Episode : Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode : EMPAT BEREWOK DARI GOA
SANGGRENG
**********
1
“Ini!” kata laki-laki berkumis
melintang itu dengan suara kasar. ”Berikan sama dia! Aku harus terima jawaban
hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?” Orang yang bernama Kalingundil
mengangguk. Diambil surat yang disodorkan.
”Kalau dia banyak bacot…..,” kata
laki-laki berkumis melintang itu pula, ”bikin beres saja. Berangkat sekarang,
jika perlu bawa Saksoko!” Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan
bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah
Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.
”Betul-betul perempuan laknat!
Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja
kayu jati di hadapannya.
”Brakk!!”
Papan meja pecah. Keempat kaki
meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak!
Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak bisa
dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang
diri.
”Perempuan keblinger! Ditinggal
satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!”
Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela lalu dia
melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah
kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya,
isi kendi itu sudah habis.
”Keparat!” maki Suranyali lagi.
Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang perempuan
paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali
yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri
memaki-maki dan marah-marah seperti itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah
kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih badannya.
”Ludjeng!” teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi
memunculkan diri di pintu masuk bergegas.
”Ya, Denmas Sura….”.
”Kau juga keparat!” damprat
Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya menyemprot dan Wilujeng tak berani
menyeka ludah yang membasahi mukanya.
”Sudah berapa kali aku bilang,
jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah gila hingga lupa
terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!.” Wilujeng terdiam dengan tubuh menggigil
ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura padahal
sudah sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama Mahesa
Birawa.
”Perempuan monyong! Aku tanya kau
sudah gila? Jawab!”
”Tidak, Denmas Su….., eh Mahesa
Birawa…..”
”Kalau tidak gila kau musti
sinting! Ambilkan aku air, lekas!”
Wilujeng putar tubuh. Sebentar
kemudian dia sudah kembali membawa segelas air putih. Air yang dingin itu
menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia duduk tenangtenang di kursi
itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat setahun yang
lewat.
Waktu itu dia sudah lama
berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi
dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci, dia berharap
lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya Suci mau
juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka
terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah
tafsir. Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh
seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura menemui Suci dan berkata,
”Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi aku baru kembali.
Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku akan mengawini
kau…..”
”Tapi Kangmas Sura…..”
Suci menghentikan kata-katanya
karena saat itu dilihanya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan
tangan untuk memeluknya.
Suci mundur.
”Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan
orang…..”
Kemudian Suranyali pergi tanpa
ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan bahwa dia tidak suka laki-laki
itu, bahwa dia menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian Suranyali itu maka
Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang dicintainya dan juga
mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan
pengkhianatan atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai Suranyali
dan juga tak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu
Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya,
yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan
Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai seorang anak
laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini Ranaweleng
sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia
punya muka dan punya harga diri, sebenarnya mengetahui perkawinan Suci itu dia
musti bersikap mundur karena adalah memalukan sekali bila dia terus-terusan
menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini sudah bersuami
dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran jernih, lekas
kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak
buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama
Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki
kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua
orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela.
”Suci musti dapat….. musti
dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu. ”Kalau tidak…..,” Mahesa
Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya tangan kirinya bergerak
memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!!
**********
2
Keduanya menghentikan kuda di
hadapan seorang laki-laki tua yang tengah mencabuti rumput halaman. Tanpa turun
dari kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak kasar, ”Ini rumahnya
Ranaweleng?!”
Orang tua berdiri perlahan-lahan
dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok.
Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi bambu yang menutupi
keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara kepadanya. Orang tua ini
tak segera berikan jawaban melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas
pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.
”Orang tua bego!” maki
Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini memang bersifat tidak sabaran.
”Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!”
”Ya!” jawab Kalingundil.
”Ada keperluan apa Saudara?”
Si gemuk pendek Saksoko kini yang
buka suara. Suaranya parau dan tidak enak didengar. ”Tak perlu tanya keperluan
kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!”
Saksoko menyentakkan tali kekang
kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan maka terpelantinglah si orang tua kena
terajakan kaki binatang yang ditunggangi Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan
perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur kelihatannya menyorot.
Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi bambunya yang
tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana
anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko.
Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua kaki depannya melonjak ke atas
tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah!
Si orang tua diam-diam merasa
puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa dia memutar tubuh jongkok
kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman!
Bola mata laki-laki gemuk pendek
itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram
dalam pemandangannya.
”Saksoko, ada apa dengan kau?!”
tanya Kalingundil terkejut dan heran.
”Aku sendiri tidak tahu,” sahut
Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk pantat celananya. Dia memandang
berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang tua yang tadi tengah mencabuti
rumput. Kemudian mata laki-laki itu membetnur topi bambu yang tergeletak tak
berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua
kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak
mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke
kuda tunggangannya.
Kalingundil juga memandang
berkeliling dengan hati bertanya-tanya. Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya
topi itu. Kemudian dia berkata, ”Kurasa orang tua kerempeng itu…..” Kalingundil
memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia
lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
”Mana mungkin,” kata Saksoko pula
tidak percaya.
”Coba kita lihat.”
Kalingundil turun dari kudanya.
Diambilnya topi yang tergeletak di tanah. Diperhatikannya topi bambu ini
seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih jongkok dan mencabuti
rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan kanannya. Topi
terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali,
orang tua yang jongkok membelakangi itu gerakkan tangan kanannya untuk
menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah mengejutkan kedua orang anak
buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat bagaimana topi bambu itu
melesat ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil dan Saksoko saling
pandang.
”Apa kataku, kau lihat?” desis
Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka
geramlah si gemuk pendek Saksoko.
”Orang tua edan!” makinya. ”Punya
sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!” Dia membungkuk dan meraup pasir.
Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang tua. Meski hanya pasir namun
karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat dan dapat
melukakan kulit membutakan mata!
Si orang tua tiba-tiba berdiri
dengan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang
yang sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi gerakannya ini sekaligus
membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke arahnya!
”Kurang ajar betul!” damprat
Saksoko karena merasa semakin ditantang dan dipermainkan. Dia menerjang ke
muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya pukulan tangan kosong. Orang
tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.
”Apa-apaan ini?!” tanyanya dengan
suaranya yang halus melengking, ”ada apa kau serang aku?!”
Namun gerakannya tadi sekaligus
telah melewatkan angin pukulan Saksoko hanya beerapa jengkal saja di depan
hidungnya.
Saksoko kertak rahang.
”Orang tua gelo! Siapa kau
sebetulnya?!”
Orang tua itu menyeringai
menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang sepotongpun.
”Aku sudah tua, tak usah bicara
memaki!,” katanya dan didorongkannya telapak tangan kanannya ke depan. Setiup
angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak cepatcepat menghindar
pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.
Begitu melompat ke samping segera
dia kirimkan satu jotosan kepada orang tua itu. Pada saat inilah dari pintu
rumah terdengar seruan keras:
”Ada apa di sini?! Tahan!!”
Saksoko tarik pulang tangannya
dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas gagah dilihatnya keluar dari
rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya Kalingundil memberi
isyarat agar datang mendekatinya. Meski hatinya masih diselimuti amarah
terhadap si orang tua tapi melihat isyarat kawannya itu segera dia datang juga.
Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
”Kau Ranaweleng?” tanya
Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di
Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng dibentak orang demikian rupa dan oleh orang
asing pula! Dari tampang-tampang serta sikap kedua tamunya itu Ranaweleng
segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan membawa maksud baik. Namun
demikian, dengan suara ramah dia menjawab:
”Betul, Saudara, aku memang
Ranaweleng,” lalu tanyanya kemudian, ”Saudarasaudara datang dari mana dan ada
keperluan apakah?”
Kalingundil cabut gulungan surat
dari balik pakaiannya.
”Ini! Silahkan dibaca!” katanya.
Gulungan surat itu dilemparkannya
ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam
maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit
menancap pada tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa
kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap dari tiang langkan lalu dibacanya.
Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu
agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan istrimu! Ini
adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan harap kau bisa melihat matahari
tenggelam esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar tubuh Ranaweleng.
Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak pernah kenal dengan manusia
yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak pernah dengar nama atau riwayat
manusia itu sebelumnya.
Matanya memandang melotot pada
kedua tamunya. ”Mahesa Birawa ini siapa?” tanya Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke
tanah sebelum menjawab. ”Laki-laki yang kau rampas kekasihnya dan yang kini
menjadi istrimu!”
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang.
Belum dia sempat bicara Saksoko sudah mendahului. ”Mahesa Birawa inginkan
jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!”
Kalingundil menyambungi, ”Dan
sebaiknya….. apa yang tertulis di surat itu kau ikuti saja.”
”Kalau tidak?,” tanya Ranaweleng
menindih rasa geramnya.
Kalingundil tertawa mengekeh.
Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat kehitaman.
Ranaweleng tak dapat lagi menahan
luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatahpatahkannya kayu penyepit surat lalu
dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat mengenai mulut yang sedang tertawa
mengekeh itu!
”Bangsat rendah!” hardik
Kalingundil. Dia meloncat ke muka. ”Kau berani berlaku kurang ajar terhadapku,
huh?!”
”Tak usah jual lagak di sini,
setan!” balas menghardik Ranaweleng. ”Kalian budakbudak sinting kembalilah
kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa Birawa agar lekas-lekas
pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!”
”Betul-betul anjing budak yang
tidak tahu diri!” semprot Saksoko. Dari tadi dia memang sudah beringasan gara-gara
si orang tua yang telah mempermainkan dan setengah menantangnya tadi. Sekali
dia ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda
ke bawah perut Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan
jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping
dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan. Saksoko bukan manusia yang
baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas lututnya ditekuk dan
disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke samping. Sebelum
dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang saat itu masih
belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang.
”Ah, Raden Ranaweleng, mengapa
musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar ini?! Biar aku si tua bangka
Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun terhadapnya!”
Ternyata yang berkata itu adalah
orang tua renta kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan
pembantu Kepala Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai
kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia membalik dan menyerang orang tua itu
kini dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin deras. Angin pukulan
ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko
berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu juga!
Tapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali dia gerakkan tangan
kanannya yang kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek
Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri.
Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan
olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar
langkan rumah sampai tiga tombak dan menggelinding di tanah. Dicobanya bangun
kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah lagi setelah terlebih dahulu dari mulut
Saksoko menyembur darah kental dan segar!
Kaget Kalingundil bukan kepalang.
Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini menerjang ke depan. Terjangan ini disertai
dengan bentakan yang keras menggeledek membuat langkan rumah dan tanah menjadi
bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat.
Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh Kalingundil. Serangkum angin keras dan
dingin menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang tua. Pasir menderu
beterbangan, debu menggebu.
Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan
tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan bertemu di udara menimbulkan
suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh Jarot Karsa kelihatan bergoyang
gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat bangun lagi.
Keringat dingin memercik di
kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya menciut kecil. Tak nyana si orang
tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya sama sekali kalau tenaga
dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam Jarot Karsa!
Tapi laki-laki ini, yang menjadi
buta matanya dan tumpul pikirannya karena amarah dan kebencian yang meluap,
tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang tua bukan tandingannya.
Kedua tangannya dipentang ke muak.
Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan
gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan kini bagaimana sepasang lengan
Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman.
”Ha…..ha….,” terdengar kekehan si
tua Jarot Karsa, ”Kau hendak pamerkan ilmu lengan tangan baja?!”
Kalingundil terkejut. Terkejut
karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu simpanan yang paling
diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia pentang mulut.
”Bagus, penglihatanmu masih tajam
juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!”
”Kau tak perlu banyak bacot,
Kalingundil, majulah!” tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan
saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya
maka: brak!! Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha manusia patah.
Atap rumah menurun miring!
Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga
dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang tua yang sudah banyak
pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih menghadapi ilmu pukulan
macam begitu saja!
”Ayo monyet kesasar, majulah!”
katanya dengan terbungkuk-bungkuk.
Kedua telapakan kaki Kalingundil
menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka, sedikit miring. Kaki kiri dan kanan
mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu kemudian menyusul sepasang
lengannya yang menghitam oleh aji ’lengan tangan baja.’ Angin yang ditimbulkan
oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam dan
memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena
pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam
dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan
bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!
Pekikan setinggi langit yang
hampir merupakan lolongan serigala haus darah melengking menegakkan bulu roma!
Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak, lidahnya menjulur keluar
seperti orang yang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya bergerak-gerak
beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya, tubuh itu pun
tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang terdahulu.
Ranaweleng menghela nafas dalam.
Dipandanginya kedua manusia yang melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling
pada si orang tua. ”Bapak Jarot Karasa, kau kenal dengan manusia yang bernama
Mahesa Birawa itu?”
Jarot Karsa menggeleng.
”Siapa dia tak penting Raden.
Yang penting ialah mulai saat ini kita musti waspada karena cepat atau lambat
manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat perhitungan dengan kita!”
Ranaweleng mengangguk.
”Aku tak ingin melihat kdua orang
ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot.”
Si orang tua tertawa mengekeh.
”Tak usah khawatir…… tak usah
khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden.”
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa
yang kurus kering itu menendang. Tubuh Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti
bola, dan angsrok di luar pagar halaman.
**********
3
Kedua mata Mahesa Birawa alias
Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka lebar-lebar bila
telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki pekarangan. Dia bangun
dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi membuka lebar itu kini
tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah.
”Ada apa dengan kalian?!” tanya
Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan teriakan.
Kedua kuda itu berhenti.
Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahanlahan. Pakaian mereka
kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa
segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang parah.
Kalingundil berdiri
terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih berkunang-kunang.
Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera tergelimpang, muntah
darah lagi lalu pingsan!
Mahesa Birawa melompat dan cepat
menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan
dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada
Kalingundil.
”Telan cepat!,” katanya. ”Kalau
sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!”
Kalingundil menelan pil yang
diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas
dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang
tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan
Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring menelentang di atas
sebuah tempat tidur.
”Sekarang!” kata Mahesa Birawa
sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja, ”terangkan apa yang terjadi
Kalingundil!”
Kalingundil tarik nafas panjang.
Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia memberi keterangan. Dan bila
Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka mendidih darah di
kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar.
Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau tanggal
dari rongganya!
”Kalingundil! Siapkan kudaku!
Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut aku ke tempatnya itu
manusia haram jadah! Lekas…..!”
Kalingundil tanpa banyak bicara
tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian kelihatanlah empat orang penunggang
kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir berhamparan. Mahesa Birawa
memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu
mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada Ranaweleng yang berdiri di sampingnya
dengan mata yang memandang tajam ke muka dia berkata, ”Dugaan kita tidak salah,
Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu adalah manusia yang
bernama Mahesa Birawa…..”
Ranaweleng memandang pula ke
muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung dia
menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini! Bahkan dia tadi belum sempat
menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya,
memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa Birawa sampai
di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya. Mahesa Birawa
hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di
belakangnya Kalingundil memberikan kisikan.
”Laki-laki tua yang berdiri di
dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku dan Saksoko. Hati-hati
terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali…..”
”Kau manusia kintel tutup mulut!
Tak usah kasih nasihat padaku!” membentak Mahesa Birawa.
Kalingundil terdiam. Digigitnya
bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri
di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan.
Mahesa Birawa memandang sekilas
pada Suci yang berdiri di belakang suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki
perempuan ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian membuat amarahnya
semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami
dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita.
Bola mata Mahesa Birawa bergerak
ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng
dengan garangnya.
”Anjing tua yang di atas langkan
turunlah untuk menerima mampus!”
suara Mahesa Birawa begitu lantang
dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi sudah mencapai
puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum
tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian dia
sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan kuda Mahesa Birawa.
Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang mengejek
tersungging lagi di mulut orang tua ini.
”Ini manusianya yang bernama
Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau tidak sedeng tentu
sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu agar mencari dukun
untuk mengobati otak miringmu?!”
Bergetar badan Mahesa Birawa
mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki!
”Anjing tua yang tak tahu diri,
hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!”
Mahesa Birawa enjot diri,
melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua
tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang
tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan
melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di
bawah kedua kakinya. Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka
berserulah Ranaweleng.
”Bapak Jarot minggirlah, biar aku
yang hadapi manusia pengacau ini!”
”Ah Raden….,” kata Jarot Karsa
dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara. ”Biarlah aku yang sudah tua ini
kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah. Dalam satu dua jurus ini
akan kusapu badannya keluar halaman!”
Mahesa Birawa kertakkan rahang.
Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat melanda ke arah
Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai di mana
ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam
berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di udara.
Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa
kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh
duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri,
tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya
dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si orang tua mendapat
celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih
tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa.
Tahu kalau tenaga dalam lawan
lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan menyerang. Kedua
tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapunyapu dan
sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya.
Hampir dua jurus Mahesa Birawa
terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya. Mahesa Birawa
atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana
bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai merasakan
tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati.
Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh
kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka
ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi
keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan
lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata
Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi
sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di
lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan
mengelak dari Mahesa Birawa.
”Buk!!”
Mahesa Birawa terjajar sampai dua
tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot
Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya
ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh.
”Jika kau masih juga belum mau
angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu
nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!”
Tampang Mahesa Birawa kelam
membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka.
Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala. Pelipisnya
bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan
bergeletar.
”Bangsat tua bangka!” kertak
Mahesa Birawa, ”lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan
kulepaskan ini….!”
Jarot Karsa kerutkan kening.
Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan Mahesa Birawa yang semakin lama
semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun,
meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun
kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya meliahat tangan kanan lawan itu,
ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan
dilancarkan oleh lawannya!
Akan Ranaweleng, begitu melihat
tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat
dia memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu ”menyusupkan
suara.”
”Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan
yang hjendak dilepaskan itu adalah pukulan – Kelabang Hijau — Hebatnya bukan
main dan sangat beracun….!”
Jarot Karsa menindih rasa
terkejutnya. ”Pukulan Kelabang Hijau….,” keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak
dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di
dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang dahsyat
ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu.
Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa
Birawa ini muridnya Tapak Gajah?
Kerut-kerut pada kening Jarot
Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan mimik mengejek.
”Hanya pukulan Kelabang Hijau,
apakah perlu ditakutkan….!” kata seorang tua bungkuk itu.
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi
kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya.
Cepat dia membentak.
”Kalau sudah tahu mengapa tidak
segera berlutut, anjing tua?!”
”Hanya monyet edan yang akan
berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini….!” dan tangan Jarot Karsa
mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Setengah tombak lagi angin
pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka
kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke muka!
Setiup angin laksana topan
prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa
terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri!
Jarot Karsa melompat ke samping.
Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya.
Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua tangan. Orang tua itu berteriak
setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau. Dia
mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka
tubuhnya melingkar tanpa nyawa!
”Manusia biadab!” bentak
Ranaweleng. ”Orangku tiada permusuhan dengan kau. Mengapa kau bunuh dia?!”
Mahesa Birawa atau Suranyali
tertawa mengekeh.
”Sebentar lagi kau juga akan
mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki
dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di depan
mata!” dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
”Hari ini aku mengadu nyawa
dengan kau manusia iblis!” teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung
Jatiwalu itu.
**********
4
”Manusia keparat yang tidak tahu
diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” bentak Mahesa Birawa seraya
angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan.
Dua lengan beradu dengan keras,
Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar
beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan lengan Mahesa
Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan
sakit. Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan. Karena itu
dengan memepergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sampai ke puncaknya,
Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu di langkan rumah
terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang berkelahi itu. ”Suranyali!
Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!”
Suci tidak pernah tahu kalau
Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa. Dan dia berteriak lagi,
”Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan mengapa musti berkelahi?!”
”Suci masuklah ke dalam!” sahut
Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu dia harus jungkir balik di udara
mengelakkan pukulan lawannya.
Di pihak Mahesa Birawa sudah
barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan perkelahian. Bahkan
teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih cepat menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang
itu telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah dengan nyata betapa
Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong lawan
mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat
gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar
dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana
bayangbayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman
sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng.
Ranaweleng merintih tertahan.
Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurangkurangnya dua dari tulang
iganya telah patah dan tubuhnya di bagian dalam terluka hebat! Untuk beberapa
lama dia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang.
”Ha…. ha….,” tertawa Mahesa
Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih
bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum mampus!”
Mulut Ranaweleng komat kamit.
Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap
untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat. Di lain pihak Mahesa
Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya tenggelam satu senti ke dalam tanah.
Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh untuk menghadapi serangan
lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin
punting beliung keluar dari mulut Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul
menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah Mahesa Birawa. Yang di
serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara. Begitu angin panas
menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di belakangnya, maka
Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang
dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan tenaga dan pikiran yang besar.
Beberapa detik sesudah dia melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih
terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada saat lawannya menukik dari
atas dia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus menerima
hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung dia
sempat menggulingkan diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa
Birawa yang mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, karena tahu bahwa
dia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan tangan kosong maka Ranaweleng
segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya!
Tapi betapa terkejutnya
Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri dengan kedua kaki
terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan diangkat tingitinggi
di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan
Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat
kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras.
”Sura!! Jangan….! Hentikan
perkelahian ini!”
Suranyali alias Mahesa Birawa
sunggingkan senyum berbau maut. ”Jika kau punya sepuluh senjata, keluarkanlah
sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat.
Keringat dingin mebasahi badannya. Seperti halnya dengan Jarot Karsa dia tak
akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk
lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang
berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang
tanah dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa
lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan
untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan,
Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia saja. Pada detik tubuhnya
baru dalam setengah lompatan, tangan kanan Mahesa Birawa telah memukul ke
depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng
mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan
sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu masih tergenggam di tangannya
menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci pun menjerit lagi lalu lari
menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat meloncat ke muka dan mencekal
perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh suaminya yang mati hijau itu
maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh Ranaweleng akan mengalir ke
tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang nyawa pula!
”Lepaskan aku! Lepaskan aku
manusia terkutuk! Biadab!!” pekik Suci.
”Sedikit saja kau menyentuh tubuh
laki-laki itu kau akan keracunan Suci….!”
”Aku tidak takut! Aku juga ingin
mati!”
”Kau masih terlalu muda untuk
mati….!”
Dan dengan sekali gerakkan
tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong Suci di bahunya. Karena
perempuan itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta memukuli
punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di pangkal
leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini.
Sambil melangkah ke kudanya
Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak buahnya. ”Bakar rumah keparat
itu!”
Kalingundil dan Krocoweti serta
Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam sekejapan mata maka tengelamlah
rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam kobaran api.
Senyum puas membayang di muka
Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka
bersama anak buahnya segera ditinggalkannya tempat itu.
Jeritan bayi yang baru berumur
beberapa bulan terdengar melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api
yang membakar rumah.
”Bayi itu! Bayi itu….!” teriak
salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung di halaman rumah Kepala
Kampung.
”Oroknya Raden Rana….! Aduh,
kasihan!”
”Kalau tidak lekas ditolong pasti
mati!”
Tapi semua orang di situ hanya
bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani menghambur menyelamakan bayi
itu. Dan suara tangisan bayi semakin lama semakin kecil serta parau sementara
nyala api mulai membakar tempat tidur di mana bayi itu terbaring!
Pada saat suara tangisan bayi
yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran, pada saat orang banyak
sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok,
maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan
berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh
itu keluar lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok
tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun yang dapat melihat siapa adanya
manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa sosok tubuh itu adalah
sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit! Jangankan untuk melihat
wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu laki-laki atau perempuan juga tak
satu orangpun yang bisa! Begitu cepat dia datang, begitu cepat dia lenyap!
Hanya warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak saat
itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah sosok tubuh itu lenyap maka rumah
Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan lidah api mengelombang tinggi ke
udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu,
entah dia manusia atau bukan, entah laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti
dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh itu telah
menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka
pintu kamar dan membaringkan Suci di atas tempat tidur dan secara tak sengaja
memandang ke dinding, maka meluncurlah seruan tertahan dari mulut laki-laki
ini!
Pada dinding papan kayu jati yang
keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa
yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan itu dibuat dengan sangat cepat.
Dan Mahesa Birawa tahu, kalau bukan manusia yang mempunyai tenaga dalam luar
biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup membuat tulisan semacam itu pada
dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan mempergunakan
ujung jari!
**********
5
Adalah hampir tak dapat dipercaya
bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang
hari yang panas terik itu terdengar suara lengkingan tawa manusia!
Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan suara yang membentak yang
kadang-kadang dibarengi oleh suara gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua
manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur
dengan segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah
mereka ini?!
Yang berbadan tinggi langsing dan
mengenakan pakaian serta kain hitam adalah seorang nenek-nenek berkulit sangat
hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya
merupakan kulit tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan kecekungan ini
merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian menyeramkan.
Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba hitam itu maka rambut di
kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut yang putih itu
tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir membotak licin berkilat.
Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini, nenek-nenek itu memakai
lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu tidaklah tersisip disela-sela
rambut yang putih karena memang tidak mungkin untuk menyisip di rambut yang
jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap langsung ke kulit kepala
nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dialah
yang bernama Eyang Sinto Gendeng, seorang perempuan sakti yang telah
mengundurkan diri sejak dua puluh tahun yang lalu dari dunia persilatan. Selama
malang melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun terakhir Sinto
Gendeng telah merajai dunia persilatan di daerah Barat Jawa bahkan
sampai-sampai ke Jawa Tengah. Selama itu pula dia telah menyapu dan membasmi
habis segala manusia jahat. Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu
kesimpulan bagi Sinto Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran
kalau namanya menjadi harum. Nama asli dari perempuan ini adalah Sinto Weni.
Namun karena sikap dan tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali
seperti orang yang kurang ingatan maka lambat laun dunia persilatan
menganugerahkan nama baru padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila!
Siapa pula orang kedua yang
berada di puncak Gunung Gede itu dan yang saat itu bertempur menghadapi Sinto
Gendeng? Dia seorang pemuda belia remaja yang baru memasuki usia tujuh belas
tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah dan kulitnya bersih kuning, hampir
seperti kulit perempuan. Rambutnya gondrong sebahu dan agak acak-acakan
sehingga tampangnya yang keren itu seperti paras kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama
sekali bukan tengah bertempur karena pemuda tujuh belas tahun tersebut adalah
murid Eyang Sinto Gendeng sendiri! Bagaimana sikap tingkah laku gurunya,
demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit serta
cengarcengir! Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap
jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan adalah benar-benar
serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati dapat mencelakai diri! Debu
dan pasir beterbangan. Daun-daun pohon berguguran, semak belukar tersapu kian
kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana
bayang-bayang!
Di tangan kanan Sinto Gendeng ada
sebatnag ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh.
”Ayo Wiro! Serang aku dengan
jurus – orang gila mengebut lalat – ! Serang cepat, kalau tidak aku kentuti kau
punya muka!”
Wiro Saksana sang murid tertawa
membahak dan menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang gondrong semakin
awut-awutan. Tiba-tiba suara tawa membahak itu menjadi keras dan menggetarkan
tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan!
”Ciaaat….!!” Bentakan setinggi
jagat keluar dari mulut Wiro Saksana. Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan
kanannya menyapu kian kemari dalam kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata.
Inilah yang disebut jurus: orang gila mengebut lalat. Dan memang gerakan
menyapu-nyapu dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya namun kelihatan
seperti tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana hoyong sana hoyong sini.
Namun serangan itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si perempuan tua masih juga
mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting sambil memainkan ranting kering
yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh Wiro Saksana saat itu bukannya
gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain
pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya terbabat,
tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana badai itu!
Sinto Gendeng mengikik.
”Geblek kau Wiro! Masih kurang
cepat, masih kurang cepat!” kata Sinto Gendeng.
Sang murid memaki dalam hati.
”Eeeee…. kau memaki ya?!” hardik
Sinto Gendeng. ”Lihat ranting!” teriak perempuan tua itu.
Tubuh Sinto Gendeng berkelebat.
Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak. ”Awas ketek kananmu, Wiro!”
(ketek=ketiak).
Meskipun sudah diperingatkan,
meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang luar biasa namun tetap saja ujung
ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak kanan Wiro Saksana.
”Breeett!!”
Baju putih Wiro Saksana robek
besar di bagian ketiak sebelah kanan!
”Buset….! Untung cuma ketekku!”
seru pemuda itu. Dengan kertakkan geraham dia menerjang ke muka. ”Eyang,”
katanya, ”terima jurus – kunyuk melempar buah – ini!” (kunyuk = monyet).
”Ah hanya jurus geblek begitu
siapa yang takut?!” menyahuti sang guru.
Wiro Saksana meninjukan tangan
kanannya ke muka. Pada saat tangannya perpentang lurus maka jari-jari tangannya
membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana batu besar melesat ke arah
tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa
cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan disemburkan secara acuh tak acuh
tapi karena diisi dengan tenaga dalam, ludah itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh
kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke samping. Sambil berkelit
dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan tangan
kosongnya tadi yaitu – kunyuk melempar buah – yang agak menyendat sedikit
akibat dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih
terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang
manusia satu ini aneh sekali sifatnya. Bahkan setiap jurusjurus ilmu yang
diciptakannya diberinya dengan nama-nama aneh dan lucu. Tak salah kalau banyak
orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya menjadi Sinto Gendeng!
Suara tertawa nenek-nenek itu
lenyap, berganti dengan satu lengkingan nyaring yang menusuk gendang-gendang
telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir balik dan melesat seperti terbang ke sebuah
cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan
angin keras ”kunyuk melempar buah.” Angin keras ini menghajar batang pohon di
seberang sana dan batang pohon itu patah lalu tumbang ke tanah!
Terdengar lagi suara tawa
mengikik.
Gemas sekali Wiro Saksana
memandang ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enakenakan di cabang pohon jambu
klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu!
”Gendeng betul….!” gerutu Wiro
kesal karena serangannya hanya mengenai pohon.
”Memang namaku Sinto Gendeng!”
kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, ”Kau mau jambu, Wiro?!”
Dan sebelum Wiro Saksana sempat
menyahuti maka gurunya telah menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke
arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk menyerang hampir ke seluruh
jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
”Ah, cuma bijinya siapa yang
sudi!,” jawab Wiro Saksana. Dia menghembus ke udara dan melambai-lambaikan
kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk itu berguguran ke tanah
bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto Gendeng. Tapi dengan
goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu membuat
ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
”Kalau tak sudi biji jambu,
terimalah ranting kering ini!” kata Sinto Gendeng. Dan ranting kering yang di
tangan kirinya dilemparkannya ke bawah, mendesing laksana anak panah mengarah
batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang perempuan tua
yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang dilancarkannya
benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau sekurang-kurangnya bisa
menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak berhati-hati. Setiap jurus ilmu
silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering
ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanan yang memegang keris
maka ranting kering itu belah dua tepat di pertengahannya dan jatuh ke tanah.
”Sebaiknya turun saja dari pohon
eyang” kata Wiro Saksana. ”Kalau tidak….”
”Kalau tidak kenapa?” memotong
Eyang Sinto Gendeng.
”Sambut keris ini, Eyang….!
Sambut dengan jidatmu biar konyol!”
Habis berkata begitu Wiro Saksana
tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk tujuh yang di tangan kanannya.
Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena cepatnya. Namun empat detik
kemudian terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan ketika Wiro
mendongak ke atas dilihatnya keris yang dilemparkannya tadi berada dalam
jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya.
Wiro Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. ”Ini balasan kehormatan
untuk keris bututmu, Wiro!” Sinto Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok
kepalanya yang berambut putih dan jarang itu. Dibarengi dengan angin lemparan
yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah
Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana yang tahu kehebatan
tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian
tangan yang mengandung tenaga dalam. Didahului dengan bentakan nyaring maka
pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai
itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam tanah!
Eyang Sinto Gendeng tertawa
gelak-gelak.
”Bagus…., bagus kau tidak
menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam yang
bagaimana hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee…. aku
haus! Hik…. ambilkan air buatku Wiro! Cepat!”
”Kalau haus jilat saja air
keringat!” kata murid yang lucu dan seperti kurang ingatan pula macam gurunya.
Dan dasar Eyang Sinto Gendeng
manusia aneh, dia sama sekali tidak marah mendengar gurau yang keliwatan dari
muridnya itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. ”Air,
Wiro! Lekas!” bentak perempuan itu.
Sang murid berlalu juga dari
tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di bagian belakang pondok ini ada
sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya segayung.
Ketika dia melangkah kembali ke
tempat tadi untuk memberikan air itu kepada gurunya maka didengarnya suara
Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali tidak merdu. Namun kata-kata
yang terjalin dalam nyanyian itu membuat Wiro Saksana menjadi heran dan
bertanya-tanya dalam hati.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah
kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep
mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua
tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang
dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales….
Artinya: (Tujuh belas tahun telah
berlalu.
Puncak Gunung Gede masih tetap
seperti dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih
berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun membuat si tua
tambah tua,
Tujuh belas tahun membuat seorang
orok menjadi pemuda gagah,
Tujuh belas tahun masa
perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung
perpisahan,
Tujuh belas tahun saat
pembalasan).
**********
6
Selama diam di puncak Gunung Gede
itu bersama gurunya, walau bagaimanapun miring otak sang guru, namun baru hari
itulah Wiro Saksana melihat dan mendengar Eyang Sinto Gendeng menyanyi.
Kata-kata dalam nyanyian itu entah mengapa membuat Wiro jadi berdebar. Apakah
maksud kata-kata nyanyian itu? Perasaan yang bagaimanakah yang tengah
dicetuskan oleh gurunya karena Wiro melihat nenek-nenek itu menyanyi dengan
penuh perasaan, dengan mata memandang jauh ke muka. Tujuh belas tahun membuat
aku si tua bangka tambah tua. Kata-kata ini jelas ditujukan ke diri gurunya
sendiri. Tapi pada siapakah ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun
membuat seorang orok menjadi pemuda gagah, itu? Apakah ditujukan kepadanya?
Berdebar hati Wiro Saksana. Kemudian kalimatkalimat: Tujuh belas tahun ujung
perpisahan…. serta…. Tujuh belas tahun saat pembalasan…. Apakah arti semua itu?
Ketika Wiro Saksana memandang ke
atas pada saat itu pula Eyang Sinto Gendeng melihat ke bawah. Dan mata yang
tajam dari Wiro Saksana, meskipun cuma sekilas, namun masih dapat melihat pantulan
air muka serta cahaya mata gurunya yang lain dari biasanya! Air muka itu. Sinar
mata itu menyembunyikan satu perasaan sedih! Perasaan apakah yang menyemaki
hati sang guru sebenarnya?
Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng
membentak keras sampai Wiro Saksana terkejut dan serasa terbang nyawanya.
”Tunggu apa lagi, geblek?! Orang
sudah haus dianya tegak mematung! Kukencingi kepalamu baru tahu! Lemparkan
gayung itu cepat!”
Dan Wiro Saksana segera lemparkan
gayung batok kelapa yang berisi air ke atas. Gayung itu melesat ke atas tanpa
setetes airpun yang tumpah!
”Bagus Wiro…. bagus sekali!”
memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan kirinya disambutnya gagang gayung.
Sesaat kemudian tenggorokannya yang kurus dan kerinyutan itu kelihatan turun
naik meneguk air dari dalam gayung. Air itu diteguknya sampai habis.
”Terima gayung ini kembali,
Wiro!”
Gayunng melesat ke bawah. Wiro
Saksana ulurkan tangan untuk menyambut tapi pada detik itu pula di atas pohon
gurunya kelihatan menggerakkan tangan kanannya. Angin deras mendorong kepala
gayung, membuat gayung yang hendak disambuti Wiro Saksana itu mencelat ke
samping dan menyerang dadanya!
”Gila betul!” bentak si pemuda.
Cepat-cepat dia palangkan lengannya di muka dada. Gayung dan lengan beradu.
Gayung pecah berantakan ke tanah, gagangnya patah dua!
Pada saat itulah Sinto Gendeng
melayang turun ke bawah. Kedua kakinya menjejak tanah tanpa suara dan tanpa
meninggalkan bekas sedikitpun padahal cabang pohon jambu klutuk dari mana dia
meloncat tadi hampir empat tombak tingginya. Dapat dibayangkan bagaimana luar
biasanya ilmu meringankan badan perempuan sakti ini!
Kedua orang itu, guru dan murid
berdiri berhadap-hadapan. Wiro Saksana dapat merasakan betapa lainnya pandangan
kedua mata Sinto Gendeng kepadanya, pandangan yang tidak dimengertinya.
Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. Kedua kakinya
kemudian merenggang sedang kedua tangan mengembang ke muka. Mulutnya berkemik.
Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke dalam tanah sampai tiga senti
sedang seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mukanya yang hitam dan berkerinyut itu
basah oleh keringat.
Tiba-tiba kejut Wiro Saksana
bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana kedua tangan gurunya berwarna putih
sekali sedang sepuluh kuku jari tangan perempuan itu memerak serta memancarkan
sinar yang menyilakuan!
”Eyang!” seru Wiro Saksana.
”Apakah kau mau bikin aku mati konyol dengan pukulan sinar matahari itu?!”
Sinto Gendeng tidak menjawab.
Mulutnya semakin mengemik. Rahang-rahangnya semakin mengatup dan pandangan mata
serta tampangnya sangat mengerikan!
Merinding bulu kuduk Wiro
Saksana. Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat itu. Tanpa menunggu lebih
lama, tanpa menunggu sampai kedua tangan yang mengepal dihantamkan ke muka,
maka pemuda ini cepat-cepat pentang kaki dan dekapkan lengan di muka dada. Matanya
meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya amblas dua senti ke tanah.
Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun, laksana gunung karang yang keras
membatu!
”Ciaaaaaaatttt”
Bentakan Sinto Gendeng melengking
melanglang langit! Kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum sinar putih
yang menyilaukan serta panasnya dapat menghanguskan dan melelehkan benda apa
saja menggempur ke arah sasaran di muka sana yaitu tubuh Wiro Saksana!
Pada detik yang sama Wiro Saksana
membentak pula.
”Heeyyyaaaaa!”
Tangan yang tadi bersidekap
dengan serentak memukul ke depan. Dan kedua tangan itu terus saja terpentang
lurus ke muka. Inilah apa yang dinamakan ilmu pukulan ”benteng topan melanda
samudra”! Ilmu pukulan ini bukan saja dapat dipakai untuk menyerang tapi sesuai
dengan namanya juga dapat menjadi perisai tangguh atau benteng kekar yang
melindungi Wiro dari serangan gurunya!
Bila angin-angin topan pukulan
itu sama bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang menyenging
liang telinga, debu dan pasir beterbangan, daun-daun pohon berguguran bahkan
ranting-ranting kering patah-patah dan berjatuhan! Puncak Gunung Gede bergetar.
Langit seperti mau terbelah oleh dentuman itu!
Ketika debu dan pasir surut ke
tanah, ketika keadaan di sekitar situ menjadi terang kembali maka Wiro Saksana
melihat bagaimana kedua kaki gurunya amblas ke dalam tanah sedalam sepuluh
senti. Muka perempuan itu penuh keringat dan matanya menyipit. Namun bila
ditelitinya pula keadaan dirinya maka didapatinya kedua kakinya tenggelam ke
dalam tanah sampai sebatas betis. Sedangkan tubuhnya yang memercikkan keringat
dingin itu terasa masih bergetar gontai akibat adu tanding tenaga dalam yang
luar biasa tadi!
”Bagus Wiro, bagus sekali!”
terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji namun dari mukanya bukan
menunjukkan kegembiraan, sebaliknya muka yang berkerut-kerut itu masih
memancarkan kengerian. ”Sekarang sambuti pukulan angin es ini, Wiro!”
Dan habis berkata begitu, Sinto
Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua tangannya dengan telapak membuka lebar menghadap
ke arah muridnya. Matanya kembali terpejam. Wiro menunggu dengan badan tiada
bergerak.
Udara mendadak menjadi sangat
sejuk. Kemudian ketika Sinto Gendeng memutarmutar kedua tangannya maka
kesejukan itu mendadak sontak berubah menjadi udara yang sangat dingin
menyembilui tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham Wiro Saksana bergemeletakan
menahan rasa dingin yang amat sangat itu. Permukaan kulitnya membeku seperti
ditutupi salju. Tanah yang dipijaknya laksana pedataran es. Satu menit saja hal
itu berlangsung lebih lama pastilah tubuh pemuda ini menjadi beku membatu.
Inilah kehebatan ilmu kesaktian yang bernama ”angin es” itu!
Dengan badan bergetar menahan
dingin, Wiro Saksana membentak dahsyat. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
diputar-putar ke udara angin laksana badai menggebubu ke pelbagai arah. Puncak
gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon yanag tadi kaku tegang oleh dinginnya
udara kini kelihatan mulai bergerak, makin kencang – makin kencang. Udara
dingin yang tadi menyayat sungsum kini tergetar buyar dilanda ilmu ”angin
puyuh” yang dilepaskan oleh Wiro Saksana.
Semakin keras putaran tangan
pemuda itu, semakin membadai gebubu angin, semakin buyar udara dingin.
Daun-daun pohon yang tadi hanya bergerak-gerak kini jatuh berhamburan bersama
rantingnya. Kemudian satu demi satu pohon-pohon kecil bertumbangan. Pohonpohon
besar yang masih bisa bertahan menjadi gundul daun dan rantingnya! Tubuh Eyang
Sinto Gendeng kelihatan tergoyang hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar.
”Gila betul! Gila betul!” teriak
perempuan sakti itu. Mulutnya mengeluarkan lengkingan dahsyat kemudian dia
melompat sejauh sembilan tombak dan dari situ mencabut sebuah tusuk kundai lalu
menyambitkannya ke arah Wiro.
Sang murid cepat-cepat hentikan
putaran tangannya dan melompat ke samping. Tusuk kundai membawa angin maut itu
melesat menghantam sebatang pohon. Pohon itu tumbang dengan batang pecah
berkeping-keping!
Udara dingin lenyap. Angin yang
memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti sedia kala. Ketika Wiro
memandang ke muka dilihatnya gurunya berdiri memegang sebentuk kapak yang aneh
sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih lama benda itu, Eyang Sinto
Gendeng ajukan pertanyaan, ”Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro? Kau
lihat….?!”
Sang murid mengangguk dan matanya
tetap lekat ke kapak aneh di tangan gurunya.
”Kali ini kau tak akan sanggup
lagi berkelit dari seranganku, Wiro!”
”Eyang Sinto…. apakah kau sudah
gila hendak membunuh murid sendiri….?!”
Perempuan itu tertawa mengikik.
”Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok
kau yang tidak tahu artinya Gendeng!”
Wiro memandang dengan waspada.
Matanya kembali meneliti kapak aneh di tangan gurunya. Kapak itu bermata dua
dan besarnya hampir sebesar batu bata. Gagangnya putih bersih, mungkin terbuat
dari gading menurut taksiran Wiro. Pada batang kapak yang besar hampir sebesar
lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung terbawah dari gagang
kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka.
”Wiro!”, kata Eyang Sinto. ”Aku akan
pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-turut untuk menyerangmu! Bila kau
sanggup melayaninya, kau akan selamat. Kalau tidak maka bersiaplah untuk mati
konyol!”
Wiro Saksana kertakkan geraham.
Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun sebelum mulutnya terbuka,
Eyang Sinto Gendeng sudah berseru:
”Ini jurus pertama Wiro!”
**********
7
Si tua Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat kian kemari dalam jurus ”orang gila mengebut lalat.” Ketika tadi Wiro Saksana memainkan jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa apalagi kini penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah!
Kapak besar itu berkelebat kian
kemari hampir tidak kelihatan karena cepatnya. Angin deras bersiuran mengibar-ngibarkan
pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang angin karena bila menyambar kulit
maka kulit itu perih bukan main, seperti lecet! Dan dari mulut kepala naga pada
ujung gagang kapak senantiasa keluar suara mendengung macam tawon!
Dalam sekejap saja Wiro Saksana
segera terbungkus sambaran-sambaran kapak bermata dua itu. Mata dan kulit
tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-deru. Telinganya pengang oleh
suara yang mengaung yang keluar dari mulut kepala naga-nagaan pada gagang
kapak.
”Ciaaaaatt!”
Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya
berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan dan kakinya sambar menyambar kian
kemari, membuat gerakan menghindar dan menyerang bagian-bagian yang lowong dari
gurunya. Tapi mana dia sangup mengahadapi senjata aneh yang dahsyat itu.
Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto Gendeng dan mempergunakan
jurus ”orang gila mengebut lalat” yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya.
Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah atau ayal sedikit saja pastilah
pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan kena disambar mata
kapak. Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi yang
dimilikinyalah maka Wiro Saksana dapat menghindari sambaran-sambaran dan
bacokanbacokan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan
pukulan-pukulan tenaga dalam yang dahsyat. Namun angin pukulannya terbendung
bahkan dihantam buyar oleh angin tajam yang menderu yang keluar dari senjata di
tangan gurunya.
”Senjata edan!” maki Wiro
Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke bawah. Serentak dengan itu tangan
kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam meluncur ke arah sambungan siku Eyang
Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki
kanan sang guru menyapu dari atas ke bawah, mencari sasaran di kepala Wiro
Saksana. Mau tak mau ini pemuda terpaksa jatuhkan dan gulingkan diri di tanah.
Dengan demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh kehebatan itu.
Sinto Gendeng berdiri dengan dada
turun naik.
”Kini jurus kedua, Wiro!”
katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya membungkuk ke muka
sedikit sedang kapak di tangan kanan dipegangnya lurus-lurus ke muka ke arah
Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng mengeluarkan
benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak dapat memastikan
benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk besi,
mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto
Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala kapak. Bunga api memijar.
Dan sedetik kemudian lidah api yang dahsyat menyambar ke arah Wiro Saksana!
Terkejutnya pemuda itu bukan
alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara. Lidah api lewat di bawahnya,
kedua kakinya terasa perih panas dan bila dia melirik ke belakang maka
dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar berkobar oleh
sambaran lidah api tadi!.
Masih belum turun ke tanah lagi,
maka Sinto Gendeng telah menyerang pemuda itu untuk kedua kalinya. Lidah api
menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah, menghindarkan dengan sebat. Tanah
yang tersambar lidah api kapak sakti itu menjadi hitam hangus. Wiro leletkan
lidahnya. Masih belum sempat dia mengatur nafas, tangan kiri dan tangan kanan
Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah
lusin banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan
membentak. Kedua tangannya diangkat tinggitinggi ke atas. Tubuhnya melompat
kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin es yang ditebarkannya hanya bisa
menahan gelombang lidah api yang menyambar tapi sama sekali tidak dapat
melenyapkan hawa panas lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih
belum hilang akal! Bentakan setinggi langit melengking ke udara. Tubuh Wiro
Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran lidah-lidah api untuk sesaat
kemudian berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke tempat Eyang
Sinto Gendeng berdiri.
Sambil bergulingan ini, Wiro
lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu ”kunyuk melempar buah” yang
satu lagi ”sinar matahari”! Mau tak mau Sinto Gendeng hindarkan diri juga ke
samping. Maka putuslah jurus kedua itu!
Wiro Saksana itu berdiri dengan
tubuh berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran api masih juga membakari semak
belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya berdiri tegak tak bergerak.
Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata adalah sebuah batu api dan kini
sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya.
”Jurus terakhir Wiro….!” kata
Eyang Sinto Gendeng.
Pemuda itu tahu, kalau dua jurus
pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus ketiga atau yang terakhir ini
tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-benar lebih waspada dan teliti
kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-tajam ke depan.
Sinto Gendeng memegang kapak itu
dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka di dekatkannya ke mulutnya
sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di batang kapak. Ketika Wiro
Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat gurunya maka terdengarlah suara
tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang mengeluarkan suara seruling
tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula
perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro Saksana. Kemudian tiupan seruling
mengeras dan pembuluh-pembuluh darah di tubuh Wiro seperti ditusuk-tusuk.
Darahnya mengalir tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya mengabur, kepalanya
berat dan pusing!
Maklum bahwa tiupan seruling itu
bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos tenaga dalam. Mengatur jalan
nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling semakin kencang. Melengking dan
menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya.
Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah Sinto Gendeng, tapi
sang guru kini tidak di tempat, melainkan berlari-lari sebat mengelilingi pemuda
itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari melompat tapi tubuhnya
terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh tiupan seruling!
Pinggangnya tertekuk kemuka.
Mendadak samar-samar ingatan jernih melintas di otaknya. Cepat-cepat pemuda ini
mentutup indera pendengarannya. Sukar sekali mula-mula, karena saat itu kedua
liang telinganya sudah mengeluarkan darah!
Tapi dengan kerahkan segala sisa
tenaga yang ada pemuda ini sanggup juga menutup pendengarannya. Begitu suara
seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan tenaga luar dan dalamnya
yang tadi punah kini datang kembali. Tapi rasa yang menusuk-nusuk
pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas
dan darahnya. Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit
demi sedikit. Dan ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas
menyerang pemuda ini pura-pura jatuhkan diri ke tanah, pura-pura pingsan. Namun
begitu tangan kanannya menyentuh tanah, segera diraupnya pasir tanah itu dan
dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng!
Ratusan pasir yang sudah diisi
dengan aji ”angin puyuh” itu menderu ke arah mulut naga-nagaan dan
lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke muka Sinto
Gendeng. Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari mulut kepala naga dan
cepatcepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya
rontok kembali ke tanah! Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak
saktinya ke balik pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir
sudah.
Wiro berdiri tersengal-sengal
bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan memperhatikan gerak-gerik
gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng mengatakan hanya akan menyerangnya
sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu akan menyerangnya
kembali! Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja kepadnya. Wiro
garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya dia menuntut
ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini diketahuinya bahwa Eyang Sinto
Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi
juga demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru hari itu pula gurunya
menggempur dia dengan serangan-serangan yang benar-benar mematikan.
Serangan-serangan yang dilancarkan tidak dengan tertawa-tawa sebagaimana
biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian yang dibawakan gurunya tadi!
Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro Saksana hari ini.
Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek
sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri. Terdengar suara tertawa yang
meringkik-ringkik macam kuda.
”Gila betul!” maki Wiro. Dia
cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang Sinto Gendeng berkelebat ke arahnya!
**********
8
Tetapi Eyang Sinto bukan
menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas pohon jambu
klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk sebelumnya.
”Bagus Wiro…. bagus sekali,”
katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah timur. ”Sekian lama kau kudidik
di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak mengecewakan….!” Sinto Gendeng
tertawa melengking-lengking. Dan sehabis tertawa tadi maka diulanginya nyanyian
tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah
kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep
mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua
tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang
dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di
bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu
klutuk. Dilihatnya gurunya
menghela nafas dalam beberapa kali. ”Dadamu sesak Eyang? Aku bisa tolong
urut….” ”Diam!” bentak Sinto Gendeng. Wiro menggaruk kepalanya dan diam. ”Aku
mau bicara sama kau!” kata Sinto Gendeng pula.
”Bicara apa Eyang….?” Pemuda ini
mulai bicara sungguh-sungguh karena dilihatnya gurunya juga bicara
sungguh-sungguh.
”Berapa lama kau tinggal di sini
bersamaku, Wiro?!”
”Murid tidak ingat….”
”Gelo betul! Buat apa aku ajar
tulis baca dan berhitung sama kau?!”
”Mungkin sepuluh tahun, Eyang….”
”Goblok! Tujuh belas tahun,
tahu?!”
Wiro tertawa, ”Iyyaa…. tujuh
belas tahun Eyang,” katanya pula.
”Kuharap hari ini kau jangan
bicara sinting sama aku, Wiro!” bentak Sinto Gendeng dan matanya masih terus
menatap ke timur.
”Kau lihat matahari itu?”
”Lihat Eyang….” jawab Wiro seraya
memandang ke timur.
”Matahari itu masih tetap
matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang
silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga. Cuma yang tua
tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!”
Wiro Saksana mendengarkan dengan
sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya gurunya bicara seperti itu
sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali suara
sang nenek. ”Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau tinggal bersamaku. Belajar tulis
baca, belajar ilmu silat, belajar segala kesaktian. Tapi kau jangan lupa! Kudu
inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau semuanya
adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada
artinya jika dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti,
Wiro?”
”Ya, Eyang….”
”Karena itu kau musti sadar, kudu
ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang
orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang musti kau lakukan ialah
menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali
bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk
menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat
balasan sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang
sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau
sadar, Wiro?”
”Sadar, Eyang….”
”Ingat?”
”Ingat,Eyang….”
”Ingat…. ya ingat! Manusia ingat
dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak mau kalau kau cuma sekedar mengingat
saja karena setiap ada ingat musti ada lupa. Dan manusia manapun selagi bernama
manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa dan kelupaan.
Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam hatimu, ke
dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke
dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang
pohon jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena
dari hari ke hari akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh
masuk ke dalam tanah!”
Kesunyian menyeling beberapa
lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh
suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
”Hari ini adalah hari yang
penghabisan kau berada di sini, Wiro!”
”Eyang….,” terkejut Wiro Saksana
mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.
”Kau terkejut….? Tak perlu
terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan.
Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan
segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu
menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku….”
Dalam duduknya itu Wiro Saksana
jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng
tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro
ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa perjanjian…. tujuh belas tahun
saat pembalasan….
Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba
melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di hadapan muridnya. Dan mulai
lagi bicara.
”Segala apa yang ada di dunia ini
selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang berlainan satu sama lain
tapi yang menjadi pasangan-pasangannya….”
Wiro Saksana kerenyitkan kening
tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya.
”Misalnya…., ada laki-laki ada
perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!”
”Betul Eyang….”
”Misal lain…. ada langit…. ada
bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air…. ada panas ada dingin. Ada hidup
ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada
panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek! Semuanya selalu
begitu Wiro, Kemudian…. ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas
semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang
ciptakan kau,
Wiro….?”
”Tidak tahu Eyang….”
”Bogrol!”
”Aku tahu Eyang….”
”Siapa?”
”Ibu sama bapakku.”
”Siapa yang mencipatakan ibu sama
bapak kau?”
”Nenek sama kakek….”
”Yang menciptakan nenek sama
kakek….?”
”Nenek dari nenek dan kakek dari
kakek….”
”Dan yang menciptakan nenek dari
nenek serta kakek dari kakek….?”
”Ya nenek dari nenek dari nenek
dan kakek….”
”Geblek!” bentak Sinto Gendeng.
”Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia! Bapak kau kawin sama ibu kau
dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kau dilahirkan sama nenek,
kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja di dunia ini
diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga
diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki
juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin
orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya
juga bikin manusia-manusia miskin. Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau
punya mata?”
”Dua, Eyang.”
”Hidung?”
”Satu Eyang.”
”Lobang hidung?”
”Dua Eyang….”
”Mulut?”
”Satu….”
”Bibir?”
”Dua Eyang.”
”Kepala?”
”Satu….”
”Tangan?”
”Dua….”
”Kaki….?”
”Juga dua Eyang….”
”Kau punya biji kemaluan….?”
”Dua Eyang,” dan dalam hatinya
Wiro memaki tapi geli.
”Kau punya batang kemaluan?”
”Satu Eyang….” Wiro geli lagi dan
memaki lagi.
”Nah…. itu semua membuktikan di
dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu,
satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada
melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha
Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua
ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam
diri manusia! Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya
miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang
satu yakni Gusti Allah….”
”Tapi manusia yang picak, Eyang,
matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya
satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang sempurna dalam dirinya….”
”Betul, meski begitu berarti dia
cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga melekat angka
satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa dalam diri manusia musti
ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti, goblok?!”
Wiro diam, kata-kata gurunya itu
memang betul.
”Sekarang berdirilah kau!,”
perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai
dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya
kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini mundur beberapa
langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi hingga kedua
matanya berair.
**********
9
“Kenapa kau terkejut….?” tanya
Eyang Sinto Gendeng. “Kau takut?!”
“Eyang mau bikin cilaka murid
lagi?!” tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi
melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke belakang. ”Pejamkan
matamu, Wiro!” perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
”Tapi…. Eyang mau bikin apa?!”
”Eeee…. kunyuk betul kau! Aku
suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan matamu!”
Wiro memejamkan matanya dengan
ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul.
”Biar rapat!” hardik Sinto
Gendeng.
Dan Wiro terpaksa menutup matanya
rapat-rapat.
“Buka bajumu!”
Wiro membuka bajunya dan
meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
“Buka tangan kananmu, naikkan ke
atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!”, perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro
mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto Gendeng memegang mata
kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya kemudian menempelkan
disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala kapak yang terbuat dari besi
putih itu.
”Apapun yang terjadi sekali-kali
jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kau mau
mampus!”
”Eyang….”
”Diam! Gila betul!,” bentak Sinto
Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat
rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naganagaan di hulu kapak melesat
dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum putih. Ketiga puluh enam
jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana.
Jarum-jarum ini menancap dengan
teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah
ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat rahasia dekat kepala kapak.
Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan
sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan jarum yang
36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman,
Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada pemuda itu, juga
jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika Wiro sadarkan diri
maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka 212 berwarna hitam
kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak tangannya.
Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih
sehingga
agak samar-samar kelihatannya.
”Berdiri Wiro!” perintah sang
guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak
tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya. Yang dia tahu tadi ialah
suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh dan…. tak ingat apa-apa
lagi.
“Kau telah lihat angka 212 pada
kulit dada dan telapak tangan kananmu?”
Wiro mengangguk.
“Berarti dalam dirimu sudah
kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa
bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama manusia. Juga agar kau
tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan
dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?”
“Mengerti Eyang. Tapi… mengapa
badanku kini tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa
bertambah hebat!”
Eyang Sinto Gendeng tertawa
mengikik.
“Itu adalah berkat jarum kapak
Naga Geni 212” kata Sinto Gendeng pula. Lalu neneknenek ini menerangkan apa
yang telah dilakukannya terhadap muridnya.
Wiro merasa mendapat anugerah
ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya.
”Tak usah pakai peradatan segala
macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau bicarakan sama kau,” kata Sinto
Gendeng pula.
Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak
dan batu hitam kembali. Diulurkannya bendabenda itu. ”Wiro…. kapak ini kuberi
nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk
membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku.
Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah….”
Tertegun dan hampir tak percaya
Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat
anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia terdiam mematung seketika.
”Ayo Wiro! Kenapa kau jadi
bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!”
Wiro Saksana mengulurkan kedua
tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak
mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula
dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat
tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang
paling
sempurna!
”Sisipkan di pinggangmu Wiro dan
pakai kau punya baju kembali!”
Wiro melakukan apa yang dikatakan
Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke
pinggangnya.
”Kapak Naga Geni 212 bukan
senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan.
Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau dalam keadaan
nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi
masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di
bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut
naga-nagaan…. Untuk membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah
pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi
dengan sejenis racun yang hebat sehingga tubuhmu akan kebal terhadap segala
racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun yang tersembunyi, Wiro.
Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan lawan!”
Wiro Saksana hendak berlutut
lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
”Terima kasih Eyang…. terima
kasih,” kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya
keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan
yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian mulailah dia untuk
ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar….
Ketika Sinto Gendeng selesai
menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
”Eyang, apakah maksud Eyang
dengan nyanyian itu….?”
Sinto Gendeng tertawa. Aneh
sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu sedih serta rawan.
Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar tanda dia tak dapat
menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
”Aku sudah bilang bahwa hari ini
adalah hari yang penghabisan kau berada di Gunung Gede ini bersamaku….”
”Mengapa demikian, Eyang….?” Wiro
garuk-garuk kepalanya.
”Karena segala ilmuku telah
kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk turun gunung,
memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu sendiri yang telah
ditentukan Gusti Allah….”
Sinto Gendeng diam seketika.
Kemudian diteruskannya, ”Sebelum kau meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada
satu tugas yang musti kau lakukan….”
”Tugas apakah itu, Eyang?” tanya
Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut gondrong itu.
”Dengar baik-baik Wiro…. Lebih
dari empat puluh tahun yang silam aku telah mengambil seorang murid bernama
Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua tahun. Dari umur dua tahun
itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian. Tapi
kemudian aku ketahui bahwa aku telah ketelanjuran mengambil itu manusia menjadi
muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar
Suranyali bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang
kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat
keonaran dimana-mana! Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik
perempuan-perempuan cantik dan merusak kehormatannya! Menurutku kini umurnya
sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke liang kubur! Tapi ini sama sekali
tidak memberikan keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhirakhir ini semakin
menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah menyusun rencana busuk
terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kau
harus lekas-lekas dapat mencari itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya
untuk datang ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang
telah dibuatnya selama malang melintang di dunia sana! Dan perlu kau ketahui,
Suranyali kini telah memakai nama baru yakni Mahesa Birawa!”
Wiro Saksana merasa betapa
sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah mendidiknya itu.
Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk menjalankan tugas dari sang
guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu:
”Tugas Eyang akan aku laksanakan.
Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk
datang ke sini….?”
”Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni
manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!”
Wiro Saksana terdiam. Dalam
diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah ketinggian ilmu Suranyali atau
Mahesa Birawa itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia yang sesungguhnya adalah
kakak seperguruannya sendiri?!
”Aku tahu apa yang kau pikirkan
Wiro,” kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana.
”Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah berguru pula pada seorang
sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki kapak Naga Geni
212. Dan kau berada dalam
kebenaran pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk membunuh itu manusia, Wiro.
Pertama karena tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu! Kedua karena Suranyali
atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!”
Mendadak sontak bergetarlah
sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak kecil, sejak
diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia mengetahui apa yang dinamakan
kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa mau pecah oleh
kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
”Bapakmu bernama Ranaweleng!
Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya. Sesudah itu bunuh diri sesudah
dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui ajal dimakan api sewaktu
rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan sekali aku
lewat disitu….”
Wiro menjatuhkan diri di hadapan
gurunya. ”Terima kasih Eyang…. kalau Eyang tidak ada….”
”Berdiri!” bentak Sinto Gendeng.
Perempuan aneh itu memang paling tidak suka dilututi seperti itu. ”Bukan aku
yang menolong kau, tapi Gusti Allah!” katanya. ”Ayo berdiri!”
Wiro berdiri kembali. Dan Sinto
Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun yang lalu sejelas-jelasnya. Kini
maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian gurunya tadi. Dikuatkan
hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk. Dikuatkannya dirinya
untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
”Eyang….,” desis Wiro Saksana,
”Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak langsung
turun tangan….?”
Sinto Gendeng tertawa rawan.
”Semustinya…. semustinya memang
aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng – bapakmu
– mempunyai seorang orok maka aku mempunyai pikiran lain! Kalau kupelihara anak
itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jika sudah besar dia lebih
mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa.
Kalau tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini
tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap
kejahatan ada pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1.
Suranyali membunuh orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau
lupakan!”
”Menurut Eyang, apakah manusia
keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama anak-anak buahnya….?”
”Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu
tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah bahwa manusia itu hendak membuat
Pajajran banjir darah. Karenanya, seret dia ke sini sebelum hal itu terjadi.
Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!” (pateni=bunuh).
Sunyi selang beberapa lamanya.
Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
”Kau akan segera berangkat,
Wiro?”
Pemuda itu tak segera menjawab.
Kemudian dia mengangguk perlahan.
”Ucapanku yang terakhir Wiro,
mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik
bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG.” Dan habis berkata demikian si
nenek tua ini tertawa mengikik lama dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah
untuk menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air mata yang
hendak tumpah keluar!
”Eyang…. kapan kita bisa bertemu
lagi?” tanya Wiro.
Sang guru hentikan tertawanya.
”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih
mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro Sableng….!”
**********
10
Kedai nasi itu cukup besar. Tapi
saat itu pengunjungnya cuma beberapa orang. Wiro Sableng meneguk air liurnya.
Dia tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan lapar, tenggorokannya kering
dahaga. Akhirnya dia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro duduk di satu sudut.
Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi pemuda rambut gondrong ini terus
saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu.
Seorang laki-laki tua ubanan
datang mendekatinya. Dia adalah pemilik kedai.
”Makan nak….?” tegurnya.
Wiro mengangguk. ”Tapi jangan
mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!” kata Wiro Sableng terus terang.
Pemilik warung itu kerutkan
kening. Selama dia membuka kedai di Jatiwalu itu baru hari ini ada seorang tamu
yang datang di kedainya dan berkata seperti itu. Matanya meneliti Wiro Sableng
dari rambutnya yang gondrong sampai ke kakinya yang berdebu.
”Kau tentu seorang pendatang….”,
katanya.
”Betul,” Wiro menggaruk-garuk
rambutnya. ”Tolong lekas nasinya, pak, perutku sudah lapar betul….!”
Orang kedai itu segera
mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu diletakkannya di atas meja di
hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini. Selama tujuh belas tahun di puncak
Gunung Gede dia hanya kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih
dan ikan serta gulai yang lezat maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di
kulit mukanya. Kemudian diteguknya air. Pada saat dia mengusapi perutnya yang
buncit keras itu maka masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba
hitam, memakai golok di pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap
dipandang. Mereka masuk dan duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara
berewok.
Pemilik kedai melihat kehadiran
keempat orang ini dengan cepat datang melayani. Agaknya keempat manusia ini
pastilah orang-orang penting juga. Tak lama kemudian maka dihidangkanlah
makanan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan dalam sebuah
bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang itu makan dengan
angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka terdengar sampai ke tempat Wiro
Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini tak mau ambil peduli. Meski mereka
menyiplak sampai sekeras geledek pun dia tak akan ambil pusing!
Wiro Sableng melambaikan tangan
memanggil pemilik kedai.
”Berapa aku musti bayar?” tanya
Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan
jumlah uang yang musti dibayar Wiro.
”Waduh… mahal sekali!” keluh
Wiro. ”Tadi aku sudah bilang jangan mahal-mahal…”
”Itu juga sudah sangat murah,
Nak,” kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. ”Habis uangku buat bayar makanan itu.” Dikeluarkannya uangnya dan
diberikannya pada orang di kedai.
Pada saat itu pula terdengar
gelak tawa keempat orang yang duduk di meja seberang sana. Salah seorang dari
mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak berkata, ”Kalau tidak
gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!”
Yang seorang lagi menyambungi,
”Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya cari saja makanan di tong
sampah!”
Keempat orang itu tertawa
gelak-gelak.
Wiro memandang kepada mereka.
Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang saja malahan sunggingkan senyum
dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang berkumis panjang
menjulai ke bawah bertanya, ”Kau mau uang buat beli makanan?”
”Mau saja kalau diberi,” jawab
Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya.
”Merangkaklah dihadapanku,
menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih uang kepadamu”
Atap kedai itu seperti mau runtuh
oleh suara tertawa keempat orang itu.
Wiro memandang berkeliling.
Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang berjejer digantung di atas
meja tempat meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah pemuda itu. Mula-mula
perlahan tapi makin lama makin keras dan dia melangkah mendekati deretan pisang
itu. Dikeluarkannya sisa seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa tapi
cukup untuk membeli sesisir pisang.
”Aku beli pisangmu, pak,” kata
Wiro.
Diturunkannya sesisisr sambil
melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah pisang. Dia melangkah juga ke
pintu sementara di belakangnya masih terdengar suara gelak tawa keempat orang
tadi.
Tiba-tiba hampir tak kelihatan
saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali Wiro Sableng gerakkan tangan
kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya.
Di belakangnya suara tertawa
keempat orang tadi mendadak sontak berhenti, berganti dengan suara-suara
tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam mulut empat manusia
berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka sudah
megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah terus
sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan acuh tak
acuh ketika beberapa saat kemudian didengarnya derap kaki empat orang dalam
kedai tadi mengejarnya.
”Bikin mampus saja sama
kawan-kawan!” teriak salah seorang pengejar.
”Berani kurang ajar sama kita
orang! Cincang sampai lumat!,” kata yang berbadan paling tinggi.
Wiro Sableng terus juga melangkah
enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya dilambaikannya ke belakang untuk
melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya. Namun lambaian tangan itu bukan
lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan kulit pisang belaka! Dari
tangan kanan pemuda itu membadai angin dahsyat laksana tembok baja yang
membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka mempercepat lari
mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro Sableng padahal
kelihatannya pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan tangan lagi!
Keempat orang itu
berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan tangan ke muka
karena merasa hampir-hampir dapat menagkap punggung baju Wiro Sableng!
Namun gerakan-gerakan mereka itu
tak ubahnya seperti empat ekor monyet yang menjadi gila mencak-mencak kian
kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkang-ongkang bahkan
sambil makan pisang ambon!
Mengapa sampai terjadi hal yang
demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah mengeluarkan ilmu kesaktiannya
yang bernama: dinding angin berhembus tindih menindih!
”Gila betul!” teriak laki-laki
tinggi jangkung yang lari paling depan. Namanya Bergola Wungu. Dialah yang
menjadi pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang memiliki ilmu paling
tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari
dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan dilemparkannya ke arah punggung
Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat kembali, berbalik menyerang
Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak cepat-cepat buang diri ke samping pastilah
lehernya akan dimakan ujung pisau!
Akhirnya dengan keluarkan keringat
dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya hentikan pengejaran. Baru hari ini
Bergola Wungu serta anak-anak buahnya menghadapi kejadian seperti itu. Kejadian
yang mendekam hati tapi juga aneh tak bisa mereka mengerti. Sebagai pemimpin
dari tiga orang itu, sebagai orang yang paling tinggi ilmu silat dan
kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci
mukanya dia berkata menggerendeng:
”Kalau bangsat itu bukannya
manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!”
**********
11
Siapakah keempat manusia
berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara berewok itu? Mereka menamakan
diri Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan Bergola Wungu sebagai pimpinannya.
Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang malang melintang sepanjang sungai
Cimandilu yang terkenal keganasannya di daerah sekitar situ. Dulunya, Bergola
Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan Kalingundil,
kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Jatiwalu.
Sesudah ayahnya dibunuh,
keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan tiga orang anak buahnya
semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu yang saat itu berumur
dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu tekat yaitu
mencari guru silat yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian kepadanya. Dia
berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga
orang anak buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai
Cimandilu, menjadi kepala perampok yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya saat
untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama ketiga orang anak buahnya
berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai di Jatiwalu, Kalingundil
dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar kampung dan tak satu
orangpun yang tahu. Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan untuk
menunggu sampai musuh besarnya itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil
masih juga belum muncul.
Mereka duduk di dalam kedai di
tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun yang bisa bicara. Bergola Wungu
teguk tuaknya sampai habis.
”Kurasa manusia itu mungkin salah
seorang anak buah Kalingundil….”, kata Ketut Ireng, laki-laki yang duduk di
hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas
bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu benar-benar anak buah
Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan menemui kegagalan.
Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi Kalingundil
sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup
lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil
seperti kenyataan tadi, ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!
”Tidak mungkin….,” desis Bergola
Wungu. ”Tak mungkin manusia tadi adalah anak buah Kalingundil! Lagi kita belum
yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan aku ingat bahwa Kalingundil cuma
punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang mereka semua!”
”Tapi bukan mustahil selama
belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,” menyela laki-laki yang
bernama Seta Inging.
”Aku tetap tidak mau percaya….!”,
kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya pada pemilik kedai. ”Sini!”,
bentaknya.
Orang tua pemilik kedai datang
dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
”Berapa orang anak buah
Kalingundil semuanya?”
”Cuma tiga, Den. Cuma tiga….”
”Masih yang dulu-dulu juga….?”
Orang tua itu mengangguk.
”Dan tak satu manusiapun disini
yang tahu kemana mereka pergi?!”
”Tidak satupun, Den….”
”Selain mereka berempat, siapa
lagi yang diam di rumah besar itu….?”
”Tidak ada, Den….”
”Dulu kudengar dia punya bini….”
”Sudah meninggal, Den….”
”Juga seorang anak perempuan….
Apa juga sudah meninggal?!”
”Tidak.”
”Kalau begitu dimana perempuan
itu sekarang?”
”Bapak tidak tahu, Den….”
”Dusta!”
”Sungguh tidak tahu, Den….”
”Bakar saja kedai ini!”, ancam
Ketut Ireng.
Dan orang tua itupun berlutut
minta dikasihani. ”Jangan den…. sungguh bapak tidak tahu. Jangan dibakar kedai
ini den…. Kasihani bapak…. Tapi mungkin dia ikut bersama Kalingundil. Mungkin
juga…. Mungkin juga menginap di tempat bibinya….”
”Dimana tempat bibinya?”
”Tidak tahu, Den….”
”Tidak tahu melulu!”, bentak
Bergola Wungu.
”Kalian manusia-manusia yang
sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil, yang diperas dan dipreteli
harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih saja melindungi manusia-manusia
keparat itu!”
”Kami semua benci dan mendendam
terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den. Tapi kami ini rakyat lemah. Tak
ada daya untuk melawan………..”
”Kalian bukan lemah tapi bodoh
dan pengecut!” bentak Ketut Ireng. Lalu sambungnya, ”jika beberapa hari dimuka
ini kami masih belum juga menemui Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya itu,
akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung ini….!”
”Oh jangan, Den…. Jangan, Den.
Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa kampung ini dulunya adalah kampung
raden juga….”
”Dulu!” kata Bergola Wungu, ”tapi
sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku ditumpas, kampung ini bukan kampungku
lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam diri, tak ambil perduli ketika ibuku
dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku ditebas lehernya! Patutkah
kuakui ini sebagai kampungku? Persetan sama kampung keparat ini!”
Bergola Wungu membantingkan gelas
bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas bambu mental terbelah dua!
”Mereka bukannya takut, den,
bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya. Kalingundil dan anak buahnya
berilmu tinggi….”
”Diam!”, bentak Bergola Wungu.
Orang tua pemilik kedai itu diam
membungkam.
Ketut Ireng ambil bagian kini,
”Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang tadi makan di sini?!”
”Tidak tahu, Den. Sungguh tidak
tahu…….”
”Sudah pergi sana!” bentak
Bergola Wungu.
Orang tua itu berlalu dengan
cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga anak buahnya meninggalkan
kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa yang telah mereka makan dan
mereka minum!
**********
12
Dia masih juga mencabuti
rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama sekali tak mengacuhkan derap
kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena menyangka bahwa itu adalah
kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat tersebut. Tapi tangannya yang halus
itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar suara tertawa
seseorang.
”Ha…. ha…. inikah manusia yang
menjadi anak tunggal keparat Kalingundil?!”
Gadis enam belas tahun yang
berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang penunggang kuda dilihatnya
berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling depanlah yang tadi tertawa
dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih lebat dari berewok tiga
manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker.
”He…. he…. cantik juga parasnya
huh?!”, kata laki-laki ini yang tak lain dari Bergola Wungu adanya.
”Tapi sayang, kepalanya musti
kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian, Bergola Wungu?!”
”Betul, tapi tak perlu
cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan kalian semua!”
Keempat orang itu tertawa
bekakakan.
”Kunyuk-kunyuk hitam berewok!
Kalian siapa?!”, bentak gadis berbaju biru. Dengan enteng dia berdiri. Tangan
kanan memegang hulu pedang yang tersisip di pinggang.
”Eh, galak juga betina ini!”,
kata Ketut Ireng.
”Tapi kalau kau mau kenal kami,
aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri. Namaku Ketut Ireng…. Ini Bergola
Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging dan ini yang matanya jereng
Pitala Kuning. Nah… nah… sekarang kau tak keberatan kasih tahu namamu….?”
Keempat orang itu tertawa lagi.
”Manusia edan! Berlalulah dari
hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan pedangku!”
”Ah, besar mulutnya sama saja
sama bapaknya!”, kata Bergola Wungu sambil usapusap berewoknya. ”Ketahuilah
kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur. Itupun kalau ada liang kubur
yang masih mau menerimanya!”
”Mulutmu terlalu besar monyet
berewok!”, hardik gadis itu. ”Aku mau lihat apakah juga cukup besar untuk
menerima ujung pedangku ini?!”
Diiringi dengan pekik yang
membising maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah kepala Bergola Wungu! Kejut
keempat orang itu, terutama Bergola Wungu sendiri tidak terkirakan. Kalau tidak
cepat dia buang diri dari punggung kuda pastilah kepalanya akan terbelah dua.
Tapi selagi tubuhnya melayang di
udara, maka saat itu pula pedang di tangan si gadis sekali lagi membabat sebat.
Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke samping kiri. Pedang si
gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui sasarannya di
leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat sebelum
meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang
lainnya latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja
tiga penunggangnya sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka
akan dilempar mental! Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur
menerjangi batu-batu nisan pekuburan!
”Iblis betina!”, kertak Bergola
Wungu. ”Meski kau punya tampang cantik dan tubuh mulus, apa kau sangka aku
ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher?!”
”Jangan jual bacot kunyuk
berewok! Lihat pedang!” pedang di tangan si gadis itu berkelebat lagi lebih
cepat dan sebat.
”Sreet!” Bergola Wungu cabut
golok panjangnya.
Dan….
”Trang!”
Dua senjata beradu keras di udara
memercikkan bunga api yang menyilaukan mata. Tangan Bergola Wungu tergetar
kesemutan sedang si gadis baju biru terpental beberapa langkah ke belakang.
Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan
ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi dari padanya, namun gadis yang
keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan dahsyat yang keluar dari
tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang. Sinar pedang
menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola Wungu bukan manusia
hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak kemarin. Percuma dia malang melintang
belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali
dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap dari pemandangan.
”Breet…. breet…. breet….
breet….!!!”
Gadis baju biru terpekik dan
keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya merah gelap ketika menyadari
bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari sepuluh robekan
pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan setengah
telanjang!
”Manusia binatang!” rutuk gadis
baju biru. ”Hari ini aku mengadu nyawa terhadapmu!” Dengan segala kekalapan dia
menyerbu ke muka. Pedangnya menderu laksana topan. Bergola Wungu berkelit ke
samping. Pedang si gadis hantam batu nisan sehingga terkutung dua! Dia kembali
membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan kiri Bergola Wungu telah
menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya terlepas dan mental
jauh.
”Ha…. ha…. hari ini tamatlah
riwayatmu sebagai anak Kalingundil!”
Golok panjang di tangan Bergola
Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali terdengar suara: breet…. breet….
breet….! Dan kini celana biru si gadis yang menjadi sasaran ujung golok. Dalam
waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah hampir telanjang.
Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan buah dada,
perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak
bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak perempuan Kalingundil ini berusaha
untuk selamatkan diri. Namun ujung golok Bergola Wungu benar-benar telah
mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya untuk
lari, tak mungkin baginya untuk
selamatkan nyawa!
”Sreet….!”
Ujung rambut gadis itu terbabat
putus.
”Sreet….!”
Tali celana biru si gadis
terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari pinggangnya dan auratnya
benar-benar tiada tertutup kini!
”Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!”
teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak.
”Bunuh soal mudah!”, katanya
sambil tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis itu. ”tapi apa kau tahu bahwa
dulu sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu memperkosanya?! Ha….
ha…. Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!”
Tiba-tiba dengan kecepatan yang
luar biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke muka. Tapi gerakan Bergola
Wungu lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke samping. Begitu si gadis
terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar rambutsi gadis.
Gadis yang hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke muka.
Serangan yang tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu
melemparkan gadis itu ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya
bergulung-gulung. Yang satu berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang
satu sengaja untuk menghancurkan kehormatan itu!
”Kawan-kawan!”, teriak Bergola
Wungu. ”Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian kita semua! Ayo tunggu apa lagi?!”
Serentak dengan itu tiga orang
anak buah Bergola Wungu segera menyerbu pula. Seorang gadis, empat laki-laki
bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit, berteriak, menendang dan
menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setan-setan
kuburan!
**********
13
Pembalasan dendam kesumat memang
dahsyat. Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap.
Keadaan Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis.
Empat pasang tangan manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di
atas sebuah makam tua.
”Ha….ha…ha! Tulang belulang kau
punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan hukum karma ini!” kata Bergola Wungu.
Nilamsuri hantamkan lututnya ke
perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak mendatanginya dari atas. Tapi
hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali itu tiada terasa oleh manusia
berewok itu!
”Keparat! Bunuh saja aku!
Bunuh!”, teriak Nilamsuri.
”Kehormatanmu dulu, baru
nyawamu!.” Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh tiga anak buahnya yang juga
menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu, Bergola Wungu mulai
melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk bisa
selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak
seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan putih berkelebat dari
sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan tahu-tahu keempat
orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung batu!
Nilamsuri yang hanya merasakan
sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan pada tubuhnya berhenti dengan
mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca itu. Terkejut sekali dan
hampir tak percaya dia melihat bagaimana keempat manusia berewok itu masih
berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh mereka
tegang kaku!
Gadis ini bangkit dengan cepat.
Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia itu? Dia ingat pada desiran
angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah menolongnya? Manusia yang mempunyai
kesaktian luar biasa? Diperhatikannya keempat laki-laki itu. Ternyata mereka
tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin keempatnya
telah dicekik oleh setan kuburan?!
Peristiwa yang sangat aneh itu
membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya sendiri saat itu. Dia memandang
berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang tergeletak di atas
batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan celana putih. Dan
memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya.
Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana
pakaian itu bisa berada di atas kuburan tersebut si gadis langsung saja
melompat, menyambar pakaian itu dan lari ke balik serumpun semak-semak.
Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski agak kebesaran sedikit, tapi
pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri dan si gadis merasa
sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak
itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat manusia yang masih berjongkok kaku
di seberang sana maka meluaplah amarahnya. Mendidih darahnya. Disambarnya
pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang berkiblat sekaligus menyambar
ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
”Tring!”
Sebutir kerikil sebesar ujung
jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang hendak merenggut nyawa keempat
manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil ini membuat pedang di tangan
Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu jengkal di atas kepala
Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Terkejut anak gadis Kalingundil
ini bukan kepalang. Serentak dengan itu dia membentak dan memandang
berkeliling. ”Manusia atau setan yang jadi biang kerok jangan sembunyi!
Unjukkan diri!”
Tak ada yang menyahut. Tapi
rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja kelihatan bergerak. Dan
Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak belukar itu. Semak
belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada siapapun
kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan
tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah empat kepala manusia di hadapannya.
Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata itu!
”Kurang ajar betul!”, maki
Nilamsuri. ”Jika berani cari urusan, berani unjukkan diri!!”
Terdengar suara tawa bergelak.
Suara tertawa itu datangnya dari
balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk kedua kalinya Nilamsuri
lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda pohon-pohon bambu.
Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang sedang
daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan
seorang manusia pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi suara tertawa
bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, ”Hanya manusia pengecut yang
membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!”
Nilamsuri memandang ke atas pohon
kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh kelihatan lenyap berkelebat ke
utara laksana gaib!
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa
menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua kaki dan segera mengejar ke
jurusan utara!
Sampai beberapa ratus tombak jauhnya
ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil mengejar orang tadi. Jangankan
mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan jejak kakinya sama sekali tidak
kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan pengejarannya di tepi sebuah lembah.
Di samping rasa geram hatinya
juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia itu tadi dan kemanakah
lenyapnya? Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari perbuatan terkutuk
Bergola Wungu dan kawan-kawannya? Sekiranya betul mengapa lantas kemudiannya
orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher keempat manusia
berewok itu?
Nilamsuri memandang lagi ke dalam
lembah. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian. Kemudian gadis ini memandang
kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini ditemuinya di atas sebuah makam.
Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk dipakainya oleh manusia aneh
yang melarikan diri itu?
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak
kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta tertahan ketika di belakangnya
dari balik sebatang pohon waru terdengar suara orang berkata.
”Hendak kembali membuat
kepengecutan? Membunuh musuh yang tak berdaya? Percuma tahu ilmu silat tapi
tidak tahu tata peradatan silat!”
Bukan main geramnya Nilamsuri
mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon waru. Tapi lebih cepat lagi
gerakannya itu orang yang tadi berkata telah berkelebat laksana bayang-bayang
dan lari ke dalam lembah.
”Manusia atau setan! Jangan
lari!” teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia mengejar ke dalam lembah. Tapi
seperti tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang yang dikejarnya
lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang pohon tinggi
dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya
orang tadi. Namun ini juga tidak memberikan hasil.
Nilamsuri turun kembali.
Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas kalau belum berhasil
menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak sungai akhirnya gadis
ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi sungai ini.
Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini
datang dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur.
Gadis ini langkahkan kaki ke hulu sungai.
Belum sampai lima puluh langkah
dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang arus airnya lebih cepat
mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas sebuah batu besar yang
licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan
rambutnya gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibuat
orang ini ditengah sungai ini di atas batu itu. Berat kecurigannya bahwa
manusia ini adalah orang yang tadi dikejarnya. Tapi anehnya santarnya bau benda
yang terpanggang itu datang dari arah laki-laki di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah
beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki itu, untuk dapat melihat
apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat melihat paras
laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu dapat
disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh
seekor ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya
dengan lahap! Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak
dimengerti sama sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana
laki-laki itu duduk atau ditepi sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas
perapian untuk membakar ikan yang kini tengah dimakan dengan lahap oleh si
rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus.
Kemudian berserulah dia ke tengah sungai.
”Saudara! Apa kau melihat
seseorang lewat sekitar sini?!”
Laki-laki di tengah sungai tidak
menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan lahapnya terus saja dia makan ikan
panggang itu.
”Saudara!”, seru Nilamsuri sekali
lagi.
Kali ini orang itu palingkan
kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak menyangka kalau si rambut
gondrong ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang keren!
Meski keren tapi paras itu
membayangkan pula paras anak-anak dan lucu!
”Eh…. kau bicara sama aku?” tanya
pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang itu.
”Ya! Aku tanya apa kau lihat
seseorang lewat di sini?!” kata Nilamsuri pula.
”Laki-laki atau perempuan?” tanya
si rambut gondrong.
”Laki-laki….”
”Orangnya sudah tua apa masih
muda….?”
”Kurang jelas. Cuma dia
berpakaian putih-putih….”
Si rambut gondrong melemparkan
kerangka ikan yang habis dimakannya ke dalam sungai. Kemudian dipandanginya
pakaiannya sendiri. ”Eh, aku juga berpakaian putih putih….,” katanya. ”Kalau
begitu pastilah aku yang kau cari!”. Pemuda ini garuk rambutnya dan tertawa.
Sikap dan ucapan pemuda ini agak
mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang untuk memastikan bahwa orang yang
dikejarnya adalah pemuda itu. Karena tampangnya meski keren tapi seperti
kanak-kanak.
”Eh, kenapa diam?!” tanya pemuda
itu. ”Aku tahu…. aku tahu….,” katanya.
”Tahu apa?”
”Aku tahu kau sampai ke sini
karena mencium harumnya bau ikan panggangku! Lalu kau berpura-pura tanya
seseorang! Kenapa musti pura-pura dan malu-malu? Kalau doyan ikan panggang
silahkan datang kemari. Aku masih ada seekor lagi!”
”Saudara! Jangan bicara
seenaknya!”
”Seenaknya bagaimana?!”
”Aku betul-betul mencari
seseorang! Dan aku tidak butuh sama ikan panggangmu!”
”Oh…. begitu….?”. Pemuda itu
manggut-manggut. Lalu katanya, ”Kalau aku tahu tentang orang yang kau cari itu,
kau mau persen aku apa?”
”Apa saja yang kau maui….”, jawab
Nilamsuri tanpa pikir panjang karena dia betulbetul ingin lekas-lekas dapat
mengejar orang yang dicarinya tadi.
Si pemuda tertawa mengekeh dan
tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang yang dimakannya menyekat
tenggorokannya.
”Kalau begitu….,” kata pemuda
rambut gondrong itu dengan masih tertawa serta batuk-batuk, ”aku mau dirimu
saja saudari.”
”Pemuda ceriwis! Kutampar kau
punya mulut baru rasa!”
”Lho…,” pemuda itu melongo macam
orang bodoh. ”Kenapa kau jadi marah?!” tanyanya.
Benar-benar kesal jadinya
Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat menahan rasa kesal itu.
”Eh, sekarang kau tutup mulut.
Lucu! Kau toh belum jawab pertanyaanku, saudari. Aku minta dirimu. Boleh….?”
Rasa kesal di diri Nilamsuri kini
berubah menjadi amarah yang meluap. Parasnya kelihatan merah. Sekali lompat dia
sudah berada di hadapan pemuda itu, di atas batu besar.
”Pemuda edan, kau mau mampus?!”
Si gondrong garuk-garuk kepala.
“Aku tidak mengerti saudari, aku benar-benar tidak mengerti. Menapa kau jadi
marah-marah begini samaku?!”
”Bicaramu terlalu kurang ajar,
tahu?!”
Pemuda itu goleng kepala dan
angkat bahu. Lalu tertawa sambil memandangi paras Nilamsuri. ”Kau tahu
saudari…,” katanya, ”kalau kau marah-marah dan membentak macam tadi hem….
parasmu tambah cantik!”
”Plak!”
Tamparan tangan kiri Nilamsuri
mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu meringis kesakitan. Penyesalan timbul di
hati Nilamsuri melihat bagaimana pipi yang ditamparnya itu kelihatan menjadi
sangat merah.
“Kau jahat sekali!,” kata si pemuda
pula. ”Aku tanya sama kau, kau mau persen aku apa kalau aku tahu orang yang kau
cari itu. Dan kau jawab apa saja mauku! Lantas aku bilang mau dirimu! Apa aku
salah….?!”
Nilamsuri menggigit bibirnya. Dia
tahu ucapan pemuda itu betul. Dia tahu kalau tadi dia telah ketelepasan bicara.
“Saudara…,” kata Nilamsuri.
Tapi si pemuda memotong.
“Sudahlah. Aku tak sudi bicara sama kau. Orang mau menolong dikasih tamparan.
Baru mau menolong. Kalau sudah ditolong aku akan dapat tendangan!”
Dan Nilamsuri menggigit bibir
lagi. Tanpa berkata apa-apa dia melompat ke tepi sungai kembali.
“Hai saudari! Tunggu dulu!”, seru
si pemuda.
Nilamsuri balikkan badan.
”Sebenarnya ada apa kau mencari
laki-laki itu?!”
”Itu urusanku sendiri!”, jawab
Nilamsuri.
”Laki-laki itu kekasihmu agaknya?”
”Kau mau tamparan sekali lagi?!”
Si pemuda tertawa. ”Dunia serba
aneh,” katanya seakan-akan pada diri sendiri. “Mustinya laki-laki yang cari
perempuan. Ini perempuan yang cari laki-laki….!” Dan digaruknya kepalanya.
Dalam pikiran Nilamsuri terbit prasangka
bahwa tentunya pemuda itu seorang yang berotak miring. Karenanya tanpa ambil
perduli lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
”Hai saudari! Kau tidak mau ikan
panggang ini?!”
Nilamsuri terus saja menyusuri
sungai menuju ke hulu. Dia hampir keluar dari kelokan sungai ketika didengarnya
lagi suara pemuda itu berseru. Jarak antara mereka saat itu sudah puluhan
tombak. Kalau saja Nilamsuri mau berpikir sejenak dia akan segera tahu kalau
pemuda itu bukan berteriak biasa tapi dengan menggunakan tenaga dalam. Karena
dalam jarak sejauh itu bagaimanapun kerasnya seseorang berteriak namun apa yang
diucapkannya tak akan terdengar dengan jelas.
”Saudari! Jangan pergi ke sana!
Saudari, kembalilah!”
Nilamsuri melangkah terus.
”Saudari! Hai! Disebelah sana
banyak buayanya! Kembalilah!”
Tapi Nilamsuri jalan terus. Si
pemuda goleng-goleng kepala lalu turun ke air. Nyatanya sungai itu dalamnya
hanya sebatas lutut. Begitu sampai di seberang si pemuda cepat lari menyusul
Nilamsuri.
“Saudari kau mau kemana?!”, tanya
pemuda itu seraya pegang bahu Nilamsuri.
“Kau jangan kurang ajar,
saudara!” bentak Nilamsuri karena marah sekali bahunya dipegang seenaknya.
“Kau mau kemana?”
“Perduli apa kau?!”
”Jangan kesana saudari. Banyak
buaya lagi berjemur….”. dan belum habis pemuda ini bicara tahu-tahu dua ekor
buaya besar menyeruak dari belakang semak belukar di tepi sungai.
”Aku bilang apa! Celaka….!
Saudari larilah!” Pemuda itu melompat ke belakang. Sementar itu kedua ekor
buaya dengan cepat meluncur menyerang Nilamsuri. Gadis itu cabut pedangnya.
Sekali menebas puntunglah sebagian dari mulut buaya yang hendak menerkamnya.
Binatang ini menggelepar-gelepar di pasir. Buaya kedua mengalami nasib yang
sama. Bau anyirnya darah yang masuk ke dalam air sungai mengundang munculnya
beberapa ekor buaya lagi. Binatang-binatang itu menyelusur ke tepi sungai dan
berlomba menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan permainan pedangnya yang
mengagumkan berhasil menewaskan semua buaya itu!
Si pemuda geleng-geleng kepala
dan leletkan lidah. ”Hebat! Hebat sekali kau saudari!”, katanya memuji. ”Kau
tentu seorang jago silat! Sejak lama aku ingin belajar silat! Bersediakah kau
mengambil aku jadi murid?!”
”Jangan ngaco!”, bentak
Nilamsuri.
”Aku tidak ngaco. Aku bicara sungguhan….”.
”Buka lagi mulutmu!”, bentak
Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah buayabuaya tadi siap ditetakkannya
ke kepala pemuda itu. Tentu saja pemuda ini cepat-cepat melompat ke samping.
”Saudari, aku betul-betul ingin
belajar silat padamu….”
Nilamsuri pencongkan hidung.
”Tidak malu merengek macam anak kecil!”, ejeknya.
Si pemuda agaknya jadi kesal,
lalu menyahuti. ”Kau sendiri tidak malu pakai pakaian laki-laki!”
Memang saat itu Nilamsuri
mengenakan baju dan celana laki-laki berwarna putih yakni pakaian yang tadi
ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan parasnya menjadi kemerahan. Cepat-cepat
dia berlalu dari situ.
”Saudari…. Tunggu….!”
”Apalagi?!”
”Kalau kau tak mau ambil aku jadi
muridmu, tak apa. Tapi ada satu permintaanku yang lain…. Boleh aku tahu
namamu?”
”Manusia macammu tak perlu tahu
namaku!”
”Ah saudari, kau sombong betul.
Beri tahu namamu, nanti kuberi tahu namaku….”
”Siapa sudi tahu namamu segala?!”
”Namaku Wiro Sableng saudari….
Harap kau mau kasih tahu kau punya nama….”
”Wiro Sableng?” ujar Nilamsuri.
Pemuda itu mengangguk.
”Pantas,” kata Nilamsuri pula.
”Pantas kenapa?” tanya Wiro.
”Pantas lagakmu seperti orang
edan!” dan habis berkata begitu Nilamsuri segera berlalu.
**********
14
Karena merasa sia-sia untuk
meneruskan pencariannya maka Nilamsuri akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat
kembali ke pekuburan. Sebenarnya, gadis ini telah bertemu dengan orang yang
telah menolongnya sewaktu dikeroyok oleh Bergola Wungu dan anakanak buahnya.
Cuma Nilamsuri tidak tahu sama sekali kalau orang yang ditemuinya itulah tuan
penolongnya. Dan siapa adanya orang yang menolong Nilamsuri tiada lain dari
pada Wiro Sableng itu pemuda yang baru turun gunung yang sikap serta lagaknya
begitu lucu sehingga setiap orang akan menduga bahwa dia tentunya seorang yang
kurang waras.
Ketika Nilamsuri kembali ke
pekuburan itu, yang ditemuinya bukanlah Bergola Wungu dan ketiga orang anak
buahnya melainkan Wiro Sableng! Pemuda ini tengah berlutut menepekur di hadapan
sebuah makam yang tanahnya hampir rata dan penuh ditumbuhi rumptu-rumput liar
serta kotor oleh daun-daun kering.
”Kemana perginya kunyuk-kunyuk
berewok itu?” pikir Nilamsuri. Penasaran sekali dia jadinya. Sudah tak berhasil
mengejar manusia yang diburunya kini empat musuh besarnya telah lenyap
sepeninggal pengejarannya. Dan apa pula urusan pemuda berotak miring yang mengaku
bernama Wiro Sableng itu di pekuburan ini? Makam siapa yang tengah
ditepekurinya itu?
Kemudian Nilamsuri melilhat Wiro
berdiri dari berlututnya. Dan ketika dia memalingkan muka, Nilam melihat pada
paras pemuda itu jelas terbayang rasa sedih yang mendalam. Atas banyak kejadian
aneh yang tengah dialaminya sampai saat itu diam-diam Nilamsuri ingin sekali
tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong ini.
Dibukanya pembicaraan denga
bertanya, ”Saudara, waktu mula-mula kau datang ke sini apa ada melihat empat
orang laki-laki berewok?”
Bayangan kesedihan pada paras
Wiro Sableng segera sirna. Dan pemuda ini tersenyum. ”Kau lucu sekali saudari,”
kata Wiro. ”Pertama kali jumpa, ditepi sungai tadi kau tanya satu orang
laki-laki. Kalau jumpa ketiga kali nanti, kira-kira berapa orang laki-laki yang
bakal kau tanyai padaku?!”
Mau tak mau paras Nilamsuri
menjadi merah oleh ucapan Wiro Sableng itu. ”Saudara,” katanya, ”Kau siapakah
sebenarnya?”
”Siapa aku bukankah aku sudah
kasih tahu tadi di hulu sungai? Kenapa tanya lagi? Kau sendiri tidak mau kasih
tahu nama.”
Nilamsuri terdiam. Kemudian
diputarnya pembicaraan dengan bertanya, ”Makam siapa itu?”
”Kau bisa baca sendiri pada batu
nisan….” jawabnya.
Penuh rasa ingin tahu Nilamsuri
melangkah dan mendekati nisan makam tua itu. Nisan itu terbuat dari batu.
Barisan kalimat yang terukir pada batu yang sudah retak-retak itu tak jelas
lagi. Tapi Nilam masih bisa membacanya. Dan pada batu nisan itu tertulis:
”DISINI TELAH DIMAKAMKAN SUCI
BANTARI”
Melihat Wiro yang masih muda, Nilamsuri
tahu kalau orang yang bernama Suci Bantari itu bukanlah isteri Wiro Sableng.
”Ibumu….?”, tanyanya.
Pemuda itu mengangguk perlahan.
Dia teringat pada keterangan Eyang Sinto Gendeng ketika dia masih digembleng di
puncak Gunung Gede dulu. Menurut perempuan sakti itu dia telah dipelihara sejak
masih orok. Kini sesudah belasan tahun, sesudah menjadi seorang dewasa, sesudah
sekian lama tiada mengenal kasih sayang ayah bunda, maka yang ditemuinya
hanyalah dua onggok makam yang tiada terawat sepantasnya. Makam ayah dan makam
ibunya.
”Kalau begitu kau adalah penduduk
sini….?”
Wiro Sableng mengangguk lagi.
”Aku tak pernah mengenal mereka.”
”Maksudmu ayah dan ibumu?”
”Ya… Keduanya menemui ajal karena
kebiadaban seseorang….”
”Dibunuh….?”
Wiro Sableng mengangguk. Matanya
yang biasanya bersinar lucu itu kini kelihatan kuyu dan kedua matanya itu
memandang pada bangkai kuda yang lehernya hampir puntung terbabat pedang
Nilamsuri sewaktu terjadi pertempuran antara gadis itu dengan Bergola Wungu dan
anak-anak buahnya. Wiro menggeram dalam hati. Nasib ayahnya tidak lebih baik
dari kuda itu!
Nilamsuri sementara itu tenggelam
dalam alam pikirannya sendiri. Tadipun Bergola Wungu mengatakan bahwa orang
tuanya mati dibunuh, dibunuh ayahnya Kalingundil, ayahnya sendiri. Apakah orang
tua pemuda ini ayahnya juga yang telah membunuhnya? Kalau benar maka pastilah
pemuda ini datang untuk mencari urusan. Untuk menuntut balas sebagaimana
kemunculan Bergola Wungu dan anak buahnya. Jadi manusia ini tak lebih dari
seorang musuh pula baginya!
Tapi untuk meyakinkan maka
bertanyalah Nilamsuri. ”Siapakah manusianya yang membunuh kedua orang tuamu,
Saudara?”
“Ah panjang kisahnya. Kalaupun
kuberi tahu kau tak akan kenal mungkin. Dan lagi semua itu bukan urusanmu….”
”Apakah pembunuh itu bernama Kalingundil?”
memancing Nilamsuri dengan hati berdebar.
Dadanya lega ketika dilihatnya
Wiro Sableng menggeleng.
”Kau sendiri perlu apa datang ke
pekuburan ini?” bertanya Wiro.
“Sama dengan kau. Untuk
menyambangi makam ibuku….” Dan Nilamsuri menceritakan apa yang telah terjadi
dengan dirinya ketika dia tengah mencabuti rumputrumput di makam ibunya. Tapi
tidak diterangkannya mengapa sampai Bergola Wungu hendak merusak kehormatannya
dan hendak membunuhnya!
“Sungguh aneh cerita tentang
manusia yang telah menolongmu itu saudari,” kata Wiro Sableng pula dengan
menahan rasa gelinya. “Pastilah dia seorang manusia sakti luar biasa. Mungkin
juga dia seorang malaikat….!”
Nilamsuri hanya termangu. Tapi
diam-diam matanya melirik pada Wiro Sableng. Kalau tadi memang dia kagum akan
paras pemuda yang keren ini tapi karena bicaranya yang usil serta lucu tapi
kurang ajar itu, maka kini bicara secara baik-baik nyatanya pemuda itu bukanlah
seorang yang kurang ingatan.
”Kalau sekiranya kau menemui
pembunuh orang tuamu itu,” bertanya Nilamsuri, ”apakah kau juga akan
membunuhnya?”
Wiro Sableng tertawa, ”Itu tak
perlu musti dijelaskan lagi saudari,” sahutnya.
Nilamsuri ingat pada nasib
buruknya yang tadi hendak menimpanya. Lalu berkatalah perempuan ini, ”Dunia ini
penuh dengan ketidakadilan!”
”Ketidak adilan macam mana
maksudmu saudari?” tanya Wiro Sableng pula.
Nilamsuri hendak membuka
mulutnya. Tapi cepat-cepat mulut itu dikatupkannya kembali. Hampir saja
terluncur rahasia mengapa Bergola Wungu hendak membunuhnya. Gadis ini kemudian
hanya gelengkan kepala. ”Nanti kau bakal mengalami sendiri mungkin,” katanya.
”Sekurang-kurangnya melihat dengan nyata ketidakadilan berlangsung di depan
matamu.”
Wiro Sableng tertawa.
”Kenapa kau tertawa?” tanya
Nilamsuri karena merasa diejek.
”Berapa umurmu, saudari….?”
Dalam hatinya gadis itu berpikir
si pemuda hendak mulai lagi dengan keusilannya.
Wiro masih juga tertawa lalu berkata,
”Kau masih sangat muda tapi bicaramu sudah seperti orang tua….”
Mau tak mau Nilamsuri tertawa
juga. Tapi tertawa cemberut. Diam-diam hatinya yang tadi tertarik kini semakin
senang pada pemuda itu.
Tiba-tiba kedua orang itu saling
pandang. Dikejauhan terdengar derap suara kaki kuda.
”Ah…. hanya suara kaki-kaki kuda,
kenapa terkejut?” tanya Wiro Sableng meskipun hatinya sendiri terasa tidak
enak.
”Mungkin sekali, itu adalah
manusia-manusia laknat yang tadi mengeroyokku!” kata Nilamsuri.
”Kalau begitu mari cepat-cepat
menyingkir!”
Si gadis enam belas tahun
gelengkan kepala.
”Lebih baik mati daripada
lari….!”
Wiro Sableng menggerendeng.
”Keberanianmu tidak pakai pikiran saudari!”, katanya. Wiro Sableng melompat ke
muka dan menotok bahu kanan Nilamsuri. Gadis itu rebah dalam keadaan kaku tapi
sebelum jatuh ke tanah Wiro sudah membopongnya. Segera gadis itu dilarikannya
namun kasip. Empat penunggang kuda sudah mengurungnya. Keempatnya tiada lain
daripada Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
”Ha….ha…, ruapanya ada juga culik
kesiangan yang inginkan mangsa kita kawankawan!” kata Bergola Wungu.
”Tikus busuk!”, kata Ketut Ireng.
”Turunkan gadis itu!”
”Masih ingusan sudah tahu
perempuan!” memaki Pitala Kuning, anak buah Bergola Wungu yang bermata jereng.
”Ayo turunkan gadis itu cepat!”
Perlahan-lahan Wiro Sableng
menurunkan tubuh Nilamsuri. Dipandanginya keempat manusia berewok itu seketika.
”Saudara-saudara kita tidak saling kenal satu sama lain, mengapa bicara memaki
begitu?!”
”Bocah geblek! Terima ini!”,
bentak Ketut Ireng pergunakan kaki kanannya untuk menendang dada pemuda itu.
”Buuk”!!
Kaki kanan Ketut Ireng mendarat
di dada Wiro Sableng. Tidak serambutpun tubuh pendekar dari Gunung Gede ini
bergerak.
Sebaliknya dari mulut Ketut Ireng
terdengar lolong kesakitan setinggi langit!
Tendangan yang dilancarkan Ketut
Ireng hanya menggunakan tenaga kasar atau tenaga luar karena dia sama sekali
tidak menduga siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. Dan akibatnya dari
tendangan itu menimpa dirinya sendiri. Kaki kanannya sampai ke betis kelihatan
menjadi gembung dan kehitaman. Ketut Ireng menelungkup di atas punggung kuda
dan melolong kesakitan.
Kaget Bergola Wungu dan dua orang
lainnya bukan olah-olah.
”Sreet”!!
Pemimpin Empat Berewok dari Goa
Sanggreng ini segera cabut golok panjangnya. Seta Inging cabut senjatanya yang
berupa kelewang sedang Pitala Kuning keluarkan ruyung berdurinya!
”Bocah haram jadah! Siapa
kau!?!”, bentak Bergola Wungu seraya melintangkan golok di depan dada.
”Aku peringatkan pada kalian,”
sahut Wiro Sableng dengan suara datar sedang mulutnya menyunggingkan seringai,
”aku tidak ada permusuhan dengan kalian. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dengan
aman!”
”Keparat betul, ” kertak Pitala
Kuning. ”Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa saat ini?!”
”Aku tidak perduli siapa kalian!
Tinggalkan tempat ini kalau tidak mau susah!”
”Sebaiknya kau berlutut dan minta
ampun dihadapan kami, bocah gila!”
”Aku bilang tinggalkan tempat
ini, apa kalian tuli semua masih pentang bacot?!”
Mendidihlah darah di kepala
Bergola Wungu.
**********
15
Sebagai pendekar yang baru turun
gunung dan cemplungkan diri dalam dunia persilatan tentu saja Wiro Sableng buta
pengalaman dalam pertempuran. Tapi selama tujuh belas tahun digembleng oleh
Eyang Sinto Gendeng maka serangan-serangan yang dahsyat itu sama sekali tidak
membuat pendekar muda ini menjadi gugup.
Eyang Sinto Gendeng talah
menggemblengnya bukan hanya sekedar memberi pelajaran ilmu silat luar dalam dan
melatihnya belaka, tapi latihan-latihan perempuan sakti itu tak ada bedanya
dengan pertempuran dahsyat yang benar-benar bisa mencelakakan Wiro sendiri.
Ketika tiga serangan itu datang
ke arahnya, Wiro Sableng segera sambar pinggang Nilamsuri. Secepat kilat
kemudian dia jatuhkan diri dan sambil berteriak hebat pemuda ini hantamkan
tinju kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang hampir menendang batok kepala
Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras dan rubuh karena kakinya itu hancur.
Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala Kuning terlempar ke tanah tapi dengan
andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil jatuh dengan kedua kaki menginjak
tanah.
Sementara golok panjang Bergola
Wungu dan kelewang Seta Inging beradu keras di udara memercikkan bunga api maka
sambil bergulingan di tanah, Wiro Sableng tak lupa hantamkan kaki kiri kanannya
pada kaki-kaki kuda kedua manusia berewok itu.
Seperti dengan kuda Pitala Kuning
tadi maka kedua binatang inipun melemparkan Bergola Wungu dan Seta Inging. Wiro
Sableng menyandarkan Nilamsuri pada sebatang pohon dan cepat bersiap-siap
ketika dilihatnya tiga manusia berewok itu mendatanginya. Akan Ketut Ireng tak
masuk hitungan karena saat itu dia duduk menjelepok di tanah merintih karena
kaki kanannya yang hitam gembung dan sakitnya bukan main!
”Aku peringatkan pada kalian
untuk penghabisan kali!” kata Wiro Sableng, ”Tinggalkan tempat ini!”
”Jangan omong besar bangsat
ingusan!” bentak Bergola Wungu dengan sangat geram. ”Sebut kau punya nama agar
golokku ini tidak penasaran menebas batang lehermu!”
Wiro Sableng mengeluarkan suara
bersiul lalu garuk-garuk kepala dan tertawa gelakgelak. Kemudian menyanyilah
murid Eyang Sinto Gendng ini.
Anak kecil bodoh namanya biang
bodoh,
Tua bangka bodoh namanya biang
bodoh,
Monyet ingin jadi manusia,
Kenapa manusia piara berewok,
Apa mau jadi monyet….
Tolol, bodoh, bego, geblek!
Marahlah Bergola Wungu mendengar
tembang yang kata-katanya ditujukan kepadanya sebagai ejekan itu.
”Bocah gila!” bentaknya, ” terima
ujung golokku ini!”
Dengan pergunakan jurus ”burung
bangau mematuk kodok,” Bergola Wungu tusukkan golok panjangnya ke arah
tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar Gunung Gede ini segera meringankan badan.
Ujung golok hanya lewat setengah jengkal disamping lehernya. Wiro tertawa
mengejek.
Panas pemimpin Empat Berewok dari
Gua Sanggreng ini tidak terkirakan. Baru hari ini ilmu golok yang sangat
dibanggakannya itu dikelit dengan demikian mudah bahkan sambil tertawa mengejek
dan menantang!
Dengan kertakkan rahang Bergola
Wungu balikkan mata pedang dan babatkan senjata itu. Kali ini maksudnya untuk
menebas batang leher si pemuda.
Kedua kaki Wiro Sableng bergerak
sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang memegang golok sedang telapak
tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola Wungu!
Kepala rampok Empat Berewok dari
Goa Sanggreng itu mengeluarkan jerit tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang
hampir jatuh duduk di tanah. Ketika dia memandang ke dadanya yang dihantam
telapak tangan lawan, parasnya dengan serta merta menjadi pucat!
Baju hitamnya robek hangus. Pada
kulit dada yang tadi kena dihantam terlukis memutih telapak tangan dan
jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada tengah-tengah lukisan itu tertera angka
hitam 212. Dan sakitnya dada yang bertanda telapak tangan kanan berikut angka
212 itu bukan olah-olah. Meski Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga
dalamnya, rasa sakit itu hanya sedikit saja berhasil dikuranginya!
Pitala Kuning dan Seta Inging
tidak kurang pula pucat tampang-tampang mereka melihat apa yang terjadi dengan
pemimpin mereka. Tidak dinyana pemuda belia berparas macam anak-anak itu lihay
sekali. Apa arti angka 212 yang membekas hitam di kulit Bergola Wungu itu?
Pukulan ”telapak 212” yang
dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya mempergunakan seperlima bagian saja
dari tenaga dalamnya! Kalau saja pendekar muda ini pergunakan setengah saja
bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka pastilah Bergola Wungu akan meregang
nyawa dengan dada remuk!
Luapan amarah Bergola Wungu
membuat pemimpin rampok yang malang melintang di sungai Cimandilu ini lupakan
kenyataan bahwa pemuda yang dicapnya sebagai ”pemuda gila”, ”bocah ingusan” itu
sesungguhnya bukanlah tandingannya!
Bergola Wungu majukan kaki kanan
dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang lurus ke muka.
”Bocah sedeng! Kau telah bikin
cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan berbaik hati untuk membalasnya! Kau tahu
jurus apa yang bakal aku lancarakan ini?!”
Pendekar kapak maut naga geni
menjawab dengan tertawa bergelak sambil garukgaruk kepalanya yang berambut
gondrong.
”Lucu!” kata Wiro Sableng pula.
”Bertempur ya bertempur. Kenapa musti pakai pidato segala!”
Bergola Wungu merasa tubuhnya
seperti terbakar oleh kobaran amarahnya yang menggelegak. ”Kau boleh tertawa
dan mengejek sepuas hatimu bocah gila! Bila golokku berkiblat dalam jurus:
merobek langit, kau akan tahu rasa nanti!”
Adapun jurus ilmu golok yang
disebut ”merobek langit” itu adalah jurus yang telah dipergunakan oleh Bergola
Wungu untuk ”menelanjangi” tubuh Nilamsuri yaitu dengan merobek-robek pakaian
gadis itu dengan ujung goloknya.
”Jurus merobek langit memang
hebat kedengarannya!” kata Wiro Sableng. ”Tapi coba buktikan. Jangan-jangan
cuma jurus kosong belaka!”
Tanpa banyak bicara Bergola Wungu
segera putar goloknya dengan sebat. Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran
golok. Demikian hebatnya seakan-akan golok itu berubah menjadi ratusan
banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh Wiro Sableng sudah terbungkus
gulungan golok!
Yang anehnya, diserang hebat
demikian rupa tidak serambutpun Wiro Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi
adalah karena golok Bergola Wungu sama sekali tidak dapat mendekati bagian
tubuh manapun dari Wiro Sableng! Manusia berewok ini mencak-mencak sendirian
macam monyet terbakar ekor! Seta Inging dan Pitala Kuning yang saksikan
kejadian itu mau tak mau jadi leletkan lidah!
Demikianlah hebatnya ilmu
”benteng topan melanda samudra” yang dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap
sambaran tusukan dan sabetan golok sama sekali tidak dapat mengenai tubuh Wiro
Sableng. Tubuh golok dilanda terus-terusan oleh gulungan angin dahsyat yang
membungkus tubuh murid Sinto Gendeng itu!
Bergola Wungu membentak keras dan
percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua puluh jurus dimuka tetap saja
goloknya tak dapat membentur sasarannya di tubuh Wiro! Pakaian dan tubuhnya
sudah mandi keringat. Pegangan pada hulu golok sudah licin. Keletihan membuat
gerakannya mulai menjadi lamban!
”Seta Inging! Pitala Kuning!
Jangan jadi patung! Bantu aku!” teriak Bergola Wungu dengan sangat beringas.
Mendengar perintah ini Pitala Kuning
dan Seta Inging segera menyerbu dengan senjata di tangan. Sebatang golok
panjang, sebuah ruyung berduri dan sebuah kelewang dengan dahsyatnya
menyambar-nyambar ke tubuh Wiro Sableng. Tapi ilmu ”benteng topan melanda
samudera” membuat ketiga senjata itu tak ada arti sama sekali.
Wiro Sableng tertawa bergelak.
Tawa gelak yang disertai tenaga dalam ini menambah hebat perbawa ilmu ”benteng
topan melanda samudera!”
Sepuluh jurus berlalu.
”Ciaatt!!” tiba tiba pendekar
kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga manusia berewok keluarkan seruan
tertahan dan lompat dari kalangan pertempuran. Mata mereka melotot besar
memandang ke tangan Wiro Sableng yang saat itu telah merampas dan menggenggam
senjata mereka!! Ketut Ireng yang duduk menjelepok merintih kesakitan, juga tak
ketinggalan terbeliak dan terlongong-longong!
Nama Empat Berewok dari Goa
Sanggreng bukan nama baru dalam dunia persilatan pada masa itu mereka terkenal
sebagai komplotan rampok yang berilmu tinggi dan ditakuti di sepanjang sungai
Cimandilu. Terutama pemimpin mereka Bergola Wungu diakui kehebatan permainan
goloknya oleh kalangan persilatan! Mereka tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa
mau mencelakakan mereka maka sudah sejak tadi hal itu bisa dilakukannya!
”Kalau hari ini kami diberi
sedikit pelajaran,” kata Bergola Wungu dengan suara bergetar, ”maka ketahuilah
bahwa kami tak akan melupakan kejadian ini. Suatu hari kami akan datang untuk
meneruskna apa yang terjadi hari ini!”
Wiro Sableng tertawa bergelak,
”Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato huh!! Ini terima kembali senjata kalian!”
Sekali tangan kanan Wiro Sableng
bergerak maka ketiga senjata lawan yang tadi dirampasnya kini melesat ke arah
ketiga orang itu masing-masing pada pemiliknya, Bergola Wungu menangkap hulu
golok, Seta Inging menangkap gagang kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti
tangkai ruyung berdurinya.
Tanpa banyak bicara ketiga orang
itu dengan membawa kawan mereka yang menderita sakit pada kakinya, segera
hendak angkat kaki. Tapi sebelum mereka berlalu Wiro Sableng berkata:
”Satu hal kalian harus ingat
baik-baik manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis,
berarti kalian ingin cepat-cepat masuk liang kubur!”
**********
16
Begitu Empat Berewok dari Goa
Sanggreng lenyap dikejauhan maka Wiro Sableng segera lepaskan totokan di leher
Nilamsuri. Gadis ini memandang berkeliling dengan terheran-heran. Dia seperti
orang yang baru bangun dari mimpi. Tapi jelas dilihatnya bekas
bekas pertempuran di
sekelilingnya.
”Apa yang terjadi?” bertanya
gadis itu.
Wiro tertawa. ”Tak satupun,”
jawabnya.
”Aku tak percaya. Tadi kudengar
suara derap kaki kuda menuju ke sini….”
”Ah, kau ini ada-ada saja. Aku
tak dengar suara apa-apa….”
Nilamsuri berpikir-pikir dan
mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada
Wiro Sableng. ”Tadi…. kau melompatiku dan…,” gadis ini raba urat besar di
pangkal lehernya. ”Ya…. kau menotok urat besar di leherku ini?”
Habis berkata demikian Nilamsuri
segera cabut pedang! ”Apa yang kau telah perbuat terhadap diriku?” tanyanya
membentak.
Murid Sinto Gendeng memaki dalam
hati, ”Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang bukan-bukan!”
Tapi di hadapan si gadis itu
pemuda itu masih sunggingkan senyum. ”Kuharap kau jangan punya pikiran yang
tidak-tidak terhadapku saudari….”
”Lalu perlu apa kau menotok
aku?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia
tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya. Karena itu dia menjawab dusta.
”Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk bertempur melawan Empat Berewok
dari Goa Sanggreng itu?!”
”Ya, lalu?!”
”Dengar saudari, aku hanya paham
sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak bakal sanggup menghadapi mereka,
aku lantas totok kau punya urat besar lalu sembunyi dibalik rumpun bambu.
Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke sini dan kulepaskan totokan di
lehermu.”
”Aku tak percaya….!” kata
Nilamsuri.
”Aku memang tidak suruh kau
percaya untuk mempercayainya,” menyahuti Wiro Sableng.
”Kai ini siapa sebenarnya?!”
”Heh…,” Wiro Sableng hela nafas
panjang. ”Bukankah aku sudah kasih tahu nama? Malah kau sendiri masih
rahasiakan kau punya nama!”
Nilamsuri dalam kesalnya tambah
tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si pemuda.
”Baik,” katanya, ”jika kau tidak
mau kasih keterangan, biar pedangku ini yang memintanya!”
Habis berkata demikian maka gadis
ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada Wiro Sableng!
Wiro terkejut dan gerabak gerubuk
lompat kesamping.
”Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa
kau serang aku?!”
Sebagai jawaban Nilamsuri
kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari membuat Wiro tak bisa
ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat.
”Sekarang kau tak bisa
sembunyikan diri lagi saudara!” kata Nilamsuri. ”Terima jurus elang menyambar
burung dara ini!”
Pedang di tangan Nilamsuri
menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda ini berkelit, ujung
pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan burung elang!
Wiro lambaikan tangan kiri, angin
keras membentur badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya!
”Saudari!” seru Wiro Sableng,
”sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!” Habis berkata demikian pemuda
ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis lalu berkelebat.
”Pemuda kurang ajar!” maki
Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng
sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang masih sempat
terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantik
kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah
tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali
tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu
pedangnya yang lihay dan si pemuda berhasil mengelakkan bahkan memukul badan
pedang dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras!
Meski hatinya marah sekali dengan
keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan kagumnya tak dapat
disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika dia mengusap
dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.
*****
Kedai itu sepi saja.
Angin malam bertiup dingin dari
lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil bersiul-siul.
Orang tua pemilik kedai
menyambuti dengan muka pucat cemas.
”Orang muda,” katanya, ”sebaiknya
kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!”
”Memang kenapa?” tanyanya.
”Sebentar lagi mungkin empat
manusia berewok itu akan kembali ke sini….”
”Siapa takutkan mereka!” ujar
Wiro.
”Tapi anak muda, kau mungkin
belum tahu siapa mereka itu.”
”Perduli amat siapa mereka,” kata
Wiro pula sambil duduk di kursi.
Dan pemilik kedai itu berkata
lagi, ”Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di sungai Cimandilu! Mereka
adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!”
”Biar mereka adalah Empat Setan
dari Neraka, aku tetap tak perduli!”
Pemilik kedai jadi terdiam. Siang
tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana pemuda itu menyumpal mulut Empat
Berewok dari Goa Sanggreng dengan pisang. Maka bertanyalah dia, ”Orang muda,
kau ini siapa sebenarnya dan datang dari mana?”
Wiro usap-usap dagunya yang
licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini
senyum-senyum sendiri. Si orang tua diam-diam mulai meragukan apakah anak muda
ini berotak sehat!
”Bapak sudah lama tinggal di
sini?” tanya Wiro.
”Sejak masih orok….”
”Hem…. kalau begitu tentu kenal
dengna nama Ranaweleng….”
”Oh tentu… tentu sekali. Beliau
adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang….”
”Sayang kenapa….?”
Orang tua itu tak segera
menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan malam,
seperti tengah mengenangkan sesuatu.
”Beliau sudah meninggal…,”
katanya kemudian menambahkan.
Wiro Sableng menelan ludahnya.
”Bapak tahu siapa yang
membunuhnya….?”
Pertanyaan ini membuat si orang
tua memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng. ”Semua orang tahu….,”
katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng dan Suci Bantari
sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh
Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng.
”Ada satu keanehan dalam
peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu,” kata si pemilik kedai.
”Keanehan bagaimana?” tanya Wiro
ingin tahu.
”Waktu itu Mahesa Birawa dan
anak-anak buahnya membakar rumah mendiang Ranaweleng. Dalam kobaran api yang
tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan orok! Itu adalah oroknya
Ranaweleng sendiri! Orang banayak sangat kebingungan. Bagaimana mungkin
menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat tegang itu
semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali bayangan
hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara tangisan oroknya
Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui
tulang belulang orok itu….”
Wiro Sableng termanggu-manggu.
Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu adalah dirinya sendiri dan
berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat bayangan gurunya Eyang Sinto
Gendeng!
”Sampai sekarang tidak pernah
diketahui dimana anak Ranaweleng itu?” bertanya Wiro.
Si orang tua angkat bahu. ”Kalau
dia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak muda,” katanya.
”Mahesa Birawa sendiri…. apakah
masih hdiup?”
”Masih…. sampai dua tahun
belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi sekarang entah dimana. Tapi ada
atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya sama saja jahat
dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan tak
pernah bayar!”
”Apakah mereka itu Empat Berewok
dari Goa Sanggreng itu?” tanya Wiro.
”Bukan…. bukan! Justru Empat
Berewok dari Goa Sanggreng ini sengaja datang dari jauh bikin perhitungan
dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Dan Empat Berewok dari
Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka rampok-rampok yang tak kalah
kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa! Tapi ketika mereka
datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada di sini. Kebetulan keluar…. sudah
empat hari dengan hari ini….”
Wiro mengulurkan tangannya
memotes sebuah pisang yang tergantung
”Eee…. apakah kau punya uang
untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si pemilik kedai.
Wiro tertawa, ”Hutang dulu toh tak
apa-apa….” sahutnya.
Si orang tua mengeluh dalam hati.
Berarti tambah satu lagi ”langganan”nya yang makan tanpa bayar!
Sambil mengunyah pisangnya Wiro
Sableng bertanya, ”Urusan apakah yang dibawa oleh Empat Berewok dari Goa
Sanggreng itu ke sini?”
Si orang tua memandang lagi ke
luar kedai. Lalu katanya, ”Perlu kau ketahui…. pemimpin Empat Berewok dari Goa
Sanggreng itu, yang kini memakai nama Bergola Wungu, dulunya adalah penduduk
kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian
membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan perempuan itu serta
saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia
kembali ke sini ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan
anak-anak buah Mahesa Birawa!”
Lama Wiro Sableng terdiam.
Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri.
”Kenal dengan seorang yang
bernama Kalingundil?”
Kulit kening pemilik kedai itu
mengkerut.
”Adalah lucu kalau pertanyaan itu
kau ajukan saat ini, anak muda?” katanya.
”Kenapa….?”
”Karena Kalingundil adalah anak
buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin
dari tiga kawan-kawan lainnya!”
Tentu saja Wiro Sableng terkejut
mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya disembunyikannya. Dan dia
berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang tadi menanyakan apakah
kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia bernama Kalingundil itu?
Wiro meletakkan kulit pisang di
tepi meja. ”Siang tadi, Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok
seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan gadis itu hendak mereka perkosa
beramai-ramai. Mungkin bapak tahu pangkal sebab sampai hal itu terjadi….?
mungkin juga kenal dengan gadis itu?”
”Gadis itu berpakaian biru….?”
”Betul.”
Si orang tua hela nafas. ”Sebenarnya
sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah ada seorang lain yang
tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku tak ingin susah anak
muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya, pastilah leherku akan
jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu adalah anak Kalingundil sendiri!”
Kini jelaslah bagi Wiro Sableng
mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru
itu.
”Kalingundil yang bikin
kejahatan, anaknya yang musti ikut tanggung akibat…,” desis orang tua pemilik
kedai.
Wiro manggutkan kepala. ”Dendam
kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala tidak mengenal pembalasan
yang wajar….”, katanya. ”Kadang kadang itu adalah merupakan hukum karma bagi
seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!”
”Kata-katamu beul, anak muda….”,
kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro
Sableng. ”Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau telah mendustainya, habis mukaku
ini ditempelaknya….!”
”Itu salahmu sendiri,” kata Wiro
seenaknya. ”Siapa suruh kau yang tua bangka masih mau berdusta!”
Orang tua itu jadi menggerendeng
dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan dia memaki lagi untuk kedua
kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, ”Minta tehnya, pak.”
Sementara si orang tua membuatkan
segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang menarik perhatiannya itu adalah
anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh kedua orang
tuanya.
Ketika si orang tua datang
membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, ”Bapak tahu nama anak perempuan
Kalingundil itu?”
”Nilamsuri. Nama bagus, orangnya
juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia terkutuk!”
”Sewaktu Mahesa Birawa melakukan
pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?” tanya
Wiro lagi.
”Bukan hanya Kalingundil, tapi
semua anak buahnya,” menyahuti si orang tua.
Wiro hendak bertanya lagi tapi
mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar suara gemuruh derap kaki
kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan cepat. Mereka bukanlah
Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang
tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata, ”Kalingundil
dan anak-anak buahnya…. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola
Wungu….”
”Menurutmu…. siapa yang bakal
menang di antara mereka?” tanya Wiro.
Oran tua itu angkat bahu. ”Aku
tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Kalau dapat biarlah
Gusti Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil dan Bergola Wungu tiada
beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan apa-apa di
sini!”
Wiro Sableng tertawa. Diteguknya
teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri. ”Meski hari ini aku tidak
bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan aku dengan Bergola
Wungu atau Kalingundil….” Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai.
Si orang tua mengangkat gelas
bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah
agak mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya
lebih dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak habis mengerti
orang tua ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung
pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau
pupus!
”Ah…. semakin tua umur dunia ini
semakin banyak terjadi keanehan….” katanya dalam hati.
**********
17
Dari jauh telah terdengar suara
beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat
jalannya. Dan bila dia sampai di halaman rumah yang agak kegelapan itu maka
dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini berubah menjadi sebuah medan
pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tangah bertempur hebat dan
cepat. Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri.
Di bawah tangga, dengan
bersedekap tangan berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi langsing. Wiro tak
pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia yakin betul bahwa manusia ini
pastilah Kalingundil.
Di ujung halaman sebelah kiri
berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang terdahulu sepasang
matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya pertempuran.
Tiga orang anak buah Kalingundil
yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu
rendah. Permainan golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi anak-anak buah
Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah
gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung
berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak!
Tiga jurus kemudian menyusul
Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta Inging. Pertempuran
yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan Saksoko. Kedua orang
ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok.
Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan nyali
besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko
yang berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit
terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah!
Rahang-rahang Kalingundil
kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu
karena gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil
menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya. Didahului dengan suara bentakan
yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka
melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu
berada. Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah
mengagumkan. Dan kini dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya!
Tiga pekik kematian merobek
kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning terlempar sampai
lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa!
Bergola Wungu saksikan kematian
yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh bergetar.
”Bergola Wungu! Kau tunggu apa
lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin membalaskan dendam kesumat seribu
karat!”
Meski bagaimana kobaran amarahnya
namun Bergola Wungu menyahuti, ”Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih
berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu
menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin
nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayahbundaku!”
Habis berkata demikian, Bergola
Wungu putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua
tangan terpentang!
Bergola Wungu yang tahu kehebatan
lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke samping dan lambaikan
tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada Kalingundil. Kalingundil
melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga dapat
dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat
dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di
bawah pohon mempelam terdengar suara memaki.
”Kalingundil edan! Orang sudah
kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih saja beringasan! Gelo betul!”
Kalingundil keluar dari kalangan
pertempuran. Segera dia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara.
”Jangan memaki saja kunyuk!
Keluarlah unjukkan diri!”
Angin dahsyat melanda ke tempat
gelap, menghantam pohon mempelam sampai pohon itu tumbang. Tapi orang yang
memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping, Bergola Wungu pun sudah
lenyap!
Akan Nilamsuri begitu mengenali
suara yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia segara mengejar ke tempat
gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampung dekat pematang
sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sampai ke puncak yang sangat tinggi dia melompat
ke satu cabang pohon dan menunggu.
Nyatanya yang mengejar adalah si
gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun kembali.
”Kita berjumpa lagi, Nilamsuri….”
”Eh, dari mana kau tahu namaku?”
gadis itu tanya dengan heran.
Wiro Sableng tertawa dan
menjawab, ”Terlalu banyak manusia tempat bertanya. Terlalu banyak mulut yang
bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!”
”Ada apa kau ikut campur urusan
ayahku?!” balik menanya Nilamsuri.
Wiro Sableng melangkah mendekati
gadis itu. Matanya yang memandang tajam membuat hati si gadis menjadi berdebar.
Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri menyurut mundur namun badannya tertahan
oleh batang pohon.
”Ayahmu Kalingundil, bukan….?”
desisnya.
Gadis itu mengangguk.
Wiro menyeringai. Dipegangnya
bahu gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena
saat itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya
ketika bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain
dari si pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan
itu meluncur turun ke bawah lehernya.
”Wiro…. kau ini ceriwis sekali….
ceriwis sekali,” bisik gadis itu setengah merintih.
Pemuda itu menyeringai.
”Kenapa kau ikuti aku….?”
”A…. aku suka padamu Wiro….”
Wiro tak banyak tanya lagi.
Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu dan dilarikannya ke tengah sawah
dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat dingin di udara yang
terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam melakukan apa yang
belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang mereka tak
pernah rasakan sebelumnya!
*****
Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat.
Bergola Wungu hentikan langkahnya
beberapa tombak di hadapan Kalingundil.
”Keluarkan senjatamua
Kalingundil!”
Kalingundil tertawa bergelak dan
meludah ke tanah. ”Untuk menghadapi manusia macam kau tak perlu pakai senjata
segala! Mulailah!.” Mulut Kalingundil komat-kamit dan sebentar kemudian
kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!
Tergetar juga hati BergolaWungu
melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan dia
berkata, ”Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu mempercepat aku mengirimkan
kau ke neraka!”
Bergola Wungu mencabut golok
panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk ke arah dua buah makam di
bukit pekuburan.
”Kau lihat dua makam di lereng
sana, Kalingundil?!”
Kalingundil tak berani
mengalihkan pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan belaka.
”Itu adalah makam ayah bundaku.
Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak gembira bila menyaksikan sesaat lagi
kepalamu kubabat menggelinding!”
”Tak perlu jual bacot manusia
hina! Terima lenganku!”
Disertai angin yang dahsyat maka
kedua lengan Kalaingundil memukul susul menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok
memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya dia ketika goloknya tidak
mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya menjadi sumplung!
Dengan segera Bergola Wungu
keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus ”merobek langit.”
Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus
dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah
lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil
coba menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya.
Tapi Bergola Wungu tidak bodoh.
Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang kerasnya macam baja itu!
”Ha… ha… lekaslah minta tobat
pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil! Sebentar lagi kepalamu akan
menggelinding!” ejek Bergola Wungu.
Geram Kalingundil bukan alang
kepalang. ”Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk
berewok!”, balasnya mengejek.
Kalingundil berseru keras,
”Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!”
Ratusan jarum hitam kemudian
menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran golok saja
senjata rahasia itu gugur semua ke tanah!
”Hebat! Hebat…. hebat!” terdengar
suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus
tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula dia sudah berada di
tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu.
”Hebat memang hebat, Bergola
Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia itu adalah bagianku!”
Baik Bergola Wungu maupun
Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini
adalah satu keuntungan karena saat itu dirinya terdesak. Keduanya memandang
pada orang yang berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola
Wungu katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang baru itu!
”Kalingundil! Kau tak perlu
pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia bernama Mahesa Birawa?!”
”Orang muda bermulut besar, kau
siapa?!” bentak Kalingundil.
”Ditanya malah menanya! Sialan
betul!”, gerendeng Wiro Sableng. ”Tujuh belas tahun yang silam kau bersama
Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku! Juga membunuh ibuku dan Jarot
Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!”
Kalingundil merutuk dalam hati.
Apakah manusia ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola
Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil
sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya mengeluh!
Melayani Bergola Wungu saja dia
sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus!
”Apa maumu orang muda?!”
”Apa mauku….?!” Wiro tertawa
bergelak.
Nilamsuri yang merasa cemas
segera mengetengahi dengan berkata, ”Wiro…. dia adalah ayahku!”
”Aku tahu adik manis…,” dan si
pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih bisa dia mengingat kemesraan
dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu di dangau di tengah
sawah tadi malam. ”Karena itulah aku berbaik hati datang ke sini hanya untuk
meminta tangan kanannya saja!”
”Wiro!” muka Nilamsuri menjadi
pucat.
Bergola Wungu sendiri tahu bahwa
apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong belaka. Dia telah
melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini!
Sebaliknya Kalingundil keluarkan
tertawa membahak. ”Kurasa kau masih pantas untuk menetek sama kau punya ibu!”,
ejeknya.
”Kata-kata itu cukup lucu,
Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!” Wiro
Sableng melangkah mendekati Kalingundil.
Nilamsuri melompat ke muka hendak
menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari samping Bergola Wungu yang sejak
lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh
bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih lama segera ditebaskan
golok panjangnya!
Nilamsuri melengking! Tubuhnya
tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang
melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil
segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru:
”Manusia bernama Wiro Sableng!
Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali untuk
meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!”
”Setan alas betul!” maki Wiro
Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin
laksana badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah pekuburan beterbangan.
Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul! Tapi Bergola Wungu
sudah lenyap dibalik bukit!
Wiro Sableng putar kepala dan dia
memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. ”Boleh saja lari
Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!”
Sekali pemuda itu melompat ke
muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tibatiba Kalingundil berbalik,
cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro Sableng!
Serangan yang dilancarkan dengan
kalap serta karena ketakutan itu tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang
diserang cepat gerakkan tangan kanannya.
”Kraak”!
Kalingundil meolong. Tangan
kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot! Daging dan otot seta urat-urat
berserabutan mengerikan sekali!
Laki-laki itu macam babi celeng
seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi.
”Eee…. tunggu dulu Kalingundil!
Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka kenang-kenangan ini!” Habis
berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan kanannya ke jidat
Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka terpampanglah lukisan telapak
tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada baigan tengahnya!
Kalingundil seradak seruduk lagi
macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng
tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu berlari macam dikejar setan!
Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya.
Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan
lengen itu melesat dan menghantam punggung Kalingundil, membuat laki-laki itu
tergelimpang menelungkup di tanah, tapi segera bangkit lagi dan lari lagi!
Wiro Sableng hentikan gelaknya
ketika telinganya mendengar suara gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh
gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat luka besar di dada
si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya gadis itu,
dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya.
”Wiro….” Nilamsuri membuka kedua
matanya yang telah menjadi sayu itu. ”Wiro…. peluk aku….,” pintanya.
Wiro Sabelng merangkul gadis itu.
”Cium aku…. Wiro….”
Si pemuda mencium pipi Nilamsuri.
Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan dingin kini, tidak basah dan hangat
seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan satu-satu. Sinar matanya semakin
pudar.
”Umurklu untuk mengenalmu hanya
sampai di sini, Wiro….” bisik Nilamsuri.
”Aku akan obati lukamu, Nilam.
Kau akan sembuh….” kata Wiro pula menghibur.
Nilamsuri tersenyum. Bersamaan
dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas
meninggalkan tubuh.
Pendekar muda dari Gunung Gede
hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam
Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi kini tubuh itu tiada akan
memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak karena saat itu
tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin.
Wiro mennghela nafas panjang
sekali lagi. Disibakkannya bagian pakaian yang robek di dada gadis itu. Pada
bagian kulit dada yang masih utuh, tepat di atas buah dada sebelah kiri si
gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat
tiga barisan angka: 212.
Disandarkannya tubuh tanpa nyawa
itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah pendekar ini
meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti tak
satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini terdengarlah suara
siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….
TAMAT
No comments:
Post a Comment