Bencana
Di Kuto Gede
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
KUTO GEDE
sudah jauh di belakang mereka. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin
mencucuk. Di langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar beberapa kali.
“Turunkan
aku di sini!” teriak gadis di atas panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Tenang
sajalah dan jangan banyak bicara. Berhenti di tempat ini masih cukup besar
bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!”
“Aku
tidak takut pada mereka!” sahut Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja
diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal
malam. Di atas bahu sang pendekar, dara itu berada dalam keadaan tertotok
sementara tangan kanannya patah dan mendenyut sakit tiada henti. Tapi sebagai
seorang gadis nekad dan keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan ketuar dari
mulutnya. Melihat si pemuda terus melarikannya, Nawang Suri berkata:
“Jika kau
tak mau menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah Maturwangi di selatan!”
“Eh,
kenapa kau minta dibawa ke sana?” bertanya Wiro.
Semula
Nawang Suri tak mau menjawab. Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia
menerangkan:
“Aku
harus menemui pasukanku di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak. Aku akan
kembali ke Kota-raja dan memimpin penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah
kubunuh, tapi sebelum tahta berada di tanganku belum puas hatiku!” Mendengar
kata-kata Nawang Suri, Wiro Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya
pada akar sebatang pohon besar.
“Lepaskan
totokanku!” meminta Nawang Suri. Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk
menjelepok di tanah di hadapan sang dara. Untuk beberapa saat sepasang mata
mereka saling memandang tak berkedip.
“Seumur
hidup baru kali ini aku menemui gadis nekad sepertimu!” kata Wiro pula. Ucapan
itu membuat sang dara jadi panas hatinya dan menjawab dengan suara keras.
“Aku
bukan manusia nekad! Apa yang aku lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua
orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta kerajaan yang mereka rampas! Demi
masa depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau jangan coba menghalangi!”
“Siapa
bilang aku menghalangi!” sahut Wiro sambil garuk kepala.
“Kau
sudah membunuh raja! Apa itu tidak cukup?!”
“Memang
tidak cukup!
Tujuan
utamaku adalah tahta kerajaan!”
“Mungkin
itu memang belum jadi rejekimu
“Ini
bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak…”
“Dalam kehidupan
di dunia ini, soal hak sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
“Jangan
bersyair di depanku!” bentak Nawang Suri. Wiro menyeringai kecut. Dan berkata:
“Dalam
keadaan terluka begini, tangan patah, kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia
saja. Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta panglima perang yang
tangguh?”
“Aku dan
orang-orangku memiliki semangat…”
“Gadis
nekad! Semangat saja tidak cukup untuk memenangkan peperangan.
“Pemuda
tolol macammu mana tahu soal perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi
pelajaran dan latihan untuk perang!”
“Tapi kau
bukan mau perang!” kata Wiro dengan pandangan mengejek.
“Maksudmu
aku ini mau apa?”
“Mau
bunuh diri!” Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena totokan mungkin Nawang Suri
sudah memukuli atau menampar Wiro Sableng saat itu.
“Bunuh
diri atau apapun aku tak takut mati…”
“Jika kau
tetap keras kepala biar kutinggal saja kau sendirian di sini!” kata Wiro seraya
berdiri dan pura-pura hendak pergi.
“Kau
boleh pergi! Tapi lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
“Aku tak
akan melakukan hal itu. Kudengar banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau
dijadikan mangsa mereka!” Lalu Wiro melangkah.
“Hai!
Jangan tinggalkan aku!” seru Nawang Suri. Kecut juga hatinya.
“Nah,
nah… Kau harus begitu. Harus mengikuti apa yang aku bilang.
“Tapi kau
bukan ayah atau majikanku! Jangan anggap budi pertolonganmu membuat dirimu
merasa berkuasa atas diriku!” kembali Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
“Apa
untungku menguasaimu…?”
“Kalau
tidak ada maksud sesuatu mengapa kau melarikan diriku?”
“Eh… eh!
Aku bukan melarikanmu. Apa yang kulakukan adalah menolongmu. Heran, bicaramu
mengapa ngacok melulu dan Wiro hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh Nawang
Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya
menelungkup sama rata dengan tanah.
“Jangan
keluarkan suara” bisik Wiro yang mendengar suara orang mendekat. Baru saja
pendekar itu selesai bicara, dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan dan
berhenti sejarak beberapa langkah dari pohon besar di mana mereka sebelumnya
berada.
“Heran!”
terdengar salah seorang pendatang berkata pada temannya. Dia mengenakan pakaian
biru berikat pinggang putih. Di tangan kanannya ada sebilah golok besar. Wiro
maupun Nawang Suri segera mengenali orang ini dari suara dan pakaiannya yakni
bukan lain Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton Kuto Gede.
“Aku
yakin sekali mereka pasti kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak menemukan
keduanya?! Pemuda itu tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa beban sosok
tubuh gadis pemberontak!” Kawannya terdengar menarik nafas panjang lalu
mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
“Bagiku
sama sekali tidak mengherankan. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Sosok
tubuh manusia bagaimanapun beratnya bisa saja seperti sekantong kapas baginya.
Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir keadaan di sana tambah ricuh.
Terus terang aku tak perdaya pada si tua bangka Wulung Kerso. Keris Mustiko
Geni ada di tangannya!”
“Kita
sama pendapat. Kakek itu bisa saja melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat
mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke dalam istana.
“Ya,
akupun melihat. Gerakannya agak mencurigakan”.
“Ah, manusia
satu itu pun sudah kuketahui belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia tak
lebih dari seorang penjilat nomer satu! Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!”
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam. Di
balik rerumputan semak belukar Wiro membantu Nawang Suri duduk di tanah. Begitu
duduk sang dara langsung bertanya setengah mendamprat.
“Kenapa
tidak kau hantam kedua bangsat itu?” Wiro gelenggelengkan kepala dan menjawab:
“Aku tak
punya permusuhan dengan mereka.”
“Gila!”
“Eh,
siapa yang gila…?” tanya Wiro melotot tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
“Kowe!”
sahut Nawang Suri setengah berteriak. Wiro tertegun sesaat lalu tertawa
gelak-gelak.
“Hanya
orang gila yang masih bisa ketawa dalam keadaan seperti ini…!” menyentak Nawang
Suri dengan pandangan mata dan air muka sangat jengkel.
“Sudahlah,
sekarang katakan apa maumu?”
“Antarkan
aku ke lembah Maturwangi! Aku harus bergabung dengan pasukanku sebelum
terlambat!”
“Benakmu
masih saja dipenuhi oleh kehendak balas dendam dan pertumpahan darah. Apakah
tidak cukup semua itu lunas dengan kematian raja yang tanganmu sendiri
membunuhnya?!”
“Tidak!”,
jawab Nawang Suri.
“Nawang
Suri, kalau kau hanya mendasarkan jalan hidupmu pada balas dendam dan darah,
kau akan celaka!”
“Biar,
aku memang sudah celaka!” suara sang dara tersendat lalu terdengar
sesunggukannya.
“Eh,
tidak kusangka dara dengan hati sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga
menangis…” ujar Wiro Sableng menggoda.
“Pemuda
edan! Aku bersumpah menampar mulutmu seratus kali!”
“Sumpah
edan!” tukas Wiro. Lalu dia beringsut mendekati, hingga tubuh dan wajahnya
hampir bersentuhan dengan gadis itu.
“Jangan
berlaku kurang ajar! Apa yang hendak kau perbuat?!”
“Pertama,
aku akan menolong mengobati lengan kananmu yang patah. Setelah itu totokanmu
akan kulepaskan. Setelah itu… terserah padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi
atau ke lembah sontoloyo silakan pergi!”
“Lalu
dengan gerakan cepat—yang membuat Nawang Suri terpekik—Wiro Sableng merobek
ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia mematahkan sebatang ranting besar,
meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan yang patah lalu mengikatnya
dengan sobekan kain.
“Beres…”
ujar Wiro. Lalu tangannya bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal leher
Nawang Suri beberapa kali mengurut gadis itu merasakan totokan yang membuat
tubuhnya kaku tegang menjadi sirna.
“Nah, kau
sudah bebas sekarang,” kata Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat- dekat ke
hadapan sang dara.
“Pemuda
gila! Apa maumu…?”
“Eh,
bukankah tadi kau hendak menamparku seratus kali? Mengapa tidak segera kau
lakukan?!” Nawang Suri hampir menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah
diangkatnya siap untuk menampar. Namun tamparan itu tidak dilakukan. Entah
mengapa hatinya tak kuasa untuk melakukan hal itu.
“Aku
benci padamu. Tapi aku tak bisa menamparmu!” berkata Nawang Suri sambil berdiri
dan membalikkan tubuh membelakangi Wiro.
“Benci
itu ada dua arti…” terdengar suara sang pendekar.
“Benar-benar
benci atau benar- benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih…?”
“Kau
ternyata bukan saja sableng tapi juga ceriwis! Siapa yang cinta padamu!” Habis
berkata begitu Nawang Suri dorong dada si pemuda lalu dengan gerakan cepat dia
tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun
sambil garuk garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu? Akhirnya dia
memutuskan untuk kembali ke Kuto Gede saja.
*******************
2
Dari
rumah penduduk di tepi desa, Nawang Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor
kuda itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu bintang itu seperti dikejar
setan, karena memang dia harus sampai di lembah sebelum tengah malam. Namun
gadis itu terperangah ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia dapati hanya
bekas-bekas perkemahan. Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai berkumpul di sana
tak ada lagi disitu.
“Celaka,
aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran berada di antara mereka…?” Nawang Suri
berpikir sesaat.
“Aku
harus kembali ke Kotaraja…” katanya dalam hati mengambil keputusan.
Lalu kuda
yang sudah letih itu diputar dan dibedalnya menuju ke utara. Sebelum masuk ke
Kuto Gede dia harus kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk berganti pakaian.
Dia akan bergabung dengan pasukan yang akan menyerbu istana, lalu mencari dan
mendapatkan kembali Keris Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan. Sebelum kita ikuti
perjalanan Nawang Suri kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali dulu pada
kejadian beberapa waktu sebelumnya. Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta
kerajaan dirampas, Nawang Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang
berkuasa diselamatkan dan di pelihara oleh Empu Andiko Pamesworo. Mereka
bersembunyia di sebuah pondok kayu di hutan dekat teluk yang sangat sepi. Di
tempat itu sang Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan kesaktian yang
dimiliknya kepada Nawang Sari sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang
memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu secara diam-diam Empu Andiko
Pamesworo menyusun perebutan kekuasaan.
Dengan
mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur untuk mendekati orang-orang penting
istana. Begitu mereka terjebak, riwayat masing-masing akan segera dihabisi.
Sasaran paling utama dan paling penting tentunya adalah Sri Baginda sendiri.
Dengan berbekal sebilah keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar
sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu Andiko. Tak lama setelah dia pergi
tiga orang tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil membunuh sang empu.
Di pihak penyerbu, satu orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak Celeng dan
Buto Celeng berusaha mengejar sang dara dan berhasil menghadangnya di daerah pesawahan.
Dengan keris sakti di tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada
saat itu muncul seorang tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian tinggi
bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang
Datuk berhasil membuat mental keris di tangan Nawang Suri.
Penyamarannya
terbuka.
Nyawanya
terancam.
Saat
itulah muncul Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan menyelamatkan Nawang Suri.
Keris Mustiko Geni sempat pula terhindar dari rampasan Datuk Tongkat. Sikap dan
gerak-gerik Wiro yang seperti orang kurang waras itu membuat Nawang Suri tidak
mempercayainya. Dara itu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede.
Sesuai
dengan petunjuk Empu Andiko dia akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu Soka
Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto Gede dan menyamar sebagai juru ukir
barang- barang perak dengan memakai nama Gama Manyar. Bersama Soka Panaran
rencana dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul
dan disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota raja. Orang yang pertama
menjadi korban adalah Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota Gede. Nawang
Suri berhasil membunuhnya di sebuah telaga sepi. Ketika jenazah sang Pangeran
dibaringkan di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri sengaja datang melayat.
Perangkap mereka mengena. Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan
tubuh sang dara. Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk mengatur agar gadis
itu bisa di jadikannya gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama sekali
tidak diduga oleh Empu Soka Panaran. Maka diatur gerak cepat.
Sementera
Nawang Suri dibawa ke istana malam harinya, sang Empu ke luar kota untuk
menyipakan pasukan penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri di Istana
terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat itu tengah berkelahi melawan sejumlah
pasukan dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh hulubalang tingkat satu
yakni Ki Rawa Jembor dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang Suri, Datuk
Tongkat dituduh sebagai penghianat yang berserikat dengan kaum pemberontak.
Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka sementara Datuk Tongkat menemui ajal
di tangan para pengeroyoknya, Nawang Suri melihat tak ada jalan lain dari pada
harus membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah, ketika Seri Baginda yang
tergila-gila padanya menyongsong kedatangannya di tangga istana Nawang Suri
mencabut Keris Mustiko Geni dan menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu juga!
Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi bulanbulanan, ditangkap hidup atau mati
sedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental akibat hantaman senjata Ki Rawe
Jembor berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terdesak dan
tangan kanan patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Untuk
jelasnya kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul Petaka Gundik Jelita.
Kita
kembali ke istana di kota Gede. Beberapa orang perwira termasuk kepada Pasukan
Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya
ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak memisahkan diri ketika melihat
patih Wulung Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil membawa Keris Mustiko
Geni. Dengan cepat Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua. Kejadian yang
serba cepat ini masih sempat terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia
hendak mengajak kambratnya Imo Gantra untuk mengintili kedua orang tersebut.
Namun saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu gerbang istana untuk
mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri. Karena
menangkap gadis pemberontak itu lebih penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti
Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur bersama boyongannya.
Patih
Wulung Kerso memasuki ruangan khusus di mana disimpan barangbarang dan
senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia mencari sarung keris yang dapat
dipergunakan untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang dan masih berlumuran
darah Sri Baginda. Karena di situ memang banyak disimpan berbagai macam keris,
dalam waktu cepat sang patih telah mendapatkan sarung yang cocok untuk Mustiko
Geni. Tanpa membersihkan darah di badan keris, Wulung Kerso menyarungkan
senjata sakti itu. Lalu menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
“Paman
Patih Wulung Kerso, apakah yang kau perbuat di sini?” Patih Wulung Kerso
tersentak kaget. Ketika membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak di ambang
pintu ruangan dengan pandangan mata penuh selidik.
“Raden
Cokro, bukankah seharusnya kau menolong Sri Baginda?”
“Orang
yang sudah mati tak mungkin lagi ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa
Keris Mustiko Geni….. Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun dia maklum, ketika
berhasil menangkap Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang Suri, puluhan
mata menyaksikannya. Jadi hampir semua orang tahu kalau senjata mustika lambang
tahta Kerajaan itu ada padanya. Dalam gugupnya patih Wulung Kerso sekaligus
coba menempelak.
“Raden,
tak seharusnya kau berada dalam ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah
mata-mata kita memberi tahu bahwa ada serombongan pasukan tak dikenal bergerak
menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan pemberontak yang datang untuk menyerbu.
Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera mengatur bala tentara untuk
menghadapi kaum pemberontak yang muncul setiap saat…” Raden Cokro Ningrat
tersenyum penuh arti.
“Soal
pasukan musuh, pasukan pemberontak, apapun namanya tak usah dikhawatirkan. Jika
mereka berani muncul pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan Keris Mustiko
Geni itu, paman patih?”
“Ada
kusimpan baik-baik. Kau tak usah khawatir…”
“Mengapa
paman yang harus menyimpan senjata itu? Jika ada musuh menyelinap dan
merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu padaku. Aku bisa menyimpannya di
tempat yang aman……” Patih Wulung Kerso tersenyum tawar mendengar kata-kata
Kepala Pasukan Kerajaan itu.
“Kau tak
usah kawatir Raden Cokro. Aku tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata itu tak
akan muncul sebelum Raja baru diangkat!”
“Dengar
paman patih,” kata Cokro Ningrat pula.
“Saya
tahu dengan kepandaian yang paman miliki, paman bisa menyimpan dan menjaga
keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan lupa. Istana penuh dengan musuh dalam
selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di mana-mana. Keselamatan paman dan
senjata itu bisa terancam… Saya tetap meminta agar Mustiko Geni diserahkan pada
saya…..”
“Hal itu
tak bisa ku-kabulkan Raden Cokro. Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja
baru yang diangkat dan duduk di kursi besar sana…..” Raden Cokro Ningrat
rupanya tidak senang. Namun dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum.
Dia melangkah mendekati sebuah patung terbuat dari batu. Sambil mengusap-usap
kaki patung dia berkata :
“Baiklah,
kalau paman menganggap mampu menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman yang
menyimpan…..”. Lalu Kepala Pasukan Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun
tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih Wulung Kerso. Orang tua itu
tersungkur ke lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan sementara kepala dan
mukanya berlumuran darah mengerikan.
“Keparat
terkutuk. Kau… kau nyatanya juga seorang musuh dalam selimut…” Dari balik
pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko Geni lalu dia merangkak mendekati
Cokro Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah itu ditikamkannya ke arah
Cokro. Namun sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk angin dan kembali
tersungkur. Saat itu kembali Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke kepala
Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terluka parah di kepala, patih yang juga
memiliki kepandaian silat dan kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah begitu
saja. Sambil merundukkan kepala menghindarkan hantaman patung batu, Wulung
Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat menghantam lambung Cokro Ningrat.
Meskipun tidak begitu telak dan keras akibat luka yang dideritanya namun
jotosan tersebut cukup membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke belakan dengan
perut mual dan dada terasa sesak sakit. Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini
dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada lalu menyergap dengan dua tangan
terpentang. Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan kanannya hanya mampu
merobek pakaian kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam Kepala Pasuka Kerajaan
ini merasakan tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu menggores kulit
dadanya, nyawanya tak akan tertolong! Darah yang membasahi kepala dan muka
Wulung Kerso menutup pemandangan kedua matanya. Berulang kali dia mengusap
wajah dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik bagi Cokro Ningrat. Selagi
pemandangan patih tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat gebukkan patung
batu di tangannya ke tubuh Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri hingga
orang tua ini terkapar di lantai ruangan. Dari mulut Wulung Kerso keluar suara
rintihan.
Patih ini masih berusaha bangkit sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang
memancarkan sinar merah angker itu. Namun darah yang terlalu banyak tertumpah
membuat Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya goyah, pemandangannya semakin
kabur, tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu menghajar keningnya, dia tak
punya daya lagi untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai, darah dan cairan otak
berceceran. Keris Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan tercampak di
lantai. Raden Cokro Ningrat cepat mengambil senjata Mustika itu, memasukkannya
ke dalam sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung Kerso, lalu meninggalkan
mangan itu. Pintu kamar sengaja dikuncinya dari luar. Ketika dia sampai di
bagian depan istana, Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut Serombongan pasukan
berjumlah sekitar tiga ratus orang tampak berada di seberang sana, siap
menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang bertindak sebagai pimpinan. Dua masih
muda dan tak dikenal sedang yang seorang lagi dikenalnya sebagai Manyar Gantra,
orang tua yang diketahui sebagai juru ukur barangbarang perak.
“Pemberontak
keparat! Datang juga mereka akhirnya!” serapah Cokro Ningrat. Pada beberapa
orang perwira yang ada di situ dia segera berteriak memberi perintah. Sejumlah
pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk menyambut serangan. Namun karena
pasukan yang ada di situ hanya merupakan pengawal istana, jumlah mereka dengan
sendirinya lebih sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan pemberontak tidak
tertahankan.
“Kurang
ajar!” kertak Cokro Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana.
“Cepat
datangkan pasukan bantuan dari timur dan selatan. Paling tidak jumlah kita
harus dua kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!”
“Siap
Raden!” jawab si perwira lalu tinggalkan tempat itu. Memandang berkeliling
Raden Cokro menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun tokoh silat istana
ada di tempat itu. Karena tak dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini
segera menuruni tangga istana menyongsong serbuan pasukan dengan sebilah pedang
di tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan taman istana, dua penunggang
kuda yang bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu menghadangnya.
“Bangsat
pemberontak! Kalian mencari mampus!” teriak Cokro Ningrat.
“Cokro Ningrat
anjing pengkhianat! Darah rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau ganti
dengan darahmu sendiri!” Balas berteriak salah seorang penunggang kuda. Sekali
goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke arah kepala Cokro Ningrat.
*******************
3
Tampaknya
lelaki muda yang menyerang Kepala Pasukan itu memang memiliki kepandaian. Namun
dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat, meskipun dia
menggempur bersama seorang kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan Kepala
Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok
kura tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu merangkak liar. Membuat keduanya
terpaksa melompat ke tanah. Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung sekitar
empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan
pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki
kedua menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat pada pangkal lehernya.
“Bangsat
pemberontak! Kalian mundur kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan senjata dan
menyerah!” teriak Cokro Ningrat. Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal rasa
takut itu merangsak terus. Puluhan di antara mereka sudah mendekati tangga
istana sementara puluhan prajurit di kedua belah pihak tampak berkaparan di
taman dan tangga istana. Saat itulah serombongan pasukan kerajaan yang
berjumlah hampir dua ratus orang muncul dari kiri kanan. Serta-merta gerakan
penyerbu tertahan. Semangat balatentara Kerajaan yang tadi melemah kini pulih
kembali. Raden Cokro terdengar kembali berteriak.
“Jika
kalian tidak menyerah kalian akan mampus percuma! Kalian sudah terkurung!”
“Cokro
Ningrat! Mulut besarmu sudah saatnya ditutup!” Terdengar suara membentak. Satu
bayangan putih berkelebat. Angin serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar
dan cepat bertindak mundur, memandang ke depan dia melihat orang itu itu tegak
dengan sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
“Gama
Manyar! Tidak sangka nyatanya kau adalah seorang gembong pemberontak!” bentak
Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya. Si orang tua
menyeringai. Wajahnya tetap dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip.
“Namaku
bukan Gama Manyar. Akulah yang dikenal dengan nama Empu Soka Panaran!” berkata
orang tua itu dengan suara lantang lalu wut… wut! Tongkat besi kuning di
tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok tubuhnya hanya berupa
baying-bayang kuning yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning yang amat
cepat.
Raden
Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak mau memperlihatkan perubahan pada air
mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka Panaran? Di masa Kerajaan lama dia
dalah seorang ahli pembuat barang-barang ukiran istana. Tapi lebih penting dari
itu dikabarkan orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi dan kesaktian
mengagumkan.
“Kau
terkejut setelah mengetahui siapa aku? Takut…?! Lalu mengapa tak lekas
menyerah?!” mengejek Empu Soka Panaran.
“Tua
bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk
mencapai tujuan kotor!” Soka Panaran tertawa mengekeh.
“Buka
matamu lebarlebar, pasang telingamu baik-baik dan tanyai hati sanubarimu!
Siapa di antara kita yang kotor! Siapa di antara kita yang telah menumpahkan
darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan? Kau dan rajamu yang sudah mampus itu
dan ratusan pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira
kelas picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu yang syah hanya untuk
mendapatkan kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah senang dan baik-baik
saja dalam jabatanmu yang penuh lumuran darah itu…?” Merah padam wajah Raden
Cokro dan berdesing panas telinganya mendengar katakata Empu Soka Panaran itu.
“Tua
bangka sinting! Ajal sudah di depan mata masih saja bicara tak karuan!” Habis
membentak begitu Cokro Ningrat menyerang dengan pedangnya. Sementara itu
pasukan Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha prajurit dan beberapa
perwira mengelilingi kalangan pertempuran antara pemimpin mereka melawan Empu
Soka Panaran. Mereka maklum orang tua itu memiliki kepandaian tinggi karenanya
perlu berjaga-jaga agar jangan sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan
mereka mengalami cidera atau sampai tumbang di tangan orang tua itu. Ternyata
memang Empu Soka Panaran bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu. Setelah
menggempur habis-habisan selama enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro
Ningrat mendapat serangan balik yang gencar. Tongkat besi kuning di tangan sang
empu menderu laksana titiran, menekan dan mengemplang, menggebuk dan menusuk,
membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan berseru keras sewaktu akhirnya pedang
di tangannya dihantam mental oleh pukulan keras ujung tongkat. Raden Cokro
Ningrat melompat mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang mengejar ke arah
kepala. Masih untung Cokro Ningrat sempat membuang diri ke samping kalau tidak
kepalanya sudah remuk dihantam tongkat. Meskipun selamat namun ujung senjata
lawan menoreh pelipis dan pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka yang
cukup dalam dan mengucurkan darah. Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa
perwira segera bertindak maju. Menyaksikan hal ini Empu Soka Panaran cepat
berteriak mengejek.
“Bagus!
Kalian bangsa pengkhianat memang berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan kalian
agar tidak mampus lebih cepat!” Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada
orang-orangnya.
“Semua
mundur! Menghadapi tikus tua macam ini aku tak butuh bantuan kalian!” Lalu dari
balik pakaiannya Kepala Pasukan Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar
merah berkiblat dalam gelapnya malam di taman istana itu. Terkejutlah Empu Soka
Panaran alias Gama Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta Kerajaan itu
berada di tangan Cokro Ningrat. Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena
tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu setelah dia diketahui berhasil
membunuh Sri Baginda? ’Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin mati lebih
cepat?” membentak Cokro Ningrat.
“Pengkhianat
busuk! Rajamu sudah tewas! Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan padaku…!”
“Ha… ha…!
Kau takut menemui kematian di tangan senjata sakti ini?!” ejek Cokro Ningrat.
“Hidupku
hanya sekali! Nyawa hanya satu dan aku tidak takutkan mati!” Hardik Empu Soka
Panaran. Wut!. Sinar kuning berkiblat ketika tongkat besinya diputar sebat.
Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan keris Mustiko Geni. Dia menyongson
sambaran tongkat lawan. Trang…!! Kliing…!! Empu Soka Panaran berseru kaget dan
melompat mundur. Tongkat besi kuningnya putung sewaktu keris sakti itu membabat
hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya bergetar dan terasa panas.
“Ah,
senjata sakti itu… Mengapa bisa berada di tangan musuh…” keluh Empu Soka
Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata yang dimilikinya tak bakal sanggup
menghadapi Keris Mustiko Geni. Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga
luar dalam dan akal untuk menghadapi lawan.
“Tua
bangka pemberontak!” Cokro Ningrat berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni
tinggi-tinggi ke atas.
“Jika kau
bersedia menyerah maka kau akan digantung secara terhormat! Tapi jika terus
melawan, tubuhmu akan gosong oleh keris sakti ini!”
“Aku
lebih suka mati di ujung Mustiko Geni!” jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya
yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula meluncur ke depan tapi cepat
ditarik ketika keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk menangkis. Serangan
tongkat yang tadi berupa tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah pinggang
dan lagi-lagi berbahaya setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis. Gerakan
yang serba cepat membuat Cokro Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini cukup
cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera cepat dalam menghadapi lawan. Yang
dilakukan adalah tegak di kalangan pertempuran dan melindungi diri dari setiap
serangan dengan Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada dia
kirimkan serangan balasan. Setelah berkelahi lebih dari dua puluh jurus, nafas
Empu Soka Panaran mulai tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus berkelahi
sampai seratus jurus amun kekuatan serangannya akan mengendur. Hal ini disadari
sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun merubah sasaran serangan. Kalau
tadi dia berusaha menghantam tubuh, kepala atau bagian badan lain dari Cokro
Ningrat maka kini serangannya dipusatkan pada tangan kanan lawan. Apapun yang
terjadi dia harus dapat membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris Mustiko Geni
dari genggamannya, celakanya apa yang ada dalam benak si orang tua, diketahui
pula oleh lawan! Kini tampak Cokro Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau
sebelumnya dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil
mengelakkan satu serangan dia langsung tusukkan keris ke arah bagian tubuh
lawan. Dia tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena sekali Keris Mustiko
Geni dapat menoreh kulit atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa ganas yang
ada pada senjata itu akan menewaskannya. Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka
Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa kali Keris Mustiko Geni hampir
mendarat di tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. Nyawanya tak tertolong lagi.
Pasukan yang datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian ini jadi leleh
semangat mereka. Semua hanya tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas di
tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka mereka yang hidup hanya ada satu
pilihan. Menyerah atau melarikan diri! Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
seekor kuda menerjang masuk ke dalam» kalangan pertempuran sambil meringkik
keras. Dua orang prajurit tergelimpang roboh kena terjangan kaki depan. Seorang
perwira tersungkur ke samping. Satu perwira lagi berseru kaget ketika pedang
yang sejak tadi dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam suasana yang
bertambah kacau terdengar seruan.
“Empu
Soka Panaran! Mari kita musnahkan manusia-manusia perampok tahta dan
pengkhianat busuk!” Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas punggung
binatang ini tampak menyambar sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro
Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini dalam kejutnya untuk melompat mundur.
Begitu selamat dari tebasa pedang dengan beringas dia menusukkan keris Mustiko
Geni ke arah penunggang kuda. Namun dari samping Empu Soka Panaran datang
membabatkan tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat sekali lagi terpaksa
melompat mencari selamat. Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu kirinya,
membuat Cokro Ningrat hamper roboh ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang
perwira. Memandang ke depan Cokro Ningrat segera mengenali siapa adanya
penunggang kuda itu. Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu. Gadis ini
tampak mengenakan pakaian ringkas dan ikat kepala warna merah.
“Bagus!
Aku tak perlu susah payah mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk
menyerahkan nyawa!” kertak Cokro Ningrat. Dia memberi isyarat pada para
pembantunya. Dua perwira yang barusan menolongnya bersama- sama tujuh prajurit
segera mengurung Nawang Suri yang masih tetap berada di punggung kuda. Tangan
kanan yang patah terbalut kain sedang tangan kiri memegang pedang rampasan.
Meskipun kehadiran Nawang Suri menyelamatkan dirinya dari serangan lawan, namun
Empu Soka Panaran merasa sangat kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang
Sari yang cedera tangan kanan dan hanya mengandalkan tangan kiri. Sementara itu
jumlah pasukan kerajaan semakin banyak. Sulita bagi mereka untuk memenangkan
pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia
justru mengkhawatirkan keselamatan putri junjungannya itu!.
“Den Ayu!
Keadaan sangat berbahaya! Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu! berseru
Empu Soka Panaran.
“Tidak!”
sahut Nawang Suri tegas dan tanpa takut.
“Bukankah
kita sudah memilih mati dari pada hidup dinista?!” Cokro Ningrat tertawa bergolak.
“Kalau
sudah masuk ke sarang harimau mana mungkin keluar dengan selamat?!
Bersiaplah
menerima kematian!” Tangan kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko Geni
berkiblat ke arah sang empu sementara Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua
perwira dan tujuh prajurit.
*******************
4
“Bunuh
dulu kudanya!” teriak salah seorang perwira. Lebih dari selusin prajurit datang
menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka melayani Nawang Suri. Prajuritprajurit
itu memusatkan serangan pada kuda tunggangan sang dara. Tombak dan pedang serta
kelewang berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri berusaha menyelamatkan kudanya
namun akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah, penuh luka
“Bangsat
rendah! Mampus kalian semua!” teriak Nawang Suri. Dia melompat dari punggung
kuda sebelum binatang ini tergelimpang di halaman istana. Pedangnya diputar
deras. Dua prajurit menjerit dan roboh mandi darah. Dua perwira cepat berteriak
memberi aba- aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu. Kini ada delapan belas
prajurit dan dua perwira mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di tangan kiri
gadis ini terus mengamuk. Di jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu Soka
Panaran habishabisan. Orang tua yang kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat
banyak. Beberapa kali tongkat besi kuningnya buntung di babat keris Mustiko
Geni hingga potongan kecil yang masih tersisa di tangannya tak ada gunanya lagi
lalu di lempar kearah Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan itu
mengelakkan lemparan besi itu meskipun potongan tongkat ini melesat dan
menancap di leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang Suri, yang membuatnya
tak ampun lagi roboh ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!. Perwira yang
kedua terkejur dan tercekat melihat kematian kawannya yang berlaku lengah. Hal
ini harus dibayarnya dengan mahal. Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam
di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena kehilangan dua pemimpin mereka
sekaligus, belasan prajurit yang mengeroyok Nawang SUri menjadi leleh nyali
mereka. Hal ini diketahui benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar
serangan maut dengan leluasa. Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi korban
keganasan pedang sang dara lebih banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua
orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya
telah berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan kedua kakek ini membuat sang dara
seperti terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa melompat mundur dan
memandang dengan beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri segera mengenali
mereka yakni bukan lain adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua hulubalang
utama istana.
“Hemmm…
kalian rupanya! Apa sudah siap untuk mampus?!” mengejek Nawang Suri sementara
sepasang matanya bergerak liar memperhatikan gerakan belasan prajurit yang kini
mengurungnya dengan rapat. Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor memandang
dingin tak berkesip.
“Gadis
tolol!” mengejek Imo Gantra.
“Setelah
lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah kembali muncul mencari
kematian!”
“Akan
kita lihat siapa yang mampus duluan, kau atau aku!” sahut Nawang Suri.
“Pasti
kau! Bukankah kad ingin lekas-lekas menyusul kedua orang tuamu…?!” mengejek Imo
Gantra. Mendengar orang tuanya disebut-sebut, Nawang Suri menjerit marah.
Tubuhnya berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya menyambar deras ke
kepala Hulubalang Istana nomor dua itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh
dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran yang sudah tak berdaya apa-apa lagi
hanya tinggal menunggu kematian di ujung Keris Mustiko Geni. Bala tentara yang
tadi hampir tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga istana kini terpukul
dan didesak mundur sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan korban tewas
bergeletakan di berbagai penjuru. Dan nasib Nawang Suri jelas tidak menguntungkan.
Dengan tangan kanan patah, hanya dengan mengandalkan pedang di tangan kiri
sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh silat istana yang berkepandaian tinggi
yakni Imo Gatra dan Ki Rawe Jembor. Meskipun kedua kakek itu tidak memegang
senjata namun dalam beberapa jurus saja sudah berhasil mendesak sang dara.
Dalam satu gebrakan hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu menerima gebukan
tangan Ki Rawe Jembor asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan pedang di
tangan kirinya. Buk! Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di dada sang dara.
Sebaliknya tusukan pedang yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra ternyata
menemui kegagalan karena sambil menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe Jembor
pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini selamat
dari kematian! Nawang Suri terhuyung-huyung ke belakang. Pedangnya terlepas
dari tangan kiri dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk
mendekap dadanya yang sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa melesak. Iga-iganya
seperti remuk berantakan. Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan- lahan tapi
pasti dara ini akhirnya jatuh terduduk di tanah. Saat itulah dilihatnya di
kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas di tangan Raden Cokro Ningrat. Tewas
terkena tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko sakti lambang kerajaan yang
hendak dibelanya tapi justru dia sendiri yang menemui kematian di ujung keris
itu. Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang tak bergerak lagi. Kulitnya tampak
menghitam hangus!
“Bagus!
Pemberontak tua sudah mampus! Sekarang giliran gadis tolol ini menemui
ajalnya!” teriak Ki Rawe Jembor. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan
Nawang Suri yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini angkat kaki kanannya
dan kirimkan tendangan maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat itu
pemandangannya menjadi kabur namun Nawang Suri masih sempat melihat datangnya
bahaya maut. Sambil jatuhkan diri ke tanah gadis ini angkat tangan kanannya
yang terbalut patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya ketika tendangan K i
Rawe Jembor mematahkan tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang Suri
terguling di tanah beberapa kali. Gulingan tubuhnya terhenti ketika satu kaki
menahan dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda dengan batu besar hingga
dadanya yang sakit semakin terasa sakit seperti remuk berantakan. Dia tak kuasa
lagi menjerit. Nafasnya pun hanya tinggal satusatu. Dia memandang ke langit
gelap. Lalu pada orang yang menginjak tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra
Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan membunuh Empu Soka Panaran.
“Keparat!
Pengkhianat busuk! Tunggu apa lagi? Bunuh aku saat ini juga!” Suara sang dara
bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu mendadak menjadi sunyi sementara
pasukan penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang perlahan itu masih dapat
terdengar jelas.
“Mati
cepat-cepat saat ini terlalu enak bagimu! Kau akan kami gantung di tanah
lapang! Biar semua orang menyaksikan hukuman yang layak bagi setiap
pemberontak!” berkata Cokro Ningrat.
“Dia
sudah minta mati. Kenapa menunggu- nunggu? Bunuh saja saat ini juga. Habis
perkara. Semua urusan beres sudah!” Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor. Raden
Cokro Ningrat menyeringai mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo Gantra
seakan minta pendapat. Imo Gantra yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan
Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju. Maka tanpa pikir panjang lagi Raden
Cokro Ningrat membungkuk dan tusukkan keris Mustiko Geni lurus-lurus kea rah
leher Nawang Suri. Saat itulah terdengar satu suitan nyaring. Disusul dengan
deru angin laksana topan prahara datang menyambar dari langit malam
yang
gelap. Semua orang yang ada di tempat itu merasakan tubuh masing-masing
bergetar. Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar. Sekali lagi terdengar
suitan keras dan tubuh Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko Geni
hampir terlepas dari tangannya. Dengan sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri
ke tanah sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia
selamat dan bangkit dengan cepat tapi bahu kanannya tampak bengkak besar.
Seseorang telah melepaskan tendangan kilat. Masih untung tendangan itu meleset.
“Keparat!
Dia lagi!” terdengar teriakan Imo Gantra.
“Kali ini
tak ada ampun bagimu pendekar sinting!” menyusul suara bentakan Ki Rawe Jembor.
Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat melihat seorang pemuda berambut gondrong
sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan kaki merenggang. Kedua tangannya
dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya tidak dikancingkan. Pada dadanya yang
berotot tampak tersebul barisan tiga angka yang telah menggetarkan rimba
persilatan.
“Pendekar
212…” desis Cokro Ningrat. Lidah nya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram
embun pagi!
“Aku
sudah memberi peringatan pada semua Kalian di sini. Jangan berani mengganggu
gadis ini! Ternyata kalian mengabaikan peringatan itu…” Ki Rawe Jembor tampak
geram mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang jelas-jelas menantang
dan sekaligus merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia maju satu langkah dan
membuka mulut dengan suara lantang.
“Manusia
sableng! Kau sendiri rupanya juga lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan
kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang lagi membuat keonaran. Bahkan
membunuh orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan bahwa pembalasan kami lebih
kejam dari siksa neraka…?!”
“Soal
siksa neraka mana aku tahu. Kukira kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu
apakah kau bisa menunjukkan jalan ke neraka?!” Habis berkata begitu Wiro
Sableng lalu umbar tawa bergelak. Karena suara tawanya disertai kekuatan tenaga
dalam yang tinggi maka semua orang yang ada di sana merasakan telinga
masing-masing mengiang memekakkan sedang jantung seperti berguncang! Wiro
melangkah mendekati Nawang Suri.
“Sahabat,
kau tak apa-apa…?” Pendekar ini menegur. Dalam hatinya sang dara memaki panjang
pendek.
“Aku
sudah hampir mampus dikatakan tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar sableng!”
Walaupun dalam hati memaki, namun entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad dan
siap menerima kematian, kini muncul harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam
saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya lalu mengangkat dan meletakkannya di
bahu, seperti sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro memandang
berkeliling. Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata.
“Jangan
harap kali ini kami memberi ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi
hidup-hidup!”
“Begitu…?”
tukas Wiro.
“Kita
akan lihat. Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!” Lalu murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana
tersisip Kapak Maut Naga Geni 212. Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah
melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki Rawe Jembor diam meragu. Tapi
Raden Cokro Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanan, merasa
tidak ada yang perlu ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan satu tusukan ke
arah kepala Wiro Sableng.
“Manusia
tolol!” teriak Wiro. Tubuhnya dirun-dukkan. Keris Mustiko Geni menukik
mengikuti gerakannya, membeset dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong.
Nawang Suri terpekik dan semburkan darah dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar
biasa. Orang lain menderita luka seperti itu mungkin sudah pingsan. Gerakan
tangan Wiro untuk mencabut Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan tangan
kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah
satu pemandangan yang luar biasa. Dengan masih memanggul tubuh Nawang Suri di
bahu kanannya, mustahil bagi murid Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari
dua serangan tangan kosong dan satu tikaman keris yang disusulkan oleh Raden
Cokro Ningrat. Tanpa perdulikan keadaan sang dara, Wiro lemparkan tubuh Nawang
Suri ke udara. Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo Gantra yang datang
dari sebelah kanan sedang tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke arah
lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping
kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang ke bawah perut lawan. Selagi Cokro
Ningrat melompat mundur selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra terpekik
karena tiga jari tangannya yang dipakai menjotos menjadi bengkak waktu beradu
keras dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor terhenyak ke belakang dimakan
tinju kiri, maka Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk menangkap sosok
tubuh Nawang Suri, langsung memanggulnya kembali di bahu kanan! Para prajurit
kerajaan yang menyaksikan kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah dan
berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa bahwa pendekar yang mereka kagumi itu
adalah musuh besar mereka! Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung masih
merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah berhasil memulihkan rasa sakit pada
bagian tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak selusupkan tangan
kanannya ke pinggang. Di lain kejap dia telah menggenggam sebilah tombak pendek
bermata tiga terbuat dari perak berkilat. Dari samping kanan Cokro Ningrat
tampak bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan beberapa
orang perwira telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra kemudian tampak pula
meloloskan senjatanya dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi pendek
yang ujungnya diganduli lima keping mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak
pada kepingan pisau yang bisa menyerang serentak sekaligus pada satu sasaran
atau menebar menghantam lima sasaran! Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi
menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak mungkin diajak berdamai. Maka
sekali dia menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212 sudah berada dalam
genggamannya. Sinar perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya malam.
“Kalian
semua memang minta mampus! Majulah serentak agar lekas kupesiangi!” teriak
Wiro. Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih menyambar. Rantai besi berpisau
lima mata bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur hawa panas berkiblat
ketika Keris Mustiko Geni ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran. Wiro
maklum, apapun kehebatan senjata di tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu,
namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan senjata paling berbahaya yang harus
diperhatikannya. Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di depan dada. Suara
seperti ribuan tawon mengamuk terdengar menderu disertai kilauan sinar putih.
Tiga seruan tertahan terdengar hampir berbarengan sementara puluhan prajurit
dan beberapa perwira yang ada di dekat kalangan pertempuran menyingkir dengan
perasaan ngeri. Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo Gantra sama melompat
mundur. Rantai besi berpisau lima bergoyang-goyang. Tombak bermata tiga
bergetar keras ketika terkena hantaman angin kapak sakti. Hanya Keris Mustiko
Geni yang tampak masih membersitkan sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa
senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan dapat diandalkan menghadapi Kapak
Nage Geni 212. Melihat tiga lawannya jelas bergeming menghadapi senjatanya,
Wiro Sableng melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan untuk mundur segera
meninggalkan tempat itu karena hati kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah
atas orang-orang kerjaan. Tetapi celakanya ata perinta Cokro Ningrat, puluhan
prajurit dan beberapa perwira bergerak merapatkan kurungan sementara itu Kepala
Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat pada dua hulubalang istana. Bersama
Imo Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali menyerbu Wiro Sableng. Kali ini
ketiganya menyusun taktik yakni walaupun tampak bergerak berbarengan namun
serangan tidak dilancarkan secara bersamaan. Yang menghantam pertama adalah Ki
Rawe Jembor dengan tombak berkepala tiganya. Ketika Wiro menangkis dengan
kapaknya, orang tua ini cepat melompat mundur, begitu hantaman kapak lewat Imo
Gantra meloncat ke depan sambil hantamkan rantai besi bergandul lima pisau
berkilat. Sekali lagi Pendekar 212 babatkan kapaknya untuk menghantam serangan
kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat mundur.
Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke dalam kalangan dengan menyusupkan satu
tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng. Sebenarnya serangan Cokro Ningrat
mempunyai dua sasaran. Pertama memang dada wiro, namun jika terpaksa meleset
maka ujung keris akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang Suri yang terkulai
di atas bahu pendekar dari Gunung Gede itu!
*******************
5
“Wong
edan!” maki Pendekar 212. Terpaksa dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang
Suri dan pergunakan tangan kiri untuk melepaskan pukulan kunyuk melempar buah.
Tinju kiri dihantamkan luruslurus ke depan ke arah Cokro Ningrat. Begitu
lengan membentuk garis lurus lima jari terkembang membuka. Serangkum angin
dahsyat menggebu. Kepala Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada batu besar
yang menggelinding menghantam ke arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad
menruskan tusukan ke arah kepala Nawang Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir
terseret dia terpaksa menarik pulang tusukannya, melompat ke samping
menghindari angin pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap dadanya yang terasa
sakit dan sesak, di belakang sana terdengar pekik jerit menggemparkan. Enam
prajurit dan seorang perwira yang terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah
mencelat bermentalan. Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di dekat tembok
depan halaman istana, empat orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi. Dua
lainnya merintih berkelojotan, siap menyusul empat kawannya, sementara si
perwira terduduk sambil memuntahkan darah kental Kejadian yang menggemparkan
ini membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah. Keduanya berseru keras.
Kekuatan serangan tombak dan lima pisau berantai mereka lipat gandakan dengan
pengerahan tenaga dalam penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang dalam
gelapnya malam sedang tombak tiga mata mengeluarkan deru angin dingin
menggetarkan. Ketika Wiro dengan kertakkan rahang memutar Kapak Naga Geni untuk
menangkis dua serangan yang datang, celakanya Nawang Suri yang dari atas bahu
Wiro melihat si pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba- tiba hantamkan
tangan kirinya ke arah Ki Rawe Jembor, padahal saat itu dari samping lima pisau
di ujung rantai Imo Gantra membabat sebat tepat membelintang di arah
pertengahan lengan Nawang Suri yang memukul! Pendekar 212 sadar meskipun dia
dapat menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor namun ke dudukannya tidak
memungkinkan menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra. Karena tak ingin
gadis itu mendapat celaka mau tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan
menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru selamatkan diri sendiri dari tombak
tiga mata. Namun baru saja dia menggerakkan kapak ke arah senjata di tangan Imo
Gantra, Cokro Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan
tikaman Keris Mustiko Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro Sableng
benar-benar menghadapi kesulitan yang membahayakan jiwanya! Ki Rawe Jembor
keluarkan suara tertawa ber-gelak.
“Pendekar
sableng! Akhirnya kau harus tinggalkan nyawamu di sini!” kata hulubalang istana
itu karena sudah yakin betul pemuda itu akan menemui kematian dihantam tusukan
tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni. Wiro yang masih tetap ingin
menyelamatkan gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa terancam tapi tetap
saja menyahuti dengan nada menantang.
“Mana mau
aku mati sendirian! Salah satu dari kalian harus ikut bersama!” Lalu Kapak Naga
Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk
dekat sekali ke wajah pendekar ini. Di saat yang menegangkan di mana Wiro sudah
siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba murid Sinto Gendeng merasakan ada yang
berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu tubuh Nawang Suri yang ada di
bahunya tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya. Mengira ada musuh ke empat
yang muncul dan bermaksud menangkap Nawang Suri hiduphidup, Wiro berusaha
menendang seperti seekor kuda menlenjangkan kaki belakangnya.
Justru
saat itu terdengar suara seseorang seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
“Anak
muda! Biar gadis ini kuselamatkan lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!”
Begitu suara mengiang lenyap, mendadak bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni
melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo Gantra yang seharusnya membabat
lengan Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu jari di depan hidung Pendekar
212 dan senjata ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga Geni 212. Akan tetapi
tusukan tombak tiga mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun agak
tergontai-gontai oleh tiupan angin deras tadi, tetap saja salah satu matanya
sempat mengiris pipi kanan pemuda itu. Dengan pipi mencucurkan darah Wiro
melompat menjauhi tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke belakang, tapi tak
melihat lagi sosok tubuh Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul menarik
gadis itu dari bahunya. Di samping kanan terdengar teriakan Cokro Ningrat.
“Kejar
bangsat penculik berpakaian hitam itu!” Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh
tiga orang kepala regu dan dua orang perwira bergerak cepat, berlari ke arah
lenyapnya Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan, dalam kegelapan malam
terdengar pekik jerit kematian. Dari sekian banyak yang melakukan pengejaran,
dua orang kembali ke halaman istana. Yang pertama seorang kepala regu, datang
terseokseok karena salah satu tulang kakinya tampak remuk hancur. Yang satu
lagi perwira berwajah penuh darah karena sebuah matanya tampak pecah!
“Kurang
ajar! Aku harus mengejar bangsat itu!” kertak Imo Gantra marah dan bertindak
hendak mengejar meskipun tangannya masih terasa sakit dan panas akibat
bentrokan senjata dengan Kapak Naga Geni 212 tadi. Ki Rawe Jembor cepat
memegang bahu kawannya ini dan berbisik.
“Jangan
dimas. Kalau lebih dibutuhkan di sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu tapi
manusia berpakaian hitam itu memiliki kepandaian seperti dewa!”
“Aku
tidak takut! Mana ada manusia seperti dewa di dunia ini!” tukas Imo Gantra.
“Kataku
jangan dimas!” Ki Rawe Jembor Akhirnya membentak.
“Kau tahu
siapa orang berpakaian hitam itu?!” Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra
menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Dia
adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh kerajaan terdahulu. Mendengar keterangan itu
Imo Gantra berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki. Rawe Jembor.
“Kangmas
Jembor. Ternyata manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya bagi kita semua.
Sebaiknya segera menyusun rencana menumpasnya habis-habisan…”
“Soal itu
lain kali saja kita bicarakan. Saat ini yang penting adalah menamatkan riwayat
pemuda sableng satu ini!” Wiro yang diam-diam mendengarkan pembiaraan kedua
orang itu tampak garuk- garuk kepala. Setelah mengusap darah yang keluar dari
luka di pipi kanan dia mengangkat tangan kiri seraya berkata.
“Orang
yang kalian ingin tangkap atau bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada
urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku mau pergi…” Cokro Ningrat dan
dua kakek hulubalang istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa
gelak-gelak.
“Enak
saja bicaramu! Cepat atau lambat kami akan menangkap gadis pemberontak itu.
Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih dulu!” berkata Raden Mas Cokro
Ningrat.
“Memang,
kunyuk satu ini harus dibereskan dulu!” ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali
karena senjata rantai berpisau lima miliknya musnah di hantam kappa Naga Geni
212. Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya menyeringai. Dia lepaskan
pukulan angin puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja dihantamkan ke tanah
di depannya. Tanah halaman istana berlobang besar. Bongkahan tanah dan pasir
beterbangan ke udara menutup pemandangan.
“Keparat!
Jangan biarkan dia lolos!” teriak Imo Gantra. Tapi orang-orang di situ tak
dapat melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup begitu rupa Wiro cepat
berkelebat, namun di pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba menghadangnya.
Ketika Wiro berlagak hendak menghantam dengan Kapak Naga Geni 212, semuanya
langsung buyar ketakutan. Tapi dari sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar.
Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan kanan ke dalam sebuah kantong yang
tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika dia memukulkan tangannya ke depan
maka berhamburanlah lebih dari selusin senjata rahasia berbentuk paku hitam.
Benda-benda ini melesat di udara hampir tanpa suara dan mengandung racun sangat
jahat. Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan suara namun pendengaran
Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu. Dia putar Kapak Naga Geni di
belakang kepala. Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku maut itu hancur
dan luruh ke tanah, beberapa di antaranya sempat menerpa anggota pasukan yang
ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak terluka parah, tapi racun senjata
rahasia yang jahat membuat merasakan nyeri di seluruh peredaran darah lalu
akhirnya menemui ajal setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karen tak kuat
menahan rasa sakit. Sewaktu tadi menghantam luruh serangan paku hitam yang
dilepaskan Imo Gantra dengan Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus menekan
sebuah tombol rahasia pada bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-
merta dari lubang-lubang pada gagang kapak yang berjumlah enam buah mencuat
keluar enam buah jarum halus yang meskipun malam masih pekat kelam tapi
jarum-jarum itu memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya menyambar ke arah Imo
Gantra.
“Dimas
awas senjata rahasia!” teriak Ki Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan
pukulan tangan kosong. Imo Gantra sendiri cepat membuang diri ke samping namun
kasip. Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental oleh pukulan Ki Rawe
Jembor, tiga lainnya sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang kiri dan
perut Imo Gantra. Kakek bermuka cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya sebelah
kiri langsung lumpuh sedang perutnya seperti ada besi menyala di sebelah dalam.
Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe Jembor cepat mendekap tubuh
kawannya itu lalu berteriak agar beberapa orang menolong menggotong Imo Gatra
ke dalam istana. Ketika dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor tidak melihat
lagi Raden Cokro Ningrat di tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu
mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap bengitu saja ?
*******************
6
WIRO
SABLENG tidak tahu di mana letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa anta ra
Muntilan dan kaki barat laut Gunung Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama
Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat yang disebutkan oleh orang yang telah
melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri. Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang
tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang tadi dia tak sempat melihat wajah
ataupun sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu cepat. Sudah lenyap sebelum
dia sempat membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti tentang orang itu.
Yakni dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para tokoh silat
istana kelihatannya agak gentar terhadapnya. Benarkah dia sesepuh kerajaan lama
seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor ketika berbisik-bisik dengan Imo
Gantra dan sempat terdengar oleh Wiro? Berarti sang resi mempunyai hubungan
sangat dekat dengan Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia muncul
menyelamatkan gadis itu. Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa
Selarong? Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari dia berusaha mengobati
luka pada pipinya dengan obat bubuk yang selalu di bawanya.
Agaknya
tombak Ki Rawe Jembor meskipun tampak angker ternyata tidak mengandung racun
jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti telah keracunan. Tapi untuk lebih
meyakinkan pendekar itu menelan sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju
kearah timur. Menjelang tengah hari keesokannya Wiro sampai di lembah batu
kapur Selarong. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah batu- batu kapur
berwarna putih. Di beberapa bagian batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman
di makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada pepohonan. Apalagi menemukan sebuah
goa. Wiro menarik nafas kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
“Gila! Di
mana aku bisa menemukan goa di daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu
hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu luar biasa hingga orang lain tak
dapat mendengar. Berarti pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak
bermaksud mempermainkan…” Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya
terasa kering. Bajunya basah oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
“Gila!”
kata pendekar ini lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar matahari menyilaukan
mata. Batu kapur yang dipijaknya terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya
pemuda ini mendapat akal. Dari pada susahsusah mencari mengapa tidak berteriak
saja? Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan berteriak keras-keras.
“Resi
Mandra Botama! Aku Wiro, orang yang kau suruh datang! Harap beri petunjuk di
mana kau berada!” Suara teriakan Wiro membahana di lembah batu kapur itu.
Bergema panjang berulangulang membuat sang pendekar merasa ngeri sendiri
mendengarnya. Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak terdengar. Wiro
berteriak sekali lagi. Sekali lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada
jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
“Sialan!”
maki pemuda ini. Dia memutuskan menunggu selama sepeminuman teh di tempat itu.
Jika tetap tak ada seseorang yang muncul dia akan berteriak lagi. Dan jika
masih tak ada tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ maka lebih baik
dia pergi saja. Suatu ketika seekor burung tampak terbang di udara. Berputar-putar
beberapa kali di atas lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu menukik laksana
sebuah anak panah, menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap tak kelihatan
lagi.
“Aneh…”
membatin Wiro.
“Bagaimana
burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi? Mungkin…” Wiro Melompat dari
duduknya. Lalu pendekar ini lari ke pertengahan lembah, ke arah mana tadi
dilihatnya burung menukik turun dari udara dan lenyap. Sesaat ketika dia sampai
di tempat di mana sebelumnya dengan pasti tampak burung menukik lenyap, Wiro. jadi
garuk-garuk kepala dan memaki. Di situ memang terdapat sebuah lobang. Tapi
hanya lobang kecil cukup untuk satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi
memang ada dalam lobang itu. Binatang ini segera terbang ke udara ketika Wiro
datang lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang berkeliling. Lobang kecil
di tanah batu kapur itu ditendangnya. Tiba-tiba tiga buah lobang seukuran tubuh
manusia menganga aneh di kiri kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar.
Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu perempuan dua lelaki. Ketiganya
berusia sekitar tujuh sampai delapan tahun. Masingmasing berpakaian seperti
prajurit-prajurit kerajaan, membawa tombak dan perisai. Tombak dan perisai itu
adalah yang biasa dipergunakan oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam ukuran
sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi ketiga anak itu. Tapi anehnya
ketiganya tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa tombak panjang dan
perisai besar itu.
“Kalian
bertiga keluar dari dalam tanah! Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau
manusia benar ?!” bertanya Wiro keheranan. Anak perempuan di samping kanan
tampak membesarkan bola matanya.
“Tua
bangka tidak tahu peradatan!” Anak perem–puan itu membentak.
“Sebagai
tamu kau tak layak bertanya tapi justru harus memperkenalkan diri!”
“Aha… Ini
baru hebat!” seru Wiro lalu dia berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si
anak perempuan. Setengah melucu Wiro berkata:
“Nah,
sekarang kita sama-sama tinggi kawan! Bagaimana pendapatmu?” Anak perempuan itu
tidak menjawab apalagi tertawa. Matanya memandang tak berkesip pada Wiro.
Mulutnya terbuka sedikit. Terdengar suaranya mendesis.
“Tamu
sinting. Apakah sudah siap untuk menerima kematian?”
“Heh…?”
Wiro berpaling dan jadi terkejut ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah
tegak di samping kanannya dengan ujung tombak hampir melekat di batang
lehernya!
“Gila!
Bagaimana aku tidak sempat melihat gerakannya dan tahu-tahu kini sudah
membokong?”
“Tamu
sinting! Coba lihat sebelah kiri!” Si anak perempuan berkata. Wiro berpaling.
Astaga! Anak lelaki kedua ternyata juga sudah menodongkan ujung tombak besarnya
ke batang leher bagian kiri!
“Hai!
Apa-apaan ini?!” tanya Wiro Sableng. Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk
kepala.
Namun dari kiri kanan, dua perisai atau tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya
hingga dia tidak bisa bergerak. Benar-benar mengherankan. Bagaimana dua anak
kecil begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga dia terjepit di tengah-tengah.
Semula hendak dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan adu kekuatan. Namun
Wiro tak tega kalau dua anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun hanya diam
dan berteriak bertanya. Anak perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat dengan
jari kelingking kiri. Demikian dekatnya hingga hidung Wiro Sableng hampir
tersentuh.
“Lekas
katakan siapa namamu. Datang dari mana dan apa kepentinganmu datang ke lembah
ini!”
“Gadis
cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik aku akan menjawab pertanyaanmu!” sahut
Wiro sambil menyengir.
“Namaku
Wiro Sableng! Aku barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang kemari untuk
mencari Goa Selarong. Aku haus dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa
diterima?!”
“Soal kau
haus atau lapar bukan urusan krmi! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa
Selarong?” Anak perempuan itu bertanya. Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia
memang tidak main-main.
“Seseorang
menyuruhku datang ke goa itu,” menjelaskan Wiro.
“Seseorang
siapa? Setan? Hantu… Tuyul? Rampok atau pengemis?” bertanya lagi si anak perempuan
yang membuat Pendekar 212 mengulum senyum menahan tawa.
“Orang
itu bernama Resi Mandra Botama…”
“Ada apa
kau mencari resi itu? Urusan baik atau urusan jahat?”
“Mana aku
tahu. Sang resi sendiri yang meminta aku datang.” Berdasarkan pertanyaan terakhir
yang diajukan gadis kecil itu Wiro segera maklum bahwa daerah sekitar situ,
walaupun dia masih belum melihat adanya goa, pastilah daerah kediaman orang
yang telah menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri. Hatinya puas dan kini dia
akan mempermainkan dan mengganggu ketiga anak kecil itu. Tertama si gadis yang
di depannya. Maka diapun berkata
“Mengenai
urusanku dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak perlu tahu. Tapi aku ada
membawa tiga permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti mainan dan gula-gula itu
bukan untuk kalian!” Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro menyeringai.
“Kami
harus menggeledah tubuhmu!” Si gadis tiba-tiba memutuskan.
“Boleh
saja!” sahut Wiro.
“Tapi
buat apa susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh pakaianku. Kalau aku sudah
telanjang baru kalian puas!”
“Dan aku
juga membawa tiga ekor tikus besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk
kalian. Seorang satu!”
“Ih…!”
Kini ketiga bocah itu sama-sama menunjukkan sikap jijik.
“Katakan,
apakah kalian tahu di mana Goa Selarong? Di mana aku bisa menemukan Resi Mandra
Botama?”
“Kau
membawa barang busuk dan kotor. Maksud kedatanganmu terselubung tanda membawa
itikad yang tidak baik. Lekas pergi dari sini!”
“Begitu?
Baiklah. Tapi sebelum pergi aku akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan
kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!”
“Ternyata
maksudmu memang jahat! Biar kau kami bunuh saat ini juga!” Habis berkata begitu
si gadis memberi isyarat pada dua kawannya. Dua anak lelaki yang ada di kiri
kanan Wiro segera tusukkan tombak masing-masing ke leher pendekar itu. Saat
itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan kiri kanan mendorong keras ke samping,
menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak lelaki itu mencelat mental. Tapi
mereka tidak jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental, keduanya tampak
jungkir balik, mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu langsung
menyerbu. Si anak gadis cilik tak tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan
satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng
“Hebat!”
seru Wiro memuji polos karena kagum melihat gerakan ketiga anak itu. Ternyata
gerakan mereka bukan gerakan asal saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu
silat. Meskipun gerakan tersebut belum disertai kekuatan tenaga dalam, namun
jika berlku lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya. Wiro sendiri yang
semula hendak melayani secara asal-asalan kini harus bertindak hati- hati.
Pertama dia tidak ingin mendapat cidera , apalagi tertusuk tombak. Kedua, jika
menghadapi secara sungguhan dan membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia
melukai tiga bocah yang bersikap tegas tapi tetap bersikap dengan segala
kelucuannya sebagai anak-anak. Setelah mengelak kian kemari akhirnya Wiro dapat
akal. Cara terbaik menghadapi ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka
terlebih dahulu. Maka Wiro pun mempercepat gerakannya. Namun seolah-olah tahu
apa yang ada dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah itu pergunakan tameng
di tangan kiri masing-masing untuk melindungi diri. Karena jengkel akhirnya
Wiro memutuskan untuk menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis itu. Hanya
saja sebelum hal itu sempat dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar dari
tiga lobang di tanah batu kapur.
“Prajurit-prajuritku!
Cukup sudah sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu itu kedepanku!”
Serta-merta tiga anak kecil itu melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Ketiganya tegak membentuk barisan dan menjura kepada Wiro Sableng.
“Ah!
Pertunjukan atau sandiwara apa lagi yang hendak kalian lakukan!” ujar Wiro
sambil usap-usap luka di pipinya. Si gadis kecil menjawab mewakili kawankawannya.
“Junjungan
kami ternyata bersedia menemui paman raden. Silahkan mengikuti kami…..” Wiro
Sableng karuan saja jadi tertawa terbahak ketika dirinya dipanggil dengan
sebutan paman raden. Sementara itu dua bocah lelaki telah menyelinap masuk dan
lenyap ke dalam dua lobang di kiri kanan. Si gadis kecil menunjuk ke lobang
yang di tengah seraya berkata dengan sikap hormat:
“Silahkan
paman raden. Kita masuk lewat lobang itu…”
“Lewat
lobang sekecil itu? Dan masuk ke mana?” tanya Wiro heran.
“Lobangnya
tidak kecil!” jawab si gadis.
“Lihat!”
Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran lobang ditusuk-tusuk berulang kali hingga
lobang itu menjadi besar dan dapat dimasuki ukuran dua orang dewasa sekaligus.
Ketika melihat Wiro masih tegak terheran-heran si gadis berkata:
“Bukankah
paman raden hendak bertemu junjungan kami. Resi Mandra Bo- tama? Nah, mau
menunggu apa lagi?”
“Hemmm…
Jadi kau dan dua kawanmu tadi itu adalah prajurit-prajurit sang resi.” Wiro
manggut-manggut.
“Baiklah.
Aku percaya padamu.” Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat turun ke dalam
lobang. Begitu kakinya menginjak tanah lobang, tubuhnya langsung merosot
meluncur. Ternyata bagian dalam lobang itu seperti sebuah tabung peluncur yang
bagian bawah dinding- dindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro tidak dapat
melihat apa-apa. Dia mendengar, gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya.
Terowongan di bawah tanah itu cukup panjang. Beberapa saat kemudian Wiro
melihat sinar terang di bawah sana. Tak lama setelah itu tubuhnya meluncur
melewati sebuah pintu aneh lalu merosot terjun memasuki sebuah ruangan besar
berwarna putih yang diterangi banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke dalam
ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi, pintu di belakangnya terhempas
keras dan menutup.
*******************
7
DUA ANAK
lelak menyerang Wiro ternyata sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila
dihadapan seorang kakek bermuka kelimis lonjong dengan janggut pendek di
dagunya. Orang tua ini mengenakan pakaian hitam, berikat kepala dan berikat pinggang
kain putih. Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang panjang masih berwarna
hitam. Kakek ini duduk bersila diatas sehelai tikar kulit harimau yang
kepalanya telah dikeringkan dan menghadap ke arah Wiro dengan mulut menganga.
Di belakangnya tampak sebuah pembaringan dimana tampak terbujur sesosok tubuh
yang bukan lain adalah tubuh Nawang Suri. Gadis cilik dibelakang Wiro cepat
melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk bersila disamping dua kawannya.
“Junjungan,
tamu sudah kami antar kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di ruangan ini atau
menunggu di taman…”
“Taman…?”
Wiro memandang heran berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan dibawa h
tanah itu? Dan dia tidak melihat pentu lain selain tiga pintu yang berhubungan
dengan tiga terowongan jalan masuk tadi. Sang junjungan menganggukkan kepala
pada gadis cilik itu tetapi sepasang matanya tetap mengarah pada Pendekar 212
Wiro Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan sangat berwibawa, membuat
pendekar kita merasa risih.
“Kalian
tetap berada disini sampai urusan kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian
pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat pada tamu kita untuk duduk
dihadapanku. Tiga anak itu beringsut ke bagian kanan ruangan. Lalu kakek
berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih dekat
kehadapannya. Meski merasa tidak enak, Wiro menurut saja dan berkata:
“Nah
orang tua. Siapapun kau adanya, saya sudah datang memenuhi permintaanmu. Harap
terang kan segala maksud.” Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit dan
sekejap saja. Sesaat kemudian wajahnya kembali serius.
“Kurasa
aku tak perlu memperkenalkan diri lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari
pembicaraan kasak kusuk orang-orang kerajaan itu. Juga penjelasan dan
perajurit-perajuritku di luar lobang…”
“Saya
tahu kau adalah Resi Mandra Botama. Tak lebih dari itu.” Menjawab Wiro. Si
orang tua mengangguk. Lalu tanpa diminta dia menjelaskan
“Dulu aku
adalah pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat itu adalah ayah Nawang
Suri, gadis yang telah beberapa kali kau selamatkan. Untuk semua perbuatanmu
itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Kelak hari ini juga akan kubalas semua
jerih payahmu….”
“Ah,
apapun yang saya lakukan tidak ada niat untuk minta balas jasa…” jawab Wiro.
Dia memanjangkan leher memandang ke arah pembaringan.
“Gadis
itu…bagaimana keadaannya?”
“Tangannya
yang patah sudah dibalut Luka dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling tidak
membutuhkan waktu setengah bulan untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga
bulan untuk menyambung kembali tulang lengan yang patah…Kini dia tertidur
nyenyak”.
“Kasihan
dia. Saya sudah berkalikali menasihatkan agar jangan berlaku nekad…”
“Gadis
itu tidak nekad!” memotong Resi Mandra Botama.
“Apa yang
diperlihatkannya adalah satu keberanian sejati, jiwa satria membela hak dan demi
kewajiban!.” Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal urusan orang-orang ini.
Jalan pikiran mereka jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru berkata
memberi pendapat.
“Saya
tidak ingin mencampuri urusan kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan. Hanya
saja kalau saya boleh memberikan pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya
keliru, apapun yang hendak kalian lakukan harus di piker masak-masak. Keadaan
di luar sana sudah sangat jauh berbeda. Kalian berjuang, tapi perjuangan kalian
akan sia-sia karena kalian tidak ada beda dengan sebuah perahu kecil
menyongsong badai gelombang yang dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di
lupakan saja dan memilih jalan hidup yang tenang tentram ?” Orang tua itu
tersenyum lagi. Tapi segera pula wajahnya menunjukkan keseriusan kembali.
“Pendapatmu
mungkin benar. Tapi jangan lupa badai gelombang yang bagaimanapun besarnya
suatu saat pasti akan reda. Dan saat itulah yang kami tunggu untuk bergerak
kembali…”
“Berarti
pertumpahan darah tak akan pernah berhenti!” ujar Wiro pula.
“Itu
memang sudah aturan kehidupan di dunia…” menyahuti sang resi. Wiro menggeleng.
“Kenapa
kau menggeleng?”
“Manusia
hadir di dunia ini untuk mengatur dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!”
Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya bergetar.
“Resi,
sebaiknya urusan itu tidak usah kita bica-kan karena hanya akan mengundang
perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan pikiranmu kau anggap betul, tak
ada yang
melarangmu
untuk melakukan apa saja. Tentunya segala akibat dan tanggung jawab berada di
pundakmu. Sekarang mungkin kau lebih baik menerangkan mengapa meminta saya
datang ke goa ini….”
“Pertama,
seperti kukatakan tadi untuk mengu capkan rasa terima kasih karena kau telah
menolong puteri raja kami Nawang Suri. Namun ada hal yang lebih penting lagi.
Apakah kau bersedia kawin dengan gadis itu?” Wiro Sableng melengak kaget dan
ternganga mendengar ucapan itu.
“Kau
terkejut anak muda?” tanya si orang tua.
“Tentu
saja,” jawab Wiro.
“Pertanyaanmu
gi…aneh!” Hampir saja pendekar ini hendak mengucapkan kata gila. Tapi sang resi
langsung menyambung dengan pertanyaan:
“Apa yang
menurutmu gila atau aneh?”
“Bagaimana
kau enak saja menanyakan hal itu padahal kau bukan orang tua gadis itu…”
“Saat ini
kedudukanku lebih kurang sama dengan orang tuanya….”
“Lain dari
pada itu, bagaimanapun juga Nawang Suri adalah puteri raja sedangkan aku hanya
seorang pemuda gelandangan yang dicap orang sinting dimana-mana. Resi Mandra
Botama tertawa lebar. Ini pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa
demikian.
Keduanya duduk terpisah lebih dari tiga langkah. Tapi seperti bisa memulur
memanjang, tangan kana sang resi tahu-tahu sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan
sikap yang tampak ramah. Tapi sebaiknya Wiro merasa bahunya seperti dijatuhi
batu-batu besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga tubuhnya pasti
sudah terbanting ke lantai. Dia maklum kalau orang tengah mengujinya
“Anak
muda apa bedanya puteri atau putera raja dengan orang kebanyakan? Ingat, tadi
kau mengatakan bahwa kita lahir ke dunia untuk mengatur dunia ini agar jangan
sampai dunia mengatur kita. Nah bukankah itu cocok dengan ujarujarmu itu…?”
“Mungkin
tapi tidak untuk yang satu ini. Segala sesuatunya tentu ada pengecualian.
Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani menerima pemintaanmu itu. Saya mohon
maaf. Kalau urusan sudah selesai saya mohon diri Resi Mandra Botama menarik
tangannya dari bahu Wiro.
“Urusan
yang satu itu kuanggap belum selesai. Aku memberi waktu satu setengah tahun
padamu untuk memberikan jawaban…”
“Ah…kenapa
urusan jadi gila macam begini?!” membatin Wiro. Di depannya kembali terdengar
si orang tua berkata.
“Anak
muda, sementara urusan perjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda dulu, aku ada
satu permintaan. Entah kau sudi menolong atau tidak…”
“Apakah
itu?”
“Keris
Mustiko Geni,” sahut sang tesi Kini ha nya tinggal sarungnya saja yang ada pada
kami. Keris nya telah dirampas orang-orang kerajaan. Dapatkah kau membantu
mengembalikan senjata lambang tahta kerajaan itu?”
“Saya
tidak dapat memastikan. Tapi jika itu permintaanmu saya akan mencoba,” jawab
Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
“Kau
sangat kesusu anak muda?” bertanya Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri
dia tetap saja duduk di atas tikar kulit harimau.
“Maafkan,
saya memang harus pergi. Saya gembira bisa bertemu denganmu…”
“Jangan
buruburu pergi dulu, anak muda. Ada sesuatu untukmu!”
“Resi,
ingat, saya tidak meminta balas jasa apa-apa. Saya tidak mengandung niat
inginkan pamrih…”
“Ini tak
ada hubungan dengan soal kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini semata- mata
pemberian dariku karena aku suka padamu…” Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi
Mandra Botama mengeluarkan dua buah benda.
Benda-benda
itu diletakkannya diatas kulit harimau di hadapannya. Besarnya sekira setelapak
tangan, berbentuk bulat yang berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai sudut
runcing sebanyak tujuh buah. Satu berwarna merah satu lagi berwarna putih.
“Ini
adalah Sepasang Cakra Dewa.” berkata Resi itu.
“Yang
berwarna merah Cakra Jantan dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh mengambil
yang merah
“Terima
kasih Resi Mandra. Mohon maaf, saya tak berani menerima pemberianmu…” kata Wiro
seraya membungkuk.
“Jangan
membuat aku tersinggung anak muda: Aku tidak bermaksud menyogokmu!” Sang resi
tampak agak marah.
“Saya
tidak mengatakan demikian atau bermaksud begitu,” sahut Wiro.
“Cakra
ini bukan senjata sembarangan. Bila mengenai sasaran atau serangan meleset dia
akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya memiliki racun mematikan yang
tidak luntur sampai seratus abad. Ambillah yang merah ini. Aku berikan dengan
tulus ikhlas…” Karena Wiro Sableng masih tak mau menerima akhirnya Resi Mandra
Botama menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri dan melangkah mundur ke
sudut ruangan.
“Kau akan
saksikan kehebatan senjata ini, anak muda!’” kata sang resi. Lalu sekali tangan
kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Suaranya bergaung aneh. Terkejut mendapat serangan tak terduga itu Wiro berseru
kaget dan cepat-cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat putus
rambut yang melingkar di bawah telinga kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak
mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara lalu membalik ke arah Resi Mandra
Botama. Orang tua ini cepat menangkapnya dan memasukkannya kembali ke balik
pakaiannya.
“Orang
tua, kau hendak membunuhku…” kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar
suaranya. Sang resi tertawa. Tidak mudah membunuh pendekar sepertimu, anak
muda,” katanya. Lalu dia memberi isyarat pada ketiga
“prajuritnya”.
Tiga anak kecil yang duduk di sebelah kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke
dinding sebelah belakang. Menekan salah satu bagian dinding. Secara aneh
dinding itu menguak ke samping. Sebuah pintu terbuka.
“Selamat
jalan anak muda…” kata Resi Mandra Botama.
“Terima
kasih Resi Mandra. Saya minta diri. Sekali lagi terima kasih…..” Sebelum keluar
dari ruangan itu Wiro melangkah dulu mendekati pembaringan.
Setelah
menatap wajah Nawang Suri sebentar lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu
dengan tersenyum lebar dia menegur tiga anak itu.
“Kalian
bertiga benar-benar hebat. Aku kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain
kali apakah mau meneruskan permainan di lembah batu kapur tadi….?”
“Tentu
saja paman raden. Asalkan junjungan kami memberi izin” jawab ketiga anak itu
berbarengan. Lalu mereka menekan dinding belakang dan menutup kembali.
“Aneh…
dunia ini memang penuh keanehan!” katanya pada diri sendiri. Ternyata lobang
kediaman Resi Mandra Botama di sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang
subur. Jika orang berada di taman itu, tak satupun yang bakal mengetahui bahwa
pada samping batu yang tertutup rumput terdapat sebuah pintu rahasia.
“Pantas
orang-orang Kerajaan tak pernah berhasil menemukan tempat persembunyian ini…”
Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda
itu ditimang-timangnya. Beberapa belas langkah dihadapannya ada sebatang pohon.
Tanpa pikir panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke arah pohon. Menancap tepat
di pertengahan batang. Begitu menancap secara aneh senjata ini melejit keluar
dan kembali ke arah Wiro.
Cepat-cepat
Wiro menangkap benda itu, memperhatikannya penuh kagum lalu menyimpannya
baik-baik kembali. Ketika dia hendak melangkah pergi, sekilas dia memandang
lagi ke arah pohon yang tadi ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding.
Seluruh pohon itu mulai dari batang sampai ke daun dilihatnya berubah membiru!
“Racun
ganas! Benar-benar ganas!” Pendekar 212 geleng-geleng kepala lalu tinggalkan
tempat itu.
*******************
8
“Bagaimana
keadaannya…?” tanya Ki Rawe Jembor. Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan
gelengkan kepala. Wajahnya murung.
“Saat ini
kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang menembus tubuhnya tidak terbawa
larut oleh aliran darah sampai ke jantung. Kami melakukan beberapa totokan. Ki
Rawe Jembor kepalkan tinju kanannya.
“Kalian
bertiga harus menemukan jalan menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang bisa
membantu jangan segan-segan minta tolong!”
“Akan
kami perhatikan pesanmu itu, Ki Rawe.”
“Apakah
kalian ada melihat Raden Mas Cokro Ningrat?” Dua orang menggelengkan kepala.
Orang ketiga menjawab
“Tidak.”
“Baiklah.
Rawat sobatku itu baikbaik. Nanti aku segera kembali.” Keluar dari kamar Ki
Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana guna mencari Raden Mas Cokro.
Setelah merasa pasti orang itu tak ada di istana maka dia segera menuju ke
tempat kediamannya. Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada. Ketika dia
hendak meninggalkan tempat itu seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi.
Sebelum
Ki Rawe membentak orang ini sudah bicara.
“Saya
diutus oleh Raden Cokro Ningrat. Hulubalang diminta datang menemuinya di satu
tempat. Harap mengikuti saya….” Pelipis Ki Rawe Jembor bergerakgerak.
Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan
dan dalam keadaan negeri kacau seperti itu dia memegang kendali tertinggi,
namun masih ada Patih Wulung Kerso atasannya.
“Ada
keperluan apa Raden Cokro memanggil aku? Dan mengapa ke satu tempat rahasia,
bukan ke istana?” bertanya Ki Rawe Jembor.
“Saya
tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya diperintahkan saja…”
“Baik,
tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti
kita samasama menemui Raden Mas Cokro Ningrat.
“Tidak
bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang
ju…” Plaak!! Satu tamparan mendarat di wajah penunggang kuda itu. Bibirnya
pecah. Dua giginya tanggal dan tubuhnya terpental dari punggung kuda
tunggangannya.
“Sekali
lagi kau berani bicara sembrono, kupatah-kan batang lehermu!!” sentak Ki Rawe
Jembor. Lalu dia berangkat kembali menuju istana. Utusan Raden Cokro terpaksa
mengikuti sambil tiada hentinya mengeluh kesakitan. Ketika ingat Patih Wulung
Kerso, saat itu juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke istana. Dia memang
tidak suka pada sang patih namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja membuat dia
diam-diam merasa kawatir. Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat yang
tahu-tahu kemudian mengirim seorang utusan. Apakah yang terjadi di balik semua
ini? Ada satu lagi yang dikawatirkan hulubalang tertinggi istana ini. Yaitu
keselamatan Pangeran Purbaya. Pangeran inilah satusatunya yang berhak
dinobatkan jadi raja karena dia putra tertua dari istri pertama Sri Baginda.
Hanya saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya berjudi dan menyabung ayam
sangat tidak pantas bagi seorang caloan raja. Tapi siapa pengganti yang lain?
Belum lagi urusan mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas di tangan Nawang
Suri. Sungguh banyak hal yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu. Disamping
tanda tanya besar apakah bala tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu
akan muncul kembali di bawah pimpinan Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra
Botama? Lalu kalau pemuda sableng itu ikutikutan muncul suasana pasti
bertambah tak karuan. Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor
memerintahkan
tiga puluh anggota pasukan pengawal istana untuk mencari Pati Wulung Kerso. Tak
lama kemudian dia menerima kabar sang patih ditemui telah jadi mayat dalam
kamar penyimpanan barang-barang dan senjata pusaka istana. Ketika Ki Rawe
Jembor datang sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan, hatinya tercekat. Sekujur
tubuh dan wajah Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman. Siapapun yang
membunuh patih kerajaan itu pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni. Karena
hanya senjata itulah satu-satunya yang memiliki kemampuan ganas seperti itu.
Raja dan Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan bencana besar bagi Kerajaan!
Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang
berada dan menunggu di halaman istana. Dia berpikirpikir apakah akan menemui
Kepala Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran Purbaya lebih dulu. Akhirnya
Ki Rawe Jembor memutuskan untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran ini berada
di ruangan besar istana di mana jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi
oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir, pejabat tinggi istana
termasuk putra dan putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan lima perwira
mengawal ruangan ruangan besar itu. Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang kursi
di mana Pangeran Purbaya duduk. Mendengar bisikan orang tua itu pangeran
berdiri dan melangkah mengikuti. Dalam sebuah kamar mereka mengadakan
pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu adalah niat Ki Jembor agar Pangeran
Purbaya segera dinobatkan menjadi raja sebelum Sri Baginda dimakamkan esok.
Malam itu juga pengumuman akan disampaikan ke seluruh kerajaan dan upacara
resmi tapi singkat akan diadakan di depan jenazah Sri Baginda. Pangeran Purbaya
menyetujui usul Ki Rawe Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar. Pangeran
Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar
di mana sebelumnya kedua orang itu berbicara dengan ruangan besar di mana
jenazah Sri Baginda disemayamkan berjarak sekitar dua ratus langkah. Mereka
harus melewati gang yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan baru sampai di
ruangan besar. Sesaat sebelum mencapai ujung gang tiba- tiba pintu kamar di
sebelah kiri terbuka. Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng kain
menghambur keluar. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata yang secara
aneh pula dibungkus dengan kain. Dengan senjata terbungkus ini orang tersebut
langsung menyerang Pangeran Purbaya!. Seperti dituturkan. Pangeran Purbaya bukanlah
seorang yang cerdas. Selain itu dalam usia muda 19 tahun dia tidak pula
memiliki kepandaian silat, apalagi yang namanya tenaga dalam atau kesaktian.
Karenanya ketika mendapat serangan itu dia hanya bisa berseru kaget, bersurut
mundur sambil dekap-kan kedua tangan di muka dada.
“Bangsat
kesasar!” teriak Ki Rawe Jembor. Dia melompat ke depan menyergap penyerang
bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Si
penyerang seolah-olah tersentak kaget melihat Hulubalang istana kelas satu ada
di situ. Serangannya terhadap Pangeran Purbaya terpaksa dibatalkan dan kini dia
berusaha menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang dilancarkan Ki Rawe Jembor.
Begitu berhasil menghindar si penyerang membalikkan diri, masuk kembali ke
dalam kamar dari mana tadi dia keluar dan membantingkan pintu di belakangnya.
Ki Rawe Jembor mengejar sambil lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong.
Pintu jati yang kokoh itu hancur berkepingkeping. Ketika masuk ke dalam kamar,
ternyata kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan jendela terpentang lebar.
Ki Rawe Jembor mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya kegelapan yang
menyambut.
“Hemm…”
bergumam Ki Rawe Jembor.
“Seseorang
menginginkah kematian diri Pangeran Purbaya. Keadaan di istana ini semakin
tidak karuan. Kutogede jelas-jelas dalam cengkaman bencana…..” Tanpa menutup
jendela itu kembali, orang tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran
Purbaya duduk tersandar di lantai. Mukanya masih pucat. Ki Rawe tolong
membangunkan sang pangeran lalu mengantarkannya kembali ke ruang besar tempat
Sri Baginda disemayamkan. Setelah itu dia memanggil perwira-perwira yang
bertugas, menceritakan apa yang barusan terjadi dan mengatakan sementara riaden
Cokro Ningrat belum diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan mengambil
alih tugas pimpinan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Dia memerintahkan
penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat ganda. Keselamatan keluarga
istana harus diperhatikan.
“Aku akan
meninggalkan istana barang beberapa lama. Kalian atur persiapan penobatan
Pangeran Purbaya, termasuk pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat. Sebentar
lagi pagi akan tiba. Sebelum matahari naik aku pasti sudah kembali!” Begitu Ki
Rawe Jembor memberikan pesan, lalu lewat jalan samping dia pergi menemui utusan
Cokro Ningrat yang menunggunya sejak tadi. Di sebelah timur langit mulai tampak
terangterang tanah tapi di tepi hutan yang terletak di sebelah barat Kutogede
keadaan masih diselimuti kepekatan menghitam disertai udara dingin yang masih
mencucuk. Tak lama memasuki hutan, dalam kegelapan tampak sebuah rumah kayu.
Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas tampak gelap gulita tapi cii sebelah
bawah ada sinar lampu menyeruak di antara celah-celah dinding papan. Ki Rawe
Jembor berpaling pada orang di sampingnya.
“Raden
Cokro menungguku di bangunan itu?” tanya si orang tua. Penunggang kuda
disebelahnya mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tidak kesampaian
karena saat itu juga Ki Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga tak dapat
bicara, tak dapat bergerak. Ki Rawe lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke
dalam semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak bertuan lagi itu. Dia
sendiri kemudian turun dari kuda, menyelinap dibalik-balik pepohonan dan semak
belukar, bergerak mendekati bangunan bertingkat dua. Tinggal sejarak enam
langkah dari dinding bangunan sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat atas
berdesing belasan anak panah. Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia cepat
menyelinap ke balik pohon besar.
“Kurang
ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengaja hendak menjebak dan membunuhku di tempat
ini! Kau tunggulah! Lehermu akan kupatahkan lebih dahulu!” Habis memaki dalam
hati begitu hulubalang kelas satu ini berteriak;
“Cokro
Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan keluarlah! Tunjukkan dirimu dan
katakan apa maumu sebenarnya!” Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tiba- tiba
di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada gerakan gerakan. Lebih dari satu
orang di tempat itu. Menyusul terdengar seruan bertanya.
“Siapa di
luar sana?!”
“Aku Ki
Rawe Jembor! Hulubalang Pertama Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang
kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang jebakan!”
“Ah…!”
terdengar suara kaget dari dalam bangunan.
“Kami
kesalahan! Kami kira kau seorang penyusup!” Pintu rumah terpentang. Sesosok
tubuh tampak tegak di ambang pintu dan melangkah keluar. Ki Rawe Jembor segera
mengenali. Orang itu adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil menyiapkan pukulan
tangan kosong yang dialiri tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar dari balik
pohon. Dengan hati-hati dia menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke arahnya.
“Cokro!
Mengapa Kau menyuruh orangorang di atas sana memanahku?!” tanya Ki Rawe Jembor
begitu tegak berhadap-hadapan dengan Raden Cokro.
*******************
9
KAMI
KELIRU!”Sahut Raden Cokro Ningrat.
“Mohon
maafmu kangmas Jembor. Sebelumnya aku terlah memberi perintah menyerang siapa
saja yang mendekati tempat ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku kau dan
utusanku itu. Ternyata kau muncul sendirian. Kau tak apa-apa? Heran, apa
utusanku tidak menemuimu?”
“Orang
itu memang menemuiku….”
“Nah,
dimana dia sekarang?”
“Sudah
kulemparkan ke dalam semak di belakang sana!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Raden
Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak tandukmu ini. Ada apa sebenarnya?!”
“Mari
kita bicara di dalam kangmas Jembor,” sahut Raden Cokro. Lalu tanpa menunggu
jawaban lagi dia membalikkan tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah. Meski
hatinya semakin jengkel namun Ki Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala Pasukan
itu. Tapi tangan kanannya diam-diam tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh
sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak bermata tiga yang tersembunyi di
balik pakaiannya. Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro menutupkan pintu. Ki
Rawe Jembor memandang sekeliling ruangan. Di situ ada sebuah meja dengan lampu
minyak besar di atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker yang duduk di
belakang meja. Sekali lihat saja Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga
manusia itu. Yang pertama seorang kakek bermuka tirus. Sebelah mukanya berwarna
putih sebelah lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat tumpahan air panas.
Namanya Ronggo Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat yang diam di
Gunung Merbabu. Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut buncit. Mukanya
bulat berminyak tertutup oleh cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang matanya
sangat besar dan berwarna merah. Kepalanya ditutup dengan kain warna merah. Dia
membawa senjata secara aneh. Senjatanya yakni sebilah golok bermata dua,
diikatkan ke leher dan digantung seperti memakai kalung. Inilah Warok Tumo
Item, raja diraja kaum perampok yang malang melintang di seantero Jawa Tengah
dan bermukim di sebuah hutan di kaki tenggara Gunung Sumbing. Lelaki ketiga
bermuka bopeng. Kedua matanya yang besar tampak menyeramkan karena ada lapisan
putih yang menutupi bagian bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti
memiliki mata putih tanpa bola mata. Dia mengenakan rompi tak berkancing hingga
dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di
lehernya tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari tembaga di sepuh emas.
Manusia satu ini dikenal dengan julukan Lonceng Maut.
“Raden
Cokro… tidak sangka kalau kau ter nyata kenal dengan orang-orang ini,” berkata
Ki Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak. Tiga manusia itu jelas bukan
orang baik-baik.
“Bukan
hanya kenal kangmas Jembor. Justru mereka adalah kawankawanku sejak lama.
Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan begitu para sobat?” Warok Tumo Item
menyeringai mendengar ucapan Cokro Ningrat. Lonceng Maut mengangyuk. Sebaliknya
Ronggo Sampenan hanya diam saja.
“Tak usah
sungkansungkan kangmas Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam ini kita
akan mengadakan perundingan penting. Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan
harus diambil cepat. Sebelum matahari muncul di timur…” Perasaan Ki Rawe Jembor
semakin tidak enak… Dia berkata:
“Aku
memang tak punya waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke Kotaraja. Kurasa
tempatmu pun di sana. Banyak masalah yang harus kita pecahkan…”
“Kangmas
Jembor betul. Banyak masalah di istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah
yang kita hadapi saat ini justru paling penting.
Yang akan
menetukan kelanjutan kehidupan kerajaan…..” Hulubalang istana itu menatap paras
Raden Cokro sesaat. Lalu dia mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang
kosong. Walaupun matanya masih tetap menatap Raden Cokro namun ekor matanya
melirik ke sudut ruangan di mana tergantung sehelai kain berwarna gelap,
berukuran pendek dan berbentuk aneh.
“Silahkan
kau memberi keterangan akan maksudmu Raden Cokro,” kata Ki Rawe Jembor.
“Kangmas
mengetahui, keadaan kerajaan saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan
pemberontak berhasil kita hancurkan dan Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti
bahaya tidak berhenti sampai di sana. Apalagi Nawang Suri dan Resi Mandra
Botama masih hidup. Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri Baginda.
Puncak kekuasaan tak ada yang mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut
karut bencana besar akan muncul! Karena itu perlu segera diangkat seorang
pimpinan baru. Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru…”
“Hal itu
sudah kusadari benar Raden Cokro,” berkata Ki Rawe Jembor.
“Aku
bersyukur dan merasa gembira kalau kangmas menyadari hal itu. Karenanya,
mengingat Keris Mustiko Geni berhasil kuamankan saat ini berada di tanganku,
aku tidak merasa sungkan untuk mengatakan bahwa besok pagi ke seluruh pelosok
kerajaan akan segera penobatan diriku sebagai raja….” Ki Rawe Jembor terkejut
bukan main mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. Tapi orang tua yang
cerdik ini tak mau memperlihatkan rasa terkejutnya pada air mukanya.
“Kau tak
memberi jawaban apa-apa kangmas…” berkata Cokro Ningrat seraya melayangkan
pandangan berarti pada Ronggo Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng Maut.
“Niatmu
untuk mengatas namakan keselamatan kerajaan patut kupuji Raden Cokro. Hanya
saja Sekalipun Keris Mustiko Geni lambang tahta kerajaan ada di tanganmu, namun
menurut garis silsilah yang berhak menjadi raja adalah Pangeran Purbaya…”
“Pangeran
Purbaya?!” Membuka mulut dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia tertawa
gelak-gelak.
“Pemuda
tolol berotak miring itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat Kutogede!”
“Kangmas
Jembor, kau dengar sendiri pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu tidak
cukup bagimu untuk menunjang diriku jadi raja?”
“Lagi
pula,” ikut bicara si muka bopeng Lonceng Maut.
“Mengapa
kita harus meributkan
soal
silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan kekuasaan raja lama dan mengangkat raja
baru soal keturunan hanyalah urusan orang tolol dan gila…”
“Betul
sekali,” kata Cokro Mingrat.
“Aku
percaya kangmas Jembor akan berada di pihak kami. Sebagai balas jasa, kelak
jabatan Kepala Pasukan Kerajaan akan kuberikan pada kangmas Sebagai tokoh
persilatan Ki Rawe Jembor tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus
terang dia tidak suka sejak lama terhadap Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini
ada rasa kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu sehubungan dengan kematian
Patih Wulung Kerso dan adanya usaha penyergapan dan pembunuhan terhadap
Pangeran Purbaya.
“Apakah
Raden mengetahui kalau Patih Wulung Kerso telah meninggal dunia?”
“Astaga?
Bagaimana hal itu bisa terjadi?!” Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe
Jembor tahu betul itu adalah satu kepura-puraan belaka. Sementara itu tiga
orang lainnya tampak tenang-tenang saja.
“Dia
tewas dibunuh seseorang yang mempergunakan senjata sakti!”
“Pembunuhan
lagi!” seru Raden Cokro seraya berdiri dan menggebrak meja dengan tangan
kirinya.
“Apakah
sudah diketahui siapa pembunuhnya?”
“Saat ini
memang belum. Tapi nanti juga bakal ketahuan!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Nah,
kangmas lihat sendiri betapa kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas
ditangani bencana besar akan menimpa Kutogede…”
“Bencana
sebenarnya sudah jatuh. Hanya kiamat saja yang belum!” menyahuti Ki Rawe
Jembor.
“Kalau
begitu kangmas saya mintakan tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan
penobatan saya besok pagi. Upacara pun akan kuserahkan padamu untuk
mengaturnya.”
“Hal itu
tak mungkin dilakukan Raden. Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah
dinobatkan jadi raja.” Raden Cokro Ningrat terkejut. Kali ini benar-benar terkejut.
Sekali lagi dia tegak dari kursinya.
“Kalau
begitu…” terdengar suara Lonceng Maut berkata sambil permainkan lonceng kuning
yang tergantung di lehernya.
“Sudah
saatnya kita harus menyerbu istana sekarang juga!”
“Aku
harap hal itu tidak kalian lakukan!” kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya
berdiri dan melangkah ke pintu.
“Tunggu
dulu, sampean mau pergi ke mana?” bertanya Ronggo Sampenan.
“Aku akan
kembali ke Kutogede.”
“Ah,
jangan membuat tiga sahabat kita ini tersinggung kangmas Jembor!” ujar Raden
Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah dibuka Hulubalang istana itu. Lonceng
Maut, Ronggo Sampenan dan Warok Tumo Item serentak bangkit dari kursi
masing-masing lalu bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri di sekitar Ki
Rowo Jember jelas mengambil sikap mengurung.
“Kurasa
aku tidak menyinggung siapapun. Aku hanya minta jangan ada yang melakukan
hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan mengalami kekacauan begini rupa.
Dan khusus padamu Raden Cokro, kuharap kau suka mengembalikan Keris Mustiko
Geni padaku. Senjata itu harus berada di istana.” Raden Cokro Ningrat
tersenyum.
“Jika
begitu permintaan kangmas, baiklah!” katanya. Lalu dari balik pakaiannya
dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini terbungkus kain. Melihat hal ini
berubalah paras Ki Rawe Jembor.
“Jadi,
kaulah rupanya yang malam tadi mencoba menyergap dan membunuh Pangeran ‘
Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu juga yang kau pergunakan? Sengaja
keris sakti kau bungkus dalam kain agar tidak mudah diketahui senjata apa yang
ada di tanganmu!”
“Pikiranmu
cerdik, matamu sungguh tajam. Sudah mengetahui begitu mengapa masih bersikap
tidak bersahabat?!” berkata Lonceng Maut.
“Kalau
kami tidak segan-segan membunuh seorang calon raja apa artinya nyawa manusia
seperti-mu!” menimpali dukun jahat Ronggo Sampenan lalu mengambil sejumput
tembakau dari dalam kantong pakaiannya dan mulai mengunyahnya. Ki Rawe Jembor
maklum kalau orang ini memang suka mengunyah tembakau. Tapi dia juga tahu benar
bahwa tembakau itu kerap digunakan sebagai senjata. Bila di sembur dapat
menghancurkan bagian tubuh manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan buta.
“Kangmas
Ki Rawe Jembor, kuminta agar kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke
istana.” Raden Cokro berkata sedang tangannya menahan daun pintu hingga
Hulubalang utama kerajaan itu tak dapat membukanya.
“Kita
berada di pihak yang berlainan Raden. Beri aku jalan. Buka pintu itu…” Melihat
Ki Rawe Jembor sukar dibujuk maka Lonceng Maut membuka mulut:
“Tak
perlu kita meminta seperti pengemis pada manusia tak berguna ini!”
“Betul!”
Menimpali Ronggo Sampenan.
“Jikadia
tak mau tinggal bersama kita, biar nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!”
Habis berkata begitu dukun jahat ini semburkan tembakau di dalam mulutnya ke
arah muka Ki Rawe Jembor. Hulubalang utama yang telah berjaga-jaga ini dengan
sigap rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat di atas kepalanya, menancap di
dinding papan. Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan yang sejak tadi
sudah dialiri tenaga dalam dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan. Meleset dan
angin pukulan melabrak meja hingga terguling dan ambruk berantakan. Lampu
minyak di atas meja ikut terbalik segera membentuk kobaran api. Perkelahian
pecah sementar bangunan di mana mereka berada mulai ikut terbakar. Bagaimanapun
hebatnya Ki Rawe Jembor namun menghadapi empat lawan tangguh begitu rupa, dalam
keadaan tubuh penuh luka, memar dan menghitam akibat racun Keris Mustiko Geni,
akhirnya dia menemui ajal. Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran api
yang memusnahkan seluruh bangunan kayu itu.
*******************
10
MENJELANG
pagi. Sang surya masih belum terlihat menyembul meski langit di sebelah timur
mulai tampak kemerahan. Di ruangan besar istana satu upacara besar siap
dilangsungkan. Yakni penobatan Pangeran Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu
pula dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah Sri Baginda dan satunya lagi
jenazah Patih Wulung Kerso. Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi besar berukir
kepala harimau pada dua lengannya dan burung garuda pada sandarannya yang
tinggi. Di kiri kanannya tegak mengapit masing-masing seorang perwira
berpakaian kebesaran perang, lengkap dengan tameng dan tombak sedang pedang
tersisip di pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret para pejabat dan
petinggi kerajaan. Sedang di belakang kursi Pangeran Purbaya duduk ibundanya,
saudara-saudaranya, para istri dan selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi
serombongan pemain gamelan menembangkan lagu-lagu sedih. Suara gamelan
berangsur perlahan dan akhirnya sirna ketika dari sebuah pintu muncul keluar
seorang gadis membawa baki emas, melangkah setindak demi setindak menuku tempat
duduk Pangeran Purbaya. Di sampingnya mengawal empat prajurit. Menyusul dua
orang tua berjubah putih. Keduanya adalah pejabatpejabat Istana paling tua
yang di percayakan utuk memimpin upacara penobatan itu. Di atas baki yang
dibawa gadis itu, terletak sehelai kain merah putih terlipat rapi yang
berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di atas kain inilah terletak mahkota emas
bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di sudut ruangan menyerukan kata-kata
puji syukur dan Tuhan Yang Maha Esa. Gadis pembawa mahkota sampai di hadapan
Pangeran Purbaya. Bersama seluruh rombongan dia menjura membungkukkan diri
sementara semua yang hadir di ruangan itu telah berdiri. Dua orang tua berjubah
putih maju ke depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan tangan menyentuh mahkota
sedang yang sebelah kiri mendongak seraya berkata lantang:
“Segala
puji syukur untuk Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan Yang
mempunyai semua kekuasaan di Kata-kata itu terputus mendadak karena dari
ruangan sebelah depan istana tiba-tiba menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu
berkelebat cepat dan tanpa dapat dicegah langsung menyambar mahkota yang ada di
atas baki emas. Gadis pembawa baki terpekik dan
terdorong
jatuh. Dua kakek berjuah ikut terpelanting.
Tentu
saja suasan menjadi gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di kursi besar. Dua
orang perwira yang mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang ke depan. Salah
seorang ayunkan tombak sambil membentak :
“Rampok-rampok
dari mana yang berani berbuat kurang ajar! Menganggu jalannya upcara
penobatan!”.
“Trang…”
Tusukan tombak tertahan oleh sambaran golok bermata dua. Tombak itu patah dua
sedang sang perwira kemudian terdengar menjerit ketika golok yang tadi
menangkis kini menancap di perutnya!
“Kami
bukan perampok!” salah satu dari tiga orang yang menerobos masuk berteriak
seraya melompat ke atas sebuah meja.
“Kalian
semua dengar! Kami datang untuk menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh
berada di mana-mana. Acara penobatan ini tetap diteruskan tetapi yang akan jadi
raja bukan Pangeran Purbaya! Siapa yang berani menantang nasibnya akan sama
dengan perwira itu!” Sesaat suasana menjadi hening seperti di pekuburan.
Ketegangan menggantung di udara. Tapi hanya sesaat. Suasana gempar tak
terkendalikan lagi. Beberapa prajurit dan perwira-perwira istana coba menyerbu.
Tapi siasia. Sebagian orang yang hadir di tempat itu menyingkir dengan suara
gaduh. Belasan pejabat ikut menjauh. Orang-orang perempuan termasuk ibunda
Pangeran Purbaya dilarikan ke ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil
menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari ruangan. Orang yang tegak di atas
meja kembali berteriak.
“Kalian
semua tetap di tempat! Kalian…” Sebatang anak panah melesat dari arah jendela
di samping kanan, mengarah ke dada orang yang tegak di atas meja. Namun dengan
hebat sekali dia menggerakkan tangan. Anak panah itu mencelat mental. Lalu dia
menyambar sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah jendela. Di belakang
jendela terdengar suara memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang perwira yang
tadi melepaskah panah itu menemui ajalnya. Orang di atas meja berteriak sambil
berkacak pinggang.
“Ada lagi
yang hendak coba membokong?!” Suasana kembali sunyi tapi ketegangan semakin
memuncak. Siapakah tiga manusia yang barusan muncul mengacaukan jalannya
upacara besar di istana itu? Mereka bukan lain adalah Warok Tumo Item, Ronggo
Sampenan sedang yang tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng Maut.
“Kalian
semua dengar! Hari ini kerajaan akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang
raja gagasi perkasa! Yang akan melindungi kerajaan dari bencana keruntuhan dan
peperangan. Lalu Lonceng Maut mengembangkan tangannya ke arah langkan istana.
Di situ tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam pakaian kebesaran seorang
raja. Dia melangkah menuju kursi besar di ruangan upacara. Di tangan kanannya
dia menggenggam Keris Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah, keris sakti
mandraguna lambang tahta kerajaan yang telah merenggut sekian banyak jiwa.
Warok Tumo Item yang tegak memegang mahkota di samping kursi, begitu Raden
Cokro sampai di hadapannya segera meletakkan mahkota itu di atas kepala Raden
Cokro. Saat itulah dari dalam menghambur seorang perempuan sambil berteriak.
“Manusia-manusia
rendah! Pengkhianat busuk!” Perempuan ini ternyata adalah kanjeng ratu ibunda
Pangeran Purbaya. Entah bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat aman, dia
berhasil meloloskan diri. Dan kini dia menghambur ke arah Raden Cokro sambil
menghunus sebilah pisau besar. Ronggo Sampenan cepat datang menyongsong dan
mendekap perempuan itu.
“Semua
orang dengar!” teriak ibunda Pangeran Purbaya.
“Jangan
berdiam diri saja! Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia pengkhianat itu!
Mereka bukan hendak menyelamatkan kerajaan. Tapi perampok- perampok bejat!”
Seperti mendapat semangat maka sejumlah pejabat, prajurit dan perwira-perwira
istana segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga kambratnya. Namun semua itu
tentu saja merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang singkat ruangan besar Istana
itu telah berubah menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan dimana-mana. Darah
membasahi dinding dan lantai. Suara pekik kematian dan erangan mereka yang
meregang nyawa membuat tempat itu seperti neraka
*******************
11
PERMAISURI
yang malang itu terbaring di tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan
walaupun kedua matanya telah belut dan merah karena terus-menerus menangis
sehri semalam.
“Tak
pernah kusangka nasib kita akan seburuk ini, Purbaya” terdengar suara perempuan
itu di antara isakannya. Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di sudut ruangan
batu yang merupakan penjara itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya tampak
kuyu dan wajahnya pucat seperti tidak berdarah.
“Ayahmu
dibunuh. Tahta dirampas. Entah bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua ini.
Entah bagaimana pula dengan nasib saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro
benar-benar manusia setan…” Pangeran Purbaya menghela nafas dalam.
“Mungkin
semua ini sudah takdir Gusti Allah, ibunda…” katanya kemudian. Sang ibunda
bangkit dari tidurnya da menatap tajam pada putranya.
“Ucapanmu
hanya menunjukkan kelemahan hatimu. Seorang putra mahkota tidak boleh berkata
seperti itu…..” Purbaya gelengkan kepala.
“Saat ini
aku bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudah jadi orang tahanan. Tadi malam
saya bermimpi bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda bahwa dalam waktu dekat
kita akan menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang berkuasa pasti akan
menggantung kita cepat atau lambat Mendengar kata-kata puteranya itu sang
permaisuri semakin keras tangisnya.
“Kita
tidak tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar atau jenazahnya mungkin dibuang
begitu saja ke dalam jurang …” Terdengar rantai pintu besi ruangan batu itu
digeser orang. Sesaat kemudian pintu terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi
tidak masuk secara wajar karena tubuh keduanya kemudian dibantingkan ke dinding
hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan itu muncul orang ketiga yang membuat
baik Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri raja jadi terkejut. Pangeran
Purbaya cepat berdiri.
“Mengapa
kau berada di sini! Bukankah kau orangnya yang membantu gadis pemberontak
itu?!” Orang yang dibentuk menyeringai.
“Kau
benar Pangeran, dulu aku membantunya karena dia kuanggap sahabat. Tapi
pagi-pagi buta ini aku datang kemari untuk menolongmu.
“Jangan
percaya pada pemuda gila ini, Purbaya!” Permaisuri memberi peringatan.
“Memang
siapa yang percaya padamu. Kau tidak lebih baik dari empat keparat yang kini
menguasai istana dengan Cokro Ningrat sebagai dedengkotnya!”
“Dengar
kalian berdua. Kita tak punya banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah
kereta yang akan membawa kalian ke satu tempat. Dari tempat itu akan disebar
pengumuman bahwa kalian berdua masih hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui
hal ini maka urusan dengan empat manusia keparat itu serahkan padaku. Jika
nasib kita mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta berkahNya,, kau akan
mendapatkan tahta Kerajaan yang menjadi hakmu itu… Tapi aku ada syarat…” Ibu
dan anak saling berpandangan. Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda gondrong
yang ada di hadapan mereka, yang bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
“Sampai
saat ini orang-orang itu masih terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik
untuk meninggalkan tempat ini. Mari!” Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini
seperti memberi semangat pada sang pangeran. Purbaya memegang lengan ibunya.
Bertiga mereke menyusup melewati lorong-lorong gelap di bawah istana dan
akhirnya sampai di tembok timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekat sepbuah
pintu kecil. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang telah diatur oleh Wiro
dan berlima mereka menyelinap menuju kereta yang telah menunggu di luar tembok.
Begitu masuk ke dalam kereta. Pangeran Purbaya dan ibunya terkejut melihat
sesosok tubuh menggeletak di lantai kereta, ketika diamati ternyata orang ini
adalah Imo Gantra, bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih berada dalam
keadaan lumpuh akibat hantaman jarum.
“Sebelum
menyusup ke tempat tahanan kalian, aku berhasil menemukan dia dan membawanya ke
dalam kereta lebih dulu. Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku mengikat
sebuah syarat…..” Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran Purbaya bertanya:
“Apa
syarat yang kau maksudkan itu…?”
“Syarat
enteng saja. Kalian kubantu mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris
Mustiko Geni akan kubawa…”
“Mana
mungkin begitu!” tukas ibunda Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur dengan
cepat.
“Keris
itu adalah lambang ikatan tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Siapa
pemiliknya dia yang berhak jadi raja…”
“Jangan
tolol!” jawab Wiro.
“Jika
seorang jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata itu, apakah dia bisa
jadi raja?!”
Ibu dan
anak terdiam.
“Apa
perjanjianmu dengan paman Imo Gantra?” bertanya Pangeran Purbaya.
“Kalian
harus mengatakan dulu, setuju atau tidak dengan syarat tadi…”
“Aku
setuju saja!” jawab Pangeran Purbaya tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak
membuka mulut namun akhirnya memutuskan untuk tidak membantah.
“Nah,
perjanjianku dengan orang tua bermuka cekung ini ialah, aku akan mengeluarkan
tiga jarum yang mendekam di tubuhnya. Setelah sembuh dia harus membantuku
menggasak empat keparat yang sekarang bercokol di istana!”
“Kau
telah mencelakainya, apakah paman Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?” tanya
Pangeran Purbaya. Dari lantai kereta terdengar jawaban Imo Gantra. Suaranya
perlahan saja karena tubuhnya yang lumpuh memang berada dalam keadaan lemas.
“Aku
memang sudah menyetujui syarat pemuda gila itu….” Kalian tak perlu berdebat
lagi. Segala sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat itu baik-baik…” Tapi
ibunda Pangeran Purbaya msih belum puas. Dia bertanya.
“Setelah
kau mendapatkan Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kau
lakukan
dengan senjata itu?”
“Akan
kuberikan pada seseorang. Tapi jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas
senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk menambah noda darah dalam
Istana….”
“Aku
percaya padamu. Jalan hidup manusia memang aneh. Terus terang sebenarnya aku
tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi perjaka yang bisa keluyuran ke
manamana…”
“Anak
tolol!” bentak bekas permaisuri ketika mendengar ucapan puteranya itu.
“Sekali
lagi kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu Purbaya!” Wiro tertawa lebar
dan berkata:
“Bagaimanapun,
tidak sopan menampar seorang calon raja!” Dia menjenguk keluar.
“Kita
hampir sampai…” katanya. …
MESKIPUN
lobang tempat jarum menyusup sangat kecil dan hampir tertutup, namun dengan
keahliannya Wiro Sableng dapat menemukan yakni pada bagian bahu kiri, pinggang
kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro
keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan kapak yang berkilauan itu ditempelkannya
pada setiap lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo Gantra. Kemudian Wiro
kerahkan tenaga dalam untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling susah.
Sekujur tubuhnya bergetar dan mandi keringat. Biasanya tenaga dalam
dipergunakan untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari dalam keluar seperti
memukul atau melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung ajian kesaktian.
Hal itu sudaha lumprah bagi seorang jago-jago silat kelas tingkat tinggi.
Tetapi adalah jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu dipergunakan secara
berkebalikan yakni menghimpun kekuatan untuk menarik atau menyedot. Wiro
Sableng terduduk di sudut ruangan dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum
senjata rahasia yang sebelumnya dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini tampak
melekat pada badan kapak, berwarna merah karena terlapis darah. Di atas lantai
tanah yang dialasi jerami, Imo Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang tadinya
lumpuh. Lalu perlahan-lahan dia mencoba duduk dan berhasil.
“Makan
ini…” kata Wiro seraya melemparkan obat berbentuk butiran. Imo Gantra
cepat-cepat menelan obat itu. Wiro berpaling pada dua prajurit yang tegak di
pintu.
“Kalian
sudah siap?” tanya Wiro.
“Kami
akan pergi sekarang.”
“Bagus!
Sebarkan surat selebaran itu ke seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu
kembali kemari, tapi langsung bergabung dengan siapa saja yang bersedia ikut di
pihak kita. Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh Pangeran Purbaya…!” Dua
prajurit itu menjura. Keduanya naik ke punggung dua ekor kuda yang membawa
masingmasing sekantong besar surat selebaran berisi pemberitahuan bahwa
Permaisuri dan Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di tempat yang aman.
Orang-orang yang telah merampas takhta secara paksa akan mendapat hukumannya.
Rakyat dan seluruh pasukan yang setia pada Pangeran Purbaya dan Permaisuri
diminta bersiap-siap untuk menyerbu istana.
*******************
12
SAMBUTAN
rakyat terhadap surat selebaran itu ternyata tidak terduga dan luar biasa
sekali. Meskipun mereka tidak tahu dimana Pangeran Purbaya dan Permaisuri dan
juga belum ada yang bertindak sebagai pimpinan, namun berbagai senjata di
tangan,dalam jumlah ratusn bahkan ribuan berbondong-bondong menuju Istana.
Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal istana yang melihat kejadian ini segera
bersiap siaga. Ada yang langsung melapor ke dalam, tetapi sebagian besar di
antara mereka justru banyak yang menyeberang dan bergabung, disambut dengan
tempik sorak gegap gempita oleh rakyat. Di dalam istana, di mana Raja dan tiga
konconya masih saja asyik berpesta pora, seorang prajurit datang menemui Warok
Tumo Item dan menceritakan apa yang sedang terjadi di luar istana. Lalu kepada
Warok itu diserahkannya surat selebaran yang banyak bertebaran di kalangan
rakyat sampai ke pelosok-pelosok Kutogede. Oleh Warok Tumo Item, surat tersebut
diperlihatkannya pada Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri sebaga Raja
dengan gelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat. Cokro Ningrat meneguk
dulu segelas minuman keras, pemandangannya berkunang- kunang tapi dia masih
dapat membaca apa yang tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca dia
tertawa mengekeh.
“Hanya
sebuah surat edan! Apa yang ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu tak
punya kekuatan untuk melakukan apapun. Apalagi hendak menyerbu kemari….” ’Tapi
di luar istana ribuan rakyat sudah siap dengan senjata di tangan!” kata Warok
Tumo Item.
“Kalau
begitu kau pimpin pasukan. Bunuh semua mereka yang berani melawan!”
“Betul!
Bunuh semua!” Yang bicara adalah si bopeng Lonceng Maut yang duduk berdampingan
dengan dukun jahat Ronggo Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama terpengaruh
oleh minuman keras.
“Kalian
bertiga enakenakan di sini berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para
penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang melakukan!” Lalu Warok Tumo Item
memanggil seorang perwira dan memerintahkan ’Tak mungkin dilakukan Warok…” kata
sang perwira.
“Balatentara
yang masih ada di istana tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain sudah
menyeberang ke pihak musuh….”
“Perduli
amat berapa kekuatanmu! Angkat senjata dan usir para perusuh itu. Kalau mereka
melawan cincang saja!” bentak Warok Tumo Item. Dalam bingungnya perwira tadi
pergi jua menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana. Ternyata ada dua puluh
satu orang yang bisa dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di luar istana,
mereka bukannya menyerang melainkan bergabung dengan rakyat. Praktis tak ada
seorang prajuritpun lagi yang berada dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya
dan petugas-petugas dalam istana pun satu demi satu meninggalkan tempat itu
karena kawatir mendapat celaka bila penyerbuan terjadi.
“Sepi!
Mengapa sepi! Mana pelayan?! Mana minuman?!” teriak Cokro Ningrat. Mahkota emas
tak pernah ditanggalkan sejak saat pertama diletakkan di atas kepalanya.
“Orang-orang
gila itu agaknya sudah pergi semua!” berkata Ronggo Sampenan sambil memandang
berkeliling.
“Tapi
masih ada dua orang gila di sini!” Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri
ruangan besar. Serentak keempat orang itu sama palingkan kepala… Dan di situ
mereka melihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak bersama Imo Gantra. Wiro dengan
Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan sedang Imo Gantra mencekal dua golok
besar di tangan kiri dan kanan.
“Dua
orang gila kesasar!” teriak Cokro Ningrat. Meskipun terpengaruh oleh minuman
keras namun tiga orang lainnya yang berada bersama sang raja cepat membaca
situasi. Lonceng Maut segera loloskan loncengnya yang tergantung di leher.
Begitu juga Warok Tumo Item cepat-cepat loloskan golok bermata duanya. Sedang
Ronggo Sampenan keluarkan tembakau, berkomat kamit mengunyah tembakau itu
sementara tangan kirinya memegang seutas tali aneh sepanjang dua meter berwarna
merah. Melihat ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris Mustiko Geni dari
pinggangnya.
“Jika
kalian mau menyerah secara baikbaik, kerajaan akan mengampunkan semua
kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan maka bersiaplah untuk mati!” Keempat
orang itu tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
“Dia
menyebutnyebut kerajaan. Kerajaan yang mana yang dimaksudkannya?!” ujar Cokro
Ningrat. Lalu sambungnya:
“Apakah
kalian tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan dengan Raja bergelar Raden
Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat?! Lekas berlutut minta ampun. Mungkin aku
masih bersedia mengambil kalian berdua menjadi jongos dan perawat kuda!”
Keempatnya kembali tertawa gelak-gelak.
“Kita
serbu saja mereka sekarang. Selagi masih dipengaruhi minuman keras…” Berbisik
Imo Gantra. ’Tenang saja. Siapa di antara mereka yang berbahaya?” balas
berbisik Wiro Sableng.
“Si muka
bopeng itu. Senjatanya yang berbentuk lonceng bisa mengganggu pendengaran dan
mengacaukan gerakan. Lalu tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru itu.
Tapi tali di tangan kirinya lebih berbahaya. Si Gendut berewokan itu memang
hebat tapi permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang penting hati-hati
terhadap Cokro Ningrat. Dia memegang Keris Mustiko Geni
“Kalau
begitu dia yang harus kita bereskan lebih dahului” kata Wiro pula. Tangan
kirinya bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan senjata aneh pemberian Resi
Mandra Botama. Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk menjajal kehebatan
senjata itu.
“Astaga!
Itu Cakra Dewa jantan!” ujar Imo Gantra ketika dia melihat apa yang ada di
tangan kiri Wiro Sableng.
“Dari
mana kau dapatkan senjata itu?!”
“Bukan
saatnya untuk bercerita…”
“Kalau
begitu kenapa tidak lekas kau hajar mereka satu per satu?!”
“Sebentar.
Tenang saja. Sebentar lagi Imo!” ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat
orang itu.
“Jadi
kalian tak mau menyerah? Dan memilih mampus percuma?”
Cokro
Ningrat tegak dari kursinya. Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat.
“Sobat-sobatku!
Bunuh dua monyet kesasar itu!” Sang Raja berteriak berikan perintah.
“Diberi
susu minta racun! Terimalah ini!” balas membentak Wiro. Tangan kirinya
bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan suara bergaung menyambar ke arah
Cokro Ningrat. Percuma pada kekuatan Keris Mustiko Geni, Cokro Ningrat tidak
merasa gentar mendapat serangan itu. Dia tusukkan senjata mustika itu ke udara.
Sinar merah berkiblat disertai hawa panas menebar. Cakra dewa tampak bergetar.
Hawa sakti yang keluar dari Keris Mustiko Geni membuat senjata itu mengapung ke
atas namun selewatnya sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik. Cokro Ningrat
membentak marah dan cepat run-dukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas
ubun-ubunnya, menghantam tembok ruangan hingga membentuk lobang besar dan
berubah warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu seperti hendak tenggelam
menembus tembok, namun di lain kejap melesat kembali ke arah Wiro Sableng. Sang
pendekar yang terkagum- kagum melihat kehebatan senjata itu hampir terlupa
menangkapnya kembali. Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan Ronggo Sampenan
sementara itu berlompatan menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa
nyaringnya diruangan yang besar itu. Gendanggendang telinga hendak mau robek
dan jantung berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut Ronggo Sampenan keluar
semburan tembakau menghantam ke arah Wiro dan Imo Gatra. Lalu menyusul sambaran
tali merah yang dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara, terdengar suara
petir menyambar disusul dengan memerciknya api di ujung tali! Warok Tumo Item
sudah pula ayunkan golok bermata duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan
tiga tokoh silat itu.
“Imo, kau
tahan dulu tiga bergajul ini!” ujar Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si
kakek muda cekung yang jauh lebih tua dari padanya. Imo Gantra memang sudah
siap menunggu. Dua golok di tangannya kiri kanan menderu membentuk dua
lingkaran besar. Satu menyabung ke arah semburan tembakau Ronggo Sampenan,
satunya lagi memapasi serangan golok tunggal Warok Tumo Item, Baik Wiro maupun
Imo Gantra begitu mendengar suara lonceng merobek telinga masing-masing,
keduanya segera menutup indera pendengaran dengan aliran tenaga dalam. Suara
lonceng tetap bergema, tetapi tidak menyakitkan lagi.
“Bangsat-bangsat
rendah! Kalian minta mampus!” Terdengar bentakan Cokro Ningrat.
Dia
memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro Sableng segera menyongsong. Tapi untuk
membantu Imo Gantra, sebelum bergerak dia lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga
Geni 212 ke arah Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini tersentak kaget ketika
suara menderu seperti ribuan tawon mengamuk yang keluar dari senjata lawan
menindih kehebatan lonceng kuningnya. Pakaian dan rambutnya berkibar- kibar.
Tubuhnya seperti ditindih batu besar. Ketika dia nekat merangsek terus sambil
hantamkan senjatanya yang berbentuk lonceng itu, Wiro kirimkan satu tendangan
keaarah tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan loncengnya ke bawah. Tapi
Wiro sudah tarik pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut Naga Geni 212
membalik menyapu setengah lingkaran.
“Edan!”
teriak si bopeng ketika dia merasakan ada sinar putih perak menyambar panas
luar biasa. Kalau dia tidak lekas bertindak mundur, perutnya sudah kena
disambar mata kapak. Kleneng! Longceng di tangan orang itu terbelah dua. Satu
belahan mental dan menancap di loteng ruangan. Sepotongnya lagi masih
tergenggam di tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa dilepaskan karena
loncengan itu seperti telah berubah laksana bara api akibat aliran panas yang
datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng Maut kibas-kibaskan tangannya yang
tampak melepuh! Kejadian ini cukup membuat Loneeng Maut-menjadi leleh nyalinya
dan berpikir dua kali apakah dia akan terus melanjutkan perkelahian itu.
Sementara itu Imo Gantra mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo Item. Namun
karena kepala rampok ganas itu berdua dengan si dukun jahat Ronggo Sampenan
maka sangat berat bagi Imo Gantra untuk melayani keduanya sekaligus. Setelah
berhasil melumpuhkan Lonceng Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke arah
Cokro Ningrat. Tangan kirinya bergerak seperti hendak melemparkan Cakra Dewa.
Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke depan untuk melindungi diri. Namun
gerakan Wiro hanya tipuan belaka. Selagi bagian bawah lawan terbuka, murid
Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu baru benar-benar melakukan lemparan. Cakra
Dewa membeset di udara. Cokro Ningrat menjerit keras. Tubuhnya berputar. Cakra
Dewa menancap di perutnya, kemudian melesat kembali, membalik ke arah Wiro.
Tampak seperti ada asap tipis kebiruan mengepul di perut sang raja. Wiro
menangkap dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke arah Cokro Ningrat yang saat
itu jatuh berlutut di lantai. Sekujur tubuhnya terutama di bagian bibir tampak
membiru. Itulah jahatnya racun Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan
Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya kemudian terkapar menelungkup. Keris Mustiko
Geni lepas dari genggamannya. Mahkota emas tanggal dari kepalanya dan berguling
ke arah kaki Wiro. Dengan tangan kirinya Wiro mengambil mahkota sedang
tangannya cepat memungut Keris Mustiko Geni. Dengan hati- hati keris tak
bersarung itu diselipkan ke pinggang sedang mahkota emas dikenakan seenaknya di
kepalanya.
“Kami
menyerah!” teriak Ronggo Sampenan ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak
Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang dipergunakannya sebagai senjata itu
dibuang ke lantai. Warok Tumo Item juga ikut-ikutan membuang goloknya namun
nasibnya malang. Gerakannya yang agak lamban keburu didahului tusukan golok Imo
Gantra. Ketika golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak memegang senjata
lagi. Tubuhnya terhuyung. Darah mengucur membasahi lantai. Kedua tangan Warok
Tumo Item menggapaigapai ke udara seperti berusaha berpegangan pada sesuatu:
Tapi dia hanya memegang angin. Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja, tapi
belum sempat menyentuh kursi itu tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan
terkapar di tanah. Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap menyerah, Imo Gantra
cepat menotok orang ini. Sementara itu di luar istana terdengar suara gegap
gempita. Ratusan orang menyerbu masuk. Di depan sekali tampak Pangeran Purbaya
bersama ibundanya. Wiro masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu
tinggalkan ruangan ini dan menyongsong Pangeran Purbaya di tangga istana.
“Semuanya
sudah berakhir Pangeran. Aku minta diri sekarang….”
“Apakah
kau sudah mendapatkan Keris Mustiko Geni?” tanya sang pangeran.
“Wiro mengangguk
sambil menepuk pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran Purbaya dan ibunya.
Ketika dia hendak berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru.
“Hai! Kau
sudah kuberikan Mustiko Geni. Jangan ambil pula mahkota emasku!” Wiro tersentak
kaget.
“Astaga!
Mohon maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!” kata Wiro lalu cepat-cepat
mencopot mahkota yang masih berada di kepalanya. Orang banyak tertawa lebar.
Ibunda Pangeran Purbaya membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang pangeran lalu
berkata:
“Pendekar,
kau. tidak kami izinkan pergi. Kau harus menetap di Kutogede karena kami
memutuskan untuk mengangkatmu sebagai Kepala Pasukan Kerajaan!”
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala.
“Terima
kasih atas kepercayaanmu Sri Baginda… Tapi…” Wiro goyanggoyangkan tangan kanannya.
“Itu
tidak termasuk dalam perjanjian kita sebelumnya!” Lalu sekali berkelebat dia
telah lenyap di antara ratusan rakyat yang berkerumun di tempat itu.
“Pemuda
itu aneh, kadang-kadang menjengkelkan!” ujar Pangeran Purbaya.
“Dinobatkan
pun aku belum. Enak saja dia menyebutku Sri Baginda…”
“Ya, dia
memang seperti sinting. Tapi hatinya polos!” Memuji sang ibunda.
“Tiba-tiba
seseorang berteriak.
“Gotong
raja kita ke singgasananya!” Lalu puluhan manusia bergerak berebutan untuk
menggotong Pangeran Purbaya dan mendudukannya di atas kursi besar. Imo Gantra
tegak menarik nafas lega. Kelak kakek ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment