Dosa Dosa
Tak Berampun ( Sequel Episode Raja Rencong Dari Utara )
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
1
MESKIPUN
tanah Jawa dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu silat dan kesaktian, namun
beberapa daerah di tanah air telah pula mendapat nama harum berkat kehebatan
para tokoh silat serta kesaktian yang mereka miliki. Salah satu di antaranya
adalah daratan Aceh di Ujung Utara Pulau Andalas.
Dalam
serial Wira Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara” telah dikisahkan
munculnya seorang tokoh silat sakti mandraguna, bernama Hang Kumbara, bergelar
Raja Rencong Dari Utara. Di situ dikisahkan bagaimana Raja Rencong berusaha
mendirikan apa yang disebut Partai Topan Utara. Dia mengundang berbagai tokoh
silat yang ada di pulau Andalas bahkan dari outau Jawa untuk datang ke Bukit
Toba guna mengadakan pertemuan dan membicarakan rencana besar itu. Padahal di
balik semua itu Raja Rencong mempunyai maksud keji yakni hendak membunuh semua
para tokoh silat yang hadir. Bilamana para tokoh itu berhasil disingkirkan maka
dia akan menjadi raja diraja rimba persilatan.
Raja
Rencong mulai dengan menghancurkan Pesantren Suhudilah. Para pengurus pesantren
yakni Kiyai Hurajang, Kiyai Selawan dan Kiyai Tanjung Laboh mati di tangan Raja
Rencong. Padahal tiga Kiyai itu merupakan orang-orang berkepandaian tinggi
bahkan telah dianggap sebagai Datuk rimba persilatan.
Kiyai
Suhudilah sendiri, pucuk pimpinan Pesantren Suhudilah akhirnya tewas pula di
tangan Raja Rencong. Tak ada satu kekuatanpun yang dapat membendung kehebatan
Ilmu Kuku Api dan pukulan Topan Pemutus Urat yang dimiliki Raja Rencong. Dengan
dua ilmu luar biasa itu dia malang melintang dalam rimba persilatan pulau
Andalas.
Setelah
Pesantren Suhudilah disapu bersih maka Raja Rencong menggasak satu komplotan
manusia-manusia jahat yang dikenal dengan sebutan Gerombolan Setan Merah.
Semula Raja Rencong bermaksud mengambil lima tokoh Setan Merah untuk menjadi
para pembantunya. Tetapi ketika mereka menolak dan menghina. Raja Rencong
membunuh kelimanya yakni Setan Cambuk (Pemimpin Gerombolan Setan Merah), Setan
Pedang, Setan Pisau, Setan Darah dan Setan Rencong. Dalam kehidupannya yang penuh
darah dan maut itu Raja Rencong mempunyai seorang anak gadis bernama Pandansuri
yang memiliki kecantikan luar biasa, tetapi kekejaman dan keganasannya tidak
kalah dari Raja Rencong sendiri.
Apa yang
terjadi di rimba persilatan pulau Andalas itu sangat menggelisahkan hati
seorang tua berusia hampir tujuh puluh lima tahun. Orang ini dikenal dengan
nama Datuk Mata Putih, tokoh silat yang sangat disegani di pulau Andalas pada
masa itu. Kedua matanya berwarna putih. Hampir tak terlihat lensa mata yang
hitam. Tapi dia tidak buta. Dia merasa menyesal karena Rencong Emas yang kini
dimiliki oleh Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara adalah pemberiannya
kepada Hang Kumbara sebagai anak muridnya. Dan kini dengan Rencong Emas sakti
mandraguna itulah sang murid malang melintang menimbulkan keonaran, menurunkan
tangan jahat, melakukan pembunuhan serta perbuatan keji lainnya di mana-mana.
Karena
tak dapat berpangku tangan lebih lama maka Datuk Mata Putih meninggalkan goa
pertapaannya mencari sang murid. Dalam pertemuan di Bukit Toba, Datuk Mata
Putih menasihatkan Hang Kumbara agar bertobat dan tidak lagi melakukan
kejahatan karena itu tidak sesuai dengan perilaku seorang tokoh silat, apalagi
mengingat dia adalah muridnya sedang sang datuk sendiri begitu disegani dan
dihormati sesama tokoh persilatan.
Dengan
dalih bahwa dia hanya membalaskan sakit hati kematian ayahnya yang dibunuh
secara kejam semena-mena Hang Kumbara menganggap dia punya hak melakukan balas
dendam. Namun kemudian dendam terbalaskan itu menjadi dendam berangkai. Para
tokoh silat memburunya. Mau tak mau dia terpaksa mempertahankan diri dan
menghancurkan semua orang yang berusaha menuntut balas.
Apapun
alasan yang dikemukakan Hang Kumbara, semua itu tak dapat diterima oleh Datuk
Mata Putih, dan mengharap agar muridnya yang tersesat kembali ke jalan yang
benar. Namun Hang Kumbara menjawab: “Salahkah murid, sesatkah murid kalau murid
murid membunuh belasan manusia yang bertanggung jawab atas kematian ayah,
bahkan ibu, adik-adik, calon istriku dan seluruh anggota keluarganya…?!”
Datuk
Mata Putih menyahuti: “Orang-orang yang bertanggungjawab atas semua itu
jumlahnya hanya sepersepuluh saja dari jumlah manusia yang telah kau bunuh
secara keji! Apa pertanggungan jawabmu atau alasanmu atas yang sembilan
persepuluh lainnya? Yang kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa
apa pun juga?!”
Karena
putus asa melihat kekerasan kepala muridnya itu maka Datuk Mata Putih
memerintahkan Raja Rencong untuk mengembalikan Rencong Emas yang dulu
diserahkannya dan ikut bersamanya ke pertapaan. Tentu saja Raja Rencong menolak
perintah tersebut. Maka perkelahian antara guru dan muridpun tak dapat
dihindarkan lagi. Ternyata Datuk Mata Putih tidak dapat menghadapi kehebatan
sang murid. Guru yang malang ini akhirnya tewas oleh tusukan Rencong Emas,
senjata sakti yang diciptakannya sendiri yang kemudian diberikannya pada Hang
Kumbara!
Kematian
Datuk Mata Putih menggemparkan dunia persilatan terutama di belahan utara pulau
Andalas.
Suatu
hari berkumpullah empat orang tokoh silat terkenal di puncak gunung Sinabung.
Mereka adalah Panglima Sampono selaku tuan rumah. Dia dikenal sebagai tokoh
silat yang pernah membaktikan diri pada Sultan Deli hingga akhirnya walaupun
dia tidak bertugas lagi di Kesultanan, gelar Panglima tetap melekat pada
dirinya. Orang kedua ialah Datuk Nan Sebatang lalu Lembu Ampel dan yang
terakhir Sebrang Lor. Lembu Ampel adalah tokoh silat berasal dari pulau Jawa
tapi selama beberapa tahun terakhir telah menetap di pulau Andalas. Keempat
orang ini bertemu untuk membicarakan masalah besar yang tengah dihadapi dunia
persilatan saat itu yakni merajalelanya Raja Rencong dengan segala
keganasannya.
Sebrang
Lor sendiri adalah seorang tokoh silat dari daratan Malaka yang menyeberang ke
Andalas untuk membalas dendam kesumat. Menurut keterangannya Raja Rencong telah
gentayangan ke Malaka, membunuh tokoh-tokoh persilatan di sana yang tidak mau
tunduk dan bergabung padanya. Bahkan ketika kembali ke Andalas, Raja Rencong
telah pula menculik dua orang gadis.
Keempat
orang itu menyadari bahwa Raja Rencong memiliki kepandaian tinggi luar biasa.
Sekalipun mereka berempat belum tentu dapat mengalahkannya. Karenanya harus
dicari akal yang sebaikbaiknya. Atas saran Panglima Sampono diputuskan untuk
menculik Pandansuri yakni anak Raja Rencong. Bila anak gadisnya dikuasai maka
sang ayah besar kemungkinan bisa ditundukkan.
Di sebuah
kaki bukit empat tokoh silat tadi menghadang Pandansuri. Terjadi perkelahian
hebat. Meskipun memiliki kepandaian sangat tinggi yang didapatnya dari Raja Rencong
namun akhirnya Pandansuri terdesak. Tetapi sewaktu si gadis siap untuk
diringkus, muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng memberikan pertolongan. Murid
Eyang Sinto Gendang ini sama sekali tidak mengetahui siapa adanya Pandansuri
dan apa urusan empat orang itu mengeroyok sang dara. Dia memberikan pertolongan
hanya karena tidak suka melihat ketidak adilan. Empat lelaki berkepandaian
tinggi mengeroyok seorang gadis berkerudung. Kalau tidak ditolong niscaya si
gadis akan celaka. Begitu dirinya terhindar dari tangkapan lawan, Pandansuri
segera melarikan diri setelah terlebih dulu mengancam akan memberitahukan
kejadian pengeroyokan itu pada Raja Rencong.
Setelah
Pandansuri meninggalkan kaki bukit, maka kemarahan kini tertumpah pada Pendekar
212 Wiro Sableng. Perkelahian pecah kembali. Kini Wiro yang menjadi sasaran
keroyokan. Pendekar ini mempertahankan diri dengan mengandalkan Rencong Perak
milik Pandansuri yang terlepas mental dan berhasil disambarnya sewaktu gadis
itu berkelahi menghadapi Panglima Sampono dan tiga tokoh lainnya itu.
Dalam
perkelahian yang berlangsung cukup lama itu akhirnya Wiro berhasil menotok ke
empat lawannya. Namun dia kemudian jadi terkejut setelah mengetahui kalau gadis
yang barusan ditolongnya adalah anak Raja Rencong. Padahal Raja Rencong adalah
manusia durjana yang sedang dicari-carinya. Dia sengaja menyeberangi lautan,
datang dari tanah Jawa ke pulau Andalas untuk menumpas Raja Rencong yang jahat
itu! Setelah meminta maaf Wiro tinggalkan ke empat tokoh silat tadi masih dalam
keadaan tertotok.
Perbuatan-perbuatan
biadab Raja Rencong yang menggegerkan dunia persilatan akhirnya sampai pula ke
telinga Sultan Deli. Maka dikirimkannyalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi
untuk menangkap Raja Rencong hidup atau mati. Namun ternyata sang perwira bukan
saja tidak berhasil menemukan Raja Rencong Dari Utara malah dia akhirnya
menemui ajal di tangan Pandansuri, tewas dihantam pukulan ilmu kuku api yang
ganas. Di tempat yang sama terbunuhnya perwira tinggi Kesultanan Deli itu
Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu pula dengan Pandansuri. Melihat keganasan
yang dilakukan sang dara tentu saja Wiro merasa tidak senang. Apalagi sikap
Pandansuri setelah dulu ditolongnya dari keroyokan Panglima Sampono sama sekali
tidak menunjukkan itikad baik atau mengucapkan terima kasih. Maka tak dapat
ladi dihalangi terjadinya perkelahian antara kedua orang ini. Setelah terdesak
hebat akhirnya Pandansuri melarikan diri.PADA hari dan tanggal yang telah
ditentukan diresmikanlah berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan tamu yang
diundang tampak menaiki perahu menuju bukit Toba. Mereka umumnya terdiri dari
orang-orang dunia persilatan. Bahkan banyak diantara mereka merupakan
tokoh-tokoh silat ternama. Semua mereka tidak menduga bahwa kedatangan mereka
menghadiri peresmian berdirinya partai darah itu hanyalah untuk mengantarkan
nyawa belaka. Karena sebenarnya Raja Rencong Dari Utara sudah menanam niat
untuk membunuh mereka semua! Para tamu duduk di sebuah tempat yang dinamakan
Arena Topan Utara. Arena itu terletak di bawah sebuah bangunan tua. Sesuai
dengan rencana yang diatur, Raja Rencong akan pergi ke mimbar dan Pandansuri
akan menqgerakkan satu alat rahasia. Alat rahasia ini akan menghancurkan bagian
atas Arena Topan Utara dan semua orang yang ada dalam Arena dengan sendirinya akan
tertimbun hidup-hidup.
Apa yang
dirundingkan ayah dan anak dalam kamar rahasia itu sempat terdengar oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng yang berhasil masuk menyusup ke tempat kediaman Raja
Rencong. Tetapi celakanya kehadiran Wiro sempat dirasakan oleh Raja Rencong.
Maka diapun melakukan penyelidikan sebelum menuju Arena Topan Utara.
Satusatunya tempat bersembunyi adalah sebuah kamar. Wiro segera masuk ke dalam
kamar ini. Dinding, lantai dan langit-langit kamar terbuat dari batu kasar dan
seluruh ruangan penuh berselimut debu.
Di tengah
ruangan duduk seorang lelaki tua bermuka biru dan berpipi sangat cekung.
Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah biru yang luar biasa besarnya hingga
bagian bawah jubah ini menutupi hampir separuh lantai ruangan batu. Kedua tangan
orang tua aneh ini buntung sebatas siku dan salah satu telinganya sumplung. Di
lehernya terikat sehelai rantai baja yang ujungnya dipantek dan ditanam pada
dinding batu di belakangnya. Kedua matanya tertutup. Sikapnya tak ubah seperti
seseorang yang sedang bersemedi.
“Hai…
Orang tua, kau siapa?” bisik Wiro. Dia kawatir kalau Raja Rencong muncul dengan
tiba-tiba.
Orang tua
yang dibisiki membuka kedua matanya.
Astaga!.
Wiro merasakan tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya merupakan sepasang
rongga yang dalam dan mengerikan.
“Anak
tolol!. Lekas sembunyi dalam jubah di belakang punggungku!” berkata orang tua.
Wiro
sadar kalau dirinya terancam bahaya yakni jika Raja Rencong menemukannya di
ruangan batu itu. Maka tanpa pikir panjang dia segera melakukan apa yang
dikatakan orang tua itu. Menyusup masuk ke dalam jubah biru yang sangat besar.
Meskipun orang nyata menolongnya namun Wiro masih belum dapat memastikan apakah
orang tua itu musuh atau kawan. Karenanya diam-diam dia mengerahkan aji pukulan
sinar matahari di tangan kiri sedang tangan kanan menggenggam hulu Kapak Maut
Naga Geni 212.
“Anak,
aku bukan musuhmu! Mengapa musti meraba senjata segala?” tiba-tiba orang tua
bermata buta itu mengiangkan pertanyaan ke telinga Wiro.
Suara
mengiang itu! Luar biasa sekali. Tentunya orang tua ini seorang sakti
mandraguna. Mengapa kedua matanya bolong begitu rupa, lalu dua tangan buntung
dan ditambah rantai baja yang mengikat lehernya?
Tiba-tiba
pintu terpentang dan terdengar bentakan Raja Rencong. “Tua renta buta! Siapa
yang masuk ke sini?!”
Orang tua
itu terdengar menghela nafas dalam. Lalu terdengar suaranya halus sekali seperti
suara anak perempuan.
“Jika aku
sampai tidak melihat orang masuk kemari itu bukan karena ketololanku. Tapi
karena memang kedua mataku buta. Sebaliknya jika kau yang punya mata dan
telinga sampai tidak mengetahui, malah bertanya padaku itu adalah satu
ketololan yang tak ada taranya! Apakah kau memang melihat ada orang lain di
tempat ini?!”
Ucapan
itu membuat Raja Rencong melontarkan kata-kata kotor.
“Eh,
sudahkah kau periksa Hang Kumbara?” tanya orang tua itu.
’Tutup
mulutmu setan tua!” sentak Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara.
Disentak
begitu si orang tua ganda tertawa dan menyahut: “Bukankah hari ini hari
peresmian Partai Topan Utara?”
“Kunyuk
peot!” kembali Raja Rencong menyentak. “Kau tahu apa tentang segala macam
partai!”
“Aku
memang tidak tahu apa-apa! Tapi aku mempunyai firasat bahwa partaimu itu akan
runtuh sebelum saat peresmiannya. Dan kau sendiri akan mampus!”
“Ya! Aku
akan mampus! Tapi sebelum mampus untuk ke seratus kalinya terima dulu
tamparanku!” Plaak!
Tamparan
yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa. Tubuh orang tua itu terasa oleh
Wiro menghuyung tapi dia tidak roboh. Bibirnya yang pecah mengucurkan darah.
Darah Pendekar 212 Wiro Sableng menggelegak mengetahui orang tua yang telah
menolongnya diperlakukan seperti itu. Segera saja dia hendak melompat keluar
dari dalam jubah. Tapi di telinganya terdengar suara ngiangan seperti nyamuk.
“Jangan
tolol anak!”
Mau tak
mau terpaksa Wiro mendekam terus di dalam jubah lebar itu. Kemudian terdengar
pintu kamar ditutupkan. Raja Rencong telah keluar.
“Sekarang
kau boleh keluar!” terdengar si orang tua berkata.
Wiro
cepat keluar lalu menjura hormat seraya berkata: “Terima kasih atas budi
pertolonganmu. Siapakah kau ini sebenarnya…?”
Orang tua
itu tertawa. Tampak gusinya yang tanpa gigi lagi.
“Sewaktu
kudengar orang berkelebat menuju belakang bangunan tua, sewaktu kudengar kau
mengangkat rerumpunan semak belukar lalu menyusup turun dalam lorong rahasia,
hatiku gembira. Kukira kau adalah Tua Gila. Tapi dari langkahmu kemudian segera
kuketahui bahwa kau bukan Tua Gila. Tapi, aku yakin kau pasti ada sangkut paut
dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul…?”
Wiro
Sableng melengak. Kehebatan orang tua cacat ini sungguh luar biasa. “Kau betul.
Secara kebetulan aku bernasib baik dan mendapat beberapa jurus pelajaran ilmu
silat dari Tua Gila. Kalau aku boleh bertanya, bagaimana kau tahu setiap gerak
gerikku?”
“Ilmu
yang tinggi adalah seribu mata seribu telinga. Tapi semua itu berakhir dalam
kesia-siaan. Buktinya diriku ini!”
“Kenapa
kau sampai seperti ini?” tanya Wiro.
“Muridku
sendiri yang melakukannya!” jawab orang tua itu.
“Muridmu?”
kejut Wiro.
“Tak
perlu terkejut atau heran anakmuda. Dunia ini penuh dengan orang-orang sesat
den murid murtad!”
“Kalau
aku boleh bertanya siapakah muridmu itu?”
“Masakan
kau tak bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Hang Kumbara!”
“Maksudmu
Raja Rencong Dari Utara?” “Itu gelarnya!”
“Benar-benar
manusia terkutuk!” desis Wiro geram. Sekali dia menggerakkan tangan kanannya,
rantai baja yang tertanam di dinding batu tanggal. Wiro lalu melepaskan bagian
rantai yang mengikat leher orang tua itu.
“Terima
kasih anak muda. Aku bisa bernafas lebih lega sekarang. Tenagamu luar biasa
sekali…”
“Orang
tua, aku tak punya waktu banyak. Tugasku adalah untuk menghancurkan Partai
Topan Utara. Berarti juga memusnahkan Raja Rencong. Kalau tugas itu selesai aku
akan kembali kemari membawamu keluar dari tempat terkutuk ini! Maukah kau
menerangkan siapa namamu?”
“Ah, aku
berterima kasih akan maksud baikmu itu. Tapi diriku yang cacat dan pikun ini
tak perlu kau pikirkan. Yang penting selamatkan orang-orang itu. Dengar anak
muda, namaku Nyanyuk Ambar. Dulu aku diam di Gunung Singgalang. Sampai
munculnya Hang Kumbara manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku.
Diluar tampaknya dia seorang pemuda baik-baik. Lagi pula kuketahui kemudian
sebelumnya dia berguru pada Datuk Mata Putih, seorang sahabatku. Maka kuambil
dia jadi murid dan kuajarkan berbagai ilmu silat serta kesaktian. Tapi siapa
nyana kalau manusia itu sebenarnya sejak lama mendekam satu maksud jahat. Yaitu
ingin menguasai dunia persilatan di pulau Andalas ini dengan menghimpun sekian
banyak tokoh lalu membunuh mereka secara keji! Aku ketahui kemudian bahwa
sahabatku Datuk Mata Putih telah menemui ajal dibunuh oleh manusia keparat itu.
Aku sendiri tidak terlepas dari kekejamannya. Hanya saja aku masih dibiarkan
hidup dengan dalam cacat seperti ini!”
“Jadi
Hang Kumbara juga yang memutus kedua tanganmu?” tanya Wiro.
“Bukan
hanya lenganku, anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau singkap jubah biru ini di
bagian kaki.”
Wiro
menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga! Ternyata kedua kaki orang tua
itu juga buntung sebatas lutut!
“Hang
Kumbara yang melakukannya…” desis orang tua itu. “Dia juga yang mencongkel
kedua mataku!”
“Manusia
jahanam!” Kedua tangan Wiro terkepal. “Orang tua, aku bersumpah untuk membunuh
manusia itu! Tapi mengapa dia melakukan hal itu padamu?”
“Seperti
Datuk Mata Putih, aku datang padanya dan memberi nasihat agar meninggalkan
jalan sesat. Menghentikan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh silat tak berdosa.
Alasan itu sudah cukup baginya untuk melakukan kekejian ini padaku. Dia
membokongku dengan totokan. Dalam keadaan tak berdaya tangan serta kakiku
dipotongnya.
Kedua
mataku dikoreknya. Lalu aku dimasukkan ke dalam ruangan ini dan dirantai!”
“Belum
pernah aku melihat dan mendengar manusia seganas Hang Kumbara. Tempatnya jelas
di neraka!”
Si orang
tua tertawa mengekeh. “Kau pergilah cepat! Jangan terlambat! Kalau orang-orang
itu sampai menemui ajal, celakalah dunia persilatan!”
Mendengar
kata-kata itu Wiro segera tinggalkan ruangan batu dengan cepat.
****************
2
DI
TENGAH-TENGAH Arena Topan Utara terletak sebuah mimbar. Di belakang mimbar itu
berdiri Raja Rencong Dari Utara. Matanya menyorot memandang ke arah tamu-tamu
yang hadir. Semua orang yang hadir di situ terbagi dalam tiga golongan.
Golongan pertama ialah golongan hitam yang secara nyata-nyata bergabung dengan
Raja Rencong. Golongan kedua adalah golongan putih yang telah ditaklukkan dan
dipaksa untuk masuk serta menghadiri berdirinya Partai. opan Utara. Baik
golongan hitam maupun golongan putih di atas semuanya telah masuk perangkap
Raja Rencong.
Golongan
ketiga yang ialah golongan putih yang sengaja datang ke tempat itu untuk
membalaskan dendam kesumat kematian kawankawan mereka yang telah dibunuh oleh
Raja Rencong, puterinya atau para kaki tangannya.
Raja
Rencong melirik pada sebuah tombol merah yang terletak di kayu mimbar dekat
tangan kanannya. Sekali dia menekan tombol ini maka tubuhnya akan melesat ke
atas, keluar dari ruangan itu lewat sebuah celah yang terbuka pada bagian atap
ruangan. Lalu pada saat yang sama lantai Arena Topan Utara-akan longsor ke
bawah, menyusul runtuhnya atap. Semua orang yang ada dalam Arena akan tertimbun
hidup-hidup. Tak bakal ada satu orang pun yang bisa menyelamatkan diri karena
berbarengan dengan runtuhnya atap serta amblasnya lantai, satu ledakan besar
akan menghancur luluhkan tempat itu!
Setelah
memandang berkeliling maka Raja Rencong membuka mulut memberi kata sambutan.
“Para
hadirin sekalian. Pertama sekali aku Raja Rencong Dari Utara mengucapkan terima
kasih atas kedatangan saudara-saudara di tempat ini. Dalam mendirikan Partai
Topan Utara ini, aku sama sekali tidak akan melihat asal-usul, atau menilai
saudara-saudara ini dari golongan mana. Bagiku, jika saudara-saudara telah
bersedia datang dan hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah
bersedia masuk menjadi anggota Partai Topan Utara!”
Pernyataan
Raja Rencong itu membuat para tokoh silat golongan putih yang datang untuk
membalaskan dendam kesumat menjadi gempar. Dalam keadaan suasana berisik
tiba-tiba melesatlah ke atas Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah Panglima
Sampono, Datuk Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Seorang Lor. Tiga kawan tegak
berjejer sementara Panglima Sampono melangkah tegap ke hadapan mimbar. Suasana
yang tadi berisik kini menjadi sehening di pekuburan. Ketegangan menggantung di
udara!
“Manusia-manusia
tidak tahu peradatan!” teriak Raja Rencong marah sekali. “Perbuatan kalian naik
ke atas mimbar tanpa izinku merupakan penghinaan besar bagi semua anggota
Partai yang hadir di sini!”
Panglima
Sampono sambil bertolak pinggang menjawab dengan suara garang.
“Ketahuilah,
kami berempat datang kemari bukan untuk menghadiri peresmian segala macam
partai kentut busuk! Tapi untuk meminta pertanggungan jawabmu atas kematian
sobat-sobat kami para tokoh silat golongan pucih!”
“Kalau
itu maksud kalian, rupanya kalian berkenan untuk menyusul mereka ke akhirat!”
tukas Raja Rencong. Dia berpaling ke arah Arena sebelah timur dan berseru:
“Empat Tombak Sakti! Lenyapkan pengacau-pengacau ini!”
Empat
orang berpakaian seragam hitam melompat ke atas Arena. Tampang mereka galak
buas dan angker. Begitu naik ke arena begitu mereka hantamkan tombak ke arah
kepala Panglima Sampono dan tiga kawannya! Pertempuran pecah! Tampaknya kedua
pihak saling berimbang. Serangan datang silih berganti.
Lima
belas jurus berlalu. Korban pertama roboh. Dia adalah orang ketiga dari Empat
Tombak Sakti. Meregang nyawa di ujung pedang Sebrang Lor.
Menyusul
kemudian Panglima Sampono berhasil membantai orang kedua dari Empat Tombak
Sakti. Kini pertempuran berlangsung antara Datuk Nan Sabatang melawan orang ke
satu sedang Lembu Ampel melawan orang ke empat. Ternyata dua orang terakhir
dari Empat Tombak Sakti ini tidak mampu menahan serangan-serangan gencar dua
tokoh silat golongan putih itu. Setelah lima jurus berlalu keduanya tergelimpang
menemui ajal!
Rahang
Raja Rencong tampak menggembung. Gerahamnya terdengar bergemeletukkan.
“Tongkat
Baja Hijau!” teriak Raja Rencong. “Bunuh empat keparat itu!”
Sekelebat
sosok tubuh berpakaian hijau melesat ke atas Arena. Orang ini berbadan tinggi
langsing. Usianya agak lanjut dan tubuhnya bungkuk. Di tangan kanannya dia
memegang sebuah tongkat sebesar betis terbuat dari baja asli. Warna hijau yang
membungkus tongkat baja itu adalah lapisan racun ganas yang dahsyat!
“Tunggu
apa lagi! Habisi mereka!” teriak Raja Rencong.
Tongkat
Baja Hijau mendongak dan perdengarkan tawa mengekeh. Tongkat di tangan kanannya
di ketuk-ketuk ke lantai Arena. Hebat sekali. Semua orang merasakan bagaimana
lantai yang mereka injak terasa bergetar. Panglima Sampono dan kawan-kawan
segera maklum kalau manusia berjubah hijau itu memiliki kepandaian tinggi
sedang senjata di tangannya mengandung bahaya maut!
Tongkat
Baja Hijau memandang pada keempat orang di hadapannya dengan mimik mengejek dan
menganggap rendah.
“Kalian
akan maju satu-satu atau berempat sekaligus? Lebih baik berempat agar aku tidak
banyak membuang waktu dan tenaga!”
Mengelam
paras ke empat tokoh silat itu. Panglima Sampono bergerak melangkah. Tapi
Sebrang Lor mendahului ke hadapan Tongkat Baja Hijau.
’Tampangmu
tak banyak berubah! Tapi pendirianmu kini berlainan!” berkata Sebrang Lor.
“Setahuku dulu kau adalah tokoh golongan putih. Sungguh disayangkan kalau kini
kau menjadi bergundal Raja Rencong, murid murtad pembunuh guru! Majulah, biar
aku rasakan hajaranmu!”
Tongkat
Baja Hijau tertawa bergelak.
“Sebrang
Lor! Tempatmu jauh di Malaka! Sulit nyawamu akan kembali ke sana!” Habis
berkata begitu Tongkat Baja Hijau menyerbu ke muka. Sinar hijau menggebu dari
tongkat bajanya. Sebrang Lor Cepar cabut pedang berkeluknya. Maka pecahlah
perkelahian hebat. Tapi kehebatan itu membawa malapetaka bagi diri Sebrang Lor.
Serbuan tongkat baja hijau laksana air bah, menderu-deru mengurung dirinya,
menutup jalan serangan dan lambat laun membobol pertahanan tokoh silat dari
Malaka itu. Dia hanya sempat bertahan sampai empat jurus. Di jurus ke lima
tongkat lawan menggebuk bahu tanpa dia bisa dikelit atau ditangkis. Sebrang Lor
menjerit. Tubuhnya tercampak ke luar Arena. Nyawanya lepas!
“Manusia
iblis! Aku lawanmu!” teriak Datuk Nan Sabatang menggeledek. Tubuhnya berkelebat
dan keris biru di tangannya meluncur sebat ke arah teng-gorokan Tongkat Baja
Hijau!
“Jangan
omong besar Datuk!” ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali tongkatnya disapukan Datuk
Nan Sabatang tersusut ke belakang. Wajahnya pucat.
“Ha… ha!
Aku muak berkelahi satu lawan satu! Ayo Sampono dan Lembu Ampel! Kalian berdua
ikut majulah!” Sambil menyerang Datuk Nan Sabatang,
Tongkat
Baja Hijau membagi serangan pula pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel.
Mula-mula kedua orang itu tak mau membalas apalagi terjun ke kalangan
pertempuran. Tapi karena diserang terus menerus mau tak mau akhirnya mereka
terpaksa juga turun ke gelanggang!
Bagi
orang-orang yang hadir di tempat itu nama Panglima Sampono dan kawan-kawannya
adalah nama-nama besar. Namun sewaktu menyaksikan berhasil mendesak ke tiga
lawannya itu maka kini dapat diukur betapa tingginya kepandaian kaki tangan
Raja Rencong ini.
Dalam
jurus ke sepuluh terdengar pekik Datuk Nan Sabatang. Tubuhnya melesat.
Kepalanya pecah dihantam tongkat lawan.
“Sekarang
giliran kalian berdua untuk mampus!” seringai Tongkat Baja Hijau pada Panglima
Sampono dan Lembu Ampel. Didahului oleh teriakan menggeledek Tongkat Baja Hijau
keluarkan jurus serangan yang luar biasa hebatnya. Ujung tongkatnya seperti
bercabang dua. Satu menggebuk ke arah kepala Panglima Sampono, satunya lagi ke
batok kepala Lembu Ampel! Dan dua orang ini seperti kena tenung, hampir tak
punya kesempatan untuk selamatkan nyawa masingmasing! Para tamu yang hadir
menahan nafas.
Dalam
detik yang tegang itu di mana maut sudah siap mencengkam dua korban, tiba-tiba
berkelebat satu bayangan putih disertai suara siulan nyaring. Satu gelombang
angin yang bukan olaholah dahsyatnya menderu laksana topan membadai. Beberapa
tokoh silat yang ada’d i pinggiran Arena merasa tubuh mereka bergetar. Di saat
itu tahu-tahu terdengar pekik Tongkat Baja Hijau. Orang bersama tongkatnya
mental keluar Arena menghantam dinding ruangan dengan keras. Ketika jatuh ke
lantai tubuh Tongkat Baja Hijau tidak bergerak lagi. Mukanya hancur! Di tengah
Arena semua mata menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong sebahu,
berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak menyeringai. Bajunya yang tidak
berkancing menyingkapkan dadanya yang penuh otot. Pada dada sebelah kanan ada
rajah tiga buah angka, berwarna hitam kebiruan.
****************
3
SEPASANG
mata Raja Rencong Dari Utara membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya.
Kumis tebalnya berjingkrak dan rahangnya menggembung. Suara menggembor
terdengar di tenggorokannya.
“Pemuda
keparat! Siapa kau!” bentak Raja Rencong sementara semua orang yang hadir di
tempat itu ada yang berdecak kagum tapi banyak yang melengak heran karena tidak
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi saking cepatnya gerakan-gerakan di atas
Arena.
“Siapa
aku tidak penting! Aku mau bicara!” jawab pemuda rambut gondrong seenaknya dan
membuat semua orang kini jadi tambah kaget melihat keberanian pemuda yang tak
dikenal itu.
“Keparat!
Kau minta mampus!” teriak Raja Rencong menggeledek.
Lalu dia
berseru garang.
“Sepasang
Pengemis Gila! Bunuh budak ini!”
Dari
Arena sebelah kanan melesat dua orang berpakaian kotor compang camping penuh
tambalan dan berambut acak-acakan. Tubuh mereka menghambur bau tidak sedap.
Inilah dua tokoh silat jembel sinting yang berjuluk Sepasang Pengemis Gila.
Keduanya berteriakteriak seperti monyet terbakar ekor. Dalam gerakan yang tidak
karuan tiba-tiba mereka menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng, pemuda yang tegak
di tengah Arena. Di saat yang sama mendadak dari samping kiri melompat pula
seorang berpakaian merah. Dari mulutnya menyembur arak merah yang menyerang ke
seluruh jalan darah di tubuh Panglima Sampono dan Lembu Ampel!
Dua tokoh
silat lanjut usia ini tentu saja terkejut dan serentak sama pukulkan tangan ke
depan. Namun sebelum dua pukulam sempat mencari sasaran, sebelum semburan arak
menimbulkan celaka, mendadak sontak terjadilah satu peristiwa yang membuat
semua orang bangkit tertegak dari kursi masing-masing.
Tiga
jeritan terdengar susul menyusul. Tiga sosok tubuh mencelat mental seperti
dilabrak topan prahara lalu terbanting ke dinding, mental lagi dan jatuh
di-antara orang banyak! Apa yang telah terjadi?
Ketiga
Sepasang Pengemis Gila dengan berteriak-teriak menyerang dirinya dan selagi
Datuk Arak Sakti menyembur ke arah Panglima Sampono dan Lembu Ampel, murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu hantamkan kedua telapak tangannya
sekaligus ke arah orang-orang yang menyerbu. Arena Topan Utara seperti
diguncang gempa, laksana dilanda badai. Pendekar 212 telah melepaskan pukulan
sakti bernama “dewa topan menggusur gunung”.
Nama
angker pukulan sakti itu tidak nama percuma belaka. Itulah pukulan sakti
mengandung tanga dalam tinggi yang dipelajarinya dari Tua Gila. Dan betapapun
hebatnya Sepasang Pengemis Gila serta Datuk Arak Sakti namun mereka tak sanggup
bertahan. Ketiganya mencelat mental, terlempar ke dinding batu dan menemui
kematian dalam cara mengerikan!
Di antara
para hadirin tak satu pun yang bergerak. Semua mata terpentang lebar ke arah
Pendekar 212. Hal yang sama terjadi juga dengan Raja Rencong. Dia tegak hampir
tak bergeming. Dia tahu betul, dua pukulan tangan kosong yang tadi dilepaskan
si pemuda tadi adalah pukulan “dewa topan menggusur gunung.” Dan setahunya
hanya satu orang yang memiliki pukulan dahsyat itu yakni seorang kakek sakti
yang dipanggil dengan sebutan Tua Gila. Ternyata kini pemuda tak dikenal itu
memiliki ilmu yang sama. Ada sangkut paut apakah antara pemuda ini dengan orang
tua itu?
Diam-diam
Raja Rencong merasakan dadanya berdebar dan lututnya bergetar. Aneh!
Benar-benar aneh! Setahunya Tua Gila sudah lama meninggal dunia dan selama
hidupnya orang tua itu tak pernah mempunyai seorang muridpun. Bagaimana kini
ada pemuda memiliki ilmu pukulan sakti itu? Sepasang mata Raja Rencong bergerak
berputar ke arah hadirin. Dia sangat kawatir kalau-kalau Tua Gila tahu-tahu
sudah ada pula di sana di antara para tamu. Namun dia tak melihat orang tua
itu. Hatinya lega sedikit.
Sebagai
tuan rumah yang telah menyandang nama besar, tentu saja Raja Rencong tidak mau
perlihatkan rasa jerih. Dia merasa sudah saatnya untuk menekan tombol merah di
atas mimbar sebelum kekacauan baru muncul. Tak apa kehilangan dua tiga kaki
tangan dan pembantunya. Asal sesaat lagi semua orang yang ada di situ akan
menerima kematian termasuk pemuda gila di tengah Arena.
Sambil
tertawa mengekeh Raja Rencong menggerakkan tangannya lalu berteriak keras:
“Manusia-manusia tolol! Selamat jalan ke neraka!”
Lalu jari
telunjuk tangan kanan Rana Rencong menekan tombol merah sekuat-kuatnya.
Tapi tak
satu pun terjadi.
Raja
Rencong menekan lagi. Lagi dan lagi. Bahkan kini menghantamkan telapak
tangannya keras-keras ke tombol merah itu. Namun atap di atas Arena tidak
membuka dan papan Arena yang dipijaknya tidak melesatkan tubuhnya ke atas. Juga
lantai Arena di mana para tamu duduk tidak roboh sedang langit-langit bangunan
tidak runtuh!
Di
hadapannya dilihatnya Wiro Sableng menyeringai. Lalu suara gelak membabak
keluar dari mulut pemuda itu.
“Raja
Rencong! Ada yang tidak beres rupanya?!”
Pertanyaan
itu membuat Raja Rencong membesi wajahnya. “Apa maksudmu?!” sentaknya.
“Ah! Kau
tahu apa maksudku! Kau panik! Lantai ruangan ini tidak amblas! Atap tidak
runtuh! Ha… ha… ha! Kau sudah menekan tombol rahasia tapi pesawat celaka yang
hendak membunuh semua orang yang hadir di sini tidak bekerja!”
Bukan
main marahnya Raja Rencong Dari Utara. Didahului menggereng seperti harimau
lapar terluka dia jentikkan sepuluh jari tangannya.
Sepuluh
larik sinar merah menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya Wiro telah
menyaksikan keganasan ilmu kesaktian ini yaitu ketika dikeluarkan oleh
Pandansuri. Kini kalau Raja Rencong sendiri yang memainkannya tentu jauh lebih
dahsyat. Karenanya murid Sinto Gendeng segera melompat ke atap ruangan dan dari
atas lepaskan pukulan “sinar matahari”.
Arena
Topan Utara laksana disambar petir dan geledek ketika pukulan sinar matahari
saling bentrokan dengan sinar merah ilmu kuku api. Dua ilmu kesaktian yang
dilancarkan dengan kekuatan tenaga dalam sangat tinggi begitu saling beradu
melesat ke kiri lalu memecah ke arah empat penjuru. Jerit kematian terdengar di
bagian itu. Sembilan tokoh silat golongan hitam hangus mengerikan. Delapan
tokoh golongan putih meregang nyawa mengenaskan! Bau hangusnya tubuh-tubuh yang
terpanggang memenuhi tempat itu. Kekacauan meledak!
“Para
tamu semua!” tiba-tiba Wiro berteriak lantang. “Kalian sekarang tahu kalau Raja
Rencong punya maksud tersembunyi. Secara keji sebenarnya dia hendak membunuh
kita semua yang hadir hadir di sini! Kenapa tidak berebut pahala mencincangnya
beramai-ramai?!”
Mendengar
teriakan Wiro Sableng itu semua tamu menjadi terbakar hati masing-masing,
apalagi yang sejak semula memang tidak suka terhadap Raja Rencong dan hadir di
situ untuk menghukumnya. Laksana air bah, tokoh silat golongan hitam dan putih
bergabung menjadi satu dan menyerbu Raja Rencong yang masih tertegun di atas
mimbar dengan dada berdenyut akibat bentrokan tenaga dalam dengan Wiro lewat
pukulan sakti tadi.
Raja
Rencong adalah tokoh silat sakti luar biasa. Keberaniannya dan kebengisannya
tidak beda dengan setan. Namun melihat sekian banyak para jago silat
menyerbunya dia jadi gugup. Nyalinya meleleh. Tanpa pikir panjang lagi dia
berkelebat larikan diri. Tapi arah larinya telah dihadang Wiro Sableng yang
saat itu sudah menggenggam Kapak Maut Naga Gen i 212.
“Keparat!
Mampuslah!” teriak Raja Rencong.
Sreett!
Raja
Rencong cabut Rencong Emasnya. Sinar kuning bertabur. Di waktu yang sama
puluhan senjata datang menderu Ketua Partai Topan Utara itu. Kapak Naga Geni
212 di depan sekali dengan sinarnya yang menyilaukan disertai deru laksana
ribuan tawon mengamuk!
Trang!
Rencong
Emas dan Kapak Naga Geni 212 beradu. Bunga api memercik. Raja Rencong mengeluh
tertahan. Tangan kanannya terasa panas dan getaran menjalar sampai ke pangkal
bahunya. Sebelum dia sempat memasang kuda-kuda baru laksana kilat Kapak Naga
Geni 212 sudah berkiblat kembali di depan hidungnya sementara di sekelilingnya
puluhan macam senjata datang menggempur.
“Huaaah!”
Raja Rencong membentak garang. Kedua tangannya kiri kanan membuat gerakan yang
dinamakan “sepasang kincir sakti menghadang bumi”. Ini bukan saja merupakan
satu jurus pertahanan yang ampuh tapi sekaligus merupakan jurus serangan
mematikan. Rencong Emas di tangan kanan mengeluarkan sinar kuning
berbuntalbuntal sedang lima jari tangan kiri tiada hentinya menjentikan ilmu
kuku api. Tiga orang tokoh silat tergelimpang roboh dihantam pukulan kuku api.
Tapi hanya sampai disitulah Raja Rencong sanggup menunjukkan keganasannya.
Sambaran
Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyilaukan mendesaknya. Angin senjata itu bukan
saja menutup pemandangannya tapi kedua matanya juga terasa perih.
Sesaat
kemudian terdengar jerit Raja Rencong! Telinga kanannya putus dibabat Kapak
Naga Geni. Racun yang ganas langsung merasuk ke peredaran darahnya. Sadar
bahaya yang dialaminya Raja Rencong cepat menotok beberapa urat penting di
tubuhnya agar racun tidak menjalar menuju jantung. Lalu dengan segala kehebatan
yang dimilikinya Raja Rencong mengamuk membabi buta. Dua tokoh lagi roboh di
tangannya, satu si antaranya adalah Lembu Ampel. Tokoh ini menjauhkan diri ke
sudut ruangan. Dadanya luka parah akibat tikaman Rencong Emas. Dia sadar racun jahat
senjata itu sebentar lagi akan meranjam tubuhnya. Didahului oleh satu teriakan
keras menyebut nama Tuhannya, Lembu Ampel akhirnya jatuh ke lantai tak bergerak
lagi.
Amukan
orang takut dan putus asa seperti yang dilakukan Raja Rencong tidak berjalan lama.
Ketika Kapak Naga Geni 212 menyusup di antara serangan-serangan yang
dilepaskannya. Raja Rencong terdengar menjerit. Dia merasakan tangan kirinya
panas sekali. Ketika dilihat ternyata tangannya itu telah buntung disambar
Kapak Naga Geni 212. Raja Rencong menjerit lagi. Belasan senjata datang
menusuk, menikam dan membacok sekujur tubuhnya. Tubuh itu seperti dimandikan
dengan darah. Tapi hebatnya Raja Rencong masih tegak, bukan saja bertahan malah
masih sanggup membuat gerakan-gerakan pembalasan. Wiro yang sudah kehilangan
kesabarannya segera putar Kapak Maut Naga Geni 212. Suara seperti ribuan tawon
mengaung laki disusul kembali jeritan Raja Rencong.
Darah
muncrat dari mukanya yang hampir terbelah. Tubuh dan wajah yang hampir tidak
berbentuk lagi itu menggeletak di lantai Arena Topan Utara. Darah bergelimang
di mana-mana. Masih banyak para tokoh yang melampiaskan dendam kesumatnya
menghujani tubuh tak bernyata Raja Rencong itu dengan berbagai senjata,
tendangan ataupun pukulan. Wiro maklum segala sesuatunya kini telah berakhir.
Pemuda ini cepat tinggalkan tempat itu, lari menuju sebuah kamar di mana
pesawat rahasia untuk membunuh para tokoh persilatan berada. Di situ
menggeletak Pandansuri, puteri Raja Rencong dalam keadaan tertotok. Apakah yang
terjadi dengan dara berkerudung ungu ini?
Seperti
diceritakan sebelumnya Wiro Sableng telah bertemu dengan Nyanyuk Amber, orang
tua sakti guru Raja Rencong yang berada dalam keadaan dirantai tak berdaya.
Setelah melepaskan orang tua itu dari rantai yang mengikatnya Wiro memergoki
Pandansuri di kamar pesawat rahasia. Terjadi perkelahian. Dalam waktu tiga
jurus Wiro berhasil membuat gadis itu tak berdaya dan menotoknya hingga ketika
ayahnya menekan tombol sebagai tanda agar dia menggerakkan pesawat rahasia,
sang dara tak mampu melakukannya.
“Pemuda keparat!
Apa yang terjadi di luar sana! Aku dengar suara gaduh!” Pandansuri mendamprat
begitu Wiro masuk ke dalam ruangan. Pendekar 212 menyeringai.
“Kabar
buruk bagimu. Ayahmu menemui kematian di Arena Topan Utara. Riwayat
keganasannya berakhir hari ini!”
Pandansuri
merasakan tubuhnya seperti hendak meledak.
Sepasang
matanya dibalik kerudung membeliak dan wajahnya tampak mengelam merah.
“Kurang
ajar! Pasti kau yang membunuh ayah!”
“Aku dan
puluhan tokoh silat yang hendak dicelakakannya!” sahut Wiro.
“Kau membunuh
ayah! Berarti kau harus mati di tanganku!” Wiro tertawa.
“Kenapa
kau masih keras kepala dan tidak mau sadar? Apa kau ingin menemui nasib sama
seperti ayahmu? Mati mengerikan di tangan puluhan tokoh silat yang masih ada di
luar sana?”
“Aku
tidak takut mati! Lepaskan totokan di tubuhku! Mari kita berkelahi sampai
seratus jurus!”
“Aku tak
punya waktu melayani orang kalap sepertimu. Sebelum pergi aku hanya ingin
melihat wajahmu yang selalu tersembunyi dibalik kerudung ungu itu!”
“Kurang
ajar! Kalau kau berani melakukan itu…!”
Tapi
tangan Wiro sudah bergerak menarik kain kerudung tipis yang menutupi wajah
Pandansuri. Begitu kerudung terlepas terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aih…
Kiranya parasmu cantik sekali…!” Wiro basahi bibirnya dengan ujung lidah dan
garuk-garuk kepalanya yang gondrong. “Hanya sayang aku tak bisa menikmati
kecantikan parasmu berlama-lama. Aku harus pergi dari sini bersama Nyanyuk
Amber. Selamat tinggal dara jelita…”
“Tunggu!”
teriak Pandansuri. “Lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
Wiro
putar langkahnya, menatap paras Pandansuri sesaat lalu berkata: “Kalau totokan
di tubuhmu kulepaskan apa kau akan menyerangku dan mencari perkara baru?”
“Demi
setan aku tidak akan melakukan apa-apa selain membaca sepucuk surat!”
“Hemm…
Ini adalah aneh!” ujar Wiro. “Kau hendak membaca sepucuk surat. Dari siapakah?
Tidak sangka kalau dara segalakmu ini bisa punya pacar…!”
“Aku
memang tidak punya pacar dan surat itu bukan dari siapasiapa. Tapi dari ayahku
sendiri! Ayahku yang kalian bunuh itu!” jerit Pandansuri.
“Baiklah…
Tapi kalau kau bersumpah aku tak mau kau melakukannya atas nama setan. Kau
pasti punya Tuhan. Bersumpahlah atas NamaNya!”
“Aku
bersumpah demi Tuhan!” teriak Pandansuri.
Wiro
melangkah mendekati. Tangan kanannya bergerak melepaskan totokan di tubuh sang
dara. Tapi tangan kirinya diam-diam menyiapkan pukulan sinar matahari. Untuk
berjaga-jaga kalau tiba-tiba Pandansuri membokongnya setelah lepas dari
totokan. Ternyata gadis itu memang tidak menyerangnya. Begitu tubuhnya bebas
dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sepucuk surat Tanpa memandang pada Wiro
dia berkata: “Ayah berpesan. Surat ini hanya boleh kubuka jika sesuatu terjadi
dengannya. Yakni kalau dia menemui ajal…”
Sang dara
membuka, lipatan surat lalu membaca apa yang dituliskan Raja Rencong di situ.
Pandansuri,
Kalau aku
sudah mati maka itulah saatnya kau harus mengetahui rahasia besar tentang
dirimu. Sebenarnya kau bukanlah anak kandungku. Kau kuculik ketika masih kecil.
Ayahmu adalah Kepala Kampung Pasirputih. Kembalilah padanya dan tempuhlah jalan
hidup yang baik.
Orang
yang pernah menjadi ayahmu
Raja
Rencong.
Surat itu
terlepas dari pegangan Pandansuri. Air mata menggelinding membasahi pipinya.
“Hai… ada
apakah saudari? Mengapa kau menangis?” tanya Wiro.
Pertanyaan
itu justru membuat Pandansuri menjadi mengeras isakannya Wiro mengambil surat
yang tercampak di lantai lalu membacanya. Pendekar ini kemudian menarik nafas
dalam. “Sekarang jelas bagimu. Kau berasal dari orang baik-baik. Karenanya
musti kembali ke jalan yang baik. Mari kita tinggalkan Bukit Toba ini…” Wiro
memegang bahu Pandansuri, bantu gadis itu berdiri lalu mengembalikan surat yang
tadi dibacanya.
Keduanya
melangkah menuju kamar Nyanyuk Amber untuk membawa orang tua itu sama-sama
meninggalkan Bukit Toba, mengikuti puluhan tokoh silat yang lebih dahulu pergi
meninggalkan tempat angkara murka tersebut.
****************
4
HANYA
beberapa ketika setelah para tokoh silat, Wiro Sableng, Pandansuri dan Nyanyuk
Amber meninggalkan Bukit Toba, langit di atas bukit itu tampak menghitam
ditutup gumpalan awan mendung. Dikejauhan terlihat petir menyambar hampir tiada
henti. Lalu dentuman geledek seperti hendak melumat bumi dan air danau. Tak
lama kemudian hujan lebatpun turun. Demikian derasnya hingga menutup batas
pemandangan manusia. Di-bawah hujan lebat begitu rupa, dari arah tenggara danau
tampak melesat sebuah perahu kecil ditumpangi satu orang. Hujan yang lebat
menutupi pemandangan hingga tak jelas siapa adanya orang diatas perahu itu.
Namun begitu hujan mulai
mereda
dan pemandangan menjadi terang sedikit, kelihatanlah sosok tubuh di atas perahu
kecil tadi. Ternyata dia adalah seorang nenek berpakaian rombeng, bertubuh
kurus kering. Rambutnya yang putih diikat di atas kepala membentuk secuil
konde. Berlawanan dengan pakaiannya yang buruk rombeng, dibahunya tersandang
sebuah selendang hitam besar berhiaskan bunga-bunga dari benang emas. Di tangan
kanannya nenek aneh ini memegang sebuah tongkat bambu kuning kecil. Bambu
inilah yang dijadikannya sebagai kayu pendayung. Walaupun cuma sebuah bambu
kecil namun hebatnya benda ini menjadi pendayung yang ampuh luar biasa. Perahu
yang dikayuh tampak melesat membelah air danau yang bergelombang akibat hujan
yang baru saja turun deras.
Di tangan
kirinya si nenek memegang sebuah tabung kaca berbentuk bulat dan sangat ramping
bagian tengahnya. Tabung kaca ini diisi dengan pasir. Pasir di bagian atas
tabung mengucur jatuh sedikit demi sedikit ke bagian tabung sebelah bawah. Saat
itu jumlah pasir yang jatuh ke bagian bawah tabung kaca telah mencapai setengah
ketinggiannya. Sepasang mata si nenek tiada hentinya memperhatikan tabung itu
sementara tangan kanannya terus mendayung dengan tongkat bambu kecil.
“Cepatlah
perahu. Cepatlah! Kalau sampai terlambat celakalah!. Aku harus menunggu sampat
ada korban lainnya. Mungkin setahun! Mungkin lima tahun! Mungkin sepuluh tahun!
Atau mungkin tidak untuk selama-lamanya! Cepat perahu! Cepatlah! Antarkan aku
ke pulau di depan sana! Cepat!”
Tak
selang berapa lama perahu kecil itu berhasil mencapai pulau di tengah danau.
Pasir di tabung kaca sebelah bawah hampir mencapai dua pertiga ketinggian
tabung. Tanpa menunggu sampai ujung perahu menyentuh daratan pulau si nenek
langsung melompat dan laksana terbang laru menuju puncak Bukit Toba. Jalan yang
ditempuh sulit dan licin akibat hujan namun si nenek sigap sekali gerakannya.
Jangankan terpeleset, malah enak saja dia melompat dan berlari, makin lama
makin kencang hingga akhirnya dia sampai di puncak Bukit Toba, langsung
menyelinap masuk ke dalam bangunan bertingkat dua.
Begitu
sampai di ruangan besar yang disebut Arena Topan Utara, si nenek lelerkan lidah
gelengkan kepala. Kedua matanya terbeliak. Mayat dilihatnya bergelimpangan di
mana-mana. Darah bergenang di pelbagai penjuru. Dia melirik ke tabung kanan di
tangan kirinya. Lalu tersentak bila ingat waktunya hanya tinggal sedikit.
Seperti
seekor burung pemakan mayat nenek ini melompat ke pertengahan Arena Topan
Utara. Dia memandang berkeliling. Kaki dan tongkatnya mengungkit setiap sosok
tubuh di dekatnya. Tapi orang atau mayat yang dicarinya belum juga bertemu. Dia
memandang lagi berkeliling. Pasir di dalam tabung hampir mencapai titik
tertingginya. Si nenek menjerit saking kawatirnya. Kemudian kedua matanya yang
besar itu melihat sosok tubuh yang dicarinya. Tergeletak tak jauh dari mimbar.
“Itu
dia!” pekik si nenek gembira.
Sekali
lompat saja dia sampai disamping mimbar. Sosok tubuh itu amat mengerikan. Penuh
bacokan puluhan senjata. Keadaannya seperti dicincang. Lebih mengerikan lagi
bagian kepalanya. Telinga kanan buntung. Bagian wajah sulit dikenali karena
hampir terbelah oleh luka besar yang menguak.
“Kasihan
kau… kasihan kau anak manusia! Tapi tunggulah! Sebentar lagi kau akan kutolong!
Kau belum saatnya mati! Belum saatnya!” Si nenek mendongak ke atas, tertawa
seperti kuda meringkik lalu bantingkan tabung kaca di tangan kirinya ke lantai.
Tabung
kaca itu pecah dengan mengeluarkan ledakan nyaring. Pasir di dalamnya muncrat
ke udara disertai kepulan asap berwarna kelabu, berbau busuk luar biasa. Sambil
melangkah terserok-serok nenek aneh itu acungkan tongkatnya tinggi-tinggi ke
atas. Mulutnya komat-kamit melafatkan mantera. Tiba-tiba dia memekik keras.
Aneh!
Ujung
buntalan asap kelabu menyambar ke ujung tongkat bambu. Lalu laksana sehelai
selendang panjang bergerak mengikuti kemana bambu itu bergerak.
Si nenek
turunkan bambu di tangan kanannya mendekati kepala mayat yang terbelah. Begitu
sampai di bagian kepala, ujung tongkat disapukannya sepanjang belahan yang
mengerikan itu. Aneh! Luar biasa. Perlahan-lahan, setelah disapukan beberapa
kali kepala yang terbelah oleh hantaman Kapak Naga Geni 212 itu bertaut kembali
meskipun tetap meninggalkan bekas yang mengerikan yaitu mulai dari kening,
memanjang ke bawah melewati mata kiri dan pipi kiri. Si nenek tertawa tinggi.
Ujung
tongkat berputar-putar sesaat lalu mengusap-usap keseluruh bagian tubuh yang
seperti dicincang itu. Kembali keanehan terjadi. Tubuh yang penuh luka itu juga
bertaut kembali. Darah berhenti mengucur. Namun bekas-bekas luka yang
ditinggalkan sangat mengerikan. Si nenek sekali lagi terdengar tertawa.
Tongkatnya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Mulutnya lagi-lagi komat-kamit.
Tiba-tiba ujung tongkat menukik dan menusuk bagian tenggorokan mayat. Inilah
puncak dari segala keanehan dan keluar biasaan.
Tenggorokan
yang tadi kaku tegang itu kini tampak bergerak, mulamula perlahan sekali, namun
makin lama makin kencang. Nenek aneh itu menjerit keras dan panjang.
Perlahan-lahan tubuhnya merunduk hingga dia tampak berlutut di atas kedua
tempurung lututnya yang kurus kering.
“Anak
manusia! Kau memang belum saatnya mati! Belum saatnya!” terdengar si nenek
berseru. Dari kedua matanya yang besar tampak meleleh air mata. Kedua tangannya
diacungkan ke atas dan dari mulutnya terdengar ucapan: “Sepuluh tahun menempa
ilmu kehidupan! Hari ini akhirnya aku berhasil! Guru! Hari ini murid berhasil
meneruskan pekerjanmu! Hanya sayang kau keburu menutup mata hingga tidak sempat
menyangsikan awal dari semua kehebatan ini! Hik… hik… hik…” Lalu si nenek
menangis seperti anak kecil.
Mendadak
si nenek hentikan tangisnya. Di kedua telinganya seperti ada suara yang
mengisang.
“Muridku…
Meski aku sudah mati tapi rohku masih tetap mengikuti semua tindak tandukmu!
Guli Rampai! Dari alamku aku turut bergembira melihat keberhasilanmu. Teruskan
pekerjaanmu muridku…” Suara mengiang lenyap.
“Guru!”
Si nenek berteriak memanggil. Lalu dia jatuhkan diri menelungkup di lantai.
Sesaat kemudian perlahan-lahan dia bangkit kembali, beringsut mendekati tubuh
yang tadi kaku mati dan kini tampak mulai bergerak tanda adanya tanda-tanda
kehidupan yang sulit diterima akal manusia. Si nenek angkat tubuh itu lalu
memanggulnya diatas bahu kiri. Dia memandang sekali lagi berkeliling, lalu lari
keluar bangunan, menuruni Bukit Toba menuju ke danau di mana perahu kecilnya
berada.
*******************
TUBUH
cacat penuh bekas luka mengerikan itu terbujur tanpa penutup di atas tumpukan
batu berwarna merah. Di bagian bawah tumpukan batu itu terdapat celah memanjang
dan di situ ada nyala api yang terus menerus berkobar. Si nenek bermata besar
duduk di atas sebuah dingklik, menunggu dengan sabar. Tongkat bambu kuning
kecil di tangan kanannya diketukketukkan ke lantai batu, sesuai dengan gerak
mendenyut pada dada orang yang terbujur di atas batu merah.
Perlahan-lahan
tetapi pasti tak selang berapa lama kemudian dua mata yang tadi tertutup dari
orang di atas batu tampak membuka. Si nenek makin memperkencang ketukan
tongkatnya ke atas lantai.
“Buka
yang besar. Buka yang besar matamu anak manusia! Dan pandang wajahku… Pandang
wajahku… ”
Mata yang
terbuka semakin besar. Lalu sesuai dengan kata-kata perempuan tua itu, kedua
mata tadi bergerak berputar memandang ke arah si nenek.
“Bagus
anak manusia! Bagus! Ternyata awal kehidupanmu membawa pertanda yang baik. Kau
mau mendengar perintahku. Kau sudah melihat aku. Katakan apa yang kau lihat!
Katakan apa kau kenal aku! Buka mulutmu! Buka! Kau bisa bicara! Kau tidak bisu!
Kau pasti bisa menjawab!”
“Si…
siapa kau orang tua. Aku tidak kenal padamu…” Tiba-tiba meluncur ucapan itu
dari orang lelaki berwajah mengerikan di atas batu.
Si nenek
tertawa mengikik.
“Aih…!
Suaramu jelek tapi tidak apa! Yang penting kau bisa bicara! Hik… hikkk… hik… “
“Siapa
kau… siapa kau…?”
“Hik…
hik… hik. Tentu saja kau tidak kenal aku. Aku adalah nenek tua bernama Guli
Rampai bergelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku orang yang telah menghidupkanmu
dari kematian!”
“Menghidupkan
aku dari kematian? Apakah aku pernah mati…?” Orang di atas batu bertanya.
“Hik…
hik! Kau memang pernah mati. Malah kalau aku sampai terlambat menemui mayatmu,
tak mungkin aku bisa menolong menghidupkanmu kembali. Setelah mati dan
dihidupkan kembali apakah kau masih bisa mengingat siapa dirimu…?”
Sepasang
mata itu yang sebelah kiri ada guratan angker bekas bacokan menatap
langit-langit ruangan. Lalu dari mulut orang ini meluncur ucapan: “Namaku
Kumbara. Gelarku Raja Rencong Dari Utara. Aku Ketua Partai Topan Utara…”
“Hebat!
Kau hebat! Sungguh luar biasa. Ternyata kau masih ingat siapa dirimu. Otakmu
masih berjalan baik! Tidak percuma aku memilihmu dan membawamu ke puncak Gunung
Sorik Marapi ini… Kau telah hidup kembali! Tetapi untuk mencapai kesempurnaan
kau harus menunggu satu tahun. Sebelum kau kusemayamkan selama satu tahun,
apakah ada pertanyaan…?”
Sosok
tubuh di atas batu merah yang ternyata adalah Raja Rencong Dari Utara alias
Hang Kumbara kembali menatap langit-langit ruangan di atasnya.
“Aku
memang ada satu pertanyaan. Mengapa… mengapa kau menghidupkan aku yang katamu
sudah mati ini…?”
“Pertanyaan
bagus anak manusia… Kujawab dengan balas bertanya. Apakah kau tidak akan
membalaskan sakit hati kematianmu pada orang-orang yang telah mencelakaimu?
Terhadap manusiamanusia bernama Panglima Sampono misalnya. Lalu bekas gurumu
yang merat si Nyanyuk Amber itu. Lalu anak angkat yang kau asuh selama
bertahun-tahun tapi kemudian juga kabur meninggalkanmu si Pandansuri itu. Dan
yang penting adalah menuntut balas terhadap seorang anak manusia yang kini
menjadi musuh besarmu. Pendekar 212 Wiro Sableng… Darah dibalas darah. Nyawa
dibayar nyawa. Dosa dibayar dengan dosa…”
“Mereka
jumlahnya banyak. Mereka memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Apakah… apakah aku
mampu membayar dosa dengan dosa…?”
“Kau akan
mampu. Aku Iblis Sesat Jalan Hidup akan memberi kekuatan baru padamu. Bila tiba
saatnya kelak —-setelah satu tahun berlalu—- kau akan bangkit kembali. Cari
orang-orang itu. Bunuh mereka semua. Setelah musuh-musuhmu kau hancur Iudaskan,
kau harus melanjutkan dengan membunuh tokoh-tokoh silat lainnya. Bukankah kau
ingin menjadi raja diraja dunia persilatan?”
“Itu
memang cita-citaku…”
“Bagus!
Kau ternyata tidak melupakan niat besarmu. Sekarang sudah saatnya bagimu tidur.
Kau akan kusemayamkan di atas batu panas ini selama satu tahun. Tutup kedua
matamu kembali…”
****************
5
SATU
tahun telah berlalu. Puncak Gunung Sorik Merapi seperti tidak tersentuh oleh
waktu. Tak tampak perubahan. Di dalam bangunan berbentuk aneh, di atas tumpukan
batu merah terbaring sosok tubuh Hang Kumbara hampir merupakan jerangkong.
Lebih mengerikan lagi karena tubuh telanjang itu penuh dengan cacat bekas-bekas
luka. Wajah seperti setan, cekung dengan guratan luka besar melintang di
kening, melewati mata kiri terus ke pipi.
Di ambang
pintu bangunan tegak sosok tubuh Guli Rampai alias Iblis Sesat Jalan Hidup.
Kepalanya mendongak ke langit, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Sepasang matanya terpejam, mulutnya komat kamit. Sesaat kemudian terdengar
pekik aneh dari mulutnya. Lalu menyusul ucapan-ucapan.
“Guru…
Tiga ratus enam puluh hari sudah berlalu. Hari ini hari penyelesaian segala
pekerjaan. Hari ini berakhirnya segala cara dan rasa. Apakah kau mendengarkan
kata-kataku ini guru…?”
Wajah
angker nenek berambut putih itu nampak tersenyum. Senyum yang lebih merupakan
seringai menggidikkan. Di kedua telinganya terdengar suara mengiang.
“Guli
Rampai muridku, aku tak pernah jauh darimu. Aku gembira kau telah menyelesaikan
pekerjaanmu dengan baik. Rampungkanlah segera. Tapi tahukah kau kalau hari
penyelesaian adalah juga hari pembebasan dari segala rasa dan jiwa…?”
“Murid
mengerti guru. Murid mengerti. Dan murid tidak kecewa…” berkata Guli Rampai
lalu dia mulai sesenggukan.
Suara
mengiang membentak seperti marah. “Jangan cengeng Guli!
Aku tak
suka melihat orang menangis. Rampungkan pekerjaanmu. Kalau selesai aku siap
menunggumu…”
“Baik
guru, murid akan merampungkan pekerjaan. Harap maaf kalau murid berlaku lemah.
Murid akan segera menemuimu…”
Si nenek
turunkan kedua tangannya dan buka sepasang matanya. Dia membalikkan tubuh dan
masuk ke dalam bangunan, mendekati tumpukan batu merah dengan api menyala di
bagian bawahnya di mana terbujur tubuh Hang Kumbara alias Raja Rencong.
Dari
sudut ruangan Guli Rampai mengambil sebuah kendi berisi cairan berwarna biru.
Dia mengelilingi tumpukan batu merah sambil tiada hentinya merapalkan
jampi-jampi. Kemudian dia berhenti disamping tubuh Hang Kumbara. Cairan dalam
kendi dituangkannya ke ujung kaki Hang Kumbara, terus ke atas sampai ke perut,
terus ke dada, melewati leher dan berakhir di kepala. Di situ cairan biru dalam
kendi tertuang habis. Saat itu pula Guli Rampai bantingkan kendi tanah itu ke
lantai. Terdengar letupan kecil lalu kepulan asap biru yang membuntal
membungkus tubuh Hang Kumbara. Ketika kepulan asap lenyap terjadi keajaiban.
Tubuh yang terbujur selama satu tahun itu tiba-tiba melompat tegak. Kumis lebat
yang tadinya layu seperti benang basah kini berjingkrak garang. Hang Kumbara
putar sepasang matanya yang merah. Pandangannya membentur si nenek. Langsung
saja lakilaki ini jatuhkan diri berlutut.
Guli
Rampai tertawa panjang.
“Hang
Kumbara! Hari ini awal kehidupan bagimu tapi awal kematian bagiku! Aku sudah
menyelesaikan pekerjaanku. Kini kau yang hidup yang akan meneruskan
segala-galanya. Kau ingat darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa dan dosa
dibayar dengan dosa..”
“Saya ingat
nenek Guli… “sahut Hang Kumbara.
“Bagus!
Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Dunia persilatan ada di tanganmu. Aku tidak
mengajarkan ilmu silat padamu. Juga tidak ilmu kesaktian. Karena sesungguhnya
kau telah memiliki kedua hal itu. Tapi kini dalam dirimu ada satu kekuatan
dahsyat. Kau tak akan pernah mati lagi. Kecuali satu hal yang tabu menimpa
dirimu…”
Hang
Kumbara terkejut dan juga heran.
“Aku, aku
tak akan pernah mati lagi nenek Guli? Ah, mana mungkin. Mana ada manusia yang
tidak pernah mati….”
“Kau
harus percaya padaku budak tolol! Tak ada satu kekuatan pun yang dapat
mengakibatkan kematian bagimu. Kecuali satu…”
Meskipun
belum bisa percaya namun Hang Kumbara bertanya juga. “Apakah yang satu itu
nenek Guli?”
“Satu hal
yang tabu. Satu pantangan. Yakni kau tidak boleh bersinggungan dengan benda apa
saja yang berwarna biru. Apakah itu batu, kayu atau kain atau air, pokoknya
yang berwarna biru! Sekali tubuhmu tersentuh maka kekebalanmu akan punah!
Sebatang rumputpun sanggup menjadi penyebab kematianmu. Kau dihidupkan dan
diberi kekuatan dengan air biru dalam kendi tadi. Warna biru itu pula yang akan
menjadi penyebab kematianmu kelak. Kecuali jika kau memperhatikan apa yang jadi
pantangan. Nah sekarang berdirilah!” Hang Kumbara berdiri.
Si nenek
berkata sambil menatap tajam wajah angker lelaki itu.
“Mulai
hari ini nama Hang Kumbara harus kau kubur! Gelar Raja Rencong Dari Utara harus
kau singkirkan. Mulai detik ini namamu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup…”
“Bukankah
itu gelarmu nenek Guli?”
“Betul.
Tapi aku tidak memerlukannya lagi. Kau yang akan meneruskan nama itu. Nah
sekarang katakan selamat jalan padaku!”
“Saya
tidak mengerti maksudmu nenek Guli…” ujar Hang Kumbara heran.
“Anak
manusia tolol! Aku bilang katakan selamat jalan padaku!” bentak si nenek marah.
“Selamat…
selamat jalan nenek Guli…”
Sang
nenek tertawa panjang. Tiba-tiba dia pukulkan tangannya ke kepala.
Praakk!
Batok
kepala berambut putih itu remuk. Tubuh kurus terkapar di lantai tanpa nyawa
lagi. Hang Kum bara sesaat merasa bergeming. Kemudian dia membungkuk mengambil
selendang hitam berbungabunga kuning emas milik si nenek dan mengenakannya di
bahu kanan.
Dia
melangkah ke pintu bangunan. Di hadapannya, dari puncak Gunung Sorik Marapi di
mana dia berada, tampak menghampar dunia luas. Lelaki ini menyeringai lalu
terdengar teriakannya.
“Dunia
persilatan. Tunggulah! Hari ini Iblis Sesat Jalan Hidup akan muncul! Darah
dibayar dengan darah. Nyawa dibayar dengan nyawa. Dosa dibalas dengan dosa!”
****************
6
PUNCAK
Gunung Sinabung. Di ruangan depan rumah kayu berlantai tinggi dan luas terbuka
itu duduk sembilan pemuda. Semuanya asyik mengaji. Alunan suara mereka mengaji
terdengar enak dalam keheningan malam menjelang pagi. Udara dingin di puncak
gunung seolah-olah tidak terasa. Mereka terus mengaji untuk menghabiskan waktu
sebelum melaksanakan sembahyang Subuh.
Bersandar
ke daun pintu yang tertutup, duduklah Panglima Sampono, berpakaian putih lengan
panjang dan sehelai sarung halus buatan Bugis. Kedua matanya dipicingkan.
Tangan kiri terletak di atas pangkuan sedang tangan kanan memegang tasbih.
Meskipun dia berzikir k busuk namun telinganya yang tajam dapat mendengar dan
mengetahui bacaan-bacaan muridnya yang salah. Dia langsung menegur dan meminta
sang murid mengulangi bacaannya dengan betul. Lapat-lapat dalam dinginnya udara
dan kegelapan masih mencekam terdengar suara burung berkuik.
Binatang
ini agaknya sengaja terbang berputar-putar di atas bangunan kayu. Suara kuikan
binatang ini membuat sebagian dari pemuda yang duduk mengaji menghentikan
bacaanhya, saling pandang sejenak, melirik pada Panglima Sampono yang tetap
duduk tak bergerak di tempatnya. Sebagiannya lagi memandang ke luar ke arah ke
kegelapan.
“Suara
burung gagak…” berbisik seorang pemuda pada taman di sebelahnya.
“Seperti
ada pertanda yang tidak baik,” menjawab sang teman.
Sampai di
situ suara burung di atas atap semakin kencang. Binatang ini berputar-putar
terus beberapa kali, lalu terbang ke jurusan barat, menghilang dalam kegelapan.
“Siapa
diantara kalian yang percaya takhyul…” Tiba-tiba terdengar suara Panglima
Sampono.
Tentu
saja tak ada dari sembilan pemuda itu berani menjawab meskipun jelas di antara
mereka merasa tidak enak mendengar suara gagak tadi.
“Pertanda
dari Allah jangan sekali-sekali diabaikan, tetapi sesuatu yang bersifat
takhayul harus dijauhkan…” Berkata lagi Panglima Sampono. “Aku tahu ada di
antara kalian yang merasa takut mendengar suara kuik burung malam tadi…” Sang
Panglima sampai saat itu masih terus bicara dengan kedua mata terpejam dan
tangan kanan memegang tasbih. “Tenangkan hati kalian, teruskan mengaji…”
Belum
selesai Panglima Sampono berkata mendadak satu suara lantang membelah kegelapan
malam.
“Bagaimana
murid-muridmu bisa tenang. Kalau mereka menyadari maut datang menggerayang?!”
Panglima
Sampono tersentak. Kedua matanya segera dibuka. Sembilan muridnya telah lebih
dulu berpaling ke arah datangnya suara keras tadi. Sesosok tubuh tampak tegak
di bawah pohon besar di halaman kiri rumah kayu. Kegelapan malam membuat
wajahnya tak dapat dilihat, apalagi mengenali siapa adanya orang itu.
“Panglima,
kita kedatangan tamu…” berbisik seorang murid yang duduk paling dekat dengan
sang guru.
Panglima
Sampono mengangguk. Kedua matanya berusaha menembus kegelapan malam. Namun tak
dapat menerka siapa adanya orang yang tegak di halaman itu.
“Subuh-subuh
begini, tamu dari mana yang datang ke tempat kami?” Menegur Panglima Sampono.
Sebagai
jawaban orang dalam gelap melangkah mendekat. Tujuh langkah dari tangga rumah
dia berhenti. Sinar lampu minyak di ruangan depan jatuh menimpa dan menerangi
tubuhnya sebatas pinggang ke bawah. Dada dan kepalanya masih tidak kelihatan.
Panglima Sampono dan sembilan muridnya melihat keanehan yang mengerikan. Orang
yang datang itu hanya mengenakan sehelai cawat hingga perut, paha dan kedua
kakinya terlihat jelas. Dan bagian tubuh itu penuh cacat bekas luka hingga
samar-samar orang itu kelihatan seperti diselimuti sisik-sisik lebar. Anehnya
ada sehelai selendang hitam berbunga kuning emas tergantung menutupi sebagian
badannya. Lengan kirinya buntung.
“ Orang
yang datang, jika kau membawa maksud baik kenapa ragu-ragu. Silahkan naik ke
atas rumah” berkata Panglima Sampono. Diuncang begitu rupa, sosok tubuh di
depan rumah tiba-tiba melesat. Di lain detik dia sudah tegak di ruangan yang
terbuka leber itu. Sembilan murid sang Panglima terkesiap kaget dan bersurat
mundur dalam duduk masing-masing. Panglima Sampono sendiri sempat kerenyitkan
wajah dan si-pitkan mata.
Manusia
atau setankah mahluk yang tegak di hadapan mereka saat itu?! Sosok tubuh penuh
cacat bekas luka itu ternyata memang menyandang sehelai selendang. Badannya
sudah sangat mengerikan untuk dipandang, tetapi wajahnya seribu kali lebih
mengerikan. Muka yang cekung itu juga penuh dengan bekas-bekas luka. Satu
diantaranya seperti bekas bacokan, memanjang dari kening, melewati mata kiri
terus ke pipi dan samping dagu kiri. Akibat cacat ini, mata kiri itu tampak
seperti menyembul, merah menakutkan. Dia tidak mengenakan pakaian lain, kecuali
sebuah topi tinggi berwarna hitam, bergaris kuning.
Panglima
Sampono segera membaui adanya bahaya. Sekilas dia teringat pada burung gagak
yang tadi datang dan berputar-putar di atas atap rumah sambil tiada hentinya
berkuik. Haruskah kini dia mempercayai bahwa pertanda yang diberikan oleh
burung itu tadi kini menjadi kenyataan? Meskipun hatinya agak terguncang
melihat sosok tubuh yang sangat mengerikan itu, namun dengan sikap tenang sang
Panglima tegak dari duduknya.
“Mahluk
aneh entah manusia entah apa, katakan siapa kau adanya. Mengapa subuh-subuh
muncul di tempat kami?” bertanya Panglima Sampono.
Orang
yang ditanya tersenyum. Tapi senyum itu justru membuat tampangnya jadi seburuk
iblis.
“Aku
manusia yang pernah mati, tapi kini hidup kembali…!” Si mahluk menjawab dengan
suara keras seperti penuh kebanggaan.
“Berarti
kau setan! Setan gentayangan?!” ujar Panglima Sampono.
“Ha… ha…
ha! Kau boleh bilang begitu. Aku mungkin setan, mungkin juga hantu atau iblis!
Tetapi apa pun nama yang kau berikan padaku aku tetap adalah Iblis Sesat Jalan
Hidup!”
“Iblis
Sesat Jalan Hidup…?” desis Panglima Sampono.
“Jangan
meracau! Aku memang belum pernah bertemu dengan manusia bergelar seperti itu.
Tapi aku tahu pasti dia adalah seorang nenek tua. Bukan lelaki bermuka iblis
sepertimu!”
“Nenek
yang kau maksudkan itu sudah mati setahun lalu. Aku adalah pewaris
kehidupannya. Karena itu layak memakai gelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Lihat…
lihat baik-baik! Selendang yang kusandang ini adalah miliknya. Pemberiannya. Juga
kehidupanku dia pula yang memberikan-Hanya sayang dia sudah mati! Hingga tidak
dapat menyaksikan bagaimana sebentar lagi aku akan membalas nyawa dengan nyawa,
membalas darah dengan darah, membalas dosa di atas dosa
“Apa
maksudmu? Siapa kau sesungguhnya?!” sentak Panglima Sampono sementara sembilan
muridnya berdiri tegak dalam dua kelompok. Lima di sebelah kanan, ampat di
samping kiri. Mahluk bertubuh dan berwajah angker itu tertawa panjang.
“Matamu
melihat tetapi buta. Otakmu jalan tetapi lupa. Apa kau tidak mengenali lagi
siapa aku. Apa kau lupa pada peristiwa setahun silam di Bukit Toba?!’
Berubahlah
paras Panglima Sampono. Jika orang yang datang ini menyebut-nyebut Bukit Toba
dan masa setahun yang lalu, jelas yang dimaksudkannya adalah peristiwa besar menggemparkan
ketika orangorang rimba persilatan muncul di sana untuk membasmi Raja Rencong
Dari Utara berikut partainya yang hendak didirikan yaitu Partai Topan Utara.
“Katakan
apa sangkut pautmu dengan peristiwa setahun lalu itu?”
Orang di
tengah mangan kembali tertawa. “Kau masih saja buta dan lupa. Buka matamu
besar-besar, pasang telingamu lebar-lebar. Lihat dan dengar! Aku adalah Hang
Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara!”
“Hah?!”
Panglima Sampono tentu saja tidak percaya.
Salah
seorang muridnya berkata: “Mana mungkin! Raja Rencong sudah mati di tangan para
tokoh silat!”
“Budak
lancang! Kau tahu apa tentang Raja Rencong!” menyentak orang di tengah ruangan
yang bukan lain memang adalah Raja Rencong Dari Utara yang kini menyandang nama
Iblis Sesat Jalan H,idup. “Raja Rencong sudah lama mati! Tapi kini Hidup lagi
dengan nama Iblis Sesat Jalan Hidup! Hidup untuk membalaskan sakit hati dendam
kesumat setahun silam. Kau!” Iblis Sesat Jalan Hidup menunjuk dengan tangan ke
kanannya tepat-tepat ke arah Panglima Sampono. “Kau korban pembalasanku yang
pertama! Kau harus mampus di tanganku saat ini juga! Dan sembilan pemuda
muridmu ini! Karena mereka juga ada di sini dan ada sangkut paut dengan dirimu,
mereka juga harus mati!”
Iblis
Sesat Jalan Hidup tiba-tiba jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik
sinar merah yang memancarkan panas luar biasa berkiblat mengerikan.
“Ilmu
kuku api!” seru Panglima Sampono. Sulit baginya untuk percaya bahwa manusia
iblis yang tegak dan menyerang itu adalah benar-benar Raja Rencong yang telah
mati setahun lalu. Tetapi ilmu pukulan sakti tadi memang hanya Raja Renconglah
yang memilikinya!
“Anak-anak,
lekas menyingkir!” teriak Panglima Sampono lalu jatuhkan diri ke lantai dan
dari sini menghantam dengan tangan kanannya, lepaskan serangan balasan yang
disertai tenaga dalam penuh!
Tapi yang
diserang sudah berpindah tempat. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Panglima
Sampono menghantam atap bangunan kayu hingga sebagian atap itu hancur
berantakan. Belum sempat sang Panglima bergerak bangkit lima larik sinar merah
panas kembali menderu dari samping. Panglima Sampono gulingkan diri selamatkan
diri. Tapi di belakangnya tiga orang muridnya terdengar menjerit dan roboh
dengan tubuh hangus tanpa nyawa. Pemudapemuda lainnya cepat berlompatan ke
halaman depan rumah kayu, namun ketika sinar hitam kembali menyambar tak ampun
lagi empat orang roboh tergelimpang, putus nyawa! Hanya dua orang sempat
melarikan diri dan lenyap dalam kegelapan malam.
“Durjana
biadab!” terdengar teriakan Panglima Sampono.
Tubuhnya
berkelebat dan tahu-tahu kaki kanannya sudah meluncur deras ke muka Iblis Sesat
Jalan Hidup alias Raja Rencong. Yang diserang mendengus, mundur selangkah
sambil miringkan kepala. Begitu tendangan lawan lewat dia susupkan satu jotosan
ke lambung sang Panglima. Sadar bahaya mengancam Panglima Sampono selamatkan
diri dengan berjungkir balik di udara sambil tahu-tahu tangan kanannya
mengemplang ke arah batok kepala Iblis Sesat Jalan Hidup.
Buk!
Gebukan
tangan kanan itu menghantam deras di kepala Iblis Sesat Jalan Hidup, membuat
tubuhnya terkapar ke lantai tapi cepat bangkit kembali sambil tertawa mengekeh.
Berdebarlah dada Panglima Sampono. Kepala kerbau saja kalau terkena pukulannya
tadi akan hancur, tetapi bukan saja tidak terjadi apa-apa terhadap Kepala
lawan, malah manusia iblis itu tertawa mengekeh seperti mengejek.
“Mampuslah!”
teriak Panglima.Sampono. Kembali serangannya berkelebat. Kini berupa tendangan
ke arah bawah perut lawan. Yang diserang masih mengekeh. malah busungkan dada
dan kangkangkan kaki, menunggu datangnya tendangan.
Buk!
Tendangan
kaki kanan Panglima Sampono benar-benar menghantam selangkangan Iblis Sesat
Jalan Hidup. Tak dapat tidak anggota rahasianya pasti hancur. Tubuhnya sendiri
mencelat sampai lima langkah. Tapi seperti tadi dia cepat bangkit berdiri dan
lagi-lagi sambil tertawa mengekeh.
“Yang
kuhadapi ini bukan manusia. Benar-benar iblis agaknya!” membatin Panglima
Sampono. Rasa kawatir kini menyamaki dirinya.
Tapi
untuk melarikan diri sangat berpantang baginya. Selagi dia masih terkesiap
melihat kehebatan lawan yang mengerikan itu, tiba-tiba Iblis Sesat Jalan Hidup
berteriak seperti srigala melolong. Serentak dengan itu dia jentikkan lima jari
tangan kanan. Sekali ini Panglima Sampono terlambat bergerak untuk selamatkan
diri. Dua larik sinar hitam mengandung racun jahat sempat menyambar bahu dan
pelipisnya. Jago tua yang pernah menyandang nama harum di Pulau Andalas ini
terpuntir beberapa kali sebelum jatuh di lantai. Sesaat dia megapmegap,
meregang nyawa. Iblis Sesat Jalan Hidup melangkah mendekati dan praak! Kaki
kanannya menendang kepala Panglima Sampono!
****************
7
PASIR
PUTIH sebuah kampung makmur terletak di pinggiran danau berair hijau kebiruan.
Penduduknya rata-rata berpenghasilan dari bercocok tanam di tanahnya yang subur
atau mencari ikan di danau yang sepanjang tahun seperti tak pernah habis-habis
ikannya. Pemandangan di sekeliling danau indah sekali, apalagi tepian danau ini
ditebari dengan pasir putih hingga kampung yang ada di situ akhirnya diberi
nama Pasir Putih.
Rindang-Maruhun,
Kepala Kampung Pasir Putih, pagi hari tampak duduk di atas sebuah kursi goyang
terbuat dari rotan di serambi depan rumah besarnya. Sebatang rokok daun jagung
yang menebarkan asap harum tak lepas-lepas dari sela bibirnya. Memang orang tua
berusia lebih setengah abad ini pecandu rokok jagung nomor satu. Seharian dia
bisa menghabiskan sampai tiga puluh batang. Meskipun tua. Rindang Maruhun
memiliki badan kekar dan rambutnya belum ada yang putih, kumisnya hitam melebat
di bawah hidung. Sambil bergoyang-goyang dengan mata setengah terpejam dia
menyahuti salam orang yang melintas di depan rumahnya. Dia memang Kepala
Kampung yang disenangi dan dihormati penduduk di situ.
Pagi tadi
dia telah berkeliling kampung. Memang begitu kebiasaannya. Memperhatikan
orang-orang yang bekerja di ladang mereka, bercakap-cakap dengan mereka lalu
pergi ke ladangnya sendiri. Setelah bekerja cukup lama di ladang itu dia pergi
ke danau melihatlihat penduduk yang mencari ikan. Tak jarang penduduk
memberinya ikan hasil tangkapan dalam jumlah cukup banyak. Tapi Rindang hanya
mengambil beberapa ekor. Itupun kalau dia memang kepingin makan ikan. Kalau
tidak maka pemberian itu selalu ditolaknya dengan halus. Selagi duduk
bergoyang-goyang seperti itu sambil tiada hentinya menyedot dan menghembuskan
asap rokok jagungnya yang harum, tiba-tiba ada tiga orang penduduk lari
memasuki halaman, langsung menemuinya di serambi.
Rindang
Maruhun buka kedua matanya yang setengah terpejam. Tanpa mencabut rokok dari
mulutnya dia bertanya: “Kalian muncul seperti dikejar setan. Apa yang hendak
kalian sampaikan padaku? Minta rokok atau ingin kopi hangat?”
“Kepala
Kampung, kami tidak minta rokok atau inginkan kopi panas. Ada sesuatu yang
hendak kami laporkan pada Bapak Kepala…”
menjawab
penduduk yang bertopi hitam. Kawan di sebelahnya langsung saja menyambung.
“Kami
menemui dua orang pemuda tak dikenal. Tergeletak pingsan di tepi kampung
sebelah selatan. Keduanya agak mencurigakan…”
“Hemm…Rindang
Maruhun hentikan goyangan kursinya dengan menekankan tumit kaki kanannya ke
lantai. “Waspada adalah penting. Tapi buru-buru curiga itu tidak baik. Kalian
melihat dan menemui orang pingsan. Mengapa tidak menolong dan membawa keduanya
kemari…?”
“Jadi,
kami boleh menolong dan membawanya kemari Bapak Kepala?”
“Tentu
saja. Cari seorang teman lagi agar kalian berempat bisa lebih mudah
menggotongnya kemari…” kata Rindang Maruhun pula.
Tiga
orang penduduk kampung Pasir Putih itu segera meninggalkan rumah Kepala
Kampung. Sebelum pergi ke tempat dimana mereka menemui dua pemuda tergeletak
pingsan, lebih dulu ketiganya mencari seorang kawan lagi untuk membantu.
Ternyata yang ingin ikut lebih dari enam orang.
Tak
selang beerapa lama mereka kembali ke rumah Kepala Kampung dengan menggotong
dua orang pemuda. Keduanya ternyata memang dalam keadaan pingsan dan
dibaringkan di lantai serambi. Rindang Maruhun segera memeriksa keadaan kedua
pemuda tak dikenal itu. Tak ada tanda-tanda bekas penganiayaan. Baju dua pemuda
itu basah. Mungkin basah oleh embun, mungkin juga telah berpadu dengan
keringat. Sepasang kaki mereka tampak pecah-pecah, penuh debu dan bekas-bekas
tanah becek. Di beberapa bagian pakaian keduanya kelihatan robek seperti
terkait.
Rindang
Maruhun mengangguk-angguk. “Tak ada satupun di antara kalian yang mengenali
mereka?”
Penduduk
Kampung yang berkerubung di tempat itu sama menidakkan.
“Berarti
dia memang bukan penduduk sekitar sini. Dua pemuda ini datang dari jauh. Wajah
mereka pucat. Mungkin karena tergeletak lama dalam udara dingin malam tadi.
Mungkin juga disebabkan oleh sesuatu yang menakutkan. Mungkin mereka dikejar
Begu Ganjang…?” (Begu Ganjang = Hantu Panjang, yang dipercayai oleh orang-orang
Tapanuli sebagai penimbul malapetaka yang mengerikan).
Mendengar
disebutnya Begu Ganjang penduduk yang ada di situ tampak gelisah. Beberapa di
antaranya segera meninggalkan rumah Kepala Kampung karena takut kalau-kalau
Begu Ganjang itu benarbenar muncul!
“Apa yang
harus kita lakukan Bapak Kepala?” tanya seorang penduduk yaitu yang tadi ikut
menggotong dua pemuda itu.
“Melihat
denyutan urat nadi di leher keduanya, tak lama lagi mereka akan segera siuman.
Kalau mereka sudah sadar, kita bisa menanyai,” jawab Rindang Maruhun.
Betul
saja, tak selang berapa lama kedua pemuda itu siuman dari pingsan
masing-masing. Begitu sadar tentu saja mereka terheran-heran mendapatkan diri
berada di tempat itu, dikelilingi banyak orang.
“Anak
muda. Kami penduduk Kampung Pasir Putih menemui kalian di pinggiran kampung
sebelah selatan. Dalam keadaan pingsan. Siapa kalian dan apa yang terjadi dengan
kalian…?” bertanya Rindang Maruhun.
“Ah,
kalian rupanya telah menolong kami. Terima kasih. Terima kasih… dua pemuda itu
membungkuk berulang kali.
“Eh,
orang-orang di sini tidak butuh ucapan terima kasih itu. Kami ingin tahu kalian
berdua ini siapa dan mengapa kami temui dalam keadaan pingsan?!” menegur sang
Kepala Kampung.
Salah
seorang pemuda itu lalu menjawab.
“Kami
murid pengajian Panglima Sampono di Gunung Sinabung. Menjelang subuh ketika
kami asyik mengaji menunggu saat sembahyang tiba-tiba mendadak muncul seorang
manusia dalam sosok tubuh dan wajah yang mengerikan. Dia mengaku bernama Iblis
Sesat Jalan Hidup. Dia datang untuk membunuh Panglima Sampono dan kami
murid-murid yang berjumlah sembilan orang. Tujuh murid sepengajian kami
saksikan menemui kematian. Panglima sendiri kami yakin pasti telah pula dibunuh
oleh mahluk itu…”
Mendengar
keterangan itu maka gemparlah semua orang yang ada di rumah Kepala Kampung
Pasir Putih, termasuk Rindang Maruhun sendiri. Bedanya orang tua ini bisa
bersikap lebih tenang. Dia berusaha mendapatkan keterangan lebih jelas, lalu
merenung sambil pejamkan mata. Sesaat kemudian Kepala Kampung ini buka kedua
matanya dan berkata:
“Aku
pernah mendengar nama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Namun apakah mahluk itu
benar-benar ada sulit dipercaya. Dia gentayangan melakukan segala kejahatan
seperti dalam dongeng-dongeng yang menakutkan. Sulit dipercaya…”
Baru saja
Rindang Maruhun mengucapkan kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara tertawa
mengekeh disusul oleh bentakan: “Dua anak murid Panglima Sampono! Kalian
berhasil melarikan diri! Tapi nyawa kalian batasnya cuma sampai di sini!”
Sesosok
tubuh menebar bau busuk berkelebat di udara. Dua pemuda murid pengajian
Panglima Sampono yang duduk di lantai serambi rumah Kepala Kampung Pasir Putih
itu mencelat ke dinding rumah, terhempas di lantai. Mengerang sesaat lalu tak
berkutik lagi. Darah mengucur dari mulut mereka.
Di tengah
serambi tegak sesosok tubuh berbau busuk, mengerikan dan wajah seseram iblis.
Tangan kiri buntung, tangan kanan berkacak pinggang. Orang banyak berlarian
lintang-pukang sedang Rindang Maruhun tertegun sambil melangkah mundur dan
akhirnya terduduk di kursi goyangnya. Setan atau hantukah yang tegak di
hadapannya saat itu? Mahluk seram itu tiba-tiba menunjuk tepattepat ke arah
sang Kepala Kampung.
“Kau yang
tadi berkata Iblis Sesat Jalan Hidup sulit dipercaya keberadaannya, apakah kau
yang bernama Rindang Maruhun, Kepala Kampung Pasir Putih?!”
“Aku…
aku…!”
Braak!
Mahluk
seram bertopi tinggi hitam dan menyandang selendang berbunga emas itu menendang
kursi goyang yang diduduki Rindang Maruhun hingga hancur berarit akan. Kepala
Kampung itu sendiri terguling beberapa kali, tapi selamat dan cepat berdiri.
“Kau yang
bernama Rindang Maruhun?! Lekas jawab! Umurmu tak lama lagi…!”
“Kau… kau
hendak membunuhku?! Apa salahku …”
Sekali
lompat mahluk itu sudah menjambak rambut sang Kepala Kampung. “Dengar… Akulah
Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku datang kemari untuk mencari seseorang. Mana anak
gadismu yang bernama Pandansuri itu!”
Rindang Maruhun
terbelalak mendengar orang menyebut nama anak gadisnya. Dia berusaha berontak.
Tapi sulit melepaskan jambakan di kepalanya. Takut dan sekaligus sakit membuat
Rindang Karuhun nekad. Sebagai Kepala Kampung dia memang memiliki ilmu pukulan.
Namun hanya dari tingkatan rendah yang mengandalkan tenaga luar dan kecepatan
gerakan. Dengan tangan kanannya dia menghantam ke arah hulu hati mahluk seram
itu. Iblis Sesat JalanHidup mengekeh. Tangan kanannya yang menjambak ditebaskan
ke bawah. Kraak!
Rindang
Maruhun menjerit. Lengan kanannya patah. Tubuhnya kemudian dibantingkan ke
lantai. Kepala Kampung itu terpuruk kesakitan di sudut serambi. Kemudian dia
merasakan injakan kaki di keningnya.
“Mana
anak gadismu? Lekas jawab!”
“Di… dia
tak ada di sini. Pergi dua… dua hari lalu…”
“Bangsat!
Kau berani dusta?!”
“Aku
tidak dusta! Dia benar-benar tak ada di sini. Siapa kau? Mengapa mencari
anakku?”
“Siapa
aku sudah kukatakan. Mengapa aku mencari gadis itu karena ada sesuatu yang
harus diselesaikan. Nyawa dibayar nyawa. Darah dibayar dengan nyawa. Dosa di
atas dosa! Dia mengkhianatiku dan melarikan diri dari Bukit Toba setahun lalu.
Lekas katakan ke mana gadis itu pergi…!” “Aku tidak tahu…” “Kau pasti tahu! Dia
anakmu!”
“Aku
benar-benar tidak tahu…”
“Kalau
begitu biarlah kau mampus dalam tidak tahu!”
Iblis
Sesat Jalan Hidup tutup kata-katanya dengan menekankan tumitnya ke kening
Rindang Maruhun. Kepala Kampung yang malang ini menggeliat-geliat dan
melejang-lejangkan kaki. Ketika nyawanya putus, tubuhnya pun tak bergerak lagi.
****************
8
PANDANSURI
duduk termenung di depan telaga. Kedua kakinya sampai sebatas betis dimasukkan
ke dalam air telaga yang jernih dan sejuk. Saat itu hari masih pagi. Kicau
burung masih terdengar di sana-sini. Di atas langkan sebuah rumah bambu yang
menjorok ke telaga, duduk sosok tubuh berjubah biru dari seorang tua bermuka
aneh dan seram. Wajahnya berwarna biru, hampir segelap biru jubah yang
dikenakan. Kedua matanya hanya merupakan rongga berlobang sedang salah satu
telinganya sumplung.
Sesaat
orang tua ini tengadahkan wajahnya ke atap langkan seperti hendak menembus atap
bambu itu dengan pandangan dua matanya yang bolong kosong. Kemudian dia
berpaling ke arah kiri telaga, dimana Pandansuri duduk. Dulu gadis ini selalu
mengenakan kerudung muka dan pakaian serba ungu. Namun sejak peristiwa di Bukit
Toba dulu, sejak Pendekar 212 Wiro Sableng menyibakkan kerudung yang selalu
melindungi wajahnya, sejak itu pula dia tak pernah lagi mengenakan kerudung
muka ataupun pakaian berwarna ungu. Kini dia selalu berpakaian serba putih,
termasuk ikat kepala untuk mengikat rambutnya yang panjang hitam.
“Masih
sepagi ini kau sudah duduk melamun? Bukankah lebih baik melatih jurus-jurus
baru yang kuajarkan padamu? Atau melatih ilmu pukulan sakti Surya Biru yang
kurasa masih belum mantap kau miliki? Berapa lama kau bersamaku Pandan? Satu
tahun! Ah, itu jauh dari cukup untuk mendalami ilmu pukulan sakti itu… “
Suara
halus seperti suara perempuan itu datang dari langkan rumah bambu dan ternyata
adalah suara orang tua bermata bolong. Pandansuri mengeluarkan kedua kakinya
dari dalam air telaga. Memang sudah setahun dia pulang balik meninggalkan
kampungnya Pasir Putih untuk menuntut ilmu kepandaian dari orang tua bernama
Nyanyuk Amber itu. Seperti dituturkan sebelumnya baik sang dara maupun si kakek
sama-sama diselamatkan oleh murid Eyang Sinto Gandeng sewaktu terjadi
malapetaka di Bukit Toba, yakni ketika didirikannya Partai Topan Utara oleh
Raja Rencong alias Hang Kumbara.
Atas
petunjuk Wiro, Nyanyuk Amber kemudian memilih tinggal di telaga yang sunyi
tenang itu sedang Pandansuri kemudian diambil oleh si kakek menjadi muridnya.
Sebenarnya Nyanyuk Amber ingin pula mewariskan pukulan satu “Surya Biru” pada
pendekar 212 Wiro Sableng, namun pendekar itu yang tidak mau dianggap mencari
pamrih menolak secara halus.
Seperti
diketahui kedua tangan dan kaki Nyanyuk Amber telah dibuat buntung oleh Raja
Rencong karena pendekar sesat ini kawatir sang guru akan menjatuhkan tangan
keras dan hukuman kepadanya. Karena itulah, selama Pandansuri berguru pada orang
tua ini, sang dara telah berusaha membuat sepasang kaki-kakian dari kayu dan
rotan.
Dengan
bantuan kaki palsu ini akhirnya Nyanyuk Amber mampu berdiri, bahkan berjalan.
Kini Pandansuri tengah merencanakan membuat sepasang tangan palsu hingga kelak
sang guru bisa hidup secara lebih baik. Apa yang telah diperbuat gadis itu
membuat Nyanyuk Amber sangat sayang padanya hingga dia bertekad mewariskan
seluruh ilmu kepandaiannya pada Pandansuri. Karena sebelumnya sang dara sudah
memiliki ilmu silat dan ilmu sakti yang ampuh, maka dalam waktu satu tahun
pandansuri telah menguasai banyak ilmu kepandaian yang diberikan gurunya.
Terkadang
Nyanyuk
Amber menggoda. Bahwa kelak jika sang dara sudah berhasil penuh menguasai ilmu
pukulan sakti “Surya Biru” maka perlahan-lahan wajahnya akan berubah menjadi
biru seperti wajah sang guru! Tentu saja hal ini tidak sesungguhnya karena
wajah biru si kakek memang sudah begitu sejak dia dilahirkan!
Sebenarnya
ada tiga hal yang membuat sepagi itu Pandansuri duduk termenung di tepian
telaga. Pertama kenangannya yang tak bisa pupus terhadap pemuda gagah tapi suka
menggoda dan berkepandaian tinggi itu yakni bukan lain Wiro Sableng si gondrong
yang selalu dicapnya sebagai “pemuda konyol”! Tapi justru sejak pertama kali
bertemu dia tak bisa menipu perasaannya bahwa dia menyukai pemuda itu dan tak
dapat melupakannya. Setahun telah berlalu, sejak itu pula dia tak pernah
bertemu dengan pemuda itu. Padahal Wiro didengarnya pernah berjanji pada
Nyanyuk Amber akan datang menyambangi orang tua itu. Tapi sampai hari itu dia
tak pernah muncul.
Hal kedua
yang menyamaki pikiran sang dara ialah apa yang didengarnya terjadi di luaran
sejak dua bulan terakhir ini. Beberapa tokoh silat di pantai utara dan timur
menemui kematian di tangan seorang pembunuh yang dikatakan sebagai hantu
mengerikan. Beberapa perkumpulan persilatan dihancurkannya pula. Padahal semua
yang jadi korbannya adalah mereka yang tidak ada sangkut paut atau silang
sengketa. Apakah rupanya dunia persilatan ini tak pernah lepas dari kehadiran
manusia-manusia biadab dan terkutuk seperti itu?
Iblis
Sesat Jalan Hidup! Begitu nama si pembunuh yang sampai ke telinga Pandansuri.
Ada dua hal yang membuat dia tidak enak dan merasa heran. Yaitu si pembunuh
kabarnya memiliki ilmu kebal hingga tak mempan senjata, tak mempan pukulan
sakti apapun. Kemudian — ini yang membuat Pandansur risau— kabarnya pembunuh
itu memiliki ilmu kesaktian berupa jentikan jari-jari tangan yang mengeluarkan
sinar hitam panas menghanguskan. Setahu dia ilmu pukulan seperti itu adalah
“ilmu kuku api” yaitu seperti yang dipelajarinya dari Raja Rencong, ayah
angkatnya yang mati sesat itu. Di dunia persilatan hanya ada dua orang yang
memiliki ilmu kuku api itu yakni Raja Rencong dan dirinya sendiri. Kini Raja
Rencong sudah tiada, berarti hanya dia sendiri yang menguasai ilmu itu. Tapi
mengapa tahu-tahu kini muncul seorang lain dengan nama mengerikan dan memiliki
ilmu yang sama?
Hal
ketiga yang menjadi pemikiran Pandansuri sepagi itu ialah mimpinya tadi malam.
Dia melihat ayah dan ibunya mengenakan pakaian serba putih. Sang ayah yakni
Rindang Maruhun Kepala Kampung Pasir Putih mengenakan sorban putih lalu sang
ibu memakai selendang putih. Dalam mimpi kedua orang tuanya itu menaiki sebuah
kendaraan berbentuk aneh yang dapat meluncur di atas air danau di pinggir
kampung, lalu sambil melambai-lambaikan tangan mereka terbang di atas danau,
makin lama makin tinggi, makin jauh dan akhirnya lenyap di balik awan.
Pandansuri
tak dapat menerka apa arti atau mimpinya itu. Sebab itulah sejak pagi dia sudah
duduk di tepi telaga, merenung berpikirpikir. Ketika Nyanyuk Amber menegurnya
gadis itu segera berdiri dan pergi mendapatkan sang guru. Setelah diam sesaat
maka diapun mengutarakan dua dari tiga hal yang menjadi pikirannya itu. Hanya
soal pada mengenang Wiro Sableng yang tidak dikatakannya pada sang guru.
Nyanyuk Amber menghela napas dalam, mendongak ke atas lalu memalingkan wajahnya
ke arah telaga sementara burung-burung masih terdengar berkicauan di pepohonan
sekitar situ.
“Iblis
Sesat Jalan Hidup…” desis si orang tua bermuka biru. “Satu nama bejat yang
pernah kudengar sejak enam puluh tahun lalu. Nama itu seperti sebuah legenda.
Dikatakan orangnya ada, tak pernah aku menemuinya. Dikatakan tidak ada tapi
malapetaka yang ditimbulkannya terjadi di mana-mana. Bertahun-tahun nama itu
lenyap seperti ditelan bumi. Tahu-tahu kini muncul kembali. Sebelum kau
mengatakannya padaku Pandan, ada seorang sahabat menyambangiku seminggu lalu.
Diapun menceritakan hal yang sama. Juga mengutarakan kekawatiran yang sama.
“Siapa
sebenarnya manusia itu guru? Jika dia memang seorang manusia, bukan setan atau
iblis?” bertanya Pandansuri.
“Sulit
diduga. Dia muncul seperti ibiis. Lalu lenyap seperti setan. Kematian dan darah
ditinggalkannya di mana-mana. Seperti tak ada yang sanggup menandinginya. Hanya
yang mengherankan, jika nama itu sudah muncul enam puluh tahun lalu, bagaimana
masih terus ada sampai saat ini? Seperti orangnya tak pernah mati-mati…” Orang
tua ini termenung sejurus. “Aku mendapat firasat, kemunculan manusia itu kali
ini seperti mencari sesuatu …”
“Apakah
dia demikian hebatnya hingga tak ada yang bisa mengalahkannya?” bertanya lagi
Pandansuri,
“Di dunia
ini sesungguhnya tak ada manusia yang hebat atau luar biasa muridku. Apalagi
jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Segala sesuatunya hanya
menunggu waktu saja. Kalau aku tak salah ingat pernah seorang kawan mengatakan
bahwa manusia berjuluk Iblis Sesat Jalan Hidup itu konon mempunyai satu
pantangan. Pantangan inilah yang dapat mengalahkannya. Bahkan menamatkan
riwayatnya. Hanya sayang, sebelum sang kawan sempat menerangkan rahasia
kelemahan Iblis itu, dia mati terbunuh. Kurasa, besar sekali kemungkinan Iblis
Sesat Jalan Hiduplah yang telah membunuhnya!”
“Tidakkah
kita bisa melakukan sesuatu untuk mencegah manusia terkutuk itu berbuat
malapetaka lebih jauh…?”
“Aku
senang mendengar pertanyaanmu itu Pandansuri. Hanya saja apakah yang bisa kita
lakukan? Mencarinya? Dicari ke mana?”
“Bagaimanapun
kita harus berbuat sesuatu, guru …”
“Betul
muridku. Aku akan memikirkan hal itu mulai sekarang.”
“Lalu
bagaimana dengan mimpi saya yang tadi saya ceritakan itu, guru?”
“Mimpi
adalah bunga tidur, Pandan. Mengingat Pasir Putih hanya setengah hari
perjalanan dari sini, ada baiknya kau pulang dulu.
Mungkin
ayah atau ibumu kangen padamu… “
“Tak
mungkin mereka kangen. Bukankah saya baru dua hari di sini? Dulu-dulu sampai
berminggu-minggu…”
Nyanyuk
Amber tersenyum mendengar kata-kata muridnya itu lalu menjawab. “Rindunya orang
tua yang menandakan rasa sayang sukar diukur. Kelak kalau kau nanti sudah
berumah tangga dan punya anak, kau akan merasakan seperti itu…”
Mendengar
ucapan gurunya kembali terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng di pelupuk
mata Pandansuri.
“Kau
boleh memakai kudaku, biar cepat sampai di rumah…” Terdengar ucapan Nyanyuk
Amber.
“Terima
kasih guru. Bolehkah saya pergi sekarang juga?”
’Tentu
saja, pergilah. Tapi lekas kembali kemari. Aku punya firasat ada orang jauh
yang akan berkunjung ke tempat kita ini… “
“Siapakah
guru?”
“Tak
dapat kupastikan. Tapi mungkin dia seorang yang selama ini selalu kau
ingat-ingat… “
Wajah
Pandansuri menjadi kemerahan. Hampir terlompat mulutnya hendak menyebut nama
Wiro Sableng. Tapi cepat-cepat dia menutup mulut dengan jari-jari tangan.
Nyanyuk
Amber tertawa mengekeh. “Pergilah Pandan. Hati-hati di jalan.”
****************
9
MENJELANG
sampai ke Pasir Putih, di kejauhan Pandansuri mendengar suara beduk dan tong
tong dipukul tiada henti. Sesaat gadis ini tercekat. Suara beduk dan tongtong
seperti itu hanya terdengar jika terjadi bahaya atau ada penduduk yang
meninggal. Bahaya apa yang menimpa kampungnya? Atau siapa yang meninggal dunia?
Pandansuri menyentakkan tali kekang kuda dan memacu binatang itu secepat yang
bisa dilakukannya. Ketika dia sampai di halaman rumah, belum lagi kuda
berhenti, gadis ini sudah melompat turun. Halaman rumah yang luas dipenuhi oleh
penduduk. Rumah besar dipadati orang. Dari sebelah dalam terdengar suara isak
tangis. Pandansuri lari masuk ke dalam, tak perduii lagi ada yang tersepak.
Sampai di ruangan tengah gerakannya tertahan. Kedua lututnya seperti goyah. Dua
jenazah yang telah tertutup kain kafan terbaring di atas kasur tinggi yang
penuh dengan taburan bunga.
“Ayah…!
Ibu!” raung Pandansuri. Gadis ini seolah-olah sudah tahu betul siapa-siapa
jenazah yang terbujur di ruangan itu. Beberapa orang tua segera memeganginya
ketika Pandansuri menjatuhkan diri dan merangkuli kedua jenazah.
“Apa yang
terjadi?! Apa yang terjadi dengan ayah dan ibu?!” Jerit Pandansuri.
“Tenang
Pandan… Tenang anakku. Ini cobaan besar bagi kita semua. Tabahkan hatimu. Iman
anakku, imanlah…” yang berkata adalah seorang lelaki tua berkumis putih, kakak
tertua ayah Pandansuri.
Kalau
tidak dicegah orang banyak Pandansuri seperti gila hendak merobek kain kafan
untuk melihat wajah ayah dan ibunya. Dengan susah payah gadis ini dibawa ke
sebuah kamar. Di situ diceritakan padanya apa yang terjadi pagi kemarin.
“Beberapa
pembantu ayahmu ikut terbunuh. Mereka sudah dikuburkan kemarin…” menjelaskan
orang tua berkumis putih. “Kami tidak tahu harus mencarimu ke mana. Untung kau
datang saat ini Pandan. Kalau tidak terpaksa jenazah keduanya kami makamkan
karena tak mungkin menunggu lebih lama…”
Pandansuri
duduk terhenyak di sudut kamar, bersimbah air mata dan keringat. Inilah rupanya
makna mimpinya malam tadi. Dan tidak terduga manusia jahat yang selama imi
gentayangan menyebar darah dan nyawa, yang bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu
yang menghabisi kedua orang tuanya. Setahunya ayahnya tak pernah mempunyai
musuh. Kenapa dia dibunuh mengenaskan begitu rupa? Juga ibunya yang tak
berdosa. Lalu beberapa pembantu ayahnya?!
Gadis itu
bangkit berdiri. Sikapnya agak tenang sekarang. Matanya yang tadi basah oleh
air mata kini tampak bersinar kemerahan. Dia melangkah ke pintu.
“Kau mau
ke mana anakku?” tanya kakak ayah si gadis.
“Aku akan
mencari bangsat bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Dia harus matai di
tanganku!”
“Jangan
bertindak kesusu. Tidakkah kau ingin menyaksikan pemakaman ayah ibumu lebih
dulu.?”
Mendengar
kata-kata itu Pandansuri segera sadar. Dia tak bisa pergi begitu saja bagaimana
pun hebatnya dendam kesumat membakar dadanya.
*******************
LAMA
setelah muridnya pergi, Nyanyuk Amber masih duduk di langkan rumah bambunya
yang menjorok ke telaga. Lapat-lapat diantara siuran angin dan gemericik air
telaga yang terkena kibasan ikan-ikan kecil, orang tua ini mendengar suara
seseorang datang. Bersamaan dengan itu hidungnya yang tajam mencium bau busuk
tidak enak. Nyanyuk Amber memutar kepalanya. Hatinya tiba-tiba saja menjadi
gelisah. Orang yang datang ini agaknya bukan tamu yang ditunggu-tunggunya. Dia
duduk tak bergerak, menanti dengan waspada. Sesiur angin berhembus. Sesosok
tubuh berkelebat naik ke atas langkan bambu itu. Tak ada sedikit gerakan pun
terasa pada lantai bambu yang tak seberapa kokoh itu. Ini satu pertanda bagi si
orang tua bahwa orang yang datang memiliki gerakan sebat dan keringanan tubuh
yang luar biasa. Bau busuk bertambah santar.
’Tamu
dari mana yang datang kemari… !’ menyapa Nyanyuk Amber.
Sesaat tak
ada jawaban. Lalu terdengar suara sember tapi garang.
“Jadi di
sini kau bercokol tua bangka buruk! Jangan harap kau bisa lari lebih jauh!
Sekalipun kini kulihat kau memiliki sepasang tangan dan kaki palsu yang
membuatmu jauh jadi lebih jelek! Ha… ha…ha…!”
Nyanyuk
Amber kerenyitkan kening. Sikapnya tetap tenang. Dia coba mengingat-ingat suara
itu. Tapi tetap saja dia tidak mengenali siapa adanya yang bicara.
“Tamu
yang datang. Terangkan siapa kau adanya dan ada keperluan apa kau muncul di
gubukku?!”
Sang tamu
kembali tertawa. “Aku akan jawab pertanyaanmu yang kedua lebih dulu. Aku datang
kemari untuk mencabut nyawamu! Kau dengar itu!”
“Hemmm…
Tubuhmu memancarkan bau busuk. Pasti kau bukan Malaikat Jibril si pencabut
nyawa. Tapi mengapa merasa punya hak hendak membunuhku?!”
“Hak? Tua
bangka buta! Aku adalah raja diraja di dunia ini. Setiap hak apa pun yang kau
sebutkan aku mempunyainya. Termasuk hak untuk menghabisi riwayatmu! Hutang
nyawa dibayar nyawa. Darah dibayar darah. Dosa di atas dosa".
“Jelas
kau ngacok. Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama tadi. Siapa dirimu!”
“Aku
adalah bekas muridmu! Dulu aku bernama Hang Kumbara. Bergelar Raja Rencong Dari
Utara, Pemimpin Partai Topan Utara yang hancur pada hari peresmiannya. Kau ikut
ambil bagian dalam menggagalkan berdirinya Partai itu. Kini dunia persilatan
mengenalku dengan nama baru. Iblis Sesat Jalan Hidup! Yang tak akan pernah mati
oleh kekuatan apa pun di dunia ini! Kau dengar itu tua bangka keparat?!”
Tentu
saja Nyanyuk Amber terkejut mendengar kata-kata orang yang ada di hadapannya
itu. Hang Kumbara! Raja Rencong Dari Utara! Bukankah manusia durjana itu sudah
menemui kematiannya lebih dari satu tahun silam? Bagaimana kini dia bisa hidup
lagi? Dan benarkah dia yang kini tegak di hadapannya? Sungguh satu kenyataan
yang sulit dapat dipercaya.
Selagi
Nyanyuk Amber terkesiap begitu rupa, Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba
merasakan tengkuknya dingin dan lutunya bergetar. Kedua matanya menatap tajam
pada pakaian dan wajah si orang tua. Jubah dan muka orang tua itu berwarna
biru. Warna pantangan yang harus dijauhinya. Sekati salah satu bagian tubuhnya
tersentuh pakaian atau muka itu tamatlah riwayatnya. Berarti dia harus menjaga
jarak dan membunuh cepat-cepat orang tua ini!
“Nyanyuk
Amber! Waktumu sudah sampai! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Iblis Sesat Jalan
Hidup. Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hitam
mengandung hawa luar biasa panasnya berkiblat.
Nyanyuk
Amber terkejut.
“Ilmu
Kuku Api!” serunya ketika mengenali deru dan hawa biru pukulan maut itu.
Tubuhnya yang duduk serta-merta melayang ke samping. Meskipun kini hanya
memiliki sepasang kaki kayu, namun gerakannya tampak sebat. Begitu berdiri dia
segera hantamkan tangan kanannya. Angin deras menerpa ke arah Iblis Sesat Jalan
Hidup tapi dengan mudah dielakkan.
“Murid
murtad! Siapapun kau adanya! Jika kau benar Iblis Sesat Jalan Hidup maka aku
akan membasmimu hari ini!” teriak Nyanyuk Amber.
Iblis
Sesat Jalan Hidup tertawa mengejek.
Kraak!
Dia patahkan salah satu tiang bambu penyanggah atap langkan. Lalu dengan
bersenjatakan potongan bambu yang cukup panjang ini dia menyerang Nyanyuk Amber
dengan ganas. Sejak Guli Rampai — si Iblis Sesat Jalan Hidup perempuan tua itu—
mengisi tubuhnya dengan kekuatan aneh, kehebatan yang dimiliki Raja Rencong
alias Hang Kumbara memang luar biasa. Dalam waktu singkat, Nyanyuk Amber yang
penuh pengalaman dalam dunia persilatan itu terdesak hebat. Salah satu dari
kaki kayunya hancur dihantam potongan bambu.
Menyusul
tangan kayu sebelah kanan. Orang tua ini menjadi kerepotan dan bertahan
mati-matian sambil bersiap-siap menyalurkan tenaga dalam untuk melepaskan
pukulan “Surya Biru”. Namup meskipun dia sanggup mewariskan ilmu sakti itu pada
Pandansuri, untuk mempergunakannya sendiri dia mengalami kesulitan karena
keadaan kedua tangannya yang cacat.
Kraak!
Kaki kayu
kedua hancur dihantam ujung bambu. Nyanyuk Amber terbanting ke lantai langkan.
Menyadari bahaya, orang tua ini cepat gulingkan diri, tepat ketika Iblis Sesat
Jalan Hidup lepaskan lagi pukulan sakti ilmu kuku api! Lantai langkan hancur
berentakan, terbakar di beberapa bagian. Dalam waktu singkat api berkobar
ganas.
Nyanyuk
Amber bergulingan di tanah di tepi telaga. Ketika dia kemudian terduduk di
tanah jubah birunya kelihatan menggembung. Ini satu pertanda dia tengah
menghimpun seluruh tenaga dalam yang ada dan siap melakukan sesuatu yang hebat.
Sebagai bekas muridnya, Iblis Sesat Jalan Hidup alias Hang Kumbara tahu ilmu
apa yang hendak dilancarkan oleh sang guru. Yakni hawa panas yang menebar asap
beracun berwarna kuning.
Tanpa
rasa takut karena percaya akan kekebalan dirinya, Iblis Sesat Jalan Hidup malah
melangkah mendekati, tapi sejarak yang cukup aman agar jubah biru si kakek
tidak menyentuhnya.
“Kau
hendak mengeluarkan ilmu racun kayangan? Ha… ha… ha. Keluarkanlah! Ilmu butut
itu stepa yang takut!”
Meskipun
hatinya jadi panas namun diam-diam Nyanyuk Amber merasa terkejut. Bagaimana
musuh keparat itu berani menantang seperti itu. Padahal selama ini tak satu
orang pun sanggup menyelamatkan diri dari kepungan asap mautnya. Nyanyuk Amber
menggembos. Jubah birunya yang tadi menggembung tiba-tiba menjadi kempes.
Bersamaan dengan itu dari bagian bawah jubah melesat keluar asap kuning pekat,
membuntal dahsyat dan langsung menerpa deras ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang
diserang tetap tegak tak bergerak dan masih terus mengumbar tawa mengejek.
Ternyata asap beracun ganas itu sama sekali tidak mempan merusak kulit apa lagi
membunuhnya!
Selagi
Nyanyuk Amber terkesiap akan ini, didahului bentakan garang Iblis Sesat Jalan
Hidup melompat ke depan dan tusukkan ujung bambu di tangan kanannya. Dia tak
berani menusuk ke tubuh atau muka Nyanyuk Amber. Karenanya yang menjadi
sasarannya adalah leher orang tua itu!
Dalam
keadaan tercekat melihat ilmu racun kayangan tak sanggup menghabisi lawannya,
Nyanyuk Amber bertindak agak terlambat ketika tusukan bambu menderu ke arah
tenggorokannya. Meskipun dia semapat mengelak, tetap saja ujung bambu
menyerempet lehernya, menimbulkan luka cukup parah. Darah mengucur. Dalam
keadaan seperti itu Iblis Sesat Jalan Hidup kemudian susul dengan serangan ilmu
kuku api. Tak adaa kesempatan lagi bagi orang tua yang malang itu untuk
selamatkan diri!
****************
10
SAHABATKU
tua bangka ompong! Siapa yang berani mencelakaimu?!”
Mendadak
satu seruan keras terdengar. Bersamaan dengan itu berkiblat sinar putih
menyilaukan mata. Hawa panas luar biasa menebar, iblis Sesat Jalan Hidup
terpental enam langkah. Sesaat tubuhnya tergontaigontai, tapi dia tidak
mengalami cidera apa-apa. Sebaliknya bangunan bambu di belakangnya, yang
sepertiganya telah dimakan api, hancur lebur berantakan kena sambaran sinar
putih perak tadi.
Tiga
orang sama-sama terheran-heran. Pertama tentu saja si Iblis Sesat Jalan Hidup.
Selain heran juga terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba. Meskipun tubuhnya
cidera tetapi sinar putih panas menyilaukan tadi sanggup membuatnya terpental.
Yang kedua adalah Nyanyuk Amber. Orang tua ini heran tak menyangka kalau ketika
ajal sudah di depan mata ternyata masih ada uluran tangan Tuhan yang
menyelamatkannya. Dan orang yang ketiga adalah dia yang barusan berkelebat
muncul di tempat itu, yakni bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Selama malang melintang dalam dunia persilatan,
jika tidak menghadapi lawan tangguh, tak akan dia melepaskan pukulan “sinar
matahari!” Dan jika sekali pukulan itu dilepaskan, maka korban akan jatuh
tergelimpang. Tapi adalah luar biasa bahwa sosok tubuh penuh cacat dengan wajah
seangker iblis itu tidak cidera seujung rambut pun. Padahal jelas pukulan sinar
matahari tadi tepat menghantam tubuhnya hingga terpental. Bahkan selendang
hitam berbunga kuning emas di bahunya tidak bergeming sedikit pun!
“Keparat!
Kau rupanya!” bentak Iblis Sesat Jalan Hidup.
“Heh,
setan alas ini mengenaliku. Siapa dia sebenarnya,”
membatin
Wiro. “Kau muncul sendiri di sini hingga tak susah-susah aku mencarimu! Hutang
nyawa bayar nyawa. Darah dibayar darah! Dosa di atas dosa!” tentu saja dia
tidak mengenali siapa sebenarnya manusia di hadapannya itu.
“Bagus!
Kau sudah muncul tanpa dicari! Berarti tak perlu membuang-buang waktu! Kalian
berdus memang layak mampus berbarengan di tempat ini!”
“Kalau
bukannya setan kau tentu iblis jejadian!” ujar Wiro menyahut ucapan Iblis Sesat
Jalan Hidup.
Nyanyuk
Amber diam-diam merasa bersyukur atas munculnya Wiro yang memang sudah lama
ditunggu-tunggunya. Namun dia merasa perlu memberi tahu. Maka dengan
mempergunakan ilmu mengiangkan suara, dia berkata pada Pendekar 212. “Wiro,
hati-hati! Mahluk yang dihadapanmu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup. Ilmunya
tinggi dan dia kebal terhadap segala macam pukulan maupun senjata! Dia tidak
bisa dibikin mati!”
Karena
sebelumnya tidak pernah mendengar tentang mahluk bernama Iblis Sesat Jalan
Hidup ini maka Wiro tentu saja tidak dapat mempercayai kata-kata orang tua itu.
Mana ada mahluk hidup yang tidak dapat mati?
Mengetahui
bagaimana jalan pikiran wiro maka Nyanyuk Amber kembali kirimkan suaranya ke si
pendekar: “Iblis itu adalah penjelmaan Raja Rencong yang mati setahun silam!”
Makin tak
mengerti pendekar kita jadinya. Dulu dia sendiri bersama-sama puluhan tokoh
silat mencincang Raja Rencong di Arena Topan Utara. Kini diakah mahluk hidup
bertubuh dan berwajah seram ini?
Sebelum
dia sempat berpikir lebih lama, di hadapannya Iblis Sesat Jalan Hidup jentikkan
lima jari tangan kanannya. Lima sinar hitam pekat dan panas menggebubu!
“Ah! Ilmu
kuku api!” seru Wiro dalam hati. “Memang keparat itu rupanya!”
Untuk
kedua kalinya Wiro lepaskan pukulan sinar matahari guna menangkis ilmu kuku
api. Sinar putih dan sinar hitam saling baku hantam di udara, mengei-luarkan
susara berdentum yang disertai kilapan sinar api amat mengerikan. Ranting dan
cabang serta daundaun pepohonan yang ada di sekitar situ hangus kehitaman.
Nyanyuk Amber leletkan lidah. Hawa panas terasa menjalar sampai ke tubuhnya.
Jengkel
melihat pukulan saktinya tidak mempan maka Pendekar 212 Wiro Sableng cabut
Kapak Maut Naga Geni 212. Suaara seperti ribuan tawon mengamuk memenuhi udara
ketika senjata mustika sakti itu berkelebat ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang
diserang tegak tak bergerak, bersikap menantang dan sunggingkan senyum
mengejek. Malah berkata: “Pilih bagian tubuhku yang empuk anak muda!”
Buuk!
Mata
Kapak Naga Geni 212 menghantam dada Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak ampun lagi
tubuhnya terpental lalu jatuh duduk. Tapi di lain kejap dia sudah bangkit
berdiri kembali tanpa cidera sedikit pun! Kejut Wiro Sableng bukan alang
kepalang! Ilmu apakah yang kini dimiliki Raja Rencong hingga senjata saktinya
tidak mempan sama sekali. Hampir tak percaya, dia pandangi kapak di tangannya.
Di depannya terdengar suara tawa parau Iblis Sesat Jalan Hidup.
“Aku
pernah kau bunuh! Sekarang kau ganti menemui kematian!
Arwahmu
sudah lama ditunggu arwahku!” Iblis Sesat Jalan Hidup melangkah mendekati Wiro.
Tangan kanan terpentang seperti hendak mencengkeram. Wiro tabaskan kapak
saktinya.
Bukk!
Kembali
kapak itu menghantam dan tidak berdaya!
“Gila!”
maki Wiro. Sebelum lawan datang lebih dekat pendekar ini cepat menghantam
dengan pukulan benteng topan melanda samudera.
Seperti
tadi Iblis Sesat Jalan Hidup hanya terpental jatuh, bangkit berdiri dan
mendatangi Wiro kembali! Penasaran murid Sinto Gendeng hantamkan kapak saktinya
sekali lagi. Kali ini batok kepala Iblis Sesat Jalan Hidup yang diarahnya.
Kalau dulu senjata itu sempat membelah kepala Raja Rencong maka sekali ini
hanya mengeluarkan suara bergedebuk dan ternyata kepala itupun tak mempan
dikapak!
“Wiro,
kita harus cepat menyingkir dari sini! Walaupun kita sanggup menghajarnya
sampai seribu jurus tapi dia tak akan dapat dimatikan. Sebaliknya kita akan
kehabisan tenaga dan menjadi korbannya!” Terdengar suara mengiang di telinga
Wiro. Itulah suara Nyanyuk Amber.
“Aku
tidak akan berlaku sepengecut itu! Aku yakin bangsat ini bisa dikalahkan!”
menjawab Wiro.
“Jangan
tolol! Sebelum kita dapat memecahkan teka-teki kekebalannya, kita berdua bisa
mati percuma di tempat ini! Lekas dukung aku dan menyingkir dari sini! Cepat!”
Karena
menyadari memang tak mungkin melanjutkan penyerangan terhadap Iblis Sesat Jalan
Hidup mau tak mau Wiro Sableng terpaksa mengikuti apa yang dikatakan Nyanyuk
Amber. Dengan kapak tetap di tangan kanan guna melindungi diri, Wiro sambar
tubuh si orang tua dan berkelebat ke jurusan timur.
Iblis
Sesat Jalan Hidup mengejar sambil lepaskan pukulan ilmu kuku api. Wiro putar
Kapak Maut Naga Geni 212. Serangan lawan musnah setengah jalan tapi manusia
iblis itu terus mengejar. Hanya saja dalam ilmu lari tingkat kepandaiannya
tidak dapat menandingi murid Sinto Gendeng itu. Dalam waktu singkat dia sudah
tertinggal jauh. Akhirnya dua orang yang dikejar itu lenyap di kejauhan di
antara kelebatan pepohonan.
“Kalian
tak akan bisa lolos sekalipun lari ke ujung dunia! Tunggu saja waktunya.
Sekarang lebih baik aku mencari gadis keparat itu lebih dulu! Jika dia tidak
ada di di sini, pasti dia sudah kembali ke Pasir Putih!”
****************
11
SANG
SURYA tampak merah membara tanda sebentar lagi akan masuk ke titik
tenggelamnya. Di tanah pekuburan yang terletak di sebelah selatan Pasir Putih
keadaannya sudah sepi. Dua jenazah telah dimakamkan. Para pengantar telah lama
pergi. Hanya ada satu orang kelihatan masih duduk bersimpuh di hadapan dua
tumpukan tanah merah. Pakaiannya yang putih kotor oleh merahnya tanah liat.
Orang ini adalah Pandansuri yang tengah menghadapi makam ayah dan ibunya.
Perasaan dara ini saat itu bercampur aduk. Pertama tentu saja rasa sedih dan
duka cita yang mendalam karena kematian kedua orang tuanya. Namun sekaligus
dalam hatinya juga membara dendam kesumat terhadap pelaku pembunuh yang tidak
pernah dilihatnya, hanya didengarnya bernama Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam
hatinya sudah bulat tekad untuk mencari manusia iblis itu guna menuntut balas.
Perlahan-lahan
Pandansuri berdiri. Di saat dirasakannya harus pergi meninggalkan tempat itu,
kembali air mata memercik dan meluncur di kedua pipinya.
“Ayah,
ibu… Saya harus pergi sekarang. Saya bersumpah di hadapan kubur ayah ibu untuk
mencari pembunuh terkutuk itu. Saya tak akan berhenti sebelum menemui dan
membunuhnya!”
Ketika
Pandansuri hendak mencium bagian tanah di kepala kubur ibunya tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara orang menegur. Satu suara yang keras tapi parau.
“Pandansuri!
Kau tak perlu jauh-jauh mencari pembunuh kedua orang tuamu! Orangnya sudah ada
di sini. Aku orangnya…!”
Kejut
gadis itu bukan kepalang. Sejak menerima tambahan ilmu dari Nyanyuk Amber,
perasaan dan pendengarannya jauh lebih tajam. Mengapa kini ada orang datang
dari belakang dia tidak dapat mengetahuinya? Hanya ada satu jawaban. Mungkin
pikiran dan perasaannya terlalu tertumpah pada nasib malang yang dihadapinya.
Atau mungkin pula orang yang datang memiliki kepandaian tinggi luar biasa.
Secepat
kilat Pandansuri balikkan tubuh. Serta merta gadis ini terperangah, hampir
keluarkan saruan kaget karena ngeri. Di hadapannya berdiri sosok tubuh dan
wajah yang sangat menyeramkan. Sosok tubuh ini hanya mengenakan sehelai celana
pendek, bertelanjang dada. Ada sehelai selendang hitam berbungabunga kuning
emas melintang di bahunya. Seluruh tubuh, mulai dari kaki sampai ke dada, terus
ke wajah penuh luka bekas cacat yang mengerikan, terutama luka melintang di
atas mata dan pipi kiri.
“Ha… ha…!
Kau takut?! Kau tak mengenaliku?!”
Sosok
tubuh mengerikan itu yang bukan lain adalah Iblis Sesat Jalan Hidup
menyeringai.
“Siapa
kau?!” sentak Pandansuri setelah rasa kagetnya pulih.
“Aku
Iblis Sesat Jalan Hidup! Aku yang membunuh kedua orang tuamu…!”
“Iblis
durjana!” teriak Pandansuri. Gadis ini langsung jentikkan sepuluh jari
tangannya. Sepuluh larik sinar merah yang luar biasa panasnya berkiblat
menghantam ke sepuluh bagian tubuh termasuk kepala Iblis Sesat Jalan Hidup!
Yang
diserang tak bergerak, malah bersikap menunggu dan menantang. Lima larik sinar
merah menghantam. Terdengar suara berletupan. Sepuluh sinar merah musnah.
Pukulan sakti tadi, jangankan mencelakai atau membunuhnya, meninggalkan bekas
pun tidak! Dinginlah tengkuk Pandansuri. Wajahnya pucat lesu.
Iblis
Sesat Jalan Hidup tertawa bergelak. “Ilmu Kuku Api! Ilmu itu aku yang
mengajarkannya padamu Pandansuri!”
“Apa
katamu?!”
“Ilmu
Kuku Api itu! Aku yang mengajarkannya padamu! Hari ini kau harus
mengembalikannya padaku berikut nyawa dan kehormatanmu!”
“Manusia
iblis! Apa maksudmu! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku
bernama Hang Kumbara. Dulu bergelar Raja Rencong Dari Utara. Dulu pernah
menjadi ayah angkatmu! Tapi kau mengkhianatiku! Kau bekerja-sama dengan
musuh-musuhku. Lalu kau melarikan diri…!”
“Gila!
Kau iblis gila! Ayah angkatku menemui kematian setahun lalu di Bukit Toba!
Jangan mengaku-aku yang bukan-bukan. Dan ayah angkatku tidak seburuk tubuh dan
mukamu yang busuk!”
Iblis
Sesat Jalan Hidup kembali tertawa. Tiba-tiba dia melompat ke depan. Sekali
tangannya bergerak, satu totokan melanda dada Pandansuri, membuat gadis ini
terjatuh rubuh dan kaku tegang tak bisa bergerak lagi!
Iblis
Sesat Jalan Hidup berlutut di sampingnya.
“Dulu kau
selalu mengenakan kerudung ungu. Kini kulihat kau tidak memakainya lagi.
Ternyata baru kini kusadari kau memiliki wajah cantik. Juga tubuh yang bagus!
Ha… ha… ha…! Hutang nyawa bayar nyawa. Darah dibayar dengan darah. Dosa di atas
dosa!”
Iblis
Sesat Jalan Hidup lalu ulurkan tangannya.
Breet…
bret… brettt!
Pakaian
di tubuh Pandansuri habis dirobeknya hingga gadis yang malang itu kini
terbaring dalam keadaan hampir tidak tertutup lagi auratnya. Yang bisa
dilakukannya hanyalah memaki dan menyumpah.
“Terkutuk!
Iblis terkutuk! Jika kau benar-benar Raja Rencong, jika kau benar-benar ayah
angkatku lebih baik bunuh aku dari pada kau perlakukan keji begini!” teriak
Pandansuri.
“Dulu aku
Raja Rencong! Dulu aku ayah angkatmu! Sekarang aku adalah Iblis Sesat Jalan
Hidup! Kau minta mampus?! Aku akan membunuhmu, jangan kawatir! Tapi kau rasakan
dulu dosa di atas dosa!”
Lalu
Iblis Sesat Jalan Hidup jatuhkan dirinya di atas tubuh Pandansuri. Untuk
kesekian kalinya gadis itu menjerit. Di langit sinar merah telah meredup. Sang
surya telah tenggelam dan keadaan di pekuburan itu mulai gelap.
Tak jauh
dari pekuburan…
Pendekar
212 Wiro Sableng berlari kencang sambil mendukung kakek buntung Nyanyuk Amber.
“Hai… aku
mendengar suara orang menjerit,” berkata orang tua itu.
Saat itu
Wiro masih belum mendengar apa-apa.
“Suara
itu datang dari arah sana…” si kakek goyangkan kepalanya ke kanan.
“Mungkin
hanya suara anak-anak gembala yang pulang ke kampung sambil bermain
berteriak-teriak…” ujar Wiro. Memang dalam jarak sejauh itu dengan sumber
suara, daya pendengaran Wiro masih kalah jauh dari si kakek, karena itu dia
masih juga belum mendengar apa-apa.
“Bocah
torek! Telingamu perlu dibersihkan! Lekas bawa aku ke jurusan sana…” Mengomel
Nyanyuk Amber.
“Hari
sudah hampir malam, kek! Sebaiknya kita terus saja ke kampung. Bukankah ke situ
tujuan kita guna mencari muridmu?” Baru saja Wiro berkata demikian, dia
merasakan kedua lutut orang tua yang didukungnya menekan tubuhnya dan secara
aneh gerakan larinya terseret ke kanan. Dia kerahkan tenaga. Dia tahu kalau
Nyanyuk Amber pergunakan kepandaian untuk menguasainya agar menurut apa maunya.
Sadar kalau si kakek memang lebih lihay tenaga dalamnya, Wiro terpaksa berbelok
ke kanan. Sesaat kemudian pendekar ini berkata seperti mengomel: “Apa kataku
kek! Kau menyuruhku membawamu ke jurusan ini. Tahukah kau apa yang ada di depan
kita?”
“Katakanlah!”
“Pekuburan!”
jawab Wiro.
“Pekuburan!
Lalu apa salahnya? Jeritan itu semakin keras kini. Dan aku membaui sesuatu yang
busuk!”
Wiro kini
sudah pula mendengar suara jeritan itu. Juga bau busuk seperti yang dikatakan
si kakek.
“Hai! Bau
busuk itu! Bukankah ini bau busuk tubuh Iblis Sesat Jalan Darah?! Dia pasti ada
di sekitar sini!” kata Wiro.
“Tepat!
Teruslah lari ke jurusan jeritan itu. Aku hampir pasti itu adalah suara
muridku!”
Ketika
sampai di bagian pekuburan yang membukit, Wiro melihat sosok tubuh Iblis Sesat
Jalan Hidup di kejauhan, seperti tengah menghimpit seseorang di bawahnya.
“Durjana
terkutuk!” teriak Pendekar 212. Seperti terbang tubuhnya melesat ke arah dua
kubur yang masih merah, disamping mana Pandansuri siap dirusak kehormatannya.
Iblis
Sesat Jaian Hidup bukan tidak tahu kalau ada orang yang datang. Masih dalam
keadaan terbaring di atas tubuh Pandansuri dia lepaskan pukulan Kuku Api.
Secepat kilat Wiro balas menghantam dengan pukulan matahari. Nyanyuk Amber yang
ada dalam dukungannya tiba-tiba melesat ke udara, lalu jatuh di tanah,
bergulingguling sampai akhirnya berhenti karena tertahan oleh sebuah batu
nisan. Dari jeritan muridnya dia tahu persis di mana Pandansuri berada. Maka
tubuhnya pun digulingkan ke tempat gadis itu terbaring.
Iblis
Sesat Jalan Hidup kembali lepaskan pukulan Ilmu Kuku Api. Kali ini ke arah
Nyanyuk Amber. Tapi lagi-lagi Wiro menghantam dengan pukulan sinar matahari,
malah tangan kirinya sekaligus lancarkan pukulan yang dipelajarinya dari Tua
Gila, yakni pukulan “Dewa topan menggusur gunung”.
Tubuh
Iblis Sesat Jalan Hidup terpental. Tapi setelah bergulingan beberapa kali dia
cepat berdiri dan kini menyerbu Pendekar 212 dengan pukulan sakti bernama
“topan pemutus urat”. Hebatnya bukan alang kepalang. Selain mengeluarkan suara
menggemuruh, sekali tubuh tersambar angin pukulan sakti ini maka kontan
urat-urat yang ada di bagian tubuh itu hancur berputusan!
“Pukulan
Topan Pemutus Urat!” seru Nyanyuk Amber ketika dia mengenali suara angin
pukulan yang dilepaskan Iblis Sesat Jalan Hidup. “Ah! Keparat itu rupanya
memang benar-benar si Hang Kumbara laknat! Aneh luar biasa! Bagaimana sudah
mampus dia bisa hidup lagi?!”
Nyanyuk
Amber terus menggulingkan tubuhnya hingga akhirnya berhenti ketika menumbuk
tubuh Pandansuri.
Di bagian
lain Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya seperti dicengkeram oleh
belasan tangan yang tak kelihatan. Sadar akan bahaya kehebatan kesaktian lawan,
murid Sinto Gendeng ini keluarkan bentakan keras hantamkan Kapak Naga Geni 212
ke depan sedang tangan kiri lepaskan pukulan “dinding angin berhembus
tindihmenindih”.
Tapi
sungguh di luar dugaan sang pendekar. Angin sakti pukulan lawan masih terus
melabraknya. Untuk selamatkan diri mau tak mau Wiro terpaksa melompat ke udara.
Tapi saat itu terdengar teriakan Nyanyuk Amber.
“Jatuhkan
dirimu ke tanah”.
Rupanya
orang tua itu tahu cara bagaimnana menghadapi serangan “topan pemutus urat’
maka secepat kilat Wiro Sableng jatuhkan diri, menelungkup sama rata ke tanah!
Angin maut lewat di atas punggungnya, bersiur sejuk seperti hembusan angin
gunung!
“Gila…!”
rutuk Wiro dan melompat berdiri. Begitu berdiri dia segera lindungi.diri dengan
hantamkan pukulan “sinar matahari” ke arah lawan. Sadar kalau sebelumnya
pukulan itu tidak mampu menciderai manusia iblis itu maka Wiro susul dengan membabatkan
Kapak Naga Geni 212. Tabasannya sengaja diarahkan ke batang leher Iblis Sesat
Jalan Hidup.
Buk!
Mata
kapak telak-telak menghajar batang leher Iblis Sesat Jalan Hidup, membuat
tubuhnya terbanting jungkir balik. Tapi di lain saat dia kembali berdiri sambil
keluarkan suara tertawa mengekeh. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini jadi
keluarkan keringat dingin. “Kalau iblis ini memang tidak bisa dibunuh, berarti
nyawaku kali ini tak akan ketolongan. Pasti juga orang tua dan gadis itu akan
dibunuhnya!”
Akan
Nyanyuk Amber, begitu tubuhnya membalik.
“Muridku…
Kau tak apa-apa?”
“Kau mana
bisa melihat guru!” sahut Pandansuri yang masih terbungkus hawa amarah terhadap
Iblis Sesat Jalan Hidup. “Mahluk iblis itu hendak memperkosaku. Seluruh
pakaianku habis dirobeknya…“
“Ah,
untung mataku buta. Kalau tidak tentu aku menyaksikan pemandangan yang…”
“Dalam
keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau! Guru! Kau keterlaluan!” potong
Pandansuri dengan suara keras tapi seperti hendak menangis.
“Sudah…
sudah! Jangan marah padaku. Bahaya belum lewat. Lekas kau tutupi tubuhmu dengan
jubah biruku ini!” kata Nyanyuk Amber pula. Lalu jubahnya tampak menggembung.
Secara aneh pakaian yang sangat besar dan berwarna biru itu bergerak naik ke
atas melewati perut, dada dan akhirnya lolos dari kepalanya. Jubah itu kemudian
jatuh menutupi tubuh Pandansuri yang nyaris telanjang. Si orang tua sendiri
kini hanya mengenakan celana kolor dekil!
“Guru!
Aku harus menuntut balas kematian ayah dan ibuku!
Mereka
dibunuh oleh Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya.
Bisakah kau tolong melepaskan totokan di tubuhku?!”
“Ain.
rupanya kau kena ditotok oleh iblis itu. Pantas tadi kudengar hanya suaramu
saja yang menjerit-jerit! Lekas katakan bagian mana tubuhmu yang ditotok?”
“Dada…”
menerangkan Pandansuri.
Buk!
Nyanyuk
Amber hantamkan kepalanya ke dada gadis itu hingga Pandansuri terpekik
kesakitan. Tapi justru tumbukan kepala pada bagian dadanya itu membuat
totokannya punah. Begitu terlepas dari totokan gadis ini melompat tegak dengan
tubuh berselimutkan jubah biru Nyanyuk Amber yang menjela-jela sampai ke tanah
pekuburan.
“Iblis
laknak! Kau harus mampus di tanganku!” teriak Pandansuri seraya bergerak
mendekati Iblis Sesat Jalan Hidup yang saat itu siap menerjang Pendekar 212
Wiro Sableng yang berada dalam keadaan terdesak.
Iblis
Sesat Jalan Hidup berpaling dan terkejut. Bukan ancaman maut yang diteriakkan
Pandansuri yang membuatnya terkejut, tetapi jubah biru milik Nyanyuk Amber yang
menyelubungi tubuh si gadis membuatnya jadi kecut.
“Gadis
pengkhianat ayah angkat! Pergi kau! Menjauh dari sini kalau tidak ingin
kubahabisi detik ini juga!”
Sebagai
jawaban Pandansuri jentikkan lima jari tnagan kanannya. Lima larik sinar merah
ilmu kuku api menyambar ganas ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup. Terdengar suara
berletupan ketika lima larik sinar merah itu menghantam tubuhnya dengan tepat.
Tapi tak sedikit cidera pun yang kelihatan. Bahkan selendang hitam yang sampai
saat itu masih tersandang di bahu kanannya tidak rusak sedikit pun!
“Pergi!”
teriak Iblis Sesat Jalan Hidup ketika Pandansuri semakin mendekat.
Satu-satunya
daun telinga yang dimiliki Nyanyuk Amber tampak bergerak-gerak. Orang tua ini
memutar otak. “Aneh…” katanya dalam hati. “Suara iblis itu seperti menunjukkan
rasa takut. Apa yang ditakutinya terhadap muridku? Bukankah mudah saja dia
membunuh sementara aku tak berdaya menolong…?”
“Pergi!”
Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak lagi. Pandansuri semakin dekat. Takut jubah
biru itu mengenai tubuhnya. Iblis Sesat Jalan Hidup segera lepaskan pukulan
“topan pemutus urat”. Namun gebukan Kapak Maut Naga Geni 212 yang menghantam
perutnya, meskipun tidak dapat melukai kulitnya, membuat tubuhnya terpental dan
jatuh duduk di atas sebuah kuburan tua.
Sementara
itu Pandansuri yang penuh dengan dendam membara serta penasaran melihat ilmu
kuku apinya tidak mempan terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba ingat pada
ilmu pukulan sakti bernama “Surya Biru” yang selama satu tahun belakangan ini
dipelajarinya dari Nyanyuk Amber. Memikir bahwa inilah kesempatan untuk
mempergunakan dan menjajal kehebatan ilmu tersebut, dengan pengerahan tenaga
dalam sepenuhnya, dari jarak enam langkah Pandansuri bersiap untuk menghantam.
Tapi baru saja dia hendak mengangkat tangan kanan, di depannya Iblis Sesat
Jalan Hidup telah melompat tegak seraya kirimkan pukulan topan pemutus urat!
Debu pasir dan tanah kuburan beterbangan ke udara!
Sebagai
bekas anak angkat dan murid Raja Rencong alias Iblis Sesat Jalan Hidup,
Pandansuri tentu saja mengetahui bagaimana kehebatan dan keganasan ilmu pukulan
sakti itu. Namun dia pun mengetahui pula bagaimana cara menyelamatkan diri.
Maka cepat-cepat gadis ini jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Angin pukulan
maut lewat di atas tubuhnya.
“Keparat!”
teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Ingin dia melompat dan mencekik batang leher
gadis itu. Menghancurkan tulang belulang di sekujur tubuhnya.
Tapi
jubah warna biru membuatnya takut tak berani mendekat, apalagi sampai menyentuh
jubah tersebut. Warna biru adalah pantang yang berarti maut baginya!
Saat itu
matahari sudah tenggelam. Keadaan di pekuburan itu mulai gelap. Iblis Sesat
Jalan Hidup keluarkan suara menggembor.
“Kalau
kuserang terus-menerus masakan dua bangsat ini tak akan mampu kubereskan!”
begitu dia membatin. Yang dimaksudkannya dengan dua bangsat adalah Pandansuri
dan Wiro Sableng. Nyanyuk Amber —orang tua yang tak berdaya karena cacat
tubuhnya itu— tidak dipandang sebelah mata oleh sang iblis. Maka kembali dia
lepaskan pukulan topan pemutus urat ke arah Wiro sedang ilmu kuku api ke
jurusan Pandansuri. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro mampu
menangkis sambil jatuhkan diri ke tanah sedang Pandansuri melihat gerakan
lawan, lebih cepat melompat jauh berkelit. Selagi Iblis Sesat Jalan Hidup geram
dan gemas, dari samping Wiro lepaskan pukulan sakti dengan tangan kirinya yakni
pukulan topan melanda samudera. Ketika Iblis Sesat Jalan Hidup jatuh dan
terguling kena hantaman pukulan itu, dia susul dengan pukulan sakti lainnya
yang selama ini jarang dikeluarkannya yakni pukulan angin es. Kapak diselipkan
di pinggang. Kedua tangan diangkat ke atas dengan telapak terkembang ke arah
Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam waktu singkat mendadak saja udara di tempat itu
menjadi dingin sekali seperti dibungkus es. Nyanyuk Amber merasakan tubuhnya
bergetar kedinginan.
Apalagi
saat itu dia hanya mengenakan celana kolor karena jubah birunya dipakai
Pandansuri untuk menutupi tubuhnya. Si gadis sendiri merasakan tubuhnya
menggigil dan gigi-giginya bergemeletukan. Makin lama udara makin dingin.
“Hai! Apa
yang terjadi di sini?! Mengapa tubuhku seperti beku?!”
seru
Nyanyuk Amber. Orang ini kerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa dingin
luar biasa itu, tapi sia-sia.
Pandansuri
tersungkur ke tanah setelah kedua lututnya tertekuk tak sanggup lagi berdiri
menahan dingin. Akan halnya Iblis Sesat Jalan Hidup, mahluk yang sebenarnya
sudah mati ini sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu kesaktian yang
dikeluarkar Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Pemuda
keparat! Kau boleh keluarkan segudang ilmumu! Tak satu pun yang bisa mencelakai
apalagi membunuh Iblis Sesat Jalan Hidup!” habis berkata begitu Iblis Sesat
Jalan Hidup menghantam dengan ilmu kuku api. Karena kali ini dia kerahkan
seluruh tenaga dalamnya yang ada maka lima larik sinar merah yang berkiblat
panasnya bukan alang kepalang. Udara dingin serta merta punah dan murid Sinto
Gendeng terpaksa jungkir balik selamatkan diri dari serangan lawan sambil
memaki tegang!
Segitu
merasa hawa dingin lenyap dengan tiba-tiba, Pandansuri cepat berdiri. Tepat
pada saat Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling ke arahnya dan kembali menghantam
dengan pukulan topan pemutus urat. Namun sekali ini sang dara bergerak lebih
cepat. Pukulan sakti “Surya Biru” yang dipelajarinya dari Nyanyuk Amber, yang
sejak tadi ingin dikeluarkannya, kini begitu melihat kesempatan serta merta
dipukulkan ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Di ujung
jari-jari Pandansuri menderu sebentuk sinar biru, bergulung-gulung seperti mata
kikir membuntal cepat ke arah sasaran, iblis Sesat Jalan Hidup berseru tegang
melihat sinar biru yang datang menyambar. Sesaat dia tertegun bingung dan
kecut, tak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk menangkis pukulan sakti lawan
dia kawatir cipratan atau taburan sinar biru masih sempat menyambar tubuhnya.
Mau tak mau dia terpaksa melompat ke samping untuk selamatkan diri.
Celakanya
dari samping Pendekar 212 Wiro Sableng kembali menghantam dengan pukulan sinar
matahari. Akibatnya tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup yang barusan lepas dari
hantaman gulungan sinar biru, kini kembali terdorong dan langsung menabrak
sinar biru pukulan sakti Pandansuri.
Terjadilah
satu hal yang menggidikkan.
Iblis
Sesat Jalan Hidup terdengar menjerit seperti tolongan anjing. Tubuhnya
mengeluarkan suara seperti besi panas membara yang dicelupkan ke dalam air.
Sekujur kulit dan daging tubuhnya meleleh seperti dikelupas. Bau busuk sengit
memenuhi udara. Tubuh yang kini hanya tinggal tulang-belulang itu —tak beda
seperti jerangkong— terkulai lalu jatuh roboh ke tanah pekuburan. Lapat-lapat
di kejauhan kembali terdengar suara seperti anjing melolong. Wiro rasakan bulu
kuduknya berdiri sedang Pandansuri gemetar ngeri.
“Hai! Apa
yang terjadi?!” terdengar Nyanyuk Amber bertanya.
Pandansuri
tak kuasa menjawab. Dirinya masih dicengkam rasa ngeri. Wiro akhirnya membuka
mulut.
“Muridmu
berhasil membunuh mahluk terkutuk itu…”
“Eh…
Betul begitu? Ah, sungguh luar biasa!” kata Nyanyuk Amber. “Bagaimana kau bisa
melakukannya Pandan?”
Sang dara
masih belum bisa membuka mulut. Kembali Wiro yang
menjawab.
“Tubuh manusia iblis itu seperti lilin meleleh ketika muridmu menghantamnya
dengan pukulan sakti yang memancarkan gulungan sinar biru
“Pukulan
Surya Biru!” seru si orang tua. “Jadi itulah yang membunuhnya! Tuhan Maha
Kuasa! Kini aku ingat! Iblis Sesat Jalan Hidup berpantang dengan segala sesuatu
berwarna biru!”
Wiro
kerenyitkan kening sedang Pandansuri berpaling memperhatikan wajah orang tua
itu dalam gelap.
“Kini aku
tahu mengapa dia tadi seperti ketakutan ketika muridku mendekatinya. Bukankah
kau mengenakan jubahku yang berwarna biru… “
“Sulit
kupercaya!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Jika
kalian tidak percaya, coba tempelkan ujung jubahku pada sisa-sisa bangkai iblis
itu!” berkata Nyanyuk Amber.
Pandansuri
melangkah mendekati sosok jerangkong yang terhampar di tanah. Salah satu bagian
ujung jubah yang menjela-jela diangkatnya lalu dilepaskannya tepat di atas
batok kepala atau tengkorak jerangkong.
Cess!
Sang dara
terloncat kaget dan cepat mundur. Nyanyuk Amber tertawa.
Seperti
tadi pertama kali ketika sinar biru pukulan sakti yang dilepaskan Pandansuri,
terdengar suara laksana besi panas dicelup ke dalam air sewaktu jubah biru
menempel dengan tulang tengkorak. Tengkorak itu sendiri kini tampak remuk
seperti tertimpa batu besar dan berat!
“Kita
patut bersyukur pada Tuhan! Satu lagi kejahatan punah dari muka bumi ini!”
berkata Nyanyuk Amber. Lalu seperti menggerutu orang tua ini berseru: “Hai!
Apakah kalian akan membiarkan aku setengah telanjang seperti ini?!”
“Kami
akan membawamu ke Pasir Putih, guru,” menjawab Pandansuri. Lalu dia berpaling
pada Wiro. Sesaat dara ini menatap wajah pemuda yang selama ini selalu
dikenangnya. Ketika sang pendekar balas menatap, wajah Pandansuri langsung berubah
merah. Cepat-cepat dia berkata: “Sahabat, tugasmu mendukung guruku sampai ke
rumah!”
“Ah, aku
selalu kebagian pekerjaan yang tidak enak. Tapi tak apa. Aku lebih suka
mendukung tubuh gurumu daripada disuruh memakai jubah birunya yang butut dan
sedap baunya itu!”
“Hai!
Jangan menghina jubahku! Ingat, kau pernah kususupkan dalam jubah itu ketika
Raja Rencong mencarimu!” berseru Nyanyuk Amber.
Wiro
menyeringai. Tapi dia terus saja menggoda Pandansuri. “Kau tahu…” katanya pada
gadis itu. “Kalau aku tidak salah hitung, paling tidak jubah itu tak pernah
dicuci selama sepuluh tahun! Dan itu yang kau pakai sekarang! Hah… ha… ha!
Apakah tubuhmu tidak merasa gatal?!”
“Kau
keterlaluan! Menghina guru dan menggoda orang!” kata Pandansuri. Lalu gadis ini
balikkan diri dan tinggalkan tempat itu. Wiro tak bisa berbuat lain daripada
mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya dan mengejar Pandansuri yang berlari
menuju kampung Pasir Putih.
TAMAT
No comments:
Post a Comment