Penculik
Mayat Hutan Roban
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
1
Ketika
perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain kafan siap untuk
ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah puterinya.
Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan apapun yang terjadi.
Orang-orang
perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut
mengucurkan air mata. Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon coklat
berbunga hitam dan baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di antara
mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya seraya
mengucapkan kata-kata membujuk.
“Sudah
bune. Cukup….. Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang di alam baka…”
Setelah
membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan susah payah,
akhirnya lelaki tadi—Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil menjauhkan
istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini langsung pingsan
hingga terpaksa digotong ke kamar.
Sumo
Kabelan Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung.
Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu
dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan
kedua tangan, menangis terisak-isak.
“Witri….
Witri… Malang nian nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang menjemputmu dalam usia
semuda ini…”
“Dimas
Sumo….” Datang suara dari samping. Yang bicara adalah seorang lelaki pendek
gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu menerima
musibah, kematian puterinya – anak tunggalnya – yang baru saja menginjak usia
delapan belas tahun. “Gusti Allah mengambil Witri tentu karena Dia saying.
Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya kelak
akan berkumpul lagi di akhirat…”
“Kasihan
Witri… Kasihan anakku…” kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu
kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang
masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan
beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumabirumbai benang
kuning emas.
Seorang
pemuda berkulit kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air mata
beberapa kali merapikan kain hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda,
pemuda yang seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang
meninggal itu.
Tak lama
kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan.
Selesai
disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk berkumis
tadi – kakak Sumo Kabelan menyampaikan sambutan pendek, mengharap aga kedua
orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi
musibah itu, memohon aga almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu
mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai
upacara pendek itu, jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak cukup jauh.
Di depan sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk melindungi
usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya
tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu
gerbang pemakaman. Seorang pengemis tua tampak duduk menjelepok dekat pintu dan
menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak seorangpun mengacuhkan
pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam kesedihan siapa pula
yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang mintaminta itu.
Ketika
rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis tadi ulurkan
tangan menarik pakaian seorang pengantar.
“Hai…siapakah
yang meninggal?” pengemis itu bertanya. Suaranya halus hampir tak terdengar.
Mungkin karena keletihan duduk di bawah terik matahari, mungkin juga
dikarenakan usianya yang sudah lanjut.
“Ah
pengemis tua, apa perlumu bertanya. Lepaskan bajuku!” kata lelaki yang bajunya
ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis.
“Bertanya
saja tidak boleh…” sang pengemis tampak jengkel.
Seorang
pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh mau juga
menjawab.
“Yang
meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa Ambarwangi…”
“Ah
kasihan…kasihan. Apakah dia sudah kawin…?” pengemis tadi bertanya.
Yang
menjawab adalah pengantar lainnya, yang terpisah tiga orang di belakang pengantar
yang memberi keterangan tadi.
“Pengemis
tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin dikatakan gadis!”
“Ah, aku
memang tolol! Kasihan gadis itu….”
Pengemis
itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia pandangi rombongan
pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang kotor penuh debu.
Ketika kepala rombongan sampai di liang lahat yang telah disiapkan untuk
jenazah, dengan langkah terserok-serok pengemis tadi mendatangi.
Sambil
melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan
diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan
dibuka. Sambil tiada hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah kemudian dikeluarkan
dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang lainnya sudah
lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut jenazah.
Saat
itulah, ketika jenazah hendak diterimakan dari tangan empat orang ke tangan
tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun mengelilingi liang lahat
terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental.
“Hai!
Apa-apaan ini!” teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke dalam
liang lahat.
“Pengemis
itu! Gila dia rupanya!”
“Usir
pengemis itu!” Terdengar teriakan-teriakan.
Orang
yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang tadi duduk
dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik lengannya. Tapi
orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang jadi marah menarik leher
pakaiannya. Tapi diapun terjerongkang kena tendangan. Setelah itu orang banyak
yang menjadi marah cepat mengurung malah muali mengeroyok pengemis tersebut.
Namun semuanya terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum sesuatu dapat
dilakukan, pengemis itu melompat ke muka langsung merangkul jenazah Suwitri di
bagian pinggang lalu menaikkan ke bahu kirinya.
“Pengemis
keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!” teriak Sumo Kabelan.
Sementara
kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap menghantamkannya.
Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya diberati jenazah kaki
kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk hingga patah dan pacul terlepas
mental dari pegangannya. Sumo Kabelan sendiri langsung jatuh ketika satu
pukulan melabrak dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu melompat ke atas. Di
lain kejap dia sudah ke luar dari kurungan orang ramai.
“Pneculik
jenazah”
“Penculik
mayat!”
“Hai!
Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!”
Orang
ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu dengan sikap
menanang. Sambil menyeringai dia berkata “Kalian inginkan mayat ini? Ambillah
kalau bisa!”
Jalatunda,
pemuda yang tadinya adalah calon suami Suwitri lari mengejar paling depan. Dia
sampai pertama sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat pemuda ini langsung
melayangkan tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa penemis tua itu tangkap
tinju kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu diputar kuat-kuat.
Jalatunda terpekik. Tulang telapak tangannya remuk, pergelangan tangannya
lepas.
“Anak
muda! Aku tidak heran kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat!
Tapi
tidak kau atau siapapun boleh merampasnya dariku…!” berkata pengemis tua itu
dengan tampang galak.
“Keparat
penculik! Tinggalkan jenazah itu!” Si pengemis tertawa.
“Kalau
kau memang sangat menginginkannya datanglah satu hari di muka ke hutan Roban
sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!”
“Jahanam!
Lebih baik kubunuh kau saat ini juga!” teriak Jalatunda. Lalu melompati
pengemis itu.
Entah dai
mana dapatnya, saat itu tampak pemuda ini telah memegang di tangan kirinya
sebilah parang berkarat. Senjata ini dibacokkannya ke pinggang pengemis. Tapi
dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan amarah Jalatunda tusukkan ujung
parang ke dada pengemis itu. Yang diserang gerakkan tangan kirinya, memukul badan
parang dari samping. Senjata itu patah dua dan terlepas mental dari tangan
Jalatunda. Si Pengemis tertawa panjang.
Ketika
orang banyak sampai di tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap.
Hanya
suara tawanya yang masih tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan.
****************
2
Satu hari
dimuka, ratusan penduduk desa Ambarwangi kelihatan berkelompok di ujung timur
hutan Roban. Penduduk desa-desa sekitarnya, yang mendengar kejadian
dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang pengemis aneh, ikut pula mendatangi
tempat itu. Keadaan di situ tidak bedanya seperti orang yang sedang mengungsi.
Banyak yang mendirikan gubuk atau kemah sementara sambil menunggu apa yang akan
terjadi.
Seperti
kata pennculik sebelum lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazah itu memang
diinginkan kembali, maka satu hari dimuka orang-orang itu disuruh datang ke
ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon suami Suwitri beserta Sumo Kabelan –
ayah si gadis – lebih dulu datang ke tempat itu. Sejak Suwitri dilarikan dan
setelah penculik mengeluarkan ucapan begitu keduanya langsung menuju tempat
yang dikatakan. Menunggu dan bermalam di situ dengan hati berdebar, menantikan
apa yang bakal terjadi.
Bersama
beberapa orang kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke dalam hutan
sebelah timur. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban sejak lama
terkenal keangkerannya. Bukan saja penduduk sekitar itu menganggap rimba
belantar itu sarang segala macam makhluk halus, mulai dari jin sampai dedemit,
mulai dari setan pelayangan sampai hantu iblis, tetapi deketahui pula bahwa di
dalam hutan itu bercokol beberapa kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang
buas termasuk ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak
berani masuk terlalu jauh ke dalam hutan.
Matahari
telah jauh condong ke barat. Saat yang dikatakan si penculik yakni satu hari
dimuka, sudah hampir mendekat. Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi
sesuatu.Orang ramai mulai gelisah, tegang dan tampak banyak pula yang merasa
cemas. Jelatunda melangkah mundar mandir. Sebentar-sebentar tangannya meraba
hulu golok besar yang diikatkannya ke pinggang. Dia sudah bertekad bulat. Jika
pengemis penculik itu muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya sampai
mati. Kalau perlu dia mau mengorbankan diri asal jenazah kekasihnya bisa
didapat kembali.
Di bagian
yang lain Sumo Kabelan tegak dengan wajah gelisah, tiada lepaslepas memandang
kea rah hutan yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena sang surya tidak
lagi memancarkan cahayanya di bagian ujung timur itu.
Di udara
sekelompok urung gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak henti-hentinya
menguik.
“Burung-burung
nazar itu….” kata Sumo Kabelan dengan paras berubah.
“Pertanda
yang tidak baik….” Sambungnya kemudian perlahan.
Burung-burung
itu masih terus berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras dari kuik
binatang-binatang itu dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa
melengking, menggetarkan serta membuat setiap mereka yang mendengar jadi
mengkirik ketakutan.
“Orang-orang
Ambarwangi!” ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar suara orang
berseru.
“Aku tahu
kalian sudah lama menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis ini…!”
Sebuah
benda putih melayang di udara, melesat ke luar hutan Roban di mana ratusan
orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian terayun membalik masuk lagi ke dalam
hutan. Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali. Dan tali ini
ditambatkan pada cabang sebatang pohon besar. Ketika diperhatikan benda yang
terayun-ayun itu, ternyata adalah sosok tubuh yang terbungkus kain kafan!
“Astaga!
Pasti itu jenazah Suwitri!” teriak seseorang.
“Darah!”
seorang lain ikut bereriak.
Jalatunda
telah lebih dahulu lari ke dalam hutan.
Dengan
tangan kiri dia menahan pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya ayunan pocong
membuat pemuda itu hampir jatuh terseret. Namun cepat dia mencabut golok dan
menebas tali pengikat ujung kain kafan. Jenazah yang jatuh cepat disambutnya
dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar hutan. Orang ramai segera
menyongsong. Beramai-ramai jenazah diturunkan dari bahu Jalatunda, dibaringkan
hati-hati di tanah.
“Kenapa
kain kafan berdarah! Pasti terjadi sesuatu!” kata Sumo Kabelan. Lalu lelaki ini
membungkuk untuk memeriksa.
Jalatunda
bergerak lebih dulu. Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian tengah jenazah
dibukanya.
Bau busuk
menyebar santar begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri tampak utuh meski
pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi ketika kain kafan sebelah bawah
dibuka lebih lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang lain-lainnya terperangah
mundur. Bagian dada serta perut mayat tampak berlubang besar. Darah membeku di
mana-mana.
“Jantung
dan hatinya lenyap!” teriak kakak Sumo Kabelan.
“Ya
Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah anakku!” seru Sumo Kabelan.
Tubuhnya
bergetar keras. Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas ditahan.
“Sudah
meninggal kenapa jenazahnya masih dirusak…? Anakku…. Suwitri anakku….!”
Jalatunda
duduk pejamkan mata tak tega menyaksikan pemandangan yang mengerikan serta
menusuk hati itu. Namun disaat yang sama kemarahannya juga menggelegak.
Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan dia berteriak keras. Melompat tegak.
Kedua matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya membesi. Dia cabut kembali golok
yang tadi disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya kian kemari. Dari mulutnya
keluar suara menggerung berkepanjangan disertai ludah membusah di sela bibir.
Orang
banyak serta merta mundur menjauh.
“Jalatunda
kemasukan setan!” seseorang berteriak.
“Awas!
Mungkin dia mau mengamuk!”
“Menjauh!”
teriak seorang yang lainnya.
“Jala,
tenang…. Kuatkan hatimu!” Sumo Kabelan mendekat sambil membujuk.
“Jala!
Sarungkan golokmu kembali!” kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan suara keras.
“Keparat!
Bangsat!” teriak Jalatunda tiba-tiba.
“Kemanapun
akan kucari! Akan kubunuh!”
Lalu
pemuda ini balikkan tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban.
“Jala!
Kembali!” teriak Sumo Kabelan. Yang lain-lain juga berseru memanggil. Namun
pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan golok dan berteriakteriak.
Sesaat
kemudian diapun lenyap dalam kerapatan pepohonan.
****************
3
Nyi Ageng
Jeliteng memandang dengan kesal pada puterinya yang sampai saat ini masih saja
menangis sambil menelungkup di atas tempat tidur.
“Rukmi
tak ada gunanya kau menangis. Sekalipun sampai keluar air mata darah itu tidak
akan merubah pendirian ibu. Apalagi ayahmu!”
Tejarukmi,
gadis enam blas tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik dan menutupi
wajahnya dengan bantal besar. Tangisnya kini malah menjadi-jadi.
“Sikap
tingkahmu hanya akan memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah, kami ayah dan
ibumu ingin melihat kau bahagia…”
Tejarukmi
campakkan bantal dari mukanya, setengah duduk dia berkata dengan muka balut
“Kalau ibu ingin melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya harus kawin dengan
lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari saya itu!”
Nyi Ageng
Jeliteng geleng-gelengkan kepala. “Kau masih belum mengerti nak…”
“Saya
cukup mengerti iu. Lebih dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan adalah
kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan saya!”
“Lho,
yang akan kawin itu kau, bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang kelak akan
merasakan kebahagiaan itu…”
“Siapa
orang tuanya yang bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka beranak empat
pula!”
Tejarukmi
bantingkan kedua kakinya ke atas tempat tidur.
“Dengar
Rukmi anakku. Kami tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi tahun depan. Di
bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!”
“Saya
tidak akan kawin dengan tua bangka itu!”
“Raden
Jarot bukan orang sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana, keponakan
Pangeran Dirjo Samekto….”
“Sekalipun
dia raja diraja saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!”
“Ibu tahu
mengapa kau menolak!” Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini kentara dari
nada suaranya.
Dan
perempuan itu lebih jengkel lagi ketika puterinya menukas “Kalau ibu sudah tahu
saya menolak, mengapa masih memaksa?!”
“Orang
tua mana! Bangsawan mana yang sudi anaknya bercinta dengan seorang anak petani
miskin! Jangan lupa turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas satu.
Orang
tuaku juga turunan bangsawan terhormat. Dan keu hendak mengotori darah
bangsawanmu dengan darah pemuda miskin yang hanya pandai mencangkul itu….?”
“Hanya
kebetulan saja kakak Wiguno seorang anak petani miskin. Tapi apa bedanya dia
dengan kita? Sama-sama manusia….?”
Nyi Ageng
Jeliteng tertawa mendengar kata-kata puterinya itu.
“Kau
sudah terlalu jatuh larut dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia cinta itu
adalah dunianya orang-orang gila dengan seribu angan-angan muluk. Aku kawin
dengan ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah kawin, apa yang kami rasakan
jauh lebih bahagia dari cinta…..”
“Kalau
masa muda inbu tidak mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata begitu!”
Hampir
Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut anaknya itu.
“Tak ada
gunanya menasehatimu. Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau tahu. Kalau ayahmu
sempat naik pitam, tangan dan kakinya akan melayang ke tubuhmu. Itu rupanya
yang kau kehendaki!”
“Dipukul
sampai matipun saya tidak takut.” Jawab Tejarukmi.
“Anak
durhaka!” kata Nyi Ageng Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan kamar itu.
Keesokan
harinya gedung besar kediaman bangsawan Mangun Sarabean heboh ketika seisi
gedung mengetahui bahwa den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa potong pakaiannya
berikut sejumlah perhiasan miliknya yang ada dalam lemari ikut lenyap.
“Anak itu
pasti meinggat!” kata Raden Mas Mangun Sarabean sambil menggebrak meja. Dia
lalu berteriak memanggil pembantunya. Kepada para pembantu itu diminta agar
menghubungi Raden Jarot, meminta bantuan sejmulah pasukan untuk mencari anaknya
yang lenyap.
“Periksa
ke rumah pemuda petani itu!” kata Mangun Sarabean. “Aku yakin Tejarukmi kabur
bersama pemuda keparat itu. Anakku harus kembali. Dan Wiguna kalau perlu
dibikin mampus saja! Dia yang jadi pangkal bahala semua ini!”
Mangun
Sarabean lalu masuk ke dalam menemui istrinya yang menangis menggerung-gerung.
Para
pembantu yang disuruh segera berangkat ke tempat kediaman Raden Jarot, lelaki
yang sudah dicalonkan untuk menjadi suami Tejarukmi. Sesuai dengan permintaan
Mangun Sarabean maka Raden Jarot menghubungi pamannya yaitu pangeran Dirjo
Samekto guna mendapatkan sejmulah pasukan untuk mencari Tejarukmi.
Pasukan
yang dikerahkan pangeran Dirjo Samketo ternyata adalah dari kelompok yang
berpengalaman dan merupakan andalan kerajaan. Karenanya tidak mengherankan
Tejarukmi dan Wiguna di sebuah pondok tua di dalam lembah Gilimanuk yang
terletak sekitar setengah hari perjalanan dari desa Ambarwangi.
Ketika
ditemukan sepasang merpati yang saling mencinta ini berusaha melarikan diri
dari kepungan.
Namun
sia-sia. Wiguno, pemuda petani miskin itu berusaha mempertahankan Tejarukmi,
tetapi apa dayanya menghadapi puluhan prjaurit tangkas bersenjata lengkap
sedangkan dia hanya mengandalkan tangan kosong. Dalam keadaan luka parah, atas
perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya tewas terbunuh! Mati di hadapan mata
kepala Tejarukmi yang membuat gadis itu langsung menjerit dan jatuh pingsan.
Selama
beberapa hari Tejarukmi mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan, minumpun
hanya sekedar membasahi bibir. Lambat lau tubuhnya jadi kurus lemas, parasnya
semakin pucat.
Suatu
pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama seorang pembantu membuka pintu kamar
gadis itu dengan paksa sambil membawa makanan, mereka dapati Tejarukmi terbujur
di lantai. Dekat kepalanya terletak sebuah mangkuk berisi warangan yang masih
tersisa. Mulutnya mengeluarkan busa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Gadis
ini mati bunuh diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam
suasana heboh kematian Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh didatangi
penduduk sedesa serta kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat dimandikan di
tangga depan gedung tampak seorang pengemis tua yang anehnya muncul dengan
menunggang seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti pandangan mata sekian
banyak orang yang terheran-heran, pengemis itu turun dari kudanya lalu berkata
“Kedatanganku sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada kejadian apakah di rumah
besar ini hingga orang begini banyak dan kudengar ada suara orang meratap di
dalam sana….”
“Pengemis
berkuda,” seseorang menjawab. “Bukan saatnya kau datang meminta-minta. Orang
sedang ditimpa musibah. Pergilah dari sini….”
“Musibah….ah….ah….ah.
sungguh kasihan. Rumah besar mentereng seperti ini seharusnya siisi dengan
suasana meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah apakah yang datang menimpa
penghuni gedung ini….?’
Meskipun
kesal melihat pengemis yang banyak tanya ini namun orang itu kembali menjawab
“Den Ayu Tejarukmi, puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal dunia.”
“Aih
sungguh kasihan. Masih mudakah dia? Saktikah dia hingga sempai ajal secepat
itu….”
Seorang
tinggi besar yaitu pembantu merangkap penjaga gedung kediaman Mangun Sarabean
memegang bahu pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang.
“Pengemis
buruk! Bawa kudamu! Pergi dari sini!”
Pembantu
itu terkejut ketika sentakannya tidak berhasil membuat pengemis tadi tertarik
ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan dan kaku tak bisa
digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu kawan-kawannya ketika pengems itu
melangkah menaiki tangga depan gedung. Maka empat orang segera menghadang si
pengemis.
“Kalian
mengapa berlaku kasar padaku!” kata si pengemis. “Aku datang bukan untuk
membuat keributan ataupun mengganggu!”
“Pengemis
buruk! Tempatmu bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk.
Jika kau
inginkan sedekah kami akan memberi. Tapi jika kau memaksa, kami terpaksa
menggebukmu!” salah seorang dari empat lelaki yang menghadang berkata.
“Aku
hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi. Kudengar dia bunuh diri. Tapi apakah dia
benar-benar sudah mati? Tak bernafas lagi? Jika aku diperbolehkan melihat,
siapa tahu aku bisa mwnolong!”
“Menolong
menghidupkannya?!” ejek lelaki tadi.
“Kau
tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia dan
mematikannya jika memang dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa tahu
gadis itu hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin aku bisa menolongnya”
“Pengemis
ngaco! Lekas pergi. Jangan membuat ulah yang bukan-bukan di tempat berkabung
ini!” Satu suara membentak. Keras dan garang.
Si
pengemis memalingkan kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri seorang bertubuh
tinggi ramping, mengenakan pakaian bagus dan mahal, lengkap dengan topi tinggi
berwarna hitam.
Si
pengemis manggut-manggut, lalu menjawab “Aku mengerti, aku mengerti….”katanya.
“Kau pantas marah. Bukankah kau Raden Jarot, duda anak empat calon suami Den
Ayu Tejarukmi yang gagal…?”
Orang
tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia kenalnya tahu
siapa dirinya adanya?
“Kalau
kau sudah tahu siapa aku, maka lekas pergi dari sini!” kata Raden Jarot pula.
“Tapi aku
ingin menolong calon istrimu itu!”
“Aku dan
siapapun di sini tidak butuh pertolonganmu!” bentak Raden Jarot.
“Kalau
begitu kau tidak cinta pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup kembali.
Padahal sebelumnya kau secara halus memaksa kedua orang tuanya agar gadis itu
bisa kau jadikan istrimu….!
Merah
paras Raden Jarot mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu saja dia
ingin melihat Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau gadis yang
sudah mati itu bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki yang
mengurung si pengemis agar menyeret orang tua itu. Selesai memberi isyarat maka
diapun masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya
terdengar suara bak-buk-bak-buk disusul keluh kesakitan. Ketika dia menoleh
kembali, empat lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga gedung. Ada yang
memegang perut, dada dan ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan.
Semuanya
masih meringis dan mengeluh kesakitan.
“Kurang
ajar! Kau berani memukul orang-orangku!” teriak Raden Jarot marah.
Sekali
tubuhnya berkelebat, tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu.
Sebagai
orang yang dekat dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki kepandaian silat
yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip di pinggangnya diketahui adalah
pemberian seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri Baginda.
Melihat
pukulan yan dihantamkan Raen Jarot, semua orang yang hadir di tempat itu sama
menduga si pengemis tua akan terpental dengan kepala remuk, paling tidak
bengkak berdarah mukanya. Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan acuh
tak acuh pengemis itu angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan.
Buk!
Tinju
Raden Jarot menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi muka dari
pukulan.
Lelaki
ini merasakan tangannya seperti menghantam tembok. Jika tidak malu pastilah dia
akan menjerit kesakitan. Tangannya tampak merah dan lecet-lecet.
Melihat
kenyataan ini Raden Jarot segera maklum, siapapun adanya pengemis tua itu, dia
adalah seorang yang memliki kepandaian tinggi. Dan dengan memperlakukannya
seperti itu jelas dia membawa maksud yang tidak baik. Sambil menghunus kerisnya
Raden Jarot berteriak.
“Semua
lelaki yang ada di sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini!
Dia
datang dengan maksud jahat!”
Lebih
dari selusin lelaki segera melompat mengurung. Dua di antaranya adalah anggota
pasukan yang sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika Tejarukmi minggat
bersama Wiguno.
Melihat
dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan tertawa aneh.
“Usir
kudanya! Jangan sampai pengemis tua bangka keparat ini lolos!” teriak Raden
Jarot.
Seseorang
kemudian dengan cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi ditunggangi di
pengemis. Binatang ini meringkik lalu lari kencang dan menghilang di kejauhan.
“Aku
hanya memberi nasehat pada kalian!” katanya kemudian pada orangorang yang
mengurungnya.
“Menyingkirlah
jika ingin selamat!”
“Serbu!
Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh jika perlu!” teriak Raden Jarot.
Pada saat
itu tuan rumah yang sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar ruangan dalam.
Melihat seorang ttua berpakaian kotor penuh tambalan dikurung demikian rupa maka
diapun menegur.
“Apa yang
terjadi di sini?!”
Raden
Jarot menerangkan dengan cepat. Mangun Sarabean sesaat memperhatikan tangan
kanan calon mantunya yang lecet akibat tangkisan pengemis aneh itu. Lalu dengan
suara perlahan tapi tegas dia berkata “Berikan pakaian bekas, dua kaleng beras
dan sejumlah uang padanya. Lalu biarkan dia pergi….!”
Habis
berkata begitu Mangun Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali.
Tapi
kata-kata si pengemis membuatnya hentikan gerakan dan berpaling “Tuan rumah,
sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh tambalan. Tubuhku
kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari bukan untuk minta belas kasihan….
Apalagi minta pakaian, uang dan beras…..!”
“Lalu apa
maumu….?” Tanya Mangun Sarabean. Ucapan si pengemis yang memanggilnya dengan
sebutan sampeyan serta nadanya yang kasar membuat Mangun Sarabean tersinggung.
Hatinya kesal. Apalagi dia ditimpa musibah besar kematian puterinya.
“Aku
datang untuk melihat jenazah Den Ayu Tejarukmi,” menjawab si pengemis.
“He, dia
bukan sanak bukan kerabatmu. Mengapa ingi melihat?” tanya Mangun Sarabean.
Sebelum dia membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah mendahului.
“Pengemis
edan! Jangan kau bicara segala macam aturan. Di sini berlaku aturan yang dibuat
tuan rumah! Tubuhmu yan gbabak belur akan kami lempatkan ke jalan sana!”
“Kalau
memang begitu, biar kau yang kugebuk lebih dulu!”
Tubuh
pengemis kurus itu berkelebat.
****************
4
Raden
Jarot melihat gerakan pengemis itu begitu cepat hingga sulit mengetahui dengan
apa dan baian mana dari tubuhnya yan gmenjadi sasaran serangan.
Untuk
melindungi diri dia babat keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke
kanan.
Demikian
derasnya hingga badan keris mengeluarkan suara menderu. Tidak dapat tidak salah
satu bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat kemudian terdengar
pekik Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke atas dan menancap di
langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya tampak terjerongkang ke
belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak dadanya di sebelah tengah!
Mangun
Sarabean kaget bukan main. Dia tahu betul calon menantunya itu memiliki
kepandaian silat tinggi. Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu dapat
menghantamnya dalam satu kali gebrakan.
Sambil
menahan sakit dan megap-megap karena nafasnya sesak Raden Jarot mencoba berdiri
lalu berteriak pada orang-orang di sekelilingnya.
“Tunggu
apa lagi?! Bunuh bangsat pengacau itu!”
Kini
lebih dari selusin orang menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang tidak dapat
lagi menahan amarahnya. ORang ini tanggalkan ikat peinggang besat yang terbuat
dari kulit. Mangun Sarabean diketahui bukanlah seorang yang memiliki ilmu silat
atau kesaktian. Namun ada yang mempercayai bahwa dalam salah satu kantong ikat
pinggang kulit itu tersimpan sebuah jimat yang konon didapat Mangun Sarabean
dari seorang empu di puncak gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si pengemis
sama sekali tidak memandang sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan nyatanya
demikian. Dalam beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak ke kiri
dank e kanan. Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok tergelimpang di
lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu ada yang
terhempas ke dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri tampak
tagak terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah putus jadi dua.
Yang lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau berbuat apa.
Bukan saja karena merasa ragu-ragu untuk menyerang kembali tapi lebih banyak
jadi merasa takut.
Pengemis
itu tegak berkacak pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya lenyap,
berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam terdengar
pekik orang-orang perempuan.
“Tolong!
Penculik!”
“Jenazah
den ayu diculik!”
“Jenazah
anakku dilarikan! Tolong!”
Apakah
yang terjadi?
Pengemis aneh
itu tadi ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah.
Mayat
Tejarukmi uang terbujur di atas kasur berseperai hijau berbunga emas, yang
masih belum dimandikan atau dikafani, dan hanya ditutup dengan sehelai kain
batik dan sutera, disambar oleh pengemis tadi dan dipanggulnya di bahu kiri.
Sesaat dia memandang berkeliling sambil menyeringai memperhatikan orang-orang
perempuan yang menjerit-jerit.
Nyi Ageng
Jeliteng berteriak sambil melompat.
“Penculik
busuk! Kembalikan anakku!” perempuan ini lalu mendorong si pengemis dengan
tangan kiri sementara tangan kanannya berusaha memegang pinggang jenazah
puterinya. Tapi sekali balas mendorong pengemis itu membuat Nyi Ageng Jeliteng
terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum pengemis itu berkelebat pergi bersama mayat
Tejarukmi, seorang perempuan tua yang akan bertindak sebagai pemandi dan
pengurus jenazh berusaha menghalangi mencakar kedua tangannya ke tubuh
penculik.
Bret!
Pakaian
kotor bertambal-tambal di bagian punggung pengemis itu robek. Hal ini membuat
di pengemis marah sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya perempuan tua itu
hingga terjengkang pingsan!
“Jangan
coba-coba menghalangiku!” si pengemis berteriak memberi peringatan. “Jika
kalian masih butuhkan jenazah ini, silahkan ambil besok sore di hutan Roban sebelah
tenggara!”
Habis
berkata begitu si pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya melesat
ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya pengemis itu.
Rumah
besar keidaman Mangun Sarabean menjadi gempar. Beberapa orang coba mengejar.
Ada yang manunggang kuda dan membawa senjata. Namun mau dikejar ke mana?
Pengemis itu lenyap laksana ditelan bumi!
“Tak
mungkin kita meneruskan pengejaran!” kata Mangun Sarabean di atas punggung kuda
hitam. Tangan kirinya terkepal tanda hatinya geram sekali.
Raden
Jarot yang juga berkuda dan berada di sebelahnya mengangguk perlahan tanda
maklum.
“Pengemis
itu!” katanya. “Siapa dia sebenarnya!”
“Dan
mengapa dia menculik mayat Tejarukmi? Kalau Wiguno masih hidup mungkin kita
bisa menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah mati….” Sesaat
Mangun Sarabean termangu duduk di atas punggung kuda sementara rombongan
pengejar yang berjumlah hampir dua puluh orang itu berada di belakang menunggu
perintah selanjutnya. “Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu sampai
terbunuh….?” Ujar Mangun Sarabean kemudian.
Kata-kata
itu membuat paras Raden Jarot berubah.
“Apa yang
akan kita lakukan sekarang?” tanya Mangun Sarabean kemudian.
“Saya
memutuskan pergi ke hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat itu menyebut
tempat tersebut sebelum kabur!” kata Raden Jarot.
“Jangan,
terlalu berkhayal!” kata Mangun Sarabean. “Kau pasti tahu hutan itu bukan saja
angker tapi penuh binatang buas dan segala macam rampok!”
“Saya
tahu betul hal itu. Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari paaman Dirjo
Samekto….”
“Kalau
begitu aku kembali ke Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat kediaman pamanmu
itu…”
Raden
Jarot memberi hormat lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia meninggalkan
tempat itu sedang Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di Ambarwangi.
LEpas
lohor hari itu tampak serombongan pasukan berjumlah hampir tiga puluh orang,
bergerak menuju hutan Roban sebelah tenggara. Di sebelah muka menunggang kuda
Raden Jarot didampingi seorang perwira muda bernama Rangga Pangestu. Di dalam
jajaran pengawal Pangeran Dirjo Samekto perwira itu memegang tampuk pimpinan
dan memiliki kepandaian yang sudah dikenal kehebatannya di mana-mana. Di
samping itu pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya seluruh anggota
pasukan termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai.
Dia tahu
betul, memasuki hutan Roban berarti menantang maut. Serangan kaum perampok bisa
terjadi secara mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah atau lemparan tombak.
Karenanya perisai sangat diperlukan.
Rembang
petang rombongan sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara.
Mereka
masuk ke dalam hutan sejauh beberapa ratus tomabak, lalu membuat perkemahan. Di
sini Rangga Pangestu mengatur rencana gerakan selanjutnya.
Pertama
sekali harus diingat, mereka memasuki rimba belantara itu untuk mencari jenazah
Tejarukmi, menangkap hidup-hidup atau membunuh pengemis yang telah menculiknya.
Berarti sepanjang yang mereka bisa lakukan ialah menghindarai bentrokan dengan
para perampok. Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan lain mereka
harus menumpas penjahat itu.
Sore itu
mereka akan menyelidik bagian hutan di sebelah tenggara. Sebelum hari gelap
mereka harus sudak kembali ke kemah. Lalu keesokan paginya baru penyelidikan
diteruskan. Rombongan dibagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah
sekitar sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka tak menemukan
apa-apa. Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak berhasil
mereka dapatkan. Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara hutan
Roban atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga kelompok
penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika sampai di
perkemahan mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang berpakaian dan berikat
kepala serba hitam menduduki dan mengurung perkemahan. Bahkan sampai di
atasatas pohon sekitar kemah tampak sosok-sosok tubuh yang sama.
“Geromblan
rampok….” Bisik Raden Jarot.
Rangga
Pangestu mengangguk. Dia meneliti keadaa kemah dengan cepat. Tak ada
tanda-tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun dari
kudanya perwira itu berseru.
“Tamu
dari mana yang datang menyambangi perkemahan kami?!”
Seorang
lelaki berpakaian hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih muda,
tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan berkumis tebal.
“Kami
anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat sekelompok pasukan
kerajaan di hutan Roban ini!”
“Aku
perwira muda wilayah timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku ini adalah
Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan kalian?. Aku ingin
bicara dengannya!”
Rangga
Pangestu sengaja menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot untuk membuat
para perompok tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan perampok
hutan Roban. Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota
perampok yang tadi bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu mendengar
ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya seketika karena kemudian dengan suara
lantang dia berkata “Katakan apa maksud kalian berada di sini!”
“Aku
hanya bicara kalau pimpinanmu ada di sini!” balas Rangga Pangestu.
Dia sudah
dapat membaca situai kalau para permpok itu tidak akan bertindak gegabah.
“Aku ada
di sini perwira muda!” Satu keras tapi serak datang dari arah pohon besar di
samping kanan.
Rangga
Pangestu dan semua rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah cabang besar duduk
seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hitam sambil menyedot sebuah pipa
berbentuk aneh. Rambutnya panjang sebatas bahu. Mukanya tertutup kumis dan
cambang bawuk lebat. Tampangnya menggetarkan, ditambah dengan barisan
gigi-giginya yan gbesar nyaris membentuk taring pada kedua sudut depan, maka
tampangnya hampir menyerupai seorang raksasa.
“Sekarang
apakah kau ma menerangkan tujuan kalian berada dalam hutan kekuasaanku?” Warok
Kunto Rekso buka suara lalu hembuskan asap pipanya ke udara.
Rangga
Pangestu tahu betul di dalam hutan Roban yang membentang dri barat sampai ke
timur itu terdapat beberapa kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok berada di
bawah pimpinan Kunto Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu ini
memiliki jumlah anggota paling besar, tetapi juga karena mempunyai kepandaian
tinggi setingkat perwira madya.
Sebenarnya
baik Rangga Pangestu maupun Raden Jarot merasa tersinggung dengan sikap kepala
rampok yang bicara duduk di atas pohon sambil menghisap pipa seenaknya. Tapi
mereka juga menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana mengenal segala
macam peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi keterangan.
“Kami
tengah mengejar seorang penculik!”
Kunto
Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu berkata “Mengejar
seorang penculik? Adalah aneh! Orang lua mana yang berani masuk ke hutan
Roban?!”
“Kami
tidak tahu jelas siapa penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti pengemis!”
Yang bicara Raden Jarot.
“Apalagi
seorang pengemis!” ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. “Sulit bagiku
mempercayai keteranganmu, perwira muda!”
“Kami
tidak berdusta. Seorang pengemis tua menculik jenazah puteri bangsawan Mangun
Sarabean dari Ambarwangi….” Lalu Rangga Pangestu memberikan keterangan singkat
aas apa yang telah terjadi.
Sesaat
kepala rampok di atas pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya.
Dia ingat
kejadian hampir satu bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama Jalatunda
memasuki hutan Roban dalam keadaan seperti gila sambil mengacung-acungkan
golok. Pemuda itu kini berada di markasnya menjadi pembantu juru masak.Ketika
hampir dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang telah terjadi. Jenazah kekasihnya
diculik seorang pengemis tua. Jenazah ini kemudian ditemukan di hutan Roban
sebelah timur tanpa jantung dan hati. Apakah penculik jenazah puteri Mangun
Sarabean itu pengemis yang sama?
Melihat
orang terdiam, Rangga Pangestu berkata “Agaknya kau mengetahui sesuatu
Warok….!”
“Jika
daerah kekuasaanku dikotori seseorang, aku harus mencari dan membunuh orang
itu. Tapi jika kalian mempunyai maksud terselubung, kalian tak akan keluar
hidup-hidup dari hutan ini!”
“Maksud
terselubung apa?” tanya Rangga Pangestu.
“Sebelumnya
aku mengetahui telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan mustahil kajadian
itu kalian pergunakan sebagai topeng untuk melakukan penyerbuan terhadap kami
orang-orang Roban!”
“Jangan
berprasangka terlalu jauh. Jika maksud kami hendak membasmi kalian, sudad
tadi-tadi hal itu kami lakukan!” ujar perwira muda itu.
Warok
Kunto Rekso tertawa sember.
“Malah
kalau kau suka, kami ingin minta bantuan kerja samamu!” Raden Jarot berkata.
“Bantuan
maccam mana….?” Tanya si kepala rampok acuh tak acuh.
“Ikut
mencari pengemis penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri Mangun
Sarabean.
Kembali
Warok Kunto Rekso tertawa.
“Selama
ini tak pernah kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan Roban
dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak membasmi kami.
Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu ketika hampir lima puluh
perajurit kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota kami tewas.
Aku tetap
menaruh syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan sesuatu
terhadap kami!”
“Jika kau
berpikir seperti itu adalah salah!” ujar Rangga Pangestu.
“Warok!”
kata Raden Jarot. “Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau boleh ambil
cincinku ini!” lalu Raden Jarot loloskan cincin emas bermata jambrut besar dari
jari manis tangan kanannya.
Benda itu
dilemparkannya ke atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala rampok.
“Cincin
bagus….!” Kata Warok Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin itu dalam
kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut dimasukkannya ke jari manis
tangan kirinya sambil menyeringai tiada henti. “Kua baik hati Raden Jarot.
Terima kasih atas pemberianmu…”
Dari
mulutnya kemudian terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu puluhan
anggota rampok yang berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan lenyap
masuk ke dlaam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang
turun.
“Kejar
kepala rampok itu!” teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh kesalahannya
sendiri.
Tapi
Rangga Pangestu cepat berseru. “Semua tetap di tempat!”
“Cincinku!”
ujar Raden Jarot.
Rangga
Pangetu hanya mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan kepala rampok
itu dan berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan orangorangnya
melakukan pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula, mereka memasuki hutan
Roban yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat bentrokan dengan para perampok.
Tapi untuk mencari jenazah Tejarukmi yang diculik pengemis misterius!
****************
5
Keesokan
harinya ketika dia bangun pagi-pagi sekali, perwira muda Rangga Pangestu
terkejut sewaktu seorang prajurit datang melapor bahwa Raden Jarot telah pergi.
“Pergi?
Pergi ke mana?!” tanya Rangga Pangestu.
“Masuk ke
dalam hutan sebelah sana. Dia membawa serta selusin anggota pasukan. Katanya
hendak mencari Warok Kunto Rekso yang telah melarikan cincin jambrutnya!”
“Celaka!
Manusia tolol!” ujar Rangga Pangestu.
“Dia
lebih sayangkan cincin itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas semula!
Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!”
Sisa
pasukan yang ada disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah dibongkar
lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang dihadapi
bertambah satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka bergerak dengan hati-hati
tanpa memecah rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi sedikit itu sebenarnya
ke adaan mereka jadi sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan rampok sulit
untuk bertahan. Jika saja bukan Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga
Pangestu memilihlebih baik keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah
dapat tambahan pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan
membebankan tanggung jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang
tengah hari belum kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden Jarot. Rombongan
terpaksa berhenti karena tak dapat menahan lapar. Selesai makan mereka
istirahat sebentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang anggota pasukan
membuang hajat ke sebuah kali dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun niat
mereka untuk buang hajat menjadi batal. Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk
pasukan, langsung menemui Rangga Pangestu.
“Ada
apa…. Kalian seperti dikejar setan?!” tanya Rangga Pangestu. Diamdiam dia sudah
maklum kalau sesuatu yang hebat telah dialami kedua anggota pasukan itu.
“Raden
Jarot,” kata salah seorang dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam dulu baru
menyambung “Mayatnya kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana.
Bersama
anggota pasukan yang dibawanya!”
Rangga
Pangestu melompat dari batang kayu yang didudukinya, langsung lari mendahului
dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul.
Di tepi
kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu merasakan kedua kakinya seperti
dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah menelungkup. Ada luka besar di
pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan kanannya hampir putus.
Dan pada
jari manis tangan kanan itu tampak cincin emas berbatu jambrut besar yang malam
tadi diberikannya pada Warok Kunto Rekso . Rupanya kelompok pasukan yang
dipimpin Raden Jarot berhasil menemui gerombolan rampok itu dan terjadi
pertempuran. Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi
sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya!
Dua belas
orang prajurit juga tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali.
Sebelas
diantaranya sudah menemui ajal. Satu yang masih hidup berada dalam keadaan luka
berat dan sekarat. Dua anggota rampok tampak terkapar tanpa nyawa di dekat
situ.
Rangga
Pangestu memerintahkan orang-orangnya mengurus mayat Raden Jarot. Mayat yang
lain dikuburkan di tepi kali itu. Selesai penguburan jenazah Raden Jarot segera
diusung menuju Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat membayangkan apa yang
akan dilakukan Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui keponakannya menemui
ajal di tangan rampok hutan Roban.
Menjelang
sore rombongan yang kembali dengan membawa mayat Raden Jarot itu sampai di
bagian tenggara hutan, di mana sebelumnya mereka berkemah.
Rangga
Pangestu yang menunggang kuda di sebelah depan mangangkat tangan memberi tanda
agar rombongan berhenti.
“Aku
mencium bau tidak enak….” Katanya sambil memandang berkeliling.
Dia turun
dari kudanya, melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah mengapa dadanya
berdebar. Bukankah daerah itu begian tenggara hutan Raoban, tempat yang
dikatakan oleh pengemis penculik sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat diambil
kembali? Dan bukankah saat itu sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si penculik?
Semakin
dekat ke semak-semak semakin sentar bau tidak enak itu. Rangga Pangestu
menyibakkan ranting-ranting berdaun liar dengan tangan kanannya. Begitu semak
belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat. Di sebelah sana dilihatnya sosok
tubuh Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak tertutup. Bagian dada kiri dan
perutnya nampak robek besar. Darah membeku di bagian luka itu. Luka dan darah
beku inilah yang menebar bau busuk!
“Gusti
Allah!” sseru Rangga Pangestu. “Manusia biadab macam mana yang tega melakukan
hal ini!” Perwira muda ini tahu sekali kalau luka besar pada bagian dada dan
perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat dikoyak binatang buas. Tapi diobol oleh
tangan manusia, mungkin memakai pisau besar yang tajam dan hatinya lenyap!
“Cari
kain!” kata Rangga Pangestu dengan suara bergetar. “Tutup jenazah itu!”
Seorang
kemudian menutupi tubuh Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena memang hanya
itulah yang ada. Lalu sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat.
Dengan
demikian kini ada dua jenazah yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah Raden
Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang.
Seperti
yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian Raden Jarot
menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto.
“Tak ada
jalan lain! Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi, dimusnahkan. Kalau
perlu hutan Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun mahal tantangannya!” Begitu
kata-kata sang pangeran di hadapan para pembantunya.
Namun
sebelum keputusan itu dijalankan dia berangakt dulu ke kotapraja guna mendapat
persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan yang hendak ditempuhnya itu disetujui
raja. Maka lebih dari tiga ratus perajurit yang kemudian dibagi dalam tiga
kelompok besar di bawah pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira
tingi, beberapa hari kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat
perkampungan rampok dihancur leburkan. Seratue anggota rampok yang mengadakan
perlawanan menemui kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya melarikan diri.
Namun ketika mereka menyerbu ke perkampungan yan jadi makas kelompok Warok
Kunto Rekso, perkampungan itu ditemui dalam keadaan kosong.
Rupanya
sang Warok tidak bodoh dan sudah dapat mencium apa yang bakal terjadi setelah
kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum balatentara datang menyerbu mereka
sudah meninggalakan perkampungan, mengungsi ke satu tempat yang tidak
diketahui.
****************
6
Sejak
lima bulan terakhir kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah timur maupun
di barat, di sebelah selatan ataupun bagian pantai utara dicekam oleh kegegeran
yang menakutkan. Terutama bagi keluarga yang memiliki anak gadis dan berada
dalam keadaan sakit. Jika gadis sakit itu akhirnya meninggal dunia bukan
mustahil dia akan menjadi korban penculikan manusia jahat yang sering muncul
sebagai pengemis.
Kegelisahan
rakyat itu terasa juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah peristiwa
penumpasan besar-besaran para perampok hutan Roban maka pihak Istana telah
menurunkan perintah, meneliti setiap pengemis yang ada dipelbagai pelosok dan
menahan mereka yang dicurigai. Namun usaha itu ternyata belum menampakkan
hasil.
Malah dua
minggu yan gsilam ketika seorang perawan di dukuh Jembar meninggal dunia mati
tenggelam di kali yan gsedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat dibawa ke
kubur. Dua hari kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah barat dalam
keadaan persisi sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan tanpa hati!
Ini adalah korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi yang menunggu?!
Kita
kembali dulu ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara kerajaan
menyerbu.
Pagi itu
Warok Kunto Rekso memanggil pembantu-pembantu kepercayaannya. Dia memerintahkan
agar pagi itu juga merea segera meninggalkan perkampungan. Dia tidak mengatakan
pengungsian itu. Sebelum berangkat terjadi cekcok yang membuat kepala rampok
naik darah. Jalatunda, pemuda yang danggap kurang waras karena peristiwa
penculikan Sueitri menolak untuk meninggalkan perkampungan.
Jalatunda
coba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi dia tak mampu mengeluarkan
sepotong suarapun. Maka dia hanya balas melambaikan tangan.
“Jala…”
kembali terdengar suara gadis itu. “Jika kau ingin bertemu denganku teruskan
perjalananmu menuju ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar sampai
akhirnya kau mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah
berbatubatu.
Pada
sebelah bawah akan kau temui sebuah telaga berair hijau biru. Kau akan
malihatku di situ Jala….” Suwitri melambaikan tangannya. Tersenyum untuk
terakhir kali lalu lenyap.
Jalatunda
terbangun dari tidurnya.
“Witri….”desis
pemuda ini. Dia duduk termenung dan mengingat-ingat apa yang barusan
dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang letih dan
lapar itu seolah-olah ada sau kekuatan baru. Sesuai dengan petunjuk mimpi, di
malam gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu dia berjalan menuju ke barat.
Dalam
perjalanan memang dia menemukan tiga buah pohon beringin besar seperti yang
dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu tepat di ujung pohon beringin yang terakhir,
sekitar seratur tombak di depan sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam
kegelapan. Batu-batu besar yang membentuk bukit itu tertutup lumut tebal.
Licinnya luar biasa. Jalatunda berulang kali tergelincir sebelum akhirnya
sampai di puncak bukit. Dia tak berani berdiri di atas batu yang licin itu.
Merangkak dengan kedua lutut dan telapak tangan menjejak batu. Memandang ke
bawah si pemuda melihat sebuah telaga berair hijau kebiruan. Telaga itu tak
seberapa besar. Di bagian tengah terdapat sebuah batu rata hampir menyerupai
meja besar dan di atas batu ini duduklah sesosok tubuh tanpa pakaian. Tampaknya
seprti tengah berlangir, tengah mandi.
“Gila,
Siapa malam buta begini mandi di tempat seperti ini!” pikir Jalatunda.
Meskipun
orang itu berambut panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda dia seorang
perempuan atau seorang lelaki. Pada masa itu banyak kaum lelaki yang memelihara
rambut cukup panjang menyerupai perempuan. Orang yang duduk di atas batu rata
menggosok badannya dengan segumpal benda. Bagian tubuh dan muka yang digosok
dengan gumpalan itu kelihatan menjadi merah. Sekilas ketika orang tersebut
memalingkan mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian mulutnya sangat merah.
Selesai menggosoki badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia
mengambil lagi sebuah gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung
batu.
“Orang
yang mandi itu jelas bukan Suwitri….” Kata Jalatunda dalam hati.
“Tapi dia
mengatakan aku akan menemuinya di telaga ini…” Si pemuda meragu apakah dia akan
berseru memanggil atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba orang yang sedang mandi melihat
sosok tubuh Jalatunda di ats batu yang ketinggian.
“Bangsat
keparat! Berani mengintai orang mandi!” kutuknya marah sekali.
Dia
terjun ke dalam telaga. Metika muncul di tangan kanannya tergenggam sebuah batu
sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kea rah Jalatunda, tepat mengenai
kepala si pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh Jalatunda roboh
terguling, jatuh menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu itu sebenarnya
tidak akan membuat mati Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya patah dihantam
batu.
Dia
megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lai! Mati!
****************
7
Sebuah
perahu kayu besar merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun hanya merupakan
sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang hingga banyak perahu dari
pelbagai jurusan lebih suka merapat di sini. Di samping itu sarana
perhubungan
berupa jalan dan jembatan terpelihara baik hingga lalu lintas ke barat, timur
dan selatan berjalan lancar.
Kemunculan
perahu besar ini menarik perhatian banyak orang di sekitar pelabuhan. Boleh
dikatakan jarang sekali perahu besar berlabuh di Tanjung Karangwelang. Tersiar
kabar yang bersumber dari para awak kapal bahwa perahu besar itu adalah milik
seorang saudagar berlian di Martapura yang datang ke situ membawa salah seorang
puterinya yang sedang sakit keras.
Setelah
perahu merapat maka sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat langsung
dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saudagar
berlian
itu, seorang Cina she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik kereta.
Beberapa
orang lelaki tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta tersebut.
Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di Kaliwungu.
Karena
jalan yang baik maka sebelum tengah hari rombongan itu telah sampai ke rumah
sang tabib yang juga keturunan Cina she Chou bernama Ap Yang.
Tabib
Chou memang sudah terkenal sampai jauh ke luar tanah Jawa akan keahliannya
mengobati berbagai macam penyakit serta kemujaraban obatnya. Setelah hampir
enam bulan mengobati penyakit puterinya keluarga Wong memutuskan untuk membawa
puteri mereka Wong Cui Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung oleh
tabib Chou tadi.
Mengetahui
tamu datang dari jauh maka tabib Chou memberikan sambutan yang sebaik-baiknya.
Sementara para pembantunya menyiapkan minuman dan hidangan kecil maka dia
meminta agar si sakit langsung dibawa masuk ke dalam kamar periksa, dibaringkan
di atas sebuah ranjang tinggi.
Wong Cui
Lan tampak pucat sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie, ayah si sakit
segera menuturkan sakit anaknya yang diderita sejak enam bulan lalu.
Berbagai
obat telah diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan
bantuannya.
Namun
sakitnya Cui Lan tidak berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga keluarga Wong
itu semakin parah. Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou maka mereka
memutuskan untuk membawa Cui Lan pada tabib itu.
Setelah
menatap sesaat wajah si sakit, tabib Chou bertanya “Saudara Wong, para ahli
pengobatan terdahulu apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap sakit apa…?”
Wong Tam
Pie gelengkan kepala. “Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka hanya menduga-duga.
Malah ada yang bilang anakku ini penyakitnya aneh….”
“Ada yang
menduga dia diguna-guna orang,” nyonya Wong ikut bicara.
Tabib
Chou memperhatikan bibir si sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu berkata
“Anak kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia menderita kelainan jantung.
Hanya
saja….”
“Hanya
saja bagaimana?” tanya Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib tidak
meneruskan ucapannya.
“Hanya
saja kalian datang terlambat…. Mohon dimaafkan saudara Wong”
“Apa
maksudmu saudara tabib…?”
“Puterimu
sudah meninggal. Mungkin sekitar satu jam yang lalu.”
Nyonya
Wong langsung menjerit dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya berusaha berlaku
tenang.
“Kau… Kau
belum lagi memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah meninggal?”
“Bibirnya
kering dan biru. Itu tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas biarlah
kuperiksa.” Maka tabib Chou lalu memegang pergelangan tangan Cui Lan.
Dia
mengambil beberapa peralatan dan melakukan beberapa kali pemeriksaan.
Kemudain
dia berpaling kepada ayah, ibu dan anak itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Wong Tam
Pie terduduk meneteskan air mata. Begitu juga puteranya.
Sementara
Nyonya Wong terus menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi wajah anak
gadisnya.
“Apa yang
kami lakukan sekarang?” tanya anak lelaki Wong.
“Kalian
beristirahat saja dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar jenazah tetap
utuh sampai di Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat, makin cepat
kalian membawa jenazah ke perahu dan berlayar akan makin baik.”
“Eh,
kenapa begitu?” tanya Wong Tam Pie.
Tabib
Chou menarik nafas panjang. “Kalian mungkin tak percaya….. Tapi inilah
ceritanya” Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas
jenazah enam orang gadis yang menggemparkan dan mengerikan itu.
Tentu
saja keluarga Wong cemas bukan main mendengar penuturan itu.
Mereka
tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama.
“Kami
mohon petunjukmu saudara tabib. Kurasa kedatangan kami dengan perahu layar
besar telah menarik perhatian orang. Tak mungkin membendung rahasia.
Kalau
sang penculik sampai mengetahui kejadian ini celaka kita….”
Tabib
Chou merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Ada baiknya kita menyimpan
dua buah peti mati. Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan. Peti mati yang
besar dibawa dengan kereta terbuka hingga semua orang dapat melihat.
Tapi
jenazah puterimu tidak dimasukkan dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati
yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak barang, ditutupi dengan sayuran.
Nah, kalau penculik muncul, pasti dia akan melarikan kereta yang membawa peti
mati besar…”
Wong Pie
segera dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa yang
dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan.
Udara di
pelabuhan terasa sangat panas. Angin mengandung garam bertiup gersang. Kecuali
para pekerja, kebanyakan orang lebih suka berada dalam bangunan.
Sederetan
kedai nasi dan minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu.
Kebanyakan
dari mereka duduk menikmati makanan atau secangkir kopi sambil ngobrol ngalor
ngidul. Namun siang itu pembicaraan semua orang hampir tidak banyak berbeda di
setiap kedai. Mereka membicarakan perahu besar milik saudagar berlian dari
Martapura. Agaknya hampir semua orang mengetahui kalau perahu milik saudagar Wong
itu membawa anak gadis yang sedang saki untuk diobati oleh tabib Chou.
Dalam
salah satu kedai, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng nampak
menyantap nasi rawonnya dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik pada
seorang perempuan yang juga berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau saja
perempuan ini tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik
terus menerus. Yang dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan
orang, namun dia seperti tak perduli. Dari pakaian biru ringkas yang dikenakan
perempuan itu Wiro maklum kalau si jelita berkulit kuning langsat ini adalah
seorang dari kalangan persilatan. Maka timbullah niatnya untuk ingin
berkenalan. Apalagi wajah perempuan muda ini mengingatkannya pada wajah
Anggini, murid Dewa Tuak yang pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Baca
serial Wiro Sableng “Maut Bernyanyi di Pajajaran”) Namun sebelum maksdunya
kesampaian di luar kedai terdengar ada kehebohan. Banyak orang
berbondong-bondong menuju dermaga.
“Apa yang
terjadi…?” tanya pemilik kedai pada seseorang yang kebetulan lewat.
Orang itu
menjawab “Puteri saudagar Cina yang datang dari seberang itu meninggal. Tabib
Chou tak keburu menolongnya!”
“Ah
kasihan….!” Terdengar desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti tamu
lainnya dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk melihat rombongan pembawa
jenazah. Wiropun segera tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah
kereta terbuka tampak ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju dermaga di
mana perahu besar berada. Di belakangnya ada sebuah kereta lain ditumpangi
keluarga Wong. Wong Tam Pie duduk dengan kepala tertunfuk, mengucurkan air
mata, menangis tanpa suara. Di sebelahnya duduk istrinya yang sepanjang jalan
menangis keras tiada henti. Lalu putera mereka duduk di sebelah kusir kereta
dengan kepala tegak tapi mata merah.
Di kiri
kanan kereta mengawal enam orang. Di sebelah belakang sekali, jauh tertinggal
dari rombongan induk menyusul sebuah gerobak sarat berisi sayur. Orang banyak
ikut mengiringi rombongan itu menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping
perempuan cantik berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang
baik untuk menegur perempuan ini. Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya,
tersenyum.
Ah pucuk
dicinta ulam tiba, pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan itu
mengulurkan tangannya menyerahkan sejumlah uang kecil.
“Sahabat,
kau tentu mau menolongku.”
“Tentu
saja. Eh, apa ini?”
Si baju
biru memasukkan uang receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata “Aku ada
keperluan penting. Tolong berikan uang ini pada pemilik kedai pembayar makanan
yang tadi kusantap!”
Senyum
lebar penuh harapan yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta lenyap ketika
dia mengetahui apa maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat berbuat atau
mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang banyak.
Dengan
jengkel Wiro timang-timang uang itu dan akhirnya melangkah menuju kedai tempat
dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum jauh ketika mendadak dari arah dermaga
terdengar suara keributan.
****************
8
Saat itu Wiro
melihat kusir kereta yang membawa peti mati mencelat mental dan terhempas di
jalanan dihantam tendangan seorang lelaki yang pakaiannya tampak seperti
pengemis. Orang ini kemudian menyambar tali kekang dua ekor kuda lalu
menggebarak kedua binatang itu. Sebelum kereta mayat menghambur, dua orang
tampak berusaha menghalangi. Keduanya adalah Wong Tam Pie dan puteranya.
Masing-masign
membawa sebatang tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat. Tapi pengemis
di atas keeta mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk menghantam
oran-orang itu. Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat di tangan
puteranya patah daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan cambukan hingga
luka-luka melintir kesakitan.
Peristiwa
itu berlangsung cepat sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di tempat itu
si pengemis yang melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kejar!”
teriak salah seorang pengawal. Mukanya tampak luka bekas hantaman cambuk.
“Tidak
usah!” Wong Tam Pie mencegah yang membuat pengawal itu serta kawan-kawannya
keheranan.
“Orang
itu melarikan peti mati jenazah puterimu seudagar Wong!” kata si pengawal.
“Biarkan
dia mencuri peti dan jenazh anakku. Semua segera naik ke atas perahu! Dahulukan
gerobak sayur itu…!”
Wogn Tam
Pie, isterinya dan anak laki-lakinya segera naik keatas perahu besar. Para awak
perahu dibantu oleh enam pengawal tadi menaikkan gerobak sayur ke dalam perahu.
Tak lama kemudian perahu besar itu pun mulai merenggang meninggalkan dermaga.
Di atas
anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega.
“Untung
tabib Chou menyusun siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan sudah kena
diculik penjahat!”
“Heran…”
kata puteranya sang saudagar. “Siapa sebenarnya pencuri tadi.
Tampaknya
seperti peminta-minta. Apa perlunya mencuri mayat orang?”
“Akupun
tidak mengerti. Dunia ini semakin tua. Segala kejahatan dan keanehan bisa saja
terjadi” kata saudagar Wong lalu dia masuk beranjak meninggalkan anjungan.
Kita
kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang dirasa aneh oleh murid Sinto Gendeng.
PErtama orang berpakaian pengemis itu melarikan peti mati berisi jenazah puteri
saudagar Cina itu. Kedua mengapa sang saudagar sendiri mencegah para
pengawalnya mengejar si pencuri dan memerintahkan cepat-cepat naik keatas
perahu besar. Karena tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya
memutuskan untuk mengejar sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu. Dia
menyambar seekor kuda yang tertambat tak jauh dari situ lalu membedal binatang
ini ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira
beberapa ratus tombak dari tikungan jalan Wiro menemukan kereta itu berhenti di
tepi jalan. Penutup peti mati berada dalam keadaan terbuka. Ketika dia meneliti
ke dalam peti ternyata peti itu kosong!
“Jenazh
puteri saudagar itu dilarikan….” Membatin Wiro. Dia coba meneliti keadaan
sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk kemana jenazah itu
dibawa kabur. Berarti rasa ingintahunya menemui jalan buntu hanya sampai di
situ.
Sementara
itu selagi Wiro berusaha meneylidiki kejadian itu, di pelabuhan telah terjadi
lagi kegemparan. Saat itu orang benyak masih berkumpul di sepanjang dermaga.
Mereka membicarakan apa yang barusan terjadi sambil memandangi perahu besar
semakin menjauh ke tengah laut. Saat itulah seseorang terdengar berteriak.
“Hai!
Orang yang melarikan kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia menendang pemilik
perahu pukat!”
Semua
orang memalingkan kepala ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka menyaksikan
seorang pemilik perahu kecil yang biasa dipakai untuk manangkap ikan terjatuh
ke dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian pengemis yang tadi diketahui
melarikan kereta pembawa peti mati. Oang itu kemudian mendayung perahu menuju
ke tangah laut, kea rah perahu besar milik saudagar Wong. Yang luar biasanya
ialah dia menggunakan kedua tangannya sebagai pendayung.
Perahu
pukat itu seperti melesat membelah air laut, meluncur cepat di atas air menuju
perahu besar. Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan mata meeka
sendiri!
“Tak ada
manusia yang mampumendayung perahu dengan tangan seperti itu!” kata seseorang.
“Kalau
bukan malaikat pasti dia seorang sakti luar biasa!” kata seorang lainnya.
Lalu ada
seorarng lainnya lagi yang seprti bertanya “Eh, bukankah tadi dia melarikan
peti mati berisi jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti hendak mengejar
perahu besar! Apa yang hendak dilakukannya?!”
Orang
banyak semakin berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama kemudian pukat itu
berhasil menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama setelah itu tampak
asap hitam mengepul di atas perahu besar.
“Perahu
besar itu terbakar!” teriak orang banyak berbarengan.
Pada saat
itulah Wiro sampai kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan perahu besar
dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk beberapa lamanya tidak kelihatan
lagi. Namun seseorang kemudian melihat dan berseru ketika pukat itu tampak
seperti menyeruak di antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah timur dan
akhirya lenyap di titik batas pemadangan.
“Apakah
kalian semua di sini hanya bisa menonton tanpa melakukan sesuatu untuk
menolong?!” Satu suara terdengar di antara kerumunan orang banyak. Yang bicara
ternyata adalah seorang kakek mengenakan kain dan selempang putih.
Mulutnya
komat kamit. Kedua matanya yang kelabu menatap jau ke tengah lautan, kea rah
perahu besar yang diamuk api.
“Ah, empu
Tembikar tupanya….” Kata seseorang. Orang ini seperti sadar segera berteriak.
“Yang memiliki perahu besar itu!” Lalu dia mendahului lebih dari selusin perahu
kecil didayung cepat menuju perahu kayu yang terbakar. Namun nyala api besar
sekali. Sebelum orang0orang itu berhasil mendekat, perahu telah hampir musnah.
Di antara isinya, hanya dua orang awak kapal yang sempat menyelamatkan diri,
terjun ke laut lalu berenang sambil berpegangan pada potongan papan. Keduanya
segera ditolong dan dibawa ke darat. Sampai di darat mereka segera dihujani
pertanyaan apa yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang
dari awak perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api. Ketika
kebakaran itu diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini terjadi pada
tiga bagian perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu anjungan.
Persediaan air di perahu itu ternyata tidak mencukupi karena sewaktu berlabuh
di Tanjung Karangwelang belum sempat mengisi air.
Di dalam
suasana kacau beberapa orang awak kapal sempat melihat kemunculan tiba-tiba
pengemis yang sebelumnya diketahui telah melarikan kereta pembawa peti jenazah
Cui Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa bagian perahu tanpa seorangpun
awak kapal atau keluarga saudagar Wong dan para pengawalnya dapat mencegah.
Karena saat itu masing-masing berusaha memadamkan api bahkan lebih banyak ingin
menyelamatkan diri dalam kebingungan. Pengemis tadi kemudian menemukan sebuha
peti kayu yang tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur dalam gerobak. Dia
langsung membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri Saudagar Wong. Begitu
dia mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera meninggalkan perahu besar,
melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya menjauhi perahu besar dan lenyap!
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala mendengar keterangan awak perahu itu. Sejak
beberapa bulan lalu dia memang pernah mendengar peristiwaperistiwa
menggemparkan tentang dicuri atau diculiknya jenazah anak gadis atau perempuan
muda yang belum kawin. Apakah artinya semua ini. Apa perlunya seseorang
menculik mayat? Dan kabarnya penculik itu adalah seorang pengemis, seperti
manusia yang tadi disaksikannya melairkan kereta mayat!
Di tengah
laut perahu besar itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yang kelihatan. Baian
lainnya sudah musnah dimakan api dan enggelam cerai berai ke dalam air laut.
Asap hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut memandang kea rah
kapal yang hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok tubuh yang tahu-tahu
sudah tegak tepat di depannya.
Ternyata
yang berdiri di hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih yang tadi
didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar.
Orang tua
ini memandang tak berkedip tepat ke wajah Wiro dengan sepasang matanya yang
kelabu.
“Kau
orang pandai. Tapi hanya berpangku tangan!” Orang tua ini berkata. Suaranya
tandas seperti menghukum.
Wiro
berkedip. Hendak menjawab. Tapi Empu Tembikar sudah meninggalkannya. Penasaran
maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu. Jauh sekali dia berjalan mengikuti hingga
akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin. Di sini Empu Tembikar membalikkan
tubuhnya dan bertanya “Mengapa kau mengikutiku?!”
“Ingin
tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang tua?” balik bertanya murid Sinto Gendeng.
“Oh, jadi
kau masih tidak tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka bicara dengan
orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak tahu kebodohannya sendiri!”
“Kebodohan
apa yang telah kuperbuat?!” tanya Wiro dengan menahan jengkel.
“Aku tahu
kau mampu menolong orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu.
Tapi
mengapa kau tidak melakukan sesuatu….?”
Wiro
garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab “Mampu belum tentu bisa. Perahu besar itu
terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di dermaga sudah hampir musnah.
Kulihat
banyak yang mencoba turun ke laut untuk emnolong. Nyatanya mereka tidak dapat
melakukan apa-apa. Aku sama saja dengan manusia-manusia itu. Bukan orang pandai
atau dewa yang mempu malakukan pertolongan ajaib….!”
Si kakek
bermata kelabu tiba-tiba tertawa.
“Kau
pandai bicara mencari alas an. Ketika kereta pembawa peti mati dilarikan orang,
kaupun bertindak lalai….”
“Aku
mengejar. Tapi kutemui peti mati itu telah kosong,” menerangkan Wiro.
“Itu
karena kau bertindak terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan bahwa soal
waktu itu bisa sama harganya dengan selembar nyawa manusia….?”
“Kau
menyebut-nyebut guruku. Apakah kau kenal dia?”
Si kakek
angkat bahu lalu melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya.
“Orang
tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh, pandir, lalai
dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja yang telah kau lakukan selama
kejadian-kejadian yang menggemparkan di pelabuhan itu. Hanya bicara….?”
Paras
orang tua itu sekilas berubah. Kemudian dia tampak tersenyum.
“Orang
tua adalah tempat bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya orang muda
seperti kau adalah para pelaksana….”
“Kalau
begitu alangkah enaknya jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu menyalahkan
orang muda….!”
“Terserah
kalau kau berpendapat seperti itu…”
Wiro tak
mengacuhkan kata-kata si mata kelabu itu. Dia berkata “Kalau katamu orang tua
tempat bertanya, orang tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa yang dapat kau
berikan saat ini?!”
“Bagus
kau bertanya begitu. Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa buruk yang
dialami jenazah para gadis di kawasan ini?”
“Tidak,”
jawab Wiro sengaja berdusta. “Apa petunjukmu selanjutnya?”
“Kejahatan
itu harus dihentikan!” jawab Empu Tembikar.
“Kenapa
kau tidak menghentikan?”
“Karena
ada seorang lain yang harus menghentikannya?”
“Siapa?”
tanya Wiro.
“Kau….!”
Wiro
melengak kaget.
“Mengapa
musti aku?”
“Aku
tidak tahu!”
“Kau tahu
siapa pelaku kejahatan itu? Pendulik itu?”
“Aku
tidak tahu” jawab Empu Tembikar.
“Kau
mungkin tahu dimana kediamannya?” tanya Wiro lagi.
“Aku
tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya di arah
timur, tenggara atau timur lautan utan Roban.”
“Kalau
dia menculik kemudian membuang jenazah begitu saja, apa perlunya dia melakukan
itu?”
“Untuk
mengambil jantung dan hati gadis yang mati itu!”
Wiro
merasa tengkuknya jadi dingin.
“Apa guna
jantung dan hati itu? Untuk disantap? Ih!”
Empu
Tembikar mengeluarkan segulung kertas dari balik selempang kain putihnya.
“Seseorang
memberikan kertas surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan bacalah isinya.
Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih lanjut….”
Habis
berkata begitu Empu Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
****************
9
Wiro
Sableng mencari pohon rindang dan duduk di bawahnya, pada pematang tambak ikan
asin. Meskipun matahari sore bersinar terik tapi tiupan angin yang sepoi-sepoi
membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini membuka gulungan keras yang tadi
diberikan Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup panjang, ditulis dengan
huruf-huruf yang membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai membaca.
INTI SARI
KEHIDUPAN INDAH KAUM PEREMPUAN
Sejak
dunia terkembang, sejak perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari tulang
rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang selalu menghantui kaum perempuan.
Mereka
takut dimakan usia. Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan
menjadi……
Belum
sampai Wiro menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia merasa ada
angin yang menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini cepat menghantam dengan
tangan kirinya namun dia hanya memukul tempat kosong.
Bersamaan
dengan itu hidungnya mencium bau harum. Sudut matanya menangkap gerakan sosok
tubuh di samping kanan. Secepat kilat murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan
kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin deras membuntal. Tapi lagi-lagi
pendekar ini kecele. Ternyata kembali dia menghantam tempat kosong. Malah saat
itu satu dorongan yang luar biasa hebatnya membuat terhuyung-huyung ke kiri.
“Setan
alas keparat!” maki Wiro.
Selagi
dia berusaha mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan kirinya
tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang sangat cepat dan
berusaha menelikung dengan tangan kanann sambil memukul denagn tangan kiri.
Pess…!!!
Terdengar
suara mendesis. Wiro Sableng masih belum sempat melihat siapa adanya orang yang
menyerang dan merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya membuntal asap hitam
berbau harum aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup pemandangannya namun
juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung dia cepat sadar. Sambil
tutup jalan pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu Kapak Naga Geni 212.
Hawa panas segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang kebal racun kini
samakin terlindungi oleh hawa panas mujizat yang keluar dari senjata mustika
itu. Perlahan-lahan kekuatannya pulih.
Asap
hitam juga mulai lenyap. Pemandangannya terang kembali. Tapi orang yang tadi
belum sempat dilihatnya dengan jelas, jangankan mukanya, sosok tubuhnya hampir
tak terlihat, telah lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng memaki panjang pendek.
Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin dia tidak bisa atau tidak
punya kesempatan melihat siapa adanya orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu
merampas kertas yang sedang dibacanya. Wiro diam-diam menyadari.
Dan ini
membuat tengkuknya dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau mencelakainya
atau membunuhnya, pasti halitu dapat dilakukannya.
Wiro
memandang jauh ke depan, kea rah tambak ikan asin yang luas sementara matahari
sore semakin redup. Pendekar ini geleng-geleng kepala.
“Guru
sendiri tidak sehebat itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia yang dapat
bergerak demikina cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia….?
Bukan
setan maghrib yang kesasar? Dan bau harum aneh itu….?”
Pendekar
212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu dengan perasaan
tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat itu.
Warok
Kunto Rekso yang berjalan paling depan memimpin hampir lima puluh orang anak
buahnya hentikan langkah, mendongak kea rah bukit di ujung pohon beringin. Hari
itu adalah hari ketiga pengungsian yang mereka lakukan sejak pasukan kerajaan
menyerbu hutan Roban, menghancurkan kelompok gerombolan rampok yang ada di
situ. Jika saja dia tidak bertindak cepat pasti kelompok yang dipimpinnya juga
akan mengalami bencana yang sama. Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban,
berputar-putar di pedalaman yang sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya
siang itu mereka sampai di tempat itu.
Kunto
Rekso menyuruh anak buahnya beristirahat sementara dia sendiri mulai memanjat
bukit batu untuk menyelisiki kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba hidungnya
mencium bau busuk. Kepala rampok yang sudah berpengalaman ini segera mengetahui
bau busuk itu adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling, lalu
bergerak ke jurusan kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar. Kunto
Rekso tak perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya.
Terkapar melintang di bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya kepala
rampok ini ketika mengeahui mayat busuk itu ternyata adalah mayat Jalatunda,
pemuda pembantu juru masak yang dianggapnya gila dan membangkang untuk ikut
bersamanya.
“Buang
mayat ini jauh-jauh dari sini,” kata Kunto Rekso pada anak buahnya.
“Aku akan
menyelidiki ke atas bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik, aku memilih
kita mendirikan perkampungan baru di sini.” Lalu kepala rampok ini meneruskan
maksudnya semula menyelidiki ke puncak bukit batu. Penciumannya merasakan di
atas sana ada air. Dan betul memang. Ketika dia sampai di puncak bukit batu, di
sebelah bawah seberang depannya dilihatnya sebuah telaga berair hijau membiru. Di
tengah telaga tampak sebuah batu licin rat hampir berbentuk sebuah meja.
Kunto
Rekso menarik nafas dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk dan segar
sekali.
“Ini
tempat yang baik! Sangat cocok untuk markas baruku!” Lalu kepala rampok ini
mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi isyarat pada anak buahnya untuk
segera naik ke atas.
Siang itu
juga Kunto Rekso memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan pembangunan
perkampungan. Beberapa pohon besar ditebang untuk diambil kayunya. Menjelang
malam tiba baru mereka berhenti bekerja. Besok pagi pekerjaan itu akan
diteruskan.
Akan
tetapi pada pagi harinya justru terjadi kegemparan di antara rombongan perampok
pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan masih mengorok ketika seorang anak
buahnya membangunkan.
“Keparat
jaah! Mau kupecahkan kepalamu berani membangunkanku?!”
“Warok,
ada kejadian hebat. Lima orang anggota kita kedapatan mati!” kata anggota
rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat melompat mundur karena takut dihantam
jotosan pemimpinnya.
“Apa
katamu?!” Waro Kunto Rekso melompat dari tidurnya. “Sipa yang mati…?!”
“Mereka
dibunuh!” kata seorang anggota lainnya.Lalu membawa Kunto Rekso ke kaki bukit
batu di ujung kanan. Di situ tergelimpang lima anak buahnya yang telah jadi
mayat. Ketika diperiksa apa yang dilaporkan tadi memang betul. Lima anggota
rampok itu mati dibunuh. Leher masing-masing tampak ketakutan tampak terkulai
tanda patah!
“Keparta!
Edan! Siapa yang melakukan….?!” Sentak Kunto Rekso. Kunto Rekso berpaling di
batang pohon itu tampak tertempel sehelai kertas yang dibubuhi tulisan. Sambil
menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu membacanya
dengan pelipis bergerak-gerak.
Lima
mayat itu adalah peringatan pertama dan terakhir.
Daerah
ini adalah daerah kekuasaanku.
Tak
seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini.
Apalagi
hendak membangun perkampungan.
Sebelum
matahari tinggi pagi ini, segera tinggalkan tempat!
“Setan
alas!” kutuk Kunto Rekso. “Siapa yang membuat surat ini pengecut!
Tak
berani memberitahu nama!” Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat.
Berkali-kali
dia membuat gerakan seperti hendak mencabut golok besar di pinggangnya.
Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan.
“Pemimpin,
apa yang harus kita lakukan….?” Seorang anak buahnya bertanya.
“Apa yang
harus kita lakukan? Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan perkampungan! Di
sini! Di tempat ini!”
“Tapi
surat itu.”
“Keparat!
Apa kau harus takut pada selembar kertas?!” Kunto Rekso bantingkan kertas yang
tadi diremasnya ke tanah. “Semua teruskan pekerjaan! Aku akan mengawasi. Ku mau
lihat siapa manusianya yang berani membunuhi anak buahku! Jika dia muncul
kucincang tubuhnya dari kepala sampai kaki!”
Begitulah
sementara beberapa orang mengurus maya lima anggota rampok yang terbunuh secara
aneh itu, yang lain-lainnya meneruskan pekerjaan membangun perumahan. Warok
Kunto Rekso mengawasi dari atas pohon. Sesekali dia turun ke bawah dan
berkeliling meneliti keadaan. Sampai sore hari, bahkan ketika siang berganti
malam tak terjadi apa-apa. Tak ada yang muncul mengganggu atau menghalangi.
Meskipun hanya lega sedikit namun Kunto Rekso tetap merasa was-was.
Mengingat
kematian lima anak buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang
ditemuinya sebelumnya. Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang
sama. Tapi orang itu sendiri siapa?
Begitu
malam tiba Kunto Rekso berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin anak
buahnya berganti-ganti melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya malam
hari itupun akan berlalu dengan tenang. Namun ternyata tidak!
Belum
lagi sinar matahari pagi sempat menembus kelebatan dedaunan pepohonan di kaki
bukit batu itu, kehebohan terjadi. Lima dari selusin anggota rampok yang
melakukan pengawalan ditemui telah menjadi mayat. Mati dengan cara yang sama
seperti lima kawannya terdahulu. Yakni dengan leher patah!
“Keparat
anjing kurap!” teriak Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok besarnya.
Senjata ini diputarnya berdesing-desing di atas kepala. Anak buahnya menjauh
ketakutan.
“Ini
sudah keterlaluan! Keparat! Manusia pengecut! Keluar dari persembunyianmu!
Jangan hanya berani membunuh secara membokong!”
Sesaat
setelah bentakan kepala rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara tertawa
mwlwngking. Tak dapat diduga apakah itu suara manusia, lelaki atau perempuan,
ataukah suara jin pelayangan!
“Lihat!”
seorang anggota rampok berseru seraya menunjuk ke atas.
Semua
orang termasuk Warok Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari mana datangnya saat
itu tampak melayang sehelai kertas. Sekali lompat saja kertas itu sudah di
tangkap Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ terdapat beberapa baris
tulisan.
Peringatan
telah diabaikan.
Hukuman
harus dijatuhkan.
Sebelah
mata sudah berkecukupan.
Jika
masih membangkang jantung jadi imbalan!
Bergetar
sekujur tubuh kepala rampok itu. Bukan karena dia takut membaca surat tersebut,
tetapi karena menahan amarah yang tidak tahu hendak dilampiaskan pada siapa.
Sambil meremas kertas dengan tangan kiri dan sepasang mata memandang
berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan geraham bergemeletukan, Warok Kunto
Rekso tiba-tiba lemparkan golok besarnya kea rah mana tadi datangnya suara
tertawa aneh itu. Golok besar dan berat itu melesat laksana anak panah,
menembus kerapatan daun pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga.
“Bangsat!
Keparat!” maki Kunto Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya tidak mengenai
sasaran apa-apa.
Di saat
itu justru kembali terdengar suara tawa mwlwngking. Lalu tiba-tiba saja
meluncur sebuah benda putih berkilat sepanjang ukuran jari kelingking. Begitu
cepatnya benda ini melesat hingga sukar dilihat bentuknya. Yang jelas itu
adalah sebuah senjata rahasia.
Ketika
melihat benda ini Warok Kunto Rekso meskipun menggebrak marah tapi mengenggap
enteng. Kalau cuma satu senjata rahasia yang terlihat jelas seperti itu siapa
takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan Roban yang ditakuti ini secepat
kilat menyambar golok seorang anak buahnya. Dengan senjata ini dia memapas ke
depan untuk menghantam senjata rahasia yang melesat ke arah kepalanya.
Tring!
Golok dan
senjata rahasia bentrokan di udara keluarkan suara nyaring.Warok Kunto
merasakan tangannya bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi dirinya
selamat dari serangan senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang tajam
kembali dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di atas pohon sebelah kiri.
Secepat kilat patahan golok yang masih digenggamnya dilemparkan ke arah gerakan
itu. Namun baru saja golok melesar lepas mendadak dari samping kembali melesat
sebuah benda putih berkilat. Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali
ini taak mungkin baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak
buahnya yang berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia
itu menderu dan menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang
telinga!
Sang
Warok meraung setinggi langit. Darah muncrat membasahi mukanya.
Dia lari
kian kemari, berteriak tiada henti dan memukul apa saja yang berada di
dekatnya. Seorang anak buahnya yang berkepandaian cukup tinggi segera menotok
pelipis dan urat leher pimpinannya ini. Meskipun darah terus mengucur namun
rasa sakit berkurang sedikit.
“Setan!
Tempat ini dikuasai setan! Ada setannya!” kata Kunto Rekso. Dia merobek bajunya
dan menggunakan potongan kain ini untuk menutupi matanya yang bocor.
“Tinggalkan
tempat ini! Semua tinggalkan tempat ini!” perintahnya.
“Kami
siap Warok. Tapi kita menuju kemana?” bertanya seorang anggota rampok.
“Jalan
saja dulu!” sahut Kunto Rekso. “Mungkin kita menuju ke utara. Aku tak pasti.
Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!”
Maka
rombongan rampok yang telah kehilangan sepuluh anggotanya itu segera tinggalkan
tempat tersebut. Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di daerah pantai
mereka membangun sebuah perkampungan. Kelak di kemudian hari Warok Kunto Rekso
merobah jalan hidupnya yang sesat, dari rampok hutan daratan, menjadi perampok
lautan. Dia kemudian dikenal dengan julukan Bajak Laut Mata Satu.
Sementara
mereka berlalu, di kejauhan terdengar tawa melengking, panjang dan membuat bulu
kuduk para penjahat itu menjadi dingin. Masing-masing mempercepat langkah.
Bukan meustahil bencana yang lebih celaka akan menimpa mereka.
****************
10
Desa
Wonotunggal terletak di daerah berbukit-bukit yang sangat subur.
Hasil
sayur mayurnya yang segar-segar dan beraneka macam menyebabkan desa ini
terkenal di sepanjang pantai utara Jawa Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman.
Dari
hasil lading maupun sawah dan peternakan, rata-rata penduduk Wonotunggal hidup
berkecukpan. Di samping itu ada hal lain yang membuat desa ini terkenal jauh
sampai kemana-mana. Hal ini ialah tentang para gadisnya yang rata-rata berkulit
putih, senang memelihara rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut
tubuh yang elok mempesona.
Hal yang
satu ini menyebabkan banyak pemuda-pemuda dari desa-desa lain sering datang ke
situ atau orang tua sengaja pergi ke sana untuk meninjau menjajagi kemungkinan
bagi mereka atau putera mereka untuk mendapatka jodoh yang diidamkan. Umumnya
para pemuda dan orang tua tidak mengalami kekecewaan.
Mereka
dating dan selalu kembali dengan berita bagus, mendapatkan calon yang dapat
dipersunting beberapa bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan
hajat baik itu, kalau tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain.
Karenanya desa Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu
diramaikan dengan adanya pesta perkawinan di sertai hiburan seperti wayang
eong, wayang kulit atau ketoprak.
Dari
sekian banyak bunga harum jelita desa Wonotunggal, ada satu sekuntum yang
memiliki kelebihan dari pada dara-dara lainnya hingga dia menjadi primadona,
bunga tercantik dari segala bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun
tebu, berusia menjelang delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu
banyak para gadis telah berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas.
Bahkan terkadang di usia lima atau empat belas. Karenanya usia dara yang satu
ini, yang menjelang delapan belas dianggap sudah melewati batas keharusan untuk
kawin.
Namun
demikian sang dara sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian.
Malah
semakin bertambah usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin jelita
parasnya dan semakin matang sikap lakunya. Semua ini membuat semakin banyak
pemuda yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang ingin agar putera
mereka dapat mempersunting sang dara. Namun Wilani, demikian nama sang dara
kabarnya masih belum mendapatkan pemuda yang berkenan di hatinya. Kabarnya pula
sang orang tua belum mendapatkan calon menantu yang cocok. Akibatnya lambat
laun penduduk desa menganggap Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari
suami yang gagah serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap
pergunjingan yang dilakukan orang banyak membuat nama gadis itu semakin tambah
terkenal.
Memang
Wilani memiliki banyak kelebihan dari gadis-gadis Wonotunggal lainnya. Parasnya
bulat telur, kulitnya licin putih dan mulus. Rambutnya hitam panjang
sepinggang, selalu kelihatan berkilat dan menabur bau minyak yang harum.
Sepasang
matanya bening seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh sepasang
alis tebal bak bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik. Hidungnya kecil
mancung. Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah
memakai gincu tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari dalam
tubuhnya. Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum, cantiknya
bukan main. Siapa yang melihat pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat. Raut
tubuhnya ramping di pinggang besar di dada dan pinggul. Kalau berjalan
lenggoknya membuat para pemuda menelan air ludah. Banyak yang berusaha untuk
mencuri pandang pada sepasang betisnya yang terkadang tersingkap dari balik
kain panjang yang dikenakannya.
Segala
kesemarakan kecantikan dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja menjadi
redup. desa Wonotunggal kini diselimuti kesedihan. Sejak seminggu berselang
dikabarkanWilani telah jatuh sakit. Telah berbagai macam obat diberikan namun
sakitnya tidak berkurang, malah makin bertambah. Makanan maupun minuman sulit
melewati mulutnya. Akibatnya dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus itu kini
menjadi kurus. Wajahnya yang dulu cantik jelita itu kini menjadi cekung.
Beberapa
orang pandai termasuk para dukun ahli pengobatan kabarnya telah pula dipanggil.
Tapi sampai hari kedua puluh satu sakit sang dara masih belum dapat dipulihkan.
Banyak para pemuda yang ingin datang menjenguk melihat si sakit.
Namun
menurut orang tua Wilani, anak mereka itu mengidap sejens penyakit menular.
Hingga
semua orang yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam kamar di
mana gadis itu terbaring. Kalau Wilani sampai akhirnya meninggal dunia sebelum
sempat menginjak jenjang perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis itu.
Demikian
orang sedesa berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya.
Suatu
malam, Ronocula, lelaki yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang menemui
kedua orang tua Wilani. Selama ini telah beberapa kali dia mengunjungi mereka
namun sebegitu jauh tidaak mendapat kesempatan untuk melihat sendiri si sakit.
Diapun tidak memaksa karena kalau memang Wilani menderita penyakit menular,
siapa mau kebagian penyakit berbahaya itu.
“Mas
Prayit….” Kata Ronocula pada ayah Wilani. “Aku dan orang sedesa selalu
mendoakan agar puterimu yang sedang loro itu ditolong oleh Gusti Allah dan
dapat cepat disembuhkan dari penyakitnya….”
“Terima
kasih dimas Ronocula,” jawab Prayit.
Ucapan
seperti itu sudah berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala desa.
“Kami
tidak mengharapkan musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja, kalau puterimu
diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang harus kita perhatikan.
Kau kita
semua harus berjaga-jaga….”
“Berjaga-jaga
bagaimana maksudmu dimas Ronocula?”
Lalu
kepala desa itu menerangkan tentang kisah tujuh gadis yang menggegerkan.
Ketujuh jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh yang selalu muncul seperti
pengemis. Selang satu dua hari kemudian mayatnya ditemukan kembali di pinggiran
hutan Roban. Tapi hati dan jantungnya telah lenyap dan jenazahnya rusak
mengerikan.
“Aku
memang ada juga mendengar hal itu,” kata Prayit. “Tapi kukira semua itu hanya
cerita kosong belaka…. Apa perlunya orang menculik mayat…”
“Jangan bicara
seperti itu mas Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh.
Berbagai
kejadian yang tak masuk akal bisa terjadi. Kejahatan di luar batas kemanusiaan
berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia hampir tak ada harganya.
Kau ingat
penuturan kepala desa terdahulu, tentang orang-orang yang tengah mencoba
kehebatan ilmunya? Membunuh orang lain secara semena-mena demi untuk
kepentingan ilmunya….?”
Prayit
terdiam sesaat. Lalu dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata “Kalau
cerita penculikan itu memang benar, kuharap puteriku tidak akan mengalami nasib
seperti itu…”
“Itu yang
kita harapkan mas. Namun berharap tanpa melakukan sesuatu, jika nanti sudah
kejadian maka jangan sampai ada penyesalan seumur hidup…”
“Lalu
bagaimana menurutmu? Apa yang baik yang harus kita lakukan…?’
“Kita
harus membentukbarisan pengamanan. Aku sendiri yang akan mengepalainya. Barisan
ini terdiri dari lima orang anak buahku, ditambah dengan guru silat Bagus
Menakdari dukuh Jatiwangi….”
“Terima
kasih kalau kau mau melakukan itu dimas,” kata Prayit gembira. Dia tahu sebagai
kepala desa Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan, memiliki
jimat yang kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi kalau
guru silat Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. “Aku akan
merasa aman….” Katanya menambahkan. “Hanya saja, yang paling baik adalah kalau
puteriku dapat disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak perlu bersusah
payah….”
“Itulah
yang selalu kami doa dan harapkan,” sahut Ronocula.
Tapi doa
dan harapan orang sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari setelah
kedatangan kepala desa tersebut, pada suatu pagi, belum lagi sang surya muncul,
seisi desa telah mendengar kabar duka datang dari rumah keluarga pemilik
perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka telah meninggal dunia. Hampir
seluruh penduduk desa datang melayat dengan harapan dapat melihat paras gadis
yang malang itu untuk terakhir kali. Namun mereka kecewa karena ternyata
jenazah telah dimandikan dan dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan
dengan cepat mengingat kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit
akan menebar.
Di luar
rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan kepala desa Ronocula duduk
berdampingan dengan seorang lelaki bertopi merah, berpakaian serba putih.
Sehelai
kain sarung tersilang di bahunya. Orang yang bersikap pendiam tak banyak bicara
ini adalah guru silat Bagus Menak yang telah datang bersama sembilan muridnya.
Kesembilan murid silat ini bersama-saa lima pembantu kepala desa senantiasa
berkeliling menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena
pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah disembahyangkan
dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah gerobak terbuka,
ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua berwajah kotor dan
berpakaian tebal. Agaknya kusir gerobak ini memakai lebih dari sehelai pakaian.
Namun karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang ditimpa
musibah itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian kusir
gerobak itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersebut
bukanlah penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak seorangpun
ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-tahu sudah
ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah
matahari pagi rombongan pengantar jenazah bergerak menuju pekuburan, mengikuti
gerobak sapi yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi
cerah tampak mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan
secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak sapi,
jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Pada saat jenazah
dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan pakaiannya. Di balik
pakaian itu kelihatan pakaian lain yang penuh tambalan, kotor dan bau!
“Pengemis
penculik!” teriak Ronocula yang entah kenapa sejak memasuki tanah pemakaman
tiba-tiba saja dia menjadi curiga terhadap kusir gerobak itu.
Semua
orang terkejut. Guru silat Bagus Menak memberi isyarat ada sembilan anak
buahnya. Maka enam belas orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir
gerobak itu.
Sang
kusir berdiri di atas gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya lenyap
ketika tiba-tiba Ronocula berteriak “Ringkus manusia itu!”
Para
pengurung serta merta menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan senjata.
Mereka berpikir, untuk menangkap seorang pengemis tua seperti itu, apa perlunya
pakai senjata. Tapi ketika empat orang terpental dan terjengkang roboh kena
tendangan kaki serta hantaman pengemis itu barulah mereka sadar. Ronocula
segera cabut kerisnya, Bagus Menak tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di
bagian dalam diisi dengan potongan besi lentur.
Pengemis
tadi kembali tertawa. Kini dia mendahului menyerang. Bagus Menak sambut dengan
hantaman kain sarung, Ronocula datang dari samping dengan tusukan keris. Enam
orang lainnya menggebuk dengan berbagai senjata, mulai dari pisau, kelewang
atau golok. Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Prayit memperhatikan
semua apa yang terjadi dengan wajah pucat sementara kebanyakan para pengantar
berusaha menjauhkan diri dan memperhatikan apa yang selanjutnya terjadi dengan
penuh cemas.
Hantaman
kain sarung Bagus Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris Ronocula membuat
angin berdesing. Belum lagi senjata-senjata yang lain yang datang membabat. Tak
dapat tidak kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang tubuhnya.Tapi apa
yang kemudian terjadi justru kebalikannya.
Bagus
Menak, guru silat lihay berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan dan dia
tak dapat mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi yang
terlindung di balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian melentur keras dan
melesat kea rah perut kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai sasarannya pengemis
di atas gerobak lepaskan betotan pada kain sarung. Akibatnya Bagus Menak
terhuyung ke belakang oleh daya tarik kekuatannya sendiri sedang potongan besi
melenceng ke samping menghantam dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik
kesakitan.
Kepala
dan wajah keduanya tampak benjut.
Ronocula
yakin sekali tusukan kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis.
Hanya
saja keyakinan ini berubah jadi keterkejutan ketika orang yang diserangnya
tiba-tiba melompat dan dengan sekali menggerakkan tangan kanan senjata itu
berhasil dirampasnya. Ronocula keluarkan keringat dingin. Dia melihat empat
senjata orangorang yang ada di pihaknya masih terus memburu lawan. Karenanya
dia merasa ada kesempatan untuk menyerbu sekalipun dengan tangan kosong.
Pengemis
di atas gerobak kembali melompat. Dua penyerang kembali mental sambil menjerit
kesakitan.
“Makan
kerismu ini!” pengemis itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris kepala desa
kepada pemiliknya sendiri. Dan sekian puluh pasang mata menyaksikan bahwa
Ronocula sebenarnya tidak kebal senjata. Keris miliknya sendiri menancap di
dada, tepat di bawah tenggorokannya.
Sebelum
roboh kepala desa ini masih sempat berteriak “Lindungi jenazah! Lindungi
jenazah!”
Tapi
percuma saja. Sebelum ada yang sempat bergerak untuk melindungi jenazah Wilani,
manusia berpakain pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat merampas jenazah
lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Bagus
Menak cepat menyerbu. Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi kali ini
nasibnya jauh lebih buruk dari tadi. Tendangan si penculik jenazah mendarat
sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah darah lalu
tak bergerak lagi, entah pingsan entah mati.
“He….he….!”
Pengemis penculik tertawa. “Jika perlu di antara kalian yang masih merasa memerlukan
mayat gadis ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah timur besok malam!”
Habis
berkata begitu penculik ini cepat berkelebat. Tetapi empat orang anak murid
Bagus Menak yang menjadi kalap melihat kematian guru mereka, meskipun sadar
bahwa penculik itu bukanlah tandingan mereka, tetap saja menghadang dan
menyerbu dengan senjata di tangan.
“Manusia-manusia
tolol!” maki pengemis penculik. “Mencari mati dengan percuma!” Tangan kanannya
menghantam. Kakinya sebelah kiri menyusul menendang. Dua anak murid Bagus Menak
di sebelah kanan terpelanting muntah
darah.
“Ada lagi
yang minta mampus?!” Si pengemis menantang sambil menyeringai.
Tak ada
yang berani membuka suara. Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah Wilani terduduk
setengah pingsan di tanah dan digotong orang ke bawah pohon. Si penculik
keluarkan tawa melengkingnya lalu berkelebat dan cepat sekali tubuhnya bersama
jenazah Wilani lenyap di ujung pekuburan.
****************
11
Begitu
keluar dari daerah pekuburan pengemis penculik itu melarikan diri ke jurusan
selatan, memasuki hutan Roban yang angker. Dia berlari terus tanpa berhenti,
tanpa merasa kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di bahu kirinya. Semakin
ke dalam hutan itu semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit menembus
kelebatan daun-daun pepohonan, udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si
pengemis dapat berlari sangat cepat. Jelas dia tahu sekali seluk beluk
belantara ini.
Di satu
bagian hutan yang tidak pernah didatangi manusia si penculik membelok tajam ke
kanan hingga akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di sini barulah dia
menghentikan larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh tersungging di mulutnya.
Dari tenggorokannya terdengar suara suitan keras. Lalu mulutnya berteriak.
“Pengusaha
hari tua! Aku datang membawa obat penawar usia!”
Habis
berkata begitu dia melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang mudah mendaki
bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si pengemis.
Ditambah pula dengan beban berat jenazah manusia pada bahu kirinya.
Tapi
nyatanya semua itu dilakukan dengan mudah oleh si penculik. Sampai di puncak
bukit dia memandang ke bawah. Ke arah telaga berair hijau kebiruan. Inilah
bukit batu dan telaga yang beberapa waktu lalu hendak dijadikan markas oleh
Warok Kunto Rekso.
Sepasang
mata si pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali terdengar suara
siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga akhirnya sampai
di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil mencapai pertengahan
telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk meja.
Jenazah
Wilani diturunkannya lalu dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas tampak
dia menyeringai sambil pandangi sosok jenazah yang masih tertutup rapi oleh
kain kafan. Beberapa kali jenazah itu dibelai dan ditepuk-tepuknya.
“Bersabarlah…..bersabarlah…..”
katanya. “Aku akan ganti pakaian dulu. Aku akan berdandan dan berhias….” Lalu
pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke tepi telaga sebelah timur di mana
tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih kecilkecil.
Di
sebelah belakang terdapat lamping bebatuan menghitam datar.
Dengan
tangan kirinya pengemis itu mendorong lampingan batu datar. Aneh, batu itu
perlahan-lahan menggeser ke samping. Di bekas dudukan batu itu kini tampak
sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini muncul sebuah ruangan batu yang berwarna
kelabu. Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada sebuah pembaringan yang
terbuat dari batu beralaskan kain lembut tebal hampir menyerupai permadani.
Lalu ada
dua buah kursi mengapit sebuah meja kecil yang juga terbua dari batu. Di sudut
lain terdapat ruangan cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu.
Dalam
lemari ini kelihatan tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru.
Ternyata
ruangan batu itu tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur! Ada asap tipis keluar
di sudut kanan yang menebar bau harum semerbak. Pengemis tadi melangkah masuk.
Dari dalam lemari batu diturunkannya sehelai jubah panjang berwarna biru.
Dengan jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki.
Pada bagian kepala jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya lobanglobang ini
dibuat demikian rupa agar si pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah
mengenakan jubah biru, pengemis tadi melangkah ke luar kamar.
Tanpa
menutup kembali pintu batu dia menuju ke telaga di hadapan pintu yang terbuka.
Dari sebuah celah dia mengeluarkan beberapa potong kayu warna warni lalu
dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia mengambil pula sebuah cawan batu
berisi minyak yang sangat harum. Tanpa menganggalkan jubah ataupun pakaian
pengemisnya orang ini masuk ke dalam telaga. Tampaknya dia hendak mandi.
Berlangir
mungkin. Sampai matahari di luar hutan menjadi redup dan ambang sore siap
memasuki malam si pengemis masih belum keluar dari air telaga. Tak lama
kemudian terdenganr suara nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan
halus sehingga sulit ditangkap kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara
itu adalah suara perempuan.
Tempat
itu semakin gelap. Tiba-tiba si pengemis keluar dari dalam air. Tubuhnya masih
tertutup jubah rapat. Kini tubuh itu mengeluarkan bau yang sangat harum.
Sekeluarnya dari dalam telaga, pengemis tadi tidak segera menuju ke ruangan
batu, tapi dari sebuah tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua
lusin potongan bambu yang ternyata adalah obor. Ketika obor itu dinyalakannya dan
dipasang sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi
deperti
dikungkung
oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat pengemis berjubah menatap ke
arah batu di atas telaga di mana masih terbaring jenazah Wilani.
Kemudian
agak tergegas dia melangkah menuju pintu batu. Membukanya, masuk ke dalam
ruangan batu dan menutupnya. Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara
nyanyian itu terdengar tak putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada
pertengahan suara nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu
batu tampak bergeser ke samping. Di ambang pintu batu itu kini tampak berdiri
sesosok tubuh.
Orang ini
tidak berpakaian pengemis ataupun berjubah. Tetapi mengenakan pakaian biru yang
terbuat dari bahan sangat tipis. Dan ternyata dia adalah seorang dara berparas
sangat cantik, berkulit putih mulus. Demikian tipisnya pakaian biru yang
dikenakannya hingga nyala obor di sekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi
tembus pandang dan auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas!
Dengan
langkah ringan dan wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi telaga.
Ada sebuah benda di tangan kanannya yang berkilauan tertimpa api obor.
Benda ini
ternyata adalah sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan runcing ujungnya.
Waktu
sampai di tepi telaga sang dara hentikan langakh. Dia mendongak ke atas dan
pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti tengah
melafatkan sesuatu. Mantera? Sesaat kemudaian kepala itu diturunkan
perlahan-lahan.
Sepasang
mata dibuka kembali dan kini memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah jenazah
di atas batu hitam. Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas rimba
belantara gelap itu. Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu
melesat ke tengah telaga, mendarat tepat di atas batu besar.
“Penguasa
hari tua!” sang dara baju biru tiba-tiba berteriak. “Dipertengahan malam dingin
ini aku kembali datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba saatnya untuk
melakukan hajat!”
Dara
jelita angkat tinggi-tinggi pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa kalai
senjata ini dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat, membacok
ataupun menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran disertai
kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga.
Sesaat
kemudian gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahanlahan pisau
besar diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara sesaat
pejamkan mata,kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari
tangannya bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai
mambuka tali kain putih pengikat jenazah di bagian perut. Nafasnya memburu dan
panas. Dadanya turun naik tanda dia tengah diselubungi satu gejolak yang
dahsyat. Selesai membuka tali pengikat di bagian perut, kini jari-jari
tangannya pindah ke atas siap untuk membuka tali pengikat di atas kepala!
Ketika
kain kafan di bagian kepala jenazah tersingkap lebar, deua manusia sama-sama
tersentak kaget! Sang dara sampai tersurut beberapa langkah. Hampir jatuh ke
dalam telaga!
“Keparat!
Siapa kau?!”
“Setan
alas! Kau sendiri siapa?!”
Dua
bentakan menggeledek di malam buta!
****************
12
Sosok
jenazah di atas batu besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak.
Bret….!
Bret….! Bret….! Kain kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai dari
ujung kaki sampai kepala. Mengerikam! Apakah jasad Wilani yang sudah jadi mayat
itu kini hidup kembali?! Tetapi sosok tubuh yang kemudian tampak tegak di atas
batu besar itu bukanlah sosok tubuh Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang
pemuda berambut gondrong. Dia mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap
hingga dadanya yang telanjang kelihatan tegap penuh otot. Di dada kanan ada
guratan biru kehitaman susunan tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya
tersisip sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa
cahaya obor!
Pemuda di
atas batu – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 – menyeringai tapi penuh waspada.
“Jadi kau
rupanya!” desisnya. “Tidak disangka gadis secantikmu ternyata penculik hutan
Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis yang kutemui di kedai di Tanjung
Karangwelang?!”
Gadis
berbaju biru tipis tak menjawab. Sepasang matanya tampak seperti dikobari api,
memandang tak berkedip pada Wiro Sableng. Wajahnya yang memebersitkan hawa
ganas itu justru membuatnya tambah cantik di mata pendekar kita! Diam-diam dia
ingat bau harum yang pernah tercium olehnya beberapa waktu yang lalu. Bau yang
sama kini berada di sekelilingnya, bersumber pada tubuh yang bagus mulus itu.
“Kau juga
orangnya yang merampas surat yang kuterima dari Empu Tembikar! Pasti…!” kata
Wiro Sableng. Lalu dia geleng-gelengkan kepala. “Kalau tidak turun tangan dan
melihat dengan mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau yang begini cantik
ternyata seorang manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap jadi korban!
Aku hampir jadi korban yang kedelapan! Tapi….ha….ha….ha….!” Wiro tertawa
bergelak. “Kau tentu tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek sepertiku ini!
ha…ha…ha….!
Hari ini kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!”
Entah
mengapa sang dara masih tak membuka mulut. Mungkin masih terkesiap oleh rasa
tak percaya atas apa yang terjadi dan disaksikannya saat itu.
“Pemuda
keparat! Penipu!” tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara.
“Menipu
jauh lebih baik dari pada pembongkar jenazah!” tukas Wiro Sableng.
“Lagi
pula kalau tidak menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa menjbakmu
seperti ini…!”
“Selanjutnya
kau tak perlu menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!”
desis
gadis berbaju biru. “Sebelum mampus katakan siapa namamu!” Wiro tersenyum.
“Namaku
jelek. Tak pantas diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja orang-orang
tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Aku
sudah menyangka! Jadi kau adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng dari gunung
Gede itu!”
“Hemm…
Kau tahu juga asal usul guruku!” ujar Wiro meski diam-diam merasa
heran.”Tahukah kau bahwa hari ini kau harus menebus semua kejahatanmu dengan
selembar jiwamu?!” Namun dalam hatinya Wiro bertanya-tanya akan tegakah dia
membunuh seorang dara paling cantik yang pernah ditemuinya ini? Di samping itu
dia merasa perlu untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan
ini. “Dengar, aku ada satu pertanyaan. Mengapa kau melakukan semua kejahatan
itu….?”
“Kau
tidak layak bertanya! Kau hanya layak mampus detik ini juga!”
Begitu
bentakannya lenyap dara baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya lenyap dan
tahu-tahu satu hantaman angin yang luar biasa kerasnya menerpa Pendekar 212
Wiro Sableng.
Ketika
terjadi perampasan surat Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah tahu jelas
bahwa si perampas memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya sulit
dilihat dengan jelas. Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay
tersebut. Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat
kepandaiannya. Kalau sang dara juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di
atasnya, celakanya aku pikir Wiro.
Begitu
angin datang menerpa Wiro Sableng melompat ke atas, jungkir balik lalu balas
menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Gumpalan
angin dahsyat bergulung laksana batu besar menggelundung.
Byarr!
Pukulan
murid Sinto Gendeng hanya mengenai air telaga hingga muncrat belasan tombak ke
atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan biru berkelebat dan satu sodokan
siku menghantam perutnya. Meskipun dia bisa mengelak namaun tak urung siku
lawan masih menyerempet. Perutnya terasa seperti mau pecah. Selagi dia menahan
sakit satu jotosan menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya terhempas jauh dari
atas batu besar, masuk ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya sedalam
pinggang Wiro. Murid Sinto Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur hidup
baru sekali itu dia menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam gebrakan
pertama saja dia sudah menerima dua hantaman!
Sadar
kalau lawan tak mungkin diimbangi kecepatan gerakannya maka dari dalam telaga
Wiro lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan dengan pukulan
Topan Melanda Samudra. Suara seperti angin punting beliung menderu mengeirkan.
Api obor sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga seperti mendidih dan
muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran.
Gadis
baju biru yang berada di ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti hendak
digulung ombak besar. Dia melengking keras lalu menghantam dengan kedua tangan.
Dua larik sinar biru menggebubu, memporak porandakan serangan Wiro, membuat
pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata sang dara memiliki pukulan sakti
yang sanggup memusnahkan serangannya tadi!
“Celaka!
Gadis gila ini memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku harus mampus
di tangannya? Gila!” rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Kalau
tadi dia mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka kini dia
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua tangannya.
Sepanjang
ingatan Wiro baru sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam utnuk
menghadapi lawan.
Sesaat
sebelum dua larik sinar biru menghantam dada dan kepalanya Wiro Sableng
pukulkan kedua tangannya. Terdengar suara menderu-deru susul menyusul.
Gadis
baju biru tersentak kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan saja. Karena
sedetik kemudian deru angin yang tidak berhenti itu menggulung balik dua larik
sinar pukulannya, menyertnya ke belakang lalu menghempaskannya ke arah diri
sendiri.
Sang dara
berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak terlihat,
tapi suaranya jelas terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan berada. Maka
pukulan sakti bernama Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih yang tadi telah
dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke ats ke arah lawan.
Dengan
cerdik si baju biru layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan hendak larikan
diri Wiro berseru “Pengecut! Jangan kabur!”
“Keparat!
Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas meninggalkan
tubuh!” teriak sang dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana seekor burung
pemakan mayat, tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk ke arah mata,
tangan kiri mencari sasaran di tenggorokan Wiro.
Murid
Sinto Gendeng yang menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat keluar dari
air. Sambut serangan lawan dengan memukulkan kedua lengannya.
Dua
pasang tangan beradu!
Wiro
kembali terhempas ke dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air.
Sekujur
tubuhnya terasa panas. Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru terpental
satu tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi cepat jatuhkan diri di atas
batu besar.
Dari
gerakannya menjatuhkan diri Wiro dapat memastikan gadis ini menderita cidera
yang tidak enteng. Maka dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi
baru saja bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke
arahnya!
“Senjata
rahasia! Pengecut!” teriak Wiro.
Sang dara
keluarkan tawa mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya mengeluarkan tiga
buah senjaa rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan tangguh.
Dan tak
pernah satu pun lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata rahasia
berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan dapat manghantam
lawan barang satupun?
Namun
hari itu sang dara menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya tidak berdaya
ketika Wiro tanpa tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan
tangan kanannya. Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar
menyilaukan. Air telaga menggejolak tinggi. Batu besar hitam ditengah sana
hancur lebur. Sang dara berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke kiri.
Kecepatan gerakannya menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun tak urung bahu
pakaian birunya yang terserempet sinar pukulan terbakar hangus. Daging bahunya
ikut terluka.
Sakitnya
bukan kepalang, laksana tertempel besi panas!
Selagi
lawan kesakitan, Wiro pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki kanannya
mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar suara pesss….! Asap hitam
mendadak sontak membuntal menutupi seantero telaga.
Ketika
terjadi perampasan surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal yang sama.
Dia tak mau tertpu untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri dengan
menutupi tabir pemandangan denga asap hitam berbau harum aneh itu. Maka murid
Sinto Gendeng cepat melesat ke udara, melompat naik ke atas cabang sebatang
pohon.
Dari sini
dia dapat melihat jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi sana.
Dan saat
itu dilihatnya gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur. Serta merta Wiro
melayang turun, memapasi dan menghadang sang dara! Kagetnya si gadis bukan
kepalang.
Marah,
penasaran tapi diam-diam juga kagm melihat kehebatan pemuda itu, dia lepaskan
lagi senjata rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus!
“Curang!”
maki Wiro. Tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip Kapak Maut Naga
Geni 212. Sekali senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar putih
menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga dalam
keadaan luluh lantak!
Kini
luluh pula nyali sang dara. Namun untuk menyerah tak ada dalam kamus hidupnya.
Dia lebih suka mengadu jiwa dengan pemuda itu, maka segera dia menyerbu lagi.
Tetapi sesuatu tiba-tiba dirasakannya menempel di lehernya. Dingin
menggidikkan. Memandang ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda
tegak sambil menyeringai. Kapak Naga Geni 212 tergenggam di tangan kanannya.
Salah
satu mata kapak menempel ke batang tenggorokan gadis itu, mulai mengiris bagian
kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit kesakitan.
“Bunuh!
Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” kata gadis itu.
Wiro
Sableng masih tegak menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis seperti
gadis ini tak banyak cerita lagi harus segera dibunuh dimusnahkan. Tetapi entah
mengapa tangan yang memegang kapak itu tidak juga mau bergerak. Kemudian Wiro
melihat sepasang mata si gadis mulai berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha
menahan tangis. Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air
mata menetes membasahi kedua pipinya.
“Bunuhlah…..
Lekas bunuh!” terdengar kata-kata itu meluncur berulang kali dari mulutnya.
Namun kini tidak sekeras tadi, semakin perlahan semakin memilukan.
Wiro
kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi menjauhi
leher. Di lain kejap, bagian gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke depan,
menotok tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh gadis ini
melosoh jatuh, tak bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka tidak
putus.
Sepasang
matanya yang basah menatap ke arah Wiro.
“Kenapa
tidak kau bunuh? Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat membunuhku….?”
Berkata sang dara.
Saat itu
Wiro sudah sisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke pinggangnya.
“Dosamu
memang sudah lewat takaran. Kematian memang yang paling pantas bagimu. Namun
aku perlu beberapa keterangan….”
“Jangan
mengoceh! Saat ini bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut kapakmu tetakkan
ke kepalaku!” Wiro gelengkan kepala.
“Aku
ingin tahu kenapa kau melakukan itu semua? Menculik mayat para gadis.
Mengorek
jantung dan hatinya….!”
“Itu
bukan urusanmu!”
“Kau
betul, itu bukan urusanku,” ujar Wiro.
“Lalu
kenapa tidak kau bunuh aku saat ini?!”
“Kau juga
merampas surat yang kudapat daari Empu Tembikar…. Mengapa….. Itu bukan suratmu
atau surat kekasihmu…..!”
“Jangan
coba melucu! Demi penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali aku lepas aku
akan membunuhmu….!” Wiro tertawa.
“Katakan,
siapa yang kau sebut penguasa usia itu….!”
Paras
sang dara berubah. Dia baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi dia
bungkam seribu bahasa.
“Ketika
sore tadi kau sampai ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama itu.
Apakah dia sebangsa makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis
itu?!”
“Dia
tidak menjerumuskanku! Semua yang terjadi adalah kemauan dan sumpahku sendiri!”
“Aku tak
ingin bicara lebih banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati!
Bunuh
aku!”
“Dalam
usia semuda ini, dengan paras begini cantik, apakah kau tidak takut mati…..?”
“Aku
bukan manusia kecoak pengecut yang takut mati sepertimu!”
“Jangan
bicara takabur orang cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak takut pada
kematian. Termasuk kau! Jika kau mati, bukankah apa yang kau lakukan selama ini
hanya berarti kesia-siaan belaka?!”
“Aku
telah menemukan apa yang kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!”
“Kalau
begitu katakan apa yang telah kau temukan itu!”
“Bangsat
ini pandai bicara mengorek keterangan!” maki si gadis dalam hati. ”Lebih baik
aku mengunci mulut!” Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi.
Wiro
pegang bahu sang dara sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot.
“Jangan
kau berani menyentuh tubuhku!” sentaknya.
“Dengar,
aku tak mungkin membunuh lawan yang tidak berdaya seperti keadaanmu ini. Kalau
kau mau memberi keterangan, mungkin aku akan mempertimbangkan utnuk
melepaskanmu…..” Si gadis tertawa.
“Aku tahu
jenis pemuda macammu ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu.
Begitu
dapat ……Cis!”
Wiro
tetawa panjang, lalu berkata “Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan pergi dari
sini….”
“Tidak!
Kau tak boleh pergi sebelum membunuhku!”
“Aku
memang akan kembali,” jawab Wiro. “Tapi kembali membawa binatang buas dan
berbisa! Biar harimau dan serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu! Biar ular dan
laba-laba seta kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang putih…” Lalu tanpa
mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng melangkah meninggalkan sang dara.
Kedua
mata sang gadis kembali tampak melotot. Kemudian terdengar suaranya meratap
memilukan hati. Wiro berjalan terus sampai akhirnya tiba-tiba dia mendengar
gadis itu berseru “Jangan pergi! Kembalilah….. Aku akan terangkan apa yang kau
minta….”
Sekali
lompat saja Wiro sudah berada di hadapan gadis itu kembali.
“Nah,
sekarang katakanlah riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal sampai kau
melakukan kejahatab ganas luar biasa!”
Sesaat
sang dara masih tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian mulai memberi
keterangan.
“Semua
berasal dari keinginan gila…. Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajarwajar saja.
Setiap perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan usia…..”
“Hemm….
Aku ingat bunyi surat yang kau rampas itu. Sama dengan keteranganmu. Perempuan
takut dimakan usia….”
“Aku
sengaja merampas surat itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan untuk
menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak tandukmu sejak di Tanjung
Karangwelang…. Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah yang kukira jenazah
Wilani itu kuculik, seharusnya aku sadar mengapa jenazah itu begitu berat.
Padahal tubuhnya pasti kurus karena dia menderita sakit sekian lama….” Kini aku
tahu, kau yang mengatur semua itu bukan?”
Wiro
mengangguk. “Apa hubungan antara kejahatan yang kau lakukan dengan rasa takutmu
dimakan usia….?’
“Seseorang
mengatakan, jika seorang perempuan berusia di bawah dua puluh tiga tahun
inginkan tetap awet muda sampai akhir hayatnya maka dia harus melakukan
sesuatu. Sesuatu itu adalah….”
“Menculik
anak perawan yang mati, mengambil jantung dan hatinya lalu memakannya!” potong
Wiro.
“Aku
memang menculik dan mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku tidak
memakannya!” sahut sang dara.
“Lalu?”
“Hati dan
jantung harus kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan pada muka dan
sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup membuat seseorang
perempuan menjadi tetap muda seumur hidupnya….”
“Kau
percaya pada kekuatan gila itu?!” Si gadis tak menjawab.
“Siapa
yang menanamkan kepercayaan itu padamu?” tanya Wiro.
“Empu
Tembikar!”
“Edan!
Tapi mengapa dia memberikan padaku surat yang bisa membuka rahasia dirimu itu!
Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran di atas perahu Cina
itu…?”
“Mungkin….mungkin
dia menyesal telah memberitahukan hal itu padaku.
Atau
mungkin dia menyadari berlangir dengan hati dan jantung anak perawan tidak
mungkin dapat menahan ketuaan….”
“Lalu
siapa penguasa usia yang beberapa kali kau pekikkan itu?”
“Aku
tidak tahu. Empu mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap aku
mendapat jenazah baru…”
Wiro
menarik nafas dalam. “Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu terselubung
tangan iblis utnuk menimbulkan bencana.” Sesaat Wiro menatap paras si gadis.
“Katamu kau mendapatkan ilmu awer muda itu dari Empu Tembikar. Apakah dia juga
yang mengajarkan ilmu silat hebat itu padamu…?”
“Kau
bunuhpun aku tak bakal memberi tahu siapa guruku dalam ilmu silat dan
kesaktian. Beliau tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang kuperbuat!”
“Kau
murid yang baik,” kata Wiro.
Si gadis
tundukkan pandangannya. “Sekarang kau sudah tahu semua riwayatku….”
“Belum
semua.”
“Maksudmu?”
“Aku
belum tahu siapa namamu…?”
“Lebih
baik kau tak perlu tahu namaku…”
“Begitu?
Umur dunia masih panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu kita bertemu
lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu namamu…”
“Ucapanmu
seperti kau memang bena-benar tak ingin membunuhku. Malah ingin bertemu lagi…”
Wiro
angkat tangan kirinya. Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan gerakan
perlahan dia melepaskan totokan di dada si gadis. Meskipun totokannya kini
terlepas namun si gadis itu tidak segera berdiri atau melompat menjauh.
Sepasang matanya kembali tampak berkaca-kaca.
“Kau
bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana kau suka. Asal saja kau berjanji tidak
akan mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi pengemis lalu menculik anak
perawan orang…. Ha…ha…ha. Tahu-tahu yang terculik anak jejaka!”
Sang dara
tutup wajahnya dengan kedua tangan. Wiro membantunya berdiri.
“Aku tak
akan melupakan kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini,” kata sang dara sambil
tundukkan kepala. “Kuharap di kemudian hari aku bakal membalasnya.”
Wiro
tersenyum mendengar basa-basi kuno itu. Dia melangkah menuju tepian telaga
dimana terletak pintu yang menuju ruangan batu. Sebelum masuk ke dalam
diambilnya dua buah obor dan diletakkannya di sudut ruangan, lalu pergi duduk
di salah satu kursi batu. Sesaat kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang
pintu.
“Biar
hatimu puas akan kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini.
Malam ini
juga aku akan berangkat ke Tanjung Karangwelang….”
“Ah,
namamu bagus. Tak pernah kudengar nama sebagus itu.” Sang dara kelihatan merah
parasnya.
“Untuk
apa kau ke Tanjung Karangwelang?” tanya Wiro kemudian.
“Mencari
Empu Tembikar. Kalau tidak karena dia, aku tak akan melakukan kejahatan itu….”
“Tak ada
gunanya. Dia hanya memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal kita si
pendengar harus mencerna dalam jalan pikiran yang sehat….”
“Tapi
walau bagaimanpun dia yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung jawab!”
“Terserah
padamu. Tapi malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh istirahat dari
kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada orang-orang
dari desa Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok malam….?”
Untuk
pertama kalinya gadis bernama Mantini itu tersenyum. “Aku ingin pergi ke puncak
sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di sana! Mudah-mudahan Tuahn masi mau
mengampuniku…” kata Mantini sesaat kemudian.
“Bagus
kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku lebih
suka tidur di tepi telaga…”
“Jika kau
suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini…” Wiro menggeleng.
“Kau
takut aku membokongmu secara pengecut?” tanya Mantini.
“Justru
kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!” kata Wiro pula lalu tertawa
gelak-gelak.
Keesokan
harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar di Tanjung
Karangwelang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak bernyawa dalam
kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak dapat dipastikan
apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment