Episode
Petaka Gundik Jelita
Petaka
Gundik Jelita
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
SATU
Hutan
kecil itu terletak di teluk yang sangat sepi. Hanya deburan ombak terdengar
menderu di pasir sepanjang siang dan malam hari. Ombak yang begitu ganas
membuat teluk itu hampir tak pernah didatangi manusia termasuk nelayan pencari
ikan. Tersembunyi di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar terdapat
sebuah pondok kayu beratap ijuk. Bangunan ini cukup besar, memiliki dua kamar
serta langkan lebar. Dua orang tampak duduk di langkan, berhadap-hadapan satu
sama lain. Untuk beberapa saat lamanya tak satupun dari mereka membuka mulut
bersuara.
Duduk di
sebelah kanan di dekat pintu adalah seorang tua berambut sangat putih, berkulit
hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain kuning muda. Parasnya yang
keriput dimakan usia tampak tenang walau benak dan lubuk hatinya disamaki
berbagai pikiran dan perasaan. Di hadapannya duduk bersila seorang pemuda
berpakaian putih, berbadan langsing dan berkulit puith halus. Rambutnya yang
hitam agak tersuruk oleh ikat kepala putih. Meskipun dia berpakaian cara
lakilaki, namun keelokan paras dan kehalusan kulitnya tak dapat menyembunyikan
bahwa sebenarnya pemuda ini adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas
tahun.
“Empu,
kau tadi hendak membicarakan sesuatu. Tapi sejak tadi kau hanya berdiam diri….”
Terdengar suara gadis elok paras.
“Terus
terang sebelumnya percakapan ini sudah kupersiapkan. Namun pada waktu tiba
saatnya terasa tenggorokanku menjadi kering dan lidah seperti kelu,” kata orang
tua yang dipanggil dengan sebutan Empu. “Nawang Suri, ketahuilah, sejak kita
tersingkir dari Kotaraja lama, sejak orang tuamu terbunuh, sejak sanak saudara
handai taulan dan semua pejabat pengasuh dimusnahkan, sejak itu pula aku
hampir-hampir hilang rasa percaya diri…..”
“Tapi
Empu!” sang dara bernama Nawang Suri cepat memotongnya. “Selama ini justru empu
selalu menanamkan semangat percaya diri padaku. Selalu mengobarkan api
keberanian dan tekad bulat bahwa suatu ketika semua yang musnah itu akan kita
dapatkan kembali. Adalah aneh kalau sekarang empu bicara lain….”
Si orang
tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu mengaanggukkan kepalanya. “Aku sudah tua
Nawang dan aku bukan manusia yang dapat menyembunyikan kenyataan. Sikap dan
semangatku hanya akan sampai sejauh batas usiaku yang tinggal tidak berapa lama
lagi. Sebaliknya semangat dan tekadmu masih harus menempuh jalan jauh dan
sulit. Karena itulah aku selalu mengobarkannya dalam hati sanubarimu. Jalan
yang akan kau tempuh tidak mudah apalagi mengingat kau seorang gadis muda usia.
Namun menyadari bahwa kau sebenarnya adalah satu-satunya kekuatan yang tingal,
yang memiliki hak sebagai pewaris Kerajaan lama yang dimusnahkan oleh penguasa
yang sekarang, maka kau harus mempunyai keyakinan, keberanian serta tekad
bulat. Bahwa apapun yang terjadi kau harus mendapatkan kembali hakmu yakni
tahta Kerajaan yang hilang. Kau harus dan memang hakmu kelak untuk menjadi Ratu
penguasa di delapan penjuru angin tanah kelahiranmu ini. siapa yang telah
memusnahkan orang tua dan saudara-saudaramu harus ganti dimusnahkan. Tahta yang
hilang harus kembali ke tanganmu. Kau satu-satunya yang berhak muridku. Seperti
kukatakan tadi, jalan untuk mencapai itu tidak mudah. Musuh begitu kuat dan
besar. Namun dengan bekal kepandaian yang kau miliki aku yakin kau akan
berhasil mendapatkan tahta yang hilang itu. Aku berdoa pada Dewa semoga pada
saat kau dinobatkan menjadi Ratu, aku yang tua ini masih diberikan umur panjang
untuk menyaksikannya. Hanya satu hal yang harus kau ingat Nawang. Ilmu
kepandaian yang betapapun tingginya tidak ada manfaatnya bilamana tidak
disertai akal pikiran dan kecerdikan. Lakukan rencana yang telah kita susun
dengan sebaik-baiknya. Jika kau nanti meninggalkan teluk ini bersikaplah selalu
hati-hati. Aku tahu pasti mata-mata penguasa berkeliaran di mana-mana. Sebelum
kita berdua mereka temukan dan tumpas, mereka tidak merasa aman. Hindari
jalan-jalan umum. Jangan pernah bicara dengan siapapun. Masuklah ke Kuto Gede
pada malam hari. Ingat, satu-satunya yang harus kau cari dan temui adalah Gama
Manyar seorang ahli ukir-ukiran perak. Sepertiku dia sebenarnya juga seorang
empu. Nama sebenarnya Empu Soka Panaran….”
Lama
Nawang Suri terdiam sebelum akhirnya berkata “Semua pesan dan petunjuk empu
akan aku ikuti. Kalau murid boleh bertanya kapan aku harus berangkat ke Kuto
Gede?”
“Malam
ini!” jawab Empu Andiko Pamesworo.
“Malam
ini? Begitu cepat?” tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
“Pekerjaan
yang harus kita lakukan memang jenis pekerjaan gerak cepat. Berlama-lama
berarti hanya memberi kesempatan pada penguasa untuk lebih leluasa menyusun
kekuatan!”
“Jika
begitu kata empu, aku akan melakukannya.” Jawab Nawang Suri dengan hati bulat.
“Kalau bertemu dengan Empu Soka Panaran, apa yang murid harus katakan padanya?”
“Kau tak
perlu bicara atau mengatakan apa-apa. Dia sudah maklum arti kedatanganmu. Ingat
baik-baik Nawang. Selalu bersikap hati-hati. Jangan bicara dengan sipapun.
Usahakan untuk tidak bertemu dengan siapapun sebelum mencapai Kuto Gede. Juga
jangan percaya pada siapapun!”
“Saya
akan ingat hal itu baik-baik, empu saya minta diri untuk mempersiapkan segala
sesuatu….”
“Tunggu
dulu Nawang,” ujar Empu Andiko Pamesworo. Dari balik selempang pakaian putihnya
orang tua ini mengeluarkan sebilah keris berhulu dan bersarung emas. Senjata
ini memancarkan sinar kuning yag angker. Empu Andiko mencium keris itu tiga
kali berturut-turut. Lalu meletakkannya di atas pangkuannya.
“Ini
adalah Mustiko Geni, pusaka tunggal Kerajaan semasa ayahmu memerintah. Siapa
yang memilikinya dialah yang berhak akan tahta kerajaan. Ini bukan senjata
biasa Nawang. Keris ini memiliki keampuhan luar biasa karena sakti. Bila kau
cabut daari sarungnya akan terpancar sinar merah dan hawa sepanas api akan
membersit. Jarang lawan yang sanggup menghadapinya. Karenanya kau hanya boleh
mempergunakan bilamana dalam keadaan terdesak sekali….”
Kagum
Nawang Suri mendengar keterangan sang empu. Matanya tak berkedip memandang
senjata yang ada di atas pangkuan itu.
“Ambillah
Nawang….” Kata Empu Andiko.
“Keris…..Mustiko
Geni itu untuk saya empu?” tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
Aku tidak
memberikannya padamu Nawang. Keris ini adalah milikmu sebagai pewaris tunggal
Kerarjaan. Selama ini aku hanya tolong menyimpan…..”
Dengan
dua tangan gemetar Nawang Suri mengambil senjata itu dari atas pangkuan sang
empu. Aneh. Mustiko Geni ternyata enteng sekali. Pada saat dara memegang keris
sakti tersebut, detik itu pula Empu Andiko Pamesworo menjatuhkan diri
bersimpuh.
Nawang
Suri tersentak kaget.
“Empu,
mengapa kau menyembahku?!” tanya sang dara.
Si orang
tua tersenyum. “Karena kaulah pewaris tunggal Kerajaan yang syah. Karena kau
adalah Ratuku kepada siapa aku berakti!”
Nawang
Suri menggigit bibirnya lalu berkata perlahan “Seperti katamu empu. Perjalanan
masih jauh. Belum saatnya siapapun menyembahku. Aku saat ini hanya manusia
biasa, tak lebih seperti engkau sendiri….”
Ketika
Empu Andiko Pamesworo mengangkat wajahnya tampaklah air mata telah membasahi
pipinya yang cekung. “Muridku, sifat dan tutur bicaramu sangat menyerupai Sri
Baginda, mendiang ayahmu…..”
****************
DUA
Hanya
beberapa saat saja setelah Nawang Suri meninggalkan pondok di teluk, dalam
kegelapan malam, di bawah udara dingin mengandung garam di bawah deru ombak
yang berdebur di atas pasir, tiga sosok tampak berkelebat cepat laksana
bayang-bayang. Tiga sosok tubuh ini bergerak menuju pondok. Salah seorang
mengintip lewat celah dinding, dua lainnya berjaga-jaga. Yang mengintip
kemudian kembali menemui dua kawannya.
“Di kamar
yang ada lampu menyala kulihat empu itu. Seroang diri. Kita berhasil mencapai
tujuan. Tapi orang yang kita cari mungkin tak ada di sini!”
“Sebelum
pondok itu digeledah mana mungkin kita tahu dia ada di dalam atau tidak!”
menyahuti kawannya. Agaknya dia yang menjadi pimpinan dari tiga manusia dalam
gelap itu.
“Kita
akan menyelidik sekarang atau menunggu sampai pagi?” bertanya orang ketiga.
“Jangan
tolol!” desis sang pemimpin. “Apa yang bisa dilakukan malam ini haus dilakukan
sekarang juga!” Lalu dia memberi isyarat. Lelaki pertama berkelebat ke arah
pintu belakang pondok. Orang kedua laksana seekor burung alap-alap tanpa
menimbulkan suara sedikitpun melesat ke atas atap pondok yang terbuat dari
tumpukan ijuk tetbal. Yang berlaku sebagai pemimpin melangkah mendekati pintu
depan. Siapapun manusianya yang ada di dalam pondok itu jelas tak akan mungkin
lolos atau keluar tanpa diketahui.
“Andiko
Pamesworo!” si pemimpin berseru. Suaranya keras meskipun hampir larut oleh
suara deburan ombak di teluk. “Kami orang-orang Kerajaan berada di sini. Lekas
keluar bersama muridmu!”
Lampu di
dalam pondok serta merta padam. Kegelapan semakin mencekam tempat itu.
“Orang-orang
Kerajaan!” terdengar suara Empu Andiko Pamesworo dari dalam bangunan kayu “Lima
tahun berlalu. Akhirnya kalian datang juga. Aku memang sudah bosan menunggu.
Tiga orang tamu yang datang bersama angin dan kegelapan malam, silahkan
masuk….”
Tiga
orang yang mengaku orang-orang Kerajaan itu diam-diam menjadi kaget. Masih
berada di dalam pondok yang gelap, bagaimana sang empu mengetahui kalau mereka
berjumlah tiga orang!
Lelaki di
atas atap tampak mengangkat tangan, siap untuk menghantam. Kawannya yang tegak
di pintu depan memberi isyarat agar tidak bertindak kesusu. Lalu dia berseru
“Empu tua! Jangan kau berani berlaku tidak sopan terhadap kami! Mempersilahkan
masuk tapi semua pintu tak ada yang dibuka! Menyuruh masuk tapi rumah dalam
gelap gulita!”
“Ha….ha….ha….!”
Terdengar Empu Andiko Pamesworo tertawa. “Menuduh aku si tua bangka berlaku
tidak sopan. Lalu apakah kalian bertiga punya sopan santun? Mendatangi tumah
orang di tengah malam buta sambil berteriak-teriak! Satu menghadang di pintu
belakang, satu lagi memanjat di atas atap. Lainnya menunggu di pintu depan!
Tuan rumah mana yang suka berbasa-basi dengan kalian?!”
Marahlah
ketiga tamu dalam gelap itu. Yang di pintu depan membentak.
“Masih
untung kami datang dan berteriak memberitahumu! Seharusnya pondok butut ini
kami bakar dulu baru bicara! Atau kau bersikap sombong karena belum tahu siapa
kamu bertiga….?”
Tak ada
jawaban dari dalam. Empu Andiko tahu kalau yang datang ada tiga orang tapi
mungkin tidak tahu siapa-siapa ketiganya.
“Aku Buto
Celeng dan dua saudaraku Luwak Celeng serta Gagak Celeng! Kami datang untuk
menangkapmu dan muridmu!”
Dengan
memberi tahu siapa mereka si pemimpin yakni Buto Celeng mengira akan membuat
sang empu menjadi takut lantas keluar tunjukkan diri. Tapi dari dalam justru
terdengar suara ejekan menghina.
“Ah, tiga
ekor celeng rupanya! Kasihan, malam-malam buta begini kalian tersesat sampai ke
teluk! Kalau begitu tunggulah sampai pagi. Kalau hari sudah terang tentulah
kalian tahu jalan pulang!”
“Tua
bangka kurang ajar!” Buto Celeng marah sekali. “Diberi kesempatan jelas-jelas
minta mati!” Dia lalu memberi isyarat pada Gagak Celeng yang ada di atas atap.
Sesaat kemudian nampak api berkobar di atap yang terbuat dari ijuk itu. dalam
waktu singkat kobaran api melahap seluruh atap terus merambat ke dinding kayu.
Ketika seluruh bangunan telah dimakan api, lalu rubuh tinggal puing-puing hitam
saja, tiga orang itu melangkah mengitari reruntuhan pondok. Mereka tidak
menemukan Empu Andiko Pamesworo ataupun tulang belulangnya di antara
reruntuhan. Selagi mereka mencari-cari dari sebelah kiri terdengar suara
menegur.
“Aku di
sini! Mengapa mencari di situ….?!”
Kagetlah
Buto Celeng dan dua saudaranya. Bagaimana mungkin sang empu menyelinap keluar
dari dalam pondok yang dilalap api tanpa mereka lihat atau ketahui?!
“Empu
Andiko!” bentak Buto Celeng. “Umurmu tidak lama! Lekas katakan di mana anak itu
kau sembunyikan!”
“Siapa
menyembunyikan siapa?!”
“Keparat!
Siapa lagi kalau bukan muridmu bernama Nawang Suri itu yang kami cari!” hardik
Gagak Celeng. Dialah tadi yang membakar pondok kediaman sang empu.
“Oh,
muridku itu….” ujar sang empu. “Aku akan memberitahu di mana dia berada kalau
saat ini juga kalian bisa menggantikan pondokku yang kalian bakar!
Sanggup…..?!”
“Kau
bicara ngacok!” membentak Luwak Celeng. “Kau akan mendapat pondok baru di
akhirat!”
Empu
Andiko tertawa. “Kalian tidak akan menemukan Nawang Suri di sini. Dia sudah
lama pergi…..”
“Pendusta!”
bentak Buto Celeng.
“Lekas
beritahu di mana gadis itu berada!” menghardik Gagak Celeng.
“Sudah
kukatakan dia tak ada di sini.”
“Kalau
begitu terpaksa kami membunuhmu saat ini juga!” mengancam Buto Celeng.
Si orang
tua itu tidak takut akan ancaman itu menjawab sambil tersenyum. “Seharusnya
kalian para perampas tahta Kerajaan sudah membunuhku empat tahun silam! Malam
ini kalian akan menyesal tidak melakukan hal itu!”
“Adik-adikku!”
seru Buto Celeng. “Tua bangka ini memang tak layak dibiarkan hidup lebih lama!”
begitu selesai bicara Buto Celeng meelsat ke depan diikuti oleh dua saudaranya.
Dalam gelap malam dan udara dingin pecahlah perkelahian di tempat itu.
Buto
Celeng dan dua adiknya adalah tokoh-tokoh silat istana tingkat ketiga. Seperti
diketahui tidak mudah menjadi tokoh silat di kalangan Kerajaan. Karenanya
walaupun cuma berada di tingkat tiga deretan hulubalang terpercaya namun
tingkat kepandaian tersebut tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Dengan
kata lain ilmu silat yang dimiliki tiga bersaudara Celeng itu berada pada
tingkat tinggi. Apalagi mereka berjumlah tiga orang. Maka arus serangan mereka
dalam gebrakan pertama sudah berarti kematian bagi Empu Andiko Pamesworo. Tak
dapat tidak orang tua yang malang ini akan menemui ajal dengan kepala pecah
atau dada remuk atau perut jebol!
Akan
tetapi betapa terkejutnya ketiga tokoh silat Istana tersebut ketika dengan
gerakan tenang tapi gesit. Laksana hembusan asap tubuh sang empu meliuk dan
berhasil mengelakkan tiga serangan maut mereka!
“Bagus!
Keluarkan seluruh kepandaianmu agar tidak mampus penasaran!” teriak Gagak
Celeng coba menutupi rasa kagetnya. Lalu seperti seekor burung tubuhnya melesat
ke atas. Tangan dan kaki menyebar serangan susul menyusul.
Kembali
dengan satu gerakan tenang dan gesit Empu Andiko berkelebat ke samping.
Tubuhnya miring ke kiri dan kaki kanannya tiba-tiba sekali menendang ke arah
pinggang Gagak Celeng. Kalau saja dari kiri kanan tidak datang Buto Celeng dan
Luwak Celeng menyerbu dan memaksa sang empu tarik kakinya yang menendang sambil
mundur, maka sudah dapat dipastikan pinggang Gagak Celeng akan termakan
tendangan.
“Bangsat
tua ini ternyata boleh juga!” berbisik Luwak pada Buto.
“Kita
harus mengurung dan menggempurnya habis-habisan. Lama-lama masakan tenaganya
tidak melorot. Kita harus memaksanya bergerak cepat terus menerus hingga
kehabisan tenaga!”
Ucapan
Buto Celeng itu diterima dua saudaranya. Ketiganya kembali menyerang. Kali ini
dengan lebih gencar. Angin pukulan dan tendangan menderuderu menggempur Empu
Andiko. Dengan mengandalkan jurus-jurus bertahan yang ampuh sampai delapan
jurus di muka orang tua itu berhasil membendung serangan tiga pengeroyok. Namun
hal ini membuat dia tidak berkesempatan melakukan serangan balasan. Agaknya
tiga tokoh silat istana itu mulai mengetahui di mana letak kelemahan
jurus-jurus silat si orang tua. Dalam keadaan kepepet Empu Andiko tibatiba
keluarkan suara pekik seperti seruling melengking, membuat tiga lawan sesaat
tercekat. Sebelum ketiganya pulih dari pengaruh pekikan aneh itu Empu Andiko
Pamesworo berhasil menghantam dada Luwak Celeng dengan jotosan tangan kiri yang
amat keras.
Luwak
Celeng terpelanting empat langkah, jatuh terduduk di tanah. Mulutnya terasa
panas dan asin. Ketika meludah, yang jatuh ke tanah adalah cairan darah!
Menahan sakit dengan kalap Luwak Celeng bangkit berdiri dan di tangan kanannya
kini tergenggam sebilah pedang bermata dua. Tampaknya senjata ini bukan senjata
biasa karena dalam gelap memancarkan sinat keputihan.
Wutt!
Pedang di
tangan Luwak Celeng menyambar.
Wutt!
Wutt!
Ternyata
ada dua pedang lagi yang datang menyambar susul menyusul. Empu Andiko melompat
selamatkan diri dari sambaran tiga senjata itu. Di hadapannya, tiga bersaudara
Celeng tegak memegang pedang berbentuk sama dengan tampang bengis.
“Kalian
orang-orang Kerajaan ternyata tikus-tikus pengecut!” ujar Empu Andiko.
Diam-diam dia menekan rasa kawatirnya. Sambaran angin tiga pedang tadi membuat
dia maklum bahwa tiga senjata musuh itu akan menimbulkan kesulitan
baginya.
“Pengecut! Mengeroyok dan andalkan senjata!”
“Kalau
kau punya senjata keluarkanlah!” hardik Luwak Celeng.
“Senjataku
ini!” Empu Andiko. Dia melompat ke kiri. Sesaat kemudian di tangannya sudah
terpegang sepotong balok puing bangunan rumahnya yag terbakar. Ujung balok itu
masih merah membara. “Manusia-manusia pengecut! Ayo maju! Kalian tunggu apa
lagi!”
Buto
Celeng meludah ke tanah. Luwak berteriak garang. Gagak sudah mendahului
menyerbu. Justru dia disambut dengan sodokan ujung balok membara. Ketika
pedangnya dipakai untuk menghantam balok itu, puing-puing berapi muncrat
bertebaran, menghantam muka dan pakaiannya. Gagak Celeng berteriak kesakitan
lalu mengamuk marah. Dua saudaranya ikut berteriak berang. Tiga pedang kembali
berserabutan dalam gelapnya malam. Serangan tiga pengeroyok itu mengarah bagianbagian
yang sulit hingga Empu Andiko menjadi sibuk. Setelah empat jurus lagi berlalu
orang tua ini menyadari bahwa tenaganya mulai terkuras. Gerakannya yang semula
tenang tetapi gesit kini tampak lamban. Dua sambaran pedang berhasil merobek
pakaian putihnya.
“Ha….ha!
Sebentar lagi kulit dan dagingmu yang akan kami robek-robek!” teriak Luwak
Celeng. Dari mulutnya semakin banyak darah mengucur. Sebenarnya saat itu rasa
sakit di dadanya hampir tak tertahankan lagi. Tapi kobaran api dendam dan
kemarahan membuat dia berubah seperti setan dan mengamuk habis-habisan.
“Empu
Andiko!” berseru Buto Celeng. “Jika kau mau memberitahu di mana Nawang Suri
berada, kami bertiga akan mengampuni nyawamu!”
Sang Empu
menyeringai. Dia tahu betul sifat culas orang-orang Kerajaan itu. tak bisa
dipercaya. Dia tak akan memberitahu apapun yang terjadi. Diberitahu atau tidak
dia yakin ajalnya akan sampai juga malam itu.
“Siapa
sudi minta ampun pada kaki tangan penumpas biadab!” Empu Andiko balas
berteriak.
“Kalau
begitu benar-benar kau memilih mati!”
“Aku
tidak takut mati. Tapi paling tidak satu di antara kalian harus menyertaiku ke
liang kubur!” teriak Empu Andiko lagi. Balok di tangannya berputar aneh.
Menghantam ke arah punggung Luwak Celeng. Orang yang diamuk kamarahan itu
seperti tidak menyadari bahaya yang mengancamnya. Ketika Gagak memperingatkan,
dia membuat gerakan yang salah yaitu merunduk. Akibatnya balok berapi
menghantam batang lehernya.
Terdengar
dua kali suara kraak dalam waktu hampir bersamaan. Kraak yang pertama adalah suara
patahnya ujung balok sedang kraak yang kedua suara patahnya batang leher Luwak
Celeng!
Berhasilnya
dia membunuh seorang lawan ternyata harus dibayar mahal oleh Empu Andiko, yakni
dengan nyawanya sendiri. Baru saja dia membalikkan badan untuk mengahadapi dua
lawan yang datang menyerang, dua ujung pedang tahu-tahu sudah diarahkan
kepadanya. Satu menempel tepat di batang tenggorokan, satu lagi dipertengahan
dada.
“Kami
masih bersedia mengampunimu!” kata Buto Celeng menyeringai.
“Ya!”
ujar Gagak. “Lekas katakan di mana Nawang Suri berada!”
“Tanyakan
nanti pada mayatku!” jawab Empu Andiko tenang dan dingin.
“Kalau
begitu nyawamu memang tidak tertolong lagi!” kertak Buto Celeng. Ujung pedang
yang dipegangnya ditusukkan kuat-kuat menembus tenggorokan. Di saat yang sama
Gagak Celeng hujamkan ujung senjatanya ke dada si orang tua. Tubuh yang seperti
disatai itu tergelimpang rubuh begitu keduanya menarik pedang masingmasing.
“Kita
harus bergerak cepat!” kata Buto Celeng sambil membersihka senjatanya dari noda
darah. “Besar dugaanku Nawang Suri belum lama meninggalkan tempat ini.”
“Sementara
kau pergilah dulu. Bagaimanapun ktia tak bisa meninggalkan mayat Luwak seperti
ini…..” ujat Gagak Celeng.
“Aku
tahu. Tapi kita tak banyak waktu. Gadis itu harus diringkus secepatnya. Besok
pagi kita suruh orang mengambil jenazah Luwak.”
Gagak
terpaksa menyetujui ucapan saudaranya itu. Keduanya kemudian berkelebat
menerobos hutan gelap.
****************
TIGA
“Hujan
gila!” maki orang itu dalam hati seraya mempercepat larinya dalam kegelapan.
Meski rimba belantara itu cukup lebat namun tidak mampu membendung curahan
hujan yang begitu deras. Sebentar saja sekujur tubuh dan pakaian orang itu
sudah basah kuyup. Dia membetulkan letak buntalan perbekalan di punggungnya
sesaat, lalu lari kembali ke jurusan barat laut. Sebentar-sebentar dia meraba
kumis tibpis yang menghias bibirnya. Dia merasa lega ketika akhirnya keluar
dari hutan kini bebukitan kecil yang merupakan bukit sawah membentang di
hadapannya.
Udara
terasa dingin, apalagi dalam keadaan basah kuyup seperti itu. Sebelumnya tak
pernah dia berlari sejauh itu namun sedikitpun dia tak merasa letih. Dengan
lincah dia berlari di atas pematang-pematang sawah yang cukup untuk pemijakan
kaki serta licin pula. Meskipun tidak letih namun ketika melihat sebuah dangau
di ujung persawahan, orang ini akhirnya pergi duduk di sana. Dia tak perlu
merasa cepat-cepat dalam perjalanan itu. Bukankah dia tak akan memasuki Kuto
Gede besok siang. Tapi sesuai petunjuk dia akan menunggu sampai malam, baru
memasuki kota kecil itu bila dirasakannya sudah aman.
Setelah
merasa cukup lama duduk di dangau itu, orang tersebut melompat turun dan
melanjutkan perjalanan. Baru saja dia berlari beberapa langkah lapat-lapat
didengarnya suara orang berlari di kejauhan. Ada lebih dari satu orang yang
berlari ke jurusannya dan sangat cepat. Ketika berpaling benar saja. Di
lihatnya dua orang lelaki berlari mendatangi. Yang sebelah depan malah
terdengar berseru.
“Kisanak!
Berhenti dulu!”
Orang
berkumis terus saja berlari. Malah berusaha lebih cepat hingga kedua orang d
belakangnya tertinggal.
“Hai
tunggu! Jangan takut! Kami bukan begal! Kami hanya ingin bertanya!” Orang di
sebelah belakang kembali berteriak. Dia dan kawannya mempercepat lari
masing-masing. Orang di sebelah depan akhirnya berhenti. Tapi dia tegak
membelakangi hingga ketika kedua orang itu sampai, mereka terpaksa
mengelilinginya lalu tegak berhadap-hadapan.
“Dengar,
kami bukan begal atau rampok. Kami hanya ingin bertanya. Kisanak muda ini dari
mana dan hendak menuju ke mana?”
Yang
ditanya geleng-gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan.
“Ah,
kenapa tak mau menjawab?” Lelaki di sebelah kanan yang bukan lain adalah Buto
Celeng bertanya. “Kami ingin bertanya apakah kisanak melihat seseorang melintas
daerah ini?”
Kembali
yang ditanya goyangkan tangan dan kepala. Dari mulutnya terdengar suara
“A…aa….uu…..u….”
“Pemuda
ini gagu!” tanya Gagak Celeng pada saudaranya.
“Kelihatannya
begitu,” ujar Buto Celeng. “Jadi kau tidak melihat siapa-siapa lewat di sini?”
“Aa….aa….uuuuu….uuuuu”
“Sudahlah!
Kau boleh pergi sana!” kata Gagak Celeng.
Pemuda
berkumis itu manggut-manggut lalu berlari pergi.
“Kenapa
kau suruh pergi dia?” tanya Buto Celeng agak jengkel.
“Habis
kita mau bikin apa? Ditanyapun dia tak bisa menjawab!”
“Setahuku
orang gagu sekaligus tuli. Pemuda tadi kelihatannya seperti tidak tuli,” ujar
Buto Celeng.
“Apa
pentingnya tuli atau tidak. Lagi pula seseorang bisa saja menderita gagu
setelah dewasa….”
“Hemmm…..”
Buto Celeng usap-usap dagunya. “Aku menaruh curiga pada pemuda itu. Tidakkah
kau lihat kumisnya tipis tapi cukup lebat. Padahal dagunya polos dan kedua
pipinya licin. Kulitnya sehalus kulit perempuan. Lalu suaranya. Memang seperti
orang gagu. Namun seolah menyenbunyikan sesuatu….”
“Kau
melantur saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan!” kata Gagak Celeng.
“Tidak!”
sahut Buto tegas. “Aku akan mengejar pemuda halus itu!” Lalu tanpa tunggu lebih
lama dia melesat mengejar pemuda di depan sana. Mau tak mau adiknya terpaksa
mengikuti.
“Hai
orang muda! Tunggu!” panggil Buto Celeng sambil lari dan kerahkan seluruh
tenaga serta kepandaian mengejar. Tidak seperti tadi, kali ini meskipun sudah
diteriaki beberapa kali, pemuda berkumis terus saja tetap lari dan ternyata
Buto dan Gagak Celeng cukup menemui kesulitan untuk memperpendek jarak.
“Kau
lihat sendiri!” kata Buto pada adiknya. “Jika dia seorang pemuda jembel
gelandangan biasa masakan bisa lari secepat itu!”
“Kau
betul! Kita kejar terus!” membenarkan Gagak Celeng.
“Aku
kelupaan membawa senjata rahasia. Kau ada membekali diri?”
“Aku juga
tidak. Tapi aku ada membawa sebilah pisau pendek. Biar kuhantam dengan pisau
ini!” Gagak Celeng keluarkan sebilah pisau pendek dari pinggangnya dan siap
melemparkan senjata ini.
“Arahkan
ke kaki kanannya atau kirinya! Aku ingin menangkap monyet itu tanpa banyak
cidera!” berkata Buto Celeng.
Gagak
Celeng gerakkan tangan kanannya. Pisau pendek mencuat di udara, emmbelah
kegelapan malam, melesat ke arah kaki kanan pemuda yang berlari.
Seperti
terpeleset tiba-tiba pemuda di depan sana jatuh terguling. Tubuh dan pakaiannya
yang basah kini penuh dengan tanah dan lumpur sawah. Buntalannya mental entah
kemana. Ketika dia bangkit dengan cepat, satu telapak kai menekan keningnya
dengan kuat.
“Aa…uu…aaa….aaaa”
“A-u….auuuuuu!”
sentak Buto Celeng. “Aku mau tahu apakah kau benarbenar gagu!” Lalu Buto
keluarkan pedangnya, langsung ditusukkan ke perut si pemuda. Namun setengah
jengkal dari perut tusukannya ditahan. Jika pemuda ini benar-benar gagu dia
hanya akan mengeluarkan suara a-u….a-u. Tapi jika dia hanya berpura-pura gagu
maka niscaya akan menjerit.
“Aaaaa…….uuuuu…….uuuuu…….aaaaa……uuuuu!”
Pemuda itu goyanggoyangkan kedua tangannya. Kedua kaki menghempas-hempas. Tapi
injakan kaki kanan Buto Celeng berat dan keras.
“Bangsat!
Kau mungkin memang gagu! Tapi perlihatkan dulu siapa dirimu sebenarnya!” Habis
berkata begitu tangan kiri Buto Celeng melesat ke bawah hidung si pemuda.
Sret!
Kumis
tipis di bagian sisi kiri bibir si pemuda terlepas tanggal!
“Apa
kataku!” seru Buto Celeng sementara Gagak melongo tak percaya!
“Sekarang
coba kuperiksa rambutmu!” kembali Buto Celeng keluarkan suara keras. Dan tangan
kirinya berkelebat ke arah kain putih penutup dan ikat kepala si pemuda.
Sebelum maksudnya kesampaian untuk menarik ikat kepala tak terduga tibatiba si
pemuda keluarkan bentakan keras. Tangan kanannya memukul ke samping.
Buto
Celeng menjerit kesakitan. Kaki kanannya seperti dihantam pentungan besi.
Mungkin tulang keringnya sudah remuk saat itu!
****************
EMPAT
“Jahanam
keparat!” bentak Gagak Celeng marah. “Kau apakan saudaraku!” Lalu diapun cabut
pedang mata dua dari pinggang, langsung membacok ke bawah. Bagian tajam pedang
hanya menghantam lumpur pematang sawah karena orang yang dibacok dengan gerakan
luar biasa telah lebih dulu melompat dan kini tegak dengan memasang kuda-kuda
kukuh.
“Bangsat!
Katakan siapa kau sebenarnya!” hardik Buto celeng. Rahangnya bertonjolan sedang
kedua pelipisnya bergerak-gerak saking geramnya.
Pemuda
yang ditanya tak menjawab ataupun bergerak. Dia tetap tegak memasang kuda-kuda.
Memperhatikan kedudukan kuda-kuda si pemuda. Gagak Celeng berbisik pada
saudaranya “Jelas keparat ini memiliki kepandaian silat. Aku curiga
jangan-jangan dia orang yang kita cari-cari! Lihat saja muka dan kulitnya
seperti perempuan. Kalau tidak menyembunyikan sesuatu mengapa tadi dia memakai
kumis palsu!”
“Akupun
menduga demikian,” balas berbisik Buto Celeng. “Biar kita lihat apa dia betul
seorang pemuda, atau perempuan, ataupun banci!”
Habis
berkata begitu Buto Celeng tusukkan pedang di tangan kanannya ke arah dada
pemuda di hadapannya. Gerakannya ini sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena
begitu lawan mengelak, Buto Celeng ulurkan tangan kiri untuk menjambret kain
putih penutup kepala si pemuda!
Tubuh
yang membuat gerakan mengelak mendadak menendang ke depan sewaktu tangan kiri
Buto Celeng menyambar. Tokoh silat tingkat tiga istana ini tidak tinggal diam.
Sadar gerakannya menjambret tidak kesampaian maka kembali pedangnya beraksi.
Senjata ini membabat deras ke arah kaki yang menendang. Bersamaan dengan itu
dari samping kanan Gagak Celeng ikut menggempur dengan satu tusukan ke sisi
kiri si pemuda.
Terjadilah
hal yang luar biasa. Tubuh si pemuda mendadak sontak seperti melejit ke udara.
Dua hantaman pedang menggempur tempat kosong. Begitu tubuhnya melayang tutun,
si pemuda sebar serangan berupa tendangan berantai, masing-masing mengarah
batok kepala Buto dan Gagak Celeng.
Meskipun
tersentak kaget melihat ilmu meringankan tubuh serta serangan lawan namun dua
tokoh silat istana itu masih dapat mengelak. Malah begitu lawan baru saja
menginjakkan kedua kaki di pematang sawah, mereka kembali menyerbu dengan
sebat. Sambil melancarkan serangan deras, Buto Celeng berbisik pada saudaranya.
“Perhatikan gerakan si pemuda itu Gagak. Banyak sekali persamaannya dengan ilmu
Empu Andiko Pamesworo! Aku curiga, bahkan hampir pasti pemuda ini adalah orang
yang kita cari!”
“Tadipun
aku sudah menduga!” menjawab Gagak Celeng. “Kita gempur terus. Jangan beri
kesempatan! Desak dia agar masuk ke dalam sawah berlumpur!”
“Aku
punya akal lain. Kita akan segera lihat apakah dia benar orang yang kita cari
atau bukan!”
“Apa yang
hendak kau lakukan?” tanya Gagak Celeng pula.
Sambil
terus bolang-balingkan pedangnya menyerang lawan, Buto Celeng tiba-tiba
berteriak.
“Anak
muda muka pucat! Jangan kira kami tidak tahu siapa kau adanya! Jika kau tak
lekas menyerahkan diri niscaya kau akan menyusul gurumu ke akhirat! Ketahuilah
kami adalah utusan dari istana! Sarang kediaman gurumu telah kami temui malam
ini! dan Empu Andiko Pamesworo sudah kami bunuh!”
Paras
pemuda berpakaian penuh lumpur itu mendadak tampak berubah. Dia membuat gerakan
melompat mundur.
“Manusia
keparat! Kau membunuh Empu Andiko katamu……?!”
Buto
Celeng tertawa bergelak.
“Lihat!
Ternyata dia tidak gagu!”
“Dan
suaranya seperti suara perempuan!” menyambung Gagak Celeng.
“Betul!
Dia memang perempuan! Dan dia pastilah Nawang Suri, puteri raja yang berusaha
menyusun pemberontakan!”
Si pemuda
nampak tercekat. Karena terkejut mendengar kata-kata Buto Celeng tadi, dia
telah membuka suara yang berarti membuka rahasia diri dan penyamarannya.
“Ha….ha!
Kau tidak bisa lari dari kami Nawang Suri! Kau hanya punya satu pilihan.
Tertangkap hidup-hidup atau menyusul gurumu!”
“Manusia-manusia
durjana! Jika kalian benar telah membunuh Empu, kalian akan rasakan
pembalasanku saat ini juga!”
Buto
Celeng dan Gagak Celeng sambut ucapan lawan dengan tawa bergelak lalu sama-sama
menghamburkan serangan pedang. Mereka membuat gerakan-gerakan menjepit karena
masih bermaksud untuk menangkap lawan hidup-hidup. Tetapi ketika lawan yang
bertangan kosong itu bertahan dan balas menyerang dengan nekad, mau tak mau
keduanya tidak memperhitungkan lagi apapun yang terjadi. Gerakan pedang mereka
berubah menjadi ganas hingga bagaimanapun hebat pertahanan si pemuda cepat atau
lambat bahaya maut pasti akan melandanya!
Pada
jurus kesembilan belas dalam satu gebrakan hebat Buto Celeng membabat ke arah
kepala lawan. Di saat yang sama satu tusukan deras datang dari depan, dilakukan
oleh Gagak Celeng. Lawan yang dikeroyok merunduk untuk elakkan tebasan Buto
Celeng. Tapi karena sekaligus dia harus melompat mundur untuk selamatkan perut
dari tusukan Gagak Celeng maka gerakan merunduknya agak terlambat.
Breet!
Kain
putih penutup kepala robek besar. Rambut hitam panjang yang tadi tergelung di
bali kain itu tergerai keluar. Kini si pemuda tak dapat lagi menyembunyikan
bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang gadis remaja. Dan dia bukan lain memang
Nawang Suri!
“Ha….ha!
Kedokmu benar-benar sudah terbuka Nawang Suri!” seru Buto Celeng. Pegangannya
pada hulu pedang semakin diperketat. Serangannya dan serangan adiknya bertambah
ganas.
Dalam
kegelapan malam di tempat terbuka di pesawahan itu tiba-tiba berkelebat
pancaran sinar merah. Serentak dengan itu dua tokoh silat istana tadi merasakan
ada hawa panas yang menyambar. Keduanya seperti terdorong ke belakang oleh satu
kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan. Memandang ke arah tangan kanan Nawang
Suri, terkejutlah keduanya dan berseru hampir bersamaan.
“Keris
Mustiko Geni!”
Kedua
tokoh silat istana ini merasakan dada masing-masing bergetar keras. Keris
Mustiko Geni bukan saja merupakan senjata tumbal dan lambang tahta kerajaan,
tetapi sekaligus merupakan satu senjata sakti luar biasa. Dan kini senjata itu
ada di tangan lawan! Mereka memang juga telah diperintahkan untuk mendapatkan
keris tersebut, namun sama sekali tidak menyangka kalau senjata sakti
mandraguna itu ternyata berada di tangan Nawang Suri.
“Celaka
Buto…..” berbisik Gagak celeng. “Kau lihat senjata itu?”
“Kita
harus berhati-hati Gagak. Keluarkan jurus-jurus empat simpai menjerat
laba-laba…..”
Jurus
yang barusan dikatakan Buto Celeng itu adalah jurus terhebat dari ilmu pedang
mereka dan selama ini jarang sekali mereka keluarkan. Kini menghadapi lawan
yang memegang senjata sakti, keduanya tak mau ambil resiko. Didahului oleh bentakan
garang dari mulut Buto, dua bersaudara itu kembali menyerbu. Dua pedang
berkelebat dalam udara malam yang dingin, mengeluarkan deru berkesiuran
menggidikkan. Sesuai dengan nama jurusnya maka kehebatannya memang bukan
olah-olah. Dua batang pedang seperti berobah menjadi empat dan membentuk sisi
empat persegi hingga Nawang Suri seperti laba-laba terkurung dalam sebuah kotak
maut!
“Mampus!”
teriak Buto Celeng. Pedang di tangannya membabat ke leher.
“Putus
nyawamu!” teriak Gagak Celeng tak kalah garang dan pedangnya menusuk ke dada.
Dalam
gelap malam tiba-tiba membeset sinar merah. Udara di tempat itu mendadak
menjadi panas.
“Awas
hantaman keris!” memberi ingat Buto celen. Tapi terlambat.
Trang….trang…..!
Bunga api
memercik dalam gelapnya malam. Buto dan Gagak Celeng merasakan tangan
masing-masing tergetar keras. Ada hawa sangat panas menghantam ke arah mereka
seperti memanggang. Keduanya melompat mundur empat langkah. Ketika
memperhatikan pedang di tangan mereka tersentak kaget dan pucat. Kedua senjata
itu telah patah buntung disambar Keris Mustiko Geni! Luar biasa dan hampir tak
dapat dipercaya oleh tokoh istana itu.
“Bagaimana
sekarang? Kalian masih inginkan menangkapmu?!” bertanya Nawang Suri dengan nada
mengejek.
“Gadis
pemberontak! Apa kau kira kami takut?!” bentak Buto Celeng. Tapi untuk sesaat
dia tetap saja tak bergerak di tempatnya. Lalu dia berbisik pada saudaranya.
“Gagak, kita harus merampas keris itu lebih dulu. Kalau tidak bisa berabe! Kau
menyerang dari kanan, aku dari kiri.”
Dua tokoh
silat istana itu dengan andalkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang
mereka miliki berkelebat cepat. Masing-masing juga kerahkan tenaga dalan pada
dua tangan. Memang hanya dengan mengandalkan kecepatan gerakan serta kekuatan
tenaga mereka bisa menghadapi lawan yang memegang senjata sakti luar biasa itu.
Meskipun demikian ternyata tetap saja Buto dan Gagak Celeng mengalami
kesulitan. Setiap keris menyambar, sinar merah berkiblat menggidikkan dan hawa
panas memapas ke arah keduanya. Setelah beberapa kali mencoba dan tetap gagal
keduanya merubah siasat. Sambil menjaga jarak untuk menghindarkan tusukan atau
sambaran keris, Buto dan Gagak Celeng lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong
jarak jauh. Sekaligus mereka mengurung rapat karena bagaimanapun juga mereka tak
ingin Nawang Suri lolos. Justru hal ini yang membuat mereka menjadi celaka.
Pada
jurus kedua puluh satu Nawang Suri tampak seperti tergelincir di pematang
sawah. Tubuhnya miring ke kiri. Melihat ini Gagak Celeng tidak sia-siakan
kesempatan. Dia memburu dengan tendangan kaki kanan ke dada sang dara. Di saat
itu pula Nawang Suri membuat gerakan membalik sambil sabatkan keris Mustiko
Geni. Terdengar pekik Gagak Celeng ketika senjata sakti itu menggurat dadanya
dalam dan deras. Tubuhnya terhuyung-huyung. Kalau tak lekas ditopang oleh Buto
Celeng pasti tercebur ke dalam lumpur sawah. Namun di lain kejap Buto Celeng
serta merta lepaskan tubuh saudaranya itu. Tubuh Gagak Celeng terasa panas
seperti bara. Pakaian dan kulitnya tampak hangus kehitaman. Gagak Celeng menjerit
sekali lagi. Nyawanya lepas. Kedua kakinya tertekuk dan dia jatuh terjerambab
ke dalam sawah!
“Gagak!”
teriak Buto Celeng memanggil dan hendak memburu. Tapi dia terpaksa menjauh
karena saat itu Nawang Suri kirimkan satu tikaman ke arahnya. Tengkuk Buto
Celeng terasa dingin. Rasa takut menggerayangi dirinmya. Berdua dengan Gagak
saja dia tak sanggup menghadapi anak murid Empu Andiko Pamesworo itu, apalagi
seorang diri. Tak ada jalan lain. Dia terpaksa berispa-siap cari kesempatan
untuk melarikan diri. Namun pada saat kesempatan muncul mendadak terdengar
suara seruan dari arah timur.
“Sungguh
memalukan! Dua tokoh silat istana berkepandaian tinggi tidak mampu membereskan
seorang gadis kecil!”
Begitu
seruan lenyap, sesosok tubuh muncul dari kegelapan malam dan tegak di kanan
Buto Celeng.
****************
LIMA
Merasa
dihina Buto Celeng semula hendak membentak marah. Tapi sewaktu dia berpaling
dan melihat siapa adanya orang yang barusan datang itu langsung saja dia tegak
dengan sikap hormat.
“Ah, kiranya
orang gagah Sindu Kalasan tokoh kelas satu bergelar Datuk Tongkat Dari
Selatan!”
Orang
yang ditegur batuk-batuk beberapa kali. Dia berdiri dengan tangan kiri berkacak
pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang sebuah tongkat bambu sepanjang
tujuh jengkal. Tongkat bambu ini berwarna kuning dan besarnya hanya sejari
telunjuk.
Diam-diam
Buto Celeng merasa gembira. Dalam keadaan seperti iu siapa yang tidak senang
melihat munculnya kawan sendiri. Datuk Tongkat adalah tokoh silat istana
pertama dan merupakan orang ketiga dari hulubalang istana.
“Melihat
pada senjata yang ada di tangannya aku sudah bisa meraba.” Sahut Datuk Tongkat
seraya timang-timang tongkat bambu halus yang ada di tangan kanannya. “Bukankah
dia Nawang Suri, orang yang harus ditangkap hidup atau mati?”
“Betul
sekali Datuk. Aku dan saudara-saudaraku berhasil menemukan tempat kediaman
gurunya di teluk. Empu Andiko telah kami bunuh walau untuk itu adikku Luwak
Celeng terpaksa menemui kematian pula. Dan barusan adikku yang lain yaitu Gagak
Celeng menemui ajal di tangan gadis ini!”
“Sungguh
malang nasibmu Buto. Kehilangan dua saudara dalam satu malam. Lalu apa yang
akan kau lakukan sekarang…..?”
Buto
Celeng terkesiap. Tak dapat dia menjawab pertanyaan Datuk Tongkat itu.
“Kau
ingin menangkap Nawang Suri hidup atau mati, tetapi tak mampu. Betul begitu
kan?”
Paras
Buto Celeng berubah kemerahan. Dia batuk-batuk beberapa kali sekedar
menghilangkan rasa malu dan penasaran. Tapi otaknya sangat cerdik. Dia cepat
menjawab.
“Siapa
bilang aku tak dapat menangkap Nawang Suri? Dengan bantuan tokoh sehebatmu
pasti itu bisa dilakukan! Bukankah ini tugas semua para hulubalang istana?”
Datuk
Tongkat alias Sindu Kalasan tertawa mengekeh. Dia tahu betul. Di antara tiga
kakak beradik Celeng, Buto adalah yang paling lihay kepandaiannya tapi juga
paling cerdik dan licin.
Sambil
ketuk-ketukkan tongkatnya ke tanah pematang sawah sang datuk menjawab “Kalau
cuma bocah cilik seperti gadis itu mengapa harus kita berdua Buto. Kau
menyingkirlah. Biar aku sendiri yang membereskannya. Tapi ingat satu hal….!”
“Hal
apakah itu, Datuk?” tanya Buto Celeng tak enak.
“Pada
saat aku berhasil menangkap gadis itu hidu-hidup lalu membawanya ke hadapan Sri
Baginda di istana, sekali-kali kau jangan mempunyai perasaan bahwa kau andil
dalam kerja besar menangkap anak pemberontak ini…..”
“Maksud
Datuk….?”
“Maksudku
jelas! Kau tak akan menerima pahala apa-apa…..!”
“Tapi…..”
“Tutup
mulutmu Buto Celeng! Jangan sampai aku mengusirmu dari tempat ini!” bentak
Datuk Tongkat.
“Datuk!
Kita sama-sama orang dalam istana. Kenapa kau bicara seperti itu? soal pahala,
Sri Baginda nanti yang akan memutuskan. Sri Baginda seorang bijaksana.
Bagaimanapun dia tentu tahu dan tak akan melupakan jasa para pembantunya!”
“Begitu…..?”
ujar Datuk Tongkat menyeringai. Kembali dia ketuk-ketukkan tongkatnya ke tanah.
Setiap
dia membuat ketukan, Nawang Suri yang berdiri beberapa langkah dari hadapannya
merasakan tanah pesawahan itu seperti bergetar. Getaran itu menjalar ke kedua
kakinya, terasa aneh seperti hendak melumpuhkan. Cepat sang dara ini kuatkan
hati dan kerahkan tenaga dalam. Tadi dia telah mendengar Buto Celeng menyebut
orang berpakaian lurik hitam bergaris coklat dan berblangkon aneh terbuat dari
kain beludru itu sebagai tokoh kelas satu istana. Berarti dia berhadapan dengan
seorang berkepandaian tinggi luar biasa. Hatinya merasa tidak enak. Tapi tidak
enak berarti takut. Dengan tengan gadis in tetap menunggu di tempatnya.
“Bocah
cilik. Aku berbaik hati memberikan pilihan padamu. Menyerah secara baik-baik
dan kubawa ke Kuto Gede atau kugebuk dulu baru mau ikut…..!”
Nawang
Suri sunggingkan senyum mengenjek. Lalu gadis ini menjawab.
“Manusia
berblangkon bludru! Jika kau tadi sudah tahu namaku berarti kau sudah tahu
berhadapan dengan siapa. Seharusnya kau dan juga monyet satu itu berlutut
memberi hormat. Karena akulah pewaris tunggal dan syah dari tahta kerajaan yang
dirampas oleh tuan besarmu yang sekarang berkuasa di Kuto Gede itu!”
“Gadis
lancang tak tahu diri!” bentak Buto Celeng. Sedang Datuk Tongkat Dari Selatan
tampak terkesiap mendengar ucapan Nawang Suri. Namun kemudian terdengar suara
tawanya mengekeh.
“Malam
hampir pagi….” Kata sang datuk pula. “Dan kau masih larut dalam mimpi Nawang
Suri! Nah serahkanlah dirimu baik-baik tanpa perlawanan!”
“Siapa
sudi menyerah! Kalau kau memang punya nama besar tangkaplah diriku!”
Habis
berkata begitu Nawang Suri sebatkan Keris Mustiko Geni di tangan kanannya ke
depan. Sinar merah menyambar disertai terpaan hawa panas.
Datuk
Tongkat Dari Selatan yang maklum kehebatan senjata di tangan sang dara bersurut
mundur.
“Ha….ha!
Malam ini aku berkesempatan membuat dua jasa besar bagi kerajaan. Pertama
menangkap anak pemberontak, kedua merampas Keris Mustiko Geni!”
“Ternyata
kau yang mimpi Datuk pengkhianat! Kau inginkan keris ini, ambillah!” seru
Nawang Suri ditutup dengan sambaran sinar merah dari bawah ke kiri ke atas
kanan. Hawa panas menebar menggidikkan.
Untuk
kedua kalinya Datuk Tongkat Dari Selatan menghindar cepat. Hanya kali ini
sambil mengelak selamatkan perut dan dadanya dari sambaran keris sakti sang
datuk yang merupakan orang ketiga teratas dalam barisan hulubalang istana, dia
sekaligus putar tongkat bambu kuningnya yang halus. Benda itu seperti berubah
menjadi tujuh batang disertai suara bersiur aneh, sangat cepat menyambar ke
arah Keris Mustiko Geni.
Nawang
Suri yang percaya penuh akan kehebatan senjata di tangannya, apalagi hanya
menghadapi sebatang tongkat bambu, putar pergelangan tangannya. Ujung keris
laksana kilat menusuk tenggorokan Datuk Tongkat.
Yang
diserang tampak tenang. Kaki kanannya melangkah ke depan. Tubuhnya dimiringkan
ke belakang. Tongkatnya melesat ke atas dan cepat sekali tahu-tahu sudah
menempel di badan keris.
“Lepas!”
terdengar seruan sang datuk. Tangannya yang memegang tongkat disentakkan ke
belakang.
Nawang
Suri berseru kaget. Tangna kanannya terasa seperti kesemutan. Jarijarinya
menggeletar membuat genggamannya pada hulu keris mengendur. Sementara itu ujung
tongkat lawan terasa seperti merekat badan keris. Ketika tongkat disentakkan,
tak ampun lagi Keris Mustiko Geni ikut terpental dan melayang ke udara.
Datuk
Tongkat tertawa mengekeh.
Buto
Celeng leletkan lidah karena kagum.
Nawang
Suri kembali berteriak. Tapi dia cepat sadar tanggap dan melompat ke udara
untuk menjemput kerisnya. Hanya saja gerakannya kalah cepat dengan lompatan
Datuk Tongkat. Sang lawan telah lebih dahulu melesat ke udara dan tangan
kanannya cepat sekali menyambat ke arah hulu keris. Tapi sebelum tangan itu
sempat menyentuh Mustiko Geni, satu siulan membeset di langit malam. Dan sebuah
tangan tahu-tahu berkelebat lebih cepat, memapas senjata sakti itu dari
sergapan Nawang Suri maupun Datuk Tongkat.
Dan bukan
itu saja. Gerakan sosok tubuh yang tahu-tahu muncul di tempat itu membuat
Nawang Suri terpental ke tanah sedang sang datuk terhuyung empat langkah!
“Keparat!”
teriak Datuk Tongkat marah. “Siapa berani mencampuri urusan orang?!”
Dia
hantamkan tongkatnya ke tanah. Tapi hanya mengenai tampat kosong!
****************
ENAM
Saat itu
malam telah menjelang fajar menyingsing. Di kejauhan langit sebelah timur tampak
mulai terang kemerahan. Keadaan di pesawahan meskipun masih diselimuti
kegelapan namun dalam jarak sampai sepuluh langkah seseorang masih dapat
melihat cukup jelas orang lain di hadapannya. Memandang ke depan Datuk Tongkat,
Buto celeng dan Nawang Suri melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih dan
berambut gondrong tagak menyeringai sambil memegang Keris Mustiko Geni di
tangan kanannya.
“Pemuda
kurang ajar! Siapa kau berani-beranian ikut campur urusan orang!” membentak
Datuk Tongkat. Lelaki berusia enam puluh tahun ini marah bukan main. Namun
sebagai orang pandai yang banyak pengalaman dia tak mau gegabah. Jika seseorang
berhasil mendahului kecepatan gerakannnya bahkan sekaligus sempat membuatnya
terhuyung, berarti orang itu memiliki tingkat kepandaian yang bukan main-main.
“Manusia
lancang ini harus dihajar! Datuk biar aku yang memberi pelajaran padanya!” yang
bicara adalah Buto Celeng. Suaranya keras hampir berteriak.
“Bagus
Buto, kau berilah pelajaran padanya!” kata Datuk tongkat. Diam-diam dia sengaja
memberi kesempatan pada Buto Celeng padahal tujuan sebenarnya adalah untuk
melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang barusan muncul, dan begitu muncul
berhasil merebut keris sakti.
Dengan
sikap garang Buto Celeng melompat. Tangan kanannya bergerak menyambar rambut si
pemuda untuk dijambak sementara tangan kanan kirimkan jotosan ke dada.
Buukk!
Tinju
Buto celeng tepat melabrak dada pemuda baju putih. Tapi anehnya justru dialah
yang kemudian jatuh terjengkang, melintan di atas pematang sawah sambil merintih
pegangi tangan kanannya yang tampak lecet. Sementara pemuda yang barusan
dihantam tetap tegak tak bergeming malah masih menyeringai seperti tadi!
Malu,
kesakitan dan merasa seperti dipermainkan membuat Buto Celeng naik darah. Dia
bangkit berdiri. Begitu tegak diahantamkan kaki kanan ke selangkangan si
pemuda. Yang diserang keluarkan siulan nyaring lalu kaki kirinya melesat ke
depan, mengangkat betis Buto Celeng kuat-kuat ke atas. Akibatnya tak ampun lagi
Buto Celeng melintir dan terlempar ke dalam sawah berlumpur. Tubuhnya jatuh
menelungkup, sekujur muka dan tubuhnya sebelah depan habis bercelemongan.
Datuk
Tongkat Dari Selatan alias Sindu Kalasan gigit-gigit bibirnya. Kalau tidak
menyaksikan sendiri tentu dia tak akan percaya ada seorang tokoh silat istana
kelas tiga di buat mainan oleh seorang pemuda tak dikenal.
“Orang
muda, kau belum menjawab pertanyaanku. Katakan siapa dirimu….!” Datuk Tongkat
buka suara kembali.
Bukan
menjawab sebaliknya pemuda yang ditanya malah membalik membelakangi sang datuk,
lalu melangkah ke hadapan Nawang Suri.
“Adik,
apakah keris ini milikmu….?”
Sesaat
Nawang Suri diam saja. Kemudian dia menganggukkan kepala.
“Ini
senjata bagus. Harganya tak ternilai dan kehebatannya pasti luar biasa.
Ambillah dan simpan baik-baik. Jangan sampai kelihatan bangsa pencuri atau
perampok seperti dua monyet itu…..”
Karena si
pemuda bicara dengan suara keras seenaknya saja tentu katakatanya itu
terdengar oleh Datuk Tongkat.
“Keparat!
Kau benar-benar mencari penyakit pemuda edan….!”
Tapi
untuk sesaat Datuk Tongkat tidak tampak bergerak dari tempatnya. Orang ini
benar-benar cerdik. Dia sudah sanggup menilai kehebatan pemuda tak dikenal itu.
Lalu saat itu dilihatnya Nawang Suri telah pula memegang Keris Mustiko Geni.
Kalau dia menyerang berarti bukan pemuda itu yang mencari penyakit, tapi
dirinya sendiri. Maka dengan tubuh menggeletar menahan marah dia tetap berdiri
di tempatnya.
“Saudara
budi pertolonganmu tak kulupakan. Siapakah kau sebenarnya?” Nawang Suri ajukan
pertanyaan.
Yang
ditanya tertawa dan garuk-garuk kepala. “Aku cuma seorang pemuda pengangguran
dan luntang-lantung. Datang jauh dari Gunung Gede….”
“Siapapun
kau adanya kau tentu punya nama….”
“Aku Wiro
Sableng….”
“Nama
aneh!” desis Nawang Suri.
“Begitulah
adanya. Monyet itupun menyebutku pemuda edan. Nah, aku tak lebih dari itu.
Adik, kau tentu dalam perjalanan jauh. Kau sudah dapatkan kerismu kembali.
Mengapa tidak segera pergi meninggalkan tempat ini.”
“Eit!
Tunggu dulu! Aku datang kemari untuk menangkapmu dan menyita keris itu. Jika
kau memang ingin pergi boleh saja. Tapi tinggalkan nyawa dan Mustiko Geni!”
Yang
bersuara adalah Datuk Tongkat.
“Ho….ho!”
Wiro Sableng tertawa mengejek. “Cakapmu hebat nian kawan! Siapa kau yang
mengaku memiliki nyawa dan harta orang lain?”
“Aku
Sindu Kalasan. Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan. Hulubalang ketiga dari
istana Kota Gede!”
“Hmmmm…..
begitu?” ujar Wiro Sableng seperti tak acuh padahal Datuk Tongkat mengira pasti
si pemuda akan terkejut bahkan jerih mengetahui siapa dia adanya.
“Seorang
tokoh silat tinggi istana beraninya melawan perempuan. Dan ternyata tidak mampu
menghadapi gadis ingusan seperti itu!”
Wajah
Datuk Tongkat Dari Selatan menjadi merah padam. Wiro Sableng tanpa
memperdulikan sang datuk, membalik dan melangkah mendekati Nawang Suri.
“Mengapa belum pergi? Tinggalkan tempat ini. Jika tua bangka berbelangkon aneh
itu menghalangimu aku akan memberi pelajaran padanya!”
Wiro
melihat ada pancaran rasa tidak senang di wajah sang dara. Sesaat setelah
menatap wajah si pemuda, Nawang Suri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
namun Datuk Tongkat cepat memapas sambil hantamkan tongkatnya ke tangan Nawang
Suri yang memegang senjata mustika. Maksudnya untuk memukul jatuh keris itu
tidak kesampaian karena dari samping dua tangan yang kokoh menelikung
pinggangnya, membuat tubuhnya terpuntir. Ketika dia merasakan tubuhnya hendak
dilemparkan ke dalam sawah berlumpur Datuk Tongkat tusukkan tongkat bambu
kuningnya ke perut Wiro. Ini adalah satu serangan yang benar-benar mematikan.
Bukan saja perut sang pendekar muda itu akan bobol, tapi tongkat akan terus
menembus sampai ke belakang punggungnya!
“Mampus!”
seru Datuk Tongkat.
Tapi dia
kecele.
Dengan
kecepatan luar biasa Wiro jatuhkan diri ke tanah dan menyelusup di bawah
selangkangan lawan. Bagitu sang datuk berada di belakangnya, tanpa menoleh Wiro
lepaskan satu jotosan keras ke pinggang Datuk Tongkat. Terdengar sang datuk
mengeluh kesakitan. Sebelum tubuhnya terhuyung ke depan, dia masih sempat
hantamkan tumit kiri ke bahu lawan hingga Wiropun terjerambab namun cepat
mengimbangi diri, membuat lompatan dan dilain saat sudah tegak berdiri.
Saat itu
Datuk Tongkat telah pula berdiri. Tubuhnya bergetar menahan gejolak amarah.
Seumur hidup baru hari ini dia kena ditempelak lawan, seorang pemuda yang tidak
dipandangnya sebelah mata!
“Orang
muda! Kau telah membuat kesalahan besar terhadap Kerajaan!”
“Begitu?”
seringai Wiro. “Coba katakan apa kesalahanku!”
“Pertama,
kau berani mencampuri urusan seorang petinggi istana! Kedua kau berani melawan
dan menciderai dua tokoh silat istana yaitu aku dan Buto Celeng! Dan ketiga,
ini kesalahanmu yang besar yang tak bisa diampunkan! Kau menolong seorang
pemberontak besar. Berarti pada dirimu juga jatuh cap sebagai pemberontak!
Untuk semua itu kau layak dibunuh!”
Wiro
Sableng manggut-manggut beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. “Jalan pikiran,
pertimbangan dan ucapan seseorang memang bisa saja berbeda. Tapi tidak disangka
kalau hari ini aku berhadapan dengan seorang hulubalang istana yang mempunyai
jalan pikiran, pertimbangan bahkan ucap keputusan yang benar-benar gila!”
“Jangan
terlalu menghina, keparat!” bentak Datuk Tongkat.
“Tunggu
dulu! Ucapanku belum habis!” balas menghardik Pendekar 212. “Aku tidak ada
urusan dengan segala macam pemberontak. Aku tidak merasa telah membuat
kesalahan pada segala macam kerajaan. Semua yang kulakukan semata adalah
tindakan membela keadilan. Mana bisa aku berpangku tangan melihat seorang
perempuan hendak dicelakai oleh seorang berkepandaian tinggi!”
“Alasan
kuno! Jangan menganggap kau seorang kesatria sejati! Kepentingan kerajaan
adalah lebih utama dari kepentingan pribadi. Apapun alasannya!”
“Lalu…..?”
tanya Wiro pula.
“Kau
harus mampus sebelum matahari muncul pagi ini!”
“Tua
bangka ngacok!” maki Wiro. Lalu tanpa perdulikan orang dia balikkan diri untuk
meninggalkan tempat itu.
Tapi
Datuk tongkat yang sudah tidak dapat lagi menahan amarah dan kesabarannya sudah
melompat kirimkan serangan dengan tongkat bambunya. Senjata ini ditusukkan ke
depan. Namun setengah jalan mendadak berubah menjadi sambaran pulang balik,
merupakan gebukan pada tubuh Wiro kiri kanan!
Tentu
saja Wiro tak bisa berdiam diri melihat serangan ganas ini. Setelah membuat
lompatan mundur untuk hindarkan hantaman lawan, pendekar ini lepaskan satu
pukulan tangan kosong dengan kekuatan seperempat tenaga dalam. Dia terkejut
ketika angin pukulan yang deras itu dihantam punah oleh angin deras yang keluar
dari tongkat lawan. Tak dapat tidak hulubalang istana tingkat ketiga itu telah
mengerahkan lebih dari setengah tenaga dalamnya. Maka begitu pukulannya luput
Wiro bersiap lepaskan pukulan susulan. Tapi Datuk tongkat menyongsong lebih
cepat. Tongkatnya langsung dihantam ke arah tangan kanan si pemuda hingga Wiro
terpaksa tarik pulang pukulannya sambil melangkah ke samping. Justru tongkat
sang datuk secara aneh tiba-tiba membabat ke bawah lengannya dan bret!
Baju
putih Pendekar 212 Wiro Sableng robek besar!
Hal ini
membuat Wiro bersurut mundur sambil usap dadanya. Untung ujung tongkat hanya
menyambar pakaiannya, tak sampai menggurat atau melukai kulit dan daging
dadanya. Hal ini sudah cukup membuat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini
harus mengambil keputusan. Akan terus melayani sang datuk atau pergi saja dari
situ, mengabil sikap mengalah.
Sebaliknya,
keberhasilannya merobek pakaian lawan membuat Datuk Tongkat Dari Selatan jadi
bersemangat dan berkeyakinan, apapun tingkat kepandaian yang dimiliki si pemuda,
dia pasti dapat membereskan pemuda itu. apalagi Buto Celeng yang masih terkapar
di tepi sawah sempat berteriak membakar “Bunuh dia Datuk! Pemuda keparat itu
harus dibunuh!”
“Kau
dengar itu anak muda? Umurmu tak lama lagi….!” Ujar Datuk Tongkat. Lalu kembali
dia menyerbu. Tongkatnya beputar aneh mengeluarkan deru keras dan siuran angin
kencang. Wiro berkelebat cepat. Pada satu kesempatan yang tidak disiasiakannya
pemuda ini lepaskan pukulan “Benteng Topan Melanda Samudera.”
Datuk
Tongkat terkejut ketika dia mendengar suara angin menggemuruh seolah-olah
tampat itu diserang angin puyuh yang dahsyat. Dia sabetkan tongkat bambunya ke
depan. Kuda-kuda kedua kakinya diperkuat. Ketika merasakan tubuhnya tak bisa
bertahan dan hampir terseret angin kencang itu maka dia hantamkan tangan kiri
ke arah lawan dengan pengandalan tenaga dalam yang ada.
Terjadilah
hal yang hebat. Daerah persawahan itu bergetar seperti dihantam lindu. Air dan
lumpur beterbangan ke udara. Datuk Tongkat berseru keras. Dia melompat ke atas
menghindari hantaman angin deras yang menerpa. Tapi begitu melompat begitu
tubuhnya terseret dan tunggang langgang di udara. Terpental jatuh masuk ke
dalam lumpur sawah. Dadanya mendenyut sakit. Pemandangannya berkunang-kunang.
Dia mencoba berdiri. Tapi kedua kakinya terasa goyah dan tak sanggup
diluruskan. Akhirnya dengan nafas megap-megap hulubalang ketiga istana ini
hanya bisa merangkak dalam lumpur, berusaha menggapai tepi pematang sawah.
Wiro
sendiri meskipun tidak jatuh tapi sekujur tubuhnya sampai ke rambut penuh
berselomotan lumpur sawah.
“Keparat!
Jangan lari kau!” teriak Datuk Tongkat ketika dilihatnya Wiro Sableng melangkah
meninggalkan tempat itu sementara matahari telah muncul di ufuk timur dan
daerah pesawahan itu kini menjadi terang.
Wiro usap
lumpur yang menempel di wajah dan pakaiannya. Lumpur yang memenuhi telapak
tangannya kini kemudian dilemparkannya ke arah sang datuk, tepat menghantam
pipi dan mata kirinya, membuat sang datuk menggerung bukan saja karena sakit
tapi lebih dari itu karena amarah dan penasaran bukan kepalang. Seumur hidup
baru sekali ini dia dihantam babak belur seperti itu.
Tak
berhasil mencegah Wiro meninggalkan tempat itu akhirnya Datuk Tongkat berteriak
pada Buto Celeng.
“Bantu
aku mencari tongkat bambuku!” Senjata andalannya itu terlepas dan mental entah
ke mana sewaktu angin pukulan sakti Wiro melabrak dirinya tadi.
****************
TUJUH
Meskipun
hari malam dan gelap namun tidak sulit bagi Nawang Suri untuk mencari rumah
kediaman Gama Manyar alias Empu Soka Panaran yang terletak di pinggiran Kuto
Gede. Apalagi di pintu pekarangan depan rumah besar yang berbentuk gapura itu
jelas terlihat sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga warna biru. Itulah
tanda utama yang menjadi petunjuk.
Sesaat
setelah memperhatikan keadaan sekelilingnya Nawang Suri cepat memasuki pintu
halaman, naik ke serambi rumah. Tanpa ragu-ragu dia mendorong pintu kayu hitam
dan menyelinap masuk ke dalam. Begitu dia menutup pintu, seorang lelaki tua
berpakaian putih dan berkain sarung biru, meletakkan lempengan perak yang
dipegangnya ke atas meja lalu dengan cepat dia berdiri dari kursi, menyongsong
Nawang Suri.
“Saya
memang sudah punya firasat. Kalau Raden Ayu akan muncul malam ini.” Lalu orang
tua yang rambutnya dikonde di atas kepala itu jatuhkan diri berlutut seraya
berkata “Saya Soka Panaran menghaturkan hormat dan bakti pada junjungan Ratu
Nawang Suri……”
Nawang
Suri merasa tidak enak. Dia memandang ke kiri dan kanan lalu berkata “Empu,
harap berhati-hati atas sikap dan ucapanmu. Jika ada yang mendengar kita bisa
celaka……”
“Ah,
maafkan saya. Saya terlalu gembira bertemu muka dengan Den Ayu hingga melupakan
kerahasiaan. Saya hanya seorang diri di sini….”
“Saya
tahu. Tapi harap jangan lupa kalau dinding dan atap itu terkadang mempunyai
telinga!”
“Petunjuk
Den Ayu itu akan saya perhatiken,” ujar Gama Manyar seraya merunduk. Dia memang
mempunyai kebiasaan kalau bicara kata kan disebutnya sebagai ken.
“Berdirilah
empu….” Kata Nawang Suri yang merasa belum saatnya dihormat seperti itu.
Gama
Manyar berdiri lalu membawa Nawang Suri duduk ke sebuah kursi. “Duduklah…..
Perjalanan jauh tentu membuat Den Ayu kecapaian. Minumlah dahulu…..” Lalu orang
tua ini menuangkan air putih dari dalam kendi tanah ke sebuah cangkir. Nawang
Suri menghabiskan isi cangkir itu. Dia memandang berkeliling. Di mana-mana dia
melihat berbagai ukiran terbuat dari perak.
“Saya
lihat Den Ayu tidak melakukan penyamaran sebagaimana mestinya….” Terdengar Gama
Manyar berkata.
Nawang
Suri mengusap mulutnya di sebelah bawah hidung. Sejak kumis palsunya dijambret
dalam perkelahian di sawah malam kemarin memang penyamarannya hanya tinggal
pakaian lelaki dan kain putih penutup kepala. Jika orang benar-benar
memperhatikan maka kenyataan bahwa dia seorang perempuan akan lebih cepat dapat
diduga.
“Apakah
Den Ayu menemui kesulitan di jalan?” bertanya Gama Manyar karena ucapan tadi
tidak mendapatkan jawaban.
“Memang
ada berita buruk empu,” sahut Nawang Suri. Lalu dia menceritakan kematian Empu
Andiko Pamesworo seperi yang dikatakan Buto Celeng. Tentu saja Gama Manyar
terkejut mendengar hal ini. dia berusaha keras menahan dan membendung air mata
agar tidak keluar.
“Tidak
disangka dia yang lebih muda ternyata mendahuluiku….” Kata sang empu perlahan.
“Saya
berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Yang bernama Gagak Celeng. Tapi
kemudian muncul seorang tua berbelangkon beludru. Dia mengaku tokoh atau
hulubalang istana tingkat ketiga. Buto Celeng menyebut namanya Sindu Kalasan.
Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan….”
Paras
Gama Manyar alias Empu Soka Panaran berubah ketika Nawang Suri menyebutkan nama
itu.
“Apa yang
kemudian yang terjadi Den Ayu?” tanyanya degan nada cemas.
“Dia
hampir saja berhasil merampas Keris Mustiko Geni kalau saja tidak muncul
seorang penolong…..”
“Keris
itu, apakah tetap berada padamu?”
Nawang
Suri mengangguk dan menepuk pinggang pakaiannya di balik mana Keris Mustiko
Geni tersisip.
“Syukur
Gusti….” Kata Gama Manyar lega. “Senjata itu bukan saja merupakan senjata
mustika sakti. Tapi yang paling penting itu adalah pelambang tahta kerajaan.
Pewaris dan pemegang hanya dialah yang berhak atas tahta, berarti hanya dia
yang boleh menjadi Raja atau Ratu!” Gama Manyar diam sebentar. Lalu dia berkata
“Tadi Den Ayu menyebut tentang seorang penolong….”
“Ya, dia
menyelamatkan Mustiko Geni dari tangan Datuk Tongkat. Sebelum saya disuruh
pergi masih sempat saya melihat dia menghajar Buto Celeng sampai setengah
mati….”
“Siapakah
orang itu Den Ayu? Apakah dia ada meninggalkan nama?”
“Seorang
pemuda edan berambut gondrong…..”
“Pemuda
edan…..?”
“Katanya
namanya Wiro Sableng dan dia pemuda luntang-lantung pengangguran dari gunung
Gede…..”
Mendengar
disebutnya nama itu Gama Manyar tertegak dari kursinya dan menatap tajam pada
Nawang Suri.
“Ada
apakah empu?” tanya sang dara. Dia agak heran melihat sikap orang tua itu.
“Wiro
Sableng katamu Den Ayu. Benar?”
“Benar.
Memangnya kenapa empu?”
“Ah…ah….ah….”
Gama Manyar geleng-gelengkan kepala lalu perlahanlahan duduk kembali ke
kursinya. “Den Ayu, ketahuilah sebenarnya kau sudah sangat beruntung ditolong
oleh pemuda itu. Tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya dan mendapat
pertolongannya. Dia memang muncul dan malang melintang secara tiba-tiba dan
seenaknya….”
“Siapa
pemuda itu sebenarnya empu?” tanya Nawang Suri.
“Dia
murid seorang nenek sakti di Gunung Gede. Dia seorang pendekar dengan nama
besar. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ilmu silat dan kesaktiannya
luar biasa. Betapapun tingginya kepandaian Datuk Tongkat, tetap saja dia tak
bakal menang menghadapi pendekar nomor satu itu.”
Karena
memang belum pernah nama besar Wiro Sableng maka Nawang Suri berkata “Siapapun
pemuda itu adanya saya tak suka padanya, empu!”
“Eh,
kenapa kau berkata begitu Den Ayu? Bukankah dia telah menanam budi pertolongan
padamu?”
“Soal budi
pertolongannya yang besar tentu saja saya tak akan melupakan dan kelak akan
saya balas. Tetapi dia menganggap remeh saya!”
“Menganggap
remeh bagaimana….?’ Tanya Empu Sok Panaran yang dalam penyamarannya telah
berganti nama menjadi Gama Manyar.
“Dia
menyebut saya sebagai gadis ingusan! Keterlaluan!”
Si orang
tua itu tertawa panjang.”Itu tentu saja karena dia tidak mengetahui siapa kau
adanya Den Ayu. Seperti katamu tadi, pendekar itu memang suka edanedanan.
Konyol. Tapi sebenarnya dia adalah seorang berhati polos. Suka menolong. Nama
besarnya muncul dalam dunia persilatan setelah dia menghancurkan
manusiamanusia dan memusnahkan perserikatan-perserikatan jahat. Menghantam
tokoh-tokoh silat golongan hitam!”
“Apakah
dia berada di pihak kita atau bagaimana?” tanya Nawang Suri pula.
“Setahuku
dia tidak pernah berpihak pada satu golongan. Pegangan hidupnya adalah berpihak
pada kebenaran dan keadilan….”
“Kalau
begitu apakah ada kemungkinan kita meminta bantuannya?”
“Sulit
bagi saya untuk mengatakan ya. Saya tahu betul. Pendekar semacam dia sering
kali bersikap aneh. Jika dia ingin menolong, dia akan turun tangan tanpa
diminta. Tapi kalau diminta justru malah belum tetu dilakukannya….”
“Jika
demikian tak usah kita membicarakannya lebih panjang.”
“Den Ayu
betul. Sebelum kemari apakah sahabat tuaku Empu Andiko ada memberi petunjuk apa
yang akan kita lakukan untuk menghancurkan kerajaan dan pada akhirnya membunuh
Sri Baginda?”
Nawang
Suri mengangguk. “Sebetulnya cara yang hendak ditempuh itu kurang berkenan di
hati saya, empu. Namun mengingat kita tidak mempunayi kekuatan, tidak memiliki
bala tentara dan para pendukung terpecah-pecah serta saling berjauhan tanpa ada
pimpinan, maka untuk sementara saya bersedia menempuh cara itu. pada saatnya
nanti tetap kita harus menggalang kekuatan berupa bala tentara….”
“Saya
mengerti maksud Den Ayu. Dan saya menurut serta setuju sekali. Saya telah
menghubungi beberapa orang tertentu di Kuto Gede. Tapi selagi masa hangat
begini rupa, Den Ayu tahu sendiri bagaimana besarnya bahaya menghubungi
orang-orang itu. Karenanya rencana yang sudah kita tetapkan harus terlebih
dahulu dijalankan…..”
“Kapan
kita mulai Empu?”
“Dua hari
lagi Den Ayu. Seorang penting akan datang kemari. Dia adalah korban kita yang
pertama.”
“Siapakah
dia empu?”
“Pangeran
Onto Wiryo. Putera Sri Baginda dari istrinya yang kedua. Saat ini dia memegang
jabatan Kepala Pasukan Kuto Gede. Ada kabar dia akan diangkat jadi Kepala
Pasukan Kerajaan…..”
Nawang
Suri mengusap-usap dagunya yang halus. “Dia memang cukup pantas untuk jadi
korban pertama….” Katanya perlahan. Jari-jari tangannya tampak terkepal. Tanda
tekadnya sangat bulat dan kukuh.
****************
DELAPAN
Siang itu
rombongan orang berkuda memasuki halaman rumah Gama Manyar, ahli ukir
barang-barang perak terkenal di seluruh Kuto Gede. Di depan sekali seorang
lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian mentereng, lengkap
dengan sebilah keris tersisip di pinggang. Lima orang lainnya berpakaian
pasukan kerajaan bertindak sebagai pengiring dan pengawal.
Lelaki
muda berpakaian mewah itu turun dari kudanya diikuti oleh lima pengawal.
“Kalian
tunggu di luar sini. Aku tak akan lama…..” kata si lelaki muda. Kelima
pengirngnya menjura patuh. Dengan langkah besar dan tegap lelaki tadi masuk ke
dalam rumah. Di pintu depan Gama Manyar keluar menyongsong.
“Paman
Gama, apakah pesananku tempo hari sudah selesai?” sang tamu ajukan pertanyaan.
Gama
Manyar menjura hormat sebelum menjawab.
“Sudah
siap Raden. Hanya menurut saya kalau mungkin bisa diberi satu hari lagi saya
akan memperhalus beberapa bagian yaitu pada bagian sayap dan ekornya. Tapi
silahkan Pangeran masuk dahulu….”
“Ya,
ambillah barang itu. Aku perlu melihatnya dahulu!”
Gama
Manyar memberi jalan pada tamunya lalu menutup pintu kembali.
Setelah
mempersilahkan sang tamu masuk maka diapun melangkah ke tengah ruangan,
memanjangkan lehernya ke pintu ruang tengah seraya berseru.
“Ratih….!
Bawa kemari pesanan Pangeran Onto Wiryo. Beliau sudah datang untuk
melihatnya….”
Pangeran
Onto Wiryo hendak menanyakan sesuatu namun mulutnya terkancing ketika di pintu ruangan
tengah muncul sesosok tubuh yang elok, dilengkapi paras cantik jelita
mempesona. Kedua bahunya yang tidak tertutup sangat halus dan putih, dihias
uraian rambut hitam berkilat dan menebar bau harum. Yang muncul ini datang
membawa sebuah ukiran perak berbentuk seekor burung garuda mengembangkan sayap.
Di punggung binatang ini duduk dengan sikap gagah seorang berpakaian perwira
tinggi dengan tangan kanan memegang sebilah tombak. Melihat paras perwira pada
ukiran perak itu jelaslah mirip Pangeran Onto Wiryo, sang tamu.
Sepasang
mata sang pangeran tidak tertuju pada ukiran burung garuda dan patung dirinya
di atas punggung binatang itu, tetapi tertancap pada sang dara yang membawanya.
“Ratih….”
Kata Gama Manyar. “Ini Pangeran Onto Wiryo. Kepala pasukan Kotaraja. Beri
hormat padanya…..”
Sang dara
yang dipanggil dengan nama Ratih, yang bukan lain adalah Nawang Suri membungkuk
dalam-dalam. Ketika hendak mengambil sikap duduk di lantai, sang pangeran yang
sejak tadi terpana terpesona cepat membungkuk, memegang bahunya dan menyuruhnya
berdiri kembali. Ketika Pangeran Onto Wiryo berpaling pada Gama Manyar, orang
tua ini segera maklum akan arti pandangan itu. maka diapun memberi keterangan.
“Harap
maafkan Pangeran. Saya tak pernah menerangkan kalau saya masih memiliki seorang
anak keponakan. Dia baru saja datang dari pantai utara. Saat ini dia hidup
sebatang kara. Kedua orang tuanya dan seorang adik lelakinya menemui ajal
sebulan yang lalu akibat gunung longsor. Itulah sebabnya saya memintanya datang
kemari dan tinggal di sini sambil membantu pekerjaan saya….”
Pangeran
Onto Wiryo mengangguk-angguk. Kedua matanya hampir tak berkesip.
“Apakah
Pangeran tidak hendak melihat dulu ukiran itu….?’
Sang
pangeran yang hampir terlupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu seperti
tersentak lalu cepat-cepat mengambil ukiran perak dari tangan Ratih. Sewaktu
mengambil benda itu, Gama Manyar jelas melihat bagaimana jari-jari tangan sang
pangeran sengaja mengelus jari-jari Nawang Suri.
Pangeran
Onto Wiryo memperhatikan ukiran burung garuda dan dirinya hanya sebentar saja.
“Bagus!
Sangat bagus! Tak perlu diperhatikan lagi paman Gama! Aku cukup senang
menerimanya!” Lalu mata sang pangeran kembali mengerling Ratih. Sesaat kemudian
dia berkata “Paman Gama, aku ingin berbicara sesuatu denganmu….”
Orang tua
juru ukir sudah maklum maksud sang pangeran. Dia memberi isyarat pada Nawang
Suri sambil berkata “Masuklah Ratih….”
Ratih
menjura hormat pada sang pangeran lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
“Paman
Gama, kau yakin keponakanmu itu belum bersuami. Betul?”
“Betul
pangeran…..”
“Bagus!
Kalau begitu tak ada halangan bagiku untuk mengambilnya jadi istri…..!”
Gama
Manyar tempak terkejut. Walau ini sebenarnya lebih merupakan satu kepura-puraan
belaka.
“Pangeran
bergurau agaknya…..”
“Aku
tidak bergurau paman!”
Orang tua
itu tertawa. “Dengar pangeran. Keponakanku hanya seorang turunan rakyat jelata.
Bahkan tidak berayah dan tidak beribu lagi. Mana pantas dirinya dijadikan istri
pangeran?”
“Soal
pantas atau tidak bukan urusan. Lagi pula bagiku itu merupakan hal yang pantas.
Lebih dari pantas. Terus terang baru sekali ini aku melihat gadis secantik
dia…..”
“Ah,
pengeran baru sekali ini saja melihatnya. Belum tentu dia bisa menjadi istri
yang baik…..”
“Paman….”
Kata Pangeran Onto Wiryo. “Sebagai seorang perajurit mataku sangat tajam. Aku
tahu dan yakin sekali, keponakanmu itu seorang yang baik. Katakan padanya aku
akan mengambilnya jadi istri!”
“Secepat
itukah pangeran?”
“Lebih
cepat lebih baik!”
“Ah, saya
tak berani mengatakan pada Ratih…..” ujar Gama Manyar lalu pura-pura termenung.
“Jika
begitu biar aku yang bilang padanya!”
“Pangeran
terlalu mendesak. Berilah waktu dua hari pada saya. Di saat yang baik akan saya
sampaikan pada gadis itu maksud pangeran…..”
“Dua hari
terlalu lama. Satu hari saja! Besok, siang seperti ini aku akan datang lagi
kemari….” Dari dalam sabuk besar di pinggangnya Pangeran Onto Wiryo
mengeluarkan empat keping mata uang perak dan menyerahkannya pada si orang tua.
“Ini untuk pembayar ukiran…..”
“Tapi
ongkosnya hanya dua keping uang perak pangeran.”
“Aku
tahu. Yang dua keping adalah sekedar pemberian dariku.”
“Terima
kasih. Pangeran baik sekali….”
“Nah, aku
pergi sekarang. Ingat paman Gama. Besok siang aku akan datang lagi kemari…..”
“Sebelum
pangeran pergi saya ada beberapa permintaan…..”
“Ah,
katakanlah. Kau ingin pinjam uang atau apa?”
Si orang
tua mengeleng. “Permintaan saya, apakah pangeran bisa datang besok seorang diri
saja?”
“Tentu !
kenapa harus begitu paman?” tanya Pangeran Onto Wiryo.
“Saya tak
ingin orang lain ikut tahu akan maksud pangeran…..”
“Itu soal
mudah. Aku akan datang sendiri ke mari. Tanpa pengawal. Kalau perlu dengan
pakaian biasa!”
“Itu
lebih baik pangeran. Ketahuilah, sebenarnya Ratih sudah pernah dicalonkan oleh
kedua orang tuanya dengan seorang pemuda di Kemukus…..”
“Lupakan
pemuda itu paman. Aku ini jelas sejuta kali lebih baik dari dia…..”
“Saya
tahu pangeran. Satu lagi, tentunya kalau nanti Pangeran jadi mengawini
keponakan saya, urusan dengan dua istri pangeran yang sekarang janganlah sampai
menjadi pangkal silang sengketa di antara keluarga.”
“Ha….ha…..ha…..!
Sampai berapa aku punya istri tak ada yang bisa ikut campur. Baik Sri Baginda,
apalagi kedua istriku …..”
“Kalau
bagitu senang hati saya mendengarnya,” kata Gama Manyar pula lalu mengantarkan
Pangeran Onto Wiryo sampai di pintu pagar halaman.
****************
SEMBILAN
Keesokan
harinya, tepat pada saat sang surya mencapai titik tertingginya di atas bumi,
Kepala Pasukan Kotaraja Pangeran Onto Wiryo muncul di rumah juru ukir Gama
Manyar. Sesuai permintaan si orang tua, Pangeran ini datang berkuda seorang
diri dan tidak mengenakan pakaian keperwiraan.
“Paman
Gama, aku sudah datang. Mana keponakanmu. Tentunya saat ini aku akan menerima
berita menggembirakan!” kata Pangean Onto Wiryo begitu berhadapan dengan Gama
Manyar.
“Tak lama
setelah pangeran pergi hari kemarin, saya telah menemui Ratih dan menceritakan
apa yang menjadi maksud pangeran. Dia tidak memberikan kata putus. Tapi
percayalah pangeran, Ratih pasti bersedia menjadi istri pangeran. Hanya saja
katanya dia ingin bicara langsung dengan pangeran…..”
“Kalau
begitu panggil dia kemari agar segala pembicaraan dapat dilakukan secara
cepat,” kata Pangeran Onto Wiryo pula penuh tidak sabar.
“Gadis
itu tidak ada di sini,” menjelaskan Gama Manyar.
Kedua
mata Pangeran Onto Wiryo membesar dan alisnya naik terjungkat. “Apa maksudmu
Paman? Keponakanmu tak ada di sini?’
“Betul….
Menjelang siang tadi dia pergi ke telaga Tegal Parang di timur Kuto Gede. Dia
menunggu di sana dan berpesan agar pangeran datang menemuinya di situ. Dia
sengaja memilih tempat tersebut karena bisa bicara bebas. Tak ada yang melihat,
tak ada yang mendengar…..Apakah pangeran berkenan datang ke situ menemuinya?”
Pangeran
Onto Wiryo tertawa lebar.
“Tentu
saja! Tentu saja aku akan menemuinya di telaga itu!” jawabnya. Lalu tanpa
menunggu lebih lama dia cepat-cepat meninggalkan rumah Gama Manyar, membedal
kudanya kencang-kencang menuju ke timur.
Tegal Parang
merupakan sebuah telaga kecil tetapi dalam. Di sekelilingnya terdapat batu-batu
besar berwarna hitam, lali pohon-pohon tinggi berdaun lebat. Daun-daun yang
aneka warna dari pepohonan memantul ke dalam air hingga air telaga itu terlihat
seperti berwarna-warni.
Ketika
sampai di sana, Pangeran Onto Wiryo segera melihat sesosok tubuh yang elok
duduk di atas sebuah batu, membelakanginya. Pengeran ini melompat turun dari
kudanya, langsung mendapatkan perempuan yag duduk di atas batu.
“Sudah
lamakah kau menungguku di sini Ratih…..?” pangeran menegur.
Orang di
atas baru yang memang adalah Ratih alias Nawang Suri menjura hormat, namun dia
tidak turun dari batu besar itu. Pangeran Onto Wiryo ikut duduk di atas batu,
dekat sekali dengan Ratih hingga dia dapat mencium bau harum yang keluar dan
menebar dari tubuh serta rambut sang dara.
“Indah
sekali pemandangan di telaga ini,” kata sang pangeran.
“Apakah
pangeran sering datang kemari?” tanya Ratih.
“Aku
sering lewat di sekitar sini namun tak pernah mampir, apalagi dudukduduk di
batu seperti saat ini…”
“Apakah
pangeran tidak marah karena berlancang diri menyuruh pangeran datang kemari?”
“Kalau
aku marah, aku tak akan datang. Lagi pula yang akan kutemui adalah calon
istriku sendiri!”
Ratih
tersenyum, membuat sang pangeran tambah mabuk kepayang. “Jadi pangeran rasa
pasti kalau saya suka dan bersedia menjadi istri pangeran yang ketiga?”
“Aku
merasa pasti. Eh, memang kenapa sampai kau bertanya begitu? Mungkin….?”
Pangeran Onto Wiryo merasa tak enak. Matanya memandang tak berkedip lalu
tangannya menjamah bahu putih halus Ratih.
Kembali
sang dara tersenyum. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu. Bolehkan…..?’
“Tentu,
tentu saja. Apa ang ingin kau perlihatkan Ratih?” mendadak saja darah sang
pangeran terasa panas dan dadanya berdebar. Tangannya yang memegang bahu turun
mengusap bagian bawah leher Ratih.
Tangan
kanan Ratih saat itu turun ke pinggang memegang setagennya, makin keras debar
jantung sang pangeran. Gadis ini hendak membuka pakaiannya. Lalu…..ingin
memperlihatkan auratnya? Namun Ratih sama sekali tidak membuka gulungan setagen
itu dia mengeluarkan sebilah keris. Lalu diperlihatkan pada Pangeran Onto Wiryo
seraya bertanya “Tahukah pangeran, apa yang ada di tangan saya ini?”
“Keris!
Sebilah keris!” sahut Pangeran Onto Wiryo.
“Maksudnya
saya keris apa? Biasanya setiap senjata itu selalu diberi nama…..dapatkah
pangeran menerangkannya?”
Pangeran
Onto Wiryo memang pernah mendengar tentang Keris Mustiko Geni. Tapi seumur
hidup dia belum pernah melihatnya. Karenanya tentu saja diatak tahu nama keris
yang diperihatkan Ratih.
“Sulit
bagiku menerka keris itu. Apakah itu penting? Dan ada hubungannya dengan
maksudku mengambilmu jadi istri?”
“Betul
sekali pangeran. Senjata ini ada hubungannya dengan maksud pangeran itu….”
“Kau….kau
akan memberikannya padaku atau bagaimana?” tanya Pangeran Onto Wiryo. Makin
lama makin tak mengerti dia apa yang sedang dituju oleh gadis jelita itu.
“Apakah
pangeran ingin memilikinya?’ bertanya Ratih.
“Ah….kau
baik sekali. Aku benar-benar sangat terkesan akan sifat pribadi dirimu, Ratih.
Tapi aku tak menginginkan keris itu. aku menginginkan dirimu…..” jari-jari
tanan sang pangeran yang mengelus-elus leher sang dara bergerak turun, menyapu
di bagian dada yang membusung lembut.
“Pangeran
belum melihat badan keris ini. Akan saya perlihatkan pada pangeran,” kata Ratih
lalu perlahan-lahan mencabut keris Mustiko Geni dari sarungnya.
Begitu
keris keluar dari sarangnya, sinar merah memancar menyilaukan dan hawa panas
membersit membuat Pangeran Onto Wiryo terkesiap dan bergerak mundur, menatap
senjata itu dengan pandangan kagum.
“Senjata
luar biasa!” katanya memuji. Ini pasti senjata sakti…..”
“Benar
pangeran. Ini memang senjata sakti. Dan akan saya buktikan kesaktiannya!”
selesai berkata begitu, tiba-tiba Ratih alias Nawang Suri menusukkan Keris
Mustika Geni ke dada Pangeran Onto Wiryo. Pangeran ini berseru kaget dan cepat
menepis dengan tangan kanannya. Meskipun dia dapat menyelamatkan dada namun
lengannya tersayat dalam. Darah mengucur deras. Hawa sangat panas seperti
memenggang tubuhnya. Pangeran ini menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya
perlahanlahan tampak menghitam. Pakaiannya berubah kecoklatan seperti hangus.
Pangeran Onto Wiryo menjerit terus. Karena tak sanggup lagi menahan hawa panas
yang membakar tubuhnya, dia lari menceburkan diri ke dalam telaga Tegal Parang.
Namun air telaga yang sejuk itu tak dapat melenyapkan hawa panas tersebut.
Tubuh sang pangeran nempak menggeliat. Tangan dan kakinya melejang-lejang. Asap
mengepul dari tubuh itu tak beda sebuah benda panas dicelupkan ke dalam air.
Tak lama kemudian tubuh itu tak bergerak lagi dan perlahan-lahan tenggelam
lenyap dari permukaan telaga.
Ratih
alias Nawang Suri jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga seraya mengacungkan
Keris Mustiko Geni yang masih terbungkus darah. Dari mulutmya terdengar ucapan.
“Ayah…..ibu!
Korban pertama jatuh sudah! Doakan agar anakmu dapat melanjutkan pembalasan
agar sakit hati dan dendam berkesumat terbalaskan. Agar tahta Kerajaan kembali
ke tangan kita……”
Masih ada
beberapa patah kata lagi sebenarnya akan diucapkan gadis itu. namun telinganya
yang tajam mendengar suara semak belukar terkuat, disusul oleh langkah-langkah
kaki datang mendekat. Nawang Suri melompat bangkit dan membalik. Keris Mustiko
Geni siap di tangan.
“Kau!”
seru gadis itu ketika melihat siapa yang tegak di depannya.
“Kau
juga!” balas orang yang barusan datang. “Apa yang kau perbuat di sini…..?’
“Kau tak
layak bertanya yang bukan urusanmu!” Dalam hatinya Nawang Suri bertanya-tanya
apakah pemuda di hadapannya itu tahu atau menyaksikan apa yang terjadi.
“Kau
betul. Aku tak layak mencampuri urusanmu. Hanya saja tadi aku mendengar suara
orang menjerit-jerit….. dari arah sekitar sini.”
“Mungkin
hanya pendengaranmu yang menipu diri sendiri. Tak ada yang menjerit di sini.
Barangkali juga suara setan yang kau dengar. Lagi pula bukankah kau sendiri
mengaku berotak miring. Jadi apapu yang kau dengar hanya perasaan belaka!”
Pemuda di
hadapan Nawang Suri yang bukan lain adalah Wiro Sableng tertawa bergelak.
“Ya,
beginilah nasib orang sableng. Tapi aku melihat darah di keris mustika itu. Eh,
kau masih saja main-main dengan benda itu. Bukankah sudah kukatakan agar
disimpan baik-baik…..?”
Nawang
Suri memasukkan Keris Mustiko Geni ke dalam sarungnya tanpa membersihkan noda
darah. Lalu menyimpannya di balik setagen.
“Nah,
sudah kusimpan!” katanya. “Sekarang kau pergilah dari sini. Antara kita tidak
ada apa-apa lagi!”
“Eh,
mentang-mentang kau kini berdandan dan berpakaian cantik bagus…..”
Nawang
Suri tak lagi mengacuhkan Wiro. Dia melangkah ke balik serumpun semak belukar.
Dari balik semak-semak ini dia mengambil sebuah buntalan. Dari buntalan
dikeluarkannya sehelai pakaian dan celana putih, juga sehelai sapu tangan besar
berwarna putih yang biasa dipakai untuk ikatan atau penutup kepala. Dengan
cepat Nawang Suri mengenakan pakaian putih itu. Lalu menyingsingkan kainnya
tinggi-tinggi sehinga kakinya sampai sebatas pertengahan paha terlihat jelas
dan membuat sepasang mata Wiro Sableng terbuka lebar-lebar menyaksikan
pemandangan ini. Sebaliknya seperti tak acuh Nawang Suri terus saja mengenakan
celana panjang putih. Selesai berpakaian dia menutupi kepalanya dengan sapu
tangan. Lalu dari kantong baju putih diambilnya sebuah kumis palsu, langsung
dipasangnya di bawah hidung.
Sambil
garuk-garuk kepala Wiro Sableng berkata “Kau ini mestinya seorang pemain
sandiwara yang cekatan!”
“Dengar
sableng…..!” kata Nawang Suri. Sikapnya tegas tapi justru membuat Wiro tak
dapat menahan tawa. “Aku akan meninggalkan tempat ini. Awas kalau kau berani mengikuti!”
“Kau
benar-benar gadis aneh! Apa arti semua ini……?!” tanya Wiro. Tapi dia tak
mendapat jawaban. Sang dara berkelebat dan lenyap di balik belukar tinggi.
Ketika Wiro bergerak hendak mengejar, sebuah benda laksana anak panah melesat
menyambar ke arah kepalanya. Cepat-cepat pendekar ini merunduk selamatkan diri.
Benda itu ternyata patahan sebuah ranting kayu.
“Gadis
aneh tapi nekad!” desis Wiro.
****************
SEPULUH
Hari
pertama lenyapnya Pangeran Onto Wiryo mulai mendatangkan keresahan di kalangan
istana, termasuk Sri Baginda, Kepala Pasukan Kerajaan dan tentu saja anak
istrinya. Siang hari kedua ketika sang pangeran masih juga belum muncul,
keresahan itu berubah menjadi kecurigaan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi
dengan dirinya. Lalu hal ini dihubungkan dengan keadaan kerajaan yang masih
belum aman karena diketahui ada kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha
menimbulkan kekacauan. Sembilan kelompok pasukan segera dibentuk untuk
melakukan pencarian. Pagi hari ketiga mayat pangeran Onto Wiryo diketemukan
terapung di telaga Tegal Parang. Kotaraja dan seluruh kerajaan menjadi gempar.
Mayat
sang pangeran ditemukan dalam keadaan rusak menggembung namun masih dapat
dikenali. Apalagi di tepi telaga kemudian ditemukan pula kuda tunggangannya.
Yang menjadi pertanyaan mengapa saat itu Pangeran Onto Wiryo hanya mengenakan
pakaian biasa. Lalu bekas luka pada tangannya menguatkan dugaan bahwa pangeran
ini menemui ajal bukan karena kecelakaan biasa, tapi seseorang telah
membunuhnya, lalu melemparkan mayatnya ke dalam telaga. Kerajaan berkabung
selama dua minggu!
Sebelum
jenazah dimakamkan keesokan harinya, terlebih dahulu disemayamkan di pendopo
besar istana. Ratusan pejabat tinggi kerajaan termasuk para adipati dari
berbagai penjuru datang melayat. Bahkan di bawah penjagaan ketat rakyat jelata
juga diberikan kesempatan untuk menyatakan rasa duka cita mereka. Sementara itu
para pimpinan pasukan dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana secara diam-diam
melakuan penyelidikan sebab musabab kematian Pangeran Onto Wiryo.
Larut
malam sebelum Sri Baginda masuk ke peraduannya Patih Kerajaan diminta datang
menghadap. Sesuai dengan suasana yang dihadapi sang patih menduga bahwa
pemanggilan itu tentu saja ada seluk beluknya dengan upacara pemakaman besok.
Namun alangkah terkejutnya patih ini karena Sri Baginda hanya bicara sedikit,
lalu menanyakan sesuatu.
“Paman Patih,
sewaktu orang banyak diberi kesempatan melayat, aku melihat seorang tua
berpakaian serba putih, yang kukenal dengan nama Gama Manyar. Ahli ukir
barang-barang perak. Apakah kau melihatnya siang tadi…..?’
Patih
Wulung Kerso yang sudah berusia lanjut mengangguk. “Tentu saja saya melihatnya,
Sri Baginda.”
“Apakah
kau juga melihat gadis berparas cantik yang datang bersamanya?’ tanya Sri
Baginda lagi.
“Ya, saya
melihat gadis itu.”
“Siapakah
gadis itu Paman Patih?”
“Tak
sempat saya selidiki. Kehadirannya memang menarik banyak perhatian karena
kejelitaan parasnya dan kehalusan kulitnya. Apakah Sri Baginda menaruh
kecurigaan terhadap gadis itu atau terhadap Gama Manyar?”
Raja
tersenyum dan mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. “Jauh dari
itu paman. Baru kali ini aku melihat perawan secantik itu. Kurasa dia merupakan
perempuan tercantik di seluruh kerajaan….. Apa pendapatmu Paman?”
“Saya
rasa begitu Sri Baginda,” menjawa sang patih.
“Aku
ingin menambah perbendaharaan isi keputren.”
Mendengar
kata-kata sang raja, Patih Wulung Kerso angkat kepala. Kini dia tahu apa
sebenarnya maksud Sri Baginda memanggilnya. Sungguh tidak habis pikir patih tua
ini. Dalam suasana berkabung begitu rupa, malah jenazah Pangeran Onto Wiryo
masih belum dimakamkan, sang ayah, Raja di kerajaan itu telah memikirkan bahkan
tertarik pada seorang gadis dan bermaksud mengawininya. Dunia hampir kiamat
agaknya!
“Kenapa
kau terdiam Paman Patih?” Sri Baginda bertanya.
“Ah…..
Saya perlu petunjuk lebih lanjut Sri Baginda.” Kata Patih Wulung Kerso.
“Aku
ingin mengambil gadis itu. Apa kau masih belum jelas?”
“Sebagai
istri atau gundik, Sri Baginda?”
Raja
tertawa lebar. “Menurutmu bagaimana?”
“Sebagai
istri tentu saja tidak mungkin. Karena maaf Sri Baginda. Sri Baginda sudah
punya empat istri. Berarti sebagai gundik saja…..”
“Bagus
kalau kau mengerti begitu. Sekarang kau kutugaskan untuk emnghubungi Gama
Manyar, menyelidiki siapa adanya gadis itu dan sekaligus mengatakan maksudku
mengambilnya sebagai gundik……”
“Saya
akan melakukannya Sri Baginda. Namun harap maaf mengingat kita masih dalam
suasana berkabung, apa maksud itu tidak bisa ditunda sampai empat belas hari?’
“Empat
belas hari terlalu lama Paman patih. Besok selesai upacara pemakaman kau utus
seseorang untuk memanggil Gama Manyar dan sampaikan maksudku. Katakan pada
orang tua itu, apapun hubungan gadis itu dengan dirinya itu satu kehormatan
baginya. Kelak dia akan kuangkat jadi juru ukir istana. Berarti dia akan
menerima sejumlah tunjangan setiap bulan dari istana…..”
“Kalau
begitu titah Baginda, saya akan melaksanakannya. Saya mohon diri. Hari hampir
pagi……”
Sebagai
seorang patih ternyata Wulung Kerso bukan seorang yang bisa menahan rahasia.
Maksud Sri Baginda hendak mengambil gadis yang datang bersama Gama Manyar
sebagai gundik dituturkannya pada beberapa pejabat istana. Salah seoerang yang
akhirnya mengetahui hal itu adalah Sindu Kalasan, tokoh silat yang dikenal
dengan gelar Datuk Tongkat Dari Selatan.
“Sebagai
seorang Raja tentu saja Sri Baginda bisa berbuat begitu,” kata Datuk Tongkat
berbisik-bisik pada Patih Wulung Kerso. Saat itu mereka bersama yang
lainlainnya berada di pendopo di mana jenazah Pangeran Onto Wiryo bafu saja
selesai dimandikan. “Hanya, apakah tidak perlu asal usul gadis itu diselidiki
lebih dulu?”
“Seharusnya
memang demikian. Namun mengingat dia datang bersama Gama Manyar, orang tua yang
termasuk dalam daftar bersih, maka hal itu rasanya bisa dilupakan. Hanya
menurutku waktunya yang kurang tepat. Terlalu tergesa-gesa memikirkan gundik
jelita. Padahal puteranya dikuburpun belum!”
Datuk
Tongkat hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata sang patih. Sebentar-sebentar
dia meraba pinggangnya.
“Kelihatannya
kau kurang sehat……”
“Sakit
pinggangku kambuh lagi,” jawab sang datuk. Padahal rasa sakit di pinggangnya
itu adalah bekas hantaman pukulan Wiro Sableng beberapa hari lalu. Setelah
berpikir-pikir sejenak Datuk Tongkat berkata “Terus terang gadis itu memang
cantik sekali. Kulitnya halus luar biasa. Rambutnya yang hitam tebal dan
panjang membuat mata lelaki tak bisa lepas dari memandangi wajah dan auratnya.
Tak salah kalau Sri Baginda sangat terpikat. Aku rasa-rasanya pernah melihat
gadis itu sebelumnya. Tapi sulit kuingat di mana dan kapan……”
Patih
Wulung Kerso menepuk-nepuk bahu sang datuk seraya berkata “Itu hanya
rasa-rasamu Datuk. Begitu sifat lelaki jika melihat perempuan cantik. Aku
kawatir kaupun terpikat…..”
“Kau
betul. Tapi siapa yang berani bersaing dengan Sri Baginda?’
Menjelang
rembang petang setelah siangnya dilakukan pemakaman jenazah Pangeran Onto
Wiryo, seorang utusan Ptih Kerajaan datang ke tempat kediaman juru ukir Gama
Manyar.
“Pak juru
ukir, kau diminta datang menghadap Patih Wulung Kerso sekarang juga,” sang
utusan menyampaikan pesan. Diam-diam Nawang Suri ikut mendengarkan pembicaraan
dari ruangan sebelah.
“Jika
Patih Kerajaan menyuruh menghadap pasti ada sesuatu yang penting. Mungkin
menyangkut soal ukir-mengukir. Apakah sebagai utusan kau mengetahui maksud
Patih Kerajaan memanggilku?” bertanya Gama Manyar. Baginya pemanggilan dirinya
hanya berarti dua. Dirinya dicurigai. Atau jeratnya sewaktu membawa Nawang Suri
melayat ke istana sudah tepat mengenai diri Sri Baginda yang diketahuinya
memang seorang lelaki mata keranjang.
“Saya
hanya seorang suruhan pak juru ukir. Mana saya tahu maksud Patih. Harap bapak
ikut saya sekarang. Kereta sudah disiapkan di luar……”
“Kereta?”
membatin Gama Manyar. “Hmmmmm……. Kalau begitu mungkin sekali jeratku sudah
mengena. Jika bukan untuk satu berita yang kutunggu-tunggu mana mungkin patih
mengirimkan keret untuk menghormatiku. Jika aku dicurigai pasti serombongan
pasukan sudah mengurung rumah ini!”
Gama
Manyar menganggukkan kepala pada utusan yang datang. “Baiklah, sebelum pergi
aku akan memberitahukan keponakanku dulu,” katanya.
Beberapa
saat sebelum matahari terbenam, Gama manyar kembali, diantar dengan sebuah
kereta. Begitu masuk ke rumah, Nawan Suri langusng menemuinya. Si orang tua
mengintai dari balik jendela. Setelah memastikan orang yang tadi mengantarnya
telah pergi jauh baru dia membalik dan berkata “Sungguh tidak kusangka. Rencana
kita akan terlaksana lebih cepat dari yang diduga. Jerat yang kita pasang telah
mengena!”
“Apa yang
telah terjadi Empu?”
“Sri
Baginda melihat Den Ayu sewaktu melayat kemarin. Tadi sore Patih Wulung Kerso
meminta saya menghadap. Memberi tahu kalau Sri Baginda telah memutuskan
mengambil Den Ayu sebagai gundiknya……”
“Kalau
begitu kita harus menyusun rencana lebih terperinci. Pertama mengatur saat yang
tepat kapan saya harus membunuh Raja. Lalu kapan orang-orang kita menyerbu
istana mengambil alih kekuasaan……” Nawang Suri nampak sangat bersemangat.
“Karena
waktu hanya sedikit, kita harus bertindak cepat Den Ayu. Malam ini juga saya
akan menemui orang-orang kita di Susukan. Sri Baginda akan memboyong Den Ayu ke
istana dua hari di muka. Pada malam pertama dia memasuki kamar Den Ayu, itulah
saatnya dia harus dibunuh. Saya nanti akan membuatkan peta istana hingga Den
Ayu bisa mudah menyelinap melarikan diri. Menjelang pagi Den Ayu sudah harus
muncul kembali memimpin orang-orang kita merebut istana…..”
“Bagaimana
dengan tugas juru masak rahasia? Apakah dia mampu menyiapkan racun untuk
tokoh-tokoh istana?”
“Orang
kita yang satu ini tampaknya penggugup. Saya sudah menarik dia dari istana
sebelum kedoknya terbuka. Berarti kita tetap mulai dengan membunuh Raja lebih
dulu.”
“Pasukan
yang akan menyerbu istana. Apakah jumlahnya cukup kuat?”
“Jumlah
pasukan kita memang tidak besar Den Ayu. Namun unsur dadakan selagi mereka
berada dalam suasana geger akibat kematian Raja membuat kita berpeluang besar
untuk mengambil alih kekuasaan….”
“Kalau
begitu empu segera saja berangkat ke Susukan.”
“Memang
saya akan segera berangkat saat ini juga. Menurut Patih Wulung Kerso, atas
kehendak Raja dia akan mengirim beberapa orang petugas untuk menjaga rumah dan
sekitarnya malam ini. Saya pergi sekarang Den Ayu….”
“Baik
empu. Hati-hatilah….” Kata Nawang Suri. Secepatnya orang tua itu keluar, dia
segera menutup pintu. Di dalam kamarnya Nawang Suri mengambil Keris Mustiko
Geni danmencabut senjata ini dari sarungnya. Sinar merah menerangi kamar.
“Keris sakti, kau akan mendapat tugas besar. Setelah itu kau akan kembali
menjadi lambang dan tumbal tahta kerajaan!”
Gadis itu
cepat sarungkan senjata mustika itu kembali ketika di luar didengarnya suara
derap kaki-kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di
pintu. Nawang Suri menyelipkan Mustiko Geni di pinggang lalu keluar dari kamar.
Ketika
pintu depan dibuka, sesosok tubuh tinggi besar tegak di hadapan Nawang Suri.
Orang ini langsung menjura hormat dan dengan kepala agak tertunduk dia berkata.
“Gusti
Ayu…. Saya diperintahkan Patih Kerajaan untuk memimpin penjagaan di sini malam
ini. Saya Buto Celeng, datang bersama dua orang bawahan….”
Selesai
berkata begitu baru orang tersebut mengangkat kepalanya. Setelah jelas-jelas
dia melihat wajah gadis di hadapannya maka Buto Celeng berseru kaget seraya
mundur “Bukankah….. bukankah gusti ayu…. Kau….! Kau gadis pemberontak malam
itu! Kau Nawang Suri…..!”
Kata-kata
Buto Celeng hanya sampai di situ. Pada detik Buto Celeng mengetahui siapa
dirinya, Nawang Suri mencabut Mustiko Geni dan secepat kilat menusukkannya ke
dada kiri tokoh silat istana kelas tiga itu. dua orang perajurit yang ikut
bersama Buto Celeng dan berada di tangga rumah tentu saja terkejut menyaksikan
kejadian itu. Keduanya melompati tangga memburu. Namun merekapun disambut
dengan tusukan-tusukan senjata sakti hingga menemui ajal menyusul Buto Celeng.
Mayat ketiga orang itu dinaikkan ke atas kuda tunggangan masing-masing. Setelah
berganti pakaian Nawang Suri menunggu sampai malam turun lebih gelap, lalu
dalam kegelapan malam tiga kuda bersama tiga mayat itu dibawanya ke arah timur
di mana terdapat sebuah jurang di tepi belantara.
Sebelum
Buto Celeng dilemparkannya ke dalam jurang ersama mayat dua perajurit itu,
Nawang Suri menyelipkan sepucuk kertas ke dalam saku pakaian Buto Celeng.
Dengan seringai puas gadis ini kemudian tinggalkan tempat itu. Di kejauhan
terdengar suara anjing melolong. Dinginnya udara mulai menucucuk persendian.
****************
SEBELAS
Ketika
malam itu Patih Wulung Kerso melaporkan pada Sri Baginda bahwa seorang pencari
kayu menemukan mayat Buto Celeng dan dua perajurit di dalam jurang di tepi
hutan belantara Jatilameh, sang raja tampaknya tak begitu tertarik. Dia yang
sedang kasmaran malah menanyakan keadaan Ratih calon gundiknya itu. sewaktu
diberitahu Ratih tak kurang suatu apa, Sri Baginda tertawa cerah.
“Syukur
calon gundikku itu berada dalam keadaan baik-baik. Kuharap agar kau mengatur
membawanya malam ini juga ke istana…..”
“Sri
Baginda,” ujar Wulung Kerso. “Apakah itu tidak terlalu cepat? Kita masih belum
menujuh hari atas berpulangnya putera Sri Baginda Pangeran Onto Wiryo…..”
“Soal
gundikku dan puteraku tak ada sangkut pautnya. Lakukan apa yang kuperintahkan.
Atau kau ingin membantah Paman Patih?”
“Maafkan
saya Sri Baginda. Bukan maksud saya berani membantah. Saya hanya menyampaikan
sesuatu yang saya rasa baik. Saya hanya menurut perintah. Bagaimana dengan
mayat Buto Celeng dan dua perajurit itu……?”
“Bagaimana
apa lagi? Urus penguburannya. Habis perkara. Kurasa mereka bertiga berkeluyuran
malam tadi. Bukannya berjaga-jaga di rumah Gama Manyar……”
“Menurut
Den Ayu Ratih mereka tak pernah sampai ke rumahnya…..”
“Jelas
itu satu bukti lagi. Mereka keluyuran. Dihadang para pemberontak yang
menyelinap ke dalam Kotaraja dan dibunuh!”
“Mungkin
begitu Sri Baginda. Namun orang-orang kita masih terus melakukan penyelidikan
apa sebenarnya yang terjadi. Ada sesuatu ditemukan dalam saku pakaian Buto
Celeng.”
“Sesuatu
apa?”
“Sepucuk
surat. Agaknya dalam istana banyak musuh dalam selimut. Untuk jelasnya silahkan
Sri Baginda membaca surat yang ditemukan dalam saku Buto Celeng ini…..” Lalu
Patih Wulung Kerso menyerahkan sepucuk surat yang sudah lecak dan kotor.
Mendapatkan
dimas Sindu Kalasan.
Dengan
tewasnya Empu Andiko Pamesworo kekuatan kita jelas berkurang. Karenanya kita
harus bergerak cepat sesuai dengan rencana. Sebelum aku mati, aku ingin Raja
perampas tahta kerajaan itu menemui ajalnya. Harap dimas segera menghubungi
orang-orang kita untuk menentukan hari penyerbuan. Jangan lupa mencari tambahan
kekuatan baru, terutama dari pihak tokoh-tokoh silat istana. Jabatan patih
tetap menjadi bagian dimas kelak
Tertanda
Resi
Mulyorejo.
Kedua
mata Sri Baginda terbelalak dan memandang tak berkedip pada Wulung Kerso.
“Jadi……Jadi….”
“Sri
Baginda sudah membaca semua. Saya tinggal menunggu perintah…..” kata Patih
Wulung Kerso ketika melihat Sri Baginda gagap dan merah wajahnya.
“Panggil
hulubalang pertama dan kedua. Bawa dua lusin perajurit! Tangkap keparat itu
sekarang juga. Dan besok pagi gantung dia di alun-alun agar semua melihat apa
akibat bagi seseorang yang menjadi musuh dalam selimut!”
“Perintah
saya lakukan Sri Baginda. Saya mohon diri!” kata Patih Wulung Kerso.
“Tunggu
dulu!” seru Raja. “Resi keparat bernama Mulyorejo itu! Kukira sudah mampus dia!
Ternyata masih hidup. Apa sampai saat ini orang-orangmu masih belum mengetahui
di mana tempat persembunyiannya?”
“Manusia
satu itu sulit dilacak. Licin seperti belut…..”
“Sudah!
Sudah! Pergi lakukan tugasmu paman Patih. Aku tak mau dengar cerita panjag
lebar tentang kehebatan Resi keparat itu. yang perlu menangkap dan
memancungnya! Lalu satu hal jangan lupa! Ratih, gadis yang akan jadi gundik
baruku harus berada di istana malam ini juga. Aku sudah memerintahkan kepala
rumah tangga istana menyiapkan sebuah kamar baru di ujung kanan keputrenan….”
“Baik Sri
Baginda. Semua perintah akan saya lakukan….” Kata Patih Wulung Kerso lalu
menjura dan berlalu dari hadapan sang raja.
Sebagai
tokoh silat tingkat tinggi istana Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat Dari
Selatan mendapat tempat kediaman dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
Rumahnya, sebuah gedung kecil tapi mewah terletak di sebelah timur pintu
gerbang. Dia tengah duduk berangin-angin di langkan gedeung sambil mendengar
nyanyian seorang kawula ketika rombongan utusan Patih Wulung Kerso muncul,
langsung menyerahkan surat yang ditemukan dalam saku pakaian Buto Celeng.
“Ini
fitnah busuk keparat!” teriak Datuk Tongkat seraya menggebrak meja kayu di
hadapannya hingga hancur berkeping-keping. Surat itu diremasnya lalu
dibantingnya ke lantai. Sepasang matanya membelalak menatap dua orang yang
tegak di hadapannya sambil melipat sepasang tangan masing-masing di depan dada.
“Kalian
berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalian pasti tidak mau mempercayai isi surat
itu bukan…..?” kembali sang datuk bicara.
“Apa yang
tersirat itulah yang nyata dimas Sindu.” Menjawab kakek berpakaian biru berikat
pinggang putih yang tegak memegang seuntai tasbih hijau. Muluntya senantiasa
komat-kamit melafalkan sesuatu. Dia adalah Ki Rawe Jembor, hulubalang barisan
pertama yang memiliki kepandaian dua tingkat di atas Datuk Tongkat dan
merupakan pimpinan dari seluruh tokoh silat istana yang mengabdikan diri pada
kerajaan.
Di
sebelah Ki Rawe Jembor berdiri seorang lelaki berwajah pucat angker. Kedua pipi
dan rongga matanya sangat cekung. Dia dikenal dengan nama Imo Gantra, merupakan
hulubalang barisan kedua dan memiliki kepandaian satu tingkat di bawah Ki Rawe
Jembor atau satu tingkat di atas Datuk Tongkat.
Perlahan-lahan
Sindu Kalasan tegak dari kursi yang didudukinya. Dadanya turun naik tanda
perasaannya berkobar. Dia memandang berganti-ganti pada kedua tokoh di
hadapannya lalu berkata. “Kalian tidak bicara banyak. Jadi…..apakah kalian
datang untuk menangkapku? Menangkap sahabat sendiri?!”
“Antara
kita tetap sebagai sahabat-sahabat tak terpisahkan dimas Sindu,” menyahuti Imo
Gantra. “Hanya dalam soal tugas harap kau suka memisahkan persahabatan dan
kenyataan.”
“Kami
harap kau ikut secara baik-baik. Di hadapan Sri Baginda kau akan berusaha
membelamu.”
Datuk
Tongkat menyeringai sinis mendengar kata-kata Ki Rawe Jembor itu. “Jika kalian
berniat membelaku, kalian tak akan sampai datang kemari! Tidak kusangka,
sahabat-sahabat yang kukira sejati malam ini menunjukkan belangnya. Jika kalian
hendak menangkapku silahkan!”
Habis
berkata begitu Datuk Tongkat berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas,
meelwati antara bahu Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor dan sampai di taman gedung.
Dua lusin perajurit yang sejak tadi berjaga-jaga segera mengurung sementara Imo
Gantra dan Ki Rawe Jembor sudah berkelebat dan tegak mengapit sang datuk.
“Dimas
Sindu. Aku anjurkan agar kau menyerah secara baik agar tak ada darah yang
tertumpah!”
Datuk
Tongkat tertawa panjang. “Mulutmu sungguh manis. Tapi hatimu palsu! Aku lebih
suka memilih mati bergenang darah dari pada menyerah!” Sepasang mata Datuk
Tongkat membelalak liar. Pada saat itulah dia melihat sebuah kereta terbuka
memasuki pintu gerbang dikawal oleh enam perajurit di bwah pimpinan seorang
perwira.
Ketika
melihat gadis cantik yang duduk di atas kereta terbuka itu, entah bagaimana
mendadak saja ingatan sang datuk kembali pada peristiwa perkelahian di malam
hari di daerah pesawahan. Darah sang datuk tersirap. Wajahnya menunjukkan rasa
kaget amat sangat. Kalau pada malam sang dara melayat dia masih belum ingat
siapa adanya dara itu tapi saat ini mendadak saja ingatannya pulih kembali.
Gadis di atas kereta itu, yang diketahuinya hendak diambil gundik oleh Sri
Baginda, sesungguhnya adalah musuh besar kerajaan yang sedang dicari-cari. Yaitu
bukan lain ratu pemberontak Nawang Suri!
Nawang
Suri sendiri merasakan dadanya berdebar sewaktu melihat Datuk Tongkat memandang
tak berkedip ke arahnya.
“Celaka
kalau dia sampai mengenaliku,” membathin Nawang Suri. “Aku datang kemari
terlalu cepat. Ternyata datuk itu belum ditangkap. Surat palsu yang kuselipkan
di kantong Buto Celeng pasti datang terlambat ke tangan raja…..”
Nawang
Suri palingkan wajahnya, menghindari pandangan Datuk Tongkat. Namun jalan
pikiran sang datuk justru tampak jernih. Dia ingat ketika memeriksa mayat Buto
Celeng dan dua anak buahnya, ketiga orang itu menemui ajal dengan badan hangus
hitam. Berarti luka-luka yang dideritanya akibat tikaman senjata sakti. Dan
kini dia tahu. Senjata sakti apalagi kalau bukan Keris Mustiko Geni?!
“Gadis
pemberontak! Kau mau kemana!” berteriak Datuk Tongkat lalu melompat ke arah
kereta. Tentu saja para perajurit dan hulubalang istana yang mengurung cepat
memapaki gerakannya.
“Kalian
semua dengar! Gadis ini adalah Nawang Suri, ratu pemberontak! Kita harus
menangkapnya!” berteriak Datuk Tongkat.
Imo
Gantra mendengus. “Jangan coba mengalihkan perhatian dimas Sindu! Justru kaulah
yang harus kami tangkap detik ini juga!”
“Tolol!
Kalian tidak kenal siapa dia! Aku pernah bentrokan dengan dia. Gadis ini adalah
Nawang Suri, ratu pemberontak yang dicari-cari. Dia memiliki Mustiko Geni!”
Ki Rawe
Jembor tertawa sinis. “Pemberontak tak menuduh pemberontak! Dimas Sindu, kau
tahu siapa gadis itu? Dia adalah calon gundik Sri Baginda. Kuharap mulutmu
jangan ketelepasan bicara yang tidak-tidak!”
“Kalian
boleh mencincang aku! Tapi tangkap dulu gadis itu!” teriak Datuk Tongkat marah
dan sangat penasaran karena ucapannya.
Ki Rawe
Jembor memberi isyarat. Belasan perajurit dan Imo Gantra kembali menyerbu.
Terpaksa Datuk Tongkat menghadapi orang-orang ini dan putar tongkat bambunya
dengan sebat. Dua perajurit terpekik dan terjengkang. Seorang roboh dengan dada
mengucurkan darah akibat tusukan tongkat bambu, satunya lagi merangkak di tanah
sambil mengerang karena tulang selangkangannya patah.
Meskipun
orang-orang yang ada di situ tidak mempercayai kata-kata Datuk Tongkat, namun
dalam hatinya Nawang Suri yang duduk di atas kereta merasa tak enak. Keadaannya
kini sangat terancam. Dia harus mengambil satu keputusan. Selagi para tokoh
silat itu sibuk hendak menangkap Datuk Tongkat dia harus mengambil keputusan,
sekaligus melakukannya. Tangannya bergerak perlahan ke arah pinggang. Di situ
tersembunyi keris sakti Mustiko Geni.
Di saat
itu pula di pintu gerbang pekarangan istana terdengar suara siulan. Sesosok
tubuh berkelebat lalu laksana seekor burung hinggap di atas tembok istana,
duduk berjuntai menyaksikan perkelahian seru antara para tokoh silat istana.
Menurut orang yang duduk di atas tembok ini, dalam waktu singkat sang datuk pasti
akan konyol dilabrak sereangan-serangan yang begitu banyak. Ketika berpaling ke
arah kiri diapun tampak tercengang melihat siapa dara yang duduk di atas kereta
terbuka.
“Gadis
itu! kini dia ada pula di sini! Kalau dia benar pemberontak, berarti dia berada
di sarang harimau! Nekad! Berani betul dia! Apa yang hendak dilakukannya di
sini. Tapi eh, dia duduk di atas kereta diiringi para pengawal. Bagaimana
mungkin…..?” Karena tak habis pikir orang yang duduk di atas tembok itu
gelenggelengkan kepala lalu garuk rambutnya beberapa kali. Inilah ciri-ciri
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!
****************
DUA BELAS
Sri
Baginda duduk terkantuk-kantuk di atas kursi sambil menyedot pipa panjang. Bau
tembakau yang dibakar memenuhi ruangan besar. Di sebelah kirinya duduk Patih
Wulung Kerso. Di sebelah kanan berdiri Raden Cokroningrat, Kepala Pasukan
Kerajaan.
“Gundikku
itu masih belum juga datang. Dan aku mendengar suara ribut-ribut di luar
sana…..” kata Sri Baginda pula setelah labih dulu menghembuskan asap pipanya
jauh-jauh ke udara.
“Sebentar
lagi Den Ayu gundik Sri Baginda itu pasti sampai,” menjawab Cokro Ningrat. “Dan
suara ribut-ribut di luar itu adalah suara perkelahian mereka yang sedang
menangkap Datuk Tongkat.”
“Hanya
menangkap seekor monyet pengkhianat saja mengapa begitu riuhnya seperti
tontonan pasar malam!” kata Sri Baginda. Dengan rasa tak sabar dia menyerahkan
pipanya pada seorang ponggawa lalu bangkit dari kursi, melangkah ke langkan
depan istana diikuti oleh Wulung Kerso dan Cokro Ningrat.
Sewaktu
Sri Baginda sampai di tangga depan istana perkelahian tengah berlangsung seru.
Datuk Tongkat Dari Selatan tampak berlumuran darah di wajahnya sebelah kanan
akibat hantaman tasbih hijau KI Rawe Jembor yang tepat menghantam mata kanannya
hinnga pecah dan mengucurkan darah. Dalam keadaan terluka begini sang datuk
mengamuk seperti harimau kemasukan setan. Dia sudah maklum tak bakal bisa lolos
dari kepungan dua tokoh silat dan delapan perajurit itu. karenanya dia
berjibaku. Mati tak jadi apa asal paling tidak salah seorang dari dua tokoh
silat istana itu juga harus meregang nyawa di tangannya. Tongkat sang datuk
menderu ganas. Menusuk dan memukul ke pelbagai penjuru. Namun di jurus itu dia
hanya mampu menghantam dua orang perajurit saja sementara gempuran serangan
atas dirinya semakin membahayakan. Pada saat itulah dengan mata kirinya yang
masih utuh Datuk Tongkat melihat Sri Baginda muncul di tangga istana sementara
kereta yang membawa Nawang Suri juga sampai di depan tangga dan berhenti di
hadapan sang raja.
“Sri
Baginda!” berteriak Datuk Tongkat seraya melompat mendekati tangga istana.
“Awas! Gadis di atas kereta itu adalah Nawang Suri! Pemberontak yang selama ini
dicari-cari…..!”
Ucapan
Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat hanya sampai di situ. Untuk kedua kalinya
tasbih hijau di tangan Ki Rawe Jembor berdesing ganas, menghantam batok kepala
Dauk Tongkat hingga manusia yang pernah membaktikan dirinya pada istana ini
harus menemui ajal di tangan kawannya sendiri! Datuk Tongkat terkapar di ujung
tangga istana denan kepala pecah! Serta merta perkelahianpun berhenti.
Kejadian
yang mengerikan itu agaknya sama sekali tidak begitu menarik perhatian sang
raja. Dia memalingkan kepala ke arah perawan cantik jelita yang duduk di atas
kereta, yang sebentar lagi akan diboyongkan ke dalam kamar istana. Dia sendiri
yang akan memegang rangan Ratih, membantunya turun dari kereta lalu membawanya
masuk ke dalam istana. Namun maksud sang raja tak pernah kesampaian. Dari atas
kereta terdengar suara pekik menggelegar, mengejutkan semua orang. Selagi semua
orang terkesiap kaget, tubuh Nawang Suri tampak melompat. Sinar merah tiba-tiba
membersit di sertai hawa panas menebar angker.
“Keris
Mustiko Geni!” teriak Imo Gantra, Raden Cokro Ningrat dan Patih Wulung Kerso,
juga Ki Rawe Jembor ketika semua mereka melihat benda yang tergenggam di tangan
Ratih, calon gundik yang sebenarnya adalah Nawang Suri, musuh besar kerajaan.
Semua orang memburu. Namun jarak mereka dari raja terpisah cukup jauh. Selagi
Sri Baginda tercekat tak mengerti apa yang sebenarnya telah dan akan terjadi,
keris sakti di tangan Nawang Suri telah menghujam dalam di pertengahan dadanya!
“Gusti
Allah! Celakalah Kerajaan!” seru Ki Rawe Jembor menyaksikan raja berlumuran
darah sambil memegangi dada, tertegak gontai lalu roboh di anak tangga kedua.
“Sri
Baginda tewas!” berseru Imo Gantra.
Semua
yang menyaksikan bagaimana tubuh Sri Baginda sesaat berkelojotan, matanya
membeliak. Dari mulutnya keluar ludah membuih lalu sekujur tubuhnya tampak
menghitam seperti hangus!
Dalam
keadaan seperti itu Nawang Suri membalikkan diri menghadap orang-orang itu
seraya mengacungkan Keris Mustiko Geni yang berlumuran darah ke atas.
“Kalian
semua dengar!” teriak gadis ini. wajahnya buas dan matanya berapiapi. “Keris
Mustiko Geni dalam genggamanku! Berarti tahta kerajaan ada dalam tanganku!
Tahta memang menjadi hakku karena raja kalian sebelumnya telah merampas dari
ayahku! Kalian harus tunduk semua padaku! Aku Nawang Suri ratu penguasa di
negeri ini!”
“Gadis
nekad!” terdengar seruan dari tembok istana. Nawang Suri melirik dan melihat
Wiro Sableng duduk di atas tembok itu. gadis ini mengomel dalam hati namun dia
kembali menghadapi orang-orang itu. dia harus menguasai keadaan dengan cepat.
Hanya saja Ki Rawe Jembor dan Imo Gantra merupakan orang tokoh pertama yang tak
bisa dibuat tunduk. Dengan tasbih diputar di tangan kanan Ki Rawe Jembor maju
mendekat seraya berkata “Gadis pemberontak! Kau telah membunuh raja! Nyawamu
tak bisa diampuni!”
Wutt!!
Tasbih
hijau berkelebat. Sinar hijau berkiblat, membuat Nawang Suri terhuyung dan
cepat mundur seraya menangkis dengan Keris Mustiko Geni. Di kakek yang maklum
akan kehebatan senjata di tangan lawan tak berani melakukan bentrokan. Dengan
cerdik dia berkelit lalu menggempur lagi dari samping. Sementara itu Imo
Gantra, Cokro Ningrat, sembilan perwira dan puluhan perajurit telah melakukan
pengurungan lalu mulai merangsak maju. Betapapun tingginya kepandaian Nawang
Suri, sekalipun senjata sakti tergenggam dalam tangannya namun menghadapi
sekian banyak musuh benar-benar bukan tandingannya. Apalagi pakaian yang
dikenakannya saat itu yakni kebaya dan kain panjang tidak memungkinkannya untuk
bergerak leluasa. Dalam waktu dua jurus saja gadis ini sudah terdesak hebat.
Dalam jurus ketiga Keris Mustiko Geni terlepas dari tangannya. Senjata mustika
sakti ini cepat disambar Patih Wulung Kerso. Nawang Suri sendiri melompat
mundur sambil pegangi tulang lengan kanannya yang patah dihantam tasbih Ki Rawe
Jembor!
“Kalian
mau membunuhku?!” teriak Nawang Suri sambil bersandar ke tiang besar langkan
istana. “Aku tidak takut mati! Matipun bukan satu kesia-siaan bagiku! Yang
penting aku telah membalaskan sakit hati ayah bundaku! Membunuh raja kalian!
Perampas tahta kerajaan milik syah ayahku!”
Dua buah
pedang, satu tombak, satu jotosan berkekuatan tenaga dalam tinggi ditambah satu
hantaman tasbih sakti berebut cepat melabrak tubuh Nawang Suri. Sang dara yang
memang nekad dan merasa tidak takut malah sengaja menghadang kematian dengan
tabah.
“Gadis
nekad! Benar-benar nekad! Gila!”
Terdengar
teriakan jengkel dari arah tembok halaman istana. Bersamaan dengan itu menderu
suara aneh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar putih perak menyilaukan
berkiblat.
Traang…..trang…..trang!
Dua
pedang dan satu tombak terbabat putus. Masing-masing pemegangnya terpental dan
terpaksa lepaskan senjata mereka yang telah puntung karena gaganggagang
senjata itu mendadak sontak terasa panas seperti terbakar! Imo Gantra kucurkan
keringat dingin. Kalau dia tak lekas menarik pulang pukulannya, tangan kanannya
akan cacat putus seumur hidup! Ki Rawe Jembor berseru tegang. Wajahnya pucat
ketika dapatkan tasbih saktinya kini tinggal seutas benang. Butiran-butiran
tasbih hijau melayang ke udara, jatuh bertebaran di langkan istana.
Di depan
sosok tubuh Nawang Suri kini tegak seorang pemuda berambut gondrong sambil
memegang sebilah senjata aneh yakni sebilah kapak bermata dua.
“Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212!” seru Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor. Mereka berdua
belum pernah bertemu dengan Wiro Sableng. Tetapi melihat senjata yang ada dalam
genggaman murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini keduanya segera maklum siapa
adanya pemuda itu. kalau tadi mereka hendak bertindak garang maka kini terpaksa
menahan diri.
“Pendekar
212! Tidak disangka seorang bernama besar sepertimu ternyata membantu
pemberontak!” menegur Ki Rawe Jembor.
“Aku
tidak merasa dibantu oleh siapapun!” berteriak Nawang Suri.
Wir
menyeringai dan melirik sekilas pada sang dara, lalu menimpali. “Aku memang
tidak membantunya!”
“Lalu
mengapa muncul dan mencampuri urusan kami orang-orang kerajaan?!” kertak Imo
Gantra.
Wiro
garuk-garuk kepala. “Itulah susahnya jadi manusia seperti aku ini. aku
bertindak tanpa memperdulikan siapa adanya gadis ini. Aku hanya tak ingin
melihat darah tertumpah dalam ketidak adilan. Seorang gadis ingusan seperti ini
hendak kalian bunuh beramai-ramai!”
“Pemuda
lancang! Berani kau mengatakan aku!”
Wutt
Nawang Suri
hantamkan jotosan tangan kiri ke punggung Wiro Sableng. Pendekar ini cepat
berkelit ke samping. Tangan kirinya bergerak mengirimkan satu totokan. Detik
itu juga Nawang Suri merasakan tubuhnya kaku tegang.
“Gadis
itu bukan gadis ingusan pendekar,” kata Ki Rawe Jembor dengan pelipis
bergerak-gerak dan suara bergetar. “Dia adalah gembong pemberontak! Dia telah
membunuh raja kami!”
“Kalau
begitu kalian uruslah jenazah Sri Baginda!” sahut Wiro pula. Lalu dengan
gerakan cepat dia mendukung tubuh Nawang Suri di bahu kirinya, sementara sang
dara tidak hentinya berteriak-teriak marah.
“Hendak
kau bawa ke mana gadis pemberontak itu…..?” kata Ki Rawe Jembor.
“Kemana
aku ingin membawanya itu bukan urusan kalian. Aku minta jalan dengan segala
hormat!”
Imo
Gantra mendengus. “Nama besarmu kami hormati. Tapi jangan kira kami takut untuk
melakukan sesuatu!” Habis berkata begitu Imo Gantra memberi isyarat. Bersama Ki
Rawe Jembor, sembilan perwira tinggi termasuk kepala pasukan Cokro Ningrat,
ditambah lagi lusinan perajurit, segera menyerbu. Wiro sapukan Kapak Maut Naga
Geni 212 ke depan. Semua yang menyerang jadi kalang kabut dan berserabut
mundur. Namun sebatang tombak sempat menusuk bahu kiri Nawang Suri hingga gadis
ini menjerit kesakitan lalu pingsan melihat darahnya sendiri.
“Kalau
kalian bersikeras dan tak mau menahan diri, darah akan lebih banyak mengucur di
langkan istana ini!”
Ancaman
Wiro itu membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor saling pandang. Akhirnya Ki Rawe
Jembor berkata “Kau boleh pergi. Tapi gadis pemberontak itu tetap harus kau
tinggalkan di sini!”
“Kalian
orang-orang kerajaan mau menang sendiri! Ayah dan Ibu gadis ini telah kalian
bunuh! Tahta kerajaan kalian rampas! Apa itu masih belum cukup?!”
“Jika kau
berpendapat demikian maka biar aku mengadu jiwa denganmu!” Imo gantra tak dapat
menahan diri lagi dan siap melompati Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun Ki
Rawe Jembor cepat memegang bahunya dan membisikkan sesuatu. Imo Gantra meskipun
masih penasaran tampak agak kendur amarahnya.
“Pendekar
212!” kata Ki Rawe Jembor. “Saat ini kami perbolehkan kau dan gadis itu pergi.
Tapi ingat satu hal. Kami tak akan tinggal diam. Kalian berdua tak bisa lari
jauh! Pembalasan kami labih kejam dari siksa neraka!”
Wiro
Sableng manggut-manggut sambil menyeringai. “Aku akan ingat baikbaik ucapanmu
itu, orang tua. Tapi satu hal dariku, kalian ingat pula baik-baik ucapanku ini.
apa yang telah terjadi hari ini kuanggap selesai dan berakhir sampai di sini.
Tak ada silang sengketa baru atau segala dendam kesumat. Tapi jika kalian kelak
melakukan sesuatu terhadap salah satu dari kami, berarti kalian membuka pintu
neraka untuk kalian sendiri!” Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng
keluarkan siulan panjang, membuat beberapa kali lompatan dan lenyap dari
halaman istana.
TAMAT
No comments:
Post a Comment