Raja
Sesat Penyebar Racun
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
1
PENDEKAR
212 WIRO SABLENG memandang berkeliling dengan heran. Betulkan ikat kepala kain
putihnya lalu menggaruk rambut.
“Aneh…
Setahuku setiap hari Ahad pasar ini selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Tapi
kali ini jangankan manusia, jangankan orang yang berjualan dan mereka yang mau
membeli. Nyamuk dan lalatpun tidak kelihatan! Apa yang terjadi… Perutku sudah
lapar, aku membayangkan akan makan ketan bakar di sudut sana. Nyatanya pasar
ini sudah berubah jadi kentut! Eh, kentutpun masih ada bunyi-bunyi dan baunya!
Tapi disini tak ada bunyi. Sepi! Tak ada bau!”
Wiro
menyeringai geleng-geleng kepala. Akhirnya dia tinggalkan pasar itu. lanjutkan
perjalanan memasuki kampung terdekat di pinggir pasar. Begitu memasuki mulut
kampung sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi putih bergerak deras ke
arahnya.
“Awas!
Minggir! Anakku… istriku… Tolong! Minggir!” teriak orang yang mengemudikan
gerobak,itu.
Wiro
cepat menyingkir ke tepi jalan. Gerobak lewat disampingnya dengan cepat.
Sekilas Pedekar 212 melihat dua sosok tubuh terbujur di atas gerobak sapi itu.
Yang di sebelah kiri seorang anak lelaki berusia lima tahun, terbaring
menelentang tanpa baju. Muka dan terutama bibirnya tampak biru. Kedua matanya
membeliak sedang tangan dan kakinya tampak tegang kaku. Sekujur tubuhnya tidak
bergerak sedikitpun. Disela bibirnya tampak busah melueh Yang kedua seorang
perempuan ibu si anak lelaki juga terbaring dengan muka dan bibir biru Dan
mulutnya yang berbusah terdengar suara erangan Tubuhnya menggeliat-geliat
kejang. Bagian hitam matanya terbalik-balik Awas! Minggir! Tolong! Tolong anak
istriku kembali terdengar suara pengemudi gerobak sapi berteriak
Sesaat
Wiro masih tertegak heran di tepi jalan. Lalu di depan sana dilihatnya seorang
pejalan kaki memandang ke arah lenyapnya gerobak sapi di tikungan jalan. Wiro
dekati orang ini yang ternyata seorang kakek mengenakan celana panjang hitam
dan kain sarung di bahunya.
“Kek…,”
menegur Wiro. “Kau barusan melihat gerobak sapi itu… Kau tahu apa yang
terjadi?”
Si kakek
menatap sesaat pada Wiro lalu menjawab. “Ah, sampean tentu bukan penduduk
sekitar sini. Jadi tidak pernah mendengar apa yang terjadi sejak satu bulan
belakangan ini. Dedemit Karang Gontor sedang murka. Puluhan jiwa penduduk telah
disedotnya.”
“Dedemit
Karang Gontor? Menyedot jiwa penduduk…?”
“Betul’
anak muda. Anak serta istri orang yang membedal gerobak sapi tadi pastilah
korban-korban baru dedemit itu!” berkata si kakek. Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Aku tak mengerti kek. Bagaimana bisa ada dedemit menyedot jiwa manusia…”
“Itu
karena ulah manusia sendiri, anak muda. Manusia-manusia disini sudah bertumpuk
dosanya. Bumi Tuhan menjadi kotor. Dedemit yang bermukim di Karang Gontor jadi
gerah, lalu murka. Satu persatu dia mencari korban. Menyedot nyawa korbannya
lewat mulut. Itu sebabnya mereka yang jadi korban pada biru bibir dan mukanya
sampai ke leher…”
“Gila
Sulit dipercaya! Ada dedemit kegerahan lalu minta nyawa manusia! Gila! ujar
Wiro.
“Gila
atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kau setiap saat bisa saja jadi korbannya!
Aku yang sudah tua begini kalau sampai jadi korban tak akan menyesal. Lebih
baik cepat mati dari pada hidup menderita…!”
“Kek, apa
ada orang yang pernah melihat dedemit yang kau katakan itu…?” Wiro bertanya.
“Anak
muda, pertanyaanmu sungguh totol. Tidak melihat saja nyawanya sudah bisa
disedot, apalagi kalau sampai melihat! Heh… kau lihat pasar di ujung sana?
Sepi. Tak ada yang berani berjualan karena takut akan jadi korban dedemit.
Semua orang pada mendekam dalam rumah karena ketakutan. Banyak yang sudah
mengungsi ke tempat jauh yang aman. Kampung ini saja hampir kosong tidak
didiami lagi!”
“Lalu,
orang yang memacu gerobak sapi tadi, mau dibawanya kemana anak dan istrinya
itu…?”
“Di kaki
bukit sebelah timur sana, ada seorang dukun. Namanya Ki Dukun Japara. Pasti dia
membawa anak istrinya kesana untuk minta tolong. Namun seperti yang
sudah-sudah, nyawa orang-orang yang kena pencet Dedemit Karang Gontor tak bakal
bisa diselamatkan lagi…!”
“Kek,
tadi kau bilang dedemit itu menyedot nyawa, kini memencet. Mana yang betul
kek…?” tanya Wiro pula.
Si kakek
menyeringai. “Dedemit itu kalau inginkan nyawa manusia ya suka-sukanya saja.
Mau menyedot lewat bibir atau pantat, mau mencekek leher atau memencet kemaluan
korbannya, yah itu terserah dia. Pokoknya korban mati dan dia puas. Kau sendiri
mau mati cara mana anak muda…? Di sedot… di cekek… atau dipencet anumu itu…?”
Wiro
menjawab. Sambil geleng-geleng kepala dia memutar tubuh lalu berkelebat menuju
ke arah lenyapnya gerobak sapi tadi. Si kakek tersentak kaget ketika pemuda
dengan siapa dia tadi bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah ada di
tikungan jalan sana. Pucatlah wajah orang tua ini.
“Astaga…”
katanya dengan suara gemetar.
“Jangan-jangan
pemuda itu penjelmaan Dedemit Karang Gontor!” Lalu dirabanya ubun-ubunnya
Dipegangnya bibirnya. Disentuhnya lehernya dan terakhir sekali dirabanya bagian
bawah perutnya. “Ah… masih ada… Untung anuku tidak dipencetnya!” Dengan
terbungkuk-bungkuk orang tua ini bergegas meninggalkan tempat itu.WALAUPUN
GEROBAK SAPI itu tidak kelihatan lagi namun dari jejak roda yang membekas jelas
di tanah jalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dapat mengetahui ke arah mana
perginya gerobak itu. Dengan mengandalkan ilmu lari kaki angin warisan Eyang
Sinto Gendeng. Wiro berkelebat ke arah timur. Dia sengaja mengambil jalan
memotong. Di satu bukit kecil dia dapat melihat gerobak sapi yang di muati dua
orang korban Dedemit Karang Gontor meluncur di jalan berbelok-belok diantara
kaki-kaki bebukitan.
Di
hadapan sebuah rumah panggung yang mulai dari tiang, lantai dan dinding sampai
ke atapnya terbuat dari bambu, orang yang memacu sapi hentikan gerobaknya.
“Ki
Dukun! Ki Dukun Japara! Tolong Lekas! Tolong istri dan anakku!”
berteriak
kusir gerobak itu. Lalu dia melompat turun dari gerobak, menarik sosok tubuh
anak lelakinya, mendukungnya lalu membawanya naik ke atas rumah panggung.
“Ki
Dukun! Tolong…! teriak kusir gerobak itu kembali. Anaknya dibaringkan di lantai
rumah bambu, dihadapan sebuah pintu. Pintu ini kemudian digedornya berulang
kali sambil terus berteriak. Pintu terbuka. Seorang tua bermata juling,
mengenakan pakaian serta destar hitam keluar sambil memuntir-muntir kumis
mablangnya dengan tangan kiri sedang jari-jari tangan kanan mempermainkan
sebuah tahi lalat besar yang menonjol di dagu sebelah kanan.
“Astaga!
Juminto! Kowe rupanya! Eh, apa yang terjadi…!”
“Anakku
Ki Dukun! Tolong! Selamatkan jiwanya Jangan biarkan Dedemit Karang Gontor
mengambil nyawanya!” Habis berkata begitu lelaki bernama Juminto itu berbalik
lalu lari menuruni tangga bambu
“Hai!
Kowe mau kemana Juminto?!” memanggil orang tua bermata juling yang ternyata
adalah Ki Dukun Japara.
“Istriku!
Istriku juga disedot Dedemit Karang Gontor! Aku akan membawanya ke atas rumah
ini Tapi tolong dulu anakku! Selamatkan jiwanya!’
“Ah…Lagi-lagi
Dedemit Karang Gontor…” ujar Ki Dukun lalu menghela natas panjang dan tampak
masygul. :.”Puluhan korban sudah jatuh. Sampai kapan bencana ini akan
berakhir…?” Lalu Ki Dukun Japara berlutut. Dia usap kening serta pegang dada
anak lelaki yang terbujur di lantai bambu. Diamatinya bibir si anak, lalu
sepasang matanya yang terbalik. Kembali orang tua ini gelengkan kepala dengan
wajah masygul.
Saat itu
Juminto sudah naik kembali keatas rumah panggung. Kali ini mendukung istrinya
dan membaringkannya di lantai disamping anak lelakinya.
Berbeda
dengan si anak yang tampak kaku tak bergerak, si ibu masih terdengar mengerang
dan melejang-lejang.
‘Ki
Dukun! Tolong! Tolong mereka cepat!” teriak Juminto. “Jangan cuma melihat saja!
Tolong, selamatkan anak istriku…!”
“Ki Dukun
Japara memeriksa keadaan istri Juminto. Sesaat kemudian dia berpaling pada
lelaki itu dan gelengkan kepalanya, lalu berkata : “Juminto, sudah puluhan
orang kulihat dalam keadaan seperti ini. Semua tak bisa kutolong. Sekali
Dedemit Karang Gontor murka dan minta korban tak ada satu kekuatanpun yang bisa
menghalanginya! Sebaiknya kau relakan saja kepergian mereka Juminto…”
Juminto
jatuhkan dirinya di lantai bambu. Setengah meratap, dia memohon: “Tolong Ki
Dukun. Tolong…!”
“Aku
tidak mampu menolongnya, Juminto. Tidak mampu! Jangan memaksa!”
“Ki
Dukun… Percuma! Percuma kau jadi dukun kalau tidak bisa menolong!” teriak
Juminto. Pemandangannya jadi gelap. Dia melompat dan mencekal leher baju Ki
Dukun dengan kedua tanganya. “Kau harus bisa… Kau harus bisa mengobatinya!
Harus! Kalau tidak kau akan kubunuh Ki Dukun!”
Juminto
mengancam dalam kalapnya. “Akan kubunuh! Kau dengar ucapanku?!”
Sepasang
mata juling Ki Dukun Japara tampak membeliak dan wajahnya jadi beringas. “Kau
boleh membunuhku seratus kali! Tapi sekali aku bilang tidak mampu, aku tetap
tidak mampu! Bahkan anakmu kulihat sudah tak punya nafas lagi. Istrimu sebentar
lagi pasti juga dibawa Dedemit Karang Gontor itu!
Mendengar
ucapan itu Juminto meraung lalu jatuhkan diri ke lantai. Saat itulah terdengar
satu suara.
“Jika
diizinkan Gusti Allah, mungkin aku bisa menolong istri Juminto itu, Ki Dukun!”
Ki Dukun
dan Juminto sama berpaling ke arah tangga. Seorang tidak dikenal tampak menaiki
tangga bambu dan akhirnya sampai di atas rumah panggung.
****************
2
ORANG
YANG DATANG dan barusan bicara adalah seorang pemuda berpakaian putih.
Rambutnya gondrong sebahu sedang kepalanya diikat dengan kain putih. Baik Ki
Dukun Japara maupun Juminto sama-sama tidak mengenali siapa adanya pemuda ini
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Karena
kedua orang itu masih terheran-heran melihat kemunculan pemuda yang tidak
dikenal atau belum pernah dilihatnya sebelumnya dan tidak memberikan jawaban
apa-apa, maka Wiro langsung berlutut didepan tubuh anak lelaki yang terbujur
di-lantai bambu. Dipandanginya anak itu sebentar lalu dia menggaruk kepala dan
berpaling pada Juminto, berkata: :.”Anakmu tak mungkin kutolong. Dia sudah
meninggal. Aku mungkin bisa menolong istrimu. Keadaanya gawat sekali. Tapi
Tuhan punya kuasa, biar kucoba…”
Wiro
beringsut mendekati tubuh Istri Juminto.
“Jangan
sentuh istriku!” bentak Juminto dengan garang.
“Ah,
kalau kau tak mengijinkan. akupun tidak berani melakukan apaapa…” sahut
Pendekar 212 pula lalu berdiri.
“Aku
tidak kenal siapa dirimu. Tahu-tahu muncul dan bertindak hendak menolong…”
“Aku
melihatmu waktu memacu gerobak sapi menuju kemari. Seseorang di tengah jalan
memberi tahu bahwa anak istrimu pasti sudah jadi korban Dedemit Karang Gontor.
Aku datang kemari hanya ingin tahu apa sebetulnya yang terjadi dan. siapa tahu
aku bisa menolong…”
“Apa kau
seorang dukun, atau tahu seluk beluk pengobatan? Bahkan Ki Dukun Japara
disampingku ini tidak mampu mengobati istriku…!” kata Juminto.
“Betul…Tak
mungkin bagiku mengobati orang yang jadi korban Dedemit Karang Gontor. Sudah
puluhan yang menemui nasib seperti ini. Tak seorangpun yang bisa menolong…”
“Dedemit
Karang Gontor! Bukan main…” geleng-geleng kepala pendekar 212. “Ingin aku
melihat bagaimana tampangnya. Bagaimana dia mencelakai korbannya seperti ini…”
“Anak
muda!” ujar Ki Dukun Japara dengan kedua mata yang juling mengawasi Wiro mulai
dari kepala sampai ke kaki. “Jangan bicara takabur! Sekali Dedemit Karang
Gontor mendengarnya, nyawamu tak ketolongan lagi!”
Wiro
hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata orang tua bermata juling itu lalu dia
berpaling pada Juminto dan berkata: “Menurutku, istrimu bukan dicekik atau
disedot Dedemit, setan ataupun jin gandaruwo! Istrimu keracunan!”
Juminto
terkesiap kaget sedang Ki Dukun Japara tampak berubah air mukanya.
“Bagaimana
kau bisa tahu?!” tanya Juminto. Dia memandang pada istrinya yang masih
melejang-lejang, tapi saat demi saat lejangan tubuhnya semakin perlahan.
“Aku
memang tidak tahu bagaimana dia keracunan. Tapi dari wajahnya yang membiru
sampai ke leher, terutama pada bagian bibir dan ujung-ujung telinga, aku dapat
menduga istri dan anakmu ini telah keracunan.”
“Anak
muda, siapa kau sebenarnya? Sikapmu bicara seolah-olah sebagai orang yang
mengetahui seluk beluk ilmu pengobatan!”
“Namaku
Wiro Sableng…”
“Wiro…
Sableng?!” ujar Ki Dukun Japara. “Kemunculanmu yang tiba-tiba begitu aneh.
Sikap dan bicaramu juga aneh. Dan kini namamu juga ternyata aneh. Wiro Sableng,
coba terangkan dari mana kau datang? Apa kau tinggal di sekitar sini?”
“Aku
datang dari Gunung Gede…”
“Ah,
kalau kau cuma seorang pemuda gunung di udik sana, mana ada kemampuan untuk
mengobati istriku!” kata Juminto pula penuh jengkel sementara Ki Dukun Japara
menyeringai. Lalu orang tua ini berkata: “Tinggalkan kami berdua. Biar istri
orang ini meninggal dengan tenang…”
Wiro
memandang pada Juminto. “Waktunya tidak lama lagi, saudara. Jika istrimu tidak
segera ditolong maka dia benar-benar akan menemui kematian. Dan kau akan
kehilangan dua orang yang sangat kau kasihi…”
“Anak
muda, kau seperti orang hendak memaksakan kehendak. Kami tidak memerlukan
pertolonganmu!” kata Ki Dukun Japara pula.
“Tidak
ada yang memaksa, orang tua. Aku menduga-duga kau sebenarnya mengetahui apa
yang dialami perempuan ini. Tapi sengaja memberi keterangan yang salah…”
“Eh! Apa
maksudmu dengan ucapanmu itu!” bentak Ki Dukun Japara lalu melangkah mendekati
Wiro dan berkacak pinggang dihadapan pemuda ini.
“Kau
seorang dukun. Jadi kurasa kau tahu kalau istri orang ini keracunan, bukan
dicekik segala macam Dedemit!”
Setelah
berkata begitu Wiro memutar tubuh dan melangkah menuju ke tangga. Sesaat
Juminto tampak bingung.
“Jangan
percaya pemuda tak dikenal itu Juminto! Suratan Tuhan berlaku atas dirimu hari
ini. Kau harus merelakan kepergian anak dan istrimu…” terdengar Ki Dukun Japara
berkata.
Juminto
anggukkan kepalanya. Tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru: “Saudara! Jika
kau memang mampu mengobati istriku, tolonglah!”
Wiro yang
berada dipertengahan tangga, hentikan langkahnya lalu menjawab: “Aku tidak
punya kemampuan apa-apa, saudara. Semua Tuhan yang punya kuasa dan menentukan!”
Lalu
Pendekar 212 naik keatas rumah punggung kembali. Langsung berlutut disamping
tubuh istri Juminto Dengan jari-jari tangannya dia melakukan totokan pada
pangkal leher dan pertengahan dada perempuan itu. Gerakan melejang-lejang
perempuan itu serta merta berhenti. Kedua matanya masih membeliak, tapi suara
erangan dari mulutnya tak terdengar lagi.
“Mati!”
teriak Ki Dukun Japara. “Juminto! Apa kataku! Istrimu malah dibikinnya mati
lebih cepat!”
“Bangsat
kurang ajar! Penipu keparat!”teriak Juminto marah karena mengira apa yang
dikatakan Ki Dukun itu benar. Kaki kanannya langsung ditendangkannya ke
punggung Wiro. Namun setengah jalan dia merasa seperti ada angin yang
menyambar. Kakinya yang menendang terasa tiba-tiba menjadi seberat batu besar
dan mau tak mau kaki itu terhenyak turun kelantai bambu!
Ki Dukun
Japara tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan Juminto. Sementara itu
dilihatnya pemuda bernama Wiro Sableng itu menekankan telapak tangan kanannya
pelan-pelan diatas perut istri Juminto. Lalu tekanan itu mendadak disentakkan
menjadi keras sekali. Tubuh istri Juminto seperti hendak terlipat. Saat itu
terdengar suara menggeru keluar dari perut nya seperti cacingcacing gelang
dalam ususnya Begitu suara di perut lenyap, kini berganti suara menggeru
seperti orang muntah.
Dari
mulut perempuan itu menyembur cairan berwarna biru kehitaman dan sangat kental.
Bersamaan dengan itu kedua matanya yang tadi terus menerus membeliak, kini
tampak menjadi kuyu dan kelopaknya mengendur. Wiro membalikkan tubuh istri
Juminto hingga perempuan itu kini menelungkup. Karena keadaan tubuh serta
kepalanya yang menelungkup seperti itu, semakin banyak cairan biru kehitaman
mengucur keluar dari mulutnya. Pendekar 212 garuk kepalanya, mengusap peluh
yang mengucur di keningnya lalu bangkit berdiri.
“Saudara…Istrimu
tertolong. Kalau dia siuman nanti minumkan perasan air daun sirih…”
Penuh
rasa tidak percaya Juminto berlutut disamping istrinya, usapi pundak dan kening
perempuan itu. Lalu dengari mata berkaca-kaca dia berkata: “Saudara, bagaimana
aku harus mengucapkan terima kasih…”
Wiro
tersenyum. Dia tundingkan jari telunjuknya ke atas. “Jangan berterima kasih
padaku. Ucapkan puji syukur pada Dia yang diatas sana…” Juminto mengganguk.
“Satu
pesanku, saudara. Dan juga berlaku untukmu Ki Dukun. Sebarkan pemberitahuan
kepada seluruh penduduk. Di daerah ini tak ada dedemit yang marah, tak ada
dedemit yang mencekik dan menyedot nyawa manusia.
Barangkali
ada wabah penyakit berbahaya berjangkit disini, tetapi kecil sekali
kemungkinannya. Yang kulihat kenyataannya adalah anak dan istrimu keracunan
sesuatu yang sangat ganas. Mungkin racun belirang, mungkin juga racun daun
beludru atau sejenis jelaga renggut jiwo. Karena itu semua orang harus
berhatihati memakan makanan dan meminum air…”
“Anak
muda!” tiba-tiba Ki Dukun Japara memotong. Meskipun kau mampu menolong istri
Juminto, tapi aku tidak suka kau bertindak lebih jauh. Menyuruh penduduk agar
tidak percaya pada bencana yang disebabkan Dedemit Karang Gontor. Malah
menyuruh Juminto untuk menyebar luaskan kabar adanya bahaya racun ganas. Kau
hendak membuat penduduk tambah gelisah dan ketakutan?
Saat ini
saja sudah ratusan penduduk yang meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke
tempat lain, menghindarkan bencana Dedemit karang Gontor…!
“Ki
Dukun… Dedemit yang kau katakan itu, dimanakah sarangnya. Biar kudatangi agar
dapat kulihat rupanya!” sahut Pendekar 212 pula mulai jengkel.
“Manusia
takabur! Kuharap Dedemit Karang Gontor mendengar ucapanmu tadi. Dan tunggulah
nasib celaka yang bakal menimpamu…”
Baru saja
Ki Dukun Japara berkata begitu tiba-tiba di bawah sana terdengar suara hiruk
pikuk dan teriakan-teriakan disertai derap kaki-kaki kuda dan gemuruh roda-roda
kereta serta gerobak.
Wiro
berpaling, melangkah cepat ke tangga rumah panggung.dan memandang ke bawah.
Hampir tak percaya dia apa yang dilihatnya. Belasan gerobak dan bendi tanpa
atap berhenti di pekarangan rumah panggung. Kendaraan-kendaraan itu dipenuhi
oleh sosok tubuh yang bergeletakan malang melintang. Ada orang tua, ada lelaki
dan perempuan baya sedang anak-anak hampir tak terhitung jumlahnya. Wajah dan
bibir mereka sangat biru. Banyak yang bergeletakan tanpa bergerak, entah
pingsan entah sudah mati. Yang mengerang terdengar hampir dari semua jurusan.
Orang-orang
yang mengemudikan gerobak dan bendi itu berteriak memanggil-manggil Ki Dukun
Japara. Banyak diantara mereka yang menyertai rombongan itu dengan berkuda
sudah melompat turun lalu menggendong satu demi satu orang-orang yang berada
dalam keadaan sekarat itu seraya berseru: Ki Dukun…Tolong…Selamatkan
orang-orang ini!”
Wiro
melompati anak tangga. Begitu turun di tanah dia bertanya pada orang terdekat:
“Apa yang terjadi?!”
“Dedemit
Karang Gontor menjatuhkan bencana di desa kami! Puluhan orang dicekik dan
disedot hingga matang biru!”
“Hai!
Minggirlah! Jangan menghalangi! Jangan ngobrol! Lebih baik bantu kami
menurunkan orang-orang yang kena bencana itu!” seseorang berteriak.
“Ki
Dukun… Ki Dukun Japara! Apa kau ada di rumah?!” terdengar lain orang berteriak
memanggil.
Lalu ada
suara perempuan dan anak-anak menggerung menangis ketika mengetahui suami dan
ayah mereka ternyata telah menghembuskan nafas. Mau tak mau untuk sesaat
Pendekar 212 |adi terkesima menyaksikan pemandangan yang terjadi di hadapannya.
“Satu
desa keracunan begini! Gila! Ada sesuatu yang tidak beres…” ujar Wiro. Lalu dia
meiompat menghadang orang pertama yang hendak menaiki tangga sambil mendukung
dua orang anak keoi sekaligus.
“Bangsat!
Jangan menghalangi jalan!” teriak lelaki yang mendukung dua anak.
“Tak ada
guna mencari Ki Dukun Japara. Dia tidak mampu menolong kalian! Lekas baringkan
semua korban di tanah. Cari daun sirih sebanyakbanyaknya. Aku akan menolong
kalian semampunya! berteriak Wiro Sableng. Lalu dalam hati dia mengeluh:
“Celaka, begini banyak yang harus kutolong Ya Tuhan, malapetaka apa sebenarnya
yang terjadi ini? Mengapa begini banyak orang yang keracunan…?!”
****************
3
KERATON
BARAT. Hari itu, pagi-pagi sekali Raden Mas Singaranu telah menghadap Sri
Baginda Raja yang sengaja menerimanya di taman belakang Keraton karena ada masalah
sangat penting yang perlu dilaporkannya.
Patih tua
berkumis dan berjanggut putih ini membuka pembicaraan dengan berkata: “Keadaan
dibeberapa desa di pinggiran Kotaraja semakin tidak karuan Sri Baginda. Puluhan
bahkan ratusan penduduk menemui ajal secara mengenaskan. Mereka mati dalam cara
yang sama yaitu kejang-kejang, muka dan bibir membiru. Sesuai petunjuk Sri
Baginda orang-orang kita telah melakukan penyelidikan. Tapi hasil yang dicapai
masih sangat sedikit. Sementara korban yang berjatuhan semakin banyak. Beberapa
kampung malah telah lengang karena ditinggalkan penghuninya. Mereka berada
dalam keadaan gelisah dan ketakutan. Hal ini memudahkan masuknya segala macam
hasutan yang selama ini ditiup-tiupkan oleh Karaton di Timur. Dan celakanya,
penduduk yang mengungsi itu kebanyakan justru pergi ke timur…”
“Apakah
sudah diketahui sebab musabab rakyat mati dengan tubuh kejang dan muka membiru
itu, Paman Patih…?” bertanya Sri Baginda.
“Ada
berbagai petunjuk. Namun semuanya harus diselidiki lebih jauh. Ada petunjuk
yang menyatakan bahwa apa yang dialami penduduk adalah akibat penyakit menular
yang sangat berbahaya. Setelah diselidiki pendapat itu tidak betul. Lalu saya
sudah memerintahkan orang-orang kita melakukan penyelidikan ke Karang Gontor.
Saya bahkan mengirimkan dua orang tokoh silat Keraton kesana…”
“Karang
Gontor?” mengulang Sri Baginda. “Apa perlunya penyelidikan dilakukan di tempat
di pantai selatan itu?”
“Sebagian
besar rakyat saat ini mempercayai kalau kematian itu berasal dari kemurkaan
Dedemit penghuni Karang Gontor…”
“Kepercayaan
gila!” teriak Sri Baginda. “Bagaimana mereka bisa bersikap seperti itu?!”
Patih
Raden Mas Singaranu terdiam tak bisa menjawab.
“Aku
yakin ada yang segaja menebarkan berita kosong itu. Karang Gontor memang tempat
angker.
Tapi
selama ini belum pernah ada Dedemit yang murka…”
“Saya
sependapat dengan Sri Baginda. Hanya saja ditengah kepercayaan sesat itu,
rakyat dicekoki pula dengan hasutan orang-orang Keraton Timur yang mengatakan
bahwa melapetaka itu adalah akibat ingkar janjinya Sri Baginda untuk
menyerahkan kekuasaan pada Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo…”
“Hasutan
busuk! Fitnah jahat! Cerita sesat!” ujar Sri Baginda dengan rahang menggembung.
“Kau sendiri tahu Paman Singaranu! Cerita bahwa Raja Tua pernah mengatakan aku
harus turun tahta dan menyerahkan kekuasaan pada adikku Harjokusumo itu jika
aku sudah berusia enam puluh tahun tak pernah ada. Isapan jempol yang
dibuat-buat saja! Berapa lama umurnya manusia? Aku tak mungkin akan memerintah
sampai usia seratus tahun!”
“Mungkin
sekali adik Sri Baginda Pangeran Harjokusumo itu tidak sabar menunggu datangnya
giliran jadi raja. Mungkin juga saat ini kurang puas kalau hanya menjadi Raja
Kecil di Keraton Timur yang dianggap masih berada dibawah kekuasaan dan
kewenangan Keraton Barat…
“Mungkin
sekali begitu. Tapi bukankah adikku itu masih sangat muda? Dia bisa menunggu
dan sementara itu banyak belajar dari pada para sesepuh Keraton. Tentang ilmu
peperangan, ilmu sastra, ilmu agama, ilmu kebatinan dan kesaktian serta ilmu
persilatan. Jika dia menimba ilmu sebanyak-banyaknya saat ini maka kelak tiba
saatnya dia dinobatkan menjadi Raja sebagai penggantiku. dia benar-benar akan
menjadi seorang Raja yang matang, arif bijaksana, memiliki ilmu dunia dan ilmu
akhirat!”
Raden Mas
Singaranu merenung sejenak. Lalu berkata: Jalan pikiran Sri Baginda mungkin
tidak sama dengan yang dipunyai Pangeran Harjokusumo.
Saya rasa
dia mempunyai kekawatiran dengan lahirnya putera Sri Baginda…”
Sri
Baginda geleng-geleng kepala. “Adikku itu terlalu picik. Puteraku Kanjeng Gusti
Pangeran Haryo belum berusia empat puluh hari. Apa yang ditakutkannya? Bukankah
tatakrama Keraton kita menjamin haknya sebagai Raja sampai puteraku itu berusia
dua puluh satu tahun? Jangan jangan adikku itu mulai punya pikiran macam-macam
keserakahan, gila kekuasaan…”
“Bukan
itu saja Sri Baginda… Mata-mata kita pernah melihat bahwa balatentara Keraton
Timur pernah mendapat petunjuk dan latihan perangperangan dan sekelompok
orang-orang seberang laut yang datang satu kapal penuh…”
Paras Sri
Baginda langsung berubah. “Kalau begitu jangan-jangan Keraton Timur tengah
menyiapkan satu pemberontakan. Menyiapkan makar untuk merebut tahta Kerajaan
secara kekerasan…!
“Itu yang
saya dan Kepala Balatentara Raden Mas Janggolo dugakan. Karena itu pula
Janggolo telah memperkuat penjagaan di perbatasan…”
“Paman
Patih, aku mengharap agar malapetaka yang menimpa rakyat kita cepat
disingkapkan sebab musababnya. Itu tugasmu paling utama karena kekuatan kita
bersumber pada rakyat. Kalau rakyat kacau, Kerajaan akan ikut kacau dan kaum
penyusup, mereka yang tidak senang akan mengambil keuntungan. Tugas kedua awasi
dengan ketat gerak gerik orang-orang di Keraton Timur. Kalau perlu selinap-kan
seorang atau beberapa orang mata-mata langsung ke dalam Keraton!”
“Tugas
akan saya jalankan Sri Baginda.” Raden Mas Singaranu bangkit dari bangku taman
yang didudukinya, membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.
KERATON
TIMUR.
Tumenggung
Jalak Karso membungkuk dalam-dalam di hadapan Gusti Bandoro Pangeran
Harjokusumo lalu berkata: “Ada kabar penting yang perlu saya beritahukan pada
Sri Baginda.”
Pangeran
Harjokusumo lalu memberi isyarat pada permaisuri yang duduk disampingnya agar
masuk ke ruangan dalam. Setelah hanya tinggal mereka berdua saja ditempat itu
maka sang Tumenggung baru membuka mulut.
“Rakyat
di Barat berada dalam keadaan gelisah ketakutan. Ratusan orang menemui ajal
secara aneh. Muka dan bibir biru, mata mendelik dan tubuh kejang kaku. Mereka
mempercayai bahwa itu adalah akibat kemurkaan Dedemit penghuni Karang Gontor.
Banyak pengungsi yang terpaksa ditampung di desadesa sekitar perbatasan…”
Pangeran
Harjokusumo, Raja Kecil di Keraton wilayah Timur termenung sesaat lalu berucap:
“Ya…apa yang harus kukatakan. Kakakku yang berkuasa di Barat tidak baik
hubungannya dengan kita disini. Aku cuma bisa merasa kasihan. Mungkin apa yang
terjadi disana merupakan satu kutukan atas keingkarannya terhadap pesan Raja
Tua.” Sang Raja diam sejenak lalu bertanya: “Apa keluarga Keraton ada yang
turut menjadi korban?”
“Sebegitu
jauh dari beberapa keluarga abdi dalem telah ikut jadi korban…” menerangkan
Jalak Karso.
Tumenggung,
walau kita prihatin atas apa yang terjadi di Barat, namun itu adalah urusan orang-orang
disana. Mereka punya Raja yang tentunya akan bertindak melakukan sesuatu Kita
di Timur ini harus selalu waspada. Pasukan disekitar perbatasan harus lebih
meningkatkan penjagaan. Mengenai para pengungsi biarkan mereka masuk dan
menetap di wilayah kita. Tapi mereka harus tunduk pada peraturan dan perintah
kita. Kelak jika tenaga mereka diperlukan untuk diambil sebagai prajurit,
mereka harus siap tempur. Kalau tidak sebaiknya pagi-pagi mereka diusir masuk
kembali ke Barat…’
Saya
mengerti Sri Baginda. Saya akan meneruskan perintah ini pada seluruh jajaran
pasukan kata Tumenggung Jalak Karso. Bagaimana dengan latihan ketentaraan?
Apakah ada kemajuan.-?
Banyak
sekali Sri Baginda Daium waktu satu bulan dimuka segala sesuatunya akan rampung
dan para pelatih itu bisa meninggalkan kita…”
Satu
bulan terlalu lama Tumenggung. Sesuatu bisa terjadi secara cepat. Apalagi saat
ini seperti yanq kau laporkan tengah terjadi kekacauan di kalangan penduduk
wilayah Baiat Katakan pada pucuk pimpinan pelatih agar jadwal latihan dapat
diselesai dalam waktu tiga minggu dimuka
“Akan
saya sampaikan Sri Baginda.” Lalu Tumenggung Jalak Karso menjura dalam-dalam
dan berlalu dari hadapan Pangeran Harjokusumo.
****************
4
RUMAH
PANGGUNG Ki Dukun Japara nampak gelap gulita. Di kolong rumah mendekam sosok
tubuh hampir tak bergerak. Sikapnya seperti orang bersamadi.
Namun
ternyata sosok ini sengaja duduk tak bergerak di atas sebuah kayu potongan
batang pohon. Dia bukan lain adalah Ki Dukun Japara sendiri. Dia tengah
menunggu kedatangan seseorang.
Malam
berlalu dengan cepat. Dingin dan sunyi. Dikejauhan terdengar salak anjing.
Sejak beberapa hari belakangan ini tak ada lagi penduduk yang datang untuk
minta pertolongan karena memang semua penghuni desa dan kampung sekitar situ
sudah meninggalkan tempat kediaman masing-masing tanpa dapat dicegah. Kematian
aneh yang berturut-turut dialami oleh keluarga mereka membuat penduduk menjadi
sangat takut untuk menetap lebih lama. Lagi pula sebagian besar penduduk disitu
sudah mengetahui bahwa dalam menghadapi malapetaka kematian aneh itu Ki Dukun
tidak mampu memberikan pertolongan.
Di
kejauhan kembali terdengar salakan anjing. Sunyi kembali. Lalu lapatlapat
terdengar suara derap kaki kuda. Makin lama makin keras tanda makin dekat. Tak
lama kemudian sosok kuda bersama penunggangnya muncul memasuki pekarangan rumah
Ki Dukun Japara. Orang tua bermata juling ini cepat bangkit berdiri dan
menyongsong kedatangan si penunggang kuda, yang saat itu telah berhenti sejarak
sepuluh langkah dibawah bayang-bayang gelap pohon besar disamping rumah
panggung.
“Saya
menunggu petunjukmu lebih lanjut, Ki Sanak…” berkata Ki Dukun Japara begitu
sampai di hadapan si penunggang kuda yang berpakaian serba hitam dan ternyata
menutup kepalanya dengan sehelai kain hitam hingga hanya sepasang matanya saja
yang kelihatan.
“Apakah
kau menjalankan tugasmu dengan baik Ki Dukun Japara?” Orang diatas kuda
bertanya dengan suara datar.
“Sesuai
permintaan Ki Sanak tempo hari, semua sudah saya lakukan…”
“Berapa
korban yang kau dapat…?”
“Keseluruhannya
seharusnya dua ratus sembilan belas orang. Namun tiga puluh dua orang
diselamatkan dan dapat hidup kembali…”
Sepasang
mata penunggang kuda nampak membeliak. “Apa maksudmu tiga puluh orang
diselamatkan dan hidup kembali?!” Suara orang yang wajahnya tidak kelihatan itu
menyentak dan berubah galak.
“Sesuatu
terjadi empat malam lalu,” menerangkan Ki Dukun Japara. “Ada sekitar lima lusin
penduduk datang kemari untuk minta pertolongan. Seperti petunjukmu, saya
mengatakan tak bisa menolong karena ini adalah perbuatan Dedemit Karang Gontor
yang tengah murka. Namun saat itu tiba-tiba saja muncul seorang pemuda tak
dikenal yang mampu menolong lebih dari separoh korban yang berdatangan kemari…”
“Siapa
adanya pemuda itu?!”
“Saya
tidak mengenal sebelumnya. Dia mengaku orang gunung. Bernama Wiro Sableng…”
“Kau
melakukan kesalahan besar Ki Dukun…!” Orang di atas kuda mendengus.
“Ke…kesalahan
apa yang saya buat Ki Sanak?” tanya Ki Dukun Japara dengan suara tercekat.
“Mengapa
kau biarkan orang itu memberikan pertolongan?!”
“Saya
sudah berusaha mencegahnya Ki Sanak, namun dia bertindak cepat sekali. Dan
celakanya keluarga para korban ikut membantu…”
“Jelaskan
bagaimana caranya pemuda itu memberikan pertolongan? Apa dia membawa obat atau
apa…?”
“Mula-mula
dia menotok tubuh para korban di beberapa bagian. Lalu menekan bagian perut
hingga korban siuman dan memuntahkan ludah hitam pekat. Setelah itu dia
memberikan air perasan daun sirih…!”
“Menotok!
Memberi minuman air sirih! Dan kau diamkan saja melakukan itu!”
“Saya
mencegahnya Ki Sanak. Tapi tak berhasil. Lagi pula saat itu si pemuda tampaknya
mulai curiga pada saya. Dia banyak bertanya pada orangorang yang ditolongnya.
Dan dia mengatakan bahwa apa yang dialami orangorang itu bukan karena dicekik
atau disedot dedemit, melainkan karena keracunan!”
“Ki Dukun
Japara…” Suara orang diatas kuda bergetar menahan amarah.
“Kau
harus mencari pemuda itu dan membunuhnya! Kau harus melakukan hal itu dalam
waktu tujuh hari! Kalau tidak lidahmu terpaksa kucabut agar kau tidak bisa
membuka mulut! Itu yang paling ringan hukuman bagimu. Jangan kira aku tidak mau
menebas batang lehermu!”
“Ki Dukun
Japara tertunduk dan lututnya terasa goyah.
“Apakah
kau telah mendapatkan para pembantu seperti yang kuperintahkan tempo hari…?”
Orang diatas kuda bertanya.
“Sudah Ki
Sanak, Saya mendapatkan tiga orang. Mereka telah menyebar kemana-mana…”
“Tiga
orang masih kurang. Paling tidak kau harus mendapatkan sepuluh orang. Dan
masing-masing satu dari sepuluh itu harus mendapatkan lagi paling tidak lima
pembantu! Kau mengerti Ki Dukun Japara?!”
“Saya
mengerti Ki Sanak…” jawab orang tua bermata juling itu.
Dari
kantong besar di pelana kudanya orang berpakaian serba hitam mengeluarkan
sebuah kantong kain yang tampak berat lalu melemparkan di depan kaki Ki Dukun
Japara.
“Itu
bekal tugasmu yang baru. Bagikan pada semua pembantumu. Mulai saat ini gerakan
kalian bukan hanya di pinggiran Kotaraja, bukan cuma di desadesa atau di
kampung-kampung, tapi harus menyusup ke dalam Kotaraja. Dan jika kau mampu
masuk ke dalam Keraton di Barat, imbalan bagimu akan kulipat gandakan sampai
lima kali!”
Ki Dukun
Japara tak berani menjawab karena dia tahu adalah mustahil baginya menyusup ke
dalam Keraton melakukan apa yang diinginkan orang itu.
Dari
balik pakaiannya si penunggang kuda mengeluarkan sebuah kantong kecil yang
ketika dipegang terdengar mengeluarkan suara berdering.
“Karena
telah membuat kesalahan, imbalanmu kali ini hanya sepertiga dari yang
dijanjikan. Itu masih lebih baik dari pada kau menerima hukuman!”
Kantong
kain kecil berisi uang itu dilemparkan ke muka Ki Dukun Japara.
Karena
tak berani menyambuti, kantong, itu jatuh ke tanah. Ketika si penunggang kuda
hendak berlalu, Ki Dukun Japara beranikan diri membuka mulut.
“Ki
Sanak, aku mengulangi lagi pertanyaanku tempo hari. Siapakah kau ini
sebenarnya…?!”
“Ki Dukun
Japara, jika aku datang sekali lagi dan kau berani mengulangi pertanyaan itu
kembali, maka hanya ada satu hukuman bagimu. Mampus!”
Habis
berkata begitu orang berpakaian serba hitam yang wajahnya tersembunyi dibalik
kain hentakkan Tali kekang kudanya. Binatang itu menghambur ke depan,
menyerempet Ki Dukun Japara hingga orang tua itu terpelanting dan jatuh jungkir
balik di tanah. Ketika dengan kesaktian dia berusaha bangkit si penunggang kuda
sudah lenyap. Tertatih-tatih Ki Dukun Japara mengambil kantong besar dan
kantong kecil berisi uang. Sesaat dia tertegak diam. Lalu kantong uang
dimasukkannya ke balik pinggang pakaian. Dengan tangan gemetar dia kemudian
membuka ikatan kantong kain yang besar. Meskipun halaman itu gelap namun benda
yang ada di dalam kantong, berupa bdbuk putih kelabu nampak berkilauan.
“Bubuk
racun celaka…” desis Ki Dukun Japara.
“Ah,
mengapa akujadi terlibat dalam urusan jahanam ini…” Dia menghela nafas panjang
berulang kali. Namun disadarinya tak ada gunanya menyesal.
Ratusan
rakyat yang tidak berdosa telah jadi korbannya dan para pembantunya!..
****************
5
ANGIN
LAUT SELATAN bertiup kencang dari arah teluk. Menerpa ke daratan, melewati
pucuk-pucuk pepohonan kelapa lalu menghantam bukit batu yang menghitam angker
dalam kegelapan malam. Di atas bukit batu paling tinggi tampak sebuah batu
karang besar. Selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun batu karang itu tegak
menjulang di tempat tersebut, dikikis angin setiap saat, diterpa panas pada
siang hari, dihantam hujan, sehingga akhirnya secara aneh alam membentuk batu
karang itu menyerupai seorang lelaki memakai caping dan duduk menghadap ke
laut.
Ombak di
teluk selalu besar dan deras sepanjang tahun. Itu sebabnya tak kelihatan
sebuahpun rumah penduduk disitu. Bagian teluk yang hanya dipenuhi oleh
bebukitan batu itu membuat hampir tak ada orang yang datang kesitu. Bukan saja
karena memang sulit untuk mendaki bukit batu tersebut, namun juga disebabkan
oleh tersiarnya cerita bahwa daerah tersebut adalah tempat bercokol atau
sarangnya dedemit. Penduduk menyebut bukit itu dengan nama Karang Gontor dan
dengan sendirinya dedemit yang menghuninya disebut juga Dedemit Karang Gontor.
Walau
tadi dikatakan Karang Gontor hampir tak pernah didatangi manusia, namun adalah
satu keluar kebiasaan kalau hari Kamis malam Jum’at Kliwon itu tampak dua
penunggang kuda melesat diatas kuda masing-masing menuju kaki bukit. Disalah
satu bagian bukit mereka meninggalkan tunggangan mereka lalu meneruskan
perjalanan dengan jalan kaki. Dan arah yang mereka tuju adalah justru puncak
bukit tertinggi. Puncak Karang Gontor!
Melihat
pada cara mereka mendaki bukit batu yang setengah berlari, jelas kedua orang
itu memiliki ilmu lari serta ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ketika bulan
di langit muncul dibalik awan kelabu, wajah kedua orang itu kelihatan lebih
jelas. Ternyata mereka adalah dua orang tua lanjut usia yang telah sama-sama
berambut putih.
Yang satu
memakai pakaian ringkas berwarna biru muda. Satunya lagi biru gelap dan membawa
sebuah bungkusan. Ketika kembali rembulan disaput awan dan keadaan di Seantero
bukit batu menjadi gelap. Dua orang tua itu mempercepat lari masing-masing
hingga tak berapa lama kemudian keduanya sampai di puncak bukit batu dimana
terdapat batu karang tinggi besar berbentuk orang duduk memakai caping. Terpaan
angin keras sekali dan dingin bukan main. Tapi dua orang tua itu tenang-tenang
saja. Pakaian dan rambut putih mereka tampak berkibar-kibar. Untuk beberapa
lamanya mereka memandangi batu karang besar di depan mereka. Lalu memandang
berkeliling.
Orang tua
di sebelah kanan, yang berpakaian biru muda memandang ke arah teluk. Laut
tampak hitam dalam kegelapan. Ombak besar mendebur keras diatas pasir teluk.
Orang tua ini berpaling pada kawan disampingnya lalu bertanya: “Bagaimana, bisa
kita mulai…?
“Sebaiknya
kita mulai saja. Agar cepat selesai dan kembali ke Kotaraja…”
“Terus
terang aku menyangsikan adanya mahluk halus yang mendekam di sini. Kalau bukan
Sri Baginda yang memerintahkan, jangan harap aku mau melaksanakannya!”
“Apa yang
kau katakan juga merupakan pendapatku, Suro Markum,” menyahuti kakek satunya.
Lalu orang tua berpakaian biru gelap ini membuka bungkusan yang dibawanya.
Isinya ternyata sebuah pendupaan lengkap dengan arangnya. Pendupaan itu
diletakkannya di atas batu, tepat di hadapan batu karang besar tinggi. Lalu
dibantu oleh kawannya, dengan susah payah dia mulai menyalakan arang di dalam
potong arang dapat dibakar hidup. Potongan arang yang telah hidup merembet
membakar potongan-potongan arang lainnya hingga kesudahannya seluruh arang
dalam pendupaan itu menyala terang.
Dari
dalam saku pakaiannya orang tua bernama Suro Markum mengeluarkan sebongkah
kemenyan. Benda ini diremasnya hingga menjadi kepingan-kepingan kecil lalu
dengan mulut komat kamit membacakan sesuatu, hancuran kemenyan itu
ditebarkannya diatas bara yang menyala. Sekejapan saja Seantero puncak Karang
Gontor itu telah tenggelam dalam bau kemenyan hingga suasana ditempat itu
menjadi terasa sangat angker.
Orang tua
bernama Suro Markum berbisik pada kawannya “Tapak Jingga, kau membaca doa
pertama dan ketiga, aku doa kedua dan ke empat. Lalu-kita sama-sama mengakhiri
dengan doa kelima…”
Orang tua
bernama Tapak Jingga mengangguk. Lalu dua orang itu duduk bersila di atas batu,
letakkan tangan diatas ujung lutut dengan tapak membuka menghadap ke atas.
Masing-masing sama memejamkan mata dan Tapak Jingga mulai melaratkan doa
pertama.
Selesai
doa kelima yang dibacakan bersama-sama Suro Markum angkat kedua tangannya
tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya menyerukan kalimat demi kalimat.
“Penghuni
Karang Gontor…Siapapun engkau adanya, mahluk gaib atau mahluk halus, kami
berdua Suro Markum dan Tapak Jingga datang membawa salam persahabatan. Jika kau
memang mahluk yang disebut Dedemit Karang Gontor maka ketahuilah, kedatangan
kami kemari bukan untuk mengganggumu. Kami diutus oleh Sri Baginda Raja untuk
menyampaikan pesan, agar kau Dedemit Karang Gontor sudilah untuk tidak lagi
mengganggu rakyat Kerajaan. Jika selama ini ada hal-hal yang tidak berkenaan
dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, kami mohon maafmu. Kami datang
membawa kembang tujuh rupa, telur ayam tujuh butir, madu tujuh mangkuk dan
rokok putih tujuh batang. Lalu dari bungkusan yang tadi dibawa Tapak Jingga
dikeluarkan bendabenda yang disebutkan itu, diletakkan diatas daun beralaskan
kain putih dan dikembangkan di atas batu. Suro Markum memberi isyarat pada
kawannya.
Tapak
Jingga lalu mengangkat tangan dan meneruskan kata-kata Suro Markum tadi.
“Dedemit
Karang Gontor, Raja kami percaya bahwa kau adalah sahabat
Sri
Baginda dan Kerajaan. Kami semua percaya kau tidak akan mengganggu lagi rakyat.
Kerajaan dengan kematian-kematian aneh itu. Kami minta diri sekarang…”
ketika
kedua orang tua itu bersiap-siap untuk bangkit, tiba-tiba ada suara menderu
disertai sesuatu yang melesat ke arah pendupaan. Lalu wuuuuusss! Bara menyala
di atas pendupaan padam dan asap mengepul!
“Ada yang
menyiramkan air…!” bisik Tapak Jingga dengan suara kelu. Baik dia maupun
kawannya menjadi sama-sama pucat saking kagetnya.
“Cerita
tentang Dedemit Karang Gontor ternyata bukan isapan jempol belaka…Mahluk itu
benar-benar ada!” balas berbisik Suro Markum. Tengkuk kedua orang tua itu serta
merta menjadi dingin!
Saat
itulah terdengar suara tawa mengekeh dari balik batu karang tinggi besar. Bukan
suara tawa mengekeh biasa, karena jelas bukit batu itu terasa bergetar! Makin
pucatlah wajah kedua orang tua utusan Sri Baginda itu. Tapak Jingga seperti
hendak terkencing di celananya!
“Dedemit
Karang Gontor…Rupanya…rupanya kau ada disini. Kau tentu telah mendengar
kata-kata kami tadi. Kami datang sebagai sahabat…” berkata Suro Markum.
“Be…
benar…Kami datang membawa salam persahabatan dari Sri Baginda…” menimpali Tapak
Jingga.
Tawa
mengekeh dari balik batu karang besar semakin keras.-Makin keras lalu tiba-tiba
lenyap. “Berganti dengan suara membentak yang membahana diantara deru angih
dari teluk.
“Dua tua
bangka tolol! Sejak kapan Dedemit Karang Gontor doyan makan kembang…!
Tapak
Jingga dan Suro Markum saling pandang dengan muka pucat.
“Lekas
kau jawab…” bisik Tapak Jingga.
“Dedemit
Karang Gontor, harap dimaafkan. Kembang tujuh rupa itu kami bawa memang bukan
untuk dimakan”
“Tolol!”
terdengar suara memaki dari balik batu. “Lalu telur ayam mentah itu, apa kau
kira aku Dedemit Karang Gontor suka makan telur mentah? Kenapa tidak kalian
rebus atau goreng lebih dahutu sebelum dibawa kemari?! Tolol!”
“Mohon
kami dimaafkan Dedemit…” kata Suro Markum ketakutan.
“Tujuh
mangkuk madu racun itu buat apa?! Tolol! Kalian kira aku Dedemit Karang Gontor
doyan makan madu tanpa roti?! Tolol!”
“Maafkan
kami Dedemit Karang Gontor…” kini Tapak Jingga yang bicara.
“Rokok
putih sebesar lidi itu untuk apa? Untuk mengorek telingaku? Tolol! Kalian
seharusnya membawa serutu besar! Bukan rokok putih kecil! Biar kusumpalkan
tujuh batang rokok itu ke mata kalian!”
“Maafkan
kami Dedemit Karang Gontor!” seru Tapak Jingga dan Suro Markum berbarengan
seraya beringsut mundur. Masing-masing sama alirkan tenaga dalam ke tangan kiri
kanan. Jika mahluk itu benar-benar hendak mencelakai mereka, tak ada jalan
lain. Melawan sebelum dibikin konyol!
“Dua tua
bangka tolol” Malam ini aku masih mau mengampunkan tindak tanduk kalian. Tapi
dengan satu syarat. Kalian telan habis semua persembahan yang kalian bawa itu.
Kembang, rokok, madu dan telur! Lakukan cepat! Kalau tidak kalian berdua tak
akan kembali lagi ke Kotaraja!”
“Celaka
kita Suro…” bisik Tapak Jingga.
Suro
Markum memberanikan diri berkata: “Kami akan lakukan apa yang kau perintahkan
Dedemit Karang Gontor. Madu dan telur akan kami makan habis. Tapi mohon maafmu.
Mana mungkin kami menelan rokok dan kembang itu!”
“Kalau
begitu biar tubuh kalian berdua yang akan kutelan. Daging kalian pasti sudah
alot! Tapi malam malam lapar dan dingin begini lebih baik dari pada makan
angin…” Terdengar suara tawa mengekeh. Kembali bukit karang itu bergetar. Lalu
terdengar suara bergemeletakan seperti suara geraham yang saling bergeseran
satu sama lain. Menyusul suara menggeram macam ada harimau yang hendak
menerkam!
“Dedemit
Karang Gontor!” pekik Tapak Jingga. “Jangan telan kami…Kami akan lakukan apa
yang kau katakan…” Lalu orang tua ini cepat menyambar mangkuk madu. Suro Markum
mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Satu demi satu madu dalam mangkok mereka
minum. Setelah habis mereka lalu pecahkan tujuh butir telur dan telan isinya.
Kini tinggal kembang dan rokok!
Dari
balik batu karang terdengar suara keras: “Bagus! Sekarang lekas telan kembang
lalu rokok itu! Berani membangkang kucabik tubuh kalian!”
Karena
benar-benar ketakutan setengah mati Suro Markum dan Tapak Jingga langsung
meraup kembang dan menyumpalkannya ke mulut masingmasing. Baru sekali mereka
mengunyah dari balik batu karang besar terdengar suara tertawa bergelak. Suara
tawa kali ini sangat lain dengan suara mengekeh tadi. Suara tawa yang mereka
dengar kini adalah suara tawa manusia!
Bersamaan
dengan itu dari balik batu karang muncul sesosok tubuh! Suro Markum dan Tapak
Jingga semburkan kembang tujuh rupa yang barusan hendak mereka telan. Memandang
tajam-tajam kedepan. Setelah pasti sekali bahwa sosok tubuh yang melangkah
sambil tertawa ke hadapan mereka itu adalah manusia biasa adanya, maka
membentaklah kedua orang tua ini dengan marah.
“Bangsat
siapa kau?!”
****************
6
YANG
DIBENTAK kembali tertawa bergelak. Sementara Tapak Jingga dan Suro Markum
memandang dengan mata berapi-api. “Seperti yang kalian lihat sendiri!”
berkata
orang yang muncul dari balik batu karang besar. “Aku manusia biasa seperti
kalian. Bukan mahluk halus atau mahluk gaib. Bukan pula Dedemit Karang Gontor
yang barusan sesajennya kalian lahap! Ha…ha…ha…!”
Sebagai
dua orang tokoh silat istana, walaupun dari tingkat ke tiga, bukan saja dua
orang tua itu menjadi sangat malu, namun sekaligus juga menjadi sangat marah
karena merasa dipermainkan!
“Anak
muda! Kau telah lancang mempermainkan kami! Bersiaplah untuk menerima
pembalasan!” teriak Tapak Jingga. Lalu dia melompat ke arah si pemuda dan
menghantam dengan tangan kanannya. Suro Markum tidak tinggal diam. Dia
menghambur sambil lepaskan satu jotosan!
Dua
serangan itu ternyata bukan serangan biasa. Tapi yang bisa membawa risiko
kematian. Karena Tapak Jingga menghantam ke arah dada di bagian jantung sedang
Suro Markum menggebuk ke arah batok kepala!
“Sabar!
Tunggu dulu!” berseru si pemuda. Lalu dengan gerakan aneh, seperti orang mabok
terhuyung-huyung dia sudah berpindah tempat, menjauh beberapa tombak. Dua
serangan tadi hanya sempat melabrak tempat kosong!
Inilah
ilmu silat “orang gila” ciptaan kakek sakti bernama Tua Gila yang merupakan
salah seorang datuk silat di pulau Andalas. Ketika berkelana di pulau itu murid
Sinto Gendeng sempat bertemu dengan Tua Gila bahkan menerima beberapa jurus
utama ilmu silat “orang gila” tersebut. Dalam perkelahian di tempat sempit
seperti di puncak bukit karang itu, ilmu silat ini sangat cocok dipakai
menghadapi lawan!
Kini
kagetlah kedua orang tua itu melihat bagaimana serangan mereka mampu dielakkan
lawan dengan gerakan seperti acuh tak acuh saja!
“Kalian
berdua dengar dulu!” kembali si pemuda berseru. “Jika kalian berdua memang
orang-orang Kerajaan maka kita adalah orang satu golongan! Kenapa ribut-ribut
harus berkelahi?!”
“Kami
tidak mengenal manusia kurang ajar sepertimu! Apalagi merasa satu golongan!”
bentak Suro Markum. Lalu dia berkata pada kawannya. “Tapak Jingga, mari kita
bunuh pemuda kurang ajar ini biar rohnya benar-benar jadi dedemit di tempat
ini!”
“Walah!
Kalau aku jadi dedemit, kalian berdualah yang akan kucari lebih dulu! Kusedot
ubun-ubunnya sampai mampus dengan muka biru mata mendelik!
Suro
Markam dan Tapak Jingga yang kembali hendak menyerbu menjadi terkejut dan
seseat hentikan serangan mereka.
“Tapak
Jingga…Kelihatannya pemuda ini ada sangkut pautnya dengan kematian aneh ratusan
rakyat di Kerajaan!”
“Jangan-jangan
dialah yang menjadi pangkal bahalanya!” menyahuti Tapak Jingga.
“Pemuda
kurang ajar! sebelum nyawamu lepas dan bangkaimu kami buang ke teluk di bawah
sana, lekas katakan siapa dirimu. Apa sangkut pautmu dengan kematian aneh
penduduk Kerajaan!”
Si pemuda
tertawa lebar mendengar bentakan Suro Markum itu.
“Aku
tidak punya sangkut paut dengan kematian rakyat Kerajaan itu!” jawabnya.
“Beri
tahu namamu! Juga gelar kalau kau memilikinya! menghardik Tapak Jingga.
“Namaku
Wiro Sableng. Orang sableng macamku tentu saja tidak memiliki gelar!” jawab si
pemuda yang ternyata adalah murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
“Pemuda
konyol kurang ajar! Jika kau tidak ada sangkut paut dengan malapetaka aneh di
Kerajaan, mengapa kau mengetahuinya dan ada keperluan apa kau berada di Karang
Gontor ini?!”
“Aku
kesini untuk menyelidiki hal ihwal dedemit itu. Tapi caranya tidak sama dengan
kalian. Kalian berdua memulai dengan dasar mempercayai bahwa mahluk bernama
Dedemit Karang Gontor itu memang ada! Sedang aku untuk membuktikan bahwa mahluk
itu sama sekali tidak ada, sekaligus untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang
menjadi biang keladi, bersembunyi dibalik sandiwara maut ini!”
“Siapa
percaya ucapanmu!” bentak Tapak Jingga.
“Siapa
minta kau percaya ucapanku!” tukas Pendekar 212 pula. “Dua tokoh silat istana
mau-mauan percaya pada dedemit, mengantar sesajen segala, berdoa yang
bukan-bukan! Kalau kusebut kalian berdua tolol apakah salah?!”
Merah
padam wajah kedua orang tua itu. Karena tak sanggup menahan marah, keduanya kembali
menyerbu Wiro. Kembali pendekar itu keluarkan jurusjurus silat Tua Gila.
Tubuhnya sempoyongan, berputar-putar, kadang-kadang berjingkrak kian kemari!
Dan semua gerakan aneh serta lucu yang dibuat oleh Wiro selalu berhasil
mengelakkan keroyokan serangan dua tokoh silat Kerajaan itu!
Sebelas
jurus menyerang terus tanpa hasil lalu lima jurus lagi dan tetap tak berhasil,
Suro Markum dan Tapak Jingga saling memberi isyarat. Keduanya keluarkan suitan
keras dan dikejapan itu juga tubuh mereka seolah lenyap ditelan kegelapan.
Walau
kini kehilangan kedua lawannya namun sepasang telingnga Pendekar 212 dapat
mendengar siuran-siuran angin disekitarnya pertanda bahwa dua lawan itu masih
ada disitu dan terus menyerangnya. Wiro lindungi diri dengan lepaskan terus rnenerus
pukulan sakti bernama “benteng angin berhembus tindih menindih” Deru angin
menggelegar di puncak bukit karang itu. Dua tokoh silat istana sama terkejut
ketika setiap kali berusaha mendekat untuk melancarkan serangan, tubuh mereka
terpental disapu oleh angin pukulan lawan!
Sambil
berteriak marah Suro Markum dan Tapak Jingga perlihatkan kembali sosok tubuh
mereka. Keduanya tidak menyangka ilmu “lenyap selaksa” yang barusan mereka
keluarkan begitu mudah dipatahkan lawan hingga terpaksa keduanya memperlihatkan
diri kembali dan lanjutkan serangan-serangan. Jurusjurus yang mereka pergunakan
kali ini adalah jurus serangan berantai yang dilancarkan sambil memutari lawan.
Di tempat sempit seperti di atas bukit,karang tersebut, jurus-jurus serangan
ini memang ampuh karena sedikit demi sedikit mereka memperciut lingkaran
serangan dan akhirnya Pendekar 212 terjepit di tengah-tengah!
Beberapa
kali serangan lawan mulai menyengat menghajar murid sinto Gendeng. Sambil
menahan sakit Wiro bergerak menuju pinggiran pedataran batu sebelah kanan.
Begitu dia sampai di pinggiran batu, serta merta dua penyerang tak bisa lagi
mengelilinginya, kecuali mau jatuh ke teluk dibawah sana!
Suro
Markum memaki melihat kecerdikan pemuda ini. Mau tak mau dia dan Tapak Jingga
harus berkelahi lagi secara berhadap-hadapan. Namun baik Tapak Jingga maupun
Suro Markum mereka kini melihat adanya peluang untuk mencelakakan lawan.
Sekalipun mereka sulit untuk menggebuk langsung, asal mereka bisa menggeser
kedudukan kedua kaki Wiro ke belakang, maka pemuda itu tak ampun lagi akan
jatuh ke dasar teluk! Itulah sebabnya kini kedua tokoh silat istana itu
melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah kedua kaki Wiro.
Berulang
kali Pendekar 212 harus melompat ke atas sambil membagi serangan balasan pada
kedua penyerangnya. Tapi dua orang itu selalu berhasil mengelak bahkan terus
menyerbu tak mau memberi kesempatan bagi Wiro untuk dapat menyingkir dari tepi
bukit batu.
“Edan,
tadi aku mengharap bisa lepas dari serangan melingkar dan menjepit. Kini malah
keadaanku tambah berbahaya!” memaki Wiro dalam hati. Sambil melayani dengan
hati-hati serangan dua lawan, Wiro memutar otaknya. Dia sebenarnya tidak ada
silang sengketa dengan dua orang tokoh silat istana itu. Tidak ada gunanya
melepaskan pukulan-pukulan sakti seperti pukulan “sinar matahari” Namun jika
dia terdesak terus dan tak sanggup keluar dari pinggir “bukit batu itu, lambat laun
dia pasti kena gebuk atau tergelincir jatuh!
Setelah
memutar otak beberapa lama, tiba-tiba Wiro keluarkan bentakan keras. Meskipun
dua lawan berpengalaman itu tidak terpengaruh oleh bentakan itu, Wiro teruskan
apa yang direncanakannya. Secepat kilat dia jatuhkan diri di pinggiran bukit
batu. Bersamaan dengan jatuhnya tubuhnya kebawah, Wiro menelikung kedua kaki
Suro Markum dengan tangan kiri sedang kakinya menjepit salah satu kaki Tapak
Jingga.
Dua orang
itu terkejut ketika tubuh mereka tertarik ke pinggiran bukit batu. Selagi
mereka berusaha melepaskan diri. Wiro sudah lebih dulu menotok tubuh Suro
Markum hingga orang tua ini jatuh tak berkutik dalam kempitan tangan kirinya.
Sebagian tubuh Suro Markum berada diatas batu, sebagiannya lagi yaitu sebatas pinggang
ke atas tergantung diatas teluk! Tentu saja orang tua ini ketakutan setengah
mati kalau dirinya dalam keadaan tertotok kaku itu sempat jatuh ke arah
batu-batu karang dibawah sana!
Tapak
Jingga berhasil lepaskan dirinya dari jepitan kaki Wiro dan siap menghujamkan
satu tendangan ke arah bawah perut pendekar itu. Namun orang ini batalkan
serangannya. Meskipun dia sempat menciderai Wiro, belum tentu dia bisa
menyelamatkan kawannya. Sekali tubuh Wiro mencelat dihantam tendangannya, maka
Suro Markum yang ada dalam jepitan tangan kiri Wiro akan ikut mencelat jatuh ke
bawah teluk!
Melihat
lawan ragu, kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk balikkan tubuh lalu
berdiri dengan cepat. Ketika berdiri, tubuh kaku Suro Markum sudah berada di
bahu kanannya!
“Tapak
Jingga! Sedikit saja kau bergerak hendak menyerangku, kulempar tubuh kawanmu
ini ke batu-batu karang dibawah teluk!”
“Manusia
licik” maki Tapak Jingga.
Wiro”
tertawa lebar. “Sekali-kali perlu kelicikan. dalam hidup ini! Apa kau dan
kawanmu tidak merasa licik? Sebagai tokoh silat istana mengeroyok seorang
lawan?!”
Tapak
Jingga tidak menjawab. Hanya mukanya saja yang jadi merah dalam kegelapan.
Pendekar
212 perlahan-lahan turunkan tubuh kaku dan bisu Suro Markum. Bagitu kedua kaki
Suro menginjak tanah, Wiro lepaskan totokan ditubuh orang tua itu lalu
mendorongnya kuat-kuat ke arah kawannya. Tapak Jingga cepat menahan tubuh Suro
Markum. “Kau tak apa-apa Suro…?”
“Aku
tidak cidera. Siapa sebenarnya pemuda itu? Ilmu silatnya aneh.
Kalau dia
mau tadi dia bisa melemparkanku ke jurang batu di bawah teluk…” kata Suro
Markum pula.
“Aku
berniat menyerangnya lagi. Kita belum mencoba jurus-jurus ilmu silat selusin
tangan besi…” menyahuti Tapak Jingga.
“Aku tak
punya selera lagi meneruskan perkelahian ini Tapak Jingga, lagi pula aku punya
firasat, kita berdua belum tentu mampu mengalahkan pemuda gondrong itu…”
“Kalau
begitu sebaiknya kita tinggalkan bukit Karang Gontor ini! Aku tidak mau pemuda
sableng itu mengejek dan mempermainkan kita seperti tadi!”
Tapak
Jingga memberi isyarat pada kawannya. Tapi Suro Markum tetap berdiri di
tempatnya bahkan menegur Pendekar 212.
“Anak
muda, siapa kau sebenarnya? Tadi kau menyebut sebagai orang segolongan dengan
kami. Apa maksudmu…?”
“Bukankah
kalian tengah menyelidiki perkara malapetaka kematian begitu banyak penduduk
yang terjadi akhir-akhir ini…?”
Tapak
Jingga dan Suro Markum sama mengiyakan.
“Nah
akupun melakukan hal yang sama. Penyelidikanku memberi kenyataan bahwa semua
korban yang mati biru itu bukan karena dicekik atau disedot dedemit. Tapi semua
mati keracunan!”
“Keracunan?!”
mengulang Suro Markum.
“Ada
orang yang sengaja meracun. Entah makanan atau minuman mereka. Karena Dedemit
Karang Gontor disebut-sebut dan dikaitkan dengan peristiwa ini maka aku
menyelidik sampai disini. Ternyata aku tidak menemukan apa-apa. Kecuali kalian
berdua yang mula-mula sempat kusangka kaki tangan dedemit itu!”
“Jika
rakyat yang mati memang adalah korban keracunan seperti katamu, ini adalah satu
hal aneh luar biasa!” ujar Suro Markum. “Pertama, siapa yang mau-mauan, begitu
tega meracuni rakyat? Kedua apa maksud mereka…melakukan peracunan…?”
“Kutambahkan
satu pertanyaan lagi!” menyambung Wiro. “Di Kotaraja dan di Keraton begitu
banyak ahli pengobatan. Mengapa tak satu orangpun mengetahui dan mengatakan
bahwa korban adalah akibat keracunan, bukan dibunuh oleh dedemit!”
Mendengar
kata-kata Wiro itu Suro Markum dan Tapak Jingga jadi saling pandang.
“Pemuda
ini benar, Tapak Jingga. Ada yang tidak beres di Kotaraja. Kita harus cepat
kembali…” bisik Suro Markum pada kawannya. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Anak
muda, malam ini kami yang tua mendapat pelajaran berguna darimu. Kami tidak
akan melupakan hal ini. Kami berharap dapat berjumpa denganmu di lain
kesempatan…”
“Kalau
boleh aku bertanya, untuk siapakah kau bekerja melakukan penyelidikan?” tanya
Tapak Jingga.
“Untuk
orang-orang yang jadi korban itu. Untuk kebenaran…!” jawab Wiro lalu memutar
diri dan tinggalkan kedua erang tua itu lebih dahulu.
****************
7
HUJAN
GERIMIS TURUN bersamaan dengan lenyapnya rembulan dibalik awan tebal. Udara
dingin mencucuk tulang dan kesunyian mencengkam desa Tanggul Rejo yang terletak
jauh di tenggara Kotaraja.
Bersamaan
dengan bertiupnya angin malam, dari kelokan jalan muncul dua penunggang kuda.
Keduanya mengenakan pakaian hitam dan wajah masing-masing ditutup dengan cadar
sebatas mata. Anehnya dua orang ini sengaja menunggang kuda dengan langkah
sangat perlahan sehingga derap delapan kaki kuda tunggangan itu hampir tidak
terdengar. Sambil bergerak keduanya memandang kekiri dan ke kanan,
memperhatikan setiap bidang tanah yang mereka lewati, meneliti rumah-rumah
penduduk yang terletak saling berjauhan.
“Kau
lihat tambak ikan di sebelah sana…,” penunggang kuda disebelah kanan berbisik
pada kawannya.
“Ah,
matamu tajam sekali kawan. Itu sasaran paling empuk yang kita temui malam ini.
Kau atau aku…?”
“Jika kau
mau silahkan saja…”
Mendengar
ucapan kawannya itu penunggang kuda disebelah kanan segera turun dari kudanya.
“Tunggu aku di tempat gelap sana. Awasi keadaan sekitar sini. Jika ada bahaya
lekas beri tanda…” kata orang itu begitu turun dari kuda. Lalu dia melangkah
mengendap-endap ke arah sebuah tambak ikan. Dikejauhan kelihatan sebuah rumah
berada dalam keadaan gelap. Begitu sampai di-tepi, tambak ikan, orang ini
memandang dulu berkeliling. Ketika dirasakannya aman, cepat-cepat dia
mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kulit kerbau yang ujungnya
diikat kencang dengan seutas tali. Dengan cepat dibukanya tali ini lalu dari
dalam kantong yang kini terbuka ditebarkannya sejenis bubuk berwarna putih
kelabu ke dalam tambak. Setelah itu kantong kulit diikatnya kuat-kuat lalu
dengan cepat dia kembali menemui kawannya.
“Selesai…?
bertanya kawan yang menunggu.
“Beres!”
jawabnya seraya melompat naik ke atas punggung kuda. Dari situ kedua orang
bercadar hitam itu melanjutkan perjalanan memasuki desa Tanggul Rejo lebih ke
dalam. ‘Seperti tadi, keduanya tak mau memacu kuda tunggangan, melainkan
bergerak perlahan”
“Sebentar
lagi sudah lewat tengah malam…” ‘Penunggang kuda di sebelah kiri berkata.
“Menurut penyelidikanku ada sekitar empat puluh rumah di desa ini. Berarti ada
empat puluh sumur yang harus kita kerjakan. Menurutmu apa kita punya waktu
melakukannya…?”
“Sesuai
petunjuk, tak perlu semua sumur kita kerjakan. Jika dapat separuhnya saja itu
sudah cukup…Nah, lihat. Di depan sana ada rumah. Kulihat sebuah sumur di
sebelah belakang. Giliranmu turun tangan, kawan…Aku akan mendatangi rumah di
sebelah sana. Lekas bergabung jika pekerjaanmu selesai…”
Dua penunggang
kuda berpisah. Satu jalan terus, lainnya membelok ke kanan, memasuki pekarangan
besar sebuah rumah, langsung menuju ke halaman belakang dimana terdapat sebuah
sumur.
Di tepi
sumur, tanpa turun dari kudanya orang itu mengeluarkan sebuah kantong kulit,
membuka ikatannya. Lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong dituangkannya
sedikit ke dalam sumur! Sehabis memasukkan bubuk itu ke dalam sumur, dia
cepat-cepat mengikat kantong kulit, simpan kembali kantong itu dibalik
pakaiannya lalu bergerak memutar kudanya. Pada saat itulah terdengar suara
anjing menggonggong. Mula-mula hanya seekor saja, namun sesaat kemudian ada
setengah lusin anjing yang berlompatan dari tempat gelap. Keenam anjing itu
mengerubungi kuda sambil terus menyalak.
“Celaka!”
keluh si penunggang kuda. Dia cepat menyentakkan tali kekang kuda
tungganggannya. Binatang ini meringkik keras. Hampir bersamaan dengan ringkikan
itu, dari arah rumah terdengar suara membentak: “Siapa diluar?!” Lalu terdengar
suara pintu terbuka. Menyusul suara tongtong yang dipukul terus menerus. Suara
tongtongan dari arah rumah itu dalam waktu cepat mendapat sambutan dari
berbagai jurusan.
Si
penunggang kuda menjadi panik. Dia memacu kudanya sekencangkencangnya tetapi
enam ekor anjing tadi ternyata ikut mengejar. Hatinya tercekat ketika di depan
sana dilihatnya ada serombongan orang. Tangan kiri memegang obor, tangan kanan.
membawa berbagai macam senjata!
Melihat
hal ini penunggang kuda itu cepat memutar kudanya ke arah dari mana dia datang
sebelumnya. Namun dari arah itupun bermunculan banyak sekali orang yang membawa
obor serta senjata! Dari kedua ujung jalan dua rombongan orang itu mendatangi
dengan cepat seraya berteriak-teriak.
‘Tangkap!
Bunuh penebar racun!”
“Cincang
sampai lumat!”
“Gantung
kaki ke atas kepala ke bawah!”
Jantung
si penunggang kuda bercadar serasa copot. Terlebih lagi ketika dilihatnya dari
bagian gelap di kiri kanan jalan bermunculan pula orang-orang yang membawa obor
dan senjata. Menyadari dirinya terkurung di-tengah-tengah dan terancam bahaya
maut mengerikan orang itu menjadi nekad. Dia menggebrak kudanya berusaha
menerobos kepungan orang di sebelah selatan jalan. Dua orang pengurung
terjengkang dihantam kaki kuda. Tapi penunggangnya sendiri tak berhasil lolos.
Seseorang sempat menarik kakinya hingga tubuhnya terlontar dan jatuh terbanting
ke jalanan.
“Cincang!”
“Bunuh!”
Sebatang
golok menyambar membabat dada. Sebatang tombak menyorong ke depan. Traang!
Golok
yang seharusnya membacok kepala itu tertahan oleh batang tombak. Bersamaan
dengan itu ada orang yang berteriak. “Tunggu!”
Ternyata
dia adalah Kepala Desa Tanggul Rejo. Kepala Desa ini pula yang tadi menangkis
bacokan golok. Orang banyak mengeluarkan suara kemarahan dan kutuk serapah
ditujukan pada Kepala Desa itu.
Kepala
Desa cepat menguasai keadaan dengan berteriak: “Membunuh keparat penyebar racun
ini mudah saja! Aku ingin cepat-cepat menggorok lehernya mencincang kepalanya!
Tapi dengar! Kita harus menyelidik! Dia harus dipaksa memberi keterangan
mengapa dia menebarkan racun di desa kita! Siapa yang menyuruh!”
Mendengar
kata-kata Kepala Desa itu, orang banyak mengendur sedikit kemarahan mereka.
Namun seseorang masih sempat membetot Tepas kain hitam yang menutupi wajah
lelaki yang terbujur di tanah setengah bergelung. Tak satu orangpun mengenali
tampang manusia itu. Berarti dia bukan penduduk desa Tanggul Rejo.
Selagi
orang desa menahan amarah dan selagi Kepala Desa berbicara, orang yang
terguling di jalanan itu tidak sia-siakan kesempatan. Mati disadarinya memang
sudah jadi bagiannya. Tapi dia tidak mau mati dicincang dan ditembus puluhan
senjata. Maka dengan cepat dia keluarkan kantong kulit yang ada di balik
pinggangnya.
Lalu
cepat sekali dia menuangkan bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong kedalam
mulutnya yang dibuka lebar-lebar. Kejadian itu berlangsung cepat sekali, tidak
terduga oleh semua orang yang ada di tempat itu.
Tidak
perlu menunggu lama. Orang ini mulai melejang-lejang. Mukanya menjadi biru
sampai ke bibir. Sepasang mata membeliak. Dari tenggorokannya ada suara
menggeru lalu menyembur busah dan air berwarna hitam pekat.
“Kurang
ajar! Bangsat itu menenggak racun yang dibawanya sendiri!” teriak seseorang.
“Dia
bunuh diri!”
“Kita
terlambat!” teriak kepala desa lalu dengan marah ditendangnya kepala orang itu.
Apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan. Puluhan macam senjata berkelebat
menusuk dan menghunjam di sekujur tubuh orang itu. Mukanya tak bisa dikenali
lagi!
“Aku
yakin bangsat itu tidak datang sendirian!” seorang lelaki yang hanya mengenakan
celana pendek hitam berkata. Dia menurunkan obornya kesalah satu bagian
jalanan. Yang jauh dari kerumunan orang banyak. “Lihat!” katanya.
“Ditanah
ada jejak-jejak lebih dari seekor kuda. Paling tidak ada dua kuda yang lewat
disini!”
“Kalau
begitu kita harus menyebar lalu memeriksa setiap pelosok desa!” kata Kepala
Desa pula
“Aku
setuju!” seseorang menyahuti.
“jika
bangsat satu itu ketemu, tak perlu diberi waktu untuk bertanya segala. Gorok
lehernya! Cincang kepala dan tubuhnya! Habis perkara!” seorang penduduk desa
menimpali.
****************
8
DI MALAM
YANG SAMA, di desa Lebak Wangi yang terletak disebelah barat Kotaraja, seorang
penunggang kuda sejak tadi mendekam dibalik lumbung padi yang terletak di
pekarangan belakang sebuah rumah besar milik seorang hartawan yang puteranya
menjadi salah seorang Kepala Pasukan di Keraton Barat.
Di
halaman belakang itu, seorang lelaki tua tampak tengah merapikan susunan kayu
api. Orang yang mendekam dibalik lumbung padi sudah tidak sabaran. Matanya
pulang balik memperhatikan si orang tua dan sumur yang terletak hanya sepuluh
tombak saja di sebelah kiri lumbung padi. Tapi karena sumur itu berada di
halaman terbuka, jika dia mendekati mustahil orang tua itu tak akan melihatnya.
“Orang
tua celaka itu ada-ada saja yang dikerjakan!” memaki si penunggang kuda. “Apa
perlu kubereskan saja dia lebih dulu…”
Walaupun
sudah punya pikiran seperti itu, nyatanya orang dibalik lumbung memutuskan
untuk menunggu saja sampai orang tua di sebelah sana selesai dengan
pekerjaanya. “Kalau kayu api itu sudah disusunnya dengan rapi, pasti dia akan
masuk ke dalam rumah. “Begitu orang dibalik lumbung berpikir.
Tetapi,
setelah selesai merapikan kayu api, orang tua tadi kini malah mengambil sebuah
sapu lidi besar dan mulai menyapu.
“Sialan!”
runtuk orang dibalik lumbung… Dia raba golok di pinggang kirinya. Lalu bergerak
keluar dari balik lumbung.
Orang tua
yang tengah menyapu halaman angkat kepalanya dan berpaling ketika mendengar ada
suara telapak kaki kuda mendatangi.
Disangkanya
putera majikannya yang. datang.
“Raden…Kaukah
itu…?” tegurnya.
Namun
begitu penunggang kuda tersebut sampai di hadapannya terkejutlah orang tua itu.
Si penunggang kuda ternyata seorang berpakaian serba hitam yang wajahnya
ditutup dengan kain berwarna hitam pula!
“Rampok!”
desis orang tua itu. Sapu di tangannya dilemparkan. Dia memutar tubuh untuk
lari seraya berteriak. Namun dia hanya sempat memutar tubuhnya sedikit saja dan
sebelum mulutnya bisa berteriak, sebilah golok telah berkelebat dalam kegelapan
malam. Orang tua yang malang itu terhuyung nanar sambil menggapai-gapai ke
udara. Pangkal lehernya hampir putus. Darah mengucur. Dia berusaha keras untuk
berteriak, tapi hanya lidahnya yang terjulur. Setelah itu tubuhnya terhempas
jatuh ke tanah!
Orang
berkuda sarungkan kembali golok berdarah, lalu bergerak mendekati sumur. Di
tepi sumur dia mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat sepanjang satu
setengah jengkal yang ternyata adalah sebatang bambu kecil. Dengan cepat
dibukanya sumbat kain di salah satu ujung bambu lalu bubuk putih kelabu yang
ada dalam bambu itu dipercikkan-nya ke dalam sumur. Selagi dia melakukan hal
itu tiba-tiba dari dalam sumur melesat keluar dua buah tangan yang langung
mencekal pergelangan tangan si penunggang kuda. Penunggang kuda itu berteriak
saking kagetnya.
Lalu
terdengar suara kraaakk!
Untuk
kedua kalinya orang di atas kuda berteriak. Kali ini karena tulang lengangnya
telah dipatahkan oleh dua tangan yang mencuat keluar dari dalam sumur. Tabung
bambu berisi bubuk racun yang dipegangnya terlepas dan jatuh di pinggir sumur.
Tubuhnya sendiri terbetot jatuh dari atas punggung kuda.
Ketika
dia berusaha bangkit berdiri di hadapannya berdiri sesosok tubuh berpakaian
serba putih.
“Kurang
ajar! Bangsat ini rupanya! Bagaimana dia bisa mendekam sembunyi didalam sumur
itu!” me-runtuk orang yang patah tangannya. Tadi dia menyangka yang keluar dari
dalam sumur itu adalah sebangsa setan atau hantu malam!
“Ha…ha!
Matamu yang juling cukup kukenali! Tapi aku perlu melihat tampangmu!”
Sekali
tangannya bergerak, orang berpakaian putih berhasil menjambret lepas kain hitam
penutup wajah lelaki di hadapannya.
“Ki Dukun
Japara! Benar kau rupanya!”
“Pemuda
sableng! Kau ikut campur terlalu jauh! Nyawamu atau jiwaku!”
Si
pakaian hitam yang ternyata adalah Ki Dukun Japara, pergunakan tangan kirinya
untuk mencabut golok. Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, satu
totokan membuat tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya menjadi bisu.
“Dukun
bejat penebar racun! Sekarang kau ikut aku ke Kotaraja! Disitu nanti kau harus
bicara banyak sebelum Sri Baginda memerintah memisahkan kepala dan tubuhmu!”
Ki Dukun
Japara yang berada dalam keadaan kaku dan gagu hanya bisa memaki dalam hati.
Orang berpakaian putih yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng memungut
tabung bambu yang tercampak di tanah dan menyumpalkan penutupnya. Tabung berisi
racun itu disisipkannya di pinggang kiri. Lalu Wiro memanggui tubuh Ki Dukun
Japara dan meletakkannya diatas punggung kuda. Saat itulah melesat sebuah benda
dalam kegelapan. Wiro rundukkan kepala. Benda yang melesat lewat seujung kuku
dari pipi kanannya lalu menancap tepat di punggung kanan Ki Dukun Japara yang
menggeletak melintang di atas kuda! Benda itu ternyata adalah sebatang panah!.
“Pembokong
keparat!” maki Wiro. Dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
dahsyat ke jurusan dari mana datangnya panah itu.
Beberapa
pohon kecil dan semak belukar rambas namun si pembokong telah lebih dahulu
melarikan diri. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kudanya menjauh.
Wiro
segera memeriksa keadaan. Ki Dukun Japara dan jadi terkejut ketika melihat
wajah orang tua itu berubah kebiruan. Dirobeknya punggung pakaian Ki Dukun.
Kulit punggung itupun tampak membiru!
“Panah
beracun!” kertak Wiro. Dia menotok lagi beberapa bagian tubuh Ki Dukun Japara.
Lalu perlahan-lahan anak panah yang menancap di punggung orang tua itu
dicabutnya. Ketika diperhatikannya ujung runcing panah, tampak bagian itu juga
berwarna biru kehitaman.
“Aneh,
siapa yang menginginkan nyawa dukun keparat ini?” pikir
Pendekar
212 sambil garuk-garuk kepala. “Dia ternyata menjadi penyebar racun. Pasti cuma
kaki tangan atau pelaku biasa saja. Lalu yang jadi biang kerok mengotaki semua
kegilaan ini…?! Di Kotaraja semua akan tersingkap. Aku harus membawa dukun
sialan ini kesana secepatnya!”
Baru saja
Wiro hendak naik ke atas kuda dimana tubuh Ki Dukun Japara menggeletak
tiba-tiba dua penunggang kuda muncul di tempat itu. Yang pertama seorang pemuda
berseragam Perwira Muda Kerajaan, satunya lagi seorang dara berpakaian jingga
yang rambutnya dikuncir dan pada punggungnya tersembul gagang sebilah pedang.
“Hai!
Siapa kau?! Apa yang terjadi disini?!” bertanya Perwira Muda itu dengan suara
membentak sedang sang dara memandang dengan mata penuh selidik pada murid Sinto
Gendeng yang tertegak sambil pegangi anak panah.
****************
9
DARA DI
ATAS KUDA tiba-tiba berseru kaget ketika melihat dan mengenali sosok tubuh yang
menggeletak di halaman belakang. “Astaga! Itu si kakek Samino! Apa yang terjadi
dengan dirinya?!” Sang dara melompat dari atas kuda, langsung berlari ke arah
mayat orang tua yang terbujur di tanah. Lalu terdengar teriaknya “Kakak
Primadi! Pembantu kita ini sudah mati! Ada luka besar dipangkal lehernya!”
Pemuda
yang mengenakan seragam Perwira Muda Kerajaan itu jadi terkejut lalu melompat
turun dari punggung kudanya.
“Jelas
dia dibunuh!” desis Perwira Muda bernama Primadi itu.
Sreett!
Gadis
berpakaian jingga hunus pedangnya. Meskipun halaman belakang itu agak gelap
namun sinar pedang yang berwarna kebiruan jelas terlihat tanda pedang itu
adalah sebilah senjata mustika. Dan demikian cepatnya gerakan si gadis,
tahu-tahu ujung pedang sudah menempel di perut Pendekar 212!
“Ah…Urusan
ini jadi kapiran!” keluh murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Aku
tidak membunuhnya!” kata Wiro pula.
“Kami
tidak bertanya! Tapi hanya ada satu orang disini! Kau!” bentak sang dara.
“Itu satu
lagi yang menggeletak di atas kuda! Pingsan ditancap panah beracun!” Wiro
menuding ke arah tubuh Ki Dukun Japara yang menggeletak diatas kuda dalam
keadaan tertotok dan luka di punggungnya.
“Ditancap
panah katamu! Tapi mengapa anak panah itu ada ditanganmu, bukan menancap di
tubuhnya?!” bertanya si Perwira Muda.
“Aku
barusan mencabut anak panah itu dari punggungnya! Panah itu beracun!”
“Bagaimana
kau tahu panah itu beracun?!” tanya sang dara baju jingga.
Nada
suaranya terus saja keras dan galak.
“Kalian
lihat saja punggung dan mukanya. Biru kehitaman!” jawab Wiro pula.
Sepasang
muda mudi yang ternyata adalah kakak beradik itu saling pandang seketika. Lalu
sang dara berkata pada kakaknya “Aku curiga…Janganjangan manusia satu ini salah
seorang penyebar racun maut itu!”
“Aku juga
berpikir begitu,” sahut kakak si gadis. “Dan pasti dia pula yang membunuh
pembantu kita itu!”
“Walah!
Kalau menuduh jangan keliwatan!” ujar Wiro mulai jengkel tapi diam-diam juga
merasa kawatir. Ujung pedang yang diacungkan gadis berbaju jingga itu menempel
ketat di perutnya. Membuat Wiro merasa ragu-ragu untuk melakukan sesuatu.
“Orang
tua itu dibunuh oleh orang yang ada di atas kuda.” Wiro coba menerangkan.
“Kami
tidak melihat, jadi tidak bisa mempercayai ucapanmu!” kata Primadi.
“Kakak
sebaiknya cepat kau geledah dia!” ujar si adik. Lalu pada Wiro dia mengancam.
“Jika kau berani bergerak, kutembus perutmu dengan pedang ini!”
Dibawah
ancaman pedang Pendekar 212 terpaksa biarkan dirinya digeledah oleh Perwira
Muda itu. Dan celakanya yang pertama sekali ditemukan oleh sang perwira adalah
tabung bambu berisi racun milik Ki Dukun Japara yang diselipkan Wiro di balik
pinggangnya!
Perwira
itu mengamati tabung yang disumpal dengan kain sebagai tutupnya, berpaling
sesaat pada adiknya lalu membuka kain penyumpal. Ketika penutup tabung bambu
terbuka, bau yang tajam membersit ke luar. Si Perwira yang sudah tak asing lagi
dengan bau seperti itu segera tunggingkan bagian mulut tabung. Sejumlah
bubuk.putih kelabu berjatuhan ke tanah.
“Racun
merang putih!” seru perwira itu begitu dia mengenali bubuk yang keluar dari
tabung. Rupanya dia seorang yang ahli dalam segala macam racun.
“Apa
kataku!” teriak dara adik sang perwira. “Aku sudah curiga! Dia pasti adalah
manusia jahanam penyebar racun! Kini terbukti!”
“Racun
dalam tabung itu bukan milikku. Benda itu dibawa oleh orang yang kini
menggeletak di atas kuda sana. Dia yang membunuh pembantu kalian. Lalu ketika
dia hendak menuangkan bubuk racun ke dalam sumur dimana saat itu aku
bersembunyi, kupatahkan tangannya. Tubuhnya lalu kutotok…”
‘Kau
bersembunyi di dalam sumur? Ha…ha…ha! Sungguh gila dan tolol sekali ucapanmu!
Mana ada orang bisa bersembunyi didalam sumur, apalagi sumur itu airnya dalam.
Paling tidak dua kali tinggi manusia!” ujar dara berbaju jingga.
“Memang
hanya orang tolol yang mau mati bersembunyi dalam sumur sedalam itu. Tapi aku
tidak tolol! Lihat sendiri apa yang aku palangkan di dalam sumur!”
Mendengar
ucapan Wiro itu, Primadi si perwira melangkah ke dekat sumur lalu menjenguk ke
dalam. Meskipun bagian dalam sumur cukup gelap, namun matanya yang sudah terlatih
masih dapat melihat sebuah batang pohon melintang di pertengahan sumur. Karena
makin kebawah sumur itu semakin menyempit, maka batang pohon itu dapat
melintang dengan kokoh walau dibebani tubuh manusia.
“Aneh!
Bukan pekerjaan mudah menempatkan batang pohon seperti itu dalam sumur…Siapa
sebenarnya pemuda berambut gondrong itu?!” Primadi melangkah mendekati Wiro
kembali. Adiknya yang bertanya tidak diacuhkannya. Dia kembali menggeledah Wiro
dan kali ini ditemukannya Kapak Maut Naga Geni 212 di belakang pinggang sang
pendekar! Sesaat sang perwira dan adiknya terkesiap melihat sinar yang keluar
dari mata kapak. Bukan saja membuat mereka merasa angker tapi sinar kapak
mustika itu ternyata membuat redup sinar biru yang memancar dari pedang di
tangan sang dara!
Primadi
memperhatikan senjata di tangannya itu dengan mata tak berkesip. Dia antara
mendengar dan tidak kata-kata yang diucapkan Wiro.
“Perwira
Muda, kalau senjata itu kau rampas, aku bersumpah membunuh kau dan adikmu!”
Si
perwira sesaat masih memandang lekat-lekat pada senjata ditangannya lalu
berpaling pada Wiro. “Aku pernah mendengar riwayat besar dari senjata ini.
Kau…kau
Pendekar 212…?!” Suara sang perwira bergetar dan tangannya yang memegang
senjata mustika itu mendadak terasa seperti kesemutan…
Wiro
mengangguk perlahan. Perwira itu cepat-cepat kembalikan Kapak Naga Geni 212
lalu menoleh pada adiknya. “Sarungkan pedangmu. Mari kita menghatur maaf pada
Pendekar 212 yang punya nama besar di seantero tanah Jawa ini…”
“Pendekar
212…?” mengulang sang adik. “Jadi dia…pendekar sableng yang terkenal itu…?”
Wiro
tertawa lepas dan cepat menyambuti kapak yang dikembalikan padanya.
“Untung
kalian lekas mengenali si manusia jelek ini! Kalau tidak urusan bisa
bertele-tele!”
“Pendekar
212, aku Primadi dan adikku Primarani mohon maafmu. Tadi kami sungguh-sungguh
tidak tahu berhadapan dengan siapa. Empat tahun yang silam bukankah kau pernah
menyelamatkan Kerajaan dari tangan kaum pemberontak. Aku tidak melupakan hal
itu. Waktu itu aku masih sebagai kepala penjaga pintu gerbang selatan
Kotaraja…”
Wiro
kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan yang juga
memegang anak panah yang sebelumnya dicabutnya dari punggung Ki Dukun Japara.
“Eh, itu
anak panah yang katamu menancap di punggung orang itu?” bertanya Primadi
Wiro
mengangguk.
“Boleh
kulihat…?
Wiro
berikan anak panah yang dipegangnya pada Primadi. Perwira muda ini memeriksanya
dengan teliti. Lalu dia berpaling pada adiknya dengan paras berubah. Wiro
melihat perubahan paras ini langsung bertanya.
“Perwira,
kau mengenali anak panah ini?”
Mula-mula
perwira itu tak mau menjawab. Namun setelah adiknya membisikkan sesuatu maka
diapun berkata: “Ini adalah anak panah yang biasa dipergunakan oleh Sri Baginda
di Kerajaan Timur terutama pada saat berburu.
Dan
beliau dikenal sebagai ahli panah nomor satu. Aku tahu betul. Ketika hubungan
antara Kerajaan Barat dan Timur masih baik, aku sering ikut mengawal Sri
Baginda Kerajaan Timur pergi berburu! Karena itu aku mengenali sekali anak
panah ini. Lihat, cetakan tiga buah bintang pada besi bagian belakang kepala
anak panah. Ini adalah lambang Kerajaan Timur!”
“Lalu
jika anak panah yang sama seperti ini yang dipergunakan untukmembunuh manusia
penebar racun disana itu, apa kira-kira yang ada dibenakmu Perwira Muda…?” tanya
Pendekar 212.
“Aku tak
berani menjawab!” Sahut Primadi.
Justru
adiknya Primarani yang membuka mulut: ‘Tidak masuk akal kalau Raja di Timur ada
sangkut paut dalam peristiwa ini. Tapi…” Sang dara tidak teruskan ucapannya.
“Bukankah
antara Sri Baginda di Timur dengan kakaknya di Barat tengah terjadi silang
sengketa?” ujar Pendekar 212.
“Betul,
tapi tetap aku tidak bisa percaya bahwa Raja di Timur bertindak sejauh ini!”
“Setiap
manusia bisa silat. Mungkin karena harta atau pangkat, atau perempuan. Mungkin
pula karena tahta dan kekuasaan…”
“Pendekar
212, jika kau memang tengah menyelidiki masalah besar menyangkut kematian,
ratusan rakyat karena diracun ini, mari kita bekerjasama. Aku memang ditugaskan
untuk melakukan penyelidikan bersama adikku…” Primadi memotong ucapan Wiro.
“Begitu…?
Siapa yang menugaskanmu? Sri Baginda Kerajaan Barat…?
Perwira
Muda itu menggeleng. “Mapatih Singaranu…,” jawabnya.
Wiro
memandang pada Ki Dukun Japara yang ada di atas punggung kuda.
“Manusia
itu mungkin bisa memberi keterangan. Bagaimana kalau kita bawa dia sekarang
juga ke Kotaraja dan dihadapkan pada Sri Baginda?”
“Sri
Baginda tak ada di Keraton. Saat ini beliau telah berangkat memimpin ratusan
pasukan untuk menyerbu Kerajaan Timur. Aku diperintahkan untuk menghubungi
pusat pasukan di selatan. Sebelum menuju kesana aku mampir dulu disini.”
“Kerajaan
Barat menyerbu Kerajaan Timur? Berarti perang saudara segera pecah!” ujar Wiro.
“Kita
tidak bisa menyalahkan Raja di Barat,” ikut bicara Primarani. “Raja di Barat
sudah cukup memberikan kekuasaan dan kepercayaan pada adiknya di Timur. Sang
adik ternyata menjadi serakah, ingin menjadi Raja besar di seluruh Kerajaan.
Menyebar fitnah serta memutar balikkan kenyataan dan malah diduga keras sebagai
melakukan pengacauan di Barat dengan menebar racun pembunuh melalui kaki
tangannya. Kini dengan ditemuinya anak panah ini terbukti bahwa dia memang yang
jadi dalang kekacauan belakangan ini. Ratusan rakyat yang tidak berdosa menemui
kematian akibat keganasannya menebar racun maut! Aku ingin sekali menghajar
kaki tangannya yang menggeletak diatas kuda itu!”
“Kau
harus bersabar dulu, saudari,! kata Wiro pula. “Kita harus mengorek keterangan
dan bukti-bukti dari dia. Dan itu harus dilakukan di hadapan Raja. Paling tidak
diketahui oleh Mapatih Kerajaan!”
“Pendekar
212 betul! Kita harus segera membawa orang itu ke Kotaraja! Kita pergi
bersama-sama!”
“Kau
punya tugas menghubungi pasukan di selatan” mengingatkan Primarani.
“Aku
punya firasat bahwa ke Kotaraja lebih penting dari pada ke selatan. Kita berangkat
sekarang juga!”
****************
10
SEBELUM
MATAHARI TERBIT Wiro, Primadi dan Primarani yang membawa Ki Dukun Japara dalam
keadaan masih kaku dan gagu karena ditotok Pendekar 212 memasuki Kotaraja.
Mereka langsung menuju Keraton menemui Patih Raden Mas Singaranu. bisu di atas
punggung kuda memasuki Kotaraja Kerajaan Barat.
Keraton
nampak sepi, hanya tiga orang pengawal kelihatan di pintu depan. Ketiga orang
itu diantar masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup. Wiro yang memanggul tubuh
Ki Dukun Japara mendudukkan si mata juling ini diatas sebuah kursi besar hingga
dia tak beda dengan sebuah patung, tidak bergerak dan tidak berkesip.
Tak lama
kemudian Patih Singaranu memasuki ruangan. Dia memandang pada kedua kakak
beradik itu sesaat, melirik pada Pendekar 212 lalu berpaling ke arah sosok
orang yang duduk di kursi besar. Sesaat patih lanjut usia itu menatap wajah Ki
Dukun Japara lalu berpaling pada Perwira Muda disampingnya.
“Perwira
Primadi, bukankah kau mendapat tugas menghimpun pasukan di selatan dan
membawanya ke timur?” menegur Patih Singaranu.
“Betul
sekali Mapatih. Namun ada sesuatu yang lebih penting…” sahut Perwira Muda itu.
“Tunggu
dulu! Siapa orang yang kau dudukkan di atas kursi sana? Keadaannya seperti
ditotok dan tangan kanannya kulihat seperti patah. Lalu…”
sang
patih memandang pada Pendekar 212, “Siapa pula pemuda ini? Aku rasarasa pernah
melihatnya sebelumnya. Atau mungkin aku salah…”
“Tidak
Mapatih. Kau tidak salah. Pemuda ini adalah Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Dialah yang empat tahun lalu ikut menyelamatkan Kerajaan dari kaum
pemberontak.”
“Pendekar
212 Wiro Sableng! Aku tidak pernah melupakan nama yang berjasa besar itu!
Benar-benar tidak diduga, dalam Kerajaan seperti ini kau muncul seperti membawa
bakti baru menyelamatkan Kerjaan untuk kedua kalinya!” Patih Singaranu
melangkah kehadapan Wiro dan memegang bahu Pendekar 212 dengan kedua tangannya.
“Sekarang
terangkan siapa adanya orang berwajah biru yang duduk di kursi itu!”
“Namanya
Ki Dukun Japara,” memberi tahu Primadi lalu meneruskan: “Dia tertangkap basah
oleh Pendekar 212 ketika hendak memasukkan racun ke dalam sumur di rumah
kediaman kami!” Perwira itu memperlihatkan tabung bambu berisi racun pada sang
patih.
“Ah!
Rupanya Pendekar 212 diam-diam juga telah mengikuti apa yang tengah terjadi di
Kerajaan!” ujar Patih Singaranu. Lalu dia melangkah kehadapan orang yang duduk
di kursi. Memperlihatkannya sejenak. “Perwira! Bagaimana ini! Menurutmu dia
menyebarkan racun, tapi dia sendiri keracunan!”
Pendekar
212 lalu menerangkan apa yang terjadi sebelumnya. Setelah mendengar itu, Patih
Singaranu yang juga merupakan seorang dedengkot persilatan segera lepaskan
totokan-totokan di tubuh Ki Dukun Japara. Begitu totokannya lepas, orang tua
itu hampir saja jatuh terjerembab. Dari mulutnya terdengar suara mengerang
kesakitan karena tangannya yang patah.
“Namamu
Ki Dukun Japara?!” Mapatih menegur. Bukannya menjawab, Ki Dukun Japara malah
langsung jatuhkan diri, berlutut memegangi kedua kaki sang patih laiu meratap:
“Mohon ampunmu ‘Mapatih…Mohon ampunmu…!”
“Apa
betul kau menyebarkan racun yang telah menimbulkan kekacauan dan menyebabkan
kemati-an ratusan rakyat yang tidak berdosa…?”
“Mohon
ampunmu Mapatih! Mohon…”
Perwira
Muda Primadi jadi jengkel. Dijambaknya rambut orang tua itu lalu membentak:
“Jika kau masih terus berucap seperti itu, kupecahkan kepalamu saat ini juga!
Jawab pertanyaan Patih Kerajaan! Kau menebarkan racun dimanamana! Kau pasti
salah seorang pentolannya.”
“Memang…memang
aku melakukan itu. Tapi…tapi aku hanya orang suruhan saja…” membuka mulut Ki
Dukun Japara.
“Siapa
yang menyuruhmu?!” tanya Patih Kerajaan.
“Aku…aku…tidak
tahu jelas…”
“Jangan
coba berdusta Ki Dukun!” yang bicara adalah Wiro. “Racun panah itu masih
bekerja dalam tubuhmu. Jika kau mau mengaku akan kami beri obat penawar. Kalau
tidak nyawamu tidak akan tertolong. Kau hanya bisa bernafas sampai tengah hari
nanti! Dan sebelum mati kau akan sangat menderita!”
Tubuh Ki
Dukun Japara menggigil. Dalam keadaan terduduk di lantai dia berkata: “Aku…aku
tidak berdusta. Aku tidak tahu orang itu. Kami hanya bertemu tiga kali pada
malam hari. Dia menutupi wajahnya dengan kain hitam…”
“Apa yang
dilakukan orang itu setiap kali kau menemuinya?!” bertanya Primadi.
“Dia
menyerahkan sekantung racun, memberiku uang lalu memberikan perintah-perintah…”
jawab Ki Dukun Japara. Lalu dia menyambung: “Aku bersumpah, aku benar-benar
tidak tahu siapa orang itu.”
“Kau
pasti ingat ciri-cirinya. Jika dia bicara denganmu kau pasti mengenali suaranya
jika bertemu lagi dengan dia…” berkata Patih Singaranu.
“Ciri-cirinya
tidak jelas. Setiap pertemuan selalu malam hari dan di tempat yang gelap.
Suaranya mungkin kukenali lagi jika bertemu…”
“Coba kau
ingat-ingat. Pasti ada sesuatu yang bisa kau ingat tentang orang itu…” Patih
Singaranu mendesak tapi dengan berpura-pura membujuk.
“Dia…dia
selalu mengenakan pakaian hitam. Wajahnya tak kelihatan karena ditutupi kain.
Perawakannya sedang-sedang saja. Dia selalu muncul menunggang kuda…” Ki Dukun
Japara terdiam sejenak. “Aku ingat…! Orang itu selalu membawa busur dan
sekantong anak panah di punggungnya…!”
Perwira
Muda Kerajaan itu terkejut dan perlahan-lahan berpaling pada adiknya. Lalu
diambilnya anak panah yang sejak tadi diselipkan adiknya pada sarung pedang dan
diperlihatkannya pada Patih Singaranu. Sang patih mengambil panah itu,
menimang-nimangnya sambil memperlihatkan. Lalu dia berpaling pada Primadi dan
berkata dengan suara tegang: “Hanya ada satu orang yang memiliki anak panah
seperti ini. Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo, Raja di Timur!”
“Betul
Mapatih. Memang itu yang saya ketahui…” jawab sang perwira pula dan ikut
tegang.
“Jika
begitu adalah tepat sekali kalau kini Raja kita sampai menyerbu Keraton Timur.
Dari situlah sumber bencana maut beracun itu!” kertak Patih Singaranu.
“Saya
akan menyusu! ke timur bersama Primarani. Saya percaya Pendekar 212 mau
bergabung bersama kami…”
“Tunggu!
Jangan pergi dulu…!” berseru Ki Dukun Japara.
“Apa maksudmu’
Minta diobati lebih dulu?!” tanya Wiro.
Ki Dukun
Japara menggeleng. “Aku menyesal. Dihukum matipun aku pasrah! Aku hanya ingin
mengatakan bahwa aku ingat sesuatu…” Ketika Patih Singaranu memegang dan
menimang-nimang anak panah beracun yang pernah menancap di punggungnya itu, Ki
Dukun Japara, setiap penunggang kuda bercadar menyerahkan bungkusan racun
kepadanya, Perwira Muda Primadi hanya bisa memaki panjang pendek sambil
membanting-banting kaki.
****************
11
DI LUAR
KOTARAJA sebelum memasuki perbatasan menuju Kerajaan Timur, Patih Raden Mas
Singaranu yang menunggang kudanya di sebelah depan mengangkat tangan kanan ke
atas, memberi tanda. Seluruh rombongan serta merta berhenti. Dia memutar
kudanya dan memandang pada selusin pengawal, lalu pada sosok Ki Dukun Japara
yang berada di atas seekor kuda, tergeletak melintang tak berkutik karena
sebelum berangkat sang patih telah menotok tubuhnya sampai kaku, tak bisa
bergerak. Hanya mulutnya saja yang masih bisa membuka suara.
“Mapatih,
mohon petunjukmu. Ada apa kita berhenti?” seorang perajurit kepala ajukan
pertanyaan dia selalu memperhatikan tangan kanan orang itu. Antara ibu jari dan
jari telunjuknya terdapat sebuah tahi lalat lebar, hitam berbulu. Ketika hal
itu diberitahukannya pada orang-orang yang ada dihadapannya, Primadi dan
adiknya tampak merenung berpikir-pikir sementara Patih Singaranu sesaat
memandang tak berkesip pada Ki Dukun Japara lalu melangkah mundar mandir.
“Tak
pernah kulihat ada orang dengan tanda seperti itu. Kau tidak salah lihat…?”
tanya sang Patih kemudian.
Ki Dukun
Japara gelengkan kepala.
Tiba-tiba
Patih Raden Mas Singaranu mengambil keputusan: “Perwira Muda Primadi! Ini
perintah. Kau dan adikmu serta Pendekar 212 Wiro Sableng tetap berada disini.
Keraton
perlu dijaga karena semua Perwira dan para tokoh persilatan berada di medan
perang bersama Sri Baginda. Lain dari pada itu, Keraton penuh dengan harta
pusaka yang harus dijaga baik-baik! Aku sendiri akan berangkat sekarang juga ke
timur. Manusia keparat penebar racun ini harus kubawa serta dan akan kuhadapkan
pada Sri Baginda. Dia satu-satunya saksi atas segala kejahatan yang dilakukan
Raja di Keraton Timur!”
Habis
berkata begitu Patih Singaranu berteriak memanggil pengawal.
“Siapkan
kudaku. Aku butuh selusin pengawal dan angkut orang yang duduk di kursi sana.
Kita berangkat ke timur saat ini juga!”
“Mapatih…,”
ujar Perwira Muda Primadi. Tapi patih tua itu sudah melangkah cepat
meninggalkan mereka.
Hanya
beberapa saat saja setelah rombongan Patih Singaranu bergerak meninggalkan
Keraton, Pendekar 212 mendekati Primadi dan berkata: “Aku bukan prajurit
Kerajaan atau petugas Keraton. Jadi perintah Mapatih tadi tidak berlaku
untukku! Aku harus pergi ke Timur!”
“Hai!
Mana bisa begitu!” seru Primadi. “Kau harus tetap berada di Keraton ini,
Pendekar 212!”
Tapi Wiro
tertawa lebar dan lambaikan tangannya.
“Kakak
Primadi, dia benar. Dia orang luar yang tidak terikat segala aturan dan
perintah siapapun. Sama dengan aku. Jadi aku akan berangkat bersamanya menuju
ke timur!”
Kedua
mata Perwira Muda Primadi jadi membelalang mendengar ucapan adik. perempuannya itu.
“Kau berada dibawah perintah Primarani! Kau adikku!”
“Aku
memang adikmu! Tapi aku bukan bawahanmu!” sahut Primarani lalu tertawa panjang
dan berkelebat menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia
keparat penyebar racun itu!” sahut sang patih. “Merepotkan saja membawanya ke
timur. Kuputuskan agar nyawanya dihabisi disini saja…!
Mendengar
ucapan itu Ki Dukun Japara berseru : “Patih Kerajaan! Aku memang sudah pasrah
menerima kematian! Tapi bukankah aku akan dijadikan saksi dihadapan Raja?!”
Patih
Singaranu mendengus. “Sri Baginda tidak membutuhkan kesaksian manusia busuk
sepertimu!” sahut Singaranu. Lalu dia berteriak : “Perajurit Kepala! Penggal
kepala orang itu!”
Perajurit
yang diperintahkan segera hunus pedangnya lalu dekati Ki Dukun Japara yang
tergeletak tak berdaya. Orang ini hanya bisa pejamkan mata ketika pedang tajam
berkilau membabat ke arah lehernya!
Saat itu,
entah dari mana datangnya terdengar suara siulan. Lalu patahan sebatang cabang
pohon melesat menghantam kepala perajurit yang hendak memancung Ki Dukun
Japara. Perajurit ini menjerit keras. Keningnya robek besar dan mengucurkan
darah deras. Tubuhnya terjengkang dari atas kuda. Dia jatuh ke tanah bersama
pedang yang terlepas dari genggamannya.
Sebelas
perajurit terbeliak kaget. Patih Raden Mas Singaranu memandang berkeliling
dengan paras membesi. Di saat itu pula sebuah batu melayang menghantam pinggul
kuda yang membawa Ki Dukun Japara. Terkejut dan meringkik, binatang ini lalu
menghambur dan lari ke arah timur.
“Lekas
kejar! Tahan kuda itu!” teriak Patih Singaranu. Namun terlambat. Kuda yang
membawa Ki dukun Japara telah mencapai tikungan. Patih Singaranu hantamkan
tangan kanannya. Satu gelombang angin dahsyat menderu ke depan. Merambas semak
belukar dan pepohonan di tepi jalan, membuat debu pasir dan bebatuan
beterbangan ke udara. Namun Ki Dukun Japara dan kudanya tetap saja lolos. Malah
ketika Singaranu dan sebelas perajurit menggebrak kuda masing-masing untuk
melakukan pengejaran, dari samping kiri tiba-tiba seperti ada angin punting
beliung menyambar. Dua pohon tumbang menutup jalan. Dua lobang besar
membelintang di tengah jalan. Sebelas perajurit terpelanting berkaparan. Sang
patih sendiri kalau tidak lekas melompat dari atas kudanya, pasti tak mampu
bertahan dari kejatuhan.
“Bangsat
rendah siapa yang punya pekerjaan ini?!” menyumpah Singaranu dengan mata merah
memandang berkeliling. “Ah… pasti dia! Aku mengenali pukulan sakti tadi.
Pukulan benteng topan melanda samudera! Pasti dia! Kalau begini, naga-naganya
urusan bisa jadi kapiran!” Patih Singaranu berteriak. Memerintahkan agar
sebelas perajurit yang babak belur karena jatuh dari tunggangan mereka agar
segera naik ke atas kuda masing-masing. Lalu rombongan itu terpaksa mengambil
jalan menyamping untuk menghindari dua pohon yang melintang serta dua lobang
besar di tengah jalan.
SEPERTI
TELAH DITUTURKAN, Keraton Timur hanya merupakan satu pusat Kerajaan
Kecil/dibandingkan dengan Keraton di Barat yang menjadi pusat Kerajaan Barat,
kecil dalam artian wilayah dan juga kekuatan balatentaranya. Karena itu tidak
mengherankan ketika pasukan Barat menyerbu, meskipun para perajurit di timur
bertahan mati-matian, namun akhirnya mereka terdesak juga. Saat demi saat
pasukan penyerbu semakin mendekati Keraton Timur. Pekik jerit mereka yang
terluka, erangan orang-orang yang meregang nyawa, suara teriakan para Kepala
Pasukan, ringkikan kuda dan suara beradunya senjata semua bergabung menjadi
satu.
Pada saat
perang saudara berkecamuk seperti itulah Pendekar 212 Wiro Sableng, Primarani
dan Ki Dukun Japara muncul dari arah barat. Dukun tua bermata juling ini tidak
lagi berada dalam keadaan tertotok karena sudah dilepaskan oleh Wiro. Bagai
mana dia tahu-tahu berada bersama Wiro dan Primarani? Jawabnya lain tidak
karena kedua orang itulah tadi yang menimbulkan halangan bagi rombongan Patih
Singaranu, setelah terlebih dahulu Pendekar 212 Wiro Sableng menyelamatkan sang
dukun dari tabasan pedang perajurit atas perintah Pafih Singaranu.
Primarani
kemudian melempar pinggul kuda Ki Dukun Japara hingga binatang ini menghambur
lari. Karena mereka berada di seberang jalan, dengan mudah Wiro serta Primarani
memepet kuda yang membawa Ki Dukun Japara lalu melarikannya menuju ke timur,
mendahului rombongan Patih Singaranu.
Wiro dan
Primarani berusaha mendekati Keraton Timur dari arah yang paling aman yaitu di
sebelah selatan. Saat itu pintu gerbang Keraton Timur telah bobol dan pasukan
dari Barat mulai memasuki halaman luas Keraton sambil berteriak-teriak.
“Aku
tidak melihat Sri Baginda Kerajaan Barat!” berseru Wiro.
Primarani
memandang berkeliling lalu menyahuti; “Aku juga tidak! Kita harus cepat
menerobos ke dalam Keraton. Kemungkinan besar Sri Baginda bersama para tokoh
persilatan sudah menyelusup masuk. Pangeran Harjokusumo pasti sudah terkepung!
Kita masuk sekarang Wiro! Jangan tunggu sampai Patih Singaranu muncul disini.
Keadaan nanti bisa berubah!”
Wiro
mengangguk lalu berpaling pada Ki Dukun Japara.
“Dengar
kau dukun kampret!” hardik Wiro. “Ikuti kemana kami pergi.
Jangan
coba melarikan diri karena itu sama saja kau bunuh diri! Racun dalam tubuhmu
masih bekerja!”
“Jangan
kawatir… Aku tak akan menjadi pengkhianat untuk kedua kali…” jawab Ki Dukun
Japara.
Wiro
memberi isyarat pada Primarani. “Kau yang tahu seluk beluk Keraton Timur,
silakan jalan duluan…”
Ketika ketiga
orang itu berhasil menerobos masuk ke dalam Keraton Timur lewat pintu samping,
ruangan besar dimana biasanya diadakan pertemuan-pertemuan penting sudah
berubah menjadi arena pertempuran yang mengerikan.
Lebih
dari dua puluh mayat perajurit kedua belah pihak bergeletakan di lantai:
Beberapa orang pengawal Keraton Timur masih berusaha bertahan dibawah pimpinan
Tumenggung Jalak Karso, orang kesetiaan Pangeran Harjokusumo. Di hadapan mereka
empat tokoh silat Keraton Barat mengamuk menebar maut dan bukan merupakan lawan
Tumenggung Harjokusumo serta para pengawal yang tinggal sedikit itu.
Dibelakang
kelompok penyerbu tegak seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun,
berpakaian kebesaran lengkap dengan topi tingginya dan memegang sebilah pedang
berlumuran darah di tangan kanannya yang memakai sarung tangan dari kain
berwarna merah. Dia tiada hentinya berteriak-teriak memberi semangat para tokoh
silat dan dua Perwira Tinggi berhasil mendesak lawannya yaitu pihak Keraton
Timur.
“Orang
berpakaian mewah dan selalu berteriak-teriak itu, bukankah dia Sri Baginda
Keraton Barat?” bertanya Wiro pada Primarani. Sang dara mengangguk. “Air
mukanya kulihat pucat. Padahal…” Wiro tidak meneruskan ucapannya karena di
ujung sana dilihatnya patih Singaranu muncul dan langsung mendekati Sri
Baginda, membisikkan sesuatu seraya menunjuk ke arah Wiro dan Primarani berada.
“Pendekar
212… Patih Singaranu pasti menginginkan kematianku saat ini juga. Aku tidak
tahu mengapa. Tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu…”
“Apa dan
katakan cepat!” jawab Wiro pula.
“Orang
berpakaian mewah itu. Suaranya… sangat sama dengan suara orang yang menemuiku
sebanyak tiga kali. Orang yang memberikan perintah menebar racun…!”
“Kau
jangan main main Ki Dukun Japara! Kau sama saja menuduh Sri Baginda melakukan
kekejian itu…!” bentak Primarani.
“Mungkin
dia tidak main-main…” satu suara terdengar dari samping. Ketiga orang itu
berpaling.
“Kakak
Primad», bukankah tugasmu menjaga Keraton? Mengapa kau berani muncul disini!?
seru Primarani begitu melihat siapa yang ada di sebelahnya.
“Persetan
dengan Keraton. Aku bukan kacung penjaga gedung Keratoni. Aku ingin menyaksikan
sendiri akhirkah semua kegilaan ini!” jawab Perwira Muda Primadi.
Sementara
itu Pangeran Harjokusumo, yang mengenakan pakaian serderhana saja bertahan
mati-matian sementara satu demi satu para pengawal yang mengelilinginya mulai
berguguran. Ketika Tumenggung Jalak Karso akhirnya tersungkur tewas, Pangeran
itu dengan putus asa campakkan pedangnya dan berteriak keras : “Sri Baginda
Keraton Barat! Kau yang menginginkan pertumpahan darah ini! Aku ingin agar kau
juga yang menghabisi nyawaku saat ini!” Lalu dengan langkah tegap Pangeran yang
berusia 29 tahun itu bergerak menuju ke hadapan Sri Baginda Keraton Barat yang
bukan lain adalah kakak kandungnya sendiri.
“Pendekar
212…” berbisik Primadi, “ucapanmu tadi benar. Aku tak pernah melihat Sri
Baginda berwajah sepucat itu. Memang aku sudah lama tidak pernah bertemu muka
dengan dia. Tapi dia keiihatan seperti orang sehat yang sakit. Lalu, aku tak
pernah melihat Sri Baginda memakai sarung tangan hitam seperti itu…”
“Astaga!
Jangan-jangan suaranya yang sama seperti yang dikatakan Ki Dukun ini ada
sangkut pautnya dengan tangan kanan yang disarungi itu! ujar Wiro pula.
“Kau
benar!” ujar Primarani. “Tapi bagaimana membuktikannya ?”
“Harus
ada seseorang yang bisa membetot lepas sarung tangan itu!” sahut Wiro. “Aku
akan melakukannya!”
Di depan
sana Pangeran harjokusumo telah sampai di hadapan Sri Baginda.
Saat itu
terdengar Sri Baginda berkata: “Harjokusumo, walau bagaimanapun kau tetap adik
kandungku! Tapi dosa dan kesalahanmu sangat besar. Bukan hanya terhadapku,
tetapi juga terhadap rakyat dan Kerajaan. Kau membunuh ratusan rakyat dengan
jalan menyuruh kaki tanganmu menyebar racun…”
“Itu tak
pernah kulakukan! Itu fitnah keji!” teriak Pangeran Harjokusmo.
Sri
Baginda tertawa lalu berkata pada Patih Singaranu yang ada disampingnya.
“Perlihatkan anak panah yang kau bawa itu, paman Patih.”
Patih
Singaranu memperlihatkan anak panah yang ada cap tiga bintangnya. “Ini milikmu!
Dipakai untuk membunuh salah seorang kaki tanganmu guna menutup rahasia…!”
“Busuk!”
teriak Pangeran Harjokusumo. “Sebuah busur dan sekantong anak panah milikku
lenyap secara aneh sebulan yang lalu. Si pencuri pasti menyalah gunakannya…”
“Dalihmu
setipis angin pagi, adikku! Kau menginginkan kekuasaan yang tebih besar. Ingin
menggulingkan tahtaku dengan membuat kekacauan keji! Membunuh rakyat di timur
yang berdosa dengan harapan agar kami menjadi lemah dan kacau. Lalu kau
menyusup melakukan penyerbuan. Tapi aku lebih cepat adikku! Kami melumpuhkanmu
seperti yang terjadi saat ini!”
“Aku tak
ingin mendengar ucapan-ucapanmu lagi Sri Baginda. Aku siap menerima kematian!”
“Itu
memang sudah jadi bagianmu!” jawab Sri Baginda. Pedang di tangannya diangkat
tinggi-tinggi.
****************
12
SELESAI
MENGATAKAN hendak berusaha menanggalkan sarung tangan hitam yang dipakai Sri
baginda, Pendekar 212 Wiro Sableng segera melangkah. Namun baru bergerak dua
tindak, tiga orang menghadang jalannya. Mereka bukan lain adalah seorang
Perwira Tinggi Kerajaan Timur beserta dua tokoh silat. Dua tokoh silat ini
ternyata adalah Tapak Jingga dan Suro Markum!
“Kalian
berempat kami tangkap! Jangan berani melawan!” begitu si Perwira Tinggi
membentak.
Wiro
sadar benar, waktunya sangat sempit untuk menyelamatkan Pangeran Harjokusumo
apalagi untuk menanggalkan sarung tangan Sri Baginda.
Maka
tanpa banyak bicara dia jatuhkan diri seraya berkata; “Kami tidak tahu
melakukan kesalahan apa, tapi sesuai perintahmu aku menyerahkan diri!” Selesai
berkata begitu Wiro dengan satu gerakan kilat cabut Kapak Maut Naga Geni 212
dan hantamkan gagang senjata mustika ini ke perut si Perwira Tinggi. Orang ini
menjerit keras, mencelat diantara Tapak Jingga dan Suro Markum lalu tergeletak
di lantai tanpa kabarkan diri lagi.
Suro
Markum dan Tapak Jingga, walau sudah tahu kehebatan murid Sinto Gendeng, namun
tak bisa berbuat lain dari pada tetap harus menyerbu. Dan akibatnya mereka
harus merasakan hantaman keras gagang senjata di tangan Wiro. Keduanya roboh
menyusul si Perwira Tinggi tadi. Pendekar 212 memang sengaja tidak mau membunuh
ketiga orang itu karena dia yakin ada sesuatu yang tidak beres yang nanti perlu
dikorek dari mulut mereka.
Ruangan
besar dalam Keraton itu menjadi geger ketika Kapak naga Geni 212 berkiblat
memancarkan sinar menyilaukan. Udara menjadi panas dan dalam ruangan menderu
suara seperti ribuan tawon mengamuk! Tidak kepalang tanggung, Wiro juga
lepaskan dua kali pukulan sinar matahari ke arah dinding keraton sebelah kiri
hingga hancur berantakan. Dalam keadaan kacau begitu Wiro Sableng melompat ke
arah Pangeran Harjokusumo dan mendorong pangeran ini keras-keras kesamping,
tepat pada saat pedang di tangan Sri Baginda membabat ke arah lehernya dengan
sebat!
“Bangsat
rendah! Siapa kau?!” teriak Sri Baginda marah sekali lalu memburu dengan
pedangnya ke arah Wiro.
“Ah, dulu
pernah kutolong. Hendak mengangkatku jadi Kepala Pasukan Kotaraja sebagai balas
jasa! Tapi saat ini dia tidak mengenaliku, malah memburu dengan pedang! Orang
ini pasti bukan Sri Baginda! Bangsat!” maki Wiro. Dia membuang diri kesamping
ketika pedang menikam ke dadanya. Sekali lagi Sri Baginda menghunjamkan
senjatanya ke arah perut namun saat itu Wiro sudah menghantam dengan Kapak Maut
Naga Geni 212. Senjata di tangan Sri Baginda terpental patah dua dan leleh
ujung-ujungnya. Sri baginda sendiri terjatuh tumpang tindih dengan Patih
Singaranu. Sang patih walau dalam keadaan jatuh masih sempat lepaskan satu
hantaman tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Namun dengan sekali
menyapukan kapak mustikanya serangan lawan amblas dan sang patih mengerang
karena dadanya seperti ditusuk ratusan jarum panas!
Terhuyung-huyung
Sri Baginda: mencoba berdiri. Saat itulah Wiro cekal tangan kanannya dan
memuntirnya kebelakang. Dengan sekali tarik saja Wiro berhasil menanggalkan
sarung tangan hitam di tangan kanan Sri Baginda. Terlihatlah sebuah tahi lalat
lebar, hitam dan berbulu!
‘Semua
yang hadir disini!” Wiro berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam tiingga
semua orang tergagap dan sama berpaling kepadanya, “Apakah Sri Baginda kalian
memiliki tahi lalat seperti ini di tangan kanannya?! “Wiro lalu acungkan tangan
yang dipuntirnya itu ke depan.
Semua
orang menatap tajam, lalu saling pandang. Satu demi satu mulai gelengkan kepala
dalam herannya.
“Kalau begitu
dia bukan Raja kalian. Tapi monyet yang menyamar! Mari kita lihat tampangnya
yang asli!”
Breet…bre,ettt…brett!
Sri
Baginda menjerit keras. Entah mengapa Patih Singaranu juga ikutikutan
berteriak. Semua yang hadir ditempat itu melengak kaget ketika Wiro pergunakan
tangan kanannya untuk merobek sehelai topeng yang sangat tipis di wajah Sri
Baginda. Begitu topeng tersebut tanggal, kelihatanlah wajahnya yang asli!
“Raden
Anom Wiraculo!” semua orang berseru hampir berbarangan.
“Aha!”
seru Wiro pula. “Ternyata monyet ini bernama Raden Anom Wiraculo! Putera
Mapatih Raden Mas Singaranu!” Wiro lalu lepaskan puntrian tangannya, dorong
orang itu kedepan hingga terhuyung-huyung. Puluhan manusia segera menyerbu
untuk menghajarnya tapi Pangeran Harjokusumo cepat menghalangi.
“Dia dan
ayahnya jelas menjadi dalang pertumpahan darah ini! Niatnya jelas, menginginkan
tahta Kerajaan secara sangat licik. Mereka berdua pasti tahu dimana kakakku
berada! Lekas katakan dimana Sri Baginda kalian sandera?!”
“Beliau…
beliau ada di ruang bawah tanah Keraton Barat jawab Raden Anom Wiraculo.
Terdengar
jeritan keras. Semua orang berpaling. Pangeran Harjokusumo berteriak mencegah
tapi sia-sia saja. Kalau dia masih bisa melindungi sang putera, namun sang ayah
yaitu Patih Singaranu tak sempat lagi diselamatkan. Puluhan senjata menancap di
tubuh patih tua itu.
Disuatu
sudut Perwira Muda Primadi masih tegak tertegun seakan-akan tak percaya dengan
apa yang disaksikannya. Dia merasa ada seseorang menyelipkan sesuatu di tangan
kirinya. Tapi baru beberapa lama kemudian dia menjadari ada sesuatu dalam
genggamannya itu. Ketika dia ingat dan memeriksanya, ternyata sehelai surai
‘pendek, berbunyi:
Sahabat,
ruangan ini terlalu pengap bau darah dan kematian. Aku pergi dulu mencari
tempat yang lebih menyenangkan. Adikmu Primarani ikut menemaniku. Jangan marah…
Wiro Sableng
Perwira
Muda Primadi hanya bisa geleng-geleng kepala. “Manusia sableng! Benar-benar
sableng! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih sempat-sempatnya membuat
surat. Dan menggaet adikku…!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment