Pendekar
Pedang Akhirat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
1
Mungkin
ini adalah malam yang paling mengerikan bagi Wiro Sableng selama dia
menginjakkan kaki dalam rimba persilatan Tiongkok. Segala sesuatunya gelap,
hitam memekat. Hujan turun dengan lebat, angin bertiup dingin mengeluarkan
suara aneh tiada hentinya. Sekalisekali guntur menggeledek dan di kejauhan
terkadang terdengar suara lolongan liar serigala hutan.
Dalam
keadaan basah kuyup Wiro berusaha mencari perlindungan. Saat itu dia berada di
lereng sebuah bukit gundul, sekitar 100 lie dari tembok besar.
"Hujan
gila!" memaki Wiro. Dia lari terus. Dalam kepekatan itu di kejauhan
dilihatnya satu bayangan hitam sebuah bangunan. Dia tak dapat memastikan
bangunan apa adanya itu, namun Wiro segera menuju ke sana. Sesaat kemudian,
bila dia sampai ke tempat tersebut ternyata klenteng yang sudah tidak terpakai
lagi, Wiro mendekam di bawah atap klenteng yang miring. Hawa
dingin
baginya bukan apa-apa tetapi perut yang kosong keroncongan betul-betul
merupakan siksaan.
Sekilas
kilat menyambar. Bumi sekejapan terang lalu gelap lagi. Ketika sekali lagi
kilat berkiblat tibatiba sepasang mata Wiro yang tajam melihat sebuah batu
empat persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal, lebar dua meter dan panjang
tiga meter. Batu ini menutupi hampir separuh dari bagian depan klenteng itu.
Meskipun
dia tak mengerti mengapa batu itu sampai berada di tempat tersebut, dan
kelihatannya di sana, semula Wiro tak mau ambil perduli. Namun ketika sekali
lagi pula kilat menyambar menerangi tempat itu. Tepat di atas batu besar itu
menggeletak sebuah tengkorak kepala manusia. Sepasang matanya yang merupakan
dua buah lobang besar, memandang menyorot mengerikan pada Wiro sedang mulutnya
seolah-olah melontarkan seringai maut ke arah pendekar ini. Pada batu besar
itu, tepat di bawah tengkorak tadi, terdapat tulisan yang agaknya dibuat dengan
darah berbunyi: Liang Se-thian (Liang Akhirat).
"Gila
betul! Apa-apaan ini?" membatin Wiro. Meskipun bulu kuduknya agak
merinding juga, namun dia melangkah maju mendekati batu besar itu.
Tangannya
diulurkan menjamah tengkorak. Batok tulang kepala itu terasa dingin. Jari-jari
tangan Wiro Sableng bergetar. Wiro garuk-garuk kepala dengan tangan kiri.
Tangan kanannya kemudian mengangkat tengkorak tersebut. Maksudnya hendak
ditelitinya. Namun mendadak sontak kelihatan dua larik sinar hijau yang busuk
membersit dari sepasang rongga mata yang seram dari tengkorak, menyambar ke
muka Wiro. Dari warna dan baunya sinar tersebut Wiro serta merta dapat
memastikan bahwa sinar ini mengandung semacam racun yang amat jahat. Sebenarnya
dengan memiliki Kapak Naga Geni 212 yang dapat memusnahkan segala macam racun
itu, Wiro Sableng tak usah kawatir. Akan tetapi saking kagetnya, pemuda ini
secepat kilat meloncat sambil memaki membantingkan tengkorak itu hingga hancur
berkeping-keping.
Secara
tak sengaja tengkorak yang dibantingkan Wiro membentur sebuah tombol kecil yang
terletak di saiah satu sudut batu besar. Dan belum lagi pemuda ini habis
kejutnya tiba-tiba pula batu besar di hadapannya bergeser ke samping. Sebuah
lobang gelap terbentang dan dari lobang ini tiba-tiba sekali melesat sesosok
bayangan disertai mengumbarnya suara tertawa bekakakan yang amat dahsyat.
Angin
kelebatan bayangan tadi demikian hebatnya hingga membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng terhuyung-huyung ke samping, Wiro cepat berpaling.
Sesosok
tubuh yang berpakaian compang camping kurus kering tiada beda dengan jerangkong
hidup dan di bawah rambutnya yang panjang awut-awutan terdapat wajahnya yang
menyeramkan macam iblis ganas. Dia masih terus mengumbar tertawanya yang seram
menggetarkan itu. Sedang sepasang matanya yang cekung memandang tidak berkedip
pada Pendekar 212.
Wiro
Sableng tetapkan hati mengusir rasa ngeri dan berseru, "Siapa kau?!
Manusia apa bangsa setan pelayangan!"
Orang
yang ditanya tidak menjawab. Malah dia mendongak dan kembali menghamburkan
suara tertawanya yang lantang menyeramkan. Dia tertawa sepuas-puasnya. Dan bila
tawanya itu berhenti tibatiba dia membuka mulut.
‘"Tiga
tahun dipendam tidak membuat aku mati! Tiga tahun disekap tidak membuat aku
mampus! Tiga tahun dikubur tidak menjadikan aku modar! Betapa tingginya
kekuasaan Thian!"
Wiro yang
tak mengerti makna kata-kata orang aneh itu jadi garuk-garuk kepala. Siapakah
adanya manusia yang ada di depannya itu, kalau dia memang manusia? Apakah dia
telah terkurung atau dipendam dalam liang batu itu selama tiga tahun? Tanpa
makan dan minum tapi toh bisa hidup." Hanya satu hal yang dapat dipastikan
oleh Wiro yakni orang bermuka hampir seperti muka tengkorak itu memiliki ilmu
yang tinggi. Ini terbukti dengan angin kelebatannya waktu keluar dari liang
tadi, yang telah membuat Wiro Sableng terhuyung!
"Budak!
Kau kemarilah!" Tiba-tiba orang itu berseru dan melambaikan tangannya ke
arah Wiro.
Aneh!
Seolah-olah ada satu kekuatan gaib yang menariknya, Wiro kemudian melangkah ke
hadapan orang itu. Dia memperhatikan pendekar kita dengan matanya yang cekung
seram.
"Heh,
kau orang asing? Bukan orang sini! Tapi sudah, aku tak perduli! Katakan siapa
namamu!"
Wiro
sebutkan namanya.
"Locianpwe
sendiri siapakah kalau siauwte boleh tanya?"
"Saat
ini kau belum layak mengetahui siapa diriku. Tapi budak, ketahuilah. Kau telah
menyelamatkanku. "Ujarnya mengatakan. "hutang emas dapat dibayar,
hutang budi dibawa mati. Membawa mati budi itulah yang aku tidak sudi. Karena
kau telah selamatkan jiwaku dari liang neraka keparat ini maka aku akan
memberikan tiga jurus ilmu pedang!"
Wiro
Sableng jadi kaget.
"Locianpwe…"
katanya. "Aku tak merasa menolongmu, apalagi menyelamatkan jiwamu?"
"Tidak
merasa…?" Orang aneh bermuka dan bertubuh tengkorak itu kembali tertawa
gelak-gelak. "Kau telah menggeser batu besar itu hingga kini aku bebas.
Tiga tahun lamanya aku disekap di liang jadah ini! Kalau tidak ada kau mungkin
sampai mati aku akan mendekam terus di situ! Bukankah itu berarti kau telah
menyelamatkan diriku? Menolong jiwaku!?"
"Kurasa
semua itu terjadi dengan tidak Sengaja. Hari hujan dan aku tersesat
kemari…."
"Sengaja
atau tidak tapi tetap kau adalah tuan penolongku, budak! Nah sekarang kau
bersiap-siaplah untuk menerima tiga jurus ilmu pedang dariku!"
"Aku
tanya dulu, Locianpwe!" memotong Wiro.
"Tanya
apa?"
"Tiga
tahun dipendam di dalam liang batu ini, bagaimana Locianpwe masih bisa
hidup?"
"Bukan
cuma masih bisa hidup, malah menambah ilmu kesaktianku."
"Ah,
itu hebat sekali! Tapi cobalah Locianpwe terangkan bagaimana hal itu bisa
terjadi. Manusia biasa tak bakal bisa terus hidup. Kecuali kalau Locianpwe ini
sebangsa jin…!"
Sesaat
orang tua bermuka tengkorak itu mendelik dan mimiknya seperti hendak menelan
Wiro bulat-bulat. Tapi sesaat kemudian kembali suara tertawanya yang dahsyat
terdengar.
"Terhadap
orang yang telah menolong jiwaku tiada beda seolah-olah aku telah meminjam
nyawamu sendiri. Karenanya apa pun yang kau bilang aku tak akan marah!"
"Ah,
kau terlalu berlebih-lebihan, Locianpwe…"
"Mungkin…
mungkin. Sekarang bersiaplah untuk menerima pelajaran ilmu dariku. Tapi…"
Orang itu sejenak berpikir-pikir.
"Sebelum
pelajaran ilmu pedang, sebaiknya lebih dulu kuberikan sepertiga iwekangku
padamu!"
"Locianpwe,
sebenarnya untuk satu pertolongan yang tidak sengaja itu aku tidak meminta
balas jasa apa…."
"Perduli
apa, toh aku memberikannya dengan sukarela."
"Walaupun
begitu aku tetap tak layak menerimanya."
"Sudahlah,
jangan banyak mulut. Lekas duduk bersila dan hadapkan punggungmu padaku. Aku
akan buka jalan darah tay hwi hiat di bagian tubuhmu itu!"
Wiro tak
bisa berbuat apa-apa selain mengikuti dan duduk bersila. Si muka tengkorak
kemudian berlutut di belakang Wiro dan letakkan kedua telapak tangannya pada
punggung pemuda ini. Sesaat kemudian Wiro merasakan punggungnya menjadi hangat.
Hawa hangat itu terus mengalir menembus kulit dan daging di punggungnya,
mengalir ke seluruh pembuluh darahnya. Sekira seperempat jam kemudian dengan
butiran-butiran keringat di kening dan pakaiannya yang compang-camping basah kuyup,
si orang tua itu buka kedua matanya dan berdiri. Dia menghela nafas lega.
"Berdirilah!"
Ketika
berdiri Wiro merasakan betapa tubuhnya kini terasa amat mantap dan enteng.
Sebagai seorang pendekar sakti mandraguna sebelumnya Wiro Sableng telah
memiliki iwekang (tenaga dalam) yang amat tinggi. Ini ditambah pula dengan
sepertiga bagian tenaga dalam baru dari seorang sakti misterius itu, dengan
sendirinya dapat dibayangkan bagaimana hebat dan luar biasanya tenaga dalam
yang sekarang dimiliki oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede itu.
"Sekarang
kau perhatikan baik-baik. Aku akan mainkan tiga jurus ilmu pedang yang dahsyat.
Sesudah itu kau menirukannya."
Orang
sakti aneh itu rentangkan kedua kakinya. "Ini jurus pertama. Bernama Cip
hian-jay-hong (Tibatiba muncul pelangi). Perhatikan baik-baik!" Kemudian,
"Jurus kedua Lo han Ciang-yau (Malaikat Menundukkan Siluman)" Setelah
itu, "Dan ini jurus terakhir kunamai: Kui-gok-sin-ki atau Setan Meratap
Malaikat Menangis! Nah sekarang kumainkan sekali lagi satu persatu dan kau
menirukannya."
Wiro
manggut-manggut sambil garuk-garuk kepala dan sepasang matanya memperhatikan
dengan teliti. Bila orang tua tak dikenal ini selesai memainkan jurus pertama
yang disebut "Tiba-tiba Muncul Pelangi" maka Wiro pun menirukannya.
Demikian seterusnya.
Si orang
tua tertawa lebar dan usap-usap janggutnya yang panjang acak-acakan.
"Budak, ternyata kau memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan meskipun
tampangmu tolol tapi otakmu cerdas. Hanya dua kali melihat, kau sudah dapat
menirukan masing-masing jurus ilmu pedang tadi tanpa salah sedikitpun! Dan
dalam gelapnya cuaca begini, kau betul-betul hebatl Asal kau rajin melatih
diri, pasti kau tak akan dapat dirubuhkan oleh jago pedang dari negeri mana
punl"
Wiro
garuk-garuk kepala.
"Nah,
untuk sementara segala hutang budi kurasa sudah terbayar. Cuma hutang nyawa
yang masih belum impas. Di lain hari kelak aku akan datang membayarnya berikut
bunganya. Selamat tinggal budak…. "
"Locianpwe,
tunggu!" Wiro berseru cepat.
"Ada
apa pula, budak?!"
"Sudilah
Locianpwe mengatakan siapa adanya manusia jahat yang telah mencelakakan dan
memendam Locianpwe dalam liang batu itui"
"Memangnya
kenapa, budak?"
"Aku
akan mencarinya guna membalaskan sakit hati Locianpwe sebagai tanda terima
kasih atas budi baik yang Locianpwe berikan hari ini padakul"
Si orang
tua tertawa gelak-gelak. "Budak, ternyata kau seorang yang punya hati
polos, budi luhur dan tahu peradatan. Tapi ketahuilah, soal dendam kesumat
dengan orang yang telah menjebloskan diriku dalam liang akhirat ini biarlah
tetap menjadi urusanku dan tanggung jawabku!"
"Satu
pertanyaan lagi, Locianpwe," kata Wiro. Tapi astaga! Padahal kata-kata
terakhir orang itu masih ternigiang di telinga Wiro, tapi sosok tubuhnya
sendiri sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. Tadi dia hendak menanyakan
bagaimana selama tiga tahun terpendam di liang batu itu si orang tua masih bisa
hidup. Tapi yang hendak ditanya sudah melesat pergi. Wiro melangkah mendekati
lobang batu itu. Gelap. Dia berlutut dan meluruskan tangannya meraba-raba.
Aneh, dinding liang itu dirasakannya basah dan berlapis semacam benda lembut.
Ketika dikorek dan diteliti ternyata adalah sejenis lumut yang dapat dimakan.
"Hemm…"
menggumam Wiro. Kini dia mengerti. Liang batu tersebut ditumbuhi oleh lumut dan
lumut inilah yang menjadi satu-satunya makanan yang menjadi pengisi perut orang
misterius tadi selama tiga tahun dipendam di situ!
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Di luar hujan telah mulai reda. Tiba-tiba sepasang telinga Wiro
yang tajam mendengar suara berdesir, di belakangnya lima pisau terbang menderu
ke arah lima bagian tubuh pendekar ini. Tahu bahaya mengancam secepat kilat
Wiro jatuhkan diri dan berguling ke sudut ruang ini. Lima pisau melabrak
dinding, sebuah menancap, empat lainnya jatuh berkerontangan di lantai.
"Pembokong
pengecut! Coba perlihatkan tampangmu!" teriak Wiro marah.
Dua sosok
tubuh kemudian melesat masuk ke ruangan itu.
****************
2
DUA orang
yang barusan melesat masuk itu bertampang garang dan seram. Rambut merah
panjang awut-awutan, kumis dan janggut berangasan. Mereka mengenakan jubah
hitam. Pada leher masingmasing tergantung sebuah kalung emas yang mata
kalungnya merupakan kepala seekor harimau tengah mengangakan mulutnya.
"Aku
tidak kenal siapa kalian! Sama sekali tidak ada permusuhan di antara kita.
Kenapa kalian menyerangku?" Wiro menghardik.
Kedua
orang itu tidak menjawab. Yang satu melangkah mendekati liang batu dan
memandang tajam ke dalam. Sesaat kemudian dia berpaling pada kawannya dan
dengan paras berubah kaget dia berseru, "Liang batu ini kosong!"
"Hah?!"
sang kawan tampaknya juga kaget sekali dan dengan satu gerakan kilat tahu-tahu
sudah berada di tepi lobang batu. Memandang ke bawah dilihatnya liang batu itu
benar-benar kosong.
"Pasti
bangsat inilah yang telah melepaskannya!"
Sesaat
kedua orang itu memandang melotot pada Wiro. Salah seorang dari mereka
mendengus, dan buka mulut, "Mengaku! Bukankah kau yang telah menggeser
batu besar ini dan melepaskan orang yang dipendam di dalamnya?!"
Wiro
Sableng paling benci pada manusia-manusia yang kasar dan galak serta memandang
rendah orang lain seenak perutnya. Apalagi barusan kedua orang tak dikenal itu
telah membokongnya dengan satu serangan maut. Maka pemuda ini pun menjawab.
"Datang
dengan baik, berkata dengan baik, bertanya dengan baik itulah peradatan dunia
kangouw!"
"Kurang
ajar! Budak hina dina macammu ini hendak memberi kuliah pada kami? Apakah tidak
melihat gunung Thay-san di depan mata?!"
Sebenarnya
Wiro telah jengkel melihat dua manusia-manusia di hadapannya itu. Namun
ditindasnya rasa jengkel itu dan sebelum dia menghajar mereka, ingin terlebih
dahulu hendak dipermainkannya. Dia garuk-garuk kepala, mendelikkan mata dan
kerenyitkan kening lalu memandang berkeliling celingukan.
"Gunung
Thay-san, katamu heh! Aku tak mellihatnyal Kau tentu sudah keblinger sobat!
Gunung Thay-san jauh dari sini. Ribuan lie, mana aku bisa melihat? Apalagi
malam gelap gulita begini!"
"Bangsat
gila! Berani kau mempermainkan Siang-mo-kiam! Kepalamu menggelinding detik ini
juga!"
Habis
membentak begitu, tak tahu kapan dia mencabut pedang, tiba-tiba saja sinar
putih bertabur di depan hidung Wiro Sableng. Untung saja pendekar ini waspada
dan buru-buru menyurut tiga langkah.
Kalau
tidak niscaya lehernya tersambar putus dan kepalanya benar-benar dibikin
menggelinding oleh pedang lawan.
"Siang
mo-kiam? Sepasang Pedang Iblis?! Hem, tampang kalian memang pantas disebut
iblis kesiangan!"
Di
hadapan Wiro kini kedua orang berjubah hitam itu masing-masing telah mencekal
sepasang pedang perak. Keduanya berputar-putar mengelilingi Wiro. Tiba-tiba
salah seorang dari mereka berteriak nyaring dan detik itu juga empat bilah
pedang berkiblat bersuitan menggempur empat bagian tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng!
Wiro jadi
terkesima. Memandang berkeliling dia tak dapat lagi melihat kedua musuhnya. Di
sekitarnya kini hanya terlihat gulungan-gulungan sinar putih yang
membuntal-buntal menyelubungi dirinya. Tak satu jalan keluar pun tampak, sedang
buntalan gulungan-gulungan sinar pedang musuh detik demi detik semakin
menyempit. Pakaian dan rambut Wiro sampai berkibar-kibar oleh kerasnya deru
angin sambaran empat pedang lawanl
"Hebat!"
mengagumi Wiro dalam hati. Seumur hidupnya baru hari itu dia melihat ilmu
pedang yang demikian luar biasanya.
Pendekar
ini bersuit nyaring dan lepaskan satu pukulan sakti. Segulung angin menerpa ke
depan memapasi sinar pedang yang bergulung-gulung.
Terdengar
dua seruan tertahan dan kedua penyerang merasakan tubuh mereka terdorong,
pedang masing-masing menyibak tak karuan. Mau tak mau keduanya cepat mundur.
Namun serentak kemudian mereka menyerang kembali. Dan kali ini permainan pedang
mereka berubah amat ganas hingga dalam waktu singkat terdengar "bret…
bret…!" Dua bagian pakaian putih Pendekar 212 kena dirobek!
Wiro
menggerung marah. Dia bersult nyaring dan lepaskan pukulan sakti bernama
"Benteng Topan Melanda Samudera". Dia cuma kerahkan sepertiga bagian
tenaga dalamnya, tetapi karena tadi sebelumnya dia telah menerima tambahan
iwekang dari si orang tua misterius maka kini daya kekuatan tenaga dalam itu
hebatnya bukan main.
Siang-mo-kiam
terpental hampir setengah tombak.
Memikir
sampai di situ maka Wiro kerahkan ginkangnya yang tinggi dan berkelebat lenyap.
Sebelum kedua musuh tahu di mana dia berada tahu-tahu salah seorang dari mereka
merasakan pedang di tangan kirinya terbetot lepas! Dan di lain kejap bila dia
memandang ke depan dilihatnya Wiro telah berdiri dengan dua kaki terpentang dan
pedang melintang di depan dada!
Saking
kagetnya, kedua orang itu sesaat jadi kesima. Betapa tidak. Selama 20 tahun
malang melintang dalam dunia kangouw belum ada satu lawan pun yang mampu
berbuat demikian terhadap sepasang Pedang Iblis. Jangankan untuk merampas
pedang, lolos dari kepungan empat bilah senjata maut itu pun tiada yang
sanggup. Hari ini Sepasang Pedang Iblis atau Siang-mokiam betul-betul dibuat
mendelik
mata masingmasing.
"Orang
asing, siapakah kau sebenarnya?!"
Wiro
ganda tertawa.
"Kalian
berlututlah minta ampun di depanku, baru aku kasih tahu nama tuan besarmu
ini!"
Wajah
kedua orang itu tegang membesi. Mata mereka laksana dikobari api, saking
marahnya. Penghinaan begini rupa tak pernah mereka terima sebelumnya.
"Anjing
liar! Lekas sebutkan namamul Siang-mokiam tak pernah membunuh musuh yang tak
bernama!"
Kembali
Wiro perdengarkan suara tertawa. Kali ini bernada mengejek.
"Jika
kau tidak mau kasih tahu nama tidak apa. Berarti kau bakal mati dengan
penasaran! Sekarang beri tahu cepat ke mana perginya orang yang dipendam di
dalam liang sini?!"
"Katakan
dulu apa sangkut paut kalian dengan dia?!" balik bertanya Wiro.
"Budak
keparat ini terlalu banyak bacot! Lebih bagus kita bereskan saja cepat-cepat
dan bawa kepalanya ke hadapan Dewi sebagai pertanggungan jawab!" Habis
berkata begitu salah seorang dari dua manusia berjubah itu mendahului
menyerang, tapi kawannya pun kemudian menyusul pula dalam satu gerakan kilat.
Kini hanya tiga pedang yang datang menggempur, tapi kehebatannya tetap tiada
kepalang dan sedikit saja Wiro lengah pastilah akan terkutung-kutung bagian
tubuhnya!
Di lain
pihak Wiro memang sudah tunggu dan mengharapkan serangan ini. Tiga pedang
bertaburan di depan matanya. Dengan tenang Wiro mainkan jurus pertama ilmu
pedang yang baru diterimanya yakni "Cip-hian jay hong" atau
"Tibatiba Muncul Pelangi". Pedang perak di tangannya bersuit ke udara
menimbulkan sinar berkilauan hampir selebar satu tombak dan melengkung!
"Jurus
Tiba-tiba Muncul Pelangi!" salah seorang dari Siang-mo-kiam berseru kaget
dan melompat mundur.
Tapi
"tring… tring!"
Pedang
kedua orang mental patah ke udara. Yang satu terhuyung sambil pegangi dadanya
yang koyak besar. Lalu tergelimpang mandi darah. Kawannya mengerang terduduk di
pojok kiri ruangan sambil pegang lengan kirinya yang buntung dan berkucuran
darah!
Sesaat
Wiro sendiri jadi melotot, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dia barusan
telah memainkan jurus pertama dari ilmu pedang aneh yang dipelajarinya, bahkan
jurus pertama itu pun belum rampung keseluruhannya dan tahu-tahu kedua lawannya
telah roboh demikian rupa!
Melihat
kawannya mati si jubah hitam yang lengan kirinya buntung menggembor marah.
Mukanya ganas sekali.
"Keparat!
Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun?!"
"Aku
mana tahu segala macam akhiratl Sebaiknya nanti saja kau lihat sendiri
bagaimana keadaan di akhirat itu!"
"Setan!
Jika kau bukan muridnya tua bangka Long-sam-kun itu tak nanti kau memiliki ilmu
pedang itu! Tapi jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku mengadu jiwa
denganmu! Nyawa kawanku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!"
Orang itu
melompat. Meskipun lengannya luka parah, buntung dan masih mengucurkan darah
serta cuma memegang satu pedang di tangan kanan, namtjn masih saja serangan
yang dilancarkannya itu hebat berbahaya.
Wiro
berkelebat ke samping dan siap membalas kembali dengan ilmu pedang yang baru dikuasainya,
namun tiba-tiba serangan itu ditariknya kembali. Dia tak ingin musuh kedua ini
menemui kematian pula. Lebih penting bila dia bisa mendapatkan keterangan
mengapa mereka begitu bernafsu menginginkan jiwanya dan siapakah sebenarnya
Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun itu, apakah orang tua yang dipendam dalam
liang batu dan ditolongnya itu?
Pada saat
tebasan pedang lawan lewat, Wiro kirimkan satu serangan susupan ke arah iga
musuh. Namun ini cuma satu tipuan saja, karena begitu lawan berkelit dan hendak
membacok ganas, Wiro sudah selundupkan kaki kanannya. Tendangannya tepat
menghantam pinggul orang itu dan membuat musuh terpekik melintir dan pedangnya
lepas dari genggaman.
Selagi
dia terhuyung-huyung, Wiro jambak rambutnya yang merah dengan tangan kiri.
"Katakan,
siapa yang menyuruhmu inginkan jiwaku?!"
"Tidak
ada yang menyuruhl"
"Keparat,
jangan dusta! Jika kau tak mau bicara…." Wiro Sableng pelintir kepala
orang itu hingga dia merintih kesakitan. "Kau masih ingin hidup?"
"Percuma
saja. Kau sudah bunuh kawanku.
Dan
kalaupun aku hidup tiada gunanya."
"Kenapa
tiada guna?"
"Pemimpinku
akan menghukumku dengan kematian juga!"
"Hem…
sekarang kau nyerocos sendiri. Ayo katakan siapa pemimpin kalian!" sentak
Wiro.
"Baik,
aku akan bicara. Tapi lepaskan dulu jambakanmul" jawab orang itu.
Wiro lalu
lepaskan jambakannya pada rambut musuh. Namun baru saja jambakan dilepaskan,
tibatiba sekali, di luar dugaan Wiro, orang itu angkat tangan kanannya dan
"brak!" Dia berjibaku.
Kepalanya
dipukul sendiri hingga rengkah! Nyawanya putus detik itu juga!
"Keparat,
aku kena ditipu! Manusla tolol! Diberi hidup inginkan mampus!"
Wiro
bantingkan pedang perak ke lantai. Setelah merenung sejenak dia mendekati mayat
Siang-mokiam dan menanggalkan kalung emas berkepala harimau itu dari leher
keduanya.
****************
3
WIRO
SABLENG Sableng lenggang kangkung memasuki kota Khay-hong tanpa memperdulikan
orang yang memperhatikannya. Di hadapan sebuah kedai kecil dia berhenti. Masuk
ke sana didapatinya sudah ada beberapa orang tamu asyik makan bubur ayam dan
meneguk teh hangat. Wiro mengambil tempat duduk dan sebagaimana biasa pandangan
mata orang kemudian tertuju penuh perhatian padanya. Selesai mengisi perut Wiro
bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Dia ingin buru-buru mencari tahu siapa
adanya kedua orang berkalung emas yang semalam berniat membunuhnya di bekas
reruntuhan klenteng. Karenanya, setelah membayar harga makanan dan minuman,
segera dikeluarkannya kalung harimau emas dan diperlihatkannya pada pemilik
kedai.
"Lopek,
mungkin kau mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan kalung ini…?"
Sesaat
matanya melihat kalung harimau emas yang digoyang-goyangkan Wiro di tangan
kanannya, paras pemilik kedai serta merta berubah pucat pasi. Tetamu lain yang
juga ada di kedai itu kelihatan menjadi ketakutan, beberapa di antaranya segera
menyingkir.
"He…?"
Wiro tentu saja menjadi heran.
Di
hadapannya pemilik kedai jatuhkan diri berlutut dan menjura berulang kali.
"Mohon
dimaafkan aku si orang tolol ini yang tidak mengetahui gunung Thay-san di depan
mata."
"Lagi-lagi
gunung Thay-san!" menggerutu Wiro di dalam hati.
"Ampunilah
selembar jiwaku yang tiada berharga ini karena aku sebelumnya tidak mengetahui
kalau tayhiap adalah anggota dari Hun-tiong Houw mo yang termasyur itu."
Habis
berkata demikian pemilik kedai itu lantas keruk sakunya, mengeluarkan beberapa
tail perak yang barusan diterimanya dari Wiro dan mengembalikannya pada pemuda
itu seraya berkata, "Harap tayhiap sudi menerimanya kembali. Untuk segala
hidangan yang tak seberapa itu masakan aku berani meminta bayaran pada tayhiap.
Kehadiran tayhiap di sini sesungguhnya satu kehormatan besar bagiku…."
"Eh,
lopek. Jadi aku ini tak usah membayar…?"
"Betul…
betul…."
Wiro
garuk-garuk kepala dan memasukkan kembali beberapa tail perak itu ke dalam
pakaiannya. Diam-diam dia semakin heran.
"Jika
sekiranya tayhiap ingin anggur atau arak yang baik untuk di perjalanan, aku
segera akan menyediakannya…."
"Tak
usah… tak usah," kata Wiro pula seraya geleng-geleng kepala. Sebenarnya
Wiro ingin menanyakan apa yang dinamakan Hun-tiong Houw-mo (Siluman Harimau
Dari Hun Tiong) itu. Siapa pemimpinnya dan di mana letak markasnya. Di samping
itu apakah kalung harimau tersebut merupakan tanda bagi setiap anggota
Hun-tiong Houw-mo. Namun tentu saja saat ini dia menjadi kebingungan karena si
pemilik kedai telah menganggapnya sebagai salah seorang anggota dari Hun-tiong
Houw-mo. Tampaknya nama Hun-tiong Houw-mo begitu ditakuti di Khay-hong. Dan ini
berarti Hun-tiong Houwmo bukanlah sesuatu yang baik. Setelah merenung sejenak
akhirnya sambil garuk-garuk kepala Wiro putar tubuh dan tinggalkan kedai itu.
Kalung emas dimasukkannya kembali ke dalam pakaiannya.
Pada saat
dia keluar dari kedai, matahari telah mulai naik. Wiro memandang berkeliling di
mans kira-kira dia bisa mendapatkan keterangan tentang spa yang dinamakan
Hun-tiong Hauw-mo itu. Di ujung jalan sebelah kanan dilihatnya dua orang pemuda
berjalan kaki ke arahnya Wiro menunggu sampai kedua orang pemuda itu sampai ke
dekatnya. Namun tiba-tiba dari ujung lain sebelah kiri terdengar gemeletak roda
gerobak yang ditingkah oleh derap kaki-kaki kuda berisik sekali.
Wiro
berpaling ke kiri! Sebuah gerobak yang ditarik oleh dua ekor kuda besar lewat
dengan cepatnya. Di sebelah depan duduk dua orang lelaki bermuka bengis. Di
bagian belakang yang terbuka duduk pula dua lelaki yang juga bermuka ganas.
Masing-masing
memanggul golok besar pada punggungnya. Di atas gerobak terdapat sebuah peti
mati berwarna hitam.
Di
belakang gerobak ini mengikuti seorang lelaki separuh bays berpakaian ungu. Di
balik pinggang pakaiannya tersembul gagang sebilah senjata. Orang ini
menunggang seekor kuda coklat. Sebenarnya tak ada yang menarik perhatian Wiro
atas lewatnya rombongan pembawa peti mati ini, jika saja sepasang matanya yang
tajam tidak melihat seuntai kalung emas berkepala harimau yang tergantung pada
leher penunggang kuda coklat itu.
Wiro
memandang berkeliling. Di seberang jaIan sana dilihatnya tertambat seekor kuda
putih di depan sebuah toko kecil. Tanpa pikir panjang lagi Wiro segera lari ke
seberang jalan, membuka ikatan kuda pada tiang lalu melompat ke punggung
binatang ini. Baru saja dia menarik tali kekang kuda tibatiba dari toko
keluarlah seorang dara berbaju merah. Parasnya yang jelita serta merta berubah
marah.
"Pencuri
kuda kurang ajar! Berhentilah jika tidak kepingin mampus!"
Namun
mana Wiro mau perduli. Menoleh pun tidak. Niatnya sudah bulat untuk mengejar
rombongan pembawa peti mati tadi dengan cepat.
Melihat
teriakannya tidak diacuhkan, dara baju merah tadi keruk saku pakaiannya dan
sesaat kemudian dua puluh jarum beracun berwarna hijau melesat menyebar, hampir
tak kelihatan saking cepatnya, menderu ke arah 20 jalan darah di tubuh Wiro
Sableng.
Di antara
kerasnya derap kaki kuda putih yang sedang dipacunya itu, Wiro mendengar suara
bersiuran di belakang punggungnya yang disertal sambaran angin halus.
Sebelumnya dia sudah mendengar bentakan seorang perempuan. Semua itu sudah
jelas menunjukkan bahwa dia tengah diserang dengan piauw secara ganas.
Tingkat
kepandaian murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah merantau di negeri orang itu
seperti diketahui sudah mencapal tingkat tinggi. Karenanya meskipun diserang
dari belakang demikian rupa, cukup tanpa menoleh dia lambaikan tangan melepas
pukulan "Angin Puyuh".
20 piauw
beracun yang dilemparkan dara berbaju merah serta merta mental dan luruh ke
tanah. Sang dara kaget bukan kepalang. Dia menggembor marah dan melompat sampai
tiga tombak ke depan untuk mengejar Wiro. Namun tentu saja dia tak dapat
mengejar kuda besar yang larinya cepat luar biasa itu. Baru saja dia membuat
lompatan, Wiro dan kuda putihnya sudah lenyap di balik tikungan jalan. Dara ini
mengomel setengah mati. Namun apakah yang bisa dibuatnya…?
Setelah
menempuh jarak lebih dari 80 lie, rombongan yang dibuntuti oleh Wiro Sableng
berhenti di sebuah telaga kecil. Sebenarnya Wiro sudah gatal untuk buru-buru
turun tangan terhadap rombongan tersebut. Pertama untuk menyelidiki apa
sebenarnya rahasia yang ada di balik kalung emas berkepala harimau itu. Apa dan
siapa sebenarnya Hun-tiong Hauw-mo itu dan di mana markasnya. Apa tujuan
komplotan Siluman Harimau tersebut jika memang dia merupakan satu komplotan.
Lalu apa sangkut pautnya dengan tua renta aneh yang secara tak sengaja telah
ditolongnya ke luar dari Hang akhirat malam tadi. Namun karena memikir mungkin
sekali rombongan pembawa peti mati itu tengah menuju ke markas Hun-tiong
Hauw-mo maka Wiro mempersabar diri dan terus melakukan penguntitan secara
diam-diam.
Memperhatikan
peti mati di atas gerobak dari tempat persembunyiannya di balik semak-semak,
Wiro jadi berpikir-pikir kembali. Apakah peti mati itu kosong atau ada isinya?
Jika kosong apa gunanya dibawa demikian jauh. Kalaupun untuk penguburan
jenazah, adalah terlalu mencapaikan diri harus memesan peti mati dari tempat
yang amat jauh. Sebaliknya jika dalam peti mati itu memang ada jenazahnya,
kenapa rombongan membawanya dengan amat tergesa-gesa? Tidak lazim sama sekali
mayat diangkut begitu sembrono, di atas gerobak yang dipacu kencang terus
menerus, apalagi jalan demikian buruknya.
Sementara
orang-orang dalam rombongan itu beristirahat sambil meneguk arak, Wiro Sableng
cuma bisa leletkan lidah membasahi bibir.
Tak lama
kemudian rombongan itu dilihatnya bersiap-siap hendak berangkat kembali. Dan
kembali pula Wiro bersama kuda curiannya mengikuti orang-orang itu.
Beberapa
jam kemudian di ufuk barat sang surya telah mulai merosot ke titik
tenggelamnya. Warnanya yang tadi putih menyilaukan dan terik kini kelihatan
menjadi redup kemerah-merahan. Pada saat itulah rombongan pembawa peti mati
memasuki kota Ci-bun. Mereka langsung menuju sebuah hotel. Dua orang jongos
keluar menyambut kedatangan mereka. Namun keduanya serta merta tersurut langkah
ke belakang dan pucat pasi wajah masing-masing. Mata mereka mendelik memandang kalung
kepala harimau yang tergantung pada leher penunggang kuda berpakaian ungu.
Seolah-olah kedua jongos hotel ini telah melihat setan kepala sepuluh yang
mengerikan!
Orang
yang dipandang dengan mimik ketakutan itu kelihatan menyeringai. Dia membuka
mulut dan bicara dengan nada keras. "Untuk malam ini semua kamar hotel
kami sewa. Ini hadiah dua tail perak untuk kalian. Tapi ingat! Awas jika kalian
berani memberikan satu kamar saja buat siapa pun!"
Habis
berkata demikian lelaki baju ungu lantas lemparkan dua tail perak pada kedua
jongos. Meskipun tadi ketakutan setengah mati, namun diberi uang dua jongos
hotel itu ulurkan tangan menyambut.
"Loya,
apakah peti mati ini perlu diturunkan juga?" salah seorang dari empat
lelaki bertampang bengis yang mengawal gerobak bermuatan peti mati bertanya
begitu lelaki berpakaian serba ungu loncat turun dari atas kuda.
Yang
ditanya menjawab sambil memandang sekeliling halaman hotel. "Gotong ke
kamar tidurku. Kau dan tiga kawanmu harus berjaga-jaga di luar kamar.
Perjalanan kita masih cukup jauh dan aku tidak ingin terjadi kesulitan
mendadak."
"Perintahmu
akan kami jalankan, Loya. Dan kau tak usah kawatir soal keamanan peti mati itu.
Serahkan saja kepada kami Empat Golok Kematian…."
Orang itu
kemudian putar tubuh dan bersama tiga kawannya dia menggotong peti mati ke
kamar yang disediakan jongos hotel untuk lelaki berbaju ungu. Empat Golok
Kematian adalah empat perampok berkepandaian tinggi yang sering malang
melintang di daerah barat. Rata-rata memiliki tenaga dalam yang besar. Namun
dari cara mereka mengangkat peti mati tersebut kentara sekali bahwa peti
tersebut amat berat. Apakah sebenarnya isinya? Bahkan Empat Golok Kematian
sendiri pun tidak mengetahui. Mereka cuma dibayar untuk mengawal gerobak
tersebut ke satu tempat yang mereka tidak tahu. Sepanjang perjalanan antara
mereka saling bisik-bisik menduga-duga apa isi peti misterius tersebut. Hendak
menanyakan pada lelaki baju ungu mereka tidak berani. Mereka tahu betul
salah-salah mulut dan tingkah bukan mustahil nyawa mereka imbalannya. Meskipun
mereka berjumlah lebih banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi, namun
terhadap si baju ungu berkalung harimau itu mereka laksana kelinci dengan
singa!
Setelah
peti mati dimasukkan ke dalam kamarriya, lelaki berpakaian ungu lantas kunci
pintu dan jendela kamar, memeriksa keadaan tempat itu lalu duduk bersila di
lantai. Di luar kamar Empat Golok Kematian berjaga-jaga sedang di pintu halaman
dua jongos hotel tegak pula melakukan penjagaan.
Seekor
kelelawar menggelepar di puncak sebuah pohon, ketika dua jongos yang mengawal
di pintu halaman hotel melihat seorang penunggang kuda putih mendatangi. Acuh
tak acuh orang ini hendak masuk melewati pintu halaman begitu saja. Kedua
jongos serta merta menahannya.
"Bukankah
bangunan di dalam halaman ini sebuah rumah penginapan," penunggang kuda
putih bertanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu
hari sudah gelap. Dua jongos hotel tidak begitu jelas melihat wajah penunggang
kuda putih. Namun dari logat bicaranya kentara sekali kalau orang itu adalah
orang asing.
"Betul
dugaanmu cuwi. Tapi harap dimaafkan. Jika kau bermaksud bermalam di sini
ketahuilah semua kamar hotel telah penuh."
"Penuh?
Tak satu pun yang ketinggalan?"
"Tak
satu pun!"
"Tapi
barusan kalau aku tak salah lihat serombongan yang terdiri dari lima orang
telah datang kemari. Masakan untuk mereka berlima ada, untuk aku yang sendiri
tidak ada!"
"Mereka…
mereka memborong semua kamar dalam hotel ini. Harap cuwi mau cari rumah
penginapan yang lain."
"Tubuhku
letih, perutku lapar. Aku perlu buru-buru istirahat. Harap kalian beri
jalan!"
"Kami
sudah bilang semua kamar penuh. Harap cuwi mengerti dan jangan kelewat
memaksa?"
"Aku
bisa tidur di dapur!"
"Itu
tidak mungkin!"
"Kenapa
tidak mungkin?" sentak Wiro lantas gebrak kudanya dan menerobos masuk ke
dalam halaman. Kedua jongos hotel cepat memburu. Satu menahan tali kekang kuda
putih, satu lagi menarik ekor binatang itu.
Wiro jadi
jengkel. Jelas sudah ada apa-apa yang tak semestinya. "Kalian minta
digebuk!" desis pendekar ini lalu melompat turun dan hadiahkan
masing-masing satu tamparan pada kedua jongos tersebut.
Karena
tamparan cukup keras, kedua jongos itu melolong kesakitan dan rubuh ke tanah.
Wiro putar tubuh untuk melangkah ke pintu depan hotel. Baru maju dua tindak,
sesosok bayangan hitam berkelebat. Satu bentakan terdengar, "Bangsat
rendah dari mana yang berani mengacau di sini?!"
****************
4
BERPALING
ke kiri Wiro Sableng melihat seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh tegap
dan punya tampang garang, berdiri mencekal sebilah golok besar.
"Siapa
kau?" sentak orang ini yang bukan lain adalah seorang dari Empat Golok
Kematian. Dia melirik pada dua jongos hotel yang melingkar merintih-rintih di
tanah.
"Ah,
kau lebih sopan sedikit dari dua kurcaci konyol in!," jawab Wiro pula.
"Aku
datang ke mari untuk menyewa kamar dan menginap."
"Semua
kamar sudah penuh. Kami memakalinya semua!" jawab orang itu.
Wiro
garuk-garuk kepala.
"Jika
sudah tahu lekas angkat kaki dari sini!"
"Yang
aku belum tahu…" kata Wiro pula anteng-anteng, "Kalian cuma berlima
sedang hotel ini punya hampir sepuluh kamar. Masakan penuh semua!"
"Rupanya
kau perlu diajar tahu dengan ini!" orang ketiga dari Empat Golok Kematian
itu jadi naik darah dan babatkan goloknya kepada Wiro Sableng. Senjata ini
besar berat dan menimbulkan suara bersiuran. Wiro segera maklum kalau manusia
di hadapannya ini tidak sama dengan jongos hotel tadi. Cepat dia meluncur
mengelit. Ujung golok lewat satu jengkal dari dadanya.
Melihat
serangannya tidak membawa hasil, orang itu menggembor marah dan membacok sebat.
Tapi lagi-lagi serangannya hanya mengenai tempat kosong.
"Bangsat,
jika kau punya kepandaian keluarkan senjata!" dia membentak.
Kemudian
dia hanya mendengar suara orang tertawa perlahan dan memandang ke depan, Wiro
Sableng dilihatnya tak ada lagi di tempat. Belum habis kagetnya tiba-tiba
"duk!" Satu jotosan menghantam punggungnya. Empat Golok kematian
mengeluh dan tersungkur ke depan. Dia coba mengimbangi tubuh tapi satu totokan
membuat dia tak bisa bergerak ataupun buka suara! Dalam hatinya orang ketiga
dari Empat Golok Kematian ini memaki dan penasaran setengah mati. Seumur
hidupnya baru sekarang dia dipecundangi lawan semuda itul Siapakah adanya
pemuda asing yang lihay ini?
Wiro
melangkah mendekati bangunan hotel. Pintu depan tidak dikunci. Dia langsung
melangkah masuk. Tapi baru masuk dua tindak, tiga senjata dilihatnya berkelebat
ke arahnya. Satu menyambar ke dada, satu membabat ke muka dan satu lagi menusuk
ke arah pintu.
Ganas
sekali serangan tiga senjata itu. Kalau saja Wiro tidak lekas melompat ke
belakang niscaya tubuhnya akan mandi darah dan nyawanya akan putus!
Baru saja
Wiro menginjakkan kaki di serambi depan hotel, tiga sosok tubuh masing-masing
mencekal golok telah mengurungnya. Melihat kepada tampang dan pakaian mereka
Wiro segera maklum kalau tiga manusia ini pastilah kambrat-kambrat yang satu
tadi.
Saat itu
bagian serambi depan hotel tiada berpenerangan. Dalam suasana gelap begitu tiga
orang tersebut kembali menggempur Wiro. Serangan tiga golok mereka bukan
sembarangan dan Wiro harus berhati-hati.
"Aku
heran, ke mana kawan kita yang seorang," berbisik salah seorang Empat
Golok Kematian pada teman di sebelahnya.
"Jangan-jangan
sudah terjadi apa-apa atas dirinya."
Menduga
sampai di situ ketiga orang tersebut kemudian putar golok masing-masing dengan
sebat. Sampai seat itu Wiro masih mengandalkan tangan kosong dan ginkangnya.
Namun serangan tiga golok makin lama makin gencar dan kurungan ketiga lawan itu
semakin rapat.
"Ilmu
golok kalian hebat sekalit Tahan dulu! Aku mau bicara." Wiro tiba-tiba
berseru.
Tapi
ketiga orang tersebut tidak mau hentikan serangan. Mereka menduga kawan mereka
yang seorang telah celaka di tangan pemuda tak dikenal itu, karenanya mereka
berkeputusan untuk membunuh Wiro.
"Bagusnya
kau sebutkan siapa nama dan clarl mana kau datang agar kau tidak mampus
penasaran," salah seorang dari Empat Golok Kematian berseru dan goloknya
bersiut-siut mengirim serangan yang tidak berkeputusan.
"Kalau
mengandalkan tangan kosong terus menerus aku bisa mati konyol!" kata Wiro
dalam hati. Sebaliknya untuk mengeluarkan kapak saktinya saat itu dirasanya
masih belum pada tempatnya. Karenanya ketika mengelakkan satu bacokan dan dua
tusukan golok ketiga lawannya, dengan menjambret, patah sebatang cabang pohon
yang panjangnya lebih dari satu meter dan besarnya selingkaran lengan.
Melihat
lompatan yang barusan dibuat oleh Wiro, yang demikian gesit serta ringan
sekali, ketiga lawannya diam-diam merasa kaget juga. Semakin jelas bagi mereka
bahwa orang asing berambut gondrong itu bukan manusia sembarangan. Namun
sebagai jago-jago yang memiliki ilmu silat tinggi serta pengalaman luas di
dunia persilatan, tentu saja mereka tidak merasa jerih. Sebaliknya tiga manusia
ini kembali menyerbu disertai dengan bentakan-bentakan dahsyat.
Semula
Wiro Sableng akan sambut tiga serangan itu dengan jurus "Kipas Saku
Menerpa Hujan", yakni salah satu jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari
gurunya Eyang Sinto Gendeng. Namun saat itu selintas pikiran timbul dalam
benaknya. Waktu menghadapi Siang-mo kiam tempo hari dia telah mengeluarkan
jurus pertama dari ilmu pedang yang diterima dari manusia aneh berjuluk
Pendekar Pedang Akhirat. Hasilnya luar biasa, membuat Siang-mo kiam atau
Sepasang Pedang Iblis mandi darah. Kini bukankah ada baiknya kalau dia mencoba
pula jurus kedua dari ilmu silat aneh tersebut? Yaitu jurus pedang yang disebut
Lo han Ciang-yau atau Malaikat Menundukkan Siluman.
Begitulah,
sewaktu tiga golok besar berkiblat untuk membantainya, Wiro lantas putar cabang
di tangannya dalam jurus ilmu pedang tadi. Tiga lawannya tiba-tiba melihat
sesuatu menghitam di depan mereka yang disertai dengan suara bersiur yang
berat. Hanya sepasang cabang kayu masakan sanggup menghadapi tiga golok besar,
demikian ketiga orang dari Empat Golok Kematian itu berpendapat serta memandang
rendah lawan. Namun apa yang terjadi kemudian betul-betul mereka tidak menduga.
Pertama
sekali anggota Empat Golok Kematian yang di ujung kanan terpelanting hampir
satu tombak, melingkar di tanah dengan kepala pecah kena hantaman cabang kayu
di tangan Wiro. Dia mati tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Empat
Golok Kematian yang berada di tengah masih sempat mengeluarkan suara keluhan
pendek sewaktu dadanya kena dihantam cabang kayu, lalu jatuh tergelimpang di
tanah, megap-megap seketika, mengeluh sekali lagi dan mati.
Yang
ketiga masih untung karena hanya tulang lengannya saja yang remuk dan goloknya
mental ke atas. Orang ini tanpa tunggu lebih lama segera putar badan dan ambil
langkah seribu.
Sementara
itu di dalam hotel sewaktu terjadi keributan…
Lelaki
separuh baya yang berpakaian serba ungu dan berada dalam salah satu kamar hotel
di mana Juga terletak peti mati hitam, itu menjadi kaget ketika di luar
didengarnya suara ribut-ribut orang berkelahi. Setelah mengunci pintu dan
jendela kamar itu serta memadamkan lampu minyak, dengan satu gerakan yang lihay
dia melompat ke atas panglari. Dari sini dia membuka genteng kamar dan di lain
saat dia sudah berada di atas atap hotel.
Siapakah
sebenarnya orang ini. Dia bernama Tio Ki-pi, seorang tokoh silat dari propinsi
Ciat kang yang dikenal dengan julukan Thian-liong-pan atau si Ruyung Naga
selama delapan tahun lebih dia dikenal sebagai seorang pendekar gagah golongan
putlh yang telah banyak jasanya dalam menolong manusia-manusia lemah dan
tertindas. Namun sejak beberapa bulan belakangan ini Tio Ki-pi telah tersesat
dan menempuh jalan salah, ikut bersekutu dengan satu komplotan manusia jahat.
Di dalam
gelapnya malam, dari atas atap hotel, Tio Ki-pi dapat melihat tiga dari Empat
Golok Kematian tengah mengeroyok seorang tak dikenal tak berapa jauh dari situ
menggeletak sesosok tubuh yang tak dapat tidak pastilah anggota Empat Golok
Kematian yang telah kena dipreteli lawan. Di bagian lain dari halaman itu dua
orang jongos hotel tampak melingkar di tanah.
Segala
sesuatunya kemudian begitu cepat terjadi. Sehingga belum sempat Tio Ki-pi
berbuat sesuatu, berturut-turut terdengarlah suara bergedebukan, suara keluhan
dan jeritan dua dari Empat Golok Kematian, dilihatnya menggeletak di tanah
sedang yang ketiga lari pontang-panting sambil menjerit kesakitan.
Sepasang
alis mata Tio Ki-pi naik ke atas. Sesaat mukanya kelihatan tegang. Siapakah
adanya orang di bawah sana yang demikian lihay dan mengandalkan kepandaiannya
untuk melakukan pembunuhan begitu rupa? Sejenak jago silat dari Ciat kang ini
berpikir. Kemudian laksana seekor burung walet dia melayang turun dari atas
atap hotel dan menjejakkan kakinya ditanah tanpa menimbulkan suara barang
sedikit pun.
"Orang
asing dari manakah yang telah menunjukkan keganasan di sini? Harap beritahukan
nama dan gelar!"
Wiro
kaget dan cepat berpaling. Jika sampal sepasang telinga tidak jelas menangkap
kedatangan orang ini jelas dia memiliki ilmu yang lihay.
"Ah,
kiranya kau…!" kata Wiro begitu dia melihat si baju ungu.
"Kau
kenal aku?!" Tio Ki-pi menghardik. "Cuma kenal tampang. Siapa kau
adanya aku masih belum tahu…" jawab Wiro sambil nyengir.
"Manusia-manusia itu tiada permusuhan dengan kau. Kenapa kau turun tangan
sekejam itu?" Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lantas menjawab,
"Mereka mencari urusan yang tak karuan. Masakan aku mau menginap di hotel
ini mereka bilang semua kamar penuh. Brengsek! Lagi pula, kalau melihat tampang-tampangnya,
yang dua ini serta yang tadi lari itu tampaknya bukan manusia baik-baik."
"Mereka
adalah Empat Golok Kematian pembantu-pembantuku!"
"Pembantu-pembantumu…?
Ah!" Wiro gelenggeleng kepala.
"Orang
asing. Dari gerak-gerik cecongormu, aku yakin juga kau bukan manusia baik-baik.
Kedatanganmu kemari membawa satu maksud yang tersembunyi. Mengapa!"
Wiro
tertawa. Kembali tangannya menggarukgaruk kepalanya. "Kau betul. Jika aku
boleh tanya, apakah isi peti mati yang ada di dalam hotel itu hingga
pembawaannya dikawal ketat demikian rupa bahkan sampai-sampai dua manusia tolol
itu mau pasrahkan jiwa mereka?"
Tio Ki-pi
berusaha melenyapkan perubahan air muka kekagetan atas pertanyaan Wiro yang
tidak diduganya itu.
"Oh,
kiranya peti mati itulah yang menjadi perhatianmu? Apakah itu menjadi
urusanmu?!"
"Tentu
saja bukan. Tapi kalau semua itu ada sangkut pautnya dengan kalung emas kepala
harimau yang kau pakai maka itu lain pula ceritanya!"
"He,
tahukah kau apa artinya kalung kepala harimau ini?" tanya Tio Ki-pi seraya
pegang kalung yang tergantung di lehernya.
Dari
balik pakaiannya, Wiro Sableng keluarkan salah satu kalung kepala harimau emas
yang diambilnya dari Siang mo Kiam. Seraya menimbang-nimbang benda itu dia
berkata, "Kalungmu tiada beda dengan kalungku. Bukankah begitu?"
Tio Ki-pi
melengak kaget. Sepasang matanya membeliak besar. "Apakah… apakah kau juga
anggota komplotan Hun-tiong Hauw-mo?"
"Kalau
sudah tahu kenapa masih bertanya?" jawab Wiro keren sambil mendongak ke
langit.
Tio Ki-pi
memandangi si rambut gondrong ini dari kepala sampai ke kaki. Hatinya meragu
melihat potongan Wiro. Ditambah pula dengan keganasan yang dilakukannya
terhadap Empat Golok Kematian. Jika dia anggota Hun-tiong Houw-mo kenapa
melabrak kawan sendiri? Tapi jika dia bukan anggota komplotan itu di mana Tio
Ki-pi merupakan pula salah seorang anggotanya, mengapa pemuda itu bisa memiliki
kalung emas kepala harimau itu?"
"Sobat,
jika kau orang sendiri, kenapa membuat keonaran melakukan pembunuhan pada
orang-orang yang kubayar untuk mengawal kereta?" Tio Ki-pi ajukan
pertanyaan.
"Kau
tidak tahu orang bagaimana sebenarnya Empat Golok iCematian," jawab Wiro,
pula. "Pimpinan telah menyuruhku secara diam-diam untuk mengikuti
perjalananmu. Ternyata Empat Golok Kematian mempunyai rencana busuk. Dia hendak
membunuhmu secara membokong kemudian melarikan apa yang terdapat dalam peti
mati itu!"
Tio Ki-pi
seorang yang sudah berpengalaman dan tak mau lekas percaya pada orang lain.
"Jika
betul pimpinan kita telah menyuruhmu, coba kau beri tahu dari mana kami
berangkat dan ke mana tujuan kami?"
"Soal
itu kau tak perlu memancingku. Sebaiknya kita masuk ke dalam dan istirahat.
Besok pagi-pagi buta harus sudah melanjutkan perjalanan."
Acuh tak
acuh Wiro kemudian melangkah menuju pintu hotel. Tapi Tio Ki-pi cepat memotong
jalannya dan menahan pada Wiro dengan tangan kiri. Cara Tio Ki-pi menahan
gerakan Wiro kelihatannya lembut perlahan saja namun memiliki tenaga yang
sanggup menahan dorongan 200 kati! Tahu kalau orang hendak menjajaki
kepandaiannya, tak sungkan Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan mendorongkan
dadanya ke depan. Akibatnya Tio Ki-pi terhuyung sampai tiga langkah ke
belakang. Kagetnya jagoan dari Ciat kang ini bukan kepalang. "Ah, tingkat
tenaga dalamnya lebih tinggi dariku," katanya membathin. Kemudian dia
terbatuk-batuk beberapa kali.
"Sobat,
ketahuilah tugas yang diberikan oleh pimpinan padamu merupakan satu tugas yang
berat dan penuh tanggung jawab. Dunia persilatan penuh dengan orang-orang jahat
dan penipu licik. Karenanya jika kau betul anggota Hun-tiong Houw-mo harap kau
sudi mengucapkan sumpah perkumpulan kita!"
Menyadari
kalau dia tak bakal bisa mengucapkan segala macam sumpah komplotan tersebut
maka Wiro tiba-tiba berpura marah dan menghardik, "Rupanya kau tidak
pandang sebelah mata kepadaku? Berani kau menguji diriku?"
Diam-diam
Tio Ki-pi yakin kini kalau orang asing berambut gondrong di depannya itu
bukanlah anggota Hun-tiong Houw-mo karena setiap anggota jika bertemu tapi
sebelumnya belum saling kenal, diharuskan untuk menguji kebenaran
keanggotaannya dengan mengucapkan sumpah perkumpulan. Namun untuk bertindak
gegabah pada orang yang disadarinya lebih tinggi kepandaiannya, Tio Ki-pi tentu
saja tidak mau.
"Harap
sicu maafkan. Aku bukan memandang rendah terhadapmu. Semua ini adalah demi
keselamatan dan pengamanan tugas!"
Wiro
kertakkan rahang.
"Menyingkirlah,"
perintahnya. "Kelak akan kumintakan pada pimpinan agar keanggotaanmu dalam
Hun-tiong Houw-mo dicabut dan atas kekurangajaranmu ini kau harus menerima
hukuman."
Tio Ki-pi
tertawa bergelak.
"Manusia
tolol, jangan kira aku akan termakan oleh tipu busukmu! Kau bukan anggota
Hun-tiong Houw-mo! Selembar nyawamu tak mungkin kubiarkan terus
petantang-petenteng!"
Habis
berkata begitu Tio Ki-pi yang bergelar Thian liong pian atau Ruyung Naga ini
lantas menggembor. Kedua lututnya menekuk. Tiba-tiba tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu larikan besar angin panas menggebu ke arah Wiro
Sableng.
Wiro
membentak marah dan balas hantamkan tangan kanannya ke muka, lepaskan pukulan
sakti bernama, "Benteng Topan Melanda Samudera" dengan mengandalkan
sepertiga bagian tenaga dalamnya.
Meskipun
pukulan itu membuat Tio Ki-pi mencelat hampir sejauh satu setengah tombak namun
Wiro sendiri terhuyung-huyung. Tubuhnya laksana terpanggang hingga dia
buru-buru harus melompat selamatkan diri.
Tio Ki-pi
bukan alang kepalang kagetnya. Barusan dia telah melepaskan pukulan saktinya
yang terhebat dan bernama Ngo-lu gui san atau Lima Petir Membelah Gunung dengan
mengerahkan tiga perempat tenaga dalamnya. Selama ini boleh dikatakan tak
seorang lawan pun sanggup bertahan terhadap pukulan sakti itu. Namun nyatanya
musuh di hadapannya itu masih sanggup selamatkan diri!
Di lain
pihak Wiro sendiri tak urung tersentak kaget pula karena ketika memperhatikan
pakaiannya, baju serta celananya, kelihatan kehitam-hitaman. Hangus!
Kedua
orang itu sesaat saling baku pandang untuk kemudian sama-sama bergerak
meneruskan baku hantam itu!
Dalam
waktu singkat kedua orang itu telah bertempur enam jurus. Dalam gelapnya malam
hanya bayang-bayang pakaian mereka saja yang kelihatan. Salah seorang dari
Empat Golok Kematian yang masih hidup yakni yang tadi ditotok oleh Wiro dan
masih tertegun itu tidak hentinya menaruh kekaguman, melupakan sendiri nasib
dirinya yang tiada berdaya saat itu.
Tingkat
pengalaman dan ilmu mengentengi tubuh dari Tio Ki-pi alias Thian liong-pian tak
dapat disangsikan lagi ketinggiannya. Gerakannya gesit enteng. Serangannya
mematikan sedangkan tiputipuannya betul-betul maut. Namun menghadapi Wiro
Sableng dia betul dibuat jadi gemas penasaran. Semua serangan dan tipu-tipuan
lihaynya tidak menemui sasaran, yang amat menjengkelkan ialah karena dilihatnya
lawan menghadapinya dengan sikap cengar-cengir mengejek.
Tio Ki-pi
membentak nyaring. Ilmu silatnya mendadak berubah dan tubuhnya kini hanya
laksana angin yang menyambar-nyambar kian kemari.
Diam-diam
Wiro merasa kagum juga melihat kehebatan si baju ungu anggota Hun-tiong Houw-mo
ini. Serta merta dia percepat pula gerakannya hingga kini mereka hanya laksana
bayang-bayang yang saling berkelebatan kian ke mari dan sebentar-sebentar
lenyap dari pemandangan karena saking cepatnya gerakan keduanya.
"Sobat
jaga dadamu!" Wiro berseru. Secepat kilat tangan kanannya memukul ke depan
dalam gerakan yang dinamakan "Kilat Menyambar Puncak Gunung".
Tentu
saja Tio Ki-pi tidak mau menerima pukulan tersebut mentah-mentah. Dengan
membentak dahsyat jago silat dari Ciatkang ini meningkatkan tubuh, pergunakan
salah satu kakinya untuk menjejak tanah sehingga dalam keadaan miring itu
tubuhnya tersurut tiga langkah ke belakang dan di lain kejap dia sudah maju
pula sambil selusupkan satu tendangan kilat ke perut lawan!
Jurus
yang dilancarkan oleh Tio Ki-pi tadi bernama Hek-hou-wat-sim atau Macan Hitam
Menggerak Hati dan merupakan salah satu jurus yang hebat dalam ilmu silatnya.
Sekali tendangannya mampir di perut lawan pastilah akan bobol serta merenggut
nyawa. Namun yang dihadapi Tio Ki-pi saat itu bukanlah lawan dari tingkatan
kurcaci rendah tolol, sekalipun bertampang goblok macam anak-anak!
Serangan
kedua yang dilancarkan Wiro disertai teriakan peringatan tadi tak lebih
hanyalah sebuah tipuan belaka. Begitu lawan bergerak mundur dan kembali
menyerang, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta susulkan
serangan berikutnya yang bernama "Di balik Gunung Memukul Halilintar".
Ketika
tendangannya melesat ke depan, Tio Ki-pi mendadak kehilangan lawan, serangannya
mengenai tempat kosong. Kemudian sebelum dia berkesempatan mengetahui di mana
Wiro berada tahu-tahu satu hantaman keras sudah melabrak punggungnya dari
belakang. Demikian kerasnya hingga jago dari propinsi Ciatkang itu mencelat
tiga tombak, terguling-guling di tanah. Tapi hebatnya dia cepat kembali
berdiri. Buru-buru Tio Ki-pi mengambil sebutir pil. Setelah telan benda itu dan
pejamkan mata serta atur jalan darah dan pernapasan, Tio Ki-pi lantas rasakan
tubuhnya segar kembali meskipun dadanya agak sesak.
"Bangsat!
Hari ini aku mengadu jiwa denganmu!" Tio Ki-pi menggembor marah lantas
keluarkan senjata dari balik jubah ungunya. Senjata ini adalah sebuah ruyung
berbentuk kepala naga terbuat dari baja putih. Di beberapa bagian dihiasi
dengan duri-duri beracun. Sekali seseorang kena dihantam senjata yang beratnya
hampir lima puluh kati ini tak ampun lagi pasti akan mati dalam keadaan tubuh
atau kepala hancur! Dengan memiliki senjata inilah selama bertahun-tahun
berkelana di dunia persilatan Tio Ki-pi sampai mendapat julukan si Ruyung Naga
(Thian liong pian). Meskipun malam gelap pekat namun ruyung baja putih
kelihatan berkilat di tangan Tio Ki-pi.
Sesaat
Tio Ki-pi melontarkan pandangan bengis pada lawannya. Lalu tanpa banyak bicara
lagi orang ini kiblatkan senjatanya.
"Wutt!"
Satu
gelombang angin yang amat deras menerpa Wiro Sableng ketika ruyung baja itu
membabat di depannya. Tubuhnya tergontai-gontai limbung.
Selagi
dia berusaha mengimbangi diri, secepat kilat ruyung kembali membabat, Wiro
cepat menyingkir namun angin yang keluar dari senjata lawan masih sanggup
membuatnya terjajar dan tersandar ke gerobak yang berada di halaman itu.
"Sekarang
mampuslah!" teriak Tio Ki-pi bernafsu dan susul dengan hantaman ruyung
untuk ketiga kalinya.
"Sialan,
ganas dan hebat sekali permainan ruyung kunyuk ini!" maki Wiro dalam hati.
Dia jatuhkan diri seraya mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada serta
perut lawan.
Hantaman
ruyung baja mengenai gerobak di belakang Wiro. Kendaraan ini hancur
berkepingkeping. Sebaliknya Tio Ki-pi akibat dorongan Wiro tadi terpelariting
sampai tiga tombak. Dada dan perutnya seperti dipilin. Tanpa memperdulikan rasa
sakit dengan nekad dan kalap Tio Ki-pi kembali menyerbu. Ruyung naganya
bersiuran di udara berputar-putar laksana titiran dan mengurung Wiro Sableng
dari seluruh jurusan!
Diam-diam
Wiro jadi mengeluh dan keluarkan keringat dingin ketika setelah tiga jurus dia
dikepung oleh serangan ruyung lawan ternyata dia tak bisa keluar dari kepungan
itu sekalipun dia telah kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan segala
kegesitannya. Sebaliknya kurungan sambaransambaran ruyung semakin ganas dan
tambah rapat. Sekujur tubuhnya laksana ditindih oleh dinding yang keras
gerakannya makin lama makin lamban!
Tio Ki-pi
yang melihat bagaimana lawan sudah tak berdaya tertawa panjang dan mengejek.
"Sekarang
kau baru tahu siapa adanya Tio Ki-pi yang berjuluk Thian liong pian ini!"
Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka ruyung baja digenggamannya meluncur
menghantam deras ke arah batok kepala Wiro Sableng!
Tiba-tiba
sekali satu sinar putih kelihatan bertabur dibarengi dengan menderunya suara
macam seribu tawon mengamuk. Sekejap kemudian terdengar suara berdentang yang
keras dan memerciknya bunga api. Memperhatikan senjata mustikanya yang somplak,
nyalinya kini betul-betul menjadi lumer. Memandang ke depan dilihatnya lawan
memegang sebilah senjata berbentuk aneh dan baru sekali itu disaksikannya.
Senjata itu bukan lain adalah Kapak Naga Geni 212, yakni sebatang kapak bermata
dua, gagangnya terbuat dari gading dan memancarkan sinar kemilau menyilaukan!
Tio Ki-pi
mengeluh, kenapa dalam menjalankan tugas penuh tanggung jawab itu dia musti
menemui lawan yang begini tangguh. Untuk melanjutkan perkelahian berarti konyol
sendiri. Tapi tak mungkin pula baginya untuk kabur dari situ dengan
meninggalkan peti mati yang ada di dalam kamar hotel. Lelaki ini jadi bingung
sendiri. Namun dalam bingungnya masih ada sekelumit pikiran cerdik dalam otaknya.
Tio Ki-pi
tiba-tiba menjura dan sambil tersenyum dia berkata, "Hari ini benar-benar
aku Tio Ki-pi manusia tak berguna ini mendapat pelajaran dari seorang yang
rupanya tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Aku menghaturkan hormat dan
karena belum mengenal siapa adanya tayhiap harap sudilah memberi tahu nama dan
gelaran."
"Nama
dan gelarku tak perlu dipersoalkan. Yang jelas aku adalah anggota kepercayaan
dari pimpinan Hun-tiong Houw-mo…."
"Tadi
pun tayhiap sudah menerangkan…."
"Nah,
kalau sudah tahu kenapa masih banyak tanya?" sentak Wiro. Sepasang matanya
mengawasi waspada karena mungkin manusia di depannya itu akan melakukan
serangan licik secara tiba-tiba.
"Maksudku
cuma akan meminta petunjuk lebih lanjut dari tayhiap. Jika tayhiap betul-betul
mendapat tugas mendampingiku dari pimpinan perkumpulan, baiklah kita lupakan
segala apa yang barusan terjadi. Mari kita masuk ke hotel, untuk bicara lebih
lanjut."
"Kunyuk
ini mulutnya jadi begitu manis dan sikapnya jadi baik sekali. Aku harus
hati-hati," membatin Wiro. Dia tetap tegak di tempatnya.
Tio Ki-pi
yang sudah maju dua tindak berpaling, "Tunggu apa lagi? Apakah tayhiap
tidak percaya padaku? Bukankah jika tayhiap mau kau dapat membunuhku dengan
mudah seperti membalikkan telapak tangan saja?!"
Wiro
merenung sejenak.
"Tadi
tayhiap bilang ingin mengetahui isi peti mati itu…" kata Tio Ki-pi pula.
Akhirnya
setelah menyimpan Kapak Naga Geni 212 di balik pinggangnya, Wiro melangkah juga
mengikuti Tio Ki-pi. Mereka memasuki hotel dari pintu depan. Tio Ki-pi membuka
pintu lebar-lebar, begitu sampai di dalam dia mempersilahkan Wiro masuk. Baru
saja Wiro berada di bawah pintu tiba-tiba Tio Ki-pi dengan cepat bantingkan daun
pintu keras-keras dan terus menekannya dengan tangan kiri hingga Wiro Sableng
tergencet antara ujung daun pintu dan tonggak pintu!
Wiro tahu
bahaya apa yang mengancamnya dalam keadaan begitu rupa. Lebih-lebih ketika
dilihatnya Tio Ki-pi menggerakkan tangan kanan mencabut ruyung bajanya.
Meskipun senjata itu sudah semplak, namun kalau sampai kena dihantam tetap saja
Wiro akan menemui kematian!
"Bangsat
licik!"’ teriak Wiro marah sementara ruyung baja dilihatnya sudah
tergenggam di tangan lawan, Wiro kerahkan tenaga dalam dan segala kekuatannya
untuk melepaskan diri dari gencetan pintu. Tangan kirinya yang berada di
sebelah dalam pintu tampak memutih. Dia membentak garang dan hantamkan tangan
kiri memapasi pukulan deras ruyung naga lawan.
Pendekar
212 Wiro Sableng ternyata telah lepaskan pukulan "Sinar Matahari"
yang terkenal kedahsyatannya itu.
Daun
pintu dan tiangnya pecah berantakan. Tio Ki-pi sendiri meraung kesakitan.
Tubuhnya terpental dan tersandar ke dinding ruangan depan hotel. Tangannya
sebatas lengan hitam hangus sedang ruyung bajanya menggelinding di lantai.
Senjata
ini kelihatan merah laksana digarang di atas api dan perlahan-lahan meleleh
menghitam.
"Sekarang
pergilah kau ke akherat, anjing busuk!" sentak Wiro dan lepaskan lagi
pukulan Sinar Matahari. Namun dia kalah cepat. Sinar pukulannya hanya melabrak
musnah dinding ruangan sementara musuh dengan sebat telah lebih dulu melompat
melabrak jendela terus kabur dan lenyap di kegelapan malam, Wiro mengomel
setengah mati dan melompat hendak mengejar. Namun kemudian dia ingat akan peti
mati yang tentunya berada dalam satu kamar di hotel itu. Maka dia pun putar
langkah dan mulai memeriksa kamar demi kamar.
Di salah
satu kamar di tingkat bawah hotel akhirnya ditemukannya jugs peti mati itu,
menghitam dan misterius dalam kegelapan. Karena di situ dilihatnya ada lampu
minyak maka Wiro segera menyalakannya. Kamar itu kini menjadi terang. Wiro
melangkah mendekati peti mati hitam. Setelah meneliti benda itu beberapa
lamanya maka dia mulai membuka pasak-pasak sekeliling peti itu.
Setelah
pasak ditanggalkan masih ada enam buah sekerup yang harus dibuka. Untuk ini
Wiro pergunakan kapak saktinya mendongket sekerup tersebut.
Perlahan-lahan
dan hati-hati karena tak mus:ahil benda itu dipasang alat rahasia, di atas mula-mula
kelihatan tumpukan jerami kering. Hati-hati pula Wiro menyibakkan jerami ini.
Di bawah jerami tampak tumpukan batu-batu bata merah. Seluruh jerami
disibakkan. Diperiksa sampai ke dasar ternyata peti mati itu cuma batu bata
melulu, lain tidak!
"Sial
dangkalan! Apa-apaan ini," Wiro menggerutu sendirian. Dia betul-betul tak
mengerti. Dia melangkah memutari peti mati itu sambil tiada henti
menggaruk-garuk kepala. Kalau cuma sebuah peti mati yang berisi batu-batu bata
melulu, apa perlunya sampai dikawal oleh seorang tokoh silat seperti Tio Ki-pi
dan Empat Golok Kematian? Bahkan sampai dua dari mereka mau mengorbankan jiwa
hanya karena peti mati sialan itu? Wiro jadi tak habis pikir. Digeledahnya
seluruh kamar itu namun tak menemukan apa-apa yang bisa memberi petunjuk.
Tiba-tiba
Wiro ingat pada salah seorang dari Empat Golok Kematian yang masih tertotok
kaku di luar sana. Segera ditinggalkannya kamar itu. Tapi sampai di luar
ternyata manusia yang satu ini sudah lenyap. Kembali Wiro menggerutu seorang
diri.
"Kalau
tidak si Tio Ki-pi itu, pasti kawannya yang satu yang telah melepaskan
totokannya lalu kabur sama-sama!" Wiro menduga dalam hati. Akhirnya dalam
bingungnya pendekar ini melompat ke atas kuda putih yang dicurinya dari depan
sebuah toko di kota Khay-hong lalu tinggalkan tempat tersebut.
Kira-kira
sejauh 20 lie memacu kuda putih itu, sepasang telinga tajam Pendekar 212
lapat-lapat menangkap suara beradunya senjata. Dihentikannya kudanya dan
setelah memastikan dari arah mana datangnya suara itu, Wiro turun dari kuda dan
lari menuju sumber suara. Suara beradunya senjata kini diiringi pula dengan
suara gelak tertawa dua orang lelaki yang ditimpali pula oleh suara
bentakanbentakan marah seorang perempuan.
"Manusia-manusia
bangsat hina dina. Kalian harus bayar kekurangajaran kalian dengan nyawa
masing-masing! Mampuslah!"
Terdengar
suara robekannya kain yang disusul oleh pekik perempuan. Wiro terjang semak
belukar di depannya. Begitu sampai di balik semak-semak diiihatnya dua orang
teiaki tengah mengeroyok se-orang dara berpakaian merah. Salah seorang dari
lelaki itu, yang bersenjatakan golok besar dengan kelihayannya pergunakan ujung
senjatanya untuk merobek-robek pakaian sang gadis hingga tubuhnya yang berkulit
putih halus kelihatan tersingkap di mana-mana. Leiaki bergolok besar itu bukan
lain adalah orang kedua dari Empat Golok Kematian yang sebelumnya telah ditotok
oleh Wiro. Sedang lelaki yang satu lagi bukan lain adalah Tio Ki-pi alias Thian
liong pian!
"Ha…
ha! Tiada disangka malam-malam buta begini setelah ditimpa nasib sial tahu-tahu
dapat rejeki begini besar," kata Empat Golok Kematian penuh nafsu sedang
Tio Ki-pi terus mendesak dengan tangan kirinya tiada henti menjamahi dada dan
bagian bawah perut sang dara baju merah yang berada dalam keadaan tak berdaya
itu. Lelaki ini sama sekali tidak mempergunakan tangan kanannya karena ternyata
tangan kanan itu sampai sebatas siku telah buntung dan ini menimbulkan tanda
tanya dalam hati Wiro, apakah yang telah dilakukan manusia tersebut?
"Bangsatl
Kalau tidak dapat mencincang tubuhmu lebih baik aku bunuh diri," sang dara
baju merah membentak marah ketika lagi-lagi tangan kiri Tio Ki-pi menjamah
bagian bawah perutnya secara kurang ajar, sedang Tio Ki-pi dan Empat Golok
Kematian sendiri cuma ganda tertawa.
"Malam-malam
buta begini apa pula yang terjadi di tempat ini?!" pikir Wiro.
Gadis
jelita berpakaian merah itu putar pedangnya dengan sebat. Namun sesaat
kemudian… "trang!" Golok besar orang kedua dari Empat Golok Kematian
berhasil memukul mental pedang si nona. Dan saat itu juga kedua lelaki itu
bersirebut cepat menubruk tubuh yang molek itu dengan penuh nafsu.
"Manusia-manusia
haram jadah ini memang sudah saatnya diberi petunjuk jalan ke neraka!"
kertak Wiro Sableng dengan marah. Didahului oleh satu bentakan keras dia
berkelebat ke depan.
****************
5
SEBELUM
menuturkan jalannya perkelahian antara Wiro dengan Tio Ki-pi serta anggota
Empat Golok Kematian yang hendak melampiaskan nafsu bejat terhadap gadis
berpakaian merah, marilah kita ikuti dulu bagaimana kedua manusia brengsek itu
sampai berada di tempat tersebut dan secara berbarengan mengeroyok sang dara.
Sehabis
terkena pukulan "Sinar Matahari" yang dahsyat dari Wiro Sableng.
Tio Ki-pi
lantas kabur dari hotel. Begitu sampai di halaman luar dilihatnya orang kedua
dari Empat Golok Kematian tegak seperti patung di bawah sebatang pohon. Sebagai
orang yang sudah berpengalaman Tio Ki-pi tahu apa yang terjadi dengan orang
bayarannya itu. Segera dilepaskan totokan yang mempengaruhi Empat Golok
Kematian lantas melanjutkan melarikan diri.
Bagi
Empat Golok Kematian begitu bebas darI totokan tak ada hal lain yang
dilakukannya dari pada ikut kabur menyusul Tio Ki-pi.
Kira-kira
lari sejauh sepuluh lie, Tio Ki-pi berhenti, nafasnya mengengah-engah.
Pemandangannya berkunang. Dia berpegangan pada pohon supaya tidak jatuh.
"Ada
apa?" tanya Empat Golok Kematian seraya memegang pundak Tio Ki-pi. Begitu
telapak tangannya menyentuh pundak lelaki itu detik itu pula disentakkannya
kembali saking kagetnya.
Pundak
Tio Ki-pi dirasakannya laksana bara!
"Loya,
tubuhmu panas sekalil"
"Aku
keracunan," desis Tio Ki-pi seraya mengangkat tangan kanannya yang hitam
hangus akibat keserempet pukulan "Sinar Matahari" sewaktu terjadi
perkelahian dengan Wiro di hotel tadi. Perlahanlahan dia duduk bersila di
tanah.
"Kelihatannya
racun yang amat berbahaya," berkata Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi
tidak menyahut. Setelah menelan beberapa butir pil penolak dan pemusnah racun,
jago silat dari Ciatkang ini meramkan mata, atur jalan darah serta alirkan
tenaga dalamnya ke tangan kanan. Beberapa menit berlalu. Tubuh dan wajah Tio
Ki-pi telah basah oleh keringat. Namun hawa panas pada tubuhnya tidak
berkurang. Pucat pasilah kini wajah anggota Hun-tiong Houw-mo ini.
"Tak
ada jalan lain," desisnya seraya membuka kedua mata dan menotok jalan
darah pada bahu kanannya di empat bagian. Kemudian dia berpaling pada Empat
Golok Kematian dan berkata, "Pinjamkan aku golokmu."
Empat
Golok Kematian maklum apa yang hendak dilakukan Tio Ki-pi. Memang cuma itulah
satusatunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Goloknya dicabut dari sarung dan
diserahkan pada Tio Kipi. Dengan menggigit bibir, Tio Ki-pi lantas tebaskan
senjata itu ke tangan kanannya. Sekali tebas saja putuslah lengan kanannya yang
keracunan pukulan sakti Wiro Sableng itu. Darah mengucur kemudian berhenti.
"Apa
yang kita lakukan sekarang, Loya?" bertanya Empat Golok Kematian setelah
beberapa lama berdiam diri.
Tio Ki-pi
sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa yang akan diperbuatnya saat itu. Untuk
pergi ke markas Hun-tiong Houw-mo dan melapor apa yang telah terjadi pada
pimpinan perkumpulan itu sama saja dengan mengantarkan nyawa. Sebaliknya untuk
kembali ke hotel dan menyelamatkan isi peti dia tidak pula punya nyali karena
sudah barang tentu Wiro masih ada di sana.
Tiba-tiba
Tio Ki-pi ingat pada seorang kenalan baiknya yang berdiam kira-kira 10 lie dari
tempat itu. Sang kenalan adalah salah seorang anak murid Kun lun pay yang kini
hidup sebagai guru silat di Siu Kan. Dengan meminta bantuan tokoh tersebut
beserta lusinan anak muridnya masakan dia tidak dapat menghajar Wiro dan
sekaligus menyelamatkan peti mati tersebut. Memikir sampai di situ Tio Ki-pi
mendapat semangat dan harapan besar. Dia segera berdiri.
Saat itu
orang kedua dari Empat Golok Kematian berkata, "Loya, jika memang segala
sesuatunya sudah dianggap selesai maka kuharap aku dapat menerima bayaran
sebagaimana yang sudah ditetapkan. Aku tidak meminta semuanya, setengah pun jadilah."
Tio Ki-pi
melotot dan membentak, "Saat ini bukan tempatnya untuk bicarakan soal
uang! Masih hidup sudah lebih dari untung! Ayo kau ikut aku ke Siu Kan!"
Sebenarnya
orang kedua Empat Golok Kematian ini sudah tak punya minat lagi untuk berurusan
dengan Tio Ki-pi. Apalagi mengingat dua saudaranya sudah mati sedang yang satu
lagi kabur entah ke mana. Namun untuk bentrokan dengan Tio Ki-pi sekalipun
manusia ini telah cacat, Empat Golok Kematian musti pikir dua kali. Dalam pada
itu Tio Ki-pi kembali membentak dengan kata-kata, "Apakah kau tidak ingin
membalaskan sakit hati kematian dua saudaramu?!"
Tanpa
menunggu jawaban orang di hadapannya itu karena dia tahu bahwa Empat Golok
Kematian akan mengikutinya Tio Ki-pi berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Udara malam terasa dingin. Kegelapan semakin memekat. Kedua orang tersebut
laksana hantu yang gentayangan di malam buta. Belum sampai menempuh jarak 10
lie, Tio Ki-pi yang berpendengaran lebih tajam dari Empat Golok Kematian
tiba-tiba hentikan lari, lalu berlindung di balik sebuah pohon besar sambil
memberi isyarat pada Empat Golok Kematian.
"Ada
apa?" bertanya Empat Golok Kematian.
"Seseorang
mendatangi dari jurusan depan," sahut Tio Ki-pi seraya siapkan pukulan
sakti di tangan kanannya. Hati-hati. "Bukan tidak mungkin si rambut
gondrong yang di hotel itu!"
Beberapa
detik menunggu muncullah orang yang datang dari arah depan itu. Meskipun malam
gelap namun karena jarak mereka cukup dekat, baik Tio Ki-pi maupun Empat Golok
Kematian segera dapat mengenali bahwa orang yang ada di hadapan mereka adalah
seorang nona jelita berpakaian merah. Di balik punggungnya menyembul ujung
gagang pedang.
Melihat
kenyataan bahwa yang muncul adalah seorang gadis berparas cantik, Tio Ki-pi dan
Empat Golok Kematian jadi saling pandang dan saling maklum jalan pikiran serta
perasaan masing-masing.
"Di
tempat sepi dan malam-malam begini Loya. Siapa yang bakal tahu. Asal saja Loya
tidak menyerakahinya sendirian…" bisik Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi
alias Thian liong-pian menyeringai. Dia memberi isyrat lalu berseru,
"Nonaku manis, malam-malam begini tengah menuju ke manakah?"
"Bukankah
akan lebih baik jika aku ikut menemanimu?" menimpali Empat Golok Kematian.
Keduanya
kemudian tertawa gelak-gelak.
Sang
nona, begitu mendengar teguran kurang ajar tersebut bukan kepalang kagetnya.
Tapi dia juga marah.
"Siapa
kalian? Bangsa hantu apa dedemit yang minta dihajar?"
Tio Ki-pi
dan pembantunya kembali tertawa gelak-gelak.
"Nonaku
yang cantik, jangan terlalu galak dan lekas marah. Kami berdua sudah barang
tentu manusia biasa seperti kau. Jika kau kepingin kenal maka aku adalah Hoa
seng, orang kedua dari Empat Golok Kematian. Sedang ini Loyaku bernama Tio
Ki-pi bergelar Thian liong pian…. "
Sang dara
tidak pernah mendengar nama Empat Golok Kematian dan juga Tio Ki-pi atau Thian
liong pian. Meskipun memiliki ilmu silat yang lumayan tingginya namun karena
jarang mengembara maka si nona kurang begitu kenal akan nama-nama tokoh silat
dalam dunia kangouw, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Dan
karena dia seorang yang bersifat berani bahkan kadang-kadang suka nekad,
kembali dia menghardik. "Tampaknya kalian bukan bangsa manusia baik-baik.
Lekas menyingkir jika tidak ingin merasakan gebukanku!"
"Ah…
ah… ah! Kataku juga jangan kelewat galak, nona. Coba perkenalkan dulu siapa kau
adanya. Ke mana tujuanmu. Nanti kami berdua pasti bersedia mengantarkan
kau…" yang bicara ini adalah Hoa seng orang kedua dari Empat Golok Kematian.
Dan sehabis berkata demikian enak saja tangan kanannya mencuil dagu sang dara.
Tentu saja nona baju merah ini bukan kepalang marahnya. Cepat laksana kilat
tamparannya melayang menghantam muka Hoa seng dan sesaat membuat laki-laki
kurang ajar ini menjadi berkunang-kunang pemandangannya.
"Seumur
hidup baru kali ini aku ditampar perempuan. Tapi tak apa. Lumayan juga oleh
seorang nona cantik macammu," kata Hoa seng pula sambil cengar-cengir,
meringis dan tiba-tiba dilompatinya dara baju merah itu, berusaha merangkulnya
dengan bernafsu. Namun saat itu juga si nona sudah menghantamkan tinjunya
kepada Hoa seng, membuat lelaki ini terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Hati-hati,
sobat. Dia galak dan punya kepandaian silat yang bisa membuatmu konyol,"
kata Tio Ki-pi menyeletuk dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mampir menjamah
dada sang nona.
Kini
gadis berbaju merah itu jadi meluap amarahnya. "Sret!" Dia cabut
pedang dan begitu senjata ini keluar dari sarangnya, satu babatan
dikirirrikannya ke batang leher tokoh silat propinsi Ciat kang itu.
Serangan
sang nona yang demikian ganas pastilah akan membuat putus leher dan
menggelindingnya kepala Tio Ki-pi bilamana orang ini terlambat sedikit saja
mengelak. Namun di mata Tio Ki-pi, serangan ini hanya disambut dengan tawa
mengejek. Sekali dia bergerak, ujung pedang lewat dua jengkal di samping
kepalanya!
Melihat
serangannya gagal, nona berbaju merah jadi semakin meluap amarahnya.
Tio Ki-pi
jadi kaget dan tersurut beberapa langkah. Tidak disangka kalau sang nona memiliki
kepandaian begitu rupa. Hendak disambutinya dengan pukulan sakti dia merasa
bimbang karena dia tak ingin mencelakai gadis kepada siapa dia ingin
melampiaskan nafsu bejatnya. Sesaat dia layani serangan lawan dengan bergerak
gesit kian kemari sambil sekali-sekali menyerang dengan tangan kosong. Namun
agaknya sang nona tak mau memberi kesempatan dan dengan cerdik dia sengaja
mengirimkan seranganserangan dari jurusan kanan sehingga Tio Ki-pi yang tangan
kanannya buntung menjadi cukup kewalahan. Lelaki ini segera berikan isyarat
pada Hoa-seng dan bekas anggota Empat Golok Kematian ini segera memasuki
kalangan pertempuran setelah lebih dulu cabut golok kanannya.
Betapa
pun lihaynya ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis berpakaian merah namun
dikeroyok dua begitu rupa jurus demi jurus dia jadi terdesak. Bahkan kedua
lawannya dengan seenaknya mempermainkannya. Hoa seng pergunakan goloknya untuk
merobek pakaian gadis itu sedang Tio Ki-pi dengan kurang ajar tiada hentinya
menjamahi bagian-bagian tubuh tertentu dari si nona dan pada puncaknya Hoa seng
berhasil memukul mental pedang lawannya. Dalam keadaan tak bersenjata gadis itu
tentu saja betul-betul tak berdaya lagi. Kesempatan ini memang yang diharapkan
oleh Tio Ki-pi serta Hoa seng. Serta merta keduanya menubruk gadis itu, siap
untuk melampiaskan nafsu bejat masingmasing. Dan justru pada saat itu pula lah
Wiro Sableng yang sampai di tempat kejadian itu, Wiro kertakkan rahang.
"Bangsat
rendah! Kalian bedua memang layak mampus detik ini juga!"
Setelah
membentak begitu rupa secepat kilat dia menerjang ke depan.
Tio Ki-pi
seorang lihay yang berpendengaran tajam dan berotak cerdik. Dia laksana
mendengar halilintar ketika mengenal suara Wiro Sableng. Saat itu dia tengah
berguling-guling di tanah sambil merangkuli tubuh nona berpakaian merah. Meski
nafsunya sudah meluap-luap namun lebih penting cari selamat. Secepat kilat dia
melompat satu jotosan menyambar hanya beberapa milimeter saja clad kepalanya.
Di lain ketika Tio Ki-pi sudah merapat ke balik pohon besar. Wiro lepaskan satu
pukulan sakti. "Krak!" Pohon itu patah dan tumbang tapi Tio Ki-pi
lenyap.
Lain
halnya dengan Hoa seng. Meskipun dia juga dikagetkan oleh suara bentakan Wiro
namun dia bertindak agak ayal. Baru saja dia putar kepala, mendadak sontak satu
kepalan sudah menderu ke arah mukanya. Hoa seng hanya sempat keluarkan seruan
pendek karena sedetik kemudian "prak!" Mukanya hancur, kepalanya
rengkah. Otak dan darah berhamburan! Tamatlah riwayat orang kedua dari Empat
Golok Kematian ini.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia amat penasaran karena untuk kedua kalinya Tio Ki-pi
anggota komplotan Hun-tiong Houw-mo yang misterius itu masih bisa melarikan
diri. Dengan sebal dia balikkan tubuh. Tapi baru saja memutar tubuh tahu-tahu
ujung sebilah pedang sudah menempel di tenggorokannya. Tentu saja pendekar kita
jadi melengak kaget. Memandang ke depan ternyata sang nona yang barusan
ditolongnya itulah yang telah menodongnya dengan ujung pedang tersebut!
"Heh,
apa-apaan ini…!" ujar Wiro membeliak. Tapi sekali ini dia bukan membeliak
kaget melainkan membeliak bergetar menyaksikan sepasang payudara sang nona yang
putih membuntal padat, bersembul di robekan-robekan bajunya!
****************
6
DARA
berpakaian merah melintangkan lengan kirinya di atas dada untuk menutupi auratnya
yang terbuka karena bajunya yang robek-robek besar.
"Pencuri!
Jangan kira aku akan minta terima kasih padamu karena kau telah menolong jiwa
dan menyelamatkan kehormatanku. Lekas katakan di mana si Putih!"
"Si
Putih…? Si Putih apamu?!"
"Setan!
Jangan pura-pura tolot! Si Putih kudaku! Kau telah mencurinya sewaktu
kutambatkan di depart toko di Khay-hong! Katakan cepat di mana binatang
itu!"
"Ah…!"
Wiro ingat kini dan tertawa lebar.
"Jangan
cengar-cengir tak karuanl Kalau kuda kesayanganku sampai cedera sedikit saja,
apalagi kau jual, jangan harap nyawamu akan selamat! Di mana binatang
itu?!"
"Sabar
Nona, sabar. Jangan terlalu galak. Mari kita bicara baik-baik."
"Dengan
seorang maling tengik macammu tak perlu bicara baik-baik?" jawab si nona
dan ujung pedangnya masih menempel pada kulit leher Wiro Sableng. Meskipun
mengatakan pemuda gondrong itu sebagai pencuri tengik namun sang dara
sesungguhnya sudah mengetahui kelihayan Wiro.
Pertama
sewaktu dia menangkis musnah serangan senjata rahasianya di kota Khay-hong tadi
pagi. Kedua ketika barusan dia menggebuk kepala Hoa seng hingga konyol hanya
dalam sekejapan mata saja! Di samping marah pada dasarnya dia agak jeri juga
pada pemuda itu. Karena itulah dia tak mau ambil risiko dan tetap menodong Wiro
dengan ujung pedangnya.
"Aku
memang mungkin bangsa maling tengik, pencuri picisan," kata Wiro sambil
senyum dan garuk-garuk kepalanya. "Namun percayalah Nona, aku mencuri
kudamu karena terpaksa…."
"Jangan
bicara panjang lebar!" sentak sang dara.
Wiro
ganda tertawa.
"Jika
kau bunuh aku, kudamu tak bakal ketemu lagi. Nah sekarang kau dengarlah dulu.
Pertama aku pun tidak butuh ucapan terima kasih darimu. Aku berada di sini
bukan untuk menolongmu, nona. Tapi karena memang mengejar dua bangsat itu, cuma
sayang satu masih bisa lolos…." Habis berkata begitu Wiro lantas keluarkan
kalung emas kepala harimau. "Coba kau perhatikan kalung ini. Tanda dari
komplotan yang menamakan diri Hun-tiong Houw-mo. Manusia yang barusan kabur
adalah anggota komplotan tersebut."
Nona di
hadapan Wiro mendelik kaget. "Aku tak percaya! Mungkin kau sendiri yang
jadi anggota perserikatan dajal itu!"
Wiro
geleng-geleng kepala. "Sudahlah, susah bicara denganmu. Jika kau cari
kudamu, itu di sana di belakang semak belukar…." tak perduli Wiro kemudian
putar tubuhnya hendak meninggalkan sang dara. Justru si nona bergerak cepat dan
ajukan pertanyaan. "Kau mau ke mana?!"
"Eh…?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Aneh, kenapa kau tanya begitu?"
"Dengar!
Komplotan Hun-tiong Houw-mo telah membunuh kakak lelakiku…."
"Yang
aku dengar," memotong Wiro. "… bukan hanya saudaramu saja yang jadi
korban, tapi banyak. Belasan gadis-gadis kabarnya diculik, entah untuk
dijadikan apa. Apakah kau kepingin diculik juga oleh komplotan itu!"
"Jangan
bicara ngaco belokl" sentak sang dara jengkel. "Kalau kau mau bekerja
sama denganku, aku tahu sedikit tentang komplotan itu…."
"Siapa
sudi bekerjasama dengan dara segalakmu? Lagi pula kau punya kepandaian
apa?!" Wiro sengaja mengejek hingga si Nona jadi penasaran banting-banting
kaki. Tangan kanannya bergerak dan putuslah dua kancing baju Wiro Sableng.
"Ah…
boleh juga ilmu pedangmu, Nona. Tapi aku sudah saksikan sendiri tadi.
Menghadapi dua pengeroyok itu kau tak mampu berbuat apa-apa. Sekarang kau mau
pinjam tanganku untuk membantumu menuntut balas kematian kakakmu pada komplotan
Hun-tiong Houw-mo karena kau sadar tak bakalan mampu melakukannya sendiri.
Sungguh cerdik otakmu, nona. Tapi tak usah ya…?!"
Dara itu
gigit bibirnya. Sepasang matanya berapi-api. Rahangnya menggembung. Tanpa
bilang apaapa lagi dia putar tubuh dan melompat ke balik semak-semak. Begitu
dilihatnya kuda putihnya segera saja dia menaiki binatang ini dan meninggalkan
tempat itu dengan cepat. Sampai suara rintik kaki kuda putih lenyap di kejauhan
barulah Wiro berlalu pula dari situ.
*******************
Larinya
Tio Ki-pi setelah lolos dari lubang jarum kematian untuk kedua kalinya dari
tangan Pendekar 212 Wiro Sableng tak bedanya seperti orang lari dikejar setan
kepala tujuh! Hampir 20 lie dia lari terus menerus tanpa memperdulikan ke mana
arah tujuannya. Pakaian ungunya robek-robek tersangkut semak-semak. Ketika
nafasnya megap-megap dan lidahnya terjulur keluar barulah lelaki ini hentikan
larinya. Ternyata dia berada di satu daerah berbukit-bukit yang penuh ditumbuhi
pohon-pohon kapas. Lapat-lapat didengarnya suara air yang jatuh memercik
menimpa batu. Dia melangkah tertatihtatih ke jurusan itu. Ditemuinya sebuah
sungai dan air terjun kecil. Tio Ki-pi mencelupkan muka dan kepalanya dalam air
yang dingin itu,
kemudian
meneguk air sungai sepuas hatinya. Tubuhnya dibaringkan di tebing sungai.
Memandang ke langit dia melihat susunan bintang-bintang yang menunjukkan bahwa
tak lama lagi malam akan digantikan dengan pagi. Karena terlalu letih Tio Ki-pi
akhirnya tertidur pulas berselimutkan udara malam yang dingin.
Tio Ki-pi
terbangun oleh silaunya sinar matahari pagi yang jatuh menimpa wajahnya. Sambil
mengucak-ucak mata dia duduk. Ketika hendak membasuh mukanya dengan air sungai
tiba-tiba kakinya menginjak sehelai kertas. Ternyata kertas itu bukan kertas
biasa, melainkan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya.
Tio
Ki-pi.
Hari ini
juga kau harus segera kembali ke markas.
Tertanda
Hun-tiong
Houw-mo
Surat itu
ditulis dengan tinta merah dan tangan kiri Tio Ki-pi jelas kelihatan gemetaran
memegangnya. Dia tahu apa artinya kembali ke markas itu. Hukuman telah
menunggunya yang bakal dijatuhkan oleh pemimpin komplotan. Jika dia melarikan
diri, akan sanggupkah dia untuk melenyapkan diri selamalamanya? Tapi dari pada
mengantar diri mentah-mentah ke markas komplotan, lebih mending kabur. Jika dia
sampai di satu daerah yang ratusan lie jauhnya masakan ketua Hun-tiong Houw-mo
dan anggota-anggotanya akan tahu kalau dia berada di situ?!
Memikir
demikian maka Tio Ki-pi lekas-lekas cuci muka dan mulutnya lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke timur, menjauhi markas Hun-tiong Houw-mo yang terletak di
sebelah barat. Selama dalam perjalanan itu Tio Ki-pi senantiasa merasa tak
enak. Nalurinya mengatakan bahwa ada seseorang yang terus menerus menguntitnya.
Dia tak dapat memastikan siapa, namun yang jelas sang penguntit bukanlah Wiro
Sableng. Karena jika benar Wiro pastilah pemuda itu siang-siang sudah
melabraknya.
Kadang-kadang
Tio Ki-pi hentikan perjalanannya dan mengambil jalan memutardengan maksud
hendak mengetahui siapa adanya penguntit tersebut. Namun tak seorang pun
dilihatnya. Sekali-kali jika dia sedang berlari kencang, dia menoleh ke
belakang. Tetap saja dia tak menampak siapasiapa. Diamdiam jagoan dari
propinsi Ciat kang ini menjadi mengkirik juga. Dia baru merasa lega sedikit
ketika memasuki sebuah kota kecil. Karena perutnya lapar langsung saja dia
masuk ke dalam sebuah warung makanan. Tatkala pelayan datang menghidangkan
pesanannya, sepasang mata Tio Ki-pi membeliak menyaksikan segulung kertas yang
menancap di atas tumpukan nasi panas dalam mangkok.
Diambilnya
gulungan kertas itu. Begitu dibuka tampaklah serentetan tulisan yang berbunyi:
Tio
Ki-pi.
Apa kau
kira kau bisa melarikan diri mencari selamat?!
Segera
kembali ke markas atau kau akan mati dengan tubuh tercincang detik ini juga!
Atas nama
Ketua,
Hun-tiong
Houw-mo
Tengkuk
Tio Ki-pi dingin laksana diguyur air es. Mukanya sepucat kertas.
"Siapa
yang meletakkan kertas itu di sini?" bertanya Tio Ki-pi pada pelayan yang
membawa hidangan.
Pelayan
itu geleng-geleng kepala. "Percayalah Loya, saya hampir tak melihat
siapa-siapa pun yang menancapkan kertas itu. Waktu dari dapur benda itu belum
ada…."
Pastilah
seorang lihay, amat lihay yang telah melakukannya. Kalau tidak masakan si
pelayan sampai tidak mengetahui, demikian Tio Ki-pi membatin. Semakin gelisah
dia. Dia memandang seputar ruangan. Di sudut sana duduk seorang lelaki muda
berpakaian petani. Di bagian lain seorang kakek berkumis putih. Tak ada orang
lain yang mencurigakannya. Tak mungkin pula kedua orang itu yang telah
menancapkan gulungan surat dalam nasi.
Karena
seleranya boleh dikatakan saat itu sudah tak ada lagi untuk makan, Tio Ki-pi
lantas berdiri. Membayar harga makanan dan keluar dari warung. Di depan warung
dia memandang berkeliling. Segala sesuatunya kelihatan biasa dan tenang-tenang
saja. Lelaki ini mengeluh dalam hati.
"Tak
ada jalan lain. Terpaksa kembali ke markas. Mudah-mudahan saja ketua mau
memberi ampun…."
Maka Tio
Ki-pi kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju ke sebelah barat, ke
jurusan di mana terletak markas komplotan Hun-tiong Houwmo.
****************
7
PADA
malam gelap ketika Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian mengawal gerobak
misterius itu, hampir bersamaan waktunya, di sebuah jalan buruk kira-kira 50
lie di selatan Khay-hong terlihat pula sebuah gerobak yang ditarik oleh dua
ekor kuda hitam, dipacu cepat ke jurusan utara. Satu-satunya orang di atas
gerobak ini adalah kusirnya sendiri. Adalah satu hal yang luar biasa begitu
kita mengetahui bahwa kusir gerobak itu nyatanya adalah seorang nenek berambut
putih berpakaian rombeng penuh tambalan. Di bagian belakang gerobak terdapat
timbunan jerami kering.
Meskipun
kuda-kuda penarik gerobak itu telah lari kencang sekali, namun si nenek masih
saja terus mendera punggung binatang-binatang ini dengan cambuknya sehingga
kedua kuda tersebut lari laksana dikejar setan.
Di
sebelah depan kini kelihatan daerah pegunungan yang menghitam dalam kegelapan
malam. Inilah yang dikenal dengan nama Hun-tiongsan. Memasuki daerah pegunungan
yang di sanasini terdapat jurang batu dalam dan terjal, si nenek bukannya
memperlambat lari gerobak, malah seperti orang kesetanan kembali dia mencambuk
kuda-kuda penarik gerobak itu!
Siapakah
adanya nenek-nenek yang demikian hebat dan berani luar biasa mengemudikan
gerobak di jalan buruk berbahaya dan dalam gelap gulitanya malam begitu rupa?
Untuk mengetahuinya mari kita ikuti saja ke mana tujuan tua bangka misterius
ini.
Kira-kira
dua kali peminuman teh si nenek sampai ke puncak Hun-tiong-san. Sebuah tembok
menjulang hampir sepuluh tombak tingginya. Bagian atasnya ditancapi dengan
tombak-tombak besi. Di salah satu bagian dari tembok ini terdapat sebuah pintu
gerbang bercat kuning yang pada kiri kanannya ada dua buah arca harimau tengah
mendekam terbuat dari emas murni! Meskipun belum diketahui bangunan atau apa
yang ada di belakang tembok tinggi tersebut namun sudah dapat diduga kiranya
puncak Hun-tiong-san inilah markas Huntiong Houw-mo atau Siluman Harimau Dari
Gunung Hun- tiong!
Si nenek
berambut putih hentikan gerobaknya di depan pintu gerbang kuning. Dengan
gerakan cepat dan enteng dia melompat turun, lalu bergerak mendekati arca
harimau emas di sebelah kiri. Salah satu jari tangannya dipergunakan hendak
menekan mata arca harimau emas yang sebelah kanan. Namun sebelum itu
dilakukannya tiba-tiba didengarnya suara bersiur dan ketika memandang
berkeliling si nenek jadi melengak. Tiga orang kakek-kakek berpakaian paderi
dilihatnya tahu-tahu sudah mengurungnya.
"Paderi
dari mana yang malam-malam buta begini masih gentayangan di luaran?!" si
nenek membentak bengis. Sepasang matanya menyorot galak.
Paderi
yang di tengah yang berambut panjang sedang dua kawannya sama-sama berkepala
gundul menyeringai dan keluarkan suara tertawa. Suara tertawanya ini perlahan
saja, tetapi si nenek rambut putih merasakan seolah-olah ada satu kekuatan gaib
yang mendorong dadanya hingga jika saja tidak lekas-lekas teguhkan kuda-kuda
kedua kakinya pastilah dia akan terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Heh,
paderi sialan ini nyatanya memiliki tenaga dalam yang bisa disalurkan lewat
suara!" membathin nenek rambut putih dan melirik pada dua paderi lainnya
sambil menimbang-nimbang sampai setinggi mana pula kehebatan yang dua ini.
Paderi
berambut panjang mendongak ke langit, keluarkan sebuah buli-buli kecil berisi
anggur dan gluk… gluk… gluk. Setelah meneguk minuman itu tiga kali
berturut-turut dan menyimpan buli-buli kembali di balik jubahnya, dengan masih
mendongak dia membuka mulut, berkata, "Ada ujar-ujar yang mengatakan
hutang budi bayar budi hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Heh!
Kalian ini paderi-paderi gila dari mana sampai kesasar kemari?! Tahukah kalian
apa artinya jika ada orang-orang luar yang berani menginjakkan kaki di puncak
Hun-tiong-san ini?!"
Paderi
rambut gondrong kembali tertawa sementara kedua kawannya tampak tidak sabaran.
"Kami
datang kemari bukan untuk mencari segala tahu. Tapi guna menagih hutang nyawa!
Beberapa waktu yang lalu kau telah membunuh seorang paderi dari Siauw Lim-si
secara kejam tanpa sebab lantaran. Karenanya pantas hari ini kau
mempertanggungjawabkannya!"
Nenek
rambut putih mendongak dan tertawa panjang. Sambil berkacak pinggang dia
berkata, "Di puncak Hun-tiong-san ini ada suatu ketentuan. Siapa-siapa
orang luar yang berani naik kemari berarti mampus! Bisa datang tak bisa
pulang!"
"Segala
macam aturan bisa saja dibuatl Tapi yang kami perlukan adalah nyawa
busukmu!" menyahuti paderi botak di sebelah kanan. Namanya Tek Bun.
Si nenek
rambut putih kembali mengumbar suara tertawa. "Nyali kalian sungguh besar.
Apakah kalian akan maju berbarengan atau sendiri-sendiri?"
"Bagi
manusia laknat macam kau mengapa harus memakai segala macam aturan?!"
sentak paderi rambut gondrong. Namanya Hoa keng.
"Hem…
bagus! Dengan demikian aku tak membutuhkan waktu lama untuk menyingkirkan
kalianbertiga. Memang sudah lama juga puncak Hun-tiong-san ini tidak dibasuh
dengan darah paderi tengik macam kalian…!"
"Hun-tiong-san!"
paderi botak yang di sebelah kiri dan bernama Tek Nyo. "Sudah lama kami
mendengar nama keji Hun-tiong Houw-mo. Hari ini agaknya sudah layak nama itu
dikubur untuk selama-lamanya. Dan kau warga komplotan terkutuk itu yang bakal
mampus duluan!"
"Paderi
keparat! Jangan kelewat takabur! Makan jariku ini!" Berteriak si nenek
rambut putih dan jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hijau
berkiblat.
"Ilmu
Jari Kelabang Hijau!" teriak paderi Tek Bun kaget. "…. Lekas
menyingkir!"
Tapi
peringatannya itu terlambat.
Di
sampingnya terdengar jeritan paderi Tek Nyo. Berpaling ke samping kelihatan
paderi Tek Nyo terbanting ke tanah. Sebagian tubuhnya menjadi hijau gelap
sedang kepalanya hancur. Otak dan darah berhamburan!
"Dan
ini untuk kalian berdua!" seru si nenek rambut putih seraya jentikkan
lagi-lagi jari tangan kanannya. Kembali lima larik sinar hijau menderu ke arah
dua paderi dari Siauw Lim-si. Tapi sekali ini serangan itu tidak menemui
sasarannya bahkan mendapat sambutan perlawanan yang hebat.
Begitu
melihat lima larik sinar hijau datang menyerang, paderi Hoa Keng melompat ke
samping seraya kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin deras mendorong tubuh si
nenek, membuat dia terhuyung beberapa langkah sedang bagian dari serangan ilmu
jari kelabang hijaunya terdorong ke samping.
Di lain
bagian begitu melihat serangan, paderi gondrong Tek Bun keluarkan buli-buli
anggurnya, teguk tiga kali berturut-turut kemudian menyemburkan minuman ini ke
depan. Meskipun cuma anggur namun disemburkan dengan kekuatan tenaga dalam yang
ampuh maka serangan benda cair itu amat berbahaya. Sebagian dari ilmu jari
kelabang hijau bukan saja musnah malah semburan anggur itu terus menerobos dan
menerpa tubuh si nenek rambut putih! Perempuan tua ini melengak kaget
menyaksikan bagaimana pakaian rombengnya menjadi bolong seperti disundut rokok,
kulit tubuhnya menggerayang ngilu, namun untung saja dia mempunyai semacam ilmu
kebal hingga dia tidak menderita luka.
Baik
paderi Hoa Keng maupun Tek Bun diamdiam merasa kaget menyaksikan bagaimana
semburan anggur yang mengenai lawan hanya sanggup merobek pakaiannya saja.
Maka berbisiklah paderi Tek Bun pada kawannya yang ternyata lebih tua.
"Hoa Keng-twako, kita harus hati-hati. Tampaknya lawan bukan dari tingkat
sembarangan!" Habis berbisik begitu Tek Bun berikan isyarat dan kedua
paderi clad Siauw Lim-si ini kemudian menyerbu pula serentak dengan hebatnya.
Nenek
rambut putih rupanya sudah rnengukur pula tingkat kepandaian lawan yang dua
ini. Sejak dulu paderi-paderi dari Siauw Lim-si memang terkenal kehebatannya.
Karenanya dalam menghadapi dua lawan tangguh itu si nenek keluarkan jurus-jurus
terhebat dari ilmu silat. "Siluman Harimau" yang dipelajarinya dari
Ketua Hun-tiong Houw-mo.
Serangan
dua paderi Siauw Lim-si menggebu-gebu tiada olah-olah hebatnya. Setelah
berkelebatan cepat selama dua jurus di mana masingmasing pihak banyak dapat
intai mengintai kelemahan dan kelengahan musuh, di jurus ketiga si nenek rambut
putih membuka serangan dengan keluarkan jurus yang bernama Liong hun houw-hong
atau "Awan Naga Angin Harimau".
Dua
paderi melihat seolah-olah udara malam yang gelap semakin pekat menghitam dan
serentak dengan itu terdengar lawan keluarkan suara macam harimau menggereng,
dan menyusul satu serangan yang membawa angin laksana tiupan badai!
Untuk
menghadapi serangan dahsyat ini yang membuat tubuh dua paderi jadi
tergontai-gontai paderi Tek Bun sambut dengan jurus cian-bun-ki long atau
"Menolak Serigala di Depan Pintu" sedang paderi Hoa Keng menggebrak
dengan jurus Po hun kian jit atau "Menyibak Awan Memandang Matahari".
Kecamuk
pertempuran di jurus yang ketiga itu bukan kepalang. Tanah serasa bergetar.
Masingmasing lawan sama-sama merasa tertekan dan kemudian terlempar sampai
satu tombak!
"Tiada
nyana dua paderi keparat ini memiliki ilmu yang tangguh!" kata hati nenek
rambut putih. Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba si nenek mendengar suara
mengiang di kedua telinganya. "Putih! Kau harus dapat melenyapkan dua
paderi Siauw Lim-si itu dalam tiga jurus. Jika tidak berhasil kau bakal terima
hukuman potong salah satu anggota tubuhmu!"
Suara
yang mengiang itu datangnya dari arah belakang tembok tinggi dan dilakukan oleh
Ketua Komplotan Hun-tiong Houw-mo. Pada masa itu di dunia kangouw hanya
terdapat beberapa orang tokoh yang memiliki ilmu mengirimkan suara dari jarak
jauh seperti itu. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya
tingkat kepandaian Ketua Hun-tiong Houw mo dan di samping itu juga kentara
sekali bagaimana pula kebengisannya terhadap anak buahnya sendiri!
Nenek
rambut putih yang dipanggil dengan sebutan si Putih menjadi dingin tengkuknya
mendengar perintah pemimpinnya itu. Sambil berkelebatan kian kemari dia
berpikir, "Bagaimana aku dapat membunuh dua paderi ini hanya dalam tempo
tiga jurus saja? Sulit! Keduanya memiliki kepandaian yang tinggi…."
Dalam
pada itu kembali paderi Tek Bun dan Hoa Keng melancarkan serangan-serangan
berbahaya, mendesak nenek rambut putih ke dekat pintu gerbang warna kuning.
"Baiknya
aku hadapi mereka dengan jurus hun in toan-san, lalu jurus jit gwat-bu kong
kemudian baru kususul dengan serangan ilmu jari kelabang hijau. Jika ini tidak
membawa hasil, celakalah. Biar aku terima nasib," demikian nenek rambut
putih membatin. Rupanya jurus-jurus silat yang hendak dikeluarkannya itu adalah
ilmu simpanan yang paling hebat. Satu jurus berlalu tanpa si nenek mempunyai
kesempatan untuk mulai menyerang karena dua paderi menyerbunya dengan amat
hebat.
Jurus
berikutnya, didahului dengan bentakan menggeledek nenek itu keluarkan jurus
hun-in toan-san (Awan Melintang Memutus Bukit). Kehebatan jurus ini segera
terlihat karena bagaimana pun dua paderi Siauw Lim-si memburu lawannya namun di
antara mereka tetap saja terdapat jarak tertentu yang memisah hingga setiap
serangan yang dilancarkan tidak pernah sampai. Selagi dua paderi itu merasa
heran campur penasaran, si nenek keluarkan jurus berikutnya yaitu
jit-gwat-bu-kong atau "Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar".
Paderi
Tek Bun dan kawannya tiba-tiba merasakan tempat sekelilingnya menjadi amat
gelap dan mereka tak dapat melihat di mana musuh mereka berada. Selagi keduanya
kebingungan begitu rupa tahu-tahuj lima larik sinar hijau berkiblat di depan
mata, demikian cepatnya hingga dua paderi ini tidak sempat menyelamatkan nyawa
masing-masing. Mereka cuma sanggup berteriak. "Ilmu Jari Kelabang
Hijau!" Dan sedetik kemudian keduanya roboh ke tanah, mati dengan kepala
hancur dan hangus hijau!
Nenek
rambut putih menghela nafas lega. Dia membalikkan tubuh, mendekati arca harimau
emas di pintu gerbang sebelah kiri. Ketika mata sebelah kanan dari harimau ini
ditekan maka pintu gerbang kuning pun terbuka. Si nenek lompat ke atas gerobak
dan membedal binatang penarik gerobak itu masuk melewati pintu gerbang. Begitu
gerobak masuk pintu gerbang kuning menutup dengan sendirinya.
Di
belakang tembok tinggi di puncak Hun tiong-san itu ternyata terdapat sebuah
bangunan besar yang keseluruhannya dilapisi emas hingga meskipun malam hari
bangunan yang seperti istana itu kelihatan memancarkan sinar berkilau yang amat
menakjubkan. Di mana-mana terdapat arca berbentuk kepala harimau.
Dua orang
berpakaian putih menyambut kedatangan si nenek dan langsung membawa gerobak ke
bagian belakang bangunan emas sedang nenek rambut putih sendiri masuk ke dalam
gedung besar lewat pintu depan.
Di sebuah
ruangan yang amat bagus, di atas satu kursi emas duduklah seorang gadis
berparas amat jelita. Dia mengenakan pakaian sutera warna merah. Seuntai kalung
emas kepala harimau tergantung di lehernya. Di atas kepalanya yang berambut
hitam terdapat sebentuk mahkota emas yang ditaburi intan berlian. Meskipun
wajahnya cantik rupawan, namun sepasang matanya kentara sekali membersitkan
sinar kebengisan yang menggidikkan. Manusia inilah, yang menjadi Kepala
Komplotan Hun-tiong Houw-mo yang selama beberapa bulan terakhir ini telah menebar
anak-anak buahnya di seluruh pelosok untuk menimbulkan kekacauan, melakukan
perampokan dan pembunuhan serta penculikan hingga menggegerkan dunia kangouw.
Di
sekeliling Ketua Hun-tiong Houw-mo berdiri beberapa orang gadis yang kesemuanya
berparas cantik pula, masing-masing mengenakan pakaian sutera warna ungu, biru
dan kuning.
Nenek
rambut putih menjura di hadapan Ketua Hun-tiong Houw-mo. "Dewi tugas telah
kuselesaikan. Harap petunjuk dari Dewi lebih tanjut."
Ketua
Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil dengan sebutan "Dewi" itu anggukkan
kepalanya sedikit.
"Betulkan
dulu pakaian dan tampangmu, baru bicara!" sang Dewi membuka mulut.
Suaranya tinggi angkuh.
Nenek
rambut putih tanggalkan pakaiannya yang kotor compang camping, tarik rambut
palsunya yang berwarna putih talu membuka topeng tipis yang menutupi wajahnya.
Ternyata
dia adalah seorang gadis berparas cantik sekali, berambut panjang hitam yang
digulung dan mengenakan pakaian sutera warna putih! Di lehernya tergantung
kalung emas kepala harimau!
****************
8
DI ANTARA
pembantu-pembantu utama Ketua Hun-tiong Houw-mo yang kesemuanya adalah
daradara berparas jelita maka dara berpakaian putih inilah yang paling cantik
dan mendatangkan sedikit rasa iri dalam diri yang lain-lainnya.
Setelah
memandang wajah gadis itu seketika maka bertanyalah Dewi Hun-tiong Houw-mo,
"Koankoan, apakah dalam perjalanan kau ada bertemu dengan Tio
Ki-pi?"
"Tidak
satu pun di antara mereka kutemui, Dewi," jawab si Putih Koan-koan.
Baru saja
dia menjawab demikian tiba-tiba dari luar terdengar seseorang berseru,
"Dewi, aku Tio Ki-pi datang menghadap!"
Sesaat
kemudian masuklah Tio Ki-pi alias Thian liong-plan. Dia menjura di hadapan
Ketua Huntiong Houw-mo yang duduk di kursinya dan memandang tajam pada tangan
kanan Tio Ki-pi yang kini kelihatan buntung.
"Dewi,"
kata Tio Ki-pi kemudian sambil berlutut jatuhkan diri, "Mohon maafmu
karena aku tidak berhasil menyelamatkan gerobak itu. Bahkan Empat Golok
Kematian yang kusewa untuk membantu mengawal, tiga di antaranya telah menemui
aja!!"
"Sejak
semula aku sudah tahu kalau kau tidak mampu mengamankan dan menjalankan tugas.
Masih untung aku berlaku cerdik, menyuruh Si Hitam ling-ling untuk membawa
gerobak asli yang berisi emas rampokan milik Kaisar Boan. Kalau kuserahkan tanggung
jawab padamu, pasti ludaslah semua emas itu!"
"Ja…
jadi Dewi sudah mengetahui semua…?" tanya Tio Ki-pi dengan suara gemetar
dan muka seputih kain kafan.
Ketua
Hun-tiong Houw-mo menyeringai. Matanya kelihatan berapi-api. "Aku sudah
menerima laporan lengkap tentang tindak tanduk kegagalanmu! Ling-ling,
keluarlah kemari!"
Sebuah
pintu terbuka. Seorang kakek berkumis putih melangkah masuk dan menjura di
hadapan Dew! Hun-tiong Houw-mo. Sepasang mata Tio Ki-pi terbelalak. Jika dia
tidak salah kakek ini adalah yang pernah dilihatnya tempo hari di rumah makan
di sebuah kota kecil di mana dia kemudian menerima sepucuk surat panggilan dari
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang ditancapkan di mangkuk nasi!
"Jadi…
kiranya dia…. Celakalah aku!" keluh Tio Ki-pi.
Kakek
berkumis putih tanggalkan pakaian luarnya dan tarik topeng tipis yang menutupi
wajahnya. Nyatanya kini dia adalah seorang dara rupawan yang mengenakan pakaian
sutera hitam, salah satu pembantu Dewi Siluman Harimau. Dari Hun-tiong!
"Tio
Ki-pi, tahukah kau apa kesalahanmu?!"
Tio Ki-pi
menyembah-nyembah dan seperti anak kecil dia merengek menangis: "Dewi aku
yang hina ini mohon pengampunanmu. Semua terjadi di luar kemampuanku…."
Ketua
Hun-tiong Houw-mo cuma ganda tertawa. "Pertama kau telah gagal menjalankan
tugas untuk membawa gerobak itu ke sini, sekalipun itu hanyalah gerobak yang
bukan berisi emas karena yang asli telah kuperintahkan pada Koan-koen untuk
membawanya kemari. Kesalahan kedua setelah menemui kegagalan kau berniat untuk
melarikan diri tapi rencanamu itu diketahui oleh si Hitam Ling-ling. Pembantuku
ini telah memberi surat peringatan agar kau kembali, ke markas dengan segera.
Namun kau tidak acuhkan malah nekad hendak terus lari. Itu kesalahanmu yang
ketiga!"
"Dewi,
betapa pun juga kasihanilah selembar nyawaku ini. Jika saja kau mau memberikan
tugas baru untukku pasti akan kulakukan dengan berhasil."
"Bagaimana
kalau tugas baru itu adalah menyuruh kau membunuh dirimu sendiri…?"
Tio Ki-pi
merasakan nyawanya seolah-olah sudah terbang saja saat itu. Apakah kau masih
merasa pantas mengenakan kalung kepala harimau lambang tertinggi dari Hun-tiong
Houw-mo itu?" ketua Komplotan membentak.
Tio Ki-pi
buru-buru membuka kalung emas kepala harimau yang tergantung di lehernya,
kalung pertanda sebagai komplotan Hun-tiong nouw-mo. Benda ini kemudian
diletakkannya di hadapan sang Dewi.
"Kesalahanmu
terlalu besar untuk diampuni Tio Ki-pi," berkata Dewi Siluman Harimau dari
Gunung Hun-tiong itu. Tampangnya menjadi bengis total dan pandangan matanya
membersitkan maut. Dia bertepuk tiga kali dan berseru, "Seret dia ke kamar
penyiksaan. Gantung kaki ke atas kepala di atas tong bara menyala!"
"Dewi!"
seru Tio Ki-pi seraya berlutut dan menggerung. Namun saat itu tiga orang
pembantu sang Dewi yang juga merupakan murid-murid berkepandaian tinggi sudah
melompat ke muka, mengurung Tio Ki-pi.
Dalam
takutnya yang sudah sampai pada puncaknya dan dalam keadaan tidak berdaya untuk
selamatkan diri, Tio Ki-pi menjadi nekad. Lari tidak mungkin, minta pengampunan
juga tidak bisa. Dari pada mati disiksa lebih dulu, lebih baik menyabung nyawa.
Dan kebencian serta kemarahan yang meluap bekas tokoh utama dari propinsi Ciat
kang ini tertumpah keseluruhannya pada Dewi Siluman Harimau yang duduk dengan
mimik bengis di atas kursi kebesarannya.
"Dewi
atas semua kesalahan aku rela menerima hukuman," kata Tio Ki-pi dengan
suara bergetar sambil maju beberapa tindak mendekati Ketua Hun-tiong Houw-mo
itu. Diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri, "Namun
sebelum aku menjalani hukuman itu ada satu rahasia besar yang kurasa perlu
kuterangkan padamu…."
Kening
Ketua Hun-tiong Houw-mo mengerenyit.
"Rahasia
apa? Katakan lekas!"
"Begini,
Dewi…" kata Tio Ki-pi pula dan dia maju lagi dua langkah. Jaraknya dengan
Ketua Komplotan Siluman Harimau itu hanya terpisah setengah tombak kini.
"Di puncak Hun-tiong-san ini…." Tiba-tiba dengan kecepatan luar
biasa, dengan mempergunakan jurus yang dinamakan Teng miaou kin thian atau
"Kucing Sakti Terkam Tikus", Tio Ki-pi lancarkan satu hantaman
dahsyat dengan tangan kirinya.
Para
pembantu Ketua Hun-tiong Houw-mo berseru kaget namun Ketuanya sendiri kelihatan
tenang-tenang saja di kursinya. Sesaat lagi pukulan sakti itu akan
menghancur-leburkan sang Dewi, gadis cantik ini dengan senyum maut bermain di
bibir angkat tangan kanannya.
"Naik!"
seru Ketua Hun-tiong Houw-mo. Dan hebat sekali, angin pukulan Tio Ki-pi tadi
terdorong penuh sedang tubuh Tio Ki-pi sendiri tiba-tiba terangkat ke udara
sampai dua tombak. Dan ketika sang Dewi memukulkan telapak tangannya ke
pegangan kursi, maka jatuhlah tubuh Tio Ki-pi ke lantai dengan keras. Kepalanya
pecah, otak berantakan, darah menghambur!
Beberapa
pelayan mengangkat mayat Tio Kipi, yang lainnya membersihkan lantai. Kemudian
Ketua Hun-tiong Houw-mo memandang berkeliling pada murid-muridnya yang
berjumlah lima orang itu,
"Aku
mendapat firasat bahwa kita sekarang ini berada dalam keadaan yang tidak
menyenangkan kalau tak mau dikatakan berbahaya. Pertama orang-orang Kaisar Boan
sudah barang tentu menyelidiki perampokan segerobak emas yang kits lakukan itu.
Lambat laut bagaimanapun juga pasti mereka akan mengetahui bahwa kitalah yang
telah melakukannya. Kita tak perlu takut akan serbuan balatentara Boan kemari
karena kita mempunyai banyak senjata rahasia. Namun jika Kaisar Boan meminjam
tangan orang-orang kangouw, kita akan cukup direpotkan oleh mereka. Hal kedua
adalah munculnya seorang pemuda asing sebagaimana yang diterangkan oleh si
Hitam Ling-ling dan si Putih Koan-koan. Dapat dipastikan bahwa pemuda itulah
yang bernama Wiro Sableng, yang telah menghancurkan Empat Golok Kematian dan
mencelakai Tio Ki-pi. Mata-mata kita selanjutnya memberi tahu bahwa pemuda itu
kini tengah mencari tahu di mana letaknya markas kita. Hal ketiga yang paling
berbahaya ialah lenyapnya Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun dari penjara
Liang Akhirat dan matinya Siang-mo-kiam. Saat ini mungkin dia belum tahu letak
markas kita. Tapi cepat atau lambat dia pasti akan mengetahui juga!"
Dewi
Ketua Hun-tiong Houw-mo itu diam sejenak. Kemudian melanjutkan kata-katanya,
"Karenanya, sebelum tiga hal itu menjadi kenyataan yang berbahaya, ada
beberapa tugas yang harus kalian lakukan! Pertama, kau Ling-ling harus menambah
dan menebar sejumlah mata-mata untuk memperhatikan gerak-gerik pasukan Kaisar.
Kemudian kau si Biru Bwe Bwe mencari tahu di mana adanya Pendekar Pedang
Akhirat Long Sam kun. Kau si Ungu Lan-Lan dan si Kuning Ni-nio mendapat tugas
membuat alat-alat rahasia baru di sekitar puncak Hun-tiong san ini. Tugas
terakhir pada si Putih Koan-koan ialah membunuh pemuda asing yang bernama Wiro
Sableng itu. Untuk itu kau harus berangkat saat ini juga, yang lain-lain tunggu
pemberitahuanku lebih lanjut!"
Dara
berpakaian sutera putih bernama Koan-koan menjura dan meninggalkan tempat itu
dengan cepat.
****************
9
SAMBIL bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah lenggang
kangkung. Kadang-kadang sesungging senyum muncul di ujung bibirnya. Saat itu
bukan dia tidak tahu kalau sudah sejak tadi ada seseorang yang mengikutinya
dari belakang dalam jarak tertentu. Namun pura-pura tak tahu dia jalan terus
memasuki rimba belantara di kaki bukit yang menurut keadaannya mungkin belum
pernah didatangi manusia sebelumnya.
Di satu
tempat tiba-tiba laksana seekor burung, dengan gesit dan tanpa suara sama sekali
dia melompat ke sebuah cabang pohon yang tingginya hampir tiga tombak. Di sini
dia mendekam di balik rerumputan daun dan menunggu. Tak lama kemudian di bawah
sana dilihatnya ranting-ranting dan semak-semak bersibakan dan sesosok tubuh
menyeruak mencari jalan.
Pendekar
kita tersenyum. Dia memang sudah menduga dari semula. Orang yang mengikutinya
itu ternyata adalah gadis cantik yang tempo hari dicuri kudanya. Cuma sedikit
yang menimbulkan tanda tanya dalam hati Wiro di mana gadis itu meninggalkan
kudanya dan dari mana pula dia mendapat pesalin pengganti pakaian merahnya yang
dulu robek-robek. Tepat ketika sang dara yang kini berpakaian putih ringkas dan
rambut digulung di atas kepala sampai di bawah pohon.
Wiro
melayang turun hingga si nona menjadi kaget.
"Ah,
sungguh menyenangkan dapat bertemu denganmu kembali, Nona. Kurasa kau pun
demikian pula bukan?" Wiro menegur sambil garuk-garuk kepala dan
cengar-cengir.
"Siapa
sudi bertemu dengan kau!" sang dara melengos.
"Eh,
kalau tak sudi ketemu kenapa dari pagi tadi kau diam-diam mengikuti? Bukankah
itu maksudnya pingin ketemu…?"
Si Nona
tadi merah wajahnya karena jengah.
"Nah,
sekarang ringkas saja, Nona. Kenapa kau mengikutiku?"
"Aku
tak mengikutimu, hanya kebetulan saja kita satu jurusan dan kau di sebelah
depan."
"Begitu?
Baiklah. Sekarang kau silahkan jalan di sebelah depan dan aku di
belakang!"
Nona itu
kelihatan geregetan sekali mendengar kata dan melihat tingkah Wiro.
"Dengar," katanya serius. "Kau dan aku mempunyai kepentingan
yang sama. Kita sama menuju gunung Hun-tiong di mana markas komplotan Hun-tiong
Houw-mo berada. Kau tak tahu jalan dan aku butuh bantuan. Sekali lagi
kutawarkan bagaimana kalau kita kerja sama?"
Wiro
merenung sejenak lalu tersenyum.
"Aku
kurang begitu percaya padamu. Sebelumnya kau hendak menebas batang leherku.
ingat?"
"Itu…
itu karena kau telah mencuri kuda kesayanganku dan… dan…."
"Sudahlah,
Nona, kalau kau kepingin jalan sama-sama denganku aku tak keberatan. Tapi
sesampainya di Hun-tiong san kita urus persoalan sendiri-sendiri…."
"Aku
belum pernah bertemu laki-laki sesombongmu!" desis nona itu.
"Aku
belum pernah bertemu gadis secantikmu!" jawab Wiro pula dan membuat si
nona jadi betulbetul kepingin menggebuk pemuda itu.
"Kau…
kau terlalu…" kata gadis itu perlahan dan menggigit bibirnya keras-keras
agar air matanya jangan sampai keluar karena rasa kesal yang amat sangat itu.
Wiro jadi
kasihan juga melihat gadis itu.
"Sudahlah,
aku tadi cuma bergurau. Bagaimana persoalannya sampai saudara laki-lakimu
dibunuh oleh komplotan Hun-tiong Houw-mo?"
"Suatu
hari dia diculik oleh anggota komplotan itu, hendak dipersembahkan pada Ketua
Hun-tiong Houw-mo yang kabarnya seorang gadis berparas jelita tetapi mempunyai
nafsu terkutuk luar biasa dan suka menyimpan pemuda-pemuda gagah di markasnya.
Jika dia sudah bosan, pemuda-pemuda itu dibunuhnya satu persatu dan cari yang
lain…."
"Jadi
Ketua Hun-tiong Houw-mo itu adalah seorang gadis, seorang perempuan?"
Sang dara
mengangguk.
"Seorang
gadis cantik dan berkepandaian tinggi luar biasa."
"Aneh…"
Ujar Wiro.
"Apa
yang aneh?"
"Jika
dia berkepandaian tinggi dan banyak tokoh-tokoh persilatan yang jatuh di
tangannya sedangkan usianya demikian muda, sejak umur berapa dia sudah
menguasai ilmu silat dan kesaktian?"
"Aku
pun tidak mengerti," menyahut si nona. "Kira-kira sebulan sesudah
saudaraku diculik, mayatnya ditemukan dalam keadaan rusak di pinggiran
kota…."
"Bagaimana
kau tahu bahwa komplotan Hun-tiong Houw-mo yang membunuhnya?!" tanya Wiro
pula.
"Ada
piauw kepala harimau dari emas menancap di keningnya."
Wiro
manggut-manggut.
"Bagaimana
sekarang?" si nona ajukan pertanyaan.
"Apa
yang bagaimana?"
"Kau
masih tak mau bekerja sama denganku?"
"Apa
yang kau ketahui tentang Hun-tiong Houw-mo?" balik bertanya Wiro.
"Pertama
aku tahu jalan terpendek ke puncak Hun-tiong san tanpa diketahui oleh penghuni
markas komplotan itu."
"Tapi
kabarnya markas komplotan itu dipagari dengan tembok luar biasa tingginya
sedang di pelbagai tempat penuh dengan senjata rahasia!"
"Itu
adalah persoalan kedua," jawab si nona. "Semasa kecil aku sering
diajak kakek guruku ke puncak Hun-tiong san. Waktu itulah kutemui sebuah
terowongan rahasia yang jika diikuti akan sampai di salah satu bagian dalam
halaman markas Hun-tiong Houw-mo…."
"Ah,
itu bagus sekali!" ujar Wiro. "Lantas apa lagi yang kau
ketahui…."
"Di
samping Ketua Hun-tiong Houw-mo yang terkenal sakti itu, di sana terdapat juga
beberapa orang pembantunya yang terdiri dari gadis-gadis cantik dan rata-rata
berkepandaian tinggi!"
"Lain
hal…?"
"Tak
ada lagi yang kuketahui."
Wiro
usap-usap dagunya. "Kau belum menerangkan siapa namamu, Nona."
Kembali
paras sang dara menjadi merah. Tapi dia menyahut juga. "Panggit aku Pek
Lan…."
"Pek
Lan…? Ha, kalau tak salah itu artinya Anggrek Putih! Nama yang bagus! Nah
sekarang
mari kita
sama-sama lanjutkan perjalanan…. "
"Kau
silahkan jalan duluan," kata Pek Lan pula. "Eh, bagaimana ini?
Katanya bekerja sama, jalan sama-sama tidak mau…!"
"Jalan
saja duluan, aku tunjukkan arah dari belakang. Sekeluarnya dari rimba ini,
puncak Hun-tiongsan akan segera terlihat!"
Wiro
tarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala. Akhirnya dia melangkah juga. Pek
Lan mengikutinya sejauh lima belas langkah di belakang.
Ketika
hampir akan keluar dari hutan belantara itu tiba-tiba Wiro tersentak kaget
menyaksikan pemandangan beberapa langkah di hadapannya. Seorang nenek-nenek
tak dikenal, berambut putih berpakaian compang-camping duduk menjelepok di
tanah. Di tangannya ada sepotong ranting kering. Dengan ranting ini dia
menggurat-gurat tanah.
Gerakan
tangannya acuh tak acuh dan tampaknya perlahan saja namun guratan yang terlihat
di tanah demikian dalamnya tanpa mempergunakan tenaga dalam yang tinggi tak
bakal seseorang mampu melakukan hal itu.
Wiro
sudah mengetahui baik di tanah airnya maupun di Tiongkok, orang-orang atau
tokoh persilatan itu banyak yang bersifat aneh. Karenanya dia sudah menduga
kalau nenek tak dikenal ini pun tentu salah seorang dari tokoh-tokoh golongan
aneh itu. Maka menjuralah dia dengan penuh hormat dan menegur dengan lembut.
"Nenek
tua rambut putih, maafkan siauwte mengganggu ketentramanmu. Sudilah nenek
memberi jalan sedikit agar aku dapat melanjutkan perjalanan."
Sementara
itu Pek Lan yang mengikutinya, dari belakang, begitu melihat ada orang lain di
depan, cepat hentikan langkah, menyelinap ke balik semak belukar dan
menghilang.
Anehnya,
ditegur oleh Wiro si nenek seolaholah tak mendengar dan terus saja
menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting kering. Memikir kalau-kalau
pendengaran si nenek kurang baik maka Wiro menegur lagi. Kali ini dengan suara
lebih keras.
Si nenek
tiba-tiba angkat kepalanya. Kelihatan jelas kini wajah yang mengeriput. Di lain
pihak Wiro melihat bagaimana sepasang mata si nenek bening bercahaya, bukan
seperti mata seorang yang sudah lanjut usia. Si nenek sendiri begitu matanya
membentur wajah Wiro, hatinya tercekat dan dalam hati dia membatin, "Ah…
tak kusangka kalau yang harus kubunuh ini seorang pemuda asing berparas gagah
meskipun tindak tanduknya macam orang tolol dan lucu…. " Kemudian nenek ini
cepat-cepat tundukkan kepalanya kembali. Pandangan mata Wiro Sableng membuat
hatinya bergetar.
"Nenek,
beri jalan padaku…. " Wiro berkata lagi.
Tiba-tiba
si nenek melompat. Mimiknya jadi bengis dan dia membentak garang.
"Bangsat, kapan aku kawin dengan kakekmu kau panggil aku nenek!"
Mendengar
ini Wiro hendak meledak tawanya. Tapi batal karena sambil membentak dilihatnya
si nenek tusukkan ranting kering di tangannya ke arah dada Wiro. Meskipun cuma
sepotong ranting kering namun bisa mendatangkan maut karena dialiri tenaga
dalam yang hebat. Wiro berkelit ke samping dan menghantam dengan tangan
kanannya.
"Buk!"
Pukulan
tepi telapak tangannya tepat mengenai lengan si nenek. Ranting terlepas mental
dan si nenek menggigit bibir menahan sakit. Wiro sendiri merasakan tangannya
seperti kesemutan. Diam-diam pendekar ini kaget juga dan mulai berlaku lebih
hati-hati.
"Aku
tiada permusuhan denganmu Nenek, kenapa kau menyerangku?"
"Mulutmu
terlalu kurang ajar. Orang sepertimu pantas dilenyapkan!"
"Eh,
bukankah kau yang duluan bicara segala macam kawin dengan kakekku. Kau yang
buktinya bermulut usil, Nek!"
Si nenek
yang bukan lain adalah si Putih Koan-koan sebenarnya merasa geli juga mendengar
ucapan Wiro itu, namun berhubung dia mendapat tugas dari ketuanya untuk membunuh
pemuda asing ini, maka itu tak dapat ditawar-tawar lagi. Dia tahu kalau pemuda
itu dikabarkan memiliki kepandaian tinggi dan telah sanggup membunuh Siang Mo
Kiam, dua anggota komplotan Hun-tiong Houw-mo yang berkepandaian tinggi.
Karenanya dalam serangan kedua dia sengaja keluarkan jurus hun-in toan-san
(Awan Melintang Mernutus Bukit) yakni jurus pertama yang sebelumnya telah
mengantar kematian dua paderi Siauw lim-si berkepandaian tinggi itu.
Wiro
kaget ketika melihat bagaimana seolah-olah lawan dipisahkan oleh satu jarak
gaib yang tak bisa dicapainya padahal si nenek kelihatan dekat saja di depan
matanya.
"Ah,
nyatanya kepandaiannya cuma rendah saja," kata nenek rambut putih alias
Koan-koan begitu melihat jurus yang dikeluarkannya itu membuat lawan tidak
berdaya. Segera dia keluarkan jurus kedua yakni "Matahari Dan Rembulan
Tidak Bersinar" atau jit-gwat-bu-kong.
Ketika
menghadapi jurus aneh yang pertama tadi Wiro memang terkesiap namun itu
bukanlah berarti dia menjadi tak berdaya seperti yang disangka oleh Koan-koan.
Secepat kilat tangan kanannya mendorong ke depan melancarkan pukulan sakti
bernama "Benteng Topan Melanda Samudera".
Setiup
angin bertiup dengan dahsyat seolah bumi ditiup badai. Kini Koan-koanlah yang
menjadi kaget. Bukan saja dia tak mendapat kesempatan untuk mengeluarkan jurus
"jit gwat-bu-kong" tetapi jurus "hun-in-toan-san"nya pun
dilabrak musnah sedang dirinya sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang.
Melihat
lawan nyatanya memiliki kepandaian tinggi, tidak serendah yang diduganya,
Koan-koan menjadi marah dan naik pitam. Baginya jika menghadapi lawan seperti
ini hanya ada satu pilihan, dia yang bakal konyol atau lawan yang akan meregang
nyawa. Karenanya Koan-koan tanpa tunggu lebih lama lagi segera keluarkan
kesaktiannya yang paling tinggi yaitu "Ilmu Jari Kelabang Hijau".
Ketika
Pek Lan yang mengintip di balik belukarmelihat si nenek rambut putih jentikkan
lima jarinya yang disusul dengan berkiblatnya lima larik sinar hijau yang
menggidikkan maka dara itu tersentak kaget dan berseru memperingati Wiro.
"Saudara, awas! Itu pukulan Ilmu Jari Kelabang Hijau yang ganasl Lekas
menyingkir!"
Wiro
tertegun mendengar peringatan itu sedang Koan-koan sendiri terheran-heran
karena tak menyangka kalau ada orang ketiga di tempat itu.
Karena belum
tahu sampai di mana kehebatan Ilmu Jari Kelabang Hijau, Wiro turuti juga
peringatan Pek Lan, menyingkir dua langkah ke samping dan menghantam dengan
pukulan "Angin Puyuh", tapi apa lacur, pukulan sakti yang dialiri
setengah bagian tenaga dalamnya itu ternyata punah dilabrak sinar hijau pukulan
lawan. Di lain kejap sinar hijau terus menyambar ke arah Wiro.
Pek Lan
menjerit kaget, "Celaka!" dan dia sendiri tidak punya kemampuan untuk
menolong Wiro. Meskipun demikian dia cabut pedangnya dan menyerang ke arah
Koan-koan seraya membentak garang.
"Nenek
keparat, jadi kau adalah salah seorang dari pembantu ketua Hun-tiong Houw-mo
terkutuk itu! Jangan coba mungkir sekalipun kau bisa menyamar jadi setan! Hanya
orang-orang dari Hun-tiong san yang memiliki ilmu laknat itu!"
Koan-koan
sendiri sebenarnya mengeluh dan menyesal dalam hatinya telah lepaskan pukulan
Ilmu Jari
Kelabang Hitam yang ganas yang dilihatnya telah membuat si pemuda tak berdaya
dan bakal meregang nyawa. Pada dasarnya dia tak ingin membunuh pemuda yang
menarik hatinya ini. Namun untuk menarik pukulan tersebut sudah kasip dan dalam
pada itu satu serangan pedang dari seorang gadis cantik tak dikenalnya datang
pula dari samping, membuat dia terpaksa berkelit, selamatkan batang lehernya.
Melihat
pukulan tangkisannya musnah Wiro kaget sekali dan sebelum sinar hijau melabrak
kepalanya pendekar ini hantamkan tangan kirinya ke atas. Selarik sinar putih
menyilaukan berkelit ganas dan terdengarlah suara berdentum!
Nenek
rambut putih atau Koan-koan mencelat mental sampai tiga tombak. Dengan jungkir
balik susah payah baru dia bisa berdiri di atas kedua kakinya. Dadanya terasa
sakit dan jari-jari tangannya seperti hendak putus. Wajahnya sepucat kain
kafan. Sedang di depannya Wiro Sableng dilihatnya berdiri tegak dengan kaki
melesak ke tanah sampai sedalam sepertiga jengkal. Di bagian lain beradunya dua
pukulan sakti itu telah membuat Pek Lan terbanting ke samping dan jatuh duduk
di tanah. Tapi gadis ini cepat bangun kembali. Pungut pedangnya dan kembali
menyerbu Koan-koan.
"Bangsat
dari Hun-tiong san! Kau harus tebus nyawa kakakku dengan nyawa anjingmu!"
Pedangnya berkelebat. Tapi saat itu Koan-koan yang sudah maklum tidak bakal
sanggup menghadapi Wiro sudah putar langkah dan hendak kabur. Cuma sayang Wiro
lebih cepat menghadangnya.
"Nenek
manis, kau mau merat ke mana? Makan dulu jariku ini."
Sekali
totok saja nenek rambut putih alias Koan-koan tertegun jadi patung, tak bisa
bergerak lagi!
"Hem,
sekarang mampuslah!" seru Pek Lan. Pedangnya turun laksana kilat.
Koan-koan hanya bisa pejamkan mata terima nasib.
"Pek
Lan tahan dulu!" Wiro tiba-tiba berseru dan memegang lengan Pek Lan.
Gadis ini
coba berontak. "Apa-apaan kau! Bangsat ini adalah musuh besarku, yang
telah membunuh kakakku! Musuh besar setiap orang-orang golongan putihl Kenapa
kau cegah aku membunuhnya?"
"Sabar
dulu Pek Lan. Dari dia kita bisa mengorek beberapa keterangan penting…. "
"Aku
tak butuh segala macam keterangan! Aku butuh nyawanya!" sentak Pek Lan.
"Itu
bisa kau lakukan nanti. Tapi aku pun mempunyai kepentingan sendiri," tukas
Wiro pula. Dia berpaling pada si nenek rambut putih dan bertanya, "Betul
kau anggota Hun-tiong Houw-mo?"
"Terlu
apa itu ditanya !agi! Lihat aku akan buktikan sendiri!" kata Pek Lan dan
dengan kedua tangannya dirobeknya pakaian luar Koan-koan. Kini kelihatan
pakaiannya sebelah dalam, pakaian ringkas warna putih sedang di lehernya
tergantung kalung emas kepala harimau. "Dan ini tampang iblis ini yang
asli!" seru Pek Lan selanjutnya seraya menanggalkan topeng tipis dari
wajah Koan-koan, Wiro sampai ternganga bengong waktu menyaksikan wajah di balik
topeng nenek-nenek buruk keriput tadi ternyata adalah paras yang demikian
jelitanya!
"Nona,
aku tak mengerti. Kau demikian cantik. Kenapa menyia-nyiakan hidup dengan masuk
menjadi anggota Hun-tiong Houw-mo?"
Ditegur
oleh Wiro selembut itu, Koan-koan jadi sesenggukan dan tak dapat lagi menahan
air matanya.
"Eh,
kenapa jadi menangis?" tanya Wiro.
"Awas,
jangan sampai kita termakan tipunya!" ujar Pek Lan tetap bernafsu.
Wiro
bertanya sekali lagi. Sekali ini Koan-koan membuka mulut memberi keterangan
dengan terisak-isak, "Aku dan juga empat kawanku yang lain tak pernah
menginginkan untuk hidup sebagai murid Ketua Hun-tiong Houw-mo. Kami semua
terpaksa. Diculik beberapa tahun yang silam dan tak mungkin lagi keluar dari
genggaman Ketua kami kecuali kalau kami ingin buru-buru mati!"
"Bangsat!
Kau pandai main sandiwara! Toh kau yang menculik dan membunuh kakakku!?"
"Apakah
kakakmu itu masih muda…?" tanya Koan-koan dengan pandangan rawan.
"Ya."
"Orang-orang
muda ditangani sendiri oleh Ketua kami. Dia yang menyuruh culik kemudian dia
pula yang membunuhnya bila telah bosan. Aku dan kawan-kawan hanya menjalankan
tugas secara terpaksa karena kami tak punya daya."
"Kenapa
tidak melarikan diri?!" bertanya Wiro.
"Tak
ada gunanya. Kami akan segera tertangkap dan disiksa seumur-umur…."
"Apakah
kau punya niat untuk kembali ke jalan yang benar?" Wiro tanya lagi.
"Aku
dan juga kawan-kawan selalu mengharapkan hal itu. Namun sampai saat ini
kesempatan itu belum ada. Kalaupun ada tokoh golongan putih tentu siang-siang
sudah membunuh kami. Padahal mereka banyak yang tidak tahu kehidupan kami yang
boleh dikatakan tersiksa batin sepanjang hari…."
"Siapakah
namamu Nona?"
Koan-koan
menerangkan namanya.
"Dengar,
jika kami berdua membebaskan kau saat ini…."
"Siapa
sudi melepaskan dial" Pek Lan nyerobot.
Wiro
memberi isyarat agar gadis itu diam.
"Rupanya
kau sudah tertarik pada kecantikannya Wiro! Kau akan ditipunya dan kelak akan
dibunuhnya!"
Wiro tak
perdulikan kata-kata Pek Lan. "Dengar Koan-koan," katanya.
"Segala apa yang terjadi antara kita bisa dilupakan, dan kami berdua
mengampuni dirimu. Tapi dengan syarat kau harus membantu kami. Dan kelak
mengajak pula kawan-kawanmu kembali ke jalan yang benar. Bertobat dan hidup
secara baik-baik."
Koan-koan
tertawa rawan. "Seolah-olah mimpi ini semua bagiku," katanya. Lalu,
"Kau belum tahu siapa Ketua Hun tiong Houw-mo. Jika kau bermaksud hendak
memusnahkannya itu adalah satu kesiasiaan belaka…"
"Kita
harus coba dan kau musti membantu. Menghadapi kita beramai-ramai masakan dia
bisa menang…?"
Koan-koan
menghela nafas dalam. "Baiklah, aku berjanji. Tapi apakah kau percaya pada
diriku?"
Wiro
memandang sepasang mata sang dara. Dan pandangan keduanya saling bertemu.
"Aku percaya padamu!" kata Wiro lalu lepaskan totokan Koan-koan.
Begitu
Wiro tepaskan totokan Koan-koan, Pek Lan kontan berkata, "Mulai saat ini
aku tak mau kenal lagi padamu, Wiro! Kau dengan urusanmu dan aku dengan
urusanku!"
"Pek
Lan, kau mau ke mana?" seru Wiro. Namun gadis yang keras hati itu sudah
berkelebat pergi. Wiro cuma geleng-geleng kepala.
"Adatnya
keras…" kata Wiro.
"Kekasihmu…?"
bertanya Koan-koan.
Wiro
berpaiing. Sepasang mata mereka kembali saling bertemu. Koan-koan merasakan dadanya
berdebar dan perlahan-lahan tundukkan wajahnya. Wiro gelengkan kepalanya
sebagai jawaban.
"Kuharap
kau betul-betul dapat dipercaya dan tidak menipuku," berkata Wiro.
Koan-koan
angkat wajahnya yang jetita. "Asalkan kau bersungguh hati membawaku ke jalan
yang benar, kau suruh apa pun aku pasti akan melakukan."
"Apakah
kau akan lakukan jika aku meminta kau menciumku saat ini?" kata Wiro pula
bergurau. Tapi di luar dugaan Koan-koan melompat ke muka, memeluk pemuda itu
dan mencium sang pendekar pada kedua pipinya.
"Aku
sudah buktikan!" kata Koan-koan pula meski wajahnya bersemu merah.
Wiro
usap-usap kedua pipinya. "Aku tadi cuma bergurau. Tapi tak apa…. Ini
pertama kali seorang gadis menciumku lebih dahulu. Terima kasih untuk ciumanmu
itu…"
"Di
lain hari aku akan memberikan lebih dari…!" kata Koan-koan dengan setulus
hatinya. Entah mengapa dia demikian terpikat pada si gondrong yang baru
beberapa saat saja dikenalnya itu.
"Aku
akan lebih berterima kasih," jawab Wiro pula. "Nah, sekarang mari
kita atur siasat."
****************
10
KEADAAN
terowongan rahasia seperti yang diketahui Pek Lan di masa kanak-kanaknya
ternyata kini sudah jauh berubah sejak puncak Hun-tiong-san dipergunakan
sebagai markas oleh komplotan Huntiong Houw-mo. Perubahan-perubahan ini telah
menyesatkan Pek Lan dan tanpa diketahuinya beberapa kali dia telah menyentuh
alat-alat rahasia di dalam terowongan itu.
Melihat
adanya tanda dari alat-alat rahasia, Dewi Siluman Harimau segera memberi
perintah pada dua orang murid atau pembantunya yakni si Ungu Lan-lan dan si
Biru Bwe-bwe. Meskipun Pek Lan memiliki ilmu pedang yang tidak rendah, namun
menghadapi kedua gadis tangguh itu, dengan hanya mempergunakan tangan kosong
dalam tempo dua jurus dia sudah kena diringkus dan dihadapkan pada Dewi Siuman
Harimau.
"Nona,
parasmu cantik dan keberanianmu patut dipuji untuk bernyali masuk ke sarang
kematian ini. Siapakah namamu dan bagaimana kau bisa tahu terowongan rahasia di
bawah tanah itu?!" Ketua Hun-tiong Houw-mo ajukan pertanyaan.
Pek Lan
yang memang seorang gadis pemberani, apalagi dihantui dendam kesumat kematian
saudaranya tegak berkacak pinggang diapit dan diawasi oleh si Biru Bwe-bwe dan
si Ungu Lan-lan.
Ditanya
bukannya dia menjawab, malah balas bertanya dengan sikap congkak nada sinis,
"Hemm..,
jadi inilah Ketua Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil dengan sebutan Dewi
itu?" Pek Lan kemudian tertawa panjang. "Tampangmu juga cantik. Cuma
sayang hatimu lebih busuk dari comberan dan kejahatanmu lebih ganas dari
iblis."
"Dewi!
Biar kurobek mulut gadis kurang ajar ini!" teriak si Hitam Ling-ling.
Ketua
Hun-tiong Houw-mo lambaikan tangan dan berkata, "Nyalinya cukup
mengagumkan Ling-ling. Dan potongan tubuhnya menunjukkan bakat silat yang
bagus. Kau ada harapan untuk kujadikan murid serta pembantuku seperti nona-nona
yang lain ini."
Pek Lan
keluarkan suara mendengus dari hidung. "Aku datang kemari bukan untuk
menghambakan diri pada iblis macammu ini!"
"Lantas,
apa perlumu datang kemari dan lewat terowongan rahasia segala?"
"Untuk
mencincangmu. Kau bertanggung jawab atas penculikan dan kematian kakak
laki-lakiku."
"Apakah
kakakmu yang bernama Oel Siong Ang itu…? Ah, dia sungguh cakap dan amat pandai
melayaniku di atas tempat tidurt"
"Perempuan
cabul! Mampuslah!" teriak Pek Lan marah sekali dan melompat ke muka hendak
kirimkan tendangan ke kepala Ketua Hun-tiong Houw-mo. Namun maksudnya ini tidak
kesampaian karena Ling-ling dan Lan-Ian cepat mencegahnya.
"Dewi,
sebaiknya gadis binal ini buru-buru saja disingkirkan. Kalau tidak bisa bikin
berabe…!" berkata Bwe-bwe.
"Menyingkirkannya
soal mudah, muridku. Tapi bagaimana pendapatmu kalau mukanya kita cincang
hingga wajahnya yang cantik menjadi lebih buruk dan seram dari muka setan
sehingga seumur-umur tak satu pemuda pun ingin mendekatinya…."
"Perempuan
gila!" sentak Pek Lan. "Jika kau punya nyali mari kita bertempur
sampai seribu jurus!"
"Gadis
sundel!" si Hitam Ling-ling, memaki. "Kau andalkan apakah berani
bicara sombong terhadap Ketua kami? Membunuhmu jauh lebih mudah dari pada
membalikkan telapak tangan!"
"Hitam
dan Biru! Seret dia ke kamar penyiksaan!" Dewi Siluman Harimau berteriak.
Namun sebelum kedua muridnya melakukan hat itu tiba-tiba dari luar berkelebat
satu bayangan putih dan tahutahu si Putih Koan-koan sudah tegak di ruangan
itu. Di bahunya dia memanggul sesosok tubuh pemuda berpakaian putih. Begitu
melihat pemuda ini Pek Lan keluarkan seruan tertahan. Si pemuda yang bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng! Saat itu Koan-koan telah mengenakan kembali
pakaian samarannya dan topeng tipisnya. Dia meletakkan sosok tubuh Wiro di
lantai, menjura di hadapan sang Ketua dan berkata, "Dewi, tugas telah
kujalankan, cuma mohon dimaafkan agak menyimpang sedikit dari yang
diperintahkan. Semula Dewi menugaskan agar aku membunuh pemuda ini, namun
ketika melihat dia memiliki paras yang cukup gagah maka dalam perkelahian aku
cuma menotoknya lalu membawanya kemari dengan harapan siapa tahu Dewi berkenan
padanya!"
Ketua
Hun-tiong Houw-mo kerenyitkan kening. Sepasang alis matanya naik ke atas. Dia
bangkit dari kursi emas dan melangkah mendekati sosok tubuh Wlro. Dongan ujung
kakinya yang dibungkus dengan kasut sutera merah dia membalikkan kepala Wiro
untuk dapat menilai wajah pemuda itu lebih jelas. Ternyata tampang Wiro memang
membuat dia terpikat.
"Ah…
aku memang belum pernah dapat pemuda asing. Kelihatannya dia kuat sekali!"
Sang Dewi tertawa dikulum dan meneguk ludahnya beberapa kali lalu dengan
gembira menepuk-nepuk bahu Koankoan yang saat itu sudah menanggalkan pakaian
luar serta topeng tipisnya. "Kau memang muridku yang bijaksana dan banyak
berjasa. Panjang pikiran dan tahu bagaimana kesenangan guru serta Ketuamu ini!
Bagus sekali Koan-koan, bagus sekali. Kau gotonglah dia ke kamar tidurku
sekarang juga…."
Baru saja
sang Dewi berkata demikian tiba-tiba hampir tak kelihatan sepasang tangan Wiro
bergerak laksana kilat menangkap salah satu kaki Ketua Hun-tiong Houw-mo itu.
Di lain kejap terdengar satu bentakan dan tubuh sang Dewi mencelat mental ke
udara! Semua orang terkejut bukan kepalang.
Ketua
Hun-tiong Houw-mo kelihatan jungkir balik tiga kali di udara kemudian tegak di
lantai kembali. Wajahnya merah laksana bara. Sepasang matanya berapi-api,
menatap pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di samping Koan-koan sambil
satu tangan tolak pinggang, tangan lain garuk kepala dan tertawa gelak-gelak.
"Tiada
dinyana ketua Hun-tiong Houw-mo begini cantiknya dan pandai main akrobat
pula!" kata Wiro masih terus tertawa-tawa.
"Jadah!
Koan-koan kau berani menipuku! Kau telah bersekongkol untuk mengkhianatiku
hah?!" Ketua Hun-tiong Houw-mo meluap amarahnya bukan kepalang. Dia
berpaling dan berteriak, "Ringkus murid murtad itu! Aku akan hadapi
bangsat bernama Wiro Sableng ini!"
Melihat
kawan-kawan atau saudara seperguruannya hendak bergerak, Koan-koan cepat
berseru, "Saudara-saudaraku tunggu dulu! Bukankah kita sudah sejak lama
tersiksa hidup di puncak Hun-tiong san ini? Bukankah kita sejak lama ingin
meninggalkan tempat celaka ini dan menempuh hidup di dunia luar secara wajar
dan baik? Bukankah kita sering menyadari bahwa apa yang kita lakukan dan
diperintahkan oleh Dewi semua bertentangan dengan hati kecil kita dan
perikemanusiaan? Apakah akan kita rusakkan lebih jauh hidup kita yang cuma
sekali ini di dunia? Hari inilah saat yang kita tunggutunggu untuk mendapat
kehidupan bebas yang kits rindukan. Hari ini kebenaran akan menghancurkan
malapetaka yang bersumber di puncak Hun-tiong san ini! Mari, ikutlah bersamaku
untuk kembali pada hidup yang benar dan keluar dari azab neraka ini!"
Mendengar
kata-kata Koan-koan yang penuh semangat itu, empat saudara seperguruannya jadi
bimbang. Melihat ini marahlah Ketua Hun-tiong Houw-mo. Dia berteriak,
"Lekas bunuh murid murtad Itu. Kalau tidak kalian berempat akan mendapat
hukuman berat!"
Empat
murid sang Ketua semakin bingung.
"Kesempatan
ini hanya sekali, saudara-saudaraku! Kalau sampai luput, kalian akan celaka
sampai di liang kubur!" berseru Koan-koan.
"Aku
si geblek yang bernama Wiro Sableng ini akan membantu kalian!" Wiro
pentang mulut.
"Aku
juga!" teriak Pek Lan.
"Murid
jadah! Kau layak mampus duluanl" Kemarahan Ketua Hun-tiong Houw-mo tak
terkendalikan lagi. Sekaligus dia jentikkan lima jari tangan kanannya yang
sudah dialiri seluruh tenaga dalam yang ada ke arah Koan-koan. Gadis ini
berseru tegang dan secepat kilat menyingkir. Dalam pada itu Wiro telah lepaskan
pukulan Sinar Matahari yang membuat istana emas itu laksana dilabrak geledek.
Satu dentuman terdengar. Semua orang yang ada di sini terpental ke samping
sedang salah satu dinding ruangan yang terbuat dari emas meleleh dan berlobang
besar!
Ketua
Hun-tiong Houw-mo kaget bukan kepalang. Ternyata pemuda asing itu memiliki
tenaga dalam yang tidak berada di bawahnya. Namun dia sama sekali tidak gentar.
Dengan satu lengkingan nyaring dahsyat dia menerjang ke depan. Begitu cepatnya
dia berkelebat hingga hanya bayangan , merah
pakaiannya
saja yang kelihatan.
"Buk!"
Satu
jotosan melabrak dada Wiro Sableng, Pendekar ini terpental sampai satu tombak.
Darah kental kelihatan meleleh di sebelah bibirnya. Melihat ini Koan-koan jadi
bergeming. Jika sampai Wiro kalah oleh Ketuanya pastilah dia bakal celaka pula.
Dia melirik pada saudara-saudaranya. Sampai saat itu mereka masih tertegun
dalam kebimbangan.
Melihat
serangannya berhasil Ketua Hun-tiong Houw-mo kembali melabrak ke depan, sosok
tubuhnya tak kelihatan. Kali ini Wiro bertindak gesit karena ternyata lawan
memiliki ilmu yang disebut Pek-pian-mo-ing atau Seratus Bayangan Iblis! Hal ini
diketahui Wiro dari Koan-koan. Untung saja dia telah mendapat tambahan kekuatan
tenaga dalam dan ginkang dari orang tua misterius yang berjuluk Pendekar Pedang
Akhirat Long Sam Kun itu, kalau tidak pastilah dia bakal celaka. Mengingat si
orang tua tersebut, setelah menelan sebutir obat, Wiro segera hadapi musuhnya
dengan jurus silat yang pernah dipelajari dari kakek itu yakni jurus yang
bernama "Cip-hian-jay-hong" atau "Tiba-tiba Muncul
Pelangi".
Ketua
Hun-tiong Houw-mo itu tersurut saking kagetnya ketika menyaksikan lawannya
keluarkan jurus tersebut bahkan kemudian mendesaknya dengan jurus yang
dikenalnya bernama "Lo han-cianyau" atau "Malaikat Menundukkan
Siluman".
"Bedebah!"
seru Ketua Hun-tiong Houw-mo seraya menyambut dengan jurus "Pit bun ki
khek" atau "Menutup pintu Menolak Tetamu", meskipun dia tahu
jurus tersebut tak mungkin sanggup menangkis serangan lawan. "Ada sangkut
paut apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat?! Ayo lekas jawab!"
"Ini
jawabanku!" kata Wiro pula dan mainkan jurus terakhir setelah dua jurus
pertama sanggup menghantam Ketua Hun-tiong Houw-mo yang tangguh itu. Jurus
ketiga ini bernama "Kui gok-sin ki" atau "Setan Meratap Malaekat
Menangis". Sang Dewi merasakan pemandangannya tertutup dan sebelum dia
sempat menjauhkan diri, dua buah pukulan telah menghantam di tubuhnya,
membuatnya tak ampun terguling-guling di lantai tapi hebatnya segera pula
bangkit berdiri meskipun dengan terhuyung-huyung dan muka pucat yang menandakan
dia terluka di dalam.
Dewi
Siluman Harimau itu tiba-tiba berteriak garang. Kedua tangannya bergerak ke
pinggang dan sesudah itu hampir tak kelihatan kapan dia melemparkannya, sepuluh
piauw emas beracun berbentuk kepala harimau meluncur pesat ke arah Wiro.
Dari
Koan-koan Wiro sudah mengetahui kehebatan senjata rahasia ini, jangankan sampai
menancap di tubuh, sedikit saja kulit sampai keno diserempet pastilah korbannya
akan meregang nyawa. Karenanya tanpa tunggu lebih lama Wiro segera lepaskan
pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung" .
Kehebatan
pukulan ini membuat geger. Bukan saja ke sepuluh piauw emas beracun mencelat
mental tapi sebagian langit-langit gedung dan sebagian dinding amblas sedang
lebih ke atas lagi atap bangunan ambruk, salah satu tiang besar patah. Gedung
yang berlapiskan emas itu bergetar dahsyat laksana diguncang gempa. Koan-koan,
Pek Lan, dan murid-murid Dewi Siluman jatuh berkaparan di lantai sedang Wiro
dan sang Dewi sendiri tergontai-gontai untuk beberapa lamanya. Wajah sang Dewi
sepucat kertas kini. Jika pemuda asing itu tidak lekas dapat dibunuhnya pasti
dia bakal celaka pikirnya. Maka diputuskannyalah untuk mengeluarkan ilmu
simpanannya yang terakhir yakni ilmu siluman atau ilmu sihir (hoatsut) yang
selama ini tak satu orang pun sanggup menandingnya.
Koan-koan,
begitu melihat mulut gurunya berkomat-kamit dan sepasang matanya laksana
dikobari nyala api, dengan ilmu menyusupkan suara segera memberi peringatan,
"Awas, dia akan segera mengeluarkan ilmu sihir silumannya!
Hati-hati!"
Mendengar
ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212. Namun sebelum dia sempat
mempergunakan, di depan sana Ketua Hun-tiong Houw-mo sudah membentak,
"Naik!"
Wiro
merasakan kedua telapak kakinya tidak lagi menginjak lantai. Tubuhnya
perlahan-lahan naik ke atas. Dengan sekuat tenaga dia coba bertahan. Satu
pukulan sakti yakni pukulan "Sinar Matahari" dilepaskan ke arah lawan
kemudian menyusul dia kiblatkan senjatanya. Namun dua serangannya itu hanya
mengenai tempat kosong dan merusak gedung yang bagus itu sedang lawannya
sendiri sudah lenyap dari hadapannya.
Ketika
Wiro berpaling ke kiri, segulung asap membuntal ke arahnya. Sedetik kemudian
asap itu berobah menjadi satu makhluk raksasa, badan manusia berbulu sedang
kepala harimau bertampang ganas dengan taring-taring luar biasa besarnya. Binatang
ini menggereng. Bangunan itu terasa bergetar. Koan-koan serta gadis-gadis
lainnya sama-sama menjauhkan diri dengan perasaan ngeri.
"Pemuda
itu tak akan sanggup memusnahkan ilmu siluman dari Ketua…" bisik si Hitam
Ling-ling dengan menggigil.
"Rampas
kapak itu!" Dewi Siluman Harimau memberi perintah pada makhluk sihirnya.
Makhluk ini kembali menggereng dan sekali dia bergerak
Kapak
Naga Geni 212 di tangan Wiro sudah kena dirampas. Wiro memukul dengan pukulan
"Segulung Ombak Menerpa Karang", namun pukulan itu seolah-olah lewat
di tempat kosong, tidak menimbulkan apa-apa pada diri manusia raksasa kepala
harimau. Wiro keluarkan keringat dingin. "Celaka sekarang mampuslah
aku!" keluh pendekar ini.
Dan
kembali terdengar Ketua Hun-tiong Houwmo memberikan perintah, "Bunuh dia
dengan kapak itu."
Makhluk
sihiran itu menggereng dan mengangkat tangan kanannya yang memegang kapak
tinggitinggi. Wiro melompat selamatkan diri seraya lepaskan pukulan
"Sinar Matahari", tapi tak mempan dan dalam pada itu tangan kiri raksasa
kepala harimau itu telah mencengkeram pundaknya hingga dia tak bisa berkutik
lagi.
Ketua
Hun-tiong Houw-mo tertawa meninggi. "Bunuh," teriaknya.
Kapak
Naga Geni 212 membacok turun ke arah batok kepala Wiro Sableng.
"Celaka,
betul-betul aku mampus juga akhirnya…. " Wiro cuma bisa membathin demikian
dan tutupkan mata siap menerima kematian dengan tabah.
Justru di
saat yang amat kritis itu terdengar satu suara berseru, "Siok Eng! Ilmu
menakuti anak-anak apakah yang kau keluarkan ini!"
Selarik
sinar biru yang dingin melesat dari atas reruntuhan atap. Makhluk kepala
harimau menggereng. Kapak Naga Geni 212 lepas dari tangannya dan detik itu
pula sosok tubuhnya lenyap punah!
Jika ada
orang yang paling kaget di tempat itu, maka manusianya adalah Ketua Hun-tiong
Houwmo sendiri yang tadi dipanggil dengan nama aslinya yaitu Siok Eng!
Wiro juga
kaget dan buka sepasang matanya lebar-lebar. Sesosok tubuh kurus kering macam
jerangkong dilihatnya melayang turun dari panglari dan segera dikenalinya.
Pemuda ini kontan berteriak: "Locianpwe!"
****************
11
TERNYATA
orang yang barusan melompat dari atas langit-langit ruangan bukan lain adalah
kakekkakek sakti bertubuh kurus kering macam jerangkong yang tempo hari secara
kebetulan pernah ditolong oleh Wiro dari ruangan batu di mana dia disekap. Dia
yang dikenal dengan Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun.
Melihat
munculnya si kakek di tempat itu, kaget Dewi Siluman bukan kepalang. Dia sudah
tahu kalau kakek itu terlepas dari penjara batu di mana dia disekap selama
bertahun-tahun. Namun adalah tidak diduganya sama sekali kalau dia akan muncul
di situ demikian cepatnya!
Di lain
pihak si kakek tertawa gelak-gelak lalu berpaling pada Wiro, "Budak, tidak
dinyana bukan kalau hari ini aku telah dapat membalas hutang nyawa tempo hari
terhadapmu?"
Wiro
cepat menjura dan menghaturkan terima kasih. Dia hendak mengatakan sesuatu
namun saat itu Pendekar Pedang Akhirat telah berpaling pada Ketua Hun-tiong
Houw-mo.
"Siok
Eng! Dosa kejahatanmu telah lewat takaran! Hari ini kau harus
mempertanggungjawabkan semua itu!"
Meskipun
saat itu Ketua Hun-tiong Houw-mo boleh dikatakan sudah pecah nyalinya namun
dengan tetap angkuh dia bertolak pinggang dan mendamprat!
"Pengemis
gila dari mana yang kesasar kemari! Lekas angkat kaki dari istanaku. Kalau
tidak kubikin berhamburan benakmu!"
Long Sam
Kun cuma ganda tertawa mendengar kata-kata itu. "Kini semua jelas bagiku,
Siok Eng! Tiga tahun yang lalu kau sengaja menipuku dan menjebloskan diriku ke
dalam liang penjara batu. Dengan berbuat demikian kau merasa tak ada lagi yang
menghalangi dirimu berbuat kejahatan seenak perutmu, mendirikan komplotan
Hun-tiong Houw-mo dengan maksud membunuh musnah tokohtokoh persilatan hingga
kau bisa merajai dunia kangouw! Kau lupa Siok Eng! Kejahatan tak akan pernah
menang dari kebenaran!"
"Tua
bangka edan! Namaku bukan Siok Eng! Lekas minggat dari sini atau…."
Pendekar
Pedang Akhirat tertawa bergelak. "Kau tak mau kupanggil dengan nama aslimu
itu?! Kau hendak menipu dirimu sendiri? Cukup sejak dari muda kau menipuku
dengan kasih sayang palsu dan penyelewengan. Hari ini jangan harap kau bisa
berbuat lebih banyak!" Orang tua bertubuh jerangkong itu maju satu
langkah. "Sudah saatnya kau memperlihatkan tampangmu yang asli, Siok
Eng!"
Habis
berkata demikian Long Sam Kun menyerbu ke depan. Tubuhnya lenyap. Ketua
Hun-tiong Houw-mo membentak garang dan lepaskan sekaligus pukulan Ilmu Jari
Kelabang Hijau dengan kedua belah tangannya. Sepuluh larik sinar hijau
menyambar ke arah tubuh Long Sam Kun. Justru di saat itu pula terlihat satu
cahaya merah menebas dan punahlah serangan Ketua Hun-tiong Houw-mo. Juga pada
detik yang bersamaan terdengar pekik sang Ketua dan gelak berderai Pendekar
Pedang Akhirat!
"Nah
sekarang semua orang bisa melihat tampangmu yang asli! Selama ini kau telah
menipu dirimu sendiri dan orang lain!"
Memandang
pada Ketua Hun-tiong Houw-mo itu, baik Wiro maupun lima murid-muridnya bukan
kepalang terkejut mereka. Wajah gadis jelita yang selama ini mereka lihat
ternyata hanyalah sebuah topeng tipis belaka yang barusan telah direnggutkan
oleh Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun. Kini wajah sang ketua yang asli
hanyalah wajah peot cekung penuh kerut dari seorang nenek-nenek yang berusia
sekitar 80 tahun!
Long Sam
Kun masih terus mengumbar tertawanya sambil melintangkan pedang merah tipis di
depan dada.
"Siok
Eng! Kau juga punya pedang seperti yang kupegang ini. Lekas keluarkan dan aku
beri kau kesempatan untuk membela diri."
"Koko…"
tiba-tiba membersit ucapan itu dari sela bibir Ketua Hun-tiong Houw-mo.
Sepasang matanya berkaca-kaca dan perlahan-lahan dia berlutut di hadapan Long
Sam Kun.
Sesaat
hati kakek ini jadi tergetar juga. Namun cepat dia mendongak, menguatkan
hatinya dan membentak, "Ini bukan panggung sandiwara, Siok Eng! Kalau kau
tak mau kuberi kesempatan untuk membela diri, kau bakal lebih menyesal sampai
ke pintu gerbang kematianmu yang terkutuk! Jangan mengemis cinta dan belas
kasihan terhadapku! Apa kau tidak punya malu?!"
Ucapan
itu membuat wajah Siok Eng alias Ketua Hun-tiong Houw-mo menjadi gelap.
Tiba-tiba dia melompat berdiri. Dari balik pakaian sutera merahnya nenek ini
cabut sebilah pedang merah yang bentuknya persis sama dengan pedang yang
digenggam oleh Long Sam Kun!
"Bagus,
kau telah menentukan kematianmu secara lebih rnenyenangkan!"
"Tua
bangka keparatl Jangan terlalu takabur. Kepalamu akan menggelinding lebih
dulu!" teriak Siok Eng marah. Dia menerkam ke depan. Pedangnya bersuit.
Segulung sinar merah menebas ganas ke arah Long Sam Kun dalam jurus yang
dinamakan hun-tin-coan-san atau Awang Melintang Memutus Bukit. Ini merupakan
satu jurus dari ilmu pedang naga kencana yang dimiliki oleh Siok Eng.
Kehebatannya luar biasa. Namun di mata si tua bangka Long Sam Kun itu bukan
apa-apa. Dia segera sambut dengan jurus ilmu pedangnya yang sejak 20 tahun
silam telah menggegerkan dunia kangouw di Tiongkok yakni jurus pertama dari
ilmu pedang akhirat yang bernama "Tiba-tiba Muncul Pelangi" (Cip hian
jay hong).
Wiro yang
saat itu tegak sambil memegang Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga segala
kemungkinan jadi geleng-geleng kepala. Dia telah diberi pelajaran jurus ilmu
pedang itu oleh Long Sam Kun dan bahkan telah pernah mencobanya sendiri
menghadapi, musuh-musuh tangguh. Tapi jurus "Tiba-tiba Muncul
Pelangi" yang dimainkan si kakek boleh dikatakan hampir enam kali lebih
hebat dari yang dikuasainya. Mau tak mau pendekar ini jadi leletkan lidah saking
kagum!
Siok Eng
sudah tahu kehebatan ilmu pedang orang yang pernah menjadi kekasihnya, tetapi
kemudian dikhianatinya itu bahkan dipenjarakannya di liang batu. Adalah tak
bisa dipercayai olehnya kalau setelah tiga tahun mendekam dalam penjara batu
tahu-tahu ilmu pedang si kakek kini semakin dahsyat! Karenanya dalam jurus
kedua Siok Eng segera lancarkan serangan dengan gerakan yang dinamakan Hek-houw
wat sim atau Harimau Hitam Mengorek Hati yang kemudian disusul dengan gerakan
ganas bernama Sin-liong-pok cui atau Naga Sakti Menyambar Air.
Pendekar
Pedang Akhirat tetap tenang-tenang saja dan dengan satu gerakan yang sebat,
setelah mengelakkan kedua serangan itu dia mainkan jurus kelima dari ilmu
pedangnya yang disebut Tiang-hongkoan jit atau "Pelangi Menutup
Matahari".
"Trang!"
Pedang
merah di tangan Siok Eng terlepas mental dan sebelum senjata ini jatuh ke
lantai, ujung pedang di tangan Long Sam Kun telah menusuk dada Siok Eng, tembus
sampai ke punggung Ketua Komplotan Hun-tiong Houw-mo ini cuma keluarkan seruan
pendek dan mati dengan mata membeliak. Long Sam Kun tarik pedangnya dan tubuh
Siok Eng lantas roboh ke lantai. Orang tua itu menarik nafas dalam, membungkuk
mengambil pedang Siok Eng lalu memandang pada Wiro dan gadis-gadis yang ada di
situ.
Sekali
lagi dia menarik nafas dalam lalu berkata, "Ini satu pelajaran bagi
kalian. Ada kalanya cinta itu harus dikorbankan untuk suatu kebenaran.
Mudah-mudahan kalian tidak mengalami nasib sepahit diriku ini!" Habis
berkata begitu Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun balikkan tubuh.
"Locianpwe,
tunggu dulu…." Wiro cepat memanggil.
"Ah,
budak kau masih seperti dulu saja. Seialu banyak cerewet. Sudah, kau atur saja
nona-nona manis itu. Aku percaya kau akan bakal bisa membawa mereka ke jalan
yang benar, keluar dari neraka dunia di puncak Hun-tiong san!"
Si muka
jerangkong itu tersenyum kedipkan matanya pada Wiro dan berkelebat pergi.
Pendekar Kapak Maut 212 geleng-geleng kepala dan garuk-garuk rambutnya.
"Ah, benar-benar di luar langit masih ada langit lagi…" katanya dalam
hati dan seenaknya tangan kirinya kemudian sudah melingkar di pinggang si Putih
Koan-koan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment