Episode : Petualangan
Wiro Di Negeri Tiongkok / China
Lima
Iblis Dari Nanking
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
DI BAWAH
pemerintahan Cu Goan Ciang yang berhasil mengusir kaum penjajah Mongol
didirikanlah kerajaan Tiongkok baru yang diberi nama Kerajaan Beng. Sebagai
raja Cu Goan Ciang lebih dikenal dengan sebutan Kaisar Thaycu.
Ibukota
kerajaan yang dulu terletak di Peking (Ibukota Utara) dipindahkan ke Nanking
(Ibukota Selatan). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan
serangan tak terduga dari bangsa Mongol.
Di
samping itu sejumlah balatentara besar ditempatkan di Peking dan sebagai
panglima tertinggi di Peking merangkap wakil langsung Kaisar di Nanking, oleh
Kaisar Thaycu diangkatlah putera kandungnya yang bernama Cu Yung Lo.
Sebelum
meninggal dunia Kaisar Thaycu yang bertahta di istana Nanking mengangkat Hui Ti
sebagai penggantinya. Hui Ti adalah cucu yang amat disayangi Kaisar, merupakan
putera dari anak sulungnya, jadi adalah keponakan langsung Pangeran Yung Lo.
Pengangkatan
Hui Ti sebagai Kaisar baru inilah yang kemudian menjadi pangkal silang sengketa
dan malapetaka dalam Kerajaan Beng. Sebagai anak kandung atau putera Kaisar
Thaycu, Pangeran Yung Lo merasa lebih berhak untuk menjadi Kaisar dibanding
dengan Hui Ti yang hanya seorang cucu. Hal ini kemudian berubah menjadi
pertentangan dan perpecahan dan pada puncaknya mengakibatkan perang saudara
yang hebat.
Pangeran
Yung Lo dengan sejumlah balatentara besar menyerbu Nanking. Peperangan tak
dapat dihindar dan peperangan ini bertambah dahsyat karena tidak saja
melibatkan balatentara kedua belah pihak tetapi juga melibatkan banyak
tokoh-tokoh dunia kangouw (persilatan)
Pihak
Selatan dengan mati-matian berusaha mempertahankan diri dari serbuan yang hebat
itu. Namun segala upaya sia-sia belaka. Balatentara Pangeran Yung Lo laksana
air bah. Selatan kalah, Nanking jatuh dan Kaisar Hui Ti tertawan hidup-hidup.
Dia dijebloskan ke dalam penjara, masih untung tidak dijatuhi hukuman gantung
atau pancung.
Meskipun
kemudian perang sudah lama berakhir, tetapi keamanan negeri tidak
keseluruhannya dapat ditanggulangi. Di mana-mana sisa-sisa pasukan yang masih
setia pada Kaisar Hui Ti mengadakan kekacauan, menimbulkan kerusuhan-kerusuhan,
perampokan dan pembunuhan. Pospos tentara yang tak begitu kuat dan terutama
yang terletak di tempat terpencil menjadi korban penyerbuan.
Dalam
suasana Kerajaan Beng seperti scat itulah terjalinnya kisah silat ini.
*********************
SUATU
HARI, sebulan setelah Kaisar Hui Ti ditumbangkan, serombongan pasukan Kerajaan
di bawah pimpinan seorang perwira muda berkepandaian tinggi tampak bergerak
meninggalkan Nanking. Mereka tengah mengawal sebuah kereta berisi emas milik
bekas Kaisar Hui Ti untuk di bawa ke Peking atas perintah Kaisar Yung Lo.
Dua hari
berlalu. Rombongan telah jauh meninggalkan Nanking namun Peking yang menjadi
tujuan masih amat jauh di sebelah Utara.
Karena
matahari tidak bersinar terlalu terik dan angin sejuk bertiup sepanjang
perjalanan, kusir kereta memegang tali les sambil bernyanyi kecil. Di
sebelahnya duduk seorang, pengawal berusia agak lanjut tetapi memiliki ilmu
silat bukan sembarangan, bahkan kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari
perwira muda yang menjadi pimpinan rombongan itu. Pengawal tua ini bernama
Thian Gay dan dikenal dengan julukan Thian Gay Si Tangan Baja.
Di
sebelah depan kereta yang membawa emas dan juga di sebelah belakang terdapat
masingmasing enam orang pengawal hingga keseluruhan rombongan berjumlah 15
orang. Karena mereka membawa emas yang tak ternilai harganya maka keberangkatan
rombongan ini sangat dirahasiakan.
Sampai
hari ke tiga perjalanan berjalan lancar tanpa suatu halangan. Akan tetapi pada
hari ke empat, sewaktu rombongan mengambil jalan memotong terdekat memasuki
sebuah hutan di kaki bukit terjadilah hal yang mengejutkan. Jalan di hadapan
perwira muda pemimpin rombongan tibatiba saja runtuh amblas! Ternyata di situ
telah digali sebuah lobang besar yang diganjal dengan ranting-ranting kecil dan
kemudian ditutup kembali baik-baik dengan tanah serta dedaunan.
Tak ampun
lagi kuda yang ditunggangi sang perwira, termasuk enam pengawal di belakangnya
terperosok dan terjebak masuk ke dalam lobang yang dalamnya hampir lima kaki.
Jika enam pengawal berseru kaget kalang kabut maka perwira muda tadi masih
dapat menguasai diri. Dengan sikap tenang tapi gesit danmengandalkan
gingkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang lihay dia melesat dari punggung kuda.
Sebelum kedua kakinya menginjak tanah, tiba-tiba telinganya menangkap suara
berdesing. Menyusul kemudian terdengar jerit kematian yang mengerikan!
Enam
pengawal yang barusan berhamburan masuk lobang bersama beberapa ekor kuda
tunggangan mereka, menggapai-gapai mencoba keluar dari lobang tersebut. Ada
yang patah tulang bahu, tulang kaki atau tangan. Dalam keadaan seperti itu,
belum mampu mereka keluar dari lobang, selusin golok terbang menderu, menancap
di dada, ada yang di leher atau perut, bahkan ada yang menancap di kening,
membuat ke enam pengawal itu roboh, mengerang sebentar lalu mati!
Kuda-kuda
yang meringkik hingar bingar juga ikut menjadi korban golok-golok terbang yang
ganas itu.
Akan
keadaan kereta pembawa emas, bila saja kusir tidak cepat menahan tali kekang,
pastilah kereta itu akan ikut menghambur terperosok masuk ke dalam lobang.
Orang tua di samping kusir kelihatan kerenyitkan kulit kening. Lalu dia
keluarkan seruan keras.
"Semua
siap sedia! Ada tangan-tangan jahat yang menjebak kita di tempat ini!"
Selesai berteriak tangan kanannya lalu dihantamkan ke atas, ke arah sebatang
pohon besar.
"Bangsat
yang berani berlaku kurang ajar tunjukkan tampang-tampang kalian!"
Serangkum
angin menderu keluar dari tangan Thian Gay Si Tangan Baja dan krak! Batang
pohon di sebelah atas patah. Cabang dan ranting-ranting serta dedaunan melayang
gugur. Detik itu pula terdengar suara tertawa bekakakan yang menggetarkan seantero
hutan dan membuat bergemetarnya mereka yang mendengar.
Lima
sosok tubuh berkelebat dari atas pohon yang tumbang dan serentak dengan itu
enam batang golok terbang bersiuran ke arah Thian Gay!
Karena
tidak menduga akan mendapat serangan mendadak begitu rupa sedangkan dia baru
saja melepas pukulan, Thian Gay menjadi cukup kaget. Dua golok terbang
dihantamnya dengan tangan kanan. Begitu tangan kanannya beradu dengan
golok-golok olah dua golok tadi melabrak baja dan patah. Tak percuma dia
mendapat julukan Si Tangan Baja.
Dengan
menjatuhkan diri ke samping dua buah golok lainnya berhasil dielakkan. Golok
kelima dapat ditangkis dengan tendangan tepat pada gagang golok. Namun serangan
golok ke enam agak terlambat dikelitnya. Bret! Bagian tajam golok merobek bahu
pakaiannya, melukai daging tubuh di bagian itu. Paras Thian Gay berubah. Jika
dia masih dapat dihantam oleh senjata lawan yang keenam sudah dapat
dipastikannya bahwa penyerang bukan manusia tingkat rendahan.
Mengingat
tanggung jawabnya dalam pengawalan kereta Thian Gay tak mau berlaku ayal. Dia
melirik pada perwira muda di sampingnya yang saat itu sudah cabut pedang dan
tengah menghadapi lima manusia yang baru saja melayang turun dari atas pohon.
Kelimanya berjubah hitam. Empat berambut gondrong awut-awutan Sedang yang
kelima berkepala botak berkilat. Tampang mereka buas seperti singa lapar, penuh
berewok dan menyeramkan. Pandangan mata mereka membersitkan kegarangan, haus
darah dan maut!
Lelaki
gondrong yang tegak paling ujung sebelah kanan keluarkan suara tertawa.
Tubuhnya tinggi kurus. Seputar pinggang jubahnya melilit belasan golok terbang.
Bila dia bergerak senjatasenjata itu bergesekan dan mengeluarkan suara
gemerisik menggidikkan. Manusia ini dikenal dengan panggilan Gui-kun Kui-to
alias Gui Kun Si Golok Iblis. Dialah tadi yang telah melemparkan golokgolok
terbang merenggut nyawa enam pengawal dan juga menyerang Thian Gay.
Di
sebelah Gui-kun Kui-to berdiri kambratnya yang memiliki rambut merah gondrong
paling panjang menyela sampai ke punggung. Rambut ini bukan sembarang rambut
karena bisa dipergunakan sebagai senjata maut! Rambutnya inilah yang membuat
dia mendapat julukan Iblis Rambut Merah atau Ang-mo It-kui.
Orang
yang ketiga berdiri sambil rangkapkan tangan di depan dada. Kepalanya botak
licin dan berkilat. Tubuhnya pendek gemuk. Dia terkenal dengan panggilan
Tiat-thou-kui atau Iblis Kepala Besi. Kalau kawannya tadi mengandalkan rambut
sebagai senjata maka yang satu ini mengandalkan kepalanya sebagai senjata maut.
Boleh dikatakan sebagian besar musuhnya menemui kematian di tanduk atau disodok
dengan kepalanya yang botak keras laksana bola besi itu!
Manusia
berjubah hitam yang keempat tegak dengan sikap angker, lebih seram dari yang
lainlainnya. Tubuhnya paling tinggi dan paling besar. Dialah yang dikenal
dengan gelaran Nan-king Kuiong atau Raja Iblis dari Nanking. Dan dialah yang
menjadi pimpinan dari semua manusia-manusia seram itu.
Orang
terakhir berdiri di ujung kiri. Dia bertubuh katai. Sepuluh kuku tangannya
panjangpanjang dan berwarna hitam. Inilah Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar
Maut!
Thian Gay
Si Tangan Baja memandang dengan mata terpentang lebar pada kelima manusia
berjubah itu. Dia berusaha menekan debaran jantungnya.
"Nan-king
Ngo-kui … " desisnya membisiki perwira muda yang tegak di sebelahnya.
Mendengar
bisikan itu berubahlan paras si perwira yang bernama Ex Cu Liong. Sedang enam
pengawal lainnya begitu mendengar siapa manusia-manusia yang ada di depan
mereka jadi bergetar lutut masing-masing dan paras mereka laksana kain kafan.
Siapa
yang tidak kenal dengan Nan-king Ngo-kui atau Lima Iblis dari Nanking. Lima
datuk iblis golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Pada masa perang saudara
dulu mereka dikenal sebagai pembantu utama Kaisar Hui Ti. Begitu perang
berakhir dan Hui Ti ditawan, kelimanya melenyapkan diri. Tahu-tahu kini muncul
dalam keadaan begitu rupa. Melihat cara mereka muncul dengan menyebar maut,
jelas kelimanya mempunyai maksud jahat dan keji.
Diam-diam
Thian Gay mengeluh. Meskipun perwira Cu Liong berkepandaian tidak rendah akan
tetapi menghadapi lima manusia iblis itu sama saja dengan usaha hendak lolos
dari lubang jarum. Jago tua Thian Gay sudah mencium maut kematiannya sendiri!
******************
2
KALAU
tadi perwira muda Cu Liong hendak naik pitam melihat kematian enam anak buahnya,
kini setelah mengetahui siapa adanya lawan yang dihadapi mau tak mau dia harus
menekan amarah dan tidak boleh bertindak gegabah. Cu Liong membuka mulut.
"Sungguh
tidak disangka hari ini kami akan bertemu dengan Nan-king Ngo-Kui yang
terkenal. Mengingat perang telah lama usai dan pihak Pemerintah juga tidak
pernah mengutik-utik diri ngo-wi locianpwe sekalian meskipun dulu diketahui
ngo-wi membantu pemberontak Hui Ti, maka adalah menjadi tanda tanya bagi kami
mengapa hari ini begitu muncul ngo-wi langsung menjatuhkan tangan maut pada
anak-anak buahku yang tidak berdosa?"
Gui-kun
Kui-to, orang ke lima dalam urutan lima manusia iblis itu batuk-batuk beberapa
kali lalu menyahuti.
"Perwira
anjing peliharaan Yung Lo! Kau dengarlah baik-baik. Perang memang sudah lama
selesai tetapi akibatnya masih tetap akan terasa, malah mungkin lebih hebat
dari peperangan itu sendiri!
Kau
menyebut Kaisar Hui Ti sebagai pemberontak. Kotor dan lancang sekali mulutmu.
Kaisar Thaycu sendiri yang mengangkatnya untuk menduduki tahta kerajaan Beng.
Dan si Yung Lo yang temahak busuk itulah yang telah melakukan pengkhianatan,
memberontak! Sekarang kalian sebagai kaki tangan Yung Lo keparat itu boleh
merasa menang. Tapi ingat, akan datang harinya kalian akan menerima
pembalasan!"
Merah
paras perwira Cu Liong yang dimaki anjing.
"Memandang
nama besar ngo-wi sekalian aku masih mau memberi maaf atas kata-kata yang
bersifat menghina diriku. Tapi penghinaan kurang ajar terhadap Kaisar Yung Lo
benar-benar tak bisa diberi ampun!"
"Oh
begitu?" ujar Gui-kun Kui-to.
Si botak
Tiat-thou-kui menimpali. "Kalau tak bisa diberi ampun, lalu apakah kau
akan menangkap kami berlima?" Habis bertanya begitu si botak lantas
tertawa mengejek.
"Rasanya
belum terlambat bagi kalian berlima untuk kembali ke jalan benar. Bila kalian
bersedia ikut ke Kotaraja menghadap Kaisar Yung Lo, aku bersedia memintakan
ampun bagi kalian dan bukan mustahil Kaisar mau mengambil kalian-kalian sebagai
pembantu-pembantunya… "
"Dijadikan
anjing peliharaannya seperti dirimu?" tukas Tiat-thou-kui pula dan bersama
kawankawannya dia tertawa gelak-gelak.
Thian Gay
Si Tangan Baja yang sejak tadi bungkam mendehem beberapa kali lalu berkata,
"Memang tak mungkin bagi kami memaksa ngo-wi ikut ke Kotaraja. Sebaiknya
lupakan saja apa yang barusan kita perbincangkan dan sekarang masing-masing
kita sama meninggalkan tempat ini dengan aman."
Cu Liong
hendak membuka mulut membantah ucapan Thian Gay itu. Mana mungkin kematian enam
anak buahnya dapat dilupakan begitu saja. Bagaimana pertanggunganjawabnya nanti
terhadap atasannya di Kotaraja? Namun ketika melihat isyarat mata yang
diberikan Thian Gay terpaksalah perwira muda ini membatalkan niatnya.
"Tua
bangka Thian Gay, kau memang pandai bicara," berkata Nan-king Kui-ong,
pentolan kepala lima manusia iblis itu. "Tetapi kenapa kau dan
orang-orangmu buru-buru hendak pergi?"
Saat itu
Thian Gay sudah membalikkan diri melangkah mendekati kereta. Langkahnya
tertahan.
Dalam
batin dia bertanya apakah manusia-manusia iblis itu sudah mengetahui apa isi
kereta? Di dengarnya suara Nan-king Kui-ong kembali, "Bagus kalau kau mau
melupakan apa yang telah terjadi.
Sekarang
bagaimana kalau kau dan perwira muda ini masuk saja ke pihak kami?!"
"Siapa
sudi!" bentak Cu Liong dengan keras.
Sebaliknya
Thian Gay menjawab dengan bijaksana. "Tawaranmu itu biarlah
kupertimbangkan dulu. Nanti kukirim orang untuk menemui kalian berlima."
"Eh,
mana bisa begitu aturannya," kata Ang-mo It-kui, orang keempat dari Lima
Iblis. "Tanya sekarang harus jawab sekarang!"
Thian Gay
jadi serba salah. "Maaf, kalau kalian keliwat memaksa, mana mungkin …
"
Ang-mo
It-kui berpaling pada Nan-king Kui-ong. "Kalau begitu kita tak perlu
bicara panjang lebar lagi dengan cecunguk-cecunguk ini!"
Nan-king
Kui-ong menyeringai lalu mengangguk dan berkata: "Bunuh mereka.
Semua!"
Maka
Ang-mo It-kui lantas maju menerjang Cu Liong sedang Gui-kun Kui-to menyerbu ke
arah Thian Gay Si Tangan Baja.
"Hai
apakah kalian tidak akan membantu tuan-tuan besar kalian?" berteriak Tui
hun Hui mo pada enam pengawal yang masih tegak tertegun di depan kereta.
Para
pengawal mengerti kalau mereka tak bakal hidup lama. Memikir sampai di situ
rasanya saat itu mereka mau ambil langkah seribu. Namun mengingat tugas dan
pengabdian terhadap Kaisar, keenamnya memutuskan untuk cabut senjata dan
bergerak maju membantu Cu Liong serta Thian Gay.
Sambil
tertawa mengekeh Tui-hun Hui-mo jentikkan kuku-kuku jarinya yang panjang dan
berwarna hitam. Lima pengawal menjerit lalu roboh bergelimpangan kena sambaran
lima larik sinar hitam yang keluar dari ujung-ujung kuku Tui-hun Hui-mo alias
Iblis Pengejar Maut. Pengawal yang keenam bernasib lebih buruk. Tubuhnya
mencelat dimakan tendangan manusia iblis itu hingga dadanya hancur. Sementara
itu perkelahian antara Gui-kun Kui-to Si Golok Iblis berkecamuk melawan Thian
Gay dengan hebatnya. Satu kali lengan mereka saling beradu keras. Thian Gay Si
Tangan Baja tersurut empat langkah sedang Gui-kun Kui-to terpental tiga langkah
dan lengannya terasa seperti hancur. Daging lengan di bagian yang beradu
kelihatan membengkak merah kebiruan.
Nyatanya
julukan Si Tangan Baja yang dimiliki Thian Gay bukan julukan kosong. Pukulannya
datang bertubi-tubi membuat Gui-kun Kui-to jago kelima dari Nan-king Ngo-kui
harus mengeluarkan kegesitannya berkelebat kian kemari untuk mengelakkan
serangan lawan. Menangkis kini dia tak berani. Sekali salah satu bagian
tubuhnya kena dihantam tangan lawan pasti celaka.
Setelah
dua puluh jurus masih saja dia menjadi bulan-bulanan serangan lawan, Gui-kun
Kui-to jadi penasaran. Tanpa malu-malu dia menghunus golok besar yang terselip
di pinggang kirinya. Sekali dia memutar senjata itu, anginnya saja membuat
Thian Gay harus bertindak waspada. Dengan golok di tangan tampaknya Gui-kun
Kui-to berhasil menahan serangan tangan kosong lawan. Merasa mulai berada di
atas angin manusia iblis ini lancarkan serangan-serangan ganas.
Namun
satu kali sewaktu tubuhnya kehilangan keseimbangan karena begitu bernafsu
membacok dan ternyata hanya menghantam tempat kosong, dari samping Thian Gay
memukul badan golok hingga senjata itu terlepas mental dan patah dua!
Gui-kun
Kui-to bersurut mundur.
Melihat
hal ini Nan-king Kui-ong segera berteriak, "Tiat-thou-kui! Kau bantulah
Gui Kun!"
Tiat-thou-kui,
orang ketiga dari Nan-king Ngo-kui yang berkepala botak itu menggerang. Dia
usap-usap botaknya sambil bergerak memasuki kalangan perkelahian. Di saat yang
sama Gui-kun Kui-to kembali maju. Dan kini terjadilah perkelahian dua lawan
satu. Dikeroyok begitu rupa mulamula Thian Gay bisa bertahan beberapa jurus.
Namun kemudian dia mulai tampak terdesak.
Selain
memiliki pukulan-pukulan tangan kosong yang deras Iblis Kepala Besi itu
ternyata amat berbahaya kepalanya yang botak. Thian Gay sudah pasang tekad.
Kalaupun dia menemui ajal di tangan pengeroyok, paling tidak salah satu
lawannya harus ikut mati bersamanya. Namun tekadnya itu sama sekali tidak
menjadi kenyataan. Karena beberapa saat kemudian, dalam satu jurus yang hebat,
selagi dia berusaha mengelakkan pukulan dan tendangan Gui-kun Kui-to, tahu-tahu
dari samping Tiat-thou-kui kirimkan satu serangan ganas. Kepalanya yang lebih
keras dari besi melesat ke dada Thian Gay. Jago Kaisar ini berusaha mengelak
sambil memukul kepala lawan dengan tangan kanannya. Dia begitu yakin bahwa
tangannya yang atos akan sanggup menghancurkan kepala lawan. Mana mungkin besi
bisa menang lawan baja!
Tetapi
sesaat lagi ubun-ubun Tiat-thou-kui akan kena digeprak, seperti seekor ular
kobra tahutahu kepala manusia iblis itu melesat ke bawah, menyelusup menghantam
perut Thian Gay.
Thian Gay
Si Tangan Baja terdengar menjerit. Tubuhnya mencelat jauh. Terhampar di tanah
tanpa bergerak dan tak bernyawa lagi. Mati dengan perut pecah!
Sambil
bersihkan darah yang mengotori kepala botaknya Tiat thou kui tertawa
gelak-gelak.
Sementara
itu perkelahian antara Iblis Rambut Merah alias Ang-mo It-kui melawan perwira
muda Cu Liong telah memasuki jurus ke 29. Meski sang perwira memegang pedang
dan mengurung lawan dengan serangan menderu-deru namun sebegitu jauh pedangnya
masih belum mampu menyentuh tubuh lawan. Sebaliknya setiap kali Ang-mo It-kui
menggoyangkan rambutnya maka menghamburlah angin serangan yang berbahaya dan
rambut panjang manusia iblis ini seolah-olah berubah menjadi pedang yang
memapas atau menusuk dan membuat Cu Liong terkesiap.
"Ang-mo
It-kui!" terdengar seruan Nan-king Kui-ong, pimpinan dari lima manusia
iblis itu.
"Jangan
beri malu nama besar Nan-king Ngo-kui. Masakan menghadapi cacing tanah yang
masih ingusan begitu saja kau tak sanggup membereskannya dengan cepat?"
Mendengar
teguran itu Ang-mo It-kui menjawab, "Harap maafkan pangcu. Bukan maksudku
untuk main-main. Tapi tubuh ini sudah lama tidak bergerak badan. Aku ingin
mencari sedikit kesegaran. Tapi baiklah. Kau lihatlah ini!" (pangcu =
ketua/pemimpin)
Habis
berkata begitu Ang-mo It-kui mengeluarkan suara tertawa aneh. Kepalanya
digoyangkan. Sebagian rambutnya yang menyela bahu melesat ke depan membelit
pedang Cu Liong yang datang menyambar. Perwira Kerajaan ini coba menarik
pedangnya. Dia jadi terkejut. Karena semakin ditarik, semakin kuat libatan
rambut merah itu!
Ang-mo
It-kui menyentakkan rambutnya. Cu Liong berusaha mempertahankan pedang. Tapi
dia kalah kuat. Tubuhnya terbetot ke depan. Detik itu pula gerombolan rambut
yang lain dari Ang-mo It-kui menyambar ke depan, menghantam tepat kening
perwira muda itu.
Cu Liong
hanya dapat keluarkan rintihan pendek. Di keningnya kelihatan lobang besar yang
mengeluarkan darah dari kepalanya yang rengkah!
******************
3
BUKIT
kecil itu terletak dua hari perjalanan kuda dari Hankouw. Di sebuah peladangan
gandum yang subur seorang lelaki berusia 40 tahun sibuk menyiapkan hasil
ladangnya karena dua hari di muka seorang pembeli dari Hankouw bakal datang
memborong seluruh gandumnya.
Di tepi
ladang seorang anak lelaki berumur 8 tahun asyik membuat puput dari gulungan
daun kelapa. Dia adalah Sun Bi anak pemilik ladang gandum itu sedang sang ayah
adalah Ki Hok Bun.
Tiba-tiba
Hok Bun menghentikan pekerjaannya. Dia berdiri tenang-tenang. Sepasang telinganya
yang tajam mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Dia berpaling ke arah bukit.
Di lereng tampak lima orang penunggang kuda bergerak menuruni bukit, diikuti
oleh tiga ekor kuda yang membawa barang.
"Ada
orang datang ayah," kata Sun Bi seraya berlari mendapatkan ayahnya.
Ki Hok
Bun mengangguk. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Makin dekat rombongan
ke lima orang itu makin tidak enak perasaannya. Kelima penunggang kuda
berseragam jubah hitam. Di hadapan rumah Ki Hok Bun lima penunggang kuda berhenti
dan turun dari kuda masingmasing.
Ingat
akan istrinya yang ada di rumah. Ki Hok Bun cepat-cepat keluar dari balik
kerimbunan pohon-pohon gandum. Sun Bi berlari kecil mengikutinya dari belakang.
Sepuluh
langkah dari langkan rumah, orang berjubah hitam yang tubuhnya paling tinggi
dan paling besar mengangkat kedua tangannya, tertawa bergelak dan berseru,
"Hok Bun ciangkun!"
Sesaat Ki
Hok Bun tertegun dan kaget. Sudah sekian lama tak seorang pun pernah lagi
memanggilnya dengan sebutan ciangkun itu. Sebuah sebutan terhormat yang hanya
diberikan pada perwira tinggi Kaisar. Dan kini ada orang yang memanggilnya
dengan sebutan itu. Namun ketika dia mengenali siapa adanya si tinggi besar itu
maka diapun berseru gembira.
"Bu
ceng enghiong! Kukira siapa. Sungguh pertemuan yang tidak disangka!"
Keduanya kemudian saling rangkul.
Ki Hok
Bun lalu berpaling pada empat orang berjubah lainnya dansatu demi satu mereka
merangkul pemilik ladang gandum itu.
"Lima
sahabat lama berada di sini. Benar-benar membuat aku gembira."
Karena
suara ribut-ribut di luar, The Cun Giok, istri Ki Hok Bun meninggalkan
masakannya di dapur dan menjenguk keluar.
"Ini
anak ciangkun …?" orang berjubah tinggi besar yang bukan lain adalah
Nan-king Kui-ong bertanya sambil memandang pada Sun Bi.
"Betul."
"Dan
gadis itu … ?" lelaki berambut merah Ang-mo It-kui menunjuk ke arah pintu.
Mendengar disebutnya "gadis" yang lain-lain ikut berpaling.
"Dia
istriku," menerangkan Ki Hok Bun. "Waktu perang ibunya Sun Bi
meninggal dunia. Hidup sendirian di peladangan begini sepi sekali. Aku lalu
mencari pengganti ibunya Sun Bi."
Bola mata
lima manusia iblis itu bersinar-sinar seolah-olah hendak menelanjangi sekujur
tubuh Cun Giok. Perempuan yang cantik jelita yang tadinya mereka sangka adalah
seorang gadis itu ternyata adalah istrinya Hok Bun.
Nan-king
Kui-ong basahi bibir dengan ujung lidah lalu berkata, "Ah, sungguh nasibmu
jauh lebih beruntung dari kami, ciangkun. Kau kini hidup tenteram, punya anak,
punya ladang luas dan punya istri muda cantik sekali!" Kui-ong basahi
bibirnya kembali dengan uiung lidah dantenggorokannya tampak turun naik.
Diam-diam
Hok Bun merasa tidak senang melihat sikap dan cara memandang kelima orang itu
terhadap istrinya.
Cepat-cepat
dia berkata, "Cun Giok masuklah. Hidangkan anggur harum. Lalu atur meja.
Sahabatsahabatku ini tentu dahaga dan lapar."
Cun Giok
segera masuk ke dalam sementara Hok Bun mempersilahkan kelima orang itu masuk
ke rumah danmengambil tempat duduk. Sambil berkipas-kipas sesekali Nan-king
Kui-ong yang nama aslinya adalah Bu Ceng melirik ke ruang dalam mengintai istri
Hok Bun. "Kau beruntung sekali ciangkun. Beruntung sekali … " ujar
Nan-king Kui-ong.
Hok Bun
tersenyum. "Antara kita tak ada lagi ikatan atau hubungan ketentaraan.
Karenanya tak usah menyebutku dengan panggilan ciangkun itu … "
"Ah,
kau terlalu merendah. Kau tahu dalam waktu singkat kau akan dikembalikan pada
jabatan lamamu sebagai perwira tinggi. Bahkan mungkin sebagai seorang jenderal.
Dan orang-orang kembali akan memanggilmu dengan sebutan ciangkun. Kau tak usah
sungkan-sungkan. Bukankah begitu sahabatku?"
Empat
orang yang ditanyai sama mengangguk menanggapi ucapan Nan-king Kui-ong itu.
"Bu
Ceng enghiong," kata Hok Bun, "kulihat kau habis mengadakan
perjalanan jauh bersama teman-teman. Di luar sana ada tiga kuda membawa
peti-peti besar. Apa isi peti-peti itu kalau aku boleh tahu?"
"Begini
ciangkun. Eh, kalau kau tak sudi dengan sebutan itu bagaimana jika kami panggil
dengan sebutan twako saja?" yang berkata adalah si gundul Tiat-thou-kui.
Twako artinya kakak dan memang di antara mereka Hok Bun berusia paling tua.
"Kami berlima beberapa hari lalu telah menghadang anjing-anjing Kaisar
Yung Lo di luar kota Nanking. Memang sedang hoki, rombongan anjing Kaisar itu
ternyata membawa sebuah kereta berisi tiga peti emas. Semua anggota rombongan
kami bunuh. Dan kini tiga peti emas itu menjadi milik kita bersama!"
"Kita?"
ujar Hok Bun tak mengerti. "Kita siapa maksudmu?"
"Ya
kita! Kami dan kau twako!" yang menjawab adalah Ang-mo It-kui.
Hok Bun
berpaling pada Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong. Sesaat kemudian dia berkata,
"Bu Ceng enghiong, sakit hati kita terhadap mereka yang kini berkuasa
memang tak mungkin bisa dihapus lenyap untuk selama-lamanya. Namun adalah
terlalu berbahaya bagi kau dan teman-teman melakukan perampokan. Apalagi
disertai membunuh prajurit Kerajaan dan dua orang perwira. Tokoh-tokoh silat
yang berpihak pada pemerintah sekarang, dibantu ratusan perajurit Kerajaan
pasti akan mencari cuwi sekalian. Kita semua bisa celaka. Termasuk istri dan
anakku."
"Siapa
takutkan mereka?" tukas Gui-kun Kui-to seraya betulkan letak golok-golok
terbangnya yang berisikan seputar pinggang.
"Memang
aku tahu betul para enghiong di sini tidak menaruh takut terhadap mereka.
Tetapi alat-alat Kerajaan bisa bikin susah kita semua dan membuat hidup jadi
tidak tenterarn. Perlu diingat, keadaan sekarang sudah berbeda Bu Ceng
enghiong."
"Berbeda
bagaimana?" tanya Nanking Kui Ong.
Hok Bun
tak menjawab. Setelah menghela nafas panjang dia kemudian bertanya, "Apa
gunanya para enghiong di sini melakukan perampokan itu?"
"Karena
perang sebenarnya belum berakhir twako dan kita perlu biaya untuk meneruskan
peperangan," sahut Bu Ceng pula.
"Ah,
lagi-lagi aku tidak mengerti jalan pikiranmu," ujar Hok Bun. "Perang
sudah lama berakhir. Sejak lebih dari satu bulan lalu. Sejak jatuhnya Nanking
ke tangan orang-orang Kaisar Yung Lo. Sejak Kaisar Hui Ti yang kita hormati
dijebloskan dalam penjara. Apakah kau dan kawan-kawan tidak melihat kenyataan
ini, sobatku?"
Bu Ceng
memandang pada keempat kawannya. Sesaat kemudian kelimanya sama tertawa
gelak-gelak. Bu Ceng geleng-gelengkan kepala.
"Kau
salah twako. Salah besar. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa di mana-mana
sisasisa prajurit Kaisar Hui Ti kini tengah melakukan perang gerilya di bawah
pimpinan perwira-perwira yang masih setia. Mereka berusaha menumbangkan
kekuasaan Kasiar Yung Lo yang kini mengangkat diri sebagai Kaisar Kerajaan
Beng, di atas darah dan nyawa, di atas pengkhianatan keji. Inilah yang disebut
kenyataan, twako."
"Memang
itu adalah kenyataan," jawab Hok Bun pula. "Tapi kenyataan yang tak
mungkin bertahan lama. Jumlah mereka yang bergerilya terlalu sedikit dan
kekuatan mereka terpencar-pencar, tak mungkin menghadapi balatentara Kerajaan,
apalagi hendak menumbangkan Kaisar Yung Lo. Mereka semua akan mati konyol dan
perjuangan akan sia-sia. Saat ini di mana musuh berada dalam puncak kekuatan,
adalah bunuh diri kalau kita berani angkat senjata."
"Lantas
apakah akan dibiarkan begitu saja anjing besar bernama Yung Lo itu bertahta
sebagai Kaisar yang bukan haknya? Dirampas secara keji?" ujar orang kedua
dari Nan-king Ngo-kui yakni Tui-hun Hui-mo.
"Sudah
barang tentu tak dapat dibiarkan. Tetapi juga tidak mungkin untuk menumbangkan
kekuasaannya pada saat sekarang ini. Mereka terlalu kuat. Perajurit-perajuritnya
saja berjumlah jutaan, belum terhitung perwira-perwira tinggi dan
pembantu-pembantu dari kalangan kangouw." (kangouw=dunia persilatan)
Bu Ceng
kelihatan beringas. Dia bangkit dari kursinya danmelangkah mundar mandir. Cun
Giok saat itu keluar membawa enam gelas berikut beberapa guci kecil anggur,
lalu masuk kembali ke dalam diikuti sorot mata liar Nan-king Ngo-kui.
Tiat-thou-kui menelan liurnya melihat telapak kaki nyonya rumah yang begitu
putih.
"Apa
yang aku katakan semuanya benar twako, "terdengar suara Bu Ceng. "Dan
justru karena keadaan yang demikianlah membuat kami datang kemari. Orang-orang
terlalu sedikit dan terpencar. Senjata kurang pula. Di samping itu rakyat
kurang membantu karena takut terhadap pemerintah.
Namun
walau bagaimanapun perjuangan ini harus dilanjutkan. Menumbangkan Yung Lo dan
mengangkat kembali Kaisar Hui Ti. Perjuangan ini bukan saja memerlukan tenaga
tetapi juga biaya.
Dan biaya
itu rasanya sudah mulai kita dapatkan. Yakni dengan adanya tiga peti besar
berisi emas yang tak ternilai harganya itu. Ini baru sebagian kecil saja dari
modal kita untuk menghimpun orangorang yang masih setia terhadap Kaisar Hui Ti.
Kita akan mempersenjatai mereka, melatih mereka untuk perang. Dengan kekayaan
yang kita miliki bahkan kita dapat membeli orang-orang berkepandaian tinggi
untuk menyingkirkan Yung Lo, kaki-kaki tangannya serta
cecungukcecungguknya!"
"Semua
rencanamu itu sama saja dengan mimpi siang bolong, Bu Ceng enghiong. Jika kau
terbangun musnahlah mimpi itu. Jika kau nekad untuk meneruskannya maka celaka
akan menghadang."
"Setiap
perjuangan harus dengan pengorbanan. Kami berlima tidak takut mati, entah
twako," tukas Ang- mo It-kui dengan nada pedas.
"Kau
betul sekali," menyahuti Hok Bun. "Perjuangan harus dengan
pengorbanan. Tapi pengorbanan yang sia-sia apa gunanya? Harap kalian
merenungkan hal itu baik-baik."
Nanking
Kui Ong menghentikan langkah mundar-mandir. Nadanya agak geram ketika berkata,
"Aku dan kawan-kawan datang kernari bukan membawa persoalan untuk
direnungkan. Kami datang membawa rencana guna dilaksanakan. Dan kau harus ikut
bersama kami twako!" Hok Bun usap-usap dagunya.
"Maafkan
aku. Itu tidak mungkin kulakukan. Aku tidak mau melibatkan diri dengan kalian.
Aku sudah muak dengan peperangan."
Nan-king
Kui-ong danempat kawannya terkejut mendengar ucapan Hok Bun itu dan saling
pandang. Mereka tidak menyangka kalau kata-kata seperti itu bakal keluar dari
mulut Ki Hok Bun. Seorang bekas perwira tinggi yang semasa perang dulu menjadi
atasan dan pimpinan mereka.
"Ki
Hok Bun twako," kata Nanking Kui Ong dengan suara bergetar. "Kau yang
dulu dijuluki Kim-hong Kiam-khek atau Pendekar Pedang Pelangi, terkenal
dimana-mana, ditakuti lawan di segala penjuru dandisegani serta dihormati teman
seperjuangan, apakah kini telah berubah menjadi macan kertas yang paling
pengecut di muka bumi ini? Tinggal nama belaka?"
Wajah Hok
Bun tampak menjadi merah kelam mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu. Lalu
dengan menahan emosi dia berkata, "Aku tak akan bicara panjang lebar
mengenai rencana ataupun perjuangan kalian. Jika kalian berlima masih
menghormatiku sebagai bekas pimpinan maka dengarlah nasihatku. Untuk sementara
lupakan segala sesuatu yang berbau perjuangan. Jauhkan keterlibatan dengan perang.
Cobalah menempuh hidup yang damai tenteram. Dengan bermodalkan tiga peti emas
itu kalian bisa memulai hidup baru yang bahagia bahkan mewah. Bukankah itu
lebih baik dari harus mengorbankan diri menantang bahaya api peperangan?"
Ang-mo
It-kui geleng-geleng kepala dan menoleh pada Nan-king Kui-Ong. "Pangcu,
percuma saja. Ki Hok Bun yang di depan kita ini agaknya sudah bukan lagi
manusia gagah yang berjuluk Kimhong Kiam-khek seperti dulu. Sekarang dia telah
berubah menjadi manusia pengecut, banci bahkan mungkin sudah jadi tikus!"
"Tutup
mulutmu Ang-mo It-kui! Jangan kurang ajar!" hardik Ki Hok Bun dan plak!
Tamparannya
dengan keras mendarat di pipi Ang-mo It-Kui. Demikian kerasnya hingga orang
keempat dari Nan-king Ngo-kui ini terjajar beberapa langkah, menyeringai
kesakitan. Sebenarnya rasa sakit itu tidak begitu dirasakan oleh Ang-mo It-kui.
Namun marah dan malu membuat dia jadi kalap mata gelap. Dia berteriak garang.
Lalu sambil menggembor seperti harimau luka dia melompat ke depan, menyerang Ki
Hok Bun bekas perwira tinggi Kerajaan itu dengan satu jotosan maut ke arah dada
di bagian jantung!
******************
4
SEBAGAI
orang yang pernah menjadi atasan Ang-mo It-Kui dan empat manusia iblis lainnya
itu Ki Hok Bun tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian mereka. Namun saat
itu dia jadi terkejut menyaksikan angin pukulan Ang-mo It-kui. Jelas mengandung
satu kekuatan luar biasa. Yang berarti manusia ini telah jauh maju tenaga
dalamnya dalam waktu singkat. Dan melihat Ang-mo It-kui dalam melancarkan
serangan sengaja mengarah bagian yang berbahaya nyatalah bahwa orang ini tidak
mainmain bahkan ingin membunuhnya!
Tanpa
berlaku ayal Ki Hok Bun cepat berkelit ke samping. Namun sekonyong-konyong
Angmo It-kui susul serangannya yang gagal itu dengan serangan baru berupa
tendangan dan hantaman tangan kiri.
Ki Hok
Bun berseru keras. Melompat ke udara. Pukulan tangan kiri lawan lewat di
sampingnya sedangkan tendanyan yang juga berhasil dielakkannya menghantam meja
kayu hingga berantakan. Kendi anggur serta gelas yang ada di atasnya berhamburan
dan pecah berantakan.
"Ang-mo
It-Kui!" hardik Ki Hok Bun. "Jangan kau berani kurang ajar di
rumahku! Tinggalkan tempat ini atau kau akan menyesal!"
Habis
berkata begitu Ki Hok Bun dorongkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Ang-mo
Itkui menjadi kaget ketika merasakan bagaimana dari telapak tangan itu keluar
satu dorongan kuat laksana sebuah batu besar ratusan kati, mendorongnya dengan
hebat. Ang-mo It-kui berusaha pertahankan diri dengan memperkuat kuda-kuda
kedua kakinya. Namun ketika Ki Hok Bun datang lebih dekat tak ampun tubuhnya
terjengkang dan jatuh terguling di halaman depan rumah. Dengan pelipis
bergerak-gerak menahan amarah Ki Hok Bun berpaling pada Nan-king Kui-ong.
"Bu Ceng enghiong," katanya. "Kau bawalah kawan-kawanmu dari
sini sebelum aku jadi kalap dan menurunkan tangan salah!"
Nan-king
Kui-ong tidak senang melihat kejadian ini. Sepasang matanya membeliak garang.
"Terhadap Kerajaan dan Kaisar Yung Lo laknat itu kau menunjukkan
kepengecutan. Tetapi terhadap kawan sendiri, bekas anak buahmu, kau memiliki
nyali luar biasa besar bahkan tega memukulnya!"
"Aku
telah menerima kalian dengan baik. Tapi kalau kalian berlaku memaksa dan kurang
ajar, jangan salahkan kalau aku memberi sedikit peringatan…"
"Sedikit
peringatan? Memukul Ang-mo It-kui sampai begitu rupa kau sebut sebagai sedikit
peringatan…?" ujar Nan-king Kui-ong berang sementara Ang-mo It-kui bangkit
dari tanah. "Sudahlah Bu Ceng, jangan banyak mulut. Lekas pergi dari sini.
Bawa anak buahmu. Aku tak ingin melihat tampang-tampang kalian lagi!"
Iblis
Kepala Besi Tiat-thou-kui yang sejak tadi sudah tidak sabaran maju ke hadapan
Ki Hok Bun dan membuka mulut,
"Ki
Hok Bun, lagakmu keren amat! Apa ilmumu sudah setinggi langit sedalam lautan
hingga berani berkata dan bertindak seenaknya terhadap kami? Dulu kami memang
anak-anak buahmu, tapi sekarang keadaan berbeda. Kau tidak lebih tinggi dari
kami. Tadi-tadi kami sengaja untuk tetap menghormatimu, tapi nyatanya kau keras
kepala … "
"Diam!"
sentak Ki Hok Bun. "Sekali aku bilang pergi dari sini ya pergi! Jangan
banyak cingcong!"
"Oho
… hebatnya! Sombong, keras kepala tapi pengecut!" ejek Gui-Kun Si Golok
Iblis sambil menggerakkan tangan seperti orang hendak bertolak pinggang. Tapi
tiba-tiba tangan kanan itu mencabut golok besar yang ada di sisi kirinya.
Begitu golok keluar dari sarung Gui Kun lantas kirimkan satu serangan ganas.
"Bagus
Gui Kun! Kaupun minta digebuk!" teriak Ki Hok Bun marah. Cepat dia
membebaskan diri dari serangan golok. Marah karena serangannya dapat dielak
begitu mudah, Gui Kun putar senjatanya dan membabat membalik untuk membacok
putus tangan Hok Bun. Tapi bekas perwira yang berpengalaman ini sudah dapat
membaca maksud lawan. Sambil merunduk Hok Bun menghantamkan tangan kanarinya ke
atas.
"Krak!"
Bersamaan
dengan terdengarnya suara patahan lengan, terdengar pekik kesakitan Si Golok
Iblis Gui Kun. Dia melompat menjauhi lawan dan masih lindungi diri sambil
pergunakan tangan kiri untuk lemparkan golok terbang. Namun Hok Bun sudah lebih
dulu melompat ke samping hingga tiga golok terbang hanya mengenai tempat kosong
lalu menancap di dinding rumah.
Nan-king
Kui-ong melengak marah. Dua anak buahnya telah dihajar. Tapi untuk maju sendiri
melakukan pembalasan dia merasa bimbang. Bagaimanapun tingkat kepandaian Hok
Bun tidak bisa dibuat main. Kalau tidak maju berbarengan sulit untuk menghadapi
orang ini. Memikir sampai ke situ lalu diapun berteriak,
"Keroyok
bangsat ini!"
Maka
Tui-hun Hui-mo Iblis Pengejar Maut dan Ang-mo It-kui serta Tiat-thou-kui dan
juga Gui Kun yang kini hanya mengandalkan tangan kiri memegang golok serentak
menyerbu ke depan. Sedang Nan-king Kui-ong sendiri membantu dari belakang
dengan kiriman pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh yang sangat berbahaya.
Ki Hok Bun kertakkan rahang.
"Main
keroyok! Nyatanya kalianlah yang pengecut! Majulah lebih dekat biar kucincang
kalian lebih cepat!" teriak Hok Bun.
"Maut
sudah di depan mata! Kau masih saja bicara sombong dan ngaco! Kawan-kawan mari
kita jagal manusia ini cepat-cepat!" balas berteriak Nan-king Kui-ong.
Ki Hok
Bun selain memiliki kepandaian silat yang tinggi jelas bukan seorang berjiwa
kecil dan pengecut. Pengalamannya amat luas dalam perkelahian ataupun medan
peperangan. Karenanya tidak salah dia mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi
Kim-hong Kiam-khek, ditakuti lawan disegani kawan. Dibanding dengan kelima
pengeroyoknya secara satu-satu lima orang itu bukan apa-apa baginya. Namun jika
Nan-king Ngo-kui bergabung jadi satu dia harus bertindak hati-hati. Dia tahu
betul orang-orang itu bukan saja rata-rata memiliki ilmu silat lihay tetapi
juga licik penuh tipu muslihat. Kalaupun dia harus mati menghadapi mereka dia
tidak takut, namun yang dicemaskannya ialah kalau-kalau terjadi sesuatu dengan
anak istrinya.
Rambut
merah Ang-mo It-kui berkelebat ganas kian kemari. Terkadang rambut ini laksana
seutas cambuk. Namun terkadang dapat berubah seperti sebilah golok atau pedang
yang datang membabat atau menusuk atau menotok. Sepuluh jari tangan Tui-hun
Hui-mo yang berkuku-kuku panjang hitam laksana cakar burung garuda, berkelebat
ganas kian kemari. Sekali bagian tubuh sempat kena digaruk pastilah akan
berbusaian dagingnya. Ditambah dengan golok di tangan kiri Guikun Kui-to yang
tak kalah berbahayanya serta kepala besi maut dari Tiat- thou-kui lalu serangan
tangan kosong jarak jauh dari Nan-king Kui-ong yang datang bertubi-tubi, maka
kedudukan Ki Hok Bun benar-benar berbahaya. Apalagi saat itu dia hanya
bertangan kosong, hanya mengandalkan ginkang dan Iwekang belaka.
Lima
belas jurus berlalu. Dalam keadaan cukup kepepet Ki Hok Bun masih berhasil
menunjukkan kehebatannya yaitu memukul dada Gui-kun Kui-to hingga iblis satu
ini muntah darah dan terpaksa keluar dari kalangan pertempuran. Namun
sebaliknya Hok Bun juga mengalami cidera yang berbahaya.
Bahunya
sebelah kiri telah terkena sambaran kuku tangan Tui-hun Hui-mo. Pelipisnya
terluka dan mengucurkan darah akibat hantaman rambut Ang-mo It-kui sedang
serudukan kepalaTiat-thoukui sempat satu kali melabrak sisinya hingga dua
tulangnya menjadi patah.
Ki Hok
Bun sadar kalau dirinya dalam bencana besar. Namun untuk menyerah tentu saja
tak ada dalam kamus hidupnya. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya namun sia-sia
belaka. Tiga lawan mengurung dengan rapat hingga sulit baginya untuk mencapai
Nan-king Kui-ong yang secara licik selalu melancarkan pukulan-pukulan jarak
jauh dengan berlindung di belakang anak buahnya.
Setelah
dua puluh jurus lebih bertahan mati-matian, Ki Hok Bun mulai terdesak. Pukulan
demi pukulan, tendangan demi tendangan, sodokan kepala besi, cakaran kuku dan
hantaman rambut maut bertubi-ttibi melabraknya. Saat-saat terakhir sebelum
roboh Hok Bun berhasil menjambak rambut Ang-mo It-kui dan siap untuk memuntir
patah leher lawan yang satu ini. Namun sebelum hal itu dapat dilakukannya satu
pukulan Nan-king Kui-ong melanda dari samping. Dia merasakan bahunya seperti
remuk. Didahului satu jeritan keras Ki Hok Bun terlempar dan roboh. Tubuhnya
penuh darah yang keluar dari bekas luka yang menguak di mana-mana. Dia sudah
pasrah untuk mati. Karenanya dia berteriak, "Manusia-manusia iblis
keparat! Aku tidak takut mati! Bahkan kalau kalian tidak membunuhku saat ini
juga, kalian akan menyesal seumur hidup karena pembalasanku lebih mengerikan
dari apa yang kalian lakukan hari ini terhadapku!"
Nan-king
Kui-ong menyeringai. Dia melangkah mendekati Hok Bun yang tidak berdaya. Sambil
injak kepala orang ini dia berkata,
"Mula-mula
kami memang berpikiran bahwa manusia pengecut dan keras kepala sepertimu ini
perlu disingkirkan dari muka bumi. Tapi mana kami puas kalau belum menyiksamu
lebih dulu. Kau akan segera merasakannya dan…"
Belum
habis kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara berteriak, "Ayah…! Ayah …
apa yang terjadi. Manusia-manusia jahat itu…oh!"
Yang
berteriak adalah Sun Bi, putera Hok Bun yang berusia 8 tahun. Anak ini datang
berlari-lari dan menjatuhkan diri di tanah memeluk tubuh ayahnya.
Tiba-tiba
satu tangan besar kasar dan keras menjambak rambutnya dan menyentakkannya
hingga Sun Bi terpekik kesakitan dan tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba
meronta melepaskan diri bahkan menendang Nan-king Kui-ong yang menjambaknya
namun mana anak kecil ini sanggup melawan kekuatan manusia iblis seperti Bu
Ceng.
"Ki
Hok Bun!" seru Bu Ceng. "Manusia pengecut dan pengkhianat teman
sepertimu tak layak punya turunan. Karena pasti turunan itu akan menjadi
manusia sepertimu pula!"
"Keparat
Bu Ceng!" Hok Bun coba bangun tapi rebah kembali ke tanah. "Kau
hendak apakan anakku. Lepaskan dia!" Nafas Hok Bun menyengal dan dari
mulutnya keluar darah. "Kau lihat sendiri apa yang bakal terjadi dengan
anakmu. Ini pelajaran bagus untukmu yang telah berani melawan Nan-king
Ngo-kui." Lalu Bu Ceng angkat tinggi-tinggi tubuh Sun Bie.
"Jangan
ganggu anakku!" satu jeritan perempuan terdengar. Yang berteriak adalah
The Cun Giok, istri Hok Bun, ibu tiri Sun Bi. Bagi Cun Giok, meski Sun Bi hanya
seorang anak tiri namun dia sangat mengasihi anak ini seperti putera k.andung
sendiri.
Cun Giok
coba menarik dan merampas Sun Bi dari tangan kepala gerombolan manusia iblis
itu. Namun Ang-mo It-Ku memegang bahunya dan merangkulnya dan belakang.
Nan-king Kui-ong sendiri kembali mengangkat tubuh Sun Bi tinggi-tinggi lalu
dengan kekejaman luar biasa anak itu dibantingkannya keras-keras ke tanah.
Terdengar suara mengerikan ketika kepala Sun Bi membentur tanah. Tanpa suara
anak yang malang ini menghembuskan nafas penghabisan diiringi pekik Cun Giok
dan seruan tanpa daya Hok Bun.
Nan-king
Kui-ong alias Bu Ceng tertawa mengekeh, memandang pada Hok Bun yang hanya bisa
mengutuk dan mengutuk. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berpaling pada Ang-mo
It-kui yang saat itu masih merangkuli tubuh Cun Giok. Ang-mo It-kui bukan hanya
merangkul agar perempuan itu tidak lepas namun kini rangkulannya menjadi kurang
ajar. Bahkan salah satu tangannya bergerak meraba bagian tubuh sebelah atas Cun
G iok.
Sepasang
mata Bu Ceng kelihatan membesar. Sambil menyeringai dia mendekati kedua orang
itu.
"Ang-mo
It-kui, enak benar kau mendekap tubuh bagus itu. Serahkan dia padaku!"’
Ang-mo It-kui tertawa ha-ha-hehe dan mendorong tubuh Cun Giok ke hadapan
Nan-king Kuiong.
******************
5
SEJAK
pertama kali melihat istri Hok Bun yang muda dan cantik jelita itu, nafsu kotor
telah merasuk Bu Ceng. Namun karena saat itu Hok Bun masih dipandangnya sebagai
atasan dan diperlukan tenaganya maka dia berusaha bersikap hormat. Namun kini
setelah terjadi perkelahian maka rasa hormat itu dengan sendirinya lenyap.
Nafsu kotor kembali bersarang dalam dirinya.
Tubuh Cun
Giok yang terdorong ke hadapannya segera ditangkapnya. Ciuman beringas di
daratkannya bertubi-tubi ke wajah perempuan itu. Cun Giok meronta dan menjerit
coba melepaskan diri. Namun sambil tertawa-tawa disaksikan oleh kawan-kawannya
Bu Ceng merobek pakaian Cun Giok hingga perempuan ini akhirnya berada dalam
keadaan hampir telanjang. Cun Giok merasakan tubuhnya didukung.
"Bu
Ceng manusia iblis! Kau hendak apakan istriku! Lepaskan dia! Cun Giok larilah.
Selamatkan dirimu!" Hok Bun berteriak. Dia sudah dapat membayangkan apa
yang bakal menimpa istrinya. Namun tidak mungkin bagi Cun Giok untuk melepaskan
diri.
"Hok
Bun, kau dapat melihat sendiri apa yang bakal kulakukan. Masakan hanya kau saja
yang dapat menikmati perempuan secantik ini. Ha … ha … ha …!" Bu Ceng
gulingkan tubuh Cun Giok di atas lantai rumah. "Pegangi dia!"
perintahnya pada anak buahnya. Ang-mo It-kui dan Tiat-thou-kui membungkuk memegangi
tangan Cun Giok.
Bu Ceng
kemudian tanpa malu-malu lepaskan pakaian dalamnya dan singsingkan jubahnya
lalu jatuhkan diri di atas tubuh Cun Giok yang tak mampu membebaskan diri dan
menolak penghinaan keji itu. Hok Bun pejamkan mata. Tak sanggup dia menyaksikan
hal itu, darahnya menggelegak. Namun tak satupun yang bisa dilakukannya.
"Bu
Ceng, jangan terlalu temahak! Berikan giliran padaku!" Tui-hun Hui-mo
berteriak dan tegak di belakang Bu Ceng sambil menyingkapkan jubahnya.
Bu Ceng
menyeringai. Dia berdiri sambil seka keringat dan rapikan pakaiannya.
"Jangan takut sobat. Kau segera dapat giliran. Tapi jangan lupa pada
kawan-kawan."
Begitulah,
satu persatu kelima manusia iblis itu melakukan perbuatan terkutuk atas diri
The Cun Giok hingga akhirnya perempuan ini pingsan tak sadarkan diri.
"Apa
yang kita lakukan sekarang?" tanya Tiat-thou-kui sambil usap kepala
botaknya yang basah oleh keringat.
"Bunuh
saja perempuan itu. Juga lakinya!" jawab Golok Iblis Gui Kun.
"Ya,
memang Hok Bun harus dibunuh. Kalau tidak bisa bikin urusan berabe di kemudian
hari," menyetujui Ang-mo It-kui.
"Betul
… " sahut Nan-king Kui-ong manggut-manggut. "Tapi setahuku dia
memiliki sebilah pedang mustika. Kim-hong-kiam. Aku harus dapatkan dulu senjata
itu …."
Bu Ceng
alias Nan-king Kui-ong lantas melangkah mendekati Hok Bun. Dia membungkuk dan
menjambak rambut bekas perwira tinggi itu.
"Hok
Bun, mungkin aku bisa membatalkan niat untuk menghabisi nyawamu saat ini. Asal
saja kau mau memberi tahu di mana kau simpan Kim hong kiam … "
Sepasang
mata Ki Hok Bun terbuka sedikit.
"Kau
inginkan pedang itu … ?" desisnya.
"Betul.
Dan nyawamu kuampuni. Bahkan mungkin akan kuberi beberapa batang emas
untukmu…"
"Kau
ambillah pedang itu di neraka kelak …" kata Ki Hok Bun lalu diludahinya
muka Bu Ceng. Air ludah bercampur darah berlepotan di muka Bu Ceng.
"Bangsat
haram jadah!" teriak Bu Ceng marah. Kepala Hok Bun dibantingkannya ke
tanah hingga lelaki ini pingsan. "Seret dia ke dalam rumah dan bakar
hidup-hidup bersama istri dan bangkai anaknya!"
Hok Bun
di gotong ke langkan rumah, terpisah beberapa meter dari istri dananaknya.
Ang-mo It-kui kemudian mencari minyak pembakar di dapur lalu menyulut api.
Dalam keadaan api berkobar semakin besar kalima manusia iblis itu tinggalkan
tempat tersebut.
*********************
KI HOK
BUN siuman dari pingsannya sewaktu sebagian rumahnya telah dimakan api. Bagian
yang dimakan api itu roboh. Tiang-tiang serta palung-palung kayu berapi jatuh
di atas tubuh anak dan istrinya langsung menembus perempuan yang pingsan ini
tanpa dapat diselamatkan. Api kemudian mulai menjilati kaki Hok Bun.
Lelaki
ini sebenarnya sudah pasrah untuk dilamun api dan menyusul anak istrinya.
Baginya tak guna lagi hidup tanpa kedua orang yang dicintainya itu. Namun bila
dia ingat kekejaman perbuatan Nan-king Ngo-kui, terutama Bu Ceng yang menjadi
pimpinan maka dendam kesumat yang amat besar membuat hati kecilnya berontak.
Tidak, dia tidak boleh mati saat itu! Dia harus hidup. Kemudian mencari
Nan-king Ngo-kui dan membunuh mereka satu per satu guna membalaskan dendam kesumat.
Hutang nyawa dan darah harus mereka bayar dengan darah dan nyawa pula!
Memikir
sampai ke situ Ki Hok Bun kumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia coba
beringsut menjauhi jilatan api. Namun keadaannya saat itu sudah sangat lemah.
Sama sekali tiada daya. Tulang belulangnya serasa hancur luluh. Darahnya
tertalu banyak keluar. Pemandangan matanya makin lama makin guram.
Lelaki
ini sama sekali tidak mampu untuk menyelamatkan dirinya. Saat itu satu-satunya
yang dianggapnya bisa menolong adalah Tuhan. Karenanya dalam hati Hok Bun
membathin :
"Thian,
berikan kekuatan pada hambaMu ini. Biarkan aku hidup terus agar dapat membalas
kejahatan dan kebiadaban lima manusia iblis itu. Jangan biarkan aku mati
mengenaskan begini rupa … "
Sementara
itu kobaran api semakin mengganas. Palang kayu yang membelintang di bagian atap
rumah dan tepat di atas kepala Ki Hok Bun berderak patah sewaktu api membakar
loteng.
Bersamaan
dengan bagian loteng palang kayu itu runtuh tepat mengarah tubuh Ki Hok Bun
yang menggeletak tiada daya di lantai. Hok Bun sendiri tidak menyadari hal ini
karena sesaat sesudah dia berdoa menyebut nama Tuhan, dia langsung jatuh
pingsan. Agaknya akan segera tamatlah riwayat bekas perwira ini dandendam
kesumatnya tak akan pernah dapat dibalasnya.
Namun
sebelum ajal berpantang mati. Maut anak manusia berada dalam tangan Yang Maha
Kuasa. Di saat yang sangat kritis itu tiba-tiba terdengar satu siulan aneh dan
nyaring, menyusul berkelebatnya sesosok bayangan putih yang disertai sambaran
angin yang luar biasa derasnya. Balok kayu dan loteng yang tadinya akan menimpa
dan menimbun tubuh Ki Hok Bun laksana dihantam badai mental jauh. Bahkan
sebagian dari rumah yang sudah dilamun api itu ikut ambruk akibat hantaman
angin yang entah dari mana datangnya.
Di lain
kejap bayanyan putih tadi bekelebat cepat menyambar Ki Hok Bun dan membawanya
lari dari tempat itu.
Siapa
gerangan yang menyelamatkan Ki Hok Bun? Manusia atau malaikatkah dia karena
demikian cepat gerakannya hingga cuma bayangannya saja yang kelihatan? Di
puncak bukit dia memperlambat larinya. Nyatanya dia adalah manusia biasa juga.
Masih muda, berambut gondrong menyala bahu. Kepalanya diikat dengan sehelai
kain putih. Dari mulutnya terus menerus membersit siulan lagu tak menentu.
Larinya seperti gerabak gerubuk tetapi laksana kilat. Mukanya seperti wajah
seorang tolol, cengar cengir tak tentu juntrungan.
Setiup
angin berhembus melawan arah larinya. Rambut gondrong pemuda ini
melambai-lambai ditiup angin. Pakaian di bagian dada yang tak terkancing tersibarlebar.
Pada dada yang penuh otot itu kelihatan tertera tiga buah angka aneh yakni :
212.
Pada
waktu itu dalam dunia kangouw Tiongkok tersebar berita tentang munculnya
seorang pemuda asing bertampang tolol tetapi memiliki kepandaian tinggi luar
biasa Demikian tingginya hingga sulit untuk mengetahui apakah para datuk atau
tokoh silat yang terkenal masa itu dapat disejajarkan dengan tingkat
kepandaiannya. Banyak tokoh-tokoh silat golongan hitam yang telah rubuh bahkan
terbunuh di tangan pendekar asing itu. Akibatnya dia menjadi momok nomor satu
bagi kaum sesat. Sebaliknya para jago silat golongan putih merasa gembira dan
banyak yang ingin berkenalan dengan pemuda itu. Namun sulit sekali untuk
menemukannya. Dia muncul secara mendadak. Membasmi manusia-manusia jahat secara
tak terduga lalu melenyapkan diri hampir tanpa bekas untuk kemudian muncul lagi
di tempat lain dan membuat kegemparan.
Pendekar
yang menjadi buah tutur di Tionggoan bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah melakukan
pengembaraan di daratan Tiongkok. Dan dialah yang saat itu menyelamatkan Ki Hok
Bun alias Pendekar Pedang Pelangi dari kematian.
Sebenarnya
bukan satu kebetulan Wiro Sableng berada di tempat itu danberhasil menyelamatkan
Hok Bun. Sudah sejak satu bulan lalu dia mendengar nama Nan-king Ngo-kui yang
menggetarkan dan ditakuti. Mereka melakukan pembunuhan dan perampokan di
mana-mana. Menculik anak gadis atau istri orang. Sekalipun dulu mereka dikenal
sebagai pembantu-pembantu Kaisar Hui Ti dan berjuang menghadapi balatentara
Yung Lo, namun kejahatan dan kebiadaban yang kini mereka lakukan benar-benar
sudah melewati batas.
Dua hari
lalu Wiro berada di Hankouw danmendengar berita tentang dirampoknya tiga peti
emas milik Kaisar Yung Lo. Dua perwira dan selusin prajurit pengawal menemui
kematian. Dari tanda-tanda yang ditemukan di tempat kejadian sudah dapat
ditebak bahwa pelaku perampokan dan pernbunuhan yang sangat berani itu adalah
Nan-king Ngo-kui. Sebelum Kaisar Yung Lo mengirimkan orang-orangnya untuk
melakukan pengejaran, Wiro Sableng sudah mendahului menuju utara. Dia berhasil
mengetahui ke jurusan mana kelima manusia iblis itu membawa lari barang
rampokannya. Namun di sebuah daerah luas yang berbukit-bukit Wiro kehilangan
jejak mereka.
Sebagai
pendekar yang ingin menumpas kejahatan dan membela mereka yang lemah dan
tertindas Wiro tidak akan mencampuri urusan peperangan ataupun mempersoalkan
tiga peti emas yang dirampok Nan-king Ngo-kui. Dia mencari kelima manusia iblis
itu karena telah mendengar kejahatan dan kemesuman yang mereka lakukan sejak
satu bulan terakhir ini. Sudah barang tentu perbuatan seperti itu tidak dapat
dibiarkan berlarut-larut.
Wiro juga
mengetahui bahwa telah banyak tokoh-tokoh silat golongan putih di Tionggoan
yang turun tangan terhadap kelima iblis itu. Namun sebegitu jauh belum ada
hasilnya. Bukan saja karena mereka memang memiliki kepandaian tinggi dan selalu
berkelompok dalam setiap saat, tetapi mereka juga licik dan dapat melenyapkan
diri dengan cepat setiap habis melakukan kejahatan.
Sadar
kalau untuk kesekian kalinya dia kehilangan jejak orang-orang yang dikejarnya
Wiro mengomel dalam hati dan garuk-garuk kepala. Tapi dia tidak berputus asa.
Di bukit di mana dia berada banyak tumbuh pohon-pohon tinggi. Dia memilih yang
paling tinggi lalu memanjatnya. Dari atas pohon ini dia dapat memandang ke
segala penjuru sejauh mungkin. Dia mengeluarkan suara bersiul sewaktu di arah
selatan dilihatnya kepulan asap hitam bergulung-gulung membumbung ke udara.
"Kebakaran
biasa atau … ?" Wiro bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah
berpikir sejenak sambil meneliti keadaan di bagian lain akhirnya Wiro
memutuskan untuk mendatangi sumber kebakaran itu. Bukan mustahi kebakaran itu
ditimbulkan oleh iblis-iblis yang tengah dikuntitnya. Dia cepat-cepat turun
dari atas pohon dan dengan pergunakan ilmu larinya dia lari ke arah selatan.
Namun kedatangannya terlambat. Yang ditemuinya hanya bekas kebiadaban yang
dilakukan oleh Nan-king Ngo-kui. Kelima manusia jahat itu tak ditemuinya, pasti
sudah menghilang jauh. Masih untung dia sempat menyelamatkan seorang lelaki
yang dia tidak kenal dan tubuhnya penuh dengan luka-luka.
******************
6
PENDEKAR
212 Wiro Sableng membawa Ki Hok Bun ke sebuah telaga kecil berair jernih. Bekas
perwira kerajaan itu masih berada dalam keadaan pingsan. Wiro mengagumi
kekuatannya. Manusia biasa dengan menderita luka-luka seperti itu pasti sudah
tidak tertolong nyawanya.
Wiro
membersihkan sedapatnya luka yang terdapat di tubuh Ki Hok Bun, lalu pada luka
itu ditaburinya sedikit obat bubuk. Setelah menunggu beberapa saat dia
telungkupkan tubuh Ki Hok Bun dan tempelkan telapak tangannya di punggung
telanjang orang itu dan salurkan hawa dingin sakti ke tubuh Ki Hok Bun.
Setengah jam kemudian dia ganti mengalirkan hawa panas lewat dada.
Tak
berapa lama menjelang matahari akan tenggelam Ki Hok Bun sadar. Mula-mula dia
merasakan denyutan sakit pada kepala dan dadanya. Ternyata rasa sakit tidak
hanya di tempat itu saja namun boleh dikata di setiap bagian tubuhnya.
Perlahan-lahan dia membuka kedua matanya. Yang dilihatnya adalah langit luas
berwarna merah kekuningan akibat tersapu sinar sang surya yang hendak
tenggelam. Sesaat matanya tak berkesip. Jalan pikirannya masih belum jernih.
"Di
mana aku ini … " pikirnya. Dia coba menggerakkan kepala sedikit dan
memandang berkeliling. Tiba-tiba dia ingat pada anak dan istrinya. Langsung
berteriak memanggil, "Cun Giok, Sun Bi … kalian di mana?!" Seperti
ada satu kekuatan yang memasuki tubuhnya dia melompat duduk namun kemudian
roboh kembali dengan pemandangan berkunang-kunang. Bila kedua matanya mulai
jernih kembali maka pemandangannya membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang
duduk di dekatnya.
"Kau
… kau siapa? Mana istriku? Mana Sun Bi … Apa yang terjadi?"
‘Twako
sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya. Atur jalan darah dan
pernafasan. Kau terluka berat. Coba kendalikan tenaga dalammu …"
"Kau
orang asing … Logat bicaramu aneh …"
Wiro
garuk-garuk kepala dan tersenyum. Dari balik pakaiannya dia keluarkan dua buah
pil. Satu berwarna merah dan satunya lagi hitam.
"Telan
obat ini …" Wiro hendak masukkan dua butir pil itu ke dalam mulut Hok Bun,
tetapi orang ini menjauhkan mulutnya. Pandangan mata dan wajahnya menunjukkan
keraguan kalau tidak mau dikatakan curiga. Tentu saja Hok Bun berperasaan
demikian karena dia belum pernah kenal atau melihat Wiro sebelumnya.
"Tak
usah takut. Percayalah, obat ini akan menolongmu," kata Wiro. Akhirnya Hok
Bun membuka mulut dan menelan juga obat itu walaupun dengan agak susah payah.
Wiro kemudian urut pelipis lelaki itu. Perlahan-lahan Hok Bun pulas dan
tertidur sampai keesokan harinya. Ketika dia bangun yang dirasakannya bukan
lagi sakit tetapi lapar dan haus. Wiro mendudukkannya bersandar pada sebatang
pohon di tepi telaga. Lalu menyodorkan dua buah apel, makanan yang dimilikinya.
Buah ini cepat sekali dihabisi Hok Bun. Selesai makan pemandangan dan jalan
pikiran lelaki ini menjadi lebih jernih. Dia menatap Wiro Sableng beberapa
lama.
Kemudian
dia ingat apa yang telah menimpa keluarganya. Hok Bun menangis dan tiada henti
memanggil- manggil nama istri dan anaknya. Wiro maklum malapetaka besar telah
menimpa orang ini karenanya dia membiarkan saja Hok Bun hanyut dalam
perasaannya.
Hok Bun
akhirnya sadar bahwa menangis tidak akan mendatangkan hasil apa-apa padanya.
Karena belum sanggup berjalan, dia merangkak ke tepi telaga dan mencuci mukanya
lalu kembali ke tempat semula.
"Twako,
apa yang telah terjadi. Aku menemukanmu di rumah yang terbakar … " Wiro
membuka mulut bertanya.
Ki Hok
Bun menatap ke langit di atasnya. Lalu menghela nafas. "Kau sendiri siapa
orang muda? Kulihat jelas kau bukan orang sini," balik bertanya Hok Bun.
"Namaku
Wiro Sableng Aku memang orang asing di Tionggoan ini."
Ki Hok
Bun kerenyitkan kening. "Wiro Sableng … Aku rasa pernah dengar namamu
akhir-akhir ini. Kau seorang pendekar asing yang membuat gempar dunia kangouw.
Nyatanya kau adalah inkong tuan penolongku. Tai-hiap aku berhutang nyawa
padamu. Biar aku menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya." Habis
berkata begitu Hok Bun merangkak ke hadapan Wiro dan membuat gerakan hendak
berlutut. Tetapi Wiro cepat-cepat mencegah.
"Jangan
panggil aku dengan sebutan pendekar besar itu twako," ujar Wiro.
"Kalau aku boleh tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi. Mengapa kau
kutemui dalam rumah yang terbakar itu?"
"Mereka
yang melakukannya?"
"Mereka
siapa?"
"Manusia-manusia
iblis itu. Nan-king Ngo-kui!"
"Ah,
aku sudah menduga. Aku memang sudah sejak lama mencarinya. Aku berhasil
menguntit mereka dari Han-kouw, tetapi kehilangan jejak dan terlambat … "
Ki Hok
Bun lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga tak lupa menerangkan
sedikit mengenai riwayat hidupnya.
"Aku
tidak mengira kalau berhadapan dengan seorang bekas perwira tinggi
kerajaan," kata Wiro dengan sikap hormat.
Hok Bun
tersenyum pahit. "Dulu … sekarang aku bukan apa-apa. Sekarang aku seorang
lelaki yang sengsara." Hok Bun terdiam sejenak. Kemudian. "Orang
muda, seumur hidup mungkin aku tak dapat membalas semua pertolongan dan jasamu.
Biarlah hari ini aku menganggapmu sebagai saudara. Sebagai adik…"
"Betul-betul
satu kehormatan besar bagiku twako. Terima kasih."
"Satu
dua hari di muka aku akan mulai mencari lima manusia iblis itu!" kata Hok
Bun dengan nada penuh dendam.
Wiro
tersenyum dan gelengkan kepalanya.
"Twako,
kau masih jauh dari sembuh. Sebelum kesehatanmu luar dalam pulih kembali untuk
sementara sebaiknya lupakan soal dendam kesumat itu."
"Lebih
cepat aku dapat memenggal kepala manusia-manusia jahanam itu lebih baik
rasanya. Pembalasan harus dilakukan dalam waktu cepatl"
"Kau
tengah menghadapi persoalan besar twako. Karenanya tak boleh bertindak
sembarangan.
Sekali
salah langkah bisa besar akibatnya, Lima manusia iblis itu bukan saja
berkepandaian tinggi tetapi juga licik … "
Hok Bun
terdiam. Apa yang dikatakan Wiro itu betul. Akhirnya dia berkata,: "Besok
aku akan kembali ke tempat kediamanku."
"Sebaiknya
jangan. Itu hanya akan mendatangkan pukulan berat pada batinmu,"
menasihatkan Wiro.
"Tapi
aku harus mengurus jenazah dan abu anak istriku."
"Aku
sudah membayar orang desa untuk mengurus jenazah mereka," menerangkan
Wiro. Hok Bun menatap wajah pendekar itu lama-lama. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Kau baik sekali Wiro. Aku benar-benar berhutang budi dan-nyawa terhadapmu
…"
"Sudahlah,
jangan sebut hal itu. Besok pagi sebaiknya kita pergi ke kota terdekat. Mencari
penginapan. Di situ kau bisa dirawat lebih baik."
Ki Hok
Bun mengangguk. Namun keesokan paginya ketika Wiro bangun didapatkannya lelaki
itu tak ada lagi di situ.
*********************
APAKAH
yang telah dilakukan oleh Ki Hok Bun? Ke manakah bekas perwira tinggi kerajaan
ini pergi meninggalkan Wiro Sableng yang telah menolongnya?
Malam itu
sewaktu Wiro sedang tidur nyenyak dekat perapian di tepi telaga diam-diam Ki
Hok Bun bangun. Diperhatikannya pendekar asing itu sesaat. Meskipun dia telah
mengangkat saudara terhadap Wiro dan pernah mendengar hal-hal menggemparkan
yang dilakukan pendekar itu namun dia masih belum tahu banyak tentang si
pemuda. Hal ini disebabkan karena Wiro lebih banyak muncul di utara sedang Ki
Hok Bun tinggal di selatan.
Sebetulnya
Hok Bun tak ingin meninggalkan Wiro secara diam-diam seperti itu karena ini
satu perbuatan danperadatan yang tidak baik. Namun dia terpaksa melakukan hal
itu. Dia harus kembali ke rumahnya yang telah musnah, betapapun hancur hatinya
kelak menyaksikan rumah yang telah jadi puing-puing hitam itu. Dia merasa tidak
tenteram seumur hidup bahkan sampai ke liang kubur kalau tidak dapat membunuh
habis ke lima musuh besarnya itu.
Malam
berganti siang. Ketika matahari sudah naik tinggi barulah Hok Bun sampai di
lereng bukit. Tubuhnya terasa letih sekali. Tetapi tekad dan semangat balas
dendam atas kematian istri dan anaknya membuatnya tidak merasakan semua itu.
Dia berlari menuruni lereng bukit. Untuk beberapa lamanya dia tegak termenung
di hadapan rumahnya yang kini hanya tinggal puing-puing hitam.
Sebagian
ladang gandumnya juga terbakar. Air mata Ki Hok Bun sukar dibendung. Dia
menggigit bibir menahan sakit batin.
Selagi
dia tegak begitu rupa seorang penduduk mendatanginya. Dengan pandangan wajah
haru orang ini berkata, "Saudara Ki, aku datang memberi tahu bahwa jenazah
istri dan anakmu telah kami perabukan. Jika kau ingin melihat abunya, ada di
rumah abu Thian-an-tang."
Ki Hok
Bun mengucapkan terima kasih sambil menganggukkap kepala. Karena tak ingin
mengganggu lebih lama orang tadi minta diri dan cepat-cepat berlalu.
Beberapa
saat kemudian Ki Hok Bun melangkah dari hadapan reruntuhan rumahnva menuju ke
sebatang pohon Yang-liu yang tumbuh seratus meter dari bekas rumahnya. Dekat
pohon ini terdapat sebuah pilar batu. Dengan sepotong besi pendek Ki Hok Bun
menggali tanah di sebelah kanan pilar. Kira-kira menggali sedalam satu meter
ditemuilah sebuah kotak terbuat dari kayu besi yang tahan air dan rayap. Dari
dalam kotak ini Ki Hok Bun kemudian mengeluarkan sebilah pedang yang ketika
dicabut serta merta memancarkan sinar tujuh warna. Inilah Kim-hong-kiam atau
Pedang Pelangi.
Sebuah
senjata mustika sakti yang kehebatannya telah membuat Ki Hok Bun mendapat
julukan Pendekar Pedang Pelangi atau Kim-hong kiam-khek.
Sesaat Ki
Hok Bun mendongak ke langit sambil pejamkan mata. Selama perang saudara,
sebagai seorang perwira kerajaan yang taat pada atasannya yakni Kaisar Hui Ti
dia telah berjuang mati-matian membela kehormatan dan tahta Kaisarnya tanpa
parnrih ataupun memikirkan apakah Kaisar Hui Ti berada di pihak yang benar atau
bukan. Ketaatannya adalah sama dengan disiplin militer dan jiwa satria.
Sebenarnya
sebelum pecah perang nama Ki Hok Bun telah dikenal dan kepadanya telah lama
melekat gelar Pendekar Pedang Pelangi. Namun di masa perang saudara itulah
justru dia membuktikan kehebatan dan jiwa besarnya. Dalam setiap pertempuran Ki
Hok Bun bukannya menghadapi perajurit-prajurit atau para perwira yang pada
dasarnya adalah saudara satu bangsanya dan bertempur karena tugas menjalankan
perintah atasan. Justru yang dicari dan dihajarnya habishabisan adalah mereka
yang berperang untuk maksud tertentu, mencari keuntungan sendiri atau memancing
di air keruh. Orang-orang itu biasanya adalah tokoh-tokoh silat golongan hitam.
Lantas mengapa Ki Hok Bun membasmi tokoh-tokoh silat lawan dari golongan hitam
sementara dipihaknya sendiri juga terdapat tokoh-tokoh silat culas golongan
hitam seperti Nan-king Ngo-kui?
Sebenarnya
Ki Hok Bun tidak suka terhadap Nan-king Ngo-kui yang pada masa perang adalah
bawahannya langsung. Namun kalau Kaisar Hui Ti sendiri yang mengangkat dan
mengambil mereka sebagai pembantu, mana bisa dia menolak? Lagi pula saat itu
kedudukan Kotaraja Selatan (Nan-king) dalam keadaan gawat. Serangan balatentara
utara demikian dahsyatrnya hingga mau tak mau orangorang semacam Nan-king
Ngo-kui terpaksa dimanfaatkan tenaganya.
Pada saat
Ki Hok Bun memegang pedang pelangi itu bukan semua peristiwa dimasa perang
saudara itu yang terbayang di matanya, melainkan adalah tampang-tampang lima
manusia iblis yang telah membunuh anak istri dan menghancurkan kehidupannya.
"Mereka
harus mati di tanganku!" desis Ki Hok Bun. Perlahan-lahan kepalanya yang
mendongak langit di turunkan dan kedua matanya dibuka kembali. Pedang pelangi
dimasukkannya ke dalam sarung lalu disusupkannya di balik punggung pakaian.
Dengan hati berat dia meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah rumah abu
Thian-an-tang.
Ketika
sampai di rumah abu, didapatinyaa banyak orang berkumpul di pintu masuk. Mereka
adalah penduduk setempat dan kebanyakan para petani seperti Hok Bun. Melihat
Hok Bun datang, salah seorang dari mereka yang agaknya menjadi wakil
orang-orang itu maju mendatangi dan menyampaikan rasa berlasungkawa
sedalam-dalamnya atas musibah yang telah menimpa lelaki itu. Kemudian
dijelaskan pula bahwa para pemuda desa sudah bermufakat untuk membantu Hok Bun
guna mencari Nan-king Ngo-kui.
Hok Bun
terharu sekali mendengar kata-kata itu. Dipegangnya bahu petani itu dan
berkata, "Lopek, aku menghaturkan terima kasih padamu dan juga pada semua
saudara-saudara di sini. Soal dendam kesumat terhadap lima manusia iblis itu
adalah urusan pribadiku. Aku akan mencari mereka sekalipun ke neraka. Dengan
tanganku sendiri akan kuhabisi nyawa mereka satu persatu. Sekali lagi terima
kasih. Thian akan membalas kebaikan dan ketulusan budi kalian."
Selesai
berkata demikian Ki Hok Bun langsung masuk ke dalam rumah abu. Seorang pegawai
mengantarkannya ke tempat di mana dua buah peti kecil berisi abu anak dan
istrinya disimpan. Di hadapan peti-peti kecil itu Ki Hok Bun bersembahyang.
Selesai sembahyang, sambil bercucuran air mata dia tak dapat lagi menahan diri.
Tiba-tiba sret! Hok Bun cabut Kim-hong-kiam. Tujuh sinar pelangi berkilauan.
Pegawai rumah abu sampai tersurut saking kaget dantakutnya karena disangkanya
tiba-tiba saja Ki Hok Bun menjadi mata gelap dan hendak mengamuk.
"Istriku
The Cun Giok dan anakku Sun Bie. Kalian dengarlah baik-baik. Aku Ki Hok Bun,
suami dan ayahmu bersumpah untuk mencari dan membunuh lima manusia biadab yang
telah berlaku keji dan membunuh kalian. Percayalah, kematian mereka akan jauh
lebih sengsara dari penderitaan yang telah kalian terima dari mereka. Semoga
Thian memberikan tempat yang sebaikbaiknya bagi kalian di alam baka!" Ki
Hok Bun sarungkan pedangnya kembali, putar tubuh dan tinggalkan rumah abu itu.
******************
7
SAAT itu
telah memasuki musim semi. Pohonpohon yang tadinya hanya merupakan
cabang-cabang gundul dan rerantingan kini mulai ditumbuhi dedaunan hijau segar.
Bunga-bunga kemudian mulai bermekaran dari kuncupnya. Kemanapun mata
dilayangkan kehijauan segarlah yang kelihatan menyedapkan mata.
Di
tikungan sebuah sungai berair jernih dan dangkal dan dasarnya ditebari batu-batu
kecil, lima orang berjubah hitam asyik membersihkan wajah masing-masing.
Sekalipun telah dicuci tetap saja tampang-tampang mereka tampak kotor liar
berangasan, penuh ditumbuhi cambang bawuk, kumis dan jenggot tak terurus.
Mereka
bukan lain adalah Tui-hun Hui-mo, Tiat-thouw-kui, Ang-mo It-kui, Gui-kun Kui-to
dan pangcu (pimpinan) mereka biang iblis bernama Bu Ceng bergelar Nan-king
Kui-ong. Setelah mencuci muka masing-masing mereka mencari tempat duduk di
sekitar perapian yang telah padam untuk menikmati kelinci panggang. Ang-mo
It-kui dari tadi tampak tidak tenang. Sebentar-sebentar dipeganginya perutnya.
"Ada
apa dengan kau?" bertanya Bu Ceng.
"Perutku
sakit," sahut Ang-mo It-kui seraya mengunyah daging kelinci dengan muka
berkerenyit.
Perutnya
mulas. Entah apa sebabnya. Sejak tadi malam hal ini dirasakannya. Tadi telah
dicobanya untuk buang hajat besar tapi tak mau keluar. Berulang kali dia kentut
di dalam jubahnya yang hitam dan bau apak itu. Mulas perutnya semakin tidak
tertahankan. Agaknya sekali ini dia betulbetul akan buang air besar. Daging
kelinci yang belum habis dimakannya dibuangnya ke tanah. Lalu dia berdiri
menuju bagian tikungan sungai yang tertutup rapat oleh pohon-pohon dansemak
belukar lebat.
"Eh,
kau mau kemana lagi?"tanya Gui-kun Kui-to.
"Buang
hajat besar!" jawab Ang-mo It-kui tanpa menoleh. Sesaat kemudian dia sudah
lenyap di balik pepohonan dan semak belukar kira-kira sepuluh tombak dari
tempat dimana kawan-kawannya berada.
Sementara
Ang-mo It-kui mendekam di sebelah sana dan kawan-kawannya asyik menyantap
daging kelinci panggang, Si Golok Iblis Gui Kun membuka mulut.
"Aku
kawatir kalau-kalau tiga peti emas yang kita sembunyikan itu diketahui orang
dan digasak habis!"
Sebelumnya,
beberapa hari yang lalu, untuk mempercepat perjalanan Bu Ceng telah memutuskan
menyembunyikan tiga peti emas rampokan di satu tempat rahasia.
Sambil
mengunyah daging kelinci panggang dalam mulutnya, Bu Ceng alias Nan-king
Kui-ong berkata, "Kalau tak ada di antara kita yang berkhianat, sampai
kiamat tak ada orang lain yang bakal tahu rahasia itu."
Tiai-thou-kui
mengunyah daging kelinci dalam mulutnya dengan segan-seganan. "Lama-lama
aku jadi jemu juga dengan kehidupan macam begini …"
Sepasang
mata Nan-king Kui-ong membeliak. Dia semburkan makanan dalam mulutnya, meneguk
tuak dari buli-buli kecil, menyeka mulut lalu bertanya dengan nada garang.
"Kau bilang apa tadi Tiat-thou-kui?"
Sesaat
Tiat-thou-kui jadi kuncup juga nyalinya melihat pandangan mata dan wajah
pangcunya itu. Dia tahu Nan-king Kui-ong sangat tersinggung bahkan marah sekali
mendengar kata-katanya tadi. Sambill usap-usap kepala botaknya dia berkata,
"Kau
jangan buru-buru marah dulu pangcu. Tapi coba kau pikir dengan hati dingin dan
otak tenang. Sepanjang hari kita selalu di rongrong oleh kawatir karena
alat-alat kerajaan senantiasa melakukan pengejaran dan mencari kita
dimana-mana. Belum lagi tokoh-tokoh silat golongan putih atau yang bekerja
untuk Yung Lo. Dalam pada itu sampai saat ini sisa-sisa pasukan yang terpecah
dan berhasil kita kumpulkan masih sangat kecil. Bahkan kita banyak mendapat
tantangan dari orangorang sendiri. Seperti si Ki Hok Bun itu misalnya…" Tiat-thou-kui
menghentikan kata-katanya dan sejenak memandang pada pangcunya.
"Terus
. . . teruskan pidatomu Tiat-thou-kui!" kata Bu Ceng.
"Bukan
pidato pangcu. Maafkan aku. Ini Cuma sekedar untuk dipikirkan, Kuperhitungkan,
sampai setengah tahun dimuka belum tentu kita dapat mewujudkan apa yang menjadi
rencana kita. Kalau kurenungkan dalam-dalam bukankah lebih baik bila emas
rampasan yang tiga peti itu kita bagi lima, lalu mencari jalan sendiri-sendiri
untuk menempuh hidup baru…" Nan-king Kui-ong menyeringai aneh.
Tiba-tiba
dia melompat dan mencekal leher jubah Tiat-thou-kui, sekaligus menyentakkannya
hingga si kepala botak itu terangkat tegak.
"Tiat-thou-kui
keparat! Dengar baik-baik. Jangan kau berani bicara seperti itu lagi di
hadapanku, bahkan jangan kau berani punya jalan pikiran seperti itu. Jangan
coba pengaruhi teman-temanmu dengan mulut manis. Atau kau akan kubunuh detik
ini juga!"
Sesaat
kedua orang itu saling pandang. Nan-king Kui-ong dengan mulut komat kamit entah
mengucapkan apa lalu mendorong keras keras dada Tiat-thou-kui hingga si botak
ini jatuh terjengkang di tanah.
Untuk
beberapa lamanya tak satu orangpun yang membuka mulut. Sunyi bahkan siliran
tiupan anginpun tidak kedengaran. Namun mendadak sontak kesunyian itu dirobek
oleh satu jeritan amat menggidikkan. Suara jeritan Ang-mo It-kui!
Keempat
orang itu tersentak kaget. Saling pandang sesaat.
"Itu
jeritan Ang-mo It-kui …" kata Si Golok Iblis Gui Kun.
Kontan
keempat mereka melompat ke arah semak-semak dan pepohonan rapat di ujung kanan
dari mana datangnya jeritan itu.
Beberapa
langkah lagi mereka akan sampai pada deretan pohon-pohon tersebut tiba-tiba
dari balik kerimbunan semak belukar melesat sebuah benda merah kehitaman,
menyambar deras ke jurusan Nan-king Kui-ong dan tiga kawannya.
Dalam
keterkejutan ke empatnya cepat berkelit menghindarkan diri. Benda merah tadi
jatuh ke tanah. Begitu mereka perhatikan maka masing-masing empat manusia iblis
itu keluarkan seruan keras. Tampang mereka kontan menjadi pucat pasi laksana
kain kafan. Betapakan tidak. Benda merah kehitaman itu ternyata adalah kepala
berwajah merah dan berambut hitam Ang-mo It-kui yang tetah dijagal! Dari bekas
potongan lehernya masih menyembur darah segar mengerikan!
"Ang-mo
It-kui … ah. Apa yang terjadi denganmu sobat? Siapa yang membunuhmu?!"
desis Tiat-thou-kui dengan suara bergetar dan lutut goyah. Di antara empat
kawannya dia memang paling dekat dengan Ang-mo It-kui.
Tentu
saja kutungan kepala itu tidak bisa memberikan jawaban. Kesunyian menggidikkan
menyungkup tempat itu. Tiba-tiba sepasang mata garang Nan-king Kui-ong melihat
suatu gerakan. Didahului suara menggembor dia membentak keras dan hantamkan
tangan kanannya ke depan.
Krak!
Krak!
Dua
batang pohon patah. Semak belukar rambas berhamburan. Di belakang semak belukar
yang rambas itu kelihatan tegak seorang bertubuh tinggi besar, bermuka kotor
penuh cambang bawuk serta kumis meliar dan rambut awut-awutan.
Sepasang
matanya membersitkan sinar menggidikkan. Maut. Di tangan kanannya tergenggam
sebilah pedang yang mengeluarkan tujuh sinar angker. Orang ini bukan lain
adalah Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi! Kim-hong Kiam-khek!
Apakah
yang telah terjadi dengan Ang-mo It-kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-kui
itu hingga dia menemui kematian amat menyeramkan begitu rupa?
Seperti diceritakan
sebelumnya Ang-mo It-kui diserang sakit perut dan membuat dia memisahkan diri
dari empat kawannya. Dia pergi ke tepi sungai diantara pohon-pohon dan semak
belukar rapat untuk membuang hajat besar. Dia sama sekali tidak menduga justru
di tempat itulah maut tengah menantinya!
Sesaat
satelah dia turunkan pakaian dalam dan singsingkan jubah lalu berjongkok,
tiba-tiba saja seolah-olah keluar dari dalam air muncul sesosok tubuh di
hadapannya. Nyawa Ang-mo It-kui serasa terbang. Kalau orang lain yang muncul
dia tidak akan demikian kagetnya. Tetapi melihat sosok tubuh Ki Hok Bun di
depannya benar-benar membuat manusia iblis yang satu ini seperti sudah berhenti
nafasnya detik itu juga!
"Kau….!"
suara Ang-mo It-kui bergetar. Dia melompat bangun. Namun dia lupa pada celana
dalam yang melingkar di pergelangan kakinya. Gerakannya yang tiba-tiba itu
membuat kakinya terjirat celana dalamnya sendiri dan akibatnya tak ampun lagi
tubuhnya tersungkur ke depan.
Ang-mo
It-kui tahu bahaya apa yang bakal dihadapinya. Sebetulnya dengan kepandaiannya
yang tinggi dia tidak perlu kawatir bakal dapat dirobohkan dalam waktu cepat
oleh siapapun. Namun kemunculan Ki Hok Bun benar-benar tidak disangkanya. Dia
laksana melihat setan kepala sepuluh. Karenanya Ang-mo It-kui segera buka mulut
untuk berteriak memberi tahu kawan-kawannya.
Namun Ki
Hok Bun telah tahu gelagat. Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan suara dia
melompat ke depan dan menotok urat jalan suara di pangkal leher musuh besarnya
itu hingga detik itu juga manusia iblis ini sama sekali tidak sanggup keluarkan
suara selain haha-huhu macam orang gagu sedang sepasang matanya melotot.
Sebenarnya kalau saja dia tidak terlalu dicekam ketakutan luar biasa dan dapat
menguasai diri tidak akan terlalu mudah bagi Ki Hok Bun untuk dapat menotoknya
begitu rupa.
Ki Hok
Bun keluarkan seringai maut.
"Jangan
harap kau bisa lari selamatkan diri manusia biadab! Hari pembalasan telah
datang. Bersiaplah untuk berangkat ke neraka!"
Kedua
mata Ang-mo It-kui membeliak. Dia melangkah mundur hendak larikan diri namun
secepat kilat Ki Hok Bun sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang di
depannya.
"Mau
lari ke mana binatang?" Di tangan kanan Ki Hok Bun saat itu sudah
tergenggam Pedang Tujuh Pelangi.
Ang-mo
It-kui angkat kedua tangannya dan goyang-goyangkan kepala. Dia sadar tak
mungkin lari. Maut sudah di depan mata. Sekalipun saat itu dia memegang senjata
pula belum tentu dia dapat lolos. Bahkan dibantu oleh empat kawannya pun sukar
untuk cari selamat karena dia sudah tahu kehebatan pedang mustika di tangan
lawan.
"Huk
… huk . . . huk . . . " Ang-mo It-kui lagi-lagi angkat kedua tangannya
tinggi-tinggi. Dengan berbuat begitu dia bermaksud hendak mengatakan agar Ki
Hok Bun jangan membunuhnya. Tentu saja hal ini suatu hal yang tidak mungkin.
Selama beberapa minggu Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh besarnya itu. Kini
salah seorang dari mereka sudah berada dalam tangannya.
"Iblis-iblis
di neraka sudah lama menunggumu manusia keparat! Pergilah ke sana!"
Pedang di
tangan Ki Hok Bun berkelebat. Tujuh warna sinar pelangi bertabur. Ang-mo It-kui
membuang diri ke samping dan lepaskan satu pukulan tangan kosong tetapi tak
menemui sasaran.
Seperti
diketahui rambut merah panjang Ang-mo It-kui merupakan senjata hebat yang bisa
menotok, menusuk, mencekik bahkan melibat dan merampas senjata lawan. Namun
menghadapi Pedang Tujuh.Pelangi dia tidak berani pergunakan rambutnya untuk
melakukan semua itu. Matimatian dia keluarkan seluruh kepandaiannya. Untuk lari
sudah tidak bisa. Setiap dicobanya setiap kali pula Ki Hok Bun berhasil menghadangnya.
Pedang lawan seolah-olah telah berubah jadi puluhan banyaknya dan mengurung
dirinya dari berbagai jurusan.
Ang-mo
It-kui cuma sanggup bertahan selama empat jurus. Jurus kelima Pedang Tujuh
Pelangi menyambar putus tangan kirinya kemudian berbalik menusuk dada. Darah
seperti mancur dari dua bagian tubuh yang terluka itu. Pembalasan Ki Hok Bun
masih belum berhenti. Di lain saat tangan kanannya jadi sasaran sambaran
pedang. Ang-mo It-kui menjerit tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Dalam
keadaan tubuh sempoyongan ujung pedang datang lagi menyambar. Kali ini merobek
perutnya hingga isi perut manusia iblis ini berbusaian keluar.
Ki Hok
Bun tampaknya masih belum puas. Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah perut dan
cras! Putuslah keseluruhan anggota rahasia Ang-mo It-kui yang dulu telah
menodai The Cun Giok, istri Ki Hok Bun!
Sampai
disitu masih juga Ki Hok Bun belum merasa puas. Pembalasannya betul-betul
mengerikan. Hanya manusia yang dilanda dendam kesumat seperti dialah yang
sanggup melakukan hal seperti itu. Dia ingin mendengar bagaimana jerit
kesakitan melanda musuh besarnya itu sebelum dia menghabisi nyawanya. Maka
dengan tangan kirinya dia lepaskan totokan di leher Ang-mo It-kui.
Begitu
totokan lepas maka menggeledeklah jeritan setinggi langit dari tenggorokan
Ang-mo It-kui yang sejak tadi terbendung. Tubuhnya roboh ke tanah dan detik itu
pula Pedang Pelangi membabat menyambar batang lehernya. Nyawanya lepas begitu
kepalanya menggelinding!
Jeritan
Ang-mo It-kui itulah yang membuat terkejut empat manusia iblis lainnya. Sewaktu
mereka mendatangi Ki Hok Bun telah menunggu dengan menjambak rambut kepala
Ang-mo It-kui di tangan kirinya lalu melemparkan kutungan kepala itu ke arah
Nan-king Kui-ong dan tiga kambratnya.
Bukan
saja menyaksikan kutungan kepala kawan mereka membuat keempat manusia iblis itu
menjadi menggerinding ngeri, tetapi yang membuat mereka terkesiap dan kaget
sekali adalah menyaksikan berdirinya Ki Hok Bun di hadapan mereka.
"Ki
… Ki Hok Bun … Kau?" Suara Nan-king Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu
dan tenggorokannya seperti tercekik.
Ki Hok
Bun alias Kim-hong Kiam-khek mendengus. Sementara Bu Ceng gosok-gosok kedua
matanya seperti tak percaya pada pemandangannya sendiri.
Kemudian
terdengar suara tawa Ki Hok Bun mengekeh. Bagi keempat iblis itu suara kekehan
tersebut laksana suara malaikat maut dari liang kubur.
"Ki
Hok Bun … bukankah, bukankah kau sudah mampus? Mati ditembus api bersama istri
dan anakmu. Dulu …?" Yang buka suara adalah si botak kepala besi
Tiat-thou-kui.
"Memang
… memang aku sudah mampus iblis botak! Dan yang kalian lihat berdiri di hadapan
kalian saat ini ada!ah setannya Ki Hok Bun. Setannya yang datang dari neraka
untuk melakukan pembalasan atas kejahatan biadab yang telah kalian lakukan. Heh
. . . kalian sudah lihat bagaimana cara mampusnya Ang-mo It-kui? Kalau masih
belum jelas silahkan lihat lebih terang!"
Habis
berkata begitu Ki Hok Bun tendang sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui ke
hadapan ke empat musuh besarnya itu. Empat manusia iblis ini saking ngerinya
tak berani memandang ke jurusan tubuh kawannya itu.
"Pedang
sakti itu. Celaka . . . Rupanya masih ada padanya," Nan-king Kui-ong
mengeluh ketika memandang senjata di tangan Ki Hok Bun. Dia tahu bagaimanapun
tingginya ilmu silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini namun kalau dia
mengeroyok bersama kawan-kawannya pasti dia mampu mengalahkan Ki Hok Bun. Namun
jika pedang sakti itu berada dalam genggaman Ki Hok Bun mau tak mau manusia
iblis ini jadi gentar sekalipun dia masih memiliki tiga kawan untuk membantunya.
"Apakah
kalian sudah siap untuk mampus menyusul Ang-mo It-kui …?" tanya Ki Hok Bun
dengan pandangan mata tak berkedip.
"Twako
dengarlah … Mari kita bicara dulu," berkata Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong
dan diamdiam dia berikan isyarat pada Si Golok Iblis Gui Kun.
Ki Hok
Bun meludah ke tanah.
"Kau
mau bicara apa manusia iblis biang racun kejahatan? Silahkan bicara dengan
pedangku!"
Habis
berkata begitu Ki Hok Bun segera menerjang ke depan namun mendadak dari samping
kiri menderu setengah lusin golok terbang, mencari sasaran di enam bagian
tubuhnya!
Ki Hok
Bun kertakkan rahang. Pedang Pelangi di tangan kanannya digerakkan. Tujuh warna
sinar pelangi bertaburan. Terdengar suara berdentrangan enam kali
berturut-turut. Setengah lusin golok terbang yang dilepaskan Si Golok Iblis Gui
Kun mental patah dua dihantam Pedang Pelangi.
Di saat
yang sama dari jurusan lain Nan-king Kui-ong lepaskan satu pukulan tangan
kosong yang menimbulkan angin deras ke arah lambung Ki Hok Bun. Berbarengan
dengan itu menyambar pula sepuluh sinar hitam panjang yang membersit keluar
dari jentikan kuku-kuku jari Tui-hun Huimo. Sedang dari belakang didahului
dengan suara menggembor seperti banteng mengamuk kepala besi Tiat-thou-kui
datang menyeruduk!
"Bagus!
Kalian main keroyok. Berarti lebih cepat aku dapat mencincang kalian
sekaligus!" seru Ki Hok Bun.
Nan-king
Kui-ong tertawa mengejek.
"Justru
kami ingin menolong agar kau lekas-lekas bisa bertemu dengan anak istrimu di
akherat!"
Mendidih
darah Ki Hok Bun mendengar ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar pelangi
berkiblat seputar tubuhnya hingga diri dan pedang sakti itu seolah-olah lenyap
dari pemandangan. Sesaat kemudian terdengar seruan kaget susul menyusul keluar
dari mulut ke empat pengeroyok. Nan-king Kui-ong tersurut mundur dan
cepat-cepat melompat ke samping ketika pukulan hawa saktinya yang membentur
sinar pedang mustika seperti membal dan terpental kembali menghantam dirinya
sendiri.
Tui-hun
Hui-mo yang berbadan katai mundur jumpalitan menjauhi kalangan pertempuran.
Wajahnya seputih kertas sewaktu menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya sebelah
kiri dan tiga lagi di sebelah kanan kena dibabat putus oleh pedang sakti lawan.
Kedua tangannya terasa panas. Masih untung bukan jari-jari tangannya yang kena
disambar.
Orang ke
tiga dari lima iblis itu yakni Gui-Kun Kui-to juga mundur dengan tampang pucat
pasi sambil pegangi jubah hitamnya yang robek besar di bagian dada kena dimakan
ujung Pedang Pelangi. Sedang Tiat-thou-kui yang menyeruduk dari belakang
terpaksa tarik pulang serangannya karena mendadak sontak Ki Hok Bun kirimkan
satu tendangan ke belakang.
Bagaimanapun
atosnya batok kepala Tiat-thou-kui yang terkenal seperti besi itu, namun untuk
beradu dengan tendangan kaki seorang berkepandaian tinggi seperti Pendekar
Pedang Pelangi dia musti berpikir tiga kali!
Sesaat
empat manusia iblis itu diam tak bergerak di tempat masing-masing, mengurung Ki
Hok Bun di tengah-tengah. Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan tangan
kanannya ke balik jubah. Sesaat kemudian dia telah memegang sebuah senjata
aneh. Senjata ini berbentuk hudtim (kebutan) sedang ujungnya yang lain
berbentuk tombak besi bermata dua berkilauan.
"Hem
… jadi senjata curian itu masih berada di tanganmu, biang iblis?" sentak
Hok Bun.
Senjata
di tangan Nan-king Kui-ong dulunya adalah milik seorang tokoh silat golongan
putih pembantu Kaisar Yung Lo. Dalam satu pertempuran di medan perang tokoh
silat itu menemui ajalnya dikeroyok Nan-king Ngo-kui, senjatanya lalu dirampas
oleh Nan-king Kui-ong.
"Ha
.. ha. Agaknya kau takut menghadapi senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king
Kui-ong.
Sebagai
jawaban Ki Hok Bun lantas putar pedangnya. Melabrak ganas ke arah pangcu
manusia-manusia iblis yang tinggal empat orang itu. Jurus yang dikeluarkan Hok
Bun saat itu bernama ko-sing poan-swat atau bintang mengejar rembulan.
Tak kalah
hebatnya Nan-king Kui-ong keluarkan jurus pit-bun ki-khek atau menutup pintu
menolak tetamu guna menangkis serangan ganas lawan. Gerakan ini sebenarnya
dimainkah dalam ilmu silat tangan kosong. Tapi karena Kui-ong berkepandaian
tinggi maka dengan senjata di tangan dia membuat gerakan yang amat hebat. Namun
bagaimanapun dia tak mau ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan pedang
sakti di tangan lawan. Karena sebelum ujung tombak mata dua saling beradu dengan
Pedang Pelangi, Nan-king Kui-ong membuat gerakan joan-hun ki-gwat atau menyusup
awan mengambil rembulan.
Ki Hok
Bun bukan pendekar kemarin. Dia maklum kalau lawan takut untuk bentrokan
senjata. Maka buru-buru dia kiblatkan pedangnya dalam jurus tiang-hong koan-jit
atau pelangi menutup matahari. Akibatnya Nan-king Kui-ong tak dapat lagi
melihat lawan maupun pedang. Gulungan sinar tujuh warna menyambar deras
menyilaukan mata dan mengurungnya. Dia terpaksa mundur dua langkah. Justru saat
itu Hok Bun tidak memberi kesempatan dan susul dengan serangan thian-sing
tui-sin atau bintang meluncur turun.
Pedang
Pelangi laksana kilat menyambar deras dari atas ke bawah. Kali ini Nan-king
Kui-ong mati langkah. Mau tak mau dia harus menangkis dengan senjatanya untuk
selamatkan diri dari bahaya maut.
Sambil
putar senjata ke depan pangcu manusia-manusia iblis itu berteriak,
"Kawan-kawan bantu aku cepat!"
Maka tiga
serangan menggebu ke arah Hok Bun. Namun semuanya luput karena Hok Bun sudah
lebih dulu melompat ke atas dan dari atas meneruskan serangannya tadi yang kini
jadi lebih dahsyat.
Trang!
"Auu!"
Nan-king
Kui-ong terpekik. Dia melompat mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan
kanannya putus sedang senjata hudtimnya hancur berkeping-keping dihantam Pedang
Pelangi. Tiga kawannya yang barusan menyerang kini mundur pula berserabutan
ketika Ki Hok Bun kembali kiblatkan pedang saktinya ke arah mereka.
Diantara
empat iblis itu Iblis Pengejar maut Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis Gui Kun
sebenarnya sudah runtuh nyalinya. Hanya si botak kepala besi Tiat-thou-kui yang
masih cukup berani dan bertekad untuk menghancurkan tubuh lawan dengan
serudukan-serudukan kepaia besinya. Nanking Kui-ong sendiri merasa malu kalau
terlalu menunjukkan rasa kawatirnya. Namun dia menyadari bahwa saat itu keadaan
sangat tidak menguntungkannya. Malah jika dia tidak mengambil keputusan cepat
mereka berempat bisa mengalami celaka besar menemui kematian satu persatu. Dia
berpaling pada Si Golok Iblis Gui Kun dan memberi isyarat. Gui Kun yang cepat
menangkap arti isyarat pangcunya itu menganggukkan kepala dan mengirimkan
isyarat yang sama pada Tui-hun Hui-mo. Malang bagi si kepala besi Tiat-thou-kui
karena berada di sebelah depan dia tak dapat melihat isyarat isyarat tersebut.
Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong berseru,
"Kawan-kawan,
tinggalkan tempat ini. Lain hari kita buat perhitungan dengan bangsat
itu!"
"Ho…
ho! Mau lari kemana manusia-manusia keparat?!" teriak Hok Bun seraya
melompat memburu. Sambil melompat itu dia kirimkan satu tendangan ke arah si kepala
besi Tiat-thou-kui. Karena memang berada sangat dekat, di samping itu tidak
menyangka kalau sambil mengejar ke jurusan lain lawan akan kirimkan tendangan,
Tiat-thou-kui agak terlambat mengelak. Akibatnya bahu kirinya kena dihantam
tumit Hok Bun hingga remuk dan dia terpelanting jatuh tergelimpang di tanah. Di
lain kejap Hok Bun sudah berhasil menghadang tiga manusia iblis lainnya.
"He
… he … Kalian boleh lari. Tapi tinggalkan nyawa kalian disini!" kata Hok
Bun sambil melintangkan pedang sakti di depan dada.
Nan-king
Kui-ong dan dua kawannya terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas perwira
tinggi itu hingga belum sempat mereka bergerak jauh tahu-tahu sudah kena
dihadang. Jika tidak memakai tipu muslihat tak bakal bisa lolos. Demikian
Nan-king Kui-ong membatin.
"Hok
Bun, jangan terlalu sombong! Aku akan perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar Hui
Ti untukmu. Surat ini diloloskan lewat penjara …"
"Akal
busukmu tak bakal mempan manusia iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium
niat licik lawan. Namun karena disebutnya nama Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa
dia pernah mengabdi, agak tergerak juga hati Ki Hok Bun. Karena itulah dia
hanya tegak berdiam diri. Dari balik jubah pakaiannya Nan-king Kui-ong
keluarkan segulung kertas merah mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai benang
hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai seperti itu memang adalah ciri-ciri surat
Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong membuka gulungan kertas lalu mengangsurkannya
ke hadapan Hok Bun seraya berkata,
"Kau
bacalah sendiri isinya!"
Ketika
mengangsurkan surat itu sebuah benda bulat hitam sebesar ujung ibu jari melesat
ke udara disertai bunyi mendesis tajam. Sadarlah kini Hok Bun kalau dia memang
telah tertipu. Dia melompat ke depan sambil kiblatkan pedang namun terlambat!
Bola
kecil hitam itu.meledak di udara membersitkan asam hitam pekat
bergulung-gulung. Keadaan di tikungan sungai itu menjadi gelap gulita.
Pemandangan Hok Bun tertutup. Kemanapun berpaling hanya kehitaman yang
kelihatan. Hok Bun merutuk dalam hati. Dia melompat jauh-jauh ke belakang. Tak
ada yang bisa dilakukannya selain menunggu.
Selang
beberapa lama asap hitam mulai menipis. Nan-king Kui-ong dan kawan-kawannya
telah lenyap. Tetapi ternyata tidak semua mereka sempat melarikan diri.
Tiat-thou-kui
yang tadi kena dihantam tendangan kelihatan merangkak di tanah sambil pegangi
bahu kirinya yang remuk.
"Pangcu
…! Kawan-kawan! Jangan tinggalkan aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun sang
pangcu dan dua kawannya sudah lari jauh. Sepasang kaki dilihatnya melangkah
mendekatinya. Ketika dia mendongak pandangannya membentur wajah Ki Hok Bun yang
garang angker.
"Sampai
lidahmu copot berteriak, tak ada satu orangpun yang bakal menolong manusia
keparat!"
Dengan
tubuh menggigil Tiat-thou-kui berdiri tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun melangkah
semakin dekat dengan pedang terhunus di tangan. Tiba-tiba Hok Bun gerakkan
tangan kanannya yang memegang pedang. Tiat-thou-kui mengelak ke kiri, lompat ke
kanan, mundur dan melompat berulang kali, berusaha menyelamatkan diri dari
sambaran pedang yang datang bertubi-tubi.
Sebagai
orang ke tiga di antara Lima Iblis Dari Nan-king Tiat-thou-kui memiliki ilmu
kepandaian yang tidak rendah. Namun dalam keadaan terluka serta hanya ditinggal
sendirian begitu rupa dia jadi mati kutu.
Karena
melompat terus-terusan lama lama tenaganya jadi kendor dan nafasnya memburu.
Satu kali terdengar teriakan Tiat-thou-kui ketika kepalanya kena digores pedang
dan senjata itu terus membabat putus telinga kirinya. Darah mengucur membasahi
wajahnya hingga tampangnya benarbenar menyeramkan seperti iblis. Sadar kalau
dirinya tak bakal lolos dari tangan musuh tiba-tiba Tiatthoukui jatuhkan diri
dan berlutut. Setengah meratap dia berkata,
"Twako
Kim-hong Kiam-khek, aku menyerah dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon padamu
sudilah mengampuni selembar nyawa yang hina dina ini. Aku sadar kini kalau
sudah tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng dan kawan-kawan. Aku insaf
dan tobat. Aku bersedia membantumu membalaskan sakit hati terhadap ketiga orang
itu . . . "
"Cuh!"
Hok Bun meludahi muka Tiat-thou-kui. "Tutup mulut busukmu yang banyak
akal.
Omongan
iblis aku tak mau dengar!" lalu tanpa banyak bicara lagi Hok Bun gerakkan
pedang pelanginya. Tiat-thou-kui terpekik dan tekap mukanya dengan kedua
tangan. Sambaran pedang tadi telah memutus hidung dan bibirnya hingga
tampangnya jadi luar biasa mengerikan.
Rasa
sakit yang amat sangat membuat si botak ini menjadi kalap. Hilang rasa
takutnya. Dia sadar percuma saja minta ampun. Dari pada mati sia-sia lebih baik
melawan. Siapa tahu dengan serangan membabi buta dia berhasil merobohkan lawan.
Maka
dengan nekad didahului macam suara harimau menggereng Tiat-thou-kui menerjang
ke depan, hantamkan tangan kanannya. Angin pukulan deras menyambar Hok Bun tapi
segera terpental begitu membentur sinar pedang tujuh warna pelangi dan membalik
menyerang tuannya sendiri.
Selagi
Tiat-thou-kui kalang kabut mengelakkan angin pukulannya sendiri Ki Hok Bun
kembali membabatkan pedangnya. Kali ini Tiat-thou-kui tak punya daya lagi untuk
mengelak. Dengan kalap dia sorongkan kepalanya melabrak perut lawan.
Ki Hok
Bun memutar arah pedangnya sedikit dan cras! Tamatlah riwayat orang ke tiga
dari Nan-king Ngo-kui ini. Kepalanya terbacok terbelah sampai ke pangkal leher!
Meski
Tiat-thou-kui sudah menggeletak tak bernyawa namun Ki Hok Bun seperti kemasukan
setan terus saja membacokkan pedangnya ke sekujur tubuh orang itu. Pembalasan
bekas perwira tinggi ini benar-benar sadis. Dua musuh besar telah mati di
tangannya. Masih ada tiga orang lagi yang harus dicarinya!
******************
8
PELACURAN
adalah salah satu macam pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama tuanya dengan
umur ummat manusia dan terdapat di mana-mana.
Umumnya
di masa perang dan sesudah perang pelacuran lebih menjadi-jadi dibanding dari
masa damai. Hal ini disebabkan karena kesulitan hidup akibat peperangan itu
sendiri. Demikian pula yang terjadi di Tiongkok sesudah perang saudara
berkecamuk.
Kota-kota
seperti Peking, Tien Tsien, Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton dan
sebagainya timbul menjadi pusat-pusat hiburan dengan pelacuran pada tingkat
teratas. Bahkan gejala buruknya kehidupan sosial ini menjalar pula ke kota-kota
kecil, ke pedalaman.
Salah
satu dari kota-kota kecil yang dilanda pelacuran itu adalah Ankeng di propinsi
Kiangsi, kira-kira 20 lie di barat laut Nanking. Meskipun Ankeng cuma sebuah
kota kecil namun karena menjadi pusat pertemuan dari tiga buah jalan raya maka
tak urung kota ini senantiasa ramai setiap siang maupun malam. Pelacuran
merajalela. Mulai dari kelas murahan di lorong-lorong gelap yang sempit sampai
ke tingkat tinggi di gedung-gedung besar danmewah.
Suatu
hari di Ankeng, saat itu matahari pagi baru saja menyingsing naik. Di dalam
sebuah kamar pada satu gedung mewah di pusat kota, yakni sebuah gedung
pelacuran, terjadi pertengkaran antara seorang pelacur muda dengan lelaki yang
telah memakainya semalam suntuk.
"Cis!"
pelacur yang bernama Lu Sian Cin mengomel. "Semalam suntuk kau
berpuas-puas menikmati diriku. Masakan dibayar sebegini?!"
Lelaki
berambut gondrong awut-awutan bertampang seram penuh cambang bawuk liar serta
kumis jenggot meranggas sesaat memandang Lu Sian Cin sambil menyeringai
sementara kedua tangannya sibuk mengikat ikat pinggang jubah hitamnya yang
dekil danbau.
"Lelaki
brengsek. Kalau tak punya uang cukup jangan datang ke tempat ini!"
kernbali terdengar omelan Lu Sian Cin.
Sang tamu
yang berbadan tinggi jengkel juga mendengar ucapan itu dan berkata, "Kalau
tak mau dibayar sebegitu biar kuambil kembali uang itu!" Lal!u
diulurkannya tangannya hendak mengambil uang di atas meja. Begitu uang
dimasukkannya kembali ke kantong di balik jubahnya tahu-tahu plak!
Tamparan
perempuan lacur itu mendarat di salah satu pipinya.
"Benar-benar
lelaki tidak bermalu!"
Mendapat
tamparan begitu rupa si berewok yang bukan lain adalah Bu Ceng alias Nan-ing
Kuiong menjadi naik darah. Dijambaknya rambut si pelacur dan sekali tangannya
bergerak perempuan itu dilemparkannya keluar pintu.
Lu Sian
Cin menjerit-jerit kesakitan. Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan
bengkak dan mengucurkan darah.
Seorang
lelaki tinggi besar bermuka hitam, entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah
berada di tempat itu. Gerakannya enteng tanda dia memiliki ilmu. Sesaat dia
memandang pada tetamu berjubah hitam. Lalu berpaling pada Lu Sian.
"Ada
apa?" tanya si muka hitam ini. Namanya Song Bun Lip. Dia adalah kepala
keamanan di gedung pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian Cin adalah primadona
dari semua pelacur yang ada disitu dan paling muda usianya. Sudah sejak lama
Bun Lip menaruh hati pada pelacur ini dan agaknya Lu Sian pun senang padanya.
Tentu saja melihat orang,yang disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi marah.
Apalagi setelah Lu Sian Cin menerangkan apa yang terjadi.
Song Bun
Lip membantu Sian Cin berdiri lalu berpaling pada Bu Ceng dan berkata,
"Loya berjubah hitam. Pinceng adalah Song Bun Lip, kepala keamanan di
gedung ini. Pinceng dan majikan tak ingin terjadi keributan di sini, karenanya
pinceng harap loya suka membayar sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan.
Bukankah pantas membayar menurut aturan?" (loya = tuan besar. pinceng =
saya)
Nan-king
Kui-ong yang penaik darah, ditegur begitu rupa mula-mula hendak melabrak si
tinggi besar kepala keamanan itu. Namun melihat Song Bun Lip bersikap tenang
dan pandangan matanya tajam diam-diam Bu Ceng jadi tercekat juga. Setelah
membetulkan ikat pinggang jubahnya dia berkata,
"Aku
kan sudah membayar. Betina sialan ini malah mengumel, memakiku bahkan menampar.
Apa kalian di sini tidak memberi pelajaran sopan santun padanya hingga dia
tahunya cuma naik ke atas ranjang, mengangkang lalu minta uang dengan cara yang
kurang ajar? Sekarang siapapun kau adanya, apapun pangkatmu di tempat ini
menyingkirlah. Aku mau pergi!" Song Bun Lip batuk-batuk beberapa kali.
"Setiap
saat tentu saja loya boleh pergi. Namun tentunya setelah membayar seperti yang
pinceng bilang tadi."
"Hem
… berani kau memaksa?!"
"Bukan
memaksa loya. Kami di sini cari makan …"
"Kalau
tuan besarmu tidak mau bayar, kau mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu
Ceng.
"Jika
demikian adanya, terpaksa pinceng menjalankan apa yang menjadi tugas
pinceng," sahut Song Bun Lip.
Bu Ceng
tertawa bergelak.
"Manusia
bermuka hitam macam pantat kuali, rupanya kau tidak melihat gunung Thaysan di
depan mata hah?"
Sehabis
berkata demikian Nanking Kui Ong dorongkan tangan kanannya ke dada kepala
keamanan itu. Song Bun Lip terkejut karena detik itu juga dia merasa dadanya
seperti ditindih batu besar. Kontan mukanya berubah pucat.
Sebagai
kepala keamanan Bun Lip memang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Tapi
semua yang dimilikinya hanya ilmu luar atau ilmu kasar belaka. Di dalam dia
sama sekali tidak mempunyai isi. Sebelum tubuhnya terlempar dan terjengkang,
lelaki ini melompat ke samping dan dari samping langsung kirimkan satu jotosan
ke pelipis Bu Ceng. Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam namun
demikian hebatnya hingga kalau sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah
manusia iblis ini akan rengkah kepalanya!
Akan
tetapi tentu saja Bu Ceng, manusia pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo Kui
tidak semudah itu untuk dijatuhkan. Dengan gerakan seperti acuh tak acuh dan
sikap memandang rendah Bu Ceng mengelak dan entah kapan tangannya bergerak
tahu-tahu buk!
Kepala
keamanan tempat pelacuran itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke luar
kamar, terguling-guling di langkan gedung terus terhampar di halaman depan,
muntah darah, mengerang kesakitan tetapi masih sanggup bangun kembali.
Song Bun
Lip orang yang tahu membaca kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak mungkin
dia sanggup melayani si jubah hitam ini. Karenanya dia segera cabut golok.
Dengan mulut berlumuran darah dia melangkah mendekati Bu Ceng. Yang diserang
tegak tolak pinggang di tangga gedung.
Sementara
itu orang mulai banyak berkumpul di depan gedung. Ankeng adalah kota hiburan
yang hangat. Setiap perkelahian atau sesuatu yang berbau kekerasan akan segera
menarik perhatian orang banyak. Mereka akan menonton dengan senang malah
memberi semangat agar perkelahian menjadi lebih hebat.
Wut!
Golok di
tangan Bun Lip menyambar ke arah tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut ini
disambut dengan ganda tertawa oleh Nan-king Kui-ong.
"Manusia
pantat kuali tak tahu diri. Kau rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri akan
menembus dadamu!"
Song Bun
Lip sudah dapat memastikan bahwa serangan kilatnya yang ganas itu akan membuat
bergelindingnya kepala lawan. Tetapi tidak dinyana tahu-tahu sikutnya terasa
remuk berderak dan di lain saat lengannya tertekuk hingga ujung goloknya dengan
sebat dan tak dapat dihindarinya lagi menusuk keras ke arah badannya sendiri!
Semua
orang yang ada disitu bergidik dan menyaksikan dengan mata membeliak ngeri apa
yang bakal dialami Song Bun Lip. Saat itu tiba-tiba terdengar jeritan
perernpuan.
"Lelaki
keparat! Kalau kau bunuh dia maka kau sendiri bakal mampus!"
Yang
berteriak adalah Lu Sian Cin. Dia mendatangi dengan menggenggam sebilah golok
penjagal babi. Senjata ini diayunkannya dari arah samping ke kepala Bu Ceng.
Hebatnya Bu Ceng seolah-olah tidak mengacuhkan serangan tersebut dan terus
menekan golok dalam genggaman Bun Lip ke dada kepala keamanan itu. Nainun
sedetik lagi golok penjagal babi akan mendarat di batok kepalanya, Bu Ceng
kebutkan lengan kiri jubahnya. Angin deras menderu. Lu Sian Cin terpekik.
Tubuhnya
mencelat dan dia terguling muntah darah di tanah, pingsan. Beberapa orang
segera datang menolongnya.
Song Bun
Lip sadar bahwa dia tak bakal menghindari dari goloknya sendiri yang ditusukkan
ke arah dadanya. Ini membuat dia menjadi kalap dan sengaja dorongkan tubuh ke
depan sambil menendang ke arah selangkangan lawan. Maksudnya hendak berjibaku.
Tapi dengan mempergunakan lututnya Bu Ceng berhasil menahan tendangan maut itu
sebaliknya ujung golok sudah menyentuh dada pakaian Bun Lip.
Sedetik
lagi ujung golok akan menembus dada Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah satu
siulan aneh. Bersamaan dengan itu sebuah benda merah sebesar kepalan melayang
di udara. Plak!
Benda itu
menghantam tangan kanan Nan-king Kui-ong dan pecah. Ternyata sebuah apel merah.
Meski cuma apel belaka tetapi begitu terkena lemparan Nan-king Kui-ong
merasakan tangan kanannya seperti lumpuh hingga cekalannya terlepas. Kesempatan
ini dipergunakan oleh Song Bun Lip untuk meloloskan diri. Namun pukulan tangan
kiri Nan-king Kui-ong masih sempat mampir di bahunya hingga dia terbanting ke
tanah dengan tulang bahu remuk. Ini adalah lebih baik dari pada ditembus
goloknya sendiri!
Sambil
menguruti tangan kanannya dengan tangan kiri Bu Ceng memandang berkeliling.
"Bangsat
rendah dari mana yang berani campur tangan dengan jalan membokong? Lekas
tunjukkan tampang!"
Teriakan
Bu Ceng ini demikian kerasnya hingga semua orang yang ada disitu tergetar kecut
dan mundur beberapa langkah. Sepasang mata kepala manusia iblis ini menyorot
berkeliling mencari-cari. Akhirnya pandangannya membentur seorang pemuda asing
berambut gondrong yang duduk ongkang kaki di atas bangku di bawah emper sebuah
warung penjual teh pahit. Di bangku di sampingnya ada sebuah keranjang berisi
buah-buah apel. Seolah-olah dia cuma berada sendiri di situ dan seperti orang
kelaparan pemuda asing tadi yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang tanpa acuh terus saja asyik menggerogoti buah-buah apel yang manis itu.
Pelipis
Bu Ceng bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Karena cuma pemuda asing ini
saja yang memegang dan makan apel di sekitar tempat itu maka Bu Ceng yakin
sekali dialah tadi yang telah melemparnya dengan buah itu!
"Bangsat
rendah yang sedang makan apel! Kemari kau!" bentak Bu Ceng.
Wiro
Sableng sesaat hentikan mengunyah apel dalam mulutnya dan berpaling. Sejenak
dia memandang pada Bu Ceng dengan sepasang mata disipitkan, garuk-garuk kepala,
meludahkan apel yang dalam mulutnya ke tanah lalu acuh kembali mengambil buah
apel baru dari dalam keranjang dan memakannya. Tentu saja sikap Wiro ini
membuat Bu Ceng naik darah setengah mati.
"Benar-benar
minta dihajar bangsat ini!" kertak Bu Ceng. Dengan langkah-langkah besar
dia mendatangi Wiro. Sekali tendang bangku kayu yang diduduki murid Sinto
Gendeng ini hancur berkeping-keping. Namun anehnya Wiro sendiri tetap tak
bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, bergemingpun tidak. Sikapnya
seolah-olah dia masih duduk di atas bangku yang tak kelihatan seperti tadi.
Lalu perlahan-lahan tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk menjelepok di tanah
sambil terus mengunyah apel!
Kalau
tadi orang banyak tampak agak takut menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka kini
melihat kelakuan si pemuda asing semuanya jadi tersenyum lucu dan ingin
menyaksikan bagaimana lanjutan kejadian ini.
Bu Ceng
yang bermata tajam sadar kalau pemuda asing tak dikenal itu memiliki kepandaian
namun amarah membuatnya jadi kalap. Apalagi disaksikan demikian banyak pasang
mata. Dia merasa direndahkan dan dipermainkan.
"Budak
gondrong keparat! Kau mau jual tampang dan pamer ilmu padaku hah?!"
"Eh
muka berewok berjubah hitam kau bau busuk. Kenalpun aku tidak padamu. Mengapa
usil menggangguku?" Wiro Sableng menjawab seenaknya.
"Setan
alas! Mampuslah!" teriak Bu Ceng yang seumur hidupnya baru sekali itu
dihina demikian rupa dan di depan banyak orang pula. Kaki kanannya menderu ke
arah kepala Wiro Sableng. Orang banyak terkesiap malah ada yang mengeluarkan
seruan tertahan karena mengira detik itu-juga pastilah kepala si pemuda
berambut gondrong yang tidak dikenal akan pecah.
Di saat
itu justru terdengar suara siulan aneh. Dan tahu-tahu tendangan Bu Ceng hanya
rnengenai tempat kosong. Semua orang melongo heran. Bu Ceng sendiri melengak
kaget karena dia tidak dapat melihat kapan pemuda yang hendak dibunuhnya itu
bergerak dan ketika memandang ke atas tahu-tahu dilihatnya Wiro sudah berada di
cabang sebatang pohon besar sambil duduk goyanggoyang kaki dan makan buah apel!
Sebenarnya
jika Bu Ceng mau berpikir sedikit jauh dari situ dia harus memaklumi bahwa
pemuda asing itu memiliki kepandaian yang bukan sembarangan. Namun amarah sudah
membuatnya mata gelap. Dia menghantam ke atas lepaskan satu pukulan sakti yang
mengandung tenaga dalam hebat.
Segulung
angin laksana hembusan topan melabrak deras ke arah pendekar kita. Bukan saja
cabang di mana Wiro duduk hancur berantakan tetapi batang pohon juga ikut patah
dan pohon itu tumbang dengan suara menggemuruh disertai pekik orang banyak.
Wiro sama sekali tidak kelihatan. Sepasang mata Nan-king Kui-ong bergerak liar
mencari-cari.
"Hai!"
terdengar suara rremanggil.
Bu Ceng
berpaling. Setan betul! Pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di belakangnya
memegang keranjang apel sambil cengar-cengir.
"Jika
kuberikan apel satu keranjang ini padamu, maukah kau tidak menggangguku
lagi?" tanya Wiro tentu saja mempermainkan.
"Anjing
geladak hina dina! Kau rupanya tidak tahu berhadapan dengan siapa! Apakah kau
pernah mendengar nama Nan-king Ngo-kui? Lima Iblis Dari Nanking? Akulah
pemimpinnya. Aku Nan-king Kui-ong!"
Mendengar
kata-kata itu semua orang menjadi gempar dan banyak diantara mereka yang
buruburu tinggalkan tempat itu. Yang masih berani mengintip-intip dari tempat
jauh. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Lima Iblis Dari Nanking? Dan kini
justru kepalanya, biang iblisnya yang muncul!
Bu Ceng
sadar kalau dalam marahnya telah ketelepasan mulut mengatakan siapa dirinya.
Kalau saja ada alat Kerajaan di tempat itu pasti dia akan menghadapi urusan
yang tidak sedap. Wiro Sableng sendiri tak kalah kagetnya ketika mengetahui
bahwa manusia berjubah hitam busuk yang sejak tadi dipermainkannya itu adalah
pemimpin dari Nan-king Ngo-kui.
"Hm,
jadi inilah manusia biang racun yang jadi musuh saudara angkatku Ki Hok
Bun!" katanya dalam hati. Dan sekaligus yang selama ini diburunya pula.
Sesaat Wiro tertegak diam sambil garukgaruk kepala. Kemudian dia berkata,
"Ah, mataku sangat buta. Tidak melihat gunung Thaysan di depan mata. Jika
kau memang Nan-king Kui-ong, biarlah aku memberikan penghormatan dengan
menyerahkan apel-apel ini padamu!"
Setelah
berkata begitu Wiro goyangkan keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat belas
buah apel yang masih ada dalam keranjang itu laksana meteor melesat ke arah 14
bagian tubuh Nanking Kui Ong. Menyaksikan ini orang banyak yang mengintip dari
tempat kelindungan merasa kagum.
Pemuda
ini rupanya memang berilmu tinggi. Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama saja
mencari mati. Begitu mereka berpikir.
Bu Ceng
sendiri tak kurang kagetnya. Melemparkan buah apel dalam keranjang tanpa
menyentuh langsung buah-buah itu sudah merupakan kepandaian tersendiri, apalagi
kalau buah-buah tersebut dijadikan senjata yang ampuhl Hanya tokoh silat
berkepandaian tinggi yang sanggup melakukan hal seperti itu. Menilik kepada
tampangnya yang tolol dan sikapnya yang seperti orang miring otak Nanking Kui
Ong sulit untuk mempercayai bahwa pemuda berambut gondrong itu telah melakukan
kehebatan tersebut. Namun justru itulah kenyataan yang terjadi dan jika dia
tidak bertindak cepat niscaya bakal cidera!
Nan-king
Kui-ong membentak garang. Sekali kebutkan ujung lengan jubah hitamnya sebelah
kanan, enam buah apel mental berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan kebutan
lengan jubah kiri dan dua sisanya dikelit dengan gerakan cepat.
"Oho
…!" seru Wiro yang melihat Bu Ceng membuat gerakan menghantam dan mengelak
itu, "Rupanya selain jadi iblis nyatanya kau juga pandai menari! Ha … ha …
ha!"
"Sialan
benar. Kalau tidak segera kubunuh bangsat ini bisa membuat darah muncrat dari
benakku!" kata Bu Ceng dalam hati. Sementara itu di hadapannya Wiro
kembali membuka mulut.
"Hai!
Setahuku kalian berjumlah lima orang. Mana empat iblis jejadian lainnya?"
"Makan
dulu gebukanku ini baru nanti kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke
depan sambil dorongkan kedua tangannya yang dikepal ke arah dada Wiro Sableng.
Inilah serangan tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam tinggi bernama
Soan-hong hiap-in atau angin berpusing mengejar awan. Belum lagi dua kepalan
itu mengenai sasarannya, angin pukulannya saja sudah membuat pakaian Wiro
berkibar-kibar dan dadanya seperti ditekan!
Melihat
kehebatan serangan lawan, Wiro Sableng tak mau berlaku ayal walau tampangnya
masih tetap cengar cengir. Cepat dia melompat ke samping dan dari arah ini
bermaksud lancarkan satu sodokan lutut ke pinggul lawan.
Namun
serangan angin berpusing mengejar awan mempunyai cahaya yang tidak terduga.
Karena begitu dielakkan tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa membalik. Dan
kini bukan saja dua tinju yang bergerak menyerang tetapi satu kaki ikut pula
berkelebat ke bawah perut Wiro Sableng!
Wiro
Sableng keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya mengapung sampai dua tombak dan dari
atas laksana elang menyambar anak ayam dia menukik. Lima jari tangannya
menyambar ke arah kepala Nan-king Kui-ong yang berambut panjang awut-awutan.
Nan-king
Kui-ong geram sekali. Belum pernah serangannya yang begitu hebat dapat
diruntuhkan lawan malah kini mendapat serangan balasan. Bu Ceng rendahkan
kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya kini merunduk dan serentak dengan itu tangan
kirinya memukul ke atas. Sesaat kemudian kedua orang itu sama-sama mengeluarkan
seruan.
Meskipun
sudah merunduk namun jari-jari tangan Wiro masih sempat menjambak putus
segenggam rambut di kepala Bu Ceng hingga kulit kepalanya mengeluarkan darah.
Sakitnya tentu saja bukan kepalang.
Sebaliknya
Wiropun kena dihantam oleh pukulan Hoan-thian-ciang (pukulan membalik langit)
yang dilepaskan lawan. Tubuhnya tergetar dan dadanya berdenyut sakit.
Cepat-cepat dia jungkir balik dan begitu berdiri di atas kedua kakinya dia
segera salurkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena dihantam.
Bu Ceng
merasakan dan melihat jelas pukulan saktinya tadi tepat mengenai dada lawan.
Tapi Wiro masih tegak berdiri tanpa cidera bahkan masih bisa cengar cengir,
membuat tokoh terlihai dari Lima Iblis Dari Nanking ini jadi melengak kaget
kalau tidak mau dikatakan dingin tengkuknya. Selama ia memiliki ilmu pukulan
Hoan-thian-ciang itu, tak ada satupun musuh yang bisa selamat, paling tidak
muntah darah atau terluka di dalam.
Sebenarnya
ingin sekali Bu Ceng mengetahui siapa adanya pemuda acing berambut gondrong
bertampang tolol ini. Namun untuk bertanya dia merasa jatuh harga diri danakan
menunjukkan kekecutan beiaka. Dalam hatinya dia membatin, "Keparat ini
memiliki kepandaian tinggi. Berbahaya.
Kalau
tidak segera kuhabisi bisa berabe buntut-buntutnya …" Maka tanpa menunggu
lebih lama Nanking Kui-ong langsung menyerang.
Dia
kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan gin-kang dan iwekangnya yang tinggi
dalam setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Tubuhnya lenyap. Yang
kelihatan hanya bayangan jubah hitamnya berkelebat kian kemari. Demikian
hebatnya serbuan Nan-king Kui-ong hingga Wiro merasa seolah-olah ada setengah
lusin musuh yang menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar angin serangan dari
berbagai penjuru dan sesaat kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga
pendekar ini melintir. Nan-king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan
keseimbangan kirim tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut. Namun saat
itu Wiro sudah dapat menguasai diri.
Murid
Sinto Gendeng ini membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari
pemandangan dan yang ada kini hanya bayangan putih menyambar kian kemari. Kini
Nan-king Kui-ong yang ganti kebingungan. Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro
seperti ada di sebelah kanan. Diserangnya ke jurusan itu namun tahu-tahu dia
sendiri mendapat serbuan dari sebelah kiri.
Setelah
menggempur lima belas jurus tanpa hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah. Jubah
hitamnya telah basah oleh keringat dan ini membuat pakaian itu menebar bau yang
semakin menjadi jadi. Seumur hidupnya dia tak pernah kucurkan begitu banyak
keringat untuk perkelahian yang masih di bawah dua puluh jurus. Tiba-tiba.
Buk!
Nanking
Kui Ong mengeluh dan pegangi dadanya yang kena disodok sikut lawan. Belum lagi
hilang rasa sakitnya dia harus pula menerima jambakan pada rambutnya. Demikian
hebatnya hingga pada bekas rambut yang tercabut itu kelihatan kepalanya seperti
botak dan mengucurkan darah. Nanking Kui-ong meraung kesakitan.
"Setan
alas! Aku bersumpah untuk membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng dalam
sakit dan marahnya. Dan wuut! Satu sinar biru berkiblat menyambar ke arah Wiro
Sableng. Melihat angkernya sinar dan derasnya angin yang menyambar Wiro tak
berani bertindak gegabah. Dia melompat mundur. Memandang ke depan dilihatnya
lawan memegang sebuah tasbih yang memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah
senjata mustika hasil rampasan pada masa perang dulu. Wiro yang bisa menduga
hal ini berseru mengejek.
"Seorang
iblis bersenjata tasbih, sungguh lucu dan tak pantas. Kau curi dari mana tasbih
itu?!"
Rahang Bu
Ceng menggembung. "Bagaimana keparat asing ini tahu kalau tasbih ini
adalah senjata curian," katanya dalam hati. Tanpa banyak bicara melayani
kata-kata Wiro tadi dia langsung saja menyerbu dengan menyabatkan tasbih. Sinar
biru yang keluar dari senjata sakti ini menderu menelikung aneh disertai hawa
dingin menggidikkan.
Wiro
cepat berkelit menghindarkan serangan lawan. Namun tiba-tiba dengan kecepatan
luar biasa senjata itu membalik dan kembali menabur sinar biru. Demikian
terjadi berulang kali. Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan yang ditunjang
oleh ilmu meringankan tubuh yang tinggi niscaya sudah beberapa kali dia kena
dihantam tasbih mustika, paling tidak terserempet sinarnya yang mengandung hawa
dingin.
Serangan
Nan-king Kui-ong datang bertubi-tubi. Sinar biru dan hawa dingin menggebu-gebu.
Menelikung
dan mengurung dari berbagai arah, mempersempit ruang gerak Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Lambat
laun hawa dingin itu dirasakannya mulai membuat matanya perih dan menekan denyut
jantungnya.
"Gila!
Lama-lama aku bisa remuk dibuatnya!" kata Wiro.
Lalu dia
membentak nyaring. Sikap dan gerakannya seperti hendak mengeluarkan satu
serangan balasan yang hebat detik itu juga. Hal ini membuat Nan-king Kui-ong
cepat berlaku waspada. Namun justru saat itu Wiro sama sekali tidak melancarkan
serangan hebat atau melepas pukulan sakti melainkan seperti seorang gila atau
tepatnya seperti seekor monyet terbakar buntut dia melompatlompat petatang
peteteng. Sesekali dia menggelitiki tubuhnya sendiri seperti lutung lalu
tertawa gelak sambil garuk-garuk kepala.
"Keparat
ini benar-benar miring otaknya!" kertak Nan-king Kui-ong. Dia salurkan
tenaga dalamnya lebih besar hingga tasbih di tangannya memancar lebih terang
dan menderu-deru sewaktu dia kembali mulai menggempur. Akan tetapi bagaimanapun
dahsyatnya serangan manusia iblis ini tak satupun berhasil mengenai Wiro
Sableng padahal lawan kelihatan begitu jelas untuk diserang bahkan ditamatkan
riwayatnya.
Ilmu
silat yang dikeluarkannya Wiro Sableng saat itu adalah ilmu silat "orang
gila" yang dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni Tua Gila. Ilmu
silat ini memang aneh dan mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur hidupnya
manusia berjuluk Nan-king Kui-ong baru kali itu menyaksikan ilmu silat macam begitu.
Mau tak mau dia jadi bingung. Lebih-lebih ketika Wiro salurkan hawa sakti pada
kedua tangannya hingga setiap serangan tasbih dapat dibendung.
Nan-king
Kui-ong hampir hilang kesabarannya ketika dalam satu jurus dia melihat
kedudukan lawan dianggapnya lemah. Maka dia tidak membuang kesempatan dan
langsung menerjang. Tasbih di tangan kanannya menabur sinar terang menyilaukan,
membabat dari samping kiri. Tampaknya hendak menghantam ke jurusan dada Wiro
Sableng yang terbuka. Namun sebelum sampai, tiba-tiba senjata itu melesat
menghantam ke jurusan kepala!
Orang
banyak yang menyaksikan kejadian itu menahan nafas. Wiro terlihat seperti tidak
berdaya untuk mengelak. Sekali ini akan hancurlah kepala pemuda asing ini,
pikir mereka.
Sesaat
lagi tasbih itu akan mengenai sasarannya, Pendekar 212 angkat tangan kanannya
ke muka. Telapak tangan menghadap ke depan dan jari-jarinya menekuk membentuk
cakar. Sambil kerahkan tenaga dalamnya murid Sinto Gendeng ini sudah siap untuk
menangkis tasbih dan sekaligus merenggut merampasnya. Akan tetapi sebelum hal
itu terjadi mendadak terdengar suara menderu.
Tujuh
warna sinar pelangi berkiblat, menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung Tasbih.
Sedetik kemudian tasbih itu putus hancur bertaburan dengan mengeluarkan suara
bergemerincing!
Nan-king
Kui-ong berseru kaget dan melompat mundur. Dia masih kurang cepat. Ujung sinar
pelangi mengejarnya dan bret! Pakaiannya di bagian dada robek besar. Pucatlah
wajah manusia iblis ini.
Di saat
itu pula terdengar suara bentakan garang: "Manusia iblis bernama Bu Ceng!
Hari ini kutagih hutang darah dan nyawa! Serahkan kepalamu!"
******************
9
BU CENG
yang kenali suara menggeledek itu berpaling ke kiri. Wajahnya berubah putih.
Dadanya berdebar dan lututnya bergetar goyah. Memandang ke kiri dilihatnya Ki
Hok Bun Pendekar Pedang Pelangi tegak dengan muka membersitkan hawa pembunuhan.
Di tangan kanannya berkilauan pedang pelangi.
"Celaka,
bagaimana dia bisa muncul di sini," keluh Bu Ceng.
"Twako,
kukira siapa. Terima kasih kau telah menyelamatkan mukaku yang buruk ini dari
hantaman tasbih curian itu!" kata Wiro merendah ketika dia melihat
kehadiran Ki Hok Bun di tempat itu.
Melengak
Bu Ceng mendengar Wiro memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah, tambah
celaka jadinya. Rupanya kedua orang ini sudah saling kenal!" Bu Ceng jadi
bingung dan takut sekali. Menghadapi Wiro Sableng saja dia sudah tak mampu,
apalagi kini datang pula Ki Hok Bun untuk membalaskan dendam.
Nan-king
Kui-ong melangkah mundur sewaktu Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar ke kiri
dan ke kanan. Hok Bun tahu apa yang ada dalam benak manusia iblis ini.
"Larilah jika kau memang mampu!" ujar Hok Bun.
Sadar
kalau dia tak mungkin melarikan diri Bu Ceng yang banyak akal dan licik ini
tiba-tiba jatuhkan diri dan bersujud.
"Ki
Hok Bun ciangkun," katanya tanpa mengangkat keningnya dari tanah.
"Mengingat hubungan baik kita di masa perang dahulu, sudilah ciangkun
mengampunkan selembar nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf dan bertobat.
Aku berjanji akan kembali ke jalan benar."
"Manusia
iblis! Kau lupa apa yang telah kau lakukan terhadap anak dan istriku? Sekarang
kau mengemis minta ampun!"
Bu Ceng
alias Nan-king Kui-ong angkat kepalanya. Sambil berlutut kini dia berkata
"Ciangkun, aku betul-betul merasa berdosa atas semua perbuatanku di masa
lampau. Apapun yang bakal kau lakukan atas diriku akan kuterima asal kau mau
mengampunkan nyawaku."
"Enak
betul ucapanmul" kata Ki Hok Bun. Saat itu dia tak dapat lagi menahan
hati. Kaki kanannya menderu menendang dada Bu Ceng. Pimpinan manusia-manusia
iblis itu terlempar. Sambil mengerang dia bangkit berlutut seperti tadi dan
kembali merengek minta diampuni.
Ki Hok
Bun menyeringai. Pedang pelangi di angkatnya tinggi-tinggi. Sebelum memenggal
leher musuh besarnya ini dia berniat menebas bagian-bagian tubuh Bu Ceng
terlebih dahulu. Namun sebelum pedang itu meluncur turun tiba-tiba didengarnya
Wiro Sableng berseru "Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat
membunuhnya!"
Pendekar
Pedang Pelangi Ki Hok Bun berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan berkata
"Waktu manusia iblis ini melakukan perbuatan biadab itu dia tidak
sendirian. Ada empat orang kawannya. Kudengar kau telah berhasil membunuh dua
di antara mereka. Berarti masih ada dua iblis lainnya. Di mana dua iblis itu
berada pasti dia tahu. Kita tak bakal susah-susah mencari mereka … "
Sepasang
mata Bu Ceng kelihatan membesar dan bersinar. Sambil mengangkat tangannya dia
berkata, "Ciangkun, jika kuberi tahukan di mana mereka berada apakah kau
mau mengampuniku?
Aku tak
perduli apa yang kau akan lakukan terhadap Si Golok Ib!is Gui Kun dan Tui-hun
Hui-mo…"
"Lekas
katakan di mana mereka!" bentak Ki Hok Bun yang merasa bahwa ucapan Wiro
ada benarnya. Kalau Bu Ceng dibunuhnya saat itu memang berarti dia berhasil
melampiaskan dendam kesumatnya. Akan tetapi dia akan butuh waktu untuk mencari
dua manusia iblis lainnya. Tak ada salahnya menunda kematian Nan-king Kui-ong
dan pergunakan manusia ini sebagai alat untuk mencari dua kambratnya.
"Hai, lekas katakan di mana mereka!" sentak Ki Hok Bun kembali.
"Tapi
kau akan mengampuniku bukan …?"
Yang
menjawab adalah Wiro. "Soal nyawamu bisa diatur kemudian sobat. Sekarang
lebih baik terangkan di mana dua anak buahmu itu berada."
Bu Ceng
tak segera menjawab. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun tempelkan ujung
pedang ke tenggorokannya. Kontan Bu Ceng membuka mulut, "Baiklah, aku akan
katakan. Mereka … mereka berada di sebuah rumah pelacuran. Di Ankeng ini juga.
Aku akan tunjukkan pada kalian."
Bu Ceng
lalu berdiri. Diiringi Ki Hok Bun danWiro Sableng serta orang banyak yang ingin
menyaksikan kejadian itu lebih lanjut, dia menuju ke pinggiran kota. Song Bun
Lip dan Lu Sian Cin kelihatan diantara rombongan orang yang mengikuti.
"Awas
kalau kau menipu kami Bu Ceng," kata Ki Hok Bun memperingatkan.
"Ciangkun,
kau percayalah padaku. Bahkan jika kau betul nanti mengampuni jiwaku, kelak
tiga peti emas rampokan dulu bisa kita bagi dua. Kau masih ingat pada peti-peti
emas itu ciangkun?"
Ki Hok
bun muak mendengar kata-kata Bu Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan
banyak mulut. Jalan terus!"
Wiro
Sableng yang mendengar ucapan Bu Ceng itu hanya tertawa menyengir. Siapa yang
mau percaya pada kata-kata manusia iblis seperti Bu Ceng?
Rumah
mesum di mana saat itu Iblis Pengejar Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok Iblis Gui
Kun berada dan tengah bersenang-senang terletak agak di pinggiran kota Ankeng.
Melihat munculnya seorang berjubah hitam bertampang seram diiringi seorang
lelaki separuh baya berwajah penuh berewok serta seorang pemuda asing berambut
gondrong, ditambah pula dengan serombongan orang banyak yang mengikuti mereka
dari belakang, tentu saja pemilik gedung pelacuran, germo serta tukang pukulnya
kaget bercampur heran.
"Ada
apakah?" tanya sang germo seorang bertubuh gemuk bermuka merah. Ki Hok Bun
bepaling pada Bu Ceng dan menganggukkan kepalanya. Bu Ceng lantas berkata,
"Dua
orang kawanku ada di dalam sana. Panggil mereka. Katakan pangcu mereka
memanggil!"
"Maksud
loya dua orang berjubah hitam dan berewokan seperti loya?"
"Betul!"
Germo itu
menatap Bu Ceng sesaat. Hatinya bergetar melihat keangkeran manusia iblis ini.
Lalu berpaling pada Ki Hok Bun dan Wiro Sableng.
"Loya
… mereka sedang istirahat dan menghibur diri. Mana mungkin aku berani
mengganggu mereka?" si germo akhirnya berkata.
Nan-king
Kui-ong menunjukkan tampang berang dan membentak, "Apa perlu kami yang
langsung masuk?!"
Wiro
garuk-garuk kepaia sedang Ki Hok Bun pegang gagang pedangnya. Melihat gelagat
yang kurang baik ini tukang pukul rumah pelacuran hendak melangkah maju namun
cepat ditahan oleh sang germo. Dia sudah berpengalaman dan maklum kalau tiga
orang yang ada di depannya itu bukan manusia-manusia biasa. Pasti orang-orang
dari rimba hijau (persilatan). Dan dia tak mau mencari urusan dengan
orang-orang tersebut.
"Baik
loya, aku akan beritahu mereka," kata si germo lalu cepat-cepat masuk ke
dalam. Saat itu Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to sedang duduk di atas sebuah
kursi besar ditemani dua pelacur sambil meneguk anggur. Si Golok Iblis Gui Kun
memangku seorang pelacur berkulit putih bertubuh langsing. Hampir tiada henti
dia menciumi pelacur ini. Kalau saja bukan lantaran uang tentu saja si pelacur
merasa jijik terhadap manusia ini. Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun
asyik mendekapi pelacur pilihannya, seorang perempuan berbadan gemuk dan
berambut panjang. Tangannya merayap kian kemari.
Kedua
apak buah Nan-king Kui-ong ini saat itu sudah siap-siap untuk masuk ke kamar
masingmasing ketika germo berbadan gemuk mendatangi.
"Loya
berdua harap maafkan. Ada orang mencari loya… "
Merasa
terganggu tentu saja kedua orang itu marah sekali. Iblis Pengejar Maut Tui hun
membentak sambil bantingkan gelas anggur ke lantai hingga pecah
berkeping-keping.
"Aku
sudah bilang berapa kali! Jangan ganggu kalau kami sedang bersenang-senang
…!"
"Tapi
yang mencari adalah …"
"Sekalipun
setan aku tak perduli!" kini Si Golok Iblis Gui Kun yang buka mulut keras.
Sesaat
germo itu jadi bingung. Dia tidak mau kehilangan dua orang tamunya ini yang
walaupun kasar liar serta bertampang bengis tapi nyatanya punya banyak uang.
Namun dia juga tidak mau cari urusan dengan tiga manusia di luar sana.
Maka dia
memberanikan diri membuka mulut memberi tahu. "Yang mencari adalah pangcu
loya berdua…"
Dua
manusia iblis itu sesaat saling pandang. Dengan segan dan sambil menggerutu
keduanya bangkit dari kursi setelah terlebih dulu meminta pelacur pilihan
masing-masing untuk menunggu. Begitu sampai di luar keduanya kontan melengak
kaget setengah mati. Mereka memang melihat pemimpin mereka tegak di halaman
rumah, tetapi di samping sang pangcu juga berdiri Ki Hok Bun alias Pendekar
Pedang Pelangi, yang kemunculannya pasti sudah dapat diterka yaitu untuk
membalaskan dendam kesumat. Selain itu mereka melihat pula seorang pemuda asing
berambut gondrong bertampang tolol yang mereka tidak kenal. Lalu orang banyak
yang sudah berkumpul di tempat itu.
Keduanya
heran mengapa ketua mereka tegak agak gelisah dan kelihatannya dialah yang
telah membawa Ki Hok Bun serta pemuda asing itu ke tempat tersebut. Sepasang
mata Iblis Pengejar Maut Tui-hun memperhatikan robek besar di dada pakaian
pemimpinnya. Pasti sesuatu telah terjadi pikirnya. Lalu dia memberi kisikan
pada kambrat di sebelahnya.
"Ada
yang tidak beres. Kita kabur saja. Naga-naganya kita bisa celaka!"
Si Golok
Iblis Gui Kun mengangguk perlahan-lahan. Namun saat itu mereka dikagetkan oleh
seruan pangcu mereka, "Ciangkun, tunggu apa lagi. Bunuh saja kedua manusia
tak berguna ini!"
"Pangcu!"
seru Gui-kun Kui-to. "Jadi kau bersekutu dengan Ki Hok Bun…" Habis
berkata begitu dia berpaling pada Tui-hun Hui-mo danberkata "Tunggu apa
lagi. Mari kabur!"
Kedua
orang itu secepat kilat putar tubuh hendak masuk ke dalam rumah dan seterusnya
melarikan diri lewat pintu belakang. Namun keduanya serta merta hentikan
langkah ketika tahu-tahu di hadapan mereka sudah menghadang pemuda asing
berambut gondrong itu sambil tolak pinggang dan cengar cengir.
Tidak
mengenali siapa adanya orang Si Golok Iblis Gui Kun langsung membentak,
"Bangsat rendah! Kau siapa berani menghalangi kami?! Kepingin mampus?!"
Wiro pencongkan hidungnya.
"Mau
kabur …? Tempat kabur manusia-manusia iblis macam kalian adalah neraka!"
Tui-Hun
Hui-mo marah sekali. Lima kuku jarinya yang hitam panjang dan mengandung racun
jahat bekelebat ganas meremas ke arah muka Wiro Sableng!
Sebagai
orang kedua dari Nan-king Ngo-kui, Tui-hun Hui-mo tentu saja memiliki
kepandaian tinggi luar biasa. Jurus yang barusan dikeluarkannya untuk menyerang
Wiro adalah hek-hou wat-sim atau macan hitam mengorek hati. Sekali kepala lawan
kena remas pastilah akan hancur, mata terkorek keluar, hidung dan mulut copot!
Belum lagi racun mematikan yang terkandung dalam kuku kuku hitam itu.
Tetapi
hebatnya Wiro Sableng melayani serangan musuh itu dengan mengejek seperti orang
mempermainkan.
"Buset!
Kau ini perempuan atau banci. Pelihara kuku begini panjang? Bagusnya kupotes
saja!"
Wiro
miringkan mukanya yang hendak diremas. Tangan kanannya bergerak dan pletek…
pletek… pletek… Tiga kuku jari Tui-hun Hui-mo patah berpeletekan. Manusia iblis
ini meraung kesakitan. Jarijari tangannya mengucurkan darah?
Melihat
apa yang terjadi dengan kawannya, Si Golok Iblis Gui Kun tak tinggal diam.
Sekali bergerak empat golok terbang dilemparkannya ke arah Wiro Sableng. Pemuda
kita keluarkan siulan tinggi. Tubuhnya bekelebat. Dua golok berhasil dikelit
dan menancap pada kusen pintu. Dua golok lainnya dengan sikap acuh tak acuh
ditangkapnya lalu trak … trak. Kedua senjata ini dipatahkannya! Tentu saja Si
Golok Iblis Gui Kun jadi terkesiap setengah mati. Selama hidup baru sekali ini
dia menemui lawan yang kepandaiannya begitu tinggi. Sedang Tui-hun Hui-mo
menjadi goyah lututnya dan meleleh nyalinya..
Nan-king
Kui-ong alias Bu Ceng yang sebelumnya sudah menyaksikan danmerasakan sendiri
kehebatan Wiro saat itu terkesima demikian rupa karena nyatanya pemuda asing
berambut gondrong itu benar-benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki Hok Bun
sendiripun masih ketinggalan jauh. Bahkan gurunya sendiri menurut Bu Ceng
paling tidak masih dua tingkat di bawah pemuda itu.
Ki Hok
Bun sendiri diam-diam tak habis mengagumi kelihayan Wiro. Sulit dipercayanya
ada manusia sehebat ini.
Selagi Ki
Hok Bun maupun Nanking Kui Ong tertegun begitu rupa Wiro sudah mencekal rambut
panjang dua manusia iblis itu lalu mendorongnya dengan keras hingga Tui-hun
Hui-mo dan Gui-kun Kui-to jatuh tergelimpang di tanah tepat di hadapan Ki Hok
Bun.
Keduanya
cepat bangun dan bersurut mundur melihat Ki Hok Bun cabut pedang mustikanya.
"Pangcu!"
berseru Golok Iblis Gui kun memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau
bersekutu dengan musuh besar kita ini. Tapi kenapa kau suruh bunuh kami? Bantu
kami menghadapi mereka!"
Bu Ceng
tertawa mendengar kata-kata anak buahnya itu dan berkata, "Sobatku Gui-kun
harap maafkan. Saat ini aku bukan pangcumu lagi. Antara kita tak ada hubungan
apa-apa lagi. Tak ada satu orangpun yang sanggup menyelamatkan nyawa kalian
dari kematian di tangan Ki Hok Bun ciangkun. Namun ciangkun masih berbaik hati
memberi kesempatan pada kalian untuk membela diri!"
"Pengkhianat
busuk!" maki Si Golok Iblis Gui Kun.
Tui-hun
Hui-mo yang sudah melihat tidak ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki
Hok Bun!
Apakah
untuk menghadapi kami berdua yang mengandalkan tangan kosong kau begitu
pengecut hendak pergunakan Pedang Pelangi?"
Tui-hun
Hui-mo sebetulnya coba mengukur tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam tangan
kosong jika dikeroyoik dua dia merasa pasti akan dapat mengalahkan Ki Hok Bun.
Tetapi jika lawan memegang Pedang Pelangi, sulit untuk menyelamatkan diri.
Namun di
lain pihak Ki Hok Bun yang berjiwa kesatria sejati begitu mendengar kata-kata
salah seorang lawannya segera sarungkan Pedang Pelangi. Lalu tanpa tunggu lebih
lama dia menerjang ke hadapan kedua musuh besarnya itu. Maka terjadilah
perkelahian dua lawan satu yang hebat.
Tui-hun
Hui-mo meskipun tangannya sebelah kanan terluka namun kehebatannya boleh
dibilang hampir tidak berkurang. Serangan-serangannya berupa cakaran dan
pukulan serta tendangan datang bertubi-tubi. Demikian pula Gui-kun Hui-to yang
bertubuh tinggi kurus itu. Serangannya menggebu-gebu. Walaupun dia cuma jago ke
lima di antara lima manusia iblis dari Nanking namun tingkat kepandaiannya
tidak boleh dipandang remeh. Apalagi kedua orang itu sadar kedudukan mereka
dalam keadaan terjepit hingga keduanya mengadu nyawa karena laripun sudah tidak
mungkin.
Sepuluh
jurus berlalu. Walaupun belum kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia dibikin
repot juga dan hanya sekali-kali mampu balas menyerang. Jika saja pangcu mereka
membantu pasti Ki Hok Bun dapat dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun Kui-to
berteriak, "Pangcu! Lekas bantu kami!"
Namun
Nan-king Kui-ong cuma tersenyum. Saat itu sebenarnya dia berada dalam keadaan
tertotok. Pada saat sampai di depan rumah pelacuran Ki Hok Bun telah menotok
manusia iblis ini hingga dia hanya mampu buka mulut tapi tak dapat bergerak.
Kalaupun dia tidak dalam keadaan tertotok tak juga dia akan membantu kedua anak
buahnya itu. Tentu saja dia merasa senang melihat kematian mereka dari pada
dirinya sendiri jadi korban. Memang begitulah sifat manusia iblis seperti Bu
Ceng. Tak perduli anak buah celaka asal diri sendiri selamat!
Memasuki
jurus ke dua puluh karena menyerang terus menerus tanpa hasil, tenaga dua
manusia iblis itu mulai mengendor. Kini Ki Hok Bun ambil kesempatan.
Di jurus
ke dua puluh satu jotosannya menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga tubuhnya
melintir setengah lingkaran Gui-kun pegangi dadanya yang terasa sakit dan
nafasnya sesak. Dia merasa seperti mau muntah. Ketika dia meludah, ludahnya
bercampur darah!
Tubuhnya
terhuyung-huyung seperti hendak roboh ke tanah. Dia berputar-putar, tapi begitu
berada tepat di belakang Ki Hok Bun yang tengah menghadapi Tui-hun Hui-mo
secepat kilat dia cabut empat buah golok dan melemparkannya ke arah lawan yang
membelakang!
"Twako
awas serangan curang!" seru Wiro memberi tahu. Dia tak mungkin menolong
karena saat itu berada tepat di belakang Ki Hok Bun. Kalau dia menghantam
runtuh empat pisau itu dengan pukulan tangan kosong ada kemungkinan satu dari
senjata tersebut akan mengenai Ki Hok Bun.
Bekas
perwira tinggi Kaisar itu sendiri sudah mendengar suara bersiuran dari arah
belakang. Ditambah dengan teriakan peringatan Wiro dia sadar kalau telah
diserang secara curang.
Secepat
kilat Ki Hok Bun jatuhkan diri seraya tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-mo.
Meskipun
kaget melihat gerakan lawan menjatuhkan diri dan menangkap kakinya namun Tui-hun
Hui-mo melihat adanya kesempatan baik untuk mencengkeram kepala dan pundak Ki
Hok Bun.
Namun
sebelum maksudnya ini kesampaian dua dari empat golok terbang yang dilemparkan
Gui kun Kui to menancap tepat di dadanya. Manusia iblis ini menjeril keras. Matanya
melotot. Dia tergelimpang di tanah.
Golok
Iblis Gui-kun bukan kepalang kagetnya ketika menyaksikan bagaimana serangan
mautnya tadi justru membunuh kawan sendiri! Sesaat dia tertegun terkesiap.
Justru ini adalah satu kesalahan besar karena saat itu pula laksana seekor
singa lapar Ki Hok Bun melompatinya. Sepuluh jari tangannya langsung menyambar
batang leher Gui-kun. Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi
cekikan itu laksana jepitan baja. Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur keluar.
Mulutnya membusah ludah campur darah. Matanya membeliak. Bagian hitamnya makin
menghilang.
Sesaat
kemudian terdengar suara berderak tanda remuknya tulang leher Gui Kun. Nyawanya
lepas. Tubuhnya terkulai.
Tiba-tiba
seperti orang kemasukan setan Ki Hok Bun berteriak sambil mencabut Pedang
Pelangi. Semua orang yang ada di situ menyaksikan bagaimana tujuh sinar pelangi
berkiblat kian kemari membuntal tubuh Gui kun. Lalu sinar itu berpindah ke arah
tubuh Tui-hun Hui-mo.
Kemudian
kelihatanlah hal yang mendirikan bulu tengkok karena terlalu mengerikan. Tubuh
Gui-kun dan Tui-hun Hui-mo kini terkapar di tanah dalam keadaan tidak utuh
lagi. Tercincang mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kaki! Wiro sendiri
bergidik menyaksikan hal itu sedang Nan-king Kuiong melengos ke jurusan lain!
Nan-king
Kui-ong kemudian menyadari bahwa ada seseorang yang mendekatinya dari arah
depan. Ketika dia berpaling ke jurusan itu dadanya jadi berdebar. Ki Hok Bun
dilihatnya melangkah mendatangi dengan Pedang Pelangi terhunus. Senjata mustika
ini penuh lumuran darah. Darah Gui- Kun dan Tui-hun!
"Bu
Ceng, katakan di mana kau sembunyikan tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki
Hok Bun ajukan pertanyaan.
"Ciangkun
… seperti yang aku bilang. Tiga peti emas itu akan kita bagi dua. Kita bisa
berangkat ke sana sekarang."
"Baik,
tapi aku ingin kau memberitahu dulu di mana tempat kau sembunyikan. Aku tidak
mau tertipu … "
"Tapi
… ciangkun, apa kau tidak percaya padaku?"
Ki Hok
Bun menyeringai. "Jangan banyak tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau
kucincang kau seperti kawan-kawanmu detik ini juga?"
Tubuh Bu
Ceng alias Nanking Kui Ong bergeletar.
"Letaknya
kira-kira lima puluh lie dari sini. Di sebelah selatan ada sebuah reruntuhan
klenteng. Di tanah pada pintu sebelah belakang tiga peti emas itu
kupendam…"
"Kau
berani dusta terhadapku Bu Ceng?!" hardik Ki Hok Bun.
"Aku
tidak dusta ciangkun. Kita ke sana saja sekarang jika ciangkun tidak
percaya," sahut Bu Ceng.
Ki Hok
Bun anggukkan kepala dan mengerling ke arah Wiro. Melihat isyarat ini Wiro lalu
lepaskan totokan di tubuh Bu Ceng seraya berkata, "Manusia tolol. Apakah
kau pernah mendengar kalau bangsa iblis dan setan macammu ini akan ditempatkan
Thian di sorga sekalipun dia menyerahkan seratus peti emas?"
Sesaat Bu
Ceng tertegun.
"Apa
maksudmu?" tanya dengan suara besar serak.
"Maksudku
kau tetap harus mampus. Dosa dankejahatanmu sudah selangit. Malah sudah
menerobos langit! Kalau bukan karena kau biang racunnya istri dan anak saudara
angkatku itu tak akan menemui kematian. Nah sekarang kau hadapilah twakoku
itu!"
Wajah Bu
Ceng yang garang jadi berubah putih kertas. Pucat pasi.
"Tapi…
tapi … bukankah dia sudah janji memberi ampun dan tiga peti emas itu kami bagi
dua…?"
"Jangan
bicara ngelantur manusia durjana!" hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi
memberi ampun padamu. Pengampunan tidak akan menghidupkan kembali anak serta
istriku! Soal emas itu kau bisa terima bagianmu di neraka!"
"Jadi…
kau sengaja menipuku?!" Mata Bu Ceng melotot.
Kembali
Ki Hok Bun menyeringai.
"Terserah
kau mau bilang apa. Yang jelas kau akan susul empat anak buahmu. Mereka telah
tak sabar menunggumu di neraka. Di dunia kalian sama-sama berbuat kejahatan.
Ganjarannya di akhirat juga harus kalian rasakan sama-sama!"
Dendam
kesumat yang membara membuat Ki Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan segala
macam aturan persilatan ataupun jiwa satria terhadap musuh paling besarnya ini.
Pedang sakti di tangan kanannya tergenggam erat. Sekali senjata ini menabas
maka terpekiklah Bu Ceng. Tangan kanannya putus. Pedang berkelebat lapi. Tangan
kirinya kini yang jadi sasaran. Sekali lagi senjata itu menderu. Dan anggota
rahasia Bu Ceng amblas putus!
Terdengar
suara seperti sapi dipotong keluar dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia
iblis itu. Tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa lagi. Dan seperti tadi, seperti
kamasukan setan Ki Hok Bun bacokkan pedangnya berulang kali ke tubuh Bu Ceng
hingga tubuh itu tak karuan rupa lagi, hancur luluh!
Sesaat
setelah sadar akan dirinya Ki Hok Bun jatuhkan diri di tanah. Mulutnya bergetar
ketika berkata, "Istriku The Cun Giok, anakku Sun Bie, hari ini aku Ki Hok
Bun telah membalaskan sakit hati kalian atas lima manusia iblis itu. Kuharap
kalian berdua bisa tenteram kini di alam baka …. " Lalu KI Hok Bun
menangis sesenggukan.
‘Twako,
bangunlah…!" kata Wiro sambil memegang bahu saudara angkatnya itu.
Perlahan-lahan Ki Hok Bun berdiri. Ditatapnya muka pemuda itu lalu berkata,
"Tarima
kasih. Aku berhuYtng budi bahkan bwhutang nyawa terhadapmu. Kau sudah tahu di
mana tiga peti emas itu disembunyikan. Pergilah ke sana dan ambillah…!"
Wiro
Sableng tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Sekarang
bukan saatnya bicara segala hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu, aku mana
ada hak untuk memilikinya. Takdir menentukan emas itu harus menjadi
milikmu…"
"Kalau
begitu tiga peti emas itu kukembalikan saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki
Hok Bun pula.
Wiro jadi
mendelik. "Kenapa jadi begitu tolol twako? Kalaupun mau dikembalikan cukup
dua saja, yang satu ambil olehmu. Kau sudah kehilangan segala-galanya twako.
Anak istri, rumah dan ladang. Kau perlu sesuatu untuk modal masa depanmu!"
Ki Hok
Sun merenung. "Kata-katamu akan kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan
menuju ke sana. Kau ikut…?"
"Tidak
twako. Aku akan melanjutkan perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini yang
belum kudatangi!
"Kalau
begitu kita berpisah dan selamat jalan. Selama langit masih biru, hutan masih
hijau dan air sungai masih mengalir ke laut, aku tak akan melupakanmu dan
kuharap kita bisa berjumpa kembali!"
Wiro
mengangguk. "Kudoakan agar kau bahagia twako."
Keduanya
saling rangkul beberapa ketika. Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu lebih
dulu. Wiro memperhatikan sampai saudara angkatnya itu lenyap di kejauhan.
Setelah Ki Hok Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh siap pule untuk pergi.
Namun tiba-tiba satu tangan halus memegang lengannya. Dia berpaling. Ternyata
pelacur jelita bernama Lu Sian Cin itu. "Eh, ada apakah nona …?"
"Tayhiap,
kau telah menolongku. Kalau tak ada kau mungkin aku sudah mati di tangan
manusia iblis itu. Aku merasa tidak tenteram sebelum dapat membalas budi
bessrmu itu…"
"Eh,
aku tidak mengharapkan imbalan apaapa…"
"Terus
terang akupun tak punya harta apa-apa. Kecuali…"
"Kecuali
apa maksudmu?"
Lu Sian
Cin membisikkan satu kata-kata mesra ke telinga Wiro Sableng membuat pemuda ini
jadi merah wajahnya tapi juga senyum-senyum.
"Kau
mau…?"
Wiro
garuk-garuk kepala. Siapa yang tak mau diajak bersenang-senang oleh perempuan
secantik Lu Sian Cin ini? Tapi walau bagaimana pun Lu Sian Cin adalah pelacur.
Dan ini membuat pendekar kita jadi meragu. Namun untuk menyenangkan hati
perempuan itu dia berkata, "Baiklah, aku akan datang ke tempatmu. Kau
berangkat saja lebih dulu. Nanti kususul!" Wiro kedipkan matanya. Lu Sian
Cin tersenyum gembira dan setengah berlari tinggalkan tempat itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment