Khianat
Seorang Pendekar
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
KEDAI
MINUMAN itu penuh dengan para pengunjung yang ingin menikmati bandrek, pisang
rebus dan kacang goreng. Sehabis hujan memang sedap sekali duduk menikmati
bandrek hangat sambil mengobrol dan menghisap rokok, (bandrek" minuman
manis bercampur jahe, biasanya diminum hangat-hangat).
Tetamu
yang ada dalam kedai itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan membekal
golok. Pertanda bahwa mereka adalah orang-orang kasar.
Seorang
pemuda muncul di pintu kedai. Pakaiannya basah kuyup. Dia memakai ikat kepala
putih dan rambutnya yang gondrong basah acak-acakan.
"Saya
mencari Memed Gendut. Apakah orangnya ada di sini?" pemuda itu bertanya.
Orang-orang
yang ada di dalam kedai itu berpaling ke pintu. Sesaat mereka memandang si
pemuda lalu meneruskan obrolan mereka, menghisap rokok atau meneguk bandrek.
Tak ada yang menjawab.Semua seperti tak acuh. Seolah-olah pemuda itu tak ada
disana.
Orang
yang bertanya garuk-garuk kepalanya. Terdengar suaranya perlahan, tetapi cukup
je!as terdengar oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata,"Aku yakin
tidak semua orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada yang
menjawab?"
Seorang
berdestar hitam berpipi cekung membuka mulut dari belakang meja di mana dia
sibuk melayani tetamu. Dia adalah pemilik kedai.
"Orang
yang kau cari tak ada di sini "
"Saya
mendapat keterangan orang itu selalu nongkrong di kedai ini setiap malam,"
berkata si pemuda. Dia masih saja tegak di pintu, tampaknya segan masuk ke
dalam kedai yang sudah sesak oleh tamu itu,"Memang benar, tapi malam ini
dia belum muncul. Mungkin sebentar lagi,"
kata
orang kedai lalu menyarankan: "Tunggu saja di sini sambil
minum-minum…."
Pemuda
itu memandang berkeliling dan menjawab: "Biar saya menunggu di luar saja
…."
"Terserah
padamu. Tak ada yang melarang dimanapun kau mau menunggu."
Pemuda
tadi balikkan tubuh dan pergi tegak di bawah cucuran atap kedai.
Udara
malam sehabis hujan sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak merasakan. Dia
tetap tegak di tempatnya mematung dan menunggu sampai akhirnya dari dalam kedai
keluar dua orang tamu. Yang satu tinggi kekar berkumis melintang. Satunya lagi
agak pendek berkereta gundul, juga bermisai lebat. Masing-masing membawa golok
di pinggang.
"Anak
muda rambut gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa mencari Memed
Gendut?" salah seorang yang barusan keluar dari kedai ajukan pertanyaan.
"Keperluan
kecil: Biasa-biasa saja" jawab sipemuda.
"Hemm…
Apa yang kecil dan apa yang biasa-biasa?" bertanya lelaki botak.
Matanya
liar memandangi si pemuda dari atas sampai ke bawah.
"Saya
hanya ingin bicara dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."
"Jangan
begitu. Kami berdua adalah kawan-kawan orang yang kau cari. Jika kau ada
keperluan kami bisa membantu." Kata si tinggi kekar.
Pemuda
itu berpikir sejenak. Akhirnya menjawab.
"Terima
kasih. Biar saya menunggu Memed Gendut saja"Sikapmu tidak mempercayai kami
berdua huh?!" kata si pendek botak dan.dia melangkah mundar-mandir di
depan pemuda itu. Tangan kanannya bersitekan pada hulu golok.
Si pemuda
garuk-garuk kepalanya. "Apa gunanya saya tidak percaya pada kalian. Tapi
apa untungnya kalau mempercayai kalian!"
Si tinggi
besar ulurkan tangannya dan tepuk-tepuk bahu pemuda itu.
"Jangan
bicara seperti itu anak muda. Orang hendak menolongmu kenapa bicara tidak enak
begitu …?"
"Eh.
aku tadi bilaa terima kasih. Dan tak mau ditolong karena ingin menunggu Memed
Gendut. Tapi kalian seperti memaksa!’,’ Pemuda berambut gondrong yang
bertampang seperti tolol itu kini keluarkan suara keras dan kasar
karena
jengkel.
Si tinggi
besar menyeringai dan kedipkan mata pada kawannya yang berkepala botak, lalu
berkata pada pemuda di hadapannya.
"Memed
Gendut terkenal sebagai pedagang kuda di daerah ini. Jika ada orang asing
mencarinya, pasti urusan jual beli kuda. Bukan begitu?"
Si pemuda
tak menjawab.
Si botak
kini ikut memegang bahu pemuda itu seraya berkata: "Jika kau memang ingin
membeli kuda, serahkan saja uangmu pada kami. Tunggu di sini.
Dalam
waktu singkat kami akan kembali membawakan seekor kuda paling bagus untukmu….
Nah serahkanlah"
"Serahkan
apa?!"
"Uang
pembeli kuda!"
"Apa
kalian juga pedagang kuda?"
Si tinggi
menjawab: "Tadi sudah kami katakan. Kami ingin menolongmu.
Ternyata
betul kau ingin membeli kuda! Memed Gendut memang pedagang kuda terkenal. Tapi
harga kudanya mahal.Kuda milik kami tak kalah bagus, malah jauh lebih murah.
Tun jukkan berapa uang yang kau punya?"
"Sudahlah.
Biarkan aku sendirian di sini. Lebih baik kalian masuk lagi ke dalam meneruskan
minum.."
"Hemm
" si tinggi besar usap-usap dagunya. "Kalau begitu kau harus bayar
uang wara-wiri pada kami!"
"Eh,
bayar apa? Apa itu uang wara-wiri?" tanya si pemuda heran.
"Sebagai
ganti rugi karena kedatanganmu mengganggu makan-minum kami!"
jawab si
pendek botak seraya puntir kumis tebalnya.
Pemuda
gondrong melongo la!u tertawa gelak-gelak.
"Sialan!
Kenapa tertawa!" bentak si tinggi"Kalian ini berdua mengemis atau
hendak memeras?!" tukas pemuda itu.
‘Terserah
kau mau menyebut apa! Bagusnya lekas kau serahkan semua uang yang kau
miliki!" bentak si botak.
"Nah,
nah! Tadi hanya minta uang wara-wiri! Kini inginkan semua uangku!
Benar-benar
wong edan!"
Sret!
Sretl
Dua bilah
golok telanjang tahu-tahu sudah melintang di batang leher pemuda itu. Orang
lain mungkin sudah pingsan atau terkancing ketakutan dikalungi dua buah golok
seperti itu. Tapi anehnya si pemuda malah menyeringai dan
keluarkan
siulan.
"Kalau
begini namanya bukan pengemis atau pemerasan, tapi perampokan!" katanya
"Tepat
sekali! Ini memang perampokan! Lekas serahkan semua uangmu I" Si botak
ulurkan tangan kirinya untuk menggeledah pinggang dan saku pakaian si pemuda.
Tapi tiba-tiba pemuda itu hantamkan sikunya ke lambung si botak hingga orang
ini terjungkal. Di saat yang bersamaan kawannya si tinggi merasakan satu
tendangan menghantam tempurung lututnya hingga hancur dan terjengkang jatuh
sambil berteriak kesakitan.
Plak!
Plak!
Satu
tamparan amat keras melayang ke muka kedua orang itu. Bibir mereka pecah.
Keduanya tergelimpang pingsan di bawah cucuran atap.
Suara
pukulan dan tendangan serta pekik dan tamparan membuat semua tamu dalam kedai
terkejut lalu berlarian ke luar untuk melihat apa yang terjadi.
Di luar
mereka dapatkan dua kawan mereka tergelimpang pingsan di tanah yang becek
sementara pemuda asing yang tadi mencari Memed Gendut tegak tenang tenang
bersidakap lengan,, seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di tempat itu.
Seorang
menyeruak dari kerumunan para pengunjung kedai dan bertanya:
"Ada
apa di sini?! Anak muda. Kau yang mencelakai kedua orang ini?"
"Bukan
aku. Mereka minta celaka sendiri!" jawab si pemuda. Lama-lama dia merasa
muak melihat sikap orang-orang itu. "Aku mencari Memed Gendut!
Mereka
hendak merampok! Wong edan!"
"Jangan
menuduh sembarangan! Mereka adalah orang baik-baik!" Yang bicara adalah
pemilik kedai.
"Begitu?
Apa kau dapat menerangkan mengapa orang baik-baik mencabut golok dan memaksa
aku menyerahkan uang?!"
"Kau
mengarang cerita!" Seseorang berkata setengah berteriak.
Lalu
beberapa orang membuat gerakan sama. Mencabut golok di pinggang masing-masing.
Termasuk si pemilik kedai.
"Hemm….
kalau begitu kalian semua ternyata kawanan rampok!" ujar si pemuda.
"Rupanya sudah cukup lama kalian berkomplot di daerah ini tanpa pernah
mendapat hajaran! Hari ini biar tuan besarmu memberikan, sedikit pelajaran!
Majulah ramai-ramai!"
"Pemuda
Sombong!"
"Minta
mampus!"
Enam
orang merangsak maju dengan senjata di tangan. Si pemuda sama sekali tidak
takut. Sikapnya berdiri acuh tak acuh- Ketika dua dari enam pengeroyok menyerbu
maju, pemuda berambut gondrong keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke
atas. Tangan dan kakinya menghantam kian ke mari. Maka terdengarlah jerit pekik
di tempat itu. Tiga orang langsung terhampar di tanah, merintih kesakitan
sambil pelangi dada, kepala atau perut.
Dua
lainnya tersandar di dinding kedai. Yang satu yang paling parah menyangsang di
antara semak belukar di seberang jalan!
Melihat
kejadian ini, yang lain-lain melangkah mundur menjauhi si pemuda.
Rasa
kagum tertutup oleh rasa takut. Ketika pemilik kedai buang senjatanya ke tanah
dan masuk ke dalam kedai, yang lainnya pun mengikuti. Tapi ada pula yang segera
meninggalkan tempat itu dan lenyap dalam kegelapan malam.
Si pemuda
tiba-tiba merasakan punggungnya di tepuk orang. Cepat dia berpaling dan
dapatkan seorang lelaki kecil sangat kurus tegak di hadapannya.
Orang ini
memberi isyarat seraya berkata: "Lekas ikuti aku!"
"Kau
siapa?" tanya si pemuda curiga.
Orang itu
tak menjawab, malah langsung berlari pergi. Meskipun merasa tidak enak tapi
akhirnya pemuda itu mengejar juga orang tadi.
Jauh di
pinggiran desa, dekat pesawahan orang itu perlambat larinya lalu berhenti dan
menunggu si pemuda.
”Katakan
apa maksudmu menyuruh aku mengikuti?!" tanya si pemuda.
"Bukankah
kau mencari Memed Gendut? Akulah orangnya!"
"Kurang
ajar! Jangan berani bergurau "
"Aku
tidak bergurau! Memang akulah Memed Gendut. Pedagang kuda yang kau cari!"
"Menurutku
yang namanya Memed Gendut itu pasti manusianya gemuk besar. Tidak kurus kering
cacingan sepertimu ini!"
Orang itu
tertawa. "Kau hanya mengenal namaku. Belum pernah bertemu.
Bukan kau
seorang yang menduga salah. Orang-orang memberi nama itu padaku justru sebagai
kebalikan dari keadaan tubuhku yang seperti jerangkong ini!"
‘Begitu?
Tapi aku masih belum percaya padamu. Bukankah tadi kulihat kau ada di dalam
kedai ketika aku pertama kaii datang dan bertanya?"
"Betul..”
"Lalu
kenapa kau tidak menjawab?"
“Aku
tidak berani."
"Mengapa
tidak berani?"
"Kedai
dan daerah sini dikuasai oleh gerombolan rampok dan pemeras pimpinan Kumbang
Plered. Orangnya, itu yang tinggi besar dan berkumis yang mula-mula
mendatangimu bersama si botak. Pemilik kedai adalah salah seorang anak buahnya.
Oan aku sejak lama jadi bulan-bulanan pemerasan mereka. Jika ada yang hendak
membeli kuda, mereka langsung turun tangan menetapkan harga. Padaku kemudian
hanya diberikan sejumlah uang yang sangat kecil. Aku sudah lama ingin
meninggalkan daerah ini, tapi mereka mengancam anak dan istriku!" Memed
Gendut yang ternyata hanya seorang lelaki separuh baya bertubuh kurus kering diam
sesaat. Lalu .dia bertanya:
"Kau
mencariku apakah hendak membeli kuda ….?"
Pemuda
rambut gondrong mengangguk. "Tapi aku kawatir uangku tak cukup.
Apakah
bisa kalau menyewa saja?"
Memed
Gendut tertawa. "Sewa menyewa tak pernah kulakukan. Itu urusan bikin repot
saja. Melihat kau telah melakukan sesuatu yang hebat malam ini, aku bertanya,
berapa uang yang kau miliki?"
Pemuda
itu mengeluarkan sebuah kantong kecil dan menyerahkannya pada si pedagang kuda.
Memed Gendut memeriksa lalu memasukkan kantong itu ke dalam saku pakaiannya.
"Uangmu
tak cukup untuk membeli sepotong kudapun. Tapi tak apa. Kau orang asing. Dari
sini kemana tujuanmu?" tanya Memed Gendut.
"Lumajang."
"Lumajang?
Berarti kau akan melewati lautan pasir Tengger. Dengan berkuda terus menerus
paling tidak kau membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dan tak mungkin kau
hanya memiliki seekor kuda. Paling tidak harus ada seekor kuda cadangan. Kalau
hanya membawa seekor kuda, dan terjadi apa-apa dengan binatang itu, kau akan
menemui ajal dilautan pasir. Lebih baik kau mengambil jalan lain. Tapi itu
berarti lebih dari sepuluh hari baru sampai di Lumajang."
"Itulah
yang tak aku ingini. Aku harus cepat-cepat sampai di sana." Si pemuda
tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya berulang kali. "Uangku katamu
tidak cukup …. Bagaimana ini?"
"Sudahlah,
aku akan menolongmu. Boleh aku tahu namamu?"
"Panggil
aku Wiro," jawab pemuda gondrong.
"Aku
akan berikan dua ekor kuda padamu. Jika kemudian hari kau mau membayar
kekurangannya terserah saja. Tapi aku tak begitu mengharapkan …"
"Terima
kasih. Kau orang baik. Tapi dari tadi kita hanya bicara saja di pinggir sawah
di malam buta dan gelap begini. Aku belum melihat kuda-kudamu ..,."
"Rumahku
di timur sawah ini. Kita berangkat sekarang saja."
Kedua
orang itu menyeberangi sawah menuju ke arah timur. Selewatnya pesawahan, dalam
kegelapan malam di kejauhan tampak sederetan rumah.
Salah
satu di antaranya memiliki halaman luas yang diberi berpagar kayu tinggi.
Lebih
dari selusin kuda kelihatan di balik pagar itu. Inilah rumah Memed Gendut.
Ketika sampai di ujung pagar, pedagang kuda ini hentikan langkah. Dia memandang
ke arah rumah. Dalam kegelapan tampak sosok-sosok tubuh mendekam di sekitar
bangunan.
"Hatiku
tak enak. Ada bebecapa orang di sekitar rumah. Aku curiga. Janganjangan ..
.." kata Memed Gendut.
"Aku
juga sudah melihat dari tadi," kata Wiro.
"Tenang
saja. Jika orang-orang itu bermaksud jahat akan kugebuk seperti tadi aku
menggebuk Kumbang Plered dan anak buahnya."
"Yang
aku kawatirkan anak istriku di dalam rumah” ujar Memed Gendut.
Kedua
orang itu memasuki pintu halaman.
"Berhenti
di sana!" satu bentakan menggema keras di dalam kegelapan malam yang
dingin.
"Astaga!
Itu suara Kumbang Plered!" bisik Memed Gendut. "Bagaimana dia
tahu-tahu sudah berada di sini?!"
*****************
2
DELAPAN
ORANG bergerak dari arah bangunan rumah. Semua menghunus senjata di tangan.
Golok dan kelewang. Di sebelah depan memimpin seorang bertubuh tinggi besar.
Ternyata dia memang Kumbang Plered, kepala gerombolan rampok dan pemeras.
"Memed
Gendut!" teriak suara Kumbang Plered. Salah satu kakinya yang luka parah
tampak di ikat dan diganjal dengan beberapa potong kayu. "Tidak disangka
kau telah berkomplot dengan seorang pemuda asing dan berani melawan kami!"
"Aku
tidak berkomplot dengan siapa-siapa Kumbang!" kata Memed Gendut.
"Masih
berani kau berdusta! Apa yang terjadi di kedai tadi cukup membuktikan
tuduhanku! Dan sekarang terbukti lagi kau muncul di sini bersama kawanmu itu!
Bagus! Bagus sekali perbuatanmu Memed. Dan kau harus bayar dengan mahal semua
itu!"
"Selama
ini aku selalu mengikuti kehendakmu Kumbang. Sekarang kulihat kau tidak
beritikad baik terhadapku . ..?"
"Bukan
hanya padamu Memed! Tapi juga terhadap kawanmu! Dengar baikbaik.
Di dalam
rumah dua orang anak buahku siap menggorok leher istri dan tiga anakmu!"
"Ya
Tuhan!" pekik Memed Gendut. "Jangan kau celakai anak istriku!"
"Jika
kau ingin mereka selamat ikuti kata dan perintahku!" kata Kumbang Plered.
"Apa
yang kau inginkan Kumbang….?’ suara Memed Gendut bergetar sementara Wiro tegak
tak bergerak memperhatikan keadaan di sekitarnya.
"Pertama
kawanmu itu harus menyerahkan seluruh uang yang dimilikinya"Ini ambillah!"
ujar Memed Gendut seraya melemparkan kantong uang yang tadi diterimanya dari
Wiro.
Kumbang
Plered cepat menangkap kantong uang itu. "Kedua, semua kuda yang ada di
tempat ini mulai detik ini menjadi milikku . .."
"Mati
aku! Kumbang! Kau tahu mata pencaharianku adalah berjual beli kuda.
Keuntungannya
tidak seberapa. Kalau kau merampas semua kudaku bagaimana aku menghidupi anak
istriku … .!" teriak Memed Gendut dengan suara setengah meratap.
"Kalau
begitu kau tak ingin anak istrimu selamat! Apakah perlu kuperintahkan agar
mereka segera digorok saat ini?!"
"Jangan
…! Jangan lakukan itu Kumbang! Kau boleh ambil semua kuda itu.
Lalu
pergi dari sini!" Kumbang Plered menyeringai.
"Bagus!
Rupanya kau betul-betul mencintai anak istrimu. Hal ketiga!Kawanmu itu akan
kami tangkap hidup-hidup. Jika dia berani melawan, anak istrimu tetap akan jadi
korban!"
Memed
Gendut berpaling pada Wiro. Si pemuda tampak berubah parasnya.
Dia tidak
menyangka akan terjadi hal seperti ini.
"Ada
apa kau ingin menangkapku?!" tanya Wiro.
"Pertama
karena apa yang telah kau lakukan terhadap kami di kedai bandrek tadi! Kedua
kami mengetahui kau mengandung maksud buruk pergi ke Lumajang. Jadi kau pantas
ditangkap dan diserahkan pada Adipati Kebo Penggiring!"
