Pendekar
Dari Gunung Naga
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
LEMBAH
MERAK HIJAU yang terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur
dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur lembah ini
terdapat daerah persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang ditanam telah
masak menguning hingga kemanapun mata memandang, seolah-olah hamparan permadani
emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi masak menguning itu
bergoyang melambai-lambai mengalun lemah gemulai.
Dipagi
yang cerah ini diantara desau tiupan angin lembah yang segar terdengarlah suara
tiupan seruling yang merdu sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah
akan tertegun dan memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu.
Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut? Tentunya seorang seniman
pandai yang dapat menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat
hembusan napas yang disalurkannya ke dalam lobang seruling.
Tetapi
adalah diiuar dugaan karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah seorang
seniman, bukan pula seorang dewasa. Melainkan seorang anak gembala yang baru
berusia tujuh tahun dan duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap
berbulu bersih dan berkilat.
Perlahan-lahan
kerbau besar itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau,
kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan. Di atas punggungnya bocah
berusia tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak perduli
lagi ke mana pun kerbaunya membawanya.
Akan
tetapi ketika binatang itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta rnerta
si bocah menghentikan permainan serulingnya. Mulutnya ternganga dan sepasang
matanya yang bening melotot begitu dia menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Dua sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dan putih dilihatnya
berkelebat hebat, terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru.
Adalah
aneh… memikir anak itu… di tempat yang begini indah dan segar, ada orang
berkelahi. Memperhatikan dengan mata tak berkesip lama-lama membuat si bocah
menjadi pusing sendiri. Beberapa kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali,
dipejamkan lagi, dibuka lagi. Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang
kesekian kalinya, dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan
tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam.
Tapi bayangan putih dapat mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus
melabrak kepala kerbau yang ditunggangi anak tadi.
Terdengar
lenguhan keras. Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di
tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan nyangsrang
dalam semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya baret luka-luka.
Tapi suling Kesayangannya masih tergenggam di tangan kanannya. Dengan susah
payah dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel marah ketika mengetahui
apa yang terjadi dengan kerbau tunggangannya.
Di depan
sana akibat kejadian yang tak disangka-sangka itu, dua orang yang tadi
berkelahi mati-matian sama melompat mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya
memandang ke arah si bocah dan kerbaunya.
Kini
barulah anak lelaki itu dapat melihat dengan jelas sosok tubuh dan tampak kedua
bayangan hitam dan putih tadi.
Di depan
sebelah kanan tegak seorang kakekkakek berjubah hitam berkepala botak plontos
yang kilat-kilat ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya
jarang tapi tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis seperti anjing air!
Di
sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek berpakaian putih. Rambutnya
panjang putih meriap bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang juga
berwana putih. Sepasang matanya memandang tajam pada bocah yang memegang suling
sedang kulit keningnya berkerut seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun
tadi hanya melihat bayangannya saja. namun bocah pengembara itu yakin kakek
berjubah hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan
kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai dasar watak yang berani. Dengan mata melotot
dan air muka menunjukkan kemarahan dia membentak pada kakek jubah hitam :
“Tua
bangka botak! Kau telah membunuh kerbauku! Aku pasti akan dirajam oleh
majikanku! Kau harus menggantinya kalau tidak…."
Seumur
hidupnya baru kali itu kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh seorang
lain. apalagi anak-anak yang masih ingusan pula! Tentu saja darahnya naik ke
kepala
"Pergi
kau dari sini. kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak!
Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!’
"Bocah
sundal! Kau mampuslah!’ teriak kakek jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan seorang anak
kecil seperti pengembala itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak
pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam Suar biasa itu pasti akan
hancur lebur.
Tapi
sebelum pukulan tangan kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu
angin pukulan lain, menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan
punah!
Ternyata kakek
berpakaian putihlah yang telah menolong bocah itu!
Si anak
yang tidak sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut. dengan
marah mengangkat sulingnya tinggi-tinggi dan lari ke arah kakek berjubah hitam.
"Tua
bangka botak! Kugebuk kau dengan sulingku kalau kau tak mau ganti kerbau yang
mati!"
Anak yang
berani ini tidak menyadari sama sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut
nyawa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah hitam memang sudah berniat
membunuh anak itu. Tapi lagi-lagi orang tua berpakaian putih menyelamatkannya
Sekali bergerak, kakek yang satu ini tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah
pakaian bocah itu dan menariknya ke tempat yang aman!
"Budak!
Keberanianmu luar biasa dan mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu!
Biar aku yang mewakilimu untuk menggebuknya!"
Sesaat
anak gembala itu terdiam. Kemudian dengan merengut dia berkata : "Kalian
tua-tua bangka tak tahu diri.-Berkelahi macam anak-anak!"
Kakek
berjanggut putih tertawa gelak gelak. Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala
botak membentak garang dan menyerbu. Kembali kedua orang ini bertempur hebat
Kembali tubuh mereka menjadi bayangbayang hitam putih dan kembali pula si bocah
menjadi sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan. Namun dia memaksakan untuk
memperhatikan kejadian hebat itu sambi! tiada hentinya berteriak : Janggut
putih, ayo kau hajar kepala botak pembunuh kerbauku itu! Sikat! Pecahkan
kepalanya seperti dia memecahkan kepala binatang gembalaanku!"
Teriakan-teriakan
anak ini seolah-olah memberi semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya
membuat si botak jadi penasaran setengah mati!
Dari
batik jubah hitamnya si botak ini keluarkan senjatanya berupa tongkat kayu
berwarna hitam legam dan memancarkan sinar menggidikkan. Setelah bertempur hampir
dua ratus jurus ternyata dia tak dapat merubuhkan lawan dengan iangan kosong
maka kini dengan senjata itu dia berharap bakai dapat mengalihkan kakek janggut
putih.
Diiain
pihak lawannya begitu melihat musuh pegang senjata tidak pula menunggu lebih
lama, segera keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek terbuat dari
baja putih yang kedua ujungnya bercagak.
Sesaat
kemudian keduanya sudah bertempur kembali dengan hebatnya. Kini bayangan
pakaian mereka yang putih dan hitam dibuntali oleh sinar dari senjata
masing-masing dan menderu-deru dengan dahsyatnya.
Bocah
gembala yang berdiri jauh dari tempat itu merasakan bagaimana sambaran kedua
senjata tersebut membuat lututnya guyah dan tubuhnya bergetar menggigil
Terpaksa dia menjauh sampai satu tombak dari kalangan pertempuran sementara
mata dan kepalanya semakin sakit menyaksikan.
Dalam
satu gebrakan hebat kakek janggut putih berhasil mendesak lawan dan setelah
mengirimkan tusukan-tusukan gencar ke arah tawan tiba-tiba robah gerakan
tongkatnya dengan satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek
botak berseru kaget. Buru-buru dia melintangkan senjatanya di atas kepala.
Tombak baja dan tongkat kayu mustika beradu dengan keras, me ngeluarkan suara
nyaring. Tongkat kayu mental patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan
kakek janggut putih! Nyatalah kedua kakek-kakek itu sama tangguh meskipun si
janggut putih unggul sedikit dari lawannya.
Selagi
kakek janggut putih melompat mengambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan
dua tangan di depan dada, kaki terkembang dan kedua matanya dipejamkan.
Mulutnya komat-kamit. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemudian
terdengar kekehannya.
"Manusia
keparat! Jangan harap kali ini kau bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan
asap hitam itu sedetik kemudian berobah menjadi delapan buah tangan yang amat
besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang laksana cakar burung garuda dan mulai
menggapaigapai ke arah kakek janggut putih.
"Ilmu
hoatsut!" teriak si janggut putih dengan wajah berobah. (Hoatsut ilmu
sihir hitam). Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti dan ilmu silat hebat
bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau tak mau
hatinya berdebar juga. Dia mengambil keputusan nekad. Menghajar si kepala botak
itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya melancarkan serangan. Dengan memutar
tombak bajanya sekeliling tubuh, dia menyusup diantara kepulan asap hitam!
******************
2
AKAN
TETAPI SEBELUM tongkat baja berkepala dua itu mampu mendekati kakek jubah hitam
sampai jarak tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan telah
berserabutan menyerang kakek janggut putih!
Si kakek
tersentak dan buru-buru menghindarkan diri. Tapi empat tangan berkuku panjang
itu masih memburunya dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak bajanya, sekaligus
melabrak empat buah tangan yang menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil
menghantam empat tangan mengerikan itu namun tombaknya lewat begitu saja
seolah-olah menghantam udara kosong! Dan dalam pada itu salah satu tangan
tersebut telah berkelebat dengan cepat dan bret!
Pakaian
dibagian dada si kakek robek besar. Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat
baret daging dadanya dan kontan orang tua ini merasakan tubuhnya panas dingin.
Buru-buru dia salurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang cedera dan rasa sakit
panas dingin berangsur-angsur berkurang.
Dalam
pada itu di depan sana kakek jubah hitam kembali keluarkan suara tawa mengekeh
dan delapan tangan siluman kembali menyerbu!
Kakek
janggut putih maklum bahwa segala pukulan sakti dan tombaknya tak akan mampu
meng hadapi ilmu sihir yang ganas itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan
mengandalkan ginkangnya yang sudah amat tinggi. Tapi sampai berapa lama dia
bisa berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau katakanlah sampai tiga ratus jurus
di muka? Dalam umurnya yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu
melaksanakannya? Cepat atau lambat dia bakal celaka juga! Hal ini membuat dia
nekad dan mengamuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh betulbetul luar biasa.
Dalam tempo beberapa jurus saja dia sudah didesak habis-habisan!
Bocah
penggembala yang mengharapkan agar kakek janggut putih bisa menghajar si botak
yang telah membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan penasaran ketika menyaksikan
bagaimana justru kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan terancam jiwanya
karena saat itu beberapa kali tangantangan iblis berkuku panjang telah memukul
dan mencakar tubuhnya hingga dalam tempo singkat kakek ini mandi darah akibat
luka-luka yang dideritanya!
Dengan
marah anak laki-laki itu mulai mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan dan
melempari kakek jubah hitam dari belakang. Tapi semua batubatu yang dilemparkan
jangankan mengenai, mendekati tubuhnya saja pun tidak karena batu-batu itu
mental kembali akibat hawa sakti yang keluar dari tubuh si jubah hitam kepala
botak!
Hebatnya
kakek janggut putih itu meskipun sadar bahwa dirinya bakal celaka dan
kematiannya sudah ditentukan saat itu, namun dia masih saja bertahan dan
melawan mati-matian, sama sekali tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan
dirinya!
Melihat
keadaan kakek berjanggut putih itu dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu
bakal menyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak penggembala.
Tetapi anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan diri dari tempat ini. Malah
untuk menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil serulingnya dan mulai
meniup. Lagu yang dimainkannya sama sekali tak menentu. Rasa takut dan khawatir
melihat keselamatan si kakek janggut putih terancam membuat tiupan serulingnya
melengkinglengking tak karuan. Tetapi justru tiupan seruling inilah yang
mendadak sontak merubah keadaan di dalam kalangan perkelahian hidup mati itu!
Delapan
tangan iblis yang mengerikan kini kelihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan
kacau. semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah menjadi asap hitam. Kakek
jubah hitam tersentak kaget. Dia berkeras memusatkan pikirannya guna
mengumpulkan kekuatan bathin yang tercerai berai namun tak berhasil bahkan
tangan-tangan siluman itu telah berubah jadi kepulan asap hitam dan lenyap.
"Celaka!"
seru kakek botak ini. Dia buka kedua matanya justru disaat itu musuhnya yang
telah luka parah laksana banteng terluka mengamuk melihat perubahan yang
mendadak dan adanya kesempatan untuk menyerang, tanpa tunggu lebih lama
lancarkan gerakan mematikan yang bernama "Joan hun-kigwat" atau
"menyusup awan mengambil rembulan."
Tongkat
baja bermata dua itu menusuk laksana kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa
dapat dielakkan lagi tepat menembus jantungnya hingga tanpa suara sedikit pun
kakek berkepala botak itu minggat nyawanya ketika itu juga!
Melihat
si pembunuh kerbaunya mati, anak gembala tadi bersorak gembira dan
jingkrak-jingkrakan.
"Syukur!
Mampuslah pembunuh kerbau! Baru aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa yang
akan dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas jadi termenung murung.
Sementara
itu si janggut putih yang tubuhnya penuh luka-luka, dalam keadaan megap-megap
segera bersila di tanah. Atur jalan darah dan napas serta salurkan hawa sakti
tenaga dalam keseluruh bagian tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluarkan
dua macam obat yakni beberapa butir pel dan sebungkus obat bubuk. Pel itu
ditelannya sampai habis sedang obat bubuk dituangkannya pada luka-luka sekujur
tubuhnya. Kemudian kembali dia bersila. Sekitar seperminuman teh berlalu.
Perlahanlahan orang tua ini membuka kedua matanya dan berdiri. Meski kini dia
telah selamat dari kematian namun kesehatannya belum pulih keseluruhannya.
ternyata cakar dari jari-jari tangan siluman yang telah membuat dia cedera itu
mengandung racun yang berbahaya. Untung saja dia membawa persediaan obat, kalau
tidak meskipun dia berhasil membunuh musuh namun racun, yang mengendap bukan
mustahil bakal membuat dia menemui ajalnya pula dalam satu dua hari dimuka.
Orang tua
ini kemudian ingat pada anak gembala itu yang kini tengah duduk termangu-mangu
di bawah sebatang pohon. Meskipun kerbau gembalaannya mati bukan karena
kesalahannya dan si pembunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya pasti tak
mau perduli. Masih mending kalau dia diberhentikan dari pekerjaan, kalau
disuruh ganti?
Selagi
dia termenung sudah begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Dia
merasakan tengkuk pakaiannya dicekal orang dan kemudian dirasakannya tubuhnya
laksana terbang. Memandang ke samping ternyata dia telah dipanggul oleh kakek
berjanggut putih dan membawa lari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat dia
gamang dan ngeri.
"Orang
tua kau mau bawa aku ke mana?!" seru si bocah dengan suara gemetar.
"Budak…
kau diam sajalah. Tak usah banyak tanya!"
"Tapi
aku harus kembali pada majikanku. Memberi tahu tentang kerbau yang mati
itu…."
Si kakek
tertawa.
Kau anak
baik yang tahu apa artinya tanggung jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan
kerbaumu itu! Persetan! Potongan tubuh dan ruas tulangmu kulihat bagus sekali!
Sayang… sayang kalau disiasiakan! Aku akan bawa kau ke puncak Liongsan! Kau
dengar? Puncak Liongsan!"
"Aku…
aku…."
Si kakek
mempercepat larinya dan kerena ngeri si bocah tak berani lagi banyak bicara,
malah kini dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya dia tertidur di
atas pundak kakek yang membawanya "terbang" itu!
Siapakah
adanya kakek berambut putih ini? Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa
tujuannya sampai anak gembala tersebut hendak dibawanya ke puncak Gunung Naga
yang selama ini dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek
jubah hitam yang menemui ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok
dikenal dengan julukan angker Raja Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong.
Pada masa itu diantara tokohtokoh silat golongan hitam yang sesat Pak-san
Kwi-ong dianggap tokoh terlihay dan secara tidak resmi dijadikan sebagai
pimpinan. Dengan sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid dari orang persilatan
golongan putih.
Sekitar
tiga tahun yang lalu antara Pak-san Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih
yang membawa lari anak gembala tadi, telah terjadi bentrokan. Dalam perkelahian
satu lawan satu yang seru dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih
berhasil mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat
sakit hati. Selama tlya tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri memperdalam ilmu
silat, tenaga dalam dan gingkangnya. Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu
baru yakni ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa cukup sanggup untuk
melakukan penuntutan balas, maka dicarinyalah kakek janggut putih tadi.
Ternyata Paksa n Kwi-ong memang berhasil menghadapi musuh besarnya itu, bahkan
ilmu hitamnya dia hampir saja dapat membunuh lawan. Namun tiada disangkasangka,
ilmu sihirnya musnah berantakan hanya karena tiupan seruling bocah penggembala
kerbau. Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa serahkan jiwanya pada musuh!
Lalu
siapa pulakah kakek janggut putih itu?
******************
3
KALAU
SEBELUMNYA telah dijelaskan bahwa Paksan Kwi-ong merupakan tokoh silat golongan
hitam yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya pada masa itu, maka dari
golongan putih boleh dikatakan kakek janggut putih itulah yang menjadi tokoh
kelas wahidnya. Dia dikena! dengan nama Kiat Bo Hosiang, berusia 70 tahun dan
bergelar Sin-jiu Thung ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti.
Meskipun
Kiat Bo Hosiang teiah dianggap sebagai jago nomor satu pada masa itu, namun
tokohtokoh persilatan bukan tidak mengetahui bahwa sesungguhnya masih ada
seorang tokoh yang luar biasa kesaktiannya, yang sukar bahkan tak ada
tandingnya diseluruh Tiongkok. Namun sudah sejak lama orang ini mengundurkan
diri dari urusan duniawi dan di mana beradanya sekarang tak seorang pun yang
mengetahui. Cuma diketahui bahwa tokoh luar biasa itu adalah Suheng atau kakak
seperguruan dari Kiat Bo Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah berusia lebih
dari 80 tahun, bergelar Kim-Bong-Kiam-Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas.
Diduga hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang mengetahui di mana suhengnya itu
berada.
Sementara
itu diketahui pula bahwa Ik Bo Hosiang mempunyai dua orang pembantu
rnasingmasing berusia 60 tahun yang kepandaiannya hanya satu tingkat saja di
bawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Jika baru pembantunya saja sudah memiliki
kepandaian tinggi demikian rupa, maka dapat dibayangkan betapa luar biasanya Ik
Bo Hosiang sendiri.
Sebagaimana
lazimnya yang terjadi dikalangan kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu
biasa mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula terlepas dari diri
Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya ini sudah melampaui batas-batas yang
dianggapnya wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa kakek sakti itu
tidak sehat pikirannya alias berotak miring atau setengah gila! Cuma untuk
menyatakan pendapat atau anggapan itu secara terang-terangan tentu saja tak
satu pun yang berani karena kalau sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu
sama saja dengan mengundang "penyakit".
Setelah
lari hampir seratus iie dan siang telah berganti dengan malam, Kiat Bo Hosiang
baru berhenti. Anak kecil yang didukungnya ternyata telah tertidur.
Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya di tanah. Dia sendiri kemudian menelan
beberapa pil obat lalu duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas dan
peredaran darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang baru saja
sembuh dari pada racun jahat ilmu siluman Pak-san Kwi-ong. Beberapa saat
kemudian kembali dia melanjutkan perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis
seperti setan yang berkelebat gentanyangan.
Menjelang
pagi Kiat Bo Hosiang istirahat dan tidur sebentar dan bila matahari terbit dia
meneruskan perjalanan kembali.’
Seringai
gembira tersungging di mulutnya ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga
(Liongsan) yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat itu menganggap
gunung itu angker, tak satu orang pun berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat
Bo Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki gunung yang menjulang
ini. Sampai pertengahan lereng jalan yang menuju puncak gunung masih mu-dah
ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya pertengahan lereng, pepohonan dan
semak belukar mulai rapat. Ular-ular pohon kelihatan membelit dan
bergelantungan di mana-mana. Sekali seseorang kena dipatuk, pasti dalam waktu
dua atau tiga menit nkan mati akibat bisanya yang jahat!
Kiat Bo
Hosiang nampaknya tidak perduli akan binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular
itu sendirilah yang menjauh ketakutan karena dengan kesaktiannya yang tinggi
tubuh kakek ini mengeluarkan hawa panas yang membuat takut ular-ular dalam
hutan, sama sekali tidak mengganggu bocah penggembala yang sampai saat ini
masih tertidur nyenyak di atas pundak kirinya!
Selewatnya
pertengahan lereng, perjalanan betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-mana
menghilang batu-batu karang raksasa runcing menjulang langit, licin berlumut
lembab. Disela batu-batu karang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap
sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!
Akan
tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari di jalan yang rata dan seperti
sepasang matanya dapat menembus tebalnya kabut, kakek sakti Kiat Bo Hosiang
terus saja lari seenaknya. Melompat dari atas batu karang yang satu ke batu
karang yang lainnya; melayang di atas jurang-jurang maut hingga akhirnya sampai
di puncak Uongsan!
Saat itu
di salah satu puncak Liongsan yang dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih
asyik bermain tioki (catur). Yang pertama berambut putih berbadan pendek.
Usianya sekitar 60 tahun dan dikenal dengan nama Toa Sin Hosiang. Yang se-orang
lagi kurus tinggi, bermuka hitam juga berusia sekitar 60 tahun. Keduanya bukan
lain adalah pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang berkepandaian tinggi itu.
Sementara
orang menyebut mereka sebagai pembantu Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu
jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah mengangkat mereka sebagai
murid, sekalipun se gala kepandaian silat yang diperdapat dari Ik Bo Hosiang
sendiri. Disamping itu mereka dari sejak dulu memang bertugas melayani dan
memenuhi apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti
telah diterangkan sebelumnya Ik Bo Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh yang
boleh diKatakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini dengan sendirinya
menular pula pada kedua pembantunya, meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang
sendiri.
Demikianlah,
selagi asyik main tioki dan ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh
salah satu bidak lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya dan
berkata : "Heh ada orang datang!"
Toa Sin
Hosiang juga sudah mendengar. Sesaat keduanya saling memandang heran. Memang
sudah sejak lama sekali tak pernah ada orang luar yang naik ke puncak Liongsan.
Jika hari itu ada orang yang datang ini merupakan suatu yang luar biasa.
Baru saja
Lo Sam Hosiang bicara maka berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu di
depan mereka sudah tegak seorang kakek-kakek berpakaian, janggut, kumis dan
rambut serba putih. Di pundaknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki
berusia 7 tahun.
Begitu
melihat siapa adanya kakek ini, secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang
jatuhkan diri dan berlutut hormat.
"Ah
sungguh tak dinyana kalau puncak Liongsan hari ini akan kedatangan tetamu yang
bukan lain adalah susiok kami sendiri!" (Susiok – paman guru). Yang
berkata ini adalah Lo Sam Hosiang.
Sang
tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya
menyeringai.
Apakah
saudaraku Ik Bo Hosiang ada?’
"Tentu
saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak pernah meninggalkan puncak Liongsan
ini “ menjawab Lo Sam Hosiang.
Sementara
itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan hormat: "Apakah susiok baik-baik saja
selama ini?"
"Tentu…
tentu saja."
Eh.
susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?" kembali Toa Sin Hosia-ig
bertanya. Lo Sarn Hosiang pun kepingin pula mengetahui.
"Siapa
namanya pun aku tidak tahu, aku cuma kenal dia adalah anak gembala!
Selama
belasan tahun Kiat Bo Hosiang tak pernah datang dan sekali muncul membawa
seorang anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pembantu Ik Bo Hosiang
itu.
"Sekarang
lekas kalian beri tahu pada suhengku itu bahwa aku ingin bertemu dengan dia
untuk utusan penting!
Sekilas
dua pembantu \k Bo Hosiang saling lirik. Lalu memperhatikan bocah di atas bahu
susiok mereka dan memperhatikan pula pakaian Kiat Bo Hosiang yang robek-robek
serta guratan-guratan panjang pada kulit dadanya.
"Hai
kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beri tahu!" Saat itu dua pembantu Ik
Bo Hosiang sudah bangkit dan berdiri kembali. "Maaf susiok," Toa Sin
memberikan jawaban. Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak di ganggu.
Jelasnya siapapun yang datang beliau sekaii-kali tak boleh diganggu karena saat
ini sedang bersemedi."
"Sekalipun
yang datang aku, sute-nya?!"
"Sekalipun
susiok harap dimaafkan," sahut Toa Sin.
Kiat Bo
Hosiang mendungak ke langit lalu tertawa gelak-gelak. Karena memiliki tenaga
dalam yang luar biasa, dengan sendirinya suara tawanya dahsyat sekali!
Dua
pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran. Keduanya saling pandang. Dan karena
mereka memang kurang beres jalan pikirannya maka lantas saja keduanya ikut
tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung Naga itu seolah-olah bergetar dilanda
gelombang suara tertawa tiga manusia sakti ini!
Tiba-tiba
Kiat Bo Hosiang hentikan tawanya. Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang
matanya membeiiak dan dari mulutnya keluar bentakan garang.
"Kalian
berdua kacung-kacung rendah berani melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk menemui
suheng-ku sendiri?!"
Serta
meria dua pembantu ini hentikan pula tawa mereka. Toa Sin menyahut: "Bukan
kami melarang, susiok. Tapi suhu sendiri yang berpesan begitu. Kami
pembantu-pembantu yang rendah cuma menuruti perintan."
Persetan
dengan segala pesan dan perintah! Aku tidak rnengenal segala aturan yang dibuat
oleh suhumu yang berotak miring itu!"
"Ah,
susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit
kurang sehat pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
"Otak
miring dan tidak sehat pikiran adalah sama saja, goblok! Dasar gurunya gila,
muridnya sinting. Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
"Mau
lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin macam orang tolol.
"Pendek!
Jangan bikin aku marah. Lekas menyingkir atau kau bakal menerima gebukan
dariku!" Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lag! menahan marahnya.
"Ah,
susiok. Kau tentu tahu kami ini bukan anak-anak yang harus digebuk. Kami sudah
tua bangka dan menjalankan perintah dengan segala tanggung jawab dan
akibatnya."
Kiat Bo
Hosiang menyeringai.
"Jadi
kalian kacung-kacung geblek berani kurang ajar pada paman guru sendiri ya!
Bagus, mari kuberi sedikit pelajaran!"
Habis
berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan ujung lengan bajunya yang lebar. Satu
gelombang angin menggebu dengari dahsyatnya. Toa Sin dan Lo Sam bagusnya sudah
berlaku waspada dan buruburu menghindar ke samping. Namun tak urung sambaran
angin pukulan itu masih membuat mereka terhuyung-huyung ke belakang.
“Susiok,
kau pun nyatanya sinting! Hendak menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-pembantu
suhengmu. Tapi jangan kira kami takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun
kami bakal hadapi! Dan kau nyatanya cuma punya satu kepala!" Yang bicara
begitu adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang memang lebih keblinger dari pada
rekannya. Bahkan kemudian dia tertawa-tawa seenaknya.
Kutuk
serapah menyembur dari mulut Kiat Bo Hosiang dan langsung saja menerjang ke
arah Toa Sin!
******************
4
MESKIPUN
cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua orang tua dari Liongsan itu
memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika diukur maka kepandaian
mereka rata-rata hanya satu tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang.
Kalau saat itu mereka maju berbarengan dengan sendirinya Kiat Bo Hosiang akan
terdesak dan kalah. Namun ada beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih unggul
dari kedua lawannya.
Pertama
sebagai pembantu-pembantu Ik Bo Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan jarang
sekali turun gunung hingga tidak banyak pengalaman dalam pertempuran. Sekalipun
memiliki kepandaian tinggi namun kurang pengalaman merupakan hal yang ikut
menentukan. Kedua, sepasang kakek-kakek dari Liongsan itu dikarenakan otaknya
yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan suhu mereka sendiri akan mau
menurunkan tangan jahat terhadap mereka. Karenanya mereka bertempur seperti
main-main saja dan sambil tertawatawa haha-hihi! Ketiga, sampai saat itu Kiat
Bo Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala di atas pundak kirinya hingga dua
kakek dari Liongsan tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena khawatir
akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran
dua lawan satu itu berlangsung sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo
Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka keluarkan satu
teriakan keras dan serta merta permainan silat dua kakek ini menjadi berobah.
Kiat Bo Hosiang menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik Bo Hosiang dia tahu betul
setiap jurus ilmu silat dari kakak seperguruannya. Namun permainan silat yang
dikeluarkan oleh dua lawannya saat itu aneh dan tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
Apakah si Ik Bo Itu sudah menciptakan ilmu baru tanpa setahuku, demikian Kiat
Bo Hosiang membathin. Dan lebih terkejut lagi begitu merasakan bagaimana
permainan silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua
bangka-tua bangka Liongsan, jadi kalian hendak pamer dan andalkan ilmu silat
kalian yang baru? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!"
berseru Kiat Bo Hosiang dengan penasaran. Dari balik pinggang pakaiannya dia
segera keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya
bercabang dua. Dengan tong-kat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung
bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang bergelar Hln jiu Tlmng-ong atau Raja
Tongkat Tangan Sakti Itu mengamuk hebat. Tubuhnya lenyap terbungkus muai
senjatanya dalam tempo singkat dia sudah mendesak lawannya dengan hebat!
Haik Toa
Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-sama kaget melihat serangan-serangan ganas yang
mematikan oleh susiok mereka itu. Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok,
kami ini kau anggap musuhmusuhmukah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
"Tutup
mulutmu manusia muka pantat dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan
ganas menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung Naga itu. Dan krak!
Lo Sam
Hosiang menjerit. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil pegangi
lengan kiri yang kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!
"Susiok,
kau sudah gilakah," teriak Toa Sin namun kakek yang satu ini pun segera
pula mendapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang lengan maka dia sendiri
remuk tulang kakinya sebelah kanan dan berguling di tanah sambil merintih. Tapi
dasar gila, sekali dia masih bisa juga tertawa hahahihi!
"Tua
bangka-tua bangka tak tahu untung! Masih bagus tidak kepala kalian yang
kuremukkan! Lain kali suhu kalian harus memberi pelajaran sopan santun pada
kalian! Bagaimana menghormat se-orang paman guru!"
"Paman
guru sableng macammu mana patut dihormati!" teriak Toa Sin lalu
menunggingkan pantatnya dan kemudian kentut! Untung saja Kiat Bo Hosiang sudah
tidak lagi ada di tempat itu. Kalau tidak kakek ini pastilah akan marah
setengah mati dihina begitu rupa!
Dengan
beberapa kali lompatan kilat Kiat Bo Hosiang telah sampai ke puncak Liongsan.
Anak pengembara yang ada di bahu kirinya masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa
yang telah terjadi sebelumnya!
Kiat Bo
melangkah menuju ke sebuah pondok kayu Dia tak perlu susah-susah masuk ke dalam
pondok mencari suhengnya karena Ik Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping
tengah bersemedi dengan cara yang luar biasa!
Ik Bo
Hosiang bersemedi di atas sebuah batu hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala
di sebelah bawah, pada batu hitam itu. Tubuhnya tak sedikit pun bergerak sedang
dua tangannya dirangkapkan dldepan dada. Janggut dan kumis putihnya yang
panjang, menjulai menutup wajah dan sepasang matanya.
Diam-diam
Kiat Bo menjadi kagum juga melihat nira bersemedi suhengnya ini. Dia yakin
betul di antara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak
seperguruannyalah yang sanggup melakukan hal itu.
Kalau tadi
Kiat Bo ingin buru-buru menemui suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba
salah bagaimana harus membangunkannya. Tiba-tiba anak yang didukungnya
menggeliat dan terbangun. membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat di
mana dia berada. Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik Bo Hosiang yang
bersemedi kaki ke utas kepala ke bawah.
“Hai.
patung atau manusiakah ini?!" si bocah berseru lantas turun dari pundak
Kiat Bo Hosiang. "Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik
keras-keras
janggutnya. Jika dia manusia tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi kalau
patung pasti diam saja!" Berkata Kiat Bo yang nyatanya telah mendapat akal
bagaimana harus membangunkan suhengnya.
Bocah
penggembala mendekati Ik Bo Hosiang yang disangkanya patung. Tangan kanannya
diulur kan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi mendadak terjadi hal yang
mengejutkan si bocah, termasuk pula Kiat Bo Hosiang. Ketika tangan itu hampir
hendak menjenggut jenggot, tiba-tiba jang gut panjang putih itu bergerak dan
sesaat kemudian tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!
"Hai!"
si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya, namun tangan yang satu ini pun
kemudian kena dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha berontak untuk
melepaskan kedua tangannya tetapi sia-sia saja!
"Suheng!
Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang berseru. Jika janggut-janggutnya bisa
bergerak pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari samadinya, demikian Kiat Bo
berpikir.
Tiba-tiba
si anak menjerit karena kedua lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu
tubuhnya telah terpental ke arah Kiat Bo Hosiang. Kakek ini melenggak kaget,
untung masih sempat dia menangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh
dengan keras di atas sebuah batu besar. Untuk sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun
bengong. Membuat mental seseorang dengan menggerakkan janggut yang tentunya
dialiri tenaga dalam betul-betul merupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan
itulah yang telah dilakukan oleh suhengnya!
"Kiat
Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu unjuk tampang kau hanya mengganggu
ketenteraman puncak Liongsan ini saja!" terdengar suara halus yang bukan
lain adalah suara Ik Bo Hosiang. Memandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya
itu sudah duduk tenang-tenang di atas batu hitam di atas mana sebelumnya dia
bersemedi.-Sepasang mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguruannya.
Pandangan ini terasa seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat Bo.
"Ah
suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih dahulu menjura. "Bukan
maksudku untuk mengganggu ketenteraman di puncak Liongsan ini. Tapi aturan yang
dibuat oleh kacung-kacungmulah yang telah memaksaku berlaku keras…."
"Kekerasan
itu memang harus ada. Tapi pada waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang
tertentu. Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan adalah satu kejahatan. Lo
Sam dan Toa Sin memang kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun di puncak
Liongsan ini mereka adalah tuan rumah yang harus dihormati oleh setiap tamu,
siapa pun dia adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan rumah yang membuat
aturan, bukan orang luar!"
Paras
Kiat Bo kelihatan bersemu merah mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang
katakan apa keperluanmu datang ke mari."
"Budak
itu, suheng…."
"Aku
tidak tanya budak itu! Aku tanya keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa
menoleh atau melirik pada penggembala yang tegak di samping sutenya.
"Begini
suheng…" lalu Kiat Bo menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san
Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak ada bocah
penggembala yang pandai meniup suling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah
jiwaku akan melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang nyawa pada budak
ini dan wajib membalasnya!"
Memang
betul apa yang dikatakan oleh Kiat Bo Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san
Kwi-ong yang mengeluarkan ilmu hoatsut (sihir), Kiat Bo Hosiang hampir-hampir
saja menemui ajal jika saat itu di tempat tersebut tidak ada anak penggembala
yang memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan seruling itu mengganggu
pemusatan pikiran dan bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir
Pak-san Kwi-ong.
"Aku
tidak tertarik pada ceritamu." Tidak tertarik padamu ataupun budak tukang
angon kerbau itu! Nah sekarang silahkan angkat kaki dari puncak Liongsan
ini!"
"Suheng…!"
Tapi Ik
Bo Hosiang tidak perdulikan lagi sutenya itu, malah seenaknya dia membuka mulut
dan menyanyi:
Puncak
Liongsan tinggi sekali
Tapi
lebih tinggi akal dan budi
Laut
Selatan hijau dan dalam sekali
Namun
lebih dalam perasaan hati sanubari
Yang
tinggi gampang jatuh
Yang
dalam sukar diselam
Akal dan
budi terkadang tak berguna
Jika
perasaan lebih menggelora.
Ik Bo
Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu. Dilain pihak, bocah penggembala yang
mendengar merasa nyanyian itu cukup merdu dan terus saja keluarkan sulingnya,
meniup benda itu mengiringi nyanyian si kakek. Mengetahui nyanyiannya ada yang
mengiringi Ik Bo Hosiang lantas saja mengulang-ulang nyanyian sampai empat kali
berturutturutl
Tiba-tiba
tokoh aneh dari Liongsan ini hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit dan
tertawa gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya meniup suling
merasakan lututnya goyah oleh suara tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun
terhuyung jatuh ke tanah. Kiat Bo Hosiang sendiri pun jika tidak lekas-lekas
mengerahkan tenaga dalamnya pasti akan menggeletar sekujur tubuhnya oleh
kehebatan suara tertawa suhengnya itu!
"Budak,
siapakah namamu dan apa she-mu?!" Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan
pertanyaan.
"kakek
nyanyianmu bagus sekali. Kenapa berhenti?!"
"Budak
kurang ajar! Ditanyai malah menyuruh orang menyanyi. Apa kau kira kau ini
biduan sandiwara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba berkelebat
jungkir-balik. Sedetik kemudian kepalanya sudah terletak di atas batu di mana
dia tadi bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai budak! Kenapa kau
menghentikan tiupan sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa
kau kira aku ini tukang tiup suling sandiwara keliling?!" si bocah ngambek
dan balik menyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang khawatir kalaukalau suhengnya
bakai kumat otak miringnya marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru
saja membuka mulut.
Suheng,
kau tahu aku telah berhutang nyawa padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus
dibayar. Kau saksikan sendiri keadaan budak ini. Potongan tubuh dan susunan
ruas-ruas tulangnya amat baik. Rasanya sulit mencari bocah seperti dia di
delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku berniat untuk mengambilnya jadi
murid. Tapi kau tahu sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi murid
tunggalku, aku sudah bersumpah untuk tidak akan mengambil murid lain lagi dalam
keadaan atau alasan apapun juga. Memikir sampai saat ini kau sendiri tidak
pernah mempunyai murid yarig sebenarnya bisa disebut murid, dan sekaligus untuk
membalas hutang nyawaku padanya, maka kuharap kau sudi mengambil bocah ini
menjadi muridmu!’
"Enak
betul bicaramu. Kiat Bo!" tukas Ik Bo Hosiang. "Anak penggembala yang
tidak tahu asalusulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak tahu juntrungannya, eh
tahu-tahu kau minta aku mengambilnya jadi murid! Kau sudah gila atau otakmu
memang sudah rengat?"
"Suheng,
kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari yang lain…."
"Apanya
yang lain? Dia bertangan, berkaki, punya mata dua, hidung satu, mulut satu,
telinga dua…. Itu kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanya betul-betul sudah gila!
Kasihan…!"
"Suheng,
aku memohon padamu…!"
"Kau
keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemudian hari bocah itu mengecewakan
aku?!"
"Kau
boleh bunuh aku, suheng!"
"Buset!
Dua tiga bulan di muka mungkin kau sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus
menggali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
Lama-lama
berdebat begitu rupa Kiat Bo Hosiang yang memang punya watak lekas jengkel jadi
penasaran juga. Dia berkata: "Sudahlah suheng, jika kau tak sudi aku pun
tak memaksa!"
"Dan
aku pun tidak mengemis untuk jadi murid-mu!" menimpali si bocah.
"Bocah
kurang ajar! Aku tidak bicara denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai,
kau masih belum menerangkan nama dan she-mu!"
"Namaku
Thian Ong, she Song. Dan sekarang aku akan angkat kaki dari sini!" Anak
penggembala itu berpaling pada Kiat Bo Hosiang dan berkata: "Kakek, kau
punya tanggung jawab membawaku ke mari. Sekarang kau punya kewajiban membawaku
turun dari tempat memuakkan ini!"
"Budak
edan! Orang hendak membalas budi malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo
Hosiang.
"Aku
tak perlu segala balas budi. Kalaupun…."
"Thian
Ong anak kurang ajar, kau mendekatlah ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang
memanggil. Tapi si bocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang keluar dari
tubuh si kakek menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang
itu. Aku sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi belum pada bagian-bagian
yang tertutup. Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo
Hosiang diam-diam merasa gembira mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi
sebaliknya bocah yang bernama Song Thian Ong berkata marah: "Kakek, kau
betul-betul sudah gila, menyuruh orang telanjang! Kau saja telanjang
sendiri!"
"Anak
kurang ajar! Kualat kau!" teriak Ik Bo Hosiang. Dia mengulurkan kedua
tangannya. Bret…. Bret…. Bret! Maka robeklah seluruh pakaian Thian Ong hingga
dia kini telanjang bulat. "Hem bagus…. Kau memang boleh!" Dan habis
berkata begitu Ik Bo Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melemparkannya ke
udara, menyambutnya dengan kedua kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian
Ong dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi, dipentalkan lagi demikian seterusnya.
Anehnya Thian Ong tidak merasa sakit barang sedikit pun. Tapi rasa gamang
membuat dia ngeri. Dan anak ini tak hentihentinya menjerit.
Selagi Ik
Bo Hosiang mempermainkan Thian Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah
sebuah bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang dan Toa Sin Hosiang.
Masing-masing mereka telah membalut lengan dan kaki yang cidera serta
mengganjalnya dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka
"bermain-main" begitu rupa keduanya tertawa gelakgelak.
"Suhu,"
seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh Ikut main bersamamu?"
Sebagai
jawaban Ik Bo Hosiang berseru: "Pendek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu
tubuh Thian Ong sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakekkakek ini
dengan gembira menyambut tubuh yang terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh
Thian Ong melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira kakek yang seorang
ini menyambut pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang ko
arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya. Tiga kakek-kakek keblinger dari
gunung Naga itu telah asyik dengan permainan "bolanya". Tidak perduli
lagi akan jerit ketakutan si bocah. Apalagi terhadap Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo
Hosiang yang menyaksikan hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala. "Gila
dasar manusia manusia gila!" katanya dalam hati. Namun diam-diam dia
gembira sekalipun suhengnya tidak mengatakan apakah dia mau mengambil Song
Thian Ong menjadi muridnya, namun secara tidak langsung. Dengan cara main
bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah menyatakan bahwa dia berkenan
dengan bocah itu.
Dengan
senyum puas Kiat Bo Hosiang berkelebat pergi meninggalkan puncak Liongsan.
******************
5
DUA BELAS
TAHUN kemudian…. Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh
ke dalam cengkeraman bangsa mongol. Penjajahan oleh bangsa manapun juga atas
bangsa lain pastilah mendatangkan penderitaan. Dan yang paling sengsara seperti
biasanya ialah rakyat jelata.
Di
mana-mana kaum penjajah yang berkuasa melakukan pemerasan, perkosaan,
penindasan dan seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lainnya.
Pemerintah
Tiongkok di selatan yang pada masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa
berbuat apa-apa menghadapi kaum penjajah. Selain selatan memang memiliki
balatentara dan persenjataan lemah, roda pemerintahan pun sudah kacau-balau
centangperentang. Mulai dari kaisar sampai pada pejabatpejabat yang terendah di
desa-desa sibuk memupuk kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah. Dalam pada
itu mereka terlena pula dalam bujuk rayu perempuan-perempuan cantik hingga mana
pula akan terpikir untuk membebaskan negeri di utara dari tangan penjajah
Mongol.
Pedih
sakitnya penderitaan yang melanda, lambat laun merupakan cambuk bagi rakyat
jelata untuk bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.
Kekuatan
tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk menghantam kaum penjajah di utara dan
kedua untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup, keji
sewenang-wenang dan sebagainya. Pada masa itu bukan rahasia lagi kalau gerakan
rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu oleh orang-orang kangouw sehingga
akibat yang ditimbulkannya makin hari makin hebat dan membuat kaum penjajah
merasa terancam.
Namun
tidak jarang pula rakyat yang berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana
mereka dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau diserang dan ditangkap
oleh balatentara Kaisar dari selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung di
tempat terbuka, prajurit-prajurit yang tak lain adalah rakyat jelata biasa
dibunuh secara massal!
Gerakan
rakyat yang ingin membebaskan negeri mereka dari penindasan bangsa Mongol serta
sekaligus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup dan memeras, dengan
sendirinya menghadapi dua lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh
dikalangan mereka, namun demikian semangat perjuangan mereka tak kunjung padam.
Jangankan orang lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan
kaum wanita pun ikut turun ke dalam kancah peperangan tanpa rasa takut sama
sekali!
Pada
suatu hari di bulan kelima, malapetaka telah pula menimpa serombongan pasukan
rakyat yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada di sebuah kaki bukit.
Tanpa setahu pemimpin pasu kan, salah seorang diantara anggotanya adalah
mata-mata. Pemerintah selatan yang berhasil menyusup. Selagi pasukan itu tengah
beristirahat di’ kaki bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan tempat
tersebut, langsung menuju tempat rahasia di mana telah menunggu satu kelompok
pasukan Pemerintah yang terdiri dari lebih seratus orang
Dalam
waktu singkat pasukan rakyat yang tengah istirahat itu telah terkurung. Dan
ketika mereka diserbu dengan sendirinya mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya
mereka mempertahankan diri dan berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua
kali lipat disamping itu serangan datangnya mendadak sekali.
Dalam
waktu sebentar saja dua puluh orang anggota pasukan rakyat gugur. Komandan
pasukan seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In berteriak kepada anak
buahnya untuk lari menyelamatkan diri dan membiarkan dia sendiri menghadapi
pasukan Pemerintah. Tekadnya biar dia mati asal sisa-sisa anak buahnya masih
bisa diselamatkan. Akan tetapi mana ada diantara mereka yang mau mengikuti
perintah Pouw Keng In. Malah pasukan rakyat itu bertempur makin hebat hingga 10
orang lagi diantara mereka menjadi korban.
"Bunuh
semua anjing-anjing pemberontak ini. Tangkap komandannya hidup-hidup!"
teriak komandan pasukan Pemerintah. Dia menyeringai puas melihat bagaimana
musuh porak-poranda dan berguguran satu demi satu dalam waktu yang cepat. Dan
pandangan matanya rakyat yang berjuang itu tak lebih dari pada anjing, yang
dapat dibunuh secara sewenang-wenang,
Pada saat
yang gawat bagi pasukan rakyat itu. dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka
parah dan mandi darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan hijau disertai
gulungan sinar coklat. Terdengar pekik susul-menyusui. Dalam waktu amat cepat
enam anggota pasukan Pemerintah telah menjadi korban, ada yang pecah kepalanya,
remuk dada. bobol perut dan sebagainya.
Tentu
saja pasukan Pemerintah terkejut sekali terutama Komandannya. PasuKan rakyat
pun tak kurang kagetnya. Namun karena menduga ada orang kangouw yang telah
turun tangan membantu mereka meskipun mereka beium melihat jelas siapa adanya
orang itu karena saking cepatnya gerakannya maka kembali mereka jadi
bersemangat dan menempur iawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis
dari mana yang berani mencari mati di sini?!" berteriak Komandan prajurit
Pemerintan. Namanya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata sedikit juling
dan punya tampang garang, lengkap dengan kumis melintang serta cambang bawuk.
Bayangan
hijau yang mengamuk tidak menyahuti malah berkelebat makin cepat. Delapan orang
lagi pasukan Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang lain jadi gentar
dan tak berani
didekati
bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengahan mereka itu merupakan sasaran baik bagi
prajuritprajurit rakyat hingga banyak diantara mereka berhasil ditewaskan
"Setan
alas." maki Cu La i Seng marah sekali. Saat itu dia masih duduk di atas
punggung kudanya. Dengan tangan kanan dirampasnya pedang anak buahnya yang
terdekat. Perlu diketahui Cu Lay Seng ini seorang yang amat lihay dalam ilmu
menyambitkan berbagai macam senjata. Sekali tangannya mencari sasaran pastilah
tak akan melesat! Begitu tangan kanannya memegang pedang segera senjata ini
dilemparkan dan melesat deras ke arah bayangan hijau yang tengah
memporak-porandakan pasukan Pemerintah.
Cu Lay
Seng sudah dapat membayangkan bagaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus
oleh pedang yang dilemparkannya. Namun alangkah kagetnya Komandan pasukan ini
sewaktu menyaksikan senjata yang dilemparkannya itu malah ditangkap oleh lawan
dengan tangan kirinya. Dan dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si
bayangan hijau mempergunakannya untuk membabat musuh kian kemari hingga dalam
waktu singkat makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu Lay
Seng maklum kini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian
amat tinggi dan memiliki gingkang luar biasa hingga dia sendiri sampai saat itu
tidak dapat jelas melihat siapa adanya bayangan hijau itu.
"Mundur
semua", teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit
Pemerintah yang memang sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua
kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng ln memberi
isyarat agar anak buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri yang saat itu
terluka parah, amat kagum melihat kehebatan bayangan hijau. Dengan dipapah oleh
seorang anak buahnya dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu
Cu La y Seng telah melompat turun dari kudanya dengan satu gerakan enteng
tahu-tahu sudah berada lima langkah di hadapan bayangan hijau. Dan ketika
bayangan hijau ini menghentikan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay
Seng dan semua orang yang ada di situ jadi melotot dan ternganga. Mereka semua
melengak kaget! Be-tapa tidak! Si bayangan hijau yang kini tegak tak bergerak
di tengah kalangan pertempuran itu nyatanya adalah seorang gadis berparas elok
jelita. Rambutnya hitam panjang dan digelung di atas kepala dengan sepasang
cambang halus meliuk dikedua pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis ini
baru berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda itu sudah memiliki
kepandaian yang hebat, siapa orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona,
kau telah menurunkan tangan ganas terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa
aku harus menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng
dengan nada keren dan keras.
"Aku?!
Kau mau menangkap aku…?" si gadis menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap
kau tidak mengadakan perlawanan dan menyerah dengan suka rela," berkata
lagi Cu Lay Seng.
"Begundal
penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis hijau membentak marah. Wajahnya
merah dan justru dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah cantik. Jika kau
bilang aku menurunkan tangan jahat terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas
kau yang telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut apakah?! Dosamu besar
sekali Komandan! Sebaiknya kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta
ampun di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku tak
segan-segan mengirimmu ke akhirat!"
Cu Lay
Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan kehebatan gadis itu, tapi jangan kira
dia merasa takut. Selain memiliki ilmu tinggi dia sudah berpengalaman luas.
Kalau baru gadis binal begini saja kenapa musti jerih? Demikian dia menganggap
enteng.
"Jika
kau tak mau menyerah secara baik-baik, jangan salahkan kalau aku menurunkan
tangan kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang disambut oleh sang
nona dengan tertawa mengejek.
"Majulah!
Aku mau lihat sampai dimana kehebatan segala manusia pepesan macam kau!"
Dimaki
"pepesan kosong" begitu rupa di hadapan sekian banyak orang dan anak
buahnya sendiri betul-betul merupakan penghinaan luar biasa bagi Cu Lay Seng.
Dengan didahului bentakan dahsyat. Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah
nona berbaju hijau dan saat itu juga berkiblatlah sinar putih menyilaukan.
Inilah sinai senjata di tangan Cu Lay Seng yaitu sebuah ruyung perak.
"Nona
baju hijau!" Pouw Keng In Komandan pasukan rakyat berseru. Kau
hati-hatilah dia lihay sekali!"
Memang
Pouw Keng In mengetahui betul kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi.
Dibandingkan dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia sudah
menyaksikan kehebatan si nona namun tetap saja dia khawatir. Karena kalau
sampai Cu Lay Seng menang bukan saja dia dan seluruh anggota pasukannya akan
dibunuh, tetapi nasib si nona pun akan jauh lebih buruk. Pouw Keng In cukup
mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar pada masa itu, apalagi
Komandan-komandan mereka.
Tapi nona
baju hijau justru malah tertawa mendengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw
Keng in dan berkata: "Terima kasih atas peringatanmu. Kau lihat sajalah
bagaimana aku menghajar manusia kecoak yang tidak berguna ini."
Sambil
menjura tadi dengan tak acuh nona itu gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya
ke atas Cu Lay Seng yang saat itu tengah melancarkan serangan hebat menjadi
amat terkejut ketika tiba-tiba dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu
ke arah lengannya. Komandan yang berpengalaman ini segera maklum kalau lawannya
memiliki tenaga dalam yang jauh lebih lihay dari dia Karenanya secepat kilat Cu
Lay Seng robah gerakannya, batalkan serangan pertama dan menyusul dengan
serangan ruyung ke arah kaki sang nona.
Tapi
lawan ternyata sudah mengetahui lebih dulu gerakannya. Karena begitu ruyung
perak menyamber ke bawah si nona segera melintangkan tongkat kayunya ke arah
yang sama
Selain
tak menyangka kalau lawan akan menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay Seng pun
kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh. Karenanya dia tidak berusaha
menghindarkan bentrokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya terbuat dari
kayu coklat.
Tapi apa
yang terjadi kemudian membuat Cu Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat.
Pada saat bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan Komandan itu patah
dua dan mencelat mental! Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu Lay
Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun.
Dalam
keadaan sang Komandan masih kaget begitu rupa nona baju hijau yang sampai saat
itu di tangan kirinya masih memegang pedang yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay
Seng sudah memburu ke depan kirimkan satu tebasan kilat. Dan cras ! Cu Lay Seng
menjerit keras. Darah mancur dari tangan kanannya yang kini sudah terbabat
putus!
"Sekarang
lekaslah kau menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosamu.”
berseru si nona seraya tusukkan pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si
Komandan.
Hanya
satu senti saja lagi ujung pedang akan menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba
terdengar bentakan marah:
"Bwe
Hun! Lagi-lagi kau! Lagi -lagi kau!"
Satu
bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan kiri sang dara
terdorong ke samping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!
******************
6
NONA
BERBAJU HIJAU palingkan muka dan berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat
jatuhkan diri, berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih yang tegak
dihadapannya.
"Suhu…!"
"Bwe
Hun. Berapa kali aku sudah bilang jangan melakukan pengacauan! Jangan berani
menentang alat-alat kerajaan!" si kakek berkata dengan nada keras.
"Suhu,
murid sama sekali tidak mengacau, tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin
mengikis kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan
jalan membunuh seenakmu?!"
"Orang-orang
jahat dan se-wenang-wenang macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rakyat
untuk membebaskan tanah air dari kaum penjajah dan penindasan bangsa sendiri
wajib dibantu!"
"Bwe
Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas
angkat kaki dari sini. Lain kali jika aku memergoki kau melakukan perbuatan
begini, aku akan jatuhkan hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
Si nona
yang bernama Li Bwe Hun gelengkan kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab:
"Suhu hukuman berat bagiku bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah perbuatan
Suhu sendiri. Kau menetap si utara, ditengah-tengah bangsa Mongol dalam
kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari bahwa Suhu sebenarnya telah
diperalat oleh kaum penjajah untuk menindas bangsa sendiri! Sebagai murid
aku…."
Belum
sempat Li Bwe Hun meneruskan katakatanya itu satu tamparan telah mendarat di
pipinya, membuat gadis itu terhuyung ke belakang satu langkah. Keseluruhan
wajahnya menjadi merah mengetam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya
kalau suhunya sendiri-yang telah mendidik dan merawati selama belasan tahun
-tega-menamparnya seperti itu dihadapan sekian banyak mata! Betul suhunya telah
berubah sejak masuk ke dalam bujuk rayu bangsa Mongol!
"Sekali
lagi kau berani bicara lancang seperti itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu,
aku tidak takut mati di tanganmu! Aku lebih rela mati dari pada menjadi murid
Kiat Bo Hosiang yang kenyataannya adalah seorang pengkhianat bangsa dan
negara!"
Cu Lay
Seng, Pouw Keng In dan semua orang yang ada di situ sama-sama kaget mendengar
siapa adanya nama kakek di hadapan mereka saat itu. Ternyata Kiat Bo Hosiang,
tokoh silat utama yang boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu
diseluruh penjuru Tiongkok!
Baik
Komandan pasukan Kaisar maupun Komandan pasukan rakyat masing-masing merasa
gelisah dan berdebar. Karena kini di hadapan mereka berdiri tokoh silat
berkepandaian tinggi yang sejak beberapa waktu belakangan ini telah membantu
kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan musuh besar pasukan rakyat dan
juga Pemerintah!
Sepasang
bola mata Kiat Bo Hosiang berkilatkilat dan laksana dikobari api mendengar
kata-kata muridnya itu. Dia menggerung dahsyat dan berteriak: "Li Bwe Huni
Mulai hari ini aku bukan gurumu lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus
serahkan seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
Habis
berteriak demikian Kiat Bo Hosiang lantas kirimkan satu serangan berupa totokan
ke arah jalan darah kian le hiat di dada dan jalan darah gi hay hiat di
punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupakan totokan maut akan tetapi
amat berbahaya. Jika totokan-totokan itu sampai menemui sasarannya,
pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan menjadi rusak. Dan yang paling
hebat akibatnya ialah bahwa dia akan kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya
bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe Hun
kaget sekali melihat bagaimana suhunya melancarkan totokan yang jahat itu. Kini
nyata kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak tedeng aling-aling untuk
menurunkan tangan jahat. Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat menghindar
selamatkan diri.
Melihat
serangan dapat dikelit, Kiat Bo Hosiang jadi penasaran. Kembali dia menyerbu
dengan serangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap serangan senantiasa
diserta totokan-totokan jahat tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti
ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih belum sanggup merobohkan, ini
membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan
sialan! Menyesal aku mengambilmu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam
ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang kali.
"Aku
malah seribu kali lebih menyesal dan malu karena memiliki suhu jahat dan
pengkhianat macammu! Dan jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk dijadikan
murid! Kau yang menculik aku dari tangan orang tuaku!"
"Murtad!
Laknat! Kubunuh kau sekalian biar puas hatiku!" Maka Kiat Bo Hosiang
lantas mempergencar serangannya. Tubuhnya hanya tinggal bayangan putih saja
lagi, mengurung Bwe Hun dari segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhunya
terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh kepandaiannya. Karena masing-masing
pihak mengetahui betul jurus-jurus silat yang dimainkan, termasuk tipu-tipu dan
kelemahan-kelemahannya maka dengan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan
dan seru sekali. Dalam hal Lweekang memang Bwe Hun masih berada di bawah
suhunya. Namun dalam memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan dia tidak
kalah! Sampai seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih belum bisa berbuat
apa-apa!
Bagaimanakah
asal mulanya sampai Kiat Bo Hosiang bentrokan dan hendak membunuh murid nya
sendiri! Dan apakah betul tokoh silat golongan putih itu menjadi kaki tangan
penjajah Mongol?
Seperti
sudah sama dimaklumi jarang sekali manusia yang betul-betul dapat membebaskan
diri dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu satu macam ragamnya
itu. Salah seorang diantaranya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih memberi
pelajaran silat pada Li Bwe Hun. Kiat Bo yang memang mempunyai dasar watak suka
akan hidup mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam menghadapi
perempuan cantik, telah terjebak dalam bujuk rayu orang-orang Mongol.
Kepadanya
diberikan sebuah gedung besar bak istana layaknya di Undur Khan. Harta benda
dan uang berlimpah ruah. Disamping itu tak lupa pula perempuan-perempuan cantik
yang dia tinggal pilih saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat
Bo Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam orang Mongol mulai memperalatnya.
Memang banyak gunanya tokoh lihay ini oleh kaum penjajah. Pertama, jika Kiat Bo
berada dalam genggaman mereka berarti tak akan ada bahaya dari pihak Pemerintah
Tiongkok ataupun dari pergerakan rakyat karena memang masa itu Kiat Bo seorang
tokoh sakti yang ditakuti oleh pihak Mongol. Kedua Kiat Bo bisa dipergunakan
untuk menghadapi orang-orang Pemerintah dan rakyat. Dan kenyataannya memang Kiat
Bo Hosiang telah berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan yang dibangkitkan
oleh bangsanya sendiri.
Disatu
pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan yang mewah penuh kesenangan namun dilain
pihak dia menjadi momok kebencian rakyat dan juga Pemerintah Tiongkok. Salah
satu dari orang yang membencinya ialah muridnya sendiri Li Bwe Hun yang telah
digemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun.
Gadis
yang baru meningkat usia 17 ini begitu memulai pengelanaannya di dunia kangouw
telah dihadapkan dengan kenyataan pahit yaitu gurunya ternyata adalah seorang
pengkhianat yang menjada kaki tangan penjajah Mongol dan diperalat untuk
menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya sendiri! Sedangkan dia sendiri yang
walaupun masih muda tapi dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah,
telah memilih untuk berpihak perjuangan rakyat tertindas. Karenanya dalam
petualangannya, gadis ini berulang kali membantu pasukan rakaat dan disamping
itu setiap dia mendengar ada pejabatpejabat Pemerintah di daerah-daerah yang
berlaku keji serta semena-mena, pastilah dia turun tangan untuk menghukum
pejabat itu. Sekali dua diberi peringatan, tapi bila masih tidak mau insyaf,
Bwe Hun tak segansegan untuk menebas batang lehernya.
Dalam
melakukan hai yang dianggapnya sebagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun
mendapat tantangan dan menghadapi lawan-lawan berat. Dan salah satu diantaranya
adalah gurunya sendiri yakni Kiat Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang telah
memberi peringatan keras pada muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam kekalutan
yang berkecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau perduli karena dia yakin
apa yang dilakukannya adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang dimilikinya
bukanlah untuk membuat dia menjadi beo atau berlepas tangan ataupun melakukan
perbuatanperbuatan yang salah, tapi justru guna menolong orang-orang yang
tertindas, untuk kebaikan dan membela keadilan serta kebenaran. Dan nyatanya
hari ini kembali dia dipergoki oleh subangnya ketika membela pasukan rakyat
yang hendak dimusnahkan oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Komandannya
yang bernama Cu Lay Seng!
Sekali
ini Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat hingga dia mempunyai tekad keji untuk
mencelakakan muridnya sendiri, membuat Bwe Hun menjadi cacat seumur hidupnya.
Akan tetapi karena sampai begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan dua
totokan ganas itu ke tubuh muridnya yang dianggapnya murtad laknat, disamping
itu ucapanucapan Bwe Hun betul-betul membuat dia gelap mata, maka dalam
sesatnya Kiat Bo memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe
Hun tersirap darahnya ketika melihat tiba-tiba suhunya mengeluarkan senjatanya
yang hebat yakni tongkat baja yang kedua ujungnya bercagak.
"Suhu…!
Orang-orang Mongol betul-betul telah membuat kau jadi buta mata dan hati serta
pikiran! Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
Tapi
seruan itu justru membuat Kiat Bo Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat
bajanya berkiblat. Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun terpaksa
keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi telah diselipkannya di pinggang.
Namun
dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng
In sudah amat luar biasa, dihadapan Kiat Bo Hosiang dia hanya sanggup bertahan
sampai 5 jurus. Selewatnya 5 jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh
suhunya, dia segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada berarti untuk
menyelamatkan diri dari dua ujung tongkat yang terus-menerus menyambar.
Beberapa bagian pakaiannya telah robek disambar senjata sang suhu dan agaknya
dalam dua jurus dimuka gadis ini akan menemui kematian secara mengenaskan.
Menyaksikan ini semua orang jadi gelisah. Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan
ujung tongkat bersarang di dada Bwe Hun, membuat gadis ini terpekik dan roboh
terguling di tanah. Darah kental mengalir disela bibirnya.
"Sekarang
kau mampuslah, murid celaka!" teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan
tusukkan ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua
bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan. "Kau yang lebih dulu
layak mampus!" Dua orang berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng
dan Pouw Keng In!"
******************
7
7
BAGAIMANA
pula sampai kedua Komandan pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan bertempur
itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka
tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang kritis itu tanpa memperduiikan
keadaan dan tingkat kepandaian mereka sendiri. Pertama bagaimana pun juga Li
Bwe Hun merupakan nona penolong bagi Pouw Keng In sewaktu tadi dia luka parah
menghadapi pasukan Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng. Kedua, baik Cu Lay
Seng maupun Pouw Keng In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat Bo
Hosiang pasti akan membasmi mereka pula. Karena itu sebelum si nona celaka
lebih baik mereka lekas-lekas turun tangan menolong. Ketiga Cu Lay Seng
seolah-olah sadar bahwa apa yang terjadi di negerinya selama ini memang membawa
penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia merasa berdosa telah melakukan
pembasmian ganas terhadap rakyat yang selama ini berjuang.
Akan
tetapi, meski dibantu oleh dua orang Komandan pasukan yang gagah berani Itu,
keadaan Bwe Hun tidak lebih baik Malah setelah membantu dua jurus, Cu Lay Seng
dan Pouw Keng In mulai terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak,
memerintah pada anak buahnya untuk mengeroyok. Demikian pula Pouw Keng In. Kini
Kiat Bo Hosiang dikurung oleh lebih dari tujuh orang dengan Bwe Hun, Lay Seng
dan Keng ln sebagai pelopornya. Namun keadaan bukannya lebih menguntungkan Bwe
Hun dan kawan-kawan, malah jalannya pertempuran jadi sembrawutan
Tongkat
baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai minta korban. Jerit sakit dan erang
kematian terdengar setiap tongkatnya berkiblat. Kemudian Cu Lay Seng menenun
ajalnya pula dengan kepala pecah. Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng In.
Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota pasukan yang mengeroyok menjadi
kecut. Kebanyakan diantara mereka segera melarikan diri hingga pada akhirnya Li
Bwe Hun yang hanya mengandalkan tangan kosong, tinggal sendirian menghadapi
suhunya. Dan boleh dikatakan ajalnya di depan mata kini!
Disaat
tongkat baja Kiat Bo Hosiang menderuderu untuk menamatkan riwayat muridnya
sendiri tiba-tiba terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun
yang tahu ajalnya sudah di depan matanya sama sekali tidak perduli dengan suara
itu, lain halnya dengan Kiat Bo Hosiang, Serta merta kakek ini melompat dari
kalangan pertempuran dan berpaling ke arah datangnya suara suling itu
Dan
kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi juga luar biasa. Seorang pemuda
berpakaian gombrang mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah pohon yang tinggi
hingga dia tergantung-gantung dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Sambil ber
gantung dia meniup seruling dan ayun-ayunkan tubuhnya mengikuti irama seruling
itu. Lagu yang dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu Kiat Bo
Hosiang hampir menerima kematian waktu bertempur melawan Pak-san Kwi-ong!
Meskipun kini telah berlalu demikian lama namun Kiai Bo Hosiang tak bisa
pangling. Pasti inilah bocah penggembala yang tempo hari telah menolongnya dan
yang telah dibawanya ke puncak Liongsan untuk diserahkan pada suhengnya.
Ternyata kini dia telah dewasa. Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu
diamdiam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang enak. Ah, pastilah dia telah
pula mewariskan sifat gila suhengku! Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia
berseru :
"Thian
Ong Kau! Ayo lekas turun!’
Pemuda
berpakaian gornbrong yang berayunayun di cabang pohon sambil meniup suling itu
memang adalah Song Thian Ong, bocah penggembala yang 12 tahun yang lalu dibawa
oleh Kiat Bo kepada suhengnya di puncak Liongsan! Selama bertahun-tahun
menerima pelajaran ilmu silat dari seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan
berada diantara pembantu-pembantunya yang berotak miring pula yakni Toa Si
Hosiang dan Lo Sam Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat
luar biasa, ternyata pemuda itu juga mewarisi sifat-sifat keblinger suhu serta
dua pembantu suhunya itu!
"Hai
Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu
membawamu ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!’
Tapi
anehnya Thian Ong bukannya turun malah terus saja mainkan serulingnya.
Seolah-olah dia tidak mendengar suruan susioknya itu. Sementara Itu Li Bwe Hun
yang begitu mendengar bahwa pemuda aneh di atas pohon yang tentunya
berkepandaian tinggi adalah murid keponakan dari Kiat Bo Hosiang, menyadari
betapa makin sulit kedudukannya. Barusan dia hampir menemui kematian menghadapi
Kiat Bo Hosiang seorang diri. Kini ditambah munculnya murid keponakan suhunya,
pastilah tak ada harapan baginya untuk selamatkan diri. Karenanya selagi kakek
itu lengah berseru seru memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi Li
Bwe Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar
seruan:
"Nona
baju hijau kau mau ke mana? Kenapa buruburu? Aku belurn puas melihat kecantikan
wajahmu!’ hampir tak kelihatan Thian Ong jentikkan jari telunjuk tangan kirinya
secara acuh tak acuh. Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay dan
jarang terlihat dalam dunia persilatan di Tiongkok selama 40 tahun belakangan
ini! Dan di bawah sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya Kaku tak
sanggup untuk dibawa lari. Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan
barang sedikit pun. Malah bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo
Hosiang yang menyaksikan ha! itu diamdiam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui
kelihay an suhengnya. Tetapi adalah hampir tak dapat dipercaya kaiau murid
suhengnya sehebat ini; karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok jarak
jauh itu selama 10 tahun dan tak kunjung berhasil mencapai kesempurnaannya.
"Thian
Ong!" Kenapa kau masih belum mau memberi hormat padaku?!"
Sebagai
jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian dari atas pohon :
Menghormati
memang satu kewajiban,
Dari vang
muda kepada yang tua.
Kehormatan
adalah satu yang berharga.
Terkadang
lebih berharga dari nyawa,
Tetapi
menghormat harus melihat orang dan tempat,
Karena
terkadang si penghormat bisa jadi penjilat,
Apakah
wajib menghormat seorang pengkhianat,
Apakah
wajib menghormat seorang sesat,
Apakah
wajib menghormat penindas dan pembunuh rakyat?
Ataukah
penghormatan itu satu hal yang bisa dipaksakan?
Siapakah
orangnya yang bisa membendung arus sungai Yangtse menuju laut?
Siapakah
orangnya yang bisa memindahkah puncak gunung Thaysan?
Sekalipun,
seorang Kaisar yang gila hormat?
Mendengar
nyanyian itu berubahlah paras Kiat Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam nyanyian
yang dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran langsung atas dirinya.
Tetapi dengan berpura-pura tidak tahu, Kiat Bo Hosiang tertawa geiak-gelak lalu
berkata;
"Bagua
sekali nyanyianmu itu, Thian Ong! Rupanya kau betul-betul telah mewarisi
kepandaian suhumu, lahir dan bathin!"
Baru saja
Kiat Bo Hosiang habis berkata demikian, kembali terdengar Song Thian Ong
bernyanyi:
Lahir dan
bathin dua hal yang berbeda,
Karenanya
sering tidak sama dan serupa,
Malah
kerap bertolak belakang,
Yang satu
memalsukan yang lainnya,
lahir
bagus belum tentu batinnya baik,
Bathin
baik belum tentu lahirnya bagus,
Di luar
kebijaksanaan di dalam mungkin culas,
Di luar
culas di dalam mungkin bijaksana.
Menipu
diri sendiri berarti tolol,
Menipu
orang lain berarti jahat,
Menghormat
orang lain adalah wajib,
Minta
keliwat dihormat adalah otak rengat!
Kalau
tadi Kiat 3o Hosiang masih bisa menahan rasa dongkolnya maka kini sesudah
sindiran Thian Ong berterang-terangan begitu rupa, marahlah kakek-kakek ini.
Langsung dia membentak:
"Thian
Ong! Apakah kau begitu berani bicara lancang dan menghina terhadap susiokmu
sendiri?!"
Dan
jawaban Thian Ong lagi lagi berupa nyanyian yang membuat hati Kiat Bo Hosiang
laksana bara panas.
Lancang
adalah perbuatan salah,
Tetapi
masih bisa diperbaiki.
Tak ada
yang terhina kalau semua bersih,
Kekotoran
itulah yang perlu diperbaiki,
Hinanya
si miskin hal yang lumrah.
Tapi
hinanya mereka yang tersesat harus cepat diperbaiki,
Sudah
tiba saatnya bertobat,
Sudah
tiba saatnya mengambil pikiran sehat,
Atau
apakah mau menunggu hari kiamat?
Tiba-tiba
Kiat Bo Hosiang lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah batang pohon di
mana Thian bergelantungan seenaknya Brak! Batang pohon besar itu patah, lalu
tumbang dengan suara gemuruh. Suara gemuruh ini disertai gelak tertawanya Thian
Ong. Tubuhnya sesaat terlihat membuat beberapa kali putaran mengelilingi cabang
pohon, lalu lenyap dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Kiai Bo Hosiang. Di
depan susioknya ini, Thian Ong memandang dengan kening berkernyit dan salah
satu tangan diletakkan di atas alis, seolah-olah dia tengah memperhatikan sesuatu
yang jauh dikesilauan sinar matahari. Ditambah dencan bajunya serta celananya
yang gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul menggelikan. Anggota-anggota
pasukan kerajaan dan pasukan rakyat yang masih ada di situ meskipun tercekat
tegang namun tak dapat menahan suara tertawa masing-masing. Bwe Hun sendiri pun
kalau saja tidak dalam keadaan tertotok pastilah akan tertawa pula cekikikan.
"Ah,
Susiok! Kau rupanya! Kukira siapa!" tibatiba Thian Ong berkata begitu,
seolah-olah baru tahu kalau orang di depannya adalah susioknya! Tentu saja Kiat
Bo Hosiang jengkel setengah mati diperlakukan seperti itu.
"Anak
setan! Kalau kau tidak berlutut minta ampun atas semua kekurang ajaranmu ini,
niscaya aku akan menjatuhkan hukuman berat padamu!"
Air muka
Song Thian Ong mendadak berubah pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang
ketakutan setengah mati mendengar ancaman susioknya itu. Tiba-tiba dia jatuhkan
diri berlutut.
Anehnya
begitu kedua lututnya menyentuh tanah itu jadi melesak dan merupakan lubang
besar. Dan tubuh Thian Ong lantas roboh jatuh. Tapi dia bangun kembali,
melangkah ke bagian tanah yang rata lalu jatuhkan berlutut lagi. Namun begitu
kedua lututnya mencium tanah hal seperti tadi terjadi lagi. Tanah itu melesak
dalam, tubuhnya kembali jatuh. Hal ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan
pada akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan susioknya seraya
berkata:
“Mohon
maafmu, Susiok. Semua tanah di sini tak ada yang rata. Hingga setiap aku
berlutut terus jatuh. Aku tak dapat menghormatimu secara sempurna!"
Paras
Kiat Bo Hosiang berubah mengejam. Dia tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong
itu bukanlah penghormatan melainkan kesengajaan untuk mengejek
mempermainkannya. Dan sekaligus hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya
karena saat itu semua tanah di tempat itu telah penuh dengan lobang-lobang
dalam bekas hantaman lutut Thian Ong! Tadipun Kiat Bo Hosiang merasakan betapa
setiap kedua lutut pemuda itu menyentuh tanah, tanah jadi bergetar keras!
"Thian
Ong keparat! Yang tak tahu membalas budi! Kalau bukan aku yang membawamu pada
Ik Bo Hosiang mana mungkin kau berkepandaian sakti mandraguna dan berilmu silat
tinggi! Dan sekarang ilmu itu yang hendak kau obral di depanku!"
"Ah,
Susiok, budi yang bagaimanakah yang kau bicarakan ini? Apakah orang menanam
budi untuk mengharap suatu pamrih dikemudian hari seperti yang kau lakukan saat
ini dalam kesempatanmu?" Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat itu masih
saja tegak terbungkuk-bungkuk. Susiok sekarang ini zaman edan, banyak
orang-orang sinting macam aku ini, tapi tidak berbahaya. Yang berbahaya ialah
orang-orang pandai tapi yang mempergunakan kepandaiannya untuk berbuat segala
kesesatan yang gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar dari kesesatan
itu, kau pasti akan dicap gila! Ketahuilah, aku diminta oleh suhu untuk
membawamu ke jalan yang benar!"
"Bangsat
rendah! Kau rupanya sudah lupa asal. Anak gembala jembel hina dina hendak
memberi nasihat pelajaran kepadaku! Ingusmupun kau belum mampu
menyekanya!"
"Ah,
kau salah susiok! Apakah kau lihat saat ini aku sedang ingusan? Celaka, matamu
rupanya sudah mulai buram!"
Saat itu
Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi membendung kemarahannya. Dia berteriak
dahsyat dan gerakan tangan kanannya ke pinggang. Dilain kejap berkiblatlah
sinar putih menyilaukan ke arah Thian Ong.
******************
8
TERNYATA
Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid suhengnya itu dengan senjatanya yang
paling dahsyat yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua.
Sebelumnya
12 tahun yang lewat Thian Ong telah menyaksikan kehebatan tongkat tersebut,
bahkan tadi pun Kiat Bo Hosiang telah mempergunakannya melawan musuh-musuh
tangguh serta hendak dipakai membunuh muridnya sendiri. Dan kini senjata yang
sama dipergunakan pula untuk menghadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat pemuda
itu telah terkurung sinar tongkat namun dasar gendeng dia masih saja
tertawa-tawa.
Penasaran
Kiat Bo Hosiang segera robah permainan tongkatnya. Kini senjata itu bergerak
lebih cepat dan suaranya menderu dahsyat. Selama 10 jurus dimuka Thian Ong
masih melayani seranganserangan susioknya dengan tangan kosong dan melancarkan
serangan balasan dengan mengandalkan kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya
yang gombrangi Karena tenaga dalamnya yang luar biasa angin yang keluar dari
ujung-ujung lengan pakaiannya itu sanggup membuat mental tongkat di tangan Kiat
Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong. Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu
mulai kerepotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkatnya yang
terhebat dan bernama "sin eng-thunghoat" atau ilmu tongkat garuda
sakti.
Serangan
tongkat datang bertubi-tubi dan tidak beda seperti burung garuda yang
menyambar-nyambar keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadangkadang menukik
seperti hendak mematuk kepalanya, kadang-kadang pula menusuk tajam ke perut
atau dada dan tak jarang berkelebat menggempur tubuhnya sebelah bawah!
Diam-diam
dalam marah dan penasarannya Kiat Bo Hosiang mengagumi pemuda ganteng itu.
Se-lama ini jarang sekali dia mengeluarkan ilmu tongkatnya dalam jurus-jurus
yang lihay itu, bahkan ketika menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya di
puncak Liongsan 12 tahun silam dia sama. sekali tidak mengeluarkannya. Kini
menghadapi murid dari suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan kepandaiannya
yang paling diandalkan itu! Meskipun Thian Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya
si pemuda masih sanggup melayani sin-eng thonghoat sampai sepuluh jurus.
Padahal tokoh-tokoh silat ternama yang pernah dihadapinya, paling bantar dua
jurus sudah pasti konyol di tangannya!
Mendapati
kenyataan bahwa susioknya kini berhasil mendesaknya dengan ilmu tongkatnya yang
amat lihay, Song Thian Ong anehnya malah perdengarkan suara tertawa
gelak-gelak.
"Bret!"
ujung tongkat menyambar robek dada pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu
lebih ke depan dengan pasti dada pemuda ini akan kena dilabrak hancur!
"Tertawalah
terus pemuda sedeng!" teriak Kiat Bo Hosiang. "Sebentar jagi perutmu
yang akan kurobek!"
"Enak
betul! Kamu musti ganti dulu bajuku yang robek Tua bangka sesat!" balas
berteriak Thian Ong. Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik di udara
tiga kali berturut-turut. Bagi orang yang tidak berpengalaman, saat lawan
berjungkir balik seperti itu amat empuk untuk dijadikan sasaran serangan mematikan.
Tapi Kiat Bo Hosiang yang sudah berilmu amat tinggi dan berpengalaman luas,
serta mengetahui pula sedikit seluk beluk ilmu suhengnya, mengerti betul adalah
bahaya besar jika dia melancarkan serangan saat itu.
Setelah
jungkir balik Thian Ong melayang turun dengan kemudian kedua tangan menuju
tanah lebih dahulu. Sedetik kemudian dia sudah tegak lurus dengan kepala
menempel tanah sedang kedua kaki dikeataskan. Kakinya yang di ke ataskan ini
membuat gerakan aneh dan mendatangkan siuran angin keras. Kadang-kadang turun
naik seperti orang mengayuh. Sesekali menendang-nendang dengan dahsyatnya, lalu
berganti pula berputar-putar. Dan lebih keblingernya lagi, sambil membuat
gerakan aneh dengan kedua kakinya itu, Thian Ong keluarkan serulingnya lalu
mulai meniup lagu-lagu yang tak karuan. Terkadang merdu lembut, terkadang
melengking-lengking menyakitkan telinga.
Melihat
bagaimana tingkah Thian Ong dalam pertempuran itu yang seolah-olah mengejek mem
permainkannya, semakin mendidihlah amarah Kiat Bo Hosiang. Dia teringat pada
masa 12 tahun yang lalu ketika dia membawa Thian Ong ke puncak Liongsan lalu
suhengnya dan dua orang pembantupembantunya membuat Thian Ong seperti bola,
ditendang kian kemari dari satu kaki ke kaki lain sedang main-main mereka tegak
dengan kepala di bawah kaki ke atas!
"Pemuda
keparat! Asalmu jembel tukang angon kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!"
teriak Kiat Bo Hosiang. Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi serta merta saja
dia tersurut kembali. Ternyata gerakan-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh
itu merupakan benteng pertahanan yang kokoh dan sekaligus dapat menjalankan
serangan berbahaya!
Tapi Kiat
Bo Hosiang masih jauh dari rasa gentar. Meski dia tak dapat menyerang lawan
dari sebelah atas namun matanya yang tajam segera melihat bahwa ilmu silat aneh
Thian Ong itu memiliki kelemahan di sebelah bawah. Jika dia melancarkan
serangan yang hebat antara pinggang sampai ke bagian kepala lawan yang saat itu
menempel di tanah pastilah dia akan berhasil merobohkan Thian Ong,
sekurang-kurangnya membuat cidera pemuda itu!
Maka
setelah menunggu kesempatan yang baik, tiba-tiba Kiat Bo Hosiang membuat
gerakan yang bernama "sin-eng-tian-ci" atau garuda sakti pentang
sayap. Kaki kirinya melesat menghantam ke arah selangkangan Thian Ong sedang
dalam detik yang sama tongkat bajanya menunjuk deras ke arah tenggorokan si
pemuda. Memang dua serangan yang dilancarkan oleh Kiat Bo Hosiang sekali ini
betul-betul luar biasa. Dua-duanya sulit dikelit saking cepatnya dan disamping
itu merupakan serangan maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari
serangan itu pasti akan mengenai sasarannya, ter utama tusukan tongkat ke arah
leher.
Tetapi
adalah kecele kalau Kiat Bo berpikir demikian. Didahului oleh lengkingan
seruling yang ditiup gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong sebatas
pinggang ke kaki melejit ke samping. Ini membuat serangan kaki kiri Kiat Bo
hanya mengenai tempat kosong.
Disaat
yang sama suling di tangan Thian Ong tiba-tiba membeset laksana kilat dan bret!
Robeklah pakaian putih kakek-kakek itu di sebelah dada.
Kiat Bo
Hosiang kaget sekali. Dia cepat membuat gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang
setengah melayang itu dari lawan. Namun masih kurang lekas karena saat itu
tubuh Thian Ong sudah melejit lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah
mendepak pantat si kekek! Tak ampun Kiat Bo Hosiang mencelat mental sampai satu
tombak. Untung saja meskipun otaknya agak keblinger Song Thian Ong tidak
bermaksud jahat terhadap paman gurunya itu, kalau tidak pastilah tendangan tadi
akan membuat Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurangnya cacat seumur hidup.
Dilain
pihak sambil tertawa haha hihi, Thian Ong bergerak jungkir balik dan berdiri di
atas kedua kakinya kembali.
"Susiok!
Harap maafkan aku. Kalau saja aku tahu pantatmu itu sudah tak ada lagi dagingnya
alias tulang melulu, pastilah aku tak akan menendang pantatmu itu!"
"Anjing
jadah!" maki Kiat Bo Hosiang menggeledek. "Aku mengadu jiwa
denganmu!" Lalu kakek ini secara menerjang ke depan. Namun gerakannya
terhenti karena saat itu mendadak terdengar suara tawa bergelak :
"Kiat
Bo Hosiangl Ada berapa nyawakah kau punya hingga hendak mengadu jiwa dengan
pemuda itu?! Apa kau tak malu sudah dipermainkan begitu rupa?!"
Kiat Bo
Hosiang mengeram macam harimau menggerang. Di sekitarnya tiba-tiba saja
sisa-sisa pasukan Kaisar dan pasukan rakyat yang tadi asyik menonton
pertempuran hebat luar biasa yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya, pada
lari berserabutan, ketakutan seolah-olah melihat setan kepala sebelas!
Li Bwe
Hun dan Thian Ong jadi terheran-heran sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar
kepala ke arah datangnya seruan dan suara tertawa bergelak tadi. Memandang ke
jurusan itu mendadak wajahnya yang beringas gemas kelihatan gembira dan dia
tertawa lebar. Kakek ini lalu menjura.
"Ah,
kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira siapa? Bagus sekali kau datang dan dapat
membantu aku meringkus pemuda pengacau ini!"
"Cuma
meringkusnya?"
"Eh…
tidak! Membunuh!" sahut Kiat Bo Hosiang pula. "Aku tidak malu-malu
meminta bantuanmu untuk mengirimnya ke akhirat!"
Terdengar
suara tertawa kembali. "Ahoi! Se-orang tokoh ternama yang katanya paling
lihay di seluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk menghadapi seorang pemuda
otak miring! Percuma saja kami orang-orang Mongol memeliharamu, memberikan uang
dan harta berlimpah, gedung mewah serta perempuan cantik. Nyatanya kau sama
sekali tidak berguna bagi kami!"
Merahlah
paras Kiat Bo Hosiang mendengar kata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia
mati kutu!
******************
9
SAAT itu
di hadapannya Kiat Bo Hosiang berdiri seorang kakek kakek berambut pirang dan
bermuka merah macam kepiting rebus. Tubuhnya kurus tinggi dan dia mengenakan
jubah biru gelap. Dialah tokoh kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan nama
Pengho. Dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang ilmunya memang jauh lebih tinggi.
Di
samping Pengho tegak pula seorang berpakaian rombeng dekil, kurus kering dan
bungkuk. Dia memegang sebuah tongkat di tangan kiri untuk menopang tubuhnya
yang bungkuk tak seimbang itu. Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho,
bernama Wanglie dan bergelar Pengemis Sakti Tangan Kidal, dan merupakan salah
seorang tokohtokoh ternama berasal dari Tibet.
Orang
ketiga yang datang bersama dua tokoh terdahulu itu ialah seorang pendek bermata
juling yang mukanya tembam selalu berkeringat. Yang hebat dari menusia ini
ialah sepasang lengannya yang panjang sekali, hampir menyentuh ke tanah. Dia
juga seorang tokoh lihay dari Mongol, yang kepandaiannya masih satu tingkat di
atas Kiat Bo Hosiang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal dengan gelar
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa!
Dengan
hadirnya gembong-gembong besar pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa
pasukan Pemerintah dan rakyat kontan ambil langkah seribu begitu melihat dan
mengenali mereka!
Li Bwe
Hun yang saat itu masih tertegak mematung dan tak bisa bersuara karena masih
tertotok, yang juga mengenali siapa adanya ketiga manusia itu, diam-diam
terkejut dan mengeluh. Dia sudah dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda
berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah jika menghadapi Pengho, apalagi
jika dikeroyok bersama-sama!
Sambil
rangkapkan tangan di muka dada, Pengho berpaling pada Thian Ong dan
gelenggeleng kepala.
Hanya
seorang pemuda gendeng begini kau tak sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan,
Kiat Bo!"
"Dia
memang sedeng, Pengho Loenghiong," sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka
merah. "Tapi kunasihatkan jangan terlalu dianggap remeh. Dia adalah murid
suhengku Ik Bo Hosiang dari Liongsan!"
"Cuma
muridnya saja? Itu toh lebih memalukan, Kiat Bo! Bagaimana lagi kalau suhunya
yang jadi pengacau. Tentu kau sudah modar!" ejek Pengho pula. Memang pada
masa itu bukan rahasia lagi kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi
bangsa Han yang dipelihara oleh Kaisar Mongol secara mewah berlebih-lebihan
untuk mengharapkan imbal kepandaiannya dalam mencengkeram Tiongkok. Seolah-olah
pada kalangan orang-orang Mongol sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay.
Dalam pada Itu perlakuan Kaisar Mongol terhadap orang-orang Han (Tiongkok)
kelihatan menyolok berlebih-lebihan.
Ejekan
Pengho tadi membuat dada Kiat Bo Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak
bisa berbuat lain dari pada berdiam diri.
Pengho
berpaling pada Sepasang Tangan Perenggut Jiwa. Diantara mereka bertiga memang
yang satu ini paling rendah ilmunya tapi dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang
masih lebih tinggi satu tingkat.
"Sobatku
Perenggut Jiwa, apakah kau bersedia mengotorkan tanganmu membunuh monyet baju
gombrang yang katanya adalah murid dari Ik Bo Hosiang?!"
Si muka
tembam Sepasang Tangan Parenggut Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan
ujung lidah. Dia melirik dengan matanya yang juling ke arah Li Bwe Hun,
kemudian berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Kiat
Bo-Lo Jianpwe, apakah aku ingin aku membunuh murid suhengmu ini?" bertanya
si Perenggut Jiwa.
"Betul,
lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.
Si
Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke arah Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi:
"Nona cantik ini kalau aku tak salah adalah muridmu, bukan?"
Kiat Bo
Hosiang mengangguk.
"Ada
satu syarat, Lotjianpwe. Jika aku ingin aku turun tangan, upahnya kau harus
hadiahkan nona muridmu itu padaku!" Sepasang Tangan Perenggut Jiwa memang
seorang tokoh silat Mongol yang terkenal hidung belang. Habis berkata demikian
dia melirik pada Bwe Hun, leletkan lidah lalu tertawa mengekeh.
Tiba-tiba
suara tawanya itu ditimpali lebih hebat oleh suara seorang lainnya ternyata
adalah Song Thian Ong! Dan mendengar suara pemuda itu, Pengho kernyitkan
kening, Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa
tertegun! Mereka sama terkesiap mendapatkan bagaimana suara tertawa Thian Ong
itu mereka rasakan membuat tanah bergetar.
Masing-masing
saling pandang sesaat, kemudian Pengho berbisik: "Hanya pemuda edan macam
dia apa pula artinya tak perlu ditakutkan!"
Sepasang
Tangan Perenggut Jiwa menggaruk lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Bagaimana
Lotjianpwe?"
Kiat Bo
Hosiang memang sudah miring jalan pikirannya, ditambah pula saat itu dia
disungkup amarah serta malu luar biasa. Karenanya menceplos saja jawabannya:
"Terserah
padamu kau mau buat apa atas diri gadis laknat itu! Tadipun aku hendak
membunuhnya!"
Mendengar
jawaban ini si Perenggut Jiwa ternyata puas.
"Ah
rejekimu besar nian hari ini, Sobat," berkata Pengho seraya menepuk bahu
hambratnya itu.
Si Perenggut
Jiwa basahi bibirnya dengan ujung lidah. Sambil mengedipkan matanya yang juling
pada Li Bwe Hun dia berkata : "Nonaku, kau tunggulah sebentar. Saksikanlah
bagaimana aku menghajar pemuda gila itu. Kemudian kita berdua tinggalkan tempat
ini, pergi bersenang-senang di atas ranjang."
Li Bwe
Hun benar-benar tak menyangka kalau hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah
dayanya? Harapannya satu-satunya kini terletak pada Song Thian Ong. Dapatkah
pemuda berotak miring ini mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat lantas
apakah dia mampu pula melawan Pengemis Sakti Tangan Kidal serta Pengho?
Bagaimana kalau orang-orang itu kemudian mengeroyoknya? Betapapun lihaynya
pemuda murid Ik Bo Hosiang itu namun adalah mustahil dia akan sanggup
menghadapi musuh-musuh tangguh demikian rupa. Dan ini berarti celakalah dirinya
sendiri!
"Ah,
mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun
dalam hati dan air mata mulai menggenangi pelupuk-pelupuk matanya.
Dalam
pada itu dengan mengumbar suara tertawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah
mendekati Thian Ong. Sebaliknya Thian Ong tampak acuh tak acuh, malah
membelakangi musuh yang datang mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo
Hosiang dan dengan jari telunjuk tangan kirinya diacungkannya tepat ke hidung
orang tua ini.
"Tua
bangka sedengl Kau betul lebih sinting dari manusia edan manapun di dunia ini.
Hatimu bejat dan keji. Bukannya memberi hajaran malah menyerahkan bulat-bulat
tubuh dan kehormatan murid sendiri pada si pendek juling ini!"
Paras
Kiat Bo Hosiang jadi merah saga. Dia membentak: "Tutup mulutmu Bwe Hun
bukan muridku lagi! Kau hadapi saja musuh si Pendekar Perenggut Jiwa untuk
menerima mampusmu!"
"Kaulah
yang lebih dulu layak mampus!" teriak Thian Ong, lalu menggebrak tanah
dengan kaki kirinya hingga tanah itu tenggelam sampai satu jengkal. Tubuhnya
berkelebat ke depan melancarkan hantaman satu pukulan tangan kosong yang hebat
namun saat itu belakangnya terdengar deru yang deras. Ternyata Sepasang Tangan
Perenggut Jiwa telah ulurkan kedua tangannya dan dalam gerakan kilat siap untuk
menangkap batang leher Thian Ong yang telah lengah membelakangi. Sekali leher
itu kena tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang yang agak berotak miring itu
pastilah tak akan tertolong!
Memang
sesuai dengan gelarnya yaitu Sepasang Tangan Perenggut Jiwa maka tokoh silat
Mongol bermata juling itu memang memiliki sepasang tangan yang luar biasa
hebatnya. Selain cepat dalam gerakan juga memiliki kekuatan atos dan ampuh.
Baik Kiat
Bo Hosiang maupun Wanglie (Pengemis Sakti Tangan Kidal) serta Pengho sudah
dapat memastikan bahwa dengan sekali gerakan kilat saja dan saat lawan dalam
keadaan lengah, si Perenggut Jiwa betul-betul akan dapat merenggut lepas nyawa
Thian Ong.
Pada saat
itu, ketika merasakan sambaran angin di belakangnya, Song Thian Ong maklum
kalau dirinya tengah diserang orang secara pengecut. Dia menggerendeng dan
rundukkan tubuh sedikit sambil memutar dan serentak dengan itu tangan kirinya
yang tadi dipergunakan untuk menuding hidung Kiat Bo Hosiang kini dipakainya
sebagai kemplangan menebas ke arah datangnya serangan!
Buk!
Terdengar
suara bergedebukan yang keras ketika lengan kiri Thian Ong beradu dengan lengan
kanan si Perenggut Jiwa.
Tokoh
lihay dari Mongol ini merasakan tubuhnya terbanting ke kiri sampai empat
langkah tapi lengannya sama sekali tidak cedera bahkan terasa sakit pun tidak!
Inilah kehebatan ilmu kebal sepasang tangan yang dimilikinya. Padahal jangankan
manusia, batang pohon pun kalau sampai kena digebuk lengan Thian Ong yang
berisi kekuatan tanaga-dalam luar biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!
Kini
Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal, lebih-lebih si Perenggut Jiwa sendiri
baru terbuka matanya. Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak cidera namun
tubuhnya yang terlempar sampai sejauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa
Thian Ong meskipun gendeng tapi betul-betul tak bisa dibuat main. Padahal
sesungguhnya murid Ik Bo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya membuat gerakan
acuh tak acuh dan tidak pula disertai kekuatan tenaga dalam yang berarti)
Walau dia
tidak apa-apa, namun Perenggut Jiwa merasa malu sekali karena lawan gila yang
dianggapnya remeh dan gila itu ternyata tak dapat dibereskannya dalam satu
gebrakan saja.
Didahului
dengan bentakan galak dia sengaja keluarkan jurus silatnya yang terlihay untuk
menebus rasa malunya yakni jurus yang bernama siang-lui-guisan’ atau sepasang
petir membelah gunung!
Kehebatan
jurus ini memang luar biasa. Sepasang tangan si Perenggut Jiwa kini hanya
merupakan bayangan sinar putih dan mengeluarkan suara keras setiap serangan
dilancarkan. Tampaknya Thian Ong kerepotan dibuatnya meskipun dia sudah
lancarkan serangan balasan dengan kebutan ujung lengan pakaiannya yang
gombrong. Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-tiba Thian Ong membentak
nyaring dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas, turun lagi dengan kaki ke atas
kepala ke bawah.
Pemuda
ini agaknya merobah permainan silatnya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah
dipergunakannya dalam menghadapi Kiat Bo. Namun setiap tendangan yang
dilancarkannya selalu dapat dikelit atau ditangkis oleh tangan si Perenggut
Jiwa.
Thian Ong
jadi penasaran. Dia jungkir balik kembali dan kini mainkan jurus silat baru.
Memang, si Siperenggut Jiwa jadi terdesak hebat namun sekalipun tubuhnya
terbanting atau tercelat mental selama dia masih sanggup mempergunakan sepasang
tangannya yang benar-benar ampuh untuk menangkis maka dia sama sekali tak
mengalami cidera. Lama-lama Thian Ong jadi beringas.
Murid Ik
Bo Hosiang ini mencak-mencak macam orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya
digerakkan, menghamburlah pukulan-pukulan ganas yang dialiri tenaga dalam
tinggi. Berkali-kali si Perenggut Jiwa jatuh bangun dihantam pukulan tangan
kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu mempergunakan kedua lengannya untuk
menangkap maka setiap jatuh dia cepat bangun kembali dan balas menyerang!
20 jurus
berlalu. Si Perenggut Jiwa kelihatan mandi keringat, pakaian kusut masai dan
muka celemongan karena berulang kali jatuh atau terguling-guling di tanah.
Sebaliknya Thian Ong masih biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya
keluar dari mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagaimana dapat merobohkan
lawan yang memiliki sepasang tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba
terdengarlah siulan nyaring menusuk telinga yang disusul dengan suara orang
menyanyi.
20 jurus
berlalu percuma
Hanya
karena serangan membabi buta
Dua
tangan memang laksana benteng baja
Untuk apa
diserang menghabiskan tenaga?
Semua
orang yang ada di situ terkejut, termasuk Thian Ong. Pemuda ini melompat mundur
dan mendongak ke atas pohon, dari arah mana suara orang menyanyi itu datang.
Pada cabang sebuah pohon tampak duduk seorang pemuda asing tak dikenal,
rambutnya gondrong dan mulutnya penuh berisi buah apel yang digerogotinya.
Melihat
pemuda di atas pohon, Thian Ong tibatiba tertawa bergelak.
"Gondrong!
Tampangmu tolol dan lagakmu juga edan seperti aku! Jika kau merasa berkawan
dengan aku, silahkan turun beri petunjuk!"
Tapi
orang di atas pohon tidak mau turun, malah kembali bersiul-siul lalu menyanyi
lagi:
Segala
sesuatunya tidak sempurna
Otakmu
tidak seluruhnya gila
Pergunakan
bagian yang tidak gila
Untuk
menduga dan menerka
Bahwa
tidak seluruhnya sekeras baja
Diantara
yang keras ada yang lemah
Pada
kelemahan terdapat kelembutan
Dan
kelembutan pangkal celaka.
Orang di
atas pohon kunyah terus buah apel dalam mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian
Ong ikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia memandang lagi pada si gondrong di
atas pohon, lalu tertawa.
"Aku
mengerti… aku mengerti sekarang cihuy terima kasih! Kau memang kawanku, memang
sobat ku! Cihuyl" Thian Ong kelihatan girang sekali dan sampai-sampai dia
membuat gebrakan jungkir balik di udara beberapa kali. Begitu kakinya menginjak
tanah kembali, langsung dia menuding si pendek Perenggut Jiwa dan berkata
keras.
"Mata
juling, ayo kita bertempur lagi." Lalu dia berpaling pada Pengho, Pengemis
Sakti Tangan Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-manusia penjajah,
sekarang kalian lihat bagaimana aku akan merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!’
Thian Ong
tertawa lagi gelak-geiak. Selagi dia tertawa begini si Perenggut Jiwa
menyerbunya dengan hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama lima jurus. Di
jurus keenam, Thian Ong melakukan pembalasan. Dia lancarkan serangan ganas
dengan tangan kiri ke arah batok kepala Thian Ong demikian rupa hingga tak bisa
dikelit dan mau tak mau si Perenggut Jiwa harus pergunakan lengannya untuk
menangkis. "Buk!"
Lagi-lagi
sepasang lengan mereka beradu. Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan
jotosan selusupan ke arah perut lawan. Dan perut si Perenggut Jiwa tidaklah
mempunyai ilmu kebal seperti yang dimiliki kedua lengannya. Manusia ini
menjerit setinggi langit ketika tubuhnya terlempar empat meter, menggeletak tak
berkutik lagi, mati dengan perut bobol!
"Terima
kasih! Terima kasih! Terima kasih sahabatku?" teriak Thian Ong berulang
kali sambil jingkrak-jingkrakan lalu melesat ke cabang pohon di mana pemuda
gondrong yang makan buah apel itu nongkrong.
"Eh,
apakah kau doyan apel, Sahabatku!" berkata si gondrong.
"Thian
Ong manggut-manggut, lantas saja di keruk saku pakaian si gondrong dan sambar
dua buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian asyik mengunyah buah-buah
apel itu seolah-oleh tidak perduli di mana mereka berada, seolah-oleh tidak ada
terjadi apa-apa di situ!"
"Manusia-manusia
sinting! Gila!" maki Pengho dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
"Kalau
tidak karena diberi tahu oleh si gondrong itu kambrat kita si Perenggut Jiwa
tak bakal mati di tangannya ‘Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal siapa bangsat
gila yang berambut gondrong itu?"
"Tak
pernah kuketahui siapa dia adanya. Mung-kin sute atau suheng dari keparat
bernama Thian Ong itu?"
Kiat Bo
Hosiang gelengkan kepala. Ik Bo Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari
pada Thian Ong bocah penggembala hina dina itu. Pemuda yang gondrong ini jelas
bukan orang Han!"
Sementara
itu di atas pohon saking girangnya Thian Ong begitu tenggak habis dua buah apel
lantas keluarkan serulingnya dan tiup benda itu keras membawakan lagu gembira.
"Ah
Sobat! Kau ternyata pandai sekali main suling. Boleh aku ikut menimpali?!"
bertanya si gondrong.
"Tentu,
tentu saja!" sahut Thian Ong gembira sambil ongkang-ongkang kaki.
"Silahkan! Silahkan!"
Si
gondrong merogoh pinggang pakaiannya sesaat kemudian terlihatlah sinar
menyilaukan. Ternyata pemuda ini keluarkan sebuah senjata berbentuk kapak
bermata dua yang pada mata-matanya yang menyilaukan itu tertera angka 212.
Kapak aneh ini gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran kepala naga pada
sebelah bawahnya, sedangkan pada batang gagang terdapat lobang-lobang. Dan
ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke bibir naganagaan lantas meniup, maka
membersitlah suara lengkingan seperti tiupan seruling, dahsyat luar biasa.
Kiat Bo
Hosiang, Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing
bergetar sakit. Buru-buru mereka tutup indera pendengaran. Tapi dada
masing-masing masih saja terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum pernah
mereka menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan suling yang demikian luar biasa hingga.
Menggetarkan tanah yang mereka pijak dan mempengaruhi mereka. Pengho, sebagai
orang yang paling tinggi ilmunya tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawannya
masih merupakan jago silat kelas rendah pastilah telinga masing-masing telah
rusak berdarah mendengar tiupan suling yang luar biasa karena disertai aliran
tenaga dalam dahsyat itu!
"Merdu
sekali! Merdu sekali!" teriak Thian Ong. Lalu tiup sulingnya lebih keras.
Pengho
tokoh silat kelas wahid dari Mongol tak dapat lagi menahan kejengkelannya. Amarahnya
meluap karena dia merasa seolah dipermainkan . Di samping itu Thian Ong harus
mati untuk menebus nyawa si Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!
"Thian
Ong pemuda keparat! Turunlah untuk menerima kematian!" teriak Pengho
menggelegar diantara hiruk-pikuknya tiupan-tiupan suling.
Tapi
Thian Ong dan juga si gondrong tidak ambil perduli malah kini ongkang-ongkang
kaki dan terus meniup suling masing-masing dalam lagu tanpa nada tak karuan!
Mendidihlah
amarah Pengho tokoh dari Mongol ini angkat tangan kanannya dan menghantam ke
atas pohon!
******************
10
SATU
gelombang sinar hitam menggebu ke arah cabang pohon di mana Thian Ong dan
pemuda gondrong yang bukan lain adalah Wiro Sableng si Pendekar 212 tengah
duduk ongkang-ongkang kaki enak-enakan sambil tiup suling.
Terdengar
suara keras hancurnya cabang pohon serta rontoknya dedaunan yang kemudian
disusul oleh tumbangnya pohon besar itu.
Tapi
suara tiupan dua suling sama sekali tidak berhenti dan baik Wiro maupun Thian
Ong tidaklah menemui celaka dihantam pukulan sakti tadi karena sebagai
orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja mereka tahu bahaya dan siang-siang
sudah berkelebat turun ke tanah. Begitu sampai di tanah enak saja mereka duduk
menjelepok dan terus memainkan suling!
Kiat Bo
Hosiang melengak, Pengemis Sakti Tangan Kidal naik turun tenggorokannya sedang
Pengho Lio Bwe Hun yang saat itu masih berada dalam keadaan tertotok meskipun
hatinya cemas setengah mati namun melihat tingkah dua pemuda yang agaknya
sama-sama keblinger itu dalam hati jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh
silat begitu lihay keduanya masih saja gila-gilaan, padahal maut sudah di depan
mata!
"Thian
Ong manusia keparat. Lekas ke sini untuk menerima kematian!" teriak
Pengho.
"Ah,
di sini banyak pengganggu. Bagaimana kalau kita main suling di tempat lain
saja?" ujar Thian Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan sulingnya
ke balik pinggang pakaiannya yang gom brong. Wiro pun hentikan permainannya,
masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
"Mari!"
kata Wiro pula seraya berdiri mengikuti Thian Ong.
"Bangsa!,
kau mau pergi ke mana?’" teriak Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti
Tangan kidal dan memerintah : "Bunuh dia!"
Pengemis
Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit lalu tertawa melengking? Terima kasih
Pengho – twako, memang aku sudah lama tak membunuh orang. Hari ini tanganku
yang sudah gatai akan dapat bagian!"
Sambil
melintangkan tongkat kayu yang dipegangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti
Tangan Kidal maju mendekati Thian Ong.
"Thian
Ong, kaum ditakdirkan mampus di tanganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Eh,
Sobat," ujar Thian Ong sambil menepuk bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek
bungkuk itu seperti malaikat maut saja. Apakah begini tampangnya malaikat
maut!"
Wiro
garuk-garuk kepala.
"Entahlah,
aku pun belum pernah melihat. Tapi aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan
dari tua bangka keriputan ini’ sahut Wiro pula sambil cengar-cengir.
Kedua
anak geblek itu lantas tertawa terpingkalpingkal.
Wut!
Entah
kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat di tangan kiri Pengemis Sakti Tangan Kidal
sudah membabat ganas ke batok kepala Thian Ong. Meskipun tadi kelihatannya acuh
tak acuh namun begitu diserang murid Kiat Bo Hosiang ini ternyata waspada
sekali. Secepat kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan lebih dulu mencapai
tanah. Sesaat kemudian kedua kakinya telah melancarkan serangan balasan. Satu
mendepak ke arah perut sedang lainnya menendang ke tenggorokan lawan. Namun
tingkat kepandaian si kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si Perenggut Jiwa.
Ilmu tongkatnya lebih lihay dari Kiat Bo Hosiang. Dua serangan itu
dikelitkannya dengan mudah, bahkan kini tongkat di tangan kirinya menyapu-nyapu
dahsyat sekali.
Song
Thian Ong dalam tingkahnya yang gilagilaan itu beberapa kali hampir kena
dihantam senjata lawan. Dan masih saja dia bertingkah aneh yang bukan-bukan
sambil tak lupa mengejek dan mencaci maki lawannya sehingga Wanglie alias
Pengemis Sakti Tangan Kidal penasaran setengah mati.
Dengan
matanya yang tajam dan pengalaman luas, Pengho si tokoh utama di Mongol segera
melihat bahwa sesungguhnya Thian Ong memiliki dasar ilmu silat yang iebih hebat
dari Pengemis Sakti Tangan Kidal. Buktinya sampai 20 jurus di muka pemuda ini
masih melayani tokoh lihay yang berasal dari Tibet itu dengan tangan kosong!
Cuma karena tingkahnya yang aneh dan gila-gilaan itulah yang membuat dia
seolan-olah tak mau menurunkan tangan jahat dan hanya ingin mempermainkan
musuh.
"Kiat
Bo Hosiang! Kau bantulah Pengemis Sakti!’ berseru Pengho setelah 20 jurus lagi
berlalu tanpa kambratnya itu bisa melakukan sesuatu terhadap Thian Ong.
Kiat Bo
Hosiang cabut tongkat bajanya dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
"Curang!"
teriak Wiro marah.
"Orang
asingi Tutup mulutmu!’ sentak Pengho. "Kau tak ada hak mencampuri urusan
orang lain! Lekas angkat kaki dari sini kaiau tidak ingin kugebuk!"
"Eit
enak betui memerintah orang. Kau kira aku ini kacungmukah?! Makan ini!"
teriak Wiro sambil keluarkan sisa satu buah apel dari dalam sakunya. buah ini
dilemparkannya dengan sebat. Pengho bergerak cepat tapi dia kecele karena Wiro
sama sekali tidak menyerangnya, melainkan melemparkan buah apel itu ke arah Li
Bwe Hun yang masih tegak tak berdaya karena ditotok.
"Buk!"
Buah apel
itu mencerai tepat di tengkuk Li Bwe Hun. Totokan yang sejak tadi menguasai si
gadis serta merta buyar karena memang disitulah sebelumnya Thian Ong teiah
menotok Bwe Hun yakni sewaktu gadis ini hendak melarikan diri dari Kiat Bo
Hosiang yang hendak membunuhnya.
"Nona,
tadi kau telah diselamatkan oleh pemuda itu. Sekarang bantulah dia!" seru
Wiro.
Li Bwe
Hun katupkan bibirnya rapat-rapat. Kemudian seolah-olah patuh, dia memungut
sebilah golok milik bekas seorang prajurit Kerajaan dan tanpa banyak bicara
terus ke kalangan pertempuran!
Sebenarnya
Wiro merasa yakin kalau Thian Ong tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok
dua orang oleh Pengemis Sakti Tangan Kidal dan susioknya sendiri. Namun
Pendekar 212 ini yang sudah gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam
mendapat akal Maka dilepaskannya totokan Bwe Hun lalu disuruhnya gadis ini
membantu Thian Ong. Mendapat bantuan ini dengan sendirinya Thian Ong semakin
sulit untuk dirobohkan malah kebalikannya dua lawannyalah kini yang berada
dalam kedudukan sulit!
Dan hal
ini diketahui oleh Pengho si tokoh lihay dari Mongol. Sebenarnya dia tidak
perlu mengkhawatirkan keselamatan Kiat Bo Hosiang. bahkan dia ingin sekali
kakek-kakek bangsa Han yang sejak lama dibencinya itu mampus saat itu juga.
Namun dia sama sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet yakni Pengemis
Sakti Tangan Kidal sampai celaka. Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho
segera menyerbu pula ke dalam kancah pertempuran. Justru inilah yang
dikehendaki Wiro!
"Tua
bangka bermuka kepiting rebus!" teriak Wiro memaki Pengho yang memang
memiliki tam-pang merah seperti kepiting rebus. "Aku lawanmu, jangan main
keroyok!
Mendengar
makian itu dan melihat Wiro berkelebat ke arahnya serta merta Pengho lepaskan
pukulan saktinya yang tadi telah dikeluarkannya waktu menyerang Wiro dan Thian
Ong di atas pohon.
Sinar
hitam menderu ganas ke arah Pendekar
212. Wiro
kaget juga karena tak menyangka begitu mulai berkelahi lawan sudah lancarkan
serangan pukulan sakti itu. Memang Pengho tak mau kepalang tanggung menghadapi
lawan yang sudah diduganya tidak berkepandaian rendah itu. Apalagi karena
petunjuk Wirolah sampai Thian Ong berhasil membunuh si Perenggut Jiwa. Dengan
sendirinya den-dam serta kebencian bertumpuk jadi kemarahan yang bukan alang
kepalang.
Wiro
keluarkan siulan melengking lalu lepaskan pukulan sinar matahari ke depan.
Sedangkan sinar putih panas dan menyilaukan bergemuruh memapas sinar hitam
serangan Pengho.
Bumi
terasa bergetar ketika dua pukulan sakti itu bentrokan di udara dengan
mengeluarkan suara yang hebat! Tubuh Pengho terhuyung sampai lima langkah ke
belakang sedang tangan kanannya sampai sebatas pangkal bahu terasa sakit
berdenyut denyut. Diiain pihak sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng melesak
sampai setengah jengkal dan tubuhnya bergetar.
Paras
Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini
dia mengalami bentrokan pukulan sakti yang hebat. Jelas sudah bahwa pemuda
rambut gondrong itu memiliki kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada di
sebelah bawah sobatnva si orang Han yaitu Song Thian Ong.
"Celaka!
Naga-naganya aku bakal mendapat kesulitan!" membathin Pengho dengan hati
tidak enak. Dan dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagaimana kambratnya
Pengemis Sakti lengan Kidal yang membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan
terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang mempergunakan serulingnya
sebagai senjata dan mainkan jurus-jurus silat aneh berhasil memukul mental
tongkat kayu Pengemis Sakti!
"Tahan,
seru Pengho tiba-tiba seraya melompat menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis
Sakti, kurasa cukup sudah kita main-main dengan orang-orang ini. Kita masih ada
urusan lain yang lebih penting harus diselesaikan. Iain hari saja kita layani
mereka kembali. Mari!"
Pengemis
Sakti Tangar» Kidal yang maklum apa arti kata-kata Pengho itu dsn menyadari
pula keadaan mereka yang sulit bahkan bakal celaka jika bicara lagi segera
meninggalkan tempat itu menyusu! Pengho yang telah berkelahi pergi lebih dulu
tanpa memperdulikan Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo
Hosiang yang ditinggal sendirian, sesaat jadi tertegun. Hendak menyusul kabur
keadaannya terjepit antara Thian Ong dan Bwe Hun. Dan saat itu sambil
menyeringai Thian Ong datang mendekati.
Kasihan
kau tak mempunyai kesempatan kabur, susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan
lagi karena suhu telah berpesan bahwa jika seseorang sesat tak mau insaf dan
tobat adalah layak untuk dibunuh’"
Sebagai
penutup kata-katanya Thian Ong lantas kirimkan tusukan dengan serulingnya ke
arah dada Kiat Bo Hosiang. Orang tua ini agak gugup. Meskipun dia sempat
berkelit tapi tak urung bahunya masih kena keserempet hingga dagingnya
terkelupas. Dengan menggembor marah Kiat Bo Hosiang mengirimkan serangan
balasan. Tongkat bajanya bersuit suit mengeluarkan sinar putih.
Tapi
bagaimana pun juga tingkat kepandaian Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi
murid keponakannya itu. Kalau dalam pertempuran sebelumnya Thian Ong banyak
mengejek dan main-main, maka kini jurus silat yang dikeluarkannya betul-betu!
aneh dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian berlangsung empat jurus
tiba-tiba pendekar aneh berbaju gombiong dari Gunung Naga ini berteriak:
"Awas tongkat!"
Baru saja
kata-katanya itu berakhir, tahu-tahu tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang
sudah terlepas kena dirampas.
"Lihat
suling/’ terdengar lagi seruan Thian Ong. Dan detik Itu pula suling di
tangannya telah menyambar ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit lagi.
Kiat Bo Hcsfanu hanya bisa mendelik kaget melihat datangnya maut.
Sedetik
lagi suling itu akan menusuk amblas leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar
teriakan Bwe Hun :
"Tahan!
Jangan bunuh dia!"
Thian Ong
tersentak heran. Masih untung dia sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga
benda ini hanya menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo Hosiang.
"Eh,
apa-apaan kau Nona Li?!" bertanya Thian Ong. Sedang Wiro juga heran sambil
garuk-garuk kepala.
Yang
paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang. Seharusnya dia sudah menemui ajal saat
itu.
"Nona,
tadi kau hendak dibunuhnya dan malah mencoba pula untuk menamatkan riwayatnya.
Sekarang kenapa kau mencegah aku membuat dia konyol?!" bertanya kembali
Thian Ong. "Ingat, manusia sesat pengkhianat semacam ini amat berbahaya.
Ular berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"
"Betapa
pun sesat dan jahatnya, dia tetap adalah suhuku," jawab Bwe Hun dengan
suara bergetar.
Kiat Bo
Hosiang terkesiap. Dadanya berdebar dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya
kehendak Bwe Hun bekas muridnya itu? Hendak membalasnya atau hendak turun
tangan sendiri membunuhnya?
"Suhu!"
tiba-tiba Bwe Hun melangkah ke depan gurunya. "Kurasa kau masih bisa
diperbaiki. Kurasa kau masih bisa keluar dari segala macam comberan busuk yang
kau renangi selama ini. Jika kau sadar dan berjanji untuk kembali ke jalan yang
benar, kurasa murid suhengmu ini pasti akan mengampunimu. Bagaimana…."
Semakin
pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-tiba saja sepasang matanya berkaca-kaca.
"Tak mung-kin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam
kesesatan. Aku pengkhianat paling terkutuk. Kau bunuhlah aku sekarang. Aku.tak
akan melawan. Thian Ongl Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek lalu
jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya, menangis tersedu-sedu.
"Suhu,
tak ada dosa yang tak berampun. Kalaupun kau merasa telah berbuat dosa dan
kesalahan besar kurasa masih ada jalan untuk menebusnya. Yaitu bersama-sama
kami memusnahkan kaum penjajah Mongol yang selama ini mendatangkan
malapetaka."
"Itu
betul!" seru Thian Ong yang tiba-tiba saja kasihan melihat susioknya itu.
"Tapi
syaratnya satu," menyelinap Wiro. "Asal jangan dia menipu kita. Kalau
tidak bisa berabe seumur-umur!"
"Kalau…
kalau kalian memang bersedia memberikan pengampunan dan ingin berjuang bersama,
aku rasa memang inilah kesempatan bagiku untuk menebus dosa…."
"Berdirilah
suhu, mari kita atur rencana," kata Bwe Hun pula seraya memegang bahu Kiat
Bo Hosiang dan memungut senjata kakek ini.
Menurut
Kiat Bo Hosiang yang paling tahu seluk beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah
sulit untuk menumpas habis pasukan-pasukan Mongol yang kuat dan banyak
disekitar perbatasan. Sebenarnya bala tentara Mongol bukanlah apa-apa jika saja
mereka bisa memusnahkan pusat dan orang-orang yang mengatur semua kekuatan itu,
yang sekaligus menjadi pengatur dari segala kegiatan penjajahan. Pusat kekuatan
dan pengaturan ini terletak di kota Ansi, tak berapa jauh dari perbatasan. Di
sini terdapat sebuah gedung besar yang merupakan markas dari pada tokoh-tokoh
Mongol, terdiri dari "arsitek" dan "pelaksana" pejajahan.
Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho
sebagai kepala dan wakil Raja Mongol, lalu seorang jenderal bernama Karfi Khan,
kemudian Penghu, sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti Tangan Kidal
dan kira-kira selusin perwira-perwira tinggi yang lihay.
"Terus
terang saja, sebelumnya aku pun menjadi salah seorang diantara mereka di sana.
Namun syukur kalian telah membuka kedua mataku. Jika kita sanggup
mengobrak-abrik markas mereka itu dan membunuh semua tokoh yang ada di situ
kukira hancurlah induk kekuatan kaum penjajah Mongol. Balatentara Mongol yang
banyak tak ada artinya. Tak lebih dari serombongan anak ayam yang kehilangan
induk. Dalam pada itu aku tahu betul bahwa prajuritprajurit Mongol telah muak
dengan peperangan apalagi kekejaman-kekejaman yang lewat batas kemanusiaan yang
selama ini diperlihatkan oleh pimpinan mereka. Cuma satu hal yang diperhatikan,
markas tokoh-tokoh Mongol banyak alat rahasianya!"
Sesaat
semua orang terdiam setelah mendengar keterangan Kiat Bo Hosjang itu.
"Bagaimana…?"
Bwe Hun bertanya.
"Kita
menyerbu ke sana!" Thian Ong menyahut.
"Betul,
kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.
‘Bagus!
Sebaiknya kita berangkat sekarang juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan
disetujui oleh semua orang. Maka keempat menusia berkepandaian tinggi itu pun
berkelebat meninggalkan tempat itu. Kalau tadi di tempat itu suasananya
hiruk-pikuk maka kini jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di sana sini
bertebaran puluhan mayat.
******************
11
SETELAH
melakukan perjalanan yang cukup sulit hampir selama dua minggu akhirnya mereka
sampai juga diluar kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan Tiongkok pertama
yang direbut oleh bangsa Mongol sewaktu pecah perang. Karena terletak di daerah
yang kini dikuasai bangsa Mongol maka suasananya tenang dan aman, tak banyak
prajurit-prajurit yang kelihatan berkeliaran. Namun adalah berbahaya bagi Thian
Ong, Wiro dan Bwe Hun untuk memperlihatkan diri dan memasuki kota pada siang
hari sekalipun mereka bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk setempat
dianggap sebagai salah satu tokoh pimpinan bangsa Mongol. Maka mereka mengatur
rencana dan baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.
Bila
senja berganti dengan malam, gedung besar yang menjadi markas para tokoh Mongol
kelihatan terang dan tenang. Di pintu depan lima orang pengawal asyik
bercakap-cakap sedang lainnya melakukan perondaan sekeliling tembok halaman.
Tadi sudah dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman, namun untuk gedung penting
seperti markas itu tentu saja harus mendapat pengawal yang cukup terjamin.
Di dalam
gedung, pada sebuah ruangan besar empat belas orang kelihatan duduk
mengelilingi meja. Mereka adalah Pengho di kepala meja, Jenderal Karfi Khan di
kepala meja yang lain, lalu Penghu
sutenya
Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal ditambah 10 orang perwira
tinggi bangsa Mongol.
Satu jam
yang lalu Pengho dan Pengemis Sakti baru saja kembali dan langsung mengumpulkan
orang-orang itu untuk mengadakan pembicaraan. Yang jelas tentu saja Pengho
menuturkan apa yang telah terjadi dua minggu lalu antara dia dan murid Ik Bo
Hosiang.
"Pemuda
itu lihay sekali dan yang lebih bahaya adalah konconya, seorang pemuda asing
berambut gondrong," berkata Pengho.
"Bagaimana
dengan Kiat Bo Hosiang?" bertanya Jenderal Karfl Khan.
"Entahlah,
kami tinggalkan saja dia sendirian. Mungkin sudah mampus di tangan muridnya
sendiri atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis Sakti.
"Bagiku
lebih baik dia mampus. Aku tak begitu senang padanya," kata Pengho pula
blak-blakan.
Setelah
membicarakan susunan dan keadaan pasukan Mongol di beberapa tempat di selatan,
Pengho kemudian berkata: "Dengan adanya pengacau-pengacau seperti Thian
Ong dan pemuda asing serta gadis murid Kiat Bo Hosiang itu pasti akan banyak
mempengaruhi keadaan kita. Dalam perjalanan kemari aku dan Pengemis Sakti telah
membicarakan rencana untuk mendatangkan beberapa tokoh utama Tibet guna membantu
kita. Kalau sampai Ik Bo Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita akan semakin
sulit. Kita basmi dulu tiga kurcaci itu, soal Ik Bo baru kita urus kemudian.
Dengan ratusan pasukan dan dipimpin oieh tokoh-tokoh lihay seperti kita masakan
Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur dan puncak Longsan?! AKU hanya menunggu
persetujuan dari para hohan di sini saja.’ (Hohan = orang gagah).
Kurasa
semua kita di sini dengan menyetujui rencana Pengho lo enghiong dan Wanglie
loenghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.
"Terima
kasih kalau begitu aku dan Pengemis Sakti akan berangkat bes….
Pengho
tak meneruskan kata-katanya karena saat itu matanya melihat alat rahasia yang
terletak di dinding bergerak-gerak.
Ada orang
di atas genteng! Semua siap!" seru Pengho.
Orang-orang
yang ada dalam ruangan pertemuan itu serta merta melompat dari kursi
masingmasing dan hunus senjata Pada saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka
dan muncullah Kiat Bo Hosiang.
"Eh,
bukankah kau sudah mampus di tangan murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
"Belum,
masih belum Pengho lo enghiong," sahut Kiat Bo Hosiang.
"Jadi
kau berhasil lolos dari kepungan tiga orang muda lihay itu?!" Pengemis
Sakti kini yang ajukan pertanyaan. Sebelum Kiat Bo Hosiang sempat menjawab
Pengho kembali buka mulut: "Apakah kau masih punya muka untuk kembali
kemari?!"
"Ah
soal muka tak perlu kita bicarakan. Mukamu atau muka siapapun di ruangan ini
tidak lebih baik dari mukaku!"
"Wah
kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!" tukas Jenderal Karfi Khan.
Sementara Pengho melirik pada alat rahasia di dinding yang sampai saat itu
masih kelihatan bergerak sedikit.
"Ketahuilah
aku datang bukan sebagai Kiat Bo Hosiang yang dulu. Selama ini kalian
orang-orang Mongol telah memperdayaiku, membujuk dan merayu hingga aku lupa
daratan dan menindas, memusnahkan bangsa sendiri!"
"Kiat
Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan apa maumu sebenarnya," membentak
Pengho.
"Kalian
kaum penjajah terkutuk hari ini harus bertanggung jawab atas kejahatan dan
kekejian apa yang telah kalian lakukan terhadap tanah air dan bangsaku!"
Habis berkata begitu Kiat bo Hosiang lantas cabut tongkat bajanya lalu berseru:
"Kawan kawan silahkan turun!"
Serentak
dengan itu terdengar suara ribut di atas atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol
dan tiga sosok tubuh melayang turun dalam gerakan yang sebat luar biasa!
"Kurang
ajar!’ teriak Pengho. Dia sudah maklum siapa-siapa adanya tiga manusia yang
masuk menerobos itu karenanya segera saja dia hantamkan kedua tangannya ke
atas. Dua larik sinar hitam menderu memapaki Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro
Sableng yang tengah melayang di udara.
Terdengar
suara tertawa Thian Ong disusul dengan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke
kiri dan laksana seekor naga dia menukik ke arah Pengho sambil lancarkan satu
jotosan. Tokoh dari Mongol ini cepat membuang diri ke samping hingga serangan
lawan mengenai tempat kosong.
Di atas
sana pukulan sinar hitam Pengho telah menghancur leburkan atap ruangan
sementara Pendekar 212 Wiro Sableng yang membalas dengan pukulan sinar matahari
telah membuat lantai ruangan hangus retak-retak, ubinnya pecah bermentalan!
"Bangsat!"
memaki Pengho. "Penghu! Kau dan Jenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik
Bo Hosiang itu. Wanglie locianpwe kau pimpin lima perwira tinggi menghadapi
bangsat berambut gondrong. Aku sendiri akan mencincang bangsat pengkhianat ular
kepala dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas kepung gadis binal baju
hijau itu!"
Pengho
sengaja mencari lawan dan menghadapi Kiat Bo Hosiang karena dia merasa jerih
terhadap Thian Ong apalagi Wiro Sableng.
Di dalam
ruangan besar yang sudah porak poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat
seru!
Dengan
sebilah pedang berwarna ungu, Pengho mengamuk yang dilayani oleh Kiat Bo
Hosiang dengan tongkat bajanya. Namun hanya lima jurus saja Kiat Bo Hosiang
segera terdesak hebat!
Li Bwe
Hun yang menghadapi lima pengeroyok tidak mendapat kesulitan. Meski
pengeroyok-pengeroyoknya terdiri dari perwira-perwira berkepandaian tinggi
namun dengan mainkan jurus-jurus ilmu tong-kat yang dikuasainya dengan sempurna
dalam tempo enam jurus saja sudah membuat lima pengeroyok bergeletakan mandi
darah.
Pada saat
gadis ini hendak menolong suhunya yang tengah didesak hebat oleh Pengho,
tiba-tiba dari pintu menyerbulah selusin pengawal dipimpin oleh seorang perwira
tinggi. Terpaksa Bwe Hun menghadapi mereka lebih dahulu. Setelah mengamuk
hampir sepuluh jurus dan membuat lawan roboh satu demi satu, sisa yang masih
hidup ambil langkah seribu, maka Bwe Hun menerjang ke depan membantu suhunya.
Dalam
keadaan terdesak tadi, Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkat yang paling
hebat yaitu ilmu tongkat garuda sakti atau "sin-eng thunghoat". Namun
Pengho yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya hanya dua tiga jurus saja
dibikin repot oleh ilmu tongkat itu. Dilain saat pedangnya sudah menggebu-gebu
kembali melabrak ke arah lawan dan di satu kesempatan berhasil membabat bahu
kiri Kiat Bo Hosiang hingga putus buntung dan darah menyerbu!
"Suhu!"
seru Bwe Hun. Dengan kalap gadis ini menyerbu ke arah Pengho sementara Kiat Bo
Hosiang menotok bahunya di beberapa tempat hingga darah berhenti memancur
kemudian dengan gagah berani kembali dia menghadapi Pengho, bahu membahu dengan
muridnya.
"Bagus!
Kalian datang berdua! Hingga aku tak susah-susah membunuh guru dan murid
sekaligus!" seru Pengho dengan seringai maut lalu kiblatkan pedang ungunya
menghadapi dua lawan yang dia yakin dapat dirobohkan dalam waktu singkat.
Thian Ong
yang dikeroyok oleh jago-jago lihay yakni Penghu (adik dari Pengho) dan
Jenderal Kaili Khan untuk beberapa lamanya dibikin repot. Hal ini terutama
karena dia sesekali masih saja kejangkitan penyakit keblingernya hingga
menghadapi lawan lebih banyak mempermainkan dan mengejek. Tetapi ketika satu
hantaman dari Penghu mendarat di dadanya dan membuat dia kesakitan, pemuda
sinting aneh ini baru sadar. Serta merta dia cabut sulingnya dan keluarkan
jurus-jurus ilmu silat aneh dari Liongsan yang dipelajarinya selama 12 tahun
dari Ik Bo Hosiang!
Menghadapi
ilmu silat yang tak pernah dilihatnya sebelumnya, dengan sendirinya Penghu
serta Jenderal Karfi Khan kebingungan. Betapapun lihaynya mereka namun jurus
demi jurus keduanya mulai terdesak. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran itu
tiba-tiba Thian Ong keluarkan pekik nyaring. Serentak dengan itu tubuhnya
berkelebat lenyap dan tahu-tahu terdengarlah pekik Penghu.
Tubuhnya
mencelat lima langkah. Keningnya kelihatan berlubang dan mengucurkan darah.
Sekali lagi adik dari Pengho ini berteriak mengerikan lalu roboh. Thian Ong
telah menghantam keningnya dengan suling hingga berlobang dan membuat nyawanya
lepas.
Melihat
adiknya mati Pengho menggembor marah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang
hebat dan sesaat kemudian dia berhasil merobohkan Kiat Bo Hosiang. Kakek ini
terjungkal dihantam tendangannya dan selagi sempoyongan pedang Pengho cepat
menebas lehernya hingga Kiat Bo mati dengan kepala menggelinding!
Li Bwe
Hun terpekik ngeri melihat kematian suhunya itu. Dengan kalap tanpa
mempertimbangkan lagi kemampuan sendiri dia menyerbu Pengho seorang diri. Tapi
sekali Pengho gerakkan pedangnya maka patah mentallah pedang di tangan si nona.
Dilain saat senjata Pengho membacok ganas ke kepala si nona tanpa dapat dikelit
lagi ataupun ditangkis oleh Bwe Hun.
Disaat
yang kritis itu tahu-tahu melesat sesosok tubuh antara kepala Bwe Hun dan
pedang Pengho yang tengah turun dengan deras. Pengho melengak kaget. Dia tidak
tahu tubuh siapa yang dilemparkan karena saking cepatnya lemparan dan di
samping itu dia tak dapat pula menahan turunnya pedangnya.
"Cras!"
Pedang
Pengho membacok tepat di pertengahan tubuh yang terlempar. Terdengar jeritan,
tubuh itu terhampar ke lantai tak berkutik lagi dengan pinggang terbabat putus.
Ketika diperhatikan ternyata dia bukan lain adalah Wanglie alias Pengemis Sakti
Tangan Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan tertegun sedang Pengho dengan muka
pucat berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu asyik "menggebuki"
perwira-perwira Mongol yang tengah mengeroyoknya!
Apakah
sebenarnya yang telah terjadi?
Seperti
diketahui sebelumnya Pengemis Sakti Tangan Kidal bersama dengan lima perwira
tinggi Mongol telah mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima perwira ini adalah lebih
lihay dari lima perwira lain yang mengeroyok Bwe Hun hingga dipimpin oleh
Pengemis Sakti mereka sempat membuat Wiro kalang kabut. Namun setelah keluarkan
jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun
maka dalam satu gebrakan saja dia berhasil merobohkan dua perwira tinggi.
Ketika dia menendang mental perwira yang ketiga matanya yang tajam menyaksikan
bagaimana Pengho tengah melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala Bwe Hun
tanpa si gadis bisa berkata apa-apa.
Di saat
yang sama Pengemis Sakti Tangan Kidal kirimkan satu sodokan dengan tongkat
kayunya ke arah ulu hati Wiro. Dengan mainkan jurus bernama
"lo-han-ciang-yau" atau malaikat menundukkan siluman, Wiro sambar
lengan kiri Pengemis Sakti dan tarik demikian rupa hingga tubuh kakek itu
berputar di atas kepalanya lalu dilempar ke arah Pengho. Seperti yang diperhitungkan
oleh Wiro dan malang bagi Pengemis Sakti, tubuh kakek-kakek itu terlempar tepat
antara kepala dan bacokan pedang hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho
menghantamnya tepat di pinggang I
Wiro
tertawa gelak-gelak. "Pengho! Apakah kau sudah gila membacok mati kawan
sendiri?!" ejek pendekar sableng ini lalu tertawa gelak-gelak. Sementara
Thian Ong mendengar suara tertawa kambratnya itu ikut-ikutan pula tertawa dan
membuat gerakan yang bernama "koay-liong-hoan-in" atau naga aneh
berjumpalitan. Tubuhnya seperti terjungkal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki
menendang ke muka lawan dan begitu lawan mengelak tahu-tahu suling di tangan
kanan memburu dengan cepat. Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi Khan
sewaktu perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian Ong hingga ususnya berbusaian
keluar!
Dengan
matinya Jenderal Karfi Khan maka kini Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau
tak mau ini membuat nyalinya lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompat
ke pintu.
Wiro
memburu disusul oleh Thian Ong.
"Biang
racun anjing penjajah kau mau kabur ke mana!" teriak Thian Ong.
Saat itu,
sebelum keluar ruangan menghambur lari, Pengho masih sempat pergunakan
tangannya untuk memutar sebuah tapel (ukiran kayu) kepala manusia di dinding
dekat pintu. Serta merta terdengarlah suara mendesir di Seantero ruangan.
"Awas
senjata rahasia!" teriak Wiro memperingatkan.
"Lekas
tiarap!" seru Thian Ong.
Wiro,
Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan diri di lantai ruangan. Detik itu pula
dari empat tembok ruangan yang dilapisi kayu melesatlah seratus pisau terbang
berwarna hijau gelap. Bagaimanapun lihaynya seseorang, jika berdiri di tengah
ruangan pastilah tak bakal dapat menyelamatkan jiwanya! Begitu serangan pisau
terbang berhenti, Wiro cepat melompat ke atas atap yang bobol. Dia sampai di
sana dalam waktu yang tepat karena masih sempat melihat bayangan Pengho
berkelebat di balik atap gedung sebelah kiri. Wiro segera memburu dan dalam
waktu singkat berhasil menyusul pentolan kelas wahid gembong penjahat itu.
Pengho
sadar dia tak akan bisa menang menghadapi Pendekar 212, tapi lari pun tak
mungkin. Apalagi waktu itu berkelebat pula dua bayangan di atas genteng yakni
Thian Ong dan Bwe Hun. Dan si nona belum apa-apa lantas saja sudah menyerangnya
dengan sebuah golok besar yang diketahuinya adalah milik Jenderal Karfi Khan.
Tak ada
hal lain yang bisa dilakukan Pengho daripada melawan mati-matian. Sebenarnya
dalam tingkat ilmu kepandaian jelas sekali Bwe Hun jauh tertinggal dari tokoh
kelas satu Mongol itu. Namun saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau
balau takut dan gugup. Pikirannya tak terpusat karena dia senantiasa mengintai
kelengahan lawan untuk melarikan diri. Dalam pada itu Thian Ong dan Wiro
meskipun tidak langsung turut pula ambil bagian dalam pertempuran.
Setiap
Pengho mendesak Bwe Hun atau lancarkan serangan berbahaya maka tahu-tahu
pantatnya ditendang oleh Thian Ong dari belakang. Terkadang Wiro menjambak
rambutnya atau menarik turun celananya. Sambil berbuat begitu kedua pemuda
sableng itu tertawa-tawa tiada henti.
Akhirnya
dalam keadaan penasaran, Pengho pergunakan pedangnya untuk tusuk dadanya
sendiri! Tokoh utama dari Mongol ini roboh, terguling dari atas genteng, jatuh
ke tanah dengan pedang masih menancap di dadanya!
Penyerbuan
Thian Ong, Wiro Sableng, Li Bwe Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar
pentolanpentolan tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul menggemparkan baik
empat kalangan Pemerintah Mongol maupun Pemerintah Tiongkok.
Kalau
orang Mongol merasa sangat terpukul maka pihak Tiongkok jadi mendapat semangat.
Ribuan tentara Tiongkok dua minggu kemudian menyerbu ke perbatasan. Dan
betullah seperti kata-kata mendiang Kiat Bo Hosiang. Jika markas sumber
kekuatan penjajah itu dihancurkan maka balatentara Mongol meskipun berjumlah
besar namun tak lebih dari anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Seluruh
kekuatan Mongol disapu bersih dan bumi Tiongkok bebas lepas dari kaum penjajah
yang selama ini telah mendatangkan 1001 macam kesengsaraan di kalangan rakyat.
Namun agaknya tugas Song Thian Ong dan Li Bwee Hun masih belum selesai karena
di selatan masih banyak pemimpinpemimpin yang tak tahu diri yang perlu
disingkirkan. Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng terus pula melakukan
petualangannya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment