Siluman Teluk Gonggo
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
MATAHARI
bersinar terik membakar jagat. Pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih
dengan ikat kepala juga kain putih merasakan tenggorokannya kering. Peluh
membasahi sekujur tubuhnya. Dia merasa bersyukur karena sepeminuman teh berlalu
akhirnya dia sampai di sebuah kampung. Paling tidak dia bisa minta air segar
pada penduduk. Tapi kebetulan di mulut jalan di temuinya sebuah kedai.
Pemuda
ini masuk ke dalam kedai dan memesan minuman. Untuk mengurangi rasa panas dia
berkipas-kipas sambil menunggu pesanan. Pada saat itulah tiga orang penunggang
kuda berhenti di depan kedai. Sejenak si gondrong perhatikan ke tiga pendatang
ini. Kelihatannya seperti orang-orang yang tengah mengadakan perjalanan jauh
dan ingin melepaskan lelah sambil membasahi tenggorokan. Si gondrong palingkan
kepala tak perdulikan orang-orang itu.
Ketika
pelayan meletakan minuman di hadapan si pemuda, tahu-tahu ke tiga penunggang
kuda tadi sudah melompat dan berdiri di hadapannya. Sekilas si pemuda melirik,
lalu acuh tak acuh dia terus berkipas-kipas. Salah satu tangannya menjangkau
gelas minuman. Tapi gerakannya tertahan oleh bentakan salah seorang tamu di
sampingnya.
"Jadi
menurutmu ini bangsatnya?!" Yang membentak ini berusia sekitar tiga puluh
tahun, berambut pendek, memelihara berewok dan berbadan tinggi kekar.
Lelaki di
sampingnya, seorang tua berambut kelabu, memandang sejenak pada pemuda rambut
gondrong, sejurus kemudian dia anggukan kepala.
"Memang
dia bangsatnya. Aku pasti betul!" kata si rambut kelabu.
Lelaki ke
tiga seorang pemuda berbadan tegap lantas saja membuka mulut: "Jika dia
malingnya tunggu apa lagi?!"
Sret!
Dari balik pinggangnya pemuda ini cabut sebilah golok dan mengacungkannya ke
arah pemuda berambut gondrong yang duduk di belakang meja.
Seperti
seorang buta dan tuli layaknya, si gondrong ini seolah-olah tak melihat
orang-orang di sekitarnya atau tak mendengar percakapan-percakapan di dekatnya.
Dia terus saja berkipas-kipas dan malah kini mengambil gelas berisi minuman.
"Setan!
Kau berani berlagak tolol pilon di depan kami!" sentak pemuda yang
memegang golok. Tangan kanannya di ayunkan. Prang! Gelas di tangan pemuda
gondrong papas berantakan. Sebagian isinya tumpah membasahi meja serta pakaian
pemuda ini. Bagian bawah gelas yang papas di tebas golok tajam masih berada
dalam genggaman tangan kiri pemuda itu. Di dalamnya masih berada sedikit sisa
minuman. Si gondrong goleng-goleng kepala lalu menyeringai. Dari mulutnya
keluar suara siulan. Lalu seenanknya sisa minuman yang masih ada dalam gelas
yang tinggal sepotong itu diteguknya sampai habis!
Semua
tamu yang ada di kedai melengak heran tetapi diam-diam juga menjadi tegang.
Sebaliknya tiga lelaki yang berada di hadapan si gondrong jadi naik pitam. Dan
pemuda yang memegang golok kembali menghardik: "Pencuri ternak! Kau memang
di cincang!"
Untuk kedua
kalinya golok besar itu berkelebat. Kali ini dibacokan ke kepala si gondrong.
Beberapa orang tamu mengeluarkan seruan tegang karena sudah membayangkan sesaat
lagi akan belahlah kepala pemuda berambut gondrong itu dihantam golok!
Tetapi
gilanya manusia yang dirinya terancam bahaya maut itu justru kelihatan
tenang-tenang saja. Malah cengar-cengir.
Namun apa
yang terjadi kemudian benar-benar merupakan satu kejutan.
Sedetik
sebelum golok besar itu menghantam sasarannya, terdengar pekikan keras. Golok
kelihatan mencelat ke atas dan menancap di langit-langit kedai. Pemuda yang
tadi memegang senjata itu terhuyung empat langkah ke belakang sambil pegangi
siku tangan kanannya. Entah kapan si gondrong ini bergerak tahu-tahu dia telah
menangkis serangan maut yang dilancarkan bahkan memukul tangan sambungan siku
orang yang inginkan jiwanya!
"Pelayan!
Ambilkan minuman baru. Rasa hausku belum habis, tahu-tahu ada saja monyet
kesasar yang datang mengganggu!" Si gondrong berseru memanggil pelayan
sambil salah satu kakinya dinaikan keatas kursi.
"Bangsat
pencuri! Berani kau mencelakai adikku!" Tiba-tiba lelaki berewok hantamkan
tinju kanannya yang besar kuat ke dada si gondrong.
"Buk!
Tinju
tepat mendarat dengan kerasnya di dada si gondrong. Tapi yang menjerit
kesakitan bukannya pemuda itu, malah justru si berewok. Tubuhnya terjajar ke
belakang dan tangan kanannya kelihatan merah bengkak!
Marah dan
kesakitan si berewok berteriak "Laknat! Sekalipun kau punya ilmu setan,
aku mau lihat apa kau kebal senjata!" Sebilah belati di cabutnya dari
pinggang lalu secepat kilat ditikamkannya ke arah si pemuda.
Seperti
tadi waktu di serang dengan golok, tak kelihatan pemuda rambut gondrong itu
bergerak tahu-tahu golok sudah mental dan penyerang kena di hantam. Kali inipun
terjadi hal yang sama. Lelaki berewok menjerit kesakitan ,belati ditangannya
mental ke udara dan menancap di langit-langit kedai, tepat disamping golok!
"Pelayan!
Mana minuman baru! Lekas, aku benar-benar kehausan!" teriak si gondrong.
Sampai saat itu sedikitpun dia tidak beringsut dari kursi yang di didukinya!
Kini
semua orang dalam kedai itu serta merta menjadi maklum. Pemuda berpakaian
putih, berambut gondrong, bertampang lugu bahkan seperti agak sinting ini,
bukan manusia sembarangan.
Pelayan
datang setengah berlari membawakan minuman. Kali ini digelas besar.
Setelah
meneguk isi gelas sampai setengahnya, si gondrong hembuskan nafas panjang.
Perlahan-lahan dia palingkan kepalanya ke arah lelaki tua berambut kelabu yang
tegak di samping mejanya dengan mulut menganga dan tampak terkesiap.
Si
gondrong sunggingkan senyum. "Orang tua berambut kelabu. Apa kau juga
hendak turun tangan terhadapku?!"
"Maling
ternak, kau tunggulah disini! Sekali kulaporkan yang kau lakukan, orang-orang
Adipati Japara akan datang menghajar dan menangkapmu!".
Orang tua
berambut kelabu menjawab sambil mengancam. Tampaknya dia tak punya nyali untuk
ikut-ikutan turun tangan.
Si
gondrong tertawa.
"Gila!
Tuduhanmu sungguh tidak enak. Maling ternak! Maunya kupecahkan mulutmu dan juga
dua kembarmu itu! Menuduh seenaknya. Tanpa alasan, tanpa bukti. Tak ada
saksi!"
"Saksiku
adalah mataku sendiri! Aku masih belum buta! Memang kau yang mencuri selusin
kerbau yang ku gembalakan di tepi hutan Manuk!"
"Cc…cc…cc…"
si gondrong leletkan lidah.
"Benar
kau belum buta, orang tua. Tapi mungkin sudah lamur. Kau pasti salah
lihat!"
"Tidak
mungkin! Lekas katakan dimana kau sembunyikan kerbau-kerbau curian itu!"
Si
gondrong geleng-gelengkan kepala.
"Dengar
orang tua. Namaku WIRO SABLENG. Mungkin aku pemuda gendeng, tapi bukan pencuri
kerbau!"
"Bukan
pencuri kerbau! Puah! Pencuri kerbau bukan, tapi maling kerbau ya!"
mendamprat pemuda yang sambungan sikunya copot.
Si rambut
gondrong yang ternyata adalah pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
Dia berpaling pada si rambut kelabu. "Orang tua, coba kau jelaskan dulu
apa yang sebenarnya terjadi."
"Tidak
perlu!" potong lelaki berewok. "Jelas kau malingnya. Ayahku tak
mungkin salah lihat!"
"Oh,
jadi si rambut kelabu ini ayahmu," ujar Wiro. "Yang ini pasti adikmu.
Dengar berewok. Mencuri selusin kerbau bukan soal mudah. Paling sedikit harus
dilakukan oleh tiga orang. Kalian lihat sendiri. Aku disini cuma
sendirian."
"Jangan
coba mengelabui kami. Kawan-kawanmu saat ini tentu tengah menggiring
kerbau-kerbau itu ke satu tempat!"
Lama-lama
murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi jengkel juga. Seumur hidup malang-melintang
di dunia persilatan baru hari itu dituduh jadi maling, pencuri kerbau! Kembali
digaruk-garuk kepalanya. "Mau percaya atau tidak, terserah. Aku tidak
mencuri kerbau kalian. Aku tak pernah berada di sekitar Gili Manuk. Aku datang
dari timur dan…"
"Memang
mana ada maling mau mengaku!" tukas si rambut kelabu memberengut.
Wiro
Sableng menyeringai dingin dan si berewok kembali membuk mulut:
"Tanda-tanda yang kami ikuti menuju ke tempat ini. Disini ayahku
menemukanmu. Ciri-ciri pencuri itu tepat seperti dirimu…"
"Mungkin
ayahmu hanya melihat dari jauh" Wiro coba membela diri.
"Jauh
atau dekat bukan soal. Yang jelas kau memang telah melarikan kerbau-kerbau
kami!"
"Berewok.
Jika kau tetap menuduhku sebagai pencuri, berarti kau tak bakal menemukan
pencuri sebenarnya. Kau benar-benar akan kehilangan kerbau-kerbaumu…Jika katamu
pencuri itu menuju kejurusan sini, tentu dia atau mereka masih belum jauh dari
sini. Kalian masih punya kesempatan untuk mengejar!" Habis berkata begitu
Wiro berdiri dan berkata pada adik si berewok. "Mari kusambungkan kembali
tulang sikumu."
"Tak
perlu!" jawab si pemuda sambil pegangi tangannya yang cidera.
"Ya,
memang tak perlu," kakaknya yang berewok menimpali beringas. Lalu dia
mengajak adik dan ayahnya segera melapor ke Kadipaten.
"Kalian
ayah dan anak sama saja keras kepalanya. Lebih baik untuk sementara kalian jadi
patung saja, supaya tidak menggangguku!" Dengan bergerak cepat Wiro
Sableng menotok ke tiga orang itu hingga tak mampu lagi bergerak. Setelah
membayar minumannya dia lambaikan tangan pada ke tiga beranak itu dan melangkah
pergi.
"Maling
kerbau! Jangan lari kau!" teriak si berewok.
"Bangsat
pencuri!" adiknya menimpali. "Sekali engkau lari ke ujung dunia akan
kukejar dan kucincang!"
Sang ayah
tak ketinggalan berteriak: "Petugas-petugas Kadipaten akan menangkap dan
menghajarmu!"
Mereka
ingin mengejar namun tak mampu bergerak. Akhirnya hanya bisa memaki-maki
sementara Wiro sudah tak kelihatan lagi.JAUH di sebelah timur tampak menjulang
gunung Muryo. Dengan mempergunakan ilmu lari "kaki angin" pendekar
itu lari kencang kejurusan itu. Tujuannya adalah Japara. Disitu dia akan
mencari keterangan mengenai suatu tempat yang hendak didatanginya.
Sang
surya mulai condong kebarat. Di depan sana terbentang daerah berbukit-bukit.
Sebagaimana lazimnya keadaan alam, jika ada bukit-bukit maka di situ akan
terdapat pula lembah-lembah.
Wiro
berdiri di puncak sebuah bukit, memandang berkeliling. Lembah dan bukit di
daerah itu tampak hijau subur, tetapi masih liar belum dibuka manusia. Sesaat
kemudian, ketika dia siap untuk meneruskan perjalanan, mendadak langkahnya
tertahan.
Jauh di
bawah sana, di dasar salah satu lembah dilihatnya dua penunggang kuda tengah
menggiring serombongan kerbau. Tak dapat dipastikan berapa jumlah binatang itu,
namun Wiro yakin bahwa ternak tersebut pastilah kerbau curian, milik ke tiga
beranak di kedai yang tadi menuduhnya sebagai pencuri.
Sesaat
Wiro berpikir. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia segera berlari menuruni bukit.
Sesampainya di lembah diam-diam dia mengikuti kedua penggiring ternak itu.
Mereka masih muda-muda. Seorang diantaranya berpakaian putih-putih, berambut
gondrong dan memakai ikat kepala sapu tangan putih. Sepintas lalu ciri-cirinya
memang sama dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng ini merutuk dalam hati. Inilah
pangkal Tidak salah kalau orang tua berambut putih itu menuduh bahwa dialah
yang telah mencuri selusin kerbau mereka!
Walau
yakin kedua pemuda itu pencuri, namun Wiro tidak segera turun tangan. Dia terus
mengikuti perjalanan mereka dari balik semak belukar. Hal ini tidak sulit
dilakukan. Walaupun menunggang kuda, tapi karena harus menggiring kerbau, dua
pemuda itu terpaksa bergerak perlahan.
"Dimana
kita akan istirahat?" tanya pemuda penunggang kuda berambut gondrong.
"Kita
tidak akan istirahat Kunto. Jika kemalaman di jalan bisa berabe!"
Si
gondrong yang bernama Kunto menyahuti: "Kau selalu kawatir kemalaman.
Mengapa tidak lewat jalan umum saja? Dalam waktu dua jam kita akan sampai ke
kota. Dan menikmati hasil penjualan kerbau-kerbau ini!"
Sang
kawan tidak kelihatan senang. Dia berkata: "Kau masih terlalu hijau untuk
jadi pencuri ternak. Lewat jalan umum memang lebih cepat tapi sama saja dengan
menyerahkan batang lehermu pada petugas-petugas Kadipaten. Aku yakin pemilik
ternak ini telah melapor ke Kadipaten!"
Kunto
tertawa. “Ario, kaulah yang tolol. Apa kau tidak tahu kalau orang-orang
Kadipaten hanya mau mendengar laporan dan minta uang pada si pelapor tapi tidak
pernah melakukan sesuatu? Apalagi mengurusi kerbau. Kecuali jika pemilik kerbau
itu menjanjikan separoh dari kerbaunya yang hilang akan diberikan pada mereka!”
“Ya, aku
tahu hal itu,” jawab Ario. “Tapi aku tetap tak mau cari penyakit. Kalau tidak
melapor ke Kadipaten bukan mustahil pemilik kerbau itu mengumpulkan orang
sedesa dan mengejar kita. Sekali tertangkap kita akan mereka gebuk sampai
lumat!”
Kunto
terdiam sesaat. Lalu bertanya: “Kalau kau sudah takut begitu lalu bagaimana
kita membawa ternak ini langsung ke kota dan menjualnya seolah-olah milik
kita?”
“Aku
tidak tolol dan tidak akan melakukan seperti itu. Ternak ini aku titipkan dulu
di luar kota di tempat Sumengkar. Kita cari pembeli di kota, jika harga cocok
baru di bawa ke tempat Sumengkar.”
“Susah-susah
ke kota bagaimana kalau kerbau itu aku saja yang membeli?” tiba-tiba satu suara
meimpal.
Tentu
saja Kunto dan Ario kaget bukan main!
Keduanya
sesaat saling pandang. Setan atau manusiakah yang barusan bicara? Keduanya lalu
sama-sama berpaling ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Memandang berkeliling
juga tak seorangpun kelihatan. Aneh. Jelas mereka mendengar suara, tapi dimana
orangnya? Ario dan Kunto kembali saling pandang. Keduanya menunjukan wajah
takut.
“Kudengar
daerah sekitar sini banyak dedemitnya,” bisik Kunto seraya rapatkan kudanya ke
kuda kawannya. “Jangan-jangan…”
“Mungkin
kita cuma salah dengar,” sahut Ario. “Tiupan angin kadang-kadang seperti suara
manusia. Apalagi kalau kita sedang melamun.”
“Kita
tidak sedang melamun, Ario. Suara manusia mana bisa sama dengan suara desau
angin. Kalau bukan suara manusia itu tadi, pasti suara setan. Mari kita
bergerak lebih cepat!”
Kedua
orang itu segera menghalau kerbau-kerbau di depan mereka.
“Hai!
Tunggu dulu!” tiba-tiba suara tadi kembali terdengar. Lebih jelas dan lebih
keras. “Kalian belum menjawab pertanyaanku!”
Kunto
menggigil sekujur tubuhnya. Dia ingin menghambur duluan meninggalkan tempat
itu. Ario pegang hulu goloknya. Dengan mata liar dia memandang berkeliling lalu
membentak dengan suara bergetar: “Setan atau manusiakah yang bicara!? Harap
tunjukan muka!”
Terdengar
suara tawa bergelak. Tiba-tiba semak belukar di samping kiri jalan tersibak.
Seorang pemuda berambut gondrong sambil cengar-cengir menyeruak keluar. Dia
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Siapa
kau?!” sentak Ario. Kunto segera lenyap rasa takutnya ketika dilihatnya yang
muncul ternyata hanya manusia biasa dan sendirian pula.
“Aku
manusia biasa, bukan setan bukan dedemit. Kalian belum jawab pertanyaanku. Mau
jual kerbau-kerbau ini padaku?”
Dalam
hati Ario membatin. Pemuda di depannya itu memperlihatkan tindak tanduk seperti
orang kurang waras. Maka dia bertanya: “Kau bergurau atau bagaimana, sobat?!”
“Orang
mau beli kerbau dibilang bergurau!” Wiro menggerutu.
“Kau
punya uang untuk membeli ternak ini semua?!” Kunto ajukan pertanyaan.
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kulit. Ketika digoyangnya kantong
itu mengeluarkan suara berdering. Kunto dan Ario saling pandang. Kunto
mendekati kawannya dan berbisik: “Jika bisa dibereskan disini kita tak usah
susah-susah ke kota”
Ario
mengangguk.
“Kalau
kau punya tiga puluh ringgit perak, kau boleh ambil semua kerbau ini!” berkata
Ario.
“Ah, itu
terlalu mahal sobat,” kata Wiro Sableng. “Terlalu mahal untuk kerbau-kerbau
kurus tak berdaging yang seperti binatang sakit ini. Apalagi kerbau curian
pula!”
Paras
Ario dan Kunto kontan berubah.
“Pemuda
asing. Apa maksudmu mengatakan kerbau curian?” bentak Ario.
“Siapa
mengatakan apa?” tanya Wiro.
Kunto
jadi jengkel. “Barusan kau menuduh kami pencuri kerbau!”
“Aku
tidak menuduh begitu. Aku cuma bilang kerbau ini kerbau curian…”
“Sudah!
Tak usah bicara panjang lebar. Kalau kau sanggup bayar dua puluh ringgit perak
kau boleh ambil kerbau-kerbau ini!”
“Itu juga
masih keliwat mahal sobat,” kata Wiro sambil timang-timang uang di dalam
kantong.
“Lalu kau
mau bayar berapa?!” bentak Ario.
“Setengah
ringgit perak kurasa sudah cukup pantas untuk selusin kerbau ini!”
“Kurang
ajar! Kau hendak mempermainkan kami! Bajingan tengik!” Kunto menarik tali
kekang kudanya hingga binatang ini melompat kehadapan Wiro.
“Siapa
yang kurang ajar? Siapa yang bajingan tengik? Siapa pula yang main-main?” tukar
Wiro. Dari dalam kantong kulit di keluarkannya sebuah mata uang perak. Dengan
kedua tangannya enak saja dia mematahkan uang perak itu hingga terbelah dua.
Tentu saja ini membuat Ario dan Kunto terkejut. Karena mematahkan uang perak
dengan tangan biasa merupakan suatu hal yang mustahil.
Ario jadi
curiga. Jika pemuda asing yang seperti kurang waras ini memiliki kepandaian
tinggi, bukan tak mungkin dia adalah seorang jagoan dari Kadipaten yang sengaja
menyamar untuk membuntuti mereka.
“Orang
muda, apakah kau petugas Kadipaten? Atau dari Kotaraja?” tanya Ario.
Wiro
Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.
“Aku
bukan petugas Kadipaten. Apalagi Kotaraja. Aku datang kemari untuk membeli
kerbau kalian. Nah ini uangnya setengah ringgit. Terimalah!”
Wiro lalu
lemparkan potongan uang yang tadi di belahnya ke arah Kunto. Lemparan itu
kelihatannya biasa-biasa saja, perlahan. Tetapi begitu mengenai dada Kunto
langsung lelaki ini menjerit kesakitan. Kesakitan dan marah Kunto segera hendak
cabut goloknya. Tapi heran! Celaka! Dia tidak bisa menggerakkan tangannya. Juga
bagian-bagian tubuhnya yang lain. Sekujurnya badannya kaku tegang! Masih untung
dia bisa membuka mulut dan berteriak: “Ario! Bangsat ini menotokku!”
Kagetlah
Ario. Tanpa menunggu lebih lama dia segera mencabut goloknya dan membabatkan
senjata ini ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bajingan
tengik! Kau betul-betul ingin mampus!”
“Puah!
Kalianlah yang perlu di hajar!” damprat Wiro.
Dia
menunduk. Golok Ario berkelebat di atas kepalanya. Sesaat kemudian Ario
terdengar menjerit dan seperti Kunto tubuhnyapun kini kaku kejang dihantam
totokan. Tanpa perdulikan jeritan dan caci maki kedua orang itu Wiro
membelintangkan Keduanya diatas kuda milik Kunto. Dia sendiri lalu naik ke atas
kuda Ario lalu menggiring kedua pencuri itu bersama selusin kerbau menuju
kampung dimana Kunto dan Ario telah mencuri binatang-binatang tersebut.
Hari
telah malam ketika Wiro sampai di kedai di mulut jalan itu. Tapi di dalam kedai
orang banyak masih berkumpul menyaksikan pemilik kerbau dan kedua anaknya yang
masih berdiri tegak dalam keadaan kaku. Tak ada satu orangpun yang tahu
bagaimana caranya melepaskan totokan mereka. Banyak yang mencoba dengan jalan
mengurut-urut atau memukul-mukul, tetapi sia-sia. Akhirnya semua orang hanya
bisa melihat saja tanpa bisa berbuat sesuatu. Dalam keadaan itulah Wiro muncul
dan masuk kembali kedalam kedai. Serta merta banyak orang menyingkir. Bukan
saja mereka merasa takut terhadap pemuda ini, tetapi juga kaget melihat dua
sosok tubuh yang dilemparkan Wiro ke lantai kedai. Apa pula yang telah terjadi,
pikir semua orang.
Orang tua
berambut kelabu membuka mulut siap untuk memaki. Tapi Wiro cepat menutup
mulutnya dengan tangan kiri sementara dua anaknya memandang dengan mata
melotot, beringas tetapi tak berani keluarkan suara. Kalau saja Keduanya tidak
dalam keadaan tertotok, pastilah keduanya sudah menyerang Wiro.
“Orang
tua,” kata Wiro pula. “Kau lihat pemuda gondrong yang menggeletak di depan
kakimu itu? Selintas tampang dan perawakannya mirip aku, bukan?”
Si rambut
kelabu sejenak memandang pemuda yang terbujur di lantai dalam keadaan tertotok
itu. “Apa maksudmu? Siapa mereka?” tanya orang ini begitu Wiro lepaskan
tekapannya dari mulut lelaki itu.
“Merekalah
yang mencuri kerbaumu. Yang gondrong itu bernama Ario. Temannya Kunto.
Kerbau-kerbaumu ada di luar kedai!”
“Kurang
ajar! Jadi!”
“Jadi ya
jadi!” kata Wiro sambil senyum-senyum. “Sekarang kalian baru percaya kalau aku
bukan pencuri. Nah kalian mau berbuat apa terhadap mereka. Mau ke Kadipaten
memang itu baiknya. Mau di gebuk lebih dulu asal tidak sampai mampus, aku tak
mau ikut campur!”
Habis
berkata begitu Wiro lantas lepaskan totokan pada tubuh orang tua itu dan kedua
anaknya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke pintu.
“Hai,
tunggu dulu!” seru orang tua pemilik kerbau. Dia dan kedua anaknya mengejar ke
pintu. Namun sampai di luar dia hanya melihat kegelapan. Selusin kerbau mereka
berkeliaran di halaman kedai.
*******************
2
KIRA-KIRA
setengah hari perjalanan dari gunung Muryo di sebelah tenggara terdapat sebuah
bukit kecil yang amat rimbun di tumbuhi semak belukar dan pepohonan liar.
Menurut penduduk yang tinggal jauh dari situ, konon tak pernah seorang
manusiapun sejak tiga puluh tahun silam berani berada dekat bukit itu. Apalagi
coba mendatanginya. Pohon-pohon jati yang tumbuh disitu amat bagus jenisnya.
Namun tak seorangpun penebang kayu yang mau datang kesitu untuk menebangnya.
Kenapa sampai terjadi demikian tentu ada sebab-musababnya.
Menurut
orang-orang tua yang tahu kisahnya, sebelum tiga puluh tahun yang lalu, bukit
itu seperti bukit-bukit lainnya di sekitar situ banyak di datangi orang.
Kemudian terbetik berita bahwa setiap orang yang berani datang ke bukit itu
pasti tak akan kembali lagi. Entah hilang kesasar entah mati. Yang jelas orang
atau mayatnya tak pernah di temui kembali.
Selama
bertahun-tahun terjadi hal semacam itu hingga penduduk takut. Bukit itu di
anggap angker. Tak seorangpun lagi berani datang dekat-dekat ke situ. Dan entah
siapa yang mulai menamakannya, bukit satu itu lalu diberi nama Bukit Hantu!
Pada
malam-malam tertentu, terutama ketika sedang gelap bulan, dari puncak bukit
terdengar suara pekik jerit aneh mengerikan. Sekali-sekali suara jeritan itu
diseling oleh lolongan anjing. Karena diketahui tak seorangpun diam di bukit
itu.
Namun
hari itu terjadi satu kelainan yang bisa di katakan satu keluar biasaan.
Sewaktu awan kelabu bergerak dan berarak dari arah tenggara, seorang penunggang
kuda berpakaian mewah tampak memacu kuda tunggangannya menuju Bukit Hantu.
Apakah dia seorang asing yang tidak tahu angker dan bahayanya memasuki daerah
itu? Tetapi dari gerak-gerik dan caranya orang ini menunggangi kuda menempuh
jalan agaknya dia mengetahui betul seluk beluk daerah tersebut.
Sekurang-kurangnya pernah mendatangi tempat itu sebelumnya.
Di
pertengahan lereng Bukit hantu, orang ini hentikan kudanya. Sesaat dia
memandang berkeliling, lalu mengelus tengkuk kudanya sambil bergerak turun.
“Kembalilah
pulang. Cukup kau mengantarkan aku sampai di sini…”
Sang
kuda, yang sejak tadi dari kaki bukit menunjukan sikap aneh, tiba-tiba
menaikkan kedua kakinya tinggi-tinggi dan meringkik keras, lalu membalikkan
tubuh dan lari meninggalkan tuannya.
Orang
berpakaian bagus dan mahal itu menghela nafas dalam. Paling tidak usianya sudah
mencapai lima puluh tahun. Meskipun tampangnya sudah mulai keriputan tapi juga
membayangkan sifat keras dan buas!
Tak lama
sesudah kudanya pergi, orang ini melanjutkan perjalannnya menuju puncak bukit
dengan jalan kaki. Kira-kira sepeminuman teh lagi dia akan sampai ke puncak
Bukit Hantu, jalan yang di tempuhnya mulai tidak sesukar sebelumnya. Semak
belukar hampir tak ada sama sekali seperti pernah di tebang dan di rapikan
orang. Bahkan di hadapannya kini muncul satu jalan kecil dan rata menuju ke
puncak. Dimulut jalan kecil mendadak sontak sepasang kaki orang ini berhenti
melangkah dan laksana dipakukan ketanah!
Dia sudah
mendengar seribu satu macam kangkeran yang ada di bukit itu. Tapi adalah tidak
menduga sama sekali kalau apa yang di saksikannya di hadapannya saat itu
benar-benar akan membuat tubuhnya mengeluarkan keringat dingin! Tiga puluh
tahun yang silam, selagi dia masih seorang pemuda, pemandangan itu belum ada.
Pastilah apa yang kini dilihatnya berasal dari puluhan manusia yang pernah
dikabarkan hilang di Bukit Hantu!
Berdiri
disitu maulah laki-laki ini membalikkan tubuh dan lari meninggalkan bukit
tersebut. Namun sesuai dengan ketentuan, hari itu adalah “Hari Perjanjian”. Dia
harus datang sesuai dengan sumpahnya. Kalau dia mungkin, makhluk aneh
mengerikan, yang selalu mendatanginya setiap malam Jum’at akan datang lagi
kepadanya dan sekali ini untuk mencekiknya sampai mati, mencopot kepalanya!
Agaknya
tak ada jalan kembali. Memutar haluan berarti mati secara mengerikan.
Sekilas
tebayang olehnya istri serta keempat orang anak yang disayanginya. Dia akan
meninggalkan mereka semua untuk selama-lamanya demi memenuhi sumpah tiga puluh
tahun yang lewat. Tapi tak apa. Dia coba menghibur diri. Toh istri dan
anak-anaknya kini hidup bahagia dalam sebuah rumah besar dan mewah, harta
berlimpah, sawah lading luas, ternak berkandang-kandang. Semua kekayaan itu tak
akan habis sampai tujuh turunan.
Dikatupkannya
mulut rapat-rapat. Dengan menetapkan hati serta pikiran dan melangkah maju
kembali. Jalan kecil di hadapannya tampak memutih. Putih oleh tulang belulang
manusia beraneka bentuk. Dan di atas jalan tulang belulang inilah kakinya
melangkah. Kedua tepi jalan kecil itu dibatasi dengan puluhan tengkorak kepala
manusia. Tubuhnya terasa bergetar. Dia terus melangkah. Perutnya terasa mual.
Akhirnya dia sampai di ujung jalan. Dihadapannya tegak kini sebuah bangunan
kecil yang keseluruhannya terbuat dari tulang belulang manusia. Berapa puluh
atau berapa ratus manusiakah yang telah jadi korban di atas bukit ini? Dari
sela-sela dinding tulang kelihatan merambas asap aneka warna. Hidungnya dilanda
oleh bau aneh. Bau harum aneh yang menggidikkan karena berbaur jadi satu dengan
bau anyir busuk!
Bangunan
kecil itu mempunyai sebuah pintu yang tidak tertutup. Dari tempatnya berdiri,
lelaki tadi dapat melihat kedalam. Di dalam bangunan tulang ini tampak duduk
seorang lelaki kurus bermuka dahsyat. Jika dia masih benar seorang manusia maka
wajahnya adalah sepuluh kali lebih mengerikan dari wajah setan! Manusia ini memiliki
rambut putih panjang yang menutupi Sebagian wajahnya. Di belakang tikar kecil
dimana manusia ini duduk terdapat lima buah belanga. Di dalam belanga ada
cairan masing-masing berwarna hitam, merah, biru, ungu dan hijau. Dari setiap
belanga mengepul asap yang warnannya sesuai dengan cairan di dalamnya.
Orang itu
menggerakkan kepalanya. Rambut putih yang menutupi sebagian wajahnya tersibak.
Kini kelihatanlah keseluruhan wajahnya yang mengerikan itu.
Lelaki di
ambang pintu serasa terbang semangatnya sewaktu si muka setan tiba-tiba
mengeluarkan suara seperti lolongan srigala di malam buta. Begitu kerasnya
lolongan itu hingga bangunan tulang belulang serta tanah yang di pijak terasa
bergetar. Anehnya mulut si muka setan sedikitpun tak kelihatan membuka!
Sesaat
kemudian terdengar suaranya: “Bagus! Kau datang tepat pada waktunya Sonya!
Sebelum kau melangkah ke hadapanku, sebelum kau memasuki bangunan ini,
tanggalkan dulu pakaian bagusmu dan pakai ini!” Ternyata suara si muka setan
halus seperti perempuan, hanya saja mengandung pengaruh yang hebat luar biasa.
Dari balik pakaiannya yang seperti jubah berwarna hitam di keluarkannya satu
stel pakaian butut penuh tambalan dan bau apek. Pakaian itu dilemparkannya
kehadapan orang di ambang pintu yang dipanggilnya dengan nama Sonya.
Setelah
lebih dulu menjura, Sonya mengambil pakaian butut bau itu. Dibukanya pakaian
yang dikenakannya, dilemparkannya jauh-jauh lalu dikenakannya pakaian yang
diberikan si muka setan. Setelah berganti pakaian diapun masuk ke dalam
bangunan tulang.
“Duduk!”
Si muka
setan tudingkan jarinya yang kurus dan berkuku panjang. Sonya lalu duduk di
hadapannya.
“Ceritakan
dengan singkat garis kehidupanmu sejak tiga puluh tahun silam kau meninggalkan
bukit ini!” kata si muka setan pula.
Sonya
menelan ludahnya baru menjawab: “Berkat ilmu yang Datuk ajarkan aku telah
menjadi kaya raya. Aku kawin dan punya empat orang anak.”
“Kau
senang? Bahagia…?”
Sonya
mengangguk.
“Pada
detik kau duduk di hadapanku ini, kau telah dan harus meninggalkan kesenangan
dan kebahagiaan itu!”
“Aku tahu
Datuk,” jawab Sonya.
“Kau
bakal dapat kebahagiaan lain! Asal saja kau tempuh cara hidup seperti yang
kututurkan tiga puluh tahun yang lewat!”
“Aku akan
tempuh Datuk.”
“Lengkap
dengan syarat utamannya!”
“Lengkap
dengan syarat utamannya, “ mengulang Sonya.
“Bagus.
Sekarang coba kau katakan syarat utama itu!”
“Syarat
utama itu ialah setiap permulaan tahun baru aku harus membunuh anakku yang
paling kecil dan melemparkannya ke dalam laut.” Suara Sonya bergetar.
“Bagus!
Ternyata kau betul-betul masih ingat syarat utama itu!” kata sang Datuk pula.
Lalu dari mulutnya keluar suara tawa aneh menggidikkan. Kemudian sambil
menuding ke belakang dia bertanya: “Adakah kau melihat lima buah belanga itu?”
“Ada
Datuk.”
“Berdirilah!”
Sonya
berdiri.
“Di dalam
belanga itu terdapat cairan berlainan warna. Masing-masing cairan harus kau
minum sebanyak tiga teguk. Sebagian sisanya diguyurkan ke kepala dan badanmu.
Segera mulai dengan belanga di ujung kiri!”
Sonya
melangkah mendekati belanga di ujung kiri. Di situ terdapat cairan berwarna
merah pekat, kental dan mengepulkan asap. Sesuai dengan perintah sang Datuk
muka setan maka diminumnya cairan itu sebanyak tiga teguk. Belum lagi minum,
baru mencium bau cairan, Perutnya sudah terasa mual dan tenggorokannya mau
muntah.
“Kau ragu
Sonya?!” suara sang Datuk bernada menegur dan mengancam Sonya segera meneguk
cairan busuk itu tiga teguk. Lalu menyiram kepala dan badannya dengan cairan
yang sama. Kemudian dia mendekati belanga kedua dan seterusnya.
“Sudah
Datuk,” suara Sonya seperti tercekik.
“Bagus.
Sekarang duduk di hadapanku!”
Dengan
sekujur kepala serta pakaian basah kuyup dan berbau busuk, Sonya duduk kembali
di hadapan si muka setan.
“Pejamkan
matamu Sonya!”
Sonya
Menurut dan pejamkan matanya.
“Sekarang
buka!”
Sonya
buka kedua matanya. Pandangan matanya kini membersit aneh. Liar menyeramkan.
Bagian mata yang tadi putih kini kelihatan merah.
“Bagaimana
perasaanmu?” bertanya Datuk.
“Tubuhku
terasa hangat. Sangat ringan. Di samping itu ada perasaan aneh, yang aku tidak
tahu, menyelimuti diriku…”
“Itu
bukan perasaan aneh. Kau harus dapat menerangkannya. Ayo!”
Sonya
berpikir kemudian menjawab. “Betul. Bukan perasaan aneh. Perasaan itu adalah
nafsu. Nafsu untuk membunuh. Nafsu untuk ingin melihat kematian manusia lain
secara mengerikan!”
Orang tua
berambut putih panjang bermuka setan tertawa panjang. “Bukan hanya nafsu untuk
membunuh Sonya! Bukan hanya hasrat untuk melihat kematian yang menyeramkan.
Tapi ada lagi satu nafsu kini mendekam dalam tubuhmu. Nafsu kotor!”
Sonya
mengangguk aneh.
“Ya.
Nafsu kotor,” katanya mengulang. “Nafsu terhadap perempuan,” sambungnya dengan
suara berdesis.
Kembali
sang Datuk keluarkan suara tertawa panjang.
“Bila kau
sudah meninggalkan tempat ini, kau harus hidup menurut kehendak hatimu Sonya.
Menurut nafsu yang kini tertanam dalam dirimu! Kau boleh membunuh semaumu. Kau
boleh mengumbar nafsumu terhadap perempuan mana saja yang kau inginkan!
Tentunya kau pilih yang cantik-cantik bukan Sonya? Tak perduli anak atau istri
orang. Apalagi janda…hik…hik…hik!”
Sonya
hanya bisa mengangguk.
“Sebelum
pergi kau harus tinggal disini selama satu minggu. Sesudah itu baru kau boleh
pergi. Dengar Sonya?”
“Tentu
Datuk.”
“Kelak
jika ilmu itu telah kau kuasai, dunia luar akan menjadi geger! Dan tak satu
tokoh silat atau orang saktipun di dunia luar yang dapat mengalahkanmu! Itulah
kehebatan ilmu siluman cipataanku!” Sang Datuk tertawa lagi panjang dan lama.
Sonya
ikut tertawa.
Tiba-tiba
sang Datuk hentikan tawanya dan berdiri.
“Kau akan
tinggal selama tujuh hari disini. Selama tujuh hari kau akan tidur bersamaku,
melayaniku sambil aku mengajarkan ilmu padamu. Kau dengar dan mengerti Sonya?”
“Dengar
Datuk, tapi kurang mengerti…”
Sang
Datuk menyeringai dan tertawa kembali. Tiba-tiba dia buka jubah hitamnya dan
kini dia tegak berdiri dihadapan Sonya dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali!
Sonya
terbeliak kaget. Dari sosok tubuh telanjang yang berdiri di hadapannya itu
tidak disangkanya kalau sang Datuk ternyata adalah seorang perempuan!
“Datuk,
jadi kau…”
“Hik…hik…hik.
Aku memang seorang perempuan Sonya. Kau kecewa tubuhku tidak sebagus tubuh
perempuan muda…?!”
“Ti…tidak
Datuk,” sahut Sonya. Walau yang dilihatnya memang hanya tubuh tinggal kulit
pembalut tulang. Perut dan dada keriput.
“Sekarang
kau harus lebih dulu melayaniku Sonya…”
Meski
tubuh itu jelek luar biasa, tapi nafsu aneh mendekam dalam dirinya telah
membakar birahi Sonya. Dia mengangguk dan melangkah mendekat. Lalu seperti
seekor singa lapar dirangkulnya tubuh sang Datuk. Keduanya segera saja
berguling di lantai!
PAGI hari
kedelapan. Sonya duduk di hadapan sang Datuk muka setan.
“Semua
ilmu baru cipataanku telah kau kuasai Sonya. Sebelum kau meninggalkan tempat
ini akan kutegaskan lagi Beberapa hal kepadamu. Pertama begitu turun dari bukit
ini kau harus pergi ke TELUK GONGGO di pantai utara. Aku telah membangun sebuah
tempat di sana yang dapat kau tinggali sebagai istana. Dari luar pintu bangunan
itu hanya merupakan sebuah goa buruk, mudah saja mencarinya.
Hal kedua
yang akan kuberitahukan ialah selama dunia terkembang kau tak bakal mengalami
kematian. Kecuali jika terjadi dua hal. Pertama Kau tak boleh kena air hujan.
Jika itu sampai terjadi ilmu siluman yang kau miliki akan luntur dan seseorang
dengan mudah bakal dapat membunuhmu! Pantangan kedua yang bisa menyebabkan
kematianmu ialah binatang itu…”
Datuk
muka setan mendongak ke atas langit-langit bangunan. Di sana di dalam sebuah
sangkar yang terbuat dari tulang-tulang iga manusia tampak seekor burung nuri
merah.
“Nyawamu
adalah juga nyawanya Sonya. Dengan kata lain kau baru bisa mati kalau seseorang
membunuh burung itu!”
“Bagaimana
kalau binatang itu sewaktu-waktu sakit dan mati. Apakah aku juga akan mati
Datuk?”
“Tidak, kau
tidak akan mati. Cuma mampus! Karenanya kau harus rawat dia baik-baik!” kata
Datuk sambil tertawa gelak-gelak. “Dan jangan lupa syarat utama tempo hari. Kau
tidak diperkenankan menjenguk anak istrimu; Pada hari Pertama pergantian tahun
kau baru boleh mendatangi mereka, tapi hanya untuk membunuh anakmu yang paling
kecil! Tahun berikutnya anakmu yang paling muda, begitu seterusnya. Jika
keempat anakmu sudah habis maka kau harus mencari anak orang lain tapi yang
berusia tidak boleh lebih dari tiga tahun!”
Sonya
mengangguk tanda mengerti.
“Jika kau
lalai melaksanakan syarat itu maka siluman peliharaanku akan mendatangimu.
Menyiksamu selama tujuh tahun sebelum menamatkan riwayatmu!” Sang Datuk lalu
mengambil burung Nuri dalam sangkar dan menyerahkannya pada Sonya. “Bawa ini
dan simpan di istanamu di Teluk Gonggo. Sebelum kau pergi ada satu hal yang
akan terjadi Sonya.”
“Hal
apakah Datuk?” tanya Sonya sambil mengambil burung Nuri.
“Nanti
kau akan lihat sendiri. Jika hal itu sudah terjadi kau bakarlah bangunan ini
dengan segala apa yang ada di dalamnya! Dengan segala apa yang ada di dalamnya!
Ingat itu baik-baik!”
Selesai
berkata begitu Datuk muka setan menyeringai aneh. “Kau puas melayaniku selama
satu minggu Sonya?”
“Puas
Datuk.” Diam-diam Sonya menduga sang Datuk akan menyuruhnya lagi melayani nafsu
gilanya. Sang Datuk melolong panjang.
“Bagus.
Kalau begitu aku akan mati dengan perasaan tenang!” Selesai berkata begitu sang
Datuk hantamkan tinju kanannya ke kepalanya sendiri!
Prak!
Tak ampun
lagi kepala itu pun pecah. Darah dan otak berhamburan. Tubuhnya terguling tanpa
nyawa. Sonya kaget bukan main. Tubuhnya bergetar dan dari sela bibirnya
tiba-tiba melesit suara tertawa aneh disusul suara lolongan seperti srigala.
Dia tertawa menyaksikan kematian menyeramkan gurunya sendiri!
Sesuai
dengan pesan sang guru, semua yang ada di dalam bangunan harus di musnahkan!
*******************
3
BUKIT
HANTU……..?” kata orang kedai sambil memandang tamunya yang duduk mengunyah nasi
di hadapannya.
Wiro
mengangguk.
“Orang
muda, rupanya kau belum pernah mendengar berita atau cerita tentang bukit itu
hingga menanyakan jalan terdekat menuju ke situ!”
“Banyak
sekali yang kudengar pak.”
“Kalau
begitu pikiranmu kurang sehat. Selama ini tak seorangpun berani dekat-dekat kesana,
apalagi bermaksud mengunjunginya. Siapa yang berani mendekati bukit itu tak
pernah kembali. Jangankan kau yang punya satu nyawa, sekalipun kau punya tiga
nyawa pasti ketiga nyawamu bakal melayang!”
“Sudahlah
pak, kalau kau tak keberatan tunjukan saja arahnya. Soal mati biar aku yang
tanggung akibatnya.”
Pemilik
kedai angkat bau. Dia menunjuk lewat pintu kedai. “Lihat gunung itu?”
Wiro
manggut.
“Itu
gunung Muryo. Pergilah ke arah tenggara. Di sana akan kau temui daerah
berbukit-bukit. Bukit paling tinggi itulah Bukit Hantu!”
Selesai
makan, Wiro membayar apa-apa yang dipesannya lalu cepat-cepat meninggalkan
tempat itu diikuti pandangan pemilik kedai. “Masih ada saja orang yang mencari
mati di dunia ini!” gumamnya.
Dengan
mengandalkan ilmu larinya, tak lama Setelah matahari pagi naik, Pendekar 212
Wiro Sableng sudah sampai di puncak Bukit Hantu. Ternyata dia terlambat. Hanya
sepenanakan nasi sebelumnya Sonya meninggalkan tempat itu. Yang ditemuinya
hanyalah tumpukan tulang belulang yang menghitam jadi arang. Ketika
diperhatikannya lebih teliti, dibawah tumpukan tulang belulang putih itu
dilihatnya sesosok tubuh manusia yang telah gosong. Dengan sebatang cabang kayu
kecil disibakannya tulang-tulang itu.
“Pasti
ini si keparat Datuk Siluman,” kata Wiro dalam hati. “Sialan. Aku terlambat.
Seseorang telah duluan membunuhnya!” Meskipun bukan dia yang turun tangan namun
murid Eyang Sinto Gendeng ini merasa lega juga karena manusia penimbul
malapetaka besar bagi dunia persilatan telah tamat riwayatnya.
Karena
tak ada hal lain yang akan dilakukannya maka Wiro segera meninggalkan Bukit
Hantu sambil bersiul-siul. Jalan yang ditempuhnya justru yang sebelumnya juga
ditempuh oleh Sonya!
Satu
bulan yang lalu, beberapa tokoh silat di wilayah timur telah meminta bantuan
Pendekar 212 untuk memusnahkan Datuk Siluman yang bercokol di Bukit Hantu.
Hidup matinya manusia jahat ini amat menentukan ketentraman dunia persilatan.
Bukan rahasia lagi bahwa diketahui Datuk Siluman itu telah menciptakan suatu
ilmu hitam yang amat hebat, dan kelak akan menimbulkan malapetaka dahsyat
bilamana tidak segera dicegah. Nyatanya kini Datuk golongan hitam itu telah
menemui ajalnya. Seseorang telah menghancurkan batok kepalanya lalu membakar
sang Datuk bersama tempat kediamannya. Siapakah yang telah melakukan hal itu?
Jago atau tokoh silat dari mana? Tentu saja Wiro tidak mengetahui kalau Datuk
Siluman sengaja bunuh diri setelah lebih dulu mewariskan semua ilmu hitam yang
dimilikinya kepada murid tunggalnya yang cuma di gembleng selama satu minggu
yaitu Sonya.
Kita
tanggalkan dulu perjalanan Wiro dan mengikuti perjalanan Sonya. Saat itu dia
tengah menuju ke pantai utara, yaitu sesuai dengan perintah gurunya. Dia berada
sekitar dua jam perjalanan di depan Wiro. Menjelang tengah hari Sonya sampai di
tepi sebuah telaga berair jernih. Dia berhenti di situ dan duduk di bawah pohon
yang rindang. Burung Nuri dalam sangkar tulang yang jadi pautan nyawanya di
letakan di tanah dijaganya hati-hati.
Udara
yang panas seperti saat itu membuat dia ingin turun ke telaga dan mandi. Tapi
dia khawatir kalau-kalau disekitar situ ada binatang buas yang selagi dia mandi
menyergap burung Nurinya. Sekali burung itu disergap binatang buas maka putus
pulalah nyawanya!
Setelah
hilang letihnya, Sonya bersiap meninggalkan tepian telaga. Pada saat itulah
lapat-lapat didengarnya suara rentak kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta.
Sonya menyelinap dan bersembunyi ke balik pohon besar. Tak lama kemudian
kelihatanlah serombongan penunggang kuda mengawal sebuah kereta barang. Begitu
melihat telaga berair jernih dan sejuk, lelaki gemuk berpakaian bagus yang
duduk di samping kusir kereta berseru: “Kita istirahat dulu di sini!”
Maka
rombonganpun berhentilah.
Lelaki
gemuk berpakaian bagus itu adalah seorang saudagar kayu yang tengah membawa barang
dagangannya menuju Jepara. Namanya Raden Mas Kuncoro. Bersamanya ikut lima
orang pengawal yang dipimpin oleh Rah Brojo, seorang jago silat berkepandaian
tinggi. Memang meskipun masa itu daerah Jawa Tengah cukup aman, tetapi saudagar
seperti Raden Mas Kuncoro mana berani mengangkut barang tanpa pengawal. Sudah
lazim para pedagang menyewa pengawal-pengawal berkepandaian tinggi demi
keselamatan harta dan nyawa selama perjalanan.
Sang
saudagar turun dari kereta. Setelah meneguk air sejuk dari dalam sebuah kantong
kulit yang dibawanya, diapun melangkah ke tepi telaga guna mencuci muka serta
kakinya. Saat itulah pandangannya menangkap sosok tubuh Sonya yang berdiri di
balik pohon besar sambil memegangi sebuah sangkar aneh berisi Nuri merah.
Raden Mas
Kuncoro adalah seorang saudagar yang gemar memelihara burung. Di tempat
kediamannya sengaja dia membangun sebuah bangunan besar dimana dipeliharanya
puluhan jenis burung yang bagus-bagus. Melihat Sonya berdiri memegangi burung
Nuri tertariklah hatinya. Dia seperti tidak melihat kelainan pada tampang dan
pakaian Sonya. Pikirannya hanya tertuju pada burung dalam sangkar tulang.
Sementara rombongan duduk di tepi telaga sebelah lain, Kuncoro melangkah
mendatangi Sonya.
“Burung
Nuri itu bagus sekali,” Raden Mas Kuncoro menyapa. Sambil tersenyum.
Sonya
diam saja.
“Burungmu?”
“Ya,
Kenapa?” Sonya balik bertanya.
“Bagus
sekali. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat Nuri seperti satu ini.” Saudagar
itu membungkuk agar dapat melihat binatang itu lebih jelas. “Sangkarnya Kenapa
aneh begini?”
“Bagiku
tidak aneh,” sahut Sonya kaku.
Kuncoro
mengangkut kepalanya. Sikap pemilik burung itu dianggapnya tidak ramah.
Membuatnya tidak enak. Ketika diperhatikannya tampang Sonya hatinya tambah
tidak enak. Ada rasa ngeri melihat wajah manusia itu. Lalu pakaiannya yang
kotor penuh tambalan dan bau busuk yang membersit dari tubuh orang itu.
“Dengar
saudara,” kata Kuncoro. “Aku seorang penggemar burung. Kau mau menjual Nuri
ini?”
Sonya
seperti kaget. Tetapi sesaat kemudian dia tersenyum. Senyum aneh di mata sang
saudagar.
“Katakan
saja harganya pasti kubayar,” kata Raden Mas Kuncoro seraya meraba sabuk uang
di pinggangnya.
“Burung
ini tak kujual,” kata Sonya tandas.
“Sepuluh
ringgit emas!” kata Raden Mas Koncoro tak tanggung-tanggung. Sepuluh ringgit
emas adalah harga gila dan amat mahal untuk seekor burung meskipun sebagus Nuri
itu. Tapi bagi seseorang yang senang akan suatu benda harga bukan menjadi
persoalan. Apalagi bagi seorang seperti saudagar itu. Sepuluh ringgit emas
bukan apa-apa baginya. Dengan tenang Kuncoro keluarkan sabuk uangnya.
Sonya
pencongkan mulut dan berkata: “Lima puluh ringgit emas pun burung ini tak akan
kujual!”
Saudagar
itu terkesiap sejenak. Dia berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia berkata:
“Begini saja saudara, kau ikut kerumahku. Di sana kau boleh pilih tiga ekor
Nuri yang sama seperti ini. Kemudian kutambah dua puluh ringgit emas dan
serahkan Nuri itu padaku!” Sang saudagar merasa pasti kali ini Sonya akan
menyetujui. Tapi jawaban Sonya membuat dia terkejut.
“Sekali
aku bilang burung ini tidak dijual, tetap tak akan kujual. Kau tidak tuli
bukan?!”
“Tiga
burung Nuri ditambah tiga puluh ringgit emas!” kata Raden Mas Kuncoro sambil
mengangkat kedua tangannya.
“Sekalipun
nyawamu nanti kau berikan padaku burung ini tak akan kujual!” sahut Sonya dan
memutar tubuh meninggalkan tempat itu. Kuncoro memegang bahunya.
“Tawaranku
masih belum selesai. Aku bisa menaikkannya lagi. Berapa kau suka, saudara? Kau
jangan main-main….”
Sonya
hentikan langkahnya, berpaling menghadapi Kuncoro. Sepasang matanya
membersitkan sinar aneh. Sinar menggidikkan.
“Siapa
bilang aku main-main. Aku akan buktikan bahwa aku tidak main-main. Nah
mampuslah!”
Sonya
mengangkat tangan kanannya. Lima jari tangan kanannya yang berkuku panjang
terpentang mengerikan. Lalu terdengar pekik Raden Mas Kuncoro. Tubuhnya roboh
ditepi telaga. Mukanya hancur mengerikan. Hampir tak dapat dikenali lagi.
Hidungnya tanggal dan mulutnya robek. Itulah keganasan “Cakar Siluman”, ilmu
yang telah dipergunakan Sonya untuk menamatkan sang saudagar hanya dengan
sekali gerakan saja!
Mendengar
jeritan Kuncoro dan melihat sosok tubuh saudagar itu roboh ke tanah, lima
pengawal tersentak kaget dan melompat mendatangi. Rah Brojo paling depan.
Matanya membeliak melihat kematian sang saudagar.
Suaranya
bergetar, rahangnya menggembung. “Orang asing! Pasal apakah maka kau sampai
membunuhnya begini keji?!”
“Tak ada
pasal tak ada lantaran!” jawab Sonya.
“Kenapa
kau lalu membunuhnya?”
“Karena
aku ingin membunuhnya. Habis perkara!”
“Kalau
begitu kau adalah iblis edan yang harus dihajar!”
Rah Brojo
hantamkan satu jotosan ke dada Sonya. Gerakannya cepat dan keras. Yang di
serang tertawa aneh. Sinar mengerikan kembali membersit di kedua matanya. Dia
berkelit mengelakkan jotosan lawan. Di lain kejap sambil dibarengi teriakan
“Mampuslah!”, tangan kanannya kirimkan cakaran ke muka kepala pengawal itu.
Sebagai
kepala pengawal kereta dagang Rah Brojo memiliki ilmu silat tinggi ditambah
segudang pengalaman. Cepat-cepat dia menghindar ke samping. Cakaran lawan
berhasil dielakkannya. Tapi kelima jari tangan itu tiba-tiba saja membalik
cepat dan memburu ke mukanya. Kali ini Rah Brojo tak sanggup lagi berkelit.
Jeritannya yang terdengar. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia mati dengan muka
rusak mengerikan seperti yang barusan dialami Raden Mas Kuncoro.
“Manusia
biadab! Bersiaplah untuk mati!” teriak seorang pengawal kereta. Bersama tiga
kawannya, dengan bersenjatakan golok dan dibantu pula oleh kusir kereta yang
memegang sepotong besi panjang , mereka serentak mengurung dan menyerbu Sonya!
Dikeroyok
lima begitu rupa Sonya menunggu dengan keluarkan suara aneh. Dengan tangan kiri
masih tetap memegang sangkar tulang, lelaki ini berkelebat. Kelima penyerangnya
terkesiap ketika mendapatkan orang yang menjadi sasaran lenyap dari hadapan
mereka. Senjata masing-masing malah ada yang saling beradu satu sama lain.
Belum habis rasa kaget mereka tiba-tiba terdengar bentakan:
“Mampuslah!”
Setelah
itu suara pekik terdengar susul-menyusul. Empat pengawal tersungkur di tanah
dengan muka hancur mengerikan. Satu-satunya yang masih hidup yakin kusir
kereta, yang lumer nyalinya, tanpa tunggu lebih lama segera putar badan ambil
langkah seribu. Tapi nasibnya cuma tertunda tiga langkah. Pada langkah ke empat
lima jari tangan dengan ganas berkelebat di depannya. Untuk kesekian kalinya
lima jari siluman meminta korban!
Sonya
membersihkan tangannya yang penuh darah. Lalu dia menggeledah pakaian para
korban. Setiap uang dan benda berharga yang ditemuinya diambilnya. Jumlah
terbanyak yang didapatnya adalah dari tubuh Raden Mas Kuncoro.
Pendekar
212 Wiro Sableng yang sampai di tempat itu dua jam kemudian merasa heran
menemukan beberapa ekor kuda dan kereta tanpa kelihatan seorang manusiapun.
Namun keheranannya itu berubah menjadi rasa terkejut sewaktu menemui tujuh
mayat yang bergelimpangan di tepi telaga. Semuanya mati dengan muka hancur
mengerikan!
Murid
Sinto Gendeng ini mengrenyit, geleng-geleng kepala dan garuk rambutnya.
Apa yang
sebenarnya telah terjadi di sini? Rombongan itu di serang rampok? Lalu mengapa
kereta barang tidak di ganggu?
“Gila!”
maki Wiro dalam hati.
Setelah
mengurus jenazah itu sebisa yang dilakukannya dia lalu lanjutkan perjalanan.
*******************
4
Sonya
sengaja menempuh hutan belantara agar lebih cepat sampai ke tujuan yaitu Teluk
Gonggo di pantai utara. Namun sewaktu malam tiba dan Perutnya terasa lapar, mau
tak mau dia segera mendatangi kampung terdekat.
Kampung
Waringin merupakan kampung ramai karena terletak dipersimpangan tiga jalan arus
perdagangan. Kampung ini tidak beda dengan sebuah kampung kecil. Disini
terdapat sebuah rumah makan yang bagian belakangnya disewakan untuk penginapan.
Kesinilah Sonya pergi untuk mengisi perutnya.
Di dalam
rumah makan saat itu telah banyak pengunjungnya. Kedatangan Sonya tentu saja
menarik perhatian tamu dan pemilik kedai. Bajunya yang kotor penuh tambalan dan
bau badannya yang busuk membuat semua orang merasa jijik dan menjauhi. Tapi
Sonya mengambil tempat duduk tanpa perdulikan hal itu.
“Pengemis
dari mana yang berani-beranian masuk ke kedaiku!” kata pemilik kedai dalam hati
dengan mendongkol. Mula-mula hendak disuruhnya Sonya keluar. Tapi ketika
dilihatnya wajah Sonya yang membayangkan sinar aneh, beratlah dugaannya bahwa
Sonya adalah seorang pengemis berotak miring. Agar tidak terjadi keributan maka
pemilik kedai ini membiarkan saja Sonya duduk disalah satu sudut.
Sonya
berseru memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah mendengar makanan apa
yang diminta oleh tamunya, maka bertanyalah pelayan rumah makan itu.
“Pengemis,
apakah kau punya cukup uang untuk membayar harga makanan mahal yang kau pesan?”
Air muka
Sonya tampak berubah. Kelam membatu dan sepasang matanya membersitkan sinar
menggidikkan.
“Katakan
berapa harga kepalamu. Aku akan bayar detik ini juga!” kata Sonya pada si
pelayan.
Karena
ngeri, si pelayan cepat-cepat memutar tubuh. Ucapan Sonya ini membuat semua
orang tambah memperhatikannya dan juga burung Nuri dalam sangkar aneh yang
diletakannya di atas meja.
Kebetulan
saat itu di rumah makan tersebut terdapat rombongan Adipati Cokroningrat dari
Leles. Sambil menyantap makanannya Adipati memperhatikan gerak-gerik Sonya.
Sekali-sekali dia berbisik pada pembantu yang duduk di sampingnya. Selesai
makan sang Adipati mengatakan sesuatu pada pembantunya itu dan si pembantu lalu
berdiri, melangkah ke hadapan Sonya yang saat itu asyik menggerogoti paha ayam
goreng.
“Pengemis,”
demikian pembantu Adipati menegur. “Selesai makan harap kau menemui atasanku.
Adipati Leles. Beliau ingin bicara soal burung yang kau bawa ini.”
Tidak
menjawab apa-apa, seperti tidak mendengarkan orang bicara, Sonya terus saja
melahap paha ayam. Pembantu Adipati itu kembali ke tempatnya. Mereka menunggu
sampai Sonya selesai makan. Setelah selesai makan dan kelihatannya Sonya masih
tetap saja duduk tenang-tenang di tempatnya Cokroningrat berkata pada
pembantunya.
“Mungkin
dia lupa. Panggil lagi. Suruh ke sini.”
Si
pembantu datangi Sonya sekali lagi.
“Pengemis,
seperti kataku tadi lekas kau menghadapi Adipati!”
Sepasang
mata Sonya menyipit.
“Jika dia
yang perlukan aku, suruh dia merangkak kemari!”
Kata-kata
itu diucapkan Sonya dengan suara lantang hingga semua orang dalam rumah makan
ikut mendengar dan terkejut mendengar ucapan yang berani serta kurang ajar itu.
Adipati Leles sendiri kelihatan berubah wajahnya. Serta merta, merasa terhina,
dia berdiri dan mendatangi meja Sonya. Dia menyeret sebuah kursi dan duduk di
hadapan lelaki yang diduganya pengemis itu.
“Kata-katamu
tadi kasar dan kurang ajar. Kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa,
pengemis bau?”
“Berlalulah
dari hadapanku. Atau kusemburkan seribu kata hina dan kotor di mukamu?!”
Rahang
Cokroningrat menggembung. Sebetulnya ingin sekali dia menampar muka pengemis
itu. Tapi mengingat dia ada satu maksud maka ditahannya kemarahannya. Dia
melirik pada burung Nuri merah.
“Burung
ini milikmu?”
Sonya
mengangguk. Sikapnya tak acuh.
“Sangkarnya
aneh. Dari tulang. Tulang kambing atau tulang kerbau?”
Sonya
menyeringai. “Itu bukan tulang kambing. Bukan tulang kerbau. Bukan tulang
binatang. Itu tulang belulang manusia!”
Adipati
Cokroningrat terkejut. Diperhatikannya lagi sangkar itu. Dia memang belum
pernah melihat tulang belulang manusia. Tapi kalau itu dikatakan tulang-tulang
manusia tak percaya dia. Pengemis ini agaknya berotak miring.
“Dengar,
burung itu tak pantas kau pelihara. Kau pasti tak bisa merawatnya. Jual saja
padaku…”
“Oh, itu
rupanya maksudmu,” ujar Sonya dan lagi-lagi sambil menyeringai. “Berapa kau
sanggup membelinya, Adipati?”
“Dua
ringgit perak!”
Sonya
tertawa gelak-gelak.
“Setan,
Kenapa pengemis ini tertawa! Dasar gila!” maki Cokroningrat dalam hati.
Dari
balik pakaiannya Sonya mengeluarkan dua ringgit emas dan meletakkannya di atas
meja.
Terkejutlah
sang Adipati. Juga semua orang yang ada di situ. Siapa menduga kalau pengemis
edan macam begitu memiliki dua ringgit emas?!
Malu dan
terhina Adipati Leles dan berkata. “Baiklah, akan kubayar tiga ringgit emas!”
Sonya
kembali mengeruk pinggang pakaiannya. Dikeluarkannya tiga ringgit emas dan
diletakannya di atas meja.
“Sudah,
kubeli Nurimu enam ringgit emas!” Adipati itu cepat-cepat meletakan enam
ringgit emas di hadapan Sonya. Sebaliknya Sonyapun keluarkan enam ringgit emas
dan menyodorkannya ke hadapan Cokroningrat!
Kini
marahlah Adipati itu. Tapi dia berusaha menahan diri. “Katakan berapa kau mau
jual burung itu!”
Sonya
tertawa. Sebuah kantong kulit digebrakannya di atas meja. Ini adalah kantong
milik saudagar Kuncoro yang telah dibunuh dan dirampoknya. Kantong itu
digoyang-goyangnya. Terdengar suara berdering.
Di dalam
kantong itu terdapat lebih dari seratus ringgit emas. Kau mau…?
Gelaplah
muda Cokroningrat. Dia benar-benar dibikin malu.
“Pengemis
hina dina! Mulut dan sikapmu benar-benar keterlaluan!”
“Ambil
uangmu dan berlalu dari hadapanku Paduka Adipati sialan!”
“Haram
jadah. Kalau kau bukan orang sinting sudah kupecahkan batok kepalamu!”
“Sinting
atau tidak, biar aku beri pelajaran manusia kurang ajar ini!” Yang berkata
adalah pembantu Adipati. Tapi sang Adipati cepat menarik pembantunya. Setelah
mengambil uangnya yang enam ringgit dari atas meja dia kembali ke tempat
duduknya semula. Dia tak mau terjadi keributan dalam rumah makan itu. Dia
berbisik pada pembantunya: “Kita hadang dia ditengah jalan.” Sang pembantu
mengerti dan mengangguk.
“Aneh,
kenapa lampu pada mati?” ujar pemilik rumah makan. Dia memanggil pelayan dan
menyuruh agar lampu di hidupkan. Karena tak ada jawaban maka lampu-lampu itu
dihidupkannya sendiri.
Ketika
seluruh rumah makan terang benderang kembali maka terkejut dan hebohlah semua
orang yang ada disitu. Betapakan tidak! Pelayan rumah makan kedapatan
menggeletak di lantai dengan muka hancur mengerikan. Nyawanya tak disangsikan
lagi pasti sudah melayang. Di seberang sana, Adipati Cokroningrat beserta
pembantunya mengalami nasib yang sama. Mati dalam keadaan masih duduk di kursi
masing-masing, muka hancur, hidung tanggal, biji-biji mata berbusaian dan bibir
robek. Tubuh sang Adipati dan pembantunya berada dalam keadaan kaku tegang,
begitu juga si pelayan yang malang. Nyatalah bahwa ketiganya telah ditotok
sebelum dibunuh!
Memandang
ke sudut ruangan, pengemis aneh tadi dan juga burung Nurinya tak ada lagi
disitu. Di meja hanya ada sekeping uang perak. Sesuai dengan harga makanan yang
dipesannya.
Sonya tak
mau melewati Jepara karena dia ingin lekas-lekas sampai di Teluk Gonggo. Dengan
ilmu larinya yang aneh, yang dipelajarinya secara aneh dari datuk Siluman, pada
hari ke tiga dia sampai pada suatu daerah liar penuh dengan batu-batu. Disini
angin bertiup Sangat keras. Satu pertanda bahwa tak lama lagi dia akan sampai
di daerah pantai.
Menjelang
rembang petang, ketika dia mendongak memandang langit, berubahlah paras Sonya.
Dari arah tenggara berarak cepat awan tebal hitam. Dalam waktu singkat mendung
telah menyungkup udara sedang dikejauhan kilat tampak mulai menyambar, sesekali
diselingi suara gelegar guntur.
Dia
berhenti berlari, memandang berkeliling mencari tempat untuk berteduh bila
hujan turun. Tak ada sebatang pohonpun yang tumbuh di daerah berbatu-batu itu.
Sekalipun ada tak mungkin dia bisa berlindung tanpa terkena air hujan.
Angin
bertiup tambah kencang.
Sonya
tambah cemas.
Burung
dalam sangkar tulang kelihatan gelisah. Binatang ini menggelepar kian kemari
dan mengeluarkan suara aneh, membuat Sonya bertambah kecut.
Dalam
keputus asaannya Sonya berlari kencang kejurusan timur. Memang nasibnya baik.
Kira-kira sepeminuman teh berlari disalah satu lamping bukit batu ditemuinya
sebuah lobang setinggi dada. Tak menunggu lebih lama dia segera memasuki lobang
ini. Hanya beberapa saat saja setelah dia masuk ke dalam lobang hujan lebat
turun laksana dicurahkan dari langit!
Sonya
menarik nafas lega. Wajahnya yang tadi pucat karena ketakutan kini berdarah
kembali. Dia coba masuk lebih jauh ke dalam lobang agar jangan sampai terkena
tampiasan atau percikan air hujan. Angin bertiup keras dan dingin. Akhhirnya
dia duduk menjeleplok dalam lobang itu. Setelah duduk beberapa lama Sonya
merasakan sesuatu yang aneh. Hawa dingin dari luar tidak terasa lagi meskipun
angin masih terus bertiup. Di sekitarnya teras hangat. Di samping itu hidungnya
mencium bau harum semerbak. Tak syak lagi hawa hangat dan bau harum itu
pastilah datang dari dalam lobang. Mungkin ada makhluk penghuni di dalam sana?
Tapi mengapa lobang itu tampak gelap dan seperti buntu?
Sambil
terus membawa burung Nuri dalam sangkar, perlahan-lahan Sonya masuk
membungkuk-bungkuk lebih jauh kedalam lobang. Tambah ke dalam tambah hangat
terasa udara dan bau harum semakin keras. Di sebelah atas lobang batu itu
tampak tambah meninggi hingga kalau tadi dia harus membungkuk-bungkuk, kini dia
dapat berjalan seperti biasa.
Langkahnya
terhenti di hadapan sebuah batu besar hitam dan rata. Semula disangkanya dia
sudah sampai diujung lobang dan buntu. Namun sewaktu diperhatikannya baik-baik,
disamping kanan batu ditemuinya sebuah celah sepemasukan tubuh manusia. Sonya
melangkah mendekati celah. Hati-hati dia mengulurkan kepalanya, mengintai ke
ruang di belakang batu.
Sepasang
mata Sonya membesar ketika menyaksikan pemandangan yang hampir tak dapat
dipercayanya. Tepat dibelakang batu hitam itu terdapat sebuah tangga terbuat
dari batu mar-mar putih, menurun menuju sebuah ruangan empat persegi yang
lantainya dihampari permadani merah berbunga-bunga.
Di atas
permadani itu duduk seorang lelaki tua bermuka putih, berambut kelabu menjela
bahu. Di hadapannya bersila seorang perempuan berpakaian kuning polos yang wajahnya
tak dapat dilihat oleh Sonya karena duduk memunggungi batu.
Pada saat
itu terdengar si orang tua berambut kelabu berkata:
“Muridku,
batapapun seseorang mendalami ilmu silat dan kesakitan harus pula mempelajari
ilmu yang menyangkut keagamaan serta segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
budi nurani manusia luhur. Itu semua akan menjadi semacam kendali baginya untuk
mempergunakan kepandaian silat serta kesaktiannya hanya untuk maksud kebaikan
semata, bukan untuk berbuat jahat. Agama dan hati nurani luhur mengingatkan
seseorang untuk tidak menyeleweng dari rel kebenaran, menjaganya agar jangan
menjadi sesat! Karena itulah meski saat ini kau telah memiliki ilmu silat yang
tinggi, namun kau belum mengizinkan kau meninggalkan tempat ini guna mencari musuh
besarmu. Soal balas dendam soal mudah Dwiyana. Kau harus tinggal disini selama
dua tahun lagi guna mempelajari agama dan seluk beluk budi luhur. Sambil
belajar itu semua kau sekaligus dapat pula melatih dan memperdalam ilmu
silatmu. Bukankah itu lebih baik bagimu?”
“Jika
Eyang berpendapat begitu tentu itu memang lebih baik. Dan saya akan menurut
saja…” jawab perempuan berpakaian kuning.
Kini
mengertilah Sonya. Kedua orang itu adalah guru dan murid. Dan sang murid dapat
dipastikannya adalah seorang gadis. Meski dia belum dapat melihat paras gadis
itu, namun satu hawa jahat telah menggerayangi diri Sonya. Sepasang matanya
memancarkan sinar aneh. Ujung lidahnya tiada henti dileletkan membasahi bibir
sedang cuping hidungnya kembang kempis. Nafsu kotor mulai membakar manusia
dengan cepat!
“Nah
muridku, kuharap kau tidak kecewa dengan keputusanku ini,” kata sang guru.
“Sama
sekali tidak Eyang,” menyahuti murid yang bernama Dwiyana. “Malah saya
menghaturkan banyak terima kasih atas perhatian dan petunjuk Eyang. Apa yang
Eyang lakukan semata adalah untuk kebaikan saya.”
Sang guru
mengangguk-angguk. Lalu batuk-batuk beberapa kali. Sesaat dia memandang ke arah
batu hitam di atas ruangan. Dia tampak tersenyum lalu buka mulut:
“Kalau
ada tamu di luar sana, megapa berdiri saja? Silahkan masuk……….”
Sonya
terkesiap. Dia menahan nafas. Si rambut kelabu itu rupanya memiliki indera
keenam. Dengan menyeringai kemudian Sonya memasuki celah. Batu lalu melangkah
menuruni anak tangga demi anak tangga. Si orang tua memberi isyarat pada
muridnya. Dwiyana berdiri lalu duduk di sudut ruangan.
Di ujung
ruangan Sonya hentikan langkah. Sesaat pandangannya saling beradu dengan mata
orang tua itu. Sebuah lampu kecil kelihatan terletak di sebuah ruangan lain,
lalu sebuah pendupaan yang mengeluarkan asap harum. Sonya melirik pada Dwiyana.
Ternyata gadis itu memiliki paras cantik. Tambah berkobarlah nafsu terkutuk
dalam tubuh murid Datuk Siluman ini! Perlahan-lahan dia melangkah ke hadapan
orang tua yang duduk bersila di atas permadani merah.
*******************
5
Sekali
saja melihat paras Sonya baik si orang tua maupun Dwiyana segera mengetahui
bahwa manusia bertampang buruk bengis yang mengenakan baju dekil
bertambal-tambal ini bukan seorang manusia baik-baik. Sinar matanya menunjukkan
hal itu. Namun demikian si orang tua penghuni goa batu mempersilahkan tamunya
duduk dengan sikap ramah.
"Tamu
aneh yang datang membawa burung Nuri dalam sangkar aneh, apakah kau seorang
pemburu?"
"Namaku
Sonya. Aku bukan pemburu," jawab Sonya dengan nada kaku. "Kau sendiri
siapa?" dia balik bertanya.
Yang
ditanya tersenyum.
"Orang
memanggilku Malaikat Berambut Kelabu. Tapi walau bagaimanapun aku hanyalah
seorang manusia biasa. Seorang tua peot keriput yang sudah dimakan usia. Namaku
Akik Mapel."
Sonya
seperti tidak acuh mendengar jawaban itu. Dia lebih tertarik pada gadis yang
duduk di sudut ruangan. Dia berpaling pada Dwiyana dan memandang lekat-lekat.
Dipandang begitu rupa dengan hati kesal Dwiyana tundukkan kepala.
Untuk
kesekian kalinya Sonya basahi lagi bibirnya dengan ujung lidah. Akik Mapel juga
mulai merasa tak suka dengan tindak tanduk tamu yang tidak diundang ini.
"Gadis
itu muridmu?" tanya Sonya .
Akik
Mapel mengangguk. Sejak tadi dia telah mencium bau busuk yang keluar dari tubuh
dan pakaian Sonya. Masih untung ruangan itu diasapi dengan ramuan pengharum.
"Di
luar hujan. Aku terpaksa berteduh di sini," menerangkan Sonya.
"Aku
tahu. Sebenarnya kau datang dari mana dan hendak menuju kemana?"
Sonya
mengerling lagi pada Dwiyana. Lalu angkat bahu. "Aku tidak tahu datang
dari mana dan kau mau kemana."
"Ah,
itu adalah lucu," kata adik Mapel. Dia menggoyangkan kepalanya pada
muridnya. "Lekas hidangkan minuman untuk tamu kita."
"Tak
usah. Aku tak haus," jawab Sonya cepat. Dia khawatir kalau-kalau Akik
Mapel sudah menaruh curiga dan memasukkan sesuatu ke dalam minumannya. Dia
malah kini berpikir-pikir apa segera saja bertindak mengumbar keinginan jahat
terkutuknya.
"Burung
itu milikmu?" tiba-tiba Akik Mapel bertanya.
"Lalu
punya siapa lagi? Apa kau menginginkannya?!"
"Tidak.
Sama sekali tidak. Aku hanya ingin tahu mengapa binatang itu bersangkar
aneh."
"Di
dalam dunia ini memang banyak hal aneh-aneh, Akik Mapel. Dan semua keanehan itu
berakhir pada kematian!"
Kata-kata
Sonya itu membuat Akik Mapel kerenyitkan kening.
"Betul
tidak, Akik Mapel?"
Akik
Mapel batuk-batuk sebelum menjawab. "Mungkin…mungkin betul,"
jawabnya. Diam-diam dia mulai meragukan apakah sang tamu memiliki otak sehat.
"Nah,
bagaimana kalau saat ini kukatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi satu
keanehan yang berkahir pada kematian?"
"Maksudmu
Sonya?"
"Bahwa
sebentar lagi kau bakal mati di tanganku?!"
Akik
Mapel menatap wajah tamunya. Sinar aneh dilihatnya memancar dari sepasang mata
Sonya.
"Kau
hendak melakukan keanehan yang mahal Sonya. Kalau tidak mau kukatakan
gila!"
Sonya
tertawa gelak-gelak. Lalu disusul oleh suara lolongan panjang seperti raungan
srigala!
Tiba-tiba
laksana kilat tangan kanannya yang berkuku panjang meluncur kedepan,
mencengkeram ke muka Akik Mapel. Orang tua ini kaget bukan kepalang.
Cepat-cepat tangan kanannya diangkat ke atas untuk melindungi muka sekaligus
menepis serangan lawan. Maka terjadilah bentrokan dua lengan yang menimbulkan
suara keras!
Akik
Mapel merasakan lengannya sakit dan panas. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh
terbanting ke atas permadani. Di hadapannya dilihatnya Sonya tertawa
menyeringai. Menandakan bahwa manusia bermuka setan ini memiliki kepandaian
amat tinggi.
Setelah
menenangkan hatinya, Akik Mapel berkata: "Sonya, aku sejak tadi menduga
bahwa kedatanganmu kemari tidak membawa maksud baik. Ternyata dugaanku
terbukti!"
Sonya
kembali tertawa panjang. "Apa kau tuli kakek-kakek pikun? Sudah kukatakan
bahwa kau akan mati ditanganku!"
Sekali
lagi Sonya menggerakkan tangan kanannya yang berkuku panjang. Melancarkan
serangan "cakar siluman" yang sebelumnya telah meminta lebih dari
setengah lusin korban. Menyadari bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu
benar-benar ingin mencelakainya, orang tua itu beringsut ke belakang sambil
tundukan kepala. Begitu melompat bangun dia tendangkan kaki kanannya ke kepala
lawan!
Sonya
keluarkan suara lolongan srigala haus daging dan darah manusia. Walaupun kaki
kanan Akik Mapel sudah menderu dekat di depan keningnya, tapi dia sama sekali
tidak membuat gerakan untuk mengelak. Namun tiba-tiba dia tampak menggerakkan
kedua tangannya. Sesaat kemudian Akik Mapel tersentak kaget ketika merasakan
bagaimana pergelangan kaki kanannya tahu-tahu telah dicekal lawan amat kuatnya.
Betapapun dia berusaha melepaskan kakinya namun sia-sia belaka.
Akik
Mapel tekuk lutut sambil miringkan tubuh ke bawah. Tinju kirinya menderu ke
dada lawan sedang tangan kanan menemplang ke batok kepala Sonya. Inilah gerakan
yang dinamakan "beringin sakti tumbang."
Akan
tetapi sebelum kedua tinjunya itu mencapai sasaran, Akik Mapel merasakan
pergelangan kakinya dipuntir sakit sekali dan tubuhnya melayang berputar di
udara, kemudian terlempar ke dinding ruangan batu!
Jika saja
orang tua itu bukan seorang tokoh silat yang lihay, niscaya tubuhnya akan remuk
ketika melabrak dinding batu yang luar biasa kerasnya itu!
Tanpa
kehilangan akal karena dilemparkan begitu rupa, Akik Mapel ulurkan kedua
tangannya ke depan untuk menyentuh dinding batu dengan telapak tangan lalu mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, kakek ini jatuhkan diri, seterusnya
bergulingan di lantai. Dengan cara begini dia berhasil menyelamatkan diri.
Sonya
tertawa mengekeh dan perlahan-lahan bangkit dari duduknya.
"Eyang,
biar aku yang menghajar manusia busuk ini!" Dwiyana tiba-tiba melompat dan
bergerak mendekati Sonya.
"Kembali
ke tempatmu Dwiyana! Kalau belum kugebuk dia, belum puas hatiku!" sahut
sang guru. Dia sudah dapat mengukur kehebatan lawannya dan diam-diam menyadari
kalau ketinggian ilmunya belum bisa menandingi ilmu manusia muka setan ini,
apalagi muridnya. Karena itu dia mencegah tindakan Dwiyana.
"Betul
sekali ucapan gurumu. Gadis cantik molek, sebaiknya kau tetap di sudut sana.
Sayang kalau tubuhmu yang mulus itu tergores luka. Apalagi kalau sampai kena
gebuk!"
"Sonya!"
tukas Akik Mapel. "Aku beri kesempatan padamu untuk meninggalkan goa ini.
Kalau tidak, aku akan betul-betul menggebukmu sampai babak belur!"
Sonya
hanya tertawa. Dia pejamkan kedua matanya dan berdiri tanpa bergerak.
"Kakek pikun. Kau mau menggebukku? Silahkan!"
Mau tak
mau Akik Mapel jadi tambah marah dan penasaran. Didahului suara menggembor
orang tua ini menerjang. Gerakan tubuhnya mengeluarkan deru angin deras. Kedua
tangannya didorongkan ke depan. Dua larik angin bersiur keras. Ruangan batu
bergoyang laksana dilanda lindu. Sonya terhuyung-huyung.
"Setan
alas!" maki Sonya marah ketika angin deras serbuan Akik Mapel membuat
sangkar dan burung di dalamnya terlepas dari pegangannya dan mental ke sudut
ruangan. Di saat itu pula telapak tangan Akik Mapel telah menghantam ke arah
keningnya, siap untuk menghancurkan kepala Sonya.
Sampai
saat itu Akik Mapel mempunyai anggapan bahwa Sonya adalah seorang berilmu
tinggi tetapi berotak miring. Karenanya sewaktu serangannya dirasakannya
betul-betul akan menamatkan riwayat lawannya itu, timbullah perasaan tak tega
di hati orang tua ini. Dia tarik pulang tangannya dan sebagai ganti mengirimkan
totokan kilat ke arah pangkal leher.
Sonya
mendengus. Dia tahu apa artinya kalau totokan untuk sempat mendarat di
sasarannya. Untuk kesekian kalinya manusia muka iblis ini keluarkan suara
lolongan srigala. Suara lolongannya lenyap sedetik kemudian. Tubuhnya pun ikut
lenyap! Akik Mapel terkesiap kaget.
Sebelum
orang tua itu mengetahui di mana lawannya berada, satu hantaman menghajar
tubuhnya sebelah belakang. Akik Mapel mengeluh tinggi. Tubuhnya terhantar di
permadani. Tulang punggungnya sebelah kanan hancur! Dengan susah payah dia
mencoba bangun sementara di hadapannya Sonya berdiri dengan sikap mengejek.
Tangan kanan bertolak pinggang sedang tangan kiri memegang sangkar tulang.
“Manusia
gila keparat! Terima ini!” Tiba-tiba terdengar bentakan Dwiyana. Murid Akik
Mapel yang sudah tidak sabaran ini menyerbu.
Sonya yang
hendak menyerang Akik Mapel, terpaksa batalkan gerakannya ketika merasakan
siuran angin serangan datang dari samping. Cepat dia berkelit dan berpaling,
lalu menyeringai.
“Gadis
galak, sebaiknya kau tetap di sudut sana. Aku tak ingin membuat tubuhmu yang
mulus jadi luka. Aku sendiri yang akan rugi nanti jadinya!”
“Setan!
Jaga batang lehermu!” teriak Dwiyana dengan muka merah. Hatinya geram karena
serangan tangan kosongnya dapat dielakkan lawan dengan mudah. Tidak menunggu
lebih lama gadis ini segera cabut sebilah pedang mustika terbuat dari perak
yang tersisip di belakang punggungnya. Serangkum sinar putih berkiblat ketika
senjata ini di babatkan ke leher Sonya dengan dahsyat.
Di saat
muridnya menggempur dengan pedang, Akik Mapel tidak tinggal diam. Dia lepaskan
satu pukulan sakti bernama “sinar pelangi”. Patut diketahui, ilmu pukulan ini
lebih dari sepuluh tahun dipelajari dan diyakini oleh kakek sakti itu, dan
merupakan satu dari sekian banyak pukulan sakti yang terkenal dan pernah
menggegerkan dunia persilatan. Apalagi saat itu Akik Mapel mengepulkan lebih
tiga perempat kekuatan tenaga dalamnya untuk Melancarkan pukulan tersebut!
Tujuh
warna pelangi berkiblat. Ruangan baru bergoncang keras.
Wuus !
Sinar
pukulan sakti itu menyapa ke seluruh bagian tubuh Sonya. Di kejap itu pula
terdengar bentakan keras. Dwiyana merasakan selarikan angin menyambar ke
arahnya, membuat pedangnya tergeser ke samping. Tubuhnya terdorong ke belakang
sampai beberapa langkah. Penasaran gadis ini susul serangannya yang tadi buyar dengan
satu tusukan. Namun dia harus cepat menjauhkan diri kalau tidak pukulan gurunya
sendiri akan menghantamnya.
Akik
Mapel hampir tidak percaya ketika melihat bagaimana Sonya mampu mengelak dan
bertahan terhadap pukulannya. Selama malang melintang di dunia persilatan, tak
satu lawanpun sebelumnya yang sanggup bertahan terhadap pukulan “sinar
pelangi”.
“Apakah
masih ada pukulan saktimu yang lain?” tanya Sonya mengejek yang membuat Akik
Mapel serasa di panggang. Sebelum dia sempat membuka mulut, dilihatnya muridnya
sudah menyerbu kembali dengan serangan pedang perak.
Melihat
amukan si gadis Sonya mundur beberapa langkah. Begitu sambaran senjata lawan
lewat, cepat dia dorongkan tangan kanannya ke dada Dwiyana hingga gadis ini
jatuh terguling di lantai.
“Bedebah
kurang ajar! Terkutuk!” teriak Dwiyana. Gerakan tangan Sonya tadi bukan hanya
sekedar mendorong, tetapi sekaligus sengaja meremas payudara si gadis. Dwiyana
melompat beringas dan siap menyerbu kembali.
“Sudah!
Kau tidurlah enak-enak di sudut sana!” kata Sonya lalu jentikkan jari telunjuk
tangan kanannya. Selarik asap hitam panjang yang tak ubahnya seperti seutas
tali meluncur ke arah Dwiyana dan berputar bergelung-gelung di sekitar kepala
si gadis.
Dwiyana
menghantam dengan tangan kirinya. Angin pukulannya keras sekali. Tetapi asap
hitam itu tak mampu dimusnahkannya malah kini gelungannya semakin menyempit,
membuat gadis ini terpaksa mundur ke sudut ruangan yang diinginkan Sonya. Dalam
pada itu detik demi detik Dwiyana merasakan kedua kelopak matanya menjadi
berat, kepalanya pusing dan pemandangannya berkunang. Akhirnya secara aneh
gadis ini terduduk di sudut ruangan batu. Kedua matanya terpejam. Punggungnya
tersandar. Sikapnya persis seperti orang sedang tidur duduk!
Akik
Mapel terbeliak melihat kejadian ini. Seumur hidup baru sekali itu dia melihat
ilmu aneh begitu rupa. Hatinya berdebar. Bukan karena takut menghadapi lawan
yang jauh lebih hebat dari dia, tetapi karena sudah dapat menduga apa
sebenarnya maksud Sonya memperlakukan Dwiyana seperti itu.
Dari balik
pakaiannya Akik Mapel cepat keluarkan tasbih yang terbuat dari untaian mutiara.
Tasbih ini pernah di rendam selama tiga tahun hingga dari putih kini warnannya
kelihatan biru gelap dan memancarkan sinar angker.
Sesaat
Sonya perhatikan benda di tangan lawannya lalu tertawa menyeringai.
“Hai, itu
senjatamu Akik Mapel?” ujar Sonya. Tahu-tahu dia sudah berkelebat untuk
merampas mutiara tersebut. Tapi hal ini tidak terlalu mudah untuk melakukannya.
Akik Mapel mengelak sebat. Sesaat kemudian segulung sinar biru menggidikkan
melabrak ke arah delapan bagian tubuh Sonya!
Serangan
tasbih itu memang hebat dan ganas. Dan Akik Mapel jarang sekali mengeluarkan
senjata andalannya ini kalau tidak dalam keadaan Sangat berbahaya dan terdesak.
Yang
diserang keluarkan suara menggereng laksana singa lapar terluka. Dia menyelusup
di antara gulungan sinar biru. Memang hebat sekali murid Datuk Siluman ini. Dia
masih sanggup menyelamatkan diri dari gempuran sinar maut itu. Bahkan kembali
mencoba untuk merampas mutiara di tangan Akik Mapel. Ketika untuk kesekian
kalinya dia tidak mampu untuk merampas tasbih itu, marahlah manusia muka setan
ini!
Sonya
pindahkan sangkar burung ke tangan kanan dan lambaikan tangan kirinya.
Terdengar suara mendesis. Asap hitam pekat keluar berguling dari telapak
tangannya, menderu dan membungkus ke arah kepala Akik Mapel. Si orang tua
terbatuk-batuk, tak tahan oleh bau sengit asap hitam aneh. Dia kerahkan tenaga
dalam dan menghembus ke depan. Tak terlambat. Tubuhnya dirasakannya menciut,
makin kecil, makin pendek. Sebaliknya tubuh Sonya dilihatnya bertambah besar
dan menjadi tinggi. Dia merasa seperti seekor siput atau seekor semut yang baru
keluar dari lubang.
“Celaka,
ilmu iblis apa pula ini!” keluh orang tua itu.
“Akik Mapel!
Lihat mukaku! Pandang mataku!” kata Sonya. Suaranya lantang, menggema dalam
ruangan batu itu. Semula dia ingin membunuh kakek ini. Tapi Selintas pikiran
muncul dalam benaknya.
Akik
Mapel yang sudah terpengaruh oleh kekuatan iblis mengikuti apa yang dikatakan
lawannya. Dia mendongak dan memandang ke wajah Sonya. Menatap sepasang mata
itu.
“Katakan
siapa aku! Katakan lekas!” terdengar suara Sonya.
“Kau
Sonya…….Sonya!” sahut Akik Mapel.
“Sonya
siapa?!”
“Sonya
majikanku. Kau tuan besarku!”
“Dan kau
sendiri Sekarang siapa huh?!”
“Aku….?
Tentu saja hamba sahayamu,” jawab Akik Mapel.
Sonya
tertawa gelak-gelak.
“Sebagai
hamba sahaya kau harus turut setiap perintah majikan. Kau mengerti Akik Mapel!”
“Mengerti.
Aku mengerti Sonya!”
“Bagus!”
Sonya lalu lambaikan tangan kirinya.
Asap
hitam sedikit demi sedikit lenyap. Wajah Akik Mapel yang sebelumnya berwarna
putih polos kini kelihatan menghitam akibat ilmu siluman lawannya.
“Sekarang
kau Pergilah keluar! Tunggu aku di mulut goa!” kata Sonya pula. “Tapi berikan
dulu tasbih itu!”
Akik
Mapel menurut. Senjata mustikannya diserahkan pada Sonya lalu dia melangkah
keluar ruangan.
“Hai
tunggu dulu,” seru Sonya.
“Apa lagi
Sonya?”
“Sialan!
Mulai saat ini Panggil aku Paduka. Mengerti….?”
“Baik.
Aku akan Panggil kau Paduka…..”
Dengan
terbungkuk-bungkuk Akik Mapel meninggalkan tempat itu. Ilmu siluman telah
merubah jalan pikiran sehatnya. Dia berdiri di mulut goa seperti yang di
perintahkan. Pandangan matanya kuyu. Di luar hujan masih terus turun dengan
lebatnya.
Di dalam
ruangan batu Sonya melangkah mendekati Dwiyana. Dipandangnya wajah gadis yang
sedang “tertidur” itu. Diletakkannya sangkar burung ke lantai. Lalu tangan
kanannya dilambaikan ke wajah Dwiyana. Asap hitam berguling-gulung membungkus
kepala si gadis. Lalu dia tersentak bangun dan terbatuk-batuk. Sonya lambaikan
tangannya. Asap hitam lenyap. Matanya dan mata Dwiyana saling pandang.
“Dwiyana.
Lihat mukaku. Pandang mataku…..”
Dwiyana
mengangkat kepalanya dan menatap wajah serta mata Sonya.
“Mulai
hari ini kau menjadi gadis peliharaanku, mengerti?”
Dwiyana
mengangguk.
“Kau
harus melayani apa mauku!”
Dwiyana
kembali mengangguk.
“Kau
harus Panggil aku Paduka!”
Si gadis
mengangguk lagi.
“Sekarang
berdiri!”
Dwiyana
berdiri.
“Tanggalkan
pakaianmu!”
Di luar
kesadaran akal sehatnya yang telah di sungkup oleh kekuatan iblis, Dwiyana
mulai membuka pakaiannya. Setiap gerakan gadis ini di saksikan Sonya tanpa
berkesip dan lidah menjulur basah. Akhirnya Dwiyana berdiri di hadapannya tanpa
selembar benang pun menutupi auratnya.
Sonya
tertawa panjang. Hidungnya kembang kempis.
“Melangkah
lebih dekat kesini, Dwiyana…..”
Dwiyana
mendatangi.
“Lebih
dekat lagi!”
Si gadis
maju hingga tubuhnya beradu dengan badan Sonya. Buah dadanya yang kencang
tertekan rata sewaktu Sonya merangkul punggungnya dengan penuh nafsu.
“Sekarang
kau harus meninggalkan pakaianku, Dwiyana….”
Si gadis
menurut. Dia ulurkan kedua tangannya dan membuka pakaian Sonya satu demi satu.
Dipukau
oleh ilmu siluman, sampai jauh malam Dwiyana terus saja melayani nafsu terkutuk
Sonya yang seperti tidak ada ujungnya itu. Sementara di luar sang guru duduk
termenung. Tak beda seperti seekor anjing yang bertugas menjaga pintu, dan tak
berani masuk ke dalam tanpa izin majikannya. Malang sekali nasib guru dan murid
itu.
*******************
6
TUJUH
HARI sesudah meninggalkan Bukit Hantu maka sampailah Sonya ke Teluk Gonggo.
Selama perjalanan itu belasan manusia telah menjadi korban keganasan ilmu
silumannya. Beberapa orang berkepandaian tinggi dan beberapa perempuan berparas
cantik dibawanya ketempat kediamannya yang baru, yang kelak bakal menjadi satu
markas atau sarang sumber malapetaka yang menimpa dunia persilatan. Umumnya
orang-orang lelaki yang dibawanya itu adalah jago-jago silat kelas satu yang
berhasil ditundukkannya dan diperbudaknya. Sedang orang-orang perempuan
sebelumnya telah diperkosanya secara keji untuk kemudian dijadikannya perempuan
peliharaan pemuas nafsunya.
Malapetaka
besar itu segera menjadi kenyataan sebulan kemudian. Dunia persilatan delapan
penjuru angin menjadi geger ketika terjadi pembunuhan besar-besaran secara
mengerikan atas tiga partai silat. Seisi partai mulai dari sang ketua sampai
murid partai yang paling rendah bahkan pelayan, mati dibunuh dengan cara yang
sama. Yaitu muka hancur. Itulah kebiadaban ilmu “cakar siluman”.
Kemudian
beberapa tokoh terkenal dunia persilatan lenyap secara aneh sedang beberapa
lainnya ditemukan mati dengan muka hancur rusak hampir sulit untuk dikenali.
Selama berbulan-bulan peristiwa yang menggemparkan itu berjalan terus tanpa
diketahui siapa biang pelakunya. Beberapa orang sakti mempunyai dugaan bahwa
segala malapetaka mengerikan itu tak dapat tidak hanya bisa dilakukan oleh satu
orang yakin Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Beramai-ramai mereka mengadakan
perundingan lalu menyerbu ke puncak Bukit Hantu. Namun yang mereka temui
hanyalah reruntuhan bangunan tulang yang telah menghitam jadi arang. Sesosok
tubuh yang merupakan tengkorak acak-acakan terjepit di bawah reruntuhan itu.
“Kalau
Datuk Siluman sudah mati, berarti ada seorang manusia iblis lainnya yang
menjadi biang racun kejahatan ini. Tapi Siapakah dia?” tanya seorang tokoh
sambil memandang pada kawan-kawannya.
“Tidak
dapat tidak dia punya sangkut paut tertentu dengan Datuk Siluman.” Jawab tokoh
yang lain.
“Kalau
manusia itu seorang muridnya, kurasa itu mustahil.” Ikut bicara jago silat
lainnya. “Setahuku Datuk Siluman tak pernah punya murid.”
Dengan
perasaan kecewa tokoh-tokoh silat itu akhirnya meninggalkan Bukit Siluman.
Minggu
demi minggu berlalu, berganti bulan ke bulan. Bencana yang menimpa dunia
persilatan semakin hebat. Disamping terbunuh dan diculiknya tokoh-tokoh silat
tingkat tinggi, disamping musnahnya beberapa partai persilatan, juga diketahui
lenyapnya gadis-gadis atau perempuan-perempuan cantik dari kampung, desa dan
kota.
Usaha-usaha
yang dilakukan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan untuk mencari dan mengejar
pelaku yang telah membuat keonaran keji itu, sebegitu jauh masih menemui jalan
buntu. Rasa cemas kini menyelimuti seantero rimba persilatan. Namun tidak ada
yang berputus asa.
Pada
permulaan awal bulan dua belas para tokoh silat itu mengadakan pertemuan
rahasia di suatu tempat di utara Sragen. Baru saja pertemuan hendak dibuka
tiba-tiba di pintu yang dikunci terdengar suara ketukan.
Brajapati,
seorang tokoh silat dari pantai selatan yang memimpin pertemuan itu memandang
berkeliling. Semua undangan telah duduk di kursi masing-masing. Berarti tak ada
yang harus ditunggu atau datang terlambat. Semua hadirin menjadi tidak enak.
Dan ini jelas terbayang di wajah masing-masing. Siapa gerangan yang mengetuk
pintu itu?
Perlahan-lahan
Brajapati berdiri dari kursinya dan melangkah ke pintu. Meski tokoh-tokoh silat
lainnya masih tetap duduk di tempatnya masing-masing tetapi rata-rata secara
diam-diam mereka telah berjaga-jaga kalau sampai tiba-tiba terjadi hal yang
tidak diinginkan.
Tiga
langkah dari ambang pintu Brajapati berhenti.
“Siapa di
luar?” tanya jagoan ini sambil tangan kanannya diangkat ke atas, siap
melepaskan satu pukulan tangan kosong.
“Aku….”
Terdengar sahutan dari balik pintu.
“Aku
siapa?” bentak Brajapati.
“Perbolehkan
aku masuk….”
“Katakan
dulu siapa kau!” jawab Brajapati. Tenaga dalamnya dilipat gandakan dan
dialirkan ke tangan kanannya yang siap menghantam.
“Aku Hang
Juana dari Tegal Alas. Bukankah kalian ingin mengetahui siapa yang selama ini
menimbulkan bencana dalam dunia persilatan? Lekas buka pintu!”
Brajapati
dan beberapa tokoh silat di situ sebelumnya memang sudah pernah mendengar nama
Hang Juana. Itu sekitar sepuluh tahun yang silam. Dia dikenali sebagai seorang
kakek yang ahli membuat berbagai macam senjata, terutama senjata pesanan
perwira-perwira kerajaan.
Tanpa
ragu-ragu Brajapati membuka daun pintu dengan tangan kirinya. Dibawah pandangan
sekian banyak pasang mata, seorang kakek berpakaian butut rombeng masuk
terbungkuk-bungkuk. Dia berdiri di ujung meja pertemuan dan memandang
berkeliling.
“Orang
tua, Silahkan duduk,” Brajapati menarik sebuah kursi.
Hang
Juana menggeleng.
“Aku tak
bisa lama-lama di sini,” kata si kakek pula.
“Kenapa?”
tanya Brajapati. Karena Hang Juana tak mau menjawab maka dia melanjutkan
ucapannya: “Tadi kau mengeluarkan ucapan yang mengatakan seolah-olah kau tahu
siapa yang menjadi biang racun penimbul malapetaka selama ini….”
Hang
Juana mengangguk. “Orangnya masih ada sangkut paut dengan Datuk Siluman dari
Bukit Hantu…”
“Memang
sudah kami duga!” kata beberapa tokoh silat hampir bersamaan.
“Siapa
manusianya dan di mana sarangnya?” tanya Brajapati.
“Manusianya
bernama……….”
Tiba-tiba
laksana ada angin besar melabrak masuk, semua lampu yang ada di ruangan itu
padam! Bau busuk menebas menusuk hidung. Ucapan Hang Juana terputus digantikan
jeritan yang mengerikan.
Brajapati
melihat sesosok bayangan berkelebat di hadapannya. Secepat kilat jagoan dari
pantai selatan ini hantamkan tangan kanannya ke depan. Sesiur sinar putih
menderu ke arah tubuh yang berkelebat. Tapi yang diserang serta merta lenyap
dari pemandangan. Dilain kejap justru terdengar pekik Brajapati setinggi
langit. Lalu suasana di ruangan yang gelap gulita itu menjadi sunyi senyap
seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara hitam.
“Hidupkan
lampu!” Seseorang berteriak.
Beberapa
orang segera menyalakan lampu di empat sudut ruangan. Begitu lampu menyala maka
semua tokoh silat yang ada di situ melengak ngeri!
Dua sosok
tubuh menggeletak di lantai ruangan pertemuan. Mereka adalah Hang Juana dan
Brajapati. Keduanya tak bergerak dan tak bernapas lagi. Muka mereka yang
berselomotan darah terlalu ngeri untuk dipandang.
Meski
semua yang hadir di situ adalah tokoh silat kelas satu berilmu tinggi, namun
menyaksikan kematian Hang Juana dan Brajapati begitu rupa tak urung membuat
hati tercekat ngeri. Dada berdebar dan lutut bergetar. Dua korban manusia
siluman itu kini menggeletak di depan mereka. Untung mereka masih hidup. Karena
sebenarnya jika mau manusia iblis itu pasti mampu melakukan hal yang sama
terhadap mereka semua!
Khawatir
akan menyusul terjadinya hal-hal yang tak diingini, dengan membawa mayat
Brajapati dan Hang Juana semua tokoh silat yang hadir segera meninggalkan
tempat itu. Dengan demikian untuk kesekian kalinya gagal pulalah usaha untuk
menyelidiki siapa adanya manusia penyebar malapetaka itu.
*******************
7
BULAN
PURNAMA telah sejak lama lenyap terlindung di balik gumpalan awan hitam.
Bintang-bintang pun menghilang satu demi satu. Saat itu mendekati tengah malam.
Jika pertengahan malam kali ini berlalu maka berarti untuk ke sekian kalinya
dunia memasuki tahun baru, memasuki usia baru. Bumi Tuhan ini bertambah tua
juga.
Di
kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Pada saat itulah sesosok
tubuh kelihatan lari memasuki Tegaltritis dari jurusan timur. Tak lama kemudian
sampailah orang ini di samping sebuah tembok tinggi satu bangunan yang paling
bagus dan mewah di kampung tersebut. Tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan orang
ini langsung masuk ke halaman depan dengan melompati tembok.
Gedung
besar di hadapannya sunyi senyap tanda semua penghuni sudah tidur lelap. Hanya
pada beberapa tempat terdapat lampu-lampu kecil menyala. Sekali menggenjot tubuh
orang ini kemudian melompat ke genting bangunan. Dengan menerobos genting dan
langit-langit dia masuk ke dalam gedung, sampai ke sebuah kamar dimana terdapat
dua buah tempat tidur berkelambu putih dan biru muda.
Di atas
tempat tidur berkelambu putih, tiga orang anak kelihatan tidur dengan
nyenyaknya. Sesaat orang yang barusan menerobos masuk itu memperhatikan wajah
ketiga anak itu. Dadanya terasa sesak menggemuruh. Cepat-cepat dia berpaling
dan melangkah ke dekat tempat tidur yang berkelambu biru.
Di atas
tempat tidur yang satu ini berbaring nyenyak seorang perempuan. Wajahnya
membayangkan keletihan dan keputus-asaan hingga lebih tua dari usia sebenarnya.
Meski demikian kecantikannya masih belum pupus. Disamping perempuan itu
bergelung seorang anak lelaki berusia dua tahun. Rambutnya hitam, alis matanya
tebal. Kembali orang di luar kelambu merasakan dadanya sesak. Dipejamkannya
kedua matanya.
“Haruskah
kulakukan ini….? Haruskah kulakukan?!” Pertanyaan itu menghujam berulang kali
dalam hatinya.
Tiba-tiba
ada satu bayangan wajah manusia yang maha mengerikan menjelma di ruang matanya.
“Ingat
sumpah utamamu Sonya! Ingat. Itu harus kau lakukan! Harus! Kalau tidak aku akan
bangkit dari alam kematian. Makhluk peliharaanku akan menyiksamu selama tujuh
tahun!”
Lelaki di
samping tempat tidur itu ternyata adalah Sonya. Kedua tangannya terkepal.
Rahangnya mengatup kencang. Perlahan-lahan Dibukanya kembali kedua matanya.
Kini pada sepasang mata itu kelihatan membersit sinar aneh. Sinar ganas jahat.
Kebimbangan yang tadi menguasai hatinya serta merta lenyap. Sonya menyibakkan
kelambu biru. Ditanggalkannya pakaiannya. Lalu dibetotnya pakaian perempuan di
atas tempat tidur yang bukan lain adalah istrinya sendiri. Perempuan itu terkejut
dan bangun dari tidurnya. Belum sempat dia menjerit, Sonya sudah menutup
mulutnya dan menaiki tubuhnya. Sonya kini memperkosa istrinya sendiri sampai
akhirnya perempuan itu pingsan!
Setelah
melampiaskan nafsunya Sonya segera membungkus anak lelaki yang ada di atas
tempat tidur anaknya sendiri lalu melompat ke atas langit-langit kamar. Sesaat
kemudian ketika perempuan itu siuman dan mendapatkan anaknya tak ada lagi maka
diapun menjerit: “Anakku! Anakku! Tolong…penculik!”
Hari itu
murid Eyang Sinto Gendeng sampai di sebuah kota kecil bernama Nganglek. Rasa
haus membuat dia melangkahkan kaki memasuki sebuah kedai minuman. Di jalan
besar yang di laluinya itu terdapat dua buah kedai. Yang satu besar dan bersih,
lainnya kecil serta kotor. Wiro hendak memasuki kedai yang besar ketika di
kedai kecil sebelah sana dilihatnya suatu hal yang menarik. Pendekar ini segera
memutar langkah menuju kedai buruk itu. Dia duduk disebuah sudut agak dalam.
Dekat
pintu kedai duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam bermuka kumal tak
terurus. Pada lengan masing-masing memakai gelang akar bahar besar. Satu benda
yang sudah dapat dipastikan gagang senjata menonjol di balik pinggang pakaian
keduanya. Mereka memperhatikan Wiro dengan pandangan mata tajam.
“Hanya
seorang pemuda kampung tolol. Tak perlu di curigai,” berbisik lelaki bermuka
hitam kepada kawan di sebelahnya.
Kawannya
yang mempunyai cacat besar bekas luka di pipi kiri masih memandang beberapa
lama pada Wiro. Akhirnya memalingkan muka dan kembali memperhatikan ke arah
pintu seperti ada yang tengah di tunggu.
Wiro
meneguk minumannya. Tak selang beberapa lama masuklah seorang lelaki berbadan
kurus pendek. Begitu masuk dia langsung menemui dua orang berpakaian serba
hitam tadi. Mereka bicara berbisik-bisik. Lelaki muka hitam mengeluarkan
beberapa keeping uang perak yang kemudian diserahkannya pada si kurus pendek.
Orang yang menerima uang ini segera berlalu.
Wiro
membayar minumannya. Ketika dia keluar dari kedai di lihatnya si kurus tadi
sudah berada di ujung jalan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan dua orang di
dalam kedai, Wiro sengaja mengambil jalan yang berlawanan. Namun di balik
sebuah bangunan cepat pendekar ini berputar dan Dilain saat dia sudah melangkah
cepat mengejar si kurus.
Lelaki
kurus pendek itu ternyata menuju ke tepi sungai. Di sebuah tikungan sungai yang
ditumbuhi pohon-pohon bambu amat lebat, tertambat sebuah perahu. Orang ini
hentikan langkahnya. Seorang lelaki berbadan tinggi kekar melompat enteng dari
dalam perahu dan bicara dengan si kurus. Yang terakhir ini kemudian cepat-cepat
tanggalkan tempat itu.
Setelah
menunggu beberapa lamanya, Wiro keluar dari balik rerumpunan pohon bambu. Dia
berdiri ditepi sungai dengan sikap seperti seorang hendak menyeberang. Ketika
dia melirik ke arah perahu, ternyata di balik atap perahu kelihatan tiga pasang
kaki. Sementara itu lelaki tinggi besar yang masih tegak di tebing sungai
memperhatikan Pendekar 212 dengan mata melotot penuh selidik. Wiro justru
melangkah mendekatinya.
“Saudara,
aku ingin menyeberang. Apakah kau bisa membawaku ke tepi sungai sebelah sana?”
berkata Wiro.
Si tinggi
besar ini bernama Prakunto. Dia memandang Wiro dari rambut gondrong sampai ke
kakinya yang kotor, melirik pada tiga kawannya dalam perahu lalu tertawa
bergelak.
“Pangeran
dari mana yang berani memerintahku seenaknya?”
“Oh…oh…oh!
Aku bukan pangeran, sobat. Agaknya kau khawatir soal ongkos. Jangan takut. Aku
punya uang untuk membayar. Sebutkan saja berapa ongkosnya sampai ke seberang!”
Kembali
Prakunto tertawa gelak-gelak.
“Monyet
gondrong! Aku tak butuh uangmu. Lekas minggat dari sini!”
“Ah,
jangan begitu sobat. Kau tolonglah aku menyeberang,” pinta Wiro pula.
“Manusia
edan! Kau berani memaksaku?!”
“Tidak.
Aku tidak memaksa. Tapi minta tolong!”
Prakunto
ulurkan tangannya meraba dada Wiro Sableng hingga pemuda ini bergelinyang
kegelian.
“Ngg…kulihat
dadamu cukup kekar,” kata Prakunto pula. “Begini saja. Bagaimana kalau kita
adakan perjanjian baku jotos. Kalau aku menang serahkan seluruh uang yang ada
padamu dan berlalu dari sini!”
“Bagaimana
kalau aku yang menang?” balik bertanya Wiro.
Prakunto
tertawa meledak diikuti oleh ke tiga kawannya yang ada dalam perahu.
“Kalau
kau yang menang, jangankan ke seberang sana, ke nerakapun kau akan ku antar!”
“Baik!
Bagaimana caranya adu jotos ini….?”
“Kita
saling pukul tiga kali. Siapa yang nanti jatuh atau terhuyung ke belakang
berarti kalah!”
“Ah,
mudah sekali itu…,” kata Wiro sambil senyum-senyum.
“Siapa
yang mulai memukul lebih dulu?!”
“Silahkan
kau yang memukulku lebih dulu,” jawab Prakunto yang tidak memandang sebelah
mata pada pemuda bertampang dungu di hadapannya itu.
Wiro
melangkah ke hadapan Prakunto. Diulurkannya tangannya ke dada si tinggi besar
ini, meraba-raba beberapa lamanya hingga Prakunto menjadi kesal.
“Aku
suruh kau memukul dadaku. Bukan memijat-mijat. Tolol!” hardik Prakunto.
“Ah,
dadamu keliwat lunak. Seperti agar-agar. Aku khawatir sekali pukul saja dadamu
bisa murak berantakan. Nanti kau tak bisa balas memukulku. Bagusnya kau saja
yang memukulku lebih dulu!”
Prakunto
benar-benar jadi naik darah mendengar ucapan Wiro Sableng. Sementara ke tiga
kawannya sudah keluar dari perahu dan tegak mengelilingi mereka.
“Pemuda
ingusan! Mulutmu sombong sekali!” sentak Prakunto.
“Eh, jadi
adu jotos ini tidak diteruskan? Nyatanya kau Cuma seorang pengecut. Badan saja
yang tinggi kekar tapi nyali selembek tahi ayam!”
Diejek
begitu Prakunto jadi naik pitam. Tiga kawannya juga tampak marah.
“Kau
Bersiaplah. Sekali pukul nyawamu akan kubuat melayang!” kata Prakunto.
Wiro
mundur beberapa langkah dan berdiri sambil tolak pinggang. “Silahkan pukul.
Jangan salah. Pilih tempat yang empuk!”
Tinju
kanan Prakunto mengepal besar dan kokoh. Dari jarak dua langkah tinjunya itu di
ayunkan sekuat-kuatnya ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Buk!
Terdengar
suara bergedebuk keras sewaktu tinju yang besar itu mendarat di dada Wiro. Baik
Prakunto maupun tiga kawannya sudah sama membayangkan bagaimana jotosan itu
akan membuat Wiro terlempar, roboh muntah darah dan melayang ke akherat.
Tapi
jangankan terjungkal atau terhuyung, serambutpun tubuh pendekar itu tidak
bergeming. Di lain pihak Prakunto merasakan tinjunya mendarat di sebuah
permukaan selembut kapas. Membuat lelaki ini ternganga keheranan.
“Heh, kau
rupanya punya ilmu juga….,” ujar Prakunto seraya menyeringai. “Tapi tunggu,
masih ada dua pukulan lagi. Jaga pukulanku yang kedua!” Lalu untuk kedua
kalinya Prakunto hantamkan tinju kanannya yang beratnya tak kurang dari lima
puluh kati. Untuk kedua kalinya pula terdengar suara buk! Dan untuk kesekian
kalinya si tinggi besar itu terheran-heran karena sasaran yang dihantamnya
terasa demikian lembut. Dia memandang pada Wiro dengan mata meloncat sementara
murid Eyang Sinto gendeng itu cuma cengar cengir tak acuh.
“Pukulan
terakhir sobat!” seru Prakunto.
“Keluarkan
seluruh tenagamu, luar dalam. Pukullah lebih keras. Masakan manusia setinggi
dan sebesarmu ini pukulannya tidak terasa apa-apa, seperti orang menggelitik
saja!”
Muka
Prakunto merah padam. Dia merasa malu terutama terhadap ketiga kawannya. Tenaga
dalamnya disalurkan seluruhnya ke tangan kanan hingga mempunyai daya hantam
sebat dua ratus kati. Jangankan tubuh manusia, tembok tebal atau kepala
kerbaupun pasti hancur luluh.
“Kau
sudah siap?!” tanya Prakunto. Tinju kanannya tampak bergetar.
“Sudah
sejak tadi-tadi sobat!” sahut Wiro seenaknya.
Prakunto
kertakkan rahang.
“Mampuslah!”
bentak Prakunto. Berbarengan dengan itu tinju kanannya berkelebat deras sampai
mengeluarkan suara menderu. Mendarat tepat di dada kiri Pendekar 212, pada
bagian jantungnya!
Terdengar
satu jeritan setinggi langit!
Prakunto
berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangan kirinya tiada henti mengusap tangan kanan
yang tadi di pakai meninju. Kalau dua kali Pertama tadi memukul dada lawan
dirasakannya lunak lembut, tetapi kali yang ketiga dada pemuda itu seperti berubah
menjadi dinding karang yang luar biasa keras dan atosnya. Dua buah jari tangan
kanannya patah, kulitnya terkelupas dan mengucurkan darah di beberapa bagian.
“Bagaimana
sobat? Kau telah memukulku tiga kali. Kini giliranku!” kata Wiro.
“Baik,
baik….,” kata Prakunto menahan sakit dan malu. Dia berdiri memasang kuda-kuda.
Wiro mundur mengambil ancang-ancang untuk memukul. Tiba-tiba salah seorang
kawan Prakunto mendekati lelaki itu dan berbisik: “Kunto, kita tak ada waktu
melayani pemuda edan ini lebih lama. Sebentar lagi kereta itu akan tiba. Kau
mau didamprat dan digebuk Jakasempar? Seberangkan saja dia agar tidak
mengganggu kita lebih lam!”
“Tapi aku
toh musti melayaninya!” sahut Prakunto.
“Persetan!
Seberangkan dia!”
Prakunto
berpikir sejenak.
“Hai,
mengapa kalian ini? Aku sudah siap memukul!” Wiro berseru.
“Sobat,
biarlah. Walau kau belum memukul tapi aku mengaku kalah. Aku akan antarkan kau
ke seberang,” kata Prakunto pula.
Wiro
tersenyum dan garuk-garuk kepalanya. Dia melompat ke dalam perahu. Hanya
sebentar saja dia pun sampai ke seberang sungai. Wiro ucapkan terima kasih dan
naik ke darat sementara Prakunto mengayuh perahunya kembali ke seberang yang
lain. Hanya sesaat dia mencapai tepi sungai, sepuluh orang berkuda sampai di
tempat itu. Rombongan ini di pimpin oleh lelaki muka hitam yang dilihat Wiro di
kedai di Nganglek.
“Bagaimana
Jaka….?” tanya Prakunto pada si muka hitam yang bernama Jakasempar.
“Kalian
bersiap. Cari tempat berlindung yang baik. Sebentar lagi kereta itu akan lewat.
Ingat, gadis itu tak boleh mendapat cidera barang sedikitpun!”
Maka
keempat belas orang itupun bersembunyi di tempat yang terpencar di tikungan
sungai. Kira-kira sepeminuman the berlalu, di kejauhan terdengar suara rentak
kaki-kaki kuda dan gemeletak roda kereta. Tak lama kemudian dari balik tikungan
muncullah sebuah kereta putih, dikawal oleh sepuluh prajurit Kadipaten dibawah
pimpinan seorang lelaki tua gagah bernama Wilacarta.
Begitu
kereta memperlambat jalannya karena memasuki tikungan maka terdengarlah ringkik
binatang penarik kereta itu. Lima pisau terbang menghambur dan menancap di kaki
dua ekor kuda penarik kereta dan Membuatnya tersungkur. Kereta hampir saja
terbalik ke dalam sungai. Bersamaan dengan itu Jakasempar dan anak buahnya
berlompatan dari tempat persembunyian masing-masing, langsung menyerbu
prajurit-prajurit pengawal dengan senjata terhunus!
Daerah
luar kota Jepara akhir-akhir ini memang kurang aman. Karenanya melihat
kemunculan belasan orang bermuka bengis itu, Wilacarta segera maklum kalau
rombongan tengah dihadap perampok. Tapi karena saat itu dia dan anak buahnya
sama sekali tidak membawa uang atau harta berharga Kecuali mengawal Sri Ayu
Pandan, Putri Adipati Jepara, maka penghadangan itu terasa agak aneh dimata
Wilacarta. Namun saat itu tak ada waktu untuk berpikir panjang.
Orang tua
gagah ini berteriak memberi semangat pada anak buahnya. Lalu mencabut pedang
dari pinggang. Dia sama sekali tidak menduga justru rombongan yang menghadang
itu memang tidak hendak merampok harta atau uang, melainkan hendak menculik
puteri Adipati Jepara. Setelah gadis itu di tangan mereka, Jakasempar akan
meminta uang tebusan dalam jumlah besar.
Pertempuran
berkecamuk hebat. Pihak Kadipaten selain kalah jumlah, lawan yang mereka hadapi
rata-rata memiliki kepandaian silat tinggi hingga dalam tempo singkat dua orang
prajurit roboh mandi darah.
Ketika
tadi kereta menyungkur tanah karena dua kuda yang menariknya roboh, dari dalam
kereta terdengar pekik perempuan. Tirai jendela tersingkap dan tampaklah satu
kepala berambut hitam legam berwajah rupawan. Dialah Sri Ayu Pandan, puteri
Adipati Jepara. Belum habis kejut sang gadis akibat tersungkurnya kereta,
tiba-tiba dari semak belukar dilihatnya berlompatan manusia-manusia bertampang
bengis bersenjata golok atau pedang dan mereka ini langsung menyerang para
pengawal. Takutnya puteri Adipati ini bukan kepalang. Dia berteriak tiada
henti.
Wilacarta
putar pedangnya dengan sebat. Dia berhasil merobohkan seorang lawan dan melukai
seorang lainnya. Ketika dilihatnya Jakasempar bergerak mendekati kereta, kepala
pengawal ini segera menghadang. Namun dia tak mampu menghalangi lebih jauh
karena secepat kilat tiga orang anak buah Jakasempar melompat kehadapannya dan
langsung menyerbu.
Kusir
kereta yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan puteri majikannya,
dengan bersenjatakan sepotong besi panjang menyerang Jakasempar dari samping.
Serangan itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Jakasempar. Sebagai balasan
Jakasempar menghadiahkan satu tusukan golok yang ganas. Karena memang tidak
memiliki kepandaian silat apa-apa, kusir kereta itu akhirnya menemui ajal
dengan dada ditembus golok.
Jakasempar
menendang pintu kereta hingga tanggal berantakan. Di dalam sana Sri Ayu Pandan
menyudut ketakutan. Jakasempar tersenyum menyeringai melihat tubuh mulus dan
wajah cantik gadis itu. Dalam benaknya sudah muncul pikiran kotor. Puteri itu
diculik dan dimintai tebusan uang dalam jumlah besar. Tapi apa salahnya sebelum
dikembalikan pada orang tuannya akan dipakai sebagai pemuas nafsu lebih dulu?
“Gadis
cantik. Kau tak usah takut. Mari ikut aku…” kata Jakasempar seraya mengulurkan
tangan untuk menarik Ayu Pandan. Namun sebelum jari-jari tangannya sempat
menyentuh tubuh gadis itu mendadak dari samping melesit sebuah benda besar.
Jakasempar cepat bersurut mundur. Benda itu menghantam tangga kereta dan
ternyata adalah sosok tubuh seorang anak buahnya sendiri yang telah menjadi
mayat!
Terkejut
bukan kepalang, Jakasempar palingkan kepala. Dan membeliaklah mata manusia muka
hitam ini. Enam langkah di hadapannya berdiri pemuda rambut gondrong yang
sebelumnya pernah dilihatnya di kedai Nganglek. Pakaiannya basah kuyup. Apakah
dia yang telah melemparkan tubuh anak buahnya itu tadi?
Pemuda
berpakaian kuyup itu adalah Wiro Sableng. Sesampainya di seberang tadi, dia
pura-pura berlalu, tapi diam-diam menyelinap ke balik semak-semak dan
mengintai. Dia yakin sekali orang-orang yang ditemuinya di kedai dan di tepi
sungai itu tengah merencanakan sesuatu. Sesuatu yang jahat. Dan keyakinannya
itu tak lama kemudian menjadi kenyataan. Yaitu dengan munculnya kereta putih
yang telah ditunggu untuk di hadang. Pada saat pertempuran sedang berkecamuk,
Wiro terjun kesungai, berenang menyeberang. Itulah sebabnya pakaiannya basah
kuyup.
“Bangsat!
Pemuda ini memang sudah kucurigai sejak dari Nganglek!” kertak Jakasempar. Dia
melangkah mendekati Wiro dan membentak: “Keparat! Kau berani mencampuri
urusanku! Berarti kau berani mampus!”
Wut!
Golok
besar di tangan Jakasempar menderu. Membabat ke dada Wiro Sableng. Ketika Wiro
berhasil mengelakkan serangan itu, serta merta serangan kedua dan ketiga datang
susul menyusul laksana kilat! Kiranya kepala rampok ini memiliki ilmu golok
yang lihai. Dia mengharap dalam beberapa gebrakan saja akan dapat mencincang
tubuh lawannya. Namun dia tidak tahu, dengan siapa hari itu dia berhadapan.
Jakasempar
membuka jurus kedua dengan serangan berantai kembali. Wiro berkelebat cepat
diantara taburan sinar golok lawan. Awal jurus ketiga pendekar ini mempercepat
gerakannya hingga tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang dan Jakasempar mejadi
bingung karena kehilangan lawan. Sambaran goloknya terus menerus menghantam
tempat kosong.
Selagi
Jakasempar kebingungan Wiro hantamkan tangan kanannya ke kening penjahat ini.
Jakasempar menjerit. Tubuhnya terbanting ketanah tak sadarkan diri. Keningnya
yang memang sudah hitam kini tampak tambah hitam karena hangus. Dan pada kening
itu kini tertera tiga deretan angka 212! Dari mata, hidung serta mulutnya
mengalir darah!
Tiga
orang anak buah Jakasempar yang melihat pemimpin mereka dicelakai begitu rupa
dengan cepat menyerang.
“Manusia-manusia
tak berguna. Bisanya cuma membuat keonaran! Majulah bila minta digebuk!” kertak
Wiro Sableng. Begitu ketiga lawannya berlompatan menyerang maka terdengarlah
plak, plak, plak! Tiga tamparan mendarat di kening mereka. Ketiganya
menggeletak di tanah menerima nasib seperti pemimpin mereka.
“Pemuda
keparat! Makan pedangku ini!” satu suara membentak. Dikejap yang sama satu
tebasan pedang menyambar batang leher Pendekar 212. Wiro keluarkan suara
bersiul dan melompat kebelakang. Yang menyerangnya dengan ganas itu ternyata
Prakunto. Ditangannya tergenggam sebilah pedang berlumuran darah. Dengan pedang
itu dia telah membunuh dua prajurit Kadipaten dan melukai parah Wilacarta.
Orang tua itu kini tergeletak dekat roda kereta, dengan menahan sakit bukan
kepalang dan darah masih mengucur di bekas lukanya.
“Hai!
Rupanya kau masih belum puas dengan adu jotos tadi?!” mengejek Wiro.
“Baku
jotos dan pedang lain, sobat!” jawab Prakunto sambil tusukan pedang yang
digenggamnya di tangan kiri karena tangan kanannya cidera akibat adu jotos
dengan Wiro tadi.
Wiro
keluarkan satu siulan lagi. Dia berkelit ke kiri. Begitu ujung pedang lewat di sampingnya,
Wiro gerakan tangan kanan memukul siku Prakunto. Lelaki ini terpekik karena
sambungan sikunya terlepas. Dia kembali menjerit sewaktu tapak tangan Pendekar
212 menghantam keningnya hingga hangus. Prakunto terbujur di tanah, melintang
di atas tubuh Jakasempar!
Ketika
Wiro memandang berkeliling ternyata pertempuran sudah selesai. Kusir kereta dan
beberapa prajurit Kadipaten tewas. Yang lain-lainnya termasuk Wilacarta
menderita luka-luka. Dipihak penjahat empat orang mati, dua orang melarikan
diri sedang delapan lainnya, diantaranya Jakasempar dan Prakunto menderita
luka-luka dan pingsan.
Dari
dalam kereta masih terdengar jeritan-jeritan Sri Ayu Pandan yang masih
diselimuti ketakutan. Wiro mendatangi.
“Hentikan
jeritanmu. Pertempuran sudah berhenti. Tak ada yang harus ditakutkan lagi!”
berkata Wiro.
Puteri
Kadipaten itu turunkan kedua tangannya yang tadi dipakai untuk menutupi muka.
“Kau…kau siapa?” tanyanya masih takut dan curiga.
Wiro
garuk-garuk kepala. Sebelum dia memberi jawaban, dari belakangnya seseorang
berkata: “Pendekar 212, ikutlah bersamaku.”
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini terkesiap kaget dan berpaling.
Dihadapannya berdiri seorang kakek-kakek yang mata kirinya picak sedang
disampingnya tegak seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun,
berpakaian serba putih dan berparas cakap. Jika seseorang mengenali julukannya,
maka orang itu pasti bukanlah manusia sembarangan.
“Orang
tua, kau siapa ….?” Tanya Wiro.
“Siapa
aku nanti kuterangkan. Yang penting kau harus ikut aku Sekarang juga!”
“Heh?
Ikut kau? Kemana? Jalan-jalan…..?” tanya Wiro bergurau.
“Jangan
banyak tanya dan jangan bergurau. Waktuku amat singkat,” jawab orang tua mata
picak.
“Ngg…kalau
begitu kau pergilah sendirian. Siapa sudi turut denganmu. Aku masih ada tugas
mengurusi orang-orang Kadipaten ini!”
“Biar
muridku yang mengurus mereka,” kata si picak. “Kepentinganku ada hubungannya
dengan malapetaka yang menimpa dunia persilatan saat ini!”
Ucapan
itu membuat Wiro Sableng yang barusan hendak melangkah tubuh berbalik kembali.
“Apa
katamu orang tua….?!”
Si orang
tua tak menjawab melainkan memutar tubuh. Setelah mengatakan sesuatu pada anak
lelaki di sebelahnya, dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tampaknya
dia melangkah biasa saja. Namun hanya sesaat dia telah lenyap di tikungan
jalan. Dengan garuk-garuk kepala Wiro Sableng terpaksa mengejar si mata picak
aneh itu. Ternyata orang tua ini menuju Jepara.
*******************
8
HARI
masih pagi. Sinar sang surya masih kuning kemerahan tanda belum lama keluar
dari tempat peraduannya. Sura Gandara berdiri di ambang pintu rumah makannya,
memperhatikan pelayan-pelayan membereskan bagian depan rumah makan itu. Di
Jepara, Sura yang berbadan gemuk macam kerbau bunting itu terkenal sebagai
pemilik rumah makan paling besar, paling lezat tetapi murah harganya.
Dari
dalam sabuknya di keluarkan secuil tembakau dan kertas. Maka mulailah dia
menggulung sebatang rokok klinting. Baru saja dia menyalakan rokok itu,
tiba-tiba berubahlah parasnya.
Di
seberang jalan tampak empat orang berpakaian jubah putih yang di bagian dadanya
terpampang sulaman bunga teratai besar berwarna merah darah.
“Empat
Teratai Darah……….” kata Sura Gandara dalam hati. Rasa tak enak segera
menyungkupi dirinya. Sekitar satu tahun yang lewat empat manusia itu pernah
datang ke rumah makannya. Kedatangan mereka hanya membuat keonaran. Rumah makan
waktu itu menjadi centang perenang porak poranda akibat dipakai sebagai tempat
perkelahian oleh Empat Teratai Darah melawan musuhnya Empat Naga Hitam.
Meskipun kali ini Kedatangan mereka belum tentu akan berbuat keonaran lagi,
namun tetap saja Sura Gandara merasa cemas. Buktinya pagi-pagi sekali, selagi
rumah makan masih belum buka, mereka sudah muncul. Tentu ada apa-apanya.
Sura
Gandara tak bisa berpikir lebih panjang karena keempat orang itu sudah berdiri
di hadapannya.
Sura
menjura hormat. Dengan senyum yang dipaksakan dia berkata: “Satu kehormatan
lagi bahwa kalian orang-orang gagah sudi datang ke tempatku. Sebenarnya rumah
makan masih belum buka dan masih kotor. Jika orang-orang gagah tidak keberatan
dengan keadaan ini, Silahkan masuk.”
Kakek-kakek
bermuka putih bernama Sumo Kebalen yang menjadi pemimpin Empat teratai Darah
anggukkan kepala sedikit lalu masuk diikuti ketiga adik seperguruannya.
“Suasana
begini tak jadi apa,” kata Sumo Kebalen seraya duduk. “Yang penting cepat
hidangkan makanan dan minuman yang lezat!”
“Orang
gagah Sumo Kebalen. Jangan khawatir. Apa yang kau minta akan segera di
hidangkan,” jawab Sura Gandara. “Mungkin ini suatu kelancangan. Tapi jika aku
yang hina buruk ini boleh bertanya, gerangan apakah yang membuat empat orang
gagah muncul pagi-pagi begini di Jepara?”
“Kami
tengah menunggu seseorang. Karenanya selagi kami makan kuharap kau berdiri di
depan pintu. Larang setiap orang yang mau masuk. Kecuali orang yang kami tunggu
itu ….”
“Celaka,
pasti akan terjadi lagi keonaran di tempat ini,” keluh Sura Gandara ketika
mendengar keterangan Sumo Kebalen tadi. Namun dia masih kepingin tahu.
Karenanya dia bertanya kembali. “Maaf Sumo. Siapakah manusianya yang orang
gagah tunggu ini?”
“Seorang
lelaki bermata buta sebelah. Namanya Rangga Lelanang. Sudah. Kau jangan banyak
tanya Sura! Lekas hidangkan makanan. Kami sudah lapar!”
“Baik,
baik….” Jawab Sura sambil manggut-manggut. Lalu dia berteriak memanggil
pelayan. Selesai memberi perintah, sesuai yang dikatakan Sumo Kebalen, pemilik
rumah makan ini kemudian pergi berdiri di pintu masuk, berjaga-jaga.
Orang
kedua dalam Empat Teratai Darah adalah seorang nenek-nenek berbadan tinggi
kurus bernama Supit Inten. Nenek-nenek ini merupakan saudara seperguruan Sumo
Kebalen. Dalam dunia persilatan bukan rahasia lagi bahwa kedua tokoh ini
menjalani hidup bersama tanpa kawin alias kumpul kebo.
Orang
ketiga dan keempat adalah dua gadis kembar berbadan langsing. Paras mereka
sebenarnya tidak begitu cantik. Tetapi karena pandai memoles muka berhias
berlebihan maka jadinya lumayan juga. Gadis pertama bernama Inang Pini sedang
adiknya Inang Resmi.
Pada
dasarnya Empat Teratai Darah tidak dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh silat
golongan putih. Mereka seringkali diketahui bersekutu dengan jago-jago golongan
hitam. Dalam malang melintang di rimba persilatan mereka tak pernah berpisah.
Hari itu mereka datang ke rumah makan Sura Gandara untuk menunggu Kedatangan
seorang musuh bernama Rangga Lelanang, yaitu kakek-kakek lihay yang pernah
menghina almarhum guru mereka sewaktu diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh
silat golongan hitam di puncak gunung Merapi dua tahun yang lalu.
Tidak
seorangpun dari Empat Teratai Darah sebelumnya pernah melihat atau bertemu
dengan Rangga Lelanang. Namun ciri-ciri si kakek ini sudah mereka ketahui jelas
dari sang guru sebelum menutup mata delapan belas bulan yang lalu. Dengan
memakai seorang perantara Empat Teratai darah mengirimkan sepucuk surat
undangan kepada Rangga Lelanang guna datang ke rumah makan itu, untuk
menyelesaikan soal malu besar penghinaan tempo hari.
Selagi
Empat Teratai Darah sedang asyik menyantap makanan lezat di atas meja, pada
saat itu pulalah Wiro Sableng dan si kakek mata picak bernama Lor Gambir Seta
sampai di tempat itu.
Si kakek
sebenarnya tak ingin singgah karena ingin lekas-lekas sampai ke tempat tujuan.
Tapi Wiro sudah tak tahan lapar dan memaksa masuk ke rumah makan. Dengan
jengkel si kakek terpaksa mengikuti. Tetapi baru saja mereka sampai di depan
pintu, Sura Gandara sudah menyongsong dengan sikap menghadang.
“Harap
dimaafkan, rumah makan belum buka. Datang saja nanti kalau matahari sudah mulai
naik,” berkata Sura Gandara.
Wiro
Sableng melirik ke dalam rumah makan. Lalu menyeringai dan berkata: “Kalau
betul rumah makan ini belum buka kenapa kulihat ada empat kunyuk sedang
enak-enakan makan di dalam sana?!”
Paras
Sura Gandara berubah. Kalau saja ucapan Wiro tadi sempat terdengar oleh Empat
Teratai Darah bisa berabe.
“Orang
muda, harap kau jangan bicara seenaknya. Empat orang itu adalah tamu-tamu
istimewa…”
“Hai,
tamu-tamu istimewa macam bagaimana?” tanya Wiro. “Kulihat mereka biasa-biasa
saja. Cuma mungkin memang sedikit aneh. Si kakek itu bermuka putih seperti
singkong rebus. Si nenek sudah peot tapi agak genit. Dua gadis seperti topeng
yang diberi pupur tebal….!”
Si gemuk
Sura Gandara maju dan mencekal kerah kemeja Wiro. “Gondrong! Jaga mulutmu kalau
tak mau Celaka….”
Lor
Gambir Seta menepuk bahu Wiro dan berkata agar mereka mencari rumah makan lain
saja. Tetapi pendekar kita tetap tak bergerak. Pemilik rumah makan itu menjadi
marah. Ketika dia hendak menampar, tiba-tiba pandangannya lekat pada wajah Lor
Gambir Seta yang bermata picak. Agaknya manusia inilah musuh besar yang tengah
di tunggu-tunggu Empat Teratai Darah. Maka cepat-cepat dia melepaskan
cekalannya dan membungkuk dalam-dalam.
“Mohon
dimaafkan. Aku tidak melihat dalamnya laut tingginya gunung. Kalian berdua
Silahkan masuk…”
Wiro
tersenyum sedang Lor Gambir Seta kerenyitkan kening. Perubahan sikap Sura Gandara
yang tiba-tiba ini pasti ada apa-apanya. Namun dia tak bisa berpikir panjang
karena Wiro sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan sambil bersiul-siul.
Mendengar
suara siulan, Empat Teratai Darah yang asyik bersantap angkat kepala. Dua sosok
tubuh tampak masuk mengikuti pemilik rumah makan. Ketika melihat Lor Gambir
Seta, Sumo Kebalen serta merta hentikan makannya. Begitu juga tiga saudara
seperguruannya.
“Orang
yang kita tunggu telah datang,” bisik pemimpin Empat Teratai Darah itu.
Sementara
itu Wiro serta Lor Gambir Seta telah mengambil tempat duduk di bagian lain
rumah makan. Ketika pelayan datang untuk melayani mereka tiba-tiba Sumo Kebalen
berseru: “Tak ada seorang tamu lain boleh dilayani tanpa izinku!”
Pelayan
terkejut dan cepat-cepat masuk ketika dilihatnya Sumo Kebalen pelototkan mata.
Wiro
Sableng pencongkan mulut dan batuk-batuk. Sementara orang tua bermata picak
duduk tenang-tenang saja, memandang keluar jendela.
“Kakek,
kau kenal empat kunyuk itu…?” bisik Wiro.
Tanpa
palingkan kepalanya dari jendela si kakek mata satu menjawab: “Mereka Empat
Teratai Darah”.
Wiro
manggut-manggut. Saat itu pandangannya membentur sebuah kaleng kosong di dekat
meja. Maka pendekar ini mulai bertingkah batuk-batuk, mengeluarkan suara
seperti orang mau muntah dan meludah beberapa kali ke dalam kaleng itu.
Sumo
Kebalen tahu kalau apa yang dilakukan Wiro itu tidak lain hanya untuk
menghinanya. Wajahnya yang putih tampak mengelam. Tanpa berdiri dari duduknya
dia berkata: “Adik-adikku. Kurasa terlalu banyak meja dan kursi malang
melintang dalam ruangan ini. Coba kalian tolong rapikan!”
Dari
tempat duduk masing-masing, Supit Inten, Inang Pini dan Inang Resmi memukulkan
telapak tangan ke arah meja dan kursi yang ada disitu. Hebat sekali.
Benda-benda itu berpentalan ke tepi ruangan hingga bagian tengah rumah makan
itu kini terbuka lapang.
“Bagus!”
seru Sumo Kebalen. Lalu dia berdiri dan melangkah ke tengah ruangan. Sambil
bertolak pinggang dia memandang ke jurusan kakek mata picak yang duduk di dekat
Wiro.
“Rangga
Lelanang! Jangan kau pura-pura tidak tahu kami!”
Wiro
berpaling pada Lor Gambir Seta. Orang jelas bicara padanya tapi si kakek ini
duduk tenang-tenang saja tanpa berpaling sedikitpun.
Merasa
dianggap remeh tak diperdulikan, Sumo Kebalen melompat ke hadapan Wiro dan
Gambir Seta. Tangan kanannya menggebrak meja hingga hancur berkeping-keping.
Gilanya Lor Gambir Seta masih saja tak bergeming dari tempat duduknya sementara
Wiro mulai naik darah.
Wiro
menatap wajah Sumo Kebalen sesaat lalu berkata: “Pangeran tua bermuka putih
dari mana yang pagi-pagi begini mengamuk di rumah makan orang? Kau kemasukan
atau mabuk tuak?!”
Sepasang
mata Sumo Kebalen seperti hendak melompat keluar. Rahangnya menggembung. Wiro
berdiri dari kursinya. Lor Gambir Seta masih seperti tadi. Diam tak bergerak.
Supit Inten dan dua gadis kembar berdiri dari kursi masing-masing.
"Bocah
bau apek. Kau menyingkirlah dari hadapanku. Sekali lagi kau berani buka mulut,
kubanting tubuhmu sampai melesak di lantai rumah makan ini!"
Habis
berkata begitu Sumo Kebalen lalu gerakan tangan kirinya mendorong bahu Pendekar
212 Wiro Sableng. Dorongan itu kelihatannya biasa-biasa saja. Tetapi nyatanya
mengandung tenaga dalam dahsyat yang sanggup merobohkan tembok batu Sumo
Kebalen sengaja hendak memberi pelajaran pada pemuda yang dianggapnya kurang
ajar itu. Sekali dorong pasti si gondrong ini mencelat mental. Tetapi betapa
kagetnya manusia muka putih ini!
Wiro
sudah maklum kalau dari getaran hawa yang keluar dari telapak tangan Sumo
Kebalen, orang itu bukan hanya sekedar mendorong biasa saja. Tapi bermaksud
hendak mencelakakannya! "Orang tua," kata Wiro seraya menghadang
tangan dengan tangan kirinya, "Kalau bicara tak usah pakai pegang-pegang
segala. Aku bukan perempuan!"
Sesaat
kemudian, telapak tangan Pendekar 212 saling beradu dengan telapak tangan Sumo
Kebalen. Kagetlah kepala Empat Teratai Darah ini. Telapak tangannya terasa
panas, lengannya bergetar keras.
Satu
tenaga dorongan yang hebat membuat tubuhnya terhuyung tiga langkah. Paras Sumo
Kebalen membesi. Kalau tadi dia hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya
saja maka kini dia lipatkan gandakan menjadi dua kali atau setengah dari
seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Tapi celakanya malah kini dia
dibuat terjajar empat langkah!
"Keparat!"
maki Sumo Kebalen. Dia tak mau dibuat malu dipecundangi seorang pemuda tak di
kenal yang bertampang gendeng. Maka kini dia alirkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Tapi untuk ketiga kalinya pimpinan Empat Teratai Darah ini tampak
terhuyung. Malah kini sampai enam langkah. Wiro telah kerahkan dua pertiga
tenaga dalamnya.
Meski
sadar kini kalau pemuda itu bukan sembarangan namun Sumo Kebalen tetap
membentak untuk menutup malunya: "Bangsat! Apa kau muridnya manusia
bernama Rangga Lelanang ini?!" Kalau sang murid memiliki kepandaian yang
begitu tinggi tentu sang guru lebih hebat lagi.
"Aku
bukan muridnya!" jawab Wiro. "Nah, kau mau tanya apa lagi?!"
Sumo
Kebalen kini palingkan kepalanya pada kakek yang duduk di samping Wiro.
"Tua
bangka mata picak! Jangan kau pura-pura tuli! Empat Teratai Darah datang ke
sini untuk membalas sakit hati penghinaan yang kau lakukan terhadap guru kami
dua tahun lalu di puncak Merapi!"
Si orang
tua mata satu tetap tak bergerak atau memalingkan kepala. Mendidihlah amarah
Sumo Kebalen. Seumur hidup belum pernah dia di hina orang begitu rupa, apalagi
di hadapan adik-adik seperguruannya.
"Edan!"
maki Sumo Kebalen. Kaki kanannya bergerak menendang. "Kau makan kakiku ini
Rangga Lelanang"
Karena
tendangan kepala Empat Teratai Darah itu adalah tendangan maut, tentu saja kali
ini si kakek mata satu tak bisa berdiam diri lagi. Dengan gerakan enteng tapi
cepat dia melompat dari kursi. Tendangan menghantam kursi yang tadi didudukinya
hingga hancur berantakan. Ketika kembali hendak mengejar, Sumo dapatkan si
kakek mata satu sudah berdiri menghadang gerakannya. Untuk pertama kali dia
membuka mulut.
"Sumo
Kebalen! Aku bukan Rangga Lelanang. Namaku Lor Gambir Seta. Aku sama sekali tak
ada urusan dengan kalian ataupun guru kalian. Atau juga dengan nenek moyang
kalian!" "Bangsat tua! Jangan dusta!" Sesosok tubuh melompat ke
hadapan Lor Gambir Seta. Inang Pini. Menyusul Inang Resmi dan nenek-nenek
bernama Supit Inten. "Kami yakin kaulah yang telah menghina guru kami di
puncak Merapi dua tahun lalu!"
Lor
Gambir Seta tersenyum. "Gadis, parasmu cukup cantik. Tapi tidak
berkesesuaian dengan mulutmu yang kurang ajar! Aku jauh lebih tua darimu. Apa
gurumu sebelum mampus tidak pernah memberi pelajaran budi pekerti
padamu?!"
Inang
Pini yang memang sudah dirasuk nafsu balas dendam menjawab dengan mencabut
pedangnya.
"Mulutku
tak seberapa kurang ajarnya, mata picak! Pedangku justru lebih kurang
ajar!"
Habis
berkata begitu Inang Pini gerakkan pergelangan tangan kanannya dan mata pedang
berkiblat ganas ke arah batang leher Lor Gambir Seta.
Si kakek
goleng-goleng kepala. "Bakatmu rupanya memang untuk jadi orang kurang
ajar. Jangan salahkan aku kalau terpaksa harus memberi pelajaran!"
Lor
Gambir Seta bergerak sewaktu pedang lawan hanya tinggal seperempat jengkal dari
batang lehernya. Tubuhnya lenyap. Pedang lawan menebas tempat kosong. Bersamaan
dengan itu terdengar keluhan Inang Pini. Gadis itu kini tampak tertegun kaku
tak bisa bergerak lagi. Satu totokan lihay telah bersarang di tubuhnya.
"Bagus!
Kau sudah beri pelajaran pada adikku mata picak! Kini aku yang ganti memberi
pelajaran padamu!"
Yang
berseru adalah Supit Inten. Dia tutup ucapannya dengan satu pukulan mengemplang
ke batok kepala Lor Gambir Seta.
"Ah,
kau pun nenek sama saja tololnya dengan adikmu tadi! Biar aku sekalian beri
pelajaran padamu!" jawab Lor Gambir Seta. Tubuhnya berkelebat. Tangannya
bergerak dan terdengar keluhan Supit Inten. Detik itu pula tubuhnya tampak kaku
tegang seperti Inang Pini!
"Ada
lagi yang minta diberi pelajaran?!" tanya Lor Gambir Seta.
Baru saja
orang tua ini berkata Inang Resmi datang menyerbu. Dia menghantamkan kedua
tangannya sekaligus. Dari telapak tangan kanan melesat sinar merah sedang dari
telapak tangan kiri menghambur dua lusin senjata rahasia berbentuk paku rebana
berwarna hitam. Senjata rahasia ini sebelumnya telah di rendam dalam racun ular
selama satu tahun. Siapa saja yang terkena paku rebana ini pasti akan menemui
kematian dalam waktu satu jam!
Menurut
Sumo Kebalen, paling tidak enam dari dua lusin senjata rahasia adik seperguruannya
akan dapat menghantam tubuh Lor Gambir Seta yang dianggapnya Rangga Lelanang
itu. Memang dalam ilmu melemparkan senjata rahasia Inang Resmi telah di
gembleng khusus selama tiga tahun dan merupakan yang terlihay di antara Empat
Teratai Darah.
Lor
Gambir Seta maklum kalau bahaya besar mengancamnya. Si gadis benar-benar
inginkan nyawanya. Sambil melompat dan berseru nyaring, kakek itu pukulkan
tangan kirinya. Dua lusin paku rebana hitam mencelat ke atas, menancap pada
langit-langit rumah makan yang terbuat dari papan. Sinar merah yang tadi juga
di lepaskan si gadis, mengenai tempat kosong, terus melabrak dinding rumah
makan hingga hancur berhamburan. Sura Gandara, si pemilik rumah makan menyumpah
panjang pendek dalam hati. Hari itu bukan keuntungan yang didapatnya, malah
bencana yang merugikan!
Inang
Resmi gigit bibirnya. Dua lusin paku rebana tidak berhasil. Dia akan coba tiga
lusin sekaligus. Masakan tak ada yang dapat menghantam tubuh lawan? Gadis ini
sudah siap melepaskan senjata rahasianya sebanyak tiga puluh enam buah ketika
tiba-tiba dia terkesiap karena dilihatnya lawannya lenyap dari hadapannya.
"Bangsat
tua, kau bersembunyi di mana?!" bentak Inang Resmi. Tiba-tiba gadis ini
mengeluh pendek. Tubuhnya terhuyung ke depan lalu tak bergerak lagi. Punggungnya
dilanda totokan lihay. Membuat dia kaku tegang dengan masih menggenggam tiga
lusin paku rebana hitam.
Ketua
Empat Teratai Darah mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya kakek mata picak ini
begitu lihaynya. Namun menyerah tidak ada dalam kamusnya.
"Rangga
Lelanang! Kalau tidak ku bunuh kau hari ini biar aku mati bunuh diri!"
teriak Sumo Kebalen.
Si kakek
ganda tertawa. "Tak pernah kulihat manusia setololmu!" katanya. Lalu
dengan sikap tak perduli dia menarik sebuah kursi dan duduk seenaknya.
Sumo Kebalen
menggereng. Lalu keluarkan suara bentakan dahsyat. Seluruh bangunan rumah makan
bergetar. Pemilik rumah makan yang gemuk macam kerbau bunting itu ketakutan,
apa lagi pelayan-pelayan.
Lor
Gambir Seta melompat ke samping. Dinding di belakangnya hancur berantakan. Sumo
Kebalen potong gerakan lawan dengan satu tendangan ke arah perut. Tetapi
tendangan ini hanya tipuan belaka karena secepat kilat dia susupkan satu
jotosan ke pangkal leher lawan. Namun Lor Gambir Seta agaknya memang bukan
tandingan kakek muka putih ini.
Sewaktu
tendangan lawan dilihatnya mengapung Lor Gambir Seta segera maklum kalau
serangan itu tipuan belaka. Kemudian ketika dilihatnya jotosan datang dengan
deras, si picak ini cepat tundukkan kepala dan sekaligus menghantam paha kanan
lawan dengan lututnya. Sumo Kebalen terpental. Dia bergulingan di lantai lalu
cepat tegak kembali. Namun belum sempat dia mengimbangi diri satu totokan
hinggap di dadanya, membuat dia kini kaku tak berdaya. Empat Teratai Darah kini
tertegak di tengah rumah makan dalam keadaan kaku tegang tak bisa bergerak.
Cukup lucu menyaksikan keadaan mereka saat itu.
Sumo
Kebalen kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk membuyarkan totokan. Tapi
totokan itu bukan totokan sembarangan. Kalau bukan Lor Gambir Seta sendiri yang
memusnahkannya, totokan itu baru lenyap setelah tiga jam.
"Keparat
kau Rangga Lelanang! Pengecut!" maki Sumo Kebalen. "Lepaskan totokan
ini. Mari kita berkelahi sampai seribu jurus!" Lor Gambir Seta tidak
perdulikan ucapan orang, sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan
mencibir ke arah Sumo Kebalen. "Kambing muka putih," katanya.
"Lagakmu hebat betul. Hendak berkelahi seribu jurus. Nyatanya kau sudah
jadi pecundang di bawah sepuluh jurus!" Saking marahnya Sumo Kebalen
lantas meludahi Wiro Sableng. Meski sudah mengelak namun tampiasan air ludah
masih sempat memercik di muka pendekar ini. "Sialan. Benar-benar
sialan!" maki Wiro. Dibetotnya ujung jubah Sumo Kebalen hingga robek.
Kakek muka putih ini terbanting ke lantai dan memaki panjang pendek. Wiro seka
ludah di mukanya dengan robekan pakaian si kakek. Lalu robekan pakaian itu
diludahinya berulang-ulang, setelah itu dibuntalnya bulat-bulat dan
disumpalkannya ke mulut Sumo Kebalen hingga kakek ini megap-megap, tercekik dan
sulit bernapas. "Pendekar 212," kata Lor Gambir Seta, "Kalau kau
hendak mengisi perut cepatlah! Kita tak punya waktu banyak."
Wiro
berteriak memanggil pelayan yang datang dengan ketakutan. Makanan dan minuman
yang di pesan segera di hidangkan. Wiro langsung menyantapnya. Lalu dia ingat
pada orang tua di sebelahnya. "Hai, kau tidak makan?"
Yang
ditanya menggeleng. "Kau saja yang makan. Dan cepat"
Sementara
itu Supit Inten, Inang Pini dan Inang Resmi tidak hentinya berteriak
memaki-maki. Tapi baik Wiro maupun Lor Gambir Seta tidak perdulikan.
"Rangga
Lelanang!" teriak Supit Inten. "Aku bersumpah akan memisahkan kepala
dan tubuhmu!"
"Nenek-nenek
tolol! Namanya bukan Rangga Lelanang, tapi Lor Gambir Seta!" jawab Wiro.
"Rupanya
si mata picak itu terlalu pengecut untuk mengakui namanya yang asli!"
menukas Inang Resmi.
"Kalian
bertiga perempuan-perempuan cerewet. Tak bisa diam! Mengganggu makanku
saja!" damprat Wiro. Lalu dari dalam mangkok sayur diambilnya tiga buah
melinjo dan dilemparkannya ke arah ke tiga perempuan itu. Langsung saja ketiganya
jadi terbungkam tak bisa bicara lagi!
Sumo
Kebalen yang megap-megap di lantai jadi terbeliak. Kini disaksikannya sendiri,
nyatanya pemuda rambut gondrong yang dianggapnya tolol itu memiliki kepandaian
menotok yang luar biasa. Pasti ilmunya tidak kalah dari si mata picak itu.
Selesai
makan Wiro melangkah mendekati Sumo Kebalen dan memeriksa pakaian kakek muka
putih ini. Dan kantong jubah sebelah kanan Wiro menemukan beberapa keping uang
emas dan perak. Wiro mengambil sekeping uang perak menyodorkannya pada Sura
Gandara.
"ini
pembayar harga makanan dan minuman. Lebih dan cukup" Lalu diangsurkannya
lagi sekeping uang perak. "Dan ini untuk pembayar ganti kerusakan rumah
makanmu!"
Si gemuk
Sura Gandara yang tahu jelas dari mana asal uang itu tentu saja tidak berani
menerimanya.
"Hai,
ambillah!" kata Wiro.
"Aku
tak berani, itu uang Sumo Kebalen. Nanti aku dihajarnya" jawab Sura
Gandara.
"Kalau
dia berani berbuat begitu, beritahu aku. Aku akan ganti menghajarnya!"
sahut Wiro pula. Lalu dua keping uang perak itu disusupkannya ke dalam saku
pakaian pemilik rumah makan. Sura Gandara merasa seolah-olah mengantongi bara
panas!
*******************
9
SANG
surya telah jauh menggelincir ke barat. Sinarnya yang sebelumnya putih memerah
dan memerihkan jagat kini telah berubah redup kekuning-kuningan. Pada saat itu
Wiro Sableng dan orang tua bermata satu sampai di sebuah pedataran berumput
liar. Di ujung pedataran menunggu sebuah hutan belantara. Sejauh itu berjalan
baik Wiro maupun si orang tua tak satu pun pernah bicara.
Wiro
mengikuti saja si mata satu itu memasuki rimba belantara. Setelah masuk sejauh
perjalanan dua kali peminuman teh, di pertengahan rimba nampak sebuah pondok
kecil. Dinding dan atap bangunan ini sudah bolong-bolong. Keadaan pondok reyot
ini hanya menunggu roboh saja lagi. Dugaan Wiro bahwa si kakek akan menuju ke
pondok tersebut tidak meleset. Pintu pondok mengeluarkan suara berkereketan
ketika dibuka. Kedua orang ini masuk dan si kakek menutupkan pintu kembali.
Wiro
memandang berkeliling. Tak ada jendela atau lobang angin. Lama-lama terasa
pengap di dalam situ. Di mana-mana abu menebar. Di sudut-sudut pondok tampak
labah-labah membuat sarangnya.
"Perlu
apa kita masuk ke sini kalau cuma tegak dan membisu begini rupa?" tanya
Wiro akhirnya kesal.
Orang tua
itu tak menjawab. Dia berdiri tanpa bergerak dengan kepala setengah mendongak.
Kelihatannya dia seperti tengah memasang telinga tajam-tajam.
"Kita
menunggu seseorang di sini?" tanya Wiro lagi.
Tetap
tidak ada jawaban, ini menjengkelkan murid Sinto Gendeng. Ketika dia hendak
membuka mulut kembali tiba-tiba Lor Gambir Seta melangkah ke salah satu sudut
pondok. Dilihatnya orang tua ini menggerakkan jari-jari tangannya, menekan
salah satu bagian dari tiang pondok yang sudah lapuk dimakan bubuk.
Wiro
terkejut dan hampir tak percaya ketika tiba-tiba lantai pondok yang terbuat
dari papan itu membuka di sebelah tengah dan di bawahnya kelihatan sebuah
tangga batu, menurun menuju sebuah gang.
Lor
Gambir Seta melangkah menuruni tangga setelah terlebih dulu memberi isyarat
pada Wiro agar mengikuti. Melihat sikap si mata satu ini yang terus-terusan
terasa aneh, mau tak mau lama-lama pendekar kita jadi curiga. Dia tak mau
mengikut turun dan tetap di tempatnya.
"Lekas
masuk!" kata Lor Gambir Seta ketika dilihatnya Wiro tak bergerak.
Wiro
menggeleng.
"Terus
terang aku mulai curiga terhadapmu, orang tua!"
"Curiga
atau tidak lekas masuk. Aku tak punya waktu lama!"
"Soal
waktu itu urusanmu. Cukup aku mengikutimu sampai di sini. Selamat tinggal"
Wiro putar tubuh dan siap melangkah keluar pondok. Namun ucapan si kakek
membuatnya kemudian batalkan niat.
"Kau
ingin melihat dunia persilatan musnah di tangan manusia jahat itu? Kau ingin
pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan berlangsung terus sampai kiamat? Hingga
kelak pada suatu ketika aku dan juga kau bakal menjadi korban
keganasannya?"
Wiro jadi
garuk-garuk kepala. Lalu menjawab: "Kakek aneh, kalau kau memang punya
maksud baik, kenapa kau terlalu banyak merahasiakan segala sesuatunya padaku?
Kau selalu menutup mulut. Tak pernah menjawab setiap kutanya. Bukan mustahil
kau memang Rangga Lelanang seperti yang dikatakan oleh Empat Teratai
Darah!"
"Siapa
diriku setiap orang boleh menduga seribu cara seribu macam. Maksud baikku
terhadap dunia persilatan tak ada artinya. Tidak beda dengan setetes air yang
dicemplungkan ke dalam lautan. Kalau kau tak mau ikut aku, perduli setan. Asal
jangan kau nanti menyesal seumur hidup sampai ke liang kubur!"
Habis
berkata begitu Lor Gambir Seta kembali menuruni tangga batu. Wiro bersiul,
garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba
dari mulut gang sebelah bawah tangga batu menggema satu suara halus tapi amat
jelas.
"Pendekar
212 jangan terlalu banyak bercuriga. Kau berada di tengah-tengah orang-orang
yang satu haluan…"
"Heh…
siapa pula yang bicara itu?" tanya Wiro Sableng. Dilihatnya Lor Gambir
Seta terus melangkah menuruni tangga. Akhirnya pendekar kita melangkah juga
mengikuti kakek mata satu itu. Begitu sampai di anak tangga terakhir, bagian
atas lobang tertutup dengan sendirinya. Keadaan kini jadi gelap gulita. Tapi Lor
Gambir Seta melangkah cepat seperti dalam terang saja, seolah-olah dia punya
mata lebih dari satu! Wiro setengah memaki tetapi juga penuh rasa ingin tahu
mengikuti terus. Lorong itu ternyata amat panjang. Akhirnya mereka sampai di
hadapan sebuah pintu batu berwarna putih. Wiro berpikir-pikir siapa gerangan
orang yang tadi mengeluarkan suara halus tapi jelas itu. Pasti orangnya ada di
belakang pintu itu. Dan pastilah dia seorang manusia luar biasa karena sanggup
mengirimkan suara sedemikian jauh.
Lor Gambir
Seta mengetuk pintu batu itu. Pintu bergeser ke samping secara aneh. Di
belakang pintu kelihatan sebuah lorong panjang diterangi lampu-lampu minyak.
Keduanya memasuki lorong. Pintu batu putih di belakang mereka menutup dengan
sendirinya. Pada ujung lorong muncul sebuah pintu batu yang kali ini berwarna
merah. Seperti tadi kembali Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu ini tiga kali.
Pintu terbuka.
Di
hadapan Wiro tampak sebuah ruangan amat besar yang keseluruhan lantai, dinding
dan langit-langitnya tertutup permadani berbunga-bunga. Di ujung kamar terdapat
sebuah jendela. Jauh di belakang jendela tampak sebuah sungai dengan air terjun
yang tinggi. Segala sesuatunya di luar jendela itu adalah rimba belantara yang
tak pernah dijejaki manusia.
Yang
menarik perhatian Wiro saat itu ialah dua orang yang berada di samping kanan
ruangan besar. Yang satu seorang kakek berbadan gemuk macam gentong, tetapi
mengenakan pakaian yang kekecilan.
Orang ini
berbaring melunjur di atas sebuah kursi malas. Sebatang pipa terselip di sela
bibirnya. Asap pipa itu menaburkan bau yang tidak sedap.
Di
sebelah si gemuk duduklah seorang tua berjanggut putih. Di pangkuannya terletak
dua buah bumbung tuak. Meskipun orang ini agak membelakang, tapi Wiro segera
mengenalinya.
"Dewa
Tuak!" Wiro berseru memanggil.
Orang
yang dipanggil tidak berpaling, melainkan keluarkan suara tertawa bergelak,
lalu berkata: "Cepatlah masuk Wiro. Agar kita bisa lebih lekas berunding
mengatur rencana."
Wiro
kerenyitkan kening. Sesaat dia memandang pada Lor Gambir Seta. Selagi si mata
satu ini menutup pintu batu merah, Wiro melangkah ke hadapan kakek janggut
putih yang dipanggilnya Dewa Tuak, lalu menjura dalam, dan juga menjura pada Si
gemuk di kursi malas. Menurut dugaan Wiro si gemuk inilah tadi yang telah mengirimkan
suara jarak jauh.
"Duduk…"
si gemuk mempersilahkan. Suaranya halus. Wiro duduk di kursi yang terletak di
samping Dewa Tuak sementara Lor Gambir Seta mengambil kursi lain.
"Guru,
harap maafkan," kata Lor Gambir Seta pada si gemuk yang menghisap pipa.
"Dua bulan mencari baru aku berhasil menemui pemuda ini."
"Ah,
ternyata si gemuk ini guru si picak," kata Wiro dalam hati.
Si gemuk
menyedot pipanya dalam-dalam, lalu meniupkan asap tampak dia membuka mulut.
Wiro menyangka si gemuk ini hendak mulai bicara. Ternyata dia menguap
lebar-lebar dan lama sekali.
"Jika
satu jam saja kalian terlambat, pasti aku sudah tidur lagi. Dan segala
sesuatunya akan percuma saja karena aku tak akan bangun dalam tempo enam kali
bulan purnama!" kata si gemuk pula. Suaranya halus dan sember.
"Dapatkah
kita mengatur rencana sekarang?” tanya Dewa Tuak sambil usap-usap bumbung
tuaknya.
Si gemuk
untuk kedua kalinya menguap lebar dan panjang hingga matanya tampak berair.
"Dewa
Tuak," Wiro menyeling. "Mohon dijelaskan dengan orang gagah dari
manakah saat ini aku berhadapan dan siapa nama atau gelarnya. Lalu bagaimana
pula kita sampai bisa bertemu di sini."
"Semuanya
telah diatur," memberitahu Lor Gambir Seta.
"Ya,
ya. Diatur untuk satu rencana besar," sambung Dewa Tuak.
"Jelasnya
rencana besar apa?" tanya Wiro kembali.
Si gemuk
berdehem beberapa kali. "Aku akan terangkan anak muda. Aku akan
terangkan." Dia menoleh pada Dewa Tuak. "Coba terangkan dulu siapa
aku ini padanya…."
Dewa Tuak
mengangguk lalu berkata, "Wiro, saat ini kita berada di tempat kediaman
tokoh paling tua di dunia persilatan. Umurku lebih dari delapan puluh tahun.
Tapi si gemuk ini berusia dua kali umurku…."
"Buset!"
terlompat kata-kata itu dari mulut Wiro secara tak sengaja saking kagetnya.
Menyadari ketidaksopanannya buru-buru pemuda ini minta maaf. Dan Dewa Tuak
melanjutkan penjelasannya. "Dia tokoh silat paling tua. Juga paling gemuk.
Beratnya hampir dua setengah kwintal. Di samping itu dia mendapat cap sebagai
manusia paling malas di seluruh dunia karena sifatnya yang doyan tidur, itu
sebabnya dalam dunia persilatan dia diberi nama Si Raja Penidur!"
Terbelalaklah
Wiro Sableng ketika mendengar siapa adanya si gemuk itu. Selagi di gembleng di
puncak gunung Gede oleh gurunya Eyang Sinto Gendeng, sang guru pernah
menerangkan bahwa satu-satunya manusia yang dianggap paling tinggi ilmu
kepandaiannya dalam dunia persilatan ialah seorang lelaki gemuk bergelar Si
Raja Penidur. Usianya sudah amat lanjut. Karena sifatnya yang pemalas dan suka
tidur, dia jarang muncul dalam rimba parsilatan, karenanya kurang di kenal.
Menurut Eyang Sinto Gendeng kalau sekali Raja Penidur ini tidur maka tiga
sampai empat bulan mungkin belum bangun-bangun sekalipun gunung meletus dibawah
ranjangnya.
Kini Wiro
tahu itulah sebabnya Lor Gambir Seta selalu mendesak agar cepat-cepat dalam
perjalanan. Wiro benar-benar tidak menduga kalau hari itu dia bakal bertemu
muka dengan tokoh nomor satu itu.
"Sekarang
soal rencana," kata Si Raja Penidur. Tapi ucapannya terputus karena
lagi-lagi menguap dan kucak-kucak mata. "Meskipun aku bisanya cuma tidur
dan malas-malasan di sini, tapi apa yang terjadi di dunia persilatan tidak
luput dari perhatianku. Beberapa tokoh silat berkunjung ke sini tiga bulan lalu
dan menerangkan semua kejadian di luar sana. Kejadian-kejadian yang benar-benar
menggegerkan, biadab terkutuk serta tak mungkin dibiarkan lebih lama." Si
gemuk ini berhenti sesaat untuk menguap, baru meneruskan.
"Menurut
hematku hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu siluman dan mampu terbuat
seperti itu yakin Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Maka kusuruh muridku Lor
Gambir Seta untuk melakukan penyelidikan. Siapa sebenarnya keparat biang
bencana itu dan di mana dia bercokol. Ternyata diketahui Datuk Siluman sudah
mati. Tertembus di bawah runtuhan rumahnya, atau dibunuh orang atau bunuh diri.
Ini memberi pengertian bahwa ada seorang lain yang jadi penimbul malapetaka
itu, dengan ilmu mirip sekali seperti yang di miliki Datuk Siluman. Dan penyelidikan
muridku ternyata tidak sia-sia…. Ah… aku mengantuk. Tak tahan beratnya mata
ini. Aku mau tidur…."
"Guru!"
berkata Lor Gambir Seta. "Jika kau tidur percumalah semua ini!"
Si Raja
Penidur menguap, lalu mengulet dan geleng-gelengkan kepalanya berulang kali
untuk membuang kantuk. Setelah menyedot pipanya dalam-dalam baru dia
melanjutkan: "Bangsat penimbul malapetaka keji itu bernama Sonya. Dia
bercokol di sebuah goa yang bangunan dalamnya tidak beda dengan tempatku ini.
Goa itu terletak di Teluk Gonggo!" Si gemuk kembali menguap. "Sonya
memiliki ilmu siluman yang luar biasa. Mungkin dia bukan murid Datuk Siluman
karena sejauh kuketahui Datuk Siluman tidak punya murid. Tetapi tidak bisa
tidak manusia biadab ini pasti memiliki hubungan dengan Datuk Siluman. Ilmu
hitamnya lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari lautan. Dan celakanya dia
tidak bisa mati, tidak bisa dibunuh!"
Wiro
batuk-batuk lalu berkata: "Raja Penidur, aku tolol ini mohon penjelasanmu.
Bagaimana ada manusia yang tidak dapat dibunuh, tidak bisa mati! Setiap makhluk
hidup pasti mati. Itu hukum Yang Kuasa!"
Dewa Tuak
dan Lor Gambir Seta tersenyum. Rupanya kedua orang ini sudah tahu banyak
tentang manusia bernama Sonya itu.
"Apa
yang kau katakan itu memang benar, orang muda," jawab Raja Penidur.
"Tapi Sonya bukan manusia biasa lagi, tak dapat disebutkan manusia. Dia
malah sudah melebihi siluman. Dan hanya akan mati bila kita mengetahui titik
kelemahannya atau pantangannya. Kabarnya dia punya dua pantangan. Aku cuma tahu
satu, sialan betul!" Raja Penidur kembali menguap. Dia memandang pada Lor
Gambir Seta dan berkata: "Muridku, jelaskan padanya pantangan itu."
Lor
Gambir Seta mengangguk. "Ketinggian ilmu kesaktian dan kehebatan ilmu
kebal manusia siluman ini akan punah bilamana tubuhnya terkena air hujan."
Wiro
garuk-garuk kepala sedang Dewa Tuak kerenyitkan kening sambil usap-usap
janggutnya yang putih.
"Aneh
dan hampir tak masuk akal…" kata Dewa Tuak.
"Memang
setiap ilmu siluman selalu diselimuti keanehan," kata Lor Gambir Seta.
Raja
Penidur menyambung. "Rasanya Sonya tidak sendirian. Selain memelihara
puluhan perempuan culikan, dia juga dikelilingi oleh tokoh-tokoh silat baik
dari golongan putih maupun hitam. Mereka menjadi budaknya di luar sadar.
Perempuan-perempuan malang itu harus diselamatkan. Juga tokoh-tokoh silat
golongan putih. Terhadap mereka dari golongan hitam kalian tak usah ragu-ragu
bertindak. Jika selama ini mereka sukar diatur dan sulit dibasmi, kali ini
kalian punya kesempatan untuk turun tangan. Persoalannya kuserahkan pada kalian
bertiga…."
"Raja
Penidur," berkata Wiro. "Kau bilang persoalannya kini pada kami
bertiga. Jika tokoh-tokoh silat kawakan sebelumnya tak berhasil membekuk
manusia siluman itu, bagaimana mungkin aku yang masih hijau ini bisa turun
tangan?"
Si gemuk
tertawa mengekeh. "Jangan terlalu merendahkan diri orang muda. Siapa yang
tidak tahu Sinto Gendeng? Siapa yang tidak pernah dengar muridnya yang berjuluk
Pendekar 212? Aku yakin kalian bertiga bisa bekerjasama membantai manusia
siluman terus lagi pula ingat akan satu ujar-ujar. Kapal besar belum tentu
tenggelam oleh ombak besar. Tetapi mungkin tenggelam oleh bocor kecil. Dewa
Tuak, ingat, kau bertugas membawa air hujan dalam bumbung bambumu itu!"
Dewa Tuak
usap-usap bumbung bambunya. "Ah, malang nian nasibku kali ini. Agaknya aku
terpaksa puasa minum tuak selama menjalankan tugas ini!"
"Lor
Gambir Seta, kau punya tugas menyelamatkan tokoh-tokoh golongan putih yang
disekap di Teluk Gonggo. Dan Wiro, kau berkewajiban membasmi mereka yang dari
golongan hitam!"
"Lalu
bagaimana dengan perempuan-perempuan yang puluhan itu dan kabarnya
cantik-cantik? Siapa yang dapat tugas menyelamatkan?" tanya Wiro.
Dewa Tuak
tertawa gelak-gelak. Lor Gambir Seta senyum-senyum sedang Si Raja Penidur
kembali menguap.
"Mereka
sudah barang tentu harus diselamatkan. Aku percaya kau bisa mengaturnya
Wiro," jawab Si Raja Penidur kemudian.
"Kau
sendiri tidak ambil bagian dalam tugas besar ini?”
"Aku…?"
ujar Raja Penidur ketika mendengar pertanyaan Wiro itu. Dihembuskannya asap
pipanya jauh-jauh. "Perlu apa aku turun tangan mencapaikan diri. Lebih
enak tidur di sini!" Dia menguap kembali.
"Kalian
saksikan sendiri," kata Lor Gambir Seta sambil menggoyangkan kepala ke
arah gurunya yang sudah pulas. "Baru delapan minggu yang lalu dia bangun
setelah tidur selama empat bulan. Dan kini sudah pulas lagi. Untung kita lekas
sampai di sini. Kalau tidak berarti dunia persilatan akan terus tenggelam dalam
malapetaka sampai beberapa bulan dimuka!"
Wiro
hanya garuk-garuk kepala. Telah banyak dilihatnya tokoh-tokoh silat bersifat
aneh. Tapi si gemuk satu ini nomor satu aneh!
*******************
10
ANGIN
bertiup kencang, memapasi lari tiga ekor kuda yang dipacu menuju ke utara. Dari
debu yang melekat di tubuh kuda serta para penunggangnya nyata bahwa mereka
telah menempuh perjalanan jauh. Sekeluarnya dari rimba belantara mereka
memasuki daerah berpasir yang ditumbuhi pohon kelapa. Orang-orang ini adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng, Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak. Mereka menghentikan
kuda masing-masing di ujung bukit pasir yang terjal.
"Kita
berhenti di sini. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki," kata Lor
Gambir Seta seraya melompat turun dari punggung kuda, diikuti dua orang
lainnya.
"Tapi
ada beberapa hal penting yang harus kuterangkan pada kalian. Sonya manusia
siluman berhati iblis itu memiliki ilmu-ilmu luar biasa. Tiga di antaranya amat
berbahaya. Pertama yang disebut Cakar Siluman. Karenanya dalam menghadapinya
nanti jangan terlalu dekat. Ilmunya yang kedua bernama Asap Jalur Penidur. Jika
seseorang sampai terlingkar oleh asap tersebut pasti akan menjadi lemah dan
jatuh tidur, ilmu ketiga, ini yang paling berbahaya ialah Asap Tenung Siluman.
Siapa yang sampai menciumnya pasti berubah jalan pikirannya dan merasa bahwa
dia adalah budak atau hamba sahaya Sonya. Dengan demikian Sonya bisa
menyuruhnya berbuat apa saja! Karenanya begitu berhadapan dengan manusia
siluman itu harus dapat menyiramkan air pantangan berupa air hujan ke
tubuhnya!"
Setelah
memandang berkeliling sejenak Lor Gambir Seta memberi isyarat untuk meneruskan
perjalanan. Pada saat dia dan Wiro mulai melangkah, di sebelah belakang Dewa
Tuak keluarkan dua buli-buli kecil dari balik pakaiannya. Seperti telah
diketahui, karena dua bumbung bambu yang dibawanya kini di isi air hujan maka
dia terpaksa membawa tuak kegemarannya di dalam buli-buli tersebut. Dibukanya
tutup buli-buli lalu mendongak dan mulai meneguk minuman itu.
Tiba-tiba
Dewa Tuak turunkan buli-bulinya dan menyemburkan air minuman dalam mulutnya ke depan.
Delapan buah pisau terbang yang meluncur ke arah Lor Gambir Seta dan Wiro
Sableng runtuh ke tanah.
"Bangsat!
Siapa yang berani membokong!" bentak Dewa Tuak. Wiro dan Lor Gambir Seta
terkejut, cepat berpaling dan baru menyadari bahwa keduanya baru saja
diselamatkan oleh kakek janggut putih itu.
"Pisau
itu melesat dari arah bawah tebing pasir! Pasti pembokong itu ada di sana"
kata Dewa Tuak. Buli-buli tuaknya di simpan lalu dia melompat ke bawah bukit
pasir, diikuti Wiro dan Lor Gambir Seta.
Selagi
ketiganya melayang di udara. Tiga lusin pisau terbang menderu lagi ke arah
mereka.
"Keparat!"
maki Wiro. Tangan kanannya dlpukulkan ke depan. Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak
juga dorongkan telapak tangan kanan. Tiga puluh enam pisau maut itu mental,
jatuh ke pasir.
"Bangsat!
Lekas keluar dari balik batu" teriak Wiro. Dia melihat jelas, serangan
pisau itu keluar dari balik sebuah batu besar. Ketika ditunggu tak ada yang
keluar, Wiro lepaskan pukulan "Kunyuk Melempar Buah". Satu gumpal
angin keras laksana batu karang menghantam batu besar itu dengan dahsyatnya
hingga hancur berantakan. Di saat itu pula terdengar suara jeritan. Di balik
batu besar yang telah hancur tampak tiga lelaki bermuka hitam.
Yang satu
menggeletak dengan dada hancur. Dua lainnya masih untung hanya menderita luka
dalam. Setelah terhuyung sesaat, keduanya lantas cabut senjata dan menyerbu ke
arah Wiro dan kawan-kawan.
"Mereka
pasti budak-budak Sonya" seru Lor Gambir Seta dan berkelebat menotok lawan
yang menyerangnya. Sebaliknya Wiro tak memberi ampun. Orang yang coba
menebaskan senjatanya ke lehernya dihantam di bagian dada dengan jotosan tangan
kiri hingga muntah darah dan terkapar di pasir.
"Muka
hitam!" sentak Lor Gambir Seta seraya menjambak rambut orang yang berhasil
ditotoknya. "Sebelum kau jadi budak manusia siluman bernama Sonya, apakah
kau dari golongan hitam atau putih?!"
"Apa
perdulimu, mata picak?!" jawab si muka hitam.
Lor
Gambir Seta menggereng. Dewa Tuak membisikkan sesuatu kepadanya. Lor Gambir
Seta lalu berkata: "Nyawamu kuampuni. Tapi lekas beri tahu di mana
sarangnya Sonya I"
Si muka
hitam tertawa. "Baik, tapi lepaskan dulu totokanmu!"
Tanpa
curiga Lor Gambir Seta lepaskan totokan di tubuh si muka hitam. Tetapi begitu
totokannya terlepas secepat kilat si muka hitam hantamkan tinjunya ke batok
kepala sendiri! Dia menggeletak mati dengan kepala rengkah.
"Kalian
saksikan sendiri!" ujar kakek mata picak itu antara terkesiap dan juga
penasaran. "Dia sudah menjadi kerbau yang sangat, patuh pada Sonya. Lebih
suka bunuh diri dari pada berkhianat!"
Ketiganya
lalu melanjutkan perjalanan menempuh pedataran pasir penuh pohon kelapa. Selang
beberapa lama mereka sampai di tepi pantai berbentuk cekung setengah lingkaran.
Angin laut bertiup lembut dan air laut tampak tenang. Burung elang beterbangan
di udara. Pemandangan di sini indah sekali. Inilah Teluk Gonggo. Di sini
pulalah manusia siluman Sonya membuat markasnya. Tapi di sebelah mana?
Ketiga
orang itu bergerak dengan hati-hati. Bukan mustahil mereka bakal mendapat
rintangan-rintangan maut lainnya dari budak-budaknya Sonya. Mereka mendekati
daerah berbatu-batu di bagian teluk sebelah kanan. Biasanya di tempat seperti
Ku terdapat lobang atau celah yang dijadikan pintu masuk. Di bagian yang
menghadap ke laut, mereka tidak menemukan apa-apa. Ketiganya berputar
menyelidiki bagian belakang bebukitan batu ini.
"Hai,
itu ada lobang!" Wiro tiba-tiba berseru dan menunjuk pada sebuah lobang di
sela-sela dua batu besar. Ketiganya segera menuju ke situ. Ternyata mulut
lobang tertutup oleh satu sarang gonggo (labah-labah) yang luar biasa besarnya.
"Lobang
buntu. Tak mungkin ada yang memakai sebagai jalan masuk!" kata Wiro
garuk-garuk kepala.
"Celaka!
Perangkap setan apa pula ini!" kata Lor Gambir Seta. Tubuhnya dan juga
tubuh Wiro sudah terhisap sampai sebatas pinggul.
Melihat
kedua kawannya itu menghadapi bahaya besar Dewa Tuak cepat keluarkan benang
sutra putih saktinya yang selalu dibawanya.
"Bertahanlah!
Lihat benangku ini!" seru Dewa Tuak. Benang itu meluncur ke bawah langsung
melibat pinggang serta dada Wiro dan si kakek. Untuk dapat menarik keduanya
dari hisapan pasir maut itu Dewa Tuak kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam.
Sekali sentak, tubuh Wiro dan Lor Gambir Seta berhasil di tarik keluar.
"Kurang
ajar! Licik!" maki Wiro begitu selamat.
"Dewa
Tuak, dua kali kau menyelamatkan jiwa kami. Kami menghaturkan terima
kasih," kata Lor Gambir Seta sementara Wiro cengar-cengir.
Dewa Tuak
angkat bahu dan menjawab: "Bukan saatnya kita berbasa basi dengan segala
peradatan!
Lor
Gambir Seta menghela nafas panjang. Dia memandang ke lobang batu yang ada
sarang gonggonya.
"Aku
yakin, inilah pintu masuk ke sarangnya Sonya."
"Tapi
ada serang gonggonya begitu, mana mungkin?" ujar Wiro.
"itu
bukan sembarang gonggo. Aku akan buktikan," kata Lor Gambir Seta. Diikuti
oleh kedua orang itu dia menghampiri mulut lobang. Membaui manusia di dekatnya,
gonggo besar itu mulai menggerakkan kaki-kakinya. Pandangan matanya membuas dan
dari mulutnya keluar sebentuk lidah aneh bercabang dua berwarna hijau
berkilat-kilat tanda mengandung racun jahat.
Lor
Gambir Seta mengambil sehelai sapu tangan. Benda ini di buntalnya lalu
dilemparkan ke serang gonggo. Secepat kilat binatang ini menyambar dan
menghancur luluhkannya.
Wiro
membungkuk mengambil sebuah batu sebesar setengah kepalan. Batu ini
dilemparkannya ke sarang gonggo. Seperti sapu tangan tadi, batu ini pun di
lumat hancur oleh gonggo itu dalam waktu singkat! Mata Pendekar 212 membeliak
menyaksikan hal ini.
"Hebat…!
Hebat!" kata Dewa Tuak. "Aku mau tahu apakah binatang ini doyan
tuakku!" Lalu diteguknya tuak dalam buli-buli. Tiga teguk berturut-turut.
Tegukan pertama dan kedua ditelannya. Tegukan ketiga tetap dalam mulut
dendengan mengerahkan tenaga dalam tuak itu disemburkannya ke arah gonggo di
lobang batu.
Kepala
binatang itu hancur. Tubuhnya remuk berkeping-keping. Kaki-kakinya menggelepar
dan putus-putus. Sarangnya musnah. Sesaat kemudian terjadilah hal yang aneh.
Baik gonggo maupun sarangnya berubah menjadi asap hitam untuk kemudian musnah
tak berbekas.
"Gonggo
siluman!" desis Wiro.
Lor
Gambir Seta memberi isyarat. Ketiganya segera menyelinap ke dalam lobang dengan
sangat hati-hati. Ternyata lobang itu tidak seberapa dalam. Langkah mereka
terhenti oleh sebuah pintu papan.
"Awas,
kurasa ini pintu siluman dengan berbagai senjata rahasia," kata Dewa Tuak
memperingatkan.
Lor
Gambir Seta mengangguk. Dia memberi tanda agar kedua orang itu bertiarap. Lalu
tangan kanannya di pukulkan ke depan.
"Braak!"
Pintu
papan hancur berantakan. Dikejap itu pula beralur lima puluh batang golok
terbang di atas tubuh ketiga orang yang bertiarap itu. Begitu senjata-senjata
maut itu lewat, ketiga orang tersebut cepat melompat dan menerobos masuk lewat
pintu yang hancur. Mereka sampai ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan
puluhan manusia. Di hadapan mereka berdiri kira-kira dua puluh orang lelaki dan
setengah lusin perempuan yang kesemuanya bermuka hitam. Mereka adalah
tokoh-tokoh silat golongan putih dan hitam yang telah diculik dan di jadi kan
budak oleh Sonya. Dengan muka hitam begitu rupa sulit bagi Wiro dan kawan-kawan
untuk mengenali mereka. Ini berarti mereka tidak mengetahui yang mana tokoh
golongan hitam dan mana tokoh golongan putih yang harus mereka selamatkan.
Di
belakang jejeran orang-orang Itu, di satu lantai yang agak tinggi, duduklah
seorang lelaki berusia setengah abad, berwajah luar biasa seramnya. Rambutnya
awut-awutan, kumis dan cambang bawuk tidak terurus. Sepasang matanya menyorot
ganas. Dia mengenakan pakaian buruk dekil penuh tambalan. Tubuh dan pakaiannya
ini menebar bau yang sangat busuk!
Di
sekeliling si bau busuk ini, duduk bersimpuh lima belas orang perempuan. Karena
muka mereka tidak hitam maka dapat di saksikan bahwa mereka semua adalah
gadis-gadis berwajah cantik. Dan yang membuat Pendekar 212 jadi sesak nafas
sedang Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta menjadi jengah ialah bahwa kelima belas
gadis itu tak satu pun mengenakan pakaian alias bertelanjang bulat!
Dari
balik sebuah ruangan tiba-tiba muncul seorang gadis yang parasnya cantik di
antara semua gadis di ruangan itu. Dia melangkah tanpa pakaian menghampiri
lelaki berpakaian buruk dekil itu dan langsung duduk di pangkuannya.
"Gila
betul!" kata Wiro dalam hati.
Gadis itu
bukan lain adalah Dwiyana, murid Akik Mapel. Akik Mapel sendiri saat itu duduk
di sudut ruangan bersama yang lain-lainnya. Mereka siap menyerbu tiga orang
yang baru datang itu, hanya menunggu perintah majikan mereka.
Lor
Gambir Seta berbisik pada Wiro dan Dewa Tuak: "Keparat yang berpakaian
rombeng busuk Sonya yang harus kita lenyapkan. Kita harus bertindak
cepat!"
Sebelum
ketiga orang ini bergerak tiba-tiba di antara orang banyak menyeruak empat
manusia bermuka hitam. Satu laki-laki dan tiga perempuan.
Meski
tidak dapat mengenali wajah mereka tetapi dari jubah putih berbunga teratai
merah yang mereka kenakan, Wiro Sableng serta Lor Gambir Seta segera mengetahui
bahwa keempat orang ini bukan lain adalah Empat Teratai Darah yang beberapa
hari lalu pernah bentrokan dengan mereka di sebuah rumah makan. Bagaimana
keempat orang ini tahu-tahu sudah berada di sarangnya Sonya?
Tiga jam
setelah ditotok oleh Lor Gambir Seta, totokan di tubuh Empat Teratai Darah
punah dengan sendirinya. Penuh rasa dendam, keempatnya bermaksud untuk menemui
seorang tokoh silat golongan hitam guna minta bantuan. Dalam perjalanan itulah
mereka berpapasan dengan Sonya. Mengetahui bahwa Empat Teratai Darah merupakan
kelompok berkepandaian tinggi dan cukup terkenal dalam dunia persilatan maka
Sonya segera menyerang mereka dengan asap tenung siluman. Dalam keadaan tak
sadar keempat orang itu kemudian dibawanya ke Teluk Gonggo.
"Rangga
Lelanang! Dan kau pemuda gondrong sedeng" membentak kepala Empat Teratai
Darah yakni Sumo Kebalen. "Dicari-cari tidak ketemu. Akhirnya hari ini
kalian datang mengantar nyawa!"
"Hai!
Kau rupanya “sahut Wiro seraya mencibir.
"Kalau
aku tidak salah dulu mukamu putih macam kain kafan. Sekarang kenapa berubah
jadi pantat dandang?!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak dan diam-diam tangan
kanannya meraba gagang Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersembunyi di balik
pakaiannya.
Di
sampingnya Dewa Tuak keluarkan buli-bulinya dan "gluk-gluk-gluk”, dia
meneguk minuman itu seenaknya seolah-olah sedang berada di tempat perjamuan.
Lor Gambir Seta sendiri sejak tadi sudah siapkan pukulan tangan kosong di
tangan kiri sedang di tangan kanannya kini tergenggam sebuah senjata aneh yakni
sebuah tanduk kerbau yang amat besar dan runcing salah satu ujungnya.
"Pendekar
212” bisik Lor Gambir Seta. "Ingat, kita harus bertindak cepat.
Musuh-musuh golongan hitam harus disingkirkan dulu sebelum Sonya turun
tangan."
Wiro
mengangguk.
Sumo
Kebalen menggereng marah mendengar ucapan Wiro tadi. Dia melompat diikuti tiga
adik seperguruannya. Wiro dan Lor Gambir Seta siap menyongsong.
Wiro
cabut senjatanya. Sinar putih berkiblat ketika Kapak Maut Naga Geni 212 mulai
beraksi. Terdengar suara mengaung laksana seribu tawon mengamuk. Dilain kejap
Empat Teratai Darah sudah menggeletak di lantai. Mereka menemui ajal tanpa
mengeluarkan sedikit suara pun saking cepatnya sambaran senjata Wiro. Dan
mereka tidak pernah tahu senjata apa yang telah menamatkan riwayat mereka.
Lor
Gambir Seta tertegun melihat gebrakan kilat yang dibuat Wiro. Orang tua mata
satu ini sudah sejak lama mendengar kehebatan pendekar gondrong ini, tapi baru
hari ini dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jika saja bukan di tempat
itu terjadinya, pastilah dia akan berseru memuji.
Sementara
itu Dewa Tuak yang sudah tahu banyak tentang Wiro tertawa gelak-gelak dan teguk
tuaknya. Begitu suara tawanya lenyap tempat itu telah berubah jadi kacau balau.
Gadis-gadis yang telanjang berpekikan, lelaki-lelaki bermuka hitam menggembor
marah.
Sonya
bertepuk tiga kali dan berteriak: "Hamba Sahayaku! Bunuh tiga bangsat
pangacau itu!" Laksana air bah orang-orang bermuka hitam serta merta
menyerbu. Dewa Tuak semburkan tuak dari mulutnya. Dua orang penyerang berteriak
roboh dengan tubuh bergelimpangan darah. Teman-temannya yang berhasil
menyelamatkan diri segera mengeroyok Dewa Tuak. Tokoh silat berusia 80 tahun
ini putar kedua bumbung bambunya. Tiga orang musuh lagi terjelepak oleh
serangan yang tidak mereka duga ini.
Baik Wiro
maupun Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta tidak dapat mengetahui mana para
penyerang yang berasal dari golongan hitam dan mana dari golongan putih.
Karenanya sebelum pertempuran berlangsung lebih jauh Lor Gambir Seta berteriak:
"Manusia-manusia muka hitam berasal dari golongan putih dengar. Kami tidak
mau kesalahan tangan. Lekas mundur, selamatkan diri kalian!"
Tapi otak
manusia-manusia golongan putih itu telah terjebak dalam Ilmu siluman Sonya
hingga tak satu dari mereka yang ambil peduli dan mendengar perintah itu.
Dewa Tuak
menyemburkan tuaknya terus menerus. Tabung bambu dihantamkannya kian kemari.
Selagi musuh menghindar Dewa Tuak pergunakan kesempatan ini untuk mendekati
Sonya.
Sonya
melompat ke samping kiri. Matanya tidak lepas pada genangan air di lantai. Dari
tempat yang dirasakannya aman, dia keluarkan ilmu silumannya yang bernama
"Asap Jalur Penidur. Asap kecil hitam melesat bergulung-gulung, melejit ke
arah Dewa Tuak, Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng.
"Lekas
menyingkir" teriak Lor Gambir Seta.
*******************
11
SAMBIL
berteriak Lor Gambir Seta melompat keluar menjauhi kalangan pertempuran. Dalam
mundur menjauh ini dia sempat menotok dua lawan bermuka hitam yang menurut
dugaannya adalah dari golongan putih.
Pendekar
212 babatkan kapak saktinya ke depan. Asap siluman yang menyerbunya terpental
dan buyar hingga dia selamat dari malapetaka. Lain halnya dengan Dewa Tuak.
Tokoh kawakan ini hantamkan tangan kirinya ke atas. Asap hitam buyar namun dari
samping membalik kembali dan menyerbu ke arahnya!
"Celaka!"
keluh Dewa Tuak ketika dirasakannya kepalanya mendadak pusing dan sepasang
matanya menjadi berat laksana dicantoli batu Dia menahan nafas dan kerahkan
tenaga dalam. Lututnya goyah dan tubuhnya mulai menghuyung. Namun dia masih
sanggup bertahan dengan menutup seluruh inderanya.
Melihat
Dewa Tuak dalam bahaya Wiro segera bertindak cepat. Didahului teriakan menggelegar
murid Eyang Sinto Gendeng ini berkelebat. Tiga orang terjungkal. Dua bobol
perutnya, satu lagi hampir tanggal lehernya. Selagi tubuhnya mengapung di
udara, Wiro lepaskan pukulan sinar matahari yang panas dan menyilaukan. Asap
siluman yang hampir menguasai Dewa Tuak musnah. Dewa Tuak sendiri terpental dan
jadi kalang kabut ketika sebagian janggut putihnya terbakar oleh pukulan sinar
matahari.
"Gila!
Edan! Ooala” teriak Dewa Tuak dan cepat padamkan janggutnya yang terbakar.
"Kurang
ajar!" kutuk Sonya geram. Sedang matanya membersitkan sinar maut. Tak
dapat dipercayanya kalau hari itu semua asap-asap ilmu silumannya dapat di
musnahkan lawan, satu hal yang tak pernah kejadian sebelumnya.
Sonya
mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara lalu kedua telapak tangannya
disatukan dan saling digesek.
“Gorda!
Keluarlah! Bunuh pemuda berambut gondrong itu!"
Serangkum
asap hitam keluar dari celah kedua telapak tangan manusia siluman itu
mengeluarkan suara mendesis. Asap itu kemudian berubah menjadi sesosok makhluk
yang luar biasa seram dan besarnya. Kepalanya menyondok langit-langit ruangan
yang tingginya hampir tiga meter itu. Sepasang matanya yang merah hampir
sebesar buah kelapa. Mulutnya menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi
raksasa. Dia melangkah mendekati Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya
menggoyangkan lantai ruangan!
Tiba-tiba
makhluk bernama Gorda ini ulurkan kedua tangannya yang besar dan panjang,
berbulu dan berkuku runcing. Wiro meskipun agak tergetar tapi cepat babatkan
Kapak Naga Geni 212. Didahului sinar putih perak, senjata mustika itu membabat
salah satu tangan Gorda. Makhluk ini menggerung dan melangkah mundur. Tangan
kirinya hampir putus dan anehnya mengeluarkan darah seperti darah manusia.
Menyadari
bahwa senjatanya hanya mampu menciderai lawan maka murid Eyang Sinto Gendeng
ini segera menggenjot tubuhnya dan melayang ke udara. Sekali lagi Kapak Maut
Naga Geni 212 berkilat.
"Craass!"
Terdengar
seperti suara ratusan srigala melolong serentak. Kepala makhluk siluman itu
menggelinding. Darah bergenangan. Namun sesaat kemudian sosok tubuh siluman itu
lenyap. Darahnya yang membasahi lantai pun ikut lenyap tiada bekas!
Sonya
terkesiap melihat apa yang terjadi hingga dia lengah ketika Pendekar 212 Wiro
Sableng kini menerjang ke arahnya dan membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Sonya tak punya kesempatan untuk mengelak. Senjata warisan Eyang Sinto Gendeng
itu mendarat di dadanya dan "trang!" Terdengar bunyi keras. Tubuh
Sonya tak bergerak sedikit pun. Kapak Naga Geni 212 laksana menghantam dinding
baja yang maha atos. Inilah untuk pertama kalinya senjata mustika sakti itu
tidak mempan menghadapi kehebatan ilmu kebal siluman yang di miliki Sonya. Dewa
Tuak dan Lor Gambir terbeliak.
Saking
kagetnya Wiro sampai lupa penjagaan dirinya. Dia. terkesiap dengan mulut
ternganga. Justru saat itulah Sonya melompatinya dengan tangan kanan lancarkan
serangan "Cakar Siluman yang sudah sama diketahui kehebatannya. Jangankan
tubuh manusia, tembok besi pun pasti hancur dibuatnya. Kini Pendekar 212 lah
yang tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri.
Satu
detik lagi muka Wiro Sableng akan hancur remuk diremas cakaran siluman itu,
tiba-tiba dari samping menderu air hujan yang disemburkan Dewa Tuak! Ketika air
hujan itu menyirami tubuhnya, terdengar suara seperti air disiramkan di atas
bara panas. Pakaiannya melepuh, kulit dan dagingnya mengelupas matang
mengepulkan asap dan mengumbar bau menjijikkan!
Dewa Tuak
semburkan sekali lagi air hujan dalam mulutnya. Tubuh Sonya bergetar hebat.
Mukanya yang angker kelihatan seperti membesar. Pipinya menggembung dan
mulutnya tertutup rapat-rapat. Tiba-tiba mulut itu membuka dan terdengarlah
jeritannya yang mengerikan sepasang matanya membeliak. Dia lari bangun jatuh
seputar ruangan, kadang-kadang bergulingan. Orang-orang bermuka hitam yang
keseluruhannya telah ditotok oleh Lor Gambir Seta tampak berdiri gelisah.
Sementara dari ruangan sebelah di mana gadis-gadis cantik tadi berkumpul,
terdengar suara mereka memekik aneh.
"Lekas
kau selesaikan manusia siluman itu Wiro!" kata Lor Gambir Seta.
Pendekar
kita ragu sejenak. Sambil pandangi Sonya dan kapaknya.
"Tak
usah ragu. Hantamlah!" kata kakek mata picak itu.
Wiro
bergerak. Kapak Naga Geni 212 berkelebat. Untuk kedua kalinya senjata itu
menghantam tubuh Sonya. Kalau tadi sama sekali tidak mempan, maka sekarang
kelihatan bagaimana senjata itu hampir membabat putus pinggang Sonya. Anehnya
dari luka besar di tubuhnya itu sama sekali tidak mengeluarkan darah.
Sonya
terhuyung-huyung, lantai yang diinjaknya laksana roboh. Tubuhnya terjungkal.
Dari tubuh itu kini mengepul asap, makin tebal dan makin hitam. Dari mulutnya
menggelepar jeritan dahsyat. Jeritan yang tidak beda dengan lolongan srigala.
Begitu lolongan itu berhenti maka putuslah nyawa manusia siluman ini.
Bersamaan
dengan matinya Sonya, maka lenyap pulalah segala macam ilmu siluman yang
menguasai tokoh-tokoh silat yang ada di ruangan itu, yang selama ini menjadi
budak Sonya, disuruh membunuh dan menculik. Wajah-wajah yang tadinya hitam
berkilat secara aneh kini perlahan-lahan berubah menjadi muka manusia wajar.
Mereka tampak terheran-heran begitu lepas dari kungkungan ilmu siluman.
Memandang wajah-wajah mereka, Wiro, Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta segera
mengenali mana-mana tokoh silat dari golongan putih. Murid Si Raja Penidur itu
segera melepaskan totokan di tubuh mereka.
Begitu
bebas dari totokan, mereka semua menjura dalam-dalam dan tiada hentinya
mengucapkan terima kasih. Beberapa di antara mereka ada yang berkaca-kaca
matanya.
Wiro
memandang pada empat tokoh golongan hitam yang ada di tempat itu masih dalam
keadaan tertotok. "Apa yang akan kita lakukan terhadap mereka?" tanya
Wiro.
"Jika
mereka menyesal atas segala perbuatan mereka di masa lampau dan selanjutnya mau
menempuh hidup baik, aku akan beri ampunan pada mereka!" jawab Lor Gambir
Seta.
Tanpa
ditanya lagi empat tokoh silat itu serempak membuka mulut, mohon ampun dan
berjanji untuk menempuh hidup baru yang benar. Lor Gambir Seta lalu lepaskan
totokan mereka. Keempatnya menjura, mengucapkan terima kasih lalu tinggalkan
tempat itu.
Dewa Tuak
menghela nafas dalam lalu teguk tuaknya. Dia menyumpah dan bantingkan buli-buli
itu ke lantai.
"Sialan!
Tuakku habis!" keluhnya. "Mati aku…!"
Wiro
tertawa gelak-gelak sedang Lor Gambir Seta cuma mengulum senyum.
"Aku
tak betah lagi di sini. Aku harus pergi. Aku harus dapatkan tuak! Kalau tidak
bisa mati!"
"Aku
pun harus pergi sekarang," berkata Lor Gambir Seta.
"Hai
tunggu!" Wiro tiba-tiba berseru.
"Ada
apa lagi pendekar?" tanya Lor Gambir Seta sementara Dewa Tuak
terus-terusan menggerutu.
"Bagaimana
dengan gadis-gadis cantik di ruangan sebelah itu?" tanya Wiro.
Dewa Tuak
memandang sebentar pada Lor Gambir Seta. Dewa Tuak kedipkan mata lalu kedua
tokoh silat itu sama-sama tertawa mengekeh. Kakek yang kebakaran janggut itu
lantas berkata: "Kami sudah tua bangka, mana pantas mengurusi
boneka-boneka itu. Kau uruslah mereka. Tapi ingat, jangan main gila. Jangan
berbuat apa yang dilakukan manusia siluman bernama Sonya itu"
Selesai
berkata begitu Dewa Tuak berkelebat pergi. Disusul oleh Lor Gambir Seta.
"Tunggu
dulu!" seru Wiro. Tapi kedua tokoh itu sudah lenyap.
Wiro
garuk-garuk kepala. Perlahan-Lahan dia melangkah ke ruangan sebelah. Ruangan
itu di tutup oleh sebuah pintu. Wiro membuka daun pintu. Begitu pintu terbuka
berpekikkanlah keenam belas gadis cantik tanpa pakaian di dalam sana. Kalau
sebelumnya mereka tidak merasa malu sama sekali, setelah Sonya mati dan ilmu
silumannya sirna, maka kini setelah kesadarannya pulih, gadis-gadis itu jadi
kalang kabut. Mereka berusaha menutupi aurat masing-masing dengan kedua tangan.
Tentu saja mereka tak dapat menyembunyikan banyak. Wiro menutup pintu dan
kembali ke ruangan semula. Dia memandang pada tokoh-tokoh silat golongan putih
yang masih di situ.
"Dengar,
kita butuh pakaian untuk gadis-gadis itu…" kata Wiro.
Seorang
lelaki bermuka putih maju. Dia bukan lain adalah Akik Mapel alias Malaikat
Berambut Kelabu.
"Pendekar,"
katanya, "Di bawah ruangan ini ada sebuah gudang. Sonya menyimpan segala
macam barang di situ, termasuk pakaian gadis-gadis itu. Aku akan segera
mengambilnya."
"Cepatlah
agar gadis-gadis itu tidak kedinginan," kata Wiro pula.
Akik
Mapel menekan sebuah tombol rahasia. Lantai ruangan terbuka. Tampak sebuah
tangga menuju ke sebuah ruangan. Orang tua ini segera masuk. Di sini dia
mengambil enam belas potong pakaian perempuan. Ketika hendak keluar kepalanya
membentur sesuatu. Mendongak ke atas dilihatnya burung Nuri Merah dalam sangkar
tulang. Akik Mapel tahu betul binatang ini adalah peliharaan kesayangan Sonya.
Tak dapat membalas dendam terhadap pemiliknya, sebagai gantinya Akik Mapel
membanting sangkar tulang Itu ke lantai dan menginjak mati burung di dalamnya.
Setelah
mengenakan pakaian, enam belas orang gadis itu keluar dari dalam ruangan.
Rata-rata mereka mengucurkan air mata, termasuk Dwiyana, murid Akik Mapel.
Gadis ini kemudian memimpin kawan-kawan senasibnya menghaturkan terima kasih
pada Wiro Sableng.
Pendekar
kita jadi jengah dan sambil garuk-garuk kepala berkata: "Aku tak berani
menerima ucapan terima kasih kalian. Ada orang lain yang lebih pantas
menerimanya. Dialah yang mengatur rencana penyelamatan ini. Orangnya berjuluk
Si Raja Penidur!
Tentu
saja gadis-gadis itu tidak tahu siapa adanya Raja Penidur. Sebaliknya para
tokoh silat yang ada tampak melengak kaget. Mereka tidak menyangka kalau
manusia paling lihay di dunia persilatan itu masih hidup.
"Kalau
begitu sebaiknya kita menyambanginya di tempat kediamannya," mengusulkan
Akik Mapel. Semuanya setuju. Akik Mapel memimpin jalan, diikuti para tokoh
silat, lalu Wiro Sableng yang diapit oleh keenam belas dara-dara cantik itu.
Dia berjalan sambil senyum-senyum.
"Eh,
ada apakah?" berpaling Akik Mapel.
"Ah,
kalian orang-orang tua jalan terus sajalah. Biarkan kami orang-orang muda
berjalan di belakang sini seenaknya," jawab Wiro Sableng.
Akik
Mapel hanya bisa angkat bahu. Yang lain-lainnya mengulum senyum. Dan mereka
berjalan terus. Teluk Gonggo semakin jauh di belakang mereka.
TAMAT
No comments:
Post a Comment