Mawar
Merah Menuntut Balas
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
ANAK
perempuan berumur delapan tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada hentinya
menyanyi. Di tangan kanannya tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga yang
baru dipetiknya di dalam hutan. Saat itu matahari pagi telah naik tinggi. Si
anak mempercepat larinya. Dia takut kalau kalau orang tuanya mengetahui bahwa
dia telah pergi ke hutan lagi. Tentu dia akan dilecut seperti kemarin.
Baru saja
dia memasuki jalan kecil yang akan menuju keperkampungan, anak perempuan ini
dikejutkan oleh derap kaki kuda yang banyak dan riuh sekali. Dia tak ingin
mendapat celaka diterjang kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan berlindung
di balik sebatang pohon. Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat
dengan cepat. Si anak tak tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas
amat banyak dan semua berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis
melintang serta cambang bawuk yang lebat. Tampang-tampang mereka buas bengis.
Dan masing-masing membawa sebilah golok besar di pinggang. Meski rombongan
penunggang kuda itu telah berlalu jauh namun debu jalanan masih beterbangan
menutupi pemandangan. Setelah debu itu sirna barulah si anak keluar dari balik
pohon dan berlari sepanjangjalan menuju ke kampungnya.
Kampung
itu terletak di sebuah lembah subur yang dialiri sungai kecil berair jernih.
Sekeliling perkampungan terbentang sawah ladang yang luas. Saat itu padi tengah
menguning hingga kemanapun mata memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak
perempuan itu terus lari. Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar tidak
kelihatan oleh orang tuanya. Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan
menyembunyikan bunga-bunga itu dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi ….
Jalan pikiran si kecil itu terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya
terdengar suara hiruk pikuk. Suara itu bercampur aduk. Ada suara ringkikan
kuda, suara teriakan orang laki-laki, pekik jerit orang-orang perempuan dan
anak-anak, lalu suara beradunya senjata yang sekali-kali diseling oleh suara
ringkik kuda yang membuat kecutnya hati anak perempuan itu.
Ada
apakah di kampung? Begitu si anak berpikir. Hatinya yang kecut membuat larinya
terhenti-henti. Satu perasaan takut memperingatkannya agar jangan pergi ke
kampung, jangan pulang. Namun kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak
meskipun dalam langkah-langkah perlahan. Dilewatinya kebun di belakang rumah
dan sampai di sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat ayahnya menyimpan
segala barang-barang rongsokan.
Justru di
sini anak tersebut menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran, parasnya
yang tadi kemerahan karena berlari saat itu berubah menjadi pucat pasi karena
ketakutan. Dia ingin berteriak, dia ingin menangis tapi mulutnya terkancing
oleh rasa takut yang amat sangat. Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak
laki-lakinya tengah berkelahi melawan dua orang berpakaian serba hitam. Agaknya
kedua orang berpakaian hitam itu tidak sanggup menghadapi ayah dan kakaknya
karena dalam waktu yang singkat keduanya roboh mandi darah, Namun pada saat itu
muncullah tiga orang penunggang kuda bertubuh kekar bertampang ganas. Salah
seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari punggung kuda, langsung
menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul dan saat itu juga terjadilah
perkelahian dua lawan tiga. Tiga manusia bertampang ganas itu ternyata amat
tinggi ilmu silatnya karena tak berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan
ayahnya. Senjata di tangan salah seorang lawan telah membabat dada ayahnya
hingga laki-laki itu tersungkur dan tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya
bagaimana kakaknya menjadi kalap oleh kematian ayahnya lalu mengamuk hebat.
Tapi nasibnya juga malang karena dua senjata lawan berbarengan mampir di perut
serta di pundak kakaknya. Salah seorang dari manusia-manusia jahat itu lalu
membakar rumah orang tuanya. Pada saat api berkobar hebat, dari pintu belakang
keluar dua orang perempuan. Mereka lari ke arah kebun. Keduanya adalah ibu dan
kakak perempuan anak kecil yang berdiri disamping gubuk. Si anak hendak
berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi. Salah seorang dari tiga manusia jahat
itu rupanya berhasil melihat kakak perempuan dan ibunya, lalu berseru keras dan
mengejar.
"Ha-ha!
Ternyata ada isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang
kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri dia
segera ikut menyusul mengejar.
"Bagianku
yang muda, Tunjung!" seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja dia
berhasil mengejar si gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu.
Gadis itu menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun
tubuhnya sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti
anaknya, diapun diciumi secara buas!
"Bagus
sekali perbuatan kalian!" satu bentakan terdengar. Yang membentak ternyata
adalah laki-laki ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan kecil di
dekat gubuk reyot. "Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung
ini menjadi milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua
laki-laki itu berpaling, seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata!
Sudah lebih dari selusin perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan
pada sobat sendiri yang dua ini masih hendak kau ambil?!"
"Heh,
sejak kapan kau berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!"
gertak lakilaki yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot
garang. Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh
padat si gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi Bayunata cepat
mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga paras mereka saling
berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer
Tunjung! Ini adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak
mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak. Kawannya
yang bemama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke tanah.
"Kalau
tidak dia biar yang ini saja untukku!" kata Sawer Tunjung seraya menunjuk
pada perempuan berumur sekitar tigapuluh lima tahun yang tengah didekap oleh
kawannya yang bemama Singgil Murka.
"Tidak
bisa!" Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini
aku belum dapat satu perempuanpun!"
"Kalian
berdua tak perlu berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!"
kata Bayunata. Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar yang tak
boleh melihat perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin dimilikinya sekalipun
saat itu lebih selusin dari perempuan-perempuan kampong telah diambilnya.
Singgil
Murka dan Sawer Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah
tertawa.
"Kelak
kalau aku sudah mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang lumayan.
Jadi tak perlu menggerutu!"
"Kau
keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!"
Bayunata membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau
berani mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam
dekapannya yang saat itu masih menjerit dan meronta.
"Kau
ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup
senang! Mari …!"
"Tidak,
lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan
bikin aku marah," kata Bayunata. Tapi si gadis terus meronta dan memaki.
"Kau
ingin aku berbuat kasar sebelum waktunya?! Baik!" Tangan kanan Bayunata
bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya tersingkap
lebar. Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada yang padat putih itu.
Dilumatnya dada itu dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari mulutnya keluar
ucapan, "Dada bagus …. dada bagus … uh … uh!"
"Lepaskan
aku! Manusia dajal ….!"
Bayunata
tertawa mengekeh dan memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas kuda. Pada
saat itulah anak kecil yang berdiri di samping gubuk berteriak.
"Ibu
…. kakak!" Namun suara teriakannya itu sama sekali tidak keluar karena
satu telapak tangan berwarna amat hitam dan berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan
berteriak anak, jangan berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh!
Kau tahu tak satu anak kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis
kecil itu berpaling dan dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras orang
yang menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras setan-setan
yang pernah diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur! Paras itu cuma punya
satu mata yaitu di sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya merupakan lobang
hitam yang dalam. Manusia bermuka hitam itu cekung sekali kedua pipinya sedang
hidungnya melesak penyet!
"Jangan
takut anak, jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya
ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya tangannya yang
menekap mulut si gadis cilik.
"Mari
ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang
sepertimu ini yang kucari-cari!"
‘Tidak!"
si gadis cilik meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau
kulepaskan kau mau lari ke mana, anak?!"
"Ibu
… ibu … aku akan mengejar ibu!" jawab si anak.
"Ah
… akan mengejar ibumu dan melawan perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!"
Manusia
bermuka hitam seram yang temyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa
mengekeh.
"Sekecil
ini kau telah menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku harus
bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si muka
hitam lalu mendukung gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan tempat
tersebut. Tapi satu bayangan putih memapas larinya dan satu bentakan
mengumandang keras!
"Perempuan
muka hitam! Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang
nenek terkejut bukan main dan menghentikan larinya.
"Bangsat!
Setan alas dari mana yang berani mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!"
******************
2
DI
HADAPAN si nenek yang mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang
kakek-kakek berpakaian putih. Kumis dan janggutnya panjang menjulai,
melambai-lambai ditiup angin. Mengenali orang yang berdiri di depannya si nenek
kembali membentak,
"Munding
Wirya Kau rupa-rupanya yang berani-beranian bicara seenak perutmu terhadapku!
Lekas menyingkir sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang
lehermu!"
Si kakek
tertawa perlahan dan ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan kanannya
ke tanah. Meski tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar jari tangan, namun
hebatnya tanah yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan
bocah itu padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata Munding Wirya.
Si nenek
yang ternyata bernama Camperenik menggembung kedua pipinya yang cekung lalu
menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan melesak! Sekaligus
si nenek hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya tidak kalah hebat dengan
tenaga dalam si kakek.
"Enak
betul bicaramu! Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang baik.
Sesudah
dapat ada yang mau memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu juruspun aku
bersedia mempertahankannya!"
"Aku
tak punya waktu untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak itu
secara baik-baik padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik
tertawa gelak-gelak.
"Kau
mengancam aku, Munding? Ya?! Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau
harus tahu diri Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa
dipaksa?!"
"Lantas
apa sangkut pautmu?!" tukas si nenek. "Sudahlah. Kataku serahkan anak
itu. Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi
dulu mayatku, baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan
ketus.
Munding
Wirya usut-usut janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala.
"Otak
tololmu sekeras batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas jadi
muridmu! Turunan baik-baik tak boleh dijadikan murid orang golongan hitam
macammu!"
"Menyingkir
dari hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot,
hati-hatilah kepalamu!"
"Begini
saja, Camperenik. Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah seorang dari
kita. Kalau dia mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh bawa
dia."
Camperenik
yang bermuka buruk seram tentu saja tidak mau menerima usul itu karena dia
yakin si anak pasti tidak akan memilihnya.
"Dalam
urusan ini tak ada segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari
hadapanku!" Munding Wirya mengusut lagi janggutnya.
"Jadi
kau tak mau menyerahkan anak itu secara baik-baik?!"
"Tidak!
Dan kau mau apa?!" tantang Camperenik.
"Kau
akan menyesal!" desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah.
Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke arah
kedua kaki Camperenik. Si nenek berteriak marah dan melompat setengah tombak.
Selagi melayang di udara kaki kanannya ditendangkan ke muka. Tongkat kuning di
tangan Munding Wirya cepat berputar memapas. Si nenek terkejut. Tak disangkanya
gerakan lawan demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti
menyerang dengan satu cengkeraman dahsyat ke muka lawan. Namun lagi-lagi dia
harus membatalkan serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu
memapaki tangannya!
Maklum
bahwa sulit baginya untuk menyerang secara langsung, Camperenik merubah siasat.
Dia mulai melepaskan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima
langkah. Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu
kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya
merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap
menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian kemari menyambar ke tabuh
lawan!
Pertempuran
antara si kakek dan si nenek telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya
samasama hebat, lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil bertempur dia
masih terus mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya. Munding Wirya
tiba-tiba berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si nenek mendadak
sontak merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar. Dalam penasarannya dia
berpikir ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang demikian asing
dan hebat? Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama hujan serangan Munding
Wirya, Camperenik segera mencabut senjatanya dari balik pinggang. Senjatanya
ini yaitu seekor ular yang telah dikeringkan menjadi tongkat dan bisa
menyemburkan racun jahat. Di tangan Camperenik ular yang sudah keras kaku itu
bisa dibuat demikian rupa laksana hidup dan menyambar kian kemari!
Munding
Wirya sekitar dua tahun yang lalu telah pernah bertempur dengan Camperenik,
karenanya dia sudah tahu kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat menutup jalan
pernafasannya. Betul saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan
senjata ularnya, Camperenik tibatiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun
kuning dari mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek
jadi amat penasaran melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun tongkat
ularnya. Dengan geram dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku tongkat yang
amat seru. Lima puluh jurus lagi berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu silat
simpanan. Serangan di balas serangan. Tipu daya dibalas tipu daya pula.
Masing-masing mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!"
Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus ke tujuh
puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu
padaku?!"
"Sekali
aku bilang tidak, sampai nyawaku terbang kenerakapun aku tetap bilang
tidak!" jawab si nenek seraya hantamkan tongkat ularnya ke batok kepala
Munding Wirya. Si kakek miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Trang!"
Kedua
senjata itu beradu keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu adalah
peraduan yang keenam puluh dua kalinya!
Masing-masing
pihak melompat mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di muka
Munding Wirya keluar dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu kuningnya
dimelintangkan di depan dada. Sepasang matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk
penghabisan kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik
meludah ke tanah.
"Jilatlah
ludah itu! Baru aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah
wajah Munding Wirya. Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri.
Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang jari-jari tangan kanan dikepalkan.
Sesaat kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru pekat.
Paras
Camperenik kontan berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan lawan.
Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana,
Camperenik?!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan
mati konyol dilabrak pukulan buana biru ini?!"
Mulut
Camperenik komat-kamit. Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia tak
bakal sanggup menerima pukulan buana biru itu. Laripun percuma. Tiba-tiba dia
membentak keras,
"Kau
mau bunuh aku dengan pukulan itu?! Baik! Lakukanlah cepat!"
Habis
berkata begitu Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di depan
tubuhnya! Munding Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun tak mungkin
baginya untuk meneruskan melepaskan pukulan buana biru. Meski Camperenik bakal
menemui kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri pasti akan ikut mati
bersama-sama si nenek!
"Keparat
betul si Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir Munding
Wirya geram.
"Ayo
Munding! Kau tokh mau bikin mampus aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik
berteriak dengan sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya tambah
geram.
‘"Kalau
kau tak mampu melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan
tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba
satu bayangan putih melesat dari samping. Munding Wirya tersentak kaget.
Camperenik mengeluarkan seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak perempuan yang
diacungkannya terbetot lepas dari pegangan kedua tangannya! Sesosok tubuh
berpakaian putih sementara itu dengan sebat berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang
ajar! Edan!" jerit Camperenik marah lalu hendak mengejar. Namun dari
samping satu sinar biru menderu laksana topan prahara. Nenek-nenek ini
terkejut. Munding Wirya temyata telah melepaskan pukulan “buana biru” begitu si
nenek bersikap lengah. Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang.
Nyawanya selamat tapi angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat
nenek-nenek ini roboh dan terguling pingsan! Munding Wirya tak menunggu lebih
lama, segera dia angkat kaki mengejar orang yang telah merampas anak perempuan
tadi dari tangan Camperenik!
Di tepi
lembah Munding Wirya masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan
timur. Dengan mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus mengejar.
Tapi bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat jarak
sampai tiga puluh langkah. Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan anak
yang berada di tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan pukulan
buana biru saking gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik berpaling
ke belakang seolah-olah mengejeknya. Munding Wirya tidak ingat sudah berapa
lama dia mengejar orang itu sementara matahari sudah condong ke barat dan hari
hampir senja. Dan sampai saat itu dia masih belum mampu mengejar orang yang
melarikan anak perempuan itu. Si penculik sendiri agaknya tidak mau melenyapkan
diri dari pemandangan kedua mata Munding Wirya dan masih terus juga berpaling
sekali-kali ke belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar di hati si orang
tua. Siapakah gerangan adanya orang itu yang demikian hebat ilmu larinya?!
Tepat
pada saat matahari tenggelam diufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding
Wirya lenyap dari pemandangan!
Kakek-kakek
itu menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak kelihatan,
lenyap laksana di telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar
edan … !" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi diselidikinya tempat
sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin belum jodohku anak
itu. Tapi betulbetul aneh dan hebat. Siapakah orang yang telah melarikannya
itu?"
Dengan
hati kecewa Munding Wirya menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat
tersebut. Namun satu langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang
tua kemarilah!"
Munding
Wirya terkesiap. Dia mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya, disebuah
cabang pohon besar di bawah mana dia berdiri, duduk sesosok tubuh berpakaian
putih tengah memangku anak perempuan yang hendak diambilnya jadi murid! Dengan
serta merta Munding Wirya menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat
dan di lain kejap dia sudah berada di atas cabang pohon besar di mana orang
yang melarikan anak perempuan itu duduk. Terkejutlah Munding Wirya ketika dia
melihat bahwa orang yang menculik si anak adalah seorang perempuan tua berambut
putih jarang. Pada kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde. Kulitnya
yang hitam kelihatan lebih hitam karena selempang kain putih yang dikenakannya,
ditambah lagi oleh kegelapan senja yang datang.
"Pantas
… pantas. Engkau rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup mengejarmu!".
Habis berkata begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam.
Perempuan
tua di depannya tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat itu
telah tertidur nyenyak.
"Empat
puluh tahun tidak bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh satu hal
yang menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya.
"Kalau aku boleh tahu, urusan apakah yang membuat kau meninggalkan puncak
gunung Gede? Kudengar kabar kau sudah bertekad untuk mengundurkan diri dari
dunia yang penuh kotor ini."
"Betul
… itu betul sahabatku Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di puncak
gunung Gede tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku kesal dan
kesepian! Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding
Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya perempuan tua
itu melarikan si anak perempuan, apakah hendak mengambilnya sebagai murid pula,
tetapi si kakek kemudian membatalkan maksudnya karena dia kawatir perempuan tua
itu akan tersinggung. Siapakah sebenarnya perempuan tua itu? Dia bukan lain
Eyang Sinto Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat
yang pernah merajai dunia persilatan selama berpuluh tahun!
Sambil
mengusap kepala si anak perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak
bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat golongan hitam.
Karenanya kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau ambillah!"
Legalah
hati Munding Wirya. Namun demikian sebagai basa-basi dan peradatan dia berkata,
"Jika kau ingin mengambilnya jadi murid, silahkan kau bawa ke gunung
Gede." Sinto Gendeng tertawa,
"Aku
memang mau kembali ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh serta
bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk cuma punya satu
murid. Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau akan mendidik dan menggemblengnya
menjadi gadis pendekar yang hebat agar dapat membalaskan sakit hati atas apa
yang telah menimpa orang tua dan saudara-saudaranya."
"Jadi
kau juga tahu apa yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?" Sinto Gendeng
mengangguk perlahan.
"Kekotoran-kekotoran
macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang bakal menuntut
balas!" Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu sekali lagi lalu menyerahkannya
pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut sekali karena baru saja si anak
berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng tahu-tahu telah berkelebat lenyap dari
cabang pohon. Munding Wirya gelengkan kepala dan tarik nafas panjang. "Tak
dapat kuukur betapa tingginya ilmu kepandaian manusia itu!" Setelah
memandang berkeliling sesaat, kakek-kakek inipun melompat turun dari cabang
pohon dan lenyap dalam kegelapan malam.
******************
3
HUTAN
Bludak merupakan hutan yang paling lebat di daerah selatan Jawa Barat. Penduduk
yang diam dibeberapa desa sekitar hutan tersebut menganggapnya sebuah hutan
angker yang jarang di datangi manusia. Menurut penduduk disitu, selain penuh
dengan bindtang buas juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus. Di samping
itu hutan Bludak juga merupakan sarang manusia-manusia jahat.
Di
pertengahan hutan yang angker lebat itulah gerombolan rampok Bayunata
mendirikan markas mereka. Rumah-rumah mereka atau lebih tepat dikatakan
pondok-pondok didirikan di atas pohonpohon raksasa dalam hutan yang
keseluruhannya berjumlah hampir dua puluh buah. Bayunata sengaja mendirikan
pondok di atas-atas pepohonan agar jangan diganggu oleh binatangbinatang buas.
Disamping itu juga untuk menjaya jika sewaktu-waktu terjadi penggrebekan oleh
pasukan kerajaan Banten atau Pajajaran. Selama bertualang malang melintang
memimpin gerombolan rampok bersama Singgil Murka dan Sawer Tunjung, telah dua
kali Bayunata diserang oleh orang-orang kerajaan. Pertama dari Pajajaran dan
yang terakhir dari Banten. Meski anak buahnya banyak yang jatuh menjadi korban,
namun Bayunata dan kawan-kawannya berhasil menghalau prajurit-prajurit
penyerang.
Saat itu
baru saja memasuki malam. Di dalam sebuah pondok di atas pohon terdengar sedu
sedan tangis dua orang perempuan. Mereka adalah Galuh Asih dan Ratih, ibu dan
kakak perempuan anak perempuan kecil yang dibawa oleh Munding Wirya. Di dalam
pondok itu juga terdapat lima orang perempuan yang rata-rata berparas cantik.
Namun dibalik paras cantik masing-masing, jelas kelihatan sikap dengki dan bengis.
Salah seorang dari kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri dan membentak,
"Kalian ibu dan anak sama-sama keblingernya! Kalian harus berterima kasih
tidak dibunuh oleh Bayunata! Kalian harus bersyukur diambil jadi istri!"
Galuh
Asih menyusut air matanya dan memandang tepat-tepat pada perempuan yang
membentak itu, lalu berkata dengan suara pelahan tapi menusuk tajam.
"Aku
dan anakku menangis karena kami bukanlah manusia-manusia macam kau dan
lainlainnya! Kalian bersyukur jadi perempuan-perempuan peliharaan Bayunata itu
urusan kalian. Jangan coba-coba mempengaruhi kami!"
"Ho-oo!
Kau ibu dan anak mau mengandalkan apakah hendak menolak kehendak Bayunata?
Lebih baik menurut saja! Kalian akan dapat uang, pakaian dan harta
perhiasan!"
"Enyahlah
dari tempat ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan
yang dibentak cuma tertawa sinis.
Dikeluarkannya
sebuah botol berisi cairan hitam lalu melangkah kehadapan Galuh Asih.
"Perempuan
macammu ini biasanya mempunyai jalan pikiran lebih baik mati daripada jadi
peliharaan seorang kepala rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau memang mau
mati!"
Tiba-tiba
pintu pondok terbuka lebar-lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam seraya membentak.
"Perempuan
bangsat! Berani kau menyuruh Galuh Asih minum racun?!"
Perempuan
itu menjerit. Tubuhnya terbanting ke lantai pondok. Di hadapannya berdiri
Bayunata dengan bertolak pinggang dan mata membeliak.
"Warinah!
Sudah sejak lama kudengar kau berperangai buruk! Menghasut, memfitnah bahkan
main gila dengan beberapa orang anak buahku! Berdiri!"
Warinah,
demikian nama perempuan itu berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat kertas.
"’Bawa
sini botol itu!" bentak Bayunata lalu merampas botol racun dari tangan
Warinah dan membuka tutupnya.
"Sekarang
kau sendiri yang harus meneguk racun ini! Ayo, teguk!" perintah Bayunata.
"Ampun
… ampun Bayunata. Aku, aku tidak bermaksud …"
"Minum
cepat!" teriak Bayunata sementara empat orang perempuan lainnya kawan-kawan
Warinah berdiri di satu sudut dengan ketakutan. Warinah mundur beberapa
langkah.
"Minum
kataku!" teriak Bayunata lagi lalu melompat dan, menjambak rambut Warinah.
Racun dalam botol dituangkannya ke mulut Warinah tetapi perempuan itu lebih
cepat menutup bibirnya rapat-rapat!
"Oo
… kau tak mau mampus cara begini hah?! Baik! Aku memang sudah bosan padamu,
sudah muak! Lihat, kau akan mampus dengan cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata
menangkap pinggang Warinah lalu melemparkan tubuh perempuan itu keluar pintu
pondok! Pondok itu terletak di atas pohon raksasa yang hampir duapuluh tombak
tingginya. Di luar terdengar pekik ngeri Warinah lalu sunyi tanda tubuhnya
telah menemui kematian di bawah sana!
Di dalam
pondok Bayunata memandang pada empat perempuan kawan Warinah lalu membentak
mereka agar meninggalkan pondok itu! Keempatnya berebutan cepat keluar dan lari
sepanjang jembatan gantung kecil yang terbuat dari tali yang menyambungkan
pondok itu dengan pondok lainnya. Kepala rampok Bayunata memutar tubuh dan memandang
ganti berganti pada Galuh Asih dan Ratih.
"Walau
bagaimanapun," katanya, "bunuh diri adalah perbuatan paling
tolol!"
"Kami
mernang tak ingin bunuh diri! Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!"
menyahut Galuh Asih.
"Itu
tindakan yang lebih tolol lagi!" kata Bayunata pula.
"Kau
telah memiliki perempuan-perempuan peliharaan berlusin-lusin. Apakah itu belum
cukup? Masih kurang? Demi Tuhan lepaskan kami!"
"Jangan
sebut-sebut nama Tuhan!" teriak Bayunata marah. "Setiap ada yang
menyebut Tuhan selalu saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan
kami!"
"Tidak
bisa! Kau harus jadi istriku! Jadi peliharaanku, tahu?! Memang aku punya
lusinan perempuan di sini. Aku sudah bosan dengan mereka semua! Kau musti tahu
setiap perempuan berbeda! Punya keistimewaan sendiri-sendiri!" Dan habis
berkata begitu Bayunata tertawa gelakgelak. Dia melangkah ke pintu dan
berteriak. Seorang anak buahnya datang dengan cepat.
"Bawa
gadis itu ke pondokku! Usir perempuan-perempuan yang ada di sana dan jaga dia
baikbaik! Awas kalau kau berani berbuat kurang ajar!"
Dalam
keadaan menjerit-jerit Ratih dipanggil oleh anggota rampok itu. Ketika hendak
dibawa pergi Galuh Asih cepat menghadang.
"Lepaskah
dia! Lepaskan anakku!"
"Jangan
tolol Galuh Asih!" bentak Bayunata seraya menarik lengan perempuan itu
kemudian sekaligus dirangkulnya. Galuh Asih memekik dan menangis keras sewaktu
anak gadisnya lenyap diluar pintu.
Bayunata
menutup pintu pondok dan tegak menunggu sampai tangis Galuh Asih mereda. Bila
perempuan itu tampak agak tenangan sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau
tak usah kawatir akan keselamatan diri anakmu …"
"Pergi!
Jangan dekati aku! Jangan jamah tubuhku!"
"Oh,
begitu? Apakah kau mau aku memanggil sepuluh anak buahku dan menjamah sekujur
tubuhmu sekaligus?!"
"Bangsat!
Demi Tuhan matilah kau!" teriak Galuh Asih lalu melompat dan memukulkan
kedua tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan
mudah kepala rampok hutan Bludak itu menangkap kedua lengan Galuh Asih dan
dilain kejapperempuan itu sudah tenggelam dalam rangkulannya. Ciumannya
bertubi-tubi. Galuh Asih melejang meronta-ronta berusaha melepaskan diri namun
sia-sia saja malah lambat laun tenaganya semakin mengendur dan dia tak berdaya
apa-apa sewaktu Bayunata membaringkannya di atas kasur jerami kering. Kekuatan
perempuan ini timbul kembali sewaktu Bayunata mulai menanggalkan pakaiannya
dengan kasar. Keduanya bergumul berguling-guling dan pada akhirnya Galuh Asih
kembali menyerah kehabisan daya! Dia hanya meramkan mata, tak bisa menolak
sewaktu Bayunata meneduhi tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba menjerit keras ketika
dirasakannya bulu-bulu dada kepala rampok itu menggeremangi buah dadanya. Dia
menjerit sekali lagi, sekali lagi lalu pingsan di bawah tindihan tubuh
laki-laki terkutuk itu!
Sepeminuman
teh lewat.
Bayunata
dengan tubuh keringatan dan terhuyung-huyung melangkah ke pintu. Dibukanya
pintu itu. Untuk beberapa lamanya dia berdiri memandangi kegelapan. Disekanya
peluh yang berciciran dikeningnya. Dia berpaling kebelakang. Galuh Asih
terbujur diatas kasur jerami dalam keadaan tak berpakaian. Sepasang matanya
terpejam. Dada dan perutnya jelas kelihatan turun naik. Betapa bagusnya tubuh
telanjang itu dipandang demikian rupa. Dan tentu tubuh anaknya yang, masih
perawan jauh lebih bagus dari itu, pikir Bayunata..
Kepala
rampok hutan Bludak ini memalingkan kepalanya, kembali memandang keluar pondok.
Dia kemudian berteriak memanggil dua orang tangan kanannya. Tak lama muncullah
Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Bola-bola mata kedua manusia ini membesar
sewaktu mereka memandang ke dalam pondok dan melihat tubuh Galuh Asih yang
terbaring telanjang diatas kasur jerami.
"Sobat-sobatku,
kau lihat pemandangan di dalam sana?!" ujar Bayunata sambil menyeringai
dan menunding dengan ibu jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku
temahak perempuan! Kalian berdua boleh perbuat apa saja sekarang terhadapnya!
Tapi … jangan main serobotan. Dia masih letih ….!" Habis berkata begitu
Bayunata tertawa mengekeh lalu meninggalkan ambang pintu, meniti jembatan tali
yang menuju kepondok lainnya.
Sawer Tunjung
cepat-cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya dipegang oleh
Singgil Murka.
"Mau
kemana Sawer? Aku tokh lebih tua darimu? Aku yang lebih dulu!"
Sawer
Tunjung mengeluarkan suara menggerutu.
"Lagi-lagi
soal umur kau gunakan untuk lebih dulu dapat mencicipi perempuan itu!
Sekalisekali aku tokh boleh saja lebih dulu dari kau?! Aku tak ingin selalu
jadi tukang cuci mangkok!"
Singgil
Murka menyeringai memperlihatkan barisan gigi-giginya yang besar, hitam kotor
tak pernah digosok.
"Yang
sekali ini lain, sobat! Betul-betul lain!" desis Singgil Murka tanpa
melepaskan bahu kawannya.
Sawer
Tunjung jadi penasaran. Ditepiskannya lengan Singgil Murka dan berkata keras.
"Justru
karena yang sekali ini lain maka aku yang musti lebih dulu!"
Sementara
kedua kawanan rampok itu bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih membuka kedua
matanya. Dia sadar apa yang telah terjadi atas diri nya. Mendengar pertengkaran
Singgil Murka dan Sawer Tunjung dia sadar pula apa yang bakal menimpa dirinya.
Noda kotor baru saja menimpa dirinya dan kini kembali kekotoran itu akan jatuh.
Galuh Asih se-olah-olah mendapat kekuatan gaib. Tidak saja perempuan ini
bangkit dan berdiri tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia menjerit keras
lalu secepat kilat lari ke ambang pintu.
"Hai!"
Singgil Murka dan Sawer Tunjung berseru hampir bersamaan. Keduanya melompat ke
pintu tapi terlambat. Tubuh Galuh Asih melayang dalam kegelapan malam.
Jeritannya mengumandang mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan serta merta
berhenti sewaktu tubuh perempuan tersebut jatuh dengan keras ke tanah!
Kepalanya rengkah, lehernya patah!
******************
4
BAYUNATA
tengah meniti jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar, menuju ke
pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak buahnya. Pada saat
itulah didengarnya lengking jerit yang mengejutkan di malam pekat itu. Dia
membalikkan tubuh dan samar-samar di kegelapan malam dilihatnya sesosok tubuh
berambut panjang tanpa pakaian melayang jatuh dari pondok di seberang sana.
Lamat-lamat terdengar suara tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi. Dipondok
seberang sana Singgil Murka dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan memandang ke
bawah. Bayunata berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa
yang terjadi?!" tanya Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang
barusan terjadi. "Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil
Murka.
"Kalian
biarkan dia bunuh diri hah?!"
"Kami
… kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan lari
sangat cepat ke pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham
Bayunata berkeretakan. "Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang tidak tahu
diri! Berlalu dari hadapanku!" sentak Bayunata.
Singgil
Murka dan Sawer Tunjung segera meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke tanah
untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih dan juga mayat Warinah yang sebelumnya
telah dilemparkan oleh Bayunata. Bila kedua pembantunya itu telah berlalu,
Bayunata meneruskan meniti jembatan gantung dari tali menuju ke pondok di
hadapannya.
"Kalian
boleh pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang
mengawal dipintu.
Bila
Bayunata membuka pintu pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut
ruangan tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat kediaman
Bayunata. Selain paling besar juga di dalamnya terdapat perabotan-perabotan
yang serba mewah.
"Hentikan
tangismu. Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan." kata
Bayunata seraya menutupkan pintu pondok.
Dari
sebuah rak kayu jati diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya
sampai setengahnya dengan anggur harum.
"Minumlah,
kau tentu haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang di
tangan kanannya ke muka Ratih.
Si gadis
memandang seloki itu seketika lalu mengambilnya dan dengan tiba-tiba anggur di
dalam seloki disiramkannya ke muka Bayunata.
Kepala
rampok itu undur beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang tersiram
anggur terasa perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu beberapa lama
sehingga rasa perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk pertama
kalinya dia tidak menjadi beringas marah diperlakukan seperti itu. Dipandangnya
Ratih dengan kedua matanya yang merah dan perlahan-lahan diteguknya anggur
dalam seloki.
"Gadis
galak, kau memang pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban
dari Ratih adalah bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini!
Keluarkan!" Bayunata tertawa perlahan.
"Setiap
perempuan yang kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta
dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak mungkin
keluar, tak mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan tolol bunuh
diri!" Dan Bayunata hendak menerangkan tentang kematian Galuh Asih kepada
gadis itu, tetapi maksudnya itu kemudian dibatalkan.
"Hentikan
tangismu. Jangan bikin aku muak dan marah." Bayunata berkata bilamana
Ratih masih dilihatnya menangis.
Sebagai
jawaban Ratih melemparkan seloki di tangan kananpya. Dengan tangan kirinya
Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu seketika lalu
berkata,
"Aku
berjanji tidak akan memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya. Aku
tidak akan menyakitimu."
"Persetan
dengan ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga
ibuku!"
Kembali
Bayunata tertawa perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di atas
sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si gadis
cepat-cepat menjauh.
"Seorang
penjahat memang tak dapat dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti percaya
dengan ucapanku," dan Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai
tubuhnya tertahan oleh pondok.
"Aku
tak akan menyakitimu. Siapa namamu gadis… ?"
Ratih
memepet ke dinding. Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan besar dari
kuningan. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan dilemparkannya ke
kepala Bayunata.
Melihat
sikap Ratih yang keras demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya dengan
lembut, kini naiklah darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan besar
itu hancur berkeping-keping.
"Tingkahmu
tidak ada beda dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak
Bayunata beringas.
Ratih
kaget bukan main.
"A …
apa?! Ibuku bunuh diri …?!" tanyanya membeliak.
"Bunuh
diri dan mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua tangannya
telah mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke tempat tidur dan
ditindihnya sekaligus. Ratih berguling-guling, meronta dan menerjang untuk
melepaskan tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat itu. Namun ini hanya
menghabiskan tenaganya sementara setiap kesempatan yang ada dipergunakan oleh
Bayunata untuk merenggut dan merobek pakaian yang melekat di tubuh sang dara
hingga dalam waktu yang sihgkat pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah tak
karuan rupa lagi. Penuh robek dan terbuka di sana-sini!
Satu kali
Bayunata berhasil menindih tubuh gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya
yang ada Ratih masih sanggup menerjangkan kaki kanan menghantam perut Bayunata.
Kepala rampok itu mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya
terguling dan jatuh di lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang
kepalanya dilantai membuat pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya
semakin lemah sedang jambakan Bayunata masih lengket dirambutnya dengan keras.
Ratih
tahu dia tak dapat bertahan lebih lama.
Mungkin
sudah menjadi takdir bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu rupa.
Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus panas
diwajahnya. Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu membuka lilitan kain
ditubuhnya. Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata menjalar meremas
dadanya. Ratih menangis keras. Usaha terakhir yang bisa dilakukannya ialah
merapatkan kedua kakinya sedapat-dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata
dengan mudah sekali menyibakkan kedua kakinya itu!
"Tuhan!
Tolonglah hambamu ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada
saat itu pertolongan Tuhan benar-benar datang!
Pintu
pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara sesosok tubuh
bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua pergelangan kakinya
dicengkeram. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, mendadak sontak tubuhnya
telah dibantingkan ke lantai pondok!
******************
5
BAYUNATA
adalah seorang kepala rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya terbanting
keras ke lantai dia sanggup bangun kembali dengan gerakan kilat seraya
melepaskan satu tendangan ke arah mana sudut matanya melihat sosok bayangan
putih yang barusan masuk. Yang diserang nyatanya bukan seorang yang
berkepandaian rendah pula, karena tendangan kilat Bayunata berhasil
dielakkannya dengan miringkan tubuh ke samping kiri. Di lain kejap kedua orang
itu telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat
rendah! Siapa kau?!" bentak Bayunata.
Di
hadapannya berdiri seorang pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak dikancing
hingga kelihatan dadanya yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri bertolak
pinggang. Rambutnya yang menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin yang
berhembus dari pintu.
"Jika
saja aku bertindak bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu,
Bayunata!" kata si pemuda.
"Kurang
ajar! Kutekuk batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata
menggembor lalu berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang. lniiah
gerakan yang dinamakan "sepasang lengan baja meminta jiwa." Selain
cepat serangan ini menimbulkan angin yang luar biasa derasnya.
Pemuda
ditengah ruangan cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari lawan
dengan amat cepat menyambar ke batang lehernya. Namun tak terduga begitu dia
berhasil mengelak, sepasang lengan lawan laksana palu godam tiba-tiba membabat
ke kepala dan pinggang! Si pemuda membuang diri ke samping. Tangan kiri menekan
lantai sedang kaki kanan berkelebat ke atas menendang ke arah salah satu lengan
Bayunata! Ini adalah satu gerakan yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda
bersikap seolah-olah gerakan itu adalah gerakan main-main! Ini memb’uat
Bayunata penasaran setengah mati. Dia bertekad untuk membuntoh pemuda tak
dikenal itu saat itu juga. Disambarnya golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat
kemudian senjata yang beratnya hampir duapuluh kati itu sudah lenyap menjadi
sinar putih yang berkiblat ganas ke arah tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda
yang diserang amat terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok yang
demikian hebat. Selain golok itu besar dan berat serta mendatangkan angin
deras, sekali berkiblat senjata ini telah menebar tiga tabasan dan empat
tusukan ke arah tujuh bagian tubuh si pemuda!
Dalam
tempo yang singkat pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan
menyambar berputar menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat dirinya
celaka. Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda menyambar pakaian Bayunata
yang tercampak di lantai. Pakaian itu diputar-putarnya dan digunakan untuk
menghadapi lawan. Bayunata merasa dianggap enteng, apalagi pakaian yang tangan
si pemuda adalah miliknya sendiri. Permainan goloknya diperhebat namun dia
harus berhatihati karena meskipun cuma sehelai pakaian namun di tangan si
pemuda benda itu berobah menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok
Bayunata membabat ke dada, membalik memapas ke lambung kiri pemuda berambut
gondrong. Di lain pihak pakaian di tangan si pemuda meluncur berputar-putar,
menyusup di bawah golok lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh badan
golok tahu-tahu telah terlibat!
Bayunata
berseru kaget. Cepat-cepat goloknya dibetot. Tapi apa yang terjadi ialah
senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas dari tangannya! Bayunata berteriak
marah. Dia menerjang ke muka dengan melepaskan satu pukulan sakti. Namun
sebelum hal itu sempat dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan
telapak tangan kanannya ke kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata
terpelanting dan jatuh punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang
bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di situ tertera pula tiga barisan angka
berwarna putih, angka 212!
"Pergunakanlah
seperai tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut
gondrong pada Ratih.
Bila si
gadis sudah menutupi tubuhnya yang hampir keseluruhannya bertelanjang bulat itu
dengan kain seperai maka si pemuda berkata lagi, "Kita harus meninggalkan
tempat ini."
"Kau
musti membunuh manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda
menggeleng.
"Aku
dipesan untuk tidak melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau
begitu aku sendiri yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia
membungkuk mengambil golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya bergerak
hendak melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum
saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau
tak berhak melarangku! Lepaskan tanganku!"
Si pemuda
mengambil golok besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut kamar.
"Mari ikut aku!"
"Tidak!
Aku tidak percaya padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih mengangkat
tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau
terlalu banyak cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya
leher gadis itu.
Dalam
keadaan kaku tegang Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai di
ambang pintu, dua orang rampok muncul dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak
cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus!
Kalian minta mampus, marilah lebih dekat!"
Rampok
yang pertama berteriak keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya mental
keluar pintu. Rampok yang kedua melengak kaget. Jika begini naga-naganya lebih
baik dia angkat kaki. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah
kena dijambak. Di lain detik terdengar kepalanya diadu dengan sanding pintu
pondok yang keras. Rampok itu melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda
dan Ratih sesaat kemudian telah lenyap dari tempat itu.
*******
Bukit itu
berbentuk bulat. Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang muncung ke atas,
juga berbentuk bulat. Karena bentuknya yang demikian itulah bukit tersebut
kemudian dinamakan bukit Gong.
Pada
tanah yang muncung dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah bangunan
kayu jati berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum
kita mencari tahu siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut marilah
kita ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda berambut
gondrong dari hutan Bludak yang menjadi sarang rampok Bayunata.
Sewaktu
fajar menyingsing di timur, kedua orang itu berada di sebuah anak sungai berair
jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang dipanggulnya dan menyandarkannya di
sebuah batu besar di tebing sungai. Begitu totokannya dilepaskan Ratih berkata
dengan keras.
"Aku
tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?"
si pemuda menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan
Bludak?!"
"Aku
tidak percaya padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kampungku!" Si
pemuda tertawa perlahan.
"Kalau
kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk menyelamatkanmu,
lain tidak."
"Siapa
yang memesan?"
"Seorang
kakek-kakek. Adikmu berada di tempatnya."
"Kau
berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak
disangka gadis cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku
tidak pernah percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia
persilatan!"
"Kelak
kau bakal kawin dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah
paras Ratih mendengar ucapan itu. Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng
si pendekar 212 berdiri.
"Aku
akan mandi di tepian sebelah sana," katanya pada Ratih. "Jika kau
hendak melarikan diri, silahkan!"
Ratih
tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng melangkah
sepanjang tepi sungai dan menghilang di balik rerumpunan pohon pohon bambu.
Walau bagaimanapun hatinya masih diselimuti kebimbangan. Pemuda itu telah
menyelamatkannya dari tangan kepala rampok Bayunata di hutan Bludak. Dia tak
kenal siapa pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek memesannya untuk
menyelamatkan dirinya. Dan si pemuda menerangkan bahwa adiknya ada bersama si
kakek. Siapa gerangan adanya si kakek? Dan ke mana dia hendak dibawa?
Dia tak
bisa mempercayai pemuda itu begitu saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke
dalam sungai. Dia menghela nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri barulah
disadarinya bahwa saat itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai seperai.
Bagaimana mungkin dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa? Dengan
mengomel dalam hati dia duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari pada
menunggu kembalinya si pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa.
Mudah-mudahan saja pemuda berambut gondrong itu bukan manusia jahat seperti
yang dicurigainya.
Tengah
dia melamuni nasib dirinya, Ratih melihat semak-semak di depannya terseruak. Di
lain saat dari seruakan semak belukar itu muncullah seorang pemuda. Pemuda ini
bertampang cakap. Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak
sehat. Baju dan celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan
kain hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri dengan kedua tangan diletakkan di
atas kepala, memandang pada Ratih, tersenyum dan mengedip ngedipkan matanya
beberapa kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah!
Inilah!" katanya sambil mengusapusap mukanya, "Inilah gadis yang
kucari-cari! Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin dengan gadis
yang berpakaian aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi! Aku akan kawin!
Asyiik…!"
Pada
mulanya Ratih merasa takut terhadap pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh
serta edan itu hatinya jadi geli. Dan pura-pura marah dan membentak.
"Setan
gila dari mana ini muncul pagi-pagi buta?!"
"Amboi!
Suaramu merdu amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar
dulu keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger. Tapi
aku bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis. Aku manusia,
sama dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki. Bedanya kau berotak
sehat, aku gila. Nah, kau mengerti …. ?"
Mau tak
mau Ratih tertawa mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti,"
katanya.
Dan si
pemuda tertawa senang.
"Bagus!
Memang calon istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii …
!!"
"Pemuda!
Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon istrimu!
Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi!
Aku yang bilang kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu
urusan nanti. Kau mengerti?!"
"Tidak!
Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau
harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau
begitu kau juga gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa
panjang-panjang.
"Berlalulah
dari hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura
marah.
"Soal
muak atau tidak tak usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu hal lagi.
Tadi kau bilang aku setan gila yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu …
dengar, aku akan terangkan. Pagi adalah nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang
bukan malam. Pagi nama waktu, bukan binatang bukan manusia, bukan makhluk
hidup. Jadi pagi itu tak mungkin punya mata. Apalagi kalau matanya buta. Pagi
buta … lucu sekali! Memangnya ada pagi yang tidak buta? Pagi ya pagi. Kau
mengerti?"
Kembali
Ratih tertawa mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi
kau tertawa! Kau tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah! Dan
betapa nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu itu!
Amboi!"
Kalau
tadi dia tertawa tapi kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi
marah.
"Lancang
amat mulutmu! Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau
aku berotak sehat, masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia
melangkah maju.
"Jangan
mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak
boleh?"
"Pergilah!"
"Aku
akan pergi, tapi kau musti ikut bersamaku."
"Siapa
yang sudi ikut bersama kau. Orang gila …!"
"Orang
gila tidak selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah. Beliau
pasti gembira melihat calon menantunya yang begini cantik, montok dan … "
"Pergi!"
bentak Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan
menyesal kalau…"
"Kalau
… kalau … kalau apa?!" tanya si pemuda.
"Nanti
kutampar mulutmu!"
Si pemuda
tertawa lalu setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan mengulurkan
kepalanya. "Kau mau tampar aku? Nah tamparlah!" kata pemuda berotak
miring itu.
"Plak!"
Karena
kesal hatinya Ratih betul-betul menampar muka pemuda itu dengan keras. Demikian
kerasnya hingga salah satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat
ini Ratih merasa menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah
tertawa dan jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap
sekali tamparanmu, gadis manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan
aku akan minta agar ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas kawinnya!
Amboi mas kawiiiiinnnn …!"
Lagi-lagi
Ratih terpaksa geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu.
"Nah,
sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah terhadapku!
Berarti kau sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku …! Bukan begitu?"
"Cis!
Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran
bibir itu membuat si pemuda tertawa membahak. "Kau lucu … kau lucu! Tapi
sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga denganku!"
Habis
berkata begitu si pemuda lantas meraih pinggang Ratih dan memanggul gadis itu
dibahu kirinya. Ratih hendak menjerit memanggil Wiro, namun satu tekanan halus
pada punggungnya membuat dia mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara barang
sedikitpun! Si pemuda temyata telah menotok jalan suaranya dengan cara yang
teramat lihay!
Karena
tak dapat berteriak, sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua tangannya untuk
mendambun punggung pemuda itu bertubi-tubi sepanjang jalan.
"Pukullah
terus! Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si
pemuda seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat
laun Ratih menjadi letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda
membawanya berlari laksana angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau
mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku
sudah bilang tadi! Kau harus ketemu dengan ayahku … "
Ratih
menggigit bibir. Kalau anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh kali
lebih gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula yang bakal
menimpa dirinya kelak? Diamdiam dia teringat pada Wiro Sableng. Akhirnya gadis
ini meramkan mata dan pasrahkan diri pada ketentuan yang sudah ditakdirkan
Tuhan.
******************
6
KETIKA
Ratih membuka kedua matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan si pemuda
masih terus berlari dengan cepat di selasela pohon-pohon yang tumbuh rapat
bahkan kadangkadang dia melompati semak belukar yang tinggi dan beberapa kali
pemuda itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang lainnya membuat Ratih
merasa gamang dan memejamkan matanya kembali.
"Nah
kita sampai!" terdengar si pemuda berkata.
Ratih
membuka kedua matanya. Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap rumbia.
"Ayah!
Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang
tertutup langsung dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang
laki-laki berumur setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah
menimangnimang seuntai tasbih jadi terkejut.
"Ranata!
Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang. Matanya
membesar sedang kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat
apa yang kubawa ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama Ranata.
Lalu Ratih diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas tikar di
hadapan ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang menutupi tubuh
Ratih yang bukan lain hanya sehelai kain sepereil Dia berpaling pada anaknya
dan bertanya.
"Siapa
gadis ini?"
"Calon
istriku! Calon menantumu!" jawab Ranata. Lalu dia tertawa gelak-gelak dan
menari memutari Ratih. Sang ayah geleng-gelengkan kepala.
Sementara
itu Ratih memandang berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil serta
kotor. Tapi bila sudah berada di dalam ternyata besar dan bagus serta amat
bersih.
"Kau
ada-ada saja, Rana! Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula yang
kau culik ini?!"
"Amboi!
Aku sama sekali tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau ikut aku!
Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?"
tanya si ayah seraya memandang pada Ratih.
Ratih tak
menjawab.
"Astaga,
aku lupa membuka totokannya!" kata Ranata. Lalu dijentikkannya satu
jarinya. Setiup angin halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah totokan
yang membuatnya tak bisa bersuara.
"Betul
kau sendiri yang bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia
dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah
menarik nafas dalam dan mendelikkan matanya pada anaknya.
"Dia
yang dusta ayah! Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata.
"Buktinya kalau dia tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita
pasti dia angkat kaki melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah
paras Ratih. Ranata tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali geleng-gelengkan
kepala.
"Siapa
namamu, anak? Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau
berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-laki itu.
Semula
Ratih menduga kalau si anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila. Tetapi
nyatanya lakilaki itu amat baik dan bertanya dengan lemah lembut. Ini membuat
Ratih bersedia membuka mulut memberikan jawaban.
"Nama
saya Ratih, pak. Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang mandi
sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia pada
akhirnya diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau
bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah
padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu
memang sudah sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada
keren.
"Tapi
ayah jangan lupa akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan kawin
dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai, tubuhnya
terbungkus alas tempat tidur! Masakan aku akan melupakan sumpahku begitu
saja?!"
Si ayah
lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya
sekarang ayah harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju mengawini aku
dengan dia!"
Sang ayah
tertawa rawan.
"Anak
orang kau larikan, lalu meminta aku mengawinimu dengan dia! Otakmu memang
miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin bukan soal mainan!
Aku harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini dan melamarnya secara
baik-baik. Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia macam apa kau
adanya! Jangan bikin malu orang tuamu yang sudah hampir masuk ke liang kubur
ini … "
Butiran-butiran
air mata meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu dan
ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala dilihatnya Ranata
duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkaca-kaca. "Jika
kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal mau menerima
diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi menantu … " Air
mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di hati Ratih.
Siapakah
ayah dan anak ini sebenarnya? Ratih memperhatikan lagi paras Ranata. Pemuda ini
berwajah cakap. Cuma sayang pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-tetesan
air matapun jatuh berderai di pipi si gadis.
"Eh
amboi! Kenapa kau menangis?!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih
menangis bukan karena haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat akan
kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang sampai saat ini
tak tahu entah berada di mana.
"Ratih,
kau boleh meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau
akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala perbuatan
anakku …"
"Tapi
ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!"
desis si ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu penuh
wibawa. "Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau
bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau
begitu … " Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku
ayah!" Ranata lalu lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah
pedang. Sinar terang berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya
dari sarungnya. Dia bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah
aku ayah! Lebih baik mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi … amboi!"
Dengan
air mata berlinangan sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali ke
dalam sarungnya.
"Senjata
mustika jangan dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata
menggerung lalu menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling
berangkulan. Air mata runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat. Suasana
sunyi. Ratih memandang pada kedua beranak yang kini duduk berhadapan dengan
menundukkan kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya sedikit. "Ratih, kau
tunggu apa lagi. Pergilah … " Untuk beberapa lamanya gadis itu masih duduk
berdiam diri di tempatnya.
"Bapak!"
Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung
halamanku musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku, tapi
entah di mana sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang lantung di bawa
nasib. Aku hiba melihat keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah aku tinggal untuk
sementara di sini guna merawatmu sebisanya … "
Berubahlah
paras ayah Ranata. Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras,
berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak,
apakah kau tidak akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya
ayah Ranata.
Ratih
menggeleng dan Ranata tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu
muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf
kalau kedatanganku ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang
yang baru datang berkata.
Semua
orang berpaling.
******************
7
"WIRO!"
seru Ratih begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa
dia?!" tanya Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah
pemuda berotak miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku
yang sebelumnya telah kuceriterakan," sahut Ratih.
Wiro
memandang pada orang tua yang duduk di hadapannya. Untuk seketika pandangan
mereka saling bentrokan. Masing-masing merasakan getaran-getaran tertentu dan
sama-sama menyadari bahwa orang yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang
muda, silahkan duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima
kasih!" sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk.
"Ratih, bagaimana kau bisa berada di tempat ini … ?"
"Aku
yang membawanya, aku!" Ranata yang menjawab. Wiro mengawasi pemuda ini
sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro
berpikir.
"Aku
telah memutuskan untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar
212 Wiro Sableng terkejut.
"Kau
memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah
aneh!"
"Amboi,
ini tidak aneh! Dia senang padaku, suka kasihan ayahku dan bersedia tinggal di
sini. Bukan anehl Bukan aneh!"
Wiro
tidak perdulikan ucapan Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda
sinting itu.
"Bagiku
adalah tetap satu keanehan," kata
Wiro
sambil memandang pada orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di
sungai. Tahutahu gadis ini lenyap dan kutemui berada di sini. Dan tahu-tahu dia
memutuskan untuk tinggal di sini padahal antara kalian sebelumnya tak saling
kenal. Bukankah itu aneh kalau tidak ada apaapanya?"
Si orang
tua tertawa kecil sedang Ranata terusterusan membantah bahwa itu tidak aneh.
"Murigkin
aneh, mungkin juga tidak, orang muda … "
Ranata
memotong ucapan ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal
di sini. Tuhan!"
"Aku
sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri … "
"Dan
jangan paksa dia untuk membatalkan niatnya itul Dia calon istriku! Amboiiii!
Calon istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong … ?" ujar Ranata pula
menyambung ucapan Ratih dan sambil bicara itu wajahnya didekatkannya ke muka
Wiro.
Paras
Ratih kelihatan merah jengah. Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil
garukgaruk kepala dia memandang ganti berganti pada ketiga orang di hadapannya,
dan akhirnya pendekar ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang
tua, betulkah kiranya ucapan anakmu ini?!"
"Jangan
perdulikan ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya … "
Wiro
tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah,
nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu
istirahat!" kata Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu. Tapi Wiro tak
bergerak dari tempatnya.
"Orang
tua, apapun yang terjadi di sini itu bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat
satu tugas untuk membawa gadis ini ke satu tempat."
"Begitu
…? Siapakah yang memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu
tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku
yakin manusia gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak
pinggang.
Wiro
ganda tertawa mendengar ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci
mulutmu sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan dengan kau…"
"Bah
… ?!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut?
Memangnya mulutku ini pintu? Pintu yang bisa dikunci? Bisa diselot? Bah… !
Tampangmu cukup keren sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih lumayan
dariku!" Dan kembali Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro
penasaran dan menggerendeng dalam hati.
"Ratih,
berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan
paksa calon istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan
Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara
itu ayah Ranata berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak
punya hak untuk memaksanya!"
"Aku
memang tidak, tetapi tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa
saja untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal
di sini sudah merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu?
Jadi kau juga telah menganggapnya sebagai calon menantumu? Kurasa orang tua
semacammu mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara serta peradatanl
Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap di tengah rimba, lalu dikawinkan
dengan burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah
paras si orang tua mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap tersungging
seulas senyuman. Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju kanannya diayunkan
ke muka Wiro.
"Ranata!
Tahan!" seru sang ayah.
"Biar
kuberi hajaran manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!"
Ranata
mundur. Dari mulutnya keluar ucapanucapan gusar.
"Sekarang
begini saja orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian.
Kau hadapi anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya, gadis itu
boleh kau bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di sini dan kau
musti berlalu dari gubukkul Bagaimana?"
"Itu
perjanjian yang cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat segala
macam perjanjian!"
Ranata
tertawa bergelak.
"Nyata
sekali kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro
pencongkan hidungnya.
"Jika
kau hendak main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira cocok
menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan
sembunyikan kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai
dengan dengusan.
Pendekar
212 Wiro Sableng jadi terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah
sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu.
"Aku
tunggu kau di luar!"
Ranata
tertawa.
"Kenapa
musti di luar? Ruangan ini cukup besar. Dan amboi …, biarlah calon istriku
menyaksikan sendiri bagaimana hebatnyarilmu silatku! Di samping itu ayahku akan
menjadi saksi bahwa dalam pertempuran nanti kau tak akan melakukan kecurangan!
Nah, kau sudah siap rambut gondrong?!"
"Silahkan
mulai!" kata Wiro.
"Amboi,
tamulah yang lebih dulu!" sahutRanata pula.
Wiro
meneliti sikap pemuda itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan
sikapnya acuh tak acuh.
"Kau
sudah siap?"
"Aku
sudah siap dari kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau
begitu perhatikan kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring
tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat
membabat ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang dinamakan "pecut sakti
menabas tugu".
"Ha
… ha Kalau cuma serangan macam ini tutup matapun aku sanggup
mengelakkannya!"
teriak
Ranata dan sekali dia bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sesaput
angin menderu kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 terkejut sekali melihat cara
mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul dengan satu serangan lain namun
lagi-lagi dia dikejutkan oleh serangan balasan yang dilancarkan secara aneh
bahkan hampir saja satu jotosan melabrak dadanya!
"Sekarang
jurus kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus
yang kedua ini Wiro membuka serangan dengan gerakan "membuka jendela
memanah rembulan". Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang dari
atas ke bawah sedang tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat ketenggorokan
lawan!
Diserang
hebat begitu rupa kembali Ranata keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya
lenyap lagi dari pemandangan. Di lain detik Wiro melihat satu tendangan sudah
meluncur deras ke arah kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh entah
bagaimana bisa dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu! Sebelum
kakinya menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak
garang. Sekaligus kedua tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan serangan
"kipas sakti terbuka".
Di
hadapannya Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu
dengan sangat tiba-tiba sekali kedua lengan itu menyusup ke bawah. Wiro sadar
meskipun serangannya bisa menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari
Ranata tak mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan "gunung
meletus batu melesat ke luar".
"Sekarang
jurus terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan
ini adalah jurus kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata. Tubuhnya
merunduk.
Kepalanya
diluruskan demikian rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro. Tentu saja
ini sasaran yang empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya diangkat sedang dari
atas tangan kirinya menderu. Tidak dapat tidak salah satu dari dua serangannya
itu pasti akan m ngenai sasaran!
Namun
untuk kesekian kalinya Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya setenga jalan
bergerak ke samping. Dalam satu gerakan tahu-tahu jari-jari tangan kiri sudah
mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!"
keluh Wiro.
Segera
Pendekar 212 keluarkan gerakan "orang gila melenggang ke awan" untuk
melepaskan diri. Tapi terlambat.
"Bret!"
Pakaiannya
robek.
"Buk!"
Satu
tempelak menghantam bahurlya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir menahan sakit.
Dengan penasaran dia hendak menggempur lawan dengan jurus "menepuk gunung
memukul bukit". Tetapi justru pada saat itu si orang tua berseru memberi
tahu bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan berarti berakhirnya perkelahian.
Mau tak mau meskipun gelora amarah menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa
menghentikan gerakannya.
"Amboi
… ! Kau kalah rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan
menari-nari.
"Yeah
… aku mengaku kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan itu.
Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan. Kenyataan
pahit yang harus diteguknya!
"Dan
dengan demikian … " kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini,
kau silahkan angkat kaki … "
Mulut
Pendekar 212 Wiro Sableng komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera
memutar tubuh.
"Tunggu
dulu, orang muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada
sesuatu yang bakal kau ucapkan?"
"Ya,
memang ada!" sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan
kau lekas dapat cucu!" Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia hendak
mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu sedang Ranata
tertawa gelak-gelak. "Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuuu … !"
Siapakah
sesungguhnya orang tua ini? Mengapa memiliki seorang putera yang berotak
sinting seperti Ranata itu? Kita kembali pada masa sekitar delapan tahun yang
silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada dalam masa kejayaannya, sewaktu
kesultanan Banten masih belum berdiri. Di antara sekian banyak para menteri
istana yang menjadi pembantu Prabu Pajajaran, seorang diantaranya ialah
Citrakarsa, ayah Ranata. Citrakarsa terkenal sebagai menteri yang baik, penuh
tanggung jawab serta jujur. Di samping itu dia juga memiliki kepandaian silat
yang tinggi. Ketika Mapatih Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan
untuk mengangkat Citrakarsa sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan
dilaksanakan, terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu dan
keluarganya. Kedudukan Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak lama menjadi
incaran seorang menteri yang berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya bahwa
Citrakarsa hendak diangkat menjadi Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu
rencana busuk.
Suatu
hari diundangnya Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu
perjamuan. Makanan dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam
dimasukkannya racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit gila
yang hebat. Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa merasakan
kepalanya amat pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama
juga dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari kemudian ketiga beranak itu
telah berubah ingatannya. Kotaraja Pajajaran menjadi heboh sewaktu Citrakarsa
dan anak istrinya berlari-lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah
telanjang.
Apa yang
terjadi atas diri menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib
pandai di datangkan guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada gunanya.
Malah seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh diri
dengan sebilah keris yang ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa
dan Ranata kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian,
penyakit yang diderita Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena dia
mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan bathin yang besar. Setelah menjalankan
semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma minum sedikit
akhirnya Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya badannya saja kini yang kurus
kering tinggal kulit pembalut tulang.
Beberapa
bulan kemudian meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti sediakala
tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa malu untuk kembali
dan berusaha menekan dendam kesumatnya terhadap Sutawija, yaitu menteri yang
telah mencelakakannya. Di samping itu putera tunggalnya Ranata sampai saat itu
masih belum berhasil disembuhkan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh
Citrakarsa namun tetap saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan
untuk menyembuhkan penyakit puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah
ilmu silat aneh yang khusus diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya tidak
sehat namun pada dasarnya Ranata adalah seorang yang cerdas. Ilmu silat yang
diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya secara sempurna dalam tempo hanya tiga
tahun. Masa beberapa tahun kemudian dipergunakannya untuk memperdalam ilmu
bathin, terutama ilmu tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh.
Adapun
ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa berbeda dan terbalik seratus delapan
puluh derajat dari ilmu silat yang ada di rimba persilatan pada masa itu.
Gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang dimainkan serba aneh dan terbalik. Itulah
yang membuat hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar 212
Wiro Sableng sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
Matahari
bersinar panas membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan
mempergunakan ilmu larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju ke
utara. Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan rasa
penasaran yang mendalam. Dalam berlari sampai saat itu ingatannya masih tertuju
pada pertempuran yang telah dilakukannya dengan pemuda gila bernama Ranata.
Bertahun-tahun turun gunung, bertahun-tahun malang melintang di dunia
persilatan, belasan macam musuh dan permainan silat yang telah dihadapinya.
Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma dalam tiga jurus!
"Tiga
jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro dalam hati. "Ilmu silat apakah
yang dimiliki pemuda itu hingga aku demikian tololnya menerima
kekalahankekalahan?! Gila!"
Sambil
lari Wiro mengingat terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka dengan
gerakan "pecut sakti menabas tugu". Ranata dilihatnya bergerak cepat
sekali dan tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan
satu jotosan yang hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro
menghentikan larinya. Dia berdiri dan membuat gerakan "pecut sakti menabas
tugu ". Gerakan ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya mengingat
gerakan Ranata waktu diserang itu. Seharusnya si pemuda membuat gerakan
mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia ingat betul Ranata justru membuat
gerakan dari samping kanan ke kiri dan lalu entah bagaimana tahu-tahu dia telah
menyusupkan satu jotosan ke dada. Di sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan
gerakan yang juga sengaja diperlahankan, Wiro membuat gerakan "menentukan
serangan yang dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata.
Pemuda itu membuat gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu
tendangannya meluncur ke kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa
dilakukan dalam ilmu silat yang wajar. Wiro merenung sejenak. Lalu membuat
gerakan "kipas sakti terbuka". Pada waktu itu Ranata mengembangkan
kedua tangannya laksana seekor burung besar hendak terbang. Dalam ilmu silat
wajar gerakan seperti ini benar-benar satu keadaan yang amat empuk untuk diserang
karena bagian dada sampai ke kaki tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat
kuda-kuda pertahanan dengan menutupkan kedua lengannya di muka dada. Tapi
justru dengan cara aneh begitu rupa Ranata berhasil merobek ujung pakaiannya
dengan tangan kiri dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul
edan! Ilmu silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro.
Digaruknya kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi
setahap diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman teh
memeras otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan keanehan dan
kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ranata. Dan pendekar ini jadi tertawa
gelak-gelak!
Sebenarnya
dasar permainan silat yang dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama sekali dengan
ilmu silat manapun. Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya, semuanya
dilakukan secara terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di duga. Dan
satu-satunya cara untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah dengan
jalan membuat gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
*******
Bukit
Gong. Seperti telah dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk bulat. Pada
pertengahannya terdapat bagian tanah yang tinggi memuncung ke atas yang juga
berbentuk bulat. Bentuknya yang seperti itulah yang membuat bukit itu dinamakan
bukit Gong. Sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak
bukit Gong. Inilah tempat kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah
membawa gadis cilik adik kandung Ratih. Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro
Sableng menuju. Wiro sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong
ke barat. Dia langsung masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding Wirya.
Di
samping si orang tua saat itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi
muridnya.
"Mohon
maafmu, orang tua. Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan. Sesuatu
telah terjadi," kata Wiro.
Munding
Wirya meneliti paras Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang robek
lalu bertanya.
"Apakah
yang telah terjadi?"
Wiro lalu
menuturkan peristiwa yang dialaminya.
Munding
Wirya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Coba
terangkan ciri-ciri orang tua itu," katanya. Wiro menerangkan.
"Tak
salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya
menyeruak sebuah senyum kecil.
"Siapakah
orang tua yang bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang berotak
miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding
Wirya menarik nafas panjang lalu menjawab,
"Dulu
dia adalah seorang menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak cerdas,
berbudi luhur, bijaksana serta jujur … " Lalu Munding Wirya menceritakan
asal usul sampai Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri dan tinggal di dalam
hutan. Mau tak mau Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar kisah yang
menyedihkan itu.
"Mungkin
sekali, karena hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk
tinggal di situ … " kata Wiro.
"Kurasa
demikian …" menyahut Munding Wirya.
Setelah
saling berdiam diri beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro kemudian
menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di hutan Bludak.
Munding
Wirya mengatupkan bibirnya rapatrapat dan membelai kepala gadis kecil di
sampingnya. "Kelak hari pembalasan akan tiba bagi manusiamanusia terkutuk
di hutan Bludak itu… " desis Munding Wirya.
"Mungkin
ada pesan atau tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan pertemuanmu
dengan guruku …?" bertanya Wiro.
Munding
Wirya menggeleng.
"Jika
begitu perkenankan aku minta diri sekarang. Munding Wirya mengangguk dan
mengucapkan terima kasih.
******************
8
DENGAN
terpincang-pincang Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada waktu
matahari tenggelam, sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri sungai ini ke
arah muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan mudah dia bisa melihat jalan
yang ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari secepatnya. Akhirnya perempuan
tua renta ini sampai juga ke muara. Pada tempat pertemuan air sungai dengan air
laut terdapat sebuah delta subur berbentuk pulau kecil. Di sini berdirilah
sebuah bangunan bambu yang pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera
hitam bergambar kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam
keadaan basah kuyup Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut.
Jauh-jauh dia sudah berteriak .
"Soka!
Soka … ! Adakah kau di dalam?!"
"Buset!
Tamu dari manakah yang berkaok-kaok magrib-magrib begini?!" terdengar
suara menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar
terbungkuk-bungkuk.
"Buset!
Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang?!"
"Camperenik
sampai di hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedu-sedu. Air
mata berderai matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang cekung
keriputan.
"Buset,
begitu muncul tak ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di hadapanku!
Apaapaan kau ini Camperenik?!"
Teguran
itu membuat tangis Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau
tak ada apa-apa, masakan aku menangis!" katanya.
Damar
Soka, demikian hama laki-laki tua renta berbadan bongkok itu goleng-golengkan
kepala, memegang bahu Camperenik lalu membimbingnya masuk. Setelah Camperenik
duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah Damar Soka.
"Nah,
sekarang kau terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga terangkan
kenapa kakimu pincang."
Untuk
beberapa lamanya Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis. Damar Soka
menarik ujung pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti dua orang muda
mudi tengah berkasih sayang, disekanya air mata yang membasahi pipi Camperenik
dan dia berbisik.
"Hentikan
tangismu, Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan siapa yang
berbuat hingga kau sampai menangis begini rupa …" Camperenik hentikan
tangisnya.
"Sebelas
tahun aku mencari-cari seorang calon murid. Ketika aku akan mendapatkannya,
ketika calon murid itu sudah befada di tanganku, tahu-tahu datanglah Munding
Wirya hendak merebutnya…"
"Dan
dia berhasil merebut calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap
mukanya.
Baik muka
maupun kedua tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar hitam, alisnya
tebal menjulai dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipip.
Keseluruhan parasnya persis seperti burung hantu. Sudah hampir tujuh tahun
Damar Soka mendekam di muara sungai. Siapa saja yang keluar masuk muara itu
terutama kaum nelayan, diwajibkannya membayar pajak yang dibuatnya sendiri. Dan
merekamereka yang tak mau mematuhi hal itu pasti akan mendapat celaka. Banyak
orang yang mengeluh namun tak seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka
berhati sejahat iblis. Karena itulah dia cukup pantas mendapat gelaran
"Hantu Kuning".
"Tidak,
bangsat tua bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi ketika aku
dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak kenal telah menyambar
calon muridku dan melarikannya. Aku hendak mengejar, namun Munding Wirya
keparat itu melepaskan pukulan buana biru yang berhasil menyerempet pinggulku
hingga lariku jadi pincang!" dan Camperenik menangis lagi macam anak
kolokan.
"Sudahlah,
nanti aku akan beri hajaran pada Munding Wirya …" berjanji Damar Soka
seraya membelai rambut Camperenik.
"Tapi
calon muridku itu … "
"Kita
akan cari sampai dapat … "
"Dan
pinggulku yang sakit ini?" mengajuk Camperenik.
"Ah,
aku akan mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu …
" kata lakilaki ini dengan tersenyum.
Camperenik
dengan sikap malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain yang
melekat di tubuhnya hingga kain itu merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset
… tubuhmu masih semulus dulu juga," kata Damar Soka pula sambil tertawa
mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan tubuh Camperenik telah dibalut dengan
kulit-kulit loyo dan keriput!
Camperenik
mencubit lengan Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek itu lalu
menciuminya.
"Genit
kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya
menarik
tangannya
dan menjiwir telinga Damar Soka. Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan dengan
tangan kanannya dibelainya pinggul Camperenik yang agak kebiru-biruan.
Camperenik menggeliat kegelian. Darah tuanya hangat. Kulitnya yang lembek
berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan tangan Damar Soka.
"Bagaimana
rasanya sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa
lamanya.
"Agak
mendingan … Usaplah terus, Soka. Usaplah terus … " bisik si nenek bermata
satu penuh lirih.
Jika saat
itu ada orang ketiga di situ pastilah dia akan merasa amat jijik melihat
tingkah laku kedua manusia tua bangka ini. Dan Damar Soka terus juga mengusap
pinggul Camperenik. Bahkan tangannya kemudian bergerak mengelus perut
Camperenik hingga nenek-nenek ini menggeliat kegelian dan menundukkan kepalanya
menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar
Soka memekik kecil. Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat si
nenek. Carrrperenik terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot lepas
dan jatuh ke lantai. Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan setengah
telanjang begitu dia lari ke dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang kempis.
Mulutnya komat kamit dan matanya yang hitam bersinarsinar. Dengan tubuh
bergetar dia menyusul masuk ke dalam.
Camperehik
berbaring menghadap ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka memburu. Dia
duduk di tepi tempat tidur. Diletakkannya tangannya di atas paha tua itu
Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus paha itu. Tiba-tiba Camperenik
membalik dan menggigit ibu jari Damar Soka hingga si tua ini terpekik
kesakitan.
"Soka
… soka … ", bisik Camperenik berulang- ulang sambil menggayuti leher
laki-laki tua itu , dengan kedua tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu
kau … Sudah terlalu lama Soka … Terlalu lama … "
"Ya,
terlatu lama … " berbisik Damar Soka dan tangannya menjalar lebih berani
membuat Carnperenik kelangsatan dan menggelinjang di atas tempat tidur. Dari
balik pakaiannya Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain. Sewaktu
topeng itu dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah
seorang gadis yang amat cantik.
Damar
Soka tertawa bergumam. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai topeng
kain. Begitu dipakai maka wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah menjadi
wajah seorang pemuda tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau
cantik, Camperenik!"
"Kau
gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik. Kedua kakinya bergerak dan sesaat
kemudian tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan dipeluknya penuh
nafsu. Kedua kakek nenek itu berguling-guling di tempat tidur. Mereka lupa
bahwa mereka sudah tua bangka begitu rupa. Mereka merasa tak beda dengan
sepasang muda-mudi.
Camperenik
tertawa kecil sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di tubuhnya.
Dengan nafsu berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh
pakaian kakek-kakek itu.
"Enam
bulan Soka … enam bulan … " bisik Camperenik.
"Enam
bulen! Buset … !" balas Damar Soka. Dijambaknya rambut si nenek lalu
ditindihnya tubuh perempuan tua itu!
Dalam
dunia persilatan di Jawa Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan nama-nama
yang asing lagi. Kedua orang ini sejak masih muda dikenal sebagai manusia kotor
yang setiap bertemu selalu berbuat cabul. Mereka hidup tiada beda seperti suami
istri tanpa kawin syah. Dan sampai tua bangka begitu rupa segala perbuatan
cabul itu masih terus juga mereka lakukan setiap mereka bertemu. Dapat
dibayangkan bagaimana kegilaan mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua
begitu mereka sengaja mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras
mereka menjadi muda kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di
dalam diri masing-masing!
Sewaktu
matahari tetah tinggi ke esokan paginya baru Damar Soka terbangun.
Disibakkannya lengan Camperenik yang memeluk pinggangnya. Lalu dengan
terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini
berdiri tetapi dirasakannya satu pegangan mencekal lengannya.
Dia
berpaling. Dilihatnya Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau
mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah!
Bukankah kita musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon rnuridmu
yang dilarikan itu?"
"Betul.
Tapi sekarang masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Buset!
Masih pagi katamul Coba kau lihat matahari telah hampir ke-ubun-ubun."
Camperenik
tertawa. Sampai saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain di muka
masing-masing.
"Bagiku
masih pagi, Soka. Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan matahari.
Munding Wirya bisa menunggu saat kematiannya. Calon muridku yang hilang tokh
pasti akan kita temukan… " Camperenik menarik lengan Damar Soka dan
memeluk tubuh laki-laki itu kembali.
Nafsu
kotor masih belum lenyap dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka
kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam
bulan Soka … enam bulan … "
"Tapi
bused! Kau mau bikin aku lumpuh?!" desis Damar Soka. Dan meskipun demikian
untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
******************
9
PENDEKAR
212 Wiro Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu dan
memandang berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah lembah.
Jauh disebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung. Di barat
menghampar sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti hamparan permadani
raksasa.
Ketika
dia memandang ke bawah lembah tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh
pohonpohon besar berdaun rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk sekali.
Wiro berdiri dan memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar tubuhnya
lebih segar. Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba
mendengar suara dua orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke dalam
telaga dan bersimbur-simburan air.
"Pasti
ada sepasang muda mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro. Dia
bermaksud untuk membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu
pasangan yang tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa
gelak-gelak. Wiro tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak aneh.
Bukan suara tertawa sepasang muda mudi. Akhirnya dengan hati bertanya-tanya dan
ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya menuju tepi telaga.
Kira-kira
dua puluh langkah dari tepi telaga, Wiro menyeruakkan semak belukar dan
memandang ke depan. Terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu
menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya
menganga. Di situ, di tepi telaga seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila
… betul-betul gila!" kata Wiro dan cepatcepat dipalingkannya kepalanya.
Hampir
sepeminuman teh lewat. Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan
alas!" Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula disangkanya
adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia menoleh ternyata
adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih gila lagi. Kalau tadi si kakek yang
dilihatnya berada di sebelah atas kini malah tampak si nenek yang tengah
"memperkuda" laki-laki tua itu sambil tertawa-tawa, sambil
menyeringai-nyeringai!
"Geblek,
biar kulempar mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati.
Lalu dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke arah
kedua insan yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan
mustahil kedua kakek nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta
tidak sopan sekali kalau dia mengganggu kesenangan mereka. Akhirnya dengan
memandang ke jurusan lain Wiro menunggu.
Tak
berapa lama kemudian ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya
kedua orang itu terbaring berdampingan di tanah dan bercakap-cakap dengan suara
perlahan. Diam-diam Wiro melangkah mendekati mereka.
"Kita
mandi lagi Soka … " terdengar suara si nenek.
"Buset!
Sebentar lagilah. Tubuhku masih keringatan … " sahut si kakek dan si nenek
tertawa cekikikan.
"Enam
bulan Soka … "
"Sudah,
sudah! Jangan sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh
apa?!" Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek
membuka suara kembali.
"Kita
cari anak itu dulu atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar
212 Wiro Sableng di tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu mendengar
nama Munding Wirya disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya lalu didengarnya
laki-laki tua yang dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya
si Munding sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia … "
"Betul,
lebih cepat dia mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua bangka itu
pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro
mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan sambil
bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke dalam air dan bergelut lagi
seperti tadi!
Sewaktu
matahari telah jauh condong ke barat barulah kedua kakek nenek yang bukan lain
Damar Soka dan Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing, mengenakannya
lalu laksana terbang lari kejurusan timur. Tanpa menunggu lebih lama Wiro
Sableng segera berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua tua renta
itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap Munding Wirya.
Tetapi
baru saja Pendekar 212 menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara
yang megap-megap .
"Sau
… sauda … ra … tol … tolonglah … "
Wiro
berpaling. Semak belukar di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang laki-laki
melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah. Pada
bahunya ada sebuah kantung kulit.
"Sau
… saudara … " Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro
tidak memegang bahunya dengan cepat!
Wiro
segera hendak memeriksa luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali
lima orang berpakaian serba hitam bertampang buas menyeruak dari balik semak
belukar. Salah satu di antaranya mereka memegang sebatang golok yang basah oleh
darah. Karena tak sempat memberi pertolongan lebih lanjut, Wiro segera menotok
urat besar di leher laki-laki yang di hadapannya, membaringkannya di tanah lalu
berdiri dengan cepat.
"Siapa
kalian?!"
Manusia
buas yang memegang golok menyeringai.
"Manusia
rambut gondrong! Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat
sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus!
Agaknya kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan
alas! Tak ada seorang bangsatpun yang boleh bicara kasar terhadap anak buah
Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
******************
10
WIRO
Sableng keluarkan siulan nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya si
Bayunata hah? Bagus! Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa merenggut
nyawa kalian!"
Sambil
berkata begitu Wiro berkelit mengelakkan serangan golok yang ganas berbahaya.
Anak buah Bayunata menjadi penasaran melihat serangannya mengenai teropat
kosong. Secepat kilat dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang lebih
berbahaya. Namun saat itu Wiro telah lenyap dari hadapannya. Sebelum dia sempat
mengetahui di mana pemuda itu berada, satu jambakan telah mencengkeram
rambutnya dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke tanah!
Perampok
itu mengeluh tinggi. Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa bisa
bergerak. Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap. Goloknya telah
terlepas entah ke mana.
"Sret!"
Suara
golok dicabut terdengar susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu
melihat kawan mereka dihajar demikian rupa, serentak mencabut senjata
masing-masing dan tanpa banyak cerita langsung menyerang Wiro Sableng. Empat
golok besar bersiuran, mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro. Jika
serangan itu berhasil dapat dibayangkan bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan
tubuh terkutung-kutung. Namun serangan-serangan tersebut tak akan berhasil, tak
akan pernah berhasil. Di dahului dengan bentakan nyaring, Wiro melompat satu
setengah tombak ke udara. Dua orang penyerang saling bentrokan senjata satu
sama lain. Sementara itu dari atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan
kirinya menablir serangan.
Dua pekik
kematian terdengar. Rampok yang disam ping kanan terbanting ke tanah dengan
kepala rengkah sedang rampok yang di sebelah kiri melosok dengan dada hancur
melesak!
Rampok-rampok
yang masih hidup terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera memutar
tubuh untuk larikan diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa bergerak sejauh
dua langkah, karena sangat cepat Wiro telah menjambak rambut mereka. Mula-mula
hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok itu satu sama lain. Tetapi setelah
berpikir sejenak, dengan menyeringai Wiro melemparkan keduanya ke dalam telaga.
Celakanya masing-masing mereka tidak bisa berenang.
"Tolong!"
jerit mereka sambil menggelepargelepar dalam air. Keduanya laksana gila,
berteriak don menggelepar. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai tenggelam.
Semakin keras dan cepat gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh mereka
amblas ke dalam air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari permukaan air
telaga.
Wiro
memutar tubuh dan melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka parah.
Dibukanya totokan pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi berhenti kini
kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang itu terdengar suara erangan sedang
kedua matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk obat dari dalam saku
pakaiannya. Darah yang mengucur tak lama kemudian segera berhenti sesudah bubuk
obat itu ditaburkannya di atas luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka
itu kemudian menelankan sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan
menyandarkannya di sebuah pohon. Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu
membuka kedua matanya.
"Bagaimana
rasanya, masih sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan
… te … terima kasih, Sau … dara."
"Bernafaslah
dengan teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan
Wiro.
Dan bila
orang itu dilihatnya agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah siapa
kau dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku
adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke
Kotaraja untuk menyampaikan uang emas yang ada di dalam kantong kulit
dipunggungku ini. Entah bagaimana perjalananku bocor ke tangan penjahat-penjahat
di hutan Bludak itu. Aku dihadang di tengah jaian. Ketika aku menolak untuk
memberikan uang emas yang kubawa, kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku
berusaha melawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak dan rata-rata memiliki
ilmu yang tinggi. Sewaktu salah seorang dari mereka mencabut golok, aku tak
berdaya lagi. Dadaku luka parah. Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha
melarikan diri. Aku sampai di tempat ini dan berternu dengan kau …"
Laki-laki
itu meraba dadanya sebentar ialu menarik nafas panjang dan berkata lagi.
"Aku
berhutang besar padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak bisa
memberikan apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari uang emas yang ada
di dalam kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan Adipati Ekalaya adalah
urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka ikatan kantong kulit
dipunggungnya. Wiro Sableng tertawa dan digelengkannya kepalanya.
"Menolong
sesama manusia adalah satu hal yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu,
menolong merupakan satu kewajiban. Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan balas jasa. Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan
segala pembalasan … "
"Uang
ini kuberikan dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak
keberatan."
"Sudahlah
sobat. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari akan
tenggelam dan malam akan tiba."
Keduanya
berdiri.
"Aku
akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja
dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki
itu mengangguk.
Ketika
malam tiba mereka sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah
pangkalan perahu tumpangan.
"Kita
berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu
laki-laki di sampingnya.
"Ya.
Terima kasih atas segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi menerangkan
nama dan tempat tinggalmu … " Laki-laki itu berpaling dan astaga!
Terkejutlah dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
Sekarang
marilah kita ikuti perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka alias Hantu
Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si Camperenik. Dengan
mengandalkan ilmu lari masingmasing, menjelang tengah malam mereka berhasil
mencapai Bukit Gong tempat kediaman Munding Wirya. Pada saat itu Munding Wirya
tengah hendak bersemedi. Beberapa kali telah dicobanya untuk menutup panca
inderanya namun sia-sia belaka. Dia sama sekali tak dapat memusatkan pikiran
sedang entah karena apa hatinya selalu tidak enak. Dihelanya nafas panjang, dibukanya
kedua matanya kembali. Di sampingnya tertidur pulas gadis cilik yang akan
menjadi muridnya. Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh, Munding Wirya coba
untuk bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan pikirannya.
Selagi dia termenung diombang-ambing jalan pikiran yang tak menentu, mendadak
telinganya yang tajam mendengar suara di luar.
"Siapa?!"
Munding Wirya bertanya.
Baru saja
pertanyaannya itu selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan sesosok
tubuh masuk ke dalam.
"Selamat
berjumpa kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan
seringai bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar sewaktu
melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding Wirya.
"Ada
apa kau ke sini? Apa hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat
masih kurang?"
"Aha!
Jangan bicara besar malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku
datang untuk menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon muridku
juga ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui. Bukankah keadaan
cocok sekali dengan pepatah itu heh?!" Munding Wirya mengusap janggutnya
yang panjang putih.
"Aku
tidak percaya kau punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang di
luar yang agaknya menjadi andalanmu?!"
Pada saat
itu di luar pondok terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya seorang
lakilaki bermuka kuning dan berbadan bungkuk.
"Hem
… Kau rupanya Damar Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui
kekotoran yang kau perbuat bersama nenek-nenek tua keriput ini! Sekarang kalian
berdua keluarlah dari pondokku. Haram kaki kalian menginjak tempat ini!"
"Buset
… buset … buset!" Damar Soka goleng-golengkan kepala. "Haram atau
halal itu urusan kemudian. Yang jelas kau harus berterima kasih lantaran aku ikut
kemari bersama Camperenik!"
Munding
Wirya kerenyitkan kening.
"Sangkut
paut apa aku musti berterima kasih padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik
hendak minta kau punya jiwa, hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya aku di sini
pembalasannya yang kejam bisa diperingan sedikit. Nah, kau lekaslah bunuh
diri!"
Berubahlah
paras Munding Wirya.
"Keluar
dari sini atau aku terpaksa mengusir kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai
tuan rumah kau terlalu kurang ajar, Wirya!" kata Camperenik. Lalu
dikeluarkannya senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan. "Bersiaplah
untuk mampus!"
Camperenik
menerjang ke muka. Senjatanya berkelebat. Racun kuning menyembur. Namun Munding
Wirya siang-siang sudah berpindah tempat hingga serangan Camperenik hanya
mengenai tempat kosong.
Dengan sebat
nenek-nenek bermata satu bermuka hitam ini membalikkan tubuh. Pada saat itu
satu gulungan berwarna kuning datang di hadapannya dengan amat cepat.
Camperenik tidak menduga sama sekali kalau dikejapan itu Munding Wirya akan
melancarkan serangan balasan dengan tongkatnya. Dia bersurut mundur namun
serangan tongkat bambu kuning Munding Wirya telah mengurung sekujur tubuhnya
kemudian dengan sebat menderu ke kepalanya. Munding Wirya sengaja mengeluarkan
jurus serangan yang amat hebatnya bernama "naga sakti menggulung bumi
mematuk bulan".
Camperenik
berseru tertahan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk berkelit ataupun
menangkis! Sekejap lagi tongkat bambu kuning Munding Wirya akan membuat otak
Camperenik bertaburan, tiba-tiba tubuh orang tua ini menghuyung. Selarik angin
panas menyambar dari samping, satu pukulan kemudian melanda lengannya, hampir
saja membuat tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang
ajarl Kau mau main keroyokan Damar Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar
Soka alias Hantu Kuning menyeringai buruk. "Tidak seorang manusiapun tega
melihat kekasihnya dihajar orang. Termasuk aku!"
"Kalau
begitu lanjutkanlah hidup cabul kalian di neraka!" kata Munding Wirya pula
seraya mengiblatkan bambu kuningnya dan mengirimkan dua serangan kepada kedua
lawannya. Perkelahian dua lawan satupun berkecamuklah.
Seperti
telah diketahui, bertempur satu lawan satu bukan hal yang mudah bagi Munding
Wirya untuk mengalahkan Camperenik, apalagi saat itu si nenek muka hitam
dibantu pula oleh Damar Soka, seorang tokoh silat jahat yang kepandaiannya tiga
tingkat lebih tinggi dari Camperenik!
Sementara
itu gadis cilik delapan tahun yang tadi tidur pulas kini telah terbangun dan
dengan terkejut serta takut menyaksikan pertempuran itu disudut pondok. Jurus
demi jurus pertempuran semakin hebat. Mereka yang berkelahi hanya merupakan
bayang bayang saja kini. Taburan serangan yang dilancarkan Munding Wirya
laksana curahan hujan datangnya. Namun cuma sampai lima jurus orang tua itu
sanggup menunjukkan kehebatannya. Jurus-jurus selanjutnya dia mulai mendapat
tekanan-tekanan untuk kemudian dia musti bertahan mati-matian.
Dalam
satu gebrakan hebat dijurus ke sembilan, Munding Wirya terpaksa membiarkan
tongkatnya kena dirampas oleh Damar Soka demi untuk menyelamatkan kepalanya
dari hantaman tongkat ular Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding Wirya
betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik,
hati-hati, bangsat tua ini hendak mengeluarkan pukulan buana biru!" Damar
Soka berteriak memberi ingat sewaktu dilihatnya Munding Wirya menggerakkan
tangan kanannya yang saat itu sudah berwarna biru.
Peringatan
Damar Soka percuma saja. Meski Camperenik berusaha untuk menyingkir namun
terlanlbat. Sebagian sinar pukulan yang mengandung racun jahat menderu memapas
pinggang Camperenik. Nenek-nenek ini melolong setinggi langit. Tubuhnya
mencelat bersama-sama dengan dinding pondok yang hancur berantakan, terhampar
di tanah, berkutik melejang-lejang seketika lalu diam tak bergerak lagi. Di
saat yang sama terdengar pula pekik Munding Wirya.
Meskipun
Munding Wirya berhasil menewaskan Camperenik dengan pukulan buana biru namun
dia sama sekali tidak sempat mengelakkan tendangan kaki kanan Damar Soka yang
membabat dari samping. Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas pergelangan
remuk hancurl Dengan menggigit bibir menahan sakit orang tua ini melompat
keluar dari kalangan pertempuran.
Munding
Wirya menyadari sepenuhnya bahwa sekalipun dia tidak menderita seperti saat
itu, adalah mustahil baginya untuk dapat bertahan menghadapi Damar Soka.
Karenanya cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di sudut pondok dan
berteriak. "Mawar! Larilah! Tinggalkan tempat ini cepat!" Gadis cilik
berumur delapan tahun itu nampak ragu-ragu. Munding Wirya berteriak lagi. Si
anak segera hendak lari tapi Damar Soka sudah mengha dang di pintu menutup
jalan. Dengan penasaran Munding Wirya menerjang dan melancarkan satu tendangan
ke bawah perut Damar Soka. Manusia bermuka kuning itu berkelit gesit dan dengan
satu gerakan cepat yang sukar diukur, tinju kanan Damar Soka bersarang di dada
Munding Wirya. Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh terjengkang
di lantai pondok. Dengan terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum dia bisa
mengimbangi tubuh, Munding Wirya terbatuk-batuk beberapa kali lalu muntah darah
dan melosoh kembali ke lantai. Dadanya terasa panas dan sakit bukan main.
Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan matanya berbinar-binar.
Hantu
Kuning tertawa mengekeh. Dia melanygkah mendekati Munding Wirya.
"Bangsat
tua bangka! Hari ini kutamatkan riwayatmu sampai di sini!"
Hantu
Kuning menggerakkan kaki kanannya. Sesaat sebelum tendangan yang dilancarkan
lakilaki ini sampai dikepala Munding Wirya, dari arah pintu menderu lima buah
benda berwarna putih perak menyilaukan. Hantu kuning terpaksa membatalkan
tendangannya kecuali kalau dia inginkan kakinya dilabrak senjata rahasia itu.
Lima senjata rahasia menancap di dinding pondok. Bendabenda ini berbentuk
bintang yang bertuliskan angka-angka 212 di tengah-tengahnya!
******************
11
BEGITU
terkejut melihat barisan tiga buah angka itu, secepatnya Damar Soka memutar
tubuh ke pintu. Rasa terkejutnya kini berubah menjadi rasa heran. Sekitar
duapuluh tahun yang silam angka 212 itu telah menggetarkan dunia persilatan.
Setiap muncul angka 212 berarti munculnya seorang nenek-nenek sakti bernama
Sinto Gendeng.
Tetapi
hari ini yang dilihat Damar Soka bukan seorang nenek-nenek, melainkan seorang
pemuda bertubuh kekar, berpakaian putih-putih dan berambut gondrong, Pemuda ini
menyengir seenaknya kepadanya!
"Buset
kau budakl Lekas terangkan siapa kau!" Si rambut gondrong bersiul lalu tudingkan
ibu jarinya ke belakang.
"Lekas
keluar dari sini!"
"Hah?!"
Damar Soka beliakkan kedua matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini keluar
dari sini?!" Dan meledaklah tawa Damar Soka. Sesaat kemudian dihentikannya
tawanya itu. Dia memandang lekatlekat ke wajah pemuda di hadapannya dan
berkata, "Kau memiliki angka pengenal 212. Apa sangkut pautmu dengan Sinto
Gendeng dari gunung Gede?"
"Aku
suruh kau keluar, bukan mengajukan segala macam pertanyaan!" bentak si
pemuda.
Marahlah
Damar Soka. Kedua tangannya dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut
diayunkan, dua larik sinar kuning pekat menggebu-gebu. Terdengar satu siulan.
Si rambut gondrong lenyap dari pemandangan. Dikejap yang sama serangkum sinar
putih berkiblat dari samping, menyapu ke arah tubuh Damar Soka.
"Pukulan
sinar matahari!" seru Damar Soka kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke
lantai pondok. Terdengar suara hiruk pikuk yang hebat. Dinding pondok sebelah
kanan hancur berkepingkeping dan hangus. Tercekat hati Damar Soka. Satu-satunya
manusia yang memiliki pukulan sakti itu adalah Sinto Gendeng. Dan kini si
pemuda telah melancarkan ilmu pukulan tersebut secara hebat! Pasti dia murid Si
Sinto Gendeng!
Dengan
bola mata berkilat-kilat Damar Soka berdiri. Kedua tangannya yang berwarna
kuning saling digosok-gosokkan sedang mulutnya berkomat-kamit.
"Budak,
dulu gurumu selama bertahun-tahun telah menjadi seteru tokoh-tokoh silat
golonganku. Jika aku dan kawan-kawan masa itu tak dapat menghancurkan batok
kepala Sinto Gendeng, biarlah hari ini aku cukup puas mengirim muridnya ke
liang kubur!"
Wiro
Sableng tertawa perlahan.
Munding
Wirya yang sejak tadi menyaksikan baku hantam antara kedua orang itu dalam
keadaan megap-megap hampir kehabisan nafas, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya
dan berseru memberi peringatan.
"Wiro,
awas! Tua bangka cabul ini hendak melepaskan pukulan waja kuning! Lekas
menyingkir dan selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro
masih tertawa.
"Terima
kasih atas peringatanmu, orang tua. Tapi biarlah aku mau lihat dan mau tahu
kehebatan pukulan yang hendak dilepaskannya!"
Dan
diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kiri dan tangan kanan. Perlahan-lahan Damar Soka meluruskan tubuhnya
yang bungkuk. Tanpa melepaskan pandangannya dari Damar Soka Wiro berkata pada
gadis cilik di sudut ruangan.
"Anak,
kau lekas tinggalkan pondok ini. Tunggu di luar. Lekas …. "
Mawar si
gadis cilik delapan tahun dengan kaki gemetar lari ke pintu. Sementara itu
Damar Soka mengembangkan kedua tangannya ke samping laksana burung besar hendak
terbang. Kedua tangan itu memancarkan sinar kuning yang menyilaukan dan
menggidikkan. Tiba-tiba dari tenggorokan Damar Soka alias Hantu Kuning keluar
jeritan dahsyat laksana seratus serigala melolong di malam butal Dan serentak
dengan itu kedua tangannya didorongkan ke muka.
Pondok
itu laksana di landa lindu. Dua larik gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke
arah Pendekar 212. Di lain pihak Wiro Sableng begitu lawan bergerak melancarkan
serangan segera pula memukulkan kedua tangannya ke depan. Tangan kanan
melancarkan ilmu pukulan "dewa topan menggusur gunung" yang
dipelajarinya dari Tua Gila sedang tangan kiri melancarkan pukulan "sinar
matahari" yang diwarisinya dari Eyang Sinto Gendeng.
Terjadilah
hal yang hebat. Pondok di mana pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur
berantakan laksana diledakkan. Atap dan dinding beterbangan ke udara. Munding
Wirya yang terhampar di lantai, mental terguling-guling. Demikian juga tubuh
tak bernafas dari Camperenik.
Di dalam
kepekatan malam di atas reruntuhan pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka kembali
saling berhadapan. Pendekar 212 saat itu merasakan dadanya sakit
berdenyut-denyut, aliran darahnya tidak teratur dan kepalanya sedikit pusing.
Di lain pihak Hantu Kuning mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa berdiri
dengan betul. Lututnya bergetar, sekujur tubuhnya panas dingin. "Tak
mungkin aku sanggup menghadapi budak ini lebih lama … Dia kelihatan masih segar
bugar." kata Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba
si tua renta ini melompat ke samping dan menyambar tubuh Camperenik terus
hendak melarikan diri! Wiro bersuit nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat
ke muka. Damar Soka kaget dan penasaran bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda
telah menghadang larinya. Meskipun sadar bahwa dalam keadaan terluka di dalam
begitu rupa adalah berbahaya untuk metancarkan serangan yang mengandalkan
tenaga dalam namun di landa hawa amarah yang amat sangat maka Damar Soka memukulkan
tangan kanannya. Selarik angin hitam berkiblat. Wiro membentak nyaring. Di
kegelapan malam dia melompat setinggi tiga tombak dan sambil melayang turun dia
melepaskan pukulan "sinar matahari" yang terkenal ampuh itu.
Sehabis
melancarkan serangan tadi, Damar Soka merasakan dadanya seperti dipanggang.
Nafasnya menyesak dan tidahnya menjulur keluar laksana orang dicekik. Sedetik
kemudian bukubuku darah merah kehitaman menyembur dari mulutnya. Damar Soka
tersungkur. Tangan kirinya masih merangkul pinggang Camperenik. Sebelum tubuh
Damar Soka mencium tanah, pada saat itulah pukulan "sinar matahari"
yang dilepaskan Wiro Sableng datang menyapu!
Damar
Soka terbanting ke tanah. Camperenik lepas dari rangkulannya. Tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun Damar Soka amblas ke tanah sedalam beberapa
senti. Tubuhnya dan juga tubuh Camperenik hangus hitam. Nyawanya lepas
meninggalkan badan!
Wiro
mengatur jalan darah serta pernafasannya dengan cepat. Kalau dia memandang
berkeliling. Dilihatnya Munding Wirya menggeletak di antara puing-puing pondok,
di sampingnya bersimpuh gadis cilik itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua.
Dalam
keadaan megap-megap begitu Munding Wirya masih bisa sunggingkan senyum dan
memuji.
"Kau
hebat Wiro, hebat sekali … Tak percuma kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku …
puas.
Sebelum
menutup mata aku … masih sem… sempat menyaksikan kematian dua man … manusia
cabul itu … "
Wiro
Sableng meraba dada Munding Wirya. Dada itu terasa panas. Sewaktu disibakkannya
pakaian si orang tua kelihatanlah kulit dadanya kuning pekat sedang tulang dada
melesak ke dalam.
Beberapa
iga jelas kelihatan patah. Pendekar kita segera alirkan tenaga dalam ke dada
Munding Wirya.
"Tak
usah Wiro … jangan", kata Munding Wirya pelahan dengan senyum masih di
bibir. "Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku cukup sampai di sini …
"
"Telanlah
obat ini", kata Wiro tanpa perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang tua
itu menggeleng. Sepasang matanya semakin menyipit dan kabur. "Kehendak
Tuhan segera akan berlaku atas diriku. Satu permintaanku padamu, bawalah Mawar
pada Citrakarsa. Maksudku untuk mengambilnya jadi murid tidak kesampaian. Biar
Citrakarsa yang melanjutkan. Aku … Wiro kurasa … kurasa … "
Ucapan
Munding Wirya cuma sampai di situ. Nafasnya meninggalkan jazad. Orang tua ini
menghembuskan nafas penghabisan dengan senyum masih membayang dibibirnya. Gadis
kecil di sampingnya menangis terisak-isak.
Pendekar
212 Wiro Sableng menghela nafas panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali dia
melihat manusia-manusia meregang nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak dalam
cara mengerikan. Diam-diam dia berpikir entah kapan pula malaikat maut akan
mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
*******
"Dulu
hidup ini sunyi dan sepi,
Kini
indah berseri.
Dulu
hidup ini penuh duka derita,
Kini
semarak bercahaya.
Betapa
tak akan indah,
Betapa
tak akan berseri.
Apa yang
dicita muncul di mata,
Telah
datang seorang calon istri.
Dulu
hidup ini ……………………….. "
Ranata
mendadak menghentikan nyanyiannya. Dia berdiri dengan cepat. Sepasang
telinganya telah menangkap suara orang berlari dikejauhan. Semak-semak di
depannya tersibak, sesosok tubuh berpakaian putih mendukung tubuh seorang anak
kecil muncul.
"Amboi!
Kau datang lagi, rambut gondrong! Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!"
Ranata berseru."Ayahmu ada di dalam?" tanya orang yang datang yaitu
Wiro bersama Mawar.
"Ngaco!
Di tanya malah bertanya!" damprat Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku
segala?!"
Wiro menahan
kegusarannya. Sebelum dia membuka mulut memberi jawaban dari dalam gubuk
mendadak terdengar seruan perempuan.
"Mawar!
Adikku … !"
Seorang
gadis yang bukan lain adalah Ratih menghambur keluar, merebut Mawar dari
dukungan Wiro, memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Wiro terharu sedang Ranata
berdiri bingung.
"Amboi
.., amboi! Mengapa calon istriku menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi?
Adikmu…? Ah … wajahnya … wajahnya memang hampir sama. Adik calon istriku … ipar
… ya iparku kalau begitu! Amboi iiiipaaaar!"
"Semua
yang ada di luar, masuklah ke dalam," tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa
dari dalam gubuk.
‘"Amboi!
Semua masuk!" kata Ranata pula lalu dia yang pertama sekali melompat
masuk, menyusul Ratih yang mendukung Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar ini
menjura di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah
dan ceritakan apa yang telah terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua
orang duduk dan memandang pada Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai
menuturkan malapetaka apa yang telah menimpa Munding Wirya di bukit Gong.
"Begitulah,
orang tua … " kata Wiro menutup keterangannya. "Sebelum menutup mata
Munding Wirya meninggalkan pesan agar membawa adik Ratih ke sini, meminta agar
kau mengambilnya menjadi murid karena dialah kelak yang bakal menuntut balas terhadap
kematian orang tuanya."
Setelah
berdiam diri sejenak, Citrakarsa baru membuka mulut berikan jawaban.
"Apa
yang dipesankan Munding Wirya adalah satu kewajiban luhur. Jika saja pesan itu
tidak lekas sampainya ke sini, mungkin aku sudah lebih dahulu menyuruh Ranata
untuk mengobrakabrik bangsat-bangsat di hutan Bludak itu."
Tiba-tiba
Ranata mendongak ke atas. Citrakarsa bertanya dengan suara keras. "Siapa
di luar?!"
Dan
Pendekar 212 dalam kejap itu telah melompat ke pintu. Sekelebat dilihatnya
sesosok bayangan hitam tinggi langsing di atas atap gubuk. Wiro cepat mengejar
namun orang itu lenyap dari pemandangan. Betapapun dia menyelidik dengan teliti
di sekitar tempat itu tetap tak berhasil mencari jejak ke mana lenyapnya si
bayangan hitam tadi!
Dengan
menduga-duga siapa adanya manusia tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam gubuk.
Saat itu dilihatnya Citrakarsa tengah memegang sehelai kertas putih, bersama
Ranata dia membaca serentetan tulisan yang ada di atas kertas itu.
Ketika
Wiro menghambur keluar gubuk tadi, dari atas atap rumbia melesat segulung
kertas yang saat itu tengah dipegang oleh Citrakarsa. Kertas apakah yang di
tangan orang tua itu, demikian Wiro berpikir sambil kembali duduk ke tempatnya
semula. Citrakarsa mengangkat kepalanya, memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal
yang sama dilakukan pula oleh Ranata. Tiba-tiba pemuda itu melompat dan menari
berputar-putar mengelilingi Wiro Sableng.
"Aku
akan sembuh! Aku akan sembuh dan … amboi! Ratih … Ratih! Dengarlah! Aku akan
sembuh dan nanti suamimu bukan orang gila lagi, bukan orang sedeng, bukan orang
sinting, bukan orang edaaaannn!"
Wiro
memandang Ranata dan Citrakarsa berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya
dalam hati. Tiba-tiba Citrakarsa mengulurkan tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!"
kata orang tua ini.
Wiro
menerima kertas yang diberikan lalu membaca rangkaian tulisan yang tertera di
atasnya. Ternyata merupakan sebuah surat yang ditujukan kepadanya dan berbunyi:
Wiro
muridku,
Percuma
kau menguasai 1001 macam ilmu pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk
mengobati
Ranata.
Sinto
Gendeng.
Wiro
Sableng tertegun melengak. Tiada dinyananya akan mendapat surat seperti itu.
Pantas saja dia tadi tak berhasil mengejar sosok tubuh hitam yang berkelebat di
atas atap gubuk karena ternyata orang tersebut adalah gurunya sendiri!
"Bisakah
kau memberi sedikit keterangan akan bunyi surat gurumu itu?" bertanya
Citrakarsa sementara saat itu Ranata masih juga menari-nari seputar Wiro.
"Aku
memang pemah membaca dan mempelajari sebuah kitab tentang berbagai ilmu
pengobatan beberapa waktu yang lalu. Kitab itu ditulis oleh Kiai
Bangkalan…."
"Kiai
Bangkalan!", kata Citrakarsa setengah berseru. "Dalam dunia
persilatan memang dialah satu-satunya ahli pengobatan yang paling lihay".
Dan harapan besar jelas terbayang di wajah si orang tua.
"Jika
betul kau sudah mempelajari ilmu pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata
akan bisa disembuh kan!"
Wiro
mengangguk pelahan.
"Menurut
keterangan yang kudapat dari Munding Wirya sebelum orang tua itu meninggal,
anakmu telah delapan tahun menderita sakit. Ini berarti membutuhkan waktu yang
cukup lama pula untuk menyembuhkannya. Sekurang-kurangnya setengah dari masa
sakitnya"
"Aku
tak perduli berapa tahunpun! Yang penting anakku bisa disembuhkan!" kata
Citrakarsa pula.
"Ya,
yang penting aku sembuh! Sembuh dan …. kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!"
menimpali Ranata.
Wiro
menarik nafas dalam, lalu pejamkan mata dan menepekur. Hampir sepeminuman teh
baru dia mengangkat kepalanya kembali dan memandang pada Citrakarsa lalu
berkata :
"Pertama
sekali harus disediakan satu guci anggur merah. Lalu disiapkan tujuhpuluh
lembar daun sirih, tujuhpuluh serabut akar cendana dan tujuh ekor katak putih.
Semuanya dimasukkan ke dalam anggur merah lalu di godok. Minuman itu harus
diminum oleh anakmu sebanyak tujuh sendok setiap malam selama empat
tahun."
Citrakarsa
mengangguk-anggukkan kepala.
"Daun
sirih dan akar cendana mudah dicari. Tetapi katak putih, dimanakah
binatang-binatang itu didapat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada
katak putih!" kata Citrakarsa pula.
"Dalam
buku yang ditulis Kiai Bangkalan diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh
tempat dimana terdapat katak-katak putih itu. Salah satu diantaranya di Pulau
Jawa ini. Di dasar kawah gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar
kawah Gunung Tangkuban Perahu. Aku akan ke sana mengambilnya!" kata
Citrakarsa.
"Untuk
menangkap binatang-binatang itu ada syaratnya pula. Yaitu pada malam hari
sewaktu muncul bulan tujuh hari atau ketika bulan dalam keadaan setengah
lingkaran."
"Betapa
pun sulitnya semua itu akan kulaksanakan." kata Citrakarsa pula. Lalu
orang tua iri berulang kali mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan
dan petunjuk Wiro. Tak lama kemudian pendekar tersebut pun minta diri sementara
Ranata saat itu kembali menari-nari kegirangan.
******************
12
SEWINDU
telah berlalu. Banyak hal telah terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa jahat
silih berganti dalam dunia yang semakin tua ini. Di suatu pagi hari yang cerah,
di depan sebuah gubuk reyot di hutan belantara yang jarang di datangi manusia
kelihatanlah seorang kakek-kakek berambut putih tengah menempur seorang gadis
jelita berbaju merah. Gerakan si kakek sebat cepat dan ranting kayu di tangan
kanannya berkelebat kian ke mari, menusuk dan memapas, kadang-kadang menotok ke
jalan darah di tubuh lawannya. Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit pula
gerakannya. Tubuhnya laksana bayangbayang. Dia juga memegang sebuah ranting
kering di tangan kanan. Benda ini menderu-deru menangkis serangan si kakek
bahkan kadang-kadang berbalik merupakan serangan yang mematikan!
Kedua
orang itu tengah melatih ilmu silat. Dan mereka bukan lain adalah Citrakarsa
serta Mawar. Di dekat pintu gubuk berdiri Ratih mendukung seorang anak
laki-laki berumur dua tahun. Di sampingnya tegak Ranata. Berkat obat yang
ditunjukkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Ranata telah sembuh dari sakitnya
sejak empat tahun yang silam. Dan sejak empat tahun yang lalu itu pula Ratih
dengan kerelaan dan kasih sayang yang dimilikinya telah bersedia diambil istri
oleh pemuda tersebut. Dua tahun berumah tangga mereka dikaruniai seorang anak
laki-laki yang mungil dan lucu.
Betapapun
Citrakarsa mengeluarkan segala kepandaian silatnya, namun sukar sekali baginya
untuk dapat mengalahkan Mawar. Berkali-kali diusahakannya memukul lepas ranting
kayu di tangan gadis itu, berkali-kali pula dicobanya untuk mehggoreskan ujung
ranting kepakaian Mawar namun sia-sia belaka. Hati Citrakarsa gembira bukan
main. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu sekian lama untuk menggembleng Mawar
menjadi seorang dara berkepandaian tinggi. Bahkan kalau dibandingkan dengan
Ranata, ilmu yang dimiliki Mawar hampir satu tingkat lebih tinggi!
"Sudah!
Sudah … sudah!" Citrakarsa berseru seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran.
"Hatiku puas, puas dan gembira! Ternyata kau benar-benar tak
mengecewakan!"
Mawar
tersipu-sipu dan berkata, "Walau bagaimanapun kepandaianku masih jauh di
bawahmu, guru. Aku harus berlatih lebih rajin."
Citrakarsa
tertawa. "Ranata!" katanya sambil berpaling pada anaknya.
"Cobalah kau hadapi Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau bakal
dikalahkannya di bawah sepuluh jurus!"
Ranata
tersenyum. Disambutnya ranting kayu yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah dia
menghadapi adik iparnya. Pertandingan berjalan hebat dan cepat. Betul saja,
setelah baku hantam tujuh jurus, ujung ranting di tangan Mawar berhasil memukul
pundak Ranata.
"Aku
kalah!" seru Ranata dan melompat dari kalangan.
"Kakak
sengaja mengalah." kata Mawar lalu membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat
kehebatanmu, aku tak ragu-ragu lagi untuk melepasmu guna menuntut balas
terhadap manusia-manusia jahat yang telah membunuh orang tua dan kakakmu,"
berkata Citrakarsa. "Dengar baik-baik Mawar. Mereka terdiri dari tiga
manusia biadab yang memimpin gerombolan bejat di hutan Bludak. Yang pertama
bernama Bayunata, lalu Singgil Murka dan yang ke tiga Sawer Tunjung. Ketiganya
bertanggung jawab atas kematian ayah bundamu. Bertanggung jawab atas semua
nyawa penduduk kampung kelahiranmu. Mendiang Munding Wirya dan juga aku serta
semua yang ada di sini, dalam pada itu termasuk pula arwah-arwah mereka yang
telah menemui kematian di tangan tiga bergundal kejahatan itu, sama
mengharapkan agar kau dapat membalaskan segala sakit hati dan dendam kesumat.
Aku yakin kau akan berhasil melaksanakannya. Kau boleh pergi setiap saat
bersama doa restuku!"
"Jika
diizinkan, murid ingin pergi hari ini juga!" kata Mawar.
"Bagus,
memang lebih cepat lebih baik." Citrakarsa berpaling pada Ranata dan
berkata, "Kau pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru,
kenapa murid tak boieh pergi seorang diri?"
"Bukan
tidak boleh, Mawar. Tetapi kau harus maklum. Dunia luar tidak seperti dunia
kita di dalam hutan ini. Dunia luar penuh dengan seribu satu macam bahaya,
penuh dengan seribu satu macam tipu daya serta seribu satu macam manusia
berhati culas. Dengan pergi seorang diri, apalagi kau seorang gadis tentu
banyak manusia-manusia jahat yang bakal merintangimu di tengah jalan hingga kau
akan mendapat banyak kesukaran sebelum berhasil melaksanakan pembalasan
terhadap musuh besarmu. Karena itu pergilah bersama kakak iparmu!"
"Jika
demikian, murid menurut saja," kata Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk
bersalin pakaian.
*******
Hutan
Bludak. Disarangnya Bayunata saat itu tengah diadakan pesta besar. Mereka baru
saja berhasil menyikat serombongan pedagang yang tengah menuju Kotaraja.
Delapan orang pedagang berikut selusin pengawal dibunuh, seluruh barang
dagangan dirampok. Singkat cerita, dalam suasana pesta pora itulah Mawar dan
Ranata sampai di hutan Bludak.
"Mereka
tengah pesta pora lupa daratan," desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar
mengangguk. Keduanya mengatur rencana, lalu berpencar. Tak lama kemudian di
salah satu pondok rampok yang terletak agak terpisah dari lain-lainnya
kelihatanlah api berkobar-kobar. Tiga orang anak buah Bayunata yang ada di situ
dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum anggur lari keluar
pondok dan berteriak-teriak. Tiga orang perempuan dalam keadaan setengah
telanjang ikut berlarian menyelamatkan diri. Beberapa kawan merekan segera
datang memberi pertolongan. Untuk memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam pada
itu sebuah pondok lagi di ujung kiri kelihatan telah dimakan api pula.
Rampok-rampok yang ada di dalamnya yang tengah pesta minuman dan pesta
perempuan berlarian keluar. Pondok ketiga, keempat dan kelima kemudian menyusul
di kobari api. Suasana di sarang gerombolan rampok itu jadi kacau balau kini,
lebih sewaktu api mulai pula menjilat dan membakar jembatan-jembatan gantung
dari tali yang menghubungkan satu pondok dengan pondok lainnya.
Dari
dalam sebuah pondok Bayunata keluar terhuyung-huyung. Dia cuma mengenakan
celana dalam. Di tangan kanannya ada sebuah buli-buli anggur sedang tangan
kirinya menggelung pinggang seorang perempuan muda yang tak mengenakan sehelai
pakaianpun. Matanya sembab karena menangis. Perempuan ini diculik oleh
gerombolan Bayunata tiga hari yang lewat di sebuah desa.
"Lima
pondok di makan api dalam waktu yang hampir bersamaan … " desis Bayunata.
"Pasti ini disengaja. Pasti ada yang berbuat …!" Pemimpin rampok
hutan Bludak ini mengeluarkan suara suitan nyaring. Sesaat kemudian muncullah
Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Seperti Bayunata, kedua orang inipun hanya
mengenakan celana dalam karena mereka sebelumnya tengah pesta anggur dan pesta
perempuan.
"Lekas
selidiki apa yang terjadi!" perintah Bayunata.
Singgil
Murka dan Sawer Tunjung cepat berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke dalam
pondok dan merebahkan diri di atas tempat tidur, menggelungi tubuh perempuan di
sampingnya. Di teguknya anggur di dalam buli-buli lalu buli-buli itu
diletakkannya di lantai.
"Persetan
dengan keributan di luar sana. Persetan … !" kata pemimpin rampok ini.
Tangan kanannya bergerak menjamah setiap lekuk tubuh perempuan di sampingnya.
Ciumannya bertubitubi di muka, leher dan dada si perempuan. Keduanya kemudian
tenggelam dalam gelimang kekotoran.
Beberapa
buah pondok lagi sementara itu telah dimakan api pula. Perampok-perampok banyak
yang turun ke tanah melalui tangga-tangga tali. Maksud mereka untuk
menyelamatkan diri. Namun tak tahunya di bawah sana seorang gadis jelita berpakaian
merah menyambut ke datangan mereka dan "menghadiahkan"
hadiahkan" tendangan-tendangan serta pukulan-pukulan maut.
Hampir
selusin anak buah Bayunata telah bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang hancur
kepalanya, ringsek dadanya atau bobol perutnya.
Seorang
anggota rampok lagi kelihatan menuruni tangga tali dengan cepat. Sesampainya di
bawah dia terkejut melihat apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Dan lebih
terkejut lagi sewaktu mengetahui bahwa yang membunuh kawan-kawannya itu adalah
seorang gadis cantik berpakaian merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari
dari mana yang datang menebar maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku. Dan
kau akan selamat dari tangan maut Bayunata!"
Mawar
mendengus.
"Kau
inginkan diriku? Ini terima dulu hadiahku!" kertak si gadis. Secepat kilat
tinjunya di hantamkan kedada laki-laki itu. Anggota rampok yang satu ini
rupanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawan-kawannya sebelumnya.
Dia sempat mengelak lalu menerjang dengan golok yang sudah berada di tangan!
"Aku
akan tebas batang lehermu kalau tidak mau menyerah! Ayo lekas serahkan diri!
Kalau tidak kau akan menyesal sampai di liang kubur!"
Sekali
lagi Mawar mendengus dan sekali lagi pula dia menerjang. Golok di tangan lawan
berkelebat. Terdengar satu keluhan. Golok itu terlepas dari tangan anak buah
Bayunata, dirampas oleh Mawar dan sebelum dia tahu apa yang terjadi satu
tabasan telah memutus batang lehernya!
"Bangsat
betina kurang ajar! Mampuslah!" terdengar satu bentakan.
Mawar
berpaling. Lima orang anggota rampok ternyata telah mengurungnya. Seorang di
antara mereka mendahului kawan-kawannya melancarkan satu serangan golok. Mawar
miringkan tubuh. Begitu senjata lawan lewat di sampingnya, kaki kanannya
menderu dan si penyerang mencelat sejauh dua tombak, jatuh tak bergerak lagi
karena perutnya sudah bobol dihantam tendangan!
Empat
kawan mereka melengak kaget. Tanpa banyak cerita lagi mereka segera menyerbu.
Satu demi satu mereka dibikin melosoh oleh Mawar. Rampok yang kelima sengaja
tak dibunuh, hanya dilukai salah satu bahunya. Mawar menjambak rambut laki-laki
ini.
"Naik
ke atas sana! Beritahu pimpinanmu bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku Mawar
Merah datang untuk menuntut balas! Katakan bahwa aku menunggu mereka di
sini!"
Dengan
ketakutan rampok itu menaiki tangga tali kembali, lalu lari sepanjang jembatan.
Di salah satu cabang jembatan dia berpapasan dengan Singgil Murka dan Sawer
Tunjung. Segera dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang
ajar! Siapa gerangan iblis betina itu, hah?!" gertak Singgil Murka. Dia
berpaling pada Sawer Tunjung dan berkata: "Lekas beri tahu Bayunata. Aku
akan menghajar iblis betina itu!"
Sawer
Tunjung berlalu sedang Singgil Murka bersama anak buahnya yang memberikan
laporan segera menuju ke tempat di mana Mawar Merah berada.
"Itu
dia manusianya!" kata anggota rampok sambil menunjuk ke bawah pohon.
Singgil
Murka beliakkan matanya lebar-!ebar. Manusia yang disebutnya "iblis
betina" itu nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa. Dengan
cengar-cengir Singgil Murka melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di hadapan
Mawar Merah dan geleng-gelengkan kepala.
"Apakah
kau bangsatnya yang bernama Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya
menyorot meneliti laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam di hadapannya
itu.
"Ha
… ha! Aku adalah Singgil Murka. Orang ketiga yang menjadi pimpinan
rampok-rampok hutan Bludak!" menyahut Singgil Murka. "Ada apakah kau
mencari Bayunata? Dan kenapa pula kau menabur maut begini rupa?!"
"Hem
… jadi kau bergundalnya yang bernama Singgil Murka! Sekitar delapan tahun yang
lalu kau pernah memusnahkan kampung Waru, membunuh semua orang yang ada di
sana, termasuk ayah dan kakak laki-lakiku! Ibuku bunuh diri karena kebiadaban
kalian! Hari ini aku menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil
Murka tertawa gelak-gelak.
"Gadis,
kau yang begini cantik dan mulus berani-beranian menantang maut! Aku tidak
ingat lagi peristiwa delapan tahun yang silam. Yang jelas sekali Bayunata
melihatmu pasti kau akan celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku akan sembunyikan
kau disatu tempat yang aman, mengambil seluruh harta kekayaan yang aku miliki
lalu meninggalkan hutan Bludak ini. Sudah sejak lama aku muak dengan kehidupan
begini macam!" Mawar Merah sunggingkan seringai tajam.
"Maksudmu
memang cukup bagus! Tapi tempat yang paling bagus bagimu bukan di dunia ini,
melainkan neraka!"
Habis
berkata begitu Mawar Merah mencabut pedang yang tersisip di pinggangnya.
Sekejap kemudian bertaburlah selarik sinar merah!
Singgil
Murka kaget bukan main. Cepat-cepat dia menyurut seraya cabut goloknya. Maka
terjadilah pertempuran yang hebat. Mula-mula Singgil Murka bertempur hanya
setengah hati, tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama itu dia merasakan
kehebatan ilmu pedang lawan, manusia ini tak mau main-main lagi. Dia merangsak
ke depan berusaha memukul lepas pedang si gadis!
Tapi
sebaliknya si gadis berkelit gesit dan melancarkan serangan-serangan yang amat
aneh hingga dalam jurus kedua Singgil Murka terdesak hebat sedang dalam jurus
ketiga terdengar seruan lakilaki ini sewaktu golok di tangan kanannya dihantam
pedang lawan hingga mental!"
"Celaka!"
keluh Singgil Murka. Nyatanya benar si cantik ini inginkan nyawanya. Tanpa
pikir panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil langkah seribu. Namun dia
cuma sanggup menyingkirkan diri beberapa langkah saja karena laksana terbang,
Mawar Merah melesat dan memburu dari samping. Pedang merahnya berkelebat, dan
"cras"! Mengge!indinglah kepala Singgil Murka! Satu dari tiga musuh
besarnya berhasil dimusnahkan. Mana yang dua lainnya?!
Mawar
Merah memandang berkeliling. Setitik air mata mengambang di sudut-sudut matanya
yang bening. Dia tak melihat anggota rampok yang tadi datang bersama Singgil
Murka, mungkin sudah kabur. Tiba-tiba pada salah satu jalur jembqtan tali
dilihatnya dua orang laki-laki berbadan tegap berewokan dan hanya mengenakan
celana dalam berlari cepat kejurusannya.
******************
13
SAWER
Tunjung mengetuk pintu pondok dengan keras.
"Siapa?!"
tanya Bayunata sementara tubuhnya menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan
yang tengah ditidurinya.
"Aku,
Sawer Tunjung!"
"Tunggu
sebentar!" jawab Bayunata.
Di luar
pondok Sawer Tunjung tahu apa yang tengah dilakukan Bayunata dan dia merutuk
habis-habisan. Keterlaluan sekali jika dalam suasana begitu rupa Bayunata masih
menghabiskan waktu untuk memuaskan nafsunya!
Di atas
tempat tidur Bayunata merasakan tubuhnya mengejang dan panas. Dari mulutnya
keluar suara erangan geram dan dari hidungnya menghembus nafas membara. Di
gigitnya leher perempuan di bawahnya hingga perempuan itu mengeluh kesakitan.
Tubuhnya yang mandi keringat kemudian terbadai di pembaringan.
"Bayunata!
Lekaslah!" terdengar suara Sawer Tunjung di luar pondok.
Pemimpin
rampok itu berdiri terhuyung. Diteguknya anggur di dalam buli-buli,
dilemparkannya buli-buli itu ke sudut pondok lalu dikenakannya celananya. Golok
besar yang tergantung dekat pintu disambarnya lalu dia keluar.
"Apa
yang terjadi?!" tanya Bayunata.
"Lebih
dari dua lusin anak buah kita kutemui mati digantung di sebelah timur. Delapan
pondok musnah dimakan api. Seorang laki-laki yang tak diketahui siapa adanya
telah melakukan hal itu. Kemudian seorang anak buah melaporkan bahwa di jurusan
barat ada satu gadis cantik berpakaian serba merah. Belasan anak buah kita
menemui kematian di tangannya. Kepada anak buah yang masih hidup dia menyuruh
menyampaikan pada kita bahwa namanya Mawar Merah, bahwa dialah yang melakukan
pembunuhan besar-besaran terhadap anak-anak buah kita!"
"Kurang
ajar!" kertak Bayunata. "Aku ingin melihat di sebelah timur
dulu!"
Keduanya
berlari-sepanjang jembatan gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung bukan
isapan jempol. Dua puluh delapan anggota rampok hutan Bludak telah jadi mayat,
mati di gantung dengan tali-tali jembatan. Beberapa lainnya berhamparan di atas
jembatan dalam keadaan mengerikan.
Pelipis
Bayunata bergerak-gerak. Rahangnya menonjol. Dia memutar tubuh dan segera lari
kejurusan barat diikuti oleh Sawer Tunjung sementara di belakangnya terdengar
suara robohnya sebuah pondok yang musnah di makan api. Tak berapa jauh dari
situ segerombolan perempuanperempuan dalam tubuh yang hampir tak tertutup
pakaian berlarian berebutan menuruni tangga tali.
Dalam
waktu yang singkat Bayunata dan Sawer Tunjung telah sampai di tempat Mawar
Merah berada. Saking geramnya pemimpin rampok ini turun ke tanah tanpa melalui
tangga tali melainkan langsung melompat ke tanah. Dari caranya melompat yang
tanpa menimbulkan suara itu Mawar Merah segera maklum kalau manusia yang satu
ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Amarah yang meluapi sekujur tubuh
Bayunata serta merta jadi mengendur manakala dia menyaksikan paras dara jelita
yang mengaku bernama Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia melihat
perempuan yang secantik ini!
"Sawer,
inikah manusianya yang bernama Mawar Merah?"
"Pasti
sekali, Bayu! Pasti!" sahut Sawer Tunjung dan dia memandang berkeliling
mencari-cari di mana adanya Singgil Murka. Namun yang dilihatnya adalah seorang
laki-laki berpakaian putih tak dikenal. Mungkin ini adalah kawan dara berbaju
merah yang telah menggantungi anggotaanggota rampok di sebelah timur, pikir
Sawer Tunjung.
Di lain
pihak Mawar Merah melintangkan pedangnya di depan dada, memandang tajam pada
Bayunata. Kening laki-laki itu kelihatan hangus hitam dan di bagian tengahnya
tertera angka 212. Tidak bisa tidak tentu itu perbuatannya Pendekar 212 Wiro
Sableng, kata Mawar dalam hati. Dia pernah mendengar kisah dari kakaknya bahwa
sewaktu menyelamatkan Ratih, Wiro telah baku hantam dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik,
tetapi buas!" kata-kata itu mendesis dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat
berjidat hangus, kau pastilah Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata
tertawa lebar-lebar. Sambil usap-usap dadanya yang penuh bulu dia berkata:
"Kau kenal aku, dara buas?!"
"Aku
juga kenal jalan ke neraka untuk kalian berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali
Bayunata tertawa lebar-lebar.
"Bayu,
biar aku yang beri pelajaran pada gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak
sobatku. Kau bereskan laki-laki di sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju
merah ini.
Aku
sendiri akan main-main sejurus dua dengannya!"
Maka
Bayunatapun maju ke hadapan Mawar Merah. Golok besarnya masih berada dalam
sarung dan dipegangnya di tangan kiri.
"Sebelum
nyawamu minggat ke neraka, aku akan berikan satu hadiah bagus bagimu, Bayunata
keparat!" kata Mawar Merah. Dan tangan kirinya yang sejak tadi
disembunyikannya di belakang bergerak. Sebuah benda bulat sebesar kepala
melesat ke arah pemimpin rampok hutan Bludak. Bayunata cepat mengelak. Benda
itu jatuh dibelakangnya dan terkejutlah Bayunata, demikian juga Sawer Tunjung.
Benda yang dilemparkan Mawar Merah ternyata adalah kepala Singgil Murka!
"Betina
keparat haram jadah!" bentak Bayunata marah sengaja mencabut golok
besarnya yang hampir 20 kati beratnya itu, "lekas serahkan diri atau
kucincang detik ini juga seluruh tubuhmu yang bagus ini!"
Mawah
Merah menyeringai.
"Justru
hari ini aku harus serahkan jiwamu sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak
dan seluruh penduduk kampung Waru yang telah kau musnahkan secara biadab
delapan tahun yang lewat!" jawab Mawar Merah lalu membuka serangan
pertama.
Melihat
ini nafsu untuk memiliki tubuh si gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata
menjadi lenyap, berubah dengan kemarahan yang meluap. Golok besarnya ditebaskan
ke depan untuk menangkis senjata lawan. Namun dibikin terkejut karena sesaat
senjata mereka saling bentrokan, tahu-tahu pedang si gadis menyusup turun dan
dalam gerakan yang aneh berkelebat ke pinggangnya!
Tiga
jurus bertempur Bayunata mulai keluarkan keringat dingin. Ilmu pedang yang
dimainkan si gadis aneh dan tidak dimengertinya. Setiap serangan yang
dilancarkan oleh pemimpin rampok ini senantiasa menghantam tempat kosong.
Sebaliknya dengan matimatian dia harus mengelakkan serangan-serangan lawan yang
datang laksana curahan hujan.
"Setan,
ilmu silat apakah yang dimainkan betina jalang ini?!" gertak Bayunata
dalam hati. Cepat dirobahnya permainan goloknya. Jurus-jurus terhebat yang
selama ini disimpannya sebagai andalan saat itu segera dikeluarkannya. Golok
besarnya menderu-deru menebar serangan ganas luar biasa. Lima jurus lamanya
Mawar Merah harus bertindak hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat
liku-liku kelemahan ilmu golok lawan, kembali gadis ini merangsak.
Untuk
kesekian kalinya Bayunata mengeluh. Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan
semuda ini memiliki ilmu pedang yang aneh dan lihay begitu rupa?!
Tiba-tiba
Bayunata berseru keras. Goloknya membabat pulang balik sampai tiga kali.
Serentak dengan itu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin
yang luar biasa panasnya menggebu-gebu. Mawar Merah membabatkan pedangnya ke
depan. Dengan serta merta serangan golok serta pukulan sakti yang dilepaskan
Bayunata musnah.
"Kalau
begini naga-naganya, aku bisa mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara
itu di lain bagian Sawer Tunjung telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang
Ranata, jangan bunuh bangsat itu! Biar aku yang membereskannya!" seru
Mawar Merah.
"Kau
tak usah kawatir, Mawar." sahut Ranata. Di antara tiga pimpinan rampok
hutan Bludak, Sawer Tunjung adalah yang paling rendah ilmunya. Setelah
bertempur tiga jurus, Ranata berhasil merampas pedang laki-laki itu dan menotok
urat besar di pangkal lehernya hingga Sawer Tunjung menjadi kaku tegang laksana
patung!
Serangan-serangan
pedang Mawar Merah semakin bertubi-tubi. Bayunata mundur terus. Hanya kegesitan
gerakannyalah yang masih menolong. Namun batas kemampuan Bayunata hanya sampai
jurus ke empat belas. Golok besar yang menjadi senjatanya patah dua dan
terlepas mental dari tangannya sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang
keras!
Bayunata
melompat mundur. Mukanya sepucat mayat, keringat dingin mengucur di keningnya.
Tiba-tiba dia menjatuhkan diri, bersujud di hadapan Mawar Merah.
"Gadis,
ampunilah selembar jiwaku yang tak berguna ini! Biarkan aku hidup! Segala harta
kekayaan yang aku miliki kupasrahkan padamu! Ampuni jiwaku … !"
"Kau
minta ampunan, Bayunata?! Jangan minta padaku! Mintalah pada setan-setan di
neraka!"
Pedang
merah di tangan Mawar Merah memapas turun.
"Cras!!"
Bayunata
menjerit. Tangan kanannya putus. Darah menyembur. Pemimpin rampok ini karena
dilanda sakit yang amat sangat menjadi kalap. Dia melompat ke muka mengambil
patahan goloknya lalu menyerang Mawar Merah dengan membabi buta. Pedang di
tangan si gadis menderu lagi. Kini bahu kiri Bayunata yang menjadi sasaran.
Untuk kedua kalinya pemimpin rampok itu menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur
ke tanah.
"Ampuni
selembar nyawaku, ampuni!" dia masih memohon dengan meratap.
Pedang
merah itu diayunkan lagi dua kali berturut-turut, memapas putus kaki kiri kanan
Bayunata. Tubuhnya yang terkutung-kutung itu berkolojotan kian kemari. Darah
membanjir. Terakhir sekali Mawar Merah membacokkan senjatanya ke kening
Bayunata hingga kepala manusia bejat ini hampir terbelah dua!
Sawer
Tunjung tak berani menyaksikan apa yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu
ngeri untuk disaksikan.
"Lepaskan
totokannya kakang Ranata!" terdengar suara Mawar Merah.
Begitu
totokannya dilepaskan begitu Sawer Tunjung jatuhkan diri dan meratap minta
diampuni jiwanya. Ampunan yang didapatnya tidak berbeda dengan nasib yang
dialami Bayunata. Tubuhnya menemui kematian dalam keadaan terkutung-kutung!
Tiba-tiba
Mawar Merah membuang pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis sambil menutupi
wajahnya.
"Ibu,
ayah, kakak … Hari ini semua sakit hati dan dendam kesumat telah berbalas!
Semoga kalian bisa tenteram di alam baka … !"
"Sudahlah
Mawar," kata Ranata. Dipegangnya pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita
harus kembali."
Perlahan-lahan
Mawar Merah berdiri. Di sekanya air mata yang membasahi pipinya. Keduanya
bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi mendadak sontak dari depan berkelebatan
seorang berpakaian putih. Rambut dan wajahnya tertutup kerudung hitam. Hanya
sepasang matanya yang kelihatan, memandang tajam kepada Ranata dan Mawar Merah.
"Manusia
bercadar, siapa kau?!" bentak Ranata.
"Bangsat!
Kalian berdua harus pasrahkan jiwa padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata yang
telah dibunuh! Aku adalah kakak seperguruannya!"
"Sret!"
Mawar
Merah mencabut pedangnya.
"Jika
begitu kau harus mampus di tanganku!" kata Mawar Merah seraya menghunus
pedangnya.
"Aku
tahu kaulah yang membunuh Bayunata! Tapi aku tak bisa bertempur denganmu! Aku
mempunyai pantangan untuk bertempur dengan perempuan! Harap wakilkan dirimu
pada kau punya kawan!”
"Persetan
dengan pantanganmu!" sentak Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata
memegang bahu gadis itu.
"Kali
ini biar aku yang turun tangan, Mawar. Aku tak bakal punya muka untuk
selama-lamanya jika tak berani menerima tantangan manusia macam begini!"
Mawar
Merah mengalah juga meski hatinya panas sekali.
"Perkelahian
macam mana kau ingini? Pakai senjata atau tangan kosong?!" bertanya
manusia bercadar hitam.
Ranata
tertawa.
"Untuk
menghadapi manusia macam kau, perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau
yang silahkan maju duluan!" tantang si cadar h itam.
Ranata
membuka serangan. Gerakan yang dibuatnya aneh dan terbalik seratus delapanpuluh
derajat dari ilmu silat yang wajar. Sekejap tinjunya akan mencium dada lawan,
si cadar hitam berkelebat, membuat gerakan yang sama dengan gerakan Ranata dan
tahu-tahu tinju kanannya hampir saja mendarat di perut Ranata.
Baik
Ranata maupun Mawar Merah jadi kaget. Gerakan yang dimainkan oleh lawan persis
gerakan ilmu silat yang diajarkan kepada mereka oleh Citrakarsa. Dengan
penasaran Ranata membuka jurus kedua. Setengah jalan tiba-tiba si cadar hitam
tertawa bergelak dan memapaskan tangan dari kiri ke kanan sedang kaki membuat
kuda-kuda aneh. Ranata terkejut lagi. Apa yang dilakukan lawan juga gerakan
ilmu silat yang dimilikinya. Dia tak bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia
mengelak ke kiri. Dan justru saat itu si cadar hitam membuat gerakan aneh lagi,
cepat dan tak terduga.
"Bukk!"
Ranata
terhuyung-huyung. Bahu kanannya kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa sakit
sama sekali. Ini membuat Ranata jadi heran. Jika lawan inginkan jiwanya mengapa
dia cuma melancarkan serangan begitu rupa? Padahal dengan mengerahkan sedikit
tenaga dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar
hitam tertawa gelak-gelak.
Sementara
itu Mawar Merah menjadi penasaran melihat kekalahan kakak iparnya. Cepat dia
maju hendak menyerang. Di depan sana si cadar hitam tiba-tiba mengerakkan
tangan menarik cadar yang menutupi wajahnya,
"Wiro!"
seru Ranata dan Mawar Merah ketika mereka mengenali paras yang kini tak
tertutup itu.
Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan garuk-garuk kepalanya yang berambut
gondrong.
"Apa-apaan
kau ini Wiro?" tanya Ranata.
"Eh
sobat lamaku! Kau ingat peristiwa dulu sewaktu kau mengalahkan aku hanya dalam
tiga jurus? Sehari suntuk aku berusaha memecahkan kelihayan ilmu silatmu dan
aku berhasil! Apa yang kulakukan barusan hanyalah sekedar membalas
penghormatanmu itu, sobatku!" dan Wiro tertawa lagi lalu berkelebat lenyap
meninggalkan kedua orang tersebut. Ranata geleng-gelengkan kepala, berpaling
pada Mawar Merah. Lalu keduanyapun meninggalkan tem pat itu. Kelak bersama
Ratih dan anak serta ayahnya, Ranata akan berangkat menuju Kotaraja, darimana
dia dan ayahnya dulu berasal dan ke tempat mana mereka akan kembali.
TAMAT
No comments:
Post a Comment