Hidung
Belang Berkipas Sakti
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
Matahari
bersinar terik membakar jagat. Pemuda berpakaian sederhana itu melangkah
menyusuri jalan berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh dua
orang prajurit bersenjatakan tombak dia berhenti. Sesaat dengan sepasang
matanya yang disipitkan diperhatikannya bangunan pintu gerbang yang kokoh itu.
Lalu dia berpaling pada salah seorang pengawal yang berdiri di situ.
”Apakah
ini gedung kediaman Adipati Kebo Panaran?” bertanya si pemuda.
Pengawal
yang ditanya tidak segera menjawab. Dia memandang penuh curiga, meneliti pemuda
itu dari kepala sampai ke kaki. Segera dia tahu kalau Si pemuda adalah seorang
desa yang baru saja turun ke kota.
Dengan
sikap meremehkan pengawal itu menjawab.
“Betul.
Kau ada keperluan apa orang desa?!”
“Aku
ingin bertemu Adipati,” jawab si pemuda.
“Ingin
bertemu dengan Adipati Kebo Panaran? Heh….” Pengawal yang satu ini berpaling
pada kawannya. Lalu tertawa bergelak. “Sobat,” katanya pada kawannya. “Kau
dengar ucapan pemuda ini?”
Prajurit
yang satu ikut-ikutan tertawa dan berkata. “Sebelum kami muak melihatmu,
sebaiknya lekas pergi dari sini!”
“Tapi…
aku ingin bertemu Adipati,” sahut Si pemuda pula.
“Heh,
memaksa rupanya. Apa maumu sebenarnya?!” prajurit pertama maju selangkah sambil
menggenggam tombaknya.
“Mau cari
pekerjaan,” jawab si pemuda tanpa ragu-ragu.
“Buset!
Tak ada pekerjaan untuk manusia macammu di sini. Adipati sudah punya tukang
kebun. Sudah punya penjaga kuda….”
“Bukan
pekerjaan macam begitu yang aku inginkan,” memotong pemuda desa tadi.
“Ahai!
Lalu pekerjaan macam apa yang kau inginkan? Jadi juru masak barangkali?!”
Sepasang
mata pemuda itu semakin menyipit. Tiba-tiba dia tersenyum.
“Prajurit
pengawal pintu!” kata pemuda itu dengan suara tandas. “Kau dengar baik-baik.
Namaku Dipasingara. Katakan pada Adipatimu bahwa aku datang untuk mencari
pekerjaan!”
“Sekalipun
namamu Bapak Moyang Setan aku tidak perduli. Menyingkir dari sini atau batang
tombak ini akan membuat kepalamu jadi benjol besar!”
Si pemuda
masih saja tersenyum mendengar ancaman itu. Malah dia menyambuti dengan ucapan:
“Rupanya suasana di kota benar-benar harus memakai segala macam kekerasan.
Sobat, aku minta tolong padamu agar memberi tahu Adipati, kalau tidak..”
“Kalau
tidak kau mau apa?” Si prajurit jadi berang.
“Aku
terpaksa nyelonong sendiri masuk ke dalam gedung!”
“Pemuda
desa kurang ajar! Kau betul-betul minta digebuk!”
Tombak
besi di tangan pengawal pintu gerbang menyambar ke arah pemuda yang mengaku
bernama Dipasingara itu. Sesaat lagi pastilah remuk atau paling tidak benjol
besar kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat terkejut kawan prajurit
yang satu ini.
Hampir
sama sekali tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu pengawal yang mengemplangkan
tombak telah terpental ke atas untuk kemudian jatuh bergedebuk di tanah tanpa
sadarkan diri lagi. Tombak yang tadi dipakainya untuk memukul kini berpindah
tangan digenggam Dipasingara!
“Bangsat
rendah! Berani kau mencelakai kawanku!” teriak pengawal yang seorang lagi marah
sekali. Dia melompat dan tusukkan mata tombaknya ke dada pemuda desa itu.
Dipasingara
ulurkan tangan kirinya. Tahu-tahu bagian belakang mata tombak berhasil
dicekalnya lalu disentakkan kuat-kuat. Tak ampun lagi pengawal yang menyerang
terbetot kencang ke depan, terguling di tanah dengan muka berkelukuran! Meski
dia tidak jatuh pingsan namun luka-luka yang mengeluarkan darah memenuhi
tubuhnya, sakitnya bukan kepalang. Dia terduduk di tanah tanpa bisa berbuat
apa-apa selain mengerang kesakitan.
Dipasingara
menimang-nimang dua batang tombak yang barusan dirampasnya. Satu demi satu tombak
itu kemudian ditancapkannya di tanah tepat diantara kedua kaki prajurit
Kadipaten itu. Kemudian dia melangkah ke pintu gerbang. Baru saja dia
menggerakkan tangan untuk membuka pintu, Sebuah kereta yang dikawal oleh
serombongan penunggang kuda yang rata-rata berbadan kekar herbenti di situ.
Penunggang
kuda paling depan yang berkumis melintang membentak dari punggung kuda
tunggangannya.
“Apa yang
terjadi di sini?!”
Bola
matanya yang besar menyorot si pemuda. Kembali dia membentak: “Siapa kowe?!”
Dengan tenang
pemuda itu menjawab. “Namaku Dipasingara. Aku ingin bertemu dengan Adipati Kebo
Panaran. Untuk maksud baik. Mau cari pekerjaan. Aku sudah minta izin dan tolong
kedua pengawal ini. Tapi tanpa alasan mereka malah menurunkan tangan kasar
terhadapku. Cuma sayang mereka terlalu kesusu!”
“Pemuda
edan! Anak-anak tangkap pemuda ini!” teriak si kumis melintang. Rupanya dia
yang jadi pimpinan.
Empat
lelaki berpakaian seragam, bertubuh besar tegap melompat turun dari punggung
kuda lalu serempak menyerbu Dipasingara untuk meringkusnya hidup-hidup.
Namun
mereka cuma bisa menangkap angin. Karena pada detik itu Si pemuda telah lenyap
dan tahu-tahu sudah berdiri di samping kereta.
Justru
saat itu pula tirai kereta disingkapkan orang dari dalam. Sebuah kepala
laki-laki kemudian muncul. Di sampingnya tampak kepala seorang perempuan muda
berparas cantik luar biasa.
“Sura…
ada apa ribut-ribut?” tanya lelaki dalam kereta. Suaranya besar parau, tak
sedap didengar.
Suramanik,
demikian nama lelaki berkumis melintang yang tadi berikan perintah untuk
menangkap Dipasingara cepat menjawab:
“Tidak
ada apa-apa Adipati. Tak perlu khawatir. Cuma seekor kecoak sinting kesasar
kemari dan berbuat sedikit kerusuhan. Mohon maafmu. Kami akan segera
mengenyahkannya dari sini!”
Dipasingara
memalingkan kepalanya ke jendela kereta. Dilihatnya seorang lelaki berpakaian
bagus, berkopiah tinggi, bermuka putih. Menurut taksirannya paling tidak orang
ini berusia setengah abad. Di sebelahnya duduk seorang perempuan berparas
rupawan yang membuat Dipasingara sejenak tertegun. Namun menyadari bahwa orang
di dalam kereta itu pastilah Adipati Kebo Panaran dan istrinya maka cepat-cepat
Dipasingara membuka mulut.
“Adipati
Kebo Panaran. Mohon dimaafkan segala tindakanku. Semuanya terjadi karena
terpaksa. Aku harus mempertahankan diri dari orang-orangmu yang menyerang
secara sewenang-wenang. Aku datang dari jauh. Sengaja hendak menemuimu untuk
minta pekejaan. Bolehkah aku tolong membukakan pintu gerbang agar keretamu bisa
lewat…?”
Sesaat
Kebo Panaran menatap tampang pemuda itu. Wajahnya cakap. Sikapnya sederhana
tetapi hormat tanda dia bukan seorang pemuda gelandangan tak karuan,
“Orang
muda, kau siapa?” bertanya sang Adipati.
Sepasang
mata Dipasingara mengerling sekilas pada perempuan yang duduk dalam kereta di samping
Adipati. Cuma sekilas, tetapi pandangan mata tajam pemuda ini membuat bergetar
hati serta dada Galuh Resmi, istri Kebo Panaran.
“Namaku
Dipasingara” menjawab si pemuda. “Sengaja datang dari jauh untuk cari
pekerjaan.”
“Hemmm..
begitu?” ujar Kebo Panaran. Dia mengerling pada dua pengawal pintu gerbang yang
terkapar di tanah.
“Apakah
menghantam dua prajurit Kadipaten itu salah satu pekerjaan yang kau
inginkan…?!”
“Mohon
maaf Adipati. Bukan maksudku untuk berbuat kurang ajar. Tapi mana mungkin aku
berdiam diri jika yang satu dari mereka hendak mengemplang kepalaku, yang satu
lagi hendak menembus dadaku dengan tombak?!”
Kebo
Panaran terdiam.
Sebaliknya
Suramanik yang sejak tadi menahan amarah kini membentak: “Adipati, biar kuhajar
pemuda hina dina ini!”
Tapi sang
Adipati melambaikan tangannya. Mencegah kepala pengawalnya untuk melaksanakan
maksudnya.
“Aku akan
bukakan pintu gerbang untukmu,” kata Dipasingara tanpa mengacuhkan Suramanik.
Lalu didorongnya daun pintu gerbang lebar-lebar.
Kusir
kereta memandang pada pemuda itu dengan air muka tidak senang. Tetapi Adipati
Kebo Panaran memberi isyarat agar kereta segera dimasukkan ke dalam.
Ketika
Dipasingara ikut-ikutan hendak masuk ke dalam Suramanik mengusirnya dengan
beringas.
“Biarkan
dia masuk Sura,” terdengar suara Adipati dari dalam kereta.
Dengan
amat penasaran Suramanik terpaksa membiarkan Dipasingara memasuki halaman
Kadipaten.
******************
2
Adipati
dan istrinya turun dari kereta. Dipasingara berdiri dekat tangga Kadipaten.
Sepasang matanya yang sipit menatap paras perempuan itu. Ketika itu Galuh Resmi
mengerling pula, sesaat pandangan mata mereka saling bertemu. Galuh Resmi
palingkan wajahnya dan cepat-cepat menaiki tangga lalu masuk ke dalam gedung.
Bentrokan pandangan ini sama sekali tidak diketahui Adipati Kebo Panaran.
Sebaliknya Suramanik sempat melihatnya sehingga semakin besar kegusarannya
terhadap Dipasingara.
Kusir
membawa kereta ke halaman samping. Kebo Panaran memberi isyarat pada
Dipasingara untuk mengikutinya ke langkan Kadipaten, sementara Suramanik dan
anak buahnya tetap berdiri di anak tangga sebelah bawah. Dua orang prajurit
sebelumnya sudah disuruhnya untuk menggotong dua pengawal pintu gerbang yang
cidera.
“Nah
sekarang katakan pekerjaan apa yang kau inginkan,” kata Adipati. Tapi dia tak
menunggu jawaban malah menambahkan: “Untuk mengurus kandang kuda aku sudah
punya orang. Tukang kebun juga sudah ada. Pengawal banyak. Kau mau kujadikan
sebagal perawat kuda-kuda kesayanganku?”
“Terima
kasih Adipati. Terima kasih atas kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan macam itu
yang aku inginkan.”
Di bawah
langkan gedung Suramanik menggertakkan rahangnya tanda marah. Sudah diberi
pekerjaan menolak pula. Dasar manusia kampung tidak tahu diri. Demikian kepala
pengawal Kadipaten itu mengumpat dalam hati.
“Lantas
pekerjaan yang bagaimana yang kau inginkan?” tanya Adipati pula.
“Aku
ingin menjadi kepala pengawal di Kadipaten ini, Adipati!”
Kebo Panaran
tersentak kaget mendengar ucapan Dipasingara. Dia mulai berpikir apakah pemuda
ini sehat otaknya atau bagaimana. Suramanik sendiri sampai melotot kedua
matanya. Saat itu dia adalah kepala pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan
itulah yang diinginkan Si pemuda sialan itu! Benar-benar membuat Suramanik
menjadi panas dingin menahan amarah. Kalau saja Adipati Kebo Panaran tidak ada
di situ sudah sejak tadi dilabraknya pemuda lancang mulut itu!
Kebo
Panaran batuk-batuk beberapa kali. “Tentunya kau tidak bicara bertele-tele atau
ngaco, orang muda. Aku sudah memiliki kepala pengawal. Tak mungkin jabatan itu
kuberikan padamu.”
“Rasanya
tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Adipati,” jawab Dipasingara.
“Disamping
itu untuk jadi kepala pengawal tidak sembarangan. Ada syarat-syaratnya.”
“Apakah
syarat-syarat itu Adipati?”
Kebo
Panaran merasa didesak dan jadi jengkel.
“Sudahlah
orang muda. Aku tak punya waktu lama untuk bicara denganmu. Juga tak ada
pekerjaan lowong di sini untukmu. Kecuali jika kau mau bekerja sebagai perawat
kuda-kudaku. Kalau tidak silahkan pergi dan cari pekerjaan di tempat lain!”
Dipasingara
terdiam sejenak. Lalu angkat bahu. Dia menjura “Jika begitu katamu baiklah
Adipati. Aku minta diri….”
Pemuda
itu membalikkan tubuh dan siap untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar Kebo
Panaran berkata:
“Tunggu
dulu!”
“Ada apa
Adipati?” tanya Dipasingara.
Saat itu
sang Adipati teringat akan dua pangawal pintu gerbang yang telah dipreteli
Dipasingara. Tak dapat tidak tentu pemuda ini memiliki kepandaian silat yang
diandalkan. Kalau tidak mana dia mampu dan punya keberanian untuk berbuat
begitu. Dan jika dia menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten pasti dia
tidak main-main.
“Dengar
orang muda,” kata Kebo Pananan. “Aku akan memberikan jabatan yang cukup layak
untukmu. Asal saja kau mau menerangkan kepandaian apa saja yang kau miliki!”
“Maaf
Adipati. Rahasia diriku tak mungkin kuberitahu. Aku hanya menginginkan jabatan
kepala pengawal. Lain tidak….”
Suramanik
yang sejak tadi sudah kelangsangan dilanda amarah, serasa terbakar tubuhnya.
Dia merasa dihina oleh pemuda desa itu. Suramanik melompat ke langkan Kadipaten
dan berkata lantang:
“Adipati,
aku bersedia menyerahkan jabatanku pada pemuda kurang ajar ini jika dia sanggup
menerima pukulanku satu kali saja pada dadanya!”
Suramanik
memang bukan sembarang orang. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi tentu dia
tak akan menjabat kepala pengawal Kadipaten.
Kebo
Panaran terkesiap mendengar ucapan kepala pengawalnya itu. Urusan jadi ruwet
jika pemuda desa itu sampai kena dihantam tinju Suramanik apa jadinya?
Sebaliknya dengan tenang Dipasingara menyahuti:
“Kalau
aku sanggup menahan pukulanmu, kau akan kehilangan jabatanmu, kepala pengawal!”
“Mari
kita buktikan!” bentak Suramanik dengan mata melotot dan amarah meluap. Dalam
hatinya dia berkata: “Sekali jotosanku mendarat di dadamu kau akan terbang ke
neraka!”
Dipasingara
berpaling pada Adipati Kebo Panaran.
“Adipati,
apakah kau izinkan kami menjalankan pertaruhan ini?”
“Itu
urusan kalian. Tapi kunasihatkan agar kau jangan menantang Suramanik. Lebih
bagus kau mencari selamat dan tinggalkan tempat ini!” Begitu jawaban Kebo
Panaran karena dia tahu kehebatan kepala pengawalnya.
“Karena
aku tetap menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu Adipati
kalau aku terpaksa melayani tantangannya.”
Dipasingara
turun ke halaman. Di belakangnya menyusul Suramanik. Kebo Panaran yang juga
ingin menyaksikan adu tanding itu ikut turun sementara beberapa prajurit
berdiri membentuk lingkaran besar. Ditengah-tengah lingkaran Suramanik dan
Dipasingara saling berhadap-hadapan.
Di
belakang tirai jendela depan gedung Kadipaten sepasang mata mengintai dengan
hati berdebar. Yang mengintip ini adalah Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-diam
dia telah mendengar percakapan orang-orang itu dan kini ingin melihat apa yang
bakal terjadi.
Entah
mengapa dia sangat menyesalkan ketololan pemuda bertampang gagah itu yang mau
saja melayani tantangan Suramanik. Dia tahu Suramanik berilmu tinggi dan
kabarnya memiliki pukulan sakti.
“Dia
pasti mati begitu pukulan Suramanik menghantam dadanya!” membathin Galuh Resmi.
Aneh. Perempuan ini merasa kawatir. Mengkawatirkan keselamatan pemuda yang
tidak dikenalnya itu.
“Sudah
siapkah kau menerima pukulanku?!” terdengar suara Suramanik. Rahangrahangnya
tampak menonjol.
“Sebentar
sobat,” jawab Dipasingara. “Biar kubuka dulu bajuku agar kau bisa mencari
bagian yang empuk untuk kau pukul!”
“Manusia
takabur! Sebentar lagi akan kau rasakan akibat tingkahmu yang sembrono!” tukas
Suramanik.
Dengan
tenang Dipasingara membuka bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada.
Tubuhnya kelihatan bersih ramping.
“Nah kau
carilah sasaran yang empuk!” kata pemuda itu pada Suramanik disertai senyum
sinis.
Seorang
prajurit Kadipaten memaki dalam hatinya:
“Pemuda
gendeng! Sudah mau mati masih saja bicara sombong!”
Dengan
menyeringai geram Suramanik mengepalkan jari-jari tangan kanannya. Seluruh
tenaga dalamnya dialirkan ke situ. Dia sengaja mengerahkan keseluruhan
kekuatannya karena ingin melihat pemuda kurang ajar itu meregang nyawa dalam
sekali pukul!
Sebagai
kepala pengawal Kadipaten Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti. Yang
paling hebat adalah pukulan “Wesi Ireng”. Selama lima tahun dia telah melatih
diri untuk menguasai ilmu pukulan dahsyat tersebut. Dan kini pukulan itulah
yang akan dihadiahkannya pada Dipasingara.
Perlahan-lahan
tangan kanan Suramanik sampai sebatas pergelangannya berubah menjadi kehitaman.
Semua orang termasuk Dipasingara melihat perubahan yang mengerikan itu. Adipati
Kebo Panaran maklum kalau kepala pengawalnya benar-benar ingin menghabiskan
riwayat pemuda desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia tahu, jangankan dada
manusia, tembok tebal sekali pun akan hancur luluh dihantam pukulan itu. Dan
yang mencengangkan sang Adipati ialah bahwa si pemuda itu masih saja
tenang-tenang bahkan selalu menyunggingkan senyum mengejek terhadap Suramanik.
“Kasihan…”
kata Kebo Panaran dalam hati. “Dia tak sadar kalau sebentar lagi akan menemui
kematian!”
Suramanik
mundur selangkah. Tangan kanannya diangkat sebatas kepala.
“Kau
sudah siap untuk mampus orang muda?” ujar Suramanik.
“Cepatlah,
aku sudah siap sejak tadi!”
“Kalau
begitu kau terimalah detik kematianmu!”
Didahului
satu bentakan garang Suramanik menghantamkan tinju kanannya ke dada
Dipasingara.
“Buk!”
Tinju
keras tepat menghantam dada Dipasingara di bagian jantung. Dan terdengarlah
satu pekikan dahsyat!
******************
3
Tubuh
Dipasingara sedikit pun tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Didepannya
Suramanik terbungkuk-bungkuk memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri.
Belasan kerut kesakitan muncul di kulit mukanya yang beringas. Semua orang kini
menyaksikan bagaimana tangan kanan Suramanik yang tadi sebatas pergelangan
berwarna hitam, kini menjadi gembung lecet. Dari mulut kepala pengawal ini
tiada hentinya terdengar suara rintihan.
Terkejutlah
Adipati Kebo Panaran. Juga semua orang. Termasuk Galuh Resmi yang mengintip di
balik tirai jendela. Semula semua orang sudah sama memastikan bagaimana pemuda
itu akan terjengkang dilanda jotosan sakti Wesi Ireng, menggeletak di tanah
tanpa nyawa. Apa yang kemudian terjadi hampir tak dapat mereka percaya.
Suramanik
masih mengerang. Lututnya terasa goyah. Dia coba bertahan tapi tak mampu. Dia
jatuh berlutut. Tangan kanannya tampak semakin merah. Dari bagian-bagian yang
lecet darah mulai membersit. Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. Setelah
menarik nafas dalam dia berkata:
“Suramanik,
ternyata pemuda itu sanggup menahan pukulanmu….”
Rahang
Suramanik menggembung. “Aku tahu maksud ucapanmu Adipati. Tak usah kawatir. Aku
bukan bangsa manusia yang tidak memegang janji. Kau terimalah pemuda hina dina
itu menjadi kepala pengawal Kadipaten!”
Habis
berkata begitu Suramanik memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu!”
seru Dipasingara. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong kertas
kecil. Di dalam kantong ini terdapat sejenis obat mujarab.
“Taburkan
obat ini di tanganmu. Lukamu pasti akan sembuh dalam waktu cepat!”
Suramanik
mendengus dan menampik kantong kertas yang dilemparkan padanya.
“Aku tak
butuh obatmu! Apa yang kau lakukan hari ini kelak akan kubalas berikut
bunganya! Bersiaplah dari sekarang. Karena aku pasti datang menemuimu!”
Suramanik
membalikkan tubuh dan berlalu cepat. Ketika dia lenyap dikejauhan semua mata
kini ditujukan pada Dipasingara. Pada dasarnya prajurit-prajurit Kadipaten itu
diam-diam mengagumi kehebatan si pemuda. Namun masing-masing mereka juga merasa
kurang senang terhadap sikap dan tindak tanduk Dipasingara yang mereka anggap
ombong.
Setelah
beberapa lama kesunyian menggantung, akhirnya Kebo Panaran membuka mulut:
“Orang
muda, sesuai perjanjianmu dengan Suramanik dan dengan kepergiannya dari sini
maka mulai saat ini jabatan kepala pengawal menjadi hakmu. Namun sebelum
jabatan itu kuberikan padamu, satu ujian lagi harus kau lewati….”
“Adipati,
apa maksudmu?” tanya Dipasingara,
Sebagai
jawaban Kebo Panaran melemparkan sebilah golok pada Dipasingara. Lalu pada enam
orang prajurit Kadipaten dia berseru:
“Cabutlah
golok kalian dan serang dia!” Pada Dipasingara Kebo Panaran menambahkan “Kau
harus sanggup merobohkan mereka dalam waktu tiga jurus. Tapi ingat, tak satu
pun harus terluka!”
Dipasingara
menyambut golok yang dilemparkan sambil tersenyum sementara enam prajurit
dengan golok terhunus menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di
belakang jendela Galuh Resmi yang masih mengintip kembali merasa cemas.
Dikeroyok oleh enam prajurit-prajurit kelas satu apakah pemuda itu sanggup
bertahan?
Enam
golok serentak berkelebat menyerang.
Dipasingara
menekuk kedua lututnya. Golok di tangan kanannya dibabatkan ke atas dalam
bentuk lingkaran. “Trang… trang… trang….” Terdengar suara beradunya senjata
sampai enam kali berturut-turut. Lalu suara bergedebukan dan pekik kesakitan
susul menyusul.
Dengan
mata kepalanya sendiri Adipati Kebo Panaran menyaksikan bagaimana setelah
menangkis serangan enam golok si pemuda lantas pergunakan kaki dan tangan
kirinya serta gagang golok untuk menghajar ke enam pengeroyoknya hingga tiga
orang terpelanting roboh, dua kena di totok dan satu berdiri sambil pegangi
hidungnya yang mengucurkan darah.
Di
belakang jendela Galuh Resmi sampai ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo
Panaran memegang bahu Dipasingara. “Kau ternyata tidak mengecewakan. Kau memang
pantas menjadi kepala pengawal Kadipaten. Mulai hari ini kau menjalankan tugas
di Kadipaten Gombong!”
Dipasingara
tersenyum dan menjura dalam-dalam.
“Terima
kasih Adipati. Terima kasih.” Katanya seraya mengembalikan golok yang tadi
diberikan Kebo Panaran.
Ketika
Adipati itu berlalu Dipasingara memalingkan kepalanya ke arah jendela. Meski
cuma sekilas tapi masih sempat dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh Resmi
merasakan wajahnya bersemu merah dan bergegas masuk ke dalam kamar. Sesaat dia
tegak di depan kaca menatap wajahnya sendiri. Pemuda itu tahu kalau dia
mengintip. Betapa malunya. Tetapi kenapa dia begitu merasa tertarik padanya?
Kebo
Panaran, Adipati yang berusia setengah abad itu menaruh kepercayaan penuh pada
kepala pengawalnya yang baru. Namun dia tidak menduga sama sekali kalau justru
Dipasingara sebenarnya adalah manusia biang racun yang bakal merusak rumah
tangganya.
Tanpa
setahu siapa pun di gedung Kadipaten itu, diam-diam Dipasingara mulai main api
dengan Galuh Resmi. Banyak hal yang membuat istri Adipati Gombong itu melayani
kedipan mata, lirikan nakal dan senyum berbisa Dipasingara. Pertama Dipasingara
seorang pemuda bertampang gagah. Pertemuan pertama dulu dengan ketinggian
ilmunya telah mendatangkan rasa kagum dalam diri Galuh Resmi. Kedua, karena
kehidupan rumah tangga perempuan itu dengan Kebo Panaran tidak berbahagia.
Sebagai seorang lelaki berusia 50 tahun Kebo Panaran tidak mungkin mempunyai
kesanggupan untuk menjalankan kewajiban badaniah terhadap istri yang cantik
jelita dan baru berusia delapan belas tahun itu. Ketidak sanggupan ini ditambah
pula dengan seringnya sang Adipati melakukan kunjungan kerja ke desa-desa. Lalu
pergi menghadap pembesar-pembesar di Kotaraja untuk memberi laporan. Semua ini
membuat Galuh Resmi seperti terasing jauh dalam kesunyian.
Ketika
Dipasingara muncul dengan keberaniannya yang nakal berbisa Galuh Resmi tak
kuasa untuk mengelak bahkan tanpa disadari dia sendiri senantiasa membalas
setiap senyuman kepala pengawalnya yang gagah itu.
Meskipun
tidak merupakan kebiasaan tapi pada umumnya setiap pembesar di masa itu
mempunyai dua buah kamar tidur. Satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk
istrinya. Demikian pula dengan Kebo Panaran. Setiap malam dia selalu tidur di
kamar besar di sebelah depan gedung Kadipaten sedang istrinya di kamar lain
yang bersebelahan. Antara kedua kamar itu dihubungkan dengan sebuah pintu.
Dengan adanya dua kamar inilah Dipasingara mempunyal kesempatan untuk berbuat lebih
berani.
Suatu
malam, ketika seluruh gedung Kadipaten diselimuti kesunyisenyapan Dipasingara
ke luar dari kamarnya di bagian belakang gedung Kadipaten. Malam itu dia telah
menyusun rencana untuk melaksanakan niat terkutuk yang selama ini masih
ditahan-tahannya. Dia yakin Galuh Resmi tidak akan menolak. Kalau pun ternyata
nanti perempuan cantik itu tidak bersedia melayaninya akan dipaksanya dengan
kekerasan, lalu menyingkir dari Gombong. Habis perkara! Bukankah maksudnya
meminta jabatan kepala pengawal Kadipaten itu sebenarnya hanyalah kedok belaka?
Karena yang diintainya bukan lain adalah istri Adipati Gombong yang muda belia
dan cantik rupawan itu!
Di
hadapan pintu kamar yang diketahuinya adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala
pengawal itu berhenti, tegak sejenak memasang telinga. Semuanya serba sunyi.
Dia melangkah mendekati pintu satu lagi. Di sini didengarnya suara dengkur
Adipati Kebo Panaran.
Dipasingara
kembali ke pintu pertama dan mulai mengetuk daun pintu perlahan-lahan. Tak
selang beberapa lama didengarnya suara orang turun dari ranjang, disusul suara
langkahlangkah kaki. Lalu pintu di depannya terbuka sedikit. Wajah Galuh Resmi
menyeruak di celah pintu. Perempuan ini tampak agak kaget melihat Dipasingara.
“Ada
apakah…?” tanya Galuh Resmi.
“Adipati
telah tidur?”
“Ya,
kenapa?”
“Boleh
aku masuk?” tanya Dipasingara. Matanya memandang tajam. Lalu tanpa menunggu
jawaban dia mendorong daun pintu dan menyelinap masuk ke dalam. Sampai di dalam
daun pintu ditutupnya dengan cepat.
“Kepala
pengawal, tindakanmu masuk ke dalam kamar dan malam-malam begini sangat diluar
kesopanan!” Suara Galuh Resmi bergetar.
Dipasingara
tersenyum.
“Kau tau
mengapa aku datang kemari, Galuh?” ujar Dipasingara pula. Suaranya setengah
berbisik dan senyum masih terus menyungging di bibirnya.
Galub
Resmi merasakan dadanya berdebar. Pemuda yang selama ini selalu memanggilnya
dengan sebutan “jeng” kini langsung menyebut namanya.
“Kau
ingin bertemu dengan Adipati?”
Dipasingara
menggeleng.
“Aku
hanya ingin menemuimu. Bukankah pertemuan ini sudah sejak lama sama kita
nantikan?”
“Kepala
pengawal. Jaga mulutmu..”
“Namaku
Dipasingara.”
“Jika
Adipati tahu kau masuk malam-malam ke sini, kau bisa celaka!”
“Dan agar
suamimu tidak tahu boleh kukunci pintu yang menghubungkan kamar ini dengan
kamar sebelah?”
“Tidak!
Kau harus ke luar dan sini Dipasingara. Saat ini juga!”
Kembali
si pemuda tersenyum. Dia melangkah ke arah pintu penghubung lalu menguncinya.
“Kau…!
Apa-apaan ini? Apa maksudmu Dipasingara?”
Kepala
pengawal itu melangkah ke hadapan Galuh Resmi, membuat perempuan ini tersurut
mundur.
“Kalau
kau berani melakukan sesuatu terhadap ku, aku akan menjerit!” Galuh mengancam.
“Galuh,
jangan tipu dirimu sendiri,” bisik Dipasingara. “Jangan tipu perasaan hati
sanubarimu. Apakah layangan senyum dan lirikan mata mesramu selama ini hendak
kau musnahkan dengat satu teriakan yang akan membangunkan seluruh isi gedung
Kadipaten ini?”
“Tapi….”
“Aku
menyukaimu. Dan kau menyukaiku. Kita sama-sama tau hal itu. Atau masihkah kau
hendak berpura-pura?” “Kalau semua itu terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh
ini. Kau berani masuk ke kamarku!”
“Lagi-lagi
kau menipu dirimu Galuh. Aku yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari bahwa satu
saat pertemuan seperti ini pasti akan terjadi. Aku telah masuk ke mari
menemuimu, orang yang kukagumi kecantikannya, yang ku… yang kukasihi. Apakah
semua itu hendak kau hancurkan…?”
Gauh
Resmi tundukkan kepala. Dadanya yang kencang bergoyang turun naik.
“Masih
banyak kesempatan untuk bertemu Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan
malammalam begini. bukan di kamar….”
“Jadi kau
inginkan aku keluar dari kamar ini?” tanya Dipasingara.
Galuh
Resmi tak menjawab. Disadarinya bahwa diam-diam dia memang menyukai Dipasingara
pada saat pertama kali melihat pemuda ini. Tetapi tindakan Dipasingara masuk ke
dalam kamar seperti itu sangat berbahaya. Namun untuk menyuruh si pemuda ke
luar dari kamarnya hatinya terasa sangat berat. Sesaat dia hanya bisa berdiam
diri. Kemudian dirasakannya nafas pemuda itu menghembus hangat di wajahnya.
Lalu terasa pegangan jarijari tangan Dipasingara pada kedua bahunya.
“Kau
izinkan aku bersamamu malam ini di sini Galuh?”
Pemuda
itu mengusap dagu Galuh Resmi. Perlahan-lahan diangkatnya hingga perempuan itu
menengadah. Sepasang mata mereka saling bertatapan.
“Dipa,
kau terlalu berani Dipa. Terlalu berani.” desis Galuh Resmi.
“Semuanya
karena kau. Demi kau Galuh…” balas berbisik Dipasingara.
Perempuan
itu menggeliat sewaktu lehernya disentuh ciuman Dipasingara. Ah, betapa
tubuhnya menjadi menggigil panas dingin tetapi nikmat. Betapa darahnya
menyentak-nyentak. Betapa lainnya terasa peluk dan ciuman pemuda itu dibanding dengan
rangkulan suaminya yang berusia setengah abad itu!
“Jangan
di sini Dipa. Jangan di sini…” kata Galuh Resmi waktu pemuda itu membimbingnya
ke tempat tidur.
Tapi
Dipasingara menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi pada pangkal lehernya.
Membuat perempuan itu bergelinjang, menggeliat dan mengeluarkan suara lirih.
Nafasnya memburu tetapi tersendat-sendat.
“Tidak di
sini Dipa. Aku khawatir suamiku bangun….”
“Semua
pintu telah kukunci. Tak ada yang harus kau takutkan,” kata Dipasingara. Dia
membungkuk, membenamkan hidungnya di celah antara kedua buah dada Galuh Resmi,
membuat perempuan itu mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke punggung
Dipasingara. Ketika tubuhnya diangkat, Galuh menggelungkan tangannya ke leher
si pemuda.
Kini dia
terbaring di atas tempat tidur. Dipa yang membaringkannya. Galuh memejamkan
matanya. Tak berani menatap wajah Dipasingara. Sesaat kemudian dirasakannya
jari-jari tangan Dipasingara menyelinap di balik pakaiannya. Galuh Resmi
tersentak, menggeliat kelangsangan. Selama ini hanya jari-jari tangan lelaki
tua bernama Kebo Panaran yang menggerayangi tubuhnya. Betapa lainnya dengan
rabaan seorang pemuda.
Galuh
Resmi menggeliat lagi, lagi dan lagi sampai akhirnya tiba-tiba dia membalikkan
tubuh dan menggigit dada Dipasingara. Pemuda itu mengeluh kesakitan tapi
sekaligus menimbulkan gelegak rangsangan. Tangan Dipasingara menggerayang lebih
berani. Galuh Resmi merasa seperti pembuluh-pembuluh darahnya meletus sewaktu
pemuda itu mulai membuka pakaiannya. Tidak berani dia membuka matanya. Tak berani
dia membuka mulut. Desau nafasnya membara. Dirasakannya tubuh Dipasingara
meneduhi tubuhnya. Tubuh kukuh itu dipeluk Galuh Resmi kuat-kuat.
Demikianlah
malam itu telah terjadi hubungan gelap dan mesum antara Dipasingara dengan
Galuh Resmi. Antara seorang kepala pengawal dengan perempuan yang menjadi istri
Adipati atasannya sendiri! Apa yang terjadi malam itu baru merupakan permulaan
saja dari serangkaian panjang perbuatan mesum terkutuk diantara mereka berdua.
******************
4
Betapa
pun suatu kejahatan tidak akan berlangsung selama-lamanya tanpa diketahui
orang. Bagaimana pun sesuatu yang berbau busuk itu tak mungkin dibungkus
disembunyikan. Lama kelamaan akan tercium dan ketahuan juga. Demikian pula
dengan segala perbuatan mesum yang dilakukan Dipasingara dan Galuh Resmi.
Hanya
dalam waktu dua bulan, entah bagaimana sebabnya, seisi gedung Kadipaten telah
mengetahui hubungan gelap dan kotor kedua orang itu. Hanya karena takut
terhadap Galuh Resmi, terlebih lagi ngeri akan tindakan yang bakal dilakukan
Dipasingara yang berilmu tinggi itu, maka tak ada seorang pun yang berani
menyampaikan atau mengadukan kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran. Namun
pada akhirnya diam-diam Kebo Panaran merasakan adanya kelainan pada tindak
tanduk istrinya.
Kemudian
diperhatikannya pula tingkah laku Dipasingara. Sikap Galuh Resmi jika berada di
dekat kepala pengawalnya itu, Pastilah ada hubungan tertentu antara kedua orang
ini. Dan hubungan antara lelaki muda dengan seorang perempuan jelita apalagi
kalau bukan menjurus pada hubungan hati dan badaniah? Sudah sampai sebegitu
jauhkah hal itu terjadi?
Kebo
Panaran berusaha mencari bukti-bukti. Tetapi gagal. Dicobanya memancing kedua
orang itu dengan pura-pura pergi menjalankan tugas ke kota atau ke desa-desa.
Lalu diamdiam bersama beberapa pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi
semuanya tetap tidak membawa hasil.
Suatu
ketika Kebo Panaran mendapat akal. Sengaja dicarinya satu kesempatan baik.
Selagi berdua-dua dengan Galuh Resmi berkatalah Adipati ini:
“Istriku
Galuh, seingatku telah lebih dari tiga bulan dinda tak pernah menyambangi ibu
mertuamu di Karangtretes….”
“Memang
betul kanda. Sudah tiga bulan kita tak pernah ke sana.” Menyahuti Galuh Resmi.
“Aku
kawatir kalau-kalau nanti mereka kecewa dalam berharap-harap. Dan menganggapmu
sebagai seorang menantu yang tak punya perhatian…”
Galuh
Resmi terdiam. Kebo Panaran melirik dan meneruskan:
“Bagaimana
kalau besok kau berangkat ke Karangtretes?”
“Jika
begitu kehendak kanda, saya akan berangkat besok. Kanda tentu akan ikut serta
pula bukan?”
“Ada
urusan yang perlu kuselesaikan di Kotaraja. Penting sekali. Aku tak mungkin
menemanimu. Sampaikan saja salam hormatku pada orang tuaku….”
“Ah, mana
enak pergi tanpa kanda. Kanda yang menyuruh saya pergi tapi kanda sendiri tidak
ikut,” mengajuk Galuh Resmi membuat Kebo Panaran agak bimbang apa benar
sedemikian besar perhatian serta kasih sayang istrinya.
“Lagi
pula saat ini daerah yang bakal dilalui kabar-kabarnya kurang aman,” kata Galuh
Resmi lebih lanjut.
“Hal itu
tak usah dinda kawatirkan. Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi bersama
beberapa prajurit.”
“Meskipun
demikian, jika urusan kakanda di Kotaraja cepat selesai, saya harap kanda mau
menjemput ke Karangtretes dan pulang bersama-sama.”
Kebo
Panaran menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian suami istri itu pun masuk ke
kamar mereka. Di atas ranjang malam itu Galuh Resmi sangat bergairah. Ini agak
mengherankan Kebo Panaran. Sebenarnya perempuan itu bergairah karena ingat saat
berduadua dengan Dipasingara yang bakal dialaminya dalam perjalanan ke
Karangtretes pulang pergi.
Karangtretes
sebuah desa subur di tepi lembah yang jaraknya kira-kira satu setengah hari
perjalanan dari Gombong. Jika seseorang berangkat pagi hari dengan mengendarai
kuda, pada malamnya dia akan sampai di sebuah kampung pusat perdagangan yang
terletak setengah hari perjalanan dari Karangtretes.
Biasanya
orang akan berhenti dan menginap di sana. Keesokan hari baru melanjutkan
perjalanan lagi.
Demikian
pula dengan rombongan Galuh Resmi. Mereka sampai di kampung itu sewaktu siang
telah berganti malam. Dipasingara yang memimpin rombongan langsung membawa
rombongan ke sebuah penginapan. Di situ disewanya tiga buah kamar.
Kamar
yang paling besar dan bagus serta bersih untuk Galuh Resmi. Kamar kedua yang
bersebelahan dengan kamar pertama ditempati oleh kusir kereta dan
prajurit-prajurit yang berjumlah tiga orang. Kamar terakhir yang terletak di
sebelah kiri kamar Galuh Resmi ditempati oleh Dipasingara seorang diri.
Mengetahui
bahwa yang menginap adalah rombongan istri Adipati Gombong maka pemilik dan
pembantu-pembantunya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena
perjalanan seharian penuh itu, sehabis makan para prajurit dan kusir kereta
yang keletihan langsung masuk kamar dan tertidur pulas. Sebelumnya kepada
mereka Dipasingara berkata bahwa malam itu dia sendiri yang akan berjaga-jaga.
Tetapi semua orang sudah maklum kalau pimpinan mereka itu akan mempergunakan
kesempatan untuk bersenangsenang berbuat mesum dengan istri Adipati. Karena
mereka tidak perduli dan sudah muak maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam
kamarnya Galuh Resmi berdiri di depan kaca, memupuri wajahnya yang halus dengan
bedak harum. Di antara heningnya malam Galuh Resmi kemudian mendengar suara
ketukan halus di pintu kamar. Dia tersenyum. Diletakkannya kotak bedak di atas
meja lalu cepat-cepat membuka pintu.
“Aku
masih belum selesai berhias, engkau sudab datang kemari,” kata Galuh Resmi
dengan senyum lebar memanaskan birahi Dipasingara.
Tanpa menunggu
lebih lama Dipasingara masuk dan sekaligus mengunci pintu.
“Orang
secantikmu tak perlu berdandan lagi Galuh,” ujar Dipasingara.
“Seorang
permaisuri raja pun tetap memerlukan berhias. Apalagi aku…” sahut Galuh Resmi.
“Soalnya
mungkin permaisuri itu jelek. Dan kau secantik bidadari. Tidak pernah
membosankan,…”
Tak sabar
lagi Dipasingara langsung mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Galuh Resmi
kencang-kencang.
Sebelumnya
mereka telah biasa berbuat kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena merasa lebih
bebas serta aman maka masing-masing lebih terangsang oleh kobaran nafsu, lebih
hebat dari yang sudah-sudah. Dalam keadaan setengah telanjang keduanya
bergulingguling di atas tempat tidur. Tempat tidur besar itu kini berubah
menjadi sebuah arena pertandingan. Pertandingan mesum.
“Dipa…”
bisik Galuh Resmi suaranya lirih. Matanya setengah terpejam. Jari-jarinya
mencengkam punggung si pemuda.
Dipasingara
tahu betul apa arti bisikan itu. Satu demi satu segera ditanggalkannya pakaian
yang melekat di tubuh Galuh Resmi. Ketika lelaki ini hendak melepaskan pakaian
terakhir yang melekat di aurat Galuh, tiba-tiba pintu kamar ditendang dari luar
hingga terpentang lebar dan hancur berantakan!
Menyusul
terdengar suara bentakan menggeledek.
“Manusia-manusia
dajal! Malam ini kalian berdua akan mampus dalam kemesuman!”
Galuh
Resmi memekik. Dia mengenali suara itu. Juga Dipasingara.
“Wuutt!”
Satu
sambaran angin keras menderu dekat kepala Dipasingara.
Pemuda
ini cepat jatuhkan diri dan berpaling menghadapi. Adipati Kebo Panaran! Dia
berhadap-hadapan
dengan Adipati itu! Di tangan kanan Kebo Panaran tergenggam sebilah pedanq
panjang. Parasnya kelam membesi, seram menggidikkan!
“Pemuda
haram jadah! Jadi inilah balas jasamu terhadapku! Mampuslah!”
Untuk
kedua kalinya Kebo Panaran membabatkan pedangnya ke arah kepala Dipasingara.
Untuk kedua kalinya pula kepala pengawal Kadipaten ini berhasil mengelak.
Dengan kalap karena diamuk amarah Kebo Panaran memburu dan hantamkan pedangnya
bertubi-tubi.
“Kanda!
Kanda Kebo Panaran! Hentikan… Hentikan…!” Galuh Resmi menjerit panjang sambil
menjangkau kain untuk menutupi auratnya yang polos.
“Perempuan
laknat! Kau mampus duluan!”
Kebo
Panaran tusukkan pedangnya ke dada telanjang istrinya.
Galuh
Resmi menjerit.
******************
5
Sebelum
ujung pedang menembus dada yang putih telanjang itu, satu deru angin dahsyat
datang memapas dari samping. Kebo Penaran terhuyung-huyung, bahkan hampir
terpelanting
jika dia tidak lekas-lekas memperkuat kuda-kuda kakinya. Tusukan
pedangnya
meleset jauh.
Ternyata
Dipasingara telah lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal ini
membuat Adipati Gombong itu menjadi penasaran.
Sambil
berbalik tangan kirinya dipukulkan ke depan.
Serangkum
cahaya putih yang luar biasa panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti bernama
“Perak Mendidih” yang merupakan pukulan paling hebat yang dimiliki oleh Adipati
Gombong itu. Dia sengaja mengeluarkan pukulan sakti itu siang-siang karena
ingin menamatkan riwayat Dipasingara detik itu juga.
Dipasingara
kaget bukan kepalang. Tidak disangkanya Adipati tua yang kelihatannya mulai
pikun itu ternyata memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang demikian hebatnya.
Buru-buru dia melompat ke samping selamatkan diri. Tak urung hawa panas masih
sempat menyambar pundak kirinya hingga kelihatan menjadi merah dan perih.
Pukulan
“Perak Mendidih” lewat, terus melanda dinding kamar hingga hancur hangus
berkeping-keping dengan suara gaduh, ini membuat terbangunnya seluruh isi
penginapan.
“Bangsat!”
bentak Adipati Kebo Panaran geram ketika melihat pukulannya tidak mengenai
sasaran. Dia pukulkan tangan kirinya sekali lagi untuk melancarkan serangan
yang sama.
Namun
saat itu Dipasingara sudah bersiap sedia. Dia tak ingin berada di tempat itu
lebih lama dalam keadaan hampir telanjang begitu rupa. Dari balik pakaiannya
yang terletak di tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
“Sreett!”
Benda
hitam itu terbuka. Ternyata adalah sebuah kipas hitam legam. Sekali Dipasingara
menggoyangkan tangannya, bersiurlah larikan sinar hitam yang sangat menggidikkan.
Pukulan “Perak Mendidih” yang siap dilancarkan Kebo Panaran musnah tertindih.
Sinar hitam terus melabrak.
Kebo
Panaran menjerit keras. Tubuhnya mental dan bergulingan di lantai, hangus hitam
tanpa nyawa. Laksana sepotong kayu dimakan api!
Galuh Resmi
memekik tiada henti.
Di luar
kamar yang porak poranda itu penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara
menggigit bibir. Cepat dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya. Kipas hitam
diselipkannya dibalik pinggang. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa di situ
pemuda ini balikan tubuh siap untuk berlalu.
“Dipa,
kau mau ke mana…?” seru Galuh Resmi. Dipasingara tersenyum. Senyum aneh yang
lebih merupakan seringai sadis di mata Galuh Resmi.
“Ke mana
aku mau pergi itu bukan urusanmu!” Kata-kata itu terluncur dari mulut
Dipasingara. Ini sangat mengejutkan Galuh Resmi.
“Jadi…
jadi kau mau pergi begitu saja?!”
“Antara
kita tak ada hubungan apa-apa sejak semula. Biar semua berakhir seperti itu!”
“Kau…
jangan pergi Dipa! Bawa aku bersama mu!”
Kembali
Dipasingara menyeringai buruk. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh.
“Aku
tidak butuh kau lagi Galuh. Aku telah mendapatkan segalanya darimu!’
“Mulutmu
keji. Hatimu ternyata jahat! Kau manusia jahat!”
Dipasingara
tertawa bergelak. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu. Hanya
suara tawanya saja yang sesaat masih terdengar menggema di kejauhan di malam
yang dingin.
Galuh
Resmi merasakan dadanya sesak. Dia menjerit keras lalu terkulai dan jatuh
pingsan di lantai kamar.
Tiga
prajurit Kadipaten menghambur masuk ke dalam kamar diikuti oleh pemilik kedai
dan pembantu-pembantunya. Kesemuanya langsung terpaku di lantai begitu
menyaksikan sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang hangus hitam hampir tak
dikenal menggeletak di lantai. Tak jauh dan situ terkapar istrinya dalam
keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya. Seseorang mengambil kain dan
menutupi tubuh ini.
Untuk
beberapa lamanya tak seorangpun melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku oleh
rasa tak percaya tetapi juga ngeri. Tiba-tiba tubuh Galuh Resmi kelihatan
bergerak. Dua prajurit segera mendekat untuk menolong. Tetapi perempuan muda
ini tiba-tiba menjerit.
“Pergi!
Jangan dekati aku! Jangan pegang!”
Perempuan
itu melompat tegak. Dia seperti tidak menyadari kalau saat itu dia tidak
berpakaian sama sekali dan tegak di hadapan banyak orang. Tiba-tiba dia
menjerit keras.
“Istri
Adipati ini pasti sudah jadi gila…” kata pemilik penginapan dalam hati.
Didahului
oleh satu raungan panjang, tiba-tiba Galuh Resmi lari ke tempat suaminya
terbujur. Tanpa ada satu orangpun yang dapat mencegah, perempuan ini mengambil
pedang milik Kebo Panaran lalu berteriak:
“Kanda
Kebo Panaran! Ampuni istrimu! Aku menyusulmu kanda!”
Apa yang
terjadi kemudan sangat cepat. Semua orang tertegun terkesiap. Tak seorangpun
sempat atau mampu mencegah tindakan Galuh Resmi. Mereka seolah-olah baru
tersadar ketika Galuh Resmi sudah terkapar mandi darah di lantai. Pedang Kebo
Panaran menancap di dadanya. Sungguh malang perempuan muda ini. Sisa hidupnya sejak
beberapa bulan lalu penuh kekotoran bergelimang dosa mesum. Dan kini
kematiannyapun dalam jalan yang sesat pula. Semua gara-gara Dipasingara. Pemuda
terkutuk yang telah melarikan diri entah kemana!
******************
6
Jika
seseorang berdiri di puncak gunung Slamet, maka dia akan dapat melihat
pemandangan indah terbentang di bawahnya. Di mana-mana hutan menghijau segar,
di seling oleh sawah luas yang menghampar kuning laksana permadani emas.
Beberapa sungai kecil yang mengalir berkilau-kilau airnya ditimpa sinar
matahari, tak ubah seperti ular yang tengah melenggang lenggok.
Kita
menuju ke lereng timur gunung Slamet yang menjulang tinggi itu.
Di
hadapan sebuah pondok papan tampak berdiri seorang lelaki tua yang menurut
taksiran paling tidak usianya telah mencapai tuluhpuluhan. Di depan orang tua
ini tegak seorang pemuda bersama seorang gadis manis ayu, berkulit kuning
langsat.
Setelah
memandang pada pemuda yang berdiri di hadapannya itu beberapa lama maka
berkatalah si orang tua:
“Walau
bagaimanapun kita tidak dapat menolak kenyataan, bahwa di antara seribu satu
peristiwa dalam kehidupan manusia, sepasang di antaranya adalah pertemuan dan
perpisahan. Setiap ada pertemuan tentu ada pula perpisahan. Pertemuan tidak
kekal karena selalu adanya perpisahan. Demikianlah sifat segala apa yang ada di
alam ini. Semuanya tidak kekal. Tak ada yang abadi. Hanya satu yaitu Yang Esa
sajalah yang akan tetap kekal selama-lamanya.
Hari ini
kalau aku tidak salah hitung tepat sewindu lamanya kau tinggal bersamaku dan
mengenyam segala macam ilmu pelajaran. Justru di hari ini pula kepadamu akan
kuberikan satu tugas. Tugas ini membuat kau harus berpisah denganku. Dan lebih
dari itu terpaksa berpisah dengan orang yang kau kasihi.
Tetapi
aku yakin Sanjaya, perpisahan ini tentu sudah kau sadari sebelumnya. Karenanya
sebagai seorang lelaki kau tentu akan menunjukkan ketabahan hati dan kebesaran
jiwa. Bila nanti tugasmu telah selesai kau akan kembali kemari. Pertemuan kita
nanti sekaligus akan merupakan hari paling bahagia dalam hidupmu. Yakni
perkawinanmu dengan Wulandari…”
Sampai di
situ orang tua itu hentikan kata-katanya.
Dilihatnya
Sanjaya menunduk agak tersipu maka sedang Wulandari juga menunduk dengan wajah
kemerahan.
“Sebagai
seorang berilmu tinggi,” melanjutkan orang tua itu, “Harus kau sadari bahwa
setiap tugas adalah mahal. Dan memang adalah menjadi satu kewajiban bagi
seseorang yang telah berilmu untuk mengamalkan ilmunya itu. Ilmu yang tidak
diamalkan tak ada gunanya. Tak ada manfaatnya.
Nah
Sanjaya, tak banyak nasihat atau petuah yang akan kuberikan pada saat ini.
Segala sesuatunya nanti akan terletak di tanganmu sendiri. Pergilah ke Kotaraja
dan kembalilah bila tugasmu sudah selesai. Berikan pengabdianmu yang tulus pada
kerajaan. Aku gurumu dan kekasihmu Wulandari akan menunggumu di sini”
Selesai
berkata begitu si orang tua lantas mengundurkan diri masuk ke dalam pondok guna
memberikan kesempatan pada sepasang muda mudi yang merupakan murid-murid
kesayangannya.
Di bagian
belakang pondok terdapat sebuah kebun kecil. Di ujung kebun terletak telaga
buatan berair jernih karena berasal dari pancuran air gunung yang segar.
Wulandari melangkah ke tepi telaga diikuti oleh Sanjaya.
Lama
keduanya berdiri di tempat itu tanpa satu orangpun membuka mulut. Detik-detik
perpisahan yang menggugah hati itu membuat seolah-olah lidah mereka menjadi
kelu, membuat mulut masing-masing seperti terkunci, tak sanggup melafatkan
kata-kata.
Namun
setelah beberapa lama akhirnya Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya agak
bergetar.
“Wulan,
perpisahan ini merupakan satu ujian bagi kita….”
“Aku
kawatir kak,” sahut Wulandari sambil memperhatikan air pancuran yang jatuh
memercik di atas batu hitam, baru mengalir ke dalam telaga.
“Apa yang
kau kawatirkan?” tanya Sanjaya.
“Kotaraja
ribuan lebih bagus segala-galanya dari pada di sini. Gadis-gadisnya
cantik-cantik, tidak seperti gadis buruk di puncak gunung Slamet ini. Akan
sanggupkah kau menghadapi ujian seperti itu?”
Sanjaya
kontan tersenyum lebar. Dia maju mendekati gadis itu. Sambil memegang jari-jari
Wulandari dia berkata:
“Selama
rimba masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan lepas, selama
itu pulalah cintaku terhadapmu tak akan luntur. Selama itu pula aku setia pada
cinta kita.”
Sunyi
beberapa lamanya. Di kejauhan terdengar kicau burung-burung. Jari-jari tangan
mereka saling beremasan. Wulandari kemudian melihat paras pemuda itu mendekati
wajahnya. Dipejamkannya kedua matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman lembut dan
mesra pada keningnya. Dan terdengar bisikan Sanjaya:
“Wulan,
aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…“
“Hati-hati.
Dan lekas kembali.” bisik Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai perak di
rambutnya dan menyerahkannya pada Sanjaya seraya berkata:
“Bawalah
ini, simpan baik-baik. Jika kau ingat aku ambil dia dan pandanglah.
Mudahmudahan rindumu akan terobat.”
“Terima
kasih Wulan,” kata Sanjaya dengan terharu sambil menerima tusuk kundai perak
itu. Dia berpikir-pikir benda apa yang akan diberikannya pada Wulandari sebagai
balasan. Tibatiba dia teringat pada cincin berbatu biduri bulan di tangan
kirinya. Ditanggalkannya benda itu lalu berkata: “Pakai cincin ini sebagai
pengganti diriku….”
Sanjaya
kemudian memasukkan cincin tersebut ke jari manis tangan kanan Wulandari.
Setelah menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan memasukkannya dalam sebuah
buntalan, Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya. Selesai pamit pemuda itu segera
menuruni gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya sampai di sebuah tikungan dan
baru kembali ke pondok bilamana pemuda yang dicintainya itu lenyap dari
pandangan di kejauhan.
“Ya
Tuhan, selamatkanlah dia dalam perjalanan. Lindungi dia dalam tugas mengabdi
Kerajaan. Selamatkan pula dia dalam perjalanan kembali…” demikian Wulandari
berdo’a dalam hati untuk kekasihnya.
Hari itu
adalah hari kedua sejak Sanjaya meninggalkan pondok gurunya di gunung Slamet.
Wulandari mempersibuk diri dengan berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil sayuran
segar di ladang, ditampungnya air pancuran dalam sebuah kendi besar. Sewaktu
dia membawa kendi serta sayuran itu kembali ke pondok, gadis ini dikejutkan
oleh kemunculan seorang yang tak dikenal di hadapannya.
Orang ini
masih muda belia, mungkin seusia Sanjaya. Pakaiannya putih sederhana. Rambutnya
hitam tebal menyela bahu. Wajahnya yang cakap tampan itu memiliki sepasang mata
sipit yang mempunyai pandangan tajam.
Sebagaimana
terkejutnya Wulandari demikian pula tampaknya pemuda asing itu. Dalam
keterkejutan untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Maaf
saudari…” si pemuda akhirnya membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya sopan.
“Kalau aku boleh bertanya, apakah di sini tempat kediaman Eyang Wulur
Pamenang?”
Wulandari
tak segera menjawab. Dia meneliti pemuda itu sesaat baru menganggukkan kepala.
“Apakah
saat ini beliau ada di dalam?” Wulandari mengangguk lagi. “Dapatkah aku bertemu
dengan beliau?” Sebelum Wulandari menjawab dari dalam pondok terdengar suara
gurunya.
“Tamu
yang datang, silahkan masuk ke dalam pondokku yang buruk.”
Wulandari
memberi jalan. Si pemuda lalu masuk ke dalam pondok. Di bagian depan pondok
pemuda itu melihat seorang tua duduk bersila di atas sehelai kulit kambing
putih. Dipangkuannya ada seuntai tasbih warna kuning yang memancarkan sinar
terang.
Begitu
sampai di hadapan si orang tua, pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang Wulur
Pamenang adalah seorang yang paling tidak senang dihormati secara berlebihan,
apalagi pakai berlutut segala. Buru-buru dia berkata:
“Duduklah
di tikar. Katakan siapa kau, datang dari mana dan ada keperluan apa mencariku.”
Si pemuda
duduk bersila di hadapan Eyang Wulur Pamenang. Dia tidak segera membuka mulut
memberikan jawaban. Tampaknya ada sesuatu yang mengganjalnya.
“Anak
muda, kau belum menjawab pertanyaanku,” menegur Wulur Pamenang.
“Eyang,
saya bernama Handaka. Datang dari desa Kembiring, dua minggu perjalanan dari
sini. Saya….”
Si pemuda
tak bisa meneruskan kata-katanya.
“Anak
muda, tenanglah hatimu. Bicaralah biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang
dikawatirkan di sini.”
“Saya,
saya mencari Eyang karena malapetaka besar telah menimpa kampung saya termasuk
orang tua serta saudara-saudara saya.”
“Malapetaka
apakah yang telah menimpa desa serta keluargamu?”
Si pemuda
lantas menerangkan. “Sehari sebelum terjadinya malapetaka itu seorang anggota
gerombolan rampok yang dipimpin oleh Warok Grimbil telah kedapatan mati dalam
cara amat mengerikan. Mayatnya ditemukan dalam desa kami. Sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki hancur lumat bekas dicincang. Tak seorangpun
tahu siapa yang membunuhnya dan bagaimana bisa berada di desa kami. Kemudian
datanglah malapetaka itu.
Warok Grimbil
dan orang-orangnya menyangka bahwa penduduk Kembiringlah yang telah membunuh
anak buah dan teman mereka itu. Malam hari, ketika penduduk sedang tidur Warok
Grimbil dan anak buahnya datang menyerbu. Setiap bangunan di desa dibakar.
Semua orang dibunuh. Tak perduli orang tua, perempuan ataupun anak-anak yang
tidak berdosa. Setelah melakukan perbuatan biadab itu gerombolan rampok membawa
harta benda dan ternak penduduk lalu melarikan diri…”
Eyang
Wulur Pamenang termenung. Memang sudah sejak lama mendengar kejahatan yang
dilakukan oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Grimbil seorang jahat yang
berkepandaian tinggi.
“Kau
sendiri bagaimana bisa menyelamatkan diri?” bertanya Wulur pamenang.
“Sewaktu
bencana itu terjadi, saya berada di desa tetangga. Melihat kepulan asap dan
langit merah tanda ada kebakaran, saya cepat-cepat kembali ke Kembiring. Yang
saya temui hanya kemusnahan yang memilukan dan mengerikan. Di mana-mana mayat
berkaparan, Warok Grimbil dan anak buahnya telah melarikan diri di hadapan
reruntuhan rumah saya, saya temui kedua orang tua saya dan semua
saudara-saudara menemui ajal dengan cara yang mengerikan. Ketika saya menangis
seperti orang gila, lapat-lapat saya dengar suara orang menggerang sambil
memanggil nama saya. Orang itu ternyata adalah sahabat dan tetangga saya.
Tubuhnya penuh luka bekas tusukan senjata tajam. Dalam keadaan sekarat Ia masih
bisa menerangkan bahwa Warok Grimbil bersama anak-anak buahnyalah yang telah melakukan
kebiadaban itu….”
Ketika
Handaka mengakhiri ceritanya suasana dalam pondok ini menjadi sunyi sampai
akhirnya Eyang Wulur Pamenang membuka mulut:
“Setelah
kejadian itu, kau langsung menuju kemari?”
“Betul
Eyang.”
“Tentunya
dengan mengandung sesuatu maksud.”
“Benar.
Tentang maksud itu saya rasa Eyang tentu sudah maklum.”
“Ah, aku
yang sudah tua ini terlalu pikun untuk meraba maksud seseorang.”
“Eyang…
apa yang telah terjadi dengan orang tua dan saudara-saudara saya, telah
menimbulkan satu dendam kesumat yang berurat berakar dalam dada saya. Walau
bagaimanapun, dan sampai di manapun saya harus membalaskan sakit hati kematian
orang-orang yang saya kasihi itu. Namun saya menyadari, seorang diri tak
mungkin untuk melakukan pembalasan. Apalagi mengingat saya tidak memiliki
kepandaian apapun. Karena itulah saya datang kemari untuk meminta bantuan
Eyang. Sudilah kiranya Eyang mengambil saya jadi murid. Perkenankan saya
menerima sejurus dua jurus ilmu silat dari Eyang….”
Lama
Wukir Pamenang termenung. Ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa
memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan
orang-orang macam Warok Grimbil sudah semestinya ditumpas. Namun menerima
pemuda bernama Handaka itu untuk jadi muridnya terasa agak berat bagi orang tua
ini. Dia telah mempunyai dua orang murid yaitu Sanjaya dan Wulandari. Di
samping itu usianya telah terlalu tua untuk memberikan pelajaran-pelalaran
dasar pada seorang murid baru. Kemudian ada satu hal yang membuat dia merasa
keberatan untuk mengambil Handaka jadi muridnya. Dia melihat satu bayangan pada
wajah pemuda ini.
Sepasang
mata Wulur Pamenang yang tajam penuh pengalaman disertai perasaan hati yang
arif melihat bahwa ada sifat-sifat buruk tertentu mengendap dalam diri pemuda
itu.
Namun
untuk tidak mengecewakan Handaka, Wulur Pamenang tidak mau menyatakan
penolakannya secara terang-terangan. SebaliknYa dia berkata:
“Handaka,
ketahuilah dari sekian banyak sifat-sifat buruk di dalam dunia ini satu di
antaranya adalah dendam dan balas dendam. Dendam yang selalu dilampiaskan tak akan
habis-habisnya sampai turun temurun. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya telah
membunuh orang tuamu, saudara-saudaramu serta sahabat-sahabatmu sedesa. Layak
kalau rasa sakit hati dan dendam berurat berakar dalam tubuhmu. Satu-satunya
tekad yang ada dalam hatimu saat ini adalah balas dendam!
Katakanlah
pembalasan berhasil kau lakukan. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya berhasil
kau bunuh. Namun tanpa setahumu Warok Grimbil mungkin memiliki seorang putera
yang kelak kemudian hari akan menuntut balas pula atas kematian ayahnya.
Demikian seterusnya tiada henti.
Semua ini
terjadi lain tidak karena manusia-manusia tidak dapat menahan nafsu untuk balas
dendam melampiaskan sakit hati dan pembalasan. Lalu bagaimanakah jadinya jika
hal itu berlangsung demikian rupa terus menerus? Dapat kau bayangkan sendiri
Handaka.
Orang-orang
yang tidak ada sangkut paut dan dosa apa-apa harus menemui kematian dengan cara
mengenaskan. Kemanusiaan dan kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi oleh
manusia-manusia yang katanya beradab. Mereka berubah menjadi binatang. Malah
lebih jahat dari binatang. Karenanya kuharap kau bisa menahan diri. Bersabar
menghadapi musibah atau cobaan besar ini. Tidak terpengaruh untuk menempuh
jalan sesaat yang akan merugikan dirimu sendiri, bahkan banyak orang!”
Setelah
berdiam diri beberapa lamanya baru Handaka membuka mulut memberikan jawaban:
“Semua
yang Eyang katakan itu memang benar. Tapi jika boleh saya menjawab, saya ingin
mengajukan satu pertanyaan. Apakah akan dibiarkan saja manusia-manusia macam Warok
Grimbil itu hidup terus malang melintang berbuat kejahatan, membunuh, merampok,
memperkosa?”
Wulur
Pamenang tersenyum dan menjawab:
“Betul
Handaka. Betul sekali kalau kau mengajukan pertanyaan seperti itu. Sebagai
jawabannya ingin kukatakan padamu bahwa di dunia ini bukan hanya
manusia-manusia saja yang bisa mengambil tindakan. Lebih dari itu kekuasaan
Tuhan berada di mana-mana. Kelak manusia macam Warok Grimbil dan anak-anak
buahnya akan mendapat hukuman dan pembalasan dari-Nya!”
Kini
Handaka yang ganti tersenyum.
“Seorang
manusia yang cuma berlepas tangan menunggu pembalasan Tuhan tanpa mengadakan
usaha sama sekali, sama saja dia mati dalam hidupnya. Dan apakah arti serta
gunanya hidup semacam itu?”
“Kepala
sama berambut Handaka, rambut sama hitam. Tapi jalan pikiran orang berbeda satu
dengan lainnya…” kata Eyang Wulur Pamenang pula. Ucapan pemuda itu tadi telah
membuat wajahnya yang tua jadi berubah kemerahan,
“Betul
Eyang, tetapi setiap manusia yang bijaksana akan berusaha mengambil jalan ke
arah yang benar. Mungkin Eyang kurang atau tidak dapat merasakan sakit hati
seseorang yang mengalami musibah matapetaka seperti saya ini. Karena Eyang
tidak terlibat. Karena Eyang tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana lusinan mayat manusia tak berdosa berhamburan dalam keadaan
mengerikan. Mayat perempuan-perempuan tua, perempuan hamil, anak-anak bahkan
bayi yang masih merahi”
Wulur
Pamenang memandangi tasbih hijau di pangkuannya lalu berkata:
“Baiklah
Handaka. Aku mengerti perasaan serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun bila kau
menghendaki aku mengambilmu jadi munid, sesungguhnya kau telah datang ke tempat
yang salah….”
“Salah
bagaimana Eyang?” tanya Handaka tak mengerti.
“Orang
tua pikun yang hampir masuk liang kubur macamku ini, ilmu kepandaian apakah
yang kumiliki dan bisa kuajarkan padamu?”
“Ah,
Eyang terlampau merendahkan diri. Delapan penjuru angin dunia persilatan boleh
dikatakan sudah mengenal nama besar Eyang.”
“Akan
lebih baik jika kau mencari guru lain yang lebih segala-galanya dariku. Hingga
kelak kau benar-benar menjadi seorang pemuda yang berilmu tinggi”
“Eyang,”
sahut Handaka. “Saya telah datang kemari karena tekad saya sudah bulat hanya
akan berguru kepada Eyang, tidak kepada orang lain. Akan Eyang kecewakankah
manusia bernasib buruk ini?”
“Aku
telah mempunyai dua orang murid. Tak mungkin aku harus menerimamu pula….”
“Tak
mungkin? Mengapa tidak mungkin Eyang?” tanya Handaka.
Tapi
orang tua itu tidak menjawab. Setelah menunggu dan tidak kunjung ada sahutan,
Handaka berkata:
“Baiklah
Eyang, memaksa orang yang tidak mau adalah tidak baik. Seperti saya katakan,
saya tidak berniat mencari guru lain. Jika saya turun dari puncak gunung Slamet
ini, dengan ilmu yang bernama ketabahan hati dan kesabaran serta senjata
sepasang tangan ini saya akan mencari Warok Grimbil. Apakah saya bakal dapat
membunuhnya atau kepala saya yang bakal menggelinding lebih dulu, entahlah…”
Handaka
menjura di hadapan Eyang Wulur Pamenang lalu berdiri.
“Sebelum
saya pergi Eyang, pernah saya mendengar ucapan seorang tua di desa. Katanya
Seorang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkan dan mengajarkan ilmunya
kepada orang lain, sama artinya dengan seorang paling tolol di dunia ini. Dan
kelak orang itu akan mati dalam ketololannya. Apakah ucapan orang tua itu benar
atau tidak harap Eyang sudi merenungkannya…”
Sekali
lagi pemuda itu menjura lalu membalikkan tubuh. Pada saat Handaka mencapai
ambang pintu dan siap untuk melangkah keluar pondok tiba-tiba didengarnya Eyang
Wulur Pamenang memanggil :
“Handaka,
kembalilah! Aku akan mengambilmu jadi murid!”
******************
7
Enam
bulan telah berlalu sejak kedatangan Handaka dan sejak pemuda itu diambil
menjadi murid Eyang Wulur Pamenang di puncak gunung Slamet. Orang tua itu
memang merasa heran melihat Handaka dapat mengikuti setiap pelajaran silat yang
diberikan dengan cepat hingga hanya dalam waktu enam bulan dia benar-benar
telah menguasai ilmu silat yang diturunkan kepadanya.
Pemuda
ini luar biasa, demikian Wulur Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak kecewa
mendapatkan murid seperti Handaka.
Sebagai
dua orang saudara seperguruan tentu saja hubungan Wulandari dengan Handaka
rapat sekali. Mereka sering berlatih berdua, sering bercakap-cakap. Sedikit
demi sedikit rasa sepi yang ada di hati Wulandari karena ditinggal Sanjaya
menjadi berkurang bahkan akhirnya pupus sama sekali. Harus diakui bahwa Handaka
bukan saja lebih gagah parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai bicara, suka
bercerita dan sering melucu.
Pada
mulanya hubungan mereka tidak lebih dari apa yang telah dilukiskan di atas.
Namun lambat laun Wulandari menyadari bahwa dari pihak Handaka hubungan itu
telah dipandang secara lain. Sampai pada suatu hari ketika mereka sedang
berdua-dua di tepi telaga Handaka mengatakan bahwa dia mencintal gadis itu.
Wulandari
bukan seorang gadis yang mudah berubah haluan. Sekali dia mencintai seseorang
dia akan mencintai selama-lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang gadis yang
kesepian kadangkala tidak sanggup menghadapi godaan dari pemuda lain. Apalagi
dari seorang pemuda setampan Handaka yang pandai bicara lihay merayu. Hubungan
mereka sehari-hari yang selalu berdekatan itu lambat laun membuat Wulandari
menjadi mulai tertarik pada Handaka,
Gadis ini
mulai membanding-banding antara Handaka dengan Sanjaya yang jauh di Kotaraja.
Dan cinta, bilamana sudah sampai pada tingkat banding membandingkan tanda
umurnya tak akan lama lagi!
Demikianlah
kalau dulu hampir setiap saat Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya setiap
malam hampir tak pernah dia lupa berdoa untuk keselamatan kekasihnya itu, maka
kini mulai dilupakan Wulandari.
Sebagai
seorang tua lanjut usia yang dalam waktu tidak lama lagi kelak bakal menutup
mata, sekali seminggu Wulur Pamenang pergi ke puncak Slamet paling tinggi dan sunyi
untuk bersemedi, bertafakur dalam sebuah goa.
Kesempatan-kesempatan
seperti inilah yang memberikan peluang-peluang baik pada Handaka dan Wulandari.
Mula-mula hanya saling pandang memandang. Kemudian meningkat saling beremesan
tangan. Lalu lebih berani lagi, lebih berani lagi hingga keadaan keduanya tidak
beda dengan hubungan suami istri.
Bagaimanapun
juga lambat laun Wulur Pamenang akhirnya mengetahui jalinan hubungan antara
kedua muridnya itu. Namun tak pernah diduganya sama sekali kalau hubungan mereka
sudah demikian rapatnya, melewati batas-batas hubungan adik dengan kakak,
hubungan saudara seperguruan, Wulur Pamenang memutuskan untuk menjauhkan kedua
orang itu secara halus. Handaka akan disuruhnya mendirikan sebuah pondok di
lereng barat gunung Slamet.
Namun
sebelum hal itu dilakukannya, Wulur Pamenang keburu mengetahui bahwa satu hal
luar biasa telah terjadi atas diri murid perempuannya itu. Rasa marah dan
kecewa bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal mengapa dia dulu mengambil
Handaka jadi murid. Kesemuanya itu menumpuk menjadi kemarahan yang meluap.
Ketika
Handaka sedang berlatih silat di tepi telaga Wulur Pamenang membawa Wulandari
ke ruang dalam pondok.
“Mungkin
kau sudah bisa menduga kenapa aku memanggilmu, Wulan?”
Sang
murid memandang wajah gurunya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada
wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
“Mana
mungkin saya menduganya Eyang,” kata Wulandari pula.
“Sejak
beberapa lama ini aku merasa curiga melihat hubunganmu dengan Handaka.” Bicara
sampai di situ Wulur Pamenang dapat melihat perubahan pada wajah muridnya. Lalu
dia melanjutkan:
“Hari ini
kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh
jasmanimu.”
“Pe…
perubahan apa maksud Eyang….” Wulandari gugup. “Saya merasa tidak ada perubahan
apa-apa….”
“Kau
gugup Wulan….”
“Karena…
karena saya terkejut mendengar ucapan Eyang tadi.”
Wulur
Pamenang tersenyum rawan.
“Kau
pandai bicara sekarang Wulan. Dan pandai serta berani pula berdusta kepadaku.
Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun kau di
sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa
tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu? Apakah Handaka yang telah
mengajarkannya padamu?”
Sampai di
situ mulut Wulan terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya
tidak dapat lagi menatap ke arah sang guru sedang wajahnya merah sampai ke
telinga.
“Kau
sudah ditunangkan dengan Sanjaya. Apa kau lupa hal itu?”
Kepala
Wulandari semakin tertunduk.
“Jawab,
kau lupa?”
“Tidak
Eyang, saya tidak lupa….”
“Bagus.
Kalau kau betul-betul tidak lupa. Lalu mengapa kau bermain api dengan pemuda
lain? Mengapa kau menjalin cinta dengan Handaka?”
“Eyang,
saya… saya tidak….” Wulandari tak dapat meneruskan kata-katanya. Sebagai
gantinya dari mulutnya mulai terdengar isak tangis. Kedua tangannya ditutupkan
ke wajah.
“Diam!”
bentak Wulur Pamenang. “Aku paling benci melihat orang menangis. Terutama yang
menangis karena kesalahannya sendiri!”
Wulandari
menyusut air matanya. Ditahannya tangis yang hendak meledak sedapatdapatnya.
“Sejak
akhir-akhir ini kau tidak senang lagi dengan nasi dan sayuran. Kau jarang
makan. Lebih banyak makan asam-asaman dan buah-buahan. Pembawaan seperti itu
hanya ada pada diri perempuan yang sedang hamil! Apa kau juga hamil Wulan?
Jawab pertanyaanku?“
“Eyang…
saya… saya.”
“Katakan
saja. Kau hamil atau tidak?!” hardik sang guru.
“Tidak
Eyang… saya tidak hamil.. Hanya… hanya kurang enak badan sejak beberapa hari
ini….”
“Murid
penipu!” bentak Wulur Pamenang seraya berdiri dari tikar kulit kambing yang
didudukinya. Dia menunjuk ke pintu. “Tidak kusangka akan sekotor itu hatimu.
Tidak kusangka kau berani bicara dusta terhadap gurumu! Pondok yang kudirikan
ini kau nodai dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini
kau tidak kusukai sebagai murid lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!”
“Eyang…!”
Wulandari jatuhkan diri. “Ampuni muridmu ini!”
“Jangan
bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku! Karena
dosamu bukan padaku. Tapi pada Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak sudi melihatmu
lagi! Aku tidak sudi dalam pondok kelak lahir seorang anak haram!”
Wulandari
yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata gurunya itu menggerung dan lari ke
luar pondok.
Wulur
Pamenang katupkan rahangnya rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia
melangkah ke pintu dan cepat-cepat menuju ke telaga.
Di situ
Handaka tengah melatih ilmu silatnya seorang diri.
“Pemuda
keparat hidung belang! Hentikan latihanmu! Mulai detik ini kau tidak kuizinkan
mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan padamu!”
Handaka
tampak terkejut mendengar bentakan itu. Dihentikannya gerakannya dan berpaling
dengan cepat. Dilihatnya Eyang Wulur Pamenang berdiri tolak pinggang. Mukanya
merah laksana bara dan matanya berapi-api.
“Eyang,
dengan siapakah Eyang bicara?” bertanya pemuda itu.
Justru
pertanyaan ini membuat Wulur Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
“Bangsat!
Dengan siapa lagi kalau bukan dengan manusia dajal sepertimu!”
Sepasang
mata Handaka yang sipit menjadi tambah sipit.
“Ada
apakah hingga Eyang sampai marah begini rupa…?”
Wulur
Pamenang mendengus.
“Kau
masih bisa berpura-pura bertanya!”
“Saya
tidak mengerti. Agaknya telah terjadi sesuatu…?”
“Memang
telah terjadi sesuatu! Dan sesuatu itu kau yang menjadi biang keladinya! lngat
sewaktu kau dulu mengemis minta aku mengambilmu jadi murid! Setelah aku
berbelas kasihan mau menerimamu di sini, semua itu kini kau balas dengan noda
besar! Kau main gila dengan Wulandari. Padahal kau tahu gadis itu sudah
ditunangkan dengan Sanjaya! Kau rayu dia! Kau bujuk dan kau rusak
kehormatannya. Kini gadis itu hamil! Kau benar-benar manusia bejat!”
“Eyang,
sebaiknya kita panggil Wulandari ke sini agar kita….”
“Tak usah
banyak bicara! Gadis itu sudah kuusir. Dan kaupun musti angkat kaki dari sini.
Tapi sebelumnya hukuman yang setimpal akan kujatuhkan atas dirimu. Ulurkan
kedua tanganmu!”
“Eyang,
kau mau bikin apa…?” tanya Handaka.
“Ulurkan
kedua tanganmu manusia murtad. Jangan banyak tanya!” hardik Wulur Pamenang.
Karena
Handaka tidak mau mengulurkan tangannya maka naik pitamlah si orang tua. Dari
hidungnya ke luar suara mendengus. Rahangnya bergemeletak. Dia melompat.
Tangannya kiri kanan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya menyambar ke arah
kedua tangan Handaka. Wulur Pamenang yang telah banyak pengalaman dan memiliki
ilmu tinggi yakin sekali bahwa sekali bergerak dia bakal dapat meringkus murid
terkutuk itu.
Namun
betapa terkejutnya ketika Handaka berhasil mengelakkan serangannya. Jika saja
Handaka mengandalkan kecepatan bergerak untuk mengelakkan serangan tersebut, si
orang tua tak akan demikian terkejutnya. Tapi disaksikannya sendiri si pemuda
mengelakkan serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat aneh yang sama sekali tak
pernah diajarkannya pada Handaka!
Heran
bercampur marah Wulur Pamenang kembali menyerang si pemuda. Dan sekali inipun
Handaka berhasil berkelit dengan mempergunakan gerakan ilmu silat lain!
“Murid
mesum! Jadi ternyata kau memiliki ilmu silat lain?! Bagus! Akan kuberi hajaran
padamu dalam dua jurus!”
Habis
berkata begitu Wulur Pamenang berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah angin
pukulan tangan kosong yang dahsyat menderu ke arah dada dan perut Handaka.
Si pemuda
keluarkan bentakan nyaring. Tubuhnyapun lenyap. Sesaat kemudian terdengar
seruan tertahan ke luar dari mulut Eyang Wulur Pamenang.
Betapakan
tidak!
Serangan
yang dilancarkan tadi merupakan salah satu dari beberapa buah serangan terhebat
yang dimilikinya, bernama “Dua Naga Sakti Berebut Mangsa.” Tak pernah seorang
musuhpun sebelumnya sanggup mengelakkan dua jotosan itu sekaligus. Karena
kedahsyatannya jarang dia mengeluarkan pukulan maut itu. Namun kini serangannya
itu tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan dia merasakan kedua tangannya bergetar
sewaktu dipapasi serangan balasan yang dilancarkan Handaka! Bertambah
terkejutlah orang tua ini. Mungkinkah Handaka telah memiliki ilmu silat tinggi
sebelum dia mengambilnya jadi murid?
Lalu apa
maksud pemuda ini sesungguhnya datang kepadanya? Siapakah dia sebenarnya?
Melihat Wulur Pamenang tertegun di hadapannya, Handaka lalu keluarkan suara
tertawa.
“Wulur
Pamenang!” kata pemuda ini seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang, seolaholah
dia bicara dengan orang yang seusia dengan dirinya. “Kenapa kau tertegun?
Bukankah kau sendiri yang memerintahkan agar aku tidak boleh mempergunakan ilmu
silat yang kupelajari darimu? Mengapa heran kalau aku terpaksa mengeluarkan
ilmu silat yang lebih hebat dan lebih berguna dari ilmu silat jenis picisan
yang kau ajarkan padaku?!”
Muka
Wulur Pamenang merah sampai ke telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke
kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar, pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang
matanya seperti mau melompat dari rongganya.
“Dajal
bermuka manusia!” desis Wulur Pamenang. “Aku sudah berpantang dan bertobat
untuk tidak membunuh! Namun hari ini biarlah aku menanggung dosa asal aku dapat
mengirimmu ke dasar neraka!”
Wulur
Pamenang tutup ucapannya dengan pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar suara
menderu. Bumi laksana dilanda topan. Tanah bergetar. Debu dan pasir
beterbangan. Semak belukar rambas berhamburan. Daun-daun berguguran dan
beberapa pohon rambas tumbang.
Dikejap
itu dua larik sinar hijau berkiblat mengerikan. Apapun yang ada di depan kedua
sinar itu pasti musnah!
Wulur
Pamenang turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Handaka tak tampak
lagi dihadapannya. Tak dapat tidak pemuda itu pasti sudah menemui kematian
dengan keadaan tubuh mengerikan.
Tapi
laksana mendengar petir di liang telinganya, begitulah kagetnya Wulur Pamenang
ketika didengarnya suara tertawa bergalak. Orang tua ini memutar tubuhnya
dengan cepat. Handaka berdiri di depannya. Tangan kiri bertolak pinggang sedang
tangan kanan memegang sebuah kipas hitam yang dikibas-kibaskan di depan mukanya
sambil tersenyum mengejek?
Kontan
air muka Wulur Pamenang berubah total ketika melihat kipas hitam di tangan
Handaka itu.
“Kipas
Pemusnah Raga…!” seru orang tua itu setengah tercekik. “Pemuda dajal dari mana
kau dapat kipas sakti itu?!”
Handaka
tertawa gelak-gelak.
“Mukamu
pucat melihat kipas ini? Ha… ha…. Dari mana aku mendapatkan itu bukan
urusanmu?!”
“Sret!”
Handaka
menggoyangkan tangannya. Kipas hitam itu terkembang lebih lebar.
“Wulur
Pamenang, karena kau benar-benar inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi kau
sekarang di lain hari tentu kau hanya akan membikin repotku saja! Nah, selamat
jalan ke alam baka!”
Habis
berkata begitu Handaka mengibaskan kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si orang
tua yang telah maklum akan kehebatan senjata sakti di tangan lawan secepat
kilat mengeluarkan senjata andalan nya yakni sebuah tasbih hijau. Ketika sinar
hitam pekat yang keluar dari Kipas Pemusnah Raga berkelebat deras kearahnya,
orang tua ini cepat memapaskan tasbih hijaunya dengan sebat. Sinar hijau
berkelibat menangkis datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat
kemudian terdengarkan suara menggelegar!
Tasbih di
tangan Wulur Pamenang hancur bertaburan. Orang tua ini sendiri terpelanting
jauh dan menyangsang di semak-semak. Sekujur tubuhnya hitam hangus seperti
terpanggang.
Handaka
memandang sebentar pada kedua kakinya yang amblas ke tanah sampai seperempat
jengkal,
“Hebat
juga tenaga dalam monyet tua itu…” katanya dalam hati. Lalu sambil kipas-kipasan
senjatanya ditinggalkannya tempat itu. Dari mulutnya tiada henti keluar suara
tertawa mengakak.
******************
8
Serombongan
pasukan bekuda kerajaan yang berjumlah tigapuluh orang dibawah pimpinan seorang
perwira muda, kelihatan ke luar dari pintu gerbang tenggara, bergerak cepat
menuju ke selatan. Perwira muda itu bukan lain adalah Sanjaya yang telah
mengabdikan diri pada Kerajaan. Dia membawa pasukannya ke arah kaki gunung
Slamet menuju hutan Walu dimana menurut keterangan disitulah bersarangnya
gerombolan perampok jahat yang dipimpin oleh Warok Grimbil.
Karena
Sanjaya mengetahui seluk-beluk daerah sekitar kaki gunung itu, maka Sri Baginda
telah mempercayakannya untuk memimpin pasukan Kerajaan guna menumpas gerombolan
Warok Grimbil.
Akhir-akhir
ini memang kejahatan yang dilakukan oleh Warok Grimbil dan anak-anak buahnya
sudah sangat di luar batas. Hampir setiap hari ada saja kampung atau desa yang
menjadi korban keganasannya. Berkali-kali pasukan kerajaan mencoba melakukan
penyergapan dan pengejaran, namun sampai sebegitu jauh semua usaha yang
dilakukan untuk membasmi geromboan itu tak kunjung berhasil.
Kini
dibawah pimpinan Sanjaya, murid Wulur Pamenang dari gunung Slamet kembali
prajurit-prajurit Kerajaan turun tangan. Apakah akan berhasil atau tidak,
kenyataanlah nanti yang akan menentukan.
Pada
malam hari mereka berhasil mencapai tepi timur hutan Walu, Sanjaya
memerintahkan pasukannya untuk berhenti dan berkemah di situ. Mereka berkemah
tanpa menyalakan api unggun dan sengaja dicari tempat yang gelap pekat serta
perlindungan oleh semak-belukar lebat. Karena jika mereka sampai terlihat oleh
gerombolan Warok Grimbil pasti akan sia-sialah rencana pembasmian itu.
Malam
itu, sebelum masuk ke dalam tendanya, lama sekali Sanjaya berdiri memandang ke
sebelah utara, di mana dalam kegelapan malam, jauh di sana kelihatan menghitam
lereng gunung Slamet. Telah sepuluh purnama dia meninggalkan gurunya dan tak
pernah melihat kekasihnya Wulandari. Telah sekian lama dia membendung
kerinduan. Dia yakin gadis itu tetap menantinya di puncak Slamet.
Masih
terngiang ucapan perpisahan Wulandari sewaktu dia akan pergi dulu: “Hati-hati.
Dan lekas kembali…”
Dari
balik pakaiannya Sanjaya mengeluarkan tusuk kundai perak yang tempo hari
diberikan oleh Wulandari. Setiap dia merindukan gadis itu, benda itu selalu
dikeluarkannya, dipandang dan ditimangnya, dibelai serta diciumnya. Namun
perasaan rindu tak bisa dilenyapkannya seluruhnya.
“Dua
purnama lagi, bila Sri Baginda memberi izin aku akan menjengukmu Wulan…” bisik
Sanjaya. Lalu perwira muda ini masuk ke dalam tendanya.
Ketika
malam yang gelap sampai pada saat sedingin dan sesunyi-sunyinya, mendadak
terdengar teriakan beberapa prajurit yang bertugas mengawal.
“Semua
bangun Kita diserang!”
Suasana
yang tadi sunyi-senyap kini menjadi hiruk pikuk kacau-balau. Beberapa buah
tenda tampak terbakar. Kira-kira dua lusin manusia berseragam hitam muncul dari
tempattempat gelap, langsung menyerbu dengan berbagai senjata tajam.
Sanjaya
melompat bangun, menyambar pedang dan keluar dari tenda. Prajurit-prajurit dilihatnya
tengah bertempur melawan para penyerang. Dari pakaian serta tampang-tampang
mereka yang kotor tak terurus Sanjaya segera maklum bahwa penyerang adalah
gerombolan jahat. Dari gerombolan mana lagi yang berada di sekitar tempat ini
kalau bukan gerombolannya Warok Grimbil?
Sebuah
benda melesat ke arah Sanjaya. Perwira muda itu cepat putar pedangnya. Anak
panah yang hendak menghantam dadanya jatuh patah dua ke tanah. Sanjaya tak
menunggu lebih lama, segera terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran.
Pertempuran
dalam gelap-gulita itu berjalan Seru. Suara beradunya senjata berselangseling
dengan suara mereka yang terpekik karena luka. Korban mulai berjatuhan di kedua
belah pihak. Sanjaya mengamuk hebat. Ini membuat penyerang menjadi kacau dan
mulai mundur.
“Mana
pemimpin kalian?!” teriak Sanjaya.
Sebagai
jawaban terdengar satu suitan keras. Para penyerang serta-merta melompat mundur
dan melarikan diri ke dalam rimba belantara yang gelap.
“Jangan
kejar!” seru Sanjaya ketika dilihatnya beberapa anak buahnya hendak melakukan
pengejaran.
Kerugian
yang diderita pihak Sanjaya cukup besar. Enam tenda musnah dimakan api. Tujuh
prajurit menemui ajal. Di pihak penyerang delapan orang tewas, seorang
tertangkap hiduphidup, Namun sebelum sempat ditanyai orang ini keburu
meninggal karena luka-luka parah yang dideritanya.
Pagi
harinya setelah prajurit-prajurit yang gugur dikuburkan di tepi hutan Walu,
Sanjaya kembali memimpin pasukannya memasuki rimba belantara itu. Mereka
bergerak dengan sangat hati-hati. Meskipun hutan itu liar dan rapat namun jelas
kelihatan bekas-bekas yang dilalui manusia.
Sanjaya
menunggangi kudanya di depan sekali. Dengan adanya penyerbuan malam tadi
jelaslah bahwa kedatangan rombongannya telah diketahui oleh Warok Grimbil. Di
satu tempat Sanjaya membagi dua pasukannya. Yang pertama terdiri dari sepuluh
orang langsung dibawah pimpinannya. Sisanya sebanyak dua belas orang dibawah
pimpinan seorang perwira. Kelompok pertama bergerak di sebelah depan, kelompok
kedua menyusul di belakang dalam jarak dua ratus langkah.
Di satu
tempat kelompok terdepan membelok ke kiri sedang kelompok kedua bergerak ke
jurusan kanan. Sesuai dengan rencana yang telah diatur Sanjaya dan
orang-orangnya akan lebih dulu menyerbu ke sarang Warok Grimbil. Jika
pertempuran sudah berkecamuk baru kelompok kedua menyerbu memberikan bantuan.
Sanjaya
menghentikan kudanya dan memberi pada anak buahnva. Lima belas meter di hadapan
mereka kelihatan sebuah rumah. Rumah pertama dan terdekat dari perkampungan
perampok. Perwira muda ini meneliti suasana. Menurut taksirannya di
perkampungan di tengah hutan itu paling tidak terdapat sekitar tujuh sampai
delapan rumah. Ditambah dengan sebuah bangunan yang agak besar. Dapat
dipastikan bangunan besar ini adalah tempat kediaman Warok Grimbil selaku
pimpinan gerombolan. Perkampungan itu tampak sunyi, tenang.
Seorang
perempuan tengah menjemur pakaian di samping sebuah rumah. Dua orang lainnya
menumbuk padi di halaman. Tak seorang anggota rampokpun kelihatan. Mungkinkah
Warok Grimbil dan orang-orangnya tengah pergi melakukan perampokan? Ini sama
sekali tak masuk akal. Karena dengan tewasnya banyak anggotanya malam tadi
serta bahaya akan diserang pagi hari tentunya Warok Grimbil tidak akan
melakukan hal itu. Sanjaya menduga keras Warok Grimbil telah menyusun satu
rencana jebakan. Seorang prajunit dikirim untuk menyelidiki sekeliling kampung.
Tak berapa lama kemudian prajurit ini kembali.
“Tak ada
tanda-tanda bahwa Warok Grimbil dan orang-orangnya sembunyi di sekitar
kampung.” prajurit itu melapor.
“Aneh,”
kata Sanjaya. “Kita tunggu sampai sepeminuman teh….” Sepeminuman teh lewat. Sanjaya
memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka bergerak dengan cepat ke tengah
perkampungan. Orang-orang perempuan yang ada di luar tampak terkejut melihat
kedatangan prajurit-prajurit kerajaan. Ketakutan dan terbirit-birit mereka
masuk ke dalam rumah masing-masing.
“Kalian
orang-orang perempuan tak usah takut!” seru Sanjaya dari atas kudanya. Dia
memandang tajam berkeliling. Masih belum kelihatan seorang rampok pun.
“Mana
orang laki-laki? Apakah mereka dan Warok Grimbil bersembunyi dalan rumah?!”
berseru Sanjaya.
Tak ada
yang menjawab. Setiap pintu rumah kelihatan tertutup. Sanjaya menunggu. Dia
jadi kesal. Didekatinya sebuah rumah dan digedor pintunya. Pintu terbuka. Dan
keluarlah perempuan yang tadi tampak menjemur pakalan.
“Lekas
katakan di mana rampok-rampok yang tinggal di sini?!”
Perempuan
itu menggelengkan kepalanya.
“Kau
tidak tahu atau gagu?!” sentak Sanjaya.
“Warok
Grimbil membawa mereka pagi-pagi tadi..” perempuan itu menerangkan.
“Semuanya?”
“Mereka
menuju ke mana?” tanya Sanjaya lagi.
“Tidak tahu.
Tak seorang pun diberitahu…”
Sanjaya
menunjuk ke rumah paling besar di tengah kampung
“Itu
rumahnya Warok Grimbil?”
“Benar.”
“Siapa
yang ada di dalamnya…”
“Empat
perempuan muda peliharaan Warok….” Sanjaya memberi isyarat pada anak-anak
buahnya lalu bergerak ke arah rumah besar. Suasana di dalam rumah besar itu
kelihatan sunyi. Sanjaya mendorong daun pintu. Ternyata tidak dikunci. Dari
atas kudanya dia dapat melihat empat orang perempuan duduk berjejer di ruangan
dalam. Keempatnya masih muda dan memiliki paras cantik. Yang membuat perwira
muda ini jadi menahan napas ialah karena empat perempuan tersebut duduk di
tempat masing-masing tanpa mengenakan pakaian! Malah ketika melihat Sanjaya dan
prajurit-prajurit itu di pintu, mereka tersenyum, menggeser duduk masing-masing
hingga sikap mereka benar-benar menantang dan mengundang! Prajuritprajurit
Kerajaan jadi melotot tak berkesip dan teguk air liur!
Salah
seorang dari empat perempuan bertelanjang itu melambaikan tangannya dan
berkata:
“Kalian
petugas-petugas Kerajaan silakan masuk! Warok berpesan bahwa tamu mana saja
yang datang harus disambut dengan hormat dan hangat!”
Sepasang
mata Sanjaya menyipit. Dari suasana yang dihadapinya sekarang ini semakin yakin
dia bahwa Warok Grimbil betul-betul tengah memasang satu jebakan berbahaya. Dia
memberi tanda pada orang—orangnya agar berlaku waspada.
“Mana
Warok Grimbil dan anak buahnya?” tanya Sanjaya pada perempuan di dalam rumah.
“Masuklah.
Mari kita bicara di dalam sini..” menjawab perempuan di ujung kiri.
Perempuan
yang di sampingnya menyambung “Jauh-jauh dari Kotaraja kau tentu haus perwira
muda. Haus dan letih. Mari masuk minum anggur dan melemaskan otot-ototmu….”
Perempuan
berikutnya menimpali:
“Masuklah,
minum anggur dan bersenang-senang lalu tidur….”
Muka
Sanjaya menjadi merah. Dia berkata “Kalian dengar baik-baik. Siapa saja yang
ada di sini bisa kami tangkap. Kami berjanji akan membebaskan kalian jika
kalian mau mengatakan di mana Warok Grimbil dan anak buahnya.”
Keempat
perempuan itu tiba-tiba serentak berdiri. Tubuhnya yang telanjang bulat itu
kelihatan jelas dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Masukah
perwira, tak pantas bicara dari luar saja…” kata salah seorang dari mereka
sambil membusungkan dadanya yang padat.
“Geledah
rumah ini!” perintah Sanjaya.
Lima
orang prajurit serentak hendak turun dari kudanya.
Justru
pada saat itu entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah anak panah dan
menancap tepat di samping pintu sebelah kanan. Pada ekor anak panah terikat
sehelai kertas yang ternyata sepucuk surat dan ditujukan pada pasukan Kerajaan.
Sanjaya
merenggutkan surat tersebut lalu membaca isinya. Di situ hanya tertulis satu
baris kalimat dengan huruf-hurufnya berbunyi:
“SELAMAT
DATANG DAN SELAMAT MAMPUS!”
******************
9
Pada
detik Sanjaya selesai membaca sebaris kalimat itu, pada saat itu pula di
sekitarnya terdengar suara pekik riuh rendah. Empat perempuan telanjang di
dalam rumah lenyap masuk ke dalam sebuah kamar. Seorang prajurit di samping
Sanjaya mengeluarkan seruan tertahan. Sebatang anak panah menancap di dadanya.
Tak ampun lagi prajurit ini meliuk dan jatuh dari punggung kuda.
Tiba
batang anak panah dalam pada itu melesat ke arah Sanjaya. Murid Wulur Pamenang
ini dengan cekatan pergunakan ujung tali les kudanya untuk menghantam mental
ketiga anak panah itu! Ketika dia memandang berkeliling kelihatanlah sekitar
dua lusin manusia berseragam hitam bertampang ganas bersenjata pedang dan
golok, bahkan ada yang membawa kapak, menyerbu ke arah mereka.
Di
belakang sana seorang lelaki bertubuh pendek katai berjalan lenggang kangkung
seenaknya. Di tangan kirinya dia memegang sebuah bumbung berisi puluhan anak
panah. Tanpa mempergunakan busur, tapi dengan jalan melemparkan anak-anak panah
itu dengan tangannya, dia melakukan serangan panah tiada henti, terutama sekali
ke arah Sanjaya. Hebat sekali daya lempar manusia ini. Meskipun belum pernah
bertemu muka sebelumnya namun Sanjaya telah menduga bahwa manusia katai bermata
liar dan bercambang bawuk ini pastilah si pemimpin rampok Warok Grimbil. Tanpa
tunggu lebih lama Sanjaya segera cabut pedangnya.
Sembilan
pajurit terpilih di bawah pimpinan murid Wulur Pamenang itu dengan gagah berani
baku hantam menghadapi dua puluh empat rampok ganas. Hebat sekali jalannya
pertempuran. Menghadapi lawan yang lebih banyak di atas kuda kurang memberikan
keleluasaan, malah amat membahayakan bagi yang punya diri. Menyadari hal ini
setelah bertempur dua jurus Sanjaya berteriak memberi aba-aba agar semua anak
buahnya melompat turun dari kuda masing-masing.
Seorang
prajurit yang kurang hati-hati waktu melompat turun kena disambar perutnya oleh
ujung golok lawan hingga bobol dan ususnya membusai. Dengan demikian jumlah
orang-orang Kerajaan hanya tinggal delapan orang kini, sembilan dengan Sanjaya.
Walau
hati geram tetapi mereka tetap memakai perhitungan sambil menunggu datangnya
bala bantuan kelompok kedua. Sanjaya mengamuk dengan pedangnya. Dua orang
rampok tergelimpang roboh. Satu lagi kemudian menjenit dengan leher hampir
putus. Melihat ini para perampok yang mengurung memperciut kurungannya hingga
Sanjaya dan anak buahnya terjepit di tengah kalangan pertempuran. Namun mereka
terus menghadapi lawan dengan semangat tinggi penuh ketabahan.
Dua
prajunit Kerajaan roboh, dan ini harus diimbangi oleh empat nyawa anggota
rampok. Warok Grimbil yang sejak tadi hanya tegak menyaksikan jalannya
pertempuran sambil sekalisekali melemparkan panah, kini melompat ke muka. Lima
batang anak panah terakhir yang dipegangnya sekaligus dilemparkannya ke arah
Sanjaya. Anak-anak panah ini melesat ke arah lima bagian tubuh Sanjaya. Empat
anak panah berhasil dihantam runtuh dengan putaran pedang. Anak panah ke lima
masih sempat menyerempet bahu kiri pemuda itu.
“Perwira
keparat! Mari sini! Aku lawanmu!” teriak Warok Grimbil. Orangnya katai kecil.
Tapi suaranya besar luar biasa. Apalagi teriakannya tadi disertai dengan tenaga
dalam hingga terdengar hebat menggetarkan dada.
“Manusia
kerdi!, jadi kau ini biang durjana yang bernama Warok Grimbi!?” tanya Sanjaya
sambil melintangkan pedang di muka dada.
“Anjing
Kerajaan! Kurobek mulutmu!” bentak Warok Grimbil marah sekali. Tangan kanannya
bergerak dan tahu-tahu selusin senjata rahasia berbentuk paku rebana telah
melesat ke arah Sanjaya!
Murid
Wulur Pamenang itu kaget bukan kepalang. Tak disangkanya kepala rampok itu
memiliki kecepatan luar biasa dalam melancarkan serangan mendadak. Untung saja
saat itu dia dalam sikap melintangkan pedang di depan dada. Hingga dengan sigap
dia bisa pergunakan senjata itu untuk melindungi diri. Delapan paku rebana
berhasil dihantam mental, tiga buah dapat dikelit tapi yang satu lainnya
menancap di bahu kiri, dekat luka bekas serempetan anak panah.
Sanjaya
menggigit bibir menahan sakit dan cabut senjata rahasa itu dari bahunya. Di
hadapannya Warok Grimbil melompat, lima jari tangan kirinya bergerak ke mulut
Sanjaya siap untuk merobek tapi dapat dikelit.
Warok
Grimbil ketawa mengekeh.
“Anjing
Kerajaan, nyatanya tak seberapa kehebatanmu. Kau datang hanya untuk mengantar
nyawa!”
“Warok
Grimbil manusia biadab! Jika kau masih ingin hidup menyerahlah. Niscaya
Kerajaan akan mengurangi hukumanmu!” bentak Sanjaya.
“Hukum?”
Sepasang ails mata Warok Grimbil mencuat naik. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
“Seumur hidupku aku tak pernah kenal hukum! Persetan dengan segala hukum!”
“Jika
begitu kematian memang pantas untukmu. Neraka sudah lama menantimu!”
Kembali
Warok Grimbil tertawa gelak-gelak.
“Justru
di sinilah bangkaimu akan menggeletak dan membusuk!” tukas pemimpin rampok
hutan Walu itu.
“Perlawananmu
akan sia-sia! Kau dan anak buahmu sudah terkurung. Perhatikan sekelilingmu!”
Bola mata
Warok Grimbil berputar liar, memandang berkeliling. Saat itu memang dilihatnya
kira-kira selusin prajurit Kerajaan yang menunggang kuda dan bersenjata lengkap
menyeruak dari semak belukar, bergerak dalam posisi mengurung.
Warok
Grimbil tertawa mengejek.
“Siapa
takut pada kacoak-kacoak Kerajaan?” katanya. Lalu mendengus dan gerakan kedua
tangannya sekaligus!
Tangan
pertama melepaskan satu pukulan ke arah Sanjaya, yang satu lagi ke jurusan
prajurit-prajurit yang baru datang.
Sanjaya
yang memang sudah bersiap-siap denqan cepat melompat selamatkan diri.
Sebaliknya dua orang prajurit di muka sana, yang tidak menduga kalau bakal
mendapat serangan, terjungkal dari kuda masing-masing, menggelepar-gelepar
beberapa kali di tanah, lalu diam tak bergerak lagi.
“Warok
Grimbil! Lihat pedang!” terdengar seruan Sanjaya. Dan sinar pedang berkiblat ke
arah kepala rampok itu.
Warok
Grimbil menyingkir sebat dan serentak membalas dengan pukulan tangan kosong
lagi. Tapi Sanjaya tak mau memberi kesempatan, mengirimkan satu tebasan ganas
ke arah tangan lawan hingga pemimpin rampok ini sambil memaki terpaksa tarik
pulang tangannya.
Dalam
jumlah kedua belah pihak kini tampak berimbang sehingga kecamuk pertempuran
semakin menggila. Korban-korban berjatuhan hampir setiap dua jurus.
Beberapa
bulan yang lalu Warok Grimbil dan anak buahnya pernah disergap pasukan Kerajaan
dibawah pimpinan dua orang perwira. Bukan saja para penjahat itu berhasil
menghadapi pasukan Kerajaan tapi bahkan tak seorangpun yang mereka biarkan
hidup. Semula Warok Grimbil menyangka bahwa pasukan yang datang kali ini juga
bakal dapat dibereskannya dalam waktu singkat. Namun hatinya jadi tergetar
ketika melihat kenyataan bahwa perwira muda yang memimpin pasukan Kerajaan itu
bukan orang sembarangan. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dua perwira yang
dulu pernah dibunuhnya! karenanya sebelum mendapat celaka kepala rampok ini
segera keluarkan senjata yang amat diandalkan yakni sebuah keris berwarna ungu
yang ujungnya bercabang dua dan agak melengkung sedang gagangnya berukir kepala
kelabang. Keris ini bernama “Kelabang Ungu”.
Dari
sinar yang memancari di tubuh senjata itu Sanjaya segera maklum kalau keris
lawan adalah sejenis senjata yang tidak boleh dianggap remeh. Cepat-cepat
Sanjaya lancarkan serangan berantai. Warok Grimbil berkelit gesit. Tubuhnya
yang katai itu lenyap dari pemandangan. Kini hanya sinar ungu kerisnya saja
yang tampak bergulung-gulung, menyambar ganas kian kemari! Anginnya bersiur dan
memerihkan kulit.
Meskipun
keris di tangan Warok Grimbil merupakan senjata sakti berbahaya, namun
menghadapi sebatang pedang d tangan Sanjaya, kepala rampok ini tidak bisa
berbuat banyak. Beberapa kali sudah senjatanya bentrokan dengan pedang lawan.
Kepala rampok ini diam-diam mengeluh karena setiap bentrokan yang terjadi dia
segera mengetahui bahwa tenaga dalam lawannya masih muda itu berada dua atau
tiga tingkat di atasnya!
Tiba-tiba
dari mulut Warok Grimbil keluar satu teriakan dahsyat. Permainan silatnya
mendadak sontak berubah. Senjatanya bertabur laksana curahan hujan dan membuat
Sanjaya menjadi bingung.
Sebelum
perwira muda ini bisa mengimbangi jurus-jurus aneh yang dimainkan lawannya itu
tiba tiba dirasakannya badan pedangnya telah terjepit di atas kedua ujung
bercabang keris “Kelabang Ungu”
Cepat-cepat
Sanjaya hendak menarik pedangnya. Namun jepitan itu ketat luar biasa. Sekali
Warok Grimbil memutar lengannya maka patahlah pedang Sanjaya.
Warok
Grimbil tertawa panjang.
“Ajalmu
sudah di depan mata, perwira!” seru Warok Grimbil.
Tapi kepala
rampok ini terlalu cepat bergembira.
Sanjaya
yang sudah memaklumi bahaya apa yang dihadapinya, begitu pedangnya patah, pada
kejap itu pula dia mengirimkan satu tendangan kilat ke depan!
Warok
Grimbil kaget bukan main, tapi juga penasaran. Kelabang Ungu dibabatkannya ke
bawah, ke arah kaki Sanjaya. Namun apa yang dilakukannya sudah tenlambat. Kaki
kanan lawan datang lebih cepat. Sedapat-dapatnya Warok Grimbil jatuhkan diri ke
samping secara nekat. Kenekatannya tidak membawa hasil yang diharapkan karena kaki
kanan Sanjaya masih sempat menghantam siku tangan kanannya hingga siku itu
bukan saja tanggal dari persendiannya tetapi juga hancur tulangnya.
Jeritan
kepala rampok itu setinggi langit. Dia tak peduli lagi ke mana mental dan
jatuhnya keris Kelabang Ungu. Dia melompat dua tombak menjauhi Sanjaya. Tak
mungkin lagi baginya untuk meneruskan perkelahian. Anak-anak buahnya yang
melihat keadaan pemimpin mereka jadi ciut nyalinya. Hendak lari merasa takut
karena belum mendapatkan perintah.
“Ringkus
dia!” penintah Sanjaya.
Lima
orang prajurit segera bergerak. Untuk meringkus pemimpin rampok yang tak
berdaya dan kesakitan setengah mati itu.
Tapi
dalam detik itu terjadilah hal yang sangat mengejutkan laksana adanya geledek
di siang bolong.
“Adikku
Grimbil! Siapa yang berani kurang ajar menyakitimu?!”
Satu
bentakan nyaring terdengar disusul oleh jeritan-jeritan mengerikan. Lima
prajurit yang tadi hendak meringkus Warok Grimbil menjerit. Kelimanya berdiri
terhuyung-huyung sambil pegangi leher masing-masing. Dari leher itu menyembur
darah. Ketika Sanjaya memperhatikan dengan mata membelalak ternyata leher ke
lima prajurit telah ditancapi sebuah pisau kecil! Satu demi satu
prajurit-prajurit yang malang ini roboh ke tanah dan tak bergerak lagi
selamalamanya.
Apakah
yang telah terjadi…? Siapakah yang punya perbuatan membunuh lima prajurit itu
hanya dalam sekejapan mata saja….?
******************
10
Suasana
sehening di pekuburan. Semua yang bertempur laksana dipukau oleh satu kekuatan
gaib. Semua sama memutar kepala, berpaling ke jurusan munculnya seorang
nenek-nenek aneh bertubuh kurus kering, bermuka perot. Seperti Warok Grimbil,
neneknenek ini pun memiliki tubuh pendek katai. Dia mengenakan jubah yang amat
dalam hingga menjela sampai ke tanah. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan
debu mengepul ke udara.
Jubah
yang dikenakannya bukan jubah sembarangan jubah. Pakaian ini mulai dari atas
sampai ke bawah digantungi dengan puluhan bahkan mungkin ratusan pisau-pisau
kecil. Pisaupisau seperti inilah yang telah mengakhiri nyawa lima prajurit Kerajaan
tadi!
“Muning
Kwengi!” seru Warok Grimbil. Suara dan wajahnya menunjukkan kegembiraan luar
biasa. Semangat dan nyalinya tampak berkobar kembali ketika melihat siapa yang
datang. Demikian pula anggota-anggota rampok lainnya yang sebenarnya sudah
siap-siap untuk ambil langkah seribu.
“Muning!
Syukur kau datang! Lekas bunuh kerak-kerak Kerajaan itu! Perwira keparat ini
lebih dulu!”
Muning
Kwengi, demikian nama si nenek katai ternyata adalah kakak kandung Warok
Grimbil. Dia bertempat tinggal di sebuah pulau di pantai utara. Dalam dunia
persilatan karena kehebatannya memainkan pisau kecil nenek ini diberi julukan
“Iblis Pisau Terbang.”
Seperti
juga adiknya Muning Kwengi pun bukanlah manusia baik-baik. Ilmu kepandaiannya
dipergunakan untuk malang-melintang berbuat kejahatan sekehendak hatinya. Di
samping itu nenek tua yang hanya tinggal beberapa meter dari liang kubur ini
juga ternyata masih genit, suka daun muda alias senang pada laki-laki yang jauh
lebih muda apalagi tampan. Memandang kepada adiknya dan melirik pada Sanjaya si
nenek muka perot cengar-cengir lalu berkata:
“Hanya
seekor kucing dapur begini kau sudah tidak mampu menghadapinya Grimbil? Huh,
betul-betul membuat aku tidak punya muka menjadi kakakmu!”
Muning
Kwengi memandang berkeliling. Lalu membentak pada anggota-anggota rampok yang
memandang angker padanya.
“Kalian
kenapa melongo?! Ayo musnahkan prajurit-prajurit Kerajaan itu! Itu urusan
kalian!”
Anak-anak
buah Warok Grimbil yang sudah tahu siapa adanya nenek tua tersebut, timbul
kembali keberaniannya. Mereka serempak menyerbu prajurit-prajurit Kerajaan.
Muning
Kwengi maju dua langkah, kedip-kedipkan mata kirinya lalu menuding dengan jari
telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke arah Sanjaya yang tegak delapan langkah
di hadapannya.
“Perwira,
membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku….”
“Begitu?!”
tukas Sanjaya. Sejak tadi dia sudah berwaspada. Cara muncul dan gerak-gerik
nenek ini cukup menyatakan bahwa dia bukan sembarangan.
Tingkat
ilmunya jauh lebih hebat dari Warok Grimbil, mungkin mendekati kepandaian
gurunya Eyang Wulur Pamenang.
Si nenek
tertawa dan kedipkan lagi mata kirinya.
“Sangat
mudah!” kata Muning Kwengi pula. “Tapi orang segagahmu terlalu sayang kalau
harus mati muda mati percuma. Jika kau bersedia ikut denganku dan jadi peliharaanku
selama lima tahun, akan kuampuni kau punya jiwa!”
Air muka
Sanjaya menjadi gelap merah. Muning Kwengi tertawa gelak-gelak.
“Tua
bangka peot! Tak tahu diburuk diri! Tak ingat liang kubur sudah menganga masih
saja punya otak kotor cabul!”
“Ahai!
Orang muda, jangan bicara keliwat menghina!” sahut Muning Kwengi seraya
usapusap kedua pipinya yang kempot berkerut. “Aku memang sudah tua… sudah
peot! Tapi bukan tua sembarang tua. Bukan peot sembarang peot! Sekali kau
merasakan kehangatan pelukanku, sekali kau tidur bersamaku, seumur hidup kau
akan mengekor ke mana aku pergi! Hik… hik… hik… hik!”
Warok
Grimbil yang tidak sabar melihat tingkah laku kakaknya itu berteriak “Muning!
Kau tunggu apa lagi? Bunuh bangsat itu!”
“Sabar…
sabar adikku! Kalau aku bisa mendapatkan keuntungan dari daun muda ini bukankah
lebih baik dia dibiarkan hidup untuk sementara?!”
Warok
Grimbil mengomel panjang pendek. Dia maklum tak bakal dapat memaksa kakaknya
yang beradat aneh itu. Saking kesal akhirnya dia duduk menjelepok di tanah sambil
coba mengobati cedera di sikunya.
“Perwira,”
kembali Muning Kwengi membuka mulut sambil kedipkan mata kiri dan sunggingkan
senyum di mulut yang perot. “Coba kau pikir baik-baik. Inginkan hidup berarti
kau bakal mendapat banyak kenikmatan dariku. Inginkan mati maka kau bakal
menemul ajal secara mengenaskan detik ini juga! Nah, pilih mana?”
“Aku
lebih suka mati berkalang tanah daripada menjadi budak peliharaan manusia mesum
macammu!” jawab Sanjaya.
Si nenek
geleng-geleng kepala.
“Apakah
musti kubuktikan sekali lagi bahwa kematianmu itu nantinya benar-benar amat
mengerikan? Nah kau saksikanlah!”
Hampir
tak terlihat kapan dia menggerakkan kedua tangannya tiba-tiba terdengar suara
bergemerincingan. Sedetik kemudian diikuti oleh pekik susul menyusul. Sanjaya
memutar tubuh ke belakang. Delapan prajurit Kerajaan yang tengah bertempur
melawan anggota rampok roboh menggeletak. Di kepala masing-masing menancap
pisau kecil yang telah dilemparkan Muning Kwengi!
Ketegangan
yang menggantung di udara dirobek oleh suara tawa cekikikan Muning Kwengi!
“Indah
atau sangat mengerikan kematian itu hai perwira muda?”
“Memang
mengerikan perempuan iblis!” sahut Sanjaya dengan kertakkan rahang. “Tapi tidak
lebih mengerikan dari kematian yang bakal kau terima. Lihat!”
Sanjaya
pukulkan tangan kanannya ke depan. Selarik sinar yang memiliki tiga warna yaitu
merah, biru dan kuning menderu ke arah Muning Kwengi.
“Pukulan
Tiga Racun!” seru si nenek dan cepat-cepat menyingkir. “Ladalah! Apakah kau
muridnya si Wulur Pamenang?! Jadi si tua bangka perot itu masih juga belum
mampus hah?!”
“Hatimu
jahat dan mulutmu kotor!” teriak Sanjaya. Pemuda itu marah sekali karena gurunya
dihina dengan sebutan demikian rupa. Kali ini dia lancarkan lagi Pukulan Tiga
Racun dengan tangan kiri kanan.
Muning
Kwengi jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Serentak dengan itu dia cabut lima
buah pisau kecil dan melemparkannya ke arah Sanjaya. Karena saat itu dia tidak
bersenjata terpaksa pemuda ini jatuhkan diri ke tanah. Namun dari belakang sana
Muning Kwengi kembali melemparkan lima buah pisau. Sanjaya bergulingan di
tanah. Tapi tak urung salah satu pisau itu masih sempat menghantam tubuhnya,
menancap di dada sebelah kanan!
Perwira
muda itu mengeluh. Dengan menahan sakit dia cabut pisau tersebut langsung
menyerbu ke arah si nenek. Muning Kwengi alias Iblis Pisau Terbang menyambut
dengan tawa mengejek. Tubuhnya berkelebat lenyap. Dia sama sekali tidak
melancarkan serangan. Agaknya sengaja memamerkan ilmu meringankan tubuhnya yang
tinggi. Dengan berkelebat kian kemari laksana bayang-bayang semua serangan
Sanjaya dielakkannya dengan gampang.
Di saat
itu Sanjaya merasakan dadanya yang bekas ditancapi pisau lawan sakit sekali.
Nafasnya menyesak dan kerongkongannya panas seperti tersekat. Serangannya
menjadi kendor bahkan ketika pandangannya menjadi gelap pemuda ini hanya bisa
berdiri terhuyunghuyung. Bumi ini laksana terbalik di matanya.
Muning
Kwengi tersenyum. “Racun pisau telah bekerja… racun pisau telah bekerja,”
katanya dalam hati lalu hentikan gerakannya. Dia maju beberapa langkah
menghampiri Sanjaya dan berkata:
“Orang
muda, sekarang maut ada di depan hidungmu. Jika kau bersedia ikut denganku,
akan kuberikan obat penawar racun. Tapi jika kau tetap membandel, satu jam
dimuka nyawamu tak akan tertolong lagi…!”
“Lebih
baik mati. Seribu kali lebih baik mati daripada menyerahkan diri ikut dengan
iblis macammu!” sahut Sanjaya. Suaranya demikian perlahan seperti berbisik.
Kedua kakinya tertekuk. Tubuhnya terkulai dan jatuh ke tanah. Dari mulutnya ke
luar ludah membusah. Dalam keadaan seperti itu dilihatnya Warok Grimbil
memungut sebatang golok dan lari ke arahnya seraya berteriak:
“Muning
Kwengi! Jika kau tidak mau membunuhnya, biar aku yang bikin mampus bangsat
ini!”
Sesaat
kemudian golok di tangan kiri kepala rampok itu diayunkan ke arah batok kepala
Sanjaya. Si perwira muda ini tak mampu berbuat apapun selain diam menunggu
kematian. Sekujur tubuhnya panas dingin akibat racun pisau. Di saat kematian
datang itu terbayang olehnya wajah gurunya, wajah Wulandari. Terakhir sekali
dia berseru menyebut nama Tuhan!
Selama
seorang manusia tidak melupakan Tuhannya maka selama itu pula Tuhan ingat
kepadanya. Begitulah yang terjadi dengan Sanjaya.
Pada
detik golok di tangan Warok Grimbil akan membelah batok kepala perwira muda
itu, entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah batu sebesar kepalan.
Terdengar pekik kepala rampok itu. Sikut kirinya hancur. Golok terlepas dari
tangannya. Dengan demikian kedua sikut kiri kanan kepala rampok ini mengalami
cedera parah.
Sebelum
Sanjaya jatuh pingsan masih sempat dilihatnya kemunculan seorang pemuda
berambut gondrong, berpakaian serba putih, berdiri di bawah cucuran atap sebuah
rumah sambil bertolak pinggang dan cengar-cengir seenaknya seperti orang kurang
waras!
******************
11
Anjing
kurap! Setan alas! Siapa kau?!" bentak Muning Kwengi menggeledek dan marah
sementara adiknya Warok Grimbil terkapar di tanah mengerang kesakitan. Pemuda
di bawah cucuran atap kembali menyeringai dan keluarkan suara bersiul.
"Haram
jadah!" maki Muning Kwengi.
Sekali
tangannya bergerak lima pisau kecil terbang ke arah si pemuda. Di seberang sana
pemuda berambut gondrong itu kembali keluarkan suara bersiul. Dia telah lama
mendengar kehebatan nenek-nenek bertubuh katai itu. Karenanya begitu diserang
segera dia pukulkan tangan kirinya. Satu gelombang angin bersiur menerpa lima
pisau terbang. Senjata-senjata maut beracun itu mental dan hebatnya kini
membalik menggempur pemiliknya sendiri!
Kagetnya
Muning Kwengi bukan alang kepalang. Cepat dia menyingkir. Selama malang
melintang memegang gelar lblis Pisau Terbang hanya ada satu tokoh silat yang
pernah membendung bahkan mengembalikan serangan pisaunya. Tokoh silat itu
adalah Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul yang kini sudah mati yaitu ketika
terjadi perselisihan antara sesama tokohtokoh golongan hitam. Dengan mata
membeliak hatinya bertanya-tanya siapa gerangan adanya pemuda berambut gondrong
yang memiliki kepandaian bukan sembarangan ini!
"Muning
Kwengi!" Tiba-tiba si pemuda berseru, membuat kaget si nenek.
"Ladalah!
Kowe kenal namaku!" tukas lblis Pisau Terbang.
Tanpa
acuhkan keterkejutan orang si rambut gondrong kembali berkata: "Seminggu
lalu secara biadab kau menghancurkan seluruh pesantren Bintang Hijau di lembah
Beringin …."
"Oh,
jadi kau anak murid pesantren Bintang Hijau yang datang untuk menuntut
balas?!" sentak Muning Kwengi.
"Siapa
aku, kau tak perlu tahu! Setiap orang yang berada di jalan kebenaran berhak meminta
pertanggungan jawabmu atas semua kejahatan yang telah kau lakukan!"
"Hebat
sekali!" sahut Muning Kwengi lalu tertawa panjang. "Enam tokoh silat
kelas satu pernah mengeroyokku satu bulan lalu. Mereka juga bicara tentang
segala macam kebenaran dan tanggung jawab! Dan mereka semua mampus di
tanganku!"
"Memang
betul! Ada kalanya kejahatan itu dapat menghancurkan kebenaran, tapi tidak
selamanya…."
"Ah
ucapanmu tinggi dan sombong. Melihat tampangmu yang tolol kau tentu bukan
seorang terpelajar, apalagi sastrawan! Disamping itu aku tidak terlalu suka
mendengar obrolan panjang lebar. Lekas terangkan siapa kau dan ilmu kepandaian
apa yang hendak kau andalkan hingga berani datang untuk jual tampang di
hadapanku si lblis Pisau Terbang?"
"Aku
utusan kematian! Mewakili malaikat maut untuk minta roh busukmu!" sahut
pemuda berambut gondrong.
Menggelegaklah
kemarahan Muning Kwengi. Rahangnya bertonjolan dan matanya membeliak. Didahului
oleh pekikan keras nenek-nenek ini melompat ke muka seraya lancarkan satu
tendangan dan dua pukulan tangan kosong yang hebat!
"Ciat!"
Pemuda
rambut gondrong membentak nyaring dan berkelebat ke samping. Tangannya yang
mengepal dipukulkan ke depan. Terdengar angin bersiur. Muning Kwengi tersentak
kaget ketika merasakan tubuhnya terapung di udara tak bisa maju lagi laksana
ditahan oleh selapis dinding yang amat atos!
"Dinding
Angin Berhembus Tindih Menindih!" seru nenek katai itu begitu dia
mengenali pukulan pertahanan yang dilepaskan lawan. Melihat kenyataan ini
tergetarlah hatinya. Mukanya menjadi pucat. Kini dia sudah dapat memastikan siapa
adanya pemuda gondrong itu!
Sebagai
tokoh silat golongan yang sudah terkenal di delapan penjuru angin tentu saja
Muning Kwengi tidak mau memperlihatkan kegentarannya. Setelah melompat ke
samping guna menghindarkan terpaan angin pukulan lawan, secepat kilat dia
lemparkan setengah lusin pisau beracun. Serangan ini masih disusul lagi dengan
satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan sinar biru menggidikkan!
Baik
pisau terbang maupun pukulan tangan kosong keduanya sama mengandung racun yang
amat jahat.
Pemuda
rambut gondrong melompat, dua tombak ke udara. Dari atas dia lalu melepaskan
satu pukulan dahsyat yang selama ini merupakan pukulan yang telah menggetarkan
dunia persilatan.
lblis
Pisau Terbang berseru tegang ketika melihat sinar putih menyilaukan laksana
kilat dari langit menyambar panas ke arahnya!
"Pukulan
Sinar Matahari!"
Nenek-nenek
itu membuang diri ke samping kiri, bergulingan di tanah untuk kemudian berdiri
dengan kedua tangan dipentangkan di depan dada, menjaga segala kemungkinan
sementara wajahnya yang keriput kelihatan bertambah pucat.
Pukulan
Sinar Matahari yang dilepaskan si pemuda yang dengan demikian menyatakan bahwa
dia adalah bukan lain Wiro Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Geni 212,
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede!
Seruan
Muning Kwengi yang menyebut nama pukulan yang barusan dilepas lawan lenyap
ditelan gelegar suara beradunya sinar pukulan itu dengan sinar biru yang
dilepaskan Muning Kwengi untuk mempertahankan diri.
Dua
pukulan itu laksana raksasa, berkecamuk, bergelungan, lalu memecah ke kiri
untuk kemudian menyerempet sisa-sisa prajurit-prajurit dan anggota-anggota
rampok yang masih bertempur. Terdengar pekik-pekik kematian. Semuanya
berkaparan di tanah dengan tubuh hangus laksana dipanggang!
Muning
Kwengi merasakan dadanya berdenyut-denyut. Menggempur pemuda itu sampai lima
puluh atau seratus jurus sekalipun belum tentu dirinya akan sanggup
mengalahkannya. Karenanya daripada membuang-buang waktu dan bukan mustahil dia
bisa celaka maka neneknenek ini segera menyambar dan mendukung tubuh adiknya.
Untuk tidak kehilangan muka dia berkata:
"Pendekar
212! Sayang aku tak punya waktu banyak. Jika nyalimu benar-benar besar aku
tunggu kau! Malam bulan purnama besar di pekuburan Blumbung!"
"Nenek-nenek
keriput! Kau mau ke mana?!" sentak Wiro Sableng. "Apa yang telah kau
mulai hari ini, harus diselesaikan hari ini juga!"
lblis
Pisau Terbang pencongkan mulut. Uengan tangan kanannya dilemparkannya tiga buah
pisau ke arah Wiro Sableng. Pendekar ini cepat menghantam serangan lawan dengan
pukulan tangan kosong. Namun pisau-pisau yang dilemparkan si nenek kali ini
bukan sembarangan pisau. Karena begitu angin pukulan Wiro membentur badan
pisau, ketiga pisau itu yang bagian dalamnya mempunyai rongga, meledak dan tiga
gulungan asap hitam menggebubu menutupi pemandangan!
"Kurang
ajar!" maki Wiro dan sadar kalau sudah tertipu. Tak menunggu lebih lama
dia segera lepaskan dua pukulan Sinar Matahari ke jurusan di mana Muning Kwengi
sebelumnya tadi berdiri. Tapi si nenek katai tidak roboh. Begitu asap bertabur
dia melompat tiga tombak ke samping kiri untuk kemudian lenyap di dalam rimba
belantara bersama adiknya.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala dan memandang berkeliling. Mayat bertaburan
dimanamana. Perkampungan di tengah hutan itu sesunyi di pekuburan. Wiro
melangkah mendekati sosok tubuh Sanjaya. Ditotoknya tubuh perwira yang malang
itu di beberapa bagian kemudian dipanggulnya meninggalkan tempat itu.
Di barat
langit telah kuning kemerahan. Sebentar lagi sang surya akan segera tenggelam.
Pendekar 212 Wiro Sableng tinggalkan hutan Walu dengan berlari cepat ke jurusan
selatan.
Telaga
itu terletak di antara dua kaki bukit. Bulan sabit tampak menggantung tinggi di
langit, sebentar-sebentar tertutup angin kelabu yang berarak ke arah timur.
Sebuah api unggun menyala di salah satu tepian telaga. Tak berapa jauh dari api
unggun kelihatan dua orang lelaki duduk berhadap-hadapan.
"Sebaiknya
kau berbaring saja perwira. Agar kau bisa istirahat dan jalan darahmu teratur
…."
"Ah,
lagi-lagi kau memanggilku dengan sebutan perwira itu Wiro. Namaku Sanjaya
…."
Wiro cuma
menyengir. "Berbaringlah…" katanya lagi.
Sanjaya
gelengkan kepala. Dia memandang pada balutan di dadanya.
"Bubuk
obat yang kau berikan ternyata mujarab sekali. Aku telah berhutang nyawa
terhadapmu…."
"Jangan
kau sebut-sebut lagi hal itu …."
"Menyebutnya
atau tidak namun itu adalah kenyataan."
Sanjaya
diam seketika. Lalu: "Bagaimana kau bisa muncul di perkampungan rampok
itu?" tanyanya kemudian.
"Aku
memang sudah sejak lama memburu bangsat tua berjuluk lblis Pisau Terbang itu.
Kejahatannya benar-benar telah lewat takaran. Terakhir sekali dia memusnahkan
secara kejam pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin. Jejaknya kuikuti
sampai ke dalam rimba belantara Walu. Justru kuketahui di situ juga bersarang
gerombolan rampok ganas pimpinan Warok Grimbil. Menurut keterangan yang kudapat
Warok Grimbil masih bersaudara kandung dengan lblis Pisau Terbang. Kujelajahi
rimba belantara dan akhirnya betul-betul bertemu dua manusia jahat itu. Tapi
sayang, keduanya berhasil meloloskan diri!" Lalu Wiro menerangkan
bagaimana dia telah tertipu oleh tiga pisau terbang Muning Kwengi.
Karena
sudah merasa sangat dekat dengan Wiro maka tanpa ditanya Sanjaya menuturkan
pula tugas yang dijalankannya atas perintah Sri Baginda yakni untuk membasmi
komplotan rampok jahat Warok Grimbil, menangkap pemimpinnya hidup atau mati.
"Semua
prajuritku menemui kematian," keluh Sanjaya. "Bagaimana aku bisa
kembali ke Kotaraja begini rupa?!"
"Tak
usah kawatir, cepat atau lambat tentu ada orang lain yang akan membekuk kedua
manusia jahat itu."
"Betul,
tapi aku yang ditugaskan untuk membasminya justru aku sendiri yang selamat.
Tidak mustahil orang akan berprasangka buruk padaku …."
"Kalah
atau menang dalam satu pertempuran adalah satu hal yang lumrah sobat,"
menghibur Wiro.
"Yah,
kekalahan yang terlalu pahit untuk ditelan," desis Sanjaya. Dia teringat
pada gurunya dan menyambung dengan suara perlahan: "Yang akan mengalami
kekecewaan besar adalah Eyang Wulur Pamenang, guruku. Dia tentu malu mempunyai
seorang murid yang tidak berguna macamku ini. Aku sendiri tak punya muka untuk
bertemu dengan dia …."
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala dan tertawa. "Jangan putus asa Sanjaya. Kita
harus ingat, betapapun tingginya ilmu seseorang kelak ada lain orang yang lebih
tinggi kepandaiannya. Di luar langit ada langit lagi. Begitu orang memberi
perumpamaan …."
Sanjaya
menghela nafas dalam dan memandang ke utara di mana dalam gelapnya malam
sepasang matanya masih mampu melihat puncak gunung Slamet menghitam di
kejauhan. Berada di situ pemuda ini sama sekali tidak mengetahui malapetaka
yang telah menimpa gurunya serta tunangannya dua bulan yang lewat.
******************
12
Kedai Pak
Tanu terletak di tengah pasar di pusat kota Bumiayu, merupakan kedai yang buka
siang malam di kota kecil itu. Karena Bumiayu menjadi pusat persimpangan
lalulintas dari lima jurusan maka meskipun kecil tapi sepanjang hari sampai
malam kota ini senantiasa ramai.
Kedai pak
Tanu terkenal sampai ke mana-mana dan selalu ramai pengunjungnya. Sebenarnya
makanan yang dimasak bu Tanu tidak terlalu luar biasa. Namun orang selalu
datang ke sana untuk makan atau minum karena harganya murah. Dan ada hal lain
lagi yang membuat orang mengalir sepanjang hari masuk ke kedai tersebut.
Pak Tanu
mempunyai dua orang anak. Satu lelaki seusia sepuluh tahun sedang satu lagi
perempuan yang sudah remaja puteri, berkulit hitam manis dan berparas cantik.
Hidung mancung, bibir kecil, dagu laksana lebih bergantung. Leher jenjang, alis
laksana bulan sabit dan bulu mata panjang melentik. Ditambah pula dengan
lenggang lenggoknya ketika berjalan serta sikapnya yang genit manja, semua
itulah yang sebenarnya menjadi penyebab mengapa kedai pak Tanu terkenal dan
banyak dikunjungi orang.
Selaku
pemilik kedai pak Tanu agaknya memang sengaja menyuruh anak gadisnya itu duduk
di kedai untuk melayani para tetamu.
Colak
colek dan cubitan tangan lelaki-lelaki bagi Sri Wening -begitu nama puteri pak
Tanu – sudah merupakan hal-hal yang biasa, malah tak jarang banyaklah yang
tergila-gila padanya. Makin banyak yang tergila berarti tambah banyak tamu yang
datang dan tambah penuh kocek pak Tanu.
Sedemikian
banyak para pemuda dan para pedagang yang terpikat namun sebegitu jauh tak
seorang pun yang bisa mendekatinya. Banyak yang melamar malah. Semua ditolak.
Jinakjinak merpati. Begitulah julukan yang diberikan orang pada Sri Wening.
Suatu
malam hujan lebat sekali. Di kedai pak Tanu terdapat sekitar selusin tamu.
Kebanyakan di antara mereka minum teh atau kopi hangat sambil merokok dan
tentunya tak lupa melirik puteri pemilik kedai yang hitam manis itu.
Kadang-kadang seseorang sengaja menghabiskan minumannya cepat-cepat agar bisa
minta minuman baru dan dengan demikian berkesempatan untuk mengganggu, meraba
atau mencolek Sri Wening yang datang melayani.
Pada saat
hujan lebat berganti rintik-rintik, masuklah seorang tamu muda berpakaian
sederhana. Dia memandang dulu seputar kedai, lalu memilih tempat duduk di sudut
yang agak terpencil. Diusapnya wajahnya yang basah oleh air hujan. Sri Wening
mendatangi dengan lenggang-lenggok dan genit.
"Hai,
kau datang lagi sahabat muda," sapa Sri Wening dan tak lupa melontarkan
senyum memikat.
"Ya
… ya …" sahut si pemuda sambil garuk-garuk belakang kepalanya.
"Nah,
kau pasti lupa apa yang kupesankan malam kemarin ketika kau datang ke mari
…."
"Apa
… ? Pesan apa ya?" balik bertanya sang tamu sambil coba mengingat-ingat
dengan tampang yang tolol.
Sri
Wening tertawa berderai hingga semua orang memandang ke jurusannya. Diam-diam
banyak yang merasa iri pada tamu muda bertampang bodoh itu.
"Ah,
kau seorang pelupa rupanya! Malam kemarin kupesankan padamu agar kau memotong
rambutmu yang gondrong tak karuan itu! Kau ingat?!"
"Ya
… ya, aku ingat sekarang. Tapi … ngg …. Aku lebih suka gondrong begini!"
"Perempuan
akan jijik melihatmu!" ujar Sri Wening.
"Biar,
biar semua perempuan. Asal kau sendiri tidak," sahut si pemuda.
Kembali
Sri Wening tertawa panjang.
"Kau
ceriwis!" Sri Wening mencubit belakang tangan sang tamu. Si pemuda
tersenyum dan kedipkan matanya. "Kau genit. Ih!" Gadis itu menjauh.
"Katakan
sekarang, kau mau pesan makanan apa?"
"Seperti
yang semalam."
"Yang
semalam?"
Sang tamu
mengangguk. Sri Wening masuk ke bagian belakang kedai. Tak lama kemudian dia ke
luar kembali membawa makanan dan minuman yang dipesan.
Saat itu
dua orang tamu lagi datang.
"Nah,
habiskan makananmu ya!" kata gadis itu lalu siap melayani dua tamu yang
barusan masuk. Selesai makan pemuda berambut gondrong itu duduk mengulurkan
kedua kaki seenaknya. Tangannya mengusap-usap perutnya yang kenyak gembul
sedang kedua matanya setengah terpejam. Dia kelihatan agak terganggu ketika
seorang yang sejak tadi duduk di dekatnya mendekati dan bertanya:
"Mengantuk?"
Suara bertanya ini sember dan tak sedap didengar.
Si pemuda
palingkan kepala. Yang menegurnya ternyata seorang kakek-kakek berhidung besar
tapi pesek sekali. Demikian peseknya hingga hampir sama dengan pipinya yang
cekung keriput. Rambut serta sepasang alis matanya berwarna putih oleh
kelanjutan usia.
"Hemm
…" pemuda yang ditanya menjawab dengan gumam segan-segan.
"Kau
datang dari mana, rambut gondrong?" tanya si kakek.
"Desa
…."
"Desa
mana?"
Yang
ditanya membetulkan duduknya memperhatikan si kakek dengan pandangan meneliti.
Si kakek justru tertawa lebar. Waktu tertawa jelas kelihatan tak ada sepotong
gigi pun yang masih tumbuh di gusi atas mau pun bawah.
"Heh,
aku bukan menyelidik …" kata si kakek.
"Hanya
orang-orang dengan maksud tertentu yang suka menyelidiki orang lain …."
"Betul,
kau betul sekali anak muda." Kakek hidung pesek angguk-anggukkan
kepalanya. Lalu dikeluarkannya sebuah dompet tikar pandan. "Kau
merokok?"
Si pemuda
menggeleng.
Orang tua
itu mencabut sebatang rokok kawung, menyalakannya lalu duduk menyandarkan
punggung ke dinding kedai, memandang ke arah pintu.
"Kau
sendiri siapa, kek?" kini pemuda rambut gondrong ganti bertanya.
"Sama
sepertimu. Tamu di kedai ini. Hanya aku sudah kakek keriput dan kau masih muda
…."
"Tua
bangka konyol …" maki si gondrong dalam hati. Sementara si kakek
menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi ke udara. Sesaat kemudian dia membuka
mulut kembali. "Kuperhatikan sudah empat malam ini kau datang ke mari. Apa
kecantikan dan kegenitan anak gadis pemilik kedai ini telah membuatmu
tergila-gila? Kulihat kau tadi bercanda dengannya. Bahkan kedipkan mata
segala!"
"Ah,
matamu yang tua itu ternyata belum lamur. Malah tajam sekali kek. Sudah kodrat
alam jika pemuda tertarik dengan gadis cantik. Tak dapat disalahkan. Tapi kau
yang sudah begini, apakah ikut tertarik dengan gadis itu kek? Kalau tak salah
kaupun sudah empat malam datang kemari!"
Si kakek
tertawa mengekeh hingga hidungnya yang lebar itu jadi tambah lebar dan tambah
pesek.
"Sekalipun
aku tergila padanya, mana mungkin dia suka padaku. Bisa aku keblinger
sendiri!" Habis berkata begitu si kakek kembali tertawa lalu menyambung:
“Anak muda, aku tak akan mengganggumu lagi. Aku juga mengantuk dan ingin tidur
sebentar." Lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Hanya sebentar
sudah terdengar dengkurnya yang tidak sedap.
Wiro
Sableng, si pemuda berambut gondrong tadi kembali melunjurkan kakinya dan kedua
matanya ditutupkan setengah terpejam. Hampir satu kaili peminuman teh berlalu
ketika kedua mata murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tampak
membesar dan memandang ke arah pintu kedai.
Seorang
pemuda bertampang keren masuk dengan langkah tegap. Dia langsung duduk di
belakang meja. Sepasang matanya yang sipit tidak berkesip dan selalu tertuju
pada Sri Wening. Si gadis yang merasa diperhatikan balas memandang dan
tersenyum genit lalu mendekati pemuda itu.
"Orang
gagah, kau datang dari mana?" sapa Sri Wening.
Cuping
hidung tamu yang ditegur tampak bergerak-gerak, kedua matanya membesar sedikit.
"Datang
dari jauh adik. Bukankah namamu Sri Wening?"
"Ah,
kau sudah tahu namaku. Rupanya namaku diterbangkan angin sampai jauh …."
Anak gadis pak Tanu itu kembali melayangkan senyum memikat.
"Tentu
parasmu yang cantik jelita laksana harumnya bunga yang diterbangkan angin ke
mana-mana!"
"Kau
pandai merayu. Siapa namamu sahabat muda?" tanya Sri Wening.
"Prana."
"Hanya
Prana? Tak ada sambungannya?"
Si pemuda
menggeleng.
"Pendek
amat namamu. Tapi bagus, sebagus orangnya. Nah sekarang katakan kau mau makan
apa, mau minum apa."
Tamu itu
menyebutkan makanan yang diinginkannya dan juga memesan tuak haruna satu
buli-buli penuh. Sambil menunggu pesanannya dia memandang berkeliling. Tak
banyak yang menarik perhatiannya dalam kedai itu. Juga terhadap Pendekar 212
yang tidur-tidur ayam serta orang tua berhidung pesek yang mendengkur tak
berapa jauh dari Wiro.
"Boleh
aku menemanimu makan?" tanya Sri Wening manja begitu selesai meletakkan
hidangan di atas meja.
"Tentu,
tentu saja," jawab Prana gembira.
Diambilnya
sebuah kursi dan diletakkannya dekat-dekat ke kursinya lalu dipersilahkannya
Sri Wening duduk di situ. Tangan kanan menyuap makanan sedang tangan kiri
memegangi pinggul gadis pemilik kedai itu. Bagi Sri Wening yang genit hal ini
belum pernah dilakukan lelaki lain sebelumnya. Memang banyak yang suka mencubit
tangannya, tapi memeluk begitu benarbenar satu keberanian luar biasa. Bagi pak
Tanu dan istrinya yang memang sengaja memancing para tamu dengan kecantikan
anaknya, hal sejauh itu tidak diharapkannya. Tamutamu lain di kedai itu juga
memperhatikan dengan mata melotot. Ada yang dongkol, ada yang menganggap
tindakan Prana kurang ajar tapi ada juga yang iri. Hanya dua orang tamu yang
sepertinya tidak perduli. Yakni Wiro Sableng dan si kakek hidung pesek.
Selesai
makan Prana meneguk tuak dalam buli-buli sampai setengahnya. Wajahnya yang
putih kelihatan menjadi merah.
"Masakannya
enak apa tidak?” tanya Sri Wening.
Dia juga
merasa risih dan hendak berdiri. Tapi pelukan tangan Prana di pinggulnya
kencang sekali, membuat dia hampir tak bisa bergerak.
"Enak
sekali. Pasti kau yang memasaknya bukan?"
Sri
Wening mengangguk meski semua makanan yang dijual di kedai itu ibunyalah yang
memasak. Dia hanya tahu bersolek dan menunggu tamu. Prana menuang lagi tuaknya.
Mukanya makin merah. Tiba-tiba ditariknya kepala Sri Wening lalu diciumnya
wajah gadis itu bertubi-tubi. Si gadis menggeliat dan meronta serta berseru
tegang setengah marah setengah takut. Semua orang dalam kedai tampak terkejut.
Pak Tanu dan istrinya terkesima saling pandang.
Tiba-tiba
pak Tanu berdiri dan melangkah cepat ke meja Prana dan membentak keras:
"Manusia
kurang ajar! Lekas bayar makanan dan tuak itu. Lalu angkat kakimu dari
kedaiku!"
Dibentak
begitu si pemuda tenang-tenang saja seperti tak mendengar. Malah tangannya
merayap lebih berani. Yang satu masih melingkar di pinggang Sri Wening, satunya
lagi bergerak ke dada. Pak Tanu cepat menarik anaknya dari pelukan Prana, tapi
tak berhasil.
"Lepaskan
anakku!" teriak pak Tanu.
Prana
mengekeh.
"Bukankah
kau sendiri yang sengaja menyuruh anakmu melayani tetamu, mengandalkan
kecantikan dan kegenitannya supaya dapat banyak uang. Sekarang dia tengah
melayaniku, kenapa kau justru jadi marah? Jangan takut aku tak akan lupa
membayar harga makanan dan tuak itu. Malah akan kutambah dengan harga
kehangatan tubuh anakmu!"
Marah pak
Tanu tak terbendung lagi. Diambilnya buli-buli arak dari atas meja lalu
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jika
tak kau lepaskan anakku dan segera membayar, kupecahkan kepalamu!" ancam
pak Tanu.
Prana
ganda tertawa. Dia sama sekali tidak perdulikan ancaman pemilik kedai malah
kini dengan kurang ajar tangan kanannya menyelinap di balik dada pakaian Sri
Wening.
"Manusia
bejat haram jadah!" maki pak Tanu.
Tangan
kanannya bergerak menghantam buli-buli tuak ke kepala Prana. Tetapi pemilik
kedai ini jadi kaget ketika mendapatkan dirinya tahu-tahu sama sekali tidak
dapat bergerak. Tangan dan sekujur badannya kaku.
"Hai,
kenapa diam saja?" tanya Prana. "Bukankah kau hendak menghancurkan
kepalaku?"
"Setan
alas! Aku tak bisa menggerakkan tanganku. Aku tak bisa bergerak!" seru pak
Tanu dengan mata melotot. Rasa takut lebih banyak dari pada rasa heran.
Semua
orang yang menyaksikan dan mendengar ucapan pemilik kedai itu jadi melengak
kaget. Pada saat itu pula Sri Wening merasakan sesuatu tusukan pada
punggungnya. Setelah itu dia juga tak dapat bergerak. Dia hendak berteriak tapi
mulutnya pun tak mau membuka. Lidahnya seperti kelu! Dia sama sekali tak dapat
mengeluarkan suara! Dari balik pakaiannya Prana mengeluarkan beberapa keping
uang dan dilemparkannya di atas meja.
"Uang
ini cukup banyak untuk membayar makanan, tuak serta anak gadismu ini. Karenanya
aku berhak untuk membawanya sekarang …."
Selesai
berkata begitu Prana langsung berdiri dan memanggul Sri Wening di bahu kirinya.
"Kau
mau bawa ke mana anakku?!" teriak bu Tanu seraya berlari mendatangi.
"Oh,
kau ibunya?" ujar Prana. "Tak usah khawatir, aku akan membawa anakmu
sebentar saja dan tenang sajalah!" Prana lambaikan tangannya pada ibu Sri
Wening yang tengah berlari mendatangi langsung tertegun mematung tanpa bisa
bergerak lagi di samping suaminya. Kedua suami istri ini berteriak-teriak minta
tolong. Kedai itu jadi hingar bingar.
Beberapa
orang tamu muda segera menghadang di pintu depan.
"Eh,
kalian mau menghalangiku?" tegur Prana dengan pandangan angker.
"Penculik!
Lepaskan gadis itu kalau mau selamat!" teriak seorang pemuda bertubuh
tinggi besar.
Prana
menyeringai.
"Aku
muak melihat tampangmu. Pergilah!" hardik Prana seraya mendorongkan
telapak tangan kanannya ke depan. Pemuda itu kontan menjerit dan tubuhnya
terlempar ke luar kedai, jatuh di jalanan yang becek. Beberapa orang segera
menghunus senjata dan mengurung Prana.
"Aku
peringatkan pada kalian. Lebih baik menyingkir!" bentak Prana.
"Bangsat
penculik! Makan pisauku ini!" Dari samping seorang menghujamkan pisau
panjang ke arah lambung Prana. Yang diserang menggeser tubuhnya dengan cepat.
Di lain kejap tempelengannya sudah menghantam kening penyerang. Pemegang pisau
melintir dan jatuh di lantai tanpa bisa bangun lagi. Beberapa tamu lain yang
juga berusaha menyerbu mengalami nasib sama, dihantam pingsan satu demi satu.
Gerakan Prana cepat sekali tanda dia memiliki kepandaian silat yang tidak
sembarangan.
Sampai
saat itu baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun si kakek hidung pesek tetap saja
duduk tenang-tenang di tempat masing-masing. Yang satu tidur-tidur ayam, yang
lain mengorok terus. Namun ketika Prana melangkah ke arah pintu, dengkur si
kakek tiba-tiba berhenti dan terdengar satu bentakan:
"Manusia
bernama Prana, tunggu dulu! Jangan cepat-cepat pergi!"
Langkah
si pemuda tertahan. Dia rasa-rasa sudah pernah mendengar suara mirip-mirip
seperti orang yang membentak itu. Dia berpaling. Dilihatnya orang tua pesek
yang tadi mendengkur berdiri dari kursi dan melangkah kehadapannya. Prana
bertindak waspada. Jika si kakek mengetahui apa yang terjadi berarti tadi dia
tidak sesungguhnya tertidur pulas dan mendengkur!
"Prana,
kau kenal aku … ?" tanya si kakek.
"Ada
untung apa aku kenal dengan kakek-kakek perot macammu! Aku tak punya banyak
waktu untuk bicara!"
Prana
memutar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek pesek memegang bahu kanannya.
Pegangan ini laksana tindihan batu besar. Terkejutlah si pemuda penculik.
"Orang
tua, siapa kau sebenarnya … ?" desis Prana. Sepasang matanya menyipit
kejam.
"Pandanglah
parasku yang buruk ini Prana. Pandang baik-baik …" berkata si kakek.
Prana
menatap wajah tua itu dalam-dalam.
"Aku
tidak kenal kau dan jangan ikut campur urusanku!" kata Prana akhirnya dan
siap hendak berlalu.
Tiba-tiba
orang tua itu menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya. Sehelai kulit tipis
yang selama ini menutupi mukanya dan merupakan topeng tipis terbuka, kini
kelihatan wajahnya yang asli. Ternyata wajahnya putih bersih meskipun penuh
dengan keriput ketuaan.
"Guru!"
seru Prana tersentak kaget begitu dia melihat wajah asli orang dihadapannya.
Demikian kagetnya pemuda itu hingga sampai mundur beberapa langkah.
******************
13
Hemmm
…" si orang tua bergumam. "Betul. Aku memang gurumu yang bernama
Jagat Kawung. Rupanya kau masih bisa mengenali guru yang telah kau nodai dengan
segala perbuatan-perbuatan terkutukmu selama ini. Warangas! Aku menyesal
seumur-umur telah mengambilmu jadi murid. Lepaskan gadis itu dan bersiaplah
untuk menerima hukuman!" "Guru, aku tak mengerti maksud
ucapanmu!" tukas Prana yang oleh si kakek tadi disebut dengan nama aslinya
yaitu Warangas. "Turunkan gadis itu!" bentak Jagat Kawung.
"Aku
telah memutuskan untuk membawanya!" jawab Prana alias Warangas.
Sepasang
mata si kakek berkilat-kilat karena kemarahan luar biasa. "Di situ jelas
terlihat kebejatanmu! Dan kau masih hendak berpura-pura di hadapanku.
Kepandaian yang kuberikan padamu kau pergunakan untuk berbuat kejahatan.
Merusak rumah tangga orang. Mempermainkan isteri orang, menodai gadis-gadis.
Kau muncul dengan berbagai nama. Sebagai Dipasingara. Sebagai Handaka. Sebagai
Prana. Namun kau tetap Warangas, manusia busuk terkutuk, pemuda hidung belang
bejat di atas jagat ini! Turunkan gadis itu Warangas!"
"Tidak!"
"Kau
membangkang perintah gurumu?"
"Jika
kau berani menghukumku, mulai detik ini aku tidak menganggapmu sebagai guru
lagi!" jawab Prana alias Handaka alias Dipasingara alias Warangas.
"Kalau
begitu bersiaplah untuk mampus!"
Jagat
Kawung mencengkeramkan tangan kirinya ke muka muridnya yang aslinya bernama
Warangas itu. Tangannya yang satu lagi mencengkeram ke perut. lnilah yang
disebut gerakan maut "Sepasang Cengkeraman Garuda Sakti."
Warangas
cepat menyingkir. Dia tahu kehebatan gurunya. Karena begitu berhasil
mengelakkan serangan tadi cepat-cepat dia menurunkan Sri Wening. Terlalu besar
resikonya menghadapi sang guru dengan masih memanggul gadis itu.
"Guru,
kuharap kau mau membendung kemarahan dan tidak menurunkan tangan kasar!"
"Manusia
laknat. Jangan panggil aku guru! Dan tak perlu mulut busukmu banyak
bicara!" Kembali Jagat Kawung berkelebat. Tapi kembali pula Warangas
berhasil mengelakkan diri.
Di
samping luapan amarah, Jagat Kawung juga jadi heran melihat ilmu yang dimiliki
Warangas jauh lebih maju dari kepandaiannya yang pernah diturunkannya dulu.
Maka tanpa membuang waktu Jagat Kawung segera keluarkan jurus-jurus serangan
ampuhnya. Serangannya datang bertubi-tubi laksana hujan mencurah. Kedai itu
bergetar oleh sambaransambaran angin kedua orang yang baku hantam.
Dalam
kelebatan tubuh hanya merupakan bayang-bayang saja, tiba-tiba terdengar
teriakan Jagat Kawung. Teriakan ini disertai dengan berkiblatnya sinar merah
menyala laksana lidah api, menyambar ke arah tubuh Warangas. lnilah pukulan
paling hebat yang dimiliki Jagat Kawung. Selama lima belas tahun meyakini ilmu
kesaktian tersebut tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup menghadapinya. Sudah
dapat dibayangkan oleh orang tua itu bagaimana tubuh muridnya yang terkutuk itu
akan meleleh matang dihantam pukulan sakti bernama "Pukulan Baja
Merah" itu.
Namun
sesaat kemudian jadi melengak sewaktu menyaksikan bagaimana dari dua telapak
tangan muridnya menderu ke luar larikan-larikan sinar putih yang sanggup
menahan dan menangkis pukulan Baja Merah!
Tidak
dapat tidak pastilah Warangas telah berguru pada seorang sakti lainnya, pikir
Jagat Kawung.
Di lain
pihak meskipun Warangas kelihatan sanggup menghadapi pukulan sakti gurunya
namun saat itu kedua telapak tangannya terasa panas laksana terpanggang dan
berwarna merah sedang dari mulutnya ke luar darah membuih.
Warangas
cepat keluarkan beberapa butir obat dan menelannya lalu kerahkan tenaga
dalamnya ke bagian dada yang dirasakannya berdenyut sekali. Kedua matanya yang
sipit tampak merah. Pandangan buas beringas!
"Tua
renta keparat! Kau rasakan pembalasanku!" kertak Warangas. Tangannya
bergerak ke balik pakaian.
"Sret!"
Sebuah
benda hitam bertebar membentuk setengah lingkaran.
Paras
Jagat Kawung kontan berubah melihat benda di tangan murid murtad itu. Jadi
benarlah kabar yang didengarnya selama ini bahwa Warangas memiliki senjata luar
biasa, sebuah kipas sakti berwarna hitam.
"Kipas
Pemusnah Raga!" desis Jagat Kawung. "Murid keparat darimana kau
dapatkan benda itu?!"
"Ha
… ha … nada pertanyaanmu jelas bahwa nyalimu menjadi ciut! Dari mana aku
dapatkan benda ini bukan urusanmu. Kalau kau tidak puas dengan jawabanku,
silahkan tanya nanti pada iblis-iblis di neraka!" Warangas lalu gerakan
tangan kanannya yang memegang kipas.
"Wut!"
Selarik sinar
hitam pekat menggidikkan ke luar menyambar dari Kipas Pemusnah Raga. Jagat
Kawung berseru keras dan angkat kedua tangannya ke atas. Dua larik pukulan Baja
Merah menyembur. Orang tua ini tidak yakin bahwa ilmu kesaktiannya itu bakal
dapat melindungi dirinya dari serangan kipas sakti lawan. Tapi daripada tidak
berbuat apa-apa sama sekali lebih baik melepaskan pukulan itu.
Ketidak
yakinan Jagat Kawung memang beralasan. Terlihat dengan nyata bagaimana sinar
hitam pekat memukul dua larik sinar merah. Selanjutnya sinar hitam Kipas
Pemusnah Raga terus menggempur ke arah si orang tua.
"Celaka!
Matilah aku sekarang!" keluh Jagat Kawung dalam hati. Dia berusaha
membuang diri ke samping namun kasip.
Di saat
yang sangat kritis dari samping tiba-tiba terdengar suara menderu laksana bumi
dilanda air bah. Sinar hitam tampak bergoyang-goyang lalu terdorong keras ke
samping dan musnah tak berbekas.
Jagat
Kawung yang merasa dirinya diselamatkan oleh gelambang angin yang datang dari
samping tadi menjadi amat terkejut. Lebih-lebih Warangas yang berdiri di
seberang sana. Guru dan murid serentak sama-sama berpaling. Di sudut sana
Pendekar 212 Wiro Sableng perlahanlahan bangkit berdiri dari kursinya seraya
garuk-garuk kepala.
"Guru
dan murid hendak saling berbunuhan! Sayang … sayang sekali. Apalagi kalau sang
guru sampai celaka di tangan muridnya yang murtad. Orang tua, serahkan Warangas
padaku. Aku memang sudah lama mencarinya. Dosanya sudah lewat dari
takaran!"
Sebelum
Jagat Kawung sempat bicara, Warangas sudah membuka mulut: "Pemuda rambut
gondrong! Apa perlumu ikut campur urusan orang lain?!"
"Untuk
membasmi manusia bejat macammu orang tak perlu mencari segala macam
alasan," sahut Wiro.
"Kalau
begitu kau mencari mati!"
Lalu
Warangas alias Handaka alias Dipasingara alias Prana mengebutkan Kipas Pemusnah
Raga. Sinar hitam pekat kembali berkiblat. Murid Eyang Sinto Gendeng tak
tinggal diam. Untuk kedua kalinya dia lepaskan pukulan sakti "Dewa Topan
Menggusur Gunung."
Ketika
kedua kekuatan sakti itu saling bentrokan, kedai pak Tanu tak sanggup lagi
menahan hebatnya getaran. Meja dan kursi berpelantingan. Dua buah tiang kedai
patah, salah satu dinding bobol. Orang-orang yang pingsan dan bergeletak di
lantai mencelat. Beberapa diantaranya putus nyawanya. Sri Wening dan kedua orangtuanya
dalam keadaan tertotok juga ikut mental ke luar kedai.
Warangas
merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Kipas saktinya hampir terlepas. Ketika dia
memandang ke bawah, ternyata kedua kakinya telah amblas sedalam sepertiga
jengkal ke lantai tanah kedai. Jagat Kawung sendiri terhuyung-huyung hampir
jatuh.
"Kurang
ajar! Siapa bangsat gondrong ini sebenarnya?!" maki Warangas dalam hati.
Diamdiam hatinya jadi tergetar. Belum yakin kalau serangannya benar-benar bisa
ditahan lawan maka dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya kembali dia
kebutkan kipas sakti. Sinar hitam menggidikkan kembali menderu dan melabrak ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro
melepaskan lagi pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Keadaan kedai pak Tanu
semakin porak poranda. Warangas yang menyadari bahwa sinar hitamnya tak mampu
menandingi pukulan lawan yang menggemuruh cepat melompat jauh-jauh Wiro
merasakan dadanya berdenyut. Dia cepat memburu ketika di depan sana dilihatnya
Warangas menangkap tubuh Sri Wening. Jagat Kawung ikut mengejar. Tubuh Warangas
lenyap di luar kedai, menyelinap dalam kegelapan malam. Tapi baik mata Wiro
maupun Jagat Kawung tak bisa ditipu oleh kegelapan. Dalam waktu singkat
keduanya berhasil mengejar dan berada di belakang pemuda penculik itu.
"Keparat
hidung belang! Tempat larimu satu-satunya adalah kematian!" tariak Wiro.
"Anjing
kurap! Nyawa anjingmulah yang bakal minggat ke neraka malam ini!" Satu
bentakan garang menimpali.
Wiro
terkejut.
Yang
membentak bukanlah Warangas tapi orang lain. Tiga sosok tubuh berkelebat di
kegelapan. Pendekar 212 terpaksa hentikan pengejarannya. Demikian pula Jagat
Kawung. Gerakannya tertahan oleh hadangan tiga orang tak dikenal. Ini membuat
Warangas lolos dan lenyap bersama gadis boyongannya.
"Sialan!
Kalian siapa?!" bentak Wiro pada tiga orang yang menghadang di hadapannya.
Kegelapan malam membuatnya tak dapat mengenali wajah mereka. Sewaktu ketiga
orang ini melangkah mendekati guru murid Eyang Sinto Gendeng ini mengenal
mereka.
"Kerak-kerak
neraka! Malam yang kalian janjikan masih dua hari dimuka! Apakah kalian datang
sebelurn waktunya karena sudah tak sabar lagi untuk mampus?!"
Dua orang
di depan Wiro mendengus. Yang satu lagi rangkapkan tangan di muka dada.
"Malam
terang bulan terlalu indah bagi kematian Pendekar 212! Kami memutuskan untuk
mengambil nyawamu pada malam mendung gelap ini. Apa kau sudah siap untuk
mampus?"
"Warok
Grimbil! Rupanya nyalimu telah dipompa hingga menggembung besar! Apakah kedua
sikutmu sudah sembuh? Dan kau nenek kontet Muning Kwengi yang dulu melarikan
diri, apakah datang kemari karena mengandalkan kambratmu yang berkepala botak
itu? Apa si botak ini sobat atau gendakmu?!" Wiro menuding pada laki-laki
berkepala botak yang tegak di samping Muning Kwengi hingga manusia ini
kertakkan rahang menahan marah. Dia mengerling pada orang tua di samping Wiro.
Si botak ini telah mendengar kehebatan Wiro dari Muning Kwengi. Tapi justru
saat itu dia memandang rendah terhadap Wiro sebaliknya menganggap kakek itulah
yang harus diperhatikan. Kemelesetan dugaannya inilah yang justru bakal membuat
dirinya celaka.
"Jadi
kalian bertiga datang kemari untuk melanjutkan perhitungan tempo hari? Bagus!
Kalian maju bertiga atau sendiri-sendiri?!"
"Bedebah!"
maki Warok Grimbil bekas kepala rampok hutan Walu. Dicabutnya dua golok besar
dari pinggang lalu memberi isyarat pada Muning Kwengi alias lblis Pisau
Terbang. Nenek katai ini ganti memberi tanda pada si botak di sampingnya.
Ketiga orang ini kemudian dengan serentak menerjang ke arah Wiro.
Jagat
Kawung yang merasa berhutang nyawa lantas ikut terjun dalam pertempuran seraya
berkata:
"Orang
muda, aku bantu kau!"
"Grimbil!
Kau berdua kakakmu hadapi kakek-kakek busuk ini. Aku biar melayani pemuda
sampah ini yang katamu tinggi ilmunya!"
Sebenarnya
si botak merasa gentar menghadapi Jagat Kawung. Karena itu sengaja disuruhnya
kedua kakak beradik itu mengeroyok si kakek. Wiro yang diduganya tidak memiliki
kepandaian apa-apa akan dilayaninya seorang diri. Warok Grimbil dan Muning
Kwengi yang telah pernah dihajar Pendekar 212 tentu saja merasa gembira karena
dengan demikian mereka akan terhindar dari malapetaka!
"Monyet
botak!" ejek Wiro. “Sebutkan dulu namamu supaya aku tidak sungkan-sungkan
menghadapimu!"
"Bocah
ingusan! Mulutnya sombong. Tapi biarlah nanti akan kurobek!" Sambil
menuding dadanya si botak ini meneruskan: "Jika ingin tahu aku inilah manusianya
yang bernama Lembu Surah bergelar Maut Tangan Delapan!"
Wiro
tertawa gelak-telak.
"Bangsat
kenapa kau tertawa?" bentak si botak.
"Namamu
seperti nama binatang. Gelarmu tangan delapan. Tapi mengapa kulihat tanganmu
Cuma dua? Kalau namamu Lembu sepantasnya gelarmu Maut Kaki Ernpat!"
Marahlah
Lembu Surah diejek demikian. Seumur hidup baru sekali ini dia menerima
penghinaan seperti itu. Dia menerjang ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat
dan tampaknya betul-betul seperti berubah jadi sebanyak delapan buah dan
kesemuanya menyerbu ke arah Wiro Sableng. Karena tidak tahu lengan mana yang
asli dan mana yang hanya bayangan belaka, Wiro tak mau bertindak gegabah.
Serangan
lawan disambutnya dengan jurus "Kipas Sakti Terbuka". Kedua lengannya
dipentang ke atas. Sesaat kemudian terdengar pekik si Maut Tangan Delapan.
Kedua tangannya beradu keras dengan tangan Wiro. Salah satu tulang lengannya
patah sedang lengan yang lain menggembung merah kulitnya. Wiro sendiri
merasakan kedua lengannya panas dan perih.
Sekalipun
memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah tetapi pada dasarnya si botak
berjuluk Maut Tangan Delapan ini adalah jenis manusia berhati pengecut.
Mendapat celaka pada jurus pertama telah membuat nyalinya lumer.
"Grimbil!
Kwengi! Maaf saja! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting untuk
diselesaikan. Aku betul-betul menyesal ikut kalian kemari!"
Selesai
berkata begitu Lembu Surah cepat-cepat putar tubuh dan larikan diri dari tempat
itu. Wiro tak berniat mengejar karena antara dia dengan si botak itu sebenarnya
tak ada silang sengketa apa-apa. Kini dia hanya berdiri memperhatikan Jagat
Kawung yang dikeroyok oleh Warok Grimbil dan Muning Kwengi.
Pada saat
Lembu Surah melarikan diri Warok Grimbil masih sempat melemparkan caci maki
pada si botak itu. Tiga jurus pertama meskipun mengandalkan tangan kosong Jagat
Kawung masih sanggup mengimbangi kedua lawan. Namun ketika Muning Kwengi mulai
melancarkan serangan-serangan pisau terbang sedang Warok Grimbil menggempur
dengan sepasang golok besarnya, mau tak mau orang tua itu jadi tertekan juga.
Ini mernbuat Jagat Kawung jadi jengkel.
"Manusia-manusia
sialan! Kalau tidak karena kalian tentu murid keparat itu tidak akan
lolos!"
Warok
Grimbil dan Muning Kwengi balas menjawab dengan tawa mengejek.
"Memakilah
sepuasmu sebelum roh busukmu meninggalkan tubuh peotmu!" teriak Warok
Grimbil.
"Sombong!
Kau yang lebih dulu pergi ke neraka!" sahut Jagat Kawung lalu dari salah
satu tangannya menyambar selarik sinar menyala merah.
"Grimbil
awas!" teriak Muning Kwengi memperingatkan. Tapi sang adik berada dalam
keadaan yang sulit untuk mengelak. Kemudian terdengar pekik Warok Grimbil.
Tubuhnya yang katai terguling hangus laksana dipanggang. Tentu saja nyawanya
tidak tertolong lagi!
"Bangsat!
Rasakan pembalasanku!" bentak Muning Kwengi marah meluap melihat kematian
adiknya mengenaskan begitu rupa. Selusin pisau terbang dilemparkan ke arah
Jagat Kawung, tetapi sekali lagi sinar merah berkiblat. Selusin pisau terbang
runtuh ke tanah. Ketika orang tua itu hendak susul dengan pukulan kedua Wiro
Sableng cepat berseru: "Kakek, yang satu ini adalah bagianku!"
"Tahan!
Jurus kematiannya harus di tanganku!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Sesosok
tubuh melompat dari kegelapan. Terdengar deru sesiuran angin. Si katai Muning
Kwengi yang bingung karena berturut-turut ada tiga manusia yang inginkan
jiwanya menjadi gugup waktu mengelak. Sebilah pedang tajam berkelebat menyambar
lehernya. Terdengar suara seperti kambing disembelih dari tenggorokan perempuan
bergelar lblis Pisau Terbang itu. Darah menyembur dari lehernya yang hampir
putus. Nenek katai ini bersungkur ke tanah, mati di situ juga tanpa mengetahui
siapa manusia yang telah membunuhnya.
Seorang
lelaki muda berwajah liar tetapi lusuh berdiri termangu memandangi mayat Muning
Kwengi.
"Siapa
dia … ?" tanya Jagat Kawung pada Wiro Sableng.
"Sanjaya,
perwira muda Kerajaan. Antara mereka memang ada dendam kesumat lama. Memang
pantas nenek rongsokan itu mati di tangannya. tengah menjalankan tugas
Kerajaan."
Sanjaya
melangkah ke arah Wiro seraya menyarungkan pedangnya.
"Kita
jumpa lagi sobatku," kata perwira muda itu.
"Aku
senang bertemu denganmu lagi Sanjaya." Wiro lalu memperkenalkan Sanjaya
pada Jagat Kawung.
"Wajahmu
kulihat mendung. Tubuhmu lebih kurus. Agaknya ada sesuatu ganjalan dalam dirimu
Sanjaya?" tanya Wiro pula.
Sanjaya
menghela napas panjang. Lalu mengangguk. "Kesulitan besar Wiro. Rasanya
tak sanggup kupikui lebih lama …."
"Kami
adalah sahabatmu," kata Jagat Kawung. "Jika kau mau mengatakan
kesulitanmu itu, mungkin kami bisa membantu."
Lama
Sanjaya berdiam diri, baru menjawab: "Dua minggu lalu aku kembali ke
gunung Slamet. Apa yang kutemui disana benar-benar mengejutkan. Mayat guruku
yang tinggal tengkorak utuh hanya digumpali daging rusak di sana-sini kutemui
menggeletak di semak belukar. Tulang-tulangnya hangus hitam. Apa yang terjadi
tidak kuketahui. Wulandari adik seperguruanku juga merupakan tunanganku tak ada
disitu. Seluruh puncak gunung Slamet kuselidiki. Wulandari tetap tak kujumpai.
Akhirnya aku turun gunung. Di satu tempat kudengar suara tangis perempuan
memilukan hati. Ketika kudatangi ternyata Wulandari. Aku terkejut sekali
melihat keadaannya. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Matanya merah bengkak
karena terlalu banyak menangis. Dia menjerit pada detik melihatku. Dia seperti
orang yang ketakutan lalu melarikan diri. Di satu tempat aku berhasil
mengejarnya dan pada saat itulah baru kulihat dengan jelas perutnya.
Menggembung besar, mengandung! Tapi yang paling menyedihkan ialah ketika
kuketahui bahwa Wulandari tidak lagi sehat otaknya. Kadang-kadang dia menangis.
Kadang-kadang tertawa. Sulit sekali. Dia menyebut-nyebut pembunuhan atas diri
Eyang Wulur Parmenang. Menyebut seseorang tak kukenal bernama Handaka. Lalu
soal pengusiran dan anak haram yang dikandungnya. Aku coba mempelajari semua
keterangan dari keadaan dirinya itu namun tetap sulit mengetahui apa sebenarnya
yang telah terjadi. Kemudian Wulan berteriakteriak dan lari. Kali ini aku tak
dapat mengejarnya. Menurutku satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan
adalah yang bernama Handaka yang disebut-sebut Wulan itu. Aku berusaha
melakukan penyelidikan tapi sia-sia belaka. Mau pecah rasanya kepalaku dan mau
gila rasanya otak ini!"
Lama
kesunyian mencekam di tempat itu setelah Sanjaya mengakhiri kisahnya. Ketika
Jagat Kawung mengangkat kepala dilihatnya sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng memandang lekat-lekat kepadanya. Orang tua ini segera maklum apa arti
pandangan ini.
"Wiro,
kau jelaskan semuanya pada Sanjaya …" kata Jagat Kawung perlahan.
Wiro
berpaling pada Sanjaya. "Ketahuilah, orang bernama Handaka itu adalah
orang yang juga tengah kami kejar. Barusan saja dia berada di sini, tetapi
berhasil meloloskan diri …."
"Lolos?!
Ke mana dia melarikan diri. Aku harus mengejarnya dan minta keterangan!"
kata Sanjaya.
"Sabar
perwira, sabar …."
"Aku
sudah meletakkan jabatan. Aku bukan perwira Kerajaan lagi. Jangan panggil aku
dengan sebutan itu, Wiro."
Wiro
manggut-manggut dan meneruskan keterangannya.
"Handaka
adalah salah satu saja dari sekian banyak nama palsu yang dipakai orang itu.
Nama aslinya ialah Warangas. Dia pernah memakai nama Dipasingara. Muncul dengan
nama Handaka atau Prana dan sebagainya. Dia bukan manusia baik-baik. Kejahatan
yang dilakukannya adalah kejahatan paling terkutuk. Merusak kehormatan setiap
perempuan cantik yang ditemuinya, dengan berbagai cara dan akal. Tak perduli
apakah perempuan itu istri orang, apalagi masih gadis …."
"Kalau
begitu tunanganku Wulandari telah dirusak kehormatannya oleh pemuda itu. Hamil
dan rusak jiwa serta pikirannya."
"Mungkin
sabatku, mungkin sekali. Mungkin pula dia jugalah yang telah membunuh gurumu.
Itu masih harus kita selidiki." Wiro lalu menerangkan peristiwa di kedai
pak Tanu. "Dia memiliki sebuah senjata dahsyat yaitu sebuah kipas sakti
berwarna hitam. Karena itu dia dijuluki Hidung Belang Berkipas Sakti."
Sesaat Wiro terdiam. Lalu meneruskan: "Adalah satu kenyataan pahit dan
pasti mengejutkanmu…." Wiro tak meneruskan, melirik dulu pada Jagat
Kawung. Orang tua ini mengerti dan berkata: "Teruskan kalimatmu Wiro. Tak
ada yang perlu dirahasiakan."
"Satu
kenyataan pahit bahwa Handaka itu bukan lain adalah murid orang tua ini
sendiri."
"Apa?!"
Suara Sanjaya seperti geledek. Tanpa pikir panjang lagi dia segera cabut
pedangnya. "Jadi dia muridmu?! Kalau begitu kau pantas kucincang lebih
dulu!"
Tangan
Sanjaya yang memegang pedang bergerak. Jagat Kawung hanya tundukkan kepala
seolah-olah menyerah pasrah untuk dibunuh saat itu juga. Tetapi Wiro Sableng
cepat memegang lengan bekas perwira Kerajaan itu dan berkata:
"Sabar
sobatku. Sabar. Jangan kalap membabi buta. Jika kau punya dendam terhadap
muridnya adalah tolol membalaskan sakit hati pada gurunya yang juga pernah
mencari-carinya untuk menjatuhkan hukuman!"
Kata-kata
Wiro itu mengendurkan kemarahan Sanjaya. Dengan tangan bergetar dan muka
keringatan disarungkannya pedangnya kembali. Kemudian didengarnya Jagat Kawung
berkata: "Biarkan dulu aku terus hidup untuk dapat menjatuhkan hukuman
terhadap murid murtad itu. Kelak jika dia sudah kusingkirkan dari dunia ini aku
pasrah menerima kematian di tanganmu! Memang terlalu memalukan untuk hidup
lebih lama …."
"Apa
yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sanjaya kemudian.
Sunyi
sejenak.
"Apa
lagi selain mencari keparat bernama Warangas itu!" sahut Jagat Kawung. Di
malam yang gelap ketiga orang itu segera meninggalkan tempat itu.
******************
14
Kuda
coklat itu dipacunya secepat-cepatnya menuju pantai selatan. Tiba-tiba si
penunggang mendadak sontak tarik tali kekang dan berhenti memasang teiinga.
Lapatlapat dikejauhan terdengar suara orang menangis. Suara tangis perempuan.
Demikian memilukan suara tangis itu hingga penunggang kuda ini turun dari
kudanya dan melangkah ke jurusan datangnya suara tangis tersebut.
Tak
berapa lama kemudian, dari balik semak belukar dilihatnya seorang perempuan
duduk menyelepok di tanah. Pakaiannya rombeng dan kotor. Rambutnya yang panjang
tergerai awutawutan. Dia tak dapat melihat jelas wajah perempuan ini karena
ditutupi dengan kedua telapak tangannya. Yang lebih menarik perhatian lelaki
ini ialah kenyataan bahwa perempuan yang menangis itu berperut besar alias
sedang hamil. Paling tidak hamil enam bulan.
Tiba-tiba
suara tangisan itu berhenti. Perempuan itu berdiri dan mencabut sebilah pedang.
Kini lelaki itu dapat melihat wajah perempuan itu. Cantik. Debu kotor tidak
dapat menyembunyikan kecantikannya. Sepasang matanya tampak merah dan beringas
berputarputar. Mendadak dia menjerit keras. Pedang di tangannya disabatkan
kian kemari merambas pohon-pohon dan semak belukar disekelilingnya.
"Mampus!
Mampuslah kau Handaka! Mampus! Kau musti mampus!"
"Perempuan
gila …" desis lelaki itu mengintip. "Bunting dan gila. Kasihan,
kenapa dia jadi Begitu … ?" Sesaat kemudian dilihatnya perempuan itu lari
ke arah pantai sambil terus berteriak-teriak dan menyabatkan pedangnya kian
kemari. Mula-mula dikiranya perempuan itu hendak menceburkan diri ke dalam laut
Tapi ternyata terus lari sepanjang tepi pasir ke arah timur. Karena jurusan
larinya perempuan itu kebetulan sama dengan arah yang hendak ditujunya
cepat-cepat dia kembali ke kudanya dan membuntuti dari kejauhan.
Siapakah
adanya penunggang kuda yang bertubuh kekar dan berkumis melintang ini? Dia
bukan lain adalah Suramanik, bekas kepala pengawal Kadipaten Gombong yang
terpaksa melepaskan jabatannya secara menyakitkan hati gara-gara Dipasingara
yaitu sebagaimana yang telah dituturkan pada permulaan kisah.
Sejak
meninggalkan Gombong sejak itu pula tertanam dendam kesumat terhadap
Dipasingara. Melakukan pembalasan berarti harus memiliki ilmu yang lebih
tangguh. Ini disadari sepenuhnya oleh bekas kepala pengawal itu. Maka setelah
hampir satu setengah bulan berkelana kian kemari akhirnya dia dapat juga berguru
pada seorang tokoh silat tak terkenal di timur. Meski tak terkenal dalam dunia
persilatan namun ilmu yang dipelajari Suramanik dari orang tersebut cukup
tinggi.
Setahun
lebih menuntut kepandaian maka Suramanik merasa sudah cukup dan minta diri pada
gurunya guna mencari Dipasingara. Ternyata pemuda itu tidak ada lagi di
Kadipaten Gombong. Peristiwa yang menimpa Adipati Kebo Panaran, yang
diceritakan orang padanya benar-benar mengejutkan Suramanik. Ternyata
Dipasingara adalah pendekar bejat terkutuk yang bergelar Hidung Belang Berkipas
Sakti.
Dari
keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan oleh Suramanik akhirnya dia
mengetahui bahwa musuhnya itu tidak mempunyai tempat kediaman tertentu tetapi
sering berada di sebuah goa di teluk yang tenang di pantai selatan. Maka
Suramanik segera menuju ke tempat itu. Dalam perjalanan ke selatan inilah dia
bertemu dengan perempuan gila yang sedang hamil dan bukan lain adalah
Wulandari.
Selagi
membuntuti Wulandari dari belakang, Suramanik melihat tiga buah titik hitam bergerak
cepat di samping bukit tandus sebelah kirinya. Makin lama tiga titik itu makin
besar tanda makin dekat dan menuju ke jurusannya. Ternyata tiga titik tadi
adalah tiga orang yang tengah berlari cepat. Kira-kira dua puluh tombak dari
Suramanik ketiga orang itu berpencar. Jelas bahwa ketiga orang tak dikenal itu
sengaja mengurungnya.
"Berhenti!"
satu bentakan mengumandang.
Suramanik
tarik tali kekang kuda. Dia tahu kalau tiga orang itu memiliki ilmu lari cepat
berarti mereka bukan orang sembarangan. Dari atas punggung kudanya diperhatikan
ketiganya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong. Yang
kedua seorang kakek-kakek dan yang terakhir seorang lelaki muda berwajah gagah
tapi pucat. Di atas punggung kudanya Suramanik menunggu dengan sikap waspada.
"Bukan
dia …" kata pemuda berambut gondrong.
"Ya,
memang bukan dia," menyahuti si kakek.
"Kalian
bertiga siapa dan ada keperluan apa menyuruhku berhenti?" bertanya
Suramanik.
"Harap
maafkan," menjawab pemuda bermuka agak pucat. Dia adalah Sanjaya.
"Kami kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Dapatkah kau
menerangkan apakah Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?"
Suramanik
memandang ke tiga orang itu ganti berganti baru menjawab. "Kira-kira
sepenanakan nasi lagi. Akupun tengah menuju ke sana …."
Sanjaya
berpaling pada dua kawannya yaitu Wiro Sableng dan Jagat Kawung. Lalu bertanya
pada Suramanik: "Apakah kau tinggal di sana?"
Suramanik
menggeleng.
"Seperti
kalian akupun tengah mencari seseorang."
"Mencari
seseorang? Boleh aku tanya siapa nama orang yang kau cari itu?" Yang
bertanya adalah Jagat Kawung.
Sesaat
Suramanik merasa bimbang. Namun akhirnya menjawab juga. "Orang itu
memiliki beberapa nama. Tak tahu mana yang asli. Diantaranya yang kuketahui
ialah Dipasingara dan Handaka…."
"Kalau
begitu kita mencari orang yang sama!" kata Sanjaya.
"Urusan
apa sampai kau mencari orang itu?" kembali Jagat Kawung ajukan pertanyaan.
"Bangsat
itulah yang menyebabkan aku kehilangan jabatan sebagai kepala pengawal di
kadipaten Gombong sekitar satu tahun silam. Kudapat keterangan dia melarikan
istri Adipati Kebo Panaran dan membunuh Adipati itu."
Jagat
Kawung menghela nafas panjang. Dia memandang ke laut dan berkata: "Mari
kita cepat-cepat meneruskan perjalanan."
"Tunggu
dulu," kini Suramanik yang menahan.
"Ada
satu kejadian yang perlu kuterangkan pada kalian. Mungkin ada gunanya. Ketika
kalian hadang aku, sebenarnya aku tengah membuntuti seorang perempuan muda
berotak miring yang lari ke jurusan sana …."
Dada
Sanjaya sesak. Parasnya berubah.
"Apakah…
apakah perempuan itu sedang hamil…?" tanya Sanjaya.
"Ya.
Bagaimana kau bisa tahu?" Suramanik agak heran.
"Pasti
Wulandari, pasti!" desis Sanjaya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera
berkelebat meninggalkan tempat itu disusul oleh Jagat Kawung dan Wiro Sableng
serta Suramanik yang menunggangi kuda.
Berlari
selama kira-kira sepenanakan nasi sampailah ke empat orang itu ke tempat yang
dituju yaitu Teluk Segara Anakan. Suasana tampak tenang. Ombak bergulung-gulung
dari tengah lautan menuju pantai dan memecah teratur di pasir, di antara
batu-batu karang yang banyak bertebaran di sana-sini.
"Inilah
Teluk Segara Anakan. Dipasingara sering datang ke sebuah goa yang terdapat di
sekitar sini …." Suramanik berkata.
"Kita
cari goa itu sekarang juga," kala Sanjaya tidak sabaran.
"Tunggu
dulu sobat-sobatku…” ujar Wiro sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku
mendengar suara lelaki tertawa mengekeh diseling suara jeritan-jeritan
perempuan …"
Semua
orang memandang pada Wiro. Tak satu pun di antara mereka mendengar suarasuara
yang dikatakan Pendekar 212 itu. Ini merupakan satu pertanda bagaimana jauh
lebih tajamnya pendengaran murid Eyang Sinto Gendeng itu.
Semua
orang memasang telinga. Sesaat kemudian Jagat Kawung berkata. "Betul …
suara itu. Aku kenal benar. Yang tertawa adalah si keparat murtad. Datangnya
dari balik gundukan batu karang besar di sebelah sana! Mari!"
Keempat
orang itu dengan cepat segera menuju ke jurusan batu karang yang menjulang di
sebelah barat Teluk. Semakin dekat ke sana semakin jelas terdengar suara tawa
mengekeh serta jeritan perempuan. "Mampus! Mampuslah kau Handaka!"
Begitu
sampai di balik batu karang, keempat manusia itu disambut oleh satu pemandangan
luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang tergerai acak-acakan dan
berperut besar hamil dengan pedang di tangan menempur membabi buta seorang
lelaki muda. Yang perempuan ternyata adalah Wulandari, tunangan Sanjaya, sedang
yang lelaki bukan lain Warangas alias Dipasingara alias Handaka alias Prana dan
banyak alias-alias lainnya.
Perkelahian
terjadi di depan sebuah goa. Di mulut goa tegak seorang gadis berkulit hitam
manis dalam keadaan tubuh setengah telanjang, ikut menyaksikan jalannya
pertempuran dengan tegang. Perempuan hitam manis ini adalah Sri Wening, anak
gadis pak Tanu yang telah diculik dan disekap Warangas di goa itu sejak
seminggu lalu. Ketika Wulandari sampai ke goa itu Warangas tengah menggeluti
tubuh Sri Wening.
Meskipun
otaknya miring namun serangan pedang Wulandari bukan serangan sembarangan dan
amat berbahaya. Akan tetapi Warangas menyambuti dengan ganda tertawa dan
andalkan tangan kosong. Sebentar-sebentar tangannya merobek pakaian lusuh dan
kotor yang melekat di tubuh Wulandari hingga lambat laun perempuan muda yang
malang ini hampir berada dalam keadaan telanjang. Perutnya yang buncit dan
urat-urat membiru jelas kelihatan.
Sanjaya
tidak dapat menahan luapan amarahnya lagi. Dihunusnya pedangnya lalu menghambur
memasuki kalangan pertempuran.
"Manusia
dajal terkutuk! Hari ini jangan harap kau bakal bisa lolos dari kematian!"
Warangas
terkesiap kaget melihat kemunculan Sanjaya yang tidak dikenalnya itu. Lebih
kaget lagi ketika di seberang sana dilihatnya pula Suramanik, Jagat Kawung dan
Wiro Sableng.
Wulandari
yang tengah mengamuk dengan pedang di tangan ketika melihat Sanjaya menjerit keras
dan lari ke balik gundukan batu karang rendah. Di situ dia menangis dan
berteriak-teriak tak karuan.
Karena
tidak merasa punya silang sengketa dengan Sanjaya heranlah Warangas ketika
Sanjaya menyerbunya dengan serangan-serangan gencar.
Dia tak
punya kesempatan untuk tanya ini itu dan terpaksa harus kerahkan kepandaian
untuk menghindari sambaran-sambaran pedang lawan. Dalam pada itu dilihatnya
Suramanik telah turun dari kudanya dan langsung masuk ke kalangan pertempuran
dengan sebilah golok besar di tangan.
"Suramanik!
Biar aku sendiri yang akan mencincang rnanusia terkutuk ini!" teriak
Sanjaya. Dia ingin melampiaskan dendam kesumatnya seorang diri.
"Aku
juga punya hak untuk membelah batok kepalanya, Sanjaya!" tukas Suramanik.
"Akulah
yang paling berhak untuk mematahkan batang lehernya!" yang berteriak kali
ini adalah si kakek Jagat Kawung dan serentak dengan itu dia menyerbu dengan
tangan kosong, menghantamkan pukulan Baja Merah!
Mendapat
tiga serangan yang hebat luar biasa ini Warangas menyingkir satu tombak ke
samping lalu melompat tinggi ke udara. Ketika masih mengapung di atas, pemuda
hidung belang ini cepat keluarkan senjatanya yang amat diandalkan yakni Kipas
Pemusnah Raga.
"Lekas
menyingkir!" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya kipas hitam di tangan
Warangas terkembang. Wiro yang berada sekitar enam belas langkah dari kalangan
pertempuran segera lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung untuk menangkis
sinar hitam kipas sakti dan guna memberi kesempatan pada Jagat Kawung,
Suramanik serta Sanjaya menyingkir.
"Jika
kalian bertiga bertengkar untuk saling dapat membantai manusia bejat ini, biar
aku saja yang mewakili kalian semua! Bagaimanapun mengeroyok adalah tindakan
yang tidak terpuji!" kata Wiro sarnbil bersiap dengan pukulan berikutnya.
"Bagi
manusia puntung neraka macam dia tak perlu memakai segala tata cara persilatan.
Yang penting dia musti mampus!" teriak Sanjaya. Lalu pemuda ini melornpat
ke udara seraya kiblatkan pedangnya.
Sinar
hitarn menggebu-gebu mernaksa Sanjaya menyingkir jauh-jauh. Dari samping kiri
kembali Jagat Kawung mengirimkan pukulan Baja Merah sedang Suramanik begitu
dilihatnya lawan menjejakkan kaki di tanah cepat-cepat menyerbu dengan golok
besarnya.
"Bangsat
pengeroyok! Mampuslah semua!" teriak Warangas marah dan kalap melihat
serangan yang datang tiada henti. Kipasnya dikembangkan lebih lebar lalu
diputar dalam bentuk lingkaran. Sinar hitam menderu ke seluruh penjuru, menyapu
dahsyat laksana topan prahara.
Di mulut
goa terdengar jeritan Sri Wening ketika sinar hitam itu menyambarnya,
membantingkan tubuhnya yang hangus tak bernyawa lagi ke dinding goa!
Wiro
leletkan lidah. Ketika sinar hitarn itu berkelebat ke arahnya murid Sinto
Gendeng ini menangkis dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung sedang tangan
kanannya melancarkan pukulan Sinar Matahari.
Warangas
merasakan tubuhnya laksana disambar angin puting beliung. Sinar hitam yang
menggebu dari kipas saktinya musnah. Sebelum dia sempat mengimbangi diri dan
membetulkan kuda-kuda kedua kakinya, pukulan Sinar Matahari telah menyambar
kipas saktinya hingga senjata itu hancur berantakan!
Paras
Warangas sepucat kain kafan. Tengkuknya sedingin salju. Tanpa senjata di tangan
menghadapi empat lawan berkepandaian tinggi seperti itu membuat nyalinya
meleleh. Maut telah di ambang pintu!
Tanpa
tunggu lebih lama Warangas melompat tidak menduga kalau di balik batukarang itu
justru ada Wulandari. Sebelum dia sempat bergerak untuk terus melarikan diri
mendadak dirasakannya sambaran angin. Seolah-olah bumi yang dipijaknya roboh
begitulah tubuh Warangas terbanting ke pasir ketika kedua kakinya sebatas betis
buntung disambar pedang Wulandari.
Pemuda
hidung belang itu menjerit setinggi langit. Tubuhnya terguling ke bawah. Dia
rnenjerit lagi ketika dari kiri kanan Suramanik dan Sanjaya bersirebut cepat
menghantarnkan golok dan pedang masing-masing ke tubuhnya! Pedang di tangan
Sanjaya membabat robek dada Warangas sedang golok di tangan Suramanik membabat
putus lengan kirinya sampai ke bahu!
"Cukup!
Sekarang giliranku orang-orang muda!" Terdengar suara Jagat Kawung.
Tubuhnya berkelebat cepat. Tangannya menjambak rambut Warangas. Namun sebelum
dia sempat memuntir kepala muridnya yang murtad itu, satu sinar putih menderu
dari samping dan cras! Kepala Warangas terpisah dari badannya. Lehernya putus
dibabat pedang Wulandari. Darah rnenyernbur. Wulandari menjerit histeris dan
lari ke arah laut.
"Aku
terlambat … aku terlambat …" desis Jagat Kawung menyesali diri. Sekali dia
meremas maka hancurlah kepala Warangas!
Ketika
melihat Wulandari lari ke arah laut, Sanjaya cepat mengejar. Dia tahu apa yang
bakal dilakukan, bekas tunangannya itu dan segera menyergapnya.
"Lepaskan
aku! Lepaskan! Biar aku terjun ke dalam laut!" teriak Wulandari.
"Tenang
Wulan. Sadarlah! Kenapa kau mau mati dengan cara sesat bunuh diri?"
"Aku
memang sudah sesat! Lepaskan!" teriak Wulandari. Dia coba meronta
melepaskan diri tapi tak bisa. Tiba-tiba dia ingat pada pedang berdarah yang
masih tergenggam di tangannya. Secepat kilat senjata itu ditusukkan ke dadanya.
"Wulan!
Jangan!" jerit Sanjaya. Tapi terlambat. Pedang masuk jauh ke dada
Wulandari. Tubuh perempuan itu terkulai dalam pelukan Sanjaya.
"Wulan,
kenapa kau lakukan ini. Aku … aku masih mencintaimu. Kenapa kau tinggalkan aku
Wulan…?" Suara Sanjaya serak menahan tangis. Air matanya membersit dan
dadanya sesak.
Di saat
kematian mendatang itu jalan pikiran Wulandari tampaknya kembali normal.
"Semuanya telah kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di
dunia ini. Ampuni dosaku kakak. Aku telah mengkhianati janji walau sebenarnya
akupun tetap mencintaimu …."
"Wulan
adikku … !"
Kepala
Wulandari terkulai. Wulandari hanya tinggal jasad kasar belaka kini. Jasad
kasar yang ditancapi pedang dan dilumuri darah. Angin dari luar bertiup lembut
dan sejuk. Ombak putih bergulung teratur dan memecah di depan kaki Sanjaya.
Butir-butir air mata berlelehan di pipi pemuda ini. Dia berlutut membaringkan
tubuh Wulandari di pasir pantai, memeluk dan menangisinya. Dia tak tahu entah
berapa lama dia berada dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya satu tangan
memegang bahunya.
"Sobatku
Sanjaya, Tuhan menghendaki segala sesuatunya berakhir sampai di sini, dalam
cara begini rupa. Tabahkan hatimu, kuatkan iman. Akan lebih baik jika kita
mulai menggali tempat peristirahatan terakhir baik Wulandari …."
Sanjaya
hanya menjawab dengan anggukan. Diangkatnya jenazah tunangannya itu. Diikuti
oleh Wiro, Suramanik dan Jagat Kawung dia mendukung tubuh Wulandari ke bagian
yang landai di bawah naungan batu karang. Di situ mereka mulai menggali kubur.
Bila sang
surya menggelincir ke barat maka di pantai Teluk Segara Anakan kelihatan sebuah
kubur. Empat orang lelaki berdiri di sekeliling kuburan itu. Tapi tanpa
diketahui oleh tiga orang lainnya, salah seorang dari mereka yaitu Pendekar 212
Wiro Sableng tahu-tahu sudah berkelebat lenyap dari tempat itu.
–
<< TAMAT >> –
No comments:
Post a Comment