa heran melihat pemuda itu masih sanggup berdiri
meski dengan muka pucat pasi.
Jotosan
yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah bagian tenaga dalamnya,
namun pemuda itu tidak menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang
melintang berbuat kejahatan bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu
silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan
Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin
lekas dia berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat dia mencuci
tangan dan membersihkan diri dari rasa malu yang melekat selama ini! Karenanya
sang Begawan segera melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa
jalang yang kelaparan!
Dari
jarak beberapa meter sebelum tubuhnya sampai kehadapan si pemuda, Begawan
Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar
Pemetik Bunga saat itu tengah alirkan tenaga dalam kebagian dada yang terluka
dan atur jalan darah serta nafas. Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa
menghindar cepat sambil melepaskan pukulan “Tapak Jagat”.
Begawan
Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ itu dialah yang
menciptakan dan mewariskan kepada Wirapati, masakan kini mempan dipakai untuk
melawan penciptanya sendiri. Namun tawa mengejek si orang tua berubah dengan
keterkejutan!
Begawan
Citrakarsa sampai mengeluarkan seruan tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan
oleh pukulan ‘Tapak Jagat” itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada
jika dia sendiri yang melepaskannya! Padahal Wirapati saat itu diketahuinya
sedang terluka akibat jotosannya tadi!
Jelaslah
si pemuda benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang tokoh utama
dunia persilatan selama dia malang melintang dua tahun belakangan ini!
Si orang
tua kini tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau memperpanjang waktu! Lengking
yang menggidikkan ke luar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu.
Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing!
Lengkingan yang ke luar dari mulut Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti
sedang tubuh orang tua ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi
ujudnya, hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung menyelimuti
tubuh Pendekar Pemetik Bunga. Dan di antara angin serangan yang
bergulung-gulung itu serangan kaki tangan datang laksana hujan membadai! Inilah
ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan “Seribu Angin Seribu Badai”
Hebatnya memang bukan alang kepalang!
Tapi sang
Begawan jadi komat kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu
jotosan atau hantaman lengan ataupun tendangan kakinya yang berhasil mengenai
tubuh lawan. Malah tiba-tiba dirasakannya dia laksana menyerang gunung batu
yang menjungkir balikkan kembali setiap serangannya sedang sambaran angin aneh
terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa
tutup jalan nafas dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Dilihatnya
bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya
mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar
angin pengap yang ganas, membuat sang Begawan tidak berani kembali menyerang
atau mendekat!
Tiba-tiba
Begawan ini ingat pada ilmu “Asap Putih Pencari Raga” yang dimilikinya serta
diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat dia melentingkan kedua telapak
tangan ke muka.
Didahului
oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yang menyilaukan melesat ke
muka. Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua
lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di tubuh Pendekar
Pemetik Bunga!
Pendekar
Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencang-kencangnya dan cepat bergulingan
di tanah. Untung sekali dia telah berguling menjauh begitu rupa karena angin
pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan “Asap
Putih Pencari Raga” yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu
berdiri lalu menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang
tadi, mau tak mau keringat dingin memercik dikuduknya! Betapakah tidak! Di
tanah mata kepalanya sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah
jengkal akibat serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa
mengekeh.
“Kematianmu
sudah hampir dekat murid terkutuk!,” katanya. “Setan neraka mungkin sudah tak
sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti
dagingmu…!”
“Orang
tua gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu
nyawa padamu, jangan harap kau bisa membunuhku tanpa kau punya nyawa anjing
juga turut minggat ke neraka jahanam!” Habis berkata begitu Pendekar Pemetik
Bunga cabut bunga kuning yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di
kepalanya!
“Ooo…
bunga kertas buruk itukah yang kau andalkan untuk membunuhku?!” ejek Begawan
Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
“Kau
boleh mengejek kunyuk keriput!” serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga.
“Sebentar lagi roh busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini!”
“Cuma
bunga kertas mainan bocah-bocah siapa takutkan?!” ejek Begawan Citrakarsa dan
dengan serta merta dia kiblatkan kedua tangannya, kembali memancarkan serangan
“Asap Putih Pencari Raga.”
Kali ini
Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia berdiri menunggu. Pada saat asap
putih hendak memancar seperti tadi, dengan cepat pemuda itu menekan tangkai
bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning.
Bila asap putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah suara
berdentum yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning
berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang
tengah berkelahi gigit menggigit! Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan
ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut
orang tua sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak
terlambat karena sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu!
Dengan serta merta lengan sang Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar
Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
“Sinar
kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu pasti
konyol!”
Begawan
Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan cepat.
“Ha… ha,
jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayanganpun tak bakal sanggup memunah
racun dilenganmu itu. Begawan goblok!”
Naik
darah si orang tua meluap sampai ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning
ditangan kirinya dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal
lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan
kirinya itu!
“Kraak!”
Sungguh
menggidikkan sewaktu persendian bahu itu lepas dan daging berserabutan,
urat-urat berbusaian menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri
meremang bulu kuduknya melihat perbuatan sang Begawan!
“Jangan
kira meski aku cuma dengan satu tangan kini kau bisa lepas dari kematian,
Wirapati keparat!” kata Begawan Citrakarsa.
“Otakmu
memang sudah miring, Begawan!” kata Wirapati pula. “Tak satu kekuatanpun yang
sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!” Begawan Citrakarsa tidak menjawab
apa-apa melainkan tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di
pinggangnya.
Sebilah
keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah kini tergenggam di
tangan Begawan itu. lnilah keris “Pancasoka” yang mempunyai keampuhan luar
biasa! Jangankan daging manusia, batu karang pun jika ditusuk pasti akan hancur
lebur!
Sebagai
bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan
senjata ini. Dia meragu apakah kini bunga kertas kuningnya akan sanggup
menghadapi keris Pancasoka itu.
Karenanya
untuk menjaga segala kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan
sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya. “Kau lihat keris ini
Wirapati?!”
“Ah… tak
usah banyak omong! Majulah biar kau juga dapat kehebatan sabuk mutiara ini!”
tukas Wirapati!
Menggelegaklah
kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka.
Keris
Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana lidah api menyerang ganas.
Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas
bagian tubuh lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati
tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin
menderu-deru sedang bunga kertas ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan
sinar kuning yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati
hampir tiada daya menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan
Citrakarsa.
Ditambah
lagi dengan amukan si orang tua yang dahsyatnya bukan olah-olah.
Kalau
saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan
tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan
keris ditangan kanan orang tua itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam
puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah
terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam pada itu dia sudah berhasil pula
mendesak dan memepet lawannya sampai kedekat reruntuhan pondok yang terbakar!
Dengan
kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wirapati percepat gerakannya dan
keluarkan jurus-jurus dahsyat yang mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi
Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan
tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
“Setan
alas!” maki Pendekar Pemetik Bunga. “Kunyuk tua haram jadah,” makinya lagi
dalam hati. Dengan mempergunakan jurus “Menyapu Awan Menerjang Mega,” pemuda
ini akhirnya melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
“Pemuda
terkutuk!” teriak Begawan Citrakarsa, “Kau mau lari ke mana?!”
“Aku
tidak lari iblis tua!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan
kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang
di tangan kiri menjaga segala kemungkinan.
Saat itu
jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.
“Begawan
keparat! Mari kita buat perjanjian!” Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga ajukan
usul.
“Heh,
sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur
waktu mencari kesempatan lari…?!” ejek Citrakarsa.
“Sompret
tua, aku berjanji! Jika kau sanggup terima pukulanku, aku akan bunuh diri
dihadapanmu!”
Begawan
Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. “Bunuh diri terlalu enak buatmu, Pendekar
terkutuk!”
Si pemuda
penasaran bukan main. Tapi dia berkata lagi, “Kalau begitu kau terpaksa mampus
percuma orang tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh
silat bernama Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri…!”
Habis
berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan
kanannya diacungkan ke muka, mulut berkomat-kamit sedang ibu jari dan telunjuk
mendadak dengan cepat berobah menjadi hitam!
Teganglah
paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu dia telah mendengar
bahwa bekas muridnya yang murtad itu telah memiliki sejenis ilmu yang sangat
sakti dan berbahaya! Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya,
hendak dipakai menyerang?!
Jari
tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam
dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang paras sang Begawan semakin tegang,
sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya!
“Ilmu
Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokoh-tokoh silat!” kata si
pemuda yang tiba-tiba hentikan tertawanya, “tokoh-tokoh silat yang tolol geblek
sengaja mencari mampus!”
“Hah!”
kejut Begawan Citrakarsa. “Murid murtad, dari mana kau dapat ilmu bejat itu?!”
Wirapati
alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjang-panjang.
Jari
telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk lingkaran siap untuk
dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepat-cepat alirkan seluruh tenaga
dalamnya ke keris yang ditangan kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya
merah yang sepuluh kali menyilaukan dari semula!
Pendekar
Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. “Selusin keris Pancasoka ditanganmu,
tiada nanti kau sanggup menahan serangan jariku ini, Begawan keriput!”
“Laknat
terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!” teriak Begawan Citrakarsa. Laksana anak panah
tubuhnya melesat ke muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang
dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api
yang laksana naga raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar
Pemetik Bunga!
Yang
diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak
satupun yang bergeser membuat langkah mengelak!
Sebaliknya
hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik
ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan
prahara, menderulah gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang lidah api
keris Pancasoka!
Begawan
Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri
berteriak kaget dan melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping
sinar hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang tua ini terguling-guling di tanah.
Tubuhnya hangus hitam dan mengepulkan bau daging yang terpanggang! Bahkan keris
Pancasoka yang saat itu masih tergenggam ditangan kanannya juga hangus menjadi
hitam!
Pendekar
Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian dia
tertawa gelak-gelak menyaksikan mayat gurunya yang menggeletak tanpa nyawa
beberapa tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad
yang tiada tara kekejamannya!
Tiba-tiba
dia memutar tubuh dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat tubuh Galuh
Warsih yang masih duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak karena tadi
telah ditotoknya. Dia melangkah mendekati gadis itu.
“Dewiku,”
katanya seraya berlutut dihadapan Galuh Warsih, “kau sudah lihat bagaimana
kehebatanku bukan?”
“Pemuda
keparat, pergi! Jangan dekati aku!” teriak Galuh Warsih. Meski dia ditotok dan
tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan
mulutnya masih bisa bicara.
Pendekar
Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis.
Nafasnya
panas memburu, diburu oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya
tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!
“Kulitmu
halus sekali, Galuh.”
“Pemuda
setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku!” teriak Galuh Warsih.
“Ah…
apakah tampangku betul-betul seperti setan?” tanya si pemuda dengan
cengar-cengir. Dan dialusnya lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang karena
tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka
pemuda itu. Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh
Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya.
“Ludahmu
seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih
baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha… ha… ha…!”
“Kulit
pipimu demikian halusnya, Galuh,” kata si pemuda dan dicuilnya dagu si gadis.
“Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi…”
Habis
berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus bahu Galuh Warsih. Berdiri
bulu kuduk si gadis sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik
Bunga. Tangan yang mengelus bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di
pipi Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi
perlakuan bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Tak
sanggup lagi dia menjerit, tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah
habis ditelah keparauan!
“Gadis
manis, kenapa musti menangis?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
“Pemuda
terkutuk…,” suara Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, “aku rela dibunuh
daripada diperlakukan begini rupa…”
“Heh…?!”
Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. “Kau tahu
manis, perempuan-perempuan yang mati gadis kalau dia bisa bicara di liang
kubur, pastilah dia minta dihidupkan kembali!
Hidup
kembali untuk merasakan kenikmatan hidup antara laki-laki dan perempuan! Kau yang
hidup kepingin mati…? Lucu…. Mari dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di
situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung lebih nikmat…!”
“Pergi!
Jangan sentuh aku!” suara Galuh Warsih mengandung keputusasaan.
“Oh, kau
tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa… tak apa… di sinipun aku tak
keberatan!” Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan “breet!”
Kain
penutup dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari
tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang
menjamahi dada itu. meremas seakan-akan hendak menghancur luluhkannya!
***************
7
Sejak
kemarin senja sampai siang hari itu Kadipaten Kaliurang tampak sibuk sekali.
Senja kemarin lima orang pembantu Bupati Sentot Sastra telah dikirim ke
Kaliprogo wetan untuk menyelidiki kenapa Galuh Warsih sampai sesenja itu tidak
kunjung muncul di Kaliurang. Pada tengah malam kelima pembantu Bupati yang
menunggangi kuda itu berhenti di satu tikungan di lamping bukit. Di bawah
penerangan bintang-bintang dan bulan sabit mereka menyaksikan tebaran mayat
pengawal-pengawal Bupati yang adalah juga kawan-kawan mereka. Semuanya mati
dalam cara yang mengenaskan dan menggidikkan. Sebagian besar hancur kepalanya
atau bobol dada serta perutnya. Kereta yang menjadi tumpangan anak gadis Bupati
Sentot Sastra angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda penarik kereta
hancur keempat kaki masing-masing! Ketika seorang diantara yang lima itu
meloncat turun dan memeriksa kereta, ternyata kereta itu kosong.
“Aku
tidak melihat Tegal Ireng!” kata salah seorang dari mereka.
“Aku
juga! Di mana kusir kereta itu?”
“Mungkin
dia satu-satunya yang selamat… “
Tapi
ketika menyelidik ke tikungan yang menurun di sebelah sana mereka kemudian
menemui mayat kusir kereta itu menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa!
“Aku tak
dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau rombongan Den Ayu
Galuh Warsih dihadang perampok, mengapa kawan-kawan kita mati dalam keadaan
demikian rupa? Dan kaki-kaki kuda yang hancur itu?!”
“Aku
sendiri tak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih,”
menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg lain, “Dia diculik, itu pasti sudah!”
“Diculik
dan dirusak kehormatannya?!” menambahkan yang lain. “Kalau begitu kita harus
cari jejak-jejak si penculik!”
“Di malam
buta begini bukan pekerjaan mudah mencari jejak-jejak manusia! Lagi pula
siapapun manusia-manusianya yang melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia
berilmu Tinggi! Orang berilmu tinggi tidak terlalu bodoh untuk mau tinggalkan
jejak!”
“Lantas
kita bikin apa kalau sudah begini?!”
“Kembali
saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot?”
“Kalau
kau mau disemprot, kembalilah sendiri!”
Sepi
beberapa lamanya. Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima orang itu menggerinding,
ditambah lagi dengan tiupan angin bukit di malam buta yang dingin itu.
“Sebaiknya
kita teruskan saja perjalanan ke Kaliprogo wetan,” mengusulkan seseorang.
Tapi tak
ada seorangpun yang menerima dan menyetujui usul itu.
Kelimanya
kemudian mencari tempat yang baik, agak jauh dari tikungan jalan, menyalakan
api unggun, berkemah di situ menunggu sampai pagi.
Esok
paginya, dengan sedapat-dapatnya kelima orang itu memperbaiki kereta yang
rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang berjumlah dua belas ditumpuk
sebisa-bisanya di dalam dan di atas atap kereta. Dua diantara lima pembantu
Bupati itu duduk di depan kereta, satu memegang kendali. Kuda keduanya dipakai
sebagai kuda-kuda penarik kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang
menemui ajal itu tak seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan
kelima orang itu dengan membawa kereta yang ditumpuki dua belas mayat yang
mengerikan tentu saja menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan
seluruh Kaliurang!
Wajah
Bupati Sentot Sastra membeku mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia melangkah
mundar mandir. Kepanikan yang amat sangat membuat dia tak sanggup membuka
mulut! Sebaliknya di dalam kamar istrinya terdengar menangis meraung-raung.
“Mana
anakku! Mana anakku!” pekik ratap perempuan itu. “Galuh! Galuh Warsih, di mana
kau anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku Tuhan”
Tenggorokan
Bupati Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora.
Kematian
kedua belas pengawal Kadipaten itu membuat kepalanya serasa mau pecah oleh
luapan darah! Di samping itu yang membuat dia tak bisa diam dan seperti mau
gila ialah karena tidak mengetahui di mana anak gadisnya saat itu atau apa yang
telah terjadi dengan Galuh Warsih! Melihat kepada kenyataan yang terjadi, pasti
nasib Galuh Warsih tidak lebih baik dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada
siapakah kemarahan yang meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak
dilampiaskannya?!
Laki-laki
ini melangkah terus mundar mandir! Setahunya sekitar perjalanan antara
Kaliurang dan Kaliprogo wetan tak ada gerombolan rampok jahat! Lantas siapakah
yang telah melakukan kebiadaban terkutuk itu?! Siapa yang menculik anak
gadisnya? Anak tunggal satu-satunya yang menjadi kesayangan tambatan hati?! Dan
sementara itu telinganya tiada henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan
saja menyayat hati tapi juga membuat darah di dalam tubuhnya semakin bergejolak
mendidih!
Di
langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat
masing-masing sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas seekor burung
rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya. Mungkin karena luapan amarah yang
tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa dilampiaskan, ditambah pula
mendengar ratap tangis istrinya di dalam, maka sewaktu melawati arca itu untuk
kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya!
“Braak!”
Arca
Batara Wisnu hancur berkeping-keping! Itulah ilmu pukulan “Genta Kematian.”
Kalau arca batu yang keras itu sekali pukul saja sanggup dibikin hancur
berkeping-keping, maka jika dipukulkan kepada manusia tentulah tak dapat
dibayangkan bagaimana akibatnya!
Sementara
itu, para pembantu Sentot Sastra yang berdiri dilangkan Kadipaten itu
masing-masing sama merasa takut dan cemas. Khawatir mereka kalau-kalau dalam
amarah gelap mata seperti itu, diri mereka pula yang bakal ketiban pulung
dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba
laksana halilintar di siang hari layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua
pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk
bersiap-siap.
“Kita
akan ulangi lagi penyelidikan!” teriaknya.
“Kau
Darjakumara, bersama enam orang lainnya menyelidik kejurusan Kaliprogo wetan
den sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke timur! Kalian harus berhasil mencari
jejak manusia yang telah melakukan kebiadaban ini! Harus berhasil membekuk
batang lehernya! Siapa yang kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan
kubunuh! Sekarang siapkan kudaku!”
Seorang
pembantu Sentot Sastra segera berlalu untuk menyiapkan kuda sang Bupati sedang
yang lain-lainnya segera pula meninggalkan langkan Kadipaten guna mengambil
kuda masing-masing dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam
perjalanan mencari manusia biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing
menyadari bahwa pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang singkat,
tapi memakan waktu berhari-hari.
Selang
beberapa ketika lima belas penunggang kuda ditambah dengan Sentot Sastra
sendiri sudah berkumpul di halaman Kadipaten.
Mereka
siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan.
Bupati
Sentot Sastra menyapu paras kelima belas orang anak buahnya itu lalu berkata,
“Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti temukan bangsat itu dan seret
dia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah
kembali! Kalian menger….”
Bupati
Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya kini tidak lagi
menyaputi paras pembantu-pembantunya satu demi satu melainkan dialihkan ke
lereng bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra seorang yang berilmu cukup
tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan tempatnya berada saat itu terpisah
hampir dua ratus tombak namun sepasang telinganya lapat-lapat mendengar suara
siulan aneh yang menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!
Lima
belas pasang mata pembantu-pembantu Sentot Sastta sama dialihkan pula ke lereng
bukit di sebelah selatan itu. Dan dikejauhan kelihatanlah sesosok tubuh
laki-laki berlari sangat cepatnya laksana angin! Yang anehnya ialah pada pundak
kiri laki-laki ini terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti
puluhan kati beratnya!
Sewaktu
semua orang itu pertama kali melihat manusia yang berlari cepat tersebut, jarak
mereka demikian jauhnya namun dalam beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu si
manusia pemanggul peti sudah berada di halaman Kadipaten dihadapan Bupati
Sentot Sastra dan pembantu-pembantunya!
Ternyata
manusia pemanggul peti kayu itu seorang pemuda berambut gondrong, bertampang
keren dan punya pandangan mata yang tajam menyorot. Peti yang dipundaknya
beratnya puluhan kati tapi dia berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak
ada di pundaknya! Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu
siulan berhenti maka dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat
menyebarkan bau busuk yang seperti mau meranggas bulu hidung, membuat nafas
sesak dan mau muntah. Lima belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan segera
menutup hidung sedang Sentot Sastra sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi
tutup jalan pernafasannya.
Si pemuda
rambut gondrong yang tak dikenal menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali.
Sikapnya ini membuat Bupati Sentot Sastra kehilangan kesabarannya dan hendak
mendamprat. Namun sebelum mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara
bertanya.
“Apakah
aku berhadapan dengan Bupati Kaliurang yang bernama Sentot Sastra?”
“Jawab
dulu kau siapa?!” sentak sentot Sastra.
“Siapa
aku tidak penting, “ katanya. “Aku datang membawa peti ini untukmu.”
“Peti
apa?! Apa isi peti itu!”
Si pemuda
menghela nafas dalam dan rawan. “Peti ini membawa berita buruk bagimu, Bupati.”
“Jangan
bicara berbelit-belit! Turunkan peti itu, aku mau lihat isinya!”
Si pemuda
garuk lagi kepalanya yang berambut gondrong lalu dengan sikap acuh tak acuh
turunkan peti kayu yang berat dari pundaknya.
Bersamaan
dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda.
Dia maju
mendekati peti. Sebelum melangkah lebih dekat dia tiba-tiba ajukan satu
pertanyaan, “Apakah seseorang menyuruhmu mengirimkan peti ini padaku?!”
Si pemuda
tertawa aneh dan angkat bahunya.
Sentot
Sastra penasaran dan gusar sekali melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia
berpaling pada anak buahnya den memerintah, “Buka peti itu!”
Yang
diperintah turun dari kudanya. Dengan masih menutup hidung karena tak tahan
dilanda bau busuk yang amat sangat itu dia melangkah mendekati peti kayu lalu
dengan tangan kiri yang gemetaran dibukanya kayu penutup peti! Begitu peti
terbuka bau busuk yang lebih dahsyat menyambar hidung. Ketika memandang ke
dalam peti kayu itu semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan mata
masing-masing melotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya!
Di dalam
peti itu terbujur sesosok tubuh manusia bertelanjang bulat. Kulitnya sudah
membiru dan memar. Di beberapa bagian kelihatan bekas penganiayaan. Dan manusia
yang sudah menjadi mayat busuk ini tiada lain adalah Galuh Warsih, anak kandung
Bupati Sentot Sastra sendiri! Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
“Kurung
dan cincang sampai lumat manusia ini!”
Begitu
perintah terdengar begitu lima belas golok panjang yang berkilauan ditimpa
sinar matahari dicabut dari sarungnya! Sentot Sastra sendiri sudah lebih dahulu
melompat ke muka dengan senjatanya yaitu sepasang pedang ungu!
Melihat
dirinya diserang mendadak begitu rupa, pemuda rambut gondrong segera berseru.
“Tunggu!
Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan!”
“Iblis
bermuka manusia biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti!”
teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu tujuh belas senjatapun berkiblatlah
menyerang kesatu sasaran yaitu tubuh pemuda berambut gondrong!
***************
8
Pemuda
berambut gondrong membentak gusar.
“Manusia
tolol! Geblek sedeng! Orang datang baik-baik. Malah disambut dengan ujung
senjata! Gila betul!”
Makian
ini tentu saja membuat Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi
semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda asing itulah yang
telah membunuh dan merusak kehormatan Galuh Warsih!
Tujuh
belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu
dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat!
“Manusia-manusia
tolol! Apakah kalian tidak mau hentikan serangan dan beri kesempatan aku kasih
keterangan?!”
“Anjing
kurap, mampuslah!” damprat Sentot Sastra dan sepasang pedangnya membacok dari
dua jurus yang berlawanan sedang lima belas golok anak buahnya saling berlomba
mencari sasaran di tubuh si pemuda!
“Manusia-manusia
tak tahu diri! Jika kalian tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan menyesal!”
Si pemuda
membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan aneh yang menusuk dan
menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu pula tubuhnyapun lenyap dari
pemandangan. Sepasang pedang Sentot Sastra dan lima belas golok anak buahnya
membabat angin kosong, saling bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara
nyaring, bunga-bunga api bergemerlapan!
Mendengar
suara ributnya bentakan-bentakan, mendengar suara berkecamuknya senjata di
halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati Sentot Sastra terkesiap, dia
hentikan tangisnya dan dengan senggak-sengguk lari ke langkan. Betapa
terkejutnya sewaktu menyaksikan suaminya dan lima belas orang pembantu
Kadipaten tengah mengeroyok seorang pemuda berambut gondrong tak dikenal yang
hanya bertangan kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari guna mengelakkan
serangan-serangan yang sangat ganas itu!
Belum
habis herannya Karsih Wardah melihat pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua
matanya yang telah sembab karena menangis membentur pada sebuah peti besar yang
terletak di tanah. Sementara itu lobang hidungnya dirambas oleh bau busuk yang
tak dapat dipastikan dari mana asalnya!
Sentot
Sastra dan anak-anak buahnya mana mau ambil peduli peringatan si rambut
gondrong malah dia memerintahkan agar menggempur pemuda rambut gondrong itu
lebih hebat lagi!
“Dasar
bodoh, dasar geblek buta mata!” maki si pemuda. Sambil berguling di tanah
disambarnya papan besar penutup peti. “Ayo manusia-manusia keblinger, majulah!”
Dan ketika Sentot Sastra bersama pembantu-pembantunya masih juga kalap
menyerang maka si pemuda lemparkan penutup peti itu ke arah mereka. Sentot
Sastra cepat melompat ke samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat
mengelak terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka dilabrak penutup peti.
Dengan
bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa si pemuda rambut gondrong berkata
mengejek.
“Masih
buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot Sastra
bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan suara menggeram.
Bupati
Kaliurang ini berteriak keras, “Bentuk barisan roda maut!”
Maka
kedua belas orang anak buahnya segera bergerak cepat membentuk lingkaran.
Sekali Bupati itu berteriak memberi isyarat maka kedua belas orang itupun
bergeraklah berlari lari cepat dalam lingkaran yang makin lama makin menciut
sedang senjata masing-masing membabat dari dua beias jurus, diseling dengan
tikaman atau tusukan dan diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot
Sastra.
Pakaian
putih dan rambut gondrong si pemuda berkibar-kibar oleh sambaran senjata. Debu
dan pasir beterbangan ke udara sedang barisan roda maut semakin menciut juga!
“Orang
tolol memang susah dikasih pelajaran kalau tidak digebuk!”
“Berbacotlah
sepuasmu manusia laknat! Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai berai!”
teriak Sentot Sastra.
Baru saja
ia habis berkata begitu si pemuda bersiut nyaring.
Tubuhnya
berkelebat dua kali. Suara seperti orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan
sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma dirinya saja kini yang sendirian
mencak-mencak mengirimkan serangan maka laki-laki ini segera melompat ke luar
dari kalangan pertempuran!
Kemudian
bila dilayangkannya pandangannya berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya!
Kedua
belas pembantunya berdiri laksana patung tak bergerak-gerak karena
masing-masing mereka sudah kena ditotok oleh pemuda yang sangat lihai itu!
Nyatalah
bagi Sentot Sastra bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya dan bukan
tandingannya. Kalau saja dia ingin mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah
tidak sukar bagi pemuda itu untuk melaksanakannya!
Namun
gelap mata karena menyangka keras bahwa pemuda itulah yang menjadi pembunuh
anak kandungnya serta menamatkan pembantu-pembantunya di tikungan jalan antara
Kaliurang dan Kaliprogo wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah
dilihatnya lari menghambur den menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih
terbujur dan berteriak-teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas
anak buahnya ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan,
namun Sentot Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk dapat
membunuh menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya disaat pemuda itu berdiri
tolak pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan
sepasang pedang ungunya.
Permainan
sepasang pedang Bupati Kaliurang itu memang patut dipuji. Apalagi kini dia
mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang sangat diandalkannya. Dua gulung sinar
ungu yang laksana sepasang naga membungkus sekujur tubuh pemuda rambut gondrong
dari atas ke bawah!
Namun
agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang Bupati, walau
bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-tipu ilmu silatnya tetap saja dia tak
dapat menghajar si pemuda! Jangankan menebas atau membacok tubuh lawannya,
menggores atau merobek bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!
“Bupati
Sentot Sastra!” seru si pemuda. “Apakah kau masih gelap mata mau meneruskan
pertempuran ini?!”
“Iblis
neraka tutup mulut! Sebelum kutebas kau punya batang leher, sebelum kucungkil
kau punya jantung dan hati, pertempuran ini sampai kiamatpun tak akan
kuhentikan!”
“Hebat
sekali nyalimu!” memuji si pemuda sejujurnya namun mimiknya melontarkan senyum
sinis! “Tapi aku dan kau tiada permusuhan, mengapa musti bertempur begini
rupa?!”
“Tidak
ada permusuhan bapak moyang setanmu!” bentak Sentot Sastra penuh beringas!
“Anakku
kau rusak kehormatannya, kau bunuh!”
“Tobat…
tobat!”
Si pemuda
pukul-pukul keningnya dengan telapak tangan kiri. “Justru aku datang ke sini
untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui di bukit! Eh, malah-malah aku yang
dituduh jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa! tobat!”
“Tak usah
membual atau jual mulut!”
“Siapa
membual, siapa jual mulut?!”
“Sesudah
melakukan perbuatan terkutuk, kau pura-pura berbuat baik dan cuci tangan huh?!”
“Buset!”
Si pemuda garuk-garuk kepata dan mengomel. “Kalau tahu bakal ketiban pulung
begini, tidak nanti aku mau susah-susah bawa mayat kau punya anak ke mari,
Bupati!”
“Sudah!
tak perlu banyak rewel! Pokoknya kau harus serahkan batang lehermu!” teriak
Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali dia menyerbu si pemuda.
Yang
diserang geleng-gelengkan kepala.
Sewaktu
pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap
membabat putus tubuh si pemuda menjadi tiga kutungan maka si pemuda geser
kakinya satu langkah. Serentak dengan itu kedua tangannya bergerak cepat hampir
tak kelihatan, memukul badan kedua pedang Sentot Sastra berseru keras, ia
merasa terkejut sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan
mental dari tangannya!
Sebaliknya
si pemuda tertawa gelak-gelak.
“Kalau
masih punya niat main amuk-amukan, silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati!”
Mengelam
muka Sentot Sastra mendengar ejekan yang sekaligus merupakan tantangan itu.
Karena malu dia tidak ambil kedua senjata itu melainkan kerahkan tenaga
dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung-ujung jari!
“Heemm…
pukulan apakah yang kau hendak lancarkan?” mencemooh si pemuda!
Sentot
Sastra merutuk dalam hatinya.
“Meski
kesaktianmu setinggi langit, jangan harap kau sanggup menerima pukulan Genta
Kematian-ku ini!” kata Bupati Kaliurang itu pula.
Dengan
menyebutkan nama ilmu pukulan yang diyakininya selama tujuh tahun itu dia
berharap si pemuda akan kaget dan menciut nyalinya.
Tapi apa
lacur! Malah si pemuda tertawa bekakakan ketika mendengar nama ilmu pukulannya
itu!
“Setahuku
genta adalah semacam klenengan yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau!
Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kau berguru pada seekor sapi? Ha… ha…
ha…!”
Kekalapan
Sentot Sastra bukan alang kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua lengannya
bergetar dan terpentang. Sekejapan mata kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan
kilat setinggi tiga tombak.
Sewaktu
melewati si pemuda dia kirimkan dua tendangan sekaligus! Si pemuda merunduk dan
pada waktu itulah gerakan lihai yang mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang
sempurna, Sentot Sastra balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala
lawan!
Si pemuda
yang merasakan angin pukulan sangat keras menerpa belakang kepalanya bersuit
nyaring, rundukkan kepala dan secepat kilat putar tubuh!
Muka
Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu mendadak sontak menjadi pucat pasi
sewaktu lima jari tangan kanan pemuda lawannya laksana japitan baja, sekaligus
mencekal kedua lengannya sehingga tak sedikitpun dia bisa berkutik! Dan bukan
itu saja, dari jari-jari tangan itu dirasakannya aliran aneh yang sejuk dingin
menjalar ke lengannya, terus ke bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang
membakar dan menggelorai darahnya kini menggendur. Pikiran jemih kini muncul
dibenaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat dingin memercik dikeningnya.
Akhirnya Sentot Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah sewaktu pemuda itu
lepaskan cekalan pada kedua lengannya!
“Orang
muda, siapakah kau sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak keras
dan tidak bernada marah lagi seperti tadi-tadi.
Si pemuda
tertawa.
“Aku
datang ke sini bukan untuk mengobral nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi
untuk menolong mengantarkan mayat anakmu.”
Sentot
Sastra memutar kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di
tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-pembantunya sampai itu saat masih
berdiri mematung dalam keadaan tertotok!
Sang
Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama dia menatap paras pemuda
itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu kini dapat dilihatnya sifat
kesatria gagah perkasa dan kejujuran.
“Orang
muda, kau betul-betul tidak melakukan perbuatan terkutuk terhadap anakku?”
Si pemuda
gelengkan kepala.
“Lantas
siapa yang melakukannya?”
Si pemuda
angkat bahu. “Akupun tengah mencarinya! Dunia persilatan kini dihebohkan oleh
munculnya seorang pendekar terkutuk berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning.
Nama aslinya aku tidak tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”
“Pendekar
Pemetik Bunga!” mengulang Sentot Sastra. “Yaaa… aku pernah dengar tentang
manusia durjana itui Tapi dulu dia cuma malang melintang di barat, kini
tahu-tahu muncul di sekitar sini…!”
“Kunyuk
lapar perempuan begitu, di mana ada perempuan cantik pasti di situ dia muncul
unjuk tampang bikin kejahatan!” menyahuti si pemuda.
Perlahan-lahan
Sentot Sastra berdiri kembali. Kedua tangannya mengepal.
“Aku akan
cari bangsat itu sampai dapat dan habiskan nyawanya!”
Pemuda
rambut gondrong naikkan kedua alis matanya.
“Jangankan
kau, gurunya sendiri yang jauh lebih sakti sanggup dibunuhnya!”
“Lantas
apakah aku akan berpangku tangan melihat anakku dibunuh dan dirusak begini
rupa?!” tanya Sentot Sastra hampir berteriak.
“Aku
hargai keberanianmu, Bupati,” memuji si pemuda. “Tapi keberanian yang hanya mengendalikan
nafsu besar kekuatan nihil, adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia
ditangannya!”
“Kematian
bukan apa-apa bagiku! Semua manusia nantinya akan mati juga…”
“Terserah
padamu, Bupati. Aku cuma kasih nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada harganya.”
Sentot Sastra termangu-mangu beberapa lamanya.
Tiba-tiba
dia berseru sewaktu dilihatnya pemuda di hadapannya putar tubuh hendak berlalu.
“Orang
muda, tunggu! kau mau ke mana?”
“Aku
masih ada urusan lain. Sampai jumpa Bupati.”
“Kau
masih belum terangkan namamu.”
Pemuda
itu tertawa lagi. Begitu murah tertawa baginya. “Aku sudah bilang namaku tidak
penting.”
“Tenting
atau tidak penting itu bukan urusan. Tapi padaku kau tetap harus kasih tahu.
Dan pembantu-pembantuku ini kau harus lepaskan totokannya kembali!”
“Pijit
saja tengkuknya satu-satu, pasti totokannya lepas,” memberi tahu si pemuda.
“Sudahlah,
kalau kau penasaran lihat saja bagian kepala dari peti kayu itu. Di situ
tertulis namaku!” kata si pemuda pula. Cepat-cepat Sentot Sastra melangkah ke
bagian kepala peti di dalam mana mayat anaknya terbujur. Yang ditemui Bupati
ita di sana bukan tulisan atau huruf yang membentuk nama, melainkan pada kayu
di kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212.
“Dua satu
dua!” seru Sentot Sastra kaget. “Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212.”
Dipalingkannya
kepalanya.
Kejutnya
bertambah-tambah. Pemuda tadi sudah tak ada lagi di tempat itu! Sentot Sastra
geleng-gelengkan kepalanya tiada henti.
Tidak
sangka dia akan berhadapan dengan pendekar bersifat kocak yang kadangkala
seperti orang sinting, tapi bertampang keren dan berhati jujur, penolong
manusia-manusia yang tertindas, penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat
golongan hitam!
“Pantas,
pantas… kiranya dia. Pantas mana aku sanggup menghadapinya!” kata Sentot Sastra
pula dan dia melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.
*****************
9
Dua puluh
tahun yang silam….
Tak
berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur.
Kebun sayur mayur terbentang menghijau di mana-mana.
Bila
seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka
tampaklah pemandangan yang sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas
pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar
juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari
dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma
ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka
secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa
masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima
tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang
setinggi tiga tombak!
Bangunan
atau gedung apakah sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan
siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu
kini diketuai oleh seorang Biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah
lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia
merupakan seorang gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya
itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang
dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya
sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.
Keputusasaan
karena patah hati itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya
berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah
dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan
kesengsaraan bathin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun
dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar
tempat kediamannya dan dari jauh-jauh datang melamar serta tergila-gila
kepadanya!
Bagi
Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta
suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan
karena patah hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi
sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah
berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak
kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan
ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah menjadi “perawan tua”, akhirnya Wilarani
mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat
kelahirannya.
Dia pergi
tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya
sudah demikian menyedihkan, pakaian compang-camping dan tubuh kurus
sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu
masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus
kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan
pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan
kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang
oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret
kesarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu
beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wllarani,
memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu
semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta
kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak
lama kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk
menjijikkan masuk ke dalam kamar itu!
Si kepala
rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya
bibirnya dengan ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung
kembang kempis.
“Ternyata
kau seorang perempuan jelita! Ahh… kecantikanmu tidak kalah dengan
gundik-gundikku yang paling cantik disini!”
Kepala
rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta
muka pucat pasi di sudut kamar.
“He… he…
kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap!
laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!”
Kemudian
peluk dan ciumanpun datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu
menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga
terjerongkang ke tepi tempat tidur!
Kepala
rampok itu duduk di tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari
ke pintu tapi pintu itu dikunci!
“Perempuan,”
kata si kepala rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau
gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu
biar aku bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki
durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dad sini!”
Si kepala
rampok tertawa gelak-gelak.
Dia
bangkit dari tempat tidur.
“Kalau
tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya
Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki
seluruh pakaian yang melekat ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit
dan menjerit!
Mendadak
di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti
dan dibarengi dengan suara beradunya senjata!
Belum
habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada
bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar
dan sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk
ternyata seorang nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya
sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis
tua dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?!” bentak si kepala
rampok dengan beringas!
Si nenek
tertawa melengking-lengking.
“Iblis
tua dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh
setan-setan neraka untuk minta kau punya jiwa!”
Dan habis
berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok
terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata
ampuh yang dapat melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya!
Sambil
membentak garang laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang
satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek
ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang
dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking
lagi, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin
kosong!
Kejut si
kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus
“Ekor Naga Menebas Gunung!” Selama ini tak satupun manusia yang selamat dad
serangaonya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan
mudah dan sambil tertawa melengking-lengking!
Belum
lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk
laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke
belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu
lawan memburu terus ke mukanya!
Terdengar
jeritan laki-laki itu!
Seluruh
mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah
buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong
laksana srigala haus darah.
Kedua telapak
tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai,
menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan
kau lekas ikut!” berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani
yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti
kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang
berlari mendekati kamar itu!
“Ayo
lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kau siapakah? A… aaaku….”
“Perempuan
geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar
tubuh Wilarani, memondangnya dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi
begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok
sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan!
“Ini dia
kunyuk tua berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!”
teriak rampok yang terdepan!
Beberapa
orang dibarisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak
kaget! “Anjing tua ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau
mau mampus cepatlah maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya
yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka!
Lima rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran
darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah
menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata
masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh
Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan
diri alias pingsan!
“Rampok-rampok
bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan
tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya
sekeliling tubuh!
Maka
susul menyusullah suara pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak
punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya
manusia tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil
langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu
sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua
perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui
kematiannya!
Sewaktu
Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si
nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang,
duduk asyik menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan
sepotong roti.
Wilarani
bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya
ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap
tepinya.
Si nenek
terus juga bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek…”
“Akh… kau
sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani
terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Darimana perempuan tua ini tahu
dirinya. Sedangkan dia sendiri baru kali ini bertemu muka.
“Kau
tidak perlu heran bila aku mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu
dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar.
Wilarani
memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang
sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat
besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali
pandangannya pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan
melangkah kehadapan si nenek.
Dihadapan
nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek,
meski aku tidak kenal kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk
dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya…”
Si nenek
tertawa gelak-gelak. Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti
yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar
sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan
kepadanya.
“Kau
duduk saja kembali ke pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani
menurut dan duduk di tepi tempat tidur.
Karena si
nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah
Wilarani. “Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di
mana aku berada saat ini?!”
Si nenek
habiskan dulu rotinya baru menjawab.
“Siapa
aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa
terlengking-lengking.
Wilarani
tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh
misterius.
Dalam
pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering
bertanya seperti kau. Siapa aku?! siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka
aku sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus,
tanya terus! Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala
botak!” Kembali si nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak
mau Wilarani ikut pula tertawal “Ha…,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga
tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa awet muda! tapi aku yang sudah
tua semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani
tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek
akan marah! Terhadap orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian
membathin Wilarani.
“Wilarani!”
berkata si nenek sesudah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kau berada saat ini
pun, kau tak perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau
harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah
Wilarani.
“Nenek,
apa maksudmu…?!” tanya Wilarani.
Lama si
nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya
seakan-akan pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama
dua puluh tahun itu kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak
boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar
pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap
selama empat puluh tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah
paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membathin jika si nenek
membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangen
perampok-peramok itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal
selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar
pantangan akan disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh
aneh! Aneh tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti
kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi
nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila
dia membantah, dia akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah,
ini berarti pada saat dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh
tahun!
“Aku tahu
apa yang kau pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kau juga
musti tahu banyak hal tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang
kau ketahui tentang dunia luar, tentang dunia persilatan?!”
“Banyak
nenek….”
“Coba
sebutkan!”
Wilarani
bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak
pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran
itu penuh dengan tokoh-tokoh persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia
bukanlah seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek
menyeringai.
“Kau
bilang tahu banyak! Tapi kau tidak dapat menuturkannya!” kata si nenek kepala
botak yang sampai saat ini masih belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu
Wilarani, dunia yang sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti
Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah
lenyap tak digubris manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran
terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan,
penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia
persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau
golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan
yang bercita-cita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan
hitam mempunyai tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih!
Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada
pembunuhan. Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk
yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan
atau kerajaan, atau yang bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja
melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian
banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan
kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya
menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan
tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum
laki-laki telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil.
Golongan hitam telah membuat keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia
rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok
dan besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di
dunia ini demi keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala
macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum
laki-laki!
Melihat
kepada kenyataan itu semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak
selembar rambutpun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah
saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan
kaum laki-laki yang telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun
sebagai penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia
yang aman tenteram dan damai!”
Lama si
nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi
nenek,” berkata Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek
tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.
“Kenapa
tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi
dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki
ilmu kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris
atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki
kalau tidak dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan
begitu…?!” Si nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani
tak dapat pula menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan.
“Memang…
memang untuk melaksanakan dan mewujudkan cita-cita itu tidak mudah, memakan
waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat
wanita golongan putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak
bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia
menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan
dan ditakuti lawan! Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia
persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku
menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung.
Sifatnya
sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar
si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng
itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek
kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana?
Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap
empat puluh tahun di bawah tanah?!”
Wilarani
merenung lama sekali.
Hidupnya
di dunia luar sana sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti
apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Orang tua
sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan
kejahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak
kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani
kehilangan kepercayaan pada laki-laki!
Baginya
laki-laki tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian
melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan
orang baik-baik, bangsawan kaya raya!
Diingatnya
pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya!
Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut
bersuara.
“Baiklah
nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!”
Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa
lamanya di atas kursi goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kau akan
kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kau ku angkat
menjadi muridku! Ku akan didik kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas
dan rajin, punya kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima
puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani
berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek,
aku haturkan terima kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi
mengambil aku jadi muridmu.”
Nenek itu
manggut-manggut di kursi goyangnya.
Dia
bertepuk tiga kali.
Pintu
kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup
(berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang
tua.
“Biarawati
Sembilan belas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan
pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati
baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik
Eyang,” menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian
berlalu.
Si nenek
yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua
kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga
mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti
Biarawati Sembilanbelas dia menjura dan berkata,
“Biarawati
Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”
Dan si
nenek berkata, “Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan
makanan untuk kawanmu yang baru ini!”
Biarawati
Tigapuluhdua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah
menjura dia segera pula meninggalkan kamar itu.
****************
10
Dua puluh
tahun sesudah Wilarani dating pertama kali di Biara Pensuci Jagat…
Kamar itu
diselimuti kesunyian. Hampir tak ada perbedaan dengan masa-masa di duapuluh
tahun yang silam. Hanya dua manusia yang ada di dalam kamar itulah yang
kelihatan banyak berubah.
Nenek
kepala botak kelihatan semakin tua. Kedua mata serta pipinya mencekung,
keriput-keriput ketuaan sukar untuk dihitung berapa banyak menggores di
mukanya. Umurnya sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Namun suara dan tutur
katanya tetap keras dan tegas dan pandangan matanya setajam ujung pedang!
Dihadapan nenek tua kepala botak ini duduk seorang permpuan berusia setengah
abad. Rambutnya hampir putih semuanya. Pada parasnya juga jelas kelihatan
gurat-gurat ketuaan. Namun gurat-gurat ketuaan ini tiada sanggup memupus
kecantikan yang dimilikinya sejak masa mudanya.
“Muridku
Wilarani,” berkata si nenek. “Dua puluh tahun sudah berlalu, dua puluh tahun
sudah lewat. Rasanya cepat sekali. Kalau tidak melihat kepada tampang-tampang
dan perubahan yang terjadi di diri kita rasanya masa dua puluh tahun itu
seperti hari kemarin saja. Dua puluh tahun mendidikmu dan memberi banyak tugas
padamu tidak mengecewakanku! Sebagian besar dari cita-cita yang kita rintis
sudah kelihatan buahnya. Telah banyak tokoh-tokoh golongan hitam dan
rampok-rampok rimba hijau yang kita musnahkan. Cuma sayang beberapa tokoh silat
perempuan golongan putih yang kita harapkan bantuannya hilang lenyap tiada
kuketahui. Entah mati, entah sembunyi atau bertapa mempersuci diri! Eyang Sinto
Gendeng, itu jago perempuan yang memiliki kesaktian luar biasa ketika
kusambangi ke Gunung Gede, tak ada di pertapaannya! Tapi kita jangan kecewa.
Cita-cita kita untuk meneteramkan dunia ini, untuk mensucikan jagat milik Tuhan
ini agar kembali pada keadaan sewaktu semulanya dulu, harus kita laksanakan!
Beberapa
tokoh silat perempuan sudah sepakat dengan kita untuk mengambil alih penenteram
dunia ini dari tangan laki-laki. Mereka diantaranya Dewi Kerudung Biru dan Dewi
Lembah Bulan Sabit.
Sekalipun
aku tak ada nanti usaha dan cita-cita kita musti terus dijalankan karena selama
dunia ini berputar, selama itu pula kejahatan dan kekacaubalauan berlangsung!
Sekarang jumlah biarawati yang ada di dalam Biara Pensuci jagat ini sudah
berjumlah seratus orang. Seratus satu dengan kau dan seratus dua dengan aku.
Lima puluh dari biarawatibiarawati itu adalah angkatan tua yang seangkatan dengan
kau tapi dibandingkan dengan kau, ilmumu jauh lebih tinggi. Kau sudah
mewariskan seluruh ilmuku, Wilarani. Yang lima puluh lainnya adalah biarawati
dari golongan baru, yang masih muda-muda. Kau dan kawan-kawanmu harus ajarkan
ilmu kesaktian aku pernah ajarkan pada mereka.
Bila tiba
saatnya mereka harus disebar di seluruh pelosok guna menjalankan tugas yang
dibebankan oleh cita-cita kita bersama!”
Si nenek
kepala botak memandang ke langit-langit kamar. Ketika kepalanya diturunkan
kembali dia bicara lagi maka suaranya bernada rawan.
“Wilarani,
hari ini sudah tiba saatnya bagiku untuk menerangkan siapa namaku.”
Wilarani
memandang serius pada gurunya.
“Selama
ini kau memanggil aku dengan sebutan nenek. Biarawati-biarawati lainnya
memanggilku dengan sebutan Eyang, namun siapa aku tetap tak satupun dari kalian
yang tahu!” nenek ini terbatuk-batuk beberapa kali baru meneruskan.
“Namaku
Supit Jagat. Nama Supit Jagat ini bukan ibu atau bapakku yang memberikannya
tapi guruku sendiri jadi, nenek guru bagimu! Guruku itu sendiri namanya adalah
Supit Jagat pula! Ketika dia mau meninggal dunia dia memberi pesan agar namanya
itu kuambil sebagai nama..! sebelumnya aku tiada bernama dan beliau cuma
memanggilku dengan sebutan “upik.” Dan beliau juga berpesan agar jika aku mempunyai
murid nanti, maka murid itu harus menukar namanya dengan Supit Jagat! Di
samping aku, Biara Pensuci Jagat ini ada seratus orang muridku. Aku tidak
membedakan mereka dengan kau! Tapi dari kenyataan kau adalah murid yang paling
cerdas, rajin, patuh serta yang paling tinggi ilmunya! Karena itulah nama Supit
Jagat kuwariskan kepadamu dan musti kau pakai mulai detik ini juga. Kau
mengerti?”
Wilarani
mengangguk.
Supit
jagat atau nenek berkepala botak itu berdiri dan melangkah ke dinding di mana
tergantung sapu lidi yang merupakan senjatanya yang sangat sakti. Diambilnya
sapu itu lalu dia melangkah ke hadapan Wilarani.
“Muridku,
seikat sapu lidi ini bernama Sapu Jagat. Ini merupakan senjata sakti yang
merupakan salah satu senjata utama diantara senjata yang termashyur di dunia
persilatan! Senjata ini kuwarisi dari guruku dan hari ini kuwariskan kepadamu!”
Tentu
saja Wilarani hampir tak percaya mendengar ucapan gurunya itu.
“Ayo,
terimalah!,” kata Supit Jagat yang berkepala botak.
Dan Supit
Jagat yang berambut putih (Wilarani) ulurkan kedua tangannya menerima seikat
sapu lidi itu. Sewaktu telapak tangannya menyentuh sapu lidi itu Wilarani
merasakan adanya satu keanehan. Pada kedua telapak tangannya menjalar hawa yang
sangat sejuk, terus ke lengan, terus menjalar ke seluruh kakinya. Dan pada
detik itu pula tubuhnya terasa ringan laksana mengapung di awan! Sapu Jagat
ternyata telah memberikan satu kekuatan baru yang hebat pada Wilarani sewaktu
kedua tangannya menyentuh senjata itu!
“Terima
kasih, guru,” kata Wilarani dengan penuh khidmat dan menjura sampai beberapa
kali.
Si nenek
tertawa perlahan. Ada kelainan pada tertawanya kali ini.
Paras
yang tua keriput dimakan umur sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan,
sepasang mata yang biasanya menyorot tajam kini kelihatan sedikit redup.
Tiba-tiba
Eyang Supit Jagat membentak.
“Sekarang
tutup kedua matamu rapat-rapat, Supit!”
Supit
Jagat atau Wilarani segera menutup kedua matanya sebagaimana yang
diperintahkan. Dalam dia berpikir-pikir apa yang hendak dilakukan gurunya tiba-tiba
laksana petir menyambar, satu tamparan keras melanda pipinya sebelah kiri! Tak
ampun lagi Wilarani rebah ke lantai tiada sadarkan diri!
Sewaktu
dia sadarkan diri dan mengucek-ngucek kedua matanya, Wilarani terkejut bikan
main. Eyang Supit Jagat dilihatnya menggeletak di lantai. Kedua matanya
terpejam dan nafasnya tiada lagi!
“Guru!”
pekik Wilarani.
Tapi mana
sang guru bisa mendengar karena memang nyawanya sudah putus. Dan membuat
Wilarani atau Supit Jagat baru ini lebih heran ialah ketika merasakan tubuhnya
enteng luar biasa dan tenaga dalamnya berlipat ganda sampai beberapa kali!
Urat-urat di dalam tubuhnya laksana kawat dan pemandangan serta pendengarannya
menjadi tajam sekali!
Ingatlah
Wilarani kejadian sewaktu gurunya menyuruh dia memejamkan mata! Sang guru
diam-diam melakukan satu tamparan dahsyat dan disertai dengan tamparan itu
sekaligus dia telah menyalurkan seluruh tenaga dalam ke tubuhnya untuk kemudian
dia sendiri menghembuskan nafas penghabisan, meninggal dunia!
Supit
Jagat mendukung tubuh Eyang Supit Jagat ke atas pembaringan. Pada waktu itulah
di lantai dilihatnya segulung kertas. Supit Jagat mengambil gulungan kertas
itu. Di situ ada sebarisan kalimat yang berbunyi, “Surat ini baru boleh dibuka
besok siang tengah hari tepat.”
Esok harinya
tepat di tengah hari ketika sang surya bersinar terik di titik kulminasinya
maka di dalam Biara Pensuci Jagat seratus satu biarawati berkumpul di ruangan
besar.
Sebelumnya
pada pagi hari jenazah guru mereka telah dikuburkan di taman di bagian muka
gedung Biara.
Suasana
sunyi sepi dalam ruangan besar itu. Sunyi sepi serta masih diselimuti rasa duka
cita karena berpulangnya guru mereka yang juga merupakan Ketua Biarawati.
Wilarani
yang kini sudah mewariskan nama Supit Jagat tapi belum diketahui oleh biarawati-biarawati
di situ berdiri dari kursinya.
“Biarawati
Satu,” katanya, “Harap datang ke sini dan bacakan surat yang ditinggalkan oleh
Ketua kita.”
Biarawati
Satu, seorang yang sudah lanjut usianya berdiri. Dari Wilarani diterima
segulung kertas. Dia melangkah ke mimbar dan membuka gulungan kertas itu.
Kemudian terdengarlah suaranya membacakan isi surat yang dibuat Eyang Supit
Jagat sebelum matinya.
Muridku
sekalian,
Jika
kalian membaca suratku ini maka aku sudah tidak ada, sudah dikubur di dalam
tanah, kembali pada Tuhan yang menciptakanku dan kalian semua!
Meski
kini cuma kuburku yang kalian lihat, meskipun aku tidak berada lagi diantara
kalian namun cita-cita kita yang luhur untuk menenteramkan dunia ini dari
segala malapetaka dan kegagalan yang dibuat oleh kaum lakl-laki, harus tetap
kalian lanjutkan!
Selama
aku hidup diantara kalian, kita semua berada dalam keadaan rukun tenteram penuh
persatuan. Bila kini aku sudah tidak ada, kerukunan dan ketenteraman serta
persatuan itu harus kalian pupuk terus. Jika kalian pecah dan berselisih,
berarti hancurnya cita-cita yang hendak kita laksanakan dan dalam kuburku aku
akan mengutuk kalian sebagai murid-murid murtad!
Suratku
ini juga kutulis untuk menerangkan sedikit tentang diriku. Selama ini kalian
memanggilku dengan sebutan Eyang atau guru atau nenek. Puluhan tahun hidup
bersamaku kalian tidak tahu siapa namaku.
Namaku
adalah Supit Jagat.
Pada hari
ini namaku itu kuwariskan kepada Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia
berhak memakai nama itu dan di hari ini pula kuresmikan dia sebagai Ketua
kalian yang baru!
Kepadanya
telah kuwariskan senjata sakti bernama Sapu Jagat!
Siapa-siapa
diantara kalian yang kecewa dengan keputusanku ini, siapa-siapa diantara kalian
yang tidak senang, sebelum kalian menjadi pengkhianat-pengkhianat, lebih baik
kalian angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci Jagat ini atau rohku akan ke luar
dari liang kubur untuk mencekik kalian semua!
Surat itu
selesai dibaca oleh Biarawati Satu kemudian diserahkan kembali kepada Wilarani
atau yang kini bernama Supit Jagat dan menjadi Ketua Biara Pensuci Jagat!
Supit
Jagat menggulung surat itu baik-baik. Dia berdiri di mimbar, memandang
berkeliling kemudian berkata, “Mungkin ada diantara saudara-saudaraku yang
ingin bicara atau mengeluarkan pendapatnya?”
Tak ada
satu orangpun yang menjawab. Tapi diantara para biarawati-biarawati itu
terdengar suara saling berbisik-bisik. Supit Jagat bertanya sekali lagi. “Tidak
ada yang mau bicara dan keluarkan pendapat? Terutama mengenai pengangkatanku
oleh mendiang guru kita sebagai Ketua Biara?”
“Boleh
aku bicara?”
Tiba-tiba
terdengar suara dari balik gang besar yang menjadi salah satu ruangan luas itu.
Semua biarawati termasuk Supit Jagat terkejutnya bukan main, karena suara itu
adalah suara Iaki-laki! Dan seperti diketahui dalam Biara Pensuci Jagat itu,
tak ada satu orang laki-lakipun yang ada atau diam di sana! Semua mata dengan
serta merta merta diarahkan ke belakang tiang besar. Dan seorang laki-laki
melangkah seenaknya menuju ke mimbar!
***************
11
LAKI-LAKI
ini masih muda belia. Rambutnya gondrong menjela-jela sampai ke bahu. Parasnya
gagah, sikapnya waktu melangkah meski acuh tak acuh dan seenaknya namun
mengandung kewibawaan dan keperkasaan. Enam langkah dari mimbar dia berhenti
dan menjura pada Supit Jagat kemudian melayangkan senyuman pada puluhan
biarawati-biarawati yang duduk di ruangan itu.
Semua
orang membathin siapakah adanya pemuda ini dan cara bagaimanakah dia bisa masuk
ke dalam gedung Biara Pensuci Jagat?
Pintu
gerbang dikunci, seseorang yang tak tahu rahasia membuka pintu itu, meski
bagaimanapun hebat serta tinggi ilmunya niscaya dia tak sanggup membukanya!
Melompati tembok juga mustahil. Tembok halaman saja tingginya lima tombak dan
ditambah besi-besi panjang berduri setinggi tiga tombak! Di samping itu apakah
kedatangan pemuda asing tak dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?!
Akan
tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya serta rasa tidak enak menyelinapi
hatinya, namun melihat si pemuda menjura hormat kepadanya dia balas menganggukkan
kepala, tapi tetap tutup mulut menunggu sampai si pemuda bicara duluan.
“Apakah
saat ini aku berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat?!” tanya pemuda itu.
Melihat
pada pertanyaan yang diajukan ini Supit Jagat segera mengetahui bahwa pemuda itu
belum berada lama di ruangan tersebut.
Paling
lama sejak ketika Biarawati Satu membaca bagian terakhir dari surat mendiang
Ketua Biara yang lama.
“Betul
orang muda, kau memang berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat,” menjawab
Supit Jagat.
“Ah… syukur.
Syukur kalau begitu….’ Si pemuda garuk kepalanya dua kali.
“Orang
muda harap terangkan siapa kau. Bagaimana caramu bisa masuk ke gedung ini dan
apakah membawa niat baik atau buruk?” tanya Supit Jagat.
Pemuda
itu tertawa malu macam anak kecil. “Namaku buruk,” katanya, “jadi tak usahlah
aku beri tahu pada Ketua Biara Pensuci Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang
tolol dan banyak mencap aku ini berotak miring…. “
Biarawati
Lima, seorang nenek-nenek berbadan sangat gemuk yang punya penyakit darah
tinggi lekas naik darah, berdiri dari kursinya dan membentak.
“Pemuda
sedeng! Di sini bukan tempat melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke
sini. Jika kau membawa niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan
mayatmu ke luar tembok!”
Si pemuda
naikkan kedua alis matanya.
“Galak
betul! Galak betul!” katanya. “Aku datang ke sini bukan untuk melawak. Kau
lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucupun yang aku buat. Tak ada satu
orang disini yang tertawa! Bagaimana kau bisa bilang aku melawak?!”
Beberapa
arang Biarawati tertawa sembunyi-sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya lalu
berseru pada Supit Jagat, “ketua, harap izinkan aku menghajar pemuda edan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat lambaikan tangan memberi isyarat agar mempersabar
diri. Dia maklum kalau si pemuda bisa menyelinap masuk ke dalam gedung,
pastilah dia bukan sembarang orang!
“Orang
muda, kuharap kau bisa bicara seperlunya mengingat di mana kau berada saat ini
dan mengingat pula kau adalah tamu yang tidak diundang,” berkata Supit Jagat.
“Sekarang
harap terangkan apa maksud kedatanganmu ke sini.”
“Aku
datang membawa maksud baik dan persahabatan,” kata si pemuda.
“Hem,
begitu? maksud baik dan persahabatan macam manakah kiranya?” tanya Ketua Biara
Pensuci Jagat pula.
Si pemuda
memandang dulu berkeliling lalu kembali palingkan kepala pada Supit Jagat.
“Ketua”, katanya, “kau saksikan sendiri, sebagian besar dari
biarawati-biarawati di sini adalah perempuan-perempuan muda dan
cantik-cantik….”
“Pemuda
kurang ajar! Mulutmu pantas untuk disumpal dengan ujung pedangku!” bentak
seorang biarawati. Tapi Ketua Biara Pensuci Jagat kembali lambaikan tangan
memberi isyarat agar anak buahnya itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali
ke kursinya.
Kepada si
pemuda sang Ketua berkata, “Teruskan ucapanmu!”
Setelah
terbatuk-batuk beberapa kali baru si pemuda membuka mulutnya kembali. “Kerbau
sekandang bisa dikurung! Harimau berlusin-lusin bisa disekap! Tapi kecantikan
perempuan tak bisa dikurung, tak bisa disembunyikan, tak bisa disekap! Betul
atau tidak…?!”
Diam-diam
Ketua Biara yang baru ini menjadi gemas juga dalam hatinya. “Orang muda,
ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas!”
Si pemuda
hela nafas dan garuk kepala beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari
golongan tua berdiri dari kursi dan berseru, “Ketua, kehadiran pemuda ini lebih
lama tidak menyenangkan kami! Harap beri izin kami untuk mengusirnya!”
Pemuda
itu memandang pada beberapa orang biarawati itu. “Kalian punya hak untuk
mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara
baik-baik ini disambut dengan pengusiran!”
“Baik
atau jahat maksud kedatanganmu, kami tidak suka kau hadir di sini.”
“Eh,
apakah kau yang menjadi Ketua di sini?” ejek si pemuda.
Merahlah
muka si biarawati.
Dia
segera hunus pedangnya dan melompat mengirimkan satu serangan ganas. Si pemuda
sedikit pun tidak bergerak! Malahan dengan sikap acuh tak acuh dia berpaling
pada Ketua Biara Pensuci Jagat.
Sementara
tebasan pedang datang menyerangnya dia berseru, “Ketua! Sungguh penyambutan
yang memalukan. Bukannya aku disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang!”
Angin
pedang menyambar tanda senjata maut sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si
pemuda masih juga memandang pada Ketua Biara Pensuci Jagat seakan-akan tak
perduli atau tak tahu apa-apa kalau dirinya diserang!
Namun!
Seruan
tertahan bahkan kaget memenuhi ruangan itu. Seratus pasang mata melotot.
Biarawati yang menyerang si pemuda kelihatan berdiri terhuyung-huyung sedang
pedang yang tadi dipakainya untuk menyerang kini kelihatan berada dalam tangan
si pemuda! Jurus yang dimainkan Biarawati Tujuhbelas tadi adalah jurus yang
cukup lihai dalam ilmu pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi si pemuda menghancur
leburkannya dalam satu gebrakan saja dan dengan sikap acuh tak acuh, sambil bicara
dengan Ketua mereka! Betul-betul hebat!
Biarawati
golongan muda yang sejak tadi tertarik akan kecakapan tampang si pemuda kin!
semakin tertarik melihat ketinggian ilmu pemuda itu. Dan dalam hati
masing-masing mereka membathin siapakah gerangan pemuda ini?!
“Ketua
Biara Pensuci Jagat,” kata si pemuda, “kedatanganku ke sini dengan maksud baik
dan bersahabat, tapi orangmu telah menyerangku!
Orang
lain mungkin sudah kalap dan tak terima perlakuan ini! Tapi aku orang tolol dan
rendah, tak apa-apa. Ini soal biasa! Perempuan kalau sudah beringas memang suka
menyerang duluan!”
Dengan
tertawa-tawa pemuda itu memutar tubuhnya dan melangkah kehadapan biarawati yang
tadi menyerangnya. Dia membungkuk sedikit lalu mengangsurkan senjata itu seraya
berkata.
“Harap
kau suka terima pedangmu kembali dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. “
Biarawati
itu tak berkata apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.
“Orang
muda, jika kau betul-betul datang dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah
seringkas mungkin!”
Pemuda
itu mengangguk.
‘Tadi aku
sudah bilang bahwa kecantikan itu tak bisa disembunyi-sembunyikan, tak bisa
dibendung dengan tembok setinggi apapun!
Kecantikan
sebagian besar biarawati biarawati di sini telah diketahui oleh dunia luar dan
tokoh-tokoh persilatan! Telah sampai ke telinga seorang tokoh golongan hitam
bergelar Pendekar Pemetik Bunga…. “
Si pemuda
tak bisa teruskan keterangannya karena sampai di situ suasana di ruangan
tersebut menjadi ribut! Terpaksa Ketua Biara memberi tanda untuk menenangkan
suasana.
Dan si
pemuda meneruskan keterangannya pula.
“Jika
kalian di sini pada gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian
sudah tahu manusia macam apa dia adanya!”
Pemuda
itu palingkan kepalanya pada Supit Jagat. “Ketua Biara,” dia berkata lagi, “aku
mendapat kabar bahwa manusia terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir
ini. Dan kabarnya lagi, dia akan mendatangi Biara ini untuk melaksanakan
perbuatan-perubatan mesumnya selama ini!”
Suasana
tegang dan sunyi laksana dipekuburan mencekam ruangan besar itu.
Di dalam
kesunyian yang tegang itu, diam-diam Biarawati Satu berkata kepada Ketua Biara
Biara Pensuci Jagat dengan ilmu menyusupkan suara.
“Ketua,
hatiku tetap bercuriga pada pemuda ini. Aku yakin dia datang bukan dengan
maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma omong kosong belaka.”
“Yang aku
herankan ialah bagaimana dia bisa masuk kesini,” menyahuti Supit Jagat. “Meski
ilmu tinggi tapi selama puluhan tahun tak ada satu tokoh silatpun yang sanggup
masuk ke Biara ini, apalagi tanpa setahu kita!”
Biarawati
satu bertanya, “Apa perlu aku suruh beberapa orang-orang kita untuk menyelidik
sekeliling tembok dan pintu gerbang?!”
“Lakukanlah!”
kata Supit Jagat pula.
Maka
sepuluh orang biarawati angkatan muda segera keluar meninggalkan ruangan itu.
Pemuda rambut gondrong tersenyum. Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi
mulut Biarawati Satu dan Ketua Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada
yang dibicarakan kedua orang itu, dan pasti menyangkut dirinya.
“Ketua
Biara Pensuci Jagat,” kata sipemuda seraya rangkapkan kedua tangan di muka
dada. “Rupanya kau dan biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku.”
“Tentu
saja,” sahut Supit Jagat. “Kau datang tanpa diundang, masuk dan bicara
seenaknya, tidak mau terangkan diri!”
“Apakah
kau tidak percaya kalau Pendekar Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu ini…?”
“Dia
boleh datang dengan maksud jahat. Tapi dia musti tinggalkan kepala di sini!”
Sipemuda
tertawa bergelak.
“Nama
Biara Pensuci Jagat memang sudah lama dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya
Supit Jagat memang sakti luar biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun
tiada sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga!”
“Kau
menghina guru dan Ketua kami!” teriak beberapa Biarawati. Mereka menyerbu si
pemuda. “
Supit
Jagat tidak berusaha menahan. Dia ingin lihat sampai dimana kehebatan pemuda
berambut gondrong itu. Sepuluh pedang menyambar dengan mengeluarkan suara angin
bersiuran. Karena yang menyerang itu adalah biarawati-biarawati dari golongan
tua yang ilmunya sudah sempurna maka kehebatan serangan itu tidak terkirakan
dahsyatnya.
Dalam
sekejapan mata tidak bisa tidak tubuh si pemuda akan tersatai!
Atau akan
terputus berkeping-keping!
“Sungguh
memalukan!” seru si pemuda. “Di sarang sendiri biarawati-biarawati yang katanya
mau mensucikan dunia ini dari segala kekotoran, menyerang main keroyok!”
“Bagi
manusia-manusia edan tak tahu peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa
malu!” sentak salah seorang dari biarawati yang menyerang.
Sekejap
kemudian ruangan besar itu bergemuruh oleh suara beradunya sepuluh badan pedang
yang menimbulkan bunga api yang terang sekali!
Semua
orang berseru kaget. Ketua Biara Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar.
Tapi si pemuda yang tadi hendak dikermus lenyap dari pemandangan, entah kemana!
Tiba-tiba
terdengar suara salah seorang biarawati. “Hei! Lihat! Manusia itu sudah
bergantung pada kawat lampu!”
Semua
kepalapun mendongak ke langit-langit di atas ruangan! Ternyata betul. Pemuda
berambut gondrong itu bergantung di langit-langit ruangan dengan tangan kirinya
memegangi kawat kecil lampu yang menerangi ruangan besar itu! Kalau dia tidak
memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan
putus!
“Pemuda
edan!” pekik seorang biarawati, “jangan kira aku dan kawan-kawan tidak sanggup
mengejar kau ke atas sana!”
Sepuluh
tubuh berjubah putih laksana anak-anak panah melesat ke atas dan serentak itu
pula kirimkan serangan pedang yang lebih ganas yaitu jurus “Menabas Gunung
Menusuk Rembulan”
Terdengar
suara bersiut-siut dan sedetik kemudian disusul oleh suara jatuhnya lampu
minyak besar yang tergantung di langit-langit ruangan! Kacanya dan semprongnya
pecah bertebaran, minyak tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang
biarawati-biarawati tadi nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh
pecah berantakan ke lantai.
Dan
hebatnya lagi saat itu si pemuda sudah berdiri lagi di tempatnya semula sebelum
diserang pertama kali tadi. Berdiri diantara pecahan kaca dan minyak lampu
sambil tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka dada!
Penasaran
sekali sepuluh biarawati segera menukik dan hendak lancarkan serangan untuk
ketiga kalinya!
Tapi kali
ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat berseru. “Tahan!”
Meski
hati gusar tapi sepuluh biarawati hentikan serangan namun ketika turun kelantai
kembali tetap membentuk posisi mengurung si pemuda!
“Para
biarawati harap kembali ke tempat,” perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh
biarawati turun perintah itu. Mereka sarungkan pedang masing-masing dan duduk
kembali ke tempat semula.
Disaat
itu pula sepuluh biarawati yang tadi disuruh menyelidik keluar gedung kembali
memasuki ruangan.
Dengan
ilmu menyusupkan suara Ketua Biara Pensuci Jagat hendak bertanya pada
biarawati-biarawati itu, tapi mendadak si pemuda sudah mendahului!
“Bagaimana?”
tanyanya. “Apa kalian menemui tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang yang
rusak?!”
Sepuluh
biarawati itu tiada perdulikan pertanyaan si pemuda melainkan melangkah ke
hadapan Ketua mereka dan melaporkan bahwa tidak ada satu tanda yang
mencurigakanpun di luar sana. Semuanya beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci
Jagat anggukkan kepala dan suruh sepuluh biarawati itu kembali ke tempat
masing-masing.
“Pemuda,”
berkata sang Ketua. “Ilmu yang barusan kau pamerkan…”
“Ah…!”
memotong pemuda itu. “Siapa yang pamerkan ilmu!” tanyanya. “Orang diserang toh
musti mengelak? Siapa sih orangnya yang mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang
mau dicincang? Kucing budukpun pasti larikan diri atau mengelak!”
Tenggorokan
Supit Jagat turun naik beberapa kali. Kemudian dia berkata lagi. “Meski ilmumu
setinggi gunung sedalam lautan, meski pengalamanmu saluas bumi, tapi jika kau
datang ke sini dengan membawa niat jahat, jangan harap kau bisa keluar
hidup-hidup dari sini!”
Si pemuda
menghela nafas.
“Apakah
kalian di sini tuli semua? Apa aku sejak tadi cuma bicara dengan
tonggak-tonggak mati?!” katanya. Lalu dia meneruskan. “Pertama datang aku sudah
bilang bahwa maksudku ke sini adalah membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan
aku kasih keterangan pada kalian di sini bahwa Biara ini dan kalian semua
sedang terancam bahaya! Bahaya itu datangnya belum tentu tapi pasti datang!
Bahaya Pendekar Pemetik Bunga! Tapi kalian bukannya percaya, malah bercuriga
padaku! Malah menyerang aku! Aku yang edan apa kalian yang keblinger!”
“Kalau
kau datang betul membawa niat baik dan bersahabat, mengapa datang tidak memberi
tahu lebih dulu? Mengapa lancang masuk dengan diam-diam ke tempat orang?!” Si
pemuda tertawa.
“Kalian
sedang rapat! Sedang adakan pertemuan! Kalau aku datang dengan mengetuk pintu
gerbang sana atau berteriak-teriak memberi salam, pastilah akan mengganggu
rapat kalian.”
“Kau
memang sudah mengganggu kami!” semprot Biarawati Lima yang memang sejak tadi
belum habis rasa penasarannya.
Si pemuda
angkat bahu.
Dipalingkannya
tubuhnya pada Ketua Biara Pensuci Jagat, dan berkata.
“Ketua,
jika kau dan semua orang di sini menganggap aku telah mengganggu kalian dan
mengacaukan suasana pertemuan ini mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu
lebih lama.”
Pemuda
itu menjura dua kali di hadapan Supit Jagat. “Cuma jangan menyesal kalau
keteranganku nanti terbukti benar!”
Pemuda
ini menjura satu kali pada barisan biarawati-biarawati yang duduk
berjejer-jejer di kursi lalu segera hendak putar badan tinggalkan ruangan itu!
Mendadak
biarawati gemuk tadi berteriak.
“Ketua!
Bukan mustahil pemuda ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu!”
Supit
Jagat tercekat hatinya. “Ya, bukan tak mungkin,” katanya membathin. Cepat-cepat
dia bertepuk tiga kali dan keseluruhan biarawati yang duduk di kursi berdiri
cepat, menyebar di seluruh tepi ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga
pintu-pintu! Tak mungkinlah bagi si pemuda untuk meninggalkan tempat itu kini!
Lebih-lebih
ketika terdengar suara. “Sret… sret…, sret…!” Suara pedang yang dicabut dari
sarungnya! Seratus pedang kini melintang di tangan!
***************
12
Si pemuda
memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening.
“Apa-apaan
ini?!” tanyanya membentak.
“Jika kau
tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau
bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee…
kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?!”
“Jangan
banyak bacot! Mengaku atau mampus?!” Yang membentak kali ini adalah Biarawati
Lima.
Si pemuda
geleng-geleng kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati yang berhati suci jujur
bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati
Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepat-tepat ke arah hidung si
pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. “Ketua, tunggu apa lagi?!”
“Pemuda,
kau sungguh tidak mau mengaku diri?!” bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kalau
aku tidak mengaku, aku mau dibikin mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku Pendekar
Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir
pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik
Bunga sudah sejak tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua
Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda
ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang
mengerikan!
“Sekarang,
apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?!” terdengar si
pemuda bertanya.
“Sebelum
kau terangkan siapa kau punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan
gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.
Pemuda
itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding,
langit-langit den tiang ruangan bergetar oleh kumandang tertawanya yang panjang
ini. Setiap hati manusia yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat
sendiri ikut tergetar oleh kehebatan suara tertawa si pemuda!
“Kenapa
kau tertawa?!” bentak Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa
yang tidak bakal geli dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula
kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya aku
berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu
macam muda mudi yang sedang pacar-pacaran!”
Merahlah
paras Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Tak
dapat dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan basah oleh darahmu, pemuda
bermulut kurang ajar!” teriak sang Ketua. Dia gerakan tangan memberi isyarat.
Dan selangkah demi selangkah, seratus biarawati dari angkatan tua dan muda,
dengan pedang ditangan masing-masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya
pemuda itu masih juga berdiri tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang
berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Tiba-tiba
seratus pekikkan laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu
berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
“Buset!”
Si pemuda membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan
telinga dia melompat tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul
langit-langit. Dalam tubuh mengapung begitu rupa pemuda ini berseru, “Ketua,
harap kau sudi hentikan serangan ini dulu!”
“Serang
terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak
mau kesalahan. tangan dan cari permusuhan dengan kalian! Kita adalah sama-sama
satu golongan!”
“Jangan
ngaco!” tukas Biarawati Lima.
“Ketua
Biara, aku betul-betul tidak mau bikin cilaka orang-orangmu!” berseru lagi si
pemuda.
Tapi sang
Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak lebih keras agar
orang-orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan biarawati melesat ke atas,
puluhan pedang berkelebat!
Pemuda
itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan
cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka
angin dahsyat laksana topan menderu ke bawah memapasi serangan-serangan lawan.
Betapapun puluhan biarawati-biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan
kerahkan tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil.
Mereka laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap
mereka melesat ke atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan,
banyak yang mendeprok jatuh duduk!
Heranlah
sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang
dimiliki pemuda itu, demikian dia membathin.
Melihat
betapa orang-orangnya mengalami kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan
mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, “Pemuda,
turunlah! Hadapi aku!”
“Ah…
Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga mau turun tangan
pada budak hina ini,” dan sementara itu sepasang mata si pemuda melirik ke
pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga lagi karena keseluruhan biara di
ruangan itu ambil bagian menyerangnya.
“Tapi,”
melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya masih terus juga
dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan-serangan lawan, “harap maaf,
saat ini aku tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku
anggap kita semua ini adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda
itu melompat ke samping lalu menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua
Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian
tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si
pemuda sudah lenyap!
“Kejar!”
teriak Supit Jagat. “Kita musti tangkap manusia itu hidup atau mati!”
Maka
ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit
Jagat rnenghambur ke luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan
belasan biarawati mengejar keluar dan belasan lainnya melompat ke atas atap,
namun si pemuda lenyap tiada bekas!
Supit
Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan
waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai
ruangan, dikursi-kursi dan di beberapa bagian dinding ruangan sebelah bawah
bertebaran puluhan deretan angka 212.
“Dua
satu. Dua!” desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang
biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah
yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda
hanya melongo tak mengerti!
Ketua
Biara Pensuci Jagat memberi isyarat pada kira-kira sepuluh orang biarawati
angkatan tua agar mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
Ketua
Biara ini duduk di kursi goyang yang dulu menjadi kursi kesayangan Ketua mereka
yang telah meninggal dunia. “Sekarang kita sudah tahu siapa adanya pemuda itu,”
berkata Supit Jagat. “Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita
tempo hari merupakan kawan baiknya!”
“Kalau
begitu,” menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling
gemas terhadap pemuda itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong
belaka!”
“Betul!”
Supit Jagat anggukkan kepala.
“Kalau
dia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan putih,” kata Biarawati
Sembilan. “Kenapa tidak siang-siang dia terangkan diri…?!”
“Pemuda
itu memang aneh,” menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang
orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau kalian kenal pada
gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara
seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau
bersiul-siul seperti yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya
yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar
di mana-mana.
Kurasa
itulah sebabnya pemuda tadi tidak mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya!”
Sunyi
beberapa lamanya.
“Ketua,
bagusnya kita segera bersiap-siap menjaga segala kemungkinan atas datangnya
Pendekar Pemetik Bunga itu!”
“Ya.
Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia
di sekitar tembok dan pintu gerbang!”
“Perintah
akan kami jalankan, Ketua,” sahut Biarawati Satu, lalu bersama kawan-kawannya
yang lain segera meninggalkan tempat itu setelah terlebih dahulu menjura
memberi hormat.
Sementara
itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar
tembok halaman dan yang bekerja di bagian dapur biara segera langsung menuju ke
bagian dapur itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan
meneruskan pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya
kedua biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan seorang pemuda
yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah
kursi dengan angkat kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha
ayam goreng sisa malam tadi!
Segera
keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .
Wiro
Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya saat
itu menggembung penuh nasi. Tapi mana dua biarawati tak mau berdiam diri.
Keduanya sama hendak berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat
berbuat lain. Dia hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta
merta tubuh kedua biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang tadi
hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!
Itulah
ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang
Sinto Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti
dirumahnya sendiri Wiro Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan
dan meneguk air, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur
itu.
Sewaktu
empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut
mendapatkan dua kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga.
Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa
yang menotok kalian?!”
“Pemuda
itu!”
“Maksudmu
Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”
“Ya!”
sahut yang seorang.
Yang
seorang lagi memberi keterangan, “Kami haus dan mau minum lalu melanjutkan
tugas sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu sudah nongkrong di kursi sana, melahap
nasi dan makan daging ayam!”
“Pantas
dicari-cari di luar gedung tidak ada! tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda
lapar!”
Ketika
hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya
Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun
kemudian tiba-tiba meledaklah suara tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang
melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula tertawa!
*************
13
Gadis
berbaju kuning ringkas itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih
dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau
kecil. Disibakkannya rambutnya yang mengurai di kening dan disekanya keringat
yang membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan
disertai rasa keputusasaan dan kegemasan!
Dua hari
yang lalu dia sudah berhasil menemui jejak manusia yang dicarinya. Kemarin dia
bahkan telah menguntit manusia itu tapi hari ini sesampainya di tepi kali itu,
bayangan manusia yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana
amblas masuk ke dalam kali!
Penuh
letih akhirnya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah batu hitam.
Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan.
Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis
berbaju kuning ini, menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular
kali sebesar lengan. Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus,
yang sebagiannya masuk ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang
ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah
langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat dia
tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke
atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki
kirinya untuk menendang!
Binatang
itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika lalu
mati dan dihanyutkan arus sungai.
Gadis
baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli.
Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang
matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit
bagusnya!
Namun di
balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu samar-samar
kelihatan satu rasa duka derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari
yang lalu dia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu dia berhadap-hadapan
dengan gurunya. “Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk
beberapa waktu…”
Empu
Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama.
“Pelajaran
yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata sang guru, “Kau ingat
bahwa lima tahun lagi baru kau boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”
“Murid
ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid terima dari
orang desa yang datang kemarin siang…. Guru tentu dapat memakluminya.”
Dan gadis
itu menyeka air mata yang meleleh dipipinya. “Aku tidak mengajarkan kau
menangis, Sekar! Aku mengajarkan kau ilmu silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin,
Ilmu menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi
sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.
“Murid
tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik
perempuanku diperkosa lalu dibunuh! Dapatkah hati seorang perempuan menghadapi
semua ini tanpa air mata? Dan karena peristiwa itulah murid minta izin kepada
guru untuk meninggalkan pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari manusia
terkutuk itu!”
Empu
Tumapel merenung dan setelah menghela nafas dalam diapun berkata, “Sekalipun
kuizinkan padamu pergi, sekalipun kau bertemu dengan manusia itu, belum tentu
kau berhasil menghadapinya Sekar. Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati
dan dendam kesumatmu!”
‘°Murid
tahu, manusia itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah
orang tua dan adikku, dengan doa restu guru serta pertolongan Tuhan, murid
yakin murid akan sanggup menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti
luar biasa jika dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran
dan kekuatannya Tuhan?!”
Empu
Tumapel yang berumur enam puluh tahun terdiam oleh ucapan muridnya itu.
“Kau akan
mati percuma di tangan manusia itu, Sekar,” katanya setelah berdiam diri
beberapa lama.
“Tidak,
guru. Sekalipun aku mati, aku akan mati dengan puas. Puas karena aku telah
membela keadilan, menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”
“Baik…
baiklah muridku,” kata Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam
jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung
rantai baja ini terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini
memancarkan sinar putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata
sembarangan.
“Kuizinkan
kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kau
berhasil…”
Sekar
berlutut di hadapan gurunya.
“Terima
kasih guru… Terima kasih guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini
padaku….”
Lamunan
tentang saat lima hari itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si
gadis berbaju kuning, melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas
kali, hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di
atas kali.
Cepat
Sekar berdiri dan menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya
dan berdiri di atas sebuah batu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis
itu.
“Eh,
saudari, kau berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!” Sekar menatap paras
pemuda yang tampan itu. Sewaktu dia memperhatikan rambut gondrong yang menjela
sampai ke bahu si pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak mustahil manusia ini
adalah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar
pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat jelas tampang Pendekar
Terkutuk itu!
Menimbang
begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari balik pakaiannya,
terus menyerang dengan ganas! Si pemuda terkejut!
“Gila
betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan!” Cepat-cepat dia menghindar.
Angin dingin menyambar tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan
dadanya!
“Saudari,
itu senjata sakti! Jangan dibuat main-main!”
“Tutup
mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu pemuda bejat!”
Si pemuda
keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri-ciri khas dari pendekar
yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212!
“Kenal
belum, ketemupun baru kali ini sudah bisa menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi
atau apa?!”
“Keparat,
terima kematianmu dalam tiga jurus!”
Sekar
menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan suara
dahsyat laksana halilintar, menebarkan angin laksana topan hingga air kali
bermuncratan dan batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur
berantakan!
“Saudari!”
seru Wiro Sableng. “Kau ini main-main atau bagaimana?” Pemuda ini terpaksa
jungkir balik di atas kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan
sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu batu kali. Rantai Petaka Bumi itu
sudah menyapu lagi ke arah kakinya!
“Hebat!”
seru Wiro Sableng benar-benar kagum.
“Ya,
hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin hebat oleh bola baja
berduri ini!” tukas Sekar.
Wiro
Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang memiliki ilmu
mengentengi tubuh sempurna biasa saja pasti tak akan sanggup melakukan dua kali
jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih
tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis
melihat serangannya melanda angin kosong jadi penasaran sekali. Saat itu jurus
kedua. Tanpa tedeng aling-aling dia melompat ke muka lebih dekat pada si pemuda
dan putar Rantai Petaka Bumi dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini
memang hebat luar biasa, padahal si gadis baru mewarisi setengahnya saja dari
gurunya! Karena tak ingin melawan dan karena tak mau membuat si gadis cilaka,
lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa-apa, maka Wiro Sableng sejak tadi
hanya mengelak, sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari
Gunung Gede ini melompat ke tepi kali.
“Saudari
harap tahan dulu seranganmu!”
“Jangan
banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah
orang tua dan adikku tak akan tenang di alam baka sebelum nyawa anjingmu
kurenggut dari tubuh keparatmu!” Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai!
Kalau begitu kau salah duga, gadis baju kuning!” kata Wiro Sableng pula. “Aku
bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak
perlu dusta! Kau kira bisa selamat dengan jual mutut begitu rupa?!”
“Aku
tidak dusta! Apa kau pernah lihat aku memetik bunga dan bunga apa? Bunga
matahari atau bunga mawar atau….”
“Bunga
bola baja kematianmu ini, laknat!” sentak Sekar. Dan kembali dia menyerang
secara ganas.
Pendekar
kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.
“Kalau
keliwat kesusu bisa tidak beres saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap
kau suka simpan itu senjata dan mari kita bicara baik-baik…”
Bukannya
si gadis baju kuning simpan senjata meiainkan bola baja berduri itu diluncurkannya
ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng berada.
“Kraak!”
Batang
pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas
sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak
seberapa besar itu maka kini terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro
Sableng tetap tidak mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si
gadis jadi penasaran.
“Ayo,
pemuda keparat! Kenapa diam saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan
senjatamu!”
Lama-lama
diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke bawah.
Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng
mengelak kesamping lalu gerakkan tangan kanannya!
Sekar
terpelanting dari cabang pohon akibat betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya.
Ketika dia turun ke tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada
di tangan Wiro Sableng!
“Kembalikan
senjataku!” teriak Sekar.
Wiro
Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu
dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang dia berkata.
“Silahkan ambil sendiri, nona manis!”
Tiada
terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan
tangan kosong dis menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus aneh bernama “Kabut
Pagi Menelan Embun.”
Jurus ini
dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu tubuh
Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak dapat
ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih
sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram
muka sedang sepasang kaki menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan
tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya
dengan cepat di tangkapnya ujung kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar
jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang
kempis. Mukanya merah kelam karena marah! Hatinya geram karena sadar tiada akan
sanggup menghadapi pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau
letih eh?!”
“Diam!”
lengking Sekar.
“Saudari,
dalam hidup ini, dalam segala hal manusia itu tidak boleh serba kesusu….”
“Jangan
jual kentut!”
“Juga
jangan suka lekas marah penasaran….”
“Diam!”
teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.
Si pemuda
tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi
gadis galak macam yang satu ini.
Tiba-tiba
dia dapat akal.
“Saudari,
kalau kau tetap keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini
dan larikan senjatamu!”
“Ke ujung
bumipun kau lari aku akan kejar!”
Wiro
Sableng angkat bahu dan garuk-garuk kepala!
“Tak
pernah aku ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini,
saudari!”
“Kembalikan
senjataku”
“Aku akan
kembalikan. Tapi kalau kau pergunakan lagi untuk menyerangku…?”
“Kau tahu
itu senjata milik, siapa?”
“Aku
tidak tanya!”
Sekar
memaki-maki!
“Kalau
guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibuat main dan dihina, pasti nyawamu yang
cuma selembar tak akan aman’“
“Heh…
jadi kau muridnya Empu Tumapel?! Akh… orang tua itu adalah kawan main
kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu, dia suka main curang. He…. He…
he…!”
Marahlah
Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya ke lengan.
Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam. Lebih cepat dari serangan si
gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan
darah di tubuh si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi telinga masih bisa
mendengar dan mulut masih bisa bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya
aku tidak punya waktu banyak, tapi kau bikin perjalananku terhalang! Menyerang
membabi buta tanpa alasan….”
“Diam!
Lekas lepaskan totokan ini!”
“Sabar
gadis manis! Kalau kau marah dan membentak begitu parasmu makin cantik,
tahu…?!”
Wajah
Sekar bersemu merah.
“Kau
menyangka bahkan menuduh aku tetah membunuh orang tua serta adikmu! Apakah kau
punya alasan? Punya bukti!”
Sekar
diam.
“Kau
bilang aku Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar
tetap diam Wiro Sableng tertawa.
“Dengar
saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah dalam perjalanan
mencari manusia yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu.”
“Kau
dusta!” tukas Sekar.
“Terserah.
Tapi aku tak punya waktu lama melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi
di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan
dulu senjataku dan lepaskan totokan ini!” Wiro Sableng buka lilitan Rentai
Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan di tubuh Sekar lalu
diserahkan rantai baja itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!”
seru Sekar.
Wiro
Sableng hentikan langkah.
“Tadi kau
bilang bahwa kau dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa
kau tahu di mana manusia itu berada…?”
“Tahu
atau tidak tahu memangnya kenapa?!”
“Aku juga
punya urusan yang harus diselesaikan dengan manusia bejat itu….”
“Ya, kau
sudah bilang tadi. Jadi maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan aku heh?!”
Untuk
kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah. “Kuharap kau jangan bicara
keliwat kurang ajar, saudara!” bentak Sekar.
“Sudahlah,
kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu manusia biang racun
penimbul bahala, lekaslah!”
“Kau
jalan duluan,” kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si
pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng adalah benar-benar Pendekar Terkutuk
Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
“Tak
perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar
212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali dia berkelebat maka tubuhnya sudah
melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula dia
kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sableng.
***************
14
Ketua
Biara Pensuci Jagat terkejut ketika melihat jarum alat rahasia di dalam
kamarnya bergerak-gerak! Segera ditekankannya sebuah tombol di tepi tempat
tidur. Dua buah pintu rahasia terbuka dan delapan orang biarawati muncul.
Kedelapannya menjura lalu berpaling ke arah alat rahasia yang dituding oleh
Ketua mereka.
“Atur
pengurungan!” kata Ketua Biara itu pula. “Lima puluh di dalam, lima puluh di
luar! Yang datang ini mungkin orang yang kita tunggu-tunggu!”
Delapan
biarawati menjura lagi lalu meninggalkan kamar Ketua mereka. Supit Jagat, Ketua
Biara memandang lagi ke jarum alat rahasia.
Jarum itu
kini kelihatan diam tak bergerak-gerak, tapi sesaat kemudian kelihatan bergerak
lagi.
Kali ini
ketua Biara itu segera membentak, “Tamu di atas atap, silahkan turun unjukkan
diri!”
Baru saja
Supit Jagat berkata begini maka terdengarlah suara menggemuruh! Atap dan
langit-langit kamar amblas roboh! Diiringi oleh suara tertawa bekakakan sesosok
tubuh berjubah hitam melompat turun dalam gerakan yang sangat enteng! Yang
datang ternyata betul Pendekar Pemetik Bunga!
“Ha… he…
sungguh satu kehormatan dapat berkunjung ke Biaramu ini, Supit Jagat!” .
Baru saja
Pendekar Pemetik Bunga berkata demikian empat dinding kamar amblas ke dalam
lantai dan kini terbukalah satu ruangan besar.
Disetiap
tepi ruangan berbaris dua lapis biarawati-biarawati angkatan tua dan angkatan muda
berseling-seling! Kesemuanya dengan pedang di tangan!
“Hem…”
Pendekar Pemetik Bunga memandang berkeliling. Tidak ada bayangan rasa terkejut
pada parasnya. “Rupanya sudah ada persiapan untuk menyambut kedatanganku!”
katanya.
Ketua
Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh.
“Nama
kotormu sudah lama kami dengar. Noda busuk yang kau tebar di mana-mana sudah
sejak lama hendak kami putus! Nyawa bejatmu sudah sejak lama ingin kami kirim
ke neraka jahanam! Tapi hari ini agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan
ke luar Biara! Malaekat maut rupanya telah membawamu ke sin!!”
Pendekar
Terkutuk Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada.
“Betapa
indahnya susunan kata-katamu. Supit Jagat!” berkata Pendekar Pemetik Bunga.
“Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan dibawa oleh malaekat maut,
sebaliknya justru mengantarkan malaekat maut yang ingin cepat-cepat naerenggut
nyawa kalian! Dan….” Pendekar bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali.
“Dan menyedihkan sekali, rupanya hanya kroco-kroco tua macammu yang ditakdirkan
mampus!
Biarawati-biarawati
muda belia musti dihadiahkan untukku!”
“Kurasa
matamu belum buta Pendekar Terkutuk!” sahut Supit Jagat.
“Belum
buta untuk melihat orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum
buta untuk melihat pedang-pedang yang melintang!”
“Aku
memang tidak buta!” Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi berkeliling. “Tapi
sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikutikutan bertempur! Mereka
akan mati percuma sebelum merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa
nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa….”
Sebilah
pedang meluncur tepat di depan hidung Pendekar Pemetik Bunga, membuat pemuda
ini tersurut satu langkah dan terputus kata-katanya!
“Apakah
lidahmu kelu hingga tak bisa teruskan buka mulut?” ejek Supit Jagat.
“Ketua
Biara Pensuci Jagat! Kau adalah manusia yang musti mati pertama kali di dalam
gedung ini! Darahmu akan mensucikan lantai biara ini!”
Habis
berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga buka gulungan sabuk mutiara di
pinggangnya sedang tenaga dalam dialirkan tiga perempat bagiannya ke tangan
kanan! Dua tangaa itupun kemudian bergerak dengan serentak!
Pukulan”Tapak
Jagat” menggebu dahsyat di barengi oleh gelombang angin yang keluar dari sabuk
mutiara! Gedung bergoncang, bumi laksana dilanda lindu! Tapi disaat itu Ketua
Biara Pensuci Jagat sudah berpindah tempat dan dengan satu lengkingan keras dia
memberi isyarat agar lima puluh biarawati yang ada di ruangan itu segera
menyerang!
Maka
berkecamuklah pertempuran yang bukan olah-olah dahsyatnya! Lima puluh pedang
menderu! Satu-satunya lawan yang diserang berkelebat ganas balas menyerang! Dan
dalam setiap kelebatan musti ada jatuh korban di pihak biarawati. Yang menemui
ajalnya ini justru biarawati-biarawati angkatan tua yang sudah berumur! Rupanya
Pendekar Pemetik Bunga benar-benar hanya akan menumpas biarawati-biarawati tua
sebaliknya membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia untuk kemudian akan
dilalap dirusak kehormatannya!
Ketika
hampir separoh dari biarawati angkatan tua menemui ajalnya, ketika lantai
diruangan terbuka itu sudah licin dan amis oleh baunya darah maka Supit Jagat
segera membentak. Dia tak mau lebih banyak jatuh korban dipihaknya! “Semuanya
mundur!”
Perintah
yang laksana geledek ini dipatuhi oleh setiap biarawati.
Semuanya
mundur ke tepi dan di tengah ruangan besar itu kini hanya Ketua Biara serta
Pendekar Pemetik Bunga saja yang berdiri berhadap-hadapan dalam jarak delapan
tombak. Di lantai bertebaran belasan tubuh biarawati-biarawati tua yang telah
menemui ajalnya!
“Kebinatanganmu
sudah lebih dari binatang! Kebejatanmu sudah melewati batas! Kebiadabanmu
seluas luatan! Dosamu setinggi gunung!
Segera
keluarkan senjatamu, manusia terkutuk!”
Pendekar
Pemetik Bunga menyeringai.
“Rupanya
Ketua Biara sendiri yang hendak turun tangan?! Bagus!” ujar Pendekar Pemetik
Bunga. “Tapi kalau tadi aku dikeroyok puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya
bertangan kosong, masakan menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata
segala?!”
“Kau akan
binasa bersama kecongkakanmu manusia dajal!” Marah sekali Ketua Biara Pensuci
Jagat itu. Maka pada saat itu juga dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu
lidi yang bernama Sapu Jagat, warisan dari Ketua Biara yang terdahulu!
Melihat
senjata yang dikeluarkan lawannya adalah seikat sapu lidi maka Pendekar pemetik
Bunga tertawa memingkal!
“Nenek
Ketua, kau mau menyapu atau bertempur? Sapu lidi buruk itukah senjatamu?! Lucu
sekali… betul-betul lucu!” Supit Jagat maju tiga langkah.
Tiba-tiba
dia sapukan sapu lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik Bunga berseru kaget.
Berubahlah parasnya! Angin yang ke luar dari sapu lidi itu dahsyatnya laksana
badai prahara, seperti menghancur leburkan sekujur tubuhnya! Secepat kitat dia
segera melompat ke samping sampai empat tombak! Tapi Ketua Biara tidak kasih kesempatan,
segera pula dia memapas dengan senjatanya!
Ketika
lima belas jurus dia terkurung rapat oleh sambaran Sapu Jagat yang dahsyat itu,
menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga. Pukulanpukulan
“Tapak
Jagat” dan kebutan “Angin Pengap” tepi jubahnya sama sekali tidak mempan
menerobos gulungan angin sapu lidi lawan!
Pada
jurus kedua puluh satu Pendekar Pemetik Bunga memekik tertahan sewaktu ujung
sapu menyerempet dadanya dan membuat jubah hitamnya robek besar!
Tidak
tunggu lebih lama Pendekar Pemetik Bunga segera cabut kembang kertas kuning
yang menancap di kepalanya. “Semua tutup jalan nafas atau ke luar dari sini!”
teriak Supit Jagat karena dia maklum bahwa kembang kertas itu mengandung racun
yang sangat dahsyat! Biarawati-biarawati angkatan muda segera tinggalkan
ruangan sedang biarawati-biarawati angkatan tua tetap di tempat.
Pertempuran
kini telah berjalan tiga puluh empat jurus dan yang memengkalkan Pendekar
Pemetik Bunga ialah racun kuning yang setiap detik menggebu ke luar dari bunga
kertasnya sama sekali tidak sanggup menerobos angin sapu lidi sang ketua Biara
malahan kalau dia tidak berhati-hati, racun bunga kertas itu sering kali
dihantam membalik ke dirinya sendiri!
Di saat
pertempuran berjalan semakin dahsyat, di saat tubuh kedua orang itu hanya merupakan
bayang-bayang yang dibungkus oleh sinar kuning serta lingkaran-lingkaran angin
Sapu Jagat maka tiba-tiba terdengarlah suara siulan siulan nyaring yang tak
menentu yang kemudian disusul oleh suara nyanyian seseorang!
Hanya
biarawati-biarawati di tepi kalangan pertempuran yang berani mendongak ke atas,
ke arah datangnya suara nyanyian itu sedang mereka yang bertempur meskipun hati
masing-masing tercekat mendengar nyanyian ini namun tiada berani palingkan
muka!
Anak
laki-laki hamil dalam perut perempuan
Itu
namanya anugerah Tuhan
Anak
laki-laki lahir dari rahim perempuan
Itu
namanya kuasa Tuhan
Anak
laki-laki dibesarkan perempuan
Itu
namanya kasih sayang
Laki
membunuh perempuan
Itu
namanya dosa besar
Laki-laki
memperkosa perempuan
Itu
namanya terkutuk
Menuntut
ilmu buat kebaikan
Itu
namanya bijaksana
Menuntut
ilmu buat kejahatan
Itu
namanya kesetanan
Dua tahun
turun gunung
Malang
melintang kelantang keluntung
Di timur
membunuh
Di barat
memperkosa
Di
selatan membunuh dan memperkosa
Di utara
memperkosa dan membunuh
Dosa
setinggi gunung
Dosa di
mana-mana
Kejahatan
sedalam lautan
Kejahatan
dimana-mana
Guru
sendiri turun gunung
Dibunuh
dengan kepala dingin
Itu namanya
laknat kualat
Pendekar
Pemetik Bunga yang merasa bahwa nyanyian itu ditujukan kepadanya mengerling
sekilas dan di atas loteng yang bobol dari mana dia menerobos masuk tadi
dilihatnya dua orang duduk berjuntai di atas tiang palang. Yang seorang laki-laki
berpakaian putih, dialah yang menyanyi tadi.
Yang
seorang lagi gadis cantik berpakaian kuning!
Biarawati-biarawati
yang ada di tepi ruangan yang juga melihat ke atas loteng segera mengenali
pemuda yang bernyanyi itu yakni bukan lain daripada Wiro Sableng Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212! Karenanya mereka tidak ambil perduli. Sementara itu dari
kalangan pertempuran terdengar lagi pekik Pendekar Pemetik Bunga. Ujung Sapu
Jagat telah melanda untuk kedua kalinya bagian dada, sehingga jubah yang sudah robek
kini robek tambah besar. Kulit dada pemuda itu sendiri kelihatan tergurat
merah, sakitnya bukan main!
Di atas
loteng Sekar yang sudah sejak tadi tak dapat menahan melompat turun, tapi
lengannya dicekal erat-erat oleh Wiro Sableng.
“Jangan
bodoh! Jika kau mengetengahi pertempuran itu salah-salah kau bisa kena gebuk
sapu Ketua Biara atau kena tersambar racun jahat bunga kertas Pendekar Pemetik
Bunga!”
“Aku
tidak takut mati! Biar mati asalkan pemuda terkutuk itu mampus ditanganku!”
Sekar
hendak melompat lagi tapi lengannya tetap dicekal Pendekar 212 dan Wiro tak
perdulikan rutukan yang dikeluarkan gadis itu.
“Lihat
saja dulu, Sekar! Sekarang belum saatnya kita turun tangan!”
“Tapi
kalau bangsat itu mampus di tangan Ketua Biara. Aku akan menyesal percuma seumur
hidup!”
Wiro
tertawa.
“Pendekar
Terkutuk itu belum keluarkan ilmu simpanannya, jangankan si Ketua, guru Ketua
Biara itupun tak bakal sanggup menghadapinya!”
Sekar
ingat akan ucapan Empu Tumapel yaitu tentang ilmu “Jari Penghancur Sukma” yang
dimiliki Pendekar Pemetik Bunga! Karenanya dia terpaksa ikuti nasihat Wiro dan
tetap duduk di samping pemuda itu di atas loteng.
Pertempuran
di bawah sana sudah berkecamuk enam puluh empat jurus!
“Crass!”
Pendekar
Pemetik Bunga lompat ke luar dari kalangan pertempuran sewaktu sapu lidi
senjata lawan membabat putus tangkai bunga kertas sedang bunganya sendiri
robek-robek bertaburan!
“He… he…
he… bersiaplah untuk menghadap setan kuburan pemuda terkutuk!” kata Ketua Biara
Pensuci Jagat pula. Pendekar Pemetik Bunga, yang biasanya menyahuti setiap
ejekan lawannya dengan beringas kini bungkam seribu bahasa. Bola matanya
bersinar tapi kelopak matanya kelihatan menyipit dan mencekung sedang
tampangnya buas dan mulutnya berkemik! Dia berdiri di tengah ruangan dengan
sepasang kaki merenggang.
Tiba-tiba
kelihatanlah ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya memancarkan sinar
hitam! Pendekar 212 yang berada di atas loteng tersentak kaget dan berseru
keras.
“Ketua
Biara Pensuci Jagat! Lekas menghindar! Kau tak bakal sanggup menghadapi ilmu
Jari Penghancur Sukma itu!” Tapi Supit Jagat tidak ambil peduli. Malah dengan
tubuh laksana gunung karang dia tetap berdiri di tempat dan kerahkan seluruh
tenaga dalamnya ke sapu lidi di tangan kanan!
Ibu jari
dan jari telunjuk Pendekar Pemetik Bunga mulai membentuk lingkaran. Sinar hitam
jari-jari itu menggidikkan.
“Ketua
Biara, lekas menghindar!” seru Wiro sekali lagi. Namun tetap Supit Jagat tidak
bergerak dan hadapi lawannya dengan penuh ketabahan!
“Edan
betul!” teriak Wiro Sableng!
Pendekar
212 bersuit nyaring. Tak seorangpun yang melihat kalau tangannya sebelah kanan
saat itu sudah berubah menjadi putih laksana perak menyilaukan!
Di lain
kejap Pendekar Pcmetik Bunga jentikkan jari telunjuknya.
Dihadapannya
Supit Jagat hantamkan pula sapu lidinya dalam satu jurus tusukan yang dahsyat!
Larikan
sinar hitam yang dahsyat menggidikkan menggebu ke arah Supit Jagat. Sinar hitam
ini dipapasi oleh angin membadai yang berwarna putih agak kelabu dari sapu sang
Ketua Biara! Hebatnya, sebelum dua sinar maut itu sama-sama berbenturan, dari
atas loteng satu sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan memapak di
tengah-tengah kedua sinar tadi!
Itulah
Pukulan Sinar Matahari yang telah dilancarkan oleh pendekar 212 dari atas
loteng!
Tiga
dentuman yang berkumandang secara serentak menggetarkan bumi. Dunia laksana mau
kiamat! Dinding-dinding ruangan pecah-pecah, banyak yang ambruk! Tiang-tiang
gedung biara beberapa diantaranya runtuh bergemuruh! Loteng amblas!
Biarawati-biarawati yang ada di dalam gedung segera berlompatan ke luar
termasuk Pendekar Pemetik Bunga dan Supit Jagat, Wiro Sableng sendiri
sabelumnya telah melesat meninggalkan loteng bersama Sekar. Sewaktu kedua orang
ini sampai di halaman muka, keduanya mendapatkan Ketua Biara dan Pendekar
Pemetik Bungs telah berhadap-hadapan kembali!
Diam-diam
Pendekar 212 berunding dengan Sekar. Kemudian Wiro berseru, “Ketua Biara, harap
kau suka memberi kesempatan padaku untuk turun tangan menjajal pemuda yang
katanya berilmu setinggi gunung sedalam lautan dan congkak ini!”
Supit
Jagat setelah melihat kehebatan ilmu Jari Penghancur Sukma lawannya menyadari
bahwa dia tak akan sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga! Seruan Pendekar
212 tadi adalah kesempatan yang paling baik baginya untuk mengundurkan diri
tanpa kehilangan muka.
“Pendekar
212, jika kau memang punya urusan tertentu dengan manusia keparat ini silahkan
maju!”
“Licik!”
teriak Pendekar Pemetik Bunga. Matanya beringas memandangi Wiro Sableng.
Pendekar
212 sebaliknya tertawa mengejek!
“Dalam
kamus kehidupanmu, rupanya kau masih kenal arti kata licik heh? Apakah kau juga
tahu apa artinya kebejatan? Apa arti terkutuk dan apa arti kualat serta dosa?!”
Merah
padam paras Pendekar Pemetik Bunga!
“Kunyuk
bermuka manusia, kau siapa? Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain?!”
“Apa
kepentinganku? Banyak… banyak sekali sobat! Kau bisa tanya nanti pada
iblis-iblis penjaga kubur atau setan-setan di neraka…” Habis berkata begini
Wiro Sableng tertawa bekekekan.
“Anjing
kurap yang tak tahu diri, makan jariku ini!” Sinar hitam berkiblat melanda Wiro
Sableng!
Pendekar
212 yang sudah punya rencana tersendiri tidak memapasi serangan lawan dengan
seluruh tenaga dalamnya. Dia tak ingin manusia terkutuk itu mati dalam tempo
singkat!
Sambil
lancarkan pukulan sinar matahari dia melompat setinggi enam tombak. Dari bawah
Pendekar Pemetik Bunga kebutkan lengan jubahnya!
Dua lusin
bola-bola hitam menderu ke arah Wiro Sableng. Yang diserang menyambut dengan
pukulan “Benteng Topan Melanda Samudera.” Dua puluh empat bola-bola hitam itu
meledak dan udara tertutup kabut hitam!
Pendekar
212 yang tahu maksud licik lawannya, begitu kabut hitam menutupi pemandangan
segera jungkir balik dua kali berturut-turut. Bila dalam sekejapan mata
kemudian dia sudah ke luar dari kabut hitam itu maka kelihatanlah Pendekar
Pemetik Bunga melarikan diri ke arah pintu gerbang biara. Lima orang biarawati
yang menjaga pintu itu sekali jentikan jari saja segera dibikin meregang nyawa
oleh Pendekar Pemetik Bunga.
Pemuda
ini kemudian bergerak cepat menekan tombol rahasia pembuka pintu. Tapi Pendekar
212 tahu-tahu menghadang dihadapannya!
“Mau lari
ke mana sobat?!” bentak Wiro Sableng.
Sebenarnya
Pendekar Pemetik Bunga bukanlah seorang pengecut.
Namun
melihat ilmu “Jari Penghancur Sukma” yang dilancarkan terhadap Wiro Sableng
tiada mempan sama sekali maka lumerlah nyalinya!
Kegusaran
membuat Pendekar Pemetik Bunga menjadi kalap, apalagi dalam keadaan kepepet
begitu rupa. Dia menyerbu membabi buta! Tangan kiri mengebutkan sabuk mutiara
sedang tangan kanan kembali lancarkan ilmu “Jari Penghancur Sukma”
Wiro
tetap tak mau sambuti serangan dahsyat itu dengan kekerasan.
Dia
jatuhkan diri ke tanah, bergulingling cepat mendekati lawan sebelum larikan
sinar hitam menyerempet tubuhnya untuk kemudian tahu-tahu dia sudah berada di belakang
Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar
Pemetik Bunga membalikkan badan secepat kilat. Tapi begitu tubuhnya berbalik,
begitu dua ujung jari melanda urat besar dipangkal lehernya! Tak ampun lagi
pemuda terkutuk ini menjadi kaku tegang tubuhnya!
“He… he….
Apakah kini kau bisa jual tampang pamerkan segala ilmu silat dan kesaktianmu,
manusia terkutuk?!” ejek Wiro Sableng.
“Bangsat
rendah! Kelak kau akan rasakan pembalasanku…!”
Sementara
itu Sekar yang melihat musuh besarnya berada dalam keadaan tertotok segera
datang berlari dan keluarkan Rantai Petaka Bumi.
“Manusia
bermuka iblis! Hari ini lunaslah hutang jiwa orang tua dan adikku!”
“Wuut!”
Rantai
baja dengan bola baja berduri menderu ke arah kepala Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar ini membeliak besar kedua matanya, keringat dingin berbutir-butir di
keningnya! Dari mulutnya ke luar jerit ketakutan setinggi langit!
Sesaat
lagi bola berduri itu akan menghantam hancur remukan kepala Pendekar Pemetik
Bunga, satu tangan memukul ke depan dan bola berduri lewat setengah jengkal di
alas kepala si pemuda yang sudah ketakutan setengah mati.
“Wiro!
Apa-apan kau?!” sentak Sekar karena Wiro-lah yang membuat serangan mautnya tak
mengenai sasaran!
“Jangan
bodoh, Sekar! Mati dalam tempo yang singkat terlalu enak buat manusia macam
dia!” Wiro berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat dan beberapa biarawati yang
ada di situ. “Bukankah demikian?” ujarnya.
Supit
Jagat tertawa mengekeh.
“Kita
jebloskan saja dia ke dalam sumur binatang berbisa!”, mengusulkan Supit Jagat.
Wiro
tertawa dan gelengkan kepala.
Dipegangnya
dagu Pendekar Pemetik Bunga lalu tanyanya, “Sobat, apakah kau pernah memikirkan
bagaimana sakitnya sekujur tubuhmu bila jalan darahmu menyungsang terbalik?!”
Pucat
pasilah muka Pendekar Pemetik Bunga.
“Demi
Tuhan, aku minta agar dibebaskan! Aku bertobat. Betul-betul tobat…! Aku
betul-betul tobat…! Aku mohon keadilan!” kata Pendekar Pemetik Bunga. Kepalanya
dipalingkan pada Supit Jagat, mohon belas kasihan. Dan saat itu dia mulai
menangis merengek-rengek macam anak kecil!
“Kau
mohon keadilan dan mohon pengampunan?” tanya Supit Jagat dengan tertawa-tawa.
“Ya, dan
aku akan bertobat,” sahut Pendekar Pemetik Bunga.
“Baik,
kami akan ampuni kau punya jiwa. Tapi ada syaratnya!”
“Apapun
syaratnya akan aku terima,” kata Pendekar Pemetik Bunga tanpa ragu-ragu.
Ketua
Biara Pensuci Jagat tertawa, “Syaratnya mudah saja. Cungkil sendiri kau punya
jantung dan serahkan padaku!” Pendekar Pemetik Bunga menangis meraung-raung
minta diampuni. Matanya menjadi bengkak dan merah.
“Pendekar
212, sebaiknya lekas saja dimulai penjatuhan hukuman atas dirinya!” kata Supit
Jagat.
“Betul,
makin cepat makin baik!”
Wiro
membelai-belai rambut Pendekar Pemetik Bunga dengan senyum-senyum. “Kasihan..,
kasihan….” katanya. Kemudian dua jari tangannya bergerak melakukan totokan di
beberapa bagian tubuh Pendekar Pemetik Bunga.
Semua
orang menunggu apa yang bakal terjadi. Pendekar Pemetik Bunga sudah seputih
kain kafan tampangnya, keringat mengucur mulai dari kulit kepala sampai ke
kaki! Mula-mula dia tak merasakan apa-apa. Tapi kemudian kepalanya terasa
sampai sakit.
Rasa
sakit menjalar ke seluruh tubuh! Peredaran darah dalam tubuhnya tidak normal
lagi. Berdenyut membalik! Dan lolongan-lolongan yang mengerikan ke luar tiada
hentinya dari mulut laki-laki itu. Beberapa saat kemudian Wiro lepaskan totokan
di tubuh pemuda terkutuk itu. Kini rasa sakit semakin menjadi-jadi. Dunia ini
seperti menyungsang di mata Pendekar Pemetik Bunga. Dia lari sana lari sini,
berteriak tak karuan, mencak-mencak, berguling di tanah! Beberapa menit berlalu
darah mulai mengucur dari kedua lobang hidung, mata serta telinganya!
Wiro
berpaling pada gadis baju kuning di sebelahnya “Sekar, jika kau mau turun
tangan inilah saatnya. Tapi jangan bunuh dia sekaligus!”
Rahang-rahang
Sekar bergemeletakkan. Dia maju satu langkah. Rantai Petaka Bumi diputar-putar.
Melihat ini Pendekar Pemetik Bunga lari jauhkan diri.
Tapi
“wuutt!”
Bola baja
berduri menderu.
Pendekar
Pemetik Bunga berteriak. Kupingnya yang sebelah kanan putus! Darah mengucur
lebih banyak. Sekali lagi bola baja itu berdesing dan kali yang kedua ini
sasarannya adalah telinga sebelah kiri Pendekar Pemetik Bunga! Keganasan dendam
Sekar tidak sampai di situ saja, bola bajanya menderu lagi menghantam hidung si
pemuda hingga hidung itu hancur melesak dan tampang Pendekar Pemetik Bunga
sungguh mengerikan untuk dipandang!
“Sudah
cukup, Sekar?!” tanya Wiro Sableng.
“Belum!”
jawab gadis itu pendek dan beringas. Sementara itu Pendekar Pemetik Bunga sudah
terhampar di tanah dekat tembok, megap-megap dan masih menjerit-jerit! Di
antara jeritan itu terdengar lagi deru bola baja berduri dua kali
berturut-turut! Yang pertama menghantam tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga,
tangan yang telah puluhan kali melakukan kejahatan membunuh manusia-manusia tak
berdosa! Hantaman yang kedua melanda tepat pada anggota rahasia di antara
selangkangan Pendekar Pemetik Bunga yang selama dua tahun telah puluhan kali
merusak kehormatan perempuan terutama gadis-gadis berparas cantik!
Tubuh
Pendekar Pemetik Bunga mengegelepar-gelepar. Nyawanya masih belum putus, hampir
diambang sekarat!
“Ketua
Biara Pensuci Jagat, bagaimana dengan kau?,” tanya Wiro.
Supit
Jagat tertawa sedingin salju. Ingat dia pada orang-orangnya yang telah menemui
ajal di tangan pemuda itu. Dia maju selangkah.
“Pendekar
terkutuk! Apakah kau masih bias mendengar suaraku?!”
“Uh…uh..”
“Hem
bagus… Meski matamu tak dapat melihat karena genangan darah tapi dengarlah aku
akan lukis parasmu seindah mungkin dengan sapu lidiku ini!”
Habis
berkata demikian, Supit Jagat tusukkan ujung sapu lidinya ke muka Pendekar
Pemetik Bunga! Jeritan pemuda itu terdengar lagi, tapi tidak sekeras tadi. Suaranya
sudah sember dan mukanya mengerikan lebih kini! Tusukan Sapu Jagat membuat
mukanya itu laksana dipanteki dengan ratusan paku!
Pendekar
Pemetik Bunga menggelepar-gelepar. Berguling ke kiri dan ke kanan, bergelimang
darah serta debu. Kematiannya sungguh mengerikan. Namun mungkin itu belum
seimbang dengan kejahatan-kejahatan yang paling terkutuk yang pernah
dilakukannya selama dua tahun.
T A M A T
No comments:
Post a Comment