WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode : EMPAT BEREWOK DARI GOA
SANGGRENG
**********
1
Di bawah terik panasnya matahari
di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan gersang. Debu pasir di
pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup pemandangan beberapa
saat lamanya.
Suara siulan aneh yang
melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di
ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan
angin gersang yang datang dari pedataran. Tiba-tiba sekali suara siulan aneh
ini terhenti! Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di
seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada
di puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya
menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya.
Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya
kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut
gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan
aneh tadi itu!….
Si pemuda sendiri kejutnya bukan
kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahutahu sudah ada orang lain yang
inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi.
Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan
tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan
hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke
atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus
berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku! Gelak
mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga
dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa
itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya. Hatinya penasaran sekali. Sambil
garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju
lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit,
mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari
atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun
pohon yang lebarlebar dan lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak
pemuda itu:
“Kalau berani buka urusan, berani
unjuk diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya
ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa
itu. Ranting dan cabang berpatahan. Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata
saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas
gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang
laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya
tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas
berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah
bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu
masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu
itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi
yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon! Pukulan tangan
kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau
tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon.
Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya
saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak
pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa,
seakan-akan tak ada terjadi apa-apa! Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk
bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut
putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu
dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat
puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan
persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk
maksudmaksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk
menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda.
Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke
puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau aku tidak salah lihat
bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia
persilatan yang digelari Dewa Tuak?” Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya
sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi.
“Orang muda! Matamu sangat tajam
dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau
terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari
Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari
“kahyangan”. Memang soal rasa dan
harumnya tuak itu sukar dicari tandingan. Si pemuda tersenyum.
“Orang tua, kau baik sekali. Hari
ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima
undanganmu…. Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat
kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan
penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang
muda,” jawab Dewa Tuak pula.
“Aku sudah lihat kau sejak dari
ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di
hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum..
.?” Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia
menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak
pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan
kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke
puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak
beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu
sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,”
kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang
pohon.
“He… he… he…,” Dewa Tuak girang
sekali.
“Memang tak ada ruginya menerima
undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa
kau tihat dengan jelas!” Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat
melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah
satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak
muda?”. Si pemuda itu menjawab.
“Pernah juga”. Padahal seumur
hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman
yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak
sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura
menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan
minum!”. Dewa Tuak memperbasakan:
“Kau harus tahu, tuakku tuak
murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding
dari pohon ini!” Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung
bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya
menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali,
orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“ Dewa Tuak tertawa
senang.
“Kau ini datang dari mana, anak
muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu…”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak
rampok…,” kata Dewa Tuak pula.
“Dan rampoknya orang situ-situ
juga” Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu
kenapa dia tidak turun tangan? Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh
si pemuda. Lantas dia berkata:
“Aku malas dan bosan dengan
urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi
di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib
mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…”
Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si
pemuda:
“Dewa Tuak, apakah pohon besar
ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku
yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini!
Dan aku harus haturkan maaf kepadamu… !” Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai
tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu.
Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh
muridku!” Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik
pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira,
mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini
terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak
harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya
kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak.
Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk
meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih
belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum
kau lihat. Kenapa musti kesusu?”. Si pemuda tersenyum.
“Kurasa sudah cukup. Di lain hari
jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta
suguhan tuakmu yang enak itu…”. Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung.
Ditepuknya bahu pemuda itu.
“Kau tak boleh pergi anak muda.
Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita
turun!”. Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah
laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera
lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat:
“Lain kali kita bertemu lagi,
Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!” Tapi baru saja si pemuda berlalu
beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali.
Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah
yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang
kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku… Mari…” Kalau bukan
berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki.
Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda:
“Dewa tuak, kita baru saja
berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas
dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain
orang yang lebih pantas!” Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera
halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda
bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa
Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan
Suara suitan aneh. Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan
nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras
gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri.
Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana…?” Paras si pemuda jengah sekali. Gadis
baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir
menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa
Tuak,” kata si pemuda.
“Tapi tampangku yang terlalu
buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa
Tuak. Selamat tinggal!” Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera
yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan
malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru:
“Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau
masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan
dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang
tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke
belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan,
terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas
karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin
memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak” Tak ampun lagi pohon
raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di
seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang… sayang…,” katanya.
“Sayang aku tak dapatkan itu
pemuda…”. Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua
ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi
akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka
212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi
pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung. Tiga
deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun
yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu
golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia
persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang
menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya
pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti
munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar:
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212…”! Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat
kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak
dapat jangan kembali kepertapaan…”
“Tapi guru…”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini!
Kejar pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan
hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!”
Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat
itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang
pohon!
– == 0O0 == -
**********
2
Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam. Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas. Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar
lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat mata si pemuda
berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat kemunculan
seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya buntung. Anggota
badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu dari lengan
menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar matahari di
ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni.
Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si
pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi
tertutup berewok. Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah
seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi
mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat ketempat tujuannya.
Mungkin juga sudah sampai. Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker
berewok juga memandang pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh
tidak buka suara. Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura
hormat sedikit.
“Orang tua, aku yang muda ini mau
tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”. Orang yang ditanya kerutkan
kening.
“Bocah gondrong, apakah kau yang
dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?!”. Pemuda yang berada di bawah
batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok bermuka angker ini?
Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh yang telah
mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku merasa tak ada orang yang
menjuluk demikian, orang tua…!,” menyahuti si pemuda yang tak lain dari Wiro
Sableng adanya. . Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu.
Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada
dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciriciri yang diterangkan muridnya tentang
pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi. Kali ini suara
suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh
berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya
sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin
bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari
bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali
menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah Wiro. Tiba-tiba mengumandanglah
tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ seperti dirobek oleh
suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di tangan kirinya
ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur
menjadi pasir! Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang
tajam pada Wiro Sableng.
“Kalau kau bukan Pendekar 212
palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng…: Ah, kiranya kau tak ubah seperti
bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan
keblinger…!”
“Jaga mulutmu, orang tua!,”
bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diamdiam dia juga heran kalau si
muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada umur mungkin
kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu tertawa
lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku Bergola Wungu bicara
terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya kau hanya
kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin mengajaknya
bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru
besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih pantas
ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku
ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!” Panas hati Wiro Sableng tiada
terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam pembuluhnya.
“Orang tua!,” serunya.
“Bicaramu terlalu sombong! Apakah
kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa
manusia itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil berlumut…?!” Si berewok
kaki buntung tertawa dingin.
“Barangkali kau belum tahu
kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak
oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu
kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?” Wiro Sableng keluarkan suara
mendengus dari hidung.
“Kadangkala manusia keliwat
pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!,” sahutnya.
“Tapi tak apa… aku tak ada urusan
dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”. Si orang tua tertawa
berkekeh.
“Jangan sebut soal tak ada
urusan, geblek! Muridku mati tiga orang…”
“Bukan aku yang bunuh…!”.
“Tapi kau turut bertanggung
jawab!” Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro.”Di depan
hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah datang untuk
menerima tantanganmu!” Bergola Wungu tertawa mengejek.
“Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro!
Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren betul kau Bergola! Manusia
kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak
kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas jadi kepala
rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku jadi
kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”
Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup
rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia. Maka
berkatalah si berewok tua kaki buntung.
“Bocah 212, karena kau bicara
begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua
ingin sekali bertukar pengalaman!”. Wiro Sableng tertawa-tawa.
“Kau yang sebenarnya congkak
orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk
melakukan pertempuran? Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar
pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan….” Wiro gosok-gosokkan telapak
tangannya satu sama lain
“Tapi aku ingin tahu nama dan
siapa kau lebih dahulu.:..”. Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang
menggetarkan seantero daerah batu karang itu.
“Aku adalah penghuni Gua
Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan!
Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku… akulah yang bernama
Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.
Tentu saja Wiro Sableng terkejut
mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki buntung itu karena dari
gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu tokoh persilatan
sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya cukup tenar
tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat). Namun
demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa
bergelak:
“Julukanmu hebat juga, orang tua!
Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan berbau busuk bila
ke luar dari pantat!” Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang
ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini…!”.
“Wuuuuuutt”! Tongkat birunya
disapukan ke bawah! –
– == 0O0 == -
*********
3
Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh! Hal yang hebat sekali terjadilah. Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncakpuncak, karang bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro Sableng telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga sesaat tubuhnya menjadi limbung huyung! Bladra Wikuyana terbeliak kaget. Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro Sableng ditihatnya masih berdiri utuh! Maka berserulah Bladra Wikuyana:
“Orang muda! Ilmumu cukup bagus
untuk diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!” Habis berkata
begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru dan murid
itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng. Si pemuda garuk kepala.
“Tongkat itu hebat sekali!,”
katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri
ke atas puncak karang yang tingginya puluhan tombak itu. Puncak karang itu
ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas rendahan
pastilah kakinya akan tergelincir! Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke
mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan
Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu
Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali
demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu
lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali! Wiro berdiri di tepi
jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang
itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra
Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro
melihat sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia
menuju ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian
dengan cepat menuruni tangga tali. Bagian bawah jurang batu itu hampir
merupakan pedataran batu yang sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada
Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema suara suitan dari
arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro segera
menuju ke Barat! Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak
lama menguntit Wiro Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani
terus ikut menuruni tangga tali itu. Wiro berdiri di balik sebuah batu karang
berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu karang itu bisa menjadi tameng baginya
dari musuh yang menyerang dengan diam-diam. Dari balik batu berbentuk pilar ini
dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu besar yang sangat rendah
maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua besar. Kemudian
didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini
disambut oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua. Pemuda ini menunggu
dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam
gua itu? Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu
dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng? Tiba-tiba terdengar suara suitan
yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke
luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak
dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada
pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya
dengan milik Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan
panjang mulai dari mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian
muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola Wungu.
“Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak
usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,” seru Bladra Wikuyana. Pemuda itu
segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di ujung
pelataran.
“Angin Topan Dari Barat!
Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau pertunjukkan kepadaku?!” Bladra
Wikuyana tertawa hambar.
“Dasar manusia tolol! Ajal sudah
di depan mata masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang
sudah masuk ke mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti mampus di
sini?!”. Wiro Sableng menyengir. Katanya:
“Kalau begitu kalian semua di
sini juga samasama ikut mampus dengan aku!”. Kembali Bladra Wikuyana tertawa
hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga tali,”
perintahnya. Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan
tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik.
“Tangga tali telah diturunkan
berarti umurmu semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin hidup terus…”
“Apa?” tanya Wiro Sableng
kepingin tahu.
“Berlutut minta ampun di
hadapanku dan bergabung denganku!”. Wiro Sableng tertawa meledak.
“Muridmu Bergola Wungu menantang
aku datang kemari untuk bertempur! Tahutahu kini diajak bergabung, disuruh
berlutut malah! Enak betul bikin aturan…!”
“Kalau begitu kau datang ke sini
betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra Wikuyana pula. Habis berkata
begini dia bertepuk tangan satu kali.
“Bereskan dia dengan gebrakan
enam tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra Wikuyana dengan geram sekali. Maka
enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan tongkat di
tangan.
“Ketahuilah:..” kata Bladra
Wikuyana pula.
“Yang akan kalian hajar itu
adalah seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Mulai!” Bladra Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit keras dan
dengan serentak menyerang Wiro Sableng! Enam larik sinar biru mengambang di
udara kian ke mari dalam gerakan yang sangat tak menentu, mengeluarkan suara
bersiuran dan kesemuanya menyerang pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat
ke udara dan berteriak:
“Angin Topan Dari Barat! Kerapa
anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju? Apa kau tidak
punya nyali?!”. Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak:
“Kalau kau ada urusan dengan
salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng…!”
Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan
menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus: Belut Menyusup
Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran
batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
“Tolol,” makl Bladra Wikuyana
pada murid-murudnya:
“Aku beri kesempatan tiga jurus
lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti mundur
dan terima hukuman!”. Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang
dikeluarkan enam murid Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan
Pendekar 212. Kini karena takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya
segera putar tongkat dengan sebat dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian
tubuh Wiro Sableng!
“Ciaaat!” Bentakan dahsyat
menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu tengkuk anak-anak murid
Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh kedahsyatan bentakan tadi
tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini berdiri kaku tegang di
tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok lawan. Sedang
Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul! Rasa
tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya
merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke
muka. Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin
topan dashyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya
dari totokan! Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata
pada Bergola Wungu:
“Kau majulah, pimpin semua
muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!”. Mendengar ini
Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang dan bersuit
keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian
hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang
memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut
lingkaran pasang surut, mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang
mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak kemik dan sambil
bersiul-siul. Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan
lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar
berputar ke kanan. Mula-mula lambat pelahan kemudian makin lama makin kencang,
makin kencang sampai tubuh kedua puluh empat. manusia berpakaian hitam itu
tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang menutupi pelataran
menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan kawankawannya
tiada henti berteriak melengking-lengking. Karena putaran dua barisan lingkaran
itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking pekik hiruk pikuk
yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua pandangan mata
Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun beberapa
jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut
mendekatinya! Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan
lantang menyerbu dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah
lingkaran. Serangan ini datangnya secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro
Sableng dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul seperti orang lupa diri!
– == 0O0 == -
**********
4
Dia hanya merasakan datangnya sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepat-cepat menggeser kaki ke muka, bergerak ke samping dan sambil bungkukkan diri balikkan badan! Golok panjang Bergola Wungu lewat satu setengah jengkal di atas kepalanya, mengibarkan rambutnya yang gondrong!
“Dasar pengecut! Sudah main
keroyok menyerang dari belakang!,” bentak Wiro Sableng. Kedua tangannya
bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun hampir hal itu terlaksana,
tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua lengannya.
“Sialan!” maki Pendekar 212 dan
terpaksa tarik pulang tangannya sambil hantamkan kaki membabat ke arah beberapa
orang pengeroyok dari barisan sebelah muka. Mereka yang diserang tendangan kaki
anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari belakang menyeruak
kawan-kawan mereka dari barisan kedua, dan menangkis tendangan Wiro Sableng.
Sejurus kemudian barisan muka kembali menyerang dengan dua belas tongkat biru
mengarah pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng! Sementara itu dari atas
laksana alap-alap golok Bergola Wungu kembati membabat! Ini lah kehebatannya
lingkaran pasang surut! Ciptaan Bladra Wikuyana! Dua tahun dia melatih
murid-muridnya untuk betul-betul memahami jurus tersebut. Meski belum begitu
sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil senyumsenyum dia berdiri
menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh Wiro Sableng terpancung
belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar pekik kematian pemuda itu!
Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang nyawa di tengah
pelataran itu! Tiada terdengar pekik kematian Wiro Sableng! Dengan kecepatan
luar biasa yang tiada terlihat oleh mata Bladra Wikuyana maka tahu-tahu Wiro
Sableng sudah berada di luar serangan anakanak muridnya, berdiri dengan tenang
dan kembali bersiul-siul! Sebenamya pemuda bermata tajam ini sudah dapat
melihat di mana letak kelemahan barisan lingkaran pasang surut yang mengeroyoknya
saat itu. Dengan merobohkan dua atau tiga orang pengeroyok dari salah satu
barisan maka pastilah lingkaran pasang surut itu akan menjadi kacau balau! Bisa
juga sebagian atau seluruh pengeroyoknya ditumpasnya dengan hantaman pukulan
angin puyuh atau dinding angin berhembus tindih menindih! Tapi ini pemuda
inginkan cara lain yang lebih disukainya sendiri. Maka berserulah Pendekar 212.
“Angin Topan Dari Barat! Apakah
kau pernah iihat manusia dipakai jadi senjata untuk menyerang manusia…?!”
“Bocah gila! Jangan banyak bacot!
Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak ciutkan lingkaran dalam sepertiga
jurus!,” teriak Bladra Wikuyana dengan penasaran sekali. Siulan Pendekar 212
tiba-tiba lenyap berganti dengan suara tertawa aneh yang menegakkan bulu tengkuk.
Tubuhnya berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula Bergola Wungu merasakan
kedua pergelangan kakinya dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk meronta dan
menendang tapi cengkeraman itu laksana japitan besi tak mungkin untuk
di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi limbung dan terasa terangkat ke
atas! Dicobanya membabatkan goloknya! Terdengar satu pekikan! Pekikan kawannya
sendiri yang, kemudian roboh mandi darah! Sesudah itu Bergola Wungu tak tahu
apa-apa lagi! Wiro Sableng dengan tertawanya yang aneh memegang erat-erat kedua
pergelangan kaki Bergola Wungu lalu memutar tubuh manusia itu laksana kitiran!
Pekik jerit serta seruan-seruan tertahan terdengar di mana-mana! Barisan
lingkaran pasang surut hancur berantakan. Beberapa orang yang masih tak mau menyingkir
dan terpukau oleh kedahsyatan itu terpaksa dihantam kitiran dari tubuh Bergola
Wungu! Belasan anak murid Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan di pelataran
batu karang dalam keadaan tubuh luka-luka parah tanpa nyawa. Suara erangan
terdengar tiada hentinya. Yang masih hidup yaitu sekira sembilan orang
menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang. Suara tertawa Pendekar 212
berhenti.
“Angin Topan Dari Barat! Ini
terima bangkai muridmu!”. Tubuh Bergola Wungu yang tadi dibuat menjadi kitiran
untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat ke arah Bladra Wikuyana. Orang
tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola Wungu terpelanting ke
dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena sudah sejak tadi
kepalanya nyenyar macam pepaya busuk! Bau anyirnya darah yang mengantarkan
regangan-regangan nyawa manusia menyesak lobang hidung. Wiro Sableng meludah ke
tanah. Dan memandang pada Angin Topan Dari Barat.
“Angin Topan Dari Barat!
Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang tentu kau tidak senangi! Dan
mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apa-apa terhadapku! Kau yang
tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di liang kubur!”
“Pemuda iblis!” bentak Bladra
Wikuyana.
“Tak usah banyak bacot! Terimalah
kematianmu dalam tiga jurus!”. Tampang manusia ini kelihatan membesi dan tambah
angker. Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya!
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan selarik sinar biru melanda Pendekar 212.
Pemuda ini egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi dari samping menderu
tangan kanan Bladra Wikuyana yang disambung -dengan kayu dan ujungnya mempunyai
senjata berbentuk Arit!
“Heyyaaa!”. Pendekar 212
membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya lenyap dan
sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke muka
lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi tongkat biru Bladra Wikuyana
sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkan Pendekar 212
mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya namun sambaran angin tongkat biru
membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke samping dan menghantam dinding
karang! Dinding karang itu retak-retak pecah! Kepingan-kepingan karang
menghambur ke udara berpelantingan! Wiro Sableng penasaran sekali. Tenaga
dalamnya dilipat-gandakan sampai tangannya tergetar hebat namun tetap pukulan
Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkannya masih sanggup disapu oleh angin
tongkat biru lawan!
“Edan!” maki pemuda ini dalam
hati. Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat lagi. Kini Pendekar 212 keluarkan
jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua tangannya kiri kanan memukul kian kemari
dan mengeluarkan angin keras laksana badai! Untuk dua jurus lamanya Bladra
Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke dinding jurang sebelah Timur.
Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada di jurusan ini terpaksa
menyingkir kecuali kalau mau mampus terkena sambaran-sambaran angin dahsyat
kedua manusia sakti yang bertempur itu! Angin Topan Dari Barat mengeluh dalam
hati! Puluhan tahun hidup di dunia persilatan baru hari ini menghadapi lawan
yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan gilanya lawan itu adalah anak muda hijau
yang baru berumur tujuh belas tahun! Orang tua ini kertakkan gerahamnya. Dari
tenggorokkannya keluar suitan kencang. Dengan serta merta permainan tongkat dan
jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat biru di tangan kirinya menderu dan
mencurah taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan banyaknya! Wiro Sableng
terkejut sekali melihat keganasan serangan tawan ini! Cepat dia lompat tiga
tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur hah?!” bental
Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul melompat.
“Angin Topan Dari Barat!,” seru
Pendekar 212.
“Antara kita sebenarnya tak ada
permusuhan yang berarti…”. Bladra Wikuyana tertawa buruk.
“Ketika nyawa sudah di
tenggorokan kau baru ribut-ribut segata permusuhan yang tak berarti! Sudah
kepepet-mulai bicara rendah diri! Sebaiknya sebut nama Tuhanmu sebentar tagi
roh busuk manusia yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 akan
minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana menyerang lagi dengan ganas membuat Wiro
Sableng kembali terpaksa lompatkan diri tiga tombak ke belakang.
“Kalau kau yang tua tetap
berkeras kepata maka sambutlah pukulanku ini!” Bladra Wikuyana terbeliak kaget
ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng berwarna sangat putih sedang kuku-kuku
jarinya memerah menyilaukan!
“Pukulan Sinar Matahari!”
teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada murid-muridnya untuk
mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya dialirkannya ke tongkat
biru! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata melesat ke depan. Bladra
Wikuyana lompat ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan tongkatnya ke bawah!
Dua angin keras beradu hebat. Bladra Wikuyana berseru keras. Tongkatnya hampir
terlepas mental sedang tangan kirinya tergetar hebat! Tiada nyana tenaga dalam
lawan yang muda belia itu lebih tinggi beberapa tingkat dari padanya. Dengan
jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan diri untuk atur jatan nafas serta
darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya berputar memandang berkeliling
terkejutlah ia! Seluruh sisa anak muridnya yang tadi masih hidup menggeletak
bergelimpangan dipelataran batu karang itu. Tubuh mereka semuanya termasuk yang
sudah menemui ajal lebih dahulu di tangan Wiro Sableng mengepulkan asap dan
udara dalam jurang itu kini pengap bau daging manusia yang hangus! Ketika
Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana berhasil
mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah tenggara.
Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur berantakan. Bagian
atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua kali
berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin pukulan ini telah melabrak
sisa-sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh mereka tersambar hangus dan
menggeletak mati di situ juga! .Dan sementara itu di tepi jurang sebelah atas,
sesosok tubuh berpakaian ungu menyaksikan apa yang terjadi di dalam jurang batu
karang itu dengan mulut menganga dan mata terbeliak sedang bulu kuduk
merinding…. Kembali ke dalam jurang. Air muka Bladra Wikuyana kelihatan kelam
membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri di tengah pelataran. Cambang bawuk
atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang sepasang matanya menjadi merah
angker.
“Pendekar 212!” desis Bladra Wikuyana.
“Detik ini jangan harap nyawamu
akan selamat…!” Tongkat birunya diacungkan ke muka lurus-lurus dan kini tongkat
itu berubah menjadi hitam legam. Sinar hitam yang memancar dari senjata ampuh
Itu menggidikkan sekali…
“Bersiaplah untuk minggat ke
neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu menyerbulah dia ke muka.
Seluruh bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam tongkat dan serangannya
kini luar biasa ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra Wikuyana tiada hentinya
bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga dan raga! Wiro Sableng begitu merasakan
tekanan serangan yang hebat luar biasa segera percepat gerakannya. Namun ilmu
mengentengi tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih sangat terasa lamban
ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam yang ke luar dari tongkat lawan.
“Breet”! Tersirap darah Pendekar
212. Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah merobek pakaiannya di
bagian dada. Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya seperti melesak!
Pendekar ini berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar dari
kalangan pertempuran!
– == 0O0 == -
*********
5
“Ho ho…. Mau merat ke mana?!” tanya Bladra Wikuyana.
“Aku sudah bilang, sekali masuk
ke sini musti lepas nyawa di sini!” Wiro Sableng tak berikan sahutan. Kalau
saja ada sepuluh manusia jahat sesakti Bladra Wikuyana ini di atas jagat
pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan pikirnya. Ketika lawan menyerang
kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra Wikuyana terbendung dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk melompat ke udara, menukik
kembali dan lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman yang dahsyat
terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang kembali karena
pukulannya kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet ke
dinding jurang sebelah Timur! Pemuda ini merutuk sendiri dalam hatinya. Dalam
merutuk itu tongkat lawan menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat ke samping.
Tongkat menghantam dinding karang sampai hancur berantakan! Ketika Bladra
Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang kembali, langkahnya tertahan. Kedua
matanya yang merah memandang tak berkedip pada senjata berbentuk kapak bermata
dua yang ada di tangan lawannya. Bergidik juga Angin Topan Dari Barat melihat
senjata tersebut. Dua puluh tahun yang silam dia pernah saksikan sendiri
kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah sanggup dia menghadapinya?!
“Angin Topan Dari Barat,”
Pendekar 212 buka mulut.
“Baiknya kau lekas-lekas minta
tobat atas kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah tak keburu…. !”
Angin Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya dengan tertawa
bergelak. Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan maka dia segera menyerang
lebih dahulu! Sinar hitam bergulung-gulung ke arah Pendekar 212. Pemuda ini
sambut serangan lawan dengan pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut Lalat. Kapak
Naga Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan, mengeluarkan
suara berdengung macam suara ribuan tawon! Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan
kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat saktinya tak dapat lagi bergerak
leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul angin kapak bermata dua di tangan
lawan! Bladra Wikuyana percepat permainan tongkatnya dan menyerang dengan
jurus-jurus lihay mematikan. Namun tetap saja tak dapat ke luar dari tindihan
senjata lawan. Dan kini sesudah bertempur di jurus yang kesembilan puluh
delapan maka mulailah jago tua ini terdesak hebat! Diam-diam Bladra Wlikuyana
cucurkan keringat dingin. Ditahannya sedapatdapatnya serangan senjata lawan.
Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun ujung tongkat terbabat puntung!
Bladra Wikuyana tak berani lagi bentrokan senjata! Matanya kini liar mencari
kesempatan untuk kabur. Dia menggeram karena telah menyuruh murid-muridnya
menurunkan tangga gantung karena tangga dari tali itulah satu-satunya jalan
untuk kabur ke luar jurang batu karang! Karena pikirannya bercabang dua, satu
memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan pada serangan lawan maka pertahanan
Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal ini bukan tak dilihat oleh
Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi dia melabrak manusia
berewok bertangan dan kaki buntung itu. Dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar
siulan membawakan lagu tak menentu!
Sambil kirimkan bacokan ke
pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata kapak membuat setengah lingkaran,
salah satu dari padanya memapas pergelangan tangan kanan Bladra Wikuyana yang
terbuat dari kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk arit itu kutung dan
lepas! Mental ke udara! Bladra Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat
pasi. Dia mengerang karena aliran aneh yang berhawa panas dari senjata lawan
merembes melalui kutungan tangan kayu ke dalam tubuhnya!
“Cuma lengan kayumu saja. Angin
Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam mayat?” Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak.
“Sekarang aku minta kaki kayumu!”
Habis berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya
membabat ke kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani lakukan
bentrokan senjata cepat-cepat melompat berkelit dan lancarkan serangan balasan
dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin hebat. Namun dengan Kapak
Naga Geni 212 di tangan, segala pukulan tangan kosong bagaimanapun hebatnya
dari manusia berewok yang bergelar Angin Topan Dari Barat itu tiada artinya
lagi! Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu, berbalik merambas pinggang, menderu
lagi ke kepala membuat tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu menjadi
sangat sibuk. Dan ketika tiba-tiba sekali senjata lawan membabat ke bawah, dia
tak punya kesempatan lagi untuk mengelak! Untuk kedua kalinya mata kapak
membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra Wikuyana sebelah kanan! Meski
huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat lompatkan diri ke luar dari
kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh keringat! Di
dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu untuk membunuh! Dengan
tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata. Mulutnya
komat kamit.
“Ilmu apa yang kau mau keluarkan
Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar omonganku! Aku yang muda ini masih mau
kasih ampun kepada kau jika kau berjanji untuk bertobat dan hidup di jalan yang
benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi mempergunakan iimumu buat menolong
sesama manusia. Bagaimana…?!” Bladra Wikuyana buka sepasang matanya sedikit.
Mulutnya berkemik mengejek.
“Jangan kira kau sudah menang
bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku bocah hijau… lihat
mukaku….
“ Mata Wiro Sableng menyipit.
Ketika diperhatikannya tampang Bladra Wikuyana terkejutlah dia. Kepala tokoh
silat itu kini rnenjadi enam dan berwarna hitam, gigi-giginya merupakan
caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya besar sedang lidahnya panjang
menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada di enam kepala itu
memancar sinar hijau.
“Ah… ilmu siluman macam begini
hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek Wiro Sabteng. Disapukannya
Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras membuat Bladra Wikuyana terpelanting
tapi muka silumannya masih juga seperti tadi malah semakin menyeramkan.
Tiba-tiba dengan menggereng keras laksana harimau terluka menerjanglah tokoh
silat itu didahului oleh dua belas sinar hijau yang ke luar dari mata
silumannya!
“Tua bangka geblek! Dikasih ampun
malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!” rutuk Wiro Sableng. Ditunggunya
beberapa detik. Sesaat kemudian berkiblatlah kapak mautnya dari atas ke bawah!
Angin Topan Dari Barat terkapar di pelataran batu karang tanpa berkutik, juga
tanpa menjerit. Kepalanya sampai ke dada terbelah dua. Darah membanjir!
Tamatlah riwayat tokoh silat dari golongan hitam itu yang selama hidupnya telah
menebar benih kejahatan dan mendidik manusia-manusia untuk disesatkan! Wiro
Sableng garuk rambut gondrongnya dan meludah. Jijik juga dia melihat darah yang
membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 di
tangan kanannya. Mata kapak itu berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng
kepala.
“Kapak hebat… kapak hebat….”
katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda darah pada mata kapak pun
lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera dimasukkannya
ke balik pinggang kembali. Selama setengah jam Wiro Sableng memasuki dan
menggeledah isi Gua Sanggreng. Di sini ditemuinya banyak sekali persediaan
makanan dan uang serta barang-barang perhiasan. Menurut pikiran Wiro uang serta
perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang ditimbun menjadi milik
Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang dan perhiasan sekedar
bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar dan
menikmati makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua
dilihatnya langit sudah sangat merah kekuningan tanda matahari hampir
tenggelam. Pemuda ini segera mencari tangga tali. Tangga tali itu kemudian
dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang sebelah atas dan
mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke atas. Dari
atas sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk terakhir kali ke dalam
jurang batu. Duapuluh enam mayat bergelimpangan di mana-mana. Pemuda ini garuk
dan golenggoleng kepala. Dan mulailah dia melangkah sepembawa kakinya. Malam
tiba nanti entah di mana dia akan berada. Suara siulannya mengumandang di
belantara batu-batu karang. Sambil terus berjalan. bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir…. Surya tenggelam di ufuk Barat…. Malam yang datang
tentu dingin dan gelap…. Berjalan seorang diri memang tidak enak…. Tapi selalu
diikuti orang lain juga tidak enak…. Nyanyian ini tiada menentu nadanya dan
diulang-ulang sampai beberapa kali. Akhirnya disatu penurunan curam Pendekar 212
hentikan nyanyiannya dan duduk di sebuah unggukan batu. Sambil tertawa-tawa
berkatalah dia:
“Manusia yang ikuti aku kenapa
sembunyi di belakang batu? Coba ke luar unjukkan jidat, apa betul manusia atau
hantu…?” Wiro memandang pada celah batu karang yang tadi dilewatinya. Suasana
hening saja.
“Ah, manusia di belakang batu
tentu seorang pemalu,” katanya.
“Biarlah aku sendiri yang lihat
tampangnya!”
Habis berkata begitu Wiro Sableng
hantamkan tangan kanannya ke arah celah batu. Sebagian lagi terguling ke bawah.
Dan dari balik batu terdengar seruan tertahan!
Apa yang tidak diduga oleh
Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak dari jurang Gua Sanggreng tadi
adalah seorang gadis!
– == 0O0 == -
**********
6
“Aha… Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!” kata Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar melihat kepada pakaian ungu yang dikenakan gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid Dewa Tuak.
“Gadis molek, ada apa kau
menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai ke jurang maut sana…?” bertanya
Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak
memberikan jawaban. Mukanya merah karena malu dan jengah. Wiro Sableng tertawa
lagi dan berkata: “Mungkin ada mengandung suatu maksud tidak baik …. “
“Saudara… a…aku…” Anggini gugup
sekali. Apa yang harus dikatakannya pada pemuda itu?
“Apakah gurumu si Dewa Tuak itu
juga ikut bersamamu saat ini?
Barangkali juga kalian hendak
menjebakku…?”
“Saudara dengarlah…” kata Anggini
pula.
“Aku sebenarnya tidak mau dengan
semuanya ini…”
“Semuanya ini apa…?” potong Wiro
Sableng.
Anggini menggigit bibir.
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak….”
“Gurumu yang menyuruh untuk
menguntit aku?”
Gadis itu anggukkan kepala.
“Perlu apa gurumu menyuruh
demikian?”
Kembali Anggini menggigit bibir.
“Apa dia belum puas dengan
sedikit pertempuran siang tadi…?”
Anggini tetap membungkam. Ya,
bagaimana dia harus mengatakan pada si pemuda bahwa gurunya menyuruhnya
mengejar untuk kemudian berusaha menjadi kawan hidup pemuda itu? Bagaimana dia
harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari hadapan pemuda itu.
Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening.
Mendadak mukanya menjadi merah, semerah langit yang disaputi sinar sang surya
yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan ucapan Dewa Tuak yang mengatakan
bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada
gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan molek. Kulitnya kuning dan
potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan jodoh mana ini pemuda
berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang
dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa dendam seribu karat terhadap
Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih belum lunas! Masih belum
dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari
duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu seketika lalu mengumandanglah gelak
tawanya.
“Saudari… apakah penguntitan ini
ada sangkut pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?”
Paras Anggini semakin merah.
“Tadi aku sudah bilang…
sebenarnya aku tak senang dengan semua ini. Tapi guru memaksaku…”
“Memaksa bagaimana?!”
“Katanya aku harus mengejarmu
sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah kembali kepertapaan. Katanya lagi aku
harus… harus…” Anggini tak dapat meneruskan ucapannya.
“Kurasa gurumu itu sudah sinting!
Sekurang-kurangnya seperempat sinting!"
Meski Anggini memang tak suka
menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Tuak namun mendengar nama gurunya
dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
“Jangan hina guruku, saudara!”
bentaknya. Wiro Sableng garuk kepala.
“Ah… guru dan murid sama saja
gebleknya!” kata ini pemuda.
“Kalau gurumu suruh kau makan
beling dan minum racun, apakah kau juga akan ikuti ucapannya itu…?!”
“Guruku tidak segila itu!” bentak
si gadis.
“Aku memang tidak bilang gurumu
gila, tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau berani menghina
guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini. Wiro Sableng keluarkan suara bersiul!
“Gurumu memang sinting!” katanya
lagi. Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ketinggian kesaktian
Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng beberapa saat yang
lalu. Dari situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali pun belum tentu
akan dapat mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu kegemasannya tak
dapat ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng
malah angsurkan pipi ke muka!
“Plaak!” Tamparan mendarat di
pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa.
“Betapa lembutnya jari-jarimu
mengelus pipiku..,” katanya dengan pejamkan mata.
“Ayo, tamparlah sekali lagi… dua
kali lagi… tiga kali lagi… sesuka hatimulah…!” Wiro menunggu tapi tamparan
berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan kedua matanya ‘kembali. Dilihatnya
Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis menahan geram yang menyesaki
dadanya. Pendekar 212 tertawa.
“Kenapa tidak mau tampar?”
tanyanya sinis. Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali.
Segera dibukanya selendang ungu yang melilit di pinggangnya yang berpinggul
besar.
“Eh… saudari kau ini apa mau buka
pakaian di depanku?” tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata dengan
ceriwis.
“Pemuda rendah terima selendangku
ini!” bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak. Ujung selendang berputar
pelahan dan lamban ke arah kepala Wiro Sableng. Selendang terbuat dari kain
yang halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti benda itu dialiri oleh
aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus lebih
berbahaya daripada tenaga kasar yang di luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak
mau menyambuti liuk liku selendang itu. Dia menggeser kedua kaki dan menjauhkan
kepalanya. Masih tertawa dia mengejek:
“Saudari, tarianmu bagus sekali!
Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!” Dugaan Pendekar 212 memang tepat.
Kalau sekiranya dia mencoba memapasi selendang yang meliuk-liuk itu maka dengan
satu sentakan cepat Anggini akan menarik selendang dan melesatkan ujungnya ke
mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum ketentuan Wiro Sableng akan kena
dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala ilmu halus
dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan pula. Melihat si
pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek maka kini Anggini
rubah permainan selendangnya. Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk dan
mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran
pula.
“Saudari, permainan selendangmu
patut dikagumi!” memuji Pendekar 212.
“Tapi tak cukup pasal kalau kau
sampai menyerangku begini rupa. Aku…” Ucapan Wiro Sableng terpotong oleh
bentakan Anggini.
“Tutup mulut pemuda ceriwis!
Lihat selendang!” Ujung selendang ungu dengan sangat tiba-tiba mematuk ke arah
mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini tundukkan kepala untuk
mengelak. Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara
kasar tapi sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang
dengan sangat cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212
cepat-cepat pergunakan tangan kiri untuk rnengibaskan selendang ujung tapi ini
tak bisa dilakukannya karena serentak dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua
ujung jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng. Hebat sekali serangan ini
sehingga kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan serangan selendangnya
tadi, maka sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting besar
yang hendak menggerus tubuh dan leher si pemuda!
“Ah… ah… bagus, bagus sekali
saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!” memuji Wiro Sableng. Tangan
kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari tangan lawan. Anggini
yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya batalkan
serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu yang
ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng. Pendekar 212 cepat
angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang sehingga kalaupun detik
itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. Kemudian dengan tangan
kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang! Anggini sama sekali
tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki senjatanya. Dia
hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan tertarik
ke muka! Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah
gadis ini, tapi juga penasaran sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro
Sableng mau lepaskan, malahan sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut
sehingga tubuh Anggini sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut
tertarik ke hadapannya. Anggini memaki dalam hati.
“Sambut paku perakku, rnanusia
rendah!” bentak gadis itu. Sekali dia gerakkan tangan kirinya maka selusin
benda yang besarnya setengah jengkal, berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing
ke arah Wiro Sableng. Karena jarak mereka terpisah dekat sekali maka dua belas
senjata rahasia ini sangat berbahaya bagi keselamatan si pemuda. Anggini
sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan senjata rahasia itu karena kawatir
si pemuda tak dapat berkelit atau memapakinya, karena bukankah gurunya telah
berpesan bahwa pemuda itu adalah cocok bakal jadi jodohnya…?! Sebaliknya yang
diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya tangan
kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan
dengan berkelit sedikit ke samping. Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang
pemuda itu dengan senjata rahasianya maka kini setelah si pemuda berhasil
selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia memekik keras, lompat
ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak sangka gadis molek
begini galak sekali!” kata Wiro Sableng pula. Dia melompat ke samping. Membuat
gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke tanah, kedua kaki gadis itu
sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri dengan terhuyung-huyung
tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti galaknya?”
tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini
masih memegang ujung yang lain dari selendangnya maka dengan cepat dia dapat
membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali. Matanya menyorot memandang
kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis mengedip-ngedipkan
matanya!
“Senjata apa lagi yang bakal kau
keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan selendangku!” teriak
Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!” teriak gadis itu
lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro memegangnya erat sekali.
Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan robek.
Kesal dan gemas akhirnya dengan
menghentakkan kaki Anggini lepaskan selendangnya, putar tubuh dan lari ke balik
sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
“Heh… kenapa jadi nangis?” tanya
Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik batu besar. Pemuda ini jadi
garuk-garuk kepala. Lalu katanya: “Saudari, lihat, hari sudah senja.
Sebaliknya kau kembalilah ke
tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam yang gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali! Tak bisa
kembali ke pertapaan!” jawab Anggini di antara tangis sesungguhnya.
“Kenapa tak mau? Kenapa tak
bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya Wiro tagi.
“Sudah… sudah! Kau tidak tahu!”
Dan tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau kau tak mau kembali
ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!”
“Tak usah perdulikan aku! Biar
aku mau malang mau melintang tak usah ambil pusing! Pergi dari sini kau…!”
Anggini menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu bicara keras macam
begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini semua adalah gara-gara
gurumu yang berotak sinting itu!”
“Jangan hinakan guruku!” hardik
Anggini.
“Kau seorang murid yang baik.
Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang kau juga turut-turutan
bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah ke pertapaan
gurumu sebelum hari menjadi malam…”
“Tidak!”
Wiro Sableng melangkah ke belakang
Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat itu. Akhirnya pemuda ini berkata
juga: “Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih pasti kau menjadi seorang
gadis yang hebat….”
Wiro lantas menyampirkan
selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia memandang ke langit
dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan
samarsamar di balik awan.
“Sudah malam….” desis pemuda ini.
Kemudian dia memandang pada gadis yang berdiri di depannya dengan membelakang
itu.
“Pergilah cepat, saudari. Nanti
kau kemalaman di jalan….”
Anggini gelengkan kepala.
“Guruku akan marah… akan marah
kalau aku kembali…. “
“Kalau begitu ya tak usah kembali
saja…” ujar Wiro Sableng.
“Aku memang tak bakal kembali…”
kata Anggini pula.
“Hem… dan kau mau pergi ke mana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya?”
“Ah…” Wiro tertawa. Dia melangkah
ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya pundak Anggini. Si gadis dengan serta
merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya sudah keburu dijalari
perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya. Tak kuasa dia
menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
“Saudari, dengarlah…” kata Wiro
pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis malahan meremas-remasnya dengan
lembut.
“Dalam hubungan guru dan murid
walau bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan
sehdiri. Kalau kau tak kembali malah gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan
dihukumnya!”
“Tapi bagaimana aku mungkin bisa
kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu….”
“Apa yang aku tidak tahu?” tanya Wiro.
Tak mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus terang. Namun
terluncur juga ucapan dari mulutnya:
“Kalau aku musti kembali kata
guruku… aku harus bersamamu…” Wiro tertawa. Suara tertawanya menggema di daerah
sepi dingin di permulaan malam itu.
“Saudari… namamu siapa?” bertanya
Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam saja diremas bahunya maka tangan
Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih belum kering dengan air
mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada si gadis kini tambah
keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan yang membelaibelai
itu. Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa namamu, saudari…?” tanya
Wiro lagi.
“Anggini,” jawab si gadis
perlahan.
“Nama bagus… nama bagus,” puji
Pendekar 212 dan tangannya semakin berani membelai muka Anggini.
“Dengar Anggini, orang tua macam
gurumu itu memang suka bicara ngelantur. Sekarang kau kembali saja ke
pertapaannya dan katakan bahwa kau tak berhasil mengejar atau menemui aku.
Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau telah menemuiku dalam keadaan
tak bernyawa mati di jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta… kalau aku
berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata Anggini pula.
“Wah berabe kalau begini!” ujar
Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir apa yang akan
diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ, tak tega pula
hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu duduk di
sebuah batu datar. Daerah belantara di mana mereka berada saat itu serba asing
baginya. Mungkin sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak perjalanan belum
menemui rumah penduduk. Apakah dia dan gadis itu terpaksa tinggal terus di
tempat itu malam ini? Angin bertiup dari celah-celah batu-batu yang meruncing
memenuhi tempat itu.
“Dingin…?” bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212 bergerak di balik punggung si
gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk
beberapa lamanya mereka tiada bicara. Wiro memecah kesunyian.
“Kalau kau tak mau kembali ke
pertapaan dan aku tak bisa pula meninggalkan kau sendirian maka kita terpaksa
bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku akan cari tempat yang baik….”
“Nanti sajalah….
“ kata Anggini. Diletakkannya
tangan kanannya di paha Pendekar 212 dan dia memandang ke angkasa.
“Langit cerah,” kata Wiro.
“Kalau nanti turun hujan, memang.
kita yang sialan…. !” Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar
212 sejuk sekali jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan
beraninya pendekar ini menggelitiki tengkuk si gadis dengan hidungnya.
“Jangan begitu ah….” kata Anggini
menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya tidak dijauhkannya. Malam itu
Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau nyala
api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau
yang datang itu adalah Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya
terbaring di balik batu besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh
mereka yang berada berdekatan itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat
pada suatu malam ketika dia berada berdua-duaan di sebuah dangau di tengah
sawah dengan Nilamsuri. Malam ini tak ada bedanya dengan malam yang dulu itu.
Sama-sama ada seorang gadis di sampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212
masih punya pikiran panjang dan sehat: Meski saat itu Anggini sudah berbaring
pasrahkan seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah hampir setiap bagian dari
tubuh Anggini disentuh oteh Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh dari
itu pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya
menggapai punggung Wiro dan pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212
hanya merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi
matanya yang sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
* * *
Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan.
“Wiro,” panggilnya. Tak ada yang
menyahut.
“Wiro…. !” panggilnya sekali lagi
lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab. Tiba-tiba ketika matanya memandang
ke batu besar di samping pembaringan di mana dia dan Wiro tidur semalam
terbentur olehnya tulisan. Tulisan. Anggini Maafkan kalau aku pergi tanpa
pamit. Aku terpaksa meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi.
Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi.
Anggini merasakan dadanya
menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu sudah pergi. Tubuhnya
masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih terasa
jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang
disertai gigitan-gigitan kecil. Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi
Anggini membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya
ke kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya
untuk mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam
tadi atau dinihari, atau pagi tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas
panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan ikatan selendang ungunya yang di
pinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnya sederetan angka: 212. Sekali
lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah gontai
ditinggalkannya tempat itu.
– == 0O0 == -
**********
7
Kerajaan Pajajaran… Pada masa itu Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat hubungan baik, belum ada silang sengketa. Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka Kerajaan Pajajaran aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan. Tapi di dunia ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki. Yang tidak senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan orang lain, yang tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan kekuasaan orang lain itu lalu ganti menguasainya! Saat itu satu-satunya manusia di seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu Kamandaka ialah Werku Alit. Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu Purnawijaya adalah satu-satunya raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan kandung dari permaisurinya. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini jugalah yang menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran. Ketika Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan orangorang tua kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung Prabu Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang bijaksana, pandai serta berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia telah menunjukkan bakat untuk menjadi seorang pemimpin agung. Lagi pula memang tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu yang punya hak dan pantas untuk dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya. Dari seorang selirnya, Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama Werku Alit. Werku Alit ini tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok keduanya sama-sama disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan antara Werku Alit dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan tali persaudaraan! Namun ketika Kamandaka dinobatkan sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di hati Werku Alit. Bukankah Kamandaka hanya adik Prabu Purnawijaya; bukan anak kandungnya? Dan bukankah dia sebagai anak dari Prabu Purnawijaya, lebih mempunyai hak untuk memegang tahta kerajaan? Werku Alit dalam dengkinya, apalagi sesudah kena hasutan oleh golongangdongan tertentu yang memang tidak suka pada Kamandaka, lupa bahwa dirinya hanyalah seorang anak yang dilahirkan dari selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak punya hak untuk menjadi raja Pajajaran. Demikianlah, secara diam-diam Werku Alit meMnggalkan istana Pajajaran, mengembara menuntut ilmu dan menghubungi beberapa orang tertentu. Ketika dia kembali ke istana maka saat itu dia sudah menyusun suatu rencana besar. Yaitu untuk merebut takhta kerajaan dengan jalan kekerasan! Dengan pertempuran, dengan peperangan! Dalam pengembaraan itulah Werku Alit bertemu dengan Suranyali atau Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa seorang manusia sakti luar biasa maka Werku Alit mengambilnya sebagai tangan kanan dengan perjanjian bila kerajaan berhasil digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan Perdana Menteri! Dalam menjadi tangan kanan membantu rencana busuk Werku Alit. Mahesa Birawa mempunyai rencana sendiri, rencana dalam selimut. Jika kerajaan jatuh dan Werku Alit menang, maka Mahesa dan kawan-kawannya akan menyingkirkan Werku Alit untuk kemudian dia sendiri yang akan menampilkan diri menduduki tahta kerajaan Pajajaran
* * *
Di hutan belantara di sekitar kaki Gunung Halimun kelihatan bertebaran ratusan buah kemah. Inilah pusat balatentara pemberontak yang hendak merebut tahta kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Werku Alit. Sementara Werku Alit kembali ke Pajajaran maka pimpinan dipegang langsung oleh tangan kanannya yaitu Mahesa Birawa. Di sini berhimpun sekitar seribu prajurit. Kebanyakan dari pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit dan Mahesa Birawa dari Adipati-adipati kecil yang bernaung di bawah Pajajaran tapi yang kena dipengaruhi dan dihasut oleh kedua orang itu. Bahkan saat itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa orang Adipati lagi yang telah dihubunginya. Jika Adipati-adipati ini datang dan menyerahkan beberapa ratus prajurit tambahan maka dapatlah diatur kapan dilaksanakan penyerangan terhadap Pajajaran. Sementara waktu menunggu maka semua prajurit senantiasa dilatih perang-perangan. Para kepala-kepala pasukan diberi tambahan ilmu silat dan kesaktian yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para Adipati yang saat itu sudah bergabung Mahesa Birawa menurunkan beberapa ilmu kesaktiannya. Mahesa merasa sangat menyesal sekali ketika mendapat kabar bahwa tiga orang anak buahnya yang; diam di Jatiwalu telah menemui ajal akibat bentrokan dengan anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng sedang Kalingundii hilang lenyap tak tentu rimbanya. Kalau saja keempat manusia itu ada di sana tentu tak usah payah-payah dia menggembleng kepala-kepala pasukan dan Adipatiadipati itu. Tapi tak apa payah sedikit. Nanti dia akan memetik hasilnya sendiri! Di dalam kemah besar yang terletak di tengah-tengah ratusan kemah di kaki Gunung Halimun itu, mengelilingi sebuah meja bulat telur maka duduklah empat orang laki-laki. Yang pertama tak lain dari Mahesa Birawa, kumis melintang dan badan semakin gemuk. Yang kedua Adipati Karangtretes yaitu Jakaluwing, bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya tegap kekar. Yang ketiga, yang duduk di samping kiri Mahesa Birawa ialah seorang berbadan tinggi kurus bermuka licin bernama Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja. Yang terakhir seorang laki-laki berbadan gemuk pendek, berkepala sulah. Sinar lampu dalam kemah membuat kepalanya itu berkilat seperti bersinar-sinar. Manusia ini bernama Lanabelong, Adipati Kendil. Di atas meja, di hadapan keempatnya terletak masing-masing segelas tuak murni dan harum. Ketiga Adipati itu telah kena dihasut oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit untuk memberontak terhadap Pajajaran dan kepada mereka dijanjikan kedudukan sebagai Menteri kerajaan bila pemberontakan mereka berhasil kelak.
“Silahkan diteguk tuaknya,
saudara-saudara Adipati,” kata Mahesa Birawa pula sesudah keheningan
mengungkungi kemah itu beberapa lamanya. Masing-masing kemudian meneguk tuak
yang enak itu. Di malam yang dingin minum tuak memang enak menghangatkan tubuh.
Jakaluwing raba cambang bawuknya. Lalu bertanya:’
“Kapan kira-kira saatnya kita
akan menggempur Pajajaran, adimas Mahesa Birawa?”
“Soal penggempuran itu kangmas
Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita sudah sanggup melakukannya. Jumlah
prajurit cukup, tenaga pimpinan rata-rata sudah berpengalaman dan dapat
diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan saudara-saudara Warok Gluduk
dan Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji akan bergabung dengan kita
bersama beberapa ratus prajurit-prajurit mereka. Ada baiknya jika kita tunggu
kedatangan mereka. Sesudah itu baru kita hubungi Raden Werku Alit untuk
menentukan kapan saat yang baik untuk penyerangan….” Adipati Jakaluwing
manggut-manggut.
“Begitu memang bagus,” kata
Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya tuaknya.
“Di samping itu, mengingat bahwa
di Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh pelindung yang berilmu tinggi maka
kita musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang hendak diberikan oleh Begawan
Sitaraga yang diam di puncak Gunung Halimun!”
“Ah, hebat sekali kalau Begawan
yang tersohor ini ikut di pihak kita!” kata Surablabak sambil pukul meja.
“Sebenarnya,” kata Mahesa
Birawarpula.
“Begawan Sitaraga ini mempunyai
dendam kesumat yang masih belum terbalaskan terhadap toa Pajajaran yaitu kakek
dari Kamandaka….”
“Kalau Begawan ini setingkat
umurnya dengan kakek Kamandaka, tentu kini kira-kira sudah seratusan usianya…”
kata Lanabelong.
“Kira-kira begitutah,” sahut
Mahesa Birawa. Kemudian laki-laki ini berseru memanggil pelayan untuk menyuruh
tambah tuak di keempat gelas itu. Sesudah pelayan pergi Mahesa Birawa buka
mulut kembali.
“Besok aku akan kirimkan dua
orang kurir ke Pajajaran untuk menemui Raden Werku Alit. Kuminta kepadanya
untuk menyebar mata-mata lebih banyak, terutama di dalam istana guna mengetahui
perkembangan terakhir, terutama mencari kabar selentingan apakah gerakan kita
ini bocor atau tidak….
“
“Dan jangan lupa pula untuk
meneliti pertahanan Pajajaran di mana yang lemah,” kata Lanabelong. Mahesa
Birawa mengangguk.
“Saudara-saudara Adipati, agaknya
pertemuan kita malam ini cukup. Sampai besok pagi.” Keempat orang itu saling
menjura kemudian satu demi satu meninggalkan kemah besar khusus untuk tempat
perundingan, menuju ke kemah masing-masing.
– == 0O0 == -
**********
8
Laki-laki itu berjalan di liku-liku lorong bagian belakang istana dengan menundukkan kepala. Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak menegur atau menahan laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah Udayana, pembantu Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Di pintu besar gedung istana sebelah belakang laki-laki ini berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman kecil dan masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus bentuknya. Justru di sini dua orang pengawal memalangkan tombak menghentikannya.
“Aku mau ketemu Raden Werku
Alit,” kata Udayana.
“Ada keperluan apa?” tanya salah
seorang pengawal.
“Beliau sudah tahu.”
“Tunggu di sini,” Pengawal itu
masuk yang seorang tetap di tempatnya. Tak lama kemudian pengawal yang masuk
muncul kembali.
“Kau dipersilahkan menghadap.”
katanya memberi tahu. Udayana mengangguk dan memasuki pintu gedung. Di dalam
sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya. Ditepuktepuknya
bahu Udayana.
“Bagaimana? Ada perkembangan
baru…?” Werku Alit berbadan tinggi langsing dan me-melihara kumis panjang
menjulai seperti tali, seperti raja-raja Tiongkok!
“Perkembangan baru belum ada
Raden…. Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit banyak nya ada perlunya juga saya
sampaikan kepada Raden…”
“Bagus, katakanlah Udayana….”
“Rara Murni adik Kamandaka siang
besok akan berangkat ke Kalijaga untuk menyambangi adik neneknya. Dia akan
pergi dengan kereta dan dikawal secukupnya….
“
“Hem….” Werku Alit menggumam dan
mengusut-usut kumis talinya.
“Aku belum melihat adanya
hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar, coba
kupikir….” Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening. Dan tangan
itu tibatiba menepuk bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut.
“Aku telah melihat kegunaan
keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi Kalasrenggi.
Katakan bahwa aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok
kerajaan.” Udaya menjura.
“Perintah Raden akan saya
jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu.
* * *
Seluruh balatentara kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-tiap pasukan dibagi dua masing-masing bagian dikepalai oleh seorang yang disebut kepala prajurit, Kalasrenggi adalah salah seorang dari kepala pasukan balatentara Pajajaran. Sebagai kepala lWiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Maut Bernyanyi Di Pajajaran pasukan tentu saja dia memiliki ilmu dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan memang banyak orang yang mengatakan bahwa diantara lima kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi adalah yang paling tinggi ilmunya. Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret ke dalam rencana busuk Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka! Siang tadi seorang suruhan Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan menyampaikan pesan bahwa Werku Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan. Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat yang ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu. Sebenarnya tak pantas disebut pondok karena sama sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan atapnya pun sudah sebagian melompong dimakan umur. Pondok atau lebih tepat teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan di sana. Kalasrenggi berpikir tentu Raden Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah. Dinyalakannya sebatang rokok. Dia memandang ke angkasa. Langit kelihatan mendung. Bintang-bintang mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar serta dingin. Dia tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir habis. Berbarengan ketika rokok itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua dari sosok bayangan itu berhenti sedang yang satu terus melangkah ke arah teratak itu.
“Sudah lama kau…?” bertanya orang
yang datang ini yang tak lain dari Werku Alit adanya.
“Sudah juga,” sahut Kalasrenggi.
“Raden mau bicara apa dengan
saya?” Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Angin tambah kencang.
“Ada tugas buatmu besok
Kalasrenggi,” kata Werku Alit.
“Tugas apakah, Raden?” Hujan
rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar. Kilat menyambar.
Sesosok bayangan putih dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik saja
terangnya, kelihatan berlari sangat cepat menuju teratak tua itu. Werku Alit
dan Kalasrenggi terkejut sekali dan tangan-tangan mereka segera meraba hulu
senjata di pinggang masing-masing!
“Hujan sialan!” Terdengar orang
yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia berpaling pada Werku Alit dan
Kalasrenggi dan berkata:
“Saudara-saudara, aku numpang
mondok samasama kalian.”
Werku Alit dan Kalasrenggi
memandang tajam pada laki-laki yang baru datang ini. Dia masih muda, berbadan
kekar dan berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau mencurigakan kedua
orang itu meski ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk berteduh karena hari
hujan lebat.
“Kau siapa?!” tanya Kalasrenggi
membentak garang. Pandangannya buas sekali. Tangan kirinya menyelinap ke
pinggang. Laki-laki muda yang dibentak memandang dengan keheran-heranan.
“Memangnya apa aku tidak boleh
mondok di sini, Saudara?!”
“Aku tanya kau siapa dan jangan
banyak tanya!” hardik Kalasrenggi. Pemuda itu bersiul dan menyeringai.
“Tak usahlah bicara pakai
membentak segala. Urusan kecil kalau dipersoalkan dengan kasar bisa menimbulkan
gara-gara yang tidak diingini!” Kalasrenggi dengan tidak sabar melangkah ke
hadapan pemuda itu dan hendak menempelaknya. Tapi langkahnya dihentfkan ketika
dalam kegelapan dan masih sempat rnelihat isyarat yang diberikan oleh Werku
Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan yang buntutbuntutnya bisa
membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan terancam dia melangkah mendekati
pemuda itu.
“Saudara,” kata Werku Alit sambil
memegang bahu si pemuda.
“Harap maafkan. Kawanku memang
lagi kasar berangasan habis kalah judi! Sudahlah, tak ada yang harus kita
ributkan di malam buta begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah begitu…?”
“Ah… tepat sekali saudara….”
jawab si pemuda. Werku Alit tersenyum. Tiba-tiba laksana kilat cepatnya, dua
jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di bagian kiri tubuh
si pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya terjulur
lewat atap dan segera diguyur oleh air hujan! Werku Alit tertawa mengekeh.
“Pemuda konyol mau banyak
tingkah!”
“Tapi siapa tahu dia bukan pemuda
biasa. Raden. Mungkin mata-mata….”
“Ah, tampangnya saja geblek,
dogol, bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya sekali totok saja sudah rubuh!”
Kalasrenggi memandang sosok tubuh yang menggeletak menelungkup itu. Dia
bermaksud untuk menggeledah pemuda itu namun didengarnya Werku Alit berkata:
“Sudah, tak perlu perdulikan
kunyuk itu! Mad kita muiai pembicaraan. Menurut keterangan pembantu rahasiaku,
besok siang Rara Murni akan berangkat dengan kereta ke Kalijaga. Tugasmu culik
gadis itu, sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila sudah beri laporan sama
aku biar aku tentukan langkah selanjutnya!”
“Itu tugas mudah, Raden,” kata
Kalasrenggi.
“Tapi saya ingin tahu siapa-siapa
saja yang ikut dengan Rara Murni…?”
“Aku tak mendapat keterangan
tentang hal itu. Yang penting kau harus tangkap Rara Murni hidup-hidup. Yang
lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!”
“Baiklah Raden. Sebelum malam
tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk memberitahukan bahwa tugas
sudah selesai….” Werku Alit menepuk bahu kepala pasukan itu.
“Nah, aku pergi sekarang!”
Kalasrenggi memperhatikan sampai ketiga orang itu lenyap di kejauhan dalam
kegelapan malam. Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan kembali matanya
memandangi manusia yang menelungkup di bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak
menggeledah, meneruskan niatnya yang tadi batal, tapi kemudian terpikir
olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri orang lain. Dengan seenaknya
Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu sehingga tubuh itu
terlontar sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari
teratak tua itu.
– == 0O0 == -
**********
9
Hanya beberapa ketika saja Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang yang tadi ditotok dan ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah kembali ke bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air hujan dan berselomotan lumpur. Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.
“Sialan betul! Sakit juga
tendangan kunyuk itu!” makinya seorang diri.
“Di lain hari aku akan balas
keramah tamahannya tadi!” Sesungguhnya sewaktu Werku Alit menotoknya tadi,
orang ini sudah dapat menduga gerakan dan maksud Werku Alit. Sebelum totokan
datang cepat-cepat bagian tubuh di samping kiri dialirkan dengan tenaga dalam.
Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di tubuhnya, taki-laki ini
pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika Kalasrenggi
menendangnya, dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat melihat
gerakan kaki orang itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu ditendang
tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan apa yang telah dibicarakan kedua
orang itu dapat didengarnya dengan jelas. Orang ini duduk bergelung lutut dan
berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi? Siapa yang dipanggil dengan
sebutan
“raden” dan siapa yang satu lagi?
Mengapa mereka bicara di tempat terpencil dan di malam hari berudara buruk
seperti ini? Dan tugas yang diberikan oleh orang yang dipangglkan
“raden” itu? Siapakah Rara Murni?
Apakah keduanya bukan gerombolan-gerombolan rampok pengacau? Yang hendak
menculik Rara Mumi kemudian melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis itu?
Orang itu usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah
dialaminya tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di
Kotaraja. Sejak pagi sampai saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi
Kotaraja. Berbagai tempat dan pelosok didatanginya. Namun tampang-tampang
manusia yang dua orang yang ditemuinya malam tadi tak berhasil dicarinya.
Akhimya masuklah dia ke dalam sebuah kedai. Memang saat itu tenggorokannya sudah
seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya perih keroncongan. Sambil makan
dia terus juga berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang semalam itu
gerombolan-gerombolan rampok. Seorang rampok tak akan dipanggil
“raden”. Pasti yang dipanggil
“raden” itu seorang bangsawan
kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya mau menculik gadis orang? Mungkin pernah
melamar tapi tak diterima? Dia menyudahi makanannya. Ketika dia memandang
berkeliling ternyata kedai itu sudah penuh dengan tamu-tamu yang makan siang. Dengan
perut kenyang dia kemudian melangkah mendekati pemilik kedai. Ditanyakannya
berapa jumlah yang harus dibayarkannya lalu diberikannya sejumiah uang.
“lni kembalinya, Nak,” kata orang
kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih semua.
“Ah, tak usah. Ambil saja….” kata
pemuda. Si orang tua jadi keheranan. Demikian juga beberapa orang yang duduk di
dekat sana. Pemuda yang berambut gondrong, berpakaian lusuh serta bertampang
keren tapi macam anakanak itu berlagak seperti seorang kaya raya yang punya
banyak uang, sok tak mau terima uang kembalian! Tapi perhatian orang hanya
sebentar tertuju kepada si pemuda. Masing-masing kemudian sibuk mengurusi mulut
dan perutnya sendiri. Si pemuda mendekati pemilik kedai dan berkata pelahan:
“Uang yang kulebihkan itu untuk
membayar beberapa keterangan darimu, Bapak,” katanya.
“Keterangan?” Si orang tua
kerenyitkan kening.
“Keterangan apa…?”
“Bapak sudah lama tinggal di
Kotaraja ini?”
“Dari masih orok sampai punya
buyut!” jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih bertanya-tanya dan heran.
“Kenapa anak tanya begitu?”
“Oh tak apa-apa…. Mungkin bapak
kenal dengan seorang perempuan bernama Rara Murni?” Pertanyaan ini membuat si
orang tua lebih heran.
“Semua orang di Pakuan ini tahu
siapa Rara Murni,” katanya.
“Oh pantas.. pantas… Rara Murni
yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu Kamandaka!” Tentu saja si pemuda
mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka kalau Rara Murni adik dari raja
Pajajaran?! Namun dengan pandainya dia menyembunyikan kekagetannya itu.
Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya.
“Anak muda, ada maksud apakah kau
bertanyakan adik Sang Prabu itu…?”
“Oh tidak apa-apa. Tidak
apa-apa….”
“Kalau kau bermaksud buruk
ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali hulubalanghulubalang Sang Prabu
yang bertelinga tajam!” Si pemuda sunggingkan senyum.
“Kau terlalu bercuriga
terhadapku, orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang mendengar kabar
disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang cantik
jelita. Biasa bukan laki-laki tanya perempuan…?” Pemuda ini kemudian tertawa
geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh suara bentakan dari arah pintu.
“Manusia yang berani bicara
seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh! Aku mau lihat tampangnya!”
.Suara itu keras dan garang. Si pemuda melihat bagaimana orang tua di
hadapannya menjadi gemetar ketakutan.
“Aku sudah bilang apa… aku sudah
bilang apa…” katanya berulang kali. Pemuda itu dengan perlahan memutar tubuh.
Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit berhadapan tegap bersenjata
tombak.
“Bagus! Tampangmu memang mirip
kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi kerangkeng istana!” Prajurit ini
melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi muncul di ambang pintu.
“Tangkap pemuda rambut gondrong
itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!” Dengan tombak terhunus kedua prajurit
itu melangkah ke hadapan pemuda rambut gondrong.
“Sebentar saudara… sebentar!”
kata si pemuda sambil pentangkan kedua telapak tangannya ke muka. Selarik sinar
halus berhembus ke arah jalan darah kedua prajurit itu.
Dan semua mata dalam kedai yang
tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa kedua prajurit itu hentikan
langkah karena memenuhi permintaan si pemuda. Padahal dua prajurit itu sudah
kena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku tak bisa bergerak tak bisa
bicara!
“Sebentar, aku mau bicara dulu!”
kata pemuda rambut gondrong kini pada prajurit yang di pintu.
“Bicara apa?! Lekas? Katakan!”
Seekor lalat terbang dan hinggap di lengan kiri si rambut gondrong.
“Ah lalat ini! Mengganggu aku
yang hendak bicara!” kata si rambut gondrong. Dengan jari-jari tangan kanannya
disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan binatang itu. Sang lalat
memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan terus menotok
jalan darah prajurit yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang tetap melihat dia
berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya tubuhnya sudah kaku tegang! Si
rambut gondrong datang ke hadapannya, pura-pura membisikkan sesuatu lalu
menepuk bahu prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai menjadi heran. Dan
beberapa ketika saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba:
“Bluk… bluk… b!uk…. !” Ketiga
prajurit itu rebah ke tanah susul menyusul! Begitu mencium lantai begitu mereka
kembali sadarkan diri! Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga prajurit dengan rasa
malu, geram dan amarah meluap memburu ke luar kedai tapi si rambut gondrong
sudah lama lenyap! Tiga prajurit ini tiada lain adalah anak buah Kalasrenggi.
Sewaktu pemuda rambut gondrong mengeliling Kotaraja mencari dua manusia yang
ditemuinya malam tadi di teratak tua di luar tembok kerajaan maka tanpa
setahunya sepasang mata telah menguntitnya. Yang menguntit tiada lain dari
Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk melaksanakan tugas yang
diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong masuk kedai maka
dikirimnya tiga orang prajurit ke sana. Diperintahkannya untuk menangkap pemuda
itu dengan alasan yang dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka pengusutan lebih
lanjut siapa adanya pemuda ini akan dilakukan Kalasrenggi sesudahnya dia
selesai melakukan tugas dari Werku Alit. Ketika mereka masuk dengan diam-diam
mereka telah mencuri dengar apa yang dipercakapkan si rambut gondrong dengan
orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk menalngkap pemuda itu. Namun
karena tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan tenagatenaga lahir yang kasar,
tak mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah si rambut gondrong
“mempermainkannya!”
– == 0O0 == -
**********
10
“Kalau Rara Murni adalah adiknya Raja Pajajaran…” kata pemuda itu sambil terus juga menyusuri jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau,
“Pasti peristiwa penculikannya
mempunyai latar belakang yang besar dan buntut panjang!” Dia menengadah ke langit.
“Ah, cepat benar bergesernya
matahari….” katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan dengan seorang penjual
sayur mayur maka bertanyalah dia,
“Bapak, manakah jalan yang menuju
ke lembah Limanaluk?” Penjual sayur mayur itu menyeka peluh di keningnya terlebih
dahulu. Diputarnya badannya sedikit dan dia menunjuk ke ujung jalan.
“Ikuti saja terus jalan ini,
jangan mengkol. Limanaluk sekira setengah hari perjalanan dari sini.” Pemuda
yang bertanya mengucapkan terima kasih lalu metanjutkan perjalanannya kembali….
Kereta itu bagus dan mungil potongannya. Dua ekor kuda coklat yang menariknya
berlari kencang. Empat prajurit terpercaya mengawal kereta ini. Dua orang di
depan, dua lainnya di belakang. Debu menggebubu sepanjang jalan yang mereka
lalui. Setelah dua jam perjalanan meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh
mulai banyak lobang-lobang dan batu-batunya. Kusir memperlambat jalan kereta
terutama ketika melewati satu pengkolan tajam. Selewatnya sebuah penurunan
jalan yang mereka lalui baik kembali dan menyusuri tepi sebuah kali kecil
berair jernih. Prajurit di depan sebelah kanan melambaikan tangan memberi tanda
berhenti. Ketika kereta itu berhenti maka tersibaklah tirai jendela dan sebuah
kepala berparas jelita remaja munculkan diri ke luar.
“Ada apa berhenti?” Suara gadis
ini bertanya begitu merdu. Kepala pengawal menjura sedikit dan menjawab:
“Kuda-kuda kita perlu diberi
minum, Tuan Puteri…” Rara Murni menutupkan tirai jendela kembali. Kusir turun
dari kereta dan membawa kedua ekor kuda coklat ke tepi kali. Enam ekor binatang
itu kemudian seperti berebutan memasukkan mulutnya ke datam air kali yang
bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka rombongan bersiap-siap untuk
melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas kereta empat orang
penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan muka mereka tak
dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan kerudung kain hitam
yang dilubangi di bagian matanya.
“Perjalanan kalian hanya sampai
di sini!” kata penunggang kuda paling depan. Suaranya berat dan parau, disertai
dengan tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali suaranya yang asli.
Empat pengawal kereta yang tahu bahwa manusia-manusia berkerudung kain hitam
itu datang bukan dengan membawa maksud baik segera cabut pedang! Melihat ini
orang yang tadi bicara tertawa mengekeh.
“Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran
kalau masih ingin selamatkan batang leher segeralah tinggalkan tempat ini!”
“Bangsat rendah! Berani menghina
prajurit kerajaan! Terima pedangku!” bentak kepala pengawal. Dia melompat ke
muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa sinar matahari! Manusia
berkerudung sentakkan tali kekang kuda dan miringkan badan. Berbarengan dengan
itu kaki kanannya meluncur dengan sangat cepat. Kepala pengawal kereta
terpekik. Pedangnya lepas dan mental sedang sambungan sikunya yang dimakan
tendangan tanggal dari persendian! Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi sambungan sikunya yang copot! Tiga pengawa! yang lain tanpa
banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh tiga laki-laki lainnya yang
memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran maka terdesaklah
ketiga pengawal kereta. Sementara itu di dalam kereta, mendengar suara
ribut-ribut dan disusul dengan suara beradunya senjata dengan hati cemas Rara Mumi
singkapkan tirai jendela. Dia terkejut sekali melihat ada sesosok tubuh
berkerudung melangkah mendekati kereta. dan mengulurkan tangan untuk membuka
pintu kereta!
“Rara Murni… kau tak usah cemas!
Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan biasa saja. Silahkan turun…!”
“Kalian siapa…?!”
“Siapa kami itu tidak penting.
Turunlah….”
“Rampok-rampok biadab! Kalau
kalian tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini sebelum pasukan kerajaan
datang menumpas kalian!” Laki-laki berkerudung tertawa bergelak. Dibukanya
pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik Rara Murni keluar dari
kereta. Kusir kereta yang sejak tadi seperti terpukau melihat pertempuran yang
berkecamuk di depan matanya, ketika mengetahui bahwa Rara Murni hendak
diperlakukan secara kasar segera mengambil cambuk kereta dan menderu punggung
laki-laki berkerudung.
“Rampok laknat! Berani mengganggu
adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera lagi beberapa kali. Laki-laki
berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan tangan maka berhasillah dia
merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya untuk melecuti muka kusir
kereta. Kusir ini menjerit-jerit. Kemudian dengan kalap mencabut golok
pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya dengan mengelak dan
sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke tebing kali, masuk ke
dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam timbul karena sebelum
jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah membuatnya pingsan
terlebih dulu! Pertempuran antara tiga prajurit pengawal dan tiga laki-laki
berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga pengawal itu menggeletak di tanah
bermandikan darah. Sementara itu di atas kereta Rara Murni berusaha melawan dan
meronta-ronta, menerjang dan meninju laki-laki yang hendak menyeretnya turun
secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan. Dalam waktu sebentar
saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara Murni dinaikkan
ke atas kuda.
“Lemparkan ketlga mayat itu ke
dalam kali!” perintah laki-laki berkerudung yang sudah naik ke atas punggung
kudanya.
“Juga kereta itu!” Tiga mayat
pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik kereta melonjak-lonjak dan
meringkik keras ketika tiga manusia berkerudung itu mendorong kereta ke dalam
kali!
Dalam waktu yang singkat keempat
orang itu segera berlalu. Yang tinggal kini di tempat itu hanya bekas-bekas
pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda yang masih terus meringkikringkik
sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti tenggelam ke dalam kali!
– == 0O0 == -
**********
11
Lembah Limanaluk satu daerah yang jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat manusia berkerudung itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti dan menurunkan gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan segala daya yang ada.
“Rara Murni, kalau kau tak banyak
cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan kekerasan…”
“Lepaskan aku!” teriak Rara
Murni.
“Masuklah ke dalam kuil sana!”
“Tidak!” dan Rara Murni berusaha
hendak lari namun tangannya segera kena dicekat. Laki-laki berkerudung yang
bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya berpaling, lalu katanya pada
ketiga orang itu:
“Kalian kembalilah. Beritahukan
bahwa tugas kita berhasil baik!” Tiga laki-laki berkerudung segera lompat
kembali ke atas punggung kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu. Yang
seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil. Kuil itu sebuah kuil tua yang
sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah pada luruh dimakan umur. Sebuah
arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian mukanya rusak dan tangan serta
kakinya sudah buntung.
“Lepaskan aku dari sini!” teriak
Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai parau.
“Kau terlalu banyak cerewet, Rara
Murni.” kata laki-laki berkerudung. Kedua bola matanya berkilat-kilat
memandangi paras dan tubuh gadis itu.
“Tapi…” kata orang ini kemudian,
“Kau mungkin tak akan banyak ulah
bila mengetahui siapa aku.” Habis berkata begitu laki-laki ini membuka kerudung
penutup mukanya. Kaget Rara Murni bukan kepalang. Seperti tak percaya dia akan
pandangan kedua matanya. Betapakah tidak! Laki-laki berkerudung itu ternyata
adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan yang cukup dikenalnya.
“Kalasrenggi!” Kalasrenggi
tertawa mengekeh.
“Kau sudah lihat mukaku dan tahu
siapa aku. Apa kau juga masih mau cerewet?”
“Apa maksudmu dengan semua ini,
Kalasrenggi?!’ ,
“Apa maksudku? Kau akan lihat
saja nanti!”
“Pengkhianat! Pengkhianat
terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalau kakakku mengetahui
perbuatanmu ini?!”
“Kakakmu tak akan pernah
mengetahuinya!”
“Aku akan adukan dan kau akan
dibuang ke pulau Neraka! Tempat pengkhianatpengkhianat kerajaan!” Kalasrenggi
tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni.
Memang sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam merasa
tertarik dan jatuh hati terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat
sunyi itu, hasrat yang terpendam itu menjadi berkobar-kobar memanasi darah dan
tubuhnya.
“Mungkin kau tak akan pernah
punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni. Kepalamu cukup bagus untuk jadi
benda persembahan kepada kakakmu sendiri!” Rara Murni terkejut.
“Apa maksudmu?” Kalasrenggi
tertawa. Tawa yang menjijikkan Rara Murni. Katanya:
“Kalau kau mau menuruti apa yang
aku katakan, mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari kematian….”
“Kau benar-benar pengkhianat
terkutuk! Terkutuk!” Masih dengan tertawa yang menjijikkan itu Kalasrenggi
melangkah maju mendekati Rara Murni. Matanya berkilat-kilat, cuping hidung
kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat ini Rara Murni segera melangkah mundur.
Mundur sampai punggungnya membentur dinding kuil. Sebelum dia sempat lari ke
pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan panas digelorai nafsu
telah mencekal lengannya.
“Kenapa musti takut…?” ujar
laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas menghembushembus ke muka Rara
Murni.
“Keparat! Lepaskan tanganku!
Lepaskan!” teriak Rara Murni. Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan tangan itu.
Rara Murni tenggelam ke dalam pelukannya yang beringas dan ganas. Ciumannya
bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara Murni memekik. Meronta dan
memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil oleh Kalasrenggi,
membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan ciumanciuman
laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa ketika
Kalasrenggi dengan beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya! Rara Murni
memekik lagi ketika badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya
dilejang-lejangkannya. Namun lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang
dipakainya menjadi turun sampai ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang
sudah menggejolak dalam diri Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat. Rara
Mumi menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan itu
tak ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam
keadaan begitu rupa tak akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan kehormatannya!
Dalam nafsu yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar
di atas punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda
apa yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan
sesaat bila Kalasrenggi memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut
seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai
kuil! Bukan saja tiga sosok tubuh yang bergeletakkan itu yang mengejutkan
Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika mengenali bahwa ketiga manusia ini
adalah anak buahnya sendiri, yang tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk
memberikan laporan pada Raden Werku Alit bahwa tugas penculikan atas diri Rara
Mutni telah dilaksanakan. Nafsu yang membara di tubuh Kalasrenggi dengan serta
merta mengendur dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri
dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hampir saja menjadi mangsa kebejatannya.
Ketika diperhatikannya ketiga
anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi alias sudah menjadi mayat!
Muka-muka mereka membiru sedang pada kening masing-masing dilihatnya tiga
deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu diketahuinya adalah akibat pukulan
atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya angka-angka 212 pada kening ketiga
orang ini adalah tidak dimengerti sama sekali oleh Kalasrenggi! Pada saat
dirinya dilepaskan oleh Kalasrenggi maka pada saat itu pula dengan serta merta
Rara Murni bangkit berdiri dan hendak lari ke pintu kuil. Namun baru tiga
langkah kedua kakinya bergerak, gadis ini hentikan langkah, darahnya tersirap
dan mukanya memucat. Pada pintu kuil sesosok tubuh yang memakai kerudung hitam
berdiri dengan bertolak pinggang. Tak bisa tidak pastilah manusia ini anak buah
Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni… Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan
seseorang di pintu kuil cepat menoleh dan kembali mukanya dilanda rasa
terkejut! Dia tidak kenal dengan manusia berkerudung di pintu itu, tapi dia
pasti betul bahwa laki-laki ini bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam yang
dikenakannya adalah kerudung salah seorang anak buahnya yang telah menemui ajal
dengan cara yang aneh itu! Bukan tidak mustahil manusia ini pulalah yang telah
menamatkan riwayat tiga anak buahnya itu! Meski amarahnya tidak terkirakan
namun Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah. Sepasang matanya memandang
tajam-tajam seperti mau menembus kerudung yang menutupi kepala sosok tubuh
manusia yang berdiri di pintu kuil itu!
“Tamu tak diundang, silahkan buka
kerudung!” kata Kalasrenggi. Orang yang di pintu menyeringai di balik kerudung
hitamnya. Lalu terdengarlah suara tertawanya, mula-mula mengekeh perlahan, tapi
kemudian menjadi tawa bergelak yang menggetarkan gendang-gendang telinga serta
menggetarkan dinding-dinding kuil tua itu! Kalasrenggi bersiap-siap dengan
tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara tertawa manusia ini dapat
menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan menggetarkan dinding kuil, maka ini
suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia bukanlah orang
sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah
menewaskan ketiga anak buahnya. Akan Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan
takut melihat munculnya manusia berkerudung ini, maka setelah mengetahui bahwa
dia bukanlah di pihaknya Kalasrenggi, diamdiam Rara Murni menjadi sedikit lega
hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia yang baru datang ini adalah tuan
penolongnya ataukah seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari Kalasrenggi!
Dalam pada itu dia sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini. Hati
Kalasrenggi serasa dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam
begitu oleh si kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali
besar:
“Kalau kau tak mau buka kerudung,
terpaksa aku turun tangan….” Orang berkerudung hentikan tertawanya. Dan dia
buka mulut menyahuti:
“Diri manusia tidak diukur dari
tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit, maka kejujuran hati,
kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah yang menjadi ukuran!” Merah paras
Kalasrenggi mendengar kata-kata ini. Si kerudung hitam tertawa bergumam dan
berpaling pada Rara Murni dan berkata:
“Bukan begitu Tuan Puteri Rara
Murni…?” Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena tak
menyangka kalau lakilaki itu tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa
laki-lakl ini adalah orang dalam juga. Orang kerajaan juga, entah pengkhianat
entah seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud menolong, mengapa musti pakai
kerudung hitam segala?
“Tapi…” kata laki-laki yang di
pintu pula melanjutkan bicaranya,
“Kalau kau memang kepingin
melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung hitam ini.
Tampangku memang buruk. Namun jika dibandingkan dengan tampangmu, masih mendingan
aku ke mana-mana!” Sambil tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam
yang menutupi kepalanya.
– == 0O0 == -
**********
12
Bila Rara Murni memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka itu ternyata laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong. Meski tertawanya tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong kepada paras anak-anak. Sebaliknya begitu menyaksikan tampang manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingat-ingat di mana dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda yang malam tadi telah berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu dia tengah bicara dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia sendiri menghadiahkan satu tendangan!
“Ingat siapa aku…?”
“Saudara, apa urusanmu dalam hal
ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya menyelinap ke balik pinggang
di mana tersisip sebilah keris.
“Ah… tentu ada saja, Saudara.
Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan padaku malam tadi. Enak juga
tendangan itu. He,.. he… he…. Lalu, aku tidak begitu suka pada manusiamanusia
yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat besar serta tukang rusak kehormatan
perempuan…. Apa itu kurang cukup untuk bikin urusan denganmu?!”
“Hem….” Kalasrenggi menggumam.
“Jadi hari ini aku berhadapan
dengan seorang pendekar budiman huh?! Satu hal yang menyenangkan sekali!” Habis
berkata begini Kalasrenggi keluarkan suara berdengus dari hidungnya.
“Terangkan dulu siapa kau punya
nama!” katanya kemudian.
“Ah, kau keliwat ramah
tanya-tanya segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening ketiga anak
buahmu!” jawab si pemuda pula. Kalasrenggi tertawa mengejek.
“Baru kali ini aku bertemu
manusia yang namanya adalah tiga buah angka. Angka-angka gila!” Si pemuda
tertawa.
“Angka-angka itu mungkin gila!
Tapi tidak segila pengkhianat macam kau Kalasrenggi!”
“Kau sudah tahu namaku. Kenapa
tidak lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”
“Apa kabur dari sini? L.alu kau
teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara Murni? Aku tidak sebodoh dan
sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!”
“Kalau betul kau punya nyali,
tahan ini!” bentak Kalasrenggi garang. Dengan satu lompatan cepat Kalasrenggi
lancarkan serangan tangan kosong. Tapi serangan yang hebat ini dapat dielakkan
lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan tertawatawa.
“Kalasrenggi, kalau mau baku
jotos jangan di dalam sini, mari keluar!” kata si pemuda rambut gondrong atau
pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia berkata begitu karena khawatir dalam
pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di ruangan itu akan mendapat
celaka.
“Tak usah banyak mulut! Kau harus
mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!” bentak Kalasrenggi pula. Untuk
kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran yang berkhianat ini menyerang, lebih
hebat dari tadi. Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap dari hadapannya. Kemudian
di belakangnya terdengar suara siulan.
“Aku di sini Kalasrenggi, mengapa
menyerang tempat kosong?!” Kalasrenggi kertakkan rahang. Dia berbalik dengan
cepat dan menyerang lebih ganas. Tangannya bergerak cepat, tendangan kaki
bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angin yang keras dan bersiuran.
Agaknya permainan silat tangan kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat rendahan.
Dari angin pukulan dan tendangannya Wiro sudah dapat menjajaki kehebatan lawan.
Karena tak mau ambil resiko pemuda ini segera bergerak cepat. Dalam waktu yang
singkat tiga jurus berlalu sebat. Pada saat memasuki jurus keempat Wiro Sableng
melihat Rara Murni melarikan diri keluar kuil. Sambil rundukkan kepala
mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng berseru:
“Rara, tunggu! Jangan pergi
dulu!” Tapi mana si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke atas
Rara Murni mempercepat larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan tangan
kanan ke arah kedua kaki gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan dingin.
Rara Murni merasa kedua kakinya seperti disiram air es, kemudian kedua kakinya
itu kaku tak bisa lagi digerakkan. Larinya dengan serta merta terhenti. Melihat
lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan oleh
Kalasrenggi untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju
kiri kanan menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro
Sableng! Namun dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan
lawan dapat dikelit oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu
lagi dengan satu serangan berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan
Kalasrenggi memukul ke muka, pendekar 212 sengaja menyongsong datangnya lengan
lawan. Maka beradulah lengan dengan lengan! Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya
terpelanting ke belakang sampai punggungnya menghantam dinding kuil. Lengan
kanannya yang beradu dengan lengan lawan kelihatan biru dan bengkak besar.
Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi Wiro Sableng melayaninya seperti
acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau kehebatan lawan demikian
lihainya. Sesudah mengurut lengannya yang bengkak biru serta mengalirkan tenaga
dalam ke bagian yang terpukul itu maka kemudian Kalasrenggi dengan tangan
kirinya mencabut sebilah keris dari balik pinggang. Senjata ini sebuah senjata
pusaka juga rupanya karena memancarkan sinar membiru. Tanpa banyak bicara
kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan serangan dahsyat. Kalasrenggi
memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga sudah mencapai tingkat yang
matang. Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri itu maka serangan-serangannya
sukar diduga. Namun demikian pendekar 212 sudah punya rencana sendiri terhadap
manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan dielakkannya saja untuk beberapa lamanya
serangan-serangan keris Kalasrenggi. Kepala pasukan pengkhianat ini semakin
gemas dan geram. Dipercepatnya gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil
yang dikehendakinya.
“Pegang senjatamu erat-erat,
Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat. Kalasrenggi masih belum mengerti
apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama sekali tidak dapat melihat
dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja dirasakannya
keris pusakanya terlepas dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan seruan
tertahan. Memandang dengan tak percaya pada tangan kirinya yang kosong! Wiro
Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang
seperti hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang cepat merunduk dan
berusaha menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi
tertipu. Tangan yang menyerang dan hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu
belaka. Tanpa dapat dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan
kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk kirinya. Mendadak sontak detik itu juga
tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan
lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa mendengar,
demikian juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar
212 sengaja menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.
Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong Wiro
Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda ini
melangkah mendapatkan Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang telah memakukan
kedua kaki gadis itu. Rara Murni begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari
namun tangannya cepat dipegang oleh Wiro Sableng.
“Lepaskan tanganku!” teriak Rara
Murni.
“Terhadapku tak usah takut, Rara
Murni.” kata pendekar 212 pula.
“Kau siapa?!” tanya Rara Murni
dan berusaha melepaskan tangannya yang dipegang.
“Siapa aku itu soal nanti. Tapi
apakah kau akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi tanpa memberikan satu
hukuman yang setimpal terhadapnya?!”
“Aku akan laporkan kejahatannya
terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti
akan dibuang ke pulau Neraka!
“ Pendekar 212 tersenyum.
“Kuil ini juga bisa menjadi
tempat neraka baginya, Rara Murni. Mari, aku akan tunjukkan cara yang bagus
untuk menghukum pengkhianat dan manusia bejat macam dia!” Dengan seutas tali
pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi. Kalasrenggi yang saat
itu meski tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan bicara:
“Keparat! Kau mau buat apa
terhadapku?!”
“Ah, kau masih bilang keparat,
Saudara…” jawab pendekar 212 dengan tertawa.
“Pernahkah kau melihat dunia
terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke bawah?!”
“Apa maksudmu?!” bentak
Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga apa yang bakal
dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat dingin.
“Apa maksudku kita akan saksikan
sama-sama, Kalasrenggi,” kata Wiro Sableng pula. Sekali saja tali yang mengikat
kedua pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka terbantinglah laki-laki itu
ke lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan bersemburan dari mulut
Kalasrenggi.
“Sudahlah, jangan memaki-maki
juga, tak ada gunanya,” kata pendekar 212. Dia memandang ke atas atap kuil dan
dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang di bawah atap. Ujung tali yang
dipegangnya dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali itu menjuntai ke bawah
kembali setelah terlebih dahulu menyangkut di tiang palang maka pendekar 212
mulai mengerek badan Kalasrenggi. Gelap dunia ini bagi Kalasrenggi. Dalam tempo
yang singkat mukanya menjadi sangat merah karena darah yang mengalir turun
memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi tubuhnya kaku tak bergerak,
hanya terbuai-buai saja macam karung diisi pasir dan digantung! Yang bisa dilakukan
Kalasrenggi hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia menjadi letih sendiri.
Pendekar 212 tertawa mengekeh macam kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni
sebentar lalu bertanya pada Kalasrenggi:
“Bagaimana, indahkah dunia ini
bila dilihat terbalik…?”
“Demi setan bila bebas aku
bersumpah untuk mencincang tubuhmu keparat…!” hardik Kalasrenggi.
“Sumpahmu terlalu hebat
Kalasrenggi. Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari jarijari tanganku ini…?”
Dengan senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi. Kemudian
sepuluh jari-jari tangannya menggerayang menggelitiki tulang rusuk Kalasrenggi!
Laki-laki ini menjerit, melolong setinggi langit sampai suaranya menjadi serak!
Wiro Sableng tertawa senang. Rara Murni sendiri hampir-hampir tak dapat menahan
gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga berteriak, menjerit, melolong dan memekik
dengan suaranya yang serak parau itu!
“Rara Murni, ayo mengapa diam
saja? Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu terhadapnya, inilah saatnya,”
kata Wiro Sableng pula. Meski amarahnya memang masih meluap terhadap
Kalasrenggi namun berada lebih lama di situ menimbulkan kekhawatiran bagi Rara
Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak dapat memastikan manusia yang bagaimana
adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun dianya telah menolong dan
menyelamatkan diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa banyak bicara menyahuti
ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera lari
meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk
menahan Rara Murni, diikutinya saja gadis itu dengan pandangan mata.
“Gadis tolol!” gerendeng pendekar
212 dalam hati.
“Dikiranya Kotaraja dekat dari
sini!”
Kemudian ketika Rara Murni lenyap
di balik kelebatan pohonpohon di lembah Limanaluk itu maka pendekar 212 segera
angkat kaki pula, menyusul dengan diam-diam dari belakang….
– == 0O0 == -
***********
13
Begitu keluar dari lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah berlari itu. Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya! Dia berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru disadarinya keadaan pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak kain di bagian dadanya. Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya.
Dia menunggu sampai nafasnya yang
memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya
pun terasa sakit. Rara Murni merasa bahwa dia tidak sendirian di tempat itu.
Dipalingkannya kepalanya. Darahnya tersirap karena begitu kepalanya diputar
maka kedua matanya membentur sesosok tubuh yang berada dekat sekali di
sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda rambut gondrong yang di kuil tua
tadi!
“Letih?” tanya Wiro Sableng
dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.
“Kotaraja tidak dekat dari sini,
Rara…”
“Aku tahu…”
“Lalu, mengapa lari-lari macam
begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut? Rambutku yang gondrong ini
barangkali ya?”
“Saudara, kau ini siapa
sebenarnya?”
“Aku? Aku ya aku…” jawab Wiro
pula.
“Kalau kau hendak bermaksud jahat
pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!”
“Ah… tampangku memang jelek, tapi
aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni. Aku hanya tak ingin melihat
kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin seperempat jalan kau
sudah mengeletak pingsan!”
Rara Murni terdiam. Tapi kemudian
dia berkata: “Walau bagaimanapun aku musti kembali ke Kotaraja selekas
mungkin…”
“Itu memang betul. Tapi bukan
dengan lari caranya. Mari ikut aku…”
“Ikut ke mana?”
“Dengar Rara, kau tak perlu
terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa ekor kuda. Kau
bisa naik kuda?”
Gadis itu menggeleng. Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kalau begitu…” katanya,
“Kau terpaksa naik
kuda bersama-samaku!”
Maka merahlah paras Rara Mumi.
“Jangan bicara seenak perutmu,
saudara!” bentak gadis ini.
“Heh… aku toh tidak bicara usil.
Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?”
“Aku lebih baik jalan kaki!”
sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa.
“Dengar Rara Murni, aku mempunyai
firasat bahwa peristiwa penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang dan besar.
Kalau Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran,
bahkan bukan hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak bikin celaka terhadap
kau, maka tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi kerajaan lainnya yang
turut terlibat dalam pengkhianatan ini…” Ucapan Pendekar 212 itu memang
terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi menunggang kuda bersama pemuda itu,
tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang bila melihat hal itu
nanti? Kemudian didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng kembali:
“Makin cepat kau sampai ke
Kotaraja semakin baik…” Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya tetap keras
tak mau naik kuda bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini kemudian
putar tubuhnya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Wiro Sableng menggerutu
dalam hatinya.
“Gadis keras kepala! Kalau sudah
lecet kulit kakinya baru tahu rasa!” Dia geleng-geleng kepala dan melangkah
pula mengikuti. Beberapa lama kemudian mereka sampai di tepi sebuah jalan umum.
Selama itu tak satu pun dari keduanya yang buka mulut.
“Rara,” kata Wiro ketika mereka
sampai di jalan umum itu.
“Ada baiknya kita berhenti
istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa
menumpang.” Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah karena memang
kedua kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di tepi jalan
itu tapi tak satu kendaraan pun yang lewat.
“Rara Murni…” kata Wiro Sableng.
“Agaknya kau tidak senang
terhadapku…? Tak mau bicara denganku?” Rara Murni diam saja. Sebenarnya memang
tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu. Hanya segala apa
yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir menimpa dirinyalah yang membuat
dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda berambut
gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa adanya. Wiro
Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia.
“Kita berangkat lagi, Rara…?”
“Saudara….” kata Rara Murni untuk
pertama kalinya sesudah sedemikian lama berdiam diri.
“Kau sendiri siapa sebenarnya dan
mau menuju ke mana?”
“Ah… ini pertanyaan yang bagus
sekali. Bagus sekali.” kata pendekar 212 dengan senyum-senyum.
“Siapa aku, kurasa tidak penting.
Dan ke mana aku mau menuju… aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu… !” Rara
Murni memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu. Jawabannya
seperti jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula jawaban
itu hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke
ujung jalan sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik
oleh dua ekor lembu. Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua orang
laki-laki. Mereka berpakaian petani sedang setengah dari gerobaknya sarat
dengan sayur mayur.
“Nasib kita baik juga rupanya
Rara,” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang mendekat, pemuda ini
segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
“Saudara, apakah kalian menuju ke
Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak tak menjawab pertanyaan Wiro Sableng
melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di sampingnya.
“Kalau kami tak salah lihat,”
kata laki-laki yang mengemudikan gerobak,
“Agaknya kami berhadapan dengan Tuan
Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran…” Rara Murni mengangguk dan kedua
orang itu segera turun dari kereta lalu menjura.
“Ada hal apakah sampai Tuan
Puteri berada di tempat ini…?” tanya laki-laki yang memegang kemudi gerobak.
Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu melirik pada
kawannya. Rara Murni hanya menarik nafas panjang. Karena mengira pemuda rambut
gondrong dan berpakaian sederhana itu adalah hamba sahaya atau pembantu Rara
Murni maka yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala acuh tak acuh. Seorang
dari mereka kemudian berkata pada Rara Murni:
“Jika Tuan Puteri bermaksud
hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja bersedia bahkan merasa berkewajiban
untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah keadaan kereta kami, kotor dan penuh
sayuran…”
“Itu tak menjadi apa, pokoknya
asal sampai ke Kotaraja.” Yang menjawab adalah Wiro Sableng. Ini mengesalkan
kedua orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni naik ke atas gerobak.
Gadis itu duduk di sebelah muka, di samping pengemudi sedang kawannya bersama
Wiro Sableng duduk di sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak lama
kemudian gerobak itu pun bergeraklah.
– == 0O0 == -
**********
14
Kesunyian sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekalisekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki lobang jalanan. Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang sebentarsebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong. Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat. Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
“Saudara, aku minta mentimunmu
satu….” kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu jawaban pemilik sayuran itu
langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar dan menggerogotinya.
Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya terkatup
rapat-rapat.
“Rara Murni…” seru Wiro Sableng
tiba-tiba.
“Apakah kau suka makan mentimun?”
Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.
“Panas-panas begini enak sekali
makan mentimun, untuk pelepas haus dan mendapatkannya tak usah susah payah…”
“Terima kasih… aku tidak haus,
Saudara….” Terdengar jawaban gadis itu.
“Hem….” Wiro Sableng menggumam
dan terus juga mengunyah mentimun dalam mulutnya, dan gerobak terus juga
bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-batu. Di bagian
belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir ketimun
amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di hadapannya.
Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang
kantuk segera datang. Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah jalan buntu
yang menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah
suara Rara Murni bertanya:
“Saudara, kenapa ke sini dan
berhenti di sini?” Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba tertawanya
yang menjijikkan itu lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di
bagian belakang kereta sendiri petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng
tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang. Begitu golok tercabut
keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan ke kepala Wiro
Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup
angin sejuk sepanjang perjalanan! Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan
membelah batok kepala pendekar 212, maka terdengarlah bentakan menggeledek.
“Ciaaat!” Tubuh petani yang
menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu kemudian
tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini
hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun! Pandangan bola mata pendekar
212 menyorot bersinar.
“Kentut betul!” makinya dan
meludahi muka mayat petani ini.
“Orang lagi enak-enak tidur mau
dibacok, rasakan sendiri! Puah…!” Diludahinya lagi muka mayat itu kemudian
dipalingkannya kepalanya dengan cepat. Rara Murni tengah meronta-ronta
melepaskan cekalan petani yang mengemudikan gerobak sayur.
“Saudara, tolong aku!” teriak
gadis itu pada Wiro Sableng.
“Petani sialan!” gerendeng Wiro
Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
“Budak hina! Pergi dari sini atau
kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki yang mencekal Rara Murni.
“Sreet!” Dicabutnya sebuah golok
dari batik pinggang.
“Hemmm… jadi kau hanyalah seorang
rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh? Seekor serigala yang berbulu
domba…. Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!”
“Anjing buduk tak tahu diri,
dikasih kebebasan malah minta mampus!” Dengan tangan kirinya pengemudi gerobak
itu totok tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan totokan laki-laki itu pendekar
212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang petani biasa atau pengemudi
gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay yang tengah menyamar! Maka
ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat
dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar
sewaktu melihat orang yang diserangnya tenyap dari hadapannya. Sambaran
goloknya yang deras mengenai tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong
ke muka dan pada saat inilah kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya yang
menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu kuduk laki-laki ini.
Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan dengan rasa geram
dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua kalinya
berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng. Tapi kali yang kedua ini justru
adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi menghantam angin kosong dan
sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka lima jari tangan
dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki dengan
golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!
“Plaaak!” Telapak tangan kanan
pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan suara jerit
kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit
keningnya hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu
terteralah angka 212. Laki-laki ini bernasib masih untung dari kawannya karena
pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya. Wiro Sableng melepaskan totokan yang
mengakukan tubuh Rara Murni.
“Hari ini nasibmu sial
terus-terusan rupanya, Rara,” kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si gadis
tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi:
“Tapi ada juga untungnya. Gerobak
ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan. Rara Murni naik
kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang
perjalanan gadis itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya itu
bertampang gagah, tapi aneh dan juga lucu. Dan di samping itu kehebatan yang
telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam membuat dia mengagumi si
pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama sekali siapa nama pemuda
itu! Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak.
Dia berpaling ke samping. Lalu berkata:
“Rara, Pakuan sudah di depan
mata. Aku mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau bawalah terus gerobak ini,
tak susah untuk mengemudikannya….”
“Kau sendiri hendak ke mana,
Saudara?” tanya Rara Murni heran. Pendekar 212 tertawa.
“Ke mana aku mau pergi itulah
satu hal yang aku tidak bisa jawab,” ujar Wiro Sableng pula.
“Cuma pesanku, jangan lupa untuk
mengatakan segala kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa
peristiwa-peristiwa yang kau alami itu mempunyai latar belakang. Dan bukan
mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana lainnya yang menjadi
pengkhianat macam Kalasrenggi….” Rara Murni mengangguk. Kemudian Wiro Sableng
berkata lagi:
“Juga jangan lupa mengirimkan
sepasukan prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk
Kalasrenggi….” Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya
pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat
berkata:
“Saudara… tunggu dulu.” Pendekar
212 putar tubuhnya kembali.
“Ada apakah Rara…?”
“Aku belum bilang terima kasih
pada kau…”
“Ah….” Wiro Sableng goyangkan
tangannya,
“Tak usah… tak usah. Itu hanya
kebetulan saja….”
“Sang Prabu mungkin akan banyak
bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-sama ke istana.”
“Terima kasih. Tapi aku ada
urusan lain Rara….” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem… kalau Sang Prabu
bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti menerangkannya?” Wiro Sableng
tertawa.
“Nama itu sebenarnya tidak ada
arti apa-apa. Rara. Kita semua dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita
yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan saja….”
“Jadi, apakah kau tidak punya
nama?” tanya Rara Mumi pula. Wiro Sableng tertawa lagi.
“Namaku tidak penting Rara. Tapi
kalau kau penasaran ingat-ingat angka ini….” Habis berkata begitu ditariknya
saja ujung bawah kain yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya,
dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya, maka dituliskannya tiga rentetan
angka 212. Rara Murni memperhatikan angka itu.
“Dua satu dua…:” desisnya.
Diangkatnya kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Namun dia
terkejut dan tak habis heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya,
seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara Murni memandang berkeliling. Tapi
pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan. Gadis itu menghela nafas panjang.
“Pemuda aneh… agak ceriwis… tapi
berhati polos….” kata Rara Murni dalam hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik
gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju pintu gerbang Kotaraja. Tentu saja
Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan dan mengetahui apa
yang telah terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan segera
dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat karena saat itu
pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas lagi, mati tergantung dengan darah
bercucuran dari hidung, mata serta telinga! Rara Murni sendiri, secara diam-diam
menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk mencari jejak Wiro Sableng si
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka siasia belaka. Hari itu
juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi
hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu
Raden Werku Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang
mewah di lingkungan istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari
Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh pengkhianat terbesar? Satu-satunya orang
yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang menggagahi
Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke
hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan
menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa
di situ juga. Siapakah petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah
ditamatkan riwayatnya oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang
satu itu memutuskan untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain
adalah mata-mata kaki tangan kaum pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa
Birawa untuk menemui Raden Werku Alit dan menyelidiki suasana di Pajajaran
menjelang saat-saat penyerangan total diadakan! Seperti yang diceritakan di
atas, dalam perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah
bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong
yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat
mereka untuk menculik gadis itu dan membawanya ke tempat persembunyian kaum
pemberontak di kaki Gunung Halimun. Namun maksud mereka itu membawa celaka
kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi
roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan
tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum dipaksa
untuk memberikan keterangan!
– == 0O0 == -
**********
15
Malam itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan kali ini sangat penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan ketat oleh para pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua tokoh sekutu dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan Adipati Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh seorang kurir Raden Werku Alit dari Kotaraja. Sebagaimana biasa pertemuan penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang duduk di kepala meja. Setelah mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman masing-masing maka Mahesa Birawa segera membuka pembicaraan.
“Pertama sekali perkenankanlah
saya atas nama Adipati-Adipati yang terdahulu datang ke sini dan juga atas nama
Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang pada Adipati Warok Gluduk dan
Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad Adipati-Adipati berdua untuk
bersedia membantu dan bersekutu dalam perjuangan mencapai cita-cita kita yang
besar yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan Kamandaka dari takhta
kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit masih hidup maka
Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi Raja Pajajaran….” Mahesa
Birawa memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu melanjutkan bicaranya:
“Kedua kalinya, pertemuan ini
adalah juga untuk membahas keterangan yang telah disampaikan kurir dari
Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang mata-mata kita tertangkap. Yang satu
terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri. Mayat mereka dibuang ke kali. Mengenai
peristiwa ini ada sedikit keterangan yang bersimpang siur sehingga belum dapat
saya menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua matamata kita itu mengalami
nasib demikian rupa. Kabar keterangan yang paling buruk ialah bahwa salah
seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga telah menemui
kematiannya. Dia digantung di sebuah kuil tua di lembah Limanaluk. Mengenai
kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan keterangan yang agak bersimpang
siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang ke kuil
itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas, digantung kaki ke atas kepala ke bawah
dan pada keningnya tertera guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu
angka 212….” Mahesa Birawa memandang berkeliling dan melihat paras-paras
Adipati itu keheran-heranan.
“Sukar diduga siapa sebenarnya
yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat ditafsirkan apa arti angka 212
itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu memerintahkan pembersihan
besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita sudah menyingkir. Dan menurut
Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan kurir itu masih belum ada
kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam sehari dua ini dia akan
segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali, menentukan kapan
penyerangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit berharap agar kita
terus dalam kesiap siagaan…..” Sunyi sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil
yang berkepala sulah meneguk tuaknya, mengumur-ngumurkan minuman itu dalam mulutnya
beberapa lama, lalu bertanya:
“Sampai saat ini berapakah
kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut keterangan Kalasrenggi
sebelum menemui kematiannya tempo hari sekitar dua ribu lebih. Memang jumlah
kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu enam ratusan. Tapi
janganlah itu menjadi kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa aku katakan
tak usah khawatir sebabnya begini. Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang
besar tidak selamanya menentukan untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan yang
lebih sedikit sanggup mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini adalah
disebabkan bahwa sesungguhnya unsur kekuatan atau jumlah tidak terlalu
menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih menentukan. Dengan taktik yang
tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana kelemahankelemahan pertahanan
pasukan Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan mata bisa mengobrakabrik mereka!
Kedua, dalam peperangan kecepatan tempur atau waktu penyerangan yang tepat
adalah sangat menentukan. Bila lawan sedang lengah, meskipun jumlahnya besar,
sanggup dikacau balaukan dan disapu bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian
pula dengan kita. Kita akan menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap!
Pajajaran hanya baru akan mengetahui bila balatentara kita sudah berada di
depan mata hidung mereka! Dan saat itu mereka tak akan ada waktu lagi untuk
mempersiapkan diri. Aku rasa dengan berpegang teguh pada dua hal itu, tidak
sukar bagi kita untuk membereskan Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan
pula manusia-manusia berilmu rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari
perguruanperguruan silat yang ternama juga, bukankah demikian?” Kelima Adipati
itu sama mengulum senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris ilmu-ilmu silat
dari pelbagai cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat dianggap
ilmu pasaran yang rendah belaka!
“Di samping itu,” kata Mahesa
Birawa pula,
“Jangan pula kita lupakan bantuan
yang akan diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal yakni
Begawan Sitaraga….”
“Oh, jadi Begawan sakti yang diam
di puncak Gunung Halimun itu membantu kita pula?” tanya Warok Gluduk, Adipati
dari Rajasitu.
“Ya,” sahut Mahesa Birawa.
“Bagaimana sampai Begawan ini mau
membantu perjuangan kita?” tanya Tapak Ireng.
“Setahuku dia mempunyai
pertikaian dengan Toa Kamandaka….
“ jawab Mahesa Birawa pula.
“Kalau benar begitu, satu hari
saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan tanah….” kata Warok Gluduk sambil
mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya kedudukan yang bakai diterimanya bila
pemberontakan mereka berhasil nanti!
* * *
Waktu itu hari hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin. Sosok tubuh itu berjalan dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik, tidak perduli angin kencang, tidak perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang sumsum. Dia berjalan terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka disusurinya tembok tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu dilewatinya seorang pengawal bersenjata lengkap. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh delapan orang perajurit berhentilah pemuda itu. Dia memandang ke kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang lalu memandang pada barisan pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal pintu gerbang mula-mula memandang saja dengan penuh curiga namun kemudian salah seorang daripadanya membentak:
“Pemuda gondrong! Ada apa kau
celangak celinguk di sini?!” Dibentak malahan pemuda itu tersenyum.
“Apa kau tidak tahu berada di
mana saat ini?!” bentak prajurit pengawal yang lain.
“Ah… itulah yang aku mau tanya,
saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja Pajajaran?” Delapan pasang mata
prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada kesimpulan lain bagi
mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut gondrong itu seorang
yang kurang ingatan. Seorang prajurit yang agak berumur maju ke muka.
“Orang muda, ini memang istana
Raja Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri lama-lama di sekitar sini….”
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya.
“Kalau berdiri di sini tidak
boleh… tentu masuk lebih tidak boleh lagi….
“ katanya perlahan seperti pada
dirinya sendiri.
“Berlalulah dari sini,” kata
prajurit tadi.
“Tapi, aku mau bertemu dengan
Rara Murni….” kata si pemuda. Prajurit tua itu tertawa.
“Tak seorang pun yang diizinkan
bertemu dengan Tuan P.uteri, apalagi kau….”
“Ini urusan penting sekali,
Saudara!” desak si pemuda. Salah seorang prajurit yang lain, yang sudah tak
sabaran berkata:
“Pemuda gila, berlalulah dari
sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan kepalamu!” Tapi si pemuda tidak
memperdulikan ancaman itu.
“Saudara pengawal, dengarlah,”
katanya.
“Aku pernah kenal dengan Rara
Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari kalian semua di sini. Aku musti
ketemu dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang pemuda berambut gondrong
bernama 212 mau bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan mengizinkan aku masuk….”
Kedelapan prajurit pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di antaranya malah
mencibir. Dan seseorang di antara mereka berkata:
“Kau salah alamat, kawan.
Mustinya kau datang ke rumah dukun Gendong di kampung Andawa, minta obat
kepadanya agar otakmu yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku sinting?!”
radang si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang tidak sinting! Tapi
berotak miring atau setengah gila!” Dan gelak membahak terdengar lagi di depan
pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak mau kasih aku
masuk, tak apa,” kata si pemuda yang tiada lain daripada pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Tapi satu hal aku katakan, aku
tidak gila. Kalianlah semua yang gila tertawa tiada pangkal sebab!” Habis
berkata begini pemuda itu berlalu, melangkah sambil bersiul-siul. Rara Murni
seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu terbuka dan dua
sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang pengasuhnya, seorang perempuan
tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut gondrong yang pernah
menolongnya tempo hari.
“Kita bertemu lagi, Rara,” kata
Wiro Sableng.
“Di pintu gerbang aku tak
diperbolehkan masuk, terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua ini
untuk memberitahukan kamarmu…. “
“Ada apakah kau datang ke sini,
Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah… rupanya kau masih belum
melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku datang ke sini…. Untuk bertemu
dengan kau tentunya.” kata pendekar 212 pula seraya menyandarkan punggungnya ke
pintu yang tadi ditutupkannya. Merah paras Rara Murni mendengar kata-kata Wiro
Sableng. Tentang diri penolongnya ini memang tak pernah dilupakannya, terutama
mengingat kehebatannya. Maka bertanya pula dia:
“Mengapa kau ingin ketemu aku…?”
“Oh, jadi tak boleh ketemu?”
“Bukan begitu maksudku,
Saudara….”
“Dengar Rara, aku musti bertemu
dan bicara dengan Sang Prabu malam ini juga….” Rara Murni terkejut.
“Ada urusan apa…?”
“Urusan penting. Penting
sekali….” Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya meski ceriwis
dan suka bicara ngelantur tapi hatinya polos. Namun demikian dia masih belum
tahu siapa adanya pemuda ini. Bukan mustahil dia adalah seorang pengkhianat
macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan taktik secara lain. Purapura menolong
pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan menggolong.
“Katakan saja urusan pentingmu
itu, saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada Sang Prabu….”
“Ini bukan urusan perempuan, Rara
Murni.” kata Wiro Sableng pula. Rara Murni yang lebih mementingkan keselamatan
kakak kandungnya Prabu Kamandaka menjawab:
“Maaf, walau bagaimanapun aku tak
dapat mempertemukan kau dengan Sang Prabu….” Wiro Sableng tak berkata apa-apa.
Digaruknya kepalanya.
“Sukar memang untuk percaya pada
manusia macamku. Tapi biarlah, bertemu dengan kau puas juga hatiku.” Pendekar
itu tertawa dan kembali melihat bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah.
Tiba-tiba tangan kirinya dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang
lurus-lurus. Tanpa keluarkan suara inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah
tiada sadarkan diri. Rara Murni hendak menjerit. Tapi mulutnya ditekap oleh
Wiro Sableng. Pemuda ini berkata:
“Rara, perempuan itu tak apa-apa.
Aku hanya menotoknya agar jangan sampai dia membocorkan rahasia. Ketahuilah,
istanamu ini kini penuh dengan pengkhianatpengkhianat. Aku tak tahu siapa yang
menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir kepalanya dan
kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini juga kau
bawalah Sang Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku ini?” Habis berkata demikian
pendekar 212 melangkah ke dinding dan pergunakan jari telunjuknya untuk
menulis. Menulis serentetan syair yang mengandung nasihat dan peringatan. Dalam
waktu yang dekat akan pecah pemberontakan Pemberontakan menggulingkan Sang
Prabu dari takhta kerajaan Istana penuh dengan pengkhianat-pengkhianat bermuka
jujur tapi berhati seculas setan Siapkan bala tentara di luar tembok kerajaan
212
“Samapi ketemu lagi Rara Murni.”
kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis rentetan syair itu. Lalu
cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni memburu ke pintu tapi si
pemuda sudah lenyap. Ketika malam itu juga Rara Murni menemui Sang Prabu dan
menerangkan tentang kedatangan pemuda aneh itu maka terkejutlah Prabu
Kamandaka. Dengan langkah besarbesar dan tanpa pengawal sama sekali Raja
Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan memang apa yang tertulis di
dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan adiknya. Dinding kamar itu
dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras. Dengan pahat
sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh telah
menuliskannya dengan ujung jari!
“Bagaimana pendapat Kanda?” tanya
Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu seorang yang
sakti luar biasa.” kata Prabu Kamandaka.
“Tapi apa yang dituliskannya di
dinding ini, adalah satu hal yang aku belum bisa percaya. Tentara kerajaan
telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun ditemukan….”
“Mungkin mereka semua sudah
menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat yang tersembunyi di luar
kerajaan,” kata Rara Murni pula. Prabu Kamandaka mengusap-usap dagunya. Lalu
katanya:
“Rahasiakan tentang tulisan ini,
Dinda. Meski aku tak percaya, aku akan mengadakan penyelidikan juga.” Sesudah
itu, keluarlah Kamandaka dari kamar adiknya.
– == 0O0 == -
*********
16
“Berhenti!”
“Tahan!” Enam prajurit maju ke
muka, enam ujung tombak ditujukan ke dada dan punggung manusia berpakaian putih
itu.
“Siapa kau?!”
“Aku mau bertemu dengan Mahesa
Birawa!”
“Keparat, aku tanya siapa,
menjawabnya lain” bentak prajurit itu. Laki-laki itu menggeram dalam hati.
“Tunjukkan kemah Mahesa Birawa.
Kalau tidak antarkan aku kepadanya!”
“ Manusia bau tengik! Kau kira
kami ini budakmu?
“
“Kau mata-mata Pajajaran ya?!”
bentak prajurit yang paling kanan sekali. Ujung tombaknya kini digeser ke
tenggorokan laki-laki asing itu.
“Kalian sontoloyo semua! Aku
bicara baik-baik, dibalas dengan bentakan-bentakan! Sialan!” Enam ujung tombak
dengan serta merta bergerak ke muka. Laki-laki yang hendak menjadi bahan
sasaran ujung senjata itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan saja maka
mentallah keenam prajurit itu! Empat tergelimpang di tanah tak bangun lagi.
Satu berdiri nanar, sedang yang satu sambil memegang perutnya yang kesakitan,
masih sanggup berteriak memanggil kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata
saja puluhan prajurit dengan senjata terhunus sudah mengurung tempat itu,
mengurung ketat laki-laki berpakaian serba putih. Oborobor menerangi tempat itu
dan jelaslah tampang manusia yang telah menggeprak enam prajurit tadi. Dia
memandang berkeliling dengan air muka melontarkan senyum mengejek.
“’Inikah tampangnya
manusia-manusia yang hendak memberontak pada kerajaan….?” Laki-taki itu tertawa
mengekeh.
“Kalian manusia dogol semua. Mau
saja diperalat oleh segelintir manusia yang hendakkan kekuasaan secara keji!
Kalau kalian kalah, kalian dan dipancung semua! Kalau kalian menang, kalian
dapat apa?!” Seorang laki-laki berbadan tinggi kekar dan berkulit hitam maju ke
hadapan orang asing itu. Dia adalah seorang pelatih prajurit-prajurit yang
hendak memberontak itu. Satu tangan bertolak pinggang, satu lagi menuding
tepat-tepat ke muka si orang asing, dia berkata:
“Kurasa kau masih belum buta
untuk melihat kenyataan, di mana kau berada saat ini!” kata laki-laki tinggi
besar itu. Si orang asing masih tertawa seperti tadi, mengekeh mengejek. Si
tinggi kekar yang merasa dihina di hadapan orang banyak dengan gemas sekali
hantamkan tinju kanannya ke perut si orang asing. Apa yang terjadi kemudian
terlalu cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di tempat itu. Tubuh kepala
pelatih yang tinggi besar itu jungkir balik di udara dan jatuh punggung di
tanah. Untuk beberapa lamanya tak dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena
terkejut dan keheranan hanya berlangsung beberapa ketika saja. Begitu terdengar
seseorang berteriak maka menyerbulah puluhan prajurit itu. Suara beradunya
senjata riuh dan kacau balau.
“Tahan!,” Seorang prajurit
berteriak.
“Lihat! Kita menghantam sesama
kita! Kunyuk itu sudah ada di sana!” Dan ketika semua mata memandang ke jurusan
yang ditunjuk maka kelihatanlah orang asing tadi berjalan seenaknya di
sela-sela kemah prajurit! Sewaktu dirinya diserang, secara bersama-sama tadi,
laki-laki itu dengan kecepatan luar biasa jatuhkan diri di tanah dan lolos di
antara selangkangan para penyerangnya. Keadaan malam yang gelap menolongnya
untuk lolos dan melangkah seenaknya di sela-sela kemah. Metihat bahwa orang yang
mereka serang sudah berada di tempat lain, di samping terkejut tentu saja
prajurit-prajurit itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala pelatih yang tadi
dibikin menggeletak di tanah dalam satu kali gebrakan. Dia berseru memanggil
prajuritprajurit lainnya.
“Kurung bangsat itu! Kalau tak
mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang sampai lumat!,” perintahnya. Kepala
pelatih ini kemudian cabut kerisnya. Sebelum menyerbu di antara anak buahnya
dia memberi perintah pada seorang prajurit yang kebetulan berada di dekatnya:
“Beri tahu hal ini pada Mahesa
Birawa….!”
Di dalam kemah besar itu tengah
berlangsung perundingan. Mahesa Birawa tengah berkata:
“Besok Raden Werku Alit sudah
berada di sini dan agaknya….
“ Ucapan Mahesa Birawa terputus.
Kepalanya berpaling ke kanan dan dari mulutnya keluarlah suara bentakan:
“Pengawal! Apa kamu orang tidak
tahu bahwa tidak siapa pun boleh masuk ke dalam kemah ini? Keluar…. !”
“Mohon maaf Raden… kata pengawal
kemah seraya menjura dua kali.
“Seorang prajurit memberitahukan
bahwa terjadi kerusuhan di sebelah timur…”
“Kerusuhan….?!” Mahesa Birawa
berdiri dari kursinya.
“Ya, seorang asing diketahui
memasuki perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai dia melawan. Dia merubuhkan
enam prajurit! Memukul kepala pelatih Suto Rande dan kini tengah dikeroyok oleh
puluhan prajurit di bawah pimpinan Suto Rande!”
“Hanya seorang asing nyasar ke
sini saja kalian tidak bisa membereskan?! Memalukan sekali!” kertak Mahesa
Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang yang sudah berpengalaman dalam
dunia persilatan memaklumi, kalau seseorang sanggup merubuhkan enam lawan
sekaligus, bahkan memukul jatuh kepala pelatih prajurit ini suatu tanda bahwa
dia bukanlah orang sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang diandalkan. Tapi
siapa adanya orang asing yang berani datang seorang diri ke perkemahan itu,
inilah satu hal yang ingin diketahui Mahesa Birawa. Mahesa Birawa berpaling
pada Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan berkata:
“Harap maafkan. Aku terpaksa
meninggalkan persidangan sebentar untuk membereskan keonaran…” Semua Adipati
menganggukkan kepala. Adipati Tapak Ireng berkata:
“Mungkin sekali perusuh ini
seorang mata-mata Pajajaran…”
“Boleh jadi,” sahut Mahesa Birawa
seraya menindak ke pintu kemah. Dan saat itu pengawal kemah berkata:
“Orang asing itu berkata bahwa
dia ingin bertemu dengan Raden…”
“Dengan aku?” Mahesa Birawa
menuding dadanya sendiri. Pengawal mengangguk. Ini membuat Mahesa Birawa tambah
ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya perusuh itu. Pertempuran berkecamuk
seru ketika Mahesa Birawa sampai ke sana bersama seorang prajurit. Prajurit ini
hendak berseru tapi diberi isyarat oleh Mahesa Birawa agar diam saja. Akan
disaksikannya dengan mata kepala sendiri beberapa jurus kehebatan pertempuran
itu. Pekik dan jeritan terdengar hampir setiap saat. Setiap pekikan musti
disusul dengan menggeletaknya tubuh seorang pengeroyok. Menurut taksiran Mahesa
Birawa saat itu ada sekitar tiga puluh prajurit di bawah pimpinan Suto Rande
yang mengeroyok si orang asing. Diam-diam Mahesa Birawa mengagumi juga
kehebatan orang asing itu. Masih muda belia, bertampang keren dan senjatanya
sebuah tombak yang diputar seperti kitiran, menderu dan setiap saat meminta
korban dari pihak pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul, tombak yang di tangan
pemuda itu adalah tombak rampasan. Dan yang membuat Mahesa Birawa terpaksa
leletkan lidah ialah meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda itu dengan
seenaknya saja melayani sambil tertawa dan bersiul! Beberapa orang lagi rubuh
menggeletak dengan perut atau dada terluka parah disambar ujung tombak.
Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat. Sesosok tubuh mental, jatuh tepat
di hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh Mahesa Birawa ternyata sosok
tubuh itu adalah sosok tubuh Suto Rande, kepala pelatih prajurit! Nyawanya
sudah minggat dan pada keningnya kelihatan guratan angka 212…! Angka ini
sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden Werku Alit
tentang kematian Kalasrenggi secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan juga ada angka 212 pada kulit keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak
korban lagi yang jatuh maka berserulah Mahesa Birawa!
– == 0O0 == -
**********
17
“Aku Mahesa Birawa memerintahkan untuk hentikan pertempuran ini!” Suara yang hampir menggeledek itu dengan serta merta menghentikan pertempuran. Prajurit-prajurit yang mengeroyok melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si pemuda asing masih berdiri di tempat dengan tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi membuat dia putar kepala ke arah datangnya suara itu. Dan sepasang matanya segera membentur sesosok laki-laki berbadan tegap berkumis lebat melintang, berpakaian bagus. Pada pinggangnya terselip keris. Dalam hatinya pemuda itu menggumam:
“Hem… jadi inilah dia manusianya
yang bernama Mahesa Birawa itu…”. Selagi dia menggumam begitu laki-laki itu
melangkah mendatanginya.
“Orang asing!,” kata Mahesa
Birawa dengan nada keren dan lantang.
“Meski kau punya sedikit ilmu
yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk memamerkannya!” Si pemuda
keluarkan suara bersiul.
“Betul aku berhadapan dengan
Mahesa Birawa saat ini…?” tanyanya.
“Kau siapa?!,” membentak Mahesa
Birawa.
“Namaku tertulis di kening anak
buahmu itu!” Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke mayat Suto Rande.
“Hem… bagus kalau begitu!” Mahesa
Birawa puntir kumisnya.
“Kau yang membunuh Kalasrenggi,
bukan?”
“Tidak! Aku hanya menggantungnya
dan Tuhan kemudian mengambil rohnya….”. Habis berkata begitu pendekar 212 Wiro
Sableng tertawa mengekeh.
“Kau tahu Mahesa, manusia macam
Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di dunia! Masih kebagusan ada kali
untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu… di atas bumi ini masih banyak
manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk dari Kalasrenggi yang
musti dilenyapkan!” Di sini bukan tempat pidato, budak hina!,” bentak Mahesa
Birawa.
“Oh, begitu…? Kalau demikian mari
kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku memang sudah lama mencari kau!”
Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian kelihatan bagaimana mukanya menjadi kelam
membesi.
“Kalau aku bicara dengan kau maka
biar aku terangkan padamu bahwa kedatanganmu ke sini hanyalah untuk mengantar
nyawa!” Habis berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan tangan kanannya ke muka.
Setiup angin yang bukan olah-olah panasnya menggebubu ke arah pendekar 212!
Pendekar 212 lompat tiga tombak ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya dan
menghantam sebuah pohon kayu.
“Buum!”
“Kraak!” Pohon itu bukan saja
tumbang dilanda angin pukulan tapi juga berwarna hitam karena hangus! Kedua
orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat kehebatan pukulan
dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa heran tidak menyangka kalau pukulannya
itu dapat dielakkan dengan satu lompatan enteng ke udara!
Dengan penuh waspada Wiro Sableng
jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
“Mahesa Birawa,” katanya,
“Soal pertempuran soal mudah.
Mudah dimulai, mudah diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau bicara dengan kau!
Empat ma….”
“Budak hina! Siapa sudi bicara
dengan kau!” potong Mahesa Birawa membentak. Sekali lagi tangan kanannya
dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya mempergunakan sepertiga dari tenaga
dalamnya maka kini dialirkan ke dalam pukulannya itu setengah dari tenaga
dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas karena
Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
“Mahesa Birawa, apakah kau yang
lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku untuk bicara empat mata?!”tanya
Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis dari hatinya. Kalau saja dia
tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga dibalasnya
serangan-serangan Mahesa Birawa tadi! Untuk tidak terlalu kehilangan muka
karena dua pukulannya berhasil dielakkan lawan maka berkatalah Mahesa Birawa:
“Percuma saja kau bicara, toh
nantinya nyawamu akan aku bikin merat juga dari kau punya badan!” Pendekar 212
tertawa.
“Dengar Mahesa Birawa…” kata
pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan. Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia
menekan amarahnya dan berusaha mempertahankan kesabarannya.
“Aku membawa pesan dari Eyang
Sinto Gendeng…” Maka terkejutlah Mahesa Birawa mendengar nama itu.
“Kau ini siapa kalau begitu?!”
tanyanya.
“Siapa aku masih belum penting.
Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang diri, Mahesa Birawa.
Datanglah seorang diri….”
“Kau bisa bicara di sini!”
Pendekar 212 menggeleng.
“Di bukit Jatimaleh…” desisnya.
“Aku bilang di sini!,” bentak
Mahesa Birawa.
“Takutkah kau datang ke bukit itu
malam-malam gelap begini? Atau mungkin takut pada dinginnya udara? Atau mungkin
takut pada roh-roh manusia yang selama ini membayangimu….?!” Mahesa Birawa
kertakkan geraham. Dia memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit yang ada di
situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi tujuh tombak.
Dia berpegangan pada ujung sebuah cabang pohon, membuat satu kali putaran pada
saat mana Mahesa Birawa lemparkan sejenis senjata rahasia. Mahesa Birawa
berseru tertahan ketika melihat senjata rahasianya membalik kembali menyerang
dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu bermentalan,
menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya. Empat orang menggerang dan rebah ke
tanah! Bayangan Wiro Sableng lenyap namun masih terdengarsuara seruannya
mengiangi anak telinga.
“Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam
ini. Ingat, seorang diri…. !”
– == 0O0 == -
**********
18
Bukit Jatimaleh tertetak tidak berapa jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika Mahesa Birawa hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit menyatakan hendak ikut serta tapi Mahesa berkata:
“Biar aku sendiri yang
membereskan urusan ini! Kalian semua di sini bersiap siagalah. Perkuat
penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!” Cuaca malam di atas
bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan tiada bintang. Udara
yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang sampai ke sungsum. Dalam
kegelapan inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan. Yang satu
membentak lantang:
“Cepat terangkan siapa kau adanya
budak hina!”
“Ah… jangan bicara memaki
terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina dari kau!,” jawab
Pendekar 212. Marahlah Mahesa Birawa. Dia menggeser langkahnya ke muka. Tapi
langkahnya segera pula terhenti ketika didengarnya pemuda di hadapannya
berkata:
“Pesan Eyang Sinto Gendeng ialah
agar kau segera kembali ke puncak Gunung Gede dalam waktu secepat-cepatnya!”
“Kembali ke puncak Gunung Gede….
?!”
“Yeah… Untuk menerima hukuman
atas perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun gunung tujuh belas tahun yang
silam!”
“Jangan bicara ngaco belo! Ada
hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!” Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 tertawa datar.
“Aku hanya pesuruh buruk saja,
Mahesa….” jawabnya.
“Dusta!,” bentak Mahesa Birawa
menggeledek.
“Kalau kau tak mau bicara yang
sebetulnya jangan menyesal bila kepalamu kupuntir sampai putus!” Wiro Sableng
bersiul.
“Aku tak tahu segala urusan
puntir kepala. Aku hanya menyampaikan perintah Eyang Sinto Gendeng agar kau
menghadapnya di puncak Gunung Gede! Kau dengar Mahesa…. He… he… he….” Jari-jari
tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
“Aku ingin tahu saat ini juga.
Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu atau tidak…?”
“Aku tanya dulu! Apa hubunganmu
dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin kesabaranku habis!”
“Kurasa akulah yang mustinya
kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!” tukas Wiro Sableng.
“Katakan saja terus terang bahwa
kau tak mau menghadap Eyang Sinto Gendeng! Itu lebih baik dan lebih jelas….!”
Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya:
“Kalau orang tua geblek itu butuh
ketemu dengan aku, suruh dia datang ke sini!” Suara menggeram jelas terdengar
di tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam membesi. Tanah yang dipijaknya
melesak sampai tiga senti!
“Bicaramu terlalu besar Mahesa
Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih dari takaran! Hari ini kau
hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah memeliharamu, mengajarmu
segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau
mengandalkan apakah, Mahesa Birawa….. ?!“
“Bocah gila! Terpaksa mulutmu
kurobek detik ini juga!” bentak Mahesa Birawa. Secepat kilat, belum lagi habis
bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya bergerak mencengkeram ke muka.
Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan nyaring menggeledek dari
mulutnya dan dia lompat ke samping sambil hantamkan tangan kirinya. Mahesa
Birawa terkejut ketika merasakan satu angin yang deras mendorong tubuhnya.
Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan untuk memapasi dorongan angin itu tapi
tak urung tubuhnya menjadi gontai juga! Maka kini keringat dingin memercik di
kening laki-laki itu!
“Urusan kekerasan urusan mudah,
Mahesa!,” kata Wiro Sableng.
“Tapi bicaraku masih belum habis.
Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah malang melintang di Jatiwalu. Ingat….
?”
“Pemuda sedeng! Darimana….”
“Ah… kau masih ingat! Bagus…
bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada masa tujuh belas tahun itu kau
telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung Jatiwalu?! Apakah kau juga masih
ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak kehormatan seorang perempuan bernama
Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena malu perempuan itu bunuh diri?! Apa
kau juga masih ingat dan sanggup menghitung berapa banyak jiwa penduduk yang
kau renggut, kau bunuh?!” Mulut Mahesa Birawa terkatup rapat-rapat. Dan
pendekar 212 buka mulut lagi:
“Kalau aku tidak ingat pesan
Eyang Sinto Gendeng, pada detik aku melihat tampangmu aku sudah bertekad untuk
mengermus kepalamu! Kini setelah tahu bahwa kau tidak mau diperintahkan untuk
menghadap ke puncak Gunung Gede maka tak ada lagi halangan bagiku untuk
membalaskan dendam kesumat seribu karat, untuk membalaskan sakit hati yang
berurat berakar sejak tujuh belas tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa Birawa,
aku adalah anak Ranaweleng. Dan aku adalah juga murid Eyang Sinto Gendeng! Adik
seperguruanmu sendiri, tapi yang akan memisahkan roh busukmu dengan tubuh
bejatmu!” Habis berkata begini maka tertawalah pendekar 212. Suara tertawanya
keras dan panjang, menegakkan bulu roma. Bergetar hati Mahesa Birawa mendengar
suara tertawa yang menegakkan bulu kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh
belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu berlalu dan tahu-tahu kini dia
berhadapan dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan dengan anak laki-laki dari
suami isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti tak percaya dia akan
kenyataan ini!
“Orang muda…!,” kata Mahesa
Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran tenaga dalam agar tidak kentara
getaran hatinya.
“Kuharap kau cepat-cepat saja
bangun dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan siapa…!” Pendekar 212 tertawa
lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya suara Mahesa Birawa,
musuh besarnya itu berkata pongah:
“Jangankan kau… Eyang Sinto
Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau teruskan
niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak Gunung Gede
hanyalah untuk mencari mampus sendiri!”
“Kita akan lihat Mahesa Birawa!
Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita yang akan dihisap oleh tanah!
Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang hari! Disaksikan oleh langit
siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari tepat sampai di puncak
ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan matahari yang dulu
menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula kematianmu,
menyaksikan pembalasan dendam kesumat seribu karat!” Mahesa Birawa keluarkan
suara mendengus.
“Aku bukan manusia yang bisa
menunggu, apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang muda… daripada
kau mati tiada guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut bersamaku menghancurkan
Pajajaran, niscaya kau akan kuangkat kelak menjadi seorang pejabat berpangkat
tinggi…. !” Wiro Sableng bersiul.
“Aku tidak butuh usul, Mahesa
Birawa, juga tidak butuh apa-apa. Saat ini aku hanya butuh roh busukmu! Besok
siang di tempat ini. Mahesa. Darahmu atau darahku, nyawamu atau nyawaku!” Maka
kini Mahesa Birawa tidak dapat lagi menahan hatinya.
“Tak perlu tunggu sampai besok!
Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai ini!” Mahesa
Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang angin yang
sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang tanpa tunggu
lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua kakinya
tergetar dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu masih
sanggup menyapu kedua kakinya! Dengan kerahkan setengah dari tenaga dalamnya
Wiro Sabteng hantamkan tangan kanan ke bawah melancarkan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera! Mahesa Birawa berseru tertahan melihat datangnya angin
laksana badai ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya hampir
terpelanting diserempet angin pukulan lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya
dia masih sanggup berdiri di tempat setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua
kakinya melesak sampai lima senti ke dalam tanah! Dalam keterkejutan melihat
kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar suara tertawa pendekar 212.
“Kutunggu besok siang Mahesa
Birawa. Di sini,di puncak bukit ini! Satu hal perlu kukatakan. Besok aku
menghadapimu bukan sebagai manusia bernama Mahesa Birawa, tapi sebagai
Suranyali!” Wiro Sableng berkelebat.
“Budak hina! Jangan lari!” teriak
Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun pendekar 212 sudah lenyap dari pemandangannya
ditelan kegelapan malam.
– == 0O0 == -
***********
19
Malam itu Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali. Sebentar-sebentar di atas pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik ke kanan. Ingatannya mengawang kembali pada masa tujuh belas tahun yang silam. Terbayang olehnya kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang bunuh diri itu. Dan ketika ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak dari Ranaweleng itu, tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat mengukur kehebatan lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali untuk menghadapi pemuda itu. Cuma kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah yang benar-benar mengejutkan dan menyirapkan semangatnya. Hati kecilnya mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun yang silam itu dia tahu kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa dia tidak sekaligus membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia tidak mempunyai pikiran panjang seperti waktu sekarang ini. Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya kembali. Dia memandang ke dinding kemah. Dan pada dinding kemah itu seperti terbayang oleh matanya rentetan kalimat yang pernah dibacanya pada dinding tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu yaitu ketika dia baru saja berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di sana… di dalam ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan kalimat itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
“Apa yang kau lakukan hari ini
akan kau terima balasannya pada tujuh belas tahun mendatang!” Mahesa Birawa
akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar mandir didalam kemah
besarnya itu. Kemudian teringat dia pada kematian Kalasrenggi dan dua orang
mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka menemui kematian akibat
turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan guratan angka 212
pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian Suto Rande dalam
cara yang sama! Kalau begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti… pasti sekali
pemuda yang mengaku anak Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah adik
seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai sangkut paut atau hubungan dengan
Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan
Prabu Kamandaka, bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan! Mahesa
Birawa melangkah lagi mondar mandir sambil mengepalkan tinjunya. Dia harus
bertindak cepat sebelum Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan rencananya.
Bukan mustahil saat itu balatentara Pajajaran tengah menuju ke perkemahan
mereka untuk menyapu mereka! Malam itu juga Mahesa Birawa berunding dengan
kelima Adipati. Dan malam itu pula diputuskan untuk menggerakkan seluruh
pasukan ke Kotaraja. Dua orang kurir dikirim terlebih dahulu. Yang pertama untuk
menemui Raden Werku Alit di Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu hal
yang mendesak maka pasukan diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk
menggempur Pajajaran selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing!
Kurir yang kedua berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti
Sitaraga yang sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum
pemberontak! Tapi kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran
di perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan
kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding kamar adiknya, namun Prabu
Kamandaka tak urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran secara diamdiam. Dan
ketika dini hari itu dia dibangunkan secara mendadak, dilaporkan tentang
terlihatnya sepasukan besar mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini benar-benar
menjadi kaget. Benar juga peringatan itu, katanya dalam hati. Kepada
Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera diberikan perintah kilat:
“Kalau pasukan yang datang itu
adalah benar pasukan pemberontak, hadapi mereka di luar tembok Kerajaan!”
Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah
mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok besar yang
mengelilingi Kotaraja. Yang paling seru adalah pertempuran pada dua buah pintu
gerbang. Pihak pemberontak menyerang habis-habisan untuk dapat membobolkan
pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya
senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata, bau
anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan.
Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih. Prabu Kamandaka dengan
teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan
Pajajaran. Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di tangannya tergenggam
sebilah golok panjang yang berlumuran darah! Prabu Kamandaka seperti terpukau
dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia bergerak ke medan pertempuran
sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan dengan Werku Alit, saudara
sepenyusuan sendiri!
“Matakukah yang terbalik atau
benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?” ujar Sang Prabu. Raden Werku
Alit tertawa membesi.
“Matamu masih belum terbalik,
Kamandaka! Cuma otakmu yang miring sehingga mengambil hak orang lain….!”
“Hak apakah yang aku telah ambil
dan siapakah orang lain itu?!”
“Takhta Kerajaan adalah hak syah
diriku, Kamandaka!” jawab Werku Alit garang. Prabu Kamandaka tertawa dingin.
“Kau mengigau di slang hari Alit!
Tak kusangka, kau sendiri yang menjadi biang racun pentolan pemberontak yang
memberikan perintah untuk mengeroyok Raja Pajajaran itu!” Prabu Kamandaka
dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan
Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya tergenggam golok
panjang yang berlumuran darah! Agaknya serangan lawan mulai tak dapat
dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah jam
lebih. Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik
kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata bau anyirnya darah,
semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan. Satu demi satu
prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan. Keadaan Sang
Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak di
bawah pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu
gerbang!
– == 0O0 == -
***********
20
Pada saat pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang Kotaraja di sebelah barat hampir bobol dan pada saat keselamatan Prabu Kamandaka sendiri terancam maka pada saat itulah terdengar suara yang keras laksana guntur mengatasi segala kecamukan perang yang mendatangkan maut itu!
“Manusia-manusia bodoh! Hentikan
pertempuran ini!” Hampir semua mereka yang bertempur di medan sebelah timur itu
jadi terkejut dan hampir semua mata pula memandang ke atas tembok Kotaraja di
mana kelihatan berdiri seorang pemuda berpakaian putih-putih berambut gondrong!
Mungkin sekali Raden Werku Alit adalah orang yang paling terkejut melihat
pemuda di atas tembok itu. Manusia ini tampangnya sama betul dengan pemuda yang
tempo hari ditotoknya sewaktu hujan-hujan di teratak tua!
“Orang-orang mati inginkan hidup,
kalian yang hidup mau bertempur sampai mati! Goblok betul!” terdengar lagi
pemuda yang di atas tembok berkata dengan suaranya yang mengguntur. Werku Alit
kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap si pemuda. Diam-diam dia tahu bahwa
suara yang mengguntur itu pastilah menandakan bahwa si pemuda yang memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi. Namun bila dia melirik ke samping dan detik
itu melihat Prabu Kamandaka berada dalam keadaan lengah maka kesempatan ini
dipergunakan Werku Alit dengan sebaik-baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan
ganas. Satu ujung tajam dari toja menyambar ke leher sedang ujung yang lain
menyapu ke kaki Prabu Kamandaka! Melihat datangnya serangan itu Prabu Kamandaka
sadar akan keteledorannya berbuat lengah. Sangat terlambat baginya untuk dapat
mengelakkan senjata lawan yang menyerang dua tempat itu sekaligus. Salah satu
ujung tajam dari senjata lawan pastilah akan mengenai badannya. Prabu Kamandaka
lemparkan diri ke belakang meski dia tahu bahwa kakinya akan disapu ujung toja
lawan. Tapi pada saat itu pula dari atas tembok melesat satu benda putih sekali
laksana bercahaya. Benda ini berbentuk bintang dan mengeluarkan suara
mendesing, menghantam pertengahan toja Werku Alit dengan tepatnya. Toja itu
patah dua. Salah satu patahannya menggores dada Werku Alit sendiri! Laki-laki
ini menjerit kesakitan dan lompat mundur namun diburu dengan sebat oleh Prabu
Kamandaka. Dalam keadaan terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit bertahan
dengan hebat. Dua Adipati lainnya yang melihat terdesaknya Werku Alit segera
berikan bantuan sehingga Prabu Kamandaka dan orang-orangnya kembali terdesak
hebat! Werku Alit mengamuk dahsyat. Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun
keadaan dirinya mulai payah akibat luka yang dideritanya. Gerakan-gerakannya
mulai menjadi lamban sehingga dia terpaksa mengambil posisi bertahan dan
membiarkan pembantupembantunya menyerang pihak lawan. Adipati Tapak Ireng
mendekati Werku Alit dan sodorkan sebuah pil.
“Telanlah cepat Raden Alit dan
alirkan tenaga dalammu ke bagian yang terluka….” Werku Alit cepat-cepat telan
pil yang berwama hitam itu lalu kerahkan tenaga dalamnya. Obat yang diberikan
oleh Adipati Tapak Ireng memang manjur sekali. Sesaat kemudian darah pada luka
Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit lagi. Maka dengan cabut kerisnya
Werku Alit kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka. Ketika Adipati Lanabelong
dengan ruyung besi putihnya turut pula membantu Werku Alit maka lebih buruk
dari tadi keadaan Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
“Kaum pemberontak! Hentikan
pertempuran ini!” teriak orang yang di atas tembok. Tapi tak ada yang
memperdulikan malah Adipati Jakaluwing dari Karangtretes menantang:
“Orang gila berambut gondrong
kalau mau rasakan toja besiku, turunlah!” Orang di atas tembok menggerutu
penasaran. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya sebuah kapak bermata dua! Mata
kapak itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi. Kemudian dengan satu
gerakan yang sangat enteng dia melompat turun. Dan begitu sampai di tanah
ditempelkannya ujung gagang kapak ke bibirnya. Maka sesaat kemudian menggemalah
suara seperti seruling. Mula-mula pelahan, kemudian makin keras dan
melengking-lengking! Telinga pihak pemberontak yang mendengar suara lengkingan
seruling itu seperti ditusuk-tusuk sakit sekali. Prajurit-prajurit rendahan menjadi
terpukau dan dengan mudah menjadi korban senjata prajurit-prajurit Pajajaran!
Werku Alit dan lima Adipati sekutunya terkejut ketika merasa bagaimana sakitnya
telinga mereka sedang jalan darah mereka tidak lagi teratur tapi sesak
tersendat-sendat. Dan ketika mereka memandang berkeliling mereka melihat
bagaimana pasukan mereka di bagian medan mayat prajurit dengan dada mandi
darah! Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup terkejutnya bukan main.
Serangan mereka di samping dijuruskan kepada Prabu Kamandaka kini juga
dititikberatkan pada Wiro Sableng! Namun bila sekali lagi Kapak Naga Geni 212
berkelebat maka kini giliran Adipati Jakaluwing pula yang meregang nyawa dengan
kepala hampir terbelah dual Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup menjadi
kecut. Mereka saling berlirikan tajam dan beri isyarat namun pada saat itu pula
pendekar 212 yang sudah tahu maksud mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi
Ranabelong mental puntung dua ke udara disusul dengan jerit kematiannya!
Satu-satunya Adipati yang masih hidup yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan sudah
tak ada daya lagi sesudah lengan kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu
Kamandaka. Dia memutuskan untuk kabur saja tapi tombak seorang kepala pasukan
Pajajaran lebih dahulu menancap di punggungnya terus menembus sampai ke dada!
Nyali Werku Alit semakin luntur menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu
hanya dia sendiri kini yang menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan
anak-anak buahnya merupakan pihak penyerang yang mendesak maka kini keadaan
terbalik! Di mana-mana puluhan prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang
masih hidup bertempur dengan setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau
balau! Suara seruling Kapak Naga Geni 212 yang terus menerus melengking seperti
melumpuhkan sekujur tubuh Raden Werku Alit. Dicobanya mengerahkan tenaga
dalamnya namun tenaga dalamnya terasa laksana punah! Telinganya sakit dan
kemudian dirasakannya ada yang meleleh pada kedua liang telinganya itu! Darah!
– == 0O0 == -
*********
21
Mahesa Birawa yang ada di medan pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah hampir berhasil mendesak pasukan Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang pertahanan menjadi terkejut ketika selintas kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan pihaknya di jurusan ini dilihatnya bertempur dengan kacau, malah sebagian besar mundur terdesak hebat! Beberapa kelompok pasukan bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir! Dan di antara semua apa yang disaksikannya itu sayup-sayup telinganya mendengar lengkingan suara seruling! Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur terpisah puluhan tombak tapi suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan jalan darahnya dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit yang bertempur di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan banyak yang tergelimpang mati! Mahesa Birawa serahkan pimpinan kepada seorang kepala pasukan yang dipercayainya. Kemudian dengan gerakan sebat dia menuju ke medan pertempuran sebelah timur. Begitu sampai di medan pertempuran ini dia disambut oleh satu pemandangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding. Saat itu, Raden Werku Alit sudah terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran pedang Prabu Kamandaka. jarak yang jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk membokong Prabu Kamandaka dengan pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya yang dahsyat itu diterpa hebat oleh satu gelombang angin ganas dari samping! Ketika dia berpaling maka sepasang matanya membentur pemuda yang tak asing lagi baginya. Maka membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu satu benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika diperhatikan benda itu adalah kepala Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya lehernya kena ditebas pedang Prabu Kamandaka! Kemarahan Mahesa Birawa tiada terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada berduri yang mempunyai tiga mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu Kamandaka! Namun setiup angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia berpaling ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
“Aku lawanmu, Mahesa Birawa!,”
teriak pendekar 212 dengan bola mata bersinar-sinar.
“Kutunggu kau di bukit
Jatimaleh!”
“Budak hina! Kuburmu adalah di
antara tumpukan mayat di tempat ini juga!,” bentak Mahesa Birawa. Sementara itu
Prabu Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya adalah tokoh
pemberontak kaki tangan Werku Alit yang berbahaya segera berteriak berikan
perintah:
“Kurung bangsat-bangsat
pemberontak ini!” Dua lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan Prabu Kamandaka
sendiri segera mengurung Mahesa Birawa. Namun pada saat itu pula Wiro Sableng
melompat ke muka dan berseru:
“Prabu Kamandaka! Kau memang
punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia karena dia adalah pentolan
pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih punya hak untuk
membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab kematian ibuku!
Serahkan dia padaku Prabu Kamandaka!” Raja Pajajaran meski amarahnya hampir tak
dapat dikendalikan lagi, tapi mendengar ucapan Wiro Sableng itu menahan juga
serangannya dan bertanya:
“Orang muda gagah, kau
siapakah?!” Wiro Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan
kanannya. Dan pada kedua mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka.
212! Terkejutlah Sang Prabu! Tak disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh
yang telah memberikan peringatan kepadanya sebelumnya tentang akan pecahnya
pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah betul-betul berada di pihaknya
sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan mengabulkan permintaan Wiro
Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur kembali. Sementara
itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara pemberontak
yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kerajaan dan
terus dikejar oleh pasukan Pajajaran sehingga lari kucar kacir. Dan di antara
gelimpangan mayat manusia di atas tanah yang banjir darah, di udara yang masih
hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah dua musuh besar, Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa Birawa! Pendekar 212 baru saja
pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di muka dada ketika dengan
membentak dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris menusuk ke kepala dan gada
rantai berduri menyapu ke perut!
“Ciaat!” Wiro Sableng tak kalah
sebat. Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar dahsyat menimbulkan
gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara ratusan tawon!
Gelombang angin itu sekaligus membentur senjata-senjata Suranyali membuat kedua
tangan-tangannya laksana kena dipukul mental! Suranyali alias Mahesa Birawa
kini tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi. Seluruh tenaga dalamnya
dikerahkan dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka! Serangan kali ini
lebih dahsyat dari yang pertama namun pendekar 212 menunggu dengan tenang!
Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak
Maut Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali
merasakan badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan
ilmu mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke
samping. Kapak Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu pula Suranyali
kembali menukik dan babatkan gada berdurinya! Yang diserang sama sekali tidak
mau mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di atas kepala. Maka dua senjata
bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring! Kapak Naga Geni
memancarkan bunga api, dua dari rantai besi berduri yang bergandul pada gada
berduri di tangan kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut
sekali! Dan dalam saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik membabat
ke arah selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di udara!
Keringat dingin mengucur di kuduknya! Prabu Kamandaka leletkan lidah melihat
pertempuran yang hebat itu. Dalam waktu yang singkat kedua orang itu telah
bertempur dua puluh jurus! Dan kentara sekali bagaimana kini Suranyali alias
Mahesa Birawa mulai mendapat tekanantekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini
terpaksa buang penggada berdurinya karena senjata itu dibabat puntung oleh
kapak lawan! Dengan penasaran Suranyali cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah
tongkat besi yang ujungnya bercagak dua. Tongkat besi ini memancarkan sinar
kehijauan tanda bukan senjata sembarangan dan menggndung racun yang hebat!
Dengan keris di tangan kanan dan tongkat besi bercagak di tangan kiri
berkelebatlah Suranyali. Kedua senjatanya memancarkan sinar dahsyat yang
membungkus lawannya. Namun yang dihadapi Suranyali saat itu bukan manusia
berilmu rendah dan bukan pula yang bersenjatakan senjata biasa! Kapak Naga Geni
212 menderu-deru mengaung mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Tubuh kedua
orang itu hanya merupakan bayangbayang saja dan tiba-tiba terdengar teriakan
Suranyali. Keris di tangan kanannya terlepas mental patah dua. Kalau saja dia
tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya pastilah tangan itu kena pula dibabat
kapak lawan! Suranyali melompat ke luar dari kalangan pertempuran! Mukanya
memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya. Ketika dia
melangkah ke muka maka kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal siku
berwarna sangat hijau dan bergetar.
“Pemuda hina dina! Kau lihat
lengan kananku ini?!” tanya Suranyali sambil acungkan tangan kanannya.
“Tujuh belas tahun yang lalu bapakmu
meregang nyawa oleh pukulan Kelabang Hijau-ku! Kini anaknya akan menerima
bagian yang sama pula!” Wiro Sableng tahu. kalau tujuh belas tahun yang lalu
musuh besarnya itu telah memiliki ilmu pukulan Kelabang Hijau itu maka kini
kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan. Namun hal ini sama sekali tidak
menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan ke tangan kiri dan tiga
perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan kelihatanlah
tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya bersinar memerah
menyilaukan! Terkejutlah Suranyali melihat hal ini. Hatinya tergetar.
“Pukulan sinar matahari…,”
desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam.
“Silahkan mulai dahulu,
Suranyali…,” katanya menantang! Diam-diam Suranyali alirkan teluruh tenaga
dalamnya ke lengan kanan. Mulutnya komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti
ke dalam tanah yang basah oleh genangan darah. Dan sambil lompat sembilan
tombak ke atas kemudian laki-laki ini hantamkan tangan kanannya ke muka!
Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan
melesat ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan
dahsyat beradu di udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan putih
saling nyambar dan memecah ke samping! Pekik jerit dari orang-orang yang
berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar di mana-mana. Tubuh mereka
tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun pukulan Kelabang Hijau
Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan sinar matahari
Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat melompat pastilah
akan menjadi korban pula! Ketika dua sinar itu beradu keras Suranyali merasakan
badannya menjadi panas. Celaka! Keluhnya. Pukulannya kelabang Hijaunya bukan
saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga kena dihantam dikembalikan ke arah
kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah pil dari sabuk di
pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana seekor elang
dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro Sableng. Wiro
memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak dengan gagakan
besi.
Tapi “trang!” Sekali kapak itu
berkiblat maka patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat menjejakkan kaki
di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga Geni 212 menderu
lagi kali ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan Suranyali! Laki-laki ini
melolong seperti srigala haus darah! Tubuhnya limbung menghuyung! Wiro Sableng
tertawa mengekeh.
“Itu dari ayahku, Suranyali!”
katanya.
“Dan ini dari ibuku!” Kapak Naga
Geni berkiblat lagi. Suranyali coba menghindar dengan segala daya tapi tak
berhasil. Bahu kirinya terpapas mental. Darah menyembur! Sungguh mengerikan
menyaksikan tubuh Suranyali yang tanpa lengan itu!
“Yang ini dari Eyang Sinto
Gendeng, Suranyali!” kata Wiro Sableng pula dengan masih tertawa mengekeh
seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh Suranyali mental
tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah
membanjir dan ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
“Yang terakhir ini dariku
sendiri, Suranyali!,” katanya. Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 itu membelah
kepala Suranyali alias Mahesa Birawa itu, tiada terdengar pekikan atau keluh
kematian dari mulutnya. Tubuhnya masih tersandar sesaat lamanya pada tembok
Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan tergelimpang di atas mayat-mayat
pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak berada lama menggeletak di sana. Sekali
kaki kanan Wiro Sableng menendang maka mentallah tubuh musuh bebuyutannya itu
sampai belasan tombak! Wiro Sableng tertawa mengekeh, lama dan panjang.
dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Kemudian seperti tak
ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan berada di antara hamparan ratusan
mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan dengan bersiul!
“Saudara muda!,” Prabu Kamandaka
memburu.
“Tunggu dulu…. !” Pendekar 212
berpaling.
“Ah…. aku sampai lupa minta diri
padamu Prabu Kamandaka….”
“Saudara, kau tak boleh pergi
dulu…”
“Kenapa?”
“Ikutlah ke istana. Kau telah
berjasa besar dan….”
“Jasa hanyalah jasa Sang Prabu.
Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa tidak berarti mengharapkan
balas imbalan. Selamat tinggal….” Prabu Kamandaka memegang bahu pemuda itu.
“Kuharap kau sudi datang ke
istana terlebih dahulu, saudara,” katanya.
“Terima kasih Sang Prabu, terima
kasih….,” sahut pendekar 212.
“Kalau begitu beri tahu saja
namamu….” Wiro Sableng tersenyum.
“Namaku tidak penting Sang Prabu.
Cuma ingatlah angka 212. Mungkin suatu ketika angka itu akan kembali lagi ke
Pajajaran ini…. Dan satu hal…. jangan lupa sampaikan salamku buat adikmu…. Rara
Murni….”
“Akan kusampaikan” kata Prabu
Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian menyaksikan kepergian pendekar muda
itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng kepala dan tarik nafas panjang.
“Pemuda hebat…. pemuda gagah….,”
katanya.
“Pajajaran berhutang besar
kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun temurun….”.
TAMAT
No comments:
Post a Comment