WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
Episode :
EMPAT BEREWOK DARI GOA SANGGRENG
**********
1
LUKA
besar di bekas kutungan tangan kanannya itu membuat tenaganya semakin lama
semakin mengendur. Kalau tadi dengan segala tenaga yang ada macam manusia
dikejar setan dia melarikan diri dari pekuburan Djatiwalu itu, maka kini
jangankan lari, berjalan melangkahpun dia sudah tidak sanggup. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Nafasnya megapmegap seperti mau sekarat!
Saat itu
dia berada di tepi sebuah jurang. Dalam larinya tadi dia tak memperhatikan lagi
ke mana tujuannya sehingga di mana dia berada saat itu adalah satu tempat yang
jarang didatangi manuisia. Sunyi senyap mencengkam menegakkan bulu roma.
Matanya yang berkunang-kunang, pemandangannya yang semakin mengelam dan daya
tenaga yang sudah habis sampai ke batasnya membuat tubuhnya tak ampun lagi
jatuh terperosok ke dalam jurang ketika salah satu kakinya terserandung di
bebatuan yang menonjol di tepi jurang.
Masih
untun jurang itu bukanlah jurang batu, tapi jurang yang penuh ditumbuhi semak
belukar. Tubuhnya menggelinding ke bawah membentur semak belukar mengait
ranting-ranting pepohonan rendah. Sakit tubuhnya bukan main, apalagi bekas luka
kutungan di tangan kanannya. Ketika dia terhampar di dasar jurang, dia tiada
sadarkan diri lagi!
Bila dia
sadarkan diri maka saat itu matahari sudah hamper tenggelam. Keadaan di dasar
jurang sunyi itu gelap dan dingin karena pantulan sinar matahari yang terakhir
tidak sampai menyaputi dasar jurang di mana dia berada. Dia berpikir-pikir di
mana dia terbujur saat itu. Kemudian denyutan rasa sakit yang amat sangat pada
bahu kanannya yang bunting dan masih melelehkan darah itu, membuat dia ingat
segala sesuatunya apa yang telah terjadi.
Dia –
Kalingundil – beberapa jam yang lalu telah bertempur melawan seorang pemuda
sakti bernama Wiro Sableng. Dalam pertempuran itu bukan saja dia terpaksa
melarikan diri tapi juga terpaksa kehilangan tangan kanannya karena telah
dibetot puntung oleh lawannya!
Dan
mengingat ini, diantara rasa sakit yang tiada terkirakan, memerih pula rasa
dendam kesumat yang amat sangat. Walau bagaimanapun dia musti dapat meneruskan
hidupnya, meski cuma bertangan sebelah. Meski bagaimanapun dia harus dapat
membalaskan dendam kesumat akibat perbuatan pemuda Wiro Sableng yang telah
membuat dia cacat seumur hidup itu.
Ketika
kedua matanya melihat bintang-bintang yang bermunculan di langit di atasnya
barulah disadarinya bahwa hari sudah menjadi malam. Kalingundil tahu bahwa
semalammalaman itu dia tak akan bisa terus terbujur di situ. Dipalingkannya
kepalanya ke kanan. Hanya semak belukar dan pohon-pohon berdaun lebar yang
dilihatnya dalam kegelapan. Kemudian dipalingkannya pula kepalanya ke samping
kiri. Mula-mula juga hanya kegelapan yang dilihat lelaki itu. Namun samar-samar
kemudian diantara semak belukar dalam kegelapan itu matanya masih dapat melihat
satu legukan batu di dasar jurang. Jaraknya dengan tempat dia terbujur saat itu
kira-kira sepuluh tombak. Dari pada terbujur di tempat terbuka begitu,
Kalingundil berpikir lebih baik pindah tempat ke cegukan batu itu.
Tapi
dengan keadaan dan kekuatan badan seperti itu tidak mudah bagi Kalingundil
untuk berpindah tempat. Jangankan untuk berdiri, merangkakpun tidak bisa.
Jangankan utnuk beringsut, bergerak sedikitpun sekujur tubuhnya terasa sakit
bukan main, tulang-tulang anggotanya serasa bertanggalan! Namun dengan
keyakinan penuh untuk bisa menyelamatkan diri, dengan mengumpulkan segala sisa
tenaga yang masih ada, seingsut demi seingsut akhirnya berhasil juga
Kalingundil mencapai legukan batu itu. Ternyata legukan ini adalah mulut sebuah
goa. Dan pada saat itu dia berhasil mencapai mulut goa itu, untuk kedua kalinya
Kalingundil jatuh pingsan kembali.
Kalingundil
sadarkan diri pada keesokan paginya. Beberapa jam sesudah matahari terbit.
Anehnya tubuhnya terasa lebih mendingan dibandingkan dengan keadaan hari
kemarin. Kalingundil tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi. Bahkan ketika
dia coba menggerakkan badan dirasakannya kekuatannya yang malam tadi sudah
habis sampai ke batas terakhir kini mulai berangsur kembali. Dia duduk
bersandar ke dinding goa. Pada saat itulah dirasakannya bahwa dari dalam goa
keluar semacam hawa yang lembab ngilu-ngilu kuku. Hawa inilah agaknya yang
telah mempengaruhi keadaan diri Kalingundil yang telah memberikan kepulihan
kekuatan kepadanya.
Kemudian
sewaktu dia memandang meneliti ke dinding goa di sekelilingnya, samarsamar,
tertutup oleh debu yang menebal, tergugus oleh ketuaan zaman, Kalingundil
melihat banyak sekali tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan ini kacau balau tak
teratur, tapi bila dibaca dan disambung satu persatu, akan merupakan rentetan
kalimat yang memberi pengertian pelajaran ilmu silat! Semakin lebar Kalingundil
membuka kedua matanya. Apa yang dibaca olehnya itu memang sulit dimengerti
mula-mula, ini lain tidak karena tulisan itu menerangkan tentang pelajaran
silat yang memang mempunyai dasar-dasar aneh serta tak diketahui dari cabang
aliran mana. Semakin naik matahari, semakin baikan terasa oleh Kalingundil
keadaan badannya.
Dengan
mebungkuk-bungkuk dan tertatih-tatih, setelah habis dibacanya sekalian apa yang
tertulis dibagian goa sebelah luar itu maka Kalingundil memasuki goa lebih
jauh. Semakin ke dalam semakin terasa hawa lembab yang hangat-hangat
ngilu-ngilu kuku tadi. Menghirup udara itu Kalingundil merasakan tubuhnya segar,
dadanya lega. Dan semakin ke dalam semakin banyak banyak dilihat Kalingundil
tulisan-tulisan. Apa yang tertulis kini adalah mengenai pelajaran ilmu pedang
yang aneh dan tak pernah didengar oleh Kalingundil sebelumnya. Tapi sayang
sebagian besar tulisan-tulisan yang bersifat pelajaran itu sudah tidak
kelihatan atau kabur tak dapat dibaca lagi.
Hawa
hangat ngilu-ngilu kuku semakin santar terasa. Kalingundil terus juga masuk ke
dalam goa itu sampai akhirnya langkahnya terhenti pada satu pemandangan yang
hampir tak dapat dipercayainya.
Goa itu
berakhir pada sebuah telaga kecil. Telaga ini lebih tepat disebut kolam karena
tepinya dikelilingi oleh batu-batu. Air telaga berwarna biru gelap dan
mengepulkan asap kebiruan. Asap inilah yang berhawa hangat ngilu-ngilu kuku dam
mempunyai kekuatan ajaib yang menyegarkan tubuh Kalingundil! Di tengah kolam
itu terdapat sebuah batu licin yang juga berwarna biru dan diatas batu ini
terletak sebuah pedang yang telah buntung, yang panjangnya cuma dua jengkal.
Seperti air kolam dan batu licin, senjata ini juga berwarna dan memancarkan
sinar biru. Mengapa pedang itu tinggal buntung sedemikian rupa, kemana bagian
yang lancip lainnya? Dan mengapa sampai benda itu berada di situ?
Berdiri
beberapa lama di tepi kolam itu Kalingundil merasakan badannya semakin segar.
Sedang ketika diteliti luka di bahu kanannya yang buntung itu, luka itupun
kelihatannya lebih sembuhan dari saat-saat sebelumnya.
“Air
kolam ini mengandung khasiat yang hebat..,” pikir Kalingundil. Dia membungkuk
untuk menyiduknya dan sekaligus untuk melihat lebih dekat pedang buntung yang
di atas batu. Namun setengah membungkuk, gerakannya terhenti. Di dinding goa di
sebelah belakang kolam, di balik kepulan asap samar-samar terlihat barisan
huruf-huruf yang sudah agak sukar untuk dibaca tapi masih dapat dikira-kirakan
oleh Kalingundil.
Di situ
tertulis :
GOA INI “GOA SILUMAN BIRU”
GOA INI “GOA SILUMAN BIRU”
KOLAM INI
“KOLAM SILUMAN BIRU,”
PEDANG DI
ATAS BATU “PEDANG SILUMAN BIRU,”
CUMA
SAYANG KINI HANYA TINGGAL HULU DAN BUNTUNG,
SIAPA
BISA MENDAPATKAN UJUNG PEDANG YANG HILANG DAN MENYAMBUNGNYA,
SIAPA
YANG MEMPELAJARI ILMU PEDANG DALAM GOA INI, AKAN MENJADI “RAJA PEDANG” SEUMUR
HIDUPNYA.
Membaca
rangkaian kalimat itu, Kalingundil kemudian memandang berkeliling. Apaapa yang
telah dibacanya tadi sejak dari mulut goa sampai ke tepi kolam yaitu
tulisan-tulisan di dinding goa semuanya memang merupakan suatu ilmu silat dan
ilmu pedang yang aneh. Segala sesuatu yang ditemuinya di dalam goa itu
memberikan kenyataan kepada Kalingundil bahwa dulunya goa itu adalah tempat
kediaman seorang sakti yang bersenjatakan pedang bernama “Pedang Siluman Biru”
itu. Tapi kenapa pedang itu kini hanya tinggal begitu rupa, dan ke mana
buntungnya yang lain?
Untuk
keda kalinya Kalingundil membungkuk. Dengan tangan kirinya dijangkaunya pedang
Siluman Biru. Pada detik jari-jari tangannya memegang hulu senjata itu maka
aneh sekali mengalirlah suatu aliran yang membuat kekuatan Kalingundil dan
keadaan tubuhnya benar-benar pulih seperti sediakala! Bahkan bukan itu saja,
kini tubuhnya juga terasa lebih enteng. Dan ketika dicobanya menyiduk air
kolam, lebih banyak kekuatan-kekuatan dan keanehan-keanehan baru yang
dialaminya!
Kalingundil
gembira sekali.
Tanpa
menunggu lebih lama dia berlutut di tepi kolam dan berkata: “Pemilik Goa
Siluman Biru, dimanapun kau berada, siapapun kau adanya, aku Kalingundil
mengucapkan terima kasih karena apa yang ada dalam goamu ini telah menyembuhkan
aku dari sakit dan luka yang aku alami. Hari ini aku – Kalingundil –
mengharapkan segala kerelaanmu untuk sudi mengangkat kau sebagai guru. Apa-apa
yang tertulis di goamu ini akan kupelajari dengan tekun…”
Demikianlah
mulai hari itu dengan seorang diri dia menekuni setiap apa yang tertulis di
dinding goa. Ilmu silat dan ilmu pedang yang coba dipelajarinya seorang diri itu
yang hilang dan tak terbaca sehingga dari keseluruhan Ilmu Pedang Siluman yang
dipelajari Kalingundil, hanya sepertiganya saja yang berhasil didapat dan
difahami oleh Kalingundil. Namun demikian itupun sudah luar biasa sekali.
Sehingga empat bulan kemudian ketika dia keluar dari Goa Siluman itu, maka
Kalingundil yang kini sudah berobah seratus delapan puluh derajat dalam ilmu
persilatan! Dan ini menambah keyakinan Kalingundil bahwa dia akan berhasil
menuntutkan sakit hatinya terhadap pendekar 212, Wiro Sableng!
–== 0O0
== —
**********
2
MENCARI
seorang musuh di daratan pulau Jawa yang luas bukan suatu pekerjaan mudah.
Ratusan kilometer harus dijalani, puluhan bukit harus didaki dan dituruni,
belasan sungai musti diarungi, diseberangi belasan rimba belantara harus dimasuki
dan diantara semua itu puluhan halangan harus dihadapi. Halangan atau bahaya
yang ditimbulkan alam sendiri serta yang ditimbulkan oleh manusia-manusia yang
hidup dalam itu, terutama sekali dalam rimba dunia persilatan! Mungkin
berbulan-bulan, mungkin pula bertahun-tahun baru musuh besar itu berhasil
dicari. Tapi sebaliknya mungkin pula itu tak pernah berhasil, mungkin si
pencari musuh besar itu akan tertimpa bahaya lebih dahulu dalam perjalanan dan
meregang nyawa sebelum dendam kesumat terbalaskan.
Kalingundil
tahu semua itu. Tapi dia tidak khawatir. Dengan ilmu baru yang kini
dimilikinya, meski tidak sempurna, dia yakin akan sanggup untuk menghadapi
segala sesuatu dalam perjalanannya mencari Wiro Sableng pendekar 212, musuh
besar yang telah membuat tangannya buntung, yang telah membuat dia cacat seumur
hidup! Disamping itu Kalingundil memang sudah punya rencana tersendiri untuk
menjelaskan persoalan dendamnya dengan pendekar 212. Dia yakin akan dapat
menemui pemuda sakti itu dan dia yakin pula bahwa rencana besarnya untuk
menuntut balas akan berhasil!
Pertama
sekali ditemuinya Mahesa Birawa atau Suranyali di Pajajaran karena terakhir
sekali diketahuinya bekas pemimpin dan guru silatnya itu tengah berada di
kerajaan itu. Namun sampai di sana Kalingundil kecewa besar. Bahkan juga dendam
yang ada di dalam hatinya jadi tiada terkirakan bahwa Mahesa Birawa telah
menemui ajalnya, mati ditangan Wiro Sableng, sewaktu terjadi pemberontakan
besar-besaran tempo hari.
Dengan
segala dendam kesumat yang semakin dalam berurat berakarnya itu Kalingundil
meninggalkan Pajajaran. Diseberanginya sungai Kendang, diteruskannya perjalanan
ke bukit Siharuharu yang terletak tak berapa jauh dari kaki gunung.
Pada masa
itu di puncak bukit Siharuharu terdapat sebuah perguruan silat yang bernama
Perguruan Teratai Putih. Perguruan ini baru tiga tahun berdiri tapi sudah
mendapat nama tenar di di sapanjang daerah perbatasan Jawa barat dan Jawa
Timur. Bukan saja karena Perguruan Teratai Putih ini didirikan untuk menolong
kaum yang lemah dan menghancurkan golongan hitam penimbul segala kebejatan dan
malapetaka serta kemaksiatan tapi juga adalah karena perguruan silat ini
dipimpin oleh seorang tokoh yang sejak sepuluh tahun belakangan ini mendapat
nama tenar dalam dunia persilatan. Tokoh ini ialah Wirasokananta, seorang tokoh
silat yang berumur lebih dari setengah abad.
Pada saat
itu Wirasokananta berada di puncak Gunung Galunggung tengah bertapa memperdalam
ilmu bathin dan dan mempersuci diri dari segala kekhilafan-kekhilafan dan
dosa-dosa yang pernah dibuatnya selama hidupnya. Pimpinan perguruan
diserahkannya pada murid tertua, terpandai dan yang paling dipercayainya yaitu
Gagak Kumara.
Perguruan
Teratai Putih saat itu kelihatan diselimuti suasana ketenangan. Di dalam rumah
besar murid-murid perguruan yang berjumlah delapan orang, enam laki-laki dan
dua perempuan duduk bersila dengan khidmat mendengarkan apa uyang tengah
dibacakan oleh Gagak Kumara yaitu sebuah kitab yang ditulis oleh guru mereka,
mengenai sastra hidup, kerohanian, kebathinan dan keduniaan.
Suara
Gagak Kumara terang dan jelas, sedap didengarnya sehinga setiap nasihat dan
pelajaran yang dibacakannya dapat segera dimengerti oleh saudara-saudara
seperguruannya yang tujuh orang itu.
“Dalam
hidup ini…,” membaca Gagak Kumara, “setiap manusia akan dan musti melalui tiga
tahap kehidupan. Pertama saat atau dimana dia dilahirkan dari rahim ibunya ke
atas dunia ini. Kedua tahap selama umur kehidupannya di dunia dan ketiga tahap
dia meninggalkan dunia ini, kembali pada asalnya atau mati….”.
Samapi di
situ pembacaan Gagak Kumara maka di luar rumah besar terdengar suara tertawa
bergelak yang disusul dengan ucapan: “Tepat… tepat… sekali! Lahir, hidup dan
mati! Dibrojotkan ke duni malang melintang di dunia ini, dan akhirnya mampus!
Ha… ha… ha….”.
Tentu
saja suara yang lantang mengumandang berisi tenaga dalam yang tinggi dan yang
bernada menghina ini mengejutkan semua anak murid Perguruan Teratai Putih,
termasuk Gagak Kumara sendiri! Semuanya sama memalingkan kepala ke pintu pada
saat mana seorang laki-laki berpakaian lusuh, kotor, bermuka angker dan tangna
kanannya buntung berdiri diambang pintu.
“Sasudara,
kau siapa…?” Tanya Gagak Kumara sesudah meneliti sebentar diri tamu tak dikenal
itu. Dia tetap duduk tenang di tempatnya dengan kitab masih terus di atas
pangkuannya.
“Tak
perlu tanya dulu!,” menyahuti laki-laki diambang pintu seraya menyeringai
buruk. “Bicaraku belum habis…!”
Beberapa
orang diantara murid-murid Perguruan Teratai Putih kelihatan menjadi penasaran
dan menggeser duduk mereka. Namun dengan membrei isyarat diam-diam Gagak Kumara
memberi kisikan agar jangan bertindak dulu.
Dan orang
yang diambang pintu meneruskan ucapannya. Terlebih dahulu dengan jari telunjuk
tangan kirinya ditunjukkannya kitab yang ada dipangkuan Gagak Kumara. “Apa yang
tertulis di sana, apa yang kau baca tadi betul sekali! Lahir, hidup, mati! Tapi
apa kalian di sini tahu bahwa segala apa yang tertulis dan apa yang dibaca tadi
itu hari ini akan kalian alami sendiri…?”
“Apa
maksudmu saudara?,” tanya Gagak Kumara. Masih tetap dengan tenang dan tidak
beringasan.
Si tangan
buntung tertawa mengekeh. “Percuma saja kalau kalian memiliki kitab itu,
percuma saja kalian memilikinya kalau kalian tidak tahu apa mkasud kata-kataku!
Kalian sudah dilahirkan, kalian sudah pernah hidup malang melintang di dunia
ini, tapi kalian masih belum pernah merasakan kematian, belum pernah mencoba
mampus! Nah… hari ini, untuk membuktikan kebenaran isi kitab butut itu, aku
–Kalingundil – akan bersedia menolong kalian untuk mengetahui bagaimana rasanya
mampus itu! Ha… ha… ha…!”
Maka kini
berdirilah Gagak Kumara dari duduknya. Kitab yang dipangkuannya dilipat dan
diserahkan pada salah seorang saudara seperguruannya.
“Saudara,”
kata Gagak Kumara pula. “Di dunia ini memang banyak orang-orang yang berotak
miring. Aku khawatir kau adalah salah seorang dari mereka dan kesasar datang ke
sini!”
Kekehan
Kalingundil terhenti. Mukanya membesi. Rahang-rahangnya bergemeletuk. Tangan
kirinya bergerak ke pinggang dan sekejapan mata kemudian tangan itu telah
memegang sebilah pedang buntung yang memancarkan sinar biru. Pedang Siluman
Biru!
Sekali
lihat saja, meski senjata itu buntung, namun murid-murid Perguruan Teratai
Putih sama memaklumi bahwa pedang yang ditangan manusia tak dikenal dan mengaku
bernama Kalingundil itu adalah sejenis senjata sakti, sekalipun puntung tapi
tetap berbahaya!
Tiba-tiba
Kalingundil berteriak nyaring. Tubuhnya melompat ke muka, pedang buntung
bergerak, sinar biru membabat ke samping dan kini tidak sungkan-sungkan lagi
melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam yang tinggi.
Namun betapa terkejutnya Gagak Kumara ketika sambaran pedang buntung di tangan
lawannya membuat angin pukulan tenaga dalamnya terpental ke samping!
“Saudara-saudara!,”
seru salah seorang anak murid Perguruan Teratai Putih. “Manusia kesasar macam
begini tak perlu dihadapi satu demi satu. Mari kita tumpas beramai-ramai!”
“Semuanya
tetap ditempat!,” teriak Gagak Kumara. “Walau bagaimanapun kita harus jaga
naman Perguruan dan jangan mencemarkan nama guru! Pegang teguh sifat ksatria
dunia per…”. Kata-kata Gagak Kumara tak dapat diteruskan karena saat itu
Kalingundil kembali datang menyerang dalam satu jurus yang aneh. Bagaimanapun
Gagak Kumara yang sudah berilmu tinggi ini mengelak namun tetap saja ujung yang
buntung dari pedang biru di tangan lawan berhasil membabat pakaiannya dan
menggores kulit dadanya! Pada detik goresan itu maka Gagak Kumara merasakan
badannya menjadi panas.
Kalingundil
terkekeh.
“Pedang
buntung ini Pedang Siluman Biru… mengandung racun yang jahat. Dalam tiga jam
nyawamu akan melayang! Ha… ha… ha…!”.
Terkejutlah
Gagak Kumara. Demikian juga saudara-saudara seperguruannya yang lain. Gagak
Kumara cabut sebilah keris dari pingganngnya. Saudara-saudara seperguruannya
yang lainpun segera cabut keris pula dan kali ini Gagak Kumara tidak berkata
apa-apa lagi. Maka delapan anak murid Perguruan Teratai Putih dengan sebilah
keris di tangan masingmasing mengurung Kalingundil yang bersenjatakan sebilah
pedang buntung sakti itu!
Kalingundil
hanya tertawa buruk melihat hal ini.
“Sebaiknya
kalian bunuh diri saja dari pada mampus di ujung patahan Pedang Siluman-ku
ini!”
“Pedang
Siluman…,” desis anak-anak murid Perguruan Teratai Putih dalam hati. Mereka
pernah mendengar tentang kehebatan pedang ini dari guru mereka. Tapi dikabarkan
sejak beberapa tahun yang silam pedang itu lenyap dan kini muncul dalam keadaan
buntung, tapi benar-benar tidak mempengaruhi kehebatannya! Namun apapun senjata
yang di tangan lawan saat itu anak-anak murid Wirasokananta tidak mempunyai
rasa gentar atau kecut sedikitpun!
Kedelapannya
menyerbu ke muka. Delapan keris berkiblat kearah delapan bagian dari tubuh
Kalingundil! Yang diserang menyeringai lalu membentak keras. Tubuhnya
berkelebat, sinar biru dari pedangnya menderu seputar badan! Tiga jeritan
terdengar hampir bersamaan dan tiga saudara seperguruan Gagak Kumara roboh
mandi darah, nyawanya putus di situ juga!
Gagak
Kumara kertakkan geraham. Darahnya mendidih oleh amarah. Namun goresan luka
telah membuat tubuhnya menjadi kehilangan tenaga. Dikerahkannya seluruh tenaga
dalam yang ada di tubuhnya. Dan mengamuklah gagak Kumara dengan segala
kehebatannya. Namun permainan pedang lawan benar-benar hebat, sulit dan sukar
diduga jurus-jurusnya. Satu jurus dimuka, dua orang saudara seperguruannya lagi
roboh tanpa nyawa. Melihat ini Gagak Kumara segera berseru pada dua orang
saudara seperguruannya yang perempuan.
“Wurnimulan,
Nyiratih… kalian segeralah tinggalkan tempat ini! Cepat lari selamatkan diri…!”
Tapi
kedua gadis itu meski betina adalah betina yang berhati jantan! Wurnimulan
menyahuti: “Hidup mati kita bersama kakak Gagak Kumara!.” Gadis ini itu
berkelebat cepat dan kirimkan satu tusukan cepat ke leher lawan.
Kalingundil
tertawa. Dielakkannya tusukan keris itu dengan miringkan badan dan di saat itu
pula kaki kirinya bergerak.
“Bluk!”
Saudara
seperguruan Gagak Kumara laki-laki yang terakhir terpelanting ke dinding.
Tulang dadanya melesak ke dalam dihantam tendangan Kalingundil. Jantung dan
paruparunya pecah! Nyawanya lepas!
Gagak
Kumara sendiri saat itu sudah kehabisan tenaga. Luka di dadanya dan racun
pedang siluman sangat mempengaruhi keadaan tubuhnya ke segenap pembuluh darah!
Dia tahu sebentar lagi dia pasti akan menyusul saudara-saudara seperguruannya
yang lain. Karena itu sekali lagi dia berseru memberi ingat: “Wurnimulan!
Nyiratih! Larilah sebelum terlambat!”
“Gadis-gadis
caritik ini tak akan bisa pergi jauh! Nasib kematian kalian sudah ada di ujung
Pedang Siluman-ku! Tapi sebelum mati keduanya akan kuhadiahkan dunia terlebih
dahulu!”
Kalingundil
tertawa mengekeh! Gagak Kumara yang tahu maksud dan arti kata-kata lawannya itu
untuk kesekian kalinya berteriak memberi ingat namun kedua gadis itu tak mau
ambil perduli malahan menyerang dengan hebat! Kalingundil mengelak gesit
beberapa kali. Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa, dengan mempergunakan
hulu belakang senjata di tangan kirinya laki-laki itu menotok Wurnimulan dan
Nyiratih! Keduanya kini kaku tak bergerak. Tahu malapetaka apa yang bakal
menimpa kedua saudara seperguruannya itu, dengan sisa tenaga yang ada, dengan
segala kehebatan yang masih dimilikinya Gagak Kumara menyerbu Kalingundil dari
samping.
Yang
diserang sambil putar badan berkata: “Ajalmu sudah di depan mata, maut sudah di
depan hidung! Baiknya bunuh diri saja…!”
“Terima
kerisku lebih dulu, manusia durjana! Kami tidak ada permusuhan dengan kau.
Kenapa kekejamanmu lewat takaran macam begini…?!”
“Akh…
sudahlah! Biar mulutmu kututup saja saat ini!,” kata Kalingundil pula.
Pedang
Siluman Biru membabat ke perut Gagak Kumara, dialakkan dengan melompat oleh
murid Wirasokananta itu namun begitu melompat, senjata lawan kembali memburu
lebih cepat, kini menderu ke muka Gagak Kumara, tak sanggup lagi dikelit oleh
laki-laki ini!
–== 0O0
== —
**********
3
USAHA
terakhir yang dilakukan Gagak Kumara untuk menyelamatkan dirinya ialah
melintangkan keris dimukanya. Pedang Siluman Biru buntung terus membabat,
senjata masing-masing beradu keras, bunga api memercik dan keris Gagak Kumara
patah dua sedang senjata lawan terus membabat mukanya!
Murid
tertua dari Perguruan Teratai Putih itu terhuyung ke belakang. Mukanya banjir
oleh darah dan mengerikan sekali. Perlahan-lahan lututnya tertekuk dan
pinggangnya meliuk. Gagak Kumara terduduk di lantai, sebelum tergelimpang dan
menghembuskan nafas penghabisan, buntungan keris yang masih tergenggam di
tangannya dengan segala tenaga yang ada dilemparkannya ke arah Kalingundil.
Tapi serangan yang hampir tiada artinya ini dengan mudah dielakkan oleh
Kalingundil.
Kalingundil
tertawa mengekeh. Noda darah yang membasahai Pedang Siluman Biru yang buntung
itu disekakannya kembali ke balik pinggang. Kemudian laki-laki ini memutar
tubuh. Sepasang matanya kini berkilat-kilat memandangi tubuh dan paras
Wurnimulan serta Nyiratih yang saat itu berdiri kaku tak berdaya karena ditotok
tadi.
“He… he…
he… kalian berdua tak perlu mati buru-buru….,” kata Kalingundil. Ujung lidahnya
dijulurkannya untuk membasahi bibirnya. Dia melangkah mendekati Wurnimulan.
Tangan kirinya bergerak dan “bret!” Robeklah baju perguruan yang dipakai oleh
gadis itu. Dadanya terbuka lebar, putih dan mulus padat. Kalingundil menjadi terbakar
tubuhnya oleh nafsu yang menggelegak. Tangan kirinya bergerak lagi…. bergerak
lagi… bergerak lagi….
SEMENTARA
itu di puncak Gunung Galunggung…
Dalam
tapanya yang sudah berjalan sembilan belas hari itu tiba-tiba saja
Wirasokananta tak dapat meneruskan memusatkan segenap jalan pikirannya. Satu
demi satu panca inderanya mulai terganggu. Walau bagaimanapun usahanya untuk
memusatkan pikiran dan tenaga bathin serta menutup segenap pancainderanya namun
sia-sia saja. Semuanya membuyar kembali. Semakin dipaksanya semakin sulit. Mau
tak mau akhirnya tokoh silat yang sudah setengah abad ini umurnya terpaksa buka
kedua matanya yang sejak sembilan belas hari telah dipejamkannya.
Kedua
matanya itu memandang jauh ke muka, memandang ke luar pintu goa dimana dia bertapa.
Segala apa yang dilihatnya saat itu, rimba belantara, bukit sunga, matahari,
langit dan awan… semuanya masih seperti sebelumnya dia datang ke situ, tak ada
perubahan. Namun hatinya tidak enak, nalurinya membawanya ke satu hrasat yang
mendebarkan dada dan menggelisahkan dirinya. Dan meski ujud kenyataan dari
benda-benda dihadapannya yang dapat dilihatnmya dari puncak Gunung Galunggung
itu tiada perubahan, namun orang tua yang sudah banyak pengalaman dan mengecap
ragam kehidupan itu tahu, bahwa dibalik semua itu pasti telah terjadi apa-apa
di dunia luar sana. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merenung,
sejurus kemudian perlahan-lahan turun dari batu hitam di mana dia sebelumnya
duduk bertapa. Batu hitam yang diduduki orang tua ini kelihatan berbekas leguk.
Ini cukup memberi pertanda bagaimana kehebatan tenaga dalan dan luar
Wirasokananta.
Diusapnya
lagi mukanya. “Mungkin ada apa-apa terjadi di Perguruan…,” kata Wirasokananta
dalam hatinya. Dengan mempergunakan ilmu lari “seribu angin” maka sekali
berkelebat lenyaplah sosok tubuh orang tua itu dari mulut goa dan kemudian
kelihatanlah dia berlari menuruni puncak Gunung Galunggung cepat sekali laksana
angin!
Karena
sangat terkejutnya, di ambang pintu rumah besar itu sampai-sampai Wirasokananta
berdiri mematung untuk beberapa lamanya! Kemudian tubuh yang mematung ini
sekujurnya jadi bergetar.
“Demi
Tuhan… siapakah yang punya pekerjaan ini?,” desisnya.”Dosa besa apakah yang
telah kami perbuat sampai menerima malapetaka begini rupa…?”
Murid-muridnya
bergeletakan di mana-mana. Semuanya tanpa nyawa dan bergelimang darah. Namun
apa yang sangat menusuk mata Ketua Perguruan Teratai Putih itu ialah akan
keadaan diri dua orang murid perempuannya, Wurnimulan dan Nyiratih. Keduanya
menggeletak di lantai rumah besar tanpa tertutup selembar benangpun. Keris
milik masingmasing menancap ditenggorokan dan darah mengelimangi hampir
sekujur tubuh kedua gadis itu, dari leher sampai ke dada terus ke
selangkangan….
Wirasokananta
pejamkan kedua matanya, tak tahan memandangi lebih lama apa yang membentang
dihadapannya itu. Bagaimana juga.dikuatkannya hatinya, namun air mata meleleh
juga dari. sela-sela kelopak mata yang dipejamkannya itu. Tenggorokannya turun
naik menahan keluarnya suara isakan. Beberapa tahun dia telah mendidik
kedelapan muridnya itu, beberapa tahun mereka telah berjuang bersama-sama untuk
menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebathilan beberapa tahun mereka
bersama-sama telah berjuang untuk menghancurkan kemaksiatan dan memusnahkan
kebejatan serta kejahatan. Namun hari ini mereka semua menemui nasib semacam
itu. Menemui kematian dengan cara yang mengenaskan di luar dugaan
Wirasokananta.
Dalam
masih pejamkm kedua matanya itu. Ketua Perguruan Teratai Putih ini coba
berpikir dan menduga-duga siapakah kiranya manusia yang telah menjatuhkan
malapetaka yang begini kejam terhadap anak-anak muridnya, tak bisa diduganya,
tak bisa dipikirkannya karena seingatnya dia tak pernah mempunyai seorang
musuhpun dalam dunia persilatan.
Wirasokananta
membuka kedua matanya kembali. Pada saat inilah, di balik pandangan matanya
yang masih digenangi air mata itu pandangannya membentur buku besar buah
tulisannya sendiri yang dipantek dengan sebilah keris milik salah seorang
muridnya! Serentetan kalimat — yang ditulis dengan darah –tertera dikulit buku
itu.
Kepada
Ketua:
“
Perguruan Teratai Putih “
Kalau
ingin menuntut balas kematian murid-muridmu datanglah ke puncak Gunung
Tangkuban perahu pada hari 13 bulan 12.
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni
______212______
WIRO
SABLENG
Mata yang
digenangi air mata dari Wirasokananta menyipit, membuat air mata yang tadi
mengambang menjadi turun meleleh membasahi pipinya.
Ingatannya
kembali pada masa puluhan tahun yang silam: Dulu, dunia persilatan memang pemah
dibikin geger oleh seorang tokoh utama yang digjaya tiada tandingan. Tokoh yang
telah merajai dunia persilatan selama bertahun-tahun ini adalah Eyang Sinto
Gendeng, seorang pendekar perempuan yang bersenjatakan sebuah kapak sakti
bernama Kapak Maut Naga Geni 212. Namanya harum dikalangen tokoh-tokoh silat
golongan putih karena Pendekar 212 adalah pembasmi kejahatan dan penolong kaum
lemah. Sedang bagi golongan hitam, tokoh ini sudah barang tentu menjadi momok
besar yang sangat ditakuti!.
Pada masa
kehidupan Pendekar 212 itu, di mana saat itu Wirasokananta masih belum
mendirikan Perguruan Teratai Putih, karena sama-sama dari golongan putih yang
sehaluan dalam perjuangan maka dengan sendirinya tiada permusuhan atau silang
sengketa antara dia dengan Pendekar 212.
Tapi hari
ini terjadi peristiwa berdarah itu, peristiwa maut yang diakhiri dengan
meninggalkan pucuk surat tantangan, dan surat ini justru ditandatangani dengan
nama “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212”…! Tentu saja ini satu hal yang tidak
dimengerti Wirasokananta. Kemudian apa pula arti dan hubungannya nama. “Wiro
Sableng” itu ?!
Ketua
Perguruan Teratai Putih itu coba merenung.
Renungannya
ini menyangkut pada masa puluhan tahun yang silam itu. Di masa dunia persilatan
geger oleh kehebatannya Pendekar 212, tiba-tiba entah kemana perginya Pendekar
212 lenyap! Tentang kelenyapannya ini banyak tokoh-tokoh persilatan memberikan
tanggapan, Mungkin Pendekar 212 sendiri yang sengaja lenyap mengundurkan diri
dari dunia persilatan, mungkin juga tokoh itu telah menemui kematiannya dengan
cara yang tak bisa diduga, meski tanggapan yang kemudian ini agak diselimuti
rasa keraguraguan.
Tapi kini
dengan adanya kejadian maut di Perguruan Teratai Putih itu, Wirasokananta
merasa yakin bahwa sesuatu memang telah terjadi dengan diri Eyang Sinto Gendeng
atas Pendekar 212. Dia berkesimpulan bahwa Pendekar 212 dalam satu pertempuran
hebat dan tak diketahui oleh dunia luar telah dikalahkan oleh seorang pendatang
baru bernama Wiro Sableng. Kemungkinan sekali Pendekar 212 menemui ajalnya di
tangan Wiro Sableng itu, merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang kemudiannya
malang melintang di dunia persilatan dengan memakai gelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!
Dan
kelanjutan renungan Ketua Perguruan Teratai Putih itu ialah siapa manusia Wiro
Sableng ini sebenarnya. Nama itu satu nama baru baginya. Namun meski nama baru
satu hal diyakini oleh Wirasokananta bahwa dengan itu manusia baik dia maupun
Perguruan Teratai Putih, tak pernah mempunyai permusuhan dan menanam dendam
kesumat! Apa yang menjadi latar belakang pembunuhan besar-besaran atas
murid-muridnya benar-benar sangat gelap bagi Wirasokananta. Dan bila matanya
membentur lagi tulisan berdarah yang menyatakan tantangan itu, benar-benar
Ketua Perguruan Teratai Putih ini merasa dibakar hatinya! Bulan 12 masih
sembilan bulan lagi! Apakah dia akan menunggu sampai sekian lama untuk kemudian
baru bertemu muka dan membuat perhitungan dengan Wiro Sableng? Ataukah detik
itu juga ia meninggalkan Perguruan dan mencari musuh durjana itu ?
Namun,
Wirasokananta tahu, bahwa apa yang musti dilakukannya saat itu ialah
menguburkan jenazah-jenazah ke delapan orang muridnya di halaman Perguruan.
–== 0O0
== —
**********
4
ANTARA sungai
Cidangkelok di sebelah timur dan sungai Cimanuk di sebelah barat, terbentanglah
satu daerah yang sangat subur. Ladang-ladang menghijau oleh hasil yang
menakjubkan. Sawah-sawah menguning laksana hamparan permadani emas.
Lumbung-lumbung padi petani penuh, tak akan habis dimakan selama satu dua
tahun. Penduduknya sendiri hidup dalam tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk daerah sekitar lainnya. Mereka sehat-sehat, ramah
dan rajin bekerja.
Desa
Bojongnipah adalah desa yang paling utama pada daerah yang membentang antara
sungai Cidangke!ok dan sungai Cimanuk itu. Hasil ladang, hasil sawah dan hasil
tebattebat pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah tiada terkirakan dan desa
ini dikepalai oleh seorang Lurah yang bijaksana dan cakap bernama Ki Lurah
Kundrawana. Begitu bijaksana dan pandainya Ki Lurah Kundrawana mengatur desa
dan penduduknya sehingga banyak Lurah-lurah dari desa lain yang datang untuk
meminta bantuan Kundrawana dalam hal yang ada hubungannya dengan kehidupan penduduk
, dan pengaturan hidup agar bisa makmur serta tenteram.
Di satu
malam yang mendung gelap dan berangin kencarig dingin, Ki Lurah Kundrawana
masih kelihatan duduk-duduk di langkan rumahnya yang sederhana, bercakapcakap
dengan isterinya Warih Sinten. Di sela bibir Ki Lurah Kundrawana yang sudah
berumur empat puluh lima tahun itu terselip sebuah pipa yang api tembakaunya
hampir mati. “Dingin di luar ini, kakang…,” kata Warih Sinten sambil,
merapatkan kainnya yang agak menyingkapkan betisnya yang putih bagus.
“Ya.
Tampaknya mau hujan. Kita masuk saja…,” sahut Ki Lurah Kundrawana seraya
berdiri.
Namun
belum lagi kedua suami isteri itu melangkah ke pintu mendadak sekali tiga sosok
bayangan hitam berkelebat. Tubuh mereka rata-rata tinggi kekar dan tampang-tampang
mereka buruk serta angker !
Melihat
ini, Ki Lurah Kundrawana yang tahu gelagat segera ulurkan tangan kanan ke
pinggang di mana kerisnya tersisip. Namun dengan kecepatan yang luar biasa
salah seorang dari manusia-manusia berpakaian hitam itu tahu-tahu sudah
melintangkan sebatang golok di batang leher. Ki Lurah Kundrawana! Warih Sinten
yang hendak berteriak ditekap mulutnya oleh laki-laki yang laini Ki Lurah
Kundrawana maklum bahwa ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan rampok
terkutuk. Tapi ini adalah untuk pertama kalinya desanya didatangi rampok-rampok
macam begini pada hal sejak selama dalam pegangannya desa senantiasa aman
tenteram.
Namun
demikian Ki Lurah Kundrawana dengan mempertenang diri coba bicara.
“Kalian
siapa, ada maksud apa datang ke sini…?!”
Orang
yang melintang golok di leher Lurah Bojongnipah itu menyeringai menggidikan.
Giginya yang tersungging kelihatan hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya.
“Aha…
bagus kau tanya begitu. Tapi sebelum aku berikan jawaban kau musti ingat satu
hal. Jika kau banyak tingkah dan membantah segala apa yang kami perintahkan,
jangan menyesal bila melihat anak laki-lakimu yang tidur di dalam sana ku
pantek di tiang rumah!”
Terkejutlah
Ki Lurah Kundrawana. Warih Sinten sendiri menggigil. Laki-laki berpakaian hitam
menyeringai lagi.
“Sekarang
tentang siapa kami. Kau pernah dengar nama Komplotan Tiga Hitam dari Kali
Comel?”
Paras Ki
Lurah Kundrawana memucat.
“Saat ini
kau berhadapan dengan mereka, Kundrawana. Aku Tapak Luwing adalah pemimpin
mereka !”
Ki Lurah
Kundrawana tahu betul dan sering mendengar tentang Komplotan Tiga Hitam dari
Kali Comel itu. Mereka adalah tiga rampok jahat dan ganas yang malang melintang
disepanjang Kali Comel bahkan sampai ke perbatasan. Kali Comel jauh sekali dari
desa Bojongnipah, kenapa tiga manusia bejat ini bisa sampai ke sini, demikian
pikir Kundrawana.
‘Tapak
Luwing! Kalau kau mau merampok, lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa ambil dan
berlalu dari sini dengan cepat !”
Kepala
Komplotan Tiga Hitam itu tertawa. “Kami selama ini memang dikenal sebagai
perampok. Tapi dengan Ki Lurah Kundrawana, hari ini kami datang bukan untuk
melakukan perampokan!”
Tentu
saja ucapan ini mengherankan Ki Lurah Kundrawana. “Jadi apa mau kalian ?!”
tanyanya.
“Kami
datang untuk bikin perjanjian dengan kau !”
“Perjanjian
apa…?”
“Mulai
hari ini, kau musti tunduk kepada segala apa yang kami atur dan perintahkan,
mengerti!”
Ki Lurah
Kundrawana menelan ludahnya. “Aturan dan perintah macam mana maksudmu?”
tanyanya. Sementara itu diam-diam tangan kanannya kembali bergerak dan menyusup
ke pinggangnya: Kepala desa Bojongnipah ini sudah bertekat bulat untuk
melakukan perlawanan meski saat itu golok Tapak Luwing masih menempel di batang
lehernya sedang isterinya sendiri masih disekap oleh salah seorang anak buah
Tapak Luwing”.
Ki Lurah
Kundrawana berhasil memegang hulu kerisnya. Secepat kilat senjata itu
ditusukkannya ke perut Tapak Luwing. Namun Kepala Komplotan Tiga Hitam ini
tidaklah sebodoh dan selengah yang diperkirakan oleh Ki Lurah Kundrawana.
Sekali tangan kanannya bergerak turun menyapu ke bawah maka terdengarlah suara
beradunya senjata dan percikan bunga api. Disusul oleh jeritan tertahan dari
Warih Sinten, yang mulutnya disekap.
Golok
Tapak Luwing membuat mental keris di tangan Ki Lurah Kundrawana sedang ibu jari
laki-laki ikut terbabat putus ujungnya sampai ke kuku. Ki Lurah Kundrawana
merintih kesakitan. Darah mengucur dari ibu jarinya yang putus. Sementara itu
golok Tapak Luwing telah menempel kembali pada batang lehernya !
“Agaknya
kau minta batang lehermu cepat-cepat ditebas huh?,” bentak Tapak Luwing.
“Tebaslah,
aku tidak takut! Kalian manusia, manusia lak….”
Tamparan
tangan kiri Kepala Komplotan Tiga Hitam itu menghajar pipi Kundrawana.
Pandangannya berkunang, pipinya merah sekali dan sudut bibirnya pecah berdarah!
“Masih
mau buka mulut?!” tanya Tapak Luwing.
Ki Lurah
Kundrawana menggeram dalam hatinya. Tapi tak berkata apa-apa.
“Kau mau
dengar dan turut perintahku atau pilih mati?!”
“Aku
tidak takut mati! Isteriku juga tidak takut mati” jawab Ki Lurah pula.
Tapak
Luwing menyeringai. “Kalian memang tak takut mati. Tapi apa kalian sanggup
menyaksikan anakmu yang di dalam sana kubikin menggelinding kepalanya di lantai
ini?!”
Ki Lurah
Kundrawana terdiam.
Tapak
Luwing kemudian mendorong, laki-laki itu ke dalam dan memerintahkan duduk di
kursi. “Demi nyawamu dan nyawa keluargamu, ada bagusnya kita bicara baikbaik
Ki Lurah! Dengar, mulai hari ini ke atas kau harus tunduk kepadaku. Aku tanya
kapan pemungutan pajak penduduk kau lakukan setiap bulan…?”
Ki Lurah
Kundrawana tak mengerti maksud pertanyaan ini tapi dia menjawab juga: “Hari
Senin minggu pertama”. “Bila pajak-pajak itu sudah terkumpul, ke mana kau
serahkan?,” tanya Tapak Luwing lagi. “Pada Adipati di Linggajati dan Adipati
itu kemudian meneruskannya ke Kotaraja”.
“Hem…
begitu … Itu satu aturan yang bagus. Tapi mulai penarikan pajak bulan yang akan
datang jumlah pajak yang harus dipungut adalah sepuluh kali lebih besar dari
yang sudah-sudah…!”
Ki Lurah
Kundrawana terkejut.
Dia
tambah terkejut lagi ketika Tapak Luwing menyambung kalimatnya tadi: “Pajak itu
harus kau pungut tiga kali dalam satu bulan! Mengerti…?!”
“Aturan
macam mana ini ?!”
“Tak usah
tanya aturan macam mana, yang penting lakukan perintahku!,” sahut Tapak Luwing,
“Kau tak bisa berbuat seenaknya, Tapak Luwing! Salah-salah kau bisa berurusan
dengan Adipati Linggajati, bisa berurusan dengan Kerajaan!” “Urusan dengan
Adipati, itu urusanmu, juga urusan dengan Kerajaan. Tapi jika kau berani
mengadukan hal ini kepada siapa saja, kulabrak seluruh keluargamu! Mengerti?!”
“Kalian bisa melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi kalian tak bisa melabrak
Adipati dan Kerajaan!” “Aku sudah bilang urusan dengan Adipati adalah urusanmu,
juga dengan Kerajaan! Aku hanya tahu bahwa tiga kali dalam satu bulan aku harus
terima sejumlah
uang yang
besarnya sepuluh kali besar pajak yang kau pungut selama ini dari penduduk
desa!”
“Keterlaluan!
Keterlaluan kau Tapak Luwing! Tak satu pendudukpun yang sanggup membayar pajak
sekian besarnya itu !”
“Penduduk
di sini kaya-kaya! Punya sawah, punya ladang, punya kerbau, sapi, kambing dan
ayam serta itik!!”
“Tapi
sepuluh kali, mana mereka…”
Tapak Luwing
memotong dengan cepat: “Apa aku musti paksa kau memungut lima belas kali lebih
banyak, atau dua puluh kali?!”
“Aku tak
akan lakukan perintahmu ini Tapak Luwing! Aku tak sanggup memeras rakyat!”
“Perduli
amat! Kalau tak saggup memeras rakyat apa kau sanggup menyaksikan kematian anak
laki-laki mu?”
Kalau
Kepala Komplotan Tiga Hitam itu sudah mengancam demikian rupa, mau tak mau Ki
Lurah Kundrawana terdiam bungkam.
Tapak
Luwing menggoyangkan kepalanya pada anak buahnya yang berdiri dekat pintu.
Melihat isyarat ini laki-laki itu segera masuk ke dalam kamar tidur Ki Lurah
Kundrawana. Kundrawana berdiri dari kursinya. “Kau mau buat apa…!,” bentaknya.
Tapak
Luwing mendorong laki-laki itu hingga Kundrawana terduduk kembali ke kursi. Tak
lama kemudian anak buah Tapak Luwing yang masuk kamar muncul di ruangan itu
kembali dengan mendukung anak laki-laki Ki Lurah Kundrawana. Anak laki-laki ini
baru berumur empat tahun. Dalam di dukung itu dia masih tertidur nyenyak, tak
tahu apa yang terjadi atas dirinya. Kecemasan segera terbayang diparas Warih
Sinten dan Kundrawana.
“Kalian
mau bikin apa dengan anakku?!” tanya Kundrawana.
“Selama
kau mengikuti perintahku, anakmu akan selamat tak kurang suatu apa.
Dia
kubawa untuk sementara sebagai jaminan bahwa kau tidak akan mengadukan
persoalan ini pada siapa pun! Kau dengar Ki Lurah Kundrawana!”
Laki-laki
itu tak menjawab.
“Dengar?!”
ulang Tapak Luwing membentak. Ki Lurah Kundrawana mau tak mau terpaksa
mengangguk pelahan.
“Hasil-hasil
pungutan pajak itu selambat-lambatnya harus kau serahkan kepadaku satu hari
sesudah terkumpulnya. Antarkan ke satu pondok tua di persimpangan jalan yang
menuju ke Linggajati. Aku sendiri yang akan menunggu kau di sana pada tengah
hari tepat!”
“Aku tak
akan mengantarkannya!” kata Ki Lurah Kundrawana. “Silahkan datang sendiri
kesini!”
Tapak
Luwing tertawa dingin. “Jangan lupa keselamatan anakmu, Ki Lurah,” katanya.
Kemudian Kepala Komplotan Tiga Hitam dari. Kali Comel ini berikan isyarat dan
bersama kedua anak buahnya segera meninggalkan rumah Ki Lurah. Kundrawana.
–== 0O0
== —
**************
5
SEMALAM-MALAMAN itu Warih Sinten tiada hentinya menangis. Matanya sudah merah dan bengkak. Ki Lurah. Kundrawana sendiri yang juga tak bisa tidur, melangkah mundar mandir tak berketentuan. Hatinya gelisah dan cemas, memikirkan diri anaknya yang telah dibawa oleh komplotan Tapak Luwing. Tapi hatinya juga gemas dan geram tiada terperikan!
Baginya
keselamatan diri dan isterinya tidak begitu penting jika dia ingat nasib anak
lakilakinya itu, anak satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal pajak itu,
benar-benar membuat Ki Lurah Kundrawana seperti mau gila memikirkannya. Dia tak
akan bisa mengadukan persoalan ini pada Adipati di Linggajati atau kepada Raja
demi keselamatan anaknya. Satu-satunya jalan hanyalah mengikuti aturan dan
perintah gila Tapak Luwing. Tapi bagaimana nanti sikap rakyat terhadapnya?
Bukan saja pajak itu sangat berat bagi mereka, tapi penduduk .pasti akan
mencapnya sebagai tukang peras dan mungkin akan timbul kemarahan di kalangan
penduduk!
Kalau dia
musti memungut sepuluh kali jumlah pajak yang harus diserahkan pada Tapak
Luwing, maka ditambah dengan yang harus diserahkan pada Adipati di Linggajati
akan menjadi sebelas kali dari yang sudah-sudah! Kalau tidak ingat-ingat kepada
Tuhan maulah Lurah Bojongnipah itu ambil kerisnya dan menusuk diri dengan
senjata itu! Namun dia tahu ini bukanlah penyelesaian yang baik.
Keesokan
paginya terpaksa juga dia melalui seorang pembantunya mengirimkan kabar
berkeliling penduduk desa bahwa mulai bulan depan pemungutan pajak besarnya
sebelas kali dari yang sudah-sudah. Ini adalah sesuai dengan garis
kebijaksanaan Raja demi untuk, pembangunan dan memelihara balatentara yang
kuat, demikian alasan yang dibuat-buat oleh Ki Lurah Kundrawana untuk menutupi
apa yang sebenarnya.
Bila
berita itu sudah sampai ke seluruh pelosok maka dalam sikap penduduk
Bojongnipah mulai kelihatan pertentangan-pertentangan. Rata-rata mereka
mengatakan bahwa ini adalah satu penindasan. satu pemerasan terang-terangan.
Demi pembangunan dan demi balatentara yang kuat apakah rakyat harus dkekik
lehernya dengan pajak yang besar tiada terkirakan lihat gandanya itu?!
Beberapa
orang tua-tua desa menemui Ki Lurah Kundrawana tapi Ki Lurah tak bersedia
berhadapan dengan mereka. Orang tua-tua desa tentu saja heran kali melihat
sikap Lurah mereka yang dulunya itu begitu baik bijaksana dan ramah tapi kini,
jangankan untuk bicara tentang persoalan kenaikan pajak itu, bahkan untuk
bertemu sajapun dia tidak mau! Disamping itu ketika mereka berada di rumah Ki
Lurah, telinga mereka mendengar terus-terusan suara tangis Warih Sinten, isteri
Lurah. Ada apa pula dengan diri perempuan itu? Betul-betul banyak hal yang
tidak mengerti orang tua-tua desa saat itu! Dan ketika tiba saat pemungutan
pajak yang pertama, banyak di antara.penduduk yang tak mau membayar. Dengan
menekan pertentangan yang senantiasa melekat dihatinya Ki Lurah terpaksa
mengancam orang-orang itu. Siapa-siapa penduduk yang tak mau membayar pajak
dalam jumlah yang telah ditentukan, akan ditangkap dan dibawa ke Kotaraja!
Akhirnya terpaksa juga penduduk membayar.
Dalam
pemungutan pajak-yang kedua terjadi kekacauan namun masih sanggup diatasi oleh
Ki Lurah Kundrawana. Menjelang pemungutan pajak yang ketiga Ki Lurah Kundrawana
mendengar kabar bahwa penduduk akan mengadakan pemberontakan! Lakilaki ini tak
bisa menyalahkan penduduk. Suatu malam dengan diam-diam pergilah Ki Lurah
Kundrawana ke Linggajati untuk menemui Adipati Boga Seta. Kepada Adipati ini
dilaporkannya segala apa yang terjadi. Boga Seta kelihatan terkejut sekali.
Ketika Ki Lurah Kundrawana minta diri, Boga Seta berjanji akan mengirimkan
serombongan pasukan Kadipaten selekas mungkin. Namun menjelang semakin dekatnya
hari pemungutan pajak yang ketiga itu tak satu prajurit Kadipatenpun yang
muncul!
Ki Lurah
Kundrawana kehabisan akal, betul-betul bingung. Sementara itu tandatancia
bakal terjadinya pemberontakan semakin jelas dan santar. Dalam kebingungannya
di waktu yang sempit itu Ki Lurah Kundrawana akhimya berhasil menemui Tapak
Luwing di luar desa.
“Ada
keperluan apa, kau menemui aku, Ki Lurah ?” bertanya Tapak Luwing sambil
menggerogoti daging panggang yang barusan dipanggang oleh anak-anak buahnya.
Saat itu Tiga Hitam dari kali Comel berada di pinggiran hutan.
“Ada
kesulitan katamu ? Hem… Apa kau tahu bahwa besok adalah hari pemungutan uang
pajak itu dan lusanya menyerahkan pada kami di persimpangan jalan yang menuju
ke Linggajati?”
“Aku tahu
Tapak Luwing. Justru kesulitan ini ada sangkut pautnya dengan pemerasanmu!”
jawab Ki Lurah Kundrawana pula.
Tapak
Luwing tertawa dan melemparkan tulang daging yang dimakannya ke dekat kaki
kepala desa Bojongnipah itu.
“Tentang
kesulitan ini, apakah kau sudah pergi kepada Adipati Boga Seta di Linggajati?,”
Tanya Tapak Luwing seraya tertawa dan berdiri dari duduknya di batang kayu
tumbang.
Ki Lurah
Kundrawana terkejut dan berubah parasnya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah
kepala perampok ini mengetahui kepergiannya ke Linggajati menemui Adipati Boga
Seta itu?
Suara
tertawa Tapak Luwing semakin keras. Tampangnya kelihatan tambah angker dan
tiba-tiba, tak terduga oleh Ki Lurah Kundrawana, tamparan tangan kanan kepala
rampok itu mendarat di pipinya.
“Tapak
Luwing kau…”
“Plak!”
Untuk
kedua kalinya tamparan Tapak Luwing menghajar muka Kundrawana. “Berbacot lagi,”
bentaknya, “Kurobek mulutmu!”.
“Tapi
Tapak Luwing…”
“Aku
sudah bilang agar jangan mengadukan persoalan ini kepada siapapun! Dan kau
telah pergi kepada Adipati Boga Seta! Apa kau lupa hukuman yang bakal diterima
anakmu?!”
Maka
pucatlah muka Ki Lurah Kundrawana!
“Kau… kau
apakan anakku, Tapak Luwing…?
“Sekarang
kau ketakutan sendiri ya? Sialan! Adipati Boga Seta telah rnengirimkan lima
orang prajuritnya ke Bojongnipah, tapi aku telah mencegatnya ditengah jalan dan
kelimanya telah menemui ajal akibat kebodohanmu!”
“Anakku…
anakku bagaimana…?” tanya Ki Lurah Kundrawana setengah menangis setengah
merengek!
“Aku
masih berbaik hati untuk kasih ampun kesalahanmu kali ini! Di lain hari, jangan
harap aku bakal mau memaafkan kau…”
Legalah
dada Ki Lurah Kundrawana. Tapi jika dia mau berpikir panjang sedikit dan tidak
keliwat gelisah maka dia akan melihat adanya keganjilan dengan ucapan Tapak
Luwing hari ini dengan tiga minggu yang lalu. Dulu Tapak Luwing mengancam akan
membunuh anaknya bila dia mengadu kepada Adipati atau Raja. Dan dia telah
mengadukan hal itu kepada Adipati Boga Seta dan anehnya Tapak Luwing mau
memberikan ampun kepadanya, padahal dengan demikian persoalan kejahatannya bukan
saja telah sampai ke tangan Adipati tapi pasti akan diteruskan ke Kotaraja,
apalagi sesudah pembunuhan atas lima prajurit Kadipaten itu !
“Sekarang
terangkan mengenai kesulitan yang kau katakan itu, Ki Lurah!,” kata Tapak
Luwing pula.
“Penduduk
desa akan melakukan pemberontakan besok kalau aku masih juga memungut pajak
gila itu!,” kata Ki Lurah Kundrawana pula.
“Begitu?
Dulu kau bilang tidak takut mampus! Kini ada bahaya yang mengancam jiwamu
kenapa terbirit mencari aku…?!”
Ki Lurah
Kundrawana mengatupkan rahangnya rapat-rapat.
“Kembalilah
ke Bojongnipah. Ki Lurah, Besok kami akan datang ke sana…” berkata Tapak
Luwing.
“Kuharap
jangan sampai terjadi kekerasan”.
“Soal itu
urusan kami. Kau tak perlu ikut campurl,” kata Tapak Luwing pula.
“Bisa aku
ketemu anakku, Tapak Luwing ?” tanya Ki Lurah Kundrawana.
“Kali ini
tidak dulu,” jawab kepala rampok itu. Kepala desa Bojongnipah itu termenung
sejurus. Kemudian dengan langkah gontai dia berjalan ke kudanya dan naik ke
atas punggung binatang itu
Sebelum
berlalu Ki Lurah Kundrawana bertanya, ‘Tapak Luwing, sampai kapan kebejatanmu
ini kau timpakan padaku…?”
Tapak
Luwing tertawa. “Tak usah banyak tanya ! Lebih baik pikirkan.nasibmu besok
hari. Mungkin penduduk desa sudah mencincang tubuhmu sebelum kami datang…!”
***
DI pelosok-pelosok desa terdengar kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan. Puncak dinginnya malam telah lewat dan kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnya langit di ufuk timur menyatakan bahwa malam sudah sampai ke ujungnya untuk
digantikan
kini oleh kehadiran pagi.
Ki Lurah
Kundrawana menyalakan tembakau pipanya. Mukanya sudah cekung dan matanya
kelihatan kuyu sedang parasnya pucat. Namun dibalik keredupan wajahnya itu
tersembunyi sesuatu yang seperti menyala. Sesuatu itu ialah amarah dan rasa
geram yang tiada terperikan!
Di
sedotnya pipa itu. Mulutnya terasa tak enak. Dia meludah ke tanah lewat
langkan. Sejak dulu apalagi sejak beberapa hari terakhir ini lidahnya memang
terasa tidak enak, pahit. Makannya boleh dikatakan dapat dihitung suapnya.
Semakin terang hari semakin gelisah dia, semakin kuatir Lurah Bojongnipah ini.
Yang dikhawatirkannya ialah kalau-kalau penduduk akan datang lebih dahulu dari
pada Tiga Hitam dari Kali Comel! Sebentar-sebentar matanya memandang ke luar
halaman. Namun segala sesuatunya dipagi itu masih diliputi oleh kesunyian. Dan
kesunyian ini pula justru tidak menyenangkan hati Ki Lurah Kundrawana !
Ditempelkannya
lagi ujung pipa ke bibirnya. Disedotnya dalam-dalam kemudian dihembuskannya
asap pipa itu. Sekali lagi dia meludah ke tanah lalu mengusap-usap bibimya.
Dia
terkejut dan memutar kepalanya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya.
Yang datang temyata isterinya sendiri. Badan perempuan ini sudah jauh susut,
lebih kurus dari dahulu. Seperti suaminya, parasnya juga pucat. Warih Sinten
seorang perempuan berwajah ayu, namun keayuan itu kini tiada kelihatan lagi
karena tertutup mendung kegelisahan. Gelisah memikirkan nasib anaknya, gelisah
memikirkan nasib suaminya jika sebentar lagi pen.duduk benar-benar datang.
Hari itu
adalah hari pemungutan pajak yang ketiga. Semestinya pembantu Lurah Bojongnipah
yang biasa berkeliling di seluruh desa memungut pajak itu sudah datang. Tapi
kali ini tak kelihatan mata hidungnya. Bagaimana dia akan berani memunculkan
diri jika sudah tahu kalau hari ini penduduk akan berontak!.
“Mudah-mudahan
saja penduduk tidak datang…”
Ki Lurah
Kundrawana menggigit bibirnya. Dia tahu bicara isterinya itu hanya sekedar
bicara saja. Memang apa yang diharapkan isterinya itu juga menjadi harapannya.
Namun dia tahu betul bahwa harapan itu adalah satu hal yang mustahil! Rakyat
akan datang. Penduduk akan datang! Dia tahu, dia pasti!
Warih
Sinten memandang lagi ke luar halaman. Lalu berkata lagi: “Kalaupun mereka
datang, kurasa kita tak bisa lagi menyembunyikan kebejatan ketiga manusia
terkutuk itu, Kakang! Kita musti katakan terus terang pada penduduk sebelum
penduduk membunuh kita beramai-ramai!”
“Nyawaku
tak ada harganya, Warih…,” ujar Ki Lurah Kundrawana. “Demi segala-galanya aku
rela mati! Tapi percuma saja arti kematian jtu, kalau keselamatan jiwa anak
tunggal kita sendiri akan tersia-sia pula….”
Kesepian
berjalan beberpa lamanya.
Tiba-tiba.
“Kakang…”.
Warih Sinten memegang lehernya dengan kedua tangan. “Mereka… mereka datang…”
Ki Lurah
Kundrawana mengangkat kepalanya dan memandang ke luar halaman. Apa yang
dikatakan isterinya memang betul. Serombongan laki-laki penduduk, desa
kelihatan rnuncul di tikungan jalan dibalik pohon-pohon bambu. Rombongan yang
muncul ini merupakan kepala saja dari barisan penduduk yang jumlahnya tak
kurang dari seratus orang. Dari jauh tak kelihatan mereka membawa senjata. Tapi
Ki Lurah Kundrawana tahu bahwa di antara mereka pasti, ada yang membawa dan
menyembunyikan senjata!
Sesaat
kemudian halaman luas itupun penuhlah oleh penduduk desa. Suasana menjadi
bising kini. Ki Lurah Kundrawana dan isteranya berdiri mematung di atas
fangkan. Hanya kedua bola mata mereka yang berputar memandangi penduduk
Bojongnipah itu.
Seorang
di antara penduduk kemudian menyeruak ke muka dan naik ke langkan, berdiri
beberapa langkah dihadapan Kundrawana. Kundrawana kenal baik dengan laki-laki
ini. Dia adalah seorang petani yang diam di desa sebelah timur. Namanya
Kratomlinggo. Sewaktu laki-laki ini bertindak naik ke langkan, maka suasana di
tempat itu sehening di pekuburan.
“Ki
Lurah…, Kratomlinggo buka mulut merobek keheningan itu. “Kau tentu sudah tahu
maksud kedatangan kami bukan…?”
Kundrawana
tak menjawab. Pada wajah Kratomlinggo dilihatnya senyum mengejek. “Ketahuilah
bahwa aku berdiri dihadapanmu saat ini adalah, sebagai wakil dari sekian banyak
penduduk Bojongnipah…,” Kratomlinggo menunding ke belakang lalu meneruskan:
“penduduk Bojongnipah yang sejak satu bulan belakangan ini telah menjadi korban
pemerasan, korban penindasan, korban pengisapan, dkekik oleh pajak sebelas kali
lipat! Penduduk Bojongnipah…”
“Saudara
Kratomlinggo,” memotong Ki Lurah Kundrawana. “Ringkaskan saja bicaramu.
Katakanlah apa yang kalian mau”.
Dan
lagi-lagi Kundrawana melihat senyum mengejek tersungging di mulut Kratomlinggo.
“Apa mau
kami…? Itu semua sudah kami katakan pada saat pertama kali kau memungut pajak
gila itu!”
“Aku
pribadi memang tak ingin berbuat begitu. Tapi ini adalah perintah atasan.
Perintah Raja, untuk pembangunan dan pemeliharaan pasukan…”
“Perintah
atasan tinggal perintah atasan! Apakah kalau atasan menyuruh kau cebur ke sumur
lantas kau akan berbuat begitu? Nyemplung ke sumur?! Setiap perintah harus
berdasarkan pertimbangan otak Ki Lurah!”
Merah
muka Kundrawana.
Sementara
itu Warih Sinten mulai menangis terisak-isak.
“Saudara
Krato, mungkin pemungutan pajak itu hanya bersifat sementara saja…”
“Ya
sementara! Sementara! Baru dihentikan bila semua penduduk Bojongnipah ini mati
dkekik pajak ?1”.
“Aku tahu
pajak sebesar itu memang berat…”
“Kalau
berat mengapa dilaksanakan?!” tukas Kratomlinggo.
Ki Lurah
Kundrawana lagi-lagi menggigit bibirnya. lngin saja saat itu dia mengatakan apa
sesungguhnya yang menjadi latar belakang dari pemungutan pajak itu. Ingin saja
saat itu dia menerangkan siapa sebenarnya yang menjadi dalang pemungutan pajak
gila itu! Tapi bila diingatnya anak tunggalnya yang ada di tangan Tiga Hitam
dari Kali Comel itu…
“Kami
penduduk desa Bojongnipah ingin agar peraturan pajak gila itu dkabut kembali!”
berkata Kratomlinggo.
“Aku tak
punya wewenang untuk melakukan hal itu, saudara Krato”.
“Kau bisa
menyampaikan kepada Adipati di Linggajati. Adipati meneruskannya ke Kotaraja.
Dan kalau kau tidak mau melakukan hal itu, kami tidak ragu-ragu untuk bertindak
berdasarkan apa yang kami rasa benar…!”
“Apakah
ini suatu ancaman?”
“Kau
boleh bilang begitu., Ki Lurah!”
“Saudara
Krato…,” terdengar suarar Warih Sinten. “Kau… kau dan semua penduduk
Bojongnipah tidak tahu… tidak tahu…”
“Kami
lebih dari tahu!” geretus Kratomlinggo. “Meskipun apa yang kini kami ketahui
itu adalah hal yang tak pernah kami duga! Kami tahu bahwa suamimu, Ki Lu.rah
Kundrawana tak lebih dari seorang tukang peras! Yang menjilat ke atas dan
menggilas ke bawah! Yang cari nama ke atas dan menjerat leher penduduk di
bawah! Kami lebih dari ta….”
“Kuharap
bicara sepantasnyalah Kratomlinggol” memotong Ki Lurah Kundrawana karena panas
hati dan telinganya mendengar dkap sebagai penjilat dan pemeras demikian rupa.
Kratomlinggo
berpaling ke arah orang banyak. Kemudian dia tertawa bergelak. Sementara itu
salah seorang pendduk berteriak: “Buat apa bicara sepanjang lebar dengan biang
lintah darat itu?! Sumpal saja mulutnya dengan golok !”
Kratomlinggo
berpaling pada Kundrawana kembali. “Kau dengar teriakan itu Ki Lurah?”
tanyanya.
Mulut
Kundrawana komat kamit. “Kalau kalian ingin pajak itu dkabut, silahkan. pergi
sendiri menghadap Raja di Kotaraja…”
“Lantas,
apa perlunya kau jadi Lurah di sini’?!” teriak seorang penduduk pula.
“Apa
hanya untuk ongkang-ongkang ?!” teriak penduduk yang lain.
“Ongkang-ongkang
dan memeras?!” teriak yang lain lagi.
“Kemudian
penduduk lainnya berteriak pula: “Kami tidak percaya ini aturan dari Raja!
Bukan mustahil pajak itu adalah aturan gila yang, kau buat sendiri !” .
Masih
banyak lagi teriakan-teriakan yang membuat muka Kundrawana menjadi merah dan
tebal rasanya: Telinganya berdesing. “Kratomlinggo, kuharap kau bawalah
orang-orang itu meninggalkan tempat ini,” kata Kundrawana.
“Begitu
…?,” ujar Kratomlinggo dengan lontarkan senyum sinis. “Kami semua baru akan
pergi sesudah kau menyatakan blak-b!akan bahwa mulai saat ini aturan pajak gila
itu dkabut!”
“Tak
satupun yang bisa mencabut segala keputusan Raja!,” jawab Kundrawana. Suaranya
saja yang keras namun ucapannya itu sama sekali tiada dengan kesungguhan hati.
“Kalau
begitu agaknya kami terpaksa menggunakan kekerasan…”
“Kau
menentang Kerajaan, Kratomlinggo?” tanya Ki Lurah Kundrawana. Pertanyaan yang
setengah menggertak ini dimaksudkannya untuk dapat ke luar dari keadaan yang
terdesak saat itu.
Namun
jawaban Kratomlinggo adalah lontaran seringai mengejek. “Jangan takuti penduduk
Bojongnipah dengan kata-kata Kerajaan, Ki Lurah! Kami semua yakin bahwa pajak
gila itu adalah kau punya bisa! Kerajaan selama ini selalu bertindak adil dan
bijaksana…!” Kratomlinggo melangkah kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan kedua
tinju terkepal. Beberapa penduduk Bojongnipah melangkah pula naik ke atas
langkan.
Ki Lurah
Kundrawana mundur beberapa langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit.
“Kratomlinggo,
kau… kalian mau bikin apa…?”
“Kami
coba minta keadilan dengan cara wajar, tapi kau maukan kekerasan…!” jawab
Kratomlinggo. Tangan kanannya bergerak.
Tiba-tiba
terdengar ringkikan kuda dan suara hiruk pikuk. Penduduk di halaman muka
berhamburan.cerai berai.
“Atas
nama Kerajaan, yang tidak mau mati, minggirlah !”
Terdengar
jeritan beberapa orang yang terserampang kuda !
***
TIGA penunggang kuda melompat dari punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka enteng sekali dan sekejapan mata saja ketiganya sudah berada antara Kratomlinggo dan Ki Lurah Kundrawana. Ketiganya berpakaian seragam prajurit dan tampang-tampang mereka angker buruk. Baik Ki Lurah Kundrawana maupun Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah, semuanya sama terkejut. Dalam keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana merasa lega juga karena dia segera mengenali ketiga orang itu tak lain adalah Tapak Luwinng dan dua orang anak buahnya! Namun apa yang tidak dimengerti oleh Lurah Bojongnipah itu ialah mengapa ketiga orang komplotan rampok itu mengenakan pakaian keprajuritan.
Sementara
itu Tapak Luwing yang berdiri tepat dihadapan Kratomlinggo dengan bertolak
pinggang dan membentak maju ke muka: “Kami prajurit-prajurit Kadipaten
Linggajati! Kamu jadi biang keribuan di sini ya?!”
Terkejutlah
Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah sedang Ki Lurah Kundrawana dan isterinya
merutuk dalam hati melihat betapa lihaynya Kompolotan Tiga Hitam itu
menjalankan peran sebagai prajurit-prajurit Kadipaten palsu untuk mengelabui
mata penduduk dan juga menyembunyikan rahasia besar latar belakang pemerasan
mereka! Kratomlinggo menindih rasa terkejutnya. Dia merasa tak perlu takut
terhadap ketiga prajurit Kadipaten itu bahwa bukankah ini kesempatan di mana
dia bisa sekaligus menerangkan pemerasan pajak yang dilakukan oleh Kundrawana
itu?
“Saudara,”
kata Kratomlinggo, “jika kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten, kebetulan
sekali kalau begitu…!
“Kebetulan
apa maksudmu?!” bentak Tapak Luwing.
Kratomlinggo
kemudian menerangkan sejelas-jelasnya mengenai soal pajak itu kepada Tapak
Luwing. Namun dia begitu kaget ketika mendengar jawaban Tapak Luwing.
“Jadi kau
sengala pimpin penduduk Bojongnipah untuk mengikuti maumu sendiri?! Untuk
menepuh jalan kekerasan! Ini namanya, satu pemberontakan! Ini namanya satu penantangan
terhadap Kerajaan, satu pembangkangan terhadap peraturan-perraturan Raja karena
soal pajak itu memang datang dari Raja disampaikan melalui Adipati di
Linggajati!”
“Tapi
mengapa hanya penduduk Bojongnipah saja yang dipajaki segila ini!,” kata salah
seorang penduduk yang berdiri di samping Kratomlinggo: “Ya, desa-desa lain
tidak!” seru yang lain dari luar halaman.
“Kamu
semua tahu apa!” semprot Tapak Luwing. “Ini adalah keputusan Raja! Bojongnipah
yang subur tak bisa disamakan dengan desa-desa lain. Karenanya sudah pantas
kalau dibebani pajak yang agak besaran…”
“Agak
besaran…,” gerendeng seorang penduduk mengejek.
Kratomlinggo
kemudian mengetengahi suasana panas itu. “Kami merasa sama sekali tidak
menentang Raja, sama sekali tidak membangkang apalagi memberontak. Kami hanya
inginkan agar pajak dikembalikan sebesar yang lama…”
“Tapak
Luwing meludah ke lantai langkan. “Kau memang biang racun pemberontak yang
pintar omong! Terhadap Lurah kalian, kalian boleh bicara kasar dan seenaknya,
tapi terhadap kami prajurit-prajurit Kadipaten jangan coba-coba! Pimpin seluruh
penduduk untuk angkat kaki dari sini ! Cepat!”
Maka
berkatalah Kratomlinggo: “Kami penduduk Bojongnipah datang ke sini untuk
menegakkan keadilan. Kalau kami harus angkat kaki dari sini maka keadilan itu
musti sudah berhasil ditegakkan!”
“Hem…
begitu…?”. Tapak Luwing menyeringai. Gigi-giginya yang hitam kecoklatan serta
besar-besar ketihatan menjijikkan. “Sebelum kau dan yang lain-lainnya
menegakkan keadilan itu, coba terima tangan kananku ini !”
Sesudah
berkata demikian Tapak Luwing hantamkan tangan kanannya ke dada Kratomlinggo.
Yang dipukul dengan cepat melompat ke samping.
Namun !
“Buukk !”
Tangan
kiri Tapak Luwing bersarang di perut Kratomlinggo. Nyatanya pukulan tangan
kanan Tapak Luwing tadi hanyalah satu tipuan belaka! Kratomtinggo melintir dan
terjajar ke belakang. Perutnya sakit- sekali, mual seperti mau muntah, nafasnya
menyesak.
Laki-laki
ini rupanya bukanlah hanya sekedar seorang petani saja, namun juga seorang yang
pernah mempelajari ilmu silat. Dengan cepat dia atur nafas dan jalan darah.
Lalu dengan sebat rnenyerang ke muka. Enam orang penduduk ikut menyertai
serangannya inir Maka dengan demikian pertempuranpun pecahlah.
Empat
penduduk terjerongkang ke lantai langkan. Dua pingsan, dua lagi patah tulang
iganya serta terlepas sambungan sikunya. Sedang Kratomlinggo terhempas ke tiang
langkan. Dadanya kena dipukul oleh Tapak Luwing. Dia berusaha berdiri mengimbangi
badan kembali dan siap melancarkan serangan balasan. Tapi apa lacur, belum lagi
kakinya menindak pemandangannya sudah gelap dan dari mulutnya bermuntahan darah
kental berbuku-buku! Sesaat kemudian tubuh laki-laki ini tergelimpang ke
lantai!
Melihat
ini sebagian penduduk menjadi kalap. Mereka menyerbu berserabutan ke atas
langkan dengan berbagai macam senjata.
“Siapa
yang mau mampus, majulah!” teriak Tapak Luwing seraya melintangkan golok.
Mereka
yang menyerbu menjadi ragu-ragu kini namun beberapa orang diantaranya yang
tetap kalap menyerang dengan membabi buta. Maka terjadilah hal yang mengerikan.
Orang-orang ini bergelimpangan bermandikan darah, dibabat dan dipapas oleh
senjata Tapak Luwing dan anak-anak buahnya! Yang lain-lainnya kini tak berani lagi
bertindak lebih jauh meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak!
Warih
Sinten sudah sejak lama lari ke dalam rumah sambil menjerit-jerit ketakutan
sedang Kundrawana menggigit bibir dan pejamkan mata melihal kengerian itu.
Kalau saja tidak ingat akan keselamatan anaknya, sudah sejak tadi dia mencabut
keris dan turut menyerbu!
“Siapa
lagi yang mau berkenalan dengan golokku, silahkan maju!,” kata Tapak Luwing
tolakkan tangan kirinya ke pinggang kiri.
Tapak
Luwing tertawa. “Nah, kalau kalian masih belum punya nyali untuk masuk ke liang
kubur, gotong kunyuk-kunyuk yang malang melintang di langkan rumah ini kemudian
angkat kaki dari sini cepat !”
Kemarahan
penduduk meluap-luap. Namun apa yang terjadi di depan mata mereka membuat nyali
mereka menjadi ciut dan bulu kuduk meremang. Ki Lurah Kundrawana sendiri
berdiri mematung. Rahangnya terkatup rapat-rapat. Kegeramannya tiada
terlukiskan. Kebenciannya terhadap Tiga Hitam dari Kali Comel tiada terkirakan
lagi! Namun seperti penduduk Bojongnipah, dia juga tak dapat berbuat suatu apa!
Penduduk
menggotong Kratomlinggo dan korban-koban lainnya. Sebelum mereka berlalu
berserulah Tapak Luwing.
“Aku tak
ingin melihat keonaran macam begini untuk kedua kalinya, kecuali kalau kalian
sendiri yang sengaja minta dibereskan macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang
mau berontak boleh saja! Golakku memang sudah sejak lama haus darah!”
Tak ada
yang menyahuti ucapan Tapak Luwing itu.
Dan Tapak
Luwing yang menyamar sebagai prajurit Kadipaten itu berseru lagi: “Jangan lupa,
paling lambat tengah hari besok, kalian semua sudah harus melunasi pajak itu!
Jika ada yang membantah untuk membayarnya, kalian cukup tahu apa akibatnya!”
ketika seturuh penduduk Bojongnipah sudah meninggalkan tempat itu maka Tapak
Luwing menyarungkan goloknya kembali dan berpaling pada Ki Lurah Kundrawana.
“Kau
harus berterima kasih padaku yang telah selamatkan kau punya batang leher, Ki
Lurah…!” Ki Lurah Kundrawana berkemik. Rahang-rahangnya bertonjolan. Tapak
Luwing tertawa mengekeh. “Selambat-lambatnya senja besok uang pungutan pajak
harus sudah kau antarkan ke pondok tua dipersimpangan jalan yang menuju ke
Linggajati!”
Kundrawana
masih diam.
“Eh, apa
kau sudah tuli!” tanya Tapak Luwing.
Dan Lurah
Bojongnipah itu masih juga diam. Maka membentaklah Tapak Luwing. “Kamu tuli
hah?!”
“Aku
tidak tuli, Tapak Luwing…”
“Lalu
mengapa ditanya diam saja? Mungkin gagu?!”
Dua orang
anak buah Tapak Luwing cengar cengir.
“Sesenja-senjanya
hari uang itu sudah harus ku terima. Kau dengar…?!” .
“Bagaimana
kalau penduduk tak mau membayamya ?”
“Aku tak
perlu pertanyaan itu! Bayar atau tidak bayar, pokoknya besok aku cuma tahu
terima uang!”
Tapak
Luwing memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Ketiganya menuruni langkan
rumah dan melangkah menuju ke kuda masing-masing.
Malam
itu, dengan segala daya dan sedikit ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
Kratomlinggo berhasil menyembuhkan luka di dalam yang dideritanya akibat
pukulan Tapak Luwing. Pada dasarnya bukan daya dan pengetahuan silat
Kratomlinggolah yang menolong melainkan adalah karena pukulan Tapak Luwing pagi
tadi tidak mempergunakan keseluruhan tenaga dalamnya.
Dendam
terhadap Tapak Luwing dan kawan-kawannya, kebencian yang tak terkendalikan
terhadap Ki Lurah Kundrawana serta pajak yang tetap harus dibayar esok hari,
semuanya itu bertumpuk menjadi satu sehingga malam itu, rneskipun baru saja
sembuh dari luka namun tekat Kratomlinggo sudah bulat untuk berangkat ke
Kotaraja! Niatnya ini diberitahukannya pada beberapa kawannya. Dan malam itu
bersama empat orang lainnya, dengan menunggangi kuda maka berangkatlah
Kratomlinggo ke Kotaraja.
Malam
gelap. Sinar bintang dan cahaya bulan sabit tak dapat mengalahkan kegelapan
itu. Kratomlinggo dan empat orang kawannya memacu kuda masing-masing, melewati
sebuah tikungan dan sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan kedua tepi
sebuah anak sungai.
Pada saat
itu pulalah Kratomlinggo dan kawan-kawannya melihat serombangan penunggang kuda
di seberang jembatan. Mereka berjumlah tiga orang dan ketiganya menghentikan kuda
di seberang jembatan itu. Melihat gelagat yang tidak baik ini. Kratomlinggo
segera hentikan kudanya.di tengah-tengah jembatan dan memberi isyarat pada
keempat kawannya. Malam memang gelap namun mata Kratomlinggo masih sanggup,
mengenali penunggang kuda yang paling depan dihadapannya. Manusia itu ternyata
adalah prajurit Kadipaten yang siang tadi menanganinya!.
“Celaka,”
bisik Kratomlinggo. “Bagaimana bangsat-bangsat Kadipaten ini bisa tahu
keberangkatanku ke Kotaraja?!” Sampai saat itu baik dia mau pun kawan-kawannya
sama sekali masih tidak mengetahui siapa ketiga manusia yang menghadang di
ujung jembatan itu!
Penunggang
kuda sebelah muka yang tiada lain dari Tapak Luwing adanya tertawa mengekeh.
“Rupanya pelajaran dan peringatanku siang tadi masih belum cukup huh!,” sentak
Tapak Luwing. Kratomlinggo -tak menjawab. Namun dia diam tangan kanannya
menyelinap ke balik pinggang meraba hulu golok. Hal yang sama dilakukan juga
oleh keempat kawannya. Dan di seberang jembatan kembali terdengar kekehan Tapak
Luwing.
Begitu
kekehannya berhenti maka terdengar bentakannya. “Kalian kunyuk-kunyuk mau ke
mana?!”
“Kami tak
ada permusuhan dengan kalian. Karena itu minggirlah, beri jalan…” kata
Kratomlinggo pula.
“Minta
jalan? Boleh… lewatlah!,” kata Tapak Luwing pula sambil pinggirkan kudanya.
Dipersilahkan begitu rupa malah membuat Kratomlinggo dan kawan-kawannya menjadi
terpatung, tak bergerak di punggung kuda masing-masing. “Ayo, kenapa tidak mau
lewat?!,” tanya Tapak Luwing.
Kratomlinggo
bimbang.
Dan Tapak
Luwing buka suara lagi: “Kalau begttu roh busuk kalian yang akan lewat jembatan
ini !”
“Sret !”
Tapak
Luwing cabut goloknya. Terdengar lagi dua kali suara “sret” yaitu dari
golok-golok yang dkabut oleh anak buah Tapak Luwing. Melihat ini Kratomlinggo
dan kawan-kawannya segera pula menghunus golok masing-masing !
“Aku tahu
kalian hendak ke Kotaraja…,” berkata Tapak Luwing seraya larik tali kudanya,
“Tapi ketahuilah hanya roh-roh busuk kalian yang akan menghadap Raja di
istana!”
Dalam
jarak dua tombak, dengan satu sentakan keras maka kuda Tapak Luwing melompat ke
muka. Dua anak buahnya menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah cahaya redup
bulan sabit. Lima golok menyambutinya !
“Trang
….. trang ….. trang….!”
Bunga api
memercik. Suara beradunya golok-golok itu disusul oleh seruan kesakitan. Dua
kawan Kratomlinggo rebah dari atas punggung kuda. Yang satu terbabat perutnya,
yang lain puntung lengan kanannya!
Dalam
gebrakan kedua, Tiga Hitam dari Kali Comel yang saat itu masih mengenai
pakaian, prajurit-prajurit Kadipaten, kembali mengirimkan serangan hebat tanpa
memberikan kesempatan pada lawan! Dua orang lagi menjerit dan roboh, tubuh
salah satu dari padanya kemudian kecebur ke dalam sungai. Kratomlinggo sendiri
dibikin terjerongkang dari atas punggung kuda, goloknya lepas. Masih untung
sarripai saat itu dia belum cidera apa-apa. Dan memaklumi bahwa untuk melawan
terus adalah satu kesia-siaan maka laki-laki ini segara putar tubuh ambil
langkah seribu!
Tapak
Luwing tertawa bergelak. “Dasar manusia kintel! Kamu mau lari ke mana?!” Dari
balik sabuknya kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel ini keluarkan
sebilah pisau belati. Senjata ini melesat dengan mengeluarkan suara berdesing!
Kratomlinggo yang tak tahu dirinya tengah dikejar maut, terus juga lari.
Hanya
satu jengkal saja lagi belati yang mengandung racun itu akan menancap di
punggungnya maka pada saat itu pulalah dari jurusan semak belukar gelap di tepi
sungai melesat sebuah benda berbentuk bintang berwarna putih perak !
“Tring !”
Bunga api
memercik.
Bukan
saja benda berbentuk bintang ini berhasil membuat pisau beracun Tapak Luwing
mental, tapi juga membuat pisau itu patah dua !
Terkejutlah
Tapak Luwing. Lupa dia pada niatnya hendak membunuh Kratomlinggo. Dengan serta
merta diputarnya tubuhnya. Matanya yang tajam telah melihat dari arah mana
datangnya sambaran benda putih perak berbentuk bintang itu. Dan memakilah
kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu.
“Setan
alas yang ikut campur urusan orang ke luar dari persembunyianmu dan terima
pisaupisau ku ini !”
Habis
bilang demikian Tapak Luwing lemparkan sekaligus tiga bilah pisau beracunnya ke
arah semak belukar di kegelapan.
Terdengar
suara siulan yang disusul oleh suara tertawa bergelak.
“Aku di
sini bung! Kenapa serang tempat kosong?!,” kata, manusia yang muncukan diri itu
dengan nada mengejek.
“Bangsat
betul!,” maki Tapak Luwing. Di lemparkannya lagi dengan tangan kiri sepasang
pisau belati ke arah laki-laki yang berdiri sekira enam tombak di tepi sungai.
–== 0O0
== —
***************
6
ORANG
yang berdiri di tepi sungai sambuti serangan itu dengan melambaikan tangan
kirinya. Sekali lambai saja maka kedua pisau beracun itupun mentallah.
Kaget
Tapak Luwing membuat-laki-laki ini keluarkan seruan tertahan.
“Manusia
yang sengaja cari penyakit, siapa kau!” tanyanya membentak dan diam-diam
memberikan isyarat pada kedua anak buahnya untuk bersiap-siap dan mengambil
posisi mengurung.
Yang
ditanya. “Ada ribut-ribut apa di sini?!”.
“Ee
kunyuk gondrong!,” maki salah seorang, anak buah Tapak Luwing. “Kau berani.
bicara edan sama prajurit-prajurit Kadipaten?!”
“Oh….
jadi kalian prajurit-prajurit Kadipaten…”. Laki-laki di tepi sungai, keluarkan
suara mendengus. “Setahuku prajurit-prajurit Kadipaten tidak suka urusan
kekerasan, apalagi membunuh manusia begini rupa…!”.
Sementara
itu. Kratomlinggo yang tadi hendak larikan diri, mendengar ada keributan baru
di belakangnya perlahan-lahan palingkan kepala lalu putar tubuh dan berhenti di
belakang sebuah pohon. Apa yang disaksikannya kemudian sungguh tidak diduganya.
“Kita tak
perlu sembunyikan siapa kita terhadap monyet bermuka manusia ini!”, kata Tapak
Luwing.
“Nah,
terus terang lebih bagus!” menimpali laki-laki di tepi sungai. “Katakan saja
siapa kalian!”.
“Sebelum
tahu siapa kami sebaiknya lekas-lekaslah berlutut minta ampun!” kata Tapak
Luwing pongah.
“Eh,
kenapa begitu?”.
Karena
menyangka bahwa Kratomlinggo sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat itu,
maka berkatalah Tapak Luwing;”Ketahuitah. Tiga Hitam dari Kali Comel tidak
pernah membiarkanterusbernafasnya seorangbiangrunyamyang ikut campururusan!”
“Ooo…
jadi kalian Tiga Hitam dari Kali Comel, rampok-rampok ganas tiada kernanusiaan
itu? Pantas… pantas tampang-tampang kalian hitam macam arang…”
“Haram
jadah! Terima golokku!,” teriak anak buah Tapak. Luwing yang di samping kanan.
Dengan gerakan enteng dia melompat dari punggung kuda, derngan sebat goloknya
berkelebat ke arah batok kepala laki-laki muda yang berdiri tetap tenang
malahan dengan tertawa-tawa!
Tiba-tiba
dengan kecepatan yang luar biasa laki-laki muda itu melompat ke belakang. Serangan
anak buah Tapak Luwing mengenai tempat kosong. Karena begitu kesusu dan
sebatnya maka laki-laki itu jadi terhuyung-huyung sendiri. Sebelum dia sempat
mengimbangi badan, satu tendangan menghantam pantatnya!
“Manusia
tidak tahu peradatan! Orang bicara dipotong seenaknya! Rasakan sendiri olehmu!”
Melihat
kawan dan anak buahnya dipermainkan begitu rupa sampai tersungkur di tanah.
Tapak Luwing dan anak buahnya yang satu lagi segera loncat dari kuda.
“Beri
tahu namamu lebih dulu, kunyuk!,” bentak Tapak Luwing. “Kalau tidak rohmu akan
minggat percuma!”
“Bicaramuterlalutinggi!Kalau
mau tahunamakumajulah…!”.
Dengan
tertawa bergelak Tapak Luwing menyerbu ke muka. Sambaran goloknya deras sedang
tangan kirinya laksana palu godam membabat ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus
“angin mengamuk pohon tumbang” yang memang bukan olah-olah dahsyatnya.
“Ah,
rupanya kau punya ilmu yang diandalkan juga eh?” ejek lawan yang diserang. Dia
merunduk untuk elakkan sambaran golok lalu lompat ke samping guna hindarkan
sodokan tinju lawan dan dengan secepat kilat kemudian tangan kanannya yang
terbuka menyeruak di antara kedua serangan lawan tadi, menderas ke arah kening
Tapak Luwing.
Kepala
Tiga Hitam dari Kali Comel itu bukan orang yang berilmu rendah. Kalau tidak
percuma saja dia menjadi kepala komplotan yang ditakuti selama bertahun-tahun
disepanjang Kali Comel dan perbatasan.
Dengan
sebat, dengan keluarkan bentakan dahsyat Tapak Luwing membuat satu gerakan yang
luar biasa. Tubuhnya mencelat satu tombak ke atas dan dalam lompatan itu kaki
kanannya menderu muka lawan dan disaat yang sama pula dari sebelah belakang
menderu golok anak buah Tapak Luwing ke arah punggung laki-laki muda itu.
Yang
diserang bersiul. “Akh… kalian rupanya betul-betul maui jiwaku! Tapi kurasa
saat ini belum waktunya!”. Pemuda ini berkelebat. Lututnya menekuk kedua
tangannya berputar seperti kitir dan: “bluk ……. buk”!.
Anak buah
Tapak Luwing terjerongkang ke belakang, muntah darah dan menggeletak,di tanah.
Tapak Luwing sendiri merintih kesakitan sewaktu lengan lawan menghantam tepat
tulang keringnya!
Di saat
itu anak buah Tapak Luwing yang tadi ditendang pantatnya sudah bangun kembali-
dan dengan ganas lancarkan serangan dahsyat. Namun nasibnya juga sial. Sekali
lawannya berkelebat maka goloknya kena dihantam sikut lawan! Yang satu inipun
roboh pula menyusul kawannya
Merasakan
sakit pada kakinya, melihat kedua anak buahnya dibuat begitu rupa, benar-benar
Tapak Luwing hampir-hampir merasa seperti orang mimpi. Apakah agaknya kali, ini
komplotan yang dipimpinnya menemui “batunya”? Selama bertahun-tahun bertualang
dan menjadi Pemimpin Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel baru hari itu dia
melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua anak buahnya dibikin
menggeletak hanya dalam satu gebrakan saja! Bahkan dia sendiri merasakan pula
bekas tangan lawannya. Lawan yang masih muda belia dan sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan
penuh geram_Tapak Luwing salurkan tenaga dalamnya lewat lengan kanan terus
kegolok sedang tangan kirinya saat itu sudah memegang tiga pisau beracun. Kedua
kakinya terpentang, pinggangnya sedikit membungkuk ke muka. Tangan yang
memegang pisau dinaikkan ke atas agak ke belakang sedang tangan kanan memegang
golok lurus-lurus ke muka.
“Kenalkah
kau jurus ini, pemuda keparat?!”.
“Ah…
hanya jurus –menyebar bunga menusuk buah –nenek-nenek keriputpun bisa
mengenalnya!,” sahut si pemuda.
Bukan
saja Tapak Luwing menjadi geram diajek demikian rupa namun dia juga kaget
melihat bahwa lawannya bisa menerka jurus yang bakal dikeluarkannya itu!
Untuk
menutupi keterkejutannya Tapak Luwing berkata: “Kau sudah tahu nama jurus ini,
baik sekali!. Tapi juga ketahuilah ini adalah jurus kematianmu! Bagusnya kasih
tahu namamu sekarang juga agar kau mampus tidak dengan penasaran!”.
“Sudahlah….
jangan banyak bacot! Buktikanlah kehebatan jurus yang kau andalkan itu!”.
Tapak
Luwing tertawa dingin. Tubuhnya semakin membungkuk. Hampir tak kelihatan dia
menggerakkan tangan kirinya maka tiga pisau yang dipegangnya tahu-tahu sudah
meluncur sebat sekali ke arah si pemuda. Yang pertama menjurus batang leher,
yang kedua mencuit ke dada dan yang terakhir menggebubu ke bawah perut!
Bukan
saja daya lesat pisau itu hebat sekali mengingat hanya di lemparkan dengan
tangan kiri, namun juga tempat-tempat yang diserangnya juga adalah
tempat-tempat yang berbahaya mematikan.
Pada
detik pisau-pisau beracun itu melesat ke muka, pada saat itu pulaTapak Luwing
menerjang dan putar goloknya dengan sebat. Dorongan angin golok yang. menderu
menambah kencangnya daya lesat tiga pisau itu. Maka itulah jurus “menyebar
bunga rnenusuk buah”. Pisau dan golok datang susul menyusul!
“Akh
jurusmu ini boleh juga!,” kata si pemuda. “Tapi coba terima dulu telapak
tanganku!”.
Si pemuda
pukulkan tangan kirinya ke muka. Angin dahsyat melanda dan mementalkan ketiga
pisau. Tapak Luwing berseru kaget karena dua dari pisau itu akibat dorongan
angin pukulan lawan berbalik menyerang ke arahnya. Mau tak mau Tapak Luwing
terpaksa pergunakan goloknya untuk meruntuhkan dua pisau itu.
“Tring…..
tring!”
Dua pisau
beracun patah-patah dan terlempar jauh. Gerakan untuk menangkis dua pisau ini
membuat Tapak L.uwing melupakan pertahanan dirinya seketika. Ketika dia
memasang kuda-kuda baru maka telapak tangan kanan lawan sudah berada dekat
sekali ke kepalanya. Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel ini pergunakan goloknya
untuk membabat lengan lawan namun kurang cepat karena lengan kiri si pemuda lebih
cepat menyusup membentur sambungan sikunya.
“Krak”!
“Plak”!
Tapak
Luwing mengeluh dan huyung kebelakang.
Lengannya
patah.
Keningnya
yang kena dihantam telapak tangan lawan sakit dan panas bukan main. Pada kulit
kening itu kini kelihatan tertera angka 212! Tapak Luwing coba alirkan tenaga
dalam dan atur jalan darahnya. Namun kekuatannya seperti punah. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya panas, sakit dan pemandangannya
berkunang, lututnya gontai!
“Keparat…,”
desis Tapak Luwing.
“Ee… masih
bisa memaki?”
“Kalau
hari ini aku kena kau celakai jangan anggap kau sudah mempecundangi aku, orang
muda. Suatu hari kelak aku akan mencarimu dan mematahkan batang lehermu!”.
Tapak
Luwing ambil tiga pisau terbang dengan tangan kirinya. Cepat sekali senjata itu
dilemparkannya ke arah si pemuda lalu secepat itu pula dia putar tubuh untuk
larikan diri. Si pemuda melompat ke samping. Dua pisau lewat di kiri kanannya.
Pisau ketiga diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri! Kemudian sambil
totokkan dua jari tangan kanannya mengirimkan totokan jarak jauh berserulah si
pemuda: “Kenapa pergi buru-buru?! Bicaraku tadi padamu belum habis!”
Kontan
saat itu juga tubuh Tapak Luwing menjadi kaku tegang tak bisa bergerak lagi! Si
pemuda tertawa dan berpaling pada pohon besar di tepi sungai.
“Saudara
yang sembunyi di belakang pohon. keluarlah. Aku mau bicara juga dengan kau!”.
Kratomlinggo,
yang berdiri di belakang pohon itu terkejut. Namun karena tahu bahwa itu pemuda
bukanlah dari golongan jahat maka tanpa ragu-ragu dia segera keluar. Lagi pula
penuturan Tapak Luwing tadi yang mengaku bahwa dia.dan kawan-kawannya adalah
Komplotan Tiga Hitam dari Kalkomel membuat dia merasa perlu melakukan
penyelidikan lebih jauh.
“Saudara,
apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya dengan kau dan kawankawan…?”.
“Panjang
ceritanya, saudara. Tapi sebelumnya kalau aku boleh tahu siapa namamu…?”
“Aku
Wiro…,” jawab si pemuda.
“Aku
Kratomlinggo. Aku dan kawan-kawanku yang malang itu sama-sama dari desa
Bojongnipah. Kami bermaksud pergi ke Kotaraja…”
Maka
Kratomlinggopun menuturkan segala sesuatunya, mulai dari soal pajak gila yang
dilarik oleh Ki Lurah Kundrawana sampai dengan kematian keempat kawannya itu.
Wiro atau
Wiro Sableng alias Pendekar 212 geleng-gelengkan kepalanya. “Aku memang sudah
lama dengar nama Komplotan bejat mereka. Yang satu ini kalau tak salah bernama
Tapak Luwing. Pantas saja selama beberapa waktu terakhir ini tak kelihatan
mereka malang melintang di sepanjang Kali Comel. Rupanya tengah bikin kejahatan
di sini…”.
“Dan
pastilah penjahat-penjahat ini bekerjasama atau jadi-kaki tangan Ki Lurah
Kundrawana…”.
“Boleh
jadi,” sahut pendekar 212. “Tapi mungkin juga merekalah biang runyam yang
melakukan pemerasan terhadap Ki Lurah!”
Kratomlinggo
mengangguk.
“Supaya
jelas biar bangsat yang satu ini kita tanyai,” kata Wiro Sableng pula. Dia
melangkah mendekati Tapak Luwing untuk melepasakan totokan di tubuh kepala
Komplotan Tiga Hitam itu. Namun baru saja satu tindak dia melangkah tiba-tiba
sekali berkelebatlah satu sosok tubuh dari kegelapan. Makhluk ini langsung
meraih pinggang Tapak Luwing dan membopong melarikannya!
Kratomlinggo
terkejut
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 berteriak: “Maling tengik! Berhenti!”.
Sebagai
jawaban, terdengar suara tertawa bekakakan dari orang yang melarikan Tapak
Luwing itu.
“Wiro
Sableng, pemuda gendeng! Jangan sangka cuma kau sendiri yang jago dan sakti di
jagat ini! Aku tunggu kau besok siang di Rawasumpang! Kuharap kau punya nyali
unhuk menerima undangan kematianmu ini! Ha… ha… ha …!”
“Sompret
betul! Siapa kau! Berhentil”.
“Besok
siang. Wiro!” “
Dengan,
geram pendekar 212 lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”! ke arah manusia tak
dikenal itu! Deru angin yang tiada terkirakan dahsyatnya menyerang si orang
asing. Pada saat itu pula terlihat selarik sinar biru. Dan angin pukulan Wiro
Sableng terbendung laksana membentur dinding baja! Terkejutlah pendekar 212. Pukulan
yang dilancarkannya tadi disertai hampir sepertiga dari tenaga dalamnya. Namun
manusia yang tak dikenal itu berhasil meruntuhkan pukulan tersebut!
Besarlah
dugaan Wiro Sableng bahwa orang yang memboyong Tapak Luwing itu adalah guru
Tapak Luwing., setidak-tidaknya kakak seperguruannya. Atau mungkin juga seorang
sakti dari golongan hitam yang berkawan dengan Tapak Luwing.
–== 0O0
== —
***************
7
HALAMAN
rumah lurah bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana malam terang benderang
oleh puluhan obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah tak dapat menahan
kesabarannya lagi untuk mencincang dengan segala senjata yang mereka bawa,
kedua manusia yang saat itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada lain
daripada anak-anak buah Tapak Luwing yang telah dirobohkan oleh Pendekar 212.
Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya juga berada dalam
pengaruh totokan Wiro Sableng.
Kratomlinggo
berdiri di samping Ki Lurah Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka berdiri
tenang-tenang Wiro Sableng. Kratomlinggo barusan saja menerangkan apa yang
diketahuinya tentang kedua orang itu kepada Ki Lurah dan juga apa yang telah
terjadi di tepi sungai dekat jembatan.
Bola mata
Ki Lurah Kundrawaana pulang balik memandangi Wiro Sableng dan kedua anak buah
Tapak Luwing. Saat itu Lurah Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan hati dan
mengendalikan amarahnya. Untuk sesaat lupa dia bahwa anaknya masih berada di
dalam tawanan Tapak Luwing dan Tapak Luwing sendiri saat itu tidak berhasil
ditangkap!
“Saudara-saudaraku
se-Bojongnipah…,” kata Kundrawana seraya maju beberapa langkah ke hadapan
penduduk yang berdesak-desakan. “Sekarang kurasa sudah waktunya untuk
menerangkan kepada kalian apa sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak gila
itu! Aku dengan hati hancur dan seribu satu kepahitan telah terpaksa menerima
segala kata-kata dan cap yang kalian lemparkan padaku! Kalian mencap aku
sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian cap aku sebagai lintah darat,
sebagai tukang tindas… sebagai ini, sebagai itu, semuanya aku terima! Namun hari
ini, malam ini kalian terimalah juga satu penuturan dariku, satu kenyataan yang
menyebabkan terjadinya pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah berkata
bahwa pajak itu dipungut atas perintah Raja! Untuk pembangunan dan pemeliharaan
balatentara Kerajaan. Kini kuakui itu semua hanya alasan belaka, hanya dusta
besar yang aku karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku dan juga
menyelamatkan kalian semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak
ketahui …”
PendudukBojongnipah
saling pandang memandang satu sama lain penuh ketidak mengertian. Ki Lurah
Kundrawana menyapu wajah mereka seketika lalu meneruskan bicaranya.
“Tadi
kalian sudah dengar semua keterangan Kratomlinggo. Ini satu kenyataan bagus
yang dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi biar aku beri penjelasan
lebih lengkap. Dua manusia yang terikat itu adalah anak buah Komplotan Tiga
Hitam dari Kali Comel, komplotan rampok-rampok bejat yang dikepalai oleh Tapak
Luwing yang berhasil melarikan diri ditolong oleh seorang tak dikenal. Jadi
ketiganya sama sekali bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten seperti yang mereka
sengaja menyamar pagi tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu malam mereka telah
datang ke rumahku dan memaksaku untuk menarik pajak sepuluh kali lebih besar
dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku harus menarik pajak sebanyak sebelas
kali terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus kuserahkan pada mereka sedang
yang satu bagian sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati di mana Adipati
Linggajati kemudian meneruskan ke Kotaraja…
Aku coba
untuk melawan. Tapi di samping mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa
berbuat apa-apa karena anakku satu-satunya mereka bawa! Anakku akan mereka
bunuh kalau pajak itu tidak aku pungut dari penduduk di sini! Kalian bisa
merasakan dan mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan lain bagiku untuk
membantah, kecuali kalau ingin putera tunggalku rnenemui kematiannya…!”.
Suasana
malam sesepi dipekuburan kini! Penduduk sama menganga dan terlongong-longong.
Tentu saja hal ini tiada diduga sama sekali oleh mereka. Dan serentak pula
dengan itu maka menggelegaklah kemarahan penduduk. Ketika seseorang di antara
mereka berseru: “Cincang dua bangsat ini!,” maka menyerbulah penduduk
Bojongnipah dengan senjata masing-masing. Namun disaat itu pendekar 212 maju ke
muka danberseru nyaring. Sengaja seruannya itu disertaitenaga dalam untuk
mempengaruhi. penduduk yang tengah marah itu.
“Saudara-saudara,
jangan ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi kalian harus
ingat pada nasib anak Lurah kalian! Karena itu biarkan aku bicara sebentar
dengan salah satu dari mereka… !”
Kalau
saja penduduk tidak mendapat keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya pemuda
berambut gondrong itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil perduli akan ucapan
Wiro Sableng, lagi pula tenaga dalam si pemuda diam-diam sudah meresap
mempengaruhi mereka!
Wiro
mendekati anak buah Tapak Luwing yang terikat di tiang langkan sebelah kanan.
“Namamu
siapa, sobat?,” tanyanya.
Laki-laki
itu diam saja. Hanya kedua bola matanya berputar menyorot melontarkan pandangan
sangat membenci dan mendendarn.
“Eeeh
rupanya bekas tanganku membuat kau jadi tuli, huh!”.
“Keparat!
Tak usah banyak bicara… Kelak hari pembalasan dari pemimpinku Tapak Luwing akan
tiba! Kalian semua di sini akan dikirim ke neraka!”.
Wiro
Sableng menyeringai.
“Mungkin
kau dan kawanmu yang akan lebih dahulu dkincang penduduk sampai lumat!” kata
Wiro Sableng pula. “Tak usah banggakan pemimpinmu! Dia sudah kabur bersama
seorang kawannya!”.
Keterangan
ini mengejutkan kedua anak buah Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman tadi
mereka tidak melihat pemimpin mereka dan tak tahu berada di mana.
Dan Wiro
berkata lagi: “Aku mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan
Adipati di Linggajati. Katakan saja terus terang …. Anak buah Tapak Luwing
diam.
“Katakan!,”
bentak Wiro.
Sebaliknya
laki-laki itu meludah ke lantai. “Beset saja mulutnya!,” teriak Kratomlinggo
yang sudah tak sabaran.
“Kau tak
mau kasih keterangan?” tanya pendekar 212.
Anak buah
Tapak Luwing itu meludah sekali lagi ke lantai langkan!
Wiro
tertawa.
Dijangkaunya
sebuah obor yang dipegang oleh seorang penduduk.
“Pernah
rasa panasnya api?,” tanya pendekar ini dengan tertawa-tawa. “Tampangtampang
macammu ini akan lebih keren bila disundut begini rupa!”.
Wiro
Sableng lantas menyorongkan api obor ke muka laki-laki itu. Anak buah Tapak
Luwing tak sanggup gerakkan kepalanya karena tertotok. Keluhan kesakitan
terdengar tiada henti. Udara malam kini berbau hangusnya bulu mata, alis dan
sebagian rambut laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan merah terbakar.
“Mau
sekali lagi?!,” tanya Wiro dengan tertawa-tawa.
“Aku
bersumpah kalau lepas akan membunuhmu dan tujuh keturunanmu!,” kata anak buah
Tapak Luwing penuh penasaran.
“Jangan
ngaco! Kau tak akan lepas dari sini. Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu saja!
Dan aku belum punya keturunan…!”. Pendekar muda itu tertawa mengekeh. Mau tak
mau orang banyak yang menyaksikan itu jadi ikut-ikutan geli.
“Ayo,
katakan apa hubunganmu dengan Adipati Linggajatit,” bentak Wiro seraya
mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu.
“Tak ada
hubungan apa-apa…!,” jawab anak buah Tapak Luwing.
“Ah… ini
satu kebohongan atau kedustaan?!”.
“Aku
tidak dusta. Tidak bohong!”.
“Lantas
apa perlumu pagi tadi menyamar bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit
Kadipaten…?”.
“Itu
bukan urusanmu!”.
“Oh
begitu? Memang bukan urusanku. Tapi urusan api obor ini!”. Dan sekali lagi api
obor menjilati muka laki-laki itu. Dia menjerit-jerit. Wiro rnenunggu sampai
beberapa detik di muka. “Mau kasih keterangan apa tidak?” tanyanya.
“Aku akan
terangkan… !” berkata juga laki-laki itu pada akhirnya.
Wiro
tersenyum. Dilariknya obor kembali. “Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua
orang dengar!”.
Maka anak
buah Tapak Luwing itupun memberikan penuturan: “Adipati Seta Boga dari
Linggajati mengirimkan seorang utusan pada kami. Dia telah membuat rencana untuk
melakukan pemerasan di sini. Kami ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak
itu dengan perjanjian hasilnya dibagi dua. Pemimpin kami menerimanya dan…
dan…”.
“Sudah.
Itu sudah cukup terang!” kata Wiro Sableng pula.
Ki Lurah
Kundrawana maju ke muka. “Jadi ini semua dibiangi oleh Adipati Seta Boga …?”.
“Ya…”.
“Kita
harus tangkap Adipati itu!” teriak penduduk.
“Gantung
saja bersama kunyuk-kunyuk yang dua ini!” teriak yang lain.
Pendekar
212 angkat tangan kirinya. “Soal Adipati itu serahkan padaku,” katanya. “Yang
penting kini ialah menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…”.
Tersiraplah
darah Ki Lurah Kundrawana bila dia ingat kembali akan anaknya. Dijambaknya
rambut anak buah Tapak Luwing. “Anakku di mana kalian sekap?!” tanyanya.
Laki-laki
itu tertawa buruk. Sangat buruk, apalagi melihat mukanya yang hangus dan merah
mengelupas. “Jangan harap anakmu akan selamat Kundrawana!”
Kundrawana
menyentakkan kepala laki-laki itu. “Dimana?!”.
“Mungkin
sudah mampus di tangan pemimpinku!”
Kundrawana
mengambil obor dari tangan Wiro Sableng. Anak buah Tapak Luwing menjerit keras
ketika obor itu disodokkan ke mata kanannya, Mata itu pecah dan darah meleleh
di kulit mukanya yang mengelupas hangus!
“Kedua
matanya akan kubikin buta keparat! Kecuali, kalau kau segera menerangkan di
mana anakku kalian sekap!”.
Laki-laki
itu sebenarnya menyadari bahwa kalau sudah tertangkap demikian rupa dirinya tak
akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah percuma saja baginya untuk memberikan
keterangan. Namun dalam diri manusia yang berkeadaan seperti anak buah Tapak
Luwing saat itu, walau bagaimanapun senantiasa selalu terdapat sekelumit
harapan untuk bisa menyelamatkan diri sehingga ancaman matanya akan dibutakan
kedua-duanya itu mau tak mau mengerikannya juga!
Maka
diapun memberikan keterangan : “Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit
Kulon…”.
Lega
sedikit hati Kundrawana. “Tapi,” katanya, “bila aku datang ke sana anakku tidak
ada atau kutemui dia dalam keadaan sudah mati jangan harap kau bisa melihat
dunia ini sampai esok lusa!”. Kini pendekar 212 yang buka suara :
“Saudara-saudara apapun yang kalian lakukan terhadap dua kunyuk ini, itu bukan
urusanku lagi. Tapi sedapatdapatnya jangan diapa-apakan dulu dia sebelum anak
Ki Lurah ketemu dalam keadaan selamat. Soal Adipati Seta Boga di Linggajati,
serahkan padaku. Besok kalian bisa mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten
Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan apakah dalam keadaan masih bernafas
atau tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri! Sekiranya dia masih hidup,
ada baiknya kalian giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat tinggal!”.
“Saudara
tunggu dulu!” seru Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat
kepala-kepala penduduk Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
***
HANYA sebentar suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok tubuh pendekar 212 sudah lenyap ditelan kegelapan malam maka lupalah penduduk Bojongnipah akan pesan pendekar itu. Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak buah Tapak Luwing yang berada dalam keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan dan tertotok. Puluhan senjata laksana hujan bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh kedua orang itu. Tiada terdengar suara jeritan kedua orang ini, rintihanpun tidak! Mereka telah menemui nasib pembalasan atas kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan nafas dengan tubuh mandi darah dan muka hancur tak bisa dikenali lagi. _
Ki Lurah
Kundrawana tidak menyaksikan lagi apa yang diperbuat penduduk Bojongnipah itu.
Bersama Kratomlinggo dan tiga orang lainnya, dengan menunggangi kuda, dia
meninggalkan Bojongnipah menuju Parit Kulon, sebuah pesawangan yang jarang
didatangi manusia, terletak kira-kira ernpat kilometer dari desa. Satu-satunya
bangunan di Parit Kulon adalah kuil tua yang diterangkan anak buah Tapak
Luwing. Karenanya meskipun malam tak sukar untuk mencarinya.
Ki Lurah
Kundrawana menyalakan obor yang dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya dia
masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia menemui anaknya dalam keadaan
menyedihkan namun Kundrawana merasa. lega dan gembira karena anak satu-satunya
itu ternyata masih bernafas. Anaknva tidur di ubin kotor dengan pakaian yang
juga kotor. Tubuhnya kurus dari parasnya pucat karena tak terurus. Tangan dan
kakinya diikat. Kundrawana bertutut lalu memeluk anaknya itu. Kratomlinggo
membuka tali yang mengikat tangan serta kaki si anak yang saat itu sudah
bangun. Tetesan air mata mengalir di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata
kali ini adalah air mata gembira.
Sementara
itu di tempat lain ….
Tapak
Luwing merasa tubuhnya yang kaku karena ditotok itu dibawa lari dalam kegelapan
malam oleh seseorang. Bila sinar bulan yang tidak begitu terang menyeruaki
pohon-pohon sepanjang jalan yang mereka lalui dan menyinari paras laki-laki itu
samar-samar. Tapak Luwing terheran dan berpikir-pikir. Laki-laki yang
membawanya berlari itu tidak dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan ke mana
manusia ini mau membawanya! Kemudian apakah dia seorang yang akan menolongnya
atau bukan? Tapi melihat gelagat dan ucapannya terhadap pemuda berambut
gondrong tadi Tapak Luwing bisa sedikit memastikan bahwa laki-laki ini tidak
bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam hatinya merasa lega. Maka bertarryalah
dia: “Sobat, kau siapakah?”.
“Jangan
banyak tanya dulu!” menjawab orang yang memanggulnya. Suaranya besar dan parau,
larinya laksana angin.
“Kita ini
kemanakah?,” tanya Tapak Luwing lagi.
“Aku
bilang jangan bertanya apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!”
Tapak
Luwing penasaran sekali. Namun dia menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang
perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui oleh Tapak Luwing tentang orang
yang memanggul dan membawa larinya yaitu laki-laki itu puntung tangan kanannya
sampai sebatas bahu!
Ketika
sampai di sebuah telaga kecil akhirnya laki-laki bertangan buntung itu
menghentikan larinya. Tapak Luwing diturunkan dan disandarkan ke sebatang pohon
di tepi telaga. Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Tapak Luwing.
“Atur
nafas dan jalan darahmu. Kerahkan tenaga dalam!” berkata si tangan buntung.
Tapak
Luwing segera melakukan hal itu. Tidak disuruhpun memang semustinya dia sudah
bermaksud demikian, sesuai dangan setiap ajaran ilmu silat dari aliran dan
golongan manapun.
Kemudian
dengan tangannya yang cuma satu laki-laki itu dangan cekatan mengobati lengan
Tapak Luwing yang patah dan membalutnya dangan secarik kain.
“Aku
berhutang budi dan nyawa padamu sobat,” kata Tapak Luwing.
Laki-laki
yang menolongnya tertawa. “Ada hutang ada piutang…,” katanya di antara
tertawanya, “ada budi ada balas”.
“Maksudmu
sobat?” tanya Tapak Luwing. “Di satu hari kelak pertolongan yang kuberikan
padamu ini akan kutagih…”.
Tapak
Luwing kerenyitkan kening. “Tidak kau tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti
akan membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau bersedia ikut ke Kali
Comel, aku akan hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan dan uang seberapa
saja kau suka”
Si tangan
buntung menyeringai. Gigi-giginya hitam kecoklatan. “Aku tidak butuh semua
itu,” desisnya. Dipegangnya balutan di lengan Tapak Luwing. Sesaat kemudian
Tapak Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh merembas ke dalam
tubuhnya. Tubuhnya menjadi segar kini dan rasa sakit pada lengannya yang patah
itu berkurang.
“Terima
kasih,” kata Tapak Luwing. “Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak
Luwing…”
“Aku tahu
siapa kau. Aku sudah lama dengar tentang komplotanmu yang malang melintang di
sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu bahwa kau berada di sekitar sini, timbul
satu maksud untuk menemuimu”.
“Apakah
maksud itu?” bertanya Tapak Luwing. “Tadi aku sudah bilang, ada hutang ada
piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak aku membutuhkan tenagamu…!”.
“Jangan
kawatir, aku pasti bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?”.
“Kau tak
usah tahu untuk keperluan apa. Kau nanti akan tahu juga. Dengar, nanti pada
hari tigabelas bulan dua belas kau harus dating ke Gunung Tangkuban Perahu…”
“Gunung
Tangkuban Perahu…?”.
“Ya.
Masih kira-kira delapan bulan dari sekarang. Dan satu hal harus kau ingat.
Jangan sekali-kali coba kembali ke desa Bojongnipah untuk buat perhitungan
dengan Ki Lurah Kundrawana, salah-salah kau bisa ketemu dangan bangsat yang
telah mencelakaimu tadi! Walau bagaimanapun untuk saat ini kau tak akan mampu
menghadapinya! Ada saat untuk menyelesaikan urusan dangan dia. Karena itu kau
musti datang ke Tangkuban Perahu pada hari tiga belas bulan dua belas nanti.
Dengar?”
Tapak
Luwing mengangguk. “Kau tahu siapa bangsat itu agaknya?,” dia bertanya.
“Angka
pengenalnya telah dituliskannya dikeningmu”.
Terkejutlah
Tapak Luwing. Dirabanya keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang kulit kening
itu agak kesat dari sebelumnya.
“Berkacalah
ke telaga itu”.
Tapak
Luwing merangkak ke tepi telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga yang
jernih itu dan di bawah penerangan sinar bintang-bintang serta bulan sabit
samar-samar dilihatnya tertera tiga buah angka. Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing
memandang keheran-heranan pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi
mukanya di air telaga. Diusapnya keningnya.
Diusapnya
lagi sampai beberapa kali tapi angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya
keningnya dangan air telaga lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap saja angka
212 itu tidak mau hilang!
“Dengan.
apapun dan cara bagaimanapun angka itu tak akan bisa pupus dari keningmu Tapak
Luwing! Angka itu ditera dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam dan
kesaktian yang luar biasa. Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke batok
kepalamu maka pada tulang batok kepalamupun angka itu sudah meresap!”
“Siapa
sesungguhnya manusia muda berambut gondrong dengan angka pengenal 212 itu…”
tanya Tapak Luwing pula.
“Namanya
Wiro Sableng. Dia sakti sekali…” jawab si tangan buntung. “Tapi,” katanya
kemudian menambahkan, “dihari tiga belas bulan dua belas nanti, kelak ajalnya
akan sampai!”.
Diam-diam,
meskipun si tangan buntung tidak menerangkan tapi Tapak Luwing tahu, kini bahwa
antara si tangan buntung dan pemuda rambut gondrong yang telah mencelakainya
itu terdapat sangkut paut dendam kesumat.
“Selama
waktu delapan bulan mendatang,” berkata lagi si tangan buntung, “kuanjurkan
kepadamu untuk berlatih ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih hebat.”
Tapak Luwing mengangguk.
Si tangan
buntung berkata: “Sekarang kita berpisah. Jangan lupa hari tiga belas bulan dua
belas itu. Dan jangan coba-coba untuk tidak memenuhi perintahku ini…”
“Kau mau
kemana sobat?”
“Urusanku
masih banyak…”
“Tapi kau
masih belum menerangkan namamu”.
“Namaku
Kalingundil!”
–== 0O0
== —
***************
8
LINGGARJATI
sudah agak sepi ketika dia sampai ke sana karena hari sudah menjelang larut
malam dan udara dingin mencucuki kulit tubuh sampai ke tulang-tulang. Di sebuah
kedai dia berhenti untuk membasahi tenggorokan dan menghangatkan tubuhnya
dengan segelas bandrek. Di kedai ini juga dia telah menanyakan di mana letak
tempat kediaman Adipati Seta Boga.
Tak sukar
mencari tempat kediaman Adipati Seta Boga. Rumahnya adalah sebuah gedung yang
paling bagus dan paling besar di Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada
dalam suasana tenang tenteram. Dua orang pengawal berdiri di pintu masuk dan di
ruang tamu kelihatan beberapa orang laki-laki. Rupanya Adipati Seta Boga tengah
menerima beberapa orang tamu.
Laki-laki
itu melangkah seenaknya di depan kedua pengawal Kadipaten. “Di sini rumahnya
Adipati Seta Boga ?” tanyanya pada salah seorang pengawal.
“Betul.
Ada apa…?” balik menanya si pengawal.
“Ah tidak
apa-apa. Aku cuma tanya…,” jawab si pemuda. Digaruknya rambutnya yang gondrong.
“Adipatinya
ada …. ?”
“Ada sedang
merierima tamu. Kau siapa? Perlu apa tanya-tanya…?”
“Cuma
tanya,” jawab si pemuda. Digaruknya lagi rambutnya lalu tanpa bilang apaapa
dia melanjutkan langkahnya.
“Sialan .
. . ,” maki pengawal itu.
Yang
dimaki jalan terus.
Pengawal
yang satu berkata “orang gendeng…” Keduanya memandang sampai pemuda tadi lenyap
di tikungan jalan yang gelap.
Setengah
jam kemudian, ketika pemuda itu kembali maka tamu-tamu di Kadipaten sudah tak
kelihatan lagi. Lampu besar di ruang depan sudah diganti dengan lampu kecil. Melihat
kedatangan si pemuda dan yang seperti tadi berhenti di depan mereka maka
membentaklah salah seorang dari pengawal.
“Orang
sinting! Ada apa kau datang lagi ke sini?!”
“Pergi
sebelum kepalamu kupentung dengan gagang tombak ini!,” menghardik yang seorang
lagi.
Si pemuda
menyeringai.
“Dengar
sobat-sobatku,” katanya. Kedua tangannya diacungkan ke muka. Jari-jari telunjuk
dan jari jari tengah diluruskan. “Kalian lihat jari-jari tanganku ini …. ?,”
tanyanya.
“Kunyuk
gendeng! Berlalulah atau kuremukkan kepalamu!” bentak pengawal sambil acungkan
tombaknya.
“Ah…
jangan buru-buru marah tak karuan. Bicaraku masih belum habis!,” menyahuti si
pemuda tanpa acuhkan ancaman pengawal. Jari jari tangannya masih diluruskan.
“Coba kalian hitung jari-jari tangan yang kuacungkan ini,” katanya.
Tentu
saja kedua pengawal jadi tambah mengkal melihat tingkah dan mendengar ucapan si
pemuda. Maka dua gagang tombakpun meluncur deras ke kepala pemuda itu. Namun
lebih cepat lagi dari luncuran kedua tombak itu, maka kedua tangan si pemuda
tahutahu sudah menotok urat di pangkal leher pengawal-pengawal. Kontan
keduanya menjadi gagu dan kaku menegang.
Si pemuda
tertawa. Kedua pengawal itu sekaligus dipanggulnya di bahu kiri kanan kemudian
dimasukinya halaman Kadipaten. Pengawal-pengawal yang dipanggul kemudian
dilemparkannya ke kandang kuda di belakang rumah. Lewat pintu belakang dia
masuk ke dalam gedung Kadipaten yang saat itu belum dikunci. Seorang perempuan
separuh umur, yang bekerja sebagat pembantu rumah tangga dan yang saat itu tengah
mencuci piring terkejut melihat munculnya seorang pemuda berambut gondrong yang
tak dikenalnya. Dan pemuda itu tersenyum kepadanya.
“Kau… kau
siapa…?” tanyanya.
Si pemuda
masih senyum. Tangan kirinya dilambaikan. Selarik angin tajam menyambar ke
leher si perempuan. Perempuan ini hendak berteriak. Namun saat itu mulutnya
sudah gagu, lidahnya sudah kelu sedang tubuhnya tak bisa lagi digerakkan akibat
totokan jarak jauh yang lihay sekali. Si pemuda kemudian memasukkan perempuan
itu ke dalam sebuah bilik kosong di bagian belakang gedung.
Saat itu
Adipatit Seta Boga tengah membuang hajat kecil di kamar mandi. Ketika dia masuk
kembali ke dalam gedung maka terkejutlah Adipati Linggarjati ini. Betapa tidak!
Di atas
kursi goyang, di mana dia sering dudak bila melepaskan lelah, kini dilihatnya
duduk enak-enakan sambil memejam-mejamkan mata seorang pemuda berbadan kekar
dan berambut gondrong yang sama sekali tidak dikenalnya!
“Setan
atau manusia dari mana yang kesasar ke gedungku ini…?” ujar Adipati Seta Boga
di dalam hati. Dan pemuda di atas kursi terus juga menggoyang-goyangkan
badannya dan kedua matanya masih dipejamkan.
“Siapa
kau?!” bentak Adipati itu dengan suara menggeledek dan menggema di empat
dinding ruangan.
Kursi
goyang itu bergoyang-goyang juga. Pemuda yang duduk di atasnya masih terus
duduk enak-enakan dan memejamkan mata. Geram sekali Adipati Seta Boga jadinya.
Dengan langkah besarbesar dia maju mendekat kursi goyang dan orang yang
mendudukinya. Telapak tangan kanan terkembang dan detik itu juga maka
melayanglah tamparannya!
Beberapa
saat lagi tangan kanan itu akan mendarat di pipi si pemuda tiba-tiba si pemuda
bukakan kedua matanya. Dan seperti alas kursi itu mempunyai per yang melesatkan
si pemuda ke atas demikianlah tubuh pemuda itu melayang enteng sampai dua
tombak dari kursi yang didudukinya! Dan sebagai akibatnya maka tangan kanan
Adipati Seta Boga kini menghantam sandaran kursi goyang. Sandaran kursi itu pecah.
Kayunya berkeping-keping berantakan. Dapat dibayangkan bagaimana jika
seandainya tamparan itu mendarat di pipi si pemuda karena tamparan itu tidak
boleh tidak tentu mengandung tenaga dalam yang luar biasa!
“Ah…. kau
rupanya Seta Boga…,” kata si pemuda sambil mengusap matanya. “Aku sedang
enak-enakan tidur, kau mengganggu saja…!”
“Anjing
kurap kenapa kau bisa kesasar ke mari? Apa minta ditebas batang lehermu?!,”
radang Adipati Seta Boga. Geram sekali dia. Selama menjadi Adipati baru hari
ini ada seseorang yang memanggilnya dengan “Seta Boga,” saja !
Sipemuda
tertawa dan seperti tak ada hal apa-apa dia duduk kembali seenaknya di atas
kursi goyang, kembali bergoyang-goyang dan memejamkan matanya.
“Setan
alas betul!,” damprat Seta Boga. Sekali kaki kanannya bergerak maka mental dan
hancurlah kursi goyang itu. Tapi si pemuda sekejapan sebelum itu sudah melompat
dan berdiri di sudut ruangan dekat sebuah meja kecil.
“Kursi
bagus ditendang sampai hancur. Kau sudah sinting rupanya Seta Boga?,” tanya si
pemuda sambil menyengir.
Sementara
itu karena suara ribut-ribut di ruang tengah maka istri Seta Boga ke luar dan
disamping heran dia juga terkejut melihat apa yang terjadi.
“Kakang
ada apakah? Siapa manusia ini?!” tanya perempuan itu.
“Pergi,
panggil pengswal!,” teriak Seta Boga pada istrinya. Perempuan itu berteriak
memanggil pengawal. Namun tiada pengawal yang datang. Dua pengawal Kadipaten
sebelumnya sudah dibikin “mendengkur” oleh si pemuda di kandang kuda!
Kegeraman
Seta Boga tak terkirakan lagi ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong itu
mengambil sebatang serutu miliknya dan dalam kotak serutu yang terletak di atas
meja kecil di sudut ruangan lalu menyalakannya sekaligus!
Rahang-rahang
Seta Boga bertonjolan. Jari-jari tangan kanannya diremas-remaskannya satu sama
lain. Sesaat kemudian kelihatanlah jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna
merah terus menjalar sampai sebatas siku.
“Anjing
kurap yang kesasar, hari ini terima nasibmu harus mampus oleh pukulan wesi
geniku!” Tangan kanan yang merah itu dipukulkan ke muka. Selarik angin yang
tidak terkirakan panasnya menggebubu ke arah si pemuda.
Tubuh si
pemuda berkelebat.
“Wuss!”
“Brak!”
Istri
Seta Boga menjerit.
Dinding
di muka mana pemuda itu tadi berdiri hancur berlubang dan menjadi hitam hangus!
Orang yang diserang kelihatan disudut ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan
menyedot serutu!
Dada Seta
Boga menjadi sesak oleh amarah yang meluap. “Siapa kau sebenarnya ?!” bentak
Adipati Linggarjati ini,
Si pemuda
batuk-batuk lalu cabut serutunya dari sela bibir. “Namaku … ?,” ujarnya.
“Masakan kau tidak tahu ?!”
“Setan
alas …. !”
Si pemuda
tertawa menanggapi makian itu.
“Namaku
Tapak Luwing,” katanya. “Aku datang untuk menyerahkan sebagian dari uang
pungutan pajak di desa Bojongnipah. Ini terimalah…!”
Si pemuda
mengeruk saku bajunya. Sesuatu dalam genggamannya kemudian dilemparkannya ke
arah Adipati Seta Boga. Laki-laki ini cepat menghindar dan lambaikan tangan
kanannya. Benda yang dilemparkan ternyata adalah kira-kira selusin kalajengking
yang saat itu sudah mati dan bertebaran di lantai. Istri Seta Boga memekik lalu
lari ke dalam kamar. Si pemuda tertawa bekakakan!
Adipati
Seta Boga tak menunggu lebih lama menyambar sebuah tombak yang dipanjang di
dinding. Dengan senjata ini dia kemudian menyerang si pemuda! Si pemuda tenang-tenang
selipkan serutunya ke bibir, menghisapnya dengan cepat lalu menghembuskan
asapnya ke arah Seta Boga. Adipati ini terpaksa melompat ke samping sekali lagi
karena asap serutu itu mengandung tenaga dalam dan menyambar ke arah kedua
matanya!
Dari samping
kini Seta Boga melancarkan serangan. Tombak di tangannya membabat kian kemari.
Tangan kiri melakukan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa kali
berturutturut! Inilah jurus “kitiran dan alu sabung menyabung” Jurus ini
biasanya dilaksanakan dengan memakai pedang. Tapi dengan tombakpun kehebatannya
tidak olah-olah.
Tapi
betapa terkejutnya Seta Boga ketika si pemuda dengan tertawa-tawa berkata :
“Ah, cuma jurus kitiran dan alu sabung menyabung, siapa takut? Sambuti serangan
balasan ini, Seta Boga!”
Demikianlah,
meskipun diserang tapi si pemuda bukannya mengelak malahan menyambut dengan
serangan pula!
“Ini
jurus membuka jendela memanah rembulan Seta Boga!,” kata si pemuda. Lengan
kirinya dipukulkari melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan meluncur
ke atas dalam gerakan yang cepat sekali dan sukar dilihat oleh mata !
“Ngek”
“Buk !”
Tombak di
tangan Seta Boga terlepas mental karena lengannya kena dibabat oleh lengan
lawan. Suara ngek yang ke luar dari tenggorokannya adalah akibat urat besar di
bawah dagunya telah kena ditotok oleh sipemuda. Di saat itu pula tubuhnya tak
bergerak lagi alias kaku tegang! Karena sebelum ditotok Seta Boga telah
menyeringai kesakitan akibat benturan lengan lawan maka di saat tubuhnya
menjadi kaku itu, mimik parasnya sungguh tak sedap untuk dipandang!
Si pemuda
cabut serutu dari sela bibirnya don meniupkan asap serutu itu ke muka Seta
Boga. “Sayang sekali,” katanya. “Jurus kitiran dan alu sabung menyabungmu
terpaksa bertekuk lutut di bawah jurus membuka jendela memanah rembulan-ku…”.
Ditiupkannya
lagi asap serutu ke muka Seta Boga. Totokan pada urat besar di bawah dagu Seta
Boga tetah melumpuhkan tubuhnya, membuat mulutnya menjadi gagu dan, perasaannya
menjadi tumpul. Cuma telinganya saja saat itu yang masih sanggup mendengar.
Maka berkatalah si pemuda. “Dengar Seta Boga… besok Ki Lurah Kundrawana dan
penduduk Bojongnipah akan datang ke sini. Kalau nasibmu baik kau akan mereka
seret ke hadapan Raja di Kotaraja. Tapi kalau nasibmu buruk, mereka akan
mengeremusmu beramairamai! Dan sebelum aku pergi, terima hadiah
kenang-kenangan ini dariku….”.
Si pemuda
acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Dengan mempergunakan ujung jari itu
diguratnya tiga buah angka di kening Seta Boga, 212 …!
Ketika
pada keesokan harinya Ki Lurah Kundrawana dan dua lusin penduduk Bojongnipah
bersenjata lengkap datang ke gedung Kadipaten di Linggarjati, mereka heran
menemui gedung itu dalam keadaan kosong. Tak satu manusiapun ada di dalamnya.
“Pasti
Adipati keparat itu sudah melarikan diri!,” Kata Kundrawana geram.
Tiba-tiba
terdengar seseorang berteriak dari belakang gedung. Ketika Kundrawana dan yang
lain-lainnya pergi ke belakang gedung mereka hampir tak percaya dengan
penglihatan mereka. Lima orang kelihatan berdiri tak bergerak-gerak di kandang
kuda. Di sebelah muka adalah Adipati Seta Boga dan istrinya. Di kiri kanan
mereka pengawalpengawal Kadipaten dan di sebelah belakang perempuan yang
menjadi pembantu rumah tangga! Ketika diperiksa kelimanya masih dalam keadaan
bernafas dan ditotok urat darah mereka.
Ki l:urah
Kundrawana memandang pada angka 212 yang tertera di kening Adipati Seta Boga.
“Dua satu dua . . . . ,” desisnya. Dia hanya goleng-goleng kepala lalu
memerintah: “Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan totokannya. SetaBoga kita
seret ke Kotaraja!”
***
Pendekar kapak maut naga geni 212 Wiro Sableng melangkah pelahan menuju ke tepi sungai. Di tempat yang agak kelindungan dia membuka pakaian dan mandi membersihkan diri Sambil mandi itu kadang-kadang dia tertawa sendiri bila mengingat kejadian malam tadi di Kadipaten Linggarjati. Mungkin pagi itu Kundrawana sudah sampai di Linggajati, mungkin masih dalam perjalanan. Satu manusia jahat, satu kejahatan telah berakhir. Tapi pendekar 212 tahu bahwa selama dunia terbentang, selama itu pula kejahatan tak pernah akan berakhir !
Selesai
mandi badannya terasa segar. Matahari sudah mulai tinggi. Suara siulan ke luar
dari sela bibirnya sedang pikirannya mengingat-ingat pertempurannya dengan
Tapak Luwing dan laki-laki yang telah melarikan Tapak Luwing serta menantangnya
itu.
Tantangan
ini mengingatkannya pada pertempurannya di Gua Sanggreng dengan Bergola Wungu
tempo hari. Kali ini untuk kedua kalinya dia ditantang. Siapa pula gerangan
kali ini yang menantangnya ?
“Hidup
ini memang penuh tantangan? Tantangan yang timbul dari diri kita sendiri dan
dari diri manusia-manusia lain… Sungguh gila kehidupan ini! Tapi kegilaan
inilah yang mendatangkan kenikmatan…”. Maka siulan pendekar 212 itu semakin
meninggi dan melengking membawakan lagu tak menentu.
Tentang
diri manusia yang telah melarikan Tapak Luwing itu hanya dua hal yang diketahui
oleh Wiro Sableng. Pertama, dalam kegelapan malam dia melihat bahwa manusia itu
buntung tangan kanannya. Kedua, ketika dia melancarkan pukulan kunyuk melempar
buah dengan mempergunakan sepertiga bagian dari tenaga dalamnya, manusia
bertangan buntung itu telah menyambuti pukulan tersebut dengan selarik sinar
biru! Dan pukulan kunyuk melempar buah telah terbendung oleh selarik sinar biru
itu! Ini membawa pertanda bahwa si tangan buntung itu siapapun adanya pastilah
memiliki ilmu yang tinggi. Pendekar 212 menduga manusia ini mungkin sekali guru
atau kakak seperguruan Tapak Luwing.
Dikenakannya
pakaiannya kembali dan diteruskannya perjalanannya.
Rawasumpang
satu daerah tandus penuh rawa-rawa maut yang menghisap setiap benda apa saja
yang masuk ke dalamnya. Daerah ini terletak empat kilo di sebelah timur
Linggajati. Kesinilah Wiro Sableng menuju.
Angin
dari utara bertiup kencang membuat pakaian dan rambutnya yang gondrong
berkibar-kibar. Dia memandang ke bawah. Pedataran luas penuh rawa-rawa maut itu
sunyi sepi. Tak satu manusiapun yang dilihatnya. Wiro memandang ke langit.
Matahari tengah bergerak dalam gerakan yang tidak kelihatan menuju ke titik
tertingginya.
Tiba-tiba
dari arah timur terdengar suara bergelak yang santar sekali! Pendekar kita
berpaling ke arah itu. Sesosok tubuh laksana anak panah berlari kencang sekali
di pedataran luas di sela-sela tebaran rawa-rawa. Begitu suara gelaknya hilang
maka tubuhnya sudah berada di bawah bukit di mana pendekar 212 berada. Bukit
itu tidak berapa tinggi dan dalam jarak sejauh itu Wiro Sableng segera dapat
mengenali siapa adanya manusia yang bertangan buntung itu.
“Kalau
dia yang menjadi penantangku malam tadi, pastilah dia telah memiliki ilmu yang
tinggi dan sangat diandalkan…,” kata Wiro Sableng dalam hati. “Tapi…,” ujarnya
lagi, “bagaimana mungkin dalam tempo beberapa bulan saja kepandaiannya sudah
seluar biasa ini…?”.
“Manusia
yang merasa bernama Wiro Sableng, merasa bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212, turunlah! Atau aku yang musti naik ke atas bukit itu?!”. Terdengar suara
laki-laki di bawah bukit.
Pendekar
kita keluarkan suara bersiul.
“Tikus
buduk cacingan kalau sudah jadi kucing dapur memang berabe!,” katanya. “Ada
kabar apa kau mengundang aku ke sini kucing dapur…?”.
Paras
Kalingundil kelam membesi. Dengan suara keras dia menyahuti: “Tadinya aku kira
kau tak punya nyali untuk datang ke sini pendekar edan! Hitungan kita tempo
hari masih belum selesai…”
“Oho,
jadi untuk maksud itukah kau kehendaki pertemuan ini? Bagus sekali Kalingundil.
Memang urusan yang belum selesai harus diselesaikan. Benang kusut harus diurai
baik-baik kembali!”.
“Tepat
sekali,” jawab Kalingundil. “Cuma satu hal pendekar gila. Kalingundil yang dulu
tidak sama dengan yang kau lihat hari ini!”.
Wiro
Sableng tertawa bergelak. “Tentu saja. Tadipun aku sudah bilang bahwa dari
tikus buduk cacingan kau sudah berubah menjadi kucing dapur. Tapi kau tak
banyak berbeda Kalingundil! Tanganmu yang dulu buntung sekarang masih tetap
buntung! Seharusnya kau cari tukang kayu yang pandai untuk membuat tangan
palsu…!”.
Mendidih
darah di kepala Kalingundil. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas. Setiup
angin biru deras menyambar ke arah Wiro Sableng. Pendekar itu lompat ke samping
dengan sebat dan menyaksikan bagaimana tanah bukit tempatnya berdiri tadi
terpupus berhamburan laksana longsor dihantam angin pukulan Kalingundil!
Diam-diam Wiro Sableng menjadi kagum juga terhadap lawannya itu. Kepada
siapakah Kalingundil telah menuntut ilmu selama beberapa bulan ini?
“Pendekar
gila, jangan petatang peteteng juga! Turunlah ke pedataran rawa-rawa ini!,”
teriak Kalingundil. “Turun untuk terima kematianmu!”.
“Setiap
undangan baik dan buruk pantang kuelakkan, Kalingundil,” sahut Wiro Sableng.
Laksana seekor burung garuda dia melompat ke bawah.
Dalam
keadaan tubuh melayang di udara itu, Kalingundil kirimkan tiga pukulan tangan
kosong sekaligus, beruntun hebat sekali. Pendekar 212 sambut pukulan ini dengan
pukulan “benteng topan melanda samudera”!
Maka
beradulah pukulan-pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam yang tinggi itu
sehingga menimbulkan suara meletus hebat. Untuk sesaat pendekar 212 merasakan
tubuhnya yang melayang di udara laksana tertahan oleh sebuah dinding yang tak
kelihatan sedang di bawah sana Kalingundil melesak kedua kakinya sampai dua dim
ke dalam tanah!
Sungguh
pendekar 212 tidak menyangka kehebatan tenaga dalam Kalingundil berlipat ganda
banyak sekali dari beberapa bulan yang lalu! Di lain pihak Kalingundil sendiri
mengeluh dalam hati. Waktu melancarkan tiga pukulan beruntun tadi dia telah
mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya: Meski dia telah memiliki ilmu
silat, yang aneh dan tinggi mutunya namun nyatanya lawan itu masih lebih
tangguh!
Kalingundil
kertakkan geraham.
“Pemuda
gila, terima pukulan jotos siluman biru ini!,” bentak Kalingundil. Tangan
kanannya dipukulkan ke muka. Sinar biru berkiblat menyambar ke arah pendekar
212 yang saat itu baru saja injakkan kaki kanannya di tanah dekat tepian rawa!
Pendekar
kita lompat setinggi empat tombak dan dari atas ganti mengirimkan pukulan
balasan yang tak kalah hebatnya.
Pukulan
angin menimbulkan suara seperti ratusan seruling yang ditiup secara bersamaan.
Debu berputar-putar ke udara, lumpur rawa-rawa seperti mendidih. Kalingundil
kerahkan tenaga dalamnya ke kaki untuk mempertahankan diri. Tubuhnya bergetar
dilanda angin pukulan lawan namun sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan
ditempatnya. Penasaran sekali, dengan membentak. Pendekar 212 lipat gandakan
tenaga dalamnya dalam pukulan itu!
Kini Kalingundil
tak dapat lagi bertahan dengan segala kehebatan yang dimilikinya itu. Kedua
kakinya laksana akar pohon berserabutan dari dalam tanah, terlepas dari
pertahanannya. Tubuhnya terhuyung keras ke belakang ke arah rawa-rawa maut.
Dihantamkannya tangannya ke muka untuk membendung angjn pukulan lawan dan
serentak dengan itu dia jungkir balik di udara melompati sebuah rawa kecil dan
berdiri di bagian lain dari pedataran! Dengan demikian kedua manusia itu
berhadapan satu sama lain. terpisah oleh sebuah rawa-rawa!
Laki-laki
bertangan buntung itu tertawa dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik
pakaian.. Sesaat kemudian di tangan kiri itu tergenggam sebuah pedang buntung
yang berwarna biru. Meskipun buntung, melihat kepada kilauan sinar biru dari
senjata itu Wiro Sableng maklum bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah
pedang mustika.
“Kau
lihat pedang ini, pemuda edan?!” bentak Kalingundil. “Nyawamu ada diujung
senjata ini!”. Pendekar 212 tertawa mengekeh.
“Orang
dan. senjatanya sama saja! Sama-saama buntung!” mengejek murid Eyang Sinto
Gendang itu,
Merah
padam muka Kalingundil.
“Mengejek
memang mudah. Tapi ketahuilah, membunuhmu dengan senjata ini jauh lebih mudah
lagi!,” kata Kalingundil pula. “Buka matamu lebar-lebar orang gila dan lihat
ini!”.
Kalingundil
menyapukan pedang buntungnya ke arah rawa-rawa di hadapannya. Lumpur rawa itu
muncrat ke atas sampai tujuh tombak. Sebagian besar menyibak laksana terbelah
sehingga dasar rawa yang hitam legam terlihat jelas beberapa detik lamanya !
“Senjata
hebat,” ujar Wiro Sableng dalam hati. “Dalam keadaan buntung demikian luar
biasanya. Apalagi kalau dalarn keadaan. Sempurna. Bagaimana ini kucing dapur
dapatkan senjata itu…?”
“Kau
sudah lihat pendekar gila?!,” terdengar bentakan Kalingundil.
“Senjatamu
boleh juga, Kalingundil. Tapi dari pada dipakai buat kejahatan lebih baik
ditempa untuk membikin sambungan tangan palsumu!”.
Marahlah
Kalingundil. Disapukannya senjata itu ke arah pendekar 212. Maka berkiblatlah
sinar biru yang menyilaukan!
Pendekar
212 tidak bodoh. Dengan cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke kedua telapak
tangan. Dia melompat ke udara.
“Ciat!”
Didahului
oleh bentakan yang menggeledek itu maka Wiro Sableng lepaskan pukulan dinding
angin berhembus tindih menindih. Begitu pukulan ini melesat memapasi serangan
lawan maka Wiro susul dengan pukulan kunyuk melempar buah yang perbawanya
disertai aliran tenaga dalam sampai setengah bagian dari yang dimilikinya!
Pukukan
yang pertama membuat serangan Kalingundil tertahan laksana menumbuk dinding
karang yang atos. Pukulan yang kedua bukan saja membuat buyar sinar biru dari
pukulan Kalingundil, tapi sekaligus melabrak pukulan tersebut sehingga kini
Kalingundil yang berada dalam keadaan diserang! Ini memaksa Kalingundil
menyingkir dua tombak ke samping. Kemudian tanpa membuang waktu lebih lama
laki-laki ini menerjang ke muka. Pedangnya membabat deras, sinar biru yang
menghamburkan hawa dingin serta tajam menyambar ke arah pendekar 212!
Wiro
Sableng membentak nyaring! Suara bentakannya ini membuat gendang-gendang telinga
Kalingundil tergetar. Pedangnya melabrak ke arah perut lawan tapi dalam kejapan
itu pula lawannya berkelabat dan lenyap dari pemandangan! Penasaran sekali
Kalingundil putar pedang buntungnya demikian rupa. Maka sinar birupun
bergulung-gulung mengurung Wiro Sableng!.
Sebagaimana
kebiasaan pendekar 212, dalam setiap pertempuran yang mulai menghebat maka
disaat itu pula mulai terdengar suara siulannya melengking-lengking membawakan
lagu tak menentu! Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini. Karena sukar untuk
menentukan mana tubuh yang sebenarnya dan mana yang hanya baying-bayang, maka
hampir keseluruhan serangan-serangan Kalingundil menghantam tempat kosong.
Namun demikian memang permainan silat siluman yang didapat Kalingundil di Gua
Siluman tempo hari meskipun cuma sepertiganya saja yang dikuasainya,
benar-benar patut dikagumi.
Pendekar
212 tahu bahwa lawannya sampai dua puluh jurus dimukapun tak akan dapat
mendesaknya, apalagi melukainya. Tapi di samping itu, pihaknya sendiri sukar
pula melakukan serangan balasan karena setiap serangan yang dilancarkan
Kalingundil merupakan jurus pertahanan! Demikianlah kehebatan ilmu silat
siluman yang dimiliki oleh manusia bertangan buntung itu!
Tapi
adalah percuma saja Wiro Sableng menjadi murid dan digembleng selama tujuh
belas tahun oleh nenek-nenek sakti Eyang Sinto Gendeng kalau dia tak bisa
menghadapi lawan begitu rupa satu lawan satu!
Maka
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 segera robah permainan silatnya. Jurus-jurus
yang tak terduga dari Kalingundil dihadapinya dengan jurus-jurus tak teratur
yang gerabak gerubuk kian kemari. Kedua tangannya terkembang di kedua sisi
laksana sayap burung garuda sedang dari mulutnya senantiasa terdengar suara siulan
melengking yang menyamaki liang telinga Kalingundil!
Saat itu
kedua orang ini sudah bertempur sampai tiga puluh jurus! Sungguh hebat! Tiga
puluh jurus seperti tidak terasa! Dan kini kentara sekali bagaimana Kalingundil
terdesak hebat.
Bagaimanapun
Kalingundil mempercepat jurus-jurus permainan silatnya, bagaimanapun dia
merobah gerakan-gerakannya dan mengamuk laksana banteng terluka, namun tetap
saja dia berada dibawah angin, malahan kini terdesak ke arah rawa-rawa maut!
“Ha… ha….
rupanya jalan ke nerakamu harus melalui rawa-rawa maut ini, Kalingundil!”.
“Budak
hina dina jangan ngaco! Sambut bintang silumanku ini!”.
Sambil
melompat jauh, dengan masih memegang pedang buntung, Kalingundil gunakan tangan
kirinya untuk mengirimkan selusin benda berbentuk bintang yang berwarna biru ke
arah lawannya.
“Akh…
mainan anak-anak ini kenapa musti dipertontonkan?!” ejek pendekar 212. Tangan
kanannya diputar ke udara. Serangkum angin puyuh menggebubu dan bintangbintang
siluman itupun berhamburanlah kian ke mari tiada mengenai sasarannya.
Pada
detik Wiro Sableng gunakan tangannya untuk menyambuti senjata rahasia lawan
maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalingundil untuk melompat ke seberang
rawa-rawa kecil.
“Kucing
dapur! Kau mau lari ke mana….?!” teriak Wiro Sableng.
Sebagai
jawaban Kalingundil lemparkan segulung benda putih ke arah pendekar 212.
Mulanya Wiro menyangka benda itu sebuah senjata rahasia, tapi ketika
diketahuinya hanya secarik kertas putih yang digulung maka segera ditangkapnya
dan di saat itu pula Kalingundil pergunakan kesempatan sekali lagi untuk
melompat jauh lalu dengan ilmu larinya yang lihay ditinggalkannya tempat itu.
Wiro
tidak punya maksud untuk mengejar laki-laki bertangan buntung itu. Dengan penuh
tanda tanya dibukanya gulungan kertas di tangannya. Ternyata selembar surat
yang ditujukan oleh Kalingundil kepadanya.
Cacat di
tubuhku tak akan terlupa seumur hidup. Kematian kawan-kawanku dan kematian
Mahesa Birawa tak akan terlupa selama hayat. Semua itu kau yang menjadi biang
sebab.
Hari
pembalasan akan tiba! Berani berbuat berani tanggung jawab! Hari tiga belas
bulan dua belas kutunggu kau di puncak Gunung Tangkuban Perahu. Kalau kau tak
punya nyali untuk datang lebih baik bunuh diri sekarang juga!
Pendekar
212 penasaran sekali. Diremasnya surat itu. “Sialan betul kucing dapur itu!,”
gerendang Wiro Sableng. Dia lari ke bukit. Namun bayangan Kalingundil sudah tak
kelihatan lagi.
Tantangan
yang dibuat Kalingundil di Rawasumpang itu hanyalah sekedar untuk menjajaki
sampai di mana kehebatan ilmu silat silumannya bisa menghadapi musuh besarnya
itu. Nyatanya Wiro Sableng masih tetap jauh lebih digjaya dari dia. Namun dia
tidak kecewa. Pada hari yang telah direncanakannya itu, kelak dendam kesumatnya
akan kesampaian. Dan sekaligus di Rawasumpang itu dia te!ah menyampaikan surat
undangan kematian bagi musuh besamya itu. Dia yakin pendekar 212 akan datang ke
puncak Gunung Tangkuban Perahu!
–== 0O0
== —
**************
9
PUNCAK
Gunung Halimun….
Puncak
gunung ini kelihatan diselimuti awan putih. Bila angin barat bertiup maka
beraraklah awan itu kejurusan timur dan Puncak Gunang Halimun kembali kelihatan
dengan jelas dan megah.
Selewatnya
tengahari, sesosok tubuh berlari laksana angin, menuju ke puncak gunung.
Semakin ke puncak udara semakin sejuk serta segar. Laki-laki itu mempercepat
larinya seakan-akan tak sabar untuk lekas-lekas sampai ke tempat yang
ditujunya. Maka lewat sepeminuman teh sarnpailah dia ke puncak tertinggi dari
gunung itu.
Dia
memandang berkeliling. Kernana mata memandang hanya bebatuan saja yang
kelihatan. Mulai dari kerikil-kerikil kecil sampai kepada unggukan-unggukan
batu besar sebesarbesar rumah! Di kaki-kaki batu-batu besar yang rata-rata
licin berlumut itu tumbuh rumput-rumput liar. Laki-laki itu bertangan bunting.
Dia tak lain adalah Kalingundil. Mengapa dia berada di puncak gunung ini ialah
dalam meneruskan rencana besarnya yaitu membalaskan dendam kesumat terhadap
pendekar 212 Wiro Sableng.
Kalingundil
dengan gerakan yang enteng melompat ke salah satu batu besar. Seseorang yang
tidak memiliki ilmu meringani tubuh yang ampuh pasti tak akan sanggup mernbuat
lompatan lihay itu, kalaupun dapat mungkin begitu menginjak batu, kakinya akan
terpeleset karena lincinnya lumut! Kalingundil memandang keseantero puncak
gunung yang telah mati itu. Di antara unggukanunggukan batu-batu rnaka di
tengah-tengah kelihatanlah kawah yang besar yang sudah padam.
Kawah ini
berbentuk kerucut dan dalarn sekali. Kalingundil melompat lagi ke batu besar
yang lebih tinggi. Sekali lagi dilayangkannya pandangannya ke seantero puncak
gunung. Bila dia sudah yakin betul bahwa tempat kediaman orang yang hendak
ditemuinya itu bukalah di permukaan puncak gunung maka segeralah dia melompat
ke tepi kawah. Dari sini dia terus turun ke dalam kawah.
Selain
dalam, kawah Gunung Halimun sukar sekali untuk dituruni. Tapi Kalingundil
dengan cekatannya lompat sana lompat sini sehingga dalam waktu yang singkat dia
sudah berada di dasar kawah.
Udara di
dalam dasar kawah gunung ini pengap dan menyesakkan pernafasan. Karenanya
Kalingundil segera atur jalan nafasnya. Begitu dirinya dapat menguasai
kepengapan, itu maka dia segera meneliti keadaan dasar kawah di mana dia
berada. Luas dasar kawah yang merupakan pusat kerucut itu hanya beberapa kali
lebih besar dari sebuah sumur. Seluruh dasar kawah merupakan pasir campur tanah
yang sudah membeku den mengeras selama berabad-abad sesudah gunung itu meletus.
Putaran bola mata Kalingundil terhenti pada sebuah lobang yang besarnya selebar
bahu manusia.
Laki-laki
ini segera mendekati lobang itu. Menelitinya sesaat lalu tanpa ragu-ragu segera
memasukinya. Mula-mula dia hanya bisa merangkak. Tapi semakin ke dalam lobang
itu semakin besar sehingga dari merangkak kini dia dapat membungkuk-bungkuk dan
akhirnya berjalan seperti biasa.
Kalingundil
sampai ke sebuah ruang empat persegi berdindingkan batu-batu hitam yang kasar.
Dari keempat sudut ruangan ini keluar empat liukan asap tipis yang berwarna
hitam. Begitu, hidungnya mencium bau yang disebar oleh asap ini mendadak sontak
kepala Kalingundil menjadi pusing. Cepat-cepat Kalingundil kerahkan tenaga
dalam dan tutup jalan nafasnya.
Kalingundil
tahu bahwa ruangan batu itu bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada melihat
adanya pintu atau sebuah celahpun. Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka
kelihatanlah di langitlangit ruangan sebuah liang tangga batu. Dia memandang
berkeliling lalu enjot kedua kaki dan melompat ke tepi liang, terus menaiki
tangga batu. Anehnya, bagaimanapun tingginya ilmu mengentengi tubuh yang
dimilikinya namun setiap iangkah yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi dan
bergema keras!
Begitu
sampai di anak tangga yang teratas maka sampailah Kalingundil ke satu ruangan
putih yang sangat bersih. Demikian bersih dan berkilatan putihnya
dinding-dinding serta lantai dan langitlangit ruangan itu, sehingga tak
ubahnya seperti berada di satu ruangan kaca.
Tepat di
tengah-tengah ruangan terdapat sebuah batu besar dan di atas batu besar ini
sesosok tubuh laksana patung tengah bersemedi jungkir balik, kaki ke atas
kepala ke bawah di atas batu. Sosok tubuh ini mengenakan sehelai kain putih
yang dibalutkart sekujur badan mulai dari betis sampai ke dada. Kepala dan
paras orang yang bersemedi tiada kelihatan karena tertutup oleh janggut putih
yang panjang, hampir menyamai panjangnya rambut yang menjulai di lantai dan
juga berwarna putih! Sungguh hebat cara manusia ini bersemedi!
Namun
pandangan Kalingundil segera terbagi pada seekor harimau besar belang tiga yang
berbaring di samping laki-laki yang tengah bersemedi. Begitu melihat kemunculan
Kalingundil, makhluk ini berdiri dan menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi
dan taringnya kelihatan besarbesar serta runcing mengerikan. Didahului dengan
auman yang dahsyat dan menggetarkan ruangan putih itu maka melompatlah binatang
itu. Kedua kaki terpentang ke muka, kuku-kuku yang tajam dan panjang siap merobek
tubuh Kalingundil!
Kalingundil
yang maklum bahwa harimau itu bukan binatang biasa tapi peliharaan seorang
sakti dengan cepat segera melompat ke samping hindarkan diri. Namun meskipun
demikian cepatnya, sang harimau lebih cepat lagi! Laksana seorang jago silat
kawakan, masih melayang di udara binatang itu putar tubuh, ekornya berkelebat!
Ekor yang
panjang laksana cambuk itu menghantam bahu Kalingundil yang buntung. Pakaiannya
robek. Bahunya sakit tiada terkirakan. Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan
disaat itu terpaksa segera melompat pula ke samping karena si belang sudah
menyerangnya kembali!
Hanya
dengan berkelabat-kelabat cepat dan sigaplah maka Kalingundil berhasil
mengelakkan setiap serangan. Dia menghitung-hitung, sampai saat itu telah dua
puluh jurus dia bertempur menghadapi sang harimau. Dan selama itu Kalingundil
terus-terusan bersikap mengelak, sama sekali tak mau menyerang! Kalau dia
mengelak terus, di satu ketika mungkin sekali harirmau itu berhasil juga
mengoyak daging tubuhnya! Kalau dia melawan, sedangkan binatang itu adalah
peliharaan orang sakti dengan siapa dia ingin bertemu dan bicara! Inilah yang
menyulitkan Kalingundil! Dan sementara dia bertempur demikian rupa, orang yang
bersemedi masih juga terus bersemedi, seperti tiada terganggu, seperti tak
mengetahui adanya pertempuran yang dahsyat itu!
Satu-satunya
jalan bagi Kalingundil untuk tidak mendapat celaka dan tidak mencelakai ialah
meninggalkan ruangan putih itu, menghindar keluar untuk sementara, menunggu
sampai orang yang bersemedi menyelesaikan semedinya.
Maka
ketika harimau itu mengaum dan menyerang, Kalingundil jatuhkan diri ke lantai
lalu bergulingan ke arah tangga. Pada saat harimau itu hendak menubruknya
sekali lagi. Kalingundil sudah lenyap ke bawah tangga…
Telah
tiga hari Kalingundil menunggu di dasar kawah itu. Telah tiga kali pula dia
masuk ke dalam ruang putih dan mengintai dari balik anak tangga teratas, namun
sampai saat itu orang yang bersemedi masih juga belum meninggalkan batu
persemediannya.
Menunggu
sampai satu minggupun bagi Kalingundil bukan suatu apa, tapi yang
menyusahkannya ialah untuk mendapatkan bahan makanan selama hari-hari
penungguan itu.
Empat
hari kemudian, pada kali yang ke tujuh Kalingundil mengintai dari balik anak
tangga, orang itu dilihatnya masih juga bersemedi. Dengan hati kesal
Kalingundil menuruni tangga kembali. Tapi begitu dia keluar dari liang tangga
dan sampai di ruang bawah maka mendadak terdengar suara menggema dari ruang
putih.
“Manusia
yang berani-beranian menginjakkan kaki kotor di tempatku cepat datang menghadap
untuk terima hukuman!”.
Terkesiap
Kalingundil mendengar ini.
“Ayo
cepat! Tunggu apa lagi?!,” kata suara dari ruang putih.
Kalingundil
memutar langkahnya kembali. Dalam melangkah kembali ke liang tangga, terdengar
lagi suara tadi.
“Hemm…
seorang bertangan buntung macammu sungguh tak pantas masuk ke tempatku!
Hukumanmu lipat ganda hai manusia!”.
Tentu
saja Kalingundil terkejut mendengar ini. Bagaimana orang di dalam ruangan putih
itu bisa mengetahui bahwa tubuhnya cacat? Meski dia sakti luar biasa tapi
mereka belum pernah bertemu muka dan tak mungkin menurut pikiran Kalingundil
orang itu mengetahui hal keadaan dirinya! Kalingundil lupa bahwa dinding dan
langit-langit ruangan putih di atas sana tak ubahnya seperti kaca sehingga
orang yang ada di ruangan putih akan mudah melihat siapa saja yang ada di ruang
bawah!
Kalingundil
melompat ke atas dengan gerakan enteng lalu menaiki tangga. Ketika dia muncul
di ruangan putih anehnya harimau yang berbaring tidak lagi menyerangnya. Sedang
manusia berselempang kain putih masih tetap berdiri dengan kepala di atas batu
kaki ke atas! Seperti hari-hari sebelumnya parasnya masih tertutup oleh julaian
janggut putihnya yang panjang menjela-jela.
Meski.
harimau belang tiga itu tidak rnenyerangnya, namun Kalingundil berdiri dengan
waspada. “Kau siapa?!” membentak si kepala ke bawah kaki ke atas.
“Namaku
Kalingundil. Apakah saat ini aku berhadapan dengan Begawan Sitaraga?,”
tanyaKalingundil setelah terangkan dia punya nama.
Yang
ditanya tak menjawab melainkan ajukan pertanyaan: “Perlu apa kau datang
mengotori tempatku ini, manusia tangan buntung?!”.
“Harap
dimaafkan kalau kedatanganku rnengotori tempatmu. Tapi sesungguhnya aku tiada
maksud demikian,” kata Kalingundil pula. “Aku…”
“Sudah!
Jangan berbacot juga! Melangkahlah lebih dekat untuk terima hukumanmu!”.
Sebaliknya
justru Kalingundil hentikan langkah. Diperhatikannya manusia yang berdiri
jungkir balik di atas batu itu.
“Melangkah
lebih dekat!” bentak orang itu. Suaranya menggaung di ruangan putih sedang harimau
di sampingnya menggeram tak kalah hebat. “Begawan…”.
Kalingundil
putuskan kalimatnya. Kaki kiri manusia dihadapannya dilihatnya bergerak.
Serangkum angin yang sangat deras melanda ke arah Kalingundil. Ruangan itu
bergetar. Dengan jungkir balik secepat yang bisa dilakukannya Kalingundil
berhasil elakkan serangan dahsyat itu!
Terdengar
suara gelak mengekeh. “Pantas… pantas kau berani petatang peteteng datang ke
sini untuk bikin kotor tempatku. Rupanya kau memiliki ilmu yang diandalkan
juga! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup mempertahankan diri dengan jurus
kaki selaksa baja ini?!”.
Kepala
yang di atas batu itu berputar. Kedua kaki bergerak. Tahu kalau dirinya hendak
diserang lagi dengan tendangan jarak jauh yang lebih dahsyat dari tadi,
Kalingundil cepat mendahului berseru.
“Begawan!
Tahan! Aku datang membawa kabar untukmu!”.
Oleh
ucapan yang lantang ini maka orang. itu hentikan maksudnya untuk kirimkan
serangan: “Aku tidak kenal padamu! Kabar apa yang kau bawa?! Cepat katakan!”
hardiknya. Dia masih juga berdiri, dengan kepala ke bawah kaki ke atas seperti
tadi.
“Kabar
ini kabar buruk Begawan…”
“Sialan!
Buruk atau baik cepat katakan! Jangan habiskan, kesabaranku monyet alas!”
Kalingundil
pada dasarnya sangat tidak senang mendengar kata-kata makian seperti itu. Namun
dia menjawab juga. “Sobat kentalmu Mahesa Birawa menemui kematiannya di tangan
seorang manusia keparat…”
Tubuh di
atas batu kelihatan bergerak dan tahu-tahu manusia itu kini sudah tegak dengan
kedua kakinya di atas batu. Maka kini kelihatannya parasnya yang sejak tadi
tertutup oleh geraian janggut putih panjang. Kulit mukanya sangat pucat seperti
tiada berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya lebih cekung lagi membuat
wajahnya angker sekali untuk dipandang. Rambutnya putih panjang sampai ke bahu
sedang janggutnya menjulai sampai ke perut.
Kalingundil
menjura memberi hormat. “Jadi betul saat ini aku berhadapan dengan Begawan
Sitaraga..?” tanyanya.
Si muka
pucat. tidak ambil perduli pertanyaan itu.
“Siapa
yang bunuh dia dan dari mana kau bisa tahu?!”
Kalingundil
segera buka mulut berikan keterangan. “Mahesa Birawa dan beberapa orang Adipati
memimpin sejumlah batatentara untuk memerangi Pajajaran. Tapi mereka kalah.
Semua Adipati menemui ajalnya. Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan seorang
pemuda sakti “
Maka
kelihatanlah kerutan-kerutan muncul di paras Begawan Sitaraga yang membuat
parasnya menjadi tambah angker. Kedua matanya menyipit, pandangannya setajam
mata pedang! Rencana untuk memerangi Pajajaran memang dia sudah tahu lama
bahkan sebagaimana perundingannya dengan Mahesa Birawa, dia sendiri telah
menjanjikan akan turun tangan membantu pemberontakan Mahesa Birawa karena
memang sejak lama dia mempunyai dendam kesumat dengan keluarga istana
Pajajaran! Di puncak Gunung Halimun dia hanya menunggu kabar dari Mahesa Birawa
kapan penyerangan dilakukan. Tapi hari ini datang seseorang yang membawa kabar
bahwa pemberontakan gagal dan Mahesa Birawa sendiri menemui kematian! Tehtu
saja ini tak bisa dipercayainya.
“Aku
tidak percaya pada kau punya bicara, manusia tangan buntung!” bentak Begawan
Sitaraga.
“Demi
apapun aku berani sumpah bahwa aku tidak dusta, Begawan” jawab Kalingundil
dengan suara merendah meskipun hatinya gusar karena dipanggil dengan nama
“manusia tangan buntung” itu.
“Namamu
siapa…”
“Kalingundil”.
“Punya
hubungan apa kau dengan Mahesa B irawa?”.
“Dia
adalah pemimpin dan sobat kentalku sejak tahunan, Begawan…”
“Baik!
Tapi aku tidak tahu apa itu betul atau tidak. Jawab pertanyaanku untuk
membuktikan kebenaran keteranganmu! Siapa nama Mahesa Birawa sebenarnya…?”.
Kalingundil
tertawa. “Kau keliwat tidak percaya pada pihak sendiri, Begawan…”.
“Siapa
akui kau pihakku…? Tampangmu yang jelek inipun baru kali ini aku lihat!”.
Kalingundil
menggerutu dalam hati.
“Ayo
jawab pertanyaanku! Siapa nama asli Mahesa Birawa?!”.
“Suranyali!”
jawab Kalingundil.
“Hem…”
Sitaraga merenung, “Mahesa Birawa seorang berkepandaian tinggi. Tidak semudah
itu untuk merenggut nyawanya…”
“Di luar
langit ada langit lagi Begawan! Kesaktian pemuda tandingannya melebihi
kesaktiannya…”.
Begawan
Sitaraga kerutkan kening.
Dan
Kalingundil teruskan ucapannya. “Aku sendiri pernah menghadapinya. Masih untung
cuma tanganku yang dimintanya, bukan nyawaku!”
“Ho-o…
jadi maksudmu datang ke sini untuk mengadu dan merengek macam anak kecil agar
aku turun tangan…?”.
Merah
muka Kalingundil. “Itu adalah terserah padamu Begawan. Sebagai sobat dan bekas
pemimpinku, aku telah cari pemuda yang membunuh Mahesa Birawa. Namun dia lebih
tinggi ilmu silatnya dan lebih tinggi…”.
“Siapa
nama bangsat itu?!” tanya Sitaraga pula.
“Wiro
Sableng. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212…”
Mendengar
ini maka terkejutlah Begawan Sitaraga. “Kau bilang dia bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212…?”.
“Ya…”
“Kalau
begitu dia adalah nenek-nenek keriput si Sinto Gendeng!”.
“Tidak…
dia adalah seorang pemuda. Masih sangat muda, bahkan tampangnya macam
anakanak, berambut gondrong dan berotak miring sinting!”
Sitaraga
merenung lagi. Kemudian desisnya: “Kalau begitu mungkin sekali dia adalah murid
nenek-nenek itu yang diam di puncak Gunung Gede. Tapi setahuku Sinto Gendeng
tidak punya murid sejak puluhan tahun berselang…” Sitaraga tarik nafas dalam.
“Kalau betul dia murid Sinto Gendeng, tidak salah Mahesa Birawa dipecundangi…”
Sitaraga memandang jauh ke muka seperti pandangannya itu mau menembus dinding
putih di belakang Kalingundil.
Melihat
ini maka Kalingundil mulai masukkan jarum hasutannya. “Sewaktu aku bertempur
dengan dia di Rawasumpang aku beri peringatan bahwa kelak sobat-sobat Mahesa
Birawa yang terdiri dari tokoh-tokoh silat utama akan turun tangan untuk
menuntut balas. Dan Wiro Sableng mengumbar bahwa terhadap siapapun dia tidak
takut! Bahkan dia menantang untuk bikin perhitungan di puncak Gunung Tangkuban
Perahu pada hari tigabelas bulan duabelas nanti!”.
Mata
Begawan Sitaraga menyipit lagi. “Pongah betul,” desisnya. “Rupanya sudah
kepingin cepat-cepat merasakan gelapnya liang kubur! Sudah cepat-cepat ingin
minggat ke neraka!”.
“Betul
Begawan. Bukan saja kepongahannya itu yang menyakitkan hati, tapi tantangannya
itu adalah juga sangat menghina dan tiada memandang sebelah matapun terhadap
tokoh-tokoh silat utama macam Begawan….”.
Sitaraga
manggut-manggut. “Manusia-manusia macam begitu musti dilenyapkan dengan lekas.
Kalau tidak akan menjadi biang runyam golongan dan aliran kita….”
Hati
Kalingundil menjadi gembira karena tahu hasutannya sudah menyamaki dan
mengobari dendam serta amarah Begawan itu.
“Tantangan
itu…,” kata Kalingundil pula meneruskan hasutannya, “sekaligus menghina
terhadap guru Mahesa Birawa yang diam di Gunung Lawu… Aku bermaksud untuk
menemuinya dan meminta langkah-langkah yang segera akan kita laksanakan”.
“Kalau
cuma untuk memecahkan batok kepala pemuda sedeng itu, aku sendiripun
menyanggupinya!”
“Betul
Begawan. Tapi untuk tidak mengecewa kan guru Mahesa Birawa di kemudian hari,
ada baiknya kematian muridnya itu diberi tahu…”
“ltu
urusanmu,” jawab Sitaraga. Matanya. memandang tepat-tepat ke pinggang
Kalingundil. Sesungguhnya sejak tadi matanya itu memperhatikan secara diam-diam
ke pinggang Kalingundil. “Coba aku mau lihat apa yang kau simpan di balik
pinggangmu,” katanya tiba-tiba.
Kalingundil
kaget sekali. Dia melirik ke pinggangnya. Dia telah menyimpan senjatanya
baikbaik namun mata Sitaraga yang tajam masih sanggup mengetahuinya.
“Ah, tidak
apa-apa Begawan. Cuma…”
“Cuma
apa?!” Sitaraga pelototkan mata.
“Cuma
sebilah pedang buruk…” sahut Kalingundil.
“Keluarkan!”
“Begawan….”
“Jangan
banyak bicara. Keluarkan!”
Kalau
bukan berhadapan dengan Begawan Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada rencana
besarnya, maka pastilah saat itu Kalingundil akan beset mulut manusia yang
dihadapannya itu. Dia memang mengharapkan bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya
dianggap remeh terus menerus dan dihina dimaki serta dibentak, siapa yang bisa
sabarkan diri?! .
“Kau
membangkang Kalingundil?!”
Penasaran
sekali Kalingundil cabut Pedang Siluman buntungnya. Maka sinar birupun
memancarlah di ruangan putih itu. Begawan Sitaraga terkejut.
“Pedang
Siluman Biru..,” desisnya. Dia di samping terkejut juga heran melihat pedang
sakti itu kini hanya merupakan sebuah puntungan belaka. “Dari mana kau dapat
senjata itu? Bagaimana bisa buntung? Apakah kau muridnya Siluman Biru?!”
Kalingundil
menyeringai mendengar pertanyaan-pertanyaan menyerocos itu. “Itu semua adalah
urusanku Begawan. Yang penting hari ini kita telah berjumpa dan kau telah
mengetahui nasib Mahesa Birawa. Sampai bertemu di puncak Gunung Tangkuban
Perahu!”. Kalingundil berkelebat ke arah tangga.
“Tunggu!”
teriak Sitaraga.
Tapi
Kalingundil tak mau ambil perduli.
Maka
marahlah Begawan Sitaraga. “Kalau tidak memikir kau bekas anak buah Mahesa
Birawa, sudah terlalu pantas aku minta nyawamu, Kalingundil! Tapi saat ini
cukup kau tinggalkan saja salah satu dari daun telingamu!”
Sebuah
senjata rahasia melesat ke arah telinga kanan Kalingundil. Laki-laki ini segera
lambaikan tangan kirinya. Tapi celaka senjata rahasia itu tak sanggup dibuat
mental dengan pukulan tenaga dalam! Terpaksa Kalingundil cabut pedang saktinya
kembali. Namun gerakan ini tentu saja sudah terlambat!
Kalingundil
mengeluh kesakitan. Darah membasahi pipi dan bahu pakaiannya. Daun telinganya
sebelah kanan terbabat buntung oleh senjata rahasia Sitaraga! Kalau tidak
mengingat-ingat akan rencana pembalasan dendamnya, maulah Kalingundil menyerang
Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih ketika didengarnya kekehandak Sitaraga
yang menusuk liang telinganya!
Dalam
waktu yang singkat Kalingundil sudah berada di luar Kawah Gunung Halimun.
Dibersihkannya darah yang membasahi pipi kemudian dengan sehelai kain
dibalutnya kepalanya tepat pada batasan telinga yang buntung. Kemudian
diambilnya sebuah pil lalu ditelan untuk menolak racun senjata rahasia Sitaraga
itu.
Di dasar
kawah Gunung Halimun, tak lama sesudah Kalingundil lenyap, kembali Sitaraga
merenung.
Siapa
Kalingundil sebenarnya masih agak samar baginya. Tapi itu tidak begitu penting.
Yang menjadi tanda tanya besar ialah siapa itu pemuda yang bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212? Apa betul murid Sinto Gendeng? Kalau Kalingundil
telah menghadapinya dengan Pedang Siluman dan berhasil dikalahkan oleh si
pemuda, maka sudah dapat dijajaki oleh Sitaraga sampai di mana ketinggian ilmu
pendekar 212 itu! Ini membuat dia ingin lekas-lekas berhadapan dengan sang
pendekar muda. Namun dia musti menunggu beberapa bulan di muka sampai saat yang
ditentukan yaitu hari tigabelas bulan duabelas!
***
SIAPA penduduk desa bukit tunggul yang tidak tahu dengan Asih Permani. Tanyakan pada yang tua-tua, mereka akan tahu, tanyakan pada yang muda-muda mereka akan lebih dari tahu. Tanyakan pada anak-anak kecil yang mengangon bebek atau menggembala kerbau, mereka juga akan tahu. Jika.ditanyakan bagaimana paras Asih Permani maka semua mulut akan memuji. Semua mulut akan mengatakan: Asih Permani gadis yang tercantik se-Bukit Tunggul. Mukanya bujur telur. Hidungnya kecil mancung bak daun tunggal. Bibirnya seperti delima merekah, merah dan segar. Matanya bening bercahaya laksana bintang di angkasa raya. Dagunya seperti lebah bergantung, leher jenjang dan suaranya halus merdu, serasa digelitik liang telinga jika kita mendengar suara Asih Permani. Dan keseluruhan tubuhnya yang montok padat itu dibungkus oleh kulit yang halus mulus.
Asih
Permani memang cantik seperti perbandingan di atas. Kawannya sesama gadis di
desa Bukit Tunggul banyak yang merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki gadis
itu. Pemuda-pemuda banyak yang tergila. Tapi semua mereka bertepuk sebelah
tangan. Karena pada bulan di muka, tepat di waktu bulan rembulan empat belas
hari. Asih Permani akan dinikahkan dengan Ranggasastra, anak lurah Bukit
Tunggul. Memang di samping kaya raya, banyak harta dan sawah berlimpah kerbau
berkandang, maka Ranggasastra cocok dan pantas menjadi suami Asih Permani.
Pemuda ini gagah. Badannya tegap, hatinya polos dan ramah kepada setiap orang.
Sehingga kalau bersanding dengan Asih Permani di pelaminan nanti tentulah tak
ubahnya seperti pinang dibelah dua!
Semakin
lama, semakin dekat juga hari pernikahan itu. Tentu sama dapat dibayangkan
bagaimana perasaan kedua calon pengantin itu menjelang hari perkawinan mereka.
Hari yang bersejarah dan tak dilupakan seumur hidup mereka. Hari di mana mereka
akan sama-sama membuka suatu “rahasia kebahagiaan hidup”.
Saat itu
Ranggasastra tengah duduk-duduk di depan rumahnya memandangi bintang-bintang
yang bertaburan. Entah mengapa malam itu hatinya gelisah saja. Dan dia tak tahu
apa sebenarnya yang digelisahkannya itu. Larut matam baru dia dapat tertidur.
Tapi menjelang fajar dia tersentak. Ranggasastra adalah seorang yang pernah
menuntut ilmu silat dan kesaktian pada seorang guru di pantai utara. Nalurinya
menyatakan bahwa ada seseorang lain di dalam kamarnya saat itu. Dibukanya kedua
kelopak matanya. Dia terkejut melihat sesosok tubuh manusia sangat kate berdiri
dekat tempat tidur. Manusia ini berkepala botak sudah licin berkilat ditimpa
kelap-kelip sinar lampu pelita dalam kamar.
Manusia
kate ini memiliki hidung yang sangat besar. Hidungnya yang besar itu seperti
mau menutupi mukanya yang kecil. Ketika dia menyeringai dan mengeluarkan suara
mendesau, maka kelihatanlah giginya yang cuma satu di sebelah atas.
Ranggasastra
segera melompat dari tempat tidur.
“Manusia
kate! Siapa kau?!” bentak si pemuda. Matanya meneliti manusia dihadapannya
dengan tajam. Dan meskipun cahaya lampu minyak di dalam kamar tidak begitu
terang, namun Ranggasastra dapat melihat bahwa manusia kate itu mempunyai
telapak kaki yang lebar dan besar sekali. Tapak kaki itu sampai sebatas mata
kaki sama sekali tidak merupakan tapak kaki manusia, tapi seperti kaki seekor
gajah!
“He… he…
he…”. Manusia kate berkaki besar tertawa berkemik. “Kau manusianya yang bernama
Ranggasastra, yang bakal jadi penganten minggu depan…?!”.
Tentu
saja apa yang ditanyakan manusia itu, mengejutkan Ranggasastra. “Itu bukan
urusanmu! Jawab dulu siapa kau!”
“He… he…
he…”. Tamu tak diundang itu mengekeh lagi. “Maksudmu untuk menjadi penganten,
untuk menjadi suami Asih Permani tidak akan kesampaian Ranggasastra…!”.
“Manusia
kate, jangan ngaco pagi-pagi buta!,” bentak Ranggasastra dengan marah. “Keluar
dari kamarku!”. Pemuda itu kepalkan tinjunya.
“Kau tak
akan pernah menjamah tubuh Asih Permani, anak muda. Karena mulai detik ini ke
atas, dia adalah milikku dan akan kubawa ke mana aku suka, akan kuperbuat apa
aku senang!”. Manusia kate ini mengekeh lagi.
“Kalau
kau mau mengigau, pergilah mengigau di liang kubur!”. Habis berkata demikian
Ranggasastra menerjang ke muka. Tinju kanannya menderu! Tapi dia hanya memukul
tempat kosong. Hampir tak terlihat oleh matanya, manusia kate itu telah
berkelebat dan lenyap dari pemandangannya!
Tinggal
seorang diri di dalam kamar Ranggasastra merasa seperti orang yang tertidur dan
tersentak oleh mimpi. Digosok-gosoknya kedua matanya dengan telapak tangan
berulang kali. Tidak, dia tidak mimpi! Dia yakin betul bahwa dia tidak mimpi!
Dan ketika dia memandang ke lantai kamar yang terbuat dari papan, maka pada
lantai itu jelas dilihatnya bekas-bekas telapak kaki manusia kate tadi.
Ketika
ingat akan ucapan-ucapan orang kate berkepala sulah tadi maka khawatirlah
Ranggasastra. Segera dijangkaunya tongkat besi berujung runcing yang tersisip
di dinding. Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa menunggu lebih lama,
pemuda ini segera tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah timur di mana
terletak rumah orang tua Asih Permani.
Sepuluh
tombak akan sampai ke halaman muka rumah gadis calon isterinya, mendadak
Ranggasastra melihat sesosok tubuh melompat keluar dari jendela samping rumah!
Sosok tubuh ini tak lain dari manusia kate yang telah mendatanginya tadi. Dan
pada bahu manusia itu kelihatan sosok tubuh seorang perempuan. Meskipun halaman
samping gelap tapi Ranggasastra tahu betul, perempuan yang dipanggul itu adalah
calon isterinya. Asih Permani!
“Bangsat
rendah! Pencuri busak! Lepaskan perempuan itu!,” bentak Ranggasastra.
Si kate
kepala sulah tertawa dingin. “Sekali aku bilang bahwa gadis ini jadi milikku,
tak satu manusia lainpun yang bisa menghalanginya!”.
“Kalau
begitu terpaksa kukermus kepalamu!”. Maka tongkat besi di tangan Ranggasastra
menderu ke kepala si kate. Gesit sekali yang diserang melompat ke samping.
Ranggasastra susul dengan satu tusukan ke dada kiri. Namun dengan kecepatan
yang luar biasa orang kate itu gerakkan kaki kanannya!
Tendangan
yang keras menghajar tangan kanan si pemuda. Besi panjangnya lepas. Tangannya
hancur dan jeritan kesakitan keluar dari mulut Ranggasastra. Pemuda ini
terhuyung sebentar lalu mental sampai beberapa tombak ketika tendangan lawan
terus menyerempet perutnya! Perut si pemuda robek besar. Tubuhnya menggeletak
tanpa nyawa. Si kate tertawa buruk.
“Maling
hina dina!! Nyawamu di ujung golokku!” teriak seseorang yang melompat dari
dalam rumah lewat jendela.
Si kate
berkepala botak cepat putar badan pada saat sebuah golok berkiblat memapasi
batok kepalanya!
“He… he…
Kau juga inginkan mampus Ki Lurah!” ujar si kate. Manusia yang menyerangnya itu
adalah Tanuwira, ayah Asih Permani.
“Kau yang
akan mampus lebih dahulu manusia laknat!”. Golok Tanuwira berkelebat lagi. Tapi
si kate sungguh luar biasa. Serangan itu dihadapinya dengan tertawa tawar.
Sekali dia gerakkan kaki kanannya maka hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira.
Si kate
tertawa mengekeh.
“Calon
mantu dan calon mertua sama-sama bernasib sial! Kasihan…”. Dihirupnya udara
segar menjelang pagi itu sejurus lenyaplah dia dari tempat itu.
***
KETIKA dia sampai kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka terkejutlah manusia kate berkepala botak itu sewaktu melihat ada seorang bertangan buntung yang tak dikenalnya berdiri dekat pintu. Orang yang bertangan buntung agaknya juga terkejut melihat kedatangan si kepala botak yang membawa seorang gadis cantik di pundak kirinya. Tapi dia cepat-cepat menjura.
“Pastilah
saat ini aku berhadapan dengan tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak Gajah…”
Laki-laki
kate yang memang bernama Tapak Gajah turunkan tubuh Asih Permani dari
pundaknya. Matanya meneliti tajam orang di hadapannya lalu bertanya: “Kau
sendiri siapa? Apakah datang kesini membawa maksud baik atau buruk?”. Sambil
bertanya demikian Tapak Gajah memperhatikan telinga kanan tamunya yang juga
buntung tiada berdaun.
“Namaku
Kalingundil. Aku datang dengan maksud baik, tapi membawa berita buruk”.
“Aku
tidak kenal padamu sebelumnya. Berita buruk apakah yang kau bawa…?” tanya Tapak
Gajah.
Maka
Kalingundil segera mulai pasang jarum penghasutnya. “Pembunuhan atas diri
seorang murid adalah satu hal yang pahit bagi gurunya! Begitu pahit sehingga
menanamkan dendam kesumat…”.
“Jangan
bicara berbelit!,” potong Tapak Gajah. “Katakan langsung berita buruk itu!”
“Muridmu
dibunuh orang, Tapak Gajah…”
Berubahlah
paras si tubuh kate kepala sulah. Sedang Kalingundil saat itu melirik
memperhatikan Asih Permani yang berdiri tak bergerak, “Pastilah tubuhnya
ditotok”, pikir Kalingundil dan dalam hatinya dia bertanya-tanya: “Siapa
gerangan gadis cantik ini…”. Sesak nafas Kalingundil melihat kejelitaan Asih
Permani.
“Aku
mempunyai beberapa orang murid yang telah turun ke dalam rimba persilatan.
Murid yang mana yang kau maksudkan?!” tanya Tapak Gajah.
Kalingundil
memalingkan mukanya kepada laki-laki itu kembali. “Mahesa Birawa…”
“Aku tak
punya murid bernama Mahesa Birawa!” berkata Tapak Gajah.
Kalingundil
kaget. Dia berpikir-pikir seketika. Kemudian dia ingat. “Maksudku muridmu
Suranyali…”
Sekali
lagi berubah paras Tapak Gajah. Di hatinya timbul kesyakwasangkaan. “Apakah kau
bicara, ngelantur atau bagaimana…?”.
“Demi
setan dan iblis aku tidak bicara dusta, Tapak Gajah!”.
“Suranyali
bukan manusia sembarangan. Ilmu kesaktiannya tinggi!”
“Tapi
manusia yang membunuhnya lebih sakti lagi!”.
“Siapa
?!”
“Pendekar
212….”.
Tapak
Gajah merenung. Kedua tangannya terkepal. “Kau dusta Pendekar 212 Sinto Gendeng
sudah sejak puluhan tahun lenyapkan diri dari dunia persilatan!”.
“Tapi….”
“Tutup
mulut! Terima hukuman dariku bangsat bermulut bohong!”.
Tapak
Gadjah hantamkan kaki tangannya ke muka.
“Wutt !”
Angin
sedahsyat badai yang ke luar dari tendangan itu lebih dahulu menyerang ke arah
Kalingudil sebelum tendangannya sendiri sampai !
Kalingundil
tak mau ambil risiko. Dia berteriak nyaring dan lompat delapan tombak ke udara.
“Byur!”
Kaligundil
palingkan kepala ke belakang. Tersekat rasanya tenggorokannya sewaktu melihat
bagaimana angin tendangan Tapak Gadjah menghancurkan batu besar di belakangnya!
Sewaktu
manusia kate itu hendak lancarkan serangan kedua Kalingundi cepat berseru:
“Tahan! Kita berada di pihak yang sama!”
Tapak
Gadjah tarik serangannya.
“Apa
maksudmu kita di pihak yang sama huh?”
“Aku
adalah bekas anak buah Suranyali sewaktu kami masih sama-sama di Jatiwalu!”
“Jangan
coba kelabui aku!,” membentak Tapak Gadjah.
“Perlu
dan untung apa aku mengelabuimu!” baias membentak Kalingundil dengan beringas.
“Berikan
bukti bahwa muridku yang satu itu benar-benar dibunuh orang!”
Kalingundil
tertawa dingin. “Tidak mau percaya pada orang sepihak akan merugikan diri
sendiri Tapak Luwing…” Lalu Kalingundil memberikan keterangan selengkapnya.
Kini
mulai kelihatan bayangan rasa percaya di paras Tapak Gadjah. Namun apa yang
meragukannya ialah keterangan Kalingundil mengenai Pendekar 212 Wiro Sableng.
Satusatunya kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah bahwa pemuda bernama Wiro
Sableng itu adalah murid Sinto Gendeng.
“Golongan
hitam memang sejak dulu menaruh dendam pada itu nenek-nenek sialan…,” ujar Tapak
Gadjah pula. “Tapi sebelum kami bersepakat untuk menghabiskan jiwanya, dia
sudah lenyapkan diri! Kini muridnya muncul dan membunuh muridku! Benarbenar
laknat!”
“Aku
sendiri telah tantang dia di Rawasumpang demi untuk menuntut balas kematian
Suranyali atau Mahesa Birawa. Tapi… itu pemuda keparat memang luar biasa tinggi
ilmunya. Kalau aku kalah dalam pertempuran di Rawasumpang itu bukan suatu apa
tapi ada satu hal yang benar-benar menyakiti hatiku Tapak Gadjah…”
Kalingundil
menunjukkan paras yang mengandung dendam. Sepasang matanya memandang
lurus-lurus jauh ke muka. .
“Katakan
apa yang menyakiti hatimu itu!,” kepingin tahu Tapak Gadjah.
“Sebelum
mengundurkan diri dari Rawasumpang aku bilang pada itu pemuda keparat bahwa
kelak pembalasan dari guru Sunranyali akan tiba! Pemuda itu ketawa bekakakan
dan berkata bahwa sekalipun ada seribu guru Suranyali, akan diterabasnya sama
rata dengan tanah!”
Rahang-rahang
TapakGadjah mengembung. “Begitu keparat itu bilang…?”
Kalingundil
manggut.
“Meski
dia murid si Sinto Gendeng, tapi jangan merasa sudah setinggi langit
kepandaiannya! Katakan di mana bangsat itu berada! Aku Tapak Gadjah akan
pecahkan kepalanya!”
“Kau tak
perlu susah-susah mencarinya Tapak Gadjah,” menjawab Kaligundil. “Bukankah tadi
aku sudah katakan bahwa dia sudah umbar mulut menentangmu? Katanya dia tunggu
kau pada hari tigabelas bulan duabelas di puncak Gunung Tangkuban Perahu!”
“Anjing
kurap betul itu manusia!”. Tapak Gadjah meludah ke tanah.
Dan
Kalingundil berkata lagi: “Beberapa tokoh silat utama yang ditantang pendekar
212 itu juga telah kuberi tahu! Mereka sudah memastikan untuk datang ke
Tangkuban Perahu guna mengkeremus si pemud !”
“Seribu
tokoh utama boleh datang ke sana. Namun kematian anjing kurap itu aku yang
tentukan!” Kaligundil manggut-manggut. Hatinya gembira. Memang itulah yang
diharapkannya. Sudah terbayang bagaimana akan berhasilnya dia purrya rencana
nanti. Seorang diri dia memang tak sanggup untuk menghadapi Wiro Sableng. Tapi
kalau Tapak Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta. dan Tapak Luwing yang
berkumpul jadi satu untuk membuat perhitungan, tiga Pendekar 212-pun tak bakal
sanggup!
“Aku
gembira mendengar keputusanmu itu. Tapak Gadjah. Akupun pasti pula akan datang
ke puncak Tangkuban Perahu…”
Tapak
Gadjah tertawa dingin. “Kalau kau punya nyali tapi punya sedikit ilmu untuk
diandalkan sebaiknya tak usah datang ke sana!”
Merah
padam paras Kalingundil.
“Sekarang
aku tak ada urusan lagi dengan kau! Silakan angkat kaki dari sini!” bentak
Tapak Gadjah.
Kelingundil
melirik pada Asih Permani. Kemudian katanya pada Tapak Gadjah: “Jangan terlalu
memandang rendah terhadap sesama kawan Tapak Gadjah. Aku memang tidak dikenal
dalam dunia persilatan tapi untuk menghancurkan batu besar sepertimu tadi, aku
masih sanggup!”. Kalingundil gerakkan tangan kanannya ke pingaang. Kemudian
selarik sinar biru melesat ke arah batu besar yang terletak sekira sembilan
tombak dari hadapannya.
“Byur!”
Batu itu
hancur berkeping-keping dan bayangan Kalingundil sendiri sesudah itu lenyap
dari pemandangan!
Terkejutlah
Tapak Gadjah! Tiada disangkanya kalau manusia bertangan buntung bertelinga
sumpung itu memiliki kehebatan demikian rupa! Tapi manusia kate ini tidak
berpikir lebih lama. Begitu matanya membentur paras dan tubuh Asih Permani maka
lupalah dia pada Kalingundil. Segera diboyongnya gadis itu ke dalam pertapaan.
Apa yang kemudian dilakukannya terhadap gadis suci itu tak seorang manusiapun
yang tahu. Namun pada hari itu satu kesucian telah lenyap dirampas oleh
kebejatan!
–== 0O0 ==
—
***************
10
PUNCAK
gunung tangkuban perahu. Hari tigabelas bulan duabelas…
Angin
dari utara bertiup kencang, mengalahkan tiupan angin barat yang menghembus
sepoi-sepoi basah. Puncak Gunung Tangkuban Perahu diselimuti kesunyian abadi.
Tapi hari itu agaknya kesunyian abadi itu akan sirna oleh kedatangan
manusia-manusia pembuat perhitungan. Akan pupus di landa dendam kesumat orang
sakti! Kawah gunung yang lebar mengepulkan tiada henti asap tipis berbau
belerang.
Beberapa
puluh kaki dari tepi kawah berderet pohpn-pohon cemara berdaun lebat subur,
menjulang tinggi dan lurus! Saat itu matahari pagi sudah naik tepat antara
titik tertinggi dan titik permulaan terbitnya.
Angin
utara bertiup lagi dengan kencang, Daun-daun pohon cemara melambai-lambai. Dan
diantara kerisikan-kerisikan geseran daun pohon-pohon cemara itu maka
terdengarlah suara siulan yang mengumandangi seluruh puncak Gunung
Tangkubanperahu. Suara siulan itu juga seperti mau menggelegaki kawah belerang
dan menampar-nampar kabut belerang yang meliuk-liuk kepermukaan kawah. Suara
siulan itu tidak teratur, tidak membawakan sebuah lagu atau tembang, nadanya
tak menentu. Namun ketidakteraturan dan ketidakmenentuan itu anehnya bila
didengar dengan seksama akan merupakan suatu lagu aneh bernada ajaib! Suara
siulan itu membuat pendengarnya akan terkatung-katung ke dalam satu dunia
khayal. Tapi di pagi yang menjelang siang itu di puncak Gunung Tangkuban Perahu
itu tak satu orang pun yang ada selain manusia yang mengeluarkan suara siulan
tadi. Dan siapakah manusia ini adanya?
Suara
siulan itu datang dari pohon cemara yang paling tinggi tanda bahwa
manusianyapun berada di sana. Dan manusia ini tiada lain dari pada Wiro
Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mengapa dia sampai berada di
puncak gunung itu adalah sehubungan dengan tantangan musuh lamanya Kalingundil.
Namun pendekar muda itu sampai saat itu tak pernah menyangka bahwa yang bakal
ditemuinya di puncak gunung itu kelak bukan hanya Kalingundil seorang tapi juga
beberapa tokoh dunia persilatan yang terkenal serta sakti!
Wiro
terus juga bersiul-siul sambil sekali-sekali layangkan pandangannya ke seantero
puncak gunung. Sepi dan suasana tenang-tenang saja. Dilayangkannya pandangan ke
kaki dan lereng gunung. Juga segala sesuatunya masih diselimuti kesunyian dan
ketenangan. Dua kali sepeminuman teh lewat. Telinga pendekar 212 yang tajam dan
terlatih baik itu sayup-sayup mendengar suara sesuatu. Segera pemuda ini
hentikan siulannya. Kepalanya diputar ke arah timur puncak gunung dari mana
datangnya suara itu. Masih belum kelihatan apa-apa tapi suara yang didengarnya
tambah nyaring. Beberapa ketika kemudian dari balik gundukan tanah keras tepi
kawah sebelah timur kelihatan muncul kepala seseorang, menyusul dada dan
badannya. Sosok tubuh manusia ini ternyata bukanlah Kalingundil karena
tangannya tidak buntung!
“Lain
yang ditunggu, lain yang datang !” desis Wiro Sableng dalam hati. Kedua matanya
terus memandang tak berkesip pada manusia yang baru datang ini. Orang ini
dilihatnya memandang berkeliling agaknya mencari-cari sesuatu, mungkin mencari
seseorang. Umurnya sudah lanjut. Menurut taksiran Wiro paling rendah lima puluh
tahun. Meskipun tua tapi tubuhnya kekar. Pada pinggangnya kelihatan tersisip
sebilah keris emas. Dari gerak geriknya yang enteng dan tenang Wiro tahu bahwa
orang tua ini pastilah seorang yang menguasai ilmu silat dari tingkat tinggi.
“Mungkin
sekali dia diam di sekitar puncak gunung Tangkuban Perahu atau mungkin pula
kedatangannya ke situ hanya satu kebetulan saja dengan hari di mana aku akan
membuat perhitungan dengan Kalingundil…,” demikianlah Pendekar 212
berpikir-pikir di dalam hatinya. Sementara itu si orang tua tak dikenal
dilihatnya berdiri di tepi kawah memandang ke bawah lalu memutar tubuh dan
menjelajahi seluruh permukaan gunung dengan sepasang matanya yang kecil tetapi
tajam. Kemudian orang tua ini pada akhirnya melangkah ke arah deretan
pohon-pohon cemara dan di sini duduk melepaskan lelah. Wiro maklum kini bahwa
orang tua ini datang ke situ adalah mencari seseorang dan ketika orang itu tak
ditemuinya dia memutuskan untuk menunggu. Karena merasa tak punya urusan dengan
si orang tua. Wiro tetap saja berada di tempatnya, di atas pohon cemara tinggi.
Matahari
bergerak juga menuju ke puncak tertingginya. Wiro masih terus memperhatikan si
orang tua. Mendadak diputarnya kepalanya ke arah selatan. Sesosok tubuh
kelihatan berkelebat. Kedatangan manusia ini boleh dikatakan tidak terdengar
atau tak tertangkap oleh telinga Wiro Sableng. Nyatanya kehebatan ilmu lari dan
ilmu mengentengkan tubuhnya. Apa yang menarik pendekar 212 ialah bahwa manusia
ini bukanlah Kalingundil yang tengah ditunggunya!
Orang ini
berbadan kate. Kepalanya sulah licin dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.
Kedua telapak kakinya bukan saja lebar tapi juga tebal seperti kaki gajah.
Tiba-tiba pendekar 212 ingat akan keterangan gurunya Eyang Sinto Gendeng.
Menurut gurunya itu di puncak Gunung Lawu berdiam seorang tokoh silat utama
bernama Tapak Gadjah. Kehebatan Tapak Gadjah ialah telapak pada sepasang
kakinya yang berbentuk kaki gajah. Jangankan manusia, batupun kalau ditendang
akan hancur lebur. Dan memang pada saat itu Wiro menyaksikan sendiri bagaimana
tanah gunung yang diinjak kedua kaki laki-laki itu meninggalkan bekas amblas
sampai setengah dim!
“Mungkin
sekali manusia ini adalah Tapak Gadjah,” membatin Wiro Sableng. “Tapi kenapa
pula dia jauh-jauh bisa muncul di sini…?”
Selagi
dia membatin begitu rupa Wiro Sableng terkejut pula melihat bagaimana siorang
tua? yang duduk di bawah pohon cemara tiba-tiba berdiri tegak menyambuti kedatangan
simanusia kate! kedua orang itu saling pandang seketika. Sekali melompat maka
si kate sudah berada dua tombak di hadapan si orang tua berkeris emas! Kembali
keduanya saling pandang dan meneliti. Kemudian terdengar suara si kate
membentak.
“Jadi kau
sudah datang duluan pendekar gila Wiro sableng?! Rupanya memang kau betulbetul
ingin mati lekas-lekas!” Kemarahan yang meluap membuat Tapak Gadjah lupa akan
keterangan Kalingundil bahwa Wiro Sableng adalah seorang muda! Bukan saja
siorang tua nampak terkejut dan heran, tapi Pendekar 212 di atas puncak pohon
cemara jedi kernyitkan kulit kening waktu mendengar bentakan si manusia kate
itu !
Sebelum
si orang tua sempat bicara maka si kate sudah bertanya dengan membentak:
“Mampus cara mana yang kau kehendaki Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera
melaksanakannya!”
“Kalau
betul aku berhadapan dengan Tapak Gadjah, tokoh silat terkenal dari Gunung Lawu
saat ini…,” menyahuti si orang tua, “maka dugaanmu meleset sekali!”
Tapak
Gadjah pelototkan mata. “Meleset bagaimana maksudmu?” Dan Tapak Gadjah ingat
akan keterangan Kalingundil. Lalu diajukan pertanyaan: “Apakah kau bukannya
Wiro Sableng si manusia geblek bergelar Pendekar 212 itu…?!”
Si orang
tua gelengkan kepata. “Aku adadalah Wirasokananta, Ketua Perguruan Teratai
Putih di bukit Siharuharu…”
“Ah… tak
disangka datang dari jauh kiranya akan berjumpa dengan tokoh silat ternama,”
Tapak Gadjah pula ramah. Mengingat Wiasokananta adalah tokoh silat dari
golongan putih dating dia sendiri dari golongan hitam maka bertanyalah Tapak
Gadjah: “Gerangan apakah yang membuat Ketua Perguruan Teratai Putih sampai
datang ke sini…”
“Panjang
ceritanya Tapak Gadjah,” menyahuti si orang tua berkeris emas. “Ringkasrrya
adalah untuk mencari den memenuhi undangan seorang manusia bejat bernama Wiro
Sableng bergelar Pendekar 212!”
“’Ah… ah…
ah…! Kalau begitu kita sama-sama datang untuk maksud yang serupa. Dan pastilah
mempunyai tujuan terakhir yang serupa-pula yaitu menamatkan riwayat manusia
terkutuk itu. Bukankah demikin?”
Meskipun
heran bagaimana Tapak Gadjah bias tahu hal itu namun Wirasokananta mengangguk
juga.
“Maksud
sama, tujuan terakhir sama tapi latar belakang tentu lain. Kalau aku boleh
tanya, apakah sebabnya Ketua Perguruan Teratai Putih sampai turun tangan dan
bukan menyuruh anak-anak murid Perguruan…?”
“Semua
murid-muridku musnah di tangan manusia laknat itu! Dua diantaranya diperkosa!”
jawab Wirasokananta. Suaranya bergetar. Kemudian dituturkannyalah apa yang
telah menimpa Perguruan dan murid-muridnya.
Di atas
pohon cemara Pendekar 212 Wiro Sableng pentang telinga buka mata tak berkesip.
Penuturan Wirasokananta tentu saja sangat mengejutkannya.
Semenjak
turun gunung bukan saja dia tidak pernah mendengar nama Perguruan Teratai
Putih, bahkan bertemu muka dengan Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini
pula Ketua Perguruan itu menuturkan bahwa dia –Wiro Sableng –telah melakukan
pembunuhan besar-besaran atas diri murid-murid Perguruan Teratai Putih! Ini
adalah satu hal yang sama sekali tidak benar! Kalau ini bukan satu kekeliruan
tentu ini adalah fitnah. Dan bila ini juga bukan fitnah, apakah yang telah
menyebabkan Wirasokananta merasa yakin bahwa Pendekar 212 lah yang telah
memusnahkan Perguruannya ?
“Nasibmu
dan nasibku rupanya tidak banyak beda Ketua Teratai Putih,” terdengar suara
Tapak Gadjah. “Muridku Suranyali juga kunyuk sedeng itu yang membunuh!”
Kini
tahulah Wiro Sableng. Tapak Gadjah rupanya adalah guru Suranyali alias Mahesa
Birawa ! “Tapi muridmu cuma seorang yang mati di tangannya sedang aku keseluruhannya,”
menjahuti Wirasokananta.
“Yang
penting bukan soal jumlah. Ketua Teratai Putih. Yang penting ialah bahwa kunyuk
sedeng itu seorang manusia bejat yang musti kita lenyapkan dari muka bumi ini!”
Wirasokananta
mengangguk.
Tapak
Gadjah hendak buka mulutnya kembali. Tapi batal karena saat itu sudut matanya
melihat sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka.
“Siapa
lagi yang datang ini…?” membatin Wiro Sableng.
Sedang
sesat kemudian didengarnya suara Tapak Gadjah berkata sambil menjura: “Sungguh
pertemuan yang tak terduga. Tokoh silat dari Gunung Halimun kenapa bisa muncul
di sini…?”
Orang
yang baru datang tertawa lebar. Dia berpakaian kain putih. Rambutnya panjang
diriap seperti perempuan, janggutnya menjela sampai ke perut. Rambut dan
janggut itu berwarna putih dan melambai-lambai tertiup angin.
“Kau
sendiri mengapa bisa nongkrong di sini…?” balik menanya si janggut putih, dia
melirik pada Wirasokananta.
Tapak
Gadjah mula-mula perkenalkan si janggut putih pada Wirasokananta. Ternyata si
janggut putih itu adalah Begawan Sitaraga, seorang sakti dari Gunung Halimun.
Setelah
mendengar penuturan Tapak Gadjah yang juga sekalian menuturkan tentang
Wirasokananta maka Sitaraga tarik nafas dalam dan berkata “Betul-betul tak bisa
diduga kalau kedatangan kita ke sini tiga-tiganya adalah membawa maksud yang
sama! Aku kenal baik dengan Mahesa Birawa. Aku telah berjanji untuk membantu
perjuangannya menghancurkan Pajajaran karena memang aku tejak lama punya
permusuhan dengan itu Kerajaan! Tapi nyatanya Mahesa mendahului aku! Ini
kuketahui dari seorarg anak buahnya yang datang ke tempatku! Rupanya sebelum
pecah perang Mahesa ada mengirim kurir. Kurir itu tertangkap peronda
Pajajaran!”
Kesunyian
menyeling seketika. Di atas pohon camera Wiro Sableng masih tak bergerak di
tempatnya. Dengan munculnya ketiga orang itu dan dengan penuturan masingmasing
mereka Wiro kini bisa menjajaki bahwa ada sesuatu yang tak bares. Dan ketidak
beresan ini ditimpakan kepadanya. Siapa yang menjadi dalang ketidakberesan ini
tak susah untuk diterka yaitu Kalingundil ! Tapi Kalingundil sendiri ke mana
mana? Yakin bahwa bukan hanya tiga orang itu saja yang bakal muncul maka Wiro
memutuskan untuk menunggu. Dugaannya rnemang betul. Lewat sepeminum teh maka
dari jurusan barat kelihatanlah dua soaok tubuh berlari cepat laksana angina!
Yang satu bertangan buntung dan segera dikenali oleh Wiro Sableng sebagai
Kalingundil adanya. Yang seorang lagi pendekar 212 lupa-lupa ingat. Tapi
metihat angka 212 pada keningnya Wiro baru ingat bahwa manusia ini adalah Tapak
Luwing, kepala komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel yang tempo hari bertempur
melawannya tapi kemudian dilarikan oleh Kalingundil!
Begitu
sampai dihadapan Tapak Gadjah, Wirasokananta dan Begawan Sitaraga keduanya
segera menjura. Kalingundil memandang berkeliling. “Harap maafkan kalau kami
datang agak terlambat”. Dia memandang lagi berkeliling. Orang-orang yang
diundangnya sudah lengkap. “Pendekar gila itu masih belum muncul!”
Tapak
Luwing berdehem. “Aku mempunyai firasat bahwa itu manusia tak bernyali untuk
datang antarkan nyawa kemari!”
“Kalau
dia berani menantang, dia berani datang,” menyahuti Kalingundil.
“Kita
tunggu saja,” buka suara Begawan Sitaraga.
“Dan
kalaupun nanti ternyata silaknat itu tidak muncul, ke pintu nerakapun aku akan
cari dia!” berkata Ketua Perguruan Teratai Putih.
Gembira
sekali Kalingundil mendengar katakata Wirasokananta itu. Nyatalah bagaimana
dendam kesumat si orang tua terhadap Wiro Sableng.
Sementara
itu dari atas pohon cemara pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan ke bawah
dengan seksama. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa segala sesuatunya sampai
tiga tokoh silat utama itu berada di sana adalah Kalingundil yang punya
rencana. Lima orang yang akan dihadapinya. Kalingundil dan Tapak Luwing sudah
bisa dijajakinya ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi bagaimana dengan tiga
orang lainnya? Sanggupkah dia menghadapi mereka berlima sekaligus? Pendekar 212
diam-diam tarik nafas dalam. Dia memandang ke langit. Matahari sudah sampai ke
puncak tertingginya. Apakah dia segera unjukkan diri atau menunggu sampai saat
yang dirasakannya tepat?
Di saat
itu di bawah didengamya suara Tapak Gadjah berkata: “Aku masih belum yakin
kalau kunyuk ingusan itu benar-benar murid Sinto Gendeng. Itu nenek-nenek
keriput sudah sejak lama minggat dari dunia persilatan…!”
Panaslah
hati Wiro Sableng mendenger gurunya, disebut demikian rupa. Tiada terasakan
lagi, didorong oleh naluri yang telah membuat dia menjadi bisa maka keluarlah
suara siulan dari sela bibirnya.
Lima
manusia di bawah pohon terkejut dan.menengadah ke atas.
“Kurang
ajar, rupanya kunyuk sedeng itu sudah lama mendekam di atas!,” maki
Kalingundil.
“Pendekar
gila turunlah untuk terima mampus!” teriak Wirasokananta.
Pendekar
212 tertawa bergelak. “Ketua Perguruan Teratai Putih, aku kasihan pada kau!
Tidak tahu bahwa kau telah kena dikelabui oleh manusia tangan buntung itu!”
Kalingundil
cepat membentak. “Agaknya kau memilih kematian di atas pohon itu. Wiro
Sableng?! Memang pohon itu cukup tinggi untuk mempercepat roh busukmu terbang
ke neraka!”
Wiro
tertawa lagi seperti tadi.
“Biar aku
paksakan dia turun !” buka mulut Tapak Luwing. Tangan kanannya bergerak. Maka
tiga pisau terbang beracun melesat ke puncak pohon cemara di mana pendekar 212
herada !
***
TAPAK Luwing! Kalau merasa sudah berilmu tinggi, biar kukembalikan pisaumu!” teriak Wiro dari atas pohon.
Sesaat
sesudah dia berkata begitu maka menderulah angin deras. Tiga pisau terbang
kembali ke bawah menyerang pemiliknya sendiri!
Dua buah
masih sanggup dielakkan oleh Tapak Luwing tapi yang ketiga sangat cepat sekali
meleset ke arah batok kepalanya.
“Awas!”
seru Begawan Sitaraga. Sekali dia lambaikan tangan maka mentallah pisau itu dan
Tapak Luwing yang diam-diam keluarkan. keringat dingin terlepaslah dari bahaya
kematian!
Wiro
Sableng kini tertawa membahak. “Kau terlalu bodoh untuk ikut-ikutan datang ke
mari Tapak Luwing ! Seharusnya saat ini kau cuci kaki dan pergi tidur!”
Saat itu
Wirasokananta tak dapat lagi menahan kesabarannya. Dengan tangan kanan dipukulnya
batang pohon cemara.
“Kraaak!”
Pohon itu
tumbang.
Wiro
melompat ke samping dan melayang ke bawah dengan gerakan enteng. Sambil
melayang itu dia berkata: “Musuh penantang cuma satu, mengapa sekarang bisa
jadi lima? Apakah kau bisa beranak, Kalingundil?” Lalu pada tiga tokoh silat
utama itu Wiro berseru: “Kalian sudah tua bangka masih saja mau derigan urusan
dunia dan nafsu membunuh! Apa tidak malu kena dihasut oleh kunyuk tangan
buntung itu?”
“Jangan
banyak bacot manusia gelo! Ajalmu hanya tinggal sekejapan mata saja!” bentak
Tapak Gadjah. Dia maju ke muka dan kirimkan tendangan kaki kanan di saat
Pendekar 212 masih juga belum menjejakkan kaki di tanah!
Angin
tendangan kerasnya bukan main. Debu beterbangan. Untuk menjajaki sampai kemana
kehebatan tenaga dalam lawan Wiro sengaja tidak mengelak tapi memapasi serangan
tersebut dengan lancarkan pukulan “kunyuk melernpar buah”. Ketika dua angin
pukulan itu beradu terkejutlah Tapak Gadjah! Kedua kakinya melesak sampai tiga
senti ke tanah sedang angin tendangannya yang sanggup menghancurkan batu itu
buyar! Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di bawahnya!
Dengan
membuat dua kali jungkir balik di udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro sudah
berdiri di atas kedua kakinya. Lima manusia dihadapannya segera mengurung.
“Kalian
kunyuk-kunyuk tua bangka apa tidak malu main keroyok begini rupa?!” Pendekar
212 masih sanggup bertanya sambil sunggingkan senyum mengejek.
“Seekor
anjing kurap macam kau sudah terlalu pantas untuk dijagal bersama-sama!”
menyahuti Wirasokananta.
“Ah, kau
orang tua… Rupanya masih belum tahu kalau dikelabui orang lain! Demi kebenaran
aku sama sekali tak pernah mendatangi Perguruanmu. Apa yang terjadi di
Perguruanmu aku tidak tahu menahu. Itu semua adalah fitnah. Seseorang lain yang
bertanggung jawab. Kurasa manusianya adalah si tangan buntung ini!,” Wiro
menuding ke arah Kalingundil.
“Ha… ha!
Bukan saatnya untuk cuci tangan pendekar gila!” seru kalingundil seraya
main-mainkan pedang buntung di tangan kirinya. “Tak perlu kambing hitamkan
orang lain! Tak perlu lempar batu sembunyi tangan….!”
“Aku
memsng tak mengambinghitamkan kau orang buntung. Tapi eoba berkaca di cermin
Begawan Sitaraga, kau akan melihat bagaimana tampangmu memang persis seperti
kambing!”.
Merah
padam muka Kalingundil.
Wiro
tertawa mengekeh.
Begawan
Sitaraga yang merasa dihina segera maju ke muka. “Sobat-sobat, tak perlu bicara
panjang lebar dengan orang sedeng ini! Mari kita kermus dia!”. Habis berkata
begitu Sitaraga gerakkan tangannya. Sinar putih yang panas dan menyilaukan
menyambar ke arah muka Wiro Sableng. Begitu matanya tersambar sinar tersebut
gelaplah pemandangan pendekar 212.
“Celaka!”
kata Wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dialirkan ke kepala dan dia melompat
cepat ke salah satu pohon cemara untuk berlindung dari serangan lawan.
Tapak
Gajah juga tidak berdiam diri. Tendangannya menggebubu. Pohon cemara patah dah
disaat itu Wiro sudah berpindah ke tempat lain. Dengan mata masih terpejam dia
putar kedua tangannya di udara. Maka menderulah angin pukulan “benteng topan
melanda samudera”. Meski pukulan ini hanya mempergunakan sebagian tenaga dalam
karena yang sebagian masih tetap dialirkan ke muka tapi kehebatannya cukup
membuat lima penyerang hindarkan diri ke samping. Ketika matanya dibuka kembali
maka pemandangannya sudah terang seperti semula.
Begawan
Sitaraga terkejut ketika melihat kedua mata lawannya tidak menjadi buta oleh
kilapan sinar cerminnya. Di lain pihak Wiro menganggap bahwa senjata yang
paling berbahaya di antara penyerang-penyerangnya ialah cermin di tangan
Sitaraga itu. Maka dia memutuskan untuk menghancurkan senjata itu terlebih
dahulu.
Namun
dikurung lima begitu rupa tidak mudah bagi Wiro Sableng untuk melaksanakan
niatnya. Serangan lima tawan bertubi-tubi. Setiap dia coba untuk menghancurkan
senjata di tangan Sitaraga maka pedang Kalingundil atau golok Tapak Luwing atau
keris emas ataupun tendangan Tapak Gajah datang pula menyerangnya, kadangkala
berbarengan sekaligus! Dengan bergerak gesit, dengan lancarkan
seranganserangan balasan, dengan hanya bertangan kosong itu, pendekar 212 cuma
sanggup bertahan sampai duabelas jurus. Jurus-jurus selanjutnya dia didesak
hebat Golok besar empat peregi berkali-kali membabat ke arah dada dan perutnya.
Sinar biru Pedang Siluman di tangan Kalingundil tiada henti berkiblat ke
sekujur tubuhnya sedang keris emas Wirosokananta laksana hujan mengirimkan
tusukan-tusukan mematikan. Dan di antara itu tendangantendangan Tapak Gajah
tiada terkirakan ditambah yang paling berbahaya cermin di tangan Sitaraga
berkata-kali menyambar kemukanya, masih untung sanggup dialakkannya!
Jurus
kelima belas murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak ke tepi kawah. Sinar cermin
menyambar kemukanya. Di saat itu pula tendangan Tapak Gajah menyeruak ke arah
selangkangan. Dari atas menderu Pedang Siluman Biru, keris emas menikam ke dada
dan golok besar Tapak Luwing menggebubu ke perut!
“Tamatlah
riwayatmu pemuda gila!” teriak Kalingundil.
“Jangan
lupa sampaikan salamku pada setan-setan neraka!” menimpali Wirasokananta.
“Bret”!
Ujung
Pedang Siluman Biru menyambar lewat dada, merobek pakaian pendekar 212!
“Sialan!”
maki Wiro Sableng.
“Memakilah
sekenyangmu setan alas! Setan-setan neraka memang paling suka pada
manusia-manusia tukang maki macammu!” teriak Kalingundil.
Wiro
Sableng kertakkan geraham. Kedua pipinya menggembung. Sedetik kemudian
meledaklah bentakan yang keras, demikian kerasnya sehingga menggema sampai ke
dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu! Tubuh pendekar 212 lenyap! Serentak dengan
itu terdengarlah suara siulan yang melengking-lengking. Dan di antara
lengkingan siulan itu menderu suara laksana ratusan tawon, mendengung menyamaki
liang telinga! Sinar putih bergulung-gulung! Lima penyerang tersurut mundur.
“Kapak
Naga Geni!” seru Begawan Sitaraga ketiga melihat senjata di tangan Wiro
Sableng. Belum lagi habis gaung seruannya itu sudah menyusul suara jeritan
setinggi langit.
Satu
tubuh angsrok terpelanting di tanah mandi darah, kepala terbelah dua! Korban
Maut Naga Geni 212 yang pertama itu ialah Tapak Luwing!
“Kurung
biar rapat!” teriak Tapak Gajah. Dia melompat tinggi. Kedua kakinya menendang
susul menyusul. Dua senjata lainnya menderu pula ke arah Wiro Sableng.
“Ketua
Perguruan Teratai Putih!” berseru pendekar 212. “Antara kau dan aku tak ada
permusuhan. Sebaiknya undurkan diri saja!”
“Jangan
bicara melangit pemuda sedeng! Delapan arwah muridku minta roh busukmu!”.
Wirasokananta percepat tusukan kerisnya. Maka keris emas, Pedang Siluman Biru
dan Kapak Naga Geni 212 beradu dengan mengeluarkan suara nyaring.
Wirasokananta
berseru kaget. Tangannya tergetar hebat dan pedas panas. Keris saktinya
terlepas mental. Cepat-cepat Ketua Perguruan Teratai Putih ini melompat mundur.
Kalingundil sendiri tak kalah kagetnya. Bagian yang tajam dari pedang
buntungnya gompal sedang tangannya menjadi seperti kaku. Kalau tidak sinar
cermin Sitaraga menyambar ke arah lawan pastilah Kapak Maut Naga Geni 212
membabat perutnya. Kalingundil keluarkan keringat dingin!
Suara
siulan Pendekar 212 kini sekali-sekali diselingi oleh suara tawa mengekeh! Tubuhnya
hampir tak kelihatan lagi. Kapak Naga Geni mengaung mencari maut. Keempat lawan
menjadi sibuk. Merasa mulai terdesak, Tapak Gadjah segera keruk saku
pakaiannya. Tanpa memberi peringatan lagi tokoh silat ini segera lepaskan
seratus senjata rahasia yang berupa jarum-jarum hitam ke arah Wiro Sableng.
Tapi angin putaran Kapak Naga Geni yang ampuh sekaligus meluruhkan jarum-jarum
beracun itu. Malahan Tapak Gajah dan kawankawan menjadi sibuk karena harus
mengelakkan jarum-jarum hitam yang terdorong berbalik menyerang mereka sendiri!
“He..
he.. he..,” Pendekar 212 tertawa mengekeh. “Wirasokananta, untuk penghabisan
kali aku kasih peringatan padamu. Mundur atau mampus dengan percuma!”.
Ketua
Perguruan Teratai Putih menjadi bimbang. Dia membatin “Adakah seorang musuh
yang sehebat ini sampai memberi dua kali peringatan kepadaku?”.
“Wirasokananta
jangan bodoh!” teriak Kalingundil. “Manusia yang telah membunuh delapan
muridmu, ape hendak kau lepaskan begitu sa… akh…..”
Kata-kata
Kalingundil tak sampai pada ujungnya. Salah satu dari mata kapak di tangan Wiro
Sableng membabat putus lengan kirinya. Tangan dan pedang buntung mental masuk
kawah. Darah muncrat. Laki-laki ini terhuyung ke belakang kesakitan. Akhirnya
ketika dia kehabisan darah nafasnya megap-megap dan dia jatuh menelentang di
tanah tapi belum mati!
Tapak
Gajah dan Begawan Sitaraga tertegun seketika. Namun sesaat kemudian serentak
pula keduanya menyerang sebat. Serangan ini disambut dengan siutan dan tawa
mengejek oleh Wiro Sabteng. “Kalian berdua adalah tokoh-tokoh silat dari
golongan hitam! Manusia-manusia macam kalian pantas menjadi umpan cacing di
liang neraka!”.
Pendekar
212 putar kapaknya.
“Buyar!”
Cermin di
tangan Sitaraga pecah berhamburan. Begawan itu keluarkan seruan tertahan dan
memandang senjatanya yang hancur dengan rasa tak percaya.
“Begawan
awas!” teriak Tapak Gajah. Tapi terlambat!
Kapak
Maut Naga Geni 212 datangnya tiada sanggup lagi untuk dielakkan.
“Crras”!
Putuslah
leher Begawan Sitaraga. Darah seperti air mancur muncrat ke udara. Kepala yang
buntung mengelinding seperti bola terus masuk ke dalam kawah Gunung Tangkuban
Perahu!
Melihat
kematian sobatnya ini, si kate kepala sulah Tapak Gajah menciut nyalinya! Tanpa
buang waktu dia segera putar tubuh.
“Eit
orang kate, mau minggat ke mana?!” Wiro Sableng berseru. “Ayo berhenti!”.
Tapi mana
Tapak Gajah mau berhenti. Malahan ini manusia tancap gas dan lari lintang
pukang. Wiro menyeringai. Tangan kanannya bergerak menekan bagian dekat hulu
kapak yang berbentuk kepala naga-nagaan. Maka mengaunglah 212 batang jarum
putih beracun ke arah Tapak Gajah. Tapak Gajah coba melompat ke samping namun
dia kurang cepat. Hampir keseluruhan jarum-jarum putih itu menembus daging
tubuhnya. Tapak Gajah meraung setinggi langit! Begitu racun jarum merembas
jantungnya maka tubuhnya kelojotan seketika lalu menggeletak di tanah tanpa
bergerak lagi!
Wirasokananta
leletkan lidah melihat kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu tengkuknya
merinding karena ngeri! Sedang ketika dia berpaling pada pendekar itu,
dilihatnya Wiro Sableng berdiri sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Wiro tarik nafas dalam lalu putar tubuh dan memandang pada Wirasokananta.
“Ketua Perguruan Teratai Putih,” katanya. “Kenyataan yang kita tidak saksikan
dengan mata kepala sendiri adalah terlalu sukar untuk dipercaya. Demikian juga
dengan peristiwa di perguruanmu.
Sama
sekali tak ada sangkut pautnya denganku! Aku yakin manusia inilah yang jadi
biang racun!”.
Wiro
mendekati Kalingundil yang tengah megap-megap. Dari dalam sakunya
dikeluarkannya sebuah pil. Dia senyum-senyum dan menimang-nimang obat itu. “Kau
masih inginkan hidup Kalingundil?” tanyanya.
Kalingundil
diam saja.
“Obat ini
bisa menyembuhkan lukamu dan memunahkan racun Kapak Naga Geni yang mengalir di
darahmu. Aku akan berikan kepadamu jika kau menerangkan dan mengaku bahwa
kaulah yang telah membunuh delapan anak murid Perguruan Teratai Putih…”.
Kalingundil
masih diam.
“Kau tak
mau hidup….. ?”.
Kalingundil
memandang dengan matanya yang berbinar-binar pada pil di tangan Wiro. Dalam
diri setiap manusia yang tengah meregang nyawa akan selalu datang harapan untuk
dapat terus hidup. Demikian juga dengan Kalingundil.
“Masukkan
dulu pil itu ke dalam mulutku,” katanya.
Wiro
memasukkan obat itu ke dalam mulut Kalingundil dan Kalingundil cepat-cepat
menelannya. “Sekarang terangkan cepat!”.
Kalingundil
buka mulut mengakui apa-apa yang telah diperbuatnya terhadap Perguruan Teratai
Putih. Akan Wirasokananta begitu mendengar penuturan tersebut, tak dapat lagi
menahan luapan amarahnya. Tanpa banyak cerita dengan kaki kanan ditendangnya
Kalingundil. Demikian kerasnya sehingga tak ampun lagi tubuh Kalingundil
mencelat beberapa tombak ke udara dan malang baginya tubuhnya terlempar tepat
ke kawah. Masih terdengar jeritan laki-laki itu menggaung ketika tubuhnya
melayang ke bawah sebelum amblas di dalam kawah belerang!
Sekali
lagi pendekar 212 hela nafas dalam dan berpaling pada Wirasokananta. Satu
senyum terlukis di bibir pendekar muda itu. Ketua Teratai Putih belas
tersenyum.
“Orang
muda, apakah kau betul-betul muridnya Sinto Gendeng?”.
“Ah….
murid siapapun aku butan menjadi soal, Ketua Perguruan Teratai Purih” menyahuti
Pendekar 212. “Orang-orang mencap aku pemuda edan, sinting, gila, geblek…
Kurasa memang suatu ketika kegilaan itu ada perlunya. Hanya manusia-rnanusia
gila semacam kita inilah yang sanggup membunuh manusia-manusia bejat dan
menghancurkan kebejatan. Coba saja kau pikir mana ada manusia waras mau
membunuh sesama manusia…?”.
Wirasokananta
tertawa. “Ucapanmu benar juga, pendekar,” katanya.
Wiro
mendongak ke langit. “Ah, matahari sudah tinggi. Banyak urusan baru yang
menunggu kita. Ketua Perguruan Teratai Putih, pertemuan kita hanya sampai di
sini. Aku senang bisa berkenalan dengan kau. Semoga kita bisa jumpa lagi….”.
“Pendekar
212, tunggu dulu…!” seru Wirasokananta. Tapi percuma saja. Sang pendekar saat
itu sudah berkelebat dan lenyap! Wirasokananta goleng-goleng kepala. “Pemuda
hebat sikapnya seperti betul-betul gila tapi hatinya polos, ilmunya……. ah, aku
yang sudah tua ini mungkin tak pernah bisa mencapai ilmu setinggi yang
dimilikinya. Belum lagi sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah lenyap…”
Wirasokananta
memandang ke dasar kawah lalu mengikuti jejak Wiro Sableng meninggalkan tempat
itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment