Topeng
Buat Wiro Sableng
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
SATU
Kuda
coklat yang ditunggangi gadis jelita berpakaian biru tiba-tiba meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Si gadis cepat rangkul
leher binatang itu dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengusap-usap
tengkuknya.
“Tenang
Guci……tenang! Tak ada yang perlu ditakutkan!” berkata si gadis.
“Tak ada
binatang buas di hutan ini. Tak ada binatang berbisa di rimba belantara ini!
Ayo jalan lagi. Kita……”
Baru saja
si gadis berucap begitu tiba-tiba terdengar suara bergemerisik di atas pohon di
samping kirinya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak, disusul
suara bentakan keras lantang.
“Di rimba
ini memang tak ada binatang buas! Tak ada binatang berbisa! Yang ada aku!”
Dua sosok
tubuh melayang turun dari atas pohon besar. Begitu menjejak tanah langsung
berkacak pinggang sambil menatap tajam pada sang dara yang berada di atas kuda.
Orang di sebelah kanan memiliki tubuh ramping tinggi, berkulit hitam gelap,
memelihata kumis melintang dan cambang bawuk. Pada kedua lengannya terdapat
gelang bahar hitam besar. Pada lehernya tergantung kalung yang juga terbuat
dari akar bahar berwarna hitam. Lelaki kedua lebih pendek, beralis tebal,
mukanya cekung, kulitnya juga sangat hitam. Kedua orang ini sama mengenakan
pakaian kuning dengan ikat pinggang besar berwarna merah darah.
Walau
jelas dari tampang dan gerak-gerik menyatakan mereka bukan orang baik-baik,
apalagi menghadang seperti itu tetapi gadis di atas kuda sama sekali tidak
menunjukkan wajah cemas ataupun takut. Setelah menatap dengan pandangan dingin,
dia lalu menegur.
“Huh!
Kalian ini siapa?!”
“Adikku!
Orang sudah bertanya, lekas jelaskan siapa adanya kita!” si tinggi ramping
berkumis dan bercambang bawuk di sebelah kanan berkata.
Yang
dipanggil adik tersenyum lebar. Kedip-kedipkan matanya pada sang dara lalu
membuka mulut.
“Kami
adalah penguasa rimba belantara ini……”
“Hebat!”
sang dara berseru seperti memuji tapi pandangan kedua matanya tetap dingin dan
mimiknya menunjukkan betapa dia memandang rendah pada kedua orang itu.
“Syuuuukkuuuurrr
kalau di situ tahu kami hebat! Terima kasih atas pujianmu Mirasani…..”
“Eh!
Bagaimana kau bisa tahu namaku?!” jelas nada suara sang dara menunjukkan rasa
terkejut. Tapi wajahnya tetap saja tidak mengalami peubahan.
“Siapa
yang tidak tahu Mirasani. Gadis maha cantik di kawasan ini. Memilih…..”
“Sudah!
Lekas katakan apa mau kalian!” sang dara memotong ucapan orang dengan bentakan.
“Sabar…..sabar
Mira. Apa mau kami pasti akan kami jelaskan. Hanya aku belum selesai dengan
penjelasan tentang diri kami berdua,” menyahut si muka cekung.
“Kami
dikenal dengan julukan Sepasang Malaikat Kuning…..”
“Apa?
Sepasang Malaikat Kuning?!” seru sang dara lalu dia tertawa gelakgelak.
“Aku sih
memang belum pernah melihat wajahnya malaikat! Tapi aku yakin betul
tampang-tampang malaikat tidak seperi muka kalian! Ha…ha…ha…! Malaikat Kuning?
Apa kalian yang kuning? Baju….. Ya itu betul! Kurasa gigi kalian juga kuning
hah?!”
Dua orang
di depan sang dara tampak kerrenyitkan kening lalu ikut-ikutan tertawa
gelak-gelak. Si cekung mengangkat tangannya. Lalu pegang bahu si tinggi ramping
di sampingnya seraya berkata “Ini kakakku. Namanya Tumapel Kuning. Dan yang
ini….” si muka cekung tudingkan ibu jari tangan kirinya ke dadanya sendiri,
“Adalah Kunapel Kuning! Dan perlu kujelaskan aku adalah calon suamimu!”
Untuk
pertama kalinya terlihat wajah si gadis berubah, tapi hanya sekilas.
Pandangannya
kembali dingin. “Jadi itu rupanya maksud kalian menghadangku! Ketika bulan
tujuh diadakan perlombaan mencari jodoh mengapa kau tidak muncul?!”
Kunapel
Kuning manggut-manggut. “Waktu itu kami ada keperluan penting! Lagi pula aku
bukan bangsa pemuda-pemuda tolol yang mau direndahkan dengan segala macam
perlombaan konyol itu!”
“Karena
itu kau sengaja menghadangku di sini!”
“Tepat
sekali Mira…..”
“Jangan
sebut namaku! Kau tidak pantas jadi suamiku!” bentak Mirasani.
“Hai!”
Kunapel Kuning melengak sementara Tumapel hanya sungingkan seringai. “Tampangku
tidak jelek. Lihat, alis mataku saja tebal! Kata orang laki-laki beralis tebal
dapat menyenangi istri di atas ranjang! Ha….ha….ha….!”
“Di
mataku kau tak lebih dari seekor kambing bodoh! Pergilah! Kau tidak layak jadi
suamiku! Banyak pemuda yang jauh lebih keren darimu dan semua tidak kupandang
sebelah mata!”
“Bisa
jadi! Tapi kau belum tahu bagaimana bahagianya kalau bermesraan dengan diriku!
Jangan bandingkan aku dengan pemuda-pemuda tolol itu Mira….”
“Mungkin kau
pandai merayu perempuan…..”
“Nah…..nah!
Kalau kau sudah tahu….”
“Tapi
ingat! Calon suami yang aku inginkan bukan yang punya tampang gagah atau pandai
merayu! Aku hanya akan memandang kemampuannya dalam ilmu bela diri! Dan mataku
melhat kau tidak memiliki kemampuan itu Katapel!”
“Sialan!
Nama adikku Kunapel! Bukan Katapel!” membentak Tumapel Kuning.
“Kunapel
atau Katapel sama saja! Sama jelek sama tololnya!” jawab Mirasani.
“Kau
belum tahu siapa adikku! Selama tiga tahun terkahir sejak dia ikut bersamaku
tak seorang lawanpun sanggup menjatuhkannya! Kalau kau berusaha menghindar
berarti kau menyalahi sumpah yang selama ini kau gembar-gemborkan!”
“Terus
terang sebetulnya aku memberi kesempatan pada adikmu untuk tidak berlaku
sembrono dan mampu mengukur diri sendiri. Tapi kalau dia memang mau dibikin
babak belur kedua tanganku inipun memang sudah gatal sejak tadi!” jawab
Mirasani.
“Kalau
adikku sanggup menjatuhkanmu, kau tak akan mengingkari sumpah dan kawin
dengannya?!” tanya Tumapel Kuning.
“Itu
sumpahku dan itu yang harus kupenuhi!” jawab Mirasani pula.
“Kalau
begitu kau turunlah dari kudamu! Biar cepat urusan ini diselesaikan dan kita
bisa duduk di pelaminan!” kata Kumapel Kuning pula sambil tertawa lebar. Sang
dara ikut tertawa tapi tawa penuh mengejek. “Untuk mengahdapi orang sepertimu
tidak perlu harus turun dari kuda! Lakukan apa maumu! Silahkan menyerang! Jika
kau sanggup menjatuhkan aku ke tanah aku akan menyerahkan diri sebagai calon
istrimu!”
“Menghina
sekali! Terlalu menganggap rendah!” ujar Tumapel Kuning tidak senang.
“Tenang
saja kakakku! Aku suka calon istri yang seperti ini! Sekali dia kujatuhkan ke
tanah akan kurangkul, kupeluk dan kuciumi sekujur auratnya! Ha….ha….ha!”
Di atas
kuda Mirasani mengelus-elus kuduk kuda tunggangannya, membuat agar binatang itu
tetap tenang, tidak takut atau terpengaruh oleh serangan orang.
“Tenang
Guci…. Jangan takut. Ikuti isyarat dan perintah yang aku berikan….”
“Mira!
Lihat jurus pertama!” Tiba-tiba Kumapel Kuning berseru. Tubuhnya yang kekar
melesat ke depan dalam satu lompatan di mana kaki kanan langsung melancarkan
serangan tendangan. Orang ini berlaku cerdik. Yang diserangnya bukanlah kaki
atau tubuh Mirasani, melainkan tulang-tulang rusuk kuda tunggangan san gdara.
Menurut perhitungannya, jika tendangannya membuat amblas tulangtulang rusuk
binatang itu hingga tergelimpang jatuh, dengan sendirinya Mirasani akan terbawa
jatuh. Di situ dia lalu akan menubruk dan merangkul sang dara, membuatnya tak
berdaya! Apa yang ada dalam benak dan rencana Kunapel Kuning memang masuk akal
dan akan berhasil jika saja lawan memiliki kepandaian lebih rendah. Tapi yang
kemudian terjadi adalah berlainan dari yang diharapkan si muka cekung itu.
Tendangan Kunapel Kuning datang menderu deras, mengarah rusuk kiri kuda coklat
bernama Guci. Di saat yang sama Mirasani tekankan tumit kirinya ke badan kuda.
Binatang ini maju satu langkah ke depan dan tiba-tiba sekali kaki belakang
sebelah kirinya melesat ke samping.
Kunapel
Kuning berseru kage ketika melihat kaki kuda menyapu ke bawah, laksana pedang
membabat ke arah betisnya! Cepat-cepat lelaki ini tarik pulang tendangannya
karena begaimanapun betisnya tak akan tahan menghadapi benturan keras dengan
kaki kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak. Dua jari menusuk ke
arah pangkal paha Guci. Ini merupakan satu totokan ganas karena bukan saja
dapat membuat kaku sebagian tubuh Guci, malah bisa membuatnya lumpuh seumur
hidup!
“Totokan
jahat!” desis sang dara dalam hati yang rupanya juga sudah memaklumi bahaya
tusukan dua jari kanan lawan. Kembali tumit kirinya bergerak menekan badan Guci
dua kali berturut-turut. Kuda besar coklat itu mendadak memutar tubuhnya
setengah lingkaran. Pinggul yang besar dan keras binatang itu menghantam
pinggul dan bahu kanan Kunapel Kuning, membuat orang ini terbanting keras dan
hampir jatuh tunggang langgang kalau tidak cepat mengimbangi diri dengan
gerakan jungkir balik di udara.
Dengan
wajah mengelam dan dada turun naik Kunapel Kuning berdiri di samping kakaknya.
Kedua tangannya terkepal. Mulutnya bergetar dan pelipisnya menggembung.
“Kehebatan
gadis ini bukan omong kosong. Tapi dia hanya menggunakan kudanya. Kekuatannya
sendiri belum kujajal!” berkata Kunapel Kuning dalam hati.
Maka kini
dia siap membuka jurus ketiga dengan menyerang langsung ke arah si gadis. Yang
ditujunya adalah bagian pinggang Mirasani. Tetapi ketika si gadis cepat
berkelit, lebih cepat lagi Kunapel Kuning merubah gerakan serangannya. Yang
diincarnya kini ialah kaki kiri sang dara. Kedua tangannya melesat ke depan
untuk merengut betis Mirasani dan melontarkan gadis itu dari punggung kudanya
ke tanah!
Di atas
kuda sang dara tusuk badan Guci dengan tumit kiri kuat-kuat hingga binatang ini
meringkik lalu sabatkan kaki depan sebelah kiri ke belakang.
Bukkk!
Kunapel
Kuning yang tidak menduga akan mendapat serangan berbalik seperti itu tak punya
kesempatan untuk mengelak. Lelaki ini mencelat mental dan menjerit keras.
Tubuhnya terhantar ke tanah, sulit bergerak ataupun bagkit karena tulang
pinggulnya retak besar!
“Aku
sudah memperingatkan sebelumnya!” berkata Mirasani. “Kau tidak punya tampang
dan kemampuan untuk menjadi calon suamiku! Jadi jangan menyesal!”
Kunapel
Kuning keluarkan suara menggereng, entah karena sakit entah karena marah. Dia
berpaling pada kakaknya seolah-olah memberi isyarat agar si kakak melakukan
sesuatu.
“Adikku!”
ujar Tumapel Kuning, “Nasibmu sial sekali. Agaknya akulah yang berjodoh dengan
gadis berbaju biru itu….”
“Sial!
Kau yang sialan Tumapel!” teriak si adik. Sebelumnya tak ada rencana bahwa
kakaknya itu berhasrat terhadap sang dara. Rupanya setelah melihat kecantikan
Mirasani Tumapel Kuning tertarik juga dan jadi blingsatan.
“Mirasani!”
berseru Tumapel Kuning. “Aku mendapat firasat bahwa kau berjodoh jadi istriku!
Maksudku istri paling muda karena sampai saat ini aku sudah punya empat istri
dan lebih dari setengah lusin simpanan!”
“Kau
laki-laki hebat!” mulut si gadis memuji tapi air mukanya menunjukkan rasa
jijik. “Apa yang terjadi dengan adikmu tidak membuka matamu! Kalau kau ingin
mengambilku jadi istrimu, majulah cepat!”
“Ha….ha….!
Akan kurasakan kehangatan tubuhmu jika bersentuhan!” ujar Tumapel Kuning. Dia
kencangkan ikat pinggang merahnya. Lalu melangkah maju mendekat. Dia sengaja
datang dari arah kepala kuda. Kedua kakinya menekan ke tanah kuat-kuat,
tubuhnya melesat ke udara melewati kepala kuda. Ketika menukik turun tangan
kanannya meluncur cepat ke arah dada Mirasani.
“Manusia
cabul kurang ajar!” sang dara membentak marah. Pandangan matanya berkilat.
“Aku
bukan manusia cabul! Pantas kalau seorang calon suami menjajaki dulu sampai di
mana kencangnya tubuh calon istrinya!” menyahuti Tumapel Kuning. Dan gerakan
orang ini memang luar biasa cepatnya hingga tahu-tahu ujung jarinya sudah
menempel di pakaian biru sang dara. Ketika tangan itu hendak meremas, di atas punggung
kuda Mirasani jatuhkan dirinya ke belakang sama rata di atas punggung kuda.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke atas.
Tumapel
Kuning rupanya sudah tahu gelagat. Tangan kanan yang tadi dipergunakannya untuk
menjamah payu dara Mirasani kini dipakai sebagai tumpuan pada lutut si gadis.
Begitu lutut Mirasani sempat dipegangnya maka lutut itu dipergunakan sebagai
tumpuan untuk membuat lompatan ke depan, meluncur sama rata dengan tubuh
Mirasani, malah dia berada di sebelah atas!
“Kurang
ajar!” teriak sang dara ketika dapatkan tubuhnya hampir kena tindih oleh
Tumapel Kuning. Secepat kilat kedua tinjunya dipukulkan ke atas. Satu
menghantam ulu hati, satu lagi menderu ke arah dada lawan.
Bluk-bluk!
Dua
jotosan keras itu tidak dapat mengenai sasarannya karena keburu tertangkap
dalam telapak tangan kiri kanan Tumapel Kuning.
“Setan!”
maki Mirasani. Perutnya mengumpul tenaga dalam, ketika dia menyentak ke atas
tak ampun lagi tubuh Tumapel Kuning yang ada di atasnya terpental, jatuh dua
tombak di sebelah kiri. Mirasani sendiri ikut jatuh merosot ke samping kiri
sosok tubuh kudanya.
“Curang!
Kau menggunakan tenaga dalam!” teriak Tumapel Kuning marah.
****************
DUA
Mirasani
tertawa dingin. “Tak ada perjanjian mempergunakan tenaga dalam atau tidak. Yang
jelas kau sudah kujatuhkan! Jadi lekas angkat kaki dari sini. Bawa adikmu yang
meringis seperti monyet terbakar ekor itu!”
“Aku
tidak akan pergi! Apa kau lupa kalau kau adalah bakal istri mudaku yang
kelima?!”
“Tolol
dan keras kepala!” maki Mirasani.
Tumapel
Kuning menyeringai. Kencangkan ikat pinggang lalu melangkah memutari sang dara.
Mirasani menepuk pinggul kudanya. Binatang ini melangkah menjauh hingga kini
dia berhadapan langsung dengan Tumapel Kuning di tengah kalangan perkelahian.
“Ayo seranglah!”
teriak Mirasani.
Kembali
lelaki itu menyeringai. Dia bergerak mendekat. Saat itu didengarnya adiknya
berseru. “Tumapel, jika kau berhasil mengalahkan gadis itu, berikan dia padaku.
Aku akan mengganti dengan apa saja yang kau minta!”
“Boleh-boleh
saja Kunapel! Tapi malam pertamanya tetap bersamaku!” sahut Tumapel pula lalu
dia membuka serangan yang disambut sang dara dengan cepat.
Perkelahian
berkecamuk hebat. Ternyata Tumapel Kuning memiliki ilmu silat luar yang
tangguh. Dalam empat jurus saja Mirasani tampak terdesak hebat. Hanya saja
karena Tumapel menyadari kalau sang dara memiliki kekuatan tenaga dalam lebih
tinggi maka dia tak berani melakukan bentrokan langsung. Namun dia yakin paling
lambat dalam sepuluh jurus di muka dia akan berhasil merobohkan sang dara.
Sebaliknya sang dara sendiri walau terdesak hebat tampak tenang-tenang saja.
Memasuki
jurus kedelapan tiba-tiba terjadi perubahan total. Gempurangempuran Tumapel
Kuning amblas dalam pertahanan tangguh sang dara lalu di jurus kesembilan Tumapel
mulai terdesak. Serangan-serangan kaki dan tangan Mirasani merajalela membuat
lelaki tinggi ramping itu harus bertahan mati-matian. Di jurus kesebelas tinju
kanan Mirasani mendarat di dadanya, membuat Tumapel Kuning terjajar ke belakang
dan mengeluh menahan sakit. Jurus kedua belas pelipisnya kena dihantam dari
samping hingga mencucurkan darah.
“Gadis
binal! Akan kutelanjangi kau di sini juga!” teriak Tumapel Kuning marah. Tangan
kirinya bergerak ke balik punggung pakaian kuningnya. Sesaat kemudian sebilah
golok sepanjang tiga jengkal lebih melintang berkilat di depan dadanya. “Kau
pilih mati atau menyerah!”
“Begini
rupanya kemampuanmu! Mengandalkan senjata menghadapi perempuan!”
“Tak ada
perjanjian apakah harus dengan tangan kosong atau pakai senjata! Kalau kau
punya senjata keluarkan saja!”
“Senjataku
hanya ini!” jawab Mirasani seraya mengangkat tangan kanannya.
Sekilas
Tumapel Kuning melihat tanda merah pada telapak tangan kanan si gadis itu.
Mendadak ada rasa tidak enak ketika melihat tanda itu. Namun karena sudah
ditimbun amarah maka dia langsung saja menyerbu dengan goloknya. Senjata itu
mengeluarkan suara menderu-deru ketika membelah udara, menghambur serangan ke
arah Mirasani.
Dara
berbaju biru itu mundur beberapa langkah lalu sambil miringkan tubuh dia
kirimkan tendangan terobosan ke arah lambung lawan. Tumapel Kuning membabat ke
bawah. Sekali golokny menabas kaki sang dara pastilah kaki itu terputus kutung!
Tapi Mirasani tidak semudah itu dipecundangi. Sejak masih berumur lima tahun
gadis ini telah mendalami ilmu silat yang diramu dari tujuh perguruan terkenal
di tanah jawa. Dia membuat gerakan yang menyebabkan mata golok hanya lewat
seujung kuku di samping betisnya. Begitu tabasan senjata lawan least kaki yang
menendang terus mencua ke atas, terdengarlah pekik Tumapel Kuning disertai
suara kraakk!
Tulang
ketiak lelaki tinggi ramping itu remuk dan lengan kanannya kini terkulai.
Sakitnya bukan main sementara goloknya mental entah ke mana!
“Manusia-manusia
tolol! Kalian sudah menerima bagian masing-masing!” kata sang dara lalu
melangkah mndekati kudanya.
“Tunggu!
Kita belum mengadu kekuatan tenaga dalam!” tiba-tiba terdengar seruan Kunapel
Kuning. Lelaki ini telah berdiri sambil memasang kuda-kuda, siap untu
menghimpun tenaga dalam di tangan kanan.
Mirasani
mencibir. “Kudaku saja tak sanggup kau hadapi! Masih berani menantang!” Lalu si
gadis itu melompat ke punggung Guci dan membedal kudanya meninggalkan tempat
itu.
Suto
Klebet duduk berhadap-hadapan dengan istrinya di ruang tengah gedung
kediamannya yang besar. Dari wajah mereka jelas kedua suami istri ini sedang
diselimuti rasa gundah kalau tidak mau dikatakan cemas.
Setelah
berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Rayu Komala, sang istri, membuka
pembicaraan.
“Yang aku
kawatir kangmas, kalau-kalau anak kita itu akan menjadi perawan tua karena
ulahnya sendiri…..” Karena suaminya tidak menyahuti maka Rayu Komala meneruskan
ucapannya. “Aku tak habis pikir, apa sebenarnya yang menjadi tujuan Mira.
Mengapa dia jadi sampai membawa sifat seperti itu. Ada satu lagi kekawatiranku.
Jika muncul seorang jago silat dari golongan hitam, atau tua bangka jahat yang
sanggup merobohkannya, apa jadi nasib anak itu bersuamikan orang seperti
itu…..”
Suto
Klebet masih diam saja. Istrinya jadi merengut dan berkata “Jangan diam saja
kangmas. Kita harus mencari jalan. Jangan cuma berpangku tangan…….”
“Aku sama
sekali tidak berpangku tangan Rayu. Akupun sebenarnya cemas. Ingat apa
kata-kata perempuan tua dukun beranak yang menolongmu melahirkan Mira sembilan
belas tahun lalu…..? Ketika lahir anak itu membawa tanda merah pada telapak
tangan kanannya. Dukun beranak itu lalu membisikkan penjelasan bahwa kelak
bayimu akan menjadi seorang pesilat ampuh, memiliki watak aneh dan kalau punya
suami hanya memilih seorang yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari dia.
Ucapan dukun beranak itu sekarang terbukti benar. Seharusnya setelah kita
mendapat penjelasan itu kita tidak menyuruhnya berguru pada Ki Demang Juru
Gampit. Hampir sebelas tahun orang sakti itu menggemblengnya hingga dia menjadi
pendekar perempuan yang tangguh. Kita tak bisa menyalahkan Ki Demang….”
“Betul
ucapanmu kangmas. Kita tak bisa menyalahkan orang tua itu. Tapi jika kita bisa
bicara dengannya dan meminta pendapatnya, lalu dia memberi petunjuk pada Mira
mungkin gadis itu bisa merubah segala tabiatnya. Terutama yang menyangkut
perjodohan dirinya. Gadis seusia dia seharusnya sudah bersuami. Paling tidak
sudah memiliki calon suami. Dan sekarang kau lihat saja kangmas. Di luar sana
ada lagi dua orang pemuda yang menunggunya, berminat untuk menjajal ilmu
silatnya. Bukan untuk merendahkan orang, tapi kalau anak kita sampai kawin
dengan lelaki yang tidak tahu juntrungan dan keturunannya apa tidak malu. Kita
turunan bangsawan, masih punya hubungan dekat dengan Keraton karena salah
seorang adikku jadi garwo dalem (istri) Sultan, apa tidak malu kangmas…..?”
“Aku
sudah berusaha mencari Ki Demang Juru Gampit. Tapi orang tua sakti itu lenyap
entah ke mana. Mungkin dia tengah mengelana atau bertapa di satu tempat
tersembunyi. Dan tentang dua pemuda yang datang itu, mengapa tidak kau katakan
saja anak kita tak ada di rumah, lalu menyuruh mereka pergi?”
“Bukan
Mira berulang kali menyampaikan pesan. Jika ada yang datang harus diminta
menunggu sampai dia kembali walau itu bisa satu atau dua hari. Kalau kita
abaikan pesannya dan dia mengetahui, kita bisa kesalahan lagi…..”
Suto
Klebet hanya bisa geleng-gelengkan kepala lalu kedua suami istri itu berdiam
diri sampai di halaman terdengar suara derap kaki kuda.
“Mira
datang…..” kata Rayu Komala lalu bangkit dari kursinya. Suto Klebet mendahului
menuju ruang depan.
Begitu
sampai di langkan depan Mirasani segera melihat dua orang pemuda yang sejak
lama berada dan menungu di situ. Pemuda pertama mengenakan pakaian hitam,
berikat kepala merah, membekal sebilah keris dipinggangnya. Wajahnya cukup
tampan dan potongannya menyatakan dia memang seorang ahli silat.
Pemuda
kedua berkulit putih. Sikapnya tampak halus. Karena memelihara rambut panjang
wajahnya hampir seperti perempuan. Dia mengenakan pakaian putih sederhana dan
memegang sepotong bambu kuning sebesar ibu jari. Sudah tahu apa maksud
kedatangan orang, Mira tidak terus ke dalam. Dia langsung menegur. “Siapa di
antara kalian yang datang lebih dulu?”
Pemuda
berkulit putih cepat berdiri dan menjura. “Namaku Suryo Kemikis. Aku datang
dari selatan gunung Merapi. Anak murid perguruan silat Teratai Putih.
Guruku…..”
Mira
mengangkat tangannya. “Aku tidak butuh keterangan panjang lebar. Aku hanya
ingin tahu apakah kau mampu menghadapiku sampai sepuluh jurus! Jika aku kalah
aku akan tunduk dan menjadi istrimu…..”
Sepasang
mata pemuda bernama Suryo Kemikis berkilat-kilat karena dua hal. Pertama karena
merasa dianggap enteng menengar Mirasani menyediakan sepuluh jurus untuknya.
Kedua karena melihat kenyataan bahwa gadis yang namanya tersiat ke mana-mana
itu bukan saja cantik tetapi juga memiliki potongan tubuh yang menggiurkan.
Betapa bahagianya kalau dapat memperistrikannya. Dan turunan bangsawan serta
hartawan pula!
Ketika
Mirasani mendahului melompat ke halam depan saat itulah kedua orang tuanya
muncul. Ibunya langsung berseru.
“Mira…..
Kau pergi dari pagi. Sebaiknya kau membersihkan diri dulu lalu makan. Kau perlu
istirahat….anakku!”
“Melayani
tamu dua orang ini tidak akan makan waktu lama ibu. Aku akan membuktikannya…..”
Lalu Mirasani melambaikan tangna, memberi isyarat pada Suryo Kemikis untuk
turun ke halaman depan.
“Sebelum
kita mulai…. “ Suryo Kemikis berkata begitu berhadapan dengan Mirasani “apakah
saya berhadapan dengan den ayu Mirasani? Saya tak mau kesalahan tangan…..”
“Bagus!
Sikapmu tak mau gegabah, kau memang berhadapan dengan Mirasani. Calon istrimu
jika kau mampu mengalahkanku. Kulihat kau membawa tongkat bambu. Apakah kau
akan bertanding mengandalkan tongkat itu….?”
Si pemuda
tersenyum. “Tongkat ini hanya bawaan iseng saja den ayu. Aku akan mengadu nasib
dengan tangan kosong saja.” Lalu Suryo Kemikis sisipkan tongkat bambu kuningnya
ke pinggang dan pasang kuda-kuda. “Mohon petunjuk, apakah saya yang mulai
menyerang atau den ayu lebih dulu.”
“Karena
kau yang minta digebuk, maka kaulah yang harus menyerang lebih dulu!” sahut
Mirasani.
Suryo
Kemikis tersenyum tapi hati pemuda ini mulai terbakar karena ucapanucapan sang
dara berbaju biru selalu merendahkannya. Pemdua dari kaki gunung Merapi ini
telah mendalami ilmu silat selama empat belas tahun pada perguruan silat yag
cukup terkenal yakni Teratai Putih. Perguruan ini merupakan pecahan dari sebuah
perguruan silat yang sangat rahasia di mana kabarnya hanya orang-orang yang ada
angkut pautnya dengan Keraton yang boleh berguru.
Ketika
Suryo Kemikis bergerak melangkah, membuat gerakan meliuk yang indah pada
pinggang sementara kedua tangannya diayun-ayunkan seperti penari maka itulah
jurus pertama!
Mirasani
menunggu sampai si pemuda berada cukup dekat. Lalu lengan kirinya dikibaskan,
memotong gerakan lawan. Dia sengaja mencari bentrokan karena hendak menjajal
kekuatan orang. Tapi Suryo Kemikis yang sudah mendengar banyak tentang
kehebatan dara ini cepat menarik tangan kanan dan bersamaan dengan itu susupkan
tangan kirinya dalam gerakan satu sodokan ke arah ulu hati sang dara. Mirasani
yang diserang tiba-tiba memutar tubuh, bergerak satu lingkaran penuh dan wuut!
Kaki kiri sang dara membabat ke atas, menghantam ke arah kepala Suryo Kemikis!
Pemuda
itu tersentak kaget. Tidak menyangka daya capai kaki lawan jauh dan begitu
cepat pula gerakannya. Secepat kilat dia rundukkan kepala. Kaki lawan lewat
setengah jengkal dari batok kepalanya. Sambil miringkan tubuh ke kiri, selagi
kaki kiri lawan masih berkelebat di udara dan seluruh berat tubuh Mirasani
hanya bertumpu pada kaki kanan, Suryo Kemikis hantamkan kaki kanannya untuk
menyapu kaki lawan yang menginjak tanah. Memang kalau labrakan ini mengenai
sasaran, tubuh Mirasani pasti akan jatuh!
Tapi
betapa terkejutnya Suryo Kemikis ketika kaki yang hendak diterjangnya itu
tiba-tiba melompat ke atas. Bersamaan dengan itu tubuh sang dara ikut melesat
lalu ada suara menderu di atas kepalanya. Mendongak ke atas si pemuda melihat
tangan kanan lawan yang membentuk tinju menjotos deras ke arah batok kepalanya.
Untuk kedua kalina Suryo Kemikis tundukkan kepala dan selamat. Namun pukulan
lawan ternyata terus mengejar ke kanan dan bersarang di bahunya tanpa dia dapat
mengelak lagi. Meskipun Suryo Kemikis memiliki sejenis ilmu bertahan yang
disebut “Meredam Pukulan Membendung Tendangan” sehingga ketika pukulan atau
tendangan lawan mengena, daya hantamnya yang keras dapat dikurangi, tetapi
tetap saja pemuda ini terbanting ke kanan. Untuk mencegah agar tubuhnya tidak
terbanting mencium tanah Suryo Kemikis cabut tongkat bambunya, menunjang
tubuhnya dengan tongkat itu lalu berjumpalitan. Di lain kejap dia sudah tegak
enam langkah di depan Mirasani. Tangan kiri memegang tongkat dengan tubuh
tampak miring ke kanan. Mungkin tulang bahunya yang patah, paling tidak retak
akibat hajaran sang dara tadi.
“Kau
sanggup mengelakkan jurus Kincir Berputar tapi tidak mampu menghindar jurus Alu
Besi Membobol Lesung!” kata Mirasani menyebutkan dua jurus yang tadi
dikeluarkannya untuk menempur si pemuda. Mulutnya menyunggingkan senyum
mengejek. “Saatnya kau meninggalkan tempat ini Suryo Kemikis!”
“Tidak!
Aku belum kalah! Aku belum jatuh menyentuh bumi!” sahut Suryo Kemikis.
“Bukankah syaratmu adalah kalau bagi siapa yang tubuhnya roboh menyentuh
tanah….?!”
Mirasani
tertawa pendek. “Matamu buta melihat kenyataan! Otakmu tumpul menilai keadaan!
Manusia macammu memang tak layak jadi suamiku! Majulah jika kau ingin
meneruskan pertandingan! Jangan ragu-ragu mempergunakan tongkat bambumu sebagai
senjata!”
Ditantang
begitu Suryo Kemikis jadi panas. Rahangnya menggembung. Didahului satu bentakan
pemud aini menyerbu sambil putar tongkat ambunya demikian rupa hingga
mengeluarkan suara menderu dan cahay kekuningan bertebar.
“Hemm….Jurus
Tabir Kipas itu tak ada gunanya bagimu! Apalagi untuk merobohkanku!” ujar
Mirasani.
Suryo
Kemikis terkejut ketika mendengar lawan mengetahui bahkan menyebut jurus
serangan yang tengah dilancarkannya. Segera dia robah jurus yang baru
dilancarkan setengahnya itu. Gerakan tongkatnya kini langsung menghujam lurus
ke arah kepala sang dara. Sedikit lagi akan sampai tiba-tiba tongkat itu
menukik ke bawah menghujam dada!
“Jurus
Gendewa Jatuh!” seru Mirasani menyebut jurus yang dimainkan lawan.
Lagi-lagi
hal itu membuat Suryo Kemikis terkesiap sehingga gerakannya menyerang agak
terpengaruh. Saat itulah sang dara berkelebat ke depan. Tangan kanannya
berputar lurus tapi dalam gerakan agak melintir. Inilah jurus Alu Besi Membobol
Lesung yang dilancarkan dalam gerakan lurus. Suryo Kemikis melihat jelas
serangan itu namun sama sekali tidak berkesempatan untuk selamatkan dadanya
yang jadi sasaran.
Buukk!
Terdengar
keluhan tinggi disertai mentalnya tubuh Suryo Kemikis. Pemuda ini tergelimpang
di dekat tangga gedung. Tak berkutik beberapa lamnya. Ketika dia mencoba
bangkit dari mulutnya menyembur darah segar. Suryo Kemikis kembali
tergelimpang, kali ini pingsan tak sadarkan diri lagi!
****************
TIGA
Mirasani
sama sekali tidak memperdulikan apa yang dialami Suryo Kemikis. Dia berpaling
pada pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah yang tegak di anak tangga
gedung memandangi sang dara dengan pandangan entah kagum entah kecut.
“Giliranmu
sekarang!” berseru Mirasani.
Si baju
hitam melangkah tenang. Empat langkah di hadapan Mirasani dia menjura lalu
berkata. “Harap maafkan kalau aku terlalu bodoh memberanikan diri mencoba
nasib…..”
Mirasani
tersenyum kecil. “Aku senang melihat sikapmu yang merendah. Tapi kalau bicara
soal nasib, ketahulah nasibmu tak bakal lebih baik dari oemuda bernama Suryo
Kemikis itu!” Mirasani melangkah pulang balik sambil berkacak pinggang.
“Kuliaht
kau membawa keris! Kau boleh menggunakan senjata itu menghadapiku!”
“Aku
lebih suka kalau diberi petunjuk dengan tangan kosong saja…..”
“Hemmmm
Pemuda satu ini sopan sekali sikapnya. Hanya saying dia pasti tak bisa
mengalahkanku,” membatin Mirasani. Lalu dia bertanya “Siapa namamu, kau datang
dari mana dan siapa guru silatmu?!”
“Namaku
buruk saja den ayu. Jalak Turonggo. Aku datang dari pantai urata. Soal siapa
guruku, mohon maaf, aku sudah dipesan untuk tidak menjual nama guru ke
mana-mana. Lagi pula kehadiranku di sini adalah kemauanku sendiri….”
“Bagus!
Kau memang orang silat sejati. Majulah!”
Meskipun
agak sungkan namun pemuda bernama Jaka Turonggo ini bergerak juga melancarkan
serangan pertama. Meski sikap dan tutur bicaranya sangat sopan namun
serangannya ternyata ganas. Jurus pertama itu dibukanya dengan mengelilingi
tubuh si gadis secara cepat lalu tiba-tiba luncurkan serangan ke arah samping
kiri Mirasani. Walau tidak seperti tadi yakni cepat dapat menebak dan menyebut
jurus serangan lawan, namun mata Mirasani yang tajam sudah dapat melihat
keganasan serangan lawan. Di balik keganasan itu matanya yang jeli dan otaknya
yang tajam sekaligus dapat pula melihat sudur kelemahan serangan si pemuda.
Maka diapun keluarkan seruan tinggi dan berkelebat. Perkelahian berkecamuk
hebat. Tiga jurus berlalu cepat. Memasuki jurus keempat mendadak Jalak Turonggo
berseru kaget ketika dia mendaptkan keris yang sebelumnya terselip di
pinggangnya lenyap! Memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada
dalam genggaman tangan kiri Mirasani! Sadarlah si pemuda, jika sang dara mau
pasti dia sudah dapat menyusupkan pukulan berbahaya. Maka Jalak Turonggo
rapatkan kedua kakinya, membungkuk sambil merapatkan kedua belah tangan dan
berkata “Terima kasih atas petunjukmu. Jelas bagiku den ayu bukan tandinganku.
Aku terlalu bodoh bercita-cita mendapatkan istri sepertimu…..” Pemuda itu
membungkuk sekali lagi.
Mirasani
tersenyum. Hatinya cukup senang meliha pemuda yang sangat sopan dan tahu diri
ini. Maka dikembalikannya keris Jalak Turonggo seraya berkata. “Kau menerima
kekalahan dengan hati lapang. Aku suka bersahabat denganmu. Sebagai seorang
sahabat aku layak minta tolong….”
“Maksud
den ayu?” tanya Jalak Turonggo.
“Tolong
bawa tubuh pemuda bernama Suryo Kemikis itu dari sini…..”
Jalak
Turonggo sebenarnya merasa tidak senang dengan permintaan itu, namun akhirnya
dia mengangguk juga lalu memanggul tubuh Suryo Kemikis yang masih pingsan dan
pergi dari situ. Baru saja Jalak Turonggo lenyap di kelokan jalan dan Rayu
Komala berseru memanggil anaknya agar segera masuk kedalam, Mirasani melangkah
cepat ke arah sebuah arca dekat pintu gerbang halaman sebelah kiri. Di situ
tampak duduk seorang pemuda berpakaian seba putih, ikat kepalanya juga putih.
Rambutnya yang panjang menjela bahu. Dia duduk sambil menopangkan dagunya pada
kedua tangan. Wajahnya sebetulnya gagah tapi lagaknya yang aneh membuat dia
seperti seorang pemuda tolol.
“Sejak
tadi aku melihat kau duduk di sini. Apa keperluanmu?!” Mirasani menegur.
Si pemuda
cepat berdiri, menjura hormat, menggaruk kepalanya, tertawa lebar lalu
menjawab. “Maafkan saya datang tidak memberi salam. Semua karena kagum melihat
perkelahian hebat tadi…..”
“Sudah,
tak perlu bicara panjang lebar. Jawab saja apa yang aku tanya!” tukas Mirasani.
“Aku yang
tolol ini berniat mengikuti jejak dua pemuda tadi. Siapa tahu…..”
“Memang
hanya orang tolol yang mau digebuk! Bersiaplah!” sahut sang dara.
Pemuda
berpakaian putih itupun tegak bersiap-siap. Caranya berdiri tampak lucu. Tubuh
agak miring dan kaki kanan setengah bersilang dengan kaki kiri. Sikapnya ini
membuat Mirasani jadi jengkel.
“Silahkan
menyerang!” hardiknya.
Si pemuda
garuk kepalanya. “Tadi di situ yang berkata mau menggebuk. Biar di situ saja
yang lebih dulu menyerang!”
Gusarlah
Mirasani. Sekali lompat saja tubuhnya melesat ke depan lalu membalik berputar
satu lingkaran dengan kaki menendang deras.
“Jurus
Kincir Berputar yang bagus!” seru si gondrong menyebut jurus serangan yang dilakukan
sang dara. Terkejutlah Mirasani. Dara ini langsung hentikan serangannya,
bertolak pinggang dan memandang tajam pada si pemuda.
“Kau
mengenali jurus yang kumainkan! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku
pemuda tolol bernama Wiro Sableng, datang kesasar dari puncak gunung Gede di
ujung barat pulau Jawa. Guruku seorang nenek benama Sinto Gendeng…. Harap
dimaafkan kalau aku membuatmu tidak senang…..”
“Jadi
kau….. kau Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”
“Begitulah
orang memberi gelar pada diriku yang jelek dan tolol ini!”
Berubahlah
paras Mirasani. Dia pernah mendengar dari gurunya Ki Demang Juru Gampit bahwa
di tanah Jawa ini ada beberapa tokoh silat yang berkepandaian sangat tinggi.
Banyak di antara mereka yang mengucilkan diri tidak mau dikenal, tidak mau terlalu
mencampuri urusan dunia persilatan. Namun ada pula di antara mereka yang malang
melintang berbuat kebajikan, menolong orang-orang yang tertindas, membasmi
kejahatan. Salah satu di antaranya adalah yang dikenal bernama Wiro Sableng,
seorang yang kabarnya berperangai aneh lucu dan bergelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212. Namun tidak pernah disangkanya kalau sang pendekar ternyata
adalah seorang pemuda padahal sebelumnya dia menduga pendekar itu pastilah
seorang yang sudah kakek tua renta!
“Hai! Kau
seperti melamun! Bagaimana ini? Apakah urusan ini bisa diteruskan….?” Wiro
berseru.
“Ah, hari
ini mungkin hari terakhirku bertanding. Aku punya firasat tak bakal menang
menghadapi pemuda ini!” Mirasani membatin. Lalu dengan menabahkan hati dia
melangkah menekat. Dari jarak tiga langkah gadis ini langsung menyerbu,
menhujani Pendekar 212 dengan serangan-serangan cepat dan ganas.
“Jurus
Alu Besi Membobol Lesung….ah itu jurus Elang Mematuk Puncak Menara…..Eit! Jurus
Ular Keluar Sarang Memagut Mangsa dan ini jurus Bintang Memagar Rembulan…..
Hebat…. Semua hebat! Tapi lihat akupun bisa memainkannya! Terdengar seruan Wiro
berulang kali yang membuat Mirasani kaget tidak kepalang dan lebih kaget lagi
ketika dilihatnya pemuda itu memainkan jurusjurus yang dikelaurkannya hingga
dirinya menjadi terdesak dan ketika satu sapuan pada salah satu kakinya membuat
dia kehilangan keseimbangan, tak ampun lagi dara inipun jatuh terlentang di
tanah!
Di
langkan rumah Suto Klebet dan Rayu Komala terbeliak menyaksikan kejadian itu.
keduanya saling pandang sesaat.
“Kangmas…..Agaknya…..”
“Ya…..ya!
Ini akhir dari segala-galanya. Anak kita telah menentukan pilihannya sendiri!”
kata Suto Klebet menyamung ucapan istrinya lalu keduanya turun ke halaman.
Saat itu
Mirasani sudah bangkit berdiri sambil merapikan pakaiannya. Wajahnya tampak
kemerahan bukan karena malu dikalahan tapi karena jengah menghadapi pemuda yang
kini sudah resmi menjadi calon suaminya sesuai dengan apa yang selama ini
menjadi kaulnya.
“Kau tahu
semua jurus-jurus seranganku! Kau sanggup memainkannya, malah meredam dalam
bentuk bertahan dan kalau dipakai menyerang jauh lebih hebat dari yang
kumiliki. Apakah kau pernah menjadi murid guruku Ki Demang Juru Gampit?!”
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya lalu menggeleng. “Ki Demang Juru Gampit,
gurumu itu adalah seorang tua yang bersih dan alim, hampir mendekati kesucian
seorang Wali. Aku yang brandalan ini mana mungkin jadi muridnya!”
“Lalu
bagaimana kau bisa tahu semua jurus-jurusku malah memainkannya dan bahkan
merubuhkanku dengan jurus Meniup Pelita Mendorong Pohon!”
“Semua
hanya kira-kira saja. Tak tahunya kebetulan tepat. Semua jurus itu kumainkan
lain tidak karena hanya melihat saja lalu menirukan. Kalau gurumu ada di sini
pasti dia melihat kekurangan jurus-jurusku itu!”
“Pemuda
ini pandai, tapi dia selalu bersikap merendah. Agaknya dia sengaja menutupi
kepandaiannya dengan sikap ketolol-tololan….” Begitu Mirasani berkata dalam
hati. Lalu tanpa sungkan-sungkan dia memegang lengan Wiro dan membawa pemuda
ini ke arah kedua orang tuanya yang turun dari langkan gedung.
Atas
permintaan Wiro pernikahan dilangsungkan dua hari kemudian. Sama sekali tidka
ada pesta susulan. Karenanya tidak ada tokoh persilatan termasuk Ki Demang Juru
Gampit dan Eyang Sinto Gendeng. Mirasani berulang kali meminta pada suaminya
aga tetap diadakan pesta besar-besaran karena sebagai istri dan juga kedua
orang tuanya merasa bangga memiliki seorang suami yang merupakan pendekar
terkenal dalam dunia persilatan. Tapi karena Wiro menolak dengan keras terpaksa
akhirnya sama sekali tidak ada pesta ataupun selamatan diadakan, kecuali acara
pernikahan yang berlangsung cepat dan sangat sederhana.
****************
EMPAT
Kebahagiaan
Mirasani sebagai seorang istri hanya berlangsung selama satu bulan. Setelah itu
suaminya mulai menunjukkan tindak tanduk aneh. Berkali-kali Wiro pergi
meninggalkannya tanpa pesan atau mengatakan ke mana tujuan ataupun
keperluannya. Dua atau tiga minggu kemudian baru sang suami pulang. Meskipun
Mira tak pernah mengadukan keadaan suaminya pada kedua orang tuanya, Suto
Klebet dan Rayu Komala diam-diam sudah mengetahui apa yang berlangsung dalam
rumah tangga baru itu.
Suatu
malam Wiro Sableng muncul kembali setelah selama dua minggu menghilang entah ke
mana. Sebelum sempat ditanya Wiro meletakkan sebuah kotak berukir di atas meja
dan berkata pada istrinya “Bukalah. Semuanya untukmu Mira…..”
Meskipun
hatinya tak suka melihat sikap suaminya itu namun Mira membuka juga kotak kayu
berukir yang terletak di meja. Begitu dibuka kelihatanlah isi kotak.
Sejumput
perhiasan emas bertahta permata serta sejumlah ringgit emas!
“Dari
mana kau mendapatkan ini kangmas Wiro?”
Yang
ditanya tertawa lebar dan usap-usap hidung lalu garuk-garuk kepala.
“Pemberian
seorang kaya raya di Tegalrojo yang kutolong,” sahut Wiro. Dia menatap paras
istrinya sesaat lalu berkata “Kelihatannya kau tidak suka menerima pemberian
itu?”
“Tentu
saja aku suka kangmas Wiro. Hanya saja sebetulnya yang aku lebih suka adalah
jika kau selalu berada di rumah bersamaku. Kita masih pengatin baru.
Malam-malam sering kulewati dengan sepi tanpamu. Apakah kau tidak bisa menunda
segala kepergian itu….?"
“Kau tahu
sendiri Mira. Aku seorang pendekar pengelana. Mana mungkin aku mengeram
lama-lama di rumah….”
“Aku
mengerti kangmas Wiro. Karena itu aku selalu meminta padamu agar jika kau pergi
aku diajak serta…..”
“Pengelanaan
seperti yang kulakukan bukan pekerjaan seorang istri cantik jelita sepertimu
Mira….”
“Tapi
kita sama-sama orang persilatan!”
“Tidak
Mira. Aku tak akan pernah mengizinkanmu ikut bersamaku. Terlalu besar
bahayanya….”
“Jika itu
yang kangmas cemaskan, bagaimana dengan usulku tempo hari? Membuka perguruan
silat….”
“Itu usul
baik. Namun tidak saat ini Mira, urusanku di luaran masih banyak.”
“Jika
memikirkan urusan, perguruan itu tak akan pernah jadi. Apa susahnya? Yang akan
dijadikan murid hanya orang-orang tertentu. Dari Keraton Saladan Jogja…..
Bahkan guruku bersedia membantu…..”
“Kalau
begitu biar kau saja dengan Ki Demang yang melakukannya. Aku pasti membantu……”
“Justru
aku ingin menonjolkan dirimu. Siapa tahu penguasa Keraton tertarik padamu dan
memberikan satu jabatan penting. Kepala Pasukan Kotaraja misalnya…..”
Wiro
Sableng tertawa lalu merangkul dan menciumi istrinya. “Kau istri yang baik, mau
memikirkan masa depan suami, tapi Mira ketahulah, aku tidak suka segala macam
jabatan di Keraton atau di Kerajaan. Aku tetap seperti ini. lelaki bernama Wiro
Sableng, tolol dan gendeng, mengelana ke mana yang diinginkan, berbuat
kebajikan bagi orang banyak. Dengar Mira, aku letih, ingin istrahat dan
bermesraan denganmu. Aku begitu kangen. Aku akan mandi lebih dulu lalu kita
naik ke atas ranjang.
Mirasani
hanya bisa mengangguk.
“Besok…..pagi-pagi
sekali aku harus pergi ke selatan. Kabarnya banyak terjadi kejahatan di wilayah
itu. ada tokoh silat golongan hitam yang ikut membantu para penjahat…..”
Peringatan
seribu hari meninggalnya Tumenggung Campak Wungu dihadiri oleh banyak tetamu
terutama dari pihak pejabat Keraton termasuk beberapa orang Pangeran. Di antara
para tamu yang datang turut hadir hartawan Suto Klebet dan istrinya berseta
puteri mereka Mirasani, istri Pendekar 212 Wiro Sableng. Malam itu Mira tampak
cantik sekali, mengenakan kebaya panjang ungu gelap, kain batik tulis, sanggul
berhias tusuk kundai emas dilengkapi giwang besar serta seuntai kalung emas
berbetuk bunga mawar dengan sebuah permata di tengah-tengahnya.
Selama
upacara selamatan berlangsung sepasang mata janda almarhum Tumenggung Campak
Wungu tidak henti-hentinya mengerling pada kalung besar yang melingkar di leher
Mirasani. Begitu upacara resmi selesai, sang janda mendekati Mirasani dan kedua
orang tuanya, bersalam-salaman sambil bicara berbasa-basi.
Suatu
saat Sularesmi, begitu nama sang janda berkata pada Mirasani “Anakku Mira
sungguh bagus kalung emasmu. Di mana kau membelinya? Ah, jika kau bisa memberi
tahu siapa pembuatnya tentu aku mau membuat yang seperti ini….”
Mirasani
hanya tersenyum tersipu. Yang menjawab adalah ibunya “Jeng Sularesmi terlalu
memuji. Kalung itu biasa-biasa saja. Suaminya yang memberikan….”
“Ah,
suami Mira…..” ujar Sularesmi seraya memandang berkeliling seperti
mencari-cari.
“Suaminya
tidak hadir jeng Sula. Harap dimaafkan. Dia masih bertugas di selatan…..”
Sularesmi
mengangguk-angguk mendengar penjelasan Rayu Komala itu. Dua hari kemudian, pada
suatu siang, dengan mengendarai sebuah kereta, janda almarhum Tumenggung Campak
Wungu muncul di rumah kediaman hartawan Suto Klebet, langsung disambut oleh
Rayu Komala karena memang saat itu hanya dia sendiri yang berada di gedung
besar itu.
“Tidak
memberi kabar terlebih dahulu, tahu-tahu sudah datang berkunjung sungguh satu
kerhormatan besar bagi saya jeng Sula….” Kata Rayu Komala seraya memeluk
tamunya lalu membawanya ke ruangan tamu yang besar dan bagus.
“Apakah
jeng Rayu ada baik dan sehat-sehat….?”
“Berkat
doa jeng Sula. Terima kasih. Saya akan menyediakan minuman….”
“Tidak
usah repot. Saya hanya sebentar jeng.”
“Ah,
kenapa begitu buru-buru…..”
“Kedatangan
saya hanya ingin menyampaikan sesuatu.”
“Sesuatu
mengenai apa jeng Sula?”
“Menyangkut
kalung bunga mawar itu….”
“Kalung
bunga mawar…..? Oooo…..maksud jeng Sula kalung yang malam selamatan itu dipakai
oleh puteri saya?”
“Betul
sekali.”
“Ah,
rupanya jeng Sula selalu mengingat-ingat perhiasan itu…..”
Sularesmi
tersenyum lalu berkata dengan suara lebih perlahan seolah-olah takut ada yang
bakal mendengar. “Ketahuilah jeng. Kalung itu sama betul dengan kalung milik
saya yang hilang dua minggu lalu…..” Paras Rayu Komala serta merta berubah.
“Saya
tidak mengerti maksud jeng Sularesmi.”
“Dua
minggu lalu rumah kediaman kami dibobol maling. Seorang penjaga terbunuh.
Sekotak perhiasan dan uang emas amblas dari lemari yang dibongkar paksa.
Termasuk kalung emas bunga mawar bertahta permata tunggal itu….”
“Maksud
jeng Sula kalung itu….”
“Saya
tidak mengatakan bahwa kalung itu adalah milik saya yang hilang. Tapi di dunia
ini saya yakin hanya ada satu kalung seperti itu. jika saya boleh tahu jeng
Rayu, dari mana Mirasani mendapatkan perhiasan itu? Kalau tidak salah kata jeng
Rayu malam itu…. perhiasan itu pemberian suaminya, pendekar gagah bernama Wiro
itu. Betul begitu….?”
Rayu
Komala mengangguk. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tidak enak di samping ada
rasa malu yang membuat wajahnya menjadi merah.
“Jeng
Rayu….” Kata Sularesmi. “Saya tidak menyangka apalagi menuduh yang bukan-bukan.
Hanya saya ingin jeng Rayu membantu saya mencari tahu dari mana asal muasalnya
perhiasan itu…..”
“Menurut
Mira ketika suaminya menghadiahkan perhiasan itu, suaminya menyebut perhiasan
itu adalah hadiah dari hartawan di Tegalrejo yang pernah ditolongnya…..”
“Tegalrejo
daerah tandus. Tak ada seorang hartawanpun diam di sana!” kata Sularesmi pula.
Semakin
beubah wajah Rayu Komala, semakin tidak enak hatinya.
“Jeng
Rayu….” Kata Sularesmi sambil memegang lengan perempuan itu.
“Mungkin
saya keliru besar. Anggap saja saya tidak pernah datang kemari. Lupakan semua
pembicaraan kita barusan. Saya mohon diri….” Lalu janda Tumenggung itu
cepat-cepat berdiri.
Ketika suatu
malam Mirasani menuturkan peremuan Sularesmi dengan ibunya yang menyangkut
kalung emas bermata berlian itu, sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak
berubah wajahnya. Namun di lain kejap dia tertawa lebar dan berkata.
“Ada
ujar-ujar di dunia ini Mira. Ujar-ujar itu mengatakan Jika kita tidak punya
maka kita akan dihina. Tapi jika kita punya maka kita akan difitnah! Itulah
agaknya yang terjadi pada diriku. Aku ingin membahagiakan istri sendiri dengan
hadiah berupa perhiasan. Tapi orang lain menuduh dan memfitnah yang
bukanbukan….”
“Menurut
ibu, janda Tumenggung itu sama sekali tidak menuduh ataupun memfitnah….”
“Lalu apa
maksudnya datang kemari dan sengaja menebarkan cerita tak masuk akal itu. Apa
cuma dia yang meiliki perhiasan di dunia ini? Jelas dia hendak memecah belah
rumah tangga kita. Memberi malu pada diriku! Perempuan macam apa janda
Tumenggung itu!”
Mirasani
terdiam beberapa lamanya. Lalu dia bekata “Ada baiknya kangmas memberi
penjelasan beserta bukti-bukti pada janda Tumenggung itu mengenai asal usul
perhiasan itu. kalau perlu pergi bersama hartawan yang kata kangmas
menghadiahkan sekotak perhiasan dan uang itu…”
Wiro
menggeleng. Tinjunya yang terkepal diletakkan di atas meja.
“Dia
telah memberi malu diriku! Menghina dan merendahkan. Memberi malu pada dirimu
juga! Memberi malu seisi rumah ini! Aku tidak akan menemuinya, apalagi membawa
hartawan itu dan bicara padanya! Ambil kotak berisi perhiasan dan ringgit emas
itu Mira! Aku akan melakukan sesuatu menurut caraku sendiri!”
“Apa yang
akan kangmas lakukan?!” tanya Mirasani cemas.
“Kau tak
usah kawatir istriku! Aku akan melakukan sesuatu yang dapat menghapus malu
besar yang dicorengkan perempuan tak berbudi itu! Di mana kotak itu kau simpan.
Ambil dan bawa kemari. Jangan ada yang kurang isinya!”
Mau tak
mau Mirasani pergi juga mengambil kotak kayu yang diminta Wiro Sableng itu.
Keesokan
paginya terjadi kehebohan yang menggegerkan di rumah kediaman almarhum
Tumenggung Campak Wungu. Seorang pelayan menemukan Sularesmi telah jadi mayat,
menggeletak di atas lantai kamar tidur. Ada bekas cekikan pada lehernya.
Perempuan yang malang ini mati dengan lidah agak terjulur dan mata mendelik. Di
atas lantai dekat jenazahnya tergeletak, tampak kotak kayu berukir berisi
perhiasan dan ringgit emas. Pada dinding kamar yang putih bersih tertera
besar-besar tiga deretan angka : 2 1 2.
****************
LIMA
Ki Demang
Juru Gampit merapikan jubah putihnya lalu mengambil buntalan kecil yang ada di
atas balai-balai. Dia berpaling pada anak lelaki berusia sekitar dua belas
tahun yang duduk di sudut rumah dan berkata “Kaiman, aku pergi sekali ini cukup
lama. Jaga rumah ini baik-baik dan jangan lupa berlatih terus. Jika kau rajin
pasti kau akan menguasai seluruh kepandaian yang kuberikan. Seperti pandainya
kakakmu yang bernama Mirasani itu….”
“Ucapan
itu akan saya perhatikan kek. Sebetulnya ingin sekali saya ikut bersama kakek.
Ingin bertemu dengan kakak seperguruan yang kabarnya cantik sekali itu…..”
Ki Demang
tersenyum. “Belum saatnya muridku. Suatu ketika kau pasti akan bertemu
dengannya. Apakah kudaku sudah kau siapkan….?”
“Sudah
kek. Hai….betulkan kakak Mirasani itu mempunyai seorang suami yang gagah
perkasa. Memiliki ilmu silat dan kesaktian luar biasa? Bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212…..?”
Ki Demang
Juru Gampit mengangguk. “Begitu yang kudengar. Aku sendiri belum pernah bertemu
muka. Namun nama besarnya menjulang setinggi gunung Merapi. Itulah sebabnya aku
berhasrat menyambangi muridku. Bisa bertemu dengan Mirasani dan berjumpa dengan
suaminya. Aku pergi sekarang Kaiman. Jaga rumah baik-baik. Jangan lupa
sembahyang!”
Habis
berkata begitu Ki Demang menuruni tangga kayu rumah kayu sederhana yang
terletak di puncak bukit itu. langkahnya tetap dan tegap ketika menuju pohon di
mana kudanya ditambatkan. Tetapi langkah ini serta merta tertahan ketika
memandang ke depan dia melihat di atas kuda miliknya yang masih tertambat di
pohon tampak duduk seorang pemuda berpakaian putih berikat kepala putih,
berambut gondrong dan sebatang rokok terselip di sela bibirnya.
Setelah
pandangi pemuda tak dikenalnya itu beberapa ketika maka Ki Demangpun menegur.
“Anak
muda, enak sekali dudukmu di atas punggung kudaku. Siapakah dirimu….?”
“Apakah
aku berhadapan dengan orang tua bernama Ki Demang Juru Gampit?” Pemuda yang di
tanya bukannya menjawab malah balik bertanya.
Dengan
sabar si orang tua menjawab “Benar. Kau tidak salah. Aku adalah Ki Demang Juru
Gampit. Kau datang sengaja mencariku!”
“Aku Wiro
Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid Sinto Gendeng dari
gunung Gede!”
“Astaga!”
kagetlah Ki Demang Juru Gampit. “Aku justru tengah bersiap-siap untuk
menyambangimu dan muridku! Tahu-tahu kau muncul di sini! Sungguh senang hatiku
bertemu dengan Wiro….” Meski mulutnya berkata senang tapi hati si orang tua
merasa tidak senang melihat tindak tanduk dan cara bicara si pemuda yang
dilihatnya tidak sopan, berbau kurang ajar.
“Turun
dari kuda itu. mari masuk ke rumah agar kita bisa berbincang-bincang. Mungkin
kita bisa bersama-sama menuju tempat kediaman kau dan istrimu….” Ki Demang
mengundang.
Wiro
cabut rokok yang terselip di sela bibirnya lalu mencampakkannya ke tanah.
Sekali bergerak saja dia sudah melompat dan turun ke tanah.
“Ki
Demang, aku kemari bukan untuk berbincang-bincang….”
“Kalau
begitu….. Apa yang bisa kulakukan . Langsung saja sama-sama pergi saat ini?!”
Wiro
gelengkan kepalanya. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang tua
itu. Mulutnya membuka dan meluncurlah ucapannya “Aku datang untuk membunuhmu!”
Ki Demang
Juru Gampit sesaat terkesiap lalu terdengar gelak tawanya berderai.
“Ada-ada
saja kau ini Wiro. Kau sadar apa yang kau ucapkan barusan? Pasti kau bergurau!”
“Mengenai
urusan kematian, aku tidak pernah bergurau Ki Demang….” Jawab Wiro sambil
menyeringai dan garuk-garuk kepalanya.
“Eh,
orang satu ini tampaknya memang tida bergurau….” Kata Ki Demang Juru Gamp[it
dalam hati. Maka diapun memancing. “Soal kematian anak manusia adalah di tangan
Tuhan. Kalau hari ini memang takdirku sampai umur, aku akan menerima dengan
pasrah. Hanya saja ingin kutanyakan alas an apa yang membuatmu muncul sebagai
malaikat pencabut nyawa?”
Wiro
tertawa bergelak. “Kalau kau tanya soal alasan, jawabannya bisa seribu satu
orang tua. Apakah kau sudah bersiap untuk mati…..?”
“Aku
sudah siap sejak tadi anak muda! Aku mempunyai firasat kau sebenarnya bukan….”
Sebelum
Ki Demang menyelesaikan kalimatnya Pendekar 212 Wiro Sableng telah menyergapnya
dengan serangan. Tak bisa berbuat lain Ki Demang Juru Gampit segera menghadapi
serangan itu dengan tenang. Mula-mula dia bertahan sampai dua jurus. Pada jurus
ketiga guru Mirasani ini mulai balas menyerang. Inilah yang ditunggu Wiro
Sableng. Matanya yang tajam memperhatikan gerakan lawan, meredam dan meniru
gerakan itu sambil menyebutkan jurus yang dikeluarkan si orang tua. Ki Demang
Juru Gampit tidak kaget melihat lawan bisa menyebut dan mengenali jurus-jurus
yang dimainkannya. Karena pastilah semua itu diketahui Wiro dari istrinya.
Tetapi orang tua ini merasa kaget sekali ketika dilihatnya Wiro Sableng balas
menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat yang diciptakannya sendiri! Dan
celakanya jurus-jurus serangan yang dilancarkan lawan ternyata lebih ganas dan
disertai aliran tenaga dalam tinggi hingga orang tua itu terdesak hebat!
“Luar
biasa! Tak bisa dipercaya!” kata Ki Demang Juru Gampit dalam hati.
“Terpaksaaku
mengeluarkan kesaktian!” Namun orang tua ini tak mendapat kesempatan untuk
mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya karena serangan lawan datang tiada henti
seperti curahan hujan!
“Jurus
Alu Besi Membobol Lesung!” teriak Wiro dan tiba-tiba sekali tangan kirinya
meluncur menembus pertahanan Ki Demang.
Ki Demang
Juru Gampit melihat jelas datangnya serangan itu. dia menangkis dengan
menghantamkan lengan ke atas. Tapi kalah cepat. Jotosan Pendekar 212 Wiro
Sableng melabrak dadanya denga keras. Orang tua ini terpental, jatuh terlentang
di tanah. Tulang dadanya remuk. Dua tulang iganya ikut patah!
Melihat
hal ini Kaiman murid Ki Demang yang sejak tadi menyaksikan pertempuran
berteriak marah dan berlari ke arah Wiro sambil mengacungkan tinju.
“Manusia
jahat tak berbudi! Aku akan membalas apa yang kau lakukan terhadap guru!”
Wiro
berpaling dan menyeringai.
“Bocah
tolol! Jadi kau muridnya tua bangka ini! bagus! Guru dan murid akan kubunuh
bersama!”
Mendengar
ucapan Wiro dan melihat sorotan mata pendekar itu Ki Demang maklum apa yang
bakal terjadi. Maka diapun berteriak “Kaiman! Lari…. Lekas lari! Selamatkan
dirimu! Dia bukan tandinganmu!”
Sesaat
anak berusia dua belas tahun itu hentikan langkahnya. Tapi bila dilihatnya
darah yang mengucur di sela bibir gurunya, amarahnya memuncak kembali. Dia
tidak takut terhadap Wiro. Dia rela mari bersama gurunya.
“Kaiman!
Dengar ucapanku! Lari! Lekas lari!”
“Muridmu
hanya akan lari ke neraka Ki Demang!” ujar Wiro. Lalu dia melompat untuk
menyergap anak itu. Ki Demang Juru Gampit kumpulkan sisa kekuatannya, melompat
dan menangkap salah satu kaki Wiro Sableng hingga kedua orang itu kemudian
sama-sama jatuh bergulingan. Dengan satu sentakan keras Wiro lepaskan kakinya
dari cengkeraman orang. Saat itu dilihatnya anak lelaki tadi tak ada lagi di
situ. Dengan geram Wiro melangkah mendekati Ki Demang. Orang tua yang dalam
keadaan tak berdaya itu kerahkan tenaga dalamnya. Tangannya bergetar.
Mulutnya
berkomat-kamit membaca sesuatu. Begitu Wiro datang lebih dekat Ki Demang
hantamkan tangan kanannya!
Wuut!
Angin
berwarna kebiruan menderu, menghantam deras ke arah Wiro. Terasa hawa dingin
menggidikkan. Pendekar 212 cepat melompat ke samping. Dari samping dia balas
menghantam dengan pukulan tangan kanan. Tampak cahaya putih berkilauan. Udara
panas menebar. Cahaya itu laksana tombak raksasa menderu menghantam tubuh Ki
Demang.
Orang tua
itu terpekik. Tubuhnya sebelah bawah hangus. Gerahamnya bergemelatakan menahan
sakit.
“Pukulan
Sinar Matahari….” Desisnya. Dia sudah lama mendengar kehebatan pukulan sakti
itu. Siapa menduga kalau hari itu dia akhirnya menemui ajal dengan pukulan itu.
Setelah mengerang panjang Ki Demang Juru Gampit tampak tak bergeming lagi.
Nafasnya melayang sudah!
****************
ENAM
Pesantren
Tunggul Kencono merupakan pesantren paling besar di Jawa Tengah pada masa itu.
Ratusan muridnya bermukiMn di kaki gunung Sumbing, dekat sebuah lembah yang
subur. Saat itu baru lepas Maghrib dan anak-anak murid pesantren tengah
bertadarus mengaji di bangsal besar bangunan induk sambil menunggu saat
sembahyang Isya.
Kiai
Bangil Menggolo pimpinan pesantren duduk di tengah bangsal. Kedua matanya
terpejam sedang tangan kanannya memegang tasbih. Walau dia tengah berzikir
khusuk namun telinganya yang tajam senantiasa dapat mendengar bacaan
murid-muridnya yang salah maka sang kiai memberi tahu kesalahan itu dan meminta
si murid mengulang kajinya sampai betul.
Di antara
ramainya gema suara para murid mengaji tiba-tiba terdengar suara kraak yang
disusul oleh patahnya tiang bangsal di ujung kanan serta miringnya atap bangsal
di bagian itu!
Suara
para murid yang mengaji serta merta sirap. Semua kepala dipalingkan ke arah
tiang yang patah dan semua mata ditujukan pada sosok tubuh seorang pemuda
berambut gondrong, mengenakan pakaian putih yang tegak berkacak pinggang di
bawah atap yang miring. Kiai Bangil Menggolo terus saja duduk bersila dan
berzikir seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh atau terganggu oleh apa yang
terjadi namun sebenarnya semua keadaan yang berubah itu tidak lepas dari mata
hatinya.
“Apa yang
terjadi….?” Sang Kiai bertanya.
“Seorang
pemuda tak dikenal memukul patah tiang bangsal!” salah seorang murid menjawab.
Perlahan-lahan
sepasang mata Kiai Bangil Menggolo terbuka dan langsung beradu pandang dengan
pemuda berpakaian putih berambut gondrong yang tegak dekat tiang bangsal yang
patah.
“Anak
muda, betulkah kau yang mematahkan tiang itu?” bertanya Kiai Bangil Menggolo.
Suaranya datar dan tenang.
“Memang
aku yang melakukannya!” menjawab si pemuda dengan tandas, pongah dan jelas
bernada menantang.
“Hemmm….”
Kiai Bangil Menggolo bergumam dan angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
“Apa
salah tiang itu hingga kau memukulnya sampai patah dan merusakbangunan kediaman
kami?!”
Yang
ditanya menyeringai lalu menjawab “Tiang itu memang tidak punya salah! Tapi
pimpinan pesantren Tunggul Kencono ini yang punya salah dan dosa besar!”
Semua
anak murid pesantren terkesiap mendengar ucapan si gondrong tak dikenal itu.
Setelah
mengusap janggut putihnya beberapa kali Kiai Bangil Menggolo lalu berucap “Yang
namanya manusia itu tak akan pernah luput dari dosa dan kesalahan. Tapi apakah
kau bisa mengatakan dosa dan kesalahanku, anak muda?”
“Kua
diketahui berkomplot dengan pemberontak di daerah timur untuk merebut tahta,
menghancurkan Kerajaan!” jawab si pemuda.
“Masya
Allah!” berucap Kiai Bangil Menggolo. “Menuduh tanpa bukti sama saja dengan
memfitnah. Selama bertahun-tahun aku tak pernah meninggalkan pesantren. Selama
bertahun-tahun aku tak pernah berhubungan dengan dunia luar. Bagaimana tiba-tiba
saja aku dituduh begitu keji? Berkomplot dengan kaum pemberontak!”
“Untuk
menyatakan tuduhan saat ini tak perlu aku membawa segala macam bukti. Karena
semua bukti sudah berada di tangan Sri Baginda!”
“Kalau
begitu, apakah kau utusan Sri Baginda? Alat Negara?”
“Bukan
hanya sekedar utusan Kiai! Tapi sekaligus membawa perintah untuk menghukum
matimu saat ini juga!”
Mendengar
kata-kata si pemuda, puluhan murid pesantren serta merta berdiri dengan sikap
siap melindungi pemimpin mereka bahkan kalau perlu meringkus pamuda tak dikenal
itu. Perlu diketahui pesantren Tunggul Kencono adalah pesantren di mana para
murid belajar berbagai ilmu agama serta dakwah. Sama sekali tidak mengajarkan
ilmu silat apalagi segala macam kesaktian. Namun demikian melihat pimpinan
mereka berada dalam ancaman, para murid pesantren menjadi marah dan
bersiap-siap untuk menjaga segala kemungkinan. Melihat hal ini Kiai Bangil
Menggolo cepat memberi isyarat, menyuruh muridnya tenang dan duduk kembali.
“Anak
muda,” kata Kiai Bangil Menggolo seraya berdiri dari duduknya. “Jika Kerajaan
ingin menangkap seseorang apalagi hendak menjatuhkan hukuman, terlebih dulu
orang itu dibawa kepersidangan pengadilan. Dia akan ditangkap dengan surat
resmi bercap Kerajaan. Dan yang membawa surat penangkapan itu paling tidak
adalah sejumlah perajurit berseragam resmi, bersenjata lengkap! Kau datang
seorang diri seperti gelandangan tak tahu juntrungan. Siapa sebenarnya kau ini,
anak muda?!”
Si
gondrong tampakberubah wajahnya mendengar kata-kata Kiai Bangil Menggolo itu.
namun kemudian dia keluarkan suara tertawa bergelak.
“Kalau
ingin tahu siapa aku, dengar baik-baik Kiai! Namaku Wiro Sableng! Murid tunggal
Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung Gede. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!”
Mendengar
keterangan si pemuda terkejutlah Kiai Bangil Menggolo.
“Nama
besarmu memang sudah lama kudengar. Akupun pernah berbincangbincang dengan
gurumu dalam suatu pertemuan beberapa tahun yang silam. Aku yakin ada
kekeliruan….”
“Aku
yakin tidak ada kekeliruan!” memotong Wiro Sableng. “Apakah kau sudah siap
untuk mati?!”
Wiro
Sableng turunkan tangan kanannya yang sejak tadi bertolak pinggang.
“Kiai!”
puluhan murid pesantren berseru tegang dan tanpa depat dicegah mereka sudah
mengelilingi Kiai Bangil Menggolo, menghadap ke arah si pemuda dengan pandangan
beringas.
“Semua
mundur!” seru Kiai Bangil. “Tak ada yang perlu ditakutkan!” orang tua itu lalu
mendorong murid-muridnya ke samping sambil melangkah ke arah Wiro berdiri. Saat
itu tiba-tiba Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya ke depan seraya berteriak
“Kiai Bangil! Ajalmu sudah sampai! Terima pukulan Sinar Matahari ini sebagai
hukumanmu!”
Sinar
putih menderu dari tangan kanan Wiro. Kiai Bangil terpental dua tombak, jatuh
ke lantai bangsal dalam keadaan hangus sekujur badannya! Anak murid pesantren
yang puluhan orang itu berpekikan. Sebagian memburu ke arah guru mereka,
sebagian lagi melompat ke arah Wiro. Tapi pemuda itu telah lenyap!
****************
TUJUH
Pagi
cerah, langit bersih membiru, sang surya bersinar lembut. Embun masih tampak
melekat di dedaunan. Dalam udara segar itu di kejauhan terdengar suara orang
bersiul. Keras tetapi entah membawakan lagu apa. Tiba-tiba suara siulan itu
lenyap ketika dari berbagai arah terdengar suitan keras saling bersahutan. Orang
yang bersiul pertama tadi hentikanlangkahnya dan memandang berkeliling. Suara
suitan terdengar lagi berulang kali, jelas saling bersahut-sahutan seperti
memberi suatu tanda.
Orang
yang tadi bersiul kembali memandang berkeliling. “Aneh! Suitan seperti itu
biasanya tanda-tanda yang dibuat oleh orang-orang persilatan! Agaknya ada
sesuatu terjadi di sekitar sini!” begitu orang ini membatin sambil
menggarukgaruk kepalanya yang gondrong. Ketika suara suitan-suitan lenyap. Si
gondrong siap melanjutkan perjalanan, namun langkahnya tertahan ketika
tiba-tiba pula kembali terdengar suara suitan bersahut-sahutan, lebih keras
tanda lebih dekat dan lebih riuh tanda lebih banyak.
“Edan!
Ada apa ini! suitan itu keras menggetarkan gendang-gendang telinga! Suitan yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi!” si gondrong tepuk-tepuk telinganya.
Terdengar
suara bergemirisik. Si gondrong cepat membalik. Dari sebatang pohon besar
melayang turun sesosok tubuh. Yang muncul ternyata seorang tua renta berjanggut
putih sampai ke dada. Dia membawa dua bumbung bambu. Satu dipanggul satunya
lagi ditenteng. Melihat orang tua ini si gondrong cepat-cepat menubruk dan
jatuhkan diri seraya berkata “Dewa Tuak. Sungguh pertemuan yang tidak
didugaduga! Ah, kau tidak seperti tambah tua! Tak pernah tambah tua! Luar
biasa!”
Si orang
tua tertawa tapi si gondrong melihat ada sesuatu tersembunyi di balik tawa itu.
“Pendekar
212 Wiro Sableng! Aku senang bertemu denganmu! Hanya saja keadaan hari ini
tidak terlalu menggembirakan. Berdirilah….”
Si gondrong
yang ternyata Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri perlahan.
“Dewa
Tuak, apakah kau sehat-sehat saja….?”
“Aku
sehat dan baik,” jawab si orang tua yang disebut dengan gelar Dewa Tuak itu,
yang merupakan seorang tokoh silat sangat disegani. “Apakah kau juga
baik-baik?”
“Aku
sehat, segar bugar!” jawab Wiro seraya mengacungkan kedua tangan tinggi-tinggi
dengan jari terkepal.
“Syukur
kalau begitu. Tapi sehat tubuhmu tidak sehat bagi banyak orang lain. Dunia
persilatan telah geger oleh tindak tandukmu!”
“Apa maksudmu
Dewa Tuak….?” Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan Dewa Tuak.
“Kau
masih bisa bertanya Pendekar 212? Bertanya setelah apa yang kau lakukan,
setelah segala sesuatunya terlambat karena saat ini lebih dari setengah lusin
tokoh silat telah mengurung tempat ini! Siap untuk membantaimu?!”
Wiro
memandang berkeliling. Astaga! Apa yang dikatakan Dewa Tuak ternyata tidak
dusta. Di sekelilingnya tampak tegak tujuh orang, memandang tak berkesip ke
arahnya. Beberapa di antaranya orang-orang itu dikenalnya. Yang pertama adalah
seorang kakek yang mata kirinya picak. Wiro kenal sekali dengan orang tua ini
yaitu Lor Gambir Seta, murid tokoh silat nomor satu Si Raja Penidur.
Yang
kedua juga seorang kakek bertubuh tinggi langsing, dikenal dengan gelar
Malaikat Tangan Besi Dari Puputan, merupakan tokoh paling ditakuti di kawasan
timur. Orang yang ketiga seorang nenek bermata juling, mencekal arit di tangan
kiri. Wiro ingat pernah bertemu dengan perempuan tua ini sebelumnya tapi lupa
entah di mana. Orang keempat seorang pemuda berwajah tirus, memegang tongkat
besi di tangan kiri, seorang sahabat yang dikenal Wiro dengan gelar Pendekar
Besi Hitam. Yang kelima seorang lelaki bertubuh kekar bertelanjang dada bermuka
angker karena penuh cambang bawuk dan guratan bekas luka di kedua pipinya. Wiro
tak kenal manusia satu ini. Orang yang keenam berdiri di bawah sebatang pohon,
berpakaian serba hitam.
Wajahnya
tidak kelihatan karena tertutup caping bambu. Tapi dari hulu golok berbentuk
kepala harimau yang tersisip di pinggangnya, murid Sinto Gendeng segera
mengenalnya yakni seorang tokoh silat dari kawasan barat bernama Menak
Jalantra, bergelar Harimau Pemakan Jantung. Orang yang terakhir seorang nenek
bermuka garang. Rambutnya putih jarang, kepalanya hampir sulah. Dia mengenakan jubah
putih dekil penuh tambalan dan memegang sebuah kaleng rombeng yang sudah
karatan “Pengemis Hantu….” Desis Wiro Sableng ketika mengenali nenek berwajah
angker seperti hantu itu. Dia tahu betul semua orang yang ada di situ adalah
tokohtokoh silat golongan putih, satu aliran dengan dirinya sendiri. Tetapi
mengapa semua mereka memandang dengan air muka yang menunjukkan permusuhan.
Sementara Dewa Tuak dilihatnya beberapa kali menarik nafas panjang.
“Dewa
Tuak…. Ada apa ini sebenarnya?” tanya Wiro Sableng. “Aku mencium hawa
pembunuhan….”
Dewa Tuak
kembali menghela nafas dalam-dalam lalu membuka mulut. “Aku tak kuasa menjawab
pertanyaanmu, Wiro. Biar para tokoh itu saja ang memberi tahu….”
Lor
Gambir Seta maju selangkah. “Empat bulan yang lalu kau membunuh Kiai Bangil
Menggolo. Orang tua itu masih keponakan guruku si Raja Penidur. Guru
menugaskanku untuk meminta pertanggung jawabmu….”
“Aku
membunuh Kiai Bangil Menggolo….?!” Wiro kaget besar dan gelenggelengkan kepala.
Ketika dia hendak membuka mulut kembali, Malaikat Tangan Besi Dari Puputan
seudah lebih dulu memotong.
“Tujuh
bulan lalu kau membunuh sahabatku Ki Demang Juru Gampit! Nyawanya adalah
nyawaku juga! Jika kau membunuhnya maka aku minta kau membunuhku sekalian!”
“Hai!
Apa-apaan ini?! Dua orang menuduhku yang bukan-bukan…..!” seru Wiro.
Pemuda
berwajah tirus maju dua langkah dan tancapkan tongkat besi hitamnya ke tanah.
“Aku Pendekar Besi Hitam! Delapan bulan silam kau merampok rumah kediaman
bibiku janda almarhum Tumenggung Campak Wungu! Beberapa minggu kemudian kau
membunuh perempuan itu dan terang-terangan meninggalkan tanda 212 di dinding
rumah!”
“Oooladalah!”
Wiro garuk-garuk kepalanya dengan kedua tangan. “Tuduhan keji apalagi yang akan
kuterima hari ini….?!” Murid Sinto Gendeng berpaling pada orang-orang yang
belum angkat bicara.
Nenek
bersenjata arit ayunkan senjatanya beberapa kali lalu bicara dengan suara
membentak “Kau memperkosa dan membunuh murid tunggalku Sintorukmi! Deretan
angka 212 kau torehkan di sekujur tubuhnya yang telanjang….! Aku akan
menicincang tubuhmu dengan arit ini. Kenalkan diriku Arit Sakti Pencabut Raga!”
“Gusti
Allah!” seru Wiro. Hampir jatuh duduk dia mendengar tuduhan itu.
“Memperkosa
dan membunuh keji itu tak pernah aku lakukan. Demi Tuhan….!”
“Sumpah
pendekar murtad sepertimu siapa yang mau percaya!” satu bentakan terdengar.
Yang membentak adalah lelaki bertelanjang dada yang wajahnya penuh cambang
bawuk dan guratan luka. “Kau membunuh adik kembarku ketika dia bersama
rombongan pasukan Kerajaan mengejar dua tokoh pemberontak di selatan lima bulan
lalu! Jangan berani membantah! Aku sendiri menyaksikan kejadian itu!”
“Mati
aku…..! Ya Tuhan urusan gila apa ini semua?!” seru Wiro dengan mulut bergetar.
Harimau
Pemakan Jantung gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sreet! Golok berhulu
kepala harimau terhunus telanjag dari sarungnya.
“Golokku
sudah lama tidak minum darah langsung dari jantung! Hari ini kau akan
memberinya minuman, Pendekar 212….?”
“Apa…..apa
pula dosaku padamu….?” Tanya Wiro.
“Kau
mengobrak-abrik perguruan silatku dua bulan lalu. Membunuh enam orang muridku.
Ingat peristiwa di Lembah Merak Putih….?”
“Lembah
Merak Putih?! Mendengarnyapun baru sekali ini, apalagi pernah datang dan
melakukan pembunuhan di tempat itu….!”
Harimau
Pemakan jantung tertawa. Suara tertawanya seperti harimau menggereng! Wiro
berpaling pada orang ketujuh. Nenek sulah bergelar Pengemis Hantu.
“Dan kau
nenek….. Apa pula yang hendak kau tuduhkan padaku….?” Tanya Wiro.
“Satu
bulan lalu kau merampas satu karung uang hasilku mengemis selama bertahun-tahun.
Uang itu tidak jadi soal bagiku karena mungkin bukan rejekiku. Tapi kau
membunuh serta tiga orang pengemis anak buahku! Menggurat angka 212 di kening
mereka! Keji dan sombong!”
“Jika aku
membunuh orang tidak mungkin aku berlaku tolol meninggalkan tanda yang mudah
dikenal seperti itu….!”
“Tolol
atau cerdik yang jelas ketololan dan kecerdikanmu berakhir pada kematian!”
jawab si nenek sambil sunggingkan serangai aneh.
“Dewa
Tuak!” terdengar suara Lor Gambir Seta. “Kami ingin tahu di mana kau berdiri.
Kau telah menolong kami mencari pendekar sesat ini. setelah bertemu apakah kau
juga akan turun tangan bersama kami sesuai dengan sumpah ksatria para pendekar
golongan putih? Menegakkan keadilan menghancurkan angkara murka?!”
Dewa Tuak
mengeuk tuaknya beberapa kali lalu batuk-batuk. “Aku sudah tua…. Terlalu tua
untuk ikut turun tangan bersama kalian. Kalian bertujuh saja sudah cukup, biar
aku yang bangka ini menjadi saksi kematian seorang sahabat yang sudah kuanggap
anak sendiri. Mati karena perbuatannya yang keji!”
“Jadi
kalian semua hendak membunuhku?!” Wiro bertanya sambil memandang berkeliling.
“Seharusnya
tadi-tadi kau sudah menyadari bahwa hari ini ada Pendekar 212!” sahut si nenek
bergelar Arit Sakti Pencabut Sukma.
“Kalian
semua gila!” teriak murid Sinto Gendeng. Tanpa sadar tenaga dalamnya ikut
mengalir. Akibatnya suaranya terasa menggetarkan tanah. Tujuh orang tokoh silat
terkejut, tapi hanya sesaat. Di lain kejap ke tujuhnya sudah menyerbu, tiga
senjata berkiblat. Empat orang menyerang dengan tangan kosong. Dalam keadaan
seperti itu tangan kosong bisa membunuh lebih cepat dari pada senjata!
Murid
Eyang Sinto Gendeng berseru keras. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya
melesat setinggi dua tombak ke udara.
“Ke
langitpun kau lari kami kejar!” teriak Arit Sakti Pencabut Raga seraya susul
melompat dan babatkan senjatanya ke arah dua kaki Wiro. Pendekar 212 terpaksa
membuang diri berjumpalitan ke kiri. Tapi dari jurusan ini menderu lengan besi
Malaikat Tangan Besi Dari Puputan, mencari sasaran di batok kepalanya. Wiro
lepaskan pukulan Orang Gila Mengebut Lalat. Malaikat Tangan Besi merasakan
tangannya bergetar dan tubuhnya hampir terjengkang ketika angin sakti melabrak
lengan dan sebagian tubuhnya. Cepat dia turunkan diri ke bawah sementara Wiro saat
itu harus pula menghadapi sambaran golok Harimau Pemakan Jantung yang ganas
sekali menusuk tepat ke arah jantungnya. Di saat yang bersamaan Pengemis Hantu
gerakkan kaleng rombeng berkaratnya ke atas. Sepuluh uang logam menderu mencari
sasaran di tubuh Pendekar 212.
“Mati
aku….!” Teriak Wiro dalam hati. Tangan kirinya segera melepaskan pukulan
pertahanan membentengi tubuh yakni Benteng Topan Melanda Samudera. Pemuda
cerdik ini sadar sekali kalau pukulan sakti itu tidak mungkin menyelamatkannya
dari tujuh serangan maut. Maka secepat kilat tangan kanannya bergerak ke
pinggang. Maka berkiblatlah sinar putih menyilaukan di udara pagi yang cerah
itu desertai suara gaungan laksana seribu lebah mengamuk!
“Kapak
Maut Naga Geni 212! Awas!” teriak Lor Gambir Seta murid si Raja Penidur.
Tring….tring….tring….tring….
Empat uang logam yang ditabur Pengemis Hantu sempat dihantam Kapak Naga Geni
212. Enam lainnya luruh terkena sambaran angin senjata mustika itu. menyusul
suara trang! Kapak sakti beradu badan dengan golok mustika di tangan Harimau
Pemakan Jantung. Kagetlah tokoh silat ini ketika dia merasakan tubuhnya
bergoncang keras hampir terjungkal. Goloknya bahkan nyaris lepas. Ketika dia
meneliti masih untung senjatanya tidak ada yang rompal.
“Kurung
yang ketat! Jangan biarkan tukang perkosa, pembunuh dan rampok ini lolos!”
teriak Arit Sakti Pencabut Raga. Di antara semua penyerang nenek ini yang
paling besar dendam kesumatnya terhadap Wiro.
Wiro
putar Kapak Naga Geni dengan sebat. Tenaga dalamnya dikerahkan penuh. Tubuhnya
laksana batu karang membendung ombak raksasa. Tampaknya dia akan sanggup
menghadapi badai serangan itu. namun tujuh lawannya adalah tokohtokoh silat
kelas satu yang kepandaian masing-masing rata-rata sama tingginya.
Dikeroyok
begitu tupa, meskipun murid Sinto Gendeng sempat menghantam roboh Pendekar Besi
Hitam dengan tendangan kaki kanan hingga pemuda itu pingsan dengan empat tulang
iga patah, namun dalam kecamuk yang luar biasa hebatnya itu dia tak sempat
mengelak atau menangkis bacokan arit si nenek bergelar Arit Sakti Pencabut
Sukma! Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur deras. Kapak Baga Geni 212
terlepas dan jatuh ke tanah! Langsung disambar oleh Harimau Pemakan Jantung.
Pendekar
dari gunung Gede itu sadar apa artinya ini. dengan tangan kirinya dia cepat
lepaskan pukulan Sinar Matahari yang terkenal dahsyat itu. Tujuh orang
penyerang serta merta menyingkir begiut melihat ada cahaya putih menyilaukan
berkiblat diserta tebaran hawa panas luar biasa. Ketika sinar putih dan hawa
panas sirna tujuh orang yang mengejar sama mengumpat dan memaki. Pendekar 212
telah lenyap dari tempat itu. Semuanya memandang ke arah Dewa Tuak dan
diam-diam menyesalkan mengapa kakek sakti itu tidak mau turun tangan membantu!
****************
DELAPAN
Kuda
coklat itu akhirnya sampai juga ke puncak gunung Gede. “Kita berhenti di sini
Guci. Aku sudah melihat gubuk kediaman guru manusia keparat itu. Kau tunggu di
sini….” Mirasani elus-elus tengkuk kudanya lalu melompat turun. Ketika gubuk
kayu di puncak gunung itu diperiksanya ternyata kosong.
“Keparat!
Tak ada siapa-siapa di sini!” maki Mirasani. Saking jengkelnya hendak
ditendangnya pintu gubuk. Namun tiba-tiba saja ada suara menegur.
“Gadis
elok, siapa yang kau cari! Mengapa marah-marah dan hendak menendang pintu
gubukku?!”
Mirasani
cepat berpaling. Suara itu datang dari atas pohon besar enam langkah di samping
kirinya. Ketika mendongak ke atas tampaklah sesosok tubuh kurus kering
berbaring di atas cabang pohon, seolah-olah tengah bergolek berleha-leha di
atas ranjang. Padahal cabang pohon itu hanya sebesar lengan manusia. Melihat
sosok tubuh yang tergolek di cabang pohon itu Mirasani lantas berteriak “Kau
pasti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Tubuh di
atas cabang pohon tampak bergerak bangkit. Dari sikap berbaring kini tubuh itu
duduk berjuntal. Ternyata dia adalah seorang nenek bertubuh tinggi, berkulit
sangat hitam. Tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang
saking kurusnya. Kekurusan dan kehitaman yang luar bisa ini membuat wajahnya
angker hampir menyerupai tengkorak. Apalagi mukanya dan kedua rongga matanya
sangat cekung sementara rambut dan alis matanya putih. Rambut di kepalanya
sebenarnya tidak dapat lagi dikatakan rambut karena sangat jarang. Anehnya enek
angker ini mengenakan lima buah tusuk kundai terbuat dari perak yang disisipkan
bukan pada rambut tetapi langsung menancap di kulit kepalanya!
“Ada apa
kau mencariku?!” si nenek bertanya. Ternyata dia meamng Eyang Sinto Gendeng.
Nenek yang berusia hampir seratus tahun dan merupakan tokoh silat paling
ditakuti karena ketinggian ilmu dan kesaktiannya.
“Siapa
bilang aku mencarimu!” jawab Mirasani dengan ketus dan merengut.
“Aku
mencari suamiku!”
“Edan!
Apa kau kira aku menyembunyikan atau menyekap suamimu di sini? Kau kesasar atau
kurang waras?!”
“Muridmu
yang tidak waras! Gila! Busuk! Jahat dan keji!”
“Eh,
muridku siapa maksudmu?!” sepasang mata Sinto Gendeng berkilat tanda si nenek
mulai marah.
“Masih
bisa bertanya! Siapa lagi kalau bukan si sableng bernama Wiro itu! apa ada
muridmu yang lain?!”
Tubuh
yang duduk di cabang pohon tiba-tba saja meluncur ke tanah seolaholah ada tali
penggelantungnya. Begitu sampai di tanah, si nenek bukannya berdiri tapi duduk
menjelepok.
“Mendekat
ke sini gadis bermulut sembrono!” ujar Sinto Gendeng seraya mengoyang-goyangkan
jari telunjuknya. Mirasani hanya mendekat dua langkah.
“Kau
mencari muridku atau suamimu?! Bicara yang betul!”
“Muridmu
itu ya suamiku itu!”
“Gila!
Muridku masih perjaka! Belum kawin! Enak saja kau mengakuinya sebagai suami!”
“Nenek
pikun! Kau tahu apa tentang muridmu! Dia mengawiniku sembilan bulan yang lalu!
Ternyata dia bukan pendekar sejati. Tapi perampok! Pembunuh dan pemerkosa….”
Plaak!
Satu
tamparan mendarat di pipi Mirasani. Gadis ini sampai terpekik. Bukan karena
sakit tapi karena kaget bercampur heran. Si nenek dan dirinya terpisah hampir
tiga langkah dan perempuan tua itu dalam keadaan duduk pula. Bagaimana
tangannya tiba-tiba bisa menampar sejauh itu padahal tubuhnya tidak bergerak
barang sedikitpun!
“Berani
kau bicara tak karuan, kupecahkan batok kepalamu!” mengancam Sinto Gendeng.
“Kau telah mengganggu ketenanganku di puncak gunung ini. lekas pergi dari sini.
Tempat ini bukan tempat tamasya orang-orang sinting macammu!”
“Guru dan
murid sama sedengnya!” damprat Mirasani.
Tangan kanan
Sinto Gendeng kembali berkelebat. Tapi kali ini Mirasani lebih waspada. Begitu
tangan bergerak dia cepat mengelak lalu lancarkan serangan balasan berupa
tendangan ke arah dada si nenek. Yang diserang tertawa mengekeh. “Aku sudah
lama tidak berolah raga! Serang sepuasmu! Cari tempat yang empuk.
Hik….hik….hik….!”
Ketika
tendangannya hampir sampai mendadak Mirasani merasa seperti ada tenaga yang
mendorong kakinya sehingga tendangannya tidak mengena. Dia lipat gandakan
tenaganya. Kekuatan yang mendorong berubah berlipat ganda pula. Akibatnya Mira
jadi terpental dan jatuh ke tanah!
“Ah…. kau
bukan kawan yang baik untuk berolah raga! Kalau begitu duduk saja di tanah
sana! Dan ceritakan padaku mengapa kau muncul di sini seperti orang gila.
Memaki dan bicara yang bukan-bukan tentang muridku!”
Panas dan
marahnya Mirasani bukan kepalang. Cepat dia bergerak bangkit tapi astaga!
Seperti yang dikatakan si nenek dia hanya bisa duduk di tanah seolah-olah
pantatnya menjadi lengket! Betapapun dia berusaha mengerahkan tenaga untuk
berdiri tetap saja dia terduduk begitu rupa! Saking kesal akhirnya Mira hanya
bisa terisak menangis!
“Itu saja
kepandaian kaum perempuan! Menangis! Sungguh memalukan!”
mengejek
si nenek. “Tubuhmu boleh kaku tapi mulutmu tidak bisu! Ayo katakan maksud
kedatanganmu ke mari!”
“Aku
mencari muridmu nek….” Jawab Mirasani sesenggukan. “Sembilan bulan lalu kami
kawin….”
“Sembilan
bulan lalu! Lantas apa sekarang kau jadi bunting! Hik….hik….hik?!”
Mirasani
menggeleng. “Kalau sempat aku hamil, rasanya lebih baik mati saja!”
“Eh,
mengapa begitu?!” tanya Sinto Gendeng.
“Aku
menyesal menerimanya sebagai suami. Kalau saja aku tidak berkaul, tidak
dikalahkannya dalam pertandingan itu….”
“Tunggu
dulu! Kau bilang kau dikawini muridku sembilan bulan lalu! Betul….?”
“Betul….”
“Muridku
si Wiro Sableng itu?!”
Mirasani
mengangguk.
“Dusta
gila! Muridku betapapun edannya tak akan dia kawin begitu saja tanpa memberi
tahuku seperti anjing kawin di jalanan saja!”
“Kau
boleh tidak percaya! Tapi demi Tuhan aku tidak berdusta!” Lalu Mirasani
menuturkan bagaimana asal muasalnya sampai dia kawin dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Seribu
kali kau berkata aku tetap tidak percaya! Muridku tidak segila itu….”
“Terserah
padamu nek. Penuturanku belum habis. Beberapa bulan setelah kami kawin baru
kuketahui kalau dia ternyata seorang perampok dan pembunuh keji! Salah seorang
korbannya adalah guruku sendiri. Ki Demang Juru Gampit!”
“Ah! Ki
Demang Juru Gampit katamu?! Dia adalah sahabat lamaku!”
“Dan
bukan cuma guruku yang jadi korbannya. Banyak lagi tokoh-tokoh silat. Bahkan
dia juga membunuh Kiai Bangil Menggolo, ketua pesantren Tunggul Kencono!
Merampok! Menculik anak gadis orang lalu memperkosa dan membunuhnya…..!”
“Tidak….
Muridku tidak akan pernah jadi dajal seperti itu!” teriak Sinto Gendeng.
Tubuhnya yang sejak tadi duduk tiba-tiba saja berdiri. Ternyata nenek itu
tinggi sekali. Setelah berdiam diri sesaat maka Sinto Gendeng ajukan pertanyaan
“Apa maksudmu mencarinya….?!”
“Apalagi
kalau bukan membunuhnya! Dia meninggalkan diriku begitu saja! Membuat malu
kedua orang tuaku! Membunuh guruku…..”
“Kalau
begitu kau bermaksud hendak membunuh suamimu sendiri?!”
“Dia
bukan lagi suamiku, tapi iblis yang harus disingkirkan dari muka bumi!” jawab
Mirasani.
“Keliru….
Kau pasti keliru….” Si nenek gelengkan kepalanya. “Ada yang tidak beres. Pasti
ada yang tidak beres!”
“Kalau
ada yang tidak beres, itu adalah muridmu sendiri!” tukas Mirasani.
“Lepaskan
diriku dari pengaruh yang membuatku kaku ini!”
Sinto
Gendeng tidak acuhkan permintaan orang. Dia mendongak ke langit seolah-olah
merenung. “Kau tidak dapat membunuhnya. Tidak seorangpun dapat membunuhnya!”
Mirasani
mendengus. “Muridmu keparat itu bukan dewa bukan malaikat! Belasan tokoh-tokoh
silat dari delapan penjuru angin mencari dan mengejarnya! Semua ingin
membunuhnya! Dan kau tahu apa yang terjadi satu setengah bulan lalu? Beberapa
tokoh silat termasuk dedengkot bergelar Dewa Tuak berhasil mengepung muridmu
itu di kaki sebuah bukit! Memang dia berhasil kabur! Tapi dalam keadaan luka
parah dan senjata mustika miliknya yaitu Kapak Naga Geni 212 dirampas!”
Mendengar
kata-kata Mirasani itu berubahlah para Eyang Sinto Gendeng.
Beberapa
lamanya dia melangkah mundar mandir. Lalu berpaling pada Mira dan berkata “Aku
tidak senang melihatmu di sini! Aku tidak memerlukan dirimu! Pergilah!” Habis
berkata begitu si nenek lambaikan tangan kirinya lelu melangkah cepat-cepat
memasuki gubuk kayu, membanting pintu keras-keras.
Lambaian
tangan Sinto Gendeng tadi melenyapkan kekuatan aneh yang membuat Mirasani
menjadi kaku. Cepat dia bangkit. Sesaat dia memandang ke rah gubuk. Sadar kalau
tak satupun yang bisa dilakukannya terhadap si nenek, akhirnya Mira melangkah
ke tempat dia meninggalkan Guci, kuda coklatnya.
Di dalam
gubuk, Eyang Sinto Gendeng untuk beberapa lamanya duduk bersila pejamkan mata
seperti tengah bertepekur. Lalu dia angkat kepala, memandang ke sudut kamar di
mana tergantung sebuah sangkar berisi seekor burung merpati abu-abu bermata
merah.
“Jantan
Apik….” Begitu si nenek menyebut nama si burung. “Empat tahun lebih kau
menemani aku di sini dengan setia. Hari in kau boleh kembali ke tempat asalmu
di gunung Iyang. Ada satu pesan penting yang kau harus sampaikan pada sahabatku
Kunti Kendil…..”
Di dalam
sangkar Jantan Apik angguk-anggukkan kepalanya sambil mengeluarkan suara
menggeru terus menerus. Sinto Gendeng robek bagian terbersih dari pakaiannya
yang dekil. Dengan sepotong kayu berwarna merah dia menuliskan sesuatu di atas
potongan kain itu. lalu kain digulung dan diikatkan ke kaki kanan Jantan Apik.
Setelah mengelus-elus dan menciumi binatang itu, Sinto Gendeng membawanya ke
luar gubuk.
“Pergilah
Jantan Apik. Terbang tinggi-tinggi agar kau lekas sampai di pegunungan Iyang.
Sampaikan pesanku dan temui betinamu!”
Sinto
Gendeng lemparkan burung merpati itu ke udara. Jantan Apik melesat laksana anak
panah. Burung ini berputar tiga kali di atas kepala si nenek sebelum melayang
cepat ke arah timur.
****************
SEMBILAN
Sinto
Gendeng terbaring sakit di atas balai-balai kayu dalam gubuk. Dari mulutnya
kerap kali terdengar suara meracau seperti orang mengigau.
“Kalau
mati terbunuh anak itu akan ku obrak abrik dunia persilatan! Kalau mati anak
itu lihat saja….! Lihat saja….!” Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali.
Lalu “Ah,
mengapa tak ada yang datang. Padahal semua sudah kusiapkan!” Nenek itu
mengangkat tangannya yang memegang sebuah benda. Benda ini ternyata adalah
sebuah topeng yang terbuat dari bagian terhalus perut rusa betina. Sebulan yang
lalu dia sendiri yang menangkap seekor rusa di rimba belantara di kaki gunung
Gede, menyembelihnya dan mengambil usus besarnya. Usus itu dikeringkan lalu
dijadikan sebuah topeng yang jika dipakai oleh siapa saja tidak akan kentara
saking tipisnya.
“Satu
bulan sudah berlalu. Gila…. Tak ada yang muncul! Apakah Jantan Apik tidak
sampai ke sana….? Akan kutunggu tiga hari lagi…. Jika tak ada yang datang
terpaksa aku turun gunung merancah rimba persilatan, mencari anak itu! Kalau
sampai dia mati terbunuh akan ku obrak abrik dunia persilatan! Dewa Tuak…..
Dewa Tuak! Kau juga tak akan lepas dari hukumanku! Aku tidak yakin anak itu
melakukan semua kekejian itu! Aku tidak percaya. Otaknya mungkin sableng, tapi
hatinya seputih kapas! Aku tahu betul…. Aku tahu betul….”
Begitu
Sinto Gendeng meracau berkata-kata seorang diri hampir setiap hari. Dua hari
setelah itu, suatu pagi, belum pupus embun di dedaunan pintu gubuk tiba-tiba
terbuka. Sinto Gendeng palingkan kepalanya. Tiba-tiba laksana ada kekuatan yang
menyembuhkannya si nenek melompat bangkit, duduk di tepi balai-balai. Matanya yang
cekung memandang ke arah pintu yang terbuka, mulutnya yang perot menyeringai.
“Gusti
Allah! Kau kabulkan permintaan si tua bangka buruk ini! Terima kasih Tuhan!
Mahesa Edan! Memang kaulah yang kuharapkan datang….”
Orang
yang datang adalah seorang pemuda yang paling tinggi berusia sembilan belas
tahun. Wajahnya keren, tapi seperti mengantuk dan sebentar saja berada di situ
dia sudah tiga kali menguap!
“Mahesa….
Mendekat ke mari!” Sinto Gendeng melambaikan tangannya. Pemuda itu datang
mendekat. Lalu menjura “Eyang, teima salam hormatku!”
“Sudah!
Jangan memakai segala macam peradatan. Urusan kita lebih penting! Menyangkut
keselamtan dan jiwa muridku si Wiro Sableng! Sahabatmu!”
“Guru
menerima pesanmu yang dibawa Jantan Apik. Kebetulan saya berada di puncak Iyang
tengah menyambangi guru. Langsung saja guru memerintahkan saya ke mari….”
“Bagus…..bagus.
Semuanya sesuai dengan petunjuk dan kehendak Tuhan. Ada bantuan sangat besar
kumintakan padamu Mahesa….”
Mahesa
Edan menguap lebar-lebar. Sambil ucak-ucak matanya yang berair dia bertanya
“Katakan saja Eyang. Tugas darimu sama saja dengan tugas dari guruku Kunti
Kendil!”
“Kau
tentu sudah mendengar apa yang terjadi di dunia persilatan. Muridku si sableng
itu dituduh telah berubah menjadi dajal namaor satu. Merampok dan membunuh!
Menculik dan memperkosa….!”
“Memang
itu yang saya dengar Eyang! Tapi sulit dipercaya bahwa Wiro akan berbuat
seperti itu!”
“Itulah
yang tidak masuk akal bagiku Mahesa. Apapun yang terjadi anak sableng itu harus
diselamatkan. Ini kewajibanku sebagai guru. Untuk turun tangan sendiri dalam
usia yang uzur ini rasanya sudah tak sanggup. Apalagi sakit keparat ini
menyerangku sejak dua minggu lalu. Melihat kau datang sembuh rasanya
penyakitku….”
“Syukur
kalau Eyang bisa sembuh. Katakan apa yang bisa saya lakukan….”
“Kau
lihat benda di tanganku ini Mahesa?” Sinto Gendeng membeberkan benda yang
dipegangnya.
“Saya
melihatnya Eyang. Sehelai topeng aneh….”
Sinto
Gendeng lemparkan topeng itu ke arah Mahesa Edan murid Kunti Kendil seorang
nenek sakti yang diam di puncak gunung Iyang.
“Bawa
topeng itu, cari Wiro. Jika bertemu suruh dia mengenakan topeng itu!
wajahnya
akan berubah. Wajah aslinya akan tersembunyi. Dengan demikian tak ada lagi yang
akan mengenalinya . tak ada yang akan memburu dan menghadangnya! Kau bisa
mencari muridku itu bukan?!”
“Saya
akan melakukannya Eyang!”
“Bagus!
Nah, selagi hari masih pagi, pergilah!”
“Tidakkah
saya harus melakukan sesuatu untuk mengurangi penyakit Eyang?” tanya Mahesa
lalu kembali menguap.
“Aku
sudah sembuh!” jawab Sinto Gendeng lalu untuk pertama kalinya dia tertawa
cekikikan. Mahesa Edan merasakan tengkuknya dingin. Gurunya si Kunti Kendil
memiliki wajah sangat angker. Tapi nenek satu ini jauh luar biasa angkernya.
“Eyang tidak ada pesan-pesan lainnya untuk Wiro?”
Si nenek
merenung sejenak. Lalu berkata “Bilang padanya, dalam susah pergunakanlah akal,
dalam kesulitan putarlah otak. Tak ada yang dapat mengalahkan kebenaran akal
sehat dan otak cerdik!”
“Saya
akan sampaikan kata-kata Eyang itu padanya. Saya minta diri Eyang….”
Sinto
Gendeng menyeringai. Lalu anggukkan kepala.
“Pergilah
cepat. Berlarilah seperti dikejar setan. Hik…hik…hik…..”
Gadis
berpakaian ungu itu membuka kedua matanya, menatap langit-langit goa lalu
memasang telinga lebih tajam. Dia kembali menangkap suara itu. perlahanlahan,
tanpa suara dia mengeser tubuhnya mendekati sosok tubuh pemuda yang terbaring
di samping kirinya dan berbisik “Wiro, aku mendengar langkah orang mendekati
mulut goa!”
“Aku
juga. Sangat samar-samar. Pasti seorang berkepandiaan tinggi. Lekas tiup api
pelita….” Balas berbisik si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Saat itu dia berada di dalam sebuah goa bersama Anggini murid tunggal
Dewa Tuak. Setelah kehilangan Kapak Naga Geni 212 dan terluka parah di bagian
bahu, Wiro berhasil melarikan diri tanpa menyadari bahwa Anggini mengikutinya.
Sebenarnya gadis itu ikut bersama Dewa Tuak dan tujuh tokoh silat.
Namun
karena hatinya meragu bahwa Wiro benar-benar telah menjadi seorang manusia
jahat maka dia tidak turut mengeroyok si pemuda. Betapapun juga dia masih
mempercayai Wiro yang secaa diam-diam dicintainya. Ketika Wiro jatuh tersungkur
kelemasan dalam pelariannya, Anggini segera menolong muird Sinto Gendeng ini,
menaikkannya ke atas kuda yang sebelumnya memang telah ditinggalkannya di suatu
tempat. Walaupun tidak menyaksikan dengan mata kepala mereka namun tujuh tokoh
silat sama menduga bahwa Angginilah yang telah menolong menyelamatkan orang
yang mereka kejar. Kalau tidak masakan pemuda yang dalam keadaan terluka itu bisa
lenyap seperti itu. Akibatnya antara para tokoh dengan Dewa Tuak timbul rasa
saling tidak enak.
Lebih
dari sebulan Anggini merawat dan menyembunyikan Wiro di dalam goa itu hingga
lukanya sembuh. Berdampingan sekian lama membuat rasa cinta kasih Anggini
terhadap di pendekar bersemi kembali. Sebaliknya Pendekar 212 lebih banyak
menghormati sang dara dan merasa berhutang budi dan nyawa atas pertolongannya.
Selain itu Wiro menganggap bahwa saling menolong adalah hal biasa dan kewajiban
dalam dunia persilatan. Kalau saja pikirannya tidak kacau memikirkan keadaan
dan kapak mustikanya, mungkin murid Sinto Gendeng itu tidak akan seacuh itu.
Pada saat
Anggini meniup mati pelita di dalam goa, saat itu pula di mulut goa muncul
sosok tubuh seseorang. “Wiro! Aku tahu kau ada di dalam sana!” Orang di mulut
goa berseru.
Anggini
memberi isyarat agar Wiro tak menjawab. Lalu gadis ini membentak “Siapa kau?!”
Tak ada orang bernama Wiro di sini!”
Orang di
mulut goa terkejut karena tidak menyangka akan mendengar jawaban suara
perempuan.
“Jangan
berdusta, aku tahu Pendekar 212 Wiro Sableng ada di dalam sana!”
“Kau
pasti tidak tuli! Sudah ditanya mengapa tidak menerangkan diri?!” kembali
Anggini membentak.
“Namaku
Mahesa Edan! Aku sahabat Pendekar 212. Di utus oleh Eyang Sinto Gendeng untuk
menyerahkan sesuatu!”
Anggini
saling pandang dengan Wiro. “Mungkin orang itu menipu. Janganjangan salah satu
dari para tokoh yang mengejarmu….” Berbisik Anggini.
“Aku
seperti mengenali suaranya. Suruh dia masuk tiga langkah! Aku akan bersiap-siap
dengan pukulan Sinar Matahari….” Bisik Wiro. Lalu angkat tangan kanannya.
Terasa sakit di bekas luka yang baru sembuh. Wiro menggigit bibir dan berusaha
menahan sakit. Perlahan-lahan tangannya mulai tampak menjadi keputihan tanda
pukulan sakti itu muncul dan siap dipukulkan.
“Orang di
mulut goa!” seru Anggini. “Maju tiga langkah! Jika kau bukan Mahesa Edan jangan
menyesal mampus percuma di tempat ini!”
“Gila!
Kalian mencurigaiku!” memaki orang di mulut goa tapi dia masuk juga sejauh tiga
langkah.
Setelah
lebih dekat begitu rupa Wiro baru dapat melihat wajah orang itu agak jelas dan
dia segera mengenalinya.
“Sahabatku
Mahesa Edan! Selamat datang di tempat persembunyianku ini!”
berseru
Wiro lalu dia bangkit berdiri. Begitu berhadapan dua sahabat itu saling
berangkulan. Wiro memperkenalkan Anggini pada Mahesa Edan. Murid Kunti Kendil
ini tampak terheran-heran dan berkata “Adalah aneh! Gurunya si Dewa Tuak
kuketahui ikut bergabung dengan beberapa tokoh silat mengejarmu! Muridnya
justru menolongmu!”
“Pikiran
manusia berbeda-beda! Apa anehnnya!” sahut Anggini.
Mahesa
Edan menyeringai lalu menguap lebar-lebar.
“Bagaimana
kau tahu dan bisa mencariku di sini?” tanya Wiro.
“Aku
berhasil menyirap kabar dari beberapa sahabat. Setelah malang melintang hampir
satu bulan akhirnya sampai ke mari! Nasibmu malang betul sahabat! Betul bukan
kau yang jadi dajal penyebar maut dan segala kekejian yang diburu-buru orang
itu…..?!”
“Jika aku
percaya dia dajal yang kau maksudkan itu, sudah dulu-dulu kupenggal batang
lehernya!” Yang menjawab adalah Anggini.
“Ya….ya,
aku tahu. Hati seorang sahabat bisa lebih bersih menilai. Apalagi seorang
gadis. Hatinya tentu putih bersih…..”
Paras
Anggini memerah di kegelapan. Tanpa disuruh dia kemudian menyalakan pelita
kembali. Mahesa Edan kemudian menuturkan riwayat pesan yang disampaikan Eyang
Sinto Gendeng.
“Gurumu
meminta aku menyerahkan benda ini padamu dan harus segera kau pakai saat ini
juga!”
“Apa
itu….?” tanya Wiro.
“Topeng!”
jawab Mahesa Edan. Lalu diserahkannya topeng yang diselipkan di balik baju.
“Topeng….?
Buat apa?!” tanya Wiro lagi.
“Jangan
tolol! Saat ini mungkin ada dua lusin tokoh silat yang mencari dan ingin
membunuhmu! Tampangmu yang sableng itu dikenal di mana-mana! Apa kau masih bisa
petantang-petenteng di luar tanpa dikenali? Atau kau kira kau bisa bersembunyi
di goa ini sampai seratus tahun? Sampai kau dan sahabatmu ini jadi kakek dan
nenek?!”
Wiro
tertawa geli. Dia garuk-garuk kepalanya. “Aku mengerti…. Aku tahu apa maksud
Eyang Sinto Gendeng. Terima kasih kau telah menyampaikannya dengan bersusah
payah….” Wiro mengambil topeng itu, langsung memakaikannya ke wajahnya. Karena
topeng itu terbuat dari usus rusa yang sama warnanya dengan kulit muka Wiro,
sulit itu mengetahui kalau saat itu dia memakai topeng.
“Nah…nah….nah!
Setan atau malaikat sekalipun kurasa tidak akan mengenalimu lagi Wiro!” kata
Mahesa.
Diam-diam
Anggini memuji keahlian Eyang Sinto Gendeng membuat topeng seperti itu. Wajah
Wiro kini berubah sama sekali. Dia muncul sebagai pemuda lain!
“Ada
pesan dari gurumu Wiro. Beliau minta aku menyampaikan ucapan ini Dalam susah
pergunakan akal, dalam kesulitan putarlah otak. Tak ada yang dapat mengalahkan
kebenaran akal sehat dan otak cerdik!”
“Eh, apa
maksudnya itu?”
“Mana aku
tahu?” jawab Mahesa. “Nah, tugasku sudah selesai. Seharusnya aku bisa minta
diri saat ini. Tapi aku lebih suka kalau dapat menyaksikan akhir dari semua
kejadian ini! Siapa sebenarnya yang menjadi biang racun! Aku menyirap beberapa
potong kabar. Mungkin ada baiknya jika kukatakan padamu. Menurut kabar yang
terisar di rimba persilatan, pemuda yang malang melintang berbuat kejahatan itu
mengaku sebagai Pendekar 212 memang memiliki wajah serta cirri-ciri
sepertimu….”
“Gila!”
maki Wiro sambil kepalkan tinju.
“Bukan
itu saja! Dia juga memiliki pukulan sakti Sinar Matahari!”
Wiro
hampir terlonjak mendengar keterangan Mahesa Edan itu. “Ilmu kesaktian itu
hanya Eyang Sinto gendeng yang memilikinya! Jika ada orang lain yang
menguasainya berabrti dia mendapatkan dari guruku langsung….”
“Gurumu
tak pernah mengambil murid lain. Berarti dia tak pernah mengajarkan pada
siapapun ilmu pukulan Sinar Matahari itu….” ujar Mahesa Edan.
Wiro
garuk-garuk kepala. “Mungkin dia mencuri ilmu kepandaian itu…. Sulit dipercaya!
Apa sebenarnya yang terjadi!”
Setelah
berdiam sesaat Mahesa Edan melanjutkan bicaranya. “Para tokoh yang melakukan
pemburuan terhadap Pendekar 212 palsu selama ini tak satupun yang berhasil
menangkapnya hidup atau mati. Bahkan semua tokoh silat yang menghadangnya
dikalahkan dan dibunuh! Belasan korban telah jatuh….”
“Akupun
jadi korban tuduhan perbuatan bangsat itu!” ujar Wiro geram. “Ada lagi
keterangan lain yang hendak kau sampaikan Mahesa.”
Murid
Kunti Kendil mengagguk. “Diketahui bahwa Pendekar 212 palsu itu kabarnya
mempunyai seorang istri. Puteri seorang hartawan ternama yang tinggal di
sebelah timur Kotaraja! Sang istri kabarnya tengah mencari0carinya karena
meninggalkannya begitu saja dan membuat dirinya dan kedua orang tuanya malu
besar. Gurumu tidak menceritakan apa-apa tentang istri orang itu. tapi ada tersiar
kabar bahwa sekitar sebulan lalu istri Wiro palsu itu muncul di puncak gunung
Gede….”
“Mengapa
guru tidak menghajarnya?!” uajr Wiro seenaknya saking kesalnya.
“Perempuan
itu tidak punya salah apa-apa. Malah dia sengaja mencari suaminya untuk membunuhnya….”
Ujar Mahesa pula.
“Lalu apa
rencana para tokhon silat terhadap keparat itu?” bertanya Wiro.
“Semua
menduga bahwa dia meninggalkan istrinya begitu saja, tapi suatu ketika dia
pasti akan muncul untuk menyambanginya. Karena memang begitu sifat manusia.
Sesekali akan merasa rindu dan ingin berjumpa. Apalagi dia tidak mengetahu
kalau istrinya berniat menghajarnya sampai mati….”
“Kalau
begitu ada baiknya kita melakukan pengintaian di rumah kediaman istrinya….”
Ujar Wiro. “Bagaimana pendapatmu?”
“Justru aku
mendengar berita para tokoh silat yang mengejar akan melakukan hal yang sama.
Jika kita ikut muncul di sana, kita harus berhati-hati….”
“Kenapa
harus berhati-hati? Bukankah mereka tidak mengenali tampangku lagi?! Aku harus
datang ke sana! Mereka merampas Kapak Naga Geni milikku!”
“Aku ikut
bersamamu! Ingin aku melihat sampai di mana kehebatan pendekar itu, yang mampu
menjatuhkan semua tokoh silat!” berkata Mahesa.
“Aku juga
ikut!” berkata pula Anggini.
“Jika
Dewa Tuak ada di sana, kau akan dicurigainya! Dia pasti menanyakan ke mana kau
menghilang satu bulan lebih dan apa saja yang kau lakukan!” Wiro bicara sambil
menatap paras gadis jelita berbaju ungu itu.
“Soal
guruku si Dewa Tuak itu, serahkan saja padaku! Pokoknya aku harus ikut!”
Wiro
pegang bahu Mahesa Edan dan Anggini. Lalu berkata dengan suara agak tercekat.
“Aku merasa bersyukur dan berterima kasih. Ketika semua orang di dunia ini
mengutuk dan menginginkan kematianku, ternyata masih ada dua orang sahabat yang
berpolos hati mau menolong dan ikut bersamaku….”
Mahesa
Edan balas menepuk bahu sahabatnya dan menajwab “Ada sumpah tak terucap di
antara para pendekar dunia persilatan. Makan satu piring, tidur di tikar yang
sama, mati satu kubur dalam membela kebenaran!”
****************
SEPULUH
Rumah besar
tempat kediaman hartawan Suto Klebet tampak sepi, kosong dan gelap. Sejak
peristiwa menghebohkan hampir setahun silam, yaitu dimulai dengan perampokan
dan pembunuhan atas diri janda almarhum Tumenggung Campak Wungu serta perginya
Mirasani tanpa diketahui arah tujuannya, maka Suto Klebet telah mengajak
istrinya pindah ke rumah mereka yang lain jauh di pedalaman. Rumah besar yang
ditinggalkan dalam keadaan tidak terawat itu bukan saja kini menjadi sunyi dan
kotor, tapi jika malam hari diselimuti kegelapan hampir tak beda dengan sebuah
rumah hantu.
Selama
enam bulan pertama memang ada seorang tua yang menjagai rumah itu, namun
kemudian penjaga ini pulang ke kampungnya, hanya sesekali saja menengoki rumah
tersebut. Itupun hanya melihat-lihat belaka, tidak membersihkannya atau
melakukan apa-apa.
Suatu
hari, ketika malam baru saja turun di saat kebetulan penjaga tua itu tengah
menengok rumah tersebut dan bersiap-siap untuk pergi, seorang penunggang kuda
tampak muncul di pintu gerbang. Orang ini beberapa lama berdiam diri saja dekat
pintu itu seperti merasa ragu apakah akan masuk ke dalam atau tidak. Walaupun
gelap tapi si penjaga tua segera mengenali siapa adanya penunggang kuda itu.
Buruburu dia mendatangi seraya berseru dan menjura.
“Den Ayu
Mirasani! Ya Gusti Allah…. Akhirnya den ayu kembali juga….”
Si
penunggang kuda memang adalah Mirasani, puteri satu-satunya hartawan Suto
Klebet yang diperistrikan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng palsu.
“Apa yang
terjadi dengan rumah besar ini….?” tanya Mirasani dengan suara bergetar. Si
penjaga menuturkan dengan cepat.
“Kedua
orang tua den ayu kini tinggal di rumah di desa Keminung. Saya siap
mengantarkan den ayu ke sana….”
“Tidak
perlu. Selama rumah ini kosong apakah ada orang yang datang kemari?”
“Banyak
den ayu! Banyak sekali!”
“Apa
maksudmu banyak? Siapa-siapa mereka?”
“Saya
tidak tahu siapa mereka. Semua tak ada yang menerangkan diri masingmasing.
Tapi saya
tahu mereka adalah orang-orang kalangan persilatan. Tampang dan pakaian mereka
aneh-aneh….”
“Apa yang
mereka perbuat di sini?”
“Mereka
menanyakan den ayu. Tapi yang paling banyak menanyakan suami den ayu. Karena
saya memang tidak tahu maka saya jawab tidak tahu. Dua bulan lalu suami den ayu
juga muncul di sini. Kebetulan saya berada di sini….”
Kagetlah
Mirasani “Dua bulan lalu….? Apa yang diperbuatnya di sini….?’
“Hanya
melihat dan memeriksa sebentar. Lalu pergi. Tapi dia ada meninggalkan pesan.
Pada malam hari, hari kelima bulan lima dia akan datang lagi ke mari. Dia
berpesan jika saya bertemu dengan den ayu agar mengatakannya pada den ayu….”
“Hari
kelima bulan lima. Itu besok malam!” desis Mirasani.
“Astaga!
Betul sekali den ayu! Saya sampai lupa menghitung hari! Untung sekali den ayu
muncul saat ini hingga saya tidak melalaikan amanat suami den ayu!”
“Jangan
sebut-sebut dia suamiku! Sejak satu tahun lalu keparat itu bukan lagi suamiku!”
kata Mirasani lalu turun dari kudanya. “Sembunyikan kuda ini di kebun, lalu kau
boleh pergi….” Mirasani melangkah menuju ke rumah besar. Masih terheran-heran
mendengar ucapan Mirasani tadi, tanpa berani berkata apa-apa si penjaga tua
menuntun Guci menuju kebun jauh di belakang rumah besar yang gelap dan sunyi.
Hari
kelima di bulan kelima adalah hari Jum’at kliwon! Sejak sore huja turun
rintik-rintik. Cuaca gelap dan dingin. Kesunyian yang mencengkam sesekali
dirobek oleh suara halilintar yag menggelegar di kejauhan. Sebuah kamar yang
terletak di samping kanan rumah besar tiba-tiba tampak merambas sinar terang.
Lalu pada
beberapa pohon besar yang banyak mengelilingi tempat itu terdengar suara
berbisik-bisik. “Ada orang menyalakan lampu….”
“Ya, kita
lihat saja….” Ada jawaban berbisik.
“Apa yang
ktia lakukan sekarang? Langsung menggerebek…..?” terdengar suara berbisik
lainnya.
“Jangan
tolol! Siapapun yang menyalakan lampu, dia pasti bukan orang yang kita cari.
Tunggu saja…..” Lalu terdengar suara cegluk-cegluk…. Suara seperti seseorang
tengah minum dengan lahap.
Malam
merayap terus. Semakin larut semakin dingin dan tambah gelap.
“Ah…..
jangan-jangan bangsat itu tidak datang. Dia hanya sengaja menyebar kabar
tipuan….” Kembali terdengar suara berbisik di atas sebuah pohon.
“Mungkin…..
Sekarang sudah hampir lewat tengah malam. Biar kita tunggu saja sampai
menjelang pagi. Paling tidak sampai orang yang menyalakan lampu pergi dari
sini…..”
“Apapun
yang terjadi kita semua harus tetap di sini. Aku yakin bangsat itu akan muncul
di tempat ini. dia tak akan dapat melupakan istrinya yang cantik itu. Walaupun
sang istri akan menghadangnya dengan senjata di tangan!”
Suara
bisik-bisik lenyap. Suasana kembali sunyi
Tiba-tiba.
“Ada orang datang!”
“Aih….
Memang bangsat itu! Aku kenal sekali tampangnya…..!” Cegluk cegluk cegluk…..
“Tunggu sampai dia berada di jurusan kamar yang terang….”
Dari arah
pintu gerbang rumah besar tampak melangkah cepat sesosok tubuh berpakaian
putih. Rambutnya yang godrong menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin malam.
Orang ini melangkah sambil memandang berkeliling, lalu cepat bergerak ke
jurusan rumah yang terang dan berhenti di depan sebuah jendela yang tertutup
rapat. Di sini orang ini kembali memandang berkeliling. Lalu terdengar suara
orang ini memanggil perlahan.
“Mira…..
Kau di dalam kamar….?” Sepi. Tak ada jawaban.
“Mira….
Aku suamimu. Wiro!” orang di depan jendela kembali memanggil.
Lampu di
dalam rumah tiba-tiba padam. Bersamaan dengan itu jendela yang tertutup di
tendang orang dari dalam hingga hancur berantakan dan terpentang lebar.
Satu
bayangan melompat melewati jendela. Satu bentakan menggeledek di kegelapan
malam.
“Manusia
dajal! Aku bukan istrimu! Kau bukan suamiku! Kau manusia penipu! Rampok besar,
pembunuh dan pemerkosa! Kau datang kemari menerima mampus!”
Begitu
menjejak tanah orang yang melompa langsung menyerang lelaki yang berada dekat
jendela.
“Mira…..
Tenang?! Kau tahu, apapun yang kau lakukan tak bakal dapat mengalahkanku! Mari
kita bicara dulu secara baik-baik….”
“Bicaralah
nanti dengan malaikat maut!” teriak si penyerang yang bukan lain adalah
Mirasani. Di tangan kanannya kini terhunus sebilah pedang berkilat! Di atas
pohon terdengar suara berbisik penuh tegang.
“Memang
dia!”
“Nyalakan
obor dan kurung tempat ini!”
Lalu
terdengar suara suitan keras sebagai tanda.
Selusin
obor tiba-tiba menyala. Lima di atas pohon, tujuh lainnya di bawah di antara
semak belukar. Serta merta tempat itu menjadi terang benderang oleh cahaya
obor. Dan bukan itu saja. Lebih dari selusin orang telah mengurung halaman
samping di mana Mirasani dan si gondrong berpakaian putih berada. Keduanya
terkejut bukan kepalang. Tapi ada lagi tiga orang yang lebih terkejut dan
saling pandang. Ketiganya adalah Wiro Sableng, Anggini dan Mahesa Edan yang
sejak tadi berada pula di tempat itu dan bersembunyi di tempat gelap. Begitu
cahaya obor membuat halaman samping itu terang benderang dan wajah si gondrong
berpakaian putih kelihatan jelas, Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini
mengenakan topeng tipis jadi melengak kaget luar biasa. Potongan tubuh dan
wajah si gondrong di seberang sana sama sekali dengan dirinya!
“Gila!
Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak dilahirkan kembar! Mengapa bangsat itu
sama sekali tampangnya dengan diriku?!” Wiro garuk-garuk kepala dan tangannya
yang lain mengusap wajahnya sendiri. Namun dia tidak bisa tenggelam dalam
keheranan itu karena di depan sana para tokoh silat yang telah mengurung sudah
bersiap-siap membuat perhitungan. Mereka adalah Lor Gambir Seta murid si Raja
Penidur, Malaikat Tangan Besi dari Puputan lalu Pendekar Besi Hitam, Menak
Jelantra alias Harimau Pemakan Jantung, Pengemis Hantu, Dewa Tuak dan ada lagi
beberapa orang yang tak dikenal tapi dari cirri-ciri mereka jelas menunjukkan
semuanya adalah orang-orang silat berkepandaian tinggi!
“Setan
dari mana yang malam-malam buta kesasar ke tampat ini?!” membentak Mirasani
sementara Wiro palsu suaminya tampak tegak tercekat.
Dewa Tuak
maju satu langkah. Matanya sejak tadi menatap si gondrong tanpa berkesip.
“Urusan kapiran!” katanya dalam hati. “Tidak mungkin ada dua manusia bernama
Wiro Sableng di atas dunia ini! tapi mataku menyaksikan sendiri manusia satu
ini sama sekali dengan murid si Sinto Gendeng itu!” Lalu Dewa Tuak berpaling
pada Mirasani. Setelah berdeham beberapa kali diapun menjawab.
“Kami
bukan setan-setan kesasar perempuan muda! Seperti kaupun kami muncul di sini
untuk minta nyawa busuk suamimu itu! Kami datang dua belas orang, tiga belas
dengan dirimu! Rasanya cukup pantas nyawa dajal ini dibagi tiga belas….!”
“Persetan
siapapun kalian! Kalian tidak layak berada di sini! Soal nyawanya hanyalah aku
yang berhak membunuhnya!” jawab Mirasani.
“Perempuan
sundal!” tiba-tiba nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Raga muncul. Sejak tadi
dia sengaja berlindung di tempat gelap. “Jangan bicara besar di depanku! Kau
pura-pura berseteru dengan dajal itu padahal aku tahu kau pasti akan
membelanya! Jika itu kau lakukan, kau akan mampus bersamanya!”
“Nenek
busuk bermulut kotor!” balas membentak Mirasani. “Siapa kau?!”
“Siapa
aku tak perlu bagimu. Tapi suamimu itu telah menculik dan memperkosa muridku
Sintorukmi lalu membunuhnya secara biadab! Katakan apakah kau lebih layak dari
aku untuk membunuhnya?! Katakan! Bangsat haram jadah!”
Tidak
tahan membendung amarah dan dendam kesumat si nenek langsung menyerang Wiro
Sableng palsu dengan senjatanya yaitu sebilah arit. Senjata inilah yang tempo
hari berhasil melukai bahu Wiro asli.
Melihat
orang menyerang, Wiro palsu cepat berkelebat mengelak. Sepasang matanya
memperhatikan gerakan orang. Dua kali lagi si nenek menyerbu. Dua kali pula
Wiro palsu berhasil selamatkan diri. Memasuki jurus keempat, dari sikap
bertahan tiba-tiba Wiro palsu kirimkan serangan balasan dan buk….buk… Tinju kiri
kanan melabrak dan dan perut si nenek hingga perempuan tua ini terjungkal
megapmegap, merangkak di tanah tak bisa berdiri beberapa lamanya!
Belasan
pasang mata terbeliak besar. Dewa Tuak sampai ternganga heran. Arit Sakti
Pencabut Raga bukanlah tokoh silat kemarin. Selama bertahun-tahun dia dianggap
sebagai dedengkot persilatan di daerah barat kali Brantas. Adalah tidak dapat
dipercaya, dalam keadaan memegang senjata andalannya dia dapat dirobohkan hanya
dalam empat jurus!
Berhasil
merobohkan lawan, semangat keberanian Wiro palsu berkobar. Dia memandang
bekeliling lalu berkata “Kalian semua tokoh-tokoh silat gila keblinger! Muncul
dengan membawa maksud keji untuk membunuhku! Apa yang telah kulakukan? Kalian
pandai mengarang fitnah! Kalaupun aku mati di tangan kalian, guruku Sinto
Gendeng tidak akan berlepas tangan!”
“Anjing
kurap! Pemuda jahanam itu menyebut guruku sebagai gurunya!” maki Wiro Sableng
asli sambil kepalkan tinju. Dia hampir hendak melompat kalau tidak ditahan oleh
Mahesa Edan dan Anggini.
Terdengar
kembali suara Wiro palsu “Kalian datang beramai-ramai. Mengeroyok! Itukah jiwa
kesatria manusia-manusia yang katanya tokoh persilatan?! Kalau kalian memang
jantan mari berkelahi satu lawan satu sampai seribu jurus!”
“Manusia
iblis! Aku lawanmu yang pertama!” teriak Pendekar Besi Hitam sambil
melintangkan tongkat bsei hitam di depan dada.
“Hemm…..
Aku tidak kenal padamu!” ujar Wiro palsu sambil memperhatikan pendekar muda itu
dengan pandangan merendahkan “Fitnah apa yang hendak kau tuduhkan padaku?!”
“Aku
Pendekar Besi Hitam! Setahun lalu kau merampok rumah kediaman bibiku janda
almarhum Tumenggung Campak Wungu. Kau juga yang kemudian membunuhnya dan
meninggalkan tanda 212 di dinding kamar!”
“Fitnah
keji! Aku tidak akan membiarkanmu hidup!” teriak Wiro palsu. Dia seperti hendak
menyerang tapi kedua kakinya tetap tak bergerak. Justru saat itu Pendekar Besi
Hitam sudah mendahului dengan menghantamkan tongkat besinya ke arah kepala Wiro
palsu. Yang diserang cepat mengelak dan keluarkan suara tawa mengejek.
“Tongkat
Dewa Memukul Puncak Gunung!” seri Wiro palsu.
Kagetlah
Pendekar Besi Hitam ketika mendengar lawan menyebut jurus serangan yang barusan
dilakukannya.
“Ha….ha!
Ayo keluarkan seluruh kepandaianmu! Kalau tidak seelum empat jurus kau akan
melosoh di tanah!”
Dengan
hati terbakar dan muka mengelam Pendekar Besi Hitam membentak garang lalu
menyerbu kembali. Tongkat besinya mengeluarkan suara menderu dan memancarkan
sinar hitam redup tanda dia telah mengerahkan tenaga dalam untuk menyerang itu.
“Tongkat Sakti
Menusuk Karang….! Tongkat Sakti Membobol Bendungan….” Mulut Wiro palsu tiada
hentinya menyebutkan jurus-jurus serangan yang dimainkan lawan sementara kedua
matanya hampir tidak berkesip melihat gerakan Pendekar Besi Hitam. Memasuki
jurus kelima tiba-tiba Wiro palsu membuat gerakan aneh. Terdengar kemudian dia
berseru “Lihat! Aku akan menggebukmu dengan jurus silatmu sendiri!”
Tubuh
Wiro palsu meliuk ke kanan lalu melesat ke depan. “Tongkat Sakti Menusuk
Karang!” teriaknya lalu memainkan jurus serangan yang tadi dilancarkan lawan
walaupun hanya menggunakan tangan. Pendekar Besi Hitam terkejut sekali melihat
kejadian itu. Lawan bukan saja memainkan jurus tongkat sakti menusuk karang itu
dengan sempurna, malahan gerakannya lebih cepat dan ganas. Lalu buk!
Pendekar
Besi Hitam terlontar dua tombak sambil semburkan darah segar dari mulutnya.
Tulang dadanya hancur. Tubuhnya melingkar di tanah, entah mati dntah pingsan!
Dewa Tuak
tak dapat menahan hatinya lagi. Sambil memegang bumbung bambu di tangan kiri
dia berkata “Mari layani aku sejurus dua jurus….”
Wiro
palsu tertawa lebar. “Sudah tua bangka begini masih saja mencampuri urusan
dunia!”
Dewa Tuak
ganda tertawa mendengar ejekan itu lalu teguk tuaknya dua kali. Saat itulah
Menak Jalantra alias Harimau Pemakan Jantung maju mendahului.
“Dewa
Tuak, biarkan aku yang menghajar dajal keparat ini. akan kucincang tubuhnya
sampai lumat!” Sret! Habis berkata begitu Harimau Pemakan Jantung cabut golok
saktinya yang berhulu kepala harimau. Melihat orang memaksa, dengan sabar Dewa
Tuak terpaksa mundur.
****************
SEBELAS
Wiro
palsu agak tercekat ketika melihat sinar angker yang memancar dari golok lawan
yang berpakaian serba hitam dan mengenakan caping bambu itu.
“Perkenalkan
dirimu agar aku bisa menghajarmu pada bagian-bagian tubuhmu yang empuk!”
Terpancing
oleh kata-kata mengejek Wiro palsu Harimau Pemakan Jantung sebutkan gelarnya.
Begitu mendengar gelar orang, Wiro palsu tertawa bergelak.
“Kau
rupanya. Jurus apa yang hendak kau keluarkan manusia harimau bercaping bambu?
Jurus harimau keluar dari goa, jurus harimau mencengkeram bola dunia atau jurus
macan tutul menyamar rembulan….?”
Kagetlah
Harimau Pemakan Jantung begitu mendengar lawannya menyebutkan jurus-jurus
paling rahasia dari ilmu silatnya.
“Bagus!
Kau bisa menyebut jurus-jurus itu dank au akan mampus dalam jurusjurus itu!”
Harimau Pemakan Jantung mengembor. Suara gemborannya tak beda seperti suara
harimau menggereng. Tubuhnya berkelebat, langsung lenyap dan kini hanya sinar
goloknya yang tampak berputar.
“Golok
Sakti Memburu Harimau Sesat!” teriak Wiro palsu menyebut jurus pembuka serangan
yang dilancarkan lawan. Lalu tubuhnya menyelusup ke kiri.
Sungguh
luar biasa, dia dapat berkelit dari serangan yang ganas itu padahal Harimau
Pemakan Jantung telah meyakini jurus itu selama bertahun-tahun. Dengan
kertakkan rahang dia kembali memburu. Enam jurus berlalu cepat. Tubuh Wiro
palsu terbungkus sinar golok dan tampaknya dia tidak bisa berbuat suatu apa.
“Kurang
ajar!” Wiro palsu menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Tibatiba dia berseru
keras. Tubuhnya melesat ke kiri, di arah mana Mirasani berdiri.
Sebelum
tahu apa yang terjadi tahu-tahu Mira merasakan pedang yang dicekalnya terlepas
dari tangannya. Di lain kejap di depan sana Wiro palsu tampak sudah berdiri memegang
pedang dan menghambur menyongsong serangan Harimau Pemakan Jantung. Tapi dia
sama sekali tidak berusaha dekati lawan, melah dari tempatnya berdiri dia mulai
mainkan jurus-jurus ilmu silat lawannya sendiri! Hal ini membuat lawan bukan
saja kaget tapi juga bingung karena tak tahu hendak keluarkan jurus apa untuk
membobolkan jurusnya sendiri!
“Kau
takut? Mengapa diam saja?!” Wiro palsu mengejek.
“Mampus!”
teriak Harimau Pemakan Jantung lalu menyerbu dengan jurus simpanan yaitu Datuk
Harimau Membelah Jantung. Tapi di depan sana tiba-tiba lawannya bergerak
menghantam dengan jurus harimau keluar dari goa lalu macan tutul menusuk
matahari!
Harimau
Pemakan Jantung seperti tak berdaya dalam ketersiapannya. Pedang di tangan
lawan menusuk deras pada leher di bagian bawah dagunya! Tokoh silat ini
keluarkan suara seperti ayam dipotong, darah menyembur lalu roboh ke tanah.
Kakinya menggelepar-gelepar sesaat setelah itu tak berkutik lagi alias mati!
Wiro
tersentak. Bukan ngeri melihat kematian itu tapi karena ingat si Harimau
Pemakan Jantung itulah yang dulu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang terlepas
dari tangannya ketika dia dikeroyok habis-habisan!
“Gila!”
terdengar suara Mahesa Edan. “Jika begini terus-terusan tokoh silat yang ada di
sini bisa mati konyol semua!” Dia berpaling pada Wiro yang masih memikirkan
kapak saktinya. “Bagaimana pendapatmu Wiro?!”
“Manusia
satu ini memang luar biasa. Tapi tunggu, aku ingat pesan guru yang kau
sampaikan. Dalam susah pergunakan akal. Dalam kesulitan putar otak. Tak ada
yang dapat mengalahkan kebenaran akal sehat dan otak cerdik! Jelas si gondrong
yang punya tampang sepertiku itu memiliki akal dan otak cerdik….”
“Maksudmu…..?”
tanya Anggini.
Wiro asli
garuk-garuk kepala. “Dia memang luar biasa. Tapi kalian saksikan sendiri. Semua
ilmu silat yang dikeluarkannya bukan kepandaian dia sendiri. Tapi dia justru
memainkan jurus-jurus silat lawan. Dia menirukannya. Ada sesuatu yang rahasia
di balik keluar biasan itu!”
“Apa
maksudmu…..?” tanya Mahesa Edan tak mengerti.
Wiro
kembali menggaruk kepala dan usap mukanya yang tertutup topeng.
“Maksudku…..enggg…..
Pernahkah kau memikirkan bagaimana kalau kita diserang lawan dengan ilmu silat
kita sendiri? Kita akan kelabakan! Karena kita memang tidak pernah mempelajari
bagaimana cara bertahan jika diserang ilmu silat sendiri. Selama ini semua ilmu
silat hanya memusatkan pada bagaimana jika diserang oleh ilmu silat lain. Tentu
saja memang begitu karena mana ada pikiran senjata mau makan tuannya sendiri!
Kenyataanya kita melihat bangsat yang punya tampang sepertiku itu merobohkan
lawan-lawannya dengan mengandalkan ilmu silat lawannya! Dia sendiri mungkin
tidak memiliki dasar ilmu silat yang andal. Dia hanya memiliki akal dan otak
cerdik! Persis seperti kata Eyang Sinto Gendeng!”
“Kalau
begitu apa yang akan kita lakukan. Semua orang yang ada di sini termasuk kita
pasti akan dikalahkannya jika berani menghadapinya!” berkata Anggini.
“Tunggu
dulu, apa yang aku rasakan belum kusampaikan semua,” kata Wiro pula. “Ada satu
keanehan dalam ilmu silat yang dimainkan orang itu. Dia tak pernah melakukan
serangan pertama kali. Tidak pernah berani melakukan bentrokan senjata. Juga
seperti menghindarkan bentrokan tangan! Mungkin dia tidak memiliki tenaga
dalam….”
“Mustahil!”
bantah Mahesa. “Kalau tidak memiliki tenaga dalam mengapa dia mampu melepaskan
pukulan sakti sinar matahari yang menghanguskan itu!”
“Itu yang
kepingin aku menyaksikannya!” kata Wiro.
“Aku
berminat sekali untuk menjajalnya!” kata Mahesa Edan pula.
“Aku
juga!” berkata Anggini.
“Tunggu,
kita diam saja di sini sambil menyaksikan beberapa gebrakan lagi….”
“Kalau
hanya diam, dua atau tiga tokoh silat lagi pasti akan dihancurkannya. Aku tak
mau guruku ikut jadi korban!” ujar Anggini.
Wiro
garuk-garuk kepala. Di depan sana dilihatnya Dewa Tuak dan Pengemis Hantu
beserta yang lainnya bergerak dalam bentuk lingkaran, mengurung Wiro palsu.
“Kalian
hendak mengeroyokku?! Pengecut!” teriak Wiro palsu yang melihat gelagat
berbahaya itu.
Saat
itulah Wiro menghambur dari tempat persembunyiannya.
“Tak ada
yang akan mengeroyokmu Wiro! Aku yang akan menghadapimu.
Sendirian!
Satu lawan satu!” Wiro asli menyeruak di antara para tokoh silat langsung
menghadapi Wiro palsu dalam jarak lima langkah.
“Siapa
pula kau anak muda! Wajahmu sepucat mayat! Belum kugorok lehermu kau sudah
kelihatan seperti tidak berdarah!”
Wiro asli
menyeringai. “Aku pacar istrimu itu. sejak kau meninggalkannya satu tahun
silam, dia telah mengambilku jadi pacar, jadi kekasihnya!”
“Edan,
apa-apaan si Wiro itu…..!” bisik Anggini pada Mahesa Edan.
“Pemuda
kurang ajar! Kenalpun tidak! Berani kau mempermalukan aku! Mengatakan aku
kekasihmu! Pacarmu!” Mirasani marah sekali sedang Wiro palsu tampak terkesiap
sambil usap-usap dagu. Hati kecilnya bertanya-tanya apa betul pemuda pucat
berambut gondrong ini kekasih istrinya? Meski jelas tadi Mirasani membantah
dengan marah tapi bukan mustahil ada semacam sandiwara dengan kemunculan si
muka pucat ini!
“Jika kau
mengaku kekasih istriku, lantas apakah ada silang sengketa di antara kita?”
bertanya Wiro palsu.
“Pasti
ada! Karena setelah satu tahun kabur tiba-tiba kau muncul di sini! Kangen atau
kebelet pada isterimu hah?! Sebagai seorang kekasih aku akan mempertahankan
dirinya. Kau boleh angkat kaki dari sini!”
“Kau
memintaku pergi! Kau takut menghadapiku!” ujar Wiro palsu seraya rangkapkan
tangan di muka dada.
Wiro asli
juga rangkapkan kedua tangan di dada. “Siapa takutkan dirimu! Jika kau memang
punya nyali silahkan menyerang lebih dulu. Kau mau keluarkan jurus apa? Jurus
kunyuk melempar buah? Atau orang gila mengebut lalat? Atau benteng topan
melanda samudera, atau jurus membuka jendela memandang rembulan yang romantis
itu? ha….ha…..ha…!” Wiro sebutkan jurus-jurus ilmu silatnya sendiri lalu
tertawa gelak-gelak. Di depannya Wiro palsu tampak membesi tampangnya. Hatinya
panas. Tapi dia tetap tak bergerak di tempatnya. Diam-diam hatinya
bertanya-tanya.
Siapa
sebenarnya pemuda ini. Mengapa dia tahu jurus-jurus silat Pendekar 212 dan
apakah dia benar-benar menyangkanya sebagai sebagai Wiro Sableng asli murid
Sintto Gendeng dari Gunung Gede?
“Hai! Kau
melamun! Atau memang tak berani melawanku!” Wiro asli berseru.
“Keluarkan
seluruh kepandaianmu. Silahkan kau memilih bagian tubuhku yang paling lunak!”
sahut Wiro palsu dan tetap saja dia tidak bergerak di tempatnya.
“Bangsat
satu ini tidak bisa dipancing rupanya!” kata Wiro dalam hati. Lalu diapun mulai
pasang kuda-kuda sementara para tokoh yang ada di situ seperti terlupa akan
urusan besar mereka dengan Wiro asli, dan hanya tegak memperhatikan apa yang
terjadi.
Perlahan-lahan,
dengan gerakan yang amat jelas Wiro mulai mainkan beberapa jurus serangan. Tapi
dianya sendiri sama sekali tidak melakukan serangan, hanya bersilat di tempat.
Lalu sambil bersilat dia menyebutkan jurus-jurus yang dilakukannya itu.
“Jurus
Anjing Buduk Kawin Di Pasar!” seru Wiro. Kedua tangannya dihimpitkan satu sama
lain, ditusukkan ke depan lalu mulutnya keluarkan suara menggonggong. “Lihat,
jurus Monyet Tua Kegatalan!” Lalu Wiro mencak-mencak sambil kedua tangannya
menggaruk ke seluruh bagian tubuhnya mulai dari kepala sampai selangkangan!
“Dan ini jurus Nenek Sakti Kencing Di Bawah Pohon!” Kali ini Wiro nampak
berjingkrak-jingkrak lalu mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki celananya seperti
perempuan menyingsingkan kain, setelah itu dia duduk berjongkok dengan kaki
terkembang dan dari mulutnya terdengar suara menirukan perempuan kencing
Serrrr….serrrr……serrrr. Suasana yang tadinya tegang kini berubah. Beberapa
orang tersenyum-senyum menahan geli.
“Kawan
kita itu sudah gila agaknya!” Anggini berkata pada Mahesa.
“Jurus-jurus
itu! Aku tahu betul itu bukan jurus silat Eyang Sinto Gendeng! Apa sebenarnya
dilakukan pendekar konyol itu!”
Dewa Tuak
tampak komat kamit. “Dalam dunia persilatan hanya ada satu pendekar konyol lucu
seperti ini. Ah, apakah dia ……Jangan-jangan…..” Orang tua sakti itu memandang
ke arah Wiro palsu dan Wiro asli. Dia melihat dua persamaan.
Pakaian
putih dan rambut gondrong! Tapi wajah jauh berbeda. Ini membuat kembali si
kakek menjadi meragu.
“Hai! Ayo
serang diriku! Jangan bengong saja!” Wiro asli berteriak pada Wiro palsu.
Wiro
palsu menyeringai. Walaupun orang tampak seperti mempermainkannya tapi sepasang
matanya tidak berkesip memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh si
gondrong di depannya itu.
“Manusia
pengecut! Kau hanya berani jual lagak memperagakan ilmu silat picisan. Tapi
sama sekali tak berani menyerangku! Menyingkir dari hadapanku!” membentak Wiro
palsu.
Wiro asli
tampak marah. “Pengecut?! Aku pengecut katamu! Lihat, akan kupecahkan kepalamu
dalam tiga jurus!: Wiro berkelebat. Kedua kakinya menggelusur di tanah, kedua
tangannya yang dihimpitkan satu sama lain ditusukkan ke depan.
“Jurus
pertama!” serunya. “Anjing buduk kawin di pasar!”
Sesaat
Wiro palsu kaget karena dia dapat merasakan tusukan dua tangan yang saling
berhimpit itu menebar hawa tenaga dalam yang kuat. Tapi dia tidak takut. Dia
sudah melihat jelas setiap liku gerakan lawan. Sambil maju selangkah dia
berseru “Aku akan menghancurkanmu dengan jurusmu sendiri!” Lalu diapun
berkelebat mengirimkan serangan dalam jurus anjing buduk kawin di pasar itu.
ternyata gerakannya lebih sebat. Tusukan kedua tangannya datang menghujam lebih
dulu ke arah kepala Wiro asli!
“Celaka!”
seru Anggini.
“Ah! Dia
akan kena gebuk karena kekonyolannya sendiri!” Mahesa Edan ikut keluarkan
seruan dan siap melompat dari persembunyiannya untuk membantu.
Tapi apa
yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan semua orang. Didahului oleh suara
tawa bergelak, Pendekar 212 Wiro Sableng asli tampak membuang diri ke samping.
Apa yang disebut jurus “anjing buduk kawin di pasar” itu lenyap sama sekali.
Kini kelihatan satu gerakan silat yang mantap. Tubuhnya merunduk, tangan
kanannya menderu ke depan.
“Jurus
Kunyuk Melempar Buah!” teriak Wiro asli.
Wiro
palsu terkejut sekali. Sadar kalau dirinya tertipu oleh jurus palsu yang
dipakai menyerang tadi dia cepat merubah gerakan, meniru gerakan serangan yang
kini dilepaskan Wiro. Tapi kali ini dia sial dan terlambat.
Bukkk!
Wiro
palsu menjerit keras. Tubuhnya terpental, perut tertekuk ke depan. Wajahnya
sepucat kertas. Dia tegak dengan tubuh sempoyongan.
“Jurus
monyet tua kegatalan!” teriak Wiro asli.
Dua
tangannya menggaruk kian kemari. Dalam keadaan kesakitan dan terperangah Wiro
palsu coba meniru gerakan lawan tapi Wiro mendadak sontak telah merubah lagi
gerakannya seraya berseru “Jurus orang gila mengebut lalat!” Tangan kirinya
membabat ke samping, mengemplang bahu Wiro palsu dengan keras.
Terdengar
suara kraak! Tanda tulang pangkal lengan orang itu patah. Tubuhnya terpental ke
kiri, di arah mana Mirasani berdiri. Perempuan muda ini yang sejak tadi tak
dapat menahan hatinya lagi melompat ke depan menjambak rambut suaminya itu lalu
menariknya keras-keras ke bawah, perempuan ini hantamkan lututnya! Praas!
Hidung
dan mulut Wiro palsu remuk. Darah berkucuran.
“Jurus
nenek sakti kencing di bawah pohon!” terdengar kembali teriakan Wiro asli.
Tubuhnya seperti meluncur sedang kedua kakinya terkembang. Kali ini dia sama
sekali tidak melakukan “tipuan”. Apa yang disebut jurus nenek sakti kencing di
bawah pohon itu benar-benar dilakukannya. Dengan kedua kakinya dia menjepit
tubuh Wiro palsu. Begitu dia membanting diri ke samping maka tubuh Wiro palsu
ikut terhempas menghantam tanah. Mukanya makin berkelukuran.
“Mana
pukulan sakti sinar mataharimu! Keluarkan pukulan saktimu itu!” Wiro asli
berteriak. Dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri apa benar manusia yang
memiliki tampang sama dengan dia itu betul-betul memiliki kesaktian tersebut.
Wiro palsu kertakkan rahangnya. Tangan kirinya yang masih utuh bergerak lamban
ke atas. Mulutnya yang hancur mengeluarkan suara seperti menjampai. Lalu dia
memukul ke depan. Sinar putih menyilaukan dan menghambur hawa panas menderu ke
arah Wiro asli. Murid Sinto Gendeng tidak terkejut. Yang dilepaskan lawan bukan
pukulan sinar matahari wlaau sinar dan panasnya hampir menyerupai. Dan tangan
kanan yang melepas pukulan itu sama sekali tidak berubah menjadi seperti perak
sebagaimana kalau dia melepaskan pukulan sinar matahari yang asli.
Karenanya
tanpa tedeng aling-aling Wiro menghantam dengan pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera. Dia hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya. Itupun sudah cukup
untuk menghancur leburkan pukulan lawan dan membuat Wiro palsu terhempas jauh.
Darah mengucur dari mulunya! Nenek Arit Sakti Pencabut Raga yang tadi cidera tapi
kini sudah mampu bangkit berdiri tak mau ketinggalan. Senjatanya berkilauan
dalam cahaya obor.
Craaassss!
Arit yang
tajam itu memutus bahu kanan Wiro palsu. Orang ini meraung setinggi langit.
Kedua kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang sudah hancur-hancuran
itu. Namun sebelum tubuhnya benar-benar mencium tanah, dua serangan datang
menggebuk.
Yang
pertama kaki kanan Mirasani yang mengahancurkan selangkangannya hingga untuk
kedua kalinya Wiro palsu menjerit keras dan mata membeliak. Hantaman kedua
adalah gebukan kaleng rombeng Pengemis Hantu yang merobek pelipis sampai ke
pipi hingga muka Wiro palsu menjadi sangat mengerikan, penuh luka dan kucuran
darah!
“Tahan!
Jangan menghantam membabi buta! Manusia itu sudah sekarat!” terdengar teriakan
Dewa Tuak.
Semua
irang seperti tersentak sadar dan kini hanya tegak tak bergerak memandangi
tubuh yang terkapar mandi darah dan mengerang. Erangan itu hanya terdengar
beberapa saat lalu lenyap tanda nyawa orang itu putus sudah! Kesunyian
mencekam. Hanya terdengar beberapa helaan nafas. Di sebelah kiri tampak
Mirasani tekapkan kedua tangannya ke wajahnya, berusaha menahan isakan tangis.
Dewa Tuak mendekati Wiro asli.
“Anak
muda bermuka pucat! Aku kagumi kehebatanmu dapat mengalahkan manusia jahat
berilmu tinggi itu!” memuji si kakek. “Aku mengundangmu minum tuak!”
“Terima
kasih kek! Sebenarnya orang itu biasa-biasa saja bahkan boleh dikatakan tidak
memiliki ilmu silat apa-apa! Tapi dia memiliki satu kehebatan memang! Dia punya
akal dan otak cerdik. Dia sanggup memperhatikan dan meniru setiap gerakan silat
lawan. Lalu mempergunakan jurus-jurus silat itu untuk menumbangkan lawan!”
Dewa Tuak
manggut-manggut. Tiba-tiba dia berkata yang membuat semua orang terkejut dan
memandang dengan mata besar. “Anak nakal! Sekarang apakah kau tidak akan
menanggalkan topeng yang membungkus wajahmu itu?!” Wiro asli tersentak kaget.
“Dan kau
muridku yang suka usilan apakah masih akan terus bersembunyi di tempat gelap
bersama sahabatmu itu?!”
Menyadari
gurunya telah mengetahui kehadirannya di situ Anggini diiringi Mahesa Edan
segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dewa Tuak kembali berpaling pada
Wiro asli.
“Pemuda
gendeng! Ayo lekas kau copot topengmu, tunjukkan tampangmu yang sebenarnya pada
semua tokoh silat yang ada di sini!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Akhirnya kedua tangannya diangkat juga ke muka.
Perlahan-lahan
dia melepas topeng yang menutupi wajahnya. Begitu wajahnya tersingkap semua
orang mengeluarkan seruan tertahan. Bahkan ada yang segera mencekal senjata,
siap menyerbu. Mirasani sendiri terpekik keras.
“Kau!”
seru Mirasani dan memandang dengan mata terbeliak ke arah Wiro Sableng asli dan
Wiro palsu yang sudah jadi mayat. Seprti tak dapat mempercayai kedua matanya
sendiri! Begitu juga yang lain-lainnya. Dewa Tuak tersenyum lebar lalu berkata
“Pemuda konyol satu ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebenarnya! Yang
itu palsu. Hanya takdir saja yang melahirkan mereka memiliki wajah hampir
mirip. Dan kemiripan itu dimanfaatkannya untuk menjadi modal berbuat jahat. Ditambah
dengan kemampuannya menguasai setiap jurus silat orang lain dengan hanya
melihat sekali saja maka jadilah dia biang racun kejahatan yang malang
melintang selama satu tahun…..”
“Lalu
yang kita keroyok tempo hari siapa?” bertanya Arit Sakti Pencabut Raga.
“Memang
dia juga….” Jawab Dewa Tuak. “Wiro perlihatkan bekas luka di bahumu….”
Wiro
membuka baju putihnya. Mula-mula kelihatan dadanya yang berterakan angka 212.
Lalu tampak bahunya yang ada bekas lukanya dan masih belum begitu kering.
“Berarti
kita telah kesalahan tangan! Mencelakai kawan selongan sendiri…. Aku
menyesal…..aku menyesal!” kata si nenek berulang kali.
Dewa Tuak
dan Wiro hanya bisa tersenyum. Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya Mirasani
tegak dan menatap lekat-lekat ke wajahnya.
“Sama
sekali…..sama sekali. Tidak ada bedanya!” desis perempuan yang dengan
sendirinya saat itu telah menjadi janda.
“Kalau
begitu apakah kau mau mengambilku jadi pengganti suamimu itu…..?” bertanya
Wiro.
Sepasang
mata Mirasani melebar berkilat. “Ternyata kau tidak sama dengan dia….”
“Eh,
mengapa begitu katamu sekarang. Tadi kau katakan sama sekali!” ujar Wiro.
“Dia
tidak memiliki sifat konyol dan mulut ceplas ceplos sepertimu! Dia tidak suka
mengganggu orang! Tapi….”
“Tapi…..”
meneruskan Dewa Tuak. “Jika dia suka padamu kaupun tentu tidak menolak!” Semua
orang tertawa.
Nenek
Arit Sakti mendekati Wiro. “Anak muda,” kata si nenek. “Aku menyesal sekali
telah melukaimu waktu itu….. Aku mohon maafmu!”
“Apa yang
terjadi semua karena kesalah pahaman belaka nek. Justru aku yang harus minta
maaf padamu!”
“Eh,
mengapa terbalik begitu?” bertanya si nenek keheranan.
“Karena
terus terang saja, waktu aku menyebutkan dan memainkan jurus konyol bernama
nenek sakti kencing di bawah pohon itu, aku membayangkan bahwa dirimulah yang
sedang kencing itu!”
“Anak
kurang ajar!” maki Arit Sakti Pencabut Raga tapi kemudian bersama semua orang
yang ada di situ diapun turut tertawa gelak-gelak.
“Dewa
Tuak…..” kata Wiro. “Aku ingin minta keterangan. Waktu aku kalian serbu tempo
hari, kapakku kena rampas Harimau Pemakan Jantung. Kau tahu di mana senjata itu
sekarang?”
“Jangan
kawatir. Aku simpan baik-baik,” jawab Dewa Tuak. Lalu dari balik pakaiannya
dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212 dan menyerahkannya pada Wiro.
“Terima
kasih. Semua telah berakhir kini. Saatnya kita meninggalkan tempat ini!” kata
Wiro.
“Memang
kami semua akan meninggalkan tempat ini. Tapi kau tetap di sini Wiro…..” ujar
Dewa Tuak. Sebelum Wiro sempat bertanya apa maksud kata-kata kakek itu
tiba-tiba Dewa Tuak telah menotok punggungnya hingga Wiro jadi tertegun kaku,
“Hai! Mengapa kau menotokku Dewa Tuak?!”
“Seperti
kataku tadi! Kami semua akan pergi tapi kau tetap di sini. Pertama untuk
mengurusi jenazah para sahabat. Kedua, yang lebih penting untuk menemani janda
cantik itu. Ha….ha…..ha…..!”
“Kalian
semua konyol!” teriak Wiro.
“Konyol
dan kurang ajar!” teriak Mirasani.
Dewa Tuak
keluarkan suitan keras. Semua orang yang ada di tempat itu berkelebat dan
lenyap dalam kegelapan. Obor-obor dibuang dan berjatuhan di tanah. Mirasani
berpaling pada Wiro. Pendekar inipun menatap ke arah Mirasani. Dua pandangan
saling beradu. Sesaat Mira tampak tegang. Tapi ketika Pendekar 212 tersenyum,
diapun ikut tersenyum.
“Tolong
lepaskan totokan di punggungku….” Pinta Wiro seraya kedipkan matanya.
“Kau
tidak seperti dia kan….?”
“Bukankah
kau sendiri tadi mengatakan aku memang tidak sama dengan manusia paslu itu….?”
Perlahan-lahan
Mirasani gerakkan tangannya untuk melepaskan totokan di punggung Wiro.
“Tunggu,
totokan itu tidak bisa dilepaskan kalau tubuhku masih aterbungkus pakaian. Kau
harus membuka pakaianku dulu, baru melepaskan totokan…..”
Percaya
apa yang diucapkan Wiro maka Mirasani lalu membuka pakaian si pemuda kemudian
baru melepaskan totokan yang bersarang di punggung. Begitu totokannya terlepas
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
“Apa yang
kau tertawakan…..?” tanya Mirasani heran.
“Kau
tertipu…..”
“Tertipu?
Tertipu bagaimana?”
“Totokan
itu sebenarnya bisa dilepaskan tanpa membuka pakaianku. Aku mendustaimu karena
ingin merasakan sentuhan jari-jari tanganmu secara langsung! Ha….ha…..ha…..”
“Kalau
begitu biar kutotok kau kembali!”
Mirasani
gerakkan tangan kanannya dengan cepat. Namun sebelum dia sempat menotok Wiro
sudah mencekal lengannya, langsung merangkulnya. Dan Mirasani seperti kena
sihir tidak berusaha untuk melepaskan pelukan hangat itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment