Iblis
Iblis Kota Hantu
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
SANG
surya belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini
digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat
kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi
merah kekuningan. Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramal dengan nelayan
yang baru pulang melaut.
Perahu
berjejer di mana-mana dan para pembeli ikan ramai menawar ikan yang dibelinya.
Namun pagi ini suasana lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di
tepi pasir, tapi tak seorang nelayanpun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak
kelihatan. Teluk itu sepi. Dan ada sesuatu keanehan menggantung di situ.
Seorang
kakek-kakek berpakaian compang-camping muncul dari balik bukit kacil di ujung
selatan teluk. Dia melangkah tarseok-seok. Rambutnya telah putih semua, panjang
sampai ke punggung, kotor awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat
kayu sedang di tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa.
Mendadak
kakek ini hentikan langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi
cerah . . . . " katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini terasa
lain."
Orang tua
itu memandang ke arah deretan perahu di tepi pantai. Kemudian dia melangkah
lebar-lebar manuju daratan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok
tubuh yang tergelimpang di pasir. Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung
tongkat. Tak ada gerakan apaapa.
"Mati!"
desis si orang tua. "Oo ladalah Gusti Allah. Pembunuhan lagi!" Mulut
kakek ini tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di
sebelah kanannya kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh.
Segera didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oo
ladalah! Semurah inikah nyawa manusia? Lebih murah dari nyawa anjing jalanan
…?! Eh… itu! Di sana ada satu lagi!"
Kembali
si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh yang ketiga, tergeletak
antara pasir dan air laut.
"Ya
Allah! Yang satu ini masih anak-anak! Kasihan . . . Kasihan sekali! Apa
dosanya?!" Si kakek membungkuk dan ketuk-ketukkan tongkatnya ke sekujur
tubuh anak yang berusia sekitar sepuluh tahun itu. Wajahnya kemudian tampak
sedikit cerah.
"Hai!
Yang satu ini masih hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh anak itu ditariknya
dari air laut lalu dibaringkannya di atas pasir yang lebih kering.
"Hemm…
ada bekas pukulan di tubuhnya. Ia menderita luka dalam. Edan! Manusia mana yang
tega-teganya memukul demikian kejam?!"
Meskipun
tubuhnya sudah reyot, jalanpun tampak susah, namun disaksikan oleh langit dan
laut di pantai itu si kakak perlihatkan satu kehebatan.
Dengan
ujung tongkatnya dia mengait leher pakaian anak itu. Lalu hup! Tubuh si anak
tahutahu melayang ke atas dan hup! Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya.
Setelah memandang berkeliling sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat
itu.
Dari
caranya mengangkat tubuh anak tadi, jelas kakek ini memiliki kepandaian luar
biasa. Siapakah gerangan dia?’
Pada masa
itu di Jawa Barat terdapat banyak tokoh silat dari berbagai aliran yang terbagi
jadi dua golongan yakni mereka dari golongan putih dan lainnya yang disebut
golongan hitam. Tokoh-tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya
oleh gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang dibantu oleh tokoh-tokoh
silat golongan hitam. Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak yang diperbuat
golongan putih untuk menanggulangi hal itu. Dengan sendirinya ini menimbulkan
rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun sampai ke
bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa.
Salah
seorang dari tokoh silat golongan putih Jaws Barat adalah kakek tadi. Usianya
hampir 80 tahun. Dia hanya dikenal dengan julukan Pengemis Batok Tongkat.
Kemana-mana dia tak pernah ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan
tongkat kayu.
Pengemis
tua ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di sebuah rimba belantara yang
terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun.
Ketika
sadar si anak merasakan dadanya sakit sekali hingga sulit baginya untuk
bernafas. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Dia coba membuka mata.
Ternyata dia berada dalam pondok kayu jati yang diterangi oleh sebuah lampu
minyak, yang apinya berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri
disadarinya dirinya terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar
jerami.
"Ayah
. . . . " si anak memanggil ayahnya. Suaranya memelas. Di samping kanan,
sudut matanya menangkap sosok sesorang duduk di tepi balai-balai.
Diperhatikannya. Ternyata orang itu bukan ayahnya. Ayahnya tidak setua itu,
tidak berambut putih dan tidak berpakaian compangcamping walau dia seorang
nelayan miskin. Otaknya bekerja. Ayah! Bukankah ayahnya sudah mati? Mati
dibunuh oleh manusia-manusia jahat yang menunggang kuda itu ….?
"Anak,
kau sudah sadar …. !" si kakek menegur.
Anak itu
tak menjawab.
"Dadamu
masih sakit … ?"
"Ayah
. . . ayah . . .?" Anak ini seperti tidak dapat mempercayai jalan
pikirannya sendiri. Hatinya seperti membantah kenyataan bahwa ayahnya sudah
mati.
"Ah,
satu kejadian besar telah menimpanya," membantin si kakek. "Salah
seorang yang mati di pantai itu mungkin sekali ayahnya. Kasihan …"
Kakek itu
mengambil sebuah tempurung berisi godokan obat yang sejak sore tadi
disediakannya. Kepala si anak diangkatnya sedikit.
"Minum
obat ini, nak. Kau pasti lekas sembuh…"
Mula-mula
anak itu gelengkan kepalanya hendak menolak. Namun pandangan mata orang tua itu
yang demikian lembut serta mulutnya yang tersenyum membuat anak ini mau juga
membuka mulutnya dan meneguk obat dalam tempurung. Tenggorokannya terasa
hangat. Rasa hangat torus menjalar ke dada, perut, terus ke ujung kakinya.
Bersamaan dengan itu rasa sakit di dadanya terasa agak berkurang.
Kakek itu
kemudian urut-urut dada si anak. Gerakan tangannya perlahan sekali. Anak ini
merasakan ada hawa dingin keluar dari jari-jari tangan orang tua itu. Selesai
mengurut-urut kini kakek itu tampak sibuk menjengkal-jengkalkan tangannya pada
beberapa bagian tubuh anak itu. Tulang bahu, tulang-tulang iga dan tulang
pinggul diketuknya berulang-ulang.
"Orang
tua . . . kau siapakah?" anak kacil itu bertanya. "Aku ini berada di
mana?"
Yang
ditanya tak menjawab. Masih terus sibuk menjengkal dan mengetuk.
"Ah,
susunan tulangmu bagus sekali bocah. Siapa namamu?"
"Handaka
…" jawab anak itu. Lalu dia ganti tanya. "Kau sendiri siapakah, kek?
Apa ini rumahmu. Mengapa sepi sekali di sini. Tapi di luar sana ada suara-suara
aneh."
Pengemis
Batok Tongkat tertawa.
"Telingamu
tajam juga," katanya. "Dalam pondok kayu jati butut ini memang sepi.
Hanya ada kau dan aku, tambah lampu minyak itu. Hik .., hik .. hik. Tapi di
luar sana, di malam gelap begini rupa seratus macam suara bisa kau dengar.
Mulai dari suara jangkrik sampai suara kodok. Mulai dari suara burung yang
ketakutan sampai lenguh banteng liar. Mulai dari suara monyet sampai auman
harimau dan singa!
"Harimau
dan singa?! Apakah kita berada dalam hutan?" tanya anak usia sepuluh tahun
itu.
Kakek itu
mengangguk.
"Apa
kau takut?" dia bertanya kemudian.
Handaka
menggeleng.
"Bagus
kalau kau tidak takut. Sekarang tidurlah! Kau harus banyak istirahat. Besok
pagi aku akan buatkan bubur untukmu . . . "
"Kenapa
tidak sekarang saja … ? Perutku lapar."
Pengemis
Batok Tongkat tertawa.
"Malam
ini kau belum boleh makan. Kau masih dalam pengobatan tingkat pertama. . .
"
"Lalu
bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini? Di mana ayah? Kau belum mengatakan
kau ini siapa…"
"Siapa
diriku, sejak kecil aku memang tak punya."
"Aneh,
masakan ada orang tidak punya nama. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu
…"
"Panggil
saja aku kakek pengemis. Dan aku akan panggil kau cucu, bukan anak …."
"Kakek
pengemis? Memangnya kau …?"
"Betul!
Aku memang pengemis. Lihat saja pakaianku butut compang-camping. Aku jarang
mandi. Lihat tongkat dari batok kelapa di atas meja itu? Itu benda-benda yang
kupergunakan untuk minta-minta. . ."
Handaka
seperti tidak percaya. Namun dia lebih ingin mengetahui di mana ayahnya.
"Di
mana ayahmu, itulah yang aku tidak tahu. Kau sampai ke mari karena aku yang
membawamu. Kau kutemukan pingsan di teluk, kemarin pagi …"
"Jadi
kau telah menolongku. Ah, aku harus mengucapkan terima kasih padamu …"
Handaka berusaha untuk bangun. Namun kakek pengemis menahan bahunya dari
menyuruhnya berbaring kembali.
"Segala
kejadian di dunia ini sudah ada yang mengatur, Handaka," katanya.
"Semua kodrat Tuhan di luar maunya manusia. Karena itu hanya pada Dia
manusia layak berterima kasih."
"Ayahku
juga bilang begitu kek," ujar Handaka. "Namun ayah juga mengatakan
walau Tuhan punya kuasa, manusia harus berupaya. . ."
Si kakek
tertawa lobar. "Betul! Betul sekali cucuku. Memang begitu adanya. Nah
sekarang kau harus tidur. Besok sehabis makan kau boleh menceritakan padaku apa
yang terjadi di teluk pagi kemarin."
Si anak
terdiam. Dia coba mengingat-ingat. "Kenapa menunggu sampai besok?
Sekarangpun aku bisa menceritakannya kek. Aku mulai ingat semua yar terjadi di
teluk. Orang-orang jahat itu… para nelayan, ayahku . . ."
"Dadamu
tidak sakit?"
"Rasanya
sudah sembuh kek. Obatmu pasti manjur sekali."
Pengemis
Batok Tongkat tertawa lebar. "Baiklah," katanya. "Kelau kau bisa
menceritakan sekarang, akupun kepingin mendengar."
Maka
Handaka pun menuturkan apa yang terjadi.
********************
PAGI itu
para nelayan baru saja merapatkan perahu masing-masing di teluk Cikandang, siap
memunggah hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh malam tadi. Para pembeli
termasuk tengkulak-tengkulak yang sudah lama menunggu segera mendatangi. Di
antara orang banyak yang mendatangi para nelayan itu, terlihat seorang lelaki
yang segera menjadi perhatian. Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya
penuh luka dan babak belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka yang masih
menganga. Dia berjalan sambil pegangi dadanya, di mana terdapat sebuah luka
besar yang masih mengucurkan darah.
"Astaga!
Apa yang terjadi dengan Tugiman!" seru seorang nelayan tua seraya melompat
dari perahunya. Namanya Argakumbara. Oleh kelompok nelayan teluk Cikandang dia
dianggap sebagai pimpinan karena usianya dan juga pengglamannya.
Seorang
anak lelaki yang ikut melaut dengan Argakumbara melompat pula dari perahu,
berlari ke arah orang yang luka-luka. Para nelayan lainnya pun segera pula
mendatangi. Tugimen roboh ke pasir saat para nelayan sampai di hadapannya,
langsung mengerubunginya.
"Tugiman!
Apa yang terjadi? Siapa yang menganiayamu?!" tanya Argakumbara sambil
berlutut di samping orang yang terkapar di pasir itu.
"Lari
. . . lari. Tinggalkan tempat ini cepat …"
Tugiman
bicara dengan susah payah.
"Lari?
Kenapa musti lari …?" tanya Argakumbara heran, begitu juga nelayan-nelayan
lainnya.
"Jangan
bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa kalian. Serombongan
manusia-manusia durjana telah mengganas di kampung, Membunuh, merampok dan
menculik. Kepala kampung mereka gantung. Mereka akan segera datang
kemari…"
Kagetlah
semua nelayan yang ada di situ. Si kecil Handaka walau juga menunjukkan rasa
tarkejut namun tidak ada bayangan rasa takut.
"Siapa
manusia-manusia durjana itu Tugiman?" tanya Argakumbara. "Kampung
kita dan daerah sekitar sini sejak dulu selalu aman tenteram."
Tugiman
tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua matanya yang terbuka lebar memandang
tak berkesip lagi ke langit.
"Mati!
Dia mati!" terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua
orang tersentak.
"Handaka,"
kata Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke kampung Cikuray. Langsung
ke rumah bibimu. Tunggu di sana sampai ayah datang. Kami akan mengurus mayat
Tugiman."
Akan
tetapi belum sempat bocah sepuluh tahun itu melakukan perintah ayahnya, enam
orang penunggang kuda muncul memacu kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi
pantai ke arah nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara
mereka memboyong seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-masing, entah
pingsan entah keletihan kehabisan tenaga karena meronta-ronta sepanjang jalan.
Atau mungkin juga ditotok!
"Ayah!
Pasti ini manusia-manusia durjana itu …" bisik Handaka seraya pegangi
lengan Argakumbara.
Penunggang
kuda terdepan hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia memandangi tubuh
Tugiman. Keenam orang ini rata-rata berbadan tegap besar, bermuka garang dihias
kumis melintang dan cambang bawuk, memiliki mata merah, berpakaian dan berikat
kepala serba hitam.
"Ternyata
anjing satu ini lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah putus. Sialan!
Susah-susah kita mengejarnya!"
"Hai!"
kawan di sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada kalian
sebelum dia mampus?!"
Tak ada
yang bergerak. Tak ada yang berani menjawab.
"Setan!
Apakah aku berhadapan dengan patung-patung!" bentak orang tadi. Lalu kaki
kaki kanannya enak saja menendang kepala seorang nelayan yang ada di dekatnya.
Tak ampun nelayan ini jatuh tergelimpang dengan bibir pecah dan gigi rontok!
Serta
merta para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut mundur kecuali
Argakumbara dan anaknya.
Penunggang
kuda yang barusan menendang memboyong seorang gadis di pangkuannya memandang
berkeliling, tertawa sebentar lalu berkata, "Nelayan-nelayan busuk! Kalian
dengar baik-baik apa yang aku katakana! Aku Singkil Alit, bergelar Harimau
Hitam, pemimpin dalam rombongan ini! Kami baru saja membakar kampung kalian,
membunuh orang-orang yang tak mau mendengar. Menculik dua gadis ini karena
tidak mau ikut secara suka rela padahal mau diberi kenikmatan dan hidup mewah!
Kami bahkan telah menggantung kepala kampung kalian yang berani menatang! Jika
kalian di sini ingin mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-apa
yang kami katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan manusia itu
sebelum mampus?!"
Karena
tak ada seorangpun di antara para nelayan, yang berani menjawab maka
Argakumbara akhirnya membuka mulut, "Orang itu keburu mati sebelum sempat
mengatakan apa-apa. . ."
"Bagus!
Ada juga yang mau bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi ada
yang mau menjawab. Tak perlu kami menurunkan tangan keras, memukul atau
menendang. Dasar nelayannelayan picik! Tolol semua!"
Setelah
memuntir kumisnya yang melintang Singkil Alit lanjutkan ucapannya.
"Dengar
baik-baik. Mulai hari ini semua hasil kalian melaut, sawah atau ladang,
termasuk ternak yang kalian punyai di kampung di balik bukit itu berada di
bawah kekuasaan kami berenam. Semua hasil panen harus diserahkan pada kami.
Semua ikan yang kalian dapat harus diberikan kepada kami hasil penjualannya.
Nanti kami yang akan mengatur seperberapa bagian yang boleh kalian ambill Nah,
aku mau tahu ada yang berani membangkang?!"
Sunyi
sesaat. Kemudian terdengar suara Argakumbara.
"Boleh
aku bicara?"
Singkil
Alit memandang sejurus pada nelayan tua itu lalu berkata, "Monyet tua, apa
yang hendak kau katakan ucapkan cepat!"
Walaupun
orang tua ini tetap tenang namun wajahnya jelas berubah dipanggil dengan makian
monyet tua itu.
"Selama
ini kalau kami membayar pajak, itu kami berikan pada Adipati melalui kepala
kampung. Pajak yang kami bayar tidak ditentukan, sesuai kemampuan. Kami di sini
adalah nelayan-nelayan miskin. Di antara kami memang ada yang punya sawah atau
ladang, tapi dengan petak-petak yang kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya
ayam, itik atau kambing. Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang
hanya cukup untuk modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami…!"
Singgil
Alit alias Harimau Hitam mendelikkan mata, usap-usap janggutnya yang meranggas
lalu tertawa gelak-gelak.
"Monyet
tua … !" katanya.
"Ayahku
bukan monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian
semua dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak perlu
tahu lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati. Yang harus
kalian patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan kawah-kawan akan membangun
sebuah kota di daerah ini. Kalian harus tinggal bersama kami, bekerja untuk
kami! Siapa berani membangkang atau mencoba lari berarti mati!"
Mendengar
kata-kata Singkil Alit, Argakumbara kembali membuka mulut.
"Singkil
Alit; siapapun adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini tidak mengerti mengapa
kau dan kawan-kawanmu tega melakukan pererasan. Merampas bahkan membunuh kami
orangorang tak berdosa. Menculik gadis-gadis kampung kami. Apakah kalian tidak
takut pada petugaspetugas Bupati?"
"Justru
petugas-petugas itu yang harus takut pada kami!" sahut Singkil Alit lalu
tertawa gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami
tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!" kata Argakumbara tandas.
"Begitu?
Majulah lebih dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu nelayan
tua. Orang lain tak boleh mendengarnya …." kata Singkil Alit.
Tak
mengerti kalau orang bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini melangkah
maju. Baru saja dia bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil Alit tiba-tiba
menderu ke dadanya. Argakumbara keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya
terlempar dan tergelimpang di pinggir pantai. Darah tampak mengucur dari sela
bibirnya. Dia mengerang beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah….!"
jerit Mandaka dan jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya. Anak ini menangis
keras. Tiba-tiba dia hentikan tangisnya. Matanya membentur sebuah pisau besar
yang terselip di pinggang ayahnya. Pisau ini biasa dipergunakan untuk memotong
ikan. Tak berpikir panjang lagi Handaka ambil pisau itu lalu menerjang ke arah
Singkil Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak!
Nyalimu besar juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit, menghalangi
gerakan Handaka sambil hendak menggebuk.
"Biar
saja Rangga!" kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau
besar di tangan Handaka mencucuk, ke perut kepala penjahat itu. Yang diserang
tertawa mengekeh. Sekali tangannya bergerak dia sudah menjambak rambut anak itu
sementara tangannya yang satu lagi memuntir lengan kanan Handaka.
Anak itu
berteriak kesakitan dan terpaksa lemparkan pisau besarnya. Dengan, tangan
kirinya dia berusaha mencakar muka Singkil Alit. Namun satu, jotosan lebih dulu
menghantam dadanya. Handaka keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan.
Seperti melemparkan sampah, Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka ke pasir.
********************
MENDENGAR
penuturan Handaka, lama Pengemis Batok Tongkat termenung.
"Aneh
. . ." katanya kemudian dalam hati. "Bagaimana dunia yang katanya
didiami manusiamanusia beradab ini masih saja ada orang-orang durjana seperti
Singkil Alit dan kawan-kawannya
itu.
Singkil Alit, tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Iblis dari mana yang
satu ini … ?"
"Handaka,
apakah ibumu masih ada?" si kakek tiba-tiba bertanya.
Anak itu
menggeleng.
"Kata
ayah, ibu meninggal tak lama setelah melahirkanku. Aku seperti merasa berdosa …
"
"Eh,
merasa berdosa bagaimana?" tanya kakek Pengemis itu.
"Kalau
beliau tidak melahirkanku, beliau tak akan meninggal."
Orang tua
itu termenung sejurus, lalu tertawa mengekeh.
"Cucu,
jalan pikiranmu terlalu jauh. Nyawa manusia bukan diatur oleh manusia lainnya.
Tapi Tuhan yang menentukan hidup mati seseorang!"
"Kalau
begitu orang-orang seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya itu bisa dianggap
tidak berdosa walau dia membunuh. Bukankah itu sebenarnya tangan atau kehendak
Tuhan yang berlaku..?"
"Ah,
sepintas lalu jalan pikiranmu bisa dianggap benar. Tapi kalau direnungkan lagi
kau salah besar cucuku. Tuhan memang yang menentukan. Tapi hak apa manusia
merampas nyawa orang lain? Hak apa manusia boleh mencuri dan merampok, boleh
menculik? Segala segi kehidupan ini sudah diatur dalam kitab Suci dan hadis
nabi. Dan manusia harus mempergunakan akal sehat bukan ikut hasutan setan atau
iblis!"
Di usia
seperti itu agak sulit bagi Handaka mengerti kata-kata si kakek. Maka diapun
berkata: "Mengapa kau tanyakan tentang ibuku, kek!"
"Kurasa
lebih baik bagimu untuk tidak kembali ke kampung. Manusia-manusia iblis itu
pasti tidak berhenti pada kematian ayahmu saja. Maukah kau tinggal bersamaku di
sini?"
"Apa
enaknya tinggal dalam hutan belantara ini? Tak ada teman ada kawan…. Jauh dari
laut yang kucintai…. " ujar Handaka. Wajah si kakek jelas menunjukkan rasa
kecewa
"Tapi
mengingat kau sudah menolong jiwaku, kek. Maka aku tentu seja mau tinggal
bersamamu di sini."
"Ah!
Kau pandai mengganggu orang tua ini!" kata Pengemis Batok Tongkat dan
tertawa gelak-gelak.
"Apakah
aku tak akan menyusahkanmu kek?" bertanya Handaka.
"Kau
takut aku akan menyuruhmu jadi pengemis, pergi meminta-minta?’
"Ih,
tak ada pikiranku begitu. Mengemis itu apa salahnya. Pekerjaan halal yang jauh
lebih baik dari mencuri!" jawab Handaka.
"Bagus…
bagus!" kata Pengemis Batok Tongkat dan usap-usap rambut Handaka.
"Cucu,
jika kau mau tinggal di sini, aku akan ajarkan ilmu silat padamu!"
Handaka
bangkit danduduk di ujung balai-balai. Menatap si kakek.
"Kau
sungguhan mau mengajarkari ilmu silat padaku, kek?"
Orang tua
itu mengangguk.
"Ah,
jika aku jadi jago silat, aku akan cari Singkil Alit dan komplotan iblisnya.
Aku akan basmi mereka!" kata Handaka bersemangat.
"Cucu
baik… cucuku baik. Sekarang kau tidur. Kau belum sehat betul."
Handaka
menurut. Dia baringkan tubuhnya kembali di atas balai-balai dan pejamkan mata.
Namun dua mata anak ini terpentang lebar kambali ketika di luar sana terdengar
bentakan keras.
"Pengemis
tua! Lekas kau serahkan surat yang titipkan pangeran Tanuma pada kami!"
"Kek,"
ujar Handaka kaget, berpaling pada kakek pengemis. "Siapa orang di luar
sana yang malam-malam begini berteriak tak tahu sopan?"
Si kakek
letakkan telunjuknya di atas bibir, memberi isyarat agar cucunya itu tidak
bicara dan terus berbaring. Tubuh Handaka ditutupnya dengan kain sampai sebatas
kepala. Handaka turunkan ujung kain agar dapat mengintai. Dilihatnya si kakek
mendongak ke atap pondok. Rupanya orang yang berteriak ada di atas atap
bangunan jati itu.
"Tamu
dari mana malam-malam begini ke sasar ke pondokku?!" Terdengar Pengemis
Batok Tongkat bertanya. Suaranya tanang-tenang saja.
*****************
2
DARI atas
atap terdengar bentakan.
"Kurang
ajar! Diperintah malah berani bertanya."
"Aku
bertanya agar kau tidak salah datang tempat yang dituju!" jawab si pengemis.
"Jangan
coba berdalih Di hutan ini hanya satu pondok. Milikmu. Kami tidak datang ke
tempat yang salah. Lekas kau berikan barang yang dititip pangeran Taruma
itu!" kata orang di atas atap.
"Bagaimana
kalau aku tidak mau memberikannya?!" tanya Pengemis Batok Tongkat.
"Kami
akan membakar pondokmu ini dan membunuh kau. Juga bocah itu!"
"Kek
…!" Handaka julurkan kepalanya. "Orang itu hendak membunuh kita
…"
"Sstt….
Cucu, kau tidur saja!" sahut si kakek itu menutupi muka Handaka dengan
selimut tapi anak itu menurunkannya kembali.
"Hai
Pengemis! Kau tunggu apa lagi …?"
Kakek itu
memang sudah melihat ada bayangan nyala api di atas atap. Orang-orang di atas
sana mungkin membawa obor.
Tiba-tiba
si kakek tertawa. Orang di atas atap membentak.
"Tua
bangka edan! Kami minta kau menyerahkan surat itu. Bukan tertawa macam orang
gila!"
"Aku
tertawa karena kalian kuanggap manusia-manusia bodohl Ada sangkut paut apa aku
dengan pangeran Taruma? Mana mungkin dia menyerahkan soesuatu kepadaku. Sepucuk
surat katamu? Surat Cinta? Untuk diserahkan pada siapa? Ha … ha … ha… !"
"Kau
berani berdusta dan coba mengelabui kami!" kata orang di atas atap.
"Orang-orang kami tahu betul, satu bulan lalu kau bertemu dengan pangeran
Taruma di istananya di tikungan kali Citarum. Kau berpura-pura datang sebagai
seorang pengemis. Pangeran memasukkan sesuatu ke dalam batok kelapamu. Sepintas
seperti lembaran uang kertas. Tapi itu adalah sepucuk surat.
Surat
dengan gambar peta tempat penyimpanan emas milik sang pangeran. Kau masih mau
mungkir?!"
Sebelum
menjawab kembali Pengemis Batok Tongkat tertawa gelak-gelak.
"Orang-orangmu
itu matanya tentu tajam sekali! Tapi mungkin juga mereka handak berbuat lelucon
terhadap kalian! Hampir selama tiga purnama aku tak pernah meninggalkan pondok
ini. Kecuali kemarin pagi! Bagaimana mungkin aku bisa gentayangan sejauh itu
sampai di kali Citarum? Atau mungkin setan atau rohku yang menjelma dan datang
di istana pangeran Taruma?!"
Sesaat
tak ada jawaban dari atas atap. Pengemis Batok Tongkat tahu bahwa ada dua orang
di atas sana dan keduanya tengah bicara berbisik-bisik seperti berunding
singkat.
"Sudah
selesaikah kalian berunding? Jika sudah lekas pergi dari tempat ini!" kata
pengemis.
"Pengemis
licik! Jangan sangka kau bisa menipu kami dengan keterangan dustamu. Sekali
lagi aku beri kesempatan! Jika peta itu tidak kau serahkan, rumahmu akan kami
bakar dan kau beserta bocah itu akan kami bunuh!"
"Oo
ladala…! Malangnya nasibku kalau begitu!" ujar si kakek tetap tenang.
"Maukah kalian memberi tahu siapa kalian berdua?!"
"Aku
Soka Panaran, bergelar Golok Emas!" menyahut orang di atas atap yang sejak
tadi menjadi jura bicara.
"Aku
Sindang Tambra, berjuluk Raja Lanun Pantai Selatan!"
"Ha…
he … he . . .!" tanya si pengemis tua begitu mendengar jawaban dua orang
di atas atap.
"Soka
Panasaran, kalau kau sudah mendapat gelar Golok Emas, pasti kau punya sebilah
golok terbuat dari emas. Mengapa masih temahok mau dapatkan emas milik orang
lain. Dan kau Sindang Tambra, aku tidak heran kalau bajak laut sepertimu haus
harta! Tapi kalian salah alamat!
Peta atau
surat apapun tak ada padaku!"
Golok
Emas dan Raja Lanun Pantai Selatan merupakan nama-nama yang cukup menggetarkan
dunia persilatan pada masa itu. Keduanya adalah manusia-manusia berkepandaian
tinggi yang masuk dalam kelompok golongan hitam. Mandengar ucapan si kakek
jelas meraka dianggap enteng. Ini membuat keduanya menjadi marah. Raja Lanun
sudah siap untuk menjebol atap tapi Golok Emas memberi isyarat lalu berteriak.
"Pengemis
Batok Tongkat! Kami memberi kesempatan terakhir. Kau mau serahkan peta itu atau
tidak?"
Pengamis
tua itu dilihat Handaka mengambil batok kelapa dan tongkat kayunya dari atap
meja lalu menjawab, "Kalian mengancamku?"
"Kami
akan membuktikan ancaman itu!" jawab Soka Panaran.
"Kalian
akan menyesal sampai ke liang kubur!" sahut si kakek.
"Keparat!"
maki Raja Lanun Sindang Tambra yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Kaki
kanannya dihantamkan ke atap bangunan.
Brak!
Atap itu
jebol.
Sesaat
kemudian bernama Soka Panaran dan melayang turun memasuki pondok kayu jati yang
sempit. Masing-masing memegang obor di tangan kiri!
"Ah,
jadi inilah tampang-tampang manusia yang inginkan harta orang itu? Apakah tidak
lebih baik kalian pergi saja dari sini. Salah-salah nanti aku mengemis pada
kalian, minta uang minta beras!" kata pengemis Batok Tongkat.
Dari
bawah selimut Handaka menjadi heran lihat sikap si kakek. Jelas orang datang
dengan maksud jahat tapi orang tua itu masih saja bicara seenaknya seperti mau
melucu!
"Soka!"
kata Raja Lanun Sindang Tambra. "Kau bakar pondok, aku akan patahkan
batang leher tua bangka ini!"
"Kecuali
untuk terakhir kalinya dia mau serahkan peta itu!" kata Soka Panaran alias
Golok Emas yang masih berusaha mencapai tujuan tanpa kekerasan.
"Kambing-kambing
busuk!" maka Pengemis Batok Tongkat. "Kalian telah merusak atap
pondokku kini mengancam mau membakar dan minta benda yang aku tidak
miliki!"
"Kau
betul-betul tua bangka keparat!" Sindan Tambra marah sekali. Dia melompat
ke muka sambil sorongkan api obor untuk menyulut muka si kakek.
"Dua
ekor kambing. Kalian mencari penyakit!" kertak orang tua itu dan sambut
serangan Sinda Tambra dengan melompat ke samping. Api obor lewat di sebelah
kanannya. Serentak dengan itu si kakek tusukkan tongkat kayunya ke arah iga
lawan. Tapi serangannya luput karena tiba-tiba sekali bajak laut ini sudah
berkelebat ke kiri lalu kembali sorongkan obor ke muka si kakek sedang dari
bawah kakinya datang menyapu mencari sasaran pada tulang kering kaki.
"Hup!"
Pengemis Patok Tongkat melompat. Tangan kanannya yang memegang batok kelapa
dipukulkan ke bawah ke arah api obor. Begitu obor keno tersungkup tempurung
kelapa itu, serta merta apinyapun padam. Raja Lanun Sindang Tambra tersentak
kaget. Penuh geram dia pukulkan tangan kiri namun tarpaksa tarik pulang
serangannya karena ujung tongkat di tangan kiri si kakek lebih dulu menusuk ke
arah lehernya.
"Kakeki
Kambing satu itu hendak membakar pondoki" teriak Handaka ketika dilihatnya
Soka Panaran menyuiut ujung tikar jerami yang menjadi alas balai-balai.
Mau tak
mau Pengemis Batok Tongkat terpaksa tinggalkan Raja Lanun,dan melompat ke arah
Soka Panaran. Mulut si kakek tampak menggembung. Tiba-tiba dia menghembus ke
arah ujung obor. Serangkum angin keras bertiup. Blep! Api obor padam!
"Keparat!"
maki Soka Panaran lalu kemplangkan bambu obor ke kepala si kakek.
"Kek!
Awas di belakangmu." teriak Handaka.
Orang tua
itu tampak seperti kerepotan dan bingung. Dari depan dia dikemplang dengan
bambu sedang dari belakang Raja Lanun mamukul ke arah punggungnya. Karena dua
serangan itu dilakukan oleh orang berkepandaian tinggi, kalau saja mengenai si
kakek pasti akan membuat die cidera berat.
"Ah,
bagaimana kakak tua ini bisa menyelamatkan diri dikeroyok begitu rupa."
keluh Handaka.
Dia
memandang berkeliling mencari-cari. Dilihatnya sebuah cangkir kaleng tergantung
di atas kepala balai-balai. Cepat diambilnya benda itu dan dilemparkannya ke
arah Raja Lanun yang membokong dari belakang.
Gerakan
kakek pengemia yang seperti repot bingung itu sebenarnya hanyalah hal yang
dibuat-buat saja. Untuk menghadapi dua lawan yang mengeroyok itu sebenarnya dia
tidak perlu bantuan siapapun. Memang baik Soka Panaran alias Golok Emas maupun
Raja Lanun Pantai Selatan bukan manusia-manusia sembarangan. Keduanya memiliki
kepandaian tinggi, tapi si kakek sendiri adalah tokoh tua yang jauh lebih
lihay. Sebenarnya jika kedua orang tadi menyadari kepandaian si kakek meniup
api obor dari jauh hingga mati begitu rupa, keduanya harus menyadari bahwa
lawan memiliki tenaga dalam yang tinggi dan bukan tandingan mereka. Namun rasa
amarah ditambah keinginan untuk mendapatkan benda yang mereka cari membuat
keduanya melupakan kenyataan itu.
Begitulah,
si kakek sambut kemplangan bambu obor dengan lebih dulu selinapkan tusukan ke
ketiak Soka Panaran. Melihat serangan lawan datang lebih cepat dari kemplangan
bambunya, Soka Panaran tidak teruskan kemplangannya melainkan bababatkan bambu
itu ke arah bahu si kakek.
"Jurus
silatmu sudah kuno Soka! Tidak laku untuk dunia silat masa kini!" ejek si
kakek. Lalu tongkat di tangan kirinya berputar ke samping. Sesaat kemudian
terdengar pekik Soka Panaran. Telinga kanannya mongucurkan darah. Ujung tongkat
si kakek yang kecil runcing telah membuat daun telinga sebelah kanan orang ini
luka besar dan berlubang!
Walaupun
kawannya mendapat cidera tapi Sindang Tambra yang menyerang dari belakang
merasa punya peluang besar untuk mendaratkan pukulan tangan kanannya. Tenaga
kasar bajak laut ini sanggup meremukkan kepala kerbau, apalagi saat itu
disertai dengan pengerahan tenaga dalam. Hingga kalau sampai mengenai tubuh
kakek pengemis yang sudah tua kurus itu, pastilah si kakek akan celaka.
Namun
satu kehebatan diperlihatkan lagi oleh orang tua itu. Tanpa menoleh ke belakang
dia telikungkan tangan kanannya ke punggung dengan batok kelapa membelintang
demikian rupa. Ketika tinju kanan Raja Lanun sampai, batok kelapa itu
menyambutnya dengan tepat. Raja Lanun Sindang Tambra mengeluh kesakitan sambil
pegangi jari tangan kanannya. Jarijarinya ternyata, tampak merah, dagingnya
langsung membengkak. Di saat kesakitan seperti itu cangkir kaleng yang
dilemparkan Handaka melayang deras, dan mendarat tepat di keningnya hingga
kepala bajak ini terluka dan kucurkan darah.
"Bagus
Handaka! Lemparanmu tepat sekali!" ujar Pengemis Batok Tongkat. "Nah,
nah! Dua ekor kambing. Apakah kalian masih belum sadar sudah diberi pelajaran
oleh tua bangka ini dan cucuku itu? Ayo kenapa tidak lekas pergi?!"
"Kami
baru pergi kalau kalian berdua sudah kugorok dengan ini!" sahut Soka
Panaran dengan mata berapi-api. Dari pinggangnya dia cabut golok besar berwarna
kuning. Senjata inilah yang membuat dia mendapat julukan Golok Emas. Walaupun
tidak terbuat dari emas sungguhan, namun warnanya memang kuning seperti emas.
Sudah banyak korban menemui kematiannya oleh senjata ini.
"Ah,
golok emas! Hai, bolehkah kulihat apakah golokmu itu terbuat dari emas
sungguhan? Atau hanya emas palsu?" ejek Pengemis Batok Tongkat sambil
merobah kedudukan kudakudanya hingga sekaligus dia dapat mengawasi dua lawan
yang dihadapinya.
Melihat
kawannya keluarkan senjata andalannya, Sindang Tambra jadi tidak sungkansungkan
untuk keluarkan pula sanjatanya yakni sebuah clurit besar yang badan dan
hulunya berwarna hitam gelap.
Cemaslah
Handaka melihat si kakek bukan seja hanya dikeroyok tapi juga dikurung lawan
dengan senjata terhunus. Apakah si kakek tidak akan keluarkan senjata, pikir
anak ini. Nyatanya memang demikian. Pengemis tua itu hanya tegak tenang-tenang
saja, malah sambil menyeringai. Dalam hidupnya sebagai tokoh silat aneh dia tak
pernah memiliki senjata. Apapun yang terjadi dia selalu menghadapi lawan dengan
tongkat kayu kecil dan batok kelapa itu!
"Kalian
tunggu apa lagi? Majulah biar lekas aku memberi pelajaran pada kalian!"
kata si kakek.
Ini
tambah membakar kemarahan Soka Panaran dan Raja Lanun. Masing-masing keluarkan
suara menggembor lalu menyerbu. Soka dari samping kiri sedang Raja Lanun
melabrak dari sebelah kanan. Golok Soka menderu keluarkan sinar kuning terang
sedang clurit di tangan Sindang Tambra berdesing dengan memancarkan sinar hitam
pekat!
"Ah,
celakahlah kakekku! Bagaimana aku harus membantu!" keluh Handaka yang tak
mau berpangku tangan tapi tidak tahu harus menolong bagaimana. Tapi dasar anak
cerdik dapat saja satu akal olehnya. Maka perlahan-lahan dia bangkit dari
balai-balai itu sambil menggulung selimut.
Sementara
itu pengemi tua yang mendapat dua serangan sekaligus berkelebat gesit. Tongkat
di tangan kirinya memukul ke perut Soka Panaran, batok kelapa di tangan kanan
menyelinap mencari sasaran disambungan siku kanan Sindang Tambra. Melihat
tangan kiri si kakek menyorong ke depan, Soka Panaran mengambil keputusan untuk
membabat tangan itu, lebih dulu dengan golok kuningnya. Namun orang ini salah
perhitungan. Dia tidak menyadari kalau gerakan lawan jauh lebih cepat. Hingga
sebelm golak besarnya berhasil membacok lengan Pengemis Batok Tongkat, tongkat
kayu si kakek yang menderu menggeletar, menghantam bagian lengan kanannya di
bawah ketiak.
Krak!
Terdengar
suara patahan tulang. Disusul pekik si Golok Emas Soka Panaran. Dia melompat
mundur, menggerang kesakitan sementara goloknya yang jatuh ditempel demikian
rupa oleh si kakek dengan tongkat kayunya. Golok ini melorot turun mengikuti
batangan tongkat lalu dengan mudah ditangkap oleh si kakek.
Pada saat
itu pula Raja Lanun Sindang Tambra yang tengah menyerbu si kakek dengan clurit
hitam angkernya menjadi terkejut ketika tiba-tiba selembar kain berkelebat
menebar dan menutupi kepala serta tubuhnya. Kain ini bukan lain adalah selimut
yang dilemparkan Handaka. Dalam keadaan ditelikung seperti itu tentu saja Raja
Lanun Pantai Selatan ini tidak dapat lagi melihat di mana lawannya berada.
Serangan cluritnya menjadi mentah. Dan dia memaki panjang pendek. Suara
makiannya berubah menjadi jeritan kesakitan ketika pengemis tua pukulkan batok
kelapanya berulang kali, lalu mengetok dengan tongkat kayu. Terdengar suara
krak berulang kali tanda ada tiliang-tuiang bajak itu yang patah.
Ketika
Raja Lanun Pantai Selatan berhasil keluar dari kungkungan selimut, tulang
belikatnya sebelah kiri patah hingga tubuhnya miring. Lalu beberapa tulang
iganya juga remuk. Dan yang paling parah adalah tulang kering kaki kanannya,
juga patah hingga terpincang-pincang dia bersurut ke pintu pondok.
Kakek
pengemis tegak sambil mengekeh. "Bagaimana?!" ujarnya. "Sudah
kapok atau masih minta digebuk lagi!"
"Tua
bangka keparat! Terima ini!"
Golok
Emas berteriak marah. Dia pukulkan tangan kirinya. Serangkum angin menyambar ke
arah pengemis tua. Dengan tertawa kakek ini lentingkan tongkat kayunya dari
bawah ke atas.
Angin
serangan yang dilepaskanSoka Panaran musnah. Sebaliknya ujung tongkat yang
runcing kembali melenting dan kali ini memukul ke arah mata kanan Soka Panaran.
Orang ini meraung ketika matanya pecah dan darah mengucur.
"Soka!
Sebaiknya kita pergi saja! Lain kali kita buat perhitungan dengan tua bangka
keparat ini!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. Lalu tanpa menunggu dia
melompat ke pintu pondok.
Soka Panaran
sambil pegangi matanya yang kini jadi buta sebelah, terhuyung-huyung lari pula
ke arah pintu.
"Hai!
Golok emasmu apa tidak dibawa?!" seru Pengemis Batok Tongkat.
Tapi Soka
Panaran terus saja lari dan menghilang dalam kegelapan. Mana dia punya nyali lagi
untuk mengambil goloknya itu. Si kakek pungut senjata itu lalu enak saja kedua
tangannya mematahkan golok. Ketika diteliti bagian dalamnya, ternyata golok itu
hanya bagian luarnya saja yang disepuh emas. Sebelah dalam hanya besi hitam
campur baja.
"Emas
butut!" kata si kakek lalu tertawa dan berpaling pada Handaka.
"Cucuku! Kau bukan saja berani, tapi juga cerdik. Tidak percuma aku
mengambilmu jadi murid!"
*****************
3
DI PANTAI
selatan yang dibatasi oleh teluk Cikandang dan kaki gunung Halimun di sebelah
utara, kali Cirampang di sebelah barat dan bukit Gondal di sebelah timur
kelihatan satu pemandangan baru. Selama enam bulan ratusan manusia menancapkan
batangan-batangan kayu jati setinggi lebih dari tiga tombak dengan ujung-ujung
dipotong runcing. Deretan kayu jati ini berubah menjadi satu pager kukuh yang
membatasi deerah sangat luas, terdiri dari beberapa desa danbelasan kampurrg.
Ada dua pintu gerbang yang selalu dijaga ketat yakni di sebelah selatan
menghadap ke pantai dan di sebelah utara menghadap gunung Halimun.
Daerah
terkungkung ini merupakan satu kota besar tak bernama. Namun orang telah
menyebutnya sebagai Kota Hantu. Di sinilah Singkil Alit alias Harimau Hitam dan
lima kawannya menjadi penguasa durjana. Secara paksa mereka mengumpulkan hampir
tiga ratus penduduk di daerah itu untuk membangun pager kayu jati. Lalu
membangun rumah-rumah besar untuk mereka. Orang banyak itu dijadikan budak,
dipaksa tinggal dalam kungkungan pagar jati dan dipaksa melakukan dan jadi
nelayan. Semua hasil harus diserahkan pada Singkil Alit. Siapa berani
membangkang atau coba melarikan diri maka tak ada ampun. Mereka akan dipancung.
Mayatnya dipertontonkan agar semua orang takut dan tak mau meniru perbuatan
kawannya itu. Singkil Alit dan kawan-kawannya juga melatih para pemuda untuk
dijadikan pengawalpengawal mereka. Pemuda-pemuda ini berjumlah sekitar enam
puluh orang. Mereka mengawal enam rumah pimpinan kota hantu itu, yang merupakan
rumah-rumah besar mewah, dilengkapi dengan beberapa orang perempuan atau gadis
cantik hasil culikan dari desa atau perkampungan penduduk.
Di antara
keenam manusia durjana itu adalah orang yang bernama Tembesi memiliki lebih dan
lima perempuan peliharaan di rumahnya. Dari luar Kota Hantu ini tampak tenang.
Tapi di dalam, kehidupan penduduk yang berjumlah lebih dari tiga ratus orang
itu merupakan dunia penderitaan yang tiada taranya. Mereka dipaksa untuk
bekerja dan dicambuk bila dianggap malas atau tidak mengbasilkan apa-apa.
Lelaki atau perempuan yang kelihatan seperti sakit-sakitan lenyap secara aneh.
Entah dibunuh entah dibuang, mayatnya tak pernah ditemukan. Setiap hari selain
saja ada orang-orang dari luar yang diculik dan dipaksa tinggal di Kota Hantu untuk
jadi budak kerja paksa.
Hanya
dalam waktu dua belas bulan saja nama Kota Hantu ini telah dikenal di kawasan
Jawa Barat sebelah selatan. Siapa saja yang mendengar nama kota ini akan
merinding bulu kuduknya karena ngeri membayangkan kehidupan penuh siksa di
sana. Apakah sebenarnya tujuan Singkil Alit dan kawan-kawannya mendirikan kota
tertutup itu?
Sebagai
seorang tokoh silat golongan hitam yang punya nama angker Singkil Alit sejak
lama bercita-cita ingin menguasai rimba persilatan di Jawa Barat. Paling tidak
di daerah selatan yang penduduknya rata-rata mempunyai tingkat penghidupan
tinggi karena tanahnya subur dan lautnya kaya dengan ikan. Setelah dia merasa
cukup modal harta kekayaan maka satu demi satu tokoh-tokoh akan diundangnya
datang, lalu dibunuh secara keji.
Singkil
Alit tidak mau bekerja sendiri. Untuk itu maka dikumpulkannya beberapa orang
kawannya sealiran. Mereka adalah Rangga, Pinto Manik, Rah Tongga, Wiracula dan
tembesi.
Begitulah,
sejak enam bulan terakhir ini dunia persilatan di daerah itu ditandai oleh
beberapa kejadian aneh, yakni lenyapnya tiga tokoh silat berkepandaian tinggi.
Dua dari golongan putih, satu lagi dari golongan hitam. Tak satu orang luarpun
yang tahu kalau ketiga tokoh tersebut telah menemui ajal dibunuh oleh Singkil
Alit dan kawan-kawannya di dalam Kota Hantu.
"Suatu
hari ketika keenam iblis-iblis Kota Hantu itu berkumpul sambil meneguk tuak
keras dan bergelut-gelut dengan perempuan-perempuan culikan mereka, berkatalah
Rah Tongga.
"Singkil,
kalau kita hanya menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh silat itu, kurasa dalam
waktu dua tahun di muka pekerjaan dan tujuan kita belum selesai. Mungkin pula
rahasia kita bocor. Tokoh-tokoh silat putih dan hitam bergabung lalu menyerbu
kota kita ini…"
Singkil
Alit turunkan cangkir bambunya. Sekl bibir dan kumis serta janggutnya yang
basah oleh tuak lalu bertanya, "Kau ada rencana spa, Rah Tongga! Coba
katakan. Mataku mulai mengantuk. Aku ingin bersenang-senang dengan
kekasih-kekasihku di dalam…"
Empat
kawannya yang lain ikut mendangarkan dengan seksama.
"Bagaimana
kalau kita adakan perjamuan besar. Kita undang orang-orang dunia persilatan di
daerah ini. Kita beri racun makanan atau minuman mereka! Nah, sekali bertindak
semuanya beres!"
Singkil
Alit tegak dari kursinya. Sesaat dia berkacak pinggang memandang Rah Tongga,
lalu maju dan tepuk-tepuk bahu kawannya itu.
"Karena
hal itu tidak aku pikirkan sebelumnya!" kata manusia berjuluk Harimau
Hitam ini, "Rah Tongga! Usulmu aku puji dan aku terima. Kau dan
kawan-kawan aturlah perjamuan, kirim undangan! Dan ingat itu harus kita lakukan
secepatnya!"
"Jangan
kawatir Singkil. Serahkan semua pada aku dan kawan-kawan!" kata Rah Tongga
pula penuh senang karena usulnya diterima.
Begitulah,
pada bulan pumama sebulan kemudian di Kota Hantu tampak dilangsungkan satu
pasta betar. Obor dipasang di sepanjang pager dan di bagian-bagian tertentu
hingga kota yang Was itu terang benderang. Di sebuah lapangan, di mana pesta
dipusatkan, didirikan sebuah panggung besar. Di sekeliling panggung tampak
deretan meja dan kursi khusus disediakan untuk tuan rumah dan para undangan.
Hiasan dan gaba-gaba tersebar di mana-mana menambah semaraknya pesta.
Makanan
dan minuman berlimpah ruah.
Para tamu
tamu berjumlah sekitar dua puluh orang. Rata-rata mereka adalah tokoh-tokoh silat
yang punya nama, terdiri dari golongan hitam dan golongan putih.
"Para
tamu yang kami hormati!" kata Singkil Alit ”Walau kita ada yang berbeda
golongan, tapi dalam pesta ini lupakan semua itu. Kita satu dalam
kegembiraan!"
Menjelang
tengah malam, di atas panggung yang sejak tadi diperdengarkan alunan karawitan
beserta pesinden-pesinden yang cantik genit dan bersuara merdu menggairahkan,
kini tiba-tiba saja acara berobah dengan satu pertunjukan tari-tarian yang
melanggar susila. Enam perempuan muda berpakaian sangat tipis
melenggang-lenggok mengikuti alunan terompet bambu dan tabuhan gendang. Semakin
cepat tabuhan gendang, semakin binal gerakan mereka. Tiba-tiba ke enam pesinden
itu tanggalkan seluruh pakaian yang mereka kenakan. Para tamu dari golongan hitam
berteriak-teriak bersuit-suit. Mereka yang dari golongan putih tersentak kaget.
Ini adalah satu hal yang tidak mereka duga. Rasa jengah membuat mereka
seharusnya serta merta hendak tinggalkan pesta perjamuan itu. Namun rata-rata
mereka semua sudah terlalu banyak meneguk tuak keras, hingga hal itu tidak
mereka lakukan. Bahkan mereka menyaksikan tarian telanjang itu dengan mata tak
berkesip dan tenggorokan turun naik.
"Sahabat-sahabat
para tamu!" tiba-tiba Tembesi berdiri dan berseru. "Jika ada di
antara para sahabat yang ingin turut menari silahkan naik ke panggung! Lalu
jika para sahabat berkenan boleh cari pasangan. Di rumah besar sebelah kiri
telah tersedia kamar dimana para sahabat boleh bersenang-senang sampa pagi
…!"
Mendengar
ucapan Tembesi itu delapan orang lelaki melompat ke atas panggung. Dari tampang
dal pakaian mereka jelas mereka bukan tokoh silat baik-baik. Keenamnya menari
seradak-seruduk dalam mabuk, lalu turun dari panggung menarik pasangan lelaki
yang dua, yang tidak kebagian pasangan terus saja menari.
"Jangan
kawatir!" seru Tembesi kembali. "Persediaan penari cukup
banyak!" Dia bertepuk tangan. Enam perempuan muda muncul pula dalam
pakaian sangat tipis. Dua lelaki tadi tampak bingung mau mencari pasangan yang
mana karana rata-rata penari itu berwajah cantik. Sementara itu empat lelaki
lainnya melompat pula ke atas panggung.
Seperti
dikatakan Tembesi, di rumah besar di sebelah kiri panggung terdapat sekitar
lima belas kamar. Dua belas tokoh silat golongan hitam itu masuk ke dalam kamar
dengan hasrat berkobar-kobar tanpa mengetahui bahwa bukan kesenangan yang bakal
mereka dapatkan, tetapi maut!
Begitu
masuk ke dalam kamar, para penari segera mengunci pintu dan mempersilahkan
setiap tokoh duduk di tepi tempat tidur sambil memijit-mijit bahunya. Semua ini
sesuai dengan yang diatur dan diperintahkan oleh Singkil Alit. Setelah itu
setiap penari menyuguhkan secangkir tuak pada tamunya. Hanya beberapa saat
setelah meneguk habis minuman itu dua belas tokoh silat yang ada dalam kamar
tersungkur muntah darah dan mengerang nyawa. Mereka mati oleh racun jahat yang
dicampurkan dalam minuman!
Kita
kembali ke tempat pesta di sekitar panggung. Empat tokoh silat golongan hitam
dan hampir selusin dari golongan putih duduk sambil mengobrol. Sesekali mata
mereka melirik ke panggung, mengharap ada lagi penari telanjang yang bakal
muncul. Saat itu Singkil Alit memberi isyarat pada Tembesi. Tembesi bertepuk
tangan. Tepuk tangannya yang sekali ini bukan tepuk tangan biasa, melainkan
merupakan satu isyarat pada dua puluh orang pelayan perempuan yang menyuguhkan
tuak. Kedua puluh pelayan itu segera mendatangi setiap tamu sambil membawa
kendi besar berisi tuak yang sudah dicampur dengan racun. Tuak itu dituangkan
ke dalam tempat minum para tamu.
Empat
tokoh golongan hitam segera meneguknya sampai habis. Sepuluh tamu dari golongan
putih melakukan hal yang sama. Hanya seorang yang dalam keadaan mabuk tidak
menyentuh minumannya, tapi berdiri. Sambil meracau tak karuan dia melangkah
menari-nari dan naik ke atas panggung.
"Mana
penari untukku … Mana penari untukku!" katanya berulang kali. Lelaki ini
berusia sekitar setengah abad, merupakan ketua sebuah perguruan silat di
Karangbolong.
Semua
tamu yang meneguk tuak beracun itu serta merta menemui ajal dengan cara yang
sama, muntah darah, rubuh dan mati! Sementara lelaki dari Karangbolong masih
terus menari, tidak sadar apa yang telah terjadi karena mabuknya.
Singkil
Alit mendekati panggung dan berkata pada Tembesi. "Lekas suruh Pinta Manik
membereskan yang satu ini. Aku sudah sebal melihatnya. Hari hampir pagi. Kita
semua harus melenyapkan belasan mayat itu lalu butuh istirahat!"
Anggota
komplotan iblis yang bernama Tembesi segera memberi isyarat pada Pinta Manik.
Begitu Pinta Manik mendatangi dia lalu memberi tahu apa yang diperintahkan
Singkil Alit. Maka Pinta Manik naik ke atas panggung sambil menghunus sebilah
pedang. Dengan pedang ini ditembusnya perut tokoh silat yang mabuk dan
menari-nari di atas panggung! Dua puluh satu tokoh silat menemui ajalnya di
Kota Hantu pada malam bulan pumama itu. Kelak lenyapnya orang-orang itu baru
diketahui selang beberapa bulan kemudian.
*****************
4
TIDAK
seperti biasanya, sajak dua minggu terakhir laut di pantai barat selalu
diselimuti deru angin kencang serta gulungan ombak besar dan tinggi. Para
nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut terpaksa tinggal di rumah
masing-masing, tak berani turun ke laut. Di sebuah teluk sempit agak ke selatan
Karangbolong terdapat sebuah perkampungan kecil. Di sini hanya ada sebuah rumah
bambu besar dikelilingi lima rumah yang lebih kecil. Ini bukanlah sebuah
perkampungan nelayan. Melainkan daerah kediaman dan tempat latihan orangorang dari
perguruan silat Elang Putih.
Pagi itu
seperti biasanya, sebelum latihan dimulai tiga puluh orang anak murid parguruan
duduk bersila di tepi pantai, bartelanjang dada, menghadap ke laut. Tangan
masing-masing diletakkan di atas pangkuan, mata dipejamkan. Mereka
mengheningkan cita rasa indera sambil berlatih mengatur jalan nafas serta
peredaran darah.
Anak
murid paling tua, yang manjadi wakil dari ketua parguruan, bernama Indrajit
melangkah mundar-mandir mengawasi latihan yang dilakukan tiga puluh saudara sepeguruannya
itu. Jika ada yang kurang sempurna atau melakukan kekeliruan dalam hening cita
rasa indera itu, dia memberitahu dan menyuruh mamperbaikinya.
Ketika
matahari pagi mulai naik dan udara terasa memanas, Indrajit siap memerintahkan
anak murid seperguruan untuk rnenghentikan latihan itu, dan seperti biasa akan
dilanjutkan dengan latihan gerakan-gerakan silat.
Baru saja
Indrajit memberi aba-aba dan para murid perguruan Elang Putih melompat sambil
mengeluarkan suara keras, di kejauhan terlihat seorang penunggang kuda bergerak
cepat ke arah perkampungan.
"Ketua
pulang . . . !" seru salah seorang murid.
lndrajit
terus memperhatikan penunggang kuda itu. Kemudian berkata, "Itu bukan
ketua kita."
Memang
yang datang bukanlah Ki Mantrayasa sang katua perguruan silat Elang Putih.
Penunggang kuda coklat itu sampai di hadapan Indrajit. Tubuh, muka dan
pakaiannya kotor oleh debu tenda dia telah menempuh perjalanan jauh.
Bibirnyapun tampak kering. Jelas penunggang kuda berusia hampir setengah abad
ini kelihatan letih.
"Pamen
Gitasula, kedatanganmu setelah hampir setahun tak pernah muncul sangat
menggembirakan kami. Kau tentunya haus. Biar kusuguhkan minuman segar
untukmu!"
Selesai
berkata begitu Indrajit cabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Senjata
ini dilemparkannya ke atas pohon kelapa. Sebutir kelapa yang tertebas oleh
golok ini bukan saja terbabat putus dan jatuh ke bawah, tapi sekaligus ujungnya
ikut terpotong hingga membuat lubang di tengahnya. Dengan tangan kiri Indrajit
menengkap goloknya, sedang tangan kanan menjangkau kelapa yang jatuh lalu
menyodorkannya pada orang bernama Gitasula.
"Silahkan
minum paman!"
Gitasula
yang memang sangat haus dan letih segera meneguk air kelapa muda yang segar dan
manis itu sampai habis, lalu membuang buah kelapanya ke pasir. Ombak menyapu
pantai, butiran kelapa itu terseret laut, terapung-apung dipermainkan ombak.
"Paman
Gita, sayang kau datang pada saat ketua kami tidak di sini. Gerangan apakah
yang membawa paman tiba-tiba ingat kami dan datang ke sini …?"
Gitasula
memandang wajah Indrajit sesaat, ia menatap ke arah puluhan murid-murid
perguruan. Melihat sikap orang ini Indrajit merasa tidak enak. Terlabih ketika
Gitasula berkata:
"Indrajit,
mari kita bicara di dalam sana."’ Lelaki ini lalu turun dari kudanya.
Seorang anak murid
perguruan
segera menggiring kuda tunggangannya menambatkannya ke batang pohon kelapa.
Setelah memberitahukan pada saudara seperguruannya agar mereka melanjutkan
latihan, Indrajit dan Gitasula melangkah menuju rumah besar, langsung masuk ke
ruang dalam dan duduk berhadap-hadapan.
"Nah,
paman. Katakanlah apa maksud kedatanganmu kemari," kata Indrajit pula.
"Aku
datang membawa kabar buruk Indrajit…"
"Kabar
buruk apa paman?" tanya Indrajit. Wajahnya menunjukkan rasa terkejut tapi
sikapnya tetap tenang.
"’Kabar
buruk bagi perguruan Elang Putih."
"Ada
yang tidak suka dengan perguruan kami lalu handak menjajal kekuatan kami. Atau
langsung ingin menyerbu kemari? Seperti yang kejadian dua tahun lalu dengan
orang-orang dari pantai utara itu?"
Gitasula
gelengkapan kepalanya.
"Bukan
itu Indrajit. Sejak kalian menyapu orangorang dari utara tempo hari, sejak itu
pula nama perguruan kaiian menjadi terkenal, dihormati dan disegani. Kabar
buruk yang kumaksudkan adalah mengenai guru atau ketua kalian."
"Kami
memang sedang menunggu-nunggu ketua. Janji beliau paling lambat akan
meninggalkan perguruan satu kali bulan pumama. Tapi ini sudah lewat dua kali
pumama …"
"Kau
tahu ke mana ketuamu Ki Mantrayasa pergi!"
Indrajit
mengangguk. "Beliau menerima undangan dari seseorang di pantai selatan
…"
"Kau
kenal siapa pengundang itu?"
Indrajit
menggeleng. "Jika beliau tidak kenal, tak akan mungkin pergi memenuhi
undangan. Beliau tak banyak memberi keterangan mengenai undangan, hanya katanya
ada pertemuan tokohtokoh silat Jawa Barat di selatan. Memangnya apa yang telah
terjadi paman?"
Gitasula
tak segera menjawab. Sejurus kemudian baru dia membuka mulut berkata:
"Kuharap
kau menerima kenyataan ini dengan tabah, Indrajit …"
"Paman!
Katakan apa yang terjadi!" Indrajit tak sabaran lagi.
"Ketua
perguruan Elang Putih, yang juga merupakan gurumu telah menemui kematian.
Dibunuh orang!"
Indrajit
bangkit dari duduknya. Sekujur tubuh pemuda berusia tiga puluh lima tahun ini
bergetar. Kadua matanya memandang mendelik pada Gitasula penuh rasa tak
percaya.
"Paman,
kabar buruk apakah ini?! Ketua mati dibunuh orang?!"
"Benar
Indrajit. Undangan yang disampaikan orang itu pada Ki Matrayasa adalah undangan
maut. Mereka sudah merencanakan maksud jahat dan keji. Yaitu melakukan
pembunuhan. Dan bukan hanya ketua saja yang mereka bunuh tapi lebih dari lima
belas tokoh-silat di Jawa Barat ini!"
"Paman,
jika kau datang membawa kabar musibah besar ini, berarti kau juga mengetahui
siapa pembunuh ketua kami!"
"Mereka
adalah manusia-manusia iblis dari Kota Hantu!" sahut Gitasula.
"Kota
Hantu? Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Dan siapa iblis-iblis yang kau
maksudkan itu paman?!"
"Beberapa
bulan lalu, satu komplotan yang ter’diri dari enam manusia durjana di bawah
pimpinan Singkil Alit membangun sebuah kota raksasa, terdiri dari beberapa desa
dan puluhan kampung. Seluruh kota dikelilingi pagar tinggi. Dua pintu gerbang
masuk dan keluar dikawal oleh penjaga-penjaga secara ketat …..
Selanjutnya
Gitasula menuturkan apa yang diketahuinya tentang kehidupan mengerikan di dalam
kota itu. "Penduduk tak lebih dari pekerja-pekerja paksa. Mereka disuruh
melakukan apa saja. Mulai dari bercocok tanam, memelihara ternak sampai
menangkap ikan ke laut. Para pengawal kota kabarnya juga melakukan perampokan
di mana-mana. Mereka menculik perempuan-perempuan cantik untuk diserahkan pada
enam manusia iblis itu! "Siapa saja yang berani membangkang perintah atau
coba melarikan diri pasti dibunuh!"
Lalu
Gitasula menceritakan malapetaka keji yang terjadi di malam bulan purnama dua
bulan lalu.
"Kabarnya
hampir semua tamu menemui ajal karena diracun. Tapi ketua kalian, sahabatku Ki
Matrayasa mati ditusuk dengan pedang!"
"Singkil
Alit …" desis Indrajit dengan dua tangan terkepal dan mata berapi-api.
"Kau harus bayar nyawa ketua dengan nyawamu dan nyawa lima anggota
komplotanmu!" Lalu pemuda ini berpaling pada Gitasula. "Paman katakan
siapa sebenarnya manusia bernama Singkil Alit itu. Di mane letak Kota Hantu dan
apa sesungguhnya maksudnya hingga berbuat sekeji itu?!"
"Siapa
sebenarnya Singkil Alit masih gelap bagiku. Dia bersama teman-temannya muncul
begitu seperti setan di siang bolong! Yang jelas mereka terutama Singkil Alit
memiliki kepandaian tinggi. Disamping itu mereka juga licik dan keji. Ganas
melebihi iblis! Kota Hantu yang mereka bangun dan kuasai terletak di tenggara,
enam hari perjalanan berkuda dari sini, di kaki gunung Halimun. Lalu apa maksud
mereka melakukan semua keganasan itu menurut para tokoh, ada beberapa alasan:
Pertama mereka ingin memiliki harta kekayaan. Kedua mungkin ada rencana untuk
menyerbu Kerajaan. Namun menurut pandanganku Singkil Alit ingin memulai
kehidupan hitamnya dengan pertama sekali menguasai dunia persilatan di Jawa
Barat ini. Itu sebabnya dia membunuh semua tokoh silat yang datang ke
perjamuannya!"
"Jika
memang demikian Singkil Alit dan lima iblis lainnya itu harus
dimusnahkan!" kata Indrajit pula. "Dan aku sebagai murid ketua Ki
Matraysa bersumpah untuk menebas batang leher Singkil Alit!"
"Aku
dan sisa-sisa tokoh silat di Jawa Barat ini juga punya pendapat demikian
Indra," kata Gitasula pula. "Namun apapun langkah yang kita susun,
kita harus merencanakan dengan hatihati. Enam Iblis Kota Hantu itu bukan
manusia-manusia sembarangan. Belum lagi puluhan pengawal mengelilingi mereka,
mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu tempat tidur mereka!"
"Aku
mengerti paman," sahut Indrajit. "Jika kita bergabung masakan tidak
mampu menghancurkan mereka. Aku rela mati untuk membalaskan sakit hati
guru!"
"Kalau
begitu kau datanglah ke tempatku di Lemburawi di kaki gunung Malabar. Pada hari
dua belas bulan di muka. Aku telah mengatur pertemuan para tokoh di sana. Jika
rencana matang, menyerbu Kuta Hantu dari situ akan lebih cepat karena lebih
dekat."
Jika
menurutkan hati amarahnya Indrajit ingin cepat-cepat menyerbu ke Kota Hantu.
Namun menyadari kekuatannya sendiri dan menghormati rencana yang rupanya sudah
disusun oleh paman Gitasula maka pemuda ini menyetujui rencana Gitasula itu.
*****************
5
DUA ORANG
penjaga pintu gerbang selatan Kota Hantu segera menghunus senjata masingmasing
ketika seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan. Sementara udara malam
dingin menusuk tulang, apalagi angin juga bertiup kencang.
"Siapa
dan mau ke mana?!" bentak salah seorang pengawal ketika mengetahui
pandatang bukan penduduk Kota Hantu.
"Namaku
Sirat Gambir, datang dari pantai barat ingin memasuki kota guna menemui
pemimpin kalian!" jawab penunggang kuda dengan sikap keren.
"Kami
tidak pernah mangenal namamu sebelumnya! Datang di malam buta begini untuk
menemui pimpinan kami! Kau boleh pergi dan datang besok pagi!"
"Kenal
aku atau tidak itu bukan urusan. Aku tidak mau pergi dan harus menemui pimpinan
kalian malam ini juga. Aku membawa urusan penting!"
"Katakan
apa urusanmu!" pengawai kedua buka suara.
"Ini
satu urusan rahasia dan teramat penting. Hanya bisa kukatakan pada Singkil Alit
atau salah seorang anggota pimpinan Kota Hantu lainnya," kata penunggang
kuda bernama Sirat Gambir.
"Apapun
urusanmu pimpinan kami tidak menerima tamu malam hari!"
"Begitut!"
ujar Sirat Gambit sambil menatap tajam pada si pengawal. "Baik, aku akan
pergi. Tapi jika kelak terjadi apa-apa di kota kalian, dan pemimpin kalian
mengetahui bahwa aku datang membawa kabar tapi kalian tidak memberi izin, maka
leher kalian akan ditebas!" Sirat Gambir putar kudanya. Dua pengawal
tampak saling pandang. Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berkata,
"Baiklah, kamu kami izinkan masuk kota. Tapi untuk bertemu dengan pimpinan
harus menunggu sampai pagi!"
"Aku
akan masuk kota. Dan kalian harus memberi tahu kedatanganku pada pimpinan
kalian. Jika menunggu sampai besok segala sesuatunya akan terlambat! Urusanku
bukan urusan main-main. Tapi urusan keselamatan pimpinan dan seluruh isi Kota
Hentu ini!"
"Kami
harus menggeledahmu lebih dulu!"
"Sialan!
Kalau aku bermaksud jahat, kenapa susah-susah minta izin segala? Mempreteli
kalian bardua bukan soal sulit bagiku. Lihat!"
Tubuh
Sirat Gambir tiba-tiba melesat dari atas punggung kuda. Kakinya kiri kanan
tahutahu sudah memijak kepala kedua pengawal itu, lalu bersalto di utara, di
lain saat sudah tegak di depan pintu gerbang.
Dua
pengawal pintu gerbang terkejut, mereka segera menyadari kalau mau orang
bernama Sirat Gambir itu tadi-tadi dapat menendang hancur kepala mereka!
"Nah,
apakah kalian masih belum mau membuka pintu untukku?!" tanya Sirat Gambir.
Cepat-cepat
salah seorang pengawal segera mengetuk pintu gerbang. Dua kali berturut-turut,
lalu tiga kali. Sebuah lobang empat persegi terbuka pada salah satu bagian
pintu gerbang. Satu kepala muncul dan bertanya, "Ada apa?"
"Buka
pintu. Ada tamu penting untuk pimpinan!" jawab pengawal yang di luar.
"Tamu?
Malam-malam begini?"
"Sudah,
jangan banyak tanya. Dia membawa urusan penting!"
"Siapa
namanya, datang dari mana dan apa urusannya?"
"Aku
bertanggung jawab penuh di sini! Kau tak usah banyak tanya. Lekas buka
pintu!"
Pengawal
yang di dalam, yang rupanya berpangkat lebih rendah tak berani lagi menjawab
lalu cepat-cepat membuka palang besi pintu gerbang besar itu.
Dengan di
antar oleh dua orang pengawal berkuda Sirat Gambir kemudian dibawa ke tempat
kediaman pimpinan Kota Hantu.
Walaupun
saat itu sudah lewat tengah malam namun seperti biasa di rumah besar kediaman
Singkil Alit suasana selalu kelihatan ramai. Enam pimpinan Kota Hantu itu
hampir setiap malam berkumpul di situ, menikmati minuman dan makanan lezat,
menghibur diri dengan perempuanperempuan cantik mereka ambil secara paksa atau
culik dari desa-desa sekitar kota.
Pinta
Manik tengah menggeluti tubuh seorang gadis desa yang diculik tiga hari lalu
ketika pengawal dari pintu gerbang selatan ditemani pengawal rumah besar.
Melihat kehadiran kedua pengawal ini Pinta Manik membentak marah.
"Pengawal-pengawal
keparat! Kau minta mati berani kurang ajar datang kemari tanpa
dipanggil?!"
Rangga,
Rah Tongga, Wiracula danTembesi yang sedang di ruangan itu sama-sama berpaling
ketika mendengar bentakan kawan mereka tadi. Singkil Alit saat itu berada di
ruangan dalam. Pengawal rumah besar menjura ketakutan dan buru-buru berkata.
"Mohon
maafmu pimpinan. Pengawal pintu gerbang selatan datang membawa kabar
penting."
"Kabar
penting! Kabar penting apa?!" Pinta Manik memandang pada pengawal pintu
gerbang.
Pengawal
pintu gerbang segera membuka mulut.
"Seorang
bernama Sirat Gambir mengaku datang dari pantai barat ingin menemui pimpinan di
sini. Menurut dia ada urusan sangat penting yang akan dibicarakannya. Katanya
menyangkut keselamatan para pimpinan bahkan seluruh kota!"
"Hebat
sekali!" kata Pinta Manik lalu memandang pada empat kawannya. Kelima
manusia iblis itu kembali tertawa gelak-gelak.
Pinta
Manik memandang ke luar. Di pekarangan depan rumah besar memang dilihatnya ada
seora penunggang kuda berpakaian warna gelap, berambut gondrong dan memakai ikat
kepala, didampingi seorang pengawal yang juga menunggang kuda dan senjata
terhunus.
"Orang
yang memakai ikat kepala itu yang bernama Sirat Gambir?" tanya Pinta
Manik.
Due
pengawal mengiyakan.
"Hemm
… suruh dia datang kemari! Jika dia ternyata kucing dapur yang membuang-buang
waktuku saja, akan kupatahkan batang lehernya!"
Maka
Sirat Gambirpun dibawa menghadap Pinta Manik sementara empat pimpinan Kota
Hantu lainnya tinggalkan tempat masing-masing dan melangkah mengelilingi Sirat
Gambir.
"Katakan
apa keperluanmu!" ujar Pinta Manik.
Sirat
Gambir menghitung. Hanya ada lima orang di hadapannya. Setahunya pimpinan Kota
Hantu berjumlah enam orang.
"Ada
kabar panting yang akan kusampaikan. Tapi hanya akan kukatakan atas dasar dua
syarat. Pertama, kalian harus lengkap enam orang. Aku harus tahu yang mane
pimpinan tertinggi di antara kalian. Lalu, untuk berita yang kubawa ini aku
minta imbalan paling tidak sepuluh tail uang emas!"
Sepasang
alis Pinta Manik naik ke atas, keningnya menggerenyit. Tiba-tiba dia tertawa membahak.
Empat kawannya ikut tertawa. Saat itu dari ruang dalam—mendengar suara ramai—
keluarlah Singkil Alit.
"Pesta
kalian ramai sekali. Ada perempuan baru atau ada yang lucu?!" tanya
Singkil Alit sambil betulkan celana hitamnya.
"Singkil!
Kita kedatangan seekor monyet yang bicara besar. Kau lihat sendirilah
kemari!" kata Pinta Manik,
Singkil
Alit melangkah ke hadapan Sirat Gambir sementara Pinta Manik menerangkan nama
dan maksud kedatangan orang yang dikatakannya seekor monyet itu.
"Hemmm
… Sirat Gambir, coba kau terangkan urusan yang katamu sangat panting itu.
Menyangkut
keselamatan kami dan seluruh kota! Jika berita itu cukup berharga mungkin kami
bisa memberi imbaian. Tapi apapun imbalannya kami yang menentukan, bukan
kau!"
"Sepuluh
uang emas! Kalau kalian tidak bisa menerima, lebih baik tak kukatakan dan aku
akan pergi seat ini juga!" kata Sirat Gambir.
Singkil
Alit tampak berubah wajahnya.
Sekian
lama menjadi pimpinan di Kota Hantu itu tak ada seorang pun yang berani bicara
seperti itu padanya, apalagi orang luar. Maka pimpinan Kota Hantu itupun
bertanya, "Sirat Gambir, apakah kau sadar berada di mans saat ini? Dan
berhadapan dengan siapa?!"
Sirat
Gambir memang bukan seorang pengecut. Dia tahu jika terjadi ape-apa tak akan
mampu baginya, menghadapi enam manusia iblis itu. Namun mengingat berita yang
dibawanya luar biasa pentingnya bagi enam orang itu, maka dia merasa berada di
atas angin. "Aku cukup maklum berada di mana dan berhadapan dengan siapa.
Aku menghormati kalian dan menganggap sebagai sahabat. Namuh mengingat berita
yang kubawa sangat penting, dan aku tidak main-main maka adalah wajar jika aku
mendapatkan imbalan!"
"Bagus!
Aku senang pada manusia-manusia yang berani bicara terus terang. Tapi aku tidak
suka pada orang yang bicara bertele-tele! Katakan apa berita panting yang ingin
kau sampaikan itu! Soal imbalan kita bicara belakangan! Sepuluh tail emas tidak
ada artinya bagi kami! Tapi jika beritamu ternyata kentuk busuk belaka maka kau
harus pergi dari sini dengan meninggalkan lidahmu!"
"Nah
… nah … nah!" ujar Wiracula. "Pemimpi kami malam ini sangat berbaik
hati hanya minta kau meninggalkan lidahmu, dan bukan jantungmu!"
Singkil
Alit tersenyum.
"Aku
tahu. Soal nyawa manusia bagi kalian lebih sepele dari kotoran kerbau. Setiap
saat kalian bias membunuhku. Namun itu berarti tabir rahasia berita yang akan
kusampaikan tak akan pernah kalian ketahui. Kalaupun kalian akhirnya mengetahui
maka sudah terlambat. Kota ini mungkin sudah jadi lautan api. Kalian sendiri
mungkin sudah menemui ajal atau cacat seumur hidup!"
"Hebat!
Ceritamu hebat! Tapi gila!" tukas Singkil Alit.
"Betul!"
menyahuti Tembesi. "Aku kepingin tahu siapa yang mau membuat kota ini
menjadi lautan pi dan mampu membunuh kami Enam Iblis Kota Hantu?!"
"Jika
kalian tidak tertarik dengan urusan ini, lebih baik aku pergi!" kata Sirat
Gambir jadi jengkel. Tapi diam-diam dia sudah mencium bahwa bagaimanapun enam
manusia Iblis itu ingin mengetehui apa sebenarnya berita yang hendak
disampalkan Sirat Gambir.
"Baik!
Kami tertarik. Nah katakanlah!" ujar Singkit Alit.
"Bayarannya
dulu!" sahut Sirat Gambir.
"Keparat
sialan!" maki Singkil Alit dengan mata mendelik. Tapi Sirat Gambir hanya
ganda tertawa. "Berikan uang yang diminta bangsat ini!" teriak
Singkil Alit kemudian.
Rangga
keruk pinggang pakaiannya. Lalu lemparan sebuah kentong kain ke hadapan kaki
Sirat Gambir. Orang ini membungkuk untuk mengambil kantong itu. Namun sebelum
ujungujung jarinya menyentuh kantong, dari samping Rah Tongga melompat kirimkan
satu tendangan ke kepala Sirat Gambir. Terjadilah hal yang mengejutkan keenam
manusia iblis Kota Hantu itu.
Sirat
Gambir sejak semula sudah mengetahui manusia-manusia bagaimana adanya enam
orang yang dihadapinya itu. Selain bengis ganas mereka juga rata-rata licik.
Karenanya sewaktu membungkuk mengambil kantong kain yang waktu jatuh
mengeluarkan suara bergemerincing, ekor matanya melirik ke kiri dan kanan.
Begitu dilihatnya Rah Tongga membuat gerakan, secepat kilat Sirat Gambir
melompat ke kiri, menyelamatkan kepala sambil ujung jari kaki kirinya menjepit
kantong uang. Kantong itu melesat ke atas, dan ketika dia berdiri di sudut
ruangan, kantong sudah ada dalam genggamannya.
Sambil
menyeringai Sirat Gambir berkata.
"Aku
datang dengan maksud baik. Antaaa kita tak ada silang sengketa. Tapi jika
kalian bertindak licik dan ganas, kalian akan rasakan sendiri akibatnya!"
Baik
Singkil Alit maupun lima manusia iblis lainnya kaget bukan kepalang. Tendangan
yang tadi dilepaskan Rah Tongga bukan tendangan sembarangan. Merupakan tendangan
maut yang sulit untuk dikelit! Jika orang bernama Sirat Gambir itu sanggup
selamatkan diri nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Menimbang di situ
Singkil Alit buru-buru berkata.
"Sirat
Gambir, jangan kau salah sangka! Kawanku yang satu ini memang suka usilan. Dia
hanya tak sabar untuk membuktikan bahwa kau bukan orang sembarangan. Yang
berarti apapun berita yang bakal kau sampaikan, pasti akan kami percayai!"
"Hemm
begitu? Baik! Tapi untuk tendangan tadi kalian haus mengeluarkan bayaran
tambahan sepuluh mata uang emas lagi!" kata Sirat Gambir.
"Kurang
ajar! Jadi kau hendak mempermainkan kami?!" sentak Tembesi.
"Bukan
aku! Tapi kalian yang mau mempermainkan aku!" sahut Sirat Gambir pula.
"Nah, kalian berikan apa yang kuminta. Atau aku akan tinggalkan tempat
ini!"
"Singkil!"
berkata Wiracula dengan tampang menunjukkan keberingasan. "Anjing jalanan
seperti dia kenapa tidak kita gorok saja batang lehernya?!"
"Tenang
Wira; " bisik Singkil Alit. "Monyet satu ini di samping punya sedikit
ilmu juga licik. Biar aku yang melayaninya." Lalu pada Sirat Gambir
pimpinan Kota Hantu itu berkata, "Sobatku, jika maksudmu datang adalah
baik, mengapa buru-buru pergi. Jangan khawatir.
Tambahan
uang yang aku minta akan kuberikan. Bukan cuma sepuluh tapi lima bola mata uang
emas!"
Singkil
Alit memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Orang ini masuk ke dalam,
ketika keluar dia membawa sebuah kantong kain. Kantong isi uang ini diserahkan
Singkil Alit pada Sirat Gambir.
"Nah,
kau sudah menerima apa yang kau minta. Sekarang katakan berita penting apa yang
hendak kau sampaikan pada kami?!"
Setelah
menghitung terlebih dulu uang dari kantong kain dan memasukkannya ke balik
pakaianya, Sirat Gambir melangkah mundur ke dekat pintu. Dia sengaja mencari
tempat yang baik agar jika terjadi apa-apa dapat tinggalkan tempat itu dengan
cepat. Namun Singkil Alit yang bergelar Harimau Hitam juga tidak bodoh. Selagi
Sirat Gambir sibuk menghitung uang emas dalam kantong, dia memberi isyarat lima
anak buahnya. Kelima orang ini segera menyusul kedudukan sementara di luar
rumah besar, cepat sekali dua puluh pengawal bersenjata mengurung jalan keluar.
"Singkil
Alit, kau dan kawan-kawanmu ingat peristiwa tiga bulan lalu? Ketika kalian
mangadakan jamuan makan minum. Mengundang puluhan tokoh silat di kawasan barat
ini!" berkata Sirat Gambir.
"Oh,
itu…. ? Apa hubungannya dengan berita yang hendak kau sampaikan?!"
"Kalian
mungkin menyangka bahwa pembunuhan keji yang kalian lakukan terhadap semua
undangan itu tidak bocor keluar. Banyak tokoh silat di luar kini sudah
mengetahuinya…."
"Lalu?"
"Mereka
kini menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu. Menyama-ratakan dengan tanah
danmembunuh kalian berenam!"
Mendengar
keterangan Sirat Gambir itu Singkil Alit memandang pada kawan-kawannya.
Keenamnya lalu tertawa gelak-gelak.
"Masih
saja ada manusia-manusia bodoh ingin melakukan ketololan!" kata Singkil
Alit.
"Kota
ini bernama Kota Hantu. Siapa yang berani masuk akan berhadapan dengan
hantu-hantu!
Akan
mampus!"
"Aku
hanya memberitahukan. Orang-orang ini bukan kelompok sembarangan," kata
Sirat Gambir pula.
”Hem….
Katakan kalau kau tahu siapa mereka!" Pinta Manik berkata sambil tolak
pinggang.
"Yang
menjadi pengatur rencana adalah seorang tokoh bemama Gitasula. Dia saudara
sepupu Ki Matrayasa, ketua perguruan silat Elang Putih yang ikut jadi korban
pembunuhan tiga bulan lalu. Pucuk pimpinan perguruan itu sekarang dipegang oleh
murid terpandai bernama Indrajit. Tiga puluh anak buah perguruan siap menyerbu
ke sini…."
"Jangankan
tiga puluh, tiga ratuspun mereka boleh datang kemari jika memang mau mati
konyol!" Yang bicara adalah Rah Tongga.
"Nama
Gitasula ataupun Indrajit dengan perguruan silat Elang Putihnya mungkin bukan
apa-apa bagi kalian. Namun dengan mereka juga bergabung beberapa tokoh silat
tingkat tinggi. Yang pertama Ingar Gandra, tokoh silat dari Ujung Kulon yang
bergelar Sultan Maut…."
Singkil
Alit dan kawan-kawannya saling pandang, menekan rasa kaget. Meskipun mereka
berenam tidak takut namun mereka tahu betul Ingar Gandra memang bukan tokoh
silat sembarangan.
"Siapa
lagi lainnya?!" tanya Singkil Alit.
"Datuk
Hijau!" jawab Sirat Gambir.
"Jadi
tua bangka keropos itu juga ikut berkomplot melawan kami!" ujar Singkil
Alit sambil puntir kumis tebalnya. "Ada lagi yang lain?"
"Ada.
Tapi mereka tidak kukenal. Di antaranya seorang bertopeng…." Lalu Sirat
Gambir menyambung. "Nah keteranganku tentang orang-orang itu sudah
lengkap. Aku sudah menerima imbalan dari kalian, saatnya aku pergi.
Namun…"
"Namun
apa lagi?!" Rah Tongga tampak tak sabaran.
"Jika
kalian mau memberikan lagi dua puluh lima uang emas, aku akan berikan
keterangan di mana dan dari mana kelompok orang-orang itu akan mengatur
serangan."
"Manusia
temahak haram jadah!" maki Tembesi sambil melangkah menghampiri Sirat
Gambir, siap untuk menghajarnya. Namun Singkil Alit cepat memegang bahu
kawannya ini. Pada Sirat Gambir manusia bergelar Harimau Hitam ini berkata,
"Uang bagi kami bukan apaapa. Katakan di mana mereka mengatur
serangan."
"Uangnya
dulu!" kata Sirat Gambir seraya ulurkan tangan dan menyeringai.
"Ambil
uang!" seru Singkil Alit.
Sesaat
kemudian sebuah kantong berisi dua puluh lima keping uang emas sudah berpindah
ke tangan Sirat Gambir. Dengan demikian dia sudah mendapatkan lima puluh keping
uang emas. Satu jumlah yang luar biasa. Seorang Adipati sekalipun di masa itu
belum tentu memiliki uang sebanyak itu.
"Dengar,
mereka mengatur serangan dari sebuah pondok di lembah Cilendak. Setengah hari
perjalanan dari sini ke arah barat laut!"
Singkil
Alit manggut-manggut.
"Sirat
Gambir, keteranganmu memang cukup pantas dihargai lima puluh uang emas itu.
Kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih. Jika saja kau suka, kau boleh
tinggal disini bersama kami. Kita menyambut komplotan orang-orang tolol itu.
Kau akan mendapat sebuah rumah dalam kota ini, semua keperluanmu terjamin.
Termasuk perempuan cantik!"
Sirat
Gambir tersenyum mendengar kata-kata pemimpin Kota Hantu itu dan menjawab,
"Terima kasih. Tidak disangka manusia-manusia iblis Kota Hantu berhati
polos seperti itu.
Hanya
sayang aku tidak begitu suka tinggal di sini dan berkumpul dengan kalian.
Urusan sudah selesai, aku tak butuh berada lebih lama di sini!"
Sirat
Gambir putar tubuhnya namun dia jadi terkejut ketika mendapatkan pintu keluar
telah dihadang rapat oleh puluhan pengawal bersenjata. Lelaki ini sudah
mengetahui bahwa para pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian silat cukup
tinggi, walaupun cuma ilmu silat kasar. Mereka dilatih langsung oleh enam iblis
Kota Hantu.
Sirat
Gambir berpaling pada Singkil Alit dan berkata, "Singkirkan cacing-cacing
busuk ini! Atau mereka akan kubikin amblas ke dalam tanah!"
Singkil
Alit tertawa gelak-gelak.
"Kau
singkirkanlah sendiri!" katanya lalu dia memberi isyarat pada lima
kawannya. Keenam orang itu kemudian membentuk setengah lingkaran dan melangkah
mendekati Sirat Gambir. Melihat keadaan ini Sirat Gambir segera menghantam ke
kiri. Dua pengawal roboh. Dari pengawal yang ketiga dia merampas sebilah golok
lalu menghantam dengan sebat. Dua pengawal lagi roboh. Namun yang datang malah
tambah banyak. Dari belakang Singkil Alit dan kawan kawannya mulai menyerang.
Sirat
Gambir ternyata memang bukan orang sembarangan. Setelah membunuh delapan
pengawal, melukai empat lainnya bahkan berhasil menendang Rah Tongga dia
berusaha melarikan diri dengan melompat ke atas atap bangunan. Maksudnya hendak
membobol atap itu lalu kabur di kegelapan malam. Namun sebuah senjata rahasia
yang dilemparkan Wiracula dan tapat mengenai punggung kirinya membuat lelaki
ini kehilangan keseimbangan. Sebelum dia sempat bergayut pada kayu kaso atap,
dua dari enam iblis Kota Hantu sudah melompat. pula ke atas mengejarnya. Satu jotosan
menghantam pelipis kiri Sirat Gambir. Satu sodokan sikut mematahkan dua tulang
iganya.
Tubuh
Sirat Gambir melayang jatuh ke bawah. Hebatnya selagi jatuh ini dia masih
sempat kirimkan satu tendangan ke dada salah seorang penyerangnya.
Buk!
Tendangan
itu tepat, mengenai dada Pinta Manik. Darah menyembur dari mulutnya. Manusia
iblis satu ini terhampar jatuh duduk di lantai, cepat ditolong oleh
kawan-kawannya. Sementara itu lebih dari selusin macam senjata para pengawal
dihunjamkan ke tubuh Sirat Gambir yang jatuh dan terkapar tak berdaya.
"Manusia
setan alas!" maki Singkil Alit. "Bawa mayatnya keluar, lemparkan
keluar pagar kota!"
Setelah
mayat Sirat Gambir diseret keluar para pimpinan Kota Hantu ittu kecuali Pinta
Manik segera mengadakan perundingan.
"Siapapun
komplotan yang hendak menyerbu itu aku tidak takut," kata Singkil Alit.
"Namun
yang bergelar Sultan Maut meskipun kita tak akan kalah menghadapinya, perlu
diperhitungkan. Dia dekat dengan Istana Banten…"
"Kalau
kita bisa menyusun rencana kenapa musti khawatir. Aku ada usul." kata
Tembesi pula.
*****************
6
HARI
MASIH terang-terang tanah ketika lima sosok tubuh berpakaian serba hitam
berkelebat laksana hantu malam, bergerak mengelilingi pondok kayu.
Tiba-tiba
di dalam pondok terdengar seruan. "Semua bangun! Ada orang datang."
Serentak
pintu depan terpentang, jandela samping terbuka. Tiga orang tegak di halaman
samping, menghadapi lima lainnya yang berpakaian serba hitam yang bukan lain
dalah Singkil Alit, Rah Tongga, Tembesi, Wiracula dan Rangga.
Tiga
orang yang barusan menghambur dari dalam pondok adalah pemuda Indrajit anak
murid Ki Mlatrayasa dari perguruan siiat Elang Putih, lalu kakek bermuka hijau
yang dikenal dongan sabutan Datuk Hijau. Sedang yang ketiga adalah Gitasula,
saudara sepupu mendiang Ki Matrayasa.
"Hamm,..
kulihat cuma tiga ekor monyet! Mustinya lebih banyak dari ini. Mana
monyetmonyet lainnya?!" Singkil Alit alias Harimau Hitam buka suara.
Kakek
bermuka hijau perdengarkan suara tartawa. Sambil kucak-kucak mata dia berkata.
"Jauh-jauh
menyusun rencana, tahu-tahu yang dicari datang sendiri unjukkan tampang!
Manusiamanusia iblis Kota Hantu. Mana kambratmu yang satu lagi? Mengapa cuma
muncul berlima?!"
Mendengar
sebutan iblis Kota Hantu itu kagetlah Indrajit. Sebelumnya dia memang tak
pernah melihat atau mengenal manusia-manusia ini. Begitu mengetahui kalau lima
orang berpakaian serba hitam bertampang ganas itu adaiah manusia-manuaia
durjana yang telah membunuh gurunya serta merta Indrajit melompat dan
membentak.
"Kelian
telah membunuh ketuaku! Sebelum matahari terbit kalian berlima harus mampus di
tanganku!"
"Anak
muda!" ujar Rah Tongga. "Ucapanmu karen amat! Apa ingin buru-buru
menyusul ketuamu?!"
Panaslah
hati Indrajit. Mendidih amarahnya. Dia menghantam ke arah Rah Tongga.
"Cacing
ingusan! Berani bermulut besar berani menerima bagian!" kata Rah Tongga
dan sambut pukulan Indrajit dengen tangkisan lengan kiri. Semula manusia iblis
ini tidak memandang sebelah mata pada anak murid perguruan silat Elang Putih
itu. Tapi begitu lengan mereka saling beradu, tampak jelas Rah Tongga
mengerenyit menahan sakit. Sebaliknya Indrajit tersurut satu langkah. Meski
tangannya tidak sakit namun pemuda ini menyadari kalau lawan memiliki tenaga
lebih besar. Karenanya dengan mengerahkan tenaga dalam dia kembali menyerang.
Singkil Alit danWiracuia tak tinggal diam. Keduanya menyerbu kakek bermuka
hijau.
Sementara
Tambesi dan Rangga menerjang Gitasula.
Datuk
hijau adalah tokoh tua yang sudah lama tidak muncul dalam dunia persilatan.
Sebetulnya kakek ini tidak berminat lagi mencampuri segala macam urusan dunia
persilatan. Dia
lebih
banyak menyepi diri. Namun kemunculan enam manusia iblis di bawah pimpinan
Singkil Alit alias Harimau Hitam dan berdirinya Kota Hantu mau tidak mau membangkitkan
semangat muda sang datuk yang ingin melihat tegaknya kebinaran dan hancurnya
kejahatan. Namun niat sang datuk untuk berbuat kebajikan sekali ini rupanya tak
bakal kesampaian karena ternyata dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian
tinggi.
Korban
pertama yang jatuh dalam pertempuran itu adalah Gitasula. Pengeroyokan atas
dirinya berlangsung sembilan jurus ketika Rangga dan Tembesi keluarkan senjata
yakni berupa best hitam yang ujungnya diganduli bola besi penuh duri tajam.
Setiap pimpinan Kota Hantu memiliki senjata seperti itu danselalu mereka
keluarkan bilamana lawan yang dihadapi dianggap cukup kuat tak mungkin
dikalahkan dengan ilmu silat tangan kosong.
Gitasula
yang mempertahankan diri dengan sebilah pedang keluarkan seluruh kepandaiannya.
Pedang saatnya menyabet kian kemari membentuk bayang-bayang masuk. Puncak
kehebatan Gitasula hanya sampai pada kesanggupan merobek perut pakaian Rangga.
Di lain saat bola besi berduri di ujung rantai Tembesi melabrak bahu kanannya
hingga lelaki ini terbanting sempoyongan ke kiri. Daging dantulang bahunya
hancur. Darah membasahi sisi kanan tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu Rangga
datang menyerbu. Rantai hitam di tangan kanannya berdesing berputar-putar. Bola
berAri tiba-tiba melesat ke muka Gitasula. Gitasula yang tidak mampu membuat
gerakan mengelak terpaksa angkat tangan kiri untuk menangkis. Dia memilih
memukul rantai besi dari pada memukul bola berduri.
Krak!
Terdengar
suara patahnya tulang lengan Gitasula ketika tangannya beradu dengan rantai
besi. ban nyatanya dia tidak pula berhasil menyelamatkan mukanya karena akibat
pukulan pada rantai besi, bola besi justru melentur melejit menghantam mukanya
lebih cepat dan lebih keras!
Gitasula
terlontar beberapa langkah. Terkapar di tanah dengan muka hancur mengerikan.
Melihat kematian Gitasula, Indrajit berteriak marah. Seperti orang kemasukan
setan dia menyerang Rah Tongga dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat
Elang Putih. Tubuhnya berkelebat kian kemari. Sepasang tangannya laksana dua
sayap burung elong, mengembang mengirimkan serangan yang tiada henti.
Sedang
kakinya kiri kanan pada waktu-waktu tertentu lancarkan tendangan yang tidak
terduga Rah Tongga jadi kaget ketika dapatkan dirinya terkurung rapat dan tak
mampu membalas. Dia mundur terus sampai akhirnya satu pukulan mengenai rusuk
kanannya. Dadanya terasa sesak, tak dapat dipastikan apakah ada tulangnya yang
patah. Yang jelas amarahnya menggelegak. Terlebih ketika didengarnya ejekan
Tembesi.
"Tongga!
Ternyata kau tak sanggup menghadap pemuda yang kau anggap cacing ingusan itu!
Sarahkan dia pada kami!"
"Tutup
mulutmu Tembesi! Sebentar lagi kutekuk batang lehernya!" sahut Rah Tongga
dengan muka marah. Habis berkata begitu manusia iblis ini loloskan rantai hitam
yang ujungnya bola-bola berduri lalu mengamuk menggempur Indrajit. Mendapat
serangan ganas begini rupa, yang tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong,
murid mendiang Ki Matrayasa itu segera keluarkan pula senjatanya, sebilah
pedang yang memiliki ketajaman pada kedua sisinya. Di bagian lain walaupun
sudah mengurung rapat namun Singkil Alit dan Wiracula masih belum sanggup
merubuhkan si kakek muka hijau yang gerakannya ternyata ringan sekali dan
pukulan-pukulannya terarah ke bagian-bagian tubuh berbahaya kedua lawannya.
Namun kematian Gitasula mempengaruhi diri kakek ini, hingga gerakan-gerakannya
menjadi sedikit lamban.
Walaupun
begitu tetap sulit bagi dua lawannya untuk menerobos, susupkan pukulan atau
tendangan.
"Setelah
menunggu lagi tiga jurus dan tetap tak mampu berbuat lebih banyak, Singkil Alit
berikan isyarat pada Wiracula. "Dari mulut Singkil Alit keluar suara
mengaum separti auman harimau. Tubuhnya miring ke depan, kedua kakinya menjejak
tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke depan, kedua tangan menggapai
mencengkeram, persis seperti harimau yang hendak melahap mangsanya.
Wiracula
keluarkan suara tak kalah seramnya. Dia menggereng macam harimau terluka. Kalau
Singkil Alit menerjang dari depan maka dia melesat dari samping kiri. Datuk
Hijau maklum kalau dua lawan telah keluarkan jurus-jurus silat mereka yang
terhebat. Karananya diapun tak mau berbuat lalai. Kedua tangannya bergerak ke
pinggang. Sesaat kemudian tangannya kiri kanan telah memegang sehelai sapu
tangan putih. Sapu tangan itu disapukannya ke mukanya yang hijau. Aneh, begitu
disapukan saputangan yang tadi berwarna putih itu kini berubah jadi hijau. Dan
begitu lawan mendekat, Datuk Hijau kebutkan dua helai sapu tangan itu
menyongsong serangan. Angin keras menderu disertai membersitnya sinar hijau
yang jelas kelihatan karena saat itu hari telah mulai pagi dan terang. Kehebatan
ilmu si kakek mau tak mau membuat kaget dua manusia iblis itu.
"Keparat
tua ini ternyata masih punya kuku. Kalau tak lekas dihabisi bisa berabe!"
pikir Singki Alit. Maka sebelum dua tangannya yang menggapai mencengkeram ke
depan bergerak lebih jauh, tiba-tiba pemimpin Kota Hantu ini berputar
berjumpalitan ke kanan. Di saat itu pula terdengar suara berdesing dan sambaran
benda hitam! Ternyata Singkil Alit telah loloskan rantai hitam yang ujungnya
diganduli bola berduri.
Bret!
Sapu
tangan di tangan kiri Datuk Hijau robek Singkil Alit melompat mundur dengan
wajah berubah meski dia berhasil menghancurkan senjata lawan, namun tonjolan
runcing pada bola besi hitamnya tampak rontok! Benar-benar tak masuk akal
baginya. Kain yang begitu lunak sanggup menghancurkan duri besi. Dapat
dibayangkan kalau yang kena dihantam adalah daging atau tulang manusia!
Kehebatan
sapu tangan hijau sang datuk rupanya, dirasakan juga oleh Wiracula. Angin yang
keluar dari sapu tangan di tangan kanan Datuk Hijau seolah-olah badai besar
yang datang menggulungnya hingga gerakannya tertahan. Ketika dicobanya
mendobrak ke depan dengan melipatgandakan tenaga dalam dan lawannya kebutkan
sapu tangan hijau, Wiracula terpental. Hampir saja dia kena terserempet
serangan susulan Datuk Hijau kalau sang datuk tidak cepatcepat tarik
serangannya karena dari lain jurusan kembali menderu bola besi yang dihantamkan
Singkil Alit!
Kegesitan
dan kecepatan gerakan mambuat Indrajit berkali-kali hampir mencelakai lawannya.
Sebaliknya Rah Tongga, iblis yang berbadan paling gendut itu makin lama makin
lamban gerakannya. Tenaganya terkuras karena serangan rantai dan bola besinya
selalu mengenai tempat kosong. Karena tidak berhasil menghantam tubuh atau
kapala lawan dengan senjatanya maka, Rah Tongga kini arahkan serangannya untuk
memukul tangan atau pedang Indrajit. Si pemuda yang nengetahui maksud lawan
pergunakan kecerdikan untuk menghindari bentrokan senjata. Akibatnya
serangan-serangan Rah Tongga semakin kacau balau. Memang patut diketahui
sabagai murid tertua dari perguruan silat Elang Putih, dalam ilmu padang
Indrajit telah mewarisi seluruh kapandaian gurunya. Apalagi dia berkelahi
dengan semangat tinggi demi untuk membalas kematian sang guru. Setelah
bertempur lebih dari dua puluh lima jurus, mulai terdengar suara bret… bret!
Robeknya pakaian hitam yang dikenakan Rah Tongga, dicabik ujung padang si
pemuda. Menusia iblis ini keluarkan keringat dingin dan putar rantai besinyamya
lebih sebat!
Melihat
dua kawannya yaitu Tembesi dan Rangga hanya tegak cengar cengir sementara dia
dan yang lain-lainnya masih terus bertempur menghadapi lawan tangguh, Singkil
Alit jadi berang dan berteriak.
"Tembesi!
Bantu Rah Tongga! Dan kau Rangga, bantu aku menghadapi tua bangka muka hijau
ini!" Mendengar perintah itu Tembesi segera melompat ke samping Rah
Tongga, langsung menyerang Indrajit dengan rantai hitam bola besi. Rangga juga
sudah menerjang Datuk Hijau dengan senjata yang sama dari arah belakang.
Dengan
ketambahan satu lawan masing-masing, Indrajit dan Datuk Hijau kini berada dalam
keadaan terancam. Bagaimanapun mereka kerahkan kepandaian namun dikeroyok
begitu rupanya jurus demi jurus keduanya semakin terdesak. Datuk Hijau yang
dikeroyok tiga mengalami nasib buruk lebih dahulu. Rantai hitam Wiracula
berhasil melibat lengan kanan kakek muka hijau itu. Meskipun dengan cepat dia
mampu meloloskan libatan rantai namun dua pengaroyoknya yang lain pergunakan
kesempatan untuk menyerang. Singkil Alit datang dari sebelah kanan, sehingga
dari sebelah belakang. Keduanya dengan hantaman bola-bola besi. Datuk Hijau
jatuhkan diri ke tanahnya terus bergulingan dan memukul ke arah lawan terdekat
yaitu Wiracula. Namun gerakannya hanya ke sia-siaan belaka. Karena begitu
tubuhnya miring ke depan, cepat sekali bola besi di tangan Singkil Alit membalik
menggebuk punggungnya.
Datuk
Hijau mengeluh tinggi. Tubuhnya terhambus ke tanah. Di saat itu pula bola
berduri di tangan Rangga membabat ke bawah, menghantam tengkuk si kakek.
Nyawanya putus detik itu juga!
"Tua
bangka edan!" rutuk Singkil Alit. Dia berpaling pada Tembesi dan Rah
Tongga yang masih menempur Indrajit. Dan berteriak. "Hanya seorang pemuda
yang kalian anggap cacing busuk. Kalian tak sanggup menghajannya. Tolol!"
Saat itu
sebenamya Indrajit berada dalam keadaan ginting. Melayani Rah Tongga dia masih
sanggup bahkan dalam beberapa jurus di muka pemuda ini segera akan dapat
menghabisi lawannya. Namun setelah Rah Tongga dibantu oleh Tembesi, keadaan
jadi berbalik. Kini Indrajit yang terdesak hebat. Di satu jurus di mana dua
bola besi melesat ganas mencari sasaran di tubuh dan kepala si pemuda, Indrajit
putar pedangnya sambil melompat. Sambaran bola besi yang mengarah ke dada dapat
dielakkan, namun dia terpaksa pergunakan pedang untuk menangkis sambaran bola
besi yang menghantam ke kepalanya.
Treng!
Pedang di
tangan lndrajit patah dua. Sementara bola besi terus menyambar ke kepalanya.
Dalam keadaan tak mungkin untuk mengelak lagi, pemuda ini lemparkan patahan
pedangnya ke arah Tembesi.
"Pemuda
gila!" maki Tembesi. Dia harus membuat gerakan mengelak jika tak ingin
terluka oleh patahan pedang. Tapi gerakan mengelak tak mungkin dilakukannya
jika dia masih terus memegang rantai hitamnya. Kerena ingin melihat kematian si
pemuda maka ia memilih melepas pegangannya pada rantai hitam. Toh bola besi hanya
tinggal setengah jengkai saja dari kepala lawannya dan Indrajit tak mungkin
selamatkan kepalanya.
"Ah,
matilah aku!" ujar Indrajit dalam hati.
Trak!
Sepotong
kayu kecil tiba-tiba entah dari mana datangnya menyusup menahan hantaman bola
berduri. Ujung kayu itu patah tapi kepala Indrajit selamat. Selagi pemuda ini
tidak mengetahui jelas apa yang telah terjadi tiba-tiba dia merasakan tubuhnya
dipanggul orang dan dilarikan laksana terbang. Di belakangnya terdengar
bentakan-bentakan marah.
"Bangsat
rendah! Siapa yang berani ikut campur urusan kami iblis-iblis Kota Hantu!"
"Tembesi!
Kejar orang itu!" perintah Singkil Alit.
Namun
Indrajit tidak melihat ada yang mengejar. Orang yang melarikannya memiliki ilmu
lari luar biasa. Tak mungkin dikejar. Pemuda ini berusaha untuk melihat wajah
orang yang memanggulnya itu. Tapi tidak bisa karena rambut panjang putih orang
itu, yang tertiup angin, menutupi wajahnya.
*****************
7
"DUA
PULUH pemuda menunggang kuda menuruni lembah dengan cepat mengiringi dua orang
di sebelah depan. Orang ini adalah seorang lelaki berjubah putih dan mengenakan
topi berbentuk sorban tinggi juga berwarna putih. Yang kedua seorang pemuda
bertubuh ramping yang secara aneh menutupi wajahnya dengan sehelai kain biru
hingga sepasang alis dan matanya saja yang kelihatan.
Rombongan
itu bergerak cepat menuju pondok kayu di lembah Cilendak. Dari jauh pondok
tampak sepi. Pintu dan jendela tertutup.
"Mudah-mudahan
kita tidak terlambat!" kata orang tua bersorban putih. Dia adalah Sultan
Maut. Pemuda di sebelahnya, yang bercadar kain biru hanya dikenal dengan nama
Pandu. Dua puluh anak muda penunggang kuda merupakan murid-murid perguruan
silat Elang Putih. Sesuai dengan perjanjian, pagi itu mereka berkumpul dan
bergabung di lembah Cilendak. Menjelang malam, setelah lebih dulu beristirahat
dan mematangkan siasat baru mereka bergerak menuju Kota Hantu. Di tengah jalan
diharapkan beberapa orang pandai lainnya akan ikut bergabung.
"Sahabat-sahabat!
Kami datang!" seru Sultan Maut. Mulutnya hanya bergerak sedikit tetapi
suaranya keras menggetarkan seantero lembah. Dari dalam pondok tak ada jawaban.
"Aneh,"
kata Pandu. "Apakah sesiang ini mereka masih ketiduran! Kalau musuh datang
membokong bisa habis mereka semua!"
"Indrajit!
Datuk Hijau! Gitasula!" kembali Sultan Maut memanggil. "Kalian ada di
dalam?!"
Tiba-tiba
jendela di samping kanan pondok terpentang. Sesosok tubuh melesat keluar dan
tarkapar di tanah, di hadapan rombongan yang baru datang. Serta merta semua orang
itu menjadi terkejut. Sepasang mata Sultan Maut sampai mendelik. Dia melompat
dari kudanya, diikuti Pandu serta belasan pemuda lainnya.
"Astaga!
Ini Gitasula!" seru Sultan Maut. Meskipun wajah orang itu hancur namun dia
masih bisa mengenali sahabatnya ini.
"Dia
korban pembunuhan!" desis Pandu dan memandang berkeliling. Lalu memberi
perintah pada puluhan pemuda. "Kurung pondok!" Maka dua puluh murid
perguruan Elang Putih segera mengurung pondok kayu di tengah lembah itu.
Masing-masing siap dengan senjata. Sultan Maut tak dapat memastikan dengan
botol apa Gitasula dihantam hingga mukanya hancur begitu rupa. Perlahan-lahan
orang tua ini berdiri dan memandang tajam itu arah pondok.
"Siapa
di dalam pondok? Lekas keluar!" orang tua ini membentak. Baru saja bentakan
sirap mendadak pintu pondok terbuka, lebar dan sesosok tubuh dilemparkan
keluar. Sultan Maut dan Pandu melengak kaget dan sama-sama berseru kaget
tegang. Tubuh yang menggeletak di hadapan mereka adalah tubuh Datuk Hijau.
Kakek ini juga mati serba mengenaskan. Tubuhnya hancur di beberapa bagian.
"Pandu,
siapapun yang membunuh para sahabat kita ini, pembunuhnya pasti ada di dalam
pondok itu. Bersiap untuk menghancurkan bangunan itu!" kata Sultan Maut.
Pendu memberi isyarat pada dua puluh anak murid perguruan. Namun dia ingat
sesuatu lalu berbisik pada Sultan Maut. "Saya belum melihat Indrajit.
Apakah dia juga telah jadi korban dan akan dilemparkan ke hadapan kita kali
berikutnya?!"
Tiba-tiba
dari dalam pondok terdengar tertawa bergelak. Lima sosok tubuh berpakaian serba
hitam, bertampang ganas dan masing-masing mencekal rantai hitam yang ujungnya
diganduli bola besi barduri, berkelebat, tegak menyebar. Mereka bukan lain
adalah lima dari enam iblis Kota Hantu.
Singkil
Alit angkat tangan kirinya serta merta kawan-kawannya hentikan tertawa.
"Sultan
Maut! Selamat datang di pondok maut ini!" kata Singkil Alit.
"Iblis
terkutuk! Jadi kalian yang punya pekerjaan ini?!" ujar Sultan Maut geram.
Singkil
Alit menyeringai.
"Kami
sengaja datang kemari agar kau dan kawan-kawanmu tidak usah capaikan diri
jauhjauh ke Kota Hantu. Kami kawatir kalau-kalau tidak dapat menyuguhkan
sambutan yang layak di Kota Hantu. Karenanya kami menunggu di sini. Ketika kami
datang ternyata sahabat-sahabat kalian yang sudah lebih dulu berada di sini,
begitu ingin cepat-cepat mampus. Maka kami membukakan pintu maut baginya."
Habis berkata begitu Singkil Alit dan keempat anak buahnya kembali tertawa
gelak-gelak.
"Setahuku
kalian berjumlah enam manusia. Manusia-manusia iblis puntung neraka. Mana koncomu
yang satu lagi!" membentak Pandu.
"Anak
muda, sikapmu boleh juga. Kau akan jadi korbanku pertama!" sahut Singkil
Alit
"Dimana
ka wanku yang satu berada kau tak usah tahu…."
"Lalu
di mana Indrajit?"
"Itupun
kau tak perlu tahu!"
"Kalau
begitu makan tanganku!" Pandu jadi marah. Tubuhnya berkelebat ke depan.
Tangannya menghantarn. Ganda tertawa Singkil Alit angkat tangan kirirtya.
Maksudnya sekali bergerak aja dia hendak menangkap tangan pemuda bertubuh
ramping itu. Apalagi gerakgeriknya yang kelihatan lembut maka si Harimau Hitam
menganggap enteng serangan lawan. Tetapi alangkah kagetnya Singkil Alit ketika
tiba-tiba serangan tangan itu ditarik pulang, dengan memiringkan tubuhnya Pandu
kini ganti menghantam dengan satu tendangan.
Buk!
Singkil
Alit terpekik.
Tulang
lengannya seperti patah dan persendian tangan kirinya laksana tanggal.
"Edan!"
teriaknya marah. Dia memeriksa dengan cepat dan hatinya jadi lega ketika
mengetahui bahwa hanya bagian luar lengannya saja yang cidera. "Pemuda
keparat! Buka cadarmu! Aku tidak suka membunuh orang tanpa melihat tampangnya
lebih dulu!"
Pandu
tartawa sinis. "Kalau kau sudah mampus dan berkumpul dengan hantu-hantu
liang kubur, baru nanti kau bisa melihat tampangku!" kata pemuda ini.
"Kau
betul-betul minta mampus!" Singkil Alit marah sekali lalu putar rantai
hitamnya.
Empat
kawannya tidak tinggal diam. Dua melompat menghadang gerakan Sultan Maut sedang
dua lagi menyerbu menghadapi dua puluh murid perguruan Elang Putih yang telah
pula mulai bergerak menyerbu.
Pertempuran
sangat hebat berlangsung di lembah Cilendak itu. Tembesi dan Rah Tongga
mengeroyok Sultan Maut, Singkil Alit menghadapi Pandu sedang Wiracula dan
Rangga membendung gempuran dua puluh pemuda bersenjata. Meskipun lawan yang
dihadapi dua iblis terakhir ini jauh lebih banyak namun pemuda-pemuda tersebut
belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa diandalkan. Akibatnya terjadilah
hal yang mengerikan. Di mana-mana terdengar jerit kematian. Kedua puluh pemuda
murid perguruan Elang Putih menemui ajal atau luka parah dihantam dan digebuk
rantai hitam atau gandulan besi. Sosok tubuh mereka berkaparan di mana-mana.
Erangan mereka yang luka-luka dan yang meregang nyawa mendirikan bulu roma!
Sultan
Maut merasakan darahnya mendidih. Namun dia tak mau berlaku nekad. Dua lawan yang
dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Jika dia terpengaruh hawa amarah, akan
mudah bagi lawan untuk mencelakainya. Di samping itu dia mencemaskan pula
keadaan Pandu yang bertempur mati-matian dengan Singkil Alit. Pemuda itu, walau
memiliki kegesitan serta kecepatanatan dan tingkat tenaga dalam yang tidak
rendah, namun sulit baginya untuk mengalahkan manusia bergelar Harimau Hitam
itu. Apalagi Pandu sampai saat itu hanya mengandalkan tangan kosong sedang
lawan menggempur tiada henti dengan rantai hitam bola besi berduri. Di satu
kesempatan Sultan Maut ambil sebilah keris dari balik jubahnya dan melemparkan
senjata ini ke arah Pandu. Dengan sigap si pemuda menangkap keris itu. Langsung
mengeluarkannya dari sarungnya. Sarung di tangan kiri, keris di tangan kanan,
Pandu menghadapi lawannya dengan penuh percaya diri. Apalagi dia tahu betul
keris berluk sembilan milik Sultan Maut merupakan senjata sakti. Ketika dua
kali dia sempat bentrokan senjata dengan lawan, bunga api memercik. Tangannya
yang memegyang keris bergetar hebat tetapi dilihatnya Singkil Alit juga seperti
kesemutan. Dengan mengandalkan kegesitannya, Pandu menyelusup di antara taburan
serangan rantai hitam lawan. Namun untuk menumbangkan Singkil Alit tentu saja
bukan satu hal yang mudah bagi pemuda ini. Dan dadanya bergetar ketika
dilihatnya Wiracula dan Rangga yang baru saja membantai dua puluh murid
perguruan silat Elang Putih, kini tampak siap bergabung dengan pimpinn mereka.
Kesulitan
yang bakal dihadapi Pandu diketahui pula oleh Sultan Maut. Maka orang tua ini
membuat gebrakan-gebrakan aneh. Setiap menyerang dari mulutnya selalu terdengar
suara tertawa nyaring yang hampir menyerupai suara kuda meringkik. Suara tawa
ini bukan saja menyakitkan telinga kedua pengaroyotcnya tapi juga mempengaruhi
gerakan-gerakan mereka.
Singkil
Alit yang punya lebih banyak pengalaman dari pada empat kawannya segera maklum
kalau Sultan Maut tengah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, cepat dia
berteriak memberi ingat pada Tembesi dan Rah Tongga agar keduanya menutup jalan
suara. Namun terlambat. Saat itu Sultan Maut berhasil menyusupkan tendangannya
ke bawah perut Rah Torrgga. Lelaki ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya
terpental dan jatuh tarkapar di tanah tak berkutik, pingsan. Seumur hidup kalau
dia hidup kelak dia akan menjadi cacat, tidak lagi memiliki kemampuan
kelelakiannya!
Singkil
Alit menggereng marah. Dia putar-putar rantai hitamnya. Bola besi berduri di
ujung rantai menderu sebat. Sesaat ketika dia siap menyerbu ke arah Sultan
Maut, tiba-tiba didengarnya seruan Wiracula.
"Singkil!
Lihat! Pemuda ini ternyata seorang gadis jelita…"
Semua
orang terkejut. Terutama Singkil Alit sedang Sultan Maut diam-diam mengeluh
dalam hati. Apakah yang telah terjadi!
Ketika
berlangsung perkelahian seru antara Pandu dan dua pengeroyoknya, di saat Singkil
hendak menerjang ke arah Sultan Maut, Wiracula berhasil, menjambret cadar biru
yang menutupi wajah Pandu. Begitu kain penutup muka si pemuda tersingkap,
kelihatanlah satu wajah yang tidak terduga. Ternyata pemuda itu adalah seorang
gadis berparas cantik. Singkil Alit sendiri sampai terbelalak. Tak pernah dia
melihat dara secantik itu. Sedang Tembesi yang memang paling buas dengan
perempuan tampak menyeringai. Tenggorokannya turun naik.
"Tangkap
dia hidup-hidup! Dia milikku!" teriak Tembesi.
Selintas
akal licik muncul di benak Singkil Alit. Berempat mereka pasti bakal dapat
mengalahkan Sultan Maut. Namun jika mereka bisa melumpuhkan orang tua
berkepandaian tinggi itu mengapa tidak dilakukan? Maka pimpinan manusia-manusia
iblis ini segera berteriak beri perintah.
"Kelian
bertiga tangkap gadis itu hidup-hidup!"
Tembesi
melompat lebih dulu. Wiracula dan Rangga menyusul.
Sultan
Maut yang maklum bahaya yang bakal dihadapi Piranti alias Pandu cepat melompat
guna bergabung dengan si gadis. Namun gerakannya dihadang oleh Singkil Alit.
"Iblis
laknat! Mampuslah!" kertak Sultan Maut. Dari mulutnya keluar suara tertawa
meringkik Singkil Alit cepat tutup pendengarannya dan sebatkan rantainya ke
arah kepala lawan. Sultan Maut merunduk seraya balas menghantam dengan pukulen
tangan kosong yang didahului siuran angin tanda orang tua ini memukul dengan
pengerahan tenaga dalam. Untuk elakkan serangan lawan Singkil Alit bergerak
cepat satu langkah ke kiri. Dari kedudukannya yang baru dia ayunkan rantai
hitam di tangan kanannya. Rantai ini seperti sebilah pedang yang menyinarkan
warna hitam membabat tangan Sultan Maut sedang bagian ujungnya yang berbentuk
bola berduri menghujam ke arah bahu orang tua itu. Terpaksa Sultan Maut tarik
pulang serangannya dan ganti dengan tendangan ke arah bawah perut lawan.
Tendangan seperti inilah yang tadi menghantam dan membuat pingsan Rah Tongga.
Namun
sekali ini bukan saja tendangan maut tersebut dapat dielakkan lawan, malah
orang tua itu dibikin kaget oleh seruan salah seorang manusia iblis Kota Hantu
yang mengeroyok Piranti.
"Singkil!
Kami telah meringkus gadis ini!"
Sultan
Maut melompat mundur. Berpaling ke kiri dilihatnya Piranti tegak tak bergerak.
Jelas gadis ini telah ditotok hingga tak bisa bergerak ataupun bersuara.
"Tembesi!"
seru Singkil Alit. "Aku masih belum percaya dia seorang perempuan. Coba
buktikan padaku!"
"Manusia
iblis! Jika kalian berani menjamah tubuhnya kuhancurkan kepala kalian!"
mengancam Sultan Maut.
Tapi
Singkil Alit, Wiracula dan Rangga sudah mengurungnya, membuat orang tua ini tak
bisa bergerak. Sementara itu dengan menyeringai penuh nafsu Tembesi gerakkan
tangan kanannya ke dada Piranti.
Bret!
Dada
pakaian gadis itu robek besar. Dadanya yang putih tersingkap. Sepasang
payudaranya jelas terlihat membusung kencang.
"Ha…
ha… ha.!" tawa Singkil Alit. "Sekarang aku percaya. Lalu dia
berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Orang tua, memandang mukamu dan
menimbang hubunganmu dengan Istana Banten, aku masih suka membuat perjanjian
denganmu…."
"Perjanjian
apa?!" tanya Sultan Maut dengan mata melotot.
"Gadis
itu tidak akan kami apa-apakan. Tapi kau ikut dengan kami ke Kota Hantu.
Tinggal di sana dan bekerja untuk kami!"
"’Kau
lebih baik bunuh aku detik ini juga dari pada menjadi budak tawanan!"
sahut Sultan Maut tegas.
"Begitu
….?" Singkil Alit lambaikan tangannya pada Tembesi. "Bawa gadis itu
ke dalam pondok. Kau boleh memperkosanya sampai puas!"
Kegirangan,
tanpa tunggu lebih lama Tembesi segera panggul tubuh Piranti.
"Tunggu!"
seru Sultan Maut.
"Eh,
kau merubah pikiranmu?!" tanya Singkil Alit. "Kenapa mau jadi orang
tolol. Kau tak bakal menang menghadapi kami. Kau bakal mati percuma dan gadis
itu tetap saja tidak tertolong!"
Sultan
Maut merasakan darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah-olah mau meledak
oleh amarah. Namun memang dia tak bisa berbuat banyak. Kalaupun dia melanjutkan
pertempuran dengan nekad, satu atau dua lawannya mungkin sanggup dibunuhnya,
namun dia sendiri tak akan lolos dari kematian. Dan Piranti akan menjadi korban
kebuasan manusiamanusia iblis itu.
"Baiklah
" kata Sultan Maut dengan suara tersendat. "Aku ikut bersama kalian.
Tapi pegang janji kalian. Jangan ganggu cucuku itu…."
"Ah,
jadi dia cucumu. Apalagi cucumu. Masakan kami akan mengganggunya!" ujar
Singkil Alit. "Tembesi, tutup pakaian gadis itu kembali. Biarkan dia
tertotok. Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
"Ah,
rejekiku belum kesampaian. Sayang… sayang…." kata Tembesi agak kesal. Tapi
dia tahu, sesampainya di Kota Hantu perjanjian yang dibuat dengan Sultan Maut
saat itu pasti akan berubah.
*****************
8
UNTUK
mempercepat perjalanan Singkil Alit dan rombongan mengambil jalan pintas lalu
menyusuri kali Cikajang. Di satu tempat di mana air kali mendangkal mereka
menyeberang. Sebelum senja diharapkan mereka sudah sampai di Kota Hantu. Di
sebelah barat langit tampak menguning tanda matahari segera akan tenggelam.
Selagi rombongan menyusuri hutan kecil di sebelah barat kaki gunung Halimun
mendadak terdengar suara bebunyian.
"Ada
yang meniup seruling!" kata Wiracula sambil mencari-cari kian kemari dari
mana datangnya tiupan seruling itu.
Singkil
Alit mengangkat tangan kiri, memberi tanda. Seluruh rombongan berhenti.
"Itu
bukan tiupan suling biasa!" kata pimpinan Kota Hantu ini. "Jelas
menusuk telinga, menggetarkan gendang-gendang. Lagunya aneh, naik turun, tinggi
rendah tak menentu. Tak pernah kudengar nyanyian seperti itu. Kita lanjutkan
perjalanan tapi bersiaplah. Bukan tidak mungkin ada orang pandai yang bermaksud
menghadang kita. Perhatikan kedua tawanan …"
Yang
dimaksudkan dua tawanan bukan lain adalah Piranti dan Ingar Candra alias Sultan
Maut. Si gadis berada dalam keadaan tertotok menggeletak di pangkuan Tembesi.
Sultan Maut menunggang kuda dbngan tangan terikat dan diapit oleh Wiracula
serta Rangga. Rah Tongga yang dalam keadaan sakit menunggangi kuda setengah
tiduran. Keadaan manusia iblis satu inilah yang membuat rombongan tak bisa
bergerak lebih cepat. Suara tiupan suling semakin santar tanda makin dekat.
"Lihat
di atas sana!" tiba-tiba Rangga berseru sambil menunjuk ke sebuah pohon
nangka hutan yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang besar-besar.
Semua
mata segera dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Di sebuah cabang pohon tampak
duduk seorang pemuda berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan kain putih.
Pakaian putihnya tampak kumal. Dia duduk di cabang pohon yang tinggi itu sambil
uncang-uncang kaki.
Ditangannya
ada sebuah benda aneh. Berbentuk kapak bermata dua, memiliki gagang berbentuk
tubuh ular naga dan ada lobang-lobangnya. Ujung gagang yang merupakan kepala
seskor naga menempel ke bibir si pemuda. Gagang senjata itulah yang ditiupnya
seperti sebuah suling. Sepasang mata kapak tampak berkilauan terkena sinar
matahari yang hendak tenggelam.
"Orang
gila dari mana itu?!" ujar Wiracula.
"Dia
bukan orang gila! Tak ada orang gila yang pandai memanjat pohon setinggi
itu!" tukas Singkil Alit. "Tiupan sulingnya tak mungkin bisa
menyakitkan telinga kalau dia tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan suling
yang dipegangnya jelas bukan sembarang suling."
"Lalu
apa yang akan kita lakukan?!" ujar Tembesi sambil usap-usap tubuh Piranti.
Dia ingin cepat-cepat sampai di Kota Hantu dan langsung membawa gadis itu ke
rumahnya walau sudah ada perjanjian antara Singkil Alit dan Sultan Maut.
"Kita
tetap lewat di bawah pohon. Jangan perdulikan orang di atas sana. Dan jangan
coba mengusik! Kalau dia yang lebih dulu mencari lantaran baru kita
habisi!" jawab Singkil Alit. Lalu dia memberi tanda agar rombongan segera
bergerak. Tapi gerakan rombongan tertahan ketika di atas pohon pemuda peniup
suling mendadak membuat gerakan aneh.
Tubuh
pemuda itu tiba-tiba jatuh ke bawah, berputar memuntir pada cabang pohon yang
tadi didudukinya lalu hup! Tubuhnya jatuh dan berpindah ke cabang di bawahnya.
Di cabang ini si pemuda kembali duduk uncang-uncang kaki tiup sulingnya. Sesaat
kemudian malah dia menyanyi membawakan senandung aneh,
Sang
surya siap tenggelam
Serombongan
setan berjalan pulang.
Pesta
perkawinan telah lama dimulai.
Lihat
kawan duduk bersanding jadi mempelai
Lima
iblis bermuka bengis
Lima
durjana ditunggu liang neraka
Lekas
pergi lekas pulang
Terlambat
datang sang pengantin keburu busuk
Habis
bernyanyi pemuda itu kembali tiup sulingnya.
Paras
Singkil Alit dan kawan-kawannya tampak berubah. Jelas lima iblis lima durjana
dalam nyanyian itu yang dimaksudkan adalah dia dan kawan-kawannya. Tapi apa
arti kalimat “pesta perkawinan telah dimulai”, “lihat kawan duduk bersanding
jadi mempelai”, “terlambat datang sang pengantin keburu busuk”.
"Hanya
orang gila berkepandaian sejengkal tak perlu dihiraukan Singkil!" kata
Wiracula kembali. Dia tetap menganggap pemuda di atas pohon nangka itu orang
gila.
"Hatiku
tidak enak …." desis Singkil Alit. Sementara itu Sultan Maut sejak tadi
memandang tak berkesip pada pemuda di atas pohon. Yang lalu pusat perhatiannya
adalah kapak bergagang tubuh dan kepala ular naga itu. Dia coba
mengingai-ingat. Tapi menyesali diri sendiri karena di usia setua itu
ingatannya tidak terang lagi. Walau bagaimanapun dia tetap yakin paling tidak
pernah mendengar tentang senjata yang dijadikan suling oleh pemuda tak
dikenalnya itu. "Kita lanjutkan perjalanan!" kata Singkil Alit
akhirnya.
Rombongan
kembali bergerak. Tapi-lagi-lagi tertahan ketika dari atas pohon terdengar si
pemuda berkata, "Memang kalian harus lekas-lekas berangkat. Aku titip
bungkusan ini. Sekedar hadiah pada pesta perkawinan…"
Dari
balik punggungnya pemuda di atas pohon keluarkan sebuah benda sebesar kepala
yang dibungkus dengan sehelai kertas warna warni. Ujung kertas itu dikuncir dan
diikat dengan seutas benang. Ujung benang yang lain dipegang oleh si pemuda.
Perlahan-lahan bungkusan itu diturunkannya ke bawah, bau anyir busuk
menghampar. Bungkusan bulat terus turun agaknya sengaja diarahkan kepangkuan
Singkil Alit sementara bau busuk tambah menjadi-jadi. Saking marahnya karena
dipermainkan begitu rupa Singkil Alit tak dapat menahan diri lagi. Dia
hantamkan tandangannya ke arah bungkusan. Tapi si pemuda di atas pohon cepat
menariknya tinggi-tinggi sehingga pukulan Singkil Alit hanya mengenai angin.
Tiba-tiba pemuda itu lepaskan ujung benang. Bungkusan bulat langsung jatuh ke
pangkuan Singkil Alit.
Ketika
Singkil Alit hendak melemparkan bungkusan busuk itu si pemuda berkata,
"Kalau kau tak mau ketitipan bungkusen hadiah pesta perkawinan itu,
mengapa tak ingin melihat isinya?!"
"Gila!
Siapa sudi melihat isi bungkusan busuk itu!" bentak Singkil Alit. Lalu
lemparkan bungkusan ke tanah. Bersamaan dengan itu dia memberi isyarat pada
Rangga. Dari atas punggung kudanya Rangga melompat. Ditangannya telah
tergenggam rantai hitam berujung bola besi berduri. Senjata ini berdesing
menghantam ke arah pemuda yang duduk di cabang pohon!
Braak!
Cabang
pohon hancur berantakan. Tapi pemuda yang diserang telah lenyap. Hanya
terdengar seruannya, "Sampai jumpa di pesta perkawinan! Jangan lupa
bawakan bungkusan itu!"
"Keparat!"
maki Singkit Alit. Dia tarik tali kekang kuda, siap untuk tinggalkan tempat itu
sementara hari mulai gelap. Namun hati kecilnya ingin juga melihat apa
sebenarnya isi bungkusan itu. Maka disuruhnya Rangga mengambil bungkusan yang
terjatuh di tanah.
"Buka!"
perintah Singgil Alit.
Ketika
dibuka kagetlah lima ibis Kota Hantu itu.
"Puranda!"
seru mereka hampir berbarengan.
Begitu
bungkusan terbuka yang kelihatan adalah kepala manusia. Kepala manusia ini
adalah kepala Puranda, orang yang dipercayakan menjadi kepala pengawal Kota
Hantu karena terkenal kekejamannya dan pandai menjilat pada enam pimpinan iblis
Kota Hantu.
"Ada
sebentuk tulisan di keningnya! Apa itu …?" tanya Singkil ketika melihat
sederetan tulisan.
"Bukan
tulisan Singkil…" menyahuti Rangga. "Tapi angka-angka…"
"Angka-angka
apa?"
"Dua-Satu-Dua!"
jawab Rangga.
212.
Mendengar
tiga angka itu barulah Sultan Maut ingat. Pemuda di atas pohon tadi adalah Wiro
Sableng. Senjata yang dijadikannya suling adalah Kapak Naga Geni 212.
"Murid
Sinto Gendeng … Dia ada di sini …" desis Sultan Maut. Ada kelegaan di
hatinya.
Tapi
mengapa pemuda itu melenyapkan diri begitu saja? Tidak berusaha menyelamatkan
Piranti atau dirinya, tidak pula berusaha menyerang lima iblis Kota Hantu itu?
Rangga
yang melihat wajah pimpinan mereka menjadi pucat segera bertanya.
"Singkil, kau tahu arti tiga angka ini!"
"Singkil
Alit tak menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. Dia hanya
melambaikan tangan memberi tanda agar rombongan segera melanjutkan perjalanan.
"Aku
hanya sering mendengar nama dan julukan pemuda itu. Apakah dia benar-benar ada?
Apakah tadi itu memang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng? Kenapa
seperti pemuda gila tak karuan . . ." begitu Singkil Alit membatin
sepanjang jalan. Hatinya semakin terasa tidak enak.
*****************
9
DI jalan
yang menurun menuju pintu gerbang utara Kota Hantu ketika kegelapan malam telah
lama turun, Singkil Alit danrombongan hentikan kuda masing-masing. Meskipun
mereka berada di pedrr taran yang cukup tinggi namun pandangan mereka terhalang
oleh pagar batangan pohon jati yang mengelilingi dan membentengi kota. Sesekali
kelihatan kilapannyala lampu.
"Aneh,"
kata Sinakil Alit seraya memandang pada keempat kawannya. "Aku mendengar
suare alunan gamelan dari pusat kota … !"
Tiba-tiba
Singkil Alit ingat pada ucapan pemuda aneh di atas pohon. Pemuda itu berulang
kali menyebut pesta perkawinan. Apakah saat itu benar-benar ada pesta di dalam
kota? Seperti melupakan yang lain-lainnya Singkil Alit memacu kudanya menuju
pintu gerbang utara. Anak buahnya segera mengikuti sambil menggiring Sultan
Maut dan membawa piranti.
Sesampainya
di pintu gerbang semakin heranlah Singkil Alit dan kawan-kawannya. Biasanya di
situ selalu ada dua orang pengawal di sebelah luar dan pintu gerbang seharusnya
berada dalam keadaan terkunci dari dalam. Tapi saat itu sama sekali tak ada
pengawal dan daun pintu gerbang yang besar dan berat itu tampak merenggang.
Singkil Alit pergunakan kaki kirinya untuk mendorong pintu lalu masuk diikuti
yang lain-lainnya. Begitu sampai di dalampun mereka tidak melihat ada penjaga.
Seharusnya terdapat empat pengawal di sebelah belakang pintu gerbang. Memandang
ke tengah kota mereka melihat lampu-lampu terang benderang di salah satu rumah
besar. Juga tampak kerumunan orang banyak di sana. Dan suara pesinden yang
tidak merdu itu, diringi kerawitan yang juga terdengar agak kacau datang dari
rumah besar itu.
"Itu
rumah Pinta Manik! Apa yang terjeadi di sana … ?!" kata Singkil Alit.
"Tampaknya
seperti ads pesta," menyahuti Tembesi.
"Pesta?!
Pesta apa?! Gila!" maki Singkil Alit. Dengan pelipis dan rahang
menggembung, dia memacu kudanya ke pusat kota. Di tengah jalan dia berpapasan
dengan seorang pemuda yang diketahuinya adalah salah seorang pengawal khusus
yang biasa bertugas di rumah besar. Sekali tangannya bergerak Singkil Alit
sudah mencekal leher pakaian pemuda ini.
"Lekas
katakan! Ada apa di rumah Pinta Manik?"
Pemuda
pengawal, yang biasanya takut melihat Singkil Alit, apalagi sampai dicekal
begitu rupa, anehnya kini hanya mengerenyit kesakitan dan menjawab, "Ada
pesta perkawinan! Pinta Manik jadi pengantin!"
"Keparat!
Jangan kau berani bergurau kurang ajar padaku!" hardik Singkil Alit.
Tangan kirinya bergerak hendak menampar. Tapi tiba-tiba sebuah pisau meluncur
ke arah perutnya. Ditusukkan oleh pemuda itu.
"Singkil
awas!" teriak Wiracula memberi peringatan.
Tanda
diperingatkanpun pimpinan Kota Hantu telah malihat apa yang dilakukan si
pemuda. Maka gerakan tangannya yang tadi menampar kini berubah menjadi hantaman
tepi telapak tangan yang keras.
Praak!
Kepala si
pemuda pecah. Tak ampun lagi nyawanya melayang detik itu juga.
"Keparat!"
maki Singkil Alit seraya meludah dan hempaskan tubuh tak bernyawa itu ke tanah.
"Ada
yang tak beres di sini Singkil!" ujar Rangga.
Tiba-tiba
terdengar tawa Sultan Maut.
"Jika
salah seorang anak buahmu nekad hendak membunuhmu, memang ada yang tidak beres
di sini Singkil!" katanya. "Kuharap saja tidak terjadi pomberontakan
di Kota Hantu ini!"
"Kalau
mereka berani berontak akan kucincang satu demi satu!" kata Singkil Alit.
Kembali
Sultan Maut keluarkan suara tertawa seperti tadi.
"Tutup
mulutmu! Kalau tidak kau pertama sekali yang akan kucincang!" bentak
Singkil Alit.
lalu
bersama kawan-kawannya dia memacu kuda menuju rumah besar milik Pinta Manik.
Orang banyak yang berkerumun di tempat itu, yang merupakan penduduk Kota Hantu,
anak buah atau kaki tangan enam iblis itu, menyeruak memberi jalan.
"Mereka
datang!" seseorang berseru.
Gerak-gerik
dan sikap penduduk Kota Hantu jelas-jelas aneh di mata Singkil Alit dan
kawankawannya.
"Mana
pengawal?!" teriak pimpinan Kota Hantu itu. Tak ada satu orangpun yang
muncul.
Orang
banyak yang ada di situ memandang mereka dengan dingin. "Kurang ajar!
Laknat semua!" teriak Singkil Alit marah. Sambil bergerak maju kakinya
menendang kian ke mari. Tangannya memukul tiada henti. Hal yang sama dilakukan
oleh empat iblis lainnya. Akibatnya belasan orang terkapar roboh. Mati dan
pingsan!
Di
beranda depan rumah besar kediaman Pinta Manik, Singkil Alit don kawan-kawannya
berhenti dan seperti dipantek di atas kuda masing-masing. Sultan Maut sendiri
ternganga dan hampir tidak dapat memastikan apa sebenarnya yang terjadi.
Di
sebelah kiri beranda, duduk menjelepok serombongan pemain karawitan yang aneh.
Memang ada gong dan klenengan serta kentongan, tetapi mereka juga memakai
tetabuhan seperti alu dan lesung, piring-piring kaleng, potongan-potongan kayu
api. Memang ada suling dan terompet bambu, tapi lebih banyak yang meniup
batang-batang padi. Keseluruhan musik itu mengeluarkan suara centang perenang.
Lalu sang pesinden yang suaranya tinggi rendah tidak menentu ternyata adalah seorang
perempunn yang mukanya juga dicoreng moreng. Rambutnya diikat dengan kertas
aneka warna.
"Pesta
gila haram jadah!" maki Singkil Alit.
"Kurasa
wabah penyakit gila sudah melanda Kota kita Singkil!" kata Wiracula.
Singkil
Alit tak menjawab. Sepasang matanya demikian juga semua mata anak buahnya serta
Sultan Maut tertuju ke bagian tengah beranda luas. Di situ terdapat dua buah
kursi besar penuh hiasan, diapit oleh dua janur besar. Dinding sebelah belakang
kursi ditutup dengan tirai dan kain warna warni, ditaburi gaba-gaba yang
kelihatannya dipasang asal jadi.
Di kursi
besar sebelah kanan duduk Pinta Manik. Mengenakan pakaian pengantin lengkap
dengan topi yang kekecilan. Mukanya dirias seperti muka orang gila berbedak
tebal, bergincu yang berlepotan kian kemari. Pipinya juga diberi merah-merah
entah dengan apa, sepasang alis dan matanya diberi warna hitam mencorong. Pinta
Manik duduk tersandar antara sadar dan tidak. Sesekali dia tersenyum atau
tertawa gelak-gelak. Kadang-kadang dia bertariak, "Tuak …tuak!"
Maka
seorang anak lelaki kecil yang selalu tegak di sampingnya segera mendekatkan
bumbung bambu berisi tuak keras ke mulut Pinta Manik. Setelah menyemburkan
tegukan pertama baru dia meneguk lahap tuak dalam bumbung itu. Minuman itu
lebih banyak yang tumpah membasahi dada dan pakaiannya. Setelah puas minum, dia
duduk bersandar kembali dan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas pimpinan Kota
Iblis ini berada dalam keadaan tidak sadar diri karena mabuk berat!
Di kursi
sebelah kiri inilah satu pemandangan yang aneh tapi juga lucu duduk seekor
orang hutan betina. Tinggi besar berbulu hitam. Kedua kakinya diikat ke kaki
kursi. Sepasang tangannya diikat ke lengan kursi. Binatang ini diberi sepotong
pakaian yang hanya menutupi dada serta perutnya. Dilehernya tergantung sebuah
kalung besar. Rambutnya diikat dengan kertas dan kain-kain kecil aneka warna.
Kepalanya malah diberi beberapa potong sunting! Binatang ini tiada hentinya
mengeluarkan suara menguik, menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang besar.
Tapi tak kuasa melepaskan diri dari ikatannya pada kursi besar. Inilah
"sang pengantin
perempuan".
Dan seorang anak perempuan kecil yang bertindak seperti dayang-dayang tegak di
samping kursi "pengantin" perempuan sambil tiada hentinya mengipasi
"pengantin" itu!
Tidak tahan
melihat apa yang berlangsung di depannya, Singkil Alit serta Wiracula dan
Rangga turun dari kuda masing-masing langsung melompat ke hadapan Pinta Manik
dan orang hutan yang duduk di atas kursi.
Tembesi
tetap di kuda karena lebih senang mendekapi tubuh Piranti sedang Rah Tongga
yang luka parah bagian bawah perutnya tak mampu turun kalau tak ada yang
menolong. Saat itu untuk kesekian kalinya Sultan Maut coba melepaskan ikatan
tali pada kedua tangannya. Tapi aneh, tali kecil itu laksana gulungan baja yang
tak bisa diputusnya.
"Siapa
yang punya pekerjaan ini?!" tiba-tiba Singkil Alit berteriak. Suaranya
menggelegar.
Tubuhnya
bergetar dan rahangnya tampak menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sepasang
matanya berkilat-kilat. Hembusan nafasnya seperti gerengan harimau lapar. Kedua
tangannya terpentang, siap untuk menghantam. Tidak ada yang menjawab.
Hanya
irama karawitan yang acak-acakan itu, mendadak berubah dan pesinden bermuka
hitam celemongan membuka mulutnya lebar-lebar membawakan sebuah tembang.
Tamu-tamu
besar sudah datang
Pelayan
lekas keluarkan hidangan
Pesta ini
pesta luar biasa
Hidangan
juga harus lezat cita dan rasa
Pasta ini
bukan pesta biasa
Pesta
perkawinan iblis berkepala manusia
Para tamu
bukan tamu biasa
Tapi
sekelompok iblis gila
Kota Hantu
kotanya iblis
Ada pesta
sedang berlangsung
Sampai di
situ Singkil Alit tidak dapat menguasai amarahnya lagi. Jelas-jelas nyanyian
itu ditujukan pada dirinya dan orang-orangnya.
Brak!
Singkil
Alit hantamkan kaki kananya ke lantai bangunan yang terbuat dan kayu jati keras
setebal setengah jengkal. Lantai kayu itu jebol berantakan. Tidak sampai di
situ saja, pimpinan Kota Hantu ini lantas melompat kirimkan tendangan pada si
pesinden. Perempuan yang malang ini pasti akan remuk tubuhnya atau hancur
kepalanya dilabrak tendangan itu kalau saja tidak terjadi satu hal yang
mengejutkan Singkil Alit dan membuatnya menarik pulang tendangannya kembali.
Sebuah
gong kecil yang terbuat dari besi kuning melayang ke arah kaki kanannya. Dalam
marahnya Singkil Alit sekaligus hendak menendang hancur benda itu. Namun dia
jadi kaget karena ternyata gong tersebut melesat demikian rupa, seperti punya
mata, kini membeset ke arah pinggulnya. Mau tak mau Singkil Alit tarik kaki dan
melompat selamatkan diri.
Gong
kecil itu terus melayang ke luar beranda. Sesaat kemudian terdengar suara kuda
meringkik dan jatuhnya sesosok tubuh ke tanah. Apa yang terjadi? Gong yang
tidak mengenai Singkil Alit tadi menderu menghantam kuda tunggangan Rah Tongga.
Binatang ini meringkik kesakitan ketika gong memukul keras bagian lehernya,
lalu lari setelah membantingkan tubuh Rah Tongga ke tanah. Dalam keadaan luka
parah akibat tendangan Sultan Maut, Rah Tongga hanya mampu merangkak menaiki
tangga beranda rumah besar. Tak ada seorangpun yang menolongnya, termasuk
Tembesi atau Wiracula, maupun Rangga.
Dari
balik tirai merah yang tergantung di belakang kursi besar tiba-tiba keluar
beberapa sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang anak lelaki berusia hampir
sebelas tahun.
"Singkil!"
bisik Rangga. "Bocah itu adalah anak yang ayahnya kau bunuh di desa
nelayan…"
"Ya
… aku ingat!" sahut Singkil Alit.
Anak
lelaki tadi ternyata adalah Handaka. Putera nelayan tua Argakumbara yang
dibunuh oleh Singkil Alit beberapa bulan silam.
Di
belakang Handaka melangkah terbungkuk-bungkuk seorang kakek berambut putih
panjang awut-awutan, berpakaian compang-camping. Di tangan kanannya ada sebuah
batok kelapa sedang di tangan kiri memegang tongkat kayu. Orang tua ini bukan
lain adalah Pengemis sakti Batok Tongkat yang dulu telah menyelamatkan Handaka
di teluk Cikandang sewaktu Singkil Alit dan komplotannya mengganas di desa
ayahnya, merampok, menculik dan membunuh.
Di
sebelah belakang si kakek menyuruh seorang pemuda berpakaian putih bertampang
cakap. Dia adalah Indrajit, murid pewaris perguruan silat Elang putih.
Bagaimana pemuda ini kini berada di tempat itu .
Seperti
dituturkan sebelumnya ketika Datuk Hijau, Gitasula, Sultan Maut, Piranti dan
Indrajit menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu dan berkumpul di sebuah
pondok di lembah Cilandak, karena rahasia penggompuran dibocorkan oleh Sirat
Gambir maka orang-orang itu diserbu lebih dulu oleh Singkil Alit dan
kawan-kawannya. Dalam perkelahian melawan Tembesi, Indrajit kalah dan hampir
menemui kematian dihantam bola besi berduri kalau saja tidak muncul seorang
penolong aneh. Penolong yang tak dikenal ini kemudian melarikan pemuda itu
tanpa dapat dikejar oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Tuan penolong si
pemuda ternyata bukan lain adalah si kakek pengemis yang sebelumnya juga telah
menyelamatkan Handaka. Orang terakhir yang melangkah ke luar dari balik tirai masih
itu adalah juga seorang pemuda yang berpakaian serba putih, berambut gondrong.
Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih. Lagaknya cengar cengir enak-enak
saja malah sambil bersiul-siul kecil cengengesan.
Wiracula,
Rangga, terlebih lagi Singkil Alit tampak melengak ketika melihat tampang
pemuda ini.
Wiracula
cepat membisiki, "Singkil, pemuda paling belakang itu, bukankah dia yang
sebelumnya menghadang kita di luar kota. Yang melemparkan bungkusan berisi
kepala Puranda si kepala pengawal?"
"Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212!" desah Singkil Alit dengan bibir bergetar. Kedua
tangannya terkepal.
Sebenarnya
bagaimnanakah sampai orang-orang itu muncul di sana dan bagaiman terjadinya
pesta aneh, pesta perkawinan Pinta Manik dengan orang hutan betina itu?
********************
Berdirinya
Kota Hantu dan munculnya enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit yang
menebar keganasan berupa maut, perampokan, penculikan dan perbudakan itu telah
sampai ka telinga para tokoh silat di daerah timur. Mereka siap menyusun
rencana penumpasan. Tapi tentunya dengan menghubungi para tokoh silat di barat.
Sebelum orang-orang di timur melangkah lebih jauh mereka mendengar bahwa sudah
ada kelompok di barat yang akan mengadakan penyerbuan ke Kota Hantu, yakni
kelompok tokoh silat golongan putih di bawah pimpinan Datuk Hijau dan Sultan
Maut.
Karena
hal itu sudah ditangani, maka orang-orang di timur memutuskan untuk tidak
bertindak lebih jauh dan melihat bagaimana perkembangan setelah para tokoh di
Jawa Barat turun tangan. Untuk menyirap dan mengamati suasana orang-orang di
timur sepakat menugaskan Pendekar 212 Wiro Sableng untuk pergi ke Jawa Barat.
Seperti apa yang tarjadi ternyata tokoh-tokoh di Jawa Barat mengalami kegagalan
jauh sebelum penyerbuan ke Kota Hantu dilakukan. Malah Datuk Hijau menemui
kematian. Sultan Maut dan Piranti tertawan. Gitasula juga menemui ajal.
Menghadapi
keadaan yang demikian gawat, Wiro tidak kembali ke timur guna memberikan
laporan, tetapi mengambil keputusan untuk menyambangi seorang tokah silat
golongan putih. Orang ini bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Di sana dia
menemui pula Handaka yang belum lama diselamatkan oleh si kakek, dan juga
Indrajit. Orang-orang itu mengadakan perundingan.
"Turut
mauku," kata Pengemis Batok Tongkat. "Aku ingin menunggu, sampai beberapa
tahun lagi sampai muridku Handaka ini memiliki kepandaian yang yang bias
diandalkan untuk ikut menghancurkan Iblis-ibiis Kota hantu. Tapi memang …
kejahatan tak boleh dibiarkan lama menunggu. Kita harus menghancurkan
manusis-manusia iblis itu secepatnya…"
"Apakah
kita bertiga sanggup melakukannya?" tanya Indrajit. Lalu buru-buru
menyusuli ucapannya tadi dengan kalimat, "Maaf, saya tidak bermaksud
memandang rendah kepandaianmu kek dan juga sahabat muda Wiro Sableng. Nama
besar kalian cukup menjadi jaminan. Yang aku tak mau kalau terjadi apa-apa
dengan kalian. Ingat kematian Datuk Hijau, paman Gitasula dan ketuaku sendiri .
. ."
Mendengar
ucapan itu Pengemis Botak Tongkat tersenyum dan mendehem beberapa kali.
"Terima
kasih kau yang muda memperhatikan keselamatan kita semua," katanya.
"Jika apa yang kudengar benar, menurut hematku Wiro Sableng sendiri akan
mampu menghajar orang-orang itu. Hanya memang kali ini kita bukan saja
menghadapi iblis-iblis ganas, tapi juga sekaligus licik. Di amping itu aku yang
tua ini tak ingin melihat semua orang di Kota Hantu itu menemui kematian.
Sebagian besar dari mereka jelas budak-budak yang tak berdaya. Dengan kata lain
kita harus menyusun siasat…"
"Betul,"
kata Indrajit. "Mengintai kelengahan mereka!"
"Bagaimana
pendapatmu Wiro?" tanya si kakek.
Murid
Sinto gendeng garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menurut apa mau kalian
berdua. Hanya saja, kalau kalian setuju aku ada rencana. Kudengar iblis-iblis
Kota Hantu itu masih berada di lembah Cilendak. Dalam waktu singkat akan segera
kembali ke Kota Hantu. Nah sebelum mereka kembali kita harus sudah siap
menyambut…"
Lalu Wiro
Sableng menerangkan rencananya. Setelah mendengar rencana Wiro itu, Indrajit
dan si kakek apalagi Handaka tak dapat menahan tawa. Mereka tertawa terpingkal-pingkal.
"Wiro,
kudengar gurumu si Sinto Gendeng itu edan otaknya. Ternyata kau lebih edan!
Rencanamu
benar-benar sableng. Tapi masuk akal dan pantas untuk dilakukan. Kita berangkat
sekarang juga!" Si kakek lalu ambil batok kelapa dan tongkat kayunya.
Sebelum
meninggalkan tempat kediamannya, pengemis tua itu lebih dulu menangkap seekor
orang utan betina, baru mereka menuju Kota Hantu dengan menunggang kuda.
Menerobos masuk ke kota Hantu bagi orang-orang seperti Wiro atau Pengemis Batok
Tongkat bukan hal yang sukar. Namun sesuai dengan rencana mereka harus
memberitahu maksud kedatangan mereka pada seluruh penghuni Kota Hantu yang ada.
Dan karena waktu hanya sedikit maka hal itu harus dilakukan cepat. Maka Kepala
Pengawal Kota Hantu yang bernama Puranda segera dipanggil datang ke pintu
gerbang utama.
Puranda
seorang lelaki muda berbadan tegap, punya tenaga luar laksana badak dan tenaga
delam yang cukup dapat diandalkan. Dia mendapat latihan langsung dari Singkil
Alit selama beberapa bulan sebelum diangkat jadi Kepala Pengawal kepercayaan.
Karena mendapat kepercayaan demikian rupa serta jasa yang cukup besar Puranda
menjadi pongah. Beberapa kali tindakan keganasannya melebihi pimpinannya
sendiri.
Begitu
berhadapan dengan para pendatang itu kepala pengawal ini segera saja
menunjukkan sikap sombong ganasnya.
"Kalian
minta mati berani datang ke Kota Hantu. Membuat aku membuang waktu untuk
menemui kalian!" bentak Puranda. Sesaat dia melirik pada orang hutan yang
ada di atas kuda tunggangan Indrajit.
"Sobat,"
sahut Wiro. "Kejahatan yang dilakukan pimpinan kalian sudah selangit
tembus. Kami tahu kau dan yang lain-lain ikut melakukan itu hanya karena
terpaksa di bawah ancaman. Saat ini sudah waktunya kezaliman pemimpin kalian
diakhiri. Kami akan meringkus mereka, membunuh bila mereka melawan. Kami tidak
minta bantuan banyak pada kalian yang ada di sini, hanya lakukan saja apa yang
kami minta!"
"Kau
pasti gila!" sntak Puranda. Dia berpaling pada dua pengawal pintu gerbang.
Seraya bertindak masuk kembali dia berkata, "Bunuh pemuda gila itu.
Semuanya!"
Maka dua
pengawal bersenjata golok besar segera melompat ke hadapan Wiro. Puranda yang
tidak memandang sebelah mata pada Wiro dan kawan-kawannya menjadi terkejut dan
membalik sewaktu didengarnya dua jeritan keras dan pengawal yang tadi
disuruhnya membunuh Wiro, terpelanting, terkapar di tana dengan dada remuk.
Darah mengalir dari mulut masing-masingmasing.
"Bagaimana
. . . . ?" tanya Wiro. "Kalian ikut kami menumpas manusia-manusia
iblis itu atau mint ditumpas?!"
"Bangsat
rendah! Kau mengandalkan kepandaian apa berani bicara seperti itu!" teriak
Puranda marah. Dari atas punggung kudanya tubuhnya laksana tarbang. Tumitnya
meluncur ke kening Wiro Sableng. Serangannya mengeleparkan angin keras.
"Manusia
tolol! Diberi madu minta racun…" Pengemis Batok Tongkat merutuk. Dia
memberi isyarat pada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini segera rundukkan kepala dan
ulurkan tangan. Begitu cepatnya gerakan Wiro hingga kepala pengawal Kota Hantu
itu tidak percaya kalau pergelangan kaki kanannya sudah berada dalam cekalan
kedua tangan lawan. Perunda coba sentakkan kakinya untuk melepas cekalan.
Bersamaan dengan itu kepalan tangan kanannya dihantamkan ke depan untuk
menggebuk kuda tunggangan Wiro. Namun semua yang dilakukan kepala pengawal itu
gagal karena dengan sangat cepat Wiro memuntir pergelangan kakinya. Di lain
saat Puranda merasakan tubuhnya diayunkan ke bawah. Dia berusaha jungkir balik
menghindari kejatuhan. Malah akibatnya jadi parah. Bukan saja tubuhnya
terbanting keras ke tanah, tangan kirinya pun remuk di bagian siku.
Kepala
pengawal ini cepat berdiri walau di wajahnya jelas kelihatan dia menanggung
rasa sakit yang amat sangat. Saat itu Wiro sudah melompat turun dari kuda.
Puranda langsung menyerbunya. Entah kapan kepala pengawal ini menggerakkan
tangan tahu-tahu dia sudah menggenggam sebilah golok yang ujung berbentuk
segitiga.
Enam
pengawal pintu gerbang yang ada di tempat itu segera pula menghunus senjata
masing-masing.
"Indrajit,
kau uruslah mereka. Aku masih letih …." kata Pengemis Batok Tongkat.
Indrajit turun dari kudanya.
"Aku
tahu kalian berenam adalah pemuda baik-baik. Menjadi pengawal Kota Iblis karena
dipaksa. Jika kalian mau bertobat dan bergabung dengan kami pasti akan mendapat
pengampunan!"
Enam
pengawal Kota Hantu sana menyeringai. Mereka sama sekali tidak tahu berhadapan
siapa. Salah seorang diantara mereka maju menuding: "Kau boleh pidato
panjang pendek. Yang kami tahu siapa berani datang ke Kota Hantu apalagi berani
membuat kacau berarti harus menyerahkan jantungnya!"
"Indrajit!
Mereka sama saja dengan pimpinan. Lekas gebuk mereka!" kata Pengemis Batok
Tongkat tak sabaran.
Keenam
pengawal itu tiba-tiba memencar. Tiga menyerang Indrajit. Tiga lagi menyerbu ke
arah kakek.
"Ee
… benar-benar tak tahu diri. Makan tongkatku ini!"
Tanpa
turun dari kudanya pengemis itu sambut serangan tiga lawan dengan tongkat kayu.
Dua pengawal yang kena gebuk langsung melintir kesakitan. Yang satu menjerit
sambil tekap daun telinga sebelah kirinya yang robek ditusuk ujung tongkat.
Satunya lagi menggeliat-geliat di tanah pegangi perut yang bolong. Pengawal
ketiga terkapar di tanah. Keningnya nampak remuk oleh hantaman batok kelapa si
kakek!
Tiga
pengawal yang menyerbu Indrajit mengalami hal yang sama. Dengan tangan kosong
pemuda ini menghantam mereka satu persatu hingga terkapar di tanah. Ada yang
tulang iganya remuk, ada yang hancur mulutnya dihantam jotosan dan yang ketiga
tersandar di dinding pintu gerbang dengan lidah mencelet. Jotosan tangan kiri
Indrajit meremukkan tulang lehernya. Sementara itu perkelahian antara Puranda dan
Wiro Sableng berjalan berat sebelah. Apapun kepandaian yang dimiliki kepala
pengawal itu dia bukanlah tandingan murid Sinto Gendeng. Setelah menghajar
sampai babak belur, Wiro hentikan serangannya dan berkata.
"Nah,
kau yang minta racun kau sendiri yang merasakan pahitnya. Sekarang apa kau
masih tak mau bergabung dengan kami?!"
Kepala
pengawal itu meludah. Ludahnya bercampur darah. Dengan golok yang masih
tergenggam di tangan kanannya dia kembali menyerang Wiro.
"Ah,
kau sengaja mencari nasib jelek kawan," kata Pendekar 212. Lengan kanannya
memukul ke atas.
Krak!
Puranda
terpekik.
Tulang
tangan kanannya patah. Goloknya mental. Senjata ini cepat disambut oleh Wiro.
Begitu hulu go lok tercekal, Wiro babatkan ke leher Puranda. Darah mancur!
"Sahabat
Wiro! Aku tak suka dengan caramu itu. Kita sama saja buasnya dengan iblis-iblis
Kota Hantu ini!" kata Indrajit ketika dia melihat Wiro menjambak rambut
Puranda dan menenteng potongan kepala orang itu.
Wiro
melompat ke atas kuda. "Aku juga tak suka hal ini Indrajit,"
sahutnya. "Tapi sesekali kita harus melakukan hal seperti ini untuk
membuka mata mereka. Kita tak punya waktu banyak. Kita tidak mau urusan jadi
bertele-tele dan menghadapi ratusan orang dalam kota ini. Jika mereka melihat
aku membawa kepala pimpinan pengawal, mereka akan berpikir dua kali sebelum
menyerang kita …. !"
Pengemis
Batok Tongkat tepuk-tepuk bahu Indrajit seraya berkata, "Anak muda, ini
satu pengalaman baru bagimu. Terkadang hidup di dunia ini tak bisa dihadapi
dengan kejujuran dan welas asih melulu. Pada saatnya kau akan mengerti apa yang
dikatakan sahabatmu itu. Kita tak punya waktu lama. Mari masuk ke dalam
kota!"
Kota
Hantu gempar ketika orang-orang itu menerobos masuk. Terlebih menyaksikan
kepala Puranda yang ditenteng Wiro Sableng. Puluhan pengawal segera mengurung,
tapi tak ada yang berani bergerak.
Wiro
angkat tangen kirinya tinggi-tinggi. Kerahkan tenaga dalam dan berkata,
"Siapapun kalian semua di sini tak lebih dari budak yang ditindas oleh
enam iblis Kota Hantu. Kami datang untuk menghancurkan manusia-manusia iblis
itu. Bukan untuk memusuhi kalian. Kami ingin kalian bergabung dengan kami dan
bukan seperti kepala pengawal ini yang minta mati secara tolol! Hari ini adalah
hari kehancuran Kota Hantu dan merupakan hari kebebasan kalian!" Wiro diam
sesaat menunggu reaksi. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Maka
dia meneruskan. "Aku dan kawan-kawan tahu, lima dari pimpinan kalian tidak
ada di kota. Jika kita. mau sama-sama menghancurkan orang-orang durjana itu
lekas tunjukkan di mana pimpinan mereka yang seorang lagi! Tapi ingat, jika
kalian menipu kami ini jadinya!" Wiro acungkan kepala Puranda.
"Ikuti
kami …!" tiba-tiba ada yang berkata. Wiro memandang pada orang itu dan
anggukkan kepala. Mereka menuju ke rumah Pinta Manik yang saat itu sudah
diberitatahu oleh beberapa pengawalnya apa yang telah terjadi. Karenanya ketika
Wiro kawan-kawan datang, dia sudah menyambut dengan rantai hitam berganduian
bola besi berduri di tangan kanan. Lima belas pengawal yang setia padanya tegak
mengelilinginya.
Pinta
Manik pelintir kumis besarnya, memandang garang pada orang-orang itu lalu
pusatkan perhatian pada Wiro Sableng.
"Jadi
ini manusia-manusianya yang berani masuk Kota Hantu. Membunuh pengawalpengawal,
memancung kepala pengawal! Bagus! Pengawal! Tangkap kakek butut dan pemuda
serta bocah itu. Pembunuh Puranda ini aku sendiri yang akan melumatnya!"
Pinta
Manik tutup ucapannya dengan menghantamkan rantai hitamnya. Wiro kaget sekali
ketika rasakan sambaran angin serta cahaya hitam yang keluar darisenjata itu.
Jelas pemimpin Kota Hantu ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang tinggi.
Dan jika mereka berjumlah enam orang tak heran kalau mereka bisa menguasai
dunia persilatan di Jawa Bara melakukan keganasan seenak perut merekal
Lima
belas pengawal kelas satu menyerbu ke arah Pengemis Batok Tongkat dan Indrajit.
Perkelahian seru terjadi. Tapi hanya enam jurus. Memasuki jurus ke tujuh, tak
satu pun di antara para pengawal pilihan ini yang masih tegak berdiri. Semua
orang yang memang ingin melepaskan diri dari kebiadaban di Kota Hantu itu
semakin terbuka mata mereka. Mereka tahu kini orangorang yang datang itu adalah
tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Hari itu rupanya memang menjadi hari
kebebasan mereka. Maka mereka mulai bersorak-sorak. Ketika ada yang berteriak
agar rumah-rumah besar milik enam iblis Kota Hantu itu dibakar, Pengemis Batok
Tongkat cepat berseru, "Jangan melakukan tindakan apa pun! Ikuti petunjuk
kami!"
Mendengar
itu tak ada satu orang pun yang bertindak lebih jauh. Perhatian semua orang
kini terpusat pada Wiro Sqbleng yang berkelahi menghadapi Pinta Manik masih
dengan menenteng kepala Puranda!
Pinta
Manik sendiri diam-diam merasa terkejut ketika melihat lima belas pengawalnya
babak belur di hantam dua lawan. Rasa was-was semakin mencengkam dirinya ketika
mengetahui pula bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata memiliki kepandaian luar
biasa. Serbuan rantai hitam dan bola besi berdurinya yang laksana air hujan tak
satupun dapat menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya lawan jelas mempermainkannya,
menyerang dengan menyorongkan kepala Puranda ke mukanya hingga pakaian dan
wajahnya jadi kotor bercelemong darah!
"Wiro,"
tiba-tiba Pengemis Batok Tongkat menegur. "Kita tak punya banyak waktu.
Lekas kau selesaikan iblis yang satu ini!"
Saat itu
perkelahian antara Wiro dan Pinta Manik telah berlangsung delapan belas jurus.
Bola besi berduri mencuit-cuit pulang balik ke arah kepala Wiro Sableng. Murid
Sinto Gendeng ini memperlambat gerakan silatnya. Menyangka lawan mulai
kehabisan nafas dan tenaga, Pinta Manik lipat gandakan daya serangannya. Wiro
yang tadi beberapa kali sempat menyemongi wajah dan pakaian lawan dengan darah
di kepala Puranda tidak menyangka kalau cukup sulit untuk menotok Pinta Manik.
Sesual rencana dia tidak boleh membunuh manusia iblis yang satu ini. Maka
terpaksa dia mempercepat gerakannya kembali.
"Aku
harus merampas rantai hitam itu. Dengan mengandalkan satu tangan sulit
melakukannya," membatin Wiro. Dia menimbang apakah akan mencampakkan dulu
kepala Puranda atau tetap menghadapi senjata hebat lawan dengan satu tangan
tapi mengeluarkan senjata mustikanya yakni Kapak Naga Geni 212. Wiro memutuskan
untuk mengeluarkan senjata itu.
Sinar
putih berkilauan ketika Kapak Maut Naga Geni 212 keluar. Sesaat membuat Pinta
Manik terkesiap. Seumur hidup belum pernah dia melihat Senjata anah dan
memancarkan sinar angker seperti itu. Maka dia putar rantai hitamnya lebih
hebat. Wiro angkat tangannya yang memegang kapak, Sinar putih perak berkiblat.
Trang!
Bunga api
memercik.
Rantai
hitam di tangan Pinta Manik putus. Bola besi berduri yang menggandul di ujung
rantai terpental liar, menghantam tiga orang di samping kiri. Ketiganya mati
dengan tubuh dan kepala hancur.
Melihat
senjata andalannya musnah pucatlah Pinta Manik. Dia melompat mundur menjauhi
Wiro. Tapi salah lompat. Dari belakang, ujung tongkat Pengemis Batok Tongkat
menusuk kuduknya. Kontan tubuhnya tak berkutik lagi. Si kakek tertawa mengekeh.
Die memandang berkeliling. "Kita akan mengadakan pesta malam ini!"
katanya. "Pesta perkawinan manusia iblis ini…. !"
Tentu
saja semua orang heran mendengar kata-katanya itu. Dan jadi tambah heran ketika
si kakek menyambung, "Dia akan kita kawinkan dengan orang hutan itu!
Kalian lihat saja nanti. Seret iblis ini. Cekok dia dengan tuak sampai mabuk.
Kalau sudah mabuk beri tahu aku agar kulepaskan totokannya!"
Beberapa
orang segera menyeret Pinta Manik ke dalam rumah. Pengemis Batok Tongkat
mendekati Wiro. "Kau boleh pergi sekarang. Bungkus potongan kepala itu
dengan kertas warna warni. Kedatangan lima iblis lainnya perlu kita sambut
dengan meriah…!"
"Bagaimana
kalau mereka muncul dari pintu gerbang selatan hingga aku tak menemui mereka di
tengah jalan?" tanya Wiro.
"Aku
yakin mereka memasuki kota dari arah utara. Itu jalan yang terpendek dari lembah
Cilendak. Aku juga yakin kelimanya tak akan muncul secara utuh."
Wiro
anggukkan kepala. Dengan membawa kepala Puranda dia tingalkan tempat itu.
*****************
10
SEPULUH
TAMU-TAMU penting sudah datang kenapa tidak segera dihidangkan sesajian?!"
Pendekar
212 Wiro Sableng berseru. Lalu dia menjura mempersilahkan Singkil Alit, Rangga
dan Wiracula duduk di tikar permadani.
Saat itu
Singkil Alit sudah tak dapat lagi menahan amarahnya dan siap menerjang Wiro.
Begitu juga kedua kawannya.
"Eeh!
Itu ada tamu yang terkapar di beranda kenapa tidak ditolong supaya masuk
kemari? Belum minum tuak kenapa sudah mabuk?" ujar Wiro sambil menunjuk
pada Rah Tongga yang terbujur di beranda rumah. Seperti diketahui dia mengalami
luka parah bagian bawah tubuhnya akibat tendangan Sultan Maut.
"Hai
itu ada satu lagi tamu penting berpakaian serba hitam. Kenapa masih duduk di
atas kuda? Dapat rejeki besar seorang gadis hingga tak mau turun melihat
pengantin bersanding …. !"
Wiro
menunjuk ke arah Tembesi yang masih berada di atas punggung kuda sambil pegangi
tubuh Piranti. Setiap kata-kata yang diucapkan Wiro Sableng diikuti Pengemis
Batok Tongkat dengan gelak tawa mengekeh.
Dari
dalam tiga orang gadis diiringi tiga pemuda keluar membawakan piring-piring dan
gelas besar. Piring-piring itu bukannya berisi makanan melainkan diisi dengan
batu, pecahan kaca, tanah dan pasir. Sedang gelas bukan diisi dengan tuak
melainkan dipenuhi dengan air got!
"Mari
silahkan duduk, silahkan minum dan mencicipi makanan!" kata Wiro.
"Atau mungkin para tamu terhormat hendak bersalaman dengan kedua mempelai
lebih dulu …. ?!"
Batas
kesabaran Singkil Alit dan kawan-kawannya habis sudah. Dari tenggorokan
pimpinan manusia-manusia iblis itu keluar suara seperti harimau menggembor.
Tubuhnya melesat melewati Pinta Manik dan orang utan yang duduk bersanding,
langsung menerkam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiracula
dan Rangga tidak tinggal diam. Mereka nenyerbu ke arah Pengemis Botak Tongkat
dan Indrajit. Sebelum menyembul serangan lawan si kakek sempat berbisik pada
Handaka.
"Kau
lihat orang berkuda yang memakai topi seperti sorban?" Maksud si kakek
adalah Sultan Maut. Handaka mengangguk. "Kedua tangannya terikat tali.
Tali itu tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali oleh Singkil Alit sendiri. Tapi
ada satu cara untuk membukanya. Ludahi tali itu tiga kali. Orang bersorban itu
akan mudah melepaskan ikatannya. Nah, pergi cepat!"
"Tapi
aku harus membalaskan dendam ayah. Membunuh Singkil Alit!" kata Handaka.
"Jangan
kawatir. Setengah nyawanya akan kuberikan padamu!" jawab Pengemis Batok
Tongkat.
Mendengar
ini Handaka yang baru beberapa bulan mendapatkan pelajaran dasar ilmu silat
dari si kakek segera menyelinap mendekati Sultan Maut. Sementara itu Tembesi
yang masih berada di punggung kudanya bersama Piranti sesaat tampak bimbang.
Apakah dia akan turun membantu pimpinan dan kawan-kawannya. Atau lebih baik
bersenang-senang dengan gadis yang kini berada dalam keadaan tertotok itu?
Sampai di
hadapan Sultan Maut, Handaka tangkap tangan orang yang terikat tali lalu
meludahinya tiga kali. Kalau saja Sultan Maut tadi tidak melihat gerak-gerik
Handaka yang berada bersama Pengemis Batok Tongkat pastilah dia akan memarahi
anak yang berani meludahi tangannya itu. Dia menggerakkan kedua tengannya
sedikit. Aneh, tali yang tadi begitu kokoh dan sulit dibuka kini terlepas mudah
sekali.
"Anak
baik! Terima kasih atas pertolonganmu. Siapa namamu?!" tanya Sultan Maut
sambil mengusap kepala si bocah.
"Aku
Haerdaka. Murid Pengemis Batok Tongka dari kaki Halimun…." jawab Handaka
bangga.
"Bagus
. . . bagus! Kau memang pantas jadi murid pengemis sakti itu!"
Saat itu
Tembesi memutuskan bukan saja lebih baik bersenang-senang dengan Piranti,
tetapi sekaligus selamatkan diri dari kelompok orang-orang yang diyakininya
adaiah jago-jago rimba persilatan berkepandaian luar biasa. Keadaan yang
seperti itu membuat dia tidak tenang. Lebih baik cari selamat. Tapi dia harus
kembali ke rumahnya dulu. Dia harus membawa beberapa gundik yang disenanginya,
juga harta kekayaanncya, baru diam-diam menyelinap meninggalkan kota. Namun
baru saja dia hendak bergerak, di hadapannya telah menghadang Sultan Maut.
"Turunkan
gadis itu…!" perintah Sultan Maut
Tembesi
menyeringai. "Kalau kedua tanganmu sudah lepas apa kau kira mampu bertahan
hidup?! Kau harus melepas nyawa di Kota Hantu, Sultan!"
Habis
berkata begitu Tembesi segera keluarkan rantai hitamnya, langsung menyerang
Sultan Maut. Sang Sultan yang sudah tahu kehebatan senjata lawan cepat melompat
dari kuda, menyembar sebatang tombak yang dipegang seorang pengawal di tepi
beranda. Dengan tombak ini dia menghadapi gempuran dahsyat rantai hitam
berbandul bola berduri lawan. Sultan keluarkan seluruh kepandaiannya, bergerak
cepat dan selalu berusaha menghindarkan bentrokan senjata. Dia tahu pasti
tombak besi yang dipegangnya tak akan mampu bertahan kalau sampai tersambar
senjata lawan. Di samping itu setiap balas menyerang dia harus berhati-hati
karena kawatir tusukan atau sambaran tombaknya akan mengenai tubuh Piranti yang
lintang di punggung kuda.
"Aku
harus paksa bangsat ini turun dari kuda!" kata Sultan Maut dalam hati.
Maka tombaknya dipakai untuk menyerang bagian pinggang ke bawah sedang
tangannya yang lain lancarkan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga
dalam tinggi ke arah dada dan kepala Tembesi. Lambat laun merasakan gerakannya
terbatas jika terus berada di atas kuda, Tembesi akhirnya melompat turun. Tapi
dia berlaku cerdik. Sambil turun dia menarik tubuh Piranti dan memanggulnya
bahu kiri. Adanya tubuh si gadis di atas bahu lawan membuat Sultan Maut tidak
leluasa melancarkan serangan-serangan mautnya. Sebaliknya Tembesi mampu
melancarkan serangan dari berbagai arah dan cara. Jika Sultan Maut menyongsong
serangannya dengan balas menyerang maka dia sorongkan tubuh Piranti ke depan
hingga mau tak mau lawan tarik kembali serangannya. Lambat laun Sultan Maut
jadi terdesak, terlebih ketika tombak di tangan kanannya patah tiga dihantam
gandulan besi berduri!
Sultan
Maut merutuk panjang pendek dalam hati. Dia seperti kehabisan akal bagaimana
harus menghadapi lawan yang licik serta memiliki kepandaian tinggi dan memegang
senjata amat berbahaya itu.
Kita
tinggalkan Sultan Maut yang berada dalam keadaan serba salah menghadapi
Tembesi. Kita ikuti perkelahian antara Pengemis Batok Tongkat melawan Wiracula.
Senjata rantai hitam dengan gandulan besi berduri di ujungnya jelas kelihatan
lebih menggebu-gebu dari pada tongkat kayu di tangan kakek pengemis. Orang tua
ini sendiri tahu akan hal itu. Sebelumnya ketika menyelamatkan Indrajit, ujung
tongkatnya pecah remuk sewaktu beradu dengan bola besi berduri itu. Karenanya
dia selalu menghindari bentrokan tongkat kayunya dengan senjata lawan.
Sekalipun
senjata Wiracula kelihatan hebat, mengeluarkan suara menderu-deru dan
memancarkan bayangan sinar hitam yang angker namun dia tidak dapat menandingi
kegesitan tubuh kurus si kakek. Berkali-kali manusia iblis ini terperanjat
karena tangan atau bagian tubuhnya yang lain hampir dimakan ujung tongkat atau digebuk
badan tongkdt. Belum lagi batok di tangan kanan si kakek yang mengemplang ganas
ke arah batok kepala atau menggebuk deras ke bagian badan. Terkadang batok itu
seperti diikat dengan tali atau benang yang tak kelihatan, menyerang laksana
terbang, diulur dan ditarik!
Wiracula
keluarkan keringat dingin ketika di jurus ke sembilan ujung tongkat di tangan
kiri lawan mendadak berubah seperti puluhan banyaknya, melenting melebar
seperti kipas dan mengeluarkan suara bersuit, merobek pakaian hitamnya di bagian
dada. Wiracula melompat mundur dengan muka pucat. Si kakek sebaliknya tertawa
mengekeh. Tongkatnya kembali melenting melebar, menyambar bagian kepala lawan.
"Manusia
iblis!" kata si kakek. "Jangan kawatir baju iblismu yang robek akan
kuganti dengan baru. Kau boleh ambil sendiri nanti di neraka! He… he…
he…!"
Mendidih
amarah Wiracula mendengar ucapan itu. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya dan
putar senjatanya lebih sebat. Besi hitam dan gandulan bola duri itu berkiblat
lebih sebat, lebih ganas, suaranya berdesing tambah angker. Seluruh tubuh
Pengemis Batok Tongkat terbungkus serangan lawan. Baju rombeng kakek kelihatan
berkibar-kibar tertiup sambaran senjata lawan, begitu juga rambutnya yang putih
panjang.
Traaak!
Tongkat
kayu dan gandulan besi beradu keras.
"Tongkatku!"
seru si kakek ketika melihat tongkat kayunya terlepas dari tangan dan patah dua
mental di udara. Dia melompat seperti hendak berusaha menangkap patahan
tongkatnya itu. Inilah kesempatan baik bagi Wiracula. Rantai hitam dan gandulan
besi berdurinya bersiut ke bawah, melabrak ke pinggang lawan.
"Putus
pinggangmu tua bangka keparat!" seru Wiracula.
Manusia
iblis ini tidak tahu kalau dia sudah termakan tipuan lawan. Pengemis Batok
Tongkat Tongkat membiarkan tongkat kayunya digebuk patah dan pura-pura kalang
kabut hendak menangkap benda itu di udara. Selagi senjata lawan menghantam ke
arah pinggang tubuh kurus si kakek tampak melenting dan jungkir balik di udara.
Sesaat kemudian terjadilah pemandangan yang membuat Handaka ternganga dan orang
banyak yang menyaksikan ikut berdecak kagum. Sepasang betis Pengemis Batok
Tongkat tahu-tahu sudah menjepit batang leher Wiracula. Manusia iblis ini coba
menggebuk dengan senjatanya. Namun dia mengalami kesulitan bernafas dan kraak!
Ketika si kakek memutar kedua betisnya terdengar suara patahnya tulang leher
Wiracula. Orang ini mengeluarkan suara melenguh tercekik. Matanya mendelik
lidahnya mencelet! Dari mulutnya keluar darah, juga dari hidungnya. Senjata
rantai hitam lepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Tubuh si kakek kembali
melenting. Begitu dia berdiri di atas kedua kakinya kembali, tubuh Wiracula
roboh terkapar di lantai.
"Mampus!
Iblis keparat itu mampus!" teriak beberapa orang.
"Rasakan!
Mengapa kita tidak membunuh yang satu itu? Yang terkapar di kaki beranda!"
seorang
lainnya berseru. Yang dimaksudnya adalah Rah Tongga, salah satu dari manusia
iblis itu, yang cidera berat di bagian perutnya dan berada dalam keadaan antara
sadar dan pingsan. Tibatiba saja banyak orang mencabut senjata yang mereka bawa
lalu naik ke beranda rumah besar. Pengemis Batok Tongkat hendak mencegah.
"Ah,
peduli amat!" dengusnya kemudian. "Itu lebih baik baginya!" Maka
puluhan macam senjata menderu menghantami tubuh Rah Tongga. Orang-orang Kota
Hantu yang selama ini dijadikan budak di bawah ancaman kematian, kini
melepaskan dendam kesumat mereka. Dalam waktu singkat tubuh Rah Tongga tidak
berbentuk tubuh manusia lagi, tapi terpotong-potong dan darah menggenang di
lantai beranda!
Pengemis
Batok Tongkat berdiri sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya. Dia
memandang berkeliling. Di sebelah kirinya dilihatnya Indrajit bertempur melawan
Rangga. Pemuda ini memegang sebilah golok yang didapatnya dari seorang
pengawal. Golok besar itu bukanlah tandingan rantai hitam bergandulan bola
berduri di tangan Rangga. Hanya kegesitan pemuda itulah yang banyak menolongnya
menghadapi lawan yang tengguh itu. Namun di mata si kakek dalam waktu beberapa
jurus di muka Indrajit akan menjadi repot, terdesak dan terancam
keselamatannya.
Ketika
dia memandang ke jurusan lain, Pengemis Batok Tongket dapatkan Sultan Maut yang
bertempur melawan Tembesi berada dalam keadaan terdesak hebat. Bukan saja
karena dia tidak memegang senjata apa pun, tapi jelas Sultan Maut tidak mampu
melancarkan serangan balasan karena kawatir akan mengenai tubuh cucunya yakni
Piranti yang ada di atas bahu kiri Tembesi.
"Iblis
licik!" gertak Pengemis Batok Tongkot lalu melompat turun ke halaman.
Namun saat itu setelah menggebrak dengan satu serangan dahsyat hingga Sultan
Maut terpaksa melompat mundur, Tembesi cepat melompat ke punggung kudanya dan
membedal binatang itu, melarikan diri menuju bagian timur Kota Hantu.
"Sultan!
Mari kita kejar iblis penculik itu!" kata Pengemis Batok Tongkat seraya
menarik bahu Sultan Maut. Keduanya sama-sama melompat ke atas dua ekor kuda
yang ada di dekat situ dan mengejar.
Jika saja
Tembesi langsung lari meninggalkan Kota Hantu metewati jalan-jalan gelap dan
berbelok-belok, basar kemungkinan dia tak akan terkejar oleh Sultan Maut
Pengemis Batok Tongkat. Namun saat dia lari menuju rumah besarnya di sebelah
selatan kota. Rencananya adalah untuk lebih dulu mengambil harta bendanya,
memboyong beberapa perempuan peliharaannya yang masih muda-muda dan
cantik-caantik, baru melarikan diri sambil membawa Piranti. Malah dalam
benaknya saat itu sudah ada niat untuk meniduri gadis itu dulu di rumah
besarnya. Ketamakan dan kebejatannya inilah yang ternyata mendatangkan
malapetaka baginya. Sepanjang jalan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat
mendapat petunjuk dari penduduk ke arah mana larinya Tembesi. Mereka menemukan
kuda tunggangan manusia iblis itu di hadapan sebuah rumah besar yang bagian
depannya gelap gulita dan tampak sunyi.
"Keparat
itu pasti ada di dalam. Lekas kita dobrak pintu depan!" kata Sultan Maut
yang sudah tak sabaran karena mengawatirkan keselamatan dan kehormatan cucunya.
"Jangan
jadi orang tolol!" ujar Pengemis Batok Tongkat sambil pegang bahu Sultan
Maut.
"Di
rumah sebesar itu kita bisa terjebak konyol jika mencoba masuk lewat
pintu!"
"Apa
usulmu?"
"Naik
ke atas atap dan mengintai lalu menerobos masuk!" jawab si pengemis sakti.
Lalu tanpa bicara lebih banyak dia segera melompat ke atas atap bangunan.
Sultan Maut menyusul. Keduanya yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi, mengendap-endap di atas atap, mengintai setiap sudut bagian
dalam rumah besar dengan mudah. Mereka sengaja mengintai bagian rumah yang
kelihatan terang setelah nyala lampu karena di situ pasti ada orangnya.
Beberapa kali setelah melakukan pengintaian tiba-tiba terdengar kutuk serapah
Sultan Maut.
"Iblis
dajal terkutuk!"
Pangemis
Batok Tongkat cepat mengintai pula. Di bawah sana, dalam sebuah kamar yang
besar dan bagus, diterangi oleh dua lampu minyak besar, kelihatan tubuh Piranti
tergolek di atas sebuah ranjang. Di sampingnya setengah berjongkok tampak
Tembesi tengah membukai pakaian gadis yang masih berada dalam keadaan tertotok
itu.
Brakk!
Sultan
Maut hantamkan tumit kirinya ke atas atap. Atap yang terbuat dari kayu itu
hancur berantakan. Sebuah lobang menganga. Sultan Maut cepat melompat turun,
langsung masuk ke dalam kamar. Pengemis tua menyusul.
"Keparat!
Jadi kau berani menyusul kemari! Benar-benar minta mampus!" Tembesi yang hanya
mengenakan celana dalam sekilas melirik pada Pengemis Batok Tongkat. Dia tadi
melihat bahwa kakek inilah yang telah membunuh Rah Tongga. "Kalian berdua
mau apa?" bentaknya kemudian.
Sultan
Maut mendengus. Pengemis Batok Tongkat mengekeh.
"Orang
yang mau mampus memang suka bertanya aneh-aneh!" kata kakek pengemis
sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya dengan tangan kiri.
"Kami
datang minta nyawamu!" kata Sultan Maut.
Tembesi
segera sambar rantai hitam yang tergeletak di bagian kepala tempat tidur. Dia
sudah menjajal kehebatan Sultan Maut dan merasa tidak takut terhadap orang ini.
Tapi pengemis lihay yang ada bersama Sultan Maut benar-benar membuat nyalinya
berdetak. Berkelahi dua lawan satu mungkin dia masih sanggup membunuh Sultan
Maut. Mungkin. Tapi dirinya sendiripun tak bakal lolos dari maut. Maka otak
licinnyapun mulai bekerja. Dia berkata, "Dengar, jika kau mau cucunya,
ambillah. Dirinya belum kusentuh! Sudah itu cepat pergi dari sini sebelum
senjataku ini menghancurkan kalian!"
Pengemis Batok
Tongkat kembali tertawa mengekeh. "Gadis itu memang harus kami selamatkan
tapi nyawamupun harus kau serahkan!"
"Bangsat
tua ini tidak main-main…" membatin Tembesi. Maka dia cepat berkata.
"Cucumu tak kuapa-apakan. Jika kalian segera pergi, ada satu peti
perhiasan dan uang yang boleh kalian bawa serta dan bagi dua!"
"Nyawa
anjingmu yang akan kami bagi dua manusia iblis!" teriak Sultan Maut. Lalu
dia menubruk ke depan. Tangannya kiri kanan menghantam. Dua pukulannya itu
mengeluarkan angin deras karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tembesi menangkis dengan mengiblatkan rantai hitamnya. Sinar hitam berkelebat.
Gandulan berduri membabat ganas, Namun Tembesi harus cepat menghindar dan tarik
pulang serangannya karena dari samping saat itu Pengemis Batok Tongkat
merangsek dengan kemplangkan batok kelapanya ke arah kepala!
Hanya dua
jurus Tembesi mampu merangsek kedua lawannya dengan serangan-serangan kilat dan
ganas. Setelah itu Sultan Maut dan kakek pengemis cepat mendesaknya.
"Sultan!
Kau selamatkan dulu cucumu. Lepaskan totokannya. Biar aku yang menghadapi
manusia iblis ini!" berkata Pengemis Batok Tongkat. Sultan Maut segera
lakukan apa yang dikatakan si kakek. Piranti ditariknya ke sudut kamar. Di sini
dia melepaskan totokan di tubuh gadis ini, merapikan pakaiannya. Begitu sadar
Piranti dengan cepat segera mengetahui apa yang terjadi dalam kamar besar itu.
Maka dengan tangan koosng diapun menyerbu Tembesi.
Menghadapi
tiga lawan seperti itu tak ada lagi harapan bagi Tembesi. Menyadari hal ini dia
masih coba membujuk dengan berseru. "Di bawah tempat tidur ini ada lima
peti berisi perhiasan dan uang perak, juga uang emas. Kalian boleh ambil
asalkan aku bisa bebas pergi dari sini!"
"Siapa
butuh benda itu!" teriak Sultan Maut. "Roh busukmu boleh membawanya
sendiri nanti!"
"Keparat!"
maki Tembesi dalam hati. "Hai!" serunya kemudian. "Aku juga
punya beberapa orang gundik. Semua masih muda dan cantik-cantik. Kalian boleh
ambil!"
Sultan
Maut mendengus marah. Pengemis tua tertawa mengekeh sedang Piranti tampak gemas
sekali. Ketiga orang itu kurung Tembesi lebih rapat. Serangan mereka juga
tambah deras. Membuat iblis Kota Hantu itu semakin ciut nyalinya. Ilmu
silatnya, pertahanan serta serangannya menjadi kacau. Dia mengumbar tenaga luar
dan tenaga dalam secara berlebihan sehingga dalam waktu satu jurus di muka
gebukan pertama mulai menghantam tubuh Tembesi.
Orang ini
tersorong ke depan begitu jotosan Piranti menghantam tulang punggungnya. Karena
terlalu memperhatikan serangan-seranqan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat
Tembesi melengahkan rakan-gerakan Piranti, akibatnya tulang punggung remuk. Di
saat yang sama pengemis lihay itu berhasil menangkap gandulan bola berduri
senjata Tombak dengan batok kelapanya. Manusia iblis ini merasa tangannya
bergetar ketika dia berusaha melepaskan senjatanya. Tenaga dalam lawan lebih
tinggi dari yang dimilikinya!
"Gila!"
maki Tembesi. Nekad dia kerahkan ruh tenaga dalamnya dan membetot dengan kakek
Pengemis Batok Tongtcat tertawa mengekeh. Aliran tenaga dalamnya tiba-tiba diputuskan.
Bola besi berduri, lepas dari cengkeraman batok dan tanpa dapat diperhitungkan
atau dihindari lagi oleh Tembesi, besi duri itu menghantam mukanya sendiri!
Manusia iblis ini menjerit setinggi langit dan roboh di samping tempat tidur.
Selagi meregang nyawa dengan tangan dan kaki melejang-lejang, Sultan Maut dan
Piranti melompat, kaki keduanya menghantam menginjak perut dan dada Tembesi.
Tak ampun lagi nyawa Tembesi putus detik itu juga. Mati dengan muka hancur,
perut jebol dan dada hancur.
"Kita
kembali ke tempat pesta perkawinan gila itu!" kata Pengemis Batok Tongkat.
Ketiga orang itu segera tinggalkan tempat tersebut.
*****************
11
KETIKA
Pengemis Batok Tongkat, Piranti, dan Sultan Maut sampai di rumah besar milik
Pinta Manik yang sedang jadi "pengantin" pertempuran di sana
berlangsung hebat. Baik Singkil Alit maupun Rangga terdesak hebat.
Kematian
Wiracula dan Rah Tongga sangat mempengaruhi semangat dua manusia iblis yang
sedang bertempur. Yaitu Singkil Alit melawan Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Rangga menghadapi Indrajit. Singkil Alit sudah memaklumi tak ada kemungkinan
baginya untuk mengalahkan Wiro Sableng, apalagi saat itu pemuda lawannya itu
sudah mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang terkenal angker dan ditakuti
dalam rimba persilatan! Sebaliknya Rangga walaupun yakin dia tidak bakal dapat
dikalahkan dengan mudah oleh Indrajit, namun semangatnya sudah patah lebih
dulu. Berulang kali dia memberi isyarat pada Singkil Alit untuk segera
melarikan diri saja. Singkil Alit alias Harimau Hitam bukannya tidak melihat
isyarat kawannya itu, namun dia belum melihat kesempatan untuk melakukan
sesuatu guna dapat menyelamatkan diri. Pinta Manik yang berada dalam keadaan
mabuk dan duduk di kursi "pengantin" di samping orang hutan betina
yang tak henti-hentinya menguik, jelas tak dapat diharapkan pertolongannya.
Traang!
Rantai
hitam di tangan Singkil Alit terbabat putus begitu dihantam Kapak Naga Geni
212! Pucatlah para pimpinan manusia iblis itu. Tiba-tiba dia berseru,
"Tunggu!!"
"Eh,
kau mau baca doa minta ampun sebelum mampus?!" tanya Wiro mengejek.
"Dengar,
aku Singkil Alit alias Harimau Hitam mengaku kalah. Tapi tak ada persoalan yang
tak bidsa diselesaikan. Mari kita berunding!"
"Wiro!
Bangsat itu licik! Lekas tebas saja batang lehernya!" Pengemis Batok
Tongkat memberi ingat.
"Tahan!"
seru Singkil Alit. "Bagi kalian mudah saja membunuhku saat ini. Tapi jika
mau berunding itu akan lebih menguntungkan bagi kalian!"
"Apa
yang hendak kau rundingkan! Cara matimu? Kau mau mati cara bagaimana manusia
iblis!" ujar Wiro sambil melintangkan Kapak Napa Geni 212 di depan dada.
"Dengar.
Biarkan aku dan Rangga meninggalkan tempat ini. Semua harta kekayaanku
kuberikan padakalian. Ini kunci kamar rahasiaku. Semus harta itu tersimpan di
sana! Ambillah!"
Habis
berkata begitu Singkil Alit lemparkan sebuah anak kunci ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng! Di saat itulah anak kunci yang dilemparkan mengeluarkan suara
seperti meletus dan asap hitam menggebu menutupi pemandangan!
"Celaka!
Aku sudah memperingatkan!" ujar Pengemis Batok Tongkat.
Wiro juga
jadi jengkel melihat kebodohannya sendiri. Dia kiblatkan kapak saktinya
beberapa kali. Sinar perak menyilaukan berkelebat. Asap hitam lenyap. Tapi
Singkil Alit dan Rangga tak ada lagi di tempat itu. Karena tak ada seorangpun
yang melihat ke mana kedua manusia iblis itu melarikan diri maka Wiro berseru,
"Dua keparat itu tak mungkin bisa kabur dan lenyap secepat itu. Di tempat
ini pasti ada jalan rahasia! Siapa yang tahu?!"
Seorang
pengawal maju ke hadapan Wiro dan berkata, "Saya tahu memang ada jalan
rahasia. Tapi tidak tahu di mana pintu masuknya, hanya tahu jalan
keluarnya."
"Bagus!
Tunjukkan padaku!" kata Wiro pula.
"Di
luar pagar tinggi sebelah timur. Kita bisa lewat dari pintu utara . . . ."
menerangkan si pengawal.
"Bagus!
Antarkan aku ke sana!" Wiro segera mengikuti pengawal itu. Ketika si
pengawal hendak menaiki kuda Wiro memegang bahunya. "Tak ada waktu kalau
kits harus berkuda lewat pintu gerbang utara. Dua iblis durjana itu keburu
kabur. Kita harus menuju langsung ke pagar sebelah timur . . ."
"Tapi
di situ tak ada pintu. Tak mungkin memanjat pagar yang begitu tinggi!"
kata pengawal.
"Naik
saja ke kudamu, antarkan aku ke jurusan pagar timur yang kau sebutkan
itu!"
Ketika
kedua orang itu sudah berada di atas punggung kuda, Pengemis Batok Tongkat
memegang lengan Handaka dan melompat pula ke atas seekor kuda. Sebelum menyusul
Wiro dan pengawal dia berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Sultan, kau
dan cucumu serta Indrajit tetap berjaga-jaga di sini. Bukan mustahil jika
dicegat di jalan keluar dua iblis itu akan kembali ke mari!"
Dari
kerumunan orang banyak terdengar seruan. "Bagaimana dengan iblis yang satu
itu? Yang kalian kawinkan dengan orang utan?!"
"Yang
satu itu kalian punya hak untuk menghukumnya. Kami tidak ikut campur!"
sahut pengemis tua.
"Iblis
itulah yang telah membunuh guru dan ketua kami!" tiba-tiba Indrajit
berkata keras.
"Dia
pantas mati di tanganku!" Lalu pemuda murid perguruan silat Elang Putih
ini mengambil sebilah golok yang tergeletak di lantai.
"Indrajiti"
seru Sultan Maut. "Walau dosanya setinggi langit tapi kau tak bisa
membunuh orang yang berada dalam keadaan mabuk dan tak berdaya!"
Indrajit menyeringai.
"Dia dan kawan-kawannya meracun puluhan tokoh silat tak berdosa ketika
mereka juga berada dalam keadaan tak berdaya. Turut penjelasan yang aku terima
Pinta Maniklah iblisnya yang membunuh guruku selagi mabok! Dia pantas mati
dengan cara yang sama!" sahut pemuda itu. Dia melangkah ke hadapan Pinta
Manik yang duduk di kursi pengantin dalam keadaan meracau mabok. Tanpa
ragu-ragu Indrajit hujamkan goloknya ke perut Pinta Manik. Satu lagi dari enam
iblis Kota Hantu menemui ajalnya.
********************
Pengawal
itu berhenti di suatu tempat di hadapan pagar batangan kayu jati yang terletak
di timur kota. Dia berpaling pada Wiro Sableng seraya menduga-duga apa yang
hendak dilakukan pendekar itu lalu berkata, "Lobang jalan keluar rahasia
itu terletak di jurusan pagar ini. Kira-kira dua puluh tombak di dalam rimba.
Cukup sulit mencarinya di malam gelap begini!"
"Di
sebelah sana banyak obor bergantungan. Ambil barang dua buah dan bawa
kemari!" kata Wiro. Lalu sebelum pengawal itu bergerak Pendekar 212 Wiro
Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah pagar pohon jati. Sinar putih
menyilaukan yang menimbulkan hawa panas berkiblat. Pagar kayu jati di seberang
sana hancur berkeping-keping dan roboh!
Si
pengawal ternganga menyaksikan hal itu. Handaka menyuruk kaget di samping
gurunya. Sedang Pengemis Batok Tongkat sendiri mendecakkan lidah seraya
membatin, "Pukulan sinar matahari! Sudah lama mendengar baru kali ini
menyaksikan sendiri. Pemuda sableng ini benarbenar memiliki kepandaian luar
biasa . . . .!"
Begitu
pengawal datang membawa dua buah obor, orang-orang itu segera meninggalkan
kota, menerobos melewati pagar yang bobol. Kira-kira sepeminuman memasuki rimba
belantara di timur kota, si pengawal menunjuk ke arah sebatang pohon timbul.
"Lihat
bagian kanan pohon itu. Di balik belukar dan rerumpunan alang-alang itu ada
sebuah lubang batu. Itulah jalan ke luar rahasia …!"
Wiro maju
mendekati pohon timbul, menyorotkan obor di sebelah depan. Memang ada sebuah
batu besar di situ dan pada batu itu terdapat sebuah lobang yang cukup tinggi,
sepembungkukan manusia. Dia menyelidik dengan hati-hati. Tak ada tanda-tanda
alang-alang ataupun semak belukar di sekitar lobang itu telah disibak atau
dipijak orang sebelumnya.
"Mereka
belum keluar dari sini. Mungkin sebentar lagi," katanya memberi tahu pada
yang lain. "Padamkan obor!" Wiro meniup padam obor yang dibawanya.
Hal yang sama dilakukan juga oleh pengawal pengantar. Keadaan dalam rimba itu
jadi gelap bukan kepalang. Namun sesaat kemudian mata mereka mulai biasa.
Mereka berlindung di balik semak belukar di seberang pohon timbul.
Tak lama
kemudian Wiro berbisik. "Mereka sudah mendekati mulut lobang…"
Pengemis
Batok Tongkat mengangguk. Telinganya yang tajam juga memang telah mendengar
suara langkah-langkah kaki mendekat. Kemudian kelihatanlah dua buah tangan
menyambak belukar dan alang-alang. Dua sosok tubuh berpakaian serba hitam
keluar dari dalam lobang. Yang satu berkata, "Keparat! Selamat juga kita
sampai di sini akhirnya…" Yang berkata adalah Singkil Alit.
"Kita
selamat tapi bagaimana dengan semua harta kekayaan kita?" terdengar suara
Rangga.
"Saat
ini kurasa masih hidup sudah untung. Lain kali kita buat rencana baru. Kalau
penyerbu-penyerbu keparat itu sudah pergi kurasa kita bisa kembali ke Kota
Hantu untuk mengambil harta itu…" Singkil Alit putuskan kata-katanya.
Matanya melihat ada sesosok bayangan bergerak dalam gelap. "Siapa
itu?" bentaknya seraya siap melepaskan pukulan tangan kosong sementara
Rangga bersiap dengan rantai hitam gandulan bola besi berdurinya. Sosok tubuh
itu kelihatan lebih jelas.
"Hai!"
seru Rangga. "Bukankah itu bocah yang ikut para penyerbu di Kota
Hantu?!"
"Astaga,
memang dia!" sahut Singkil Alit begitu mengenali Handaka. Kontan suaranya
bergetar dan lututnya goyah. Dalam gelap Rangga sendiri berubah ketakutan
wajahnya.
"Bagaimana
bocah keparat ini bisa berada di sini?!" ujar Singkil Alit.
"Kami
yang membawanya ke mari!" satu suara menjawab. Berpaling ke kanan Singkil
Alit dan Rangga lihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak beberapa langkah di
seberang sana. Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan mencekal Kapak Naga
Geni 212. Di sebelah kanannya tegak kakek berambut putih berpakaian rombeng
yang bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Lalu agak jauh,dari situ
kelihatan berdiri seorang bekas pengawal Kota Hantu. Kedua Iblis ini segera
maklum apa yang terjadi Sang pengawal telah membocorkan rahasia, memberi tahu
lobang keluar di dalam rimba itu!
"Se
tan alas! Kau yang berkhianat!" teriak Singkil Alit marah lalu menerkam
pengawal penunjuk jalan. Tapi tubuhnya serta merta terdorong ke samping begitu
kakek pengemis menghantam dengan pukulan tangan kosong. Cepat kepala komplotan
manusia-manusia iblis ini sambar rantai hitam dari tangan Rangga dan menyerbu
si kakek dengan senjata itu.
"Sobat
tua, biar aku yang menghadapi biang iblis ini. Kau layani yang satu itu. Aku
tidak lupa pesanmu agar menyisakan sebagian nyawa keparat ini untuk
muridmu!"
Mendengar
ucapan Wiro itu Pengemis Batok Tongkat segera melompat ke arah Rangga sedang
Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 212 menyongsong serangan rantai hitam Singkil
Alit!
Gandulan
bola besi berduri lewat di atas kepala Wiro Sableng. Sebaliknya sambaran Kapak
Maut Naga Geni 212 juga luput setengah jengkal dari perut Singkil Alit. Sebelum
lawan siap dengan kuda-kuda penyerangan baru Singkil Alit cepat mendahului
menyerang dengan senjatanya. Namun sekali ini kapak sakti di tangan Wiro datang
menyapu dari bawah, menggunting serangan lawan di tengah jalan. Dan Singkil
Alit tidak kuasa untuk manyelamatkan senjatanya dari tebasan kapak. Rantai
hitam itu terkutung dua. Gandulan besinya menancap di pohon timbul, sisanya
masih tergenggam di tangan Singkil Alit.
"Celaka!
Aku harus lari!" keluh Singkil Alit yang merasa tidak punya harapan lagi.
Dia lemparkan potongan besi di tangannya ke arah Wiro lalu memutar tubuh ke
jurusan kiri siap untuk kabur. Tapi gerakannya tertahan. Seperti ada yang
menangkap pergelangan kakinya lalu ada satu gigitan sakit sekali di pahanya.
Memandang ke bawah Singkil Alit dapatkan anak bernama Handaka itulah yang telah
melakukannya.
"Budak
keparat!" maki Singkil Alit. Tinju kirinya dihantamkan ke kepala Handaka.
Namun pukulan maut itu tak pernah kesampaian karena di saat yang sama dia
merasakan sambaran angin. Terdengar suara crass! Bahu kanannya terasa dingin,
lalu ada yang memanasi sekujur sisi kanannya. Ketika dia memandang ke kanan
ternyata tangannya sebelah kanan sebatas bahu telah putus disambar kapak Wiro.
Saat itulah dia baru merasakan sakitnya dan menjerit kesakitan!
Craas!
Kini
giliran lengan kiri manusia iblis itu yang ditebas kapak Naga Geni 212. Tubuh
Singkil Alit menggigil panas oleh hawa dan racun kapak yang mulai bekerja. Dia
tersandar terhuyunghuyung ke sebatang pohon, lalu melosoh jatuh ke tanah. Wiro
dekati Handaka lalu angsurkan Kapak Naga Geni 212 pada si anak seraya berkata,
"Selesaikan urusanmu dengan manusia yang telah membunuh ayahmu!"
Handaka
tampak ragu-ragu. Bukan saja dia merasa angker melihat senjata yang diangsurkan
kepadanya itu, tetapi juga merasa senjata itu terlalu besar baginya dan tentu
berat sekali. Tetapi ketika Wiro menarik tangannya dan memegangkan kapak ke
tangannya, Handaka terkejut. Senjata mustika yang begitu besar ternyata enteng
sekali. Seolah-olah dia hanya memegang sebilah pisau besar biasa. Mendapatkan
kenyataan ini maka tetaplah hati Handaka. Sekilas terbayang olehnya saat-saat
ketika ayahnya mati di tangan Singkil Alit. Tanpa ragu-ragu Handaka ayunkan
Kapak Naga Geni 212.
Singkil
Alit mendelik dan berteriak, "Jangan…!"
Mata
kapak menancap tepat di kening manusia iblis itu. Handaka merasakan tangannya
gemetar. Dia seperti tak kuasa mencabut kapak dari kepala Singkil Alit.
Terhuyung-huyung anak ini melangkah menjauhi pembunuh ayahnya itu yang kini
sudah jadi mayat. Wiro usap kepala Handaka lalu ambil Kapak Naga Geni 212.
"Ayahmu
akan tenteram dalam kuburnya Handaka. Dia pasti tahu bahwa kau telah
membalaskan sakit hatinya!" kata Wiro. Kedua mata Handaka tampak
berkaca-kaca. Sementara itu Rangga talah menerima beberapa kali pukulan dari
Pengemis Batok Tongkat. Tulang iganya sebelah kiri patah. Pelipisnya sebelah
kiri benjut besar dan matanya bengkak serta mengeluarkan darah. Sadar dia tidak
mungkin mempertahankan diri lebih lanjut apalagi mengetahui Singkil Alit telah
mati maka iblis satu ini tiba-tiba jatuhkan diri seraya meratap.
"Aku
mohon kalian mengampuni selembar nyawaku yang tidak berharga ini! Aku akan
bertobat. Aku berjanji akan menempuh hidup baik!"
"Siapa
yang mau mendengar ratapan iblis!" kata pengemis tua. "Nyawamu memang
tidak berharga karena itu kau layak mampus!" Lalu Pengemis Batok Tongkat
hantamkan tendangan kaki kanannya ke kepala Rangga. Orang ini mencelat dan
terkapar di antara semak belukar. Separoh dari mukanya yang dihantam tendangan
hancur mengerikan. Sesaat kesunyian menggantung di tempat itu.
"Kits
kembali ke Kota Hantu . . ." kata Wiro.
"Ya,
tapi kau sajalah. Aku dan muridku harus kembali ke tempat kediaman kami. Urusan
kami sudah selesai …" jawab kakek pengemis.
"Kalau
begitu akupun tak perlu kembali ke sana …"
"Kau
harus," sahut si kakek. "Paling tidak untuk memberi tahu Sultan Maut
dan yang lainlainnya serta semua orang di Kota Hantu bahwa enam manusia iblis
telah menemui kematiannya. Kau harus ikut mengawasi keadaan di situ. Bukan
mustahil penduduk saling berbunuhan memperebutkan harta kekayaan enam iblis
yang tertinggal. Bukan mustahil para pemuda memperebutkan perempuan-perempuan
cantik bekas peliharaan manusia-manusis keparat itu. Dan juga apakah kau tidak ingin
menemui kembali gadis bemama Piranti yang cantik jeiita itu. Kulihat kau
terus-terusan memperhatikannya: Ha… ha… ha…"
Wiro
Sableng merasakan mukanya merah dan garuk-garuk kepala.
"Hai,
jika kau tahu aku memang memperhatikannya, berarti kau juga mengawasi gadis
itu!"
sahut
Wiro. "Aku yang muda tidak malu mengatakan kagum pada kecantikannya. Tapi
kau yang tua begini masih tertarik pada jidat licin muka jelita. Ha . . he. .
ha …."
Murid
Sinto Gendang itu hentikan tawanya ketika dia menyadari bahwa si kakek bersama
muridnya sudah meninggalkan tempat itu. Dia tinggal sendirian ditemani mayat
Singkil Alit dan Rangga. Setelah menimang-nimang sesaat akhirnya pendekar ini
mengikuti juga ucapan si kakek tadi, kembali ke Kota Hantu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment