Neraka
Puncak Lawu
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
SAAT ITU
MEMASUKI permulaan musim semi. Pohon-pohon yang dulu gundul tak berdaun kini
kelihatan mulai menghijau segar kembali. Dibagian barat daratan Madiun yang
leas menjulanglah pegunungan gunung Lawu dengan lebih dari setengah lusin
puncakpuncaknya yang tinggi. Sebegitu jauh hanya satu dua saja dari puncak
pegunungan ini yang pernah diinjak kaki manusia.
Pegunungan
Lawu membujur dari barat ke timur. Diapit disebelah utara oleh daerah Gondang
dan pegunungan Kendeng. Disebelah selatan terletak daerah Jatisrana, Purwantara
dan pegunungan Kidul serta dataran tinggi Tawangmangu. Pegunungan Lawu bukan
saja dikenal sebagai sebuah pegunungan terbesar di Madiun, namun juga merupakan
pusat satu partai silat terkenal dan disegani pada masa itu yakni partai Lawu
Megah.
Sejak
Resi Kumbara mengundurkan diri lima tahun yang lalu maka tampuk jabatan ketua
dipegang oleh adiknya yang juga merupakan adiknya seperguruan Resi Tumbal Soka.
Adapun pengunduran diri Resi Kumbara, selain usianya yang sudah amat lanjut
yakni hampir mencapai 100 tahun, paderi ini sudah jemu dengan segala macam
urusan partai yang menyangkut 1001 macam masalah keduniaan.
Kalau
Resi Kumbara dulu sempat dan berhasil mengangkat nama partai Lawu Megah menjadi
satu partai besar yang dihormati dan disegani, maka agaknya tidak demikian
dengan Resi Tumbal Soka. Sejak dia memegang jabatan ketua, banyak
perobahan-perobahan yang dilakukannya di dalam partai. Keluarpun dia kurang
mendapat tempat yang baik karena tindakan-tindakannya yang tidak tepat.
Akibatnya partai Lawu Megah pernah berselisih faham dengan partai-partai
silat-besar lainnya. Bahkan satu telah terjadi bentrokan yang membawa korban
dengan partai Merapi Indah. Beberapa orang paderi tua pernah menemui Resi
Kumbara di ruangan samadinya. Mereka melaporkan keadaan di dalam dan di luar
partai dan meminta agar Resi Kumbara suka memegang jabatan ketua kembali.
Sekurang-kurangnya untuk sementara sampai kemendungan selama ini bisa
dipulihkan.
Cuma
sayang Resi Kumbara menolak. Orang tua ini berkata, "Apa yang sudah
kuserahkan pada orang lain tak boleh kuminta kembali. Demikian juga dengan
jabatan ketua partai. Adik-adikku, sebenarnya kalian datang ke alamat yang
salah. Bukan aku yang harus kalian temui, tapi kakak kalian, Resi Tumbal Soka.
Bukankah kalian bisa berembuk dengan dia? Bukankah kalian pembantu-pembantunya?
Temui dia dan carilah jalan yang sebaik-baiknya. Cuma satu hal aku ingin
tekankan. Aku tidak suka melihat adanya keretakan di antara kalian. Tak ada
yang paling baik dari pada musyawarah danpersatuan. Nah, sekarang kalian
pergilah. Aku tak ingin diganggu lebih lama."
Kelanjutannya
tak ada seorangpun diantara paderi-paderi tua itu yang menemui Resi Tumbal
Soka. Mereka tahu sifat ketua mereka ini. Selain mempunyai pribadi yang tertutup,
juga sulit untuk diajak berunding. Dia merasa bahwa hitam putih segala
sesuatunya dalam partai adalah di tangannya. Dia bisa saja mendengarkan
pendapatpendapat para pembantunya, namun apa maunya juga yang kelak akan
dijalankan. Akibatnya dalam tubuh para pimpinan partai terjadi
kelompok-kelompok yang saling bertolak belakang.
Kelompok
pertama dipimpin oleh Resi Permana yang ingin melihat partai Lawu Megah kembali
seperti masa sewaktu dipimpin oleh Resi Kumbara. Kukuh di dalam dan mempunyai
hubungan baik diluar dalam kalangan persilatan.
Kelompok
kedua dipimpin oleh Resi Godra. Ketidaksenangan paderi ini terhadap ketuanya
lebih banyak ditimbulkan oleh hal-hal pribadi. Sesudah Resi Kumbara
mengundurkan diri maka dengan usianya yang sudah 90 tahun paderi Resi Godra
merupakan orang yang paling tua di partai Lawu Megah. Dengan sendirinya dia
merasa mempunyai hak untuk menduduki jabatan ketua. Namun dia menjadi kecewa
sekati ketika jabatan itu diserahkan pada Resi Tumbal Soka, padahal paderi ini
10 tahun lebih muda dari dia. Rupanya sang ketua yang lama lebih mementingkan
hubungan darah Resi Tumbal Soka adik kandung Resi Kumbara dari pada tata cara
yang berlaku. Ditambah dengan sikap dan salah urus dari Resi Tumbal Soka, maka
semakin tidak sukalah paderi yang satu ini terhadap ketuanya itu. Kelompok
ketiga ialah kelompok Resi Tumbal Soka sendiri bersama pendukungpendukungnya.
Meskipun di luaran paderi tiga kelompok tersebut masih menunjukkan sikap rukun
dan saling hormat, namun diam-diam laksana api dalam sekam mereka saling
bertentangan.
Pada pagi
hari itu hujan rintik-rintik turun di puncak gunung Lawu. Menyaksikan keadaan
puncak ini nyatalah bahwa ada satu peristiwa besar tengah terjadi di pusat
partai terkenal ini. Para pucuk pimpinan dan anak-anak murid partai semua
berkumpul disebuah lapangan besar. Pada tengah-tengah lapangan ini berdiri
sebuah tiang kayu setinggi tiga meter, lengkap dengan seutas tambang besar.
Salah satu ujung tambang ini dibuhul demikian rupa membentuk lingkaran sedang
ujungnya yang lain terikat kukuh pada palang kayu diatas tiang. Sebuah kursi
terletak dekat tiang itu. Sekali memandang saja jelaslah bahwa benda-benda itu
dipersiapkan untuk menggantung seseorang! Sejak berdirinya Partai Lawu Megah
hampir 200 tahun yang silam, tak pernah hal seperti ini berlangsung. Baru waktu
Resi Tumbal Soka menjabat ketualah peristiwa ini terjadi. Gerangan siapakah
yang hendak digantung pada pagi hari itu?
Ketua
partai berdiri bersama pembantu-pembantunya sekitar dua puluh langkah sebelah
kanan tiang gantungan. Disamping Resi Tumbal Soka tegak seorang dara berpakaian
biru. Rambutnya kusut dan wajahnya yang cantik kelihatan mendung.
Sebentar-sebentar dia pergunakan sehelai sapu tangan untuk menyapu air mata
yang jatuh membasahi pipinya.
"Sularwasih!
Hentikan tangismu! Mana ketabahan hatimu sebagai seorang murid Partai Lawu
Megah?" Resi Tumbal Soka berkata pada gadis berpakaian biru. Gadis ini
adalah murid kesayangannya.
"Guru,kalau
guru mengizinkan, murid lebih suka mati bunuh diri saat ini juga… "
Sularwasih
tiba-tiba menyahut dengan suara parau.
"Jangan
ngacol" Ketua Partai Lawu Megah kelihatan marah. "Bukan kau yang
harus mati, tapi bangsat terkutuk itu! Kau akan saksikan sendiri kematiannya di
tiang gantungan sebentar lagi!"
Resi
‘Tumbal Soka memandang berkeliling kemudian berseru, "Bawa pemuda laknat
itu ke tiang gantungan!"
Suara
teriakan sang ketua yang disertai hawa amarah den tenaga dalam amat tinggi
laksana geledek menggetari seantero puncak gunung Lawu. Bila getaran teriakan
itu sirna, kesunyian mencengkam menegangkan. Dari arah rumah besar kelihatan
seorang pemuda berkulit coklat keluar digiring oleh dua orang anak murid partai
tingkat tertinggi.
Di
sebelah depannya mendahului seorang Resi. Pemuda berkulit coklat itu, memiliki
rambut gondrong sampai ke bahu. Kedua tangannya diikat di sebelah belakang
dengan sehelai benang aneh yang bagaimanapun diusahakannya tak sanggup
diputuskan. Tampangnya tolol, tapi sikapnya gagah bahkan dia melangkah cengar
cenqir. Seolah-olah tengah dalam perjalanan ke satu tempat yang bagus, bukan
tengah menuju ke tiang gantungan yang telah disediakan untuk dirinya!
Murid-murid
partai berkerumun di sebelah timur menyeruak memberi jalan. Pemuda asing den
pengiringnya sampai di depan tiang gantungan. Ketegangan semakin memuncak.
Kesunyian tambah tidak enak. Resi Tumbal Soka menganggukkan kepala pada paderi
yang menyertai pemuda berambut gondrong itu. Dan sang paderi lantas membalikkan
diri, berpaling pada si pemuda.
"Orang
asing yang mengaku bernama Wiro Sableng!" katanya dengan suara lantang
hingga terdengar ke segenap penjuru. "Kami orang-orang Partai Lawu Megah
masih bersedia memberikan sedikit kelonggaran padamu sebelum kau menjalani
hukuman mati di tiang gantungan . . . ."
Tawanan
yang hendak dihukum mati itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng,
murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede yang sejak beberapa tahun belakangan
ini bertualang di daratan Tiongkok. Wiro tersenyum mendengar ucapan paderi itu.
"Terima
kasih. Kelonggaran apakah yang kalian hendak berikan padaku…?!"
bertanya
Wiro acuh tak acuh tanpa memandang pada paderi yang tadi berkata padanya.
"Sebelum
menjalani hukuman mati kau diperkenankan mengajukan satu permintaan atau
menyampaikan pesan terakhir."
Kembali
Wiro Sableng tertawa cengar cengir.
"Aku
tak punya karib kerabat apa lagi sanak saudara disini. Pesan apa dan kepada
siapa pula aku kusampaikan… ?"
"Kalau
begitu permintaan terakhir saja," kata paderi itu.
"Permintaan
terakhir . . . ?" Wiro kerenyitkan kening. "Kalian sudah memutuskan
untuk membunuhku secara biadab, kini kenapa meributkan segala soal tetek bengek
begini rupa. Gantung saja aku detik ini juga habis perkara!"
Mendengar
kata-kata Wiro itu, Resi Tumbal Soka menjadi marah wajahnya dan berkata
lantang, "Kau dihukum gantung secara biadab karena kau telah melakukan
kekejian yang biadab! Itu sudah pantas menjadi bagianmu! Jika kau tidak ada
kata-kata atau permintaan terakhir, itu lebih baik. Kau akan lebih cepat kami
singkirkan dari puncak Gunung Lawu ini!"
"Resi
Tumbal Soka, mulut dan pendapat manusia itu tidak selamanya bisa dijadikan
hakim yang adil. Kudengarkan kau banyak melakukan hal-hal yang sembrono sebagai
ketua partai. Itu sebabnya ada yang tidak menyukaimu di pihak orang dalam
sendiri dan juga di dunia persilatan!" Habis berkata begitu Wiro tertawa
mengekeh.
Marahlah
ketua Partai Lawu Megah. Dia berteriak, "Gantung dia sekarang juga!"
Diam-diam
dingin juga tengkuk Pendekar 212 dan bergetar juga dadanya. Ketika bahulan tali
hendak dilingkarkan ke lehernya lewat kepala, tiba-tiba dia berteriak,
"Tunggu dulul Aku ingin mengajukan satu permintaan terakhir!"
"Kurang
ajar! Lekas katakan apa permintaanmu!" teriak Resi Tumbal Soka jengkel dan
marah sekali. Dia memberi isyarat. Paderi yang hendak menjeratkan tali ke leher
Wiro menurunkan tangannya kembali.
Sepasang
mata Wiro Sableng bergerak ke arah gadis berpakaian biru yang masih sibuk
menyeka air matanya. Dia goyangkan kepalanya pada gadis ini seraya berkata:
"Aku ingin bicara dengan gadis itu!"
Semua
orang saling pandang. Tentu saja mereka tidak menduga sang tawanan akan
mengajukan permintaan demikian. Semua orang memandang pada Resi Tumbal Soka,
menunggu keputusannya. Ketua partai ini sendiri kelihatan bergerak-gerak
pelipisnya. Dia berusaha menekan amarahnya dan kemudian berkata, "Kau kami
beri kesempatan untuk bicara dengan gadis itu. Tapi cepat dan singkat!"
"Adik,
kau kemarilah mendekat!." Wiro berseru.
Sularwasih
memandang melotot. Mulutnya terbuka, "Manusia terkutuk! Aku tidak sudi
bicara denganmu!"
*****************
2
SEPASANG
ALIS MATA Wiro Sableng naik ke atas. Keningnya mengerenyit.
"Jika
kau tak mau bicara denganku, berarti kelak kau bakal penasaran seumur
hidup," kata pendekar itu pula.
"Kaulah
yang bakal jadi setan penasaran!" teriak Sularwasih.
"Sularwasih,
kita harus memenuhi apa yang telah kita janjikan. Kau harus dengar apa yang
dikatakannya," ujar Resi Tumbal Soka, lalu berpaling pada Wiro.
"Katakan lekas apa yang ingin kau sampaikan padanya!"
"Apakah
dia tidak boleh maju lebih dekat ke hadapanku?" tanya Wiro.
"Muridku,
kau majulah sampai tiga langkah dari hadapannya," kata Resi Tumbal Soka.
Karena
diperintah gurunya, meskipun hati kecilnya membantah namun dia tak berani
menolak. Sularwasih melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
"Sekarang
bicaralah!" seru ketua Partai Lawu Megah tak sabaran karena dilihatnya
Wiro masih cengar-cengir.
"Adik,
kau, cantik sekali jika menangis begini. Kedua pipimu jadi merah! "
Katakata itu diucapkan oleh Wiro setengah berbisik hingga cuma nona Sularwasih
saja yang dapat mendengarnya. Dan si nona justru tiba-tiba menggerakkan tangan
kanannya.
"Plak!"
Satu
tamparan mendarat pipi Wiro. Demikian kerasnya hingga bibirnya luka dan
mengeluarkan darah. Selagi semua orang tercengang-cengang melihat kejadian itu,
Wiro kembali membuka mulut, "Nona Sularwasih, aku bersumpah bahwa aku sama
sekali tidak merusak kehormatanmu. Seorang lain yang melakukannya dan aku yang
jadi kambing hitamnya!" Kata-kata ini diucapkan Wiro dengan suara keras
hingga semua orang mendengar.
"Muridku,
kembali ke tempatmu semula!" terdengar seruan paderi Resi Tumbal Soka.
Sesaat
Sularwasih masih tegak menatap tajam pada Wiro Sableng. Entah tertegun dalam
kemarahannya, entah terpukau dalam ketidakpercayaannya atas pengakuan pemuda
berambut gondrong itu. Kemudian sadar akan kata-kata suhunya, gadis ini melangkah
, mundur, kembali ke tempat semula.
"Laksanakan
hukuman sekarang juga!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka.
Maka tali
penggantung dilingkarkan ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua orang murid
partai dengan paksa dan susah payah menaikkan pemuda itu ke atas kursi. Mereka
kemudian memegangi tawanan itu agar jangan berontak. Selagi perintah untuk
menyingkirkan kursi yang dipijak Wiro ditunggu, tiba-tiba dalam kesunyian yang
amat menegangkan itu terdengarlah suara nyanyian yang amat santar. Demikian
santarnya sehingga semua orang yang ada di situ termasuk Resi Tumbal Soka dan
para pimpinan partai lawu megah yang berkepandaian tinggi merasa liang telinga
masing bergetar!
Semakin
tinggi mendaki puncak Gunung Lawu
Semakin
indah permai pemandangan
Semakin
sembrono tindakan seorang pimpinan
Semakin
jauhlah dia tersesat dalam aturan dunia persilatan
Keadilan
sejati tidak ada di muka bumi ini
Hukum
yang benar jarang ditemui
Semua
orang bisa jadi hakim
Tapi
tidak semua orang bisa menghakimi tindakan diri sendiri.
Kata-kata
dalam nyanyian itu membuat paras Resi Tumbal Soka berobah. Dia berpaling ke
arah timur. Baru saja dia putar kepalanya, tahu-tahu sesosok tubuh laksana
bayangan kilat telah berkelebat di depan tiang gantungan. Seorang kakek-kakek
kini kelihatan berdiri di situ. Mukanya demikian kurus hingga hampir menyerupai
tengkorak hidup! Tubuhnya pun luar biasa kurusnya hingga kelihatan seperti
jerangkong.
Melihat
kakek-kakek ini Wiro berseru keras. "Pendekar Pedang Akhirat! Kakek, aku
yang hendak dihukum mati ini rupanya masih diberi kesempatan untuk menghaturkan
hormat danmengucapkan selamat tinggal padamu. Apakah kau selama ini baik-baik
saja?"
Ternyata
kakek yang datang ini adalah pendekar yang telah menggetarkan dunia persilatan
selama puluhah tahun, yang beberapa waktu lalu pernah diselamatkan Wiro Sableng
dari satu lobang sekapan yang hampir merenggutkan nyawanya. Pendekar Pedang
Akhirat mendongak pada Wiro yang tegak di atas kursi. Lalu tertawa gelak-gelak.
"Selama ini aku ada baik-baik saja, sobatku. Tampaknya kau sendiri tidak
berada dalam keadaan baik-baik heh? Nasibmu sungguh malang harus mampus di
tiang gantungan."
Wiro
menyeringai kecut.
Si kakek
kemudian celengak-celenguk seputar pedataran yang penuh oleh para pimpinan dan
murid-murid Partai Lawu Megah. Kemudian pandangannya tertumbuk. Dia tertawa dan
menjura lalu berkata:
"Ah
sobatku Resi Tumbal Soka ,Sudah hampir empat puluh tahun sejak aku penghabisan
sekali menginjakkan kaki di puncak Gunung Lawu ini dulu. Ternyata kini banyak
perubahan. Ada apakah sebenarnya saat ini di sini, sobatku?"
Sesaat
Resi Tumbal Megah masih berdiam diri. Terkesiap oleh kedatangan si kakek yang
tidak diduganya, yang ternyata mengenal tahanan yang hendak digantung. Kemudian
dia ingat dan buru-buru balas menjura.
"Selamat
datang di Partai Tumbal Soka, sobatku Pendekar Besar Pedang Akhirat."
"Hai,
julukanku hanya Pendekar Pedang Akhirat, tak perlu ditambah dengan kata
Besar!" Dan ini membuat wajah Resi Tumbal Soka menjadi bersemu merah.
Paderipaderi yang lain tak berani membuka mulut, bahkan bergerak dari tempat
masingmasing pun tampaknya mereka takut. Semuanya tahu siapa adanya kakek
bermuka tengkorak ini. Seorang tokoh silat yang sampai hari itu masih dianggap
sebagai datuknya orang persilatan. Yang ilmu kepandaiannya sukar dijajagi.
Bahkan Resi Kumbara yang sudah mengundurkan diri belum tentu setingkat
kepandaiannya dengan kakek jerangkong ini. Apa lagi jika dibandingkan dengan
Resi Tumbal Soka.
"Eh,
aku tidak melihat sobat lamaku paderi Resi Kumbara..!" tiba-tiba Pendekar
Pedang Akhirat berseru lagi dan memandang celangak-celinguk kian kemari dengan
sikap lucu, tapi tak satu orang pun berani tertawa, kecuali murid Eyang Sinto
Gendeng yang terus-terusan saja cengar-cengir.
"Kakakku
itu sudah mengundurkan diri dari segala urusan partai. Akulah kini yang menjadi
ketua Partai Lawu Megah," menyahuti Resi Tumbal Soka.
"Oh,
begitu? Astaga! Kalau begitu aku harus sekali lagi memberi penghormatan!"
Dan
kembali si kakek jerangkong itu menjura. Penghormatan yang sekali ini terasa
satu hinaan halus oleh Resi Tumbal Soka. Tapi dia tak mau memberikan reaksi
apa-apa, cuma wajahnya saja yang kembali kelihatan bertambah merah.
"Betul-betul
banyak perubahan di puncak Gunung Lawu ini," kata Pendekar Pedang Akhirat
sambil geleng-gelengkan kepalanya. "Hai! Sobatku Resi Tumbal Soka, kau
belum jawab pertanyaanku tadi. Ada apakah ramai-ramai di sini?"
"Seperti
kau seksikan sendiri. Pemuda asing itu akan menjalani hukuman mati. Menilik
gelagat kakek,gagah sebelumnya sudah kenal padanya!"
"Betul,
aku memang kenal padanya. Tapi kenapakah dia hendak digantung?" ia
bertanya.
"Dia
telah merusak kehormatan salah seorang murid gunung Lawu," jawab Resi
Tumbal Soka seraya goyangkan kepalanya ke arah Sularwasih.
"Aha..!
Ini betul-betul urusan kapiran!" Eh Wiro, betulkah kau telah memperkosa
nona itu?!" Sepasang mata si kakek menyorot tajam laksana menembus batok
kepala Pendekar 212.
Wiro
gelengkan kepala. "Aku bersumpah tidak melakukannya, kakek. Tapi mereka
tidak percaya. Jika saja anuku ini bisa bicara pasti dia akan mengatakan
tidak!"
Pendekar
Pedang Akhirat tertawa gelak-gelak.
"Jika
saja anumu itu bisa bisa bicara! Hik..hik…. hik! Cuma sayang anumu tidak bisa
bicara heh! Tapi betul kau tidak mengganggu gadis itu? Maksudku
memperkosanya?"
"Demi
Tuhan tidak."
Si kakek
mengangguk. "Aku percaya pada sumpahmu," kata kakek itu. Lalu
berpaling pada ketua partai. "Dia sudah bersumpah. Bagaimana ini?"
"Siapa
sudi percaya sumpahnya. Mana ada maling yang mengaku."
"Tapi
dia bukan maling."
"Penjahat
keji terkutuk. Itu lebih pantas bukan?"
Si kakek
tertawa. "Setahuku pemuda sobatku ini tak pernah mencari perempuan. Justru
perempuanlah yang pada mencarinya."
"Kakek
gagah, apa dalam hal ini kau hendak mengatakan bahwa muridkulah yang sengaja
menyerahkan dirinya pada pemuda bajingan itu?!" kata paderi Tumbal Soka
dengan nada keras.
"Ooo,
tentu saja tidak," sahut kakek muka tengkorak. "Tapi aku tak percaya
kalau sobatku ini telah memperkosa muridmu yang cantik itu."
"Itu
urusanmu. Di sini kami melaksanakan urusan kami. Menjatuhkan hukuman lengkap
dengan bukti-bukti dan saksi!" kata Resi Tumbal Soka pula.
"Hemm
begitu? Bolehkah aku mengetahui bukti atau mendengar saksi itu?"
Resi
Tumbal Soka mengkal sekali. Tapi dia menganggukkan kepala pada seorang pemuda
bertampang keren yang tegak di samping Sularwasih. "Berikan kesaksianmu
padanya!"
"Waktu
itu!" si pemuda yang merupakan seorang murid partai tingkat tertinggi,
mulai memberi keterangan tapi buru-buru dipotong oleh kakek muka tengkorak.
"Tunggu,
beritahu dulu namamu!"
"Saya
bernama Tandu Wiryo," jawab si pemuda lalu mulai mengulangi keterangannya.
"Waktu itu saya dan adik seperguruan ini tengah menjalankan tugas dari
ketua. Suatu malam dalam perjalanan pulang kami menginap di sebuah penginapan.
Di situ sebelumnya telah menginap pula pemuda itu. Selagi kami mendaftar, saya
saksikan sendiri dia mengedip-ngedipkan matanya mengganggu adik. Semula adik
hendak menghajarnya, tapi saya larang karena menganggap pemuda itu berotak
miring. Malam hari itu saya ke luar sendirian, maksudnya untuk melihat-lihat
kota. Ketika kembali pada tengah malam, saya temui adik menangis di dalam
kamarnya. Ternyata peristiwa keji itu telah terjadi. Saya mengadakan
penyelidikan. Di dalam kamar adik saya temukan sebuah kancing baju. Ketika dicocokkan,
persis sama dengan kancing baju pemuda asing itu!"
"Mana
kancing baju itu sekarang?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
Tandu
Wiryo mengeluarkan sebuah kancing baju dari dalam saku pakaiannya. Si kakek
mengamatinya dengan teliti. Ketika dia berpaling memperhatikan pakaian Wiro,
ternyata memang kancing itu sama dengan kancing pakaian si pemuda. Dan salah
satu dari kancing-kancing tersebut tanggal, tak ada lagi di tempatnya!
*****************
3
PENDEKAR
Peciang Akhirat termenung sesaat. Kemudian dia berpaling pada Sularwasih dan
bertanya, "Sewaktu hal itu terjadi apakah kamarmu terang benderang?"
Yang
menjawab adalah Tandu Wiryo, "Sesuai dengan kebiasaannya, adik
seperguruanku selalu tidur dengan lampu dipadamkan."
"Bagaimana
kau bisa tahu kebiasaan adik seperguruanmu itu?" tanya Pendekar Pedang
Akhirat pula.
Tak
menduga ditanya demikian. Tandu Wiryo jadi terkesiap diam. Saat itu Resi Tumbal
Soka membuka mulut, "Kakek gagah, aku tidak suka akan tanya jawab ini. Kau
seolah-olah sebagai seorang penyelidik. Sebagai seorang pembela. Jika kau ingin
menyaksikan pelaksanaan hukum gantung ini, silahkan. Jika tidak,"
"Supaya
aku angkat kaki dari sini?!" meneruskan kakek muka tengkorak sambil
tersenyum. "Tidak, sebelum persoalannya jelas begitu, aku tak akan pergi
dari sini!" Si kakek lalu berpaling pada Tandu Wiryo. "Orang muda,
katakan padaku kota dan penginapan di mana peristiwa itu terjadi."
Tandu
Wiryo tidak segera menjawab sedang parasnya menunjukkan rasa tidak enak. Dia
menoleh pada Resi Tumbal Soka dan baru berkata, "Tanpa izin ketua aku tak
akan mau menjawab."
"Beritahukan
saja padanya biar dia puas," ujar sang ketua pula.
"Penginapan
Candi di Muntilan," Tandu Wiryo memberitahu.
"Kakek
gagah, apakah kau puas sekarang?" tanya Resi Tunggal Soka.
"Puas.
Tapi jadi tidak puas bila hukuman ini dilangsungkan!"
"Apa
maksudmu?" tanya sang ketua partai seraya memandang tajam pada kakek muka
tengkorak."
"Puluhan
tahun aku hidup dalam dunia persilatan, tak pernah kejadian orang digantung
karena urusan begini rupa. Apalagi sampai dilakukan oleh satu partai besar.
Mungkin perbuatan itu terkutuk dan keji. Tapi menggantungnya lebih terkutuk dan
lebih keji. Jika betul kau yakin pemuda asing ini salah, kenapa tidak
dilaksanakan saja pelaksanaan hukuman lewat perkelahian antara dia dengan
muridmu ….?!"
"Kau
bicara seenaknya saja, kakek gagah. Kau tahu, untuk menangkap pemuda keparat
itu kami membutuhkan selusin murid-murid tingkat tertinggi, enam orang paderi
utama dan membutuhkan waktu setengah hari!"
"Memang
serba berabe," kata Pendekar Pedang Akhirat seraya usap-usap keningnya.
"Tapi
akan lebih berabe lagi jika hukuman gantung itu dilaksanakan. Nama partai Lawu Megah
akan lebih cemar di dunia persilatan."
"Persetan
dengan orang luar. Kami membuat sendiri dan menjalankan sendiri aturan partai
kami!" tukas Resi Tumbal Soka.
"Sekarang
bagusnya begini saja," kata si kakek pula. "Serahkan pemuda ini
padaku.
Jika
nanti memang terbukti dia yang melakukan perbuatan keji itu, aku sendiri yang
bakal menghukumnya!"
Resi
Tumbal Soka tertawa sinis.
"Dalam
persoalan ini kau adalah orang luar, kakek gagah. Kedatanganmu ke sini pun
tidak kami undang."
"Kalau
begitu biar aku pergi tanpa undangan pula dan harus bersama pemuda sobatku
ini!"
Resi
Tumbal Soka hilang sabarnya. Dengan nada keras dia berkata, "Kakek gagah,
nama besarmu kami hormati. Harap kau juga menghormati kami. Kalau tidak
terpaksa kami berlaku tidak pada tempatnya terhadapmu!"
"Nah….
nah! Sekarang kau rupanya menantangku di sarang sendiri dan mengandalkan jumlah
banyak! Bagus …. bagus! Itu lebih baik. Mari kita main-main barang sepuluh dua
puluh jurus. Jika aku kalah kau boleh gantung aku bersama sama pemuda itu. Tapi
sebaliknya jika kau kalah, pemuda itu harus kau serahkan padaku.
Nah itu
adil sekali bukan?!"
Resi
Tumbal Soka sampai bergemeletukkan gerahamnya saking marah mendengar ucapan
Pendekar Pedang Akhirat itu. Jika lain orang yang berkata demikian tanpa banyak
tanya lagi pasti dilabraknya. Namun dia menyadari kalau Pendekar Pedang Akhirat
yang bertampang angker itu bukan tandingannya. Jangankan dia, kakaknya sendiri
belum tentu mampu menghadapi tokoh-tokoh persilatan nomor satu ini. Untuk tidak
memperlihatkan rasa jerihnya, dengan seringai mengejek dia berkata,
"Sayang Partai Lawu Megah sedang melaksanakan urusan besar. Di lain
kesempatan jangankan baru sepuluh dua puluh jurus. Sampai seribu jurus pun aku
tak keberatan melayanimu!"
Pendekar
Pedang Akhirat tertawa jumawa dan menjawab, "Kalau kau merasa ragu untuk
maju sendirian, boleh saja mengajak beberapa paderi pembantumu."
"Kalau
bicara jangan keterlaluan memandang rendah diriku!" kata Resi Tumbal Soka
marah sekali. Mukanya merah padam. "Kami harap kau segera meninggalkan
tempat ini!"
Kemudian
tanpa mengacuhkan lagi kakek muka angker itu Resi Tumbal Soka berpaling ke arah
tiang gantungan dan berteriak, "Laksanakan penggantungan!"
Seorang
paderi segera gerakkan kakinya untuk menendang kursi dimana Wiro tegak. Namun
sebelum kakinya menyentuh kursi tahu-tahu tubuhnya sudah tegang kaku hingga dia
tegak dalam keadaan seperti orang sedang menari. Jika semua orang merasa kaget
maka Pendekar Pedang Akbirat tertawa gelak-gelak. Resi Tumbal Soka memaki dalam
hati setengah mati. Dia yang berkepandaian demikian tinggi tidak melihat kapan
si kakek menggerakkan tangan mengirimkan totokan jarak jauh yang amat lihay
hingga tubuh paderi pembantunya serta-merta menjadi kaku!
"Itu
cuma sekedar peringatan saja bagi kalian semua yang ada di sini. Sekali lagi
ada yang berani turun tangan terhadap sahabatku pemuda asing itu aku tak
segan-segan menurunkan tangan jahat!" memperingatkan Pendekar Pedang
Akhirat.
"Kakek,
kau betul-betul berani mencampuri urusan partai kamil Apa kau kira kami takut
terhadap jerangkong busuk macammu?" teriak Resi Tumbal Soka yang sudah
sampai pada puncak amarah dan kesabarannya. Sambil melangkah maju dia kibaskan
lengan jubahnya. Serta-merta buyarlah totokan pada tubuh paderi yang tadi
hendak menendang kursi. Tetapi di saat yang sama Pendekar Pedang Akhirat sudah
berkelebat. Demikian cepat gerakannya hingga di lain kejap semua orang
menyaksikan Wiro Sableng tak ada lagi di atas kursi dan kini tegak di samping
si kakek. Keduanya tertawa cengar-cengir.
"Kalian
semua dengar!" teriak Pendekar Pedang Akhirat dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya hingga puncak gunung Lawu itu laksana disambar geledek.
"Aku
akan tinggalkan tempat ini bersama sobatku si gondrong ini. Aku tak ingin
membuat kerusuhan dengan kalian orang-orang Partai Lawu Megah, apalagi sampai
timbul bentrokan kekerasan. Karenanya biarkan kami pergi dengan aman!"
"Mana
bisa demikian, manusia muka setan! Kau telah mengacau di sini. Telah
melontarkan hina-hinaan. Dan menculik tawanan yang hendak dihukum gantung!
Tinggalkan
pemuda itu atau kaupun akan kami gantung di puncak Lawu ini!"
"Kalau
begitu sama-sama kita lihat apa yang akan terjadi," sahut Pendekar Pedang
Akhirat pula. Dia bergerak memanggul tubuh Pendekar 212 karena memaklumi pemuda
itu tak bakal bisa lari cepat dengan tangan terikat ke belakang. Saat itu Resi
Tumbal Soka memberi isyarat. Dua belas paderi-paderi utama dan puluhan murid
partai klas wahid segera mengurung kakek itu. Melihat ini Wiro Sableng berbisik
ke telinga Pendekar Pedang Akherat, "Lekas kau putuskan benang yang
mengikat lenganku. Kau tak bakal bisa menghadapi mereka sebanyak ini meskipun
ilmumu selangit."
"Huss,
kau diam sajalah. Siapa pun takut menghadapi mereka. Benang sialan yang
mengikat tanganmu itu tak mungkin kulepaskan. Tak ada satu orang luar pun yang
sanggup melepaskannya kecuali Resi Tumbal Soka dan kakeknya!"
"Lalu
apakah sampai kiamat aku akan terikat begini rupa?" tanya Wiro setengah
mengeluh.
"Kubilang
kau diam sajalah! Serahkan persoalan padaku. Lihat, orang-orang partai Lawu
mulai menyerang kita!"
Saat itu
atas perintah yang diberikan Resi Tumbal Soka melalui isyarat, beberapa paderi
utama terutama dari kelompok yang mendukung sang ketua telah bergerak menyerang
Pendekar Pedang Akherat dari segala penjuru.
"Hai,
kalian ini betul-betul hendak menyerangku?" teriak si kakek memberi
peringatan yang terakhir.
"Bunuh
keduanya!" yang berteriak adalah Resi Tumbal Soka ketua partai Lawu Megah.
Maka
datanglah sembilan serangan paderi laksana topan prahara. Menghadapi serangan
ini Pendekar Pedang Akherat tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia lenyap dari
kalangan pertempuran. Pihak yang menyerang jadi kaget. Memandang ke atas
ternyata kakek itu sudah mumbul bersama Wiro ke atas. Sembilan angin pukulan
dasyat mengebubu. Kembali si kakek tertawa dan balas memukul ke bawah.
Terdengar seperti gunung meledak sewaktu sembilan pukulan patai Lawu Megah dan
satu pukulan si kakek beradu di udara pada ketinggian dua tombak. Wiro
merasakan tubuhnya dan si kakek terpental, sampai setengah tombak. Sebaliknya
di bawah sana dilihatnya sembilan paderi Lawu berkaparan di tanah jatuh duduk.
Empat diantaranya muntahkan darah segar.
"Kalian
mencari penyakit," teriak Pendekar Pedang Akherat. Diam-diam Wiro memuji
kekuatan tenaga dalam kakek penolongnya ini. Padahal dua tahun yang silam
sepertiga dari tenaga dalamnya pernah dipindahkannya ke tubuhnya yakni sewaktu
Wiro selamatkan kakek ini dari liang batu.
"Kakek
sombong! Kau kira kau dan pemuda terkutuk itu bakal bisa lolos dari sini?"
terdengar
Resi Tumbal Soka berteriak. Dia tutup teriaknya ini dengan menghantamkan lengan
jubahnya ke atas. Memang lengan jubah ini bukan saja merupakan senjata lihai
bagi sang ketua, tetapi juga dipakai untuk melepaskan pukulan tangan kosong
jarak jauh yang disertai aliran tenaga dalam tinggi sekali. Di atas udara,
sambil putar tubuhnya, si kakek balas menghantam. Kembali terdengar ledakan di
pancak gunung Lawu itu. Tubuh si kakek terdorong ke samping sedang di bawah
Resi Tumbal Soka kelihatan pucat wajahnya setelah tubuhnya lebih dulu
bergoncang keras akibat bentrokan tenaga dalam tadi. Memandang ke atas, lawan
dan Wiro Sableng sudah tidak kelihatan lagi. Segera ketua partai Lawu Megah ini
berteriak, "Tutup semua jalan ke luar!"
Para
paderi danmurid-murid partai segera bergerak laksanakan perintah ini.
*****************
4
DENGAN
gerakan cepat laksana kilat dan hampir tak terlihat oleh tokoh-tokoh silat di
puncak gunung Lawu itu Pendekar Pedang Akherat berkelebat mendukung Wiro
Sableng. Keduanya mendekam di balik atap bangunan besar di ujung lapangan.
"Tutup
semua jalan dan geledah seluruh tempat!" terdengar kembali seruan Resi
Tumbal Soka.
"Kakek,
kita tak bisa sembunyi lama-lama di sini," bisik Wiro Sableng pada si
kakek bermuka tengkorak. "Orang-orang itu pasti akan menyelidiki ke mari. Sekali
mereka melihat kita."
"Tamatlah
riwayat kita," menyambung si kakek sambil menyeringai yang membuat
wajahnya tambah buruk dan angker.
"Apa
yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Wiro.
"Kau
tenang sajalah, Wiro. Jangan terlalu kawatir. Rasa takut membuat akal manusia
jadi pendek."
Setelah
meneliti keadaan di bawah sana, Pendekar Pedang Akherat bergerak ke samping
kiri atap, terus hingga dia sampai di halaman belakang yang merupakan sebuah
taman kecil. Di sini dilihatnya dua orang berjaga-jaga. Seorang murid tingkat
tinggi dan seorang lagi paderi utama. Sekali lagi kakek bermuka angker itu
meneliti sekelilingnya. Lalu melompat ke bawah, tepat di atas bahu paderi utama
yang tegak berjaga-jaga di bawah cucuran air.
Buk!
Paderi
itu serta-merta roboh begitu kedua bahunya diinjak sepasang kaki Pendekar
Pedang Akherat. Salah satu tulang belikatnya patah. Dia hendak menjerit, tapi
kaki kanan Wiro yang sedang di panggul itu, telah lebih dulu menutup mulutnya
hingga dia roboh bergedebukan tanpa sempat menjerit.
Suara
jatuhnya paderi ini membuat murid Lawu yang berdiri kira-kira dua tombak dari
sana memutar tubuh dan berseru kaget. Namun seruannya pun tak keluar dari
mulutnya karena sekali Pendekar Pedang Akherat jentikkan jari-jari tangan
kirinya maka tubuhnya menjadi kaku tegang. Keadaannya lucu sekali. Berdiri
dengan satu tangan diangkat ke atas sedang mulut menganga!
Wiro
Sableng hendak tertawa gelak-gelak melihat kejadian ini. Tapi untung lekas
Pendekar Pedang Akherat menotok jalan suaranya.
"Pemuda
geblek! Kau kira kita dalam keadaan senang-senangkah maka kau hendak tertawa
bekakakan?!" desis kakek muka angker itu.
Dari
sebuah gang di antara dua hangunan pada samping kiri taman terdengar suara
banyak orang mendatangi. Secepat kilat Pendekar Pedang Akhirat berkelebat dari
tempat itu, memasuki sebuah gang lain yang mendaki. Gang ini panjang sekali dan
menuju ke sebuah bangunan berbentuk bundar. Bangunan ini terpisah jauh dari
bangunan-bangunan lainnya. Tanpa ragu-ragu si kakek membawa Wiro masuk ke dalam
bangunan itu.
Di bagian
dalam bangunan ini merupakan satu ruangan bulat yang keseluruhan lantai,
dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu pualam. Ruangan ini diterangi
oleh sebuah lampu kecil. Pada sudut yang agak kelam kelihatan duduk seorang
kakek berpakaian serba putih. Kedua matanya terpejam. Tubuhnya kurus sekali.
Wajahnya kelimis dan kelihatan masih segar untuk usia yang telah mencapai 100
tahun. Mendapatkan orang tengah bersamadi, Pendekar Pedang Akherat agak kecewa.
Namun sebagai manusia yang tahu peradatan, setelah menjura dia lantas duduk
menunggu di sudut lain yang gelap. Di luar didengarnya suara orang berlari kian
kemari diseling oleh suara teriakan aba-aba.
Hampir
dua jam menunggu, kakek kurus yang bersamadi masih saja duduk tak bergerak.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki mendatangi tertangkap oleh telinga
tajam Pendekar Pedang Akhirat. Kakek ini berangsur ke sudut ruangan yang lebih
gelap. Kemudian di ambang pintu kelihatan muncul Resi Tumbal Soka. Karena habis
dari tempat terang sedang sudut-sudut ruangan itu gelap, maka dia hanya dapat
melihat kakek yang duduk bersamadi di belakang lampu. Resi Tumbal Soka sesaat
tampak ragu-ragu dan hendak berbalik. Namun dengan memberanikan diri akhirnya
dia membuka mulut.
"Kakang
Resi Kumbara, mohon maafmu. Apakah kau mendengar seseorang menyelusup ke
ruangan pengasinganmu ini?"
Setelah
ditegur berulang kali, barulah paderi yang tadi bersamadi buka sepasang
matanya. Ternyata dia adalah Resi Kumbara bekas ketua partai Lawu Megah, kakak
Resi Tumbal Soka yang kini berada dalam ruangan pengasingan. Hari demi hari
dilewatinya dengan bersamadi terus-menerus. Diganggu seperti itu tentu saja dia
merasa gusar.
"Tumbal
Soka, apakah kau tidak tahu aturan hingga mengganggu orang yang sedang
bersamadi di ruangan yang tak satu orang lain pun boleh mendekati apalagi
sampai masuk!" Kakek kurus itu menegur. Pandangan matanya tajam sekali
laksana sambaran ujung pedang yang runcing.
"Mohon
maafmu kakang. Adik dan saudara-saudara satu partai tengah menghadapi
kesukaran. Seorang pemuda yang telah merusak kehormatan anak murid partai telah
diculik dan dilarikan oleh tokoh silat Pendekar Pedang Akhirat. Adik telah
menyuruh tutup semua jalan ke luar danmenggeledah seluruh tempat. Tapi kedua
orang itu tidak kutemui. Satu-satunya tempat yang belum diperiksa adalah di
sini."
"Jadi
kau mengira aku menyembunyikan orang-orang itu? Sungguh lancang mulutmu,
adik!"
"Bukan,
adik tidak berprasangka demikian. Cuma siapa tahu selagi kakak bersamadi dia
menyusup dan bersembunyi di sini," kata Resi Tumbal Soka pula.
"Sudahlah,
jangan ganggu aku lebih lama. Aku akan meneruskan samadi. Jika kau niasih
kurang puas silahkan periksa ruangan ini!"
Tanpa
mengacuhkan adiknya Resi Kumbara lantas pejamkan matanya kembali dan lagi
bersamadi. Meskipun telah disuruh melakukan pemeriksaan namun Resi Tumbal Soka
tak berani melaksanakannya. Dia berpikir-pikir talk mungkin kakaknya tidak mengetahui
kalau ada orang yang masuk, sekalipun tengah tenggelam dalam alam samadi.
Setelah merenung sejenak dia lantas tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Resi
Tumbal Soka pergi, dari tempat gelap Pendekar Pedang Akhirat buka suara,
"Terima kasih sobat, kau telah melindungi kami berdua. Budimu tak akan
kulupakan. Apakah kau ikhlas menanam sedikit budi lagi pada kami?"
Terdengar
helaan napas panjang. Kakek yang tadi hendak bersamadi kembali buka kedua
matanya. Sebetulnya dia sudah tahu kalau ada dua orang masuk ke dalam ruangan
tersebut.
"Agaknya
terlalu banyak manusia yang tidak tahu peradaban di dunia ini. Masuk ke rumah
orang tanpa izin sudah menyalahi aturan. Apalagi masuk ke dalam ruangan seperti
ini danmengganggu orang yang bersamadi!"
"Harap
dimaafkan sobatku Resi Kumbara. Semua terjadi karena terpaksa," sahut
Pendekar Pedang Akhirat.
"Siapa
berani berbuat harus berani tanggung jawab. Pendekar Pedang Akhirat Batar
yang
terkenal kawakan menyembunyikan diri di ruangan pengasingan Partai Lawu
Megah
setelah terlebih dulu melakukan pengacauan …. Sungguh lucu!"
"Maaf,
aku sama sekali tidak mengacau. Semula aku datang kemari untuk menyambangimu.
Tahu-tahu di sini terjadi satu hal yang luar biasa. Seorang kawanku hendak
digantung dengan cara biadab. Apa pun kesalahannya mana mungkin aku lepas
tangan."
"Kau
tak berhak mencampuri urusan partai kami."
"Agaknya
sobatku Resi Kumbara tidak tahu jelas persoalannya!"
"Aku
sudah dengar semua apa yang terjadi di luar sana," kata Resi Kumbara pula.
Sungguh
luar biasa pendengaran dedengkot Partai Lawu Megah ini. Meskipun berada di
ruangan pengasingan yang bertembok tebal dan jauh dari lapangan tempat
penggantungan namun dalam samadinya dia sanggup mendengar segala sesuatu yang
berlangsung di luar sana!
"Syukurlah
kalau kau telah mengetahui persoalannya dengan jelas."
"Apakah
kau yakin kalau pemuda kawanmu itu betul-betul tidak berdosa?" Resi
Kumbara bertanya.
"Aku
tahu pribadinya. Namun memang sulit untuk menyatakan padamu kalau dia betul
tidak bersalah."
"Kalau
begitu kau telah turun tangan secara sembrono!"
"Mungkin.
Namun dengan menggantung secara biadab, orang-orang Partai Lawu berarti
melakukan kesembronoan yang lebih besar. Sekarang aku minta padamu agar
menunjukkan jalan keluar bagi kami berdua!"
Resi
Kumbara tertawa perlahan dan elus janggutnya yang menjulai sampai ke dada.
"Pendekar
Pedang Akhirat. Kau telah berani mencampuri dan mengacau urusan orang. Sekarang
kau menemui jalan buntu dan minta tolong padaku. Apa kah tidak malu…. ?"
Kata-kata
Resi Kumbara itu cukup memukul kakek muka tengkorak. Namun sambil tertawa ayem
dia menjawab. "Dalam dunia biasa satu sama lain saling bertolongan. Hari
ini kau menolongku. Lain ketika aku akan ganti menolongmu."
Resi
Kumbara geleng-gelengkan kepalanya. "Tak mungkin kau menolongku. Usiaku
sudah lanjut. Mungkin aku sudah lebih dulu menutup mata sebelum pertolonganmu
datang."
"Turut
pada bicaramu, kiranya kau tidak lebih baik dari adikmu yang tampaknya telah
banyak sesat dalam memimpin partai. Jika kawan satu golongan minta tolong, dan
si penolong mengharapkan balas jasa, sungguh aku tidak mengerti…."
Kini Resi
Kumbaralah yang merasa terpukul.
"Sebetulnya
aku sudah sejak lama tidak mau mencampuri urusan di luaran. Tapi memandang
persahabatan dan nama besarmu coba kau katakan pertolongan apa yang kau
kehendaki. Mungkin aku bias mempertimbangkan."
"Setahuku
di puncak Lawu ini ada jalan rahasia menembus terowongan. Tunjukkan padaku
jalan itu dan aku tak bakal melupakan budi besarmu ini…."
Resi
Kumbara tertawa mendengar kata-kata Pendekar Pedang Akhirat itu. "Rupanya
nyalimu meleleh menghadapi orang-orang Partai? Jika kau takut kenapa berani
berlaku sembrono…. ?"
"Dalam
kamus hidupku tak ada kata takut, sobatku Resi Kumbara. Demi persahabatan dan
memandang namamu serta pimpinan partai lainnya, aku tak mau bentrokan dalam
kekerasan. Harap kau suka mempertimbangkan!"
Bekas
ketua partai Lawu Megah itu merenung sejenak,
"Baiklah,
akan kutunjukkan jalan rahasia itu padamu." kata Resi Kumbara pada
akhirnya.
Pendekar
Pedang Akhirat menjura. "Terima kasihi sobat. Sekarang satu lagi kuminta
budi besarmu!"
"Eh,
kau seperti lintah darat minta tanah. Diberi sejengkal minta sedepa…."
Si Pedang
Akhirat menyengir. "Pertolongan kalau tanggung-tanggung sama saja tidak
tidak menolong bagiku," katanya.
*****************
5
RESI
Kumbara balas tersenyum, "Katakan apa maumu!"
Si kakek
menunjuk pada sepasang lengan Wiro Sableng yang terikat dengan sehelai benang
putih halus.
"Partai
Lawu terkenal dengan ilmu yang aneh-aneh. Aku mengaku tolol tak mampu membuka
atau memutus benang yang mengikat lengan sahabatku itu. Kau tolonglah!"
Resi
Kumbara lagi-lagi tersenyum. Memang benang sutera halus Partai Lawu itu merupakan
salah satu benda aneh dalam dunia persilatan pada masa itu. Tak satu orang luar
pun sanggup memutusnya.
Acuh tak
acuh paderi tua itu cabut selembar janggutnya yang panjang putih lalu memberi
isyarat agar si kakek membawa Wiro Sableng ke dekatnya. Acuh tak acuh pula,
seperti main-main Resi Kumbara selusupkan janggutnya pada celah sempit antara
lengan dan benang yang mengikat. Ketika janggut itu kemudian ditarik maka
putuslah benang aneh yang mengikat kedua tangan Wiro. Mau tak mau si kakek jadi
melongo menyaksikan hal ini. Sebaliknya begitu ikatannya lepas. Wiro gerakkan
tangannya untuk garuk-garuk kepala.
"Hai,
kau ucapkanlah terima kasih pada sahabatku ini!" kata si kakek sambil
tepuk punggung Wiro.
Wiro yang
tahu peradatan buru menjura dan berulang kali mengucapkan terima kasih pada
Resi Kumbara.
"Sekarang
dimanakah pintu terowongan rahasia itu, sobatku?"
"Tunggu
dulu," sahut Resi Kumbara. "Sebelum kalian pergi aku harus punya
jaminan. Tanpa jaminan kalian tak bisa kubiarkan pergi."
"Heh,
jaminan bagaimana maksudmu Resi Kumbara?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Bagaimana
kalau nanti sahabatmu yang gondrong itu ternyata benar-benar telah merusak
kehormatan murid Partai Lawu?"
"Kalau
itu yang kau tanyakan, jika terbukti dia bersalah, aku sendiri yang akan
menghukumnya. Aku sendiri yang akan membawa kepalanya kemari dan kuserahkan
berikut kepalaku sendiri sebagai penebus keteledoranku."
Resi
Kumbara menyeringai.
"Bagaimana
mungkin kau menyerahkan kepalamu padaku karena itu berarti kau sudah
konyol!" tukasnya.
"Jangan
berpura-pura tolol sobatku! Aku akan bunuh diri di hadapanmu. Kau puas?"
Resi
Kumbara menggeleng.
"Perjanjian
jaminan ini hanya kita bertiga yang membuat dan mengetahui, tak ada saksi. Aku
kawatir setelah aku mati duluan dalam usia tua, kalian tidak akan menepati
janji."
"Kami
bukan manusia-manusia yang ingkar janji," Wiro bicara dengan nada kesal.
"Aku
percaya, tapi tetap aku tak dapat menerimanya. Kalian harus meninggalkan
sesuatu. Sesuatu yang kalian anggap berharga."
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala dan saling pandang dengan Pendekar Pedang Akhirat.
"Apakah
aku harus meninggalkan kepalaku saat ini?" tiba-tiba kakek muka tengkorak
itu bertanya.
"Tidak,"
sahut Reni Kumbara. "Saat ini kepalamu itu tidak ada harganya bagi aku dan
partai…."
"Lantas
apa maumu?" tanya Wiro penasaran.
"Sesuatu
yang berharga dan pantas dijadikan jaminan," sahut sang paderi Partai
Lawu.
Wiro
kembali garuk2 kepalanya yang gondrong. Tiba-tiba diambilnya Kapak Naga Geni
212. Begitu senjata ini keluar dari balik pakaiannya maka sinarnya yang
menyilaukan menerangi ruangan yang redup gelap itu. Diam-diam Resi Kumbara
terkesiap juga. Belum pernah dia melihat senjata mustika yang hebat begini rupa
dan aneh pula bentuknya. Sebuah kapak bermata dua bertuliskan angka 212.
"Ini
kau ambillah kakek sebagai jaminan kami berdua. Tapi ingat aku tak ingin
senjata warisan guruku ini rusak atau cacat, apalagi sampai hilang. Kalau itu
sampai terjadi seluruh puncak Lawu ini akan kuterabas sama rata dengan
tanah!" Resi Kumbara tertawa dingin.
"Sejak
ratusan tahun lalu Partai Lawu Megah berdiri sampai hari ini tak ada yang
sanggup melakukan hall itu. Apalagi manusia semacammu yang bukannya terima
kasih setelah menerima budi orang justru malah pergi dengan meninggalkan
ancaman."
Tampang
Pendekar 212 jadi mengelam merah tapi dari mulutnya yang menyeringai keluar
suara siulan.
"Senjata
itu sama nilainya dengan nyawaku, Resi Kumbara. Kalau sampai hari ini belum ada
orang yang sanggup menggusur Partai Lawu Megah, jangan kira di kemudian hari
tak ada yang berani dan bisa melakukannya. Apalagi terhadap sebuah partai yang
kini nyata telah jauh sesat dalam tindak-tanduknya. Dan kau sebagai
dedengkotnya cuma bisa mengoceh, bersamadi yang sama sekali tak ada gunanya
bagi partai dan ketenteraman dunia persilatan. Kau berlepas tangan dengan
berkedok mengasingkan diri, bersamadi dan sudah tak mau ikut campur urusan
dunia luar! Jika tidak ada pendekar tua kawanku ini pasti telah berlangsung
penggantungan biadab terhadap diriku. Dan kau mengetahuinya tapi diam saja. Aku
bukan bangsa manusia yang takut mati jika memang punya salah dan dosa. Aku
mungkin orang tolol, tapi aku bersama kawanku ini mempunyai firasat bahwa
dibalik kekalutan pimpinan di Lawu ini ada tangan-tangan kotor yang hendak
menjadikan aku kambing hitam yang pantas digorok lehernia! Dengan cuma
bersamadi sampai kiamat kau tak bakal dapat melempangkan kembali orang-orangmu
yang telah tersesat. Dan jangan kau takabur Resi Kumbara, dalam keadaan seperti
begini satu tangan jahil yang tak punya kekuatan apa-apa bukan mustahil sanggup
menggusur Partai Lawu. Bagaimana kalau orangorangmu diadu domba? Apa bukan jadi
berantakan nantinya?"
Wiro
Sableng bakal nyerocos terus kalau tidak diberi isyarat kedepan mata oleh
Pendekar Pedang Akhirat. Resi Kumbara sendiri saat itu merah padam wajahnya
yang putih kelimis. Dia hendak membuka mulut tapi si kakek buru-buru
mendahului.
"Sudahlah,
tak ada gunanya kita berdebat saat ini. Lain kali saja kita teruskan obrolan
ini dalam suasana yang lebih tenang sambil makan minum tentunya. Kau sudah
menerima barang jaminan yang amat berharga. Sekarang tunjukkanlah pintu
terowongan rahasia itu."
Dengan
menindih rasa marahnya, Resi Kumbara lantas menekan salah satu ubin ruangan
itu. Tiba-tiba lantai ruangan sebelah kiri bergeser. Pada bekas geseran ini
kelihatanlah sebuah tangga batu yang menuju kebawah, memasuki mulut terowongan
yang gelap. Tercekat juga kedua orang itu rnelihat terowongan yang gelap seram
ini.
"Kalian
tunggu apa lagi?!" texdengar suara Resi Kumbara.
Pendekar
Pedang Akhirat Batara angkat bahu dan melangkah menuju tangga menurun. Wiro
Sableng sesaat garuk-garuk kepala, memandang pada paderi yang duduk di
hadapannya, angkat bahu dan akhirnya melangkah pula mengikuti kakek muka
angker. Di dalam terowongan yang gelap itu tangan di depan matapun tak
kelihatan. Wiro dan si kakek yang melangkah sebelah depan berjalan dengan
mengandalkan perasaan dan pendengaran mereka yang tajam. Meskipun demikian tak
jarang mereka terbentur pada dinding terowongan pada tempat dimana terowongan
itu membelok.
Yang
menjengkelkan Wiro Sableng inilah karena sepanjang perjalanan melewati
terowongan itu si kakek selalu mengajaknya bicara.
"Omong-omong
gadis anak murid Partai Lawu Megah yang bernarna Sularwasih itu cantik juga
heh..?" Batara berkata.
"Memangnya
kenapa kau berkata begitu?" bertanya Wiro Sableng.
"Aku
berpikir-pikir, apakah betul kau tidak memperkosa gadis itu. Soalnya aku yang
sudah tua ini bisa blingsatan juga melihatnya."
"Kakek
tidak percaya padaku?"
"Oh
tentu. Tentu aku percaya padamu. Tapi banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan
atas dirimu."
Wiro
memaki dalam hati.
"Tapi
aku sudah bilang, kalau saja anuku ini bisa bicara!"
"Soal
anumu itu tak usah diulangi lagi. Sampai kiamatpun tak ada anu yang bisa
bicara."
"Lalu,
seandainya kakek merasa ragu, kenapa menolongku?"
"Dengan
satu syarat sobat mudaku . . . ."
"Syarat
apa?" tanya Wiro penasaran.
"Jika
nanti terbukti kau memang bersalah, aku sendiri yang akan membawa kepalarnu
kepada ketua partai Lawu Megah" sahut Pendekar Pedang Akhirat. Dalam
hatinya Pendekar 212 Wiro Sableng kembali memaki.
*****************
6
SETELAH
kurang lebih dua jam menempuh terowongan gelap itu di sebelah depan tiba-tiba
terdengar suara Pendekar Pedang Akhirat mengeluh.
"Ada
apakah …?" tanya Wiro dari belakang seraya bersiap-siap. Melihat sikap
Resi Kumbara tadi diam-diam pendekar ini merasa curiga. Bukan mustahil
terowongan itu memiliki alat rahasia yang bakal mencelakakan dirinya dan si
kakek.
"Terowongan
ini buntu!" seru Batara.
"Hah?!"
Wiro terkejut. Dia meraba ke depan.
Terasa
olehnya dinding batu yang keras. "Bekas ketua partai itu menipu kita!
Sialan betul!"
Sesaat
kedua orang itu sama-sama terdiam.
"Apa
yang harus kita lakukan? Kembali ke tempat semula?"
"Kakiku
letih. Sebaiknya kita duduk saja dulu melepaskan lelah sambil omongomong",
jawab si kakek.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala dan jadi menggerendeng. Bagaimana si kakek enak-enak
saja bicara seperti itu dan bukannya mencari jalan keluar dari terowongan?
Namun karena tak tahu mau berbuat apa, akhirnya pemuda ini duduk menjelepok di
lantai terowongan, bersandar ke dinding yang lembab. Dalam gelap itu Wiro
merenung kejadian yang baru saja dialaminya di puncak gunung Lawu. Kemudian dia
bertanya. "Kakek…. Tadi kau mengatakan banyak hal-hal yang memberatkan
tuduhan atas diriku. Misalnya apa …. ?"
"Kau
ketahuan mengedipkan mata sewaktu bertemu dengan Sularwasih itu di penginapan.
…" Wiro Sableng tertawa.
"Kurasa
kau pernah muda sepertiku ini, kakek. Orang muda biasa suka iseng. Kau sendiri
tadi mengatakan sudah tua bangka begini masih blingsatan melihat gadis cantik
itu. Soal iseng dan mengedipkan mata apakah bisa dinilai sebagai memperkosa….?
Justru
orang yang memperkosa sering mendapat kehormatan dipungut mantu!" Si kakek
tertawa gelak-gelak.
"Baiklah
kalau kau bilang begitu, sobat mudaku. Lantas kancing bajumu yang ditemui dalam
kamar si Warsih itu … ?"
"Akupun
heran dan bertanya-tanya bagaimana kancing baju keparat itu bisa ada dan
ditemui disitu. Padahal aku ingat betul kancing itu putus sewaktu aku menabrak
keranjang sayur seorang perempuan yang kebetulan keluar dari penginapan. Aku
tak berusaha menemukan kembali kancing baju itu. Ini agaknya menjadi kesalahan
yang kini kusesalkan…."
"Sulit
bagimu untuk membuktikan hal itu, bukan? Saksi-saksi hidup dan bukti kuat
berada di pihak Warsih!"
"Kelihatannya
begitu. Apalagi jika mengikuti jaIan pikiran yang berat sebelah. Namun kalau
dari sudut pemandanganku yang kau anggaplah geblek, akupun menaruh kecurigaan
pada seseorang…."
"Siapa?"
tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Aku
tak dapat mengatakannya karena belum ada bukti-bukti."
"Kau
hendak mencari kambing hitam …?"
"Kalau
kambing putih ada, buat apa cari kambing hitam?" ujar Wiro pula.
Si kakek
tertawa bergelak. "Asalkan jangan aku saja yang kau curigai…."
"Bisa
saja. Karena kenapa kau tahu-tahu muncul dipuncak gunung Lawu…." tukas
Wiro.
Si kakek
memaki panjang pendek dan kini Wiro yang ganti tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba
murid Eyang Sinto Gendeng ini hentikan tawanya dan menggamit bahu Pendekar
Pedang Akhirat.
"Aku
mendengar sesuatu…."
Kedua
orang itu berdiam diri dan sama-sama pasang telinga. Suara tadi terdengar lagi
sayup-sayup lalu hilang. "Suara kaki-kaki kuda." desis si kakek.
"Juga
ada suara orang berlari," menyahuti Wiro. Mereka menunggu. Namun
suarasuara itu tidak terdengar lagi.
Si kakek
berdiri dari duduknya. Dia merapatkan tubuhnya. pada dinding yang menutup
terowongan. Ketika telinganya ditempelkan ke dinding batu itu, rapat-rapat dia
kembali dapat mendengar suara derap kaki kuda, lalu lenyap sama sekali. Setelah
meraba sana sini, Batara kerahkan seluruh tenaganya dan coba mendorong dinding
batu itu. Terasa dinding ini bergerak sedikit demi sedikit.
"Wiro!
Bantu aku mendorong dinding buntu ini! Aku yakin kita sudah sampai di mulut
pintu keluar terowongan!"
Mendengar
ucapan itu Wiro segera berdiri dan bantu Pendekar Pedang Akhirat mendorong
dinding. Oleh tenaga dorongan yang luar biasa dari dua manusia berkepandaian
tinggi ini, dinding dihadapan mereka bergeser. Tiba-tiba terdengar suara keras.
binding yang didorong roboh. Cahaya terang masuk menyilaukan mata kedua orang
itu. Tetumbuhan liar banyak menutupi mulut terowongan. Keduanya keluar sambil
menyibakkan tanam-tanaman itu. Berdiri diluar mereka dapatkan saat itu berada
di kaki sebelah timur gunung Lawu.
"Sialan!
Akhirnya kita keluar juga dari terowongan celaka itu. Aku tadi sudah
berprasangka buruk terhadap ResiKumbara kata Wiro pula sambil yaruk-garuk
kepala. Keduanya mendorong dinding batu berat itu untuk menutupi terowongan
rahasia. Terlindung oleh tanaman-tanaman liar, orang yang tidak tahu sulit
untuk membedakan batu penutup terowongan itu dengan batu-batu besar yang
berbentuk sama dan banyak terdapat di kaki gunung Lawu itu.
"Nah
sekarang bagaimana kakek? Aku masih memikul urusan berat dan hendak berangkat
ke selatan.
"Aku
sendiri akan menuju ke barat. Tapi satu bulan dimuka aku akan tunggu kau
disini. Kurasa saat itu aku sudah dapat mengetahui apakah kau bersalah atau
tidak …"
Wiro
Sableng menyeringai, dan menjawab, "Mudah-mudahan kau datang tepat pada
waktunya sebelum aku menerabas puncak Lawu ini. Selamat jalan dan terima kasih
kau telah memperpanjang umurku sampai satu bulan dimuka."
Setelah
masing-masing menjura dan bergerak hendak pergi, satu keselatan lainnya ke
barat, tiba-tiba terdengar seruan lantang dari samping gunung sebelah kiri.
"Jangan
harap kalian bisa pergi dari sini dengan masih membawa nyawa."
Wiro dan
si kakek muka tengkorak sama-sama kaget. Memandang ke atas mereka lihat belasan
orang berlompatan turun dari lamping-lamping batu gunung ke tempat mereka.
Orang-orang ini bukan lain adalah paderi-paderi Lawu. Diantaranya Tandu Wiryo,
yang sebelumnya telah memberikan kesaksian sewaktu Wiro hendak di gantung.
"Digantung
tidak maul Dicincang rupanya lebih pantas," terdengar hardikan dari
sebelah kiri. Memandang ke jurusan ini dua pendekar yang barusan keluar dari
terowongan melihat lima penunggang kuda. Empat orang paderi danseorang gadis
berpakaian biru yang bukan lain adalah Sularwarsih.
Dikurung
demikian Wiro Sableng jadi melongo dan garuk-garuk kepala gondrongnya sedang
Pendekar Pedang Akhirat goleng-goleng kepala. Sekali memandang berkeliling dia
sudah dapat menghitung jumlah pengurungnya. Seluruhnya 21 orang!
"Kalian
mau apa . . . ?!" Si kakek bertanya.
Tandu
Wiryo mendengus.
"Orang
datang minta nyawa masih berlagak tolol!" sentaknya.
"Minta
nyawa….? Sungguh kaulah yang tolol orang muda. Mana ada didunia ini orang yang
suka menyedekahkan nyawanya!" Habis berkata demikian si kakek lalu tertawa
gelak-gelak. "Kalian semua cari penyakit. Lebih baik kembali ke puncak
Gunung Lawu. Aku sudah berjanji pada Resi Kumbara. Jika pemuda sobatku ini
nanti terbukti betul-betul bersalah, aku sendiri yang akan mengantarkan kepalanya
pada kalian!"
"Kami
tidak butuh kepalanya! Kami ingin nyawanya saat ini juga!" teriak
Sularwarsih.
"Beranikah
kau satu lawan satu dengan dia….?" tanya Pendekar Pedang Akhirat dengan
nada dan mimik mengejek.
"Manusia
laknat seperti dia tak perlu dilayani satu persatu . . . !"
"Tapi
sekurang-kurangnya kau pernah melayaninya satu persatu, bukan Warsih? Itu jika
betul-betul dia yang merusak kehormatanmu heh….?"
Merahlah
paras Sularwasih. Dia menjerit keras dan cabut pedangnya, melompat turun dari
kuda seraya berteriak.
"Bunuh
manusia-manusia haram jadah ini!"
Gerakan
Warsih gesit dan cepat sekali. Pedangnya bersiuran menyambar ganas ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika murid Eyang Sinto Gendeng ini tak lekas
melompat ke belakang niscaya lehernya sudah kena dibabat putus. Baru saja Wiro
imbangi diri dari lompatan mengelak disamping kiri dilihatnya empat paderi yang
menemani Warsih telah turun dari kuda masing-masing sedang dari kanan, Tandu
Wiryo bersama saudara-saudara seperguruan dan paderi-paderi lainnya telah
menyerbu turut pula.
"Kalian
cari penyakit! Betul-betul cari penyakit!" seru Pendekar Pedang Akhirat
seraya berpaling acuh tak acuh pada Wiro dan bertanya pada pendekar ini.
"Bagaimana
pendapatmu, sobatku?!"
"Apa
boleh buat!" sahut Wiro Sableng sambil angkat bahu. "Penyakit harus
diobati. Kalau tidak bisa berabe!"
*****************
7
DARI dua
puluh satu orang partai Lawu Megah yang menyerbu itu yang menggempur Pendekar
212 Wiro Sableng adalah empat paderi utama, dua paderi biasa, lima murid kelas
satu dan Sularwasih serta pemuda bernama Tandu Wiryo. Sisanya sebanyak delapan
orang yakni empat paderi biasa danempat murid kelas satu mengurung dan
menyerang Pendekar Pedang Akhirat.
Semua
penyerang dari Lawu ini pergunakan pedang sedang dua yang jadi bulanan
serangan-serangan sampai satu jurus bergebrak masih andalkan tangan kosong.
Meskipun sering memperlihatkan sikap seperti orang tolol danmemiliki jalan
pikiran macam orang sinting namun kadang kadang Wiro Sableng tak jarang
memiliki otak yang jernih dancerdik. Dia merasa heran melihat orang-orang
Partai Lawu lebih banyak menyerangnya dan terdiri dari mereka yang
berkepandaian tinggi. Semakin besarlah kecurigaannya bahwa betul-betul ada yang
tak beres dengan orang-orang itu. Pendekar Pedang Akhirat sendiripun
terheran-heran kenapa yang menyerangnya cuma paderi-paderi biasa dan murid klas
satu. Dan cara mereka menyerang jelas hanya mengurung demikian rupa hingga dia
terpisah jauh dari Wiro Sableng.
Empat
paderi utama dan dua paderi biasa serta empat murid partai klas satu dipimpin
oleh Sularwasih dan Tandu Wiryo melancarkan serangan laksana air bah yang
betul-betul ganas hingga akan celakalah Pendekar 212 dalam waktu singkat
apabila dia masih mengandalkan tangan kosong.
Wiro
sendiri merasa agak menyesal telah menyerahkan Kapak Naga Geni 212 pada Resi
Kumbara hingga saat itu dia menghadapi bahaya maut tanpa senjata sama sekali.
Dengan mainkan ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua
Gila di pulau Andalas dulu, pendekar ini bergerak gesit kian kemari. Gerakan-gerakannya
merupakan sesuatu yang aneh bagi lawan hingga untuk sementar Wiro bisa selamat
dari serangan serangan maut lawannya. Dalam pada itu sesekali dia mainkan pula
jurus-jurus silat "tameng sakti menerpa hujan", "kincir padi
memutar", "kipas sakti terbuka"
dansebagainya
yang merupakan jurus-jurus pertahanan ampuh. Disamping itu Wiro pun lepaskan
pula pukulan-pukulan sakti "benteng topan melanda samudera",
"orang gila mengebut lalat" dan sebagainya yang membuat para
penyerang berseru kaget dan terpaksa mundur, tetapi kemudian menyerang lagi
dengan ganas.
"Warsih!"
teriak Wiro Sableng. "Jika kau dan yang lain-lainnya ini tidak hentikan
pertempuran jangan menyesal . . ."
"Kaulah
yang menyesal bakal jadi setan kuburan!" teriak sang dara dan mendahului
kawan-kawannya menyerang Wiro Sableng. Pedangnya bersiur membabat ke leher
pendekar itu. Dua belas orang lainnya serentak menyerbu pula.
Wiro
memaki panjang pendek dan lepaskan pukulan. "Segulung ombak menerpa
karang." Terdengar suara menderu.
"Lekas
menyingkir!" teriak salah seorang paderi utama yang telah banyak
pengalaman dan terkejut melihat hebatnya pukulan sakti ini.
Dua orang
murid partai tidak keburu menghindar. Tubuhnya mencelat dihantam angin pukulan,
jatuh ke tanah muntah darah tak berkutik lagi alias mati! Empat paderi,
melompat ke udara dan dari atas kebutkan lengan jubah masing-masing. Empat
gelombang angin deras menggebu menangkis dan menghantam pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro Sableng. Terdengar suara berdentum.
Empat
paderi kelihatan pucat wajah masing-masing dan turun ketanah dengan tubuh
gemetaran. Mereka menyadari bahwa bentrokan pukulan sakti yang mengandung hawa
tenaga dalam dahsyat itu telah membuat tubuh mereka di sebelah dalam menjadi
tidak beres untuk beberapa ketika. Tandu Wiryo dan Warsih masih untung karena
mereka keburu menghindar dengan gerakan gesit.
Wiro
sendiri yang terkena sapuan empat angin deras yang menggebu dari lengan jubah
paderi-paderi utama gunung Lawu itu tampak agak terhuyung-huyung. Dadanya
berdenyut-denyut seperti ditekan batu berat. Selagi dia berusaha mengimbangi
diri, dari belakang tiba-tiba terdengar suara menderu dingin.
Seseorang
telah menyerangnya dari belakang secara licik. Hal ini diketahui betul oleh
Wiro. Seperti kilat dia jatuhkan diri ke depan seraya tundukkan kepala.
Gerakannya yang sepontan ini menyelamatkan kepalanya dari sambaran pedang maut
Tandu Wiryo yang datang dari belakang Namun demikian bahu kirinya masih sempat
kena bacok. Wiro mengeluh kesakitan. Dirasakannya perih yang amat sangat lalu
cairan panas meleleh deras keluar dari bacokan itu. Darah!
"Bunuh!
Habisi dia!" teriak Sularwasih yang laksana jadi kesetanan melihat darah
membasahi pakaian dantubuh Wiro.
Sebaliknya
rasa sakit akibat luka besar pada bahu kirinya itu membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng menjadi kalap. Seumur hidup barulah saat itu dia mendapat luka yang
demikian parah dan akibat serangan pengecut pula. Marahnya bukan alang
kepalang. Teriakan menggeledek keluar dari mulutnya. Dia putar tubuh menghadapi
Tandu Wiryo. Tangan kanannya bergetar oleh aliran tenaga dalam yang disalurkan
secara menyeluruh. Sesaat kemudian tangan itu sampai sebatas siku kelihatan
berubah menjadi putih perak.
"Awas!
Dia hendak lepaskan pukulan sakti yang dasyat!" teriak salah seorang
paderi gunung Lawu dengan suara gemetar bergidik.
Dari
samping Warsih kirimkan satu tusukan nekad ke tubuh Wiro Sableng dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Tandu Wiryo untuk berpindah tempat Semula meskipun
diserang dengan pedang begitu rupa Wiro sudah bertekad untuk terus lepaskan
pukulan sinar matahari ke arah Tandu Wiryo. Namun karena si pemuda sudah
berpindah tempat maka Sularwasihlah yang kini jadi sasarannya.
Saat itu
tusukan ujung pedang sudah dekat sekali hingga akan kasiplah jika Wiro terus
kalap untuk lancarkan pukulan "sinar matahari". Menyadari hal ini
maka Wiro melangkah mundur dan pergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram
lengan Sularwasih. Si gadis terdengar menjerit kesakitan, melompat jauh sambil
kibas-kibaskan tangannya yang kelihatan merah gembung melepuh akibat hawa panas
tenaga dalam pukulan "sinar matahari" pada tangan Wiro. Pedangnya
telah berpindah tangan, kena di rampas oleh Pendekar 212. Dengan pedang ini Wiro
Sableng kemudian mengamuk hebat. Dua murid partai roboh mandi darah. Empat
paderi datang menyongsong sambil berteriak marah.
"Paderi-paderi
tua tidak tahu diri! Seharusnya kalian memberi petunjuk pada orangorang muda
partaimu! Sekarang malah kalian sendiri yang ikut melibatkan diri!
Mampuslah!"
Karena
paderi-paderi itu masih beberapa langkah di depannya, Wiro tidak menggunakan
pedang rampasannya untuk menyerang tetapi alirkan tenaga dalam ke tangan kiri.
Ketika tangan itu serta merta menjadi putih perak pendekar ini menghantamkannya
ke depan. Maka laksana topan prahara menderulah sinar putih menyilaukan mata
dan panas luar biasa.
Terdengar
jerit kematian empat paderi utama partai Lawu Megah itu tatkala tubuh mereka
kena disapu pukulan "Sinar matahari". Mayat mereka terlempar sampai
sepuluh tombak, jatuh bergedebukan dalam keadaan hangus mengerikan!
Wiro
sendiri sehabis melepaskan pukulan "Sinar matahari" tersebut
tiba-tiba mengeluh tinggi. Kedua lututnya goyah, pemandangannya mendadak gelap
berkunangkunang. Akhirnya pendekar dari gunung Gede ini roboh tak sadarkan
diri.
Sewaktu
siuman dari pingsannya Wiro Sableng rasakan kepalanya pusing dan berat sedang
tubuhnya panas dingin. Bahunya mendenyut sakit. Perlahan-lahan dibukanya kedua
matanya. Mula-mula segala sesuatunya tampak hitam dan gelap. Sesaat demi sesaat
pemandangannya menjadi pulih. Kini diketahuinya bahwa dirinya terbaring di atas
kasur jerami dalam sebuah ruangan terbuka dari satu bangunan tua. Sebuah lilin
terletak disudut ruangan. Tak seorangpun dilihatnya disitu. Dia berpikir, ingat
pada apa yang telah terjadi sebelumnya dan bertanya-tanya dimana gerangan
Pendekar Pedang Akhirat.
Tenggorokannya
terasa sekat dan kering. Wiro batuk-batuk beberapa kali. Mendadak diluar kamar
didengarnya suara orang berseru.
"Hai,
kau sudah siuman!"
Wiro
tersirap. Suara itu bukan suara si kakek melainkan suara perempuan. Rasa
kawatir menggerayangi dirinya karena dia tak dapat memastikan apakah itu suara
Sularwasih murid Partai Lawu Megah yang berniat membunuhnya itu atau bukan. Menyusul
terdengar langkah-langkah kaki mendatangi. Wiro semakin tegang. Pada puncak
ketegangannya pintu ruangan terblika mengeluarkan suara berkereketan karena
engsel-engselnya sudah karatan. Satu tangan halus tampak mendorong pintu itu.
Kemudian kelihatan sosok tubuh seorang perempuan berpakaian biru. Persis warna
pakaian yang sebelumnya dilihat Wiro dikenakan oleh Warsih!
"Celaka!"
keluh murid Sinto Gendeng dalam hati. "Pasti aku dibunuhnya saat ini
juga…!"
*****************
8
WIRO yang
saat itu tak kuasa bergerak karena demam panas dan lemah menyerang dan
membuatnya seperti lumpuh, hanya bisa pejamkan mata menunggu kematian. Tetapi
maut yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Didengarnya suara orang berdiri
dan berlutut disampingnya. Lalu tangan halus sejuk meraba keningnya. Kemudian
suara perempuan berkata,
"Heh,tadi
kau sudah siuman, kenapa sekarang diam kembali?"
Perlahan-lahan
Wiro Sableng buka sepasang matanya. Dibawah nyala api lilin yang tidak seberapa
terang pendekar ini lihat seorang gadis berpakaian biru bersimpuh disebelahnya.
Semula disangkanya Sularwasih ketika dilihat wajahnya ternyata bukan. Gadis ini
berwajah bujur telur, berkulit kuning. Rambutnya yang hitam digelung diatas
kepala ditancapi tusuk konde dari gading bergambar burung. Gerak-geriknya sama
sekali tidak kaku seolah-olah dia dan Wiro sudah akrab betul.
"Saudari!"
tegur Wiro Sableng agak tersendat, "kau ini siapakah? Aku berada di mana
saat ini….?"
"Ah….
rupanya kau betul-betul telah siuman. Cuma kau masih terserang demam. Namaku
Wilarani. Saat ini kau berada di sebuah Candi tua yang tak terpakai lagi dan
menjadi tempat kediaman aku beserta ayahku."
"Ayahmu?"
Wiro kerenyitkan kening. Apa mungkin gadis ini puteri Pendekar Pedang Akhirat?
Mustahil. "Siapa nama ayahmu?" tanya Wiro kemudian.
"Panda
Wisuna."
"Kau….
kau…." Wiro tak dapat teruskan kata-katanya. Tenggorokannya kesat dan
kering. "Air…" desisnya.
Wilarani
ambil sebuah gelas. Isinya diminumkan pada Wiro.
"Racun
apa ini?!" tukas Wiro Sableng begitu dirasakannya air yang diteguknya pahit
seperti empedu.
Wilarani
tertawa geli.
"Ini
bukan. racun pendekar. Tapi obat! Agar kau lekas sembuh."
"Kau…
kau seorang tabib?" tanya Wiro.
Sang dara
baju biru gelengkan kepala. "Tapi aku memang banyak mempelajari berbagai
macam ilmu pengobatan…."
"Baiklah,
biar kuminum obat itu " kata Wiro pula. "Sekalipun racun aku tak
menyesal mati di hadapanmu." Lalu pendekar ini teguk cairan dalam gelas
sampai habis.
"Tahu
berapa lama kau pingsan, pendekar?"
"Tak
usah sebut aku pendekar. Namaku Wiro. Berapa lama aku pingsan?"
"Dua
hari dua malam!"
Wiro
kaget karena tidak menyangka sampai sedemikian lama dia jatuh pingsan.,
"Bagaimana
aku sampai kemari? Apa hubunganmu dengan Pendekar Pedang Akhirat?"
"Pendekar
tua itu yang membawamu kesini. Tadinya untuk minta pertolongan ayah agar kau
diobati. Tapi ayah sedang ke Weleri. Aku berusaha sebisaku…"
"Terimakasih.
Kau baik sekali. Aku berhutang besar padamu." kata Wiro pula. Wilarani
tertawa.
"Dimana
Pendekar Pedang Akhirat sekarang?"
"Dia
pergi dua hari yang lalu tanpa memberi tahu kemana. Cuma dia pesankan agar aku
merawatmu baik-baik. Menurut orang tua itu kau pingsan akibat kehabisan darah
dankarena mempergunakan seluruh tenaga dalam untuk melepaskan pukulan sakti.
Menurut apa yang aku tahu jarang orang bisa selamat dari kematian jika
mengalami hal sepertimu ini."
Wiro
Sableng menghela nafas panjang.
"Kapan
aku akan sembuh danbisa meninggalkan tempat ini?"
"Tak
dapat kupastikan. Mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Luka dibahumu parah
sekali dan harus kering betul baru bisa dikatakan sehat. Disamping itu
sebaiknya kau tunggu sampai ayah datang agar dapat memeriksa tubuhmu bagian
dalam."
"Mungkin
aku tak dapat menunggu sekian lama," ujar Wiro pula.
"Kenapa?"
tanya Wilarani.
"Ada
urusan besar yang harus kulakukan "
"Urusan
apa, kalau aku boleh tanya."
"Pendekar
Pedang Akhirat tidak mengatakan kenapa aku sampai mendapat celaka begini
rupa…"
"Tidak,"
sahut Wilarani. "Justru aku ingin mendengarkan kisahnya dari kau
sendiri…."
Pada
dasarnya Wiro Sableng tidak suka membeberkan persoalan. dirinya pada orang
lain, apalagi gadis itu baru dikenalnya. Namun setelah berpikir-pikir dan ingat
kalau bukan Wilarani yang menolong mungkin dia sudah mati saat itu atau paling
tidak tengah meregang ajal, maka akhirnya Wiro tuturkan juga nasib celaka yang
menimpa dirinya.
Selesai
Wiro menuturkan riwayatnya, kedua orang itu kemudian saling berdiam diri
beberapa lamanya.
"Jika
kau sudah sembuh, apa yang bakal kau lakukan?" bertanya Wilarani kemudian.
"Banyak
dan berat sekali!" sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. "Pertama aku
harus membersihkan diriku dari tuduhan keji itu. Ini berarti aku harus bias
menemukan siapa sebenarnya pemerkosa nona Warsih. Kemudian aku harus membawa
orang itu hidup-hidup kapuncak gunung Lawu untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Jika senjata warisan guruku sudah dikembalikan danaku dapat turun
dari puncak Lawu dengan aman barulah berarti selesai urusan. Yang sulit ialah
orang-orang gunung Lawu pasti akan menyerbuku begitu aku muncul disana. Gila
betul! Kenapa aku jadi ketiban nasib sial begini!"
"Kurasa
itu adalah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pendekar petualang
macammu. Ketidak tabahan justru itulah yang membuat seseorang celaka sebelum
bahayanya sendiri datang menimpa."
Pendekar
212 Wiro Sableng merasa kena disentil oloh kata gadis itu. Diam-diam dia jadi
malu pada diri sendiri. Si gadis rupanya tahu bagaimana perasaan Wiro seat itu,
maka die buru-buru menghibur. "Memang begitulah keadaannya dunia. Yang
kita harapkan tidak terjadi, yang amit-amit minta dijauhkan justru nyelonong
menyusahkan!"
"Berapa
jauh Magelang dari sini!?" Wiro bertanya.
"Kira-kira
dua hari perjalanan dengan kuda." jawab Wilarani.
"Kenapa?"
si gadis kemudian bertanya.
"Besok
aku akan berangkat ke sana guna memulai penyelidikan."
"Besok?
Sekarang saja kau masih diserang demam. Lukamu masih basah. Apa mau mencari
mati hendak pergi besok?"
"Kalau
dipikir-pikir sebenarnya aku ini sudah mati. Yaitu kalau tidak ditolong oleh
Pendekar Pedang Akhirat dankau sendiri." Wilarani tersenyum kecil.
"Hidup
penuh, hal hal yang tak terduga bahkan kadang-kadang aneh…" kata gadis itu
pula lalu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menatap wajah Pendekar 212
Wiro Sableng dia berkata, "Aku sendiri sebenarnya adalah anak murid partai
Lawu Megah."
Wiro
Sableng kaget bukan olah-olah. Kata-kata gadis itu laksana petir menyambar
sampai ketelinganya. Kalau saja dia tidak sakit parah saat itu niscaya dia
sudah melompat saking terkejutnya.
"Kalau
begitu,kalau begitu bukan mustahil kau memang hendak membunuhku disini. Secara
perlahan-lahan!" ujar Wiro pula dengan sepasang mata melotot pandangi
Wilarani.
Wilarani
tertawa panjang.
"Kalau
aku punya niat membunuhmu, tentu sudah sejak tadi-tadi kulakukan!"
"Lantas
kenapa tidak kau lakukan?" tanya Wiro. "Tidakkah kau mengandung
dendam padaku setelah mendengar aku membunuh empat orang paderi utama gunung
Lawu, lalu murid-murid partai yang menjadi saudara seperguruanmu…. ?"
"Aku
cuma menyesalkan dan menyayangkan kejadian itu. Kehendak Tuhan rupanya harus
terjadi demikian. Dan pemuda-pemuda gunung Lawu dalam hal ini juga memiliki
kesalahan."
"Aku
betul-betul tak mengerti kalau begini", ujar Wiro. "Tadi kau bilang
anak tabib Panda Wisuna. Sekarang kau katakan murid partai gunung Lawu.
Bagaimana ini?!" Kembali Wilarani tertawa.
"Saudari,
jika kau betul murid partai Lawu Megah iebih baik bunuh saja aku saat ini juga.
Jangan aku dipermainkan. Maut didepan mata tapi diulVr-ulur agar aku
tersiksa!"
"Aku
sudah bilang, kalau ingin membunuhmu dapat kulakukan tadi-tadi dan semudah
membalikkan telapak tangan saja. Tapi apa perlunya ?"
"Heh!"
Wiro kerenyitkan kening. "Terangkan alasanmu."
*****************
9
ATAS
desakan Wiro Sableng yang mau tak mau merasa was-was juga setelah mengetahui
kalau Wilarani adalah anak murid partai Lawu Megah, maka akhirnya gadis itu
memberikan keterangan.
Wilarani
menjadi murid partai Lawu Megah sejak masih berusia delapan tahun. Suatu hari
Resi Kumbara turun gunung. Waktu itu tengah berjangkit penyakit menular yang
amat jahat. Siapa yang sampai kejangkitan pasti akan menemukan kematian dalam
waktu dua hari. Resi Kumbara merupakan salah seorang yang kena terserang. Pada
saat-sat kritis Panda Wisuna (ayah Wilarani) menjumpai ketua partai itu,
menggeletak tak sadarkan diri di tepi sebuah anak sungai. Segera dibawanya
ketempat kediamannya di bekas candi tua itu dan diobati sampai sembuh.
Sebagai
balas budi Resi Kumbara kemudlan mengambil Wilarani jadi muridnya, dibawa ke
puncak gunung Lawu. Karena sang paderi sendiri yang memberikan pelajaran silat
pada anak itu maka 10 tahun kemudian jadilah Wilarani seorang gadis
berkepandaian amat tinggi. Jika dibandingkan dengan murid-murid gunung Lawu
Megah klas satu, kepandaiannya jauh lebih tinggi. Sularwasih dan Tandu Wiryo
sendiripun jauh tertinggal. Ada yang mempercayai bahwa dalam ilmu silat nona
ini kepandaiannya hampir mendekati Resi Kumbara sendiri. Cuma tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuhnya saja yang masih agak rendah. Tetapi bila dia rajin
melatih diri niscaya tidak sembarang orang mampu menghadapinya.
Beberapa
tahun lewat akibat pengunduran diri Resi Kumbara sebagai ketua partai maka
terjadi banyak perobahan dalam tubuh partai. Hal ini diketahui oleh ayah
Wilarani. Maka dia naik ke puncak gunung Lawu, bicara dengan puterinya itu,
meminta agar dia meninggalkan partai Lawu Megah selagi belum terjadi hal-hal
yang tak diinginkan.
Dilain
pihak Wilarani sendiri sejak Resi Kumbara yang sudah dianggapnya seperti ayah
sendiri itu mengundurkan diri, merasa dipencilkan oleh orang-orang
disekitarnya. Kalau dulu selagi Resi Kumbara menjabat ketua partai semua orang
menghormati dan menyayanginya. Tetapi sejak paderi itu melepaskan jabatannya,
banyak paderi-paderi dan saudara-saudara seperguruannya yang jelas-jelas
memperlihatkan sikap mengejek serta membencinya. Sering dia dihadapkan pada
muka-muka asam, mendengar kata-kata menyindir danmenghina hingga lambat laun
gadis itu merasa tak betah lagi diam di puncak gunung Lawu.
Dengan
datangnya sang ayah memintanya pergi meninggalkan gunung Lawu maka ini adalah
satu hal yang paling baik bagi Wilarani. Berdua ayahnya dia menemui Resi
Kumbara untuk minta diri. Sebenarnya berat bagi paderi tua itu untuk melepas
murid kesayangannya itu. Namun diam-diam dia sudah mengetahui apa yang dialami
Wilarani sejak dia mengundurkan diri sebagai Ketua. Yang membuat Resi Kumbara
kagum danterharu ialah bahwa sampai saat Wilarani meninggalkan gunung Lawu
gadis ini tak pernah satu kalipun mengadukan keadaan dirinya itu. Semua
dihadapinya sendiri dengan tabah dari masih tetap tersenyum serta menghormati
orang-orang di sekitarnya, padahal didalam hatinya sakit bukan kepalang.
"Nyatanya
keadaan di Partai Lawu Megah makin hari makin buruk. Untung sekali aku sudah
tidak disitu lagi."
"Tapi
betapapun kau adalah anak murid Lawu Megah. Dan paderi-paderi yang kau hormati
serta saudara-saudara seperguruanmu itu banyak yang kubunuh," ujar Wiro.
Witarani
geleng-gelengkan kepala. "Sejak aku meninggalkan gunung Lawu aku tidak
lagi merasa murid partai Lawu Megah, tapi murid Resi Kuinbara pribadi."
"Apakah
tidak berniat untuk pergi lagi kesana?" tanya Wiro Sableng pula.
"Jika
kudengar guru kenapa-kenapa, pasti aku akan naik ke puncak Lawu dan memberi
peringatan pada orang-orang yang kurang ajar itu."
"Sejak
kau keluar dari partai apa saja yang kau lakukan?"
"Yaah…
aku tinggal bersama ayah disini. Mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan…."
"Untung
kau sempat mempelajari. Kalau tidak aku pasti tak akan tertolong." kata
Wiro pula.
Wilarani
tersenyum. "Sebetulnya dalam sakit begini kau tak boleh banyak bicara.
Minumlah
obat ini!" Gadis ini kemudian ambilkan secangkir obat lalu diminumkan pada
Wiro. Beberapa saat setelah minum itu Wiro merasakan mat8nya jadi berat sekali.
Akhirnya pendekar itu jatuh pulas. Seminggu kemudian Wiro Sableng merasakan
tubuhnya sudah segar. Cuma luka dibahu kirinya masih belum kering dan sesekali
terasa mendenyut sakit. Suatu hari ketika Wiro tengah berkemas-kemas karena dia
memang sudah memutuskan untuk pergi, datanglah Wilarani dan menegurnya.
"Kau
hendak pergi ke mana?"
"Magelang."
‘Tapi kau
masih belum sembuh. Kau harus menunggu paling cepat satu minggu lagi. Balutan
pada bahumu harus dibuka untuk diperiksa."
"Lukaku
memang belum kering, Wilarani. Tapi tubuhku segar sekali. Semua berkat
bantuanmu. Aku ingin tinggal lebih lama di tempat yang tenang dengan
pemandangan indah di sekitarnya ini. Tetapi urusan besarku memerlukan
penyeleseian dengan segera.
"Jika
kau mau menunggu sampai lukamu baik, aku bersedia membantu kau menyelesaikan
urusan itu."
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Ah, budi besarmu menolong aku dalam sakit belum
dapat kubalas, jangen kau tanamkan budi baru padaku."
"Terserahlah
padamu. Cuma!"
Wilarani
tidak teruskan katanya.
"Cuma
ape?", Wiro bertanya.
‘
Wilarani tak segera menjawab seolah-olah meragu.
"Cuma
apa, Wilarani?" desak Wiro.
"Aku
ingin agar kau mengetahui satu hal…."
"Apa?"
"Dua
murid gunung Lawu yang bernama Sulawarsih dan Tandu Wiryo itu bukanlah orang
baik-baik…."
"Maksudmu?"
"Aku
tak bisa menerangkan. Kau selidikilah sendiri." jawab Wilarani pula.
"Kalau kau hendak pergi, aku tak bisa menahan. Selamat jalan!" Lalu
gadis itu putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lima hari
kemudian menjelang malam Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Magelang. Kota yang
membawa riwayat sial bagi dirinya. Setelah berkeliling meneliti keadaan kota
baru dia menuju penginapan Candi. Dia tersenyum pada pelayan yang masih mengenalinya.
"Ingin
menginap disini lagi raden?" Wiro mengangguk.
Ketika
pelayan itu mengantarkannya ke kamarnya, Wiro bertanya. "Kau masih ingat
pertama kali aku menginap disini sekitar empat minggu yang lalu?"
"Ya..
saya masih ingat"
"Waktu
itu ada sepasang muda mudi yang juga menginap disini,Ingat?"
Pelayan
itu berpikir sejenak. Lalu, "Ingat, saya ingat betul! Gadisnya cantik
sekali bukan? Ketika pergi saya dan Gundali diberinya masing-masing dua tail
perak. Mudamudi yang baik sekali…. ! Entah kapan mereka akan datang kemari
lagi. Jarang sekali tamu sebaik mereka."
"Mereka
menyewa berapa kamar?" bertanya Wiro.
"Agaknya
mereka bukan suami istri. Dua orang pengelana. Mereka masing-masing menyewa
satu kamar yang saling berdampingan. Eh, kenapa tuan bertanya begitu?"
"Tidak
apa-apa. Tadi kau menyebut nama Gundali. Siapa orang itu!?"
"Gundali
orang yang bekerja sebagai ronda dan penjaga keamanan di penginapan
ini……."
"Dia
tinggal di Magelang ini?"
"Tentu
saja!"
"Aku
ingin bertemu dengan dia," kata Wiro pula.
"Tuan
tak usah susah-susah. Sebentar lagi dia akan datang di sini. Tugasnya memang
khusus malam hari!"
Wiro
tepuk bahu pegawai hotel itu dan ucapkan terima kasih. Dia langsung berbarina
di tempat tidur karena sekujur tubuhnya terasa letih. Tanpa disadari dia jatuh
pulas. Ketika bangun, yang pertama sekali diingatnya adalah orang bernama
Gundali itu. Namun sewaktu ditanyakan pada pelayan dia mendapat keterangan
bahwa Gundali belum datang.
"Tidak
seperti biasanya. Seharusnya dia sudah berada di sini saat ini." kata
pegawai hotel itu.
Wiro
garuk-garuk kepala. Setelah berpikir-pikir sejenak pendekar ini memutuskan
lebih baik mandi danmakan dulu, baru kemudian menunggu Gundali. Jika orang ini
masih belum datang juga dia akan minta bantuan pelayan itu Untuk mengantarkan
ke rumah Gundali. Dia harus menemui orang ini untuk minta beberapa keterangan.
Selesai membersihkan diri Wiro Sableng pergi makan di sebuah kedai tak berapa
jauh dari penginapan.
Tengah
dia menyantap makanannya, masuklah tiga orang tetamu yang langsung disambut
oleh pemilik kedai. Setelah menyebutkan makanan yang mereka pesan, salah
seorang dari tetamu itu bertanya. "Apakah kau sudah dengar peristiwa
pembunuhan atas diri Gundali penjaga penginapan Candi."
"Gundali
dibunuh orang …. ?!" kata pemilik kedai yang bertubuh gemuk setengah
berteriak. Karena kerasnya ucapannya ini Wiro yang berada jauh di sudut sampai
mendengar dan menjadi tersentak kaget. Dia hentikan makannya dan memandang pada
orang-orang itu sambil pasang telinga.
"Waktu
itu dia tengah bersiap-siap hendak berangkat ke penginapan tempat dia bekerja.
Baru saja keluar pintu rumah tiba-tiba satu bayangan melompat dari atas atap,
sebilah pedang berkelebat dan putuslah kepala Gundali!"
Pemilik
kedai menggigil ngeri. "Kapan terjadinya?" tanyanya.
"Barusan
saja. Rumahnya ramai didatangi orang. Pembantu-pembantu Kadipaten sudah ada di
sana mengusut perkara pembunuhan ini!"
Sampai
disitu Wiro berdiri dari kursinya, letakkan uang di atas meja dan tinggalkan
kedai. Karena peristiwa terbunuhnya Gundali cukup menggemparkan dan saat itu
banyak orang yang berdatangan ke sana, maka tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk
mencari rumah Penjaga penginapan yang malang itu.
*****************
10
KETIKA
WIRO SAMPAI dirumah Gundali, orang masih banyak berjubalan disana. Beberapa
petugas sibuk melakukan pengusutan. Wiro menyeruak diantara orang banyak.
Diruangan depan dari rumah yang kecil itu seorang wanita separuh baya duduk
memangku seorang anak perempuan sambil menangis tersedu-sedu. Perempuan ini
pastilah isteri Gundali yang malang, pikir Wiro. Segera dia mendekati perempuan
ini. Karena dia seorang asing dan berpakaian aneh, ditambah rambut gondrongnya,
tentu saja dia menjadi perhatian orang. Sebelumnya dia sampai ke dekat, istri
Gundali, seorang petugas menahannya.
"Orang
asing, kau siapa?" petugas itu bertanya.
"Gundali
adalah sahabat lamaku", sahut Wiro. "Aku datang kesini untuk
menyampaikan rasa duka citaku pada isterinya."
Setelah
meneliti Wiro sejenak akhirnya petugas itu mengizinkan Wiro menemui istri
Gundali.
"Mbakyu,
kau tentu tidak mengenal aku. Tapi aku adalah sahabat suamimu. Terimalah rasa
duka citaku yang sedalam-dalamnya."
Janda itu
angkat kepalanya, memandang dengan agak heran pada pemuda berambut gorldrong di
hadapannya lalu tutup wajahnya dan kembali menangis tersedu-sedu.
"Dalam
keadaan begini masih saja ada orang gila yang datang mengganggu. . . "
Wiro
Sableng pencongkan mulut, garuk-garuk kepala. Meskipun jengkel penasaran dia
berkata. "Mbakyu, aku bukan orang gila. Aku sahabat suamimu. Aku ingin
menolongmu mencari siapa pembunuh suamimu itu dan menghukumnya. Asal saja saat
ini kau bersedia membantu berikan keterangan. . ." Wiro lantas keruk saku
pakaiannya dan masukan dua keping uang emas kedalam genggaman perempuan malang
itu seraya berbisik. "Jika kau tak keberatan sebaiknya kita bicara di
dalam saja. . . ."
Meskipun
dalam keadaan duka cita karena kematian suami, namun dua keping uang emas itu
membawa pengaruh juga bagi sang janda. Dipandanginya uang itu, lalu pada Wiro,
kemudian pada jenazah suaminya yang terbaring diatas ranjang bertutupan
seperai. Perlahan-lahan dia berdiri, mendukung anaknya dan masuk ke ruangan dalam,
"Ceritakanlah bagaimana kejadiannya sampai suamimu dibunuh orang,"
kata Wiro begitu janda Gundali duduk di sebuah kursi diruangan dalam.
Janda
malang itu keringkan dulu air matanya baru menjawab. "Seperti biasa setiap
suamiku hendak pergi ketempat pekerjaannya, aku selalu mengantarkan sampai
pintu depan. Waktu itu ruangan depan agak gelap karena aku belum sempat
menyalakan lampu. Suamiku mencium anak tunggalnya ini dulu, kemudian membuka
pintu depan.
Begitu
dia melangkahkan kaki dari ambang pintu tiba-tiba ada sesosok bayangan melompat
turun dari atas. Aku dan suamiku terkejut sekali. Kemudian kudengar suamiku
berseru. "Ah raden! Kau kiranya. Aku …" Ucapan suamiku itu hanya
sampai di situ karena tiba-tiba orang yang disebutnya raden itu menghunus
pedang dan menebas lehernya hingga putus. Aku sendiri kemudian jatuh pingsan
…"
Sampai
disini kembali janda Gundali menangis.
Setelah
tangisnya reda Wiro Sableng bertanya. "Apakah kau kenal orang yang
membunuh suamimu itu?"
"Saat
itu didepan gelap. Aku tak dapat melihat wajah si pembunuh. Cuma dari
perawakannya kuduga dia masih muda."
"Suaranya
juga tak dapat kau kenali?" Istri Gundali menggeleng.
Wiro diam
sejenak sambil tangannya tidak berkeputusan garuk-garuk kepalanya yang berambut
gondrong.
"Apakah
suamimu punya musuh di kota Magelang ini atau di tempat lain…?"
"Setahuku
tidak. Meskipun miskin tapi suamiku adalah orang baik-baik. . . ."
Wiro
Sableng menghela nafas panjang. Dia berpikir apa lagi yang hendak
ditanyakannya. Kemudian dia ingat.
"Mungkin
suamimu pernah menceritakan sesuatu sehubungan dengan pekerjaannya sebagai
penjaga keamanan di penginapan Candi? Coba kau ingat-ingat mbakyu."
"Sesuatu
apa?" balik bertanya janda Gundali tak mengerti.
"Misalnya.
. . mungkin suamimu pernah menceritakan tentang tamu-tamu di penginapan…?"
Perempuan
itu termenung sejenak, kemudian dia anggukkan kepala. "Memang
kadang-kadang dia pernah bicara soal tetamu-tetamu. Tapi apa sangkut pautnya
itu dengan kematian suamiku?"
Wiro
Sableng tak perdulikan pertanyaan perempuan itu. Malah berkata. "Pernah
suamimu menerangkan tentang seorang tetamu lelaki muda, yang datang menginap
bersama seorang gadis cantik. Dan tamu lelaki itu kemudian memberikan dua tail
perak pada suamimu…. ?"
Sepasang
mata istri Gundali membesar dan memandang lebar-lebar pada Wiro Sableng.
"Memang
ada," katanya, "dan pemuda itu memberi tambahan tiga tail lagi
sewaktu meninggalkan penginapan."
"Hemm…
jarang orang yang sebaik itu."
"Kau
lebih baik dari dia. Kau barusan memberikan dua keping uang emas padaku."
"Itu
karena aku sahabat suamimu," jawab Wiro pula berdusta padahal sebetulnya
dia ingin mengorek keterangan di samping memang berniat membantu perempuan yang
kematian suami itu. "Apa saja yang diceritakan suamimu mengenai muda-mudi
itu selain hadiah lima tail perak tersebut."
"Aku
tak bisa menceritakannya. Aku malu …" kata janda Gundali pula.
Wiro
kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepala. "Memangnya kenapa. . . ?
Dengar, aku ingin membantumu menangkap dan menghukum pembunuh suamimu. Kurasa
aku bakal dapat mengetahui siapa orang nya. Tapi tanpa keterangan yang
memberikan bukti-bukti darimu sulit bagiku . . . ."
"Suamiku
pernah menceritakan tentang seorang pemuda asing, berambut gondrong. Dia
meragukan kesehatan pikiran orang itu. Agaknya kaulah orangnya, bukan?"
Wiro
Sableng jadi menggerendeng dalam hati.
"Mbakyu,
siapa aku, apakah orang gila atau setengah gila kuharap tak usah diperdulikan.
Yang penting pembunuh suamimu itu harus dihukum. Kalau dia masih berkeliaran di
luar bukan mustahil keselamatanmu dan puteri tunggalmu ini akan terancam
pula."
Kelihatan
bayangan rasa takut pada wajah janda Gundali.
"Baiklah,"
kata perempuan ini pada akhirnya. "Waktu itu sudah larut malam. Suamiku
mematikan lampu-lampu tertentu dalam penginapan. Sewaktu dia sampai di ujung
gang pada bagian mana muda-mudi itu menginap, dilihatnya si pemuda berdiri di depan
pintu kamar si pemudi, mengetuk perlahan-lahan. Kemudian pintu kamar terbuka,
tamu lelaki masuk ke dalam dan pintu dikunci kembali. Karena mengetahui kalau
sepasang muda-mudi itu adalah murid-murid Partai Lawu Megah yang berkepandaian
tinggi, dia tak berani berbuat apa-apa, apalagi menegur meskipun nyatanyata
masuk ke dalam kamar seorang gadis pada malam hari adalah perbuatan yang tidak
senonoh. Kemudian karena ingin tahu apa yang sebenarnya diperbuat oleh
murid-murid Lawu Megah itu suamiku keluar dan dari luar melakukan pengintaian
lewat celah-celah papan dinding. . . ."
Sampai
disini janda Gundali terdiam.
"Bagaimana
terusnya? Apa yang dilihat suamimu?" tanya Wiro tak sabaran.
"Dua
orang itu betul-betul melakukan perbuatan yang tidak senonoh! Mereka tengah
berpeluk-pelukan. Kemudian pindah ke ranjang. Kemudian mereka kelihatan
menanggalkan pakaian di tubuh masing-masing. Dan melakukan perbuatan mesum
itu…!"
Wiro
keluarkan suara bersiul dan mulutnya.
"Karena
merasa jengah suamiku tidak meneruskan pengintaian. Tapi kira-kira satu jam
kemudian sewaktu dia kembali mengintai, didengarnya dua orang itu bicara
berbisik-bisik. Si gadis mengatakan perasaan kawatirnya karena saat itu katanya
dia telah hamil jalan tiga bulan. . . ."
Wiro
melengak kaget. "Kalau begitu mereka melakukan hubungan sudah sejak
lama!"
Janda
Gundali mengangguk. "Agaknya begitu. Rupanya mereka sudah mencoba mencari
obat untuk menggugurkan kandungan. Tapi sia-sia belaka. Kalau Tuhan punya kuasa
minum obat apapun kandungan itu tak bakal gugur! Suamiku mendengar si pemuda
berkata bahwa satu-satunya orang yang bisa menggugurkan kandungan itu adalah
Resi Kumbara, bekas ketua Partai Lawu Megah. Tetapi tentu saja mereka tidak
bisa melakukannya. Maka suamiku mendengar keduanya berunding. Yang pemuda
rupanya dapat akal keji. Dia menyebut-nyebut pemuda gondrong ceriwis yang juga
menginap di penginapan itu. Lalu tentang kancing baju milik orang itu yang
tanggal dan ditemuinya dekat kaki kursi. Dari pembicaraan jelas bahwa mereka
tengah mengatur rencana busuk, hendak mengambing hitamkan pemuda asing yang
agaknya adalah kau sendiri. Rupanya lelaki muda itu seperti mengetahui kalau
ada orang di dekat kamar karena dia kemudian membuka jendela. Untung saja
suamiku cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan pura-pura buang air kecil di
balik pohon. Namun agaknya pemuda itu menaruh curiga. Itulah sebabnya dia
menambahkan tiga perak lagi ketika hendak pergi. Maksudnya agar suamiku tidak
membuka rahasia malam itu."
"Cukup.
. . . cukup dan terima kasih atas keteranganmu itu. Tahukah kau sekarang siapa
yang membunuh suamimu malam ini? Pemuda bangsat itu. Namanya Tandu Wiryo. Dan
si gadis mesum itu bernama Sularwasihl"
Si janda
terpekik kecil dan memandang melotot pada Wiro.
Pendekar
212 pegang bahu janda Gundali dan berkata. "Bila tiba nanti waktunya, aku
akan bawa kau kepuncak Lawu!" Habis berkata begitu Wiro tinggalkan
perempuan yang kemudian kembali menangis bersedu-sedu sambil peluki puterinya
yang kini telah jadi anak yatim.
*****************
11
JEJAK
pendekar Pedang Akhirat lolos dari puncak gunung Lawu bersama Wiro Sableng
timbullah kecurigaan penuh diantara para paderi dan semua anak murid partai
yakni jika tidak dengan bantuan Resi Kumbara, kedua orang itu pasti tidak bakal
dapat melarikan diri. Pintu rahasia dari terowongan yang menembus gunung ada
dalam tempat pengasingan bekas ketua partai itu. Nyata sudah bahwa Resi Kumbara
telah membantu Wiro dansi kakek muka tengkorak.
Hal ini
membuat pihak-pihak yang memang tidak menyukai Resi Kumbara menjadi marah,
termasuk Resi Tumbal Soka sendiri. Suasana di gunung Lawu hari-hari kelihatan
tenang-tenang saja. Namun ketenangan ini tidak beda laksana api dalam sekam
yang sewaktu-waktu pasti meledak. Dan ledakan itu nyatanya terjadi juga yakni
empat minggu kemudian.
Atas
perintah Resi Tumbal Soka semua paderi yang memegang pucuk pimpinan dikumpulkan
di gedung perundingan. Diluar gedung menjaga murid-murid partai kelas satu.
"Saudara-saudara
separtai yang aku cintai," Resi Tumbal Soka angkat bicara. "Kita
semua sama tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dalam tubuh partai kita sejak
lolosnya dua orang manusia terkutuk itu. Rasanya tak perlu lagi dibentangkan
panjang lebar bagaimana mereka bisa lolos atau siapa yang memberi jalan pada
mereka. Saat ini aku mengumpulkan kalian semua adalah untuk membicarakan soal tanggung
jawab yang harus kita tuntut pada bekas ketua kita. Resi Kumbara meskipun
adalah bekas ketua yang kita hormati bahkan kakak kandungku sendir, namun jika
berbuat kesalahan bahkan penghianatan musti kita tuntut dan mintakan
pertanggungan jawabnya. Untuk itu mari kita beramai-ramai mendatangi tempat
persamadiannya!"
Sebelum
paderi-paderi itu berdiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka mendahului dan
tegak menghadang di pintu. Paderi ini adalah Resi Permana yakni, paderi yang
memimpin mereka yang ingin melihat Partai Lawu Megah kembali pada masa jaya
seperti dibawah pimpinan Resi Kumbara dulu bahkan berharap agar Resi Kumbara
sudi memegang jabatan ketua kembali.
"Saudara-saudaraku
separtai," kata Resi Permana sambil rangkapkan tangannya didepan dada.
"Sebelum bertindak pikirkan baik-baik lebih dulu. Mengganggu kakak yang
sedang bersamadi saja sudah merupakan perbuatan tidak sopan. Apalagi hendak
menuntutnya. Dan secara beramai-ramai seperti ini, seperti gerombolan yang
datang menggarong saja!"
Mendengar
ucapan saudara seperguruannya itu merah padamlah wajah Resi Tumbal Soka. Dia
maju ke hadapan Resi Permana dan dengan nada keras marah menegur:
"Resi
Permana! Kau sudah keblinger atau bagaimana sampai berkata dernikian? Sudah
terbukti kakak salah, kau masih hendak membela. Rupanya kau bersekongkol jadi
pengkhianat?!"
"Berkhianat
suatu hal yang keji, aku tahu hal itu," sahut Resi Permana pula. "Dan
berlaku kurang ajar pada leluhur tidak jauh kejinya dari berkhianat. Jangan kau
berani menuduh Resi Kumbara telah berkhianat. Kesalahannya memang nyata. Tetapi
aku rasa kakak tidak akan terlalu bodoh meloloskan orangorang itu begitu saja.
Aku yakin ada perjanjian tertentu yang mengikat diantara mereka!"
"Berjanji
dengan musuh-musuh partai justru adalah kesalahan yang harus dipertanggung
jawabkan pula!" tukas Resi Tumbal Soka. "Jika kau tidak ingin bersatu
dengan kami, menyingkirlah dari pintu itu!"
Resi
Permana dalam hati marah setengah mati terhadap Resi Tumbal Soka. Jika saja
paderi itu tidak dihormatinya sebagai ketua niscaya dia tidak segan-segan untuk
berdebat mulut lebih jauh. Bahkan tidak gentar melakukan kekerasan. Diam-diam
dia menyesali kenapa Resi Kumbara dulu menyerahkan jabatan ketua pada paderi
ini.
Resi
Permana menghindar dari pintu. Tiga orang paderi lainnya, yang sama sefaham
dengan Resi Permana tegak disamping paderi ini, tak mau ikut bersama ketua
Partai Lawu Megah dan paderi lainnya. Resi Tumbal Soka memandang pada mereka
berempat dengan pandangan menyorot. Lalu dengan nada sinis dia berkata.
"Bagus!
Jadi inilah contohnya empat paderi yang jadi puntung-puntung pengkhianat. Kelak
para pucuk pimpinan akan mengadakan rapat untuk merundingkan tindakan apa yang
bakal dilakukan atas diri kalian!"
"Ketua,
aku mohon sekali lagi agar kau suka memikirkan tindakan ini sebelum
melakukannya", kata Resi Permana merendah dan sabar.
Pelipis
Resi Tumbal Soka kelihatan bergerakgerak saking marahnya. Dia menyemprot.
"Sebaiknya
kau pikirkan paderi-paderi dan murid murid partai yang mati dibunuh oleh kedua
keparat itu di kaki gunung begitu keluar dari terowongan rahasia!"
"Itu
salah mereka sendiri. Kenapa menghadang dan mengeroyok dengan sengaja!"
sahut Resi Permana.
Jika
tidak dapat menindih kemarahannya mungkin ketua Partai Lawu Megah sudah
menampar Resi Permana saat itu. "Kalau toh mereka yang terbunuh itu bisa
datang dan bicara, pasti mereka akan menyumpah dan mengutukmu
habis-habisan!" Resi Tumbal Soka bantingkan kakinya ke lantai hingga ubin
ruangan amblas lalu putar tubuh tinggalkan paderi Permana yang cuma tegak
terdiam dan menarik nafas panjang berulang kali.
********************
SEPERTI
biasanya Resi Kumbara yang sudah lanjut usia itu ketika didatangi oleh adiknya
bersama delapan paderi utama tengah tenggelam dalam kekhusukan samadi. Namun
begitu Resi Tumbal Soka dan paderipaderi lainnya sampai di hadapannya, bekas
ketua partai ini tiba-tiba saja buka matanya yang terpejam dan hentikan
samadinya. Dia memandang pada adiknya dan semua paderi yang ada di situ dengan
tersenyum. Dia tidak melihat paderi Permana dan tiga paderi lainnya, tetapi tak
mau bertanya.
"Adikku,"
Resi Kumbara justru yang lebih dulu buka pembicaraan. "Kau dan
saudara-saudara lainnya tak usah menerangkan lagi panjang lebar maksud
kedatangan kalian. Aku sudah dengar semua pembicaraanmu di ruangan perundingan.
. . ."
Resi
Tumbal Soka dan delapan paderi lainnya tidak terkejut karena mereka mengetahui
kalau paderi tua itu memiliki semacam ilmu pendengaran jarak jauh yang luar
biasa.
Setelah
memandang pada saudara-saudara seperguruannya. Resi Tumbal Soka lantas
menjawab, "Syukurlah kalau kakang sudah mengetahui hingga kami tidak perlu
mengganggumu lama-lama."
Resi
Kumbara manggut-manggut sambil usap-usap janggutnya yang putih. "Aku
mengakui bahwa memang akulah yang membantu Pendekar Pedang Akhirat dan pemuda
asing bernama Wiro Sableng itu melarikan diri lewat terowongan. Tetapi dengan
syarat tertentu yaitu si Pedang Akhirat itu harus mengantarkan sendiri kepala
Wiro Sableng padaku jika nanti terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Di
samping itu karena keteledorannya si kakek harus pula bunuh diri di
hadapanku."
"Kakang
percaya pada janji manusia-manusia busuk macam mereka?" tukas Resi Tumbal
Soka. "Aku betul-betul tak mengerti."
"Soal
busuk mereka belum ketahuan adik. Ada orang yang di luaran kelihatannya kotor
jahat, tetapi hatinya putih bersih. Sebaliknya ada orang yang berpakaian bagus,
baik budi bahasa, manis tutur bicaranya, berlagak pegang disiplin dan aturan,
tetapi di dalamnya keji keropok."
Resi
Tumbal Soka terdiam mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian dia baru berkata.
"Tapi bagaimanapun kakak tetap salah."
"Betul,
aku tahu hal itu…" jawab bekas ketua partai Lawu Megah itu." Sebagai
jaminan atas perjanjian itu, Wiro Sableng telah menyerahkan senjata mustika
warisan gurunya. …" Dari balik jubah putihnya Resi Kumbara kemudian
keluarkan Kapak Maut Naga 212.
Baik
Tumbal Soka maupun delapan paderi lainnya sama membeliak kaget dan kagum
melihat senjata aneh yang memancarkan sinar terang berkilauan itu.
"Ini
betul-betul bukan senjata sembarangan dan agaknya tak ada duanya di jagat
ini," membathin Resi Tumbal Soka. Dan dalam hatinya timbullah niat buruk
untuk memiliki kapak sakti ini. Setelah memutar otak licinnya sesaat maka
berkatalah dia.
"Kakak,
senjata itu terpaksa kami sita sebagai barang bukti. Bukti bahwa kau telah
disuap oleh dua orang jahat itu agar mereka bisa lolos."
Resi
Kumbara tertawa jumawa mendengar kata-kata adiknya itu. Dia sendiri maklum apa
yang berada dalam hati sang adik.
"Aku
sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Jika kau menganggap ini barang sogokan
dan hendak menyitanya, aku tak keberatan. Cuma aku pesankan, jika nanti
terbukti pemuda itu tidak bersalah, kau harus kembalikan kapak itu
padanya."
Habis
berkata begitu Resi Kumbara serahkan Kapal Maut Naga Geni 212 pada adiknya yang
segera diambil oleh Resi Tumbal Soka dan disimpannya di balik jubah.
"Sekarang
apa lagi maumu, adik?" bertanya Resi Kumbara.
"Sesuai
dengan peraturan, kakak terpaksa kami masukkan dalam penjara," kata Resi
Tumbal Soka pula.
Resi
Kumbara menarik nafas panjang.
"Nasibku
memang sial," kata kakek ini, "Jika memang begitu menurut aturan aku
tidak akan membantah. Di penjara manakah aku hendak kalian jebloskan?"
Patut
diketahui bahwa di gunung Lawu terdapat tiga macam penjara. Yang pertama
penjara berdinding batu biasa. Kemudian penjara dibawah sebuah mata air yang
amat dingin hingga siapa yang masuk di sana akan merasakan seolah-olah dipendam
dalam salju. Penjara ini disebut Penjara Salju. Yang ketiga adalah Penjara Api.
Disini hawanya panas sekali karena pada sebelah luarnya di kelilingi oleh
kobaran api.
Setelah
berpikir sejenak Resi Tumbal Soka berkata, kata, "Untuk sementara kakak
kami tempatkan di Penjara Biasa saja."
"Terima
kasih," jawab Resi Kumbara sambil tersenyum dan berdiri. Baru saja dia
hendak digiring keluar ruangan samadi tiba-tiba berkelebatan empat sosok tubuh
berjubah putih. Di lain kejap Resi Permana dan tiga orang paderi yang setia
padanya sudah berdiri menghadang di pintu.
"Siapa
yang berani menjebloskan kakak ke penjara akan berurusan dulu denganku!"
kata Resi Permana lantang.
Melihat
gelagat yang tidak baik ini Resi Tumbal Soka segera maju menghadapi sambil
bertolak pinggang.
"Aku
ketua partai. Hitam kataku harus hitam. Putih musti putih! Kau punya hak apakah
bicara seperti itu?!"
"Peduli
setan dengan segala hak! Seorang ketua yang baik tidak akan melakukan perbuatan
seperti ini terhadap orang yang menjadi kakak kandungnya. Apalagi yang telah
mengangkatnya sebagai ketua. Resi Tumbal Soka, aku harap kau bawa
saudarasaudara yang lain ini keluar dari sini. Kalau tidak niscaya terjadi
pertumpahan darah disini."
"Hemm.
. . . Kau berani berkata begitu terhadapku, paderi Permana. Sungguh besar
nyalimu! Minggirlah sebelum aku betul-betul marah!"
"Kau
yang harus menyingkir dari tempat ini!" teriak Resi Permana pula.
"Kurang
ajar! Saudara-saudara, tangkap pemberontak ini!" Seru Resi Tumbal Soka
pada delapan paderi.
Segera
delapan paderi yang diperintahkan bergerak mengurung Resi Permana. Tiga paderi
yang datang bersama paderi Permana melihat ini segera pula bersiap-siap.
"Bagus!
Kalian berempat akan kujebloskan ke dalam Penjara Api!", teriak Resi
Tumbal Soka marah. Sehabis berteriak begitu ketua Partai Lawu Megah ini
mendahului turun tangan, lepaskan satu pukulan tangan kosong kearah Resi Permana
yang saat itu sudah alirkan pula tenaga dalamnya ke lengan jubah, siap untuk
menangkis dan balas menggempur. Sebelum pukulan tangan kosong Resi Tumbal Soka
menghantam tiba-tiba paderi ini rasakan bahunya dipegang orang dari belakang
demikian keras hingga dia bukan saja tak mampu menggerakkan tangan untuk
memukul tetapi juga seolah-olah dipantek kaku. Berpaling ke belakang Resi
Tumbal Soka lihat kakaknya tersenyum padanya.
"Sabar
adik, bukan dengan saudara sendiri ilmu kepandaian dipakai untuk
menyerang!" Kemudian pada Resi Permana dia berkata, "Paderi Permana,
kedudukanmu tidak memungkinkan kau dan saudara-saudara membelaku. Caranya juga
salah. Kau harus hormat dan patuh pada Resi Tumbal Soka …. "
Resi
Permana gigit bibirnya sampai berdarah saking kesal hatinya.
"Menghindarlah
dari pintu itu, paderi Permana. Biar mereka menggiring aku ke penjara. Soalnya
aku memang salah!"
Untuk
beberapa lamanya Resi Permana cuma berdiri tegak sambil geleng-gelengkan
kepala. Kemudian dia berkata. "Kalau begitu biar aku dan tiga paderi ini
ikut bersamamu dijebloskan dalam penjara!" katanya.
"Terima
kasih kalau kau memang bersedia menemaniku." ujar Resi Kumbara pula.
"Berkawan
adalah lebih baik dari pada sendirian. Apalagi dalam penjara!"
Maka
kelima paderi gunung Lawu itu kemudian digiring dan ramai-ramai dijebloskan
dalam Penjara Biasa.
*****************
12
HANYA
BEBERAPA JAM saja sesudah Resi Kumbara, Resi Permana dan tiga orang paderi
lainnya itu dimasukkan ke dalam Penjara Biasa maka di jalan kecil pada lereng
gunung Lawu kelihatan sebuah kereta bertenda ditarik oleh dua ekor kuda yang
tegaptegap, mel-ncur mendaki dengan cepat. Bertindak sebagai sais dari kereta
ini adalah seorang pemuda berambut gondrong. Dia memegang les kuda sambil
bersiul-siul nyaring entah membawakan lagu apa. Pemuda ini bukan lain adalah
murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede atau Pendekar 212 Wiro Sableng.
Disamping Wiro duduk seorang perempuan separuh baya berwajah pucat ketakutan
karena jalannya kereta begitu kencang. Perempuan ini adalah janda Gundali. Di
sebelah belakang duduk pula seorang perempuan bertubuh gemuk berambut putih.
Seperti istri Gundali perempuan inipun ketakutan setengah mati naik kereta yang
dipacu sekencang itu, apalagi jalan kecil mendaki dan kiri kanan diapit jurang.
Dia duduk berpegang erat-erat, kedua matanya dipejamkan. Dia adalah tukang
sayur di Magelang.
Ketika
melewati sebuah tikungan tajam dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba dari lamping
batu dikiri jalan yang tingginya hampir lima belas tombak, melayang dua sosok
tubuh. Janda Gundali berteriak kaget, begitu juga tukang sayur yang membuka
matanya karena mendengar jeritan itu. Dua orang yang melompat dari atas lamping
batu tinggi itu, jatuh tepat diatas kereta yang tengah bergerak cepat, tanpa
menimbulkan suara sama sekali!
Wiro
berbaling ke belakang. Dia keluarkan suara siulan keras ketika mengenali siapa
adanya dua orang yang barusan melompat ke dalam kereta. Mereka bukan lain ialah
Pendekar Pedang Akhirat dan Wilarani yang tempo hari mengobati dan merawat Wiro
Sableng.
"Senang
bertemu denganmu kembali, Wilarani!" kata Wiro dan memecut kuda penarik
kereta agar lebih cepat.
"Amboi!
Apakah kau juga senang bertemu denganku, Wiro? Kau hanya menegur gadis cantik
ini! Mentang-mentang aku sudah tua bangka!" berkata si kakek.
Wiro
tertawa gelak-gelak.
"Kalian
berdua hendak membonceng kemanakah?!" tanya Wiro.
"Jalan
buruk dan sukar, panas pula. Bukankah lebih baik membonceng bersama kalian?
Kita mempunyai tujuan yang sama. Puncak gunung keparat ini!" jawab si
kakek.
"Untuk
menyerahkan kepalaku pada Resi Kumbara?", tanya Wiro bergurau.
"Mungkin
juga kepalaku sekalian!" sahut Pendekar Pedang Akhirat. Lalu keduanya
sama-sama tertawa.
Setelah
melewati pertengahan lereng Gunung Lawu kedatangan mereka ini sudah diketahui
oleh muridmurid Partai Lawu Megah yang melakukan penjagaan di tempat tinggi.
Laporan segera dikirimkan pada ketua partai. Resi Tumbal Soka segera memanggil
beberapa orang paderi kepercayaannya. Mereka bicara di satu ruangan tertutup
selama sepuluh menit kemudian bubar.
Sementara
itu Wiro dan kawan-kawannya masih terus memacu kuda-kuda kereta dijalan buruk
mendaki itu. Disatu tempat dimana sebelah kiri membentang jurang dalam sedang
disebelah kanan menjulang gunung batu tinggi, tiba-tiba terdengar suara
menggemuruh seolah-olah datang dari langit. Semua orang mendongak ke atas dan
serentak menjadi kaget. Tiga buah batu raksasa menggemuruh menggelinding ke
bawah. Janda Gundali dan perempuan gemuk tukang sayur menjerit ketakutan sambil
pejamkan mata dan tutup kepala dengan telapak tangan.
"Celaka!
Matilah kita semua!" seru Pendekar Pedang Akhirat. Wiro sendri garukgaruk
kepala kebingungan dan hentikan kereta.
"Wiro
kau hantam batu yang sebelah kanan, aku yag sebelah kiri. Batu ketiga elakkan!
Dua perempuan ini dibawa keluar kereta dan kau Wilarani, jangan bertindak ayal!
Cepat!"
Mendengar
kata-kata kakek muka tengkorak itu Wiro Sableng segera alirkan tenaga dalam ke
tangan kanan lalu lepaskan pukulan "sinar matahari", menghantam batu
besar di sebelah kanan. Dibagian belakang kereta si kakek telah lepaskan pula
pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Terdengar suara
berdentum sewaktu pukulan-pukulan sakti itu menghancur-leburkan dua batu besar
yang melayang turun kebawah. Sehabis memukul hancur si kakek dan Wiro Sableng
melesat dari kereta sedang Wilarani merangkul janda Gundali serta Pedagang
sayur, melompat ke tempat yang aman. Batu raksasa ketiga jatuh menggemuruh dan
tepat menghantam kereta. Kereta dan dua ekor kuda itu tertindih lumat!
Mengerikan untuk disaksikan!
"Keparat
haram jadah! Orang-orang Partai Lawu Megah itu benar-benar minta dihajar!"
maki Wiro seraya bersihkan muka dan pakaiannya dari debu hancuran batu.
"Sudah,
jangan memaki saja sobatku! Mari kita lanjutkan perjalanan. Kau dukunglah
nyonya gemuk itu, aku akan menggendong janda Gundali. Kalau tidak, kita akan
terlalu lama sampai di puncak Gunung Lawu."
Habis
berkata hegitu si kakek sambar tubuh janda Gundali, terus membawa lari. Wiro
menggerendeng garuk-garuk kepala karena dia kebagian perempuan gemuk buntak
itu, sementara Wilarani tertawa geli, lambaikan tangan pada Wiro dan berkelebat
mengikuti si kakek. Wiro berpaling pada perempuan tukang sayur yang saat itu
tegak menggigil sambil pejamkan mata.
"Hai,
gemuk! Marilah kugendong kau!" seru Wiro seraya tampar pantat perempuan
itu lantas memanggulnya di bahu kanan. Si gemuk berteriak kaget, di lain kejap
dia kembali pejamkan matanya karena ngeri dibawa lari demikian cepatnya!
Setelah
melewati jalan yang sulit, dua jam kemudian sampailah mereka di puncak Gunung
Lawu. Tak seorangpun kelihatan sedang suasana tampak sunyi saja. Justru hal ini
membuat tidak enak. Ketegangan yang tersembunyi. menggantung diseantero tempat.
Tepat pada saat Wiro dan kawan-kawannya sampai di tengah lapangan terbuka, maka
dari mana-mana muncullah puluhan murid partai dan paderi-paderi. Sekali
memandang saja Wiro dan si kakek serta Wilarani sudah mengetahui kalau mereka
semua telah terkurung rapat.
Si kakek
berbisik pada Wiro, "Bagaimana sekarang?"
"Kau
saja dulu yang buka pembicaraan kakek. . . ." sahut Wiro.
"Tapi
sebelum bicara apakah aku boleh tertawa dulu?" tanya si kakek muka
tengkorak masih bisa bergurau.
"Tertawalah
sepuasmu, kalau nanti sudah mati kau tak bakal bisa lagi tertawa," jawab
Wiro setengah mengomel.
Wilarani
senyum-senyum geli melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah menurunkan janda
Gundali dari panggulannya, si kakek memandang berkeliling lalu mulai tertawa.
Mula-mula perlahan-lahan, kemudian makin keras, makin keras dan panjang
meninggi hingga orang yang disitu merasakan bagaimana tanah yang mereka pijak
bergetar akibat suara tertawa dahsyat si kakek muka tengkorak.
"Orang-orang
Gunung Lawu! Penyambutan kalian ini masih kurang lengkap! Mana ketua
kalian?" tiba-tiba si kakek berseru.
Dari
bangunan bertingkat di sebelah kiri lapangan, terdengar jawaban. "Aku disini
pendekar tua!" Memandang ke jurusan itu kelihatan Resi Tumbal Soka berdiri
di beranda tingkat atas. Disebelah kirinya tegak Tandu Wiryo dan Sularwasih.
Disamping kanan berdirl dua orang paderi. Semua memandang dengan mata
berapi-api. "Bagus kalian datang sendiri mengantar nyawa hingga kami tak
perlu susah-susah mencari…!"
Si kakek
berpaling pada Wiro, kedipkan matanya lalu kedua orang ini tertawa cekakakan.
"Kami
datang mengantar nyawa katamu? Sungguh lucu sekali kedengarannya.
Bagaimana
kalau aku katakan bahwa kami datang untuk minta beberapa nyawa orang Partai
Lawu Megah hari ini heh!!"
Resi
Tumbal Soka mendengus marah. Di sebelahnya Tandu Wiryo berkata, "Kita tak
perlu berdebat panjang dengan bangsat-bangsat ini. Izinkan saya dan para paderi
menghajarnya saat ini juga!" Suara Tandu Wiryo bergetar bukan saja karena
marah tetapi juga karena takut luar biasa yakni setelah dia mengenali Isteri
Gundali!
"Kau
sabarlah muridku. Serahkan semuanya padaku." jawab Resi Tumbal Soka pula.
Di bawah
terdengar Wiro Sableng buka suara.
"Ketua
Partai Lawu Megah, aku dan orang-orang ini datang untuk meneruskan kembali
urusan yang terbengkalai tempo hari!"
"Bagus!
Kali ini kau tak akan mampus digantung, tapi lumat dicincang!" yang
menjawab adalah Sularwasih.
Wiro
Sableng keluarkan siulan. "Amboi Warsih, kau ini tambah cantik saja.
Tambah
gemuk
malah. Apakah kau sehat-sehat saja selama ini, tidak muntah-muntah … ?!"
Mendengar
kata-kata itu berubahlah paras Sularwarsih. Tubuhnya menggigil sedang di
sebelahnya Tandu Wiryo kelihatan pucat pasi. Jelas pemuda asing itu sudah tahu
rahasia mereka berdua. Sementara itu yang lain-lain, termasuk Pendekar Pedang
Akhirat tampak agak heran mendengar ucapan Wiro tadi sedang Wilarani mulai
menduga-duga. Tiba-tiba!
Sret!
Sret!
Tandu
Wiryo dan Sularwasih cabut pedang mereka, berteriak keras dan sambitkan senjata
itu kebawah. Laksana anak panah pedang Tandu Wiryo melesat kearah Wiro Sableng
sedang pedang Sularwasih menyambar kearah janda Gundali!
*****************
13
PENDEKAR
Pedang Akhirat merasa kaget dan heran kenapa Sularwasih menyerang janda Gundali
dengan lemparan pedangnya yang ganas. Disamping itu kakek ini juga jadi marah
sekali.
"Sungguh
orang-orang partai Lawu Megah tak tahu aturan dan peradatan!" teriak kakek
ini. "Ini kukembalikan pedangmu Warsih." Sekali dorongkan tangan
kirinya ke depan maka pedang Sularwasih kelihatan tertahan di udara, kemudian
melesat membalik menyerang pemiliknya sendiri. Demikian derasnya luncuran
pedang hingga Sularwasih tak berani menyambut, buru-buru mengelak. Pedang itu
menancap pada langitilangit bangunan tingkat dua.
"Aku
pun juga tidak butuh pedangmu manusia Tandu Wiryo. Ambillah kembali!"
terdengar
Wiro berseru. Ketika pedang menyerang ke arahnya, pendekar ini berkelit ke
samping. Dari samping dia pukul gagang pedang hingga senjata itu mental tegak
lurus ke atas. Begitu turun kembali Wiro pukul belakang gagangnya. Kini pedang
itu laksana kilat menyambar ke arah Tandu Wiryo. Seperti juga dengan pedang
Wasih, senjata ini melesat danmenancap pada langit-langit ruangan tingkat dua.
"Kalian
semua dengar," tiba-tiba si kakek berteriak keras, membuat semua orang
terdiam tegang. "Sebelum aku dan sobat muda ini meneruskan pembicaraan aku
harap agar Resi Kumbara hadir di sini untuk mendengarkannya."
Resi
Tumbal Soka tertawa mengejek.
"Orang
tua itu tak ada urusan dengan kalian. Aku ketua Partai Lawu Megah yang
menentukan hitam atau putih disini."
"Baik!
Tetapi jika nanti kau mengambil keputusan secara tidak adil, ingat Tumbal Soka!
Aku sudah tua dan sudah jemu hidup di dunia ini. Mati bukan apa-apa bagiku.
Tapi kematianku kelak harus disertai dengan sekurang-kurangnya tiga puluh nyawa
orang-orang Gunung Lawu termasuk kau!"
Resi
Tumbal Soka mendengus. "Tua bangka sombong takabur. Lekas kemukakan
persoalanmu sebelum kau danbangsat gondrong itu kami cincang lumat."
Si kakek
berpaling pada Wiro Sableng, anggukkan kepala seraya berkata. "Selesaikan
urusanmu, sobat muda."
Wiro
garuk-garuk kepala beberapa kali lalu buka mulut.
"Ketua
Resi Tumbal Soka! Dulu kalian telah menuduhku secara membabi buta sebagai orang
yang telah merusak kehormatan nona Warsih. Hari ini aku datang untuk
membeberkan persoalan yang sebenarnya lengkap dengan saksi-saksi."
"Saksi-saksi
palsu!" teriak Tandu Wiryo.
"Sssst!"
Wiro palangkan jari telunjuknya diatas bibir. "Jika kau tidak diminta
bicara, belajarlah sopan santun berdiam diri!" kata-kata dan sikap Wiro
yang lucu tapi mengejek itu membuat Tandu Wiryo laksana terpanggang sementara
Sularwasih sendiri menggigil tubuhnya. Wiro lanjutkan kata-katanya.
"Sejak
semula aku merasa ada yang tidak beres di balik semua kejadian keji itu. Aku
sengaja dijadikan kambing hitam. Dan orang yang mengatur semua rencana keji itu
adalah murid Partai Lawu Megah sendiri. Itu mereka…. yang bernama Sularwasih
danTandu Wiryo."
"Bangsat!
Kau berani menuduh kurang ajar," teriak Tandu Wiryo dan hendak melompat
turun dari tingkat atas, tapi seorang paderi cepat mencegahnya.
"Tandu
Wiryo! kenapa kau kelihatan begitu sewot. Apa hendak menyembunyikan rasa
takutmu…?" kembali Wiro menempelak dengan ejekannya.
Mulut
Tandu Wiryo kelihatan komat kamit entah menyumpah apa. Sambil cengar cengir
Wiro kemudian lanjutkan kata-katanya. "Dua murid Partai Lawu Megah itu
nyatanya sudah sejak lama melakukan hubungan gelap, entah di luaran entah di
puncak Gunung Lawu ini. Pokoknya yang jelas hubungan terkutuk itu telah membuat
Sularwasih hamil alias bunting alias mengandung alias berbadan dua. Kalian
dengar semua?! Sularwarsih bunting akibat hubungannya dengan Tandu Wiryo.
Hal ini
membuat mereka takut dan berusaha menggugurkan kandungan. Tetapi telah kasip.
Mereka mencari akal untuk menyelamatkan diri dan sewaktu aku bertemu dengan
mereka di penginapan Candi. Magelang, ternyata akulah yang mereka jadikan
bulan-bulanan kambing hitam. Sekarang Sularwarsih sudah hamil memasuki empat
bulan. Jika kalian tidak percaya silahkan geledah perutnya."
Kata-kata
Wiro yang tandas itu membuat semua orang kaget laksana disambar petir.
"Tidak!
Tidak! Dia berdusta!" tiba-tiba Sularwarsih berteriak. Gadis ini tutup
mukanya dengan telapak tangan, lalu tanpa diduga siapapun dia melompat dari
tingkat dua itu ke genting bangunan di sebelahnya dan lenyap.
Pendekar
Pedang Akhirat berseru. "Resi Tumbal Soka apa kau tidak memerintah
orang-orangmu untuk mengejar dan menangkap gadis bunting itu?"
Wajah
Resi Tumbal Soka membesi merah padam.
"Hal
itu bisa dilakukan nanti. Toh dia mau lari kemala! Yang penting pemuda gondrong
ini harus mempertanggung jawabkan tuduhan kejinya itu."
Wiro
tertawa mengejek. "Ketua! Tuduhan bukan cuma tuduhan membabi buta dan
palsu seperti yang pernah dilakukan orang-orang Partai Lawu Megah terhadapku.
Aku datang lengkap membawa dua saksi hidup." Wiro berpaling pada janda
Gundali dan berkata, "Perempuan ini sekarang menjadi janda karena suaminya
telah dibunuh oleh Tandu Wiryo."
Kembali
semua orang jadi gempar.
"Suaminya
bekerja di Penginapan Candi di Magelang dan secara kebetulan telah mengintip
perbuatan mesum Tandu Wiryo dengan Sularwasih, bahkan mendengar juga
pembicaraan mereka hendak mencelakakan akau Mbakyu, kau tuturkan sendirilah
semua apa yang kau ketahui!"
Dengan
tersendat-sendat janda Gundali ceritakan apa yang pernah diterangkan suaminya
padanya. Lagi-lagi gunung Lawu menjadi gempar. Disaat itu tiba-tiba Tandu Wiryo
putar tubuh hendak melarikan diri tapi dari bawah Pendekar Pedang Akhirat yang
sejak tadi mengawasi pemuda ini cepat jentikkan jarinya, kirimkan totokan jarak
jauh yang lihay hingga detik itu juga Tandu Wiryo tak mampu berkutik lagi!
"Bagus….
bagus! Semua mulai terang kini! Yang busuk mulai kelihatan belangnya!
Ayo
sobatku sekarang aku ingin tahu tentang perempuan gemuk ini. Siapa dia!"
seru si kakek pula.
"Perempuan
ini adalah pedagang sayur mayur yang menjadi langganan penginapan Candi di
Magelang. Hari itu ketika aku masuk penginapan secara tak sengaja aku
bertabrakan dengan dia yang sedang membawa keranjang. Tabrakan ini membuat
salah satu kancing bajuku tanggal dan jatuh. Aku tak dapat menemukannya.
Kancing baju inilah yang kemudian diambil oleh Tandu Wiryo sebagai bukti bahwa
aku seolah-olah memang pernah masuk ke kamari Sularwasih! Sialan betul! Ibu
gemuk, kau berikanlah kesaksianmu!"
Perempuan
gemuk tukang sayur itu lantas memberikan kesaksiannya! Pucat pasi laksana kain
kafan wajah Tandu Wiryo.
"Resi
Tumbal Soka! Sekarang aku minta agar kau menggantung murid terkutuk itu!
Di
hadapanku! Di hadapan sobatku dan semua murid-murid partai! Jika kau dulu berani
memutuskan hukuman gantung bagi sobatku maka hari ini kau harus berani
menjatuhkannya pada Tandu Wiryo! Ayo!"
Mulut
ketua partai Lawu Megah tampak terpencong-pencong. Sulit baginya menjawab
kata-kata kakek muka tengkorak itu. Namun akhirnya dia berkata juga. "Soal
hukuman itu adalah urusan kami. Kau orang luar tidak layak mendikte!"
"Ah,
sungguh enak sekali kalau begitu Resi Tumbal Soka. Murid sudah terbukti salah
masih tak mau mengambil tindakan! Aku curiga jangan-jangan kaupun ikut terlibat
dalam_persoalan ini!" seru si kakek.
"Bangsat
tua! Kurobek mulutmu!"
"Silahkan,
aku mau lihat!" tantang si kakek yang memang sudah jengkel dan muak
meiihat kctua Partai Lawu Megah itu.
"Aku
mengajukan usul!" Wiro berseru tiba-tiba. "Bagaimana kalau Tandu
Wiryo langsung mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya satu lawan satu
denyanku?"
"Aku
sudah bilang kami yang membuat aturan di sini, bukan kalian yang
mendikte!" teriak Resi Tumbal Soka.
"Wah,
berabe kalau begini kakek." kata Wiro pada si kakek muka tengkorak.
"Sekarang
kalian kupersilahkan angkat kaki dari sini, kecuali Wilarani. Kau ada keperluan
apakah datang kemari bersama-sama mereka, Wilarani? Apa ikut bersekutu?!"
kata Resi Tumbal Soka pula.
"Saya
datang untuk menyambangi guru Resi Kumbara!" jawab Wilarani.
"Sayang
sekali kakek itu tak mungkin menerimamu. Lain kali saja. Dan kau pergilah pula
dari sini!"
Wiro maju
kemuka. "Aku dan kawan-kawan akan pergi dari sini. Tetapi lebih dahulu
harus bertemu dengan Resi Kumbara. Tempo hari aku telah menyerahkan sebuah senjata
mustika sebagai jaminan. Sekarang aku harus memintanya kembali".
"Lupakan
senjatamu itu. Kalau semua sudah selesai pasti akan dikembalikan!"
"Kentut!
Pokoknya aku harus mendapatkan senjata itu kembali! Saat ini juga dan bukan
nanti!"
"Memang
senjata itu sudah saatnya harus dikembalikan," kata si kakek pula.
"Kalian
tak bisa bertemu dengan dia…."
"Kenapa?"
"Dia
tengah menjalani hukuman dalam penjara bersama paderi Permana dan tiga paderi
lainnya!"
Wilarani
kaget sekali Wiro dan Pendekar Pedang Akhirat jadi melongo.
"Kalau
begitu kami akan menemuinya di penjara!" kata Wiro kemudian.
"Kalian
jangan keliwat memaksa dan bicara seenaknya. Silahkan pergi dari sini dengan
aman…."
"Resi
Tumbal Soka keparat! Kaulah rupanya yang jadi biang racun dari semua yang terjadi
disini? Turunlah dan mari bertempur sampai mampusl" teriak Wiro Sableng.
Seumur
hidupnya Resi Tumbal Soka tak pernah dimaki begitu rupa, apalagi di hadapan
sekian puluh pasang mata. Amarahnya mendidih. Dia berteriak memberi perintah,
"Bunuh pemuda itu!"
*****************
14
ENAM
orang paderi dan delapan murid kelas satu bergerak maju mengurung Pendekar 212
Wiro Sableng.
Murid
Sinto Gendeng ini betul-betul sudah sampai dibatas kesabarannya. Dia membentak.
"Kalian ini tertalu bodoh, mau saja disuruh mampus! Atau memang sudah
bosan hidup hingga ingin buru-buru mati?"
Enam
paderi keluarkan bentakan buas dan menyerang Wiro tanpa banyak bicara lagi.
Disaat
yang menegangkan itu Wiro Sableng berseru memanggil kakek muka tengkorak.
"Kakek, lihatlah bagaimana aku mainkan jurus ke tiga dari ilmu pedangmu
"Setan meratap malaikat menangis!"
Si kakek
yang tadi hendak melakukan sesuatu terpaksa perhatikan pemuda itu. Wiro mainkan
jurus ilmu pedang itu dalam gerakan tangan kosong yang luar biasa yang
dirasakan lebih hebat dari pada yang dimainkan sendiri olehnya sementara
tangannya bergetar oleh kekuatan tenaga dalam. Tangan kiri tiba-tiba lepaskan
pukulan "sinar matahari" sedang tangan kanan menghantamkan pukutan
"dewa topan menggusur gunung."
Terjadilah
hal yang hebat. Puncak Gunung Lawu itu laksana di landa gempa. Jeritan enam
paderi dan delapan anak murid partai terdengar susul menyusul. Di seberang sana
sembilan murid partai lainnya ikut tersapu oleh dua pukulan maut itu. Wiro yang
sudah kalap terus mengamuk hingga keadaan tidak beda seperti di neraka!
Ketika
semua itu terjadi, diatas bangunan tingkat dua si kakek melihat Resi Tumbal Soka
melepaskan totokan ditubuh Tandu Wiryo dan membisikan sesuatu pada pemuda ini.
Si kakek cepat berpaling pada Wilarani dan berkata, "Kau tahu letak
penjara di mana Resi Kumbara dijebloskan?"
Gadis itu
mengangguk.
"Pergilah
ke sana dan lepaskan gurumu. Dua perempuan ini kau selamatan lebih dulu ke
tempat aman!"
Habis
berkata begitu si kakek lantas melesat ke bangunan tingkat dua tepat pada saat
Tandu Wiryo hendak bergerak pergi! Sekali tangan si kakek mendorong, Tandu
Wiryo jatuh ke lantai, sekujur tubuhnya seperti lumpuh tak bisa lagi berkutik!
Melihat
hal ini Resi Tumbal Soka jadi marah.
"Tua
bangka sundal! Kau sudah saatnya dibasmi!" teriak ketua Partai Lawu Megah
itu. Dalam kemarahan paderi ini sudah tak bisa lagi mengontrol kata-katanya
yang keluar.
Si kakek
cuma tertawa mendengar makian itu. Juga masih tertawa sewaktu Resi Tumbal Soka
kebutkan lengan jubahnya, kirimkan pukulan yang mengandung angin hebat sekali.
Jangankan manusia, batu sekalipun pasti ambruk terkena kebutan lengan jubah
ini! Sesaat lagi angin pukulan akan melabrak, kakek muka tengkorak ini
dorongkan telapak tangan kanannya ke depan menyambut serangan lawan. Terjadilah
hal yang hebat. Bangunan tingkat dua itu bergetar keras, langit-langit serta
teralinya ambruk sewaktu terjadi bentrokan dua kekuatan tenaga dalam yang
dasyat!
Resi
Tumbal Soka berseru tegang, Parasnya pucat. Tubuhnya pasti terjungkal jika
tidak tertahan dinding bangunan. Memang dalam hal tenaga dalam ketua Partai
Lawu Megah ini mana bisa menang dari Pendekar Pedang Akhirat yang sudah
dianggap jago nomor satu dalam tenaga dalam dan pedang di dunia persilatan.
Padahal sekitar satu tahun yang silam dia pernah memberikan sebagian dari
tenaga dalamnya pada Wiro Sableng yakni waktu pemuda itu selamatkan si kakek
dari liang maut. Sambil usap-usap telapak tangannya yang bergetar dan terasa
panas akibat bentrokan tenaga dalam itu, si kakek tertawa mengekeh.
"Hari
ini kau betul-betul mendapat pelajaran, paderi brengsek!"
Dengan
geraham bergemeletakan Resi Tumbal Soka keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari
balik jubahnya. Kaget si kakek muka tengkorak bukan kepalang.
"Heh!
Bagaimana senjata itu ada di tanganmu hah?!" serunya.
"Tak
usah banyak tanya!" hardik Resi Tumbal Soka. Sekali dia ayunkan Kapak Naga
Geni 212 maka berkiblatlah sinar menyilaukan disertai suara mengaung seperti
ratusan tawon mengamuk!
Pendekar
Pedang Akhirat yang sudah maklum kehebatan senjata ini cepat melompat mundur
dan cabut pedang mustikanya. Pada dasarnya Resi Tumbal Soka mengetahui
kehebatan ilmu pedang lawan yaitu tak satu ilmu pedang lainpun pada masa itu
sanggup menandinginya. Namun karena sudah terlanjur kalap di samping merasa
dapat mengandalkan senjata yang kini ada di tangannya maka dia keluarkan
jurus-jurus silat Partai Lawu Megah yang paling hebat dan menyerbu lawannya
tidak kepalang tanggung.
Pendekar
Pedang Akhirat sendiri terpaksa pula keluarkan jurus-jurus silat simpanannya.
Baginya ilmu silat lawan bukan apa-apa. Tetapi senjata Wiro yang di tangan Resi
Tumbal Soka itulah yang tak bisa dibuat main. Harus diakui bahwa pedang
mustikanya sendiri kehebatannya masih berada dibawah kapak itu. Setelah
berhati-hati selama delapan jurus akhirnya si kakek mulai dapat menguasai
lawannya. Jurus demi jurus, serangan pedangnya yang laksana berubah jadi
puluhan banyaknya itu mengurung Resi Tumbal Soka dari segala penjuru.
Dalam
satu gebrakan yang hebat tiba-tiba si kakek berteriak. "Lepaskan senjata
itu, paderi brengsek! Lepaskan dan berikan padaku!"
Tapi mana
Resi Tumbal Soka sudi menurut perintah lawannya itu. Malah sambil merangsak
maju dia memaki. "Tua bangka sundal! Sebentar lagi kau bakal mampus jadi
setan penasaran!"
"Paderi
tolol! Diberi peringatan tidak mau dengar! Sekarang kau harus serahkan senjata
itu berikut tanganmu!"
Pedang
mustika di tangan kakek lihay itu berkiblat dalam gerakan aneh dan tahutahu
cras! Putuslah lengan kanan Resi Tumbal Soka dan mental ke udara berikut Kapak
Naga Geni 212. Resi Tumbal Soka menjerit-jerit macam orang gila karena
kesakitan. Dia kemudian totok urat-urat besar di bahunya hingga darah berhenti
memancur dari luka pada lengan.
Pada saat
itu dari arah timur lapangan terdengar seruan keras mengumandang.
"Hentikan
pertempuran!"
Begitu
berwibawa suara teriakan itu hingga semua orang yang sedang bertempur berhenti
memandang ke timur kelihatanlah Resi Kumbara bersama Resi Permana dan tiga
paderi serta Wilarani.
"Tobat!
Puncak Gunung Lawu telah banjir darah. Satu hal yang seharusnya tak perlu
terjadi!" Bekas ketua Partai Lawu Megah ini memandang ke abangunan
bertingkat dan kembali berseru. "Resi Tumbal Soka, kau kemarilah!"
Saat itu
Resi Tumbal Soka bukan saja tengah mengalami luka parah tetapi juga sakit hati
dendam kesumat yang bukan kepalang. Dan kini mendengar kakaknya memanggil
timbullah rasa takutnya.
"Maaf
kakang! Aku tak bisa datang menghadapmu! Jikalau umur sama panjang tentu kita
bakal bertemu lagi!" Lalu Resi Tumbal Soka berpaling pada Pendekar Pedang
Akhirat yang tegak di depannya sambil menimang-nimang Kapak Naga Geni 212.
"Suatu
ketika kelak aku akan mencarimu, tua bangka sundal! Saat itu akan kau rasakan
berapa hebatnya pembalasanku!" Habis berkata begitu paderi ini putar
tubuh.
"Hai,
kunyuk tua! Kau hendak lari kemana?!" seru si kakek dan bergerak hendak
mengejar. Tapi membatalkan gerakannya itu tatkala dibawah sana terdengar Resi
Kumbara berseru. "Biarkan saja dia, sobat! Memang dia tak layak berada
lebih lama disini."
Si kakek
angkat bahu kemudian pandangannya membentur tubuh Tandu Wiryo yang melingkar di
lantai, lumpuh tak bergerak akibat totokannya. Si kakek pergunakan kakinya
untuk membuka totokan di tubuh si pemuda terkutuk dan sekaligus menendangnya
hingga Tandu Wiryo mencelat mental dan jatuh tepat dihadapan Wiro Sableng!
Wiro
jambak rambut pemuda ini lalu tampar keras-keras pipi kanannya hingga mulutnya
robek. Tandu Wiryo meraung kesakitan.
"Buset!
Suaramu kok jadi buruk sekarang! Mana mulut besarmu yang suka bicara seenaknya
itu!"
"Wiro!"
terdengar seruan Resi Kumbara, "Biarkan dia. Biar aku yang menjatuhkan
hukuman pada manusia sesat dan keji itu! Wiryo, kemari lekas!"
Dengan
terhuyung-huyung dan sambil pegangi pipinya yang mengucurkan darah. Tandu Wiryo
melangkah kehadapan Resi Kumbara.
"Semua
ini terjadi gara-garamu! Gara-gara nafsu kotormu! Gara-gara otakmu yang sesat,
licik dan keji! Seharusnya kupenggal kepalamu detik ini juga! Tetapi ada
hukuman lain yang lebih pantas bagimu biar kau rasakan selama hidupmu!"
Resi
Kumbara ulurkan tangannya ke selangkangan Tandu Wiryo. Terdengar pekik pemuda
ini setinggi langit.
"Pergi
dari sin.! Aku tidak sudi lagi melihat mukamu! Seumur hidup Gunung Lawu
merupakan daerah terlarang bagimu!"
Terkangkang-kangkang
Tandu Wiryo tinggalkan tempat itu. Darah kelihatan bercucuran dari
selangkangannya. Semua orang tidak menyangka demikian kejam danmengerikannya
hukuman yang dijatuhkan oleh Resi Kumbara. Seluruh anggota rahasia pemuda itu
diremas hancur dan cacat selama-lamanya!.
Resi
Kumbara menghela nafas panjang dan memandang pada Wiro Sableng serta Pendekar
Pedang Akhirat yang melangkah mendatanginya.
"Apakah
kalian berdua sudah puas sekarang…?" menegur bekas ketua Partai Lawu Megah
itu.
Si kakek
batuk-batuk beberapa kali.
"Bukan
maksud kami sampai terjadi yang begini. Tapi kau tentu maklum, keadaan memaksa.
Aku yang tua dan sahabat mudaku ini mohon maaf sebesar-besarnya. Karena cerita
sebenarnya tentang perkosaan itu telah diketahui oleh semua orang disini maka
aku dan sahabatku mohon diri!"
Si kakek
dan Wiro menjura. Melirik ke samping Wiro lihat Wilarani. "Kau bagaimana?
Akan pergi sama-sama kami?"
"Sayang
aku tak bisa ikut bersamamu, Wiro. Banyak tugas yang harus kulakukan di sini
bersama guru!"
Wiro
mengangguk. "Kau murid yang baik. Sekali lagi terima kasih atas
pertolonganmu tempo hari!" Wiro lambaikan tangannya dan segera berkelebat
pergi tapi si kakek memegang bahunya dan angsurkan tangan kirinya yang memegang
Kapak Naga Geni 212.
"Kau
tak ingin membawa ini?"
"Astaga,
aku sampai lupa. Terima kasih kakek. Mari kita pergi."
"Ya,
kita segera pergi. Tapi bagaimana dengan dua perempuan itu?" ujar si kakek
seraya menunjuk pada janda Gundali dan perempuan pedagang sayur.
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Lalu dia mendekati janda Gundah dan langsung dukung
perempuan ini seraya berkata sambil tersenyum pada si kakek. "Sekarang
giliranmu untuk menggendong si gemuk itu!" Wiro tertawa gelak-gelak dan
berkelebat pergi sedang si kakek memaki panjang pendek. Mau tak mau dia harus
mendukung nyonya gemuk pedagang sayur itu!
Resi
Kumbara cuma bisa geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah
terjadinya peristiwa besar di puncak gunung Lawu itu dan perginya sang ketua
Resi Tumbal Soka, maka Resi Kumbara mengangkat Resi Permana menjadi ketua yang
baru sedang dia sendiri kembali mengundurkan diri ke ruangan samadi.
TAMAT
No comments:
Post a Comment