Cinta
Orang Orang Gagah ( Sequel Episode Hancurnya Istana Darah )
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
SAAT ITU
menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak
seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya
bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta
binatang-binatang lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin,
tetapi juga menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu
cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh jarak
ratusan tombak. Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat di
ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri.
Tanda malam telah berganti dengan siang.
Orang itu
hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel pada
dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan
perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun
sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua
bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang
terdengar.
"Singgar
Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian
gembiranya?!"
Orang
yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu melihat
dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya, bergetarlah
hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak.
Dua orang
berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal dengan
julukan Sepasang Kobra Dewata.
Jubah
mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar serta
tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar
hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa
Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di
Pulau Dewata ini?
Mereka
bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar
Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih
dan baik!
Setelah
berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas berkata:
"Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan hal
yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap.
Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka
Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di muka
dada. Sambil mengulum senyum dia berkata: "Angin kegembiraanmu lah yang
agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu
menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan? "
“Ah,
sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin
tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa
mendatangkan kebahagiaan."
"Betul
sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka
Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini
bukan kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami
berdua!"
Singgar
Manik coba tersenyum.
"Jika
kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu
makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik
untuk hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana
aku Singgar
Manik
pasti menyediakannya!"
Nyoka
Gand ring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai.
"
Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya waktu
banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja sobatku
Singgar Manik!?
Singgar
Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan apakah
yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah,
akupun
tidak punya banyak waktu . . . "
Singgar
Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu.
Tetapi
Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata: "Kenapa
musti
terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum
selesai"
"Harap
maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat kediamanku. Ada
seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka
Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya: "Apakah tamumu itu pemilik
tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik pakaianmu . . .
. ?!"
Kini
Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air mukanya. Meskipun
demikian dia masih menjawab: "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau ini
membicarakan soal apakah?"
Nyoka
Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada dia
lalu berkata: "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau
Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh
silat yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda
sembarangan. Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau
adalah seorang pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang
curian itu, terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi
incaranmu. Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar
Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Pendengaran
dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu minggu lalu
aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk kundai yang kau
katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis terlalu tinggi
ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya kemampuan? Daripada
mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku
akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan
senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas!
Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali: "Juga
puas
sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang Kora
Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu.
Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu
Nyoka Gandring
ulurkan
tangannya.
"Nyoka
Gandring! Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betulbetul
belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?!
Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan! Bersumpahlah pada
setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku kehilangan
kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar
Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan Sepasang
Kobra. Dewasa itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidak mengikuti berarti
melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang
Kobra Dewata yang terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba
Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar memandang garang pada Singgar
Manik. Kedua kakinya merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi mendekat di
dada perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung
sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka bersiaplah
untuk mampus!"
"Nyoka
Gandring! Dengar dulu keteranganku…"
"Satu!"
Nyoka
Gandring mulai menghitung;
"Benda
itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua……..
!"
"Aku
bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar
Manik bersurut mundur.
NyokaGandring
membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar Manik. Serangkum
angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir seraya berseru:
"Antara
aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?!
"
“Wus!”
Serangkum
angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua kalinya
Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku
mari kita beg pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama
Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik. Menghadapi satu
saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit bagi Singgar
Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus bertindak
cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun lagi
serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
Sambil
berkelebat mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang Kobra
Dewata menghentikan serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak ambil
perduli. Malah mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga
setelah
bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak terdesak!
******************
2
DUA KALI
pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu satu
jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya pula. Singgar Manik tampak
terhuyung-huyung. Keningnya mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa
sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat
tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia
bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya
Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai kelengahan lawan agar dapat
menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri.
Singgar
Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu
susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang
Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan sedang untuk menangkis
serangan senjata rahasia, mereka kebutkan lengan jubah hijau masingmasing
hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
Gerakan-gerakan
lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat adanya kesempatan
tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar tubuh dan kabur.
Namun
Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang dibuat
lawan mereka sudah maklum apa yang sedang direncanakan Singgar Manik. Karenanya
begitu lawan ambil ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan
Putubayan cepat berkelebat menghadang.
Melihat
dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan penasaran Singgar
Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus
yang diserang menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan
suara keras. Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah
dan ketika diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di depannya
sebaliknya Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai mengejek.
"Masih
juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka Gandring.
"Manusia
keparat! Kalau kau mau k an benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei
berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian sebuah
benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada dalam
genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun
menyerang Nyoka Putubayan.
Sinar
putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai! Nyatalah benda
yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi
sebentuk senjata mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang Kobra
Dewata menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap
sebagai pencuri dan penipu besar.
Nyoka
Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat
menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak
tinggal diam. Dia teruskan serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke
arah tangan lawan.
Bret!
Lengan
jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut bagian runcing tusuk kundai!
Nyoka Putubayan sendiri merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih untung
hanya lengan jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena atau terluka
oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah dirinya!
"Adikku
hati-hati!"
Nyoka
Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita
takutkan.
Tapi
terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar
Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek.
"Jika
kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas minggat
dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar
Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau
terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan
tangan kannya ke depan. Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika
merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh angin pukulan lawan
Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan.
Hebat! Angin pukulan orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
Kejut
Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan kejadian itu.
Pukulan yang barusan dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti Mematuk.
Merupakan salah satu pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah meyakini
ilmu pukulan itu selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh
tusuk kundai kecil itu!
Menyadari
kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin keraslah hasrat Sepasang Kobra Dewata
untuk memilikinya. Keduanya saling kedipkan mata memberi isyarat. Lalu
didahului dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari
samping kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar
Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang lebih dulu
dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari Bali
ini tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari samping
menderu angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali
ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh.
Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak
menghantam per gel angan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk
kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental! Singgar Manik menjerit kesakitan.
Dia
melompat untuk menyambar tusuk kundai yang mental di udara dengan tangan kiri.
Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda
dadanya dengan keras!
Lelaki
ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan
kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru.
Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat
kemudian darah kental mengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan
dia lihat Nyoka Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar
Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan
kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan
terhadapmu. Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta
nyawamu.
Singgar
Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan!
Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka
Gandring.
"Bangsat!"
kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Lalu
Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia
tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar
minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk kundai di
tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan panjang.
Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga berlubang dalam dan darah
mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan
roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka
Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan jubahnya.
Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata: "Diberi
ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
Orang
kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada kakaknya. Kedua
brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
******************
3
DI ATAS
tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua kakinya
buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada.
Kepalanya menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang
putih melambailambai ditiup angin yang datang dari arah danau.
"Hentikan
tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan nada keras.
"Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak bakal bisa
kembali!"
Dara
berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan si orang tua menyusut air matanya
dengan tepi pakaian. Bibirnya bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan tangis
yang seperti hendak meledak.
"Tusuk
kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu !" berkata lagi si
orang tua.
Sekali
ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu
semua salah saya….Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda
itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda
perjodohanmu-Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas dicuri
orang. Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua
berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-katanya: "Bagaimana
aku musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng!
Tusuk
kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda
persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro Sableng,
pemuda sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan
bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini
tidak buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua mengejar
pencuri laknat itu!"
"Eyang,
saya yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu,"
Lestari membuka mulut "Saya tak akan kembali sebelum dapat…."
Orang tua
itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata:
"Terserah padamu apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap
kau dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi
bagaimana menghadapi Sinto Gendeng nanti.
Gadis
bernama Lestari berdiri. Dia masuk ke da-lam sebuah kamar. Ketika keluar sudah
berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang merah. Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini
diikat buntut kuda. Meski wajahnya murung dan kedua matanya merah habis
menangis namun kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang,
saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang tua
itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat. Sambil
menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika
tusuk kundai itu kau temukan."
"Baik
eyang."
"Ada
baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin kau
dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan mereka jika
sewaktu-waktu kau ditimpa mara-bahaya dan kau tak sanggup menghadapinya seorang
diri."
"Semua
nasihat eyang saya perhatikan.".
Setelah
menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan pondok
itu.
Ratusan
tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh dengan pepohonan
rindang Lestari berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah sebatang pohon
sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya dapat mengetahui
siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
Ingat
soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar penghancuran
Istana Darah beberapa waktu yang lalu (baca serial Wiro Sableng Hancurnya
Istana Darah) gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh
gurunya dengan Wiro Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara
kebetulan gurunya memberi tahu , mengenai urusan perjodohan itu. Bagi Lestari
dia tak akan menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia percaya bahwa
semua itu untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi pertanyaan apakah Pendekar
212 Wiro Sableng bersedia mematuhi ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya
sebelumnya. Pemuda itu telah menyelamatkan diri dan kehormatannya dari
Hulubalang Istana Darah. Hutang nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya.
Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan bersedia menjadi istri Wiro, setia dan
mengabdi pada suami. Tapi apakah dia mencintai pemuda itu?
Memandang
ke langit Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah siang.
Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak jauhnya
murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat
busuk menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling.
Dia dapatkan bau busuk itu datang dari jurusan tenggara. Segera dia melangkah
menuju sumber bau itu untuk mengetahui lebih jauh. Mula-mula dia melihat
burung-burung gagak hitam pemakan bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik
turun, kemudian terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima
puluh langkah lagi Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk itu.
Yakni sesosok tubuh manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
Lestari
tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua mata mayat itu
hanya tinggal merupakan dua lobang besar mengerikan. Hidung dan bibirnya,
bahkan hampir keseluruhan daging pada wajahnya telah habis berlubang-lubang
digerogoti burung-burung gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya
yakni dada, perut dan kedua kaki serta tangan.
Tak dapat
Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi mayat ini. Matanya yang
tajam dapat melihat dua buah titik lobang pada kening mayat serta darah yang
telah keras membeku.
Mayat
busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang
dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena
tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera hendak tinggalkan
tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat sepotong kain berwarna hijau.
Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan
ujung lengan
pakaian.
Lengan pakaian siapa? Dia memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian orang
yang membunuh? Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu.
Tanda-tanda memang menyatakan demikian.
"Mungkin
ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari. Robekan kain hijau itu lalu
dimasukkannya ke balik pakaian merahnya.
Dia
memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di
tempat itu sang dara segera berlalu.
******************
4
SEBENARNYA
TAMPANG pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat pucat dan tubuhnya
tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan putera
seorang-bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember akan
menggelarinya "Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat
Kerempeng" atau lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira
tinggi kerajaan yang dulu dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega
memberi gelar ejekan itu pada si pemuda.
Di
samping itu pemuda ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat, yang dipelajarinya
dari ayahnya; Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri
selama dua puluh lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu pedang yang
sangat tinggi hingga semasa jayanya dia mendapat julukan "Raja Pedang
Kotaraja".
Meski
sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya namun tingkat kepandaiannya
cukup mengagumkan. Lima orang perwira muda kerajaan yang mengeroyoknya
sekaligus belum tentu dapat mengalahkannya dalam perkelahian dua puluh lima
jurus!
Kalaupun
pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk, namun rata-rata
banyak penduduk yang tidak suka padanya. Ini disebabkan kesombongannya. Dan
kesombongan ini berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia
selain ayahnya maka dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya
semua orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang
dimintanya!
Hari itu
Ronggo Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu, berada di
rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga
orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong
sampah yang telah dua hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber dan bau
busuk menebar serta lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata tidak
hanya mencari makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah
makan, hingga di atas makanan yang terhidang di meja.
Sejak tadi
Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan adanya puluhan lalat ini.
Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia berteriak
memanggil pelayan. Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan mata
melotot dan mulut tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga sebagian
makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas
usir lalat-lalat celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu
yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu
saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia
mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir
binatang-binatang ini kembali datang, malah lebih banyak.
"Tolol!
Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak
Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah
lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat yang ada
di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti dengan lampu itu.
"Binatang
sialan!" makin salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia pergunakan kedua
tangannya menepuki binatang itu. Dua kawannya melakukan hal yang sama. Banyak
lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak
berkurang.
Ronggo
Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai rumah makan.
Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak.
"Kawan-kawan,
melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada cerita tentang
seorang yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk! Hai, apa kalian
pernah dengar cerita itu?!" Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan
pernah.
Ronggo
tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu.
"Sekarang
akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di rumah makan
jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh ekor lalat
dalam sekali tebas saja!"
"Ah,
ini bakalan hebat jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
"Aku benar-benar ingin melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan
semua orang di sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi. Sedang pemuda
yang ketiga ikut berkata: "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan
kehebatan itu Ronggo!" Ronggo berdiri dari kursinya. Dia memandang dulu
berkeliling lalu sret! Pemuda ini cabut pedang yang selalu dibawanya.
"Lihat! Kalian lihat semual" katanya. "Jangan ada yang mengedip.
Gerakannya sangat cepat Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat
menyaksikan kehebatanku!" Lalu wut!
Pedang di
tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat terkaparan
di lantai dan di meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
“Luar
biasa!"
"Hebat!"
"Gila!
Aku hampir tak percaya!"
Begitu
tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri.
Ronggo
Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi meandang berkeliling. Memang mau tak mau
semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan dilakukan
si pemuda memuji kagum. Dan melihat semua orang mengaguminya bertambah
sombonglah Ronggo. Dia ingin semua orang benar-benar meyakini bahwa dialah jago
pedang nomor satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia
kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat
lagi!"
"Lihat!"
"Inilagi!"
Tiga kali
Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum puas dia
susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia menghentikan gerakannya, tak
seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja makan itu,
Tiga
kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah.
Seorang
dari mereka berkata: "Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jeuh lebih hebat
dari ayahmu!"
Cuping
hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu. Sambil
duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata: "Sekarang kalian saksikan
sendiri kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
Keempat
pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu meneguk
minumannya, namun gelas minuman buru-buru diletakkan seraya berkata:
"Astaga ronggo! Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan
ini?!"
Ronggo
berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke jurusan itu.
Seorang
dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam buntut
kuda tampak memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para pemuda
itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun tak segan memandanginya
dengan hati kagum.
"Amboi!"
Ronggo sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki sedang sepasang
mata menyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya. "Tapi
sekuntum bunga mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang
dihembuskan angin untuk menemui kita di sini!"
Tiga
kawan Ronggo tertawa. Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain adalah
Lestari mengambil tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis
cantik, jika kau tak keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan
kawatir, kau tak usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum
sepuasmu!"
Lestari
melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto.
Dilirik
begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga temannya:
"Lihat, dia melirik padaku. Ah, taksangka hari ini aku bakal melihat bunga
yang begini cantik!"
Tetapi
setelah melirik Lestari tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu. Dia
melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo,
rupanya gadis itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang pergi
duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera
bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar.
"Kau
betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia sendiri.
Kalau sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula seraya
berdiri dan melangkah ke meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara.
Setelah cengar cengir sebentar pemuda ini memanggil pelayan.
"Hidangkan
makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan
itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah
manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?" Ronggo Bogoseto
bertanya
sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa. Lestari
palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih,
betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang timur.
Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah
seperti delima merekah!" kata Ronggo dalam hati memuji. Namun sesaat
kemudian dia merasa terkesima karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau
sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik bertanya. "Ah! Namaku Ronggo
Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan. Dia merasa senang
ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara juga menaruh
perhatian terhadapnya. "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah! Ayahku
adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja
Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku
memutar balik pedang lebih tinggi dari ayahku!" "Betul, betul!"
salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya. "Sayang kau
terlambat datang.Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat
menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali
membabatkan pedangnya!" "Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang
dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo Bogoseta senang dan cuping
hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata: "Kalau kau suka, di
hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan permainan
pedangku!"
"Oo
begitu . . . ?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam
hati dia menambahkan: "Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak
beres dengan otaknya!"
Menyangka
orang kagum padanya Ronggo lantas berkata: "Jadi kau mau melihat
kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
"Silahkan!
Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk
minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau
akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil
usapusap dada.
Lestari
hampir tak melihat kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia merasakan ada
sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang mengikat rambutnya putus.
Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas dari ikatannya dan tergerai di
bahunya. Di saat yang sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah kembali
berada dalam sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa
cepatnya.
"Hebat!
Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji.
Meskipun
jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun sebagai
orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu pedang
si pemuda memang luar biasa.
"Saudari
kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku tadi!"
Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola mata meliar.
"Pantas
dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo
mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak.
"Tapi!"
katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan
ilmu pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!"
Habis
berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan
terdengarlah suara tring . . . tring . . . tring …. tiga kali berturut-turut.
Ketika
Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian merahnya telah putus
tanggai hingga dadanya yang putih tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo
Bogoseto dan juga semua mata lelaki yang ada di situ menyaksikan satu
pemandangan yang membuat mata mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari
cepat-cepat tutupkan pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo serta
kawankawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda
keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
”Benar!
Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu diberi
pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari
arah pintu rumah makan
******************
5
BESIUR
angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan. Kalau
Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah tubuhnya akan kena disambar angin
deras tersebut!
Semua
orang yang ada di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas perwira
tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu.
Di situ tegak seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya
gagah.
"Bangsat!
Siapa kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak
membiru.
"Siapa
aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang ajar yang
pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempuan! Angkat kakimu
dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahoi!
Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang
pemuda kawan Ronggo. Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina
dina! Kau bicara keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan
siapa?!"
"Siapa
kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu kawanmu yang satu
lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di Jawa
itu, di mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat
perempuan cantik!"
Tanpa
perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda melangkah
mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat pemuda ini
tapi tidak ingat entah di mana dan kapan.
"Lupa?"
si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg
. . . Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala dari gunung
Raung?" tanya Lestari.
"Ah,
ssyukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca
serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan
bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama
gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang
telah mengembalikan suling perak milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh
silat jahat bernama Tapak Biru).
Dimaki
dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan marah
bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki kepandaian silat maka
mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini
menghardik.
.
"Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak
bermesraan dengan gadis itu di depanku!" Dengan tersenyum Panji Kenanga
menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira sudah minggat bersama
kawan-kawanmu!" "Keparat! Kau belum tahu siapa aku!"
"Aih,
namamu Ronggo Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan. Ayahmu
berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu
pongah! Kau jadi lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku
ini!"
Oo . . .
jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar sampai
babak balur!"
"Seharusnya
kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji kawanku ini.
Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa tentunya kau
Pangeran? Hik. . . hik!"
"Setan
alas!"
Amarah
Ronggo Bogoseto meledak.
Sret!
Ronggo
hunus pedangnya.
"Cincang
dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah seorang pemuda
berteriak memberi semangat Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung. Lalu
berkata pada Panji Kenanga. "Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut
jika tak ingin mampus percuma!"
Panji
Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka pucat itu.
Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya"Gajah
Biru", sebuah senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari
gading gajah.
Ketika
melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo Bogoseto
agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya maka dia
menyimpan rasa takutnya dan berganti dengan sikap percaya diri yang keterlaluan
dan menjadikannya pongah sombongi Dia melangkah mendekati Panji Kenanga.
Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya menyambar. Demikian
sebatnya hingga benda itu kini berubah menjadi sinar putih yang bersiur deras
dan bertabur ke arah kepala Panji Kenanga.
Yang
diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala, lalu berkelebat ke
kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan lawan seperti itu Ronggo
Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda
yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu tiga jurus
kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!"
balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku ini!"
Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah!
Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji
Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya merupakan
satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda muka pucat itu
benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia sudah
mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
Setelah
mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka. Pedangnya berkelebat
bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata Panji Kenanga. Untung dia
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi hingga dapat mengelakkan semua
serangan. Di sini tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki ilmu
pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya Panji Kenanga memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat
ilmu meringankan tubuhnya jauh melampaui lawan.
Panji
putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak bertabur
bergulunggulung. Dia coba menerobos ke depan untuk membuyarkan serangan pedang
lawan yang seolah-olah membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil
walaupun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaian. Di jurus ke sembilan Panji
Keanga mulai menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali tidak
mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga
luar atau tenaga kasar ditambah dengan kecepatan yang memang luar biasa. Maka
di jurus ke sepuluh Panji ambil keputusan!
Ketika
pedang Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat di
pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
Trang!
Dua
pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
Ronggo
Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang pedang itu
sendiri terlepas mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit rumah
makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur. Matanya
membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya yang ada
di langit-langit. Ketiga kawannya juga sama terkesiap kaget. Semua orang yang
ada di situ tidak menyangka jago pedang kelas wahid putera Raja Pedang Kotaraja
dapat dikalahkan oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
"Muka
pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji.
"Jika
kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana dan
teruskan perkelahian!"
Mau
rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan malu.
Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat itu justru rasa malu dan seperti
tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat!
Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!" ujar
Ronggo Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka
menuju; ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran
sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina
sialan! Kau mau apa pula?!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang
menghadangnya adalah Lestari.
"Mauku
ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar
muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja tamparan
Lestari membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!"
maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari. Namun pukulannya ini dengan mudah dapat
dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali
ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun tubuh
ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di
tanah. Mukanya berkelukuran, lecet dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari
hidungnya.
Sambil
mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua tangannya
terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh hawa amarah.
"Gadis
iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga temannya
dia bergerak pergi.
"Pangeran!
Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu tak
menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji
geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu kemudian
dekati si gadis.
"Lestari,
bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah Iblis itu
ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari
mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil
menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau Jembangan.
"Panjang
kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya
kenapa?"
"Sebaiknya
kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan datang
bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu,
apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh
dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau
semua yang terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus
kujalani" .
"Hemm…
tugas urusan apakah itu?"
"Aku
sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai Pangeran sedang itu
datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.
******************
6
PANJI
KENANGA memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul.
Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke arah
rumah makan. Di depan mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan
rapi, berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon berwarna
memutih. Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling tidak sekitar enam
puluh tahun. Dan pasti dia adalah ayah Ronggo, manusia yang bergelar Raja
Pedang Kotaraja itu!
Kelima
orang itu sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus sesaat
menatap wajah kedua muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah makan
dimana dilihatnya menancap sebilah pedang.
"Ayah!"
Ronggo tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat
keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat ke
arah Panji Kenanga.
Panji
Kenanga memutar duduknya sedikit lalu bertanya: "Apakah kami berhadapan
dengan bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
‘Tepat!
Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari
sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan bahwa
orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak keterlaluan seperti puteranya.
Panji
Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo dan berkata: "Kau sudah membawa
ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa ibumu sekalian?!” Merahlah paras Ronggo
Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
"Keparat!"
maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian dan melompat
untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan mendorongnya ke
samping.
"Orang
muda! Apa yang telah kau lakukan terhadap pu teraku merupakan penghinaan.
Merupakan tindakan kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau masih
berani bicara kurang ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku
begitu!"
"Orang
tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan seenak perutmu
sendiri?!" Lestari buka mulut.
Raja
Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu cantik,
tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah
darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan.
"Kau
ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian lihat
apakah kalian juga orang baik-baik?!"
Mendidih
amarah Raja Pedang.
"Gadis
lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini
layangkan tamparan ke muka si gadis. Namun baru setengah jalan sebuah benda
keras membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis
dan menangkis tamparannya itu!
Raja
Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan
seperti itu. Dengan penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji.
Namun serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah
tempat.
Di saat
ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan untuk melompat mengambil
pedangnya dari langit-langit rumah makan. Dengan senjata ini dia kemudian
memburu ke arah Lestari.
"Gadis
liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang
tubuhmu!"
"Rupanya
hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti menghajarmu?
Memang kalau tidak kuhajar kau sampai babak belur belum puas hatiku!"
Wut!
Pedang di tangan Ronggo berkelebat. Lestari angkat sebuah kursi dan menangkis
dengan benda ini. Dua kaki kursi putus dibabat pedang.
"Sebentar
lagi tanganmu . . . . "
Ronggo
tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang oleh
Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti
mukanya akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu
bergulung-gulung menguning Lestari.
Sebelumnya
Lestari sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia juga
mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi,
apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan
kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat
andalan yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis. Setelah dua jurus
menyerang tanpa hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnya
menggembung tanda marah. Namun kursi di tangan lawan merupakan senjata yang
sulit untuk dihadapinya. Berkalikali dia berusaha menghancurkan kursi itu
terlebih dulu. Setiap kali serangannya tidak membawa hasil. Malah di jurus ketujuh
tendangan Lestari tepat menghantam lengan kanannya.
Trak!
Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh
bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat
menyaksikan apa yang terjadi atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena
saat itu dia sendiri tengah mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji
Kenanga. Orang tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang
berat dan besar itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke
mana saja. Namun seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga
dalam. Cuma orang tua satu ini memiliki pengalaman luar biasa hingga dalam
sepuluh jurus dia dapat mengunci Panji Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
Panji keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di tangannya
bukan senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan.
Selama sepuluh jurus lagi Panji bertahan mati-matian.
"Kalau
tidak ku barengi dengan pukulan, sulit membuyarkan serangan yang mengurung
ini!" kata Panji dalam hati. Karenanya memasuki jurus ketiga puluh empat
pemuda ini keluarkan bentakan garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong
dengan tangan kiri. Jago tua itu terkejut ketika merasakan ada angin yang
menyambar dan membuatnya tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi
diri. Namun gerakannya ini membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi terbuka.
Justru ke arah bagian tubuh inilah Panji membebatkan pedangnya disertai tenaga
dalam hingga senjata itu menaburkan sinar biru.
"Celaka!"
seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan lawan.
Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini
babatkan pedangnya ke bawah. Trang!
Dua
pedang beradu keras.
Apa yang
diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya mental,
tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali dia
menyurut beberapa langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia
dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila!
Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati. Ketika
dia berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh
benjut, dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah
Biru kembali. Dia menoleh pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat.
Lalu keduanya melangkah ke pintu.
"Orang,
muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja
memanggil.
"Ada
apa?!! tanya Panji.
"Sebelum
pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-masing . . . . "
"Untuk
apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk
sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. Kalian berdua
telah membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang
bisa membawa bencana bagi diri sendiri!"
"Ah,
aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang
muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!"
Lalu orang tua itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan
pu teranya yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru.
"Ayah!
Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi hukuman
pada mereka?!"
"Kaulah
yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan plak! Tamparannya
melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak
tahan menanggung malu.dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu. Tiga
kawannya menyusul di belakang.
******************
7
KUDA
PUTIH polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas
punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk Panji
Kenanga. Semula sang dara menolak untuk menunggangi kuda besar itu
bersama-sama. Tapi akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
"Kita
bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari
tak menjawab.
"Di
samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan dan tugas yang harus
kau jalankan itu. . . "
Setelah
berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji. Sementara
Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk perapian.
Setelah
api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis di
hadapannya itu. Paras yang tak pernah dilupakannya sejak perjumpaan pertama
dahulu. Sebenarnya sudah sejak lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di
tempat kediaman gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah
bertemu di Jember.
"Lestari……..
"
Dara itu
mengangkat kepalanya.
Sesaat
pandangan mereka saling beradu.
"Kau
kedinginan? Duduklah lebih dekat ke perapian
"Cukup
hangat di sini. Panji"
"Sekarang
coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan
kulakukan."
Lestari
memandang nyala api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan angin malam.
"Seseorang
telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru tidak di
rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal itu walau
dia tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat.
Sebelum dapat aku tak akan kembali."
"Senjata
apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah
tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya
pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti,"
membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi beberapa
tokoh silat golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat ini segala
sesuatunya masih gelap bagiku "Jelas yang melakukannya seseorang atau
beberapa orang dari golongan hitam. Kita akan menyelidikinya
bersama-sama."
"Kita?"
ulang Lestari.
"Ya
……. Kau tak suka aku bantu?"
"Terima
kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh silat
golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya…."
"Itulah
yang harus kita selidiki Lestari. . . . " Sang dara hanya mengangguk
pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk kundai sakti itu. Namun sama
sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu adalah pertanda ikatan tali
perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang bernama Wiro Sableng.
Malam
bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai tikar kulit dan
selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu
dibentangkannya dekat perapian.
"Kau
tidurlah di sini. . . . " katanya pada Lestari.
"Aku
belum mengantuk."
"Mengantuk
atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu mungkin
kita harus mengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga… ." Lestari
menyadari bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu benar. Perlahan-lahan
direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
‘Terima
kasih. Kau baik sekali. . . ."kata Lestari polos..
Panji
tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan diri di
seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum
memejamkan mata.Kesunyian malam kadang-kadang digemeretaki oleh suatu ranting
kayu yang berderak dimakan api.
"Ingat
peristiwa di Istana Darah dulu .. ?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya,
kenapa?"
"Sejak
peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro ? "
"Tidak.
Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda
itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain bertukar
pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu baru"
Yang
dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan
hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka.
Apakah Wiro mengetahui hal itu?
Lama
kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus angin.
"Lestari.
. . "
"Hemm
. . . Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur. . . . "
‘Tubuhku
memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan "
"Dalam
kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah mencintai dan
dicintai seseorang . . . . ? "
Pertanyaan
Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut Dia sadar wajahnya saat itu pasti
menjadi merah. "Ada-ada saja yang kau tanyakan. Kenapa kau bertanya
begitu?"
"Hanya
ingin tahu …… " "Soal cinta belum terpikir olehku . . . . "
"Lalu
soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana
aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu Panji
tertawa. "Bagaimana kalau andai kata kau kemudian mengetahui bahwa ada
seseorang yang mencintaimu dengan sepenuh hati. . . . "
"Aku
harus tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing . .
. . Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau
mencintaiku…..?"
"Ada!"
"Sudahlah.
Aku tak mau membicarakan hal itu lagi . . . ." Kata Lestari. Namun
diamdiam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu.
Wiro Sableng?
"Kau
tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau
kau tahu katakanlah."
"Orangnya
saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
‘Tak ada
orang lain di sini."
"Ada.
Kau tak melihat? Atau lupa?"
"Siapa?"
"Akui"
jawab Panji Kenanga.
Lestari
palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak berkedip
pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara itu.
"Kau
tengah membanyol Panji!"
"Aku
tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari
merasakah dadanya berdebar.
"Kau
bodoh Panji!"
"Bodoh?
Bodoh bagaimana?"
"Bodoh
karena mau-mauan mencintaiku. Me mangnya aku ini apa sih!"
"Cinta
itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta. Lalu
bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia yang punya
"
"Aih,
pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti
katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau menyembunyikan
sesuatu yang aku rasakan "
Sunyi.
Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu akhirnya
picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa
panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah
dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
"Lestari.
. . ."bisik Panji.
"Dengarlah
… " Sambil bicara dibelainya rambut gadis itu.
"Aku
benar-benar mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat.
Satu ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya
bergetar. Itulah pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya dicium lelaki.
"Panji
. . . jangan . . . . " bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di
pipinya.
"Jangan
. . ." bisik Lestari lagi. Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya.
Ketika bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya
seperti terbang. Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya
dengan hangat.
MENJELANG
dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji Kenanga masih
duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya dengan perasaan penuh kasih
sayang.
Ketika di
timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini berdiri dan melangkah ke
telaga. Semalam suntuk dia tidak memicingkan mata barang sekejappun. Namun
tubuhnya sama sekali tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang yang
dirasakannya laksana suatu kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang dara
menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan
dalam bentuk kata-kata.
Tak lama
setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun. Dia duduk di samping perapian
yang telah padam. Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya Panji
berkecimpung di air telaga. Begitu melihat pemuda ini berdebarlah dada sang
dara.
Serta
merta dia ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas
memeluk pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu
bisa terjadi?
Teringat
Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan kembali
tusuk kundai perak yang telah dicuri orang. Benda yang merupakan tanda
perjodohannya dengan Wiro Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan
pengikatan jodoh bagi mereka. Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra
dengan Panji Kenanga. Apakah ini berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan satu
pengkhianatan terhadap calon suaminya yakni Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam
hati gadis ini. Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji
Kenanga? Bagaimana kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah
mungkin lebih jauh dari itu.
Lestari
merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus meninggalkan
Panji Kenanga dan menempuh jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih lama dia
segera lari meninggalkan tempat itu.
Pada saat
matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah berada jauh dari telaga.
Dia sengaja memasuki rimba belantara karena dia tak mengharapkan agar Panji
Kenanga dapat menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa
belas tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu
teriakan keras.
"Randu
Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"
******************
8
LESTARI
terkejut dan cepat Wpaling ke belakang. Kira-kira lima tombak di belakangnya
dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak
dikenalnya. Sedang orang kedua bukan lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat
sombong yang kemarin dihajarnya di rumah makan Jember.
Sadar
kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak baik maka Lestari
segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan Ronggo Bogoseto jauh di
belakang. Namun si tinggi langsing ternyata memiliki kepandaian lari. Karena
dalam waktu dekat dia segera dapat mendekati Lestari.
"Kalau
mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang dara
tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa Ronggo
Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Siapakah adanya orang ini?
Mari kita
ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah makan
itu.
Meskipun
ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga serta Lestari
namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam kesumatnya
terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh Jember.
Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya
di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka pucat sangat tertarik pada
kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada yang
secantik dan begitu menggiurkan seperti yang satu ini
Setelah
mengobati mukanya yang babak belur, dan tangannya yang patah, dengan menunggangi
seekor kuda pemuda ini meninggalkan kota menuju ke arah timur. Tujuannya adalah
sebuah candi tua yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu
tinggi.
Tokoh silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia mempergunakan
kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau memberikan
hadiah padanya maka apapun akan dilakukannya. Karena itu orang mencapnya
sebagai tokoh silat golongan hitam.
Hari
telah malam ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir kalau
orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di
candi tersebut. Namun begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah hati
pemuda ini.
Di depan
candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun langsung masuk ke dalam candi.
Sebagian besar bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut
terletak sebuah lampu minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga
membentuk bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin.
Ronggo
memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu
. . . ." panggil si pemuda. "Randu Wongso . . . . Apakah kau ada di
sini. . . . ? "
Tak ada
jawaban.
Tetapi
telinga Ronggo tjba-tiba mendengar suara seseorang.
Suara
perempuan merintih!
Dia
memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah tumpukan
balokbalok tua yang seperti membatas bagian depan candi dengan bagian
belakang. Ronggo sampai di susunan balok setinggi dada dan menjenguk ke balik
susunan balok itu. Kedua matanya terpentang lebar ketika apa yang terpampang di
depannya, di antara kesuraman sinar lampu minyak.
Di sana,
di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu Wongso
dalam keadaan tanpa pakaian tengah menggagahi seorang perempuan!
Perempuan
ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit agak hitam. Tetapi dia memiliki
bagian-bagian tubuh yang kencang serta serba besar.
"Sialan!"
rutuk Ronggo Bogoseto.
"Randu!"
serunya kemudian.
"Lekaslah!
Aku ada urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret
anjing kurap!"
Lelaki
bernama Randu Wongso itu memaki.
"Anak
setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau kurengkahkan
batok kepalamu?!"
"He
. . . he . . . . Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar
nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia tidak mau
meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang akan
sampai ke puncak kenikmatannya.
"Sobat
muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau suka bisa kebagian! Eh,
apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal
uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu
itu!" Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang dikawatirkannya adalah Panji
dan Lestari jadi terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang
digagahinya itu!" Ronggo melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang
kecil sempit itu. Telinganya terus menerus menangkap suara rintihan perempuan
itu, diseling oleh suara nafas Randu Wongso yang memburu.
Tiba-tiba
terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!"
maki Ronggo.
Beberapa
saat kemudian baru Rando Wongso keluar dari balik tumpukan balok.
Tubuhnya
penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan
bejatmu masih belum berobah Randu! Perempuan mana puja kali ini yang kau rusak
kehormatannya? Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa kali kau
tiduri?!"
Randu
Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya.
"Yang
satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . . ha . . . ha . .
. Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila!
Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau
akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut!
Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa
bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan dua
hari. Tak lebih. Tapi dia . . . . sudah lima hari berada di sini. . . "
Sekilas
Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda itu masih terbaring
tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus memang Ronggo harus mengakui
ucapan Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
"Hai
sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan apa
urusan pentingmu itu!"
Dengan
singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami dia dan ayahnya di
Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang luka akibat tamparan Lestari,
lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu
apa hubungan kejadian* jtu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu
Wongso.
"Kita
harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku…."
Ronggo
tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya
kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali
hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik
luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu. Ketika
pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya tersingkap . . .
. Mau mati rasanya aku ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha
. . . ha . . . hal Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!"
ujar Randu Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama.
Tapi…" Habis berkata begitu Randu kembangkan telapak tangan kirinya dan
mengangsurkannya kepada Ronggo.
Tanpa
banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan berikan
pada Randu Wongso.
"Kita
pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
"Aku
berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar tidak berhasrat
terhadap perempuan itu?"
"Urusanku
lebih penting. Kita harus cepat…."
‘ ‘Cepat
. . . . cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu Wongso kau
pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau? Urusan beginian kan tidak
lama Ronggo…."
Pemuda
itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh
perempuan yang gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo
Bogoseto. Memang bukan satu. hal baru dia melakukan hal seperti itu
bersama-sama Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu
tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok.
"Pergilah,
aku akan menunggumu sampai selesai . . . ." bisik Randu Wongso. Akhirnya
sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
LESTARI
berusaha mempercepat larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali gerakannya.
Menyadari bahwa dia tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari akhirnya
berbalik dan menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha!
Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu sementara
Randu Wongso tegak tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis berbaju
merah di hadapannya.
"Apa
maumu?!" sentak Lestari. ‘ ‘Wah Ronggo! Gadismu ini galak sekali!"
kata Randu Wongso. "Brengsek! Enak saja kau mengatakan aku gadisnya!"
semprot Lestari dengan mata melotot. "Aih,melotot marahpun kau malah
tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin menggoda. Diam-diam dia sudah
terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak kotornya mulai bekerja.
Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari. "Berani kau menyentuh
tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari seraya tangan kanannya bergerak
ke pinggang d i mana tersisip pedangnya. "Ah, mati di tanganmu pun aku
senang! Ha . . . ha. . . ha “ ujar Randu Wongso lalu tertawa gelak-gelak.
"Mana
pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar
lagi dia datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata
Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah.
"Gadis
cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan seorang
diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas tangan.
Kami bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun kau
pergi"
"Manusia
edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu
Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan matanya
membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar tubuh.
"Hai!
Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu
sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak
sabaran.
"Meringkus
burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap pinggangnya!
Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah
berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu cepatnya
gerakan orang ini tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih pinggang Lestari sedang
tangan kanan menjamah dadanya!
"Bangsat
kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
Wut!
******************
9
SINAR
putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit. Kaget lelaki
ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang datang sangat berbahaya. Mau tak mau
segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur. Di
hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang sebuah seruling terbuat
dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi. Randu
berpaling pada Ronggo lalu bertanya. "Sobatku, sebenarnya siapakah si
cantik berbaju merah ini? "Kulihat gerakan ilmu pedangnya boleh
juga!" "Siapa dia nanti saja kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang
waktu. Lekas tangkap dia!"
"Baiklah
sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran! ‘Kembali Randu Wongo bergerak.
"Majulah
kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang
mendekat.
Sambil
tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis.
Tiba-tiba
Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya ke arah dada lawan.
Namun
kali ini dia tertipu.
Serangan
Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah berpindah
kedudukan dan berkelebat ke jurusan lain. Lestari tak kalah cepat. Dia putar
gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika Randu
Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu pukulan
tangan kosong dengan tangan kiri,
"Eh!"
Untuk
kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini kalau
dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu tak bisa dipandang enteng.
Di balik wajahnya yang jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai
itu, tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
"Kalau
tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!’ ‘kata Randu Wongso dalam hati.
Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia menyambar dari samping,
kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak acuh dan sangat mudah
untuk balas dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman telah
digembleng oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia tegak menunggu
dengan waspada. Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua
langkah: Betul saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan
susulan. Baru serangan Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong
mendahului dengan satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini
hanya mengenai tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya
Dengan
penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan tenaga
dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di mana
ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan
kosong pula.
Dua larik
angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari
rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan tenaga
dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi. Sekali
mendorongkan
tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi dia coba
mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
"Celaka!
"seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas suling
peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang
dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari.
Masih untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo
Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan perkelahian kedua orang itu dengan berdebar
kini mulai was-was apakah Randu Wongso akan mampu menangkap sang dara. Sikapnya
yang tertawa-tawa cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
‘ Randu!
Lakukan pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya. Masakan
menangkapnya saja kau membutuhkan waktu begitu lama! "
"Aku
tahu apa yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik nampak
kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik,"
katanya. "Jika kau mau serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak
akan mencideraimu. Bagaimana . . . ? Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang
terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau ikut dengan dia pasti kau bahagia. . .
"
"Baiklah,
aku akan menyerah saja . . . " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini!
"
Hampir
tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan senjata
rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah
hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu Wongso. "Terpaksa aku memakai
suling perakmu untuk menghadapinya!’ ‘
Randu
Wongso sehatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tring…
tring… tring…
Semua
senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah
Lestari ketika melihat kejadian itu.
“Manusia
keparat ini tinggi sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati sang dara kini.
Dia menghantam dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan. Tapi orang
yang diserang lenyap dari hadapannya.
"Gadis
cantik! Aku di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek Randu.
Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai!
Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! "
Kembali suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
"Setan!"
rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat itu satu
totokan tiba-tiba bersarang di punggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya
tak bisa digerakkan lagi. Kaku tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun
tertutup!
Randu
Wongso melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo Bogoseto
pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari. Ketika
berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari dengan tangan
kirinya.
"Gadis
cantik! Akhirnya kau kami ringkus saja! Kalau tadi-tadi kau mau menurut secara
baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember!
Aku akan sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo
berpaling pada Randu. ‘Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
"Ronggo,
tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggul nya meski di bahu kiri.
Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak
bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada
lelaki itu.
"Kau
tak usah cemburu padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan gadis
ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya apa enak?
Candi kediamanku lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana saja?
Nanti baru kau pindah ke Jember. "
"Buset!
Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu Jangan ngaco
Randu!" Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika dia mau menuruti
kemauanku aku akan ambil dia jadi istri!’ ‘
‘ WaIah!
Jadi aku tidak akan kebagian?! "
‘ Aku
tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau boleh kembali ke
Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis
itu!"
‘ Tapi
aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar Randu
Wongso pula.
"Sudahlah!
Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang untukmu!
"kata Ronggo. Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh
Lestari di bahu kirinya.
Baru saja
tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan.
"Pemuda
keparat! Turunkan gadis itu! "
******************
10
RONGGO
terkejut. Rantu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih dari
balik semak-semak. Di belakangnya mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan
kekar.
"Hemm
. . . Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan
pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia
kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti gadis
ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai
mampus!"
Randu
Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas pemuda dihadapannya itu
tampak sederhana namun dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak
rendah. Apalagi suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu
pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah
bergelar Raja Pedang Kotaraja!
"Orang
muda!" tegur Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak
sayang kalau wajahmu yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik
lekas angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda
berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringati.
"Bagusnya
kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku bersedia
membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!"
Randu
Wongso tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba
dia hentikan tawanya dan berkata. "Baiklah! Baiklah orang muda. Jika itu
maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di depanmu. Lihat! "
Kedua
lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah seperti
orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat sebelum kedua tempurung lututnya
menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang menggetarkan Seantero belantara,
tubuhnya mencelat ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke dada
Panji Kenanga!
Murid
mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan sigap dia
berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan pukulan, juga
tidak berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam ke
salah satu tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu
Wongso.
Serangan
balasan itu membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut. Kaki
kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya
yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya
miring ke belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil mengelakkan
kedua serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda
tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu Wongso
adalah sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga
bahwa Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi
serta berbahaya!
Karenanya
begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera menyambut
dengan pukulan mega putih.
Sinar
putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke pertengahan tubuh Randu
Wongso.
Yang
diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang
masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit dan cepatnya
dia mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena
juga disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu
tepat. Inipun sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah mati. Bahu
kirinya terasa seperti remuk sampai ke dalam.
Tampang
Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang menggelegak.
Sebagai jago kelas satu tak pernah dia mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Dihantam lawan hanya dalam beberapa jurus!
‘Pemuda
bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!
" menyumpah Randu Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan dada. Bibirnya
bergetar. Mulutnya berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang kedepan tak
berkedip. Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki itu
mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin hitam dan
gelap legam.
"Pukulan
mengandung racun jahat! "kata Panji dalam hati dan bersiap waspada. Tiga
perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan. Dia menunggu tak
berkedip.
Randu
Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji.
Murid
Brahmana Lokapala itu sertamerta angkat pula tangan kanannya dan menghantam
sambuti pukulan lawan!
Dari
tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang menyebarkan bau
amat busuk. Dari tangan Panji Kenanga membersit sinar putih kelabu yang segera
menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan lawan. Randu Wongso yang sadar kalau
lawan memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat menghancurkan sinar
hitamnya.segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah lingkaran. Sinar
hitamnya yang hampir musnah dihantam sinar mega putih .Panji Kenanga menyusup
ke bawah dan lolos dari hantaman pukulan lawan. Begitu lolos Randu Wongso
secepatnya kembali menghantam dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga ikut
dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya jadi berlipat
ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji Kenanga!
Sinar
hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa apa-apa
seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun begitu
rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar,
mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan
itu saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
‘Celaka!
Tamatlah riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya yang
menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari
melangkah kehadapannya.
Pemuda
ini tertawa mengejek.
"Bangsat!
Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau membunuhmu saat ini!
Tapi belum puas hatiku sebelum melakukan sesuatu terhadapmu!"
Ronggo
gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid brahmana
Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya mencelat mental dan
dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan
olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika
dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali.
‘ Bawa
saja gadis itu ke candiku."
"Tadi
aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengaturku Randu!"
Ronggo
melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga. Dari
pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh
Lestari, bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati
kuda ini dan siap naik ke punggungnya. Namun baru saja dia mendekat, kuda putih
itu tiba-tiba menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo
hingga pemuda ini terpekik kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama
Lestari yang dipanggulnya. Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang
keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak dan
melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu!
Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong dulu!"
teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang lengan
Lestari.
Mendengar
ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong Lestari. Kini dia
membantu Ronggo berdiri.
"Nasibmu
amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup
mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit.
Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak
patahan tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan
susah payah dia mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali
gadis itu ke bahu kirinya.
"Aku
akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku
tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan
pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang
tak senang akan maksud Randu mengikutinya.
"Sobatku!
Apa kau lupa janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi tambahan uang karena aku
telah bantu meringkus gadis itu . . . "Mendengar kata-kata Randu itu Ronggo
jadi jengkel.
"Tahumu
hanya uang dan perempuan . . . "
"Eh,
apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan
perempuan . . . ?" ujar Randu pula. Ronggo tak menjawab. Dia juga tak
melarang ketika dilihatnya Randu berlari mengikutinya.
******************
11
DI LERENG
bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara siulan ini
akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena lagu serta
irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian
kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
Yang
bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia mengenakan
ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju puncak
bukit. Sampai di puncak bukit dia hentikan lari, berdiri sambil memandang
berkeliling. Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan.’ Tak satu bangunanpun kulihat!’ ‘pemuda ini memaki pada dirinya
sendiri. "Di mana sebenarnya letak candi laknat itu . . . ?"
Pemuda
ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran sambil
garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja tak satu
bangunanpun yang tampak dari tempat itu. Dia lantas berpikir-pikir. Apakah
sebaiknya dia menuruni bukit itu dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ
dia bisa mendapatkan keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu
Wongso, seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi
kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil keterangan
pun, berarti aku harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garuk-garuk
kepalanya. "Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit
sialan ini! Bagusnya aku menyelidik dulu
Keputusan
yang diambilnya ternyata tidak sia-sia. Setelah menyelidik hampir sepenanakan
nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit sebelah
timur, terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
Pemuda
ini tidak segera memasuki candi. Dia memutari bangunan tua itu beberapa kali
sambil memasang mata dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga
takkelihatan tanda-tanda ada orang di dalam sana.
"Jangan-jangan
bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah
mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi dan
langsung masuk ke dalam bangunan tua ini.
Sepi.
Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala, hampir
padam karena minyaknya tinggal sedikit.
Lampu itu
. . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua
tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya pasti sudah
lama. Paling tidak sejak malam tadi.
"Sialan!
Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke Jember. .
. "
Ketika
hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya menangkap suara
seperti tarikan nafas. Suara ini datang dari balik tumpukan balok-balok kayu.
Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tumpukan balok itu. Memandang ke
bawah berubahlah paras pemuda ini.
Di sana,
di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok tubuh
perempuan muda tanpa pakaian. Kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak,
dadanya turun naik sedang wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang
amat sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat
darahnya jadi panas juga. Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal
dengan sepasang payu dara yang besar kencang. Pada kedua payudara itu tampak
tanda-tanda merah seperti bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan
lebih mempengaruhi hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke
sudut ruangan. Di sini dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya
pakaian itu lalu ditutupkannya ke tubuh yang terbaring itu.
Merasakan
ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua matanya. Mata
itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti ketakutan, lalu kuyu
kembali.
"Jangan
takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong . . . " berkata si
pemuda.
“Ha .. .
haus . . . Aku . . . minum . . . " lapat lapat terdengar suara keluar dari
sela bibir perempuan muda itu.
‘ Air, di
mana akan kudapat air di tempat ini. . . ?" Pemuda itu memandang
berkeliling. Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar
suara air di dalam kendi itu. Segera pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir
kendi ke bibir perempuan itu. Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah
wajahnya tampak agak segaran. Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata.
"Kalau
kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi…"
"Kau…
kau… siapa?"
‘Namaku
Wiro Sableng. Kau tak usah takut. . . "
‘ Kalau
bukannya orang jahat? Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam? ”
"Siapa
yang memperkosamu . . . ?"
"Ada
dua orang. . . "
"Ya,
dua orang. Siapa mereka?"
"Aku
tidak kenal. Aku tidak ingat. . . "
"Kau
harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
"Kepalaku
sakit. Sekujur badanku sakit . . . "
Perempuan
itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai terisak
menangis. Si pemuda yakni murid Eyang Sinto Gendong menggigit bibir den
garuk-garuk kepala. "Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian. Yang
ditanya mengangguk. Wiro memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang sejuk
itu. .
"Siapa
namamu . . . "
"Warsih.
. . "
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya pada
perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat siapa
mereka itu. Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama .
. . "
"Sulit
sekali mengingatnya. Mereka…. Tunggu . . . Kudengar yang datang belakangan itu
menyebut satu nama. Randu . . . ya Randu . . . "
"Bagus,
kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi?"
Perempuan
itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo
. . . " katanya kemudian sambil membuka mata.”
"Di
mana kedua orang itu sekarang …T’
"Pergi…"
"Kau
tahu pergi ke mana . . ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi. .
. "
"Tadi
malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu…"
"Orang
yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya
. . . Aku diculiknya dari desa . . . " "Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku
akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak,
aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan tahu apa
yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan
berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup . . . "
"Tapi
hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau sempat aku
hamil . . . " Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar
Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui bahwa
manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima
pembalasan atas dosa-dosanya . . . " kata Wiro pula.
"Pembalasan
. . . Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak dulu
pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu itu
pasti telah sering melakukan perbuatan keji ini!" ‘
"Aku
sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari manusia
bernama Randu itu…"
"Kalau
begitu kau temannya . . . " .
"Bukan.
Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku bersumpah untuk
menghajar manusia itu sampai mati . . . Sekarang, kalau kau sudah cukup kuat
berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu
tinggalkantempat itu untuk memberi kesempatan padaWarsih berpakaian.
Tetapibaru
sajadia beradadibaliktumpukanbalok,mendadak didengarnyasatusuara benturan,disusulolehsuarajatuhnyasesosoktubuhkelantai.
Pendekar212 melompat kebaliktumpukanbalok.Namun terlambat.Dilantai di lihatnya
tubuh Warsih masih belum berpakaian terkapar dengan kepala rengkah
bedarah.Perempuan malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup
menanggung aib.Dia telah membenturkan kepalanyasendirikedinding candi!
Wiro
tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami.Tak ada
kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah itu.Cepat-cepat pendekar ini
tinggalkan candi.
******************
12
PENDEKAR
212 Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia telah meninggalkan candi
kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba dia mendengar suara ringkikan kuda. Wiro
segera lari ke jurusan datangnya suara binatang ini.
Di tepi
sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos tegak tak bisa diam
dan meringkik terus menerus. Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas
perapian.
Murid
eyang Sinto Gendeng ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah
melihat kuda putih itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar
ini tepuk keningnya. Dia ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid
brahmana Lokapala dari gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia menghancurkan
Istana Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika
Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil
memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini masih
terus meringkik. Ketika didekati dia merundukkan kepala dan men g
gesergeserkan lehernya yang berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang
sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengeluselus
leher Angin Salju.
Binatang
itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan kembali
dia meringkik. Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya
Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang mengherankan.
Tingkah
laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi pendekar itu. Dia
memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam? . "Sesuatu telah
terjadi dengan majikan binatang ini," pikir Wiro.
Tiba-tiba
Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan telaga. Wiro
Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu lari masuk ke dalam
hutan. Makin dalam dan makin jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke
tanah. Tepat dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak.
Sekali
lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya
terkejutlah pemuda ini.
"Panji
Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat
yang lebih baik.
Muka
Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah itu tampaknya
mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya bengkak membiru. Mungkin bekas
pukulan keras. Dari sela bibir membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya
ke cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi
bukan tegang karena totokan.
"Dia
keracunan . . . " ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti
keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya
Panji Kenanga memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat
dikalahkan dan berada dalam keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih
hebat. Bukan mustahil dia dikeroyok.
Wiro
pegang per gel angan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun
sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid
Sinto Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun
racun yang menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika
sampai terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan
sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini dicampurnya dengan
sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah diaduk,
cairan obat itu sedikit demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji Kenanga.
Sesudah menunggu beberapa saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata
kapak ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan
tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata kapak. Mulai dari kaki,
betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika mata kapak menyentuh
mulut, dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali. Wiro
menekan perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro baru
berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama
kemudian kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua matanya terbuka, tampak
kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon dan dedaunan
yang rapat. Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
"Di
. . . dimana aku . . . Sakitnya kepala ini . . .Kau … . kau siapa?"
kata-kata itu meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku
sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng.
Panji
Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat
setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih,
perlahanlahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya
. . . aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku . . . ?" Panji meraba
mukanya lalu memperhatikan tangannya. "Darah . . . " desisnya
kemudian. Dia mencoba bangkit. Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas
seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang
dan berbaring sajalah . . . " kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati
saatsaatgawat. . . "
"Bagaimana
kau bisa muncul dr sini. Apakah . . apakah aku akan menemui ajal seandainya kau
tidak datang? Kau pasti menolongku . . . "
"Soal
nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu saja.
Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang mesum manusia dajal bernama Randu
Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong. . . "
"Ah!
Kita berurusan dengan manusia yang sama. . . " ujar Panji Kenanga. Kini
dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba bangun. Wiro
membantu dan menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro . . kau
tahu.
Manusia
dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik Lestari.
. . "
Terkejutlah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka berbaju
merah itu, yang dulu pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang!
Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
Dalam
kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun entah
mengapa dara yang satu ini begitu menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus
dari ingatannya. Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi
Lestari di tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena
merasa malu. Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap gadis
atau perempuan yang ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia seperti merasa
takut. Bukan, bukan takut tetapi mati kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang
dikatakan gadis itu! Tak dapat dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada
Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir dalam dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini
didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu oleh
Randu Wongso, tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari
berada dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa
depannya..
"Siapa
Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang
pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di Jember .
. . "Dia memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu
silat yang dapat diandalkan . . . "
"Kau
tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak
dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng bukit. . .
" "Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong . . . " Wiro tidak
menceritakan pertemuannya dengan Warsih yang malang.
"Kalau
begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas perwira
tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau
begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau . . .
?"
"Tak
usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga.
"Yang
penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus berterus terang
padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan
dirinya.
Tolong
selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
"Aku
mencintai Lestari!"
"Tiga
rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa
menyesak.
Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga mencintai pemuda ini?
"Katamu
kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
"Ya…"
"Apakah
Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku
tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga
menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya . . . "
Wiro
merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat tak bisa
berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai gadis
itu."
"Wiro,
tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji Kenanga. "Jika
terjadi apaapa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup di
dunia ini…"
"Sahabatku
Panji Kenanga . . . " sahut Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar karena
menahan gejolak dalam dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu.
Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus jiwa ragamu . . . ?"
"Demi
dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah jika memang itu baru
dapat membuatmu percaya. . . "
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya saat itu
bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak tertanyakan lagi
bagaimana Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda
bernama Ronggo Bogoseto itu.
"Pergilah
Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat
membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di
hadapannya itu.
"Baik!
Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa kutinggalkan
di sini. Hati-hatilah . . . "
Semua
kata-kata itu diucapkan Wiro dengan peraaan bergalau.
Dia ingin
menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang disampaikan Panji Kenanga.
Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat. Karena diapun mencintai
Lestari. Tetapi Panji Kenangapun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau kemudian
diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia menghadapi
kenyataan itu?!
Jika dia
mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu
mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai seorang
pendekar berjiwa besar pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun dia berhasil
mendapatkan Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak
mencintainya, apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
"Wiro!
Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti…
tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya
tempat itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.
******************
13
SEPERTI
yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari
gedung kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan mudah dia
menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota.
Bagian depan rumah besar yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi
berwarna hitam.
Seluruh
halaman ditumbuhi rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah terlihat
sebuah kolam dengan hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang dua
ekor burung merpati.
Di
samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah gedung kecil beratap merah.
Tepat di depan gedung besar behenti dua buah kereta. Suasana di tempat itu
tampak sunyi-sunyi saja. Lewat pintu halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng
masuk ke dalam. Ketika dia sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang
lelaki tua.
"Bapak,
siapakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak
muda, kau siapakah . . .’?" tanya orangtua itu. Nada suaranya tidak
menunjukkan kecurigaan.
"Saya
sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah,
kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman
raden Ronggo."
Wiro
tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun tampak sunyi. Dia tegak meneliti
sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam melihat
pintu depan gedung kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun tidak
rapat. Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang lelaki
bertubuh tinggi kurus melangkah mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas
menunjukkan ketidak sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam.
Begitu
Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya
membentak.
"Siapa
kau?!"
Melihat
pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang kusam serta sikap
yang kasar Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi bukan
Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi
mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk Raja
Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur siasat.
Murid
Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu ber-kata: "Aku ingin bertemu dengan
Ronggo Bogoseto
"Hmm,
Katakan dulu siapa kau!’ ‘
"Aku
sahabat lamanya. . . "
"Dia
tak ada di rumah. Sedang keluar!’ ‘
Wiro
garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku
datang dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya."
‘Tidak
mungkin . . . " kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu
Wongso.
"Kalau
kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini menyangkut
urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
‘ Justru
Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau
begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula.
Lalu seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalam gedung.
"Eit!
Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang’bagaimana?"
tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski
kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di sini
tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman! "
"Ah,
di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini
saja?!"
"Kurang
ajar! Kau berani membantah perintahku .Mau kupuntir kepalamu . ?!"ancam
Randu
"Jangan!
Jangan sobat. Jangan galak begitu . . . " Wiro pura-pura ketakutan. Randu
Wongso menyeringai.
"Kalau
tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik,
tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang
ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang.
"Apa
kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh silat kelas satu yang
ditakuti di delapan penjuru Jawa Timur?!"
"Ah!
Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati. Tubuhnya
bergetar. Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu maulah
dia menghajar Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ
adalah untuk menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada
di gedung kecil itu, berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan
si keparat ini!
"Aduh!
Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat terkenal
ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu
menjura sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah,
kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik
. . . baik . . . ," kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi gerakannya
kali ini bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya
menyusup ke depan dengan dua jari terpentang lurus.
Randu
Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal lehernya sebelah kanan
telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu. Kontan detik itu
juga Randu Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa bersuara. Kedua
matanya membeliak. Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang secara
berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada
lelaki ini.
Sambil
tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng berkata.
"Monyet
jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini. Kejahatanmu
sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi biar kuberikan
kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas. . . "
Dengan
ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi serta hawa amat
panas, Wiro menggurat tiga buah angka di kening Randu Wongso: 212. Lelaki ini
merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu
pastilah dia akan mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia
bersumpah: ‘Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu!
Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis
berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki itu
ke luar pagar.
‘Tubuhmu
bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu
hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia
segera masuk ke dalam gedung kecil kembali. Setelah melewati ruangan depan dan
ruangan tengah yang penuh dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan,
Wiro sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan pintu
dalam keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari disekap? Dia melangkah
perlahan-iahan, memasang telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan
sebelah kiri pendekar ini hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar
suara berisik. Wiro tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti
maka sekali tendang pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan.
Secepat kilat Wiro melompat masuk ke dalam kamar.
Apa yang
diperkirakannya tidak meleset. Di atas sebuah tempat tidur besar bekelambu biru
muda berseperai putih serta penuh keharuman tampak seorang pemuda bermuka pucat
yang tangan kanannya dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam tengah
menggeluti sesosok tubuh perempuan yang saat itu berada dalam keadaan tak
berdaya dan tidak mengenakan pakaian atau penutup apapun.
"Manusia
keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke
atas tempat tidur. "Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam
di tenggorokannya karena sampai saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat dia
tak bisa bergerak ataupun bersuara. Sejak hancurnya pintu kamar kaget Ronggo
bukan kepalang. Apalagi ketika melihat seseorang melompat ke atas tempat tidur.
Tapi karena merasa berada di rumah sendiri ditambah di luar sana ada Randu
Wongso maka dengan marah pemuda ini membentak.
"Bangsat!
Maling atau pencuri kau?!"
"Aku
memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki
kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri. Pahanya
tepat dihantam tendangan. Terdengar suara krak! Dibarengi jerit kesakitan dan
mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
Seperti
diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh namun tidak
mempunyai dasar ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu dia
diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak.
Dia terbanting ke lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke
pintu kamar sambil berteriak.
"Randu!
Randu! Tolong . . . !" Tak ada jawaban,
Ronggo
Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia setengah membungkuk, satu
cengkeraman mencengkam lehernya dari belakang. Cekikan itu makin keras, makin
keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya mendelik, lidahnya menjulur
dan ludah membuih keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba
dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
Prak!
Darah
muncrat.
Muka
Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya
mencium lantai.
Wiro
tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis itu.
Dia kemudian menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata: "Lekas
cari dan kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari
menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera mengenakannya.
"Bagaimana
kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari. Ingin sekali dia
menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan menciumnya sebagai
pernyataan terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan
kehormatannya.
Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si gadis tertahan.
"Nanti
saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului
menuju keluar.
Di luar
pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang
terkapar di tanah.
‘Orang
ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata.
Lelaki
disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak
salah dia kawannya Ronggo . . . "
"Kalau
begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru saja
mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah berkelebat.
Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang ke depan
mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa lari oleh seorang lelaki
berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
******************
14
WIRO
SABLENG membawa Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di mana sosok
tubuh Warsih masih terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak sanggup
hidup menanggung malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro,
aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke Jember,
sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari begitu Wiro
melemparkan tubuh Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar
Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus mengatur
kematian paling bagus hingga dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala
dosa-dosanya. Kau tunggu dulu di sini."
"Kau
mau ke mana?"
Wiro
menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga.
"Aku
akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya . . . "
Sesaat
Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura tidak
tahu malah berkata: "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu.
Kau harus merawatnya baik-baik hingga cepat sembuh. . . "
"Wiro,
ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah perjalanan ini…
"
"Itu
bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu lama
kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas
ditolong."
Lestari
hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah berkelebat pergi.-"Heran, bagaimana
dia tahu kalau Panji mencintaiku . . . ?" membatin Lestari. "Apakah
dia sudah tahu kalau antara aku dan dia ada ikatan jodoh . . . ? Ah bagaimana
jadinya ini . . . " Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian
pandangannya membentur sosok tubuh Randu Wongso. Rahang Lestari menggembung.
Dia melangkah besar-besar dan duk! Tendangannya menghantam muka Randu Wongso
hingga terpental ke dinding. Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah
giginya tanggal dan bibirnya
pecah.
Jika
diikutinya dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari menggorok leher Randu
Wongso saat itu. Namun sebelum dia sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah
muncul kembali mendukung tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih
berceiomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa
pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum
dan berkata: "Syukur kau selamat Lestari. Kau . . . maksudku kita, harus
berterima kasih padaWiro. .. "
Lestari
tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro di situ mungkin dia telah
melompat untuk merangkul tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau
ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia
harus mampus di tanganku!" jawab Lestari. Wiro melangkah. Dia menggeledah
pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi
uang dan juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang benda itu lalu menyerahkannya
pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata itu kepada
si gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah
menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh Randu
Wongso.
Begitu
totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau mencelat
dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro Sableng!
Pendekar
kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh waspada dan
ketika Randu Wongso membuat gerakan yang mengawali serangan Wiro sudah lebih
dulu menyingkir. Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong.
Marah dan
penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada Lestari.
‘Satu di
antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya
komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam. Melihat hal ini
Wiro cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro,
awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan berbahaya!
"
"Tak
usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui kematian
di sarang mesumnya ini!"
"Kau
yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan kanannya
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sinar
hitam menyambar dahsyat.
Wiro
cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya menghantam
ke depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar putih menyilaukan
yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan
sinar matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia susupkan
pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar itu kini berbuntal-buntal seperti
gurita yang hendak merobek-robek tubuh Wiro.
Sebelumnya
Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya dia harus
menghadapi tidak kepalang tanggung. Dengan tangan kiri Wiro lepaskan pukulan
pemagar diri sekaligus merupakan serangan ganas yakni pukulan dewa topan
menggusur gunung!
Kembali
Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga dalam. Namun tak
urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang dilepaskan Wiro.
Dengan
dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan darahnya.
"Jadi
kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu Wongso.
Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan mengandung racun
jahat sekali.
Mendengar
nama gurunya disebut secara kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan dia bergerak
tahu-tahu Randu Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di dadanya,
satu lagi di ulu hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau muntah.
Yang menyembur dari mulutnya adalah darah kental. Tidak perduIikan keadaan
dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas ke arah
Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya mampu membuat dua kali gerakan
pulang balik. Di kali yang ketiga terdengar suara krak! Tulang lengan kanannya
patah disambar tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental,
langsung disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya
berkata: "Lestari, selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
Lestari
yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu secepat
kilat melompat ke arah Randu Wongso. Golok di tangan kanannya menyambar ke arah
leher lelaki itu.
Cras!
Lestari
terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tabasannya. Kepala Randu Wongso
menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya
terjungkal jatuh. Bergerak-gerak beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi.
MALAM itu
udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil ini Wiro
menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di sebuah mata air kecil, di kaki
sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya
ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya kepada Wiro.
Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur. Lewat tengah malam
setelah pemuda itu kelihatan memejamkan mata. Lestari lalu duduk mendekati Wiro
dan menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak. "Tusuk kundai itu,
bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika. Diberikan oleh gurumu
pada guruku beberapa tahun yang silam . . . "
Wiro
kaget mendengar keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun menanggapi:
"Kalau tak salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara
angkat guruku. Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang
orang. Pasti ada tujuan tertentu . . . "
Lestari
terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil
keputusan. "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum
tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk
kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita …"
Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan Lestari yang
tidak disangka-sangka ini.
"Kau
tidak bergurau Lestari?"
Sang dara
menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku sudah
bertekad tak akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali tusuk
kundaiitu… "
Perlahan-lahan
Wiro duduk kembali di depan api unggun. Lama dia termenung. "Ikatan jodoh
itu memang tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara diam-diam. .
. "
Wiro
memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu berpaling ke jurusan
lain. Justru pandangannya membentur Panji Kenanga yang tengah tertidur. Pada
dasarnya Lestari lebih tertarik pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih
tampan dari pada Wiro. Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro,
apalagi mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk
Ronggo Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa
terhadap Panji Kenanga. Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan
Wiro.
Sebaliknya
setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lesdari dan dari gerakgerik si
gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari dirinya,
maka betapapun dia menyayangi gadis ini dia harus melupakan perasaan itu. Dan
ini merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya
sendiri!
"Kalau
Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala .
. . ," pikir Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagi
mereka. Tapi urusan jodoh yang diikatkan oleh para guru? Ah, inilah akibat
kalau pihak-pihak berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah
berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata. "Lestari,
soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu untuk dibicarakan. Yang
penting sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari
seorang kenalan lamaku. Aku tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu.
Siapa tahu dia bisa memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di
mana bisa ditemukan . . . "
"Orang
saktikah dia atau tukang ramal atau dukun . . . ?" tanya Lestari.
"Tak
dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat melihat
kejadian di masa silam serta apa yang bakal terjadi di masa mendatang. Nah,
malam sudah larut. Kau tidurlah . . . "
Baik Wiro
maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui kalau sementara mereka
bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur. Segala apa yang
dibicarakan kedua orang itu didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa remuk
hati pemuda ini sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata
telah dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati. Ingin
sekali dia mati saat itu juga!
"Sebaiknya
kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku . . . " kata
Panji Kenanga keesokan harinya.
‘ Kau
akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku
hanya kawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan
pencuri," ujar Panji Kenanga. Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga
telah pulih kembali. Apalagi Wiro membantunya dengan beberapa jenis obat dan
aliran tenaga dalam. Sebenarnya sejak dia tahu hubungan jodoh antara Lestari
dan Wiro, pemuda ini tak ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan
bersama-sama. Namun untuk pergi begitu saja dirasakannya kurang enak. Pada hari
ke lima mereka memulai perjalanan. Panji menolak keras ketika disuruh menunggangi
Angin Salju. Dia lebih suka Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari
juga menolak akhirnya terpaksa Panji naik ke punggung kudanya.
Sesuai
rencana mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut perkiraan di
situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering berhenti,
hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.
******************
15
DI
SEBELAH timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh
kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur
ini. Hawa sekitar bukit terasa panas. Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar
berhenti. Dia menunjuk ke puncak bukit kapur. Di atas sana seseorang berjalan
terbungkuk-bungkuk. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi
lebar dan melenggang seenaknya menuju ujung bukit sebelah timur. Sesekali
terdengar suara berkerontangan.
"Itu
dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju
puncak bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk
seenaknya, namun cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak
segaia Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro. Dia sengaja mengerahkan
tenaga dalam agar suaranya dapat didengar. Namun orang yang berjalan terus saja
melangkah sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di tangan
kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari mempercepat lari sementara Panji Kenanga
membedal Angin Salju.
Sebelumnya
Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran melihat perangai
orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian compang camping dan
memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan. Tampak dia
memindahkan tongkat dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut kini berada
di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua
matanya buta. Tapi di manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata
hingga dia tak pernah nyasar ataupun terperosok.
"Bapak
Segala Tahu! Tunggu! "seru Wiro kembali.
"Panas-panas
begini siapa yang memanggil aku? Beraninya mengganggu aku yang tengah menikmati
pemandangan indah di puncak bukit!" Hebat juga orang tua ini menggerutu.
Menikmati pemandangan katanya padahal kedua matanya buta!
Wiro
sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di sampingnya.
"Bapak
Segala Tahu, harap manfaatkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu tamasyamu.
Kami betul-betul membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan penting yang harus
kami tanyakan. Kuharap kau bisa menolong."
"Aih,
panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal apakah . . . ? Hai
tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas bulan lalu kita pernah
bertemu. Kupingku hafal suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul
sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu
itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu yang
mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat perempuan
cantik . . . Betul?!"
Wiro
Sableng tertawa. Tapi mukanya merah.
Si Segala
Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah,
saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu
saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan
tangan kirimu!"
Wiro
lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya
lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.
"Ah,
nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang
bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau
tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali
kerontangkan kalengnya.
‘Tersoalan
pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih,
kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan
pribadi menyangkut ihwal asmara!"
Berubahlah
paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun Panji
Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau
mencintai seorang gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain. Lalu kau bertekad
memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri demi
kebahagiaan orang yang kau kasihi itu. Betul…?!"
Wiro
garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana berani
dia membenarkan.
"Entahlah
pak tua. Aku tak begitu mengarti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala
Tahu tertawa.
"Kau
pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati
manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan orang
lain. Nah, sekerang katakan kau hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu
menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang didengarnya
dari Lestari sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin Salju.
"Karena
gadis murid si Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja yang
menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil
kerontang-kerontangkan kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau
kuramalkan nasib perjalanan hidupmu? Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang
nanti akan kukatakan."
"Terima
kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara halus. Dia kawatir
ramalan orang tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda
itu. "Lebih penting kalau aku dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk
kundai."
"Baik,
baik . . . Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalananmu
sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
Lestari
lalu memberi keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya dituturkan
Si Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup.
Sekarang coba keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat busuk
pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari
keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya pada Si
Segala Tahu.
Sambil
meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua ini
mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada henti. Lama sekali, setelah
mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan kalengnya dan berpaling pada
Lestari.
"Kalian
bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri oleh
seorang yang punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja paling tingkat tinggi,
Mayat yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak
salah hanya ada
satu raja
maling di rimba persilatan masa ini yakni manusia bernama Singgar Manik.
Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar
Manik bukan seorang berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh
lebih dari satu orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi
perkelahian. Singgar Manik jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh
pencuri-pencuri baru . . . "
‘Apakah
kau tahu siapa orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa
mereka itu? Hemm . . . Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah bukti
cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada di tangan dua
bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa
mereka ini?" tanya Wiro. ‘Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat.
Mereka berseragam pakaian hijau, Bermuka seperti ular. Karena itu mereka diberi
julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain berilmu tinggi juga diketahui gemar
mengumpulkan senjata atau benda-benda mustika!" "Terima kasih. K eter
angan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin kami bisa menemukan
kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan terima
kasih berulang kali. "Bapak Segala Tahu, berapa kami harus membayarmu?1
tiba-tiba Lestari bertanya. Si orang tua tertawa mengekeh. "Pertanyaanmu
lucu sekali anak gadis. Selucu tindakanmu menghadapi kenyataan yang menyangkut
dirimu akhir-akhir ini. Kau tak perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang
Kobra Dewata dapat kaliat tamatkan riwayatnya maka itu adalah lebih dari
bayaran. Manusia-manusia seperti mereka harus dilenyapkan agar dunia yang indah
permai ini menjadi tenang tenteram . . . " "Budi baik dan
pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalamdalam.
Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu.
Kelihatannya dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada
jauh di ujung bukit. Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari
Sepasang Kobra Dewata!" seru Panji Kenanga. "Tak usah kawatir. Aku
tahu di mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat ke Banyuwangi! jawab
Wiro Sableng.
******************
16
DUA BELAS
hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke Banyuwangi,
kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi tengah menyambut
dengan upacara besar-besaran kedatangan Adipati Surabaya yang berkunjung untuk
meresmikan pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi. Adipati Surabaya datang
dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan Banyuwangi ramai
bukan main.
Di antara
keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut keterangan
yang mereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang Kobra Dewata
berada di sebuah rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang ini
bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan sekedar
menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa
disikat.
Meskipun
rumah makan itu ramai sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera dapat
mengenali dua orang yang mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka angker
dan mengenakan pakaian hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di tengah
ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau mungkin
takut duduk dekat-dekat meja mereka.
* Nyoka
Gandring dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan pandangannya pada dara
berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda.
Nyoka
Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan. "Heh, lihat,
gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal
dia?"
‘Eh,
betul. Siapa bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati tergila-gila
padanya!" sahut Nyonya Gandring.
Begitu
sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami
berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik
Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya memandang ke pada Lestari.
Tanpa mengalihkan pandangannya Putubayan bertanya: "Kalian siapa?"
Seenaknya
Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis jelita
ini?"
Wiro
tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada
syaratnya …"
"Ah,
katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah
saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak
yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan . . . !"
"Ah!"
Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring berkata: "Aku
tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih suka kalian pergi dari
sini tapi tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan
… . " kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga dan
kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada
dua manusia botak ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa
mereka?!"
"Setuju!"
jawab Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera keluarkan suling perak yang
menjadi senjatanya. Melihat benda ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari
ini rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru . .
. !"
"Manusia
ular jelek . . . Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro.
"Tusuk kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat
kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah. Tanpa berdiri dari
kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Seguluhg angin menerpa dahsyat.
Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di
belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan
membiru!
"Kalian
memang minta racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia
balikkan meja besar di hadapan kedua brahmana sesat itu. Serta merta kacaulah
rumah makan besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau
mundur walau Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang
Panji dan Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang
ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan itu
serta merta datang berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan
terhadap Adipati Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut
akan terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula
Sepasang Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua jurus paling
banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro serta Panji dan melumpuhkan Lestari.
Namun dua saudara kembar ini jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus tak satu
serangan merekapun yang berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini
membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka
Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan
keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan
itu hamburan serangannya membuat gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti
terbendung.
Di lain
pihak Nyoka Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro Sableng yang mulai terdesak
hebat juga sejak tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya.
Beberapa kali dia melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun
Wiro yang sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga
tak satu serangan lawanpun mampu mencelakainya. Melirik ke kiri Nyoka Gandring
melihat adiknya mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan suling Lestari
telah berhasil menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini
kalau tiga lawan yang mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti
murid-murid tokoh silat
tingkat
tinggi.
Berada
dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya satu
jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
Buk!
Nyoka
Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil menahan
sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat. Tenggorokannya
terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar.
Baik
Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya
mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong termasuk tenaga dalam dan
pukulanpukulan sakti. Namun setelah habis-habisan menghantam tak satu pun
serangan mereka mengenai sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan
kena digebuk, maka keduanya benar-benar jadi marah. Selama ini memang tak satu
lawanpun dapat bertahan lama menghadapi salah satu dari mereka, apalagi jika
turun berdua sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet
gondrong!" maki Nyoka Gandring. "Jika kau inginkan benda ini
ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring. Satu sinar perak menyilaukan
disertai semburan angin panas berkelebat ke arah Wiro Sableng. Tusuk kundai
perak mencari maut! Wiro sudah tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat
menyingkir. Dia tak mau menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa dihadapi
oleh senjata
gurunya
yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan senjata ini.
Ketika
Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara seperti seribu
tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah ketakutan dan tutup kuping
mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong hantaman sinar perak. Rumah makan
besar itu seperti diguncang gempa. Dentuman dahsyat meruntuhkan sebagian atap.
Jeritan maut yang keluar dari mulut Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya
tertimbun runtuhan atap. Tangan kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut
Naga Geni 212 mental dan jatuh di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih
tergenggam dalam kutungan tangan itu. Wiro segera ambil senjata mustika itu.
Setelah memperhatikan sejenak dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya
itu Wiro lalu masukkan ke balik pinggang pakaiannya.
Nyoka
Putubayan seperti gila ketika menyaksikan kematian kakaknya. Dia tinggalkan
Lestari dan Panji Kenanga, langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun mengalihkan
serangan kepada Pendekar 212 justru hanya mempercepat kematiannya. Setelah
membuat gerakan mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih memegang
Kapak Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka Putubayan. Tak
ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka Putubayan dan
Nyoka Gandring disamping Singgar Manik adalah manusia-manusia penimbul bencana
hingga tali perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja. Kalau tusuk
kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman
gurunya, yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji
Kenanga!
Nyoka
Putubayan ajal dengan kepala hampir terbelah!
Rumah
makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara
keramaian itu Panji berbisik. "Lestari, aku tak melihat Wiro lagi. Kemana
lenyapnya?"
Gadis itu
terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih dulu.
Kita cari ke tempat penambatan kuda . . . !"
Lestari
dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang banyak menyingkir
memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak kelihatan orang
yang mereka cari. Ada firasat tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus
terang pada Lestari. "Jangan-jangan Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan
kita. . . " "Panji, ada kertas di leher kudamu . . . " Lestari
berkata sambil menunjuk pada
secarik
kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju. Panji
Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat
yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku
Panji dan Lestari,
Bagaimanapun
ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih sayang murni
yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian berbahagia dalam
menghadapi masa depan.
Cinta
murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang diatur, Karenanya tusuk
kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku. Selamat
tinggal. Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat
kalian,
Wiro
Sableng
Panji
menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak berani menerima
surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun
diantara mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah
merapat. Tapi orang banyak masih saja berkerumun di dalam dan di luar rumah makan.
Akhirnya
Panji memegang lengan Lestari dan berkata. "Kukira Wiro satu-satunya
manusia berjiwa paling besar di dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini.
Kita harus ke danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang
telah terjadi . . . " . Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik
kepunggung Angin Salju, Panji duduk di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya
lenyap di tikungan jalan, meninggalkan kepulan debu yang diterjang kaki kuda.
T A M AT
No comments:
Post a Comment