Cincin Warisan Setan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
Hujan
turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi angin
bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran.
Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita
itu. Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas,
langit seolah-olah hendak runtuh!Nyanyian itu dinyanyikan berulang kali oleh
Ratu Mesum. Dan WiroBanyu Abang banyu yang sejukAir terjun Banyu Abang terletak
di gunung berapi yang telah mati.
“Hujan
keparat!” maki pemuda berpakaian putih yang lari di bawah hujan
lebat itu. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak
merasa perlu lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan
ditemukan tempat berlindung di dalam rimba belantara lebat itu.
Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung curahan air hujan.
Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. Sesaat wajahnya tampak
jelas dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia menyumpah dalam
hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar.
“Benar-benar gila!” makinya kembali.
Mendadak
orang ini hentikan larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang telinganya
yang tajam luar biasa mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk
seperti teriakan manusia. Dia pejamkan kedua matanya dan mendongak
ke langit.
“Setan
atau ibliskah yang menjerit di malam gila ini?” tanyanya pada diri sendiri.
“Kalau
memang itu jeritan manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia macam
mana pula yang hujan lebat begini, berada dalam rimba belantara pada
malam buta…..?” Orang ini tidak menyadari, dia sendiri secara aneh berada di
tempat itu!
Dia
membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan datangnya
suara jeritan yang sangat ramai itu. Beberapa pohon kecil yang
melintang di hadapannya dihantamnya dengan tangan kiri atau tangan kanan.
“Krak…..!
Krak…..!”
Batang-batang
pohon itu patah bertumbangan!
Makin
cepat dia berlari makin keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat ke
sumber suara. Mendadak suara jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari
hentikan gerakannya, memandang berkeliling, lalu menatap tajam ke
samping kanan. Samarsamar dalam gelapnya malam dan lebatnya curahan air
hujan, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berdiri dia melihat sesosok
tubuh tegak berkacak pinggang di bawah hujan lebat. Hati-hati sekali,
hampir tidak mengeluarkan suara pemuda tadi menyelinap di balik pepohonan
dan semak belukar, berusaha mendekati sosok tubuh yang ada di depannya.
Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari orang yang tegak
berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara tertawa
bergelak. Lelaki berpakaian putih yang coba mengintai tersentak kaget dan
cepat-cepat berlindung ke balik sebatang pohon. Dari sini dia meneruskan
pengintaiannya. Orang yang tertawa bergelak sambil bertolak pinggang
itu mengenakan pakaian serba hitam yang basah kuyup. Rambutnya terjurah
panjang, semula disangka soerang perempuan. Tapi setelah jelas kelihatan
raut wajahnya ternyata dia seorang lelaki bermuka cekung, berjanggut
dan berkumis lebat. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah
gelang akar bahar.
Kilat
menyambar dan! Orang yang mengintai
dari balik pohon merasakan jantungnya seperti copot!
Betapakan
tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang benderang sekilas,
pada saat itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia berkaparan
di tanah, di atas semak belukar, di antara pohon-pohon.
Semua
tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah masing-masing telah hancur
mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala serta otak berhamburan
di manamana. Air hujan yang tergenang tampak merah kehitaman.
“Pembunuhan
masal! Siapa yang melakukannya?!” membatin pemuda
yang mengintai. Tubuhnya terasa dingin sekali, sepasang lututnya terasa
goyah. Selama hidupnya dia telah melihat kematian, pembunuhan bahkan
dia juga telah berulang kali melakukan pembunuhan. Tapi kematian orang
seperti itu dengan kepala atau muka hancur, benar-benar satu hal luar
biasa. Dari pakaian yang dikenakan manusiamanusia malang itu, dari tombak,
pedang dan perisai yang bergelimpangan di selasela tubuh manusia,
jelas yang menemui kematian itu adalah serombongan pasukan. Entah
pasukan dari kadipaten atau keraton mana.
Di tengah
tumpukan mayat
itu, orang yang tertawa semakin keras tawanya. Sambil tertawa kepalanya
yang berambut panjang digoyang-goyangkan hingga air hujan yang
membasahi rambutnya berdesing melesat, menghantam pohon-pohon dan dedaunan.
Orang yang bersembunyi di balik pohon melengak kaget ketika menyaksikan
begaimana tetesan-tetesan air hujan yang dilesatkan rambut itu
menghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan meninggalkan lobang dalam
pada batang pohon!
“Dua
puluh sembilan hari menguntit dan
mengurung!”
Tiba-tiba orang berpakaian hitam berambut panjang itu
hentikan
tawa dan keluarkan ucapan. “Semua berakhir pada kematian!
Manusia-manusia
tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh kalian mengantar
nyawa di
dalam rimba belantara ini! Ha….ha…..ha….”
Orang di
tengah
gelimpangan
mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala. Seperti tengah
memperhatikan
sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali dia
tertawa
gelak-gelak. Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke
kiri.
Tangan kanannya diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari
jari
telunjuknya yang diacungkan lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga
cahaya
putih. Dua cahaya sebesar batang lidi, satunya lagi sebesar
batang
padi. Ketiga cahaya putih itu mengeluarkan suara seperti
lengkingan
seruling yang ditiup pada nada tinggi dengan kekuatan tiupan
dahsyat.
“Siut….siut….siut!
Brak!”
Batang
pohon di depan hidung pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon besar itu roboh
dengan suara bergemuruh!
“Keparat
setan alas!” maki lelaki berpakaian putih yang sembunyi di
balik
pohon besar itu. “Bangsat berjangut itu tahu kalau aku mengintai
di sini!
Gila, ilmu pukulan sakti apa yang dilepaskannya itu!” Secepat
kilat
orang itu jatuhkan diri ke tanah, menyusup ke dalam semak belukar
lalu
melompat satu tombak ke samping kanan dan berguling. Sepasang
telinganya
kembali mendengar suara melengking. Tanda orang berpakaian
hitam itu
melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga garis cahaya
putih
itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi hancur
dan
tumbang. Tapi pemuda yang tadi berhasil menyelamatkan diri saat itu
sudah
berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni melesat ke atas dan
bersembunyi
di atas cabang pohon, di antara kerimbunan daun-daun.
Ternyata
manusia yang menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia ada
di atas
pohon. Sebaliknya dari atas pohon dia dapat melihat jelas gerak
gerik
orang di bawah sana. Sesaat lelaki di atas pohon ini
berpikir-pikir,
apakah dia akan membalas serangan maut tadi dengan
pukulan
sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah menimbang akhirnya dia
memutuskan
untuk menunda.
Di bawah
pohon orang tadi kembali tertawa
gelak-gelak.
Lalu berteriak “Ada yang lolos rupanya! Tidak apa…. Biar
dia lari
dan memberitahu pada pangerannya! Ha…..ha…..ha…..!” Suara tawa
itu
sirap. Orang di atas pohon memutuskan inilah saatnya dia harus
melepaskan
pukulan untuk melumpuhkan orang di bawah sana. Tetapi.
Astaga!
Ketika memandang lagi ke bawah sambil siapkan pukulan, orang
berambut
panjang berpakaian hitam itu sudah lenyap entah ke mana!
“Sialan!
Aku terlambat!” maki pemuda di atas pohon.
Setelah
meneliti keadaan di bawah pohon sekali lagi sementara hujan
lebat
masih terus turu maka diapun melompat turun. Ketika masih
melayang
di udara itulah mendadak telinganya mendengar suara seperti
tiupan
seruling. Tiga larik cahaya putih yang sangat terang menyilaukan
berkiblat,
menyambar ke arahnya.
“Celaka!
Bangsat itu belum pergi
rupanya.
Dan kini dia kembali menyerangku!” Orang yang melompat turun
terkejut
dan memaki. Secepat kilat dia jungkir balik di udara lalu
membuang
diri ke samping kanan. Namun sambaran tiga cahaya datangnya
cepat
luar biasa. Berkiblat deras dan menghantam perutnya dengan telak.
Orang ini
keluarkan seruan keras, mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah,
di antara
gelimpangan mayat-mayat dan genangan air hujan campur darah!
“Ha…ha….ha….!”
Terdengar tawa bergelak dari belakang batang pohon
besar.
“Pengintai tolol! Kalau saja kau tadi terus lari tentu tak akan
mampus
percuma! Sayang! Kini tak ada yang akan memberi laporan pada
sang
pangeran! Ha…ha….ha….!”
Suara
tawa lwnyap. Keadaan di tempat
itu kini
hanya dihantui oleh deru air hujan, desau angin dan gemerisik
daun-daun
pepohonan. Tak selang berapa lama, sosok tubuh yang tadi
dihantam
tiga larik sinar dan terhempas ke tanah, perlahan-lahan tapak
bergerak
bahkan kini coba berdiri sambil pegangi perutnya. Ternyata
manusia
satu ini tidak mati. Dia tidak sampai menjadi korban tiga larik
sinar
maut yang dilepaskan oleh orang berpakaian serba hitam tadi.
Bagaimana
hal ini bisa terjadi? Jangankan tubuh manusia. Btang pohon
yang
besar dan keras hancur tumbang berantakan oleh hantaman sinar itu.
Pemuda
itu pegangi pakaiannya di bagian perut yang tampak bolong besar.
Bagian
tepi yang bolong itu seperti hangus terbakar berwarna kehitaman.
Pada
bagian pakaian yang berlubang itu tampak tersembul sebuah benda
putih
yang berkilauan setiap sinar kilat menyambar terang. Mukanya yang
tadi
pucat seperti kain kafan berangsur-angsur berdarah kembali dan
dari
mulutnya pemdua ini tak henti-hentinya memaki. Dia pegangi benda
putih
berkilat yang tersembul di depan perutnya, garukgaruk kepalanya
dengan
tangan yang lain lalu cepat menyelinap ke balik semak belukar.
Ada rasa
kawatir kalau-kalau orang yang tadi menyerangnya masih berada
di tempat
itu atau muncul kembali.
“Kapak
ini telah menyelamatkan
nyawaku…..”
kata lelaki berakaian putih yang kini pakaiannya penuh
lumpur
bercampur darah. Tengkuknya masih terasa dingin. Bukan oleh
karena
dinginnya udara atau dinginnya air hujan, tapi karena baru saja
menyadari,
kalau senjata mustikanya itu tidak tersisip melindungi
perutnya,
pastilah perutnya akan bobol amblas dihantam sinar ganas
tadi. Dia
segera pula menyadari bahwa senjatanya itu memiliki keampuhan
yang
tinggi dan tak sanggup dihantam pukulan sinar aneh dan mematikan
itu.
Ketika
dipastikannya keadaaan di tempat itu benar-benar telah
aman maka
diapun segera keluar dari balik rerimbunan semak belukar. Dia
coba
meneliti sekian puluh mayat yang terkapar mengerikan.
“Pasukan
yang
malang….. Pangeran dari mana yang mengutus kalian mencari mati di
tempat
ini….?” Orang itu geleng-geleng kepala. “Tak habis pikir
bagaimana
orang berjanggut tadi sanggup membunuh puluhan manusia ini.
dengan
sinar mautnya itu…..? Sinar maut hebat luar biasa, tapi ganas
mengerikan…..
Heh, apa yang harus aku lakukan? Tolol!” Orang itu memaki
dirinya
sendiri. Lalu menjaab pertanyaan sendiri. “Yang paling baik aku
harus
pergi dari sini. Rimba belantara ini lebih seram dari neraka!
Tempat
celaka apa ini! Gila!”
Maka
diapun bergerak pergi. Namun baru dua kali menindak melangkahi mayat-mayat di
tanah, mendadak terdengar bentakan garang.
“Berhenti!”
*****************
2
Bangsat!
Siapa pula yang membentak! Setan rimba belantara?! Eh,
mungkin
orang berjanggut tadi…..?!” Dengan sikap waspada dan
mengerahkan
tenaga dalam ke tangan kanan siap untuk mengahantam, dia
memandang
ke arah kegelapan dari mana suara bentakan tadi datang. Dia
melihat
sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu sosok tubuh kedua. Ketiga
….keempat.
Ketika dia memandang berkeliling, ternyata dia telah
dikurung
oleh enam orang berbadan besar. Masing-masing memegang
kelewang
panjang.
“Siapa
kalian?!” Lelaki berpakaian serba putih balik membentak.
“Randu
Ireng! Dua kali bulan pernama kami menguntitmu! Sekarang tak mungkin lepas!”
terdengar jawaban dari kegelapan.
“Randu
Ireng….?” Desis orang yang dikurung. “Siapa yang kalian maksudkan…..”
Terdengar
suara batuk-batuk di sebelah kanan, menyusul suara berkata
“Kami
tahu kelicikanmu. Kau bisa menyamar seribu kali dalam semalam.
Tapi kami
berenam tak mungkin kau tipu!”
“Gila!
Malam-malam buta, hujan lebat begini rupa dan disaksikan puluhan mayat celaka
kalian ini bicara apa sebenarnya?!”
“Dengar
Randu Ireng….”
“Setan
alas! Namaku bukan Randu Ireng….!” Hardik orang yang dikurung.
Keluar
jawaban. “Terserah kau mau memakai nama apa. Tapi yang jelas kau
sudah
kami kurung. Tak mungkin lolos walaupun kau bisa merubah diri
menjadi
seekor tuma! Kawan-kawan, apakah kalian lihat benda itu di jari
telunjuk
kanannya…..?”
Lima
suara menyahut.
“Kami
tidak melihatnya!”
“Dia a
pasti menyembunyikannya di balik pakaiannya!”
“Keparat!
Benda apa yang dimaksudkan enam jahanam gila ini?” ujar
pemuda
yang dikurung lalu meneliti jari telunjuk tangannya sendiri.
Jari
telunjuk tangan kanan itu memang tidak ada apa-apanya. Mengapa
orang-orang
itu sengaja memperhatikan jari telunjuk tangan kanannya?
Siapa
mereka sebenarnya dan siapa pula orang bernama Randu Ireng itu?
Selagi
dia bertanya-tanya seperti itu, kembali orang yang tegak di
hadapannya
dalam kegelapan membuka suara sementara hujan masih terus
turun
walau sekarang mulai mereda.
“Radu
Ireng! Serahkan cincin itu pada kami!”
“Betul!
Serahkan lekas. Dan kami akan mengampuni selembar nyawamu!” Orang di samping
kiri ikut bersuara.
Pemuda
yang tegak di antara tebaran mayat kembali memaki dalam hati.
Kemudian
dia tertawa gelak-gelak. Namun hatinya tetap saja jengkel.
“Kalian
orang-orang gila kesasar! Buka telinga kalian baik-baik dan
dengar
ucapanku. Aku bukan Randu Ireng! Aku tidak tahu menahu, tidak
mengerti
cincin apa yang kalian minta. Aku sama sekali tidak memiliki
cinicn,
atau kalung atau gelang. Ha…ha….ha….!”
“Dusta!”
“Bohong
besar!”
“Rupanya
dia tidak sayang nyawa!”
“Kalau
begitu tunggu apa lagi? Kita bantai saja!”
Enam
sosok tubuh bergerak maju, mendekar dan memperapat pengurungan.
Enam
batang kelewang panjang tergenggam erat dalan enam tangan kukuh,
melintang
di depan dada.
Sejarak
lima langkah, keenam orang itu
berhenti.
Orang yang dikurung memandangi wajah mereka satu persatu. Tak
seroangpun
yang dikenalnya.
“Kami
masih memberi kesempatan terakhir!” kata orang di samping kanan.
“Lekas
serahkan cincin itu!”
“Cincin
apa?!” tanya lelaki yang pakaiannya basah kuyup, penuh belepotan lumpur dan
darah.
“Jangan
pura-pura tidak tahu!”
“Cincin
apa lagi kalau bukan Cincin Kepala Ular Kobra Baja!” jawab orang yang tepat
berdiri di depan lelaki tadi.
Kini
berubahlah paras pemuda ini. dia pernah mendengar tentang benda
itu, tapi
tak pernah melihatnya. Cincin baja yang merupakan senjata
mustika
ganas. Tibatiba dia ingat pada orang berpakaian serba hitam
yang tadi
menyerangnya.
“Kalau
begitu…..” desisnya.
“Kalau
begitu apa?!” ucapannya langsung dipotong.
“Kalau
begitu orang berjanggut dan berkumis lebat tadi yang kalian maksudkan…..”
“Jangan
coba mengalihkan pembicaraan. Siapa yang kau maksud dengan manusia berjanggut
dan berkumis itu?!”
“Manusia
yang membunuh puluhan perajurit ini! Kalau dia tidak memiliki
senjata
ampuh luar biasa mana mungkin dia sanggup membunuh lawan
sebegini
banyak….”
“Dusta!
Bukankah kau sendiri yang telah membunuh
balatentara
dari Demak ini? Dan tentunya dengan mempergunakan cincin
keramat
itu!”
“Aku
tidak memiliki benda itu. bahkan aku sendiri
tadi
diserang bangsat itu. lihat pakaianku yang hangus dan berlubang
besar di
bagian perut ini…..”
Enam
orang di depannya menyeringai
mengejek.
Tak percaya tentunya. Yang di samping kiri berkata. “Kalau
diserang
dengan cincin sakti itu, saat ini kau bukan manusia lagi. Tapi
sudah
jadi bangkai dengan perut bobol!”
“Mungkin!
Tapi…… Ah,
percuma
saja aku menerangkan. Kalian tentu tak akan percaya…..” kata
pemuda
yang tegak di antara tebaran mayat. Dia merasa tak perlu
menjelaskan
bahwa senjata sakti yang dimilikinya telah menyelamatkannya
dari
hantaman tiga cahaya putih yang melesat keluar dari jari telunjuk
orang
berpakaian serba hitam itu.
“Ayo,
mana cincin itu. Lekas serahkan!”
“Aku tak
mau lagi bicara dengan kalian orang-orang gila! Aku bukan
Randu
Ireng. Aku tidak memiliki benda yang kalian cari! Sekarang beri
jalan,
kau mau lewat. Aku mau pergi dari tempat celaka ini!”
“Ragamu
boleh pergi tapi nyawamu tinggalkan di sini!”
Enam
kelewang. Bergerak naik ke atas.
“Kau akan
mampus percuma! Cincin itu akan kami ambil dari tubuhmu yang tercincang!”
Orang
yang terkurung dan hendak dibantai menyeringai lalu keluarkan
suara
bersiul. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Enam lelaki
bertubuh
besar dan bermuka garang serentak mundur dua langkah ketika
menyaksikan
senjata berbentuk kapak yang memiliki dua buah mata
terlihat
tergenggam di tangan kanan orang yang mereka sangka Randu
Ireng
itu. yang membuat mereka jadi terkesiap ialah melihat sinar
menggetarkan
yang keluar dari badan dan mata kapak, padahal keadaan di
situ
gelap sama sekali tak ada kilatan sinar yang memantul ke permukaan
kapak.
“Siapa
kau sebenarnya?!” Salah seorang dari enam pengurung bertanya.
“Kau
pasti tuli! Tadi-tadi aku sudah bilang aku ini bukan Randu Ireng!”
“Kalau
begitu coba katakan siapa kau adanya!”
“Kau
tidak perlu tahu!”
“Jika tak
berani memperkenalkan diri berarti kau memang Randu Ireng!”
“Kentut
busuk!”
“Senjata
apa yang ada di tanganmu itu?!”
“Kapak
Naga Geni 212!”
Enam
pengurung tersentak kaget. Mereka saling pandang.
“Kalau
begitu kau adalah pendekar muda Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng nenek sakti
dari Gunung Gede!”
Orang
yang memegang kapak tidak menjawab meskipun apa yang diucapkan orang di
depannya memang benar adanya.
“Kalau
begitu kami telah salah sangka. Harap dimaafkan keteledoran ini.
hanya
saja, apakah kau dapat menjelaskan apa yang terjadi di tempat
ini…..?”
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212, orang yang tadi hendak
dikeroyok
sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun
diam-diam
diapun ingin mengetahui siapa adanya manusia bernama Randu
Ireng dan
apa sebenarnya cincin baja berkepala ular itu.
“Aku
bersedia menerangkan apa yang kulihat di sini walaupun tak banyak, tapi harap
kalian mau mengatakan siapa kalian adanya….”
“Kami
berenam kakak beradik. Aku yang tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami dikenal dengan
julukan Enam Kelewang Maut….”
Wiro
Sableng kernyitkan kening. Kapak Naga Geni 212 disisipkannya
kembali
ke pinggang lalu berkata “Setahuku kalian adalah para pendekar
dari
golongan putih. Tapi gerak gerik kalian malam ini tidka beda
dengan
bangsa gerombolan rampok atau rombongan maling. Tidak disangka
kalian
selama ini disenangi ternyata bertindak tanduk memalukan….”
“Kami
mengakui telah kesalahan tangan,” kata Sebrang Lor. “Semua
terjadi
karena kejengkelan kami sudah sampai di puncaknya. Kami telah
menguntit
manusia bernama Randu Ireng itu hampir selama enam puluh
hari.
Malam ini ternyata kami menemui kegagalan lagi….. Nah, apakah kau
mau
menerangkan apa yang kau ketahui….?”
Wiro
menjelaskan tidak
banyak.
Mulai dari dia mendengarkan suara jeritanjeritan, sampai dia
mendapat
serangan, lalu lenyapnya si penyerang yakni lelaki berpakaian
serba
hitam, berjanggut dan berkumis.
“Mungkin
manusia yang menyerangku itulah Randu Ireng, orang yang kalian cari……”
“Barangkali…..
Manusia bernama Randu Ireng ini sebenarnya dia tidak
memiliki
kepandaian silat tinggi, apalagi ilmu kesaktian. Namun ada
satu
kehebatannya. Yaitu dapat menyamar secara lihay dan cepat. Lalu
karena
cincin keramat itu berada di tangannya, maka tak ada satu
orangpun
yang mampu mengahadapinya. Jangankan satu orang, seluruh
pasukan
kerajaan sanggup dihancurkannya dengan benda keramat itu…… “
“Kau
berulang kali menyebut cincin. Benda bagaimanakah sebenarnya cincin itu…..?”
Sebrang
Lor lalu memberi penuturan.
Dua belas
tahun silam, seorang nelayan muda yang diam di sebuah desa di
pantai
selatan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia bertemu dengan sesosok
mahluk
tinggi besar berjubah putih yang berjalan tanpa menjejak bumi.
Wajah
mahluk ini seram sekali. Memiliki sepasang kuping panjang mencuat
ke atas,
berambut gondrong dan bermata cekung dengan sepasang bola mata
putih
sedang bagian mayang seharusnya putih tampak sangat merah seperti
api.
Bagian hidungnya hanya merupakan sebuah lobang menjijikkan.
Bibirnya
mencuat oleh barisan gigi yang besar serta bertaring panjang.
Semua
gigi ini tampak basah oleh cairan berwarna merah darah. Lidahnya
juga
panjang dan selalu terjulur. Mahluk ini menuding dengan jari
tangannya
yang ternyata hanya merupakan tulang belulang tapi berkuku
panjang.
“Nelayan
muda…..” kata mahluk dalam mimpi itu. suaranya
membahana,
bumi seolah-olah bergetar. “Besok malam kau harus turun ke
laut!”
“Mana
mungkin.” Sahut nelayan itu ketakutan. “Sudah sejak
seminggu
ini hujan turun terus setiap malam. Tak mungkin menangkap ikan
dalam
hujan dan angin kencang……”
“Aku
memerintahkan kau turun ke laut bukan untuk menangkap ikan!”
“La…..lalu…..?”
Mahluk
itu menyeringai. Saat demi saat tubuhnya tampak bertambah besar
dan
tinggi. Ketika si nelayan mendongak mahluk itu sudah stinggi pohon
kelapa!
“Turun ke
laut. Kayuh perahumu ke pulau Pangiri dan
berhenti
di sebelah timur, kira-kira seratus kayuhan dari pulau. Kau
sama
sekali tidak boleh membawa jala. Hanya membawa sebuah pancingan
dan umpan
tunggal seekor ikan teri basah. Lemparkan kalimu ke dalam
laut dan
tunggu sampai ada yang menyentuh. Jika sudah terasa ada
sentuhan,
sentak kail itu dan kau akan mendapatkan seekor ikan aneh
berwarna
hitam. Ikan itu kau belah perutnya. Di dalam perut ikan akan
kau temui
sebuah cincin terbuat dari baja putih, berbentuk kepala ular
kobra.
Jika cincin itu kau kenakan di jari telunjukmu lalu jarimu kau
acungkan
ke depan sambil menggigit bibirmu sebelah bawah maka tiga
cahaya
putih menyilaukan akan melesat keluar dari sepasang mata dan
mulut
cincin kepala ular. Tapi cahaya halus itu merupakan kekuatan
dahsyat
yang sanggup menghancurkan gunung dan rimba belantara. Kau
boleh
menyimpan dan memiliki cincin itu sampai aku datang lagi memberi
petunjuk
lebih lanjut. Cincin itu sekali-kali tak boleh kau jual.
Karena
selain merupakan warisan, tujuh kerajaan dikumpulkan bersama tak
sanggup
membayar nilainya! Kau dengar itu nelayan muda……?”
“Kudengar
tapi…..”
“Tidak
ada tetapi-tetapian. Besok malam turun ke laut. Ada satu hal
harus kau
ingat. Setelah cincin kau dapatkan dari perut ikan, bakar
ikan itu
sampai hancur dan cemplungkan abu serta tulang belulangnya ke
dalam
laut. Jika kau sampai melupakan hal itu maka penjaga dan pemilik
lau
selatan akan menelanmu lumat-lumat. Kau tahu siapa penjaga dan
penguasa
laut selatan itu…..?”
“Tahu…..
Nyi Roro Kidul…..”
“Hemmm…..”
Mahluk setan dalam mimpi menyeringai. Lalu sosoknya lenyap.
Begitu
mimpinya berakhir, nelayan muda itu terbangun dari tidurnya lalu
terduduk
di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk termangu. Apakah akan
dibangunkannya
istrinya dan menceritakan mimpinya pada perempuan yang
tengah
hamil muda itu? Akhirnya setelah menganggap mimpi itu hanya
mimpi
biasa saja yang bisa terjadi pada diri setiap orang, nelayan itu
kembali
tidur. Keesokan harinya dia memang teringat kembali pada mimpi
itu,
namun karena tak mau memperdulikan maka menjelang siang segera
saja
dilupakannya. Dan pada malan harinya dia sama sekali tidak turun
ke laut
melainkan merangkuli tubuh mulus istrinya dan tertidur sambil
berpelukan.
Lewat
tengah malam dama kenyenyakan tidur mendadak
mahluk
berjubah putih berwajah setan itu muncul kembali. Kedua matanya
berapi-api,
taringnya mencuat, lidahnya terjulur dan meneteskan cairan
merah darah.
Lima jari tangannya menggapai ke depan seperti hendak
merobek
muka nelayan muda itu, membuat si nelayan menjerit dalam
tidurnya
hingga istrinya terbangun dan mengguncang tubuhnya.
“Ada
apa……?” tanya sang istri. “Kau bermimpi……?’
“Entahlah…..
Mungkin. Tapi aku tak ingat mimpi apa….. Ah sudahlah.
Tidur
saja kembali. Besok aku harus bangun pagi-pagi. Sudah janji
dengan
paklikmu untuk membantunya mengolah ladang…..”
Kedua
suami istri itu tidur kembali.
Hampir
menjelang pagi nelayan muda tadi mimpi lagi. Mahluk setan itu
muncul
lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah mengerikan. Dengan penuh
amarah
mahluk ini bertanya “Malam ini sesuai perintahku kau harus turun
ke laut.
Mengapa tidak kau laksanakan…..?”
“Aku….aku
lup…..lupa…..” jawab si nelayan.
“Dengar,
aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kesempatan
terakhir.
Malam besok kau turun ke laut. Jika tidak kau laksanakan maka
anakmu
kelak akan lahir cacat. Wajahnya akan seburuk wajahku….” Habis
berkata
begitu mahluk berwajah setan itupun lenyap. Kembali si nelayan
terbangun
dan tak dapat tidur sampai keesokan paginya. Sepanjang hari
sampai
sore dia lebih banyak duduk melamun sambil menghisap rokok,
duduk di
bawah cucuran atap pondoknya dan memandang ke tengah laut
sementara
hujan turun gerimis. Ada rasa takut dan ngeri kini dalam hati
nelayan
ini. takut kalau dia tidak mengikuti perintah mahluk seram itu,
kelak
anaknya lahir benar-benar akan cacat. Akhirnya malam itu,
meskipun
istrinya bertanya tak kunjung henti mengapa dia menyiapkan
perahu
dan turun ke laut, nelayan itu meninggalkan tepi pantai. Para
tetangganya
juga tampak keheranan menyaksikan. Tanpa peduli dia
mengayuhkan
perahunya ke tengah laut. Pulau Pangiri cukup jauh. Ombak
agak
besar dan hujan rintik-rintik yang turun saat itu setiap saat bisa
berubah
menjadi hujan besar lalu kalau sudah begitu badaipun datang
menyongsong!
Makin
jauh ke tengah laut ombak terasa makin besar dan
laut
menjadi ganas. Perahu kecil itu laksana sebuah sabut yang
dipermainkan
dan dihantam gelombang tiada henti. Air laut memenuhi
lantai
perahu dan harus cepat ditimba keluar kalau tak mau tenggelam.
Rasa
takut menyamaki diri nelayan muda itu. Dia mulai berpikirpikir
apakah
tidak sebaiknya kembali saja sebelum dia tenggelam di lanun
ombak dan
mati jadi santapan ikan-ikan buas. Namun rasa takut melihat
kenyataan
kalau anaknya benar-benar lahir cacat kemudian hari, membuat
nelayan
ini lebih baik meneruskan merancah laut menuju pulau Pangiri.
Hampir
menjelang tengah malam, dalam keadaan basah kuyup dan tubuh
letih
kehabisan tenaga akhirnya dia sampai juga ke pulau tujuan. Sesuai
pesan
mahluk setan itu dia hentikan perahu sekitar seratus kayuhan dari
pulau
Pangiri. Anehnya saat itu laut di tempat dia berhenti tampak
tenang
sekali, tak ada ombak apalagi gelombang. Sedang hujanpun
tiba-tiba
saja berhenti. Dengan tanagn gemetar nelayan itu mengambil
kailnya
lalu memasang umpan pada mata kali yakni seekor teri basah.
Lalu kail
dilemparkannya ke dalam laut. Tali pancingan diulur sampai
habis.
Dan dia menunggu dengan hati berdebar.
*****************
3
Nelayan
muda itu tidak tahu entah sudah berapa lama dia duduk di
atas
perahunya memegangi pancing. Tapi sampai tubuhnya jadi tambah
letih dan
tanagnnya pegal serta matanya terkantuk-kantuk masih belum
terasa
ikan atau apapun yang menyentuh mata kailnya. Dia mulai berpikir
mungkin
mimpi yang dialaminya itu benar-benar hanya mimpi biasa atau
mimpi
gila! Dia memutuskan untuk menunggu beberapa lama lagi dan
berusaha
mempersabar diri. Jika sampai sekian lama tak ada juga terjadi
apaapa
maka dia akan kembali pulang. Tak lama kemudian selagi
kesabarannya
hampir habis dan dia siap untuk pulang saja, mendadak
nelayan
ini merasakan sesuatu menyambar mata kailnya, keras sekali.
Secepat
kilat kayu pancingannya disentakkan lalu dibetot ke atas dengan
hati
berdebar.
Seekor
ikan berbentuk aneh berwarna hitam yang tak pernah dilihatnya
sebelumnya
menggelepar di mata kailnya. Cepat ikan ini dijatuhkannya ke
dalam
perahu, ditangkapnya dengan tangan kiri agar jangan sampai
mencemplung
lagi ke dalam laut. Diperhatikan dekat-dekat, binatang ini
memiliki
kepala yang seram. Kedua matanya menonjol lebar, ada sebentuk
taring
yang menonjol keluar. Lalu pada bagian atas depan di antara
kedua
mata terdapat lobang aneh. Di kedua sisi kiri kanan di bawah mata
terdapat
sirip tebal yang mencuat ke atas. Kepala ikan hitam ini
mengingatkan
nelayan itu pada kepala dan wajah mahluk seram dalam
mimpinya.
Jangan-jangan binatang ini penjelmaan mahluk itu.
Ingat apa
yang kemudian harus dilakukannya maka dari balik pinggang
celananya
dikeluarkannya sebilah pisau. Dengan tangan gemetar
ditorehnya
perut ikan itu. aneh, ternyata badan ikan itu atos sekali.
Dengan
susah payah bahkan sampai keringatan baru dia akhirnya dapat
memotong
bagian perutnya. Dengan ujung pisau dikoreknya isi perut
binatang
itu. Di antara isi perut yang berbusaian terlihat sebuah benda
putih.
Ternyata sebentuk cincin dengan ukiran kepala ular sendok.
Tangannya
gemetar ketika menyentuh cincin itu. Sesuatu yang aneh
tiba-tiba
terjadi. Si nelayan merasakan tubuhnya menjadi sangat enteng.
Pemandangannya
menjadi tajam dan pendengarannyapun demikian pula.
Cepat-cepat
cincin itu dimasukkannya ke dalam saku celana dan saku itu
diikatnya
dengan seutas tali.
Sesuai
perintah dalam mimpi, ikan
hitam itu
dibakarnya sampai hancur. Sisa pembakarannya dibuangnya ke
dalam
laut. Saat itu tiba-tiba kilat menyambar, guntur menggelegar dan
hujan
lebat turun. Laut mengganas, ombak menggila. Ketakutan nelayan
itu
segera kayuh perahunya meninggalkan tempat tersebut. Menjelang pagi
dia
sampai ke pantai. Di pantai dilihatnya istrinya sudah menunggu
dengan
cemas. Beberapa tetangga dan teman-temannya ikut menjemput ke
pantai.
Mereka semula heran ketika melihat perahu miliki nelayan muda
muda itu
penuh dengan ikan-ikan besar. Padahal si nelayan sama sekali
tidak
membawa jala. Tentu saja semuanya bertanya bagaimana dia bisa
melakukan
hal itu. Menangkap ikan demikian banyaknya! Selain itu
bukankah
udara sangat buruk dan hujan lebat turun terus menerus
sepanjang
malam? Yang lain memperbincangkan keberaniannya pergi melaut
seorang
diri. Nelayan itu sama sekali tak bisa menjawab apa-apa. Dia
juga
merasa heran bagaimana tahu-tahu dalam perahunya ada sekian banyak
ikan?
Tanpa berniat untuk memunggah isi perahunya, nelayan itu memegang
lengan
istrinya langsung mengajaknya pulang ke rumah.
Selama
tiga
hari tiga
malam nelayan itu jatuh sakit. Diserang demam panas yang
membuatnya
mengigau dan meracau sepanjang saat. Hari keempat baru
sakitnya
lenyap dan sepanjang hari dia duduk di depan rumah, memandang
jauh ke
tengah laut. Cincin baja putih berkepala ular yang ada dalam
saku
pakaiannya senantiasa digenggamnya erat-erat. Dia menjenguk ke
dalam
rumah. Istrinya sibuk di belakang. Dia menoleh ke kiri dan ke
kanan,
memandang berkeliling. Takut ada seseorang atau istrinya
tiba-tiba
muncul. Setelah pasti dia hanya sendirian maka cincin ular
kobra itu
dimasukkannya ke jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini
diacungkannya
lurus-lurus ke depan. Lalu dicobanya menggigit bibirnya
sebelah
bawah. Mendadak terdengar suara bersuit, seperti suara
seruling,
kencang dan menusuk liang telinga. Suara aneh itu disusul
dengan
melesatnya tiga cahaya putih, dua kecil, satu agak besar. Cahaya
ini
menyambar ujung atap rumahnya. Langsung atap rumah itu hancur
berantakan.
Membuat bukan saja si nelayan menjadi terkejut dan pucat
wajahnya
tapi sang istri yang sedang bekerja di belakang bergegas lari
ke depan
rumah untuk melihar apa yang terjadi.
Sore
harinya dengan
alasan
hendak memeriksa perahu, nelaayn itu meninggalkan rumah.
Diam-diam
dia pergi ke bukit yang terletak tak jauh di selatan
perkampungan.
Di hadapan sebuah pohon besar dia berhenti dan
mengeluarkan
cincin kepala ular kobra itu. Cincin dimasukkannya ke jari
telunjuk.
Jari ini diluruskannya, diarahkan ke batang pohon besar.
Bersamaaan
dengan itu digigitnya bibinya. Terdengar suara bersuit. Tiga
cahaya
putih berkiblat. Cahaya ini mengahantam batang pohon. Batang
yang dua
kali pemeluk manusia itu hancur berantakan dan pohon tumbang
dengan
suara gemuruh. Nelayan itu melompat ketakutan saking rasa tidak
percayanya.
Dengan perasaan campur aduk, setangah berlari nelayan itu
menuruni
bukit. Di tengah jalan dilihatnya sebuah batu gunung besar
hitam.
Dia ingin mencoba dan membuktikan keampuhan cincin sakti itu
kembali.
Cincin dikeluarkannya dipakainya lagi pada jari telunjuk.
Ketika
diacungkan ke arah batu sambil menggigit bibir, melengking suara
seruling
lalu sinar yang melesat keluar menghancur leburkan batu besar
itu
Sejak dia
memiliki cincin sakti tersebut si nelayan menunjukkan
perubahan
sikap. Hampir setiap hari dia selalu mengurung diri dalam
rumah
atau duduk termenung di bawah atap memandang ke tengah laut.
Perubahan
dirinya ini bukan saja mengherankan istrinya, tetapi juga
para
tetangga dan kawan-kawan. Namun sampai sebegitu jauh tak
seorangpun
mengetahui apa sebenarnya telah terjadi dengan dirinya,
termasuk
istrinya.
Pada masa
itu umumnya kampung-kampung nelayan
dan
desa-desa di sekitar pantai banyak yang berada dalam keadaan tidak
aman.
Para perompak atau bajak laut, jika tidak mendapatkan hasil
jarahan
di laut banyak yang turun ke darat melakukan perampokan,
merampas
harta benda penduduk termasuk bahan makanan serta melakukan
penculikan.
Kampung di mana nelayan muda tadi tinggal tak bebas dari
bencana
itu. Sejak setahun belakangan ini sudah dua kali bajak laut
mendarat
melakukan perampokan, perampasan penculikan dan pembunuhan.
Sore itu,
menjelang malam hujan baru saja mulai berhenti setelah turun
seharian.
Laut tampak tenang tak seorangpun nelayanpun berani turun
menangkap
ikan. Menurut pengalaman meskipun laut tampak tenang namun
sewaktu-waktu
udara atau cuaca bisa berubah mendadak. Selewatnya tengah
malam
kampung yang diselimuti kesunyian dan dibungkus udara dingin
berembun
yang mengandung garam itu tiba-tiba diramaikan oleh suara
kentongan.
Mula-mula suara kentongan ini terdengar dari pantai sebelah
timur.
Lalu merambat ke barat dan bersahut-sahutan dengan kentongan di
dalam
kampung sampai ke kaki bukit. Di mana-mana terdengar
teriakan-teriakan
“Perompak…..perompak!”
“Bajak
laut datang! Bajak laut datang!”
“Semua
orang lekas lari! Tinggalkan rumah kalian!”
“Selamatkan
diri!”
Serta
merta kampung nelayan itu menjadi hiruk pikuk. Orang-orang
perempuan
berpekikan. Anak-anak bertangisan. Orang-orang lelaki segera
mengumpulkan
anak istri mereka dan melarikannya ke tempat yang aman
jauh di
balik bukit. Beberapa pemuda bersenjatakan golok, kelewang dan
tombak
berkumpul membentuk barisan pertahanan, siap berjibaku. Tapi
kepala
kampung segera menemui mereka.
“Tak ada
gunanya melawan
perompak
itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita! Di samping itu
mereka
banyak memilki senjata-senjata hebat. Mungkin juga meriam besar!
Kalian
semua ikut kami menyelamatkan diri!”
Salah
seorang pemuda
menjawab.
“Kami tahu mereka lebih banyak. Tapi kami tidak takut! Kami
rela mati
demi kampung halaman.kalau bajak itu tidak diberi perlawanan,
mereka
akan selalu datang mengganggu!”
“Soal
perlawanan kita bicarakan nanti! Sekarang lekas angkat kaki dari sini! Tak ada
artinya jadi pahlawan sia-sia….!”
Baru saja
kepala kampung itu berkata begitu, dari tengah laut tampak
kilatan
api. Sesaat kemudian didahului oleh letusan menggelegar sebuah
benda
bulat bercahaya melayang menuju perkampungan.
“Mereka
menembakkan meriam!” teriak kepala kampung. “Lekas menyingkir!”
“Bajak
laut keparat! Dari mana mereka mendapatkan senjata pemusnah itu!”
maki
seorang pemuda. Tapi saat itu nyalinya sudah lumer dan buru-buru
dia
melarikan diri mengikuti kawan-kawannya yang telah menyingkir lebih
dahulu
bersama kepala kampung. Di tengah laut tampak sebuah kapal kayu besar
menurunkan lebih dari selusin perahu kecil yang masing-masing berisi empat
sampai lima orang. Bajak laut itu serentak mulai mengayuh
menuju
pantai perkampungan nelayan yang kini telah sunyi senyap
ditinggalkan
seluruh penduduknya.
*****************
4
Soma,
nelayan muda itu memegang lengan istrinya erat-erat.
Perempuan
yang hamil muda ini tak bisa berlari cepat karena takut
jabang
bayi dalam kandungannya mengalami cidera. Sekali dia terjatuh
bayi itu
bisa cacat. Hal itu juga yang dikhawatirkan Soma. Karenanya
mereka
tertinggal jauh dari penduduk kampung yang telah lari lebih
dulu.
Pada saat mencapai kaki bukit mendadak Soma ingat akan cincin
sakti
baja putih berkapal ular sendok yang ada dalam saku celananya.
Jika
cincin itu sanggup menghancurkan batang kayu dan batu besar,
berarti
terlalu mudah baginya untuk menghantam lumat tubuh manusia.
Selintas
pikiran muncul dalam benak Soma.
Maka
diapun berkata pada istrinya. “Istriku, aku akan antarkan kau
sampai ke
balik bukit itu bergabung dengan orang-orang sekampung…..”
“Lalu,
kau sendiri hendak ke mana…..?” tanya sang istri heran.
“Aku akan
kembali ke kampung…..”
“Kembali
ke kampung? Perompak-perompak itu akan membunuhmu!”
“Aku
harus kembali. Ada sesuatu yang akan kulakuan. Aku berjanji akan
menemuimu
lagi dalam waktu cepat. Kau tak usah kawatir…..”
“Tentu
saja aku sangat kawatir. Apa yang hendak kau lakukan, Kakak Soma?”
“Tidak…..tidak
apa-apa. Aku hanya sebentar.”
Sang
istri tetap tak mau ditinggal. Sebaliknya Soma bersikeras untuk
kembali.
Begitu sampai di bali bukit, nelayan muda ini tinggalkan
istrinya.
Telinganya seperti tidak perduli akan jeritan sang istri yang
tiada
henti memanggil.
Ketika
Soma sampai di kampungnya kembali
dilihatnya
puluhan bajak tengah menjarah isi rumah penduduk. Mereka
membawa
apa saja yang dianggap berharga termasuk ternak. Bajak-bajak
laut ini
tampaknya marah sekali tidak menemukan seorang pendudukpun di
perkampungan
itu. Padahal sebelumnya mereka sudah berniat untuk
menculik
anak gadis dan istri orang. Kemarahan kini ditumpahkan pada
rumah-rumah
penduduk yang segera mereka bakar dan hancurkan.
Soma
bersembunyi
di balik sebtang pohon yang bagian bawahnya penuh dengan
semak
belukar. Cincin baja putih dikeluarkan dari saku dan cepat
dikenakan
ke telunjuk tangan kanan. Perompak yang terdekat berada
sekitar
delapan tombak di seberangnya, tengah melangkah sambil
menggiring
seekor kambing. Soma kertakkan rahang. Dia tahu betul
kambing
itu adalah kambing mertuanya. Nelayan muda ini gigit bibir
sebelah
bawah. Suara seperti seruling melengking tinggi. Tiga cahaya
putih
melesat dari cincin baja berkepala ular kobra itu. anggota bajak
yang
tengah menggiring kambing tidak sempat mengetahui apa yang terjadi
dalam
dirinya. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dia mati tanpa
mengeluarkan
jeritan dengan kepala hancur. Kambing yang barusan
dicurinya
mengembik tiada henti dan lari dalam kegelapan malam.
Nelayan
muda itu tegak dengan lutut goyah tubuh gemetar serta tengkuk
dingin.
Keringat mericik di keningnya. Wajahnya seputih kertas. Seumur
hidup dia
tak pernah membunuh manusia. Malam itu dia melakukannya. Dan
dia
menyaksikan kematian perompak itu begitu mengerikan. Semula hendak
ditinggalkannya
tempat itu dan lari ke bukit saking takutnya. Namun
ketika di
bagian lain dia menyaksikan para anggota bajak menghancurkan
dan
membakar rumah-rumah penduduk, darahnya terbakar kembali. Soma
menyelinap
dalam kegelapan. Dua bajak ditemuinya dekat surau kampung,
siap
membakar bangunan itu. Soma angkat tangan kanannya, diacungkan
lurus-lurus
ke arah punggung bajak yang siap melemparkan obor ke atap
surau
yang terbuat dari rumbia. Soma gigit bibirnya. Dan suara seruling
melengking.
Tiga cahaya putih berkiblat. Bajak itu keluarkan pekikan
maut.
Tubuhnya terpental menghantam dinding surau lalu terkapar di
tanah tak
berkutik lagi. Bajak yang satu lagi tentu saja kaget bukan
kepalang.
“Hai! Kau
kenapa?!” tanyanya berseru lalu membungkuk
meneliti
keadaan kawannya ini. Mukanya kontan mengerenyit ngeri ketika
melihat
punggung kawannya yang berlobang hancur dan darah menyembur!
Dia
berdiri kembali sambil memandang berkeliling. Pada saat itulah ada
tiga
larik cahaya putih menyilaukan menderu ke arahnya. Cepat dia
melompat
ke samping, tapi terlambat. Cahaya itu menghantam lebih cepat,
tepat
pada keningnya. Separuh kepalanya sebelah atas hancur. Tubuhnya
tergelimpang
tanpa nyawa!
Tiga
orang kawannya yang kemudian muncul
di tempat
itu sangat terkejut serta merta melakukan pemeriksaan. Salah
seorang
menyuruh kawannya memberi tahu pemimpin mereka.
“Dia
dibokong
dari belakang. Punggungnya hancur! Tapi lukanya aneh. Ini
bukan
seperti bekas tusukan pisau atau pedang. Mungkin ditusuk dengan
tombak
besar…..gila! Siapa yang melakukan.”
Bajak
yang satu berdiri
dengan
muka tegang. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Seperti tiupan
suling
yang sangat nyaring. Dia berpaling ke kiri, arah datangnya suara
itu.
Justru saat itu pula tiga larik sinar putih menghantam perutnya.
Anggota
bajak ini menjerit dan terlipat ke depan. Perutnya ambrol.
Darah dan
usus memberurai keluar. Kawannya yang satu lagi berteriak
tegang
dan melompat. Dia melihat jelas ada cahaya putih yang menyambar,
menghantam
perut kawannya. Namun dia tidak tahu pasti cahaya apa. Dia
memandang
ke arah kegelapan. Rasa takut menggerayangi dirinya. Serta
merta dia
putar tubuh tinggalkan tempat itu. Namun dia baru lari tiga
langkah
ketika suara seruling kembali menggema dan sinar putih
menghantam
pinggangnya sampai putus!
Soma
kepalkan tangan kirinya.
Lima
bajak laut yang ganas-ganas telah dibunuhnya. Seperti kesetanan
dia
menyelinap ke jurusan lain untuk mencari anggotaanggota bajak
lainnya.
Siap untuk membunuh mereka dengan kekuatan sakti cincin baja
ular
kobra yang ada di jari telunjuk tangan kanannya.
Ketika
Boga Damar, pemimpin bajak laut sampai di tempat tersebut bersama dua orang
anak buahnya, membeliak matanya.
“Mereka…..
Gila! Mereka mati…. Mereka dibunuh!” teriaknya marah.
Baru saja
dia berteriak, di kejauhan terdengar jeritan beberapa kali berturutturut.
“Hai! Ada
cahaya putih berkelebat di sebelah sana!” seru salah seorang bajak.
“Mungkin
sambaran petir…..!” kawannya menduga.
“Jangan
ngacok!” sentak Boga Damar, marah dalam keterkejutannya. “Malam
ini
memang mendung, tapi tak ada hujan yang akan turun. Lagi pula mana
ada petir
tanpa geledek?!”
Si anak
buah terdiam tak berani menyahuti. Namun dalam hatinya tetap saja dia heran dan
bertanya-tanya.
“Dengar…..
Ada jeritan lagi! Susul menyusul!” kata bajak satunya lagi.
“Setan
alas! Apa yang sebenarnya terjadi!” Boga Damar mendadak menjadi
tegang.
Dia memberi isyarat agar dua anak buahnya mengikuti. Ketiganya
meninggalkan
empat bajak yang telah menemui kematian itu tanpa
melakukan
pemeriksaan. Mereka lari ke jurusan timur kampung, dari arah
mana
jeritan-jeritan itu tadi terdengar dan cahaya-cahaya aneh tampak
berkiblat.
Sampai di sebuah lapangan kecil di mana para anggota bajak
mengumpulkan
barang-barang jarahannya sebelum diangkat ke atas kapal,
Boga
Damar menyaksikan pemandangan yang sangat mengejutkan dan hampir
tak dapat
dipercayainya. Bulu kuduknya merinding. Sembilan anak buahnya
menggeletak
malang melintang di tanah. Mereka menemui ajal dengan salah
satu
bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu dua orang lagi terlihat mati
dengan
cara sama dekat reruntuhan sebuah rumah. Empat lainnya di bawah
pohon dan
dua lagi di antara tumpukan barang-barang rampasan.
Rahang
menggelembung, pelipis bergerak-gerak dan kedua tangan terkepal
serta
merta mendelik Boga Damar membentak. “Siapa yang melakukan ini
semua?
Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Tentu
saja tak seorangpun anak buahnya dapat memberikan jawaban.
“Ada yang
tak beres di tempat ini…..!” sentaknya lagi.
“Mungkin……mungkin
ada setan atau jin……!”
“Aku tak
percaya segala macam setan ataupun jin!” memotong kepala bajak ketika anak
buahnya coba membuka mulut.
“Tapi
Boga, kau tahu sendiri. Tak seorang pendudukpun kelihatan di tempat ini. atau
mungkin seorang sakti…..”
“Kalau
memang ada akan kupatahkan batang lehernya!” tukas Boga Damar garang.
Mendadak
terdengar suara melengking.
“Hai!
Tiupan seruling itu!” seru salah seorang bajak. “Tadi kudengar
berulang
kali sebelum disusul jeritan. Ada cahaya menyambar ke mari……!”
bajak itu
cepat melompat ke samping. Tiga larik sinar putih melesat dan
di
belakang sana seorang perompak tubuhnya terpental jauh lalu
tergelimpang
mati dengan dada berlubang hancur!
Boga
Damar dan yang
lain-lainnya
lari memburu namun gerakan mereka tertahan dan semuanya
terpaksa
selamatkan diri cerai berai ketika sinar puih aneh kembali
berkiblat
dan dua orang di antara mereka terdengar menjerit lalu roboh
tergelimpang.
Satu menemui ajal dengan leher hampir putus, satunya lagi
merintih
sesaat sambil pegangi perutnya yang memburai lalu kaku tak
bergerak
lagi!
“Bangsat!
Siapa yang melancarkan serangan gelap
ini!”
rutuk Boga Damar sambil bertiarap. Namun mulutnya serta merta
terkancing
dan lidahnya menjadi kaku ketika anak buahnya yang ikut
bertiarap
di sebelah kanannya kembali menemui kematian dengan cara
mengerikan,
batok kepala hancur disambar tiga larik sinar putih
mengerikan
itu!
Boga
Damar adalah seorang kepala bajak berhati
ganas dan
tidak kenal takut. Membunuh manusia sama mudahnya baginya
dengan
membalikkan telapak tangan. Berbagai lawan telah dihadapinya
tanpa
rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya tak dapat lagi
dikendalikan.
Dia tidak tahu dengan lawan atau kekuatan apa sebenarnya
dia
tengah berhadapan. Dan musuh tanpa kelihatan seperti itu, mana
mungkin
dia menghadapinya.
“Kalian
semua lari ke perahu!” kata Boga
Damar
masih tetap tiarap. “Kembali ke kapal! Bawa barang rampasan yang
bisa
dibawa! Lekas!”
Enam
anggota bajak yang tadi sama-sama
bertiarap
di tanah cepat berdiri. Namun dua di antaranya segera roboh
kembali
ketika sinar putih aneh tiba-tiba muncul lagi dan menyambar
tubuh
mereka. Yang empat terus kabur sementara Boga Damar yang melihat
kejadian
itu dan semula hendak merangkak bangun cepat jatuhkan diri
lalu
berguling beberapa kali sampai akhirnya dia dapat berlindung di
balik
reruntuhan rumah. Dari sini dia memandang tajam menembus
kegelapan
di arah sederetan pohon waru di ujung timur lapangan. Suara
lengkingan
aneh seperti seruling serta sambaran cahaya putih yang
menyebar
maut itu datangnya dari balik deretan pohon-pohon waru itu.
Kepala
bajak ini hunus golok besarnya lalu berkelebat cepat ke balik
rumah-rumah
penduduk, melompat ke arah semak belukar hingga akhirnya
dia
sampai ke dekat pepohonan waru. Sejak saat dia mulai melakukan
penyelinapan
itu sampai akhirnya mencapai deretan pohon-pohon waru lima
anak
buahnya telah menemui ajal pula dihantam tiga larik sinar maut.
“Ini
pasti biang keparatnya!” serapah Boga Damar ketika dia melihat
sesosok
tubuh tegak di balik pohon waru paling ujung kanan sambil
mengangkat
tangan dan acungkan jari telunjuk. Dari jari telunjuk inilah
kepala
bajak itu mendengar ada suara seruling aneh melengking menusuk
telinga
yang disusul oleh semburan tiga larik sinar terang. Lalu di
kajauhan
sana terdengar suara anak buahnya menjerit meregang nyawa.
Dengan
golok besar di tangan, Boga Damar melompati orang yang tengah
melakukan
pembataian itu. Goloknya berdesing, langsung menyambar batang
leher!
Seperti
diketahui Soma adalah seorang nelayan yang sama
sekali
tidak memiliki ilmu kepandaian silat apalagi kesaktian dan
tenaga
dalam. Namun dengan adanya cincin keramat baja putih erbentuk
kepala
ular kobra atau ular sendok itu maka dia berubah menjadi seorang
luar
biasa. Matanya dan pendengarannya menjadi sangat tajam. Karenanya,
sebelum
Boga Damar membabatkan goloknya, Soma telah mendengar
kedatangan
kepala bajak itu. Cepat dia membalikkan tubuh lalu jatuhkan
diri ke
tanah ketika golok menyambar, mengenai tempat kosong dan
menghantam
pohon waru hingga batang pohon ini hampir terbabat putus.
“Bangsat!
Manusia atau jin! Kau tak akan bisa lolos dari golokku!”
teriak
Boga Damar. Dia menyergap ke arah Soma. Golok besarnya meluncur
lebih
dulu.
Senjata
ini seperti buntut ikan yang menggelepar,
bergetar
kian ke mari seolah-olah berubah menjadi banyak. Jelas kepala
bajak
laut ini sengaja mengeluarkan kepandaiannya memainkan golok
karena
ingin mencincang Soma saat itu juga. Melihat golok datang
menderu
sedemikian rupa, kecut juga hati nelayan muda itu. tetapi
cincin
keramat yang ada dalam jari telunjuknya membuat Soma percaya
diri
sendiri dan tidak memandang sebelah mata pada lawan. Ujung golok
hanya
tinggal tiga jengkal dari kepala Soma ketika nelayan ini acungkan
jari
telunjuknya ke arah Boga Damar, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Boga
Damar seperti mendengar angin puting beliung melabrak kedua
telinganya.
Selagi serangan goloknya mengendur karena terkejut dan
terpengaruh
oleh bunyi yang nyaring tadi, saat itu pula tiga sinar
halus
menyilaukan datan menyambar dari depan. Boga Damar tahu betul,
sinar
aneh inilah yang telah membunuh lebih dari dua lusin anak
buahnya.
Maka kepala bajak ini lemparkan goloknya ke arah dada Soma. Di
saat yang
sama serentak dia menghantam dengan tangan kiri.
Ternyata
golok
Boga Damar tidak cukup ampuh. Senjata ini terpental berantakan
disambar
tiga larik sinar putih. Lalu sebelum pukulan tangan kirinya
sempat
mengenai Soma, tiga sinar yang keluar dari dua mata dan mulur
cincin
ular kobra menghantam mukanya dengan telak. Kepala bajak ini
hanya
sempat keluarkan pekik pendek. Tubuhnya mental ke balakang.
Ketika
tergelimpang di tanah, tubuh itu tampak tanpa kepala lagi!
Puluhan
anggota bajak yang masih hidup menjadi gempar ketika mengetahui
pimpinan
mereka telah menemui ajal. Enam orang di antara mereka dengan
marah dan
kalap, emmegang berbagai macam senjata segera mengurung dan
menyerbu
Soma. Namun mereka semuah hanya menjadi sasaran empuk sambaran
tiga larik
sinar putih, mati bergelimpangan dengan badan dan kepala
hancur!
Melihat
hal ini anggota bajak yang masih hidup menjadi
lumer
nyali masingmasing dan mereka bersirebut cepat lari ke pantai
memasuki
perahu-perahu kecil. Soma yang sudah sejak lama mendendam oleh
keganasan
para bajak itu mengejar sampai ke tepi pasir. Dari sini,
dengan
sinar putih yang keluar dari cincin baja keramat itu
dihancurkannya
satu persatu perahu-perahu itu hingga tak ada satupun
yang
tinggal utuh. Para bajak terjun berhamburan ke dalam laut. Namun
mereka
tidak menemukan selamat karena sinar putih yang datang
menghantam
mereka semua terjengkang mati dalam air!
*****************
5
Ketika
Soma kembali ke balik bukit di ujung kampung, istrinya masih
menangis
ditemani oleh kepala kampung bersama istrinya. Begitu Soma
datang
sang istri langsung memeluknya.
“Soma……!
Dari mana kau?!” Kepala kampung nelayan bertanya.
“Sa…..saya
barusan dari kampung kita…..”
“Kau
mencari mampus Soma! Masih untung kau bisa kembali selamat. Apa yang kau
lakukan di tempat itu…..?!”
“Melihat
perampok itu mati terbunuh.”
“Mati
dibunuh? Jangan melantur Soma! Siapa yang membunuh mereka…..?”
“Saya
tidak tahu…..” sahut Soma sementara penduduk kampung nelayan itu
semakin
banyak mengelilingi Soma dan kepala kampung, mereka ikut
mendengarkan
pembicaraan. “Perahu-perahu mereka hancur. Saya lihat juga
banyak
bajak itu yang menemui ajal di laut. Kapal kayu milik mereka
melarikan
diri dengan sisa-sisa bajak yang tidak seberapa jumlahnya…..”
Kepala
kampung memandang berkeliling pada penduduk yang mengungsi itu.
semua
jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Soma memegang tangan
istrinya.
Lalu berkata “Jika kalian tidak percaya, lihat saja ke
kampung.
Mayat-mayat perompak itu harus disingkirkan sebelum menjadi
busuk.
Aku dan istriku akan kembali ke kampung….”
Sesaat
setelah Soma dan istrinya pergi, kepala kampung kembali memandang berkeliling.
“Bagaimana menurut kalian….?” Tanyanya.
“Kami
rasa Soma tidak berdusta…..” seorang nelayan menjawab. “Kalau
bajak
masih gentayangan di kampung kita masakan ia mau kembali bersama
istrinya….”
“Kalau
begitu….” Kepala Kampung itu berpikir-pikir
sejenak.
“Kita kembali. Aku dan lima orang di atara kalian pergi lebih
dahulu.
Yang lain-lain mengikuti agak jauh di belakang. Hingga kalau
terjadi
apa-apa yang di belakang bisa cepat menyelamatkan diri….”
Ketika
kepala kampung dan lima orang penduduk yang kemudian disusul
oleh
seluruh pengungsi itu sampai dan kembali ke kampung mereka, selain
sedih
melihat rumah mereka banyak yang dirusak serta dibakari sedang
harta
benda juga banyak rusak dan hanyut di laut, penduduk juga heran
bercampur
gembira menyaksikan puluhan anggota bajak menemui
kematiannya.
Gembira karena kini manusia-manusia jahat penimbul
malapetaka
itu mendapat balasan dan ganjaran. Heran karena sulit
menerka
siapa yang telah melakukan itu semua. Membunuh sekian banyak
anggota
bajak laut bahkan pemimpinnya sendiri. Lalu menghancurkan
belasan
perahu. Di antara penduduk ada yang menaruh wasangka bahwa
Somalah
yang melakukan itu semua. Tetapi tentu saja lebih banyak yang
tidak
bisa mempercayainya. Soma, seoerang nelayan muda yang masih harus
banyak
belajar tentang bagaimana menangkap ikan dengan segala
kesederhanaannya
itu, mana mungkin dia mampu melakukann itu. Seorang
diri
pula? Ilmu silat dan kesaktian apa yang pernah dimilikinya?
Sewaktu
ditanyai dan didesak terus menerus Soma akhirnya menjawab.
“Ketika
saya kembali ke kampung, pemimpin bajak dan anak buahnya itu
sudah
bergelimpangan mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuh mereka.
Mungkin
Tuhan telah mengirimkan uluran tanganNya untuk menolong kita
yang
selama ini selalu ditimpa bencana….”
Adapun
Soma sendiri sejak
kejadian
itu hampir selalu mengurung diri dalam rumah. Cincin keramat
baja putih
senantiasa disimpannya dalam saku celanaya dan diikatnya
erat-erat.
Setiap saat peristiwa mala itu seolah-olah terbayang terus
di ruang
kepalanya, membuatnya sulit tidur dan sukar makan. Membunuh
sekian
puluh manusia menimbulkan kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan
muda ini.
Dia lebih banyak bermenung dan jarang bicara dengan istrinya
sendiri,
apalagi dengan para tetangga.
Perobahan
sikap tabiat Soma
ini tentu
saja membuat heran sang istri dan juga tetangga-tetangga.
Hingga
mau tak mau kembali penduduk kampung berkesimpulan bahwa pasti
ada
hubungan tertentu antara Soma dengan peristiwa yang menggemparkan
malam
itu. Peristiwa tersebut akhirnya tersiar pula ke desa-desa dan
kampung-kampung
terdekat. Banyak di antara penduduk yang sengaja datang
untuk
melihat sendiri sisasisa kejadian itu. dan karena desas-desus
yang
dipergunjingkan selalu membawabawa nama Soma maka tentu saja
banyak
orang datang mengunjunginya. Lama-lama hal ini membuat nelayan
itu
merasa sangat terganggu. Selain itu dia khawatir rahasianya akan
terbongkar.
Maka setiap hari dia lebih banyak mengucilkan diri ke dalam
rimba
belantara di balik bukit. Menjelang malam dia baru kembali ke
rumah.
Apa yang telah terjadi di kampung nelayan itu sampai pula ke
telinga
seorang abdi dalam keraton yang dia di Bantul. Bersama beberapa
orang
sahabatnya abdi dalem ini mendatangi kampung nelayan guna mencari
keterangan
lebih jelas. Atas saran penduduk mereka juga berusaha
menemui
Soma, tapi nelayan ini telah lebih dulu melenyapkan diri ke
tempat
persembunyiannya dalam hutan.
Selama
berada dalam tempat
persembunyiannya
di hutan, setiap saat Soma merenung. Dengan memiliki
cincin
keramat dan sakti itu kini dia telah menjadi seorang
berkepandaian
tinggi, berkemampuan luar biasa. Kepandaian dan
kemampuan
seperti itu mungkin tak satu orang lainpun memilikinya. Bukan
saja para
adipati atau tumenggung, atau patih kerajaan, bahkan Sultan
sendiripun
mungkin tidak mempunyai kehebatan seperti itu. Kemudian
memikir
kalau dia jadi nelayan terus menerus, apa yang bakal didapatnya
dalam
masa hidup mendatang? Apa salahnya kalau dia kini berusaha
mencari
kedudukan di kotaraja, menjadi pasukan pengawal raja atau
kepala
pengawal istana. Atau mungkin juga kepala balatentara kerajaan?
Jadi
tumenggung atau adipati atau mapatih kerajaan? Membayangkan
kedudukan
yang tinggi itu serta kemampuan luar biasa yang dimilikinya,
bulatlah
tekad Soma untuk pergi ke kotaraja. Di sana dia kenal seorang
tumenggung
yang ketika ayahnya masih hidup mempunyai hubungan baik
dengan
sang tumenggung. Malam harinya begitu sampai di rumah Soma
segeramengatakan
pada istrinya bahwa besok dia akan berangkat ke
ktoaraja.
Apa tujuannya sama sekali tidak diceritakannya pada perempuan
itu.
Tentu saja sang istri terheran-heran mendengar maksud suaminya.
Namun
menyadari bahwa Soma tak bisa dicegah maka sang istri hanya bisa
meminta
agar Soma lekas kembali. Yang penting kalau dia melahirkan
beberapa
bulan di muka Soma harus ada di sampingnya. Soma berjanji akan
kembali
sebelum istrinya melahirkan.
Tumenggung
Cokro Buwono tentu
saja
gembira mendapat kunjungan anak bekas sahabatnya di masa muda.
Namun dia
jadi terkejut ketika mendengar permintaan Soma agar dia
membantu
mendapatkan pekerjaan sebagai kepala pengawal istana di
kotaraja.
“Soma,”
kata sang tumenggung. “Hidup dan bekerja sebagai
nelayan
hampir tidak ada bedanya dengan seorang anggota pasukan
keraton.
Malah bagiku yang sudah tua ini jika harus memilih, aku akan
lebih
suka jadi soerang nelayan. Hidup lebih tenang, dekat dengan alam
ciptaan
Tuhan dan tidak memiliki tanggung jawab yang besar…..”
Ketika
Soma mendesak agar Cokro Buwono membantunya mendapatkan
kedudukan
yang diinginkannya itu, sebenarnya tumenggung ini ingin
mengatakan
bahwa untuk jadi kepala pengawal, jangankan kepala pengawal,
kepala
regu pengawal sajapun sangat berat ujiannya. Dan dia tahu
sebagai
seorang nelayan di sebuah kampung pantai selatan Soma tidak
memiliki
kepandaian apa-apa yang dapat dijadikan dasar keprajuritan.
Dan jadi
kepala pengawal bukan main-main karena harus mempertanggung
jawabkan
keselamatan raja beserta keluarganya.
“Jika kau
memang
sudah
tidak suka jadi nelayan, dan ingin merubah jalan hidup, aku bisa
memberikan
pekerjaan padamu di sini Soma. Asalkan jangan jadi
perajurit…..”
“Terima
kasih tumenggung. Saya tak ingin cari
pekerjaan
lain, selain jabatan seorang perwira di istana. Kalau
tumenggung
tak bisa menolong tak jadi apa. Hanya bisakah tumenggung
membuat
sepucuk surat untuk memperkenalkan saya pada mapatih
kerajaan…..?”
Tentu
saja Cokro Buwono tidak mau meluluskan
permintaan
Soma itu. dia tahu siapa adanya Soma dan tak mau mendapat
malu
mengirimkan soerang pemuda yang mungkin bisa dianggap “kurang
waras”
menemui patih kerajaan.
“Kau
pulang sajalah Soma. Aku akan
memikirkan
permintaanmu itu dan memberi tahu kalau memang ada
kemungkinan
satu jabatan bagimu dalam lingkungan istana….” Kata Cokro
Buwono
akhirnya.
“Saya
tahu…..” kata Soma dengan nada kecewa sambil tundukkan kepala.
“Saya
memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk jadi bekal seorang
perajurit.
Tetapi jika saja tumenggung dapat memberikan satu ujian,
niscaya
saya akan dapat melakukannya….”
“Ujian
untuk jadi seorang
perajurit,
apalagi yang bertugas dalam lingkungan istana tidak ringan.
Salah-salah
bisa membawa celaka diri sendiri bahkan kematian!”
“Apapun
akibatnya akan saya tanggung,” jawab Soma dengan masih terus menundukkan
kepala.
Tumenggung
Cokro Buwono tak tahu apa lagi yang harus diucapkannya.
“Apakah
kau sanggup berkelahi empat puluh jurus melawan perwira
penguji?
Apakah kau sanggup menunggang kuda dan membalap binatang ini
ke puncak
bukit sambil melemparkan tombak ke sasaran yang sudah
ditentukan
dan harus kembali ke kaki bukit pada hitungan ke seratus?
Apakah
kau berani diuji mengahadapi seekor raja hutan…..?”
“Menurut
hemat saya yang bodoh ini, cara menguji seorang kesatria seperti itu sudah
kuno……”
Terbelalak
Tumenggung Cokro Buwono mendengar ucapan Soma itu. “Lantas
ujian
mana yang menurutmu lebih pantas?!” Tumenggung ini mulai
kehilangan
kesabaran. Apalagi saat itu dia harus menghadiri satu
pertemuan
penting.
“Mohon
maafkan saya tumenggung,” ujar Soma yang
melihat
kekesalan orang. “Kalau saya tidak salah dengar saat ini para
pemberontak
yang datang dari utara semakin menunjukkan gerakan-gerakan
yang
berbahaya. Terlebih setelah mereka merasa mendapat dukungan dari
beberapa
adipati di timur. Bagaimana kalau menghancurkan sarang-sarang
pemberontak
itu dipergunakan sebagai batu ujian bagi saya……?”
“Maksudmu
kau akan memimpin sejumlah pasukan untuk menumpas mereka….?”
Soma
menggeleng. “Saya hanya perlu petunjuk di mana letak sarang
mereka,
siapa-siapa pemimpin mereka. Lalu saya akan menumpasnya seorang
diri!”
Tumenggung
Cokor Buwono tertawa gelak-gelak sampai kedua
matanya
berair. Ingin sekali dia menampar mulut pemuda yang lancang
itu.
Kalau tidak ingat dia adalah putera almarhum sahabatnya di masa
muda
pasti itu sudah tadi-tadi dilakukannya. Apa yang diucapkan Soma
tentu
saja sangat menghina dan merendahkan kewibawaan apra perwira
istana,
para adipati dan tumenggung dan mapatih kerajaan!
“Soma…..Soma.
Kau tahu. Untuk melakukan penumpasan, belasan adipati,
puluhan
perwira kerajaan, mapatih dan para tumenggung, bahkan dengan
petunjuk
raja sendiri akan memakan waktu lama untuk merundingkan apa
yang
harus dilakukan dan bagaimana musti melakukannya. Dan di hadapanku
kau
berkata sanggup menghancurkan mereka seorang diri. Dewa apa yang
masuk ke
dalam tubuhmu hingga kau bicara demikian kerennya?”
Soma
tersenyum kecil.
“Tumenggung
Cokro,” katanya. “Tentu sudah mendengar peristiwa
menggemparkan
kematian puluhan bajak berikut pemimpin mereka yang
bernama
Boga Damar di kampung kami…..”
Tumenggung
berjanggut putih itu mengangguk.
“Seorang
abdi dalem dari Bantul menceritakan padaku beberapa waktu
lalu.
Hanya aku tidak tahu kalau ku berasa dari kampung yang sama….
Sampai
saat ini tidak satu orangpun yag mengetahui apa sebenarnya telah
terjadi.
Tidak satu orangpun tahu siapa yang telah menghancurkan
gerombolan
perompak itu!”
“Kalau
saya mengatakan siapa sebenarnya
pelaku
penghancur bajak itu, apakah tumenggung mau merahasiakannya dan
berjanji
tidak akan menceritakannya pada siapapun….?” Bertanya Soma.
“Aha….
Rupanya kau mengetahui sesuatu di balik keanehan yang
menggemparkan
itu. Kau tahu rajapun telah mendengar kisah itu….” kata
Tumenggung
Cokro Buwono pula.
“Bagus
kalau begitu…..”
“Bagus
bagaimana?”
“Tumenggung
mau berjanji memegang rahasia?”
Sesaat
Cokro Buwono merengung, akhirnya dia anggukkan kepala.
“Baik,
aku berjanji akan memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada siapapun!”
“Yang
melakukannya adalah saya.”
Tumenggung
itu tertegak dari duduknya dan memandang tak berkesip pada Soma.
“Soma,
tahukan kamu apa hukumannya bagi seorang yang berani mempermainkan petinggi
kerajaan……?’
“Saya
tahu tumenggung. Dan saya sama sekali tidak bermaksud
mempermainkan
siapapun, apalagi tumenggung sahabat ayah yang saya
hormati.”
Jawab
Soma pula. “Apa yang saya katakan adalah benar dan
jujur.
Saya yang membunuhi semua anggota bajak itu. Termasuk pemimpin
mereka…..”
“Seorang
diri?!”
“Seorang
diri tumenggung…..”
“Tak
dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan bicara yang
tidak-tidak….”
“Demi
arwah ayah, saya bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya
berada
dalam keadaan waras tumenggung. Karena itulah saya minta diuji
untuk
dapat menghancurkan kaum pemberontak. Agar dapat membuktikan
bahwa
saya tidak dusta. Bahwa saya benar-benar waras danmampu untuk
melakukannya
demi tantangan jabatan yang saya pertaruhkan…..”
Tumenggung
Cokro Buwono geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit
baginya
untuk mempercayai segala ucapan Soma anak nelayan itu. tepai
orang ini
kelihatannya bicara sungguhan. Setelah berdiam diri sesaat
akhirnya
dia memanggil pembantunya. Dengan sang pembantu tumenggung ini
bicara
berbisik-bisik di sudur ruangan besar itu, kemudian pembantu itu
mengundurkan
diri dan Cokro Buwono kembali menemui Soma.
“Baiklah
Soma, aku
akan memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak menghancurkan
kaum
pemberontak. Di bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari utara
wates ada
segerombolan perampok dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan
dan
keganasan rampok ini tak kalah dengan Boga Damar yang katamu
tanganmu
sendiri yang telah membunuhnya. Nah, kau hancurkanlah
gerombolan
rampok itu jika memang kau mampu. Setelah berhasil melakukan
ujian itu
baru kita bicarakan lagi…..”
“Terima
kasih tumenggung…..” kata Soma seraya menjura hampir berlutut.
“Ujian
akan saya lakukan. Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa kepala
Warok Grindil!”
*****************
6
Tidak
sampai seminggu, hanya enam hari, Soma kembali muncul di
gedung
kediaman Tumenggung Cokro Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya
kotor
penuh debu. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dia menjura
dalam-dalam
begitu tumenggung muncul di ambang pintu sebelah dalam.
“Ujian
telah saya jalankan tumenggung, bungkusan ini buktinya,” ucap Soma.
Saat itu
Cokro Buwono diiringi oleh beberapa pembantunya, termasuk seorang sahabat dari
kadipaten Sleman.
“Apa ini
bungkusan itu Soma?” tanya sang tumenggung sambil bersaling pandang dengan
orang-orang di sekitarnya.
Dengan
cepat Soma membuka simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka
kelihatanlah
sepotong kepala manusia yang sebagian sudha hancur dan
tertutup
darah yang telah mengering. Potongan kepala itu membersitkan
bau
busuk!
“Kepala
siapa itu?!” tanya Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan tercekik dan
sambil menutup hidungnya.
“Itu
kepala Warok Grindil!”
Yang
menjasab adalah salah seorang pembantu sang tumenggung.
“Oo
ladalah….!” Tumenggung Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi
gedung
menjadi gempar. “Singkirkan kepala tu. Buang jauh-jauh…..”
perintahnya
kemudian. Kini semua mata tertuju pada Soma yang duduk
bersimpuh
di lantai.
“Soma,
benar kau yang membunuh kepala rampok itu?” tanya tumenggung kemudian.
“Saya
bersumpah, saya sendiri yang melakukannya tumenggung. Kira-kira
selusin
anak buahnya juga menemui kematian. Mungkin ada dua atau tiga
orang
yang berhasil lolos…..”
Sesaat
tumenggung itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi
matanya menyaksikan sendiri.
“Kalau
begitu….” Kata tumenggung kemudian, “Sementara kau boleh tinggal
di sini.
Aku akan menemui seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang
baik dan
orang-orang di sana bisa mempercayai, maksudmu menguji diri
dengan
menghancurkan kaum pemberontak itu tentu bakal dikabulkan.”
“Terima
kasih tumenggung. Terima kasih…..” jawab Soma berulang kali, haru dan gembira.
“Kalau
aku boleh bertanya,” Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka
mulut,
“Bagaimana caramu menghancurkan gerombolan rampok itu bahkan
dapat
membunuh pimpinannya?”
