Hancurnya
Istana Darah
WIRO SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
DEBUR
OMBAK memecah di pantai dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi di
udara pagi yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai tampaklah
berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi tembok tinggi sepuluh tombak.
Baik-bangunan maupun temboknya seluruhnya berwarna merah.
Di daerah
pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah ditumbuhi pohon-pohon lain selain
pohon kelapa. Namun adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang
mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua puluh satu pohon
beringir raksasa. Bila angin bertiup dari laut, daun-daun pohon beringin
bergemerisik keras, akarakar gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini
menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu, setiap angin bertiup maka
menebarlah bau busuk dan anyir dari jurusan bangunan berwarna merah itu.
Bila
seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia
akan terkejut dan berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan
lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan tidak! Warna merah pada atap,
tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi
darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan
serta mengerikan, menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak
jauhnya!
Matahari
pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan
di bangunan besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki
menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi berlalu, dari arah timur, berpapasan
dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak selang
berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit
karang tinggi dan runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang
tunggangan masing masing ke jurusan tembok bangunan merah.Baik bulu kuda maupun
pakaian kedua penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah basah agak
bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi … dengan darah.
Mereka
mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibacahi dengan darah. Dan
di bawah topitopi itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang
karena telah dipupuri dengan darah yang telah membeku!
Salah
seorang dari kedua penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam
yang dimelintangkan di punqqung kuda dalam keadaan pingsan dan siapa pula orang
yang menggeletak tak berdaya berpakaian hitam ini!
Kuda-kuda
merah lewat di antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai di hadapan
sebuah pintu besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini
terdapat tiga deretan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang manusia yang
telah dicat merah dan berbunyi. "Pintu Gerbang Darah"
Salah
seorang dari penunggang kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang mengangkat
tangan kanannya tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar situ pekik aneh yang
disusul dengan suara lantang, "Atas nama Raja Darah, bukalah pintu
gerbang!"
Untuk
beberapa lamanya suara pekik serta seruan marwsia itu masih mengiang-ngiang di
udara pantai yang mengandung garam tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan
suara dengan disertai tenaga dalam yang tinggi.
Sesaat
kemudian dari belakang "Tembok Darah" demikian nama tembok merah yang
mengelilingi bangunan besar itu terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh
satu pertanyaan yang membentak keras, "Siapa yang datang!"
"Hulubalang
Keempat dan Kelima!"
"Kalian
habis dari mana?"
"Menjalankan
tugas Raja!"
Tak lama
kemudian terdengar suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka. Bersamaan
dengan itu dari bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu besi
yang juga penuh dengan darah dan bertuliskan "Jembatan Darah."
Ternyata
antara Pintu Gerbang Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan oleh
sebuah parit selebar lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak.
Parit ini dibuat sedemikian rupa mengelilingi bangunan besar, dialiri dengan
air yang telah menjadi merah karena bercampur darah dan di dalamnya berenanglah
ratusan ular berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari satu
jengkal sampai lima meter! Semua orang di situ mengenal parit itu dengan
sebutan "Parit Kematian."
Kedua
orang yang mengaku Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat dan
sampai di tangga bangunan besar. Di belakang mereka Jembatan Darah masuk
kembali ke tempatnya sedang Pintu Gerbang Darah menutup dengan sendirinya.
Dengan
memanggul tubuh manusia berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti
Hulubalang Kelima menaiki anak tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya
terdapat tulisan, "ISTANA DARAH." Huruf-huruf tulisan inipun dibuat
dari tulang belulang manusia yang diberi warna merah dengan darah!
Setelah
melewati beberapa ruangan, kedua Hulubalang sampai di satu ruangan besar yang
pada bagian tengahnya terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan
busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah sebuah patung raksesi dalam keadaan
telanjang bulat dan dari bagian di antara kedua pangkal pahanya senantiasa
memancur cairan warna merah.
Di depan
sana terdapat sebuah gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan darah
jelas kelihatan berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar
biasa hawanya tetapi juga pengap membuat seseorang yang tak biasa akan sesak
bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenang-tenang saja
seolah-olah udara macam begitu tidak mengganggu jalan pernafasan mereka barang
sedikitpun. Di hadapan "Tirai Darah" mereka berdiri dengan sikap
keren, lalu membuka topi masing-masing dan menjura.
"Paduka
Yang Mulia Raja Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua
Hulubalang Keempat dan Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas
yang telah dibebankan kepada kami!" Sunyi sesaat.
Lalu dari
ruangan di belakang Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang parau
sember dan perlahan namun hebatnya suara yang parau serta perlahan ini sanggup
membuat dinding-dinding ruangan berwarna merah jadi bergetar. Tirai Darah
bergoyang-goyang sedang cairan merah di dalam Kolam Darah tampak
bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di belakang
Tirai Darah itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya!
"Beri
tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Mendengar
ini Hulubalang Darah Keempat membuka mulut memberi jawaban.
"Kami
berdua telah berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam daerah
timur yang bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan
pingsan dan ditotok!"
"Bagus!"
memuji orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya.
"Jebloskan dia dalam tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan
nyalakan api di bawah batok kepalanya! Biar dia tahu rasa!" Ucapan itu
ditutup dengan suara tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk
serapah aneh. "Keparat… sialan! Laknat …. haram jadah! Terkutuk … !
Mampuslah semua! Semua…!"
Ucapan
kotor itu masih terus terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk
serapah itu berhenti maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka mulut.
"Perintah
Paduka Yang Mulia segera kami laksanakan!"
Setelah
menjura hormat, kedua Hulubalang tadi beserta tawanannya segera meninggalkan
tempat tersebut!
******************
2
HULUBALANG
Darah Keempat dan Kelima memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri kanan lorong ini
banyak sekali cabang cabang lorong yang kesemuanya diterangi dehgan lampu
minyak. Dimana-mana kelihatan warna merah darah dan di sini udara jauh lebih
pengap dan lebih busuk dari ruangan ruangan lain dalam Istana Darah.
Mereka
sampai di hadapan sebuah pintu merah terbuat dari besi dan dijaga oleh dua
orang Hulubalang Darah yang memiliki tampang seram bengis. Betapapun bengis
gelaknya kedua pengawal pintu besi itu, namun melihat siapa yang datang
keduanya segera memberi hormat.
"Atas
nama Raja Darah harap kalian buka pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang
Kelima.
Kedua
Hulubalang pengawal meneliti orang berbaju hitam yang dipangqil Hulubalang
Keempat. Salah salah seorang dari mereka bertanya.
"Siapa
dia?"
"Sepuluh
Jari Maut," jawab Hulubalang Keempat dan pengawal yang bertanya ladi lalu
memperhatikan sepuluh jari orang yang dipanggul. Kesepuluh jari itu berkuku
panjang dan berwarna hitam legam. Sementara itu pengawal yang satu lagi dari
dalam sabuknya mengeluarkan seuntai anak anak kunci. Dengan salah satu anak
kunci dibukanya pintu besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang Keempat dan
Kelima menyusul mengikutinya.
"Dia
adalah tahanan yang keempat sampai." kata pengawal penjara sambil
berjalan. Ruangan yang mereka lewati merupakan sebuah gang selebar tiga tombak
dari batu karang atos yang dicat dengan darah. Pada dinding kiri kanan terdapat
deretan pintu-pintu besi merah. Deretan-deretan pintu sebelah kiri diberi
berangka ganjil sedang deretan sebelah kanan berangka genap. Inilah ruangan
Penjara Darah yang terletak di bawah tanah dan memiliki enam puluh buah kamar
tahanan.
Di depan
pintu yang bertuliskan angka 24 pengawal itu berhenti dan mengeluarkan untaian
anak kunci lalu membuka pintu besi. Begitu pintu terbuka dari dalam ruangan
menyambarlah hawa dingin lembab yaag busuk luar biasa. Lantai dan dinding serta
langit-langit ruangan tahanan merah oleh darah, sebagian masih merupakan cairan
sebagian lagi telah kering membeku.
"Nyalakan
lampu!" perintah Hulubalang Darah Kelima.
Pengawal
segera menyalakan lampu minyak dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup terang.
Pada dinding sebelah kiri terdapat sebuah rak batu. Di atas rak ini terletak
berbagai macam benda penyiksa. Pada langit-langit ruangan tampak sebuah kerekan
lengkap dengan tali kawat yang besarnya dua kali ibu jari. Dengan tali kawat
ini sepasang kaki tawanan diikat erat-erat lalu tubuhnya dikerek hingga kini
jadi tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Dari rak
batu Hulubalang Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang
berisi potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan
api benda hitam ini langsung terbakar menyala.
"Kita
tunggu sampai dia siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.
Tak
berapa lama kemudian tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan
membuka sepasang matanya perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu
keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh Jari Maut melihat dunia ini terbalik.
Kepalanya seperti mau karena jalan darahnya menyungsang sedang di sekelilingnya
tampak tiga orang berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya
sementara itu disambar oleh bau busuk luar biasa.
"Di
mana aku …?" desis Sepuluh Jari Maut. Dicobanya menggerakkan
anggota-anggota tubuhnya tapi tak bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang,
sedikitpun tak dapat digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa dirinya
berada di bawah pengaruh totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk
memusnahkan totokan tersebut namun sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya
bukan totokan sembarangan. Sepuluh Jari Maut memandang ke atas dilihatnya
sebuah roda kerekan besi yang tergantung di langitlangit ruangan, diganduli
kawat besar. Ujung kawat itulah yang telah mengikat kedua kakinya dan sakitnya
bukan main. Dia memandang kembali pada tiga manusia berpakaian merah basah dan
bau itu. Akhirnya dia ingat. Sebelumnya dia telah bertempur dengan dua di
antara tiga manusia tersebut. Dalam jurus kedua puluh tiga dia terpaksa harus
menerima satu jotosan keras dari lawan yang tepat mengenai pelipisnya. Selagi
dia berdiri nanar dengan pandanyan berbinar-binar, musuhnya yang lain telah
menotoknya hingga dia tidak berdaya. Lalu kepalanya dipukul hingga akhirnya
dalam keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh pirgsan. Nyatalah bahwa kedua
musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat tersebut dan menawannya.
Dendam
dan marah memuncak dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya menonjol
bergemeletukan.
"Tempat
celaka apa ini namanya….?!" Sentak Sepuluh Jeri Maut.
Hulubalang
Darah Kelima dan Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing menyungging
seringai bengis.
"Celaka
bagimu, bukan bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.
"Jahanam!
Kalian mau bikin apa terhadapku? Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan
kalian!"
Plaak!
Satu
hantaman tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk beberapa
lamanya dia terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai gelap.
"Tak
tahu diri. Sudah hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak
Hulubalang Darah Keempat.
"Puaah!"
Sepuluh Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya
terhadap musuh yang tidak berdaya!"
"Setan
alas!" teriak Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani
muka tokah silat berbaju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan
matanya. "Seret pendupaan itu kemari!"
Hulubalang
pengawal menyeret pendupaan yang dikobari api lalu melekkannya tepat di bawah
kepala Sepuluh Jari Maut.
"Tadi
kau bertanya di mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima, ”Ketahuilah
bahwa saat ini kau telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama Penjara
Darah!"
Sepuluh
Jari Maut kertakkan rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan panasnya
kobaran api yang menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia
dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian dari mulutnya mulai keluar raungan
kesakitan yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang ada di
situ tertawa gelak-gelak.
"Manusia-manusia
bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan kalian, kelak
aku akan menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"
"Kalau
begitu biar kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah
Keempat. Lalu kawat kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan itu
semakin dekat dengan kobaran api dalam pendupaan besi. Rambutnya yang menjulai
mulai terbakar dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut Sepuluh Jari
Maut tiada hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga suaranya menjadi
parau. Saat itu dirasakannya kulit kepala dan tulang tengkoraknya seperti
meleleh! Kemudian nafas laki-laki ini mulai megap-megap. Darah yang keluar dari
hidung, mulut, mata dan telinganya menetes-netes di atas api dalam pendupaan
besi, menimbulkan suara "cees" yang tiada hentinya.
"Sudah
tiba seatnya memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah
Keempat pada kawannya Hulubalang Darah Kelima.
Hulubalang
Darah Kelima mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu sebelah
atas terdapat sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam setiap
kamar tahanan yang sekaligus merangkap ruang penyiksaan.
Tak lama
setelah Hulubalang Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua laki-laki
yang membawa ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah. Salah
seorang dari mereka, yang barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam
berpaling pada Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.
"Laksanakan
tugas kalian cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama
Hulubalang Darah Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut.
Yang
tinggal di dalam ruangan tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua
laki-laki berjubah merah. Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di sisi
kiri keluarkan segulung pipa karat warna merah. Dia menggoyangkan kepalanya
pada kawannya yang memegang pisau. Si pemegang pisau ini segera mendekati
Sepuluh Jari Maut, lalu craass …! Dengan pisau kecil itu diputusnya urat nadi
di leher Sepuluh Jari Maut. Darah menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan
dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh Sepuluh Jari Maut mengalir melewati
pipa karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh Jari Maut sendiri saat itu
megap-megap dan akhirnya meregang nyawa dengan cara mengenaskan.
******************
3
LAKSANA
anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari kencang
membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang pertama adalah
seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang kawannya
seorang dara berkulit hitam manis dan mengenakan pakaian ringkas kuning muda.
"Bisakah
kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa
memalingkan kepalanya.
"Kurasa
bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku,"
menjawab si pemuda.
"Halangan
apa maksudmu?"
"Lihatlah
ke langit … "
Gadis itu
mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas sana telah
gelap oleh gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi hampir seluruh
tempat.
"Kalau
hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang
bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu
licin berlumut, serta diapit oleh jurang-jurang terjal … Itulah halangan yang
kumaksudkan."
"Mudah-mudahan
saja hujan tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan
tali kekang kudanya. Binatang itu mendongakc ke depan dan mempercepat larinya.
Pohon-pohon yang dilalui laksana terbang ke belakang.
Kira-kira
sepenanakan nasi berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup
keras menderuderu. Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-gumpalan
awan hitam mulai pupus sekelompok demi sekelompok. Udara yang tadi mendung kini
berangsur cerah.
"Nah,
apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda
hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata,
"Kalau begitu kita memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau
bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih cepat. Bukankah itu yang kau
inginkan?"
Sang dara
cemberut. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda
disampingnya tersenyum. Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya
senyuman si pemuda sewaktu di hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan
merah dan dua sosok tubuh manusia aneh sesaat kemudian sudah berdiri menghadang
di tengah jalan.
Kedua
saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan main dan serta merta
menghentikan kuda masing-masing. Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang
yang mengenakan pakaian merah basah sedang wajah masing-masing ditutupi oleh
cairan yang setengah membeku. Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan
maju mendekati.
"Supaya
tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!"
katanya.
"Kalian
siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi
dan sikap gagah.
"Kami
adalah Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak
pinggang.
"Istana
Darah?!" mengulang si pemuda dengan terkejut.
Kedua
Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas
turut perintah?"
"Turut
perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan
perjalanan!" membentak gadis berbaju kuning.
"Ohoo
… galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak
pinggang.
"Kami
tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau
tidak kalian akan menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.
"Pemuda
sombong tekebur! Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah
yang tegak di sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal
si pemuda segera cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas
serangan Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda
baju biru itu. Tubuhnya mencelat mental dari atas punggung kuda yang
ditungganginya, sedang pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia
rendah! Matilah!"
Satu
bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah batang
leher Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak menjadi
gugup. Di Istana Darah dia adalah Hulubaiang Darah Ketujuh yang mempunyai
kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia berhasil mengelakkan sambaran
pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental pedang
di tangan lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya yang
menjadi merah bengkak. Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.
"Gadis
manis sepertimu ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah
sekarang kalian mau menyerah baik-baik atau bagaimana?"
"Baik,
aku akan menyerah," jawab si gadis, "tapi…" digerakkannya
tangannya.
"Tapi
apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan
dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu
dia gerakkan tangan kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke
arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang Darah Ketujuh!
"Gadis
binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan
pakaiannya. Puluhan jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin
dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian itu!
Melihat
gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia!
Larilah! Lari lekas! Biar aku yang menghadapi begundal-begundal jahat
ini." Dari pertempuran yang baru berjalan beberapa gebrakan itu si pemuda
sudah menyadari bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk
menghadapi kedua lawan yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi
keselamatan adik seperguruannya dia bersedia korbankan nyawa.
"Tidak
kangmas! Mati bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!"
jawab Miani yang membuat kakak seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya
juga sudah menyadari nasib apa yang bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak
merasa gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani maju ke hadapan
Hulubalang Darah Ketujuh,
Yang
ditantang ganda tertawa dan berpaling pada temannya. "Hulubalang Sebelas,
kau bereskan pemuda itu. Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan
membawanya ke Istana!"
Hulubalang
Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam
keadaan terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi.
Namun demikian dengan sisa kekuatan yang ada dan penuh keberanian si pemuda
melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan kirinya tiba-tiba melepaskan
dua puluh jarum biru sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala lawan.
Serangan ini disertai dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas
tidak berani bertindak sembrono.
Dengan
berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke udara,
seranganserangan jarum biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah
Kesebelas. Untuk menghadapi serangan lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada
batok kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas memukulkan tangannya ke atas dengan
mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Dalam
keadaan terluka begitu rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi
pemuda baju biru. Walaupun tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu
keselamatan dirinya akan terjamin. Karenanya begitu lawan memukulkan lengannya
ke atas, pemuda baju biru menjejak tanah dan melompat satu tombak. Bersamaan
dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!
Hulubalang
Darah Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu
rupa. Saat itu dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga dalamnya
untuk melakukan bentrokan lengan. Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam
kedudukan seperti itu cukup sulit untuk menyelamatkan dadanya dari tendangan si
pemuda. Namun adalah percuma dia menjabat kedudukan Hulubalang di Istana Darah
kalau serangan begitu saja dia tidak sanggup menghadapinya.
Dengan
berteriak keras dahsyat Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya
merupakan bayangan merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di
sebelah mana lawannya berada, tahutahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat
di bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun lagi pemuda itu
muntah darah dan tersungkur ke tanah!
"Kangmas
Widura!" pekik Miani.
"Mia!
Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura
sementara nafasnya mulai megap-megap.
Bukannya
lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun sebelum dia
sempat berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di punggungnya membuat
gadis ini melosoh tak berkutik lagi. Hanya mulutnya saja yang masih bisa
mengeluarkan suara memaki dan mengutuki kedua manusia berbaju merah itu.
Hulubalang
Darah Ketujuh membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri.
Dia berpaling pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan
pekerjaanmu."
Dari
balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong karet
yang pada salah satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah
mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat tajam dan berkilat-kilat
ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat
itu tidak berkutik dan menggeletak di tanah tengah meregang nyawa.
Hulubalang
Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal
leher Widura.
"Manusia
biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu
menyaksikan bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di leher
Widura dengan pisau kecil lalu menghubungkan ujung pipa karet dengan urat nadi
yang menyemburkan darah. Sesaat kemudian kantong karet itu kelihatan mulai
menggembung tanda darah korban telah mengalir masuk. Hulubalang Darah Ketujuh
menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.
"Gadis
molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu
tidak menjadi parau!"
"Kalian
manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!"
teriak Miani lalu berulang kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.
"Sialan!
Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!"
hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Ditdriknya pakaian kuning si gadis dan
disekanya mukanya yang penuh ludah.
"Seharusnya
kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan
untuk dipakai sebagai cat istana Darah!"
Tiga
perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi
darah yang mengalir masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas
mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan memanggul kantong berisi darah
itu.
"Atas
semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata
Hulubalang Darah Kesebelas dengan tertawa lebar.
"Yang
jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan
dihadiahkan padaku. Dia menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja
datang untuk mencabut nyawanya!"
Merinding
bulu roma Miani mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku!
Jangan bawa ke Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang
Darah Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu
bersama kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.
******************
4
PAGI ITU
udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin melewati
puncak gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu
yang kemudian menjadi satu dengan awan yang bergerak. Di salah satu lereng
gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini merupakan sebuah goa
yang bagian dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman. Saat itu di mulut goa, di
atas sebuah batu besar berwarna hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran,
duduklah seorang Brahmana berselempang kain putih. Kedua tangannya diletakkan
di atas paha sedang sepasang matanya terpejam.
Nyatalah
Brahmana ini tengah mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya
yang putih menyeka bahu melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin naik
matahari, semakin khusus Brahmana ini bersemedi.
Di lain
bagian dari lereng gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan seorang
pemuda bertubuh tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah
berkelebat kian kemari. Di tangan kanannya ada sepotong bambu hijau yang
digerakkan demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana
menderu-deru. Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya
merupakan sambaran sinar hijau belaka.
Sambil
melompat gesit di atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak
mendekati air terjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak
setengah tombak dari air terjun dan brass! Air terjun muncrat jauh lalu baru
mengalir lagi seperti sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si pemuda dan
hatinya baru merasa puas.
Kemudian
dia berdiri di atas ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki
kiri yang dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali
memapas air terjun. Ketika ditelitinya bambu itu, tak setetespun air melekat di
situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah tetapi daya
dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak
di batu licin!
"Kepandaianku
telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia
hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat
gurunya.
"Ketinggian
ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas puas,
apalagi sombong." Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi di
atas bebatuan dan tangannya tiada henti memainkan bambu hijau itu dalam
gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan. Kira-kira sepeminuman teh
berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk berjuntai di cabang sebuah
pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu
pemikiran muncul di kepalanya.
"Heran,
seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin.
Kenapa sampai pagi ini masih belum muncul?"
Selagi
dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara
memanggil laksana ditiupkan oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu,
apapun adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu mengirimkan suara
dari jarak jauh yang hebat sekali.
"Panji
kemarilah!"
Seraya
melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan
berseru menjawab. "Saya datang Eyang!"
Laksana
seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatu-batu dan
akhirnya sampai di satu jalan kecil yang menuju ke pertapaan.
Begitu
sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan
bertanya.
"Ada
apa Eyang memanggil saya?"
"Kau
habis berlatih … ?"
"Betul
sekali Eyang."
"Bagaimana,
apakahada kemajuan kau rasakan?"
"Berkat
petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam
diri menunggu penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.
"Aku
barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut.
"Dalam semediku aku mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri
Widura dan Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka masih belum
sampai di sini."
itu
memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga.
"Karenanya mohon petunjuk Eyang lebih lanjut."
"Mereka
berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman
mereka ku lepas selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih waktu tersebut
dan mereka belum juga kembali. Cobalah kau turun gunung dan menyelidiki keadaan
sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka."
"Perintah
Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya
bersalin pakaian dulu."
Pemuda
ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan
memberi isyarat.
"Satu
hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia
persilatan kini tengah mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi
oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut dirinya Hulubalang
Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa yang memimpin
mereka."
"Kejahatan
apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"
"Menculik
dan membunuh setiap manusia berilmu."
"Alasan
mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.
"Sebegitu
jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang mereka
bunuh tidak berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua
saudaramu telah menjadi korban manusiamanusia penghisap darah itu."
"Saya
akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan
tidak terjadi suatu apa dengan mereka."
Sang guru
mengangguk.
Panji
Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul
kembali sudah berpakaian rapi.
"Bawalah
Angin Salju dan juga kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya
mengeluarkan sebilah pedang bergagang gading.
Terkejutlah
Panji Kenanga don buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang mempercayakan
saya membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu melihat
gurunya mengangsurkan pedang mustika itu.
"Kalau
tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya.
"Pergunakan sebaikbaiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam
bahaya."
"Terima
kasih atas kepercayaanmu Eyang."
Dengan
membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya
ke balik punggung pakaiannya.
"Sekarang
saya minta diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia
menjura sampai tiga kali lalu membalikkan tubuh. Seat itu dihadapannya telah
berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang cepat laksana
angin den bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh Brahmana binatang ini
diberi nama Angin Salju. Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju.
Sebelum berlalu binatang yang jinak dan cerdik ini enggoyangkan kepalanya
beberapa kali pada sang Brahmana, lalu meringkik tiga kali seolah-olah
mengucapkan selamat tinggal mohoi diri.
*********************
Hujan
lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah
hari perjalanan dari kaki gunung Raung.
"Kita
harus mencari tempat berteduh sobatku." kata si pemuda pada kuda
tunggangannya.
Angin
Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik
serta memahami apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia memutar
tubuh dan laksana anak panah melesat menuju segerombolan pohon-pohon yang
berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon ini hingga tak
setetespun air hujan dapat menembus tanah di bawahnya.
"Matamu
tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga
saraya mengelus tengkuk Angin Salju.
Binatang
itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian itu.
Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang laksana
dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji Kenanga mendengar suara
berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun
manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya
suara berdering-dering itu terdengar semakin keras.
"Apakah
ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak
menakut-nakutiku?" pikir Panji Kenanya dalam hati. Lalu turun dari
kudanya.
Sebagai
orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan
sendirinya Panji Kenanga memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia
terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat mengetahui sumber datangnya
suara berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di tempat tersebut melengaklah
Panji Kenanga.
Di bawah
sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala botak
bercelana tipis dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan.
Setiap saat orang berkepala botak ini menggerak-gerakkan kedua tangannya
melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya kembali,
melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus tiada
henti. Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang
emas bukan satu jumlah yang sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang
sebegitu. Kemudian sepuluh mata itu dilemparkan ke udara dan bertebar demikian
rupa bukan suatu hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluhsepuluhnya
dengan kedua tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan
berulang-ulang oleh si botak itu dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah
si botak ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat.
Astaga! Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana
komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana dia memiliki kepandaian melempar dan
menyambut sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar aneh. Panji Kenanga
melangkah lebih dekat
******************
5
"BAPAK,
siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si botak
tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik
melempar-lemparkan sepuluh mata uang emas itu ke udara. Panji Kenanga mengulang
kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab. Terus saja asyik
bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia tak dikenal ini
tuli maka dia kemudian menegur lebih keras.
Aneh. Si
botak tiba-tiba tertawa mengekeh:
"Hup!"
seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke
udara. Seperti daundaun kering yang dihembus angin uang-uang emas itu melayang
turun perlahan-lahan, kemudian satu demi satu jatuh menempel di atas kepala
botak si orang aneh, tersusun rapi. Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum
melihat hal ini. Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa
pasti tak bakal sanggup melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya
bisa berbuat begitu. Si botak yang kini "bertopikan" uang emas
kembali tertawa mengekeh. Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari
mulutnya kini terdengar suara nyanyian aneh:
Sejak
lahir menderita buta
Sekeliling
serba gelap gulita
Banyak
berjalan banyak didengar
Datang
bertanya seorang sahabat
Sungguh
sayang belum bisa kujawab
Dan
sehabis menyanyi ini, orang itu kembali tertawa mengekeh sedang sepuluh keping
uang emas masih terus menempel di kepalanya yang botak!
"Kalau
kau tak mau menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu lebih
lama," kata Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun hatinya
penuh diliputi rasa ingin tahu siapa gerangan adanya si botak aneh bermata buta
ini.
"Hai!
Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau
dengarlah satu lagi nyanyianku."
Panji
Kenanga hentikan langkah.
Si buta
goyangkan kepala botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di atas kepalanya
melayang ke atas, disambutnya lalu dilemparkannya kembali seperti tadi sehingga
mengeluarkan suara berdering. Dan suara berdering ini dengan teratur menimpali
suara nyanyian yang dibawakannya.
Seorang
muda datang menunggang Angin Salju
Bertanya
tapi tak terjawab
Entah ke
mana gerangan menuju
Tapi
apakah sudi mendengar nasihat?
Berjalan
terus ke utara
Akan
ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan
memang sudah wajar
Tapi
terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau
ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan
sampai nafsu dendam memperdayakan
Pembalasan
harus memakai akal pikiran
Agar
selamat nyawa di badan.
Sepuluh keping
uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu seperti tadi melayang turun
perlahanlahan laksana ditarik oleh suatu kekuatan gaib yang tak kelihatan,
mata-mata uang tersebut mendarat satu demi satu di kepala botak si orang tua.
Di lain pihak Panji Kenanga heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak
buta tak dikenal ini tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau
ditemui keadaan yang mengharukan? Mengapa dia disuruh berjalan ke arah utara?
Setelah meragu sejenak Panji akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai,
bagaimana kau tahu nama kudaku dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian
tadi?"
Si botak
mata buta menguap lebar-lebar. Disandarkannya pungung dan kepalanya ke batang
pohan di belakangnya lalu tidur dengan mendengkur. Bagaimanapun Panji Kenanga
berseru keras memanggil, tetap saja dia terus ngorok.
Panji
Kenanga geleng-gelengkan kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.
Karena
saat itu hujan telah berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si botak tadi
maka akhirnya Panji Kenanga naik ke punggung kudanya, langsung menuju ke utara.
Setelah merancah jalan yang becek akibat air hujan, Panji Kenanga menemui
sebuah lereng pendek berbatu-batu. Di seberang lereng tersebut, diantara
pepohonan yang bertumbuhan di sana sini dilihatnya sebuah jalan kecil
berliku-liku. Apa yang menarik perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang
menyelimuti daerah di seberang lereng berbatu-batu itu. Rupanya hujan tidak
turun di daerah itu.
Panji
Kenanga menyentakkan tali kekang. Angin Salju kembali menggerakkan keempat
kakinya. Tak lama kemudian kedua makhluk itu telah menempuh jalan kecil vang
sebelumnya terlihat dari atas lereng. Ada kira kira setengah peminuman teh
melintasi jalan itu tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan menghentikan
larinya, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!
"Kalau
bukannya ada bahaya atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu binatang
ini tak akan meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia melompat
dari punggung Angin Salju. Diusapnya tengkuk binatang ini beberapa kali seraya
berkata, "Tenang sobatku, tenang …" Si pemuda kemudian melangkah
mengikuti Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan.
Belum
lagi dua puluh langkah berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas
perkelahian di jalan sempit itu. Semak belukar banyak yang rambas sedang di
tanah ada noda-noda hitam membeku. Pemuda ini melangkah terus. Tepat pada
langkah yang keempat puluh, kedua kakinya laksana di pantek ke tanah. Mukanya
berubah. Untuk seketika dia tidak dapat bergerak seperti patung.
"Widura!"
serunya sesaat kemudian lalu menghambur ke muka.
Di tepi
jalan tergelimpang sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian tubuhnya yang
tidak tertutup pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain kafan. Di
sampingnya, diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini adalah darah yang telah
membeku. Dan sosok tubuh itu adalah Widura yang telah jadi mayat. Panji Kenanga
berlutut di samping jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya bergetar. Rahangnya
terkatup rapat-rapat menahan geram. Dia duduk di tanah memangku kepala Widura
yang pucat tiada berdarah. Saat itulah dilihatnya urat nadi yang putus di
bagian leher! Ini adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher itu jelas bukan luka
bukan luka akibat perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh yang pucat pasi
seperti tidak berdarah itu, apakah yang menyebabkannya?
Panji
Kenanga lantas ingat pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan
tengah dilanda malapetaka yang disebabkan oleh orang dari Istana Darah. Bukan
mustahil manusia-manusia terkutuk itulah yang telah membunuh Widura. Tetapi
tubuh yang seolah-olah kempes tanpa berdarah? Apakah mungkin disedot? Geraham
Panji Kenanga bergemeletakan. Dia teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis
itu sekarang?
Panji
Kenanya memandang berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika
pandangannya membentur gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang hampir
pupus oleh udara. Tulisan itu tidak begitu jelas namun sedikit demi sedikit,
dengan susah payah berhasil juga disambung-sambung oleh si pemuda dan ternyata
berbunyi.
Kalau
terjadi apa-apa dengan diriku,
yang
menyebabkannya adalah manusiamanusia
terkutuk
dari Istana Darah.
Mereka
juga bertanggung jawab
atas
keselamatan jiwa dan kehormatan Miani.
Widura
Panji
Kenanga kerenyitkan kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa meninggalkan
pesan begitu? Dan kapan dibuatnya? Atau mungkin dia sudah menduga ada bahaya
terlebih dahulu hingga siang-siang telah membuat tulisan begitu rupa? Tentu
saja semua pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh Panji Kenanga. Dia hanya bisa
menduga-duga. Sebenarnya bagaimana dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah
yang berupa pesan itu?
Pada waktu
dia pertama kali dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga mental dari
atas kuda dan terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik segera memaklumi
bahwa lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan. Apalagi sesudah diketahuinya
bahwa manusia berpakaian serba merah itu adalah Hulubalanghulubalang Istana
Darah yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi dan bukan tandingannya. Yakin
kalau dirinya tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk menyerah atau lari
dia tak mau melakukannya, di samping itu menyadari pula bahwa kedua hulubalang
Darah itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup, maka selagi tertelungkup di
tanah dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu dengan ujung
jarinya yang dialiri tenaga dalam.
Apa yang
dikerjakan oleh Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh
karena saat itu Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi serangan
pedang Miani.
"Tepat
seperti apa yang diduga oleh guru," kata Panji Kenanga dalam hati.
"Walau bagaimanapun aku tak akan berpangku tangan. Sekalipun menyabung
nyawa ke lautan api, hutang nyawa ini harus kubalaskan. Apalagi Miani pasti
berada di tangan keparat-keparat durjana itu!"
Panji
Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah adik seperguruannya dan diletakkannya di
bawah satu pohon yang rindang. Di bagian lain dari pohon dengan sebisa-bisanya
dia mulai menggali sebuah lobang. Lalu jenazah Widura dikuburkannya ke dalam
lobang itu. Setelah ditimbun dengan tanah, makam itu ditutupnya dengan
batu-batu agar tidak dikorek oleh binatang buas.
Setelah
merenung sejenak di hadapan makam adik seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu
melangkah ke tempat Angin Salju tegak menunggu. Saat itu juga dia memutuskan
untuk mencari di mana letak Istana Darah. Namun mendadak dia ingat kembali pada
si botak bermata buta yang sebelumnya telah ditemuinya. "Manusia itu
aneh," kata Panji dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi
tahu siapa dirinya. Bukan mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana
Darah. Aku harus meyakinkan dulu siapa dia sebenarnya." Berpikir sampai di
situ Panji lantas memutar kudanya.
Ketika
dia kembali ke tempat dimana sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh berkepala
botak itu, didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan tidur
mendengkur. Kepingan sepuluh uang emas masih bertempelan rapi di kepalanya.
"Bapak
banguniah!" kata Panji dengan suara keras. Dia berseru sampai beberapa
kali tapi orang itu masih saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran. Tapi
apa yang harus dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si botak ini benar-benar
kaki tangan Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai membangunkan
segala, langsung menghajarnya. Namun karena dia belum punya bukti-bukti maka
dia tak mau kesalahan turun tangan. Akhirnya dengan mengkal Panji Kenanga duduk
di bawah sebatang pohon yang berhadap-hadapan dengan si botak. Ketika matahari
sudah jauh condong ke barat si botak masih juga belum bangun. Bahkan ketika
matahari masuk ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari mulai gelap, si
botak masih saja terus ngorok.
"Tak
mungkin kutunggu lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus
dibangunkan dengan tangan atau dengan kaki!"
Si Pemuda
melangkah mendekati si botak yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya
diulurkan untuk menepuk bahu orang itu. Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh
si botak satu bentakan menggeledek di seantero tempat itu.
"Ini
dia bangsatnya yang kucari-cari!"
Bentakan
itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga
kaget bukan main dan cepat berpaling.
******************
6
DI
HADAPAN Panji Kenanga saat itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti
bola. Rambut dan wajahnya dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya
sebatas sikut juga berwaena biru. Manusia ini memandang buas pada si botak yang
saat itu masih asyik tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala pada Panji
Kenanga. Dari mulutnya terdengar suara macam harimau menggereng.
"Kau
tentu kambratnya Si Botak Mata Buta ini!" damprat orang bermuka biru
seraya melangkah mendekati Panji Kenanga dengan kedua tangan terpentang.
"Aku
tidak ada sangkut paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri
siapa?" bertanya Panji Kenanga.
Si gendut
tidak perdulikan pertanyaan Panji malah menjawa. "Puah, kebenaran ucapanmu
akan kuselidiki kemudian. Jika ternyata kau masih punya hubungan dengan bangsat
gundul itu, kelak kau juga bakal menerima bagian. Sekarang minggirlah!"
Panji
Kenanga melihat orang berbadan gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua
tangannya setinggi kepala. Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu tampak
mengeluarkan sinar biru gelap menggidikkan.
"Minggir!"
teriak si muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda masih
menghalang di depannya.
"Eh,
kau mau bikin apa?" bertanya Panji.
"Tidak
usah tanya! Lihat saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun
menerima bagianmu!"
Panji
Kenanga tidak mau bergeser dari tempatnya malah berkacak pinggang.
"Menyerang lawan yang sedang tidur adalah tindakan pengecut!"
katanya. "Kalau mau buat perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"
"Anak
setan! Kalau begitu biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai
berkata begitu si muka biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah kepala si
botak yang masih tidur lelap, satunya lagi ke arah Panji Kenanga.
Dua sinar
biru menderu dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun saat itu Panji
Kenanga masih merasa si Botak Mata Buta adalah kaki tangan Istana Darah, namun
melihat orang diserang dengan cara pengecut begitu rupa adalah bertentangan
dengan jiwa kesatrianya. Pemuda ini berseru nyaring lalu berkelebat cepat ke
arah pohon di mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak menyelamatkan
orang ini. Namun dia hanya menemui tempat kosong karena lebih cepat dari
gerakannya, hampir tidak kelihatan, si botak itu telah berkelebat lenyap dari
pohon dimana dia tidur!
Sinar
pukulan melesat di atas punggung Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu
bergulingan di tanah. Di belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar tempat
si botak tadi tidur patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara gaduh akibat
dihantam pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi baik batang pohon yang
masih menancap di tanah maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini
kelihatan berwarna biru!
Nyatalah
manusia bermuka biru itu betul-betul menginginkan kematian Panji Kenanga dan Si
Botak Mata Buta. Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah lancarkan
pukulan maut yang mengandung racun mematikan!
Ketika
Panji Kenanga berdiri kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta telah
berada di bawah pohon yang lain, duduk bersandar dan mengorok persis seperti
sebelumnya. Bahkan sepuluh uang emaspun masih tetap ada di kepalanya yang
botak! Di lain pihak si gendut muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua
orang itu berhasil mengelakkan pukulan saktinya yang bernama "kelabang
biru". Lebih-lebih Si Botak Mata Buta dianggapnya sengaja telah
mempermainkannya.
"Kupecahkan
kepala kalian!" teriak si muka biru garang lalu kembali menyerbu dengan
dua kepalan diayunkan. Yang satu menyerang Si Botak Mats Buta, yang lainnya
menghantam ke arah dada Panji Kenanga.
Murid
Brahmana dari gunung Raung itu menggeser kakinya kesamping, menepis lengan
lawan dengan lengan kirinya. Sewaktu masing-masing lengan saling beradu, Panji
Kenanga mengigit bibir karena merasakan lengannya pedas bukan main. Di lain
pihak si muka biru tak kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong lengan
lawan sanggup menepis demikian rupa hingga bukan saja serangannya terhadap si
pemuda gagal, tapi serangan yang ditujukan pada Si Botak Mats Buta pun meleset
akibat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh dua langkah!
Semua itu
membuat amarah si gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga dalamnya
kini disalurkan ke tangan kanan. Lengan kanannya kembali memancarkan sinar
biru. Kali ini lebih biru dan gelap dari yang tadi. Panji Kenanga maklum kalau
lawan kini siap-siap akan melancarkan pukulan saktinya disertai tenaga dalam
yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Maka diapun tidak menunggu lebih lama
dan segera menyalurkan tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan. Begitu
lawan melancarkan pukulan "kelabang biru" yang mengandung racun
mematikan itu, Panji Kenanga segera menyambut dengan satu pukulan yang tak
kalah hebatnya, yang menebar selarik sinar putih ke abu-abuan.
Dua
pukulan sakti saling bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam yang
tinggi maka pertemua dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan.
Pohon-pohon bergoyang, tanah bergetar. Sepasang kaki si muka biru melesak
sampai tiga senti ke tanah sedang kedua kaki Panji Kenanga masuk ke dalam tanah
hampir setengah jengkal!
Dari sini
nyatalah meski masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam sebanyak
tiga perempat bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki si muka biru lebih sempurna dari yang dikuasai Panji Kenanga. Hai ini
adalah wajar karena Panji Kenanga masih terlalu muda, kurang pengalaman dan
masih banyak harus berlatih sementara lawannya sudah belasan tahun malang
melintang di dunia persilatan dan terus menerus melatih diri.
Panji Kenanga
yang memaklumi sepenuhnya hal itu bukannya menjadi takut malah sebaliknya sudah
siap-siap untuk maju kembali dengan segala keberanian yang ada meskipun saat
itu dadanya terasa berdeenyut-denyut.
