Badai Di
Parang Tritis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
SIANG ITU
laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis.
Burungburung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung
teriknya sinar sang surya.
Belasan
perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan
membenahi jaring masingmasing untuk persiapan turun ke laut malam nanti. Di
tepi pantai, dibawah jejeran pohonpohon kelapa anak-anak ramai bermain-main.
Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan
kepala ketika telinga mereka menangkap suara tiupan seruling yang keras dan
merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada.
Anak ini meniup suling bambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau
yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak
si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian
ayahnya…." berkata salah seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya
dalam-dalam.
Ketika
anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru,
"Bocah pintar! Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup
sulingmu agar kami terhibur!"
Anak di
atas punggung kerbau tertawa lebar. Dia mengacungacungkan suling di tangan
kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang.
Saat itu
tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah
berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat
yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan
melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa
kerbaunya ke tepi jalan. Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba
keluarkan pekik ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari
sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran
perahu. Mukanya pucat dan nafasnya memburu.
"Ada
apa Kambali?!" bertanya seorang nelayan.
"Del….
delman itu " bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan
tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk.
Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas
delman, dari kejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun
penumpang.
Tetapi Kambali
yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh
bersimbah darah malang melintang di atas delman!
"Kenapa
delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan
Satunya ikut bicara, "Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan
kita?"
"Eh,
kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu! Mengapa wajahmu pucat
dan tubuhmu menggigil anak?!"
"Ada
tiga orang…. ada tiga orang di atas delman itu,"
menerangkan
Kambali. "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang
darah…. Saya takut …."
"Anak
ini tidak dusta! Sesuatu telah terjadi!"
"Jangan-jangan…."
"lebih
baik kita berlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumah
kediaman Ageng Lontar!"
Tanpa
diberi aba-aba lagi, semua nelayan yang ada di teluk serta merta lari
berhamburan ke arah lenyapnya kuda penarik delman tadi.
Mereka
lari menuju rumah kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki belasan
perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi, belum
lagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan petak.
Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia
terkenal bukan saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada
orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu
membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah
sama-sama bersepakat umuk memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantian
jabatan bulan di muka.
Ketika
nelayan-nelayan teluk Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar,
halaman rumah itu telah penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak
menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti
gila ini kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang
tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti
yang sebelumnya dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman
menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dan darah mulai dari kepala hingga
ke tubuh. Meskipun wajahwajah itu rusak mengerikan namun semua orang masih
dapat mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang
pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar
sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah.
Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan.
Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir
sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada lagi di rongganya!
Orang
kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka
pada wajahnya tidak seberapa dan tubuhnya hampir seperti tidak berpakaian lagi.
Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang
banyak, perempuan yang jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa
karena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban
ketiga yang menggeletak di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang
dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun
sebagai kusir kereta keluarga Ageng Lontar.
Semua
orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh
menggeletar. Siapa yang telah melakukan pembunuhan keji biadab seperti ini? Dan
hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng
Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa pelaku jahanam itu?
Gerombolan rampok? Tak ada rampok malang melintang di teluk Parangtritis bahkan
di pantal selatan waktu itu. Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah
punya musuh! Lalu siapa ?!
Pertanyaan
itu belum lagi terjawab. Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengar pekik
perempuan. Seorang gadis menghambur lari ke arah delman sambil tiada henti
berseru memanggil. "Ayah…. ayah!"
Tapi
begitu sampai di depan delman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si
gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa
orang segera menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat
ini harus diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar
seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara laln terdengar
lantang.
"Menyingkir!
Apa yang terjadi disini?"
Orang
banyak yang berkerumun di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat
munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah
tongkat sepanjang tiga jengkal. Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa
Parangtritis.
"Ki
Demang! Untung sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan
Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir Jajamat!"
Ki Demang
Wesi mendorong dan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti
didepan delman. Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.
"Hanya
iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu.
"Kalian semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"
"Kami
akan membantumu Kepala Desa!" jawab orang banyak.
Ki Demang
memandang berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan pandangannya
tertancap pada seorang pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak
memandang ke arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan kepala. Pakaian
putihnya yang lusuh di bagian dada lampak ada warna merah. Percikan darah.
"Kurasa
kalian tidak perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa
pembunuhnya!" ujar Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan
memandang tak berkesip pada Kepala Desa mereka itu. Ki Demang angkat tangan
kanannya, menunjuk tepat-tepat pada pemuda berpakaian putih lalu berseru,
"Tangkap pemuda gondrong itu!"
Beberapa
orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung
lehernya, ada pula yang menjambak rambutnya.
"Hai!
Apa-apaan in?!" teriak si pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan
pegangan orang banyak. Tapi tidak bisa, dan saat itu semakin banyak orang yang
ikut mencekalnya.
"Kepala
Desa! Apa-apaan ini?!" pemuda itu kembali bertanya.
"Jangan
banyak tanya! Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan juga kusir
delman!"
"Tuduhan
gendeng!" teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di
tempat ini! Bagaimana enak saja kau menuduhku?!"
"Kau
orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu
menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam
delman!"
Si pemuda
memperhatikan percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini
memang darah…"
"Nah
apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang.
"Kata-kataku
belum habis! Darah ini memercik dari lantai delman, tepat ketika delman rubuh
dan aku sampal didekatnya! Lihat saja, saat inipun masih ada darah yang menetes
dari lantai delman!"
"Siapa
percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa
pembunuh itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus jenazah-jenazah
ini!"
Melihat
orang tetap menuduh, si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua
orang yang mencekalnya jatuh tergelimpang.
"Pembunuh
biadab! Sekali lagi kau berani melawan akan kusuruh semua orang di sini
mencingcangmu!" Ki Demang Wesi berteriak marah dan mengancam.
"Aku
tidak bersalah! Aku bukan pembunuh! Siapa yang berani melarang aku membela diri!"
Mendengar
ucapan itu KI Demang Wesi jadi beringas. Lalu berteriak, "Bunuh pemuda
itu!"
Orang
banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala
Desa, kalau kau tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan salahkan
aku apa akibat yang terjadi!"
Ki Demang
menyeringai. "Manusia biadab! Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang pertama
sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat
di tangan kanannya ke arah mata kiri pemuda yang berada dalam keadaan dicekal
orang banyak.
Jauh
sebelum menjadi Kepala Desa, Ki Demang Wesi adalah murid keempat seorang guru
silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itu juga memiliki berbagai
kesaktian yang kemudian diturunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar
bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungan dengan guru silat tersebut
karena Ageng Lontar pernah pula berguru pada adik guru di Bukit Tunggul.
Dengan
kata lain antara Ageng Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungan dekat lewat guru
masing-masing. Pemuda yang diserang dengan tongkat ke arah mata kirinya tentu
saja terkejut melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan
adanya sambaran angin mendahului tusukan itu. Gerahamnya bergemelatakan menahan
marah namun marah itu akhirnya meledak juga. Didahului satu bentakan si pemuda
menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya dia jatuhkan ke
belakang. Kaki kanannya menendang ke depan.
Empat
orang mencekal si pemuda terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah.
Meskipun mereka tidak cidera namun masing-masing mereka merasakan mereka
seperti diserang demam panas.
Untuk
beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan. Ki Demang Wesi sendiri yang
tidak menyangka si pemuda dapat loloskan diri dari begitu banyak orang yang
mencekalnya jadi lebih terkejut ketika tusukan tongkatnya yang sanggup menembus
mata dan batok kepala si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan
mematikan menghantam ke arah selangkangannya!
Maklumlah
kini Kepala Desa itu bahwa pemuda yang dituduhnya sebagai pembunuh suaml istri
Ageng Lontar dan kusir delman Jajatma bukanlah seorang pemuda sembarangan, tapi
pasti sekali memiliki "isi".
"Bagus!
Rupanya kau mengusal ilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa
lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan
teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan
sampai si pembunuh lolos.
"Kepala
Desa, aku bilang sekali lagi padamu!" sentak pemuda berpakaian putih itu.
"Aku tidak melakukan pembunuhan!"
"Siapa
percaya padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar
seperti titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata ini kembali dia
menyerang pemuda itu. Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa
kali. Memasuki jurus kedua terdengar pemuda ini berseru, "Lihat
tongkat!"
Ki Demang
Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman
dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan. Tongkatnya
menderu ke arah dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini jadi
kaget ketika dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu sudah
memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata itu hanya tinggal seujung kuku
dari tenggorakan lawan!
Kepala
Desa Parangtritis coba selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi si
pemuda telah lebih dulu membetot! Kini giliran si pemuda yang jadi kaget.
Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang
dipegangnya hanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedang di tangan
kanan Ki Demang saat itu tampak bagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu
lengkap dengan mata pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu adalah sebuah
golok pendek yang tajam berkilauan! Ki Demang Wesi menyeringai mengejek.
"Pembunuh,
kau telah tolong membukakan sarung senjataku.
Berarti
kau memang sudah siap untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemuda
balas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau
meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis
berkata begitu pemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap
di tanah sampai setengahnya.
"Kau
kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak
muda! Tapi di hadapanku kau harus serahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu
menyerbu dengan golok pendeknya.
Senjata
ini mengeluarkan angin deras menebar hawa dingin. Pastilah ini sebuah senjata
mustika andalan.
Lima
jurus Kepaia Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk ke
sana ke mari. Tetapi dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap
serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan
seperti dapat membaca serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari
tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia
merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis. Didahului oleh
bentakan garang dia rubah permainan silatnya. Tubuhnya kini melompat-lompat ke
udara seperti bola karet yang membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara
aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek
besar.
Pemuda
ini berseru kaget dan melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja merobek
pakaiannya di bagian dada, tapi kulit dadanya juga ada yang ikut tergurat!
"Kepala
Desa sialan…" maki sipemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus
menelannya sekalian!" Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri
pakaiannya di bagian depan.
Robekan
kain pakaian dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu. Tentu
saja Ki Demang Wesi kembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan
melompat-lompat yang aneh seperti tadi. Hanya saja kali ini dia kecele.
Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjadi tidak berguna karena pemuda
lawannya kini telah pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya seperti
orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli
itu merupakan sasaran serangan yang ernpuk.
Tapi
sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerak ke
jurusan lain sementara tangannya yang memegang buntalan kain bergerak-gerak
berusaha menggapai ke arah mulutnya!
Ki Demang
merangsak sekali lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang. Karena sesudah
itu terdengar suaranya seperti tercekik.
Sesaat
kemudian halaman rumah Ageng Lontar jadi ramai oleh suara tawa orang banyak,
padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!
Apa yang
terjadi dan apa yang kini disaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki
Demang Wesi berdiri dengan mata melotot dan mulut tersumpal potongan kain. Lalu
celana luar dan celana dalamnya kelihatan merosot sampai ke lutut hingga aurat
terlarangnya tersingkap dengan jelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang
terjadi dengan dirinya, tapi dia tak bisa menggerakan tangan untuk menarik
buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk menarik celananya
ke atas. Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu
totokan yang bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang banyak
hampir semuanya tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari kalau
pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagi di
tempat itu.
******************
2
MESKIPUN
HATINYA kini lega dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun masih ada
satu tanda tanya yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah membunuh
Ageng Lontar dan istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu. Ingin
sekali ia menyingkap tabir rahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa
masih mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi
dia masih ada satu keperluan penting di timur.
"Kepala
Desa sialan! Enak saja dia menuduhku!" Si pernuda memaki sendirian.
Diperhatikannya pakaian putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda
debu dan darah sambil jalan akhirnya pakaian itu dibuka lalu dilemparkannya ke
semak-semak di tepi jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang
mendamprat.
"Manusia
sial dangkalan! Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala
orang!"
Si pemuda
yang telah berjalan beberapa langkah serta merta berhenti dan palingkan
kepalanya. Astaga! Di pinggir jalan yang barusan dilewatinya tampak berjongkok
seorang berpakaian serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau
perempuan karena sekujur kepalanya sampai ke wajah tertutup oleh pakaian putih
yang tadi dilemparkannya!
"Aneh!
Tadi waktu lewat di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahu-tahu
dia muncul di situ dan gila betul! Masakan aku mau-mauan mencampakkan bajuku
menutupi kepalanya begitu rupa!"
Buru-buru
pemuda yang kini bertelanjanq dada itu melangkah mendekati orang yang jongkok
di tepi jalan, lalu mengambil pakaiannya. Begitu pakaian diangkat tampaklah
wajah orang itu.
Ternyata
dia seorang nenek bermuka hitam yang ketika menyeringai tampaklah deretan
gigi-giginya yang terbuat dari emas berwarna kuning berkilat-kilat.
"Hai!
Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat si pemuda
yang memang Wiro Sableng menjadi terkejut karena tidak menyangka nenek itu
mengenal dirinya sedang ia sendiri tidak pernah bertemu perempuan tua itu
sebelumnya. "Aku sudah lama mendengar kekonyolanmu pendekar muda. Hanya
saja tidak menduga kalau begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua!
Berani
melemparkan pakalan busuk sampai-sampai menutupi muka dan kepalaku!
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan si nenek,
memberi hormat membungkukkan tubuh lalu berkata, "Aku terima salah nek!
Bukan maksudku berlaku kurang ajar.
Tapi
waktu lewat tadi sama sekali tidak melihatmu di sini. Kalau kau memang ada di
sini masakan aku berani berlaku sekurang ajar itu!"
Si nenek
tertawa tergelak-gelak. Gigi-gigi emasnya kembali tampak berkilat-kilat terkena
sinar matahari. Wiro sendiri tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa
terjadi. Jangan-jangan si nenek sengaja mempermainkannya dan tampaknya dia
memang bukan sembarang orang tua.
"Pendekar
utama tidak memiliki mata tajam! Sungguh tak bisa kupercaya!" berkata si
nenek sambil geleng-geleng kepala. Ucapannya bernada keras tapi wajahnya yang
keriput terus saja mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah
beracun yang menyambar dari balik semak belukar dan kau tidak sempat melihatnya
berarti kau akan mati konyol anak muda."
Wiro yang
tak mau berdebat dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah hanya
manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap maafkan diriku…"
Si nenek
balas mengangguk. "Aku terima maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa
sengaja hendak memamerkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu….
?"
Astaga!
Wiro baru sadar. Dengan membuang pakaian dan setengah telanjang seperti itu dia
tidak menyadari senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari balik
pinggang celana. Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus
mengenakan kembali pakaiannya yang sudah kotor dan robek besar. Ketika dia
hendak mengambil pakaian itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku
memiliki sehelai pakaian putih. Masih baru. Ukurannya kurasa pasti cocok dengan
tubuhmu!" lalu perempuan tua itu menggerakkan tangan kanannya ke balik
punggung. Sesaat kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang
ternyata masih sangat baru. Pakaian itu dilemparkannya ke pangkuan Wiro.
"Pakailah!"
"Ah,
pakaian bagus!" seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan
panjang dengan potongan kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima
kasih… " Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata
memang cocok sekali dengan tubuhnya.
Pakaian
putih itu terasa enak dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak sulaman
benang merah bergambarkan mahkota dan keris silang.
"Kau
senang mengenakan pakaian itu pendekar muda?" si nenek bergigi emas
bertanya.
"Senang
sekali nek, sedap dipakainya. Tapi kalau aku boleh bertanya apa arti sulaman
gambar mahkota dan keris bersilang ini?"
"Ah,
itu hanya sekedar gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau
gambar ular tak ada bedanya…" Sambil bicara si nenek mematahkan sepotong
belukar kering di samping jalan lalu dengan potongan kayu itu dia
menggurat-gurat di tanah. Ada garis panjang, ada yang berbentuk bola, garis
bersilang dan terakhir sekali si nenek membuat garis panjang mulai dari tepi
jalan di sebelah depannya sampai tepi jalan di dekat dia duduk.
"Lukisan
apa yang kau buat nek?" Wiro bertanya.
"Ah,
hanya iseng saja. Orang sepertiku mana pandai melukis. Aih kulihat kau
benar-bener gagah dengan pakaian itu pendekar muda. Aku jadi teringat pada Suto
Engging. Wajah dan potongan tubuhmu banyak kesamaannya dengan dirinya di masa
muda."
"Siapa
orang bernama Suto Engging itu nek?"
"Kekasihku
di masa muda, Lima tahun yang lalu kami berpisah. Dia ke barat aku ke timur.
Tak pernah kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapi aku yakin dia masih
hidup!"
"Ah,
pengalaman hidupmu tentu banyak sekali nek. Dan aku yakin di masa muda kau
pasti memiliki paras cantik jelita. Sekarangpun kau masih kulihat cantik."
Si nenek
tampak merah mukanya. Tapi hatinya berbunga-bunga mendapat pujian itu dan
tertawalah dia mengekeh. "Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati
orang. Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang.
Pengalaman hidup itu pula yang mengajarku agar tidak melakukan perkawinan
dengan siapapun!
Dan
percaya atau tidak anak muda sampai hari ini aku yang tua renta masih seorang
perawan sejati! Hik… hik… hik…!"
Wiro
merasa tenggorokannya seperti tercekik dengan keterangan si nenek. Dia
cepat-cepat mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek. Dan aku melihat
buktinya. Meskipun tua kulihat tubuhmu masih kencang, tak banyak guratan di
wajahmu…"
Si nenek
tertawa panjang sampai keluar air mata.
"Nek,
aku harus melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pasti tahu banyak tentang
diriku. Sebelum kita berpisah maukah kau mengatakan siapa dirimu ini?"
"Waktu
kecil aku diberi nama Tuwini Jenti. Sudah tua begini orang-orang memanggilku
Nenek Hitam Bergigi Emas.
Hik…hik..hik…"
"Terima
kasih kau telah menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasih lagi atas pemberian
pakaian ini. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura dua kali
berturut-turut. Ketika dia hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya
mendekati garis panjang yang tadi dibuat si nenek dengan belukar kering,
mendadak Wino merasakan seperti ada satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu
hingga dia tidak bisa meneruskan langkah, malah kakinya terbanting ke belakang.
Dicobanya
sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi lalu dengan mengerahkan seluruh tenaga
tetapi tetap saja dia tidak mampu melewati garis di tanah itu! Maka diapun
berpaling pada nenek yang saat itu masih tetap jongkok di tepi jalan sambil
senyum-senyum.
"Kau
memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, mataku jadi terbuka betapa luas dan
tingginya ilmu kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku
miliki sekarang hanya merupakan satu tetesan kecil belaka! Nek, aku mau jalan.
Mohon diberikan petunjuk…."
Si nenek
tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan penuh
peradatan. Mengapa banyak orang mengatakannya kurang ajar, konyol dan bersifat
seenaknya? Ah, lama-lama aku bisa jatuh hati padanya"
"Nek,
kau seperti melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewati garis aneh
yang kau gurat di tanah ini…"
"Oh
itu! Mudah saja anak muda. Pergunakan tangan kirimu menghapus garis itu.
Setelah garis hapus kau bisa lewat…. " menjawab Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro
lakukan apa yang dikatakan si nenek. Dia membungkuk.
Dengan
telapak tangan kirinya dihapusnya guratan garis yang memanjang di tanah
jalanan. Setelah hapus dia coba melangkah.
Ternyata
dia kini bisa melangkah. Kekuatan aneh yang tadi mendorong tak ada lagi.
"Kau
luar biasa nek!" memuji Wiro.
Si nenek
tertawa. Dia gerakkan tangan kanannya ke mulut. terdengar suara kraak. Apa pula
yang dilakukan perempuan ini, pikir Wiro. Tiba-tiba si nenek ulurkan tangannya
seraya berkata, "Ambillah! Mungkin ada gunanya di saat kau
kesusahan…"
Wiro
ulurkan tangannya. Si nenek letakkan sesuatu ke telapak tangan si pemuda.
Ketika diteliti ternyata sebuah gigi emas yang masih basah oleh ludah! Wiro
kerenyitkan kening.
"Aku
tidak berani menerima pemberianmu ini nek," kata Pendekar 212.
"Kau
jijik?!"
"Tidak…"
jawab Wiro agak gagap karena memang walau gigi palsu itu terbuat dari emas
namun ada rasa jijik dalam dirinya. "Jika ini kau berikan berarti kau akan
kehilangan salah satu gigimu!"
"Ambil
saja! Aku punya banyak persediaan gigi seperti itu!" berkata si nenek.
"Lihatlah!"
Lalu dari
dalam sebuah kantung perempuan tua ini mengeluarkan beberapa potong gigi emas.
Dia mengambil tiga buah lalu mecocokkannya dengan baglan giginya yang ompong.
Gigi kedua ternyata bisa menempel dengan baik. Dia tersenyum sambil menunjukkan
barisan gigi emasnya. "Lihat, gigi-gigiku utuh kembali."’
Wiro
garuk-garuk kepala. "Terima kasih atas pemberian gigi emas ini nek. Aku
minta diri sekarang!" Wiro menjura lalu melangkah pergi sambil menggenggam
gigi emas di tangan kanannya.
*********************
TIGA HARI
setelah suami isrti Ageng Lontar dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis Ki Demang
Wesi mendatangi rumah kediaman orang kaya di daerah selatan itu bertemu dan
bicara dengan puteri yang merupakan anak tunggal mendiang suami istri yang
Malang itu, yakni Winayu Tindi.
"Anakku
Winayu…." Begitu Ki Demang Wesi memulai pembicaraan. Dia memang biasa
memanggil gadis itu dengan sebutan anak mengingat hubungannya dengan Ageng
Lontar yang terkait pada hubungan guru mereka masing-masing. "Kedatanganku
malam ini guna menyambung pembicaraan kita dua hari lalu."
"Apakah
pakde Wesi sudah mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu
langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengan
sebutan pakde begitu.
"Belum
Winayu. Tapi kita akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan dapat
membongkar rahasia pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita harus berlaku
hati-hati serta bersedia memberikan sesuatu sumbangan untuk menunjang
perjuangan kelompok tersebut…"
Sulit
bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu.
Maka
diapun bertanya, "Apa maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde katakan tadi?
Lalu sumbangan bagaimana. Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan. Saya tidak
mengerti. Kepala saya pusing…."
"Jika
kau merasa kurang sehat, pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapa hari
di muka."
"Tapi
saya ingin mengetahui pembunuh biadab itu pakde! Malam ini juga! Bahkan saat
ini juga kalau bisa!"
"Itu
tidak mungkin aku lakukan, anakku. Kelihatannya ada masalah besar di balik
kematian kedua orang tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkar tabir rahasia
ini lalu membekuk pembunuh itu adalah kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan
menerangkan siapa-siapa yang ada dalam kelompok itu…."
"Tunggu
dulu pakde. Hari ketika ayah dan ibu ditemukan tewas di atas delman bukankah
pakde telah mencurigai seorang pemuda. Pakde menyuruh tangkapnya tapi gagal.
Orang itu berhasil melarikan diri…"
"Memang
berat dugaanku saat itu bahwa pemuda tersebutlah yang melakukan pembunuhan.
Kepandaiannya terlalu tinggi hingga aku tidak berdaya menghadapinya. Namun aku
yakin dia tidak bekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk
mencari tahu di mana pemuda itu berada. Pimpinan pasukan wilayah juga telah
bersedia untuk mengirimkan sejumlah pasukan guna membantu menangkap pemuda
itu."
Winayu
Tindi menyeka peluh di keningnya. "Sekarang ceritakan kelompok yang pakde
katakan tadi!"
Ki Demang
Wesi mengangguk. "Aku akan terangkan Winayu, asal kau mau berjanji untuk
merahasiakan apa-apa yang kita bicarakan selanjutnya. Ini menyangkut masalah
Kerajaan…."
Bertambah
tidak mengerti jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan keterangan dan
lebih dari itu ingin mengetahul siapa pembunuh kedua orang tuanya maka Winayu
anggukkan kepala dan berkata, "Saya berjanji akan merahasiakan apa-apa
yang bakal kita bicarakan."
"Baik
kalau begitu. Aku akan mulai. Dengar baik-baik dan jangan bertanya sebelum
keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi pula.
"Seperti
kau sendiri mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja kita
sedang gering. Di dalam keraton tersiar kabar bahwa ada kemungkinan orang-orang
tertentu tengah menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya belum sampai haknya
atau tidak syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya. Dikawatirkan Sri
Baginda telah membuat surat wasiat. Sebelum baginda wafat, sebelum orang yang
tidak berhak menduduki tahta kerajaan, maka sekelompok pejabat Kerajaan yang
didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan pangeran Adi Bintang
Sasoko sebagai pewaris tahta.
Menurut
silsilah saat ini dialah yang berhak memegang tampuk kerajaan karena dia putera
tertua meskipun bukan dari istri pertama Sri Baginda
"Tetapi
bukankah Pangeran itu diketahui menderita penyakit kurang ingatan sejak dia
berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu pula.
"Itu
hanya titnah yang sengaja disebar ke mana-mana dan perjuangan kelompok yang
mendukung Pangeran Adi Bintang ini mendapat dukungan pula dari Keraton Sura,
ditambah oleh banyak sekali tokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana
berjalan baik, kelompok itu bersama ribuan rakyat yang menjadi pendukungnya
akan masuk ke Kotaraja. Begitu tahta jatuh ke tangan Pangeran Adi, semua para
pendukungnya termasuk aku dan kau tidak akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja
bisa kau minta pada Sri Baginda nanti…"
"Saya
tidak menginginkan jabatan tinggi pakde. Saya hanya ingin mengetahui siapa
pembunuh ayah dan ibu. Lalu menuntuk balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul,
betul… Aku juga tidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah sebabnya
kuterangkan panjang lebar mengenai kelompok orang-orang penting ini. Hanya
mereka yang bisa membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"
"Jadi
pakde adalah salah seorang anggota kelompok tersebut?"
"Ya,
juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang
menjadi penggantinya. Kau harus bergabung dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus
katamu pakde?"
"Harus.
Demi meneruskan cita-cita ayahmu. Jika kau sudah masuk kelompok banyak yang
akan membantu mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat ini
kelompok sangat membutuhkan bantuan dana. Baik dalam bentuk uang, senjata dan
makanan! Kau bisa menyumbangkan dua hal. Uang dan makanan!"
Winayu
tegak dari duduknya. Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia delapan
belas tahun ini berkata, "Saya tidak mau ikut campur urusan kelompok pakde
itu. Soal bantuan saya tidak keberatan…."
"Terima
kasih anakku. Kalau kau bersedia membantu kelompok kami sudah sama artinya kau
telah bergabung dengan kami…." Ki Demang Wesi ikut berdiri. Dia
menyerahkan sebuah bungkusan pada Winayu.
"Apa
ini pakde?"
"Kebaya
dalam berwarna biru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya untukmu. Aku
pergi sekarang Winayu. Jaga dirimu baik-baik…"
Sesaat
setelah Kepala Desa itu meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan
yang tadi diserahkan Ki Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelai kebaya
panjang berwarna biru muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya. Lalu
ketika kebaya itu dibentang, Winayu melihat sulaman gambar mahkota dan keris
bersilang dari benang merah, terletak di bagian dada kiri kebaya itu.
******************
3
PENDEKAR
212 Wiro Sableng terheran-heran sejak dia mulai memasuki pinggiran Wonosari.
Semua orang yang ditemuinya dan dipapasinya pasti menjura hormat, paling tidak
menganggukkan kepala atau merendahkan bahu.
"Eh,
jadi siapa aku hari ini rupanya! Semua orang memberi hormat. Seolah-olah aku
ini seorang pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habis pikir dalam
hati.
Ketika
perutnya terasa lapar dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan,
penyambutan orang kedai dan tamu-tamu yang ada di situ membuat Wiro jadi salah
tingkah. Semua orang yang sedang makan langsung tegak berdiri begitu dia muncul
di pintu kedai.
Pemilik
kedai bersama istri dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut dan
mempersilahkannya duduk di kursi paling bagus, di ujung meja besar.
"Raden,
maafkan keadaan kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden tidak
pantas makan di sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami suami istri mendapat
kunjungan raden…" begitu pemilik kedai berkata.
"Raden…Aku
dipanggil raden …." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala dan
tertawa lebar. "Bintang apa yang jatuh di kepalaku hari ini…"
"Raden,
silahkan duduk menunggu. Tidak lama. Kami akan hadiahkan makanan paling enak
dan segar. Apakah raden ingin minum tuak nomor satu…?" bertanya istri
pemilik kedai.
"Terima
kasih. Beri aku air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk membeli
tuak nomor satu…" Jawab Wiro polos.
"Ah,
jangan berkata begitu raden, " kata pemilik kedai. "Kami mana berani
memungut bayaran untuk orang seperti dan sepenting raden. Semua demi perjuangan
raden…"
Lalu
suami istri pemilik kedal itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan. Wiro
memandang berkeliling. Setiap orang yang kebetulan melihat kejurusannya
buru-buru menganggukkan kepala.
"Aku
ini dikatakan orang penting…Gila! Apa sebenarnya yang terjadi di kota ini.
Jangan-jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang
tampangnya mirip wajahku yang jelek ini.
Ha..ha..Eh,
tadi orang kedai itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa…? Ah perduli
setanlah! Perutku lapar, makan dan bayar lalu pergi.
Tapi
orang kedai itu bilang aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapi
bagaimana semua ini bisa terjadi…?!"
Tak lama
menunggu hidanganpun diletakkan di atas meja. Mulai dari sebakul nasi putih
harum mengepul, dua potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur semangkuk
besar lalu masih ada kerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan sambal terasi
di cobek besar.
"Silahkan
makan raden, silahkan…" Kata pemilik kedai berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk sementara istrinya meletakkan sebuah cangkir tanah dan
buli-buli berisi tuak harum.
Tanpa
tunggu lebih lama Wiro menyantap makanan yang dihidangkan. Selesai makan dia
meneguk tuak nikmat dan harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua
matanya setengah terpejam saking enaknya tapi juga mengantuk.
Istri
pemilik kedai mendatangi dan berkata, "Raden, jika kau mengantuk dan ingin
istirahat, kami sudah menyiapkan kamar untukmu… "
Wiro
menguap lebar-lebar, tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, aku harus
melanjutkan perjalanan saat ini juga." Lalu Wiro mengeruk saku celananya
dan meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar makanan dan minuman
yang telah disantapnya.
Melihat
hal ini suami istri pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden,
jangan! Ambil kembali uang itu. Semua yang kau telah makan dan minum tidak usah
dibayar…"
Wiro
geleng-geleng kepala. "Aneh…aneh…" katanya dalam hati.
"Tidak
usah bayar demi perjuangan. Begitu…?
"Betul
sekali raden."
"Kalian
keliru. Justru demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat
tinggalkan kedai itu. Ketika dia pergi semua orang berdiri dan membungkuk
memberi hormat.
Suami
istri pemilik kedai saling pandang satu sama lain. Sang suami berkata,
"Baru sekali ini aku menemui yang seperti dia. Benarbenar pejuang yang
tidak mau memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang itu istriku. Jangan sampai
terlihat dan diketahui oleh orang-orang Pangeran Adi Bintang Sasoko. Bisa-bisa
kita dituduh menghambat perjuangan!"
Di luar
Wonosari terdapat sebuah bukit kecil. Di sini tumbuh pohon-pohon jati muda.
Karena ingin mengambil jalan pintas agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki
bukit. Perjalanan ini menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin
bagus pemandangan tampak di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil sambil
bersiul-siul. Suara siulannya bergema di hutan jati itu. Tiba-tiba pendekar
kita hentikan siulannya. Ada suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika
berpaling, Wiro melihat ada delapan penunggang kuda mendaki bukit jati dengan
cepat. Dalam waktu singkat delapan orang itu sudah berada di sekelilingnya.
Dari sikap mereka jelas mereka sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka
adalah tujuh orang prajurit kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda.
Perwira
itu memperhatikan Wiro sesaat. matanya tertuju pada sulaman mahkota dan keris
bersilang di dada kiri pakaian putih sang pendekar lalu diapun berkata,
"Kami tidak ingin membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara
baik-baik’"
Seorang
prajurit bersenjatakan kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata,
"Kenapa tidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya
dia mempunyai kedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyak keterangan
darinya. Kembali ke tempatmu prajurit!" Jawab sang perwira dengan suara
agak berbisik.
"Kalian
ini mau mengapakan aku?" Wiro bertanya sambil garukgaruk kepala. Baru saja
beberapa waktu lalu mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang membuatnya
merasa seperti seorang pangeran, kini tahu-tahu dia menghadapi perlakuan yang
jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!
"Karena
kau masih bertanya dengan baik maka aku akan menjawab dengan baik pula,"
menyahuti si perwira muda. "Kau kami tangkap dan akan dibawa ke
Kotaraja!"
"Eh,
apa salahku sampai ditangkap? Aku tidak membunuh, tidak mencuri dan
merampok!"
Perwira
di atas kuda tertawa lalu keluarkan suara mendengus.
"Jangan
berpura-pura tolol!" dia mulai keluarkan suara keras.
"Perbuatanmu
lebih jahat dari membunuh, merampok atau mencuri! Kau mau menyerah secara
baik-baik atau terpaksa aku menurunkan tangan kasar?!"
"Gila!
Tidak bersalah tidak apa-apa disuruh menyerah! Apaapaan ini!"
"Kalau
begitu kau minta digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah lalu
berterlak pada anak buahnya untuk menangkap Wiro.
Tujuh
prajurit melompat turun dari kuda masing-masing. Tiga orang menghunus senjata
untuk melindungi empat kawannya yang ingin meringkus Wiro.
Pendekar
212 tegak tak bergerak sambil bertolak pinggang.
"Perwira,
suruh prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru menangkapku!"
"Tidak!
Gerak-gerikmu sudah kami kuntit sejak di Wonosari! Dan dari pakaianmu itu jelas
kau adalah salah seorang pentolan berbahaya yang tengah dicari-cari!"
"Pentolan?
Aku pentolan? Pentolan apa…?"
"Masih
berani berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali laqi dia
berteriak memberi perintah anak buahnya agar segera menangkap Wiro. Maka tujuh
prajurit itu kembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat orang
berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.
"Gila!"
Wiro mulai jengkel. Prajurit terdekat yang hendak mencekal lehernya dihantamnya
dengan satu jotosan sehingga orang ini terpental dan menjerit kesakitan. Dua
kawannya balas menggebuk, tapi mengalami nasib sama karena lebih dahulu
diterjang jotosan pendekar 212. Melihat ini prajurit-prajurit yang memegang
senjata tanpa menunggu perintah lagi langsung tusukkan senjata masingmasing ke
tubuh dan muka Wiro!
Saat itu
Wiro sudah mencekal tubuh salah seorang prajurit yang tadi dihantamnya dan kini
mengerang kesakitan sambil pegangi perutnya yang kena tonjok. Ketika tiga
senjata datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga
prajurit bersenjata. Melihat hal ini tentu saja mereka yang menyerang dengan
senjata terpaksa menarik pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan
sendiri.
"Kurang
ajar! Kau berani melawan dengan mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda
di atas kuda marah sekali. Dia melompat turun dari atas kuda sambil menghunus
sebilah golok pendek yang menjadi senjatanya. Belum lagi kakinya menjejak
tanah, senjata di tangan kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertanda bahwa perwira ini memang terlatih
dan memiliki ilmu bela diri yang tinggi.
Begitu
kedua kakinya menjejak tanah, perwira itu kirimkan serangan susulan yang sangat
ganas tanda dia memang ingin membunuh lawannya saat itu juga. Wiro berkelebat
mengelak dengan cepat. Lima jurus menempur habis-habisan sang perwira hanya
menghantam tempat kosong.
"Perwira!
Sebaiknya lekas pergi dari sini. Bawa semua anak buahmu! Aku tidak ada silang
sengketa denganmu!"
"Kau
memang tidak ada silang sengketa denganku secara pribadi! Tapi kau punya silang
sengketa besar dengan Kerajaan!" Menyahuti perwira itu lalu kembali
memburu dengan serangan-serangan gencar.
"Gila!
Silang sengketa apa maksudmu?!" tanya Wiro.
"Kau
yang gila! Berkomplot menjatuhkan Raja kini bertanya pura-pura tidak
tahu!"
Kagetlah
murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu
pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam karena di depannya kembali perwira muda
itu menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah dan serangan senjata itu
benar-benar berbahaya kini.
Wiro
sadar dia tak bisa bertahan dan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata lawan
pasti akan mencelakai dirinya. Ketika dia bersiap untuk kirimkan serangan
balasan tiba-tiba seorang prajurit muncul menunggang kuda dan berteriak.
"Perwira!
Bahaya mengancam di bawah bukit!"
Perwira
muda itu melompat mundur, melintangkan golok di depan dada dan berpaling pada
prajurit yang barusan datang. "Ada apa?!"tanyanya.
"Serombongan
pasukan musuh bersenjata lengkap, berjumlah sekitar lima puluh orang tengah
menuju kemari. Mereka dipimpin oleh dua orang tokoh silat dari timur. Kita
harus menyingkir dari sini. Kekuatan sangat tidak berimbang!" Begitu
prajurit yang datang memberikan laporan.
"Kalian
semua lekas menghadang di lereng bukit. Aku akan bergabung dengan kalian
setelah menamatkan riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda
itu.
"Perwira!
Kita semua akan mati konyol jika berani menghadapi kekuatan lawan yang begitu
besar!" jawab prajurit yang datang melapor.
"Aku
yang memerintah di tempat ini! Kalian jangan berani menampik!"
Mendengar
itu delapan prajurit yang ada di tempat itu tidak berani membuka mulut lagi.
Mereka segera naik ke atas kuda masingmasing, padahal beberapa di antaranya
berada dalam keadaan terluka di dalam akibat gebukan Wiro tadi. Kedelapan
prajurit itu segera menuruni buklt, menyongsong gerakan pasukan basar yang
datang dari bawah.
"Perwira
tolol! Kau menyuruh anak buahmu bunuh diri!"
"Mereka
memang pantas untuk mampus! Kau! Mari hadapi golokku beberapa jurus lagi!"
"Edan!
Perwira macam apa kau ini!" teriak Wiro penasaran.
Dalam
hatinya kini muncul niat untuk menghajar perwira itu habishabisan.
Tapi
sebelum menghajarnya dia ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira
benar-benar tahu rasa.
Dengan
tangan kirinya Wiro patahkan sebatang ranting. Lalu ranting ini dia pergunakan
sebagai senjata untuk menghadapi golok lawan.
"Jika
kau punya senjata sebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"
Wiro
menyeringai mendengar ucapan perwra itu dan menjawab:
"Menghadapi
perwira tolol sepertimu mengapa harus pakai segala macam senjata. Ranting ini
sudah lebih dari cukup!"
"Bangsat!
Kau akan menyesal sampai ke liang kubur!"
"Mulutmu
terlalu besar. Jangan menganggap rendah semua orang!" sahut Wiro. Ranting
di tangan kirinya diputar berlawanan arah dengan putaran golok si perwira.
Perwira ini merasakan adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya. Angin
yang keluar dari ranting bukan saja membuat goloknya terbendung, tapi tubuhnya
sampai bergoyang keras.
"Lepas!"
tiba-tiba Wiro membentak. Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah tenggorokan
lawan. Sewaktu si perwira berkelit ke samping rnurtd Sinto Gendeng cepat
pukulkan ranting ke kiri.
Terdengar
suara sang perwira terpekik kesakitan ketika ranting itu menghantam belakang
tangannya yang memegang golok. Senjatanya benar-benar lepas mental. Dia coba
melompat untuk menyambar golok itu, tapi kakinya tiba-tiba dihantam ranting.
Untuk kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan. Sewaktu dia turun ke tanah
kembali dilihatnya Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek sambil
bolang-bolangkan golok milik si perwira yang kini berada di tangan kanannya.
"Memalukan!
Perwira totol! Kalau aku jadi Raja, manusia macammu tak akan terpakai! Ini,
ambil kembali golokmu!"
Habis
berkata begitu Wiro lemparkan golok di tangan kanannya ke tanah. Senjata ini
menancap satu jengkal di depan kaki sang perwira dan menghujam tanah sampai
setengahnya.
Merasa
malu dan marah karena dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda itu
cabut goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia hendak menyerbu lawannya
habis-habisan. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah
itu tak sanggup dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, lalu
pergunakan pula tenaga dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Golok di tanah
sama sekali tak bergeming! Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan!
Benar-benar memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda! Kalau
mencabut golok saja tidak sanggup bagaimana mau berperang melawan musuh!"
"Keparat
kurang ajar!" maki si perwira. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk
mencabut golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali dicabut. Hingga tak
dapat dicegah, begitu golok tercabut perwira itu langsung jatuh terjengkang di
tanah. Wiro tertawa tergelak-gelak. Merah padam muka si perwira. Golok yang ada
dalam pegangannya dilemparkannya ke arah Wiro. Senjata ini menderu dengan
ujungnya yang runcing tajam menyambar ke arah dada sang pendekar. Murid Sinto
Gendeng angkat tangan kirinya yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting
menempel, Wiro putar tangannya. Golok membalik ke kanan, berputar di
pertengahan ranting seperti sebuah titiran.
"Manusia
keparat, jangan kira aku sudah kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan
kosong!" teriak perwira muda itu lalu sekali lompat dia sudah menerjang
dengan tendangan dan jotosan. Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok
di ujung ranting. Tiba-tiba pendekar ini tarik ranting dari badan golok.
Senjata ini mental ke bawah, gagangnya menghantam kening si perwira dengan
keras. Sang perwira menjerit kesakitan, mundur terhuyunghuyung sambil pegangi
keningnya yang mengucurkan darah!
Pada saat
itulah dua orang berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itu diikuti
oleh hampir lima puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian
kelabu.
Dua
penunggang kuda di sebelah depan adalah dua orang kakek berwajah hampir mirip
satu sama lain. Pada dada pakaian hitam yang mereka kenakan tampak ada gambar
mahkota dan keris bersilang yang disulam dengan benang merah. Anggota rombongan
lainnya juga memiliki gambar itu pada pakaian masing-masing tetapi terbuat dari
sulaman benang berwarna biru.
Dua kakek
berpakaian hitam yang membekal sebitah senjata berbentuk tombak pendek di
pinggangnya masing-masing, tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di
sebelah kanan keluarkan ucapan" "Ah..ah..ah…! Kalian berdua baru saja
selesai berlatih!"
Kakek
yang satu menimpali, "Latihan kalian pasti berat dan keras! Buktinya
kulihat salah satu dari kalian sampai-sampai mengucurkan darah di kening!"
Perwira
muda itu hanya berdiam diri. Sesaat dia tampak masih sibuk menyeka luka darah
yang masih mengucur dari luka di keningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya dalam
hati siapa pula dua kakek yang datang membawa rumbongan manusia begini banyak.
Tadi jelas dia mendengar sendiri bahwa orang-orang yang baru datang ini adalah
serombongan pasukan musuh. Tetapi kini setelah berhadapan satu sama lain dengan
perwira muda itu, mereka sama sekali tidak nampak sebagai bermusuhan. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan
untuk melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara,
kita tidak punya waktu banyak. Malam ini ada pertemuan penting. Pangeran tidak
ingin melihat ada yang datang terlambat! Mari…."
"Eh,
apakah kau bicara denganku juga?!" tanya Wiro pada si kakek yang barusan
bicara.
"Apa
kau kira aku bicara dengan penghuni gaib bukit Jati ini?!" sahut si kakek.
Wiro
perhatikan gambar mahkota dan keris bersilang di dada pakalan si kakek. Untuk
pertama kali dia ingat akan gambar yang sama di dada pakaiannya sebelah kiri.
"Eh
…apa artinya gambar-gambar itu. Mengapa sulaman di dadaku sama dengan sulaman
di dada pakalan mereka. Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dari Nenek
Hitam bergigi Emas…?"
Wiro tak
dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak enak.
Lalu mengapa kakek tadi mengajaknya ikut serta? Melihat gambar-gambar yang sama
di dada pakaian mereka dan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka
berada dalam satu kelompok yang sama? Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng
berpikir-pikir seperti itu dilihatnya perwira muda tadi membuka pakaian seragam
Kerajaannya. Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya ke tanah ternyata di
balik pakalan itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga
ada sulaman benang merah bergambar dan keris bersilang di dada kirinya! Wiro
jadi memandang lagi pada gambar yang sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan
dua kuda pada sahabat-sahabat ini!" Salah seorang kakek berseru. Dua orang
lalu maju menuntun dua kuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu lagi
pada Wiro. Sesaat Wiro dan si perwira saling pandang.
"Kita
berangkat!" terdengar kakek tadi berteriak memberi abaaba.
Si
perwira muda langsung melompat ke atas punggung kuda. Wiro masih tegak
terheran-heran.
"Eh,
kenapa kau tampak seperti orang bingung, sahabat?!" bertanya si kakek
hitman di samping kiri.
"Kalian
mau mengajakku kemana?!" tanya Wiro sambil garukgaruk kepala.
"Kemana
lagi kalau bukan ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah
kau masih mau bertanya? Kita orang-orang satu golongan! Aku sudah melupakan
kejadian tadi! Anggap benarbenar sebagal latihan!" Yang bicara adalah
perwira muda itu "Gila!" desis Wiro sambil meinandang berkeliling. "Apa
yang sebenarnya terjadi saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar
mahkota serta keris bersilang ini…! Gila ! Hanya ada satu cara mencari jawaban.
Aku harus ikut dengan mereka!" Wiro lalu melompat ke atas kuda. Rombongan
bergerak menuruni bukit Jati. Di satu lereng bukit Who melihat delapan sosok
tubuh berseragam prajurit kerajaan menggeletak di tanah. Semuanya sudah
meregang nyawa dengan tubuh penuh luka. Wiro melirik ke arah perwira muda yang
kini mengenakan pakaian hitam, yang menunggang kuda tak jauh di sampingnya. Di
saat yang sama perwira itu juga berpaling ke arahnya, tersenyum kecil dan
kedipkan mata!
******************
4
DALAM
perjalanan ke Parangtritis tak satupun anggota rombongan ada yang membuka mulut
atau bicara. Tampaknya mereka diperintahkan untuk membungkam diri. Dua kakek
berpakaian serba hitam bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira muda
yang ternyata adalah seorang pembelot. Di belakang ke tiga orang ini bergerak
puluhan penunggang kuda berpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro Sableng
sengaja menyatu di tengah-tengah mereka. Walau ada hasrat untuk menyelinap dan
kabur dari rombongan itu, namun lebih besar lagi niatnya untuk ikut terus guna
mengetahui siapa sebenarnya orangorang itu. Siapa pula Pangeran Adi Bintang
Sasoko. Lalu apakah dia akan bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi Emas yang
memberikan pakalan putih bersulam mahkota dan keris bersilang itu?
Karena
rombongan tidak mau menempuh jalan umum maka perjalanan menjadi satu setengah
kali lebih panjang dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka baru
sampal di tujuan yakni bagian teluk Parangtritis yang agak terpencil dan jarang
didatangi orang. Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang kebanyakan
berpakaian kelabu. Banyak pula yang berseragam perajurit Kerajaan.
Kelompok
ini tangsung memberi hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang mereka
kenal. Semua kuda ditambatkan, ada yang dibawa ke kandang darurat untuk diberi
makan dan minum. Angin laut bertiup kencang.
Salah
seorang dari dua kakek berpakalan hitam memandang berkeliling, mencari-cari
Wiro Sableng yang saat itu duduk memencilkan diri di bawah sebatang pohon
kelapa. Kakek ini segera menghampirinya lalu memberi isyarat untuk mengikuti.
Bersamasama dengan perwira muda dan kakek yang satu lagi, Wiro melangkah
mengikuti orang tua itu. Mereka bergerak ke bagian teluk yang penuh ditumbuhl
pohon-pohon bakau. Setelah merancah air laut sebatas mata kaki dan menyibak
kelebatan pohon-pohon bakau keempat orang itu sampai di sebuah gundukan tanah
keras bercampur batu yang di bagian tengahnya merupakan sebuah lobang besar
atau mulut goa selebar dan setinggi tiga tombak. Kakek yang memimpin memandang
sesaat pada perwira muda itu, lalu pada Wiro dan akhirnya memberi isyarat agar
mengikutinya memasuki goa.
Bagian
dalam goa merupakan satu tanjakan yang terbuat dari batu, mulai dari bagian
bawah sampai dinding dan langit-langitnya.
Kira-kira
sepeminuman teh berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Tak
lama kemudian mereka sampai pada ujung goa yang ternyata tertetak pada sebuah
bukit kecil yang penuh ditumbuhi semak belukar dan pepohonan rapat. Sinar
matahari yang hendak tenggetam masih sempat menyeruak di antara dedaunan.
Beberapa belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ
dibangun sebuah gubuk panjang tanpa dinding.
Sepanjang
gubuk terdapat meja papan kasar yang diapit oleh bangku-bangku panjang yang juga
terbuat dari kayu hutan, setiap sisi meja memiliki dua lapis bangku. Dan di
situ Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk memandang ke arah mereka
sementara di kepala meja sebelah kanan tampak duduk seorang pemuda berpakaian
sangat mewah, bermuka agak pucat dan setiap saat selalu tersenyum-senyum
menyunggingkan gigi-giginya yang tonggos.
Di
samping pemuda itu duduk seorang lelaki gemuk yang terus menerus menyedot
sebatang pipa panjang. Bau tembakau yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas
meja, terutama di kepala meja terdapat banyak makanan. Kendi-kendi tanah berisi
tuak tak terbilang banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh
sama sekali. Mungkin masih menunggu sesuatu.
Wiro
memandang berkeliling, mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek
Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam
memberi isyarat pada Wiro dan perwira muda itu. Lalu keempat orang yanog baru
datang ini mengambil tempat duduk. Dua kakek di kepala meja sebelah kiri sedang
Wiro dan si perwira di bangku panjang lapis belakang bagian tengah.
Lelaki
gemuk yang menghisap pipa, sesaat memangdang berkeliling lalu lepas pipanya,
berpaling pada pemuda berpakaian mewah yang sebentar-bentar tertawa dan
berkata, "Semua yang ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting ini
bisa kita mulai Pangeran Adi?"
Pemuda
berpakaian mewah yang rupanya adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko mengangguk
lalu tertawa gelak-gelak. "Aku sudah lama menunggu. Kalian juga! Sudah
lapar dan haus! Sebelum memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu
sekenyangkenyangnya! Ha…ha…ha…! Eh, kau setuju calon patih Kerajaan?!"
Si gemuk
yang disebut sebagal calon patih membuka mulut dan setengah berteriak menjawab,
"Setuju!"
Maka
semua orang yang ada di situ langsung menyambar hidangan dan meneguk minuman
yang ada di atas meja.
"Hai!
Sampean tidak lapar dan haus? Mengapa melongo seperti patung tolol?!"
seorang lelaki berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu
masih duduk berdiam diri.
"Atau
mungkin dia menunggu sampai calon patih kita marah?!"
seseorang
berseru. Lalu orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa orang
lainnya.
Wiro
akhirnya mengulurkan tangan juga menjangkau piring besar berisi ketan kunlng
yang dihiasi goreng paha ayam. Sebentar saja makanan itu sudah berpindah ke
dalam perutnya. Ketika dia hendak mengambil cangkir dan menuang tuak ke
dalamnya tiba-tiba dia mendengar suara halus seperti nyamuk mengiang di
telinganya.
"Pendekar
muda…. Kau boleh sumpal perutmu dengan semua makanan yang ada di atas meja!
Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itu telah
berubah menjadi minuman celaka! Minuman itu beracun!"
Wiro
tersentak kaget. Kedua matanya berputar memandang berkeliling. Siapa gerangan
yang barusan bicara jarak jauh dengannya itu? Satu persatu dipandanginya wajah
orang-orang yang ada di tempat itu. Semua mereka, termasuk Pangeran Adi Bintang
Sasoko sibuk menyantap makanan masing-masing. Wiro memperhatikan terus sambil
melahap paha ayam. Semua orang termasuk Pangeran Adi meneguk tuak yang
dihidangkan, malah ada yang begitu lahap hingga berceceran menumpahi dagu dan
pakaiannya. Wiro melihat bahwa ada dua di antara orang-orang yang ada di situ
hanya berpura-pura minum.
Tuak yang
diteguknya hanya dilelehkan ke bawah dagu!
"Semua
sudah kenyang dan puas mlnum?!" tiba-tiba si gemuk yang disebut calon
patih berseru.
"Kenyang!
Puas!" orang banyak menyahuti. Si gemuk berpaling pada Pangeran Adi.
"Pangeran, saatnya kita mulai melakukan pembicaraan!"
Pangeran
Adi mengangguk, matanya berputar-putar lalu Pangeran yang berotak tidak waras
ini tertawa gelak-gelak.
Si gemuk
berdiri dari bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang
berkeliling dengan sepasang matanya yang sipit lalu berkata, "Sebelum
pembicaraan penting dimulai, tempat pertemuan ini harus benar-benar dijaga
kerahasiaannya! Pohon di sekitar sini bisa jadi telinga musuh! Apalagi manusia
penyusup!"
Sekali
lagi si gemuk memandang berkeliling. Tatapan kedua matanya sesaat tak berkedip
ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas.
"Sebelum
pembicaraan dimulai setiap yang hadir harus memperkenalkan diri agar kita
saling kenal satu sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan
kuperkenalkan dulu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Raja kita
semua, calon pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat
ini sedang gering! Bukan begitu Pangeran Adi?!"
Pangeran
Adi berdiri dari duduknya, menjura dan berteriak.
"Betul!
Aku yang bakal memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan! Hanya aku! Ha…
ha…hal…!"
Si gemuk
kembali membuka mulut. "Aku sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si Tapak
Api. Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi, bakal menduduki jabatan Patih Kerajaan!"
Habis berkata begitu si gemuk usap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama
lain.
Terdengar
suara meletup dan lidah api mencuat keluar dari celah dua telapak tangan itu.
Semua
orang berdecak kagum melihat hal itu dan sambil tertawa mengakeh Suto Gunoto
kembali duduk. Dia memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini berdiri
dari duduknya, menjura lalu memperkenaikan diri.
"Aku
Jaliteng Teguh, Adipati Klaten, siap berjuang di pihak Pangeran Adi. Seratus
orang perajuritku siap sedia di timur Patrangtritis!"
Orang
ketiga tegak pula dari bangku kayu. Seperti Adipati Klaten tadi dia juga
menjura, mendongak sebentar lalu membuka mulut.
"Namaku
jelek, tampangku jelek, pakaianku jelek dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha…!
Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuang bersama
Pangeran Adi! Di usia tua ini aku ingin menghabiskan sisa hidup dengan tenang
menjadi pejabat Kerajaan!" Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu
melompat ke atas meja. Ternyata kaki kanannya memang terbuat dari kayu. Dengan
satu gerakan seperti asal-asalan saja orang ini hantamkan kaki kayunya ke meja.
Papan meja yang terbuat dari kayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung
hancur dan berlobang besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembali
ke tempat duduknya.
Orang
keempat berdiri dari bangkunya. Dia seorang kakek bermuka cekung, mengenakan
baju hijau yang kebesaran dengan sulaman mahkota dan keris bersilang di dada
kiri. Sulaman seperti ini juga terdapat pada semua pakaian para yang hadir di
tempat itu, termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan kedua
tangannya di atas meja, tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki kuku-kuku
panjang berbentuk aneh seperti seperti pisau-pisau kecil!
"Aku
tua bangka jelek ini sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku. Si
Pengupas Kepala! Itu saja. Aku tidak mau banyak cerita. Kelak kalian akan
melihat sendiri siapa aku ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang
ini duduk kembali ke bangkunya.
Orang
kelima sampai ke sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan barat.
Setelah menyebutkan nama masing-naasing dan berasal dari Kadipaten mana, sambil
tak lupa mengatakan bahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnya sudah
bersiap sedia, maka masing-masing kembali duduk di bangku panjang.
Orang
yang ke sepeluh adalah satu dari dua kakek berpakaian hitam. "Aku juga
ikut-ikutan pikun. Lupa nama. Bersama adikku ini…" Si kakek menunjuk pada
kakek satunya yang duduk di sebelahnya, "Kami dikenal dengan julukan
Sepasang Tombak Dewa! Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan
Kerajaan dan adikku menjadi wakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu
dan adikku Tombak Dewa Kedua! Soal kepandaian kami pernah merajai rimba
persilatan di pantai selatan ini. Tapi saat ini kami tidak enak badan, tak mau
pamer kepandaian! Ha-ha-ha!"
Orang
kedua belas adalah perwira muda yeng duduk di samping Wiro Sableng. Setelah
mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri.
"Namaku
Aryo Ladam. Jabatan terakhir Perwira Muda pada pasukan kerajaan. Tapi mulai
detik ini jabatan itu tidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti pada
calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal kepandaian
mungkin banyak di antara para hadirin memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
dariku.
Sebelum
berangkat ke mari aku telah berhasii membina sekitar enam puluh perajurit dan
dua perwira muda untuk berjuang di pihak kita.
Mereka
semua berada di Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup dan
menghantaan lawan di pusat Kota. Mereka siap menunggu perintah!"
Suto
Gunoro mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko
tersenyum-senyum sambil meneguk tuak.
Sambil
mengangkat kendi tuak Pangeran itu berkata, "Sesuai janji, kau akan aku
angkat sebagal Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkan dua tingkat!"
"Terima
kasih Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu
duduk ke tempatnya kembali.
Kini
giliran Pendekar 212 Wiro Sableng memperkenalkan diri. Setelah menggaruk kepala
lebih dulu, pendekar ini berdiri dan menjura ke arah Pangeran Adi serta Si
Tapak Api. Sikap ini membuat kedua orang itu merasa senang karena sebelumnya
tidak ada seorangpun yang memberikan penghormatan ketika memperkenalkan diri.
"Mohon
dimaaafkan kalau namaku jelek didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar pengangguran
yang dicap berotak kurang waras. Apa yang menjadi tujuan para tokoh yang hadir
di sini menjadi tujuanku pula! Kita bersama-sama berjuang!" Wiro lalu
duduk kembali. Dalam hati dia menyumpah. "Persetan dengan perjuangan gila
ini? Aku ingin buru-buru pergi dari sini! Edan, mengapa aku sampai terdampar di
antara para pengkhianat ini!"
Terdengar
suara batuk-batuk beberapa kali, lalu disusul suara orang bicara. Yang bicara
adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luar biasa! Tidak
disangka-sangka kalau tokoh silat muda terkenal sepertimu ikut berada di antara
kita Pendekar 212, apakah keikutsertaanmu bersama kami mendapat restu dari
gurumu di puncak Gunung Gede…?!"
"Ah,
si kaki kayu ini rupanya tahu banyak tentang diriku dan guruku," membatin
Wiro. Pendekar ini agak gugup mendapat pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri
dan menjawab, "Ketika aku melapor, guru sedang tidak di tempat. Aku hanya
meninggalkan pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan…" Wiro
berdusta.
"Bagus…bagus…
Sebetulnya kau bisa mengajak beberapa tokoh utama lainnya menyertai kita. Tapi
yang ada sekarangpun sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.
Orang ke
empat belas yang duduk di samping kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai
Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo Ladam dia juga menerangkan bahwa ada
sejurnlah besar pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.
Orang
terakhir atau yang ke lima belas adalah yang paling lucu, paling konyol
gerak-geriknya. Dia mengenakan baju merah menyala yang sangat besar tetapi
seperti yang lainnya di dada pakaiannya juga tersulam gambar mahkota dan keris
bersilang. Rambutnya yang panjang digulung ke atas dan pada ujung gulungan
diberi pita merah.
Mukanya
dirias secara seronok yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotan
dari bibir sampai ke pipi dan dagu sedang alis mata diberi jelaga hitam
bercelemongan. Orang ini berdiri dengan sikap malu-malu seperti perempuan.
Suaranya kecil ketika memperkenalkan diri,
"Namaku
Tatata Tititi. Aku tidak bergelar tidak berjuluk! Tidak punya kepandaian silat!
Tapi pandai bermain sulap, kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu
menunjuk pada sepiring makanan di atas meja. "Saat ini kalian melihat ada
makanan di alas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka
dan lihat lagi ke arah piring! Kalian tidak akan melihat makanan lagi! Nah
lakukanlah!"
Karena
tertarik, hampir semua orang yang ada di tempat itu termasuk Wiro pejamkan
matanya. Ketika kedua mata dibuka dan mereka memandang ke arah piring! Astaga!
Memang diatas piring itu kini yang mereka lihat bukan lagi makanan, tapi
seonggok tahi kerbau! Semua orang mengerenyit jijik. Tak percaya pada
pemandangan masing-masing dan banyak yang mengusap-usap kedua matanya!
"Jadi
tadi kalian bukan bersantap enak. Tapi makan tahi kerbau…hik…hik..hik!"
orang bermuka celemongan itu tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya
bergurau. Lihat sekali lagi. Apa yang ada di piring memang makanan!"
Dan
ketika semua orang memandang lagi ke arah piring, memang di situ kini tampak
makanan seperti semula. Terdengar orang tadi berkata, "Jika aku bisa
merubah makanan jadi tahi kerbau, aku juga bisa merubah wajah Sri Baginda
menjadi tahi kerbau! Hik…hik…hik!"
"Tukang
sulap!" tiba-tiba Suto Gunoro alias Si Tapak Api berseru. "Coba
terangkan, kau ini lelaki atau perempuan!"
"Hik..hik..hik!
Aku bukan lelaki bukan perempuan!" jawabnya Tatata Tititi.
"Maksudmu….?!"
Pangeran Adi Bintang yang kini ajukan pertanyaan.
"Aku
banci! Hik..hik..hik!"
"Jangan
melantur! Kau berhadapan dengan calon Sri Baginda!"
Membentak
Si Tapak Api.
"Hik..hik..hik!
Aku tidak melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan kusingkapkan
pakaianku! Mau melihat…?!"
Pangeran
Adi Bintang tertawa gelak-gelak dan goyanggoyangkan tangannya ketika Tatata
Tititi hendak menyingkapkan pakalannya yang lebar.
"Sudah!
Kami percaya padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi satu kelompok dengan
kami!" ujar Pangeran Adi sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk
Tatiti…."
"Maaf,
namaku Tatata Tititi, Pangeran. Bukan Tatiti …. !"
"Oh,
ya aku kesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling
pada Suto Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk melakukan pembersihan,
patih!"
Suto
Gunoro mengangguk lalu cabut pipanya dan berdiri. Sepasang matanya yang sipit
tampak tambah sipit ketika dia memandangi satu persatu semua orang yang ada di
tempat Itu.
"Saudara-saudara
satu perjuangan. Sebelum pembicaraan amat rahasia kita mulai, tempat ini harus
dibersihkan darl penyusup matamata musuh!"
"Eh…!
Apakah ada mata-mata kerajaan disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu
alias Sumo Kandil.
Suto
Gunoro menyeringal buruk. Dia berpaling pada kakek bermuka cekung yang tadi
memperkenalkan diri dengan juiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkan
kepalanya.
Melihat
isyarat ini Si Pengupas Kepala bangkit dart kursinya. Kedua matanya memandang
menyorot satu persatu pada orang-orang yang ada di sekitar meja. Kedua
tangannya sailing digosok-gosokkan.
Kuku-kukunya
yang beradu satu sama lain mengeluarkan suara bergemericik, tidak beda seperti
pisau-pisau saling bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang ini melangkah
memutari meja, mengitari lima belas orang yang duduk laksana terpaku. Wiro
merasakan tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas Kepala berhenti
melangkah dan tegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan
orang ini mencurigaiku. Pasti aku yang dimaksudkannya dengan mata-mata musuh
tadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan tenaga dalam ke tangan kanan,
diam-diam menyiapkan pukulan sakti "sinar matahari". Kedua telinganya
dipasang tajamtajam. Begitu terdengar orang bergerak maka serta merta dia akan
menghantam.
Dibelakangnya
Si Pengupas Kepala dengan gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat tangannya,
mencekal leher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung
Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata
keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!" teriak Si Pengupas
Kepala.
Tumenggung
Gandana Jipang tampak kaku sekujur tubuhnya.
Mukanya
seputih kertas. Suaranya tercekik ketika bicara. "Lepaskan! Jangan! Kau
salah tuduh! Aku bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru untuk
bergabung! Bukankah aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang sakitnya
Raja….?!"
Si Tapak
Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara menggereng.
Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang dilemparkannya ke atas
meja besar. Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya
yang memillki kuku sekuat dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerlnda.
Terjadilah satu pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung
Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-hempaskan
tubuhhya sementara kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka
dikelupas oleh kuku-kuku maut itu!
Hanya
beberapa kejapan mata saja kepala itu kini tinggal tengkorak berselimut darah!
Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti
Allah…" bisik Wiro dalam hati dan membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian
yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini dirobek
oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si Tapak
Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya yang
bersimbah darah. Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu
berkata, "Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-mata
Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya berada
dalam penjara!"
Wiro
tidak perduli apa yang diucapkan oleh orang itu. Ingin
sekali
dia meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak bergerak bangkit tiba-tiba Si
Tapak Api berseru. "Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis
Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh Tumenggung
Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat yang mulal
tenggelam dalam gelapnya malam yang baru turun.
******************
5
YANG
DATANG ternyata ada dua orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar
berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan
kanannya. Di samping orang ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis
berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di
dada kirinya. Gadis ini tampak agak ragu-ragu untuk melangkah lebih dekat ke
arah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya. "Tak
ada yang harus ditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman
seperjuangan…"
"Aha!
Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum
dimulai!" Si Tapak Api berseru. Sesaat matanya jelalatan menatap wajah
cantik gadis di samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang
Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Harap
maafkan…. "sahut Ki Demang Wesi sambil menjura.
"Aku
terlambat karena harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita adalah
perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik begitu
perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia
adalah puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi
aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap aku
sebagal ayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah memutuskan untuk menyumbang
kekayaannya bagi perjungan kita!"
"Hebat!"
seru Si Tapak Api.
Pangeran
Adi Bintang Sasoko tiba-tiba bangkit dari kursinya. Matanya memandang tak
berkesip pada Winayu Tindi. Tangan kanannya diangkat. Jari telunjuknya
diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik. "Cantik!
Cantik sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan sangat
besar! Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si cantik
jelita ini…?!"
Tak ada
yang menjawab. Mungkin tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro
berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi
permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah?!
Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang
lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju.
Di antara
tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara seperti
nyamuk mengiang dikedua telinganya, "Anak tolol! mengapa mulutmu selancang
itu mengatur perjodohan orang?! Sableng!"
Wiro
merasakan mukanya jadi merah dan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-cari
siapa diantara yang hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit baginya
untuk menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si Tapak Api.
Atau
mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa? Ketika tepuk tangan dan
suara riuh lenyap, terdengar suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini tampak sangat
merah.
"Sesuai
janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuh ayah
dan ibu saya…!"
"Oh
begitu? Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon
permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh orang
tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!"
berkata Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuh rendah oleh orang banyak.
Ki Demang
Wesi membimbing Winayu lalu keduanya duduk di bagian meja yang masih kosong ini
adalah di samping Wiro. Begitu melihat si pemuda kening Ki Demang Wesi jadi
berkerut.
"Eh,
anak muda! Kau…"
"Rupanya
kita orang-orang satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang
melakukan…?" Wiro mendahului.
"Tidak,
tentu saja tidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu
Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak mendengar
ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro
memandang padanya gadis ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu
lancang benar! Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi…"
Untuk
kedua kalinya Wiro merasa wajahnya menjadi merah. Sadar kalau mulutnya
ketelepasan.
"Maafkan
aku sahabat. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi katakataku tadi memang tidak
pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing
betina yang bengekpun tidak mau jadi istri Pangeran gila itu…!"
Suto
Gunoro sang calon patih Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah
menghisap pipanya panjang-panjang diapun menyatakan bahwa pembicaraan rahasia
segera dimulai. Adapun pembicaraan itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton
dari tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu orang. Lalu melakukan
penculikan terhadap Sri Baginda dan menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro
yakni Pangeran yang diduga akan diangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri
Baginda mangkat. Setelah itu dilakukan penggantian terhadap pucuk pimpinan
Kerajaan, termasuk para Adipati, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu
Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur
pula taktik bahwa penyerbuan akan dilakukan dua hari dimuka, dini hari
menjelang subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam akan dilakukan pembunuhan
terhadap para tokoh silat Istana. Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si
Pengupas Kepala, Pengemis Kaki Kayu dan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang
tengah malam pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk tuak
sampaii sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekali tidak menyentuh minuman ini,
dan juga tidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun mematikan
yang ada dalam minuman.
Selain
bangunan panjang tanpa dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu, ternyata
masih ada tiga bangunan lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan merupakan
rumah-rumah kecil. Salah Satu rumah itu ditempati oleh Pangeran Adi Bintang
Sasoko bersama Si Tapak Api. Rumah kedua dan ketiga tadinya dibagi-bagi untuk
para anggota komplotan pemberontak itu namun yang satu kemudian harus diberikan
pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan mereka malam
itu ke tempat itu, tidak satu orangpun diperkenankan meninggalkan tempat
rahasia itu. Penjagaan ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu
Wiro pura-pura tidur mendengkur di bangku panjang. Udara dingin sekali dan
suara deburan ombak di pantai terdengar mengerikan. Setelah pertemuan berakhir
tadi, Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi
melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah kecil di sebelah
kanan. Murid Sinto Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika
dilihatnya gelagat baik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap di
kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya menjuntai
tepat di atas rumah di mana ketiga orang itu berada. Dari atas pohon Wiro dapat
mendengar pembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki
Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantik
itu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara Pangeran Adi.
"Pangeran,
gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang tuanya.
Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika Pangeran
memang menyukainya…" Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu
saja aku menyukainya! Ha..ha…ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng dan
kopi hangat pada pagi hari! Ha.. ha.. ha.. !"
"Ki
Dernang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan diberikannya
dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya.
Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikan dengan
tuntas?" Yang bicara adalah Si Tapak Api.
"Telah
aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak tahu
kalau pemuda asing yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang
kita sendiri…. "
"Terus
terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger dan
kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh bersih dari
golongan putih…."
"Dunia
bisa berubah, apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi.
"Tapi
tak ada salahnya untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam kelompok
kita…"
Melihat
hal ini Ki Demang Wesi minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki
Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jaga baik-baik
Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan
aku lakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu
hal lagi haruss kau jaga baik-baik, Ki Demang!"
"Apa
itu…?"
"Jangan
sampai dara itu mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya…"
Ki Demang
Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengar kata-kata
Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata, "Kalau bukan demi perjuangan,
sebenarnya aku tidak akan mau berlaku sekeji itu Sumo… Lagi pula dia menolak
untuk diajak serta. Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kita ke
Istana!"
"Memang
manusia seperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah dirusak kehormatannya
sebelum dibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya,
ceritakan apa yang kau lakukan Ki Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar
Ki Demang Wesi menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan itu
terlalu cantik dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu
dari suaminya tentang komplotan kita. Juga kusir kereta…. "
"Aku
tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukan terhadap istri
Ageng Lontar! Ha… ha…ha…. ! Ceritakan saja saja Ki Demang…. "
"Aku
memang dirasuk nafsu. Perempuan itu kutiduri baru kubunuh. Untuk menutup
rahasia kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau
makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami! Ha…ha…. ha….!"
"Kau
boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan saja
akan terus jadi Kepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi
Adipati!"
"Terima
kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri…."
Terdengar
suara pintu dibuka lalu ditutupkan kembali. Di atas pohon Pendekar 212 Wiro
Sableng tersentak kaget seperti disengat kalajengking mendengar rentetan
pembicaraan yang terakhir.
"Manusia
setan haram jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-benar
dajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat
itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluar dari dalam rumah dia
segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Jangan
tolol! Kendalikan amarahmu! Belum saatnya! Belum saatnya untuk memamerkan
kehebatan!"
"Sialan!
Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang
berkeliling. Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas
dibawah pohon. Saat itu pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu tampak Si
Tapak Api keluar dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti
di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo,
aku perlu bertanya. Apakah tuak itu benar-benar kau campur racun?"
"Seperti
yang kita rencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan mampus!
Putus dan hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan mereka lagi! Juga
tidak Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau
begitu lekas berikan padaku obat penawar racun itu! Aku tidak mau mati
konyol!"
Si Tapak
Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam saku
pakalannya dan diserahkan pada Ki Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat
penawar racun itu.
"Jadi
kau tetap akan menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki
Demang bertanya.
"Bukankah
itu yang kita rencanakan? Aku jadi Raja, kau menjadi Patih…! Nah, hari hampir
pagi. Kau pergilah tidur. Mudah-mudahan mimpi enak…" Si Tapak Api menepuk
bahu Ki Demang Wesi. Keduanya berpisah.
"Jahanam!
Benar-benar manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu. Minuman itu
ternyata beracun!"
Wiro
memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih sempat mendengar ada
suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Dia hanya
sempat melihat bayangan dalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu lenyap!
Tapi dari sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisa menduga siapa
adanya orang itu. Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah
meronda. Dilihatnya tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi
tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu
tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ? Wiro melangkah
mendekati orang ini.
Memperhatikannya
sejenak. Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah Tatata Tititi.
Lalu diperhatikannya tangan sendiri. Noda yang sama juga terdapat pada kedua
telapak tangannya. Kotoran Itu adalah lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar
212 tersenyum.
Dalam
hati dia berkata, "Hemmm… Jadi dia rupanya!" Wiro manggutmanggut dan
diam-diam merasa lega.
Paling
tidak dia tahu kalau dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya itu.Ada
seorang teman bersamanya walau dia masih tidak dapat memastikan siapa adanya
orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di mana
dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan
suara mengorok tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya
yang celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata, "Ah, pemuda itu
sudah tahu rupanya…"
******************
6
SEJAK
SIANG hujan turun terus. Menjelang sore reda sebentar tetapi begitu matahari
menggelincir ke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut
bergelombang menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk
bergulung-gulung setinggi rumah. Di kejauhan terdengar suara angin menderu
mengerikan.
Tampak
kilat sambar-menyambar lalu suara guntur menggelegar seperti hendak membalikan
isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patah berderak, tumbang ke laut.
Ringkik kuda yang ketakutan terdengar berulang kali.
Di dalam
rumah kecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir sementara Pangeran Adi
tegak di sudut sambil tersenyumsenyum lalu menyanyi-nyanyi kecil seolah-olah
mengiringkan deru hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang Tombak Dewa
berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil permainkan
kaki kayunya. Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu rumah,
memegang sehelai kapas berwana merah.
Tengah
berhias rupanya si banci ini! Si Tapak Api diam-diam memaki melihat tingkah
laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi dan
Tatata Tititi.
"E…
Hujan celaka !" akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Buto
Gunoro sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kita
siap bergerak!"
"Tenang
saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu berhenti kita segera
bergerak menuju Kotaraja," berkata Pengemis Kaki Kayu.
"Kalau
segera berhenti, kalau tidak…? Kita bisa terlambat dan kesiangan sampai di
sasaran!"
"Kalaupun
hujan tidak berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?"
bertanya Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak
ada yang perlu kita takuti di dunia ini, tapi jangan tolol.
Cuaca
bisa membuat kacau gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel.
"Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana? Siapa yang pandai melihat
cuaca?! Tatata Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar, apakah
hujan akan reda atau tidak?!"
Tatata
Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahi wajahnya dengan bedak merah itu,
memandang Si Tapak Api dan tersenyum. Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau
aku berhujan-hujan keluar, bedakku, gincuku, alisku… semua akan luntur!
Hik…hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh saja yang lain…"
Si Tapak
Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa.
Dia
menjangkau sebuah caping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata
Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat! Kekuasaan
dan perintah tertinggi ada pada Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi jangan
ada yang berani menolak perintah…"
Tatata
Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksa
disambutnya dan dikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah.
Saat itu udara di luar mulai gelap. Hujan lebat seperti tidak bisa ditembus
dengan pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan
menuju bagian bukit yang agak tinggi. Seharusnya dari situ dia bisa melihat
teluk dan laut. Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat
pemandangannya terbatas hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigil
kedinginan Tatata Tititi memandang berkeliling, mencaricari pohon yang baik dan
mudah untuk dipanjat. Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi
dengan cabang-cabang yang berdekatan satu sama lain. Sekali lagi orang yang
mengaku banci ini memandang berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka
tubuhnya pun melayang ke atas cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas
pohon, tetap saja dia tidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan
hanya sambaran-sambaran kilat lalu suara guntur yang seperti hendak merobek
langit. Namun sebenarnya bukan untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan si
muka celemong ini untuk naik ke atas pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan
sebuah benda bulat panjang sebesar ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya
sedang sebelah bawah ditancapi sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya
yang lain dia mengeluarkan sepasang batu api.
"Celaka,
batu api ini basah…!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu
kepakaiannya agar kering. Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api
terdengar marah-marah karena sepasang batu apinya lenyap entah kemana. Padahal
yang kini berada di tangan Tatata Tititi itulah batu api miliknya, dicuri oleh
si muka seronok!
Setelah
sepasang batu api kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi benda
bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai menggosok
sepasang batu api itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan ketakutan
kuat dan keras maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah api
didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras mematikanya.
"Setan
alas!" maki Tatata Tititi. Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru
sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain
yang cepat dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut ke bagian
benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan
pegangannya pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang
keras, dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat ke udara. Siapapun
yang berada di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya,
walaupun hanya seketika yakni sebelum padam diterpa air hujan dan udara dingin.
Tatata Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak
mempergunakan ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada
badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pasti akan
menenggelamkan goa…."
Lalu dia
turun dari atas pohon kembali ke dalam rumah.
"Bagaimana?
Apa yang bisa kau laporkan…?!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu
Tatata Tititi muncul di pintu.
"Kita
harus berangkat saat ini juga. Ada badai besar berkecamuk di laut. Dalam waktu
cepat air laut akan pasang dan goa panjang satusatunya jalan menuju ke pantai
akan terendam air!"
Mendengar
keterangan Tatata Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan memegang
lengan Si Tapak Api kuat-kuat.
Wajahnya
menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau mati ditabrak badai! Aku tak mau
mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus hidup karena aku harus jadi Raja! Dan
permaisuriku itu…. Dia yang nomor satu harus diselamatkan…!"
"Tenang
Pangeran… tenang! Semua akan kita atur dengan cepat. Kita akan segera
meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua tokoh silat
dan para Adipati yang ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk Pendekar 212
Wiro Sableng.
"Kita
semua akan beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambil kedudukan dan
tanggung jawab sesuai yang sudah diberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa
Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan
pangeran Adi dan Winayu Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh
Sitomulyo, mereka harus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan
menunggu di sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itu
bersama Ki Demang Wesi…"
Aryo
Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlari di bawah hujan menuju rumah kecil di
mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon Kepala
Pegawal Raja ini kembali dengan muka pucat.
"Ada
apa…. ? Mana kedua orang itu…?!" tanya Si Tapak Api.
"Gadis
itu tak ada di dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan tertotok.
Aku berusaha melepaskan totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran
Adi Bintang Sasoso keluarkan suara seperti meraung menangis lalu lari
menghambur keluar, diikuti oleh yang lain-lain. Ketika sampai di rumah sebelah
memang di situ hanya ditemui Ki Demang Wesi tegak kaku tak bergerak di tengah
ruangan, menghadap ke dinding membelakangi pintu. Winayu Tindi sama sekali tak
ada di tempat itu.
Si Tapak
Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung jari
tangan kanannya ke punggung untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Tapi
gagal. Totokan itu tidak musnah. Paras Si Tapak Api tampak berubah.
"Ini
bukan totokan sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu
melarikan diri! Ada pengkhlanat di antara kita! Musuh telah menyusup di tempat
ini!" kata calon Patih itu dengan mata berapi-api lalu menatap semua orang
yang ada di situ satu persatu. "Ka1au begitu pendapatmu, berarti calon
permaisuri telah diculik orang!" kata Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar
ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke lantai
lalu menangis seperti anak kecil.
"Manusia
gila! Sedeng!" maki Si Tapak Api dalam hati. Dia sama sekali tidak
memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di
tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar
aku yang tolol dan banci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititi. Dia maju
mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik
celana Kepala Desa Parangtritis itu hingga melorot ke bawah. Di sebelah muka
tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya
yang jelek hitam.
"Manusia
banci! Apa yang kau lakukan ini?!" teriak Si Tapak Api sementara yang
lain-lain tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan
berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat pengunci
totokan aneh ini ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki
Demang Wesi kuat-kuat dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
Duuutttt!
Angin
busuk keluar dari bagian bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang menyumpah dan
menekap hidung karena baunya yang seperti hendak meruntuhkan bulu hidung. Namun
di saat itu pula Ki Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat dan akhirnya
membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari totokan
aneh luar biasa itu.
"Ki
Demang! Ceritakan apa yang terjadi ?!" tanya Si Tapak Api.
"Aku
mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhku terdorong ke depan dan ketika aku
sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisa bersuara.
Winayu Tindi lenyap!"
"Kau
sama sekali tidak melihat siapa yang melakukan?" tanya Dewa Tongkat Kedua.
Ki Demang
Wesi menggeleng.
"Permaisuriku…
Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran
tenanglah. Kita pasti menemukan gadis itu…." kata Tatata Tititi. Tapi sang
Pangeran terus meraung seperti anak kecil.
Tiba-tiba
seseorang muncul di pintu. Dia adalah salah seorang yang ditugasi memimpin satu
kelompok pasukan.
"Ada
apa?!" membentak Si Tapak Api.
"Saya
datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa.
Badai dari laut mulai menerjang tepi pantai.
Pohon-pohon
bertumbangan. Banyak kuda yang terlepas dan lari. Anggota pasukan mulai
resah…"
Si Tapak
Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-bisik.
Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu.
Beritahu semua orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat
ini. Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing!
Aryo Ladam, kuminta kau pergi bersama orang ini… "
Aryo
Ladam mengangguk lalu tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap
berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu hal penting terjadi di luar sanal Dua
orang pengintai melihat ada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka
datang dari timur, utara dan barat, menuju ke arah teluk, mengurung semua jalan
keluar!"
Terkejutlah
semua orang yang ada di situ. Suasana berubah tegang sementara Pangeran Adi
masih terus meraung-raung sambil jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang
ajar! Bagalmana ini bisa terjadi kalau tidak ada ponghianatan diantara kita!
Musuh dalam selimut! Penyusup keparat…!" teriak Si Tapak Api sambil
kepalkan kedua tangannya.
"Lekas
mengaku! Siapa di antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa di
antara kalian yang jadi mata-mata Kerajaan! Kalau tidak ada, masakan pasukan
Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar teluk! Berarti mereka paling tidak
sejak satu hari lalu sudah bersembunyi di luar sana!"
Tak ada
yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
"Baik!"
ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-api dan suara bergetar
saking marahnya. "Tidak apa kalau tidak ada yang mau mengaku! Tapi dengar
kalian semua! Malam lalu kalian telah berpesta pora dengan tuak harum! Tapi
tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalau tidak dapat obat
penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa!
Siapa
yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan tahta Kerajaan
direbut, jangan harap akan kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar
kata-kata Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang ada di situ jadi
terkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si Tapak
Api. Si Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur selangkah.
Sambil menyeringai dia berkata, "Aku tidak takut mati! Kalian boleh membunuhku
sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian! Silahkan
pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar atau
kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut dan
darah kalian!"
"Jahanam
kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu.
"Kami
sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipu dan mencelakai
kami dengan racun dalam minuman?!"
"Manusia
keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap kita! Jangan-jangan
kita hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.
"Tidak
satupun di antara kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku akan
memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang telah
dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara
panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini… "
Baru saja
Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu. Bangunan
kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara gemuruh
ketika atap rumah itu terbang dihantam angin bersama sebagian dinding bangunan.
Beberapa pohon di sekitar tempat itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai
sudah sampai di sini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua
orang melompat keluar darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko.
Dia masih saja menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat angkat
tubuhnya namun sang Pangeran meronta sambil berteriak-teriak. "Aku tidak
mau pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi bersamanya!"
"Pangeran!
Permaisurimu pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus tinggalkan
tempat ini! Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di bukit ini!
Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!" berkata Si
Tapak Api. Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu
menyerang Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi.
Begitu sang Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknya hingga kaku
dan gagu.
"Pendekar
212! Tugasmu memanggul tubuh calon Raja kita!" memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah
tugasku bersama Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat duluan
menuju Kotaraja untuk menghabisi tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab Wiro.
"Jangan
toloi! Jangan berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan mata
mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau
kira para tokoh itu masih buta tidak mengetahul apa yang terjadi? Apa kau kira
mereka enak-enakan tidur dan ngorok?! Jalankan perintahku!"
Wiro
garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi.
"Bebanku
berat! Aku tak bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar
murid Sinto Gendeng pula.
Ketika
orang-orang itu berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa panjang
menuju ke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran lalu
menyandarkannya ke sebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro
mengikat tubuh pangeran itu ke pohon tersebut!
Selesai
mengikat Pangeran Adi Wiro lari ke bagian timur bukit, menyelinap ke balik
serumpun semak belukar. Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah
kuyup oleh air hujan, tampak dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam.
Perempuan ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh
Wiro untuk diselamatkan lalu disembunyikan di semak belukar itu.
Dengan
tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi. Kedua
mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap untuk
menjerit. Wiro cepat menutup mulut sang dara.
"Anak
manis… jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-tangan
pemberontak itu asalkan kau mau menuruti nasihatku…"
"Kau!
Kau menyebut mereka pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!"
tukas Winayu Tindi.
Wiro
menyeringai. "Kau tidak beda dariku, anak manis…"
"Jangan
sebut aku anak manis! Aku bukan anak-anak…"
Tapi
kalau orang-orang Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan
lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua
orang tuamu dan kusir delman itu!"
Paras
Winayu Tindi berubah. Dia berdiri dengan cepat. "Siapa?!"
tanyanya
menjerit di antara deru hujan dan angin. Sementara malam tambah gelap dan udara
dingin bukan main.
"Aku
akan katakan itu nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu
tidak menolak lagi ketika Wiro menarik tangannya. Ketika melewati pohon di mana
Pangeran Adi terikat sang dara berbunyi. "Apa yang terjadi dengan Pangeran
gila itu?!"
"Dia
sedang mimpi jadi raja! Dan kau permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau
sama saja saja sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini masih
bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu merengut jengkel tapi dalam hati dia
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut
goa dengan susah payah Wiro berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang sebelumnya
memang ditambatkan di sekitar situ.
"Aku
akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah
belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh
silat itu punya mata setajam setan! Jangan sampai kau terlihat oleh
mereka!"
******************
7
WIRO
MEMACU kudanya meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai mereda tetapi
tiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air laut naik terus. Di
bagian tepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di sebelah depan
ratusan pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam dan tiga
orang Adipati. Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang kuda
adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang
ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala. Sedang
Tatata Tititi yang memakai caping menunggang kuda agak jauh di ujung kanan pasukan.
Pasukan
pemberontak bergerak perlahan. Bukan saja karena hujan dan angin badai tetapi
juga karena semuanya kini diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada
apa yang kini mereka katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar
pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan.
Padahal
sebelumnya mereka penuh semangat den harapan untuk menyerbu Kotaraja dengan
serangan mendadak di mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini
sebaliknya malah pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbu di pusat
markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai
alam berupa hujan dan angin serta pasukan musuh!
Wiro
mengusap mukanya yang basah oleh air hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata
Tititi. Sejarak lima belas langkah dari banci berbaju gombrang merah itu
mendadak Wiro mendengar suara mengiang. "Dalam setiap urusan dan
kesempatan, selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan
kemana Pangeran Gila itu? Hik…hik…hik…"
"Eh,
suara itu lagi…" desis Wiro. Dia memandang ke arah orang bercaping itu
lalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat yang terdekat
denganku…" Begitu berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku
sudah curiga sejak sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarak
jauh itu! Dan aku yakin kau bukan banci! Siapa kau ini sebenarnya badut
celemongan?!"
Orang
yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu bret-bret-breettt
dia merobeki pakaian merah yang dikenakannya.
"Hai!
Kau mau menelanjangi diri sendiri?!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata,
"Lain pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata
Tititi terus saja merobeki pakaiannya lalu mencampakkan pakaian itu ke tanah
yang telah digenangi air laut. Ternyata di balik pakaian merah yang ada sulaman
mahkota dan keris bersilang itu dia masih mengenakan sehelai pakaian berwarna
hitam. Selagi Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka celemongan
angkat capingnya dari atas kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari bambu ini
dilemparkannya ke arah kiri. Benda ini melesat deras di udara, menembus hujan
dan angin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh. Ternyata lemparan
caping itu merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu
menghantam punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa
orang-orang di sekitarnya menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat sang
Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena
kepalanya tidak lagi memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata
Tititi membuat luntur bedak tebal, gincu dan alis yang celemongan itu. Kini
kelihatanlah wajah yang asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!"
Wiro berseru kaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa
gigi-gigimu tampak putih?!"
Si nenek
tertawa pendek. Lalu buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari tangannya
ke dalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis
berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatan barisan
gigi-giginya yang terbuat dari emas.
Selagi
Wiro tercengang-cengang, si nenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang
Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan
keris bersilang itu, kau akan mereka cincang habis-habisan! Lekas kau
tanggalkan pakaian itu!"
"Hem
mm… Jadi itu sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek…!" Wiro berkata.
"Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya saja
yang aku robek!" Wiro angkat bagian dada kiri pakaian ke mulutnya, lalu
menggigit sulaman benang merah dan sekalipus menariknya. Breeett! Dada kiri
pakaian itu kini bolong sebesar telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris
bersilang lenyap.
"Aku
tak mau kedinginan…." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang
dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang
lalu, apakah kau bukannya salah seorang dari pentolan pemberontak itu?"
Nenek
Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh
silat Istana yang berhasil menyusup ke dalam komplotan dan markas pemberontak.
Kita sama satu haluan. Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada
Kerajaan!"
"Lalu
apa yang akan kita lakukan sekarang? Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu
muka dan beradu senjata!"
"Kita
harus berusaha menangkap hidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari
pemberontakan ini. Dia punya rencana keji. Berpura-pura merebut tahta untuk
Pangeran gila itu, padahal begitu dia menang, Pangeran itu akan dibunuhnya lalu
mengangkat diri sebagai Raja…"
"Aku
sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalu kau ikut mencuri dengar
pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya
Wiro.
Si nenek
tertawa. "Aku berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang
lain …. Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si
Tapak Api. Yang lainlainnya bagianku!"
Namun
terlambat. Di depan sana dua ujung tombak pasukan sudah saling bertamu.
Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi. Dua pasukan yang berkekuatan
hampir sama baku hantam. Suara beradu senjata, pekik kesakitan dan kematian
ditimpal oleh ringkikan kuda serta deru hujan dan angin. Darah mengucur,
membuat genangan air laut tampak merah dalam kegelapan malam.
Di ujung
sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk ganas.
Belasan prajurit Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda
bertubuh tinggi besar merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia
membentak, "Manusia pengkhianat, kau kuberi kesempatan menyerah, kecuali
kalau menginginkan mampus dengan noda memalukan!"
Si tinggi
besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai!
Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkan kau menyebrang ke
pihakku atau akan mampus percuma!"
Majurai
si perwira tinggi mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangan kanannya.
Bekas bawahan dan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu lawan
satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat
menandingi kehebatan atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas
kuda.
Kelewang
Majurai mercbek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena
mengharapkan jabatan dan pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan
dada bersimbah darah lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara erangannya,
sesudah itu nafasnyapun berhenti!
Majurai
putar kudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok panjang
mengurungnya. Tanpa memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung
menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapi keroyokan salah
seorang dari tiga lawannya namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan
parah, membuatnya menjadi korban pertama berpankat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah
belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengan sebat. Satu
di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyok si perwira
tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat menyongsong.
Dua hantamkan tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat membabat dengan
golok. Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam kegelapan
berkilat sinar biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu suara
senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka
sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi
tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkan di dada, leher, perut dan
kepala. Darah mengucur. Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh dan jatuh
ke tanah yang digenangi air laut.
"Iblis
Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali
siapa adanya penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu
gebrakan saja! "Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul
dan berada di pihak Kerajaan…?!"
Si Tapak
Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi melesat ke
depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ. Melihat dua
orang itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi bukan tokoh
silat Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang sama sekali
tidak diduga akan muncul di pihak Kerajaan. Mereka adalah Si Benang Malaikat
lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk persilatan
inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika memandang
ke jurusan lain, Si Tapak Apt melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan
membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi
bertongkat hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang
memiliki rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat potongan besi
berbentuk mata tombak! Si Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua tokoh silat
Istana ini. Tapl kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar
membuatnya harus memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang
Wesi. Kepala Desa Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun
dari tokoh silat Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada Sepasang
Tombak Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas Kepala.
"Hadapi
tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokoh silat Istana. Ki
Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang
Wesi segera menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi begitu dia
menghampiri pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan keras
menghantam pangkal lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu
menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!"
memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas.
Lalu
perempuan ini tarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini
menghadap ke arah pantai. "Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!"
Si nenek usap kepala binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti
perintah itu, si kuda berlari menuju ke pantai, tepat dari arah mana Winayu
Tindi mendatangi.
"Tapak
Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!" terdengar suara
Pengemis Kaki Kayu.
"Apa
maksudmu?!" tanya Si Tapak Api.
"Aku
tidak takut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru
dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka, bagaimana dengan obat penawar racun
itu! Kami tidak ingtn mati konyol di hari ke tiga belas sedangkan kau sudah
mampus duluan!"
"Aku
tidak akan mati lebth cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu!
Mari kita
serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah suara
kuku-kuku jari Si Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besi tipis dan
tajam.
"Kau
saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Si Pengupas
Kepala. "Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu!
Aku
mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya maksud
busuk tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi adalah
sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan membunuh Pangeran itu lalu
mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah kau
racuni secara keji akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si
Tapak Api berubah. "Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang tukang
fitnah!"
Terdengar
suara tertawa gelak. Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212 beserta
seseorang yang sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"Sahabatku
Tatata Tititi tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam lalu aku
turut mencuri dengar rencana kejimu itu waktu kau bicarakan dengan Ki Demang
Wesi seusai pertemuan!"
"Bangsat
keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini! Mana manusia banci Tatata
Tititi itu!"
Si nenek
di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia bukan banci. Namanya bukan Tatata
Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana! Dan akulah
orangnya"
"Penyusup
pengkhianat! Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka hitam itu!
Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula aku memang
sudah curiga padanya!"
Sepasang
Tombak Dewa serta merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak Apt
gosokkan kedua tangannya keraskeras. Terdengar suara meletup. Lidah api keluar
dari sela kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar ke arah Wiro
Sableng!
Murid
Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent 212.
Terdengar kuda yang tadi ditungganginya meringkik keras, disusul bau daging
hangus terbakar. Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus
dihantam lidah api serangan Si Tapak Api!
Sepasang
Tombak Dewa sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam Bergigi Emas,
maka begitu menyerang, keduanya sudah pergunakan tombak pendek masing-masing.
Tiga tokoh silat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku
Beracun tampak terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan
pemberontak saat itu terjadi saling serang!
Lain
halnya dengan dua tokoh silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka sudah
mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke dalam
komplotan pemberontak, namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda yang
saat itu diserang Si Tapak Api dengan lidah apinya yang ganas.
Iblis
Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kuda lalu
meniupnya kuat-kuat. Mendengar tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan
hentikan pertempuran dan cepat mundur sampai sejarak lima tombak dari pasukan
pemberontak, membuat pasukan pemberontak terheran-heran.
"Kalian
akan diberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblis Pedang Biru.
Teriakan
ini dikumandangkan lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demiklah sambung
menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengar dan diam-diam mereka
merasa gembira. Saat itu sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari tiga
arah.
Semangat
hampir patah, apalagi ketika melihat para pimpinan mereka kini malah baku
hantam satu sama lain! Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang Biru
memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama
belasan perwira langsung membentuk lingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek
Hitam Bergigi Emas tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang oleh Sepasang
Tombak Dewa.
"Pengkianat-pengkhianat
tolol! Apakah kalian tidak punya senjata lain hingga menyerangku dengan
ular-ular laut?!" Si nenek berseru.
"Jangan
lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapil
terlambat. Sepasang Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat pada
pedang masing-masing. Justru inilah kesalahan mereka karena di situ kekuatan
sihir si nenek muka hitam.
Tombak
itu sebenarnya tidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan adiknya
Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak benar-benar seperti seekor ular laut.
Panjang hijau dan licin berkilat!
Keduanya
sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing.
Begitu
senjata itu jatuh ke air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk
astinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepatcepat keduanya melompat dari
alas kuda untuk mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat. Sebilah
pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua
dapatkan dirinya tergulung oteh benang putih halus tapi semakin dicobanya
membebaskan diri, semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata
tokoh silat bergelar Si Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak itu jadi tak
berdaya. Beberapa perwira Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang
Biru menotok keduanya.
Kini
semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku
Beracun siapa adanya pemuda tanpa pakaian yang bersenjatakan kapak tengah
menghadapi Si Tapak Api itu.
"Apa
kau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak
mengenali siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilat di tangan
kanannya…!"
"Astaga!
Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu…!" berucap
Iblis Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di sini dan ikut berbakti
pada Kerajaan…!"
Si Tapak
Api menghujani Wiro dengan serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan atau
jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya maka lidah api yang panas
berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah
berkelebat kian kemari dan menyadari kalau dia tak bisa bertahan lebih lama
maka pendekar ini segera putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan
membelah kegelapan malam. Terdengar suara bergaung seperti seribu lebah
mengamuk. Lidah api serangan Si Tapak Api terpental dan membalik menghantam ke
arah Si Tapak Api sendiri. Orang ini berteriak kaget dan kesakitan. Lidah api
membakar muka dan sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke tanah dan celupkan
kepala serta tubuhnya ke air laut saking tidak sanggup menahan panas. Tapi
begitu luka bakar itu terkena air lout, rasa sakitnya malah semakin menggila.
Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi dia tidak dapat
melihat apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri ternyata kini
telah menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalu lari menghambur merancah air
laut.
Iblis
Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala. Melihat
isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk saku pakalannya. Gerakan ini
terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya yang
kawatirkan ancaman maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak
mendapatkan obat penawar, padahal obat itu ada pada Si Tapak Api, Mereka
sama-sama berteriak, "Jangan bunuh dia!"
Namun
terlambat. Dua buah paku beracun sudah keburu melesat. Satu menacap di batok
kepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya. Orang ini tersungkur ke
dalam genangan air laut. Racun paku membuat tubuhnya serta merta menjadi biru!
Pengemis
Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya melompat ke
arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledah pakaiannya. Tapi mereka tidak
menemukan obat itu!
"Celaka!"
seru Pengemis Kaki Kayu.
"Apakah
ini yang kalian cari…?" terdengar orang bertanya disusul suara tawa
mengekeh. Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling.
Dia
melihat Nenek Hitam Bergigl Emas menimang dua benda bulat berwarna putih.
Keduanya jadi beringas lalu melompati si nenek. Tapi maksud mereka mengambil
obat-obat penawar itu tidak berhasil karena si nenek cepat tarik tangannya.
"Aku
bersumpah membunuhmu jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!"
teriak Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu
dulu!" berteriak Si Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang
obat penawar?!"
Nenek
Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si
Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini? Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi
lima belas butir! Hik..hik..hik…!
Aku akan
berikan obat ini pada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus menyerahkan
diri pada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai dengan
dosa-dosa kalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau
begitu biar kami memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu
dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas. Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar
suara bergemerincing jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketika berkelebat
menyambar ke arah batok kepala si nenek.
Sekali
kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akan terkelupas dan
kepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat ituu menyambar
sinar putih yang sangat menyilaukan.
"Anjing
kurap! Berani kau ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat
Wiro menghantamkan kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kini
diarahkan untuk menangkap tangan dan lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng
putar kapaknya.
Tring-tring-tring….
Si Pengupas Kepala berseru kaget dan melompat mundur. Tiga kuku jarinya yang
sekeras besi itu somplak!
"Pendekar
gagah! Serahkan dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas kelapa
ini! Ha…ha…hah….!" Yang berseru adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-putar
gulungan benang halus berwarna putih. Melihat ada lagi yang hendak
menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika
melihat benang halus di tangan Si kakek berambut putih bergulung-gulung ke
arahnya. Si Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku
jarinya yang masih utuh.
Des
…des…des…
Ujung
benang sakti berputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang dan yakin
dapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kini diulur
dan tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan kedua
tangannya. Sekali ini serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah
dan tahu-tahu kedua tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan
sampai ke bawah bahu!
"Setan
haram jadah!" maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan
ikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dan darah mulal mengucur.
Sadar kalau dirinya tak bisa lolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan
duduk menjelepok di tanah tanda menyerah!
"Hebat
sekali kekuatan benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini
mengingatkannya pada benang sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah
berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat
berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok
tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawa ke
Kotaraja. Tapi tidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya,
tubuh yang duduk menjelepok di tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya
menendang dengan deras.
Dukk!
Tendangan
keras itu menghantam dada si Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini sempat
mengelak. Tubuhnya terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya
menyembur darah segar.
"Pembokong
jahanam!" teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung membabat.
Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala Si
Pengupas Kepala menggelinding di atas pasir.
Melihat
kejadian itu Pengemis Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu banyak
tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk
menghadapi mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin
dilakukannya. Maka diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Jika
kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk ini
dan melupakan semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang
sengketa katamu?!" si nenek tertawa
"Ini
bukan silang sengketa kaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau
berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda!
Memimpin
pembunuhan terhadap prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokoh silat Kerajaan.
Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika
kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada
kami?!" Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis
Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta?!" sentaknya.
"Satu
tanganmu dan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku
memilih bertempur melawanmu sampai ada yang mati di antara kita!"
Sebagal
jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat turun
dari kuda. Pengemis Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan lawan,
kaki kayunya yang terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung ditusukkan
ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya ke bawah.
Traang!
Pedang
dan kaki kayu beradu keras. Sungguh hebat, pedang sakti dan tajam itu tidak
sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau
kaki kayu lawan tidak bisa dianggap sepele. Maka diapun mengirimkan serangan
kilat pada titik kelemahan lawan yakni tubuh sebelah kiri yang menjadi tumpuan
kekuatan Pengemis Kaki Kayu. Berkelahi di alas pasir yang digenangi air laut
ternyata bukan hal yang mudah bagi Pengemis Kaki Kayu. Meskipun dia memiliki
keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang menjadi tumpuan
bobot tubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkan kaki kayunya beberapa kali
terseok akibat lekatan pasir dan genangan air. Ketika lawannya mengajak
bertempur berputar-putar, tokoh silat yang ikut terbujuk memberontak ini jadi
kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang melukai pinggul
kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan diri. Hal ini
membuatnya menjadi nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan dan
kemampuan yang ada. Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung
pedang oleh Iblis Pedang Biru.
Pengemis
Kaki Kayu hanya sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka bahkan
sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak
tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal dengan jiwanya sendiri. Ujung
pedang menembus dada kirinya, tepat di arah jantung!
Teluk
yang gelap kini diselimuti kesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai mulai
mereda. Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan puluhan
korban. Mulai dari prajurit rendah sampal perwira dan tokoh silat. Pendekar 212
melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah Nenek Hitam Bergigi Emas dan para
tokoh silat Istana.
"Ada
satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku
sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu…!"
"Hai!
Kau mau ke mana pendekar gagah? Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis
Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga!
Aku baru ingat dia! Di mana Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis
Pedang Biru.
Yang
menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia
telah menotok lalu mengikat Pangeran itu pada sebatang pohon di bukit tak
berapa jauh dari mulut goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naik lebih
tinggi, sebelum goa terendam, kita harus mengirimkan orang untuk
menyelamatkannya. Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai
sebagai alat oleh Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi…."
"Kepala
Desa Pemberontak itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis
Pedang Biru.
Si nenek
muka hitam mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar
212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan…."
Semula
Winayu Tindi berniat hendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang yang
terbujur menelungkup bergerak mendekatunya. Namun ketika tinggal beberapa
langkah saja lagi dan dia mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas
punggung binatang itu, kagetlah gadis ini.
"Pakde!"
teriak si gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalu lari ke arah orang di
atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana…?"
Tubuh dan
wajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan dipanggil-panggil
tetap tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi menurunkan tubuh Ki
Demang Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapai ketinggian di atas
mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah
sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu membaringkannya di situ.
Kebetulan ada sebatang pohon kelapa.
Punggung
dan kepala Ki Demang Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali dia
berusaha membangunkan orang yang disangkanya pingsan itu karena dia tidak melihat
adanya bekas-bekas luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga berhasil
akhirnya Winayu Tindi mulai keluarkan suara sesenggukan menahan tangis. Winayu
Tindi tidak tahu entah berapa lama dia tegak menangis di tempat itu ketika di
kejauhan dilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu kudanya ke
arah tempat dia berada.
Yang
datang ternyata adalah pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan yang
sebelumnya juga telah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran. Wiro
melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak
manis, kau kulihat menangis. Apakah kau menangisi orang itu? Dia cuma pingsan
karena ditotok."
"Saudara
lekas kau tolong dia. Lepaskan totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaanmu
pada Ki Demang Wesi besar sekali, bukan?"
"Tentu
saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri!"
sahut sang dara.
"Justru
dia adalah manusia paling keji dan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar
Wiro.
"Maksudmu….
?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat,
aku berjanji akah menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan juga
kusir delman itu? Dialah orangnya!"
Winayu
Tindi seperti disambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku
tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap seperti ayah
sendiri? Pakdeku!"
"Jika
kau tidak percaya kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara
Ki Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam keadaan tertotok.
"Pakde…Benar
kau yang membunuh ayah dan ibu…?" Winayu Tindi bertanya begitu melihat Ki
Demang Wesi gerakkan mulut. "Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong besar
itu, anakku?"
Winayu
Tindi menuding ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi
pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak kupercaya sejak semula! Dialah yang
membunuh ke dua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo hari
tapi berhasil melarikan diri!"
"Keparat
kalau begitu…!"
"Tunggu
dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya
sang dara menjadi galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi
hidup jika kau tidak percaya padaku. Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka
menolak untuk bergabung dengan komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu
mengancam akan melaporiaan kamplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi lalu
membunuh ayahmu, juga ibumu dan kusir delman itu untuk menutup rahasa. Bahkan
ibumu… dia merusak kehormatan Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta!
Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa
yang dikatakan sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling busuk
di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadi saksi atas apa yang diucapkan Pendekar
212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itu telah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Winayu
anakku! Jangan percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan pemuda
itu!" teriak Ki Demang Wesi.
Si nenek
ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya berkata,
"Bacalah! Itu surat Perintah dari Sri Baginda untuk menangkap Ki Demang Wesi.
Surat itu sudah lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku
mengeluarkannya lebih cepat!"
Winayu
Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ. Di
sebelah bawah terdapat cap Kerajaan. Perlahan-lahan surat itu terlepas dari
tangan Winayu Tindi, melayang jatuh ke dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu
menjerit dan lari ke hadapan Wiro. Sebelum pendekar itu sadar apa yang
dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212 yang terselip tersibak di
pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar putih berkiblat disertai gaungan
keras.
"Winayu!
Jangan!" seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke batok
kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis itu.
Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannya tertahan. Di
depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya
yang hampir terbelah.
Winayu
Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusan
dilakukannya. Lalu gadis ini berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah,
tangan yang lain melepaskan Kapak Naqa Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata
mustika itu sebelum jatuh ke air lalu menopang tubuh sang dara agar tidak
terjungkal.
Pasang
semakin naik. Malam bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro
menuntun gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda. Jiwa yang
tergoncang membuat Winayu menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut
naik ke punggung kuda dan duduk di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar
jangan sampai jatuh.
Tiba-tiba
ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis cantik
itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu!
Hik…hik…hik…!"
Wiro
berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu. Tapi
pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto
Gendeng hanya bisa menyerigai. Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu
Tindi menyandarkan kepalanya ke dadanya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment