Kutukan
Empu Bharata
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
SEJAK
dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya
telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana
kelihatan mendung sekali.Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti
biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan
pagi yang tiada bercahaya itu. Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki
tua yang mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya.
Janggutnya yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi.
Orang tua ini menengadah memandang kelangit.
"Mendung
sekali pagi ini…" katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih
berdiri di depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil
seseorang.
"Untung!
Kau kemarilah . . . "
Meski
umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang
tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda
sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan
sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap
penuh otot-otot.
"Empu
memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya.
Si orang
tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko
Jagat yang kubikin sudah hampir siap …" berkata orang tua itu, "cuma
ada beberapa bagian yang harus di pertajam. Pergilah cari kayu-kayu kering
untuk api penempa. Aku kawatir kalau hujan turun kau tak bisa mencari kayu-kayu
kering. . . "
"Persediaan
kayu yang kukumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung
Pararean.
"Ya,
sudah habis. Nah kau pergilah dan cepat kembali."
Untung
Pararean segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali
dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu kanannya.
"Bawa
terus kedalam Untung, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko
Jagat dari dalam lemari."
"Baik
Empu", sahut Untung Pararean.
Sementara
pemuda itu menyalakan api, Empu Bharata mengisi sebuah mangkok tanah dengan air
bening lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala
disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi dengan setanggi dan kemenyan
sehingga suasana di dalam teratak tua itu harum semerbak baunya.
"Kalau
Mustiko Jagat sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk
memberikan sumbangan pada Kerajaan…"
"Aku
tak mengerti maksud kata-kata Empu," kata Untung Pararean pula sambil
menyeka butirbutir keringat yang terbit dikulit keningnya akibat panasnya
perapian.
Orang tua
itu mengelus janggutnya yang panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar. "Mustiko
Jagat adalah sebilah keris sakti, Untung. Tujuh tahun aku menempanya bukanlah
satu masa yang singkat. Seorang yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat
apapun, jika memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan aneh
tapi sakti hingga ia menjadi seorang jago yang sukar untuk dikalahkan.
Disamping itu, Mustiko Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa menjadi obat
segala macam racun jahat. Dan senjata sakti itulah yang bakal kuserahkan pada
Sri Baginda untuk mempertahankan Kerajaan dari segala macam bahaya dan
malapetaka. Dan kau Untung … kaulah nanti yang akan kuutus untuk menyampaikan
Mustiko Jagat ke istana."
"Jadi
senjata yang bertahun-tahun Empu buat ini hendak diserahkan pada
Kerajaan?" tanya Untung Pararean heran.
"Ya."
"Aku
kira tadinya untuk Empu pakai sendiri." Empu Bharata tertawa pelahan.
"Aku
sudah tua, Untung. Sebentar lagi bakal mati. Dan kalau aku mati tak satupun
yang akan kubawa ke liang kubur, Disamping itu apakah sumbangan dan balas
jasaku kepada tanah air dan Kerajaan? Keris sakti itu berguna bagi Kerajaan dan
bagi anak-anak cucuku … termasuk kau."
Untung
Pararean berpikir sejenak. Lalu tanyanya, "Apakah Mustiko Jagat boleh
dipakai untuk membunuh, Empu… ?"
"Boleh!
Memang boleh! Tapi untuk membunuh manusia-manusia jahat. Tegasnya untuk
menumpas kejahatan dari muka bumi ini."
"Dan
kalau dipakai untuk membunuh orang baik-baik, bagaimana Empu?" tanya
Untung Pararean pula ingin tahu.
"Itu
berarti melakukan satu kejahatan besar. Yang melakukannya akan berdosa besar.
Dan setiap kejahatan sudah barang tentu ada pembalasannya," jawab Empu
Bharata. "Nah, sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam lemari."
"Baik
Empu." Untung lalu masuk kedalam sebuah kamar. Di kepala tempat tidur yang
terbuat dari jambu terletak satu lemari kayu jati. Ketika lemari dibuka, sinar
biru yang amat terang rnerambas keluar. Itulah sinar keris Mustiko Jagat yang
terletak diatas sehelai kain putih. Keris itu sengaja tidak dimasukkan ke dalam
sarungnya karena ada beberapa bagian yang masih belum diperhaluskan dan
dipertajam. Untung Pararean pernah mendengar dari Empu Bharata bahwa senjata
sakti apa saja sebelum selesai benar tak boleh dimasukkan kedalam sarungnya.
Apa sebabnya Untung Pararean pernah menanyakan pada orang tua itu, tapi Empu
Bharata tak mau menerangkannya.
Meskipun
sudah pernah beberapa kali disuruh oleh Empu Bharata untuk mengambil senjata
ini tapi saat itupun kedua tangan Untung Pararean menjadi bergetar sewaktu
mengangkat kain putih di mana keris Mustiko jagat terletak. Dirasakannya ada satu
hawa aneh mengalir dari keris sakti kelengannya. Dengan menanting senjata itu
di kedua tangannya Untung Pararean keluar dari Kamar.
Empu
Bharata dlihatnya sudah duduk dimuka perapian membelakanginya, tengah
mengatur-atur perkakas. Dalam melangkah mendekati orang tua itu tiba-tiba
selintas pikiran jahat muncul di benak pemuda ini. Selintas pikiran jahat itu
datangnya seperti satu bisikan melalui telinga Untung Pararean.
"Untung
Pararean, kenapa kau begitu buta hingga tak melihat kesempatan baik di depan matamu?
Bukankah sudah sejak lama terniat di hatimu hendak menjadi pendekar sakti
mandraguna, hendak memiliki keris Mustiko Jagat itu? Kau tunggu apa lagi? Kau
punya kesempatan untuk memiliki keris itu sekarang!"
"Tapi
Empu Bharata tentu akan marah," jawab kata hati Untung Pararean.
Dan suara
aneh jahat berbisik lagi ketelinga pemuda itu. "Tolol, sungguh kau pemuda
tolol! Kalau orang tua itu marah padamu, tusuk saja dia dengan Mustiko Jagat.
Bunuh! Dan kalau dia sudah mati, kau bisa memiliki keris itu dan kau akan jadi
pemuda sakti mandraguna, ditakuti di delapan penjuru angin. Disamping itu jika
namamu sudah dikenal kau akan mudah menduduki jabatan Perwira Bala tentara
Kerajaan! Perwira … ! Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi dan terhormat
itu? Ayolah! Bunuh orang tua tak berguna itu!"
"Kalau
aku membunuhnya berarti aku berbuat dosa," kata hati Untung Pararean,
"dan aku jadi orang jahat. Lalu kelak aku bakal menerima pembalasan!"
"Betul-betul
kau tolol orang muda! Jika keris itu sudah berada ditanganmu, jika kau sudah
menjadi seorang sakti mandraguna siapa yang sanggup dan berani turun tangan
terhadapmu? Kalau tidak kau bunuh si tua renta itu, kau bakal menjadi manusia
tak berharga, jadi hamba sahaja seumur-umurmu!"
Di diri
Untung Pararean saat itu seolah-olah terjadi perang tanding antara kejahatan
dan kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini berpijak dan bertahan diatas kebenaran
namun lama-lama, dalam detik-detik yang mencapai puncak ketegangan itu,
kebenaran yang ada dalam dirinya berhasil ditumbangkan oleh kejahatan yang
melanda hati dan jalan pikirannya!
Ketika
dia cuma tinggal dua langkah dari tubuh Empu Bharata yang duduk bersila
menghadapi alat-alatnya dan perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan
bahwa dia harus membunuh si orang tua! Digenggamnya hulu keris Mustiko Jagat
erat-erat. Sesaat kemudian senjata itu dihunjamkannya ke punggung kiri Empu
Bharata. Orang tua itu mengeluh tinggi, tubuhnya tersungkur di muka perapian,
darah cepat membanjiri punggung dan selempang kain putihnya, tapi dia belum
lagi menghembuskan nafas penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur
dimakan umur dan dijelang ajal itu memandang sayu tapi mengerikan pada Untung
Pararean yang berdiri, dengan keris Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan
kanannya.
"Pemuda
dajal …" desis Empu Bharata diantara nafasnya yang mulai menyengal.
"Apakah yang membuat kau sampai melakukan kejahatan terkutuk ini
terhadapku …?" Tenggorokan orang tua itu turun naik beberapa kali lalu.
"Aku tahu . . . aku ta … hu. Kau inginkan keris itu bukan?" Empu
Bharata menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki Mustiko Jagat, manusia
jahat. Tapi apa yang kau lakukan terhadapku kelak akan mendapat balasnya di
kemudian hari. Demi para Dewa di Swar … swargalo … ka … kelak kau bakal mati di
ujung Mustiko Jagat juga. Dan .,. se sebelum mati hidupmu kukutuk menderita
lahir ba . . . ba…"
Ujung
kata-kata yang diucapkan Empu Bharata lenyap oleh suara guntur yang menggelegar
dengan tiba-tiba. Di luar teratak kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan
sesaat kemudian hujan lebat turun membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaan dan
Kuasa ini turut menyaksikan dan menangisi kematian Empu Bharata. Untuk sesaat
lamanya Untung Pararean berdiri mematung dengan bulu kuduk merinding. Ketika
diperhatikannya paras Empu Bharata, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup
sedang dari mulutnya membuih darah kental akibat racun keris Mustiko Jagat yang
amat berbisa. Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Untung Pararean ke
dalam sarungnya. Karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus,
senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal diluar
kira-kira setengah senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung Pararean. Dia masuk
ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta barang-barangnya lalu dibawah hujan
lebat yang mencurah bumi pemuda itu berlari menuruni lereng timur Gunung
Slamet.
Seminggu
sesudah dibunuhnya Empu Bharata kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki,
Gunung Slamet. Demikian cepat larinya hingga hanya bayangan jubah putihnya saja
yang terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini telah mencapai teratak tua
tempat kediaman Empu Bharata. Begitu muncul disitu begitu orang ini berseru,
"Dimas Bharata, aku datang!" Suara seruannya yang keras menggetarkan
seantero tempat hanya disahuti oleh gema seruan itu sendiri. "Heran,
kenapa sepi-sepi saja."
membathin
orang ini. Tubuhnya bungkuk, badannya yang kurus kering macam tengkorak hidup
itu tertutup oleh sehelai jubah putih yang kotor dan bertambal-tambal. Mukanya
bopeng buruk sekali. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah kena air mengumbar
bau yang tidak sedap, ditambah lagi dengan bau jubahnya yang kotor.
"Dimas
Bharata, Untung Pararean, apa kalian tuli hingga tak mendengar
kedatanganku?!" seru si muka Bopeng. Dia melangkah besar-besar ke pintu
teratak yang terbuka lebar. Sampai diambang pintu mendadak sontak langkahnya
terhenti. Sepasang kakinya yang kurus kering itu laksana dipantek ke lantai
tanah. Tapi hanya sesaat. Sedetik kemudian dia sudah menghambur masuk dan
menjatuhkan diri disamping mayat Empu Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu
Bharata. Meski mayatnya sudah seminggu menggeletak namun masih tetap utuh dan
tidak busuk hingga kalau tidak memperhatikan bekuan darah yang terdapat
dipunggung dan di lantai, orang tua itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah
tidur nyenyak.
"Dimas
Bharata! Siapa yang melakukan ini? Siapa yang membunuhmu?!" teriak si muka
Bopeng. Namanya Gambir Seta.
Tapi
didunia persilatan dia lebih dikenal dengan nama gelaran yaitu Pengemis Sakti
Muka Bopeng, dan dia adalah kakak kandung Empu Bharata. Seperti orang gila
Pengemis Sakti Muka Bopeng terus juga berteriak-teriak menanyakan siapa yang
telah membunuh adiknya. Tapi siapakah yang akan memberikan jawaban?! Dengan
bercucuran air mata didukungnya mayat adiknya. Dia hendak meninggalkan teratak
itu tapi ia ingat sesuatu dan menghentikan langkan lalu memandang berkeliling
"Untung! Untung Pararean, dimana kau?!" serunya memanggil. Tak ada
jawaban. Dia berteriak lagi tetap saja tak ada yang menyahut karena memang
Untung Pararean sudah tidak ada di tempat itu lagi. Hati laki-laki ini menjadi
syak wasangka. Dia masuk ke dalam kamar yang diketahuinya sebagai kamar si
pemuda pembantu adiknya dan menggeledah. Tak satu potong pakaianpun ditemuinya
disitu.
Juga
dengan masih mendukung mayat adiknya, Pengemis Sakti Muka Bopeng kemudian masuk
ke kamar Empu Bharata. Dia tahu bahwa adiknya pernah membuat sebilah keris
sakti bernama Mustika Jagat. Tapi senjata itu tak ditemuinya dikamar, juyd
setelah diperiksa seluruh teratak, keris sakti itu tetap tak bersua.
"Bangsat!
Pasti pemuda itu yang membunuh adikku! Pasti dia juga yang mencuri dan
melarikan Mustiko Jagat!" Gerahamgeraham Pengemis Sakti Muka Bopeng
bergemeletakan. Dia tak dapat mengendalikan kelakar marahnya. Sambil
berteriak-teriak bahwa dia akan melakukan pembalasan, memecahkan kepala Untung
Pararean, orang tua ini mengamuk hebat, menendangi segala apa yang ada di dalam
teratak hingga bangunan itu hancur berpelantingan. Pengemis Sakti Muka Bopeng
masih belum puas. Pohon-pohon dan apa saja yang ada di sekitar tempat itu habis
ditendanginya. Ada kira-kira sepeminuman teh dia mengamuk kalap begitu rupa.
Sambil menangis dan kadang-kadang berteriak-teriak kemudian Pengemis Sakti Muka
Bopeng lari menuruni Gunung Slamet dengan membawa jenazah adiknya.
******************
2
KETIKA
dia sampai di kaki gunung hujan telah reda. Bajunya dan sekujur tubuhnya basah
kuyup. Sambil menggigil kedinginan dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki.
Sepanjang jalan perutnya menggereok minta diisi. Sejak pagi tadi memang dia
belum makan apa-apa sama sekali. Dia berharap dalam waktu yang singkat akan
dapat menemui sebuah desa atau kampung di mana dia bisa membeli makanan untuk
pengisi perutnya.
Belum
lagi lewat sepeminuman teh berlalu Untung Pararean menemui satu jalan yang
sangat becek akibat hujan. Pemuda ini mengikuti jalan itu ke sebelah tenggara.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki-kaki kuda. Ketika dia
berpaling dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam besar
meluncur cepat sekali di jalan yang becek itu, memancarkan lumpur dan air kotor
ke kiri kanan jalan. Pengemudi kereta tiada hentinya mencarnbuk punggung kedua
ekor kuda agar kereta bergerak lebih cepat. Di belakang kereta yang bagus dan
tertutup itu ada dua orang penunggang kuda berpakaian keprajuritan.
"Pemuda
gila!" kusir kereta tiba-tiba berteriak memaki Untung Pararean.
"Kalau tidak lekas menyingkir kuda-kudaku akan menerjangmu! Apakah kau
ingin tulang-tulangmu hancur berantakan?!"
Untung
Pararean merutuk dalam hati lalu menepi. Dan ketika kereta itu lewat
disampingnya, lumpur dan air kotor bermuncratan membasahi muka dan pakaiannya.
"Sialan!"
maki Untung Pararean.
Baru saja
dia habis memaki begitu satu tendangan mampir di bahunya, membuat dia
terpelanting dan jatuh duduk ditanah!
"Ha
. . . ha! Itu bagian untuk manusia kotor yang berani memaki prajurit
Kerajaan!" seru salah seorang prajurit yang mengawal kereta. Dialah yang
telah menendang Untung Pararean.
"Keparat!
Kelak kau bakal menerima pembalasan dariku!" teriak si pemuda seraya
bangun dan membersihkan pakaiannya.
Dengan
masih menggerutu Untung Pararean lalu melanjutkan perjalanan. Tapi baru saja
menindak beberapa langkah tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara sorak sorai di
jalan didepannya, disusul dengan suara ringkik kuda. Ketika dia memandang ke
depan dilihatnya kereta tadi berhenti di tengah jalan. Dari kiri kanan jalan
menyerbu kira-kira sepuluh orang berpakaian seragam hitam, bersenjatakan
golok-golok besar. Sebelum Untung Pararean sampai di tempat itu pertempuran
antara dua pengawal yang dibantu oleh kusir kereta melawan kesepuluh orang
berseragam pakaian hitam itu telah berlangsung! Tak salah lagi pastilah
orang-orang itu gerombolan rampok hutan Dadakan yang memang sering malang
melintang disekitar kaki Gunung Slamet.
Untung
Pararean menyelinap kebalik serumpun semak belukar lebat dan menyaksikan
jalannya pertempuran dari tempat ini. Kedua prajurit Kerajaan itu masing-masing
bersenjatakan sebilah pedang sedang kusir kereta sebilah keris panjang. Dari
gerakangerakan mereka nyatalah bahwa ketiganya memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi. Sampai sepuluh jurus mereka sanggup membendung serangan-serangan
sepuluh anggota rampok. Tapi walau bagaimanapun jumlah mereka terlalu sedikit
untuk menghadapi lawan yang tiga kali lipat lebih banyak hingga jurus-jurus
selanjutnya ketiga orang itupun terdesaklah.
"Prajurit-prajurit
Kerajaan yang sombong," kata Untung Pararean dalam hati, "sebentar
lagi kalian akan segera mampus!"
Terdengar
satu jeritan. Prajurit yang tadi menendang Untung Pararean roboh dengan satu
luka besar di dadanya!
"Rasakan!"
seringai Untung Pararean.
Tiba-tiba
dilihatnya pintu kereta terbuka dan satu suara perempuan mengumandang.
"Atas
nama Kerajaan hentikan pertempuan ini!"
Terkejutlah
para rampok yang mengeroyok. Untung Pararean sendiri tak kurang kagetnya. Di
dalarn kereta itu ternyata ada seorang dara berpakaian bagus, berkulit hitam
manis dan berwajah elok sekali! Kejut para rampok cuma sebentar. Beberapa orang
diantara mereka lantas saja menyerbu ke arah kereta!
Kalau
tadi Untung Pararean karena sakit hati terhadap prajurit-prajurit Kerajaan itu
tidak mau turun tangan memberikan bantuan, kini melihat gadis jelita yang
didalam kereta terancam keselamatannya, segera melompat keluar dari
persembunyiannya. Keris Mustiko Jagat tergenggam ditangan kanannya, memancarkan
sinar biru yang menggidikkan.
"Rampok-rampok
rendah! Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau mampus!" demikian
bentak Untung Pararean gagah laksana seorang pendekar digjaya meski dia sama
sekali tidak tahu satu jurus ilmu silatpun! Tapi dia percaya dengan kesaktian
keris Mustiko Jagat. Sewaktu keris ini dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa
aneh telah menyelimuti sekujur tubuhnya hingga tubuhnya terasa sangat enteng
sedang satu kekuatan yang luar biasa terpusat di kedua kaki dan kedua
tangannya!
"Kurang
ajar! Pemuda kesasar dari mana yang mau jadi jago!" teriak salah seorang
anggota rampok, lalu menerjang dan membabatkan golok besarnya ke kepala Untung
Pararean.
Seperti
telah diketahui Untung Pararean hanyalah seorang pemuda pembantu Empu Bharata yang
sama sekali tidak tahu seluk beluk ilmu silat, apalagi segala macam ilmu
kesaktian. Tapi berkat kesaktian yang luar biasa dari keris Mustiko Jagat, pada
saat golok perampok menderu ke kepalanya, secara aneh satu kekuatan gaib yang
ada pada keris sakti itu membimbing tangan Untung Pararean dan membuat satu
gerakan yang cepat sekali, menangkis dan keris Mustiko Jagat!
"Trang!!"
Bunga api
memercik.
Golok
besar ditangan siperampok patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru sinar
keris Mustiko Jagat menderu lalu terdengarlah pekik rampok yang goloknya patah
mental tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua tangannya memeganggi
dadanya yang tertusuk Mustiko Jagat Sesaat kemudian dia roboh ke tanah yang
becek tanpa nyawa dan sekujur kulit tubuhnya berwarna biru gelap akibat racun
yang amat hebat dari keris sakti Mustiko Jagat!
Melihat
munculnya seorang pemuda yang tak dikenal yang dalam satu gebrakan saja
berhasil merobohkan kawan mereka, rampok-rampok yang lainpun menjadi marah.
Niat untuk menyerbu kereta dibatalkan dan tujuh anggota rampok itu lantas
menyerbu Untung Pararean sementara yang dua lainnya masih menghadapi kusir
kereta dan prajurit Kerajaan. Mulanya hati Untung Pararean kecut juga melihat
datangnya serbuan itu. Tapi dengan penuh keyakinan dia menghadapinya. Tubuhnya
berkelebat ringan diantara deru senjata-senjata lawan. Sinar biru keris Mustiko
Jagat bergulunggulung dan dalam dua jurus saja enam perampok bergeletakan tanpa
nyawa lagi!
Tiga
orang yang masih hidup tentu saja tak punya nyali lagi. Tanpa tunggu lebih lama
ketiganya segera ambil langkah seribu dan lenyap dari tempat itu dalam sekejap
mata!
Kalau
tadi baik si pengemudi kereta maupun prajurit Kerajaan menganggap Untung
Pararean pemuda desa hina dina, tapi sesudah menyaksikan "kehebatan"
pemuda itu dan menghadapi kenyataan bahwa Untung Pararean telah menjadi
"tuan penolong"
mereka,
maka baik kusir kereta maupun prajurit Kerajaan cepat-cepat sama berlutut di
hadapan pemuda itu.
"Pendekar
gagah," berkata si prajurit, "kami mohon maafmu atas kelancangan kami
sebelumnya dan terima kasih atas pertolonganmu."
Seumur
hidupnya baru kali itu Untung Pararean dihormat dan disembah orang demikian
rupa. Cuping hidungnya kembang kempis. Di mulutnya tersungging seringai bangga
tapi juga mimik yang mengejek. Dan dalam hatinya pemuda ini berkata sinis.
"Siapa sudi menolong kalian. Aku turun tangan karena keselamatan gadis di
dalam kereta terancam. Demi dia, bukan demi kalian!"
"Sudah,
berdirilah!" kata Untung Pararean sesaat kemudian pada kedua orang yang
berlutut. Ketika dia memandang ke arah kereta, dara cantik di atas kendaraan
itu kelihatan turun, melangkah kehadapannya, mengangguk memberi hormat dan
tersenyum. Kikuk juga Untung Pararean menerima penghormatan dan senyum si
jelita itu.
"Saudara,
terima kasih atas pertolonganmu." berkata gadis itu.
"Ah
. . . pertolonganku tak ada artinya." jawab Untung Pararean merendah
setelah terlebih dulu balas menghormat.
"Kuharap
kau sudi ikut ke Ibukota untuk menerima balas jasa dari ayahku."
"Aku
menolong tidak mengharapkan balas apa-apa, saudari." jawab Untung
Pararean.
Bagaimanapun
si gadis memaksa tetap saja pemuda itu tidak mau ikut ke Ibukota. Tapi
seandainya Untung Pararean mengetahui bahwa si gadis adalah keponakan Sri
Baginda, niscaya dia tak akan menolak. Bukankah setelah membunuh Empu Bharata
pemuda ini memang bermaksud untuk mencari kedudukan di Kerajaan? Akhirnya
setelah mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya, gadis itu pun berlalu
bersama kusir serta pengawalnya. Pengawal yang mati digeletakkan di punggung
kuda, dibawa ke Ibukota. Dengan jalan kaki Untung Pararean meneruskan pula
perjalanannya. Sepanjang jalan apa yang barusan dialaminya seperti terbayang
kembali di depan matanya. Betapa mula-mula dia merasa ngeri diserang oleh
perampokperampok hutan Dadakan itu. Bagaimana kemudian dia menghadapi
perampok-perampok itu dengan keris Mustiko Jagat dan membunuh mereka satu demi
satu hingga akhirnya tiga orang perampok yang masih hidup lari pontang-panting!
Kemudian ingat pula dia sewaktu kusir kereta dan pengawal itu berlutut di
hadapannya, menyebutnya "Pendekar gagah!"
Lalu
sewaktu gadis jelita itu datang padanya, tersenyum dan mengucapkan terima
kasih!
Menjelang
tengah hari Untung Pararean sampai ke sebuah kampung. Sebenamya kurang pantas
disebut kampung karena selain besar dan ramai juga di situ pusat perhentian
lalu lintas perdagangan. Di situ terdapat pula sebuah rumah makan yang
merangkap rumah penginapan. Begitu memasuki kampung, Untung Pararean segera
menuju kesini. Dan di depan bangunan rumah makan itu dilihatnya kereta yang
ditumpangi gadis jelita yang telah ditolongnya sebelumnya. Baru saja Untung
Pararean sampai di pintu, dari dalam rumah makan seseorang datang
menyongsongnya. Ternyata orang itu adalah si pengawal kereta.
"Ah,
sungguh gembira dapat bertemu dengan kau di sini Pendekar," berkata
pengawal itu. Kemudian tanpa diminta dia menerangkan. "Kami terpaksa
berhenti dan menginap di sini. Seseorang menerangkan sungai banjir akibat hujan
besar yang turun tadi pagi. Diperkirakan baru besok air akan surut!."
Bertiga
dengan kusir kereta Untung Pararean kemudian duduk di salah satu bagian rumah
makan. Pengawal itu memesankan makanan yang enak-enak serta tuak harum
untuknya. Selagi menyantap hidangan itu pengawal menerangkan pula bahwa jenazah
kawannya telah disuruh kubur di tepi kampung. Kemudian dia bertanya.
"Sesungguhnya siapakah Pendekar ini dan berasal dari mana?"
"Aku
cuma orang gunung yang barusan saja turun dari Gunung Slamet," jawab
Untung Pararean.
"Oh,
pastilah Pendekar murid seorang pertapa sakti."
Untung
Pararean tak memberi jawaban. Diteguknya minumannya lalu memandang berkeliling
ganti bertanya.
"Dimana
gadis itu?"
"Maksud
Pendekar Den Ayu Sri Kemuning?" ujar si pengawal.
Kemudian
sang kusir kereta menyambungi. "Istirahat di kamarnya. Perjalanan jauh
sangat meletihkan Den Ayu."
"Saya
tidak mengerti," berkata pengawal kereta, "kenapa Pendekar tidak mau
menerima ajakan Den Ayu Sri Kemuning untuk ikut ke Ibukota. Itu suatu kerugian
besar, Pendekar."
"Kerugian
besar bagaimana?"
"Pendekar
tentu belum tahu siapa gadis itu sebenamya?"
"Aku
barusan saja turun gunung, mana tahu siapa dia?" ujar Untung Pararean
pula.
Pengawal
kereta itu tersenyum lalu didekatkannya mukanya pada si pemuda seraya berkata.
"Den
Ayu Sri Kemuning adalah keponakan Sri Baginda . . . "
Terbeliaklah
sepasang mata Untung Pararean. Mulutnya ternganga.
"Betul?!"
tanyanya ingin meyakinkan.
"Masakan
saya berani main-main sama Pendekar."
Dan
memang terasa sebagai satu kerugian besar bagi Untung Pararean sesudah dia tahu
siapa adanya gadis yang ditolongnya itu. Dengan ikut ke Ibukota bukankah lebih
mudah mendapat jalan untuk mencapai cita-cita yang diidamidamkannya selama ini
yaitu menjadi Perwira Kerajaan?!
Dengan
melihat paras si pemuda, pengawal kereta ini dapat membaca isi hati Untung
Pararean. Maka berkatalah dia,
"Sekarang
masih belum terlambat untuk merobah putusan Pendekar. Jika kau mau, nanti aku
akan menemui Den Ayu dan menerangkan bahwa kau bersedia ikut ke Ibukota."
Meskipun
hasratnya meluap-luap tapi Untung Pararean tak segera memberikan jawaban.
Diisinya tuak baru ke dalam gelas lalu diteguknya perlahan-lahan.
Justru
pada saat itulah di pintu rumah makan terdengar suara bentakan yang lantang
keras hingga bangunan itu bergetar!
"Bangsat
muda yang sedang meneguk tuak, lekas berlutut untuk menerima hukuman
mampus!"
******************
3
UNTUNG
PARAREAN meletakkan gelas tuaknya ke atas meja perlahan-lahan. Kepalanya
dipalingkan ke belakang. Dari tempat dia duduk dilihatnya seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar bercambang bawuk. Orang ini mengenakan pakaian hitam.
Tampangnya buas. Sepasang matanya yang besar dan merah menambah keseraman
parasnya. Di pinggangnya kiri kanan tergantung masing-masing sebilah golok yang
luar biasa besarnya! Di belakang manusia tinggi besar ini berdiri lima orang
lainnya, yang juga berseragam pakaian hitam dengan tampang-tampang yang tak
kalah seramnya dengan si tinggi besar yang tadi membentak itu. Kusir kereta dan
pengawal paras keduanya menjadi pucat seperti kertas sewaktu menyaksikan siapa
adanya orang-orang diambang pintu rumah makan. Pemilik rumah makan sendiri
menggigil sekujur tubuhnya.
"Celaka
… celaka! Pasti tempatku ini akan diobrak-abrik berantakan!" demikian
pemilik rumah makan mengeluh dalam hati.
"Bangsat
apa tidak dengar aku memerintah?!" si tinggi besar di ambang pintu
membentak kembali. Marah sekali dia karena sampai saat itu Untung Pararean
masih duduk di bangkunya.
"Siapa
mereka . . .?" tanya Untung Pararean berbisik pada kusir kereta.
"Yang
tinggi itu . . ." jawab kusir kereta juga berbisik dan gemetar,
"adalah Sepasang Golok Maut, pemimpin rampok hutan Dadakan!"
Mendengar
keterangan itu kini tahulah Untung Pararean bahwa pemimpin rampok itu sengaja
datang mencarinya untuk menuntut balas kematian anak-anak buahnya! Segera
tangan kanannya disiapkan di pinggang di mana Mustiko Jagat tersisip dibalik
pakaian. Kemudian dengan perlahan dan tenang Untung Pararean berdiri, memutar
tubuh lalu melangkah ke tengah ruangan. Sepuluh langkah dari ambang pintu
pemuda ini berhenti.
"Apakah
benar aku berhadapan dengan Sepasang Golok Maut, kepala rampok hutan Dadakan
yang ditakuti orang?" tanya Untung Pararean.
"Puah!
Nyalimu terlalu besar berani bicara keren terhadapku! Sepasang Gulok Maut
mengangkat tangan kanannya memberi tanda pada kelima orang anak buahnya, lalu
memerintah. "Cincang sampai lumat budak keparat itu! Juga dua monyet yang
dimeja sana!"
"Sreet
… sreet … sreet … sreet … Sreet"!
Lima buah
golok dicabut dari sarangnya dalam waktu yang bersamaan. Sesaat kemudian kelima
anak buah Sepasang Golok Maut sudah mengurung Untung Pararean. Kusir kereta dan
prajurit pengawal telah pula mencabut senjata masing-masing tapi sampai saat
itu masih tetap berada dekat meja tak berani maju ke kalangan pertempuran!
Rumah
makan itu seperti hendak runtuh oleh bentakan keras kelima anggota rampok!
Tubuh mereka berlesatan kemuka dan lima serangan maut menderu mencari sasaran
di kepala, leher, dada, perut dan pinggang Untung Pararean!
Pada saat
lima perampok hutan Dadakan membentak Untung Pararean telah mencabut keris Mustiko
Jagat. Begitu tangannya memegang hulu keris Mustiko Jagat, satu hawa dan
kekuatan aneh menyelubungi dirinya. Tubuhnya menjadi sangat enteng. Dan sebelum
lima buah golok datang menghajarnya, pemuda itu telah melompat ke atas!
Percaya
bahwa kelima anak buahya yang berilmu tinggi akan berhasil membereskan Untung
Pararean maka Sepasang Golok Maut kelihatan meninggalkan ambang pintu dan masuk
ke ruangan dalam rumah makan. Ini membuat Untung Pararean merasa heran.
Kemudian dia ingat sesuatu. Maka sambil melompat menyelamatkan diri tadi,
pemuda ini cepat berteriak pada kusir kereta dan prajurit pengawal.
"Lekas
ke kamar majikanmu! Bangsat itu pasti hendak melakukan sesuatu
terhadapnya!"
Kusir
kereta dan pengawal saling pandarig! Mereka tahu bahwa mereka sama-sama tidak
punya nyali untuk menghadapi kepala rampok yang berilmu tinggi itu. Untuk
beberapa lamanya keduanya masih tak beranjak dari dekat meja.
"Lekas!"
Teriak Untung Pararean. "Nanti aku akan bantu kalian!"
Mendengar
ini, meskipun dengan agak takuttakut, kedua orang itu baru masuk ke ruang dalam
dimana terletak ruangan penginapan. Bangunan penginapan bertingkat dua. Dan
kamar yang di tempati oleh Den Ayu Sri Kemuning terletak di tingkat atas.
Dengan menjambak rambut seorang pelayan, Sepasang Golok Maut berhasil
mengetahui yang mana kamar gadis itu. Dari anak-anak buahnya dia telah mendapat
keterangan tentang Untung Pararean dan juga tentang gadis cantik dalam kereta.
Kepala rampok itu sampai di muka pintu kamar.
Dicobanya
mendorong daun pintu, ternyata dikunci dari dalam. Kaki kanannya bergerak.
Sekali tendang saja pintu kamar itu terpentang lebar hancur berantakan!
Di dalam
kamar saat itu Den Ayu Sri Kemuning tengah membersihkan badannya. Tubuhnya yang
padat bagus sama sekali tak tertutup sehelai pakaianpun! Gadis ini memekik
sewaktu mendengar suara hancurnya pintu kamar dan seorang laki-laki berpakaian
hitam tinggi besar berewokan yang langsung menyergap tubuhnya yang telanjang!
Sri
Kemuning menjerit dan meronta-ronta melepaskan diri. Tapi rangkulan tangan kiri
kepala rampok itu ketat sekali. Dirangsang oleh keadaan tubuh si gadis yang
tidak berpakaian sama sekali, Sepasang Golok Maut menyeret gadis itu ke tempat
tidur! Pada saat laki-laki ini dengan buasnya hendak menindih tubuh dara itu
tiba-tiba sudut matanya melihat dua orang memasuki kamar dan di lain kejap
sebilah pedang serta sebilah keris sudah menyerangnya dengan sebat di bagian
punggung dan kepala!
"Setan
alas!" sentak Sepasang Golok Maut seraya menjatuhkan dirinya ke lantai.
Sambil berguling tangan kanannya bergerak kepinggang lalu "wutt"!
Terdengar pekik kusir kereta. Kerisnya telepas dari tangan. Tubuhnya terhempas
ke lantai karena kedua pergelangan kakinya putus dibabat golok besar si kepala
rampok dari hutan Dadakan!
Jeritan
kusir kereta itu tadi disertai pula oleh jeritan ngeri Sri Kemuning. Selagi ada
kesempatan gadis ini cepat-cepat menarik seperai tempat tidur dan menutupi
tubuhnya dengan seperai itu lalu menjauhkan diri dari pertempuran yang kemudian
berlangsung antara Sepasang Golok Merah dengan pengawal.
Sudah
jelas pengawal itu bukan tandingannya Sepasang Golok Maut. Apalagi si pengawal
bertempur dengan ragu-ragu dan nyali lumer. Maka dalam tempo yang sangat cepat pengawal
itupun tergelimpang tanpa nyawa. Perutnya robek, usus menjela-jela disambar
golok si kepala rampok hutan Dadakan! Untuk kesakian kalinya terdengar jeritan
ngeri Sri Kemuning. Gadis ini coba lari ke pintu namun Sepasang Golok Maut
berhasil menangkap lengannya!
Kita
kembali pada pertempuran yang terjadi di rumah makan antara Untung Pararean
dengan lima pengeroyoknya. Setelah berteriak pada kusir kereta dan pengawal
tadi yaitu agar cepat-cepat pergi ke kamar majikan mereka maka Untung Pararean
dengan mengandalkan ilmu mengentengkan tubuh yang di dapatnya berkat hawa sakti
keris Mustiko Jagat laksana seekor alatalat menukik ke bawah. Sinar biru
menderu dalam bentuk lingkaran. Dikejap itu terdengar berturut-turut tiga kali
suara beradunya seniata. Tiga batang golok mental patah ke udara. Dua anggota
rampok menjerit kena di babat Mustiko Jagat, kelojotan sebentar lalu meregang
nyawa. Rampok ketiga mencelat satu tombak ke dinding rumah makan, melosoh ke
lantai tanpa nyawa karena dadanya remuk dihantam tendangan kaki kanan Untung
Pararean!
Dua orang
rampok yang masih hidup terkejut sekali. Untuk sejenak mereka berdiri sangsi
apakah akan meneruskan perkelahian atau ambil langkah seribu! Waktu yang sesaat
itu sudah cukup bagi Untung Pararean guna bertindak! Sekali dia berkelebat,
keris Mustiko Jagat kembali meminta korban nyawa rampok yang disebelah
kanannya! Rampok yang terakhir tanpa tunggu lebih lama segera melompat ke pintu
melarikan diri ! Tapi dia kurang cepat.
Dengan
satu lompatan saja Untung Pararean berhasil mendahuluinya, menghadang di depan
pintu! Setengah mampus ketakutan, rampok itu lantas saja jatuhkan diri berlutut
minta ampun! Untung Pararean tidak mau perdulikan permintaan ampun itu. Kaki
kirinya bergerak dan terhempaslah rampok itu dengan perut pecah. Dia menggerang
sebentar. Dan sebelum nyawanya lepas Untung Pararean sudah berlalu dari situ.
Di tingkat atas di sebelah belakang yaitu di penginapan didengarnya jeritan Den
Ayu Sri Kemuning berulang kali!
Untung
Pararean sampai di tingkat atas ketika Sepasang Golok Maut baru saja keluar
dari sebuah kamar, memanggul tubuh Sri Kemuning yang hanya tertutup sehelai
kain acak-acakan hingga sebagian besar dari auratnya yang terlarang jelas
kelihatan! Gadis ini tiada hentinya berteriak dan meronta melepaskan diri!
"Bedebah!
Lekas lepaskan gadis itu kalau masih sayang kau punya nyawa!" bentak
Untung Pararean.
Sepasang
Golok Maut menghentikan langkahnya. Hatinya tercekat juga melihat keris Mustiko
Jagat ditangan Untung Pararean yang memancarkan sinar biru menggidikkan.
Apalagi di ujung senjata itu dilihatnya noda-noda darah yang masih segar!
"Lekas
lepaskan dia!" teriak Untung Pararean seraya melangkah mendekati kepala
rampok hutan Dadakan itu!
Sepasang
Golok Maut tiba-tiba keluarkan suara tertawa bekakakan! Seraya mendorong tangan
kanannya dia balasmembentak. "Budak anjing! Minggirlah!"
Untung
Pararean terkejut sewaktu merasakan bagaimana satu hembusan angin keras yang
keluar dari telapak tangan kiri kepala rampok itu mendorongnya kebelakang
hingga hampir saja dia rnencelat mental dan terguling di tangga! Cepat-cepat
pemuda ini melompat kesamping lalu melintangkan keris Mustiko Jagat di depan
dada! Senjata ini beriar-benar hebat. Karena begitu sambaran angin keras memben
tur sinar keris tersebut, buyarlah angin keras itu! Secepat kilt Untung
Pararean kemudian menyerbu kemuka! Sinar biru menabur menggidikkan!
Melihat
datangnya bahaya maut mengancam di depan mata, kepala rampok hutan Dadakan itu
tak mau berlaku ayal. Denyan satu gerakan yang lihay dia mengelak kesamping
lallo dengan tubuh Den Ayu Sri Kemuning yang masih meronta-ronta diatas bahunya
dia mencabut golok din memapak ke arah Untung Pararean!
Terkejut
juga si pemuda menerima serangan baiasan yang tiada terduga cepatnya itu.
Buru-buru dia menangkis!
"Trang!"
Bunga api
memercik sewaktu keris Mustiko Jagat saling bantrok dengan golok besar di
tangan kanan Sepasang Golok Maut! Untung Parrean kaget ketika merasakan
bagaimana bentrokan itu membuat tangannya menjadi pedas dan tergetar. Tapi
sedetik kemudian hawa aneh yang mengalir dari keris membuat rasa pedas dan
getaran di tangan kanannya menjadi sirna!
Dilain
pihak Sepasang Golok Maut terkejut bukan main! Bukan saja tangan kanannya
tergetar hebat dalam bentrokan senjata itu, tapi sewaktu diperhatikannya
ternyata goloknya telah rompal!
"Bangsat
hina dina!" maki Sepasang Golak Maut seraya melemparkan tubuh Sri Kemuning
ke lantai lalu mencabut lagi golok besarnya yang tergantung di pinggang kiri.
"Akan kukuntung-kuntung tubuhmu hingga menjadi seratus kuntungan!"
Untung
Pararean yang yakin akan keampuhan keris Mustiko Jagat ganda tertawa mendengar
ucapan garang kepala rampok itu. Malah dia menjawab: "Ayo manusia iblis!
Majulah biar kau segera pula kukirim ke liang kubur menyusul lima orang
kunyuk-kunyukmu yang sudah mampus dibawah sana!"
Terkesiap
Sepasang Golok Maut mendengar ucapan pemuda itu! Lima orang anak buahnya yang
paling diandalkan telah menemui ajal di tangan pemuda itu?! Benar-benar
keparat, makinya! Dia lipat gandakan tenaga dalamnya hingga serangan yang dilancarkannjra
hebat bukan main!
Perkelahian
antara kedua orang itu terjadi di langkan atas yang tak berapa lebar.
Masing-masing memperhitungkan benarbenar langkah yang mereka buat. Karena
sekali bertindak salah di ruangan yang sempit itu pasti celaka! Sementara itu
di halaman samping rumah makan orang banyak berkumpul menyaksikan jalannya
pertempuran dilangkan tingkat atas rumah penginapan itu! Semua orang memuji
kehebatan pemuda itu apalagi setelah dia dengan seorang diri sanggup membunuh
lima anggota rampok tadi. Dan semua orang berharap agar si pemuda itu juga
berhasil membunuh Sepasang Golok Maut yang selama ini bersama anak buahnya
mendatangkan bencana dan malapetaka. Tapi di dalam berharap begitu semua orang
juga merasa cemas. Karena bila pemuda itu kalah, pastilah Sepasang Golok Maut
akan mengamuk dan menurunkan tangan ganas terhadap seluruh penduduk yang tidak
berdosa!
Setelah
pertempuran berjalan sepuluh jurus, Sepasang Golok Maut mulai menyadari bahwa
walau bagaimanapun pemuda itu bukanlah lawannya. Setiap serangan goloknya yang
dilancarkan dengan tipu-tipu lihay, bahkan telah pula dikeluarkannya
jurus-jurus yang terhebat dari permainan goloknya itu, tetap saja tak dapat
menghadapi keris lawan, bahkan mengimbanginyapun tidak sanggup! Dari pada mendapat
celaka, lebih baik siang-siang mengundurkan diri!
Sengaja
kepala rampok itu melancarkan satu serangan berantai yang cepat. Ketika
dilihatnya ada satu peluang yang baik, segera dia melompat keatas genteng rumah
makan!
"Bedebah!
Kau mau lari kemana?!" teriak Untung Pararean keren!
"Makan
senjata rahasiaku ini!" jawab Sepasang Golok Maut. Dalam kejap itu pula
lima puluh jarum-jarum biru menderu ke arah Untung Pararean. Dengan sigap
pemuda ini memapaskan keris Mustiko Jagat ke depan maka tersapulah seluruh
jarumjarum itu! Tapi dalam kejap itu Sepasang Golok Maut telah berada di
halaman bawah. Untung Pararean cepat mengejar. Namun sebelum dia sampai di
bawah kepala rampok hutan Dadakan itu telah lenyap!
Orang
banyak termasuk pemilik rumah penginapan menjura pada Untung Pararean. Beberapa
di antara mereka ada yang memuji-muji kehebatanya. Sebaliknya Untung Pararean
cepat-cepat kembali ke tingkat atas. Didapatinya Sri Kemuning duduk bersimpuh
dilangkan tingkat atas, menangis tersedu-sedu.
"Sudahlah
Den Ayu," kata Untung Pararean. "Sebaiknya masuk ke kamar dan
berpakaian."
Kata-kata
pemuda itu membuat sang dara tambah keras tangisnya hingga Untung Pararean
menjadi bingung.
"Masuklah
ke kamar," kata pernuda itu manakala tangis Sri Kemuning telah agak
mereda.
"Mayat-mayat
itu … aku negeri melihatnya," kata Sri Kemuning di antara sesenggukannya.
Untung
Pararean masuk kedalam kamar. Ditemuinya mayat kusir kereta dan prajurit
pengawal. Memang mengerikan. Kusir kereta menggeletak dengan kedua kaki buntung
sedang prajurit pengawal terhampar dengan perut robek, usus membasai. Pemuda
itu berteriak memanggil pelayan rumah penginapan. Beberapa pelayan kemudian
membawa mayat kedua orang itu yang selanjutnya segera dikubur secara sederhana
di pinggir kampung. Mayat lima orang perampok dilemparkan ke dalam sebuah kali.
Sementara Sri Kemuning berpakaian, Untung Pararean kembali ke rumah makan.
Orang memandang padanya penuh kagum. Pemilik kedai kemudian mendatanginya.
Setelah menjura hormat, pemilik kedai itu·seorang tua·duduk dihadapan Untung
Pararean.
"Tak
sedikit jasamu kepada penduduk karena telah menumpas rampok-rampok itu,
pendekar. Sesungguhnya siapakah nama pendekar dan datang dari mana?"
"Aku
barusan saja turun dari gunung Slamet, bapak." jawab Untung Pararean.
"Kalau
begitu pastilah pendekar murid orang tua sakti yang bernama Empu Bharata."
Untung
Pararean mengangguk pelahan. Disebutnya nama Empu Bharata membuat hatinya tidak
enak karena mengingatkan dia atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang
tua itu!
"Pendekar,
dengan lolosnya kepala rampok keparat itu, bapak rasa suatu ketika pasti dia
akan datang kemari dan mengganas, menurunkan tangan jahat, membunuh penduduk
sini dengan sewenang-wenang. Bapak mewakili penduduk dan berharap agar pendekar
sudi menetap disini untuk sementara sampai penduduk benar-benar yakin bahwa
rampok-rampok itu tak berani lagi datang kesini."
"Aku
yakin, bapak. Apa yang telah terjadi pasti telah membuat rampok-rampok itu
menjadi takut kembali ke sini." ujar Untung pula.
"Mudah-mudahan
saja memang demikian," kata pemilik penginapan. Sementara itu seorang
pelayan datang menemui Untung Pararean, mengatakan bahwa Sri Kemuning
memanggilnya.
******************
4
KETIKA
Untung Pararean masuk kembali ke kamar itu, keadaan kamar tidak seperti tadi
lagi. Noda-noda darah telah dibersihkan dan Sri Kemuning duduk di tepi tempat
tidur. Pada parasnya yang agak pucat masih membayang rasa takut.
"Den
Ayu memanggil aku?" tanya Untung Pararean setelah terlebih dahulu menjura.
Gadis itu mengangguk.
"Kotaraja
masih jauh dari sini, saudara …"
"Saya
tahu . . . "
"Untuk
kedua kalinya kau telah menyelamatkan diriku. Untuk kedua kalinya pula aku
harap kau sudi ikut ke Kotaraja. Apakah kau masih juga menolak?"
Kalau
sebelumnya Untung Pararean tidak tahu siapa adanya gadis itu, tapi setelah
mendapat keterangan dari kusir kereta dan prajurit yang telah menemui ajal itu
tentu saja pemuda ini tidak menampik lagi! Ke Kotaraja berarti menuju ke tempat
di mana dia kelak akan mencapai apa yang dicita-citakannya yaitu menjadi
Perwira Kerajaan. Dan Sri Kemuning kebetulan adalah keponakan Raja! Tentu akan
mudah baginya untuk mencapai cita-cita itu, apalagi mengingat jasa pertolongan
yang telah dua kali dibuatnya terhadap gadis itu!
"Aku
tidak berani lagi menolak, Den Ayu. Kusir kereta, dan pengawalmu telah menemui
kematiani Apa lagi baktiku kepada Kerajaan kalau bukan berbakti pada keluarga
Istana?"
"Terima
kasih saudara … Eh, kau belum menerangkan namamu."
"Namaku
Untung Pararean. Panggil saja Untung."
"Saudara
Untung, melihat apa yang telah terjadi di sini aku merasa kawatir untuk
meneruskan niat bermalam di sini.
Sebaiknya
kita berangkat saja . . . ."
"Tapi
sungai banjir, Den Ayu. . . "
"Oh
ya. Lupa aku."
"Kalau
Den Ayu . . . "
"Buang
saja sebutan Den Ayu itu, saudara Untung. Namaku Kemuning. Sri Kemuning …"
potong gadis itu.
"Kalau
. . , kalau Den . . . kalau kau percaya padaku, kau tak usah kawatir
Kemuning," kata Untung Pararean pula gugup.
"Aku
akan mengawal dan berjaga sepanjang malam di luar kamarmu …"
"Ah,
nasib diriku rupanya ditakdirkan hanya untuk menyusahkan orang lain saja,"
ujar Sri Kemuning. Tapi diam-diam hatinya gembira mendengar ucapan pemuda yang
gagah itu.
"Baiklah
Untung. Kalau begitu katamu, aku tak akan merasa kawatir lagi. Sekali lagi aku
sangat berterima kasih padamu.
Kelak
pada Sri Baginda akan kumintakan balas jasa yang sesuai untukmu!
Sekurang-kurangnya pangkat yang penting dalam kalangan Istana!"
"Terima
kasih Kemuning . . ." kata Untung Pararean pula, "tapi pertolonganku
tidak mengharapkan pamrih apa-apa."
sambungnya
pura-pura bersikap ksatria sejati padahal memang pangkat yang tinggi itulah
yang tengah dicarinya. Dalam berdiri dihadapan gadis diam-diam Untung Pararean
membayangkan bagaimana dia akan disambut secara hormat oleh orang-orang Istana.
Lalu Sri Baginda atas kehendak Sri Kemuning akan menganugerahkan pangkat tinggi
kepadanva. Dia akan jadi perwira kerajaan yang paling disegani dan paling
ditakuti karena ilmunya tinggi!
Di lain
pihak pada saat itu Sri Kemuniny diam-diam tengah memperhatikan pemuda itu
dengan kedua bola matanya yang hitam dan bersinar-sinar penuh kagum akan
kegagahan si pemuda apalagi sesudah mengetahui ketinggian ilmunya. Untung
Pararean sama sekali tidak mengetahui bahwa meski Sri Kemuning adalah keponakan
kontak dari Sri Baginda, tapi gadis itu bukanlah gadis Istana yang bersifat dan
berkelakuan baik-baik. Kecuali Sri Baginda dan Permaisuri serta ayah dan ibu
Sri Kemuning semua orang di Istana sudah tahu akan peri tabiat gadis itu.
Adalah memalukan seorang keluarga Sri Baginda bertabiat seperti Sri Kemuning.
Tapi apakah mereka musti mengadu pada Sri Baginda? Salah-salah mereka bisa
mencari F:enyakit sendiri! Dituduh memfitnah!
Dilubuk
hati Sri Kemuning saat itu, di balik pandangan matanya yang bersinar-sinar itu
bergejolak satu hasrat kotor yang membuat darah diseluruh pembuluh tubuhnya
laksana mendidih. Kening dan puncak hidungnya penuh oleh butir-butir keringat
sedang pandangan matanya semakin berani dan sikap duduknya semakin menantang.
"Keras
benar angin dari luar sana …" kata Sri Kemuning. "Tolong tutupkan
pintu itu, Untung."
"Baik
Den … Kemuning."
Untung
Pararean melangkah ke pintu dan sambil menutupkan daun pintu dia hendak keluar.
"Oh,
maksudku . . aku tidak menyuruh kau keluar Untung," kata Sri Kemuning pula
ketika dilihatnya pemuda itu menutupkan pintu sambil menindak keluar.
"Tutupkan saja dari dalam sini."
Untung
Pararean masuk kembali ke dalam dengan perasaan heran. Ditutupnya pintu itu
dari dalam. Ketika dia memutar tubuh, Sri Kemuning tersenyum padanya. Aneh
senyum gadis itu di mata si pemuda. Berdesir darah Untung Pararean, berdebar
dadanya sewaktu Sri Kemuning berkata, "Nanti malam kau akan mencapaikan
diri mengawalku. Berarti siang-siang begini kau butuh istirahat, Untung."
"Aku
rasa begitu . . . "
"Nah,
kau boleh beristirahat disini, Untung."
"Biar
aku cari kamar yang lain saja, Kemuning."
Sri
Kemuning tertawa. Seraya berdiri dari tempat tidur dia berkata, "Mengapa
harus menyusahkan diri saja, Untung? Kau istirahat disini sambil bicara-bicara
denganku. Kau tahu, aku orang yang paling senang bercakap-cakap."
Perasaan
aneh mula-mula yang ada didiri Untung Pararean kini berubah menjadi satu
prasangka adanya maksud-maksud yang tidak senonoh dari gadis itu. Tapi seorang
keluarga Istana, seorang keponakan Raja yang terhormat mempunyai sifat begitu
rupa? Sementara Untung Pararean berdiri mematung di tengah kamar itu, Sri
Kemuning datang melangkah mendekatinya. Goyang pinggulnya yang dibuat-buat,
senyumnya yang menawan dan sinar matanya yang mengundang memukau Untung
Pararean. Walau bagaimanapun Untung Pararean adalah seorang laki-laki, seorang
pemuda yang baru saja turun gunung dan tak banyak tahu tentang peri kekotoran
hidup di dunia luar, apalagi cara-cara untuk menjauhkan semua kekotoran itu.
Meski mula-mula hatinya binqung bercampur takut menghadapi sikap Sri Kemuning
namun ketika gadis itu memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke dada, Untung
Pararean mulai memberikan reaksi, reaksi sebagai seorang pemuda yang berdarah panas!
Dirangkulnya tubuh dara itu erat-erat dalam gejolak nafsu yang seumur hidupnya
baru kali itu dirasakan oleh Untung Pararean. Namun sesaat kemudian kambuh lagi
rasa kawatirnya.
"Kemuning,
kalau pemilik penginapan memergoki kita berdua-duaan begini, kita bisa celaka
…"
Sri
Kemuning tertawa merdu. Rasa digelitik liang-liang telinga pemuda itu, tambah
terangsang darah mudanya mendengar suara tertawa itu.
"Dia
tahu siapa aku. Untung. Dan dia juga tahu apa yang bakal menimpanya jika
berani-beranian turun tangan. Aku sanggup menyuruh tutup penginapan dan rumah
makannya! Bahkan lebih dari itu aku bisa menjebloskan dia dalam penjara."
Untung
Pararean yang tahu bahwa Sri Kemuning adalah keponakannya Sri Baginda, denqan
sendirinya mempercayai ucapan gadis tersebut. Karenanya lenyaplah
kekawatirannya dan kembali keberanian membuat nafsunya mengumbar. Gadis itu
dipeluknya erat-erat hingga Sri Kemuning merintih antara kesakitan dan
kenikmatan! Ada kira-kira sepeminuman teh kedua makhluk itu berpagut-pagutan di
tengah kamar itu.
"Kakiku
letih, Untung …" bisik Sri Kemuning. "Gendong aku ke tempat
tidur." pintanya lirih.
"Hem
. . . " guman Untung Pararean.
Sesaat
kemudian keduanyapun telah berada ditempat tidur. Berpagut dan berguling
seperti sepasang ular. Dan memang mereka tak ubahnya separti binatang saja saat
itu. Seperti binatang dan tanpa pakaian!
Ketika
hari telah senja, Untung Pararean masih juga berdiri termenung di depan rumah
makan. Apa yang telah terjadi siang tadi di kamar di tingkat atas penginapan
itu kembali terbayang di pelupuk matanya. Dan mengingat ini, menggejolak lagi
darah muda pemuda itu. Seumur hidupnya baru kali-itu dia mengenal perempuan,
dan perkenalan yang pertama kali itu sungguh luar biasa sekali! Luar biasa bagi
Untung Pararean meskipun Sri Kemuning sudah tidak perawan lagi!
Bila
malam tiba dan kegelapan memekati disekitar rumah makan itu, Untung Pararean
ingat bahwa sudah saatnya dia berjaga-jaga disekitar kamar Sri Kemuning. Bukan
tidak mustahil orang-orang jahat terutama Sepasang Golok Maut akan muncul
kembali untuk menuntut balas!
Tingkat
atas rumah penginapan diselimuti kesunyian. Di beberapa kamar kelihatan nyala
lampu. Satu diantaranya adalah kamar Sri Kemuning. Untuk sesaat lamanya Untung
Pararean berdiri di depan pintu kamar itu. Kembali teringat olehnya apa yang
telah terjadi di dalam kamar tersebut siang tadi. Tubuh telanjang Sri Kemuning
yang keringatan! Pelukannya yang ketat liat, nafasnya yang memburu dan
gigitannya yang berulang-ulang pada kulit dadanya . . . semuanya teringat lagi.
Sewaktu hendak ditinggalkannya hadapan pintu kamar menuju keujung langkan di
tingkat atas itu, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Sri Kemuning memunculkan
kepalanya. Dia terkejut melihat seseorang berdiri di depan pintu namun
keterkejutan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenali bahwa
yang berdiri itu adalah Untung Pararean.
"Terkejut?"
tanya Untung Pararean menegur.
Matanya
liar meneliti paras Sri Kemuning. Gadis ini barusan saja habis bersolek hingga
parasnya lebih segar dan lebih cantik. Ditambah lagi saat itu dia mengenakan
pakaian yang bagian dadanya terbuka lebar hingga kedua pangkal buah dadanya
jelas kelihatan tersembul keluar, memhuat Untung Pararean jadi blingsatan tak
karuan!
"Aku
kira siapa," ujar Sri Kemuning sambil melontarkan senyum genit. "Heh,
kau sudah mulai berjaga-jaga sesiang ini?"
"Ya.
Aku kawatir kepala rampok itu akan muncul lagi membawa anak buahnya!"
"Ah,
betapa senangnya mempunyai seorang pengawal yang setia sepertimu ini,
Untung," kata Sri Kemuning pula dengan tertawa cerah lalu berdiri di tepi
terali langkan ditingkat atas itu. "Gelap dan hitam saja pemandanyan
disini … Dan banyak nyamuk pula!" Dipalingkannya kepalanya pada Untung
Pararean lalu dipegangnya lengan pemuda itu hingga hasrat yang menyesak-nyesak
di darah si pemudan kembali membuat sekujur tubuhnya panas dingin laksana orang
diserang demam malaria! Diremasnya tangan gadis itu. Untuk sesekali mereka
saling berpandangan. Hasrat hati untuk kembali mengulangi apa yang telah mereka
lakukan siang tadi kentara terbayang dibola mata masing-masing.
Unturg
Pararean tak dapat menahan hatinya lagi saat itu. Diulurkannya tangannya hendak
memeluk Sri Kemuning tapi dia kecewa karena gadis itu mengelak.
"Jangan
di luar sini Untung … " bisik Sri Kemuning. Ditatapnya pemuda itu
sebentar, digoyangkannya kepala ke arah pintu lalu masuk ke kamar tanpa
menguncikan daun pintu.
Untung
Pararean berdiri mematung sejenak lamanya. Dia memandang ke dalam kamar lewat
pintu yang terbuka dan dilihatnya Sri Kemuning berdiri di hadapan sebuah kaca
besar, menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Laksana gila Untung Pararean
menghambur masuk ke dalam kamar itu! Sesaat kemudian keduanya sudah berada di
atas tempat tidur!
Untung
Pararean baru saja hendak meneduhi tubuh Sri Kemuning ketika di atas genteng
terdengar suara tertawa bekakakan yang membuat kedua insan didalam kamar itu
sama-sama tersentak kaget!
"Ha
. . . ha . . , ha … ! Rupanya kalian berdua adalah bangsanya lonte-lonte bejat!
Bagus sekali! Teruskan niatmu mencapai sorga dunia itu, pemuda keparat! Bila
sudah, aku menunggumu di halaman samping! Jangan lupa pakai pakaianmu dulu biar
kau mampus secara wajar!"
Laksana kilat
Untung Pararean melompat dari atas tempat tidur dan menyambar pakaiannya.
Dengan keris Mustiko Jagat ditangan kanan dia keluar dari pintu kamar. Dia
tidak takut pada manusia yang tadi bicara dan tertawa di atas genteng! Tapi
jika dia berani datang pastilah mengandalkan sesuatu! Ketika dia sampai diujung
langkan apa yang diduganya ternyata betul. Tapi Untung Pararean yakin akan
keampuhan Mustiko Jagat, maka tanpa ragu-ragu dia melompat turun dari samping
yang gelap, hanya diterangi bintang-bintang, rembulan dan sinar lampu yang
merambas dari rumah makan dan penginapan!
******************
5
SUARA
tertawa bekakakan kembali mengumandang mandang sewaktu Untung Pararean sampai
di halaman samping itu.
"Ha
ha! Apakah sudah kau teruskan tidur dengan gadis itu? Kalau belum berarti kau
akan mampus penasaran Untung Pararean!"
"Sepasang
Golok Maut! Setelah selamat melarikan diri mengapa berlaku bodoh untuk datang
kembali?! Apakah kau punya nyawa rangkap?!" bentak Untung Pararean dengan
suara tak kalah keras. Sambil membentak begitu kedua matanya meneliti suasana
sekelilingnya.
Di
belakang kepala rampok dari hutan Dadakan itu, dibawah pohon cempedak, berdiri
seorang kakek-kakek yang cuma mengenakan sehelai cawat. Tubuhnya kurus kering
tulang-tulangnya kelihatan bertonjolan hingga dia tak ubahnya seperti tengkorak
hidup saja! Kakek-kakek ini berambut keriting pendek dan cuma memiliki sebuah
mata. Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan satu lobang hitam yang besar
dan mengerikan! Yang luar biasa dari orang yang kulitnya berwarna hitam ini
ialah kedua tangannya yang teramat panjang hingga sampai ke betis!
Tiba-tiba
saja manusia ini mengeluarkan suara tertawa mengekeh dan menuding Untung
Pararean dengan tangannya yang panjang. Meski jarak mereka terpisah cukup jauh,
tapi karena tangan manusia ini panjang sekali maka ujung-ujung jarinya yang
menuding hampir saja menyentuh hidung si pemuda membuat Untung Pararean
tercekat juga hatinya!
"Pemuda
gendeng kau segera akan mampus, tapi masih berani bicara sombong
dihadapanku!"
"Orang
aneh! Aku tidak kenal padamu! Apa urusanmu mencampuri persoalan orang
lain?!" tukas Untung Pararean.
"Oh,
jadi kau kepingin kenal siapa aku?!" ujar orang itu. "Aku yang buruk
ini bemama Tunggul Gawe-gawe. Orang-orang menggelariku Iblis Tangan Panjang.
Dan kedoyananku cuma satu yakni paling senang mencabut nyawa manusia-manusia
macammu!" Habis berkata begitu manusia bercawat itu kembali tertawa
mengekeh.
"Hem
. . . rupanya kau bangsa kawanan setan pelayangan juga!" ejek Untung
Pararean. "Manusia-manusia macammu memang pantas untuk jadi andalan rampok
busuk ini! Aku tanya apakah ada kawan-kawanmu yang lain yang berada di sekitar
sini? Sebaiknya lekas-lekas disuruh keluar agar bisa kulabrak sekaligus!"
"Iblis
Tangan Panjang! Baiknya mari cepat-cepat saja kita bikin tamat riwayatnya ini
pemuda anjing!" seru Sepasang Golok Maut.
"He
… he . . . Untuk membereskannya kenapa musti berdua." menyahuti Iblis
Tangan Panjang. "Biar aku sendiri yang menunjukkan jalan ke neraka
padanya!" Manusia ini melangkah ke hadapan Untung Pararean. "Pemuda
gendeng, kau bersiaplah untuk mampus!"
Habis
berkata begitu Tunggul Gawe-gawe atau Iblis Tangan Panjang menggerakkan tangan
kanannya.
"Wutt"!
Satu
pukulan lengan yang keras dan menimbulkan angin bersiuran menderu ke arah
kepala Untung Pararean. Pemuda ini cepat-cepat merunduk dan sebelum dia sempat
melakukan serangan balasan, lengan kiri Iblis Tangan Panjang telah memapas ke
pinggang membuat pemuda ini terpaksa melompat menyelamatkan dirinya!
Perkelahian seru segera berlangsung jurus demi jurus! Meskipun Untung Pararean
memegang keris sakti Mustiko Jagat di tangan kanannya, namun gerakan-gerakan
lengan lawannya hebat sekali, membuat dia tak bisa leluasa melancarkan
serangan-serangan. Dalam perkelahian itu karena tangannya yang amat panjang,
Iblis Tangan Panjang tak perlu susah-susah berkelebat kian kemari. Cukup dia
menggeser-geserkan saja kedua kakinya sedang kedua tangannya laksana sepasang
tongkat baja memukul dan membabat kian dari pelbagai jurusan!
Karena
tak mungkin bagi Untung Pararean untuk mengirimkan tusukan ke tubuh ataupun ke
kepala lawannya maka kini pemuda itu merubah taktiknya. Serangan-serangan keris
Mustiko Jagat langsung diarahkan pada kedua tangan Tunggul Gawegawe Dan
buktinya memang berhasil!
Pada
dasarnya Tunggul Gawegawe alias Iblis Tangan Panjang diam-diam memang merasa
jerih melihat senjata mustika yang ada di tangan lawannya. Dan ketika keris itu
kini dipakai untuk menggempur sepasang tangannya, merasakan pula dinginnya
sambaran angin senjata tersebut, dia tak lagi dapat bergerak leluasa. Setiap
serangannya yang mengandalkan kedua tangannya yang panjang selalu dibikin
musnah oleh sambaran keris lawan! Beberapa kali hampir nyaris lengannya kena
tertikam senjata tersebut. Naga-naganya kalau dia bertempur begitu terus,
lambat laun pasti dia akan kena celaka juga! Maka tanpa tunggu lebih lama Iblis
Tangan Panjang mengeluarkan senjatanya dari dalam cawatnya!
Senjata
ini adalah sebuah untaian batu-batu permata yang telah direndam dalam racun
jahat. Warnanya aneka agam dan kesemuanya bergemerlapan meskipun di halaman
samping itu suasana gelap. Ketika untaian batu-batu permata itu diputar diatas
kepala maka menggelombanglah angin yang amat hebat. Pohon-pohon bergoyangan,
banyak yang daun-daunnya berguguran. Dinding rumah makan dan tiang-tiang rumah
penginapan berderikderik sedang tanah serasa dilanda lindu saking hebatnya
gelombang angin yang keluar dari senjata Iblis Tangan Panjang itu!
Untung
Pararean sendiri tergontai-gontai beberapa detik lamanyal Buru-buru dia
membentak nyaring dan sewaktu lawannya datang dari depan, pemuda ini kiblatkan
keris Mustiko Jagat dalam jurus aneh yarig luar biasa.
"Hebat
sekali ilmu silat keparat ini!" rutuk Iblis Tangan Panjang. Dia tidak tahu
bahwa kesaktian keris Mustiko Jagatlah yang membimbing pemuda itu memainkan
jurus-jurus silat yang luar biasa itu!
Karena
yakin bahwa senjata lawan tak bakal dapat menandingi senjatanya, maka sewaktu
bentrokan akan terjadi, Iblis Tangan Panjang sengaja tidak menarik pulang
untaian batu-batu permatanya! Meskipun dia tak berhasil menggebuk lawan tapi
sekali senjatanya bergeser dengan kulit si pemuda, pastilah pemuda itu akan
keracunan. Kalau sudah begitu tentu mudah dia membereskan lawannya itu,
demikian pikir Iblis Tangan Panjang. Tapi betapa kagetnya dia sesaat kemudian!
Terdengar
suara berdentingan dan percikan bunga api di dalam gelapnya malam sewaktu keris
dan untaian batu-batu permata beradu! Untung Pararear merasakan tangannya
bergetar hebat tapi itu tak ada artinya karena di depannya dilihatnya bagaimana
batu-batu permata yang menjadi senjata lawannya putus berhamburan!
Kaget
Iblis Tangan Panjang bukan alang kepalang! Jika senjatanya yang paling
diandalkan bisa dibuat berantakan begitu rupa, ini sudah merupakan satu
pertanda lebih baik dia angkat kaki dari situ dari pada meneruskan perkelahian!
Tapi untuk melakukan hal itu tentu saja dia merasa malu terhadap Sepasang Golok
Maut yang berada ditempat itu. Buntut-buntutnya dia cuma berseru untuk meminjam
salah satu golok kepala rampok itu.
Sambil
memberikan salah satu golok besarnya, Sepasang Golok Maut berseru,
"Tunggul Gawegawe, tak usah kau repot terlalu lama. Aku akan bantu!"
Bantuan,
memang itulah yang diharapkan oleh Iblis Tangan Panjang. Dengan nyali besar
kedua orang itu lalu mengeroyok Untung Pararean! Pemuda ini berkelebat cepat
sekali. Bayang-bayang tubuhnya tertutup oleh sinar biru dari keris Mustiko
Jagat. Bagaimanapun Iblis Tangan Panjang dan Sepasang Golok Maut menggempur dan
mengirimkan serangan dahsyat silih berganti namun tiada guna nya! Kedua orang
ini tak sanggup mendekati pemuda itu lebih dekat dari jarak empat langkah. Di
lain pihak sementara itu kekuatan gaib yang berasal dari keris Mustiko Jagat semakin
hebat pula membimbing dia. Setelah bertempur empat putuh jurus lebih, dengan
ilmu menyusupkan suara Iblis Tangan Panjang berkata pada Sepasang Golok Maut.
"Naga-naganya
kita tak bakal menang sobatku! Sebelum celaka sebaiknya siang-siang kita tinggalkan
tempat ini!"
Sepasang
Golok Maut juga sudah sangat penasaran dan mulai sangsi. Apa yang dikatakan
Iblis Tangan Panjang adalah benar menurutnya, maka iapun segera hendak menjawab
menyetujui ucapan kambrainya itu. Namun sebelum dia sempat berkata keris Mustiko
Jagat menderu cepat di muka hidungnya! Sepasang Golok Maut melompat kebelakang
sambil melancarkan satu pukulan tangan kosong. Justru lengannya yang memukul
ini merupakan makanan empuk bagi keris Mustiko Jagat! Terdengar lah pekik
kepala rampok hutan Dadakan itu! Tangan kanannya papas, buntung! Darah
menyembur! Saat itu juga racun keris Vustiko Jagat yang amat berbahaya memasuki
darahnya, menjalar dengan cepat keseluruh pembuluh hingga beberapa detik
kemudian Sepasang Golok Maut meregang nyawa dengan tubuh matang biru!
Pada saat
Sepasang Golok Maut menjerit keras karena tangannya putus dibabat keris Mustiko
Jagat, pada saat perhatian Untung Pararean ini dipergunakan oleh Iblis Tangan
Panjang untuk melarikan diri tanpa diketahui oleh si pemuda. Untung Pararean
baru menyadari bahwa lawannya yang seorang itu sudah lenyap sewaktu dia
memandang berkeliling. Sementara itu dari mana-mana bermunculan penduduk ke
tempat itu. Untung Pararean menerangkan sedikit apa yang kita telah terjadi
lalu cepat-cepat berlalu dari situ.
Di kamar
penginapan di tingkat atas, pemuda ini disambut dengan pelukan hangat oleh Sri
Kemuning.
"Aku
menyaksikan perkelahianmu dari terali atas sana. Untung! Kau hebat sekali!
Betul-betul hebat … Oh, aku cinta padamu Untung!" Gadis ini memeluk lagi
pemuda itu ketat-ketat ke tubuhnya, menciumi keringat yang membasahi dada
Untung Pararean. Dan apa yang telah terjadi sebelumnya segera terlupakan oleh
kedua orang itu. Semalam-malaman, sampai pagi, Untung Pararean benar-benar
telah melakukan "pengawalan" atas diri Sri Kemuning di dalam kamar
itu . . . di atas tempat tidur!
Keesokan
harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan ke Kotaraja. Untung Pararean
bertindak sebagai kusir kereta merangkap pengawal. Menjelang tengah hari mereka
telah memasuki Kotaraja, langsung menemui Sri Baginda di Istana. Bukan main
kagetnya Raja mendengar penuturan keponakannya. Di samping itu Raja merasa
sangat gembira pula dan berterima kasih pada Untung Pararean karena telah
menyelamatkan Sri Kemuning dari bahaya maut sampai beberapa kali!
Seperti
yang telah dikatakan Sri Kemuning, atas permintaan gadis itu maka Untung
Pararean oleh Sri Baginda diangkat menjadi salah seorang Perwira Kerajaan. Dan
bukan itu saja, Sri Baginda juga meminta agar pemuda itu suka mengambil Sri
Kemuning menjadi istrinya! Sebenamya memang Untung Pararean sangat terpikat dan
cinta pada dara yang penuh daya tarik dan pandai merayu itu. Maka tanpa banyak
cerita lagi Untung Pararean menerima permintaan itu. Perkawinan dilangsungkan
cukup meriah dan kepada kedua orang itu diberikan sebuah gedung kecil yang
terletak dalam lingkungan tembok Istana.
Beberapa
tahun kemudian . . . Dari perkawinannya dengan Sri Kemuning, Untung Pararean
dikaruniai seorang anak perempuan yang diberinya nama Sri Lestari. Meski di
luaran kehidupan rumah tangga kedua orang itu kelihatan rukun bahagia, tapi
sesungguhnya tidaklah demikian. Seringkali kedua suami istri itu cekcok satu
sama lain. Ini disebabkan tabiat Sri Kemuning yang membuat Untung Pararean
sakit makan hati.
Seperti
telah dituturkan sebelumnya, Sri Kemuning meskipun keponakan Sri Baginda tapi
bukanlah seorang perempuan baik-baik. Diantara sekian banyak keburukannya, yang
paling terkenal di kalangan orang-orang Istana ialah sifatnya yang mata
keranjang. Tak boleh melihat laki-laki gagah, apalagi jika laki-laki itu masih
muda belia dan tegap kuat! Telah berkali-kali Untung Pararean mendengar kabar
bahwa jika dia sedang bertugas ke tempat jauh, istrinya itu sering pergi ke
tempat beberapa orang pemuda bahkan seorang diantara pemuda-pemuda itu pernah
beberapa kali disuruhnya datang ke gedungnya dalarn lingkungan Istana itu!
Mula-mula
Untung Pararean tidak mau percaya karena dia yakin bahwa istrinya itu sangat
mengasihinya sehingga masakan mau berbuat serong begitu rupa? Namun pada satu
hari dia dihadapkan pada satu kenyataan yang dibuktikannya sendiri!
Pada masa
itu Kerajaan tengah menghadapi beberapa pemberontakan kecil. Dibawah pimpinan
beberapa Perwira Kerajaan, termasuk Untung Pararean, pasukan Kerajaan berhasil
menumpas pemberontak-pemberontak tersebut. Meskipun belum keseluruhan
pemberontak berhasil dimusnahkan, namun untuk sementara bahaya yang mengancam
Kerajaan boleh dikatakan tidak ada. Namun demikian tidak seorangpun dari
Perwira-perwira Kerajaan yang mengetahui bahwa satu kekuatan besar kaum
pemberontak yang berpusat dikaki Gunung Lawu tengah merencanakan penyerbuan
besar-besaran ke Kotaraja. Demikianlah, karena merasa keadaan sudah cukup aman
maka Untung Pararean bersama pasukan kembali ke Kotaraja.
Rindunya
terhadap anak istrinya membuat dia begitu selesai memberi laporan pada Sri
Baginda, cepat-cepat kembali ke tempat kediamannya dan langsung menuju ke
kamar. Begitu pintu kamar terbuka terkejutlah Untung Pararean melihat bagaimana
istri yang sangat dicintainya itu telah melakukan perbuatan mesum dengan
seorang pemuda! Pemuda ini bukan lain adalah salah seorang pengawal gedungnya,
jadi masih merupakan anak buahnya sendiri. Gelaplah pemandangan Untung
Pararean. Keris Mustiko Jagat segera dihunusnya. Sri Kemuning menjerit sewaktu
menyaksikan bagaimana pemuda yang tidur bersamanya itu roboh dilanda tikaman
yang pertama. Menyusul tikaman yang kedua, ketiga … keempat dan seterusnya
hingga sekujur tubuh pemuda itu laksana daging cincangan, lumat membanjiri
darah.
Untung
Pararean masih akan terus menusuki tubuh pemuda yang sudah tak bernyawa itu
jika seandainya saat itu lima orang prajurit kepala dan empat orang Perwira
tidak masuk menyerbu ke dalam kamar dan memeganginya!
"Lepaskan
aku! Lepaskan!" teriak Untung Pararean menggeledak. "Dajal perempuan
itu juga harus mampus! Harus mampus!"
Tapi
seorang Perwira berhasil merampas keris Mustiko Jagat hingga kejap itu
lenyaplah kekuatan yang ada di diri Untung Pararean. Seorang Perwira lain
segera menolak tubuhnya sementara Sri Kemuning sendiri sudah melarikan diri
dari kamar itu!
Apa yang
telah terjadi itu menghebohkan seluruh Istana. Tapi semua orang tak bisa
memikirkan itu lebih lanjut, juga tak berusaha mencari tahu ke mana Sri
Kemuning bersama anak perempuannya melarikan diri karena yang dipikirkan oleh
semua orang saat itu ialah bahaya besar yang mengancam Kerajaan. Kabar yang
dapat dipercaya menyatakan bahwa bala tentara pemberontak yang berpusat di kaki
Gunung Lawu telah mulai bergerak menuju Kotaraja! Setiap kampung dan desa yang
mereka temui pasti akan disamaratakan dengan tanah. Penduduk yang tidak
berdosa, tak perduli apakah perempuan atau anakanak dibunuh secara kejam luar
biasa. Demikian cepatnya pergerakan pasukan pemberontak ini hingga dalam tempo
yang singkat saja hanya tinggal tiga hari perjalanan lagi dari Kotaraja!
Kira-kira
seribu prajurit dibawah pimpinan lima orang Perwira Kerajaan telah dikirim
untuk menghancurkan kaum pemberontak. Mereka bertemu di satu tempat yang
terletak dua hari perjalanan dari Kotaraja. Meski prajurit Kerajaan berjumlah
banyak dan dipimpin oleh Perwira-perwira berkepandaian tinggi, namun jumlah
prajurit pemberontak tidak pula sedikit. Dalam pada itu kaum pemberontak juga
memiliki tokoh-tokoh silat klas satu hingga setelah bertempur selama setengah
hari, kaum pemberontak berhasil memukul mundur bala tentara Kerajaan! Ratusan
prajurit Kerajaan menemui kematian! Dua orang Perwira tewas, satu luka-luka
parah. Dan dua lainnya tertangkap hidup-hidup. Ketika menerima kabar itu dari
seorang kurir, cemaslah Sri Bagindal Orang satu-satunya yang sangat diharapkan
oleh Sri Baginda ialah Perwiranya yang paling tinggi ilmu kepandaiannya yaitu
Untung Pararean. Tapi sang Perwira ini kini berada dalam keadaan menyedihkan!
Sesudah
mengalami peristiwa tempo hari itu. Untung Pararean menderita bathin yang amat
mendalam terutama dikarenakan pada istrinya sejak kejadian itu tidak diketahui
kemana perginya. Dan kepergiannya itu membawa serta anak permpuan yang amat
dikasihi Untung Pararean. Demikian hebatnya penderitaan bathin yang menimpa
Perwira itu hingga sifatnyapun sudah berubah seperti orang yang kurang ingatan.
Sepanjang
hari dia mengurung diri di dalam kamar dan menangis tiada henti. Kedua matanya
telah bengkak dan sembab. Pipinya telah cekung. Karena dia tak mau makan dan
tak mau minum selama beberapa hari maka keadaan tubuhnyapun makin lama makin
kurus! Kadang-kadang di malam buta Untung Pararean menjerit-jerit, berteriak
memaki-maki. Tak seorangpun yang berani mendekatinya. Pernah satu kali seorang
prajurit datang mengantarkan makanan dan air. Untung Pararean lalu mancabut
keris Mustiko Jagat dan memburu prajurit itu karena di mata Perwira yang kurang
ingatan ini si prajurit tadi kelihatannya adalah pemuda yang telah tidur
bersama istrinya dan yang telah dibunuhnya itu!
Sementara
keadaan Untung Pararean semakin parah, ancaman kaum pemberontak semakin kritis
pula karena pada waktu itu mereka cuma tinggal satu setengah hari perjalanan
saja dari Ibukota!
Dalam
saat-saat yang menegangkan itu pulalah tiba-tiba saja muncul seorang
kakek-kakek aneh didepan Istana yang katanya ingin bertemu dengan Sri Baginda.
Mula-mula para pengawal menyangka kakek-kakek ini adalah seorang mata-mata
pemberontak sehingga segera hendak ditangkap. Namun betapa terkejutnya semua
prajurit karena siapa saja yang berani datang mendekat dan turun tangan, pasti
mencelat mental dihantam kaki atau tangan kakek-kakek ini.
"Aku
datang dengan maksud baik! Kenapa mau ditangkap?! Benar-benar manusia tidak
tahu diri Kalian semua!" begitu si kakek memaki. Lalu karena tak ada
seorangpun yang berani menghalanginya kakek-kakek inipun masuk ke Istana
lenggang kangkung dan sampai dihadapan Sri Baginda. Sri Baginda sebelumnya
telah diberi tahu atas kedatangan kakek-kakek aneh ini.
"Tamu
dari manakah yang datang ke Istana ini?" tegur Sri Baginda sementara
beberapa Perwira berdiri didekatnya menjaga segala kemungkinan.
"Kudengar
di Istana ini ada seorang Perwira yang sakit. Betulkah itu?" bertanya si
kakek tak dikenal.
Sri Baginda
memandang pada Perwira-perwiranya, lalu menganggukkan kepala. "Betul
sekali. Dari manakah kau tahu dan harap terangkan dulu siapa kau ini, orang
tua?"
Orang tua
itu batuk-batuk beberapa kali lalu menjawab, "Aku yang tua ini adalah
Kiyai Supit Pramana dari Gunung Bromo … "
Terkeiutlah.
Sri Baginda dan Perwira-perwira Kerajaan tapi disamping itu juga timbul rasa
gembira dan pengharapan.
"Ah,
tak tahunya Istana telah kedatangan seorang sakti yang telah terkenal di
delapan penjuru angin. Silahkan duduk orang tua. Maafkan kalau perlakuan
orang-orangku terhadapmu tidak menyenangkan. Sesungguhnya aku sendiripun baru
kali ini berhadapan denganmu … "
Kiyai
Supit Pramana duduk di sebuah kursi yang kemudian disediakan.
"Tadi
Kiyai bertanyakan tentang seorang Perwira yang sakit. Apakah maksud Kiyai
sesungguhnya?"
"Aku
ingin mengobatinya," jawab orang tua itu.
"Ah,
itu satu hal yang menggembirakan. Kami sangat berterima kasih padamu
Kiyai." ujar Sri Baginda pula. "Kemudian dari pada itu Kiyai, atas
nama rakyat dan Kerajaan aku meminta agar sudilah Kiyai turun tangan membantu
menumpas kaum pemberontak. Kiyai tentu tahu bagaimana besamya bahaya yang
mengancam Kerajaan kini. Bala tentara kaum pemberontak sudah sangat dekat.
Mereka memiliki beberapa tokoh silat yang berkepandaian tinggi pula!"
Kiyai
Supit Pramana menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tahu, aku
tahu, Baginda. Tapi kedatanganku kesini cuma punya satu maksud yaitu mengobati
Perwiramu yang sakit itu. Soal pemberontak aku tak bisa ikut campur. Nah sekarang
tunjukkanlah aku dimana beradanya Perwiramu yang sakit itu!"
Raja dan
para Perwira merasa kecewa. Mereka yakin jika orang tua yang sakti luar biasa
itu bersedia turun tangan pastilah kaum pemberontak berhasil ditumpas sekalipun
mereka memiliki tokohtokoh silat yang hebat! Tapi kekecewaan itu agak terhibur
oleh adanya maksud Kiyai Supit Pramana yang hendak mengobati Untung Pararean.
Jika Untung Pararean berhasil diobati dan dapat maju kemedan laga menghadapi
pemberontak, itupun sudah cukup sebagai jaminan bahwa kaum pemberontak akan
kena ditumpas!
Maka atas
perintah Sri Baginda beberapa pengawal mengantarkan Kiyai Supit Pramana ke
kamar Untung Pararean. Di hadapan pintu kamar mereka berhenti. Salah seorang
Perwira memberi tahu, "Pintu ini dikunci dari dalam Kiyai."
Kiyai
Supit Pramana mengangguk. Sekali kaki kirinya yang kurus kering bergerak
menendang, maka bobollah pintu kamar yang terbuat dari kayu jati itu. Di dalam
kamar tampak Untung Pararean duduk menjelepok disudut kamar tengah sesenggukan!
Keadaan dirinya kurus kering laksana tengkorak. Kulitnya pucat pasi hanya
tinggal pembalut tulang. Matanya yang menonjol kedepan berwarna merah dan
ganas. Begitu dia melihat orang-orang itu. Untung Pararean mencabut keris
Mustiko Jagat. Hawa aneh membuat tubuhnya menjadi kuat dan laksana seekor
srigala lapar laki-laki ini melompat kehadapan Kiyai Supit Pramana seraya
berteriak.
"Kau
datang lagi pemuda bangsat! Kau datang lagi ya?! Mampus! Mampuslah kau
keparat!" Keris Mustiko Jagat menderu kearah dada Kiyai Supit Pramana.
"Awas
Kiyai!" memperingatkan seorang Perwira. "Itu senjata sakti dan
mengandung racun jahat sekali!"
******************
6
TERKESIAP
juga kiyai Supit Pramana melihat sinar biru pekat yang keluardari kerisdi
tangan Untung Pararean. Angin yang menyambarpun terasa dingin menembus kulit!
Tapi orang tua itu tidak kawatir! Cuma sekejap dia terkesiap. Perwira perwira
Kerajaan yang mengantarkannya tidak sempat melihat gerakan apa yang dibuat oleh
kakek kakek sakti itu karena tahutahu saja terdengar keluhan pendek Untung Pararean.
Perwira. yang sakit ini tegak mematung dengan kedua bola mata melotot seperti
mau melompat sedang keris Mustiko Jagat sudah berada dalam tangan Kiyai Supit
Pramana!
Sementara
Perwira-perwira Kerajaan itu terheran-heran, sang Kiyai mengeluarkan dua buah
botol dari balik pakaiannya. Botol pertama berisi cairan hitam. Botol kedua,
lebih kecil berisi cairan putih bening. Kiyai Supit Pramana membuka tutup botol
yang pertama lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengguyurkan cairan
hitam itu ke atas kepala Untung Pararean!
Meskipun
tubuhnya ditotok dan tak bisa bersuara, tapi ketika air hitam menyirami
kepalanya dan kepala itu kelihatan mengepul-ngepul maka dari mulut Untung
Pararean terdengar jeritan sedahsyat geledek membuat Perwira-perwira Kerajaan
yang ada disitu serasa terbang nyawanya! Dua kali Untung Pararean mengeluarkan
jeritan dahsyat itu lalu kembali mulutnya terkatup rapat-rapat. Kiyai Supit
Pramana membuka tutup botol yang kedua. Mulutnya kelihatan komat-kamit, entah
membaca mantera apa.
"Buka
mulutmu, Pararean!" memerintah sang Kiyai.
Aneh,
Untung Pararean benar-benar membuka mulutnya. Di saat itulah hal aneh lagi
terjadi. Cairan putih bening di dalam botol di tangan Kiyai Supit Pramana
menyembur laksana air mancur, masuk ke dalam mulut Untung Pararean.
"Minum.
Telan!" seru Kiyai Supit Pramana.
Cegluk .
. . cegluk … terdengar air itu lewat ditenggorokan Untung Paiarean.
"Bagus!
Nah, sekarang kau pergilah ke tempat tidur itu, berbaring dan tidurlah!"
Kiyai Supit Pramana melepaskan totokan ditubuh Untung Pararean dan begitu
totokan terlepas Perwira ini laksana patung hidup melangkah ketempat tidur,
membaringkan tubuhnya, memejamkan kedua matanya dan tidur!
Orang tua
itu kemudian berpaling pada Perwira-perwira Kerajaan yang berdiri
terlongong-longong dibelakangnya.
"Jika
dia sudah bangun nanti, sakit yang dideritanya akan sembuh. Katakan pada Raja
kalian bahwa sakit yang menimpa Untung Pararean bukan sembarang sakit! Tapi
adalah akibat kutukan seseorang terhadap apa yang pernah dilakukan
olehnya!"
"Kutukan
. . ,?" mengulang salah seorang Perwira.
Yang
terdengar sebagai jawaban hanya sambaran angin. Ketika perwira-perwira itu memandang
ke depan Kiyai Supit Pramana sudah tidak ada sedang keris Mustiko Jagat
kelihatan tertancap didaun pintu!
"Manusia
sakti luar biasa …" desis seorang Perwira. Kawan-kawannya hanya bisa
menganggukkan kepala sambil leletkan lidah!
Benar
seperti yang dikatakan oleh Kiyai Supit Pramana begitu Untung Pararean bangun
dari tidurnya, keadaan dirinya berubah total. Otaknya telah pulih sehat seperti
sedia kala sehingga Sri Baginda benar-benar gembira dan bersyukur atas
pertolongannya si kakek sakti dan aneh itu! Maka kepada Untung Pararean Sri
Baginda dan beberapa Perwira penting menerangkan bahaya apa yang tengah dialami
Kerajaan saat itu. Dalam pertemuan itu rencanapun segera disusun. Ketika sinar
matahari mulai berkurang teriknya karena sudah rembang petang, maka dari pintu
gerbang Kotaraja kelihatanlah serombongan besar bala tentara bergerak ke timur
di bawah pimpinan seorang Perwira yang menunggangi kuda hitam. Perwira ini
bertubuh kurus dan bermuka pucat, tapi gerak geriknya meyakinkan bahwa dia
bukan orang sembarangan, terutama yang bukan sembarangan adalah keris Mustiko
Jagat yang tersisip di pinggangnya. Dan Perwira itu bukan lain adalah Untung
Pararean! Di kiri kanannya bergerak pula beberapa orang Perwira Kerajaan yang
berkepandaian silat tinggi!
Meski
pada dasarnya Untung Pararean bukanlah apa-apa jika tanpa keris Mustiko Jagat,
namun harus diakui bahwa dia memiliki otak yang cerdik. Sewaktu hampir
berpapasan dengan bala tentara pemberontak, Untung Pararean sengaja mengirim
sejumlah kecil pasukan yang dibawanya. Sesudah terjadi pertempuran, dengan
jumlah pasukan yang lebih besar Untung Pararean dan Perwira-perwira lainnya
segera mengurung kaum pemberontak sehingga pemberontak-pemberontak itu harus
menqhadapi musuh dari depan dan dari belakang!
Amukan Untung
Pararean, jelasnya amukan keris Mustiko Jagat memang bukan main hebatnya.
Puluhan pemberontak menemui ajalnya di ujung senjata sakti itu. Dua orang tokoh
pemberontak yang berilmu tinggi mandi darah dan mati di tangan Untung Pararean.
Dua tokoh lainnya coba mengeroyok Perwira ini namun merekapun mengalami nasib
yang sama, harus menyusul dua kawan mereka yang terdahulu!
Sesudah
pertempuran berkecamuk hampir dua jam dengan banyak korban jatuh di pihak
pemberontak maka sisa-sisa yang masih tinggal, di bawah seorang tokoh silat
golongan hitam segera mengundurkan diri! Tapi Untung Pararean tak mau
melepaskan tokoh pemberontak yang seorang ini. Dipacunya kuda hitamnya mengejar
orang yang lain, yang kini sama sekali tak punya pimpinan barang seorang pun
banyak yang lari pontang-panting, ada juga yang menjauhkan diri, berlutut minta
ampun! Untung Pararean tak memperdulikan mereka yang berlutut minta ampun itu.
Semuanya dilabrak dengan tendangan dan babatan keris hingga di tempat itu
bertebaran lagi mayat-mayat kaum pemberontak!
Dengan
hati puas Untung Pararean kembali kepada pasukannya. Justru dalam perjalanan
kembali inilah tiba-tiba muncul satu sosok tubuh dari jurusan timur yang
berlari laksana kilat, memapas larinya kuda hitam yang ditunggangi oleh Untung
Pararena, hingga binatang ini menghentikan larinya, meringkik keras-keras
dengan menaikkan kedua kakinya ke udara tinggi tinggi, hampir saja membuat
Untuk Pararean terpelanting.
"Jahannam
dari mana yang minta mampus ini?" teriak Untung Pararean menggeledek. Sebagai
jawaban terdengar suara mendengus!
"Untung
Pararean manusia rendah hina dina! Sebelum kau mampus ada baiknya kuberi tahu
dulu siapa aku adanya!"
Orang
yang berkata ini seorang tua renta bertubuh bungkuk. Rambutnya awut-awutan dan
menebar bau busuk. Kuku-kuku tangannya panjang-panjang dan hitam. Dia
mengenakan sebuah jubah putih yang amat dekil dan penuh tambalan. Tubuhnya
kurus kering, lebih kurus dari Untung Pararean sendiri yang keadaannya sudah
seperti jerangkong itu. Mukanya yang buruk tambah tidak sedap dipandang karena
adanya bopeng-bopeng!
"Aku
Gambir Seta. Orang-orang menggelariku Pengemis Sakti Muka Bopeng … !"
"Hemm
. . . hanya seorang pengemis!" ejek Untung Pararean. "Aku tak ada
urusan dengan manusia macammu dan juga jangan harap belas kasihanku untuk
memberikan uang, sekalipun cuma sepeser!"
Orang tua
yang mengaku bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng itu tertawa aneh.
"Orang
yang mau mampus biasanya memang suka bicara tak karuan macam kau!"
"Manusia
bermuka tahu tertimpa hujan, menghindarlah kalau tak mau kulabrak dengan
kaki-kaki kudaku!" ancam Untung Pararean sementara dilihatnya beberapa
orang Perwira dan prajurit-prajurit bergerak ke arahnya.
"Mau
labrak? Silahkan! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan manusia yang telah
membunuh adik kandungku!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng pula.
Terkejut
Untung Pararean mendengar ucapan orang tua itu. "Apa katamu? Adikmu yang
mana yang telah kubunuh? Katakan lekas apakah kau juga salah seorang cecunguk
pemberontak?!"
"Kau
memaki pemberontak-pemberontak itu, Pararean? Jangan terlalu jauh melupakan
dirimu sendiri, Perwira! Ketahuilah. Kau lebih hina, lebih busuk dari
pemberontak-pemberontak itu!"
"Kurang
ajar! Kau benar-benar inginkan mampus rupanya!" teriak Untung Pararean
marah. Disentakkannya tali kekang kudanya, binatang itu melompat kemuka,
menerjang Pengemis Sakti Muka Bopeng!
Tapi apa
yang terjadi kemudian sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya Pengemis Sakti
Muka Bopeng menangkap kaki-kaki depan kuda hitam itu. Disertai dengan bentakan
setinggi langit kedua tangannya digerakkan. Maka melayanglah kuda hitam itu
sejauh delapan tombak! Untung Pararean sendiri kalau tidak lekas-lekas melompat
pasti akan mendapat celaka pula!
Untung
saja dia sempat mencabut keris Mustiko Jagat hingga dengan mengandalkan hawa
sakti senjata itu dia melayang enteng ke tanah dan begitu berhadapan dengan si
orang tua, langsung saja mengirimkan satu tusukan kilat yang mematikan ke arah
tenggorokan!
"Ha
… ha! Inilah dia keris Mustiko Jagat yang kau curi dari adikku! Kau harus
mengembalikannya padaku manusia keparat!"
Rasa
terkejut yang amat sangat membuat Untung Pararean menarik serangannya.
"Apa
katamu? Apa hubunganmu dengan Empu Bharata?!"
"Aku
kakaknya! Dan aku yang akan menagih hutang nyawa itu! Tapi ah, tidak! Aku tak
akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus bagimu, terlalu enak! Aku akan biarkan
kau tetap hidup, tapi hidup dengan menderita lahir bathin! Lebih hebat dari
penderitaanmu yang sudah-sudah!"
Habis
berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng menekuk kedua lututnya. Sesaat
kemudian tubuhnyapun melesat kemuka. Tapi pada saat itu dari samping datang
sambaran senjata, memapai serangan Pengemis Sakti Muka Bopeng. Manusia ini
menggeram dan berbalik. Ternyata tiga orang Perwira telah sampai di situ dan
sama-sama mencabut pedang menyerang si Pengemis!.
Salah
seorang dari Perwira-perwira itu bertanya. "Kangmas Untung, siapa monyet
tua ini?! Biar kami yang mencincangnya!"
"Kalian
menghindarlah! Nyawanya musti aku sendiri yang cabut!" teriak Untung
Pararean lalu dengan cepat, mengiblatkan keris Mustiko Jagat, menghunjam kearah
lawannya!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng tertawa aneh. Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari hadapan
Untung Pararean.
"Kangmas,
awas di sampingmu!" teriak Perwira memberi ingat.
Mendengar
ini Untung Pararean cepat membalik dan membabat ke samping laksana kilat! Maka
terdengarlah suara beradunya dua buah lengan!
Untung
Pararean mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung sampai delapan langkah ke belakang
Lengannya yang kena dipukul sakit bukan main merah dan bengkak! Masih untung
keris Mustiko Jagat tidak terlepas dari tangannya! Di lain Pihak Pengemis Sakti
Muka Bopeng juga terkejut mendapatkan bagaimana tangannya tergetar keras dan linu.
Tapi dia tahu bahwa itu bukanlah berkat kehebatan tenaga dalam atau kesaktian
si pemuda, melainkan hawa kekuatan sakti yang keluar dari keris Mustiko Jagat.
Maka satu-satunya jalan untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lekas adalah
merebut Mustiko Jagat dari tangan Untung Pararean!
Jurus
kedua kembali Pengemis Sakti Muka Bopeng yang membuka serangan. Ujung lengan
jubahnya yang sebelah kanan dikebutkan. Satu gelombang angin laksana topan
prahara menderu menyambar Untung Pararean! Pemuda itu kiblatkan keris Mustiko
Jagat dari kiri kekanan! Sinar biru memapas serangan angin dahsyat dari Gambir
Seta alias Pengemis Sakti Muka Bopeng. Terdengar suara berdentum. Debu pasir
serta batu-batu kerikil berterbangan. Bumi laksana dilanda lindu. Untung
Pararean mengeluarkan seruan tertahan sewaktu merasakan keris Mustiko Jagat
terlepas dari tangannya. Dia coba melompat untuk menjangkau senjata itu. Tapi
dia tak sadar. Sewaktu Mustiko Jagat lepas dari tangannya, maka segala
kesaktiannya yang dimilikinya dengan serta merta lenyap. Lompatannya tak
ubahnya seperti lompatan seekor anak ayam. Jangankan untuk berhasil mendapatkan
Mustiko Jagat kembali, bahkan saat itu satu tendangan melanda pinggulnya,
membuat Untung Pararean melolong setinggi langit, mencelat sampai tujuh tombak.
Tubuhnya angsok ditanah tanpa sadarkan diri lagi!
"Manusia
muka bopeng keparat!" teriak seorang Perwira Kerajaan. "Tubuhmu akan
kutabas jadi sepuluh potong!" Habis berteriak demikian dia bacokkan
pedangnya. Dua orang kawannya serentak menyerbu pula hingga Pengemis Sakti Muka
Bopeng terkurung tiga serangan pedang yang hebat ganas!
"Perwira-perwira!
Aku tak punya permusuhan apa-apa dengan kalian! Jangan serang!" seru
Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya memasukkan keris Mustiko Jagat ke balik
jubahnya. Tapi mana Perwira-perwira mau mendengar! Malah mereka bersirebut
cepat untuk dapat membunuh Pengemis Sakti Muka Bopeng! Dengan teriakan
mengguntur Pengemis Muka Bopeng melompat setinggi tiga tombak, jungkir balik di
udara dan keluar dari kurungan ketiga penaeroyoknya.
"Anjing
busuk! Kau mau kabur ke mana?!" Tiga Perwira Kerajaan mengejar sementara
puiuhan prajurit telah sampai pula, siap menunggu perintah untuk menyerbu!
"Perwira-perwira
degil! Jika kalian minta celaka baiklah! Lihat begaimana Pengemis Sakti Muka
Bopeng akan memberi pelajaran pada kalian."
Habis
berkata begitu, Pengemis Sakti Muka Bopeng berkelebat. Tubuhnya lenyap dari
pemandangan dan terdengarlah pekik ketiga Perwira itu!
******************
7
PERWIRA
yang pertama mencelat mental, remuk tulang dadanya. Perwira kedua terguling
beberapa tombak dengan tempurung lutut remuk sedang Perwira yang ketiga
terhempas Ketanah tak berkutik lagi karena perutnya pecah dihantam tendangan!
Pengemis Sakti Muka Bopeng mendonqak ke langit dan tertawa berkakakan lalu
membentak pada prajurit-prajurit yang ada di sekelilingnya.
"Ayo
maju kalau kalian kepingin mampus!"
Tentu
saja sesudah menyaksikan Perwira-perwira mereka menemui nabis begitu rupa,
semua prajurit itu sama sekali tidak mempunyai nyali untuk menempur kakek-kakek
bermuka bopeng itu. Dengan masih tertawa bekakakan Pengemis Sakti Muka Bopeng
lari ke arah di mana tubuh Untung Pararean menggeletak pingsan. Sesaat kemudian
diapun lenyap dari pemandangan dengan membawa tubuh Untung Pararean.
Untung
Pararean siuman tak berapa lama kemudian ketika tubuhnya masih dibawa lari oleh
kakek-kakek kurus kering itu. Pinggulnya terasa sakit karena tulang dibagian
situ remuk akibat tendangar si kakek. Bagaimanapun Untung Pararean mengerahkan
tenaga namun jangankan untuk bisa melepaskan diri dari kempit si kakek untuk
bergerak sedikitpun dia tidak sanggup!
"Muka
Bopeng, kau mau bawa ke mana aku?!" tanya Untung Pararean.
"Heh!
Kau sudah siuman?!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu menghentikan
larinya.
Dia
memandang berkeliling. Daerah itu adalah daerah rimba belantara tapi yang
banyak terdapat batu-batu besar. Dulunya ada sebuah sungai mengalir di situ,
tapi kemudian kering dan karena itulah ditempat! tersebut masih terdapat
batu-batu sungai yang besar-besar.
"Bagus!
Bagus! Tempat inipun cukup pantas untuk menyaksikan bagaimana hari ini aku
hendak merubah muka seorang manusia yang tampan gagah, seorang Perwira
Kerajaan, menjadi muka yang tebih buruk, lebih mengerikan dari muka
setan!"
Habis
berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak hingga seluruh
rimba belantara jadi bergema. Beberapa burung hutan lari beterbangan karena
dikejutkan oleh suara tertawa manusia itu! Dilepaskannya Untung Pararean dari
kempitan lalu dilemparkannya ke atas sebuah batu besar hingga Perwira itu menjerit
kesakitan!
Dengan
mengeluarkan suara tertawa lebih dahsyat, Pengemis Sakti Muka Bopeng melangkah
mendekati Untung Pararean. Untung Pararean tahu tak satu apapun yang bisa
dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Maka dengan susah payah dicobanya bangun
dan berlutut lalu sambil meratap dia minta ampun berulang-ulang.
"Kau
minta ampun? Puah . . . ! Tidak satu orangpun yang bisa mengampuni dosa
terkutukmu!"
"Kalau
kau mengampuni selembar nyawaku ini dan mengembalikan keris Mustiko Jagat. Aku
berjanji akan memberikan lima ratus keeping uang emas, barang-barang perhiasan
bahkan apa saja yang kau minta!" Pengemis Sakti itu cuma tertawa mendengar
ucapan Untung Pararean.
"Manusia
anjing! Aku memang tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus buatmu! Tapi apa
yang aku lakukan percayalah, lebih mengerikan dari kematian!"
"Pengemis
Sakti . . . "
"Sudah
diam!" bentak kakek-kakek itu lalu secepat kilat menjambak rambut Untung
Par,rean dengan tangan kirinya.
"Pertama
sekali mulai detik ini kau akan menyaksikan bagaimana bagusnya dunia ini bila
dilihat cuma dengan sebelah mata!".
"Begitu
selesai berkata tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng meluncur kedepan. Dua
jari tangan terpentang luruslurus dan "cras"! Biji mata Untung
Pararean yang sebelah kiri mencelat mental, darah dan urat-uratnya berbusaian!
Jerit laki-laki itu laksana mau merobek langit karena tekanan sakit yang tak
dapat dilukiskan sedang di lain pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa
gelak-gelak melihat hasil pekerjaannya!
"Bagaimana
kau lihat dunia ini sekarang? Bukankah lebih bagus? Lebih indah … ? Ha … ha . .
. .ha . . ha …!"
"Manusia
biadab!" teriak Untung Pararean dalam sakitnya. "Kau hanya berani
pada orang yang tak punya daya!"
"Kau
masih bisa menceloteh hah?! Coba kau rasakan ini! Aku mau lihat apa kau nanti
masih bisa bicara!" Tangan kanan Pengernis Sakti Muka Bopeng berkelebat
lagi ke muka Untung Pararean. Untuk kedua kalinya terderigar jeritan laki-laki
itu, tapi yang sekali ini tidak sedahsyat yang pertama tadi. Mungkin juga
disebabkan oleh mulutnya yang sebelah karan robek sampai ke pipi dibeset oleh
Pengemis Sakti Moka Bopeng. Tubuh Untung Pararean menggigil menahan sakit.
Sebagian dari bibirnya yang sebelah bawah menjulai akibat mulutnya yang robek
sedang darah yang keluar semakin menambah seram keadaan mukanya!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng bersurut mundur beberapa langkah. Lalu sambil bertolak
pinggang ditelitinya wajah Untung Pararean.
"Masih
kurang seram! Masih belum mengerikan!" katanya lalu maju lagi kehadapan
korbannya yang manggeletak di atas batu besar. Untuk ketiga kalinya tangan
kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng bergerak. Kali ini kelima jari-jari tangannya
yang berkuku panjang mencengkeram dimuka Untung Pararean yang saat itu befada
dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dan cengkeraman itu benar-benar membuat
muka Untung Pararean kini menjadi sangat mengerikan dan berselomotan darah.
Kulit kening dan kedua pipinya hancur bergurat-gurat. Cuping hidungnya sebelah
kiri tanggal!
"Nah,
sekarang baru kau betul-betul jadi manusia bermuka lebih seram dari setan! Aku
puas …! Aku puas! Ha . . . ha … ha!
Hiduplah
kau sampai seribu tahun, Pararean! Tak satu manusiapun yang akan mau
mendekatimu! Ha . . . ha … ha . . .!" Setelah puas tertawa beberapa
lamanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu berkata, "Sekarang kau tunggulah
sendirian di sini. Sebentar lagi tentu setan-setan, jin dan dedemit penghuni
hutan belantara ini akan mengunjungimu! Heh, sebelum lupa, aku nasihatkan
padamu agar jangan kembali ke kotaraja! Bisa-bisa semua orang akan kabur
ketakutan melihatmu si Perwira Kerajaan yang telah berubah menjadi setan!"
"Ha
… ha . . . ha!"
Pengemis
Sakti Muka Bopeng hendak berlalu dari situ. Tapi mendadak diputarnya badannya.
"Aku kelupaan!" katanya.
"Masih
ada yang kurang! Masih ada yang kurang!" Kedua tangannya diacungkan ke
muka lalu bergerak ke telinga Untung Pararean. Sekejap kemudian kedua daun
telinga laki-laki itupun buntunglah! Untung Pararean sendiri tak mengetahui apa
yang telah terjadi dengan dirinya karena saat itu dia sudah tidak sadarkan diri
lagi!
*******
Sang
surya telah menggelincir ke barat. Sinarnya yang terik menyilaukan kini berubah
redup kekuningan. Setiap benda yang disapu sinar itu seolah-olah berubah
warnanya menjadi kuning. Disaat hari menjelang sore itulah seorang kakek-kakek
tua berjubah putih bersih kelihatan berada disekitar hutan belantara.
Kelihatannya dia melangkah biasa saja tapi dalam tempo yang singkat dia sudah
melewati belasan tombak! Nyatalah bahwa orang tua itu memiliki semacam ilmu
lari yang luar biasa!
Bila
angin timur bertiup sejuk, orar:g tua itu telah lenyap ke dalam rimba
belantara. Tak selang berapa lama terdengarlah satu suara helaan nafasnya yan;j
dalam sekali. Si orang tua ternyata telah menghentikan "langkah"nya
dan berdiri di hadapan batu besar di mana tubuh Untung Pararean menggeletak!
"Tujuh
puluh lima tahun hidup, baru hari ini aku melihat kengerian yang luar biasa
ini," membathin si orang tua "Sungguh hebat kenyataan kutukan Empu
Bharata…" desisnya lagi dalam hati. Setelah menghela nafas dalam untuk
kedua kakinya orang tua ini melangkah lebih dekat. Saat itu tubuh Untung
Pararean yang menggeletak di atas batu, sedikitpun tidak bergerak. Tak ada
tanda-tanda getaran pernafasan pada dada ataupun perutnya. Namun sepasang mata
si orang tua yang tajam mengetahui bahwa Untung Pararean saat itu masih hidup.
Tanpa menunggu lebih lama orang tua itu lalu mengangkat tubuh Untung Pararean
dari atas batu, memangulnya untuk kemudian meninggalkan tempat itu dengan cepat
menuju ke utara. Siapakah gerangan orang tua yang telah membawa Untung Pararean
itu? Dia bukan lain Kiyai Supit Pramana yang dua hari lalu telah mengobati
Untung Pararean di Istana! Bagaimana maka dia bisa pula sampai di situ baiklah
kita tuturkan sedikit. Nama Kiyai Supit Pramana pada masa itu di tanah Jawa
dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang dihormati dan disegani berkat
ilmunya yang tinggi. Pada suatu malam di pertapaannya yang terletak di puncak
Gunung Bromo dia bermimpi kedatangan almarhum gurunya yang bernama Eyang
Pamanik. Dalam mimpi itu Eyang Pamanik berkata pada Kiyai Supit Pramana.
"Muridku,
tinggalkanlah puncak Bromo ini dan pergi ke Kotaraja. Di dalam lingkungan
Istana ada seorang Perwira Kerajaan yang menderita sakit keras! Sakitnya bukan
sembarang, sakit, tapi sakit akibat kutukan Empu Bharata yang pernah diam di
Gunung Slamet. Kau mempunyai kewajiban sebanyak tiga kali berturut-turut
menolong Perwira itu. Pertama mengobati sakitnya dengan ramuan Air Tawar Putih
dan Air Tawar Hitam. Bila sudah tinggalkan Istana dan pergi kebukit
Tulungsentana. Tunggu sampai satu setengah hari kemudian pergi kehutan yang
terletatak di tenggara Kotaraja. Kelak di dalam hutan ini kau bakal menemui
lagi Perwira itu dalam keadaan yang mengerikan. Itu adalah juga akibat kutukan
Empu Bharata. Pertolongan kedua yang harus kau lakukan muridku, ialah membawa
Perwira itu kepuncak Bromo ini, memberikan pelajaran ilmu silat padanya, tapi
sekali-kali kau tak boleh mengambil dia sebagai murid! Pertolongan yang ketiga
kelak harus kau lakukan di kemudian hari bila kau merasa bahwa nyawanya
betul-betul terancam. Sesudah itu meski apapun yang terjadi dengan dirinya, kau
tak berhak lagi menolongnya! "
Begitulah
kira-kira ucapan Eyang Pamanik pada Kiyai Supit Pramana dalam mimpinya.
Keesokan paginya, lama Kiyai Supit Pramana merenungi makna mimpi mendiang
gurunya itu. Memang pernah juga dia bermimpikan Eyang Pamanik, tapi dalam mimpi
itu sang guru cuma sekadar memperlihatkan diri saja, tak pernah bicara apalagi
sampai memberi pesan seperti itu. Yakin bahwa apa yang diimpikannya itu
hanyalah bunga tidur belaka, maka Kiyai Supit Pramana tak mau lagi mengigatnya.
Tapi pada malam berikutnya, mimpi yang sama datang kembali, bahkan terulang
lagi di malam ketiga!
Kini
Kiyai Supit Pramana merasa pasti bahwa mimpinya itu bukanlah sekedar mimpi
biasa, bukan pula apa yang dikatakan bunga tidur. Tanpa menunggu lebih lama
hari itu juga Kiyai Supit Pramana meniggalkan puncak Gunung Bromo menuju ke
Kotaraja. Dalam perjalanan ke Kotaraja itulah orang tua yang berumur 75 tahun
ini mengetahui bahwa saat itu Kerajaan tengah terancam bahava besar kaum
Pemberontak. Timbul niat dalam hati orang tua sakti itu untuk turun tangan
menumpas gembong-gembong pemberontak tapi dia ingat akan pesan gurunya di dalam
mimpi. Dia tak berani bertindak sendiri di kala ada kewajiban yang harus
dijalankannya. Karena itu dipercepatnya perjalanannya ke Kotaraja hingga tiga
hari kemudian sampailah dia ditempat tujuan tersebut.
Memasuki
Kotaraia kerrudian diketahuinya pula bahwa memang ada seorang Perwira Kerajaan
yang bernama Untung Pararean sedang menderita sakit yang kritis bahkan ada yang
mengatakan bahwa Perwira itu sudah gila, tak mau makan tak mau minum, kerjanya
berteriak-teriak, kadang-kadang menangis menggerung-gerung memanggil-manggil
anak isterinya yang pergi entah ke mana. Juga dikatakan bahwa siapa saja yang
berani mendekati Perwira yang sakit itu, pasti dibunuh. Kabarnya pula Perwira
itu memiliki sebilah keris bernama Mustiko Jagat! Sampai sebegitu jauh tak ada
seorang yang sanggup mengobati sakitnya sang Perwira. Raja sendiri sudah tak
berdaya apa-apa, mengingat pula saat itu yang menjadi pikiran Raja dan
Perwiraperwira lainnya bukanlah Perwira yang bernama Untung Pararean itu, tapi
bahaya besar yang mengancarn Kerajaan yakni serbuan kaum pemberontak yang sudah
berada sangat dekat dari Pusat Kerajaan! Kini betul-betul nyata bagi Kiyai
Supit Pramana, bahwa impian dan pesan gurunya dalam mimpi itu bukanlah hal yang
kosong belaka.
Bagaimana
Kiyai Supit Pramana mengobati dan menyembuhkan Untung Pararean telah
diceritakan. Sesudah melakukan pesan atau pertolongan yang pertama itu maka
Kiyai Supit Pramana lalu meninggalkan Kotaraja menuju ke bukit Fulungsentana.
Sesuai dengan pesan Eyang Pamanik, maka Kiyai Supit Pramana herdiam selama satu
setengah hari di bukit tersebut. Selewatnya satu setengah hari dia lalu menuju
ke hutan yang terletak di sebelah tenggara. Belum jauh memasuki hutan,
langkahnya terhenti sewaktu menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas sebuah batu
besar. Inilah rupanya sosok tubuh Untung Pararean sebagaimana yang diterangkan
Eyang Pamanik lewat mimpi!
Oleh
Kiyai Supit Pramana tubuh Untung Pararean yang berada dalam keadaan pingsan itu
kemudian segera dilarikan kepuncak Gunung Bromo.
******************
8
DUNIA berputar
juga. Siang berganti dengan malam, malam berganti pula dengan siang, demikian
terus tiada hentinya hingga tak terasa lagi enam belas tahun telah berlalu.
Selama enam belas tahun itu pulalah Untung Pararean tinggal dipuncak Gunung
Bromo bersama Kiyai Supit Pramana. Keadaan muka Untung Pararean meskipun sudah
sejak lama sembuh tapi bekas-bekas yang ditinggalkan tetap mengerikan. Melihat
penderitaan lahir maupun bathin Untung Pararean inilah maka Kiyai Supit Pramana
merasa kasihan padanya. Karena itulah pada Untung Pararean sang Kiyai
menurunkan ilmu silat dan beberapa pukulan-pukulan sakti. Berkat ketekunannya
meyakini semua yang dipelajari dari Kiyai tersebut maka dalam masa enam belas
tahun itu Untung Pararean telah menjadi seorang pendekar gemblengan. Disamping
pelajaran ilmu Oat, dari Kiyai Supit juga diterimanya berbagai macam pelajaran
yang bersifat kerohaniaan. Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan orang
tua itu kepada Untung Pararean sehingga Untung Pararean yang kini berumur tiga
puluh lima tahun itu bukan saja memiliki kepandaian yang tinggi, tapi juga hati
yang tabah.
Namun
kadang-kadang, bilamana dia berada seorang diri ingatannya melayang pada anak
istrinya. Tentu sekarang Sri Lestari sudah menjadi seorang remaja puteri.
Betapa rindunya dia terhadap anaknya itu, bahkan dia juga sering terkenang
terhadap istrinya, meskipun apa yang telah dilakukan Sri Kemuning tempo hari
tetap membekas dalam kalbunya laksana duri dalam daging.
Segala
tindak tanduk Untung Pararean tidak terlepas dari pengawasan Kiyai Supit
Pramana. Dan dia maklum juga apa yang terpikir oleh laki-laki itu bila berada
seorang diri. Pernah Kiyai Supit Pramana menganjurkan agar Untung Pararean
turun gunung untuk mencari anak istrinya dan berkumpul bersama-sama kembali.
Tapi saat itu Untung Pararean menjawab :
"Saya
lebih suka tetap, tinggal bersama-sama Kiyai di sini."
"Kenapa
begitu? Agaknya kau tak punya tanggung jawab sebagai seorang ayah dan sebagai
seorang suami."
Lama
Untung Pararean terpekur dan pada akhirnya dia menjawab juga, "Tanggung
jawab sebagai seorang suami sudah pernah kuberikan pada istriku, Kiyai. Dan
tanggung jawab itu telah disia-siakannya. Kiyai tentu maklum. . . . "
Kiyai
Supit Pramana mengangguk. Dia memang sudah tahu apa yang pernah terjadi antara
Untung Pararean dan istrinya yaitu ketika Untung menuturkan riwayat hidupnya.
"Lalu
karena hal itu apakah kau tak akar mempunyai hasrat sama sekali untuk menemui
anakmu?" bertanya lagi Kiyai Supit Pramana.
"Betapapun
seorang ayah selalu merindukan anaknya, Kiyai." kata Untung Pararean.
Ditelannya ludahhya lalu melanjutkan, "Tapi apakah dia akan mau mengakui
aku sebagai ayahnya? Kiyai saksikan sendiri bagaimana mengerikannya parasku
ini. Bahkan Sri Kemuning sendiripun pasti tak bisa mengenaliku! Aku tak ingin
mengecewakan hati Sri Lestari Kiyai, karena memiliki seorang ayah sepertiku
ini. Yang mukanya lebih seram dari muka setan!"
Bila
pembicaraan sudah sampai disitu, biasanya Kiyai Supit Pramana tak mau meneruskan
pembicaraan. Dia kawatir kalau diteruskan maka pembicaraan hanya akan membuat
menguaknya kembali luka derita di lubuk hati Untung Pararean yang coba hendak
dilupakan itu.
Pada
suatu hari, untuk satu keperluan Kiyai Supit Pramana menyuruh Untung Pararean
ke kota Linggoprobo di utara Gunung Bromo. Linggaprabo terletak di tepi pantai
yang ramai disinggahi perahuperahu dari pelbagai negeri dan sekaligus merupakan
salah satu kota pusat perdagangan di Jawa Timur pada masa itu. Dengan
mengenakan kain hitam untuk menutupi parasnya, Untung Parareanpun berangkatlah.
Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk mengenakan penutup muka begitu bila dia
turun gunung.
Sementara
itu di sebuah pulau yang terletak di Selat Madura terdapatlah sebuah bangunan
yang besar dan bagus yang keseluruhannya dibuat dari bambu kuning. Tiga orang
yang mengenakan pakaian kotor bertambal-tambal kelihatan berada diruangan muka.
Dari ruang dalam tak lama kemudian keluar seorang dara muda belia berparas
jelita. Rambutnya hitam panjang dijalin dua. Langkahnya ringan dan gerak
geriknya lincah. Seperti orang-orang yang berada di ruang muka itu, dara inipun
mengenakan pakaian ringkas bertambal-tambal tetapi bersih.
"Hai
jangan mengobrol juga! Ayah memanggil kalian!" seru dara itu.
Ketiga
orang laki-laki yang asyik bicara di ruang depan berpaling dan berdiri dari
kursi masing-masing lalu mengikuti si dara memasuki sebuah kamar.
Di dalam
kamar itu duduk bersila seorang laki-laki bermuka bopeng, berpakaian
bertambal-tambal. Karena tubuhnya yang bungkuk maka duduknya sangat menjorok ke
depan. Rambutnya awut-awutan dan bau. Sepuluh kuku jarinya panjang, hitam
berdaki. Tubuhnya yang bungkuk itu amat kurus hingga tak ubahnya seperti
jerangkong hidup.
Di
samping tua renta ini duduk seorang perempuan separuh baya berkulit hitam manis
dan berparas yang menyatakan bahwa dia dulunya adalah seorang perempuan yang
cantik. Perempuan inipun mengenakan pakaian yang bertambal-tambal. Kelima orang
yang masuk itu duduk bersila di atas tikar, si dara duduk di samping perempuan
separuh baya itu.
"Guru
memanggil kami, ada perlu apakah?" bertanya laki-laki yang berbadan sangat
gemuk, demikian gemuknya hingga tak kelihatan lagi batas dagu dengan leher! Dan
namanya Pengemis Badan Gemuk.
"Kurasa
kau dan saudara-saudara seperguruanmu sudah tahu tentang tantangan Si Cadar
Hitam," menjawab orang tua yang bermuka bopeng itu. "Aku muak
menghadapi manusia macam begituan. Karenanya kupanggil kalian ke sini untuk
memberi tugas agar kalian yang mewakilkan aku memenuhi tantangan itu."
"Terima
kasih yang guru telah menaruh kepercayaan besar terhadap kami," berkata
Pengemis Badan Gemuk, lalu tanyanya,
"Apakah
kami harus berangkat sekarang juga?"
"Ya.
Karena besoklah hari tantangan yang dikatakan oleh Si Cadar Hitam. Kalian
pergilah ke Linggoprobo dan tunggu dia di rumah makan Akik Rono yang terletak
di pangkalan perahu. Jika dia datang kalian tahu apa yang harus diperbuat.
Kalian jangan sampai membikin malu namaku dan juga membikin buruk nama kalian
sendiri selaku orangorang yang dijuluki Empat Pengemis Pulau Ras."
"Percayalah
guru, kami berempat pasti tak akan mengecewakan dan tak akan memberi malumu.
Kami minta diri sekarang!"
kata
Pengemis Badan Gemuk seraya berdiri. Dua orang kawannya yaitu masing-masing
Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera pula berdiri sementara
sang dara yang berjalin dua berkata pada perempuan disampingnya: "Ibu, aku
pergi bersama mereka."
"Pergilah
dan hati-hati. Jangan mengecewakan ayahmu, Lestari."
Sri
Lestari, demikian nama dara belia itu yang juga dikenal dengan julukan Pengemis
Cantik Ayu berdiri dan melangkah ke hadapan ayahnya untuk pamitan. Tak lama
kemudian dengan mempergunakan sebuah perahu, keempat orang yang di dunia
persilatan dikenal dengan nama Empat Pengemis Pulau Ras itupun berangkatlah
menyeberangi Selat Madura menuju ke pesisir Utara Pulau Jawa.
Siapakah
sesungguhnya orang tua bermuka bopeng yang tinggal dalam rumah besar terbuat
dari bambu kuning itu? Dia bukan lain dari Pengemis Sakti Muka Bopeng yang
sekitar enam belas tahun yang lglewat telah melakukan penuntutan balas terhadap
Untung Pararean atas kematian adiknya yaitu Empu Bharata.
Dan
perempuan berkulit hitam manis yang tadi duduk di sampingnya? Jangan pembaca
terkejut karena perempuan itu adalah Sri Kemuning, istri Untung Pararean yang
telah melarikan diri dari Istana yaitu sesudah dia tertangkap basah melakukan
perzinahan dengan seorang pengawal. Nasib peruntungan manusia memang tidak
di-duga-duga. Dalam larinya dari Istana bersama anaknya yang bernama Sri
Lestari, Sri Kemuning telah tersesat ke dalam rimba belantara yang penuh dengan
binatangbinatang buas. Dua beranak itu hampir saja menjadi pengisi perut seekor
harimau besar jika saat itu tidak muncul Pengemis Sakti Muka Bopeng. Setelah
menolong kedua beranak dan karena merasa kasihan melihat kehidupan mereka yang
terlantar, maka akhirnya Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri Kemuning dan
Sri Lestari ke Pulau Ras. Di sana mereka kemudian hidup sebagai suami isteri
tanpa sedikitpun di ketahui oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng bahwa perempuan
yang dikawininya itu adalah istri Untung Pararean yang melarikan diri! Kemuning
sendiri tak pernah menerangkan siapa dia sebenarnya karena dia kawatir
kalau-kalau akan sampai kabar ke telinga Untung Pararean di mana dia berada
yang berarti pasti akan dikejar pula dan dibunuh! Sewaktu Pengemis Sakti Muka
Bopeng membawa Sri Kemuning ke Pulau Ras, Sri Lestari masih kecil, dan sekarang
sesudafi lewat enam belas tahun Sri Lestari telah menjadi seorang gadis belia
yang berparas jelita. Sebagaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak mengetahui
bahwa Sri Kemuning adalah dulu istrinya Untung Pararean, maka demikian pula
dengan Sri Lestari Gadis itu tidak pula mengetahui kalau Pengemis Sakti Muka
Bopeng bukanlah ayah kandungnya!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng sangat menyayangi Sri Lestari. Karena itulah sejak dari kecil
Sri Lestari diberinya pelajaran silat sehingga enam belas tahun kemudian Sri
Lestari menjadi seorang gadis cantik yang tinggi sekali kepandaiannya!
Dalam
pada itu Pengemis Sakti Muka Bopeng juga mengambil tiga orang murid. Ketiganya
lakilaki. Mereka itu adalah Pengemis Badan Gemuk, Pengemis Kepala Botak dan
Pengemis Badan Kurus.
Pada
sekitar satu tahun yang lalu telah terjadi perselisihan antara Gambir Seta atau
yang lebih di kenal dengan gelaran Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seorang
tokoh silat dari Barat. Tokoh silat ini tak diketahui siapa namanya tapi karena
setiap muncul dia selalu mengenakan kain cadar berwarna hitam untuk menutupi
mukanya maka orang-orang persilatan menggelarinya Si Cadar Hitam. Aliran mana
yang dianut oleh Si Cadar Hitam tidak jelas. Kadangkadang dia bersekutu dengan
golongan hitam, kadangkadang bahu membahu dengan golongan putih menghancurkan
kejahatan-kejahatan golongan hitam!
Perselisihan
yang terjadi antara Perigemis Sakti Muka Bopeng dengan Si Cadar Hitam akhirnya
menjadi satu baku tanding yang dilangsungkan di Tanjung Bunga Rampai, yakni
sebuah tanjung terjal yang terletak di sebelah tenggara Pulau Ras. Pengemis
Sakti Muka Bopeng adalah seorangtokoh silat daerah Timur yang telah terkenal
ketinggian ilmunya. Namun kali ini agaknya dia menghadapi seorang lawan, yang
meskipun baru muncul, memiliki pula ilmu kepandaian yang luar biasa. Sehingga
setelah baku tanding sanmpai setengah harian barulah akhirnya Pengemis Sakti
Muka Bopeng berhasil memukul rubuh Si Cadar Hitam!
Bagi
Pengemis Sakti Muka Bopeng yang berhasil keluar sebagai pemenang, apa yang
telah terjadi bukan lagi merupakan persoalan yang hariis dipikir panjang. Tapi
tidak demikian bagi pihak yang kalah. Sebelum berpisah dalam kekalahan pahit
itu, Si Cadar Hitam telah mengeluarkan ucapan tantangan terhadap Pengemis Sakti
Muka Bopeng.
"Aku
akui keunggulanmu saat ini Muka Bopeng." demikian Si Cadar Hitam berkata,
"tapi itu bukan berarti aku akan mengakuinya selama-lamanya! Walau
bagaimanapun kemenanganmu di sini adalah karena kau berada di sarang
sendiri!"
"Lantas
apa maumu, Cadar Hitam?!" tanya Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seringai
mengejek.
"Kita
harus menentukan lagi siapa yang paling unggul antara kita berdua!" jawab
Si Cadar Hitam ketus.
"Apa
kau masih punya muka dan punya nyali sesudah kujatuhkan hari ini?!"
Cadar
Hitam menggeram dan menjawab, "Kau boleh bicara sombong saat ini karena
kemenanganmu. Tapi kutunggu kau satu tahun di muka di rumah makan Akik Rono di
pelabuhan Linggoprobo! Kalau kau tidak muncul, dunia persilatan akan mengetahui
bahwa kau hanyalah seorang bergundal pengecut belaka!"
Pengemis
Sakti Muka Bopeng tertawa membahak mendengar ucapan yang merupakan tantangan
itu. Sebaliknya Si Cadar Hitam memutar tubuh dan cepat-cepat meninggalkan
tempat itu! Ketika hari tantangan itu tiba, Pengemis Sakti Muka Bopeng merasa segan
untuk melayani Si Cadar Hitam. Karena itulah disuruhnya Sri Lestari dan ketiga
muridnya untuk mewakilinya dalam menghadapi Si Cadar Hitam.
******************
9
SEMUA
orang di pelabuhan Linggoprobo tak satupun yang berani mengangkat kepala
memandang kepada keempat orang yang baru saja turun dari perahu itu.
Orang-orang yang berkumpul bersibak memberi jalan.
"Aku
tak habis mengerti pada manusia-manusia itu," kata gadis yang rambutnya
dijalin dua. "Setiap kita muncul mereka ketakutan sekan-akan Empat
Pengemis Pulau Ras adalah empat ekor harimau kelaparan atau empat setan
pelayangan yang menyeramkan!"
Tiga
orang laki-laki yang berjalan di belakang gadis itu tertawa. Salah seorang di
antaranya, yang berbadan gemuk menjawab. "Tak usah perdulikan mereka! Kita
percepat saja langkah, siapa tahu mungkin Si Cadar Hitam, sudah menunggu di
rumah makan Akik Rono!"
Keempat
orang itu kemudian memutar langkah kejurusan timur pelabuhan di mana terletak
rumah makan Akik Rono, sebuah rumah makan besar yang cuma satu-satunya terdapat
di pelabuhan Linggoprobo.
Saat itu
hampir tengah hari dan rumah makan tersebut sedang ramai-ramainya dikunjungi
tamu. Tapi begitu Empat Pengemis Pulau Ras muncul di ambang pintu, semua orang
yang ada di situ, tak perduli sedang lahap makan atau masih tengah menunggu
pesanan mereka, cepat-cepat saja berdiri dan angkat kaki meninggalkan rumah
makan.
"Kalian
lihat!" kata dara berjalin dua yaitu Sri Lestari. "Mereka menghindar
sesudah melihat kedatangan kita!"
Laki-laki
yang berbadan gemuk yaitu Pengemis Badan Gemuk tidak mengacuhkan ucapan saudara
seperguruannya. Dia memandang ke seantero ruangan tapi orang yang dicarinya
tidak kelihatan.
"Rupanya
dia belum datang. Ayo kita masuk!"
Baru saja
Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu melewati ambang pintu, seorang laki-laki separuh
baya yang berbadan pendek dan tak kalah gemuknya dengan Pengemis Badan Gemuk
mendatangi tergopohgopoh, menjura pada keempat orang itu dengan hormat sekali.
Dialah Akik Rono, pemilik ruang makan.
"Kembali
rumah makanku mendapat kehormatan kedatangan ‘Empat Pengemis Pulau Ras. Mari
masuk dan silahkan mengambil tempat …?
Keempat
orang itu sengaja mengambil tempat yang baik agar dapat mengawasi pintu masuk
dengan leluasa. Sementara itu Akik Rono telah memberi perintah pada
pelayan-pelayannya untuk menghidangkan makanan serta minuman yang enak-enak
untuk keempat tetamu tersebut. Tak lama kemudian Empat Pengemis Pulau Ras
kelihatan asyik menikmati isi piringnya masing-masing.
Pengemis
Badan Gemuk tengah menyeka butirbutir peluh dikeningnya, Pengemis Badan Kurus
tengah mengulurkan tangan hendak memotes sebuah pisang, Pengemis Kepala Botak
tengah mengusap-usap perutnya yang keras padat kekenyangan dan Pengemis Cantik
Ayu telah menyibakkan rambutnya yang tergerai di kening ketika telinga
masing-masing mendengar suara siulah yang tak menentu tapi keras dan aneh!
Keempatnya saling berpandangan.
"Siapa
pula yang bersiul kegirangan di tengah hari bolong begini!" kata Pengemis
Kepala Botak sambil mengawasi pintu masuk.
Suara
siulan mendadak berhenti, berganti dengan suara tarikan nafas dan sesaat
kemudian di ambang pintu muncullah seorang pemuda berpakaian putih. Rambutnya
gondrong mukanya berminyak keringat dan kotor disaput debu tanda dia baru saja
menempuh perjalanan jauh. Sambil mengipas-ngipaskan tangannya untuk
mengurangkan hawa panas, pemuda ini pergi duduk dekat pintu. Dia memandang
berkeliling, memperhatikan Empat Pengemis Pulau Ras sejenak lalu berpaling pada
laki-laki separuh baya bertubuh gemuk dan pakai blangkon yang berdiri di sudut
kiri.
"Kota
besar seramai ini, rumah makannya cuma satu!" berkata pemuda itu
-seolah-olah pada dirinya sendiri. Dan dilihatnya laki-laki gemuk berblangkon
itu melangkah ke hadapannya.
Si pemuda
tersenyum. "Panas sekali!" katanya pada Akik Rono. "Orang
segemukmu apakah tidak kepanasan seperti aku?!"
Akik Rono
tersenyum pula. "Aku sudah biasa dengan udara laut yang panas. Kau mau
memesan apa, orang muda?"
Tamu yang
baru datang itu menyebutkan makanan dan minuman yang dikehendakinya. Akik Rono
baru saja meninggalkan meja si pemuda sejauh dua langkah ketika di seberang
sana didengarnya suara meja digebrak! Dengan muka pucat karena terkejut pemilik
rumah makan itu berpaling. Dilihatnya Pengemis Badan Gemuk berdiri dengan cepat
dan kasar hingga kursi yang didudukinya terpelanting dan mengeluarkan suara
berisik.
Dengan
langkah-langkah besar dan muka kelam merah sedang sepasang mata melotot garang,
Pengemis Badan Gemuk menuju ke meja di mana pemuda berambut gondrong duduk.
"Rambut
gondrong sialan! Kau berani kurang ajar menghinaku hah?"
Si pemuda
jadi melongo. Kedua alis matanya yang tebal naik ke atas sedang kulit keningnya
mengerenyit tanda dia terheran-heran.
"Tak
ada hujan tak ada angin kenapa kau mendadak beringas begini, sobat?!"
tanya si pemuda setelah terlebih dulu meneliti Pengemis Badan Gemuk dari kepala
sampai ke kaki.
"Kau
bicara apa tadi sama pemilik rumah makan ini? Ayo coba kau ulangi!" bentak
Pengemis Badan Gemuk.
"Eh
. . . " si pemuda menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. "kurasa
tak ada ucapanku yang kutujukan padamu. Apalagi dengan maksud menghina!"
"Kurang
ajar berani mungkir terhadap aku Pengemis Badan Gemuk! Tadi kau bicara tentang
panas dan tentang orang gemuk! Apa itu bukan berarti menghinaku?! Ayo lekas kau
berlutut minta ampun! Kalau tidak jangan menyesal bila kepalamu kupuntir ke
belakang!"
Dalam
keheranan yang masih belum lenyap si pemuda tiba-tiba tertawa. Mula-mula
pelahan, makin lama makin santar terbahak-bahak!
"Sobat
kau salah sangka! Kalau di sini cuma kau sendiri yang gemuk gendut memang bisa
juga kau merasa terhina! Tapi tadi aku bicara sama laki-laki itu! Dia sendiri
sama sekali tidak merasa terhina! Kenalpun aku tidak padamu, perlu apa menghina
segala?!"
Ucapan-ucapan
itu membuat Pengemis Badan Gemuk menjadi tambah naik darah.
"Kau
berani bermulut besar, bocah! Aku mau lihat apakah kau juga berani menerima
pukulanku ini!"
Habis
berkata begitu Pengemis Badan Gemuk mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Di saat itu dari meja di seberang sana terdengar seruan.
"Gemuk!
Kenapa kau mau melayani pemuda dogol yang tampaknya tidak berotak sehat itu?!
Jangan cari urusan tak karuan! Kita datang ke sini bukan untuk itu! Ayo
kembalilah ke sini!"
Si pemuda
rambut gondrong memalingkan kepalanya. Yang berseru adalah gadis cantik
berjalin dua. Dia tersenyum pada gadis itu dan berkata,
"Kau
betul saudari! Memang tak ada gunanya mencari urusan yang tak karuan! Satu hal
kuberi tahu padamu, tampangku memang dogol, namun otakku mungkin jauh lebih
sehat dari si gemuk ini!"
Pengemis
Badan Gemuk berteriak marah! Kaki kanannya melayang laksana kilat cepatnya ke
arah dada si pemuda rambut gondrong! Terdengar satu suara siulan yang disusul
dengan mentalnya kursi yang tadi diduduki si pemuda! Kursi itu bukan saja
mental tapi hancur berkeping-keping!
"Gemuk!
Aku bilang kembali ke sini!" teriak Sri Lestari, atau Pengemis Cantik Ayu.
"Kalau tidak aku akan laporkan pada ayah nanti!"
"Tapi
bangsat ini keliwat menghina, Lestari!" sahut Pengemis Badan Gemuk dengan
rahang-rahang menggembung.
"Biarkan
dia. Namanya saja orang sinting!" Sri Lestari berpaling pada pemilik rumah
makan.
"Akik
Rono, kau usirlah pemuda itu!" perintahnya.
Dengan
ketakutan Akik Rono meiangkah ke hadapan si pemuda rambu gondrong, lalu
berkata: "Den, aku harap kau sudi meninggalkan tempat ini…"
"Baik
baik tapi mana itu makanan yang aku pesan? Hidangkan dulu, nanti baru aku mau
pergi.
Jawaban
si pemuda membuat Akik Rono serba salah. Dia takut pada Empat Pengemis Pulau
Ras, tapi terhadap si pemuda itu agaknya dia juga tak berani berlaku
sembarangan. Maka diapun bicara berbisik-bisik: "Den, kau harus tahu
keempat orang itu adalah Empat Pengemis Pulau Ras yang berkepandaian silat
tinggi sekali! Aku tak ingin mendapat celaka. Kuharap kau sudi segera
meninggalkan tempat ini."
Si pemuda
merutuk dalam hatinya. "Meski bemama pengemis agaknya mereka mau menjadi
Raja di sini!" mengomel pemuda itu.
"Baik
aku akan pergi! Tapi pengusiran secara kurang ajar ini musti ada
imbalannya!" kata si pemuda bersungut-sungut. Cepat sekali tangannya
menyambar blangkon di kepala Akik Rono. Entah bagaimana kemudian kain blangkon
itu sudah terlepas dari buhul-buhulnya, lalu laksana seekor ular melesat
menyambar kemeja di mana Empat Pengemis Pulau Ras berada. Ujung kain blangkon
itu secara aneh menggulung sesisir pisang di atas meja dan sesaat kemudian
pisang itu tersapu ke arah sipemuda dan ditangkap dengan tangan kirinya!
"Ini
kukembalikan kain blangkonmu!" kata si pemuda seraya melemparkan kain
blangkon Akik Rono pada pemiliknya, lalu melangkah ke pintu! Justru pada saat
itu pula Pengemis Badan Gemuk cepat melompat dan menghadang di pintu.
"Kalau
tidak kupecahkan kepalamu, jangan panggil aku Pengemis Badan Gemuk dari Pulau
Ras!"
"Wuut!"
Satu
angin pukulan mendru kekepala si pemuda. Yang diserang cepat mengelak hingga
tinju Pengemis Badan Gemuk hanya mengenai tempat kosong. Dengan geram penasaran
Pengemis Badan Gemuk berbalik. Kali ini dia melancarkan serangan yang lebih
hebat. Kedua tangannya terpentang. Kedua kakinya menekuk siap untuk melompat.
"Gemuk!"
tiba-tiba saja terdengar seruan Sri Lestari alias Pengemis Cantik Ayu.
"Tinggalkan pemuda itu dan cepat ke sini!
Orang
yang kita tunggu sudah datang!"
******************
10
PENGEMIS
Badan Gemuk menahan gerakan dan berpaling cepat-cepat ke pintu rumah makan.
Saat itu di ambang pintu tegak seorang laki-laki berbadan tegap. Keseluruhan
parasnya tertutup sehelai kain hitam yang hanya di bagian matanya saja diberi
berlobang. Dan sepasang mata itu kelihatan memiliki sinar tajam yang menandakan
bahwa orang itu bukan orang sembarangan. "Hemmm . . . " gumam
Pengemis Badan Gemuk. "Kelak jika urusanku sudah selesai kau bakal
menerima bagian dariku rambut gondrong!" katanya pada pemuda rambut
gondrong lalu dengan satu gerakan cepat dan enteng dia sudah berada di samping
Pengemis Cantik Ayu. Di lain pihak pemuda berambut gondrong cuma ganda tertawa.
Kemunculan laki-laki bercadar hitam di ambang pintu menarik perhatiannya.
Karenanya kalau tadi dia berniat untuk meninggalkan rumah makan itu, kini niat
itu diurungkannya dan dia melangkah ke sudut rumah makan, berdiri di situ.
Laki-laki
bercadar kain hitam yang baru datang masih tetap berdiri di ambang pintu.
Sepasang matanya memandang tak berkesip pada Sri Lestari atau Pengemis Cantik
Ayu. Jika saja mukanya tidak tertutup dengan kain hitam itu niscaya akan
kelihatan bagaimana berubahnya paras orang itu sewaktu pandangannya membentur
Sri Lestari. Sri Lestari yang bertindak sebagai pimpinan Empat Pengemis Pulau
Ras juga memandang tajam-tajam pada orang yang di ambang pintu seakan-akan
hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah orang itu. Dan pandangan yang
begitu tajam ini membuat laki-laki tersebut menjadi berdebar.
"Cadar
Hitam!" kata Pengemis Cantik Ayu lantang. "Kami telah lama
menantikanmu. Silahkan masuk agar urusan kita bisa lekas diselesaikan!"
Karena
tidak merasa kalau Sri Lestari bicara dengannya maka laki-laki bercadar hitam
berpaling ke belakang.
"Aku
bicara padamu, Cadar Hitam! Kenapa kasak kusuk pura-pura melihat ke belakang
segala?!"
Ucapan
Sri Lestari membuat laki-laki itu memalingkan kepalanya kembali dan memandang
pada sang dara. Akhirnya kelihatan kakinya bergerak, melangkah memasuki rumah
makan. Tapi dia masuk bukan terus menemui Empat Pengemis Pulau Ras, melainkan
melangkah mendapatkan Akik Rono yang berdiri di seberang sana dengan muka pucat
pasi macam kertas!
"Kau
pemilik rumah makan ini? Tolong sediakan hidangan. Aku lapar sekali!"
berkata laki-laki bercadar pada Akik Rono.
"Ba
. . . baik . . . den," jawab pemilik rumah pemilik rumah makan itu gagap
tanda dirinya diselimuti ketegangan. Kemudian cepat-cepat dia membalikkan badan
meninggalkan tempat itu.
Melihat
orang yang tidak ambil perduli dirinya dan saudara-saudara seperguruannya maka
marahlah Sri Lestari. Dara ini pun membentak.
"Cadar
Hitam! Mungkin kau masih belum kenal siapa kami! Kami adalah Empat Pengemis
Pulau Ras yang sengaja menunggu disini untuk mewakili guru dan ayahku!"
"Gadis,
kau bicara dengan siapakah?" bertanya laki-laki bercadar hitam yang bukan
lain adalah Untung Pararean yang meninggalkan puncak Ofinung Bromo karena
suruhan Kiyai Supit Pramana. Pengemis Cantik Ayu mendelikkan matanya.
"Apa
kau tidak punya mata tidak punya telinga? Aku bicara padamu dan masih bertanya
macam orang setengah edan!"
"Mungkin
dia benar-benar edan, saudaraku," menyambung Pengemis Badan Gemuk yang
sudah gatal-gatal tangannya untuk segera turun tangan.
"Kalau
begitu kau salah paham, gadis", kata Untung Pararean pula. "Aku bukan
Cadar Hitam!"
"Pengecut
berani dusta!" sentak Pengemis Kepala Botak dengan rahang-rahang
bertonjolan penuh geram. Dia hendak melangkah tapi ditahan oleh Pengemis Cantik
Ayu.
"Rupanya
nyalimu menjadi lumer berhadapan dengan murid-murid musuh besarmu?" ejek
Pengemis Cantik Ayu.
"Aku
betul-betul tak mengerti dengan pambicaraanmu ini," tukas Untung Pararean.
"Puah!
Pura-pura tidak mengerti!" semprot Pengemis Badan Gemuk sambil meludah.
"Dengar
Cadar Hitam . . . "
"Namaku
bukan Cadar Hitam. . . "
"Apakah
namanya aku tak perduli! Tapi tak perlu dusta! Bukankah kau datang ke sini
untuk melaksanakan tantangan yang kau tujukan pada Pengemis Sakti Muka Bopeng
sekitar satu tahun yang lalu?! Kami murid-muridnya di utus ke sini untuk
mewakili beliau melayanimu!"
Untung
Pararean terkejut. Terkejut bukan karena tantangan yang tak pernah dibuatnya
itu, tetapi terkejut ketika mendengar nama Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sebagai
orang yang pernah hidup bersama Empu Bharata selama bertahuntahun Untung
Pararean tahu betul bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng atau yang nama aslinya
Gambir Seta adalah kakak kandung Empu Bharata. Dari Kiyai Supit Pramana, Untung
Pararean mengetahui pula bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng itulah yang telah
menyiksa dan merusak mukanya hingga cacat mengerikan seumur hidup! Sudah sejak
lama mendekam dendam kesuma dilubuk hati Untung Pararean terhadap Pengemis
Sakti Muka Bopeng itu, tapi karena jarang turun gunung dia tak mengetahui
dengan jelas di mana tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng tersebut!
"Jadi
kalian berempat adalah murid-muridnya Pengemis Sakti Muka Bopeng …?!"
desis Untung Pararean.
"Nah,
sekarang kau mulai mengaku buka kedok, huh?!" tukas Pengemis Kepala Botak.
"Katakan
terus terang kalian mau apa?!"
Pengemis
Cantik Ayu tertawa tinggi. "Kami hanya akan memberi sedikit pelajaran pada
manusia tak tahu diri macam kau yaitu agar jangan berani-beranian berlaku
kurang ajar terhadap guru kami." jawab Sri Lestari.
"Hem,
begitu?" ujar Untung Pararean dengan senyum mengejek dari balik kain
penutup wajahnya. "Aku memang ada urusan yang perlu diselesaikan dengan
guru kalian yang bernama Pengemis Sakti Muka Bopeng itu. Tapi yang patut kalian
ketahui aku bukanlah Si Cadar Hitam!"
"Tak
perlu kita bicara panjang lebar!" tukar Pengemis Cantik Ayu.
"Betu1!"
sahut Untung Pararean, "cuma perlu kalian ketahui bahwa guru kalian adalah
seorang pengecut. Kalau tidak mengapa dia hendak mengandalkan kalian berempat
menghadapi Si Cadar H itam?!"
"Katakan
saja kau tidak punya nyali menghadapi kami berempat!" jawab Pengemis
Cantik Ayu lalu memberi isyarat pada saudara-saudara seperguruannya. Pengemis
Badan Gemuk, Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera bergerak
sementara Untung Pararean kelihatan tenang-tenang saja tapi sepasang matanya
meneliti posisi ketempat lawan yang bakal dihadapinya.
"Tunggu
dulu!" terdengar seruan dari samping kiri. Yang berseru ternyata pemuda
rambut gondrong tadi.
"Kalau
kalian berempat hendak mengeroyok orang ini, itu adalah satu kecurangan yang
keliwatan! Bagaimana kalau aku ikut membantunya? Meski tetap curang tapi kurasa
itu lebih baik agar kalau kalian nanti dikalahkannya kalian masih punya sedikit
muka!"
Pengemis
Badan Gemuk yang memang sejak tadi sudah marah terhadap si rambut gondrong ini
jadi naik pitam. Tangan kanannya didorongkan ke arah dada si pemuda. Terdengar
suara menderu. Yang diserang melihat datangnya sambutan angin, mengeluarkan
suara bersiul lalu melambaikan tangan kirinya pada saat angin deras yang keluar
dari dorongan tangan Pengemis Badan Gemuk setengah jengkal lagi hendak
menghantam dadanya!
Terjadilah
hal yang membuat terkejut Pengemis Badan Gemuk dan saudara-saudara
seperguruannya. Pukulan jarak jauh Pengemis Badan Gemuk bukan saja tak sanggup
mencapai sasarannya tapi disapu demikian rupa hingga menjibak ke samping dan
terus menghantam dinding. Piring-piring dan gelas serta apa saja yang ada di
atas meja itu mencelat berhamburan dengan menimbulkan suara bergrompyangan!
Untung
Pararean juga tak kurang terkejut. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pengemis
Badan Gemuk tadi bukan pukulan sembarangan. Tapi si pemuda rambut gondrong
menyapunya dengan satu lambaian tangan acuh tak acuh bahkan tubuh atau kakinya
tidak bergerak barang sedikitpun! Dan itu dilakukannya sambil tertawa
cengar-cengir!
"Sahabat
muda," kata Untung Pararean cepat. "Terima kasih atas itikad baikmu
hendak menolongku! Tapi kalau cuma menghadapi lawan-lawan besar mulut macam
mereka ini kurasa aku punya kesanggupan untuk memberi mereka sedikit
pelajaran!"
"Anjing
kurap edan! Kau makanlah dulu kursi ini!" teriak Pengemis Badan Gemuk.
Dalam sekejap itu pula sebuah kursi laksana kilat cepatnya menyambar ke arah
Untung Pararean.
Selama
enam belas tahun menerima pelajaran ilmu silat dan kesaktian dari Kiyai Supit
Pramana telah menjadikan Untung Pararean seorang pendekar yang bukan
sembarangan. Melihat datangnya kursi kayu itu diulurkannya tangan kanannya
dengan jari telunjuk diacungkan lurus-lurus. Dengan mengandalkan jari telunjuk
itu ditahannya salah satu kaki kursi. Ketika jari telunjuk itu dibengkokkannya
sedikit, kursi itu berputar tiga kali berturut-turut di ujuny jarinya dan yang
lebih hebat lagi ialah ketika Untung Pararean membentak. "Pergi!"
Kursi itu mencelat mental ke arah Pengemis Badan Gemuk kembali!
"Hebat!
Hebat sekali!" seru pemuda rambut gondrong memuji kelihayan Untung
Pararean. Di lain pihak Pengemis Badan Gemuk naik pitam bukan main. Kursi yang
kembali menyambar ke arahnya dihantamnya dengan tangan kanan hingga hancur
berantakan. Beberapa kayu pecahan kursi menancap di langit-langit rumah makan!
Tiba-tiba
terdengar teriakan nyaring keluar dari mulut Pengemis Cantik Ayu dan dikejap
itu pula Empat Pengemis Pulau Ras serempak menyerbu Untung Pararean dengan
senjata masing-masing.
"Curang!"
teriak pemuda rambut gondrong. "Curang!" teriaknya lagi.
Habis
berseru demikian Pengemis Cantik Ayu melesat ke hadapan si rambut gondrong
seraya mengiblatkan sepasang golok perak yang sangat tipis di kedua tangannya!
Serangan yang dilancarkan oleh Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu adalah
jurus yang dinamakan "sinar pelangi pecah di udara".
Golok di
tangan kanannya membabat ke batang leher sedang golok di tangan kiri menderu ke
bawah perut pemuda rambut gondrong. Pemuda ini terkejut sekali karena tak
menyangka serangan lawannya demikian hebat dan cepat. Namun karena dia bukan
pula orang sembarangan, dengan melompat sebat ke belakang dia berhasil
mengelakkan serangan hebat itu.
Tapi
betapa terkesiapnya dia sewaktu tiba-tiba saja sang dara mengirimkan satu
serangan susulan yang bernama "pelangi menggelung gunung". Sepasang
golok perak yang tadi mengenai tempat kosong kini membalik laksana silangan
gunting, mengancam dada dan pinggang si pemuda!
Pemuda
rambut gondrong mengeluarkan siulan nyaring. Lututnya ditekuk. Tubuhnya
merunduk sedang kedua tangannya yang terpentang lurus memukul ke kiri dan ke
kahan. Inilah jurus pertahanan yang sekaligus merupakan gerakan menyerang yang
di namakan "kipas sakti terbuka"!
Sri
Lestari merubah kedudukan sepasang golok peraknya agar dapat sekaligus membabat
putus sepasang lengan lawan yang terpentang itu. Namun kagetnya bukan kepalang
sewaktu melihat bagaimana sepasang lengan lawan cepat sekali menyusup ke bawah,
ke arah pergelangan tangannya. Dari pergelangan tangan si pemuda jelas terasa
keluar sambaran angin dingin. Hal ini membuat Sri Lestari menjadi ragu-ragu
untuk meneruskan serangannya. Dalam keragu-raguan ini hampir saja lawannya
berhasil memukul lengannya kalau tidak cepat-cepat dia melompat ke belakang!
Untuk sesaat lamanya kedua orarig itu saling bentrokan pandangan. Si pemuda
tersenyum.
"Ayo,
mari diteruskan! Bukankah kau ingin melenyapkan aku?!"
Pengemis
Cantik Ayu melototkan matanya. Namun entah mengapa hatinya bergetar sewaktu
dirasakannya sorotan mata pemuda rambut gondrong itu laksana menembus sampai ke
lubuk hatinya. Namun getaran itu hanya sebentar saja. Sesaat kemudian Sri
Lestari berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat lenyap sedang sepasang goloknya
bergulung-gulung hanya merupakan sinar putih. Melihat datangnya serangan yang
luar biasa ini pemuda rambut gondrong tak mau bertindak gegabah.
Cepat dia
memasang kuda-kuda pertahanan yang kokoh dan sesaat kemudian dia sudah menyerbu
ke depan memapasi serangan lawannya!
Sementara
itu pertempuran antara Untung Pararean dan ketiga Pengemis Pulau Ras lainnya
berlangsung seru sekali. Lima jurus pertama keadaan seimbang, namun jurus-jurus
selanjutnya kelihatan Untung Pararean mulai menerima tekanan-tekanan. Yang
menyulitkan kedudukan laki-laki ini adalah karena ketiga lawannya memakai
senjata sedang dia sendiri sampai saat itu masih mengandalkan tangan kosong. Di
sini nyatalah bahwa betapapun tingginya ilmu kepandaian Untung Pararean namun
kepandaian ketiga lawannya tidak pula rendah, apa lagi dengan bersenjata begitu
rupa. Jurus demi jurus keadaan Untung Pararean makin terdesak. Beberapa kali
lakilaki ini mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya namun semua itu hanya untuk
sekedar mempertahankan diri dari desakan yang semakin gencar. Diamdiam Untung
Pararean mulai keluarkan keringat dingin!
Pemuda
rambut gondrong yang tengah menghadapi serangan gencar Sri Lestari masih sempat
melirik dan menyaksikan keadaan Untung Pararean yang berbahaya. Kini dia tak
bisa bertindak main-main dan harus berlaku cepat jika tak ingin laki-laki
bercadar itu, menjadi korban keroyokan. Rumah makan itu bergetar, sendi-sendi
tiang berderik sewaktu dari mulut si pemuda keluar suara bentakan yang
menggeledek! Untuk sejenak semua orang yang ada di situ terkesiap. Sri Lestari
melihat pemuda itu menggerakkan tangan kirinya. Satu gelombang angin yang amat
dahsyat menderu menerpa tubuhnya. Betapapun gadis itu mempertahankan diri dan
mengerahkan tenaga dalamnya, tetap saja tubuhnya terhuyung gontai. Dan sebelum
dia sanggup mengimbangi diri, si pemuda sudah melompat ke hadapannya,
mengulurkan kedua tangannya. Terdengar seruan Sri Lestari.
******************
11
"SOBAT
Bercadar, pakailah golok-golok ini!" seru si rambut gondrong dan sepasang
golok S perak milik Sri Lestari yang berhasil di rampasnya, dilemparkannya ke
arah Untung Pararean. Dengan gada batu pualam yang ada di tangan kanan nya
Pengemis Badan Gemuk coba menyampok kedua golok itu tapi niatnya terpaksa
dibatalkan karena di saat yang sama Untung Pararean menyorongkan kaki kanannya
ke perut laki-laki itu. Sewaktu Pengemis Badan Gemuk menyurut ke belakang guna
menghindarkan tendangan maut Untung Pararean, kesempatan ini dipergunakan oleh
Untung Pararean untuk menyambut kedua golok perak yang melayang di udara.
"Saudara!
Awas di belakangmu!" teriak si pemuda rambut gondrong.
Untung
Pararean membalik dengan cepat. "Trang"!
Golok
perak di tangan kanannya beradu keras dengan gendewa baja yang menjadi senjata
Pengemis Badan Kurus. Bentrokan itu membuat tangan masing-masing tergetar hebat
dan keduanya sama-sama tersurut beberapa langkah! Nyatalah bahwa kekuatan
tenaga dalam mereka berada di tingkat yang sama. Dalam pada itu Pengemis Badan
Gemuk dan Pengemis Kepala Botak yang bersenjatakan sebuah sabuk hitam telah
menyerbu pula ke muka. Pertempuran yang berlangsung bertambah hebat. Namun kali
ini ketiga pengeroyok harus berhati-hati karena yang mereka hadapi kini adalah
Untung Pararean yang sudah bersenjata yaitu sepasang golok perak perak tipis
milik Sri Lestari. Tubuh laki-laki itu lenyap berubah menjadi bayangbayang. Dan
bayang-bayang tubuhnya itu terbungkus pula oleh sinar putih sepasang golok yang
berkiblat kian kemari.
Beberapa
kali terdengar suara bentrokan senjata dan berkali-kali pula Pengemis Badan
Gemuk serta kedua saudaranya terpaksa mundur terus menghadapi amukan Untung
Pararean!
Pada
waktu Untung Pararean berhasil menyambut sepasang golok yang dilemparkan pada
waktu itu pula Pengemis Cantik Ayu atau Sri Lestari dengan penuh amarah
mendorongkan kedua tangannya ke arah pemuda rambut gondrong.
"Wuss!
Wuss!"
Dua larik
sinar hitam yang teramat panas menderu ke arah sirambut gondrong. Itulah
pukulan "api hitam" yang sangat ganas. Demikian hebatnya ilmu pukulan
itu hingga Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya menurunkannya pada Sri Lestari
saja. Pemuda rambut gondrong kaget sekali karena tak menduga kalau sigadis
memiliki ilmu pukulan hebat demikian rupa. Cepat-cepat dia membuang diri ke
samping. Tapi masih terlambat. Bahu kirinya kena disambar salah satu larikan
sinar hitam.
Pakaian
putihnya kejap itu juga dikobari api! Pemuda itu mengeluh pendek dan
cepat-cepat mempergunakan tangan kanannya menepok-nepuk api yang berkobar
hingga akhirnya padam.
Sri
Lestari memandang dengan mata terbeliak pada pemuda rambut gondrong itu. Dia
betul-betul tak bisa percaya akan apa yang disaksikannya! Sewaktu ilmu pukulan
itu baru setengah bagian saja dipelajarinya dari Pengemis Sakti Muka Bopeng,
Lestari pernah mencobanya terhadap sebatang pohon beringin dan pohon itu hangus
hancur dan tumbang berkeping-keping! Menyaksikan si pemuda hanya bajunya saja
yang terbakar hangus dengan kulit bahu yang sedikit kemerahan akibat pukulan
"api hitam" nya tadi, tentu saja Sri Lestari tak bisa mempercayainya.
Sambil
menggosok-gosok kulit bahunya yang merah dan sakit si pemuda rambut gondrong
memandang menyorot pada Sri Lestari. Tapi tak sedikitpun pandangan itu membayangkan
amarah atau dendam kesumat, malah kemudian pemuda ini tertawa dan berkata.
"Pukulanmu
hebat, gadis! Tapi adalah pengecut menyerang lawan secara membokong!"
"Siapa
suruh kau bertindak lengah!" damprat Sri Lestari. "Sudah kebagusan
kau tidak kubikin mampus, hanya kuberi sedikit pelajaran!"
Pemuda
itu tertawa gelak-gelak. "Sekarang giliranku pula untuk ganti memberikan
sedikit pelajaran padamu," katanya. Lalu dia berseru. "Awas
dadamu!"
Tubuh
pemuda tersebut melompat ke muka dan tangan kanannya cepat sekali bergerak ke
arah dada si gadis! Tentu saja Sri Lestari tak mau buah dadanya dijamah
seenaknya.
"Pemuda
kurang ajar!" bentaknya seraya cepatcepat menghindarkan diri dan dengan
tangan kirinya kembali melepaskan pukulan "api hitam". Tapi si pemuda
sudah lenyap dari arah serangan. Dan tahu-tahu Sri Lestari atau Pengemis Cantik
Ayu merasakan sambaran angin di belakangnya. Cepat gadis ini membalik dan
menghantamkan tangan kanannya. Serangannya itu cuma mengenai tempat kosong,
sebaliknya kulit punggungnya terasa sakit sekali dan detik itu pula tubuhnya
tak bisa digerakkan lagi. Ternyata si pemuda telah berhasil menotok tubuhnya!
"Nah,
nah! Sekarang kau berdiri sajalah baik-baik di situ dan jangan banyak tingkah.
Mari kita sama-sama saksikan pertempuran kawan-kawanmu melawan laki-laki
itu!"
"Pemuda
kurang ajar! Kalau tidak lekas kau lepaskan totokan ini, jangan harap kau bakal
dapat pengampunan dariku!"
mengancam
Sri Lestari. Meski sekujur tubuhnya kaku tegang tapi dia masih bisa bicara
karena si pemuda sengaja tidak menotok jalan suaranya.
Si pemuda
hanya tertawa gelak-gelak mendengar ancaman itu. Baru saja dia berpaling hendak
menyaksikan pertempuran antara Untung Pararean dengan ketiga Pengemis Pulau
Ras, terdengar pekik Pengemis Kepala Botak. Sabuknya mental ke udara, tangan
kanannya berlumuran darah. Cepat-cepat dia melompat keluar dari kalangan
pertempuran dengan muka pucat pasi!
"Ha
… ha! Untung saja bukan kepala botakmu yang dilalap golok laki-laki itu!"
ejek pemuda rambut gondrong lalu tertawa membahak.
Dalam
sakit dan amarah yang bergejolak, Pengemis Kepala Botak jadi kalap. Cepat
dipungutnya sabuknya yang tadi jatuh, laiu menghambur menyerang si pemuda!
Betapapun hebatnya serangan yang dilancarkan namun karena disertai amarah kalap
dengan sendirinya tidak memakai perhitungan yang tepat. Begitu si pemuda
melompat ke samping, akibat pukulan yang mengenai tempat kosong, Pengemis
Kepala Botak tersorong ke depan. Di saat itu pula si pemuda gerakkan tinju
kanannya memukul punggung Pengemis Kepala Botak. Tak ampun lagi si botak ini
jatuh menelungkup dengan keras di lantai rumah makan, untuk berapa lamanya tak
bisa berkutik! Kembali terdengar suara tertawa pemuda rambut gondrong!
Sementara
itu Untung Pararea telah mendesak hebat pengeroyoknya yang kini hanya tinggal
dua orang yaitu Pengemis Badan Gemuk dan Pengemis Badan Kurus. Sepasang golok
putih berkelebat diantara deru gada batu pualam dan gendewa baja.
"Gemuk,
agaknya kita tak bakal bisa merobohkan bangsat ini," ujar Pengemis Badan
Kurus dengan ilmu menyusupkan suara.
"Apa
rencanamu?!" menanya Pengemis Badan Gemuk yang nafasnya sudah Senin-Kemis
dan pakaian basah oleh keringat.
"Kita
tinggalkan saja tempat sialan ini! Kembali ke pulau Ras."
"Kau
mau kita mendapat hukuman dari guru?"
Pengemis
Badan Kurus terdiam. Lalu dia dapat akal dan cepat-cepat berkata,
"Ceritakan saja Si Cadar Hitam tak datang memenuhi tantangan yang
dijanjikannya!"
Sebenarnya
Pengemis Badan Gemuk merasa ragu-ragu. Tapi melihat kenyataan bagaimana detik
demi detik sepasang golok di tangan Untung Pararean semakin ganas dan
berbahaya, merangsek mereka terus menerus, mau tak mau Pengemis Badan Gemuk
menurutkan juga ucapan saudara seperguruannya itu.
Demikianlah,
dalam jurus pertempuran yang ke empat puluh dua setelah melancarkan satu
serangan serempak yang hampir tak ada artinya, kedua orang ini melompat keluar
dari kalangan pertempuran. Pengemis Badan Gemuk cepat menyambar Sri Lestari
sedang Pengemis Badan Kurus menyambar si botak yang masih menelungkup tujuh
keliling di lantai rumah makan.
"Pengecut!
Kalian mau ke mana?!" bentak pemuda rambut gondrong. Dia hendak bergerak
ke pintu guna menghalangi. Tapi langkahnya tertahan sewaktu laki-laki bercadar
itu di dengarnya berseru,
"Biarkan
saja mereka pergi!"
Sesaat
kemudian Empat Pengemis Pulau Ras itupun lenyap dari pemandangan.
"Aku
tak mengerti mengapa kau membiarkan mereka pergi begitu saja," kata si
pemuda. "Keempatnya menginginkan jiwamu dan yakinlah bahwa pada suatu hari
kelak mereka akan muncul lagi untuk membunuhmu!"
"Soal
nanti biar kita pikirkan nanti, sahabat muda. Mari kita duduk dulu melepaskan
dahaga," jawab Untung Pararean lalu duduk di kursi. Si pemuda
menggaruk-garuk kepalanya dan mengambil tempat duduk di hadapan Untung
Pararean.
"Terima
kasih atas pertolonganmu," kata Untung Pararean sesudah Akik Rono datang
membawakan minuman dan hidangan untuk mereka.
"Lupakan
hal itu, sobat. Jawab dulu pertanyaanku apakah kau Si Cadar Hitam atau
bukan?!"
Untung
Pararean meneliti paras si rambut gondrong sejenak lalu berkata, "Aku akan
jawab kalau terlebih dahulu kau menerangkan siapa kau adanya."
"Namaku
Wiro. Aku kebetulan saja berada di kota ini."
Untuk
kedua kalinya Untung Pararean meneliti paras pemuda di hadapannya.
"Apa
kau bukannya Wiro Sableng, orang yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212?!"
Si pemuda
tertawa perlahan.
Untung
Pararean dengan serta merta berdiri. Belum sempat dia hendak menjura memberi
hormat pemuda itu sudah menarik tangannya.
"Apa-apaan
ini? Lupakan segala macam peradatan. Aku yang muda yang sebenarnya harus
memberi hormat padamu."
"Nama
besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212. Meskipun tadi kau menarangkan
kehadiranmu di Linggoprogo ini adalah satu kebetulan, tapi aku tidak yakin. Di
mana kau muncul pasti mempunyai maksud-maksud tertentu. Katakan saja terus
terang. Kita tokh sama-sama dari satu golongan?"
Pemuda
rambut gondrong yang memang ada!ah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya, tertawa
kecil.
"Sebetulnya
aku tengah mencari seseorang. Seorang penculik anak perawan!"
"Seorang
anak Kepala Kampung telah diculik oleh bangsat bermuka iblis bernama Tunggul
Gawegawe, bergelar Iblis Tangan Panjang! Kau pernah dengar tentang dia?"
Untung
Pararean mengangguk. "Sudah sangat lama. Sekitar enam belas tahun yang
silam," katanya. Lalu diceritakannya tentang pertempurannya melawan
Sepasang Golok Maut·kepala rampok hutan Dadakan·yang hendak menculik keponakan
Sri Baginda. Ketika penculikan itu digagalkan oleh Untung Pararean, Sepasang
Golok Maut kemudian meminta bantuan Iblis Tangan Panjang. Namun iblis Tangan
Panjang ini pun berhasil dikalahkan oleh Untung Pararean. Penuturan itu
mengingatkan Untung Pararean pada riwayatnya sendiri. Kepada Wiro sama sekali
tak diceritakannya kalau keponakan raja yang ditolongnya adalah perempuan yang kemudian
menjadi istrinya dan selanjutnya mendatangkan penderitaan dalam kehidupannya.
"Menurut
penyelidikanku, bangsat penculik itu melewati kota ini. Makanya aku datang ke
sini."
"Manusia
macam Iblis Tangan Panjang itu patut dilenyapkan dari muka bumi," ujar
Untung Pararean.
"Sekarang
kau terangkanlah dirimu," kata Wiro Sableng sambil meletakkan cangkir
minuman ke atas meja.
"Aku
Untung Pararean. Berasal dari Gunung Bromo," menerangkan bekas perwira
kerajaan itu.
"Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Wiro pula. "Apakah kau
sebenarnya orang yang berjuluk Si Cadar Hitam atau bukan?" Untung Pararean
menggeleng.
"Lantas
mengapa kau menutupi wajahmu dengan kain hitam macam begini?"
"Itu
tak dapat kuterangkan padamu." jawab Untung Pararean.
Pendekar
212 Wiro Sableng tersenyum. "Apakah kau juga tak bakal menerangkan kenapa
kau mengawatirkan keselamatan gadis cantik berpakaian pengemis tadi itu?"
Untung
Pararean tertegun sejenak. Akhirnya tanyanya, "Sahabat muda, apakah kau
bisa kupercaya?"
Wiro
Sableng kerenyitkan kulit kening dan tak menjawab apa-apa sampai akhirnya
Untung Pararean berkata, "Paras gadis itu mengingatkan aku pada
seseorang."
"Siapa
seseorang itu?" tanya Wiro lagi ingin lebih jelas.
"Istriku.
Parasnya sama sekali . . . "
"Dan
istrimu sudah meninggal?"
Untung
menggeleng. "Dia lenyap enam belas tahun yang silam bersama anakku.
Seorang perempuan. Pertama kali aku melihat wajah gadis tadi hatiku berdebar.
Dan aku mendapat firasat bahwa dia adalah anakku yang lenyap itu . . . . "
"Agaknya
kau mempunyai riwayat yang hebat, sobat."
"Bukan
hebat, tapi penuh penderitaan lahir bathin," sahut Untung Pararean.
Wiro
menatap kain penutup wajah laki-laki dihadapannya seakan-akan coba menembusi
untuk mengetahui wajah yang bagaimanakah sesungguhnya yang tersembunyi dibalik
kain hitam itu.
"Sebenarnya
riwayatmu tak ada sangkut pautnya denganku, apalagi kita barusan saja kenal.
Tapi bila kau dapat menuturkan padaku, aku akan gembira sekali."
Untung
Pararean tersenyum pahit.
"Lain
kali mungkin baru bisa kuceritakan padamu, sobat muda. Aku tak punya waktu
banyak …"
"Kau
mau ke mana?" tanya Wiro cepat.
"Menyusul
keempat orang tadi untuk mencari tahu siapa sesungguhnya gadis itu".
"Tapi
dia sendiri sudah menerangkan bahwa dia adalah anaknya Pengemis Sakti Muka
Bopeng …"
Hal itu
memang membuat hati Untung Pararean meraqu. Namun nalurinya meyakini bahwa
pengemis Cantik Ayu adalah anaknya. Kalau tidak bagaimana parasnya bisa begitu
persis seperti Sri Kemuning, istrinya yang melarikan diri itu?
"Kalaupun
nanti terbukti dia bukan anakku yang lenyap, itu tak jadi apa karena aku masih
rnempunyai maksud lain untuk menyusul Empat Pengemis Dari Pulau Ras itu. Ada
piutang lama yang harus kutagih pada guru mereka yaitu Pengemis Sakti Muka
Bopeng!"
Habis
berkata begitu Untung Pararean menjura di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng
lalu meletakkan beberapa mata uang di atas meja dan bertindak ke pintu. Masih
beberapa langkah dia akan mencapai pintu, satu bayangan hitam berkelebat yang
disusul dengan bentakan nyaring membuat rumah makan itu bergetar.
"Manusia
bercadar hitam! Kalau kau berani bergerak satu langkah lagi kupecahkan
kepalamu!"
******************
12
UNTUNG
Pararean dan juga Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Ketika keduanya memandang
ke tengah ruangan kelihatannya seorang laki-laki berbadan tegap, mengenakan
pakaian hitam-hitam berdiri di situ. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar
hitam dan hanya kedua matanya saja yang kelihatan.
"Kau!"
seru orang itu seraya menunjuk tepattepat kepada Untung Pararean. "Kau
bangsatnya yang berani-beranian mengenakan cadar seperti yang kupakai layak
menerima hukuman dari aku Si Cadar Hitam!"
Wiro dan
Untung Pararean meneliti orang itu dari kepala sampai ke kaki. Ternyata inilah
manusianya yang berjuluk Si Cadar Hitam yang menjadi musuh Pengemis Sakti Muka
Bopeng.
"Sayang
sekali kau datang terlambat, sobat!" Pendekar 212 Wiro Sableng buka suara
dan membuat Si Cadar Hitam kerenyitkan kening. Sebelum dia meneruskan, Cadar
Hitam sudah membentak.
"Bocah
berambut gondrong, katakan apakah kau kerabatnya kunyuk yang satu ini? Juga
katakan apakah kau mau minta hajaran pula?!"
Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak. "Manusia tak punya malu! Diajak bicara
baik-baik jawabannya ngelantur! Pantas kau menutupi tampangmu dengan
kain!"
"Dan
juga pantas bagimu untuk menerima kematian detik ini juga!" teriak Si
Cadar Hitam marah. Lalu tangan kanannya didorongkan dan serangkum angin yang
amat dingin menderu ke arah Wiro Sableng! Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede tertegun sejenak. Tubuhnya terasa dingin laksana dikubur dalam salju,
padahal angin serangan masih beberapa langkah di depannya! Dia cepat melompat
kesamping tapi aneh! Kedua kakinya kaku tegang tak dapat digerakkan! Wiro sadar
bahwa dirinya telah dipukau oleh hawa dingin yang keluar dari angin pukulan lawan!
Dia membentak keras dan tangan kanannya cepat-cepat memegang hulu Kapak Naga
Geni 212 di balik pakaian. Detik itu juga hawa hangat mengalir dari hulu kapak
ke sekujur tubuhnya, membuat sirna hawa dingin yang sebelumnya hampir saja
membuat dia celaka!
"Wuss!"
Angin
pukulan lawan lewat di depan dada Pendekar 212 Wiro Sableng pada saat pemuda
ini berhasil mengelak dengan melompat ke belakang. Di belakang sana terdengar
suara gaduh akibat bobolnya dinding rumah makan dihantam pukulan Si Cadar Hitam
itu!
Si Cadar
Hitam tidak menyangka kalau si pemuda akan sanggup menyelamatkan diri begitu
rupa! Sementara dia berdiri terkesiap dengan mata melotot, Wiro Sableng berseru
lantang, "Terima kasih atas keramah tamahanmu dalam serangan tadi! Kuharap
kau juga sudi menerima hadiah balasan dariku!"
Habis
berkata begitu Wiro Sableng mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke
tangan kanan lalu secepat kilat tangan itu di putar di atas kepala dan
dipukulkan ke depan! Suara laksana angin puyuh menderu menggetarkan rumah makan
itu. Kursi-kursi berpelantingan, meja terguling. Lampu minyak mencelat
menghantam dinding. Untung Pararean merapat ke dinding agar tubuhnya jangan
sampai terpelanting!
Si Cadar
Hitam yang berdiri di tengah ruangan segera mengerahkan sebagian tenaga
dalamnya ke kaki. Tubuhnya laksana patung batu. Namun ketika Wiro menghantamkan
tangannya ke depan tubuh Si Cadar Hitam menjadi gontai. Di lipat gandakannya
tenaga dalamnya. Kedua tangan dengan serentak dipukulkan ke depan untuk
menangkis serangan Wiro. Tapi Si Cadar Hitam masih ketinggalan jauh dalam hal
tenaga dalam hingga betapapun dia mempertahankan diri, begitu pukulan
"angin puyuh" yang dilepaskan Wiro Sableng menghantam dirinya, tak
ampun lagi manusia ini terpelanting dan terbanting menelentang di lantai!
"Jangan
tidur ngorok di situ, sobat! Kalau Empat Pengemis Pulau Ras datang kembali ke
sini kau bisa berabe. Ayo lekas bangkit!"
Kedatangan
Si Cadar Hitam ke situ memang untuk menemui Pengemis Sakti Muka Bopeng yang
telah ditantangnya satu tahun yang lewat. Mendengar disebutnya nama Keempat
murid Pengemis Muka Bopeng dan di tambah dengan kemarahan yang membakar
dadanya, Si Cadar Hitam kontan melompat. Entah kapan dia menggerakkan tangannya
tapi tahu-tahu di tangan kanannya kini sudah tergenggam sebuah senjata yang
berbentuk aneh.
Senjata
itu terbuat dari besi hitam legam berbentuk tombak yang pada kedua ujungnya
terdapat lingkaran tipis yang amat tajam. Karena bentuknya yang hebat maka
senjata itu dapat dipergunakan sebagai toya dan pedang. Bahkan bila bagian
lingkaran sampai masuk ke kepala seseorang, jangan harap bisa selamat dari
kematian!
Bentuk
dan sinar hitam yang memancar dari senjata itu membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng segera bersiap-siap menerima serangan. Dia tahu senjata di tangan lawan
hebat dan berbahaya.
"Bangsat
gondrong, lekas keluarkan senjatamu! Kalau tidak kau akan mampus dalam dua tiga
jurus saja!"
Wiro
ganda tertawa. Diambilnya sebuah kursi lalu katanya, "Biar aku
menghadapimu dengan kursi ini saja, Cadar Hitam!"
Si Cadar
Hitam menggeram marah. Tak pernah dia menerima penghinaan yang begitu hebat.
Rahang-rahangnya menggembung.
"Wiro!
Biar aku yang menghadapinya!" tiba-tiba Untung Pararean berseru.
"Ah,
biar serahkan saja manusia sombong ini padaku," sahut Wiro.
"Majulah
berdua agar aku tidak banyak membuang tenaga untuk membunuh kalian!"
bentak Si Cadar Hitam. Habis membentak demikian dia melompat ke muka. Senjatanya
berkiblat ganas dan sekaligus menyerang ke arah leher Wiro Sableng serta Untung
Parerean!
Mereka
yang diserang lekas-lekas melompat menyelamatkan diri. Begitu serangan lewat,
Untung Pararean segera mengambil sepasang golok milik Pengemis Cantik Ayu sedang
Wiro Sableng membabatkan kursi ke pinggang lawan. Dengan satu gerakan sebat Si
Cadar Hitam membalik. Kembali senjatanya berkelebat dan tiga buah kaki kursi
yang dipakai menyerang oleh Wiro terbabat putus!
Si Cadar
Hitam tidak kepalang tanggung. Serangan-serangan yang dilancarkannya datang
bertubi-tubi. Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus silatnya yang paling hebat
agar dapat membuktikan omong besarnya tadi yaitu akan membereskan Wiro Sableng
dalam dua atau tiga jurus saja. Tapi sewaktu pertempuran memasuki jurus kelima
yang bisa dilakukan Si Cadar Hitam hanyalah membabat putus badan kursi yang di
tangan Wiro hingga kini Pendekar 212 hanya memegang sandaran kursi yang sudah
sangat pendek saja!
Meski
mengawatirkan keselamatan si pemuda namun sebagai orang yang berpegang teguh
pada tatakrama dunia persilatan, Untung Pararean tetap berdiri di tempatnya tak
mau membantu Wiro mengeroyok Si Cadar Hitam. Walau demikian diusahakannya
melemparkan sepasang golok di tangannya ke arah Wiro Sableng. Tapi di tengah
jalan Si Cadar Hitam berhasil membabat mental dan patah kedua golok itu dengan
senjatanya!
Jurus
demi jurus serangan Si Cadar Hitam semakin dahsyat. Dengan memainkan ilmu silat
"orang gila" Wiro berhasil mempertahankan diri dan sekalikali
melepaskan pukulan jarak jauh yang membuat lawannya bertindak sangat hati-hati.
Ketika dua puluh jurus sudah berlalu dan beberapa kali hampir saja dirinya kena
dihantam oleh senjata lawan yang dahsyat, Wiro Sableng mulai mengeluarkan
ilmu-ilmu pukulan simpanannya!
Ilmu
pukulan "angin puyuh" tak sanggup menembus angin senjata di tangan Si
Cadar Hitam, demikian juga pukulan "kunyuk melempar buah" dan
"benteng topan melanda samudera". Hal ini membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng menjadi penasaran. Apalagi ketika didengarnya si Cadar Hitam berseru
mengejek. "Ayo keluarkan semua ilmu simpananmu agar kau tidak mampus
penasaran!"
"Jangan
keliwat sumbong, sobat! Coba kau sambut pukulan yang bernama "dewa topan
menggusur gunung ini!"
Wiro
mendorongkan kedua tangannya ke depan. Dan terjadilah hal yang hebat luar
biasa! Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 Wiro Sableng menderu gemuruh
suara angin. Si Cadar Hitam membabatkan senjatanya ke depan beberapa kali untuk
memusnahkan angin serangan. Namun kali ini senjata itu tidak mampu berbuat suatu
apapun! Tubuh Si Cadar Hitam terlempar ke belakang, rubuh terguling-guling,
senjatanya lepas dari tangan. Sesaat kemudian menyusul gemuruh robohnya rumah
makan itu! Sebelum sebuah balok besar menimpa kepalanya, Pendekar 212 Wiro
Sableng cepat melompat keluar dari rumah makan itu! Dia sampai di luar tepat
ketika seluruh bangunan rumah makan roboh dengan dahsyatnya. Puluhan orang di
pelabuhan yang melihat kejadian itu sama-sama mengeluarkan seruan dan ber{ari
mendatangi sementara Akik Rono di pemilik rumah makan yang juga sempat
menyelamatkan diri, berdiri menyaksikan runtuhnya rumah makannya dengan tubuh
menggigil dan wajah seputih kertas!
Wiro
memandang berkeliling. Untung Pararean dan Si Cadar Hitam tak kelihatan.
Kawatir kalau-kalau Untung Pararean tertimpa runtuhan rumah makan, Wiro
menyelidik dengan cepat. Tapi laki-laki itu tak di temuinya. Si Cadar Hitampun
lenyap tak berbekas bersama senjatanya. Akhirnya perhatian murid Eyang Sinto
Gendeng ini kembali pada Akik Rono. Wiro merutuki ketololan dirinya sendiri
karena telah melepaskan pukulan "dewa topan menggusur gunung" tadi
yang menyebabkan ambruknya rumah makan Akik Rono. Sebenarnya dia bisa
mempergunakan ilmu pukulan lain atau jurus tipuan untuk merebut senjata lawan
lalu baru memberi hajaran. Tapi, karena dipengaruhi rasa penasaran dia telah
melepaskan pukulan dahsyat yang dipelajarinya darl Tua Gila.
Sampai di
hadapan Akik Rono, dari batik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain
berisi uang. Diulurkannya tangannya memberikan kantong uang itu pada pemilik
rumah makan seraya berkata, "’Ini untuk modal dan membangun rumah
makanmu!". Habis berkata begitu pemuda ini segera berkelebat meninggalkan
tempat itu. Akik Rono berdiri bengong di tempatnya. Tapi hatinya terlipur oleh
sekantong uang yang kini berada dalam tangannya.
******************
13
PENDEKAR
212 Wiro Sableng berdiri di puncak pedataran tinggi itu, memandang berkeliling.
Menurut penyelidikannya, Tunggul Gawegawe alias Iblis Tangan Panjang yang
tengah dikejarnya melarikan diri ke jurusan pedataran itu. Tapi sampai di
tempat tersebut tak satu jejakpun yang ditemui Wiro. Pengejarannya menemui
jalan buntu.
Ke mana
akan diteruskannya pengejaran? Dan sebelum dia berhasil menemui Iblis Tangan
Panjang mungkin laki-laki itu telah lebih dahulu merusak kehormatan Wening
Karsih, anak gadis Kapala Kampung yang diculiknya.
Ketika
dia memandang ke langit, matahari telah jauh ke barat dan warnanya kemerahan.
Dalam waktu yang singkat segera akan tenggelam. Berdiri di puncak pedataran itu
Wiro teringat pada Untung Pararean. Dia yakin sekali bahwa laki-laki itu
menyusul Empat Pengemis Pulau Ras. Dalam hatinya, Wiropun berniat untuk
mengikuti Untung Pararean. Namun langkahnya terhalang dengan persoalan Wening
Karsih. Akhirnya tanpa ada pegangan ke mana dia harus menuju, Wiro Sableng
meninggalkan puncak pedataran itu ke arah barat.
Di kaki
pedataran tinggi dia bertemu dengan satu desa yang cukup ramai penduduknya.
Setelah mengisi perutnya di sebuah kedai Wiro berusaha mencari keterangan
tentang orang yang di kejarnya. Tapi tak satu orang pun yang tahu mengenai diri
Iblis Tangan Panjang ataupur, gadis yang diculiknya. Malam itu juga Wiro
meninggalkan desa tersebut. Di ujung sebuah daerah pesawangan yang dihiruki
oleh suara jangkrik dan segala macam binatang malam dilihatnya satu nyala api.
Setelah berpikir sejenak Wiro Sableng memutuskan untuk menuju ke arah nyala api
itu.
Lewat
sepeminum teh Wiro telah berada kirakira seratus langkah dari nyala api yang
nyalanya berasal dari sebuah kuil tua yang atapnya di bagian depan tampak
miring hampir ambruk. Dari jarak itu pulalah pendekar ini mendengar suara orang
menyanyi.
"Siapa
pula yang bernyanyi malam-malam di tempat sepi begini?" pikir Wiro dalam
hati dan sambil mempercepat larinya.
Malam
hari berjalan seorang diri,
Tanpa
tujuan di dalam hati.
Melewati
bekas kuil suci,
Tempat
pertemuan tak terduga terjadi.
Begitulah
bunyi kata-kata nyanyian tersebut yang diulang-ulang sampai beberapa kali. Dan
setiap habis satu bait kalimat, terdengar suara kerontang kaleng. Wiro Sableng
sampai di pintu kuil. Di ruangan depan yang sangat kotor menyala sebuah lampu
aneh atau tepatnya sebuah obor kecil. Obor itu terbuat dari sebatang pohon kayu
hitam yang ditancapkan ke lantai kuil yang terbuat dari batu. Jika bukan
seseorang yang berkepandaian tinggi adalah mustahil sebatang kayu bisa
ditancapkan begitu rupa. Pada ujung kayu yang menancap itu menyalakan api yang
menerangi ruangan tersebut. Tepat di belakang nyala api, duduk bersila seorang
laki-laki berpakaian compang-camping. Kedua matanya terpejam. Di pangkuannya
terletak sebuah buntalan, sebatang tongkat dan sebuah topi daun pandan. Di
tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu. Dari mulutnya masih
juga keluar nyanyian yang setiap satu bait diseling dengan suara
kerontang-kerontang kaleng berisi batubatu itu.
Wiro
masuk ke dalam. Berdiri di hadapan orang itu beberapa langkah baru diketahuinya
bahwa kedua mata yang terpejam itu nyatanya buta! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa
dia pernah berjumpa dengan orang ini tapi lupa entah di mana. Setelah memutar
otaknya Wiro ingat juga bahwa orang tersebut adalah tukang tenung Si Segala
Tahu yang pernah menolongnya beberapa waktu yang lalu.
"Segala
Tahu, aku gembira bertemu dengan kau," tegur Wiro dengan girang karena
pada orang ini pasti dia bisa mendapat keterangan di mana Iblis Tangan Panjang
berada. Orang yang bernyanyi menghentikan nyanyinya.
Dikerontang-kerontangkannya kaleng rombengnya beberapa kali lalu menengadah ke
langit-langit kuil.
"Mendengar
suaramu apakah kau bukannya Si Sableng yang pernah berjumpa denganku beberapa
waktu yang lalu?!" Meski buta nyatanya dari suara Wiro Sableng, Si Segala
Tahu masih dapat menduga siapa yang berdiri di hadapannya.
"Ah,
benar sekali! Pertemuan yarrg tak terduga ini sangat menggembirakanku.
Kebetulan aku berada dalam kesulitan."
"Baru
bertemu sudah bicara tentang segala macam kesulitan!"
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya dan tersenyum pahit, lalu berkata, "Soalnya
aku harus bertindak cepat, Segala Tahu."
"Kau
mencari seseorang pasti!"
"Betul
sekali. Namanya Tunggul Gawegawe, bergelar IbIisTangan Paryjang. Diatelah
menculik …"
"Sudah,
sudah! Aku sudah maklum. Kau tunggulah sebentar". Si Segala Tahu
mengerontangngerontangkan kaleng rombengnya beberapa kali lalu menepekur dengan
mulut terkatup rapat-rapat. Tak lama kemudian dia pun berkata: "Kau agak
terlambat Sableng! Orang yang diculik sudah tak ada lagi di tangan Iblis Tangan
Panjang …"
"Mohon
petunjukmu lebih lanjut, Segala Tahu."
"Kau
pergilah ke utara. Jika bertemu sungai yang bercabang dua kelak kau akan
menjumpai Iblis Tangan Panjang di situ"
"Di
manakah gadis yang diculik itu kini? Apakah dia berada dalam keadaan
selamat?" tanya Wiro Sableng.
"Aku
tak bisa memberi keterangan lebih lanjut. Pergi ke utara, cari anak sungai
bercabang dua!" Habis berkata begitu Si Segala Tahu kembali
menggerak-gerakkan tangan kanannya yang memegang kaleng. Kemudian dengan tangan
kirinya ditepuknya lantai kuil. Hebatnya, tenaga tepukan itu membuat tubuh Si
Segala Tahu yang masih dalam keadaan bersila itu melayang ke pintu. Wiro
Sableng mengejar, tapi Si Segala Tahu sudah lenyap di kegelapan malam. Pendekar
212 Wiro Sableng hanya bisa geleng-geleng dan garuk-garuk kepala!
Sepanjang
malam itu Wiro Sableng terus berlari menuju ke utara. Menjelang dini hari dia
sampai ke sebuah pedataran tinggi yang di bawahnya terbentang sebuah lembah. Di
bawah penerangan bintang-bintang yang redup, sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng yang tajam dapat melihat sebuah sungai yang bercabang dua. Tanpa
ragu-ragu pemuda ini segera berlari menuruni lembah, dan sampai tepat di bagian
lembah di mana sungai bercabang dua. Udara dini hari dinginnya bukan alang
kepalancl. Sunyi dan kegelapan menyelubung di mana-mana. Wiro Sableng memandang
berkeliling.
"Edan!"
makinya dalam hati. "Mana mungkin di keparat Iblis Tangan Panjang itu bisa
kujumpai di sini!"
Baru saja
dia memaki begitu rupa mendadak kesunyian malam dirobek oleh suara
kerontang-kerontang kaleng! Pendekar 212 Wiro Sableng melengak dan memandang
berkeliling. Astaga! Kiranya Si Segala Tahu! Entah dari mana dia muncul. Saat
itu dia kelihatan berjalan seenaknya menyusuri anak sungai yang sebelah kanan
sambil mengerontang-ngerontangkan kalengnya! Wiro cepat bergerak dan sebentar
saja dia sudah berada di samping laki-laki itu.
"Tempat
ini sunyi belaka! Di mana aku bias menemui Iblis Tangan Panjang. Mohon
petunjukmu, Segala Tahu!".
Si Segala
Tahu tertawa macam kuda meringkik. Sambil terus berjalan dia bernyanyi:
Lembah
tempat sungai bercabang dua,
Sepanjang
malam tentu sepi belaka.
Mencari
Iblis tentu bukan dengan mata,
Siapa
suruh tidak pasang telinga.
Wiro
terkesiap mendengar tutur nyanyian itu. Memang sewaktu menyelidik tadi dia
lebih mengutamakan mata dari pendengarannya. Segera Wiro Sableng membuka jalan
pendengarannya lebih tajam. Terdengar suara tiupan angin dinihari yang dingin.
Terdengar alunan air sungai yang mengalir. Terdengar suara binatang malam di
kejauhan dan tiba-tiba … terdengar suara helaan nafas!
"Aku
mendengar suara orang menarik nafas!" bisik Wiro pada Si Segala Tahu. Tapi
ketika dia menoleh ke samping, astaga! Si Segala Tahu sudah tak ada lagi di
sebelahnya! Lenyap seperti ditelan bumi!
Wiro
memandang berkeliling, mencari arah datangnya suara helaan nafas itu. Kalau ada
seseorang di situ yang sedang tidur tentu suara kerontang-kerontang kaleng Si
Segala Tahu sudah membangunkannya sejak tadi, pikir Wiro. Telinganya semakin
dipasang. Sesaat kemudian kembali di dengarnya suara helaan nafas, lalu sunyi.
Tiba-tiba menggeledek suara bentakan dan sebuah benda meluncur ke arah
tenggorokan Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Keparat
sialan!" maki Wiro kaget bukan main tapi masih sempat bergerak mengelakkan
senjata rahasia yang hampir saja merampas jiwanya. Baru saja selamat, dua buah
senjata rahasia lagi menyambar ke arahnya, yang dua inipun dapat dikelit. Dari
jurusan datangnya senjata-senjata rahasia tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng
segera tahu di mana sipenyerang gelap berada. Tanpa tunggu lebih lama Wiro
memukulkan tangan kanannya ke arah cabang pohon besar yang terletak delapan
tombak di samping kanannya.
"Kraak!"
Cabang
pohon yang besar itu patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik di
hantam pukulan "kunyuk melempar buah". Di kejap itu pula satu
bayangan hitam berkelebat ke cabang pohon yang lain. Namun Wiro lebih cepat.
Sebelum sosok tubuh sempat menjejakkan kakinya di cabang pohon, Wiro telah
menghantam lagi pohon itu hingga si penyerang gelap terpaksa cepat-cepat turun
ke tanah.
Sementara
itu di timur fajar telah menyingsing. Cuaca di dalam lembah mulai terang dan
Wiro segera dapat mengenali orang di depannya yang bukan lain Si Iblis Tangan
Panjang yang tengah dicari-carinya.
"Iblis!
Kalau sayang pada jiwa busukmu, lekas beri tahu di mana gadis anak Kepala
Kampung yang kau culik itu berada?!" bentak Pendekar 212.
Iblis
Tangan Panjang melototkan matanya yang cuma satu lalu mendengus.
"Tanyalah
pada setan-setan dalam lembah ini!"
Wiro
menggeram. "Katau begitu biar roh busukmu yang kusuruh menanyakan!"
Pendekar 212 berkelebat sambil memukulkann tangan kanannya ke depan.
Ibiis
Tangan Panjang menangkis dengan satu pukulan tangan kosong yang tak kalah
hebatnya hingga ketika pukulanpukulan tersebut saling bentrokan terdengarlah
suara seperti letusan dan beberapa pohon yang terserempet angin pukulan kontan
ambruk!
Wiro tak
mau memberi angin dan harus lekas mengetahui di mana Wening Karsih berada.
Karenanya dia langsung menyerang dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat
yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng. Iblis Tangan Panjang menjadi
sangat sibuk. Untung saja dia memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi, kalau tidak niscaya dalam tiga jurus pertama dirinya
sudah kena gebuk!
Iblis
Tangan Panjang segera menyadari bahwa pemuda berambut gondrong itu bukanlah
tandingannya. Karenanya siangsiang dia sudah mengeluarkan senjatanya yang baru
yakni sebuah tombak bermata dua dan sebentar saja sinar senjafa itu sudah
menderu mengurung tubuh Wiro Sableng!
Memasuki
jurus kelima di mana Iblis Tangan Panjang mengirimkan serangan total
habis-habisan, Wiro berseru nyaring, "Iblis! Cukup kau mencak-mencak
sampai di sini!"
Tubuh
pemuda itu lenyap dari hadapan Iblis Tangan Panjang dan sebelum Iblis Tangan
Panjang tahu di mana lawannya berada, satu pukulan telah menghantam
punggungnya! Tak ampun lagi manusia berkulit hitam legam ini mencelat dan
terguling di tanah. Tulang punggungnya yang sebelah kiri hancur dan sakit bukan
main. Tombaknya terlepas mental entah ke mana. Dengan sempoyongan Iblis Tangan
Panjang berdiri dan hendak melarikan diri. Namun satu jambakan pada rambutnya
yang keriting macam bulu domba itu membuat dia tak bisa bergerak satu
tindakpun. Kemudian satu tamparan keras melanda pipinya membuat telinganya
pekak berdesing dan bibirnya pecah berdarah. Iblis Tangan Panjang menjadi kalap
dan dengan membabi buta menerjang sekerasnya ke depan.
"Kraak!"
Terdengar
pekik Iblis Tangan Panjang. Tulang kering kaki kanannya patah. Yang menjadi
sasaran tendangannya ternyata bukan Pendekar 212 Wiro Sableng melainkan
sebatang pohon yang melintang tumbang! Wiro sendiri yang menjambaknya dari
belakang tertawa gelak-gelak.
"Ayo
tendanglah lagi biar kedua kakimu patah!" kata Wiro dan sekali lagi
ditamparnya muka Iblis Tangan Panjang hingga manusia itu menjerit kesakitan.
Dia berusaha untuk dapat memukul atau menyikut Wiro Sableng tapi sedikit saja
bergerak rambutnya yang dijambak laksana mau terbongkar dari kulit kepalanya.
"Cepat
terangkan di gadis itu!" bentak W i ro.
"Sampai
mampuspun aku tak bakal menerangkan!" jawab Iblis Tangan Panjang keras
kepala.
"Kalau
begitu aku akan bikin kau setengah mampus setengah hidup!"
"Kraak"!
Wiro
membetot putus tangan kiri Iblis Tangan Panjang. Jeritan Iblis Tangan Panjang
seperti mau merobek langit di pagi hari itu! Satu tangan yang lain dari
laki-laki itu segera dicekal pula oleh Wiro, siap untuk dibetot. "Masih
belum mau kasih keterangan?!"
"Puah!"
Iblis Tangan Panjang meludah.
"Keparat!
Makan ini!" teriak Wiro marah, tinju kanannya melanda mulut Iblis Tangan
Panjang. Beberapa buah giginya tanggal, bibirnya pecah Tapi Iblis Tangan
Panjang masih tetap keras kepala dan beringas. Meronta-ronta dan memukul-mukul
kian kemari.
"Iblis
celeng! Kalau matamu yang tinggal satu ini kukorek baru kau tahu rasa!"
Mendengar
ancaman itu, Iblis Tangan Panjang kini benar-benar ketakutan. Cepat dia
berteriak ketika Wiro hendak menotok mata kanannya.
"Jangan!
Aku akan terangkan! Aku akan terangkan!"
"Terangkan
lekas!" bentak Wiro sambil menyentakkan rambut Iblis Tangan Panjang.
"Gadis
itu kujual pada Adipati Blabak …"
"Dusta!"
"Demi
bapak moyang setan aku tidak dusta!" Wiro menotok tubuh Iblis Tangan
Panjang.
"Untuk
sementara biarlah kau kaku tegang di sini. Jika kau dusta aku akan kembali
untuk mengorek matamu! Jika kau ternyata bicara betul, dua hari di muka totokan
itu akan terlepas dan kau boleh pergi ke mana suka!"
"Tapi
aku akan mati kelaparan selama dua hari itu!" teriak Iblis Tangan Panjang.
"Kau
tokh turunan iblis. Minta saja makanan pada iblis-iblis penghuni lembah
ini!" jawab Wiro Sableng. Lalu sambil tertawa bergelak di tinggalkannya
tempat itu.
Karena
Blabak tidak jauh dari situ maka dalam tempo singkat Wiro Sableng telah sampai
di situ. Dia memasuki Kadipaten dengan melompati tembok belakang. Dari seorang
pelayan yang diringkusnya dia berhasil mengetahui di kamar mana Wening Karsih
di tempatkan. Menurut pelayan itu Wening Karsih di antarkan oleh Iblis Tangan
Panjang ke Kadipaten Blabak lewat tengah malam tadi. Pelayan itu memberi
kepastian pula bahwa tidak terjadi apa-apa atas din si gadis karena istrinya
sendiri yang mengawani Wening Karsih semalaman hari. Tanpa menunggu lebih lama
Wiro segera masuk ke dalam gedung Kadipaten. Sesaat kemudian pemuda itu keluar
melompbt dan jendela sebuah kamar dan di bahunya memanggul sosok tubuh seorang
gadis. Di halaman samping dia dipergoki oleh dua pengawal yang segera berteriak
memberi tahu kawan-kawannya. Cepat sekali Wiro sudah dikurung oleh empat orang
prajurit Kadipaten. Namun tentu saja keempatnya bukan tandingan pemuda itu.
Dengan hanya mengandalkan kaki kanannya saja, Wiro berhasil membuat ke empat
prajurit itu tergelimpang di tanah. Dan pada saat Adipati Blabak sampai di
tempat itu Wiro telah lenyap bersama Wening Karsih.
******************
14
SESAMPAINYA
di tepi Pantai, Untung Pararean mendadak merasakan keraguan dalam hati nya.
Jika betul Pengemis Cantik Ayu adalah anakku yang lenyap sekitar enam belas
tahun yang lalu apakah dia kelak akan mau mengakui diriku sebagai ayah
kandungnya, pikir Untung Pararean. Namun karena banyak pertanyaan yang harus
diusahakannya jawabnya dan mengingat pula bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng
adalah musuh besar yang telah membuat cacat dirinya seumur hidup berada di
Pulau Ras akhirnya Untung Pararean menetapkan hatinya dan meneruskan niatnya
untuk pergi ke pulau tersebut.
Dengan
sebuah perahu sewaan Untung Pararean menyeberang dan sampai di pulau tujuannya
sewaktu malam berganti dengan pagi. Tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng
yang keseluruhannya terbuat dari bambu kuning adalah satusatunya bangunan di
Pulau Ras dan dengan mudah dapat ditemui oleh Untung Pararean. Dia merasa heran
ketika mendapatkan bangunan yang besar itu kosong melompong. Tak satu orangpun
ada di dalamnya.
"Pada
ke mana mereka? Mustahil Empat Pengemis Pulau Ras belum sampai ke sini,"
demikian pikir Untung Pararean. Dia tak tahu kalau Pengemis Sakti Muka Bopeng
dan keempat orang murid serta istrinya telah meninggalkan Pulau itu beberapa
waktu yang lalu.
Sewaktu
Pengemis Cantik Ayu dan saudara-saudara seperguruannya kembali dan menceritakan
apa yang terjadi di rumah makan Atik Rono, bukan main marah dan kesalnya
Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Kalian
betul-betul memberi malu aku di kalangan persilatan! Apa yang kutugaskan tak
berhasil kalian lakukan! Dan seorang pemuda jembel yang tak dikenal tak mampu
kalian hadapi!! Terpaksa aku sendiri yang harus turun tangan!"
Itulah
sebabnya ketika Untung Pararean tiba di Pulau Ras dia tidak menemui siapa pun.
Untung Pararean masuk ke dalam rumah untuk menyelidik. Baru saja dia hendak
memasuki sebuah kamar tiba-tiba di halaman luar terdengar bentakan nyaring.
"Bangsat rendah dari mana yang berani mengotori rumahku?!"
Untung
Pararean terkejut. Cepat dia melompati sebuah jendela dan tiba di halaman
samping. Enam orang dilihatnya berlari ke pintu muka. Tapi begitu melihat
Pararean di halaman samping ke enamnya segera memutar lari mereka dan sesaat
kemudian sudah berdiri mengurung bekas perwira kerajaan itu.
Sepintas
lalu hampir saja Pengemis Sakti Muka Bopeng mengira laki-laki itu adalah Si
Cadar Hitam. Sewaktu diperhatikannya lebih teliti segera dia tahu bahwa manusia
bercadar kain hitam itu bukanlah musuh lamanya. Tapi adalah aneh kalau orang
tak dikenal ini mengenakan kain hitam penutup mukanya. Mungkin dia masih ada
sangkut paut dengan Si Cadar Hitam? Di lain pihak Untung Pararean merasakan
sekujur tubuhnya bergetar ketika dia mengenali perempuan separuh baya berkulit
hitam manis dan berparas jelita di samping Pengemis Sakti Muka Bopeng bukan
lain adalah Sri Kemuning, istrinya yang telah melarikan diri pada enam belas
tahun yang silam! Dengan demikian satu kenyataan yang sebelumnya cuma menjadi
dugaannya belaka, kini terbukti. Pengemis Cantik Ayu adalah anak kandungnya
sendiri! Hati Untung Pararean berdebar ketika dia ingat ucapan Pengemis Muka
Bopeng adalah ayahnya! Apakah Sri Kemuning telah menjadi istri musuh besarnya
itu? Betulbetul ini membuat perih hati Untung Pararean.
Sri
Kemuning sendiri merasa aneh sewaktu pandangan matanya beradu dengan pandangan
sepasang mata laki-laki yang wajahnya tersembunyi dibalik kain hitam itu.
Sri
Lestari atau Pengemis Cantik Ayu tak berani menerangkan bahwa laki-laki bercadar
itu adalah orang yang mereka telah temui di rumah makan Akik Rono karena takut
kedustaan mereka akan terbuka.
"Bangsat
bercadar! Siapakah kau?! Apa punya nyawa rangkap hingga berani datang ke sini
mengotori pulau dan rumahku?!.
Untung
Pararean tak ingin bekas istri dan anaknya mengetahui siapa dia sebenarnya.
Karena itu dia tak mau menjawab pertanyaan Pengemis Muka Bopeng dengan terus
terang.
"Muka
Bopeng, rupanya matamu masih belum begitu tajam hingga tak dapat mengenali
siapa aku adanya! Aku tidak sudi menerangkan tentang diriku pada manusia macam
kau! Antara kita ada semacam hutang piutang yang harus dilunaskan hari ini!
Nyawamu atau nyawaku!".
Meskipun
rasa-rasa sudah pernah mendengar suara laki-laki bercadar itu sebelumnya namun
Pengemis Sakti Muka Bopeng tak dapat menerka siapa orang di depannya itu. Di
samping itu ucapan Untung Pararean tadi membuat dia menjadi sangat marah.
Setelah
lebih dulu mendengus marah dia berkata, "Mataku memang tidak mampu
mengenali tampang yang kau sembunyikan di balik kain hitam itu! Tapi
tangankulah yang bakal menyingkapkan kain itu! Lihat!"
Pada
akhir kata-katanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng berkelebat lenyap dan tahu-tahu
tangan kanannya menyambar ke muka Untung Pararean! Kaget bekas Perwira Kerajaan
ini bukan kepalang. Tidak disangkanya ka1au lawannya akan bergerak demikian
cepat. Segera tangan kirinya dibabatkan ke atas. Akibatnya terjadilah bentrokan
antara lengan yang diserang dengan penyerang! Tubuh Untung Pararean terhempas
ke belakang laksana dilanda gelombang sedang tangannya sakit bukan main.
Sewaktu diperhatikan kulit lengannya telah menjadi bengkak kemerahan! Di lain
pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya berdiri terhuyung-huyung dan di lain
kejap dengan satu lolongan macam srigala haus darah dimalam buta, kembali dia
melancarkan serangan. Kali ini kedua tangannya kelihatan berkelebat cepat.
Untung
Pararean menyambut dengan pukulan tangan kosong yang bernama "seribu kati
memukul awan". Ilmu pukulan ini dipelajarinya dari Kiyai Supit Pramana
karenanya hebatnya bukan main! Tubuh Pengemis Sakti Muka Bopeng laksana seekor
burung yang terbang menentang angin topan hingga mengapung tak bisa maju!
Padahal kedua tangan Pengemis Muka Bopeng hanya tinggal satu jengkal saja lagi
dari muka Untung Pararean!
Sebelum
tubuhnya terlempar di sapu oleh pukulan "seribu kati memukul awan"
itu, Pengemis Sakti Muka Bopeng cepat mendorong kedua tangannya ke muka. Dua
gelombang angin menderu memapas angin serangan Untung Pararean. Sekejap
kemudian terdengarlah suara menggelegar yaitu ketika terjadi saling bentur
antara angin-angin yang berkekuatan hebat itu! Pulau Ras bergetar. Debu dan
pasir beterbangan sedang rumah bambu mengeluarkan suara berkeretek!
"Manusia
bercadar! Kulihat kau barusan melancarkan pukulan "seribu kali memukul awan".
Apakah kau muridnya Si Supit Pramana di Gunung Bromo?!"
"Diam-diam
Untung Pararean terkejut menanggapi si muka bopeng.mengenali pukulan yang tadi
dilepaskannya. Saat itu dia tengah mengatur tenaga dalamnya karena dua
gelombang angin yang dilepaskan Pengemis Sakti Muka Bopeng tadi membuat dadanya
agak sakit.
"Aku
bukan murid siapa-siapa!" sahut Untung Para:ean dan dalam jurus ketiga ini
dia yang pertama membuka serangan. Tubuhnya melayang setinggi setengah tombak
di atas tanah. Tangan kiri dan kanan dipukulkan ke depan dan setengah jalan
tubuhnya dengan sangat tiba-tiba melesat ke atas lalu dengan serentak
mengirimkan dua serangan berantai yang hebat yaitu tendangan kaki dan hantaman
tinju!
"Jurus
– dewa terbang ke langit –!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng. Lalu cepat
merunduk dan memukul bagian tubuh yang berbahaya di antara kedua selangkangan
Untung Pararean!
Tentu
saja Untung Pararean tak mau membiarkan dirinya dihantam serangan maut itu. Dia
memutar pinggulnya ke samping dan di lain kejap kaki kanannya meluncur deras ke
arah tinju kanan lawan!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng jadi penasaran sekali rnelihat bagaimana dalam rnenyerang dia
balik kena diserang! Didahului oleh satu bentakan menggledek laki-laki ini
melompat ke atas, lebih tinggi dan kedudukan tubuh Untung Pararean. Untung
Pararean tak mau meneruskan serangannya karena tendangan yang melanda tempat
kosong akan membuat dirinya berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Karenanya begitu tendangannya dibatalkan. Untung Pararean cepat membalik untuk
menghadapi lawan yang datang dari belakang. Namun dia kurang cepat. Tubuhnya
baru setengahnya berputar dan satu jotosan telah melanda punggungnya!
Bekas
Perwira Kerajaan itu terpelanting ke depan. Ketika jatuh ke tanah hampir saja
dia tak sanggup berdiri di atas kedua kakinya. Punggungnya sakit bukan main dan
sebelum dia sempat mengatur nafas dan mengalirkan tenaga dalam kebagian yang
terpukul, dadanya telah sesak. Sesaat kemudian Untung Pararean muntah darah
tertatih-tatih! Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak sambil melangkah
mendekati Untung Pararean.
"Sebelum
kukirim kau menghadap raja akhirat mari kulihat dulu macam mana kau punya
tampang!"
Pengemis
Sakti Muka Bopeng mengulurkan tangannya yang sebelah kanan untuk menarik kain
hitam penutup wajah Untung Pararean. Bekas Perwira Kerajaari itu tak mempunyai
daya untuk menghindar karena saat itu kembali dia memuntahkan darah kental
berbuku-buku!
Sekejap
lagi jari-jari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng akan menarik kain penutup
wajah Untung Pararean, mendadak sebuah benda sebesar kepala melesat ke arah
Pengemis Sakti Muka Bbpeng. Mau tak mau laki-laki ini terpaksa menarik pulang
tangannya. Benda yang dilemparkan temyata sebutir buah kelapa. Dan di kejap itu
pula seorang laki-laki, yang teramat tua, berselempang kain putih telah berdiri
di hadapan Pengemis Sakti Muka Bopeng!
"Kau!"
seru Pengemis Sakti Muka Bopeng kaget. Tapi dia tidak gentar.
******************
15
"YA,
Aku! Apakah kau masih mengenali aku, Pengemis Sakti Muka Bopeng?!" kata
orang yang baru datang, yang tadi melemparkan buah kelapa ke arah Pengemis
Sakti Muka Bopeng. Dia mengenakan jubah putih dan sangat tua sekali. Tubuhnya
yang agak bungkuk itu ditopang dengan sebuah tongkat yang dipegangnya di tangan
kanan.
"Hemm
. . . " gumam Pengemis Sakti Muka Bopeng. "Kiranya betul dugaanku
bahwa keparat bercadar ini adalah muridmu Kiyai Supit Pramana dari Gunung
Bromo. Heran . . . kenapa tahu-tahu saja kau mempunyai seorang murid!"
"Aku
memang memberikan beberapa pelajaran ilmu silat padanya. Tapi dia bukanlah
muridku." kata Kiyai Supit Pramana tegas-tegas.
"Eh,
kenapa begitu? Lucu sekali!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya
memandang pada murid-muridnya. "Mungkin kau bisa menerangkan kelucuan itu?
Atau kedatanganmu jauh-jauh ke sini justru memang hendak menerangkan hal
itu?!"
Wajah
Kiyai Supit Pramana kelihatan sedikit merah. Namun demikian di bibimya
tersunting sekelumit senyum.
"Lucu
atau tidak bukan itu urusanmu, Muka Bopeng!"
"Oh,
jadi kedatanganmu hendak turun tangan membantu manusia bercadar ini? Boleh
saja! Tapi akan lebih baik jika terlebih dulu kau suruh dia membuka
cadarnya!"
"Soal
buka cadar itu bukan pekerjaanku. Kalau kau sendiri tidak mampu apakah tidak
malu menyuruh orang lain?!"
Kini
paras Pengemis Sakti Muka Bopeng yang berubah menjadi merah. Sementara itu
Kiyai Supit Pramana ingat bahwa kali itu adalah kali ketiga dia menolong jiwa
Untung Pararean yang berarti adalah pertolongan untuk penghabisan kalinya yaitu
sebagaimana pesan gurunya tempo hari di dalam mimpi.
"Kiyai
Supit Pramana!" berkata Pengemis Sakti Muka Bopeng sambil bertolak pinggang.
"Antara kau dan aku tidak ada saling sengketa. Mengapa mendadak sontak kau
hendak baku hantam denganku?!"
"Siapa
bilang aku hendak baku hantam denganmu?" sahut Kiyai Supit Pramana.
"Kemunculanku hanya untuk menolong dia."
"Alasan
yang dicari-cari!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan mimik mengejek.
"Apakah kau bisa pula menerangkan silang sengketa apa yang ada antara aku
dan manusia bercadar ini hingga tak ada hujan tak ada angin datang ke sini dan
menyebut-nyebut segala soal hutang pihutang?!"
Untung
Pararean kawatir kalau-kalau Kiyai Supit Pramana akan menerangkan siapa dirinya
sebenarnya. Tapi orang tua yang arif ini sudah memahami perasaan Untung
Pararean. Maka diapun menjawab, "Soal itu kau tanyakan saja langsung pada
orangnya."
"Kau
dan setan alas ini sama saja tidak tahu dirinya! Ayo lekas angkat kaki dari
pulauku!" bentak Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Aku
baru akan meninggalkan tempat ini bila urusanmu dengan dia sudah beres."
jawab Kiyai Supit Pramana. "Tua bangka sialan! Kalau begitu biar kau dulu
yang aku bereskan!" Pengemis Sakti Muka Bopeng berpaling pada ke empat
muridnya dan berseru: "Kalian berempat cepat cincang bangsat itu!"
Maka Pengemis Cantik Ayu dan tiga Pengemis lainnya segera mengeluarkan senjata
masing-masing dan menyerbu Untung Pararean.
Bagi
Untung Pararean tingkat ilmu silat keempat lawannya itu tidak membuat dia
menjadi gentar. Tapi ada satu hal yang menyebabkan setiap gerakannya harus
dilakukan dengan penuh perhitungan bahkan kadang-kadang tertahan-tahan. Yang
menyebabkan itu ialah karena salah seorang dari pengeroyoknya adalah anaknya
sendiri. Walau bagaimanapun seorang bapak tak akan tega untuk mencelakai anak
kandungnya! Di lain pihak Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu tidak mengetahui
kalau yang dihadapinya adalah ayah kandungnya. Bersama-sama dengan ketiga
saudaranya dia terus mendesak Untung Pararean dengan hebat!
Setelah
pertempuran berkecamuk dua puluh jurus dan melihat keempat orang itu masih
belum sanggup merubuhkan Untung Pararean, Sri Kemuning yang oleh Pengemis Sakti
Muka Bopeng teJah diberi julukan "Pengemis Hitam Manis" segera
menyerbu pula ke dalam kalangan pertempuran, hingga kini Untung Pararean
dikeroyok lima. Dan dua dari pengeroyoknya adalah anak kandung dan bekas
istrinya sendiri!
Sementara
itu pertempuran yang terjadi antara Kiyai Supit Pramana dan Pengemis Sakti Muka
Bopeng benar-benar satu pertempuran tingkat tinggi yang jarang ditemui. Tubuh
keduanya lenyap menjadi bayang-bayang sedanq di sekitar mereka debu dar pasir
bergu lung-gu lung, siuran angin menderu-deru!
Kalau
Kiyai Supit Pramana mengandalkan tongkat butut di tangan kanannya maka Pengemis
Sakti Mu.ka Bopeng hanya mengandalkan tangan, kosong. Beberapa kali si Muka
Bopeng ini melancarkan serangan-serangan kilat dan pukulan-pukulan tangan kosong
yang dahsyat mematikan namun lawannya selalu berhasil mengelak atau memusnahkan
serangannya itu.
"Bangsat
tua bangka!" maki Pengemis Sakti Muka Bopeng pada jurus ketiga puluh satu,
"sekarang jangan harap kau bakal bisa selamat dari pukulanku ini!"
Mulutnya menggembung, dari tenggorokannya terdengar suara menggembor dan tangan
kanannya di angkat ke atas lalu dipukulkan ke depan, ke arah Kiyai Supit
Pramana.
"Wuuuussss!"
Satu
gelombang sinar hitam yang luar biasa panasnya menggemuruh. "Pukulan api
hitam", seru Kiyai Supit Pramana dalam hati lalu dengan cepat melompat ke
samping seraya memapas dengan tongkat bututnya!
"Kraak!"
Tongkai
di tangan sang Kiyai patah dua dan terlepas dari tangannya tapi dirinya sendiri
selamat!
Dengan
geram Pengemis Sakti Muka Bopeng kembali mengirimkan pukulan dahsyat tadi dua
kali berturut-turut!
Terdengar
seruan dahsyat keluar dari mulut Kiyai Supit Pramana, "Hitam tak akan
menang dengan putih!" Dan di kejap itu pula selarik sinar putih
berkelebat. Begitu sinar putih ini beradu terus menggulung sinar hitam. Untuk
beberapa lamanya menghantam sedang yang melepaskan pukulan sama berdiri tegang
menyalurkan tenaga dalam masing-masing! Dalam tenaga dalam Pengemis Sakti Muka
Bopeng masih kalah satu tingkat di bawah Kiyai Supit Pramana. Karenanya setelah
adu kekuatan selama hampir sepeminuman teh dan kedua kakinya sampai-sampai
melesak sedalam sepuluh senti, akhirnya tubuhnya terdorong ke belakang! Sebelum
sinar-sinar putih itu melabrak dirinya, Pengemis Sakti Muka bopeng cepat
melompat mencari keselamatan. Parasnya kelihatan pucat. Kuduknya dingin. Jika
tidak lekas melompat pasti dirinya kena dicelakai pukulan lawan.
Kiyai
Supit Pramana tertawa perlahan dan berkata, "Kurasa cukup kita main-main
sampai di sini saja, Muka Bopeng. Sebaiknya kau lekas menyelesaikan urusanmu
dengan laki-laki bercadar itu. Jangan mengandalkan murid-muridmu yang main
keroyok secara pengecut itu!"
"Anjing
tua!" sentak Pengemis Sakti Muka Bopeng penuh dendam amarah. "Kalau
maksudku untuk membunuhmu tidak kesarnpaiar, biarlah kelak aku akan bunuh
diri!"
"Ah,
memang susah kalau seseorang mata dan hatinya sudah buta oleh kejahatan!"
ujar Kiyai Supit Pramana dengan menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan
banyak bacot! Kau akan segera mampus anjing tua!" semprot Pengemis Sakti
Muka Bopeng. Kedua tangannya bergerak. Kini tangan kiri memegang sebilah pedang
panjang berwarna ungu sedang tangan kanan memegang sebuah keris yang
memancarkan sinar biru yang bukan lain keris Mustiko Jagat adanya! Melihat
bagaimana si muka bopeng ini menggunakan dua senjata sekaligus nyatalah bahwa
dia benar-benar ingin memburuh Kiyai Supit Pramana dalam waktu yang paling
singkat!
Di lain
pihak Kiyai Supit Pramana tidak merasa gentar. Dia sudah tahu kehebatan keris
Mustiko Jagat sedang pedang di tangan kiri lawan tidak dipandangnya sebelah
mata. Keris tempaan Empu Bharata itulah yang lebih berbahaya dan harus hatihati
dihadapinya. Karenanya untuk mengimbangi senjata tersebut Kiyai Supit Pramana
tidak menunggu lebih lama, segera pula mengeluarkan senjatanya yakni sehelai
selendang sutera yang tepinya dihias dengan seratus rumbai-rumbai sepanjang
satu jengkal!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng membuka serangan dengan satu teriakan dahsyat. Kiyai Supit
Pramana menanti dengan tenang. Begitu lawannya tinggal beberapa langkah di
hadapannya, segera selendang sutera di tangan kanan dikebutkan! Satu gelombang
angin sedahsyat topan prahara menggaung. Seratus senjata rahasia berhamburan dari
rumbai-rumbai selendang. Kaget Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak kepalang. Cepat
dia memapas dengan pedang dan keris. Pedang di tangan kiri mental patah dua
tapi keris Mustiko Jagat dengan hebatnya sanggup membuat buyar angin serangan
serta mementalkan senjata-senjata rahasia yang menggempur!
Sekarang
marilah kita perhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean
melawan Sri Lestari, Sri Kemuning dan tiga Pengemis lainnya itu. Dia bertempur
dengan berbagai perasaan yang campur aduk dan menggugah hati sanubarinya.
Bagaimana dia bisa bertempur sungguh-sungguh dengan dua orang yang merupakan
anak serta bekas istrinya? Walau bagaimanapun keduanya adalah orang-orang yang
dikasihi dan pernah dikasihinya. Di lain pihak kedua ibu dan anak itu yang tidak
mengetahui siapa adanya Untung Pararean, terus menggempur dengan hebat. Di
tambah pula dengan seranganserangan gencar tiga Pengemis hingga kedudukan
Untung Pararean jadi serba sulit. Dalam kesulitan itu dia masih sanggup
menendang rubuh Pengemis Badan Kurus hingga terjungkal dan menggeletak pingsan.
Namun
demikian karena Untung Pararean terlalu dalam dipengaruhi oleh perasaannya,
kerap kali laki-laki ini bertempur dengan gerakan yang ragu-ragu hingga pada
akhirnya lengan kirinya berhasil dilanda ujung golok Sri Lestari dan terluka
cukup parah! Denqan menahan sakitnya luka dan keperihan hati, Untung Pararean
meneruskan pertempuran. Sementara itu dari sejak mulai berlangsungnya
pertempurarn entah bagaimana dia selalu ingat pada Empu Bharata yang telah dibunuhnya
enam belas tahun yang silam. Seperti terngiang ditelinganya kutukan orany tua
sakti itu sebelum dia meregang nyawa yaitu " kelak kau bakal mati di ujung
Mustiko Jagat dan sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir bathin . . .
"
Berdiri
bulu kuduk Untung Pararean. Benarkah dia akan mati di ujung keris Mustiko Jagat
yany dulu dipakainya untuk membunuh Empu Bharata itu? Dia tahu sebagian dari
kutukan sang Empu atas dirinya telah menjadi kenyataan. Yaitu dia telah hidup
denqan menderita lahir bathin! Karena bertempur sambil merenung dan dipengaruhi
berbagai macam perasaan maka Untung Pararean semakin berada dalam kedudukan
yang sulit. Saat itu ingin saja dia berteriak pada Sri Lestari dan Sri
Kemuning, menerangkan siapa dia. Tapi hal itu tak bisa dilakukannya. Lidahnya
serasa kelu. Lagi pula walau bagaimanapun Sri Kemuning bukan lagi istrinya saat
itu, sudah menjadi istri orang lain meski secara tidak syah. Dan yang paling
penting apakah kelak Sri Lestari akan mau mengakui dirinya yang cacat itu sebagai
ayah kandungnya? Bahkan Sri Kemuning sendiri mungkin tak akan mengenali
wajahnya seandainya dia membuka cadar hitam yang menutup wajahnya! Dan
keperihan semakin dalam menusuk lubuk hati Untung Pararean. Dikuatkannya
dirinya. Tapi kedua matanya tak kuasa menahan genangan air mata. Kedua mata itu
kelihatan berkaca-kaca!
Di saat
itu timbul pikiran di kepala Untung Pararean untuk meninggalkan tempat itu.
Namun bila dia ingat bahwa dendam kesumatnya terhadap Pengemis Sakti Muka
Bopeng masih belum kesampaian, kembali dikuatkannya hatinya. Tiba-tiba dia
mendapat akal sebaiknya bertempur menghadapi musuh besarnya saja saat itu.
Sekaligus dia bisa membalas dendam dan mengelakkan pertempuran melawan bekas
istri dan anak kandungnya! Namun sebelum hal itu dilakukannya sesosok tubuh
berpakaian hitam mendatang dengan sangat cepat dari arah timur dan terdengar
seruan keras lantang, "Kiyai Supit Pramana! Bangsat bermuka bopeng itu
adalah musuh lamaku! Biar aku yang merampas jiwanya!"
******************
16
KIYAI
Supit Pramana dan pengemis Sakti Muka Bopeng sama-sama terkejut lalu samasama
melompat ke belakang. Si Muka Bopeng yang sudah mengenali suara orang yang
datang segera dapat menduga siapa dia adanya dan ternyata dugaannya tak
meleset. Orang itu adalah Si Cadar Hitam!
"Ha
. . . " ha . . . ! Agaknya kau terkejut dan takut melihat kedatanganku,
Pengemis Sakti Muka Bopeng?!"
"Puah!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng meludah. "Dalam hidupku tak pernah ada kata
takut! Apalagi terhadap bangsa kurcaci macam kau!"
Si Cadar
Hitam tertawa gelak-gelak sambil memandang berkeliling. Sesaat dia
memperhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean dengan
keempat pengeroyoknya lalu kepalanya kembali dipalingkan pada Pengemis Sakti
Muka Bopeng, dan berkata dengan mengejek. "Mungkin kau bukan seorang
pengecut! Tapi sekurang-kurangnya kau telah mengajarkan bagaimana bertempur
secara pengecut terhadap murid-muridmu hingga mereka main keroyok begitu
rupa!"
Muka yang
buruk dari Pengemis Sakti Muka Bopeng kelihatan merah padam dan Si Cadar Hitam
kembali mementang mulut. "Bukti lain yang cukup jelas betapa pengecutnya
dirimu ialah ketika kau mengutus murid-muridmu untuk memenuhi tantanganku satu
tahun yang lalu! Kenapa tidak kau sendiri yang muncul kalau bukannya berarti
kau bangsa pengecut kelas wahid?!"
"Bangsat
rendah! Kuberikan kesempatan padarnu untuk mengaso memperpanjang nyawa. Kelak
sesudah tua bangka dari Gunung Bromo ini kubikin mampus akan sampai pula
giliranmu!"
Kiyai
Supit Pramana cepat membuka mulut. "Cadar Hitam," katanya yang sudah
mengenali siapa adanya pendatang baru itu . . . "Antara aku dan dia
sebenarnya tak ada silang sengketa. Silahkan kau baku hantam satu sama
lain!"
"Kiyai
sedeng! Apakah kau tak punya nyali melanjutkan pertempuran tadi?!" tanya
Pengemis Sakti Muka Bopeng.
Sang
Kiyai tertawa bergumam. "Rupanya nyalimu terlalu besar. Apa kau ingin kami
berdua melabrakmu saat ini?!"
"Tua
renta_. .." Maki Pengemis Sakti Muka Bopeng itu dipotong oleh bentakan Si
Cadar Hitam.
"Muka
Bopeng, sudah mau mampus masih saja main maki-makian! Terima ini!"
Selarik
sinar hitam bersiut! Itulah serangan senjata Si Cadar Hitam yang berbentuk toya
dengan lingkaran-lingkaran tajam pada kedua ujungnya!
"Ha
… ha! Senjatamu masih saja senjata buruk dulu! Apakah kau masih punya muka
untuk mempergunakannya?!" ejek Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya menangkis
dengan keris Mustiko Jagat.
"Trang!"
Bunga api memercik!
Si Cadar
Hitam terkejut. Tangannya tergetar hebat, sakit dan pedas. Ketika
diperhatikannya senjatanya, astaga! Temyata lingkaran tajam yang sebelah kanan
telah terbabat putus! Dia sama sekali tidak menyangka kalau dalam satu tahun
kehebatan lawannya sudah maju jauh sekali dan tak menyangka lagi kalau keris di
tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng demikian dahsyatnya! Mau tak mau nyalinya
jadi menciut juga. Segera dia mengeluarkan jurus silatnya yang terhebat dan
melakukan penyerangan dengan senjatanya yang telah buntung! Si Cadar Hitam
berlaku cerdik. Dia selalu mengelak bila lawan hendak mengadu senjata,
sebaliknya dia berusaha agar dapat menyingkirkan keris Mustiko Jagat dari
tangan lawan!
Dalam
ilmu silat mungkin Si Cadar Hitam lebih hebat dan lebih gesit gerakannya. Namun
walau bagaimanapun yang menentukan adalah senjata di tangan masing-masing!
Setelah bertempur dua puluh jurus lebih akhirnya Si Cadar Hitam tak berdaya
mengelakkan satu tusukan yang amat cepat!’ Tubuhnya terjajar ke belakang dengan
dada mandi darah. Senjatanya yang buntung terlepas dan begitu jatuh tubuhnya.
masih berkelojot beberapa kali. Begitu racun keris merambas kejantungnya,
lakilaki itupun meregang nyawa!
"Manusia
hina! Mayatmu tak layak malang melintang di depan mataku!" kata Pengemis
Sakti Muka Bopeng. Sekali tendang saja maka mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam
sejauh belasan tombak, angsrok di antara semak-semak lebat! Pengemis Sakti Muka
Bopeng berpaling pada Kiyai Supit Pramana. "Sekarang giliranmu, anjing
tua!" bentaknya lalu menyerbu dengan keris di tangan! Untuk kedua kalinya
kedua orang itu kembali bertempur. Kini lebih hebat, lebih cepat, dan lebih
ganas!
Pertempuran
antara Untung Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya telah berjalan lebih dari
empa; puluh jurus. Dalam keadaan luka parah Untung Pararean masih sempat
memukul jatuh salah satu golok di tangan Sri Lestari dan merampas goloknya yang
lain. Tapi untuk itu Untung Pararean menerima hantaman sabuk di tangan Pengemis
Kepala Botak yang membuat pinggulnya serasa remuk! Dengan panuh marah Untung
Pararean melepaskan pukulan "seribu kati memukul awan",
ke arah
Pengemis Kepala Botak. Pukulan yang dahsyat itu berhasil dikelit oleh si kepala
Botak sebaliknya hampir saja melanda Sri Lestari di samping kiri. Karena itu
Untung tak mau lagi melepaskan pukulan tersebut takut mencelakai anak kandung
atau bekas istrinya sendiri!
"Lekas
bentuk barisan bolang-baling!" tiba-tiba Sri Lestari atau Pengemis Cantik
Ayu berseru. Barisan bolang-baling adalah satu barisan penggempur yang tangguh.
Barisan ini diciptakan oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng dan bisa dilakukan oleh
tiga sampai tujuh orang. Dan kehebatan barisan ini dirasakan sendiri oleh
Untung Pararean. Serangan datang dari berbagai jurusan dan dalam gerakan yang
sama sekali berlawanan dari gerakan silat yang sewajarnya. Ini membingungkan
Untung Pararean. Meskipun beberapa jurus di muka dia berhasil mengetahui
kelemahan-kelemahan barisan bolang-baling itu namun dirinya sudah sangat
terdesak! Masih untung dia berhasil merampas golok Sri Lestari, kalau tidak
mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat celaka!
Dalam
pada itu pertempuran antara Pengemis Sakti Muka Bopeng dan Kiyai Supit Pramana
telah mencapai klimaks kehebatannya. Dalam jurus yang ke enam puluh tiga tokoh
silat dari Gunung Bromo itu berhasil menghantam lengan kanan lawannya hingga
keris Mustiko Jagat terlepas dan mental dari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng.
Laki-laki ini coba melompat untuk menjangkau senjata itu tapi tak berhasil
karena saat itu Kiyai Supit Pramana melepaskan pukulan "seribu kati
memukul awan" yang mana harus dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau
mendapat celaka. Kiyai Supit Pramana adalah tokoh silat berjiwa kesatria tulen!
Melihat lawan tidak bersenjata lagi segera selendang suteranya di simpan di
balik pakaian lalu meneruskan pertempuran dengan tangan kosong.
Secara
kebetulan, keris Mustiko Jagat yang terlepas mental dari tangan Pengemis Sakti
Muka Bopeng melayang ke tempat berlangsungnya pertempuran antara Untung
Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya. Melihat keris ayahnya melayang mental
begitu rupa, dan di saat itu dia sendiri tidak pula memegang senjata apa-apa,
dengan cepat Sri Lestari melompat. Sesaat kemudian senjata itupun sudah berada
dalam tangan kanannya!
Betapa
terkejutnya Untung Pararean menyaksikan Sri Lestari kembali memasuki kalangan
pertempuran dengan Mustiko Jagat di tangan. Sinar biru berkelebat menggidikkan.
Untuk kesekian kalinya Untung Pararean merasakan bulu kuduknya merinding.
Terngiang lagi di telinganya kutukan Empu Bharata yang dibunuhnya dulu: ".
. . kelak kau bakal mati di ujung keris Mustiko Jagat. . . " Apakah
kutukan itu segera akan berbukti kini?!
"Trang"!
Untung
Pararean terkejut. Golok di tangan kanannya patah dua disambar keris Mustiko
Jagat. Telapak tangannya sakit sekali. Dalam pada itu dia harus cepat pula
menyelamatkan kepalanya dari gada batu pualam putih di tangan Pengemis Badan
Gemuk sedang dari belakangnya, Pengemis Hitam Manis atau Sri Kemuning
melancarkan pula satu tendangan maut! Untung Pararean berkelebat cepat untuk
mengelakkan kedua serangan itu dan berhasil. Namun dia melupakan kedudukan Sri
Lestari yang saat itu bergerak luar biasa cepatnya, menyambar dari samping kiri
dan menusukkan Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa di tangkis atau dikelit
lagi!
Sesaat
sebelum Mustiko Jagat menghunjam di dada Untung Pararean terdengar satu
bentakan sekeras guntur!
"Jangan
bunuh! Dia ayah kandungmu sendiri!"
Tapi
teriakan yang mengguntur itu terlambat datangnya sebagai peringatan. Mustiko
Jagat telah lebih dulu menembus dada Untung Pararean barulah semua orang,
termasuk Sri Lesteri terkejut!
Bekas
Perwira Kerajaan itu terhuyung ke belakang sambil memegangi dada dengan kedua
tangannya. Pada detik tubuhnya hampir jatuh, satu bayangan putih berkelebat
menopang tubuhnya.
"Kasip!
Terlambat! Terlambat … !" kata orang yang datang ini sambil satu tangannya
menggaruk-garuk kepalanya tiada henti.
"Bangsat
gondrong!" bentak Sri Lestari sewaktu dia melihat siapa adanya orang yang
menopang tubuh lawannya. "Kau masih mau ikut campur urusan orang
lain?!"
"Gadis!
Apakah kau masih belum sadar kalau orang ini adalah ayah kandungmu
sendiri?!" ujar si pemuda rambut gondrong yang bukan lain Pendekar 212
Wiro Sableng adanya.
"Jangan
bicara ngacok ngelantur!" bentak Sri Lestari. "Ayahku adalah Gambir
Seta yang bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng!"
Wiro
Sableng tertawa kecut dan menyandarkan Untung Pararean ke pangkuannya. Sambil
megap-megap Kehabisan nafas Untung Pararean berbisik, "Sahabat kenapa kau
beritahu siapa diriku …"
Baru saja
Untung Pararean habis berkata begitu satu tangan menyambar dan bret! Terbukalah
cadar hitam yang selama ini menutup paras bekas Perwira Kerajafan itu.
Terdengar jerit ngeri Sri Kemuning. Dialah yang menyentakkan kain penutup paras
Untung Pararean. Jeritannya disusul oleh jeritan Sri Lestari dan seruan-seruan
tertahan orang-orang yang ada di situ yang ada di situ yang merasa ngeri
melihat keluar biasaan seramnya paras Untung Pararean. Mata kirinya hanya
merupakan lobang belaka. Mulutnya kanan robek sampai ke pipi, bibir
menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah kiri tanggal, kedua daun telinganya
papas buntung sedang seluruh kulit muka hancur bergurat-gurat! Sebagai bekas
istri sekalipun, Sri Kemuning tidak mengenali Untung Pararean lagi!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng terkejut luar biasa! Benar-benar tak diduganya kalau orang
bercadar itu adalah Untung Pararean, seorang bekas Perwira Kerajaan yang telah
membunuh Empu Bharata dan yang telah disiksanya setengah mati enam belas tahun
yang silam!
Tiba-tiba
laki-laki ini berteriak, "Jangan dengar omongan pemuda edan itu! Dia tak ada
sangkut paut apa denganmu. Lestari! Akulah ayah kandungmu!"
Wiro
mendengus marah!
"Iblis
laknat!" bentak Pendekar 212. "Di saat orang hendak menghembuskan
nafas penghabisan apakah kau masih punya hati demikian jahat untuk membantah
kenyataan bahwa dia adalah Untung Pararean, ayah kandung gadis itu?!"
"Setan
alas!" balas membentak Pengemis Sakti Muka Bopeng, "Kalau kau mau
mampus bersamanya pergilah!" Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka
B$peng yang hendak menyekap rahasia mengenai diri Untung Pararean segera
melepaskan pukulan tangan kosong yang luar biasa hebatnya.
"Bangsat
bermuka bopeng! Manusia macammu memang tak layak dibiarkan hidup lebih
lama!" teriak Wiro. Dia bersiul nyaring dan balas menghantam dengan tangan
kanannya! Satu larik sinar putih yang amat panas dan menyilaukan mata menderu
laksana petir menyambar!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng terpekik. Tubuhnya terguling. Itulah pukulan "sinar
matahari"!
Pengemis
Sakti Muka Bopeng tak menyangka akan disambut dengan serangan balasan yang
dahsyat itu. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tapi masih kurang cepat!
Pekiknya mengumandang. Tangan kanannya yang kurus kering kelihatan hangus hitam
pekat sedang tubuhnya terbanting ke tanah!
"Pemuda
keparat! Mampuslah!", teriak Sri Lestari seraya melompat dan menusukkan
Mustiko Jagat ke kepala Pendekar 212.
"Lestari!
Tahan!", teriak Sri Kemuning dengan cepat.
Sementara
itu keris sakti hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala Pendekar 212.
Dengan sebat Wiro memukul pergelangan tangan gadis itu hingga Mustiko Jagat
terlepas mental.
"Orang
muda! Laki-laki yang bernama Untung Pararean tidak bermuka seseram dia! Jangan
kau bicara ngelantur tak karuan!" kata Sri Kemuning pula.
Wiro
berpaling pada Kiyai Supit Pramana dan menjawab, "Orang tua itu lebih tahu
dari aku! Dia yang menyelamatkan bekas suamimu dari kematian!"
Sri
Kemuning melangkah cepat. Dia ingin membuktikan sendiri bahwa laki-laki bermuka
seseram setan itu adalah betul betul Untung Pararean, bekas suaminya!
Dirobeknya pakaian Untung Pararean dan ketika di dada laki-laki ini dilihatnya
sebuah tahi lalat besar meraunglah perempuvn ini.
"Kanda
Untung!" jeritnya seraya menubruk dan memeluk tubuh Untung Pararean.
"Kemun
. . . " Nama itu tak sempat disebut Untung Pararean sampai keakhirnya
karena malaekat maut telah lebih dulu mencabut nyawanya!
Sementara
itu dengan terhuyung-huyung Pengemis Sakti Muka Bopeng coba berdiri. Tapi
tubuhnya roboh kembali karena racun pukulan sinar matahari Pendekar 212 mulai
merusak jaringan-jaringan urat di dalam tubuhnya. Ketika keris Mustiko Jagat
yang terpelanting jatuh di hadapannya, timbul kekuatan baru dalam dirinya.
Dengan merangkak susah payah senjata itu berhasil dijangkaunya. Begitu tangan
kirinya menyentuh senjata sakti itu, racun pukulan sinar matahari dengan serta
merta menjadi sirna. Dengan kekuatan baru, Pengemis Sakti Muka Bopeng melemparkan
keris Mustiko Jagat ke arah Pendekar 212. Tapi lemparannya itu meleset dan
keris Mustiko Jagat melesat ke arah Sri Kemuning!
"Ibu
awas!" seru Sri Lestari. Dia melompat hendak menyambar senjata itu. Tapi
karena bingung dengan apa yang disaksikannya tadi, gadis ini bertaindak gugup.
Dan hal ini harus dibayarnya dengan mahal! Keris Mustiko Jagat menghantam
pangkal lehernya! Baik Wiro maupun Kiyai Supit Pramane tidak punya kesempatan
sama sekali untuk menyelamatkan jiwa gadis itu!
Terdengar
pekik Sri Lestari. Tubuhnya roboh dengan leher mandi darah. Hanya beberapa kali
saja tubuh itu kelihatan bergerak-gerak, sesudah itu diam tak berkutik lagi!
Sri Kemuning laksana gila melepaskan pelukannya pada tubuh Untung Pararean dan
menghambur ke tempat di mana anaknya menggeletak tak bernyawa.
"Manusia
durjana!" bentak Kiyai Supit Pramana seraya melompat menyerang Pengemis
Sakti Muka Bopeng. Tapi dari samping satu bayangan putih lebih cepat
mendahuluinya. Satu suara laksana ribuan tawon mengamuk membising telinga dan
di lain kejap terdengarlah jeritan setinggi langit keluar dari tenggorakan
Pengemis Sakti Muka Bopeng! Tubuhnya bergedebuk ke tanah. Pinggangnya hampir
putus dan darah membanjir! Kiyai Supit Pramana berdiri laksana patung,
memandang tepat-tepat pada Pendekar 212 yang berdiri di hadapannya, memegang
Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itulah yang telah menamatkan riwayat Pengemis
Sakti Muka Bopeng.
"Senjata
hebat. Dan gerakannya luar biasa cepatnya." kata Kiyai Supit Pramana dalam
hati. Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh teriakan Pengemis Badan Gemuk.
Mereka membalik dan … terlalu kasip untuk turun tangan! Sri Kemuning telah
mencabut keris Mustiko Jagat dari leher anaknya dan kemudian menusukkan senjata
itu ke dadanya sendiri!
"Bangsat-bangsat
rendah! Gara-gara kalianlah semua ini terjadi!" bentak Pengemis Badan
Gemuk. Bersama Pengemis Kepala Botak dia menyerbu Wiro Sableng dan Kiyai Supit
Pramana. Wiro memutar Kapak Naga Geni 122.
Crass!
Tangan
kanan Pengemis Badan Gemuk putus. Laki-laki ini meraung macam harimau luka lalu
lari terbirit-birit. Di tengah jalan racun kapak telah merambas jantungnya
hingga tubuhnya terhuyung dan roboh tanpa nyawa di saat itu juga. Pengemis
Kepala Botak yang menyerang Kiyai Supit Pramana tidak bernasib lebih baik. Pukulan
"seribu kati memukul awan" mendarat di kepalanya yang tak berambut
hingga memar macam pepaya busuk, tubuhnya menyungkur tanah tanpa nyawa lagi!
Pengemis
Badan Kurus yang saat itu telah siuman dari pingsannya begitu tahu kalau
dirinya cuma tinggal sendirian di situ, tanpa menunggu lebih lama segera pula
ambil langkah seribu, lari ke jurusan lenyapnya Pengemis Badan Gemuk. Untuk
beberapa lamanya sempat itu diselimuti kesunyian. Yang terdengar hanya tiupan
angin di sela-sela daun-daun pepohonan dan suara hamparan ombak sayup-sayup di
kejauhan.
"Kiyai
… sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang-orang ini," kata Wiro Sableng
seraya memasukkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
Demikianlah
berakhirnya kisah ini. Menurut cerita, keris Mustiko Jagat di ambil oleh Kiyai
Supit Pramana. Untuk menghindarkan hal-hal tak diingatkan yang mungkin tejadi
keris itu kemudian dilemparkan ke dalam laut di Selat Madura.
TAMAT
No comments:
Post a Comment