Si gendut
muka biru diam-diam dalam hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang tadi
dilepaskan pemuda itu beberapa tahun lewat pernah disaksikannya namun dia tak
ingat lagi siapa yang memiliki ilmu pukulan tersebut. Disamping itu dia jugs
tidak menyangka kalau tingkat tenaga dalam lawan akan sanggup mengimbangi
tenaga dalamnya yang sudah tinggi itu.
Manusia
ini tak sempat untuk berpikir panjangpanjang karena saat itu si pemuda
dilihatnya sudah menerjang ke hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan
kosong yang seru. Si muka biru senantiasa berusaha mengadakan bentrokan lengan.
Sebaliknya Panji Kenanga yangg maklum kehebatan sepasang lengan lawan dengan
cerdik selalu menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian
kemari melancarkan serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah sehingga
membuat si muka biru kebingungan.
Memang
dalam hal meringankan tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti bola
itu agak sulit menandingi lawannya yang masih muda. Selama bertahun-tahun Panji
Kenanga telah dididik dan melatih diri melompat-lompat di ujung batu-batu
sungai yang runcing dan licin berlumut. Dan kini di tanah datar dengan
sendirinya bukan satu hal yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat dan
gesit. Sambil terus bertempur si muka biru senantiasa memperhatikan
gerakan-gerakan ilmu silat lawannya. Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga.
Untuk meyakinkan dugaannya ini maka diapun membentak.
"Anak
setan! Ada sangkut paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung
Raung?!"
Panji
Kenanga kaget. Namun cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran
ini, baru nanti bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"
"Setan
alas!" maki si muka biru geram sekali. Dia berteriak nyaring dan tubuhnya
berkelebat lebih cepat tapi jaraknya sengaja diperjauh dari lawan hingga dia
dapat melancarkan pukulan-pukulan "kelabang biru" dengan leluasa.
Menghadapi
ilmu pukulan lawan yang ampuh ini membuat serangan Panji Kenanga mengendur dan
beberapa jurus kemudian pemuda ini terpaksa berada di bawah angin. Si muka biru
melipat gandakan kecepatan gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya sehingga
Panji Kenanga semakin terdesak. Meskipun Panji telah mengeluarkan pula
pukulan-pukulan saktinya seperti yang bernama "mega putih"
namun
tidak ada gunanya. Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai
berpikir-pikir untuk mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan gurunya.
Tapi karena lawan ma’sih bertempur dengan tangan kosong, hatinya merasa bimbang
untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya semakin kritis
juga.
"Muka
biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji Kenanga memancing agar lawan
mengeluarkan senjata dan dengan demikian dia tidak akan merasa sungkan untuk
mencabut pedangnya. Si muka biro tertawa mengejek.
"Untuk
melenyapkan bocah setan macammu ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini
jurus kematianmu!"
Ucapan
itu ditutup oleh si muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar biasa
cepatnya. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu sudah berada di atas lawannya sambil
mengayunkan tiriju yung laksana palu godam ke kepala Panji Kenanga, Pemuda ini
menunduk seraya menghantamkan pukulan "mega putih" ke perut lawan.
Tapi dia terpedaya.
Begitu
Panji Kenanga bergerak memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan
"mega putih" mengenai tempat kosong. Di kejap yang sama si muka biru
menyorongkan satu tendangan kilat ke bawah ketiak kanan Panji Kenanga.
Dalam
keadaan tubuh masih terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul, Panji
Kenanga sulit sekali untuk mengelakkan serangan berbahaya itu. Masih
diusahakannya untuk mencegah hantaman kaki lawan dengan coba menekuk sikut
memukul tulang kering si muka biru. Tetapi itupun terlambat karena saat itu
ujung kaki kanan lawan sudah menyelinap di bawah lengannya!
"Celaka!"
keluh Panji Kenanga dalam hati.
******************
7
DI SAAT
itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat deras
menderu, membuat kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting sejauh setengah
tombak!
"Tapak
Biru! Kau memang terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"
Panji
Kenanga dan si muka biru yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama memalingkan
kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah Si Botak Mata Buta
yang saat itu telah bangun dari tidurnya tapi masih duduk di bawah pohon sambil
mengucak-ucak sepasang matanya yang tidak melihat.
"Botak
buta sialan! Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa
hatiku! Ini mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan tangan kirinya ke arah
pohon. Untuk kesekian kalinya pukulan kelabang biru berkelebat di situ.
"Mentang-mentang
memiliki pukulan baru yang diandalkan sikapmu sombong selangit," ejek Si
Botak Mata Buta. "Cuhh!" dia meludah ke tanah dan mengangkat tangan
kirinya. Satu gelombang dingin bersiuran keluar dari telapak tangan orang ini
dan sekaligus memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru! Tapak Biru
sampai menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya dibikin
musnah semudah itu.
"Sialan!
Tidak kusangka bangsat buta ini sudah maju kesaktiannya begitu jauh!" maki
Tapak Biru dalam hati. Lalu dia berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita
bertempur sampai seribu jurus!"
"Baik
orang gendut," jawab Si Botak Mata Buto seraya berdiri dengan sikap acuh
tak acuh dan sambil tepuk-tepuk pantat celana komprangnya.
Justru di
saat itu Tapak Biru sudah menerjang menyerangnya dengan satu tendangan kilat.
Si Botak tertawa. "Kelicikanmu masih seperti dulu saja, gendut!" Lalu
dia cepat-cepat menyingkir dan akibatnya tendangan Tapak Biru mengenai batang
pohon di sampingnya hingga patah dan tumbang dan menjadi biru akibat racun
kelabang biru.
Penasaran
Tapak Biru membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru ke
depan. Di belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.
"Kau
toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"
Secepat
kilat Tapak Biru memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan saktinya. Namun
lagi-lagi dia mendengar suara tawa dari arah belakang. Si Botak Mata Buta
ternyata telah mempermainkannya. Sebenarnya si buta ini tidak berada di
belakangnya. Namun karena dia memiliki semacam ilmu memindahkan suara maka
suaranya terdengar seperti datang dari belakang, padahal dia berada di tempat
lain tak jauh dari situ!
Menyaksikan
bagaimana si buta mempermainkan Tapak Biru mau tak mau Panji Kenanga merasa
kagum sekali.
"Botak
mata buta mengapa kau hanya berani berkelahi dengan cara pengecut begitu?!"
damprat Tapak Biru marah sekali. Rahanqnya bertonjolan dan dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan sebuah benda bulat sepanjang dua jengkal. Ternyata
adalah sebuah seruling yang terbuat dari perak. Sementara itu keadaan di tempat
itu telah berubaah menjadi gelap. Apalagi di situ penuh ditumbuhi pohon-pohon
berdaun rapat sekali.
"Cara
berkelahi bagaimana yang kau inginkan Tapak Biru?" bertanya si buta.
"Mari
kita berhadap-hadapan mengadu kekuatan batin!"
"Oh,
begitu? Mengadu kekuatan batin berarti tidak mempergunakan senjata bukan
heh?!"
Terkejutlah
Tapak Biru sedang Panji Kenanga melengak terpaku di tempatnya. Keduanya tak
habis pikir. Bagaimana orang buta ini mengetahui kalau lawannya mengeluarkan
dan memegang senjata? Meskipun buta namun saat itu tidaklah terlalu sulit bagi
Si Botak Mata Buta untuk mengetahui bahwa Tapak Biru telah mengeluarkan
senjata. Sinar terakhir matahari yang merambas dari barat telah menimpa
seruling yang terbuat dari perak. Sinarnya memantul dan memijar ke muka si
botak. Sekalipun buta tapi pijaran sinar itu masih dapat dirasakan oleh
urat-urat syarap di belakang matanya. Cuma tentu saja dia tidak jelas senjata
apa yang ada di tangan lawan saat itu.
Tanpa
perdulikan ejekan lawan Tapak Biru mementang kedua kakinya, mengalirkari tenaga
dalam ke perut dan mendekatkan ujung seruling ke bibirnya. Terdengar suara
seruling mengalun. Mula-mula perlahan lalu makin keras dan makin merdu. Si
botak bergerak-gerak sepasang matanya yang buta. Baik dia maupun Panji Kenanga
sama-sama tercekat dengan alunan suara seruling itu. Namun tanpa disadari oleh
Panji Kenanga, lambat laun kepalanya menjadi pusing dan berat sedang
pemandangannya mulai berbinar-binar. Lututnya goyah dan tubuhnya perlahan-lahan
jatuh duduk di tanah!
Sebaliknya
Si Botak Mata Buta masih juga berdiri tak bergerak di tempatnya. Keningnya
mengerenyit. Ada kelainan dirasakannya pada denyutan nadinya serta aliran
darahnya. Namun di mulutnya tersungging satu senyuman. Setelah menutup jalan
pendengarannya diapun membuka mulut,
"Tapak
Biru, sejak kapan kau memiliki suling itu? Pasti itu senjata curian heh?
Bagusnya kau mengamen masuk kampung keluar kampung, pasti kau bakal mengantongi
banyak uang!"
Tapak
Biru tidak perdulikan ejekan lawannya. Tiupan serulingnya semakin keras dan
tambah merdu.
"Ah,
nyanyianmu dari itu ke itu juga Tapak Biru. Bosan telingaku mendengarnya!"
kata Si Botak Mata Buta. Lalu diputarnya tangannya di udara tujuh kali
berturut-turut. Pada akhir putaran tangan yang ketujuh maka terdengarlah suara
menderu seperti suara angin punting beliung. Mula-mula perlahan, makin
lamamakin keras hingga menelan suara tiupan seruling Tapak Biru.
Betapapun
Tapak Biru memperkeras tiupan serulingnya tetap saja tak terdengar dalam
bisingnya suara angin yang diciptakan Si Botak Mata Buta. Malah kini kelihatan
si muka biru tubuhnya bergetar dan pakaian serta rambutnya melambai-lambai
sedang Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling lenyap
baru dia kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri angin
punting beliung itu membuatnya terhuyung-huyung.
Pemuda
ini mengerahkan tenaga dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya
sampat goyah. Cepat-cepat dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di situ.
Putus asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan seruling peraknya.
"Bangsat
botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja kelak aku bakal menyelesaikan
urusan dengan dia," gerutu Tapak Biru dalam hati.
"Hai
gendut pendek! Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.
"Sayang
aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih.
"Hari ini masih kuberi kesempatan padamu untuk bernafas beberapa lama
lagi. Kelak walau bagaimana nyawa anjingmu akan kutagih untuk melunasi hutang
jiwa kematian adikku!"
Si botak
tertawa gelak-gelak. Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping uang emas
masih menempel di atas batok kepalanya yang plontos.
"Kau
memang pandai bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu,
suling curianmu itu padaku!"
"Jangan
temahak jadi manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan
padamu jika kau sudah kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"
Si botak
usap-usap dagunya dan berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih Tapak Biru.
Tinggalkan suling itu atau tinggalkan nyawamu!"
"Botak,
jangan melantur! Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk mendengarkan
celotehanmu!"
"Selesai
berkata begitu Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di
belakangnya terdengar si botak berseru.
"Suling
atau nyawamu, gendut!"
Di kejap
itu juga si botak sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang larinya. Tapak
Biru berkelebat ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari itu si botak sudah
menghadang pula di depannya. Sekali lagi dia melesat ke samping, sekali lagi
pula si botak muncul menghadang di hadapannya. Dihalangi begitu rupa Tapak Biru
jadi marah sekali tapi juga bingung melihat kehebatan lawan. Dia menerjang
dengan menghujamkan suling perak ke arah kening lawan. Yang diserang begitu
merasakan datangnya angin serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk lalu
menggerakkan kedua tangannya serentak. Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang
yang kanan menyantakkan seruling perak.
Tapak
Biru terpekik kesakitan. Disamping itu dia juas terkejut karena suling perak di
tangan kanannya tiada lagi sedang di depannya Si Botak Mata Buta tertawa
gelak-gelak.
"Masih
inginkan suling ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan
suling perak yang kini berada dalam genggamannya.
Tapak
Biru mendengus dan membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat itu
diantar suara tertawa mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga menyaksikan hal
itu dengan menahan tawa tiba-tiba si botak berkelebat dan tahu-tahu Panji
Kenanga merasakan satu pukulan keras menghantam belakang kepalanya. Tak ampun
lagi murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung ini roboh dan pingsan!
******************
8
KETIKA
Panji Kenanga sadarkan diri didapatinya hari telah malam. Keadaan sekitarnya
gelap gulita. Tiupan angin dingin sekali menusuk tulang-tulangnya. Di kejauhan
sesekali terdenger suara burung hantu mambuat auasana serasa mengerikan.
Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Dirabanya bagian belakang kepalanya yang
terasa mendenyut sakit. Dia terkejut sewaktu satu bayangan putih besar bergerak
di sampingnya. Ketika dia berpaling tarnyata adalah kuda kesayangannya Angin
Salju. Panji tersenyum dan menarik nafas lega. Dijentikkannya tangannya memberi
tanda. Binatang itu datang mendekat.
Panji
Kenanga langsung naik ke punggung Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda ini
dia berkata, "Bawa aku keluar dari tempat celaka ini, sobat."
Seakan
mengerti akan maksud tuannya Angin Salju melompat dan lari meninggalkan tempat
itu. Tak lama kemudian binatang ini sudah menempuh sebuah jalan kecil yang
menuju ke sebuah bukit. Dalam kencangnya lari Angin Salju, Panji Kananga
merasakan sesuatu menggandul di leher serta memukul-mukul dadanya. Sebenamya
hal itu terasa sejak tadi namun karena pemuda ini hanya memikirkan peristiwa
yang barusan dialami maka hal itu tak terperhatikan olehnya.
Panji
Kenanga menunduk memperhatikan dadanya. Terkejutlah pemuda ini. Tangan kanannya
menyentak tali kekang kuda hingga Angin Salju dengan serta merta hentikan
larinya. Pada sehelai benang yang terkalung dilehernya menggandul sebuah benda
putih panjang yang bukan lain adalah seruling perak yang telah dirampas Si
Botak Mata Buta dari tangan Tapak Biru.
"Bagaimana
benda ini bisa tergantung pada leherku?" tanya Panji Kenanga pada diri
sendiri.
Digerakkannya
tangannya. Sekali renggut putuslah benang penggantung seruling. Panji menimang-nimang
benda itu beberapa lama dan berpikir-pikir. Tak dapat disangsikan lagi tentu Si
Botak Mate Buta yang punya kerja. Mula-mula orang aneh itu memukul kepalanya
hingga pingsan. Dalam keadaan pingaan lalu dia menggantungkan seruling perak di
lehernya.
"Tapi
mengapa hal itu dilakukannya?" muncul lagi pertanyaan baru dalam hati si
pemuda. Dan pertanyaan ini tak kunjung dapat dijawabnya.
Panji
memandang ke langit. Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip. Bulan sabit
muncul di balik sekelompok awan. Si pemuda meneliti suling perak di tangan
kanannya itu. Pada waktu itulah dilihatnya segulung kertas pada ujung sebelah
bawah. Segera gulungan kertas ini dicabutnya. Ketika dibuka di dalamnya
ternyata ada beberapa baris tulisan yang berbunyi.:
Pembalasan
harus dilakukan
Tapi akal
pikiran harus diutamakan
Kutitipkan
Suling Perak padamu
Bertemu
pemiliknya harap serahkan.
Walaupun
di bawah tulisan itu tidak tertera tanda atau nama pembuat surat namun Panji
Kenanga sudah bisa menduga bahwa surat itu dibuat oleh orang botak yang lihay
itu. Dua kali orang itu memberi nasihat agar mempergunakan akal pikiran bila
dia hendak melakukan pembalasan. Pertama dalam nyanyian pada pertemuan waktu
hujan lebat dan kedua dalam surat tersebut "Kalau begitu besar kemungkinan
dugaanku meleset," kata Panji dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki
tangan atau bergundal Istana Darah." Kembali Panji menimang-nimang suiing
perak itu. Siapakah gerangan pemilik sebenarnya benda itu? Mengapa justru Si
Botak Mata Buta menitinpkannya padanya? Akhirnya Panji menyelipkan suling
tersebut di balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa
memperdulikan lagi kemana Angin Salju membawanya. Tak selang berapa lama di
kejauhant kelihatan kelap-kelip nyala api.
"Sobatku,
larilah ke arah nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau kampung. Kita
bisa istirahat di sana malam ini," bisik Panji Kenanga.
Angin
Salju mengeluarkan suara reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa yang
dimaksudkan tuannya. Dan binatang ini lebih mempercepat larinya.
*********************
Kampung
Warnasari sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai kampung karena jumlah rumah
yang ada di situ banyak sekali. Di samping itu terdapat pula tiga buah jalan
besar serta jalan-jalan kecil. Lebih tepat kiranya bilamana Warnasari dikatakan
sebagai sebuah kota kecil. Malam itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun
kesunyian sekali ini jauh berbeda denqan kesunyian seperti biasanya. Kesunyian
kali ini adalah kesunyian yang dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat
oleh sekelompok orang-orang yang saat itu berada di kedai paling besar di
Warnasari.
Dalam
kedai itu suasana biasanya ramai. Suara orang-orang yang asyik mengobrol sesekali
dipecahkan oleh gelak tawa berderai. Tiga orang laki-laki berpakaian serba
hitam dan bertampang bengis duduk di tengah kedai. Mereka inilah yang membuat
suasana tidak seperti biasanya lagi. Tak ada yang berani bicara keras apalagi
tertawa.
Di atas
meja di hadapan mereka terhidang segala macam makanan yang enak-enak serta
minuman yang lezat-lezat. Demikian banyaknya makanan dan minuman itu hingga dua
buah meja terpaksa digabung menjadi satu.
Pemilik
kedai seorang laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai
dengan muka seputih kertas, lutut gemetar. Tiga orang pelayan berdiri
disampingnya. Seperti pemilik kedai para pelayan inipun berada dalam ketakutan
yang amat sangat. Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin tamu. Namun begitu
tiga manusia ini masuk, para tamu yang ada di situ cepat-cepat membayar makanan
dan minuman masing-masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di antara mereka
yang belum sempat mencicipi makanan ataupun minuman namun karena kawatir
cepat-cepat saja berlalu.
Tiga tamu
berpakaian serba hitam melahap makanan di atas meja laksana singa-singa buas
yang telah berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang kedai tiga orang
berseragam hitam lagi tampak berdiri sedang di pintu depan lima orang dengan
pakaian yang sama tampak berjaga-jaga sambil bertolak pinggang dan menghisap
rokok.
"Hai
Bawean!" sentak salah seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam
kedai. "Bawa ke sini satu kendi tuak baru untukku!"
Dengan
tergopoh-gopoh pemilik kedai meninggalkan tempatnya kemudian muncul kembali
membawa sebuah kendi berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan sangat
hati-hati di atas meja lalu kembali ke tempatnya semula di sudut kedai menunggu
perintah selanjutnya.
"Lama
juga anak-anak pergi memanggil kepala kampung itu," kata salah seorang
yang duduk melahap makanan. Namanya Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari semua
orang yang berpakaian serba hitam itu. Pimpinan gerombolan rampok yang paling
ditakuti di daarah sekitar hulu Kali Bedadung. Dua orang yang ikut makan
bersamanya adalah orang-orang kepercayaannya alias tangan kanannya yang
masing-masing bernama Randuwongso dan Taliwongso. Keduanya kakak beradik.
Dulunya
Randuwongso dan Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang melintang
sepanjang Kali Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan Ronggokarapan bersama
beberapa anak buahnya melakukan kejahatan yang serupa. Pada suatu kali
terjadilah pertemuan yang tidak disangka-sangka antara duao kelompok penjahat
itu. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan
Randuwongso berhasil dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan
dari gabungan dua kelompok penjahat itu. Meskipun dua bersaudara Wongso itu
pada dasarnya menanam dendam kesumat terhadap Ronggokarapan namun mereka
menyadari adalah mencari mati jika mereka berani melakukan sesuatu selagi ilmu
kepandaian mereka jauh di bawah Ronggokarapan.
Di
kejauhan terdengar derap kaki kuda.
"Itu
pasti anak-anak," kata Randuwongso.
Ronggokarapan
menyeringai.
"Kali
ini kepala kampung itu harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu rasa!"
kata pamimpin rampok itu lalu memandang ke pintu. Saat itu di luar kedai suara
rentak kaki kuda terdengar semakin dekat. Lima anak buah rampok yang tegak di
ambang pintu memandang ke ujung jalan.
Tak
selang berapa lama dari tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda putih
berikut penunggangnya. Mendekati kedai itu si penunggang memperlambat lari
kudanya. Di depan kedai dilihatnya hampir seluruh kuda tertambat sedang di
ambang pintu lima orang berpakaian serba hitam dan rata-rata bertampang buas
tegak berjejer membuat hatinya kurang enak dan curiga.
Si
penunggang kuda yang bukan lain adalah Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu
menghentikan Angin Salju di depan kedai dan melompat turun. Perutnya sangat
lapar dan memang dia musti berhenti di situ karena malam buta begini di mana
pula akan mencari kedai lain yang masih buka. Dia tengah melangkah ke pintu
kedai ketika salah seorang dari lima manusia yang tegak menghadang di pintu
masuk menegurnya. "Orang muda, putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh
masuk ke dalam!"
Panji
Kenanga berpaling don memandang muka orang itu.
"Memangnya
ads apa?" tanya si pemuda.
"Tak
usah banyak bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung
kau disuruh pergi baikbaik. Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat sedang
tubuh anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu rasa!"
"Oh,
kalau begitu itu lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya
tersenyum. Dia sudah maklum kini dengan manusia-manusia macam apa sebenarnya
dia sedang berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan langkahnya menuju pintu
kedai.
"Kurang
ajar! Dikiranya kita ini siapa!"
Rampok
yang membentak melompat ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan goloknya ke
kepala pemuda ini. Si pemuda cepat manyingkir. Golok yang menderu menembus
udara kosong terus menghantam dinding kedai!
******************
9
"HAI!
Ada apa ribut-ribut di luar sana?!" terdengar bentakan Ronggokarapan dari
dalam kedai. Kedua pembantunya segera berdiri dan melangkah ke pintu.
"Ada
apa disini?!" tanya Randuwongso.
"Pemuda
kurang ajar ini hendak memaksa masuk ke dalam kedai!” jawab salah seorang
perampok.
"Bah,
kukira ada apa. Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam orang
keblinger!" kata Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam. Sementara itu
sambil bertolak pinggang Randuwongso menatap si pemuda asing dan bertanya
dengan kasar.
"Pemuda
hina dina, kau siapa?!"
"Namaku
Panji Kenanga. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam kedai.
Toh kedai ini bukan punya nenek moyangnya!"
"Hem…"
Randuwdngso tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau
kubikin mengerti?"
Dia
berpaling pada lima orang anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar
monyet alas ini sampai dia mengerti!"
Serempak
dengan itu kelima orang perampok tersebut menerjang menyerang Panji Kenanga.
Namun gerakan mereka terhenti karena saat itu dari dalam kedai terdengar seruan
Ronggokarapan.
"Randu!
Biarkan monyet alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"
Melihat
orang-orang disitu tak jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena ada yang
berteriak dari dalam. Panji Kenanga segera dapat menduga. Siapapun adanya orang
yang barusan berseru dia pastilah pemimpin dari keseluruhan manusia-manusia
jahat yang ada di tempat itu.
Panji
Kenanga tersenyum pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berkata,
"Nah, apa kataku. Kedai ini bukan milik nenek moyang kalian, kan? Buktinya
pemimpin kalian sendiri yang mengundangku masuk!" Habis berkata begitu
dengan lenggang kangkung Panji Kenanga melangkah masuk ke dalam kedai. Satu hal
yang tak terduga terjadi sewaktu pemuda ini baru saja masuk dua langkah ke
dalam kedai. Sebuah benda melayang pesat ke arah kepalanya!
Saking
cepatnya benda itu melesat Panji Kenanga tak sempat mengenali benda apa adanya
namun dengan cekatan dia menundukkan kepala dan berhasil mengelakkan hantaman
benda tersebut. Seseat kemudian di belakangnya terdengar suara benda tadi pecah
berantakan. Pemuda ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar yang telah
dilemparkan ke kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk mengangkat
kaki di belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas, bercambang
bawuk dan berbibir tebal. Dialah Ronggokarapan.
"Bagus,
sanggup juga kau mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai.
"Sekarang coba elakkan yang ini!" Kedua tangannya yang bertelapak
tebal dan berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja. Hebatnya, lima buah
piring berisi makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana anak panah
lepas dari busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga!
Kaget
murid Brahmana Lokapala itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin rampok
tergebut memiliki kepandaian begitu hebat. Dengan gesit Panji Kenanga cabut
suling perak dari balik pinggangnya. Lalu terdengar suara trang-trang-trang
sampai delapan kali berturut-turut. Lima buah piring dan tiga gelas berhamburan
pecah ke lantai.
Kini
Ronggokarapan yang ganti terkejut.
"Sobat
mata merah! Ini kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba. Si
pemuda hantamkan kaki kanannya ke lantai kedai. Puluhan pecahan piring dan
gelas yang ada di lantai, laksana daun kering dihembus angin, menderu menyambar
ke arah pemimpin rampok Kali Bedadung itu!
Saking
kagetnya melihat kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu
Ronggokarapan sampai keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya
mengancam. Kedua tangannya turun dengan cepat ke bawah dan di lain kejap dia
telah mengangkat meja makan besar itu ke atas untuk melindungi tubuhnya.
Puluhan beling pecahan gelas dan piring menancap pada papan meja. Belasan
lainnya bertebaran lewat di sampingnya. Dapat dibayangkan bagaimana kalau
puluhan pecahan kaca itu menancap di kepala dan tubuh Ronggokarapan!
"Orang
muda, terima kasih atas serangan balasanmu!" kata si kepala rampok keren.
"Kau menang. Dan terimalah hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara
Ronggokarapan tertawa dari balik meja. Di lain ketika tiba-tiba meja yang besar
yang terbuat dari kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana dihantam
topan. Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga jengkal lagi meja
besar itu akan melabraknya, pemuda ini angkat kedua tangannya menangkap dua
dari empat kaki meja. Lalu dengan gerakan seperti seorang main akrobat meja
yang berat itu diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa menimbulkan suara
sedikitpun!
Semua
mata memandang hampir tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi
sunyi senyap. Di ujung kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa
yang disaksikannya tadi sungguh membuatnya kagum luar biasa tetapi sekaligus
juga membuatnya ketakutan. Kalau dua orang berilmu tinggi baku hantam dalam
kedainya, pastilah segala perabotan yang ada di situ akan porak poranda. Bahkan
bukan mustahil kedainya akan amblas roboh!
Di luar,
terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian hitam masuk
ke dalam kedai menggiring seorang lelaki tua berambut putih, berpipi cekung dan
melangkah terbungkuk-bungkuk. Ronggokarapan tidak acuhkan orang-orang yang
masuk ini. Dia memandang tak berkedip pada Panji Kenanga. Otaknya jalan.
"Ilmunya
tinggi," membatin Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan,
seumur hidup aku bakal enak ongkang-ongkang kaki …"
Kepala
rampok itu tersenyum. "Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan
kiri. "Antara kita tak ada saling sengketa apa-apa. Lupakan cara
berkenalanku yang agak kasar tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik kedai
dan memerintah, "Bawean, siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan
hidangkan pada pemuda ini. Cepat!"
Tanpa
banyak bicara, dengan ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang
diperintahkan Rondokarpan.
"Sobatku,
kau duduklah tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si
kepala rampok.
Sementara
itu Randuwongso datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa kepala
kampung kemari."
Ronggokarapan
berpaling. Dia memandang pada lelaki tua berambut putih yang berdiri dengan
muka pucat pasi don gemetaran di hadapannya.
"Lawang
Kuning!" kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu.
"Ingat apa yang kuperintahkan tempo hari?!"
Kepala
kampung itu mengangguk berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik
Taliwongso dan tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga dia
merintih kesakitan.
"Ak
. . . aku ingat Ronggo," Lawang Kuning akhirnya membuka mulut sambil
mengerenyit kesakitan karena rambutnya masih dijambak keras oleh Taliwongso.
"Bagus.
Kalau ingat mengapa tidak kau laksanakan!"
"Sulit
Ronggo. Sulit! Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di
sini miskin semua…"
"Sulit
atau tidak aku tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!"
damprat Ronggokarapan.
Randuwongso
ikut menghardik. "Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan. Mengumpulkan
semua harta benda perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu tua
bangka!"
Penduduk
di sini rata-rata punya sawah ladang. Ternak!" yang bicara kini adalah
Taliwongso. "Rumah mereka bagus-bagus. Mustahil tidak punya uang dan
perhiasan."
Ronggokarapan
geleng-geleng kepala dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning. "Kalau
tidak ingat persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan badanmu,
Lawang…"
"Justru
kalau masih menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat terhadapku?
Dan terhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apa-apa!"
Lawang Kuning memberanikan diri menyahuti.
Kepala
rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan plak!
Satu tamparan mendarat di muka kepala kampung tua itu. Lawang Kuning jatuh
terjelapak di lantai. Pemandangannya berkunang-kunang. Pipinya sakit bukan
main. Dia merasakan darah mengalir di sela bibirnya yang pecah.
"Hajar
dia sampai konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu
dia duduk ke sebuah kursi.
Yang
pertama sekali turun tangan adalah Randuwongso. Kaki kanannya menendang
punggung kepala kampung yang masih terduduk nanar di lantai.
Bukk!
Tendangan
mendarat di punggung Lawang Kuning. Orang tua ini menjerit mengenaskan.
Tubuhnya mencelat menghantam dinding kedai sebelah kamar lalu tergelimpang ke
lantai. Dari mulutnya terdengar suara erangan. Lalu diam. Entah pingsan entah
mati.
Sesosok
tubuh melompat ke hadapan Randuwongso.
"Bangsat!
Kau mau apa?!" sentak Randuwongso ketika melihat ternyata Panji Kenanga
yang rnenghadangnya.
"Mau
mematahkan kakimu yang tadi dipakai menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.
"Sobat,
jangan jadi orang tolol," berseru Ronggokarapan. "Aku sudah punya
rencana bagus untukmu. Biarkan saja tua bangka itu konyol. Tidak sekarang
lusapun dia akan mampus juga!"
Panji
Kenanga menyeringai. "Kalaupun orang tua ini mati, maka harus ada yang
mengantarkannya ke akheratl" Lalu secepat kilat Panji Kenanga kirim kan
satu jotosan ke dada Randuwongso. Yang diserang terkejut tak menyangka. Masih
untung dia tidak ayal dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat dihindarkan
lagi di dalam kedal itu.
Semula
Ronggokarapan hendak membentak menyuruh hentikan perkelahian itu. Namun
selintas pikiran muncul dalam benaknya. Dengan adanya perkelahian itu dia akan
dapat melihat sampai di mana kehebatan pemuda asing yang menurut rencananya
hendak dijadikan tangan kanannya itu. Baru berkelahi lima jurus Randuwongso
sudah terdesak. Ini membuat perampok tersebut penasaran sekali. Selama ini
belum ada orang lain yang dengan tangan kosong sanggup mendesaknya begitu rupa
kecuali pemimpinnya.
Didahului
satu bentakan garang Randuwongso berkelebat gesit mengirimkan serangan-serangan
berantai selama tiga jurus berturut-turut. Tampaknya Randuwongso menjadi nekat.
Panji Kenanga berlaku hati-hati. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi pemuda ini berkelebat kian kemari sehingga
tak satupun serangan lawan mengenai tubuhnya. Di lain pihak setiap ada
kesempatan Panji Kenanga tidak lupa untuk melancarkan serangan ba!asan yang
cukup membuat Randu menjadi repot.
Setelah
berlalu beberapa jurus Panji mulai melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat
lawan. Pada satu kesempatan yang paling baik murid Brahmana Lokapala itu
keluarkan jurus yang disebut "sekuntum bunga menebar harum." Kedua
tangannya membuat gerakan berputar, terpentang ke samping laksana kitiran.
Randuwongso merundukkan kepala melihat serangan aneh itu lalu susupkan satu
jotosan ke bagian bawah tubuh lawan yang lowong.
Namun rampok
ini kalah cepat. Tepi telapak tangan kiri Panji Kenanga mendarat lebih dulu di
kuduknya, membuat Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh terjerembab di
lantai kedai! Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya kelihatan gembung merah.
Ketika dia berdiri kembali tampak miring. Sepasang bola matanya seperti
bernyala-nyala. Kedua tinjunya terkepal.
"Bangsat!
Kalau aku tidak dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi
orang!"
Randuwongso
sudah siap untuk menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah pintu
terdengar suara tawa bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang seperti
disirap, tertegun di tempat masing-masing.
"Yang
sudah mampus kalau bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin
berhenti jadi orang?! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"
******************
10
KETIKA
semua orang memandang ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut gondrong
memasuki kedai dengan langkah seenaknya dan sambil cengar-cengir. Hebatnya
lagi, di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan muda berpakaian
merah yang robek-robek di beberapa tempat hingga menyembulkan kulitnya yang
putih mulus.
Si pemuda
melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh perempuan yang
dipanggulnya lalu didudukkannya di atas kursi. Semua orang jadi terkesiap
ketika menyaksikan wajah perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi sepasang
matanya terpejam, bibirnya berwarna biru. Sedang tidur, pingsan atau
tertotokkah dia, demikian setiap orang menduga-duga.
Pemuda
itu memandang berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia mengumbar tawa
dan ucapan lantang namun setelah sampai di dalam dia seperti acuh tak acuh saja
dengan segala apa yang terjadi di situ. Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu
menghentikan pandangannya pada orang tua bermuka pucat di seberang sana.
"Bapak,
kau pemilik kedai ini?" tanya si pemuda.
Ki Sepuh
Bawean mengangguk. Agak takut-takut.
"Aku
perlu kain untuk menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga keroncongan
…"
Ki Sepuh
Bawean memandang pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah manusia
yang satu ini orang benar atau bangsa sedang brengsek pula yang bakal menambah
huru-hara di kedainya. Kemudian dia memandang pula pada gadis berbaju merah
yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Salah satu robekannya
demikian besar hingga pangkal payu daranya yang sebelah kiri kelihatan
tarsembul dengan jelas.
"Pak
tua, lekaslah. Aku tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini.
Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan."
Ki Sepuh
Bawean hendak beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarsrpan memberi isyarat
dengan larnbaian tangan agar pemilik kedai itu tetap di tempat semula.
Sambil
rnenimang-nimang sebuah paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang
asing, kau siapa?"
"Maaf
aku datang ke mari bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu
duduk di samping gadis baju merah yang pingsan. Tentu taja semua orang jadi
terkesiap mendengar jawaban pemuda tak dikenal itu. Ronggokarapan sendiri kelihatan
marah tampangnya dan duduk ternganga.
"Tambah
lagi satu orang edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.
Si pemuda
tak ambil perduli ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai, dan berkata
lagi, "Pak, tolong berikan apa yang kuminta."
Ki Sepuh Bawean
jadi serba salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia memenuhi
permintaan pemuda itu maka dia bakal mendapat hajaran dari Ronggokarapan dan
anak anak huahnya. Sebaliknya jika dia tidak menolong, hati kecilnya merasa
kasihan terhadap tamu muda tersebut yang kelihatannya memang letih, apalagi
menyaksikan keadaan garlis yang duduk di kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma
bisa angkat bahu.
Pemuda
rambut gondrong itu berdiri.
"Aku
tak salahkan engkau kalau takut pada manusia itu," katanya sambil
menunding dengan ibu jari tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan
engkau, gorilapun pasti akan kabur melihatnya!"
Selama
hidupnya baru kali itu Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi di
depan orang banyak dan di muka hidung anak buahnya rendiri!
Tangan
kanannya menggebrak meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan
tangan kiri diletakkan di pinggang.
"Monyet
gondrong! Berani menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi
kematian!"
Si pemuda
menyeringai. "Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau
mulutmu membuat hidungku seperti mau tanggal!"
"Bangsat
rendah!" teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokaraprrn
menggembor. Tangan kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang dialirkan ke
situ. Tiba-tiba dia menghantam ke depan kirimkan satu pukulan tangan kosong.
Selarik angin keras menyambar ke arah dada si pemuda. Meja dan kursi
berpelantingan saking hebatnya. Bahkan beberarapa orang anak buah
Rongglokarapan cepat menyingkir takut terserempet angin pukulan itu.
Yang
diserang rupanya juga bukan manusia sembarangan walau masih muda dan tampangnya
kelihatan tolol. Dengan satu gerakan kilat dia melompat seraya menyambar tubuh
gadis yang didudukkannya di kursi. Baru saja dia berkelebat dari tempat itu,
kursi kosong itu hancur berantakan kena hantaman pukulan tangan kosong
Ronggokarapan. Dinding papan di belakangnya ikut pecah-pecah. Dapat dibayangkan
bagaimana kalau pukulan ganas tadi mengenai tubuh si gadis yang berada dalam
keadaan tidak sadar diri itu!
Baik
Ronggokarapan maupun si pemuda tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda tidak
menyangka kalau kepala rampok itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan
benar-benar inginkan nyawanya. Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun
tidak mengira kalau si pemuda bakal sanggup mengelakkan serangannya itu bahkan
sekaligus mampu menyelamatkan gadis di atas kursi!
Diam-diam
Ronggokarapan menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang pemuda
yang berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi belum
selesai. Kini muncul satu lagi. Apakah kedua orang ini punya hubungan satu sama
lain?
Tanpa mengacuhkan
kepala rampok itu, sambil memanggul tubuh gadis yang tak sadarkan diri, pemuda
berambut gondrong bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.
"Hai!
Kau mau kabur ke mana?!" bentak Ronggokarapan mengejar.
Di bagian
belakang kedai si pemuda menemukan sehelai kain panjang tergantung. Benda ini
segera disambarnya dan dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis yang
dipanggulnya. Kemudian dengan cepat dia mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat
ditemuinya di tempat itu, membungkusnya dengan daun dan keluar.
Namun di
hadapannya Ronggokarapan dan tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam keadaan
seperti itu si pemuda masih saja bersikap luar biasa. Tanpa rnengacuhkan
orang-orang yang ada di depannya dia berkata pada Ki Sepuh Bawean.
"Terserah kau mau bilang aku pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku
tak punya uang untuk membeli nasi serta lauk yang barusan kubungkus ini. Kain
panjang inipun kupinjam dulu. Atas kebaikanmu aku ucapkan terima kasih. Budi
baikmu pasti akan kuingat."
"Bangsat!
Lagak bicaramu seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak adalah
Rongaokarapan.
Lalu
tanpa banyak menunggu lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si pemuda.
"Sebelum kubunuh biar kubikin cacat dulu kau!"
"Terima
kasih untuk seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si
pemuda. Tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke perut lawan.
Bagaimanapun
juga serangan kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan. Akibatnya tendangan
kaki itu akan lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan tangan. Hal ini diketahui
benar oleh Ronggokarapan. Dengan gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke
samping kiri. Dari sini dia langsung susul serangannya yang tadi batal dengan
satu jotosan ke arah pelipis kanan pemuda berambut gondrong.
Kali ini
si pemuda tidak punya kesempatan untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya
dia kawatir pukulan lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh gadis yang
berada di panggulannya. Maka terjadilah satu tontonan yang menarik. Pemuda
rambut gondrong lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya ke udara lalu dengan
lengan kanan dia menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok lipat
gandakan tenaga dalamnya. Dia yakin sekali tangannya beradu dengan lengan si
pemuda maka pemuda itu akan terjengkang dengan tangan patah!
Sedetik
kemudian dua lengan mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara keras.
Disusul oleh keluhan kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan. Ketika dia
meneliti ternyata lengan kanannya berwarna merah dan bengkak sedang tubuhnya
sendiri akibat bentrokan itu terpental sampai empat langkah! Selagi lawan
berdiri terkesima dan kesakitan pemuda rambut gondrong telah menangkap kembali
bungkusan nasi yang tadi dilemparkannya ke udara!
"Keroyok
dia! Cincang sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar
perintah itu delapan anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso menyerbu.
Ada yang mengandalkan tangan kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman dengan
senjata di tangan.
"Sialan
betul, lama-lama di sini aku bisa berabe! " si pemuda yang menjadi
buian-bulanan serangan mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan
tubuhnya mencelat ke atas hampir menyundul langitlangit kedai. Di lain kejap
selagi lawan terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda lancarkan
tendangantendangan pada kepala atau dada lawan-lawannya yang berada di bawah.
Randuwongso
muntah darah akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung roboh dan
tergelimpang tak sadarkan diri di lantai. Seorang lagi anak buah Ronggokarapan
mencelat sambil menjerit. Hidungnya melesak menghambur darah, bibirnya pecah
dan giginya amblas akibat terkena hantaman tumit si pemuda!
"Bunuh!
Pateni!" teriak Taliwongao yang jadi beringas karane melihat saudaranya
roboh tak berkutik dan disangkanya sudah mati. Golok besarnya menderu membabat
pinggul lawen sementara dua orang anggota rampok lain kirimkan tusukan dari
kiri kanan. Si pemuda berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat dielakkannya,
sambaran golok Talliwongso menggores bajunya. Ini membuat dia jadi penasaran
dan sebelum lawan memburu dia pindahkan bungkusan nasi ke tangan kiri.
"Setan
alas! Kowe mau lari ke mana?!" teriak Taliwongso dan mengejar ke pintu
karana menyarngka lawan hendak lari.
"Rampok
bau! Siapa bilang aku mau kabur. Silakan hadiahku ini!" teriak si pemuda
lalu putar tangan kanannya dan menderulah rangkuman angin
******************
11
KEDAI
Kayu yang tak seberapa besar itu laksana dilanda angin punting beliung.
Benda-benda berpelantingan. Enam anggota rampok terhuyung-huyung lalu jatuh
satu demi satu. Taliwongso masih sanggup bertahan dari hempasan angin dan
dengan golok besar di tangan kembali menyerang lawan. Si pemuda pukulkan tangan
kanannya ke arah Taliwongso. Kali ini Taliwongo terjajar ke belakang lalu jatuh
terjengkang di antara anggota-anggota rampok lainnya. Ronggokarapan kelihatan
berkerut keningnya. Dia kerahkan seluruh tenaga yang ada agar jangan sampai
ikut terseret oleh gelombang angin yang menggebu-gebu itu. Tubuhnya bergetar.
Pakaiannya berkibar-kibar. Kumis dan cambang bawuknya berjingkrak!
Di sudut
lain Panji Kenanga tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Diam-diam murid Brahmana Lokapala ini juga kerahkan tenaga dalamnya agar jangan
sampai kena tersapu sambaran angin yang keluar dari tangan si gondrong.
"Siapa adanya pemuda gagah ini!" tanya Panji Kenanga dalam hati. Jika
saja dia tidak memiliki ilmu yang tinggi pasti sudah sejak tadi terseret oleh
gelombang angin. Ronggokarapan yang juga memiliki ilmu silat dan tenaga dalam
tinggi kerahkan kekuatannya namun tak urung lututnya masih terasa goyah. Dia
mengambil keputusan untuk menyerbu saja dari pada menderita malu karena jatuh
dilanda angin serangan lawan. Maka didahului satu bentakan keras kepala rampok
Kali Bedadung ini menerjang ke depan. Tangan kanannya dihantamkan ke arah
lawan.
Selarik
sinar hitam berkiblat ganas ke jurusan pemuda yang memanggul gadis. Setengah
depa lagi sinar ha am ini akan menghantam mati si pemuda, tiba-tiba dia balas
menghantam dengan tangan kanan, menyongsong datangnya sinar pukulan lawan.
Serangkum angin yang padat dan berbuntal-buntal bulat menderu. Dan punahlah
sinar hitam Ronggokarapan dengan mengeluarkan suara mendesis.
Melihat
pukulan "wesi hitam" yang amat diandalkannya dibikin musnah oleh
lawan begitu mudah, Ronggokarapan menjadi kecut dan lumer nyalinya. Apelagi
saat itu ketika memandang berkeliling dilihatnya anak-anak buahnya masih pada
berjelapakan di lantai tiada daya sedang di ujung sana musuhnya yang lain yakni
Panji Kenanga tegak memandang mengejek ke arahnya.
Tengah
kepala rampok ini berpikir-pikir untuk ambil langkah, seribu mendadak dirasakannya
dadanya amat sakit lalu satu bayangan berkelebat. Ronggo merunduk. Tapi
terlambat. Satu tamparan mendarat di keningnya, laki laki ini melintir lalu
jatuh duduk di lantai dengan pandangan berkunang-kunang.
"Selamat
tinggal Ronggokarapan. Lain kali kita bertemu lagi!" Terdengar seruan
pemuda rambut gondrong dan di lain kejap dia sudah lenyap lewat pintu kedai
bersama gadis di atas panggulnya.
"Hebat
sekali pemuda itu," kata Panji Kenanga dalam hati. "Bahkan agaknya
dia belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena sikapnya berkelahi tadi
seperti main-main saja." Lalu murid Lokapala ini berpaling pada
Ranggokarapan yang masih menjelapak di lantal kedai. Dan kagetlah Panji Kenanga
ketika menyaksikan bagaimana di kulit kening kepala rampok itu kelihatan
tertera tiga buah angka yaitu : 212.
"Dua
satu dua …," desis Panji Kenanga sambil leletkan lidah. "Kalau begitu
… Jadi rupanya dialah yang dijuluki Pendekar 212. Pantas … Guru pernah
menerangkan tentang dia. Sekarang melihat bagaimana hebatnya dia benar-benar
aku merasa masih jauh ketinggalan!"
Sementara
itu Ronggokarapan dengan terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti oleh anakanak
buahnya kecuali Randuwongso yang masih menggeletak pingsan dan seorang lagi
yang tadi sempat ditendang remuk mukanya. Kepala rampok itu meneguk sisa-sisa
tuak yang masih ada dalam salah satu kendi sekedar untuk melegakan perasaan
kecut serta sakit pada kepalanya. Kendi tuak kemudian dibantingnya hingga pecah
di lantai lalu kembali sifat ganasnya keluar.
"Lawang
Kuning!" bentak Ronggokarapan. "Kemari cepat!"
Kepala
kampung Warnasari yang masih ketakutan di sudut kedai tersentak kaget dan
terbungkuk bungkuk melangkah menghampiri kepala rampok itu Begitu kepala
kampung itu sampai di hadapannya tangan Rongpokarapan segera hendak melayang
menamparnya, namun gerakannya dihentikan oleh seruan tiba-tiba dari salah
seorang anak buahnya!
"Pemimpin!
Keningmu!"
Kepala
rampok itu berpaling tak mengerti.
"Keningmu!"
kini Taliwongso yang bicara sambil tepuk keningnya sendiri.
Ronggokarapan
usap keningnya lalu memperhatikan tangannya. Hanya keringat yang dilihatnya
menempel di situ. Tak ada kotoran apa-apa seperti yang disangkanya. Taliwongso
melangkah mendekati dan dengan suara bergetar dia berkata,
"Ada
tiga angka aneh tertera di keningmu."
"Hah,
apa …?!" dan Ronggokarapan kembali memegang keningnya. Mengusapnya
berulang kali. Namun deretan angka 212 itu tetap saja tak mau hapus.
"Kau
jangan main-main Wongso! Angka keparat apa yang ada di keningku hah?!"
Ronggokarapan marah karena mengira dipermainkan.
"Demi
setan aku tidak main-main. Di keningmu benat-benar ada angka dua-satu dan dua.
Kalau tak percaya tanyakan pada anak-anak!"
Kepala
rampok itu berpaling pada anak-anak buahnya. Dan kesemua mereka sama melongo
ketika menyaksikan bahwa di kening pimpinan mereka saat itu memang terlihat guratan
angka 212. Ronggokarapan mengambil piring dan mengisinya dengan air putih. Lalu
dia berkaca pada air di atas piring itu. Dinginlah tengkuk pernimpin rampok ini
ketika melihat bayangan wajahnya sendiri dengan tiga buah angka hitam pada
keningnya. Dia seperti mau kencing. Selama malang melintang menjadi orang jahat
ada beberapa tokoh golongan putih yang paling ditakutinya dan diusahakannya
agar jangan sampai bertemu. Salah satu diantara mereka adalah yang berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dan hari ini tiada di sangka dia telah
berhadapan bahkan berkelahi dengan pendekar tersebut. Serta meninggalkan angka
pengenalnya yang angker!
Kepala
rampok Kali Bedadung itu kerahkan tenaga dalamnya dan coba menghapus tulisan di
keningnya. Namun sia-sia saja.
"Sekalipun
kulit kepalamu dikelupas, angka-angka itu tak bakal hilang!" Yang bicara
ini adalah Panji Kenanga.
Ronggokarapan
berpaling. Kini amarahnya ditumpahkannya pada pemuda yang satu ini.
"Pemuda
keparat! Sudah saatnya kau musti mampus!"
Begitu
membentak begitu dia menyerang dengan lepaskan pukulan "wesi hitam"
yang mengeluarkan sinar hitam dan deru ganas. Meskipun pukulan saktinya itu
tadi tidak mampu menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng namun Ranggokarapan
beranggapan Panji Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng dan pasti konyol dilanda
pukulannya itu.
Namun
tidak semudah itu merobohkan Panji Kenanga. Meski dia masih muda dan belum
banyak pengalaman tetapi Brahmana Lokapala dari gunung Raung telah
menggemblengnya cukup hebat. Ketika melihat kepala rampok itu lepaskan pukulan
maut Panji Kenanga cepat menghindarkan diri ke samping dan dari tempat
kedudukannya yang baru pemuda ini membalas dengan satu tendangan kilat ke arah
tulang-tulang iga lawan.
"Kurang
ajar!" maki Ronggokarapan penasaran bukan main karena bukan saja
serangannya mengenai tempat kosong tapi juga tidak menyangka kalau lawan bakal
kirimkan seranqan balasan secepat itu. Dengan sedikit repot dia meliukkan badan
ke kiri dan di lain kejap selarik sinar putih memapas ke arah kaki Panji Kenanga.
Murid
Lokapala itu kaget dan cepat-cepat menarik pulang tendangannya. Ternyata
Ronggokarapan telah cabut golok besarnya dan membabatkan senjata itu ke kaki
kanan si pemuda. Ilmu golok kepala rampok ini memang hebat hingga Panji Kenanga
harus bertindak hati-hati. Meski dia tahu dengan kegesitan dalam ilmu
meringankan tubuh senjata lawan tak bakal mencelakainya, namun Panji tak mau
main-main lebih lama dengan penjahat ini. Segera dia keluarkan seruling perak
dari balik pakaiannya dan pergunakan benda ini untuk menghadapi senjata lawan.
Gerakan-gerakannya yang gesit, sambaran dan tusukan-tusukan suling perak yang
gencar membuat serangan Ronggokarapan jadi terbendung. Setiap saat dia harus
berlaku awas waspada. Beberapa kali pakaiannya hampir terkait ujung suling
perak.
Beberapa
jurus berlalu cepat. Permainan golok Ronggokarapan mulai mengendor bahkan
kacau. Setiap jurus dirinya diburu bahaya. Akhirnya ketika dia merasa tak mampu
melayani pemuda itu lebih lama maka dia berteriak beri perintah agar samua anak
buahnya ikut bantu mengeroyok. Kecuali anggota rampok yang mukanya melesak kena
tendang Wiro Sableng, tujuh orang lainnya ditambah Randuwongso yang telah
siuman dari pingsannya kini mengurung Panji Kenanga lalu dengan senjata di
tangan menyerang pemuda itu. Panji maklum dikeroyok demikian rupa kalau hanya
mengandalkan seruling pendek akan terlalu besar bahayanya baginya. Dia tak mau
berlaku takabur. Laksana seekor kucing hutan pemuda ini berkelebat ke kiri.
Satu jeritan terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya mental ke udara dan secepat
kilat disambar oleh Panji Kenanga. Dengan golok di tangan kanan dan seruling
perak dipindah ke tangan kiri, murid Brahmana Lokapala ini mainkan jurus-jurus
ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah dikuasainya.
Dalam
satu gebrakari saja pemuda itu berhasil merobohkan seorang pengeroyok dan
membabat putus tangan kiri seorang lainnya. Namun demikian dia terpaksa
melepaskan golok di tangan kanannya sewaktu empat golok lawan secara serentak
bentrokan dengan senjatanya. Tiga dari empat golok itu adalah yang
masing-masing dipegang oleh Ronggokarapan, Taliwongso, dan Randuwongso.
"Jangan
tunggu lebih lama. Cincang keparat itu sampai lumat!" teriak
Ronggokarapan.
Serempak
dengan itu lima golok berkelebat menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba selarik
sinar biru menderu dan trang … trang … trang! Tiga pengeroyok terpekik seraya
melompat keluar dari kalangan pertempuran dalam keadaan terluka parah. Satu
diantararrya adalah Taliwongso. Pembantu kepercayaan Ronggokarapan ini berdiri
membungkuk sambil pegangi perutnya yang bobol dihantam pedang "Gajah
Biru"
yang kini
berada di tangan Panji Kenanga.
Taliwongso
tak berumur lama. Dia roboh ke lantai. Menggetiat beberapa kali lalu tak
bergerak lagi untuk selama-lamanya. Dua rampok lainnya mengalami nasib sama.
Mati di situ juga dimakan pedang mustika pemberian Brahmana Lokapala.
Randuwongso seperti orang kemasukan setan ketika menyaksikan kematian
saudaranya. Didahului satu pukulan tangan kosong dia kirimkan bacokan ke arah
kepala Panji Kenanga. Namun dengan pedang Gajah Biru di tangan pemuda itu kini
sulit untuk dihadapi. Sekali Panji mengiblatkan senjata mustikanya mentallah
golok besar di tangan Randuwongso bersama-sama sebagian telapak tanganya!
Dengan
menjerit kesakitan dan memegangi tangannya yang kini buntung mengucurkan darah,
Randuwongso melompat keluar dari kalangan perkelahian. Sisa-sisa rampok yang
mengeroyok dan sejak tadi sesungguhnya sudah meleleh nyalinya sama-sama
melompat keluar dari kalangan menjauhi Panji Kenanga. Dengan demikian kini
hanya Ronggokarapan seorang diri yang bertempur melawan Panji Kenanga. Dan
inipun tidak lama. Sesudah golok besarnya dibabat putus oleh pedang Gajah Biru
kepala rampok ini lari ke pintu dan memberi abaaba pada anak buahnya untuk
melarikan diri. Yang masih sanggup kabur tentu saja tidak sia-siakan kesempatan
ini. Mereka tak perduli lagi akan kawan-kawan mereka yang tertinggal di dalam
kedai dan melolong minta tolong. Sebelum Ronggokarapan dan anak-anak buahnya
yang kabur lenyap Panji Kenanga masih sempat berteriak.
"Kalau
kalian berani lagi datang ke desa ini jangan harap bakal dapat ampunan
dariku!"
******************
12
DENGAN
mengandalkan ilmu lari tingkat tinggi yang sudah mencapai kesempurnaannya,
Pendekar 212 Wiro Sableng lari laksana angin. Hampir-hampir sulit untuk melihat
kapan kedua kakinya menjejak tanah. Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus
mencapai tujuannya. Dalam gelap dan dinginnya malam dia lari terus seperti
tidak memperdulikan apapun. Di bahu kirinya sampai saat itu dia masih memanggul
sosok tubuh gadis baju merah yang berada dalam keadaan pingsan. Siapakah
gerangan adanya gadis cantik ini? Kenapa berada dalam keadaan begitu rupa dan
lebih lanjut kemanakah sebenarnya Wiro Sableng saat itu membawanya?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas kita kembali pada suatu tempat kira-kira setengah
hari perjalanan jauhnya di tenggara desa Warnasari. Saat itu sekitar dua jam
setelah matahari tenggelam.
Sejak
setengah bulan yang lalu Pendekar 212 Wiro Sableng telah mendengar terjadinya
penculikanpenculikan serta pembunuhan yang dilakukan secara kejam oleh
manusia-manusia iblis yang menyebut dirinya Hulubalang-hulubalang Darah. Sesuai
dengan tujuan hidup serta maksud petualangannya di dunia persilatan yaitu
membela kaum tertindas, mempertahankan kebenaran serta menegakkan keadilan dan
di lain pihak membasmi setiap manusia jahat penimbul malapetaka, maka Pendekar
212 segera melakukan penyelidikan. Pertama sekali dia harus mengetahui di mana
letaknya Istana Darah itu. Tekadnya sudah bulat.
Istana
Darah serta siapapun begundal-begundal yang ada di dalamnya musti dimusnahkan.
Jika tidak dunia persilatan akan mengalami malapetaka besar!
Dalam
perjalanan inilah, setelah menyeberangi sebuah sungai dan menyusuri hutan kecil
di tepi sawah yang terletak 25 kilometer di tenggara Warnasari, Wiro mendengar
derap kaki kuda di belakangnya. Segera dia menghindar ke tepi jalan. Satu
perasaan mendorongnya untuk menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon
sebelum derap kaki-kaki kuda itu datang lebih dekat.
Tak lama
kemudian lewatlah seekor kuda coklat berbelang putih, ditunggangi oleh seorang
dara berpakaian merah. Untuk beberapa ketika pendekar kita dibikin terpesona
oleh kecantikan paras gadis yang tak dikenal itu. Namun mata Wiro yang tajam
melihat bahwa di belakang kecantikan wajah si gadis terdapat bayangan rasa
cemas yang amat sangat. Siapakah gerangan dara berbaju merah yang menunggangi kuda
secepat itu? Kecemasan apa pula yang mencekam dirinya?
Saat Wiro
berpaling cepat-cepat ke jurusan kiri karena di ujung jalan terdengar derap
kaki kuda. Sepasang bola mata Pendekar 212 menyorotkan sinar aneh ketika
melihat kuda dan penunggang yang muncul dari ujung jalan itu. Kuda itu berwarna
merah, penunggangnya juga mengenakan pakaian serba merah. Di bawah topinya yang
berbentuk tarbus merah kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah menyeramkan.
Bau amat busuk menebar waktu penunggang kuda ini melewati pohon di belakang
mana Wiro Sableng mengendap.
"Pasti
ini adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah," kata Wiro dalam hati,
"tampaknya dia mengejar gadis tadi." Tidak menunggu lebih lama Wiro
keluar dari balik pohon dan dengan mempergunakan ilmu larinya segera mengejar
dari belakang. Di satu pendakian jarak antara gadis berkuda coklat dan
pengejarnya hanya tinggal beberapa tombak saja. Si muka merah berteriak
memerintah agar orang yang dikejar berhenti. Sebagai jawaban si gadis
melambaikan tangan kanannya ke belakang. Terdengar suara desingan halus.
Kira-kira dua lusin senjata rahasia melesat ke arah si muka merah.
"Kurang
ajar!" desis si muka merah seraya lambaikan ujung lengan pakaiannya.
Serangkum angin menderu dan berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang
menyerangnya. Di lain kejap manusia itu memukulkan tangan kanannya. Di lain
kejap Wiro Sableng melihat bagaimana kuda coklat putih yang ditunggangi sang
dara roboh di puncak pendakian dan terguling-guling ke bawah. Gadis berbaju
merah berhasil selamatkan diri dengan jalan melompat.
"Manusia
puntung neraka!" bentak sang dara begitu pengejarnya sampai di hadapannya.
"Kau kira aku takut padamu?" Lalu dari balik bajunya dia keluarkan
segulung cambuk.
Si muka
merah tertawa mengekeh.
"Kalau
kau tidak keras kepala kau bakal mendapat tempat yang bagus di Istana Darah
bersamaku! Kecuali kalau memang sengaja mencari celaka!"
"Manusia
terkutuk! Kaulah yang bakal celaka!" hardik sang dara. Lalu terdengar
suara laksana petir menyambar ketika dia hantamkan cambuknya ke arah batang
leher si muka merah.
"Gadis
tolol! Adatmu tidak beda dengan kau punya guru! Kalau hari ini aku belum dapat
membuat perhitungan dengan si keparat tua itu, biar kau yang jadi muridnya
harus menerima celaka lebih dulu!"
Sekali si
muka merah itu gerakkan tangannya maka dia berhasil menyentak lepas cambuk yang
saat itu menyambar batang lehernya! Gadis baju merah terkejut bukan main.
Gerakan pukulan cambuk yang tadi dilepaskannya adalah satu serangan kilat yang
selama ini selalu mengenai sasarannya. Tapi sekali ini bukan saja gagal malah
senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang dara menjadi cemas bukan main.
Sementara itu si muka merah sudah melompat turun dari kudanya. Si gadis dengan
nekad kirimkan serangan kedua berupa pukulan tangan kosong. Namun sebelum dia
sempat bergerak dilihatnya segulung asap biru keluar dari mulut si muka merah
dan menghembus ke arahnya.
"Akh
… "
Hanya itu
suara yang bisa dikeluarkan si gadis lalu tubuhnya melosoh dan terhantar ke
tanah. Dikeluarkannya seluruh kekuatannya yang ada, berusaha agar jangan jatuh
pingsan. Sementara itu pemandangannya menjadi gelap, wajahnya mulai pucat dan
bibirnya bergetar, mulai berubah warna rnenjadi kebiru-biruan. Pakaiannya
robek-robek ketika tersentuh asap biru aneh tadi. Si muka merah tertawa
gelakgelak.
"Gadis!
Umurmu hanya tinggal lima jam! Menjelang kematianmu kau bakal merasakan siksaan
luar biasa. Urat-urat dan saluran darah dalam tubuhmu laksana digigit oleh
ratusan semut rangrang.
Ha…ha…ha…!"
Suara
gelak tawa si muka merah serta merta terhenti ketika di belakangnya terdengar
satu bentakan.
"Manusia
terkutuk! Kejahatanmu lebih terkutuk dari iblis!"
"Heh!
Setan dari mana magrib-magrib begini berani mendampratku?" ujar si muka
merah seraya memalingkan kepala. Diam-diam dia merasa terkejut karena adalah
aneh baginya kalau ada seorang berada di tempat itu tanpa dia sempat mengetahui
lebih dulu.
"Kau
apakan gadis itu?!"
Si muka
merah mengerenyit dan memandang tajam-tajam pada seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian putih yang tegak delapan langkah di hadapannya. Karena hari
sudah agak gelap dia tidak dapat melihat jelas wajah si pemuda namun dia yakin
belum pernah mengenal pemuda ini sebelumnya. Siapakah sebenarnya manusia
berpakaian serba merah dan yang mukanya dicat merah ini.
Dari
ciri-cirinya sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah salah seorang Hulubalang
Istana Darah dan yang satu ini merupakan Hulubalang Darah Kesatu. Hulubalang
Darah Ketujuh saja sudah kita saksikan kehebatan ilmunya, apalagi Hulubalang
Darah Kesatu ini. Nyatanya meskipun gadis berbaju merah tadi adalah murid
seorang sakti mandraguna namun dengan mudah Hulubalang Darah Kesatu
merobohkannya. Di lain pihak siapa pula adanya pemuda berambut gondrong yang
tegak di depan Hulubalang Darah Kesatu saat itu? Dia bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng!
"Bedebah!
Majulah ke tempat lebih terang agar aku dapat memastikan apakah kau manusia
atau benarbenar setan kesasar!” Hulubalang Kesatu membentak.
"Kau
apakan gadis itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
Hulubalang
Darah Kesatu kertakkan rahang. "Dirimu punya sangkut paut dengan
dia?" Pendekar 212 menyeringai.
"Yang
aku tahu…," kata si gondrong dari Gunung Gede ini, "ialah bahwa aku
punya sangkut paut dengan kejahatan laknatmu!"
Habis
berkata begitu Wiro Sableng menerjang ke muka serta melepaskan pukulan
"kunyuk melempar buah."
Hulubalang
Darah Kesatu tak menyana kalau lawan semuda itu bakal memiliki pukulan
meyakinkan begitu rupa. Kontan dia keluarkan pekik garang dan tubuhnya lenyap
dari pandangan.
"Keparat!
Mau lari ke mana bangsat merah ini!" maki Wiro dalam hati dan tiba-tiba
saja dia dikejutkan oleh berkelebatnya lima jari tangan berkuku-kuku panjang.
Hampir saja Pendekar 212 mendapat celaka dalam gebrakan pertama itu kalau dia
tidak lekas-lekas membuang diri ke samping. Karena hari sudah mulai gelap Wiro
tak sempat melihat bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan berwarna merah
yang ditumbuhi kuku-kuku panjang macam cakar garuda!
Bukan
main marahnya Hulubalang Darah Kesatu ketika melihat bagaimana serangannya yang
bernama "lima cakar sakti meremas bumi" dapat dielakkan oleh lawannya
yang disangkanya hanya seorang manusia tolol mau mencari mati.
"Manusia
edan! Kau benar-benar terlalu berani mgncari mati! Terlalu gegabah mencari
urusan denganku! Atau kau belum tahu siapa aku?!" Pendekar 212 Wiro
Sableng tertawa mengejek.
"Manusia
muka merah! Aku cukup kenal siapa kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama aku
punya niat membasmi Hulubalang-hulubalang keparat macammu dan memusnahkan
Istana Darah. Kau adalah korbanku yang pertama!"
Mendengar
ucapan itu Hulubalang Darah Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk dada dia
berkata, "Dalam Istana Darah, 24 tokoh-tokoh sakti dan terkenal sudah
menemui kematiannya. Hari ini seorang bocah bau air tetek mimpi hendak menghancurkan
Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha… ha ha … !"
"Mimpi
atau bukan kau terimalah pukulanku ini!" teriak Wiro lantang. Begitu
tangan kanannya digerakkan menderulah angin dahsyat laksana topan prahara
mengamuk. Pohon-pohon di sekitar situ berderak patah dan tumbang dengan
mengeluarkan suara riuh.
Gadis
baju merah yang terhampar di tanah terguling ke dekat pematang sawah. Itulah
pukulan "benteng topan melanda samudera" yang telah dilepaskan Wiro
Sableng dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Sebagai
tokoh berkepandaian tertinggi di antara Hulubalang-hulubalang Istana Darah,
Hulubalang Darah Kesatu kaget bukan main menyaksikan pukulan pemuda tadi.
Sepasang lututnya terasa bergetar dan sebelum tubuhnya ikut tersapu oleh
pukulan lawan cepat-cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki hingga walau
bagaimanapun hebatnya serangan Wiro namun kedua kaki-nya laksana gunung karang
menancap dalam tanah, tak sanggup digetarkan sedikitpun!
"Ha
… ha .., apa sudah seluruh tenaga dalammu kau keluarkan?" ejek Hulubalang
Darah Kesatu. Dia sama sekali tidak menduga kalau Wiro baru kerahkan setengah
bagian saja dari kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Murid Sinto Gendeng
ini jadi penasaran. Didahului satu suitan melengking memecah langit di malam gelap
itu, Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Hulubalang Darah Kesatu menjadi kaget
ketika dirasakannya bagaimana kedua kakinya mendadak menjadi gontai dan
tubuhnya perlahan-lahan bergetar terhuyung-huyung.
Hulubalang
Darah keluarkan bentakan menggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua
larik sinar merah yang bukan lain merupakan semburan api panas luar biasa,
menderu melabrak ke arah Wiro Sableng. Pendekar 212 tidak berlaku ayal. Kedua
tangannya segera pula dipukulkan ke depan. Maka terdengarlah suara berdentum.
Bumi laksana digulung lindu. Pohon-pohon bertumbangan. Hulubalang Darah Kesatu
terguling-guling di tanah. Dia mencoba bangun dengan cepat tapi sempoyongan dan
jatuh lagi. Dadanya sebelah dalam mendenyut sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila
dan pejamkan mata "mengatur jalan darah serta nafas dan mengalirkan tenaga
dalam dari pusar ke dada.
******************
13
SEWAKTU
bentrokan dua pukulan sakti itu terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan
tanah yang dipijaknya laksana digoncang gempa. Kedua kakinya melesak sampai
lima senti. Lututnya goyah dan dalam keadaan tubuh terhuyung-huyung akhirnya
dia jatuh duduk di tanah. Meskipun semburan dua gelombang api lawan sanggup
dimusnahkannya namun sekujur kulit tubuhnya terasa perih oleh hawa panas luar
biasa pukulan lawan.
Seperti
Hulubalang Darah Kesatu, pendekar kita inipun cepat-cepat duduk bersila untuk
mengatur jalan nafas dan darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian-bagian
tubuh terpenting. Begitu keadaannya pulih kembali Hulubalang Darah Kesatu cepat
melompat dan berdiri bertolak pinggang. Sepasang matanya berapi-api memandang
tak berkedip pada Pendekar 212. Wiro sendiri saat itu sudah berdiri pula dan
menunggu dengan penuh waspada.
"Rambut
gondrong!" tegur Hulubalang Darah Kesatu sambil bertolak pinggang.
"Kulihat kau barusan melepaskan pukulan benteng topan melanda samudra! Apa
hubunganmu dengan Sinto Gendeng dari Gunung Gede?!"
Wiro
Sableng diam-diam terkejut melihat lawan mengenali ilmu pukulan serta nama
gurunya. Tapi dia tenang-tenang saja dan tidak memperlihatkan rasa terkejutnya
itu. Tak dapat tidak si muka merah ini pasti orang tokoh silat terkenal dan
berusia lanjut. Memang sebenarnya Hulubalang Darah Kesatu sudah berusia harnpir
80 tahun. Namun karena mukanya dicat dengan darah yang telah membeku maka
keriput-keriput ketuaannya tidak kelihatan. Demikian pula rambutnya yang
seharusnya berwarna putih macam saiju selain tertutup tarbus juga telah dicelup
dengan darah.
Puluhan
tahun silam Hulubalang Darah Kesatu dikenal dengan nama Waranawikualit dan
merupakan tokoh silat kelas satu yang disegani di kawasan Jawa Barat. Namun
karena sikapnya yang culas dan suka berkhianat terhadap kawan sendiri,
tokoh-tokoh silat golongan putih boleh dikatakan rata-rata membencinya. Akibat
tidak diterimanya dirinya oleh kaum putih, maka makin lama Waranawikualit
semakih jauh tersesat ke dalam dunia hitam dan akhirnya melalui liku-liku
pasang surut dunia persilatan dia sampai di Jawa Timur dan memegang jabatan
Hulubalang Darah Kesatu di Istana Darah yang menjadi sumber malapetaka sejak
akhir-akhir ini.
Wiro
Sableng tertawa bergumam.
"Kau
kenal ilmu pukulanku tadi, muka merah? Bagus … bagus sekali! Dan lebih bagus
lagi kalau kau kenal nama guruku. Tapi apa kau sudah kenal jalan ke neraka
…?"
Paras
Hulubalang Darah menjadi tambah marsh mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak. "Bilang saja terus terang bahwa kau belum
tahu jalan ke neraka. Tuan besarmu ini pasti akan menunjukkan padamu!"
"Bedebah!"
bentak Hulubalang Darah Kesatu merah bukan main diejek begitu rupa. Sepuluh
jari tangannya yang berkuku panjang dipentang. Didahului oleh gelegar
lengekingan yang keluar dari tenggorokannya, manusia ini menjentikkan ke
sepuluh jari tangannya dan sepuluh jalur asap yang saling bersilangan menderu.
Silangan-silangan itu semakin banyak karena jalur asap merah itu cepat sekali
memecah menjadi puluhan hingga dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap merah
itu tak bedanya seperti sebuah jaring yang menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng!
"Ilmu
setan apa pula ini!" kata Wiro dalam hati lalu lepaskan satu pukulan ke
arah jaring asap merah. Hebatnya jaring asap merah itu bukannya punah melainkan
pecah dan semakin melebar serta semakin cepat menyambar ke arah Wiro. Pemuda
kita keluarkan siulan nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak dan dari
tempat kedudukan yang baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan
"kunyuk melempar buah". Namun pukulan inipun percuma saja karena
semakin membuat tambah banyaknya jalurjalur asao merah yang berarti semakin
melebar pula dan siap menelan Wiro Sableng. Hulubalang Darah Kesatu tambahkan
kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan suara menderu asap merah bergerak
tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi.
Wiro
cepat angkat kedua telapak tangannya dan memompa tenaga dalam. Di antara deru
serangan asap merah, terdengar pula deru dua gelombang angin menyapu ke depan.
Pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih" yang dilepaskan
Pendekar 212 untuk sesaat berhasil membendung serangan yang aneh berbahaya itu.
Namun ketika Hulubalang Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah
benteng pertahanan lawan dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya
sebelah kiri! Pemuda ini terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung jaring
dengan cepat datang pula menyambar. Tentu saja Wiro tak mau mendapat hantaman
kedua kali. Karena hentaman pada tubuh sebelah kiri telah membuat bagian tubuh
di sebelah situ menjadi kaku tak bisa digerakkan!
Didahului
oleh siulan nyaring Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah jaring. Sinar putih
menyilaukan berkelebat. Di belakang sana Hulubalarg Darah Kesatu terdengar
keluarkan seruan tertahan. Pukulan "sinar matahari" yang dikeluarkan
Wiro bukan saja menghancurleburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi
hampir saja menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.
Wiro
kirimkan pukulan tangan kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang Darah
telah lenyap dari tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya jaring asap
aneh tadi.
Wiro
kertakkan rahang tanda geram. Dia kemudian ingat pada gadis baju merah yang
tadi tergulingguling akibat angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang
sawah. Namun untuk sesaat langkahnya terhenti karena saat itu dilihatnya dua
sosok benda hitam terhampar di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata adalah
dua ekor kuda. Yang pertama kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya
berwarna merah milik Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang Darah
sempat membunuh kedua binatang yang tak berdosa itu.
Wiro
dapatkan gadis baju merah terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok akar
pohon mengganjal tubuhnya hingga tak sampai kecemplung ke dalam lumpur sawah.
Wiro mendukung tubuhnya dan menyandarkan pada sebatang pohon. Kedua mata si
nadis terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit terbuka. Mukanya pucat pasi.
Pakaiannya robek-robek.
Wiro
menarik nafas sesak. Dipegangnya kedua lengan si gadis. Dia maklum kalau dalam
tubuh gadis itu mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan
riwayatnya jika tidak lekas rnendapatkan pertolongan.
Aliran
tenaga dalam Wiro menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan oleh si
pemuda itu bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis memusnahkan hawa
hangat itu dan walau bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya tetap saja gagal.
Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 212 yang tidak mempan segala macam racun.
Cepat dikeluarkannya senjata itu dan hulunya yang berbentuk kepala naga serta
terbuat dari gading digenggamkannya ke tangan dara berbaju merah. Hawa panas
mengalir ke segenap bagian tubuh sang dara, namun tak lama kemudian kembali
sirna.
"Racun
jahat luar biasa!" kata Wiro dan menjacli bingung bagaimana caranya
menyelamatkan jiwa gadis ini.
Tiba-tiba
didengarnya si gadis menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan
terpatah-patah. "Guru … mu … muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung…
mungkin kita … kita tak bisa bertemu la … lagi…"
Wiro
ingat pada beberapa butir obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini
dikeluarkannya dan dimasukkannya ke dalam mulut si gadis. Gadis baju merah
terkejut dan hendak menyemburkan obat itu.
"Jangan
buang. Telan…!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong… "
Si gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.
"Telanlah
cepat. Siapa tahu bisa menolong."
Dengan
obat masih dalam mulut si dara bertanya, "Kau … kau siapa yang hendak
menolongku …?"
"Jangan
habiskan waktu dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu
cepat."
Sang dara
agak meragu sesaat lalu gelengkan kepalanya. "Percuma…" desisnya.
"Percuma
atau tidak telan dulu," ujar Wiro.
Akhirnya
si gadis menelan obat itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada guna
… percuma saja. Ra… racun yang mengindap di tu … buhku adalah racun waja biru.
Hanya dua orang yang bisa menyelamatkanku. Tapi… tak mungkin… "
"Siapa
kedua orang itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
"Waranawikualit
…," bisik si gadis.
"Siapa
dan di mana tempatnya?"
"Orangnya
manusia muka merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku …"
Wiro
gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi pertolongan.
"Yang satunya lagi?" tanya Wiro kemudian.
"Gu…
ruku sendiri… "
"Di
mana beliau sekarang?"
Sang dara
tarik nafas sesak. "Tak mungkin …," katanya perlahan.
"Apa
yang tak mungkin …?"
"Tak
mungkin kau bisa menolongku … "
"Kenapa
tidak mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.
"Tempatnya
jauh dari sini. Sebelum sampai aku sudah mati di … tengah … jalan … "
"Kita
harus mencoba. Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.
"Danau
Jembangan," menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba mulutnya
membuka lebar. Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang keluar, dari
mulutnya adalah satu teriakan yang mengerikan. Tubuhnya kemudian miring ke
kanan dan hampir roboh ke tanah jika tidak lekas dipegang oleh Wiro. Pemuda ini
terkejut. Menyangka si gadis sudah menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata
cuma pingsan.
Danau
Jembangan memang jauh dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda setengah
hari baru akan sampai ke situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan mengandalkan
ilmu lari "seribu kaki" dia yakin bisa sampai ke sana paling lama
dalam tempo empat jam. Karenanya tanpa membuang waktu lagi murid Sinto Gendeng
ini segera memanggul tubuh si gadis dan meninggalkan tempat itu menuju ke
utara. Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan itulah Wiro melewati kampung
Warnasari. Dengan perut kosong dan tubuh letih dia memutuskan untuk mampir ke
kedai Ki Sepuh Bawean yang justru pada saat itu tengah didatangi oleh
gerombolan Ronggokarapan hingga terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.
******************
14
DANAU
Jembangan terletak di satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan bakau. Di
bagian timur danau ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di atas rakit ini
berdiri sebuah bangunan ‘ tinggi macam menara yang keseluruhannya juga terbuat
dari rotan. Dengan tubuh basah mandi keringat serta nafas memburu Wiro Sableng
datang berlari dari jurusan barat. Pada saat itu di atasnya terdengar suara
pekik aneh. Ketika dia mendongak dilihatnya seekor burung elang merah
bertengger di ujung ranting sebatang pohon. Sepasang matanya yang hijau
menyorot tajam ke arah Wiro dan berkilai-kilai ditimpa sorotan sinar matahari
yang baru terbit.
"Aneh,"
kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang
mengikutiku."
Tiba-tiba
elang itu kembali memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali suara
pekiknya," kata Wiro pula. Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang itu dia
segera lari ke jurusan timur danau. Di atasnya kembali elang merah terbang
mengikuti dan terus-terusan mengeluarkan suara pekikan bising. "Binatang
celaka ini mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal. Sambil itu digerakkannya
tangannya ke atus untuk memukul namun sesuatu mendadak meluncur menyambar kedua
kakinya, membuatnya terkejut dan cepat melompat. Ketika diteliti ternyata
serumpun akar bakau hampir saja menyerandungnya.
Ini
adalah satu keanehan. Semula Wiro menyangka yang meluncur ke arah kakinya itu
tadi adalah ular namun nyatanya akar bakau. Dapatkah tanaman yang tidak
memiliki daya gerak itu meluncur aneh demikian rupa? Sementera itu di atas
kepalanya elang merah masih terus terbang berputar-putar sambil tiada hentinya berkuik-kuik.
Lagi kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya dari belakang.
Wiro
cepat melompat menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya pula pendekar ini dibuat
terkejut karena sambaran angin keras tadi ternyata disebabkan oleh batang-batang
pohon bakau yang secara aneh berjatuhan ke tanah.
"Kalau
tidak ada yang mengendalikan mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak,"
pikir Wiro. Dia memandang berkeliling namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya
dengan jalan kaki biasa Wiro lanjutkan perjalanannya menuju bangunan rotan di
tepi timur danau. Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di
sekelilingnya terdengar suara menderu. Pohonpohon bakau yang berjajaran di
tempat itu bergerak seperti tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro
Sableng!
"Kurang
ajar! Apa-apaan ini?!" seru Wiro lalu dengan cepat menghantamkan tangan
kanannya melepas pukulan "benteng topan melanda samudera". Serta
merta tanaman yang hendak menjirat tubuhnya mental pecah-pecah.
"Gila!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.
Semakin
dekat ke bangunan di tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya sampai jarak
lima langkah dari bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa. Dengan cepat
ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan masuk adalah sebuah pintu yang terletak
di sebelah
atas
bangunan. Jarak pintu dengan tepi danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu hal
yang sulit bagi Wiro untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul
tubuh gadis yang pingsan di bahu kirinya. Namun ketika dia hendak melompat
sejenak hatinya menjadi bimbang. Mungkinkah dia telah datang ke tempat yang
salah. Mungkin danau di hadapannya ini bukan Danau Jembangan. Lalu apa artinya
semua rintangan-rintangan aneh yang barusan dialaminya?
Setelah
menetapkan hati, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana seekor
burung Wiro Sableng melompat ke udara den melayang ms nuju pintu di puncak
bangunan rotan. Namun sebelum dia mencapai pintu tersebut, dari samping
berketebat satu bayangan merah yang langsung menyambar ke arah lehernya!
Dalam
terkejut yang amat sangat Wiro Sableng masih sempat memiringkan tubuh namun
daya lesatnya ke atas sudah agak berkurang hingga mau tak mau pendekar ini
terpaksa melompat ke sampirg dan mempergunakan sebuah cabang pohon untuk
menjejakkan kaki lalu melesatkan tubuhnya kembali ke udara. Rasa penasaran
mendapat serangan yang aneh itu membuat Wiro marah bukan main. Lebih-lebih
ketika diketahuinya bahwa yang menyerang temyata adalah elang marah yang
rupanya masih terus mengikutinya.
Dan saat
itu dari arah atas dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya yang
berkuku pinjang tajam terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk
mengirimkan satu patukan keras!
"Binatang
celaka ini kalau tidak dilenyapkan bisa bikin aku susah," kata Wiro geram
lalu memukulkan tangannya ke atas, melancarkan pukulan "kunyuk melempar
buah."
Namun
untuk kesekian kalinya pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan cekatan
elang merah itu berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar biasa
berbalik kembali menyambar ke arah perut Wiro!
"Kurang
ajar! Jangan harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap
lepaskan satu pukulan lagi. Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara
yang terbuat dari rotan terdengar seruan nyaring.
"Sultan!
Hentikan seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"
Elang
merah yang hendak menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu berbalik
cepat dan hinggap di puncak menara bangunan. Terheran-heran Wino melesat masuk
ke pintu. Ruangan di puncak rnenara rotan itu tidak seberapa besar dan kalau
saja dia tidak lekas-lekas menahan daya dorongan tubuhnya hampir saja dia
menabrak seorang lelaki tua yang terbaring di atas sebuah tempat tidur rendah
terbuat dari rotan.
"Pemuda
asing, kau siapakah! Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau buruk?
Dari sambaran angin yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu masuk ke
sini, kau tentu membawa sesuatu di bahu kirimu!"
Saking
terkejutnya Wiro Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga. Betapakan tidak
karena dilihatnya orang tua yang barusan bicara itu buta kedua belah matanya!
Dan bukan itu saja, orang tua yang berambut putih bermata buta ini, buntung
kedua kakinya sebatas lutut sedang kedua tangannya terbelenggu oleh rantai
besar berwarna biru. Dalam keadaan begitu rupa bagaimana dia bisa berada di
bangunan yang tinggi itu!
"Orang
tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah Danau
Jembangan?" Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.
"Betul!"
jawab si orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau.
Apa yang kau bawa dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya
lekas-lekas angkat kaki dari sini!"
"Namaku
Wiro. Aku … "
"Tunggu
dulu!" orang tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si
Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Wiro
terkesima. "Kira-kira begitulah …," katanya menyahuti.
Tiba-tiba
orang tua itu berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah duduk di
atas pembaringan rotan.
"Lekas
tolong aku! Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang membelenggu
kedua tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini aku bebas!
Bebas! Karena hanya kapak saktimu itu yang sanggup memotong putus belenggu
celaka ini!"
Wiro berdiri
bingung dan si orang tua kembali menyuruhnya agar segera mengeluarkan Kapak
Naga Geni 212. Dengan hati sedikit meragu karena kawatir orang tua itu akan
menipunya, akhirnya Wiro keluarkan senjatanya dari balik pakaian. Sinar putih
menerangi ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri si orang tua
mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.
"Potonglah
cepat!" katanya.
Wiro maju
mendekat.
Dalam
keadaan lebih dekat begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas gadis
berbaju merah yang pingsan di bahu kiri Wiro.
"Hai!"
seru orang tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa
dia!"
"Aku
sendiri tak tahu namanya. Tapi dia mengaku muridmu… "
Si orang
tua kerenyitkan kening.
"Apakah
dia seorang dara berpakaian serta merah?" tanya si orang tua.
"Apa
yang telah terjadi atas dirinya?"
Maka
dengan cepat Wiro menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan sang
dara dan apa yang kemudian terjadi atas dirinya.
"Racun
waja biru!" desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar
si Waranawikualit! Rupanya dia sudah menjadi kaki tangan raja Rangrang Srenggi.
Memang sudah sejak lama aku mendengar kedurjanaan mereka!" Rahang orang
tua itu nampak menggembung tanda dia marah luar biasa.
"Siapa
Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.
"Sudah.
Jangan banyak tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting
muridku harus diselamatkan jiwanya!"
Wiro
baringkan gadis yang sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di samping si
orang tua. Lalu mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas saja dengan
mengeluarkan suara berkerontang maka putuslah rantai besi beser berwarna biru
yang sebelumnya mengikat sepasang lengan orang tua itu.
Sambil
tertawa gelak-gelak orang tua itu acungkan kedua tangannya ke atas dan berkata,
"Aku bebas! Aku bebas kini! Rangrang Srenggi, kau bakal menerima
pembalasanku …!"
Ucapannya
itu terputus ketika dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat muridnya
terbaring. Dengan jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu.
"Racun
jahat .., racun jahat," desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang
Srenggi! Awas kau Waranawikualit!"
Orang tua
itu membungkuk dan meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah tempat tidur
rotan diambilnya sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya botol itu sebentar
lalu tertawa gelak-gelak.
"Untung
… untung dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu tidak
mengetahui tempat penyimpanan obat ini. Untung!"
Orang tua
ini kemudian membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya. Setelah
mengerahkan tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya penuh
dengan ludah berbusa biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali dia menyedot
bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali berulang-ulang. Setelah itu dari
dalam botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru: Setelah menotok
bagian leher dan perut muridnya beberapa kali baru obat itu dimasukkannya ke
dalam mulut sang murid. Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua itu duduk
bersila sambil mendekapkan tangan di depan dada. Sesaat berselang dari
ubun-ubunnya keluar asap putih, bergulung-gulung yang terus membungkus sekujur
tubuh muridnya yang terbaring di atas tempat tidur.
Tiba-tiba
orang tua itu membentak keras. Bangunan rotan bergoyang keras. Bersamaan dengan
itu dia memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,
"Racun
jahat! Pergilah!"
Gulungan
asap putih yang membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu seruan
lenyap maka asap biru itupun sirna.
"Bangun,
muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"
Wiro
melihat bagaimana gadis yang tadi pingsan membuka matanya perlahan-lahan.
Parasnya yang pucat kini kelihatan mulai berdarah kembali bahkan bibirnya yang
sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh
lebih cantik dari selagi dia pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi meneguk air liur.
"Bangunlah
Lestari. Sadarlah … !"
Lestari
demikian nama gadis itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia
memandang berkeliling dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.
"Pikiranmu
masih belum jernih. Pejamkan matamu, Lestari…"
Si gadis
mengikuti ucapan gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru menyuruh buka
matanya kembali. Dan bersamaan dengan itu Lestari bertanya,
"Eyang;
bagaimana … murid bisa berada di sini dengan selamat? Semestinya… bukankah
murid telah mati? Atau … "
Si orang
tua tertawa gelak-gelak.
"Soal
hidup atau mati ada di tangan Tuhan, muridku… "
"Tapi
murid benar-benar tak mengerti eyang…"
"Tanyakan
pada pemuda di depanmu … " berkata sang guru.
Lestari
berpaling. Untuk sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang dengan mata
pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau
kenal padanya?" tanya si orang tua.
Lestari
menggeleng.
"Tapi
kalau tak salah sebelumnya … murid pernah bertemu dengan dia."
Kembali
sang guru tertawa dan berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja
jalan dan cara Tuhan mempertemukan kalian … "
"Apa
… apa?!" seru Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan
memandang ternganga pada gurunya.
Kembali
orang tua berkaki buntung tertawa gelak-gelak.
"Aku
sudah ketelepasan bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya
sendiri. "Tapi kalian mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto
Gendeng pasti senang kalau mengetahui pertemuanmu dengan muridku ini, Wiro…
"
"Kau
kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.
"Lebih
dari kenal."
Wiro
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari dilihatnya
menundukkan kepala dan parasnya memerah.
"Sudahlah
…," si orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau
sudah jodoh masa ke mana. Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa ketemu
dengan bergundal Istana Darah barpangkat Hulubalang Kesatu dan bernama
Waranawikualit itu!"
Maka
Lestari menuturkan riwayatnya lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro Sableng.
Si orang tua yang sampai saat itu masih belum diketahui Wiro siapa namanya
nampak manggut-manggut berulang kali. Wajahnya serius.
"Memang
sudah saatnya kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu Sultan
sudah cukup. Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana
Darah."
"Memang
niat itu sudah sejak lama terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh bertanya,
kau ini siapakah orang tua?" tanya Wiro pula.
"Apakah
namaku perlu sekali bagimu?"
"Lebih
dari perlu. Karena kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto Gendeng,
adalah kurang enak rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu …" Orang
tua itu tersenyum.
"Namaku
sebenarnya sudah hampir musnah ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku buruk
sekali yaitu Karewang. Dan aku adalah saudara angkat gurumu."
Mendengar
itu kontak Wiro Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang mengaku
bernama Karewang tertawa lagi gelak-gelak.
"Tapi
mengapa guru tak pernah menerangkan padaku tentangmu?"
"Gurumu
itu memang sedeng," sahut Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya agar
Wiro duduk di hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah
Karewang menyuruh pemuda itu menelan tiga butir obat biru dalam botol. Dengan
menelan obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja biru" yang
teramat jahat itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.
Sampai
saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat klas satu yang
memegang gelar Si Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah menjagoi dunia
persilatan di tanah Jawa selama dua puluh tahun sebelum diambil alih Eyang
Sinto Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari pasang surut dunia persilatan,
suatu ketika Karewang didatangi Waranawikualit yang datang untuk membalaskan
sakit hati dendam kesumat di masa silam. Waranawikualit datang tidak sendirian
melainkan membawa seorang tokoh aneh berotak miring yang ternyata amat lihay.
Tokoh inilah yang membuat cacat kedua kaki Karewang, kemudian membelenggunya
dengan rantai biru. Dan manusia itu bukan lain adalah RNangrang Srenggi yang
kini menobatkan diri sebagai Raja Istana Darah!
******************
15
KUDA
PUTIH bernama Angin Salju itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan debu
di belakangnya. Pemuda yang duduk di atas punggungnya bukan lain Panji Kenanga,
murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung. Tak selang berapa lama kemudian
lapat-lapat di kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara deburan ombak. Itulah
satu pertanda bahwa dia telah mendekati tempat yang ditujunya.
Di satu
tempat Panji Kenanga turun dari kudanya dan sambil membimbing binatang itu dia
meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata dibuka
lebar-lebar dan awas, telinga dipasang tajam-tajam. Bukan mustahil sebelum dia
sampai ke tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia mungkin bakal
jadi korban pembokongan.
Dia
sampai di satu jalan kecil berliku-liku yang diapit oleh puing-puing batu
karang. Angin mengandung garam menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk
tidak menempuh jalan kecil itu tetapi mengambil jalan lain di sela-sela batu
karang. Akhirnya dia sampai di salah satu puing karang datar. Dari sini dia
melayangkan pandangan jauh ke muka.
Di
hadapannya terbentang pantai dan laut lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari
tepi pantai sebelah timur, dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin
raksasa berdirilah satu bangunan besar yang keseluruhannya berwarna merah. Bila
angin bertiup maka dari arah bangunan itu menghamburlah bau busuk yang amat
sangat, laksana mau meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa
menutup hidungnya.
"Pasti
itulah yang disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hoti.
"Sumber segala macam malapetaka."
Dengan
menggertakkan rahang karena ingat akan kematian adik seperguruannya yaitu
Widura serta lenyapnya Miani yang diduganya berada di Istana Darah, Panji
Kenanga balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul kuda tunggangannya dan berkata,
"Angin Salju kau tunggulah di sini. Bila sampai matahari terbenam nanti
aku tidak kembali, kau pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."
Sebagai
jawaban bihatang itu menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya seolah-olah
mengerti maksud ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju, Panji
Kenanga dengan gerakan gesit melompat ke puing batu karang di bawahnya,
demikian terus menerus dilakukannya. Melompat dari satu batu karang ke lain
batu karang hingga akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon beringin
raksasa yang mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau busuk bukan alang
kepalang. Mau tak mau bulu tengkuk pemuda ini agak merinding sewaktu mengetahui
bahwa warna merah yang menjadi cat tembok serta dinding seluruh bangunan itu
adalah darah!
"Agaknya
aku harus melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam … " membathin
Panji Kenanga.
Dia
bersiap-siap. Pada saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara di belakangnya.
"Panji
Kenanga, kau datang terlambat."
Murid Brahmana
Lokapala itu berpaling. Astaga.
Ternyata
yang berkata adalah seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang, berkepala
botak dan bermata buta. Dan dia bukan lain adalah si orang aneh yang pernah
ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang dipanggil sebagai Si Botak Mata Buta.
"Apa
maksudmu orang tua." tanya Panji Kenanga.
Tampaknya
kali ini orang tua itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti dulu.
Wajahnya serius.
Dan dia
berkata, "Adik seperguruanmu telah mereka bunuh!"
"Aku
sudah tahu kematian Widura."
"Bukan
Widura saja. Mianipun mengalami nasib yang sama…"
"Hah?!"
laksana diambar petir Panji Kenanpa mendengar keterangan itu. "Kau tahu
dari mana?" kedua tangannya dikepalkan saking geram.
Si Botak
Mata Buta menghela nafaa "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah,
jangan harap umurnya lebih dari dua jam."
"Kurang
ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu pembalamnku!" seru Panji Kenange.
Segera dia hendak melangkah ke arah tembok merah tapi satu tangan memegang
bahunya dengan cepat. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan
pegangan itu tatap saja tidak berhasil. Ternyata yang memegang bahunya adalah
si Botak Mata Buta.
"Jangan
bertindak ceroboh orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas dendam! Lain
dari itu kudengar ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau memandang ke
jurusan barat."
Panji
Kenanga memandang ke jurusan yang dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak Mata
Buta memang benar. Dua orang dilihatnya berlari amat cepat ke jurusan mereka.
Satu lelaki berpakaian serba putih berambut gondrong dan satunya lagi seorang
perempuan berpakaian merah. Yang lelaki kelihatan mendukung seorang tua yang
ternyata buntung kedua kakinya.
"Apa
yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.
Baru saja
selesai pertanyaan itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu sudah sampai
dan berhenti sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah pohon beringin yang
besar. Panji Kenanga menceritakan ciri-ciri orang-orang yang dilihatnya itu.
"Aku
mendengar sesuatu terbang di udara. Pasti burung …," kata Si Botak Mata
Buta.
"Memang
betul ucapanmu orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di atas
kepala orangorang yang baru datang itu."
Si Botak
Mata Buta kerenyitkan kening.
"Apakah
burung elang itu berbulu merah?"
"Benar."
"Dan
orang tua yang didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta…?"
Panji meneliti sebentar lalu membenarkan.
Si Botak
Mata Buta memukul keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum lebar. Maka dia
terdengar berseru, "Karewang! Memang justru pertemuan inilah yang
kuharapkan!"
Karewang
alias Si Pemusnah Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng memutar
kepala dan mengeluarkan seruan tertahan.
"Nanggala!"
serunya menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku bertemu
dengan kau di sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan
sahabat lamaku itu."
Begitu
saling berdekatan kedua orang tua yang sama-sama buta itu saling berangkulan.
"Dua
puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau
masih buta-buta juga!"
Kedua
orang itu lantas tertawa gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng dan
Lestari hanya berdiri terlongong-longong.
"Heh,
kita ini macam orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai
lupa berada di mana dan lupa apa maksud kedatangan kita kemari!"
"Apa
maksudmu datang ke sini sobat? Agaknya udara busuk di tepi pantai ini menarik
hatimu!"
Karewang
tertawa rawan. Lalu dituturkannya bencana yang menimpa dua orang muridnya dan
rencana untuk menghancurkan Istana Darah.
"Kau
sendiri, angin apa pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.
"Kita
bernasib dan punya maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak
Mata Buta. Setelah memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu maka
dituturkannya kejadian yang menimpa dua orang saudara seperguruan Panji
Kenanga.
Karewang
mengusap-usap dagunya.
"Kejahatan
dajal-dajal di dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah waktunya
harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Sobatku
Karewang, aku mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang pemuda
gondrong bersamamu. Siapakah dia … ?"
Karewang
hendak menjawab tapi Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului menjawab,
"Aku yang muda ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si Pemusnah
Iblis."
Panji
Kenanga yang sebelumnya sudah bertemu dengan Wiro segera membuka mulut.
"Dialah yang telah melabrak gerombolan Ronggokarapan di kampung Warnasari.
Juga dialah yang menyelamatkan anak murid Si Pemusnah Iblis dan ternyata
usahanya berhasil."
Wiro cuma
bisa senyum-senyum saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba kebetulan
saja sobat," katanya merendah.
"Dan
dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga.
Sepasang
mata buta Nanggala membuka lebar-lebar.
"Pendekar
212?" ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak
lama aku mendengar kehebatanmu, Wiro … "
"Saya
bukan apa-apa terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah yang
ada di sini."
"Tidak
selamanya yang tua lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak
Mata Buta pula. "Kita yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh yang
muda-muda macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami yang tua-tua dan
pikun ini merasa amat malu masih mengurusi segala macam urusan dunia." Si
Botak Mata Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya kemudian, "aku
sampai lupa pada muridmu Karewang. Sayang … sayang mataku buta hingga tidak
dapat melihat kecantikannya."
Orang tua
berkepala botak berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari menjadi
merah parasnya. "Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak
Mata Buta. "Panji aku ada menitipkan sebuah benda padamu tempo hari.
Serahkanlah pada Lestari karena benda itu adalah miliknya."
Panji
Kenanga ingat akan seruling perak yang ada di balik pakaiannya. Cepat-cepat
benda ini dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari. Baik Lestari maupun
Karewang merasa heran bagaimana senjata mustika itu berada pada Panji Kenanga.
Sebelum mereka bertanya Nanggala membuka mulut memberi keterangan.
"Kalau
aku tidak salah suling itu berhasil diambil oleh Tapak Biru sewaktu terjadi
kerusuhan di puncak Dieng. Dengan senjata milik Lestari itu dia malang
melintang lebih berani berbuat kejahatan hingga akhimya aku berhasil
merampasnya dan menyerahkannya pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila
bertemu pada pemiliknya dia harus menyerahkan suling perak terebut. Tidak
disangka kalau hari ini kita saling bertemu hingga suling itu bisa dikembalikan
pada pemiliknya. Bukankah itu suatu pertanda …?"
"Pertanda
apa gerangan maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.
"Pertanda
bahwa ada jalan yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana Lokapala ini!
Lebih jelas kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"
Karewang
tertegun sejenak. Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis melirik
pula pada Wiro hingga pandangan mereka saling bertemu dan membuat si gadis
cepat-cepat menunduk dengan paras merah. Dalam pada itu Panji Kenanga mencuri
pandang pula dan memang sesungguhnya sejak pertemuan ini, bahkan sejak mula
pertama dia melihat Lestari di kedai di kampung Warnasari, hatinya mengakui
bahwa Lestari seorang gadis yang amat menarik. Namun karena orang yang
dicintainya adalah Miani, maka apapun daya tarik Lestari tidak menjadi
persoalan baginya.
"Sobatku
Nanggala," kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa.
"Urusan jodoh biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas
dilakukan saat ini dan juga kurang tepat kalau kita berani menyebut-nyebut
urusan itu tanpa setahu Brahmana Lokapala. Bukankah begitu Panji Kenanga?"
"Betul
… betul sekali orang tua," sahut Panji Kenanga.
"Nah,
sekarang mari kita bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata
Nanggala.
"Masuk
ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi Rangrang
Srenggi keparat itu memang betul-betul cerdik dan licik. Kita mesti hati-hati.
Panji, coba kau naik ke pohon beringin itu dan selidiki keadaan di belakang
Tembok Darah."
Mendengar
ucapan Karewang, Panji Kenanga dengan satu gerakan enteng segera melompat ke
atas pohon beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di salah satu
cabang tiba-tiba laksana tangantangan setan, puluhan akar gantung pohon
beringin itu bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun diusahakannya
untuk melepaskan diri tetap siasia belaka. Semua orang terkejut melihat
kejadian ini. "Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi itu,"
kata Nanggala seraya hendak melompat ke atas untuk memberi pertolongan. Inilah
kehebatannya. Meski buta tapi dapat merasakan apa yang telah menimpa Panji
Kenanga.
"Biar
burungku yang turun tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri."
Berkata begitu Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan
pemuda itu!"
Elang
merah yang sejak tadi berputar-putar di atas kepala mereka menguik keras lalu
terbang ke arah pohon beringin. Dengan paruhnya yang tajam laksana gunting
baja, dalam waktu singkat binatang ini berhasil memutus seluruh akar-akar yang
melilit tubuh Panji Kenanga.
"Terima
kasih," kata Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya terlibat
tidak berdaya tadi namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan di
belakang Tembok Darah. Tak seorangpun yang kelihatan. Seluruh bangunan berbda
dalam keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru saja dia
selesai berikan keterangan, dari arah Istana Darah menggema suara keras.
"Siapapun
yang berada di luar, bersiaplah untuk mampus!"
"Itu
suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik,
"Lekas lakukan apa yang kita telah atur!"
Wiro
segera menurunkan orang tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang datar.
Dari balik pakaiannya yang menggembung dikeluarkannya sebuah benda hitam
berbentuk bola sebesar dua kepalan tangan. Dia lalu lari ke arah Pintu Gerbang
Darah.
"Kau
mau bikin apa, Karewang?" tanya Nanggala.
"Lihat
saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita menyerbu
ke dalam mungkin terlalu berbahaya dan … "
Karewang
alias Si Pemusnah Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari belakang
Tembok Darah laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah mereka. Ternyata
benda-benda itu adalah paku-paku berwarna biru yang merupakan senjata rahasia
yang telah dicelup dengan racun "waja biru".
"Ini
pasti perbuatannya si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh
serangan paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di tanah senjata-senjata
rahasia ini kembali memantul mengirimkan serangan.
******************
16
"HEM
… ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya
gerakkan tangan kanannya.
Dari
telapak tangan kanan orang tua itu menderu angin yang berputar-putar, menikung
beberapa kali, menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya berkelompok menjadi
satu. Dalam pada itu Panji Kenanga yang sudah tidak sabar mencabut pedang
"Gajah Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu sinar biru
berkelebat menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi satu itu
dalam keadaan terpotong dua!
"Pedang
bagus … pedang bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.
Dalam
pada itu Wiro telah berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang Darah.
Mendadak dari lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian bawah Tembok
Darah bermunculanlah enam kepala merah bertopi tarbus merah yarg ujungnya
berkuncir. Mereka ternyata adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah. Dalam
waktu singkat mereka telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang
Darah Kelima Belas sampai Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi untuk
mendekati pintu gerbang lebih dekat maka serta merta bola hitam di tangan
kanannya dilemparkan. Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda
lindu. Lidah api menjulang. Sebagian dari atap Istana Darah mental beterbangan
ke udara, beberapa tiang besar runtuh bersama-sama dinding Istana.
"Kurang
ajar!" teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak
Istana! Mari kita bunuh bangsat itu!"
Maka ke
enam Hulubalang Darah serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam sinar merah
yang bukan kepalang panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang diserang
maklum kalau lawan-lawannya adalah rata-rata berkepandaian tinggi. Karenanya
dengan tangan kiri kanan Wiro lepaskan pukulan "benteng topang melanda
samudera." Begitu pukulan lawan buyar Wiro menyelinapkan satu jotosan dan
satu tendangan.
Tak ampun
lagi Hulubalang Darah Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh. Yang pertama
segera meregang nyawa karena perutnya bobol kena tendangan sedang yang kedua
muntah darah lebih dulu baru lepas jiwanya. Itulah korban-korban pertama dari
Istana Darah!
Melihat
kedua temannya menemui kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang lainnya
berteriak marah lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali menyerbu ke
arah Wiro. Namun saat itu serangan mereka tertahan oleh satu sambaran sinar
biru yang menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru kaget. Dalam pada
itu terdengar teriakan.
"Wiro
biar aku menahan mereka!"
Ternyata
saat itu dengan pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah menyerbu ke
tempat pertempuran. Hulubalang Darah Kedelapanbelas dan Kesembilanbelas dengan
penasaran melompat ke muka seraya menyapukan senjata masing-masing. Namun
begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali berturut turut, keduanya kontan
menjerit dan menggeletak mandi darah. Yang satu tertembus dadanya, yang lain
terbacok parah pangkal lehernya!
Diam-diam
Wiro kagum melihat kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji Kenanga bakal
dapat menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-ragu ditinggalkannya
tempat itu. Dia lari ke samping kanan Tembok Darah dan dari sini melemparkan
bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya terdengar suara menggelegar. Bagian
samping kanan Istana Darah runtuh, kerusakan hebat terjadi. Hulubalang Darah
Keduabelas dan Keempat belas yang kebetulan ada di bagian situ dan tidak keburu
menyingkir, menjadi korban.
Ketika
sekali lagi Wiro melemparkan bola hitam ke sampirig kiri Istana Darah boleh
dikatakan Istana Darah telah hampir sama rata dengan tanah. Beberapa Hulubalang
Darah menemui ajalnya. Wiro kembali ke tempatnya sementara Panji Kenanga telah
berhasil membunuh dua Hulubalang yang tadi dihadapinya. Orang-orang itu
menunggu. Sampai sepeminuman teh tak ada seorangpun yang muncul dari belakang
tembok.
"Apa
mereka sudah pada mampus semua …?" tanya Nanggala. "Atau
bersembunyi?"
"Kita
tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi …"
kata Karewang.
Dan betul
saja. Didahului oleh suara berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang Darah dan
laksana bobolnya sebuah bendungan mencurahlah cairan merah hingga seantero
tempat kini digenangi oleh cairan tersebut sampai sebatas betis Di samping
cairan itu busuknya bukan main juga di dalamnya kelihatan bergerak-gerak
ratusan ular berbisa!
Semua orang
cepat menyingkir ke atas puing karang data di atas mana Karewang alias Si
Pemusnah Iblis duduk.
Panji
Kenanga membungkuk dan membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang sehingga
puluhan ular yang berani datang mendekat segera terpotongpotong dan menemui
kematiannya. Wiro Sableng lebih hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta
batu hitam 212. Setiap kali batu dan Kapok diadukannya satu sama lain maka
menderulah lidah api. Cairan darah muncrat dan menggelegak panas. Ular-ular
yang ada di dalamnya laksana direbus dan hanya dalam tempo kurang dari
sepeminuman teh seluruh binatang itu telah musnah menemui ajal!
Karewang
tertawa mengekeh.
"Bagus
Wiro, bagus. Kalau tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang Darah
tengah keluar serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"
Memang
betul!
Empat
belas orang berpakaian serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang Darah,
berjalan memecah genangan darah busuk dengan seenaknya lalu berhenti kira-kira
lima belas langkah di hadapan rombongan Karewang.
Mereka adalah
Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor satu yang
menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli bernama
Waranawikualit. Di belakang rombongan Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang
pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak seberapa tinggi namun jumlah
mereka yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan oleh pihak lawan.
"Mereka
berjumlah lebih dari lima puluh Eyang …" bisik Lestari pada gurunya dan
diam-diam segera keluarkan suling peraknya.
"Tak
perlu ditakutkan," sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani
datang lebih dekat pasti konyol…"
"Di
antara mereka tak kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari
berbisik.
"’Hai
kenapa raja kalian tidak muncul?! Apa takut mampus?!" Karewang tiba-tiba
berteriak sementara orang-orang dari Istana Darah mulai berpencair, mengurung
mereka.
"’Untuk
menghajar manusia-manusia pikun macam kamu perlu apa Raja kami mesti
mengotorkan diri turun tangan!" Yang menjawab adalah Hulubalang Darah
Kesatu.
Karewang
yang mengenal suara itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh besar
Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku tahu apa
yang kau lakukan terhadap dua muridku!"
Waranawikualit
atau Hulubaiarg Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek.
”’Kalau
saja kau ingat nasib celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah miring
otak masih beraniberanian datang kemari!" kata Hulubalang Darah Kesatu
pula.
Sementara
itu dengan ilmu menyusupkan suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau
hadapi dia sobatku. Walau bagaimanapun lawan besar yang harus kuhadapi adalah
Rangrang Srenggi."
"Tak
usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan
menunjukkan jalan ke liang kubur pada mereka!"
"Bagus.
Tapi kalau tidak turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata
Karewang pula. Maka diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul
nyalimu amat besar majulah! Bawa semua orangorangmu sekalian! Hari ini aku akan
memberi pelajaran terakhir padamu sebelum kau jadi makanan cacingcacing liang
kubur!"
"Mulutmu
terlalu besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada
anak-anak buahnya.
Beberapa
Hulubalang maju sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran kurungan.
Tinggal sepuluh langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana kilat Karewang yang
bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa mengekeh dan tangan kanannya melemparkan
sebuah bola hitam.
"Lekas
menyingkir!" teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak
melayang di udara.
Tangan
kanannya dihantamkan ke atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata maut itu
sebelum meledak diantara orang-orangnya. Tapi dari angin suara gerakannya,
Karewang cukup tahu apa yang dilakukan lawan. Segera ia mengirimkan satu
pukulan tangan kanan ke arah dada lawannya dan memaksa Hulubalang Darah Kesatu
melompat ke samping.
Tangkisannya
luput dan sesaat kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang meledak di
tengahtengah orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan belas
Hulubalang Pengawal roboh ke dalam genangan darah. Darah mereka bercampur baur
dengan darah busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal dan ikut jadi korban!
Dengan demikian yang tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah dan 21 orang
Hulubalang Pengawal!
Bukan
alang kepalang marahnya Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang
berjatuhan di pihaknya.
"Kalau
tidak kupecahkan kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi manusia!"
teriak Waranawikualit lalu sambil melompat dia kirimkan dua pukulan hebat
sekaligus!
Dua larik
sinar merah menyambar dari pukulannya itu ke arah dada dan kepala Karewang.
Karewang membentak, "Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat.
Selarik sinar pelangi berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah
buyar!
Tapi saat
itu dari samping terdengar seruan, "Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu
sinar kuning menyambar.
Hulubalang
Darah Kesatu membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat siapa yang
menyerangnya. "Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol berani datang
kemari!" Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang bergerak dalam serangan
"Sepuluh cakar sakti meremas bumi" yang amat hebat karena
mengandalkan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya.
Si Botak
Mata Buta yang bukan sembarang orang dengan gerakan mengagumkan berhasil
mengelakkan serangan itu. Akibatnya sepuluh jari tangan Waranawikualit melabrak
batu karang di sampingnya dan batu karang itu hancur lebur!
Bayangkan
kalau sepuluh jari tangan berhasil mengermus kepala botak Si Botak Mata Buta. Untuk
beberapa lamanya semua orang tertegun di tempat masing-masing menyaksikan
jalannya pertempuran tingkat tinggi itu. Perkelahian berjalan terus. Ketika
kelihatan Waranawikualit atau Hulubalang Darah Kesatu mulai terdesak,
Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga Hulubalang Pengawal segera
menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran untuk mengeroyok Si Botak Mata Buta!
Melihat
hal ini maka Wiro Sableng, Panji Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam. Karena
lawan datang mengeroyok dengan mempergunakan berbagai macam senjata maka
ketiganyapun menyerbu dengan senjata di tangan. Di atas genangan cairan darah
busuk itu berkecamuklah pertempuran hebat. Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni
212 yang mengeluarkan sinar putih menyilaukan serta suara menggaung seperti
ratusan tawon menggila. Panji Kenanga berkelebat gesit kian kemari dengan
pedang Gajah Birunya yang terlihat hanya merupakan kelebatan-kelebatan sinar
biru menderu-deru. Di lain pihak laksana seorang puteri dari kayangan yang
sedang marah, Lestari berubah merupakan bayangan merah yang berkelebat gesit
kian kemari sambil pergunakah suling peraknya untuk memukul dan menotok kepala
atau dada lawan!
Meskipun
orang-orang dari Istana Darah rata-rata berkepandaian tinggi namun tiga lawan
yang mereka hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro Sableng bukanlah lawan-lawan
kelas rendah yang bisa mereka lakukan dengan sekehendak hati. Dalam tempo
singkat korban demi korban telah berjatuhan dan bergeletakan dalam genangan
darah busuk. Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka
yang bertempur.
Tiga kali
peminuman teh berlalu dan saat itu kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang Darah
Kesatu sajalah yang tinggal sendirian berhadapan dengan Si Botak Mata Buta.
Keadaan itupun agaknya tidak bakal berjalan lama karena saat itu tangan kanan
Hulubalang Darah Kesatu telah disentak putus oleh lawannya hingga dia kini
hilang keseimbangan badan dan bercampur macam orang celeng!
Si Botak
Mata Buta sendiri bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba
mulut Hulubalang Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian menyemburlah asap
biru pekat ke muka Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah maklum kehebatan
racun "waja biru" cepat menutup jalan nafasnya dan menyembur pula ke
depan! Dari mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang Darah Kesatu
terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke depan, sepuluh jari tangan Si
Botak Mata Buta dengan cepat mencengkeram lehernya. Hulubalang Darah Kesatu
megap-megap kehabisan nafas, meronta dan melejang-lejang.
"Kreek
…!"
Sepuluh
jari tangan Si Botak Mata Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah Kesatu
dan hancurlah tulang leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke
akhirat!
"Pertempuran
hebat! Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi
dimanakah lawanku? Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul?!"
"Mari
kita periksa ke dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang
berpikir sejenak. Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk
mendukungnya kembali. Kelima orang itu dengan merancah genangan darah busuk,
melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak menuju
reruntuhan Istana Darah. Di mana-mana terdapat sisa-sisa korban api dan dari
setiap jurusan menyambar bau busuk yang memengapkan jalan pernafasan.
"Aneh,
di manakah si gila Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di ujung
sana, dekat sisa reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas Istana Darah,
Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika dia
menjenguk ke balik reruntuhan tembok, depan sebuah kolam yang kini dipenuhi
puingpuing reruntuhan serta pecahan patung Rakseksi telanjang, di atas sebuah
kursi goyang besar yang terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang
laki-laki katai berpakaian merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah
dan bermuka bercelomot darah! Baik kening, maupun hidung serta mulut orang
katai ini amat rata sekali hingga sepintas lalu mukanya licin tak ubahnya
seperti sebuah bola! Kursi yang didudukinya terlalu besar bagi tubuhnya yang
kecil itu. Bahkan kedua kakinya tidak sampai menjejak lantai! Tapi di atas
kursi goyang itu dia duduk bergoyang-goyang seenaknya. Di tangan kiri kanannya
terdapat sebuah seloki cairan merah. Dalam duduk sendirian seenaknya itu dia
tertawa-tawa macam orang kurang ingatan. Wiro memberi isyarat pada yang
lain-lainnya untuk mendekat. Ketika semua orang sudah berkumpul di dekatnya
tiba-tiba si katai di atas kursi goyang menghamburkan tawa gelak berderai
hingga kedua matarrya basah oleh air mata!
"Selamat
datang tuan-tuan … Selamat datang di Istanaku yang telah hancur ini …!"
kata orang katai itu pula.
Tapi
tiba-tiba mukanya berubah warna dan dari mulutnya keluar makian. "Keparat
… sialan! Laknat …!
Haram
jadah! Terkutuk! Mampuslah semua! Mampusl Semuaaa …!"
Mengenali
suara yang mengutuk menyerapah itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka
Yang Mulia Raja Gila, setelah istanamu hancur, setelah begundal-brgundalmu
konyol, apakah kau masih menganggap dirimu masih sebagai raja?"
"Kalau
asalku raja tetap raja. Hari ini aku telah menjadi raja akhirat untuk mengirim
kau dan yang lainlainnya ke akhirat!" Selesai berkata begitu manusia yang
menganggap dirinya sebagai raja itu tertawa gelakgelak.
"Rangrang
Srenggi. Otakmu yang miring rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang! Hari ini
kau harus mempertanggungjawabkan segala kejahatan yang telah kau perbuat!"
Rangrang
Srenggi mendengus. Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang lalu
sambil mengacungkan dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata,
"Sebelum
kita meneruskan pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini! Datanglah ke
hadapanku. Eh… apakah kedua kakimu yang kubikin buntung tempo hari sudah
disambung dengan kaki palsut!"
Paras
Karewang merah padam namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan menjawab,
"Justru aku datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki
palsu." Karewang lantas balas tertawa.
Rangrang
Srenggi memencongkan mulutnya.
"Aku
akan buatkan cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah
ini!" Habis berkata begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan
seloki arak di tangan kanan itu melayang perlahanlahan ke arah Karewang.
"Wiro
dudukkan aku di runtuhan tembok agar aku bisa menyambuti suguhan tuan
rumah!" kata Karewang. Maka Wiropun mendudukkan orang tua itu di atas
runtuhan tembok.
Sementara
itu seloki yang berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang. Kira-kira
satu meter lagi dari hadapannya. Karewang menguiurkan tangan seperti hendak
menyambuti. Tapi dari tangan kanannya justru keluar selarik angin yang membuat
seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah kini seloki itu
kelihatan mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan tenaga dalamnya tetap
saja dia tak sanggup mendorong seloki tersebut ke arah lawannya!
******************
17
"HA…HA…HA…!
Rupanya seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah bagianku itu kau
ambil saja!" kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih
keras.
Dengan
muka merah karena malu Rangrang Srenggi menyambut seloki arak itu. Sadarlah dia
bahwa tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Perlahan-lahan dengan
tenang dia meneguk habis darah busuk yang ada dalam seloki satu demi satu. Lalu
seenaknya kedua seloki kosong itu dilemparkannya hingga pecah bertaburan. Dia
kemudian tertawa bekakakan lalu kembali memaki kata-kata kotor. Tiba-tiba dia
memejamkan kedua matanya. Dalam memejamkan mata itu dia kemudian mengajukan
pertanyaan.
"Karewang,
sudah siapkah kau untuk pergi ke akhirat!"
"Sudah
sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.
"Bagus!"
Bersamaan
dengan ucapan "bagus" itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya
yang kecil.
Sesiur
angin yang amat dingin meluncur ke arah Karewang. Yang diserang menggerakkan
tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat setengah tombak ke atas. Serangan
lawan lewat di bawahnya, menghantam runtuhan tembok di mana tadi Karewang duduk
hingga hancur lebur. Karena temtok itu kini sudah jadi sama rata dengar tanah
orang menyangka Karewang akan jatuh terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang
tua berkaki buntung ini dengan senyum-senyum melayang turun dan duduk bersila
di tanah tanpa menimbulkan sedikit suarapun!
"Kini
giliranku, Srenggi!" seru Karewang.
Kedua
tangannya ditepukkan ke depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang Srenggi
hancur berantakan. Tapi si katai itu sendiri sudah melompat ke lain tempat dan
di lain kejap laksana topan prahara menyerbu ke arah Karewang.
Orang tua
bermata buta dan berkaki buntung itu tetap duduk dengan tenang di tempatnya.
Telinganya dipasang benar-benar untuk mengetahui serangan apa dan dari mana
datangnya. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya, menangkis! Empat lengan
mereka saling beradu! Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah
sedang Karewang yang hilang keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat
bangun dan duduk bersila kembali!
Si katai
Rangrang Srenggi dengan amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis berwarna
merah darah dan melompat ke hadapan Karewang.
"Licik!"
teriak Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan suling
peraknya.
"Guruku
tidak pakai senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"
"Bocah
jelita. Kau minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan.
Angin yang menderu keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari yang
terkena terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!
"Biarkan
saja Lestari! Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara
Karewang, "Dia tolol kalau menganggap gurumu yang pikun ini adalah
Karewang beberapa tahun lalu, buta dan buntung!"
Lalu
orang tua ini dengan sikap acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka dada
sedang sepasang matanya yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-ubunnya
tampak keluar asap warna ungu. Asap ini dengan cepat menutupi sekujur tubuhnya.
Sesaat Rangrang Srenggi tertegun. Namun kemudian dia teruskan serangan
pedangnya. Senjata ini bergaung mencari sasaran di arah leher Karewang. Tapi
aneh! Begitu pedang membentur lapisan asap ungu, maka senjata itu terpental
kembali laksana menghantam satu dinding yang luar biasa atosnya. Rangrang
Srenggi jadi penasaran. Dia mengumpulkan seluruh tenaga dan menghujani tubuh
lawan dengan bacokan terus menerus. Namun bagaimanapun dicobanya untuk membacok,
menusuk, membabat, tetap saja pedangnya tidak mampu menerobos lapisan asap ungu
yang aneh itu!
"Gila!
Gila … gila!" teriak Rangrang Srenggi kalap.
Tiba-tiba
cepat sekali Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam gerakan
bagaimana tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di tangan Rangrang
Srenggi. Selagi lawan berada dalam keadaan tertegun kaget, senjata itu sudah
menyambar datar di bawah pinggangnya dan cras! Putuslah tubuh Rangrarig Srenggi
sebatas pinggul!
Darah
menyembur dari dua bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi
berteriak-teriak, memaki dan mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik
suaranya semakin kecil melemah. Pada saat tubuhnya tak berkutik lagi
suaranyapun lenyap dan nyawanya lepas!
"Seorang
iblis telah musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah Iblis?!"
Karewang lalu tertawa gelak-gelak.
T A M A T
No comments:
Post a Comment