Soma
terdiam sesaat. Lalu menjawab, “Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya
ceritakan.”
Petinggi
dari Sleman itu tampak kurang puas dan tak enak. Namun
Tumenggung
Cokro Buwono telah menyuruh para pembantunya untuk membawa
Soma ke
balakang dan memberikan sebuah kamar untuk nelayan ini. Kalau
saja yang
bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah barang tentu apa
yang
disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya. Setelah
mendapat
petunjuk dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan
sepengetahuan
mapatih maka pada tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma
diizinkan
untuk melakukan penumpasan terhadap kaum pemberontak. Jika
dia gagal
berarti dia akan menerima kematian di tangan pemberontak.
Sebaliknya
jika dia berhasil maka kalangan istana akan memikirkan satu
jabatan
untuknya. Paling tinggi sebagai perwira muda dan bukan kepala
pengawal
apalagi kepaa balatentara. Selanjutnya jika ternyata nelayan
itu hanya
omong besar dan dianggap mempermainkan orang-orang penting
istana
maka hukuman pancung akan dijatuhkan atas dirinya. Dalam pada
itu tanpa
setahu Tumenggung Cokro Buwono pihak istana diam-diam
menugaskan
beberapa orang di bawah pimpinan seorang pangeran bernama
Arga
Kusumo untuk mengikuti gerak gerik serta apa yang akan dilakukan
nelayan
bernama Soma itu.
Ketika
kepada Soma disampaikan bahwa
istana
menyetujui rencananya untuk menjalani ujain dengan cara menumpas
kaum
pemberontak, nelayan ini gembira sekali. Sang tumenggung yang
masih
mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya itu berkata “Soma, kau
boleh
mengajak tiga orang pembantuku dan sepasukan perajurit.
Percayalah
bagaimanapun kau yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi
kaum
pemberontak bukan merupakan urusan main-main. Pucuk pimpinan
mereka
terdiri dari orang-orang berotak cerdik dan perkepandaian
tinggi…..”
“Terima
kasih tumenggung. Saya tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau diizinkan
biarkan saya pergi sendiri…..”
“Terserah
padamu……” jawab Cokro Buwono. Pagi harinya ketika dia
menyuruh
pembantunya memanggil Soma agar menghadap sebelum pergi,
ternyata
nelayan itu sudah tak ada lagi di kamarnya.
Berdasarkan
peta yang
diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung Cokro
Buwono,
Soma berhasil mengetahui letak markas persembunyian para
pemberontak.
Juga mengetahui nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih
banyak
mempergunakan perahu menyusur sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai
menunggang kuda)
maka
perjalanannya menuju ke utara cukup memakan waktu lama. Hampir
tiga
puluh jari kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana
para
pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga
Kusumo dan
orang-orangnya telah menguntit perjalanannya.
Dengan
hati-hati
Soma menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga hari
dia
melakukan penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum
pemberontak
itu dan pada kembah-kemah mana mereka berdiam. Setelah
seluk
beluk di tempat yang luas itu dipelajarinya, pada malam hari
keempat
Soma mengetahui bahwa di salah sebuah kemah akan diadakan
perundingan
penting antara pucuk pimpinan para pemberontak. Malam itu
akan
diputuskan kapan mereka mengatur waktu untuk menyebar dan
mengurung
lalu menaklukkan beberapa kota kadipaten sebelum melancarkan
serangan
besar-besaran ke kotaraja.
Ketika
perundingan dilakukan
dalam
kemah, Soma bersembunyi dalam sebuah gerobak barang yang terletak
tak jauh
dari kemah itu. Lebih dari selusin pengawal tampak
berjaga-jaga
sekitar kemah. Soma tak merasa perlu menghantam para
pengawal
itu terlebih dahulu. Dia yakin betul sinar sakti yang mencuat
ke luar
dari cincin ular kobra akan mampu menerobos dinding kemah yang
hanya
terbuat dari kain tebal, terus mengantam pucuk pimpinan yang ada
di dalam.
Membayangkan kedudukan tinggi yang bakal didapatnya, Soma
bersemangat
sekali mengeluarkan cincin baja ular kobra dan cepat
memakainya
di jari telunjuk. Lalu dia membidik dengan hati-hati. Ketika
dia
menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking. Tiga larik
sinar
putih berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun
salah
seorang pengawal tiba-tiba bergerak dari kedudukan tegaknya
semula.
Akibatnya sinar ini mengahntam bahu kirinya hingga putus!
Jeritan
pengawal itu bukan saja membuat para pengawal lainnya terkejut
dan
datang berlarian, tetapi para pimpinan pemberontak yang ada di
dalam
kemah segera pula keluar berhamburan.
“Ada apa……?”
salah seorang bertanya.
Para
pengawal tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka hanya
menunjuk
dengan ketakutan pada kawannya yang telah jadi mayat. Saat itu
pula tiga
larik halus sinar putih datang menyambar. Pemberontak yang
barusan
bertanya keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjengkang ke
belakang,
perutnya berloang besar. Darah mengucur, usus membusai!
Gemparlah
markas pemberontak itu. terlebih lagi ketika beberapa kali
tampaksinar
putih menyambar dan tiga dari enam pimpinan pemberontak
kembali menjadi
korban! Puluhan bahkan ratusan pasukan pemberontak
dengan
senjata terhunus berdatangan, tapi mereka tak tahu hendak
berbuat
apa. Musuh yang telah membunuh para pemimpin mereka sama sekali
tidak
diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun
sesaat kemudian
seorang
yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah perundingan secara tak
sengaja
sempat melihat asal datangnya sambaran sinar putih yang membawa
maut itu.
Dia segera berteriak
“Lihat!
Sinar maut itu datang dari arah gerobak barang! Gerobak barang!”
“Kejar ke
sana! Kurung gerobak itu!”
Puluhan
perajurit segera menghambur.
Sadar
kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi
gugup dan
keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap.
Teriakan-teriakan
para pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam
senjata
berdesing ke arahnya.
Sebuah
tombak, walaupun tidak telak
menyerempet
bahu kiri Soma, menimbulkan luka cukup parah. “Celaka!
Kalau
mereka sampai menangkapku, celaka!” kata Soma dalam hati dan
mengerenyit
kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap.
Sebaiknya
menunggu di tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya
dengan
hantaman sinar putih.
Memikir
sampai di situ Soma lantas
hentikan
larinya dan cepat bersembunyi, menunggu di balik kerapatan
semak
belukar. Begitu para pengejar muncul di kegelapan, dia segera
acungkan
jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus. Sinar putih
berkiblat
menyebar maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti.
Sosoksosok
tubuh tanpa nyawa dengan kepala atau badan hancur roboh
bergelimpangan
setumpuk demi setumpuk. Para pengejar sebelah belakang
hentikan
pengejaran mereka dan lari atau mencari perlindungan cerai
berai.
Sampai Soma lari jauh meninggalkan tempat itu tak seorangpun
yang
berani bergerak.
Soma lari
seperti dikejar setan. Darah yang
terus
mengucu dari lukanya membuat tubunya makin lama makin letih. Dia
tak tahu
telah lari sejauh mana meninggalkan markas kaum pemberontak
ketika
kedua kakinya tak sanggup lagi digerakkan. Tubuhnya roboh ke
tanah,
setengah sadar setengah pingsan. Pada saat itulah lima
penunggang
kuda muncul. Yang di sebelah depan terdengar berkata
“Naikkan
dia ke atas kuda cadangan!”
Dua orang
melompat turun dari
kuda
masing-masing, mengangkat tubuh Soma itu memacu kuda masing-masing
tinggalkan
tempat tersebut.
“Kita
sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti dulu di sini.
Aku harus memeriksa keadaan orang itu!”
Yang
berkata ternyata adalah Pangeran Arga Kusumo yang selama ini terus
mengikuti
perjalanan Soma bahkan sampai saat nelayan muda itu tadi
melakukan
penyerbuan hebat luar biasa ke perkemahan pihak pemberontak.
Dari
kejauhan dia dan empat orang yang ikut bersamanya telah melihat
bagaimana
setiap Soma mengacungkan telunujuk tangan kanannya tiba-tiba
saja
terdengar suara lengkingan tinggi yang disusul dengan melesatnya
tiga
larik sinar putih berkekuatan luar biasa.
Apapun
adanya ilmu
yang
dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada jari
telunjuknya
itu. Maka begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung
memeriksa
tangan kanan Soma. Dia tidak melihat kelainan apa-apa kecuali
sebentuk
cincin putih yang melingkar di jari telunjuk orang itu. Arga
Kusumo
tidak dapat memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada cincin
aneh
berbentuk kepala ular itu. Namun dia adalah seorang pangeran yang
cerdik.
Pasti atau tidak benda itu harus diselamatkan lebih dulu. Maka
dengan
cepat dia meloloskan cincin baja tersebut dari jari Soma. Soma
yang
berada dalam keadaan sangat lemah, karena terlalu banyak darah
yang keluar
dan terbuang, jangankan untuk menggerakkan tangan
menghindari
rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir tak sanggup.
“Ja….jangan
am…..jangan ambil cin…..cincin itu…..” suara Soma perlahan dan tersendat.
“Aku
tidak akan mengambilnya. Yang penting kau perlu diselamatkan dulu
Soma.
Dengar, kau akan menjadi pahlawan besar. Kerajaan pasti akan
memberikan
jabatan tinggi padamu…..”
Paras
Soma sesaat tampak
seperti
tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin itu, kembali dia
berkata
“Kembalikan cin…..cin itu. Masukkan ke…. ke jariku…..”
“Soma,
kau terluka parah. Kami akan mengobatimu. Tapi lekas kau
terangkan
bagaimana cara mempergunakan cincin ini hingga bisa
mengeluarkan
suara aneh dan melesatkan sinar putih…. Katakan apa
manteranya…..”
Soma tak
menjawab.
Arga
Kusumo tahu orang itu
sebentar
lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti yakin kalau memang
cincin
baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma. Kalau tidak
mengapa
dia begitu mementingkan benda tersebut.
“Jangan
kawatir
Soma.
Kami tidak akan mengambil cincinmu ini. tapi yang penting kau
harus
diselamatkan. Nah, lekas kau katakan apa manteranya….”
“Tak
ada
mantera apa-apa….” Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa.
Mati?
Arga Kusumo mendekatkan telinganya ke dada nelayan itu. Masih
terdengar
degupan jantung meskipun perlahan.
“Soma,
dengar…. Kau
tak akan
bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami kembalikan pada
istrimu.
Cincin ini tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau jelaskan
bagaimana
menggunakannya….”
Soma
seperti menyadari kalau ajalnya akan segera sampai. Pendengarannya semakin
tertutup dan pemandangannya semakin gelap.
“Soma,
lekas katakan! Kami akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup
pada
istrimu. Tak ada gunanya kau merahasiakan penggunaan cincin ini.
Tak ada
gunanya rahasia itu kau bawa ke liang kubur…..”
Soma
tetap diam.
Arga
Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu. guncangan ini membuat Soma
mengeluh
kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang belulangnya seperti
dicopot
datu demi satu.
“Ayo
Soma. Lekas katakan…..”
Akhirnya
Soma membuka mulut juga. “Kau…..kau hanya memasukkan cincin itu ke jari
telunjukmu.
Lalu…..lalu mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah
bawah.
Sesudah itu……ada suara melengking. Lalu…..lalu…..” Soma tak
sanggup
lagi meneruskan kata-katanya. Sebelum ajal datang terbayang
wajah
istrinya. Tapi wajah sang istri tiba-tiba lenyap danmendadak
digantikan
oleh wajah setan, mahluk berjubah putih yang pernah
dilihatnya
dalam mimpi. Mahluk itu tampak marah sekali.
Dia
mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma
terdengar
mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah!
Seringai
tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian
nelayan
itu. Dia berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata “Mari
kita
tinggalkan tempat ini.”
“Bagaimana
dengan jenazah orang ini…..?’ tanya salah seorang pengikut.
“Bagaimana
apa maksudmu?” balik bertanya sang pangeran.
“Bukankah
jenazahanya harus kita urus? Bukankah dia layak mendapat penghargaan karena
telah menumpas kaum pemberontak?’
Kembali
Pangeran Arga Kusumo menyeringai. “Jika kau merasa begitu, kau
uruslah
sendiri. Aku dan yang lain-lainnya pergi lebih dulu!”
Pangeran
menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu pula tiga orang
lainnya.
Orang yang keempat mau tak mau melakukan hal yang sama walau
di hati
kecilnya dia merasa sedih melihat nasib Soma.
Seringai
yang
masih
mengambang di mulut Pangeran Arga Kusumo mendadak lenyap ketika
tiba-tiba
terdengar bentakan garang dalam kegelapan malam. Lima kuda
tunggangan
meringkik keras, langsung berhenti berlari dan
melonjaklonjak
liar. Dari atas sebuah cabang pohon besar yang melintang
tinggi
melayang turun sesosok tubuh berpakaian ringkas warna kuning. Di
pinggangnya
melilit sehelai selendang merah dan di balik punggungnya
orang ini
membekal sebilah golok besar tanpa sarung!
Hebat dan
ganasnya,
sambil melayang turun dari atas phon orang ini langsung
hantamkan
kakinya dua kali berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan
pengikut
sang pangeran remuk. Binatang-binatang ini meringkik keras,
melemparkan
kedua penunggangnya lalu lari liar tanpa arah untuk
kemudian
roboh meregang nyawa! “Orang tak dikenal! Siapa kau yang
berani
menyerang kami!” teriak Pangeran Arga Kusumo marah sekali.
Orang
berpakaian kuning menjawab bentakan itu dengan gelak tawa
berderai,
membuat Arga Kusumo jadi naik pitam dan berikan perintah pada
keempat
pengikutnya “Bunuh pengacau itu!”
*****************
7
Empat
orang anak buah Pangeran Arga Kusumo segera menghunus senjata dan mengurung
orang berbaju kuning.
“Pangeran
Arga! Tunggu dulu…..!” Si baju kuning berseru sambil angkat tangannya.
“Hemmmm…..
jadi kau tahu berhadapan dengan siapa? Mengapa tidak lekas minta ampun?!”
memotong sang pangeran.
“Justru
karena menghormati dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh.
Sebagian
dari perjalanan kalian malam ini telah diikuti. Apa yang
tejadi di
markas pemberontak telah kusaksikan. Aku juga mengetahui apa
yang kau
lakukan dengan Soma……”
“Apa
urusanmu dengan semua ini?!”
“Tentu
saja ada…..! Pertama kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu.
Kedua
sejak dari kotaraja kau membekal maksud tidak baik. Ketiga kau
mencuri
milik orang lain…..!”
“Mencuri
milik orang lain?! Jangan
bicara
lancang kalau tak mau kurobek mulutmu!” Pangeran Arga Kusumo
tampak
marah. Dia belum pernah bertemu orang ini sebelumnya dan
berusaha
menduga-duga siapa adanya. Si baju kuning tertawa.
“Aku tak
punya waktu bicara berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya untuk mengambil
cincin milik Soma yang tadi kau ambil!”
“Hemmm…..
Jadi kau tidak lain ternyata seorang perampok yang kesasar di
malam
buta! Menyingkirlah sebelum kucerai beraikan tulang belulangmu!”
Orang
berbaju kuning itu batuk-batuk beberapa kali. “Siapa yang tidak
kenal
Pangeran Arga Kusumo yang membekal ilmu silat tingkat tinggi.
Tapi
malam ini adalah satu kesia-siaan jika kau berani menentang
Kelelawar
Kuning Lembah Blorok!”
Empat
orang pengikut sang pangeran
menjadi
pucat mendengar orang itu memperkenalkan diri. Sedang sang
pangeran
sendiri diam-diam merasa bergetar hatinya ketika mengetahui
siapa
adanya manusia berpakaian kuning yang menghadang. Tapi dia tak
mau
memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai pangeran muda yang
memang
memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata “Orang lain mungkin
takut
mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan kami
orang-orang
keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari
hadapanku!”
“Pangeran,
jika kau tak mau mengerti permintaanku
secara
baik-baik, berarti kekerasan tak dapat dihindarkan! Harap
maafkan
kalau aku harus merampas cincin keramat itu dari tanganmu
secara
kurang ajar!”
“Bagus!
Orang-orangku tak akan segan-segan menjagal batang lehermu!”
Habis
berkata begitu Pangeran Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat
anak
buahnya. Perlu diketahui keempat orang ini adalah perajurit
pilihan,
bukan saja merupakan kepercayaan sang pangeran tetapi juga
rata-rata
memiliki kepandaian silat dan ilmu perang. Keempatnya
menyebar
lalu serentak menerjang dari empat jurusan. Empat senjata
berkelebat
keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok,
termasuk
satu yang membabat ke arah kepalanya. Yang diserang umbar tawa
bergelak.
Tangan kanannya bergerak cepat ke punggung. Golok besarnya
yang
ternyata sangat tipis berdesing aneh.
“Trang-trang-trang.”
Tiga
senjata di tangan anak buah Pangeran Arga mental. Salah seorang
dari
mereka melompat mundur sambil menjerit karena pergelangan
tangannya
menyebur darah, hampir putus dibabat golok lawan. Anak buah
yang
keempat terjajar sambil pegangi dada. Senjatanya telah lebih dulu
lepas.
Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke tanah. Ada darah keluar dari
sela
bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini mati karena
sebagian
tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit jantungnya.
“Kurang
ajar!” bentak Pangeran Arga Kusumo marah sekali. Tubuhnya
melayang
ke bawah. Begitu menjejak tanah di tangan kanannya dia sudah
memegang
pedang pendek milik anak buahnya yang barusan menemui ajal.
Dari
gerakannya ini saja jelas pangeran muda itu memiliki kepandaian
tinggi.
Namun Kelelawar Kuning Lembah Blorok tidak gentar.
“Pangeran,
haruskah aku mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan
cincin
itu secara baik-baik?” Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil
melintangkan
golok tipis di depan dada.
Sebagai
jawaban sang
pangeran
langsung saja menyerbu musuh dengan tusukan berantai, deras
dan
cepat. Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat dia merobah
kedudukan
kakinya dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis.
“Trang!”
Pedang
pendek di tangan Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya
dia
sempat menyusupkan satu jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning
merasakan
sakit amat sangat pada perutnya yang kena dipukul namun dia
masih
tetap menyeringai.
“Untuk
terakhir kali pangeran. Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?”
“Tidak!”
sahut Arga Kusumo tandas. Dia lemparkan patahan pedang ke
tanah
lalu menyerang lawan dengan tangan kosong. Ternyata Kelelawar
Kuning
seorang yang memiliki jiwa kesatria juga. Melihat lawan
menyerang
dengan tangan kosong dia cepat sisipkan goloknya ke balik
punggung
lalu menyongsong serangan Pangeran Arga. Setelah tujuh jurus
berkelahi
ternyata memang tingkat kepandaian sang pangeran masih jauh
di bawah
lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulanbulanan
pukulan
akhirnya pangeran itu jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia
berusaha
bangkit kembali dia mendengar suara kain robek. Kemudian
disadarinya
yang robek itu adalah pakaiannya sendiri, tepat di bagian
saku
kanan di mana dia menyimpan cincin baja putih berkepala ular kobra
itu.
Ketika diperiksanya astaga! Ternyata cincin itu tak ada lagi dalam
saku itu.
Dia berteriak. Tapi Kelelawar Kuning Lembah Blorok saat itu
telah
lenyap!
Hujan
lebat telah mulai reda. Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah Sabrang Lor,
orang tertua dari Enam kelewang Maut.
“Setelah
cincin keramat itu jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, tetntu
ada
kelanjutan ceritanya. Kalau tidak bagaimana kemudian kau muncul
mengatakan
bahwa manusia bernama Randu Ireng yang kini menguasai benda
itu…..”
Lor
Sebrang mengangguk. “Cincin itu berpindah tangan
beberapa
kali. Setiap pemiliknya yang terakhir selalu menemui kematian.
Dan
rata-rata setiap pemilik merenggut jiwa manusia lebih dari dua
puluh
orang…..”
“Kalau
kau mengetahui cincin itu mengundang mau
bagi
pemiliknya dan orang lain, mengapa kau dan saudara-saudaramu ingin
memilikinya?”
bertanya Wiro.
“Aku
sudah menduga kau akan ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,”
menyahuti
Sebrang Lor. “Ketahuilah, kami menginginkan cincin itu bukan untuk
memilikinya…..”
“Lantas?”
“Pada
bulan Maulud yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia antara
orangorang
pandai se-Jawa Tengah di Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri
juga oleh
beberapa ulama terkemuka dari pantai utara. Kami semua
menyetujui
akan mencari cincin itu dan mengembalikannya ke asalnya.
Dari laut
kembali ke laut. Namun sebegitu jauh tidak satupun di antara
kami
berhasil….”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk kebajikan
pasti banyak manfaatnya…..”
“Kau
benar.” Ujar Sebrang Lor pula. “Tetapi lebih banyak malapetakanya
daripada
manfaatnya. Setiap orang yang memilikinya pada akhirnya
cenderung
mempergunakan untuk kepentingan sendiri, mencari keuntungan
pribadi
walaupun jalan yang ditempuh menimbulkan bencana bagi orang
lain. Kau
bisa bayangkan kalau cincin sakti itu jatuh ke tangan
manusia-manusia
jahat seperti Randu Ireng…..”
“Tadi aku
mendengar
manusia
berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut seorang pangeran.
Agaknya
pangeran itulah yang telah mengirimkan puluhan perajurit untuk
mengejar
dan menangkapnya guna mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah
pangeran
itu Pangeran Arga Kusumo yang kau sebut-sebut dalam
penuturanmu
tadi…..?’
“Besar
kemungkinan memang dia. Hanya saja
yang aku
tidak mengerti bagaimana dia bisa mempergunakan pasukan Demak
untuk
melakukan hal itu. Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak
dengan
Kotagede. Atau sang pangeran sengaja melakukan hal itu karena
dia tidak
ingin orang dalam mengetahui rahasia cincin sakti itu.”
“Setelah
cincin jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah
selanjutnya
benda itu akhirnya jatuh ke tangan manusia bernama Randu
Ireng….?”
Bertanya Wiro.
“Kami
tahu, tapi mungkin tak lengkap.
Kalau kau
minta kami menuturkan lagi, mohon maaf saja. Sebentar lagi
pagi
segera datang. Orang yang dikejar semakin jauh. Kami tak punya
waktu
banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami
sampaikan…..”
“Amanat
apa?”
“Dalam
pertemuan di danau Penin,
disepakati
bahwa setiap bertemu dengan orang segolongan wajib
memberitahu
kejadian ini. Dan meminta agar membantu mendapatkan cincin
itu
kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam malapetaka
yang
mengerikan…..”
Wiro
merenung sejenak sambil menggaruk rambut. “Yang aku kawatirkan,”
katanya
kemudian “Seseorang yang semula ingin membantu, tapi begitu memiliki cincin
keramat itu jadi berubah pikiran!”
“Kau
benar Pendekar 212,” menyahuti Sebrang Lor. “Karena itulah, begitu
bertemu
cincin tersebut harus secepatnya dibuang kembali ke dalam laut.
Nah kami
harus pergi sekarang. Kau mau membantu?”
Wiro
menggaruk rambutnya lagi kemudian mengangguk.
*****************
8
Nafsu
makan Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta lenyap ketika
dalam
rumah makan yang padat oleh pengunjung itu pandangannya tertumbuk
pada
sosok tubuh seorang tamu yang duduk membelakangi. Orang ini
mengenakan
pakaian serba hitam. Kedua kakinya kotor oleh lumpur yang
telah
mengering. Dari tempatnya duduk Wiro tak dapat melihat wajah
orang
ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga kepala dan
keseluruhan
wajahnya tertutup. Beberapa kali Wiro sengaja menggeser
duduknya
untuk dapat melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya
melihat
sebahagian janggut yang memenuhi dagu serta pipi orang
tersebut.
Walaupun demikian dia sudah cukup puas. Ciri-ciri orang ini
persis
sama dengan orang yang ditemuinya dua malam lalu dalam rimba
belantara.
Orang yang telah menghabisi riwayat puluhan perajurit Demak.
Yang
menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng. Manusia yang kini
memiliki
cincin baja berkapal ular kobra itu.
Tapi di
mana gelang bahar yang malam itu kelihatan berjumlah tiga buah
di
masing-masing tangannya? Wiro kemudian ingat keterangan Sebrang Lor.
Randu
Ireng tanpa cincin keramat itu tidak memiliki kepandaian apa-apa.
Namun dia
memiliki satu kelihaian. Yakni dapat melakukan penyamaran
dalam
waktu sangat cepat. Bukan mustahil si baju hitam ini adalah Randu
Ireng,
orang yang menyerangnya di bawah hujan lebat, dalam rimba
belantara
di malam buta dua hari lalu. Wiro memutuskan untuk melakukan
apa saja
agar dapat melihat paras orang itu. kalaupun tenyata parasnya
tidak
sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya malam itu, maka dia
akan
menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu bertindak aneh.
Berada
dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau tidak
ingin
menyembunyikan maka apa maksudnya?
Murid
Sinto Gendeng itu hanya sempat menghabiskan setengah makanannya
ketika
dilihatnya orang berbaju hitam membayar makanan yang habis
disantapnya
lalu melangkah ke pintu rumah makan. Melihat cara berjalan
orang
ini, semakin curiga pendekar kita. Janggutnya yang lebat jelas
menunjukkan
ketuaannya. Tapi langkahnya yang cepat dan sikapnya yang
sigap
jelas menyatakan dia bukan seorang sembarangan.
Di luar
hujan
turun
rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung jalan.
Sebelum
menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar
kepalanya.
Jelas sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar
kalau ada
orang yang mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan
setengah
berlari kini. Tetapi ketika dia sampai di ujung jalan, lelaki
berpakaian
hitam bertopi caping lebar itu tak kelihatan lagi. Padahal
jalan
yang ditempuh merupakan satu-satunya jalan, lurus tanpa tikingan.
Sebelah
kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah kanan sungai kecil
berair
kuning.
Pendekar
kita garuk-garuk kepala, Aneh, ke mana
lenyapnya
kampret hitam itu!” maki Wiro dalam hati. Dia memandang
berkeliling.
Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap
saja
orang yang tadi dikuntitnya tidak tampak. “Kalaupun dia
menyeberang
kali, pasti masih sempat kulihat dia akan berada di
seberang
sana. Mungkin dia menyelam ke dalam kali atau…..?”
Wiro
memutar tubuhnya.
Pada saat
itulah terdengar suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara perempuan.
“Orang
berambut gondrong, kau mencariku……?!’
Wiro
putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua.
Ketika
dia memandng ke sana, ternyata memang, lelaki bercaping dan
berpakaian
hitam itu tegak di sana. Tubuhnya jelas menghadap ke arah
Wiro,
tapi kepalanya menunduk hingga wajahnya tetap sulir dilihat.
Ingin
sekali murid Sinto Gendeng membetot lepas caping lebar itu.
“Kau
tidak tuli. Mengapa tidak menjawab pertanyaan orang….?!”
Didesak
begitu Wiro jadi tertegun sesaat, apalagi merasakan dirinya tertangkap basah
mengiuti orang.
“Aku
tidak mencarimu!” sahut Wiro.
“Hemmm….”
si baju hitam bergumam. “Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu. Tapi jelas
kau mengikutiku bukan…..?”
Wiro
menyeringai.
“Kau
menyeringai. Berarti kau membenarkan ucapanku walau malu mengakui!”
Seringai
lenyap dari wajah Pendekar 212.
“Terus
terang, aku mencurigaimu…..” kata Wiro akhirnya.
“Sama!
Akupun mencurigaimu!” sahut si baju hitam bercaping lebar.
“Kenapa
kau mencurigaiku?” tanya Wiro penasaran.
Mulut di
bali caping lebar itu tertawa.
“Kau
menguntit orang. Gerak gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu
tidak cukup alasan untuk mencurigaimu?!”
“Aku
bukan maling atau rampok. Kenapa musti dicurigai?” tukas murid Sinto Gendeng.
“Mungkin
kau lebih jahat dari maling atau rampok!” ganti menukas si bajuhitam.
Mulut
pendekar kita jadi terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek.
Namun
akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula
perlahan.
Makin lama makin keras.
“Selain
lebih jahat dari maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras. Kalau tidak
mengapa kau tertawa tanpa alasan?!”
Wiro
hentikan tawanya. Matanya memandang tak berkedip seperti hendak menembus caping
bambu itu.
“Sobat,
kau membuat beberapa kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk menghajarmu!”
“Hebat
betul! Kesalahan apa yang telah diperbuat tuan besarmu ini?!”
“Kentut
busuk! Siapa yang mengatakan kau tuan besarku!” maki Wiro. “Dua
malam
lalu kau menyerangku bahkan hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku
maling
rampok. Kemudian menganggapku tidak waras! Benar-benar kentut
busuk!
Tapi mungin aku bisa melupakan semua kesalahanmu. Cuma ada
syaratnya
sobat!”
“Kau yang
kentut busuk! Bertemupun baru kali ini
sudah
menuduh aku menyerangmu, hendak membunuhmu! Ke mana kau keluyuran
dua malam
lalu hingga orang inginkan jiwamu?! Kini hebatnya menawarkan
segala
macam syarat! Lama-lama aku jadi muak melihatmu. Menyingkirlah!
Aku harus
melanjutkan perjalanan!”
“Melanjutkan
perjalanan untuk membunuh dan membunuh! Lalu menguasai dunia persilatan!
Bukankah itu tujuanmu….?”
Caping
lebar itu terangkat sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak dapat
melihat wajah lelaki berjanggut ini.
“Mulutmu
lancang benar! Aku tak pernah membunuh manusia! Aku juga tidak pernah mimpi
hendak menguasai persilatan!”
Wiro
menyeringai. “Kenapa kau tidak mengakui bahwa kaulah yang telah
membunuh
puluhan perajurit Demak dua malam lalu? Kau hendak berdusta.
Padahal
aku sendiri berada di tempat kejadian itu….!”
“Ternyata
otakmu memang tidak waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang
perajurit-perajurit Demak itu!”
“Apa yang
kuketahui…..?” Wiro tertawa panjang.
“Kau
membunuh habis mereka semua!”
“Aku
tidak membunuh mereka. Aku belum pernah membunuh manusia!”
“Nada
pertanyaanmu tentang perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat
menyembunyikan
bahwa kau memang punya sangkut paut dengan kejadian
malam
itu…..”
“Ada
sangkut paut atau tidak bukan urusanmu! Katakan,
apakah
perajuritperajurit Demak itu dipimpin oleh seorang pangeran
bernama
Pangeran Arga Kusumo?!”
“Heh…..
Kau menyebut nama pangeran
itu!”
ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang dituturkan Sebrang Lor. “Apa
hubunganmu
dengan Arga Kusumo?!”
“Justru
aku harus tanya apa hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau kawanmu?!” balik
menyentak si caping lebar.
Pendekar
212 Wiro Sableng hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut
juga
dengan kasar dan jengkel “Kenalpun aku tidak dengan segala macam
pangeran.
Sudahlah, pembicaraan kita habisi di sini. Lama-lama aku bisa
menampar
mulutmu orang tua!” Maka Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat
sekali
tahu-tahu orang berjanggut berpakaian hitam itu sudah
menghadangnya
dalam jarak lima langkah. Jelas gerakannya mengandung
kekuatan
dan kesigapan yang bukan sembarang orang bisa melakukannya.
“Berani
menghadang berani menerima hajaran!” mengancam Wiro.
“Bagus!
Jika saat ii kau tak mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin kugebuk dulu
baru kau mau bicara!”
“Kampret
hitam berjanggut buruk!” ujar Wiro “Kau ini siapa sebenarnya?
Bukankah
kau yang bernama Randu Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang
Maut?
Bahkan dicari oleh hampir semua orang dalam rimba persilatan?”
“Ah,
semakin banyak nama-nama penting yang kau singkapkan. Jelas kau
rupanya
ada sangkut pautnya dengan cincin baja putih yang diperebutkan
para
tokoh itu!”
Sesaat
Wiro kerenyitkan kening. Lalu
manggut-manggut.
“Tidak ada kisikan tak ada alasan tiba-tiba saja kau
menyebut
benda keramat yang menggegerkan itu. maksudmu tentunya untuk
menghilangkan
jejak bahwa memang kau sebenarnya Randu Ireng yang kini
memiliki
cincin hasil rampasan itu!”
“Jangan
menuduh sembarangan. Aku bukan Randu Ireng!”
“Kalau
begitu kau siapa?!”
“Siapa
aku apa perdulimu!”
“Kampret
brengsek!” semprot Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan
tempat
itu. Namun sekali lagi orang bercaping lebar menghadang
gerakannya.
Kini
murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya.
Dengan
jengkel
Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah dada orang. Maksudnya
hendak
menyingkirkan dari hadapannya dan sekaligus menjatuhkan. Karena
itu
dorongan tangannya sengaja dilakukan dengan tenaga luar yang keras,
ditambah
sedikit tekanan tenaga dalam. Namun hampir tangan kirinya
menyentuh
lawan, si caping lebar cepat sekali sudah berkelebat,
mengelak
ke samping kiri. Dari arah ini dia lepaskan serangna balasan
berupa
tusukan dua jari ke arah leher Wiro. Entah mau menotok entah mau
menusuk
tembus batang leher pendekar muda itu!
Perkelahianpun
tak
dapat
dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas itu
Wiro
hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si
baju
hitam berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan
deras ke
arah batok kepala Wiro.
Setelah
berkelahi sampai sepuluh
jurus
murid Sinto Gendeng segera menyadari bahwa dalam ilmu silat dan
tenaga
dalam lawannya jauh berada di bawahnya. Tetapi satu hal membuat
orang itu
sulit dihantam. Dia memiliki kecepatan gerakan yang luar
biasa.
Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak sebat
lalu
balas menyusupkan serangan-serangan kilat. Kalau saja yang
dihadapinya
bukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, mungkin sudah
beberapa
kali si baju hitam ini berhasil menggebuk sang pendekar.
Setelah
berkelahi lebih dari enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium
kelemahan
lawannya. Ternyata manusia yang disebutnya si kampret itu
merupakan
seraong lawan yang masih mentah dalam pengalaman. Maka
Wiropun
mulai lancarkan serangan-serangan tipuan. Ketika lawan kirimkan
pukulan
ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, tapi melindungi
diri
dengan pengerahan tenaga dalam.
“Buk!”
Jotosan
melanda
dada Wiro
dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil menahan
sakit,
Wiro lihat lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat
wajahnya
sulit diduga apakah orang itu merasakan sakit pada tangan
kanannya,
tapi yang jelas tangan yang tadi mengepal membentuk tinju
kini
jari-jarinya melentik keluar tanda dia dijalari rasa sakit. Di
saat
itulah pendekar dari gunung Gede ini menyergap ke depan.
Gerakannya
seperti hendak membuntal pinggang lawan, tetapi tidak
terduga
tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik lepas caping
lebar di
kepala si baju hitam!
Orang itu
keluarkan seruan tertahan
ketika
topi bambu lebar lepas dari kepalanya. Kedua tangannya membuat
gerakan
seperti hendak menutupi wajahnya. Dan seruan tadi itu?! Sesaat
membuat
Wiro tegak terheran sambil pegangi topi.
“Sialan!
Ternyata si kampret ini bukan manusia itu!” ujar Wiro dalam hati.
Wajahnya
meamang tertutup janggut dan kumis, tapi jelas paras ini bukan
paras
orang berbaju hitam yang telah membunuh pasukan Demak itu.
rambutnya
kelihatan telah memutih dan digelung ke belakang sepert
rambut
perajurit. Kulit mukanya klimis dan sepasang matanya mengandung
daya
tarik tersendiri. Tidak pantas untuk mata seorang lelaki yang
berhati
keji.
“Kembalikan
caping bambuku!” seru si baju hitam.
Wiro
Sableng tersenyum menyeringai. Bukannya mengembalikan malah caping itu kini
dipakainya.
“Jika kau
mau mengatakan siapa kau sebenarnya, akan kukembalikan capingmu. Kalau tidak
silahkan ambil sendiri!”
“Bedebah!”
si Baju hitam marah sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi
anehnya,
setengah jalan mendadak dia melesat ke kanan lalu melarikan
diri.
“Hai!”
seru Wiro mengejar. “Tunggu dulu!”
Si baju
hitam
tambah
mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana mungkin dia
akan
mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil mempersempit
jarak.
Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di kepalanya
dan
lemparkan benda itu ke arah orang yang lari di depannya. Entah
disengaja
entah tidak caping bambu itu memukul bagian belakang kepala
orang,
tapat di gelungan rambut. Demikian kerasnya hantaman caping
hingga
bukan saja orang itu terhuyung hampir jatuh terjerembab ke
depan,
tetapi sanggul rambutnya ikut terlepas. Anehnya rambut yang
berwarna
putih terlepas jatuh ke tanah sedang kepala itu kini hanya
tertutup
rambut hitam panjang yang tergerai sebatas pinggang.
*****************
9
Wiro
Sableng jadi hentikan larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu.
“Kampret
apa ini yang berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang hitam!” ujar
Wiro dalam hati.
Di depan
sana dilihatnya orang yang tadi dikejar, bukannya terus
melarikan
diri tetapi membelok ke kiri dan menyembunyikan diri di balik
rerumpunan
semak belukar tinggi.
Kawatir
orang hendak menipu lalu
membokongnya,
Wiro dekati semak belukan dengan hati-hati. Siap untuk
memukulkan
tangannya yang kiri atau kanan menjaga segala-segala
kemungkinan.
Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba mendengar suara
orang
menangis sesenggukkan! Suara tangis perempuan! Begitu sampai di
balik
semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah lelaki
berjanggut
dan berkumis berbaju hitam berambut panjang itu.
“Kampret
jantan ini kenapa menangis seperti betina?!” ujar Wiro sambil garuk-garuk
kepala memandang keheranan.
“Hai!
Kenapa kau menangis!” tanya Wiro.
Ditegur
begitu orang tersebut semakin keras sesenggukannya dan semakin
jelas
kalau suara tangisnya itu adalah suara tangis perempuan!
“Eh,
orang ini
lelaki atau perempuan……?” bertanya-tanya murid Sinto Gendeng
dalam
hati. Dengan hati-hati karena tak mungkin kalau orang hendak
menipunya,
Wiro melangkah lebih mendekat. “Kalau dia memang perempuan
mengapa
berjanggut dan berkumis. Tapi rambut putih palsu yang tadi
terlepas……Jangan-jangan
manusia ini benar-benar Randu Ireng! Si ahli
menyamar
yang menguasai cincin baja kepala ular kobra!” maka memikir
sampai ke
situ Wiro tak mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga
langkah.
Karena
tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak
habis-habis
itu, Wiro ajukan pertanyaan “Kau ini, sebenarnya siapa?
Laki-laki
atau perempuan….?”
“Pergilah!
Buat apa mengurusi diriku
lagi!”
kata si baju hitam. Suaranya kini jelas sekali suara perempuan.
Keadaannya
yang larut oleh perasaan membuat dia tidak dapat lagi
menyaru
suaranya sebagai suara lelaki.
“Hai!
Jadi kau perempuan!” ujar Wiro.
Tak ada
jawaban. Tegak tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro
merasa
hiba. Namun tanpa mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata.
“Walaupun
tadinya aku mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang
yang
hendak membunuhku dua malam lalu, maka aku tak akan mengganggumu
lebih
jauh. Ini capingmu….” Wiro ulurkan caping milik orang tadi yang
telah
dipungutnya. Uluran caping bambu itu tidak disambut. Wiro lalu
menyangkutkan
caping itu pada ujung sebuah ranting.
“Sebaiknya
aku
tidak
mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalu kau suka menerangkan
siapa kau
sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke mana……?”
“Mungkin…..aku
akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau
menerangkan
siapa dirimu dan mengapa tadi mangaku mencurigaiku lalu
menguntit…..”
berkata perempuan itu di antara sesenggukkannya.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian menjawab juga.
“Namaku
Wiro. Semula aku mengira kau adalah orang yang dua malam lalu hendak membunuhku
dalam rimba belantara…..”
“Siapa
orang itu. Mengapa dia inginkan nyawamu…..?”
“Ah,
pertanyaan kampret ini banyak benar. Seperti mau menyelidik!” maki
Wiro
dalam hati. Lalu dia menjawab “Mengapa dia inginkan nyawaku, aku
tidak
tahu. Juga aku tidak tahu mengapa dia enak saja membantai puluhan
perajurit
Demak itu. Siapa orang itu aku tidak tahu pasti. Cuma ada
yang
mengatakan dia adalah Randu Ireng. Manusia terakhir yang menguasai
cincin
keramat terbuat dari baja berkepala ular itu…..”
“Cincin
itu….” kata si baju hitam, “Tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka…..”
“Kau tahu
banyak tentang cincin keramat itu…..?” tanya Wiro.
Yang
ditanya tak menjawab.
“Nah,
sekarang kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya?” Wiro mendesak.
Lalu
cepat menyambung “Tapi perlihatkan dulu kau ini perempuan atau lelaki atau
apa….?!”
Tangan
orang itu, yang sejak tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya
tiba-tiba
bergerak menanggalkan janggut dan kumis lebatnya dan astaga!
Kini
berubahlah wajah itu menjadi paras seorang perempuan berusia
kurang
dari tiga puluhan, bermata bening dan teramat ayu. Sesaat
pendekar
kita tegak terkesiap. Lalu sambil senyum-senyum dia bertanya
“Apa
perlumu melakukan penyamaran seperti ini…..?”
“Jika kau
seorang
dari rimba persilatan kurasa tak perlu aku menjawab
pertanyaanmu.
Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan
bahaya.
Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami kaum hawa……”
“Ucapanmu
mungkin banyak benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai
alasan
tertentu. Tapi aku tak akan memaksa kau harus menceritakan hal
yang kau
tak ingin mengatakannya. Kau belum mengatakan datang dari mana
dan dalam
perjalanan ke mana…..”
“Aku
datang dari jauh dai sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku dalam
perjalanan ke Kotaraja…..”
“Lalu
namamu…….?”
“Ningrum…..”
Wiro
manggut-manggut sambil tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong.
“Kotaraja
masih jauh di sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?”
“Mencari
seorang pangeran bernama Arga Kusumo……”
“Pangeran
Arga Kusumo…..? Dia masih sanak kerabatmu?’
“Justru
aku ingin membunuhnya!”
Jawaban
Ningrum itu membuat Wiro kaget.
“Membunuh
seorang pangeran bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke
kediamannya,
para pengawal berkepandaian tinggi mungkin sudah
meringkusmu!”
Perempuan
ayu itu menyeringai. “Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa dilakukan…..”
“Kenapa
kau ingin membunuh pangeran itu?”
“Dia
membunuh suamiku!”
“Ah,
urusan dendam kesumat rupanya,” kata Wiro pula. “Tapi mengapa sampai pangeran
itu membunuh suamimu?”
“Dia
merampas milik suamiku.”
“Apa?”
Kelihatannya
Ningrum tak mau menjawab. Atau ragu-ragu menjawab.
“Kau tahu
aku bukan orang jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan sesuatu padaku….”
Wiro berpura-pura kecewa.
Setelah
membisu beberapa lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut.
“Cincin
sakti itu. Benda itu mulanya adalah milik suamiku…..”
Terkejutlah
pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kalau
begitu suamimu adalah Soma!” katanya.
Kini
perempuan itu yang ganti terkejut.
“Bagaimana
kau bisa tahu……?”
Wiro lalu
menceritakan pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam
Kelewang
Maut yang telah menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin
baja
putih berkepala ular kobra itu.
“Menurut
Sebrang Lor kau tidak
tahu
banyak tentang cincin sakti yang dimiliki suamimu itu. Soma tewas
dalam
hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana kemudian kau mengetahui
kematiannya….?”
Bertanya Wiro.
“Sejak
musnahnya gerombolan bajak
yang
menyerang kampung, semua orang-orang termasuk aku menaruh wasangka
bahwa
Somalah yang melakukan itu semua. Jika dia yang berbuat berarti
dia
memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar biasa. Dalam pada itu,
tak lama
setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono dan seorang
pembantunya
datang menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga
Kusumo
mengabarkan Soma gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah
yang
telah menghancurkan pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari
nama
besar, hendak mengangkat diri jadi pahlawan dengan memutar
balikkan
kenyataan. Suamiku sengaja dibiarkan mati dalam hutan padahal
dia dapat
menolongnya. Bahkan mayatnyapun tidak diurusnya……”
Sebagai
seorang isteri nelayan Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak
memiliki
kepandaian apa-apa dalam ilmu silat ataupun kesaktian. Cukup
mengherankan
kalau kini dia menjadi seorang perempuan muda
berkepandaian
tinggi. Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum, perempuan
itu
menuturkan lebih lanjut.
“Setelah
berita itu kuterima, ditemani
oleh
beberapa orang pembantu Tumenggung Cokro Buwono aku coba mencari
jenazah
Soma. Bagaimanapun jenazahnya walau hanya tinggal tulang
belulang
harus diurus dan dikubur. Tapi kami tak berhasil menemukan
jenazah
ataupun tulang belulangnya….”
“Tunggu
dulu,” ujar Wiro
ketika
dia ingat sesuatu. “Menurut penuturan Sebrang Lor, ketika Soma
pergi
menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang hamil tua….”
Ningrum
mengangguk. “Kematian Soma kuketahui sebulan sebelum aku
melahirkan.
Ketika bayi itu lahir ternyata nasibnya jelek. Anakku
meninggal
setelah dilahirkan…..”
Kedua
mata Nignrum kembali tampak
basah.
Setelah menyeka wajahnya beberapa kali dia meneruskan “Dalam
perjalanan
pulang ke kampung, ternyata orangorang Tumenggung Cokro
Buwono
bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka hendak memperkosaku
beramai-ramai.
Pada saat itu entah dari mana datangnya, muncul seorang
kakek
aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup.
Aku
sendiri kemudian dibawanya ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah
mendengar
ceritaku, kakek itu memutuskan untuk menurunkan beberapa ilmu
kepandaiannya.
Lewat sepuluh tahun kemudian baru aku meninggalkan goa
itu.
Pertama sekali aku pergi mencari Tumenggung Cokro. Tapi kemudian
kuketahui
tumenggung itu telah meninggal. Kematiannya tidak wajar.
Tewas
celaka ketika berburu di dalam hutan. Ada dugaan bahwa dia
dibunuh
atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin rahasia
kematian
dan kepahlawanan Soma terbuka…..”
“Lalu
saat ini kau hendak ke Kotaraja guna membalas dendam kematian suamimu….”
Walau tak
menjawab tapi Wiro tahu perempuan itu membenarkan ucapannya.
“Lebih
baik bagimu kembali ke kampung dan melupakan pangeran itu. Saat
ini tentu
dia telah menduduki jabatan sangat tinggi dalam kalangan
istana.
Pasti sulit untuk melaksanakan maksudmu. Salah-salah kau
sendiri yang
akan celaka!”
“Aku
memang sudah siap untuk menyusul suamiku,” sahut Ningrum.
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Apakah
kau berniat mendapatkan cincin sakti itu kembali?” tanya Wiro.
“Kalaupun
aku mendapatkannya, akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam laut…..”
Wiro
ingat amanat yang dikatakan Sebrang Lor. “Tidak mudah mendapatkan
cincin
itu kembali. Tidak gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu
muka yang
kini menguasainya….”
“Tapi
orang-orang sepertimu tak bisa
berpangku
tangan. Kecuali ingin melihat ratusan korban lagi akan
menemui
ajalnya!” kata Ningrum.
Apa yang
dikatakan Ningrum itu diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro.
Setelah
berpikir sebentar kemudian dia berkata “Bagiku tugas kita
paling
utama saat ini adalah mencari manusia bernama Randu Ireng itu…..”
“Kita
katamu?” ujar Ningrum.
Wiro
menyeringai. “Bukankah kau ingin mendapatkan benda itu kembali?
Kurasa
itu lebih penting dari pada kau langsung nyelonong ke Kotaraja
mencari
penyakit….”
“Kalau
kau mau membantu, aku tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama apakah tidak
akan menyusahkanmu?’
“Berjalan
dengan perempuan secantikmu memang ada macam-macamnya. Kau
sebaiknya
pakai kembali rambut, janggut dan kumis palsumu itu…..”
Ningrum menyetujui.
Setelah melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap
memakai
caping lebar, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut.
*****************
10
Karena
tahu bagaimana sulitnya mencari dan mengejar orang seperti
Randu
Ireng maka Wiro memutuskan untuk meminta bantuan dari orang yang
dianggapnya
paling tepat dan paling tahu. Orang ini bukan lain adalah
kakek
aneh yang dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu.
Empat
hari empat malam mengadakan perjalanan tampaknya masih belum juga
sampai ke
tujuan. Ningrum mulai menunjukkan wajah suram. Entah karena
keletihan
mengadakan perjalanan sejauh itu, entah karena mulai merasa
tidak
suka. Kalau saja mereka langsung ke Kotaraja mungkin saat itu
sudah
sampai, demikian dia berpikir.
Pada pagi
hari kelima hujan turun rintik-rintik.
“Aneh,
ada hujan turun. Tapi kenapa udara terasa panas sekali!” kata Ningrum.
Wiro
tersenyum. “Itu tandanya kita sudah semakin dekat dengan tempat
tujuan.
Kau lihat sesuatu yang memutih di kejauhan sana….?” Wiro
menunjuk
ke arah barat.
“Benda
apa itu. kelihatannya seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih…..?”
“Itulah
bukit kapur. Tempat biasanya berkeliaran orang yang kita cari.”
“Sebenarnya
siapa yang kita cari ini?” tanya Ningrum.
“Kau
lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara
kerontangan kaleng, beri tahu aku…..”
Keduanya
terus lari ke arah barat. Makin dekat makin kentara besarnya
bukit
kapur itu. Menjelang tengah hari mereka mencapai kaki bukit dan
mulai
menaiki lerengnya. Hawa di sini bukan main panasnya. Pakaian
kedua
orang itu bawah kuyup oleh keringat. Sejauh sampai di pertengahan
lereng
bukit yang tandus hampir tak ada tumbuhan di situ masih belum
terdengar
suara apapun, termasuk suara kerontang kaleng.
“Aku tak
mendengar
suara seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang yang
kita cari
tak ada di sini!” Ningrum mulai merasa khawatir.
Wiropun
mulai
merasa ragu. Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki sampai
ke puncak
bukit. Di kejauhan tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding
dalam
keadaan kosong.
“Aku tak
tahan panasnya hawa di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih baik
tinggalkan tempat ini…..”
“Tenang
saja. Dia pasti ada di sekitar sini,” sahut Wiro.
“Siapa
yang sanggup menetap di tempat ini tanpa kehabisan air dalam tubuhnya, disedot
udara panas….?”
“Kita
mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan tahun
usianya tinggal di bukit ini….”
Habis
berkata begitu Wiro mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam
lalu
berteriak keras-keras dan panjang. Gaung suaranya terdengar aneh
dan
menyeramkan.
“Tak ada
yang membalas teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit ini!”
Wiro
menunggu sesaat. Lalu kembali berteriak. Lebih keras dan lebih
panjang.
Setelah ditunggu tetap saja tak ada suara lain menyahuti.
“Kita
pergi saja,” mengajak Ningrum.
“Tunggu.
Jika sampai matahari condong ke barat orang itu belum muncul…..”
Wiro
hentikan kata-katanya. “Aku mendengar sesuatu…..”
“Aku tak
mendengar apa-apa……” kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat
kepandaian
dan ketajaman indera keduanya berbeda. Wiro jauh lebih
tinggi.
“Dia
muncul!” Wiro tertawa gembira. “Ikuti aku…..!” katanya
lalu lari
ke jurusan selatan bukit. Setelah lari beberapa ratus tombak
baru
Ningrum mendengar suara aneh itu. Suara sesuatu berkerontangan.
Agaknya
suara batu-batu yang dimasukkan dalam kaleng, lalu
digoncang-goncang
terus menerus.
“Lihat!
Itu dia!” seru Wiro seraya menunjuk ke depan.
Memandang
ke muda Ningrum lihat seorang kakek bertubuh agak kurus,
berpakaian
penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik, melangkah ke arah
mereka.
Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah yang
dibuatnya
sama dengan lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan
dengan
bantuan tongkat kayu di tangan kirinya, dia tiada henti
menggoyang-goyang
kaleng rombeng di tangan kanannya.
“Kakek
Segala Tahu!” panggil Wiro Sableng. “Aku datang lagi! Apakah kau baik-baik saja
selama ini….?”
Kakek itu
hentikan langkahnya. Mendongak ke langit, lalu kerontangkan kalengnya dan
menyeringai.
“Aku
memang baik-baik saja. Tapi urusan persilatan di luar sana sedang
tidak
baik bukan? Kudengar banyak para tokoh di bunuh. Puluhan manusia
hidup
berubah menjadi mayat!”
“Syukurlah
kau sudah tahu kek! Karena itula aku datang mencarimu ke mari!”
“Kalau
kau muncul berarti ada yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini
soal
dunia persilatan apa soal jodohmu…..?” si kakek tertawa
gelak-gelak.
“Kek, kau
tentu mendengar tentang cincin keramat yang sanggup menebar maut itu….”
Kakek Segala
Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil tersenyum
kempot
dia berkata “Sebelum aku jawab pertanyaanmu, siapa pula mahluk
aneh yang
kau bawa ke mari ini….?’
Wiro
garuk kepalanya dan memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas tampak
kemerahan wajahnya.
“Aku
tidak membawa mahluk aneh kek. Ini sahabat seperjalanan,” jawab Wiro.
“Perempuan
biasanya memakai pupur dan bergincu. Kalau perlu
menghitamkan
sedikit alisnya, memerahkan sedikitt pipinya. Tapi yang
aku
rasakan saat ini sahabatmu ini memakai kumis dan bercambang bawuk
palsu.
Apakah ini bukan mahluk aneh namanya? Atau mungkin dia pemain
wayang
wong!” si kakek tertawa lagi mengekeh.
Wajah
Ningrum semakin
merah.
Tapi dalamhati perempuan ini jelas sangat terkejut. Kakek itu
jelas
dilihatnya bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau dirinya
adalah
seorang perempuan dan memakai kumis serta janggut palsu segala?!
Kemudian
didengarnya Wiro berkata “Ningrum, kau jangan tersinggung.
Kakek ini
memang suka bergurau. Walau matanya buta tapi bisa lebih
tajam
penglihatannya dari kita.”
Ningrum
tak menyahut hanya pandangi si kakek dengan pandangan rasa kagum, meski juga
agak jengkel oleh kata-katanya tadi.
“Nah, kek
sekarang bisakah kita bicara soal cincin itu?”
Kakek
Segala Tahu anggukkan kepala dan kerontangkan kaleng bututnya.
“Terakhir
sekali yang aku dengar cincin warisan setan itu berada di
tangan
seorang keroco yang dulunya tak pernah terkenal. Namanya Randu
Ireng.
Meski memiliki ilmu silat kampungan dan tolol dalam pengalaman
namun
menguasai cincin itu dia bisa menjadi orang nomer satu dalam
dunia
persilatan!”
“Terima
kasih atas keteranganmu kek. Yang ingin
kami
ketahui ialah sekedar nasihatmu bagaimana caranya mencari dan
menemui
Randu Ireng…..”
Si kakek
geleng-geleng kepala dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya yang memegang
kaleng.
“Sulit
sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa sebelum kau
dapat berhadapan dengan dia…..”
Wiro
garuk-garuk kepala. Sementara Ningrum yang mendengar jawaban kakek
buta itu
merasa sia-sia saja melakukan perjalanan jauh kalau jawaban
yang
mereka dapat hanya seperti itu.
“Betul,
kek. Memang sulit. Karena itulah kami datang minta petunjukmu….” Kata Wiro
pula.
“Ya….ya….ya….!
Akhir-akhir ini perubahan di rimba persilatan berjalan
sangat
cepat. Aku yang sudah tua renta dan buta ini terkadang kedodoran
juga
mengikutinya!” Si Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali
berturut-turut
lalu meneruskan “Mencari langsung manusia bernama Randu
Ireng itu
sulit sekali. Sampai kiamat kurasa kalian tak akan berhasil.
Namun
jika kalian terlebih dahulu bisa mencari seorang perempuan cantik
berjuluk
Ratu Mesum, ada harapan kalian bisa menangkap Randu Ireng
hidup-hidup.”
“Siapa
Ratu Mesum ini kek?” membuka mulut Ningrum untuk pertama kalinya.
“Ah,
bagus kau bertanya begitu….” Sahut si kakek. “Nah, membuat urusan
dengan si
Ratu Mesum ini juga bukan pekerjaan mudah. Dia seorang
perempuan
cantik jelita, berkulit halus mulus dan putih. Berpakaian
serba
merah. Begitu tipis pakaiannya itu hingga lekuk liku tubuhnya
bisa
terlihat dengan jelas. Di samping itu sekujur tubuhnya menebar bau
harum
yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki. Akupun yang sudah tua
bangka
ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan….” kata Si Segala
Tahu lalu
tertawa panjang.
“Di mana
kami bisa mencari Ratu Mesum ini?” bertanya Wiro setelah si kakek hentikan
tawanya.
“Ratu
Mesum memiliki beberapa tempat kediaman. Tapi dia lebih sering
berada di
sebuah danau…..” Si kakek mengingat-ingat nama danau itu lalu
memberitahukannya
pada Wiro. Lalu menyambung “Satu hal yang membuat
sulit
berurusan dengan perempuan itu ialah nafsu badaniahnya yang luar
biasa.
Setiap lelaki yang disukainya pasti akan dipikatnya untuk dapat
tidur
bersama. Lalu, jika sudah puas, lelaki itu pasti dibunuhnya!” (Mengenai kisah
Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari Liang Kubur karangan Bastian
Tito, penerbit Lokajaya)
Wiro
Sableng jadi garuk-garuk kepala mendengar keterangan itu sementara
Ningrum
melirik ke arahnya untuk melihat reaksi si pemuda.
“Ingin
sekali aku menemui sang ratu itu…..” kata Wiro perlahan.
“Jika kau
terpaksa harus mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah.
Bukan
saja kau akan dibunuhnya tapi besar kemungkinan begitu
mendapatkan
cincin keramat itu, benda itu akan dirampasnya!”
“Sialan!
Berabe juga urusan ini!” ujar Wiro.
“Apakah
tak ada lain orang yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?” tanya Ningrum.
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit dan kerontangkan kalengnya.
Begitu
kerontangan kaleng berhenti diapun berkata “Ratu Mesum adalah
yang
paling mungkin memberikan bantuan. Apalagi kalau lelaki muda
seperti
sahabatmu itu yang memintanya. Lain dari itu kukira Randu Ireng
hanya
bisa dipikat dengan paras cantik dan tubuh bagus. Selagi dia
lengah
rampas cincin itu….. Hanya saja, kalian harus dapat membaca
situasi….”
“Membaca
situasi bagaimana?” tanya Wiro.
“Jika
cincin
itu berada dalam jari telunjuk, sekali-kali jangan dekati Randu
Ireng.
Jadi kalian harus melakukan sesuatu sebelum dia sempat memakai
cincin
tersebut di jari telunjuk…. Nah, kurasa aku sudah memberikan
semua
keterangan yang kalian minta…..”
“Kek,”
Wiro cepat berkata ketika dilihatnya Si Segala Tahu hendak melangkah pergi.
“Apalagi
anak muda?”
“Apakah
tak ada cara lain menghadapi pikatan Ratu Mesum? Maksudku
meminta
bantuannya tanpa mau melayaninya di atas ranjang….. lalu lolos
dari
ancaman mautnya?!”
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Selama
dunia terkembang…..”katanya dibarengi dengan menggoyangi kaleng
rombengnya,
“Belum pernah kudengar ada kucing menolak daging. Begitu
juga kaum
lelaki. Belum pernah kuketahui tak ada lelaki yang tidak
tertarik
pada wajah cantik dan tubuh mulus merangsang. Nah…..
buntut-buntutnya
hanya terserah padamu anak muda. Putar otakmu
bagaimana
menundukkan rangsangan yang ada dalam dirimu sendiri. Sekali
kau jatuh
di atas perutnya, berarti maut sudah menunggu di puncak
hidungmu.
Ha….ha…..ha…..!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Ningrum merasa jengkel mendengar ucapan si kakek, membuang
muka memandang ke lain jurusan.
“Manusia
bernama Randu Ireng ini, kek….” Kata Wiro. “Mohon peunjukmu
bagaimana
mengetahui dirinya sebenarnya mengingat kepandaiannnya
menyamar.”
“Soal
samar menyamar kawan seperjalananmu ini mungkin
bisa
membantu. Hanya satu hal yang kuketahui. Manusia bisa menyamar
sejuta
rupa, seribu kali dalam semalam. Tapi satu hal dia tidak bisa
merubah.
Yakni sepasang matanya, nah, si Randu Ireng itu menurut kabar
yang aku
dengar dia memiliki tanda titik hitam sebesar jagung pada
bagian
putih matanya sebelah kanan! Dia bisa merubah tampang dan
pakaiannya.
Tapi dia tidak bisa menghilangkan tanda pada matanya itu.
Jika kau
bertemu Ratu Mesum, harus kau terangkan hal itu….”
“Kek,
sekali
lagi kau berhutang budi padamu. Entah kapan dapat membayar. Kami
berdua
mengucapkan ribuan terima kasih atas segala petunjukmu…..”
Kakek
Segala Tahu cuma tertawa. Mendeongak ke langit lalu
goyanggoyangkan
tangan kanannya yang memegang kaleng. Sebelum mereka
berpisah
Ningrum tanggalkan caping lebarnya dan berkata “Kek, kau
ambillah
caping bambuku ini. Kulihat topi pandanmu sudah banyak
lubangnya…..”
Lalu tanpa menunggu jawaban apakah orang setuju atau
tidak,
Ningrum sudah ambil topi pandan butut dari kepala si kakek,
memakaikannya
ke kepalanya sendiri sedang caping bambunya dipakaikan ke
kepala
orang tua itu.
Kakek
Segala Tahu tertawa panjang.
“Terima
kasih….terima kasih perempuan cantik. Kelak kau akan
mendapatkan
jodoh baru. Seorang suami yang baik pengganti suamimu yang
hilang
itu!”
“Kek!”
Ningrum berseru seraya melirik pada Wiro Sableng.
Si kakek
buru-buru berkata “Jangan salah sangka Ningrum. Calon
pengganti
suamimu bukan pemuda tolol bernama Wiro Sableng ini…..!
Ha….ha….ha!”
Kaleng di tangannya kembali berkerontangan.
*****************
11
Bulaksari
merupakan kota pasar tempat penduduk sekitarnya
mengirimkan
hasil pertanian maupun ternak untuk dijual pada setiap hari
Kamis.
Karenanya kota ni lebih dikenal dengan sebutan Pasar Kamis.
Sebagaimana
biasa setiap Kamis pagi, di tanah lapang yang menjadi pusat
pasar
telah penuh dengan tumpukan sayur mayur, padi, ternak dan lain
sebagainya
yang siap menunggu pembeli. Para tengkulak berkeliaran
menawar
sana menawar sini. Bila harga cocok barang daganganpun
diangkat,
bertukar dengan uang. Para pemilik barang biasanya adalah
para
petani pulang dengan kantung penuh. Sebelum pulang biasanya mereka
membeli
dulu beberapa keperluan dapur.
Hari
Kamis itu, pasar hampir usai ketika sebuah gerobak besar ditarik
dua ekor
kuda yang tampak keletihan dan berhenti di tepi tanah lapang.
Siapa
pula yang membawa barang dagangan ketika pasar sudah bubar
seperti
ini. Demikian banyak orang yang ada di sekitar situ
bertanya-tanya.
Kusir
gerobak, seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower
turun
dari gerobaknya. Sesaat dia memandang berkeliling. Lalu seperti
tak acuh
ditinggalkannya gerobaknya.
Seorang
pedagang bertanya “Hai! Barang dagangan apa yang kau bawa ke mari? Apa tidak
tahu kalau pasar sudah bubar?!”
Kusir
yang ditanya hanya angkat bahu. Sambil melangkah dia berkata
“Sebentar
lagi majikanku yang punya barang segera datang. Barang
dagangan
yang dibawanya bukan barang sembarangan. Walau pasar sudah
bubar
pasti kalian semua akan tertarik…..!”
Kusir itu
kemudian lenyap di tikungan jalan.
Orang
banyak yang masih ada di pasar itu dengan rasa ingin tahu tegak
di
sekeliling kereta. Setelah lama ditunggu-tunggu tak seorangpun
muncul.
Baik yang katanya majikan pemilik batang dalam gerobak, maupun
sang
kusir. Orang-orang yang ada di tempat itu kini jadi ingin tahu
barang
dagangan apa yang ada dalam gerobak tersebut. Mereka menyingkap
dua lapis
karung tebal yang menutupi bagian belakang gerobak. Ketika
karung
itu tersibak, orang yang tadi menyingkapkan terpekik dan
mencelat
mental dengan muka pucat. Yang lain-lainnyapun berseru kaget,
memandang
ke dalam gerobak dengan mata melotot. Yang berkerumun di
sebelah
belakang coba mendesak ke depan. Tapi begitu ada yang berteriak
“Mayat
manusia!” mereka urung mendekat. Dan pasar itupun menjadi
gempar!
Kini tak ada yang berani mendekati gerobak. Semua memandang
dari
kejauhan denan perasaan takut dan ngeri.
Pendekar
212 Wiro Sableng dan Ningrum sampai ke Pasar Kamis justru ketika kegemparan itu
berlangsung.
“Hai! Jangan
mendekat!” Seseorang berteriak ketika Wiro melangkah menuju gerobak.
“Ada
mayat di dalamnya!” seru seorang lainnya.
Wiro
tidak perduli. Dia melangkah terus bersama Ningrum. Karung tebal
yang baru
sebagian tersingkap ditariknya dan dicampakkannya ke tanah.
Kini
dalam gerobak, terpentang pemandangan yang mengerikan. Bukan cuma
satu
mayat yang ada di situ. Tapi enam!
Kalau
tadi Wiro Sableng
tidak
menunjukkan rasa takut, namun setelah mengenali enam sosok mayat
dalam
gerobak, pemuda ini mau tak mau bersurut mundur dua langkah dan
berpaling
pada Ningrum. Suaranya perlahan sekali ketika berkata
“Mereka…..
Enam Kelewang Maut….”
Kini
Ningrum ikut terkejut. “Siapa yang membunuh mereka. Aku curiga…..”
“Pasti
Randu Ireng. Kulihat mayat-mayat itu berada dalam keadaan rusak.
Ada yang
hancur kepalanya. Belubang dada atau perutnya atau hampir
putus
lehernya. Kematian dengan luka mengerikan seperti itu hanya bisa
disebabkan
oleh cincin baja putih ular kobra!”
“Kalau
begitu orang yang kita cari tak berada jauh dari sini…..”
Wiro
membenarkan. Lalu cepat mencari keterangan dari orang-orang yang
ada di
situ. Mereka mengejar ke arah lenyapnya kusir gerobak. Namun tak
mungkin
untuk menemukan orang itu lagi.
“Apa yang
kita lakukan sekarang…..?’ tanya Ningrum.
“Kita
harus segera meneruskan perjalanan ke danau Karang Kates,” sahut
Wiro. Dia
memandang sekali lagi ke arah mayat-mayat malan dalam gerobak
itu lalu
cepat-cepat mengikuti Ningrum yang sudah melangkah pergi lebih
dulu.
Danau Karang Kates merupakan danau luas tetapi sunyi. Anehnya tak
ada satu
rumah pendudukpun terlihat di sapanjang tepi danau. Tak ada
seorangpun
dapat ditemui untuk mendapatkan keterangan.
“Aneh,”
kata Ningrum. “Mengapa tak ada rumah di sepanjang tepi danau.
Padahal
menurutku danau ini pasti banyak ikannya. Yang dapat dijadikan mata
pencaharian…..”
“Tentu
ada apa-apanya. Jika Ratu Mesum memang tinggal di sini, siapa yang berani
ikut-ikutan diam di tempat ini…..”
“Tapi di
mana bangunan kediaman perempuan itu. Kita sudah mengelilingi
tepi
danau satu hari suntuk. Tak ada satu bangunanpun yang kelihatan!”
kata
Ningrum pula.
“Kalau
saja aku tahu suasananya seperti ini,
pasti aku
akan lebih banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu itu……”
keduanya
lalu duduk di atas batang kayu tumbang. Memandang ke tengah
danau.
Tiba-tiba Ningrum menunjuk.
“Lihat!
Ada orang berperahu di tengah danau!”
Wiro
cepat berdiri. Memandang ke tengah danau memang dilihatnya ada
sebuah
perahu meluncur cepat menuju tepi sebelah timur. Dari kejauhan
terlihat
hanya ada satu orang di atas perahu itu. Orang ini mendayung
perahu
dengan mempergunakan kedua tangannya kiri kanan.
“Orang
itu
mengenakan
pakaian merah….” kataWiro. “Kita kejar ke arah Timur! Pasti
itu Ratu
Mesum!” maka kedua orang itupun berkelebat menuju ke timur.
Ternyata
perahu lebih cepat dan lebih dahulu mencapai tepi danau
sebelah
timur dari pada kedua orang itu. Dan pada jurusan dari mana
sebelumnya
mereka melihat perahu merapat, justru mereka tidak menemukan
apa-apa.
“Aneh,
kemana perginya orang tadi?!’ uajr Wiro Sableng sambil memandang berkeliling.
“Perahunyapun
ikut lenyap!” menyahuti Ningrum.
“Mungkinkah
tadi kita hanya melihat bayangan hantu…..?”
Keduanya
memeriksa dengan teliti tepian danau di jurusan mana tadi
mereka
melihat perahu terakhir kali. Tepian itu, tidak seperti tepian
lainnya
penuh ditumbuhi rumput air, semak beluka dan pohon-pohon lurus
tinggi
seperti lalang.
“Aku akan
turun ke air,” kata Wiro. “Mungkin
ada
sesuatu yang tidak terlihat dari darat.” Tanpa tunggu lebih lama
Wiro
turun ke air. Air danau di bagian tepi itu ternyata hanya sampai
sepinggang.
Wiro menyibakkan rumput dan alang-alang air, memperhatikan
setiap
bagian tepi danau dengan teliti. Dekat sebuah pohon waru yang
tumbuh
menjorok miring ke danau tiba-tiba Wiro dapatkan sebuah lobang
setinggi
kepala dan cukup lebar untuk dimasuki dua orang sekaligus.
Wiro
lambaikan tangannya ke arah Ningrum, memberi isyarat agar
perempuan
itu turun ke air. Begitu Ningrum di sebelahnya Wiro menunjuk
ke arah
lobang.
“Apa
pendapatmu….?” Tanya Pendekar 212.
“Orang
dan perahu tadi kurasa pasti masuk ke dalam lobang ini. Kalau tidak masakan
bisa lenyap begitu saja…..”
“Kalau
begitu mari kita menyelidik ke dalam.”
Keduanya
lalu masuk ke dalam lobang di tepi danau itu. di sebelah dalam
ternyata
lobang ini merupakan sebuah terowongan panjang. Makin ke dalam
air yang
mengalir dari danau semakin dangkal dan bersibak ke arah dua
terowongan
lain yang terletak di kiri kanan terowongan utama. Di
persimpangan
tiga terowongan ini mereka menemukan sebuah perahu yang
masih
basah. Wiro melangkah terus memasuki terowongan utama diikuti
oleh
Ningrum. Memasuki terowongan sejauh dua puluh tombak, tanah
terowongan
tampak kering dan makin ke dalam makin menurun hingga
akhirnya
mereka sampai di hadapan sebuah pintu gerbang aneh terbuat
dari akar
pohon bakau. Pada bagian atas pintu gerbang ini terdapat dua
rangkaian
tulisan berbunyi :
Pintu
Sorga
Pintu
Neraka
Dari
sebuah belakang pintu gerbang tampak lapisan asap tipis. Dari arah ini pula
tercium bau harum.
“Aku
kawatir asap itu mengandung racun berbahaya,” bisik Wiro. “Bisakah kau berjalan
dengan menutup penciuman?”
Ningrum
mengangguk. Sebelum melangkah melewati pintu gerbang aneh itu
Wiro
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu memberi isyarat agar
Ningrum
segera mengikutinya. Selewat pintu gerbang, tanah terowongan
itu
ternyata dilapisi batu pualam berwarna putih berkilat. Di kiri
kanan
dinding, pada jarak-jarak tertentu terdapat obor aneh yang
terbuat
dari kayu hitam kecil tanpa minyak. Tak lama kemudian asap
putih
tipis yang menabur bau harum tadi lenyap. Wiro dan Ningrum buka
jalan
pernafasan dan penciuman masing-masing. Keduanya sempat
tersenggalsenggal
karena menutup pernafasan begitu lama.
“Ada ruangan
besar di depan sana….” Bisik Wiro. “Hati-hatilah….” Katanya
kemudian
memperingatkan. “Tulisan di pintu kayu tadi mengundang
kesenangan
berbau maut!”
Ruangan
yang kemudian mereka masuki keseluruhannya dilapisi batu pualam, mulai dari
lantai sampai dinding dan langit-langit. Memandang berkeliling kedua orang itu
mendapati
ruangan
tersebut tak ada jendela tak ada pintu. Buntu?
“Aku
merasa gerak-gerik kita diawasi….” Bisik Wiro.
“Ya, aku
juga merasa begitu. Pasti!” sahut Ningrum. Lalu tanyanya
“Kemana
lenyapnya orang berpakain merah yang kita lihat di atas perahu
tadi?”
Tiba-tiba
dari baigan ruangan arah mana mereka masuk tadi
terdengar
suara bersiur amat halus dan dari atas mendadak turun sangat
cepat
sebuah lapisan dinding yang langsung menutup mulat ruangan!
“Kita
terjebak!” bisik Ningrum tegang.
“Tenang
saja. Pasang mata dan telinga baik-baik,” balas berbisik Wiro.
“Aku akan
memanggil tuan rumah…..” katanya kemudian. Setelah memandang
berkeliling
Wiro lantas beseru “Ratu Mesum apakah kami berada di tempat
kediamanmu….?”
Tak ada
jawaban. Suara seruan Wiro menggema menggidikkan dalam ruangan batu pualam itu.
“Ratu
Mesum! Apakah kau ada di sini….? Keluarlah. Kami datang membawa maksud baik!
Hanya untuk minta bantuan!”
Mendadak
terdengar suara tawa cekikikan.
Mesti
tegang namun kedua orang itu maklum kalau mereka saat itu memang
memasuki
tempat kediaman Ratu Mesum karena suara tawa itu adalah suara
tawa
perempuan.
Terdengar
lagi suara bersiur seperti tadi. Menyusul
secara
tiba-tiba dinding di hadapan mereka membuka dan kelihatan sebuah
lobang
berukuran satu kali satu tombak. Bagian dalam lobang ini
memiliki
lantai yang meninggi di sebelah belakang. Dari lantai yang
miring ke
atas ini mendadak meluncur sebuah benda. Ketika benda itu
jatuh dan
tergelimpang di hadapan mereka, kaget Wiro dan Ningrum bukan
kepalang.
Perempuan ini malah sampai membuang muka. Benda yang
tergelimpang
di lantai itu ternyata adalah sesosok tubuh lelaki dalam
keadaan
tanpa pakaian sama sekali. Melihat kepada wajahnya jelas dia
masih
sangat muda dan berparas cakap. Pada lehernya terdapat luka besar
yang
masih mengucurkan darah segar!
*****************
12
Wiro
Sableng memaki panjang pendek dalam hati sementara Ningrum
seperti
menyesali mengapa dia sampai berada di tempat celaka seperti
itu.
Mendadak terdengar lagi suara bersiur. Lantai batu pualam dimana
mayat
pemuda itu mengeletak bergeser ke kiri dan ke kanan, meninggalkan
lobang di
sebelah tengah. Sosok tubuh telanjang itu jatuh ke dalam
lobang
dan kedua sisi lantai menutup kembali. Anehnya noda-noda darah
yang tadi
jelas terlihat menggenangi lantai kini lenyap bersih entah ke
mana! Di
saat yang sama kembali terdengar suara tertawa panjang. Begitu
tawa
lenyap, dalam ruangan itu tercium bau harum. Lalu langit-langit
yang
terbuka secara aneh, melayang turun sesosok tubuh berpakaian
merah.
Dengan gerakan sangat ringan, tanpa mengeluarkan bunyi sama
sekali,
seolaholah menginjka kapas, sosok tubuh ini memijakkan kedua
kakinya
di atas lantai batu pualam.
Wiro
Sableng terkesiap tak berkedip menyaksikan orang yang tegak di
hadapannya
sedang Ningrum merasakan wajahnya menjadi merah. Meskipun
dia ingin
memalingkan muka namun tetap saja diapun ikut-ikutan
memandang
lekat ke arah orang yang ada di hadapannya itu. Orang ini
ternyata
adalah seorang perempuan berparas sangat cantik, berkulit
putih.
Rambutnya disanggul ke belakang dan pada bagian kepala di atas
keningnya
ada sebentuk mahkota kecil. Dia tersenyum smbail
memain-mainkan
ujung lidah di sela bibir. Lidah yang basah itu tampak
merah
segar sedang deretan gigi-giginya tampak putih rata. Si jelita
ini
mengenakan sehelai pakaian panjang menjela lantai berwarna merah,
terbuat
dari kain tipis – mungkin sutera. Demikian tipisnya pakaian ini
hingga
tubuhnya di sebelah dalam yang tidak berpenutup apa-apa terlihat
dengan
jelas.
Wiro
garuk-garuk kepala. Namun begitu ingat dia segera menjura.
“Tentunya
kami berhadapan dengan Ratu Mesum yang terkenal itu…..”
Yang
ditegur tidak menjawab, malah terus memainkan ujung lidahnya.
“Kami
datang dari jauh untuk memohon bantuan Ratu…..” kata Wiro lagi.
Kini
sepasang mata perempuan cantik itu memperhatikan pemuda di
hadapannya
mulai dari ujung rambut sampai ujung jari. Dia sama sekali
tidak
memperdulikan Ningrum yang sapai saat itu masih mengenakan
pakaian
serba hitam, bertopi pandan butut, menutupi wajah perempuannya
dengan
kumis dan janggut tebal. Mendapatkan tegur sapanya tidak dibalas
orang
diam-diam Wiro kembali memaku dalam hati.
“Ah, kami
tahu Ratu
barusan
sampai. Tentunya masih letih dan tak ingin diganggu. Kalau
memang
begitu biar kami pergi saja. Nanti baru kembali lagi……”
Perempuan
berpakaian merah tipis itu usap rambutnya, rapikan
pakaiannya.
Tiba-tiba dia membuat gerakan yang menyebabkan pahanya
sampai
pinggul sebelah kiri tersingkap lebar, memutih mulus berkilau.
“Sialan,
apa sebenarnya yang diinginkan perempuan ini!” kata Wiro dalam
hati.
Meski sikap si jelita tidak menyenangkan namun matanya tak
habisnya
melirik paha dan pinggul yang putih itu.
Tiba-tiba
si jelita tertawa panjang sambil mendongak ke langit-langit ruangan.
“Kalian
baca tulisan di pintu masuk tadi….?!” Perempuan itu bertanya.
“Kami
membacanya,” sahut Wiro.
“Bagus!
Berarti kalian menyadari sepenuhnya nasib kalian akan seperti
itu
pula!” habis berkata begitu perempuan berpakaian merah ini tertawa
panjang.
Karena
sudah pasti sekali perempuna di hadapannya itu
adalah
Ratu Mesum maka Wiro segera menyebut namanya “Ratu Mesum, kami
datang
membawa persahabatan…..”
“Seumur
hidup aku tak punya sahabat. Dan tak ingin punya sahabat! Kalian dengar itu?!”
“Susah
juga bicara dengan manusia ini!” pikir Wiro. Lalu dia menyahuti
“Jika
Ratu tak mau menganggap kami sahabat tak jadi apa. Hanya apakah
Ratu sudi
membantu, itulah yang kami harapkan….”
“Seumur
hidup aku
tak
pernah kedatangan tamu. Kecuali orang-orang yang kubawa sendiri
untuk
mendapatkan sorga dan menerima neraka di tempat ini! bagaimana
kau bisa
tahu tempat ini….?”
“Kami
mendapat petunjuk dari Kakek Segala Tahu….” Menerangkan Wiro.
“Hemmm…..
tua bangka rongsokan itu. Belum mampus dia rupanya! Kenapa
kalian
mencariku….. Eh, kawanmu yang satu itu apakah dia bisu. Atau
tuli?
Dari tadi dia hanya menlengos-melengos saja memandang ke jurusan
lain!”
“Kawanku
ini sudah cukup lanjut usianya. Jadi harap dimaklumi kalau dia merasa kikuk
menghadapi Ratu….”
“Rambut
gondrong! Kau pandai bicara! Katakan apa yang kalian mau?!” tanya sang ratu.
“Kami
perlu bantuanmu untuk menangkap hidup atau mati seorang manusia
bernama
Randu Ireng. Kami mewakili para sahabat dari dunia persilatan.
Menurut
Si Segala Tahu hanya kau yang sanggup menghadapi Randu Ireng…..”
“Mengapa
kalian menginginkan orang itu?” tanya Ratu Mesum.
Semula
Wiro tak mau berterus terang. Dia melirik pada Ningrum. Ketika
mendapat
isyarat maka diapun menjawab “Randu Ireng kini menguasai
sebuah
cincin keramat. Jika benda itu tidak segera dirampas dan
dilenyapkan
dari atas dunia ini, rimba persilatan akan dilanda bahaya
besar!
Maut akan bertebaran di delapan penjuru angin…..”
“Kalau
semua orang para mampus, apa perduliku?” tukas Ratu Mesum.
“Kau
betul. Apa perdulimu….!” Wiro mulai jengkel.
“Gondrong!
Apakah kau sadar kalau kau dan kawanmu itu tak bakal keluar hidup-hidup dari
tempat ini…..?!”
Ningrum
semakin tegang. Tenaga dalam dilipat gandakannya ke tangan kanan.
Didengarnya
Wiro berkata “Kalau takdir mengatakan kami memang harus
mati di
tempat ini ya, mau dikata apa? Tapi apakah kau tak mau
memberikan
sedikit keringanan. Kami mendengar selain wajahmu yang
cantik
luar biasa, tak ada duanya di dunia ini, selain tubuhmu yang
bagus dan
mulus tak ada perempuan lain yang bisa menandinginya, tidak
juga
permaisuri atau selir raja, tidak juga Nyai Rara Kidul dari pantai
selatan,
kami tahu kau juga seorang pemurah. Nyawa kami berdua tentu
tak ada
harganya di hadapanmu. Aku rela mati setiap saat asal kau
berjanji
mendapatkan cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!”
“Cincin
itu…. apakah yang terbuat dari baja dan bergambar kepala ular sendok?” bertanya
Ratu Mesum.
“Betul
sekali Ratu….” Sahut Wiro. Dia maklum kalau ucapannya yang serba
memuji
tadi kini berhasil melunakkan hati sang ratu. Maka diapun
menambahkan
“Semua para tokoh silat di luar sana menganggap hanya Ratu
lah yang
mampu melakukan hal itu….”
Ratu
Mesum tertawa “Semua tokoh
silat itu
tokoh tolol! Apakah mereka mengira aku suka terhadap semua
lelaki….?
Kudengar manusia bernama Randu Ireng itu punya seribu muka….”
“Betul
Ratu. Hanya saja menurut Kakek Segala Tahu dia punya tanda hitam pada matanya
sebelah kanan….”
Ratu
Mesum mengangguk beberapa kali sambil tangan kirinya mengusapi pahanya sendiri.
“Kita
harus membuat perjanjian!” sang ratu kemudian berkata.
“Perjanjian
apa Ratu?”
“Pertama
kau dan aku, kita berdua melakukan perundingan di ruangan
dalam.
Kedua, jika cincin itu berhasil didapat, maka cincin itu akan
menjadi
milikku….”
“Mana
bisa begitu!” Ningrum membuka mulut untuk pertama kali. “Benda itu adalah milik
mendiang…..”
Wiro
sodokkan sikutnya ke rusuk Ningrum hingga perempuan yang menyamar sebagai
lelaki ini terhenti ucapannya.
“Hai,
ternyata kawanmu itu tidak tuli dan bisu!” kata Ratu Mesum.
“Bagamana,
kau setuju dengan perjanjian itu?!”
“Perjanjian
kedua kami setuju,” sahut Wiro. “Mengenai perjanjian
pertama
bagaimana kalau kita laksanakan setalah cincin didapat.
Percayalah
aku tidak akan mengingkari janji. Aku tidak akan
mengecewakanmu.”
Ratu
Mesum menyeringai. “Siapa percaya mulut lelaki!” katanya.
“Kalau
begitu terpaksa kami mencari orang lain yang dapat membantu.
Kami
minta diri sekarang. Tempat ini panas sekali……” kata Wiro lalu
kedua
tangannya membua dada pakaiannya lebar-lebar dan mengipas-ngipas
seperti
orang sedang kepanasan. Sepasang mata Ratu Mesum melirik ke
balik
pakaian Wiro. Hatinya tercekat. Belum pernah dia melihat lelaki
memiliki
dada bidang penuh otot seperti pemuda berambut gondrong itu.
“Ratu,
sudikah kau membukakan pintu keluar bagi kami…..?”
“Kalau
kau sudi tidur denganku, segala keinginanmu aku penuhi!” Tanpa malu-malu Ratu
Mesum berkata seperti itu.
“Bagaimana
kalau temanku ini saja yang melayanimu?” ujar Wiro pura-pura jual mahal.
“Si buruk
itu? Janggut dan kumisnya memuakkan. Tubuhnya kecil dan
parasnya
pucat seperti kurang darah. Gerak geriknya seperti ayam sakit!”
“Kalau
kau memang tidak suka padanya biarkan dia pergi….. Nanti kita bisa berunding
lebih leluasa!”
Mendengar
kata-kata Wiro, Ratu Mesum gerakkan tangan kanannya. Dinding
tipis
yang tadi turun menutupi bagian depan ruangan itu naik ke atas.
Wiro
memegang bahu Ningrum dan berkata “Kau tunggu kami di luar. Tak
usah
kawatir. Ratu cantik ini akan menolong kita. Cincin itu pasti akan
kita
dapatkan kembali…..”
Sejak
tadi Ningrum sebenarnya ingin meninggalkan tempat ini. Tapi kini disuruh pergi
sendirian dia ingin menolak.
“Pergilah,”
bisik Wiro. “Kurasa sesuai petunjuk Si Segala Tahu aku sanggup mengatur si
cantik ganas ini…..”
“Dia akan
menipumu, lalu membunuhmu!” kata Ningrum.
“Tidak.
Aku bukan macam lelaki tolol yang bisa disuguhinya sorga lalu
dihantamnya
dengan neraka. Lihat saja nanti. Nah, pergilah!”
Akhirnya
terpaksa juga Ningrum meninggalkan ruangan itu. Keluar dari terowongan dan
menunggu di tepi danau.
*****************
13
Begitu
Ningrum keluar, dinding yang tadi naik ke atas turun menutup
kembali.
Kini tinggal Wiro Sableng dan Ratu Mesum berduaan. Mengira
pemuda
itu sudah terpikat, sang ratu langsung saja hendak merangkulkan
kedua
tangannya ke leher Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng cepat berkelit.
Sambil
menjaga jarak dia berkata “Aku tahu apa artinya sorga dan neraka
seperti
tertulis di pintu masuk. Semua orang mau sorga tapi tidak suka
neraka.
Termasuk aku. Aku tidak menganggap buruk kau mempunyai sifat
suka
mencari kesenangan duniawi. Setiap manusia sudah punya takdir
hidup
sendiri-sendiri sejak dia dilahirkan. Nah, bagaimana kalau kita
membuat
perjanjian….”
“Perjanjian
apa?” tanya Ratu Mesum. Tubuhnya terasa panas keringatan.
Dadanya
turun naik dan cuping hidungnya kembang kempis. Sepasang
matanya
memandang pada Wiro hampir tak berkedip. Jelas perempuan cantik
ini tidak
dapat menahan hasratnya yang berkobar-kobar.
“Terus
terang aku bukan manusia turunan alim,” kata Wiro Sableng. “Aku
bersedia
memenuhi apa kemauanmu, tapi aku tidak mau berakhir dengan
kematian…..!”
“Aku
telah bersumpah! Setiap lelaki yang jatuh dalam pelukanku harus mati!”
kata Ratu
Mesum dan sepasang matanya tetap tak berkedip, memandang tajam ke arah Wiro.
“Sumpah
teramat berat!” ujar Wiro. “Sumpah seperti itu bisa membunuh
dirimu
sendiri Ratu! Kenapa kau sampai mengangkat sumpah seperti itu?”
“Kau tak
berhak bertanya!”
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Lekas
katakan apa perjanjian yag kamu maksudkan tadi!”
“Aku
mengikuti apa maumu, tapi kau juga harus berjanji untuk membantu merampas
cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!”
“Jika aku
tak sudi?!”
“Lebih
baik aku angkat kaki dari sini sekarang juga!”
“Tidak
pernah satu lelakipun keluar hidup-hidup dar ruangan ini!”
“Kalau
begitu mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui ajal!”
Ratu
Mesum tertawa panjang mendengar tantangan itu.
“Kulihat
kau memang memiliki tenaga dan otot. Kulihat kau memang ada
membekal
senjata di balik pakaianmu. Tapi kepandaian apa yang kau
miliki
hingga berani menantang aku?!”
“Aku
memang berani tapi kau?!” balas Wiro.
“Jangan
kira aku pengecut!” teriak Ratu Mesum marah. Begitu teriakannya
lenyap
tubuhnya berkelebat menjadi bayang-bayang merah. Wiro merasakan
ada angin
deras menghantam ke arah tenggorokan dan ke bawah
selangkangan.
Ternyata sang ratu lancarkan serangan berupa jotosan maut
ke leher
dan tendangan mematikan ke bawah perut. Perempuan itu yain
benar
salah satu dari serangan kilatnya itu pasti akan menemui sasaran.
Namun
betapa kagetnya ketika dua-dua serangannya hanya mengenai tempat
kosong.
Sebaliknya jika dia tidak lekas menyingkir, pinggangnya hampir
kena
ditelikung si pemuda!
Ratu
Mesum tegak di sudut ruangan. Matanya berkilat-kilat memandang Wiro.
Pendekar
212 menyeringai. “Bagaimana, kau kecapaian atau tak punya nyali lagi meneruskan
perkelahian ini?!”
“Mampuslah!”
teriak Ratu Mesum. Tangan kanannya dihantamkan ke depan.
Selarik
sinar merah menderu. Meski baru berkelahi dua jurus tetapi
saking
marahnya perempuan ini langsung keluarkan pukulan sakti pada
jurus
ketiga.
Murid
Sinto Gendeng yang memang sudah berjaga-jaga
sambut
pukulan dengan pukulan “dinding angin berhembus tindih
menindih”.
Ratu Mesum tersentak kaget ketika mendengar ada suara angin
menderu,
menerpa ke arahnya. Dan dia jadi lebih kaget lagi ketika
melihat
sinar merah pukulannya buyar berantakan dan tiba-tiba saja
tubuhnya
seperti dilabrak angin punting beliung, terbanting ke
belakang,
terseret ke samping. Ketika dia berhasil mengimbangi diri dan
melompat
ke samping, dinding batu pualam di belakangnya terdengar
mengeluarkan
suara berderak! Ratu Mesum berpaling. Dinding tebal itu
ternyata
retak besar, sebagian batu pualamnya hancur dan tanggal
berjatuhan.
“Pemuda
keparat! Kau merusak tempat kediamanku!” teriak
Ratu
Mesum marah. Tubuhnya melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak
menyingkapkan
pakaian merahnya tinggi-tinggi. Saat itu pula bertabur
bau
sangat harum yang menusuk hidung Pendekar 212 Wiro Sableng. Sesaat
pendekar
ini seperti gelagapan ketika bau harum aneh itu merasuk jalan
pernafasannya.
Namun tak selang beberapa lama dia dapat mengatur jalan
nafasnya
kembali dan cepat memasang kuda-kuda baru. Turun ke lantai
Ratu
Mesum terkejut bukan main. Ketika melompat tadi dia telah
keluarkan
hawa harum yang merupakan senjata andalannya. Hawa harum itu
mengandung
racun jahat yang dapat membuat lawan menjadi lemas dan jatuh
pingsan.
Selama ini tak satu orangpun sanggup mempertahankan diri dari
kehebatan
imunya itu. Namun sekali ini dia melihat kenyataan yang
hampir
tak dapat dipercaya. Jangankan pingsan, lemaspun pemuda itu
tidak sama
sekali. Perlahan-lahan kemarahan sang ratu jadi mengendur
malah
berubah menjadi kagum. Dalam hati kecilnya dia berkata, kalau
saja
pemuda lihay ini dapat menjadi kawan hidupnya, mungkin dia mau
mempertimbangkan
untuk meninggalkan jalan sesat yang selama ini
ditempuhnya,
hidup menjadi perempuan baik-baik.
“Orang
muda, siapa kau sebenarnya?!” bertanya Ratu Mesum.
Wiro
Sableng tersenyum.
“Penting
sekalikah namaku bagimu…..?” tanya Wiro.
“Aku
bersedia membantu mendapatkan cincin mustika itu.” kata Ratu Mesum seperti
tidak acuh akan pertanyaan Wiro tadi.
Wiro yang
maklum apa maksud kata-kata perempuan tu tersenyum lebar dan
berkata
“Kalau tadi-tadi kau jelaskan hal itu tak perlu kita sampai
berkelahi
segala…..”
“Hebat
berkelahi belum tentu hebat di tempat
lain. Aku
perlu mengujimu. Jika kau nanti mengecawakan sumpahku akan
berlaku!”
Habis berkata begitu Ratu Mesum tekan dinding di belakangnya
dengan
siku kanan. Dinding batu itu terbuka. Di belakang dinding kini
terpampang
sebuah ruangan tidur yang sangat indah. Ratu Mesum melangkah
berlenggak
lenggok lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar.
Tangan
kanannya melambai memanggil Wiro.
“Ratu
keparat!” kata Wiro
dalam
hati, “Kau akan lihat. Aku bukannya ayam aduan yang hebat dalam
persabungan,
tapi keok di tangan ayam betina!” Sekali lompat saja
pendekar
ini sudah berada di atas tempat tidur.
Ratu
Mesum
menggeliat.
Entah kapan tangannya bergeark tahu-tahu buhulbuhul ikatan
pakaian
merahnya di sebelah depan terbuka. Wiro kini melihat sosok
tubuh
yang sangat elok menakjubkan, yang tak pernah dilihatnya
sebelumnya.
Sesaat dia seperti mendengar ucapan Kakek Segala Tahu :
“Mana ada
kucing menolak daging…..”
Ketika
hari mulai gelap, Ningrum yang menunggu di mulut lobang dekat perahu kayu
menjadi gelisah.
“Pemuda
keparat! Aku disuruhnya menjadi patung di sini! Dia sendiri
bersenang-senang
di dalam sana!” maki perempuan itu. dia tak tahu
hendak
berbuat apa selain melangkah mundar mandir. Sekali karena sangat
kesalnnya
dia tendang perahu milik Ratu Mesum. Untung tidak rusak.
Malam
tiba. Udara dalam terowongan itu ternyata dingin sekali.
Keletihan,
Ningrum membaringkan tubuhnya dalam perahu. Sampai tengah
malam
Pendeakar 212 Wiro Sableng tak kunjung muncul. Ningrum menunggu
terus
terkantuk-kantuk. Akhirnya perempuan ini jatuh tidur. Dia
terbangun
ketika dirasakannya ada orang yang menepuk-nepuk bahunya.
Dibukanya
kedua matanya dan duduk. Di hadapannya tegak pemuda itu yang
kini
telah mengganti pakaian putihnya dengan pakaian merah. Tegak
sambil
tersenyum-senyum.
“Kukira
kau sudah mati di dalam sana!” kata Ningrum saking marahnya, lalu turun dari
perahu.
Ratu
Mesum tampak tenang-tenang saja.
“Pakaian
merah itu, tentu kau dapat dari dia….” Ningrum membuka mulut kembali.
“Apa
kauingin pakaian seperti itu?” Ratu Mesum bertanya.
Ningrum
tak menyahut.
Ratu
Mesum menggelungkan tangannya ke tangan Wiro. “Kita berangkat sekarang…..?”
tanyanya.
Wiro
mengangguk “Makin cepat makin baik….”
“Tapi
ingat janjimu. Setelah urusan kita selesai, kau dan aku kembali kemari….”
Wiro
garuk-garuk kepala dan melirik pada Ningrum. “Itu bisa diatur Ratu,”
sahut
Murid Sinto Gendeng. “Ke mana tujuan kita yang pertama? Air terjun Banyu Abang
atau Bukit Merak Biru…..?”
“Bukit
Merak Biru lebih dekat. Sebaiknya kita menyelidik ke sana dulu.
Kalau
orang yang kita cari tidak ada di situ, kita baru ke air terjun
itu. Kita
harus bergerak cepat. Bisakah kawanmu yang seperti ayam sakit
ini
berlari cepat?!”
Dikatakan
ayam sakit membuat Ningrum jengkel
sekali.
Ingin dia menampar mulut perempuan itu. Tapi sadar kalau dia
membutuhkan
bantuannya maka dengan menahan hati perempuan yang menyamar
jadi
laki-laki ini berusaha mempersabar diri. Sambil melangkah ke mulut
goa Wiro
menerangkan pada Ningrum bahwa menurut pengetahuan Ratu Mesum
orang
yang mereka cari yakni Randu Ireng sering berada di Bukit Merak
Biru atau
air terjun Banyu Abang. Mereka akan menyelidik di kedua
tempat
itu.
Mereka
tidak mempergunakan perahu, melainkan langsung
naikke
darat dan mengandalkan kepandaian berlari cepat. Ratu Mesum
tampak
agak heran juga ketika melihat Ningrum mampu berlari walau
tertinggal
beberapa langkah di belakang.
Kembali
sang ratu membuka mulut mengejek “Tidak sangka kawanmu yang jelek itu memiliki
ilmu lari…..”
Ningrum
berbuat seolah-olah tidak mendengar. Yang saat ini
dikawatirkannya
ialah kalau cincin baja putih berhasil dirampas dari
tangan
Randu Ireng, apa tidak mustahil Ratu Mesum akan melarikannya?
Sementara
itu pagi yang cerah menjadi panas ketika sang surya mulai
menebarkan
sinar teriknya. Menjelang sore mereka sampai di tujuan
pertama
yakni Bukit Merak Biru. Di puncak bukit, di bagian yang
berbatu-batu
terdapat sebuah rumah yang keseluruhan dinding, lantai,
dan atap
terbuat dari rotan. Setelah diperiksa rumah itu ternyata
kosong.
“Dia tak
ada di sini…. “ kata Ratu Mesum.
“Kalau
begitu kita terus ke air terjun Banyu Abang.” Berkata Ningrum.
“Betul.”
Menyetujui Wiro.
Ratu
Mesum tertawa lebar sambil geleng-gelengkan kepala.
“Mengapa
kau menggeleng. Kau tidak suka kita segera meneruskan perjalanan….?” Tanya Wiro
pula.
“Tidak
kalian lihatkah matahari sudah hampir lenyap, tenggelam di
sebelah
barat sana? Sebentar lagi malam tiba. Malam sepi dan dingin.
Aku tidak
suka mengadakan perjalanan pada malam hari. Malam adalah saat
untuk
istirahat dan berhangat-hangat…..”
Jijik
sekali Ningrum
mendengar
ucapan Ratu Mesum itu. kejengkelannya semakin bertumpuk. Wiro
Sableng
sendiri maklum apa maksud tujuan kata-kata Ratu Mesum tadi.
Perempuan
itu memandang sesaat padanya lalu masuk ke dalam rumah rotan
tanpa
menutupkan pintu.
“Mari
kita masuk…..” mengajak Wiro
Ningrum
menggeleng. “Aku tak akan masuk. Lebih baik mati kedinginan di luar sini!”
“Kenapa
tak mau masuk?” tanya Wiro heran.
“Kalau
kau mau masuk, masuklah. Bukankah perempuan itu tadi jelas hendak mengajakmu
berhangat-hangat….?”
Menyadari
bahwa orang yang menyamar seperti laki-laki itu sebenarnya
adalah
perempuan membuat Wiro tertawa. Maka diapun berkata “Semua ini
terjadi
karena maksudku menolongmu. Jika kau memang tak ingin
mendapatkan
cincin mustika itu serta tak ada rencana hendak membalas
dendam
terhadap Pangeran Arga Kusumo lebih baik aku pergi saja dari
sini!”
Ningrum
terdiam. Lalu pergi duduk di atas sebuah batu besar.
“Jika
sahabatmu itu tidak mau masuk, buat apa dipaksa?!” Terdengar
suara
Ratu Mesum dari dalam rumah rotan. “Bukankah malah lebih baik
kalau dia
tidak ikut masuk ke dalam sini….?”
Wiro
hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia memandang sekali lagi ke arah Ningrum lalu
masuk ke dalam rumah.
“Jangan
lupa menutup pintu Wiro,” kata Ratu Mesum sambil lontarkan
senyum
memikat. Sesaat setelah Wiro menutup pintu perempuan ini
langsung
memeluknya. Nafasnya terasa panas tanda nafsunya
berkobar-kobar.
*****************
14
Tingginya
sekitar empat tombak, tidak terlalu lebar namun bentuknya
yang
melengkung membuat indah sekali. Apalagi bagian belakang air
terjun
itu merupakan batu-batu padas berwarna merah gelap hingga dari
depan dan
dari samping jika diperhatikan air terjun itu kelihatan
kemerah-merahan.
Suasana
di tempat itu sunyi dan redup. Yang terdengar hanya deru air
terjun
yang mengalir dan jatuh di atas batu-batu besar di sebelah
bawah,
kemudian membentuk sungai kecil dangkal berair sangat jernih.
Sesekali
terdengar suara burung hutan berkicau, lalu terbang dan
berkicau
lagi di tempat lain.
“Aku
tidak melihat sebuah bangunanpun di sini…..” kata Ningrum sambil
memandang
berkeliling. “Apakah manusia bernama Randu Ireng itu betul
bisa
ditemui di sini….?”
“Kau tahu
apa tentang orang itu….” kata
Ratu
Mesum ketika jelas merasa orang tidak mempercayainya. Perempuan
ini
memegang lengan Wiro dan menunjuk ke atas sebuah pohon tinggi besar
berdaun
lebat. “Lihat rumah kayu di atas sana……”
Di antara
beberapa
cabang
pohon besar yang ditunjuk Ratu Mesum ternyata memang terdapat
sebuah
rumah papan, lengkap dengan tangga kecil. “Itu rumah Randu
Ireng….”
Bisik Ratu Mesum.
“Sekarang
bagaimana kita mengatur rencana….?”
“Serahkan
padaku!” jawab sang ratu. “Kalian berdua harus bersembunyi.
Jangan
terlihat Randu Ireng. Sekali dia sempat melihat kalian
berantakan
rencanaku…..!”
“Apa yang
hendak kau lakukan?” tanya Wiro Sableng ingin tahu.
Ratu
Mesum pegang jari-jari tangan pemuda itu lalu menciumnya seraya
berkata
“Kau lihat saja. Jangan cemburu. Apa yang aku berikan padamu
tak akan
kuberikan pada manusia itu…..”
“Kau
harus hati-hati,” ujar Wiro. “Dan yang penting cincin itu harus kau dapat….!”
“Jangan
kawatir!” jawab Ratu Mesum. Sekali lagi dia mencium jari-jari
Wiro lalu
dengan gerakan cepat ditinggalkannya tempat itu, lari
menuruni
tebing batu-batu cadas licin. Jika tidak memiliki kepandaian
tinggi
seseorang tak dapat menuruni tebing itu apalagi sambil berlari
seperti
yang dilakukan Ratu Mesum. Sekali kaki terpeleset, tubuh akan
jatuh ke
bawah, disambut batu cadas keras.
Beberapa
saat lamanya
tubuh
Ratu Mesum tak kelihatan. Tak lama kemudian tampak sosok bayangan
merah di
belakang air terjun. Ternyata perempuan itu sudah ada di bawah
air
terjun.
“Apa yang
dilakukannya di situ. Mengapa dia justru menuju air terjun. Bukan ke rumah di
atas pohon sana……?” bisik Ningrum.
“Akupun
tidak mengerti. Kita lihat saja. Manusia seperti dia punya
seribu
satu akal. Berkepandaian tinggi, cerdik dan berbahaya……”
“Dan
memiliki nafsu menjijikkan!” sambung Ningrum.
Wiro tak
menjawab. Makian Ningrum yang ditujukan pada Ratu Mesum sama
saja
dengan makian yang ditujukan padanya. Karena diapun telah menjadi
“korban”
nafsu
sang ratu. Wiro memandang ke arah air terjun. Ningrumpun tak berkata apa-apa
lagi. Ikut memandang ke jurusan yang sama.
“Eh…..?”
Wiro berseru kecil. Di bawah sana, Ratu Mesum dilihatnya
melangkah
di atas batu-batu cadas basah, keluar dari belakang air
terjun,
menuju ke sebelah depannya. Dan saat itu perempuan ini sama
sekali
tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya yang bugil putih dan
mulus
elok itu tampak seolah-olah berkilau disiram sinar matahari.
“Gila!
Ternyata dia mau enak-enakan mandi di air terjun!” kembali terdengar suara
Ningrum.
“Diam
sajalah!” tukas Wiro. “Terlalu keras bicara, salah-salah suaramu akan terdengar
oleh Randu Ireng…..”
Dari arah
air terjun di mana Ratu Mesum saat itu berada dan duduk di
sebuah
batu besar sambil menjulurkan sepasang kakinya yang bagus, lalu
menyiramnyiramkan
air sungai sedikit-sedikit ke tubuhnya, tiba-tiba
terdengar
suara nyanyian merdu. Yang menyanyi ternyata sang ratu
sendiri.
Air
terjun Banyu Abang
Banyu
Abang banyu yang sejuk
Nikmatnya
mandi bersiram air dan matahari
Sayang
hanya seorang diri
Tempat
yang indah untuk merajuk
Pesinggahan
yang menyenangkan bagi pengelana
Berpolos
diri saling menggoda
maklum
kalau perempuan tersebut telah mengerahkan tenaga dalamnya.
Kalau
tidak suara nyanyiannya tak mungkin terdengar keras, menggema
sampai ke
atas tebing, hampir mengalahkan deru air terjun.
Sudut
mata
Ningrum menangkap satu gerakan. Dia cepat berpaling, menoleh ke
arah
pohon besar lalu cepat-cepat menggamit Wiro dan berbisik “Ada
orang
keluar dari rumah di atas pohon!”
Wiro
cepat berpaling,
memandang
ke arah pohon. Memang benar. Saat itu pintu rumah kayu di
atas
pohon tampak sudah terbuka dan seorang lelaki berpakaian putih
nampak
tegak di atas cabang besar. Orang ini mengenakan pakaian serba
putih
dengan ikat pinggang kulit besar melilit di pinggangnya. Di
kepalanya
ada sapu tangan besar putih yang dilipat berbentuk segitiga,
diikatkan
membentuk topi. Orang ini tegak bekacak pinggang, memandang
lurus-lurus
ke arah iar terjun di mana saat itu Ratu Mesum masih terus
duduk
berselunjur, memain-mainkan air sambil terus bernyanyi.
“Itu
manusianya yang bernama Randu Ireng?” tanya Ningrum.
Wiro tak
segera bisa menjawab. Tampang dan pakaian orang itu jauh
berbeda
dengan manusia yang ditemuinya pada malam hujan lebat di mana
terjadi
pembunuhan atas puluhan perajurit Demak.
“Tak
dapat
kupastikan.
Jarak kita dengan dia terlalu jauh. Kalau pakaian dan
tampangnya
jelas berbeda dengan orang yang kulihat malam itu. Kalau
saja aku
bisa melihat matanya…..”
Tiba-tiba,
seperti seekor burung
besar,
orang di atas pohon melompat, melayang turun dan menjejakkan
kedua
kakinya di atas batu cadas sejauh delapan tombak dari tempat Wiro
dan
Ningrum bersembunyi. Pendekar ini cepat memberi isyarat dengan
tangan
pada Ningrum agar tidak bergerak dan jangan bicara.
Di bawah
sana Ratu
Mesum masih terus menyanyi. Lelaki di atas batu cadas sekali
lagi
tampak melompat, melompat dan melompat. Tubuhnya kini seperti bola
karet.
Empat kali lompatan akhirnya dia sampai di depan Ratu Mesum.
Perempuan
itu tampak terkejut. Mengeluarkan pekik kecil lalu berusaha
menutupi
auratnya dengan kedua tangannya.
Lelaki
berpakaian putih terdengar tertawa.
“Bidadari
dari mana yang kesasar turun ke bumi dan mandi di air terjun Banyu Abang…..!”
“Siapa
kau! Laki-laki lancang! Barani mengintip perempuan mandi!” teriak Ratu Mesum.
Wajahnya menunjukkan mimik marah.
“Aku
adalah aku! Kau siapa bidadariku?!”
“Pergi!”
Ratu Mesum cepat berdiri. Tapi orang di depannya lebih cepat
menekan
bahunya. Kedua matanya berkilat-kilat. Seumur hidup belum
pernah
dia melihat perempuan secantik ini. dan dalam keadaan bugil
begini
rupa. Sepasang payudara yang putih kencang, pinggang ramping
yang
berakhir pada pinggul yang besar. Perut yang licin mulus, sepasang
paha dan
kaki yang sangat indah. Sekujur tubuh lelaki itu mendadak
menjadi
kencang.
“Selain
cantik kau juga pandai menyanyi!” Lelaki
tadi
memuji. “Aku senang sekali bila bisa ikut mandi bersamamu!” Lalu
orang itu
membuat gerakan hendak membuka bajunya.
“Lelaki
kurang ajar! Pergi atau aku akan menjerit……!”
“Kalau
kau menjerit lalu kenapa…..”
“Tidak
disangka. Aku sengaja lari dari rumah karena hendak dipaksa
kawin
dengan kakek-kakek tua keparat itu. Tahu-tahu kini bertemu dengan
lelaki
jahat….!”
“Ah,
rupanya kau dewi yang minggat dari rumah.
Dengar,
aku bukan orang jahat. Dan aku masih muda. Tampangku tentu
tidak
sejelek kakek tua itu bukan? Ha…ha…..ha….!”
“Pergi
sana!
Lelaki
gila!” teriak Ratu Mesum. Dia berusaha meneliti mata kanan orang
di
depannya. Untuk melihat apakah ada bintik hitam pada bagian putih
mata itu.
Tetapi karena dia duduk di bawah sedang orang berdiri agak
sulit
baginya untuk memperhatikan.
“Dewiku,
mungkin benar hari ini
aku
iba-tiba telah menjadi gila! Tergila-gila padamu! Hai, tahukah kau
aturan
kehidupan di tempat ini…..?”
“Tidak!
Dan perduli amat segala macam aturan! Memangnya kau yang memiliki tempat
ini….?!” tukas Ratu Mesum.
“Tentu
saja memang aku yang menjadi penguasa di tempat ini. aturanku,
siapa
yang berani mandi di air terjun Banyu Abang tanpa seizinku, jika
dia
lelaki akan kubunuh. Jika dia seorang perempuan yang aku tidak
berkenan
juga akan kubunuh. Tetapi jika dia soerang perempuan cantik
sepertimu
maka dia harus tunduk pada perintahku…..!”
“Tunduk
pada
perintahmu…..Hik….hik…..hik…..!”
Ratu Mesum tertawa panjang sambil
mainkan
lidahnya yang merah dan perlihatkan barisan gigi-giginya yang
putih
rata. Membuat orang di hadapannya semakin blingsatan. “Tunduk
padamu
katamu?! Memangnya kau sultan atau raja…. Tampang adipatipun kau
tak
punya!”
Diejek
seperti itu orang tadi tidak tampak marah malah
ikut-ikutan
tertawa “Sultan atau Raja, apalagi adipati bukan apa-apa
bagiku!
Aku jauh lebih hebat dari pada mereka semua…..!”
“Walah!
Ternyata kau hanya seorang yang tidak waras! Kau pasti turunan orang hutan. Eh,
apakah kau punya nama…..”
“Kau
boleh menyebut namaku apa saja!”
“Monyet,
begitu! Atau lutung…..?!” ujar Ratu Mesum. Kedua tangannya
masih
menutupi dada sedang kedua paha dilipat dan dinaikkan ke atas.
“Boleh-boleh
saja kau menyebut aku begitu!”
“Kau
betul-betul hebat,” kata Ratu Mesum pula. “Tapi aku tidak suka
pada
lelaki berotak miring dan bicara ngacok sepertimu. Menyingkirlah!”
“Tidak!
Kau telah mandi di Banyu Abang. Berarti kau berada dalam kekuasaanku. Kau harus
ikut aku!”
“Ikut
kau? Ikut ke mana….?”
“Ke
rumahku di atas pohon sana!”
“Ah,
ternyata kau bangsa tikus pohon atau tupai!”
“Jika kau
menurut baik-baik kau akan kuperlakukan dengan baik. Jika
membantah
tubuh dan wajahmu yang cantik akan kubuat cacat!” lelaki itu
mengancam.
“Aku mau
lihat apakah kau sanggup dan berani
melakukannya!”
kata Ratu Mesum. Lalu dia turunkan kedua tangannya,
busungkan
dada, pejamkan mata dan angsurkan wajahnya! Melihat ini tentu
saja
lelaki itu menjadi salah tingkah, bergeletar sekujur tubuhnya,
hampir
tak dapat menahan rangsangan. Kemudian dilihatnya mulut dengan
bibir
yang basah itu mengeluarkan suara “Jika kau memberitahu namamu,
mungkin
aku mau ikut denganmu.”
“Sebut
saja namaku Danupaya…..” kata lelaki itu.
“Danupaya….?”
Desis Ratu Mesum. “Berlututlah biar dekat. Aku ingin
melihat
wajahmu agar tahu apakah kau betul bernama Daupaya….”
Seperti
terkena sihir lelaki itu perlahan-lahan berlutut di depan Ratu
Mesum.
Sepasang mata sang ratu terbuka sedikit. Senyum bermain di
mulutnya.
“Kau berdusta. Namamu bukan Danupaya…..”
“Heh…..
Lalu kau mau nama apa? Kau boleh panggil Singgil Manik atau sebut aku Tunggul
Ambang atau…..”
“Dengar,
aku mulai suka padamu. Ternyata wajahmu cukup tampan juga.
Tetapi
aku tidak suka pada lelaki yang berbohong. Hanya lelaki pengecut
yang
sengaja menyembunyikan namanya!”
“Baiklah,
kukatakan namaku sebenarnya. Aku Randu Ireng…..”
Kedua
mata Ratu Mesum membuka lebih lebar. Perhatiannya tertuju pada
mata
kanan orang yang berlutut di depannya. Dalam jarak sedekat itu
kini dia
dapat melihat jelas lelaki itu memiliki bintik hitam pada
matanya
sebelah kanan. Tanda pasti yang ditunjukkan oleh Kakek Segala
Tahu
danyang telah disampaikan Wiro padanya! Tanda bahwa orang itu
memang
Randu Ireng!
“Kau
masih saja mau berdusta. Kau bukan Randu Ireng. Katakan namamu sebenarnya….!”
Kata Ratu Mesum pula.
“Demi
segala setan penghuni air terjun ini, aku bersumpah tidak berdusta. Aku memang
Randu Ireng!”
Ratu
Mesum geleng-gelengkan kepala. Basahi bibirnya dengan ujung lidah,
turunkan
kedua kakinya yang membuat lelaki di depannya tambah membeliak
tak
berkesip. “Tidak mungkin….. tidak mungkin kau Randu Ireng. Randu
Ireng yang
sebenarnya lebih hebat dari raja, lebih tinggi dari sultan.
Aku
mendengar manusia bernama Randu Ireng itu adalah turunan penguasa
laut
selatan dan luat utara…. Memiliki kekuatan hebat yang sanggup
menghancuran
gunung dan meleburkan bukit. Jangankan gunung dan bukit,
batu di
depan sana itupun kau tak sanggup menghancurkannya!”
Lelaki
yang
berlutut di hadapan Ratu Mesum jadi tercekat. Dengan tangan kosong
memang
tak mungkin baginya menghancurkan batu itu. Tapi…..
“Kau
betul-betul mau melihat aku menghancurkan batu itu…..?”
“Sudahlah!
Jangan mimpi. Menyingkirlah. Aku harus pergi….” Ratu Mesum
berdiri
dan karena lelaki itu masih berlutut perut perempuan itu tepat
di dapan
kepalanya, hampir menempel ke hidungnya. Tak sanggup lagi
menahan
rangsangan yang membakar dirinya, lelaki itu langsung memagut
pinggul
Ratu Mesum, menciumi perutnya.
“Lelaki
kurang ajar!” Ratu Mesum dorong tubuh orang itu kuat-kuat hingga terjengkang
tapi tak sampai jatuh ke dalam air.
“Jangan
pergi! Aku akan buktikan padamu aku sanggup menghancurkan batu
itu.
Kalau tidak jangan panggil aku Randu Ireng!” lalu orang ini
susupkan
tangannya ke balik pakaian. Dia mengeluarkan sebuah kentong
kulit
berwarna hitam yang diikat erat-erat ke tali pinggang celananya.
Dari
dalam kantong ini dikeluarkannya sebuah benda putih berkilat-ilat
yang
langsung disusupkannya ke jati telunjuknya. “Lihat batu itu!”
katanya
seraya menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanannya. Giginya
bergerak
menggigit bibir sebelah bawah. Satu suara aneh seperti
seruling
mencuat menyakitkan telinga Ratu Mesum. Detik itu juga tiga
larik
sinar putih halus menyilaukan melesat, menghantam batu besar,
membuat
batu itu hancur berantakan.
“Sudah
kau saksikan?!”
Ratu
Mesum
kedip-kedipkan mata. “Mungkin kau hanya menyihirku. Membalik
pemandangan
mataku. Coba kau hancurkan lagi batu yang disebelah sana
kalau
bisa!”
“Kenapa
tidak bisa!”
Seperti
tadi orang itu
acungkan
jari telunjuk tangan kanannya. Saat itu Ratu Mesum segera
dapat
melihat bahwa cincin yang dipakainya memang adalah cincin keramat
yang
tengah mereka cari. Cincin baja putih dengan hiasan kepala ular
kobra.
Cincin warisan setan yang telah menggemparkan dunia persilatan,
dicari
dan dikejar orang, mulai dari paar tokoh silat sampai
orang-orang
istana.
“Lihat!”
kata lelaki itu lagi. Dia anggukkan kepala sedikit, gigit lagi bibirnya.
Seperti
tadi terdengar kembali bunyi seruling melengking, disusul oleh
kiblatan
tiga larik sinar menyilaukan. Sesat kemudian batu besar yang
satu
itupun hancur pula berkeping-keping.
“Ah, sekarang
aku percaya
kau
adalah Randu Ireng. Orang terhebat di delapan penjuru angin. Kau
tidak
berdusta bahwa kau memang lebih hebat dari sultan maupun raja.
Cuma, aku
minta bukti sekali lagi. Kau lihat pohon besar di atas tebing
sana?
Coba kau hancurkan bagian batang sebelah bawah, dekat akarnya……”
Randu
Ireng tertawa lebar. “Kalau batu saja hancur lebur apalagi batang kayu. Lihat!”
Lelaki
itu acungkan jarinya, gigit bibir. Dan untuk ketiga kalinya
kembali
terdengar suara bersuit. Sinar putih berkiblat tiga larik.
Melesat
ke arah pohon besar di atas tebing di belakang mana Pendekar
212 Wiro
Sableng dan Ningrum bersembunyi.
Ketika
melihat datangnya
sinar
maut menyambar ke arah pohon Ningrum terpekik. Kaget dan marah.
Wiro
cepat mendorong tubuh perempuan itu keras-keras ke samping. Dia
sendiri
menyusul berguling selamatkan diri.
“Blus!”
“Braak!”
Pohon
besar hancur. Batangnya patah di sebelah bawah dan akarnya terbongkar dari
tanah.
“Perempuan
keparat itu hendak membunuh kita!” ujar Ningrum.
Di bawah
sana, Randu Ireng tersentak kaget. Bukan karena tumbangnya
pohon,
melainkan ketika mengetahui ada orang di atas tebing.
“Hei! Ada
orang di atas sana! Keparat! Siapa mereka! Kawan-kawanmu?!”
“Aku
datang ke mari sendirian. Sipapun mereka pasti bermaksud tidak
baik!”
jawab Ratu Mesum. “Mari kita menyelidik ke atas sana. Tapi aku
berpakaian
dulu!”
Lalu dia
melangkah ke arah air terjun. Tapi
begitu
sampai di belakang Randu Ireng, perempuan ini hantamkan
pinggiran
tangan kanannya ke leher orang itu.
“Kraak!”
Terdengar
suara patanya tulang leher Randu Ireng. Tubuhnya terhuyung
sesaat,
tangan kirinya menggapai-gapai mencari keseimbangan.
Perlahan-lahan
Randu Ireng coba memutar tubuh menghadapi ke arah Ratu
Mesum.
“Perempuan
keparat! Penipu laknat! Mampuslah!”
Randu
Ireng
acungkan jari telunjuknya ke arah Ratu Mesum. Tapi lehernya yang
patah
membuat tubuhnya hilang kekuatan. Tangan kanan itu bergetar
bergoyang-goyang.
Randu Ireng gigit bibirnya. Namun sebelum hal ini
sempat
dilakukannya tendangan kaki kanan Ratu Mesum mendarat tepat di
mukanya.
Mulut dan hidung Randu Ireng hancur. Darah kental mengucur.
Kepala
dan tubuhnya mencelat dan segera jatuh ke dalam air. Ratu Mesum
cepat
menyergap untuk meloloskan cincin baja putih dari telunjuk Randu
Ireng,
namun saat itu entah dari mana datangnya bekelebat sesosok
tubuh.
Ketika sosok tubuh ini lenyap, tubuh Randu Irengpun tak ada lagi
di tempat
itu. Ratu Mesum berteriak hendak mengejar. Namun segera
disadarinya
orang yang berkelebat tadi telah menotok jalan darahnya di
dada kiri
hingga dia hanya mampu bersuara tapi sama sekali tak sanggup
menggerakkan
anggota tubuhnya!
Semula
Ratu Mesum mengira yang
melakukan
itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun ketika dia
memandang
ke arah tebing batu di jurusan tumbangnya pohon besar,
dilihatnya
orang yang melarikan tubuh Randu Ireng ternyata berpakaian
rombeng,
memakai caping bambu lebar. Di tangan kirinya ada sebatang
tongkat
dan sebuah kaleng rombeng.
Di atas
tebing, orang yang
melarikan
tubuh Randu Ireng berhenti. Dia menarik lepas cincin pembawa
malapetaka
dari jari telunjuk Randu Ireng. Lalu tubuh yang sudah tak
bernyawa
itu dilemparkannya ke bawah tebing, menggelinding ke bawah,
masuk ke
dalam sungai. Mengambang lalu hanyut ke hilir.
Wiro
Sableng dan Ningrum yang melihat kejadian yang serba cepat dan serba tak
terduga itu tegak terkesiap.
“Kakek
Segala Tahu!” seru Wiro ketika dia kenali orang tua di depannya.
Si kakek
tertawa lebar. Dia pindahkan kaleng butut ke tangan kanan lalu kerontang-kerontangkan
benda itu tiga kali.
“Tunggu
apa lagi, lekas ikut aku!” katanya.
Ningrum,
yang mengetahui cincin sakti milik suaminya telah beada di
tangan si
kakek, langsung saja melompat mengikuti. Tapi Wiro sesaat
tampak
bingung. Akan mengikuti orang tua itu atau turun ke air terjun.
“Hai!” si
kakek memanggil. Ketika Wiro masih tegak tak bergerak, kakek
itu
kembali, lalu menyeret lengannya. Wiro berusaha mempertahankan
diri.
Tapi astaga! Tenaga si kakek ternyata tidak berada di bawahnya.
Bagaimanapun
dia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tertarik.
Akhirnya
pendekar ini terpaksa mengikuti.
“Kek, apa
yag kau lakukan dengan perempuan itu…..!” tanya Wiro.
Yang
ditanya tak menjawab. Di suatu tempat akhirnya Kakek Segala Tahu
hentikan
larinya dan memandang pada kedua orang itu sambil acungkan
cincin
baja putih.
“Kalian
tahu, kalau cincin ini tidak kurampas
lebih
dulu, perempuan bugil itu akan menguasainya. Sekali benda ini
berada di
tangannya kiamatlah dunia persilatan!”
“Akupun
sudah
menduga
seperti itu kek,” sahut Ningrum. “Perempuan jahat itu tak bisa
dipercaya.
Tapi kawanmu ini sudah tergila-gila padanya hingga tak bisa
diingatkan!”
Wiro
hanya garuk-garuk kepala.
Ningrum
membuka
mulut
kembali. “Mengingat cincin itu adalah milik suamiku, berarti aku
harus
menerimanya kembali.” Tapi perempuan yang mnyamar jadi laki-laki
ini jadi
kaget ketika dilihatnya si kakek gelengkan kepala.
“Tidak.
Tidak
satu manusiapun di muka bumi ini boleh memiliki cincin warisan
setan
ini. benda ini harus dikembalikan ke asalnya. Dari laut kembali
ke dalam
laut. Aku akan membawanya ke pantai selatan dan membuangnya di
sana….”
“Tapi…..”
potong Ningrum.
“Tidak
ada tapi-tapian
perempuan
berkumis! Sebaiknya kau melupakan cincin ini. Dengan demikian
arwah
suamimu akan tenteram di alam baka. Kau kembalilah ke tempat
gurumu…..”
“Aku
harus ke Kotaraja!” jawab Ningrum.
“Mencari
pangeran bernama Arga Kusumo itu dan membalaskan dendam suamimu?” tanya si
kakek.
“Apalagi.
Itu kewajibanku untuk melakukannya.”
“Dengar.
Pangeran Arga Kusumo telah meninggal satu bulan lalu. Mati
terkena
penyakit menular. Penyakit sampar! Nah, bukankah lebih baik
bagimu
kembali ke tempat gurumu dari pada memaksakan diri ke
Kotaraja…..?”
Ningrum
terdiam. Kedua matanya tampak basah. Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Ayo,
buat apa berlama-lama di sini. Mari kita pergi!” kata Si Segala Tahu.
“Kalau
kalian mau pergi, pergilah,” kata Wiro.
“Heh, apa
yang ada dalam benakmu orang muda?” tanya si kakek.
“Aku
harus kembali ke air terjun itu. kulihat kau telah menotok
perempuan
itu! aku tidak tega membiarkannya seperti itu. Paling tidak
baru
besok pagi totokanmu lepas…..”
Si kakek
tertawa. “Pemuda
aneh,”
katanya. “Apa kau tidak sadar kalau tadi perempuan itu sengaja
menyuruh
Randu Ireng menghantam ke arah pohon adalah karena dia
bermaksud
membunuhmu dan kawanmu ini?!”
“Aku
tidak tahu kek. Mungkin dia tidak tahu kalau kami sembunyi di balik pohon….
Kini aku harus menolongnya!”
“Pemuda
tolol! Kau bukan cum ingin menolong. Kau benar-benar telah jadi kucing yang tak
pernah menolak daging!”
“Kalau
begitu biar kau saja yang menolongnya. Siapa tahu dia tertarik padamu…..”
Kakek
Segala Tahu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro itu. “Aku
cuma
seekor kucing tua yang sudah tak bergigi lagi. Mana sanggup
melahap
daging….. Ha…..ha…..ha…..ha!” Setelah puas tertawa kakek itu
menarik
tangan Ningrum. Keduanya berlalu dari hadapan Wiro. Pendekar212 Wiro Sableng
menarik nafas panjang lalu berlari, kembali menuju air
terjun
Banyu Abang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment