WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
KETIKA
dia memasuki Klung-kung, kota itu masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi
dipecah oleh derap kaki kuda yang ditungganginya. Sesampainya di depan pura
besar yang terletak dipersimpangan jalan seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi
karena hari masih terlalu pagi diputuskannya untuk menghangati perutnya dengan
secangkir kopi lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa jauh dari
persimpangan itu.
Meskipun
hari masih pagi di dalam kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru
datang ini duduk di tempat yang masih lowong sementara pemilik kedai
melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap
kue-kue atau menghirup minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan
percakapan yang tadi terhenti karena kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak
kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu,"
berkata seorang laki-laki sambil memandang pada cangkir kupinya. Umurnya
kira-kira lima puluhan.
"Sudah
seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk
kau." menyahut kawannya.
"Kalau
anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua
begini, ampun . . . " Dicabutnya rokok kaungnya dari sela bibir lalu
dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki
yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma
tinggal beberapa saja sedang kedua pipinya mencekung kempot. "Kau salah
sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk
membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I
Krambangan itu benar-benar cantik luar biasa. Belum pernah aku sampai setua ini
melihat yang secantik dia."
"Apakah
dia secantik bidadari?"
"Ah
sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum
bertemu dengan dia. Nantilah …. kalau kau lihat anak gadisnya I Krambangan itu
hem … Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke dunia ini hingga
ketika dia muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta,
kakek-kakek peot macam terong rebus!"
Beberapa
orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi
kata-katanya sementara tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya
tidak menyia-nyiakan pula untuk memasang telinga.
"Kau
tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat … meski aku belum pernah lihat
bidadari, tapi aku yakin mungkin dia lebih cantik dari bidadari di kayangan!
Kau tahu, kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnya besar diatas besar di
bawah dan langsing di tengah-tengah. Matanya . . . hem … pernah kau lihat
bintang timur? Sepasang mata anak gadis I Krambangan itu lebih bagus dari
bintang timur. Lehernya jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar
matahari persis macam pauh di layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti
semut beriring, hidungnya mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti
lebah bergantung … pokoknya segala macam oerumpamaan yang diberikan orang cocok
melekat pada darinya. Dan kalau dia tersenyum sobatku, hem … rasa di awan kita
melihatnya …"
"Sudahlah,"
memotong kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang
anak gadis I Krambangan itu mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke
tempat pekerjaan!"
Setelah
kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan
anak gadis I Krambangan itu sudah tersebar luas sampai ke pelosok kota
Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-orang tua seperti yang dua tadipun
masih punya minat untuk membicarakannya. Dia memandang ke luar kedai. Matahari
telah agak tinggi. Dihabiskannya kopinya dan setelah membayar harga minuman
serta kue yang dimakannya orang inipun keluar dari kedai itu, menunggangi
kudanya dengan tidak tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi
jalan seorang laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan
rumahnya. Penunggang kuda ini berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah
ditujunya. Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan perjalanan.
Rumah itu kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia berhenti
dan turun dari kudanya, pintu muka terbuka, seorang laki-laki berpakaian bersih
keluar, ketika melihat orang yang turun dari kuda ini, orang itupun berseru
gembira, "Made Trisna!"
"I
Krambangan!"
"Sahabat
lama! Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka! Bagaimana kau
bisa tahu aku tirggal di sini?"
"Secara
kebetulan saja. Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia yang
menerangkan bahwa kau pindah dan menetap di sini."
"Oh!."
I Krambangan manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat.
Tadinya aku hendak ke ladang. Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita akan
bicara panjang lebar!"
Kedua
sahabat lama itupun naik kegatas rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-ke
timur maka Made Trisna mengutarakan maksud kedatangannya yang sebenamya.
"Sahabatku
I Krambangan, di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya maksud
kedatanganku ini membawa pula satu maksud yang sangat baik."
"Gembira
sekali aku mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah
apa maksudmu yang sangat baik itu."
Setelah
batuk-batuk beberapa kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu
masih ingat dengan Tjokorda Gde Anyer."
"Oh,
siapa yang akan lupa pada manusia pemberani itu!"
"Nah
justru kedatanganku kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya."
"Hem,
begitu? Sangkut paut bagaimana, Made?"
"Dialah
yang meminta aku ke sini untuk menyampaikan salam hormat."
"Ah,
aku yang rendah ini mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan.
"Kau
tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak ada tinggi
dan rendah tak ada bangsawan dan rakyat jelata. Nah sahabatku, dia menyuruh aku
kemari untuk tolong menyampaikan salam hormat di mana dia berhajat untuk
meminang anakmu . . ."
"Maksudmu
Ni Ayu Tantri?"
"Tentu!
Kau kan tak punya anak lain dari pada si tunggal Tantri itu."
I
Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh satu kehormatan luar biasa. Tjokorda
Gde Anyer mempunyai hasrat baik untuk melamar anakku. Setahuku dia juga cuma
punya seorang anak!"
"Betul
namanya Tjokorda Gde Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua dari
anak gadismu. Ringkas kata, kalau anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok
sekali laksana pinang dibelah dua. Satu bulan satu mentari."
Sejak sepuluh
tahun yang lalu I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde Anyer.
Sewaktu anak Tjokorda Gde Anyer masih kecil dia memang pernah melihatnya dan
menurut pendapatnya anak itu tidaklah gagah parasnya, mukanya senantiasa pucat
macam orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya nakal bengal luar biasa. Tapi
itu dulu selagi masih kanakkanak. Sekarang sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya
telah berubah dan parasnya menjadi gagah. Karena I Krambangan lama tak bersuara
maka berkatalah Made Trisna,
"Apa
lagi yang kau pikirkan, sahabatku? Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde Jantra
pemuda gagah anak bangsawan dan kaya raya. Pasti hidup anakmu akan terjamin dan
bahagia!"
"Memang
betul kata-katamu itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru
mengingat perbedaan darah turunan antara kami dan dialah maka rasanya agak malu
juga aku menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata mana mungkin berbesan
dengan orang bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah saling mengenal."
Made
Trisna tertawa. "Sekarang bukan jamannya berpikir sekolot itu, I
Krambangan. Apalagi kau ingat sifatnya Tjokorda Gde Anyer yang tak mau
membeda-bedakan di antara manusia."
Kembali I
Krambangan berdiam diri beberapa lamanya.
Lalu:
"Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer bersedia
mengambilnya jadi kawan hidup …?"
"Kau
keliwat merendah, sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung
sebatang rokok kaung. "Kecantikan paras anak gadismu laksana bunga harum
semerbak yang dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi tadi sebeLum ke sini
aku mampir di sebuah kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu tamu-tamu di
situ sudah bicara tentang kecantikan paras anakmu. Bayangkan!"
I
Krambangan mengusap-usap dagunya, memandang ke arah jalan di mana meluncur
sebuah pedati menarik tumpukan kayu-kayu bakar. Suara klenengan sapi-sapi
penarik pedati itu terdengar sepanjang jalan.
"Walau
bagaimanapun gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda Gde
Jantra sendiri belum pernah bertemu muka dengan anakku. Jangan-jangan begitu lamaran
kuterima, setelah bertemu tahu-tahu pemuda itu kecewa dan menyesal!"
"Kalau
dia tak pernah melihat paras anakmu dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan
ayahnya sampai memaksaku agar datang kemari!" kata Made Trisna pula.
Kembali I
Krambangan menelan ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku
waktu barang seminggu dua minggu untuk merundingkan hal ini bersama istriku.
Aku sendiri pada dasarnya setuju, cuma bagaimanapun aku musti minta pula
pertimbangan istriku. Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus diberi
tahu."
Made
Tisna manggut-manggut.
"Aku
yakin istrimu serta Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini. Dua
minggu terlalu lama sobat, biar aku datang minggu depan kemari untuk meminta
jawabanmu. Akur…"
"Baiklah
Made. Karena istriku sudah menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah kita
masuk." Kedua orang itu berdiri lalu masuk ke ruang tengah.
******************
2
SEPERTI
yang dikatakan Made Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke Klungkung
menemui I Krambangan untuk meminta kabar atau jawaban mengenai pinangan yang
disampaikannya tempo hari. Dia yakin betul I Krambangan akan menerima pinangan
Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah sahabatnya itu langsung Made Krisna
menanyakan persoalan.
"Minumlah
dulu, Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made Trisna
sudah meneguk minuman yang disuguhkan maka I Krambangan baru membuka persoalan.
"Seperti
yang kukatakan tempo hari, pada dasarnya aku bisa menerima lamaran Tjokorda
GdeAnyer. Bukan saja menerimanya tapi malah menganggapnya itu satu penghormatan
yang luar biasa mengingat dia bangsawan kaya raya mau mengulurkan tangan pada
keluargaku bangsa rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada istrikupun, dia
terkejut dan hampir tak percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran
itu. Namun setelah kuterangkan pada Tantri, kita terbentur pada satu persoalan,
Made. Hal ini memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak kau mengemukakan
lamaran satu minggu yang lalu itu."
"Persoalan
apakah yang menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula.
"Dua
tahun sebelum kami pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan
hati sendiri. Kau tentu mengerti maksud ucapanku …."
"Maksudmu
Tantri telah mempunyai kekasih?"
I
Krambangan mengangguk. "Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana
untuk menikah sesudah Hari Raya Galungan beberapa bulan dimuka. Meski aku orang
tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi Made, bagaimana aku tak bisa memaksa
Tantri untuk memutuskan hubungannya dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu
besar dosanya memutuskan tali kasih seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati
Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan hubungan kasih anakku."
Lama Made
Trisna termenung. Kemudian berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak
kawatir, sahabatku. Masakan Dewadewa di kayangan tidak akan merakhmatimu.
Bukankah dengan menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde Jantra berarti kita
membuat satu kebajikan dan pahala besar?"
"Itu
betul Made. Tapi bagaimana dayaku untuk memutus hubungan Tantri dengan pemuda
yang dikasihinya? Aku sebagai orang tua benar-benar tidak tega . . . "
"Apakah
kau sudah terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer?
Apakah kau terangkan pula orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya
itu?"
"Sudah."
jawab I Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk
mau menerima lamaran tersebut. Tapi sia-sia belaka, Made."
Untuk
kedua kalinya Made Trisna termenung. Setelah saling berdiam diri beberapa
lamanya kemudian bertanyalah Made Trisna, "Apakah kau tak melihat cara
atau jalan lain agar Tantri menyetujui perjodohannya dengan Tjokorda Gde
Jantra?"
"Sudah
kutempuh berbagai cara Made. Agaknya memang sukar melembutkan hati yang sudah
diberikan pada seorang lain yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena kitapun
pernah muda …"’
"Sebagai
orang tua, apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan
bagaimana anakmu tidak berbakti padamu …?"
I
Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan baginya.
Tapi dia tersenyum sewaktu menjawab, "Meski aku orang tuanya. Made, tapi
aku juga bisa melihat sampai batas-batas mana seorang tua bisa mencampuri
urusan pribadi anaknya. Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan kuanggap
sebagai satu keingkaran atau satu kenyataan bahwa dia tidak berbakti
terhadapku. Kurasa siapa saja mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya
mengenai. urusan pribadinya. Apalagi urusan yang menyangkut masa depan.
Kukatakan aku dan istriku menyetujui lamaran Tjokorda Gde Anyer. Tapi kita
musti sadar pula bahwa bukan aku atau istriku atau kau atau juga Tjokorda Gde
Anyer yang akan dijodohkan dan akan menempuh hidup baru berumah tangga itu,
tapi Tantri."
"Betul,
betul sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I Krambangan
itu menggejolakkan hatinya. "Betul sekali apa yang kau katakan itu,
sahabat. Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih belum terbalik. Kita
orang-orang tua mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara anak kita dan
kalau sudah besar membuat dia berbakti pada kita, mengikuti apa mau kita karena
niscaya orang tua itu tak ada yang berniat mencelakakan anaknya. Dunia masih
belum terbalik sahabatku. Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya
anak kita, justru anaklah yang harus patuh dan mengikuti kemauan orang
tuanya!"
"Menyesal
sekali, rupanya jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I
Krambangan. "Bagaimana pun aku tak merasa dunia ini telah terbalik hanya
karena aku memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa depan pada anakku.
Dan aku juga menyadari bahwa memang bukan adat atau pun kebiasaan kita untuk
berlaku seperti itu. Tapi harus disadari Made, dunia kita di masa lalu tidak
sama dengan dunia orang-orang sekarang. Dunia orang-orang sekarang tak sama
pula dengan dunia orang-orang di masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk
pada keadaan dan kehendaknya jaman . . . "
"Dimana
orang tua-tua tidak mempunyai daya apa-apa lagi terhadap anaknya? Dimana
anak-anak sanggup mengatur orang tuanya dan bukan orang tuanya yang mengatur
diri mereka? Sungguh lucu jaIan pikiranmu. Jika memang itu pendirianmu, memang
sungguh berbeda jalan pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat disayangkan kalau
kau sampai mau menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika
perjodohan ini jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan sebuah rumah gedung dan
disuruh pindah ke Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu memikirkan,
kau hanya ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan dijamin oleh
Tjokorda Gde Anyer. Tentang anakmu … dia akan hidup bahagia bersama Tjokorda
Gde Djantra!"
"Memang
sudah kubayangkan betapa kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah dengan
anak Tjokorda Gde Anyer. Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."
Made
Trisna menjadi putus asa dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau
aku boleh bertanya," katanya, "siapa gerangan pemuda yang dikasihi
oleh anakmu itu? Apakah dia tampan gagah, anak orang bangsawan tinggi, punya
sawah ladang berhektar-hektar, punya ternak berkandang-kandang dan punya harta
bergudang-gudang, hingga mata dan hati anakmu tak dapat dialihkan kepada yang
lain lagi?"
"Pemuda
itu bernama Nyoman Dwipa. Dia tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi
Tantri, sawah ladang atau ternak atau harta kekayaan itu bukan apa-apa kalau
dibandingkan dengan nilai kasih sayang yang dipadunya dengan Nyoman
Dwipa."
Rasa
putus asa dan penasaran yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah
menjadi kejengkelan dan rasa muak yang akhirnya berubah pula menjadi rasa benci
terhadap sahabat lamanya itu. Dianggapnya I Krambangan keterlaluan tolol!
"Baiklah
I Krambangan," kata Made Trisna seraya berdiri, "kalau begitu
putusanmu memang tak bisa aku memaksa. Tapi terus terang kukatakan bahwa
sebagai manusia hidup kau terlalu bodoh untuk tidak mau menerima lamaran
Tjokorda Gde Anyer."
"Terserahlah
kau mau bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan.
"Mungkin aku memang orang tolol. Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku
berpijak pada kebenaran dan hak pribadi yang tak bisa diganggu gugat!"
Made
Trisna memacu kudanya dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I
Krambangan!
*****
Denpasar
sebuah kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura besar yang sangat
indah bangunannya terdapat di sana. Di tengah-tengah kota terdapat sebuah
gedung besar yang atapnya berbentuk candi. Tak ada satu orangpun di Denpasar
yang tidak tahu siapa pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan penduduk yang
tinggal di pinggiran kotapun tahu bahwa itu adalah gedung kediaman bangsawan
kaya raya Tjokorda Gde Anyer.
Waktu itu
hari telah rembang petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di pintu gerbang
gedung, langsung masuk ke halaman dalam, dan menemui Tjokorda Gde Anyer.
Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda Gde Djantra sudah muncul pula hingga
dapatlah ia memberi keterangan sekaligus pada kedua beranak itu.
Betapa
terkejutnya bangsawan dan anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan Made
Trisna, tatkala mengetahui bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan. Tak
perduli alasan apapun yang dikemukakan I Krambangan, yang nyata ini adalah
merupakan satu penghinaan besar!
"I
Krambangan manusia tak tahu diri! Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde
Anyer. Lalu dia berpaling pada anaknya dan berkata, "Sudah, kau cari saja
gadis lain! Di Denpasar ini, di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis yang
jauh lebih cantik dari anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan
terpandang, kaya raya!"
Tjokorda
Gde Djantra termanggu beberapa lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat macam
orang mau mati besok, saat itu kelihatan makin tambah pucat! Seperti ayahnya,
pemuda inipun merasa terhina. Tapi hatinya benar-benar sudah terpaku pada gadis
itu hingga tak mungkin baginya untuk mencari lain gadis seperti yang dikatakan
ayahnya.
"Kita
sudah diberi malu Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau
jangan memberi malu yang kedua kalinya.
"Tapi
ayah aku tak sanggup hidup bersama gadis lain."
"Kenapa
tidak sanggup? Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa kau
ambil jadi istri sekaligus!" Tjokorda Gde Djantra berdiri dari kursinya.
"Walau
bagaimanapun aku musti dapatkan gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baik-baik
dengan jalan burukpun bisa. Rasa malu yang kita terima akan kubalas malam ini
juga!" Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu dari situ. Tjokorda Gde Anyer
dan Made Trisna saling berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa menduga apa yang
bakal dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made Trisna,
"Kalau betul itu hendak dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra, kurasa tak
ada salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."
******************
3
HARI itu
sejak petang lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti kemendungan.
Gumpalan awan hitam datang bergulung-gulung tiada hentinya dari arah barat.
Menjelang senja angin keras mulai bertiup, menerbangkan debu di segala pelosok,
membuat kota tenggelam dalam udara pengap. Tepat sewaktu sang surya lenyap di
ufuk barat maka hujan deraspun turunlah. Suaranya menggemuruh ditimpal oleh
deru angin. Setiap telinga yang mendengarnya merasa ngeri. Sekali-sekali
menggelegar guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan
selokan di seluruh kota telah luber oleh air hujan, sungai-sungai kecil banjir
menerpa segala apa saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda
sebentar lalu turun lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti merembas
dan mencucuk sampal ke tulang-tulang sungsum!
Dalam
lebatnya curahan hujan, dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya suasana
malam yang sangat dingin itu, dari jurusan timur laksana bayangan setan,
kelihatanlah empat penunggang kuda memasuki Klungkung. Sesampainya di
persimpangan jalan di depan pura, keempatnya membelok ke kiri tanpa mengurangi
kecepatan kuda masing-masing. Air hujan dan lumpur bercipratan di belakang
kaki-kaki ke empat binatang itu.
Hampir
mencapai ujung jalan, salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan dan
berkata, "Yang itu rumahnya! Pergilah, aku menunggu di sini."
Tiga
penunggang kuda lainnya segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar yang
berwarna hitam dan menutupi paras mereka dengan sapu tangan itu sebatas mata ke
bawah kemudian ketiganya segera bergerak ke rumah kecil yang ditunjuk tadi.
Seperti
keadaan rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap,
tak satu lampupun yang menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur nyenyak
dalam kehangatan selimut masing-masing. Ketiga orang itu turun dari kuda.
Setelah meneliti keadaan sekeliling mereka langsung ketiganya menuju ke pintu
depan. Dengan mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil dibuka.
Hampir tanpa suara sedikitpun ketiga orang itu masuk ke dalam rumah. Mata
mereka terpentang lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah demi selangkah
ketiganya bergerak.
"Kurasa
yang ini kamarnya," berbisik salah seorang dari yang tiga lalu mendahului
kawan-kawannya maju ke pintu dan mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan main,
tapi matanya yang tajam sanggup juga melihat sesosok tubuh yang terbaring
bergelung diatas tempat tidur.
"Biar
aku yang masuk," berkata laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu.
Pintu itu mengeluarkan suara berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara
hembusan angin deras dan hujan lebat. Dengan dua jari tangan terpentang lurus
siap untuk menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat
tidur.
Tiba-tiba
orang yang tidur di atas pembaringan menbalikkan badannya, selimut yang
menutupi sebagian wajahnya terbuka dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini
segera membentak, "Siapa kau?!"
"Keparat!
Bukan dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara dua
orang kawannya yang berdiri di ambang pintu berjaga-jaga juga terkejut sekali.
Tadinya mereka menyangka orang yang tidur di atas pembaringan itu adalah Ni Ayu
Tantri, gadis yang hendak mereka culik. Tapi suara bentakan itu nyata sekali
suara laki-laki! Tak dapat tidak yang tidur di situ adalah ayah dari gadis itu!
"Maling
rendah! Kau berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu
adalah suara bentakannya I Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke
dalam kamar itu adalah maling! Segera laki-laki itu melompat menyambar sebilah
parang yang tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya mencapai senjata itu
satu pukulan menyambar dari samping!
I
Krambangan dulunya adalah seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan
sendirinya memiliki ilmu silat yang cukup bisa diandalkan, apalagi kalau cuma
menghadapi seorang maling! Mendapat serangan itu dengan cepat dia melompat ke
samping, berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke dada lawan!
Tapi yang
dihadapi I Krambangan bukan "maling biasa". "Maling" itupun
ternyata memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan mudahnya dia mengelakkan
serangan I Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk". Tahu-tahu
jotosannya melanda dada I Krambangan.
Orang tua
itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan dadanya
sakit bukan main. Tapi karena dia tersandar ke dinding dengan sendirinya dia
mempunyai kesempatan baik untuk menyambar parang. Cuma dia masih kurang cepat.
Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan dua pasang
tangan yang kuat-kuat telah mencekal kedua lengannya. Dia coba berontak tapi
tak berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan yang amat keras mendarat di
keningnya. I Krambangan coba mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh
pingsan. Tapi pukulan itu terlalu keras. Lututnya tertekuk dan sewaktu dua
orang yang mencekalnya melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke lantai tanpa
sadarkan diri!
Di kamar
sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun dari tidur
masing-masing. Mereka adalah Ni Ayu Tantri dan ibunya. Biasanya Tantri tidur
sendirian di kamar depan tapi karena malam itu ibunya diserang demam panas, si
gadis sengaja tidur bersama sekalian untuk menjaga perempuan itu.
"Ada
apa, nak …?" bisik Ni Warda, ibunya Tantri.
"Seperti
suara orang berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah …
Biar aku lihat keluar."
Ni Warda
menarik pakaian anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu
orang-orang jahat. Kalau kau keluar…."
"Tapi
ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini
berkata demikian pintu kamar itu terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni
Warda dan Ni Ayu Trisna menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki
bertutupkan kain hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!
********
Baru saja
matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh oleh
berita yang disampaikan dari mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis
cantik yang belum lama ini pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap diculik
orang malam tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-malaman itu
telah berusaha mencari jejak si penculik, namun sia-sia belaka. Rata-rata
penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu Tantri itu adalah gerombolan rampok
yang bersarang di Bukit Jaratan karena rampok-rampok itu memang selalu
mengenakan kain hitam penutup muka bila menjalankan kejahatannya.
Tapi I
Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga, dengan
menunggangi kuda pagi itu dia berangkat menuju Denpasar. Tak sukar baginya
mencari gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer. Akan Tjokorda Gde Anyer ketika
melihat kedatangan I Krambangan berubahlah parasnya. Tapi seseat kemudian
bangsawan ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh tak disangka-sangka
kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan masuk."
"Cukup
kita bicara disini saja, Tjokorda Gde Anyer. . ."
"Eh,
kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya berdiri
…"
"Jangan
bicara segala macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan
pula dengan suara keras. "Panggil anakmu! Aku ingin bicara dengan
dia!"
Tjokorda
Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu
kemarahan menyelimuti dirimu. Bicaralah dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan
maksud kedatanganmu, dan maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan anakku.
Dalam pada itu kuharap kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik."
Seseorang
keluar dari dalam gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang ini bukan
lain Made Trisna. Dia tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat
I Krambangan. Namun seperti Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun lantas tertawa dan
menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini melainkan
memandang menyorot pada Tjokorda Gde Anyer.
"Agaknya
ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!" tanya tuan rumah.
"Ya,
memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi
biang ketidak beresan ini!"
"I
Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah
terjadi sampai kau bicara begini rupa!"
"Kurasa
kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa mengetahui pada
pertama kali aku melihat air muka kalian! Tapi tak apa saat ini kalian
berkura-kura dalam perahu! Suatu ketika aku akan tahu kedustaan kalian! Dengar,
sesudah pinanganmu kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang
telah memasuki rumahku dan menculik Ni Ayu Trisna!"
"Oh!
Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang telah menculik anak
gadismu? Sungguh tuduhan yang sangat rendah dan tanpa bukti sama sekali!"
"Memang
tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang melakukannya!
Sekarang katakan dimana anakmu itu?"
"Dia
tak ada di sini, I Krambangan."
"Itu
satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu
Trisna!"
"Jangan
menuduh sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah.
"Sekalipun lamaranku ditolak apa perlunya anakku menculik anakmu? Sepuluh
gadis-gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh Tjokorda Gde
Djantra!"
I
Krambangan menyeringai. "Katakan saja di mana anakmu berada!"
"Sejak
siang kemarin dia meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu. Kalau kau
tidak percaya silahkan tanya pada Made Trisna."
"Dengar
Tjokorda Gde Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam.
"Jika aku mendapat bukti-bukti dan kenyataan bahwa anakmulah yang telah
menculik anakku dan terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh
dia! Siapa saja yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka
bumi ini! Termasuk kau dan Made Trisna!"
Habis
berkata begitu I Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera
meninggalkan gedung itu.
******************
4
DALAM
hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan rumah I
Krambangan dengan cepat. Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan
kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan keempatnya berhenti. Laki-laki
bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh perempuan di pangkuannya
berkata pada tiga orang lainnya, "Kita berpisah di sini."
"Baik
Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah seorang dari mereka.
Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera meninggalkan persimpangan itu
sedang yang seorang tadi menyentakkan tali kekang kudanya dan menempuh jalan
sebelah kanan. Dua jam lamanya laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti.
Sewaktu fajar menyingsing dia sampai di sebuah lereng bukit dan memperlambat
lari kudanya. Sambil menunggangi kuda tak henti-hentinya dia menundukkan kepala
memandang paras jelita dari gadis yang berada dalam keadaan pingsan di
pangkuannya. Di puncak bukit laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah
sementara kuda tunggangannya menjilati air empun dan memakan rumput-rumput liar
yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu meneruskan
perjalanannya kembali.
Di tepi
sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan
lima belas kilo dari Denpasar terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk dan
tak terurus. Tapi karena lantai, dinding dan atap dibuat dari kayu jati, meski
tak terurus, keadaannya masih cukup baik untuk ditempati.
Tjokorda
Gde Djantra menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan yang
diculiknya ke dalam pondok, membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami
kering yang dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup
nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. Setelah memandangi wajah
gadis itu beberapa lamanya dengan seringai di bibir, Tjokorda Gde Djantra
keluar dari pondok dan membersihkan diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar
bila dia keluar dari telaga. Ketika dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis
itu telah siuman dan duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang
berkeliling dengan perasaan takut bercampur heran.
"Kau
sudah siuman Tantri … ?"
Ni Ayu
Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan
cepat. Dia tak kenal dengan pemuda berparas pucat yang berdiri di ambang pintu
itu. Tapi bila dia ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa manusia
ini pastilah salah seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat
gadis ini berdiri.
"Kelihatannya
kau takut sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.
Yang
mengherankan Ni Ayu Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya. Melihat
kepada pakaiannya yang bagus kemungkinan dia seorang pemuda bangsawan! Tapi
siapa dia dan mengapa telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa
dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin bertambah besar
detik demi detik. "
"Siapa
kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri.
Tjokorda
Gde Djantra tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali
terdengar di liang telinganya.
"Kau
tak usah takut Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku
tapi aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah kau dengar dalam beberapa
hari belakangan ini."
"Aku
tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan kembali
ke Klungkung dengan cepat!"
"Kau
tak akan kembali ke Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra.
Ni Ayu
Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. "Apa … Aku tak akan
kembali ke Klungkung?!" tanyanya.
Tjokorda
Gde Djantra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau
akan kembali ke Denpasar.
Kerumahku.
Dan kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang
berbahagia!"
Pucatlah
paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia berhadapan. Tidak
bisa tidak pastilah pemuda bermuka pucat ini Tjokorda Gde Djantra, anak
bangsawan yang telah ditolak lamarannya satu hari yang lewat! Dan ketika Tantri
menyadari apa maksud penculikan yang dilakukan Tjokorda Gde Djantra sesudah
lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis ini
menjerit dan coba menerobos ke pintu. Tjokorda Gde Djantra memegang lengan
gadis itu dan menariknya ke tengah pondok.
"Tak
ada yang harus kau takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau
bergembira karena kita akan hidup bahagia! "
"Lepaskan
aku!" teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan Tjokorda
Gde Djantra terlalu keras dan erat untuk bisa dilepaskannya.
"Duduklah
dulu ditumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baik-baik …"
"Aku
tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak
Tantri.
Tjokorda
Gde Djantra tertawa pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?"
ujarnya. "Justru perbuatan pemuda-pemuda Bali yang gagah dan berhati
jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata ini!"
"Lepaskan
aku manusia keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda
itu berulang kali. Tjokorda Gde Djantra mendorong Tantri keras hingga terbaring
di atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan memalangnya
sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Tantri yang menjerit-jerit
dan ketakutan setengah mati.
"Aku
tak mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka
dada, "tak mengerti mengapa kau sampai menolak lamaranku …"
"Manusia
keji keluarkan aku dari sini!"
"Kudengar
kau sudah mempunyai seorang kekasih, Betul?"
"Itu
bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!"
"Tak
ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak,
Tantri."
Ni Ayu
Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri sia-sia saja
karena untuk kedua kalinya pemuda bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan
mendorongnya kembali hingga terbanting di atas tempat tidur jerami kering.
"Nama
pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa bukan?"
Tantri
tak menjawab melainkan menangis dan berteriak-teriak.
"Dengar
Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga
bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-sia. Segala keperluan hidupmu
kujamin penuh."
"Aku
tak perlu semua itu! Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"
"Kadang-kadang
cinta itu memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi
berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan hidup masa depanmu di tangan seorang
pemuda desa yang tak punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan kehidupanmu yang
masih panjang ini hanya karena kasih sayang gilamu …?!"
"Diam!"
jerit Ni Ayu Tantri.
"Kekasihku
memang tak punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari pada
kekejian yang kau lakukan ini! Menculik gadis yang tidak sudi kawin dengan kau!
Cis! Kau adalah pemuda bangsawan yang paling rendah di atas dunia ini!"
"Sesudah
kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih akan
menolak nanti untuk kawin denganku?" tanya Tjokorda Gde Djantra pula
dengan seringai mengejek.
"Aku
lebih baik bunuh diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri
blak-blakan!
"Tolol
sekali mau mati muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu
melangkah maju.
"Pergi!"
teriak Tantri!
"Tantri,
kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil? Dengar … aku tak akan
melakukan apa-apa atas dirimu jika kau bersedia menerima lamaranku."
"Lebih
baik aku kawin dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab
Tantri pula seraya mundur menjauhi pemuda itu.
Ucapan
yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah
diterima pemuda bangsawan itu selama hidupnya. Mukanya yang senantiasa pucat
pasi mendadak sontak menjadi kelam merah. Mulutnya terkatup rapat-rapat,
rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang kelaparan
pemuda ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.
"Breet!
Breet …!"
Suara
robekan pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri
mengumandang melengking tinggi. Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak dapat
menyelamatkan diri dari keganasan sepasang tangan Tjokorda Gde Djantra yang merobek-robek
pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah
seperti tak berpakaian lagi.
Auratnya
yang kuning langsat penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di
tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana mendidih!
"Ini
kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan
baik-baik padamu!"
"Bunuh
aku! Bunuh saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan
menjerit terus-terusan.
Tjokorda
Gde Djantra menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya
mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur
jerami!
"Terlalu
gila kalau aku mau membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu dengan mata yang
bersinar-sinar penuh nafsu. Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas
dirinya. Cepat-cepat dia melompat tapi kembali tangan pemuda itu membuatnya
jatuh tertelentang di atas tumpukan jerami!
"Jika
kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak kawin denganku,
Tantri⁄" Suara Tjokorda Gde Djantra lebih merupakan hembusan nafas panas
penuh nafsu dari pada ucapan sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri. Gadis
ini coba menghantamkan salah satu lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde
Djantra telah menghimpitnya membuat gadis itu tak punya daya apa-apa lagi
selain dari pada menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin!
Namun sampai dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang
laksana sudah berubah menjadi binatang buas!
Di luar
pondok hujan rintik-riptik turun. Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan alam
ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana meratap menangisi apa yang telah
terjadi di dalam pondok.
Ni Ayu
Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup
selembar benang itu tiada bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis
ini telah jatuh pingsan.
Di lantai
pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan
tubuh mandi keringat, hidung kembang kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan
diputarnya kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa
luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu. Dengan
apa yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde Djantra
jelas sudah bahwa baik Tantri sendiri maupun kedua orang tuanya tak bakal bisa
lagi menolak lamarannya tempo hari.
Memandangi
tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di sekujur
tubuh Tjokorda Gde Djantra. Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh
itu bergerak sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri membuka. Telah
sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, memandang pada
tubuhnya sebentar lalu ketika sepasang matanya membentur Tjokorda Gde Djantra,
dari mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik yang mengerikan! Tjokorda Gde Djantra
sendiri sampai berdiri bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih
termanggu-manggu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang
mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke arah dinding
kayu jati.
"Tantri!
Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan
sebat. Tapi nasib! Terlambat sudah!
Kepala Ni
Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat kerasnya.
Terdengar suara pecahnya batok kepala perempuan itu. Tubuhnya terkapar ke
lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri bukanlah satu perbuatan baik,
namun Ni Ayu Tantri telah memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian
diri adalah jauh lebih berharga daripada jiwanya!
******************
5
DI daerah
sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang masing-masing
terdiri dari sepuluh orang telah menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni Ayu
Tantri yang telah diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I Krambangan
menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman Dwipa,
kekasih Ni Ayu Tantri, menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan
yang terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang bernama I Gusti
Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan penyelidikan
namun sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I Krambangan dengan putus asa
meninggalkan daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung.
Dalam
perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh daerah sebelah timur laut,
menyusur rimba belantara dan kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main karena
matahari bersinar dengan terik. Sewaktu melewati sebuah kaki bukit, I
Krambangan melihat kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya.
Mulutnya yang berbusah senantiasa tak bisa diam sedang cuping hidungnya
bergerak-gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu berada dalam keadaan
seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui air segar.
Mulanya I
Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke Klungkung
adalah lebih baik baginya. Siapa tahu rombongan yang dipimpin oleh Nyoman Dwipa
atau I Gusti Wardana telah berhasil menemukan anak gadisnya.
"I
Krambangan," tiba-tiba seorang anggota rombongan yang berada di samping I
Krambangan menegur. "Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk istirahat
barang beberapa ketika? Kalau aku tidak salah, di sebelah sana terdapat sebuah
telaga berair jernih . . . "
Atas
ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke arah telaga yang
dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin dekat ke arah telaga, sesuatu bau
yang tidak enak semakin santar menyambar hidung setiap anggota rombongan.
"Adakah
kalian membaui sesuatu?" tanya I Krambangan.
"Ya.
Bau busuk apa ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang
berkeliling. Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.
"Hai
lihat!" seru seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga
sana!"
Memang
benar di seberang telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok inilah
agaknya santar sekali menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan
keningnya. Tiba-tiba selintas pikiran timbul di benak orang tua ini. Dadanya
berdebar. Disentakkannya tali kekang kudanya. I Krambangan memacu binatang itu
memutari telaga hingga akhirnya sampai di depan pondok. Laki-laki ini melompat
turun dari kudanya dan lari ke pintu pondok. Pintu itu tidak dikunci. Ketika
didorong segera terpentang lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat
suasana tambah ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau
busuk menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil menutup
hidung I Krambangan masuk ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai pondok
sewaktu matanya membentur sesosok tubuh perempuan yang menggeletak di atas
lantai.
Hanya
seketika I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras
yang rusak itu terpekiklah dia!
"Dewa
Agung!"
I
Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa orang anggota
rombongan kemudian memasuki pula pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap
ngeri melihat pemandangan di depan mata mereka! Sosok tubuh yang terhampar di
lantai pondok bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi
mayat. Selain tak selembar benangpun yang menutupi auratnya, tubuh itupun
sangat rusak, sudah membusuk bahkan di beberapa bagian sudah ada yang dimakani
ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan satu benda yang
mengerikan untuk dipandang. Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup
darah kental beku itu sebagiannya telah busuk. Mata kiri kanan tempat
bersarangnya belatung-belatung yang berjalan kian kemari!
"Dewa
Agung⁄" rintih I Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air
mata karena tak sanggup menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah
yang aku buat, kesalahan apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib
begini rupa . . ?"
Rintih
atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Sebaliknya di lubuk
hati I Krambangan seolah-olah muncul sebuah titik merah yang makin lama makin
besar, makin besar … makin besar dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api
yang membakar hati dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang
menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat!
Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan suara
bergemeletukan. Tibatiba berteriaklah I Krambangan laksana geledek dahsyatnya,
membuat semua orang yang ada di situ menjadi kaget sekali.
"Tjokorda
Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi
Dewa Agung aku bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan kuhirup darah
anakmu yang jahanam itu!"
Bersarnaan
dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap.
Langit mendung. Angin menderu keras. Guntur menggelegar, kilat menyambar dan
hujan lebatpun_ turunlah! Keadaan seperti itu seolah-olah delapan penjuru jagat
dan Dewa-dewa di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan tadi!
*****
Saat itu
memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki Denpasar.
Di belakangnya kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda masing-masing. Sejak
dari Klungkung keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati serta pikiran
I Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut jalan wajar.
Mereka telah menasihatkan agar perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala
Keamanan Kota Klungkung yaitu I Gusti Wardana yang sampai saat itu belum
kembali dalam memimpin rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan
kalap, dalam keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk
memberi nasihat pada I Krambangan yang sudah seperti manusia kemasukan setan
itu!
Sambil
menyisipkan sebilah keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata pada
tetangga-tetangga yang ada di hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak
gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga Tjokorda Gde Anyer keparat itu! Aku
belum puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana! Kalian tak
usah ikut campur! Ini adalah urusan pribadiku!"
Semua
orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk berusaha
agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan itu, empat orang
tetangga telah berangkat pula sengaja mengikuti I Krambangan ke Denpasar. Pintu
gerbang besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer terkunci. Tanpa turun dari
kudanya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak berapa lama kemudian pintu
besarpun terbuka. Seorang pelayan laki-laki memunculkan kepalanya.
"Bangsat
yang bernama Tjokorda Gde Anyer dan anaknya yang bernama keparat Tjokorda Gde
Djantra itu ada di dalam?!" bentak I Krambangan.
Bentakan
itu mungkin tak membuat si pelayan kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang
menjadi terkejut. Pelayan ini ingat pada pesan majikannya, maka diapun berkata,
"Sayang
sekali, majikanku dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau
berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan."
"Hem
. . . begitu pesannya?" ujar I Krambangan.
Pelayan
itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan kaki
kanannya, menendang dengan sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului
oleh satu jeritan kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting dan roboh
tak sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang pintu hingga
pintu itu terpentang lebar.
Di depan
tangga langkan gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini melompat
turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan hal yang sama dan berdiri di
belakang I Krambangan. Setelah memandang berkeliling dengan mata yang merah laksana
dikobari nyala api, maka berteriaklah I Krambangan.
"Anjing
busuk yang bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"
Tak ada
jawaban I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi sampai berulang-ulang!
Sewaktu masih tetap tak ada jawaban maka menggelegaklah kemarahan laki-laki
ini. Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina yang besar dan terletak di langkan
itu pecah berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan yang
ada di ruangan muka itu hancur musnah dirusak I Krambangan sementara empat
orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melarang. Mereka hanya
memperhatikan saja dengan hati cemas.
Satu-satunya
benda yang masih utuh di ruang depan gedung mewah itu ialah lampu minyak besar
yang tergantung di langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah kursi yang
telah patah-patah dan melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah
berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu di
sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan
orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made Trisna!
Mana majikanmu si anjing Tjokorda Gde Anyer itu?!"
Paras
Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan suara
lunak, "Sahabatku, I Krambangan."
"Tikus
kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau tidak
ingin mampus! "
"Apa-apaan
ini sebenarnya I Krambangan? Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk di
rumah orang … ?!"
"Keparat
laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing kurap
bernama Tjokorda Gde Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada pasal tak ada
lantaran…!"
"
Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!"
"Manusia
bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I Krambangan.
Sambil melompat ke muka keris pusaka di pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian
secarik sinar putih menderul Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan oleh I
Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher Made Trisna!
Melihat
orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna cepat-cepat melompat.
Serangannya yang mengenai tempat kosong membuat I Krambangan jadi tambah gelap.
Cepat laksana kilat dia membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan
serangan maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan lantang,
"Tahan!"
I
Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat.
"Anjing
busuk! Akhirnya kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I Krambangan.
Paras
Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur,
"Apa yang kau perbuat di sini benar-benar membuat aku terkejut!"
I
Krambangan mendengus keras.
"Apakah
hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan
merusak kehormatan Tantri dan membuhuhnya?!"
"A …
apa?!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu
kepura-puraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa yang terjadi
atas diri Tantri.
"Anjing!
Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas tanggung jawab yang
harus kau pikul perlu apa kau memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang
terkapar di luar sana?!"
"Aku
sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe …"
"Sudahlah!
Dihadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang
kubur!"
Habis
berkata demikian I Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian kalinya
berkiblat mencari maut!
"I
Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde
Anyer.
"Aku
sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan
serangannya makin ganas. Di serang bertubitubi begitu rupa Tjokorda Gde Anyer
tak bisa berdiam diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera mencabut sebilah
keris bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian terjadilah
pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun keempat kawan I Krambangan tak
bisa mencegah atau menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma
memperhatikan jalannya pertempuran dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran
yang hebat itu sudah dapat dipastikan akan meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun
hebatnya serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan pertempuran
itu namun sudah dapat dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah
tandingannya. Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan
Bali sekitar dua puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang
memiliki kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa perwira lainlah kaum
pemberontak berhasil ditumpas, takhta kerajaan berhasil diselamatkan. I
Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan darah itu terjadi hanya memegang jabatan
sebagai Kepala Prajurit Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau
pangkat itu sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-masing.
Lima
jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah itu
mulai ditanan dan dibendung oleh keris bereluk dua belas di tangan Tjokorda Gde
Anver vang nyatanya bukanlah keris sembarangan pula! Dengan senjata itulah dulu
kabarnya Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada
jurus kesembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap dan membahayakan
dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai bahu kiri lawannya Tjokorda Gde
Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan
untuk merampas senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. Keris
ditangannya diputar demikian rupa, gerakangerakannya berubah dan dalam satu
jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk! Berada dalam keadaan terdesak
bukan membuat I Krambangan menjadi cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah
bertekad bulat untuk membunuh lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. Maka
diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada.
Memasuki
jurus keduapuluh sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut. Delapan kali
saling benturan senjata dengan lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan
sakit. Melihat pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling lama
tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya!
"I
Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak
memperpanjang urusan!" berseru Tjokorda Gde Anyer.
"Seluruh
keluargamu mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayat-mayat busuk
kalianl" jawab I Krambangan.
Tjokorda
Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan menggeledek dia
membuka jurus ketiga puluh dengan satu serangan yang hebat. Serangan ini
dinamakan lengan dewa merangkul awan." Mula-mula kerisnya kelihatan
menusuk tajam ke arah batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis, mendadak
lengannya bergerak menghantem ke leher dalam kecepatan yang luar biasa dan
sukar diduga. Mana diduga kalau serangan senjata yang dilancarkan oleh tangan
kanan, bisa berubah dengan satu pukulan tangan kosong yang lihay!
I
Krambangan tau bahwa dia tak punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan
untuk mengelak. Karenanya dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan
kerisnya ke dada lawan. Tapi posisi Tjokorda Gde Anyer terlalu jauh untuk
dicapai oleh tusukan itu! Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan,
lengan kanan Tjokorda Gde Anyer membabat deras dan "krak"! Patahlah
batang leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, nyawanya
sudah lepas!
Kalau
tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan
pertempuran itu dengan kawatir, kini bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat
mereka menjadi marah sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa
nyawa, Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu!
Made
Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan dua
yang teramat seru tapi yang juga berjalan duabelas jurus. Satu demi satu
keempat orang itu roboh mandi darah dan mati!
******************
6
DALAM
melarikan kuda hitamnya laksana diburu setan itu, masih terbayang di pelupuk
matanya upacara pembakaran jenazah Ni Ayu Tantri. Masih terbayang olehnya
upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang olehnya upacara
pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri
I Krambangan dengan segala ketabahan dan keberanian yang luar biasa mencebur
masuk ke dalam gejolak api di mana jenazah suaminya dibakar!
Berhenti
di puncak bukit itu dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir
dari balik pakaiannya. Sebelum abu pembakaran jenazah Tantri dibuang kelaut,
pemuda ini telah memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam
kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, "Tantri,
aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan keluargamu! Bila manusia-manusia
keji itu berhasil kutumpas, akupun rela untuk menyusulmu!"
Perlahan-lahan
dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya kembali. Ketika tali kekang kuda
hitam hendak disentakkannya, matanya melihat seorang penunggang kuda keluar
dari hutan, memasuki jalan kecil di kaki bukit lalu memacu kudanya ke arah
timur. Entah karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas puncak
bukit terhadap penunggang kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur. Jika dia
bergerak cepat, sekurang-kurangnya dia akan berhasil menyusul orang itu dan
menunggunya di tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah
mempertimbangkan sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan
larilah kudanya menuju ke timur.
Kira-kira
setengah jam kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di tikungan jalan.
Tikungan itu selain patah tajam juga berbahaya karena di sebelah kirinya
terdapat jurang batu yang sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di tepi
kanan jalan pemuda ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda yang tadi
dilihatnya lalu.
Kira-kira
lewat sepeminum teh telinga pemuda ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki
kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin jelas dan keras tanda kuda dan
penunggangnya sudah tambah dekat. Ketika orang yang dihadangnya itu tinggal
beberapa tombak saja, pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing batu.
Orang
yang dihadang, seorang pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh curiga
akan kemunculan seorang penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya
satu-satu jalan yang menghubungkan Denpasar jengan daerah luar kota. Jadi
adalah biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun sewaktu melihat
pemuda berkuda hitam itu sengaja berhenti di tengah jalan maka syak wasangkalah
hatinya. Pemuda berpakaian bagus itu menghentikan kudanya dalam jarak lima
belas langkah.
Keduanya saling
pandang sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka mulut,
"Saudara, harap kau suka memberi jalan."
"Saudara!
Apa kau tak dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus,
berbadan tinggi kurus dan berwajah pucat pasi. Suaranya mulai keras tanda
gusar.
"Jalan
ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia
sama sekali tidak menepikan kuda tunggangannya!
Melihat
ini pemuda berpakaian bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa
maksudmu menghadang perjalanan orang!!"
Satu
seringai tersungging di mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang
manusia muka pucat! Kau tentu bangsatnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra dari
Denpasar!"
Ucapan
ini membuat pemuda berpakaian bagus menjadi kaget. Nalurinya memperingatkan
agar mulai detik itu dia harus berhati-hati karena memang dia adalah Tjokorda
Gde Djantra!
"Katakan
dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!"
Sebagai
jawaban pemuda berkuda hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh berwarna
coklat tua. Sinar matahari yang terik membuat senjata ini berkilau memancarkan
sinar kehitaman!
"Silahkan
cabut keris di pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang bernama
Tjokorda Gde Djantra. Aku Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus
serahkan jiwamu saat ini juga sebagai pertanggungan jawab atas apa yang telah
kau lakukan terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I
Krambangan serta empat orang kawan-kawannya!"
Kejut
Tjokorda Gde Djantra bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa
gelak-gelak kemudian berkata, "Jadi ini tampang manusia yang mengaku
kekasih Ni Ayu Tantri? Ha . . . ha … ha! Tampangmu boleh juga sobat! Tapi kalau
kau punya rencana untuk membunuhku, kau harus berpikir tiga kali sebelum
melakukannyal Apakah kau punya kepandaian yang bisa diandalkan? Hidungku
membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke desamu, cuci kaki
dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra
tertawa lagi terbahak-bahak!
Nyoman
Dwipa kertakkan rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah.
"Tertawalah
sepuasmu manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah yang akan
tertawa menyambutmu di liang kubur!"
Tjokorda
Gde Djantra mendengus lalu berkata,
"Aku
yakin tentu kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh
kekasihmu itul Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! Sungguh kurang
ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa punya bukti-bukti kuat dan
nyata!"
"Pemuda
keji! Lamaranmu ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu
Tantri!"
Tjokorda
Gda Djantra kembali mendengus dan menjawab,
"Kau
kira cuma gadis itu saja yang ada di pulau Bali ini? Sepuluh gadis-gadis lebih
cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi istriku, perlu apa aku sampai menculik
perempuan tak berguna dan hina dina itu!"
"Jadi
kau tidak mau mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan
kejahatan kotor terkutuk itu!"
"Aku
katakan padamu sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde
Djantra.
Nyoman
Dwipa menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu keluar
lagi kelihatan memegang sebuah benda bundar yang ternyata adalah sebuah kancing
baju yang terbuat dari perak.
"Manusia
laknat pengecutl Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing
ini sama bentuknya dengan kancing pakaian yang kau kenakan saat ini! Apakah
mulut busukmu masih mau mungkir!’
Tjokorda
Gde Djantra terdiam. Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang telah
direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan gadis
itu!
"Kau
terdiam dan tampangmu tambah pucatl Sekarang bersiaplah untuk mampus!"
teriak Nyoman Dwipa. Tali kekang disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan
keris berluk tujuh di tangan kanannya berkelebat dengan ganas, mengirimkan satu
tusukan ke arah dada kanan Tjokorda Gde Djantra!
"Trang!!!"
Terdengar
suara beradunya senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan lawan
dengan keris Bradjaloka bereluk tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas
punggung kudanya Nyoman Dwipa terkejut bukan main! Daya tangkis lawan kuat luar
biasa hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnyapun
terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang pada tali kekang
kuda mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan yang lebih mengejutkan serta
membuat pemuda ini mengeluh dalam hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian
yang tajam dari kerisnya yang cuma bereluk tujuh telah gompal dihantam keris
lawan dalam bentrokan senjata tadi!
Mengetahui
sampai dimana tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde Djantra
berkakakan seraya melontarkan ejekan,
"Manusia
yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di
hadapanku!"
"Iblis
bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu
kalau tidak dapat mencincang seluruh tubuhmu!"
Tjokorda
Gde Djantra ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman untuk kedua
kalinya melancarkan serangan dari depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan
lawannya hanya pancingan belaka. Begitu Tjokorda Gde Djantra menggerakkan
tangan untuk menangkis, keris di tangan Nyoman Dwipa berkelebat turun dan
membabat ke arah perut!
"Keparat!"
maki Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga binatang
itu melompat ke depan dan dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini berhasil
mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun Nyoman Dwipa rupanya tidak kepalang
tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu tendangan kaki kanan!
Masih
untung Tjokorda Gde Djantra sempat berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib
sial. Tendangan Nyoman Dwipa mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini
meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan
membuat penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah!
Tjokorda
Gde Djantra seorang pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu silat dan
kebatinan serta kesaktian pada seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama
Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa itu terdapat tiga orang tokoh silat
kawakan yang sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Salah seorang di
antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang diam di Danau
Batur. Karena dia sering mengembara maka jarang sekali dia berada di Danau
tersebut.
Tokoh
silat ketiga bernama Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua
persilatan di Pulau Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi
karena tokoh silat yang berumur 70 tahun ini lenyap begitu saja dari dunia
persilatan, entah mengundurkan diri entah telah menemui ajalnya. Di antara
ketiga tokoh silat itu Menak Putuwengilah yang paling tinggi ilmu
kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa saja yang berbentuk tongkat, baik
beberapa helai lidi atau daun bambu ataupun ranting kering atau besi, bila
berada di tangannya pasti akan menjadi senjata yang dahsyat. Karena itulah
Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat Penjuru Angin. Pernah
sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh itu bertemu di puncak Gunung
Tabanan untuk mengadakan pertandingan persahabatan, menguji ilmu kepandaian
masing-masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh
tokoh-tokoh silat di Pulau Bali maka Menak Putuwengi keluar sebagai jago nomer
satu setelah berturut-turut mengalahkan Sorablungbung dan Walalang Tjarda.
Setelah lima belas tahun berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya
yang lebih hebat karena di samping ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi
mengadakan pertandingan juga kabarnya Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah
memperdalam ilmu masingmasing hingga mencapai tingkat yang sangat tinggi.
Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu saja tak diketahui kemana perginya!
Sebagai
salah seorang murid Sorablungbung yang pernah digembleng selama empat tahun,
dengan sendirinya Tjokorda Gde Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan
dibandingkan dengan Nyoman Dwipa yang cuma berguru pada seorang pertapa yang
tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya
Nyoman Dwipa bukan apa-apa bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang
hati-hati meski tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra
kena juga dihantam lawan meski kudanya yang menjadi korban!
Tjokorda
Gde Djantra terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan membuat
darahnya seperti mendidih.
"Setan
alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!"
Tjokorda
Gde Djantra melompat ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam satu
jurus yang hebat! Nyoman Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana kecepatan
gerak lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana lenyap. Dia cuma
merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-cepat pemuda ini
melompat turun dari kudanya.
"Breet!"
"Buuk!"
Dua suara
itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara robeknya pakaian Nyoman
Dwipa di sambar ujung keris Brajaloka sedang suara kedua ialah suara pukulan
dahsyat yang menghantam kepala kuda hitam milik Nyoman Dwipa. Binatang ini
rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang beberapa ketika lalu tak bergerak
lagi!
"Kudamu
sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke
neraka!" ejek Tjokorda Gde Djantra!
Sebenarnya
sejak bentrokan senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi bahwa
tingkat kepandaian ilmu silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde Djantra bukanlah
lawannya. Tapi untuk membatalkan niatnya menuntut balas tentu saja pemuda itu
tidak sudi! Lebih baik mati secara jantan dari pada lari atau menyerah secara
pengecut!
Dengan
mengeluarkan bentakan yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti
tadi kedua tangannya bergerak cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian. Dalam
jurus itu dia berhasil mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus
berikutnya, satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat
lagi mempertahankan kerisnya! Senjata itu terlepas mental dihantam senjata
lawan!
Sambil
tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang kepepet ke
tepi jurang, Tjokorda Gde Djantra berkata, "Kau akan segera mampus sobat!
Dan kau tahu …? Betapa mengerikannya kematian itu! Kau lihat keris Brajaloka
yang terbuat dari emas di tanganku ini? He … he..! Sebentar lagi sobat!
Beberapa detik lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . . Ha . .
ha …!"
Tjokorda
Gde Djantra mengangkat tangan kanannya yang memegang keris tinggi-tinggi
sementara dalam keadaan kepepet ke tepi jurang itu Nyoman Dwipa berusaha
mencari jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah
nekat untuk menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh Tjokorda Gde
Djantra dan sama-sama menghambur masuk jurang! Itu adalah cara yang paling baik
menurut Nyoman Dwipa asal saja dia benar-benar bisa melakukannya!
Jarak
kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja lagi.
Antara Nyoman dengan tepi jurang di tikungan jalan itu hanya satu setengah
langkah saja. Nyoman Dwipa memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia
menunggu dengan kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke muka,
menunggu kesempatan yang ada!
Mendadak
Tjokorda Gde Djantra hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-gelak.
Bila suara tertawa itu dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak
akan membunuhmu dengan keris ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar
biasa sobat! He … he … he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila
jatuh ke dalam jurang di belakangmu itu? Kematian menunggumu di batu-batu cadas
di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju detik-detik kemampusan itu
kau akan dikungkung kengerian yang luar biasa!"
Nyoman
Dwipa menggeram mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang ganas
itu. Dia tak bisa
menunggu
lebih lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh
lawannya walau apapun yang
terjadi!
Maka tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan
lawannya. Tjokorda Gde Djantra mendengus. Dengan seringai maut tersungging di
mulutnya pemuda ini memukulkan tangan kirinya ke depan! Nyoman Dwipa merasakan
satu sambaran angin yang laksana badai hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha
untuk tidak tersapu angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat
mental sampai enam tombak untuk kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi suara
kumandang tertawa Tjokorda Gde Djantra.
******************
7
DALAM
tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya memang
merasa ngeri sekali! Siapa yang tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui
bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas besar di
dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang bakal dihadapinya itu
adalah kematian secara jantan, ditabahkannya hatinya. Dia percaya pula bahwa
rohnya akan berjumpa di alam akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia
mereka tak punya kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat
hal itu akan kesampaian.
Makin
jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih
mengumandang suara tertawa Tjokorda Gde Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman
Dwipa namun ketika sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu
besar yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan
tulang-tulang ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh pingsan!
Tapi
dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa
sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah yang terjadi dengan diri Nyoman
Dwipa.
Sewaktu
tubuh pemuda itu hanya tinggal enam tombak saja lagi dari permukaan sebuah batu
cadas yang sangat besar berkelebatlah satu bayangan putih yang dibarengi dengan
suara seruan, "Dewa Agung!!!"
Yang
berseru ini adalah seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih. Rambutnya
yang panjang terurai macam rambut perempuan, janggutnya yang menjela dada serta
kumis bahkan kedua alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski umurnya
sudah lebih dari 70 tahun tapi kakek-kakek ini memiliki tubuh yang masih kekar
dan kegesitan yang luar biasa. Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh
ke dalam jurang kejutnya bukan alang kepalang. Dia tidak tahu apakah manusia
yang jatuh itu masih hidup atau sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini
segera mengangkat kedua tangannya dan mendorong ke atas!
Satu
gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa detik
tubuh pemuda itu tertahan di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh
pemuda itu si orang tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan. Tubuh Nyoman
Dwipa terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan ketika jatuh kembali
ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua tangan! Sungguh luar biasa apa
yang dilakukan orang tua ini.
Tubuh
Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang tua itu
sudah lenyap dari pemandangan. Si orang tua membawa Nyoman Dwipa ke dalam
sebuah goa batu dan setelah diperiksa ternyata pemuda itu masih bernafas.
Kakek-kakek ini mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa beberapa kali hingga
akhirnya pemuda itu sadar dari pingsannya. Setelah membuka kedua matanyaı
Nyoman Dwipa kemudian memandang berkeliling. Sekelilingnya ruangan batu yang
bersih. Apakah aku sudah berada di alam baka, pikir pemuda ini. Tapi bila
matanya membentur tubuh dan paras seorang tua berpakaian putih-putih, berkumis
dan berjanggut putih heranlah pemuda ini. Orang tua itu duduk di sebuah batu
bundar di tengah ruangan. Kedua telapak tangannya saling dirapatkan di muka
dada sedang kedua matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi.
Tapi
anehnya begitu Nyoman Dwipa menyalangkan mata dan memandang terheran-heran
berkeliling, tanpa membuka matanya si orang tua berkata: "Orang muda, kau
tak usah heran. Kau berada di tempat aman."
"Di
manakah saya, bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini …?" tanya
Nyoman Dwipa seraya bangun dari tempat tidur yang terbuat dari batu.
Tanpa
membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata: "Kau berada di tempat
yang aman orang muda. Ketika aku berada di dalam goa kudengar suara
bentakan-bentakan yang diseling suara tertawa serta suara beradunya senjata di
atas. Aku keluar dari goa tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh
ke dasar jurang. Selanjutnya Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari
kematian . . .".
Kini
ingatlah Nyoman Dwipa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur
dengan Tjokorda Gde Djantra kemudian didorong dengan satu pukulan dahsyat
hingga mencelat mental dan jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua
berambut putih meski dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah
menyelamatkan jiwanya tapi Nyoman Dwipa sadar bahwa orang tua inilah yang telah
menolongnya dari renggutan maut. Segera Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur
batu, melangkah ke hadapan kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata,
"Orang tua, aku Nyoman Dwipa menghaturkan terima kasih yang tak terhingga
atas budi pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini dan
semoga Dewa Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu namamu agar
sewaktu-waktu aku tidak sukar mencarimu."
Si orang
tua tertawa dan menjawab, "Apalah artinya nama? Kita dilahirkan tanpa
nama. Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang nyawa karena memang kita
manusia ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong sesama manusia. Orang muda,
cobalah kaus terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari
tepi jurang."
Nyoman
Dwipa lalu menuturkan pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra bahkan
diterangkannya juga pangkal sebab pertempuran itu termasuk kematian I
Krambangan dan empat orang penduduk Klungkung.
Si orang
tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya dia membuka kedua matanya.
Mata itu sipit sekali macam mata orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang
tajam penuh wibawa!
"Cinta
itu pada dasarnya adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu membuatnya
menjadi hal yang kotor. Seringkali menusia buta karena cinta, karena kecantikan
paras perempuan. Kalau sudah begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa
terjadi hingga tidaklah aneh lagi kalau manusia tega membunuh manusia lain
bahkan sahdara kandungnya sendiri hanya karena cinta."
Nyoman
Dwipa termangu diam beberapa lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua
beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan tempat ini kuharap kau suka memberi
petunjuk-petunjuk padaku."
"Kau
hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu itu,
Nyoman?"
"Benar,
orang tua." jawab Nyoman Dwipa terus terang.
"Kau
tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu pula
secara terus terang. "Buktinya pukulan tangan kosongnya saja sanggup
mengirimkan kau ke liang maut jika saja Dewa Agung tidak menghendaki agar kau
tetap hidup. Kau mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda Gde Djantra. Dia
salah seorang murid Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung
Agung."
Terkejutlah
Nyoman Dwipa mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup melawan
Tjokorda Gde Djantra. Maka kalau diteruskannya niat untuk membalas dendam
dengan tingkat kepandaian yany jauh lebih rendah pastilah akan sia-sia belaka
dan diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang
ditundukkan dan berkata dengan sungguh-sungguh pada si orang tua.
"Aku
yang bodoh ini mohon petunjukmu orang tua."
Kakek-kakek
itu tertawa. Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa sesungguhnya
dia berhadapan. Kakek kakek berambut dan berjanggut putih itu bukan lain Menak
Putuwengi itu tokoh silat yang paling tinggi ilmu kesaktiannya di antara
tokoh-tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun yang silam!
"Aku
tak bisa memberi petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi
pula.
Pemuda
itu merasa kecewa tapi juga heran ketika melihat dalam berkata itu si orang tua
tersenyum. Dan Menak Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa mengajukan
satu tawaran. Sudikah kau mempelajari permainan silat ilmu tongkat? Bukan aku
sombong, dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau dapat mengalahkan murid
Sorablungbung itu."
Bukan
alang kepalang gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan
menjawab: "Tentu saja mau. Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan
memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon agar kau sudi memberitahu namamu, orang
tua…"
"Ah,
soal namaku …" kata Menak Putuwengi, "Sudah sejak belasan tahun
dilupakan dunia persilatan di Pulau Bali ini. Biarlah nanti saja kuberi tahu
padamu. Nah sekarang mari kita berangkat …"
"Berangkat
kemana guru?" tanya Nyoman tak mengerti.
"Goa
ini terlalu sempit dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat
pedataran tinggi di sebelah, timur sana ….?" ujar Menak Putuwengi seraya
menunduk keluar goa. "Disitu lebih cocok tempatnya."
"Baiklah
guru", jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa.
Ternyata bagian lamping kiri dari jurang tersebut menuju ke sebuah daerah
pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang lebat. Menak Putuwengi kelihatannya
berjalan lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun Nyoman Dwipa
mengerahkan ilmu larinya, tetap saja dia ketinggalan belasan tombak di
belakang!
Sesampainya
di pedataran tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya
pemandangan di sekelilingnya.
"Kita
mulai saja pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba
keluarkan dan perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang kau miliki."
Atas
perintah gurunya itu maka Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus.
"Sudah
. . . sudah cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari
pada lumayan. Tapi permulaan yang cukup baik!" Habis berkata begitu Menak
Putuwengi lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah satu diberikannya
kepada Nyoman Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan kau
dasar-dasar ilmu tongkat. Kemudian kau harus melatih diri dalam tenaga dalam
dan meringankan tubuh."
Demikianlah,
mulai saat itu Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak
Putuwengi.
******************
8
BERDIRI
di tepi danau yang dikeiilingi pohon-pohon besar pada siang hari yang panas
terik itu membuat pemuda pengelana itu ingin sekali mandi merasakan kesejukan
air danau. Sambil bersiul-siul pemuda ini lalu membuka pakaiannya. Sesaat
kemudian diapun sudah mencebur masuk ke dalam air danau. Sengaja dia menyelam
dalam-dalam lalu muncul lagi dipermukaan air danau untuk bernafas lalu menyelam
lagi. Gemikian sampai beberapa kali. Pada kali yang keenarn dia memunculkan
kepala di permukaan air danau mendadak sontak berubahlah parasnya oleh rasa
kaget yang bukan alang kepalang!
Dari
seluruh tepi danau dilihatnya meluncur ular hitam berbelang-belang kuning
sebesar betis dan rata-rata panjangnya satu sampai satu setengah meter!
Binatang-binatang itu dengan sangat cepat berenang ke tengah danau di mana
pemuda berada!
"Gila!"
seru pemuda itu lalu kedua kakinya dihentakkan ke bawah. Dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang hebat dari dalam air pemuda ini sanggup
melesatkan tubuhnya sampai beberapa tombak. Ketika dia berhasil melompat ke
daratan cepat-cepat dia hendak mengambil pakaiannya! Tapi untuk kedua kalinya
pemuda ini menjadi melengak kaget karena dari balik semak belukar, puluhan ekor
ular jenis yang sama telah menyerbunya pula hingga dia tak punya kesempatan
untuk mencapai pakaiannya!
Dengan
memaki dalam hati pemuda ini melompat ke sebuah pohon. Tapi au!
Kakinyamenginjaksesuatu yang bulat dan licin hingga kalau saja ilmu meringankan
tubuhnya tidak sempurna pastilah dia akan jatuh! Ketika dia memandang ke bawah,
pemuda ini kertakkan rahang karena benda bulat licin yang tadi dipijaknya
nyatanya adalah seekor ular hitam berbelang-belang kining. Dan ketika dia
memandang berkeliling, seluruh pohon serta pohon-pohon di sekitar tempat itu
penuh dengan ular-ular tersebut. Kemanapun dia mernandang, ke pohon-pohon, ke
tanah dan ke danau seluruhnya penuh dengan ular! Betul-betul dia tak bisa
mengerti dari mana datangnya puluhan bahkan ratusan binatang itu! Dari lidahnya
yang bercabang dan berwarna hijau nyatalah bahwa ular-ular itu mengindap racun
yang amat jahat. Meskipun dia kebal segala macam racun namun menyaksikan itu
mau tak mau merinding juga bulu tengkuknya! Dan menyadari dirinya tanpa pakaian
begitu rupa pemuda ini merutuk habis-habisan dalam hati.
Sementara
itu dia tak dapat berdiri lebih lama di cabang pohon karena sebentar saja
belasan ekor ular telah menyerbunya pula! Tak ada tempat yang kosong lagi untuk
tempat berpindah! Sambil melompat turun pemuda ini pukulkan kedua tangannya ke
bawah! Angin deras menderu. Puluhan ular mental dan si pemuda berhasil turun di
tanah yang kini kosong dari ular-ular itu. Tapi anehnya binatang-binatang yang
kena dihantam dan dibuatnya mental tadi sama sekali tidak cedera ataru mati dan
dalam waktu yang singkat bersama kawan-kawannya segera menyerbu pemuda itu
kembali.
Kini
pemuda tersebut segera maklum bahwa binatang-binatang yang dihadapinya itu
bukan ular-ular biasa. Mungkin binatang jadi-jadian. Dan binatang apapun ular
itu adanya dia musti bisa menyelamatkan diri. Tiga ekor ular hitam berbelang
kuning berhasil melilit kakinya. Seekor diantaranya mematuk betis pemuda itu
hingga menoeluarkan darah kehitaman bercampur racun yang tertekan ke luar
akibat hawa tenaga dalam yang ada di tubuh si pemudar. Sekali dia menggerakkan
tubuh rnaka ketiga ular itu berpelantingan. Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi
dengan dahsyat laksana air bah! Tidak main-main lagi kini pemuda itu pergunakan
ilmu pukulan sakti yang sangat diandalkannya. Sepasang tangannya kelihatan
putih memerah, sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar yang menyilaukan!
"Wuus!
Wuuss!"
Dua larik
sinar putih yang panas menderu dahsyat! Itulah pukulan sinar matahari yang
hebat luar biasa! Puluhan ekor ular menemui ajalnya mati terkuntung-kuntung
dalam keadaan hangus! Yang masih hidup agaknya marah sekali melihat kematian
kawankawan mereka. Binatang-binatang ini dengan mengeluarkan suara mendesis
menyerbu si pemuda dan si pemuda menyambutinya dengan pukulan-pukulannya yang
dahsyat. Binatang-binatang yang masih hidup bukannya takut tapi malah terus menyerbu
dengan kalap sehingga pemuda yang berada dalam keadaan bertelanjang bulat itu
menjadi sibuk sekali! Meski suasana mengerikan sekali di tempat itu, tapi
melihat si pemuda mencak-mencak telanjang begitu rupa ada juga kelucuannya!
Menurut
dugaan si pemuda sudah lebih dari seratus ular yang dibunuhnya tapi yang datang
menyerangnya seperti tak ada kurang-kurangnya malah makin lama makin banyak!
Dalam pada itu ular-ular yang berjalaran di pohon dengan melilitkan ekorekor
mereka di cabang atau di ranting-ranting pohon, bergelantungan menyambar si
pemuda hingga si pemuda bukan saja diserang dari bawah tapi juga dari atas!
"Benar-benar
edan!" maki pemuda itu seraya percepat melancarkan pukulan-pukulan sinar
matahari ke atas dan ke bawah!
Dalam
seru-serunya pertempuran antara ular lawan manusia itu tiba-tiba terdengarlah
seruan, "Sobat! Bertahanlah terus! Aku akan membantu!"
Baru saja
seruan itu berakhir maka disitu muncullah seorang pemuda berpakaian biru. Di
tangan kanannya ads seikatan jerami tebal yang ujungnya dibakar. Kobaran api
jerami ini membuat puluhan ular hitam berbelang kuning menjadi terbiritbirit
ketakutan. Tapi tidak semua binatang itu lari. Puluhan lainnya menyerbu pemuda
baju biru ini. Si pemuda menghadapinya dengan tenang-tenang saja. Di tangan
kiri pemuda ini ada sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu kuning.
Dengan
memutar-mutar tongkat kecil itu maka setiap ular yang berani mendekatinya pasti
akan mati dalam keadaan tubuh terkuntungkuntung! Hebat sekali permainan tongkat
bambu kuning si pemuda hingga dalam tempo yang singkat puluhan ular hitam
berhasil dimusnahkannya!
"Hebat!"
kata pemuda yang pertama dalam hati lalu menyambar pakaiannya, dengan cepat
mengenakannya kemudian bersama-sama pemuda baju biru terus memusnahkan
ular-ular yang mengamuk itu. Lebih dari separoh ular hitam berbelang kuning
yang ads di tempat itu telah musnah menemui kematiannya. Sementara itu dalam
berlangsungnya pemusnahan binatang-binatang tersebut terjadilah perkenalan
antara kedua pemuda.
"Namaku
Nyoman Dwipa!" kata pemuda pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu
kuningnya. Dua ekor ular rubuh dengan kepala pecah. "Darimana ular
sebanyak ini! Bagaimana kau sampai diserang mereka?!"
"Aku
sedang asyik-asyikan mand!" menerangkan pemuda berpakaian putih.
"Ketika menyelam dan muncul di atas air danau kulihat puluhan ekor ular,
entah dari mans datangnya berenang menyerangku! Sewaktu aku naik kedaratan
ternyata puluhan binatang itu telah menungguku pula disana. Gila betul!"
"Hai
kau belum menerangkan namamu sobat!" seru pemuda baiu biru.
"Namaku
Wiro Sableng!"
"Kau
bukan penduduk sini agaknya!"
"Betul"
sahut pemuda baju putih yang bukan lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng adanya!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nyoman!"
"Ular-ular
ini benar-benar gila betul!" seru Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana
binatang itu masih terus menyerbu mereka dengan beraninya! "Sebaiknya mari
kita tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman Dwipa sampai berada di
tempat itu baiklah kita tuturkan sedikit.
Sebagaimana
yang telah diceritakan, sewaktu jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa telah
diselamatkan oleh seorang kakek-kakek sakti bernama Menak Putuwengi. Orang tua
ini kemudian mengambil pernuda itu menjadi muridnya. Setelah tiga bulan lebih
menggembleng Nyoman Dwipa maka boleh dikatakan pemuda itu sudah menguasai
pelajaran silat ilmu tongkat si kakek cuma tentu saja dia musti banyak berlatih
agar mencapai tingkat kesempurnaan. Memasuki pertengahan bulan yang keempat
Menak Putuwengi mengizinkan muridnya untuk pergi mencari orangorang yang bertanggung
jawab atas kematian kekasihnya dan I Krambangan serta beberapa penduduk
Klungkung lainnya. Menak Putuwengi juga memberi nasihet agar pemuda itu jangan
terlalu mengikuti nafsu dendam kesumat dan kalau bisa jangan menurunkan tangan
maut terhadap siapa pun selagi masih ada jalan penyelesaian yang baik!
Demikianlah
maka Nyoman Dwipa dengan bekal ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari Menak
Putuwengi meninggalkan tempat kediaman si orang sakti yang nyatanya masih
hidup, jadi tidak benar seperti yang diduga dunia luaran bahwa kakek-kakek
sakti itu telah meninggal dunia. Menak Putuwengi sebenarnya sudah jemu dengan
persoalan-persoalan duniawi karena itulah dia mengundurkan diri dari dunia
persilatan, membersihkan diri dari dosa dan kesalahan-kesalahan di masa mudanya
serta memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan kebathinan di dalam goa di
dasar jurang itu.
Dalam
perjalanannya menuju Denpasar pemuda itu sengaja melewati hutan belantara
mengambil jalan singkat agar lebih lekas sampai ke tempat tujuan. Karena melewati
rimba belantara itulah maka dia sampai bertemu dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng!
Mulanya
dia merasa heran dan kaget sewaktu menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong
basah kuyup dalam keadaan bertelanjang bulat bertempur melawan ratusan ekor
ular yang sebesar-besar betis. Dilihat pada gerakan-gerakan serta
pukulan-pukulan yang dilancarkannya dalam memusnahkan binatang-binatang itu
nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Tapi mengapa sampai bertempur
telanjang bul!at begitu rupa?! Nyoman tidak tahu bahwa sewaktu diserang, Wiro
tengah mandi dalam danau.
Sebenarnya
Nyoman Dwipa maklum bahwa tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang itu pasti
akan sanggup memusnahkan semua ular yang menyerbunya. Tapi bukankah lebih baik
dia turun tangan menolong seraya mempraktekkan ilmu tongkat yang dipelajarinya
dari Menak Putuwengi? Maka setelah mengumpulkan lalang serta jerami kering dan
membakarnya dengan tongkat bambu kuning di tangan kiri Nyoman Dwipa menyerbu ke
dalam pertempuran binatang lawan manusia itu!
"Wiro!
Ayo kita tinggalkan tempat ini!" kata Nyoman Dwipa kembali.
"Tunggu
dulu sobat!" sahut Wiro Sableng, "aku mempunyai firasat bahwa
ular-ular ini bukan binatang biasa! Mungkin binatang jadi-jadian, mungkin pula
ada pemiliknya. Bagaimana kalau kita selidiki sama-sama?!"
Baru saja
Wiro berkata begitu maka dari dalam hutan mengumandanglah suara bentakan
menggeledek!
"Manusia-manusia
kotor dari mana yang berani membunuh binatang peliharaanku?!" Wiro
mengeluarkan suara bersiul dan berpaling pada Nyoman Dwipa.
"Nah,
apa kataku!" ujarnya.
******************
9
BEGITU
bentakan lenyap maka dari dalam hutan belantara keluarlah seorang laki-laki
yang memiliki tampang dahsyat. Kepalanya panjang, kening menjorok ke depan
sedang leher kecil singkat. Rambutnya hitam legam tapi cuma sedikit tumbuh di
atas batok kepalanya. Kulit mukanya berwarna hitam dan berminyak hingga bila disorot
sinar matahari mukanya itu jadi berkilat-kilatl Jika dibandingkan dengan ular,
tampang manusia ini memang hampir tidak beda! Dia mengenakan pakaian berbentuk
jubah yang terbuat keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang dahsyatnya di lehernya
melilit dua ekor ular besar yang sudah mati dan dikeringkan!
Begitu
sampai di hadapan Wiro Sableng serta Nyoman Dwipa dan melihat puluhan ekor ular
musnah berkaparan di mana-mana marahlah manusia yang punya tampang macam ular
itu!
"Keparat-keparat
laknat! Tentu kalian sudah bosan hidup berani membunuh binatang
peliharaanku!"
Sementara
Wiro dan Nyoman masih sibuk menghadapi ular-ular hitam berbelang kuning maka
manusia aneh itu telah menyerbu dan membagi serangan pada kedua pemuda itu!
Wiro dan Nyoman kaget bukan main karena serangan si orang aneh sebelum sampai
sudah didahului oleh sambaran angin yang sekaligus mengarah dua belas jalan
darah kematian di tubuh pemuda-pemuda itu! Baik Wiro maupun Nyoman Dwipa
cepat-cepat melompat menyelamatkan diri!
Siapakah
manusia aneh yang baru muncul dari rimba belantara dan mengaku sebagai
pemelihara ular-ular yang menyerang kedua pemuda itu? Di Bali namanya belum
dikenal karena dia seorang pendatang dari pulau Jawa yang diam-diam menyelusup
ke pulau untuk maksud tertentu. Ki Sawer Balangnipa, demikian nama orang ini
selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga telah memelihara tiga ratus ekor
ular hitam belang-belang kuning yang sangat berbisa! Tentu saja dia menjadi
marah setengah mati ketika menyaksikan bagaimana dua orang pemuda tak dikenal
berani membunuh binatang-binatang
peliharaannya.
Maka dengan serta merta dia melancarkan satu jurus serangan yang dahsyat yaitu
yang bernama "dua raja ular menyerbu ke langit". Kehebatan jurus
serangan ini sudah kita ketahui di muka yaitu sebelum pukulan sampai, sambaran
angin telah mendahului menggempur dua bela: jalan darah kematian di tubuh kedua
pemudal Dengan melancarkan serangan hebat itu Ki Sawer Balangnipa bermaksud
untuk membuat pemuda-pemuda itu konyol sekaligus detik itu juga! Tapi betapa
terkejutnya dia sewaktu menyaksikan bagaimana Wiro dan Nyoman berhasil
mengelakkan dua serangannya itu!
Ki Sawer
Balangnipa mengeluarkan suara suitan keras yang menyakitkan telinga! Anehnya
ular-ular yang ada di situ, mendengar suara suitan itu segera berserabutan lari
ke dalam hutan. Ki Sawer Balangnipa berdiri dengan bertolak pinggang!
"Kunyuk-kunyuk
bermuka manusia! Nyatanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan hingga aku tahu
sampai dimana kelebatan kunyuk-kunyuk yang berasal dari Pulau Bali ini!"
Nyoman
Dwipa marah sekali mendengar hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan menjawab,
"Kawanku ini memang berasal dari Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal tak
perlu dipidatokan di sinil Tapi kalau kau memaki kami kunyuk-kunyuk bermuka
manusia, berarti kau sama saja dengan monyet-monyet bermuka setan!". Habis
berkata begitu Wiro tertawa berkakan hingga menggetarkan seantero tempat!
Sekaligus dia hendak memperlihatkan bahwa suitan yang menyakitkan telinga dari
Ki Sawer Balangnipa itu cukup bisa ditandinginya dengan suara tertawanyal
Diam-diam Ki Sewer Balangnipa sendiri terkejut melihat kehebatan tenaga dalam
si pemuda, tapi dia sama sekali jauh dari gentar!
"Enam
puluh tahun hidup baru hari ini ada tikus busuk yang berani menghina Ki Sawer
Balangnipa!"
"Ah,
nyatanya kau juga bukan orang sini!" ujar Wiro dengan menyengir seenaknya.
"Sekarang kau katakan aku tikus busuk, betul-betul keterlaluan! Tapi
supaya kau tahu diri memang namamu sesuai dengan tampangmu macam raja ular
penyakitan!" (Sawer = ular, bhs. Jawa, pen.)
"Bangsat
rendah! Kau benar-benar minta kubikin lumat!"
Tubuh Ki
Sawer Balangnipa berkelebat dalam satu gerakan yang hampir tak kelihatan dan
tahu-tahu sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram ke perut dan ke muka
Pendekar 212 Wiro Sableng! Ini adalah jurus serangan yang bernama
"sepasang cengkeram kehancuran". Sekali cengkeram itu bersarang di
muka Wiro pasti muka pemuda itu akan hancur mengerikan.
Jika
perutnya kena direnggut lima jari tangan lainnya pasti akan robek dan ususnya
berserabutan keluar! Begitulah kehebatan jurus "sepasang cengkeram
kehancuran"!
Pendekar
212 Wino Sableng memang masih muda dalam usia tapi sudah cukup punya pengalaman
dalam berbagai pertempuran menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di pelbagai
penjuru rimba persilatan! Sewaktu menerima serangan pertama kali dari Ki Sawer
Balangnipa tadi dia sudah maklum bahwa orang tua ini bukan seorang yang bisa
dibuat main. Maka dengan cepat pendekar kita berkelit ke samping seraya
lancarkan satu tendangan kaki kanan ke arah rusuk lawan!
Melihat
dua cengkeramannya yang hebat sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer Balangnipa
penasaran bukan main. Di lain pihak Wiro Sableng merasakan adanya satu ancaman
yang tersembunyi sewaktu menyaksikan bagaimana tendangannya yang hampir menemui
sasarannya itu sama sekali tidak diperdulikan oleh lawan! Mustahil manusia itu
tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya!
Satu
detik lagi kaki kanan Pendekar 212 akan mendarat dan menghancurkan
tulang-tulang rusuk lawan, Pendekar 212 Wiro Sableng yang punya firasat tidak
enak mendadak sontak segera menarik pulang kakinya dan melancarkan satu pukulan
tangan kosong yang dinamakan pukulan "kunyuk melempar buah"!
Satu hal
yang hebatpun terjadilah!
Adalah
satu keuntungan besar bagi Wiro Sableng menarik pulang tendangannya tadi karena
di saat yang hampir bersamaan Ki Sawer Balangnipa membab)atkan tepi telapak
tangan kanannya ke bawah dengan deras! Bukan saja ini satu pukulan tangan yang
amat dahsyat tapi juga diisi dengan kekuatan sakti yang sanggup membuat batu
karang paling ataspun bisa hancur lebur! Dapat dibayangkan bagaimana kalau
pukulan itu mengenai kaki kanan Wiro Sableng! Karena pukulannya mengenai tempat
kosong dengan dendirinya angin pukulan itu terus melanda tanah! Pasir dan
batu-batu berhamburan sampai beberapa tombak ke samping dan ke atas. Bumi
bergetar dan etika Wiro memandang ke depan dilihatnya bagaimana tanah yang kena
angin pukulan lawan berlobtang besar dan berwarna kehitaman! Diam-diam Pendekar
212 kaget juga karena sebelumnya tak pernah ia melihat ilmu pukulan yang begitu
hebatnya! Mulai saat itu dia kerahkan tiga perempat tenaga dalamya untuk
menghadapi lawan. Dari mulutnya terdegar suara suitan keras dan pada detik itu
juga tubuhya lenyap!
Kalau
tadi Wiro yang dibikin terkejut oleh serangan hebat lawan maka kini Ki Sawer
Balangnipalah yang terkejut bukan main! Didengamya suitan pemuda itu, lalu
tubuh si pemuda lenyap dari hadapannya dan sesaat kemudian dirasakannya
sambaran angin serangan yang tajam dari kiri kanan!
Ki Sawer
Balangnipa melompat mundur sampai lima langkah membentak keras dan maju lagi
dalam satu kelebatan cepat menyambuti serangan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Nloman
Dwipa yang menyaksikan pertempuran diam-diam memuji kehebatan kedua belah pihak
yang bertempur. Kalau saja dia tidak mendapat gemblengan dari Menak Putuwengi
pastilah matanya akan sakit dan kepalanya akan pusing melihat
kelebatan-kelebatan mereka yang bertempur yang hanya merupakan bayang-bayang
hitam dari jubah yang dikenakan Ki Sawer Balangnipa dan bayangan putih pakaian
Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini semakin terbuka mata Nyoman Dwipa bahwa di atas
jagat ini banyak sekali terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti
kedua orang itu! Dan diam-diam Nyoman Dwipa membathin apakah tingkat kepandaian
Tjokorda Gde Djantra setingkat dengan kedua orang itu. Kalau betul tentu masih
bukan suatu hal yang mudah baginya untuk bisa mengalahkan musuh besamya itu
dalam tempo sepuluh sampai duapuluh jurus!
Nyoman
Dwipa kembali memperhatikan kedua orang yang bertempur. Sementara itu
telinganya mendengar lengking siulan yang nyaring luar biasa. Sesudah
mengerahkan tenaga dalam dan menutup pendengarannya barulah rasa sakit yang
menyamaki gendang-gendang telinganya akibat suara siutan aneh itu menjadi lenyap!
Dan di muka sana dilihatnya bagaimana Ki Sawer Balangnipa mulai terdesak oleh
serangan-serangan gencar Pendekar 212.
Dalam
jurus keempat puluh Ki Sawer Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia terus
bertahan dalam posisi demikian rupa naga-naganya paling lama sepuluh jurus lagi
pasti dia akan kena dihantam lawannya! Keringat telah membasahi tubuh lakilaki
ini, apalagi karena dia mengenakan jubah yang terbuat dari kulit ular yang tak
tembus air!
"Pemuda
gelo! Jika kau sayang nyawa cepat cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer
Balangnipa berseru dan habis berseru demikian dia lepaskan dua ekor ular yang
telah dikeringkan dari lehernya! Sepasang binatang yang sudah mati itu, di
tangan Ki Sawer Balangnipa tak ubahnya kembali menjadi hidup, menyambar dan
meliuk, mematuk dan menjabat ke arah Pendekar 212.
Dari
tubuh ular-ular yang sudah dikeringkan itu menghampar bau anyir yang
menyesakkan rongga pernafasan sedang dan mulutnya yang membuka menyambar sinar
hijau menggidikkan. Itulah sinar racun yang jahat sekali. Menghadapi ini Wiro
segera tutup jalan pernafasannya dan berkelebat lebih cepat untuk menghindarkan
serangan- serangan sepasang ular kering di tangan lawannya! Sepuluh jurus lagi
berlalu. Agaknya Ki Sawer Balangnipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat
simpanannya kanena kelihatan sekali bagaimana permainan silatnya berubah.
Tubuhnya bergerak gesit laksana seekor ular besar, meliuk kesana meliuk kesini!
Pendekar
212 Wiro Sableng mulai berada di bawah angin! Jurus demi jurus dia semakin
terdesak ke tepi danau membuat pemuda ini memaki dalam hati.
Dia
tengah berpikir-pikir untuk mulai mengeluarkan ilmu silat "orang
gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila ketika salah satu dari senjata di
tangan Ki Sawer Balangnipa menghantam dadanya!
Pendekar
212 menjerit keras! Tubuhnya terjerongkang ke belakang dan kecebur masuk danau!
Dadanya
sakit bukan main dan laksana hancur remuk! Pemandangannya berkunang-kunang!
Untuk beberapa lamanya dia apungkan diri di permukaan air danau sambil
mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian yang kena dihantam lawan!
Di lain
pihak Ki Sawer Balangnipa adalah hampir tidak percaya akan apa yang
disaksikannya. Seorang yang kena digebuk ular kering yang menjadi senjatanya,
tak ampun lagi pasti akan menemui kematian dengan tubuh remuk! Tapi kenyataannya
pemuda itu masih hidup dan mengapungkan diri di atas air danau!
"Ki
Sawer Balangnipa hadapi aku!" satu suara membentak dari samping dan Nyoman
Dwipa dengn tongkat bambu kuningnya sudah melompat kehadapan Ki Sawer
Balangnipa!
Manusia
yang punya tampang seperti ular itu menyeringai mengejek. "Bagus!"
katanya, "kaupun minta digebuk! Ayo majulah!"
Nyoman
Dwipa bolang-balingkan tongkat bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil saja
tapi deru angin yang keluar akibat putarannya deras bukan main. Sinar kuning
menjulang panjang hingga diam-diam Ki Sawer Balangnipa segera maklum bahwa
lawannya yang kedua inipun bukan orang sembarangan pula!
"Silahkan
mulai, Ki Sawer Balangnipa!" kata Nyoman Dwipa pula. Dia sudah siap dengan
kuda-kuda pertahanan sambil membolang-balingkan tongkat kecilnya!
"Sialan!
Disuruh mulai menyerang lebih dulu malah menantang sombong!" damprat Ki
Sawer Balangnipa. Dia maju satu langkah untuk melancarkan sebuah serangan yang
dahsyat.
Di saat
pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah tiba-tiba
dari arah danau terdengar seruan keras: "Nyoman! Biar aku teruskan
pertempuranku dengan manusia bermuka ular penyakitan itu!" Seruan itu
disertai dengan melayangnya kira-kira selusin ular-ular yang telah mati ke arah
Ki Sawer Balangnipa! Jika saja laki-laki itu tak lekas menyingkir pasti kepala
dan tubuhnya akan dihantam binatang-binatang peliharaannya itu sendiri! Ki
Sawer Balangnipa menjadi lupa terhadap Nyoman Dwipa dan membalikkan tubuh
dengan cepat melompat ketepi danau. Tenaga dalam dikerahkan seluruhnya ke
tangan kanannya dan sekali dia menyapukan ular di tangan kanannya itu, maka
menderulah satu gelombang angin yang deras ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang mengapung di tengah danau! Air danau muncrat sampai setinggi delapan
tombak dilanda derasnya pukulan tangan kosong tersebut tapi Wiro sendiri saat
itu sudah melesatkan tubuhnya ke tepi danau sebelah kiri. Dadanya sebenamya
masih sakit tapi karena-yakin bahwa dirinya tak mengalami luka di dalam maka
begitu sampai di daratan pemuda itu berseru lantang, "Muka ular! Terima
pukulanku ini!"
Terlalu
cepat bagi Ki Balangnipa untuk bisa melihat pukulan apa yang dilepaskan lawan
tahu-tahu "wuus" satu larik sinar putih yang panas dan menyilaukan
matanya menerpa dahsyat ke arahnyal Manusia yang mukanya seperti ular itu
berseru keras lalu melompat cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung ular
kering yang ditangan kirinya masih tempat disambar pukulan sinar matahari yang
dilepaskan Wiro Sableng hingga senjata itu hancur lebur dan hanya bagian
ekornya saja yang masih tergenggam dalam tangan kiri Ki Sawer Balangnipa!
"Keparat
rendah!" maki Ki Sawer Balangnipa marah luar biasa hingga sepasang matanya
laksana api berkobar! Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng belum menjejakkan kedua kakinya
di tanah, dia segera melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Tangan
kiri dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin menggebu laksana topan, siap
untuk menyapu dan menghancur leburkan tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan Ki
Sawer Balangnipa adalah pukulan sakti yang sangat diandalkannya dan yang jarang
sekali dikeluarkannya jika tidak menghadapi lawan yang teramat tangguh! Itulah
pukulan yang bernama "sejagat baju".
Jangan
kata manusia, batu karangpun jika dihantam pasti akan hancur jadi debu!
Serangan yang dilancarkan Ki Sawer Balangnipa tak kepalang tanggung karena
sehabis memukul itu tubuhnya melesat ke depan dan menyusul serangan pertama
tadi dengan serangan ular kering di tangan kanannya yang menderu ke arah batok
kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
Pukulan
"sejagat baju" membuat tubuh Wiro Sableng tak dapat melayang turun
menjejak tanah Betapapun dia mengerahkan tenaga dalamnya serta memukul ke muka
dengan ilmu pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih"
tetap
saja tubuhnya tersapu sampai delapan tombak! Jika dia tak cepat membuang diri
ke samping dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, pastilah
dia akan menghantarn pohon besar di belakang sana! Pukulan sejagat baju melanda
pohon besar itu dan pohon-pohon serta semak belukar di sekitarnya, membuat
semuanya itu tumbang dan tersapu sampai sepuluh tombak lebih dengan
mengeluarkan suara berisik luar biasa. Air danau yang turut terserempet pukulan
tersebut muncrat setinggi dua tombak!
Setelah
jungkir balik dua kali berturut-turut Wiro Sableng berhasil mencapai tanah
dengan kedua kaki lebih dahulu. Nafasnya sesak, tulang-tulang di sekujur
tubuhnya serasa tanggal sedang dari sela bibirnya kelihatan darah kental!
Pemuda ini ternyata telah terluka di dalam! Cepat-cepat Wiro menelan butir pil
merah lalu duduk tak bergerak, meramkan mata mengatur jalan nafas dan tenaga
dalam serta mengalirkan hawa sejuk dari pusarnya ke dada!
Ki Sawer
Balangnipa tertawa gelak-gelak sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha! ha!
Sekarang kau baru tahu kehebatan Ki Sawer Balangnipa! Nah selamat jalan ke
neraka, budak hina dina!"
Ki Sawer
Balangnipa mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi lalu dihantamkan secepat
kilat ke arah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Pengecut!
Beraninya menyerang lawan yang sudah tak berdaya!".
Satu
bentakan menggeledek dan selarik sinar kuiing menderu menangkis ular kering di
tangan Ki Saver Balangnipa. Itulah tongkat bambu kuningnya Nyoman Dwipa. Pemuda
ini ketika menyaksikan bagaimana Ki Sawer Balangnipa hendak menamatkan riwayat
Wiro Sableng dalam keadaan pemuda itu tak berdaya, menjadi sangat geram dan
menyerbu ke muka! Namun sebelum tongkat bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa
saling beradu dengan ular kering di tangan kanan Ki Sawer Balangnipa, terdengar
suara menggembor yang disusul dengan bentakan lantang.
"Siapa
bilang aku tak berdaya, Nyoman!"
Dan
"wuut"!
Selarik
sinar putih yang amat menyilaukan serta panas berkelebat diiringi suara
mengaung macam ratusan tawon mengamuk!
Dan
"cras"!
Terdengar
kemudian pekik setinggi langit keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa. Tangan
kanannya sebatas pergelangan lengan buntung dan memuncratkan darah! Telapak dan
jari-jari tangan yang masih memegang ular kering tadi, kelihatan mental ke
udara lalu jatuh ke dalam danau, membuat air danau di tempat jatun berwrrna
kemerah-merahan oleh darahl Apakah yang telah terjadi?
Sewaktu
Ki Sawer Balangnipa siap untuk menamatkan riwayat Wiro Sableng, sebelum Nyoman
Dwipa sempat menangkis senjata Ki Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang duduk
diam mematung itu tiba-tiba membuat gerakan cepat luar biasa, mencabut Kapak
Maut Naga Geni 212 dan membabat ke depan! Maksudnya cuma hendak menabas senjata
lawan tapi tak terduga serangannya itu justru membuat buntung pergelangan Ki
Sawer Balangnipa! Laki-laki ini menotok jalan darah di bahu kanan hingga darah
berhenti memancur!
"Pemuda
keparat! Kali ini kau menang! Tapi lain ketika jangan harap kau bisa hidup jika
aku muncul kembali di depan hidungmu!" Habis berkata begitu Ki Sawer
Baangnipa berkelebat dan lenyap di jurusan timur danau!
Wiro
Sableng masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya lalu berdiri dengan
perlahan-lahan. Nyoman Dwipa memegang bahunya.
"Kau
tak apa-apa, Wiro?"
"Aku
terluka di dalam," jawab Wiro mengaku terus terang, "tapi tak begitu
berbahaya. Manusia itu hebat sekali ilmu pukulannya!"
"Tapi
kau jauh lebih hebat!" kata Nyoman Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda Bali
ini menyadari sepenuhnya kalau saja dia yang berhadapan dengan Ki Sawer
Balangnipa pasti akan lebih cepat dirobohkan, bahkan mungkin akan memenuhi ajal
secara mengenaskan!
"Aku
kebetulan lewat di sini dan mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki
kutemui kau mencak-mencak telanjang bulat melawan puluhan ular!"
Wiro
tertawa sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut basah. Kedua orang pemuda
itu lalu menuturkan riwayat masing-masing. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala
mendengar cerita Nyoman dan berkata, "Hebat sekali riwayatmu, Nyoman. Juga
menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde Jantra itu memang patut dihajar Sayang
aku ada urusan yang perlu diselesaikan dengan cepat Kalau tidak pasti aku akan
seiring denganmu. Tapi begitu urusanku selesai aku segera akan menyusulmu,
Nyoman! Ingin sekali aku melihat tampangnya itu pemuda yang bernama Tjokorda
Gde Jantra!"
"Terima
kasih yang kau ada perhatian terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa
pula.
Wiro
Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat baru itu saling
menjura lalu berpisah.
******************
10
SEPERTI
telah dituturkan untuk mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa sengaja
menempuh rimba belantara. Menjelang tengah hari dia sampai ke kaki sebuah
bukit. Bukit itu jarang didatangi manusia bahkan lewat di sanapun boleh
dikatakan tak ada yang berani karena dibukit itulah bersarangnya gerombolan
rampok yang dipimpin oleh seorang bernama Warok Gde Jingga. Sebenarnya nama
asli orang itu adalah Warok Jingga saja. Namun kemudian ditambah di
tengah-tengah dengan kata "Gde".
Bagi
Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang
perjalanannya selama setengah hari. Meskipun dia sendiri tahu bagaimana
besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut namun karena ingin cepat-cepat
sampai ke Denpasar dan ingin cepat-cepat melunaskan sakit hati dendam kesumat
yang telah diindapnya selama beberapa bulan di lubuk hatinya, maka pemuda itu
dengan tekat bulat sengaja menempuh bukit tersebut.
Beberapa
jam kemudian dia sudah sampai kelereng bukit sebelah selatan.
Sekurang-kurangnya menjelang magrib dia pasti sudah sampai ke kota tujuannya.
Dia harus memasuki satu rimba belantara sebelum mencapai kaki bukit di mane
membujur jalan yang menuju ke Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu
nyatanya dia tak mengalami kesukaran apa-apa dalam menempuh Bukit Jaratan yaitu
bukit tempat bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde Jingga.
Sewaktu
Nyoman Dwipa telah menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara itu,
mendadak di sebelah muka di dengamya suara bentakan-bentakan dan suara
beradunya senjata. Tak dapat tidak itu pastilah suara orang yang tengah
bertempur. Pemuda ini percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi bagaiman baju
birunya dikait semak belukar. Tepat di kaki bukit, di tepi jalan besar
kelihatanlah satu pemandangan yang hebat!
Empat
orang laki-laki berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur
mengeroyok seorang perempuan berpakaian dan berkerudung kain hitam. Di tepi
jalan sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua dengan tubuh mengigil sedang
dibelakangnya, di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian depan kereta, seorang
kusir tua duduk dengan paras pucat pasi!
Perempuan
yang parasnya ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali. Pedang
perak di tangan kanannya berkelebat kian kemari, menangkis serangan-serangan
golok panjang ke empat pengenyok bahkan juga sekaligus balas menyerang dengan
gencarnya!
Namun
betapapun hebatnya ilmu pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya
adalah prajurit-prajurit klas satu yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman
Dwipa datang mereka telah bertempur lebih dari sepuluh jurus dan si baju hitam
berada dalam keadaan terdesak yang cukup membahayakan keselamatannya!
"Breet"!
Tiba-tiba
salah satu ujung golok panjang berhasil nembabat putus buhul kain hitam yang
menjadi kerudung si baju hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu!
Jangankan Nyoman Dwipa, keempat prajurit yang bertempurpun terkesiap saking
tidak menyangka kalau paras di balik kerudung itu nyatanya adalah paras seorang
dara yang jelita dan paras itu kelihatan pucat akibat sambaran senajata lawan
yang hampir saja membelah batok kepalanya!
Salah
seorang prajurit melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau kau
tak segera mengembalikan patung itu, jangan harap kau akan melihat matahari
tenggelam sore nanti!"
Dara
jelita berpakaian hitam mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia
kiblatkan pedang peraknya hingga pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini
seperti tadi, lagi-lagi si baju hitam berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke
empat prajurit itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara
benar-benar terancam!
Meski dia
tak ada sangkut paut dengan pertempuran yang berkecamuk itu, tapi Nyoman Dwipa
merasa kasihan dan tidak tega kalau sang dara berbaju hitam sampai mendapat
celaka di ujung golok-golok ke empat lawannya. Dari balik semak-semak di mana
dia bersembunyi mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah kalangan
pertempuran seraya berseru,
"Hentikan
pertempuran!"
Karena
suara itu disertai aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke seantero
rimba. Keempat prajurit berpaling terkejut dan kemudian menjadi marah melihat
seorang pemuda tak dikenal mengganggu serta mencampuri jalannya pertempuran!
Salah
seorang dari mereka memberi isyarat agar tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa.
Maka keempatnya kemudian kembali hendak menyerbu si gadis baju hitam. Tapi
betapa terkejutnya mereka ketika melihat kenyataan bahwa dara itu tak ada lagi
dihadapan mereka, sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka
tertumpah pada Nyoman Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat prajurit itu
tertuju pada diri Nyoman Dwipa kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara
mereka kiblatkan golok panjang menyerang pemuda itu!
Karena
sudah menyaksikan kehebatan permainan golok keempat orang prajurit itu Nyoman
segera pula bertindak cepat. Golok pertama yang datang menusuk ke dadanya
dikelit sigap dan tahu-tahu lima jari tangan kirinya yang dilipat sudah
menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru kesakitan! Goloknya terlepas sedang
sambungan sikunya putus dihantam pukulan Nyoman Dwipa. Sementara tiga orang
prajurit lainnya terkesiap melihat peristiwa itu, Nyoman Dwipa dengan cepat
menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan golok itu Nyoman membabat golok-golok
di tangan ketiga lawannya hingga satu demi satu bermentalan di udara!
Keempat
prajurit itu kagetnya bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki
habis-habisan. Bahkan salah seorang dari mereka secara blak-blakan berkata
dengan suara keras penuh amarah.
"Pemuda
tak tahu diri! Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga
mencampuri urusan orang lain?!"
Prajurit
yang kedua membuka mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis
berbaju hitam tadi?!"
"Aku
memang tak ada sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang.
"Juga tidak tahu siapa kalian, apalagi gadis yang kabur itu!"
"Tindakanmu
ceroboh lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan
melarikan patung emas yang kami bawa!"
"Patung
emas?!" ujar Nyoman.
"Ya,
patung emas! Dan kau musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap dan
clihadapkan pada Adipati Surabaya untuk menerima hukuman!" kata prajurit
yang lain.
"Jadi
kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman.
"Tak
usah banyak tanya! Lekas serahkan dirimu!"
"Sobat,
sebaiknya kau terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok gadis itu.
Jika memang dari keteranganmu nanti aku telah melakukan kesalahan, percayalah
aku akan menebus kesalahanku itu."
Salah
seorang dari keempat prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah utusan
dari Kadipaten Surabaya yang berangkat menuju ke Bali untuk melamar seorang
gadis anak bangsawan yang tinggal di Denpasar. Sebagai bawaan, Adipati Surabaya
telah memberikan sebuah patung emas untuk diserahkan pada keluarga si gadis
sebagai tanda penghormatan. Setelah menyeberangi lautan, sesampainya di Bali
mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta. Perempuan tua yang ikut bersama
keempat prajurit itu adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran Adipati
Surabaya kepada si gadis.
Sebagai
orang asing tentu saja mereka tidak mengetahui bahwa bukit Jaratan dan daerah
sekitarnya adalah tempat malang melintangnya gerombolan rampok yang dikepalai
oleh Warok Gde Jingga. Ketika mereka lewat di kaki bukit di sepanjang tepi
hutan, mereka telah dicegat oleh seorang perempuan berkerudung kain hitam.
Kusir kereta yang pernah mendengar tentang ciriciri perempuan itu segera
memberi tahu bahwa dia adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala rampok Warok
Gde Jingga yang sangat ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki
ilmu silat yang tinggi maka dia selalu melakukan kejahatan seorang diri.
Rupanya rampok betina ini sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati Surabaya
itu ada membawa benda berharga. Maka begitu dia melakukan penghadangan dengan
cepat dia menerobos masuk ke dalam kereta dan berhasil merampas patung emas!
Keempat prajurit Kadipaten Surabaya tentu saja tidak tinggal diam. Justru
mereka telah diberi kepercayaan untuk melindungi barang berharga itu. Maka
tanpa banyak cerita lagi segera mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.
Ketika
mereka sudah hampir berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu muncullah
Nyoman Dwipa memberikan pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan Sarti
berhasil kabur dengan membawa serta patung emas!
Kini
tahulah Nyoman Dwipa akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa
yang bisa menduga kalau gadis secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang
perampok? Dan pemuda manakah yang tega membiarkan seorang dara jelita terancam
bahaya mautl! Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun berkata. "Memang
besar salahku! Kurasa sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya kita lakukan
pengejaran. Kalau perlu kita datangi sarangnya!"
Keempat
prajurit Kadipaten Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang sejak tadi
berdiam diri karena ketakutan untuk pertama kalinya buka suara,
"Mendatangi sarang Warok Gde Jingga berarti mencari mati!"
"Kalau
begitu kalian tidak menginginkan patung emas itu kembali?"
"Tentu
saja menginginkanl" jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya
gerombolan rampok itu besar sekali bahayanya. Karena itu kau yang punya
gara-gara maka kau sendiri yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di sini!
Kami tak perduli apakah untuk mendapatkan patung emas itu kau harus menyerahkan
kepalamu!"
"Kalau
aku pergi seorang diri dan berhasil mengambil kembali patung itu, jangan harap
aku akan membawanya ke sini….," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai.
"Kalau
begitu …." kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya,
"aku, kau dan dua orang kawanku berangkat ke sana. Yang lain tetap tinggal
di sini."
Nyoman
menyetujui pendapat itu, lalu tanpa menunggu lebih lama mengajak ke empat orang
itu untuk segera berangkat. Kusir kereta mendadak membuka mulut,
"Saudara-saudara dengar nasihatku. Adalah sia-sia kalian pergi mengambil
kembali patung emas itu! Warok Gde Jingga memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di
samping itu dia memiliki anak buah yang banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti
maka sekalipun kalian berjumlah lima kali lebih besar, jangan harap kalian akan
berhasil. Kataku kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret
pemuda biang runyam itu ke hadapan Adipati Surabaya!"
"Bagiku
kemarahan Adipati Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa kalian
semua juga tak luput dari hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa. Jangan
menyesal kalau patung emas itu jatuh ke tanganku sedang kalian mendapat hukuman
dari Adipati kalian!"
Nyoman
Dwipa cepat berlalu dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan.
Akhirnya setelah mengambil senjata masing-masing yang tadi jatuh di tanah,
ketiganya segera menyusul Nyoman Dwipa.
"Mereka
akan mati percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil memperhatikan
kepergian orang-orang itu.
******************
11
SEORANG
anggota rampok yang berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat
kedatangan keempat orang itu. Cepatcepat dia turun dari atas pohon dan
memberikan laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga. Kebetulan saat itu
Luh Bayan Sarti ada pula di situ.
"Coba
terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh Bayan Sarti.
"Yang
tiga orang berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi
pemuda berpakaian biru."
"Hem
…." gadis itu mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana
pendapatmu?" tanyanya.
"Biarkan
saja mereka datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si kepala
rampok.
"Memang
pendapatkupun demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala
pada anggota rampok yang melapor.
Setelah
anggota rampok itu pergi berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan berhadapan
kembali dengan tuan penolongmu yang gagah itu! Bukankah itu yang kau inginkan,
Sarti?"
Luh Bayan
Sarti menjadi merah parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut
kedatangan mereka!"
Warok Gde
Jingga tertawa lalu mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu di
langkan.
Karena
telah dipesankan agar keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika
memasuki perkampungan, tak ada seorang rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa
dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu. Di halaman rumah besar keempatnya
berhenti.
Nyoman
melirik sekilas pada Luh Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki bertubuh
tinggi besar yang hanya mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang bidang
tertutup oleh bulu sedang wajahnya diranggasi cambang bawuk yang lebat kaku.
"Apakah
kami berhadapan dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah
terlebih dahulu menjura.
"Orang
muda," kata Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk
datang ke mari! Sesudah menolong adikku dari bahaya dikeroyok oleh
prajurit-prajurit hina dina itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak minta
hadiah imbalan?!"
Nyoman
Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh dari itu, Warok. Justru aku datang ke
sini untuk menebus kesalahanku terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya
ini. Satu-satunya jalan untuk dapat menebus kesalahanku itu ialah meminta
kesudianmu untuk mau menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh
adikmu ini." Nyoman lalu menggoyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti.
Gadis itu
tertawa cekikikan. Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras
Nyoman Dwipa yang gagah cakap itu.
"Enak
betul bicaramu. Sudah lancang dating kemari, sekarang berani bertingkah! Apakah
kau bersedia menyerahkan selembar nyawamu sebagai pengganti patung emas
itu?!"
Nyoman
tertawa lebar. Dalam tertawa itu dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti
sungguh jelita. Kulitnya halus mulus. Sungguh sangat disayangkan dara sejelita
ini hidup menjadi perampok, berbuat kejahatan dan diam di tengah-tengah
manusia-manusia kasar!
Sementara
itu Warok Gde Jingga mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok.
"Selembar
nyawaku bukan apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab pertanyaan
Luh Bayan Sarti tadi. "Yang penting patung emas itu harus diserahkan pada
ketiga prajurit ini."
"Kalau
begitu biar kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu akan
kuberikan pada manusiamanusia jelek ini!"
"Serahkan
dulu patung emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa.
Luh Bayan
Sarti mendelikkan kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang
peraknya.
"Tahan
dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika
gadis itu hendak melompat ke hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur
begini saja orang muda. Karena patung emas itu boleh dibilang milik ketiga
kunyuk-kunyuk Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun tangan
sendiri. Jika mereka bertiga berhasil mengalahkanku, kuserahkan patung itu kembali
pada mereka. Tapi kalau mereka kalah, patung emas itu tetap milikku dan mereka
kubebaskan. Untuk itu kau harus mempertaruhkan batang lehermu!"
Ketiga
prajurit Kadipaten Surabaya terkejut bukan main. Jangankan mereka bertiga,
sepuluh orangpun mereka belum tentu sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga yang
kesaktian dan ilmu silatnya sangat tinggi itu! Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.
"Warok
Gde Jingga," kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka
biarlah aku mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi permintaanmu
tadi."
Warok Gde
Jingga tertawa gelak-gelak. "Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi
kelonggaran padamu! Kau boleh maju bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna
itu!"
"Walau
ilmuku sangat dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku
biarlah aku menghadapimu seorang diri."
"Baik
… baik … baik! Jika itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde
Jingga seraya melompat ke halaman.
Tubuhnya
yang tirrggi besar dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak sedikitpun
menimbulkan suara ketika kedua kakinya menjejak tanah halaman. Satu pertanda
bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat yang tinggi! Nyoman
Dwipa tak mau kalah siap! Sekali dia berkelebat maka bayangannya lenyap dan
sedetik kemudian sudah berdiri enam langkah di hadapan kepala rampok itu! Warok
Gde Jingga terkejut bukan main! Tiada diduganya pemuda yang dianggapnya sepele
itu memiliki gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di
bawahnya!
Melihat
kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba melompat
dan berseru, "Kak Gde Jingga! Biar aku yang mengadapi pemuda sombong ini!
Kau lihat sajalah bagaimana adikmu akan memberi pelajaran padanya!"
Tanpa
menunggu jawaban kakaknya, Luh Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa,
tersenyum sekilas lalu berkata sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya.
"Silahkan kau mulai lebih dulu!".
"Ah,
tuan rumahlah yang lebih pantas memulai," sahut Nyoman Dwipa pula.
"Kuharap kau benar-benar memberi pelajaran berguna pada orang bodoh
macamku ini, saudari!"
Luh Bayan
Sarti tertawa kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena
pedangku ini tidak bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis dengan satu
serangan setengah melompat. Ketika menabas pedang peraknya hanya merupakan
selarik sinar putih yang mengeluarkan suara bersiur karena saking cepatnya!
Sebelumnya Nyoman Dwipa telah melihat ilmu pedang gadis itu yakni sewaktu Luh
Bayan Sarti bertempur melawan prajurit-prajurit. Kadipaten Surabaya. Namun
sekali ini dilihatnya si gadis mengeluarkan jurus serangan yang lain dari yang
lain hingga Nyoman Dwipa tak mau bersikap memandang enteng, cepat mencabut
tongkat bambu kuningnya yang kecil dan dengan gesit berkelebat mengelakkan
tabasan yang mengincar pinggangnya!
Setengah
jalan tiba-tiba sekali tabasan yang dilakukan Luh Bayan Sarti berubah menjadi
satu tusukan tajam ke arah dada. Tusukan ini sebelum sampai memecah laksana
kilat keempat bagian tubuh Nyoman Dwipa yaitu kepala, leher, dada dan perut!
Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si
gadis adalah serangan hebat luar biasa.
Melihat
dekatnya tusukan-tusukan pedang itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa
cemas kalau-kalau si pemuda kali ini tak sanggup menvelamatkan dirinya!
"Hebat!"
Justru dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan memuji.
Tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru itu
bekelebatlah selarik sinar kuning. Itulah sinarnya bambu kuning di tangan
Nyoman Dwipa.
Melihat
lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti kerahkan
pula ilmu meringankan tubuhnya hingga dalam jurus pertama itu keduanya sudah
merupakan baying-bayang saja!
Nyoman
tersenyum melihat kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini menggerakkan bambu
kuningnya dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung". Jurus ini
mengandalkan tenaga dalam yang dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dalam jurus
kedua terjadilah hal yang sangat mengejutkan Warok Gde Jingga.
Sewaktu
dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti kembali melancarkan serangan yang hebat,
bambu kuning di tangan Nyoman sudah bergerak dalam jurus "gendewa sakti
membentur gunung" itu.
Luh Bayan
Sarti heran ketika merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula meluncur
pesat tahu-tahu dengan tiba-tiba sekali tersendat laksana diterpa oleh satu
angin yang luar biasa dahsyatnya. Belum habis rasa herannya itu, bambu kuning
di tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah berada dekat sekali di samping
pedang peraknya!
Luh Bayan
Sarti seorang berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan mengetahui
bahwa tenaga dalam lawan tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa hendak
memukul badan pedangnya dalam satu pukulan yang hebat dan memungkinkan pedang
perak itu terlepas dari tangannya! Karenanya dengan sigap gadis ini menaikkan
tangannya ke atas lalu membabat ke samping, menaebas ke arah batang leher
Nyoman Dwipa!
Di lain
pihak Nyoman Dwipa tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama. Kedudukan
tangan dan senjata lawan yang berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri
justru itulah yang dikehendakinya! Bambu kuning di tangan pemuda ini menerpa ke
atas Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang memegang pedang
menjadi kesemutan. Dia melompat mundur tapi tak bisa karena pada saat itu bambu
kuning di tangan lawan laksana seekor ular seakan-akan telah membelit
pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa memutar-mutar bambu kuningnya, pedang perak di
tangan gadis itupun ikut berputar melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa
mempertahankan senjata itu kecuali kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir
dan tanggal dari persendiannya!
Warok Gde
Jingga bukan olah-olah kejutnya menyaksikan bagaimana adiknya yang
berkepandaian tinggi itu hanya mampu menghadapi pemuda itu dalam tempo dua
jurus saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan saja dia dikalahkan tapi
senjatanya sekaligus kena dirampas! Luh Bayan Sarti sendiri sesudah pedangnya
tertarik dan berada digenggaman Nyoman Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga
malu sekali. Dengan paras merah sambil banting-banting kaki gadis ini memutar
tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Eh,
saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.
Luh Bayan
Sarti tak mau berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus nyelonong ke
langkan rumah Karena orang tak mau menerima kembali senjatanya maka Nyoman
Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang memegang pedang. Senjata itu lepas dan
mendesing di udara lalu menancap di tiang langkan rumah, tepat pada saat Luh
Bayan Sarti berada di samping tiang itu!
Luh Bayan
Sarti berbalik dan mendelikkan kedua matanya pada Nyoman Dwipa. Sebaliknya
pemuda itu hanya tersenyum saja, membuat si gadis benar-benar penasaran
setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari tiang langkan lalu cepat-cepat masuk
ke dalam rumah!
Nyoman
berpaling pada Warok Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang.
Karena dia bertindak sebagai wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati
janjimu Warok. Harap kau segera mengembalikan patung emas itu pada ketiga prajurit
ini…. "
Warok Gde
Jingga mengusap-usap dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak.
"Ingatanmu
selalu pada patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan kemenanganmu!
Terangkan dulu namamu dan siapa kau sebenarnya …"
"Kalau
sudah kuterangkan lantas kau akan mengembalikan patung itu?!"
Kembali
kepala rampok itu tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang berdiri
mengeliling halaman lalu menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku tahu nama
dan siapa kau adanya, kita main-main sebentar . . . "
Nyoman
tahu apa yang dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main"
itu. Maka dia berkata, "Dan kalau dalam main-main itu kau mengalami nasib
sama dengan adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain untuk tidak menyerahkan
patung emas itu?!"
Merahlah
paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda
sontoloyo!" katanya keras.
"Ah
kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah
kini kita bisa memulai permainan yang kau maksudkan itu?!"
Warok Gde
Jingga menggeram. Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar keluarlah
seorang pelayan membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga yang bentuknya
aneh dan dahsyat! Belum pernah Nyoman Dwipa melihat senjata semacam itu.
Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri kelihatan saling berbisik karena setahu
mereka, Warok Gde Jingga jarang sekali mempergunakan senjata itu kalau tidak
dalam keadaan terpaksa atau ketika menqhadapi lawan yang tangguh luar biasa!
******************
12
SENJATA
di tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada kedua
ujungnya digantungi masing-masing tiga buah kaitan besi yang juga berwarna
hitam. Setiap ujung kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan lagi dan
masing-masing ujungnya tetah dicelup dengan racun yang amat jahat selama tiga tahun.
Sekali manusia yang tidak memiliki kekebalan racun, meskipun memiliki tenaga
dalam bagaimanapun tingginya pasti akan menemui kematian bila sampai kena
tertusuk oleh ujungujung kaitan itu! Di samping itu kaitankaitan tersebut
merupakan senjata yang berbahaya karena sanggup membetot daging atau urat
seorang lawan! Menurut taksiran keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari
lima puluh kati. Tapi Warok Gde Jingga memegangnya tak ubahnya seperti memegang
sebuah ranting kering belaka!
Nyoman
Dwipa tahu benar kehebatan ilmu suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh lebih
tinggi dari ilmu silat Luh Bayan Sarti yang tadi telah dikalahkannya. Dan
melihat kepada senjata di tangan Warok Gde Jingga, pemuda ini sudah maklum
bahwa senjata itu amat berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman
Dwipa pasang kuda-kuda pertahanan yang bernama "elang menukik laut".
Kedua kaki merenggang agak menekuk di bagian lutut. Tangan kiri agak mengembang
ke samping sedang tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning dipalangkan
di muka dada.
"Ayo
majulah!" kata Warok Gde Jingga.
"Silahkan
tuan rumah memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa.
Kepala
rampok dari bukit Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota rampok
yang mengelilingi tempat tersebut membuka mata masing-masing selebar mungkin
untuk menyaksikan pertempuran yang bakal berlangsung yang tidak bisa tidak
pasti sangat hebat!
"Awas
perut!" teriak Warok Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi
dengan berkelebatnya tubuh pemimpin rampok itu. Ujung toya sebelah kanan
menderu ke arah perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan berdesing siap untuk
membetot dan membusaikan isi perut pemuda itu!
Nyoman
Dwipa melompat ke belakang untuk mengelak. Di’saat itu pula dengan tak terduga,
cepat sekali ujung toya besi yang sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda
itu! Kejut Nyoman Dwipa bukan alang kepalang. Sambil membentak keras pemuda
gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan menggerakkan
tongkat bambu kuningnya, memukul bagian tengah toya besi di tangan Gde Jingga.
Melihat
lawan hendak memukul senjatanya, kepala rampok itu sengaja tidak mengelak! Dia
beranggapan bahwa sekali tongkat bambu kuning itu membentur toya besinya
pastilah akan patah dua! Tapi betapa terkejutnya Warok Gde Jingga sewaktu
melihat bukan saja tongkat lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan terjadi,
toya besinya terpukul keras hampir saja terlepas dari genggamannya!
Dengan
menggertakkan rahang Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya laksana
titiran, menderu dan mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!
Sementara
itu dari satu tempat yang terlindung di balik jendela rumah besar, sepasang
mata menyaksikan pertempuran itu dengan hati cemas. Kecemasan itu tertuju pada
diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu adalah kalau-kalau si pemuda akan menjadi
korban mendapat celaka di tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika menyaksikan
bagaimana Nyoman Dwipa dengan tenang melayani lawannya, orang yang mengntai itu
merasa lega sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh Bayan Sarti, adik Warok Gde
Jingga yang telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!
Dua puluh
jurus telah berlalu. Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan ganas.
Toyanya lenyap dalam sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan angin
dingin serta bersiutan. Debu dan pasir beterbangan di sekeliling orang-orang
yang bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi jurus, semakin meluap kemarahan
Warok Gde Jingga. Sebagai kepala rampok yang ditakuti dan punya nama besar
dikalangan rimba persilatan di Pulau Bali, baru kali ini dia menghadapi lawan
yang demikian tanguhnya. Karena pertempuran itu disaksikan oleh anak-anak
buahnya pula maka tentu saja rasa malu membuat amarahnya tambah menggelegak!
Amarah yang menggelegak ini tak bisa lagi dikendalikan karena bagaimana pun dia
menggempur lawan dengan toya besi serta dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan
kosong yang hebat tetap saja menemui kesia-saan! Akibatnya saat itu semua orang
menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur macam kerbau gila atau celeng
kemasukan setan, seradak sana seruduk sini, melompat sini melompat sana!
Keringat membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian. Gerakan-gerakannya
yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan lagi sewaktu dia dengan kalap terus
menggempur marah karena ujung tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa berhasil
memukul ikatan kaitan di ujung toya sebelah kanan hingga kaitan-kaitan itu
terlepas dan mental!
Tiga
puluh lima jurus telah berlalu kini.
"Warok
Gde Jingga apakah masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai di
sini saja?!" berseru Nyoman Dwipa.
Seruan
ini membuat darah kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas berteriak,
"Aku belum kalah! Kalau kepalamu sudah pecah terpukul toyaku baru
pertempuran berhenti!"
Nyoman
Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu
kuning. Dan ketika tongkat itu membuat satu sambaran tajam ke bagian tengah
toya besi di tangan Warok Gde Jingga, ketika benturan keras terjadi, Warok Gde
Jingga merasa tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup lagi
mempertahankan toya itu hingga terlepas dari tangannya dan mental ke udara!
Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah mata Warok Gde Jingga.
Badan toya yang kena dihantam bambu kuning temyata telah menjadi bengkok dan
genting hampir putus!
Nyoman
Dwipa tersenyum kecil lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik pinggang
kembali. "Permainan sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi janjimu,
menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampok oleh adikmu!"
Meskipun
saat itu Warok Gde Jingga malu dan marah bukan main, meskipun dia seorang yang
sudah terkenal kejahatannya namun dalam satu hal kepala rampok ini patut
dipuji. Hal itu ialah sifatnya yang memegang teguh segala janji yang
diucapkannya. Maka dia memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil patung
emas dari dalam rumah. Benda itu kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan
Nyoman Dwipa selanjutnya menyerahkan pada prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya.
Bukan main gembira prajurit-prajurit itu.
Di
hadapan Warok Gde Jingga Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih
atas segala pelayanan yang kau berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka
mengembalikan patung emas itu. Aku dan prajurit-prajurit ini hendak minta diri
sekarang."
"Prajurit-prajurit
itu boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde Jingga.
"Eh,
kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran.
"Aku
mau bicara denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu.
Setelah
berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan berpaling
pada prajurit-prajurit di sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap di
sini dulu."
Setelah
mengucapkan terima kasih pada si pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian
meninggalkan sarang perampok tersebut dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau
mendapat kesulitan baru pula di tempat itu.
"Nah,
mereka sudah pergi. Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman
Dwipa.
"Kita
bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman
Dwipa masuk ke dalam rumah besar.
Sampai di
dalam Nyoman dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan serba mewah.
Warok Gde Jingga memerintahkan bujang-bujangnya untuk menghidangkan makanan dan
minuman yang tezat-lezat, Setelah menyantap hidangan itu barulah Warok Gde
Jingga menerangkan maksudnya menahan Nyoman Dwipa.
"Ilmu
silatmu tinggi sekali. Permainan tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan
gerak yang kau keluarkan, dan mengetahui bahwa di Pulau Bali ini cuma ada
seorang tokoh sakti yang memiliki ilmu tongkat yang hebat luar biasa, apakah
kau bukannya murid orang sakti itu, Nyoman?"
Nyoman
Dwipa tertawa.
"Orang
sakti manakah maksudmu?" tanyanya.
"Ah,
kau pura-pura bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi itu
tentunya!"
Kembali
Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama
seperti Menak Putuwengi itu mana mau mengangkat aku jadi muridnya?"
Warok Gde
Jingga meneguk tuaknya habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman, soal
siapa gurumu tak perlu kita bicarakan. Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu
silatmu amat tinggi dan membuat aku benar-benar kagum. Bagaimana kalau kita
bekerja sama memimpin orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini?
Segala hasil yang kita dapat menjadi milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta
kekayaanku yang ada sekarang akan kuberikan separohnya padamu!"
"Rupanya
inilah maksud kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam
hati.
"Terima
kasih atas tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak dapat
menerimanya…."
"Ah!
Mari, kau lihatlah dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau sudah
melihat, pasti kau tak akan mau menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde Jingga
seraya hendak berbangkit dari duduknya. Nyoman melambaikan tangannya dan
berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu banyak sekali dan tak ternilai
harganya,"
kata
pemuda ini, "namun sebenarnya ada banyak urusan yang harus kusalesaikan.
Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa menerima tawaranmu, entah di lain
ketika." Lalu pemuda inipun berdiri dari kursinya.
Warok Gde
Jingga kecewa sekali. Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti seluruh
Bali akan berada dalam genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak
bisa memaksa. Dan pemimpin rampok inipun lantas berdiri, mengantarkan tamunya
ke ujung halaman.
********
Belum
lewat sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan
telinganya dan perasaannya yang tajam menyatakan bahwa seseorang saat itu
tengah menguntitnya. Di satu tikungan jalan pemuda ini menghentikan larinya dan
menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon besar yang bagian bawahnya
ditumbuhi semak belukar lebat. Dia menunggu dan selang beberapa ketika lamanya
penguntit itupun muncul di tikungan jalan. Betapa terkejutnya Nyoman ketika
melihat bahwa orang itu ternyata bukan lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung
Warok GdeJingga adanya! Maka dengan penuh heran pemuda inipun keluar dari
persembunyiannya.
"Selamat
berjumpa kembali saudari." kata Nyoman.
Luh Bayan
Sarti terkejut. Parasnya merah seketika kemudian dicobanya tersenyum dan
berkata, "Aku tengah menuju ke Denpasar. Tak diduga bertemu denganmu di
sini."
Nyoman
berpikir apakah ucapan gadis itu bukan kedustaan belaka?
"Aku
sendiri juga tengah menuju ke sana," kata Nyoman.
"Betul?
Kalau kau tak keberatan . . . . "
Nyoman
Dwipa sudah tahu kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong.
"Tentu saja aku tak keberatan pergi sama-sama denqanmu ke Denpasar".
Namun dalam hatinya Nyoman merasa menyesal mengeluarkan ucapan itu. Maksudnya
ke Denpasar adalah untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini dia ke sana
bersama gadis itu, tentu akan mencari tambanan pekerjaan saja dan salah-salah
bisa cari urusan baru! Dipandanginya paras gadis itu. Cantik memang. Dan
sungguh disayangkan kalau dara secantik ini menjadi adik kandung kepala rampok
dan ikut-ikutan pula menjadi perampok!
"Agaknya
kau menyesal mengeluarkan ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba
seraya mengerling pada si pemuda.
Nyoman
tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan
adalah satu hal yang menyenangkan," katanya. "Apakah maksudmu pergi
ke Denpasar?"
"Hendak
mengunjungi seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti.
"Kawan
atau kekasih?" tanya Nyoman pula.
Paras
sang dara kembali menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih,"
katanya kemudian.
"Oh….!"
"Dan
kau sendiri perlu apakah ke Denpasar? Kau tinggal di situ?" ganti menanya
Luh Bayan Sarti.
"Ada
urusan penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata.
"Kita harus berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti sudah sampai di
Denpasar."
******************
13
MEREKA
memasuki Denpasar ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat. Untuk
tidak menarik perhatian orang keduanya memasuki kota dengan jalan kaki biasa.
"Aku
akan mencari penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau,
apakah akan terus ke tempat sahabatmu itu?"
"Tubuhku
letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di
sebelah barat luar kota. Karena kita datang dari jurusan timur cukup jauh juga
untuk mencapai tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga mencari penginapan.
Besok baru meneruskan perjalanan kerumahnya."
Nyoman
menganggukkan kepala. Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh Bayan
Sarti yang katanya hendak menguniungi sahabat lamanya itu adalah satu kedustaan
belaka. Sepanjang jalan dari bukit Jaratan sampai ke Denpasar banyak sekali
sikap gadis itu yang dirasakannya aneh. Berulang kali dilihatnya Luh Bayan
Sarti memperhatikannya secara diam-diam. Bila sekali-sekali mereka saling
berbentur pandangan, paras gadis itu berubah kemerah-merahan dan kepalanya
ditundukkan atau dipalingkan kejurusan lain. Nyoman sendiri jadi merasa aneh
lama-lama mempunyai perasaan lain yang membuat hatinya jadi berdebar. Tapi
perasaan itu dibuangnya jauh-jauh bila dia ingat pada almarhum kekasih yang
dicintainya yaitu Ni Ayu Tantri. Kepergiannya ke Denpasar justru untuk menuntut
balas kematian gadis itu, juga kematian ayah dan kawan-kawannya.
Dan kini
hati yang mendendam kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut membuat
Nyoman merasa bahwa seolah-olah dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Ni
Ayu Tantri!
Di sebuah
rumah penginapan yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah kamar.
Satu
untuknya sendiri dan yang lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara begitu
masuk ke kamar terus berbaring dan tertidur pulas maka Nyoman Dwipa terlebih
dulu pergi mandi membersihkan diri. Habis mandi rasa letihnya agak hilang
berganti dengan kesegaran. Dia memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi.
Yang satu porsi disuruhnya mengantarkan ke kamar Luh Bayan Sarti. Sambil
menyantap makanannya Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu juga akan
dilakukannya penyelidikan di mana letak tempat kediaman musuh besamya yang
bemama Tjokorda Gde Jantra itu dan sekaligus melakukan pembalasan melampiaskan
dendam kesumat yang dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau ditunggunya
sampai besok?
Tengah
dia menyantap makanan dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk orang.
Nyoman Dwipa meletakkan piringnya di atas meja lalu membuka pintu. Pelayan
penginapan berdiri di muka pintu itu dan menerangkan bahwa ketika dia
mengantarkan hidangan ke kamar Luh Bayan Sarti temyata kamar itu kosong
melompong, si gadis tak ada di dalamnya.
"Saya
rasa terjadi hal yang tidak beres." menerangkan pelayan itu.
Mulanya
Nyoman Dwipa menyangka Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi mendengar
keterangan pelayan itu dia jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada
yang tak beres?"
"Jendela
terpentang lebar, engselnya rusak!"
Tanpa
menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa yang
di terangkan oleh pelayan temyata betul. Kamar itu kosong, jendela terbuka
lebar dan sebuah engselnya rusak. Buntalan pakaian milik Luh Bayan Sarti masih
tergeletak di atas pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas terjadinya
perkelahian di kamar itu. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi? Ke mana
perginya Luh Bayan Sarti? Nyoman keluar dari rumah penginapan. Di luar hari
telah malam. Udara dingin oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam
menggantung di langit. Setelah melakukan penyelidikan di sekitar penginapan dan
tak berhasil menemui Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui pelayan tadi
dan berpesan agar tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun. Lalu Nyoman
sendiri kemudian meninggalkan rumah penginapan itu untuk menyelidiki ke mana
lenyapnya gadis itu. Dalam hati kecilnya dia mengeluh. Jika betul terjadi
apa-apa dengan gadis itu sedikit banyaknya dia harus bertanggung jawab. Ini
berarti datangnya satu urusan baru padahal urusannya yang lebih penting yaitu
melakukan pembalasan terhadap Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum
dilaksanakan!
Hampir
dua jam lamanya Nyoman Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar bahkan
sampai ke-pelosokpelosok dan daerah luar kota. Penyelidikannya sia-sia belaka.
Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinyal Bayan
Sarti-pun tak dapat dicarinya!
"Berabe
kalau begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal
pemuda ini kembali ke penginapan.
*******
Apakah
sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh Bayan Sarti?
Ketika
petang itu Nyoman dan Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan barat,
seorang penunggang kuda yang tangan kanannya buntung memapasi mereka. Karena
jalan yang ditempu memang banyak dilewati orang dan lagi pula saat itu hari
sudah agak gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama sekali tidak memperhatikan
orang-orang yang mereka papasi, termasuk penunggang kuda tadi. Namun penunggang
kuda ini bukanlah orang yang lalu lalang biasa saja.
Dia bukan
lain dari Ki Sawer Balangnipa, si manusia yang tampangnya macam ular yang telah
pemah bertempur melawan Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang lalu!
Karena manusia pemelihara ular ini seorang hidung belang bermata keranjang maka
setiap melihat perempuan pasti tak akan luput dari pandangan matanya! Begitu
juga ketika dia berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras Sarti yang
jetita, timbullah niat terkutuk dalam hati dan benaknya!
Namun
sewaktu dia memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara, kagetlah
Ki Sawer Balangnipa. Cepat dia mengenali Nyoman Dwipa sebagai pemuda yang telah
bertempur dengan dia di tepi danau beberapa waktu yang lalu! Jika gadis itu ada
hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak punya nyali untuk
melaksanakan maksud terkutuknya itu. Tapi sebagai seorang yang licik, Ki Sawer
Balangnipa punya seribu satu macam akal. Sengaja dia melewati kedua orang itu
sampai beberapa jauhnya kemudian berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta
Sarti secara diam-diam. Dia sudah menyusun rencana sebagai berikut. Mula-mula
akan diculiknya gadis berpakaian hitam yang sangat rnenarik hati dan merangsang
nafsu bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu gadis akan dihubunginya
beberapa tokoh-tokoh silat yanq berada di Denpasar lalu bersama-sama mereka
akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan atas kekalahannya tempo
hari dalam pertempuran di tepi danau!
Sewaktu
melihat kedua orang itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa
berpendapat inilah kesempatan yang baik baginya untuk segera melaksanakan niat
busuknya itu. Dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer Balangnipa
berhasil memasuki kamar penginapan di mana Luh Bayan Sarti terbaring tidur
keletihan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur
nyenyak mudah sekali bagi manusia yang punya tampang seperti ular itu untuk
menotok urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu
kemudian dilarikannya keluar kota.
Kuda yang
ditunggangi Ki Sawer Balangnipa laksana anak panah lepas dari busurnya dalam
gelapan malam. Menjauhi kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis
itu. Akhirnya dia ingat sebuah kuil tua yang terletak di sebelah barat
Denpasar. Kuil itu sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas
memakainya sebagai tempat beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera
laki-laki ini memutar kudanya ke jurusan barat. Di langit buan sabit muncul
setelah beberapa lamanya bersembunyi di balik awan hitam tebal. Sinar bulan
sabit ini tak sanggup mengalahkan gelapnya malam di saat itu.
Selewatnya
sebuah pesawangan Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan berbatu
dan mendaki. Kira-kira sepeminuman teh dia sampai satu persimpangan. Ki Sawer
Balangnipa menghentikan kudanya karena di antara persimpangan itulah letak kuil
tua yang ditujunya. Pada siang hari dua mulut jalan yang mengapit kuil tua itu
ramai dilewati orang-orang yang lalu lintas terutama para pedagang. Tapi pada
malam hari suasana di situ sunyi senyap. Tak satu orangpun yang berani lewat
kecuali prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ sering
kali menjadi tempat beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde Jingga dari Bukit
Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa beberapa hari
yang lalu.
Dengan
memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki itu melangkah memasuki halaman kuil. Semula
dia hendak menurunkan tubuh gadis itu di bagian depan, tapi setelah berpikir
sejenak akhirnya dia masuk ke bagian dalam kuil. Di sini keadaan lebih gelap,
tapi dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki Sawer
Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding kuil. Seringai setan
terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh yang
mencicir di kening, kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan
totokan ditubuh gadis itu.
Luh Bayan
Sarti membuka kedua matanya. Kegelapan menghambar di hadapannya. Kemudian
ketika sepasang matanya menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis ini.
Di manakah aku berada, pikirnya. Dia memandang sekali lagi berkeliling.
Tiba-tiba tersentaklah dia karena tidak dinyananya kalau saat itu dekat sekali
di hadapannya duduk mencangkung sesosok tubuh yang hitam pekat di telan kegelapan.
Tak dapat dipastikan oleh gadis ini apakah yang dihadapannya itu manusia atau
setan tapi yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan sekali, macam kepala dan
paras seekor ular!
"Mungkin
aku bermimpi," pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit.
Dan pada saat itu makhluk di hadapannya datang mendekat, mengulurkan tangannya
hendak menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging seringai buruk yang
menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh yang amat
pelahan sedang dari hidungnya menghembus nafas panas!
"Siapa
kau?!" bentak Luh Bayan Sarti seraya melompat.
Orang
dihadapannya berdiri perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Jangan
bertanya segalak itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer
Balangnipa!"
"Aku
tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari dapanku!" Ki Sawer Balangnipa
tertawa gelak-gelak.
"Gadis
galak biasanya juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat
tidur . . . "
"Bangsat
rendah! Kau kira berhadapan dengan siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti.
"Sreett!!"
Gadis itu
cabut pedangnya dari balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah berkelebat
dan pedang di tangan kanannya menderu dalam satu bacokan yang laksana kilat
cepatnya ke batok kepala Sawer Balangnipa.
"Trang!!"
Pedang
Luh Bayan Sarti menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah
bagaimana mendadak sekali Ki Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan
gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti mengenai tempat kosong dan terus
melanda tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan dalam hati. Sewaktu
dirasakannya sambaran angin datang disamping kanannya, gadis ini cepat membalik
seraya kiblatkan pedangnya. Tapi lagi-lagi dia menghantam tempat kosong dan
sebelum dia bisa berbuat suatu apa, sebuah totokan bersarang di dadanya membuat
sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi kaku tegang dalam keadaan masih
memegangi pedang!
Didahului
oleh suara tertawa mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali muncul di
hadapan Luh Bayan Sarti dengan cengar-cengir seenaknya.
"Senjata
ini tak boleh dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa
lalu diambilnya pedang dari tangan gadis itu dan dilemparkannya sudut kuil.
"Bangsat
kau lepaskah totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti.
"Siapa
yang mau ambil risiko, nona manis?!" sahut Ki Sawer Balangnipa.
"Sudahlah, kau tak usah bicara keras-keras yang hanya mengejutkan
setan-setan penghuni kuil tua ini saja! Di samping itu tak baik berdiri
terus-terusan. Mari kutolong kau berbaring di lantai sini."
"Setan
alas! Kau mau bikin apa?!"
"Mau
bikin apa …?" Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh.
"Kau lihat saja nanti. Yang pasti kau bakal merasakan bagaimana pandainya
aku merubah malam yang dingin ini menjadi malam yang hangat bagi kita!"
Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Ki Sawer Balangnipa meraih pinggang
si gadis dan membaringkannya di lantai kuil!
"Keparat
kalau kau tidak lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup
bahkan menyesal sarnpai ke hang kubur!"
"Ha
…. ha, siapa yang akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan tubuhmu!
Siapa yang menyesal merasakan kenikmatan dirimu sebagai seorang perempuan,
seorang perawan?! Ha … ha . . . ! Matipun aku tidak menyesal nonaku!"
Sehabis
berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menyelinapkan tangan kirinya ke bawah baju
si gadis! Luh Bavan Sarti laksana disengat kalajengking sewaktu merasakan
bagaimana jari-jari tangan laki-laki itu menyentuh buah dadanya!
"Manusia
dajal! Rupanya kau belum tahu siapa aku!"
"Ah
sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan
penuh geram nafsu dibetotnya baju gadis itu hingga kancing-kancingnya
berputusan.
"Keparat!
Nyawamu tak akan berampun! Aku adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit
Jaratan!" Ki Sawer Balangnipa terkejut juga mendengar ucapan ,gadis itu.
Sesaat kemudian kemheli terdengar suara tertawanya.
"Oh,
jadi kau adiknya kepala rampok hina dina itu? Siapa takutkan dia? Sepuluh
manusia macam dia dijejer di hadapan Ki Sawer Balangnipa pasti akan kulabrak
musnah!" Lalu tangan laki-laki itu berjerak mengelus perut Luh Bayan Sarti
untuk kemudian dengan sangat terkutuknya meluncur ke bawah!
"Keparat!
Kalau tidak kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang lehermu!"
"Hem
siapakah kawanmu itu?"
"Nyoman
Owipa! Dia murid Menak Putuwengi!"
"Jangan
menipuku! Menak Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan
gerakan tangan Ki Sawer Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali meluncur!
Namun sebelum tangan terkutuk itu dapat meluncur lebih jauh, satu bentakan
menggeledek dari ruang depan.
"Terkutuk!
Di tempat suci berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan melengking
langit dan berbarengan denjan itu selarik angin keras dan dingin menggidikkan
menyambar ke arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
******************
14
KAGETNYA
Ki Sawer Balangnipa laksana melihat dan mendengar petir menyambar di puncak
hidungnya! Kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan di
lantai kuil pastilah kepalanya tak bisa diselamatkan dari hantaman angin
dahsyat tadi! Begitu berdiri begitu dia membentak!
"Bangsat
rendah yang menyerang secara gelap, coba unjukkan tampangmu!". Tiba-tiba
Ki Sawer Balangnipa melengak karena baru saja dia habis membentak di
belakangnya terdengar suara tertawa mengekeh.
"Silahkan
putar tubuh dan kau akan melihat tampangku manusia muka ular!"
Ki Sawer
Balangnipa membalikkan tubuhnya dengan cepat! Heran, hebat sekali gerakan
manusia itu hingga dia tak sempat melihat bayangannyapun dan tahu-tahu sudah
berada di belakangnya! Ketika berhadap-hadapan dengan manusia itu mendadak
menciutlah nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan tidak. Orang yang kini berdiri
di depannya bukan lain pemuda yang tempo hari telah membunuh puluhan ekor
ularnya di tepi danau! Tapi rasa ngerinya itu tidak diperlihatkannya. Malah dia
menyembunyikan dengan membentak garang!
"Kau
rupanya bangsat haram jadah! Di cari-cari tak ketemu kini datang sendiri
mengantar nyawa!"
Orang
dihadapannya mengeluarkan suara bersiul. "Apakah tangan kananmu yang
buntung sudah disambung hingga kau bernyali besar sekali?!"
Ki Sawer
Balangnipa marah sekali. "Keparat! Apa yang kau lakukan tempo hari kini
kau bakal terima balasannya bangsat Wiro Sableng!"
Habis
berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menggerakkan tangan kirinya dan sesaat
kemudian sebuah senjata yang dibuat dari ular kering menderu ganas ke depan.
Pendekar
212 Wiro Sableng yang tahu kelihayan lawan meskipun saat itu tangannya cuma
tinggal satu, dengan tidak ayal segera bergerak menyelamatkan kepalanya. Dilain
pihak Ki Sawer Balangnipa yang sudah pernah berhadapan dengan si pemuda dan suclah
tahu betapa tingginya ilmu silat serta kesaktian Wiro Sableng, segera
mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya. Ular kering di tangan
kirinya laksana hidup menjadi puluhan banyaknya dan menyerbu ke seluruh bagian
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari mulut
ular itu setiap saat menyambar racun hijau yang amat berbahaya. Meskipun kebal
segala macam racun namun Wiro menutup penciumannya.
Pertempuran
berjalan demikian serunya hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan sampai-sampai
lupa diri di mana dia berada dan apa sesungguhnya yang telah terjadi sebelumnya
atas dirinya. Juga lupa nasib apa yang bakal menimpa dirinya jika pemuda
berambut gondrong berpakaian putih itu tidak muncul di saat yang sangat kritis
itu!
Untuk
menghadapi serangan-serangan ganas yang bertubi-tubi serta jurus-jurus aneh
yang dilancarkan lawan, Wiro Sableng sengaja keluarkan jurus-jurus pertahanan
ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila. Jurus-jurus
pertahanan tersebut diselingnya dengan jurus-jurus serangan warisan gurunya
Eyang Sinto Gendeng. Hingga walau bagaimanapun hebatnya Ki Sawer Balangnipa,
untuk merobohkan pemuda itu sampai seribu juruspun dia belum tentu bisa
melakukannya. Di lain pihak WiroSablengsendiri maklum pula yang dia tidak pula
akan bisa mempecundangi lawannya dengan mudah! Karena itu kedua tangannya kiri
kanan mulai melancarkan pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam
teramat tinggi! Ki Sawer Balangnipa mulai kewalahan! Jika saja gerakannya tidak
gesit sudah tiga kali kepalanya hampir dilanda pukulan lawan!
Jurus
kedua puluh ke atas Ki Sawer Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika lengan
kirinya kena terpukul dan ular kering yang menjadi senjatanya mental jauh,
nyali manusia ini benar-benar meleleh! Didahului dengan bentakan dahsyat
laki-laki ini harttamkan tangan kirinya ke depan. Satu gelombang angin yang
amat keras menderu menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Itulah pukulan
sejagat bayu! Sewaktu Wiro Sableng berdiri limbung diterpa angin pukulan,
kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Sawer Balangnipa untuk melesat ke ruangan
luar dan sebelum Wiro sempat mengejar, laki-laki itu sudah lenyap di kegelapan
malam!
Pendekar
212 Wiro Sableng merutuk habis-habisan. Baginya manusia semacam Ki Sawer
Balangnipa tukang rusak kehormatan perempuan itu tak ada pengampunan, apalagi
mengingat pertempuran tempo hari di tepi danau. Tapi saat itu dia tak bisa
berbuat suatu apa karena lagi-lagi Ki Sawer Balangnipa berhasil pula melarikan
diri.
Wiro
Sableng masuk ke dalam kuil tua kembali dan melangkah ke tempat di mana Luh
Bayan Sarti terbujur dengan dada tiada tertutup dan celana panjangnya merorot
turun. Meskipun keadaan dalam kuil itu gelap namun sepasang mata Pendekar 212
masih sanggup menikmati kebagusan buah dada dan keputihan perut Luh Bayan
Sarti. Dengan mempergunakan jari-jari tangan kirinya Wiro kemudian melepaskan
totokan di tubuh sang dara.
Begitu
tubuhnya terlepas dari totokan, secepat Kilat Luh Bayan Sarti melompat,
merapikan baju dan celana hitamnya.
"Pemuda
tak dikenal, terima kasih atas pertolonganmu. Harap kau sudi memberi tahukan
nama …" kata Luh Bayan Sarti bila pakaiannya sudah rapi.
"Aku
Wiro Sableng. Kau siapa?"
"Luh
Bayan Sarti," jawab si gadis memberi tahukan namanya. "Sekali lagi
terima kasih". Lalu gadis itu melompat ke pintu kuil.
"Hai
tunggu dulu!" seru Wiro Sableng mengejar. Sekali lompat saja dia sudah
berada di hadapan gadis itu.
"Ada
apa?!" tanya Luh Bayan Sarti. "Mohon dimaafkan kalau aku tak bisa
bicara lama-lama dengan kau. Itu bukan aku tidak tahu diri dan tak menghargai
pertolonganmu, tapi karena aku harus cepat-cepat kembali ke kota."
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Waktu
aku sampai ke sini tadi kudengar kau menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa. Apa
sangkut pautmu dengan pemuda itu?"
Luh Bayan
Sarti tak segera menjawab. Di tengah perjalanan ke Denpasar, Nyoman Dwipa
menuturkan kepadanya tentang dendam kesumatnya terhadap seorang pemuda yang
telah membunuh kekasihnya. Nyoman tidak menerangkan siapa nama pemuda itu. Tak
bukan mustahil pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini adalah musuh besar
Nyoman Dwipa. Kalau tidak mengapa dia bertanya apa sangkut pautnya dengan
Nyoman Dwipa?
"Katakan
dulu apa hubunganmu dengan Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti.
Wiro
kerenyitkan kening dan kembali menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi
malah dijawab dengan balik bertanya.
"Dia
sahabatku," jawab Wiro.
"Betul?!
"
Wiro
tertawa dan berkata, "Ada alasan yang membuat kau tak percaya
ucapanku?!"
"Walau
bagaimanapun baru kali ini aku kenal kau, meski kau adalah tuan
penolongku!"
"Ah,
jangan sebut-sebut soal pertolongan itu. Yang penting terangkan di mana Nyoman
Dwipa berada saat ini. Aku ingin bertemu dengan dia."
"Kenapa
ingin bertemu?"
"Eh,
kau sangat curiga terhadapku! Dua sahabat ingin berternu apakah ada larangan?
Kalau aku seorang gadis cukup pantas kau tidak menyukai pertemuanku dengan
pemuda itu. Tapi toh aku ini laki-laki, sama seperti Nyoman?!"
"Kau
tahu, sahabatku itu datang ke Denpasar untuk mencari musuh besarnya. Seorang
pemuda yang telah membunuh kekasihnya . . . "
"Dan
kau menduga aku orangnya yang menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu?!" Wiro
Sableng lantas tertawa gelakgelak. Lalu diceritakannya pada Luh Bayan Sarti
bagaimana pertama kali dia bertemu dengan Nyoman dan sama-sama bertempur
melawan Ki Sawer Balangnipa. "Justru aku dalam perjalanan ke Denpasar
mencari dia untuk menanyakan bagaimana penyelesaian persoalannya itu."
"Kalau
begitu kita sama-sama saja ke Denpasar," kata Luh Bayan Sarti. Wiro
menyetujui. Kedua orang itu kemudian berangkat ke Denpasar.
********
Mereka
sampai di Denpasar menjelang tengah malam. Penginapan sunyi senyap, hanya
dibeberapa bagian saja kelihatan lampu masih menyala. Seorang pelayan
membukakan pintu depan sewaktu diketuk oleh Luh Bayan Sarti. Setengah
mengantuk, pelayan itu berkata. "Semua kamar terisi. Harap cari saja
penginapan lain."
"Aku
memang menginap di sini sebelumnya," jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya
bahwa dia dari luar kota menemui seorang kawan.
"Dan
saudara ini …?" tanya pelayan seraya menunjuk pada Wiro Sableng.
"Dia
bisa tidur sekamar dengan kawanku yang juga sama-sama menginap di sini."
sahut Luh Bayan Sarti.
Pelayan
penginapan kemudian membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan kedua orang
itu masuk. Nyoman Dwipa saat itu belum tidur. Dia duduk di tepi pembaringan
dalam kamarnya penuh gelisah memikirkan Luh Bayan Sarti yang lenyap tak tahu ke
mana perginya. Dalam kegelisahan itu pemuda ini mendengar suara langkah-langkah
kaki mendekati kamarnya. Dia menyangka itu adalah langkah tamu yang menginap
dipenginapan itu dan hendak pergi ke belakang. Tapi dia jadi terkejut sewaktu
pintu kamarnya diketuk orang dari luar. Begitu pintu dibuka kejut Nyoman Dwipa
lebih lagi karena yang berdiri diambang pintu adalah Luh Bayan Sarti sendiri
dan dibelakang gadis itu dilihatnya berdiri Wiro Sableng! Rasa terkejut Nyoman
Dwipa sesaat kemudian berubah menjadi kegembiraan. Karena kurang baik bicara
bertiga-tigaan di dalam kamar maka Nyoman mengajak kedua orang itu ke tempat
penerimaan tamu dan di sini dia minta agar Luh Bayan Sarti menceritakan apa
sesungguhnya yang telah terjadi.
Bukan
main geram dan marahnya Nyoman Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer
Balangnipalah yang telah membuat gara-gara, menculik Luh Bayan Sarti dan hampir
berhasil merusak kehormatan gadis itu jika sekiranya Wiro Sableng tidak
kebetulan lewat di depan kuil tua dalam perjalanannya ke Denpasar.
"Bangsat
bermuka ular itu tidak sukar untuk mencarinya," kata Wiro. "Tapi
bagaimanakah persoalanmu dengan orang yang bernama Tjokorda Gde Djantra itu …
?"
"Sebenarnya
aku bermaksud mengadakan penyelidikan malam ini jika saja tidak terjadi
peristiwa yang menimpa Luh Bayan Sarti. Besok pagi akan segera kucari
keterangan di mana tempat kediamannya! Bagaimanapun nyawa busuk manusia yang
satu itu tak bakal lepas dari kematian!"
Karena
hari sudah jauh malam ketiga orang itu meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan Sarti
kembali ke kamarnya sedang Wiro menumpang tidur di kamarnya Nyoman Dwipa.
******************
15
MENJELANG
Dinihari hujan rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara bukan
alang kepalang membuat setiap orang yang seharusnya sudah bangun saat itu,
menyelimuti tubuhnya kembali dan meneruskan tidur. Beberapa saat kemudian
fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang surya di sebelah timur
hujan rintik-rintikpun berhenti. Udara kini kelihatan cerah terang benderang.
Suasana dingin diganti dengan kehangatan sinar sang surya yang segar. Di
jalanjalan dalam kota Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan
kendaraan-kendaraan yang lalu lintas.
Di bagian
barat kota dua orang pemuda dan seorang gadis kelihatan melangkah cepat menuju
ke pusat Denpasar yang ramai. Gadis berpakaian hitam bukan lain adalah Luh
Bayan Sarti. Pemuda yang berpakaian putih ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kecantikan
paras Luh Bayan Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan rambut
yang menjela bahu dari Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi perhatian setiap orang
yang memapasi mereka. Kebanyakan orang segera memaklumi bahwa ketiga orang muda
itu adalah orang-orang dari dunia persilatan. Menyaksikan orang-orang
persilatan di dalam kota Denpasar bukan soal baru lagi karena memang banyak dari
mereka yang memasuki kota untuk mengurus keperluan. Bahkan di Denpasar sendiri
terdapat beberapa perguruan silat sedang di luar kota terletak sebuah gedung
besar tempat berkumpul tokohtokoh silat yang terkenal di kota itu dan dari
lain-lain kota di Pulau Bali.
Nyoman
Dwipa telah mendapatkan keterangan dimana letak rumah kediaman musuh besarnya
yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari
itu. Pintu halaman yang merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung
kediaman Tjokorda Gde Djantra masih dikunci.
"Kita
dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang
besar itu dengan kaki kanannya.
"Jangan!"
kata Wiro cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa di
Denpasar ini terdapat juga tokohtokoh silat klas satu …"
"Siapa
takutkan mereka?!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran
untuk segera melampiaskan dendam kesumatnya.
"Bukan
itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau berhasil
membalaskan sakit hatimu, berarti cukup besar juga halangan bagimu. Sebaiknya
selagi tak ada orang sekitar sini kita melompat saja. Tembok itu tak seberapa
tinggi."
Nyoman
menyetujui pendapat Wiro. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh
masing-masing ketiga orang itupun melompati tembok dan sampai di halaman dalam
tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah.
Gedung
besar tempat kediaman Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi senyap.
Mungkin penghuninya masih tidur. Namun saat itu pintu samping tiba-tiba terbuka
dan seorang laki-laki separuh baya berpakaian bagus muncul membawa dua ekor
ayam jago yang dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini menghentikan langkah
dan memandang heran campur kaget pada Nyoman Dwipa dan dua orang lainnya. Dia
mengerling sekilas pada pintu gerbang dan jelas dilihatnya pintu itu masih
dipalang dari dalam. Tak dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu pasti
memasuki halaman gedung dengan jalan melompat.
"Orang-orang
muda, kalian siapa?!" orang ini bertanya.
"Katakan
dulu dengan siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.
"Aku
Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini."
Rahang
Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau
bangsawan yang bernama Tjokorda Gde Anjer itu …?" ucapan ini disertai dengan
suara mendengus.
"Harap
kalian menerangkan siapa kalian adanya dan punya maksud apa memasuki rumah
orang pagi-pagi begini secara tidak terhormat?!"
Nyoman
Dwipa menyeringai. "Rupanya kau masih memandang tinggi nilai-nilai
kehormatan, Gde Anjer!" ParasTjokorda Gde Anjer berubah.
"Apa
maksudmu, orang muda?" dia bertanya.
"Masih
ingat pembunuhan yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa orang
kawan-kawannya sekitar lima bulan yang lewat?!"
Tjokorda
Gde Anjer terkejut. Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama
sekali tak diduganya. Sesudah peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan ini
merasa menyesal sekali. Dan hari ini muncul seorang pemuda dengan dua orang
kawannya mengungkap kembali persoalan yang sebenarnya sudah dilupakannya,
sekurang-kurangnya diusahakannya untuk melupakan!
"Apa
sangkut pautmu dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan tersebut.
Matanya mengawasi ketiga orang itu terutama Nyoman Dwipa. "Apakah kau
anaknya I Krambangan yang datang untuk menuntut balas?!"
"Jadi
kau siapa?!"
"Pembalasan
juga bisa dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar Tjokorda Gde
Anjer?! Hari ini kebenaran datang untuk minta tanggung jawab atas nyawa-nyawa
manusia yang pernah kau bunuh lima bulan yang lalu itu!"
"Kalau
kau tak ada sangkut pautnya, dengan peristiwa itu mengapa kini kau muncul untuk
minta pertanggungan jawab segala?!" ujar Tjokorda Gde Anjer.
"Setiap
kebenaran selalu mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman
Dwipa seraya melontarkan senyum mengejek.
Tjokorda
Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang diapun
berkata: "Sebenarnya aku menyesal terjadinya hal itu. Tapi keadaan
memaksaku untuk berbuat begitu …"
"Penyesalan
selalu datang terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya
bukan penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula.
Ucapan-ucapan
yang dilontarkan Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-pukulan
berat yang menghunjam bathin bangsawan itu.
"Sekarang
apa maumu orang muda?!"
"Apakah
kau sebagai seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk bertempur
sampai beberapa puluh jurus guna mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo
hari?!" Tjokorda Gde Anjer tertawa getir.
Sebagai
jawaban bangsawan itu melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi
dikempitnya. "Sebelum kita bertempur katakan dulu siapa kau adanya!"
"Namaku
Nyoman Dwipa. I Krambangan adalah calon mertuaku . . . "
"Cuma
baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa
menjadi merah.
"Kedatanganku
ke sini juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Karena
dialah kekasihku menemui kematian setelah sebelumnya dirusak kehormatannya! Di
mana anakmu itu sekarang?!"
Tjokorda
Gde Anjer memutar otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di
Gedung Putih. Jika kau punya nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika
seandainya kau masih punya nyawa setelah bertempur denganku!"
Nyoman
Dwipa tertawa menggeram lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda Gde
Anjer sendiri segera pula mencabut senjatanya yaitu sebilah keris kuning
ber-eluk duabelas.
"Apakah
kau akan maju bertiga?!" tanya bangsawan itu.
"Aku
tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi I
Krambangan bersama seorang kaki tanganmu. Kalau dia ada di sini cepat panggil
biar dapat kubereskan sekaligus!"
"Jangan
terlalu congkak orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa kau
hadapi! Mulailah!"
"Kau
yang hendak mampus silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh
penasaran karena ucapan ayah musuh besamya itu.
Senyum
mengejek lenyap dari bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini menerjang
kemuka. Keris di tangan kanan berkelebat dan menderu ke arah dada Nyoman Dwipa
lalu membabat ketenggorokan dengan teramat cepatnya hingga hanya sinar senjata
itu saja yang kelihatan! Sungguh hebat serangan yang dikeluarkan Tjokorda Gde
Anjer ini. Itu adalah jurus serangan yang bernama "menusuk bukit membabat
puncak gunung". Dengan mengeluarkan jurus itu dia berharap akan membuat si
pemuda kepepet demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua
yang mematikan!
Nyoman
Dwipa meskipun muda belia dan belum punya pengalaman apa-apa dalam dunia
persilatan tapi dia adalah murid gemblengan Menak Putuwengi.
Serangan
dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak membuatnya jadi gugup apalagi kepepet! Dengan
membuat langkah mengelak ke samping dia berhasil membuat serangan lawan
mengenai tempat kosong.
Dan di
saat itu pula dengan kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas menyerang.
Tongkat bambu kuningnya bersiuran dafr tahu-tahu ujungnya menusuk ke perut
lawan.
Tjokorda
Gde Anjer terkejut bukan main hingga dia terpaksa membatalkan serangan
susulannya yang sudah direncanakan tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya
menyapukan kerisnya ke muka dengan sebat sengaja memapas jalannya senjata lawan
dengan maksud memotongnya jadi dua!
Nyoman
Dwipa tidak ragu-ragu untuk meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga sesaat
kemudian bambu dan keris itupun saling bentrokanlah!
Tangan
kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup
membabat buntung bambu kuning itu tapi senjatanya sendiri hampir terlepas
mental karena licinnya bambu dan kerasnya bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde
Anjer memercikkan keringat dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang
menjadi lawannya memiliki tenaga dalam yang ampuh dan tidak dinyananya senjata
lawan yang cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya sebuah senjata yang tak bisa
dibuat main!
Menyadari
semua itu Tjokorda Gde Anjer tanpa menunggu lebih lama segera mengeluarkan ilmu
silat simpanannya yang terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di udara, tubuhnya
lenyap merupakan bayang-bayang. Di lain pihak dengan mengertakkan geraham
Nyoman Dwipa mempercepat pula gerakannya. Dalam tempo yang singkat belasan
jurus telah berlalu. Sinar bamboo kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar
itu semakin rapat mengurung tubuh Tjokorda Gde Anjer.
Pada
jurus keduapuluh lima Nyoman Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin dan
merasa tak ada gunanya lagi dia bertempur lebih lama dengan lawannya itu.
Diiringi oleh satu hentakan yang menggeledek dan menyirapkan darah Tjokorda Gde
Anjer, bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran
lalu laksana kilat menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer!
Tjokorda
Gde Anjer terpekik! Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang kedua
tangannya memegangi perutnya yang robek besar dan memancurkan darah. Sekali
lagi bangsawan ini menjerit lalu tubuhnya tergelimpang roboh di tanah, ususnya
menggelegak membusai keluar!
Di saat
itu pula diambang pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda
Gde Anjer. Perempuan ini menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya yang saat
itu megap-megap menuju sakarat! Pemandangan itu benar-benar menyayat hati.
Namun semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan hiduplah yang
menghendakinya!
******************
16
KEMANA
kita sekarang?" Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari
gedung kediaman Tjokorda Gde Anjer.
"Ke
Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu
dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu hingga
sesuatu perasaan aneh menyamak di hati Nyoman. Karena di situ ada Pendekar 212
Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman lantas menarik lengannya.
"Ada
apa?" tanya Nyoman Dwipa pula.
"Sebaiknya
kita jangan pergi kesana, Nyoman…"
"Memangnya
kenapa? Justru musuh besarku berada di sana!"
"Aku
mengerti. Kita tunggu saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru membuat
perhitungan. Pergi ke sana besar bahayanya!"
Nyoman
tertawa.
"Aku
memang pemah mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng.
"Di situ tempar berhimpunnya tokohtokoh silat kawakan di seluruh Bali.
Jika Tjokorda Gde Djantra berada di situ pasti di sana terdapat pula beberapa
tokoh silat temama lainnya . . ."
"Aku
tidak takut masuk ke sana!" kata Nyoman.
"Memang,
hitung-hitung untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling pada
Luh Bayan Sarti.
"Aku
cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman sebelum dia
sempat membalaskan sakit hatinya terhadap Tjokorda Gde Djantra …. "
Wiro
tersenyum kecil. "Sepatutnya kau mengawatirkan keselamatannya,
Sarti!" kata Pendekar ini sehingga baik Nyoman maupun gadis itu menjadi
sama-sama kemerahan paras mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi akhirnya ketiga
orang itupun meianjutkan perjalanan. Gedung Putih adalah sebuah gedung besar
yang terletak di luar kota sebelah tenggara. Seperti yang diketahui oleh Wiro
Sableng, memang gedung itu manjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama
bahkan juga menjadi tempat menguji kepandaian serta tempat memberikan latihan
ilmu silat tingkat tinggi kepada orang-orang yang menjadi anggota Gedung Putih.
Salah
seorang di antaranya adalah Tjokorda Gde Djantra. Meskipun pemuda ini sudah
tinggi ilmu silatnya tapi dari beberapa tokoh silat lainnya dia masih
memerlukan untuk menambah pelajaran silatnya hingga dibandingkan dengan waktu
lima bulan yang lalu kepandaian pemuda ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak
satu minggu Tjokorda Gde Djantra berada di Gedung Putih menerima
latihan-latihan dari beberapa tokoh silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta
kawan-kawannya menuju.
Sesungguhnya
keterangan Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada di Gedung
Putih adalah mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan
keyakinan bahwa kelak Nyoman Dwipa betul-betul akan pergi ke sana. Dan pergi ke
sana berarti sama saja masuk ke dalam perangkap karena di Gedung Putih banyak
sekali tokohtokoh silat klas satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat
dipastikan bahwa Nyoman Dwipa akan menemui kematiannya kalau berani masuk ke
Gedung Putih! Di satu pendataran tinggi ketiganya berhenti.
Luh Bayan
Sarti menunjuk ke bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan besar yang
keseluruhannya berwarna putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar matahari.
"Itulah
Gedung Putih" kata gadis itu.
Nyoman
memandang dengan mata disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya,
"makin cepat kita sampai di sana makin baik!"
Dengan
mempergunakan ilmu lari cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi menuju ke
Gedung Putih. Kira-kira setengah peminuman teh merekapun sampai di hadapan
gedung besar itu. Dua orang laki-laki yang berdiri di ambang pintu gedung yang
tertutup menyambut kedatangan mereka. Salah seorang di antaranya setelah
melirik dulu pada Luh Bayan Sarti bertanya dengan nada keren.
"Siapa
kalian dan maksudapa datang ke mari?!"
Nyoman
Dwipa yang sudah berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro Sableng
yang berotak cerdik cepat mendahului.
"Kami
bertiga mencari sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra."
Karena di
antara mereka terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua orang
penjaga pintu tidak menjadi curiga malah kini menunjukkan sikap hormat.
Nyatalah bahwa Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih itu.
"Sahabat
yang kau cari memang berada di dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai nanti
siang atau kembali saja nanti siang jika ingin bertemu dengan dia…."
"Agaknya
ada pertemuan penting di dalam gedung?" tanya Wiro.
"Betul.
Di dalam tengah diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan Tjokorda
Gde Djantra adalah Ketua Panitia Pemilihan. Pemilihan baru selesai siang nanti,
jadi kalian bertiga kembali saja nanti siang kalau sekiranya tak bersedia
menunggu di sini."
"Karena
kami datang dari jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng
seraya menggaruk-garuk kepala dan memandang berkeliling pura-pura mencari
tempat duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali bergerak saja Wiro
berhasil menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua orang itu
kemudian dilemparkan ke balik sebuah gundukan tanah yang terdapat tak jauh dari
pintu depan tersebut.
Dengan
mudah pintu besar dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh Bayan
Sarti dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus
berperabotan mewah tapi di situ sunyi senyap tak seorangpun yang kelihatan. Di
ujung ruangan membentang sebuah tirai biru. Ketiganya melangkah tanpa suara ke
dekat tirai ini dan Nyoman menyibakkan ujung tirai sedikit, memandang ke
ruangan di balik sana. Dilihatnya sebuah tangga batu mar-mar yang menuju ke
sebuah pintu kayu jati yang berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu
berdiri dua orang laki-laki berpakaian putih, bersenjatakan masing-masing
sebilah pedang. Di samping mereka terdapat sebuah gong besar yang terbuat dari
perunggu. Sebuah pemukul tergantung di samping gong.
Wiro
tengah memikirkan satu akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia
mempunyai pikiran bahwa gong yang terletak di samping keduanya adalah gong
tanda bahaya. Namun sebelum dapat akal, Nyoman sudah menyibakkan tirai dan
melangkah cepat ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan Sarti
cepat-cepat mengikuti.
"Hai
siapa kalian?!" seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya
cepat bergerak ke hulu pedang.
"Jangan
bertindak ceroboh Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab
pertanyaannya!
Wiro
lantas maju ke hadapan kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu berkata,
"Dua orang kawanmu di luar sana telah mengizinkan kami untuk masuk ke
dalam menemui Tjokorda Gde Djantra!"
"Tak
mungkin!" kata penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih
telah diberi tahu untuk tidak memberi izin masuk siapapun …" lalu dia
melangkah mendekati gong perunggu.
"Teman-temanmu
juga bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang
membawa gadis ini mereka telah memberi izin."
"Siapa
gadis ini?!"
"Kekasih
Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian tidak
memberi izin menemuinya kelak kalian berdua akan kena damprat dari Tjokorda Gde
Djantra . . . "
Kedua
penjaga itu saling pandang seakan-akan meminta persetujuan masing-masing apakah
memberi izin masuk terhadap ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro
Sableng untuk melompat ke muka dan menotok urat besar di dada kedua penjaga
tersebut hingga mereka berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku
tegang di tempatnya masingmasing! Di ruangan di balik pintu kayu jati …
Dua puluh
orang tokoh-tokoh silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah meja besar. Di
ujung meja berdiri seorang pemuda yang bukan lain Tjokorda Gde Djantra adanya.
Di hadapannya terdapat sebuah kotak kayu yang beriobang bagian atasnya. Ke
dalam kotak itulah nanti akan dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan nama
calon. Ketua Gedung Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru saja
hendak membuka suara ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar terbuka dan
tiga sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur paras Nyornan
Dwipa yang segera dikenalnya, terkaejutlah dia!
Kemunculan
ketiga orang itu tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi semua
orang yang ada di ruangan pemilihan tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar
berani-beranian mengizinkan mereka masuk? Atau mungkin ketiga orang ini telah
mempreteli penjaga-penjaga Gedung Putih?! Dan melihat kepada gerak-gerik
ketiganya nyatalah bahwa mereka orangorang dari dunia persilatan!
"Para
hadirin yang ada di sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu
acara di sini… "
"Kunyuk-kunyuk
kotor! Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!"
membentak seorang kakek-kakek berjubah putih bernama Prakata Gandara, Dia
adalah ketua Gedung Putih yang segera akan meletakkan jabatannya bila calon
Ketua baru terpilih.
Wiro
berpaling dan menjura pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum seenaknya.
"Orang
tua, kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada urusan buruk
dengan kau orang tua maupun dengan yang lain-lainnya, kecuali kawanku ini
mempunyai silang sengketa dendam kesumat dengan seorang pemuda bemama Tjokorda
Gde Djantra yang katanya berada di sini!"
Semua
mata memandang pada Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde Djantra yang
saat itu berdiri tak bergerak di ujung meja besar seraya matanya memandang
bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan penuh tanda tanya Bukankah dulu dia telah
bertempur melawan pemuda ini dan telah mengirim Nyoman Dwipa ke dasar jurang?!
Tapi kenapa sekarang hidup lagi dan datang bersama dua orang tak dikenal
lainnya?! Benar-benar dia tak mengerti dan tak bisa percaya!.
Sementara
itu Luh Bayan Sarti yang memandang berkeliling telah melihat pula Ki Sawer
Balangnipa diantara para hadirin sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia
segera menyambungi, "Aku sendiri juga mempunyai seorang musuh besar pula
diantara para hadirin! Itu … manusia yang punya tampang macam ular!"
Merahlah
paras Ki Sawer Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya dan
membentak, "Gadis! Kau mencari mati berani masuk ke sini bersama
kawan-kawanmu!"
Prakata
Gandara berdiri dari kursinya dan berpaling pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah
dendam kesumat apa yang kau pendam terhadap salah seorang anggota Gedung
Putih!"
"Aku
tidak mendendam dia sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia
busuk yang bemama Tjokorda Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula.
"Baik,
katakan urusanmu hingga kami di sini bisa memutuskan langkah selanjutnya!"
ujar Prakata Gandara.
"Dia
telah menculik calon istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu akhirnya
mati bunuh diri secara penasaran!" jawab Nyoman Dwipa tanpa tedeng
aling-aling.
"Betul?!"
tanya Prakata Gandara pada Tjokorda Gde Djantra.
"Ketua,
aku menculik anak gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk mengawininya.
Dan cara itu sudah menjadi adat kebiasaan di Pulau Bali ini!" sahut
Tjokorda Gde Djantra.
"Lidahmu
tidak bertulang pemuda busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau kau
bemiat baik terhadap gadis itu setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau
tinggalkan busuk di tepi telaga? Dan kau juga punya hutang jiwa yang belum
terselesaikan terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman Dwipa.
"Dan
kau gadis cantik, apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani
datang ke sini dan menghinanya di depan mata hidung kami?!"
"Menghina
ular tua itu bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang
benar-benar berjiwa satria dan berhati polos! Aku datang menginginkan jiwanya
karena beberapa hari yang lalu dia menculik dan hendak memperkosaku!"
Ki Sawer
Balangnipa berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat sebelum
Prakata Gandara menanyainya:
"Ketua,
pertama sekali ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di sini
bahwa gadis berbaju hitam ini bukan lain Luh Bayan Sarti, adik kandung perampok
ganas yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit Jaratan! Puluhan manusia tak
berdosa telah mati di tangan rampok perempuan ini serta kakaknya. Tak terhingga
banyaknya harta kekayaan Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa sebaiknya kita cepat-cepat
membekuknya dan menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan saja berarti kita membuati
pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk batang leher
kakaknya!"
"Soal
mencari pahala untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam
kesumat itu selesai Ki Sawer!"
kata Wiro
Sableng mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya rapat-rapat
penuh geram. Dia sudah tahu kelihayan Pendekar kita, karenanya dia saat itu
hanya mengutuk dalam hati habis-habisan.
Prakata
Gandara berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda rambut
gondrong? Apakah juga punya urusan dendam kesumat dengan salah seorang di
sini?!"
"Ah,
aku orang buruk ini cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro
Sableng.
"Kalau
kau cuma kacung pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata Gandara.
Disemprot begitu Wiro Sableng ganda tertawa dan keluarkan suara bersiulan!
Kejut Ketua Gedung Putih dan semua orang di situ bukan main karena suara siulan
Wiro Sableng yang cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan liang telinga
mereka! Maklumlah semua orang kalau pemuda berambut gondrong bertampang tolol
itu memiliki ilmu tinggi.
Prakata
Gandara membuka mulut kembali. "Karena nyatanya memang ada anggota-anggota
Gedung Putih yang membuat sedikit kesalahan di luaran maka biarlah aku dan para
toa Gedung Putih yang akan menjatuhkan hukuman setimpal atas diri mereka!"
Nyoman
tersenyum mendengar ucapan cerdik orang tua itu. "Terima kasih Ketua
Gedung Putih yang mau turun tangan terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami
ke sini bukan untuk memintamu untuk berbuat begitu, melainkan untuk turun
tangan sendiri."
"Baiklah
jika memang demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan kanannya
diangkat ke arah sebuah tirai merah di ujung ruangan. Jarak antara tirai dan
tempatnya berdiri sekira dua puluh langkah tapi hebatnya dengan kekuatan tenaga
dalamnya Prakata Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut hingga di seberang
sana kelihatanlah sebuah panggung datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang
seraya tersenyum pada Nyoman Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap
menunggu. Tapi terus terang saja sebagai orang-orang Gedung Putih, semua kami
di sini tentu tak akan berlepas tangan saja …"
"Kalau
begitu naga-naganya," menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala,
"sebagai kacung yang buruk tentu aku tidak pula bisa berpangku
tangan!" Habis berkata begitu Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke
arena. Dan mengikuti tindakan pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata
mereka. Betapakan tidak! Setiap langkah yang dibuat Wiro, setiap kakinya
menginjak batu mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman
dalam bentuk telapak-telapak kakinya!
Wiro
Sableng sampai di atas arena batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman Dwipa
sudah berada pula di sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi tercekat
juga hatinya. Pemuda gondrong bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi bukan
main, apalagi yang bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di
antara ketiga manusia yang berdiri di arena itu justru Wiro Sablenglah yang
paling berbahaya!
"Bangsat
yang bernama Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui
ayahmu lebih cepat!" seru Nyoman Dwipa.
Terkejutlah
Tjokorda Gde Djantra mendengar ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau
perbuat terhadap ayahku?!" teriaknya.
"Bapak
moyangmu itu bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa orang
kawannya! Aku telah mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa bapakmu,
mengerti?!"
"Anjing
kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra dan melompat ke atas arena. Selarik
sinar kuning menderu ke arah Nyoman Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang
ber-eluk tujuh belas di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di saat yang hampir
bersamaan, selarik sinar kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran
tongkat bambu kuning milik Nyoman Dwipa.
Tjokorda
Gde Djantra terkejut dan tak menduga bahwa lawannya telah mengalami kemajuan
tinggi. Sinar kuning senjata memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir saja
ujung bambu kuning itu menghantam pergelangan tangannya! Segera Gde Djantra
mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja
selaksa angin. Dengan pukulan itulah dia tempo hari telah melemparkan Nyoman
Dwipa ke dalam jurang!
Nyoman
Dwipa yang pernah di serang oleh pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia
sewaktu dilihatnya lawan menarik tangan kiri ke belakang.
Pada saat
Gde Djantra memukul ke depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan hantaman
tangan kiri. Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat
selarik sinar putih. Itulah pukulan "selendang dewa melanglang bumi"
yang dipe!ajarinya dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti ini
memusnahkan pukulan "raja selaksa angin" tapi sinar putih terus
meluncur dan melibat ke arah batang leher Tjokorda Gde Djantra! Yang diserang
kaget bukan main dan cepat membuang diri ke samping, justu saat itu tongkat
bambu kuning Nyoman Dwipa datang menderu ke arah kepalanya! Dalam saat yang
kritis ini satu sambaran angin datang dari samping hingga tongkat Nyoman Dwipa
melenting ke kiri dan selamatlah kepala Tjokorda Gde Djantra!
Berbarengan
dengan itu terdengar bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau
main kayu mari hadapi aku!"
Prakata
Gandara menggeram. Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan
menyelamatkan nyawa Tjokorda Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro
marahlah dia dan dengan gerakan amat enteng melompat ke atas arena. Begitu
sampai di atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung lengan jubah putihnya.
Ujung lengan jubah ini sengaja dibuat amat lebar dan merupakan senjata ampuh
bagi Ketua Gedung Putih itu. Sambaran ujung lengan keras sekali dan mengarah
jalan darah di dada Wiro Sableng. Sambil tertawa mengejek pendekar 212 berkelit
ke sarang dan dalam gerakan yang tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong ke
muka! Kalau saja Prakata Gandara tidak lekas-lekas menarik tangannya pastilah
ujung lengan jubahnya kena direnggut robek olen Wiro! Disamping geram orang tua
itu juga kaget sekali. Serangannya tadi bukan serangan sembarangan. Angin
kebutan lengan jubah saja sanggup memukul bobol tembok batu, tapi lavwannya
yang bertampang tolol itu bisa mengelak bahkan balas menyerang. Tak ayal lagi
Ketua Gedung Putih ini segera mencabut senjatanya yang teramat aneh yaitu
sebuah lonceng perak!
Begitu
lonceng tersebut berada di tangannya maka menggemalah suara berkelenengan yang
memekakkan dan menyakitkan telinga. Lonceng itu sendiri yang lingkaran luarnya
tajam luar biasa, berkeltbat kian kemari menggempur Wiro Sableng dari delapan jurus!
Menghadapi suara lonceng yang klanang-kleneng itu Wiro merasa bagaimana satu
kekuatan yang tak kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak leluasa.
Permainan silatnya menjadi kacau sedang te!inganya tambah sakit! Di situ;ah
kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera tutup
jalan pendengarannya. Tapi anehnya suara klanang-kleneng lonceng perak tersebut
semakin keras!
"Sialan!"
maki Wiro. Dari tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat semua orang
yang ada di situ merasakan dada, masing-masing berdebar. Begitu bentakan
berakhir tubuh Wiro lenyap dan kini terdengarlah suara siulan yang amat tajam
membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan dan
gema lonceng berkecamuk hebat! Namun lambat laun kentara bagaimana suara
klanang-kleneng lonceng perak di tangan Prakata Gandara menjadi sirna di telan
suara siulan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bagian
yang lain pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra berkecamuk
dengan hebatnya. Murid Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling keluarkan
kepandaian untuk dapat merobohkan lawan masing-masing. Saat itu pertempuran
telah berlangsung hampir lima puluh jurus. Sebenarnya nyali Tjokorda Gde
Djantra telah menciut sewaktu melihat bagaimana pukulan "raja selaksa
angin" tidak sanggup merobohkan lawannya padahal di samping permainan
silatnya yang tinggi, pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat diandalkan!
Nyalinya tambah meleleh sewaktu jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat
tekanan-tekanan serangan yang hebat dari lawannya. Karena menang pengalamanlah
dia masih bisa bertahan sampai jurus yang kelima puluh!
Pada
jurus kelima puluh dua, Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat
"raja tongkat empat penjuru angin" yang paling hebat hingga Tjokorda
Gde Djantra semakin kepepet dan musti bertahan mati-matian!
Pertempuran
antara Wiro dan Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua Gedung Putih,
Prataka Gandara merasa telah luntur namanya karena sebegitu jauh jangankan
sanggup untuk merobohkan lawannya, bahkan dirinya sendiri mulai sibuk
menghadapi serangan lawannya yang sampai saat itu masih bertangan kosong!
Tiba-tiba
terdenyar seruan Ki Sawer Balangnipa.
"Saudara-saudara
sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita berpangku tangan
saja?! Mari berebut pahala melenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Mendengar
seruan itu, semua orang yang ada di situ segera cabut senjata dan laksana air
bah menyerbu ke atas arena! Sebenarnya jika bukan dalam keadaan terdesak tentu
saja Prataka Gandara tidak sudi main keroyok begitu rupa. Tapi karena maklum
dalam sepuluh jurus di muka belum tentu dia bisa bertahan maka serbuan
orang-orang itu malah menggembirakannya!
"Bangsat
rendah, berani main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti.
Pedangnya menderu ke arah Ki Sawer Balangnipa.
"Bergundal
perempuan! Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah lapang
luas!" bentak Ki Sawer Balangnipa. Di tangan kirinya kini tergenggam
sebuah ular kering yang rupanya baru saja dibuatnya. Betapapun hebatnya dan
besarnya keberanian gadis itu namun tentu saja Ki Sawer Balangnipa bukan
lawannya. Apalagi beberapa orang anggota Gedung Putih yang berkepandaian tinggi
ikut pula membantu manusia bermuka Ular itu!
Wiro
Sableng tidak mengira kalau lawan betul-betul mau main keroyok! Ketika
didengarnya komando Ki Sawer Balangnipa dan dilihatnya semua orang yang ada di
situ menyerbu ke atas arena, menggelegaklah amarah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Tangan kanannya bergerak kepinggang. Sesaat kemudian terdengarlah suara
menggaung macam ribuan tawon mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan
melompat mundur. Yang satu tangannya terbabat buntung, seorang lagi memegangi
dadarya yang mandi darah! Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak
Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian
keduanya roboh di lantai arena tanpa nyawa lagi!
Kejut
Prataka Gandara dan semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang yang
menemui kematian itu adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun dalam
satu kali gebrakan saja senjata lawan telah membuat mereka meregang nyawa!
"Kurung
yang rapat!" teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng
peraknya.
"Trang!"
Ketua
Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya berlumuran
darah! Gemparlah semua orang! Celaka pikir mereka. Kalau Ketua mereka bisa
mendapat cidera begitu rupa adalah gila untuk meneruskan pertempuran. Tapi
untuk mengundurkan diri tentu saja mereka tidak berani.
Prataka
Gandara keluar dari kalangan pertempuran dan berdiri di sudut arena sambil
mengerahkan tenaga dalamnya. Dia telah menelan dua butir pil namun hawa panas,
yang mengalir dari luka di tangan kanannya tak kuasa dibendungnya. Akhirnya
sebelum hawa maut itu mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan tangan
kirinya untuk membetot seluruh lengan kanannya.
"Krak"!
Tanggallah
lengan kanan Ketua Gedung Putih itu.
Di atas
arena Wiro Sableng mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus bergerak cepat
untuk dapat melindungi kedua kawannya terutama Luh Bayan Sarti dari keroyokan
orang-orang itu. Dalam tempo singkat tokoh-tokoh Gedung Putih roboh satu demi
satu menemui kematiannya dalam keadaan yang mengerikan. Melihat korban pihaknya
yang semakin lama semakin banyak jatuh sedang dia sendiri tak bisa berbuat
apa-apa, Prataka Gandara memberi isyarat. Mereka yang melihat isyarat ini
segera mengikutinya lari meninggalkan ruangan itu!
"Siapa
yang mau lari silahkan!" seru Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama
Tjokorda Gde Djantra dan Ki Sawer Balangnipa!". Habis berseru begitu
pendekar ini melompat ke ambang pintu dan menghadang hingga tak seorangpun yang
berani mendekati pintu itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda
Gde Diantra sudah terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki Sawer
Balangnipa sudah melompat dan kalangan tempuran dan berdiri di belakang Ketua
Gedung tih yang luka parah dengan muka pucat pasi.
Tiba-tiba
terdengar jeritan Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata ditujukan ke atas
sana. Kelihatan bagaimana Tjokorda Gde Djantra memegangi kepalanya dengan tubuh
terhuyung-huyung. Darah mengucur dari keningnya yang pecah dihantam ujung
tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu macam orang kemasukan setan lari
sana lari sini hingga akhirnya kedua kakinya menekuk dan tubuhnya roboh ke
lantai, masih berkutik-kutik beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi tanda
nyawanya lepas sudah!
Suasana
di ruangan itu sesunyi dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga Wiro, Luh
Bayan Sarti dan Nyoman sendiri diam-diam merasa ngeri melihat detik-detik
kematian Tjokorda Gde Djantra tadi!
Tiba-tiba
Ki Sawer Balangnipa berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro
Sableng seraya menangis tersedusedu.
"Pendekar
gagah! Aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki
bertampang ular itu.
"Soal
ampun jangan minta padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa
lalu dia berpaling pada Prataka Gandara dan delapan orang tokoh Gedung Putih
lainnya yang masih hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan kuharap
berlalu dari sinil".
Meski
marah dan penasarannya bukan main, namun Ketua Gedung Putih saat itu
benar-benar mati kutu. Tanpa banyak bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan
ruangan itu.
Sesudah
semua orang pergi Ki Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis di
hadapan Wiro.
"Manusia
banci! Bangun! Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng.
Ki Sawer
Balangnipa bangun perlahan-lahan tapi masih menangis dan berkali-kali mohon
ampun pada Wiro dan Luh Bayan Sarti, juga pada Nyoman.
Luh Bayan
Sarti tiba-tiba maju dan berkata, "Manusia macammu tak layak hidup lebih
lama. Tak ada gunanya kau meratap minta ampun!"
Ki Sawer
Balangnipa menggerung lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan Sarti,
hingga lemah juga hati gadis ini pada akhirnya.
"Kuampuni
jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa
kau benarbenar tidak akan berbuat kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh Bayan
Sarti bergerak kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki Sawer Balangnipa
hingga manusia itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer Balangnipa
menjerit kesakitan dan terhampar di lantai.
"Sekarang
kau pergilah sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.
Ki Sawer
Balangnipa berdiri -dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan itu dengan
langkah huyung serta mulut tiada henti mengelurkan rintihan kesakitan!
***
Di puncak
pedataran tinggi itu Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman
Dwipa dan Luh Bayan Sarti.
"Sahabat-sahabatku,
aku tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja."
Tentu
saja ini tidak di sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke
manakah, Wiro?" tanya Nyoman Dwipa.
"Aku
masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . "
"Tapi
sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti.
Wiro
tertawa dan berkata pada Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti
kekasihmu yang hilang itu, Nyoman."
"Eh,
apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh
Bayan Sarti memandang ke jurusan lain.
Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti kekasihmu
yang hilang dulu, Nyoman. Apakah kau masih belum mengerti atau pura-pura tidak
mengerti?! Nah, selamat tinggal sahabat-sahabatku . . . "
Nyoman
Dwipa hendak mengatakan sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat
dan tahu-tahu sudah berada dua puluh tombak di lereng pedataran.
Nyoman
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sahabat baik seperti dia sukar dicari.
Bahkan mengucapkan terima kasihpun aku sampai lupa!"
Luh Bayan
Sarti menarik nafas dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah
apa jadi diriku sekarang ini . . . "
Dari
puncak pedataran itu keduanya memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari cepat
ke arah utara, makin lama makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan.
Nyoman memutar kepalanya pada saat mana Luh Bayan Sarti berpaling pula
kepadanya. Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan seulas senyum sama-sama
muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa menyadari kini betulnya ucapan Wiro
Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti kekasihnya yang hilang itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment