Dewi
Lembah Bangkai
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
LIMA
PERAJURIT berkuda berderap memasuki halaman rumah yang penuh ditumbuhi pohon
singkong. Mereka memiliki tampang-tampang galak, membekal golok besar di
pinggang masing-masing. Begitu sampai di depan rumah papan beratap rumbia,
kelimanya langsung melompat turun. Yang didepan sekali menendang pintu rumah
sambil berteriak:
“Adi
Sara! Kami perajurit Kadipaten datang membawa surat perintah penangkapan!”
Pintu
rumah terpental tanggal. Perajurit yang menendang langsung masuk diikuti dua
orang temannya. Dua lagi menunggu di luar berjaga-jaga dengan tangan menekan
hulu golok. Di dalam rumah, ketika dikejauhan terdengar derap kaki lima
perajurit Kadipaten itu, seorang lelaki tua berambut putih memegang bahu
seorang pemuda berusia dua puluh tahun seraya berkata:
“Anakku
Adi! mimpiku semalam mungkin akan menjadi kenyataan. Aku dengar suara derap
kaki-kaki kuda dikejauhan. Menuju ke rumah kita ini. Hampir pasti itu adalah
orang-orang Kadipaten. Aku tidak menyesali perbuatanmu bercinta dengan puteri
Adipati itu. Namun jurang antara dirimu dengan dirinya terlalu besar. Kalaupun
kau bisa melompatinya, masih ada bahaya lain yang menghadang ditepi jurang
lainnya. Dan ternyata kau tidak mampu melompati jurang itu anakku. Aku ayahmu
juga tidak berkekuatan untuk menolongmu. Adipati pasti akan menyuruh anak-anak
buahnya untuk menangkapmu…”
“Menangkapku
ayah? Apa salahku? Apakah seseorang bisa ditangkap karena mencinta dan dicintai
oleh orang lain?!” Adi Sara pemuda berwajah tampan itu bertanya.
Sang ayah
tertawa, tapi wajahnya menunjukkan kemuraman
“Adipati
bisa mempergunakan seribu alasan untuk menangkapmu, Adi. Bisa atau tidaknya
seseorang ditangkap tergantung siapa yang memegang kekuasaan. Dan kekuasaan itu
ada di tangan Adipati Sawung Glingging. Cepat kau tinggalkan rumah ini.
Tinggalkan desa. Menghilanglah, tinggalkan desa dan jangan kembali-kembali
lagi…”
“Aku
tidak akan melakukan hal itu ayah! Kalaupun aku harus pergi, kita musti pergi
sama-sama!” jawab Adi Sara.
“Jangan
turutkan pikiran tololmu anakku! Pergilah! Sekarang juga! Selamatkan dirimu!
Cepat…!” Wajah Adi Sara tampak bimbang.
Dia tahu
bahaya besar yang mengancamnya. L-alu dia bertanya: “Bagaimana dengan dirimu
sendiri ayah?”
“Jangan
pikirkan tua bangka ini! Pergi lekas! Sambangi makam ibumu sebelum meninggalkan
desa! Lekas Adi!”
Di luar
sana lima penunggang kuda sudah memasuki pekarangan. Adi Sara memegang tangan
ayahnya, mencium tangan orang tua itu lalu bergerak meninggalkan rumah lewat pintu
belakang. Sebelum menghilang dibalik pohon-pohon besar di belakang rumah dia
masih sempat mendengar suara pintu depan ditendang bobol. Hal ini membuat
langkahnya terhenti. Dia menyelinap dibalik sebatang pohon besar. Di dalam
rumah Sara Jingga ayah Adi keluar dari kamar tepat pada saat tiga perajurit
bersenjatakan golok masuk dan sampai dihadapannya.
“Kami
mencari Adi Sara! Mana pemuda itu?!” perajurit di sebelah depan membentak.
“Anak itu
tidak ada disini! Sejak semalam dia tidak pulang!” jawab Sara Jingga.
“Jangan
dusta!”
“Sarungkan
golok kalian! Bicara biasa-biasa saja! Senjata tidak akan membantu kalian
menemukan anak itu! Karena dia memang tidak ada disini!”
“Kami
membawa surat perintah dari Adipati Tawang Merto untuk menangkap pemuda itu!”
Terkejutlah
Sara Jingga mendengar keterangan si perajurit.
“Wilayah
ini dibawah kekuasaan Adipati Sawung Glingging! Mengapa Adipati Tawang Merto
yang mengeluarkan surat perintah penangkapan? Dan aku perlu tahu apa salah
anakku hinggaxtia mau ditangkap!”
Si
perajurit mendengus. “Siapa saja yang mengeluarkan surat perintah penangkapan
bukan soal! Adipati Sawung Glingging dan Adipati Tawang Merto toh akan saling
menjadi besan!”
Mendengar
keterangan itu pahamlah kini Sara Jingga. Rupanya benar putera Adipati Tawang
Merto hendak dijodohkan dengan puteri Adipati Sawung Glingging. Disitu pula
pangkal sebabnya mengapa anaknya hendak ditangkap.
“Kalian
boleh geledah rumah ini Adi Sara tak ada disini! Katakan apa salah anak itu.
Kalian belum menjelaskan!”
“Anakmu
diketahui menjadi anggota kelompok garong Warok Bekontoro! Apa perlu ditanya
lagi mengapa kami datang menangkapnya?!”
“Fitnah!
Anakku keluar desapun belum pernah. Bagaimana mungkin dia jadi anak buah
Bekontoro!”
Si
perajurit tidak menjawab. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Kedua orang
ini lalu melakukan penggeledahan. Adi Sara tidak ditemukan. Keduanya kembali
dan memberi tahu kawannya tadi.
“Kalau
pemuda itu tidak ada disini, kau jadi gantinya orang tua! Kau kami tangkap!”
“Aku
tidak bersalah, tidak berdosa! Jangan pergunakan kekuasaan kalian untuk berlaku
semena-mena!” ujar Sara Jingga dengan suara tandas. Namun untuk ucapannya itu
satu hantaman gagang golok harus diterimanya di bagian kepala. Orang tua ini
menjerit kesakitan, lalu terhuyung antara sadar dan tiada. Tubuhnya kemudian di
seret ke luar rumah. Saat itulah terdengar bentakan penuh marah disertai
berkelebatnya seseorang.
“Perajurit-perajurit
biadab! Lepaskan ayahku!”
Lima
perajurit cepat berpaling.
“Adi
Sara!” seru perajurit yang jadi pimpinan. “Akhirnya muncul juga anak yang
katanya tidak pulang sedari tadi malam! Kau tak usah kawatir! Ayahmu akan kami
lepaskan, tapi kau harus kami tangkap!”
Adi Sara
melihat bagian kening ayahnya terkoyak dan ada darah yang mengucur. Ini
membuatnya kalap.
“Bangsat!
Kalian apakan ayahku!” teriak pemuda ini lalu melompati perajurit terdekat.
Pemuda ini tidak memiliki kepandaian bela diri apapun, apalagi ilmu silat
tinggi. Modalnya hanya keberanian dan kenekatan yang dibakar oleh kemarahan.
Dia berhasil merampas golok salah seorang perajurit. Namun sebelum senjata itu
sempat dihunusnya, dua hantaman pada punggung dan belakang kepalanya membuat
Adi Sara tersungkur ke depan. Lalu datang tendangan bertubi-tubi menghajar muka
dan tubuhnya. Wajahnya bengkak membiru. Dari hidung dan mulutnya mengucur
darah. Dua tulang iganya patah. Pemuda ini terguling pingsan di samping sosok
tubuh ayahnya.
“Kita
bunuh saja pemuda ini!” berkata seorang perajurit.
“Jangan!
Ingat perintah Adipati Tawang Merto. Dia.harus kita buang ke Lembah Bangkai!”
“Kenapa
mencapaikan diri membuangnya jauh-jauh kesana?” salah seorang perajurit membuka
mulut bertanya.
“Kau
pergilah tanyakan sendiri pada Adipati Tawang Merto! Jika kau tidak mau
menjalankan perintah, bersiaplah untuk dihukum dan dipecat!”
Dalam
keadaan pingsan tubuh Adi Sara akhirnya dinaikkan ke atas kuda. Lima perajurit
itu kemudian segera tinggalkan tempat tersebut.
*****************
2
AKU mulai
mencium bau busuk itu. Kita segera sampai ditempat tujuan! Tutup hidung
kalian…” Perajurit yang berkuda di sebelah depan memberi tahu dan cepat
keluarkan sehelai sapu tangan dari saku pakaiannya. Sapu tangan ini
diikatkannya ke mukanya hingga menutupi hidung dan mulutnya. Empat kawannya
segera mengikuti apa yang dilakukannya. Bau busuk semakin keras setiap langkah
mereka maju bergerak. Jalan yang mereka tempuh mulai mendaki. Di ujung
pendakian, kelimanya berhenti. Disitu menghadang sebuah lembah yang lebih tepat
dikatakan sebuah jurang sedalam lima belas tombak. Batubatu besar menyembul
dian-tara kerapatan pepohonan dan semak belukar. Bau busuk menghampar santar.
Bau busuknya bangkai! Lima perajurit itu merasakan nafas masing-masing seperti
sesak. Tengkuk menjadi dingin oleh rasa angker yang muncul sejak tadi.
“Lemparkan
pemuda itu ke lembah, lalu lekas tinggalkan tempat ini!” perajurit pemimpin
memberi perintah. Dia memandang berkeliling, berusaha mencari-cari dimana
sumber yang menebar bau busuknya mayat itu. Jika memang ada bangkai binatang
atau mayat manusia, mengapa dia tidak melihatnya dibawah sana? Mendadak tubuhnya
bergetar dan sekujur badannya keluarkan keringat dingin. Dibalik kerapatan
dedaunan pepohonan dan semak belukar di dalam lembah, dia melihat belasan sosok
tubuh yang telah membusuk, ada yang hanya tinggal tulang-belulang saja,
tergantung di cabang-cabang pohon!
Mayat-mayat
manusia! Itulah bangkai yang menebar bau busuk menyesakkan jalan pernafasan!
“Lekas lemparkan pemuda itu!” teriak perajurit itu.
Rupanya
empat kawannya juga sudah melihat mayat-mayat busuk bergantungan di pepohonan
itu dan langsung dirasuk ketakutan setengah mati hingga melupakan apa yang
harus mereka kerjakan. Dua diantara mereka segera menurunkan tubuh Adi Sara.
Satu mencekal kedua kakinya, yang lain menjambak bahu pakaiannya. Tubuh pemuda
itu kemudian dilemparkan ke dalam lembah. Adi Sara terguling-guling ke bawah,
lenyap diantara semak belukar dan lebatnya daun-daun pepohonan.
“Lekas
tinggalkan tempat ini!” teriak perajurit yang jadi pimpinan.
Dua
perajurit segera melompat ke atas punggung kuda masing-masing. Pada saat itulah
tiba-tiba dari dalam lembah terdengar suara sesuatu. Suara ini mempunyai
pengaruh yang amat hebat karena ke lima perajurit itu begitu mendengar begitu
terpukau dan seperti tidak ingat lagi untuk bergerak meninggalkan tempat itu.
Atau memang karena tiba-tiba saja mereka tidak mampu bergerak, termasuk ke lima
ekor kuda yang mereka tunggangi!
“Suara
itu… Suara apa itu…?” bisik seorang perajurit.
“Suara
kecapi…” yang lain balas berbisik.
“Aneh,
siapa yang main kecapi di lembah itu?”
Wajah
lima perajurit mendadak sontak menjadi pucat! Makin lama suara petikan kecapi
semakin jelas. Pada puncaknya tiba-tiba ada suara nyanyian yang mengalun
ditimpali suara kecapi tadi. Suara nyanyian itu terdengar merdu sekali. Tetapi
syair yang dibawakan membuat lima perajurit Kadipaten jadi berdiri bulu tengkuk
mereka.
Lembah
Bangkai lembah kematian.
Jangankan
menjejakkan kaki.
Melihatnya
sajapun sudah cukup alasan Untuk mati!
Tak ada
yang datang dan bisa pergi
Tak ada
yang pergi membawa nyawa di badan
Lembah
Bangkai lembah kematian
Siapa
yang datang tak bisa kembali pulang!
Suara
nyanyian lenyap, tapi suara kecapi terus berdentringan.
“Hai!
Lihat…! Apa itu yang melesat di udara?!” tiba-tiba salah seorang perajurit
berteriak seraya menunjuk ke arah lembah. Saat itu dari bawah lembah melesat
seutas tali yang ujungnya dibuhul berbentuk lingkaran. Baru saja perajurit itu
berteriak begitu, tahu-tahu ujung tali yang berbentuk lingkaran telah melesat
ke arahnya lalu menjirat batang lehernya. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa,
tubuhnya sudah terbetot dari atas kuda, jatuh ke bibir lembah lalu tertarik dan
terseret sepanjang lereng lembah akhirnya lenyap diantara semak belukar dan
kerapatan pepohonan.
Melihat hal
ini empat perajurit lainnya merasakan seperti putus nyawa masing-masing.
Serentak mereka baru sadar dan cepat membedal kuda tinggalkan tempat itu. Namun
tiga orang terlambat, hanya satu yang sempat kabur. Dari bawah lembah tampak
melesat sebat empat utas tali yang ujungnya berbentuk lingkaran. Tiga tali maut
ini langsung menjirat leher tiga perajurit, satunya membentur pohon dan ini
menyelamatkan perajurit ke empat tadi. Di lain saat tubuh tiga perajurit
tersentak keras lalu jatuh dari punggung kuda masing-masing. Selanjutnya tampak
tiga tubuh itu terseret ke dasar lembah dan lenyap!
Bersamaan
dengan itu suara petikan kecapi lenyap. Lembah angker kembali diselimuti
kesunyian. Hanya bau busuk bangkai yang masih terus menghampar bersama siliran
angin. Dan bau ini tak akan pernah lenyap selama lembah angker itu berada
disitu!
*****************
3
DARA
BERPAKAIAN hijau itu mengetuk dinding gua sebelah luar tiga kali
berturut-turut. Dia menunggu sesaat. Lalu dari dalam gua menggema suara halus.
Suara perempuan. “Masuklah…”
Di atas
sebuah kesetan dara berpakaian hijau membersihkan kedua kakinya terlebih
dahulu, lalu baru masuk ke dalam gua batu. Ternyata gua itu tidak panjang.
Melangkah sebelas langkah sang dara sampai di sebuah ruangan kecil yang
diterangi oleh sebuah pelita. Di tengah gua tampak duduk seorang perempuan
berpakaian hijau. Wajahnya sulit untuk dilihat karena tertutup sehelai kain
hijau tipis.
Namun
dari balik cadar yang tipis itu, sepasang matanya seperti menyorotkan sinar
tajam yang membuat siapa saja merasa risih untuk berani menatap. Di atas
pangkuannya terletak sebuah kecapi. Rupanya orang inilah tadi yang memetik
kecapi, mungkin dia juga yang menyanyi.
Kalau
seluruh lembah dibuncah oleh bau busuknya bangkai, maka di dalam gua ini sama
sekali tidak tersentuh oleh bau busuk yang menyesakkan nafas itu. Malah disitu
merambas bau harum semerbak seperti harumnya bau bunga mawar dipagi yang cerah
dan segar.
“Hijau
Satu, berita apa yang hendak kau sampaikan padaku…?”
Dara
berpakaian hijau yang dipanggil dengan nama Hijau Satu menjura hormat lalu
duduk bersimpuh di hadapan perempuan yang memangku kecapi.
“Kita
mendapatkan empat tambahan pajangan untuk pepohonan di lembah, Dewi…”
Wajah
dibalik cadar hijau tersenyum. “Bagus… Siapa orang-orang itu?”
“Mereka
adalah perajurit-perajurit Kadipaten. Saya tidak mengetahui dari Kadipaten
mana. Sebetulnya mereka muncul lima orang. Tapi yang satu sempat kabur. Harap
maafkan atas kelalaian ini Dewi… Kebetulan hanya saya sendiri yang ada di
Lembah. Hijau Dua dan Hijau Tiga masih belum kembali…”
Sang Dewi
anggukkan kepala. “Dalam waktu singkat lembah ini akan menjadi momok nomor satu
dalam dunia persilatan. Lalu tokohtokoh persilatan akan muncul disini! Mereka
datang dengan alasan untuk membasmi angkara murka, menghancurkan kejahatan!
Tapi mereka akan kita sapu habis-habisan! Memang tidak semua mereka melakukan
kesalahan dan berdosa besar terhadap diriku!
Tapi
dendamku setinggi langit sedalam lautan! Mereka yang katanya ingin menegakkan
kebenaran, menolong orang-orang tertindas, ternyata semua omong kosong belaka!
Aku telah jadi korban dari omong kosong itu!”
Sang Dewi
tutup kata-katanya dengan menjentikkan jari-jari tangannya diatas kawat-kawat
kecapi. Terdengar suara berdentringan disertai berkiblatnya enam sinar yang
menyilaukan. Goa kecil itu terasa bergetar. Hijau Satu merasakan tubuhnya
terhuyung-huyung dan cepat mengimbangi diri agar tidak jatuh. Setelah getaran
dalam gua berhenti, Hijau Satu baru membuka mulut kembali.
“Ada
kejadian lain yang perlu saya beritahukan Dewi.”
“Ya,
katakanlah…”
“Sebelum
perajurit-perajurit Kadipaten itu muncul membawa seorang pemuda. Dalam keadaan
pingsan pemuda ini mereka lemparkan ke dalam lembah. Pemuda itu berada dalam
keadaan sakarat. Mukanya babak belur dan berselimut darah. Beberapa tulang
iganya patah. Bagian belakang kepalanya ada luka besar. Saya tidak berani berbuat
suatu apa tanpa izin Dewi…”
“Hijau
Satu, bukankah ketentuan yang sudah kuberikan begitu pasti? Siapa saja yang
berani berada didekat lembah, apalagi kalau sampai masuk ke dalam lembah harus
dibunuh dan digantung mayatnya dipepohonan?!”
“Saya
mengerti Dewi dan tahu sekali akan aturan itu. Maafkan saya kalau sudah
bertindak salah. Saya tidak membunuh pemuda itu karena dia muncul dilembah
bukan karena kemauannya sendiri. Dia dibawa oleh perajurit-perajurit Kadipaten
dan dilemparkan ke lembah dalam keadaan pingsan…”
“Bagaimana
kalau kemudian pemuda itu sadar dari pingsannya, melihat wajahmu yang cantik
dan tubuhmu yang bagus dibalik pakaian hijaumu yang tipis itu. Lalu dia
merayumu dan memperkosamu seperti kejadian dulu atas dirimu, atas Hijau Dua dan
Hijau Tiga, juga atas diriku!”
Mendengar
ucapan itu Hijau Satu terdiam. Wajahnya sesaat pucat. Lalu dengan suara
perlahan dia berkata: “Maafkan saya Dewi. Saya mengaku bersalah tidak menuruti
perintah…”
“Katakan,
apa ada alasan lain sampai kau tidak membunuh pemuda itu…”
Hijau
Satu tidak bisa menjawab. Tapi sang Dewi diam-diam sudah dapat meraba apa yang
menjadi alasan anak buahnya itu. Maka diapun berkata: “Bawa pemuda itu
kemari…!”
Walaupun
terkejut mendengar ucapan pimpinannya, namun Hijau Satu cepat berdiri dan tinggalkan
tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali mendukung sosok tubuh Adi Sara
lalu membujurkannya di atas lantai gua, dihadapkan sang Dewi.
Sesaat
perempuan bercadar itu menatap wajah si pemuda yang tertutup darah mengering.
“Ambil kain basah dan bersihkan wajahnya…” sang Dewi memerintah. Hijau Satu
kembali keluar dari dalam gua. Ketika masuk dia sudah membawa sehelai kain
basah dan langsung membersihkan darah yang mengering di wajah Adi Sara.
Begitu
wajah itu menjadi bersih kelihatanlah wajah Adi Sara. Sang Dewi terkesiap dan
terdengar menarik nafas kaget. Hijau Satu ingin sekali melihat apa yang
terjadi, namun dia tak berani menatap wajah pimpinannya itu.
“Sekarang
aku tahu. Dugaanku tidak meleset. Hijau Satu tidak membunuh pemuda ini karena dia
memiliki wajah begini tampan. Dan ya Tuhan…Mengapa wajahnya begitu mirip
dengan…Kalau saja dia ada disini pasti akan sulit dilihat perbedaannya! Ah,
bagaimana ini? Bagaimana aku harus mengambil keputusan…?!”
Lama sang
Dewi terdiam. Lalu dia berpaling pada Hijau Satu.
“Hijau
Satu. Kau harus melakukan sesuatu terhadap pemuda ini!” terdengar suara sang
Dewi.
“Saya
siap untuk membunuhnya dan menggantung mayatnya di pepohonan, Dewi…”
“Tidak…”,
berucap sang Dewi dengan suara perlahan. “Kali ini kau kuperintahkan untuk
mengobati dirinya!”
Hijau
Satu angkat kepalanya tapi cepat-cepat menunduk.
“Perintahmu
akan saya laksanakan Dewi…” katanya. Lalu cepat-cepat dia mendukung tubuh Adi
Sara dan meninggalkan gua itu, membawanya kesebuah gua lain yang tidak jauh
dari gua dimana sang Dewi berada.
*****************
4
KETIKA
pimpinan perajurit itu muncul, Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung
Glingging saling pandang sesaat. Lalu Tawang Merto membuka mulut.
“Rundono,
melihat tampang dan gerak gerikmu muncul saat ini, agaknya ada yang tidak
beres! Apakah kau sudah menjalankan tugasmu? Lalu mana empat orang anak
buahmu?!”
“Sesuai
perintah, Adi Sara berhasil kami ringkus. Dalam keadaan pingsan pemuda itu kami
bawa ke timur dan lemparkan ke Lembah Bangkai! Namun sebelum kami meninggalkan
tempat itu, dari bawah lembah melesat sebuah tali berbentuk jiratan. Seorang
perajurit langsung terjirat lehernya dan tubuhnya kemudian tertarik ke dasar
lembah! Lalu ada empat tali lagi yang datang melesat. Saya masih sempat
menyelamatkan diri. Namun tiga anak buah saya menemui nasib sama. Mereka kena
dijirat dan lenyap di tarik ke dalam lembah!”
Kalau
bukan saja Rundono yang menjadi orang kepercayaan mereka yang menuturkan
keterangan itu, Adipati Tawang Merto dan Sawung Glingging mungkin tak akan mau
mempercayainya. Kembali kedua Adipati ini saling pandang.
“Aku
sendiri belum pernah berada di sekitar Lembah Bangkai itu,”
berkata
Tawang Merto. Namun berita yang sampai ketelingaku mengenai Lembah Bangkai itu
macam-macam. Mulai dari baunya yang busuk sampai pada adanya mayat-mayat yang
bergelantungan di cabangcabang pohon. Lalu suara-suara aneh dan angker pada
siang apalagi malam hari. Apakah semua itu benar-benar ada. Bukan hanya lamunan
seorang penakut?!”
“Rundono
telah menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Dia telah mencium sendiri bau busuk
yang luar biasa! Semua itu bukan lamunan atau cerita bohong sahabatku. Aku
punya niat untuk menyelidiki sendiri keadaan lembah yang disebut Lembah Bangkai
itu. Ada suatu keanehan di tempat itu. Siapa tahu dibalik keanehan itu ada satu
keberuntungan…”
“Calon
besanku,” menukas Sawung Glingging. “Kau bicara ngacok! Apa maksudmu dengan
keberuntungan?”
“Bukan
mustahil disitu ada seorang berkepandaian tinggi. Jika aku bertemu dengannya
siapa tahu aku kebagian ilmu yang aneh-aneh!” sahut Adipati Tawang Merto pula.
Sawung
Glingging tahu betul sifat sahabat dan calon besannya itu. Sejak muda Tawang
Merto memang gemar berkelana untu mencari dan belajar berbagai ilmu, mulai dari
ilmu silat sampai ilmu kesaktian. Bahkan dia juga memiliki banyak ilmu hitam.
Termasuk benda-benda sakti mandraguna.
“Siapapun
tidak melarangmu untuk mencari ilmu kepandaian walau saat ini kau sudah
memilikinya sekarung penuh! Tapi menyelidik dan pergi ke Lembah Bangkai kurasa
terlalu besar bahayanya sahabatku!”
“Tawang
Merto tidak pernah takut dengan siapapun!” jawab sang sahabat sambil
menyeringai dan usap-usap dadanya.
“Maksudku
bukan soal takut dan berani sahabat. Tapi ingat, kita tengah merencanakan pesta
besar. Pesta perkawinan anak-anak kita!
Apakah
kau mau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak berguna seperti itu…?”
“Hemm…
Sebenarnya ini bukan suatu hal yang tidak berguna. Tapi baiklah. Pada saat
hendak mengatur hari perkawinan anak-anak kita, tidak pada tempatnya memang
kalau aku mempunyai rencana lain. Biar maksudku menyelidiki Lembah Bangkai itu
diundur dulu sampai hari perkawinan anak-anak kita…”
Adipati
Sawung Glingging tersenyum gembira.
Sambil
menepuk bahu sahabat yang akan menjadi besannya itu dia berkata: “Seharusnya
memang begitu. Sekarang mari kita masuk untuk membicarakan rencana besar ini
bersama istri-istri kita. Jangan biarkan orang orang perempuan itu menunggu
terlalu lama. Nanti bisabisa mereka mengatur rencana sendiri!”
********************
ADI SARA
duduk di depan gua. Udara pagi terasa segar. Embun di dedaunan masih belum
pupus. Dia mengusap dadanya yang masih diberi lapisan papan tipis untuk menjaga
agar tulang iganya yang telah dipertautkan tidak bergeser. Pemuda itu menghirup
udara dalam-dalam. Namun cepat sekali jalan nafasnya menjadi sesak begitu bau
bangkai merasuk masuk ke dalam penciumannya. Ketika dia beranjak untuk masuk
kembali ke dalam gua, dara berpakaian hijau itu tahu-tahu sudah berada di
hadapannya.
“Hijau
Satu!” seru Adi Sara seraya cepat bangkit.
“Kau
sudah bisa keluar goa sendiri. Itu tanda kau sudah mulai sembuh. Benar
begitu…?”
“Aku
harapkan begitu Hijau Satu. Sembuh dan cepat bisa meninggalkan tempat ini. Aku
tidak mau membuatmu susah lebih lama…”
“Susah
bagaimana maksudmu?”
“Ah,
apakah bukan susah namanya karena selama ini kau merawat luka-lukaku?
Menyediakan makanan dan buah-buahan…”
“Semua
itu bukan suatu kesusahan bagiku. Lagi pula semua sesuai perintah…”
“Pasti
perintah dari Dewimu itu, bukan?”
Hijau
Satu mengangguk.
“Aku
sangat berterima kasih padamu Hijau Satu. Aku ingin sekali bertemu dengan
Dewimu itu…”
“Belum
saatnya Adi Sara. Belum saatnya. Tunggu sampai kau sembuh benar.”
“Berarti
berapa lama lagi aku harus berada disini?”
“Aku
tidak tahu. Dewi nanti yang akan menentukan,” jawab Hijau Satu. Dalam hatinya
dara ini berkata: “Aku kawatir Adi Sara, janganjangan Dewi tidak mengizinkanmu
meninggalkan lembah…”
“Hijau
Satu… Aku ada beberapa pertanyaan!” Adi Sara berkata.
“Tanyakanlah.
Jika aku bisa menjawab akan aku jawab. Jika kurasa Dewi tidak berkenan aku
memberi jawaban, maka aku tidak akan menjawab.”
“Baiklah,
Dewimu itu tentu seorang yang sangat agung dan berkuasa. Hingga segala
sesuatunya kau harus tunduk padanya.”
“Dia
pimpinan kami disini. Siapa saja harus tunduk pada pimpinan.”
“Kami…?
Maksudmu kau tidak sendirian disini?” tanya Adi Sara.
“Aku
tidak melihat siapa-siapa disini!”
“Dewi
punya tiga orang anak buah. Aku Hijau Satu, Hijau Dua dan Hijau Tiga…”
“Hemm…Semua
bernama Hijau…Hijau. Mana kawanmu yang dua orang itu?”
“Mereka
tengah menjalankan tugas di luar…”
“Kau
menyebut dirimu Hijau Satu. Siapa namamu sebenarnya? Apakah kau tidak punya
nama? Ah, pasti kau punya nama. Kikuk bagiku memanggilmu dengan nama Hijau Satu
itu!”
Hijau
Satu tersenyum. “Apa artinya nama? Aku tidak punya nama lain. Namaku ya itu.
Hijau Satu…”
Adi Sara
geleng-geleng kepala. “Pasti Dewimu itu lagi yang melarangmu memberi tahu nama
aslimu. Tapi baiklah, tak jadi apa. Sekarang pertanyaanku berikutnya. Dimana
aku ini berada sebenarnya?”
“Kau
berada di Lembah Bangkai,” memberi tahu Hijau Satu.
“Lembah
Bangkai! Nama aneh dan menggidikkan. Pantas sejak keluar dari gua aku mencium
bau yang sangat busuk. Bau bangkai…Nafasku menjadi sesak dan dadakku mendenyut
sakit jika aku menghirup udara dalam-dalam…”
“Sebetulnya
kau belum boleh keluar dari dalam gua itu, Adi Sara. Dan ingat satu pesanku.
Ini perintah Dewi. Kau tidak boleh meninggalkan gua lebih dari sepuluh
langkah…”
“Eh,
kenapa begitu?”
“Itu
perintah dan tidak semestinya ditanya!” sahut Hijau Satu.
Lalu dari
balik pakaian hijaunya dia mengeluarkan sebuah benda kecil, ternyata potongan
batang bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang satu jengkal. Pada ujung bambu
terdapat penyumpal terbuat dari kayu kecil. Hijau Satu tarik kayu penyumpal
lalu menyuruh Adi Sara mengulurkan tangan kirinya. Hijau Satu kemudian
menempelkan ujung bambu ke balik telapak tangan si pemuda. Sejenis minyak yang
sangat harum leleh ke atas permukaan tangan Adi Sara.
“Gosokkan
minyak itu kelobang hidungmu. Seumur-umur kau tak akan mencium lagi bau
busuknya bangkai!” Hijau Satu menutup bambu kecil lalu menyimpannya kembali ke
balik pakaiannya. Adi Sara melakukan apa yang dikatakan. Telapak tangannya yang
berminyak diusapkannya ke lobang hidungnya. Tercium bau yang sangat harum.
Perlahan-lahan bau itu sirna. Tapi kini Adi Sara tidak lagi mencium busuknya
bau bangkai.
“Minyak
ajaib!” ujar Adi Sara sambil memandang keheranan pada Hijau Satu.
“Jika kau
tak ada lagi pertanyaan, masuklah kembali ke dalam goa. Dan jangan sekali-kali
keluar jika tidak kuizinkan…”
“Masih
kurang jelas bagiku, mengapa tahu-tahu aku berada disini. Yang aku ingat adalah
kemunculan lima orang perajurit Kadipaten. Mereka menganiaya ayahku. Aku
menyerang mereka. Setelah itu aku tak ingat lagi…”
“Memang
perajurit-perajurit Kadipaten itulah yang telah membawamu ke sini lalu
melemparkan tubuhmu ke dalam Lembah Bangkai… Katakan mengapa mereka melakukan
hal itu terhadapmu…?”
Adi Sara
tidak menjawab. Ada dua bayangan wajah yang muncul dipelupuk matanya saat itu.
Pertama wajah ayahnya yang tua. Dia ingat sekali karena melihat bagaimana orang
tua itu diseret dan dipukuli oleh lima perajurit Kadipaten. Bagaimana keadaan
ayahnya saat ini? Dibawa ke Kadipaten, dipenjarakan atau sudah dibunuh oleh
orang-orang Tawang Merto?! Lalu wajah yang kedua adalah wajah Ningrum, kekasih
yang sangat dicintainya dan juga mencintai dirinya. Hanya sayang percintaan
mereka dan rencana untuk membangun rumah tangga terhalang oleh jurang lebar.
Ningrum adalah puteri Adipati Sawung yang oleh orang tuanya ternyata dijodohkan
dengan Tubagus Kolokaping, putera Adipati Tawang Metro, sahabat Sawung. Ketika
Ningrum menolak untuk dikawinkan dengan Tubagus dan dengan berani menyatakan
bahwa calon suaminya satu-satunya hanyalah Adi Sara, putera petani miskin di
desa Sumber Urip itu, maka marahlah Tawang Merto.
Bersama
Adipati Sawung Glingging dia menyusun rencana untuk menangkap, menghukum dan
memenjarakan Adi Sara dengan tuduhan sebagai ikut terlibat menjadi anak buah
kelompok garong Warok Bekontoro. Tapi dalam pelaksanaannya kemudian Adi Sara
tidak ditangkap dan dipenjarakan, melainkan dibuang ke Lembah Bangkai karena
dengan demikian jejak kematian dan lenyapnya pemuda itu tidak akan diketahui
orang lain.
“Aku
harus meninggalkan tempat ini!” kata Adi Sara.
Bagaimanapun
juga dia harus menolong ayahnya.
“Itu
tidak mungkin dilakukan!” jawab Hijau Satu.
“Mengapa
tidak? Hemm… Aku tahu. Kalau begitu apakah kau bisa menemukan aku pada Dewimu
itu?”
Hijau
Satu menggeleng. “Selain aku dan Hijau Dua serta Hijau Tiga tidak orang lainpun
boleh menemui Dewi. Kecuali Dewi memberi tahukan lain…”
“Jika
begitu aku terpaksa melarikan diri dari sini!” jawab Adi Sara tandas.
Hijau
Satu tersenyum. “Tidak satu orangpun bisa keluar hiduphidup dari Lembah
Bangkai…” katanya. Ketika dia hendak beranjak pergi, dua sosok bayangan hijau
berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri dua orang dara berpakaian
hijau seperti yang dikenakan Hijau Satu. Wajah keduanya tak kalah cantik dengan
wajah Hijau Satu.
“Hijau
Dua dan Hijau Tiga” Bagus, kalian sudah kembali. Dewi menunggu kedatangan
kalian!”
Dua dara
yang baru datang tidak segera menjawab teguran sahabatnya itu, keduanya justru
menatap tajam-tajam pada Adi Sara.
Hijau
Tiga bertanya: “Siapa pemuda berwajah pucat ini?!”
“Namanya
Adi Sara. Seminggu lalu dia dilemparkan orang-orang Kadipaten ke daiam lembah”
menerangkan Hijau Satu.
“Lalu
kenapa dia dibiarkan hidup? Tidak segera dibunuh?!” tanya Hijau Dua.
“Dewi
memerintahkan aku untuk tidak membunuhnya malah merawatnya,” jawab Hijau Satu.
Hijau Dua
dan Hijau Tiga saling pandang. “Hmmm… sungguh sulit dipercaya kalau Dewi yang
memerintahkan begitu!” Dua dara itu menatap tajam-tajam pada Hijau Satu. “Aku
yakin ada hubungan tertentu antara kau dan pemuda ini, Hijau satu…”
“Maksudmu?!”
“Kau bisa
menjawabnya sendiri!
Kau
berlaku tidak jujur! Kau menyukai pemuda ini! Betul kan?!”
“Kau
bicara melantur! Jika kau menuduhku begitu berarti kau juga menuduh Dewi
seperti itu. Jaga mulutmu Hijau Dua!”
Hijau Dua
terdiam dan ada rasa takut dalam hatinya karena telah ketelepasan bicara
seperti itu. Kawannya Hijau Tiga mengusap wajahnya sesaat lalu berkata:
“Rupanya peraturan di Lembah Bangkai sudah berubah…?”
“Dengar
kalian berdua. Yang berkuasa disini adalah Dewi dan dia pimpinan kita. Hitam
katanya berarti hitam! Putih harus putih! Sebaiknya kau tidak menghabiskan
waktu untuk mengobrol yang bukan-bukan di tempat ini! Lekas melapor pada Dewi!”
Walau
Hijau Dua dan Hijau Tiga tidak suka atas ucapan Hijau Satu itu, bagaimanapun
juga kedudukan Hijau Satu adalah diatas mereka maka mau tak mau keduanya segera
meninggalkan tempat itu setelah sekali lagi mengerling pada Adi Sara.
“Jangan-jangan
Dewi terpikat pada pemuda itu,” bisik Hijau Dua.
“Wajahnya
memang tampan…”
“Sssst…
Jangan bicara terlalu keras. Kalau Dewi sempat mendengar celaka kita berdua…”
ujar Hijau Tiga pula.
*****************
5
DI
HADAPAN DEWI bercadar hijau dan memangku kecapi, Hijau Dua dan Hijau Tiga
menjura memberi hormat lalu duduk dengan khidmat. Hijau dua kemudian membuka
mulut bertindak sebagai juru bicara pemberi laporan.
“Sesuai
perintah kami telah menyerbu markas Datuk Sora Gamanda. Tapi orang itu tidak ada
di sana. Kami disambut oleh enam anak muridnya. Semua kami musnahkan. Tak ada
yang bersisa hidup dan markas Datuk itu kami bakar!”
“Bagus!”
Dewi bercadar hijau diam sejenak. “Apakah kalian juga meninggalkan pesan
disana”!”
“Sesuai
perintah Dewi, pesanpun kami tancapkan pada sebatang pohon, diatas secarik kain
hijau bertulis huruf-huruf putih…”
“Coba
sebutkan pesan yang kalian tinggalkan itu bunyinya bagaimana?” tanya Dewi pula.
“Jika
ingin menuntut balas datanglah ke Lembah Bangkai!”
Dewi
bercadar angguk-anggukkan kepala. “Mulai sekarang kita bersiap-siap untuk
menyambut munculnya Datuk keparat itu. Lalu bagaimana dengan dua tugas kalian
yang lain?”
“Itupun
sudah kami laksanakan Dewi. Pendekar Kaki Satu kami buntungkan kakinya yang
masih utuh sedang kaki kayunya kami hancurkan. Tiga muridnya tewas. Dua
melarikan diri. Sehabis menyelesaikan urusan dengan Pendekar Kaki Satu kami
tidak lupa menancapkan pesan. Setelah itu kami menyerbu bukit Walang di selatan
namun tidak menemui Si Pedang Iblis. Kami justru disambut oleh perempuan
simpanannya yang dikenal dengan julukan Nenek Kelabang Biru…”
Wajah
Dewi dibalik cadar tampak berubah. “Pendekar Pedang Iblis yang berusia tiga
puluh tahun itu, kumpul kebo dengan seorang neneknenek berusia hampir tujuh
puluh tahun? Sulit kupercaya!” Sebenarnya bukan itu yang mengejutkan sang Dewi.
Diam-diam dia mengetahui kalau Nenek Kelabang Biru adalah salah seorang momok
golongan hitam yang sejak sepuluh tahun terakhir ini malang melintang di daerah
selatan. Kabarnya dia juga mengepalai para bajak yang gentayangan di pantai
selatan.
“Kalian
bentrokan dengan nenek itu?” tanya Dewi.
Hijau Dua
mengangguk. “Kami kemudian mengundurkan diri. Bukan saja karena memang tidak
ada urusan dengan dia, tapi ternyata ilmu kepandaiannya sungguh luar biasa.
Kami mengeroyoknya berdua. Dalam tiga jurus dia bisa mendesak dengan
serangan-serangan berbahaya…”
Dewi
mengusap dagunya lalu berkata: “Itu sebabnya aku harus cepat-cepat menurunkan
lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai. Kalian harus sudah menguasainya sebelum
para tetamu yang minta mampus itu berdatangan di lembah ini. Dan jangan lupa,
lipat gandakan meminum ramuan kulit pohon yang kuberikan agar tenaga dalam
kalian meningkat dengan cepat!”
“Kami
perhatikan hal itu Dewi dan terima kasih atas maksudmu menurunkan lima jurus
ilmu silat Lembah Bangkai.”
“Jika tak
ada lagi yang hendak kalian sampaikan atau tanyakan, aku ingin beristirahat
dulu…”
“Ada satu
hal yang ingin kami tanyakan Dewi,” sahut Hijau Dua.
“Katakan!”
“Apakah
aturan di Lembah Bangkai ini mengalami perubahan?”
bertanya
Hijau Dua. “Maksudmu?”
“Waktu
sampai kemari tadi, kami menemui seorang pemuda bernama Adi Sara tengah
berbincang-bincang dengan Hijau Satu. Menurut aturan pemuda itu siapapun dia
dan bagaimanapun caranya dia sampai disini haruslah dibunuh. Justru menurut
Hijau Satu dia telah menyelamatkannya bahkan merawatnya dari luka-lukanya…”
Sesaat
sang Dewi agak terkesiap juga mendengar pertanyaan itu, namun akhirnya dia
menjawab juga: ‘Tak ada peraturan yang berubah di Lembah Bangkai ini. Orang
luar yang datang harus dibunuh, terutama kaum laki-laki. Namun untuk maksud dan
tujuan kita, ada kalanya kita harus memperhatikan keadaan. Lagi pula…”
Belum
selesai Dewi Lembah Bangkai mengucapkan kata-katanya tiba-tiba ditempat itu
muncul Adi Sara. Melihat kedatangan si pemuda Hijau Dua dan Hijau Tiga cepat
berdiri. Salah satu dari mereka membentak.
-”Manusia
lancang! Apakah kau tidak tahu bahwa tidak seorangpun boleh masuk ke tempat ini
tanpa izin Dewi?!”
Hijau
Tiga menimpali: “Lagi-lagi Hijau Satu berlaku teledor! Pemuda ini berada
dibawah pengawasannya. Mengapa bisa masuk kemari?!”
Saat itu
pula Hijau Satu muncul disitu.
“Apa
penjelasanmu Hijau Satu?!” Dewi bertanya. Suaranya tetap halus tapi mengandung
ancaman.
“Maafkan
saya Dewi. Ketika pemuda ini sudah masuk ke dalam goa, saya kira dia tak akan
keluar lagi. Karena saya sudah memesankan aturan di Lembah Bangkai ini. Tapi
ternyata dia menyelinap dan tahutahu sudah ada disini. Saya siap menerima
hukuman!”
Hijau Dua
dan Hijau Tiga yang rupanya pada dasarnya memang tidak senang terhadap Hijau
Satu mencibirkan bibir, berharap sang Dewi segera menjatuhkan hukuman. Tapi
diluar dugaan pimpinan mereka itu justru berpaling pada Adi Sara dan berkata:
“Pemuda, kau menyalahi aturan. Memasuki tempat orang tanpa izin. Memasuki
Lembah Bangkai saja berarti mati! Apalagi berani memasuki tempat ini. Apa
kepentinganmu? Lekas katakan!”
“Pertama
harap jangan salahkan Hijau Satu. Sesuai perintah Dewi dia telah merawatku
hingga saat ini meski belum sembuh tapi keadaanku jauh lebih baik! Aku
berhutang budi dan nyawa bukan saja padanya, tetapi terutama sekali pada Dewi.
Setelah Dewi menyelamatkan nyawaku, aku tidak yakin Dewi kemudian akan
mengambilnya kembali dengan jalan membunuhku!”
“Dewi!
Pemuda ini pandai bicara! Mulutnya berbisa!” teriak Hijau Dua.
Dewi
lambaikan tangan. “Dia belum menjawab pertanyaanku mengapa dia berani masuk
kemari!”
“Untuk
itu aku mohon maafmu Dewi! Aku mengerti bahwa tempat ini adalah sangat pribadi.
Apalagi semua yang ada disini adalah orangorang perempuan. Hijau Satu sudah
memberi tahu dan melarangku keluar dari gua perawatan. Namun aku terpaksa
kemari karena harus memberi tahu bahwa aku akan meninggalkan tempat ini untuk
menolong ayahku! Orang-orang Kadipaten telah menganiayanya. Aku harus
mengetahui bagaimana keadaannya sekarang…”
“Mengapa
orang-orang Kadipaten menganiaya ayahmu?” tanya sang Dewi pula.
“Waktu
itu mereka sebenarnya hendak menangkapku. Tapi karena yang ada di rumah cuma
ayah, maka mereka menyeret dan memukuli orang tua itu. Aku harus pergi. Terima
kasih atas…”
“Tunggu
dulu! Kau harus menerangkan mengapa orang-orang Kadipaten hendak menangkapmu?!”
“Yang
jadi biang racunnya adalah Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung Glingging.
Semua gara-gara aku bermaksud mengawini Ningrum, puteri Adipati Sawung yang
ternyata diam-diam sudah dijodohkan ayahnya dengan putera Adipati Tawang yang
bernama Tubagus Kolokaping. Aku lalu difitnah sebagai ikut berkomplot dengan
Warok Bekontroro, ditangkap, dianiaya lalu dibuang ke Lembah Bangkai ini…”
“Apakah
kau sangat mencintai gadis bernama Ningrum itu?” tanya Dewi.
“Kami
benar-benar saling mencinta. Aku akan menempuh cara apa saja untuk
mendapatkannya. Tetapi kemampuan dan kekuatanku tidak mungkin untuk menghadapi
kekuasaan kedua Adipati itu…”
Paras
dibalik cadar hijau itu tampak berubah sesaat, begitu juga paras Hijau Satu.
“Hemm…”
terdengar sang Dewi menggumam. “Kapan hari perkawinan Ningrum dengan Tubagus
itu?”
“Hari ke
lima bulan enam. Jadi tiga hari lagi. Begitu yang aku dengar,” sahut Adi Sara.
Sang Dewi
tampak berpikir-pikir. Akhirnya terdengar kembali suaranya: “Mengenai diri
Ningrum kau tidak usah kawatir. Gadis itu akan dibawa kemari…”
Terkejutlah
Adi Sara. Dan lebih terkejut lagi adalah ketiga gadis berpakaian hijau. Sang
Dewi sebaliknya tetap tenang. “Hijau Dua, tugasmu untuk menculik gadis itu dan
membawanya kemari. Untuk menghadapi para tetamu yang bakal datang menyerbu kita
masih membutuhkan satu atau dua gadis lagi sebagai anak buahku. Ningrum kujadikan
Hijau Empat… Ada yang berkeberatan?”
Baik
Hijau Satu maupun Dua dan Tiga tidak berani membuka mulut. Justru yang
terdengar adalah suara Adi sara. “Dewi, jika maksudmu itu sungguhan, aku
benar-benar mengucapkan banyak terima kasih…Tapi jika gadis itu diculik, ayahku
akan jadi sasaran. Keadaannya sekarang entah bagaimana, dia pasti akan disiksa
dan dibunuh seperti yang mereka lakukan terhadapku!”
“Hijau
Tiga akan mengurus orang tuamu itu,” jawab Dewi pula.
Lalu dia
berpaling pada Hijau Satu. “Bawa dia ke dalam goamu kembali! Sekali ini aku
tidak ingin melihatnya meninggalkan goa itu tanpa izinku!”
Hijau
Satu menjura. Lalu dia memberi isyarat pada Adi Sara untuk mengikutinya.
Sebelum meninggalkan goa kediaman sang Dewi, Adi Sara menjura pada gadis
bercadar itu, juga pada Hijau Dua dan Hijau Tiga.
“Terima
kasih. Ternyata kalian adalah manusia-manusia berbudi tinggi. Aku siap berbakti
pada kalian…”
“Lupakan
hal itu! Disini tidak diperlukan bakti orang laki-laki!” sahut Dewi pula.
Setelah
Hijau Satu dan Adi Sara tak ada lagi di situ sang Dewi berpaling pada Hijau Dua
dan berkata: “Penculikan itu harus kau lakukan pada malam pesta perkawinan.
Jangan lupa meninggalkan pesan. Adipati Tawang dan Sawung Glingging termasuk
kaum laki-laki yang harus dibasmi. Aku tahu betul Tawang Merto memiliki tiga
istri dan lebih dari setengah lusin gundik peliharaan! Sawung Glingging tidak
lebih baik dari pada calon besannya itu. Walau tidak punya istri lebih dari
satu dan tidak punya gundik, tapi anak istri orang banyak yang digerayanginya!
Malam ini pelajaran lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai akan kita mulai.
Sampaikan pada Hijau Satu. Dan kalian harus punya waktu untuk beristirahat
karena pelajaran itu akan sangat menguras tenaga…”
“Kami
mohon diri dulu Dewi,” kata Hijau Dua dan Hijau Tiga berbarengan.
*****************
6
PESTA
perkawinan putera-puteri Adipati itu berlangsung sangat meriah dan penuh
kemewahan. Tamu-tamu yang datang bukan orang sembarangan, bukan saja kaum
bangsawan dan hartawan tapi banyak pula pejabat-pejabat serta tokoh-tokoh
penting dari Kotaraja. Hiburan yang menyemarakan pesta perkawinan itupun
merupakan hiburan kelas satu yaitu serombongan pemain gamelan terkenal yang
pada menjelang tengah malam akan disambung dengan permainan wayang kulit oleh
ki dalang Ronggo Suwito dari Madiun.
Selagi
para tetamu siap untuk mengambil santap malam yang disediakan di sebuah bangsal
besar, perhatian banyak orang tertarik oleh munculnya seorang tetamu gadis
jelita berpakaian hijau. Hampir semua orang terutama kaum lelaki merasakan
nafas mereka seperti tertahan. Bukan saja oleh kecantikan dan kemulusan kulit
sang dara, tetapi lebih banyak oleh pakaian hijau yang dikenakannya. Pakaian
itu begitu tipis sehingga liku-liku bentuk auratnya terlihat dengan jelas!
Sepasang
pengantin dan orang-tua masing-masing yang mengapit mereka ikut terkesiap dan
tahu-tahu tamu tunggal itu sudah berada di depan pelaminan!
“Bidadari
dari manakah yang turun ketempat pesta perkawinan anakku ini!” ujar Adipati
Tawang Merto. Kedua bola matanya terbuka lebar menggerayangi dada dan bagian
perut yang membayang dibalik pakaian hijau tipis itu. Tenggorokannya tampak
turun naik. Adipati yang memang mata keranjang ini basahi bibirnya dengan ujung
lidah. Ketika Tawang Merto hendak menegur, sang tamu jelita lebih dulu membuka
mulut.
“Aku
datang bukan untuk memberi ucapan selamat. Tapi untuk menjemput pengantin
perempuan. Ningrum tidak layak menjadi suami istri Tubagus Kolokaping!”
Bersamaan
dengan itu lampu besar di tengah bangsal hancur berantakan. Dalam keadaan yang
tiba-tiba menjadi redup gelap terdengar pekik pengantin perempuan. Lalu suara
bentakan disusul dengan mentalnya beberapa sosok tubuh.
“Penculik!
Kejar!”
“Pengantin
perempuan diculik!”
Adipati
Tawang Merto yang barusan terjajar hampir jatuh ke lantai cepat berdiri dan
mengejar. Dua kali membuat lompatan dia sudah berada di ujung bangsal dan
menghadang si baju hijau.
“Gadis
gila! Berani kau mengacaukan pesta perkawinan anakku! Berani kau menculik
puteriku! Rasakan!”
Seperti diketahui
Tawang Merto memang memiliki ilmu silat dan kesaktian. Maka sekali dia
menggebrak serangannya yang mengeluarkan angin keras membuat Hijau Dua
terkejut! Gadis ini cepat mengelak dan susupkan satu tendangan. Tapi dengan
mudah Tawang Merto menghindari tendangan itu malah kini tinjunya berkelebat ke
arah kepala Hijau Dua. Sang dara segera maklum kalau Adipati itu memiliki
kepandaian silat tinggi, Dalam pada itu beberapa orang sudah mendatangi tempat
itu dan mengurung. Beberapa pengawal yang bertugas berjaga-jaga disitu telah
pula menghunus senjata masing-masing. Sebagai anak buah Dewi Lembah Bangkai,
Hijau Dua tidak takut menghadapi orang-orang itu. Namun yang lebih penting
baginya adalah menyelesaikan tugas dengan baik yaitu membawa Ningrum dalam keadaan
selamat ke Lembah Bangkai sesuai perintah pimpinannya.
Memikir
sampai disitu Hijau Dua putar tubuhnya dan menghantam ke kiri dimana Adipati
Tawang Merto berada. Sang Adipati yang berada dalam keadaan kalap langsung
menyongsong serangan si gadis dengan satu jotosan keras. Dua pukulan saling
beradu. Tawang Merto mengeluh kesakitan. Hijau Dua terhuyung hampir jatuh.
Disaat itu dari samping ada yang menyerang dengan hantaman kursi. Ternyata
Adipati Sawung Glingging.
Melihat
keadaan tidak menguntungkannya, apalagi setelah mengetahui bahwa Tawang Merto
memiliki tenaga dalam jauh lebih tinggi darinya, Hijau Dua memutuskan untuk
melarikan diri saja.
Kursi
kayu yang dihantamkan sawung Glingging tidak mengenai.sasaran karena Hijau Dua
cepat mengelak. Sambil keluarkan suara tertawa aneh, dara ini kebutkan lengan
baju hijaunya yang panjang. Serta merta menghamparlah bau busuk yang amat
sangat di tempat itu. Semua orang merasakan nafas menjadi sesak dan dada sakit
mendenyut. Satu demi satu mereka tampak terhuyung-huyung lalu berjatuhan,
tergelimpang dalam keadaan tubuh lemas lunglai. Satusatunya yang masih mampu
tegak berdiri walaupun dengan nafas menyengat adalah Adipati Tawang Merto.
Adipati ini memburu Hijau Dua dengan satu jotosan ke arah dada. Namun yang
diserang sudah memutar tubuh dan berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
“Bangsat
penculik! Jangan kira kau bisa kabur!” teriak Tawang Merto. Dia hantamkan
tangan kanannya. Serangkum angin deras menderu. Tapi kekuatan pukulan sakti ini
hanya mencapai setengahnya saja karena keadaan tubuhnya yang menjadi lemas
akibat kebutan lengan pakaian Hijau Dua yang menyebarkan bau mayat busuk tadi.
Saat itu
Hijau Dua sendiri sudah lari jauh. Yang terdengar hanya teriakannya dalam
kegelapan malam.
“Tawang
Merto! Kalau kau masih inginkan anak mantumu, datanglah ke Lembah Bangkai!”
“Kurang
ajar haram jadah!” kertak Adipati Tawang Merto dengan dua tangan terkepal.
Perlahan-lahan tubuhnya terduduk di tanah.
Pesta
perkawinan yang tadinya begitu semarak dan penuh kemewahan kini berubah menjadi
kacau dan geger!
********************
RASA
takut disertai goncangan jiwa yang keras membuat Ningrum jatuh pingsan selama
dilarikan oleh Hijau Daun setengah malaman.
Sebelum
mata hari terbit anak buah Dewi Lembah Bangkai itu berharap sudah bisa sampai
di lembah, namun dalam berlari digelapnya malam ada satu kegelisahan merasuk
dirinya. Dia merasa ada seseorang yang membuntutinya dan dia yakin siapapun
adanya orang ini bukanlah orang dari Kadipaten karena si penguntit muncul
setelah dia jauh meninggalkan Kadipaten. Dan kesanggupan menguntit sejauh itu
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, paling
tidak mempunyai ilmu lari yang ampuh. Namun yang membuat Hijau Dua menjadi
sebal ialah setiap dia menoleh ke belakang, dia sama sekali tidak melihat si
pengejar. Seolah-olah orang itu sengaja menyembunyikan diri. Maka timbullah
niat dalam diri dara itu untuk menjebak.
Di sebuah
tikungan jalan, Hijau Dua jatuhkan selendang milik pengantin perempuan yang
sejak tadi terlibat di leher Ningrum. Lalu dia merambas semak belukar di kanan
jalan kemudian secepatnya menyeberang ke kiri jalan dan mendekam di balik
serumpunan pohon bambu. Menunggu dengan mempertajam telinga dan sepanjang mata
tak berke-sip.
Ternyata
Hijau Dua tidak menunggu lama. Mula-mula terdengar suara kaki berlari. Perlahan
sekali padahal orang itu berlari kencang. Ini sudah satu pertanda bahwa dia
bukan saja memiliki ilmu lari cepat tapi sekaligus ilmu meringankan tubuh.
Sesaat kemudian muncul satu sosok tubuh berpakaian putih. Orang ini berbadan
tegap tanda usianya masih mudah. Rambutnya gondrong menjulai bahu. Dia
mengenakan ikat kepala putih. Sambil menggaruk-garuk kepala orang ini memandang
berkeliling. Ketika berpaling ke jurusan pohon bambu Hijau Dua segera dapat
melihat raut wajahnya yang setengah terlindung oleh kegelapan.
“Hemm…Seorang
pemuda bertampang keren. Tapi lagaknya celangak celinguk seperti orang tolol!”
berkata Hijau Dua dalam hati.
Lalu
dilihatnya pemuda itu membungkuk memungut selendang pengantin.
Hijau Dua
mengomel dalam hati ketika melihat si pemuda menciumi selendang itu berulang
kali. “Jangan-jangan pemuda ini salah seorang yang tergila-gila pada Ningrum,”
pikir Hijau Dua. Dia memperhatikan terus.
Pemuda
berpakaian putih tampak melangkah ke arah semak belukar yang tadi dirambas
Hijau Dua. Dia masuk ke balik semak belukar itu, memandang berkeliling. Tapi
tidak menemukan apa yang dicarinya.
“Aneh,
tak mungkin si jelita itu amblas ke dalam bumi! Tapi kemana perginya? Mengapa
bisa lenyap? Dan selendang ini, apakah sengaja ditinggal sebagai tanda dia
memang suka diikuti…?!”
“Pemuda
geblek! Siapa suka padamu! Kenalpun tidak!” Hijau Dua mendamprat dalam hati.
Kemudian didengarnya lagi pemuda tak dikenal itu berkata.
“Biasanya
pemuda yang menculik gadis. Sekarang malah gadis menculik gadis! Mau dijadikan
apa? Ha…ha… ha… Semakin aneh dunia ini rupanya!”
“Pemuda
sialan! Dikiranya aku ini menculik Ningrum untuk dijadikan apa!” Kembali Hijau
Dua mengomel. Kalau diperturukannya hatinya yang memberingas mau dia keluar
dari balik pohon bambu saat itu juga dan menghajar pemuda bermulut seenaknya
itu.
“Ah,
nasibku sial! Mungkin dia sudah kabur! Baiknya aku kembali saja ke Kadipaten…!”
Si gondrong kalungkan selendang pengantin di lehernya lalu berbalik dan
tinggalkan tempat itu ke arah mana dia datang sebelumnya. Setelah menunggu
beberapa lama dan yakin pemuda tadi benar-benar telah meninggalkan tempat itu,
Hijau Dua keluar dari balik rerumpunan pohon bambu lalu meneruskan perjalanan
menuju Lembah Bangkai.
Dibalik
sebatang pohon jati tua, terdengar suara tertawa perlahan. Lalu keluar sosok
tubuh pemuda tadi.
“Penipu
tertipu! Mana ada pemuda sepertiku ini bisa ditipu semudah itu…!” Dia kembali tertawa
lalu mulai mengejar ke jurusan lenyapnya Hijau Dua yang memanggul tubuh
Ningrum.
*****************
7
UDARA
PAGI yang seharusnya penuh kesegaran itu justru sama sekali tidak dirasakan
Pendekar 212 Wiro Sableng ketika pengejarannya berakhir di pinggir lembah yang
merupakan jurang dalam penuh semak belukar dan batu-batu besar bertonjolan
disana-sini. Hidungnya mencium bau busuk yang amat sangat. Wiro memandang ke
arah lembah.
“Gadis
ini lenyap di sekitar tempat ini! Apakah dia kabur menuruni lembah busuk ini?”
Murid Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede itu meneliti kembali. Kemudian
melengaklah sang pendekar ketika kedua matanya melihat sosok-sosok mayat yang
bergelantungan di cabang-cabang pepohonan!
“Gila!
Tempat apa inir Siapa yang digantung dan siapa yang menggantung?!” Dia
berpikir-pikir apakah akan segera saja menuruni lembah meneruskan penyelidikan.
Selagi dia menimbang-nimbang begitu rupa tiba-tiba terdengar suara nyanyian
dari arah lembah, ditimpali petikan kecapi.
Lembah
Bangkai lembah kematian
Jangankan
menjejakkan kaki
Melihatnya
sajapun sudah cukup alasan untuk mati!
Tak ada
yang datang dan bisa pergi
Tak ada
yang pergi membawa nyawa di badan
Lembah
Bangkai lembah kematian
Siapa
yang datang tak bisa kembali pulang!
“Ah, ini
baru kejutan!” ujar Wiro sambil garuk kepala. Kedua matanya memandang tajam ke
arah lembah. “Ada mahluk bermukim di dasar lembah sana. Mungkin jin mungkin
manusia aneh! Petikan kecapi, suara nyanyian… Jelas mengandung tenaga dalam.
Kalau tidak mana bisa sampai terdengar sejauh ini…!”
Selagi
Wiro bicara sendirian seperti itu tiba-tiba dia melihat sesuatu melesat sangat
cepat dari dasar lembah. Ketika diperhatikan benda itu ternyata seutas tali
yang ujungnya berbentuk buhul besar.
Dalam
waktu sekejapan saja buhul besar itu telah menyambar ke arah kepala Wiro. Dalam
keterkejutannya masih untung pemuda ini sempat jatuhkan diri. Tali lewat di
atas kepalanya, jatuh melibat sebatang pohon kecil. Begitu tali melibat pohon,
terdengar suara berderak. Batang pohon terangkat ke atas, akarnya tercabut berserabutan.
Sesaat kemudian pohon itu terbetot ke bawah, meluncur ke dalam lembah! Wira
dapat membayangkan kalau batang lehernya tadi sempat dilibat tali aneh itu!
“Ada
orang sakti di dalam lembah yang pergunakan kepandaian nya untuk mencelakai dan
membunuh sesama manusia!” ujar Wiro dalam hati. “Gadis berbaju hijau yang
menculik pengantin perempuan itu…?!” Menduga sampai disitu membuat semakin
bulat tekad sang pendekar untuk turun ke dalam lembah. Sementara itu dari bawah
sana kembali terdengar suara nyanyian dan petikan kecapi. Wiro menunggu sampai
suara nyanyian dan petikan kecapi itu berhenti. Lalu pendekar ini pentang mulut
keluarkan suara nyanyian. Nadanya sungguh tidak sedap karena sumbang. Tapi
syair seenaknya yang dinyanyikannya justru membuat penghuni lembah dibawah sana
menjadi tidak enak dan marah.
Lembah
indah ciptaan Tuhan
Berselimut
bau busuk ciptaan insan
Sungguh
memalukan pekerjaan yang kau lakukan
Bukan
mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan
Tapi
mengotori dengan mayat dan kebusukan
Urusan
kematian adalah urusan Gusti Allah
Manusia
jangan sombong merasa perkasa
Bila ajal
sampai sudah
Kaupun
akan berkubur di liang tanah
Lembah
Bangkai diselimuti kesunyian begitu gema nyanyian Pendekar 212 lenyap. Tapi
sepasang mata murid Sinto Gendeng tak bisa ditipu. Tersamar diantara kehijauan
daun-daun pepohonan dia melihat dua bayangan hijau bergerak cepat menuju bagian
atas lembah. Wiro menunggu. Tapi dua bayangan itu mendadak berhenti di lereng
lembah, dan mendekam di suatu tempat seolah-olah menunggu sesuatu.
Di saat
yang sama Wiro mendengar suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika dia
berpaling dilihatnya Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung Glingging sudah
berada di tepi lembah beserta lebih dari dua puluh perajurit bersenjata
lengkap.
“Orang
muda! Siapa kau?! Apakah kau penghuni di tempat ini?!”
Tawang
Merto mendekati Wiro sambil menutup hidung, tak tahan mencium bau busuknya
mayat.
“Aku baru
saja sampai di lembah ini!” jawab Wird. “Hemmm, apa yang kau lakukan pagi-pagi
disini?!” yang bertanya kini adalah Adipati Sawung Glingging.
“Aku
mencari seseorang,” jawab Wiro lagi.
“Hemm…gerak
gerikmu mencurigakan! Jangan-jangan kau anggota komplotan penculik anakku!”
Wiro
tersenyum dan menyahuti: “Adipati, jangan asal menuduh saja. Kau saksikan sendiri
tempat ini. Angker dan menebar bau busuk! Inilah Lembah Bangkai!”
“Nah, kau
tahu nama lembah ini, pasti kau penghuni disini!”
“Ayah!
Aku yakin manusia satu ini terlibat dalam penculikan istriku!” seorang pemuda
yang juga menunggang kuda menyeruak ke depan lalu berteriak: “Pusaka Kadipaten!
Tangkap pemuda ini!”
Sepuluh
perajurit segera melompat turun dari kuda mereka.
“Kalian
gila semua atau bagaimana? Tidak ada ujung pangkal hendak menangkapku?!” teriak
Wiro jadi gusar. Tapi sepuluh perajurit itu merangsak maju.
“Bunuh
dia kalau berani melawan!” berkata pemuda diatas kuda.
Dia bukan
lain adalah Tubagus Kolokaping, putera Adipati Tawang Merto. Kehilangan
istrinya disaat bersanding dipelaminan membuatnya ingin membunuh siapa saja
saat itu.
Ketika
perajurit-perajurit Kadipaten itu hanya tinggal tiga langkah lagi dari hadapan
Wiro, tiba-tiba dari dasar lembah terdengar alunan nyanyian dan petikan kecapi.
Adipati Tawang Merto dan calon besannya Sawung Glingging terkesiap dan saling
pandang. Sepuluh perajurit yang hendak meringkus Wiro seolah-olah terpukau dan
hentikan gerakan mereka.
“Betul
apa yang dikatakan Rundono tempo hari. Lembah Bangkai. Ada bau busuk. Ada suara
nyanyian aneh dan petikan kecapi yang menggidikkan…” berbisik Sawung Glingging.
“Jangan
kita terpengaruh oleh pendengaran yang bukan-bukan. Tidak ada jin atau setan
yang pandai menyanyi dan main kecapi! Itu pasti manusia juga. Aku yakin ini
markas penculik keparat itu!” ujar Tawang Merto. Dia bersiap-siap mencari jalan
untuk menuruni lembah dan memberi isyarat pada perajurit-perajurit yang ada
dibelakangnya.
“Perajurit-perajurit
tolol! Mengapa kalian diam saja?! Lekas tangkap pemuda gondrong itu!” terdengar
Tubagus Kolokaping berteriak marah ketika dilihatnya perajurir-perajurit yang
tadi sudah siap untuk meringkus Wirio kini malah tegak seperti terpukau!
Dibentak
begitu rupa sepuluh perajurit itu seperti sadar. Sambil berteriak mereka
melompati Pendekar 212 Wiro Sableng.
Adipati
Tawang Merto yang sudah siap menuruni bibir lembah jadi menahan tali kekang
kudanya ketika dia melihat enam dari sepuluh perajurit Kadipaten yang hendak
menangkap pemuda berambut gondrog itu mencelat dan berkaparan di tepi lembah
sambil mengerang kesakitan. Empat lainnya tertegun ketakutan.
Marahlah
orang-orang Kadipaten itu, terutama Tawung Merto, anaknya Tubagus Kolokaping
dan Adipati Sawung Glingging. Langsung saja Tawang Merto memerintahkan agar
Wiro dibunuh saat itu juga!
Belasan
senjata dihunus. Tubagus Kolokaping mencekal sebilah, golok panjang erat-erat.
Selain ayahnya, dialah yang paling mendendam atas penculikan terhadap Ningrum.
Tawang
Merto melompat dari kudanya. Justru inilah yang menyelamatkannya dari seutas
tali yang tiba-tiba melesat dari dasar lembah. Buhul besar yang tadinya akan
menyambar kepalanya, kini hanya sempat menjirat leher kuda tunggangan. Binatang
ini meringkik keras, melejang-lejangkan keempat kakinya. Lalu dalam keadaan
seperti itu tubuhnya terseret menggelinding ke dalam lembah!
Walau apa
yang terjadi dengan kuda tunggangannya itu sempat membuat kuduk Tawang Merto
mengkirik, namun saat itu dia lebih mementingkan pada tekadnya bersama yang
lain-lain untuk membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Disaat
yang menegangkan itu tiba-tiba muncul dua bayangan hijau. Udara di bibir lembah
serta merta menjadi busuk luar biasa. Semua orang merasakan nafas menjadi
sesak. Yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua Adipati dan puteranya serta
Wiro Sableng segera menutup jalan penciuman. Tetapi perajurit-perajurit yang
belasan jumlahnya mulai batuk-batuk, sakit mendenyut pada dada masing-masing
dan kedua kaki bergetar lemas, hampir tak kuasa lagi menunjang tubuh mereka.
Sementara itu puluhan kuda tunggangan yang ada disitu mulai resah, meringkik
tiada henti bahkan ada yang sudah menghambur lari dari tempat itu.
Melihat
munculnya dua gadis berpakaian tipis berwarna hijau, perhatian semua orang
terhadap Wiro Sableng menjadi beralih.
“Bangsat
penculik! Dikejar kau datang sendiri! Mana puteriku?!” teriak Adipati Sawung
Glingging.
Hijau Dua,
dara berpakaian hijau tipis yang tegak berkacak pinggang tersenyum mencibir.
“Kau rupanya ayah gadis itu! Sesuai permohonan anakmu, Dewi telah memberi
putusan mengampuni jiwamu! Nah, kau tunggu apa lagi! Lekas minggat dari sini!”
“Dewi…Dewi
siapa maksudmu, penculik keparat?!” teriak Tubagus Kolokaping.
Plaakk!
Satu
tamparan keras melabrak pipi pengantin yang kecurian istri itu. Tubuhnya
berputar terhuyung-huyung lalu terbanting ke tanah. Bibirnya pecah mengucurkan
darah. Melihat hal ini sang Ayah, Adipati Tawang Merto menggerung marah dan
lepaskan satu jotosan ke wajah Hijau Dua. Dari samping Hijau Satu memapasi
serangan Adipati itu dengan satu tendangan ke arah perut. Membuat Tawang Merto
terpaksa batalkan serangannya pada Hijau Dua lalu membalik, maksudnya untuk
menggebuk Hijau Satu. Akibatnya bentrokan dua lengan tidak terhindarkan. Hijau
Satu terpekik. Tubuhnya terhuyung, lengan kanannya terasa seperti patah.
Sebaliknya Tawang Merto jatuh duduk di tanah. Wajahnya pucat. Adipati ini cepat
melompat bangkit. Kalau tadi dia mengerahkan hanya setengah bagian saja dari
tenaga dalamya, maka kini dia kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang
dimilikinya.
Akan
halnya Wiro, karena merasa orang sudah melupakan dirinya maka pemuda ini
melompat ke cabang sebatang pohon dan memutuskan untuk menonton saja apa yang
terjadi dibibjr Lembah Bangkai itu!
Tidak
percuma Tawang Merto mempelajari berbagai ilmu silat dan kesaktian selama
belasan tahun. Serangan-serangan yang dilancarkannya menimbulkan deru angin,
dibelakang kedua kakinya debu beterbangan. Dalam waktu singkat dia berhasil
mendesak Hijau Dua. Sebetulnya dalam ilmu silat gadis muda anak buah Dewi
Lembah Bangkai itu tidak berada dibawah tingkat kepandaian sang Adipati. Namun
tenaga dalam yang dikerahkan penuh oleh lawan membuat Hijau Dua harus
berhati-hati dan memilih lebih baik mundur atau berkelit pada saat dia
merasakan tidak mungkin mengadu kekuatan.
Berlainan
dengan Tawang Merto yang menunjukkan kehebatannya maka Adipati Sawung Glingging
yang dibantu oleh tubagus Kolokaping sama sekali tidak berdaya menghadapi
serangan-serangan Hijau Satu. Sesuai dengan pesan yang diterimanya dari sang
Dewi, Hijau Satu tidak mau menciderai Sawung Glingging yang ayah Ningrum itu,
sebaliknya serangannya dititikberatkan pada sang calon pengantin pria yang
sial. Akibatnya Tubagus Kolokaping menjadi bulan-bulanan hantaman Hijau Satu.
Dalam empat jurus saja pemuda itu sudah babak belur dan tergelimpang di tanah.
Sawung
Glingging yang menjadi kecut berteriak pada perajuritperajurit Kadipaten.
Setengah lusin perajurit maju. Keenam perajurit ini dibikin babak belur dalam
tiga jurus. Sawung Glingging melompat mundur dengan muka pucat.
“Sekali
lagi aku memberi kesempatan. Apakah kau masih tidak mau minggat dari tempat
ini?!”
Mendengar
ucapan Hijau Satu dan menyadari bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk
menghadapi gadis baju hijau itu sendirian. Adipati Sawung Glingging melompat ke
atas punggung seekor kuda lalu menggebrak binatang itu meninggalkan lembah.
Beberapa perajurit yang juga sudah meleleh nyalinya termasuk Tubagus Kolokaping
melakukan hal yang sama. Hingga kini tinggallah Adipati Tawung Merto seorang
diri, masih ditunggui oleh sebelas perajurit yang rata-rata berada dalam
keadaan ketakutan.
Perkelahian
antara Hijau Dua dan Tawang Merto semakin hebat. Masing-masing mengeluarkan
kepandaian. Tawang Merto andalkan tenaga dalam yang tinggi dan pukulan-pukulan
sakti tangan kosong. Sebaliknya Hijau Dua andalkan kegesitan serta
pukulan-pukulan ujung lengan baju hitamnya yang membersitkan angin deras
mengandung hawa busuk menyesakkan. Meskipun dia dapat membendung semua serangan
lawan namun lama-lama Hijau Dua yang kurang pengalaman itu mulai terdesak dan
beberapa kali dia hampir kena hantaman pukulan lawan yang mengandung
jebakan-jebakan mematikan.
Melihat
hal ini, Hijau Satu keluarkan suara suitan nyaring. Dari dalam lembah tiba-tiba
melesat seutas tali yang ujungnya membentuk lingkaran maut. Ujung tali ini
menderu ke arah kepala Tawang Merto yang saat itu sama sekali tidak menyadari
karena dengan segala dendam dan kemarahan berusaha menghabisi Hijau Dua. Ketika
tali maut itu hampir lolos melewati kepalanya untuk menjirat lehernya, tibatiba
sebatang patahan cabang kecil melayang ke udara. Tali yang siap menjirat dan
menyeret tubuh Tawang Merto terpukul mental. Sang Adipati selamat dari maut.
“Bedebah
minta mampus! Siapa yang berani mencampuri urusan orang-orang Lembah Bangkai!”
teriak Hijau Satu marah. Sebagai jawaban terdengar suara tawa mengekah. Hijau
Satu berpaling dan kagetlah gadis ini!
*****************
8
TEGAK
sepuluh langkah di sebelah kirinya, Hijau Tiga melihat seorang nenek berpakaian
kuning bermuka hitam. Didada pakaiannya terpampang gambar kelabang berwarna
biru. Inilah Nenek Kelabang Biru tokoh silat golongan hitam yang ditempur Hijau
Tiga dan Hijau Dua beberapa waktu lalu. Kehebatan si nenek membuat dua anak
buah Dewi Lembah Bangkai terpaksa mengundurkan diri. Disamping si nenek berdiri
seorang lelaki berwajah tampan tapi bersikap sombong. Sebilah pedang tersisip
di pinggangnya sebelah kanan. Orang inilah yang diketahui hidup sebagai suami
istri dengan si nenek dan bergelar Pendekar Pedang Iblis.
Si nenek
masih terus tertawa mengekeh. Ketika hentikan tawa terdengar suaranya yang
nyaring.
“Begini-begini
saja keadaan Lembah Bangkai! Busuk bau! Ternyata tidak ada apa-apanya. Kecuali
mayat-mayat tak berguna bergelantungan disana sini untuk menakuti binatang
hutan! Hik…hik…hik! Beberapa waktu lalu kalian berdua mengunjungiku di bukit
Walang. Menjajal kehebatanku lalu lari. Hik…hik…hik! Saat ini aku membawa serta
kekasihku! Bukankah dia yang kalian cari?!”
“Kalian
berdua tunggulah sampai kami menyelesaikan urusan dengan Adipati Tawang Merto!
Jangan mencoba kabur! Sekali datang di Lembah Bangkai tak ada lagi jalan
pulang!” menjawab Hijau Tiga. Lalu dia berkelebat membantu Hijau Dua yang
tengah didesak oleh Tawang Merto. Mendapat dua lawan tangguh begitu rupa
betapapun hebatnya sang Adipati, dalam waktu tiga jurus dia segera terdesak
hebat. Dengan mengertakkan geraham Tawang Merto cabut senjata mustika yang disimpannya
dibalik pakaian. Senjata ini adalah sebilah pisau bermata dua yang berlobang di
bagian badannya, memancarkan sinar redup kehitaman tanda mengandung racun
jahat.
Melihat
lawan keluarkan senjata berbahaya Hijau Dua dan Hijau Tiga segera loloskan selendang
yang dijadikan ikat pinggang. Selendang hijau ini dikebut demikian rupa
sehingga setiap Tawang Merto menikam atau membabatkan pisaunya dia merasakan
seperti ada dorongan angin keras menderanya. Lama-lama Adipati ini menjadi
kalang kabut sendiri. Beberapa kali ujung selendang kedua lawannya berhasil
menghantam tubuhnya. Sang Adipati merasakan ada hawa aneh yang menjalari
dirinya. Keringat dingin mengucur disekujur badannya.
Selagi
terdesak seperti itu, dia berteriak pada sebelas perajurit yang masih ada
disitu agar membantu. Namun semua perajurit tidak ada yang berani bergerak!
“Perajurit-perajurit
pengecut! Kelak kalian akan kuhukum gantung satu persatu “teriak Tawang Merto
marah.
“Jika
kami berdua menjadi perajurit-perajurit yang berani, hadiah apa yang akan kau
berikan pada kami Adipati?!” terdengar suara nenek Kelabang Biru.
Adipati
Tawang Merto melompat mundur menjauhi kedua lawannya dan berpaling. Dia tidak
mengenali siapa adanya lelaki disamping si nenek. Tetapi melihat si nenek dia
rasa-rasa pernah berjumpa sebelumnya. Berpikir sejenak lalu dia ingat.
“Hai,
orang tua keren, bukankah kau Nenek Kelabang Biru yang dulu pernah membantu
pasukan Kerajaan ketika membasmi kaum pemberontak di selatan?!”
“Ah…a
h…ah! Kau masih tidak melupakan jasa yang dibuat kekasihku!” menyahuti Si
Pedang Iblis. “Kau belum menjawab pertanyaannya tadi!”
“Aku…Sekotak
penuh perhiasan emas dan batu-batu permata, sepuluh ringgit emas menantimu di
Kadipaten jika kau dan kekasihmu itu mau membantuku menyingkirkan dua gadis
keparat ini!”
“Nenek
Kelabang Biru! Jangan kau berani mencampuri urusan kami!” teriak Hijau Dua
memperingatkan.
“Ah,
sudah terlanjur! Sudah terlanjur! Seharusnya kau memberi kehormatan pada kami.
Bukankah secara tidak langsung kalian berdua telah mengundang kami untuk datang
kemari?!”
Kawatir
si nenek dan kekasihnya akan berubah pikiran maka Adipati Tawang Merto cepat
berkata: “Tidak perlu bertutur cakap dengan gadis-gadis sesat ini! Mari kita
sama-sama membasminya!”
“Aku
sudah siap!” jawab si Nenek Kelabang Biru. Dia merangkul Pedang Iblis, mencium
pipinya lalu bertanya: “Kekasihku! Kau sudah siap pula?!”
“Tentu,
tentu! Sahut Pedang Iblis. Lalu mengecup bibir si nenek lumat-lumat, membuat
Hijau Dua dan Hijau Tiga merasa jijik melihatnya. Di atas pohon Pendekar 212
Wiro Sableng hampir tidak dapat menahan tawa melihat kelakuan lelaki muda dan
nenek renta itu!
“Gila
gendeng! Tapi biar aku ikut-ikut gila bersama orang orang sedeng itu!” kata
Wiro. Ketika Nenek Kelabang Biru dan Pedang Iblis bergerak maju mengurung, Wiro
melompat turun dari atas cabang pohon.
Saat itu
sebenarnya Hijau Dua dan Hijau Tiga diam-diam merasa bimbang apakah mereka
berdua mampu menghadapi tiga lawan sekaligus. Yang mereka risaukan bukannya
Adipati Tawang Merto, tapi justru si nenek dan kekasih mudanya itu!
“Berkelahi
tiga lawan dua bukan saja tidak seimbang tapi bisa dianggap pengecut main
keroyok! Biar aku membantumu gadis-gadis jelita!” Wiro berseru lalu di udara
dia membuat jumpalitan dua kali berturut-turut. Ketika menjejakkan kaki di
tanah, pendekar ini tegak diantara Hijau Dua dan Hijau Tiga.
“Eh, tadi
kulihat dua kekasih itu berciuman dulu sebelum masuk kalangan pertempuran.
Apakah kita bertiga tidak berciuman pula?!” ujar Wiro seraya berpaling pada
Hijau Dua dan Hijau Tiga lalu tertawa gelakgelak. Tentu saja paras Hijau Dua
dan Hijau Tiga menjadi merah. Sebaliknya si nenek dan kekasihnya yang merasa
tersinggung dengan ejekan itu sama membesi wajah masing-masing.
“Pemuda
bertampang tolol!” bentak si nenek. “Aku berani bertaruh, dua gadis itu tidak
akan mau menciummu. Tubuhmu saja apeknya tercium sampai kemari!” Lalu Nenek
Kelabang Biru tertawa gelak-gelak.
Meskipun
hatinya dongkol setengah mati, namun kehadiran pemuda tak dikenal itu mau tak
mau dirasakan sebagai pertolongan yang tidak terduga oleh Hijau Dua dan Hijau
Tiga. Melihat caranya tadi melompat dari atas cabang pohon yang tinggi jelas
dia memiliki kepandaian. Tapi sampai ditingkat mana kepandaiannya itu? Apakah
mampu menghadapi tiga lawan, terutama si Nenek Kelabang Biru yang berbahaya dan
ganas itu?!
“Soal
cium mencium dengan dua gadis ini kita lupakan saja!” ujar Wiro. “Tapi kalau
kalian bertiga nanti sampai jatuh di tangan kami, apakah kau akan mau menciumku
nek?!” Lagi-lagi Wiro mengejek. Si nenek terdengar menggereng. “Jangankan
mukamu, pantatmupun akan kucium jika aku sampai kalah olehmu!” kata si nenek saking
marahnya.
“Ha…Ha!
Bagus! Semua mendengar! Semua jadi saksi!” seru Wiro.
Nenek
Kelabang Biru memberi isyarat pada kekasihnya. Pedang Iblis segera hunus
senjata andalannya yakni sebilah pedang panjang yang berkilat-kilat ditimpa
sinar matahari pagi. Senjata itu diputar dua kali berturut-turut! Dan
terjadilah hal yang hebat! Belasan daun pepohonan yang terkena sambaran pedang
runtuh ke tanah. Gaganggagang daun tampak putus seperti ditebas benda tajam!
Melihat
hal ini diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng mau tak mau jadi tercekat juga
sedang Hijau Dua dan Hijau Tiga merasa gelisah. Dari apa yang dipamerkan Pedang
Iblis ternyata lelaki itu memiliki kepandaian diatas si nenek kekasihnya.
Padahal
beberapa waktu lalu mereka berdua pernah menempur si nenek dan mengundurkan
diri sebelum mendapat celaka. Hijau Dua berusaha membangkitkan semangat diri
sendiri dan semangat kawannya dengan berbisik: “Tak usah takut Hijau Tiga! Ini
saatnya kita mengeluarkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai yang diajarkan
Dewi!”
Hijau
Tiga mengangguk. Keduanya alirkan tenaga dalam ke lengan kanan, terus
disalurkan ke selendang hijau yang mereka pegang. Selendang yang tadi lemah
gemulai itu tiba-tiba berubah seperti sebuah pentungan besi. Tapi bila
dikehendaki dalam sekejap mata kembali menjadi lemas dan bisa membelit atau
menjirat! Inilah salah satu kehebatan ilmu silat yang diajarkan Dewi Lembah
Bangkai pada ke dua anak buahnya itu.
“Kekasihku,
apa lagi yang ditunggu! Mari kita berpesta pora!” seru Nenek Kelabang Biru. Dia
berpaling pada Tawang Merto. “Adipati, jangan bengong saja! Pilih salah satu
dara jelita itu jadi lawanmu. Yang satu lagi biar kekasihku yang melayani!
Pemuda tolol bau apak ini biar aku yang akan menguliti tubuhnya!”
Habis
berkata begitu Nenek Kelabang Biru melompat ke arah Wiro Sableng. Murid Sinto
Gendeng sempat melihat bagaimana kedua tangan si nenek yang tadinya hitam
keriputan tiba-tiba berubah menjadi biru kelam tanda sudah dialiri tenaga dalam
yang menyalurkan racun jahat!
Dua
tangan menggapai kedepan. Cepat sekali. Satu tangan tahu-tahu sudah
mencengkeram ke arah tenggorokan sedang satunya menusuk ke jurusan perut!
Pendekar
212 berkelit ke kiri lalu putar tubuhnya dan mainkan ilmu silat orang gila yang
didapatnya dari tua gila karena menurutnya jurus-jurus silat yang seperti orang
mabuk itulah yang sanggup menghadapi serangan lawan yang mengandalkan sepasang
tangan beracun.
Hijau
Tiga tanpa menunggu lebih lama langsung menghambur ke arah Tawang Merto.
Selendangnya berkelebat kian kemari, berusaha mementahkan setiap tusukan atau
sambaran pisau di tangan sang Adipati.
Sementara
itu Hijau dua sudah terlibat dalam perkelahian yang hebat dengan Pedang Iblis,
Keganasan ilmu pedang lelaki berusia tiga puluh tahun itu seolah-olah
terbendung oleh kehebatan selendang di tangan Hijau Dua yang bisa meliuk
mematuk seperti ular atau menderu membelit siap menjirat tangan atau senjata
lawan tapi juga bisa berubah seperti sebuah tongkat baja yang keras.
Pedang
Iblis kertakkan rahang. Dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis jelita yang
hanya bersenjatakan sehelai selendang hijau itu akan sanggup menghadapi pedang
mustikanya yang tersohor di delapan penjuru angin! Maka sambil membentak
garang, Pedang Iblis rubah permainan pedangnya. Senjata itu kini lenyap berubah
menjadi sebuah sinar yang menusuk, membabat atau membacok dalam gerakan kilat
yang sulit diduga. Beberapa kali Hijau Dua terpekik karena ujung selendangnya
berhasil dirobek atau dibabat putus oleh senjata lawan. Lambat laun selendang
itu hanya tinggal tiga jengkal saja lagi. Hijau Dua mulai terdesak. Dalam
keadaan kepepet begitu rupa Hijau Dua segera keluarkan lima jurus ilmu silat
Lembah Bangkai yang baru saja dipelajarinya dari Dewi Lembah Bangkai. Setiap
kedua lengannya bergerak, dari ujung lengan pakaian hijaunya menghambur angin
deras yang mengeluarkan hawa dingin disertai sambaran bau busuk luar biasa!
Pedang Iblis merasakan kepalanya pusing dan nafasnya sesak.
Sepasang
matanya mulai kabur. Cepat-cepat lelaki ini menutup penciumannya lalu kerahkan
tenaga dalam untuk meredam hawa beracun yang coba menguasai dirinya. Pedang
saktinya diputar dengan sebat, namun sampai lima jurus dimuka tetap saja dia
tidak sanggup menerobos pertahanan Hijau Dua. Marahlah lelaki ini. Tangan
kirinya diangkat. Setiap dia melancarkan serangan dengan pedang, tangan kirinya
ikut menggempur. Hijau Dua merasa seolah-olah dia dijepit dari kiri kanan, Ilmu
silat Lembah Bangkai yang baru dikuasainya menjadi kacau. Perlahan-lahan tetapi
pasti dara ini terpaksa bertindak mundur terus-terusan dan bertahan
mati-matian.
Lain
halnya perkelahian antara Tawang Merto dengan Hijau Tiga. Empat jurus berlalu.
Mula-mula terlihat perkelahian berjalan seimbang. Namun memasuki jurus kelima
Adipati berkepandaian tinggi itu membuat gebrakan-gebrakan beruntun. Hijau tiga
terpekik ketika pisau di tangan lawan merobek besar dada pakaiannya. Payu
daranya yang putih dan kencang tersingkap lebar membuat sesaat Tawang Merto
yang memang doyan perempuan itu jadi terkesiap, Dengan cepat Hijau Tiga tutupi
dadanya dengan selendang hijau, Akibatnya dia kini tidak bersenjata. Didalam
hati Adipati Tawang Merto timbullah maksud kotor. Dengan pisaunya dia akan
merobek-robek seluruh pakaian gadis itu. Maka dia menyerbu kembali. Tapi sang
Adipati kecele. Saat itu Hijau Tiga sudah mulai keluarkan lima jurus ilmu silat
Lembah Bangkai. Bau busuk menghampar dan melabrak kearah Tawang Merto membuat
Adipati ini sulit bernafas.
“Edan!”
teriak Tawang Merto marah. Tangan kirinya dipukulkan ke depan. Serangkum angin
panas menderu. Hijau Tiga menekuk kedua lututnya. Berbarengan dengan itu kedua
tangannya dipukulkan ke depan menyongsong serangan lawan. Kedua pihak yang
mengadu kekuatan tenaga dalam lewat pukulan sakti sama-sama keluarkan seruan
tinggi. Tawang Merto terjajar beberapa langkah. Dadanya mendenyut sakit. Wajahnya
sepucat kertas. Di depannya Hijau Tiga jatuh terduduk di tanah dengan wajah
juga pucat pasi dan ada darah membersit disela bibirnya. Melihat lawan terluka
di dalam Tawang Merto cepat memburu. Pisau beracun di tangan kanannya
ditusukkan ke leher Hijau Tiga. Gadis ini tak mampu mengelak. Dia coba memukul
tangan lawan yang memegang senjata maut dengan tangan kiri karena tangan kanan
dipakai bersrtekan ketanah agar tidak jatuh. Pukulan tangan kiri itupun luput!
Ujung pisau beracun terus meluncur deras ke arah lehernya!
Terdengar
pekik Hijau Tiga menyambut kematian yang tak bisa dihindarinya. Sebaliknya
Tawang Merto sendiri tiba-tiba saja merasakan seperti ada satu tembok besar
yang menghantam tubuhnya hingga dia tersapu ke kiri dan jatuh teguling di tanah!
Itulah pukulan sakti “benteng topan melanda samudera” yang dilepaskan Pendekar
212 Wiro Sableng yang masih sempat melihat bahaya maut mengancam Hijau Tiga.
Tawang
Merto berdiri tertatih-tatih, Sebagian tubuhnya terasa seperti hancur. Dalam
keadaan seperti itu dia sadar benar tak ada gunanya meneruskan pertempuran.
Maka Adipati ini cepat menghampiri seekor kuda besar. Namun sebelum dia sempat
naik ke atas punggung binatang ini, tiba-tiba seutas tali menyambar dari
belakang. Terdengar suara patahnya tulang leher Adipati ini ketika jeratan tali
menyentak dan tubuhnya diseret oleh satu kekuatan besar masuk terjerumus ke
dalam Lembah Bangkai!
*****************
9
KARENA
berusaha menolong Hijau tiga, berarti Wiro tidak dapat memusatkan seluruh
pematiannya dalam menghadapi Nenek Kelabang Biru. Kesempatan ini tidak
disia-siakan lawan. Dengan gerakan kilat perempuan tua itu melesat ke depan.
Dua tangan kembali mencengkeram sedang lutut kanan dilipat dan sesaat kemudian
kaki kanan itu menendang ke arah dada. Pendekar 212 terkesiap. Dari tiga
serangan lawan dia tahu pasti cengkeraman tangan kiri kanan si nenek adalah
yang paling berbahaya karena mengandung racun kelabang yang ganas dan
mematikan. Dengan gerakan ilmu silat orang gila yang aneh Wiro berhasil
selamatkan kepala dan lehernya dari serangan dua tangan. Untuk menghindarkan
tendangan ke arah dada pendekar ini jatuhkan diri ke belakang. Ketika si nenek
memburu dengan geram karena tiga serangannya luput, Wiro angkat kakinya sebelah
kiri dan selusupkan ke selangkangan si nenek “Manusia kurang ajar!” teriak
Nenek Kelabang Biru marah sekali. Sambil membuang diri kesamping dia menghantam
dengan tangan kanan. Satu sinar biru menderu bergemuruh!
“Mampus!”
teriak si nenek karena yakin dengan pukulan sakti yang selama ini tidak bisa
dihadapi siapapun dia akan mampu menamatkan riwayat Pendekar 212.
Mencium
bau amis dan angkernya sinar pukulan sakti itu, murid Sinto gendeng sudah
maklum keganasan serangan lawan. Maka tanpa pikir panjang lagi dia balas
menghantam dengan pukulan sakti “orang gila mengebut lalat”. Tangan kanannya
bergerak tiada henti ke kiri dan ke kanan. Sinar biru pukulan Nenek Kelabang
Biru seolah-olah terbelah dan terpental ke samping, menghantam pepohonan dan
sebuah gundukan tanah. Pohon itu langsung menjadi biru sedang gundukan tanah
muncrat beterbangan laksana dilanda angin puyuh. Karena masih berusaha bertahan
untuk melancarkan serangan susulan, si nenek merasakan tubuhnya terhuyung ke
kiri dan ke kanan. Sebelum jatuh, sambil memaki perempuan tua ini cepat
melompat mundur.
“Bangsat!
Siapa kau sebenarnya?!” teriak Nenek Kelabang Biru.
Seumur
hidup baru sekali ini dia menghadapi musuh begini luar biasa dan masih sangat
muda pula hingga dia merasa dipermalukan. Dan didepan mata kekasihnya pula!
“Kau
barusan memanggilku bangsat! Nah, anggap saja itu namaku!” sahut Wiro seraya
pasang kuda-kuda baru. “nek, sebelum kau kurobohkan lebih baik cepat-cepat saja
mencium pantatku lalu bawa pacarmu itu meninggalkan tempat ini!”
“Sombongnya!”
teriak Nenek Kelabang Biru lalu meludah ke tanah. “Aku bersumpah akan
membunuhmu dan memperkosa mayatmu!”
“Ih. ”
Wiro berseru. Dia hendak tertawa gelak-gelak mendengar ucapan si nenek tapi dia
melihat sinar yang memancarkan maut di kedua mata si nenek. “Tua bangka jelek
ini tidak main-main agaknya,” pikir Wiro. Baru saja dia bersiap-siap untuk
menghadapi lawan tiba-tiba si nenek sudah berteriak nyaring dan hantamkan
tangan kanannya.
Tidak
terdengar suara deru kekuatan tenaga dalam. Tidak terdengar siuran angin sakti.
Namun saat itu Wiro melihat ada tiga buah benda aneh berwarna biru menyerbu ke
arahnya. Ketika diperhatikan kagetlah murid Sinto Gendeng ini. Tiga benda itu
ternyata adalah tiga ekor kelabang berwarna biru!
Karena
tidak menduga akan mendapat serangan senjata rahasia berupa binatang-binatang
beracun begitu rupa, Pendekar 212 tidak mampu menyelamatkan diri. Kelabang
pertama sempat dihantamnya dengan pukulan tangan kosong mengandung aji
kesaktian hingga hancur bermentalan di udara. Kelabang kedua terlempar ke
samping tapi secara aneh tiba-tiba membalik dan menancap di bahu kirinya.
Selagi
pemuda ini berteriak kesakitan, kelabang ketiga melesat ke arah dada kirinya,
searah jantung. Inilah serangan yang sangat berbahaya! Dan Wiro tak dapat
menyelamatkan diri sama sekali!
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara jentringan kecapi. Selarik sinar
putih menyilaukan berkiblat. Kelabang biru yang sesaat lagi akan menancap di
dada Wiro terus menembus jantungnya hancur berantakan dihantam sinar putih
tadi, Wiro selamat namun racun kelabang yang menancap di bahunya mulai bekerja.
Tubuhnya mulai terasa panas. Pandangan matanya mengabur. Samar samar dia
melihat ada dua sosok bayangan hijau berkelebat di tempat itu. Lalu lapat-lapat
sebelum jatuh pingsan dia mendengar suara perempuan berkata: “Hijau Satu!
Tolong pemuda itu! Bawa ke guaku dan berikan obat penawar racun!”
Wiro
melihat wajah cantik mendekati dirinya. Samar-samar sekali. Lalu ada totokan di
dadanya, keras dan sakit. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi!
Di
hadapan Nenek Kelabang Biru tegak berdiri seorang dara yang wajahnya ditutup
cadar hijau tipis. Pakaian hijau yang menutupi tubuhnya yang tinggi semampai
bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Di tangan kirinya dara ini memeluk sebuah
kecapi.
Nenek
Kelabang Biru memperhatikan sejenak. Lalu terdengar kekehannya disusul ucapan:
“Ah! Jadi inilah Dewi Lembah Bangkai itu!
Gadis
tolol yang ingin menyombongkan diri dengan perbuatannya yang aneh-aneh! Sungguh
tidak disangka ternyata dia hanya seorang pengamen yang kemana-mana bernyanyi
dan main kecapi! Hai, cobalah kau menyanyi dan mainkan kecapimu! Pasti aku akan
membayar mahal! Hik…hik…hik…!”
“Tua
bangka dajal! Jangan kau kira aku tidak tahu siapa kau sebenarnya!” Dewi Lembah
Bangkai menyeringai dibalik cadarnya.
“Diluar
kau memang tampak seperti nenek! Tapi didalam kau adalah dajal lelaki yang
berbuat mesum dimana-mana, menyukai sesama lelaki tapi juga memperkosa
orang-orang perempuan!”
Nenek
Kelabang Biru tersurut dua langkah. Wajahnya membesi. Tubuhnya bergetar. Kedua
matanya membeliak dan memandang tak berkesip ke arah Dewi Lembah Bangkai. Yang
dipandang tetap berlaku tenang. Malah tanpa berpaling dia berkata pada anak
buahnya yang tengah didesak habis-habisan oleh Pedang Iblis.
“Hijau
Dua mundurlah. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu melayani lelaki yang
menyediakan auratnya untuk si tua bangka yang sama jenisnya ini!”
Mendengar
ucapan pimpinannya itu, Hijau Dua melompat mundur sementara Pendekar Pedang
Iblis sambil berteriak marah hendak menyerbu Dewi Lembah Bangkai, tapi cepat
dicegah oleh kekasihnya.
“Betina
bercadar! Mulutmu kotor! Jalan pikiranmu busuk sebusuk tempat kediamanmu!
Sebelum kau mampus dalam kebusukan itu, katakan siapa kau sebenarnya?!” Nenek
Kelabang Biru bertanya sementara kedua tangannya disilangkan di depan dada.
Dewi
Lembah Bangkai melihat bahwa kedua tangan si nenek masih berwarna biru tanda
setiap saat dia bisa saja melepaskan senjata rahasianya yaitu kelabang-kelabang
maut berwarna biru.
“Siapa
aku tidak penting. Yang lebih penting ialah apa yang menjadi tugas dan tujuan hidupku
di dunia ini…!”
“Sompret!”
memaki Pedang Iblis. “Kau bicara seperti malaikat saja!”
“Mungkin
aku memang malaikat maut yang bakal mencabut nyawamu! Manusia yang suka
bercampur dengan manusia sejenisnya kabarnya paling cocok jadi kayu neraka!”
Si Pedang
Iblis tak dapat lagi menahan amarahnya. Tanpa bisa dicegah oleh si nenek,
lelaki ini menyerbu ke depan. Pedang iblisnya berkiblat ke arah batang leher
Dewi Lembah Bangkai. Sang Dewi angkat kecapinya. Jari tangannya bergerak.
Terdengar suara berjentringan. Tiga sinar putih menyilaukan membelah udara.
Trang!
Pedang di
tangan kekasih Nenek Kelabang Biru terpental dan patah dua! Si Pedang Iblis
sendiri terbanting ke kiri, sempoyongan. Tangan kanannya terasa panas dan kaku.
Mukanya sepucat kain kafan. Nenek Kelabang Biru tertegun tak berkesip
menyaksikan kejadian itu.
“Gadis
semuda ini, tidak dikenal dalam dunia persilatan, bagaimana bisa memiliki ilmu
kepandaian sehebat ini?!” Memikir sampai disitu si nenek mendekati kekasihnya
dan berbisik. “Aku tidak yakin betina bercadar ini memiliki kepandaian silat.
Andalannya adalah kecapi itu. Kita serbu dia dan rampas kecapinya…!”
Si Pedang
Iblis mengangguk tanda setuju. Lalu dengan serentak keduanya menyerbu. Si nenek
lepaskan enam kelabang beracun sedang sang kekasih menyusupkan dua pukulan
sakti sambil coba merampas kecapi di tangan Dewi Lembah Bangkai!
Sang Dewi
kebutkan ujung lengan pakaiannya sebelah kiri. Tampak sinar hijau membubung ke
udara disertai hawa busuk luar biasa. Pedang Iblis terpental sambil pegangi
dada. Nafasnya sesak. Disaat yang bersamaan ketika tadi dia mengebutkan lengan
kiri, Dewi Lembah Bangkai petik tali-tali kecapinya dengan jari-jari tangan
kanan. Enam kawat kecapi berdenting. Enam sinar putih berkiblat ke udara. Enam
kelabang biru maut hancur berkeping-keping!
Putuslah
nyali si nenek dan kekasihnya melihat kejadian ini. Si nenek cepat menarik
lengan Pedang Iblis seraya berbisik: “Kita kabur saja. Tak ada jalan lain…”
Kedua
kekasih itu lalu putar tubuh dan ambil langkah seribu. Tapi dari dasar lembah
saat itu tiba-tiba tampak melesat dua gulungan tali yang ujungnya berbentuk
jiratan. Pedang Iblis keluarkan teriakan tercekik. Lalu tubuhnya tertarik
kebelakang, terguling di tanah dan terseret masuk ke dalam lembah. Si Nenek
Kelabang Biru berteriak menggerung. Dia lari mengejar kekasihnya. Tapi salah
satu kakinya sudah masuk dalam jiratan. Lalu seperti sang kekasih, tubuhnyapun
terseret ke dalam lembah. Pekiknya terdengar menggema. Pakaiannya hancur
robek-robek. Ketika kemudian mayatnya digantung kaki ke atas kepala kebawah
dicabang pohon, jelaslah dia memang seorang laki-laki, bukan seorang nenek
sebagaimana penampilannya yang palsu!
*****************
10
DEWI
LEMBAH BANGKAI menatap ayah dan anak itu beberapa lama lalu berkata: “Adi Sara,
aku menghargai maksudmu yang tidak ingin meninggalkan lembah ini setelah kau
berkumpul lagi dengan ayahmu, bahkan mendapatkan kembali kekasihmu Ningrum.
Memang tidak satu orangpun boleh meninggalkan tempat ini sebelum semua urusan
selesai. Dan kau Ningrum, berlatihlah dengan keras agar kau mampu menguasai
lima jurus ilmu silat itu. Dan minum ramuan perangsang penimbul tenaga dalam
itu pada waktu waktu yang telah ditentukan…”
“Akan
saya perhatikan Dewi. Kami bertiga bukan saja berhutang budi tapi juga
berhutang nyawa dan masa depan,” menjawab Ningrum.
Sebelumnya
dia sudah diberi tahu bahwa ayahnya Adipati Sawung Glingging telah kembali ke
Kadipaten dalam keadaan tidak kurang suatu apa sedang Adipati Tawang Merto
telah menemui ajal. Dewi Lembah Bangkai tinggalkan ketiga orang itu, masuk ke
dalam guanya. Selama tiga hari dia tidak tidur di dalam gua yang dijadikan
tempat perawatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Hijau Satu yang bertugas merawat
Wiro mendatangi sang Dewi.
“Bagaimana
keadaannya?” bertanya Dewi Lembah Bangkai.
“Panasnya
masih tinggi. Dia masih sering mengigau. Tapi racun yang berbahaya itu telah
musnah oleh obat yang Dewi berikan…” menerangkan Hijau Satu.
“Apakah
igauannya masih menyebut-nyebut pemuda bernama Panji Kondang itu…?”
“Masih…Walau
tidak sesering satu hari sebelumnya,” jawab Hijau Satu pula. “Saya mohon
petunjukmu lebih lanjut Dewi…”
“Bergabunglah
bersama kawan-kawanmu yang lain. Lanjutkan melatih lima jurus ilmu silat Lembah
Bangkai itu. Hari pembalasan yang aku tunggu-tunggu akan segera datang, cepat
atau lambat!”
Hijau
Satu menjura lalu tinggalkan gua tersebut. Diluar sana dilihatnya Adi Sara
tengah bercakap-cakap dengan ayah dan kekasihnya.
“Kasihan
Dewi… Aku tahu dia menyukai pemuda itu. Tapi anehnya dia sendiri yang mengatur
penculikan atas diri Ningrum hingga dua kekasih itu berkumpul kembali…”
Di dalam
gua Dewi Lembah Bangkai memandangi Kapak Naga Geni 212 milik Wiro Sableng yang
digantungkan di dinding gua. Lalu dia menatap kecapi miliknya yang disandarkan
tak jauh dari situ. “Satu kesaktian dari satu sumber yang sama tapi berbeda
wujud…” sang Dewi membathin. Lalu dua berpaling memandangi Pendekar 212 yang
terbaring di lantai gua beralaskan sehelai tikar jerami tebal.
Ketika
malam tiba Wiro bangun dari tidurnya. Dirabanya bahunya sebelah kiri. Masih ada
bekas luka mengering dan masih terasa adanya denyutan sakit, namun hatinya lega
karena panas ditubuhnya jauh berkurang. Dan ketika dia mencoba bangun kepalanya
tidak pusing lagi serta pemandangannya tidak pula berkunang-kunang. Kemudian
disadarinya dia tidak berada sendirian dalam gua yang diterangi pelita kecil
itu. Berpaling ke kiri dilihatnya Dewi Lembah Bangkai tegak bersandar ke
dinding, sepasang mata dibalik cadar menatap ke arahnya.
Dua
pasang mata saling bertemu untuk beberapa saat. Wiro coba mengingat-ingat
sementara perutnya terasa lapar dan tenggorokannya kering. Dimana dia berada
saat itu dan sudah berapa lama dia berada disitu. Lalu perempuan bercadar yang
mengenakan pakaian tipis hijau itu…? Dia ingat apa yang terjadi. Pertempuran
itu! “Ah, jangan-jangan inilah Dewi Lemoah Bangkai yang mendadak tersohor sejak
beberapa bulan belakangan ini. Dimana gadis-gadis cantik lainnya…?” Lalu
dilihatnya senjata mustika miliknya tergantung di dinding gua. Dia berdiri
hendak mengambil senjata itu. Tapi gadis bercadar cepat berkata: “Tak ada yang
akan mengambil kapak mustikamu. Kau berada di tempat aman…”
Wiro
menatap sang Dewi sesaat lalu memandang ke bahu kirinya.
“Kau
pasti Dewi Lembah Bangkai yang cantik dan perkasa itu…”
“Aku
tidak suka dipuji!” kata sang Dewi dingin.
“Bagaimanapun
itu adalah kenyataan yang aku lihat. Juga dilihat semua orang. Aku yakin kau
dan anak buahmu telah menyelamatkan diriku dari kelabang maut nenek keparat
itu. Aku menghaturkan terima kasih dan tak tahu bagaimana harus membalas budi.”
“Kaupun
telah menyelamatkan salah seorang anak buahku.
Walau
tidak saling mengharapkan di dunia ini sudah lumrah budi dibalas budi, hutang
nyawa dibalas nyawa.” Sang Dewi diam sesaat lalu kembali berkata: “Lembah
Bangkai memiliki peraturan. Siapa yang berani datang kemari berarti sudah siap
untuk mati. Datang berarti tidak pernah pulang!”
“Rupanya
itu yang bakal terjadi dengan diriku?” tanya Wiro.
Dewi
Lembah Bangkai tak segera menjawab. Jari-jari tangannya digerakkan diatas
kawat-kawat kecapi. Suara kecap menggema dalam gua itu. Dinding terasa bergetar
dan api pelita bergoyang-goyang.
“Sampai
beberapa waktu lalu aturan itu memang masih berlaku.
Namun
keadaan menentukan lain. Kau akan menemui beberapa orang lain di luar sana.
Mereka juga tidak kubunuh. Aku ada beberapa pertanyaan untukmu Pendekar 212…”
“Jadi kau
sudah tahu siapa aku?”
“Kapak
itu yang memberi tahu,” sahut Dewi Lembah Bangkai.
“Pertanyaan
pertama Kau mengikuti anak buahku Hijau Dua dari Kadipaten! Apa maksudmu?!
Apakah ada yang membayarmu untuk membebaskan pengantin perempuan itu?!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Perutnya lapar sekali dan tenggorokannya kering serta haus.
Maka dia terus terang berkata: “Aku tidak tahu berapa lama aku terbaring
pingsan atau tidur. Tapi saat ini yang kuketahui perutku sangat lapar dan haus
sekali…”
“Kau akan
mendapatkan apa yang kau inginkan setelah menjawab pertanyaan-pertanyaanku!”
jawab Dewi Lembah Bangkai.
“Hemm…
Rupanya aku tidak ada pilihan lain. Tinggal di tempat orang harus tahu diri.
Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi. Maksudku mengikuti Hijau Dua
hanya ingin tahu saja. Aku berada di Kadipaten secara kebetulan. Sama sekali
bukan tamu pesta perkawinan. Ketika pengantin perempuan diculik oleh seorang
perempuan muda yang cantik jelita, bagiku ini adalah satu keanehan. Pertama
ternyata gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Kedua biasanya lelaki yang
menculik gadis. Kini nyatanya gadis menculik gadis! Nah, ini membuatku ingin
tahu apa sesungguhnya yang terjadi. Dan pertanyaanmu yang lain, sama sekali
tidak ada yang membayar atau menyuruhku mengejar anak buahmu!”
“Apakah
bukan karena kau mempunyai maksud kotor terhadap anak buahku? Karena dia
mengenakan pakaian yang begitu tipis merangsang…?”
Wiro
tertawa lebar. “Lelaki normal memang harus terangsang melihat yang begituan.
Tapi tidak selalu. Buktinya aku mengagumi wajahmu yang tersembunyi dibali cadar
tipis itu. Juga bentuk tubuhmu yang bagus dan dapat kulihat karena ditembus
cahaya pelita…”
Dewi
Lembah Bangkai lambaikan tangannya. Api pelita padam dan ruangan gua itu serta
merta menjadi gelap gulita.
“Dewi,
apakah pembicaraan kita habis sampai disini?” bertanya Wiro.
“Manusia
bicara dengan mulut, bukan dengan mata. Walaupun gelap kau bisa meneruskan
kata-katamu…”
Dalam
gelap Wiro garuk-garuk kepala. “Baiklah Dewi, kau dengar baik-baik. Wajahmu
yang cantik, auratmu yang bagus sama sekali tidak merangsangku. Mengapa? Karena
aku menghormatimu, karena kau dan anak buahmulah maka aku masih hidup saat ini.
Masakan aku mempunyai pikiran kotor yang tidak-tidak?”
“Jika
kami tidak menolongmu, berarti pikiran itu akan menancap di benakmu!” ujar Dewi
Lembah Bangkai dalam gelap.
Wiro
menarik nafas dalam. “Aku bukan manusia suci, apalagi malaikat. Tapi seingatku
tak pernah aku memperkosa anak gadis orang, tak pernah aku merusak kehormatan
istri orang!”
“Siapa
yang bisa membuktikan omonganmu!”
“Memang
tidak! Namun paling tidak aku telah membuktikannya ditempat ini! Jika Dewi
menganggapku manusia kotor, aku siap untuk pergi. Apapun prangsangka burukmu
terhadapku, itu tetap tidak mengurangi rasa hormatku terhadapmu. Tidak
menghilangkan rasa terima kasih atas jasa dan budi besarmu menolongku!”
Habis
berkata begitu, walaupun tubuhnya masih lemah, Wiro Sableng berdiri dengan
cepat lalu melangkah ke dinding gua dimana Kapak Naga Geni 212 tergantung.
Ketika dia mengulurkan tangan hendak mengambil senjata itu, satu tangan
memegang lengannya. Tangan itu terasa halus dan dingin sejuk. Tapi bagaimanapun
dia mencoba, Wiro tak mampu melepaskan pegangan tersebut hingga dia tak bisa
mengambil kapaknya.
“Jangan
pergi dulu. Masih ada satu pertanyaan penting yang ingin kudapatkan jawabannya
dari mu…”
Wiro
berpaling. Saat itu dia tegak dekat sekali dengan sang Dewi, hingga dia dapat
merasakan hembusan nafas yang hangat dan bau tubuh yang luar biasa harumnya.
Dilain keadaan mungkin sang pendekar bisa terangsang. Tapi saat itu justru dia
berkata: “Dewi aku tidak terangsang dengan keharuman tubuhmu! Aku tetap
menghormatimu. Izinkan aku pergi…”
Pegangan
tangan sang Dewi tidak lepas. Dia juga tidak berusaha menjauh. “Ini sangat
penting Pendekar 212. Aku perlu jawabanmu atas satu hal…”
“Katakanlah!”
“Selama
kau terbaring sakit dan dilanda demam panas akibat racun kelabang, kau mengigau
berulang kali. Diantara kata-kata yang kau ucapkan dalam igauanmu adalah
seorang sahabat bernama Panji Kondang. Berulang kali kau mengatakan bahwa
sahabatmu itu harus mencari kekasihnya sampai dapat dan mengatakan agar
mengawininya, apapun yang telah terjadi. Katakan apa kau kenal dengan orang
bernama Panji Kondang itu?!”
Wiro
terdiam sesaat. Dia berpikir-pikir. “Memang aku kenal padanya. Tapi tidak lama.
Kami bertemu disebuah rumah makan. Saat itu keadaannya seperti orang linglung.
Pakaiannya kumal, mukanya tak tercukur dan dia kehabisan bekal. Dia
menceritakan tentang kekasihnya yang memiliki kepandaian silat tinggi. Tapi
kemudian melenyapkan diri karena ternyata gurunya telah merusak kehormatannya…”
“Apakah
Panji Kondang menyebutkan siapa nama kekasihnya itu?”
“Ya…
Kalau tidak salah kekasihnya itu bernama Prantisari. Ya, Prantisari…”
Wiro
merasakan pegangan sang Dewi di tangannya lepas. Bersamaan dengan itu sang Dewi
meluncur jatuh terduduk di lantai gua.
“Eh, ada
apa denganmu Dewi? Kau mendadak jatuh. Apakah kau sakit…?”
“Tidak.
Katakan Pendekar 212… Apalagi yang dikatakan Panji Kondang dalam pertemuan yang
singkat itu…”
“Katanya
dia berniat untuk mengarungi seluruh jagat ini guna mencari kekasihnya itu.
Kalau bertemu dia tetap akan mencintainya dan akan mengawininya…”
“Tetapi
apakah…apakah Panji Kodang mengetahui kalau kekasihnya itu kini telah berbadan
dua…?!”
“Heh…
Bagaimana kau bisa berkata begitu Dewi?!” tanya Wiro heran.
“Karena..Karena
akulah Prantisari itu…!” Habis berkata begitu Dewi Lembah Bangkai terdengar
sesenggukan. Lalu suara tangisnya memenuhi gua itu.
Lama Wiro
termenung mendengar pengakuan sang dara disampingnya. Lalu dengan suara
meyakinkan dia berkata: “Melihat kesungguhan hati kekasihmu itu mencarimu aku
yakin sekali dia tetap mencintaimu! Tetap akan memperistrikanmu sekalipun
kemudian dia mengetahui bahwa kau hamil akibat perbuatan bejat gurumu itu!
Aneh…benar-benar
aneh. Bagaimana aku bisa berada dalam semua kejadian ini?” Wiro lalu
ikut-ikutan duduk dilantai gua disamping Dewi Lembah Bangkai.
“Terakhir
sekali menurut katamu Panji berada, di Kadipaten. Sekarang entah dimana dia
berada…”
“Dia
mengatakan tujuannya padaku. Jika kau mau aku bersedia mengantarkanmu kesana…”
“Tidak,
aku tidak akan meninggalkan Lembah ini sebelum mencabut nyawa manusia terkutuk
itu!”
“Kau, kau
akan membunuh gurumu sendiri?!” tanya Wiro pula.
“Ya! Dan
manusia terkutuk itu pasti akan datang mengantarkan nyawanya sendiri kemari!
Aku dan anak buahku telah menyiapkan penyambutan. Hijau Satu, Dua dan Tiga
adalah gadis-gadis yang mengalami nasib sama sepertiku. Bedanya mereka dirayu
oleh kekasih masing-masing lalu ditinggal begitu saja. Mereka masih untung
karena tak satupun yang hamil. Namun itu tidak mengurangi dendam kesumat mereka
terhadap laki-laki. Karenanya jangan coba berlaku usil terhadap mereka!”
“Bagaimana
kalau mereka yang berlaku usil terhadapku?!” tanya Wiro.
“Mungkin
mulutmu perlu ditampar agar tidak bergurau dalam keadaan seperti ini!” tukas
Dewi Lembah Bangkai yang bernama Prantisari.
“Apakah
kau bakal sanggup mengalahkan gurumu jika terjadi perkelahian?” bertanya Wiro.
“Bagaimanapun dia pasti lebih tinggi ilmu kepandaiannya!”
“Kau
benar. Tapi aku memijiki sesuatu yang tidak mudah dikalahkan!”
“Apa itu?
Keberanian atau kenekatan?” tanya Wiro pula.
Dalam
gelap Dewi Lembah Bangkai mengambil kecapinya, meletakkan dipangkuan dan
memetiknya beberapa kali. Alat bebunyian itu mengeluarkan suara berjentringan
yang menggetarkan seantero gua, membuat telinga sakit dan ada sinar putih
menyilaukan serta panas keluar dari setiap kawat kecapi.
“Sinar
panas yang menyilaukan itu berasal dari sumber yang sama dengan ilmu pukulan
sinar matahari yang kau miliki. Bedanya pukulan sinar matahari disalurkan
melalui tangan sedang yang ini melalui tali-tali kawat sebanyak enam buah…”
Wiro
berdecak kagum mendengarketerangan itu. Dia memamg menyaksikan bagaimana Dewi
Lembah Bangkai menghajar patah pedang milik Pendekar Pedang Iblis, dan juga
kelabang-kelabang maut si nenek sakti itu sebelum pingsan.
Dewi
Lembah Bangkai menyeka air matanya lalu berdiri. “Hijau Satu akan membawakan
makanan serta minuman untukmu.”
“Terima
kasih. Juga jangan lupa katakan padanya untuk menyalakan pelita di dalam gua
ini. Hanya tikus yang suka makan di tempat gelap!” jawab Wiro lalu tertawa
sendirian walau sang Dewi sudah berlalu dari situ.
*****************
11
SIANG ITU
teriknya matahari bukan alang kepalang. Seolah-olah hendak membakar bumi dan
membuat busuknya bau mayat di dalam lembah menjadi jadi. Satu Hijau yang sedang
berlatih jurus lima bersama Hijau Dua Hijau Tiga dan Ningrum mendadak hentikan
latihan.
“Ada
apa?” tanya Hijau dua. Yang menjawab adalah Wiro Sableng yang berada tak jauh
dari situ bersama Adi Sara dan Sara Jingga ayah Adi Sara.
“Ada
orang datang!”
Semuanya
memandang ke arah yang ditunjuk Pendekar 212. Di ujung lembah sebelah timur
tampak tiga orang penunggang kuda duduk di punggung kuda masing-masing,
memandang tajam ke dalam lembah sambil menutup hidung masing-masing dengan
telapak tangan. Salah seorang diantara mereka tampak batuk-batuk karena tak
tahan oleh busuknya udara.
“Aku akan
beri tahu Dewi. Kalian semua tetap disini dan berpurapura tidak melihat
rombongan di atas sana!”
Hijau
Satu tinggalkan tempat itu.
Ketika
laporan kemunculan tiga orang di tepi lembah disampaikan pada Dewi Lembah
Bangkai, gadis ini melangkah keluar gua dan memandang jauh-jauh ke arah timur
lembah. Dia segera mengenali sosok penunggang kuda yang disebelah tengah.
“Hijau
Satu! Orang yang kita tunggu sudah tiba. Kau dan Hijau tiga lakukan penyambutan
seperti yang sudah aku atur. Hijau Dua dan Ningrum agar berjaga-jaga di
pedataran. Yang lain-lainnya jangan ada yang berani ikut campur urusan ini!”
Hijau
Satu menjura dan cepat berkelebat tinggalkan tempat itu. Di atas lembah tiga
orang penunggang kuda masih duduk di kuda masing-masing sambil tiada hentinya
meneliti. Yang di sebelah kanan adalah seorang kakek yang buntung kedua
kakinya. Dia kini mengenakan kaki palsu dari kayu. Dua batang tongkat kayu
tergantung di leher kudanya. Orang kedua yang disebelah tengah mengenakan jubah
putih, bertutup kepala putih. Meskipun usianya sudah lanjut tapi kumis dan
janggutnya masih tetap berwarna hitam. Lelaki yang ketiga juga seorang kakek
berwajah klimis, berpakaian biru muda yang pinggangnya dililit seutas rantai
perak berwarna putih.
“Aku
yakin inilah Lembah Bangkai yang membuat geger dunia persilatan itu. Bau
busuknya sudah tercium sampai kemari. Tapi mengapa orang yang katamu mengundang
tidak melakukan penyambutan?!” membuka suara kakek berpakaian biru muda.
Baru saja
dia berucap begitu, dua bayangan hijau berkelebat dan dua gadis berpakaian
hijau tipis berwajah cantik tetapi galak muncul di depan mereka, seolah-olah
keluar dari dalam perut lembah!
“Ah…ah…ah!
Panjang umurnya! Baru disebut sudah datang! Kaliankah penghuni Lembah Bangkai
ini?!” kakek yang berjubah putih bertanya. Matanya berkilat-kilat melihat
pakaian yang tembus pandang itu.
“Kami
berdua memang mendapat tugas menyambut para tetamu dari jauh! Silahkan turun
dari kuda! Kami akan membawa kalian menemui Dewi!”
“Dewi…?
Ha…Ha…Ha! Ingin sekali aku melihat bagaimana tampang Dewi kalian Ku!” kata si
jubah putih pula lalu turun dari kudanya.
Kakek
kaki kayu tampak sedari tadi membeliak. Bukan karena melihat tubuh dua gadis
yang kentara jelas dibalik pakaian hijaunya yang tipis, tapi karena dia
mengenali. “Hai! Tunggu dulu! Salah satu dari kalian adalah yang dulu menyerbu
markasku dan membuntungi kakiku! Rupanya kau yang punya kerja. Kau harus ganti
kaki kayuku dengan kedua kakimu yang mulus bagus!” Lalu kakek ini sambar dua
tongkat dileher kuda dan dengan gerakan cepat dia melompat turun dari punggung
binatang itu. Begitu menjejak tanah langsung menyerang Hijau tiga!
“Pendekar
Kaki Kayu… Harap bersabar dulu! Saat pembalasan pasti tiba! Apa sulitnya bagi
kita untuk menarik lepas sepasang kaki yang bagus itu pengganti kedua kakimu.
Biarkan kita bertemu dengan sang Dewi dulu. Ingin aku melihat siapa dia
sebenarnya? Berbulanbulan membuat kegegeran di dunia persilatan. Membunuh dan
membunuh! Menculik…!”
“Orang
tua berjubah putih! Jika kau bicara terus satu harian di tempat ini kau tak
akan segera bertemu pimpinan kami! Percayalah, penyambutan untukmu pribadi
pasti yang paling meriah!” ujar Hijau Satu pula. Dia menunjuk ke sebuah jalan
kecil berbatu-batu yang selama ini tersembunyi dikerimbunan semak belukar.
“Ikuti jalan menurun itu sampai kalian mencapai sebuah pedataran di dasar
lembah. Selama perjalanan kebawah akan kami perlihatkan pemandangan yang indah
dimana kalian dapat bertemu dengan beberapa sahabat. Hanya sayang kalian tidak
bisa bertanya apa-apa pada sahabat-sahabat itu. Mereka semua sudah jadi mayat
busuk!”
Kakek
berpakaian biru tampak kerenyitkan kening. Si kaki kayu mengomel panjang pendek
sedang si jubah putih dengan tenang mulai melangkah turun mengikuti Hijau Satu
disusul Si Kaki Kayu lalu si pakaian biru. Disebelah belakang mengikuti Hijau
tiga. Menjelang mencapai dasar lembah mereka mulai melihat sosoksosok tubuh
yang bergelantungan. Ada yang hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong,
ada yang sudah hancur membusuk, tapi masih ada yang baru-baru.
“Yang ini
manusia kotor berjuluk Nenek Kelabang Biru!” ujar Hijau Satu sambil menunjuk
pada mayat yang tergantung di cabang pohon kaki ke atas kepala kebawah.
Kakek
berbaju biru seperti mau muntah. Berulang kali dia coba menutup jalan penciuman
tapi tetap saja bau busuk menembus hidungnya. Kini melihat mayat itu perutnya
mendadak menjadi mual. Si jubah putih tetap tenang walau hatinya terasa
berdebar sedang si kaki kayu seperti tak acuh. Sesekali dia berpaling
kebelakang seperti hendak menyerbu Hijau Tiga saat itu juga.
“Yang itu
jagoan keji bergelar Pendekar Pedang Iblis! Kekasih nenek Kelabang Biru!”
kembali Hijau Satu membuka mulut seraya menunjuk ke sebuah cabang pohon dimana
tergantung mayat Pedang Iblis yang sudah membusuk dan belatungan kedua rongga
matanya.
“Tempat
ini seperti neraka!” bisik kakek baju biru.
“Yang
disitu mayat Adipati Tawang Merto, kalian pasti tak mengenalinya karena sudah
sangat rusak…” Kembali Hijau Satu menjelaskan seraya menunjuk pada mayat yang
tergantung di pohon sebelah kiri jalan menurun. “Yang di ujung sana, yang hanya
tinggal gumpalan-gumpalan potongan daging adalah mayat Warok Suro Blebek, raja
diraja rampok di utara! Lalu’yang itu… yang hanya tinggal tulang belulang putih
adalah mayat Sabrang Lor, seorang pendekar yang lebih dikenal dengan sebutan
Pendekar Cabul Pemetik Bunga! Ah, sayang jalan begini pendek. Kita sudah sampai
di pedataran yang dituju!”
Saat itu
mereka memang sudah sampai di dasar lembah dimana terdapat sebuah pedataran
batu selebar delapan tombak persegi, diapit oleh tiga mulut goa. Disitu telah
menunggu Hijau Dua dan Ningrum.
Begitu
melihat Hijau Dua, Pendekar Kaki Kayu segera saja berteriak: “Ini dia iblis
betina satunya! Kau tunggulah! Sebentar lagi aku akan mengambil kedua kakimu!”
Orang tua
berjubah putih memandang berkeliling. Di salah satu mulut gua dia melihat ada
tiga orang lelaki. Mereka bukan lain adalah Adi Sara, Sara Jingga dan Pendekar
212 Wiro Sableng.
“Ha…ha…
Ternyata disinipun terdapat orang-orang lelaki untuk memberi kehangatan pada
kalian di tempat yang busuk ini!” berteriak si jubah putih.
Baru saja
suaranya sirap, dari salah satu mulut goa terdengar sahutan halus.
“Memang
disini ada orang laki-laki! Tapi bukan bangsa manusia keji bernafsu kotor yang
tega memperkosa murid sendiri” lalu terdengar suara jentringan kecapi.
Paras si
jubah putih berobah merah. Dia memandang ke mulut goa sebelah kanan. Saat itu
tampak sesosok tubuh berpakaian hijau, memakai cadar tipis dan membawa sebuah
kecapi keluar dari mulut goa.
“Hemm…
Jadi ini rupanya Dewi Lembah Bangkai yang tersohor itu?!” ujar si jubah putih.
“Orang-orang
memanggilku Dewi. Tapi aku tetap manusia biasa! Datuk Sora Gamanda, apakah kau
tidak mengenali diriku?!”
“Siapa
kenal pada dirimu yang ditutup dengan cadar begitu rupa!”
jawab
kakek berjubah putih dengan rasa kaget dalam hati karena orang mengetahui
namanya. “Hanya satu yang kuketahui, kau membunuh seluruh murid perguruanku!
Hari ini aku datang memenuhi undanganmu! Hutang darah dibayar darah, hutang
nyawa dibayar nyawa!”
“Bagaimana
dengan hutang kehormatan? Apakah kau bisa membayarnya Datuk cabul?!”
“Perempuan
bermulut kotor! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?!” teriak Datuk Sora Gamanda.
Tubuhnya bergetar karena marah.
Dewi
Lembah Bangkai tertawa panjang. Tutup tawanya dengan jentringan kecapi. Lalu
perlahan-lahan dia membuka cadar hijau yang menutupi wajahnya.
“Prantisari!”
teriak sang Datuk terkejut bukan kepalang.
Dewi
Lembah Bangkai kembali tertawa panjang.
Ternyata
kau belum lupa siapa aku! Pasti kau juga belum lupa apa yang telah kau lakukan
terhadapku! Memperkosa murid sendiri! Manusia terkutuk! Apakah kau sudah
bersiap untuk mati?!”
“Muridku…”
“Tua
bangka bangsat! Aku bukan muridmu!” bentak Dewi Lembah Bangkai.
“Dengar…dengar
dulu. Aku mengaku bersalah. Aku mengaku berdosa. Waktu itu aku benar-benar
khilaf. Malam itu aku bermaksud membangunkanmu untuk menyuruh berlatih
jurus-jurus silat baru. Kutemui kau terbaring di atas ranjang dengan kain
tersingkap. Aku dihasut setan… Aku melakukan itu diluar sadar, muridku. Maafkan
gurumu ini…” Datuk Sora Gamanda melangkah hendak mendekati muridnya tapi Dewi
Lembah Bangkai menyambutnya dengan menjentikkan kecapi. Benda itu berjentring
keras, sinar putih menyilaukan menyambar dan pedataran batu di depan kaki DatuK
Sora Gandama terbongkar. Hancuran batu dan debu berhamburan mengotori jubah
putih sang datuk.
“Enak
betul hidup didunia ini jika semuanya berakhir dengan maaf! Datuk bejat! Jika
kau masih punya Tuhan minta maaflah pada Tuhanmu. Tapi pada aku anak manusia
tak ada ampun dan maaf bagimu!”
“Urusan
apa sebenarnya yang berlangsung saat ini?!” kakek berbaju biru menyeletuk.
Segera
saja dia mendapat dampratan dari Dewi Lembah Bangkai.
“Orang
tua pakaian biru, aku tahu kau adalah Pendekar Alam Sakti yang datang kemari
karena diajak oleh manusia sundal bergelar Datuk Sora Gamanda ini! Aku juga
tahu kehidupanmu selama ini bersih tiada cacat. Karenanya kuberikan waktu
padamu untuk meninggalkan Lembah Bangkai saat ini juga!”
“Alam
Sakti! Jangan dengarkan ocehannya! Kita tidak bisa dilecehkan begitu saja!
Serahkan tukang pengumpul mayat ini padaku!”, teriak Kaki Kayu.
Dewi
Lembah Bangkai berpaling pada Hijau Satu dan Hijau Dua.
“Habisi
manusia kotor satu itu!” memerintah sang Dewi. Maka Hijau Satu dan Hijau Dua
segera berkelebat, perkelahian pertama berkecamuk di pedataran batu itu. Begitu
menyerbu kedua anak buah sang Dewi langsung mainkan lima jurus ilmu silat
Lembah Bangkai. Dua pasang lengan baju menghantam tiada henti. Bau bangkai
menghampar di tempat itu. Dibakar oleh dendam kesumat si Kaki Kayu berkelahi
luar biasa. Kedua kaki palsunya yang terbuat dari kayu setiap saat berubah
menjadi senjata yang berbahaya. Belum lagi sepasang tongkat yang berada di
kedua tangannya. Tiga jurus berlalu dua anak buah sang Dewi belum mampu
mendesak. Namun begitu mereka memainkan jurus ke empat dan ke lima dari ilmu
silat yang baru mereka pelajari, terdengar pekik si Kaki Kayu.
Satu
tendangan keras membuat kaki kayunya sebelah kiri patah. Tubuhnya terbanting ke
pedataran batu. Dia berusaha menusuk perut Hijau Dua dengan tongkat di tangan
kanannya namun saat itu kepalanya yang masih menempel di pedataran batu sudah
keburu dihantam tendangan Hijau Satu. Kepala ini tanggal dari lehernya, mencelat
mental sejauh beberapa tombak.
Pendekar
Alam Sakti merasakan tengkuknya dingin. Datuk Sora Gamanda tercekat tak
bergerak. Jelas kepandaian dua gadis berbaju hijau itu luar biasa. Tidak dapat
tidak pastilah bekas muridnya yang mengajarkan. Tapi dari mana si murid
mendapatkan kepandaian itu?
“Bersihkan
pendataran!” Dewi Lembah Bangkai berseru.
Hijau
Tiga cepat maju. Mayat si Kaki Kayu dilemparkannya kesemak belukar.
“Pendekar
Alam Sakti, waktumu hanya tinggal sedikit!” Dewi Lembah Bangkai memberi ingat.
“Dewi…
Maafkan diriku. Kau benar, aku kemari karena diajak oleh Datuk Sora. Apa urusan
kalian baru disini aku ketahui! Sebagai teman aku tak mungkin meninggalkannya
sendirian. Tapi aku tak ingin mencampuri urusan kalian. Biarkan aku tetap
disini. Kalau terjadi apaapa dengan dirinya izinkan aku membawa jenazahnya!”
Dewi
Lembah Bangkai tertawa perlahan. “Kau kuizinkan. Tapi ketahuilah. Kau tak akan
mendapatkan jenazah utuh!” Lalu sang Dewi berpaling pada Datuk Sora Gamanda.
“Waktunya sudah tiba guru bejat!” Dewi Lembah Bangkai melangkah ke tengah
pedataran. Kedua kakinya terkembang. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke
arah bekas gurunya itu. Tak ada jalan lain bagi sang guru selain menerima
tantangan sang murid.
“Lakukan
apa maumu Prantisari! Aku tak akan melawan!” terdengar Datuk Sora Gamanda
berkata. Suaranya bergetar.
“Manusia
pengecut! Keluarkan kepandaianmu! Bagaimanapun bejatnya dirimu, aku berikan
hakmu untuk membela diri! Sudah bejat jangan jadi manusia pengecut pula!”
Terbakar
oleh kata-kata Dewi Lembah Bangkai maka Datuk Sora Gamanda menerkam ke depan.
Jurus ilmu silat yang dilancarkan sang datuk sudah terbaca dan diketahui jelas
oleh Dewi Lembah Bangkai. Bukan saja dia mampu mengelakkannya dengan mudah,
tapi sebelum lawan sempat memasang kuda-kuda baru gadis itu telah menyerbu
dengan jurus silat yang pernah diterimanya dari sang datuk. Hanya saja
gerakannya lebih cepat dan ganas. Ketika sang guru membuat gerakan mengelak,
Dewi Lembah Bangkai langsung menyerbu dengan jurus pertama ilmu silat Lembah
Bangkai ciptaannya.
Sewaktu
menjatuhkan si Kaki Kayu tadi Datuk Sora Gamanda telah melihat jurus-jurus ilmu
silat itu dimainkan oleh Hijau Satu dan Hijau Tiga. Meski mampu mempelejarinya
secara singkat namun sang datuk tidak dapat mengandalkan pengetahuan singkatnya
itu untuk dapat menghadapi bekas muridnya itu. Maka sang datuk keluarkan
jurus-jurus silat yang selama ini tak pernah diturunkannya pada muridmuridnya,
termasuk Prantisari.
“Bagus!
Ternyata kau memiliki ilmu simpanan! Keluarkan semua kepandaianmu datuk cabul!”
teriak Dewi Lembah Bangkai.
Semakin
terbakar amarah sang datuk. Dari mulutnya keluar suara menggembor. Tangannya
kiri kanan bergerak. Angin serangannya menderu-deru. Tubuhnya hanya tinggal
bayang-bayang putih saja. Sang Dewi tampak seperti terkurung. Tiba-tiba
terdengar Dewi lembah Bangkai berteriak keras, tubuhnya berputar setengah
lingkaran. Tangan kirinya menyambar seperti pedang sedang kaki kanan menghantam
laksana palu godam. Inilah jurus ketiga ilmu silat Lembah Bangkai. Guru dan
murid bertempur hebat dengan niat saling bunuh. Yang satu karena dendam yang
satu lagi demi untuk menyelamatkan diri!
Ketika
Dewi Lembah Bangkai mainkan jurus ke empat dan kelima, Datuk Sore Gamanda tak
sanggup lagi bertahan. Dia melompat mundur sambil keluarkan senjatanya, sebilah
golok pendek berhulu gading. Sebagai bekas murid, Dewi Lembah Bangkai tahu
betul kehebatan golok tersebut yang merupakan sebuah senjata mustika sakti.
Tapi sang dara tidak takut. Dia yakin akan kehebatan kecapi yang dimilikinya.
Dia sengaja tegak di tengah pedataran batu, menunggu lawan menyerang. Datuk
Sora Gamanda sendiri hampir tidak mempercayai penglihatannya. Sang bekas murid
hendak menghadapi senjata saktinya dengan alat bebunyian itu. Tapi dia tak mau
berpikir lama. Perlahan-lahan sang datuk angkat tangan kanannya yang memegang
golok. Sinar matahari memantul membuat senjata itu berkilau-kilau. Ketika
senjata ini diayunkan ada sinar terang menyambar disertai letupan keras seperti
petir menyambar dikejauhan!
Dewi
Lembah Bangkai menunggu sampai sang guru datang lebih dekat. Begitu sinar golok
menyambar dijarak lima jengkel dihadapannya, Dewi Lembah Bangkai acungkan
kecapinya, sekaligus memetik dua tali kawat di sebelah depan. Dua sinar putih
panas dan menyilaukan menyambar!
Terdengar
jeritan Datuk Sora Gamanda. Tubuhnya terpental. Lengan kanannya putus sebatas
siku laksana ditabas senjata tajam. Golok mustikanya tampak seperti meleleh dan
jatuh berdentringan di pedataran batu.
“Prantisari…Ampuni
selembar nyawaku! Aku mengaku berdosa! Aku mengaku bersalah!” Datuk Sora
mencoba berdiri sambil menyembah-nyembah.
“Sudah
kukatakan minta ampun pada Tuhanmu. Tapi jangan minta ampun pada diriku!” ujar
Dewi Lembah Bangkai dengan pandangan mata dan air muka ganas. Perlahan-lahan
dia melangkah mendekati sang guru. Putus harapan berubah jadi ketakutan. Datuk
Sora melangkah mundur. Mundur dan mundur terus. Disatu tempat dia membalikkan
diri lalu lari menuju lereng lembah sebelah selatan.
“Manusia
bejat! Tak ada tempat lari bagimu…” desis Dewi Lembah Bangkai.
Kecapi
itu terdengar berdering! Sinar putih menyambar. Jauh di depan sana terdengar
pekik Datuk Sora Gamanda ketika tangan kirinya sebatas bahu putus dihantam
sinar putih yang menyambar keluar dari kawat kecapi. Seperti orang gila kakek
ini meraung. Tubuhnya melorot kebawah. Tapi dengan segala kekuatan yang ada dia
coba mendaki lereng lembah. Kecapi berdentring lagi. Kembali sinar putih
menerpa ganas. Kali ini kaki kanan DatukSora yang putus. Tubuhnya terguling ke
dasar lembah. Dalam keadaan mengerikan seperti itu dia berusaha menggapai-gapai
dengan kakinya yang tinggal satu. Lalu kecapi dipetik sekali lagi.
Jeritan
Datuk Sora setinggi langit. Tubuhnya hanya merupakan gelondongan saja kini.
Kaki kirinya putus. Pendekar Alam Sakti tundukkan kepala. Tak sanggup
menyaksikan kengerian ini, sementara tubuh kawannya menyangsrang diantara semak
belukar. Dewi Lembah Bangkai petik tiga tali kecapi sekaligus. Terjadilah hal
yang luar biasa. Tiga sinar panas menyilaukan menyambar tubuh Datuk Sora yang
menyangsang disemak belukar. Seperti agar-agar yang dibanting ke lantai tubuh
itu hancur berkeping-keping!
“Pendekar
Alam Sakti, seperti kukatakan tadi, kau tak akan mendapatkan jenazah sahabatmu
dalam keadaan utuh. Aku tak ingin melihatmu lebih lama disini. Silahkan pergi!”
Mendengar
kata-kata Dewi Lembah Bangkai kali ini, kakek berpakaian biru tak mau berlaku
ayal lagi. Cepat-cepat dia mengambil golok bengkok milik Datuk Sora lalu
tinggalkan tempat itu melalui jalan yang ditempuhnya sewaktu datang tadi.
Kuduknya terasa dingin, hatinya berdebar. Kawatir kalau-kalau Dewi Lembah
Bangkai akan menghantam tubuhnya dengan sinar ganas kecapi sakti itu!
Di
pedataran batu saat itu Dewi Lembah Bangkai justru terduduk bersimpuh dan
tekapan kedua tangannya ke wajah. Dia terdengar sesenggukan. Tak ada yang
berani bergerak, tak ada yang berani berbuat sesuatu sampai akhirnya Pendekar
212 mendatangi dan bersimpuh di hadapan sang dewi. Setelah menunggu sampai isakan
tangis gadis itu mereda murid Eyang Sinto Gendeng ini lantas berkata.
“Dewi,
apa yang kau inginkan telah kau dapati. Saatnya kita semua meninggalkan tempat
ini…”
Dewi
Lembah Bangkai turunkan kedua tangannya. Dipandanginya wajah pemuda itu sejenak
lalu berkata: “Aku tak tahu harus pergi kemana sekarang…”
“Jangan
berkata begitu. Apa kau lupakan janjiku? Aku akan membawamu ke tempat dimana
Panji Kondang berada. Lebih cepat lebih bagus supaya jangan terlalu jauh kita
mengejarnya…”
“Pendekar
212, kau sungguhan mau mengantarku?” tanya Dewi Lembah Maut alias Prasanti.
“Mungkin
hanya itu yang bisa kulakukan sebagai pembayar hutang budi dan hutang nyawa
padamu Dewi…”
“Dewi…,”
desis sang dara. “Aku tak ingin mendengar panggilan itu lagi. “Cerita tentang
Lembah Bangkai sudah berakhir sampai disini!”
Ketika
Wiro berdiri sambil mengulurkan tangan, sang dara memegang lengan pemuda itu
lalu tegak pula sambil mengempit kecapinya. Dia memandang berkeliling lalu
berpaling ke arah anak buahnya. “Hijau Satu, Hijau Dua dan Hijau Tiga! Bersama
yang lain-lainnya mari kita tinggalkan tempat ini. Kalian semua bebas kemana
mau pergi…”
“Tidak
Dewi…” kata Hijau Satu.
“Lupakan
panggilan itu. Sebut namaku Prantisari!”
“Kami
tetap akan ikut kemana kau pergi. Tentu saja kalau De…maksudku kalau kau
mengizinkan…Bukan begitu kawan-kawan?” Hijau Dua dan Hijau Tiga sama
menganggukkan kepala.
Prantisari
tersenyum dan usap air matanya yang berderai. “Kalau begitu apa yang aku
cita-citakan kan menjadi kenyataan…”
“Eh, apa
cita-citamu itu?” bertanya Wiro.
“Aku akan
membuka perguruan silat di puncak gunung Lawu. Maksudku aku dan dua orang gadis
sahabatku itu!”
“Kalau
begitu aku akan menjadi muridmu yang pertama!” kata Wiro pula lalu menggandeng
tangan Prantisari menuju ke lereng lembah sebelah timur, ketika sampai di
puncak lembah sebelah timur Wiro berpaling pada Prantisari. Boleh kulihat
kecapimu?”
“Boleh
saja. Apakah kau pandai memainkannya?” tanya Prantisari sambil menyerahkan
kecapinya.
“Entahlah.
Mungkin bisa. Tapi petikan kecapiku pasti tidak semerdu petikanmu!”
Wiro
ambil kecapi itu dari tangan sang dara. Dia mengarahkannya ke Lembah Bangkai.
Diam-diam perutnya mengeras tanda pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Lalu dia memetik ke enam tali kawat kecapi sekaligus! Terjadilah hal
yang luar biasa! Enam sinar putih menyambar laksana enam petir menghantam bumi.
Suaranya menggemuruh seperti hendak meruntuhkan langit. Udara panas membakar
bumi. Dibawah sana enam larik sinar kecapi menghantam lereng dan dasar terbawah
dari Lembah Bangkai. Tanah, pepohonan dan batu-batu mental setinggi beberapa
tombak. Tempat itu laksana kiamat.
Masing-masing
merasakan tubuh dan lutut mereka bergetar. Lembah Bangkai seperti sirna kini
berubah menjadi timbunan tanah dan batu!
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Sambil menyerahkan kecapi itu kembali kepada Prantisari
dia berkata: “Ah, petikan kecapiku ternyata memang tidak semerdu petikanmu.
Memalukan saja! Ini aku kembalikan padamu kecapi ini…”
Prantisari
tersenyum. “Aku gembira atas apa yang barusan kau lakukan Wiro. Lembah Bangkai
lenyap dan benar-benar akan dilupakan orang…”
TAMAT
No comments:
Post a Comment