"Keparat
setan alas!" Wiro memaki dalam hati. "Apakah bergundal sial ini
benar-benar mengetahui tujuanku ke Lumajang?!" Kepada Kumbang Plered Wiro
tak ingin menunjukkan keterkejutannya. Malah dia berkata mengejek:
"Rupanya pelajaran yang kuberikan di kedai minuman itu masih belum cukup.
Kau ingin kakimu satu lagi diikat dan diganjal kayu?!"
Kumbang
Plered meludah ke tanah. Saat itu bibirnya masih mengeluarkan darah akibat
tamparan keras Wiro.
"Pemuda
gembel buruk! Jangan berlagak jagoan di hadapanku.Kau kenal dua temanku ini..
..?" Kumbang Plered menunjuk pada dua lelaki berpakaian merah di
sampingnya.
Wiro
ingat betul. Dua orang ini tidak ada dalam kedai bandrek ketika dia datang ke
sana. Rupanya Kumbang Plered sengaja datang ke situ membawa mereka untuk
dimintakan bantuan. Berarti keduanya memiliki kepandaian yang
diandalkan.
"Siapa
dua ekor kunyuk itu mana perduliku!" menyahuti Wiro.
Kumbang
Plered tertawa mengekeh. Sedang dua orang berpakaian merah tampak berubah
garang tampang mereka karena dicaci sebagai kunyuk oleh Wiro.
"Kawan-kawan,
kalian dengar sendiri. Mulutnya terlalu lancang. Menurut hematku kalau tak
dapat ditangkap hidup-hidup mayatnya pun cukup berharga.
Bagaimana
pendapat kalian?!"
Salah
satu dari dua orang berpakaian merah itu menjawab: "Kami lebih suka
mematahkan batang lehernya!" Lalu dia memberi isyarat pada kawan di
sebelahnya. Lima orang anak buah Kumbang Plered segera menyebar, mengurung.
Memed Gendut menjauhkan diri ke sudut halaman. Dua lelaki berpakaian merah
tampaknya hanya mengandalkan sepasang tangan kosong, bergerak mendekati Wiro.
Siapakah kedua orang berpakaian serba merah ini?
Yang
berjanggut macam kambing bernama Kuto Simpul. Kawannya yang bermata jereng
bernama Reso Bondo. Sekitar setahun lalu kedua orang ini ikut menjadi pimpinan
dari satu kelompok rampok hutan Roban yang ganas.
Keduanya
kemudian memisahkan diri lalu meneruskan kehidupan sesat dengan berkeliaran
sebagai manusia-manusia bayaran. Kalau dulu mereka malang melintang dalam rimba
belantara maka kini keduanya berkeliaran di Kadipaten-Kadipaten bahkan tak
jarang muncul di Kotaraja. Mereka akan melakukan apa saja — mulai dari membunuh
dengan meracun sampai menjagal batang leher korban — asalkan mendapat bayaran.
Karenanya tidak heran kalau kedua orang ini banyak berhubungan dengan
tokoh-tokoh golongan sesat tapi juga pejabat-pejabat kerajaan.
Kumbang
Plered termasuk salah seorang yang rapat hubungannya dengan kedua orang ini.
Karena kebetulan mereka berada di daerah itu, setelah dihajar oleh Wiro,
Kumbang Plered memerintahkan anak buahnya menemui Kuto dan Reso. Bersama-sama
mereka mendatangi rumah Memed Gendut. Dugaan mereka bahwa pedagang kuda dan
pemuda itu akan muncul bersama di sana ternyata tidak meleset.
Melihat
dua orang itu maju tanpa keluarkan senjata, Wiro segera maklum kalau mereka
tidak boleh dianggap remeh. Namun dasar sikapnya yang suka menggoda dan
mencemooh orang, pemuda ini enak saja kembali mengejek.
"Ayo
dua ekor kunyuk majulah. Kalian membela bangsa perampok dan pemeras berarti
kalian sama saja isi perutnya!"
Kuto
Simpul dan Reso Bondo marah bukan main. Seumur hidup baru kali itu keduanya
menerima penghinaan demikian rupa. Didahului dengan bentakanbentakan garang,
keduanya berkelebat menyerang. Suara serangan mereka mengeluarkan angin deras
tanda keduanya memiliki tenaga luar dan tenaga dalam yang tinggi.
Untuk
menjajaki sampai di mana kekuatan lawan, Wiro sengaja menyongsong dengan kedua
lengan terpentang, berusaha mengadu tangan. Tapi dua orang lawan berlaku
cerdik. Mereka menghindari terjadinya bentrokan pukulan, sebaliknya serentak
menyebar ke kiri dan kanan lalu menghantam dengan pukulan tangan kosong.
Wutt!
Wutt!
Dua angin
pukulan menerpa dengan deras. Wiro melompat ke belakang.
Kedua
tangannya diangkat ke atas. Masing-masing telapak melambai menyapunyapu.
Terdengar
suara menderu. Kuto dan Raso tersentak kaget ketika dapatkan angin pukulan
mereka bukan saja menjadi buyar, tetapi membalik ke arah mereka sendiri!
Kedua
orang itu cepat jatuhkan diri. Begitu menjejak tanah mereka gulingkan diri
sambil kaki kirimkan tendangan. Kuto menendang ke arah kaki kanan Wiro sedang
Reso Bondo menghantam ke arah dada. Mau tak mau Wiro terpaksa cari selamat
dengan jalan melompat ke atas. Dari atas pemuda ini kembali kebutkan kedua
tangannya. Tapi lawan sudah berguling lagi menjauh. Sambil bangkit Kuto Simpul
berbisik pada kawannya.
"Reso,
pemuda ini bukan cacing tanah sembarangan. Hati-hatilah"Kau betul,"
sahut Reso Bondo. "Sebaiknya kita keluarkan empat jurus perampok mabok
sekarang juga!"
Kuto
Simpul mengangguk tanda setuju.
Dari
mulut kedua orang itu tiba-tiba keluar suara tawa berkakakan terus menerus.
Sambil tertawa keduanya bergerak berputar-putar mengelilingi Wiro.
Tangan
dan kaki mereka ikut bergerak tiada putus-putusnya, memukul dan menendang,
membuat Wiro terjepit di tengah-tengah dan siap jadi bulanbulanan serangan.
"Jurus
rampok mabok!" seru Kumbang Plered dalam hati dan terkejut.
"Baru
beberapa gebrakan mereka sudah mengeluarkan jurus hebat itu.
Apakah
pemuda keparat itu benar-benar luar biasa?"
"Hai!
Kalian benar-benar seperti kunyuk mabok durian?’!" Wiro berteriak.
"Menjauhilah! Badan kalian menebar bau busuk"
Buk!
Baru saja
pemuda itu mengejek demikian, satu pukulan menghantam dadanya sebelah kiri.
"Kena!"
seru Kuto Simpul giring walaupun mulutnya tampak meringis karena tangannya yang
tadi berhasil menghantam dada lawan terasa sakit. Selain menahan sakit Kuto
juga menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya tadi jangankan membuat lawan terjungkal,
cidera pun tidak. Maka diapun memberi isyarat pada Reso Bondo untuk melipat
gandakan arus serangan dan menambah cepat gerakan memainkan jurus-jurus
perampok mabok yang kini tinggal tiga jurus.
Memed
Gendut yang melihat si pemuda terdesak malah kena pukul menjadi semakin
ketakutan. Dia lari kearah rumah untuk menemui anak istrinya. Tapi dua orang
anak buah Kumbang Plered cepat menghadangnya dan menekankan ujung golok ke
perut pedagang kuda itu.
"Lepaskan
anak istriku! Jangan kalian sakiti mereka!" teriak Memed Gendut Tubuhnya
terkulai lemas dan jatuh duduk di tanah.
Sementara-itu
Kuto Simpul dan Reso Bondo sudah mulai menyerbu Wiro sambil terus
berteriak-teriak. Empat jurus perampok mabok sebenarnya merupakan ilmu silat
yang bukan sembarangan. Terbukti dengan mengandalkan ilmu silat itu Kuto dan
Reso telah membuat diri mereka ditakuti di mana-mana.
Namun
malam itu keduanya berhadapan dengan seorang lawan yang tingkat kepandaiannya
jauh berada di atas mereka. Meskipun telah melipat gandakan kecepatan serangan,
tapi sampai jurus ke empat selesai, keduanya tidak berkesempatan untuk
mendapatkan pukulan ataupun tandangan ke tubuh Wiro.
"Hai!
Kenapa kalian berhenti barteriak-teriak?!" Wiro bertanya mengejek.
"Rupanya
sudah sembuh dari kerasukan setan?!"
"Keparat!
V gertak Reso Bondo. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangan kanannya diluruskan
dan menusuk deras ke tenggorokan Wiro. Kawannya tak tinggal diam, kirimkan
tendangan ke bawah perut si pemuda.
"Hemm…
Kali ini rasakan bagianmu!" kata Kumbang Plered yang merasa yakin serangan
mendadak dan cepat dari kedua orang berpakaian merah itu pasti akan menghantam
tubuh si pemuda. Namun alangkah terkejutnya ketika melihat apa yang kemudian
terjadi.
Wiro
miringkan tubuhnya ke belakang. Tusukan lima jari tangan Reso Bondo hanya
menembus udara kosong. Di saat yang sama pemuda itu lepaskan tendangan kaki
kanan, membabat kaki Kuto Simpul yang menderu ke arah selangkangannya. Sebelum
tubuhnya jatuh punggung di tanah, Wiro masih sempat mencekal pergelangan tangan
Reso Bondo lalu menyentakkan selebat tenaga!
Gerakan
yang dibuat Wiro bukan saja sangat sulit tapi sungguh luar biasa.
Tubuh
Reso Bendo laksana dilabrak topan, menderu jungkir balik di udara dan terhempas
keras di tanah tanpa dia bisa membuat gerakan mengimbangi diri atau mampu
berusaha jatuh di atas kedua kaki Mata jereng manusia ini membeliak dan dari
mulutnya .terdengar suara gerung kesakitan. Kening dan hidungnya lecet berdarah
disungkur tanah!
Dibandingkan
dengan kawannya yakni Kuto Simpel si janggut kambing, Reso Bondo masih mending.
Kalau dia cuma lecet kening dan hidung maka Kuto Simpul terdengar menjerit
ketika tulang kering kaki kanannya remuk dihantam tendangan Wiro. Tubuhnya
terjengkang dan dia tak kuasa berdiri lagi.
"Keparat!"
maki Reso Bondo seraya berdiri terhuyung-huyung. Dia berpaling pada Kumbang
Plered dan berteriak: "Kumbang! Perintahkan orang-orangmu di dalam rumah
membunuh perempuan dan anak-anak itu!"
"Jangan!"
terdengar jeritan Memed Gendut. "Jangan ganggu anak istriku!"
Reso
Bondo melompat dan menjambak rambut pedagang kuda itu. Dia memandang ke jurusan
Wiro dan berteriak: "Kau dengar ratap orang ini? Jika kau tidak mau
menyerah perempuan dan anak-anak di dalam rumah akan kusuruh bunuh!"
"Sialan!
Bangsat ini benar-benar nekad!" maki Wiro dalam hati. "Kalau kau
berani melukai perempuan dan anak-anaknya itu aku bersumpah untuk membunuhmu
lebih dulu!" gertak Wiro.
"Bagusi
Akan kita lihat! Siapa yang bakal mampus duluan!" ujar Reso Bondo
mendengus. "Seret perampuan dan dua anak itu keluar rumah!"
Kumbang
Plered melangkah terpincang-pincang. Walaupun dia berjalan dalam keadaan satu
kaki cidera dan dengan bantuan tongkat kayu, tapi gerakannya masih cukup cepat.
Dia masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian muncul lagi diikuti dua orang anak
buahnya. Yang paling depan menyeret seorang perempuan yang tengah hamil besar.
Di sebelah belakang menyusul lelaki kedua sambil mencekal leher pakaian dua
orang anak lelaki kecil berusia dua dan tiga tahun. Kedua anak ini menangis
menjerit-jerit Kumbang Plered cabut golok besarnya dan letakkan ujung senjata
itu di atas perut istri pedagang kuda sementara Reso Bondo angkat kedua
tangannya ke atas, siap mengemplang kepala dua orang anak Memed
lenduti"Baiklah! Aku menyerah!" kata Wiro sementara Memed Gendut
meratap menyembah-nyembah di hadapan Reso Bondo agar kedua anak dan istrinya
jangan dilukaj, apalagi sampai dibunuh. "Kalian mau tangkap aku
silahkant" ujar Wiro.
Kuto
Simpul yang masih terkapar di tanah segera berteriak pada anak-anak buah
Kumbang Plered.
"Lekas
kalian tangkap dan ikat pemuda gondrong itu!"
Tiga
orang anak buah Kumbang Plered cepat maju mendekati Wiro. Salah seorang di
antaranya membawa segulung tali. Wiro ulurkan tangan. Lelaki yang membawa tali
segera bertindak untuk mengikat. Dua kawannya mencekal leher dan pinggang Wiro.
"Bagus
… bagus! Ini yang aku mau!" kata Wiro dalam hati. Begitu tiga orang itu
benar-benar sudah sangat dekat dengan dia, tangannya yang diulurkan dan baru
saja dilingkari tali, meluncur ke depan dan ke samping, merampas golok yang
tersisip di pinggang dua dari tiga anak buah Kumbang Plered. Gerakan pemuda ini
demikian cepatnya. Tiga anak buah rampok dan pemeras itu menjerit keras ketika
dua batang golok di tengah kiri kanan Wiro berkelebat.
Orang
yang hendak mengikatkan tali terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi
dadanya yang berlumuran darah disambar golok. Kawannya di sebelah kiri jatuh
tersungkur sambil meraung dan pegangi lengan kirinya yang putus.
Sementara
lelaki ke tiga menjerit keras sambil pegangi mukanya yang robek mulai dari dagu
sampai pipi kanan.
Selagi
Kuto Simpul, Reso Bondo dan Kumbang Plered serta yang lain-lainnya terkesiap
kaget melihat apa yang terjadi, dua golok di tangan Wiro telah melesat di
udara. ‘Satu menancap di pertengahan dada Reso Bondo. Lelaki bermata jereng ini
keluarkan jerit keras, tubuhnya sesaat terhuyung lalu tersungkur jatuh
menelungkup, membuat golok yang menancap di dadanya menembus lebih dalam hingga
tersembul di punggungnya. Nyawanya tak tertolong lagi.
Kumbang
Plered yang menyaksikan kematian Reso Bondo dengan mata melotot sama sekali
tidak menyadari kalau golok kedua yang dilemparkan Wiro menderu ke arahnya. Dia
baru tersentak kaget sewaktu senjata itu menderu dan menancap di lambungnya.
Tongkat kayu lepas dari tangannya. Kepala rampok dan pemeras ini menjerit dua
kali lalu roboh. Sesaat tubuhnya tampak berkelojotan setelah itu tak bergerak
lagi.
Dua orang
anak buah Kumbang Plered yang tadi menyeret dan mencekal anak istri Memed
Gendut putus nyali. Serta merta mereka lepaskan perempuan dan dua anaknya itu
lalu ambil langkah seribu. Beberapa orang kawan-kawannya yang juga ikut leleh
keberanian mereka segara menghambur melarikan diri.
Memed
Gendut segera merangkul istri dan kedua anaknya.
Wiro
melangkah mendekati mayat Kumbang Plered. Dari balik pakaian orang ini dia
keluarkan kantong berisi uang miliknya yang dirampas dan melemparkan benda itu
ke dekat Memed Gendut. Lalu Wiro melangkah menghampiri Kuto Simpul yang saat
itu merangkang di tanah tengah berusaha melarikan diri dalam keadaan kaki
patah.
"Janggut
kambing! Kau mau lari ke mana!" Wiro membentak dan lelaki berpakaiarr
merah ini rasakan telapak kaki si pemuda menempel di keningnya.
Tubuhnya
menggigil saking ketakutan.
"Ampuni
selembar jiwaku!" pintanya meratap.
Wiro menyeringai.
"Lekas kau terangkan mengapa kau bersama konco koncomu yang sudah mampus
itu ingin menangkap aku. Tadi kalian menyebut-nyebut nama Adipati Lumajang. Ada
sangkut paut apa kalian dengan Kebo Penggiring?!"
"Aku
…. kami " Kuto Simpul tampak seperti hendak berkelit.
Wiro inja
kakinya yang patah hingga lelaki berjanggut kambing ini melolong setinggi
langit.
"Rupanya
satu kaki belum cukupi Apa ingin kupatahkan lagi kakimu satu lagi….?!"
sentak Wiro.
"Jangan
… Ampun! Aku akan bicara…"
"Bagus!
Apa yang kau ketahui. Awas kalian berani dusta!"
"Tiga
hari lalu seorang utusan Kebo Penggiring datang menemui Kumbang Plered.
Keduanya kemudian menemui kami, maksudku aku dan Reso Bondo.
Utusan
itu memberi sejumlah uang dan perhiasan dengan perintah agar kami menangkapmu
hidup atau mati…."
Wiro
usap-usap dagunya lalu garuk-garuk rambutnya yang gondrong basah.
"Kenapa
Adipati Lumajang menginginkan diriku?" tanya Wiro.
"Demi
Tuhan! Kalau itu kau tanyakan akupun tidak tahu!" jawab Reso Bondo lalu
mengerang lagi kesakitan.
"Baik
kalau begitu. Sekarang mana uang dan perhiasan yang kau terima dari utusan
Adipati Lumajang itu…?"
"Aku
tidak membawanya…"
Wiro
menyeringai. "Jangan berani berdusta. Beriken uang dan perhiasan itu
padaku! Atau kupatahkan kakimu satu lagi!"
"Ampun!
Jangan Ini ambillah!" Dari dalam saku baju merahnya Kuto Simpul keluarkan
sehelai selampai putih yang dipakai membungkus uang dari perhiasan. Benda itu
diserahkannya pada si pemuda.
Wiro
menimang-nimangnya sesaat lalu berkata: "Kau boleh p«rgi janggut kambing.
Tapi ingat! Jika kau berani mengganggu pedagang kuda itu dan keluarganya,
dadamu akan kutembus dengan golok seperti yang terjadi dengan kawanmu! Kau
dengar janggut kambing?’"
"Aku
… aku dengar …" jawab Kuto Simpul. Lalu dengan susah payah dia merangkang,
mencoba tegak tertatih-tatih, melangkah terpincang-pincang meninggalkan tempat
itu.
‘Anak
muda! Tidak kusangka, kau bukan pemuda biasa rupanya. Aku dan istriku serta
anak-anak mengucapkan tarima kasih "
"Huss!"
Lskas berdiri!" sentak Wiro ketika diliatnya Memed Gendut membawa anak
istrinya dan berlutut di hadapannya. "Aku bukan dewa atau Tuhan yang
pantas kau sembah-sembah Dengar, aku akan pergi sekarang. Aku butuh kudamu.
Pilihkan aku baik-baik . . ."
“Kau
boleh ambil semua kuda kuda itu!" kata Memed Gendut seraya berdiri.
Wiro
tersenyum dan gelengkan kepala. Seperti katamu tadi aku hanya perlu dua ekor
kuda …"
Memed
Gendut segera memilih dua akor kuda yang besar dan tegap sementara istrinya
disuruh mengambil kantong kulit berisi air. Dua ekor kuda dan kantong air itu
kemudian diserahkan pada Wiro.
Sesaat
setelah naik ke atas kuda Wiro memandang pada pedagang kuda itu lalu berkata:
"Sebaiknya kau menukar namamu. Nama Memed Gendut tidak cocok dengan
keadaan dirimu. Dan mungkin nama itu yang selalu membawa sial bagimu …"
"Lalu
apa nama yang pantas bagiku?" tanya si pedagang kuda.
"Memed
Kerempeng!" jawab Wiro. Ditepuknya pinggul kuda yang ditungganginya.
Binatang ini menghambur ke depan. Kuda yang terikat di sebelah belakang lari
mengikut.
Memed Gendut
dan anak isttinya tegak memperhatikan kepergian pemuda itu yang akhirnya lenyap
di kegelapan malam,"Dia mungkin betul Mulai saat ini kuganti namaku jadi
Memed Kerempeng!”,
kata si
pedagang kuda pula.
"Benar
pak membenarkan istrinya. "Nama itu kurasa lebih cocok untukmu. .. Bukan
saja untuk membuang sial, tapi sekaligus guna mengingatkan kita pada budi besar
pemuda itu … ."
*****************
3
TERIKNYA
sinar matahari laksana membakar pedataran pasir yang seperti tak berujung itu.
Kuda yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat berlari sekencang
yang dikehendaki. Bukan saja panasnya udara membuat binatang itu menjadi lebih
cepat letih, tetapi lapisan pasir seolah-olah mencengkeram kaki-kaki binatang
itu. Keringat dan ludah membuih di sudut mulutnya. Di sebelah belakang kuda
cadangan berlari mengikuti kuda induk dalam keadaan hampir tak berbeda.
Wiro
mengambil kantong kulit yang berisi air dan tinggal setengahnya.
Meskipun
rasa haus membakar dada dan tenggorokannya tapi pemuda ini tak mau meneguk air
itu banyak-banyak. Sulit baginya untuk menduga sampai barapa lama dia akan
mengarungi pedataran pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu. Kalau persediaan
air habis sedang tujuan masih jauh, bisa-bisa dia mati kehausan di perjalanan.
Wiro menyeka mulutnya dengan belakang telapak tangan. Tangan yang masi basah
iyu diusapkannya ke mulut kuda Sejauh mata memantang hanya pedataran pasir yang
terlihat. Murid Sinto Gendeng ini mengarahkan kudanya lurus-lurus ke tenggara.
Kulitnya terasa perih oleh sengatan matahari. Sekujur tubuhnya basah oleh
keringat.Kalau saja bukan untuk memenuhi pemintaan tolong seorang sahabatnya,
tidak nanti dia mau mengadakan perjalanan yang menyengsarakan itu. Selain itu
Wiro juga sadar, keselamatan dan kehormatan diri seorang gadis jerita harus dibelanya.
Terbayang
kembali pertemuannya dengan orang tua itu sekitar dua minggu lalu di bukit
Tumbalsari.
Hari itu
Wiro melintasi bukit tersebut dan seperti kebiasaannya sambil bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu. Mendadak terdengar suara membentak Demikian
kerasnya hingga bukit itu membahana di liang telinga si pemuda berdenyut.
"Keparat
setan alas! Siapa yang bersiul-siul membuat berisik belantara mengganggu
ketentraman orang!"
Wiro
terkesiap kaget, hentikan langkah dan memandang ke atas pohon besar sebelah
kanan dari arah mana tadi datangnya suara bentakan itu. Namun tak seorang pun
tampak di atas sana. Wiro tegak berdiam diri sesaat. Kemudian kembali dia
mengukirkan siulan. Pendek saja tapi keras karena disertai pengerahan tenaga
dalam. Suara siulan itu bergema beberapa lamanya di atas bukit namun sirna
tertindih oleh bentakan: "Edan! Sombong amat tidak perdulikan peringatan
orang! Anak muda tak tahu diri kau mengandalkan apa?!"
Wiro jadi
jengkel dan balas membentak.
"Bukit
dan rimba oeiantara ini bukan milikmu. Disini diam berbagai binatang, mendekam
segala setan gentayangan. Mengapa kau mengambil sikap sebagai pemilik tunggal?
Jika tak ingin terganggu mengapa berada di sini? Bicara besar tapi tak berani
unjukkan tampak!"
Terdengar
suara gelak mengekeh yang membuat liang telinga murid Sinto Gendeng
terngiang-ngiang; Suara tawa itu demikian dekatnya dan keras, namun tetap saja
Wiro tak dapat mengetahui di mana manusia yang tertawa itu berada!
"Jika
kau mau melihat tampangku, mari naik ke atas sini!"
Wiro
mendongak ke atas. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendesir halus.
Wiro
cepat mengambil sikap waspada karena menyangka ada senjata rahasia yang
menyerangnya. Tapi tak kelihatan apa-apa. Tahu-tahu sebentuk benang putih yang
sangat halus, berkilau kilau oleh sentuhan sinar matahari yang menembus di
sela-sela daun pepohonan, meluncur cepat ke arahnya. Sebelum dia bisa berbuat
apa-apa benang putih itu telah menjirat lehernya. Tidak terlalu kencang namun
cukup membuat nafasnya menyengal.
"Setan
alas!" maki Wiro Sableng. Secepat kilat dia pergunakan tangan kanannya
menjepit benang itu. Tapi astaga! ternyata dia tidak mampu memutus benang yang
begitu alot itu. Wiro coba mengingat-ingat pada masa beberapa tahun yang silam.
Dia seperti pernah melihat benang halus itu sebelumnya.
Waktu itu
si pemilik benang melibat pinggangnya. Namun dengan mudah diputusnya. Apa
mungkin benang dan pemiliknya saat ini bukan orang yang dulu?
Selagi
pemuda itu berpikir-pikir tiba-tiba dia merasakan satu sentakan keras.
Lehernya
yang tergulung benang halus tertarik kuat dan tubuhnya terangkat laksana
terbang ke atas sebatang pohon tinggi yang berada dua tombak di hadapannya.
Wiro merasakan batang lehernya seperti digorok oleh benang halus itu. Secepat
kilat dia gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sesaat kemudian berkiblatlah
sinar putih menyilaukan disertai suara menderu seperti suara ribuan tawon
mendengung.
Crass!
Benang
halus putih yang menjirat lehernya putus. Terlepas dari ikatan benang aneh itu
sebenarnya Wiro kini bisa jatuhkan diri kembali ke tanah. Tapi sebaliknya
pemuda ini malah terus melesatkan diri ke atas pohon, jungkir balik dua kali
berturut-turut, dalam kejap dia sudah menyelinap dan tegak di salah satu cabang
pohon. Hal ini dilakukannya karena dia sudah merasa yakin, orang orang yang
tadi menjiratnya sembunyi di pohon itu, di balik kerapatan daundaun.
"Ha
… ha .. .ha! Rupanya si nenek peot Sinto Gendeng itu benar-benar telah
mewariskan Kapak Maut Naga Geni 212 pada muridnya!"
Kata-kata
yang disertai tawa itu membuat Wiro Sableng terkesiap kaget.
Ternyata
orang mengenali kapak yang masih tergenggam di tangan kanannya.
Lebih
dari itu malah juga mengetahui siapa gurunya! Tanpa pikir panjang Wiro babatkan
senjata mustika itu ke depan.
Kraak …
kraak!
Byuuuur !
Dua
cabang besar terbabat putus. Ranting-ranting pohon berikut daundaunnya remuk
den berguguran ke bawah. Setengah dahan pohon itu kini tampak gundul! Dan di
salah satu cabang kecil kini tampak duduk seorang kakek berjanggut putih,
berpakaian selempang kain putih, tertawa mengekeh, memandang pada Wiro sambil
kedip-kedipkan mata kirinya.
Pendekar
21? Wiro Sableng cepat putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam. Yang
hendak diserang tetap duduk tenang-tenang. Mendadak Wiro tahan gerakannya.
"Aih!
Benar si tua bangka dulu itu!" seru Wiro dalam hati. Perlahan-lahan dia
turunkan tangan kanannya lalu simpan senjatanya di balik pinggang.
"Dewa
Tuak!" seru Wiro kemudian Orang tua itu kembali tertawa panjang.
Janggutnya yang putih berkibarkibar di tiup angin. Sambil mengelus janggutnya
dia berkata: "Enam tahun aku mematangkan benang suteraku. Ternyata tak
mampu menahan tebasan kapakmu! Percuma saja menghabiskan waktu. Tapi aku senang
kau masih mengenali tua renta ini. Apa kabarmu anak muda….?" Orang tua itu
yang berjuluk Dewa Tuak — merupakan tokoh silat terkemuka di delapan penjuru
angin. Usianya jauh lebih tua dari Eyang Sinto Gendang, Di pangkuannya ada
sebuah tabung bambu besar. Sebuah tabung yang sama tergantung di belakang
punggungnya. Si orang tua angkat bumbung bambu yang dipangkuannya, mendekatkan
ujungnya ke mulut. Lalu: gluk. .gluk … gluk .. . Dia meneguk tuak harum yang
ada dalam bumbung bambu itu sampai berlelahan ke pipi dan dagunya.
"Aku
baik-baik saja Dewa Tuak. Bagaimana dengan dirimu bertanya Wiro.
Dewa Tuak
turunkan bumbung bambunya. Sambil geleng-geleng kepala dan unjukkan wajah sedih
orang tua ini berkata: "Aku sedang sial! Seseorang telah mengkhianati
diriku. Eh, kau masih ingat pada murid perempuanku bernama Anggini? Yang tempo
hari ingin ku jodohkan padamu. Tapi kau terlalu sombong dan menampiknya…"
"Maafkan
aku Dewa Tuak. Aku sama sekali tidak sombong. Hanya saja untuk urusan jodoh
saat itu aku belum bisa memikirkan . .."
"Lalu
sekarang apakah kau sudah memikirkan?" tanya Dewa Tuak.
"Masih
belum " sahut Wiro,
"Tapi
kau tidak melupakan muridku itu, bukan?
"Tentu
saja tidak …"
"Bagus!
Hanya saja dia ditimpa malapetaka saat ini. Dan itulah sebabnya aku sengaja
mencegatmu disini “
"Apa
yang telah terjadi dan mengapa kau mencegatku di sini, orang tua?"
bertanya
Wiro Sableng. Dia kini duduk di atas cabang di bawah cabang kecil yang diduduki
Dewa Tuak.
"Beberapa
tahun sebelum aku mengambil Anggini jadi murid, aku pernah mempunyai seorang
murid lain. Seorang pemuda bernama Penging. Ternyata kemudian kuketahui bahwa
pemuda itu bukan seorang manusia baik. Hatinya sangat culas. Selain itu dia
banyak berhubungan dan bergaul dengan orangorang jahat. Setelah kuberi nasihat
beberapa kali dia selalu mengabaikan, akhirnya aku mengambil keputusan, tidak
lagi menganggap nya sebagai murid.
Dia
kusuruh meninggalkan pertapaan dan kembali ke kampungnya. Kuketahui kemudian
Penging tidak kembali ke kampung, tapi bertualang bersama manusia-manusia
jahat. Membuat keonaran di mana-mana, membunuh dan merampok. Aku menyesal telah
mengambilnya jadi murid, apalagi mengingat hampir seluruh ilmu silatku sudah
kuturunkan padanya.
Tiga
bulan lalu tiba-tiba dia muncul di pertapaanku, berlutut dan menangis.
padaku
diakuinya semua kesesatan, kejahatan dan segala dosa perbuatannya.
Dia
mengatakan telah insaf dan tobat. Ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin
mengabdikan diri lagi menjadi muridku, bahkan katanya ingin jadi pertapa…"
"Lalu,
apa kau menerima permintaannya itu. Dewa Tuak?" tanya Wiro.
Si kakek
menggeleng. "Sekali aku tidak percaya pada seseorang, apapun janjinya tak
akan lagi mau kudengar. Dia kusuruh pergi. Saat itu hari sudah malam. Karena
kasihan aku hanya memperbolehkannya menginap dan besok pagi-pagi harus sudah
meninggalkan pertapaan. Pagi hari ketika aku bangun Penging telah lenyap.
Bersama lenyapnya orang itu, lenyap pula sebuah buku milikku yang sangat
berharga. Jelas manusia keparat itu telah mencurinya.
Rupanya
itulah sebenarnya kedok kedatangannya"Kalau aku boleh bertanya, buku
apakah yang dicuri bekas muridmu itu?"
"Sebuah
buku tipis terdiri dari tiga halaman. Buku ini berusia lebih dari seratus
tahun. Lebih tua dari umurku dan merupakan warisan guruku.
Halaman
pertama berisi pelajaran ilmu silat kuna yang merupakan inti sari dari ilmu
silat yang kumiliki dan yang kuajarkan pada murid-muridku. Siapa yang menguasai
ilmu itu dia akan menjadi seorang luar biasa. Jika digunakan untuk kesesatan,
sulit menumpasnya.
Halaman
kedua berisi dasar-dasar penghimpunan dan pengerahan tenaga dalam. Ini juga
merupakan ilmu yang berbahaya jika dipakai untuk kejahatan.
Lalu
halaman terakhir berisi sejumlah ilmu pengobatan ampuh berdasarkan penusukan
urat-urat syaraf dan darah. Sebenarnya buku itu akan kuwariskan pada muridku
Anggini. Tapi kini segala sesuatunya sudah kapiran. Bangsat itu keburu
mencurinya!"
"Muridmu
yang bernama Anggini itu sendiri sekarang berada di mana….?" tanya Wiro.
"Itulah
yang menjadi pikiranku pula," sahut Dewa Tuak seraya usap-usap janggut
putihnya. "Tiga hari setelah Penging mencuri kitab itu, Anggini muncul.
Langsung
saja padanya kuberikan tugas untuk mengejar Penging.
Dibandingkan
dengan lelaki itu tingkat kepandaian Anggini memang lebih tinggi.
Namun
yang membuatku kawatir ialah sampai sebegitu jauh tak ada kabar dari Anggini.
Malah kemudian dari seorang sahabat kuketahui bahwa sebenarnya Penging telah
menjadi orang besar sejak dua tahun lalu. Entah bagaimana
ceritanya
dia kini menjadi Adipati Lumajang dan namanya diganti menjadi Kebo Penggiring.
Dalam pengejarannya Anggini sampai ke Lumajang. Namun di sana dia justru kena
ditangkap oleh orang-orang Kebo Penggiring. Kabarnya jika dalam batas waktu
yang ditentukan gadis itu tidak mau menuruti kehendak Kebo Penggiring untuk
mengawininya, Anggini akan dirusak kehormatannya lalu digantung dengan tuduhan
hendak memberontak pada Kerajaan …."
"Gila
betul!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Lebih
dari gila!" menukas Dewa Tuak.
"Sudah
begitu kejadiannya mengapa kau tidak langsung turun tangan?" bertanya
Wiro.
"Itulah
memang tadinya yang aku rencanakan. Namun, ada beberapa pertimbangan. Di usia
yang sudah dekat liang kubur ini, aku tak ingin lagi mencari keributan: Aku
ingin hidup tenteram tanpa melakukan kekerasan apalagi sampai mengalirkan
darah. Semua itu akan menjadi sebab musabab dendam kesumat. Kudengar Kebo
Penggiring dekat dengan Keraton. Berarti aku akan berhadapan dengan tokoh-tokoh
tertentu yang sebenarnya kuketahui adalah sahabatku …"
"Kalau
begitu kau minta saja pertolongan mereka."
"Tidak
semudah itu. Manusia-manusia yang hidup di kota besar mengukur sesuatu tindakan
dengan nilai untung rugi. Tak perduli apakah yang minta bantuan seorang sahabat
atau bukan. Urusan macam begini belum apa-apa akan membuatku jengkel dan marah.
Mauku semua manusia macam begitu layak dipercepat menghadap malaikat maut. Tapi
ini berarti akan muncul musibah besar "
"Lalu
apa rencanamu Dewa Tuak?"
"Aku
mendapat petunjuk dari seorang tua yang biasa dikenal dengan panggilan Si
Segala Tahu. Kau kenal padanya….?"
"Kenal
sekali!" jawab Wiro. "Aku beberapa kali mendapat petunjuknya."
"Nah,
dialah yang memberi tahu kalau saat ini kau berada di daerah ini. Dia pula yang
menasihatiku agar aku menerimamu, menuturkan apa kesulitanku lalu meminta agar
kau menolongku"Ah ….!" Wiro garuk-garuk kepala.
Dewa Tuak
menatap paras pemuda itu sesaat lalu berkata; "Jika kau tak mau
memandangku dan keberatan menolongku, kau harus sudi memandang Si Segala Tahu.
Wiro
terdiam.
"Aku
menunggu jawabmu, anak muda."
"Apa
yang harus kulakukan?" tanya Wiro akhirnya.
"Pergi
ke Lumajang. Selamatkan Anggini. Dapatkan kitab yang dicuri. Hanya itu "
"Hanya
itu " mengulang Wiro dalam hati. Tetapi dia yakin bahwa persoalan yang
bakal dihadapinya bukan hanya itu. Bukankah Dewa Tuak tadi telah menerangkan
bahwa sebagai Adipati, Kebo Penggiring memiliki kawan-kawan yang dekat dengan
Keraton, yang berarti adalah orang-orang berkepandaian tinggi dan sekaligus
memiliki kekuasaan?!
"Aku
tahu kau mampu melakukannya Wiro. Jika aku tahu kau tak mampu, aku tak akan
meminta bantuanmu . . . Dan kalau kau memang ingin menolong, makin cepat kau
berangkat ke Lumajang, makin baik . . . ."
"Kalau
seorang tua dan sahabat sepertimu berkata begitu, apa lagi yang harus kulakukan
selain membantu "
"Terima
kasih anak muda …" kata Dewa Tuak dan kali ini-sambil tersenyum.
"Ini
kau ambillah bumbung yang satu ini!" Kakek itu lalu mengambil bumbung tuak
yang tergantung di punggungnya lalu melemparkan benda itu kepada Wiro.
"Terima
kasih, aku tak ingin jadi mabuk!" kata Wiro. Namun tabung bambu berisi
tuak itu sudah melayang ke arahnya. Ketika dia terpaksa menangkapnya, memandang
ke atas Dewa Tuak sudah tak ada lagi di atas cabang pohon.
Pendekar
212 kembali garuk-garuk kepala. Akhirnya didekatkannya juga ujung bambu ke
bibirnya lalu meneguk tuak kayangan yang rasanya memang manis sedap
menghangatkan.
*******************
Wiro
meneguk lagi air dalam kantong kulit yang dibawanya. Memandang ke depan dia
masih belum melihat apa-apa. Seolah-olah pedataran pasir di tenggara Pegunungan
Tengger itu tidak berujung.
"Perjalanan
gila!" maki murid Sinto Gendeng dalam hati. "Kalau tidak memandang
kakek tua peminum tuak itu, dan jika tidak menimbang keselamatan muridnya tak
bakal aku melakukan ini!" Wiro meneguk sekali lagi air dalam kantong.
Ketika untuk ke sekian kalinya dia memandang ke depan, samar-samar di kejauhan
dilihatnya sebuah titik kecil, seperti terletak tepat di atas katulistiwa.
Semakin dekat dia ke arah titik itu, semakin besar tampaknya dan dalam jarak
kurang dari lima puluh tombak Wiro mengetahui benda yang tadi terlihat berupa
titik ternyata adalah sesosok tubuh manusia yang menggeletak menelantang di
atas pasir.
Orang ini
masih muda, berpakaian dan berikat kepala putih-putih. Tubuhnya tinggi dan
kekar. Namun saat itu tubuh yang kekar itu tampak tak berdaya.
Kedua
matanya terpicing. Wajah dan tubuhnya hampir berselimut pasir sedang bibirnya
kelihatan kering.
"Ini
bukan setan pedataran pasir!" kata Wiro membatin. "Tapi mengapa
manusia ini berada di sini seperti ini? Masih hidup atau sudah mati?" Wiro
turun dari kudanya. Dia memegang lengan pemuda yang terbujur di pasir itu.
Terasa
panas. Juga terasa denyutan nadi, tanda masih hidup. "Sobat tak dikenal,
bangunlah! Apa kau mau berkubur di tempat ini?!" Wiro menegur dengan suara
keras. Tubuh di atas pasir tidak bergerak,Wiro ambil kantong airnya lalu
sedikit demi sedikit tuangkan air ke atas bibir yang kering. Sesaat kemudian
bibir itu tampak bergerak. Wiro tuangkan lebih banyak air. Dengan tangan
kirinya dia menyeka pasir yang menutupi wajah si pemuda. Ternyata pemuda itu
berwajah tampan. Sesaat kemudian mata yang terpejam membuka perlahan-lahan.
"Apakah
kau malaikat maut yang datang menjemputku ….?" Keluar suara parau dan
sangat perlahan dari mulut pemuda itu.
Kalau di
tempat lain Wiro mungkin akan tertawa bergelak mendengar katakata itu. Dia
tuangkan lebih banyak air lalu mendudukkan si pemuda di tanah dan menahan
punggungnya dengan lutut agar tidak rebah.
"Aku
bukan malaikat maut. Justeru aku ingin bertanya mengapa kau enakenakan tidur di
gurun pasir ini….!"
Mata si pemuda
membuka lebar. Mulutnya menyeringai. "Sialan!" ujarnya.
"Siapa
yang enak-enakan tidur. Terlambat kau muncul di sini aku sudah jadi mayat
kering "
"Aku
membawa kuda cadangan. Apakah kau bisa berdiri lalu ku bantu naik ke punggung
binatang itu …."
"Aku
harus melakukan apa yang kau katakan. Tapi beri lagi aku minum … ."
Setelah
minum, dengan ditolong oleh Wiro pemuda itu berdiri. Sesaat pemandangannya
berkunang-kunang, tubuhnya seperti hendak terbanting. Wiro cepat memegang
bahunya.
"Manusia-manusia
keparat. . .!"
"Eh,
siapa yang kau maki sobat?" tanya Wiro.
"Orang-orang
itu. Mereka membokongku. Merampas dua senjata mustika milikku. Melarikan dan
meninggalkan aku di pedataran pasir ini !
"Siapa
mereka .. ;?"
"Aku
tidak kenal. Mungkin bangsa perampok. Mereka memiliki kepandaian yang tinggi.
Sobat, kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Kau hendak menuju ke manakah
…?"
"Lumajang,"
sahut Wiro.
"Kalau
begitu kita pergi sama-sama. Manusia-manusia keparat itu pasti juga menuju ke
sana."
"Namaku
Wiro Sableng. Kau siapa?" tanya Pendekar 212.
"Namamu
aneh. Apakah kau benar-benar sableng hingga orang tuamu memberikan nama begitu
…?
”Namaku
Mahesa Kelud."
Wiro
tersenyum. "Senjata apa yang mereka rampas darimu?" tanyanya
kemudian.
"Sebilah
Pedang Sakti dan sebilah Keris Ular Emas ”
"Hemmrn..
Nasibmu memang malang. Mudah- mudahan saja kau menemukan para pencuri itu
…"
"Bukan
hanya menemukannya. Tapi juga membunuh mereka semua!" jawab Mahesa Kelud
dengan tangan terkepal, lalu naik ke atas kuda cadangan yang dibawa Wiro.
(Siapa adanya Mahesa Kelud dapat pembaca ikuti dalam serial Mahesa Kelud Pedang
Sakti Keris Ular Emas)
*****************
4
KEDAI Itu
berbentuk pendopo terbuka dan cukup besar. Karena merupakan satu-satunya rumah
makan di daerah tenggara maka sepanjang siang tampak selalu ramai. Apalagi
terletak di Gucialit, sebuah kota kecil pusat persimpangan beberapa jalan di
selatan Tengger.
Matahari
pagi baru saja naik ketika kedua orang muda itu sampai di kedai dan langsung
masuk. Tubuh serta-pakaian mereka yang kotor penuh debu membuat pemilik kedai
segera menyongsong, bukan untuk melayani tapi untuk ajukan pertanyaan.
"Dua
pemuda asing, apakah kalian punya uang untuk makan dan minum di kedaiku ini. .
. .’"
Wiro
terkesiap tapi juga mendongkol marah. Dia memang sama sekali tidak punya uang
lagi karna sudah diberikan pada Memed Gendut untuk pembeli kuda. Sebaliknya
Mahesa Kelud yang setengah mati keletihan dan kelaparan belalakkan mata dan
membentak:
"Jangankan
makanan atau minuman, kepalamu akan kubeli! Jangan banyak tanyai Hidangkan
makanan dan teh hangat!"
"Uangmu
dulu, orang muda!" kata pemilik kedai sambil ulurkan tangan.
Wiro tak
dapat menahan kesalnya. Dia berbisik pada Mahesa Kelud; "Kau punya uang .
. . Lekas berikan padaku Mahesa Kelud yang hendak menampar pemilik kedai itu
batalkan niatnya.
Dengan
rasa tidak mengerti dia berikan dua keping uang pada Wiro. Begitu menerima uang
itu Wiro secepat kilat sumpalkan ke dalam mulut pemilik kedai.
"Ini
uangnya. Kau makanlah!"
Tercekik
dan megap-megap pemilik kedai itu masuk ke dalam sementara Wiro dan Mahesa
Kelud duduk di bangku panjang. Seorang pelayan datang membawa makanan dengan
sikap ketakutan. Dua pemuda ini segera menyantap dengan cepat. Selagi
menggerogot sepotong ikan goreng, Mahesa Kelud layangkan pandangannya
berkeliling. Tiba-tiba saja pemuda ini bantingkan ikan goreng itu ke meja.
"Sobat,
ada apa? Kau ketulangan . . . Ikannya tidak enak?" tanya Wiro.
Mahesa
menggoyangkan kepalanya ke arah sudut kedai di mana tampak duduk tiga orang
lelaki berpakaian bagus yang baru saja selesai makan dan kini tengah
menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Di bagian lain masih terdapat
kira-kira setengah lusin tamu. Tiga orang tamu berpakaian bagus itu duduk
membelakang dan agak jauh hingga tidak melihat kedatangan Mahesa dan Wiro, juga
tidak mengetahui pertengkaran dengan pemilik kedai tadi"Siapa mereka . .
.?" tanya Wiro.
"Tiga
dari lima bangsat perampok yang menghadangku di pedataran pasir …"
jawab
Manesa Kelud seraya berdiri.
"Cara
mereka berpakaian seperti hartawan, bukan seperti rampok …."
"Hartawan
atau rampok yang pasti mereka akan rasakan tanganku saat ini juga!"
Habis
berkata begitu Mahesa Kelud ambil sebuah kursi di samping kanannya.
Kursi ini
kemudian dilemparkannya ke arah tiga orang yang duduk membelakang.
Kursi
masih melayang setengah jalan tapi tiga orang berpakaian bagus yang duduk
membelakang serentak sudah mencelat dari tempat masing-masing, pertanda bahwa
mereka memiliki naluri kewaspadaan yang tinggi. Kursi yang dilemparkan
menghantam tiang kedai dan hancur berantakan. Tiga orang itu cepat membalik.
Jelas rasa terkejut membayang di wajah mereka ketika melihat Mahesa Kelud
melangkah mendekati. Terkejut karena menyangka pemuda itu pasti sudah menemui
kematian di panggang sinar matahari di pedataran pasir.
Para
pengunjung kedai yang lain saat itu telah berdiri dan menyingkir menjauh,
menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sementara Wiro Sableng setelah
memperhatikan sesaat, seperti tak acuh apa yang terjadi melanjutkan makannya
dengan lahap.
Lelaki
berpakaian bagus di sebelah tengah usap usap dagunya. Dia melirik pada kedua
temannya lalu kembali memandang ke arah Mahesa yang kini tegak empat langkah di
hadapannya dan kawan-kawan.
Mahesa
menuding tepat-tepat ke arah ketiga orang itu dengan telunjuk kiri.
"Sebelum
pembebasan kulakukan lekas kalian kembalikan pedang serta keris milikku yang
kalian rampas. Juga kuda putihku!. Tiga orang di hadapan Mahesa sama-sama
menyeringai.
"Pemuda
kesasar, pagi-pagi begini kau sudah bicara ngacok tak karuan.
Kenal pun
tidak. Tampang burukmu baru kami lihat saat ini. Dan kau bicara tentang segala
macam pedang serta keris! Gila!” Yang bicara adalah lelaki di sebelah tengah.
"Hemm
. .. Kau dan teman-teman pandai bersandiwara! Bagus! Teruskansandiwara kalian
sampai keliang kubur!"
Mahesa
berkelebat ke depan. Tangan dan kakinya menebar serangan. Pemuda ini memiliki
kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang bukan sembarangan: Gurunya Embah
Jagatnata alias Simo Gembong pernah menggegerkan dunia persilatan di tanah
Jawa.
Di
samping, itu dia mendapat tambahan kepandaian dari seorang tokoh yang dikenal
dengan nama Karang Sewu. Ditambah pula ilmu silat langka yang didapatnya dari
seorang tokoh luar biasa bernama Suara Tanpa Rupa. Tidak mengherankan kalau
serangan yang dilancarkan Mahesa mendatangkan suara angin deras.
Tiga
lawan yang mendapat serangan berpencar. Gerakan mereka bukan saja cepat sekali
tetapi juga enteng. Ternyata tiga manusia inipun memiliki kepandaian tak
rendah. Kalau tidak tak mungkin mereka dan dua kawan lainnya sanggup membokong
Mahesa di pedataran pasir. Ketiga orang ini sebenarnya bukanlah bangsa
perampok. Mereka merupakan tokoh-tokoh silat dari Kotaraja yang sengaja
melakukan perjalanan atas permintaan seseorang di Lumajang.
Melihat
serangan pertamanya menemui kegagalan, Mahesa Kelud kertakkan rahangnya. Sambil
menendang meja makan dia balikkan tubuh dan kini berkelebat menghantam ke arah
lawan di ujung kiri.
Sambil
mengunyah nasi dalam mulutnya Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala melihat
perkelahian itu. Diam-diam dia kagum melihat gerakan menyerang Mahesa tadi.
Namun tiga lawannya ternyata memiliki kepandaian tidak rendah, membuat
bisa-bisa pemuda itu menemukan nasib jelek.
Mahesa
menghantam dengan jotosan mengandung aji "Karang Sewu" atau pukulan
batu karang yang sanggup menghancurkan benda keras bagaimanapun. Lawan yang
diserang tampaknya sudah mencium keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke
belakang dia bersuit keras. Suitan ini seolaholah isyarat bagi kedua kawannya
karena saat itu juga dua orang lainnya datang menyerbu dari kiri kanan. Masih
mengandalkan pukulan batu karang di kedua tangannya.Mahesa Kelud menjotos ke
kiri dan ke kanan, sambut serangan dua lawan. Seperti kawannya tadi, dua orang
ini melompat ke belakang seraya keluarkan suara suitan nyaring. Bersamaan
dengan itu orang yang berada di sebelah depan menghantam ke depan dengan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh!
Mahesa
sengaja sambut pukulan lawan dengan maju menyongsong sambil melintangkan tangan
kiri, membabat lengan orang.
"Jangan!"
teriak salah seorang ketika melihat kawannya yang memukul itu sengaja mengadu
kekuatan dengan saling bentrokkan lengan. Tapi terlambat.
Kraaaakk!
Tulang
lengan orang di depan Mahesa Kelud bukan saja patah tetapi juga hancur hingga
bagian sebelah buawah terkuntai-kuntai mengerikan. Jeritan setinggi langit
keluar dari mulutnya. Tubuhnya jatuh duduk di lantai kedai.
Dengan
tangan kirinya dia cepat-cepat menotok urat besar di pangkal bahu hingga kebal
rasa. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya bisa menjelepok begitu rupa.
"Pukulan
karang sewu!" seru lelaki di samping kanan Mahesa, yang membuat murid
Emban Jagatnata ini terkejut karena tak menyangka kalau orang mengenali ilmu
pukulannya. Wajah dua orang lawan tampak berubah. Setelah saling lemparkan
pandangan yang mengandung isyarat keduanya gerakkan tangan ke balik pakaian.
Sesaat kemudian mereka telah mengeluarkan senjata.
Yang di
sebelah kanannya memegang sebilah clurit besar hampir berbentuk arit Kawannya
mencekal sebatang tongkat terbuat dari kuningan yang memancarkan sinar redup
tapi angker.
Sebelumnya
orang-orang itu bersama dua kawannya yang lain yang saat itu tak kelihatan di
tempat itu telah berhasil membokong Mahesa di pedataran pasir Tengger. Hal itu
sudah cukup membuktikan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi.. Kini dengan
senjata di tangan tentunya dua lawan tersebut lebih banyak berbahaya. Tetapi
Mahesa Kelud percaya diri dan tidak gentar menghadapi. Bila dua lawan itu maju
menyerbu dia siap menyambut dengan jurus kematian.
Namun di
saat itu justru terdengar suara membentak.
"Orang-orang
tak tahu diri! Pengecut tengik! Su- dah main keroyok sekarang pakai senjata
pula! Tangan kosong harus dihadapi dengan tangan kosong!
Itu
namanya pendekar sejati!"
Dua orang
lawan Mahesa Kelud tidak sempat menyelidik siapa yang membentak itu. Dua buah
piring tiba-tiba melesat ke arah mereka. Sebelum keduanya sempat berkelit,
lengan masing-masing sudah dihantam piringpiring itu. Piring pecah, makanan
yang masih ada di atasnya berhambur mengotori pakaian dan muka kedua orang itu.
Keduanya mengeluh tinggi dan karena tak tahan menanggung sakit terpaksa
lepaskan senjata masing-masing sementara mereka dapatkan lengan mereka berlumuran
darah akibat hantaman piring.
Mahesa
Kelud melirik ke arah meja di mana Wiro Sableng duduk. "Sableng!"
katanya
sambil menyeringai. "Jurus piring terbangmu boleh juga! Tapi kita
kehilangan dus piring nasi dan lauknya!"
"Tak
usah kawati r! Kunyuk-kunyuk itu yang akan membayar!" sahut Wiro.
"Makan
tanpa minum tentu tak sedap! Nah silahkan meneguk air .. ." Habis berkata
begitu Pendekar 212 Wiro Sableng lemparkan dua cangkir berisi air ke arah dua
pengeroyok. Meskipun mereka sempat mengelak selamatkan kepala tapi air dalam
cangkir besar itu telah lebih dulu mengguyur kepala keduanya.
Marah
besar karena merasa dipermainkan, orang di sebelah kanan menerjang dengan satu
tendarfgan ke arah perut Mahesa sementara kawannya berkelebat cepat memungut
clurit besar dan tongkat kuningan. Namun dia hanya sempat mengambil tongkat
kuningan karena sebelum dia berhasil memegang hulu clurit, Wiro Sableng sudah
melompat ke hadapannya kirimkan tandangan ke arah pentatnya
Wutt
Tongkat
kuningan memapas deras kaki yang datang menendang. Namun hanya menghantam
tempat kosong karena di saat yang bersamaan Wiro melesat ke atas sambil
hunjamkan tumit kirinya ke arah bahu kanan lawan.
Kraak!
Tulang
bahu itu patah. Tongkat kuningan lepas dan pemiliknya jatuh di lantai kedai,
berguling-guling sambil berteriak kesakitan, lalu tergelimpang dekat sebuah
jambangan tanah liat.
Melihat
kejadian ini kawannya yang menghadapi Mahesa Kelud jadi terkesiap.
Sebelumnya
dia memang telah mempreteli Mahesa secara mudah. Tapi itu dilakukan bersama dua
orang kawannya yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Kini tanpa dua kawan itu
dan setelah menyaksikan dua kawannya yang ada di situ cidera berat, nyalinya
menjadi lumer. Tanpa pikir panjang dia menghambur ke luar kedai.
"Ho
.. .ho! Cacing tanah pengecut! Kau mau lari ke mana!" teriak Mahesa Kelud
mengejar. Tapi dua buah senjata rahasia berbentuk lempengan besi hitam
menyambutnya. Mahesa menghantam dengan pu- kulan tangan kosong. Dua senjata
rahasia mental dan menancap di atas loteng kedai. Ketika hendak mengejar
kembali, orang yang lari telah lenyap. Di kejauhan terdengar suara kuda dipacu.
Mahesa
Kelud kepalkan tangan kanan. Dia melangkah mendekati orang yang patah tulang
bahunya. Sementara Wiro menyeret kawannya yang patah tangan lalu melemparkannya
ke dekat si patah bahu. Orang lain yang ada di kedai itu, termasuk pemilik dan
para pelayan tak ada satupun yang berani bergerak.
Mahesa
Kelud injak tulang bahu yang patah hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Sakit
?!" tanya Mahesa Kelud mengejek.
"Sakit…
Sakit sekaliiiii" jawab orang itu.
"Bagus!
Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan! Jika kau tidak mau menjawab dengan
benar, tulang bahumu satu lagi akan aku hancurkan!"
"Jangan!
Jangan lakukan itu. Katakan apa yang ingin kau ketahui. .. ." ratap orang
itu ketakutan.
"Pertama
di mana sepasang senjata mustika milikku serta kuda putihku kalian sembunyi
kan?!" tanya Mahesa.
"Kami….
kami tidak menyembunyikan. Dua orang kawan kami membawa kuda putih itu. Juga
keris dan pedang merah"Di mana mereka sekarang?"
"Turut
penjelasan keduanya mereka pergi ke Lumajang," menerangkan si hancur bahu.
"Lumajang!
Di mana aku harus mencari mereka di sana?" tanya Mahesa lagi.
"Keduanya
pasti ke Kadipaten. Menemui Adipati Kebo Penggiring …."
"Apakah
kalian berlima orang-orang Adipati itu?" Wiro yang ajukan pertanyaan.
"Bukan
. . . kami bukan orang-orangnya. Kami hanya sahabat yang diminta tolong.
‘Dimintai
tolong apa? Apa Adipati yang menyuruh kalian menghadang dan merampokku di
pedataran pasir Tengger "
"Hal
itu aku tidak jelas”
"Jangan
berdusta!" ancam Mahesa Kelud lalu kaki kanannya menginjak bahu yang patah
hingga orang itu menjerit setengah mati.
"Aku
tidak berdusta …" teriaknya.
Lelaki
yang patah tandan berusaha meyakinkan.
"Tamanku
itu tidak berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang dan memberi
pekerjaan. Kami harus menghadang dan membunuh seorang pemuda berambut gondrong,
berpakaian putih-putih yang akan melintas pedataran Tengger menuju Lumajang.
Kami berlima menemui kau. Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan. Tapi
karena melihat kau membawa kuda bagus serta membakar senjata sakti maka kami
membokongmu lalu meninggalkan di pedataran pasir Mahesa melirik ke Whh Wiro
Sableng yang berdiri sambi! garuk-garuk kepala.
"Berarti
sebenarnya akulah yang kalian tuju .. ." kata murid Sinto Gendeng itu.
"Benar..
.’.Mungkin sekali. Ciri-ciri kalian hampir sama…" jawab si patah lengan.
"Kenapa
kalian diperintahkan membunuhku?"tanya Wiro.
"Itu
kami tak tahu. Utusan itu tidak menjelaskan apa-apa."
"Juga
tidak menjelaskan siapa yangg menyuruhnya..”
Yang
ditanya tak menjawab.
Wiro
angkat kaki kanannya lalu dihantamkan kebawah.
Kraak!
"Jangan
… .! Jangan hancurkan kakiku ….!"jerit orang itu.
"Terserah
padamu. Hancur kaki atau bicara …"
"Aku
… aku akan bicara …." katanya.
"Buka
mulutmu!"
Terus
terang, aku tak tahu siapa di belakang utusan itu. Namun aku menduga, dia
diutus oleh Adipati Kebo Penggiring. Hanya itu yang aku ketahui.
Hanya itu
"
Wiro
berpaling pada Mahesa Kelud. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Aku
harus mengejar pencuri kuda dan senjata itu …." sahut Mahesa Kelud.
"Kalau
begitu kita berangkat sekarang juga!" ujar Wiro Sableng. Lalu dia
membungkuk dan menggeledah kedua orang itu.
"Apa
yang kau cari?" tanya Mahesa Kelud..
‘Sepasang
senjata milikmu! Ternyata mereka memang tidak menyembunyikannya. Orang-orang
seperti mereka tidak boleh dipercaya begitu.saja. Segala ucapannya harus
diselidik "
*****************
5
WIRO
SABLENG dan Mahesa Kelud memacu kuda masing-masing melewati daerah berbukit-bukit
batu. Ini merupakan ujung dari pedataran pasir Tengger setelah mereka melewati
Gucialit. Sehabis bebukitan batu itu kota tujuan mereka yakni Lumajang hanya
tinggal setengah hari perjalanan. Menjelang malam mereka berharap sudah sampai
di sana dan melakukan apa yang harus mereka kerjakan. Mahesa Kelud harus
mendapatkan kambali kuda putih serta sepasang senjata mustikanya. Sedang
Pendekar 212 Wiro Sableng sesuai dengan janjinya harus melaksanakan tugas yang
dibebankan Dewa Tuak kepadanya yaitu mendapatkan kembali kitab milik kakek itu
yang dicuri sang murid. Lalu tugas berikutnya ialah menyelamatkan Anggini —
Murid Dewa Tuak yang dulu pernah hendak dijodohkan dengannya — dari tangan Kebo
Penggiring.
Di puncak
sebuah bukit batu dua pendekar itu berhenti sejenak untuk beristirahat.
Kebetulan di situ terdapat sebuah mata air. Mereka minum sepuasnya. Begitu juga
kuda tunggangan masing-masing. Setelah mendapat kesegaran baru mereka
melanjutkan perjalanan. Jalan menurun yang ditempuh diapit di kiri kanan oleh iamping
batu setinggi hampir dua puluh tombak.
Derap
kaki-kaki kuda menggema di samping bukit batu itu.
"Aku
tiba-tiba saja merasa tidak enak …." Murid Sinto Gandeng berseru pada
Mahesa Kelud. Dia memandang berkeliling lalu memperhatikan jauh-jauh ke depan.
Mahesa
Kelud ikut meneliti keadaan di sekitarnya lalu berkata: "Tak ada yang
harus dikawatirkan. Musuh-musuh berada jauh di Kadipaten!" Dari Wiro murid
Embah Jagatnata alias Simo Gembong itu telah mendengar penuturan mengapa Wiro
harus pergi ke Lumajang.
"Turut
beberapa penjelasan yang kudengar, daerah bukit batu ini sering dipakai para
perampok untuk menghadang mangsanya!" kata Wiro lagi.
"Aku
telah mengalami kejadian pahit di pedataran pasir Tenggara. Tapi sekali
ini,jika ada perampok yang berani muncul, mereka hanya minta mampus!"
menyahuti
Mahesa Kelud.
Baru saja
Mahesa Kelud berkata begitu tiba-tiba Wiro melihat gerakan mencurigakan di
puncak bukit samping kiri. Hal yang sama juga tampak pada puncak bukit batu
sebelah kanan.
"Lihat!"
saru Wiro.
Mendongak
ke atas Mahesa Kelud melihat ada tiga buah batu besar di puncak bukit sebelah
kanan lalu tiga lagi di sebelah kiri. Enam buah batu itu bergerak ke tubir atas
bukit lalu menggelinding ke bawah dengari suara gemuruh mengerikan.
"Lekas
berlindung!" teriak Mahesa Kelud.
Dua
pendekar itu menggebrak kuda masing-masing. Begitu kedua kuda itu menghambur
lari, Mahesa Kelud dan Wiro melompat dari punggung kuda, selamatkan diri dengan
berlindung di bawah lakukan bukit batu pada sisi kiri kanan.
Enam buah
batu besar menghempas dahsyat. Dua ekor kuda terperangkap di celah bukit.
Terdengar ringkikan kedua binatang itu di antara gemuruh batubatu yang jatuh.
Lalu sunyi. Debu dan pasir sesaat beterbangan ke udara menutupi pemandangan.
Begitu debu dan pasir luruh ke tanah dan keadaan terang kembali Wiro dan Mahesa
Kelud menyaksikan pemandangan yang mengenaskan. Dua ekor kuda itu tergelimpang
mati di bawah himpitan enam batu besar"Bangsat rendah!" sumpah Mahesa
Kelud marah sekali. Kedua tangannya di silangkan di muka dada Mulutnya bergetar
melapatkan aji kesaktian sedang tubuhnya menggelegar menghimpun tenaga dalam.
Didahului bentakan keras Mahesa Kelud kemudian hantamkan tangan kanannya ke
atas. Kilatan api merah dan panas menderu. Tubir bukit batu setinggi tombak di atas
kiri sana tampak berpijar lalu hancur berantakan. Pecahan batu dan bongkahan
tanah beterbangan. Namun siapapun adanya orang orang di atas sana agaknya tak
satupun yang cidera. Rupanya mereka telah lebih dulu meninggalkan tempat itu
sebelum pukulan "ilmu api" yang dilepaskan murid Emban Jagatnata
menghancurkan sebagian tubir batu.
Kagum
melihat kehebatan kawannya, Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau kalah. Tangan
kanannya sampai sebatas siku mendadak berubah menjadi putih perak. Ketika
pendekar ini menghantam ke tubir bukit batu sebelah kanan, berkiblatlah sinar
putih menyilaukan disertai deru angin panas yang dahsyat.
Puncak
bukit batu di atas sana menggelegar runtuh.
"Pukulan
sinar matahari!" seru Mahesa Kelud kaget dan kagum ketika menyaksikan
pukulan itu. Dia sudah lama mendengar namun baru sekali ini menyaksikan
sendiri. Kini Mahesa Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang selalu
dipanggilnya dengan sebutan Sableng ini!
Seperti
pukulan sakti yang dilepaskan Mahesa Kelud tadi, hantaman pukulan sinar matahari
yang dilepaskan Wiro pun tidak mengenai siapa-siapa di atas sana.
"Keparat-keparat
itu pasti sudah melarikan diri!"ujar Mahesa Kelud jengkel.
Dia ingin
sekali mengejar,tapi tanpa kuda hal itu tak mungkin dilakukan.
"Mereka
pasti orang-orang Adipati Kebo Penggiring!" kata Mahesa Kelud seraya
tepuk-tepuk pakaiannya yang penuh oleh debu. Dia memandang berkeliling sambil
garuk-garuk kepala. Lalu berkata: "Tak ada jalan lain. Kita harus
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki!"
"Aku
akan berikan pembalasan berikut bunganya pada mereka!" kata Mahesa Kelud
pula sambil kepalkan tinju.
***************
EMPAT
orang penunggang kuda tampak bersiap-siap di halaman samping gedung Kadipaten
Lumajang. Salah seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian kebesaran Adipati
bukan lain adalah Adipati Kebo Penggiring. Di sebelahnya berturut-turut adalah
dua lelaki berpakaian bagus, berusia agak lanjut tapi memiliki tubuh sangat
kekar. Salah seorang menunggang kuda putih.
Yang
seorang lagi kakek berpakaian biru yang ada parut bekas luka pada mukanya
sebelah kiri mulai dari dagu sampai ke dekat mata.
"Kalian
pasti Tunggul Soka dan Gajah Bledeg akan sampai malam ini dari Kotaraja?"
Adipati Kebo Penggiring bertanya.
Tiga
orang di sampingnya sama mengangguk. Si cacat muka yang bernama Ronggo Kemitir
membuka mulut: "Tak usah kawatir. Mereka pasti datang untuk menjemput
senjata-senjata mustika itu. Sekaligus membantu kita menghadapi pendekar
suruhan Dewa Tuak itu "
Kebo
Penggiring merasa kurang enak karena dianggap seperti takut. Dia cepat berkata:
"Soal pemuda gandeng itu tak usah dikawatirkan. Hanya saja aku dengar kini
dia bergabung dengan seorang pendekar muda lainnya. Ini gara-gara dua sahabatku
ini kesalahan turun tangan di pedataran Tengger.
Betul
begitu ?"
Dua
telaki bertubuh kekar berpakaian bagus terdengar batuk-batuk. Salah seorang
dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik Mahesa Kelud
menjawab: "Dengan siapa pun pendekar gendeng itu bergabung tak perlu
ditakutkan. Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi
ketambahan Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian
tinggi, mana mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjatasenjata miliknya
"
"Tapi
menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri dari Gucialit, dua pendekar itu
telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir
kawanmu yang satu itu. Karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!"
"Kepandaian
mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Adipati. Tidak heran kalau mereka
kena dipreteli. Lihat saja nanti. Jika dua pendekar itu muncul di sini, kami
akan memberi pelajaran paling bagus padanya. Adipati tinggal minta bagian
tubuhnya yang mana. Kepala, atau hati atau jantung …"
Adipati
Kebo Penggiring berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama Tambak Ijo
itu. Di saat yang sama dari halaman belakang muncul seorang diiringi oleh dua
pengawal yang menghunus tombak. Orang yang digiring dua pengawal itu ternyata
adalah seorang gadis berparas cantik, berpakaian ungu.
Kedua
tangannya terikat di sebelah depan, setiap langkah yang dibuatnya tampak
menyebabkan tubuhnya sebelah atas erhuyung-huyung.
"Ronggo
Kemitir," kata Adipati Kebo Penggiring pada kakek bermuka cacat.
"Sebelum
berangkat, coba periksa dulu totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita mendapat
kesulitan dalam perjalanan, walau cuma dekat saja "
Kakek
berpakaian biru melompat turun dari atas kudanya. Sesaat dia meraba-raba
punggung gadis berpakaian ungu lalu berpaling pada Kebo Pengigiring sambil
anggukkan kepala. "Totokanku masih berjalan baik. Kedua tangan tetap
lumpuh, jalan suara masih normal, sepanjang kaki masih bisa berjalan tapi
terbatas"Bagus! Kalau begitu naikkan dia ke atas kudaku. Dudukkan di
sebelah depan!" ujar Adipati Lumajang.
"Siapa
sudi duduk bersamamu! Keparat!" Tiba-tiba gadis baju ungu itu memaki.
"Gadis
binal! Jaga mulutmu!" mendamprat Tambak Ijo sementara Kebo Penggiring cuma
menyeringai.
Dengan
satu gerakan enteng dan sangat cepat, Ronggo Kemitir menangkap pinggang gadis
berbaju ungui lalu mengangkat dan mendudukkannya di atas kuda di sebelah depan
sang Adipati. Hal ini membuat sang dara tambah marah dan memaki tiada henti.
Namun dia tak bisa berbuat lain karena tubuhnya dikuasai satu totokan amat
lihay.
"Penging
murid murtad!" si gadis membentak menyebut nama asli Kebo Penggiring.
"Guru akan datang dan membeset tubuhmu sampai lumat!"
Kebo
Penggiring tertawa tawar. "Jika tua bangka buruk itu ingin menyelamatkanmu
tentu dia sudah datang dulu-dulu! Buktinya sampai hari ini dia tidak unjukkan
muka! Gurumu hanya pandai mabuk-mabuk meneguk tuak!"
"Murid
pengkhianat! Pencuri laknat!" teriak si gadis.
Kebo
Penggiring memberi isyarat. Diikuti oleh Ronggo Kemitir, Tambak Ijo dan lelaki
kekar satu lagi yang bernama Lah Bludak, mereka segera meninggalkan halaman
Kadipaten.
Saat itu
malam telah turun. Udara yang sejak sore mendung membuat malam tambah memekat
gelap. Rombongan itu bergerak ke arah timur, menuju pusat Kadipaten yakni
sebuah alun-alun. Karena letaknya tidak jauh dari gedung Kadipaten maka
sebentar saja mereka sampai di situ. Di tengah alun-alun, dalam kegelapan malam
tampak berdiri sebuah panggung setinggi satu tombak.
Di atas
panggung kayu itu dibangun dua buah tonggak besar berikut palangnya di sebelah
atas, lengkap dengan tali besar. Keseluruhannya membentuk sebuah tiang
gantungan yang mengerikan. Di bawah panggung tampak duduk berjongkok sesosok
tubuh. Di hadapannya ada sebuah pendupaan menyala yang asapnya menebar bau
menyan!
"Anggini,
kau lihat tiang gantungan itu?" Kebo Penggiring bertanya pada gadis yang
duduk diatas kuda di sebelah depannya.
"Mataku
tidak buta!" sahut dara berbaju ungu yang ternyata adalah Anggini, murid
Dewa Tuak yang ditawan oleh Kebo Penggiring.
"Bagus,
matamu tidak buta. Kuharap hatimu juga tidak terus-menerus membatu. Apa kau
tidak takut melihat tiang gantungan itu?" tanya sang Adipati lagi.
"Takut
. . . ?!" sang dara menyeringai. "Mengapa harus takut! Digantung saat
ini pun aku tidak takut! Tak perlu menunggu sampai besok pagi!"
"Kau
memang gadis pemberani. Itu yang membuat aku kagum padamu,"
kata Kebo
Penggiring terus-terang. "Tetapi mengapa begitu sulit bagimu menerima
permintaanku … ?"
Anggini
kembali menyeringai sinis. "Setelah kau uri kitab guru, setelah kau
perlakukan aku seperti ini, setelah kau menjadi seorang pengkhianat bejat, kau
masih punya muka meminta aku jadi istrimu? Puah!" Dara itu meludah ke
tanah.
"Aku
sudah bilang, buku ku akan kukembalikan pada guru, sehari setelah kita
melangsungkan perkawinan”
Kembali
Anggini meludah. "Penging, kau sudah terlanjur menyakiti hati guru!
Kau
bahkan sudah mengotori tanganmu dengan memperlakukan aku seperti ini "
"Tujuanku
justru adalah untuk membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak gadis yang ingin
kuperistrikan. Semua bangga menjadi istri seorang Adipati.
Tapi kau
menolak "
"Segala
setan pelayangan mungkin bangga jadi istrimu Penging! Tapi aku tidak! Justru
aku akan mencincang sekujur tubuhmu pada kesempatan pertama!"
Ronggo
Kemitir si kakek bermuka cacat geleng geleng kepala. "Gadis ini sulit
untuk diberi pengertian Adipati " katanya.
Kebo
Penggiring masih berusaha mencari harapan. "Masakan kau lebih suka
digantung daripada jadi istriku? Padahal bukankah aku adalah kakak
seperguruanmu sendiri… ?"
"Pada
hari pertama kau mengkhianati guru, orang tua itu sudah tidak menganggap kau
muridnya lagi. Apa masih pantas aku menganggapmu sebagai kakak seperguruan?
Tidak malu!"
"Kalau
begitu kau benar-benar menginginkan mati Anggini. Ingin digantung dengan cap
sebagai pemberontak "
"Kau
boleh membunuh aku dengan dalih apapun. Tapi kebenaran tak akan pernah bisa
dikalahkan oleh angkara murka. Kau mengkhianati guru sendiri.
Mencelakai
saudara seperguruan lalu sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau ternyata memang
manusia busuk luar biasa Penging!"
Paras
Kebo Penggiring tampak merah mendengar kata-kata itu. Diikuti oleh yang
lain-lainnya dia membawa kudanya menuju panggung penggantungan.
Setelah
berada dekat ke tempat itu Anggini segera melihat bahwa manusia yang duduk di
bawah panggung dan menghadapi pendupaan yang menebarkan bau menyan itu ternyata
adalah seorang nenek bermuka angker berpakaian serba hitam. Dia terdengar
seperti melaporkan mantera-mantera. Melihat kedatangan rombongan Adipati, nenek
ini hentikan membaca mantera, ulurkan kedua tangan ke muka memberi hormat.
"Nenek
Juminah " tegur Adipati Kebo Penggiring. "Menurut penglihatanmu
apakah se- mua persiapan berjalan lancar….?"
"Tentu
saja Adipati . . . tentu saja!" jawab si enek. Suaranya kecil dan dia
bicara seperti orang tercekik. "Tetapi apakah sang calon tetap memilih
mati ketimbang dijadikan istri….?"
Sang
Adipati termangu sesaat baru menjawab:
"Agaknya
jalan pikirannya tak bisa dirobah. Mungkin kau hendak mengatakan sesuatu
sebelum kami meninggalkan tempat ini….. ?"
Nenek itu
tegak dari jongkoknya. Ternyata tubuhnya pendek dan bongkok.
Matanya
yang cekung memandang lekat lekat pada Anggini, membuat gadis ini jadi tergetar
juga hatinya. Lalu terdengar kata-kata si nenek.
"Dulu
aku punya seorang anak gadis. Wajahnya jelek sekali. Apalagi dibandingkan
denganmu nak. Tapi dia begitu bangga ketika satu hari perajurit Kadipaten
mengambilnya jadi istri. Adalah aneh kalau kau yang begini cantik jelita lebih
suka mati digantung daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo Penggiring.
Adipati bukan satu pangkat yang rendah dan calon suamimu berwajah tampan gagah,
apalagi masih kakak seperguruanmu. Apakah kau tidak hendak merubah jalan
pikiranmu yang keliru itu nak …. "
"Nenek
sialan I" maki Anggini dalam hati. Lalu dengan suara keras dia berkata:
"Jika menurutmu pangkat Adipati merupakan pangkat yang tinggi dan tampang
manusia ini tampang gagah, mengapa tidak kau saja yang minta dijadikan
istri?!"
Si nenek
terkesiap latu gelengkan kepala sementara Kebo Penggiring tersentak dan
bergetar menahan amarah.
"Gadis
bodoh . . gadis bodoh" kata si nenek berulang kali "Aku tak bisa
menolongmu. Sayang . . . sayang sekali Nenek itu kembali berjongkok dan
menyebarkan kemenyan di atas pendupaan.
"Nenek
Juminah, kau telah menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini memang bodoh.
Memilih mati tercemar daripada menerima permintaanku "
Adipati
Kebo Penggiring membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga
orang lainnya.
"Kau
tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi
Anggini?" tanya Kebo Penggiring.
Murid
Dewa Tuak tidak menjawab.
Kebo
Penggiring membuka mulutnya kembali.
”Aku akan
memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap pada
keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan kuserahkan
pada tiga orang dibelakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan datang dari
Kotaraja. Besok pagi kau akan diseret ke tiang gantungan. Kepalamu kemudian
akan dipesiangi lalu dikirim pada gurumu Dewa Tuak!"
Anggini
tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi
sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah.
Ketika
rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru:
"Awasi
Ada orang datang!"
Dari arah
jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua
penunggang kuda nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap. Keduanya segera
mendatangi rombongan Adipati Kebo Penggiring. Semua orang bersiap menjaga
segala kemungkinan. Ternyata yang datang adalah dua orang yang memang sedang
ditunggu-tunggu.
"Selamat
datang di Kadipaten. Kangmas Tunggu! Soka dan kangmas Gajah Bledeg, kalian
berdua memang kami tunggu-tunggu . . . . " menyambut Kabo Penggiring.
Yang
datang ternyata adalah dua tokoh dari Kotaraja. Mereka muncul di situ sesuai
dengan permintaan sang Adipati untuk dimintai bantuan dan sekaligus menyerahkan
dua buah senjata mustika hasil rampasan. Selanjutnya senjata-senjata itu akan
diteruskan ke Keraton sebagai persembahan.
Dua
oranti yang barusan datang tertawa lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh tinggi
ramping dan mengenakan blangkon coklat dengan hiasan bintang besi kuning di
sebelah depannya sesaat menatap paras gadis, yang duduk di atas kuda di sebelah
depan sang Adipati.
Dia lalu
bertanya: "Inikah gadis pemberontak yang besok bakal menjalani hukuman
gantung’" Ketika melihat Kebo Penggiring mengangguk dia menggelenkkarn
kepala berulang kali. "Sayang sekali tubuh begini bagus dan wajah begini
jelita harus dikubur menjadi umpan cacing tanah ….. Aku yang tua ini tak
keberatan ditemani barang sejam dua jam…… "
Semua
orang tertawa bargelak mendengar ucapan Gajah Bledeg itu. Diantara tawa itu
terdengar suara Kebo Penggiring. "Kangmas Gajah Bledeg, kau tak perlu
kawatir. Malam ini kau akan mendapat bagian khusus”
"Begitu
. . . ?" ujar Gajah Bledeg seraya basahkan bibir dengan ujung lidah dan
tenggorokan turun naik. Dia berpaling pada kawannya Tunggul Soka. "Ah,
ternyata jauh-jauh datang kamari tidak sia-sia "
Tunggul
Soka tersenyum dan palingkan kepala pada Kebo Penqgiring lalu hartanya:
"Adipati apakah kami dapat segera menerima dua senjata pusaka pedang sakti
dan keris ular emas itu. …. ‘"
"Tentu
saja Kangmas Tunggul. Sampean tak usah kawatir. Dua senjata itu kusimpan
baik-baik diKadipaten. Segera akan kusarankan pada kalian besok selesai upacara
penggantungan gembong pemberontak betina ini!"
"Hemm
begitu …,.?" gumam Tunggul Soka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat membawa
dua senjata itu kembali ke Kota raja.
"Disamping.
itu kami memerlukan bantuan kangmas berdua untuk menghadapi para pengacau yang
nanti akan segera muncul di Lumajang,"
berkata
Ronggo Kemitir.
"Para
pengacau ?" ujar Gajah Bledeg sambil kerenyitkan kening.
"Besarkah
jumlah mereka. Terdiri dari beberapa rombongan pasukan dan siapa pemimpin
mereka?" bertanya Tunggul Soka.
"Ah,
mereka hanya terdiri dari dua orang. Dua pemuda ingusan" sahut Kebo
Penggiring.
Mendengar
hal itu Tunggul Soka dan Gajah Bledeg tertawa gelak-gelak.
"Kalau
cuma dua pemudi ingusan biarlah aku menyediakan dua helai saputangan untuk
menyeka ingus mereka!" kata Gajah Biedag pula dan kembali pecah suara tawa
bergelak ditempat itu".
Namun
diam diam ada kekhawatiran lain dalam hati Kebo Penggiring. Bukan mustahil
bekas gurunya Dewa Tuak muncul dan ikut turun tangan.
*****************
6
SI NENEK
Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan tersentak
kaget dan buka mata cekungnya lebar-lebar. Saat itu malam sangat gelap dan
udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok tubuh berpakaian
putih-putih.
"Kalian
siapa?!" si nenek membentak galak dan melompat tegak. Wiro Sableng dan
Mahesa Kelud sesaat saling pandang lalu Wiro menjawab: "Kami dua setan
dari neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenai siapa
kau, apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak
digantung gadis jelita gembong pemherontak?!"
Kembali
si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang mengaku
setan dari neraka itu!
Tak kalah
gertak si nenek menjawab: "Aku dukun Juminah! Penjaga tempat penggantungan
Ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau kemenyan
menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini,
besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta
digantung?!"
"Katakan
di mana gadis pemberontak itu sekarang?!" tanya Wiro.
"Hehl
Di Kadipaten tentunya! Kalian tampaknya tidak bermaksud baik.
Jangan-jangan
kalian sengaja mencari penyakit. Lekas berlalu dari sini"
Mahesa
Kelud melirik pada Wiro dan berkata:
"Si
keriput ini galak sekali. Biar kuberi pelajaran …. "
"Jangan.
Aku punya rencana lain " kata Wiro. Lalu cepat dia menyambar pendupaan
yang berisi bara menyala. Di salah satu sudut kolong panggung dilihatnya kaleng
kecil berisi sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk menyalakan pendupaan.
Minyak itu diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada tiang-tiang sebelah atas
dan bawah. Ketika bara ditebar di atas lantai yang basah oleh: minyak, api pun
segera berkobar.
"Kalian
minta mati!" teriak nenek Juminah. Tubuhnya yang bongkok melesat ke depan.
Sepuluh jari tangannya yang kotor hitam dan berkuku panjang menyambar ke dada
dan wajah Wiro Sableng. Tapi gerakannya mendadak tertahan karena pinggangnya
ditangkap Mahesa Kelud. Pemuda ini siap pura-pura melemparkannya ke dalam
kobaran api hingga nenak Juminah menjerit ketakutan. Mahesa Kelud lagi
lemparkan perempuan tua itu ke tanah seraya berkata: "Pergi temui Adipati
Kebo Penggiring! Katakah kami dua setan dari neraka siap untuk mengambil
nyawanya!"
"Gila!
Kalian berdua mesti manusia-manusia gila!" teriak si nenek.
Wiro
tarik kain panjang yang dikenakan si nenek hingga melorot sampai ke pinggul!
"Hai!
Kau hendak menelanjangiku! Gilai Benar-benar gila" teriak si nenek seraya
cepat menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro lalu tanpa tunggu lebih lama
lari lintang pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun sudah tua dan bertubuh
bungkuk larinya kencang juga.
Ketika
Adipati Kebo Penggiring dan yang lain lainnya menerima laporan si nenek di
Kadipaten, malam sudah menjelang pertengahannya.
"Mereka
sudah muncul " desis Adipati Lumajang itu dan memandang berkeliling.
"Kita harus bergerak cepat. Menyongsong mereka ke alun-alun sebelum
keduanya sampai di sini"Jangan kawatir! Kami akan membereskannya! berkata
Ronggo Kemitir seraya memberi isyarat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Sebaliknya dua orang terakhir ini menoleh ke arah Tunggul Soka dan Gajah
Bledeg. Paham akan maksud pandangan itu Gajah Bledeg segera membuka mulut.
"Kami
berdua tetap tinggal di sini. Menjaga keselamatan Adipati, mengawasi tawanan.
Sekaligus mengawal dua senjata mustika yang akan dipersembahkan pada Sri
Baginda di Kotaraja!"
Mendengar
kata-kata itu Ronggo Kemitir dan dua orang lainnya tak bisa berbuat lain.
Ketiganya keluar dari gedung Kadipaten pergi ke tempat dimana kuda mereka
ditambatkan.
"Aku
bukan menuduh yang tidak-tidak, tapi tindak-tanduk dua benggolan Keraton tadi
mendatangkan kecurigaan . . .. " berkata Ronggo Kemitir, si kakek bermuka
cacat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Kedua
orang yang diajak bicara mengiyakan dengan suara perlahan karena takut
terdengar oleh Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Tak lama setelah ketiga orang itu
lenyap dari kejauhan Gajah Bledeg tegak dari kursi besar yang didudukinya,
sesaat melangkah mundar-mandir di hadapan Adipati Lumajang, kemudian terdengar
suaranya berkata.
"Rongga
Kemitir dan dua kawannya itu pasti mampu menghadapi dan menghajar dua pemuda
yang datang menyerbu. Jadi tak perlu aku dan Tunggul Soka berada lebih lama di
sini "
Tentu
saja Kebo Penggiring terkejut mendengar ucapan itu.
"Maksud
kangmas?" tanyanya.
"Maksud
kami," yang menjawab adalah Tunggul Soka, "cepat saja kau serahkan
dua senjata mustika itu dan kamr segera kembali ke Kotaraja . . . . "
"Ah,
bukan begitu perjanjian kita semula," kata Kebo Penggiring mulai tampak
kesal. "Kangmas berdua datang ke sini memang untuk menjemput dua senjata
sakti itu. Tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalahnya sampai tuntas.
Maksudku
sampai pemuda pemilik dua senjata mustika itu menemui ajal di depan mata
hidungku. Baru aku bisa tenteram. Kini yang datang bukan dia seorang, malah
membawa kawan yang tingkat kepandaiannya ternyata tidak rendah!"
"Kekawatiranmu
terlalu dibesar-besarkan dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah Bledeg
pula."Terus terang kami tak punya waktu berlama-lama di Kadipaten
ini"
"Jadi
kangmas tidak menginginkan kesempatan bersenang-senang dengan gadis itu sebelum
tubuhnya yang bagus digantung besok pagi …. ?" tanya Kebo Penggiring. Dia
sengaja berkata begitu untuk membujuk.
"Tentu,
tentu saja aku sangat mengingininya dimas. Tidak banyak kulihat gadis secantik
dan semulus tawanan itu. Hanya saja tugas Kerajaan saat ini lebih penting dari
tubuh molek itu. Nah lekas kau ambillah kedua senjata itu.. "
Kebo
Penggiring mengomel habis-habisan dalam hati. Namun dia tak bisa berbuat lain.
Seraya berdiri dari kursinya dia berkata: "Jika begitu keinginan kangmas
berdua baiklah. Silahkan menunggu sebentar."
Adipati
itu melangkah masuk ke ruangan dalam. Begitu masuk ke dalam secepat kilat dia
menghilang ke sebuah ruangan rahasia di mana Pedang Sakti dan Keris Ular Mas
milik Mahesa Kelud yang diterimanya dari Tambak Ijo disembunyikannya. Kedua
senjata ini disisipkannya ke pinggang lalu bergegas meninggalkan ruangan
rahasia itu. Dari sini Kebo Penggiring memasuki sebuah lorong kecil menurun dan
sampai di sebuah kamar terbuat dari batu. Di sinilah Anggini disekap. Sang dara
masih berada dalam keadaan tertotok duduk tak bergerak di sudut kamar. Dia
sudah pasrah menerima nasib. Dinodai dan digantung. Namun gadis ini jadi heran
ketika tiba-tiba saja Kebo Penggiring memanggul tubuhnya dan membawanya keluar
dari kamar tahanan lewat sebuah jalan rahasia yang membawanya ke bagian
belakang halaman gedung Kadipaten yang gelap.
"Kau
mau bawa aku ke mana?!" tanya Anggini.
"Jangan
banyak tanya!" desis Kebo Penggiring lalu cepat dia totok urat besar di
leher si gadis hingga Anggini tak mampu lagi keluarkan suara. Di bagian
belakang gedung Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar. Kedua binatang itu
tampaknya memang sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo Penggiring cukup cerdik
dan panjang akal memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Cepat dia melompat
ke atas punggung salah seekor kuda lalu membedal binatang itu dalam kegelapan
malam sambil memangku tubuh Anggini di sebelah depan.
Meskipun
Kebo Penggiring berhasil mengelabui Tunggul Soka dan Gajah Bledeg, tapi tanpa
disadarinya dua sosok tubuh berpakaian putih mengejarnya dalam kegelapan. Di
pinggiran sebuah hutan kecil di sebelah tenggara Lumajang, dua pengejar ini
berhasil menyusulnya lewat jalan pintas. Salah seorang dari mereka menarik kaki
belakang kuda yang ditungganginya Hingga tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama
tubuh Anggini.
Sekali
lagi Kebo Penggiring menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh secepat kilat dia
mendekap tubuh gadis itu. Memandang ke depan dia melihat dua pemuda itu siap
untuk menyerangnya. Kebo Penggiring cabut Keris Ular Emas dari sarungnya. Sinar
kuning membersit terang di tempat gelap itu.
Ujung
keris ditempelkannya ke leher Anggini lalu dia membentak lemparkan ancaman.
"Tetap
di tempat kalian masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini akan
menamatkan riwayat gadis ini!"
Wiro dan
Mahesa Kelud tercekat. Sesaat tak tahu mau berbuat apa selain tegak tak
bergerak.
Perlahan-lahan
dia kemudian memanggul tubuh Anggini lalu menaikkan tubuh gadis itu ke atas
kuda kembali. Ujung keris kini ditujukannya ke pinggang si gadis. Melihat ini
Wiro segera bergerak untuk menghantam tapi Mahesa Kelud cepat mencegah dengan
berteriak: "Jangan! Keris itu beracun!"
Wiro
terpaksa batalkan niatnya. Jika senjata itu beracun, meskipun hanya tergores
berarti nyawa Anggini tak mungkin diselamatkan.
"Kau!
Mendekat kemari!" tiba-tiba Kebo Penggiring membentak dari atas kuda.
Mahesa
Kelud yang dibentak mau tak mau —demi keselamatan gadis yang berada dibawah
ancaman Kebo Penggiring—terpaksa melangkah maju. Begitu mendekat Adipati itu
hantamkan tendangan kaki kanan ke dada sipemuda.
Tubuh
Mahesa Kelud melintir lalu terlempar roboh ke tanah, tergelimpang tak berkutik
lagi.
"Kini
giliranmu gondrong! Kemari!" bentak Kebo Penggiring. Tapi ketika dia
berpaling ke kiri, dia dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng tak ada lagi ditempat
itu. "Aku tahu kau sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat! Jika kau
berani membokong silahkan! Kau bisa membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat
dari kematian!" habis berkata begitu Kebo Penggiring segera menggebrak
kuda tunggangannya. Sebentar saja dia sudah lenyap dalam kegelapan.
Anggini
yang berada di sebelah depan berusaha memutar matanya, memandang berkeliling.
Tapi malam sangat gelap dan kuda itu sudah menghambur jauh.
Benarkah
pemuda itu yang dilihatnya tadi?"Pendekar 212 Wiro Sableng?
"Mungkinkah
guru meminta bantuannya . . . ?"berbisik hati sang dara. Lalu dia
terkenang pada saat pertemuan pertama kali beberapa tahun lalu dengan Wiro.
Hanya saja dia tak bisa mengenang lebih lama karena keadaan dirinya saat itu
masih berada dalam ancaman bahaya besar.
Wiro
Sableng melompat keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon besar.
Hatinya jengkel sekali karena tak punya kesempatan untuk menghantam Kebo
Penggiring yang ternyata berlaku sangat cerdik itu. Dia hanya sempat sekilas
melihatwajah Anggini. Tak cukup jelas untuk melihat kecantikannya sebelum gadis
itu menghilang dilarikan sang Adipati.
Cepat
Wiro dekati tubuh Mahesa Kelud yang terhampar di tanah. Ketika dia hendak
menyentuh punggung pemuda itu, tubuh Mahesa Kelud mendadak membalik dengan
tangan kanan siap menghantamkan pukulan"karang sewu"!
"Sialan!
Kukira kau pingsan benaran!" ujar Wiro.
"Untung
aku membentengi badan dengan aji karang sewu. Kalau tidak tendangan tadi sudah
menghancurkan jantungku!" kata Mahesa Kelud seraya berdiri. "Aku
yakin keparat itu terluka kaki kanannya. Aku mendengar suara keluhan pendek
dari mulutnya. Mana dia .. ?!"
"Kaburi"
"Harus
kita kejar sebelum lari jauh!" kata Mahesa pula. Kedua pendekar itu segera
berkelebat ke arah lenyapnya Kebo Penggiring. Setelah tari jauh sepeminuman teh
Wiro berbisik pada Mahesa Kelud.
"Ada
serombongan kunyuk yang mengejar kita di sebelah belakang "
"Betul,"
sahut Mahesa Kelud. "Tapi jelas mereka bukan hendak mengejar.
Mereka
menguntit. Semuanya berkuda. Tiga orang pada jalur hutan sebelah kanan, dua
lagi di sisi sebelah kiri"Bagaimana pendapatmu? Apakah kita perlu
menghantam mereka?!" tanya Mahesa. "
"Sebaiknya
jangan. Jika timbul bentrokan, Kebo Penggiring sudah kabur makin jauh.Kau tak
akan sempat menyelamatkan si gadis dan aku tak akan dapat mengambil dua senjata
mustika itu!"
"Kau
betul!" ujar Wiro. "Mari percepat lari kita!"
*****************
7
ADIPATI
KEBO PENGGIRING tahu batul seluk-beluk jalan yang ditempuhnya. Karena itulah
meskipun malam gelap dia dapat memacu kudanya dan meninggalkan siapapun mereka
yang berusaha mengejar. Selewatnya sebuah pedataran lalang Kebo Penggiring
memasuki daerah bebukitan kecil dan sampai di sebuah lembah. Dalam dinginnya
malam dan kegelapan dia dapat melihat rumah bambu yang menjadi tujuannya,
terletak ditepi sebuah telaga kecil. Hanya saja saat itu sang Adipati melihat
ada satu keanehan.
Di atas
atap bangunan bambu tampak sebuah lampu minyak diberi berpagar kertas tipis
warna merah hingga angin tak dapat memadamkan nyala api lampu. Sebuah lampion!
"Apa
maksud Eyang memasang lampion di atas atap " membatin Kebo Penggiring.
Kudanya menderap kencang menuju rumah kecil itu dan dalam beberapa saat saja
sudah sampai di sana. Pintu depan rumah tampak terbuka.
"Eyang,
saya datang ….." kata Kebo Penggiring dengan suara dikeraskan.
Dari
dalam bangunan yang gelap terdengar suara batuk-batuk lalu orang menjawab:
"Bagus …. Masuklah. Malam buta begini kau muncul tentu ada sesuatu yang
penting!"
Kabo
Penggiring turun dari kudanya iaiu menggendong Anggini dan masuk ke dalam
bangunan yang gelap. Meskipun gelap namun dia dapat melihat sosok tubuh sang
guru yang duduk di sudut kanan, berjubah hitam, lengkap dengan topi kain hitam
berbentuk kepala poncong.
"Eyang
Poncong Item " sang guru ternyata bernama aneh, "apakah kau ada
baik-baik saja?”
"Tentu
. . . tentu”
"Suara
Eyang terdengar lain dan sering-sering batuk …. "
"Ya
. . Tua bangka sepertiku ini memang mudah masuk angin. Sudah tiga hari aku
batuk. Itu sebabnya suaraku lain "
Kebo
Penggiring coba menembus kegelapan malam dalam bangunan bambu yang gelap pekat
itu. Dia jelas merasakan satu kelainan. Tapi tidak dapat memastikan opa yang
terasa lain itu. Otaknya bekerja keras tapidia tak dapat memecahkan teka-teki
yang ada dalam dirinya sendiri itu.
"Sosok
tubuh siap yang kau gotong masuk itu, muridku?"’ Eyang Poncong Item
bertanya dari sudut gelap.
"Adik
seperguruanku Eyang
"Hemm
. . . bukankah dia yang kabarnya menjadi gembong pemberontak terhadap Kerajaan?
Kau menangkapnya atau bagaimana? Apakah dia sakit?"
Kebo
Penggiring tak segera menjawab. Seingatnya dia tak pernah menceritakan pada
gurunya mengenai Anggini. Rasa tak enak kini menyamaki hati Kebo Penggiring.
Sang guru
agaknya mencium keheranan muridnya maka dia cepat batukbatuk dan berkata:
"Kau tak usah heran, muridku. Walau kau tak pernah bercerita tapi aku
punya seribu telinga untuk menyirap kabar apa yang terjadi diluaran. Kau datang
di malam buta seperti terburu-buru. Apakah ada setan yang mengejarmu?"
"Memang
ada yang mengejar saya Eyang. Tapi mereka tertinggal jauh dan tak mungkin dapat
mengejar sampai di sini. Hanya saja "
"Hanya
saja apa Kebo Penggiring . …”
"Hemmm
" Tiba-tiba sang Adipati ingat. Eyang Poncong Item tak suka bergelap-gelap
dalam rumah bambunya itu. Lalu lampu minyak di atas atap!
Astaga.
"Lampion di atas atap Eyang!" suara Kebo Penggiring menyentak
keras,"Ada apa dengan lampion itu?"
"Lampu
itu bisa menjadi petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!"
Eyang
Poncong Item tertawa.
"Kau
memiliki rasa takut tak beralasan . .. "
"Eyang,
suara tawamu aneh!" tukas Kebo Peng-giring. Lalu dia bergerak mencari-cari
sesuatu.
"Apa
yang kau cari?"
"Lampu.
Saya tahu ada lampu dalam rumah ini. Dan Eyang biasa menghidupkannya "
"Lupakan
lampu itu Kebo Penggiring. Mendekatlah padaku. Ada sesuatu yang akan kukatakan
padamu"Katakan saja Eyang," jawab Adipati Lumajang itu tanpa
beringsut dari duduknya.
"Soal
kitab yang kau dapat dari gurumu Desa Tuak itu … . Yang tempo hari kau berikan
padaku "
"Ada
apa dengan kitab itu Eyang?"
"Kitab
itu lenyap dicuri orang!"
"Astaga!"
Kebo Penggiring terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup mencurinya
dari tangan Eyang!" ujar sang Adipati hampir tak percaya.
"Itulah
sebabnya kau kusuruh mendekat. Ada sesuatu yang hendak kuperlihatkan
padamu!"
"Mau
tak mau Kebo Penggiring bergerak juga mendekati sang guru. Ketika jarak mereka
tinggal terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang Pencong Item gerakkan tangan
kanannya.
Wutt
Satu
jotosan menghantam dada Kebo Penggiring. Adipati ini terjengkang sambil
menjerit. Menjerit karena sakit dan juga kaget luar biasa. Di lain kejap dia
sudah berdiri sambil memandang tak berkedip.
"Keparat!
Kau bukan Eyang Poncong Item!" bentak Kebo Penggiring kemudian.
Orang di
depannya, yang juga telah berdiri keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Murid
pengkhianat! Kau licik tapi ternyata tak cukup cerdik!" Sang"
Eyang"
usap
mukanya dan lemparkan topi hitam berbentuk poncong di kepalanya lalu tanggalkan
jubah hitam yang melekat di tubuhnya.
"Dewa
Tuak!" saru Kebo Penggiring k«tika akhirnya dia mengenali dalam gelap
siapa adanya orang tua di depannya. Bukan gurunya yang bernama Eyang Poncong
Item itu, tetapi guru pertamanya yang telah dikhianatinya yakni Dewa Tuak. Lalu
di mana Eyang Poncong Item? Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah bambu
ini?
Selagi
Kebon Penggiring terkesima begitu rupa Dewa Tuak umbar suara tawa lalu
menjangkau sebuah benda bulat panjang dari balik bahunya.
Gluk …
gluk . .. gluk
Byuuur……!
Orang tua
itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Di dalam gelap menebar harumnya bau
tuak. Kebo Penggiring berseru tegang, jatuhkan diri ke lantai bambu lalu
melompat ke kiri menerobos dinding.
"Murid
murtad! Kau mau lari ke mana … ?" bentak Dewa Tuak. Dia melompat ke pintu.
Sampai di luar kembali mengajar dengan semburan tuak.
Kebo
Penggiring tahu betul Kedahsyatan semburan tuak itu. Setelah menghindar
selamatkan diri dia lepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam
tinggi dua kali berturut-turut. Kekuatan pukulan itu membuat Dewa Tuak
terkejut. Buru-buru si kakek melompat ke atas dan dari atas semburkan lagi
tuaknya. Kali ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Melihat datangnya
semburan tuak disertai deru laksana badai mengamuk. Kebo Penggiring segera
maklum kalau bekas gurunya itu tidak main-main dan menginginkan kematiannyal
Adipati ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain kejap sinar merah
berkiblat.
Terdengar
suara berdering. Semburan tuak laksana menghantam dinding bambu lalu luruh ke
tanah. Belum habis kaget Dewa Tuak tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah
dadanya. Kakek ini cepat melompat mundur. Tak urung janggutnya kena dipapas
sebagian. Pucatlah wajah Dewa Tuak sementara Kebo Penggiring tertawa tergelak
sambil melintangkan Pedang Sakti yang memancarkan sinar merah di depan dada.
Sepasang
mata Dowa Tuak tak berkesip memandangi senjata itu"Dari mana kau dapatkan
pedang mustika itu?"Si kakek bertanya.
"Kau
tanyakan saja nanti pada iblis di liang kubur! ‘ jawab Kebo Penggiring
seenaknya. Lalu dia menyerbu. Serangan-serangannya ganas sekali Meskipun dia
tidak menguasai jurus-jurus ilmu pedang Dewa yang menjadi dasar utama pasangan
senjata mustika itu, namun karena senjata tersebut memang merupakan senjata
sakti luar biasa, dimainkan dalam jurus apa pun tetap merupakan senjata ampuh
dan berbahaya. Dalam waktu singkat Dewa Tuak telah terkurung rapat. Hanya
kegesitannya saja yang membuatnya sanggup bertahan sampai lebih dari sepuluh
jurus. Memasuki jurus ke empat belas, satu bacokan deras yang sangat sulit
dielakkannya, memaksa Dewa Tuak pergunakan bumbung bambu minuman kesayangannya
untuk menjadi perisai diri. Tak ampun tabung itu terkutung dua namun si kakek
sendiri berhasil selamakan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak tertegun sambil
urut-urut dadanya. Agaknya sebelumnya orang tua ini telah mengalami cidera di
bagian dada itu.
"Tua
bangka buruk! Sebelum tubuhmu kucincang lekas katakan di mana guruku Eyang
Poncong Item!" Kebo Penggiring membentak.
Dewa Tuak
tertawa mengekeh.
"Dia
sedang berenang betsenang-senang di telaga!" jawabnya.
"Maksudmu?!"
bentak Kebo Penggiring. Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia tak dapat
melihat apa-apa. Meskipun malam mulai merayap menuju dinihari namun keadaan
masih pekat gelap.
"Aku
meminta baik-baik kitab curian yang kau berikan padanya. Tapi dia lebih suka
memilih .berenang di telaga. Hanya sayang dia berenang tidak membawa nafas
lagi…. Ha .. .ha.. .hal"
"Jadi?!"
"Gurumu
sudah lama jadi bangkai.
Dada Kebo
Penggiring seperti mau meledak. Pedang sakti disabatkannya ke depan. Sinar
merah berkiblat. Dia melompat untuk menyerbu kakek itu kembali. Namun
gerakannya tertahan ketika dia melihat ada beberapa sosok tubuh berdiri dalam
kegelapan. Kebo Penggiring segera mengenali orang-orang itu. Mereka adalah
Ronggo Kemitir, Tambak Ijo, Lah Bludak, dan Tunggul Soka.
"Ah,
urusan ini bisa jadi kapiran!" keluh Kebo Penggiring dalam hati. Dia
mencari-cari tapi.tak melihat Gajah Bledeg. Ketika dia berpaling ke arah
bangunan bambu dilihatnya orang itu tegak di sana dan memanggul tubuh Anggini
di bahu kirinya!
"Kangmas
Gajah Bledeg! Apa yang hendak kau lakukan dengan gadis itu?!"
teriak
Kebo Penggiring bertanya.
"Kebo
Penggiring," sahut Gajah Bledeg. "Sebaiknya kau selesaikan saja
urusanmu dengan gurumu. Soal gadis ini tak usah dipikirkan!"
"Kalau
kau berani melakukan hal yang tidak-tidak terhadapnya akan kubunuh kau!"
mengancam Kebo Penggiring.
Gajah
Bledeg tertawa bergelak.
"Sebelumnya
kau hendak mencelakai gadis ini! Hendak menodai dan menggantungnya!
"Sekarang mengapa kau ingin membelanya?!" tanya Gajah Bledeg jelas
dengan maksud mengejek.
Kebo
Penggiring geram bukan main. Sesaat dia memutar otak. Lalu berkata dengan suara
bergetar:
"Kangmas
Gajah Bledeg, jika kau tidak melepaskan gadis itu, terpaksa aku
menyerangmu!"
Kembali
benggolan kerajaan itu tertawa dan menjawab menantang: "Siapa takut padamu
Kebo Penggiring! Kelak aku akan membuat laporan ke Istana Bahwa kau berani
mengangkat senjata terhadap orang Keraton. Bahwa kau ternyata juga seorang
gembong pemberontak!"
Mendengar
kata-kata Gajah Bledag itu. Kebo Penggiring tak dapat lagi menahan amarahnya.
Dia segera menyerbu. Tapi setengah jalan Dewa Tuak menghadangnya sambil tertawa
ha-ha hi-hi meskipun sambil mengurut dadanya yang sakit.
"Murid
khianat! Pelajaran yang kuterima darimu belum selesai. Mari kita main-main lagi
beberapa jurus sampai ada yang mampus di antara kita!"
Kebo
Penggiring merasa heran melihat tindakan bekas gurunya ini.
Seharusnya
Dewa Tuak berusaha menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi malah justru
menghadangnya.
"Tua
bangka geblek!" makinya. "Rupanya kau memang sudah bosan hidup"
Kebo
Penggiring melompat menerjang. Dewa
Tuak
tegak tenang-tenang saja. Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru.
"Pendekar
2121 Sudah saatnya kau keluar dari persembunyianmu. Kau datang ke mari bukan
untuk menonton tapi menolongku! Lekas selesaikan urusan dengan manusia jelek
bernama Gajah Bledeg itu "
*****************
8
WIRO
SABLENG yang memang sejak tadi mendekam di balik semak belukar bersama Mahesa
Kelud menunggu kesempatan baik, mendengar teriakan Dewa Tuak itu segera melesat
keluar, ke arah Gajah Bledeg.
Melihat
hal ini Tunggul Soka tak tinggal diam. Dia memberi isyarat pada Ronggo Kemitir
agar membantu Gajah Bledeg lalu pada Tambak Ijo dan Lah Bludak dia membisikkan
agar segera mengikutinya menyerbu Kebo Penggiring.
Pedang
merah di tangan Adipati itu dan juga sebilah keris mustika yang pasti terselip
di pinggangnya harus segera dirampas.
"Hemm
… Jadi ini kacung suruhan Dewa Tuak yang diutus untuk membebaskan gadis molek
ini? Apa betul namamu Sableng, cung?"
Kata-kata
itu diucapkan Gajah Bledeg pada Wiro Sableng ketika pendekar ini melangkah
mendekatinya. Diejek demikian rupa Wiro Sableng keluarkan siulan tinggi.
"Tuan
besar bernama Gajah Bledeg, turut penglihatanku kau tak pantas memakai nama
Gajah. Tampangmu jauh lebih jelek dari gajah!"
Marahlah
Gajah Bledeg mendengar ejekan itu. Masih memanggul Anggini di bahu kirinya dia
hantamkan satu pukulan ke kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gandeng rundukkan
kepala sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis.
Dua
lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh dari Istana itu. Lengannya seperti
mengemplang tiang besi. Menyadari kalau si pemuda memiliki kepandaian tinggi,
Gajah Bledeg cepat turunkan tubuh Anggini dan menggolekkan gadis ini di langkan
rumah bambu. Lalu secepat kilat dia menyerbu Wiro Sableng. Kedua telapak
tangannya terkembang. Serangan-serangannya kali ini bukan berupa jotosan,
tetapi seperti orang menampar. Dan setiap tamparan yang dilepaskannya
mengeluarkan suara dahsyat seperti geledek atau petir menyambar. Membuat semua
orang tergetar hatinya dan sakit telinganya. Tidak percuma dia mendapat nama
Bledeg yang berarti geledek itu!
Wiro
Sableng sendiri kaget bukan main. Seumur hidup baru sekali ini dia menghadapi
lawan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu. Selain menimbulkan suara
menggetarkan, kedua telapak tangan Gajah Bledeg dirasakannya mengeluarkan hawa
panas.
Braak!
Salah
satu tamparan Gajah Bledeg nyasar menghantam sebatang pohon dadap. Bekas
tamparan itu langsung berwarna hitam. Sesaat kemudian terdengar suara
berkereketan. Pohon besar itu patah, lalu tumbang perlahanlahan.
Kuduk
Pendekar 212 jadi mengkirik dingin. Kalau mau selamat tak ada jalan lain. Dia
juga harus keluarkan ilmu simpanannya. Apalagi saat itu dilihatnya si muka
cacat Ronggo Kemitir sudah berada di samping Gajah Bledeg, siap mengeroyoknya.
Ketika kedua orang itu menyerbunya, murid Sinto Gandeng ini sambut dengan
pukulan bentang topan melanda samudera.
Kalau
Ronggo Kemitir keluarkan pekik kaget dan dapatkan tubuhnya terpental jauh lalu
jatuh tergelimpang di tanah, maka Gajah Bledeg keluarkan seruan tertahan. Dia
kerahkan tenaga dalam, berusaha melawan tindihan pukulan sakti lawan yang
laksana dinding karang menghimpitnya. Tubuhnya mengapung namun hanya sesaat.
Ketika Wiro dorongkan telapak tangan kanannya tak ampun tokoh silat Keraton ini
terhempas ke belakang, berguling di tanah. Meski kemudian dia cepat berdiri
namun dadanya terasa sakit dan kedua lututnya bergetar. Wiro Sableng sendiri
kucurkan keringat di keningnya tanda tenaga dalam perlawanan Gajah Bledeg
sungguh luar biasa.
Di lain
bagian Mahesa Kelud telah pula melompat keluar dari balik semak belukar di mana
sebelumnya dia bersembunyi bersama Wiro Sableng. Pendekar ini merasa kawatir
melihat begitu banyak orang yang menyerang Kebo Penggiring. Dewa Tuak menyerang
Adipati itu jelas untuk menghukum muridnya yang khianat. Sebaliknya kesempatan
ini dapat dipergunakan oleh Tunggul Soka untuk merampas senjata-senjata mustika
miliknya yang dirampok dan kini berada di tangan Kebo Penggiring. Dalam pada
itu Mahesa melihat pula dua lelaki tinggi besar berpakaian bagus yakni Tambak’
Ijo dan Lah Bludak, yang merupakan dua dari lima orang yang telah merampoknya di
pedataran Tengger. Menimbang sampai ke situ maka Mahesa Kelud segera berteriak.
"Dewa
Tuakl Kau terluka di dalam! Mengapa tidak selamatkan saja murid perempuanmu
itu? Biarkan aku menggasak segerombolan badut ini!"
Dewa Tuak
hendak memaki marah mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu.
Namun
disadarinya bahwa saat itu dia memang dalam keadaan terluka di dalam yakni
akibat pukulan Eyang Poncong Item, guru Kebo Penggiring. Dalam perkelahian yang
terjadi pada sore hari yang sama Dewa Tuak berhasil menamatkan riwayat lawannya
dan membuang mayat Poncong Item ke dalam telaga. Ketika mayat itu digeledah dia
telah menemukan kitab miliknya yang dicuri muridnya itu. Kemungkinan besar
Poncong Item yang telah menghasut Kebo Penggiring untuk mencuri kitab tersebut
kemudian menyerahkannya padanya. Ternyata Poncong Item seorang kakek sakti
mandraguna yang tak mudah dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus baru Dewa
Tuak berhasil mengalahkannya. Itupun dia harus menerima satu pukulan telak di
dadanya.
Kini
menyadari kebenaran maksud baik ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak cepat
menghampiri tubuh Anggini yang terbaring di langkan rumah bambu.
Sang
murid ternyata tak kurang suatu apa selain di totok pada beberapa bagian urat
pentingnya hingga tak bisa bersuara, tak dapat menggerakkan kedua tangan dan
tak bisa mempergunakan kedua kakinya. Dengan cekatan Dewa
Tuak
melepaskan totokan itu satu persatu. Begitu dirinya lepas dari totokan yang
melumpuhkan Anggini memeluk si kakek seraya mengucapkan terima kasih. Lalu
tanpa dapat dicegah gadis ini menyerbu ke tengah kalangan pertempuran. Di
tangannya terdapat sehelai selendang berwarna ungu yang pada ujungnya tertera
guratan hitam angka 212. Selendang ini merupakan senjata yang diandalkan sang
dara. Bagaimana angka 212 tergurat di ujung selendang itu ada kisahnya
tersendiri. (Baca serial Wiro Sableng Maut Bernyanyi Di Pajajaran).
Ketambahan
lagi seorang lawan yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring semakin terjepit.
Mahesa Kelud berkelahi sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu Pedang Dewa Delapan Penjuru
Angin. Sepasang tangan dan dua kakinya siap dengan aji karang sewu yang dapat
menghancurkan apa saja bila kena dihantamnya. Selendang ungu di tangan Anggini
menderu kian ke mari laksana seekor ulat, membelit dan mematuk tiada henti.
Tunggul Soka serta Tambak Ijo dan Lah Bludak meskipun mengandalkan tangan
kosong, ketiganya melancarkan serangan-serangan berbahaya. Terutama hantaman
tangan dan kaki Tunggul Soka, sungguh ganas dan mengandung tenaga dalam sangat
tinggi.
Namun
pedang merah sakti di tangan Kebo Penggiring merupakan senjata ampuh luar biasa
yang dapat membendung semua serangan yang datang.
Karenanya
meskipun telah terkurung rapat tetap saja para pengeroyok tidak mampu
menjatuhkan Adipati itu, apalagi merampas pedang. Satu kali Tunggul Soka berlaku
nekad. Setelah menggebrak dengan pukulan dan tendangan berantai dia menyusup
dari bawah, bergerak cepat. Satu tangan menghantam pergalangan Kebo Penggiring,
tangan lainnya membetot hulu pedang. Tapi hampir saja pentolan istana ini
celaka. Tidak terduga pedang merah itu menyambar ganas kebawah.
Bret!
Bahu
pakaian Tunggul Soka robek besar dimakan ujung pedang. Secuil dagingnya
terkelupas. Darah mengucur. Orang ini cepat melompat mundur.
Wajahnya
tampak pucat. Sebagai tokoh silat istana Tunggul Soka memiliki kepandaian silat
dan tingkat tenaga dalam yang tinggi. Dibandingkan dengan dirinya maka
kepandaian Kebo Penggiring masih berada di bawah. Bagaimana Adipati yang
dikeroyok begitu banyak lawan masih mampu bertahan dia membuat kejutan.
Tak ada
alasan lain kecuali pedang merah di tangan kanannya benar-benar senjata luar
biasa. Maka semakin berkobarlah hasrat Tunggul Soka untuk memiliki senjata
tersebut.
Tunggul
Soka usap luka di bahunya. Darah berhenti mengucur. Ketika dia menyerbu kembali
dari samping kiri dilihatnya sesosok tubuh melesat dari kegelapan, langsung
melabrak kalangan pertempuran. Tunggul Soka tidak kenali siapa adanya orang
ini. Sebaliknya begitu Kebo Penggiring melihat wajah penyerang baru itu,
hatinya mau tak mau jadi bergetar. Orang ini bukan lain pemuda yang telah
ditendangnya dan disangkanya telah menemui ajal, paling tidak terluka parah.
Kenyataannya dia kini malah muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit akibat
menendang, masih terasa di kaki kanannya.
Lain pula
halnya dengan Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya bersama tiga kawannya
telah menggagahi Mahesa Kelud di pedataran pasir Tengger, kini mereka berkelahi
dengan perasaan was-was tidak enak. Cepat atau lambat pemuda itu pasti akan
membalaskan dendamnya. Karena mereka berlima sebenarnya yang menjadi pangkal
sebab semua kejadian ini.
Selintas
pikiran licik muncul di benak Tambak Ijo. Maka orang tinggi kekar ini pun
berteriak:
"Kangmas
Tunggul Soka, Adipati Kebo Penggiring, Lah Bludak I Mari lupakan dulu persoalan
di antara kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat ini!
"Kau
betul dimas Tambak! Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing
pemberontak!" Berteriak Tunggul Soka.
"Keparat!"
maki Mahesa Kelud ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud Tunggul Soka dengan
anjing-anjing pemberontak bukan lain adalah dirinya sendiri dan Anggini murid
Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun mendekati si gadis dan berbisik: "Saudari
kau hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi saling punggung
donganku!"
Anggini
yang juga mengerti kalau keadaan kini berubah, cepat melakukan apa yang
dikatakan Mahesa lalu putar selendang ungunya lebih sehat.
Bagi
Mhesa Kelud yang paling penting adalah memperhatikan tindak-tanduk gerakan Kebo
Penggiring. Adipati ini merupakan musuh paling berbahaya di antara empat
pengeroyok karena pedang sakti berada di tangannya. Sebaliknya dua titik lemah
di pibak lawan adalah Tambak Ijo dan Lah Bludak. Maka kembali dia berbisik pada
Anggini.
"Hati-hati
dengan pedang merah. Arahkan seranganmu lebih banyak pada dua lawan berpakaian
bagus!"
"Aku
mngerti!" sahut sang dara. Kekuatan tenaga dalamnya kini dibagi dua.
Pertama
disalurkan keselendang ungu yang jadi senjatanya. Sebagian lagi ke lengan kiri.
Pukulan dan tendangan berkecamuk silih berganti. Sinar ungu selendang Anggini
menderu berkelebat di udara. Di antara semua itu pedang merah mengiblatkan
sinar dan suara mendengung menggidikkan.
Mahesa
Kelud kertakkan rahang. Setelah bertahan habis-habisan dengan jurus-jurus ilmu
pedang dewa pendekar ini akhirnya merasakan bahwa kedudukannya jurus demi jurus
semakin tertekan. Maka diapun mulai siapkan pukulan sakti mandraguna yakni
pukulan ilmu atau inti api. Namun pemuda ini serta merta menyadari dalam kecamuk
perkelahian yang menggila seperti itu tak mungkin baginya mengeluarkan ilmu
kesaktian itu. Untuk melakukan pukulan inti api dia harus memejamkan mata
membaca mantera. Jika itu dilakukan sama saja dengan membiarkan lawan membantai
tubuhnyal Untuk sementara dia terpaksa menjaga diri dengan aji karang sewu
sambil menunggu kesempatan untuk mengeluarkan senjata rahasia yakni pasir
terbang berwarna merahi Kita ikuti kembali perkelahian di bagian lain yakni
antara Pendekar 212 Wiro Sableng yang dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo
Kemitir.
Setelah
mengatur jalan nafas dan darah masing-masing, Gajah Bledeg serta Ronggo Kemitir
kembali menyerbu murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
Kalau
Gajah Bledeg kini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya maka Ronggo Kemitir
tampak membekal sebilah, pedang berbentuk aneh. Senjata ini berbentuk lurus,
memiliki ketajaman pada kedua sisinya, lalu ujungnya yang seharusnya lancip
ternyata bercagak dua. Apa pun senjata yang di tangan Renggo Kemitir Wiro
Sableng tidak merasa takut. Pusat perhatiannya adalah sepasang tangan Gajah
Bledeg yang terus menerus mengeluarkan suara menggelegar, menebar hawa panas.
Pendekar 212 bentengi diri dengan beberapa pukulan sakti. Dia berhasil membuat
Ronggo Kemitir menjadi jeri’ dari dipaksa menjaga jarak. Sebaliknya Gajah
Bledeg berlaku lebih cerdik. Setiap selesai melancarkan satu serangan, tubuhnya
berkelebat cepat berpindah tempat lalu kembali menyerang dari arah belakang.
Dan ketika lawan membalik untuk balas menghantam dia sudah bergerak ke jurusan
lain.
Setelah
saling hantam selama lebih dari sepuluh jurus Wiro mengambil keputusan Ronggo
Kemitir harus dibereskan lebih dulu. Maka Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar
matahari ke arah Gajeh Bledeg. Lawan satu ini terkejut melihat sambaran sinar
putih perak menyilaukan datang membabatnya disertai deru dan hawa panas luar
biasa. Ketika dia jungkir balik selamatkan diri, di lain kejap Wiro sudah
melesat ke kiri, kirimkan pukulan telak ke sisi kanan Ronggo Kemitir yang saat
itu juga ikut terkesiap melihat kedahsyatan pukulan sinar matahari.
Kraak
Empat
tulang iga Ronggo Kemitir patah. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya sebelah
dalam seperti ditusuk empat bilah pisau. Nafasnya mendadak menyengat. Tubuhnya
terhuyung ke belakang lalu jatuh duduk, tersandar ke semak belukar dan tak
mampu berdiri lagi.
Wiro
Sableng berpaling ke arah Gajah Bledeg.
"Gajah
jelek. Sekarang tinggal kau dan aku. Jika kau ingin kembali hiduphidup ke
Kotaraja, cepat tinggalkan tempat ini. Tapi kalau kau memilih mampus bersiaplah
untuk menghadap setan akhirat!"
Meskipun
hatinya tergetar melihat apa yang di- alami Ronggo Kemitir namun ucapan
Pendekar 212 Wiro Sableng itu membakar amarahnya. Didahului bentakan keras dia
tepukkan kedua telapak tangannya satu sama lain.
Terdengar
suara seperti geledek menggelegar. Tanah bergetar. Pendengaran sakit seperti
ditusuk. Angin panas menderu menyambar tubuh Wiro Sableng.
Murid
nenek sakti dari gunung Gede ini tak tinggal diam. Begitu angin pukulan lawan
menyambar ke arahnya, kembali dia lepaskan pukulan sinar matahari. Sekali ini
dengan pengerahan lebih tiga perempat tenaga dalam.
Terjadilah
hal yang membuat semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesima kaget,
gempar lalu bergidik ngeri.
Pukulan
geledek yang diiepalkan Gajah Bledeg saling hantam di udara dengan pukulan
sinar matahari. Satu letupan dahsyat menggelegar. Cabang cabang pohon,
ranting-ranting dan dedaunan rambas hancur berentakan dan hangus hitam. Di
sebelah bawah tanah terbongkar dan beterbangan. Bangunan bambu bekas kediaman Poncong
Item roboh. Air telaga bergerlombang. Tak ada satu orang pun yang sanggup
menahan diri dari kejatuhan, termasuk Wiro sendiri.
Semua
orang-orang itu terhuyung lalu jatuh duduk di tanah seperti dilamun gempa
keras. Ketika mereka memandang ke jurusan Ronggo Kemitir berada, pentolan
Istana itu tampak terkapar beberapa tombak di kejatuhan. Pakaiannya tak
kelihatan lagi. Tubuhnya hanya tinggal tulang belulang hangus menghitami Selagi
semua orang terduduk terkesiap dan berusaha menenangkan kejut serta kengerian
yang menguasai diri masing-masing. Tunggul Soka pergunakan kesempatan. Dengan
satu gerakan kilat dia berkelebat kearah Kebo Penggiring.
Sekali
sentak saja dia berhasil merampas Pedang Dewa merah dari tangan Adipati
Lumajang itu.
"Bangsat
pencuri!" teriak Kebon Penggiring marah dan hendak mengejar.
"Jangan
tolol!" balas berteriak Tunggul Soka.
"Apa
kau tidak melihat kedudukan kita sekarang terjepit? Kau masih memiliki sebilah
senjata sakti. Keluarkan benda itu lalu mari kita bergabung menghadapi musuh
musuh!" Sebenarnya Tunggul Soka memang ingin memiliki senjata itu namun
pada kesempatan yang tepat dengan licik dia dapat menutupi maksud buruknya itu.
Dan Kebo Penggiring pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul Soka tadi. Dia
tampak mengeluarkan Keris Ular Emas dari balik pinggangnya.
Sinar
kekuningan memancar di udara malam menjelang dinihari yang masih gelap itu.
Mahesa
Kelud tersentak kaget. Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Jelas tambah sulit bagi
pihaknya untuk menghadapi empat lawan yang nekad itu, terutama mereka yang
memegang senjata mustika milik Mahesa yakni Tunggul Soka dan Kebo Penggiring.
"Anggini,
kau mundurlah!" seru Dewa Tuak yang mengawatirkan keselamatan muridnya.
Dia lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.
"Tidak
bisa guru!" terdengar sahutan sang dara.
"Bagaimanapun
aku harus menghajar manusia khianat itu. Mengingat rencana kejinya terhadapku,
aku pantas memecahkan kepalanya!"
Kebo
Penggiring tertawa mengekeh. "Jika kau memang ingin kutiduri majulah
….!"
"Manusia
keji!" pekik Anggini. Selendangnya dikebutkan. Sinar ungu berkelebat
disertai deru angin deras menyambar kepala sang Adipati. Yang diserang tusukkan
keris emas di tangan kanannya ke atas.
Bret!
Ujung
selendang ungu robek. Anggini kembeli terpekik. Saat itu Dewa Tuak dan Mahesa
Kelud tak tinggal diam. Keduanya menyerbu. Di lain pihak Tunggul Soka dan
Tambak Ijo serta Lah Bludak sudah pula bergerak, menyongsong datangnya
serangan.
Di saat
perkelahian kembali hendak berkecamuk itu, tiba terdengar suara menggaung
seperti ada ribuan tawon menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan itu sinar putih
perak tampak berputar di udara lalu membeset ke arah Kebo Penggiring.
Percaya
akan keampuhan Keris Ular Emas di tangannya sang Adipati tusukkan senjatanya ke
depan. Namun dia salah perhitungan. Sinar putih perak tadi membabat ke bawah
menghindari bentrokan lalu menelikung ke pinggang.
Kebo
Penggiring terkejut. Cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Dia merasakan
lambungnya dingin. Rasa dingin itu hanya sekejap, berganti dengan rasa panas.
Dia memandang ke bawah lalu menjerit melihat darah menyembur disusul usus yang
membusai dari perutnya yang robek besar. Memandang ke depan dia melihat pemuda
berambut gondrong itu tegak menyeringai dengan senjata aneh di
tangani"Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Tunggul Soka. Kini setelah
dia tahu pasti siapa adanya pemuda itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah menguasai
pedang sakti, mengapa harus menyulitkan diri meneruskan perkelahian? Tanpa
pikir panjang lagi tokoh silat Istana ini segera balikkan diri ambil langkah
seribu.
Namun
sebelum tubuhnya lenyap di kegelapan Wiro arahkan Kapak Naga Geni 212 ke
arahnya lalu tekan alat rahasia di hulu senjata yang berbentuk kepala naga.
Terdengar suara berdesir halus ketika selusin jarum putih melesat dari mulut
kepala naga, menyerang ke arah Tunggul Soka. Mendengar datangnya senjata
rahasia ini Tunggul Soka cepat putar pedang merah di belakang punggung.
Terdengar suara berdentringan disertai memerciknya bunga-bunga api. Selusin
jarum patah dan luruh ke tanah. Wiro memaki panjang pendek.
Dia siap
melompat untuk mengejar. Namun di sebelahnya seseorang telah berkelebat lebih
dulu seraya melepas senjata rahasia pula berupa pasir berwarna merah. Ratusan
pasir itu menderu dalam kegelapan malam, sulit dilihat dan
hampir
tak mengeluarkan suara.
Tunggul
Soka tersentak kaget ketika punggungnya terasa perih. Sadar kalau ada senjata
rahasia lain menghantam tubuhnya, tokoh silat Istana ini cepat jatuhkan diri
seraya putar pedang merah di belakang punggung. Namun terlambat. Puluhan
pasir-pasir merah menembus kulitnya, menyusup ke dalam daging, larut dalam
aliran darah. Tunggul Soka bergulingan di tanah lalu mencoba lari. Dia hanya
sanggup lari sejauh tiga tombak lalu tersungkur sambil mengerang. Sekujur
tubuhnya terasa perih seperti ditusuki ribuan jarum. Rasa nyeri itu disertai
pula oleh hawa panas bukan alang kepalang. Darah mengucur dari hidung, mata dan
telinganya. Dari mulutnya terdengar suara seperti mengorok. Dadanya naik ke
atas lalu terhempas ke bawah bersamaan dengan lepasnya nafasnya.
Mahesa
Kelud cepat menyambar Pedang Dewa yang masih berada dalam panggangan Tunggul
Soka. Kembali ke tempat pertempuran semula Mahesa dapatkan Kebo Penggiring
sudah menggeletak di tanah. Usus membusai dan kepala pecah. Selagi sang Adipati
meregang nyawa. Anggini yang tidak dapat menahan dendam kesumatnya hantamkan
selendang ungunya ke kepala Adipati itu. Akibatnya sang Adipati yang nyawanya
memang sudah tak tertolong lagi menemui ajal dengan kepala pecah perut jebol!
Ketika
Mahesa Kelud mengambil Keris Ular Emas dari tangan mayat Kebo Penggiring dan
menggeledah pakaiannya untuk menemukan sarung Pedang Dewa serta sarung Keris
Ular Emas, Tambak Ijo dan Lah Bludak yang sudah lama mencari kesempatan segara
menyelusup di balik pepohonan dalam kegelapan. Namun keduanya tersentak kaget
ketika terdengar bentakan: "Kalian berdua mau lari ke mana?!" Dan tahu-tahu
Mahesa Kelud sudah menghadang didepan mereka.
Tambak
Ijo jatuhkan diri ke tanah. Lah Bludak mengikuti apa yang dilakukan kawannya.
Keduanya meratap minta diampuni.
"Setan
tak bermalul" bentak Mahesa. "Apa yang telah kalian lakukan
terhadapku cukup layak membuat aku membunuh kalian detik ini juga"
"Jangan
Raden… ampuni selembar nyawa kami. Kami hanya orang-orang suruhan belaka
…." ratap Tambak Ijo.
"Begitu…?
Baiklah. Nyawamu berdua aku ampuni. Tapi jangan harap kalian bisa hidup senang
di kemudian hari!" Habis berkata begitu Mahesa tendang selangkangan kedua
orang itu hingga anggota rahasia masing-masing hancur. Keduanya terpelanting
pingsan.
Saat itu
hari mulai terang-terang tanah. Dewa Tuak tegak dengan tubuh gontai. Dia
memandang berkeliling.
"Beginilah
hidup dan kehidupan…" katanya perlahan. "Kejahatan, kekejaman, dendam
dan darah selalu muncul setiap saat ada yang ingin berbuat kebajikan dan
kebaikan: Mahesa Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua senjata mustikamu
kembali?"
"Sudah
kek. Aku sangat berterima kasih. Kalau tak ada kau dan muridmu serta kawanku si
Sableng itu niscaya aku akan kehilangan dua senjata itu selama-lamanya …."
Wiro
garuk-garuk kepala. Dewa Tuak batuk-batuk. Tenggorokannya terasa kering karena
sudah beberapa lama tak meneguk tuak.
"Kalian
dua pemuda tentu ingin melanjutkan perjalanan. Namun aku ada satu pertanyaan
untukmu Pendekar 212 "
"Apakah
itu Dewa Tuak?" tanya Wiro Sableng. Mendadak saja dia jadi gelisah.
"Utusan
jodoh tempo hari. Apakah kau sudah memikirkan …?!"
Para Wiro
Sableng berubah. Pendekar ini jadi salah tingkah. Di samping Dewa Tuak, Anggini
tampak tundukkan wajahnya yang menjadi sangat merah. Mahesa Kelud tertawa geli
dan kedip-kedipkan matanya pada Wiro.
"Jika
kau memang tak berkenan pada muridku, terpaksa aku mencarikan jodoh yang lain
…." terdengar suara Dewa Tuak.
Wiro
Sableng angkat kepalanya, berpaling pada Mahesa Kelud. Murid Embah Jagatnata
ini mendadak saja jadi pucat mukanya. Kini Wiro yang tertawa mengekeh.
"Kek,
kau benari Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita itu!"
kata Wiro.
"Hai!
Urusan apa ini?!" seru Mahesa Kelud. Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi
Dewa Tuak cepat memegang lengannya.
"Soal
jodoh kita manusia memang kadang-kadang tak bisa mengaturnya. Tapi apa salahnya
kau kuajak mampir melihat-lihat tempat kediamanku"Maaf kek, aku masih ada
keperluan lain…" kata Mahesa Kelud coba menampik tapi matanya melirik
memperhatikan Anggini sejenak.
Dewa Tuak
tertawa panjang. Tangan kanannya menarik lengan Mahesa Kelud. Tangan kiri
memegang lengan Anggini.
"Kek,
tunggu…. Aku harus mencari kuda putihku …." ujar Mahesa pula.
"Binatang
itu, mengapa harus dikhawatirkan!" kata Dewa Tuak. Lalu kakek ini
keluarkan suitan panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda putih.
Ternyata binatang itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang pernah
dirampas Tambal Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu melangkah
pergi, binatang ini mengikuti dari belakang. Sementara itu hari semakin terang
tanda pagi segera menjelang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment