Guna Guna
Tombak Api
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
HARI itu
tanggal tiga bulan ke lima. Sebuah bukit yang selama bertahun-tahun sunyi
senyap, terletak di antara kaki Gunung Merapi dan Gunung Raung kini banyak
didatangi oleh orang-orang yang muncul dari berbagai penjuru. Melihat
gerak-gerik orang-orang itu dan memperhatikan cara mereka berlari menuju puncak
bukit, dapatlah diduga bahwa orang-orang itu, siapapun mereka adanya, adalah
orang-orang dari dunia persilatan.
Ada
kepentingan apakah orang-orang persilatan berdatangan di puncak bukit itu?
Ternyata hal ini ada kaitannya dengan rencana peresmian dan pengenalan sebuah
partai persilatan baru yang diberi nama Partai Bintang Blambangan. Partai silat
ini diketuai oleh Gandring Wikoro, seorang kakek berusia 70 tahun. Lebih dari
separuh masa hidupnya telah dihabiskan dengan pengabdian pada Keraton Sala. Di
usia menjelang menutup mata, Gandring Wikoro yang tidak bisa melupakan masa
muda dan asal-usulnya, setelah berunding dengan anak-istri serta para sahabat,
akhirnya memutuskan untuk membentuk sebuah partai silat. Konon Gandring Wikoro
memiliki darah keturunan ketiga dari Raja Blambangan. Semula dia hanya
bermaksud mendirikan sebuah perguruan silat. Namun atas dorongan anak-anak dan
sahabat-sahabatnya, dan mengingat nama Blambangan adalah satu nama besar di
masa silam, maka disetujui merubah perguruan menjadi sebuah partai.
Selama
pengabdiannya di Keraton Sala, Gandring Wikoro dikenal dengan gelar kehormatan
“Raja Panah Delapan Penjuru Angin.” Memang selain memiliki ilmu silat tangan
kosong yang tinggi serta andal dalam ilmu golok, Gandring Wikoro juga menguasai
ilmu panah secara luar biasa. Demikian hebatnya ilmu kepandaiannya, dia sanggup
membidikkan tiga panah sekaligus pada tiga sasaran yang berlainan. Dia juga
mampu membidik burung yang terbang di udara dengan mata tertutup! Dan kabarnya
dia telah pula menciptakan beberapa jurus ilmu silat di mana orang yang
memainkannya memegang busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan.
Busur dipakai
sebagai
pelindung, tidak beda dengan tameng sedang anak panah dijadikan senjata seperti
golok atau pedang. Siapa saja yang sudah menguasai ilmu silat Panah dan Busur
itu, lima orang bersenjata tidak akan mampu merobohkannya!
Memandang
kepada nama besar Gandring Wikoro itulah maka banyak tokoh silat yang punya
nama besar tidak segan-segan datang ke puncak bukit tempat akan diresmikannya
Partai Bintang Blambangan itu.
Di puncak
bukit yang sejuk itu dibangun sebuah panggung setinggi satu tombak dan luas
sepuluh kali lima belas tombak. Di belakang panggung ini terdapat sebuah
panggung lagi yang agak lebih tinggi. Di sini duduklah Raja Panah Delapan
Penjuru Angin didampingi oleh istrinya, seorang perempuan ramping berambut
putih. Di sebelah sang istri duduk seorang pemuda berbadan tegap berparas
gagah. Pemuda ini bernama Bimo Argomulyo, putera dan anak tunggal pasangan
suami-istri Gandring Wikoro.
Menurut
orang-orang yang tahu, di usianya yang baru 26 tahun Bimo Argomulyo kabarnya
sudah mewarisi seluruh kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki
ayahnya, kecuali ilmu silat Panah dan Busur.
Di
samping Bimo Argomulyo tampak duduk seorang pemuda berbadan tinggi semampai
berkulit putih yang adalah keponakan Gandring Wikoro atau sepupu Bimo bernama
Sarwo Bayu. Sejak masih kecil, yakni sejak kedua orang tuanya meninggal, Sarwo
Bayu dipelihara oleh Gandring Wikoro. Karenanya sudah dianggap sebagai anak
sendiri. Dalam hal umur Sarwo satu tahun lebih muda dari Bimo Argomulyo.
Dalam
pelajaran ilmu silat boleh dikatakan Gandring Wikoro tidak membeda-bedakan anak
dan keponakannya. Keduanya diberi pelajaran ilmu yang sama. Dalam ilmu silat
tangan kosong ternyata Bimo lebih cepat dan lebih banyak menguasai. Sebaliknya
dalam ilmu silat Panah dan Busur, ternyata sang keponakan lebih menguasai dari
anaknya sendiri.
Di
belakang deretan kursi keluarga ketua partai, duduk dengan rapi dan gagah 30
orang anggota partai yang terdiri dari anak-anak muda rata-rata berbadan tegap.
Memang Gandring Wikoro sengaja mengambil anggota partai dari murid-muridnya
sendiri, orang-orang yang masih muda dan bersih, belum tercemar segala macam
keburukan dunia.
Dia
berharap dari orang-orang muda yang bersih dan berjiwa satria itulah kelak
Partai Bintang Blambangan bisa berkembang menjadi partai besar, sebesar dan
seharum Kerajaan Blambangan di masa lampau.
Di depan
panggung besar berderet-deret kursi yang diduduki oleh para tetamu. Masing-masing
deretan diseling oleh sebuah meja panjang. Di atas meja ini terletak berbagai
macam minuman dan makanan yang lezat-lezat. Di antara para tamu yang hadir,
kelihatan seorang gadis berparas cantik, berambut panjang sebahu. Dia
mengenakan pakaian berbunga-bunga warna-warni dan duduk di deretan kursi ke
tiga. Sejak tadi keluarga Ketua Partai telah melihat gadis ini dan
masing-masing bertanyatanya siapa gerangan adanya si jelita ini.
Di antara
para tetamupun banyak yang mengagumi kecantikannya. Mereka juga menduga-duga
siapa dara ini yang tampaknya datang sendirian ke tempat itu.
Selesai
para tamu mencicipi hidangan, Gandring Wikoro berdiri dari kursinya untuk
memberikan kata-kata sambutan disertai penjelasan asal muasalnya Partai Bintang
Blambangan didirikan. Sekadar basa-basi, tak lupa Gandring Wikoro mengajak para
tetamu yang bersedia, bergabung dalam partainya.
Setelah
beberapa tokoh silat yang diundang turut memberikan sambutan, termasuk seorang
utusan Keraton Sala, maka para tamu kembali dipersilahkan mencicipi hidangan.
Kini makanan yang lezat-lezat itu ditambah pula dengan sepuluh nampan nasi
tumpeng. Sambil bersantap para tetamu disuguhi pertunjukan silat oleh anggota
atau murid partai.
Selesai
pertunjukan itu, di antara sorak-sorai dan tepuk tangan, terdengar seseorang
berseru agar ketua partai memperlihatkan kebolehannya barang sejurus dua jurus.
Karena tak bisa mengelak, dan sesuai dengan adat-istiadat dunia persilatan,
maka Gandring Wikoro berdiri kembali, menjura beberapa kali lalu berkata, “Sebagai
tuan rumah aku wajib memenuhi permintaan para sahabat sekalian. Namun harap
jangan ditertawakan kalau aku hanya akan memperlihatkan ketololan belaka!”
Ketua
Partai baru itu mengangkat tangan kirinya ke atas. Melihat tanda ini, seorang
anak murid partai segera maju membawa sebuah busur dan kantong panjang terbuat
dari kulit kerbau kering, berisi selusin anak panah. Gandring Wikoro menjura
sekali lagi di hadapan para tetamu. Lalu orang tua yang memiliki tubuh sangat
lentur ini melompat ke kiri. Begitu kakinya menginjak lantai panggung kembali,
entah kapan dia melakukannya, kantong anak panah tahu-tahu sudah tersandang di
bahu kanannya. Dengan sikap gagah dia cabut sebatang anak panah sementara busur
di pegang di tangan kiri. Lalu mulailah orang tua ini menunjukkan kebolehannya,
mainkan jurus-jurus ilmu silat ciptaannya. Busur di tangan kiri diputar-putar
hingga mengeluarkan suara menderu.
Hiasan
janur yang tergantung tiga tombak di atas panggung tambah bergoyang-goyang. Di
bawah panggung, para tetamu yang duduk di deretan kursi ke satu sampai ke tiga
ikut merasakan bagaimana kerasnya sambaran angin yang menerpa keluar dari busur
itu. Sementara busur diputar terus, tangan kanan Gandring Wikoro tidak tinggal
diam, membuat gerakan-gerakan menusuk, membabat dan membacok. Anak panah
sepanjang tiga jengkal itu seolaholah lenyap dari pemandangan. Yang tampak
hanya bayang-bayangan lurus disertai suara menderu. Para hadirin bertepuk
tangan menyatakan kekaguman. Di atas panggung, Ketua Partai Blambangan itu
membuat gerakan berputar, sengaja membelakangi deretan para tetamu. Di tangan
kanannya kini terlihat ada tiga anak panah. Suasana mendadak sontak menjadi
sunyi senyap. Semua orang memandang tak berkesip, apa yang akan mereka
saksikan, apa yang akan dilakukan oleh Gandring Wikoro. Tiba-tiba orang tua ini
balikkan tubuhnya.
Bersamaan
dengan itu busur ditarik. Des… des… des! Tiga anak panah melesat ke bawah
panggung secara bersamaan. Yang paling kanan menancap pada sosok ayam panggang
yang terletak dekat nasi tumpeng pada meja paling depan. Anak panah kedua
menancap pada sebutir buah kelapa yang juga berada di meja terdepan. Sedang
anak panah ke tiga menancap tepat pada belahan buah nangka yang ada di atas
meja deretan kedua!
Terdengar
suara menggemuruh tepuk tangan, suitan dan pujian kagum para hadirin. Ketua
Partai Bintang Blambangan menjura berulang kali.
“Maafkan
atas semua ketololanku!” Lalu dia berbalik dan melangkah ke arah kursinya.
Baru
menindak dua langkah tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, disusul seruan
keras, “Orang tolol bernama Gandring Wikoro! Sebelas tahun mencarimu, akhirnya
ketemu juga! Hari ini kau meresmikan partaimu! Hari ini pula hari kematianmu!”
******************
2
SEMUA
orang yang ada di atas dan di bawah panggung sama terkejut mendengar seruan
itu, terlebih lagi Gandring Wikoro selaku Ketua Partai Bintang Blambangan yang
baru saja diresmikan. Ketika satu bayangan berkelebat ke atas panggung, semua
mata serta merta tertuju padanya.
Paras
sang ketua tampak berubah ketika dia melihat siapa adanya orang yang tegak
beberapa langkah di depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit
hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau. Wajahnya cekung dan
rambutnya kotor awut-awutan. Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat memperhatikan
kedua tangan orang di hadapannya yang berwarna kebiru-biruan. “Dulu tangan itu
biasa saja. Tidak berwarna biru seperti itu…” berkata Gandring Wikoro dalam
hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin, “Suto Rawit alias Warok
Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku turut bergembira kau datang kemari menghadiri
peresmian partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan kami kurang memuaskan
hatimu!”
Orang
banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan alias yang diucapkan Gandring
Wikoro. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan satu
momok yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya, mendengar namanya sajapun
orang sudah pada mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja
rampok yang malang melintang antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan anak buahnya tersebar sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para
penguasa mengirimkan pasukan untuk menggerebek dan menghancurkannya, namun dia
selalu berhasil lolos bahkan tak jarang pasukan yang datang menumpas tak pernah
kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok Gajah Ireng.
Ketika
bergundal rampok itu berkomplot dengan beberapa adipati dengan rencana merebut
tahta Kerajaan Sala, Sultan tak mau bertindak ayal lagi. Raja Panah Delapan
Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok Gajah Ireng. Setelah dikepung selama tiga
hari tiga malam akhirnya Suto Rawit mengirim utusan untuk berunding. Gandring
Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan berunding itu adalah tipu
muslihat belaka. Maka dia mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia
yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka berdua saja yang boleh
hadir.
Pertemuan
kemudian diadakan di sebuah lembah. Pada kedua bibir lembah, balatentara
kerajaan dan pasukan rampok menunggu hasil perundingan itu. Ternyata Suto Rawit
memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah mengirimkan ke lembah dua orang
tangan kanannya dan seorang tokoh silat golongan hitam yang berhasil
ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka langsung menyerbu!
Sebagai
seorang yang penuh pengalaman Gandring Wikoro dengan segala kewaspadaan dan
kesigapan yang ada segera mencabut anak panah dan merentang busur. Dua orang
tangan kanan Suto Rawit langsung menemui ajal ditancapi dua anak panah.
Meskipun kemudian dia hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat golongan
hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan Penjuru Angin untuk
menghadapi mereka. Perkelahian dua lawan satu itu berlangsung di dasar lembah
yang gelap, sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah pihak.
Dalam
keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring Wikoro berhasil merobohkan si
tokoh golongan hitam dan menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke
kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring Wikoro dengan imbalan
separuh dari seluruh harta kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan.
Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan di tubuh sang raja
rampok. Menyangka Gandring Wikoro menyetujui bujukannya maka kesempatan ini
tidak disiasiakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan dasar lembah.
Namun baru lari sejauh sepuluh tombak, dua anak panah melesat dalam kegelapan
malam dan menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik. Tubuhnya
terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian datang menangkapnya.
Suto
dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung dihukum mati. Tapi entah
mengapa dia hanya dijatuhkan hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini
tahutahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang tangan berwarna
kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu baru.
Kakek
berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan kepalanya lalu kembali perdengarkan
suara tawa bekakakan.
“Bagus!
Kau tidak lupakan diriku,” katanya. “Kau gembira melihatku, namun sebentar lagi
akan terjadi kesedihan di tempat ini…”
“Apa
maksudmu Suto Rawit?” tanya Gandring Wikoro.
“Jangan
berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun pertama mendekam dalam penjara aku
mengalami kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan pada kedua
betisku…”
“Ah…
Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa saat itu aku menjalankan tugas
sebagai abdi kerajaan. Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan dendam
kesumat?” ujar Gandring Wikoro pula.
Suto
Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai panggung. “Dendam kesumat bukan
dendam kesumat namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku itu
Gandring?!”
“Suto
Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur dalam-dalam. Kita sudah pada
tua bangka seperti ini, mengapa masih meributkan masa lalu…?”
“Kau bisa
mengatakan begitu, karena kau tidak merasakan siksaan sepuluh tahun dalam
penjara! Kau tolol karena tidak membunuhku saat itu!”
“Kalau
kau memang hendak membicarakan urusan masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto.
Namun saat ini biar kau kupersilakan makan dan minum dulu, biarkan para tamuku
pulang, setelah itu baru kita bicara!”
“Waktuku
tidak lama. Aku membutuhkan hampir sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak
perlu menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Biar mereka menyaksikan sendiri
ganasnya pembalasan yang akan aku lakukan…”
Tiba-tiba
Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai Bintang Blambangan bangkit dari
kursinya dan melangkah ke tengah panggung. “Ayah, jika kau ingin aku
melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan melakukannya sebelum
mulutnya yang bau menceloteh terlalu banyak…”
“Anak
muda!” sentak Suto Rawit dengan muka hitam membesi. “Katakan siapa kau ini!?”
“Aku Bimo
Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang Blambangan!”
“Ooo,
begitu…? Kau ternyata seorang anak yang berani. Tidak sepengecut ayahnya!” ujar
Suto Rawit lalu untuk ke sekian kalinya dia tertawa gelak-gelak.
“Bimo…
Kembali ke tempatmu. Biar aku yang menyelesaikan urusan dengan orang gila ini…”
kata Gandring Wikoro pada anak laki-lakinya itu.
“Orang
gila… Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu kalau di neraka ada ribuan orang
gila yang sedang bersiapsiap menunggu kedatangan roh busukmu…? Ha… Ha… Ha…!”
Merah
padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek berbaju rombeng itu melompat
menyerangnya, maka diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua
tangan saling beradu keras. Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng terhuyung-huyung
tiga langkah. Wajahnya biasa-biasa saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang
Blambangan terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya mengerenyit
kemerahan. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan
lengan lawan menjadi biru.
Satu
bayangan melesat ke atas panggung. “Ketua, kau keracunan! Lekas telan obat
ini!” kata orang yang barusan melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua
merasakan sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya. Ketika melihat siapa
yang memberi dan menyadari memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah
dan detak jantungnya, Gandring Wikoro cepat telan obat yang diberikan lalu atur
jalan darahnya.
******************
3
ORANG
yang memberikan obat kepada Ketua Partai Bintang Blambangan ternyata memiliki
kulit yang tak kalah hitamnya dengan Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit. Dia
mengenakan baju putih yang terbuat dari kain sangat kasar dan gombrang dua kali
melebihi besar tubuhnya. Di punggungnya dia menyandang sebuah tabung bambu yang
memiliki dua buah tutup tanda tabung itu mempunyai dua ruangan. Ruangan pertama
dari mana tadi dia mengeluarkan obat adalah Tabung Segala Macam Obat. Sedang
bagian tabung yang satunya disebut Tabung Segala Macam Racun! Siapakah adanya
manusia berbaju gombrang yang telah menolong Ketua Partai Bintang Blambangan
itu?
Dalam
kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru obat. Dengan bekal puluhan butir
obat yang selalu dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan berbagai
macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga dikenal sebagai tukang racun.
Manusia atau binatang kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa hidup
dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal bisa menyembuhkan
kecuali dia. Dan racun-racun ganas itu selalu dibawanya ke mana-mana dalam
tabung bambu di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat!
“Jembar
Keling!” Suto Rawit yang rupanya mengenali siapa adanya orang itu menyebut
namanya dengan suara keras. “Sebagai tetamu, lancang amat kau mencampuri
urusanku dengan tuan rumah…”
Si baju
gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan bibir dan menyahuti, “Aku masih
bisa bangga karena merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di sini
siapa yang mengundang? Jin gunung atau setan hutan?
Sudah
muncul jangan kira semua orang di sini senang melihat tampangmu! Sepuluh tahun
dijebloskan dalam penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari
panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat ini. Atau kau mau
kusuguhi racun…?!”
“Mulutmu
pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai hari ini! Selanjutnya kau bisa
menyambung bicara di liang kubur!” Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng
langsung menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun saling baku hantam.
“Kau
menyerang, aku bertahan!” si hitam yang diserang berseru. Kedua tangannya
diangkat ke atas. Begitu dua tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang
gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan panjang runcing!
Suto
Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh jari tangan lawan. Dia sudah
tahu betul kehebatan dan keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya diri
dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam tidak sama dengan yang
sekarang. Ketika lawan membuat gerakan mencakar ke arah kedua tangannya, Suto
Rawit sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru. Sepuluh kuku
hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku itu seperti mencakar di atas batu yang
sangat licin. Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun tidak mampu!
Penasaran
dan tidak percaya, Jembar Keling kembali mencengkeram sambil kerahkan tenaga
dalam. Tapi saat itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan satu
gerakan aneh Suto Rawit menghantam.
Bukkk!
Tubuh
Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit mendarat di perutnya. Bagian
perut itu langsung menjadi biru tanda racun di lengan lawan sudah mendekam di
tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat penawar yang memang
sudah disiapkannya segera ditelannya. Tiga butir sekaligus!
“Racunku
tak bakal membuat mampus bangsat satu ini!” memaki Suto Rawit. “Berarti
kepalanya harus kupecahkan atau kubetot lepas jantungnya!” Setelah membatin
begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras yang membuat sakit telinga.
Tubuhnya berkelebat lenyap berubah jadi bayang-bayang. Bau badan dan pakaiannya
yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling berkelebat kian kemari.
Tangan kanannya menyambar di sebelah depan menyebar serangan, sedang tangan
kiri menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng jika sewaktu-waktu ada
serangan lawan yang masuk.
Dua
manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan mati-matian. Jurus demi jurus
berlalu sangat cepat. Pada jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat
gerakan aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut dan dadanya sama
sekali tidak terlindung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jembar Keling untuk
menyerbu sasaran yang terbuka itu.
“Jebol
perutmu! Ambrol ususmu!” teriak Jembar Keling.
Praakk!
Suara
Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan ataupun erangan, tubuhnya
terbanting ke lantai panggung. Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak
menggenangi lantai. Si hitam satu ini telah berubah menjadi mayat membiru
begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan dengan pandangan mata menyatakan
kengerian dari semua orang. Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian
rendah. Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh jurus berarti
ilmu kepandaian bekas kepala rampok itu berada pada tingkat yang sungguh sangat
tinggi. Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya menjadi sunyi sepi dan
kemudian dipecahkan oleh suara Suto Rawit.
“Ada lagi
di antara para tetamu yang hendak coba-coba berbakti menyelamatkan ketua partai
baru ini…?!” Tak ada yang menjawab.
Saat itu
sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya di atas panggung tinggi.
“Kami
yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan melempar mayatmu ke bawah bukit!” Satu
suara mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju mendekati Suto Rawit.
Ternyata mereka adalah dua orang pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera
sang ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo. Melihat dua pemuda itu
bergerak, Gandring Wikoro segera bangkit dari kursinya.
“Aku
tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan menyelesaikan semua urusan
dengan pembunuh ini. Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling.”
Walaupun
hati dan darah muda mereka meradang, namun Bimo serta Sarwo harus taati
perintah sang ketua. Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung panggung
beberapa anak murid partai lalu mengambil alih jenazah itu.
Untuk
kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan saling berhadap-hadapan dengan
Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit.
“Kali ini
kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring Wikoro. Kau dengar itu… Jika kau
punya senjata keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah? Mana busur dan
panahmu…?”
Mendengar
ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak tenang namun di dalam hatinya jadi
panas juga. “Apa maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak perlu
sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus darah macammu ini!”
Lalu
Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat tangan kiri memberi tanda.
Seorang anak murid partai segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur
dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah berhadap-hadapan satu
sama lain.
“Keluarkan
senjatamu! Mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui kematian!”
Suto
Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua Partai Bintang Blambangan itu
lalu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dia berkata, “Senjataku hanya
sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak bicara. Silakan
menyerang duluan!”
Gandring
Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan kirinya tiba-tiba lenyap, berubah
seperti menjadi sebuah kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit merasakan
seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya ketika sambaran busur itu
menerpa tubuhnya. Dengan cepat orang ini melompat menjauhi namun dia sempat
keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan entah bagaimana sudah
berkelebat dari samping sambil menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke arah
batang leher Suto Rawit.
“Serangan
hebat!” memuji Suto Rawit namun setelah itu dia mengejek, “Ilmu silat rendahan
ini tak ada gunanya bagiku Gandring! Lihat…!”
Begitu
seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro merasakan ada satu gelombang angin
melandanya hingga dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini babatkan
busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang memegang panah mencuat kian kemari,
mengarah bagianbagian yang berbahaya dari tubuh Suto Rawit.
Bekas
kepala rampok besar itu hanya sunggingkan senyum. Malah keluarkan suara
mendengus. Dua tangannya dipalangkan ke depan.
Begitu
busur di tangan kiri Gandring Wikoro menyambar, terdengar suara kraak! Ketua
Partai Bintang Blambangan itu berseru kaget. Dia batalkan maksud menusuk dengan
anak panah di tangan kanannya dan teliti busur di tangan kiri. Ternyata busur
itu telah patah sewaktu menghantam lengan lawan yang berwarna biru!
Marahlah
Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya senjata itu bukan saja patah tapi
tangan kirinyapun terasa mendenyut sakit.
“Kurang
ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan kupatahkan batang lehermu!” teriak
Gandring Wikoro marah sekali. Didahului oleh suara menggereng orang ini kembali
menyerbu. Anak panah di tangan kanannya berkelebat kian kemari. Tubuhnya
sendiri hanya tinggal merupakan bayang-bayang. Sang ketua melakukan gempuran
dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam waktu singkat Suto Rawit kena
didesak hebat. Bekas kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata
anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat dan penuh tak terduga.
Selain itu Gandring Wikoro selalu berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh
ataupun anak panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang sangat
berbahaya itu.
Karena
terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah. Dia segera merubah
gerakan-gerakan ilmu silatnya. Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang
aneh dan membuat Gandring Wikoro semakin lama semakin sulit melancarkan
serangan-serangan baru. Pada puncak kesulitannya dia merasakan tangan kanannya
pedas. Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya senjata telah
tercabut lepas dari genggamannya. Dan telapak tangannya tampak lecet!
Senjatanya kini berada di tangan lawan!
Berusaha
memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi lawan adalah satu kesalahan besar
yang sebenarnya tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat kawakan
seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru Angin itu! Namun
justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua Partai Bintang Blambangan ini lengah,
anak panah miliknya sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro
mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut keluarkan seruan
tertahan. Tak percaya akan apa yang mereka saksikan. Senjata makan tuan!
Ketika
Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang dipegangnya, tubuh Gandring Wikoro
pun roboh ke panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi!
Belasan
orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling depan adalah Bimo dan Sarwo,
lalu istri Gandring Wikoro, diikuti oleh anggota dan anak murid Partai!
Di bawah
panggung puluhan tetamu sampai tersentak berdiri menyaksikan kematian Ketua
Partai yang sangat cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian
berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolaholah tidak ada kejadian
apa-apa. Sikapnya biasa-biasa saja, wajahnya dingin.
“Manusia
keparat! Kucincang tubuhmu!” teriak Bimo Argomulyo lalu cabut sebilah pedang
putih dari belakang punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda satu
ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak bernyawa lagi, dengan darah
mendidih dia sudah langsung menyerbu Suto Rawit!
“Anak-anak
muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi jika mau mendengar nasihatku, kalian
akan selamat. Lekas minggat dari hadapanku!”
“Keparat!
Rohmu yang akan kubikin minggat!” teriak Bimo. Lalu menyusul adik sepupunya dia
pun melompat ke dalam kalangan pertempuran.
“Tahan
dulu! Dengar ucapanku!” Suto Rawit berteriak keras. Pengaruh teriakan dahsyat
yang disertai tenaga dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu hentikan
gerakan.
“Mulai
saat ini jabatan Ketua Partai Bintang Blambangan aku ambil alih! Semua anak
murid partai termasuk kalian berdua harus taat perintah! Mundur!”
“Manusia
keparat!”
“Bangsat
terkutuk!”
Siapa
yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu
kembali menyerbu.
******************
4
WAROK
Gajah Ireng tertawa mengekeh. Matanya yang cekung berputar liar. Bimo Aryo
dengan pedang putih di tangan berada di depan sebelah kanan. Sarwo Bayu di
sebelah kiri, tampaknya pemuda ini akan mengandalkan tangan kosong, namun
kemudian sang warok melihat Bayu menyelinapkan tangan ke balik pakaian dan kini
tampak dia menggenggam sebatang anak panah berwarna putih berkilat, terbuat
dari baja putih. Anak panah ini berbentuk aneh. Selain ukurannya lebih besar,
di bagian kepala memiliki tiga kepala sekaligus. Berarti jika sampai senjata
itu menancap di sasaran, tidak mungkin mencabutnya tanpa sasaran mengalami
kehancuran total!
Selain
Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah dikurung oleh lebih dari dua puluh anak
murid dan anggota partai.
“Jadi
begini rupanya sifat orang-orang Bintang Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan
di sarang sendiri!” terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan kata-kata
ejekan.
“Manusia
jahanam sepertimu memang pantas dikeroyok dan dicincang!” menyahuti Bimo
Argomulyo. Dia memberi isyarat pada sepupunya, juga pada murid-murid partai.
Serentak dengan itu dua puluh pengurung merangsak maju sambil loloskan senjata
mereka yakni busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan!
Di bawah
panggung para tetamu banyak yang menarik nafas menyesalkan apa yang terjadi.
Tetapi sebagian besar merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng harus
disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain halnya dengan dara
berbaju kembang-kembang. Dalam hatinya dia membatin, “Ilmu silat busur dan
panah memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu akan bertempur
berbarengan. Tapi… rasanya mereka akan mengalami malapetaka. Suto Rawit tetap
bukan tandingan mereka. Aku harus mencegah.”
Bimo
Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras, inilah tanda terakhir. Semua
orang menyerbu ke arah Suto Rawit.
Pada saat
itulah melesat satu bayangan ke atas panggung. Angin sangat deras menyambar.
Suto Rawit merasakan kedua kakinya menjadi goyah dan tubuhnya terhuyung-huyung.
Rambutnya yang panjang awut-awutan berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal
yang sama, malah kedua pemuda itu terjajar sampai tiga langkah. Dua puluh anak
murid partai banyak yang roboh berpelantingan sampai ke bawah panggung. Apakah
yang terjadi?
Di saat
ketika angin menyambar terdengar suara orang berseru, “Semua orang Partai
Bintang Blambangan harap mundur! Biar aku yang mewakili kalian membalaskan
sakit hati kematian Ketua Partai!”
Tentu
saja semua kejadian ini membuat orang terkejut. Dan jadi tercengang tak percaya
ketika mengetahui bahwa yang melakukan hal itu adalah sang dara jelita berpakaian
warna-warni yang tadi duduk di antara para tetamu pada deretan kursi ke tiga.
Masih begitu muda tapi memiliki hawa tenaga dalam yang sanggup membuat para
jago di atas panggung sempoyongan!
Bimo
Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah karena ada yang berani mencampuri
urusan balas dendam mereka. Namun dua pemuda ini jadi terkesima ketika melihat
yang tegak di atas panggung saat itu bukan lain adalah gadis cantik yang sejak
sebelumnya sudah membuat mereka kagum.
“Saudari…
Kami menghargai kegagahanmu. Namun biarlah kami orang-orang partai
menyelesaikan urusan ini. Terima kasih…”
“Betul
saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat dudukmu di antara para tamu,”
menyambung Sarwo Bayu atas kata-kata Bimo tadi.
Sang dara
gelengkan kepala dan tersenyum.
“Si baju
rombeng bau yang tegak di depan kalian ini bukan manusia. Tapi iblis laknat
yang harus cepat-cepat disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan mengira aku
sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk dapat menumpasnya!”
Habis
berkata begitu sang dara layangkan pandangannya. Meskipun sepasang mata itu
bening bagus, tapi ada satu kekuatan aneh yang membuat semua orang Partai
Bintang Blambangan menjadi terhening dan ketika Bimo Argomulyo melangkah
mundur, adik sepupunya pun mengikuti. Kepada para murid partai Bimo memberi
isyarat agar tetap melakukan pengepungan di empat sudut panggung.
“Anak
manis yang masih bau kencur! Apa sangkut pautmu dengan orang-orang Bintang
Blambangan hingga mau-mauan turun tangan mencampuri urusan?!” Warok Gajah Ireng
alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya yang cekung memandang tak berkesip pada
wajah cantik dan tubuh padat mulus itu.
Yang
ditanya menyeringai penuh ejek. “Usia hampir seabad. Badan sudah bau tanah!
Hidup masih saja mengumbar kejahatan!”
“Aku
tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis centil! Aku tahu,
jangan-jangan salah satu dari dua pemuda itu adalah kekasihmu! Ah sungguh
beruntung dirinya.
Mengapa
bukan aku yang kau jadikan kekasih…? Sehari pun aku kau jadikan kekasih bagiku
sudah luar biasa…!” Suto Rawit lalu tertawa mengekeh.
“Ternyata
mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau akan menerima kematian dalam tiga
jurus!”
Suto
Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali tertawa panjang. Tiba-tiba
tawanya berhenti dan tubuhnya berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan.
Satu berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang satunya lagi secara
kurang ajar diulurkan sengaja untuk menjamah payudara gadis itu.
“Jurus
pertama!” teriak si gadis berbaju kembang warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke
kiri. Dua tangan lawan hanya mencapai tempat kosong. Di saat itu kaki kanan si
gadis terangkat ke atas, membabat ke arah perut Suto Rawit. Terkejutlah bekas
raja diraja rampok ini. Kalau tidak lekas dia melompat ke belakang, pasti
perutnya sudah kena hantam tendangan si gadis! Kini dia tidak mau menganggap
rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak tanda amarahnya mulai mendidih, Suto
Rawit maju dua langkah. Kedua lututnya tiba-tiba menekuk, tubuhnya setengah
merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan kanan. Dan ketika tangan kanan ini
melepaskan satu pukulan sakti, tampak sinar biru menderu, menyambar ke arah
sang dara.
“Jurus
kedua!” seru sang dara. Tangannya menyelinap ke balik pakaian. Sinar merah
seperti besi membara mencuat di udara.
Bummm!
Sinar
biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke udara lalu lenyap pupus
meninggalkan asap meliuk-liuk.
Suto
Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap waspada hingga tak sampai
jatuh duduk atau terbanting punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas
pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba luruskan badan. Matanya
berkilat-kilat memandang pada sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna
sangat merah laksana habis diganggang di atas api!
“Dewi
Tombak Api!” terdengar seseorang berseru di bawah panggung. Rupanya ada yang
mengenali siapa adanya sang dara.
Sementara
itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar nama atau gelar gadis berbaju
kembang-kembang di hadapannya itu berteriak marah. “Dewi atau iblis! Kau akan
menemui ajal dengan tubuh tercerai berai!” Lalu dia angkat kedua tangannya.
Sepasang lengan sampai ke kuku dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu
pertanda bahwa orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya yang ada.
Lalu dengan keluarkan suara meraung seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima
jari tangannya kiri kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang mengerikan
dan menebar bau busuk angker berkiblat, menderu ke arah sepuluh sasaran di
tubuh sang dara. Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan tertahan.
Sepuluh bagian tubuh terserang pukulan beracun yang mematikan. Betapapun
hebatnya gadis itu, tak mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan diri
dari serangan maut yang dilepas Suto Rawit!
******************
5
SELAGI
semua orang menahan nafas, sang dara justru tampak tenang-tenang saja. Dan apa
yang terjadi kemudian sungguh membuat semua orang membeliak. Begitu sepuluh
larik sinar maut berwarna biru menerpa ke arahnya, sang dara yang dipanggil
dengan gelar Dewi Tombak Api berseru keras, “Jurus ke tiga!” Lalu gadis ini
membuat gerakan mengemplang dengan tombaknya yang seperti menyala itu.
Pada saat
tombak menggebrak, terdengar suara wuuss!
Dan
sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke depan. Sepuluh larik sinar
biru langsung ambalas ditelan lidah api itu.
Di lain
kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua orang yang berada di tempat itu
sama menyaksikan bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di tangan
sang dara membuntal tubuh Suto Rawit hingga orang ini berteriak-teriak kalang
kabut, melompat turun ke bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang
membakar sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki. Bekas kepala rampok
ini coba bergulingan di tanah. Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya
laksana kambing panggang, menebar sangitnya bau daging terbakar. Dia tersungkur
di samping deretan meja tamu ke empat, menggeliat-geliat beberapa ketika. Suara
jeritannya makin lama makin perlahan. Akhirnya nyawanyapun lepas tak tertolong
lagi!
Di atas
panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak bergerak. Wajahnya kelihatan memucat
putih, dadanya turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang menyaksikan
bagaimana tubuh itu menggigil beberapa ketika. Sewaktu gigilan berhenti si
gadis melemparkan pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu. Pada saat
itu dua pemuda ini justru melangkah mendatangi dan menjura di hadapannya.
“Saudari,
siapa pun kau adanya kami menghaturkan terima kasih karena kau telah
membalaskan sakit hati kematian ayah kami. Lebih dari itu kami orang-orang
Partai Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari kehancuran… Kami
mengundangmu untuk duduk di antara keluarga partai sebagai tamu kehormatan yang
telah berjasa besar!”
Saat itu
semua orang kembali memperhatikan bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti
menggigil, pandangan matanya memberingas sedang wajahnya kelihatan seperti tak
berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah itu menjadi kemerahan.
“Saudari…
ada apa? Apakah kau mendadak sakit…?” tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang
dara seperti menggigil kedinginan dan wajahnya memucat.
“Aku tak
apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak bisa duduk di antara keluarga partai.
Aku harus pergi sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!”
Tentu
saja ucapan sang dara mengejutkan semua orang, terutama Bimo Argomulyo dan
Sarwo Bayu.
“Saudari,
maksudmu bagaimana?” tanya Bimo Argumulyo.
Sementara
Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua
Partai Bintang Blambangan masih menggeletak di ujung panggung. Dia cepat
bertindak, melangkah ke arah jenazah, namun langkahnya tertahan ketika dia
mendengar ucapan terakhir dara yang barusan membakar mati Suto Rawit dengan
tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan pandangan mereka saling bertemu.
“Saudari,
kami harus ikut bersamamu katamu…?” tanya Sarwo Bayu. Saat itu dia merasakan
ada getaran aneh memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk menembus
kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan darah di sekujur tubuhnya. Dia
melangkah mendekati kakak sepupunya dan berbisik, “Kangmas Bimo, perasaanku
mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut saja dengan gadis ini…”
“Ada yang
tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan pandang kedua matanya…”
Tapi
terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu juga mulai dirasakan oleh Bimo
Argomulyo. Dua pemuda ini memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah
dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan kepalanya lalu berkelebat turun
dari panggung dan lari ke arah timur. Bimo dan Sarwo sesaat saling pandang lalu
tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas panggung, berlari ke jurusan
timur menyusul Dewi Tombak Api.
“Bimo!
Sarwo! Kalian mau ke mana? Kembali…!”
berteriak
istri Ketua Partai Bintang Blambangan. Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di
lereng bukit sebelah timur. Kembali tempat itu dilanda kegegeran. Kali ini
kegegeran yang disertai tanda tanya tak terjawab. Apa sebenarnya yang terjadi?
Para tetamu kemudian ingat pada orang yang tadi berseru menyebut nama atau
gelar dara jelita itu. Mereka mencari-cari. Orang itu ditemui. Tetapi astaga! Dia
sudah menjadi mayat dengan leher membiru seperti dicekik!
******************
6
DARI
dalam rumah yang terletak di lembah sunyi itu terdengar suara erangan-erangan
halus di antara deru nafas yang memburu dan sesekali ditingkah oleh suara tawa
gelak perempuan. “Kalian berdua memiliki tubuh kuat, masih muda-muda tapi tak
dapat mengalahkanku! Hik… hik… hik…” terdengar suara perempuan berkata lalu
disusul suara kecupan beberapa kali.
“Terus
terang kami tidak pernah berbuat begini sebelumnya…” Ada suara lelaki menjawab.
“Betul.
Baru sekali ini kami melakukan. Belum berpengalaman…” Satu suara lelaki lagi
menimpali.
Lalu
kembali terdengar suara tawa perempuan. “Kalau begitu kalian harus kuajari
ini-itu… Hik… hik…” Lalu terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan ranjang
yang berderik-derik.
Tapi
tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, “Ada orang mengintai di atas atap…”
Lalu perempuan itu membentak, “Manusia minta mati! Berani mengintip urusan
orang!”
Satu
gelombang angin menderu. Atap rumah yang terbuat dari papan kayu besi hancur
jebol berantakan. Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai
berkelebatnya satu bayangan biru, melompat dari atas atap, turun ke tanah di
halaman kiri rumah.
Di dalam
rumah, perempuan yang tadi membentak dan melancarkan pukulan tangan kosong yang
dahsyat cepat menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua orang pemuda
yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat mengenakan pakaian. Begitu selesai
berpakaian perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar rumah diikuti dua
pemuda yang bukan lain adalah Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Hah!
Lagi-lagi kau rupanya”! membentak perempuan yang keluar dari dalam rumah, “kali
ini jangan harap aku memberi ampunan padamu Simanti!”
“Kakak
Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan bertobat? Jika kau mau kembali
menghadap guru dan menyerahkan senjata pangkal bahala itu maka kau dan kita
semua akan hidup tenteram…”
“Hidup
tenteram… Aku tak percaya kata-kata itu. Aku juga tak percaya kalau Tombak Api
milikku merupakan senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru menginginkan
senjata mustika itu untuk kepentingannya sendiri karena dia memang suka
mengumpulkan senjata antik dan sakti…”
“Kakak
Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru. Selama kau memiliki senjata itu
dirimu akan selalu berada di bawah pengaruh nafsu bejat! Apakah kau tidak juga
mengerti… Apakah kau tidak sadar apa yang barusan kau lakukan bersama dua
pemuda dari Partai Bintang Blambangan itu…?”
“Apa yang
kulakukan tidak ada sangkut pautnya dengan Tombak Api…!”
“Apa yang
kami lakukan adalah atas dasar suka sama suka…!” tiba-tiba menyeletuk Bimo
Argomulyo.
Gadis
bernama Simanti, seorang dara berparas tak kalah jelita dengan Sumitri alias
Dewi Tombak Api berpaling pada Bimo Argomulyo dan berkata sinis, “Sebagai
manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau dan saudaramu itu sampai tergoda.
Tapi sebagai tokoh partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau kalian
berdua sampai ikut-ikutan sesat… Apa kalian tidak sadar telah jadi budak nafsu
Dewi Tombak Api?!”
“Simanti!
Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku masih mau memandangmu sebagai
adik…” Dewi Tombak Api membentak.
“Tidak
kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku harus membawamu pulang
menghadap guru…”
“Hemm…
begitu…? Kepandaian apa yang kau miliki hingga berani bicara sesombong itu?!”
“Dewi…
Jika kau memang tak suka si lancang ini berada lebih lama dari sini biar aku
yang memberi pelajaran padanya…” berkata Bimo Argomulyo.
“Terima
kasih kalau kau memang ingin bertindak. Hanya saja kuharap kau maju bersama
saudaramu itu…”
jawab
Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa menjajagi, seorang diri Bimo
Argomulyo tak akan sanggup menghadapi Simanti yang memiliki kepandaian hanya
satu tingkat saja darinya.
“Kalau
Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut pahala untuk mengusirnya!” kata
Sarwo Bayu pula. Lalu dia menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo. Kedua
orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru. Bimo berusaha
merangkul pinggang sang dara sedang Bayu coba menangkap kedua tangannya untuk
diringkus. Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak semudah itu
untuk meringkus Simanti. Begitu dua pemuda bergerak, dia sudah lebih dahulu
memapaki. Tangannya kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras menderu
membuat dua pemuda terkejut lalu sama menyingkir ke samping dan dari samping
kembali menyerbu.
Bukk!
Dukk!
Empat
lengan saling beradu keras hingga mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti
terpental tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Sebaliknya Bimo Argomulyo dan
Sarwo Bayu jatuh terguling-guling. Ketika mencoba bangkit jelas wajah keduanya
kelihatan mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masingmasing tampak
bengkak membiru!
Dua
pemuda itu tidak mengira mereka bisa dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang
kini dipengaruhi oleh amarah segera mengurung Simanti.
Sarwo
Bayu sempat ajukan pertanyaan. “Dewi Tombak Api, apakah kau perkenankan kami
membunuh saja gadis pengacau ini?!”
“Lakukan
apa yang kalian suka terhadapnya!” jawab Sumitri atau Dewi Tombak Api.
Maka dari
balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua buah anak panah yang terbuat dari
baja putih. Yang satu dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti.
Dua anak
panah berkiblat mengeluarkan suara menderu dan cahaya berkilauan.
Seperti
diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi. Dengan
memegang senjata berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benarbenar
berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah mendalami ilmu silat panah dan busur
yang diwarisinya dari almarhum Ketua Partai Bintang Blambangan. Maka dalam
waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulanbulanan serangan kedua pemuda
itu.
Menyerang
terus menerus selama lima jurus tanpa hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi
meradang. Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan jurus-jurus penuh
tipuan. Namun lagi-lagi lima jurus berlalu tanpa mereka mampu menyentuh tubuh
atau pakaian Simanti.
“Ah, anak
itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya dari satu tahun lalu. Pasti guru
telah membekalinya dengan jurus-jurus silat khusus…” Meskipun menyadari
kehebatan ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api tidak merasa
jerih.
“Pemuda-pemuda
sesat jaga perut kalian!” terdengar Simanti berseru. Lalu dua tangannya membagi
serangan berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo. Terpengaruh oleh
ucapan lawan serta terjebak oleh apa yang mereka saksikan, dua pemuda Partai
Bintang Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah perut untuk
menangkis sekaligus menghantam tangan lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua
tangan sang dara yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke
atas. Jari tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah pangkal leher Bimo serta
Sarwo.
Tuk…
tuk…!
Dua
pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi kaku tegang, tak bisa bergerak lagi
begitu totokan kilat bersarang di leher masing-masing. Melihat kejadian ini
Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi. Sebelum melompati Simanti, dari
samping dia sudah lepaskan satu pukulan tangan kosong.
Wuss!
Simanti
terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin kencang disertai hawa panas
menyambar ke arahnya. Dia balas menghantam dengan tangan kanan. Angin pukulan
Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi diam-diam dia merasakan
tangan kanannya seperti tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi
keluarkan pekik kecil.
Di
hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa mengejek. “Kalau ilmu baru
sejengkal, jangan berani jual lagak di hadapanku!”
“Kakak Sumitri.
Kau harus sadar! Kau harus berusaha menjadi sadar! Kita harus segara menghadap
guru!” berkata Simanti.
“Jika
kakek buntung itu yang memerlukan diriku, mengapa tidak dia sendiri yang keluar
dari sarangnya menemuiku?!” tukas Sumitri.
“Kakak,
jangan kau bicara menghina guru seperti itu!”
Simanti
tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak seperguruannya itu. Dengan
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan
balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus berlalu dengan cepat.
Diam-diam
Sumitri mulai berpikir-pikir apakah sebaiknya dia keluarkan saja senjata
mustikanya yaitu Tombak Api saat itu dan langsung membunuh si adik. Namun
bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak tega jika dia sampai membunuh
adik seperguruan yang selama lebih dari lima belas tahun hidup bersamanya, satu
ketiduran dan sepermainan.
Setelah
dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah permainan silatnya. Jurus-jurus
yang dikeluarkannya kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah cepat
dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanantekanan serangan yang
berbahaya. Gadis ini segera pula merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja
dia berada dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama semakin sulit
baginya untuk melepaskan diri apalagi melancarkan serangan balik.
Pada
jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak seperti terhuyung. Tubuhnya berputar
membelakangi Simanti. Ketika Simanti masuk menyerbu tiba-tiba sikut kanan Dewi
Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti tak dapat mengelakan serangan yang
tidak terduga ini.
Bukkk!
Simanti
mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada darah mengucur. Wajahnya
mengelam sedang sepasang matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir
satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah kalau tidak tiba-tiba
saja dia merasakan ada seseorang yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia
jatuh dalam pelukan orang itu!
******************
7
SEPASANG
mata Dewi Tombak Api memandang membeliak pada pemuda berambut gondrong yang
memeluk tubuh adiknya. “Pemuda kurang ajar!
Berani
kau memeluk tubuh adikku!” bentak Dewi Tombak Api seraya maju satu langkah dan
siap menghantam dengan pukulan tangan kosong.
“Walah!
Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan wajah cantik ini jatuh ke tanah!
Masakan itu kau anggap kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak membunuhnya.
Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!”
“Antara
aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau dengan dia tak ada sangkut paut
apa-apa…!” sahut Dewi Tombak Api.
“Dengar.
Namaku Wiro Sableng…”
“Setan
alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan apakah namamu si Sableng atau si
Gendeng atau si Gila!
Lepaskan
tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya lebih lama…”
Pemuda
berambut gondrong yang memeluk tubuh Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke
wajah jelita yang ada di dadanya. Ternyata Simanti saat itu telah jatuh
pingsan. Wiro mendukungnya dan membaringkan gadis ini di dekat serumpunan semak
belukar.
“Nah,
sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya
Dewi Tombak Api…?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya bertolak pinggang.
“Lekas
minggat dari hadapanku! Aku muak melihat tampangmu yang cengar-cengir macam
monyet liar…!”
Wiro
Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya lalu menjawab, “Ah, tampangku
memang jelek. Tapi dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap di
dalam rumah sana, kurasa tampangku tidak kalah keren! Ha… ha… ha…!”
Merah
pada wajah Sumitri. “Rupanya pemuda ini sudah berada lama di sekitar sini,”
katanya dalam hati. “Janganjangan dia ada hubungan apa-apa dengan Simanti atau
guru…”
“Hai!
Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?”
“Aih, kau
cemburu rupanya! Padahal aku tak ada hubungan apa-apa dengan dirinya!” jawab
Wiro lalu kembali tertawa bergelak sementara Sumitri kembali tampak menjadi
merah wajahnya.
“Lalu apa
hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo Kenanga?!” kembali Dewi Tombak Api ajukan
pertanyaan.
“Aku
pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus terang aku tidak ada hubungan
dengan segala kerbo atau kerbauuu…!”
“Kalau
begitu lekas kau pergi dari tempat ini!”
“Eh, ada
hak dan kuasa apa kau mengusirku? Tanah ini bukan milikmu! Lembah ini bukan
punyamu! Rumah di sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi rumahku atau
rumah kita berdua…!”
“Pemuda
sableng bermulut lancang! Apa maksudmu?!”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Maksudku begini Dewi. Rumah itu bisa jadi milikku kalau
kau memberikannya padaku. Betul kan? Tapi bisa jadi milik kita berdua kalau
kita tinggal berdua-dua di dalamnya!”
“Manusia
gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek agar kau tahu rasa!”
“Hai!
tunggu dulu!” seru Wiro ketika dilihatnya Dewi Tombak Api hendak menyerangnya.
“Mulutku memang kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki orang
kotor. Tapi kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa kau tidak ingat kalau barusan
saja berbuat mesum dengan dua pemuda itu?!”
“Aku
tidak merasa berbuat mesum!” jawab Dewi Tombak Api marah sekali.
“Ah,
otakmu tidak beres agaknya!” Wiro berpaling pada Bimo Argomulyo dan mendekati
pemuda ini. “Berbuat apa kau dan saudaramu ini dalam rumah itu beberapa waktu
lalu…?”
Meskipun
tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja
saat itu Bimo sama sekali tak mau menjawab.
“Baiklah,
aku akan coba mencari jawaban sendiri!” Lalu Wiro tarik pinggang celana Bimo
Argomulyo dan melongok ke balik celana itu. “Nah, betul kan kataku! Kau
kelupaan pakai celana dalammu! Ha… ha… ha…!”
Merah
pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari samping Dewi Tombak Api terdengar
membentak keras lalu menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas berupa
satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia ingin melampiaskan amarahnya
dengan merobek mulut si pemuda.
“Hai! Kau
hendak merobek mulutku!” seru Wiro.
“Silakan
saja kalau mau…!” Lalu Wiro sengaja buka mulutnya lebar-lebar. Lima jari tangan
Dewi Tombak Api menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah miringkan
kepalanya ke samping sambil mencibirkan lidahnya panjang-panjang dan jerengkan
kedua matanya.
“Ih tidak
kena…! Ayo robek lagi…” Wiro buka kembali mulutnya lebar-lebar.
Amarah
Dewi Tombak Api bukan alang kepalang. Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke
tangan kanan. Lalu dia menghantam dengan dahsyat. Terdengar suara menggemuruh.
Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang angin laksana topan prahara menabrak
ke arahnya. Cepat murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua tangannya ke
depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih
Menindih. Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam. Debu pasir dan
kerikil beterbangan ke udara. Semak belukar rambas sedang pohon-pohon di
sekitar situ berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya luruh
berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke udara sampai satu setengah
tombak.
“Gila!”
maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru sekali ini ada lawan yang sanggup
berbuat seperti itu terhadapnya. Jatuh tidak mental pun tidak tapi tubuh
terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang tidak kelihatan! Semakin dia
berusaha membalas dengan pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat!
“Benar-benar
edan! Masa kan pukulanku tadi tak sanggup menghadapi serangan lawan!” Kembali
murid Sinto Gendeng memaki. Ketika tubuhnya terangkat semakin tinggi, kini
sampai empat tombak di udara, tibatiba di depan sana Dewi Tombak Api putar
kedua tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke bawah laksana
menancapkan sesuatu!
Sejalan
dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan
yang tadi mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba. Dirinya seperti
dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik demikian rupa hingga jika dia tak
dapat menguasai diri atau melakukan sesuatu, kepalanya akan menghunjam tanah
lembah itu lebih dahulu!
Sesaat
Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan. Satu tombak lagi kepalanya akan
mencium tanah dia berteriak keras seraya lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan
tangan kanan.
Bummm!
Letusan
keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro terhempas ke tanah tapi dia sempat
menguasai diri hingga bukan kepala tapi punggungnya yang terhempas ke tanah. Di
udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai menghamparnya hawa
panas. Di seberang sana Dewi Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan
muka seputih kertas lalu perlahan-lahan jatuh duduk di tanah. Bajunya sebelah
kiri hangus disambar angin panas pukulan Sinar Matahari. Tapi hebatnya, kulit
tubuhnya tidak sedikit pun yang hangus padahal di sebelah dalam akibat pukulan
sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana dibetot dan diremas. Lalu
beberapa tetes darah mengucur dari sela bibirnya!
“Pemuda
satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku harus keluarkan Tombak Api. Tapi…
ah! Jika itu kulakukan, aku…!” Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun akhirnya
tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia menyimpan Tombak Api.
Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat
berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam.
“Ah, dia
datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik menghindar. Salah-salah aku
bisa membunuhnya!”
Dewi
Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu dengan cepat sementara Wiro bangkit
berdiri sambil tepuktepuk pakaian putihnya yang kotor oleh tanah.
“Dewi!
Jangan pergi! Tolong kami dulu!” Bimo Argomulyo berteriak.
“Dewi!
Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!”
Tapi sang
Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan kabur ke arah selatan lembah.
“Gadis
hebat!” Wiro memuji sendirian. “Tapi mengapa budi pekertinya begitu kotor dan
jahat…” Lalu dia teringat pada Simanti yang terbujur di bawah pohon. “Gadis
itu! Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong.”
Lalu dia
pun menghampiri Simanti, berlutut di samping tubuh si gadis. Dia melihat ada
bagian dada yang bengkak membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan Dewi Tombak
Api tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas ditolong. Tanpa
ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada pakaian Simanti. Serangan Dewi Tombak Api
tepat bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan telapak tangannya
di celah payudara itu. Lalu mulai alirkan tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan
tenaga dalam mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin diganti dengan
hawa hangat. Sekujur tubuh Pendekar 212 telah mandi keringat. Simanti tampak
bukakan kedua matanya tanda siuman. Namun dirinya belum terlepas dari bahaya
maut.
Wiro
kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua telapak tangannya ditempelkan di dada
Simanti. Pada saat itulah terdengar suara membentak garang.
“Bangsat
kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak senonoh terhadap muridku?!”
******************
8
BELUM
sempat Wiro berpaling tahu-tahu sebuah benda berbentuk tongkat menyambar ke
arah kepalanya. Karena tak tahu benda apa yang menyerang, murid Sinto Gendeng
tak berani pergunakan tangan untuk menangkis. Dia terpaksa jatuhkan diri di
atas tubuh Simanti lalu berguling ke kiri sambil dorongkan tangan kiri melepas
pukulan Kunyuk Melempar Buah. Segulung angin menerpa tapi betapa kagetnya
Pendekar 212 ketika tahu-tahu ada kekuatan yang lebih kuat balas mendorong
hingga pukulannya sendiri ikut berbalik menghantamnya!
Memaki
panjang pendek Wiro kembali lepaskan pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan
adalah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Tenaga dalamnya dikerahkan dua
kali lebih besar. Tempat itu laksana dilanda angin puting beliung. Terdengar
suara orang berseru kaget. Sosok tubuh yang tadi menyerang lenyap berlindung di
balik sebatang pohon besar. Begitu deru angin sirna, dari balik pohon melesat
lima batang senjata rahasia berbentuk paku besar terbuat dari perak!
Lima
bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima paku perak itu. Wiro melompat
dua tombak sambil hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil dielakkan,
dua lainnya dibuat mental. Tapi yang kelima masih sempat merobek kaki celana
dan menyerempet betis kanannya!
Menyeringai
kesakitan dan menggerendeng marah dalam hati Wiro melayang turun ke tanah.
Tangan kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia tidak jadi melepas
pukulan Sinar Matahari yang sudah disiapkannya itu ketika melihat siapa yang
tegak di seberang sana.
Orang itu
adalah seorang kakek berdandanan sebagai seorang Resi. Kaki kirinya buntung.
Tubuhnya disanggah oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak.
“Kakinya
saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga dalamnya sungguh luar biasa. Tongkat
penyanggah kakinya itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!” begitu
Wiro membatin.
“Resi
berbaju hitam, mengapa kau menyerangku membabi buta?!” bertanya Wiro Sableng.
“Karena
kau memang seekor babi buta!” jawab Resi itu dengan mata berkilat-kilat.
“Eh, enak
saja mulutmu bicara! Apa maksudmu?!”
“Apa
maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap basah menggerayangi tubuh
muridku Simanti. Kalau aku tidak segera muncul di sini pasti kau sudah
menggagahinya!”
“Buset!
Benar-benar buset!” teriak Wiro lalu gelenggelengkan kepala. “Kek, matamu nyala
tapi buta. Otakmu cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa gadis ini,
mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa? Di sana ada rumah dan
ranjang! Bukankah lebih baik kubawa dia ke sana? Lalu masakan aku setolol itu
melakukannya di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan tertotok itu?!”
“Eh,
siapa yang kau maksud dengan kampret!” tanya sang Resi.
Wiro
menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Siapa
mereka? Mengapa keduanya tertotok?” bertanya sang Resi.
“Mengenai
dua kampret itu biar nanti saja diurus.
Sekarang
aku beritahu padamu bahwa aku bukan menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita
luka di dalam cukup parah terkena hantaman kakak seperguruannya yang bernama
Sumitri bergelar Dewi Tombak Api…!”
Terkejutlah
si kakek. “Ah, murid sesat itu! Mana dia!”
“Dia
sudah kabur, yang penting kau harus menolong muridmu ini dulu!” ujar Wiro pula.
Kakek
berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti yang masih terbujur. Lalu memandang
lekat-lekat pada Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang tua itu.
“Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga dari badan tombak itu tadi
dia melesatkan lima paku perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan
tongkat.”
“Anak
muda kalau aku memang sudah salah menduga, harap dimaafkan. Katakan siapa kau
adanya?” kata si kakek.
“Namaku
Wiro Sableng…”
Terkejutlah
si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan namanya. “Namamu Wiro Sableng…? Kau
murid si nenek centil Sinto Gendeng dari gunung Gede?!”
Wiro
menyengir mendengar gurunya disebut si nenek centil ini berarti kakek itu cukup
kenal baik dengan gurunya.
“Puluhan
tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto Gendeng. Kini justru ketemu murid
tunggalnya yang namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani
kawan…”
“Kek,
jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apaapanya. Aku cuma seorang pemuda
gunung yang tolol dan pengangguran!”
Resi
Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau tak usah
merendah anak muda. Semua orang tahu siapa Sinto Gendeng. Dan dunia persilatan
juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
“Kek,
kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis itu, beberapa saat lagi pasti
nyawanya tidak tertolong!”
Wiro
mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan. Resi Tambak Kebo Kenanga
melangkah mendekati tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu berpaling
pada Wiro. “Kau tadi telah berusaha mengobatinya. Harap kau saja yang
meneruskan. Aku menyarankan agar kau menotok beberapa urat ke arah jantung dan
paru-paru…” Habis berkata begitu sang Resi melangkah ke arah sebuah gundukan
batu dan duduk di sana. Dia seperti melamun dan wajahnya nampak suram. Dia
seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya Simanti namun ada sesuatu
yang menancapi pikirannya saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama Sumitri
dan bergelar Dewi Tombak Api.
Wiro
sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak Kebo Kenanga tadi, pergi duduk
bersila di samping tubuh Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata
sayu.
“Saudari,
tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong. Kalau kau mendengar kata-kataku harap
kedipkan mata dua kali…”
Simanti
kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro merasa lega. Sesuai petunjuk
Resi Tambak Kebo Kenanga dia menotok beberapa urat besar di tubuh Simanti lalu
dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara perlahan-lahan
mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin dan panas secara bergantian. Beberapa
saat kemudian setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga dalam. Dia
menyeka darah yang membasahi sudut-sudut bibir gadis itu lalu menelankan
sebutir obat ke dalam mulutnya.
“Pejamkan
matamu kembali. Kau boleh istirahat beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu
mulai tenang, gerakkan tangan dan kakimu, jika itu mampu kau lakukan tandanya
kau selamat dari bahaya dan boleh duduk. Atur jalan nafas dan peredaran
darahmu. Alirkan tenaga dalam ke bagian yang masih terasa sakit. Setelah itu
kau boleh berdiri…”
“Aku
merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang
penting hanya mengatur jalan darah dan pernafasan. Terima kasih Saudara. Kau
telah menyelamatkanku…” Terdengar Simanti berucap yang membuat Pendekar 212
tercengang.
“Kalau
dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa, tak mungkin dia sembuh secepat
ini!” kata Wiro dalam hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan darah
dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi Tambak Kebo Kenanga.
“Kakek,
wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi ganjalan?” bertanya Wiro.
Sesaat
sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling pandangi wajah Wiro lalu berkata.
“Aku memikirkan anak itu…”
“Anak itu
yang mana kek?”
“Muridku
Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu tahun belakangan ini tidak tenteram
gara-gara dia. Hendak kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh dia
terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat mesum. Dulu-dulu sudah
kuingatkan untuk tidak berbuat macam-macam mencari segala macam ilmu sundal.
Tapi dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih banyak ilmu,
ternyata salah langkah…”
“Terus
terang aku hanya mendengar sedikit tentang muridmu itu, Kek. Apa sebenarnya
yang terjadi dengan diri Sumitri?” bertanya Wiro.
Resi
Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang beberapa kali, baru menjawab,
“Sekitar enam belas bulan yang lalu aku melepas Sumitri setelah hampir lima
belas tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama Simanti. Sebelum pergi gadis
itu pernah mengemukakan niatnya untuk mencari seorang sakti bernama Ki
Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika yang akan dijadikan
pegangannya dalam petualangan sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika
kulepas aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa kuwariskan padanya.
Aku tidak keberatan dia mencari dan menemukan sendiri segala macam senjata
sakti. Asalkan jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang persilatan tahu
betul kalau orang sakti yang satu ini berhati culas, memiliki seribu satu tipu
muslihat. Yang paling terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan mesum. Namun
ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia tetap pergi mencari
Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko muridku memang mendapatkan sebilah senjata
mustika bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar mahal. Dia harus
menyerahkan kehormatannya. Bahkan sampai saat ini pun muridku itu terus-terusan
berada di bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu merangsangnya untuk
berbuat zinah!”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Aku masih kurang paham kek. Bagaimana senjata itu bisa
merangsang seseorang berbuat mesum seperti katamu…”
“Sebelum
menyerahkan senjata itu kepada seseorang, yaitu seorang perempuan seperti
Sumitri misalnya, Ki Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam
guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata tersebut, mempergunakannya
dengan pengerahan tenaga dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan
kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan maka nafsunya bangkit setiap
melihat lawan jenisnya, tak perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia
seorang lelaki, maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya muncul. Dia
akan meniduri perempuan mana saja termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang
terjadi dengan muridku sejak dia pertama kali menyentuh senjata itu. Ketika dia
mulai berlatih memainkan Tombak Api yang diberikan oleh Ki Kamandoko, setiap
dia mengerahkan tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki
Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama beberapa bulan. Setelah puas
Sumitri baru diizinkannya pergi. Namun muridku tidak terlepas dari hal-hal
terkutuk itu. Setiap dia bertempur dengan mempergunakan Tombak Api, lawannya
pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak luput dari rangsangan terkutuk. Dia
akan mengajak siapa saja yang ada di dekatnya untuk berbuat mesum!”
“Setahuku
segala macam guna-guna hanya mempan selama empat puluh hari…” ujar Wiro pula.
“Tidak
dengan guna-guna yang diciptakan Ki Kamandoko. Guna-gunanya itu telah
ditanamkannya dalam senjata yang diberikannya pada muridku. Guna-guna itu
kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri setiap gadis itu
memegangnya, mempergunakannya dan mengerahkan tenaga dalamnya!”
“Kalau
begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan muridmu adalah dengan melenyapkan
Ki Kamandoko!”
“Kau
betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar dan minta bantuan orang-orang
persilatan. Mencari tahu di mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia
tidak punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya. Karena itu untuk sementara aku terpaksa melupakan bangsat itu. Yang
kucari saat ini adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata terkutuk
dari tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia sudah berbuat cabul dengan
belasan lelaki. Tapi juga belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban
senjatanya itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan dirinya mungkin tidak
akan sanggup menghadapi senjata saktinya itu. Namun aku lebih baik mati
daripada hidup dengan menanggung malu besar!”
“Sebelum
kau muncul di sini, aku sempat bentrokan dengan Sumitri. Ternyata dia memiliki
tingkat tenaga dalam yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak mengeluarkan
Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja. Aku yakin dia pergi
bukan karena takut terhadapku. Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu
muncul di kejauhan…”
“Mungkin
begitu… Mungkin begitu…” kata Resi Tambak Kebo Kenanga lalu mengusap wajahnya
berulang-ulang. Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu. Dia
melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk bersila pejamkan mata mengatur
jalan darah dan pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua matanya.
Pandangannya beradu dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya
yang tadi pucat kini tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang ada di
dadanya kelihatan tidak separah sebelumnya. Wiro ulurkan tangannya untuk
merapatkan celah pakaian yang tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu
seraya berbisik, “Terima kasih… Kau menyelamatkan nyawaku…”
Wiro tersenyum.
“Bukan aku yang menolongmu Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati
kalau Dia belum menghendaki…” Lalu Wiro membantu gadis itu bangkit berdiri.
Ketika keduanya berpaling ke jurusan gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo
Kenanga berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah lenyap.
“Guru
pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku mengawatirkan keselamatannya. Aku harus
menyusul…!”
“Aku ikut
bersamamu!” kata Wiro pula.
Mendengar
itu Simanti yang kini bukan saja menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi
sekaligus sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, pegang lengan pemuda itu,
merendengnya pergi dari situ. Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar
suara orang berseru, “Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi dulu! Bebaskan kami
dari totokan ini!”
Wiro dan
Simanti hentikan langkah. “Aku pikir-pikir memang kasihan kedua pemuda itu. Apa
yang terjadi bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka.”
Lalu Wiro
hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan melepaskan totokan di leher pemuda
itu. Tapi alangkah terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas totokannya
Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya.
Anak
panah yang sejak tadi tergenggam di tangan kanannya ditusukkannya ke mata kiri
Wiro Sableng. Kalau saja murid Sinto Gendeng tak lekas rundukkan kepala, mata
kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang terbuat dari baja itu!
“Heh!
Kenapa kau menyerangku seganas itu?!” tanya Wiro.
“Kau lupa
kalau tadi kau menghina aku dan saudaraku sebagai dua ekor kampret?! Pantas
kalau saat ini aku memberi pelajaran padamu!” sahut Bimo Argomulyo.
Wiro
menggaruk kepalanya sambil menyeringai. “Sama saja aku seperti melepas anjing
kejepit. Begitu dilepas menggonggong dan malah menggigitku!”
“Bangsat!
Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau samakan diriku dengan anjing! Makan
panahku ini!” Bimo Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro.
“Manusia
tak berbudi! Ditolong malah menggonggong. Bagusnya kau kembali pada keadaanmu
semula!”
Pendekar
212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda pangkal leher putera Ketua
Partai Bintang Blambangan itu. Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku
tegang seperti tadi, malah kini totokan lihay itupun membuat mulutnya menjadi
gagu tak bisa bicara! Sambil tertawatawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara
Sarwo Bayu hanya bisa memandangi dan tak berani keluarkan ucapan apa-apa
meskipun mulutnya masih bisa bicara. Diam-diam dia menyesali saudaranya yang
terlalu cepat naik darah hingga bukan kebebasan yang mereka dapat malah kembali
ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa lama totokan itu akan lepas
dengan sendirinya. Mungkin setengah harian, mungkin satu sampai dua hari. Dan
saat itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba. Urusan partai
belum selesai dan kini mereka berdua berada dalam keadaan seperti itu!
******************
9
DEWI
Tombak Api alias Sumitri menggolekkan badannya yang bagus di lantai reruntuhan
candi. Saat itu sang surya mulai menggelincir ke arah ufuk tenggelamnya. Langit
yang kebiruan kini seperti disaput oleh warna kuning keemasan. Serombongan
burung pipit terbang di udara melintas candi menuju ke selatan. Sumitri bangkit
dan duduk termenung. Dalam hatinya timbul pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat
dijawabnya. Mengapa dirinya kini berada dalam keadaan diburu-buru demikian
rupa. Bukan hanya oleh guru dan adik seperguruannya saja tapi oleh banyak tokoh
silat dan pimpinan perguruan. Apa yang telah merasuk dalam hati dan jalan
darahnya hingga dia melakukan perbuatanperbuatan mesum terkutuk. Mengapa dia
tidak sanggup menolak semua rangsangan itu bahkan menambah dosanya dengan
melakukan pembunuhan-pembunuhan!
Dia tahu
juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang menghormati dan merasa
berhutang budi padanya karena dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan
hitam musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang dibuatnya, semua
kebaikan dan pahala yang dilakukannya seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan
air yang tidak berbekas di atas pasir panas.
Gadis ini
mengusap mukanya, merapikan pakaiannya lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin
bermalam di reruntuhan candi itu. Karenanya dia memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat melangkah tiba-tiba berkelebat dua
bayangan dan tahu-tahu di hadapannya telah berdiri sepasang kakek nenek
berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti pakaian yang mereka kenakan
juga berwarna kuning karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning.
“Siapa
kalian?” bentak Dewi Tombak Api yang melihat gelagat tidak baik.
Dua kakek
itu memandang dengan bengis. Mereka tidak menjawab malah gerakkan tangan
menghunus sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang. “Tua bangka
muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas terangkan siapa kalian dan punya maksud
apa menghunus senjata di depanku!”
Si kakek
menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu berkata, “Aku pantang bicara
dengan perempuan bejat seperti dia! Kau saja yang bicara!”
Si nenek
juga keluarkan suara menggereng lalu membuka mulut, “Kami Sepasang Macan Kuning
dari Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang murid perempuan
kami lalu menculik seorang pemuda yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian
ditemui dalam keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa dia masih
sempat menerangkan bahwa kau telah menyekapnya selama satu minggu di suatu
tempat. Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu membunuhnya. Tapi ternyata
dia masih sempat kami temui dalam keadaan hidup…”
Dewi
Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek.
“Gadis
sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih. Kami sudah tahu memang kau
pelakunya. Saat ini bersiaplah untuk mampus!” kata si nenek pula.
“Aku
tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku memang menyesal membunuh muridmu
itu…”
Si nenek
pelototkan matanya. “Penyesalan selalu datang belakangan itu tak ada gunanya!”
Nenek ini berteriak keras lalu bersama-sama dengan si kakek dia menyerbu. Dua
kelewang berkiblat di bawah sinar kuning matahari sore. Satu menyambar ke arah
kepala, satu lagi membabat ke arah perut.
Dewi
Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana dua serangan itu bukan saja
sangat cepat dan ganas tapi disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang
Dewi Tombak Api merasa ngilu.
Dengan
cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke belakang. Bersamaan dengan itu dia
dorongkan kedua tangannya. Dua gelombang angin menerpa deras ke arah kakek
nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan seperti itu pasti akan membuat
lawan terpelanting, paling tidak terdorong jauh. Tapi kenyataannya Sepasang
Macan Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju, membuat Dewi Tombak Api mau
tak mau kembali melompat ke belakang, menjauhi kedua lawan.
Begitu
dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi Tombak Api berkelebat kirimkan
hantaman tangan kanan ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek.
Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan masing-masing diputar
demikian rupa hingga memapaki lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia
meneruskan serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam lawan, tapi
lengan dan kakinya tak akan lolos dari sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning
dari Merapi. Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi terpaksa cari
selamat dengan melompat dan tarik jotosan serta tendangannya. Tapi tak terduga
si kakek memburu maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di bagian
perut robek besar!
“Dua tua
bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau tidak kudahului membunuh mereka,
bisa-bisa aku yang dibuat meregang nyawa!”
Dewi
Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik punggung. Sesaat kemudian sinar merah
menyala berkiblat di udara.
“Tombak
api!” seru si kakek dan si nenek berbarengan. Masing-masing membuka mata
lebar-lebar. Selama ini mereka cuma mendengar cerita saja. Sekarang mereka
menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak pendek yang menyala laksana
baja menyala.
Bagaimanapun
angkernya senjata itu namun Sepasang Macan Kuning dari Merapi tidak merasa
jerih. Mereka sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam sekalipun harus
mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa banyak bicara kakek dan nenek itu
kembali merangsak maju.
Dewi
Tombak Api yang memang sudah tak sabaran segera pukulkan tombaknya ke arah si
kakek. Wuuusss!
Lidah api
menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya sedang tangan kiri ikut melepas
pukulan tangan kosong. Si nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya tegak dia
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi
Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang menyambar di tempat itu membuat
si nenek cepat bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api. Si
kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang serta pukulan saktinya tak
bisa berbuat apa-apa dengan cepat melompat ke samping. Namun terlambat. Lidah
api sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan pakaiannya serta-merta
dilamun api. Orang tua ini menjerit, jatuhkan diri dan bergulingan di lantai
candi berusaha memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui ajal
dengan tubuh hangus terpanggang!
Melihat
kawannya mati begitu rupa si nenek meraung keras. Dia membuat gerakan aneh.
Tubuhnya melesat laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya. Dewi
Tombak Api menyambut dengan senjatanya. Traang!
Tombak
dan kelewang beradu keras. Kelewang terpental lalu tercampak di tanah. Ketika
si nenek memperhatikan ternyata kelewang itu telah penyok-penyok dan leleh!
Sedang tangan kanannya sendiri kelihatan hangus menghitam.
“Gadis
iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati percuma. Suatu waktu aku harus
membalaskan sakit hati dendam kesumat ini!” Begitu si nenek membatin. Maka
ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu lebih lama lagi
perempuan tua itu berkelebat ke kiri.
Dewi
Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah api menyambar. Si nenek selamat
karena lidah api terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi korban.
Tenggelam dalam kobaran api!
Dewi
Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya terasa panas.
Cuping hidungnya kembang kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya
mulai menggigil.
“Perasaan
itu muncul lagi… Ah… aku tak tahan… Aku tak tahan…!” Dewi tombak Api sisipkan
kembali senjatanya di balik punggung pakaian. Kedua lututnya terlipat dan
perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang melanda tubuhnya semakin
menggelora, semakin membakar. Kedua matanya memandang berkeliling. Nafasnya
memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di dalam dada dan di seluruh pembuluh
darahnya. Dalam keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di lantai candi.
Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan mencakar-cakar lantai batu. Dari
mulutnya keluar suara erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek pakaiannya.
Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang memang sudah robek besar
disambar kelewang. Sesaat kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan
seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya menggembung. Gerahamnya
bergemeletakan dan sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca
batu itu. Dia menggerung halus. Lalu melompat ke hadapan arca, memeluk
menciuminya, menggesergeserkan badannya ke badan arca!
“Muridku
Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!”
Satu
suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicaricarinya. Masih merangkul
arca batu itu, Sumitri alias Dewi Tombak Api palingkan kepala. Dan dilihatnya
kakek buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan sebagai guru.
Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki yang harus siap melayaninya. Kalau
tidak dia bisa mati berdiri ditambus bara nafsu!
“Kebo
Kenanga…” desis Sumitri menyebut nama gurunya. Pelukannya pada arca batu
dilepaskan. Lalu dia melangkah setindak demi setindak mendekati Resi Tambak
Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu pejamkan kedua matanya. Tak sanggup
dia melihat keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah kesalahan
sang Resi, begitu matanya dipejamkan, Dewi Tombak Api telah menerkamnya,
memagut dan menciumi tubuhnya.
“Sumitri!
Ingat! Aku ini gurumu!” teriak Resi Tambak Kebo Kenanga.
Sang murid
seperti tuli. Malah tubuh kakek itu dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke
bawah hingga keduanya jatuh terhampar di lantai candi. Waktu jatuh sang guru
tertindih oleh tubuh muridnya sendiri.
“Murid
sesat dan mesum! Pergi!” teriak sang Resi. Lalu lutut dan tangan kanannya
bergerak.
Terdengar
raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke
reruntuhan dinding candi. Tapi dia segera berdiri lagi, ulurkan kedua tangan
sambil melangkah ke arah gurunya.
“Aku
ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku. Kalau tidak lebih baik kau bunuh
aku. Tolong… Jangan biarkan aku terbakar oleh derita ini…”
Resi
Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur. Tongkat penyanggah yang dikepitnya
di ketiak kiri tiba-tiba membabat ke depan, tepat menghantam pinggul muridnya.
Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat tubuhnya terbanting ke kiri.
Tapi daging atau tulang tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau
sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh manusia, dagingnya pasti luka
besar dan tulangnya paling tidak akan remuk! Kalau sudah begini Resi Tambak
Kebo Kenanga tidak melihat cara lain. “Aku harus bisa menotoknya. Kalau tak ada
jalan lain mau tak mau aku harus membunuhnya. Ah, kasihan dirimu Sumitri. Tapi
aku terpaksa melakukannya…”
Kakek
berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan kanannya menyambar sedang
tongkatnya menusuk ke arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti
kesetanan itu gerakkan tangan kanannya.
Traak!
Tongkat
penyanggah milik sang Resi patah berantakan. Karena kehilangan keseimbangan,
orang tua ini jatuh ke lantai candi. Dan pada saat itu pula sang murid jatuhkan
diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan sang Resi melesat tidak terduga.
Menghantam perut Sumitri dengan keras.
Gadis itu
terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping, jatuh menubruk arca!
“Bangsat!
Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!”
teriak Dewi Tombak Api. Lalu dia cabut senjata pembawa bahala itu dan pukulkan
ke arah gurunya.
Wusss!
Lidah api
menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga yang masih tertelentang di lantai candi
cepat gulingkan diri. Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur
tubuhnya! Kakek ini hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan mengerikan. Lalu
tubuhnya yang terpanggang dan menebar bau yang mengerikan itu diam tak berkutik
lagi!
Pengerahan
tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api untuk kedua kalinya membuat rangsangan
di tubuh Dewi Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini menjerit,
menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan
pergunakan
tangan sendiri untuk mencari kenikmatan. Selagi dia berada dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba ada suara disertai berkelebatnya sesosok bayangan.
“Kekasihku
Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu. Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya
sudah siap menungguku!”
Sumitri
kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh, menjerit kegirangan lalu rangkul
tubuh orang tua yang barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas lantai.
“Anak manis… Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau meninggalkanku lagi. Ke
mana kau pergi aku akan selalu mendampingimu!”
“Seharusnya
memang begitu! Sekarang loloskan pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss…!”
******************
10
DUA
MANUSIA itu benar-benar telah dirasuk setan laknat terkutuk. Lelaki yang
bergegas membuka pakaiannya bukan lain adalah Ki Kamandoko, orang sakti yang
lebih tepat disebut sebagai juru guna-guna. Dialah yang telah memberikan Tombak
Api kepada Sumitri setelah terlebih dahulu diisi dengan guna-guna yang membuat
gadis itu lupa diri dalam rangsangan nafsu bejat setiap dia mempergunakan
Tombak Api dengan pengerahan tenaga dalam.
Ki
Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan sulah. Usianya hampir mencapai
enam puluh tahunan. Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut palsu
berwarna hitam campur kelabu. Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana
hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di belakangnya dan, buk!
Satu tendangan keras menghantam pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan
mencelat mental. Di saat yang sama terdengar pekik perempuan.
“Guru!”
Seseorang
jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi Tambak Kebo Kenanga. Menyusul
terdengar suara isak tangis. Tangis Simanti.
Sementara
Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan kesakitan karena pinggulnya memar dan ada
bagian tulang yang remuk, Dewi Tombak Api sudah melompat tegak dan memandang
berkeliling dengan beringas. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang ke arah
Wiro Sableng yang tegak berkacak pinggang. Dialah tadi yang menendang Ki
Kamandoko.
“Kau…,”
seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya keras tapi tak ada perasaan marah.
“Kau… kau datang tepat pada waktu aku membutuhkan seorang lelaki. Dibandingkan
dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu. Aku masih ingat, namamu Wiro
Sableng bukan? Wiro bawa aku, dukung dan peluk diriku…” Lalu Dewi Tombak Api
melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng seraya ulurkan tangan hendak
merangkul sang pendekar.
“Dewiku
kekasihku… Jangan kau lupakan diriku!” terdengar suara Ki Kamandoko. “Aku
satu-satunya kekasihmu untuk bersenang-senang!”
Dewi
Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki berkepala sulah itu lalu mendengus.
“Kambing botak tak tahu diri! Kalau ada yang lebih muda masakan aku memilih
dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu kesenanganku!”
Dihina
dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki Kamandoko menjadi marah. “Kau yang tak
tahu diri Sumitri!” bentaknya. “Kau akan menyesal berani memperlakukan aku
seperti itu! Lihat padaku!”
“Siapa
sudi melihat tampangmu!” teriak Sumitri. Tapi tak sengaja kedua matanya sempat
beradu pandang dengan juru guna-guna itu.
“Jangan
lihat matanya!” berteriak Wiro. Namun terlambat!
Satu
kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki Kamandoko. Pantulan ini jatuh di
atas kedua mata Sumitri. Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang
lelaki tua berambut palsu dan bertubuh kerempeng, melainkan seorang pemuda
berparas cakap dan berpakaian seperti pangeran.
“Kau…
kau! Belum pernah aku melihat pemuda segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu…”
Begitu
Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko, Pendekar 212 cepat melompat dan
menghalangi jalannya.
“Pemuda
jembel! Apa yang hendak kau lakukan? Mencari mati berani menghalangiku?!”
bentak Dewi Tombak Api.
Wiro
menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok tubuh Dewi Tombak Api di bagian
leher. Ditotok begitu rupa si gadis malah tertawa panjang. Di belakangnya Wiro
mendengar Ki Kamandoko berkata, “Tak ada satu totokan pun di dunia ini yang
mampu membuatnya tak berdaya!”
Wiro
mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia tahu kalau Ki Kamandoko
menyerangnya. Dengan cepat Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil
menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Satu gelombang angin laksana
gundukan batu besar menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru
guna-guna ini menjadi kaget dan cepat menyingkir. Namun pada saat itu dari
samping sesosok tubuh melompat sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti,
adik seperguruan Dewi Tombak Api.
Ki
Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang mendekati ilmu sihir dan pandai
mengguna-guna. Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat rendah. Itu
sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil menendangnya. Ketika Simanti
menghantam dari samping sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro
membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tibatiba berteriak, “Masa kan
kau hendak membunuh guru sendiri!”
Wiro
tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget ketika dilihatnya di hadapannya
kini bukan Ki Kamandoko yang diserangnya melainkan gurunya sendiri, Resi Tambak
Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah mati? Dibunuh oleh
Sumitri alias Dewi Tombak Api?
“Ilmu
tenung keparat!” teriak Pendekar 212 yang segera menyadari apa yang terjadi.
Dia kirimkan satu tendangan ke arah Resi Tambak Kebo Kenanga palsu itu. Namun
dari samping ada lima jari tangan yang mencakar ke arah wajahnya. Mau tak mau
Wiro batalkan serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam ke atas
dengan tangan kanannya.
Bukk!
Lengan
kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi Tombak Api. Sang Dewi terpekik
seraya melompat mundur. Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke
dinding candi.
“Astaga!
Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!” ujar Wiro dalam hati. “Kalau aku
tidak segera menghantam dengan pukulan Sinar Matahari urusan bisa berabe!”
Maka
Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dalam waktu
sekejapan tangan itu berubah menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa
panas terasa menghampar di tempat itu!
Ketika
melihat perubahan warna lengan kanan Wiro Sableng, Dewi Tombak Api yang
sebelumnya sudah merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai terluka di
sebelah dalam, tanpa menunggu lebih lama segera keluarkan senjata andalannya
yaitu Tombak Api yang memancarkan warna merah membara!
Di bagian
lain Simanti yang telah sadar siapa sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur
habishabisan Ki Kamandoko yang saat itu masih merupakan dirinya sebagai Resi
Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu silatnya memang rendah maka dua jurus saja
manusia bejat ini telah terdesak hebat. Tapi dasar manusia licik, di saat
nyawanya terancam begitu rupa dia segera merapal jampi-jampi lalu meniup ke
depan.
Simanti
mendadak mencium bau harum semerbak. Memandang berkeliling didapatinya dirinya
berada di sebuah taman pada suatu lereng bukit yang indah pemandangannya.
Seorang pemuda berwajah cakap dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda
putih dan melambai ke arahnya. Simanti tidak pernah melihat pemuda itu
sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan lambaian tangan yang memanggil
membuatnya melangkah mendekati. Inilah bahaya besar yang tidak disadari oleh
Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi Sumitri dengan
Tombak Apinya.
Simanti
maju satu langkah, dua langkah… semakin dekat dengan pemuda di atas kuda itu.
Ketika hanya tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda ulurkan kedua
tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu Simanti naik ke atas kuda. Tapi
tahu-tahu dua tangan itu bergerak mencekik ke arah leher. Justru di saat itu
pulalah si gadis tersadar.
“Taman
yang indah, lereng bukit yang permai… Kuda putih dan pemuda yang gagah. Eh…
Bermimpi atau bagaimanakah aku ini…?” Simanti gigit bibirnya sendiri sampai
berdarah dan serta merta sadar pada saat sepuluh jari tangan mencengkeram
batang lehernya dan pemuda di atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke
bentuk asalnya, menjadi Ki Kamandoko!
“Bangsat!
Kau hendak menipuku dengan ilmu busukmu!” teriak Simanti. Dua tangannya segera
menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik maka tertariklah tubuh Ki
Kamandoko. Begitu orang tua itu terangkat dari atas punggung kuda, Simanti
membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut reruntuhan candi!
Ki
Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya yang beradu dengan arca batu
remuk dan sakitnya bukan kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari
sebuah kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan menebarkannya di hadapan
Simanti sementara mulutnya berkomat-kamit.
Murid
almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu merasakan satu keanehan terjadi atas
dirinya. Kepalanya terasa seperti membesar dan tubuhnya seperti mengapung naik
ke udara. Di depannya dilihatnya Ki Kamandoko berusaha tegak sambil bersandar pada
arca lalu mengangkat tangannya dan berseru! “Katakan namamu!”
“Namaku
Simanti…” Sang dara yang sudah berada dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko
menjawab. “Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!”
Simanti
angkat kedua tangannya. Lima jarinya mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai
mencekik lehernya sendiri! Gila!
“Cekik
lebih keras! Lebih kencang!” teriak Ki Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa
yang diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin kencang, makin keras.
Lidahnya mulai terjulur dan kedua matanya membeliak.
“Terus…
Cekik terus!” teriak Ki Kamandoko.
Nafas
Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau pecah. Sesaat lagi cekikannya
sendiri akan menamatkan riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di
udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam dengan lidah api yang
menjilat menggebu. Dua kekuatan sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas
saling labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh berpelantingan. Sebatang
pohon tenggelam dalam kobaran api. Dua lainnya hangus bersama semak belukar
yang ada di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar berwarna hitam!
Dari
dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar. Tubuhnya yang nyaris tanpa
pakaian itu terlihat lecet di beberapa bagian. Senjatanya, Tombak Api itu,
tampak masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam tubuhnya telah menggunung
nafsu kotor yang menggelegak seolah membakar tubuhnya dan harus segera
dilampiaskan. Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat dikendalikan lagi
akibat telah beberapa kali setelah dia mengerahkan tenaga dalam menghantam
dengan senjata pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu. Dia merangkak
dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu terkapar
di depan tangga candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus terbakar
akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar dari Tombak Api. Lengan kanan dan
bahu serta sebagian sisinya tampak merah terkelupas.
Ternyata
pukulan Sinar Matahari tidak sanggup menangkis hantaman lidah api senjata
Sumitri. Wiro juga keluarkan suara mengerang.
Seumur
hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera begitu rupa. Tubuhnya terasa panas
seperti dipanggang. Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya, dia
gerakkan tangan kanan untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi astaga!
Tangan itu terasa berat, sulit untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya.
“Celaka!
Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis iblis itu benar-benar luar
biasa…!”
Wiro lalu
buru-buru pergunakan tangan kiri untuk mencabut senjata mustikanya. Gila!
Tangan
yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan seluruh tenaga, menghimpun tenaga
dalam. Perlahan sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun sebelum
dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212, Dewi Tombak Api sampai di tempatnya
menggeletak dan langsung menindihnya!
******************
11
KITA
tinggalkan dulu Pendekar 212 dan Dewi Tombak Api. Mari kita lihat apa yang
terjadi dengan Simanti serta Ki Kamandoko. Ketika pukulan Sinar Matahari dan
lidah api Tombak Api saling beradu dahsyat, Simanti yang tengah mencekik
dirinya sendiri di luar sadar akibat tenung Ki Kamandoko, terlempar tiga tombak
dan terguling sampai di halaman reruntuhan candi. Kepalanya menghantam akar
sebatang pohon dan saat itu tenung yang menguasai dirinya buyar. Dengan
terhuyung-huyung gadis ini coba berdiri. Matanya memandang liar. Yang pertama
sekali dicarinya adalah lelaki tua berkepala sulah itu.
Saat itu
Ki Kamandoko sendiri berada dalam keadaan hancur-hancuran. Pinggulnya remuk
dihantam tendangan Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras membuat
tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh tubuhnya jatuh melintang di atas
tembok pagar candi. Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa berbuat
apa-apa karena tulang punggungnya patah. Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya
Simanti melangkah mendekati dengan kedua tangan terkepal. Ki Kamandoko segera
merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit yang tidak tertahankan membuat bacaannya
menjadi kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu tidak kesampaian.
Simanti
tarik leher baju Ki Kamandoko. “Manusia terkutuk! Lekas kau berikan obat
pemunah nafsu bejat! Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau tidak
kupecahkan batok kepalamu!”
Simanti
angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap mengepruk batok kepala Ki Kamandoko
yang botak.
“Aku
tidak takut mati…,” jawab Ki Kamadoko. “Tapi nafsu zinah yang ada dalam tubuh
gadis itu tak ada pemunahnya, tak ada penangkalnya!”
“Jangan
dusta!” kertak Simanti. Lalu tangan kanannya menghantam dada Ki Kamandoko.
Orang tua ini mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya patah.
“Kau mau
memberikan obat itu atau tidak!” kembali Simanti mengancam sambil angkat lagi
tangan kanannya.
“Sumpah!
Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul kalau Tombak api dijauhkan dari
dirinya…”
“Tapi
saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh dorongan nafsu keji akibat
guna-gunamu!”
“Rangsangan
yang ada dalam dirinya akan lenyap sendiri setelah tiga hari…”
“Tiga
hari katamu?! Gila!”
Plaaak!
Plaak!
Tamparan
Simanti melayang pulang balik. Ki Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya
rontok dan bibirnya pecah akibat tamparan tadi.
“Kau
telah menghancurkan hidupnya! Kau harus kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga
guru menemui ajal di tangan murid sendiri!” Sambil menjerit panjang dan keras
Simanti hantamkan jotosan kiri kanan ke kepala, muka dan dada serta perut Ki
Kamandoko. Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika jotosan pertama
Simanti menghancurkan mata kirinya. Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri,
membuat pecah jantungnya. Pukulan-pukulan berikutnya tak pernah dirasakan Ki
Kamandoko karena ketika jantungnya pecah, nyawanya melayang sudah! Simanti
menghujani tubuh tak bernyawa itu dengan segala dendam kebencian. Dia baru
berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku dan lututnya goyah, ketika tembok
di mana mayat Ki Kamandoko terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh
berlutut lalu terduduk bersimpuh dan mulai menangis.
Kita
kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan merangkak dia berhasil keluar dari lobang,
lalu bergerak mendekati sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu penuh lecet dan
luka akibat jilatan lidah api yang menyambar dari Tombak Api dan berada dalam
keadaan tak berdaya karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk
digerakkan.
Dalam
keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan dirinya telah ditindih oleh tubuh
Dewi Tombak Api.
“Apa yang
ingin kau lakukan…?” desis Wiro. Dadanya menggemuruh berusaha menahan
rangsangan yang bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa dihindarinya. Dewi
Tombak Api angkat tangan kanannya yang memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan
tenaga untuk dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan membunuhnya
dengan senjata dahsyat di tangannya itu!
******************
12
TAPI hal
itu ternyata tidak terjadi. Dewi Tombak Api tidak pergunakan senjatanya untuk
menusuk dan membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Nafasnya yang memburu dan
hangat menerpa wajah Pendekar 212. Sepasang matanya yang berkilat-kilat liar
mendadak menjadi sayu, menatap lurus-lurus ke dalam mata Wiro.
“Apa yang
kau tunggu! Kenapa tidak lekas-lekas membunuhku…?” tanya Wiro.
“Aku akan
mati… Kau akan mati… Kita akan samasama mati, Wiro…” bisik Dewi Tombak Api.
“Selagi masih bisa bernafas mengapa kita tidak memilih mati dalam kenikmatan…?”
Lalu wajahnya ditempelkan ke wajah Pendekar 212. Hidungnya menciumi kening,
mata dan pipi pemuda itu. Bibirnya dikecupkan ke bibir Wiro dan Wiro dapat
merasakan bahwa ludah Dewi Tombak Api telah bercampur darah tanda lukanya di
sebelah dalam semakin parah.
“Kau tak
mau memelukku Wiro… Kau tak mau merangkul dan menciumku…? Ah… Aku tahu, tangan
dan kakimu tak bisa kau gerakkan. Aku akan tolong kau Wiro. Akan kupulihkan
kekuatanmu asalkan kau mau berjanji…”
“Berjanji
apa?”
Dewi
Tombak Api tersenyum mesra. Kembali dia menciumi seluruh wajah Wiro.
Perlahan-lahan Tombak Api ditempelkannya ke tangan kanan Wiro, lalu
perlahan-lahan pula senjata itu diusapkannya mulai dari telapak tangan, terus
ke lengan sampai ke bahu. Aneh! Begitu diusapkan Wiro kini bisa menggerakkan
tangan kanan itu. Dewi Tombak Api terus saja tersenyum.
Kini
tangan kiri Wiro yang diusapnya dengan Tombak Api. Hal yang sama terjadi
seperti tangan kanan. Tangan kiri itu kini bisa digerakkan.
“Kakimu
sekarang… Kakimu akan kubebaskan. Setelah itu berjanjilah kita akan bersenang-senang…”
bisik Dewi Tombak Api.
Sewaktu
kedua kakinya bebas dan bisa digerakkan kembali, niat semula hendak melemparkan
tubuh Dewi Tombak Api mendadak sontak lenyap. Kebencian apapun yang ada dalam
diri Pendekar 212 terhadap gadis itu sirna dan berganti dengan perasaan lain.
Darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya diserang oleh rangsangan aneh yang
membuat Wiro merangkul dan balas mencium gadis yang ada di atasnya itu. Ketika
Wiro hendak membalikkan tubuh Dewi Tombak Api tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat.
Tombak Api yang ada di tangan kanan Dewi Tombak Api terbetot lepas. Terdengar
seruan kaget sang dara lalu disusul oleh jeritannya yang keras. Lalu
mengumandang suara tawa mengekeh.
Wiro yang
ikut kaget segera gulingkan diri. Ada percikan darah membasahi pakaian
putihnya!
“Puas…!
Aku puas! Kematian sahabatku terbalas sudah! Mampus kau gadis cabul!” Wiro
cepat berdiri dan berbalik.
Empat
langkah di hadapannya tegak seorang nenek berpakaian serba kuning dan berwajah
juga kuning. Dia bukan lain adalah salah seorang dari Sepasang Macan Kuning
dari Merapi. Kawannya si kakek muka kuning menemui ajal di tangan Dewi Tombak
Api beberapa waktu lalu.
Hanya
satu langkah di hadapan si nenek tergeletak tubuh Dewi Tombak Api dalam keadaan
tertelungkup. Tombak Api miliknya, yang selama ini menjadi senjata penimbul
bala menancap di punggung kirinya. Si neneklah yang telah merampas senjata itu
dari tangan Dewi Tombak Api lalu menusukkannya ke punggung si gadis sampai
menembus jantung! Untuk beberapa lamanya nenek berwajah kuning ini masih tegak
di tempat itu sambil mengekeh puas, tapi sepasang matanya kelihatan berkacakaca
tanda dia ingat akan kematian sahabatnya.
“Aku
puas… Aku puas…!” ujar si nenek berulang kali.
Lalu dia
balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiropun beranjak dari tempatnya
berdiri. Sesaat dipandanginya mayat Dewi Tombak Api. “Kasihan, kekejaman dunia
merenggut nyawanya seperti ini…” kata Wiro dalam hati. Lalu dia ingat pada
Simanti yang masih duduk bersimpuh dan menangis.
“Simanti…”
bisik Wiro seraya membelai rambut gadis itu, “Sebentar lagi malam akan turun.
Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini…”
Simanti
usut air matanya, mengusap wajahnya beberapa kali lalu memandang pada Wiro dan
perlahanlahan anggukkan kepala. Wiro membantu gadis ini berdiri. Sepasang mata
Simanti menatap ke arah jenazah kakak seperguruannya. “Bagaimanapun jahatnya
dirinya, dia tetap kakak seperguruanku. Jenazahnya harus aku urus. Juga jenazah
guru. Dan Tombak Api yang menancap di tubuhnya itu… Kukira untuk beberapa lamanya
masih diresapi kekuatan guna-guna terkutuk itu. Kita harus mengamankan senjata
itu Wiro… Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kalau sampai ada yang
menemukan dan mempergunakannya, apa yang dialami Sumitri akan terulang
kembali!”
Wiro
mengangguk dan berkata, “Kita kuburkan saja dia bersama senjata itu. Di dekat
sini pasti ada kampung atau desa. Kita minta bantuan penduduk setempat untuk
menggali dua lobang lahat. Satu untuk gurumu, satu lagi untuk Sumitri…”
Simanti
tak menjawab. Ketika Wiro menarik lengannya dia melangkah mengikuti. Di sebelah
barat sang surya telah masuk ke titik tenggelamnya. Langit yang baru disaput
cahaya merah kekuningan kini berangsur-angsur menjadi gelap menghitam. Daerah
sekitar reruntuhan candi itu tenggelam dalam kesunyian. Lapat-lapat mulai
terdengar suara burung hantu di kejauhan.
Kedua
orang itu melangkah melewati reruntuhan tembok candi di mana terkapar mayat Ki
Kamandoko. Ketika berlalu satu langkah tiba-tiba sosok tubuh yang sudah jadi
mayat itu bergerak bangkit! Satu hal yang tak dapat dipercaya. Ternyata sewaktu
sosok tubuh Ki Kamandoko jatuh terbanting di atas tembok, manusia ini telah
lebih dahulu melakukan tenung. Sosok tubuh yang ada di atas tembok hanya sosok
jejadian belaka sedang dirinya yang sebenarnya berada beberapa langkah dari
situ! Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Simanti, apalagi oleh Pendekar
212 Wiro Sableng.
Dengan
susah payah Ki Kamandoko berlari ke arah mayat Sumitri lalu mencabut Tombak Api
yang menancap di tubuh gadis itu. Begitu senjata tersebut berada dalam
genggamanya dengan cepat dihantamkannya ke arah Pendekar 212 dan Simanti yang
tengah berjalan membelakangi.
Namun
telinga Pendekar 212 tak dapat ditipu. Ketika Ki Kamandoko berlari ke arah
mayat Sumitri, Wiro telah menangkap suara langkah-langkah juru tenung dan ahli
guna-guna itu. Dia membalikkan tubuh tepat pada saat Tombak Api mencuatkan
lidah api mengerikan ke arahnya. Simanti terpekik. Wiro tersentak kaget tapi
masih bisa menguasai diri dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Wusss!
Lidah api
menderu. Kapak Naga Geni 212 membabat di udara. Suara seperti ribuan tawon
mengamuk menggelegar dan sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Sinar putih
yang keluar dari kapak sakti serta sinar merah lidah api yang keluar dari
Tombak Api saling tabrak. Dentuman dahsyat menggoncangkan tanah seperti
membelah langit. Lidah api tampak buyar bermuncratan begitu dihantam sinar
Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro dan Simanti terbanting roboh ke tanah. Ketika
lidah api dan sinar putih lenyap, sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Simanti
tampak menggeletak sosok tubuh Ki Kamandoko hangus menghitam, termasuk Tombak
Api yang masih tergenggam di tangan kanannya.
“Wiro…
Aku takut…,” bisik Simanti di antara isakan.
“Semua
sudah berakhir kini.” balas berbisik Wiro. Dia berdiri diikuti oleh Simanti.
Tiba-tiba
gadis ini menjerit.
“Wiro!
Lihat!”
Wiro
memandang ke tiga arah yang ditunjuk Simanti. Di situ dilihatnya sosok tubuh
Resi Tambak Kebo Kenanga dan Dewi Tombak Api alias Sumitri juga telah berubah
menjadi mayat hangus akibat terkena hantaman sinar Kapak Maut Naga Geni 212 dan
lidah api yang saling bertabrakan di udara.
TAMAT
No comments:
Post a Comment