Wiro Sableng
PENDEKAR
KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya :
Bastian Tito
Episode :
KERIS TUMBAL WILAYUDA
SUARA
beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang menggeledek
di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematiansera suara mereka yang merintih
dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu
menimbulkan suasana maut yang menggidikkan!
Di
mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa
nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma!
Pertempuran itu berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati
dalam cara berbagai rupa. Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang
robek besar perutnya sampai ususnya menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah,
kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak. Kutungan-kutungan tangan serta
kaki!
Di dalam
istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang
mempertahnkan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak
meski jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan
senjata lawan!
Istana
yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda
seperti suasana dalam neraka! Mayat dn darah kelihatan di mana-mana. Pekik
jerit kematian tiada kunung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak
poranda. Pihak yang bertahan semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar
lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai yang dulu licin berkilat tapi kini
dibanjiri oleh darah!
“Wira
Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!,” teriak seorang laki-laki berbadan
kekar dan berkumis melintang. Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun
mengenakan pakaian perwira kerajaan.
Bradja
Paksi kepala balatentara Banten menggerang dan balas membentak. "Bangsat
pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan menyerah!”
Parit
Wulung laki-laki yang berkumis melintang itu tertawa bergelak. Sebelumnya dia
adalah perwira pembantu atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu
telah tersesat dan memberontak terhadap kerajaan !
"Mengingat
hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh
busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!”
Parit
Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan yang
cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan Pedangnya
pula.
“Trang!”
Bunga api
berkilauan.
Tangan
Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli dengan
dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke
tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat
dan kesaktian Bradja Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu.
Bagaimanapun cepat dan sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak
bisa ke luar dari serangan-serangan lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja
Paksi sertai serangan-serangan pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kosong.
Namun itu tak berjalan lama.
Seorang
berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan
berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti
singa.
"Parit
Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!"
Melihat
siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama
segera ke luar dari kalangan pertempuran. "Resi Singo Ireng, rnemang dia
pantas sekali untuk jadi korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!"
Manusia
muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk. Tangan
kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala
balatentara Banten.
Bradja
Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal pemberontak!". makinya.
"Nyawamu di ujung pedangku!,” Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya
berkelebat cepat sekali.
"Bret
!"
Robeklah
pakaian putih Singo Ireng !
Maka
marahlah Resi ini. "Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah
menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!".
Tangan
kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.
"Bradja
Paksi awas! Itu pukulan wesi item!,” terdangar teriakan seseorang yang tengah
bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang
tengah istana. Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh
dan. enteng gesit mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten
!
Terkejutlah
Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam segera
dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka
sinar hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke
samping, putar pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan.
Namun
meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup
menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam,
terlempar ke dinding istana lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa
berkutik lagi. Sekujur pakaian dan tubuhnya hangus hitam!
Resi
singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang!
Melihat
kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia menerjang,
tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh
patahpatah! Sebagai patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang
sudah sempurna dan hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka
tubuhnya sudah berada di hadapan Resi itu.
"Ha…
ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…”
"Tak
perlu banyak mulut. Terima ini…!" hardik sang patih. Pedangnya bergulung
dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh
Resi Singo Ireng. Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan
berkelit. Tahu bahwa tingkat kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka
pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan pukulan "wesi ireng"-nya.
Melihat
lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan pedang ke
tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah
rnenjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan "mutiara penabur nyawa!"
Parit Wulung yang tahu kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu
menyusupkan suara memberi peringatan pada Singo Ireng.
"Awas,
itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !"
Mendengar
ini maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring
sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen.
Sinar hitam dan sinar putih berkiblat saling papas.
“Akh….”
Tubuh
patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya
berkelojotan seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas
meninggalkan tubuh.
Sambil
gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya. Di
situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng
berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin
ke belakang. Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau
Singo Ireng memiliki tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya,
memiliki tampang persis seperti macan!
"Kau
tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng,
sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di
dalam
Singo
Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan kakaknya
itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah
menolongnya dengan pukulan "sinar surya tenggelam" tadi!
–== 0O0
== –
**************
1
PADA abad
ke 15, Kerajaan Demak diperintah oleh Baginda Trenggono. Di bawah Trenggono
maka Demak mencapai puncak kejayaannya. Di masa itu pula adik perempuan
Trenggono kawin dengan Fatahillah.
Untuk
meluaskan daerah perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono merasa perlu
untuk menduduki Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah
menyerbulah balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki
dan sebagai wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang
tepat kalau dikatakan bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau
wakil kerajaan Demak karena luas lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah
tak ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas dari Demak, Fatahillah
membentuk balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan dihormati.
Namun demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti
sediakala.
Sultan
Hasanuddin dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan Banten dibantu oleh
penasihat utama seorang tua bijaksana bernama Mangkubumi Mitra serta patih Wira
Sidolepen. Disamping itu bantuan kepala balatentara Banten yang bernama Bradja
Paksi patut pula disebutkan karena segala sesuatu yang bersangkutan dengan
keamanan dan keselamatan kerajaan terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya.
Apalagi mengingat pada masa itu sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan
pihak Pajajaran. Bradja Paksi tadinya adalah seorang prajurit biasa di kerajaan
Demak. Tapi karena keberanian, kejujuran dan kepandaiannya maka dia menjadi
orang kesayangan Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke Banten, Bradja Paksi
ikut serta. Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten. Pangkat itu
terus dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan
jiwanya sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya
pada atasan!
Saat itu
belum lagi satu bulan Hasanuddin yang muda belia dinobatkan sebagai Sultan atau
Raja Banten. Baik patih Wira Sidolepen, maupun penasihat tua Mangkubumi Mitra
serta kepala balatentara Bradja Paksi, ataupun Sultan sendiri, mereka tak
satupun yang tahu kalau di batang tubuh kerajaan saat itu terdapat musuh dalam
selimut yang berbahaya, yang bergerak secara diam-diam!
Dan siapa
yang akan menyangka kalau musuh dalam selimut itu adalah Parit Wulung, perwira
yang menjadi wakil langsung dari kepala balatentara kerajaan! Hubungan Parit
Wulung dengan Bradja Paksi bukan saja sebagai bawahan dengan atasan, tetapi
juga sebagai ipar karena adik perempuan Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung.
Tapi
Parit Wulung telah tersesat. Lupa dia bahwa jabatan yang dipangkunya itu adalah
berkat diangkat atas kebijaksanaan Bradja Paksi. Lupa dia bahwa kerajaan yang
telah memberi pangkat kedudukan serta kehormatan dan kehidupan mewah. Nafsu
hendak berkuasa sendiri, nafsu hendak duduk ditakhta kerajaan sebagai Raja
telah merangsang segenap hati dari jiwa raganya!
Dalam
mencapai usahanya merebut takhta Kesultanan Banten itu sudah barang tentu dia
tak bisa bergerak sendiri. Disamping itu dia tahu pula bahwa untuk mencari
pengikutpengikut dari kalangan pihak dalam yaitu perwira-perwira dan
menteri-menteri istana tidak mungkin karena semua perwira dan menteri, apalagi
patih Wira Sidolepen sangatlah setianya kepada Kerajaan dan Sultan Hasanuddin.
Karenanya maka perwira pengkhianat itupun mencari sekutu di luar Banten.
Peluang yang sangat baik dilihatnya datang dari kerajaan tetangga yaitu
Pajajaran. Beberapa perwira Pajajaran secara diam-diam ditemuinya dan
perwira-perwira itu sesudah diberikan janji yang muluk-muluk bersedia
mengirimkan ratusan prajurit untuk membantu pemberontakan bila saatnya sudah
tiba kelak.
Ratusan
prajurit masih belum dirasa mencukupi bagi Parit Wulung. Pengkhianat ini
kemudian mendatangi seorang sakti yaitu Resi Singo Ireng yang berdiam di pantai
selatan. Resi ini bukan saja mau membantu maksud busuk Parit Wulung karena
dijanjikan akan dilimpahkan harta kekayaan yang tiada terkira banyaknya, tapi
juga mengikut sertakan kakak kandungnya yang juga seorang Resi yaitu Resi
Matjan Seta. Matjan Seta diam di Teluk Keletawar. Tokoh silat ini baru saja
membentuk satu partai silat yang dinamainya Partai Api Selatan. Meski keduanya
adalah Resi namun mereka telah terperangkap oleh kesenangan duniawi sehingga
masuk ke datam golongan hitam!
Pada hari
yang telah ditentukan maka pecahlah pemberontakan menggulingkan kerajaan itu!
Ratusan pasukan dari Pajajaran menyerbu. Pertempuran hebat terjadi di seantero
Kotaraja dan yang paling hebat adalah sekitar halaman istana.
Sebentar
saja kaum pemberontak sudah membobolkan pertahanan Banten. Istana dikepung,
prajurit-prajurit pemberontak di bawah pimpinan Parit Wulung, Singo Ireng dan
Matjan Seta menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri dan orang-orang cerdik
pandai yang terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya menemui ajal
dipancung secara kejam. Kepala balatentara Banten, patih Wira Sidolepen dan
beberapa orang penting lainnya turut serta menjadi korban keganasan kaum
pemberontak itu !
Banten
jatuh sebelum hari rembang petang. Prajurit-prajurit Banten yang masih hidup
dan terpaksa menyerah bersama-sama rakyat disuruh membersihkan semua
mayat-mayat yang bergeletakan di setiap pelosok. Sedangkan di satu ruangan
dalam istana Banten terjadi pertemuan panting. Pertemuan penting ini diketuai
oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta, Karma
Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang terakhir ini adalah penrwira-perwira Pajajaran
sekutu Parit Wulung !
"Resi
Singo Ireng, Resi Matjan Seta dan saudara-saudara Karma Dipa, Djuapasuta.
Kalian lihat sendiri, berkat kerjasama kita maka apa yang kita rencanakan telah
berhasil. Kini Banten adalah milik kita bersama. Namun ada beberapa hal yang
mengecewakan dilaporkan oleh seorang perwira penghubung pihak kita. Sultan
Hasanuddin lenyap tak diketahui ke mana perginya. Kemungkinan besar bersama
penasihat tua Mangkubumi Mitra karena orang tua inipun tak diketahui di mana
dia berada saat ini…".
Sampai di
situ maka Karma Dipa buka suara. "Kalau mereka hendak melarikan diri dari
Banten adalah mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit
kita!"
"Itu
betul sekali,” jawab Parit Wulung. "Disamping orang-orang kita terus
melakukan penyelidikan atas jejak kedua orang itu maka kita juga telah
menangkap tiga orang yang diduga keras mengetahui di mana bersembunyinya
Sultan!"
Parit
Wulung bertepuk tiga kali. Pintu ruangan perundingan terbuka. Seorang pengawal
masuk. "Bawa ke sini Said Ulon !,” kata Parit Wulung pada pengawal itu.
Pengawal
ke luar dengan cepat. Sesaat kemudian masuk lagi bersama seorang kawannya
membawa seorang laki-laki tua berambut putih. Dialah Said Ulon, kepala rumah
tangga istana. Kedua pengawal ke luar lagi.
"Said
Ulon, kau tahu dimana Sultan sembunyi, bukan?!" ujar Parit Wulung.
Orang tua
itu memandang ke muka sebentar. Hatinya geram sekali melihat tampang Parit
Wulung. Dua orang anaknya telah menjadi korban akibat pemberontakan manusia
itu. Seperti hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Parit Wulung saat ini. Kedua
tangannya berusaha melepaskan ikatan tali tapi tak berhasil.
Melihat
ini Parit Wulung segera berkata. "Jangan khawatir, kau akan kulepaskan dan
kujamin keselamatanmu bila memberi keterangan di mana Sultan berada…!"
"Ya…
memang aku tahu…” berkata Said Ulon.
"Haaaa…”
Parit Wulung tertawa lebar. "Di mana?," tanyanya.
Orang tua
itu maju ke hadapan Parit Wulung. "Di sini," katanya. Dan habis
mengucapkan perkataan itu maka diludahinya muka Parit Wulung!
"Jahanam
hina dina!" suara Parit Wulung menggeledek.
"Sret!"
Pedangnya dicabut dan "cras!” maka putuslah leher Said Ulon. Kepalanya
menggelinding di lantai tepat di muka pintu. Darah muncrat membasahi permadani
yang menutupi sebagian dari lantai ruangan !
Resi
Matjan Seta tertawa mengekeh melihat peristiwa itu.
Karma
Dipa berkata dengan suara datar. "Seharusnya kita tak perlu membunuh
sekaligus manusia itu, Parit Wulung. Kita bisa siksa dia sampai mengaku di mana
adanya Sultan Hasanuddin!"
Parit
Wulung tak menjawab. Noda darah dipedangnya disapukannya kepakaian Said Ulon
lalu dimasukkannya ke dalam sarungnya kembali. Kemudian Parit Wulung bertepuk
lagi tiga kali.
Pintu
terbuka. Pengawal yang masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka
pintu. "Bawa masuk tukang kuda itu!" kata Parit Wulung.
Tak lama
kemudian pengawal membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi. Baik Parit
Wulung maupun pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal.
"Siman
Tjonet, kau lihat mayat dan kepala di lantai itu?!"
Siman
Tjonet si tukang urus kuda-kuda milik istana mengangguk.
"Tentunya
kau tak ingin bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana Sultan
bersembunyi…!”
"Aku
tak tahu…".
"Ah
kau musti tahu. Mungkin sekali Sultan telah melarikan diri bersama beberapa
orang dengan menunggangi kuda. Betul…"
"Aku
tidak tahu..," jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi.
Maka.
marahlah Parit Wulung. "Dangar Siman…,” desisnya. "Aku tahu bahwa
beberapa bulan di muka kau akan kawin. Kalau kau tetap ingin merasakan
kenikmatan perkawinanmu itu, cepat beri tahu di mana Sultan berada…”
"Kalau
kau kasih keterangan…," menyambung Djuanasuta, "kami akan berikan
uang serta perhiasan! Kau akan beruntung seumur hidup…"
"Aku
tidak tahu…"
"Betul-betul
tidak tahu…?!"
"Kalaupun
tahu aku tidak akan kasih keterangan pada bergundal pemberontak dan pengkhianat
macam kau!"
Parit
Wulung tertawa buruk. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanannya bersitekan
pada hulu pedang. "Jangan jadi orang tolol Siman Tjonet!" berkata
Karma Dipa sementara Resi Matjan Seta dan adiknya asyik-asyik makan buah anggur
yang terhidang di atas meja. "Bicaralah, kau akan selamat dan jadi orang
kaya!"
Siman
Tjonet diam saja.
"Agaknya
kau lebih suka mati daripada hidup senang. Siman…?" tanya Parit Wulung.
"Disangkanya
kalau dia mati akan masuk surga dan ketemu bidadari!" berkata Resi Matjan
Seta sambil tertawa dan mengunyah buah anggur dalam mulutnya.
"Aku
masuk surga atau tidak itu bukan urusan kalian! Sebaliknya kalian semua kelak
akan menjadi puntung api neraka!" jawab Siman Tjonet dengan beraninya.
"Wah…
kau benar-benar tidak takut mati, anak muda. Tapi bagaimana kalau sebelum mati
aku siksa kau lebih dahulu, heh?!"
"Kalian
boleh siksa aku tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!"
"He…
he… he..,” Resi Matjan Seta berdiri dari duduknya. Mulutnya masih mengunyah
buah anggur. Dia melangkah ke hadapan Siman Tjonet, Tangan kanannya
diletakkannya di atas kepala pemuda itu.
"Manusia
bermuka setan, pergi!" hardik Siman Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki
kanannya untuk menendang tulang kering Resi Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua
kakinya terasa sangat berat dan sukar digerakkan. Sementara itu kepalanya yang
dipegang terasa panas bukan main. Disamping panas kepalanya juga terasa seperti
dicucuki oleh ratusan jarum! Dari kepala rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh
si pemuda.
Pemuda
ini merintih kesakitan. Bila rasa sakit tak tertahankan lagi maka mulailah dia
menjerit-jerit setinggi langit. Betapa mengerikan suara jeritan itu
terdangarnya. Peluh dingin membasahi seluruh tubuh Siman Tjonet.
"Masih
belum mau bicara?!" bentak Parit Wulung.
"Pengkhianat
terkutuk! Pembalasan akan datang untuk kalian semua!".
"Bikin
mampus dia Resi Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung.
Sang Resi
mengekeh, telapak tangannya semakin keras menekan batok kepala pemuda tukang
kuda. Asap mengepul dari telapak tangan laki-laki sakti itu.
Jeritan
Siman Tjonet terdangar semakin keras dan berubah menjadi suara erangan. Dari
telinga, dari mata dan dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental.
Kedua lututnya terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke
lantai, nyawanya lepas! Resi Matjan Seta mengekeh lagi!
Dan Parit
Wulung bertepuk lagi. Maka tawanan yang ketigapun dibawa masuklah. Tawanan ini
ternyata seorang perempuan muda berparas rupawan.
Begitu
dia masuk ke, ruangan itu maka menjeritlah dia. Kedua tangannya yang tidak
terikat dipakai untuk menutupi muka dan matanya. Kengerian membuat tubuhnya
gemetar ketika menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta tubuh pemuda tukang
kuda!
Resi
Singo Ireng menunda anggur yang hendak disuapkannya ke dalam mulut. Matanya
menjalari si perempuan muda mulai dari ujung rambut sampai ke kaki.
"Ah…
ah… ah…! Yang satu ini tak boleh dibunuh, Parit Wulung. Dia cukup pantas untuk
jadi peliharaanku!,” kata Resi bertampang singa itu.
Parit
Wulung tak ambil perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda.
"Suri Intan, kau tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan
menyakiti kau…”
"Aku
tak percaya pada kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri
Intan adalah istri Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur
dalam mempertahankan kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si
pemberontak Parit Wu-lung maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan
Suri Intan terdapat hubungan keluarga yang dekat.
Parit
Wulung coba tersenyum mendangar ucapan perempuan itu. "Suri, apakah kau
tahu di mana Sultan Hasanuddin bersembunyi? Juga penasihat tua Mangkubumi
Mitra…?!"
Si
perempuan tiada peduli dengan pertanyaan itu. "Keluarkan aku dari
sini!" teriaknya.
"Dewiku
manis…!"kata Singo Ireng mengetengahi. "Kau akan ke luar dari sini,
aku yang akan bawa kau dan kita berdua akan senang-senang di tempatku di pantai
utara. Tapi apa salahnya sebelum pergi kau suka kasih penuturan apa yang kau
ketahui mengenai Sultan…"
"Aku
tidak tahu apa-apa mengenai Sultan. Yang aku tahu ialah bahwa kalian semua
manusia-manusia pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan akan datang kelak atas diri
kalian!"
"Ah…
ah… ah! Bicaramu hebat sekali manisku…!" kata Singo Ireng. Dia berdiri
dari kursinya. Sambil melangkah mendekati Suri Intan dia meneruskan. "Aku
suka pada peremppan-perempuan yang pandai bicara…". Dia berdiri dua
langkah di hadapan Suri Intan. Bola matanya berkilat-kilat memandangi perempuan
berparas rupawan itu lalu dia berpaling pada Parit Wulung. "Aku yakin
betul," katanya pada Parit Wulung. "perempuan ini pasti tidak dusta dengan
keterangannya. Dia tak tahu apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku
minta diri saja siang-siang untuk membawa dia ke kamar sebelah…. he… he…
he…!"
"Singo
Ireng! Jangan ribut soal lampiaskan nafsu saja. Kita harus cari dulu Sultan
Hasanuddin sampai dapat…!" Yang bicara ini adalah Matjan Seta, kakak Singo
Ireng.
"Ladalah..,"
menyahuti Singo Ireng. "Itu urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku
pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay sekali memijit. Bukankah begitu
dewiku…?" Dan Singo Ireng mencubit dagu Suri Intan.
"Tua
bangka hidung belang!" memaki Suri Intan. Tangannya bergerak hendak
mencakar muka Singo Ireng. Tapi sekali cekal saja maka perempuan itu sudah tak
bisa berdaya lagi!
"Lepaskan
aku, lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat tenaga. Entah cekalan Singo Ireng
yang kemudian agak kurang ketat, entah karena rontakan Suri Intan yang memang
sangat keras maka perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cekalan Singo
Ireng. Kemudian secepat kilat dia lari ke pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci
dari luar oleh pengawal. Dalam bingung dan ketakutan sementara itu Suri melihat
Singo Ireng mendatanginya dengan menyeringai dan bola mata berkilat-kilat
sedang hidung kembang kempis.
"Singo
Ireng! Biarkan dulu perempuan itu!" bentak Matjan Seta.
"Sudah
diam sajalah Seta!,” menggerendang Singo Ireng. "Sekarang kau terlalu
banyak ribut, nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak pintu kamar dan minta
diberi bagian! Puh…!"
Singo
Ireng maju ke muka dan ulurkan tangan. "Jangah jamah aku!,” teriak Suri
Intan. Dia lari seputar ruangan dan Singo Ireng mengejarnya. Mengejar dengan
tertawa terkekehkekeh. "Manisku, kenapa musti main kucing-kucingan?
Tampangku memang buruk. Tapi nantilah, kalau kau sudah rasakan bagaimana
pandainya aku di atas tempat tidur, kau akan ketagihan… ha… ha… ha…!"
Suri
Intan semakin kepepet ke sudut ruangan.Tiba-tiba terjadilah hal yang tidak
diduga oleh Singo Ireng dan siapapun yang ada di ruangan itu.
Suri
Intan melompat ke samping, membenturkan kepalanya ke dinding ruangan! Semua
orang yang ada di ruangan itu sudah biasa dengan segala macam pemandangan maut,
sudah biasa melihat kematian manusia. Tapi mendangar suara beradunya kepala
perempuan itu dengan dinding yang keras, menyaksikan bagaimana kemudian Suri
lntan terkapar di lantai dengan kepala rengkah berlumuran darah, semuanya sama
menjadi merinding bulu tengkuknya! Suasana di ruangan itu seperti di pekuburan
sunyinya!
Kesunyian
itu kemudian dipecahkan oleh suara Matjan Seta. "Aku bilang apa, Singo
Ireng! Kau lihat sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan
itu?!"
Singo
Ireng tak menjawab. Diputarnya badannya. Dia duduk kembali ke tempatnya. Dan
seperti tak ada apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah anggur yang terhidang di
atas meja!
Sesudah
para pengawal diperintahkan menyeret ketiga mayat itu maka Parit Wulung
melanjutkan pertemuan dengan membuka pembicaraan.
"Kurasa
mengenai Sultan tak perlu kita bicarakan panjang lebar. Cepat atau lambat
orang-orang kita akan segera menangkapnya. Tapi apa yang menjadi pikiranku
ialah lenyapnya keris pusaka kerajaan Tumbal yang menjadi syahnya kedudukanku
sebagai seorang Raja, nanti!"
"Keris
itu pasti dibawa kabur oleh Sultan Hasanuddin!" kata Resi Matjan Seta
pula.
"Mungkin,
tapi mungkin pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!"
Singo
Ireng mengetengahi. "Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang
yang bisa menolak penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau
mereka mau terima nasib digerogoti cacing di liang kubur!"
"Soal
itu aku tak khawatir. Tapi dalam hal ini kita berhadapan dengan rakyat. Rakyat
hanya akan mengakui aku sebagai raja, bila keris Tumbal Wilayuda ada di
tanganku!"
"Kenapa
ambil pusing dengan rakyat?,” tukas Singo Ireng. Mereka mau terima atau tidak,
mereka mau mampus sekalipun, kita tak perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih
dari domba-domba yang bisa kita halau sesuka hati !"
"Tapi,
disamping itu keris Tumbal Wilayuda adalah satu senjata sakti dan keramat…,”
ujar Parit Wulung.
"Sakti
aku percaya, tapi kalau dikatakan keramat itu adalah takhyul!,” menyahut Singo
Ireng. Parit Wulung tak berkata apa-apa namun dalam hati dia merasa tidak
senang. Maka berkatalah dia. "Aku minta pada kalian, terutama Resi Matjan
Seta dan Singo Ireng untuk mencari Sultan dan menemukan keris Tumbal Wilayuda
itu sampai dapat!"
Singo
Ireng mengunyah anggurnya lambat-lambat lalu berkata. "Ini tak termasuk
dalam hitungan kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya minta aku dan kakakku
membantu pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten sudah jatuh dan berada di
tangamu, perjanjian kita beres dan kami sudah saatnya menerima balas
jasa!"
"Mengenai
soal balas jasa Resi berdua tak usah cemas, kalian berdua boleh membawa segala
harta kekayaan apa saja dari Banten ini sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi
bila kalian bersedia pula membantu mencari dan menangkap Sultan serta menemukan
keris pusaka Tumbal kerajaan itu, maka bagian kalian tentu akan lipat ganda
!"
Singo
Ireng manggut-manggut. "Baiklah,” katanya. "Soal harta aku tidak
begitu temahak. Tapi setiap perempuan cantik di Banten ini adalah
milikku!"
–== 0O0
== –
**************
2
HARI itu
adalah hari kedua sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan kaum
pemberontak pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya
senantiasa diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan
berkeliaran tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap
penting terutama di sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.
Pagi itu,
pagi ketiga dari berkuasanya kaum pemberontak kelihatanlah dua orang berjalan
kaki. Yang satu sudah tua dan terbungkuk-bungkuk. Yang satu lagi masih muda.
Keduanya mengenakan pakaian bertambal-tambal serta kotor. Kulit badan dan muka
merekapun coreng moreng dan rambut awut-awutan. Dari keadaan kedua orang ini,
sepintas lalu saja orang segera berkesimpulan bahwa mereka adalah
pengemis-pengemis. Dan setiap orang yang memapasi mereka tentu saja tak akan
mau ambil peduli! Namun siapa nyana kalau kedua orang ini adalah dua orang
penting yang tengah dicari oleh Parit Wulung dan pentolanpentolan pemberontak
lainnya!
Yang tua
adalah penasehat istana yaitu Mangkubumi Mintra sedang yang masah sangat muda
tiada lain daripada Sultan Banten sendiri yakni Hasanuddin! Sewaktu maletusnya
pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung, dengan melalui jalan rahasia
kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri. Dan bukan keselamatan mereka
saja yang penting, tapi keduanya juga berhasil menyelamatkan keris pusaka tumbal
kerajaan yaitu keris Tumbal Wilayuda, keris yang menjadi lambang dan ketentuan
bahwa siapa pemiliknya maka dialah pewaris syah dari takhta kerajaan Banten.
Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh Parit Wulung bersama
pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama membawa buntalan
kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan Hasanuddin adalah
orang-orang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun menghadapi sekian
banyak pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris tumbal kerajaan,
keduanya memutuskan dengan terpaksa dan berat hati untuk mengundurkan diri.
Demikianlah,
dengan menyamar kedua orang itu meninggalkan Kotaraja. Matahari pagi masih
belum sanggup memupuskan butiran-butiran embun di daun-daun, namun panasnya terasa
sudah memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka berhasil melewati pintu gerbang
Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu gerbang itu dijaga ketat oleh
duapuluh orang prajurit.
Si orang
tua Mangkubumi Mintra menarik nafas lega demikian juga Sultan. Namun penasehat
tua ini kemudian berkata dengan perlahan. "Kita masih jauh dari selamat,
Sultan. Cuma satu pesanku, bila terjadi apa-apa yang tak diingini kau lekaslah
menghindar dan lari ke tempat keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon….”
Si pemuda
anggukkan kepala. Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah yang
memerahkan kedua pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu
hubungan antara dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu.
Pemuda
atau Sultan menghela nafas lagi. "Mudah-mudahan saja kita bisa terus
selamat, bapak Mangkubumi,” katanya.
"Memang
itulah yang kita harapkan. Semoga Tuhan melindungi kita". Mereka mendekati
perbatasan kini. Di sepanjang perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal
semakin banyak. Keduanya diperiksa oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan
masing-masing digeledah. Untunglah Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris
Tumbal Wilayuda di dalam lipatan pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan
kedua orang inipun selamat pula dari pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi
perbatasan.
"Aman
sekarang…" kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru saja dia habis berkata begitu
maka muncullah serombongan pasukan berkuda. Pimpinan rombongan, seorang perwira
pemberontak lambaikan tangan memberi isyarat berhenti pada anak-anak buahnya.
Perwira ini membawa kudanya ke hadapan kedua orang tersebut."
"Pengemis-pengemis
hina dina!,” bentak perwira itu. "Apa kalian lihat dua orang pelarian
melintas di sini? Keduanya adalah Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan
Hasanuddin". Sambil bertanya begitu mata sang perwira menyorot meneliti
kedua orang di hadapannya.
Si orang
tua menjawab . "Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…”
Jawaban
yang hormat dan mempergunakan tutur kata yang halus tinggi dari si orang tua
mencurigakan sang perwira. Biasanya pengemis-pengemis macam mereka bicara dalam
bahasa rendahan. Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan di hati perwira itu.
"Kami akan geledah kalian!" katanya,
"Ah…,
kami hanya pengemis-pengemis yang hina dan terlantar. Apa untungnya menggeledah
kami?"
"Memang
tak perlu menggeledah manusia-manusia ini raden,” berkata seorang prajurit yang
berada di samping sang perwira. "Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau
mereka sangat menusuk hidung!"
Si
perwira memang menganggap betul katakata bawahannya itu. Tapi bila sepasang
matanya yang tajam melihat bagaimana telapak dan jari-jari tangan kedua orang
yang dihadapannya sangat halus, bukan seperti tapak dan jari-jari tangan yang
biasa dilihatnya pada diri pengemis-pengemis maka memerintahlah dia.
"Tangkap manusia-manusia hina dina ini!"
Mangkubumi
Mintra yang tahu bahwa penyamamaran mereka pasti akan terbuka, tanpa membuang
waktu segera maju ke muka dan berkata "Kalian keterlaluan, manusia-manusia
macam kamipun masih hendak kalian ganggu!" Bentakan ini, adalah juga
terdorong rasa dendam kesumat terhadap kaum pemberontak.
"Kurang
ajar kau berani bicara kasar terhadapku huh!" dengus perwira itu dan
segera hunus pedangnya sementara setengah lusin bawahannya segera mengurung
mereka.
Mangkubumi
Mintra tidak tinggal diam. Dari balik pakaian pengemisnya dikeluarkannya
sebilah pedang.
"Hemm…
bagus! Sekarang lebih jelas siapa kau adanya kunyuk tua hina-dina!"
Perwira
itu tetakkan pedangnya ke kepala Mangkubumi Mintra. Si orang tua membentak nyaring
dan mundur beberapa langkah sementara enam prajurit lainnya begitu cabut pedang
masing-masing segera pula menyerbu.
Mangkubumi
Mintra putar pedang dengan deras. Sinar pedang bergulung-gulung. Trang… trang…
trang… trang Terdengar suara beradunya pedang susul menyusul! Waktu pedangnya
beradu dengan pedang prajurit-prajurit, Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa,
tapi ketika membentur senjata sang perwira maka terkejutlah orang tua itu.
Tangannya tergetar keras. dan panas! Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang
perwira mempunyai kepandaian tingkat atas!
Maka
berserulah Mangkubumi Mintra pada Su1tan Hasanuddin. "Sultan larilah
selamatkan diri. Biar aku yang hadapi bergundal-bergundal pemberontak
ini!"
"Tidak!"
jawab Sultan Hasanuddin. "Mati hihidup kita berdua, bapak!"
"Jangan
bodoh Sultan! Lari kataku!". Si orang tua putar pedangnya lebih sebat.
Seorang lawan yang mengurung menjerit keras dan melompat nanar dengan dada
robek dimakan ujung pedang!
"Keparat!,”
maki perwira pemberontak. Dia melompat dari kudanya. Sambil melompat, laksana
seekor alap-alap dia mengirimkan serangan ganas.
Pedangnya
menderu memepas ke arah batang leher Mangkubumi Mintra. Di saat itu si orang
tua sedang menangkis serangan seorang prajurit. Tangkisan ini terpaksa
dibatalkannya dengan melompat dan sebagai gantinya pedangnya diputar untuk
menangkis pedang si perwira! Tapi si perwira rupanya memiliki ilmu pedang dari
Cabang Pantai Selatan yang terkenal tangguh karena dengan tak terduga dan
sangat cepat sekali serangan yang tadi merupakan satu tebasan dengan tiba-tiba
sekali berubah menjadi satu tusukan tajam dan cepat!
Si
perwira tertawa mengekeh. Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang
dianutnya, yang dinamakan jurus "menabas gunung menusuk bukit!"
Tentu
saja tangkisan Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti apa-apa. Orang tua ini
cepat rubah posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung pedang lawan lebih
dahulu menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan mengerikan dari tenggorokan
orang tua malang itu.
Di saat
itu, Sultan Hasanuddin sudah berhasil ke luar dari kurungan prajurit-prajurit
pemberontak dan meskipun hatinya berat namun dia terpaksa melarikan diri, bukan
saja untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan keris pusaka
Tumbal Wilayuda demi untuk menegakkan kembali kelak Kerajaan Banten! Namun
sewaktu telinga mendengar keluhan Mangkubumi Mintra, Sultan hentikan lari dan
putar badan. Maka naik pitamlah dia ketika menyaksikan bagaimana orang tua itu
tersungkur di tanah bermandikan darah.
"Pemberontak-pemberontak
durjana! Aku mengadu jiwa dengan kalian!,” seru Sultan Hasanuddin. Dia menyerbu
ke muka namun belum lagi dia melancarkan serangan maka terdengarlah suara
mengaung seperti suara tawon. Enam benda putih aneh dan berbentuk bintang yang
berkilauan melesat deras ke arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit
pemberontak coba hindarkan diri atau menangkis benda itu namun tiada ampun!
Kelimanya menjerit keras, rebah ke tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang
tiada nyawa!
Perwira
pemberontak dalam terkejutnya dan dengan kepandaiannya yang lebih tinggi
pergunakan pedang untuk memapaki benda bintang berkilau itu.
"Trang
!"
Tampang
perwira itu menjadi pucat. Pedangnya memang bisa membuat mental benda maut yang
menyerangnya namun senjatanya sendiri putung dua dihantam benda tersebut !
Baik sang
perwira maupun Sultan Hasanuddin serentak putar kepala ke arah atas pohon besar
dari arah mana datangnya senjata-senjata rahasia tadi.
"Iblis
keparat di atas pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira.
Sebagai
jawaban terdengar suara tertawa bergelak kemudian sesosok tubuh dengan
entengnya melayang turun ke tanah dari atas pohon besar itu. Nyatanya dia
adalah seorang pemuda bertampang keren dan berambut gondrong. Umurnya mungkin
tiada banyak beda dengan Sultan sendiri. Saat itu bajunya tiada terkancing dan
angin yang bertiup agak kencang menyibak-nyibakkan baju putihnya sehingga
jelaslah kelihatan angka 212 tertera di dada kanannya Pendekar 212.
Melihat
si pemuda ini menghadapinya dengan tertawa mengejek demikian rupa maka
membentaklah perwira tadi. "Rupanya kau masih belum tahu dengan siapa
berhadapan! Masih belum tahu apa akibat campur tanganmu dalam uru…” Ucapan sang
perwira cuma sampai di situ. Hampir tak kelihatan Pendekar 212 telah gerakkan
tangan dan lemparkan bintang 212 ke arah perwira pemberontak yang sedang bicara
itu. Maka "heggg,” terdengarlah suara tercekik dari rangkungan si perwira
ketika senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam mulut. Senjata
rahasia itu lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut sang perwira.
Nasibnya kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang terdahulu!
Sultan
Hasanuddin segera dekati Pendekar 212. "Saudara, kau telah tolong. Aku…”
Pendekar
212 memberi isyarat. Dia melangkah cepat dan membungkuk di hadapan Mangkubumi
Mintra. Ternyata orang tua itu masih bernafas satu-satu. Mulutnya
bergerak-gerak.
"Sultan…
mungkin dia mau bicara padamu,” memberi tahu Pendekar 212 atau Wiro Sableng.
Mendengar itu Sultan Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang
tua Mangkubumi Mintra dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang
berbinar-binar. Bila pandangannya menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka
tersenyumlah dia.
"Sultan,
kau tak apa-apa…?"
"Tidak
bapak…". Sultan membelai rambut orang tua itu dan menyeka keringat di
keningnya. Keringat dan kening itu sangat dingin seperti es.
"Syukurlah..,"
desis Mangkubumi Mintra. "Aku yakin di bawahmu Kerajaan Banten yang syah
akan bisa ditegakkan kembali…"
Sultan
Hasanuddin mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi karena
dilihatnya orang tua itu memalingkan kepalanya kepada pemuda yang telah
menolongnya.
"Pendekar
muda… aku gembira kau datang. Lebih gembira lagi karena kau telah berhasil
menyelamatkan Sultan. Tuhan kelak akan membalas jasamu yang besar ini…” Orang
tua itu terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia tengah mengumpulkan tenaga baru
dari sisa-sisa tenaganya yang terakhir. Lalu mulutnya terbuka kembali.
"Yang
pasti adalah, bila takhta Banten telah kembali pada pemiliknya yang syah, maka
Kerajaan dan rakyat Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini…”
Pendekar
212 coba tersenyum. Dia tahu bahwa keadaan orang tua itu tak mungkin lagi untuk
ditolong. Maka berkatalah dia. "Menyesal orang tua, aku tak bisa berbuat
sesuatu apa dengan lukamu…”
"Ah
diriku yang sudah rongsokan ini tak perlu diambil peduli. Aku gembira menemui
kematian dengan cara begini rupa… Gembira karena di saat menjelang kematian ini
aku telah dapat melihat sinar terang bahwa Banten pasti akan kembali kepada
pewarisnya yang syah…"
Mangkubumi
memutar matanya pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya terbuka untuk mengatakan
sesuatu namun malaekat maut meminta nyawanya lebih dahulu. Air mata menggenang
di kedua mata Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir sendiri untuk menahan
keluarnya suara isakan.
Tiba-tiba
kening Pendekar 212 kelihatan mengerenyit. Kepalanya diputar ke jurusan timur.
"Ada apa…?" tanya Sultan yang saat itu masih belum mendengar suara
apa-apa.
"Cecunguk-cecunguk
pemberontak itu kurasa…” ujar Pendekar 212.
Beberapa
ketika kemudian barulah Sultan mendengar suara derap kaki kuda yang banyak
sekali, mendatangi ke arah di mana mereka berada saat itu. Disusul beberapa
saat lagi maka diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar tinggi kelihatanlah
kira-kira dua puluh prajurit pemberontak yang dipimpin oleh seorang
berselempang kain putih bermuka sangat hitam dan berambut gondrong acak-acakan.
"Sultan, tinggalkan tempat ini cepat!"
"Tidak
bisa sobat! Mangkubumi Mintra terbujur begini rupa dan adalah pengecut sekali meninggalkan
kau seorang diri. Apalagi kau adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan
ketika dia diminta pergi. "Ini bukan soal pengecut Sultan! Yang penting
adalah keselamatan dirimu dan keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di
tanganmu."
Tentu
saja Sultan Hasanuddin menjadi kaget mendengar ucapan Pendekar 212. Sewaktu
pertama kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan "Sultan" dia
telah terkejut dan kini bahkan dia mengetahui pula bahwa keris Tumbal Wilayuda
berada di tangannya!
Sementara
itu rombongan penunggang-penunggang kuda semakin dekat. Wiro Sableng atau
Pendekar 212 berkata lagi. "Pergilah cepat sebelum terlambat! Soal jenazah
orang tua ini aku yang akan urus. Selama gunung masih hijau, kelak kita akan
bertemu kembali!"
Mendengar
itu dan lagi memang tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya maka Sultan
Hasanuddin segera tinggalkan tempat itu.
Begitu
dia lenyap di balik semak-semak maka dua puluh prajurit pemberontak di bawah
pimpinan si muka hitam sampai di tempat itu. Dia memberi isyarat. Prajurit-prajurit
menyebar. Dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 kini terkurung di tengah
lingkaran dua puluh prajurit bersenjata lengkap, di bawah pimpinan seorang
tokoh silat yang kosen!
–== 0O0
== –
**************
3
DIKURUNG
begitu rupa Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja seperti saat itu cuma dua
sendirian saja berada di situ. Si muka hitam yang tak lain Resi Singo Ireng
kaki tangan Parit Wulung adanya, menyapu tebaran-tebaran mayat di hadapannya
dengan pandangan sedingin salju. Yang agak mengherankan Resi muka hitam ini
ialah mengapa di antara mayat-mayat pasukan Parit Wulung juga terdapat mayat
Mangkubumi Mintra. Tak mungkin si pemuda rambut gondrong itu yang telah menebar
mayat kecuali jika dia mempunyai dendam kesumat terhadap kedua belah pihak
yaitu pihak pasukan dan Mangkubumi Mintra. Disamping itu dengan adanya mayat si
orang tua tergeletak di situ, pastilah sebelumnya Sultan Hasanuddin juga berada
di situ! Singo lreng memang berpikiran tajam. Melihat kepada pakaian Mangkubumi
Mintra tahulah dia bahwa penasihat istana itu berusaha melarikan diri dari
Banten dengan menyamar sebagai pengemis!
"Mana
Sultan?" bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar.
Pendekar
212 tidak menjawab. Malahan dia memandang seperti tiada melihat apa-apa
berada-disekelilingnya saat itu! Dia menengadah ke atas memperhatikan matahari
yang menaik tinggi.
Melihat
sikap yang sangat menghina ini, apa lagi di hadapan sekian banyaknya prajurit
tentu saja Resi Singa Ireng menjadi sangat penasaran serta malu. Mukanya yang
hitam kelihatan semakin tambah hitam. "Bocah gondrong! Apa kau tuli atau
gagu? Orang bertanya tidak dijawab?!"
Pendekar
212 masih tidak menyahut. Malah kini jari-jari tangan kirinya
mencungkilcungkil tepi lubang hidungnya kemudian dia berbangkis dua kali
berturut-turut!
"Keparat!"
bentak Singo Ireng dengan-suara menggeledek.
"Eeeeh…
kau memaki pada siapakah?!" bertanya Pendekar 212 sambil putar kepala
seperti baru saat itu disadarinya bahwa dia tidak berada sendirian di tempat
itu!
"Prajurit-prajurit!
Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya.
Maka dua
puluh prajurit pemberontak melompat turun dari kuda masing-masing, hunus
senjata dan bergerak cepat mendekati Pendekar 212.
"Bergundal
pemberontak," berseru Wiro Sableng atau Pendekar 212. "Kalau kau
ingin tangkap aku mengapa tidak turun tangan sendiri?!"
Di saat
itu dua puluh prajurit sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212.
"Kalian
kunyuk-kunyuk pemberontak hanya datang minta digebuk!" ujar Pendekar 212
dengan tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan
dahsyat.
Lima
prajurit yang paling dekat dan hendak turun tangan menangkapnya terpelanting
dan bergetimpangan di tanah tiada nyawa lagi!
Tersiraplah
darah Resi Singo Ireng! Tiada disangkanya pemuda gondrong bertampang bodoh itu
mempunyai kehebatan demikian rupa! Maka berserulah dia! "Tak perlu budak
hina dina ini ditangkap hidup-hidup. Cincang di tempat!"
Maka lima
belas senjata tajam berkiblat ke arah Pendekar 212.
"Heiyaaah
!"
Tubuh
Siro Sableng mencelat tiga tombak ke atas, Seluruh serangan senjata lawan lewat
di bawah kakinya. Detik senjata-senjata itu menderu memapas angin kosong maka
detik itu pula dengan kecepatan yang hampir tak sanggup disaksikan oleh mata
Pendekar 212 menukik ke bawah merampas pedang salah seorang prajurit. Dan
ketika pedang itu menderu laksana kitiran maka lima prajurit meregang nyawa
mandi darah, dua lainnya luka parah!
Dalam
kejutnya menyaksikan gebrakan yang dahsyat itu Resi Singo Ireng melihat satu
bayangan berkelebat ke arahnya. Dia tarik tali kekang kuda dengan cepat. Namun
sebelum binatang tunggangannya itu sempat bergerak, tubuh kuda ini sudah
angsrok ke tanah! Keempat kakinya terbabat putus. Binatang ini berguling di
tanah melejang-lejangkan kakinya yang buntung dan meringkik tiada henti! Untung
saja Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang terjadi sehingga lekas-lekas
dia melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam membesi, mata menyorot!
Pendekar
212 tertawa gelak-gelak sementara prajurit-prajurit yang masih hidup dengan
nyali menciut segera menjauhi ini pemuda yang dianggap mereka sangat berbahaya.
"Pemuda
gondrong! Kehebatanmu cukup untuk dikagumi! Tapi bila kau tahu dengan siapa
saat ini berhadapan, maka lekaslah berlutut minta ampun!" berkata Singo
Ireng.
"Uh!
Sama manusia jelek macam kau buat apa perlu takut!". ujar Wiro Sableng dan
tawanya semakin menjadi-jadi!
"Ah…
kalau begitu kau sebutkanlah nama! Terhadap manusia-manusia yang punya sedikit
ilmu, aku tidak begitu senang jika membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih
dahulu!"
"Kalau
butuh namaku aku tak keberatan. Majulah biar kutulis dijidatmu!" kata Wiro
Sableng pula sambil acungkan jari telunjuk!
Menggeramlah
sang Resi bermuka hitam itu. Selama dunia terbentang, selama malang melintang
dalam dunia persilatan, baru hari itulah dia dihina dan direndahkan
terus-terusan oleh seseorang! Oleh seorang yang berusia jauh lebih muda dari
padanya. Dari balik pakaian Resi ini keluarkan sebuah senjata berbentuk aneh
yaitu sebuah besi panjang yang ujungnya berbentuk Iingkaran.
"Kalau
kau punya senjata pusaka, sebaiknya lekas keluarkan supaya mampus tidak
rnenyesal!"
"Tak
perlu banyak cerewet!" semprot Pendekar 212. "Majulah! Senjataku
cukup pedang butut milik cecungukmu yang sudah mampus itu!"
Resi
Singo Ireng yang berbadan kate ini segera maju dan hamburkan serangan dahsyat.
Senjata anehnya mengeluarkan suara menderu, menimbulkan angin yang deras dan
tajam. Ujung senjata yang berbentuk lingkaran itu berubah laksana ratusan
banyaknya! Searang lawan yang berilmu tanggung dan bermata tidak awas akan
sulit membedakan mana lingkaran senjata yang asli dan mana yang bukan. Dalam
lawan kebingungan maka senjata itu akan menyeruak lewat kepalanya dan sekali
putar saja pastilah patah dan putus batang leher dibuatnya! Inilah kehebatan
senjata sang Resi dari pantai selatan itu!
Namun
yang dihadapi Singo Ireng dihari itu bukanlah seorang lawan berilmu tanggung,
bukan seorang pemuda yang hanya mengenal sejurus dua ilmu silat! Begitu senjata
lawan membadai menghampiri kepalanya, Wiro Sableng cepat merunduk dan
selinapkan satu tusukan deras kearah perut sang Resi!
Kaget
Singo Ireng bukan olah-olah! Cepat dia undur dua langkah dan papasi pertengahan
senjata lawan dengan tongkat besi lingkarannya.
"Trang"
!
Dua
senjata beradu
Karena
senjata ditangan Singo Ireng adalah senjata mustika sedang pedang ditangan Wiro
hanya pedang biasa maka patahlah pedang itu! Tapi sebaliknya Singo Ireng
merasakan bagaimana tangannya tergetar hebat dan panas pada bentrokan itu!
Maklumlah dia bahwa pemuda itu mempunyai tingkat tenaga dalam yang hebat
sekali! Karenanya sang Resi tanpa memberi peluang segera lancarkan
serangan-serangan dahsyat! Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus yang hebat yaitu
jurus "memetik bunga membelah buah" lalu disusul dengan jurus
"delapan gunung meletus gegap gempita"! Diserang dengan dua jurus ini
berikut pecahan-pecahannya yang tak kalah dahsyat maka Pendekar 212 menjadi
repot juga.
Namun
bila dia sudah mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat
dari sela bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi
terdesak. Meski terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup
pertahankan diri sampai sepuluh jurus dimuka!
"Manusia
bermuka jelek! Permainan silatmu baleh juga. Tapi apa kau sanggup menerima
pukulanku ini?!" tanya Pendekar 212. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi ke atas, kedua mata dipejam. Kemudian kedua tangan itu mulai
berputar-putar dengan sebat! Maka menggemuruhlah suara angin. Debu dan pasir
beterbangan, membuat gelap pemandangan!
"Pukulan
angin puyuh!" seru Resi Singo Ireng sambil bersurut mundur. Mulutnya komat
kamit membaca aji penangkis. Kedua kakinya melesak kedalam tanah sampai dua
dim! Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian putih serta rambutnya yang awut-awutan
berkibar-kibar!
Tiba-tiba
Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan kedua tangannya kemuka. Tubuh Singo Ireng
mencelat kebelakang sampai lima tombak. Ketika dia berdiri maka tubuhnya
terbungkuk tertatih-tatih, hidungnya kembang kempis tanda nafasnya memburu tak
teratur. Nyatalah bahwa Resi kosen ini telah menderita luka parah didalam
akibat pukulan Wiro Sableng tadi. Senjatanya mental entah kemana! Wiro tertawa
mengekeh.
Sebaliknya
lawannya menggeram laksana harimau terluka. Mulut terkatup rapat-rapat, rahang
bertonjolan, pelipis bergerak-gerak sedang mata menyorot merah!
"Pemuda,
hari ini aku Resi Singo Ireng biarlah mengadu jiwa pada kau!". Sang Resi
angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Detik demi detik tangannya itu menjadi
hitam legam. Tangan ini bergetar karena seluruh tenaga dalamnya dipusatkan
kesitu!
Wiro
Sableng tertawa mengejek. "Rupanya kau sengaja mau bunuh diri manusia kate
bertampang jelek! Dalam keadaan terluka di dalam, melancarkan pukulan demikian
rupa kau akan konyol sendiri!".
Singo
Ireng memang memaklumi hal itu. Tapi dia sudah kepalang tanggung, sudah teramat
malu dan sudah meluap amarahnya! "Aku mati tapi kau juga mampus
ditanganku, keparat!" bentaknya.. Maka tangan kirinyapun turun kebawah
dengan cepat. Selarik sinar hitam yang menggidikkan menyambar kearah Pendekar
212! Itulah ilmu pukulan "wesi item" yang telah membinasakan Braja
Paksi, kepala balatentara Banten!
Pendekar
212 melompat ke atas sampai enam tombak. Angin pukulan "wesi item"
terasa panas seperti mau melumerkan kedua kakinya. Pendekar ini gigit bibir
menahan perih lalu 1ancarkan serangan balasan yaitu pukulan yang tak asing
lagi. "kunyuk melempar buah"!
Di
seberang sana tubuh Resi Singo Ireng kelihatan jungkir balik kemudian jatuh
duduk di tanah dan muntah darah, lalu rebah tiada sadarkan diri!
Sebenarnya
pukulan "kunyuk melempar buah" itu belum tentu akan mencelakai sang
Resi. Namun karena dalam keadaan terluka di dalam dia telah rnelancarkan
pukulan yang keras dengan mengandalkan seluruh tenaga dalam maka dia rasa
sendiri akibatnya. Masih untung nyawanya tidak terbang!
Wiro
Sableng tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati tubuh Resi itu.
Prajuritprajurit yang masih hidup, yang dedikkan mata melihat bagaimana jago
mereka dibikin babak belur demikian rupa segera bersurut menjauh.
"Resi
muka arang!,” kata Pendekar 212. "Kau tanya siapa aku. Inilah kutuliskan
aku punya nama!". Dan habis berkata demikian pendekar ini segera guratkan
angka 212 dikulit kening yang hitam dari Singo Ireng. Kemudian nendekar ini
berdiri kembali. "Kerak-kerak pemberontak!,” katanya pada perajurit-perajurit
yang masih hidup. "Kalian boleh menggotong manusia bermuka pantat kuali
ini ke Kotaraja! Jika hari ini aku tiada cabut nyawanya dan nyawa kalian, maka
di lain hari bila bertemu kembali jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian!
Sampaikan ini padanya bila dia sudah siuman!". Dan sesudah bicara demikian
Wiro Sableng segera tinggalkan tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi
Mintra.
–== 0O0
== –
*************
4
DENGAN
hati penuh duka sedih mengenang kematian Mangkubumi Mintra yang sengaja
korbankan nyawa untuk selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin berlari sepanjang
tepi rimba belantara dikaki bukit. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan.
Dan ini bukan saja menambah besarnya dendam kesumat di hati Sultan terhadap
Parit Wulung dan benggolanbenggolan pemberontak lainnya tapi juga mempertebal
tekatnya bahwa di suatu ketika dia pasti akan kembali ke Banten dan membangun
Kerajaan Banten yang syah!
Menjelang
senja dia mencapai sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini
bernama Asoka. Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para
pedagang dari pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu
banyak yang mendirikan gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya,
kemudiannya lagi mereka juga mendirikan rumah-rumah sehangga lambat laun dari
pangkalan dagang maka berobahlah Asoka menjadi sebuah kota. Sebagai kota dagang
tentu saja sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian ini terus
berlangsung sampai jauh malam.
Sehabis
mendapatkan sebuah penginapan, Sultan mengelilingi kota melihat-lihat keramaian
dan mengisi perut disatu kedai. Ketika bulan sabit di atas langit tertutup oleh
awan tebal berwarna gelap maka Sultanpun kembali kepenginapannya. Matanya yang
tajam segera melihat adanya ketidakberesan dalam kamar dimana dia menginap.
Seperai agak kusut bantal-bantal tidak terletak ditempatnya semula sedang
bungkusan kecil yang berisi beberapa potong pakaian serta sejumlah uang yang
diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali bekas dibuka dan digeledah
orang. Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang hilang!
Sultan
merasa masygul. Dia memandang berkeliling. Di dinding sebelah sana terdapat
sebuah jendela. Jendela itu masih tetap sebagaimana tadi ditinggalkannya. Tak
ada tanda-tanda bekas pengrusakan. Siapa gerangan yang telah masuk ke dalam
kamar dan melakukan penggeledahan? Mungkin seseorang, mungkin beberapa orang?
Kalau dia atau mereka itu dari golongan si tangan panjang atau pencuri, mengapa
tidak sepotong barang dan tak sepeser uangnyapun yang hilang? Kekhawatiran
Sultan Hasanuddin semakin besar karena dia berkesimpulan bahwa siapapun
manusianya yang telah memasuki kamarnya pastilah untuk mencari dan mencuri
keris pusaka Tumbal Wilayuda!
Sultan
Hasanuddin merasa bersyukur karena sewaktu pergi tadi dia telah membawa keris
tumbal kerajaan itu. Kalau tidak pastilah senjata itu sudah lenyap dilarikan
orang!
Malam itu
Sultan sengaja tidur dengan mematikan lampu minyak di dalam kamarnya. Matanya
hampir terpicing ketika lapat-lapat sepasang telinganya mendengar suara
gemerisik di atas loteng bangunan. Suara itu pasti sekali bukan suara kucing.
Sultan pasang telinganya lebih tajam. Suara gemerisik tadi lenyap dan kini dia
hanya mendengar suara rintik-rintik hujan gerimis di luar sana. Perlahan-lahan
Sultan pejamkan matanya kembali. Tapi ketika hampir pulas matanya itu
terpicing, suara gemerisik tadi didengarnya kembali. Kali ini Sultan bangun
dari pembaringan dan melangkah kesudut kamar. Dia menunggu dengan tangan kanan
menempel erat-erat dihulu pedang.
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka! Sultan terkejut. Dia ingat betul bahwa pintu kamar itu
telah dikuncinya tadi, bagaimana kini bisa terbuka semudah itu tanpa suara dan
siapakah yang nlembukanya?! Sultan tak menunggu lebih lama. Sesosok tubuh
manusia yang sangat pendek masuk mengendap-endap ke dalam. Manusia ini memakai jubah
panjang. Karena tubuhnya yang kate maka jubahnya menjela-jela sampai kelantai.
Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke kiri dan melompat. Sebuah benda besar
ditangannya yaitu sebilah golok empat persegi panjang menderu ke arah dimana
Sultan berdiri. Sultan sendiri yang saat itu memang sudah siap siaga cabut
pedangnya dengan cepat dan menangkis!
"Trang"!
Bunga api
memercik. Karena kamar itu gelap maka sinar percikan bunga api menjadi terang
sekali dan menerangi kedua muka manusia yang berada disitu. Keduanya saling
meneliti paras lawan masing-masing!
Terkesiaplah
Sultan Hasanuddin ketika melihat bagaimana wajah manusia yang dihadapinya itu
seramnya bukan main. Rambutnya kaku berdiri laksana ijuk. Manusia ini
memelihara berewok yang meranggas lebat. Alisnya tebal, sepasang matanya besar
merah. Bibirnya sumbing dan dua buah giginya yang besar tersembul keluar.
Manusia ini boleh dikatakan tiada mernpunyai hidung karena daging hidungnya
sama rata dengan pipinya yang cekung! Dan bau badannya yang busuk sangat menusuk
hidung!
"Manusia
buruk! Jika kau tidak tinggalkan kamar ini dengan cepat, jangan menyesal bila
kukirim ke akhirat!" ancam Sultan.
Manusia
bermuka seram itu tertawa dingin.
Dia
hembuskan nafasnya yang busuk kemuka. Sultan tutup jalan nafas di hidung dan untuk
kedua kalinya pergunakan pedang guna menangkis serangan lawan. Tapi kali ini
keadaan tidak seperti tadi Iagi. Meski Sultan sanggup menangkis senjata lawan
namun pedangnya sendiri terlepas mental, tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba
satu tangan mendorongnya hingga dia terbanting dengan keras ke dinding!
Ketika
dia imbangi diri kembali, kaget Sultan tiada kepalang. Matanya membeliak
menyaksikan bagaimana keris Tumbal Wilajuda kini sudah berada di tangan manusia
bermuka seram itu!
"Maling
hina dina! Kembalikan kerisku!" teriak Sultan.
Simuka
buruk hamburkan tertawa mengekeh. "Masih untung aku hanya minta kerismu
ini, dan bukan nyawamu!". Habis berkata begini manusia muka seram itu
sekali gerakkan badan tubuhnya menerjang ke muka mendobrak jendela untuk kemudian
lenyap lewat jendela yang ambruk itu dikegelapan malam!
"Pencuri
terkutuk!". Sultan melesat pula ke luar jendela. Dia masih sempat melihat
bayangan pencuri itu di balik sebuah gudang tua dan segera mengejar ke situ.
Kejar mengejar itu berjalan hanya sebentar saja karena sejurus kemudian si
pencuri lenyap seperti gaib ditelan bumi!
Sultan
berdiri gemas memandang berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari si
pencuri di malam buta begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah
seorang pula dari kaki tangan Parit Wulung?!
Tengah
kebingungan begitu rupa tiba-tiba Sultan menangkap suara bentakan-bentakan
orang yang tengah berkelahi. Cepat Sultan lari ke balik sebuah bengkel kuda dan
dalam kegelapan dilihatnyalah dua manusia tengah bertempur dengan hebat. Salah
seorang tiada lain dari pada si pencuri yang tengah dicari-carinya sedang orang
yang kedua sesudah diperhatikan dengan teliti ternyata dia adalah pemuda rambut
gondrong yang pagi tadi telah menolongnya di perbatasan.
"Sobat!
Serahkan pencuri terkutuk ini padaku!" seru Sultan.
"Ah…
selamat jumpa Sultan," menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212.
"Tak
perlu kotorkan tangan pada manusia bau bangkai ini…!"
"Dia
mencuri kerisku, sobat!" memberi tahu Sultan.
"Aku
tahu. Biar aku yang ringkus dia!"
Begitu
mendengar si pemuda yang menyerangnya memanggil "Sultan" ‘terhadap
lakilaki yang datang itu terkejutlah si mulut sumbing. Dibalik terkejut
hatinya juga senang. "Ha… ha… jadi saat ini aku berhadapan dengan Sultan
dan tukang pukulnya? Bagus! Kerisnya aku sudah dapat, kini Sultannya sendiri
datang antarkan diri untuk ditangkap hidup-hidup. Pasti aku mendapat hadiah
berlipat ganda dari Parit Wulung…"
"Hem…
jadi betul dugaanku bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?!
Terima pukulanku ini, pencuri hina dina!"
Sultan
lepaskan tiga pukulan sekaligus! Tapi yang diserang ganda tertawa dan kebutkan
lengan pakaiannya yang bertambal-tambal. Serangkum angin dahsyat rnenyerang ke
arah Sultan. Namun angin pukulan itu buyar di tengah jalan, kena dihantam angin
pukulan lain yang datang dari samping!
Si muka
seram menggerong. "Agaknya malam ini Pengemis Bibir Sumbing musti rampas
dua jiwa sekaligus!".
Sultan
tersurut sewaktu mendengar manusia kate itu kenalkan diri. Pendekar 212 sendiri
juga terkejut. Nama Pengemis Bibir Sumbing memang sudah sejak lama terkenal
sepanjang pesisir Jawa Barat. Bersama dua orang lainnya maka Pengemis Bibir
Sumbing dikenal sebagai pemegang pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam! Tiba-tiba Pengemis Bibir Sumbing lemparkan golok besarnya ke arah
Pendekar 212. Senjata ini dengan mudah bisa dielakkan. Begitu habis lemparkan
golok, Pengemis Bibir Sumbing acungkan kedua tangan datar-datar ke muka dengan
telapak tangan menghadap ke atas.
"Telapak
tangan minta sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan yang
bakal dilancarkan lawan.
"Sultan
mundurlah!,” serunya kemudian memperingatkan.
Tapi
disaat itu Pengemis Bibir Sumbing sudah mencelat ke muka dan membagi-bagi
serangan telapak tangannya pada Pendekar 212 dan Sultan!
Tahu
bahwa pukulan lawan sangat berbahaya maka Pendekar 212 segera hantamkan tangan
kanannya ke muka. Gelombang angin deras memukul ke arah Pengemis Bibir Sumbing.
Meski tubuhnya sendiri kemudian terpelanting sampai tiga tombak oleh serangan
lawan namun Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya masih sanggup hantamkan telapak
tangannya ke dada Sultan!
Sultan
Hasanuddin mengetuh tinggi. Tubuhnya bergoncang, dadanya seperti melesak.
Terbungkuk-bungkuk dia berbatuk. Darah segar menyembur!
Pendekar
212 bersuit keras! Tubuhnya lenyap pada detik Pengemis Bibir Sumbing coba
lepaskan pukulan "telapak tangan minta sedekah nyawa" untuk kedua
kalinya.
"Sultan,
cepat telan pil ini!" teriak Wiro Sableng.
Sultan
Hasanuddin sambuti pil yang dilemparkan Pendekar 212 lalu menelannya dengan
cepat Kemudian segera duduk bersila mengatur jalan darah serta pernafasan, juga
alirkan tenaga dalam kebagian yang terluka.
Disaat
Wiro Sableng berkelabat maka lenyaplah tubuhnya dari penglihatan Pengemis Bibir
Sumbing. Karena hanya terdengar suaranya saja, maka Pengemis Bibir Sumbing
kembali lancarkan pukulan ganas dua kali berturut-turut ke arah suara lawan.
Tapi Pendekar 212 tidak bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing salah perhitungan. .
"Plaak"!
Pengemis
Bibir Sumbing terpental empat tombak ke belakang. Kepalanya serasa pecah sedang
kulit keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit keningnya itu kini kelihatan
tiga buah angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap amarahnya. Tanpa hiraukan
rasa sakitnya pada keningnya dia menerpa kemuka kirimkan lima pukulan empat
tendangan! Pendekar 212 mendengus dan bersiul nyaring. Tangan kanan menghantam
ke muka. Angin pukulan menderu, menyusup di antara serangan lawan!
Untuk
kedua kalinya Pengemis Bibir Sumbing terpental. Kali ini sampai delapan tombak
dan kali ini terus terguling ke tanah dengan mulut memuntah darah! Tamatlah
riwayatnya! Sultan yang menyaksikan pertempuran hebat itu dalam sakitnya
leletkan lidah penuh kagum!
Pendekar
212 mendekati mayat Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal Wilayuda
lalu menyerahkan kemhali pada Sultan.
"Keris
pusaka bagus! Karena senjata ini banyak yang ingini sebaiknya disimpan lebih
hati-hati, Sultan".
Sultan
menghela nafas panjang. "Terima kasih,” katanya. "Dua kali kau telah
menolongku sahabat. Siapakah engkau?"
"Namaku
Wiro Sableng,” jawab Pendekar 212. "Kalau aku boleh kasih nasihat, baiknya
kau tak usah kembali kepenginapan, tapi segera teruskan perjalanan".
"Mengapa
begitu?" tanya Sultan.
"Terlalu
banyak manusia-manusia macam Pengemis Bibir Sumbing ini yang mencarimu dan
inginkan keris Tumbal Wilayuda".
Sultan
merenung sejurus. "Terima kasih atas nasihatmu, sahabat! Karena kau telah
berbuat baik kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal kulupakan sebagai budi
besarmu, bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku meneruskan
perjalanan?"
"Ah…
itu satu kehormatan besar bisa seiring denganmu, Sultan" jawab Pendekar
212 ramah. "Tapi harap maafkan.. Aku masih banyak urusan. Namun demikian,
aku berjanji tidak akan berada jauh dari padamu…”
"Kalau
begitu baiklah, aku tidak memaksa’,” ujar Sultan. Dari balik pakaian samarannya
yang bertambal-tambal dikeluarkannya sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya
benda itu kepada Pendekar 212 tapi sang pendekar tak berani menyambutinya.
"Sobat,
terimalah!" kata Sultan pula.
"Benda
apakah ini Sultan?"
"Terimalah
dulu".
Wiro
menerimanya.
Benda itu
ternyata sebuah bintang bersudut delapan yang terbuat dari emas dan di
tengah-tengahnya dihiasi dengan sebutir berlian yang berkilauan. "Benda
itu adalah bintang utama Kerajaan Banten, yang diserahkan kepada siapa saja
yang telah membuat jasa terhadap Raja dan rakyat Banten, Wiro…"
"Ah…
mana aku pantas terima hadiah ini Sultan?" kata Wiro Sableng pula dengan
kerendahan.
Tapi
sultan memaksakan juga agar Pendekar 212 menerima anugerah itu. Wiro menyimpan
benda tersebut baik-baik dibalik pakaiannya. "Terima kasih,” katanya.
"Lalu
karena penyamaraanmu sebagai pengemis sudah diketahui oleh golongan rampok dan
penjahat, sebaiknya ditukar saja, Sultan"
"Aku
memang sudah merencana begitu" kata Sultan pula.
Sekali
lagi mereka saling ucapkan terima kasih. Pendekar 212 menjura minta diri dan
keduanyapun berpisahlah.
–== 0O0
== –
*************
5
KELUARGA
Wirja Pranata adalah keluarga bangsawan besar di Ujung Kulon. Selagi muda
antara Wirja Pranata dan Fatahillah terdapat jalinan persahabatan yang erat
sehingga di suatu ketika kedua sahabat itu berjanji bahwa bila mereka nanti
salah satu memiliki anak laki-laki dan anak perempuan, dikemudian hari kelak
keduanya akan dijodohkan.
Puteri
bangsawan Wirja Pranata yaitu Anjarsari memang sudah lama tahu bahwa dirinya
dijodohkan dengan Raja Banten. Namun sampai sebegitu jauh belum pernah
sekalipun dia bertemu muka dengan calon suaminya itu. Dan ketika Sultan
Hasanuddin muncul di sore hari itu maka terkejutlah bangsawan Wirja Pranata.
"Sultan,
apakah yang telah terjadi ? Mengapa datang tanpa pengiring dan dalam pakaian
begini rupa?”
Sultan
Hasanuddin menggigit bibir menahan gelora hatinya. Sesudah apa yang
menggejolaki hatinya berkurang maka mulailah dia beri penuturan.
Hal itu
mengejutkan seluruh keluarga bangsawan Wirja Pranata, termasuk Anjarsari yang
curi mendengar penuturan itu dari balik dinding kamar tidurnya.
Beberapa
lamanya kesunyian menyeling. Bangsawan Wirja Pranata dan isterinya duduk
termanggu tanpa bisa berkata apa-apa. Sultan sendiri juga terdiam beberapa
Iamanya. Ketika Sultan dipersilahkan kebelakang untuk membersihkan diri maka
diamdiam Anjarsari mencuri intip dari sela pintu. Hatinya berdebar dan darahnya
berdebur-debur. Ah, nyatanya Sultan yang bakal suaminya itu seorang pemuda yang
berparas gagah berkulit kuning halus, hampir sehalus kulit perempuan! Hatinya
berbunga-bunga. Kapan ayah atau ibunya akan menyuruhnya keluar dan berkenalan
dengan Sultan? Dan mengingat ini dada si gadis semakin menggemuruh. Ketika dia
menghadap ke kaca maka jelaslah kelihatan bagaimana parasnya ke merah-merahan!
Ketika
senja berlalu dan hari beralih menjadi malam maka barulah Anjarsari disuruh
keluar oleh ibunya. Pertemuan dengan Sultan benar-benar membuat lututnya
gemetar, tapi juga membuat hatinya mekar. Gadis ini tundukkan kepala, parasnya
bersemu merah. Sultan sendiri juga tundukkan kepala. Apa yang dikatakan ayahnya
bahwa calon isterinya adalah seorang gadis cantik sekarang menjadi kenyataan.
Diam-diam pemuda ini melirik dengan sudut matanya.
Bangsawan
Wirja Pranata berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah dia pada calon mantunya itu .
"Apakah rencana Sultan selanjutnya?"
"Saya
merencanakan untuk pergi ke. Demak dan minta bantuan pasukan serta persenjataap
selengkapnya….."
"Itu
tepat sekali,” kata Wirja Pranata. “Tapi mengingat Demak masih jauh dari sini
dan Sultan membawa keris pusaka pula maka sebaiknya Sultan jangan pergi seorang
diri"
Ucapan
calon mertuanya itu memang dirasa betul sekali oleh Sultan. Dan diam-diam dia
teringat pada Wiro Sableng, si pemuda sakti yang telah dua kali menolongnya.
Kalau pemuda itu berada bersamanya saat itu tentu dia tak usah khawatir bahaya
apapun.
Sebagai
orang tua yang tahu di hati anak muda dan juga pernah muda, tak lama kemudian
Wirja Pranata bersama isterinya mengundurkan diri ke dalam kamar. Maka kini
tinggallah kedua orang itu. Suasana lain sekali jadinya kini. Suasana itu
sungguh tidak enak, tapi tidak enak yang enak! Rasa begini rupa baik oleh
Anjarsari maupun oleh Sultan sendiri tak pernah dialaminya sebelumnya. Cuma
sudut-sudut mata mereka saja yang sekali-sekali mencuri pandang. Ketika
Anjarsari melirik untuk kesekian kalinya maka pada detik itu pula Sultan
mengerling. Beradulah dua kerlingan mata itu! Anjarsari cepat-cepat menundukkan
kepalanya menyembunyikan paras yang semu kemerahan!
Kesunyian
masih juga berjalan terus sampai beberapa lamanya. Tiada satupun yang berani
untuk membuka pembicaraan. Sultan sendiri merasa tenggorokannya seperti
tersekat, lidahnya seperti kelu dan mulutnya terkancing!
Namun
pada akhirnya Sultan Hasanuddin membuka mulutnya juga. "Kalau tiada
terjadi pengkhianatan Parit Wulung, mungkin sampai hari ini belum ada
kesempatan bagi kita untuk bertemu, Sari…”
"Ya…
hemm…, saya sangat terkejut meindengar berita buruk itu, kakak,” berkata
Anjarsari agak gugup. Kemudian. "Apakah kakak akan segera berangkat ke
Demak…?"
Sultan
mengangguk.
"Memang
lebih cepat lebih baik. Ramanda di Cirebon sudah mendapat tahu peristiwa di
Banten…?"
"Mudah-mudahan
sudah karena ada kukirimkan seorang utusan ke sana". Kemudian untuk
menghilangkan pembicaraan yang berjalan kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari
keluar rumah. Di luar ternyata malam itu berpemandangan indah. Bulan purnama
empat belas hari bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit yang
biru cerah. Banyak dan sering sudah kedua remaja itu melihat bulan purnama pada
malam-malam terang bulan sebelumnya namun bagi mereka tiada seindah malam itu.
Di
samping gedung besar bangsawan Wirja Pranata terdapat sebuah taman kecil. Di
dalam taman terletak satu bangku panjang. Kedua remaja ini melangkah seiring ke
bangku itu. Mendadak Sultan putar kepalanya ketika sepasang telinganya yang
tajam dalam kesunyian itu mendengar suara bergeresek di atas genting. Sesosok
bayangan hitam kelihatan berkelebat ialu lenyap di bagian atap gedung yang
lain. Meski demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih sempat melihat bahwa di
tangan kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah benda yang berbentuk
keris.
"Celaka!"
kata Sultan dalam hati. Dia berseru dengan keras. "Berhenti!" Tapi
bayangan sosok tubuh tadi sudah sejak lama lenyap. Ketika disusul kehalaman
samping juga tak kelihatan lagi. Dalam kebingungannya Sultan sampai lupakan
Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung, terus ke kamar dan melihat bagaimana
kasur pembaringan berada dalam keadaan tak karuan. Ketika ditariknya kasur itu
di bagian kepala tempat tidur, maka keris Tumbal Wilayuda yang sebelumnya
disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi! Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh
yang melarikan diri tadi yang telah mencurinya!
"Pencuri
keparat!" maki Sultan. Dia lari lagi keluar. Ketika sampai di halaman
samping terkejutlah dia. Anjarsari tak ada lagi di dalam taman! Lenyap!
"Anjar!"
memanggil Sultan. "Anjarsari!" serunya lagi. Tapi tiada jawaban!
Maka di
malam itu hebohlah seisi gedung bangsawan Wirja Pranata. Sultan sendiri sesudah
memberikan penuturan, singkat segera berkelebat meninggalkan gedung. Keris
Tumbal Wilayuda lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih lagi terhadap Anjarsari yang
hilang secara aneh itu. Maka dia memutuskan menyelidiki lenyapnya Anjarsari
lebih dahulu lalu baru mencari jejak si pencuri keris Tumbal Wilayuda!
Sesaat
sesudah kepergian Sultan, Wirja Pranata berkelabat pula ke arah yang
berlawanan.
Malam
dingin dan angin agak kencang bertiupnya. Wirja Pranata adalah seorang
bangsawan yang "mempunyai isi" juga. Dalam waktu yang singkat dengan
ilmu larinya yang sempurna dia telah sampai di luar kota. Karena daerah luar
kota merupakan daerah pesawangan datar di tambah bulan bersinar terang maka
dengan mudah di ujung pesawangan Wirja Pranata dapat melihat dua sosok tubuh
manusia tengah berlari kencang. Yang di belakang sebat sekali larinya dan dalam
waktu yang singkat berhasil menyusul yang di muka. Kemudian kelihatan terjadi
pertempuran! Tanpa menunggu lebih lama bangsawan Wirja Pranata segera lari ke
sana. Dia sampai ketika pertempuran tengah berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang
yang bertempur adalah seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih.
Gerakannya gesit sekali dan menimbulkan angin bersiuran. Lawannya adalah
seorang laki-laki jangkung kurus bermuka sangat seram berpakaian hitam. Salah
satu matanya sangat besar sedang yang lain hanya merupakan sebuah rongga hitam
cekung yang sangat menggidikkan. Gerakannya juga tak kalah hebat dari lawannya.
Pakaiannya bertambal-tambal.
"Berhenti!"
seru Wirja Pranata.
Tapi yang
bertempur tidak ambil perduli. Yang bermuka seram malahan lancarkan empat
serangan dahsyat yang menimbulkan angin tajam dan panas!
Pemuda
rambut gondrong berseru nyaring, lompatkan diri ke udara lalu menukik lagi
seraya hantamkan tangan kanan ke muka. Angin laksana badai menderu menyerang si
muka seram.
"Pukulan
kunyuk melempar buah!,” seru si muka seram kaget. Buru-buru dia kebatkan lengan
pakaian hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk di tanah karena angin pukulan lawan
nyatanya lebih dahsyat. Pemuda rambut gondrong sendiri tersurut ke belakang
beberapa langkah, dadanya terasa sakit.
"Manusia
muka setan ini ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda.
Sebaliknya
si muka setan yang tahu bahwa lawannya adalah seorang yang sangat tangguh
segera berseru pada Wirja Pranata. "Sobat! Kenapa diam saja?! Bukankah
kedatanganmu kemari untuk mencari pencuri keris? Inilah bangsat malingnya! Ayo
tunggu apa lagi, mari kita labrak!"
Si pemuda
tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan itu
turun, segelombang angin menggebubu menyerang tubuh si muka setan dari atas ke
bawah! Manusia ini segera kebutkan kedua ujung lengan bajunya. Pemuda gondrong
sampai melesak kedua kakinya sedalam dua senti ke tanah sedang si muka setan
terguling di tanah tapi cepat bangun lagi!
Diam-diam
si pemuda rambut gondrong terkejut.
Pukulan
yang dilancarkan tadi bukan sembarang dan mempergunakan hampir sepertiga tenaga
dalamnya tapi lawan ternyata tidak apa-apa malahan bisa bangkit kembali!
"Wirja
Pranata!" berseru si muka setan. "Kalau kau inginkan keris kembali lekas
bantu aku meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya
menggembung? Keris itu disembunyikannya di sana!"
"Orang
tolol!,” maki si pemuda. ”Kenapa terpengaruh omongan manusia muka setan ini?!
-Dialah Yang mencuri keris Tumbal Wilayuda!"
Wirja
Pranata jadi bingung. Tapi karena sudah terlanjur maka dia teruskan juga
serangannya. Pernuda rambut gondrong tiada hentinya memaki.
"Bangsawan
Wirja Pranata, sebaiknya mundurlah! Jangan sampai tertipu maling yang berteriak
pencuri ini!”
Meski
terkejut karena si gondrong ketahui nmaanya namun Wirja Pranata terus juga
lancarkan serangan-serangan. Si rambut gondrong menggereng. Tiba-tiba bersuit
keras. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan diputar-putar. Dia
menghadap tepat-tepat pada manusia muka setan. Dan manusia ini terkejut sekali
"Pukulan angin puyuh!,” serunya, dengan wajah tegang. Cepat-cepat dia
keruk kantong baju hitamnya, lompat empat tombak dan begitu tangannya keluar
dari saku maka melesatlah lima benda bersinar hitam ke arah si pemuda.
"Paku
Darah Hitam!,” seru Wirja Pranata ombil surut kebelakang. Hatinya meragu akan
siapa sebenarnya manusia muka seram itu.
“Hemm…
jadi kau anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam?" gertak pemuda rambut
gondrong. Sekali dia hantamkan tangan kanan ke muka maka luruhlah paku-paku
biru itu ke tanah! Ketika dia hendak menyerang kembali si muka setan sudah
lenyap!
–== 0O0
== –
**************
6
DENGAN
sangat penasaran Pendekar 212 putar tubuh. "Kalau kau tidak bertindak
gegabah pasti pencuri keparat itu sudah kena diringkus!".
Memang
meski hatinya bimbang tapi Wirja Pranata sendiri juga meragu terhadap diri Wiro
Sableng. "Kau siapa?!" tanyanya.
"Sudah,
saat ini bukan tempatnya untuk bertanya jawab!". Pendekar 212 segera
berkelebat ke arah larinya si muka setan yang diduganya adalah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Namun dibelakangnya terdengar suara berseru.
“Tunggu!
Berhenti dulu!"
Karena
tahu yang berseru adalah Wirja Pranata maka Wiro tidak ambil perduli melainkan
lari terus. Namun sesaat kemudian berdesing sejumlah senjata rahasia menyerang
ke arahnya. Dengan beringas Pendekar 212 putar tubuh dan kebutkan tangan.
Senjata-senjata rahasia itu berpelantingan. Dan pada ketika itu pula Wirja
Pranata sudah berdiri dihadapannya.
"Jika
kau orang baik-baik mengapa tidak berani sebutkan nama terangkan diri?!
Pastilah kau bangsanya kaki tangan gotongan hitam!".
Wiro
Sableng jadi betul-betul penasaran kini. "Manusia tidak tahu diri! Tidak
tahu membedakan mana yang putih dan mana yang hitam! Tidak tahu dirinya tengah
ditolong, malah mencap orang seenaknya! Kalau bukan mengingat bahwa kau calon
mertuanya Sultan, aku sudah tampar kau punya mulut! Sekarang pergilah!".
Wiro gerakkan kedua tangannya. Dan tahu-tahu terdoronglah tubuh Wirja Pranata
ke belakang sampai empat tombak! Wirja Pranata rupanya menjadi kalap. Melihat
pemuda rambut gondrong itu hendak angkat kaki kembali maka segera dia hunus
keris dan dengan cepat kirimkan lima tusukan sekaligus!
"Manusia
geblek,” maki Pendekar 212 dalam hati sambil hindarkan diri dengan cepat.
Di lain
saat maka tiba-tiba muncullah satu bayangan manusia.
"Tahan!"
Kedua
orang yang bertempur, yang sama-sama mengenali suara pendatang baru itu segera
hentikan pertempuran.
Pendekar
212 putar kepala pada si pendatang lalu berkata. "Sultan, semangat calon
mertuamu memang hebat! Nyalinya besar tapi sayang pikirannya keliwat
pendek!".
Merahlah
paras Wirja Pranata tapi dia juga heran mengetahui bahwa si rambut gondrong
mengenali Sultan Hasanuddin. Sultan kemudian memperkenalkan kedua orang itu.
Barulah saat itu Wiro menjura hormat.
Dengan
batuk-batuk Wirja Pranata bertanya pada Sultan. "Bagaimana dengan
Anjarsari, apakah berhasil ditemui…?"
Sultan
menundukkan paras kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan.
“Terkutuk!
Terkutuk!,” maki Wirja Pranata dalam hati. Kedua tangannya terkepal membentuk
tinju. Tentu saja laki-laki ini sangat mengkhawatirkan keselamatan diri anak
gadisnya itu.
Dalam
pada itu Pendekar 212 mengetengahi. "Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung
Kulon. Kami berdua segera akan mengejar bangsat pencuri itu,”
”Aku
turut bersama kalian!" kata Wirja Pranata dengan hati keras.
"Bapak,”
ujar Sultan, "saya tahu bagaimana perasaan dan kecemasan hati Bapak
terhadap keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih kawatir lagi. Tapi percayalah,
bersama sahabat ini saya pasti akan dapat mencari Anjarsari dan menemukan keris
Tumbal Wilayuda serta membekuk bangsat-bangsat pencuri itu!".
"Kalau
kau berkata begitu, baiklah". Wirja Pranata akhirnya mengalah. Maka
sesudah itu Wiro Sableng dan Sultan Hasanuddinpun berlalu dengan cepat.
Ketika
hari pagi kedua orang itu masih juga belum berhasil meneemui jejak pencuri yang
mereka cari. Dengan perasaan lesu mereka sampai ke sebuah kota bernama
Parangwilis. Seperti Asoka maka Parangwilis adalah juga sebuah kota dagang yang
besar. Bau makanan yang harum menghambur keluar dari sebuah warung nasi. Kedua
orang inipun masuklah ke dalam warung tersebut. Karena rambutnya yang gondrong
dan potongan tubuh yang kekar dari Wiro Sableng serta tampang yang gagah dari
Sultan Hasanuddin maka kedua orang ini tentu saja menarik perhatian isi warung.
Tapi tanpa acuh Wiro dan Sultan terus saja menyantap makanan mereka.
Mendadak
suasana dalam warung nasi itu menjadi sunyi hening laksana dipekuburan! Wiro
Sableng dan Sultan segera merasakan perubahan ini. Sultan putar kepala
memandang berkeliling sedang Wiro Sableng putar bola matanya memandang cepat ke
beberapa jurus.
Dari
pintu muka warung masuk seorang berpakaian kotor compang camping dan
bertambal-tambal. Dari pintu belakang dua orang lagi, kemudian dari jendela di
samping kiri kanan masing-masing dua orang lainnya! Muka-muka mereka rata-rata
menunjukkan kebengisan, rambut kusut masai, kumis serta janggut kasar
meranggas!
Beberapa
orang tamu yang sedang makan dalam warung, melihat gelagat yang tidak baik ini
segera jauhkan diri ke pojok. Sultan dan Pendekar 212 karena merasa tidak ada
sangkut paut apa-apa dengan kesepuluh manusia itu tanpa ambil perduli terus
menyantap hidangan mereka.
Tiba-tiba
salah seorang yang datang dari pintu depan hantamkan tangan kananya ke muka.
Angin deras melanda meja makan di hadapan Wiro serta Sutan. Meja kayu yang
besar dan berat itu tak ampun lagi mental melabrak dinding warung. Piring serta
gelas di atasnya berpelantingan pecah! Namun di saat itu pula baik Pendekar 212
maupun Sultan telah melompat ke samping dan berdiri saling memunggungi !
Serentak
dengan itu maka sepuluh manusia yang berpakaian compang-camping sudah mengurung
keduanya dengan rapat.
"Berhari-hari
dicari baru kini kutemui!,” kata laki-laki yang tadi melabrak meja dengan
pukulannya yang hebat.
"Kalian
siapa?,” tanya Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di
belakang di dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya.
Orang
tadi mengekeh. Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya terselip segumpal susur
tembakau. "Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!,”
jawab orang itu.
Terkejutlah
Sultan. "Kami berdua tidak merasa punya silang sengketa dengan kalian,
mengapa datang mengganggu?"
Anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mengekeh lagi. "Jangan jual bacot
mengatakan tiada silang-sengketa. Salah seorang dari kalian telah membunuh
pemimpin kami Pengemis Bibir Sumbing!"
"Oh,
jadi kalian anak-anak buahnya manusia jahat itu? Setiap manusia jahat akan
menemui ajalnya secara buruk! Kalian pergilah semua!"
Anggota
Pengemis Darah Hitam semburkan susurnya ke muka Sultan. Meski cuma susur tapi
bahayanya besar sekali karena mengandung tenaga dalam! Dengan cepat Sultan
hantamkan tangan kanannya ke depan, maka mentallah susur itu.
Sebagian
dari air susur menjiprat ke muka beberapa orang anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam termasuk laki-laki yang telah menyemburkan susur itu tadi! Maka
marahlah dia! Dan segera membentak!
"Tangkap
Sultan hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!"
Sembilan
pengemis yang diberi komando segera menyerbu ke muka. Tubuh Sultan dan Wiro
Sableng lenyap. Hanya suara tertawa Pendekar 212 ini saja yang terdengar. Dan
sesaat kemudian terdengarlah suara . "bluk . . . . bluk …. bluk … bluk . .
.”
Empat
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat dan menggeletak di tanah
tanpa nyawa! Sekali lagi Pendekar 212 berkelebat dan dua lawan lagi mental ke
luar kedai!
Melihat
ini pengemis yang tadi berikan komando segera keluarkan senjatanya berupa
sebuah cambuk yang berwarna hitam. Melihat ini maka tiga anggota lainnya yang
masih hidup segera pula keluarkan cambuk masing-masing. Dan sesaat kemudian
maka laksana hujan menggeletarlah cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan
Sultan. Suasana tiada ubah seperti halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak
hancur Iuluh tenggelam oleh suara cambuk! Dan di saat itu tak ada satu tamu
lainpun yang masih. berani berada di dalam warung sedang pemilik warung sendiri
sudah kabur entah ke mana!
Sultan
melompat ke samping kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu
terhindar segera dia kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya
tahu-tahu sudah melibat kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk
lepaskan diri namun sia-sia saja.
Di tain
pihak Pendekar 212 coba keluarkan diri dari hantaman-hantaman cambuk dua orang
lawannya yang datang laksana hujan! Tapi memang permainan cambuk empat anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ini hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah
sana sudah kena diringkus dan di seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin
sibuk dan kepepet ke bagian belakang warung.
Geram
sekali Wiro Sableng lompat tiga tombak ke atas lalu menukik ke bawah seraya
membagi serangan tangan kiri kanan kepada dua orang lawannya.
Angin
pukulan Pendekar 212 membuat kedua orang itu hanya terdorong seketika karena
kebutan cambuknya yang begitu dahsyat sanggup membendung hampir sebagian besar
angin pukulan Wiro !
Dengan
penasaran Pendekar 212 begitu sampai ke tanah kembali segera menyambar sebuah
bangku panjang. Dengan bangku panjang sebagai senjatanya maka mengamuklah
Pendekar 212. Cambuk hitam anggota Pengemis Dara.h Hitam betul-betul luar
biasa. Senjata keduanya mendera bangku hitam beberapa kali. Dan hancurlah
bangku hitam itu !
Wiro
Sableng menggerung. Kedua tangannya bergetar dan dinaikkan tinggi-tinggi ke
atas.
"Wut!
Wutt…..!”
Warung
nasi itu berderak derik! Kedua lawan coba putar dan pecutkan cambuk mereka
lebih deras lagi namun angin yang menyambar dari lengan Pendekar 212 tak
sanggup lagi mereka tahan. Laksana topan kedua orang itu bermentalan kian ke
mari. Cambuk mereka terlepas dan tiba-tiba. "krraakkk !" Warung nasi
itupun robohlah!
Sesaat
kemudian bangunan ini ambruk, maka Pendekar 212 sudah melabrak dinding dan
lolos ke luar. Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam yang tadi
sudah konyol tersambar pukulan "angin puyuh" Pendekar 212 tertimbun
mentahmentah!
Di luar
warung yang rubuh, Pendekar 212 bingung sendiri karena melihat Sultan bersama
dua orang anggota Pengemis Darah Hitam sudah lenyap. Dia segera minta beberapa
keterangan pada orang-orang di luar kemana lenyapnya ketiga orang itu.
"Kawanmu
kena diringkus dan dilarikan ke jurusan sana,” kata seseorang sambil menunjuk
ke ujung jalan. Maka tanpa membuang waktu Wiro Sableng segera mengejar ke arah
yang ditunjukkan.
–== 0O0
== –
*************
7
PADA masa
itu di Jawa Barat telah sejak lama berdiri sebuah perkumpulan yang bernama
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Anggotanya terdiri dari pengemis-pengemis
yang tersebar di seluruh pelosok dan di setiap kota. Setiap anggota perkumpulan
mempunyai sebuah pecut hitam dan rata-rara memiliki ilmu silat yang tinggi.
Tentu saja karena hampir setiap tempat dan daerah anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam ada maka segala sesuatu peristiwa besar dan rahasia dengan,
sendirinya diketahui oleh mereka. Demikian juga dengan peristiwa jatuhnya Banten
ke tangan pemberontak dan lenyapnya Sultan serta keris Tumbal Wilayuda. Yang
terakhir sekali mereka juga mengetahui hubungan Sultan dengan Andjarsari. Maka
pucuk Pimpinan Perkumpulan segera menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan
keris Tumbal Wilayuda mencari Sultan serta menculik Andjarsari!
Demikian
besarnya hasrat mereka untuk berhasil dalam rencana tersebut maka sampaisampai
salah seorang dari pucuk pimpinan yang terdiri dari tiga pengemis berkepandaian
tinggi, memutuskan untuk turun tangan. Pucuk pimpinan yang seorang ini ialah
Pengemis Bibir Sumbing! Sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya, ketika
Sultan bermalam di satu penginapan maka Pengemis Bibir Sumbing telah
mendatanginya dan hampir berhasil membawa kabur keris Tumbal Wilayuda jika saja
saat itu Pendekar 212 tidak muncul memberikan bantuan. Bukan saja Pengemis
Bibir Sumbing tiada berhasil dengan niatnya untuk mencuri keris pusaka tumbal
kerajaan tapi dia juga terpaksa serahkan jiwa! Dibanding dengan dua pucuk
pimpinan lainnya yaitu Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang maka memang
kepandaian Pengemis Bibir Sumbing jauh lebih rendah sehingga setelah bertempur
beberapa gebrakan secara hebat maka akhirnya Pengemis Bibir Sumbing menemui
ajalnya di tangan Pendekar 212.
Namun bahaya
yang mengancam Sultan serta keris pusaka itu tidak sampai di sana saja. Ketika
Sultan bermalam di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam telah berhasil melarikan keris tersebut selagi Sultan berada di
taman dengan calon istrinya Andjarsari! Dan Andjarsari sendiri kemudian juga
telah diculik pula oleh salah seorang anggota lain Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam!
Adapun
markas atau sarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu, terletak di dalam
hutan belantara Riungslaksa. Maka ke sanalah anggota-anggota perkumpulan yang
telah berhasil membawa orang yang mereka culik dan keris yang berhasil dicuri.
Selama beberapa hari itu kedua pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
menanti-nanti juga akan hasil pekerjaan anggota-anggota mereka.
"Ah,
lama betul sekali ini anggota-anggota kita menjalankan tugasnya…,” berkata
Pengemis Mata Buta. Tubuhnya tinggi kurus macam tonggak. Pipinya cekung,
rambutnya panjang tergerai macam perempuan, sedang kedua matanya hanya
merupakan dua buah rongga dalam yang hitam sehingga dapat dibayangkan betapa
mengerikannya wajah manusia ini!
"Ya…
lama sekali,” jawab Pengemis Kaki Pincang seraya menghela nafas dalam. Di sela
bibirnya terselip sebuah pipa yang bau tembakaunya busuk sekali! Manusia ini
bermuka licin dan berkulit sangat pucat laksana mayat! Kaki kanannya pincang.
"Bahkan Pengemis Bibir Sumbingpun tidak kelihatan mata hidungnya sampai
saat ini!"
"Pengemis
Bibir Sumbing macam orang yang tidak percaya saja dengan anggota-anggota kita
sampai-sampai mau turun tangan sendiri…"
"Ah..,
dia memang dari dulu begitu sifatnya," kata Pengemis Kaki Pincang pula.
"Saudara
Pengemis Mata Buta, apakah menurutmu…”
Belum
habis bicara Pengemis Kaki Pincang maka di luar terdengar seruan. "Para
Ketua, lihat apa yang aku bawa!"
Dan
sesaat kemudian muncullah seorang anggota Perkumpulan yang berbadan tegap
kekar. Dibahunya terpanggul sesosok tubuh perempuan muda. Sosok tubuh perempuan
ini bukan lain Andjarsari, dibaring.kannya di atas lantai di hadapan kaki kedua
pucuk pjmpinan Perkumpulan. Saat itu Andjarsari tak dapat bergerak dan juga
tidak sadarkan diri karena telah ditotok.
Tentu
saja sangat gembira hati kedua Ketua Perkumpulan itu.
"Jasamu
kepada Perkumpulan cukup besar Lah Simpong," kata Pengemis Kaki Pincang
seraja gosok-gosok kedua telapak tangannya.
Cuping
hidung anggota Perkumpulan yang bernama Lah Simpong kelihatan membesar dan
bergerak-gerak tanda suka cita hatinya.
"Percayalah,
para Ketua," kata Lah Simpong pula. "Dengan berhasilnya gadis ini
kita tawan, Sultan pasti akan datang ke sini dan kita dengan mudah bisa
meringkusnya."
"Betul
sekali!" kata Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang hampir
berbarengan.
Lah
Simpong yang dulunya adalah seorang peminta-minta di kota Menes basahkan bibir
dengan ujung lidah, "Para ketua," katanya "Apa aku boleh terima
uang jasa sekai-ang…?!"
"Tentu…!"
jawab pengemis Kaki Pincang. Dari balik pinggang dikeluarkannya sebuah kantong
kulit dan ditemparkannya ke hadapan Lah Simpong. Benda itu jatuh dengan
mengeluarkan suara berdering di muka kaki Lah Simpong. Dengan. menyeringai
gembira maka Lah Simpong segera membungkuk dan mengambil kantong uang itu. Dan
pada saat itu pulalah di luar terdengar seruan seseorang. "Apa artinya
hasil yang dibawa Lah Simpong dibandingkan dengan apa yang kami bawa ini wahai
Para Ketua Perkumpulan?!"
Dua sosok
tubuh mencelat masuk lewat jendela. Ketika mendarat dilantai sedikitpun kaki
mereka tiada mengeluarkan suara! Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis
Mata Buta yang meskipun buta tapi mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam
luar biasa sama-sama bergembira.
"Siapa
yang kalian bawa itu?" tanya Pengemis Mata Buta.
"Sultan!
Sultan!" kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya.
Pengemis
Mata Buta tertawa girang. Dari balik sabuknya dia keluarkan dua buah kantong
kulit yang besar. "Ini terima!" katanya. Dua orang anggota Pengemis
Darah Hitam tadi segera menyambutinya. Mereka menjura girang lalu mau putar
diri dari situ namun seseorang yang melompat masuk lewat pintu muka mengejutkan
mereka!
"Aha…
bawaanku memang bukan manusia bernyawa! Bawaanku juga tidak besar cuma kecil
sekal ! Tapi justru apa yang kubawa ini merupakan satu tanda bahwa siapa
pemiliknya adalah mempunyai hak untuk menjadi raja di Banten!"
Pengemis
Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing !
"Mata
Picak! Apakah kau berhasil mencuri keris Tumbal Wilayuda?!" seru Pengemis
Mata Buta dengan nada gembira.
Anggota
Perkumpulan yang bermata buta sebelah dan bertampang angker itu tertawa
mengekeh. Nama sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin perkumpulan yang tahu.
Karena itu dia dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di bandingkan dengan
Pengemis Bibir Sumbing maka kepandaian Mata Picak tiga tingkat lebih tinggi,
ditambah lagi bahwa dia mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu mempunyai
senjata rahasia paku beracun! Kepandaiannya ini juga diturunkannya kepada
anggota perkumpulan termasuk para pucuk pimpinan sehingga lambat laun senjata
rahasia itupun disebut "paku darah hitam,” sesuai dengan nama perkumpulan
mereka. Dengan ketinggian ilmu silat ditambah dengan kelihayannya memainkan
senjata rahasia "paku darah hitam" maka sebenarnya Mata Picak adalah
lebih tepat untuk menjadi pimpinan perkumpulan daripada Pengemis Bibir Sumbing.
Namun Pengemis Bibir Sumbing sudah belasan tahun memasuki Perkumpulan bahkan
dialah yang mula-mula mempunyai prakarsa untuk mendirikan Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam itu!
"Kita
pesta tuak malam ini!" seru Pengentis Mata Buta.
"Pesta
tuak dan anggur!,” menimpali Pengemis Kaki Pincang.
Kedua
pimpinan Perkumpulan itu sama-sama mengeluarkan sebuah kantung uang dan
melemparkannya ke hadapan Mata Picak. Memang inilah yang ditunggu-tunggu oleh
si Mata Picak. Dengan segera kedua kantung uang itu disambutinya. Dia menjura.
Belum lagi sempat dia berdiri tegak dari menjuranya itu maka dari pintu muka
masuklah seorang anggota Perkumpulan. Mukanya tak kalah bengis angker, namun
di saat itu tampang itu kelihatan sedikit pucat, lesu dan kuyu!
Pengemis
Kaki Pincang kerutkan kening melihat anggotanya ini. Tak biasanya Kuntawana
berparas semurung itu. Maka bertanyalah dia. "Kabar apakah yang agaknya
kau bawa dari luar rimba, Kutawana?!"
"Hemm…
Kutawana juga sudah kembali?" ujar Pengemis Mata Buta.
Anggota
yang baru datang itu menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia .
"Aku membawa kabar buruk, para Ketua…”
"Kabar
buruk bagaimana?" tanya Pengemis Kaki Pincang sementara yang lain-lainnya
juga tujukan perhatian terhadap Kuntawarna.
"Kemarin
aku memasuki kota Asoka. Kota itu tengah berada dalam kegemparan karena
menemukan sesosok mayat di belakang bengkel kuda Ketika aku menyeruak diantara
orang banyak ternyata mayat itu adalah mayat Ketua Pengemis Bibir
Surnbing!"
Terkejutlah
semua orang.
"Ada
keanehan dalam cara matinya…".
"Keanehan
bagaimana maksudmu?!" tanya Pengemis Mata Buta.
Kulit
keningnya hitam, dadanya biru. Sedang pada kulit kening yang hitam itu tertera
tiga buah angka. Angka 212!"
Terjadilah
perubahan pada air muka pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam.
Pengemis Kaki Pincang memandang pada pengemis Mata Buta. Pengemis Mata Buta
sendiri di saat itu merenung. "Bagaimana pendapatmu, Ketua Pengemis Mata
Buta?" bertanya Pengemis Kaki Pincang.
Sejurus
lamanya barulah menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara berubah
sekali kali ini. "Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu
rimbanya, ternyata dia muncul kem-bali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi
tokoh-tokoh silat golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah
dia muncul untuk kembali menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun
yang lalu itu…"
"Maksudmu
Pendekar 212 Kapak Maut Naga Geni si Sinto Gendeng itu…?!" tanya Pengemis
Kaki Pincang.
"Siapa
lagi!"
“Ah…
kalau dia memang muncul untuk maksud yang seperti masa lampau, dia salah
perhitungah! Dunia persilatan dulu tidak sama dengan dunia persitatan masa
sekarang! Golongan hitam banyak maju pesat, banyak mempunyai tokoh-tokoh kosen
serta lihay dan sakti! Sinto Gendeng boleh datang kemari. Dan itu berarti dia
antarkan nyawa sendiri!"
Pengemis
Mata Buta menarik nafas dalam, "Kita tak bisa menganggap enteng momok
perempuan itu, Ketua Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata Buta pula.
"Ketahuilah, kedua mataku yang buta ini, dialah yang telah mengoreknya
dulu…".
Kagetlah
Pengemis Kaki Pincang. Matanya mendelik dan dipandanginya paras rekannya itu.
Akhirnya dia memandang ke jurusan lain karena merinding juga kuduknya memandang
lama-lama pada rongga rongga mata yang menggidikkan itu!
Suasana
hening seketika. Dan keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata
Buta. "Kuntawana, apa yang kau telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis
Bibir Sumbing…?!"
Terkejutlah
Kuntawana.
"Jawab!
Apa sesudah kau temui lantas kau tinggal begitu saja….?!"
"Ketua…
di saat itu mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing dikerumuni oleh banyak orang. Di
antaranya beberapa prajurit kerajaan. Tak mungkin bagiku…”
"Tutup
mulut! Kesalahanmu besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!"
Muka
Kuntawana menjadi pucat. "Ketua…”
"Diam!
Lekas angkat kaki dari sini!"
"Para
Ketua…”.
"Diam!
Berlalulah sebelum amarahku lebih memuncak!" bentak Pengemis Mata Buta.
Kuntawana
menyuruh mundur. "Aku bersedia kembali ke Asoka untuk mengambil mayat
Ketua Bibir Sumbing…”
"Tak
perlu," jawab Pengemis Mata Buta tetap keras. "Aku bisa suruh anggota
yang lain!".
Maka
membesilah paras Kuntawana. "Baik, aku akan pergi tapi serahkan dulu uang
jasaku". "Kurang ajar! Kau berani bicara seenaknya demikian rupa?!
Ini bagianmu!".
Pengemis
Mata Buta kebutkan lengan jubah hitamnya. Satu gelombang angin dahsyat melanda
ke arah Kuntawana. Terkejutlah Kuntawana. Dia tahu betul pukulan yang
dilancarkan oleh si Mata Buta itu. Pukulan "seribu topan!"! Dengan
cepat Kuntawana melompat ke atas namun dia tak bisa melompat tinggi karena
bangunan di mana mereka berada mempunyai loteng yang rendah!
"Celaka,
mampuslah aku!" kata Kuntawana di dalam hati.
Namun
pada detik yang berbahaya itu dari jendela samping satu larikan sinar merah
menyambar memapaki angin pukulan seribu topan dan kejapan itu juga buyarlah
pukulan Pengemis Mata Buta dan selamatlah Kuntawana!
Pengemis
Mata Buta seorang yang mempunyai perasaan luar biasa. Sepasang telinganya bukan
saja tajam tapi juga merupakan sebagai sepasang mata baginya.
Dia
menoleh ke jendela. "Keparat yang suka ikut campur urusan orang, coba
perlihatkan diri!" bentaknya.
Di diluar
terdengar suara tertawa bergelak. Sesaat kemudian sesosok tubuh berjubah merah
dan berkerundung kain merah dengan gerakan yang sangat sebat dan enteng sudah
menjejakkan kaki di lantai ruangan!
"Iblis
Pencabut Sukma!" teriak Pengemis Kaki Pincang berbarengan dengan
anggotaanggota Perkumpulan lainnya! Wajah mereka mengkerut tegang!
–== 0O0
== –
***************
8
ORANG
berkerundung merah keluarkan suara tertawa mengekeh kembali. Pengemis Mata Buta
rangkapkan kedua tangannya di muka dada. "Kiranya lblis Pencabut Sukma!
Pantas keras dan hebat angin pukulannya! Tapi gerangan apakah yang membuat kau
datang ke sini serta mencampuri urusan Perkumpulan kami?!"
Laki-laki
berkerundung yang merupakan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
lagi-lagi tertawa mengekeh. "Ketua-ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam,
kuharap tanpa banyak bicara segeralah serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan
Hasanuddin dan gadis itu kepadaku….!".
"Eh…
ini suatu hal yang tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu
heh…?”
"Hidung
kerbau!," maki Iblis Pencabut Sukma. "Aku bilang jangan banyak
bicara! Serahkan cepat! Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!"
"Ah….
Kalau tak salah kita ini masih sama-sama satu golongan. Kenapa harus bikin
persoalan begini rupa? Semua manusia berhak memang memiliki keris dan kedua
manusia yang kau katakan itu! Dan pihakku telah perhasil menguasainya, kau
terlambat. Itu adalah salahmu sen….."
"Katakan
saja kau tak mau menyerahkan apa yang aku minta!,” memotong lblis Pencabut
Sukma.
"Untuk
mendapatkan semua itu pihakku sampai korbankan salah seorang ketuanya! Sekarang
kau seenaknya meminta! Aturan macam mana yang kau pakai?!" kata Pengemis
Kaki Pincang.
"Kaki
Pincang kau menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!"
Pengemis Kaki Pincang tertawa tawar. "Orang lain mungkin takut pada kau!
Tapi aku Pengemis Kaki Pincang boleh dicoba nyalinya!". lblis Pencabut
Sukma tertawa gelak-gelak. Kedua kakinya merenggang. "Dalam satu jurus kau
akan konyol ke akherat Pengemis Kaki Pincang!"
"Coba
saja, aku mau lihat!" kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina.
Sementara itu telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan
dengan ilmu menyusupkan suara. "Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia
ini berbahaya….".
Ketika
Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanan ke atas, dan ketika Pengemis Kaki
Pincang pusatkan tenaga dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba Kuntawana melompat
antara tengah-tengah kedua Orang itu.
"Manusia
sontoloyo! Kau juga minta dikirim keakhirat?!" bentak Iblis Pencabut
Sukma. Kuntawana menghadap pada Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. "Para
Ketua, harap perkenankan aku melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus
kesalahanku!".
"Hem…".
Pengemis Mata Buta merenung. "Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!"
Maka
Pengemis Kaki Pincangpun mundurlah sedang Kuntawana segera cabut cambuk
hitamnya. Iblis Pencabut Sukma menyeringai. "Manusia tampangmu cukup tiga
langkah saja kulayani!". katanya.
Kuntawana
putar cambuknya dengan sebat.
Iblis
Pencabut Sukma maju satu langkah.
Kuntawana
tiba-tiba lepaskan pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan cambuknya
bergelegaran ke arah lawan.
Iblis
Pencabut Sukma majukan langkah kedua. Jari-jari tangan kanannya terbentang ke
muka seperti hendak mencaakar sedang tangan kiri mengebut menahan serangan
lawan. Pada detik dia buat langkah ketiga maka tangan kanannya ditarik ke
belakang dengan keras! Inilah yang disebut ilmu pukulan pencabut sukma!
Kuntawana
merasakan badannya seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot!
"Huah!"
Sesaat
kemudian anggota Pengemis Darah Hitam inipun muntah darahlah! Tubuhnya terkapar
di lantai tanpa nyawa!
Berdeburlah
darah para anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan
Pengemis Mata Buta tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota
Perkumpulan yang ilmu kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma
membunuhnya hanya dalam tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan
tertawa bekakakan menegakkan bulu roma!.
"Siapa
yang tidak senang melihat mampusnya kroco itu boleh maju segera!,” katanya.
Kemudian dia berpaling pada dua orang pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam. Sepasang matanya kelihatan menyorot berkilat. "Kalian berdua masih
belum mau serahkan apaapa yang aku minta?!".
Sebelum
kedua Ketua Pengemis Darah Hitam berikan jawaban sesosok tubuh dengan gerakan
enteng melompat, ke hadapan dua Ketua Pengemis Darah Hitam.
"Para
Ketua, perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar
ini!"
Pengemis
Mata Buta tidak memberikan sahutan. Dia tahu kepandaian Lah Simpong memang
lebih tinggi dari Kuntawana, tapi untuk menghadap lblis Pencabut Sukma, tingkat
kepandaian Lah Simpong masih belum dapat diharapkan. Sebaliknya Pengemis Kaki
Pincang setelah merenung sejurus, lalu anggukkan kepala dan berkata,
"Baiklah, tapi hati-hati. Manusia ini benar-benar ganas seperti
iblis!"
Setelah
diperkenankan begitu rupa maka Lah Simpong segera putar badan. Cambuk di tangan
kiri, sebuah toya besi di tangan kanan maka diapun maju ke arah Iblis Pencabut
Sukma.
Iblis
Pencabut Sukma menyeringai di balik kerundung kain merahnya. "Rupanya Para
Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka korbankan anggotanya dari
pada maju sendiri!"
"Jangan
banyak mulut manusia iblis! Lihat cambuk!"
Cambuk
hitam di tangan kiri Lah Simpong berkelebat. Suaranya menggelegar macam petir.
Ujung cambuk dengan sangat cepat, sukar dilihat oleh mata biasa, mendera ke
muka si kerudung merah! Sebelum serangan ini sampai, Lah Simpong susul dengan
serangan toya besi hitam. Kedua ujung toya menderu berubah seperti ratusan
banyaknya dan menyerang keselusin bagian tubuh Iblis Pencabut Sukma!
Yang
diserang terkekeh-kekeh. "Keluarkan seuruh kepandaianmu, Lah Simpong!
Kalau tidak setengah jurus di muka kau akan jadi mayat!".
"Tubuhmu
yang akan terkapar lebih dulu, iblisl". Ujung cambuk menyambar dengan
dahsyat ke muka Iblis Pencabut Sukma sementara toya besi sedetik lagi pasti
akan menghancur luluhkan tulang-tulang anggota Iblis Pencabut Sukma!
Tapi pada
kejapan mata itu Iblis Pencabut Sukma kebutkan lengan jubah merahnya. Selarik
angin pukulan yang hebat menyusup di antara deraan cambuk dan terus melabrak
Lah Simpong. Tubuh anggota Pengemis Darah Hitam ini jatuh duduk di lantai.
Mukanya pucat laksana mayat. Dia berusaha bangun. Tubuhnya tertatih-tatih tanda
dia terluka parah di dalam!
"Sekarang
pasrahkan ajalmu, Lah Simpong!". Iblis Pencabut Sukma angkat tangan
kanannya lalu ditarik ke belakang dengan cepat! Tubuh Lah Simpong seperti
ditarik besi berani, tersedot sampai dua tombak ke muka, lalu jatuh
menelungkup. Darah membuih dimulutnya. Ajalnya sampai!
Putihlah
wajah dua Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Para anggota yang lain
berdiri laksana kaku. Mereka merasa seperti nyawa mereka sendiri yang lepas
waktu menyaksikan kernatian Lah Simpong itu!
"Keganasanmu
sudah keliwatan sekali, Iblis Pencabut Sukma!,” kata Pengemis Kaki Pincang.
"Jangan harap kau bakal bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat!".
Pengemis Kaki Pincang maju dua langkah. "Mulailah, Iblis,” tantangnya.
Iblis
Pencabut Sukma tertawa dingin.
Pengemis
Kaki Pincang mendengus. "Kau tidak punya nyali untuk memulai?! Kalau
begitu sambut pukulanku ini!".
Pengemis
Kaki Pincang angkat tangan kanan. Namun dua anggota Perkumpulan melompat ke
tengah kalangan. Mereka adalah dua kakak beradik Sepasang Cakar Garuda yang
dulunya merupakan fakir-fakir miskin di kaki gunung Salak, tapi yang
kemudiannya berhasil diseret oleh Pengemis Kaki Pincang untuk masuk ke dalam
Perkumpulan Pengernis Darah Hitam.
"Para
Ketua, kalau untuk membereskan manusia ini, serahkan pada kami!,” kata Sepasang
Cakar Garuda yang tertua. •
Meskipun
darahnya sudah mendidih namun Pengemis Kaki Pincang yang percaya akan kemampuan
kedua anggotanya itu segera bersurut mundur!
"Bereskanlah
cepat!,” katanya.
"Ah
lagi-lagi bangsa-bangsa kroco yang disuruh maju!" menghina Iblis Pencabut
Sukma.
"Kroco
atau apa, tapi ketahuilah nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!"
1blis
Pencabut Sukma mendengus. "Sombongnya!,” katanya.
Dan
disaat itu cambuk-cambuk lawan sudah menderu laksana topan, menyerang ke arah
leher dan kaki, lalu bergantian secara teratur dan cepat membabat ke dada dan
ke perut! Dalam seketika saja maka Iblis Pencabut Sukma sudah terbungkus
serangan cambuk yang bergelegaran itu. Jubah Merah dan kerudungnya
berkibar-kibar karena kerasnya sambaran cambuk hitam kedua lawan!
"Hemm…
permainan cambuk kalian boleh juga! Tapi aku mau lihat apa bisa menerima
pukulan menendang langit menjungkir awan ini?!".
Habis
berkata demikian Iblis Pencabut Sukma tendangkan kaki kiri ke muka dan
hantamkan telapak tangan karian dari bawah ke atas!
Disaat
itu pula maka menggelindinglah kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
itu. Tapi begitu terhampar begitu keduanya bangun lagi meskipun dengan
keluarkan keringat dingin dan sama menyadari bahwa diri mereka di bagian dalam
terluka parah!
Keduanya
sama-sama menggerung. Cambuk hitam mendera ganas. Sedang tangan kiri yang
membentuk cakar burung garuda dengan kecepatan yang luar biasa menyambar ke
muka dan ke dada Iblis Pencabut Sukma!
"Oh
jadi kalian adalah Sepasang Cakar Garuda huh?!" ujar Iblis Pencabut Sukma
yang kenali permainan silat kedua lawannya.
Sebaliknya
dua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu rupanya tidak mau kasih hati
lagi. Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu mereka susuli dengan empat buah
tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma bersuit keras! Serasa mau pecah
gendang-gendang telinga mendengarnya! Begitu suitannya lenyap maka dari tangan
kirinya menyambarlah sinar merah yang menyeruak laksana kipas menyerang
Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
itu mencelat ke loteng, satu amblas dan menyangsrang di papan loteng sedang
yang satu lagi jatuh bergedebukan ke lantai. Tubuh keduanya merah matang
laksana daging panggang!
Pengemis
Kaki Pincang tahan nafas. "Pukulan kipas merah,” membatin ketua Pengemis
Darah Hitam ini sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun
perasaannya yang tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga
mengetahui ilmu pukulan
apa yang
telah dilepaskan lawan!
Ruangan
itu sehening di kuburan.
Sekali
lagi Iblis Pencabut Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan.
Dari arah
pintu melangkah enteng seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam.
Tubuhnya tinggi kekar. Tampangnya seram. Kumis dan janggutnya tajam meranggas
sedang salah satu matanya picak.
"Para
Ketua, izinkan aku si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!".
Baik
Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta sama-sama manggutkan kepala.
Mata Picak adalah anggota yang paling tinggi ilmunya dan mempunyai kelihayan
dalam memainkan senjata rahasia "paku darah hitam". Karena itu
Ketua-ketua Perkumpulan pengemis Darah Hitam sama mempercayakan bahwa anggota
mereka yang berilmu tinggi ini sanggup mengalahkan lawan yang tangguh itu.
Mata
Picak putar tubuh menghadapi Iblis Pencabut Sukma.
"Iblis
Pencabut Sukma," dia berkata, "aku Pengemis Mata Picak mohon diberi
beberapa jurus Relajaran dari kau!"
"Aha…
Mata Picak, kau punya peradatan sedikit. Bagus aku ampunkan jiwamu! Tapi lekas
korek kau punya biji mata lalu tinggalkan, tempat ini!"
Gigi-gigi
dan geraham Pengemis Mata Picak bergemeletakan. "Kepongahanmu setinggi
langit Iblis Pencabut Sukma. Tapi apa kau kira kau punya nyawa rangkap!".
lblis
Pencabut Sukma tertawa bergelak.
“Dikasih
keampunan malah menantang!"
"Sudahlah!
Tiada guna bicara panjang lebar padamu! Mulailah!".
–== 0O0
== –
*************
9
“KARENA
kau yang minta dikirim keakhirat, maka kau mulailah lebih dulu, Mata
Picak!" kata Iblis Pencabut Sukma dengan jumawa.
Mendengar
ini Pengemis Mata Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang, tubuhnya
melesat ke muka. Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!
Diam-diam
Iblis Pencabut Sukma terkejut juga melihat kehebatan lawan yang satu ini. Dia
membentak garang dan berkelebat cepat. Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya
mengeluarkan angin deras yang membendung keseluruhan serangan lawan. Penuh
penasaran Pengemis Mata Picak keruk saku bajunya yang bertambal-tambal.
"Lihat
paku!" serunya.
Dua belas
buah paku hitam yang beracun melesat menyerang dua belas bagian tubuh Iblis
Pencabut Nyawa. Manusia berkerudung ini menggerung dan kebutkan kedua
tangannya. Maka terdengarlah jeritan Pengemis Mata Picak. Enam dari paku darah
hitamnya yang beracun berbalik dan menembus tubuhnya sedang enam lainnya mental
ke loteng!
Terbeliaklah
mata Pengemis Kaki Pincang dan anggota-anggota Perkumpulan lainnya yang masih
hidup sedang Pengemis Mata Buta yang tidak punya mata kelihatan wajahnya
mengkerut tegang.
"Iblis
Pencabut Sukma," buka suara Pengemis Mata Buta. "Kita sama-sama satu
golongan hitam. Antara pihakku dan pihakmu tiada permusuhan. Mengapa turun
tangan sampai seganas ini….?!"
"Ah,
aku bosan mendengar bicaramu yang itu ke itu juga! Walau bagaimanapun aku tidak
sudi disama ratakan satu golongan dengan kau! Aku beri waktu lima kejapan mata
bagimu dan rekanmu si pincang untuk merenung dan memenuhi permintaanku…"
Lima
kejapan matapun lewat dalam suasana hening tegang.
"Kalian
manusia-manusia keras kepala dan dogol geblek!" bentak Iblis Pencabut
Sukma, "Lihat ini!"
Sepasang
tangannya terpentang ke muka dan dua larik sinar merah yang menyeruak seperti
kipas menggebubu ke arah tiga belas orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta terkejut. Buru-buru
keduanya hantamkan tangan untuk memapasi namun luput! Di seberang sana tiga
belas anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat ke dinding dan jatuh
bertumpukan tanpa nyawa. Tubuh mereka matang merah laksana dipanggang!
Maka
murkalah kedua pucuk pimpinan perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Keduanya maju
berbarengan.
"He…
he, dua tokoh silat yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama
kosong belaka, menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara
lantang.
Pengemis
Mata Buta, meskipun tokoh silat jahat golongan hitam, tapi mendengar ini segera
bersurut mundur dan berkata . "Saudara Pengemis Kaki Pincang, bereskan
biang malapetaka ini!".
"Tak
usah khawatir, Saudara Mata Buta,” menyahut Pengemis Kaki Pincang. "Tapi
aku tidak begitu senang maenghadapi manusia yang sembunyikan muka dibalik
kerudung!".
Habis
berkata begini, dengan keluarkan jurus "garuda sakti,” maka berkelebatlah
Pengemis Kaki Pincang. Demikian cepat gerakannya sehingga tak terduga sama
sekali oleh Iblis Pencabut Sukma.
"Sreet"
!
Maka
robek dan tanggallah kerudung merah Iblis Pencabut Sukma! Dan terkejutlah
Pengemis Kaki Pincang. Muka Iblis Pencabut Sukma nyatanya benar-benar
menyeramkan seperti iblis. Keseluruhan mukanya hancur oleh bopeng-bopeng yang
besar-besar (bopeng = burik). Kedua matanya sangat besar dan menjorok ke muka
serta jereng (juling). Hidungnya hampir sebesar telapak tangan dan pesek lebar
menutupi pipinya yang cekung. Bibirnya sangat tebal dan tak bisa dikatupkan sehingga
kelihatanlah gigi-giginya yang besar-besar dan busuk!
Kejut
Pengemis Kaki Pincang hanya seketika. Menyusul terdengar suara tertawanya
membahak. "Aha… kiranya Iblis Pencabut Sukma bermuka terlalu buruk, lebih
buruk dari iblis sungguhan! Pantas sembunyikan muka dibalik kerudung!".
Iblis
Pencabut Sukma mendongak ke atas. Hidungnya keluarkan suara mendengus.
"Jangan harap kau bisa selamat dalam tiga jurus, setan alas!,” bentaknya.
Dan
disaat itu Pengemis Kaki Pincang sudah melayang sebat ke mukanya. Dua tangan
terpentang kemudian membuat enam serangan beruntun yang disusul oleh empat
tendangan dahsyat!
Iblis
Pencabut Sukma mengaum macam harimau lapar. Sekali dia berkelebat maka
lenyaplah tubuhnya dan pada sekejapan mata kemudian sinar merah berbentuk kipas
menggelombang menyerang Pengemis Kaki Pincang.
"Saudara
Kaki Pincang! Hati-hatilah….!". memperingatkan Pengemis Mata Buta.
"Ah,
cuma pukulan picisan begini siapa yang takut!" sahut Pengemis Kaki
Piricang seraya lompat tiga tombak ke atas. Serangan lawan berhasil dielakkan
oleh Pengemis Kaki Pincang. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri
pula ke udara seraya lancarkan jurus "menendang langit menjungkir
awan". Karena jurus ini mempergunakan lebih dari setengah bagian tenaga
dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki Pincang mencelat ke atas panglari
(loteng). Loteng bobol! Beringas sekali, sesudah berhasil lepaskan diri dari
jepitan papan-papan loteng, Pengemis Kaki Pincang cabut pipa besarnya dari
balik pakaian yang bertambal-tambal! Sekali menyedot, sekali menghembus maka
melesatlah asap pipa yang pekat kelabu dan mengandung racun ganas!
"Ilmu
rongsokan macam ini tak perlu dipertontonkan padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis
Pencabut Sukma. Tangan kanannya diangkat ke atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan
pencabut sukma! Pengemis Kaki Pincang dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya.
Tapi apa daya. Dia tak bisa selamatkan diri. Isi perutnya serasa dibetot,
nafasnya serasa disedot dan "puah…!".
Pengemis
Kaki Pincang muntah darah. Laksana daun kering tubuhnya yang tak bernyawa itu
melayang ke bawah dan terhampar di lantai! Perkataan Iblis Pencabut Sukma yang
menyatakan bahwa dia akan membunuh lawan dalam tiga jurus, kini terbukti!
Dengan
tengadahkan mukanya yang seram itu Iblis Pencabut Sukma tertawa panjang laksana
serigala lapar di malam buta!
Mengkerutlah
wajah Pengemis Mata Buta.
Urat-urat
lehernya menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak sedang rahang-rahangnya
bertonjolan. "Pengemis Mata Buta, hanya kau yang tinggal kini! Apa masih
berkeras kepala untuk tidak mau serahkan apa yang kuminta…?!".
Pengemis
Mata Buta rangkapkan tangan di muka dada. Kehebatan Iblis Pencabut Sukma memang
luar biasa. Setelah merenung sejenak maka buka suaralah dia.
"Iblis
Pencabut Sukma, sekalipun kau punya tiga kepala enam tangan, jangan harap aku
tidak bernyali untuk melawanmu. Juga jangan harap aku akan kabulkan permintaan
gilamu!"
"Akh…
kalau begitu kasihan sekali! Perkumpulan Pengemis Darah Hitam rupanya sudah
ditakdirkan para iblis musti musnah hari ini!".
"Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam tidak musnah! Sebaiknya bersiaplah untuk menghadap setan
neraka, manusia iblis! Manusia iblis macammu memang tempatnya pantas di
neraka!".
Habis
berkata demikian maka Pengemis Mata Buta masukkan tangan kanan ke balik jubah
bertambal-tambalnya. Begitu tangan keluar maka bergemerlaplah sinar hitam
sebilah pedang. Tergetar juga Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini.
"Jika
kau punya senjata bagusnya lekas dikeluarkan, Iblis!" berkata Pengemis
Mata Buta. "Untuk menghadapi manusia buta macam kau, perlu apa pakai
senjata segala?! Majulah, tanganku sudah gatal-gatal untuk mencabut
nyawamu!".
"Jangan
mimpi Iblis!" bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka
berkiblatlah taburan sinar hitam dari sambaran pedangnya!
Dan…
"Plak"
Tubuh
Iblis Pencabut Sukma terdorong beberapa langkah kebelakang!
Terkejutlah
Pengemis Mata Buta ketika mengetahui bahwa lawannya tidak mendapat satu celaka
apapun akibat ilmu pukulan "telapak tangan minta sedekah" yang sangat
diandalkannya itu, padahal dalam ilmu pukulan ini dia sudah melatih diri sampai
sepuluh tahun!
Rasa
terkejut dan kecewa melihat pukulannya hampa belaka membuat dalam kejapan itu
Pengemis Mata Buta menjadi sedikit lengah. Dan kesempatan ini tiada
disia-siakan oleh lawan.
Iblis
Pencabut Sukma kirimkan satu tendangan ke perut lawan. Tak ampun lagi Pengemis
Mata Buta jatuh duduk terkapar di lantai. Belum lagi dia sempat bangun maka
lawan sudah gerakkan tangan lancarkan pukulan "pencabut sukma"!
Pengemis
Mata Buta merasakan adanya kekuatan dahsyat yang menyedot tubuhnya, segera dia
buang diri ke samping. Tapi kasip. Perutnya terbetot menggelegak. Darah segar
menyembur dari mulut. Tubuhnya kelojotan seketika. Sebelum meregang nyawa,
manusia ini masih bisa keruk saku jubahnya dan lemparkan selusin paku darah
hitam ke arah lawan. Ini tiada artinya bagi Iblis Pencabut Sukma. Dengan satu
kebutan lengan baju maka mentallah paku-paku beracun itu!
Selama
beberapa ketika terdengarlah suara tertavva Iblis Pencabut Sukma. Tertawa yang
membuat kedua matanya yang juling menjadi basah oleh air mata.
Manusia
bermuka seram bopeng ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata Buta.
Tangannya menggeledah di balik jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal
Wilayuda. Bila bertemu segera diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia
melangkah ke hadapan sosok tubuh Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri
karena telah ditotok jalan darahnya sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong.
Iblis
Pencabut Sukma memandang dengan mata berkilat-kilat ke tubuh Anjarsari yang
pakaiannya berada dalam keadaan tak menentu. Dia menyeringai penuh arti.
Dibelainya pipi gadis itu. Betapa lembut dan halusnya. Dirabanya dadanya.
Menggeletar tubuh Iblis Pencabut Sukma. Kalau tidak ingat bahwa dia musti
lekas-lekas meninggalkan tempat itu maulah dia mengikuti segala lampiasan
nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di bahu kiri kemudian dia melangkah ke
hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan juga dalam keadaan tak berdaya
karena ditotok.
Sewaktu
Iblis Pencabut Jiwa membungkuk pula untuk mengempit tubuh Sultan, tibatiba
berkelebatlah sesosok bayangan biru dan tahu-tahu tubuh Sultan disambar lalu
dibawa lari!
Kejut
Iblis Pencabut Sukma tentu saja tiada terlukiskan.
"Kurang
ajar! Hai, berhenti!" teriaknya memerintah.
Tapi
bayangan biru itu terus kabur tancap gas. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma
lemparkan tiga puluh jarum merah ke arah simanusia berjubah biru. Yang
diserang, tanpa menoleh lambaikan tangan kirinya. Ketiga puluh jarum merah
itupun mental laksana disapu topan!
Iblis
Pencabut Sukma angkat kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap.
"Setan alas,” memaki dia. "pasti perempuan laknat itu lagi!".
–== 0O0
== –
***************
10
LARINYA
manusia berjubah biru itu sangat cepat sekali laksana angin. Sampai di satu
puncak bukit, dia berhenti dan lepaskan totokan di tubuh Sultan. Begitu siuman
Sultan tentu saja sangat terkejut mendapatkan dirinya dikempit oleh seseorang.
Ketika dia coba meneliti paras orang itu ternyata dia mengenakan kerudung biru.
Bau tubuhnya harum semerbak, seharum bunga melati yang tengah mekar diambang
senja! Sultan merenung sejurus. Otaknya berputar mengingat apa yang telah
terjadi atas dirinya sebelumnya. Kemudian dicobanya melepaskan diri dari
kempitan manusia jubah biru itu untuk turun ke tanah. Tapi bagaimanapun
kerasnya dia gerakkan badan, tetap saja dia tiada sanggup lepaskan diri.
"Saudara,
kau siapakah?,” bertanya Sultan.
Orang itu
tiada menyahut melainkan menjelajahi seantero kaki bukit dengan sepasang
matanya yang bening.
"Saudara,
kau tentu orang yang telah menolong aku. Tapi siapakah engkau adanya? Mohon
agar diriku diturunkan,” berkata Sultan Hasanuddin. Orang itu tetap tak
menyahut. Kemudian dia berkelebat lagi dan tubuhnya lari lagi laksana angin ke
arah sebelah timur.
"Saudara,
jika kau tak terangkan siapa kau, tidak menjadi apa. Tapi aku mohon agar
diturunkan,” berkata Sultan setelah dirinya diajak lari kira-kira setengah jam
lamanya.
Si jubah
biru lari terus.
Dengan
rasa penasaran Sultan berkata. "Jika kau tidak mau turunkan aku, terpaksa
aku berlaku kasar terhadapmu!."
Namun si
jubah biru berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu.
Maka Sultanpun gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah
biru itu.
Tapi
anehnya berkali-kali dia lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang
berhasil mengenai sasarannya.
"Pasti
ini manusia sakti luar bisa!" membathin Sultan Hasanuddin. "Saudara,
aku ini mau dibawa ke mana?" bertanya pula Sultan.
Agaknya
manusia berkerudung kain habis kesabarannya karena ditanya terus menerus.
"Kau terlalu cerewet, lihat sajalah!".
“Heh…?!”
Sultan
menjadi kaget. Betapa tidak karena orang yang membawa larinya itu ternyata
adalah seorang perempuan! Meski suaranya agak membentak namun kemerduannya
tiada sirna. "Pantas badannya berbau harum..," kata Sultan dalam
hati. Dan bila dia menyadari bahwa dirinya di kempit dan dibawa lari demikian
rupa tentu saja Sultan menjadi malu dan tidak enak. Dia meronta-ronta lagi.
Tapi tetap tak berhasil.
Mereka
kemudian memasuki sebuah rimba belantara. Di tengah rimba belantara ini
terdapat sebuah goa dan ke dalam goa itulah si kerudung biru membawa Sultan.
Ternyata di dalam goa tiada beda terangnya dengan udara di luar. Gua ini
panjang dan mempunyai beberapa lorong yang bercabang-cabang, dan makin ke dalam
makin menurun.
Akhirnya
mereka berhenti di satu ruang yang berbentuk kamar empat persegi. Disinilah
baru si jubah biru melepaskan dan menurunkan Sultan. Sultan berdiri dan
memandang berkeliling.
Di salah
satu dinding Sultan membaca sebuah tulisan yang berbunyi GOA DEWI KERUDUNG
BIRU, Sultan jadi kaget dan memandang lekat-lekat ke paras si kerudung biru
yang hanya sepasang matanya yang bening dan berkilat saja yang kelihatan.
"Jadi
saat ini aku berhadapan dengan Dewi Kerudung Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi
hatinya agak meragu.
Di dalam
ruangan itu terdapat dua buah batu hitam. Dewi Kerudung Biru pergi duduk ke
salah satu batu lalu berpaling pada Sultan.
"Silahkan
duduk Sultan," katanya mempersilahkan.
"Terima
kasih," Sultan duduk. "Saudari, kau belum menjawab apakah kau yang
selama ini dikenal di dunia persilatan dengan nama julukan Dewi Kerudung
Biru…?".
Yang
ditanya tertawa merdu berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin.
"Itu
tak perlu yang kau tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding
itu, bukan?". Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip
memandangi paras Sultan,
"Ah
kalau begitu sungguh tak terduga pertemuan ini. Terima kasih atas pertolonganmu
Dewi Kerudung Biru…," kemudian sambungnya. "karena kau telah membawa
aku ke sini, tentulah kau mempunyai maksud tertentu….".
"Betul"
membenarkan Dewi Kerudung Biru. "Aku tahu banyak apa yang telah terjadi
dengan dirimu…,”
"Terima
kasih kalau Dewi telah mau ambil perhatian terhadap diriku. Mohon petunjuk
selanjutnya…..”
"Kau
harus cepat pergi ke Demak dan menemui Sultan Trenggono untuk meminta bantuan.
Kembalilah ke Banten dengan membawa sejumlah pasukan …….".
"Memang
itu sudah menjadi rencanaku Dewi,” kata Sultan pula.
"Ya,
tapi pasukan saja tidak cukup. Parit Wulung mempunyai benggolan-benggolan silat
golongan hitam yang sakti….”.
"Mohon
petunjuk dari Dewi…".
"Sebelum
pergi kau harus tinggal selama satu hari di sini untuk kuturunkan beberapa ilmu
silat….". Sultan gembira sekali. "Tapi," katanya. "waktu
yang sesingkat itu apakah bisa berhasil baik?!".
"Yang
penting dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir pelaksanaannya…”
Sultan
mengangguk. "Aku haturkan rasa hormat terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau
adalah guruku,” kata Sultan pula.
Dewi
Kerudung Biru geleng-gelengkan kepala. "Diriku tak perlu dihormati. Dan
kuharap kau jangan salah sangka. Kalau aku wariskan beberapa ilmu kepandaian
padamu bukan berarti aku telah menjadi guru dan kau telah menjadi
murid….".
"Jadi…..?"
tanya Sultan heran.
"Semuanya
adalah semata-mata untuk menolongmu, Sultan".
"Terima
kasih. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini. Demikian juga dengan rakyat
Banten kelak. Cuma, untuk mengenang wajah penolongku, untuk mengukirnya dalam
ingatanku, bolehkah aku melihat paras aslimu, Dewi Kerudung Biru…?".
Dewi
Kerudung Biru tertawa lagi seperti mutiara jatuh berderai ke lantai. Merdu
sekali suara itu membuat Sultan semakin tambah ingin untuk melihat wajah yang
ada dibalik kerudung itu.
Namun
suara tertawa yang merdu itu segera lenyap ketika di mulut gua terdengar suara
ribut-*ribut.
"Pasti
perempuan itu telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!".
Dan
sesaat kemudian empat sosok tubuh berjubah merah dan berkerudung merah muncul
di ruangan itu. Sultan terkejut sedang Dewi Kerudung Biru mendengus di balik
kerudungnya.
Salah
seorang dari anggota Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka.
"Lihat! Tidak salah keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!"
Anggota
Iblis Pencabut Sukma yang lain, yaitu yang berbadan tinggi langsing melangkah
ke muka. "Perempuan laknat! Lekas serahkan rnanusia itu pada kami!"..
"He…
he…. berani memaki berani mampus kunyuk kerudung merah!" kata Dewi
Kerudung Biru pula.
"Betina
edan, kau andalkan apakah berani berkata demikian?!" membentak si tinggi
langsing. "Sebaiknya sebutkan nama masing-masing kalian! Aku tidak biasa
membunuh krocokroco tanpa tahu namanya!".
Si tinggi
langsing tertawa hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata .
"Namaku Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa….!”
"Hem..bagus…
bagus. Gelaranmu boleh juga. Tapi aku anya apakah kau akan maju seorang diri
atau berempat sekaligus?!"
Merahlah
muka Tangan Perenggut Jiwa.
"Perempuan
sedeng, sambut seranganku ini!"
Tangan
Perenggut Jiwa pukulkan tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi Kerudung
Biru dorongkan pula tangan kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan
Perenggut Jiwa terkejut ketika bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh
angin pukulan lawan sehingga membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar
kesamping.
"Siralaya,
kau minggirlah. Biar aku yang selesaikan dajal betina ini!". Anggota Iblis
Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke muka.
"Sebutkan
namamu!" bentak Dewi Kerudung Biru.
"Namaku
tidak perlu. Tapi gelarku adalah Si Penggoncang Langit!".
"Ho…
ooo…. gelarmu keliwatan sekali sehingga tidak cocok dengan tubuhmu yang kontet
itu! Bagusnya kau pakai gelar Kodok Buduk!" mengejek Dewi Kerudung Biru.
Mulut Si
Penggoncang Langit berkemik. Sekali kedua tangannya bergerak maka dua gelombang
angin yang menggetarkan ruangan itu melesat ke arah Dewi Kerudung Biru.
Hebatnya,
sang Dewi yang saat itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa
menghina dan kebutkan tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si
Penggoncang Langit!
Penasaran
sekali anggota Perkompulan Iblis Pencabut Sukma ini melompat ke muka. Dua
tangan terpentang lebar dan bergerak bersamaan dalam satu gerakan yang sukar
dilihat oleh mata!
"Manusia
busuk macam kau tidak pantas dekat-dekat padaku!" bentak Dewi Kerudung
Biru. Tangan kanannya memukul. Si Penggoncang Langit mencelat empat tombak
terguling di tanah, mengeluarkan suara seperti orang muntah, tapi yang keluar
dari mulutnya adalah semburan darah segar!
Dalam
keadaan begini Si Penggoncang Langit segera keruk saku jubah merahnya,
keluarkan sebuah pil, menelannya dengan cepat lalu bersemedi pula dengan cepat
dalam cara yang aneh yaitu kepala ke bawah kaki ke atas!
Melihat
dua kawannya dibikin kalah mentah-mentah maka majulah anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma yang ketiga. Manusia ini berbadan gemuk.
"Dewi
Kerudung Biru, aku tak akan kasih tahu nama juga tak perlu sebutkan gelaranku
padamu. Tapi jika kau berpemandangan dan berpengalaman luas lihat seranganku
ini!". Sigemuk ini menutup kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya.
Maka enam pisau terbang merah melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung
Biru! Diam-diam Sultan terkejut melihat kehebatan serangan pisau ini. Dia
khawatir kalau Dewi Kerudung Biru tak sanggup mengelakkan keenam pisau itu
sekaligus!
Tapi
anehnya yang diserang ganda tertawa semerdu perindu. Pisau terbang yang pertama
ditangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian senjata ini dipergunakannya untuk
menangkis lima pisau terbang lainnya sehingga pisau yang di tangan maupun yang
ditangkisnya patah dua dan bermentalan!
Terbeliaklah
mata keempat anggota Iblis Pencabut Sukma itu. Lebih-lebih Si Pisau Terbang.
Selama hidup baru kali ini dia melihat serangan pisau-pisau terbangnya
dihancurkan demikian rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia melihat Dewi Kerudung
Biru lemparkan kuntungan pisau kearahnya. Cepat-cepat Si Pisau Terbang berkelit
tapi luput! Kuntungan pisau masih sempat menyambar telinga kirinya. Dan
putuslah daun telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan! Darah berlelehan. Dewi
Kerudung Biru tertawa cekikikan!
Kalap
sekali maka berserulah Si Pisau Terbang. "Kawan-kawan mari kita kermus
dajal betina ini!".
Maka
menyerbulah keempat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu. Melihat sang
Dewi dikeroyok begitu rupa Sultan Hasanuddin tak tinggal diam. Dia menerjang ke
muka dan lancarkan satu serangan cepat ke arah Tangan Perenggut Jiwa. Namun
disaat itu Dewi Kerudung Biru menyibakkan badannya kesamping dengan berkata.
"Sultan, kau tenang-tenang sajalah. Tak perlu susah-susah mengotorkan diri
terhadap kroco-kroco bau tengik ini!".
Sultan
merasa tidak senang. Walau bagaimanapun saktinya Si Kerudung Biru namun
pengeroyokan curang demikian rupa bertentangan dengan hati kesatrianya. Untuk
kali kedua dia hendak menyerbu kembali. Namun disaat itu, terdengar jeritan Si
Penggoncang Langit. Tubuhnya mencelat ke atas ruangan batu. Kepalanya hancur.
Belum lagi tubuh Si Penggoncang Langit sampai ke lantai maka terdengar pekik
anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kedua. Tulang dadanya melesak ke
dalam, iga-iganya putus!
Si Pisau
Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa mengamuk habis-habisan. Dua puluh jurus
berlalu sangat cepat. Dalam dua puluh jurus itu keduanya terus menerus mendesak
Dewi Kerudung Biru dengan hebat. Ruangan bergoncang laksana dilanda lindu!
Tiba-tiba Dewi Kerudung Biru melengking keras. "Iblis-iblis bau kentut!
Minggatlah ke neraka!".
Sepasang
tangan sang Dewi yang halus tapi mengandung hawa kematian yang dahsyat membagi
serangan dalam jurus dahsyat bernama "sepasang tangan menebar maut".
Si Pisau
Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa tiada kesempatan lagi untuk mengelak.
Menangkis mereka tiada punya nyali. Menghadapi maut di depan mata ini maka
menjeritlah keduanya!
Namun
disaat itu pula dari luar terdengar suara menggeledek. "Manusia yang
berani menghina anggota Perkumpulan adalah korbanku yang kedua ratus!".
Begitu suara habis maka dua larik sinar merah yang panas menyembur ke arah Dewi
Kerudung Biru!
–== 0O0
== –
***************
11
SULTAN
melompat ke samping untuk hindarkan sambaran sinar merah sedang Dewi Kerudung
Biru sebaliknya malah pentang kedua tangan dan mendorong ke muka. Pertemuan
yang dahsyat dari dua aliran pukulan menimbulkan goncangan yang hebat laksana
dunia ini mau kiamat!
Dewi
Kerudung Biru berdiri tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan
tadi, yang saat itu hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut
goa kena diterpa angin pukulan Dewi Kerudung Biru!
Sesaat
kemudian ketika manusia yang di luar goa itu masuk ke dalam ternyata dia adalah
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Di belakangnya menyusul satu
lusin anggota lainnya.
Dengan
marah, Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma itu membentak. "Pisau Terbang dan
Tangan Perenggut Jiwa, kalian memalukan saja tidak sanggup menghadapi betina
galak ini. Biar aku yang jinakkan dia!".
Habis
berkata begitu maka Iblis Pencabut Sukma segera lancarkan jurus "menendang
langit menjungkir awan"! Tidak sampai di situ saja maka dia susul serangan
itu dengan taburan pukulan kipas merah! Betul-betul dua jurus yang sangat
menggetarkan dan luar biasa!
Dewi
Kerudung Biru berkelebat cepat. Mulutnya terbuka.
"Huaaah….!".
Dari
mulut sang Dewi menyembur sinar biru yang dahsyat.
Iblis
Pencabut Sukma terkejut. Bukan saja dua jurus serangannya tadi menjadi buyar,
tapi serangan lawan dengan hebatnya terus menyerang kearahnya.
"Asap
kencana biru!,” seru Iblis Pencabut Sukma dengan kaget. Cepat sekali dia
melesat enam tombak ke atas. Sewaktu turun dia sudah cabut sebilah pedang merah
kemudian sambil menyerang dia berteriak. "Anak-anak, ayo tunggu apa
lagi?!". Mendengar ini maka semua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
segera menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut membantu sang Dewi, namun setiap
saat dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi Kerudung Biru mendorongnya ke
belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa!
Dewi
Kerudung Biru sungguh luar biasa dalam bertahan dan menyerang. Namun
lawanlawannya banyak sekali, apalagi di bawah pimpinan Wakil Ketua mereka!
Sesudah tiga puluh jurus berlalu maka sang Dewi mulai terdesak. Dua anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berhasil ditewaskannya namun serangan-serangan
lawan bukannya mengendur melainkan bertambah dahsyat. Diam-diam Sultan menjadi
gelisah. Kali ini sang Dewi pasti tak bisa bertahan lebih dari sepuluh jurus
lagi, pikirnya. Maka pada saat Dewi Kerudung Biru sibuk menghadapi lawannya,
terbungkus oleh sinar pedang merah dengan cepat Sultan menerjang ke muka.
Bantuan Sultan dalam lima jurus di muka sanggup mengimbangi lawan-lawan yang
lihay itu. Namun lambat laun mulai mengendor. Bersama sang Dewi kembali
keduanya terdesak!
Dewi
Kerudung Biru semburkan lagi "asap kencana biru"nya. Namun angin
pedang merah di tangan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan
hebatnya berhasil membuyarkan asap sakti itu!
"Betina
galak! Sekarang terimalah kematianmu!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia
memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Berbarengan mereka sama angkat tangan
kanan ke atas siap untuk lancarkan pukulan "pencabut sukma". Satu
pukulan "pencabut sukma,” saja dahsyatnya bukan main, apalagi sekaligus
duabelas pukulan, dapat dibayangkan bagaimana luar biasa kehebatannya! Dewi
Kerudung Biru pentang kedua lengannya dan putar tubuh laksana baling-baling. Mulutnya
tiada henti menghembus-hembus mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka
duabelas tangan lawanpun ditarik ke belakang!
Dalam
suasana yang diliputi seribu ketegangan itu, tiba-tiba mengaunglah suara
seperti suara seribu tawon mendengung. Di antara dengungan itu melengking pula
suara siulan yang disusul oleh berkiblatnya seputaran sinar putih menyilaukan
mata!
Tiga
anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, termasuk Tangan Perenggut Jiwa
terpekik dan rebah ke lantai mandi darah. Selarik sinar putih yang disertai
raungan dahsyat kembali berkiblat dan Wakil Ketua Perkumpulan Pencabut Sukma
dan anak-anak buahnya terpaksa batalkan serangan dan melompat ke satu pojok.
"Pendekar
212!" terdengar seruan Sultan begitu dia kenali siapa adanya pendatang
baru itu. Dewi Kerudung Biru sendiri memandang pada Wiro Sableng dengan sinar
mata yang berkilat-kilat. Di balik pandangan mata itu seperti ada sesuatu yang
disembunyikannya. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan
anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh amarah.
Pendekar
212 Wiro Sableng sunggingkan senyum di wajahnya yang keren sedang tangan
kanannya mempermainkan Kapak Maut Naga Geni 212. Melihat pada angka 212 yang
tertera pada dua mata kapak di tangan si pemuda maka berkatalah Wakil Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, sambil melintangkan pedang di muka dada.
"Jadi kaukah yang selama ini dijuiuki Pendekar 212 itu…?!".
Jawaban
Wiro Sableng hanya tertawa mengekeh.
"Orang
gendeng, apa kau sudah bosan hidup mau campur urusan orang lain….?!,” tanya
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma.
"Atau
mungkin masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!" ujar
Si Pisau Terbang.
"Siapapun
kalian adanya tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan
berkerudung merah!,” ejek Pendekar 212 pula!
Marahlah
Si Pisau Terbang. Tanpa banyak cerita dia lepaskan sekaligus selusin pisau
terbang beracun ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng gerakkan Kapak Maut Naga
Geni 212 membuat setengah lingkaran.
"Tring…
tring…. tring…".
Kedua
belas pisau terbang itu musnah patah-patah. Melototlah mata Si Pisau Terbang.
Dia menyurut undur dua langkah.
"Pisau
Terbang, kau minggirlah. Biar aku yang antarkan manusia bosan hidup ini ke
pintu gerbang akhirat!”
Wakil
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma maju dua langkah. Sultan Hasanuddin
dengan ilmu menyusupkan suara beri peringatan pada Pendekar 212. "Sobat,
hati-hatilah terhadapnya. Dia sakti sekali!"’
Begitu
peringatan Sultan berakhir maka Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma telah
lancarkan serangan pedang merah dalam jurus yang luar biasa. Jurus ini
sekaligus merupakan empat tebasan dan empat tusukan!
"Ah
cuma ilmu pedang picisan saja mau diandalkan," Ejek Wiro. Kapak Naga Geni
ditangannya menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tiada berani
mengadu senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan bagaimana sinar putih
senjata lawan membuat pedangnya tak bisa bergerak leluasa. Manusia ini membatin.
"Celaka, paling lama aku hanya bisa layani si keparat ini dalam dua puluh
lima jurus!". Dan dia segera putar otak untuk cari kesempatan larikan
diri!
Pendekar
212 yang tahu gelagat lawan segera lancarkan serangan ganas. Wakil Ketua
Perkumpulan. Iblis Pencabut Sukma angsurkan pedang merah kemuka untuk menangkis
karena bertindak berkelit tiada punya kesempatan lagi.
"Trang"!
Maka
patahlah pedang merah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu!
Keringat dingin memercik di kening manusia iblis ini! Nyalinya lumer! Sambil
angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas untuk lepaskan pukulan yang sangat
diandalkannya yaitu pukulan pencabut sukma, maka dia berseru pada sisa-sisa
anak buahnya.
"Kalian
jangan mematung saja! Mari sama kita bereskan anjing kurap ini!’".
Maka
delapan anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan membentak dahsyat
segera menerjang ke muka dan langsung lancarkan pukulan pencabut sukma!
"Wiro!
Awas! Mereka hendak lepaskan pukulan pencabut sukma!" seru Dewi Kerudung
Biru. Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya inilah satu hal yang mengejutkan
Pendekar 212 Wiro Sableng! Keterkejutan ini membuat dia menjadi lengah
seperempatan detik. Dan itu sudah
cukup
bagi Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya!
"Mampuslah!"
Dewi Kerudung
Biru menjerit! Sultan sendiri pucat lesi parasnya Tiba-tiba Pendekar 212
meraung laksana halilintar. Dia melompat ke muka Kapak naga Geni 212 menderu.
Empat suara pekikan seperti mau memecahkan anak telinga. Empat anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma terkapar dengan tubuh hampir kuntung! Pendekar
212 ayunkan Kapak Naga Geni 212 sekali lagi namun disaat itu Wakil Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak buahnya sudah lenyap
larikan diri keluar goa.
Pendekar
212 bediri nanar. Sultan melompat ke muka dan merangkul tubuh Wiro. Di balik
kerudungnya Dewi Kerudung Biru menggigit bibir. Sepasang matanya yang jeli
dipejamkan.Wiro ambil sebutir pil dari saku pakaiannya lalu ditelan dengan
cepat. Dewi Kerudung Biru kemudian berdiri dan kedua tangannya ditekankan ke
bahu Pendekar 212 untuk alirkan tenaga dalam guna bantu menyembuhkan luka yang
diderita Pendekar itu. Namun sesaat kemudian Pendekar 212 mengerang halus lalu
pingsan tiada sadarkan diri!
–== 0O0
== –
**************
12
SULTAN
cemas sekali melihat keadaan Pendekar 212 demikian rupa. Bersama Dewi Kerudung
Biru, Wiro dibaringkan di lantai, kepalanya diganjal dengan sehelai kain yang
dilipat-lipat.
"Dewi,
apakah… apakah dia…?" Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya.
Dewi
Kerudung Biru hela nafas. "Sebenarnya aku yang salah karena aku telah
berseru memanggil namanya tadi," berkata perempuan itu. Dihelanya lagi
satu kali nafas dalam. "Tapi lukanya tak begitu parah. Besok pagi dia
sudah sembuh kembali. Untung saja berilmu tinggi, kalau tidak keseluruhan isi
perutnya pasti akan berbusai ke luar dari mulut."
"Dewi,
kau tahu nama pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya…?"
Dewi
Kerudung Biru elakkan pertanyaan itu dengan balik menanya. "Kau sendiri
punya hubungan apa dengan dia…?"
Maka
Sultan Hasanuddin menuturkan mulai pertama kali dia kenal dan ditolong oleh
Pendekar 212. Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi Kerudung Biru
berkilat-kilat. Dan hal ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan sehingga dia
merasa yakin pastilah ada hubungan apa-apa antara Dewi Kerudung Biru dengan
Pendekar 212 sebelumnya. Tapi untuk bertanya lebih jauh Sultan merasa segan.
"Dia
memang sakti sekali, Sultan,” berkata sang Dewi. "Sikapnya kadang-kadang
lucu tapi juga menyakitkan hati. Bahkan banyak orang yang menyangka dia kurang
sehat pikiran. Tapi hatinya sepolos permata, seputih kertas, jujur. Beberapa
tokoh persilatan telah meramalkan bahwa kelak dikemudian hari dia bakal merajai
dunia persilatan…"
Sultan
Hasanuddin manggut-manggut.
"Sultan,
dalam hal ini kita tak punya waktu lama. Aku akan ajarkan padamu beberapa jurus
ilmu silat dan ilmu asap kencana biru… "
"Aku
haturkan ribuan terima kasih Dewi," kata Sultan dengan gembira.
"Silakan
duduk bersila dan pejamkan mata," Dewi Kerudung Biru berkata.
Sultan
menurut. Dia duduk bersila dan pejamkan mata. Dewi Kerudung Biru kemudian
salurkan tenaga dalamnya ke tubuh Sultan melalui pundak. Selesai menerima
saluran tenaga dalam itu Sultan merasakan tubuhnya sangat enteng dan segar
bugar. "Sekarang aku akan ajarkan padamu dua jurus ilmu silat. Dua jurus
ilmu silat ini hanya empat orang yang pernah memilikinya. Yaitu Pendekar
Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi Kencana Wungu. Ketiganya sudah meninggal. Aku
adalah pewarisnya yang keempat dan bila kuajarkan dua jurus itu kepadamu maka kau
adalah perwaris yang kelima! Jurus yang pertama ialah jurus naga kepala seribu
mengamuk. Yang kedua, jurus Cakar garuda emas. Keduanya merupakan jurus-jurus
yang sukar dicari bandingannya dalam dunia persilatan. Jika kau benar-benar
meyakininya, percayalah tidak sembarang musuh bisa melayanimu."
"Terima
kasih Dewi… ribuan terima kasih. Jadi kalau begitu Dewi adalah murid dari Dewi
Kencana Wungu…?"
Sang Dewi
mengangguk. "Mari kita mulai,” katanya.
Karena
Sultan sebelumnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka kedua
jurus yang diajarkan padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi
Kerudung Biru gembira sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap
kencana biru. Ilmu ini agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena
tekunnya beberapa jam kemudian dia berhasil juga menguasainya.
"Kecerdasanmu
luar biasa sekali, Sultan,” kata Dewi Kerudung Biru. "Malam ini, sampai
esok pagi teruslah berlatih."
"Nasihat
Dewi akan kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan malam itu, seorang diri Sultan
melatih diri. Dewi Kerudung Biru sementara itu duduk bersemadi. Meskipun dia
pejamkan mata namun bila ada jurus-jurus yang agak salah dilakukan oleh Sultan
dia mengetahuinya dan segera menegur !
Keesokan
paginya…
Di luar
gua burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi yang
ditandai munculnya sang surya di ufuk timur. Di dalam gua Sultan tengah duduk
berhadap-hadapan dengan Dewi Kerudung Biru.
"Yakini
dan pelajari terus ilmu-ilmu yang telah kau milik itu Sultan. Kelak kemudian
hari kau akan buktikan sendiri kemanfaatannya. Sekarang, selagi hari masih
pagi, selagi udara masih segar, maka segeralah berangkat ke Demak. Dalam
semediku malam tadi aku mendapat sedikit renungan petunjuk dari Yang Kuasa
bahwa kekuasaan kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten tidak akan
lama….”
Sultan
mengangguk. Dia memandang pada tubuh Pendekar 212 yang sampai saat itu masih
juga terbaring dalam pingsannya. "Bagaimana dengan sshabatku ini, Dewi?
Kalau bisa aku ingin berangkat bersama-sama dia…”
Dewi
Kerudung Biru menggeleng. "Dalam rencana untuk menumpas kaum pemberontak,
dalam usaha menegakkan yang benar dan menghancurkan yang bathil, kalian berdua
sama satu tekat dan satu hati. Namun dalam mencapainya masing-masing kalian
mempunyai cara tersendiri. Harap kau bisa merenungi hal ini, Sultan…”
Sultan
Hasanuddin termenung sejenak. Memang ucapan Dewi Kerudung Biru itu dapat
dipahaminya.
Dia
memandang lagi pada Wiro Sableng. "Apakah dia akan segera siuman dan
sembuh kembali, Dewi?" bertanya Sultan.
Sang Dewi
mengangguk.
"Mengenai
diri Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda, bisakah kau memberi petunjuk…?"
"Andjarsari
diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma, Keris Tumbal Wilayuda juga mereka
yang mencurinya…”
"Kalau
begitu,” kata Sultan dengan kepalkan tinju. "aku akan cari sarang
mereka…!"
Dewi
Kerudung Biru gelengkan kepala. "Selain besar bahayanya juga kau mesti
pergi ke Demak sekarang juga Sultan."
"Aku
tidak takut mati!,” kata Sultan jantan. "Aku rela korbankan jiwa demi
tegakkan Kerajaan Banten yang syah kembali."
"Aku
puji hati kesatriaan dan kecintaanmu pada Kerajaan Banten, Sultan. Tapi ingat,
agaknya caramu untuk mencapai rencana itu hanya dengan mengikuti kehendak hati
sendiri. Salah-salah kau bisa celaka dan Banten tetap dikuasai oleh kaum
pemberontak Parit Wulung."
"Kalau
begitu katamu, aku menurut,” ujar Sultan Hasanuddin akhirnya. "Tapi
sebelum pergi perkenankanlah aku melihat parasmu."
Dewi
Kerudung Biru menggeleng. "Sayang, masih belum.saatnya aku mengabulkan
permintaanmu Sultan. Harap dimaafkan."
Sultan
Hasanuddin menghela nafas dalam. Dia ucapkan lagi rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya.
"Jasa
dan pertolonganmu akan kuingat, akan dikenang oleh rakyat Banten. Disatu ketika
aku akan datang lagi menyambangimu, Dewi,” Sultan memanggut memberi hormat lalu
meninggalkan tempat itu.
Kira-kira
tiga kali sepeminuman teh lamanya Sultan meninggalkan Goa Dewi Kerudung Biru
maka dihadapan jalan yang ditempuhnya tahu-tahu muncullah tiga orang penunggang
kuda. Ketiganya berjubah dan berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma!”
Sesaat
kemudian merekapun berhadap-hadapanlah.
Anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Suma yang paling muka buka suara membentak,
"Lekas mengaku, apa kau Sultan Banten yang melarikan diri itu?!"
Kawannya
yang lain menyela. "Melihat kepada tampangnya pasti tidak salah lagi! Ayo
kawan-kawan mari kita berebut pahala meringkus manusia ini!"
Maka
ketiga anggota Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah dari kuda masingmasing.
Sambil melompat ketiganya sekaligus keluarkan jurus warisan Ketua mereka yang
dinamai "tiga pasang lengan meremas tangkai bunga teratai" Yang satu
datang dari atas, yang kedua dari depan dan yang terakhir dari belakang! Tapi
Sultan yang sekarang jauh berbeda dengan Sultan sehari sebelumnya.
Sekali
Sultan membentak maka terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul dengan
gerakan sebat laksana ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !
Melihat
ini, terkejutlah ketiga penyerang. Buru-buru mereka batalkan serangan jurus
pertama dan menyusul dengan jurus "memukul kasur menggeprak bantal!"
Ini adalah satu jurus yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan Iblis yang di atas
hantamkan dua telapak tangannya sekaligus sedang yang di depan dan di belakang
kirimkan pukulan keras ke dada dan ke punggung. Tak ayal lagi Sultan segera
praktekkah ilmu yang baru diyakininya dari Dewi Kerudung Biru yaitu keluarkan
jurus "cakar garuda emas!"
"Brettt…
bret!"
"Kurang
ajar! Matipun kau masih cukup pantas untuk diserahkan kepada Ketua kami!"
bentak anggota Perkumpulan Iblis yang sempat selamatkan diri. Dia memberi
isyarat pada dua kawannya. Serentak ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan
tinggi-tinggi. Namun sebelum pukulan "pencabut sukma" itu sempat
mereka laksanakan. Sultan buka mulutnya dan asap biru menggebubu ke arah ketiga
penyerangnya.
"Asap
kencana biru!" seru salah seorang anggota Perkumpulan Iblis dengan
terkejut. Buru-buru dia tutup jalan nafas. Tapi dua orang kawannya terlambat.
Begitu tercium oleh keduanya kepulan asap biru yang mengandung racun itu maka
hancurlah pembuluh-pembuluh darah dan pecahlah paru-paru mereka. Keduanya mati
di situ juga!
"Pemuda,
ada hubungan apa kau dengan Dewi Kerudung Biru? Apakah kau muridnya?!"
bentak anggota Perkumpulan Iblis yang masih hidup.
Sultan
kertakkan rahang. Tubuhnya berkelebat. Dua tangan terpentang lebih dahsyat dari
yang pertama tadi dan "brak"! Hancurlah mulut yang membentak itu!
Tubuh anggota Perkumpulan Iblis itu kelojotan sebentar lalu kaku tegang untuk
selamalamanya !
–== 0O0
== –
**************
13
KETIKA
Wiro Sableng, siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh satu
paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya
matanya dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain
biru. Terkejutlah pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik
kerudungnya, Dewi Kerudung Biru menjadi kemerah-merahan pipinya.
Wiro
Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat
anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan.
"Kemana dia…?!" tanya Wiro.
"Dia
siapa…?"
"Sultan!"
"Sudah
pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!" Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka
yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah
didengar dan dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana!
Ketika
ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun
segera menjura.
"Dewi
Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak
aku akan balas budi baikmu itu."
"Aku
tak mengharapkan balasan apa-apa…". Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke
jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan
sepasang matanya lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya.
Melihat
sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu
sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik kerudung itu. Namun
diajukannya dulu pertanyaan. "Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di
mana Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda berada…?"
"Andjarsari
diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga ada
pada mereka. Kau harus cepat turun tangan Pendekar 212!"
"Tapi
dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?"
"Komplotan
itu bersarang di Lembah Batu Pualam…!”
"Terima
kasih atas keteranganmu Dewi,” Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat
sesuatu. "Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota
komplotan itu kau telah berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah…?"
Tergetarlah
hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan lain
menjawablah dia . "Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke
mana-mana…" ,
"Aku
bukan pendekar apa-apa..,” kata Wiro merendah. "Dan terus terang saja aku
rasarasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan
mengenali suaramu…"
Dewi
Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan
redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora.
Dikerahkannya tenaga dalamnya agar tidak gemetar suaranya. "Tidak . . .
kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar
212. Dan
di dunia ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir
bersamaan . .
. ."
Wiro
Sableng maju satu langkah.
"Dewi,
kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu
sebenarnya."
"Kau
sudah tahu."
"Ah…
Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula.
"Di
lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka
tinggalkan tempat ini.
Tapi
pemuda itu tetap berkeras. "Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong
aku, musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak
apa. Namun apakah kau juga tak sudi buka kerudung itu sebentar dan
memperlihatkan paras…?"
Dewi
Kerudung Biru menghela nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan
menyesal…"
"Menyesal
kenapa?"
"Kau
akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…".
"Muka
yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah
bagus dan hati busuk jahat."
"Permintaanmu
tak dapat kukabulkan,” kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan yang
dipaksakan.
Pendekar
212 maju lebih dekat. "Kalau begitu..,” katanya, "harap maafkan
karena aku terpaksa melakukan ini". Wiro ajukan tangan hendak membuka
kerudung penutup wajah.
"Apakah
seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!,” bentak Dewi
Kerudung Biru.
Tangan
Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan
kepalanya maka diteruskannya niatnya.
“Sret!”
Terbukalah
kerudung biru itu!
Dan
terbeliaklah mata Pendekar 212. “Anggini.!,” serunya.
Ternyata paras
di balik kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang dulu
pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut
Berjanji di Pajajaran").
Untuk
beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongonglongong
sedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang matanya
yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaan
serta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari
Pendekar 212 dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak
terduga!
"Apakah
dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?" membathin
Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
"Ini
adalah satu hal yang tak terduga. Anggi…ni…,” desis Wiro.
Anggini
anggukkan kepala. "Ya, suatu hal yang tak terduga..,” suaranya yang rawan
ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si
pemuda.
"Tapi
ini adalah juga merupakan hal yang menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula.
"Ilmumu maju pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu
nyatanya adalah engkau sendiri…?!"
Karena
Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro. "Aku
tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…”
"Ah…..
Anggini tarik nafas dalam.
Pendekar
212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang lewat
ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua
Sanggreng.
"Selama
waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah
demikian…?"
Anggini
mengangguk.
"Rupanya
kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?" tanya Wiro
Sableng.
"Jangan
menduga yang bukan-bukan, Wiro..,” jawab Anggini dan dalam hatinya dia
menambahkan. "Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…"
Setelah
termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. "Malam menjelang pagi tempo hari
itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau… Apakah kau sudah kembali dan
bertemu dengan gurumu Dewa Tuak…?"
Dewi
Kerudung Biru menggeleng.
"Kenapa
. . .?"
"Mana
mungkin aku kembali jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari…?" Habis
mengucapkan kata-kata itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah.
Wiro
Sableng tertawa. "Ho-oh, jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai
sampai sekarang… Wiro geleng-gelengkan kepala.” (Sebagaimana diketahui-dalam
buku "Maut Bernyanyi di Pajajaran,” guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat
keras untuk menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212
tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus pertempuran yang sengaja ditimbulkan
oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan Anggini untuk mencari Pendekar 212 dan
muridnya itu tidak diperkenankan kembali kepertapaan, kecuali dengan membawa
Pendekar 212 sebagai calon suaminya !)
"Semustinya
kau kembali ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah niatnya
yang kurang bisa diterima itu…!"
"Aku
tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya
kembali! Dari jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan
berarti hanya untuk terima hukuman.
"Dan
karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?" .
"Ya,”
lalu tanpa diminta gadis itupun memberi penuturan. "Pagi sesudah kau pergi
itu, aku terus mencarimu sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku
bertemu dengan dua orang penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah.
Ternyata dia adalah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak
buahnya. Kau sudah lihat bagaimana keganasan komplotan mereka. Meskipun tak
ada silang sengketa namun mereka dengan sengaja mencari gara-gara hendak
meringkusku. Anak buah Iblis itu berhasil kubunuh tapi untuk menghadapi Ketua
Iblis Pencabut Suma aku tiada mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian diriku
dilarikan ke sarang mereka di Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah
kamar…"
Sampai di
sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali. Air
mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa
dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat
itulah dia berada dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan
sikapnya yang selama ini selalu lucu jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan
setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan yang masih belum habis.
Dengan menguatkan
hatinya maka Anggini kemudian meneruskan penuturan. "Ketua Iblis Pencabut
Sukma laknat itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya pada
bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan
laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti
menerobos masuk ke dalam kamar dan melarikanku…"
Anggini
menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti
itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya
menjadi murid. Sekarang beliau sudah tiada. Sudah meninggal…"
Lama
kesunyian menjelang.
"Apakah
rencanamu untuk masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212.
"Aku
sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan
dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…"
"Agaknya
kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan komplotan
terkutuk itu."
Lagi-lagi
kesunyian menyeling.
"Anggini..,”
kata Wiro memecah kesunyian itu. "Sekali ini pertemuan kita tak bisa berjalan
lama…”
”Kau
memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama denganku..,” kata Anggini
atau Dewi Kerudung Biru.
Pendekar
212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan ada
hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya.
"Aku
sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita harus
sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali
Keris Tumbal Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di
sini…"
Anggini
terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya.
"Aku
pergi sekarang, Anggini…"
"Wiro…,”
suara Anggini tersekat ditenggorokan.
Langkah
Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di hadapannya. Kemudian
dilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari
tangannya yang diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda
Pendekar 212. Dia membungkuk dan mencium kening Anggini. Ketika kepalanya
hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu merangkul lehernya erat sekali.
"Wiro…
Wiro… jangan pergi dulu…" bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi
wajah masing-masing. Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini
memejamkan matanya, Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa
hangatnya pertemuan sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku
seperti mati. Kemudian rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan
kulit bibir masingmasing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun
mulai menari-nari, saling lumas melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti
tak hendak dilepaskan untuk selama-lamanya.
"Wiro…
aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali.
"Hemm..,”
Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu.
"Kaupun
cinta padaku bukan…?"
"Hemmm…,”
Wiro menggumam lagi.
"Jawab
Wiro. Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah terbaring
berpagutan di lantai.
"Wiro
. . . ."
"Tiba-tiba
di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat.
"Ha…
ha… sungguh satu pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan… teruskanlah!
Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?! Itu seribu
kali lebih nikmat… Ha… ha… ha!"
Seorang
lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu.
"Pendekar
212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim ke
liang kubur tak apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur
kau hanya akan bercumbu dan tidur dengan cacing!"
Baik
Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya melompat
cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka di bagian dada !
–== 0O0
== –
***************
14
DI PINTU
ruangan berdiri berkacak pinggang dua manusia bermuka buruk angker. Yang
berselempang kain putih mukanya hitam macam pantat kuali, rambut awut-awutan,
tampangnya seperti singa dan dia bukan lain Resi Singo Ireng! Di keningnya
tertera tiga angka 212. Di sampingnya berselempang kain biru berdiri kakaknya
yaitu Resi Macan Seta yang tampangnya persis seperti macan. Kulit mukanya
coreng moreng belang tiga, kuning, merah dan hitam! Kedua pentolan pemberontak
kaki tangan Parit Wulung ini telah diperintahkan oleh Parit Wulung untuk
mencari kembali Keris Tumbal Wilayuda. Dan hari itu mereka sampai di Goa Dewi
Kerudung Biru di mana mereka telah dapat mencium jejak Pendekar 212. Bukan saja
kedua Resi ini berprasangka bahwa Keris Tumbal Wiiayuda sudah berada di tangan
Pendekar 212, tapi Resi Singo Ireng sendiri memang mempunyai dendam kesumat
terhadap Pendekar 212 yaitu sewaktu dibikin muntah darah dalam pertempuran di
perbatasan Kerajaan Banten tempo hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya
ke mana-mana sampai saat itu dikulit
keningnya
di mana tertera angka pukulan 212!
"Siapa
mereka, Wiro ?,” tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara.
"Dua
manusia keparat yang membantu Parit Wulung si pemberontak terhadap Banten!,”
menyahuti Pendekar 212."
"Eeee…
eee… eee. Kenapa acara kalian tidak diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng
dengan nada mengejek.
Pendekar
212 menyengir. "Bicaramu keren sekali manusia muka pantat Kuali. Tentunya
kau andalkan manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!"
Mata Resi
Macan Seta membeliak garang. "Pentang kau punya mata, bukalah lebarlebar
agar tahu dengan siapa berhadapan!" bentaknya.
"Ah,
manusia jelek macammu perlu apa aku kenali. Lagi pula, melihat kepada
tampangmu, aku kawatir apa kau betul-betul manusia atau harimau jadi-jadian!,”
Habis berkata begitu maka Pendekar 212 tertawa mengakak.
"Pemuda
besar mulut, aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulanku ini?"
bentak Resi Matjan Seta. Kata-kata ini ditutup dengan menghantam tangan
kanannya ke muka. Maka bertaburlah sinar merah kekuningan ke arah Wiro dan
Anggini. Pukulan "siaar surya tenggelam." .
Pendekar
212 dan Anggini melompat ke samping Anggini sementara itu dengan cepat
mengenakan kembali kerudung birunya.
Kejut
Resi Macan Seta bukan kepalang ketika melihat Pendekar 212 dan si gadis sanggup
mengelakkan serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah bahwa nama Pendekar 212 bukan
kosong belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari adiknya dapat dipecundangi!
Ketika
melihat si gadis mengenakan kerudung kejut Resi Matjan.Seta dan Singo Ireng
lebih-lebih lagi.
"Kiranya
kita berhadapan pula dengan Dewi Kerudung Biru, saudaraku Singo Ireng!".
kata Matjan Seta.
"Betul,
tapi sang dewi ini biar aku bekuk hidup-hidup. Tampang dan, tubuhnya yang
montok lumayan sekali untuk dikekapi sehari semalam!"
Marahlah
Wiro mendengar ucapan Singo Ireng itu. "Manusia pantat kuali, angka 212 di
keningmupun belum sanggup kau hapus, sekarang sudah berani-beranian unjuk
gigi!"
Si Singo
Ireng tidak ambil peduli ucapan Wiro Sableng tapi segera menyerang Dewi
Kerudung Biru. Sengaja dikeluarkannya jurus "memetik bunga memotes
tangkainya". Jurus ini ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului
oleh satu totokan jarak jauh yang dahsyat!
Namun
dugaan Singo Ireng bahwa dia akan sanggup membekuk hidup-hidup, Dewi Kerudung
Biru dalam satu jurus hebat itu meleset besar! Dewi Kerudung Biru sambuti
serangannya dengan jurus "naga kepala seribu mengamuk!"
Kaget
sekali jadinya Resi Singo Ireng ketika menyaksikan bagaimana kedua tangan lawan
berkelebat sangat cepat naik turun membabat ke samping dan berputar bergelung,
menyerang ke arahnya.
Selama
malang melintang membuat kejahatan di dunia persilatan baru kali ini dia
menghadapi jurus aneh ini! Sebaliknya Resi Matjan Seta yang punya lebih banyak
pengalaman segera berseru. "Singo lreng, awas itu pukulan naga kepala
seribu mengamuk!" Mendengar ini tersurutlah Resi Singo Ireng. Cepat-cepat
dia kemudian melompat ke udara ketika menukik ke bawah dia lancarkan empat
tendangan empat pukulan. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat
dalam jurus-jurus yang dahsyat.
"Manusia
muka coreng moreng! Apa hanya kalian berdua saja yang datang antarkan nyawa ke
mari…?" tanya Pendekar 212 pada Matjan Seta.
"Bocah
gila!" bentak Matjan Seta marah sekali sehingga mukanya yang coreng moreng
itu semakin menyeramkan.
“Jika kau
tidak kepingin mampus, sebaiknya lekas serahkan Keris Tumbal Wilayuda dan beri
tahu di mana Sultan berada. Niscaya kau punya nyawa akan aku ampunkan!"
Pendekar
212 bersiul keras.
"Kau
bukan Tuhan yang bisa mengampunkan manusia! Sebaiknya kupertemukan saja kau
lekas-lekas dengan malaekat maut!"
Resi
Macam Seta mengaum macam harimau terluka. Tubuhnya berkelebatan dan lenyap.
Angin dahsyat laksana angin prahara menderu ke arah Pendekar 212. Secepat kilat
Pendekar 212 jatuhkan diri dari berguling di lantai. Tangan kanannya memukul ke
atas! Pukulan Matjan Seta yang tidak mengenai sasarannya terus melanda dinding
batu. Dinding itu pecah! Tetapi sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana
tubuhnya terasa seperti diangkat ke atas dan satu angin tajam menyakiti kulit
kakinya. Ketika dia memandang ke muka Pendekar 212 sudah tak ada dihadapannya.
"Aku
di sini, Matjan Seta!"
Matjan
Seta putar tubuh ke belakang. Begitu tubuhnya berputar begitu dan melihat satu
gumpalan angin yang kerasnya laksana baja menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal
lagi melompat empat tombak ke udara. Mendadak didengarnya suara siulan dekat
sekali di
telinganya.
Dia hantamkan tangannya ke samping. Tapi….
"Bluk!"
Resi
Matjan Seta terpelanting ke lantai. Tulang punggungnya serasa remuk. Dia
kerahkan tenaga dalamnya dengan cepat ke bagian yang kena dipukul lawan lalu
atur jalan nafas. Ketika dia berdiri lurus-lurus kembali, muka macannya
kelihatan bertambah angker. Kedua kakinya terpentang lebar. Tubuhnya sedikit
membungkuk ke muka. Kedua tangannya yang diangkat ke atas kelihatan bergetar.
Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan seluruh tenaqa dalamnya pada dua tangan
itu, dengan segera pendekar ini bersiap-siap pula!
Tangan
kanan Resi Matjan Seta kelihatan berwarna merah kekuningan. Lebih merah dan
lebih kuning dari yang tadi. Pendekar 212 tahu bahwa lawannya bakal lepaskan
lagi pukulan "sinar surya tenggelam" tapi yang lebih hebat dari yang
pertama tadi. Dan ketika melirik pada tangan kiri sang Resi, tangan itupun kini
berwarna sangat merah dan mengepulkan asap merah!
Dua
pukulan sekaligus tak bisa dianggap enteng! Pendekar 212 tidak mau ambil
risiko. Segera tangan kanannya ditinggikan ke atas. Dan cepat sekali lengan
sampai ke jari-jari tangan kanan itu menjadi sangat putih dan menyilaukan
laksana perak ditimpa sinar matahari !
Mata Resi
Matjan Seta membeliak melihat hal itu. "Pukulan sinar matahari!,” keluhnya
dengan hati tergetar. "Benar-benar pemuda rambut gondrong ini memiliki
ilmu kesaktian yang tinggi luar biasa! Apakah dia benar-benar telah mewarisi
seluruh ilmu kepandaian Eyang Sinto Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin.
Namun
percaya, bahwa dua, pukulannya yaitu pukulan "inti api" dan pukulan
"sinar surya tenggelam" akan dapat mengimbangi pukulan lawan maka
dengan serta merta dia hantamkan kedua tangannya ke muka. Dua gelombang sinar merah
pun menderu ke arah Pendekar 212.
Pendekar
212 tunggu sampai dua gelombang sinar itu berada di pertengahan jarak antara
dia dan lawan. Dan sedetik kemudian tangan kanannyapun turunlah ke bawah.
Selarik sinar putih yang sangat panas dan menyilaukan menggebubu melabrak dua
gelombang sinar merah,
"Bumm
!"
Ruangan
batu itu tergoncang hebat. Dinding batu angsrok, Lantai longsor sedang bagian
atas ambruk! Terdengar keluhan maut Resi Matjan Seta. Di saat yang rasanya
seperti mau kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat menyambar tubuh Dewi
Kerudung Biru dan dilarikan ke luar goa. Sesaat mereka sampai di luar goa maka
runtuhlah Goa Dewi Kerudung Biru. Resi Singo Ireng yang tak sempat selamatkan
diri, mati tertimbun bersama saudaranya Resi Matjan Seta. Di luar goa Pendekar
212 dan Dewi Keradung Biru saling berangkulan.
"Anggini…
sangat disesalkan tempatmu yang bagus menjadi hancur runtuh. Tapi sebagiannya
masih bisa kau pergunakan…”
Anggini
mengangguk. Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu.
"Anggini,”
kata Wiro lagi. Dilepaskannya pelukannya. "Waktuku tak banyak lagi. Aku
harus segera ke Lembah Batu Pualam tempat bersarangnya Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma….. Sampai jumpa lagi, Anggini".
"Aku
ikut Wiro….!" seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari
hadapannya.
Gadis itu
termanggu sejurus. Tapi kemudian segera pula dia berkelebat meninggalkan tempat
itu.
–== 0O0
== –
****************
15
LEMBAH
Batupualam…..
Lembah
ini dikelilingi oleh pegunungan batu pualam yang berkilauan ditimpa sinar sang
surya. Di mana-mana bahkan sampai ke dasar lembah terdapat gundukan-gundukan
batu pualam putih. Di tengah dasar lembah kelihatan sebuah gedung besar
bertingkat dua yang keseluruhannya mulai dari lantai sampai ke atap terbuat
dari batu pualam. Gedung ini indah sekali bentuknya. Di beberapa bagian di luar
dan di dalam gedung batu pualam ini terdapat ukiran-ukiran yang bagus sehingga
sesungguhnya tak pantaslah bila gedung itu menjadi markas atau sarangnya
komplotan terkutuk Iblis Pencabut Sukma!
Pendekar
212 berdiri di ujung timur tepi lembah, berlindung di balik sebuah onggokan
batu pualam. Dari tempatnya berada dilihatnya gedung itu sepi-sepi saja. Tak
ada seorangpun anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kelihatan.
Dengan
berlindung di balik gugusan-gugusan dan puing-puing batu pualam, Pendekar 212
mulai menuruni lembah. Dia sampai di dasar lembah kini. Jarak antaranya dengan
gedung batu pualam kurang lebih tiga puluhan tombak. Wiro melompat ke balik
gugusan batu pualam yang lain, melompat lagi ke kiri, lalu ke kiri lagi
sehingga jaraknya kini dengan gedung itu hanya sekira sepuluh tombak.
Pintu
depan gedung terbuka lebar-lebar, demikian juga jendela-jendela di tingkat
bawah serta atas. Anehnya sampai saat itu suasana masih sunyi senyap seperti
tadi. "Mungkin ada perundingan di dalam sana…,” pikir Pendekar 212. Dia
memutuskan untuk menunggu sampai kira-kira sepeminum teh. Sementara itu di
tingkat kedua gedung batu pualam…..
Di sebuah
ruangan rahasia kelihatan empat manusia berjubah dan berkerudung merah. Salah
satu di antaranya jubah dan kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi
sebuah mimbar. Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil
Ketua Perkumpulan. Yang dua anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di
pangkuan Wakil Ketua Perkumpulan saat itu terbaring tubuh Anjarsari.
Ketua
Iblis Pencabut Sukma manggutkan kepala dan Wakilnya segera berdiri. Tubuh
Andjarsari diletakkannya di kursi lalu dia melangkah kehadapan Ketua dan
menjura.
"Ketua,
harap dimaafkan bila aku menjalankan tugas dan kembali ke sini agak terlambat.
Ada beberapa rintangan di tengah jalan…”
"Kau
berhasil mendapatkan Keris Tumbal Wilajuda?!" bertanya sang Ketua.
Suaranya berat serak laksana palu godam.
Wakil
Ketua angguKkan kepala lalu keluarkan sebilah keris yang keseluruhannya mulai
dari sarung sampai ke kerisnya terbuat dari emas. Karena senjata ini senjata
mustika maka dengan sendirinya memancarkan sinar kuning yang terang! Mata Ketua
Iblis Pencabut Sukma berkilat-kilat melihat senjata itu. Begitu diterumanya
diperhatiKannya sejurus lalu dimasukkannya ke batik pinggang.
"Apalagi
yang kau bawa?!" tanya sang Ketua. Wakilnya putar tubuh sedikit dan
menuding pada tubuh Andjarsari yang didudukkan di kursi. "Gadis itu adalah
calon isteri Sultan Hasanuddin. Aku berhasil menculiknya…….”
"Sultan
sendiri bagaimana . . . . . . , ?".
“Aku juga
sebenarnya hampir berhasil menculik dia waktu berada disarang Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya. Ketika
kuikuti jejaknya ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru.
Perempuan dajal itu hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa
orang anggota jika seorang pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di situ!"
"Hem…
memang akhir-akhir ini kudengar kabar selentingan tentang munculnya seorang
pendatang baru yang aneh dalam dunia persilatan…."
Ketua
Iblis Pencabut-Sukma usap-usap dagunya yang tersembunyi di batik kerudung itu.
Lalu tanyanya. "Jadi kau dan anak-anak buah tak sanggup membereskan
pendekar itu?".
"Manusia
itu sakti sekali. Dia memiliki sebuah kapak bermata dua….. Kapak Maut Naga Geni
212!"
"Hanya
sebuah kapak buat penebang pohon saja kau takuti…. Bagaimana dengan
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam….?"
"Mulanya,
karena merasa bahwa kita masih satu golongan dan aliran dengan mereka, aku
minta agar keris, Andjarsari dan Sultan diserahkan secara baik-baik. Tapi
mereka membangkang. Terpaksa tak satupun yang aku kasih hidup…."
"Itu
bagus!," kata Ketua Iblis Pencabut Sukma "Dalam waktu dua atau tiga
hari dimuka, kita akan segera berangkat ke Banten! Sampai saat ini secara tidak
langsung, dengan adanya Keris Tumbal Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah
milik kita. Dan sebagai balas jasamu, kau boleh ambil itu gadis!".
Gembiralah
hati sang Wakil mendengar itu. Sesaat sesudah sang Ketua meninggalkan ruangan
disusul oleh dua orang anggota kelas satu tadi maka Wakil iblis Pencabut Sukma
segera memboyong tubuh Andjarsari ke dalam kamarnya yang terletak dipaling
ujung gedung tingkat kedua.
Sepeminum
teh telah lewat.
Wiro
mengintai lagi dari balik gugusan batu pualam. Gedung masih tetap sunyi senyap.
Dengan rasa tak sabar segera pemuda ini kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan
laksana seekor alap-alap melesat ke atas atap gedung batu pualam tingkat kedua.
Bagian atas gedung ini rata licin. Dan di sebelah sana beberapa tombak jauhnya,
dua orang berjubah dan berkerudung merah tengah asyik bermain dam. Begitu sudut
mata mereka melihat adanya bayangan sesosok tubuh di atas atap itu segera
keduanya putar kepala.
"Hai!"
seru salah seorang dari mereka. "Siapa kau ?!,” membentak yang kedua.
Pendekar 212 melintangkan jari tetunjuk tangan
kirinya
di atas bibir. "Sssst…………. desisnya. Kemudian dengan tiba-tiba tangan
kanannya dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua manusia berjubah merah itu
rebah di atas atap dengan menyembur darah sedang papan serta buah dam mental di
udara jauh sekali.
Pendekar
212 geli sendiri. Dia memandang berkeliling. Kemudian lapat-lapat dari ujung
atas sebelah sana didengarnya suara jeritan perempuan. Dengan cepat pemuda ini
lari ke ujung atap. Di bawah atap, persis di atas sebuah jendela terdapat
beberapa buah lobang angin. Dari salah satu lobang angin ini Wiro mengintai ke
dalam gedung! Dan mendidihlah darah Pendekar 212 sewaktu menyaksikan apa yang
terpampang di dalam kamar di bawah atap itu.
Andjarsari
berada dalam keadaan hampir tak berpakaian. Rambutnya yang panjang kusut masai
menjela-jela. Gadis ini megap-megap dan menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak
kuasa sama sekali untuk menyingkirkan tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma yang menghimpitnya dari atas!
Tidak
membuang waktu lagi Pendekar 212 melompat turun dan melabrak jendela kamar
dengah satu tendangan kaki kiri.
Kejut
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis itu bukan alang kepalang! Jendela kamar
dilihatnya hancur berantakan dan sedetik kemudian sesosok tubuh melayang
memasuki kamar!
"Bangsat
rendah!" memaki manusia bermuka angker itu. Secepat kilat dia melompat
dari tempat tidur dan menyambar jubah merahnya. Dia tak sempat mengenakan
kerudungnya karena pada saat itu Pendekar 212 sudah menyerang dengan ganas!
Wakil
Ketua Iblis Pencabut Sukma sambuti serangan lawan dengan jurus "menendang
langit menjungkir awan". Begitu hebatnya jurus ini sehingga Pendekar 212
terpaksa tahan kegeramannya untuk melanjutkan serangan. Dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma untuk lari ke luar kamar!
"Jalan
lari satu-satunya bagimu hanyalah ke neraka manusia durjana!,” bentak Pendekar
212 lalu memburu dengan sebat.
Wakil
Ketua itu melarikan diri ke sebuah ruangan besar yang di setiap dindingnya
terdapat lima buah pintu. Begitu injakkan kaki di ruangan ini dia segera
berteriak. "Anggotaanggota Perkumpulan! Gedung ini kebobolan bahaya!
Lekas ke luar!"
Serentak
dengan itu maka dua puluh pintu di empat dinding ruangan terbuka lebar dan
melompatlah dua puluh anggota Perkumpulan. Kesemuanya berjubah dan berkerudung
merah dan mencekal sebilah pedang merah! Wakil Ketua Perkumpulan sendiri cabut
sebuah rujung emas dari balik jubahnya. .
"Cincang
pemuda sedeng ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup dengan
sambarkan rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa
tombak maka angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah
Pendekar 212. Hampir bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah
berkiblat! Hanya sekejapan mata saja maka terbungkuslah Pendekar 212 dalam
hujan pedang dan sambaran rujung!
Murid
Eyang Sinto Gendeng ini menggerung dahsyat. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke
lantai. Begitu jatuh di lantai dua tangannya dihantamkan nembentuk dua
lingkaran. Dua lingkaran sinar putih panas yang menyilaukan mata menggelombang.
Dimana-mana terdengar pekikan kematian. Lebih dari separoh anak buah komplotan
Iblis Pencabut Sukma terkapar di lantai ruangan dengan tubuh hangus tersambar
ilmu pukulan "sinar matahari" Pendekar 212!
Melihat
ini mereka yang masih hidup menjadi lumer nyalinya dan mulai pikir-pikir untuk
undurkan diri. Namun tentu saja mereka juga takut pada pimpinan, terlebih lagi
ketika. Wakil Ketua mereka membentak. "Ayo! Kalian tak perlu takut! Mari
gempur lagi dengan jurus menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan!
Selama
beberapa tahun belakangan ini boleh dikatakan jarang sekali Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma mengeluarkan jurus "menabas gunung menusuk bukit mendobrak
bendungan" itu. Kecuali dalam menghadapi lawan yang benar-benar luar biasa
tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Dan hari itu bila mereka mengeluarkan jurus
yang dahsyat itu nyatalah bahwa lawan yang mereka hadapi benar-benar hebat! Dan
memang begitu kenyataannya!
Pendekar
212 sendiri begitu dengar nama jurus ini tak ayal lagi segera cabut Kapak Maut
Naga Geni 212. Selama ini dia cuma pernah dengar dan mengetahui nama jurus yang
terdiri dari empat untaian kata-kata. Kini lawan menyerangnya dengan jurus enam
untaian katakata. Pastilah ini suatu jurus yang luar biasa!
Maka
begitu lawan menyerbu, Pendekar 212 sudah putar Kapak Maut Naga Geni 212nya.
Lolong kematianpun bergemalah untuk kedua kalinya di ruangan itu! Enam anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menggeletak mandi darah. Dua orang yang masih
hidup, ditambah dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang saat itu masih memegangi
rujung emasnya tapi yang sudah kuntung karena diterabas Kapak Pendekar 212,
saling berikan isyarat. Dua anggota yang masih hidup ini melompati Wiro dan
kirimkan empat serangan berantai sekaligus. Wakil Ketua mereka sendiri melompat
kesebuah pintu dan menekan satu tombol rahasia!
Pada
detik Pendekar 212 menerabas tubuh kedua lawannya dengan Kapak Maut, maka pada
detik itu pula tiba-tiba lantai yang dipijaknya terbuka ke samping. Tak ampun
lagi tubuhnyapun melayang jatuh ke dalam sebuah ruangan sedalam dua puluh
tombak sedang lantai ruangan yang tadi membuka kini secara aneh tertutup oleh
jalur-jalur besi sebesar lengan !
"Ha…
ha… ha…!" Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa bekakakan.
"Sekalipun kau punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki jangan harap
kau bisa ke luar dari perangkap ini Pendekar 212!"
"Manusia
sialan!" maka Pendekar 212 sangat geram dan penasaran. Dihantamkannya
tangan kanannya ke atas. Sinar putih berkiblat. Lantai ruangan di atasnya
hancur runtuh tapi jalur-jalur besi yang menutup lobang perangkap sedikitpun
tidak berobah. Wakil Ketua Perkumpulan sendiri saat itu dengan cepat sudah
menghindar ke samping kemudian dari balik jubahnya dia keluarkan sebuah lonceng
kecil. Begitu lonceng dibunyikan maka muncullah Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma diiringi oleh dua orang anggota klas satu yang berkepandaian
sangat tinggi.
Menyaksikan
kematian banyak sekali anak buahnva maka menggerenglah Ketua Perkumpulan ini.
Mukanya yang tersembunyi dibalik kerudung mengkerut tegang, matanya
berkilat-kilat. Dia melangkah kehadapan sang Wakil.
"Sesudah
seluruh anggota mampus begini rupa baru kau bunyikan lonceng memanggil aku?
Bagus betul perbuatanmu!"
Gemetarlah
lutut Wakil Ketua mendengar bentakan atasannya itu. "Tapi Ketua, manusia
itu sakti luar biasa. Namun demikian aku telah berhasil meringkusnya! Lihatlah
ke bawah sana!"
"Keberhasilanmu
tetap tidak dapat menghindari hukuman yang bakal kau terima kelak!" desis
Ketua Perkumpulan. Dia melangkah ke tepi perangkap. Namun secepat kilat
bersurut mundur karena dari dasar perangkap menggebu segumpal angin dahsyat.
Atap gedung batu pualam yang tadi telah hancur dilanda pukulan sinar matahari
kini kembali berpelantingan!
"Kurang
ajar!,” bentak Ketua Perkumpulan. Tangan kanannya dipukulkan ke dasar
perangkap. Dan menderulati lima lusin jarum merah! Tapi lagi-lagi Ketua
Perkumpulan ini dikejutkan ketika angin sedahsyat badai membuat jarum-jarum
beracunnya itu menderu kembali ke atas! Jika tidak lekas pula dia menghindar
dari tepi perangkap pastilah senjata makan tuan!
"Budak
hina dina! Kau boleh keluarkan seribu ilmu tapi jangan harap kau bakal ke luar
hidup-hidup dari dalam perangkap ini!"
Habis
berkata begitu dengan ibu jari kaki kanannya Ketua Perkumpulan IbIis Pencabut
Sukma menginjak sebuah tombol di salah satu sudut perangkap sebelah atas! Di
dasar perangkap, secara aneh dinding terangkat kira-kira sejengkal dan laksana
air bah dari keempat celah dinding itu berserabutanlah ratusan binatang berbisa
seperti ular, kelabang, lipan dan kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang
Pendekar 212!
Murid
Eyang Sinto Gendeng melompat dua tombak. Begitu tubuhnya mengapung di udara
tangan kirinya segera mengambil batu api 212 dari balik pinggang. Sekali batu
api dan Kapak Naga Geni 212 diadu maka lidah apipun menderulah ke lantai
perangkap. Seluruh binatang berbisa itu tak satupun yang hidup. Semuanya
terbakar musnah dengan mengeluarkan bau yang tak nyaman dan memegapkan jalan
nafas.
Pendekar
212 tidak menunggu lebih lama. Jika di luar dengan ilmu mengentengi tubuh dia
bisa melompat sampai tiga puluhan tombak lebih, mengapa di dalam perangkap yang
cuma sedalam dua puluh tombak itu dia tak bisa? Cuma yang dikhawatirkannya
ialah jika dia tak dapat menerobos atau menghancurkan jalur-jalur besi di atas
perangkap itu dengan Kapak Maut Naga Geni 212-nya !
Di atas
sana tiba-tiba dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma kembali mendekati tepi perangkap. Pendekar 212 segera hantamkan tangan ke
atas mengirim pukulan matahari dan serentak dengan itu dia melompat ke udara.
Kapak Naga Geni 212 diputar dengan sebat!
"Trang…
trang… trang…!"
Ternyata
Kapak Naga Geni 212 mampu menghancurkan jalur-jalur besi penutup perangkap.
Pendekar 212 tertawa gembira dan berdiri dengan berkacak tangan kiri dipinggang
sementara empat lawannya di ruangan itu diam-diam menjadi ngeri melihat
kehebatan pemuda ini!
Dari
kerudung dan jubahnya yang lebih merah laksana darah. Pendekar 212 segera
mengenali yang mana adanya Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Maka
berkatalah pemuda ini dengan membentak. "Lekas serahkan Keris Tumbal
Wilajuda. Dan jika kalian berjanji untuk kembali ke jalan yang benar niscaya
aku masih mau memberi ampun!"
Ketua
Perkumpulan tertawa mendengus. "Usia masih seumur jagung, tubuh masih bau
amisnya orok, mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah berani bicara membentak
dan memerintah dihadapanku!"
"Ucapanmu
tidak lucu Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas kata kau mau serahkan Keris Tumbal
Wilajuda atau tidak?!"
Perlahan-lahan
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat tangannya ke udara. Gerakannya
ini diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya.
"Baik!,”
katanya, "aku akan serahkan Keris Tumbal Wilajuda padamu, tapi serahkan
dulu kau punya jiwa!"
Habis
berkata demikian maka empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan
yang sangat diandalkan oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!
Dalam
keadaan lengah seperti di Goa Dewi Kerudung Biru tempo hari mungkin empat
pukulan sakti itu akan menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi kali ini keadaan
berlainan, apalagi saat itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga Geni 212
ditangan!
Begitu
empat angin maut membetot ke arah badannya maka Pendekar 212 berseru nyaring!
Tubuhnya lenyap! Menyusul suara siulan melengking dan Kapak Maut Naga Geni 212
membuat putaran putih yang sebat sekali, angin yang ke luar dari Kapak sakti
itu melanda hebat tarikan angin maut keempat musuh. Dan setengah jurus kemudian
dua anggota klas satu Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma sama menjerit keras!
Tubuh mereka rebah ke lantai. Yang satu berbusaian isi perutnya, yang satu lagi
hampir putus batang lehernya !
Ketua dan
Wakil Perkumpulan terkutuk sama-sama tersurut! "Apa kau masih belum mau
serahkan apa yang kuminta?!" bentak Pendekar 212.
"Aku
bilang serahkan nyawamu lebih dulu, budak hina!" balas membentak Ketua
Iblis.
"Manusia
tolol, dikasih ampun malah minta mampus!" Gusar sekali Pendekar 212
jadinya. Tubuhnya berkelebat untuk kesekian kalinya. Kali ini dalam jurus
"membuka jendela memanah rembulan". Kapak Naga Geni mula-mula menderu
sebat ke samping. Dan terdengarlah jerit kematian Wakit Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma. Ketua Perkumpulan tersirap dan melompat mundur ketika melihat
Wakilnya terhuyung-huyung dengan dada mandi darah lalu jatuh duduk di lantai!
Namun Pendekar 212 betul-betul tidak mau memberikan kesempatan lagi. Kapaknya
terus menyelesaikan jurus yang dibuat dan kini membabat deras ke udara!
Ketua
Perkumpulan terkutuk itu melolong setinggi langit! Dagunya terbabat putus
berikut sebagian kerudungnya sekaligus! Tubuhnya terbanting ke dinding! Ketika
Kapak Maut Naga Geni hendak membalik lagi guna menamatkan riwayat Ketua
Perkumpulan durjana itu maka tahu-tahu melesatlah sesosok tubuh manusia dan
terdengar satu seruan.
"Bangsat
yang satu ini adalah bagianku, Wiro!".
–== 0O0
== –
****************
16
PENDEKAR
212 berpaling yang datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini !
"Ah,
kau rupanya Anggini. Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa
anjing manusia terkutuk ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”
Ketika
Pendekar 212 bicara ini, Ketua Perkumpulan Iblis pergunakan kesempatan untuk
menghambur ke pintu. Tapi secepat kilat Wiro angsurkan kaki kirinya
menyerimpung pergelangan salah satu kaki Ketua Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun
lagi tubuhnya tersungkur ke lantai!
"Cepat
bangun, manusia iblis agar cepat pula kuantarkan kau punya nyawa menghadap
penjaga neraka!,” bentak Dewi Kerudung Biru!
Perlahan-lahan
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berdiri. Tiba-tiba dia hantamkan satu
pukulan ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi tenaga pukulannya ini sudah banyak
berkurang akibat luka didagunya yang mengandung bisa dan bisa mana mulai
menjalar kesegenap pembuluh darahnya!
Melihat
lawan memukul, Dewi Kerudung Biru berkelit cepat dan kirimkan serangan balasan
yaitu jurus naga kepala seribu mengamuk! Terkejutlah Ketua Perkumpulan Iblis
melihat jurus yang dahsyat ini. Dia melompat mundur tiga tombak dan berseru.
"Dewi Kerudung Biru, antara kau dan aku tiada permusuhan, mengapa kita
musti bertempur begini rupa?!"
Dewi
Kerudung Biru tertawa dingin sedingin salju. "Kau lupa pada seorang gadis
yang hendak kau perkosa beberapa bulan yang lalu?!" Dewi Kerudung Biru
membuka kerudung penutup wajahnya! "Apa kau masih lupa dan tidak kenali
aku?!"
Terkejutlah
Ketua Iblis Pencabut Sukma melihat paras gadis dihadapannya. Namun rasa
terkejutnya ini tiada lama. Anggini kembali menyerbu.
Kali ini
dalam jurus "cakar garuda emas". Kedua tangannya terpentang.
"Breet!"
Kuku-kuku yang panjang dari gadis itu menyambar dada sang Ketua. Dan tidak
sampai di sana saja, Anggini buka mulutnya lebar-lebar.
"Huaah!"
Menyemburlah
asap kencana biru ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Manusia ini
menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Ketika dia rebah ke lantai maka sekujur
badannya menjadi sangat biru! Tamatlah riwayat manusia yang paling terkutuk dan
ganas itu. Belum puas sampai di situ, Anggini maju mendekati mayat laki-laki
itu lantas menendang kepalanya. Tubuh Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
mencelat enam tombak kepalanya hancur!
"Kau
hebat sekali, Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat
Ketua Iblis Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan
Keris Tumbal Wilajuda!
"Apa
yang harus kita lakukan selanjutnya Wiro?,” bertanya Dewi Kerudung Biru atau
Anggini.
Pendekar
212 merenung beberapa lamanya lalu menjawab. "Setelah Keris Tumbal
kerajaan ini berhasil diketemukan, kurasa ada baiknya aku segera menemui Sultan
Banten".
"Mengapa
begitu?,” tanya Anggini. "Bukankahkau sendiri sudah tahu bahwa Sultan
Hasanuddin pergi ke Demak untuk meminta bantuan balatentara dari Sultan
Trenggono guna mengusir kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten?"
"Betul,
namun saat ini aku ada rencana baru. Rencanaku ini akan sangat banyak
mengurangi korban-korban yang tiada berdosa…..”
"Aku
tak mengerti maksudmu,” kata Anggini pula. I
Pendekar
212 tersenyum. "Kau akan mengerti setelah menyaksikannya sendiri nanti.
Sementara aku menyusul Sultan ke Demak, kuharap kau sudi pergi keperbatasan dan
menunggu kedatangan kami di sana…”
Bagi
Anggini adalah lebih disukainya bila dia bisa ikut bersama-sama dengan pemuda
itu. Namun setelah berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala.
"Sampai
jumpa Anggini,” kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu.
Anggini
meremas seketika jari-jari si pemuda dan sebelum tubuhnya lebih dijalari gelora
darah muda maka Pendekar 212 segera meninggalkan tempat itu.
Meskipun
satu hari terlambat namun dengan ilmu larinya yang sangat lihai, Wiro berhasil
mendahului Sultan. Hasanuddin yang berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor
kuda. Wiro menunggu kedatangan Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu
saja Sultan Hasanuddin sangat terkejut dan heran bertemu dengan pemuda
sahabatnya itu.
"Sahabat,
bagaimana kau tahu-tahu sudah muncul di sini?" tanya Sultan seraya turun
dari kuda. Dengan ringkas Wiro Sableng segera berikan keterangan. Selesai memberikan
keterangan maka dikeluarkannyalah Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada
Sultan.
Berseri-serilah
paras Sultan Hasanuddin. "Sahabat jasamu sungguh tak dapat diukur dengan
luasnya laut, dengan tingginya gunung. Aku berterima kasih betul kepadamu…”
Wiro
memotong ucapan Sultan dengan berkata. "Sultan sebelum memasuki kota dan
menemui Sultan Trenggono perkenankanlah aku memberikan sedikit rencana….”
"Boleh
saja. Silahkan" kata Sultan seraya sisipkan Keris Tumbal Wilajuda dibalik
pinggang pakaian. "Dengan membawa balatentra Demak ke Banten berarti akan
pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di Banten. Sultan tentu lebih tahu
dariku bahwa akibat peperangan yang paling buruk ialah jatuhnya beban
penderitaan, serta kesengsaraan dipundaknya rakyat jelata….”
"Betul,
dalam hal ini aku memang sedapat-dapatnya berusaha agar penduduk jangan sampai
banyak yang jatuh korban,” kata Sultan pula.
Wiro
mengangguk. "Di samping itu, sebagian besar dari prajurit-prajurit
pemberontak tiada lain hanya merupakan alat mati yang bisa dikutak kutik oleh
atasan! Di hati kecil mereka sendiri mungkin tak ingin melakukan pertumpahan
darah itu. Tapi demi tugas dari atasan, mereka terpaksa melakukan peperangan
yang kejam itu. Jadi letak tanggung jawab, atau biang racun dari segala
kemusnihan dan penderitaan itu tiada lain terletak di tangan pentolan-pentolan
tinggi pemberontak! Nah, manusia-manusia inilah yang harus kita lenyapkan lebih
dulu…. yang dibawah soal mudah..Apalagi dua bergundalnya pembantu Parit Wulung
yaitu Resi Singo Ireng serta Macan Seta telah menemui ajal!"
"Apa
yang kau katakan itu semua adalah benar sobat,” kata Sultan. "Tapi aku
masih belum melihat bagaimana caramu yang tepat dan baik dalam merebut kembali
takhta kerajaan dengan menghindarkan pertumpahan darah…."
"Kalau
Sultan bisa memberikan sedikit kepercayaan kepadaku, pastilah aku akan bersedia
melaksanakannya… Maka Pendekar 212-pun menuturkan rencananya selengkapnya.
–== 0O0
== –
*****************
17
MALAM itu
di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang tokoh
terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh
Resi Matjan Serta tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah
murid terpandai dari Matjan Seta yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi
itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin anggota partai lainnya sengaja
diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat kedudukannya dan
menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun
coreng moreng. Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara.
"Saudara-saudara pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan
Keris Tumbal Wilajuda. Sampai seka[ang kita masih belum berhasil menemukannya
sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo Ireng dan Resi Matjan
Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…”
Parit
Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia
disudut ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak.
"Saudara-saudara
bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya mendengarkan
perundingan kita ini di atas loteng!"
Dan baru
saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng
terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua
kakinya sama sekali tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai!
Rana
Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri
berdiri dari kursi dan membentak.
"Manusia
atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!"
Tamu tak
diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa
dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya.
"Kau
terlalu menghina padaku, Parit Wulung,” menyahuti Pendekar 212. Dia melirik
sedikit ketika melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang
melintang.
"Lekas
katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!,” kata Tikusila seraya angkat
tinggitinggi tangan kanannya yang memegang pedang.
"Aku
adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!".
Maka
terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar
212 keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh
memalang di atas gelas tuak, dihadapan Parit Wulung.
"Silahkan
baca,” kata Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap
yang merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya
juga.
Parit
Wulung,
Aku
berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama bergundal-bergundal
pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu untuk menduduki takhta kerajaan
Banten secara tidak syah di atas lumuran darah sekian banyak rakyat dan
prajurit Banten serta sekian banyak pembesar-pembesar istana yang tak berdosa
akan sia-sia saja ! ,
Keris
Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua cecunguk pembantumu
yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah menemui ajalnya.
Jika
kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat. Tapi bila kalian
membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau bagaimanapun yang
bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan tak akan bisa mengalahkan,
kebenaran !
Ingat,
waktumu cuma sampai malam ini !
Tertanda
SULTAN
HASANUDDIN
Mengelam
wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara tertawanya
bergelak. Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada
Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu
kemudian pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu.
Wiro
sendiri mengerendeng dalam hatinya. "Kau utusan Sultan yang tampangmu
macam orang hutan!" kata Rana Tikusila, "aku mau tanya, Sultanmu itu
andalkan apakah sampai berani membuat surat ancaman macam begini rupa ?!"
Wiro
tertawa gelak-gelak. "Kau keliwat menghina sobat!" katanya.
"Coba lihat ke kaca besar di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng
macam orang gila itu jauh lebih buruk dari padaku! Kurasa kalau orang tuamu
bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!"
Maka
marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini.
"Sret,”
dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke
arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh
dalam ilmu pedang Partai Api Setan dan dinamakan jurus "anak panah
menembus rembulan!" Selama menghadapi lawan-lawan tangguh jarang dari
mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka biasanya tak akan
mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang dinamakan "gendewa menyambar
puncak gunung".
Tapi hari
itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai
tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan
juga malu pada kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul
dengan jurus "gendewa menyambar puncak gunung". Pedangnya membalik
membabat ke arah pinggang lawan!
Namun
nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang
sukar dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila.
Pedang mental ke udara, Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian
pedangnya sudah berada di tangan Pendekar 212!
Mata
Parit Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat
pasi wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!
"Aku
datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan
surat
Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga apakah. kalian sudi menyerah
atau tidak?!" Parit Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila
lalu merobek-robeknya. "Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta
melemparkan robekan surat ke muka Wiro
Sableng.
Pendekar muda ini, tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai.
"Besok pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini…..”
"Saudara-saudara, sangkap manusia yang satu ini!". Parit Wulung beri
perintah. Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya
ke lampu
besar
yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat
kilat Wiro melompat ke atas loteng, lenyap dikegelapan malam.
Ketika
pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di
halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas
manusia yang sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan
pada kening masing-masing tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka
212 !
Kelima
belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana
Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa,
dua pentolan pemberontak dari Pajajaran!
Pada
masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang
bertuliskan:
Kepada
kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah. Tapi kalian sengaja
memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa kebathilan akan selalu hancur
oleh yang hak.
Kepada
para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada Sultan, hari ini adalah
hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum pemberontak !
Tertanda
SULTAN
HASANUDDIN
Di balik
kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka
berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh
dan menggantung kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening
mayat-mayat. Apakah ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa
prajurit pemberontak diperbatasan tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan,
surat itu benar-benar ditandatangani olehnya? Kalau betul masih hidup di mana
dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng serta Matjan Seta
yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan sudah
muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?!
Di dalam
suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu
sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas
dari kaum pernberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian
besar balatentara Banten yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari
hanya sekelumit harapan untuk bebas maka menjadilah satu tekat bulat untuk
angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak syah itu. Lagi pula
satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu cuma
tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian. Singo
Ireng dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma
tinggal nama saja!
Sementara
itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu,
sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat
salju. Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi
pembantu-pembantu utamanya demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang
datang malam tadi! Dalam kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa
untuk memerintahkan agar lima belas mayat yang digantung itu diturunkan!
Bila dia
berhasil menguasai dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa kelompok
pasukan untuk melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke
perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari
balatentara yang masih setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang
membawa berbagai macam senjata sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk
bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk menegakkan kembali Kerajaan
Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat atas sanak saudara dan karib
kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang
membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya !
Dan pada
saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh manusia dari
wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang kedua
seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan
sendiri! Maka semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah!
Parit
Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi
bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat
puluh rakyat jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju
pula ke tengah gelanggang, maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah
pembantu-pembantu utama Parit Wulung! Manusia pengkhianat besar ini dengan
putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang ke kepalanya. Tapi Pendekar
212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung Biru kemudian
meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum
pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya!
Di
mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara-gegap
gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan
mengelukelukan Sultan Hasanuddin.
Kemudian
diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak.
"Gantung Parit Wulung!”
"Cincang
tubuhnya sampai lumat!"
"Hukum
picis pengkhianat itu !"
"Bakar
saja hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain!
Sementara
itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung
berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri
dihadapan Sultan.
"Sultan
kami rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri….”
Sultan
terkejut. "Tidak bisa!,” kata Sultan setengah berteriak.
"Kalian
berdua musti tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya
rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap
Pengawal Pribadiku, Wiro!".
Wiro dan
Anggini tersenyum. "Hatimu mulia sekali Sultan,” sahut Pendekar 212.
"Tapi kami berdua adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di
lain hari kita akan berjumpa dan berkumpul lagi…"
Sultan
merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu. "Kalian berdua telah berjasa
besar terhadap Kerajaan dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang
juga dihadapan rakyat….”
"Ah,
jangan…. tak usah Sultan" kata Anggini dan Wiro pula.
Sultan
mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah berlian
besar di tengahnya. "Anggini,” kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru,
"benda ini adalah bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada
siapa saja yang telah berjasa pada Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai
tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja dan rakyat Banten.
Terimalah….”
"Sultan…
mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti
menerima bintang penghargaan begitu rupa….?"
"Terimalah
Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan…."
Dengan
malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata
berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu.
"Andjarsari, bagaimana Andjarsari …… ?"
"Dirinya
tak perlu dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi Kerudung Biru. "Saat ini
dia masih berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa.
Seorang pengemudi kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk
menjemputnya….”
"Ah,
jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul
berterima kasih…”
Pendekar
212 tersenyum. "Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih
Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba
Tuhan, hanya alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap
ditanganNya…….”
Sultan
manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda.
Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya sehingga
mengeluarkan darah. "Kuharap kalian berdua juga suka menggores telapak
tangan masing-masing…"
Anggini
dan Wiro saling pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula.
"Gores
sajalah,” desak Sultan.
Kedua
orang itu kemudian sama menggores telapak tangan masing-masing. Wiro menggores
telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan
eratrat telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak
tangan kiri ke telapak kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan
tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat membendung lagi perasaan hatinya
maka berserulah Raja Banten ini.
"Saudara-saudaraku
para prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian, aku
mengangkat saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita
sekalian…."
"Sultan!"
seru Pendekar 212. "Kami .ini hanya manusia-manusia rendah jelata,
bagaimana kau sudi mengangkat saudara…”
Sultan
tersenyum. "Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut
nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata
Tuhan….?!"
Dan
Sultan berseru lagi. "Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng dan yang berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !” `
Maka
untuk kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang
menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur,
maka
berserilah
parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta.
Kereta
yang membawa Andjarsari, calon permaisurinya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment