Sepasang
Iblis Betina
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
MATAHARI
yang tadi bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang
datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan
rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali
lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar membuat seantero bumi
bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Demikian
lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit.
Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang,
sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil
banjir.
Di antara
semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum.
Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua
orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka
di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat
lari dengan amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan
lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama
sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati
dalam lari mereka yang laksana terbang cepatnya.
Dan
adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu
nyatanya dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan
itu jelas keduanya bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka
berhenti di satu bagian bukit yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan
panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut
hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian yang
basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar
potongan badan mereka yang bagus ramping. Keduanya memandang berkeliling. Mata
mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang tebal.
"Heran,"
kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau
dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya
tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita,
kakak!"
Gadis
baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat
telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa
dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua
gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu.
Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki
bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka,
namun itu tidak mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya
melompati sebuah anak sungai. Kilat tibatiba menyambar lagi. Gadis baju kuning
yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak! Tunggu!"
"Hai
ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan
larinya dan berbalik!
"Waktu
kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu
…"
"Mari
kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik
lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam
waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di
kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup
berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang
tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang
gadis berparas jelita.
"Ka
. . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau
dua gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya
menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau
lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti
.., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan
dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh
aku tidak dusta . . . ".
"Kita
geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan
si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!"
seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua
bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si
orang tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di
bawah siraman hujan lebat.
Dengan
kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu
pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan
menghambur lewat jendela samping.
"Itu
dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau
mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya
mencekal leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu
gerakan kilat dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru
dia salah tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari
samping. Kini dia terkurung di tengahtengah.
"Kalian
ini manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah
menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua
puluh tahun.
Wajahnya
cakap dan kulitnya kuning. Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang
aneh di balik tawanya itu. Dan bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa
ngeri.
"Orang
muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di
tangan kami!"
"Tapi
aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan
kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian …"
"Plaak!"
"Heh,
kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap
salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon
waru. Tak ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya
putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru
lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan
rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari
kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya
segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani
menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada
apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang
tua itu."
"Kenapa
dia?"
"Mungkin
pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau
begitu …" ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia
sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas
bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi
tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Kepala
orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
******************
2
HUTAN
Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya. Mulai dari
kelinci sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah
Adipati-adipati di Jawa Tengah dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali
melakukan perburuan di hutan tersebut. Sekali waktu putera Adipati Muntilan
bersama dua orang pembantunya berangkat ke hutan Bintaran untuk berburu.
Menjelang tengah hari mereka telah berhasil membunuh tiga ekor kelinci,
menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu merah. Tepat sewaktu matahari
mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu duduk melepaskan lelahnya di
tepi sebuah telaga.
"Sejuk
sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua
kakinya ke dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah
seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya
tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit
cerita tentang sampai bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru saja
pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di seberang
mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari lalu
melangkah lebih dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat
Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika anak panah
hendak dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu
bagus sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinya pun
tak tega untuk membunuh binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa ini cukup
jinak, maka Aryo Damar akhirnya memutuskan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Aryo
Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah
mengendapendap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat
dari ayahnya. Karenanya dia bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal
beberapa langkah lagi, Aryo Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak
rusa itu.
Tapi si
anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga Aryo
Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk
jungkir balik pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga!
Yang
membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh, tapi
berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya dengan
mengendipendipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati
Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat.
Hampir pemuda ini berhasil menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa
melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak belukar yang terletak sepuluh
langkah dari si pemuda.
"Sialan!"
maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah?! Kau musti dapat
kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah
kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada jauh dalam
rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini akhirnya
mendudukkan dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri
dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan
mengedip-ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah kesal.
"Binatang
celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!"
Lalu dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak
rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah tempat
hingga keris yang dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar
kini Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan kukejar
kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan
demikian semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat.
Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti
gerak geriknya.
Di satu
tempat yang agak gelap karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar yang
tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan.
Pemuda ini menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya
suara lengking binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu
di hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang
dari mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara,
apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di
bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul,"
jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam
rimba belantara begini rupa?"
"Aku
Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan
senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai
gantinya kau mau berikan apa?"
"Ah,
kau baik sekali saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh
orangorangku untuk mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah
kepada kalian berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani
mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-orang
suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk
mengetahuinya."
"Tentu
saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada
pemuda yang ; menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ‘ Nilamaharani
itu?
"Tapi",
kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu
bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau
begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata
Nilamaharani pula.
Aryo
Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap.
Demikian gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu
hingga boleh dikatakan dia hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja
anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah
sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka
tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu daerah
berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah barat,
diikuti oleh Aryo Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu
maklumlah si pemuda bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan
ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya menyamai lari keduanya, namun
siasia belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara
ini.
Setibanya
di lereng bukit yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak belukar
lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah
tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah,
tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo
Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong
kayu yang ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding.
Ternyata di situ ada dua buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti ruangan
dalam goa.
"Silahkan
duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara
ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat
isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku hendak
keluar sebentar"
Aryo
Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan
itu karena sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda
ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita kayu
aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada sepotong
kayu yang dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya
mengeluarkan sinar kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan
begitu rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil. Sebaliknya bau harum
bertambah-tambah, membuat pemuda ini merasa adanya aliran hawa aneh di dalam
darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga bau harum itu dan detik
demi detik Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari
ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan… Untuk beberapa
saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu cepat-cepat
dipalingkannya kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani
melangkah ke hadapan pemuda itu. Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain,
tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu
Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti tapi
dadanya ikut berdebar dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu telah
berganti pakaian dengan sehelai pakaian sutera kuning yang amat tipis hingga
jelas kelihatan potongan tubuh dan pakaian dalamnya. Senyum yang
dilayangkannyapun lain dan aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo Darmo, membuat
rangsangan aneh yang menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau
melamun agaknya, saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda
itu memalingkan kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya
putera Adipati Muntilan itu.
"Ah,
dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita
ributkan."
Aryo
Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku
telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima
kasih. Kenapa musti susah??"
"Jangan
pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo
Darmo hendak menjawab agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun sebelum
itu terucapkan Nilamaharani telah menarik lengannya dan membawanya masuk ke
ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita kayu yang aneh yang sinarnya lebih
suram dari ruangan sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan
dalam kesamar-samaran itu Aryo Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya
dibawa ke arah sebuah pembaringan.
"Maharani,
apakah maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara
bergetar.
"Aryo,
kau tahu apa maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda
hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini
merasakan lengan kiri sang dara melingkar di pinggangnya.
"Maharani
kau …"
Ucapan
itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani mendekatkan
parasnya ke wajahnya dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis itu
menempel di atas bibirnya.
"Maharani,
aku …"
Lagi-lagi
Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena diberati
tubuh gadis itu. Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau
tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang bodoh!"
"Tapi
…"
"Tidak
ada tapi-tapian Aryo."
Dan sikap
malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana seekor
ular besar yang kelaparan pemudaa itu menggeliat atas pembaringan dan
nmerangkul tubuh Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu
sampai ke tulang-tulangnya. Desau nafas panas dan tertawa berguman Nilamaharani
membakar darah Aryo Darmo, membuat dia berlaku lebih berani lagi. Pada puncak
keberanian yang dilakukan Aryo Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan
pemuda itu laksana geledek.
"Maharani,
kau … !"
Teriakan
yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik
Nilamaharani.
Aryo
Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari
pembaringan.
"Aryo!
Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana
pemuda itu mau kembali! Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan membuat dia
kembali meski didepannya saat itu, menghadang setan kepala sepuluh sekalipun!
Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia
keparat! Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke
pintu goa.
Tapi baru
saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda
bangsat! Kau berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah
kematianmu!"’
"Wuuut"!
Selarik
angin deras menyambar ke arah Arya Darmo!
******************
3
DENGAN
sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang berbahaya
itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi melesat ke
arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia
laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo
Darmo.
Habis
membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan berupa
satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan
maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian melancarkan
serangan balasan yang amat berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala
Aryo Darmo akan dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat
hatinya. Dari gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa gadis
itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi darinya. Pada
dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri. Tapi apa
yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat
pemuda ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar
tubuh dan lari meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku
jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari
sibakan semak belukar di mulut goa.
"Tentu
saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat lihay
yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat
tinggi ke udara dan, di lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo
Darmo.
"Tubuh
kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi
dengan seringai buruk.
"Perempuan
dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya berkelebat
melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah. Sebelum
pukulan tangan kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan
tahutahu tangan kirinya telah menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh!
Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau
andalkan?!"
kata
Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis itu
berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran si
pemuda mengirimkan serangan susulan yang bernama "empat dewa murka".
Serangan ini mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul
dan kehebatannya cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang
itu hanya tinggal bayangbayang saja.
"Jurus
empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan
mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin
menderu dahsyat. Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari
serangannya sewaktu dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat
dia melompat ke samping, tapi masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet
bahu serta lengan kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin
amat dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa dingin
mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!",
keluh pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya. Kedua dara
berbaju kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di hadapannya dan
sama-sama siap melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo
Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut
bukan senjata sembarangan.
"Kalau
kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo
Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan
terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda itu
lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar
jingga berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi
juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan, permainan
keris Aryo Darmo sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi hari itu
kehebatannya tidak dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning
itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu melesat di antara
sambaran keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara bergedebuk yang
dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda
itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam tak
berkutik lagi untuk selama-lamanya. Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah
dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula,
kakak?" bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa
tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil
memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya
hancur. "Pemuda tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya
akan menyelamatkan dirinya dari kematian bila dia melakukan apa yang aku mau.
Tapi dia kabur dari kamar itu …!"
Nilamahadewi
tak berkata apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti kehendak
kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya
kakaknya berlalu dari situ diapun mengikuti,
********
Ketika
mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya memasuki halaman Kadipaten
Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan
dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua
orang pembantu Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala
Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari
Muntilan" berdiri dari kursinya.
"Ada
apa? Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua
pembantu tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi
sosok tubuh di atas usungan kayu.
"Anakku!"
teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi
mayat dan menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir di situ
bagai terpaku di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat kepala
putera Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
"Apa
yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami
sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah
Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku
pergi berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi
pembantu itu membuat dia hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo
kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula?!" bentak Jala Wisena
pada pembantu yang satu lagi.
"Benar
Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke hutan
Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu itu
muncullah seekor anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga
sedang dia sendiri pergi menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu
dia tidak kunjung kembali kami jadi kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami
temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan sudah tak
bernafas."
"Kurang
ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin
sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di
sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun
tidak!" jawab Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan
kanan anaknya. Di jari manis pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas
berbatu hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali
musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh
jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya.
"Tapi seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan
lain orang." Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata,
"Antarkan aku ke tempat kau menemui mayatnya. Aku akan selidiki apa yang
sebenarnya telah . . . ".
Adipati
Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu ruangan dalam
terdengar jerit istrinya yang kemudian lari ke arah mayat puteranya yang masih
menggeletak di atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati
Muntilan ini laksana disayat-sayat dan di lain pihak gelora amarahnya semakin
membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya dapat dipertenang
maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang pembantunya
berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di
sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten
bilamana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati
Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah kelihatan
jelas. Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian.
Kemudian sepasang mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang
segera diambilnya. Benda itu adalah keris milik puteranya. Sambil
menimang-nimang senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau
di situ telah terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Perampok
sudah jelas bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup
bisa diandalkan. Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian,
nyatalah lawannya seorang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar
situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak mau tempatnya dikotori oleh
orang luaran hingga akhirnya si orang sakti memergoki puteranya dan membunuh
pemuda itu.
Bersama
kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang banyak
bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya
bekas-bekas tapak kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian.
Dia memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang mencurigakan. Namun
baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang Lurah serta pembantu Kadipaten itu,
tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka tengah menjadi incaran dua
pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat.
"Bagaimana
pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain adalah
Nilamahadewi adanya.
"Adipati
tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti sia-sia.
Atau mungkin kau mau mencoba?"
"Kau
pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu,
membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah
berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara di luar
sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ dengan
seksama. Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita
selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja
Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama
rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih
di hadapan mereka dan menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena
cepat mengambil benda itu yang temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka,
di bagian dalam gulungan terdapat tulisan yang berbunyi:
"Kalau
ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga Intan
Dewi, Kau sendiri harus pergi ke sebelah barat."
Jala
Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya
mereka saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau
bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan gulungan
surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya
khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin,"
sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula
petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah
menimbang lebih dalam akhirnya lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk
dalam surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke
jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat. Menuju ke bagian barat
berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke hutan Bintaran
sebelah timur. Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar matahari boleh
dikatakan tak dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh
di sana. Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan
oleh suara teriakan perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah
datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita berpakaian kuning dilihatnya
terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan
rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga
jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis
muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis
itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa
. . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu
seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana
sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku
. . . aku mengejar kupu-kupu … aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu
kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu
jauhkah dari sini?".
"Tidak
. . . tak berapa jauh. Tapi …. kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak bisa
berjalan. Oh …. tolonglah!"
"Mari
kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang
gadis itu dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku
tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung …. aaa."
Adipati
dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu kelihatannya
menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh gadis itu dan
ini membuat hatinya berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari
biasanya.
"Aduh
…. tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya
Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan membawanya ke
sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah
ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning. Jala Wisena melangkah ke
pohon yang dimaksudkan.
"Tolong
tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala
Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah akar
gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara berderak dan batang
pohon beringin di hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu.
Si gadis menyuruhnya masuk. Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena
masuk ke dalam. Pintu di belakangnya kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala
Wisena seorang yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Tak syak lagi dia
bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti yang diam di tempat tersebut.
Jala
Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang
luasnya cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah
tangga yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari
ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu
tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala
Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang pintu
yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan yang
amat bagus di hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan
pembaringan.
"Baringkan
aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati
Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima
kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis,
kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya
Adipati Jala Wisena.
"Sebelum
aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul
siapa adanya Jala Wisena.
"Aku
Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!"
si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu
seenaknya.
Tidak
tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan kelancanganku
Adipati."
Jala
Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana
Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala
Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh
puteraku".
Bola mata
gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus
kelihatannya.
"Bau
apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum
semerbak.
Dia
memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram dari
sewaktu mulamula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh
yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah
di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya.
"Terima kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa
terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena
sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu dia dan
gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan hutan
Bintaran.
"Tadi
kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa
gerangan?"
"Tubuhnya
tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan giginya
besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali … Tak mau aku mengingat-ingatnya
Adipati. Kuharap kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi …."
"Kau
tentu tak tinggal sendirian di sini …."
"Betul,
tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih belum
kembali."
"Siapakah
gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang
aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis
itu.
Dia
menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap
membuat betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak
beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada
kawan untuk penghibur hati.
Sementara
itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya. Aliran
darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari situ.
"Sebelum
aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku
Nilamahadewi…"
"Baiklah,
sampai bertemu lagi Nila … "
"Tunggu,
jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi tempat
tidur.
"Aku
harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah,
tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi
…" Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau
mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh,"
kata Adipadi Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena
dilihatnya gadis itu hampir jatuh terjerembab.
Namun
sebelum tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap dalam
satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena
menjadi kaku tegang!
"Nila,
apa-apaan ini?!" seru Jala Wisena.
Nila
Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya
Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena
ditotok! Dalam keadaan tak berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat
tidur. Sepasang mata Adipati Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan
dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu demi satu membuka pakaian yang
melekat ditubuhnya!
*******
Matahari
telah condong ke barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu Kadipaten
Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai merasa
gelisah.
"Jangan-jangan
kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana
kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya
kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana mereka
telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi…
"Gusti
Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan. Langkahnya
terhenti, demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma seketika
karena kelimanya kemudian berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang
menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak bernyawa lagi!
******************
4
DESA
tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup
tenteram. Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti
malam akan diadakan pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan
anak laki-lakinya yang tertua dengan seorang gadis desa yang berwajah ayu,
berkulit hitam manis.
Di
halamaw depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang
golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang
hati penduduk jadi bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi
baru akan dimulai tapi telah banyak orang—terutama anak-anak—yang berkumpul di
sekitar panggung.
Kira-kira
sepeminuman teh sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah penduduk
desa Tembilangan dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta
perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji kecantikan pengantin
perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum akan kegagahan
wajah pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu
matahari, demikianlah orangorang memberikan perumpamaan.
Sementara
itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu
sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda.
Semua orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin
larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang
terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah
seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara
itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau
Suyudana.
"Yoy
Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana
menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka
kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang sebuah
gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh
ketegangan itu tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya
yang dibarengi dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu,
"Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu…!"
Tentu
saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua
memandang ke hadapan panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning
yang parasnya cantik sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi
sepi yang tidak enak.
"Ah,
tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki
dalang.
Salah
seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi beliakkan
matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan
kau!"
Kebopamenang,
Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya dan
melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis
cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang,
kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara
yang di samping kanan menjawab.
Tentu
saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu tadi
terangterangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia lebih
dari enam puluh!
"Ada
urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta
perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh,
begitu."
"Ya!
Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian
suka angkat kaki dari sini!"
Kedua
gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah!
Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk mengambil pengantin
laki-laki!"
"Jangan
membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh,
siapa yang membanyol?!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar!
Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu
keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit pelajaran
padamu!"
Habis
berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"!
Sebuah tamparan menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan
sebuah giginya tanggal!
"Gadis
keparat!" teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang
membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua
bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua
tangannya digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil
ditangkapnya terus diputar dan sesaat kemudian tubuh kepala desa itu
benar-benar dilempar melayang ke atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang
golek lalu terus menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk
centang perentang!
Semua
orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk
memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa
yang hendak mereka lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi
tambah kaget bukan main karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah
tidak ada! Dan lebih lebih kaget lagi karena pengantin laki-lakipun lenyap dari
pelaminan sedang pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian
mau bawa ke mana aku?!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada
di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa
Munggul. Dialah pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini
dilarikan oleh Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan
kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku
tak kenal kau dari mana kau tahu namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!"
Nilamaharani tertawa.
"Kau
tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau temui
bersamaku …". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena
adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku!
Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa
maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita
serta ucapan dara itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu
Mahesa Munggul merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah,
kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama
kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah semak
belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah
ruangan yang diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu
dia sudah dibawa pula memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas
tempat tidur yang empuk. Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung
pemuda itu. Dilihatnya api pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang bau
rarum yang merangsang makin bertambah-tambah.
"Lepaskan
totokan di tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia merasa
heran kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya
Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di
pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar
Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras
kepala…"
"Kau
mau berbuat apa terhadapku?!"
"Ah,
jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa…" kata Nilamaharani.
Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang
pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita seperti
Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan yang
mendirikan bulu tengkuknya.
Nilamaharani
tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa Munggul.
Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah
pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan ditotok
mungkin dia sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis
hina dina! Lekas kau lepaskan totokanku!" teriak Mahesa Munggul
menggeledek.
Nilamaharani
tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani… semakin
berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang
tak pemah dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani melepaskan totokan di
tubuhnya, pemuda ini sudah lupa daratan den lupa segala apa yang dimarah dan
dingerikannya. Dengan keberingasan seorang pemuda yang ditelan nafsu birahi,
ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur, Dipeluknya ketat-ketat
laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya. Gadis itu tertawa dan
menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi
detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi gelap. Hal
ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang benaknya sudah tertutup
nafsu.
*******
Sebuah
gerobak barang yang memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan buruk
yang menuju ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan
terasa segar. Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di
sampingnya duduk seorang anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut
ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk
jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku
tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak malam
tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini
pemuda itu masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan…
jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss!
Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru
saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang dikemudikannya
meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu
hampir saja terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki
perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah jalan
beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang
tidak mengenakan pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh
dengan benjat benjut bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak
sayur itu mendekati sesosok tubuh di tengah jalan itu. Meski sebagian besar
muka orang yang terhantar di tengah jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi
pengemudi gerobak masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak
laki-lakinya yang juga mengenali berteriak,
"Ay…
ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
******************
5
DI
PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat kian
kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung
raksasa yang tengah mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila
didekati temyata dia bukan lain seorang manusia juga adanya yaitu seorang
nenek-nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta
ilmu larinya yang hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada sesuatu
yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan
terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu
memandang berkeliling.
"Heran,"
katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran telah
kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek
ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur itu lebih
tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini
tak berdaya untuk menjalankan tugasnya.
Sampai
rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti malam,
nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia tahu apa
yang dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak bukit
ang paling tinggi dan duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu
bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan tampak
memunculkan dirinya di langit biru maka dari puncak bukit yang paling tinggi
itu terdengarlah suara nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan
menyejak masuk ke dalam hutan Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya
mengeluarkan suara yang menegakkan bulu roma kini diam gelisah. Seluruh
bebukitan dan hutan belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin
dingin, telah dicengkam oleh suara nyanyian itu.
Hidup
sebatang kara
Penuh
sedih dan derita
Tapi
punya dua murid murtad celaka
Lebih
sedih lebih derita
Diam
sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya
kembali terdengar suara nyanyian itu.
"Hidup
sebatang kara
Penuh
sedih dan derita
Tapi
punya dua murid murtad celaka
Lebih
sedih lebih derita
Dari pagi
sampai malam
Delapan
penjuru sudah kuperiksa
Entah di
mana mereka berada
Namun aku
tak putus asa
Yang
salah yang jahat dan kotor
Pasti
akan musnah
Karena
isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau
kini belum bertemu
Kelak
nanti akan kutemu
Kebenaran
akan datang
Hukum
akan jatuh
Namun
masih ada satu jalan
Jika dua
murid murtad datang minta ampun
Hukuman
Tuhan pasti akan lebih ringan …."
Demikianlah
sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga terus terdengar dari puncak
bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai baris terakhir. Menjelang
dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu bukit dua orang gadis
berpakaian kuning duduk saling pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya
Nilamahadewi.
"Aku
yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara guru.
Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi
kepada kakaknya.
Nilamaharani
merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita
tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan
tempat ini."
Sang adik
menggeleng.
"Kita
sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai
kapanpun tak akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia
tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi
aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah
berbukit-bukit ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini? Sampai mati
kelaparan karena kehabisan makanan?".
Apa yang
dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang
kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti
melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi
tertawa.
"Kenapa
kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata
yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah
nyalimu?"
Paras
Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak
dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi
Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi
memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu
sampai matahari terbit…
"Selagi
di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah,
lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah
diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara
itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang
kara …. penuh sedih dan derita…
*******
Sewaktu
sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak bukit yang paling tinggi di
daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang malam,
melihat dua buah titik kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di
sebelah barat.
"Nah
. . . . nah . . . , nah …. Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari
persembunyian mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput
diwajahnya kelihatan bertambah banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang
matanya yang mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa membuang tempo lagi
nenek-nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya
sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi hebatnya
dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia
berada sebelumnya.
Laksana
seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya
dua titik kuning tadi.
"Murid-murid
murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak. Hebat
sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara guntur mendera
daerah itu!
"Ni
Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan
diri!"
Nenek-nenek
yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa kaget yang
tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya dengan
teriakannya tadi.
"Tenaga
dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya," kata
Ni Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas
muridnya itu beraniberanian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya
larinya. Di lain ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani
serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak sebuah bukit sementara sang surya
sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk
beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan mata
membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah
…. nah …. nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau
iblis menipu mataku?".
"Tua
renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang
ajar! Berani kau membantah gurumu?!"
"Mengapa
tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu
cuma sampai hari ini!"
"Hem,
begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih kusediakan
sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran dan
kesombongan kalian jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa
yang butuh belas kasihanmu?!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi
Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot
kelihatan menggembung.
"Sebelum
hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek
itu. "Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian sudah gila?!"
"Betul!"
jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya hingga
memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka
bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul
murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi
Jalurkbalen lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu! Dua
gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
******************
6
PUKULAN
yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo"
yang amat berbahaya. Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu
kontan sekujur badan akan matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga.
Jangankan manusia, satu batu karang yang atospun akan hancur dilanda pukulan
tersebut!
Dengan
mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan mereka hanya menghadapi seorang
lawan bangsa kroco, Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan
cepat mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik
sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek. Ni Mindi
Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas
ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan
"kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada
mereka. Tetapi mengapa pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa
dahsyatnya padahal sewaktu melepaskan pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi
Jalurkbalen telah mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya!
"Kalau
tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak bakal
dapat meyakini ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya," membatin
Ni Mindi Jalurkbalen.
Segera
seluruh tenaga dalamnya dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa pukulan
kelabang hijaunya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu
pukulan-pukulan kelabang ijo itu saling bentrokan, terdengarlah suara ledakan
yang amat dahsyat. Langit di atas mereka laksana mau runtuh, puncak bukit
bergetar, liang telinga masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika
lamanya.
Ni Mindi
Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang di depannya Nilamaharani
dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
"Begitulah
jadinya kalau seorang nenek-nenek tua mau jual tampang memamerkan ilmu pukulan
kelabang ijo yang belum sempurna!", kata Nilamaharani menggejek.
Ni Mindi
Jalurkbalen mengertakan rahangnya. Kalau saja geraham darn gigi-giginya masih
menumbuhi gusinya pastilah dari mulutnya saat itu keluar suara berkeretakan
saking geramnya.
"Murid-murid
murtad! Sekalipun kau punya sepuluh kepala seratus kesaktian, jangan kira aku
tak sanggup memusnahkan kalian!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen. Lalu
laksana seekor burung walet dia melompat ke muka. Dua tangan terkembang ke
samping. Perlu diketahui bahwa dalam dunia persiatan nenek-nenek ini dikenal
dengan julukan "Si Walet Sakti" karena jurus-jurus dan gerakan
silatnya kebanyakan hampir bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus
walet meminta jiwa yang hendak dipamerkan?!" ejek Nilamahadewi ketika
melihat gerakan yang dibuat gurunya itu.
"Ini
bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh Ni
Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis itu dan sesaat kemudian dua
buah kepalan laksana palu godam menderu ke arah batok kepala Nilamaharani dan
Nilamahadewi!
Dua
kepala merunduk secepat kilat. Dua lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah
suara beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi Jalurkbalen dengan lengan
murid-muridnya. Dan terdengar pula keluhan pendek nenek-nenek itu sewaktu
merasakan lengannya sakit bukan main. Dia jungkir balik di udara. Sambil
jungkir balik begitu Si Walet Sakti mengeruk jubah kuningnya dan dikejap itu menderulah
dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit berbentuk bulan sabit, menyerang
kedua kakak beradik itu dari dua belas jurusan!
Selama
malang melintang di dunia persilatan kalau bukan tokoh-tokoh lihay, jarang
sekali orang yang sanggup mengelit atau menangkis lemparan senjata rahasia itu.
Namun hari ini untuk kesekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin kaget karena
dengan mengebutkan lengan-lengan pakaiannya, kedua lawannya berhasil membuat
mental duapuluh empat senjata rahasia yang amat diandalkannya itu! Tergetarlah
kini hati si nenek. Namun sudah barang tentu ia tak akan meninggalkan tempat
itu walau bagaimanapun juga.
"Ni
Mindi Jalurkbalen," kata Nilamaharani dengan menyunggingkan senyum sinis,
"Apakah kau masih belum sadar bahwa kau betul-betul seorang nenek-nenek
yang tak layak hidup lebih lama di dunia ini?"
"Iblis
dajal! Makan ini!" teriak Si Walet Sakti dengan amarah menggelegak.
Terdengar
suara mendesing dan sebuah besi hitam yang ujungnya diganduli lima buah kaitan
sepanjang tiga jengkal melesat ke mulut Nilamaharani.
Yang
diserang terkejut karena sebelumnya tak pernah mengetahui kalau gurunya
memiliki senjata dahsyat itu. Dengan satu gerakan aneh gadis ini membantingkan
dirinya ke samping. Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah
satu kakinya dengan cepat kemudian menendang batang besi tempat mencantelnya
lima kaitan itu.
"Jurus
iblis menendang rembulan!" seru Ni Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat
dan mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani. Saking kagetnya dia sampai tak
sempat lagi menarik pulang senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya
dengan erat niscaya terlepas sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam batang
besi dengan kerasnya, membuat batang besi itu bengkok.
"Murid
dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi
hah?!" Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
"Nah
. . . nah … nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia selagi muda! Pantas
kalian jadi manusia-manusia binal terkutuk macam begini. Pantas kalian berubah
menjadi…"
"Anjing
tua! Tutup mulutmu!" bentak Nilamahadewi. Dia menjentikkan tangan kanannya
dan segulung angin padat sebesar kepalan, laksana sebuah batu melesat ke mulut
Ni Mindi Jalurkbalen, membuat nenek-nenek itu tak meneruskan ucapannya dan
lekas-lekas melompat ke samping.
"Kakakku!"
kata Nilamahadewi. "Mari lekas kita lenyapkan tua renta sialan ini sebelum
dia bicara yang bukan-bukan."
Dua gadis
itu berkelebat cepat dan menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan
seranganserangan beruntun yang amat cepatnya. Nenek-nenek yang telah berumur
puluhan tahun itu mulai merasakan tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi
jurus dirinya semakin terdesak.
"Celaka!
Celaka diriku! Celaka dunia persilatan kalau aku tak behasil membunuh
manusiamanusia nista ini! Lebih baik aku mati bersama-sama mereka!" kata
Ni Mindi Jalurkbalen. Saat itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus.
Jubah kuningnya sudah banyak yang bobol robek kena sambaran jari-jari atau
jotosan lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang iganya patah sedang di
lain pihak kedua lawannya kelihatan masih segar bugar!
"Sepasang
Iblis Betina!" seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut nama julukan kedua
muridnya yang murtad itu. "Mari kita sama-sama ke neraka!"
Dari
dalam saku jubahnya dikeluarkannya sebuah bola berwarrra kuning lalu secepat
kilat dibantingkannya ke tanah. Terdengar suara ledakan dan di saat itu seluruh
puncak bukit tertutup oleh asap kuning yang pekat!
"Dewi!
Tutup jalan pemafasanmu dan lekas lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua
gadis itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan tempat itu dengan
cepat. Di belakang mereka terdengar suara tertawa Ni Mindi Jalurkbalen.
"Kalian
mau lari ke mana? Tubuh kalian sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap umur
kalian lebih panjang dari sepeminum teh!".
Ucapan
itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek. Benda yang dipecahkannya tadi
adalah sebuah bola kuning yang berisi racun wesi kuning yang amat jahat.
Jangankan tercium, sedikit saja kulit bersentuhan dengan racun yang meresap
dalam asap tersebut, niscaya sekujur kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan
menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh dengan keadaan tubuh yang
mengerikan karena kulitnya mengelupas. Dengan mengeluarkan senjata pembunuh
yang dahsyat itu Ni Mini Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan
sekaligus yakin bahwa kedua muridnya yang murtad tupun ikut menemui ajal. Namun
sampai matinya nenek-nenek yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak nengetahui
bahwa maksudnya itu menemui kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan
mempergunakan ilmu lompatan "katak sakti melompati gunung",
Nilamaharani dan adiknya berhasil keluar dari kepungan asap beracun. Begitu
keluar dari bahaya maut tersebut mereka menyaksikan bagaimana pakaian yang
mereka pakai robe krobek akibat asap beracun sedang kulit mereka melepuh,
mengelupas merah laksana binatang dikuliti dan sakitnya tidak terperikan.
"Percepat
larimu, Dewi!" seru Nilamaharani. "Kalau kita terlambat sampai ke goa
celakalah kita!"
"Obat
pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya
bergetar oleh kekawatiran dan karena menahan sakit yang menyelimuti sekujur
tubuhnya.
"Hem…"
jawab Nilamaharani berguman. Meski ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari
adiknya namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit akibat racun wesi kuning.
Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat kediaman mereka.
Nilamaharani masuk ke dalam kamar. Dengan kuku jarinya yang panjang runcing
dicungkilnya batu mar-mar pada dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah
benda hitam berbentuk tombo! Gadis ini menekan tombol itu dan sesaat kemudian
dinding di samping, kiri terbuka secara aneh. Pada celah yang terbuka itu
kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-kotak seperti sebuah lemari. Semuanya ada
tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah terdapat setumpukan pakaian dan perhiasan,
kotak kedua berbagai macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai
macam botol. Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti susunan botol-botol
yang ada di kotak teratas, lalu di ambilnya dua buah botol. Botol pertama
berisi cairan berwarna kuning muda, botol yang satu lagi berisi cairan kuning
tua dan kental.
Sementara
itu tanpa di suruh Nilamahadewi telah menyiapkan empat gelas air putih.
Kakaknya kemudian menuangkan masing-masing tiga tetes cairan kuning muda ke
dalam dua buah gelas, lalu diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua
gadis itu. Rasa sakit yang menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur
lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih mengelupas merah mengerikan. Tiga
tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan ke dalam dua buah gelas dan
diaduk rata. Kedua gadis itu kemudian melangkah ke sudut kamar sebelah kiri.
Nilamaharani menginjak sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya
terbukalah sebuah lobang yang merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang
bagus sekali. Dua gelas air yang telah dicampur dengan obat kuning pekat
dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah dua gelungan asap membumbung ke
langit-langit ruangan, baunya anyir.Tanpa menunggu lebih lama dua kakak beradik
itu menceburkan dirinya ke dalam gulungan asap kuning tersebut. Beberapa saat
kemudian asap kuning itupun sirna. Kini kelihatanlah kedua orang gadis itu
dalam keadaan basah kuyup. Tapi ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang tadi
terkelupas merah kini telah kembali seperti sediakala!
Mereka
melompat dari dalam kolam.
"Untung
sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan obat-obat itu tempo hari.
Kalau tidak tamatlah riwayat kita …." kata Nilamahadewi.
"Jangan
keburu berbesar hati!" potong kakaknya. "Kita masih belum keluar dari
bahaya maut! Kita harus bersemedi selama tiga hari untuk mengeluarkan sisa-sisa
racun wesi kuning dari paru-paru kita!"
Kedua
gadis itu naik ke tingkat atas kembali. Setelah memasukkan botol-botol obat dan
menutup celah yang merupakan lemari itu, maka keduanya mencari tempat untuk
mulai bersemedi selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning.
Bagaimana dengan Ni Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini terpaksa
meregang nyawa di puncak bukit tanpa mengetahui bahwa pengorbanan yang
dilakukannya adalah sia-sia belaka.
******************
7
DI MALAM
yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan, hanya angin malam yang bertiup
menyilir dingin, kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat gesit di luar
tembok kota-raja. Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa
diketahui oleh lima orang pengawal yang ada di situ, sosok tubuh itu melompat
ke atas tembok yang tingginya enam tombak, dari situ terus melompat turun
memasuki kotaraja, melompat dari satu pohon ke lain pohon, dari satu atap rumah
ke lain atap rumah sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di
wuwungan Istana!
Siapakah
manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup melompat
di atas atap dan dari pohon ke pohon begitu rupa? Untuk menjawab pertanyaan itu
kita harus kembali pada tiga hari sebelumnya.. . .
Di sebuah
kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak setengah hari perjalanan dari
Muntilan, pada tengah malam yang kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding
kayang beratap rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka
cekung. Dia memelihara kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas. Demikian
tebalnya dia punya kumis hingga amat tidak pantas dibandingkan dengan mukanya
yang kecil cekung. Sepasang matanya yang besar senantiasa tak bisa diam,
berputar-putar ke segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa
ketidaksabaran menyamaki dirinya.
"Ini
sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih belum muncul?"
laki-laki berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang bertubuh tinggi
besar di sampingnya bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri kanan tersisip
masing-masing sebilah golok empat persegi besar macam golok pejagal temak.
Rambutnya gondrong, memelihara kumis serta berewok.
"Mungkin
dia mendapat halangan, Pangeran," jawab orang bertubuh tinggi besar
bernama Pandemang. "Tapi percayalah, dia pasti datang menepati janjinya.
Bukankah kita sudah memberikan uang serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan
kita, tapi aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya,
aku," kata Pandemang pula.
"Aku,
aku, bukan aku kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya,
maksud hamba Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah tahu
dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras, kepala, lekas
marah dan tak boleh bicara salah terhadapnya hadapnya meski kebanyakan dia
sendiri yang tidak mengerti dimaksud orang.
"Aku
tunggu sampai sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia
masih belum datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau Pandemang, kau
harus minta kembali uang serta perhiasan itu padanya
"Ah
…. ah …. ah …. ! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran
Ranablambang!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang
dan Pandemang sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang mereka
tunggu-tunggu temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di
belakang mereka dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi
bergetar.
"Bagaimana
kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?" tanya Ranablambang heran.
Pangeran ini dan juga Pandemang bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat
dan kesaktian. Telinga dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang
yang mereka tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju
hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap
itu," katanya menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk ke
atap pondok. Dan ketika sang Pangeran serta Pandemang memandang ke atas
kelihatanlah bagaimana atap pondok itu sudah berlobang besar!
Pangeran
Ranablambang jadi melengak.
"Tak
percuma kau digelari Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian. Si baju
hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan
perlahanlahan.
"Sebaiknya
kita mulai saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang
sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran
Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian hitam itu
lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil Tombak Trisula
dari kamar Sri Baginda d Istana . . . . "
"Tombak
Trisula?!" ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan
bicara keliwat keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus
berhasil Dewa Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki
singgasana. Karena memasuki Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di simpan
di satu tempat rahasia di dalam kamar Sri Baginda."
"Kau
tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata yang
kau inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan
menganggap remeh orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis.
"Kau dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda
terdapat sebuah lampu kuna yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada
sebuah paku besar. Tekanlah paku itu tiga kali berturut-turut maka dinding
kamar yang terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas kepala peraduan
Baginda akan terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak
mempunyai kunci tapi hanya akan terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di
bagian samping kanannya. Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah.
Ingat, yang harus kau tekan ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka
lemari. Bila tombol itu sudah kau tekan—cukup satu kali tekan saja—maka pintu
lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau dapat melihat Tombak Trisula itu.
Tapi sekali-kali jangan kau segera mengambilnya. Begitu lemari terbuka, akan
terdengar, suara mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus
tunggu sampai sebuah tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian atas
lemari sebelah dalam. Sesudah itu baru kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan
sebelum pergi jangan lupa
"Tunggu
dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat
menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
"Ada
apa?!", seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat
membuka pintu dan melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana
terbang ke jurusan selatan.
"Kalian
tunggu saja di pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan
sebelum tubuhnya lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran
Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh tanda
tanya di dalam hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah
tetap menunggu di pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling
Baju Hitam. Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali dan
segera dihujani pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta Pandemang begitu
mereka masuk ke pondok.
"Waktu
kau memberi keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan
seseorang di atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di
luar, orang itu lenyap! Aku tak percaya kalau pemandangan telah menipuku.
Karenanya seluruh daerah ini kuselidik, tapi tetap bangsat itu tak berhasil
kutemui!".
"Mungkin
sekali dia mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga
orang itu berdiam diri beberapa lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran
Ranablambang menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin", katanya,
"tak seorang mata-mata kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu
tanpa kita ketahui. Apalagi dengan hadirnya Dewa Maling di sini!"
"Kurasa
mungkin aku salah lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian
ialah agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan itu.
Meski hatinya sendiri kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata.
"Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran."
"Sesudah
tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh mengambil
Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu
tombol putih itu."
"Pangeran,"
kata Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu dengan jelas seluk beluk
penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, mengapa tidak kau sendiri yang
mencurinya?"
Pangeran
Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa
pelahan. "Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas
sendiri-sendiri."
katanya.
Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal itu karena
Istana penuh dijaga oleh pengawal-pengawal klas satu dan hulubalang-hulubalang
istimewa yang berilmu tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah
yang berbahaya. Sekali saja dia gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan
pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu
aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang berkepandaian
tinggi, terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena Istana
terutama kamar Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri
Baginda bagaimana?"
"Dia
tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik,
tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata
Dewa Maling pula.
"Kau
tak perlu kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima
ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah berhasil menjalankan apa
yang aku perintahkan, kau bakal mendapat jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa
Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik pakaian
hitamnya.
"Kalau
Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran
Ranablambang mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang itu
meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran
Ranablambang adalah putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan Surakerto
pada masa itu. Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran karena
dia cuma seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan penuh
congkak dan ketinggian hati Ranablambang telah mempredikatkan dirinya dengan
sebutan itu. Dasar orang tak tahu diuntung, meski dia tak punya hak untuk
menggantikan Sri Baginda, namun di hatinya sudah sejak lama bergejolak niat
untuk menduduki singgasana. Maka ketika diketahuinya bahwa setiap pewaris
takhta kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja,
segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk
melakukannya sendiri Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian
yang tinggi. Maka melalui seorang pembantu kepercayaannya yakni Pandemang,
disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh silat golongan hitam yang
dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
******************
8
DENGAN
mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan pakaian
hitam dan kegelapan malam yang turut membantunya, dengan mudah pada akhirnya
Dewa Maling sudah berada di atas wuwungan Istana. Meski dia sudah diberi tahu
jelas setiap liku-liku Istana dan tempat penyimpanan Tombak Trisula, namun dia
tak mau memandang enteng orangorang yang ada di dalam Istana. Terutama
Mahapatih Jayengrono yang berumur setengah abad lebih itu, ilmu kepandaiannya
tak bisa dibuat main!
Dari
tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-kira lima puluh orang
pengawal tingkat rendah berada di sekeliling Istana. Kemudian ditambah lagi
dengan dua puluh hulubalang yang berkepandaian tinggi.
"Berabe
juga," kata Dewa Maling dalam hati. Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana
seekor burung walet dia melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping
Istana. Dengan mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali totok saja
pengawal itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian pengawal itu
lalu setelah membuka pakaiannya pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si
pengawal.
Di tangga
Istana di temuinya seorang hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang itu dia
berkata, "Mapatih Jayengrono mengharapkan kedatangan hulubalang dengan
segera karena ada satu urusan penting."
Karena
yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang tidak
menaruh curiga.
"Di
mana Mapatih berada?"
"Ikutilah
saya," jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka
hulubalang itupun mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa
Maling tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok pangkal leher
sang hulubalang. Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya.
Dengan menyamar sebagai seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling memasuki
Istana, langsung menuju di mana terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu
kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak
takuti mereka. Tetapi membuat kekerasan sama saja dengan mengundang datangnya
bahaya. Dengan langkah gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang
itu.
"Kalian
bersiap-siaplah. Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini
menggeledah kamar Sri Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua
hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada
apakah?"
"Kau
yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian!
Apa saja yang kalian buat di sini?".
Semakin
heran kedua hulpbalang itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!".
.
"Seorang
jahat di ketahui telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa
Maling pula. "Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia
tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang
terbuka itu!"
Mendengar
ucapan itu kedua hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu mereka
ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali. Sesuai dengan
keterangan Pangeran Ranablambang, tiga langkah di sebelah kanan pintu, pada
dinding tergantunglah sebuah lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali
buatannya. Dewa Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu
tergantung, tiga kali berturutturut. Di belakangnya erdengar suara barang
bergerak. Ketika dia berpaling ilihatnya dinding kamar di atas kepala peraduan
Sri Baginda terbuka dan tampaklah sebuah lemari besi. Cepat Dewa Maling
melangkah ke hadapan lemari. Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan
tomboltombol merah di samping kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan
hati-hati Dewa Maling menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah muka
lemari. Ia menunggu dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan
di dalamnya tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnyz bercabang tiga. Sinar
senjata mustika tumbal kerajaan itu bukan saja menerangi seluruh lemari, tapi
jugz menyeruak sampai•ke muka Dewa Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu
pintu lemari besi itu terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu suara
mendesis pada bagian atas lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih.
Inilah saat di mana Dewa Maling harus mengambil Tombak Trisula diulurkannya
tangannya mengambil senjata mustika tumbal kerajaan itu.
Pada saat
Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang sampai
di hadapan pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal
pintu kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini
terheran melihat kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
"Ke
mana hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini?!" tanya salah
seorang dari mereka.
"Aku
kawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah
sana, aku akan memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan
cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa Maling
yang bertelinga tajam telah mendengar percakapan kedua hulubalang itu. Maka
dengan cepat dia menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu
terbuka tubuhnya tertutup oleh daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu
masuk ke dalam kamar Dewa Maling mengayunkan tinjunya ke batok kepala
hulubalang itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek si hulubalang tersungkur di
lantai. Dewa Maling cepat keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin
keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat ke
belakang mencari selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang
tadi di sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang
ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke
dada lawan.
"Sret"!
Si
hulubalang mencabut pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan senjata itu.
Mau tak mau Dewa Maling terpaksa menarik pulang kakinya kembali. Dengan
beringas dia melompat dan dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang
dahsyat. Namun lagi-lagi lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam
lantai kamar. Permadani yang menutupi lantai itu robek bertaburan sedang lantai
batu pualam hancur berkeping-keping dan seantero kamar bergetar laksana di
goncang lindu!
Si
hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya
berkiblat empat kali berturut-turut!
"Setan
alas!" maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak
Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di
tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan lekas melompat
ke belakang. Namun lebih cepat dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur
menusuk dadanya. Hulubalang tersebut mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya
terguling di atas permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar
terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu
dengan cepat. Justru pada saat itu hulubalang-hulubalang Istana yang
berkepandaian tinggi tengah memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa
Maling memegang daun pintu dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak
keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka dihantam daun pintu dengan kerasnya.
Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri dengan hidung masing-masing bercucuran
darah!
Sewaktu
Mapatih Jayengrono dan lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa
Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga
dengan ketat seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis
memberi perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap. Jayengrono
berumur setengah abad lebih. Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk golongan
tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan
bahwa seorang maling tingkat tinggi pastilah tidak akan melarikan diri lewat
jalan biasa. Karenanya, begitu tiba di halaman samping Istana, Jayengrono tak
ayal lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak
meleset. Begitu dia menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap
Istana sebelah utara dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh
berpakaian hulubalang. Sebelumnya Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa
pencuri yang menyusup ke dalam Istana itu menyamar atau berpakaian sebagai
seorang hulubalang!
Dengan
mengertakkan geraham, Mapatih ini segera lari di sepanjang atap mengejar maling
tersebut. Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan
pengawal-pengawal tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut.
Dapat dipastikan bahwa si pencuri tak akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu
Mapatih Jayengrono sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi amat
penasaran karena orang yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah dilihatnya
dua orang hulubalang dan sembilan pengawal klas satu berjaga-jaya.
"Tak
mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-orang di bawah
sana", kata Jayengrono dalam hati. "Pasti dia bersembunyi di sekitar
sini."
Baru saja
sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara hiruk
pikuk dan seruan, "Api! Api!"
Ketika
Jayengrono berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap Istana tenggelam
dalam kobaran api.
"Pengawal-pengawal
klas II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap di tempat! Ini
adalah pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara lantang
mengandalkan tenaga dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan
matanya yang tajam Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru, terutama ke
tempat-tempat yang gelap.
"Heran,
ke mana perginya maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri. Lalu
berserulah dia, "Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah terkurung,
tak mungkin bisa kabur!".
Baru saja
Mapatih Jayengrono berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar teriakan,
"Itu dia malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya …. lekas kejar!"
Tak ayal
lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut
mengejar. Mapatih Jayengrono segera pula hendak menggerakkan kakinya. Tapi
sekilas pikiran timbul dalam benaknya yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap
ditempatnya dan memandang ke bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu
jelas dilihatnya hulubalang yang tadi berteriak dan menunding sambil berlari,
memperlambat larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang diri di belakang!
"Pasti
dia bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia melompat
ke bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan benda
berkilauan menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana telah
melemparkan senjata-senjata rahasia kepada sang patih.
"Maling
besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak
Javengrono.
Tangan
kirinya dipukulkan kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya
berpelantingan. Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang bukan
lain adalah Dewa Maling adanya.
"Jayengrono,
kau memang cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa
Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak dijaga
lagi karena hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah berlarian mengejar
"maling" yang tadi diteriakinya!
"Ayo
kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di
atas tembok.
Sebagai
jawaban, sambil melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu pukulan
tangan kosong yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi Dewa Maling
sudah lenyap dari situ. Hanya suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar
tembok Istana.
"Kurang
ajar! Kau mau lari ke mana bah?!" kertak Jayengrono dan segera menyusul.
Kedua orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap
rumah penduduk dan kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang
kejarannya itu di sebelah timur Kotaraja.
Ke mana
pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari
sang patih kerajaan Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak
merayap di atap",
Dewa
Maling laksana seekor cecak "menempelkan" dirinya di bawah ujung atap
rumah penduduk yang gelap!
Sewaktu
dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak
kejurusan yang berlawanan dan akhirnya sampai di temook Kotaraja yang dikawal
ketat. Para pengawal yang bertugas di sini disamping berjaga-jaga mereka juga
asyik membicarakan tentang menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil
mencuri senjata mustika tumbal kerajaan. Dewa Maling tidak takutkan
pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia melangkah ke hadapan mereka
dan membentak,
"Kalian
kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di depan
mesjid mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas
bantu mereka! Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar
bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para pengawal dan
hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju ke tempat di mana
dikatakan terjadi pertempuran hebat.
"Dasar
manusia-manusia tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera
dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat dia
sudah lenyap di kegelapan malam.
Namun
belum lagi sepeminuman teh berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang
mengejarnya di belakang. Dan belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan
nyaring terdengar sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan
harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
******************
9
PADA
WAKTU prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari secepatnya menuju ke
mesjid, mereka berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian
mau ke mana?!" tanya sang patih heran.
"Di
depan mesjid tengah terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak Trisula
sedang dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan bantuan", menerangkan salah
seorang hulubalang. Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia barusan lewat menyelidik
di depan mesjid dan di sana tak terjadi keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian
telah kena tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada
pertempuran di depan mesjid?"
"Seorang
hulubalang klas satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian
tolol semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti
oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju ke
tembok timur.
"Mana
dia?!" tanya Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi
. . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan
Patih Jayengrono mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang tergagap-gagap
ketakutan terputus sampai di situ. Setelah memaki habis-habisan, tanpa membuang
tempo sang patih segera melompati tembok kerajaan dan lenyap dari pemandangan
orang-orang tersebut. Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya
dilihatnya seorang berpakaian hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah
orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan di samping itu, Jayengrono merasa
gembira karena inilah manusia yang dicari-carinya. Mahapatih yang berumur
setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah
hebat dan dalam tempo singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya
dalam jarak sepuluh tombak. Maka mebentaklah dia,
"Jangan
harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang
yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia memanglah
Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono!
Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas
kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak kurang
dari delapan tombak dia menghantamkan tangan kanannya ke belakang. Mapatih
Jayengrono yang tengah lari kencang tak punya kesempatan untuk menangkis,
dengan serta merta membuang diri ke samping kiri.
Wuss!
Angin
pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin
pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja pohon itu
menjadi hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan
mengeluarkan suara bergemuruh.
"Kau
berkelit dari seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau
terus bernafas kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih
Jayengrono mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat jelas wajah
si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang melarikan Tombak Trisula
itu adalah Dewa Maling Baju Hitam, seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di
dunia persilatan. Pantas saja dia sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan
itu.
"Sebelum
kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono.
"Lekas serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari
kehancuran!"
Dewa
Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau
jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas
kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan
ambil sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil
menimangnimang Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih
Jayengrono gusar bukan main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada beberapa
hal yang harus diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling terkenal sebagai
pencuri klas wahid yang tak ada bandingannya di dunia persilatan namun
bagaimana dia bisa berhasil mencuri Tombak Trisula sedang senjata mustika itu
di simpan di tempat yang paling tersembunyi dan penuh dengan senjata-senjata
rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang berani mengambilnya secara
sembarangan?
Hal kedua
yang ingin diketahui oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang
bersembunyi di belakang pencuri itu dan sekaligus memberi tahu seluk beluk
penyimpanan Tombak Trisula, dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa
Maling Baju Hitam!
"Dewa
Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau
memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku
mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu,
Mapatih!" sahutnya.
"Jika
kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang berdiri di
belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping itu aku akan berikan
hadiah besar untukmu."
"Sudahlah
Mapatih. Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang bukan milik
bapak moyangmu?"
Marahlah
Mapatih Jayengrono.
"Aku
bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya.
"Kalau kau tetap keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari
pagi!"
"Kalau
begitu kau yang sebetuinva buru-buru inginkan mati, Jayengrono! Marilah
kutolong kau mencari jalan ke neraka!". Habis berkata begitu Dewa Maling
Baju Hitam melompat dan menyerang dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata
mustika bermata tiga itu menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api
berpercikan.
Dewa
Maling Baju Hitam kaget bukan main. Dia hampir tak melihat kapan lawannya itu
mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu
sudah berada di tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula!
Memang dalam ilmu pedang, Mapatih Jayengrono memiliki kepandaian yang tinggi
sekali. Pada umur tigapuluh lima tahun dia sudah dijuluki sebagai "Raja
Pedang Dari Pajang" dan kini dalam umur setengah abad lebih ternyata ilmu
kepandaiannya semakin tinggi!
Meski
Dewa Maling terkejut bukan main, tapi sang patihpun tak kurang kagetnya.
Sewaktu bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar keras dan kesemutan. Bahkan
ketika ditelitinya salah satu bagian mata pedangnya telah rompal akibat beradu
dengan Tombak Trisula!
Melihat
betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih
Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu. Maka
begitu menyerang dia segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat dan
selama ini menggetarkan dunia persilatan di Jawa Tengah!
Di lain
pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia hanya
akan sanggup melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo yang singkat.
Untuk itu dia harus mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pedang
lawan dengan Tombak Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ dengan
mempergunakan tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun kegusaran yang ada di
hati Dewa Maling membuat laki-laki ini memutuskan untuk melayani terlebih dulu
sang patih sampai beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang berilmu
tinggi itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam. Dua puluh jurus
berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin. Serangan pedang
lawan datang bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air hujan.
"Bangsat
tua ini lihay betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam
keadaan begitu rupa dia melompat menjauhkan diri seperti orang yang hendak
mengambil langkah seribu.
"Mau
lari ke mana, manusia jahat?!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan
satu gerakan kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun
sekali ini sang patih telah tertipu.
Gerakan
yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi
justru untuk memancing lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya dengan
membacokkan pedang, laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke
samping lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh sebelah bawah
lawan yang tidak terjaga.
Karena
bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa
Maling membahayakan sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan
pedangnya ke bawah karena dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya
bagi dia untuk dapat menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang di
kehendaki oleh lawannya. Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa
Maling dengan keras memukulkan Tombak Trisula ke atas menyongsong senjata
lawan! Raja Pedang Dari Pajang terkejut namun kasip. Tak ada kesempatan lagi
untuk menghindarkan bentrokan senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di
tangan Mapatih Jayengrono patah dua. Jayengrono cepat melompat mundur sedang di
hadapannya Dewa Maling tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak
Trisula di depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono!
Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal melihat
matahari esok pagi!".
Dewa
Mating menerjang ke muka.
Tombak
Trisula berkiblat menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat nya
dengan sisa patahan pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan kiri
melepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. .
"Keparat!"
maki Dewa Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak berdaya
itu masih memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam dirinya kalau dia
tidak lekas-lekas menyingkii dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi!
"Walau
bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri
jahat!" kata Jayengrono yang masih besar nyalinya meski kini sudah
bertangan kosong.
Dewa
Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama melayani
patih Pajang itu. Dari dalam baju hitamnya yang terlindung oleh pakaian
hulubalang dikeluarkannya sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua
tangan terpentang Jayengrono menunggu waspada. Senjata di tangan kiri lawan
merupakan senjata aneh baginya. Tiba-tiba Dewa Maling meletakkan salah satu
ujung benda hijau berbentuk suling itu di ujung bibirnya dan meniup. Satu suara
melengking tajam menusuk anak telinga menggema di keheningan malam. Asap hijau
yang ditaburi manik-manik merah menyala mencurah ke arah Jayengrono. Dalam
kagetnya patih Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu asap hijau
bertabur manik-manik merah menyambar hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari
tenggorokannya terdengar suara seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah dan
akhirnya tubuhnya tergelimpang pingsan.
Dewa
Maling Baju Hitam tertawa perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak
membunuhmu sekarang bukan berarti aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun
jahat yang ada dalam tubuhmu akan membuat kau menderita batuk darah seumur
hidup! Dirimu akan tersiksa, dan itu jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali
Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula, dia
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu
sejauh seratus tombak, satu bayangan putih entah dari mans datangnya tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Melihat sosok tubuh patih Jayengrono yang terhampar
di tanah, orang ini memaki.
"Sialan,
aku terlambat!"
******************
10
ORANG
berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh Jayengrono. Wajah sang patih
kelihatan membiru sedang dari sela bibirnya keluar busa kental dan leher
bengkak menggembung. "Racun jahat," kata orang berpakaian putih dalam
hati. Telapak tangan kanannya di tekankan ke perut Jayengrono sedang jari-jari
tangan kiri mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudiankelihatan tubuh
Jayengrono menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari mulutnya semakin banyak
keluar busa dan kini busa itu berwarna kehijauan. Kemudian terdengar perutnya
menggereok dan sang patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang
berpakaian putih merasa lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia
maklum, kalau Jayengrono tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak
mungkin di selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan
Jayengrono masih belum terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas dan
hawa dingin ke dalam aliran darah sang patih lalu diambilnya dua butir obat dan
dimasukkannya ke dalam mulut patih itu. Setelah yaktn bahwa kini tak ada lagi
racun jahat yang mengendap dalam tubuh atau jalan nafas Jayengrono, laki-laki
berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari
tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara
seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak
diketahui ke mana perginya Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah berganti
dengan siang, fajar telah menyingsing di timur.
Tubuh
Mapatih Jayengrono yang selama beberapa jam terhantar di tanah kelihatan
bergerak. Sepasang matanya membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan
duduk menjelepok di tanah. Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada
saat itu. Namun bila dia ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia
memandang berkeliling dan pada waktu itulah pandangannya membentur pada
barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah
ke Istana.
Tentang
Tombak Trisula tak usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan
dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar
212.
Pendekar
212," desis Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di seluruh
Jawa Tengah namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar berusia muda yang
amat tinggi ilmu silat serta kesaktiannya, yang bertualang dari situ daerah ke
daerah lain menjalankan tugas membela kebenaran dan keadilan, menolong siapa
saja yang tertindas dan mendapat bahaya. Kemudian Jayengrono ingat pula
bagaimana Dewa Maling Baju Hitam telah meniupkan racun jahat kepadanya hingga
dia roboh pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah yang telah menolongnya.
Perlahan-lahan Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya terhadap Dewa Maling amat
besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain berharap bahwa Pendekar 212
Wiro Sableng benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan tombak tumbal
Kerajaan itu. Dengan harapan itulah Jayengrono meninggalkan tempat tersebut dan
kembali ke Istana Pajang.
*******
Kira-kira
setengah hari perjalanan dari Pajang terdapatlah sebuah lembah liar. Dulunya
lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir melanda daerah itu,
segala kesuburan lembah tersebut ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang terdapat
di situ ikut menjadi korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini
sisa-sisa kuil tersebut masih berdiri meskipun sudah tak beratap lagi dan dinding-dinding
sebagian besar hanya tinggal sepotongsepotong. Boleh dikatakan sejak lembah itu
berubah menjadi lembah liar, tak seorang manusiapun yang datang ke sana. Namun
di hari itu adalah aneh karena di depan bekas-bekas runtuhan kuil kelihatan dua
ekor kuda besar tengah merumput. Terlindung di balik reruntuhan tembok kuil
berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu
bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang lagi
kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran Ranablambang
dan pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku
kawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata
Pangeran Ranablambang.
"Mana
mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu tinggi
pula," menyahut Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat
ditumbuhi berewok.
"Tapi
dia bisa saja silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah
Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau tidak
percuma dia mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk
beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada akhirnya
di tepi lembah dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan cepat.
"Itu
dia," kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang
memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan ternyata
memang dia adalah Dewa Maling Baju Hitam yang telah menanggalkan pakaian
hulubalangnya.
"Bagaimana?
Berhasil?!" pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran Ranablambang
pada Dewa Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres
Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah
Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu
menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan
padaku cepat."
Dari
balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu dan
menyerahkannya pada Pangeran Ranablambang. Setelah meneliti benda itu sebentar
lalu sang pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari
Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran
Ranablambang. Dia melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang
tergantung di leher binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain.
"Yang ini berisi barang-barang perhiasan, emas dan batu-batu permata.
Kantong yang satu ini berisi uang! Terimalah!"
Dewa
Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah menyimpan
baik-baik kedua kantong tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana
dengan janjimu hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di Istana?"
Ranablambang tersenyum.
"Kau
tak usah kawatir Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di tanganku
pangkat apapun yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana kita itu masih
cukup panjang untuk diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita
…."
"Apalagi
yang harus kita laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama
kita harus melenyapkan Mapatih Jayengrono …. ".
Dewa
Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa
kau tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal
diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia
sudah kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa
Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana dia pada
akhirnya berhasil merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu. Bukan main
gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau
begitu", kata sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa
menggerakkan balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang
mengangguk-angguk kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukanpasukan
akan memasuki Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang
ada di dalam Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah mau
ikut menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri
"Karena
ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran …." jawab
Dewa Maling.
"Baiklah
kalau begitu. Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai
ketemu," balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah
Dewa Maling lenyap dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik ke kuda
masing-masing.
"Apa
kataku, Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil
mendapatkan Tombak Trisula itu!"
Pangeran
Ranablambang tak berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari
lebih kencang.
"Agar
lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata
Pangeran Ranablambang.
"Baik,
Pangeran", menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok
memasuki sebuah jalan kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang
pembantunya mengikut dari belakang.
Ada
kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di depan
mereka terdengar suara siulan membawakan lagu tak teratur dan tak menentu
nadanya, tiada beda dengan anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya
suara siulan itu masuk ke telinga kedua penunggang kuda dan menggetarkan
gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa
pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran
Ranablambang pada Pandemang.
"Ada
kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku
juga merasakan", kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari
kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah
dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran
semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih belum
juga memapasi atau melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar
datangnya dari sebelah muka!
"Seorang
biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang.
Dirabanya pinggangnya untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di
situ. Setelah satu kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran
Ranablambang.
"Bagaimana
Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah
Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi
sudah jauh begini kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir
sejenak lalu.
"Biar
kita teruskan saja. Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka
keduanyapun memacu kuda masing-masing kembali.
Tak
selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi jalan,
bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah
yang tengah asyik bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika Pangeran Ranablambang
dan Pandemang sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-olah
tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran kedua penunggang kuda itu.
"Hanya
seorang pemuda tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata
Ranablambang pada pembantunya.
Pandemang
juga jadi mendongkol ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah seorang
pemuda berpakaian putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang
edan, minggirlah! Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di bentak
demikian rupa si pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin
memperkencangnya hingga baik Pangeran Ranablambang maupun Pandemang terpaksa
menutup jalan pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit
pengang!
"Pemuda
hina dina!" bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap
kurang ajar terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang
melompat dari kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam diayunkan
ke kepala pemuda itu.
******************
11
"PANDEMANG!
Tahan dulu," seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak
mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia berpaling dan
bertanya heran.
"Mungkin
dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun
tuli tapi dia tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang
mengambil sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan kaki pemuda
yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda,
kalau kau hanya seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah
lekas!"
Si pemuda
menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar suara tertawa
membahak, membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi gelisah dan
mengeluarkan suara ringkikan ketakutan.
"Apa
kata hamba, Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata
Pandemang.
Ranablambang
kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu kembali
mengayunkan tangan memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu
dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak,
tahu-tahu pukulan Pandemang meleset dan menghantam pohon di belakangnya hingga
patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh
kesakitan. Tinju kanannya kelihatan merah lecet. Dan ini membuat laki-laki itu
naik ke kepala amarahnya. Masih dengan mengandalkan tangan kosong Pandemang
menerjang ke muka menyerbu si pemuda berpakaian putih.
Yang
diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang
dilancarkan oleh Pandemang tak satupun mengenai sasarannya. Ini membuat
Pandemang semakin naik pitam sedang lawannya terus menerus tertawa mengejek.
Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih lama lagi. Dua bilah golok besar yang
senantiasa tergantung di pinggangnya kiri kanan dicabutnya. Sesaat kemudian
sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah pemuda berbaju
putih. Dalam keadaan begitu rupa si pemuda tak bisa main-main seperti tadi
lagi. Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka. Didahului oleh
suara siulan yang melengking tinggi laksana mau merobek gendang-gendang
telinga, pemuda itu berkelebat. Di lain kejap tubuhnya lenyap menjadi
bayangbayang dan Pandemang kini bingung sendiri karena tak dapat melihat di
mana lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang
berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh
menelungkup karena satu pukulan keras mendarat di punggungnya. Untung saja
pukulan itu hanya mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam
niscaya Pandemang akan konyol detik itu juga. Dengan beringas Pandemang
membalikkan tubuh. Dua bilah goloknya membacok susul menyusul namun lagi-lagi
dia hanya menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat memastikan di mana
musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. Pandemang mengeluh
pendek. Perutnya mual seperti mau muntah. Ketika satu tamparan menghajar
mukanya, tak ampun lagi laki-laki bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan
menggeletak pingsan di tanah!
Untuk
beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung kudanya.
Dia tahu betul tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa
mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti yang dilakukan si
pemuda.
"Pemuda
rambut gondrong! Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku
adalah Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir,
lalu meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang telah
mencuri Tombak Trisula tumbal kerajaan!".
Merahlah
paras Ranablambang. Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan
gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya melayang di
udara dia sudah mengirimkan satu serangan yang hebat membuat pemuda rambut
gondrong terpaksa buruburu menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan
yang seru di jalan kecil itu. Ternyata Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya
dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit. Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap
ilmu silat yang dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau saja lawannya tidak
hati-hati dan berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi dia mendapat celaka.
Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin Ranablambang masih belum
berhasil untuk merobohkan lawannya. Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi
lawan pada jurus ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula.
Dengah keris di tangan kiri dan tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan
menggempur si pemuda.
"Ha
. . . ha … ! Senjata curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh
keterlaluan!" ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya
golok besar milik Pandemang. Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu
disapukannya terdepan. Ranablambang mengelak cepat dan dari samping mengirimkan
satu tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget karena lawannya tak
ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu rupa satu benda keras
menghantam kepalanya sebelah belakang. Sang Pangeran mengeluh pendek.
Pemandangan mandangan berbinar-binar. Tanah yang dipijaknya, laksana amblas dan
sesaat kemudian dia tergelimpang pingsan menyusul Pandemang. Pemuda berambut
gondrong tertawa perlahan. Diambilnya Tombak Trisula dari genggaman
Ranablambang; lalu diselipkannya di pinggang di balik bajunya.
*******
Para
pengawal di pintu gerbang Kotaraja sebelah timur terkejut dan juga heran
sewaktu menyaksikan seorang pemuda asing dengan menunggangi kuda membawa dua
sosok tubuh yang diletakkan di atas punggung seekor kuda gandengan. Kejut serta
keheranan mereka bertambah lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang ada di
punggung kuda gandengan itu adalah Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang
bernama Pandemang.
"Bukalah
pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat
itu selusin pengawal sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk
menangkapnya.
"Turun
dari kuda dan serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda
memaki dalam hati.
"Para
pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot! Lekas buka
pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono selekasnya!"
"Katakan
dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan darurat! Tidak sembarang orang
boleh masuk! Apa lagi kau datang membawa Pangeran Ranablambang beserta
pembantunya dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu
keren amat, sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan
pada Mapatih Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak
perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian
mau buka pintu gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret!
Berani membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk
menyentakkan kaki pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si pemuda
telah lebih dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga
tubuhnya mencelat mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat
itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan
mengeroyok si pemuda sementara seorang prajurit pengawal lainnya menyelinap
masuk ke Kotaraja guna melaporkan kejadian itu pada atasannya.
Ketika
lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat terkejut menyaksikan
bagaimana sepuluh prajurit pengawal berhamparan di depan pintu gerbang. Ada
yang merintih kesakitan, ada yang menggeletak pingsan sedang pemuda rambut
gondrong masih tetap berada di punggung kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-olah
tak ada terjadi apa-apa di situ!
"Orang
gendeng!" bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia
segera mencabut pedangnya membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat
kencang!
"Tahan!"
terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima
hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah seorang
lakilaki yang sudah berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat orang ini,
pemuda rambut gondrong segera melompat turun dari atas kudanya dan menjura
hormat seraya berkata:
"Mapatih
Jayengrono… aku yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis malam
tadi."
Mula-mula
Jayengrono keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu. Namun bila
dia ingat apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah
kau Pendekar 212 …?" sang patih bertanya.
"Betul,
Mapatih," jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
Jayengrono
memandang berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal pintu gerbang
yang mulai siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya
pemuda ini!
Dialah
yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula yang
telah dicuri itu!"
Tentu
saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan main.
Mana mereka menyangka kalau, si pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini sangat terkenal dalam dunia
persilatan. Dengan cepat mereka membuka pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono
membawa Wiro Sableng ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-hadapan
Jayengrono segera bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan
kembali Tombak Trisula?"
Wiro
Sableng mengangguk. Dari balik baju putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula.
Jayengrono menerima senjata itu. Setelah menelitinya sebentar, berserulah
Mapatih Pajang itu.
"Ini
Tombak Trisula palsu!"
Wiro
Sableng terkejut dan tersentak dari kursinya.
"Bagaimana
Mapatih tahu …?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas
lalu memang kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika
diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau tak
percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono
mengambil sebilah pedang pajangan yang tergantung di dinding ruangan itu.
Dengan pedang itu kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung
terpotong dua!
"Lihat!"
kata Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak mungkin bisa memapas
Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa sanggup memotongnya jadi
dua!"
"Kalau
begitu aku telah tertipu!" kata Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang berambut gondrong. Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah
mati.
"Aku
tak salahkan kau, Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono,
"sebelumnya kau tak pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . .
". Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya bertanyalah Jayengrono.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Sebaiknya
bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka,"
menganjurkan Wiro.
Jayengrono
menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke ruangan
itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran
Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut
"pangeran" terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah
terbuka tak ada gunanya. kau bersembunyisembunyi lagi. Jawablah setiap
pertanyaanku dengan jujur. Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana
Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang
yang bermuka kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada Jayengrono, lalu pada
potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya
berkata, "Aku tidak mengerti maksudmu".
"Kau
lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi adalah
palsu!"
"Palsu
atau tidak itu bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau
telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal kerajaan
itu. Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada padamu dan temyata palsu. Kau
atau si pencurikah yang telah menukarnya dengan yang palsu?" yang berkata
ini adalah Wiro Sableng.
"Orang
gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab pertanyaan
orang gila!"
Wiro
Sableng tertawa perlahan dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku, tapi
aku tidak segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau cuma anak
seorang gundik. Tapi mengapa menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu
berhasrat hendak jadi raja pula! Mana yang lebih gila, aku atau kau?!"
Merahlah
muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
"Lekas
beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku
tidak tahu!"
"Jangan
berdalih, Pangeran!"
"Kalau
dia tak mau menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus untuk
membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih,"
membuka suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia
betulbetul tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan
yang palsu".
"Lantas
apa yang kau ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat
rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang
mendesis.
"Sebelum
kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang leher sendiri!
Ayo katakan apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku
tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik,
tak apa", kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang
lalu di suruhnya jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku
mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua
dengan Jayengrono.
"Dugaan
apa?"
"Mungkin
sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak Trisula
yang asli lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu
bukan mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah kau membantuku
kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai
jawaban Wiro Sableng berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan,
Mapatih."
"Usahakanlah
sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan
kawatir Mapatih, mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun
ruangan itu mempunyai pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya
memilih jendela untuk jalan lewat meninggalkan ruangan tersebut.
******************
12
SEHABIS
meninggalkan kuil tua di lembah liar itu, Dewa Maling Baju Hitam tak hentinya
merasa geli dalam hati akan kebodohan pangeran Ranablambang yang telah kena
ditipunya. Di samping ahli mencuri, Dewa Maling adalah seorang licik yang teramat
jahat hatinya. Begitu Tombak Trisula berada di tangannya segera dia pergi ke
seorang tukang tempa dan disuruhnya membuat sebuah tombak yang bentuknya persis
seperti Tombak Trisula yang asli. Kemudian Tombak Trisula yang palsu itulah
yang diserahkannya pada Ranablambang.
"Dasar
tolol!", kata Dewa Maling dalam hati, "kini aku punya kesempatan
untuk jadi Raja Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi Raja, bukan main!".
Saking
gembira dan geli akan ketololan Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa Maling
tertawa gelak-gelak seorang diri.
"Orang
gila dari manakah yang tertawa disiang bolong begini rupa!" satu suara
tinggi membentak. Dua sosok bayangan bekelebat!
Dewa
Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan memandang berkeliling.
Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua orang gadis
berjubah kuning berdiri dikiri kanannya. Siapa yang tak kenal dengan Sepasang
Iblis Betina yang berparas cantik tapi berhati lebih kejam dari iblis?!
Untuk
menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru
menjura hormat dan berkata.
"Ah,
Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara tertawaku mengganggu
ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-benar gembira…"
"Apa
yang menyebabkan kau gembira?" tanya Nilamaharani.
"Anu
. . . . hem …. aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan", jawab Dewa
Maling dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya dalam hati. Mengapa
dia harus menjawab begitu rupa?
Bukankah
seribu jawaban lainnya bisa diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani
bertanya lagi. "Mana coba kulihat kantung itu!"
Dengan
masih memaki dalam hati Dewa Maling mengeluarkan kantung yang dimaksudkannya
lalu diserahkannya pada Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi kantung itu.
Ternyata memang isinya perhiasan.
"Nasibmu
memang beruntung, Dewa Maling. Namun sayang benda ini bukan rejekimu.
Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar perhiasan ini diserahkan
padaku!".
Berubahlah
paras Dewa Maling.
"Ah,
rupanya memang demikian" kata Dewa Maling, "tapi lebih cocok lagi
kalau perhiasan itu kita bagi dua saja …"
"Tutup
mulut licikmu!" Nilamahadewi menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan
Tombak Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa
Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia undur beberapa langkah
lalu tertawa.
"Kau
bicara apakah, Iblis Betina?"
Nilamahadewi
balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis ini kemudian membentak. "Kau
jangan berpura-pura pilon! Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas serahkan
Tombak Trisula itu!" Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak
Trisula? Tombak Trisula apa …? Aku betul-betul tidak mengerti!" kata Dewa
Maling masih berpura-pura sedang hatinya tambah tidak enak. Naga-naganya bahaya
perselisihan tak mungkin lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak bakal
menyerahkan Tombak Trisula tersebut. Yang membuat dia heran ialah bagaimana
Iblis berbaju kuning ini mengetahui bahwa Tombak Trisula tumbal Kerajaan yang
asli ada padanya!
Nilamahadewi
mendengus dan pandangan matanya berubah angker.
"Tombak
Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau masih mau dusta?!"
"Oh
… sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang sekali!" sahut
Dewa Maling pula sambil memainkan senyum. "Jika tombak tersebut yang kau
maksudkan, sayang telah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang karena dialah
yang menyuruh aku untuk mencurinya."
"Dan
sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasa dalam kantong tadi bukan? Yang kau
katakan kau temui di tengah jalan?!" ujar Nilamaharani.
Nilamahadewi
menimpali. "Terhadap lain orang kau boleh bicara dusta! Tapi terhadap kami
awas!"
"Sungguh
mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya
yang bernama Pandemang menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa Maling
masih mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi
tertawa tinggi.
"Memang…
memang telah kau serahkan pada si Ranablambang, tapi bukan tombak Trisula yang
asli, melainkan yang palsu!".
Berobahlah
paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan
aku Sepasang Iblis Betina. Karena masih ada lain urusan aku mohon diri!"
Habis
berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat hendak berlalu. Tapi…
"Eeee
… ee… ee! Mau ke mana Dewa Maling?! Apa kau tidak punya telinga? Mana Tombak
Trisula itu?!" tanya Nilamahadewi dan cepat menghadang jalan Dewa Maling.
"Maaf
Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau inginkan Tombak
Trisula, mintalah langsung pada Pangeran Ranablambang."
"Kurang
ajar! Masih berani mempermainkan aku!" teriak Nilamahadewi marah. Dia
menerjang ke depan seraya mendorongkan telapak tangan kirinya. Serangkum angin
keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju Hitam. Yang diserang cepat berkelit,
menjatuhkan diri lalu berguling aneh di tanah dan sesaat kemudian dia sudah
berada lima belas tombak jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu!
"Caramu
lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-mentah dari
hadapanku!"
kertak
Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompatan yang disebut "katak sakti
melompati gunung", tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian
sudah menghadang di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
Kaget
Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak dapat
dihindar dan untuk laripun tak mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa Maling
segera mengirimkan satu tendangan ke uluhati Nilamahadewi. Serangan ini dengan
mudah bisa dikelit oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya. Tendangan yang
dilancarkan lawan hanyalah tipuan belaka karena di saat dia bergerak mengelak,
satu jotosan keras dari samping kiri hampir saja meremukkan batok kepalanya
kalau dari jurusan lain kakaknya tidak datang membantu!
"Dasar
iblis! Beraninya main keroyok!" bentak Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau
berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah
kalian berdua! Aku tidak takut!" jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru saja
dia berkata begitu selarik sinar berkilauan menyambar membuat kedua lawannya
tersentak kaget dan mundur!
Temyata
Dewa Maling Baju Hitam telah mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan senjata itu
menyerang kedua lawannya. Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti yang tak
bisa dibuat main maka Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih
untung tombak mustika itu berada di tangah lawan seperti Dewa Maling, kalau di
tangan seorang lawan yang jauh lebih tinggi kelihayannya pasti mereka akan
mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat itu keduanya tak mau
bertindak gegabah.
Tombak
Trisula di tangan Dewa Maling bersiut-siut laksana hujan mencurah. Sepasang
Iblis Betina bergerak gesit. Hanya bayangan warna baju mereka yang kuning kini
yang kelihatan berkelebat kian kemari. Dewa Maling mempercepat putaran
serahgannya. Dia tahu dirinya berada di atas angin dan kedua lawan tak berani
maju mendekatinya. Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba
terdengar suara dua pekik yang keras dan menegakkan bulu roma. Di saat itu pula
bayangan-bayangan kuning lenyap dari hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina
laksana gaib. Dewa Mating berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan putaran
tombak yang sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat begitu sepasang
matanya berputar memandang berkeliling dengan tajam. Sebelum dia berhasil
mengetahui di mana kedua lawannya berada mendadak setiup angin dingin berhembus
keras dari samping kiri.
Dewa
Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari tangan kanannya.
Namun dia selamat dari pukulan "es iblis" yang amat berbahaya yang
telah dilepaskan oleh Nilamaharani dari atas cabang pohon di sebelah kiri sana.
Sebenarnya tombak mustika itulah yang telah menyelamatkan Dewa Maling. Kalau
hanya mengandalkan kekuatannya sendiri mungkin dia sudah mendapat celaka saat
itu.
Baru
terlepas dari bahaya maut itu, Dewa Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan
sinar kuning yang datang dari samping kanan. Sekali lagi Tombak Trisula
dibabatkannya. Meskipun kali ini untuk kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan
diri namun Dewa Maling menjadi gugup sewaktu dari depan dan dari belakang
kembali setiup angin dingin luar biasa menyambar dan dari depan selarik sinar
kuning menderu. Hanya ada dua jalan untukc menyelamatkan diri dari dua serangan
ganas meminta jiwa itu.
Pertama
memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi kesempatan salah satu serangan
akan melanda tubuhnya Dewa Maling yaitu bila gerakannya menangkis kalah cepat
dengan perbawa dua serangan tersebut. Cara kedua ialah dengan melompat ke atas!
Dan cara inilab memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling
menjejakkan kedua kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di sekeliling
tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara setinggi tujuh tombak.
"Buk"!
Satu
pukulan keras menghantam bahu kanan Dewa Maling. Tulang selangkanya patah
remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit. Ketika dia terguling di tanah dan
bangun dengan tertatih-tatih baru disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi
dalam genggaman tangan kanannya!. Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu
kini dilihatnya berada di tangan Nilamaharani yang berdiri dengan bertolak
pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek!
Dewa
Maling menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke udara tadi.
Nilamaharani yang berada di belakangnya tanpa diperhitungkan lagi oleh Dewa
Maling, telah menyusupkan satu pukulan tapi tangan yang keras dan sekaligus
berhasil merampas Tombak Trisula dari tangan Dewa Maling.
"Manusia-manusia
haram jadah," maki Dewa Maling secara menggerakkan tangan mengeluarkan
senjatanya yakni sebuah suling berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir.
Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah menyerbu dengan
Tombak Trisula!
"Keparat!",
maki Dewa Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan sejak detik itu tak punya
kesempatan lagi untuk mempergunakan suling hijaunya karena setiap saat dia
dibikin sibuk oleh serangan Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan
pukulan-pukulan tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
"Kalau
aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma di sini," membatin
Dewa Maling Baju Hitam.
Sambil
mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan Nilamaharani, dengan gerakan
yang tidak kelihatan oleh kedua lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah benda
sebesar tutup botol berwarna hitam.
"Betina-betina
edan!" teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. "Jika kalian
benar-benar lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu
dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam melemparkan benda tersebut.
Nilamaharani juga menyangka bahwa benda hitam itu betul-betul satu senjata
rahasia, tak ayal lagi segera menyapu dengan Tombak Trisula. Begitu benda hitam
dan Tombak risula beradu, terdengar suara letupan dan asap hitam yang amat
tebal bertebar dengan cepatnya di seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata
yang bagaimanapun tajamnya.
"Kurang
ajar! Kita tertipu!" seru Nilamaharani. Dan betul saja. Ketika asap hitam
lenyap, Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi mata hidungnya di situ!
******************
13
SETELAH
berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan Sepasang Iblis Betina dan
mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling Baju Hitam timbullah dendam kesumat
untuk menuntut balas. Di samping itu dia bertekat bulat untuk mendapatkan
Tombak Trisula kembali. Namun disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin
terlaksana kalau hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa
Maling Baju Hitam segera menemui beberapa orang kawan satu alirannya. Maka
sewaktu hari menjelang malam, bersama orang-orang itu dia berunding di satu
pondok, mengatur rencana batas dendam dan merampas Tombak Trisula. Mereka
berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. Di samping kanan Dewa
Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih tepat kalau di
katakan katai. Si katai ini berkepala botak licin berkilat berlawanan dengan
kepalanya yang licin plontos itu, mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang
bawuk yang meranggas liar karena tak pernah dicukur. Siapakah adanya pemuda
ini?
Dia
adalah Warok Kate, seorang pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan
Jatiluwak. Ilmunya tinggi karena dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti
yang kemudian menyeleweng jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kare ini bacalah
jilid ke 1 cersil : Pedang Sakti Keris Ular Mas; karangan Bastian)
Orang
kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang laki-laki
yang cuma punya satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya merupakan rongga
hitam yang mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun memelihara berewok yang
teramat lebat. Tampangnya bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama
Baraka Seta, yang mendapat julukan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo karena
bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama menjadi buaya sungai yang
ditakuti. Siapa atau perahu mana saja yang melewati Kali Progo, pastilah, akan
dirampok dan para penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka
menyerahkan barang-barang secara sukarela.
Orang
ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya
senantiasa pucat macam orang mau, mati besok sedang sepasang matanya selalu
saja berair. Dia mengenakan jubah ,’ ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang
tahu. Dia dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini
bukan bangsa maling atau perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan
seorang tokoh golongan hitam yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
"Nah,
kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis Betina
itu memang sakti dan berkepandaian tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah
kita yang berempat ini masakan keduanya bisa berkutik?!"
"Memang,
aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan lewat,"
kata Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah,
apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu
hari anak buahku merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara Kali
Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli hasil
rampokan mereka. Anak buahku melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang
masih sanggup melarikan diri dengan jalan menyelam di sungai secara diam-diam
lalu melaporkan kejadian itu kepadaku. Sewaktu aku mendatangi muara sungai,
bangsat-bangsat betina itu sudah kabur bersama barangbarang rampokan!"
Sunyi
sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi
tempat mereka?"
"Malam
ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok
Kate mencabut golok besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang amat
tajam dari senjata itu dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah,
golok! Malam ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa mengekeh
disarungkannya senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari
kita berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum
tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara
menegur.
"Seorang
tamu datang, masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada
peradatan!"
Dewa
Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga
kambratnya lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa
di luar?!"
"Seorang
tamu".
"Siapa
nama dan datang dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya begitu
diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu belakang dan
menyelidik.
"Aku
datang dari Kotaraja." terdengar sahutan si tamu malam yang masih berada
di luar pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono untuk bicara empat
mata dengan kau, Dewa Maling."
Dewa
Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo
serta
Setan
Ungu Muka Pucat keluar pula meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal
seorang
diri.
"Sebelum
kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat
pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!"
"Penting
atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku
Wiro Sableng!"
Bagai
dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa Maling
Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan diam-diam merasa menyesal mengapa
telah menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan pondak hingga dia tinggal
sendirian di situ dalam kekhawatiran yaitu setelah mendengar orang di luar pondok
menyebutkan namanya.
"Pendekar
212 Wiro Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau
kau ada hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu apakah kau
mencariku?"
"Aku
sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau."
"Kau
tak usah kawatir pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku sudah
kusuruh pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam dikeluarkannya
seruling hijau yang berisi racun jahat lalu menunggu Wiro Sableng di depan
pintu. Begitu si tamu masuk akan segera disemburnya dengan racun tersebut.
Di luar
pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka
Pucat merasa amat heran. Meskipun dia jelas mendengar percakapan antara Dewa
Maling dengan tamu yang mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya sama
sekali tidak melihat Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara
itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang
beracun. Dia tersentak seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu dibelakangnya
terdengar suara orang menegur.
"Ah!
Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku masuk
lewat pintu belakang!"
Dewa
Maling menoleh. Seorang pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri menutupkan
pintu sambil menyeringai kepadanya.
"Kau
…. kau Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda
itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama
ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng
dan tak pernah melihat orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda berambut
gondrong dan bertampang seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau
pemuda itulah Pendekar 212 Wiro Sableng? Rasa ngeri yang sebelumnya menyungkup
diri Dewa Maling dengan serta merta lenyap. Dan suaranyapun kembali garang,
beringas.
"Katakan
urusanmu!"
Wiro
Sableng melangkah beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku
sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan
Tombak Trisula!"
Sepasang
bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul
kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa
Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!"
kata Dewa Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan
menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih
belaka!"
Di ejek
demikian rupa Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya marah malah ikut tertawa
gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa bagaimana lantai pondok yang dipijaknya
jadi bergetar keras!
"Kacung
atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak Trisula!"
kata Wiro kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku
kawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong
sendiri!" ujar Dewa Maling pula.
Wiro
menyeringai.
"Lekas
serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak
Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia
bermaksud mengadu domba kau dengan aku!"
Wiro
tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu
adalah yang palsu! Mana yang asli?"
"Hem,
rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku terangkan
yang sebenarnya padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari sini!"
"Belum
tentu."
"Jangan
keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua
puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula
yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling
dengan geram. "Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan
bicara bohong, Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu
pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya Mata Satu
berdiri di belakang Pendekar 212 sedang dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka
Pucat. Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata:
"Manusia
keras kepata macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro
Sableng mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu
Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia
muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak pasti aku
sudah menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak.
"Bedebah!"
bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala tapi
parasnya masih tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari
tangannya yang berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212. Namun
gerakannya itu terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan
kesusu, sobatku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan
jiwanya."
Dewa
Maling berpaling pada Wiro dan bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut
kami ke tempat Sepasang Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa
sudi?!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga
kawan-kawanmu yang tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika itu ada
padamu!"
"Kalau
begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!" bentak satu suara di belakang
Pendekar 212. Satu benda kemudian terdengar bersiur ke arah pemuda ini. Tanpa
menoleh, dari suara sambaran angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa yang
menyerangnya dari belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak
ke kanan. Bila dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan
menendangkan kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok Kate. Golok
besar yang dipakainya untuk menyerang terlepas mental sedang lengannya sakit
bukan main akibat tendangan lawan!
"Kalau
mau menyerang, dari depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini
terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala rampok
berilmu tinggi dan luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu
gebrakan saja?! Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari Pendekar 212 tidak
kosong belaka!
"Kawan-kawan!
Mari kita kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju Hitam.
Dengan
senjatanya yang berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada
Pendekar 212.
Kalau
tadi dia merencanakan untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun senjata
tersebut, kini hal itu tak berani dilakukannya karena khawatir akan
mencelakakan kawan sendiri. Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling adalah satu
tusukan kilat yang berbahaya. Namun tidak demikian mudah untuk merobohkan murid
Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan kilat itu. Sambil berkelit Wiro
menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat yang hendak membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua
kepalan sama-sama beradu. Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir
agar keluh kesakitan tidak keluar dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan ketika
diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet merah! Melihat ini Setan Ungu
Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih berwarna ungu.
Sementara itu Buaya Mata Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut pedang besar
sedang Warok Kate setelah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula
menyerbu. Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212
dikeroyok oleh empat tokoh silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro
tahu adalah gila kalau dia menghadapi keempat lawannya dengan terus
mengandalkan tangan kosong. Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena
"disate" senjata-senjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan
tangan untuk melepaskan pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi
pemuda ini segera mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya. Sinar
putihpun berkiblat!
"Awas
Kapak Naga Geni 212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat
kawankawannya.
Peringatan
itu tak ada gunanya karena sesaat kemudian terdengar suara "cras"
yang dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding
pondok dan akhirya roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan
Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia melupakan
keselamatan kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta merta ditiupnya
sulingnya. Sinar hijau bertabur manik-manik merah menyembur ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng. Wiro sudah maklum betapa jahatnya racun dalam sinar itu,
dengan serta merta menyapukan Kapak Naga Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar
hijau dan manik-manik merah tersapu ke kiri di mana Setan Ungu Muka Pucat
berada. Tak ampun lagi begitu racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu Muka
Pucat terbatuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau
muntah. Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir
membasahi ludah.
"Dewa
Maling! Tindakanmu gegabah sekali!" teriak Warok Kate yang jadi penasaran
melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak mungkin diselamatkan lagi jiwanya.
"Terpaksa kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau bertempurlah seorang
diri melawan pemuda itu!".
Habis
berkata demikian Warok Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok, lenyap di
kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula
dia memutar tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi kesempatan lari pada yang
satu ini. Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga Geni 212 telah membabat
putus salah satu kakinya. Dewa Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit
kesakitan.
"Kalau
kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan
jiwamu." kata Wiro.
"Setan
alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis Betina
….!"
"Di
mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah
sama setan neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk ke
jantungnya dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah
pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
******************
14
MENURUT
keterangan yang didapat oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman
Sepasang Iblis Setina terletak di daerah berbukit-bukit di seberang hutan
Bintaran. Lima hari mengadakan penyelidikan dia samasekali tak berhasil
menemukan sarang kedua gadis jahat tersebut. Selama ini Wiro telah mendengar
perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan oleh Sepasang Iblis Betina. Ada
hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki muda dan yang bertampang
gagah yang selalu menjadi korban kedua gadis tersebut?
Hari
keenam berlalu. Wiro Sableng memutuskan bila sampai hari ketujuh dia masih
belum berhasil menemukan kedua orang yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan
tempat tersebut dan mencari keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah
pada pagi hari ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di dalam Telaga
Puteri Intan Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih
mulus dilihatnya melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya.
Pemuda itu cepat naik ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu menunggu dengan
tenang.
Namun
ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu
pemilik kaki yang bagus tadi muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia
adalah seorang dara berparas cantik sekali. Wiro mengingat-ingat beberapa orang
gadis cantik yang pemah ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang satu ini
adalah yang paling cantik yang pernah dilihatnya. Gadis ini mengenakan pakaian
berbentuk jubah pendek berwama biru tua berbungabunga kuning. Di tangan kirinya
ada sebuah kendi besar. Dara ini kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya
sewaktu sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar 212.
"Di
pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali
rasanya hidup ini …." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia
tersenyum.
"Nona,
siapakah kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis.
Sang gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau
datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah perduli
aku kalau memang tak sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan
mengganggumu." Pemuda ini membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Di
dengarnya gadis itu melangkah ke tepi telaga. Lalu didengamya suara kendi
dimasukkan ke dalam air telaga. Sewaktu Wiro Sableng berpaling, dilihatnya
gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si gadis membuang muka sewaktu
pandangan mereka saling bentur.
"Kalau
dilihat membuang muka. Orang melengah memperhatikan …" kata Wiro dalam
hati.
Kemudian
tanpa acuhkan gadis itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang membuat dia
terkejut sewaktu di dengamya gadis itu berseru. "Saudara, tunggu ….
!"
Wiro
Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau
jangan jalan ke arah sana…."
"Eh…
Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ….?"
tanya Wiro.
"Daerah
sebelah sana berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga
karena kendi yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem,
begitu? Banyak binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan."
jawab si gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro
Sableng melangkah ke hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku
tahu apa yang terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa
nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf,
tak bisa kuberi tahu."
"Kau
tahu betul tempat kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis
menggeleng. "Tapi percayalah…" katanya. "mereka sering muncul di
jurusan yangtadi hendak kau tempuh."
"Kau
dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya.
Setiap hari aku ke sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan
sesuatu tapi tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di
dengamya suara gemerisik rantingranting. Dia berpaling dengan cepat lalu
melompat ke jurusan ranting dan semak belukar. Jelas dilihatnya bayangan kuning
berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di situ bayangan tersebut lenyap
laksana ditelan bumi. Wiro ingat pada keterangan yang diterimanya yaitu bahwa
Sepasang Iblis Betina senantiasa mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil
bayangan kuning tadi adalah bayangan salah seorang dari mereka. Dengan
perlahan-lahan dia kembali menemui si gadis. Di lihatnya gadis ini berdiri
menggigil dengan muka pucat.
"Tak
usah kawatir. Tak ada apa-apa…." kata Wiro menenangkan.
"Waktu
aku bicara tadi, sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku takut
sekali, saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat itu …."
"Kau
ditipu pemandanganmu sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak
enak.
"Aku
sudah memeriksa tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku
harus kembali cepat-cepat. Tapi … tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari
kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa
banyak cerita lagi kedua orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak selang
berapa lamanya, dihadapan serumpun semak belukar lebat gadis itu berhenti.
Dengan tangan kanannya disibakkannya semak-semak tersebut lalu berpaling pada
Wiro dan berkata, "Masuklah!"
"Tempat
tinggalmu di sini ….?"
Jawaban
si gadis tak terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk ke
dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong batu yang
bersih dan bagus hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang diterangi
oleh sebuah pelita aneh. Pelita itu merupakan sebuah kayu hijau yang
ditancapkan di dinding ruangan. Bau harum aneh menyentuh penciuman Wiro
Sableng. Dia memandang berkeliling. Ruangan itu indah sekali. Si gadis
menyuruhnya duduk.
Berada
sendirian di dalam ruangan itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran
darahnya: Untuk beberapa lamanya diperhatikannya pelita aneh di dinding yang
dilihatnya semakin redup cahayanya sedang bau harum semakin mempengaruhi
dirinya. Darahnya menyentak-nyentak dan nafasnya memburu panas. Semua ini
menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera dikerahkannya tenaga dalam dan
ditutupnya penciumannya.
Selang
beberapa ketika si gadis muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama
dengan sebelumnya namun kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang
redup sekalipun sanggup merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata
Pendekar 212 Wiro Sableng menyipit.
"Gurumu
mana…?" tanya Wiro.
"Aku
lupa mengatakan sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di
hadapan Pendekar 212.
"Ada
apa dengan dirinya?"
"Dia
kejam sekali. Sejak aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan laki-laki.
Kau tentu tahu bagaimana perasaan seorang dara yang sudah menginjak alam dewasa
seperti aku ini…."
"Aku
mengerti…" sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku
sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu
melarang kau berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa aku
ke mari?"
"Beliau
sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem
. . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis menggiurkan
dan menyatakan perasaannya tentang kerinduan terhadap seorang laki-laki kepada
seorang laki-laki. Aliran darah Wiro Sableng semakin menggelora panas. Denyut
nadinya tambah cepat. Dan di antara ke semua itu perasaan adanya bahaya semakin
besar. Dia ingat bagaimana dulu dia tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang
seorang dara yang kemudian dara itu ternyata hendak merenggut jiwanya. Apakah
gadis yang satu inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh,
kau masih belum menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara
mereka.
"Sebutkan
namamu dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku
Wiro."
Si gadis
mengangkat kepalanya. "Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro
Sableng."
Meski
bibir si gadis merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa
ditipu. Pada bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan sinar aneh
saat itu dan genta tanda bahaya semakin keras mengumandang di telinganya,
menyuruhnya berhati-hati.
"Namamu
sendiri siapa, nona . . . . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri
sementara itu jalan pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani
. . . . ", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama
bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita
hijau kembali merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku
sudah menyiapkan minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata
Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro
berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona
…." kata murid Eyang Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus
percuma."
Ruangan
yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya
perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala tempat
tidur yang bagus berseperai kuning itu berbentuk meja panjang di mana terletak
dua buah cangkir. Wiro merasa tidak enak begitu melihat wama seperai di
hadapannya, namun seolah-olah tak ada apa-apa dengan tenang dia duduk di tepi
terlipat tidur sewaktu Nilamaharani mempersilahkannya. Meski saat itu perasaan
adanya bahaya semakin keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum mengetahui
siapa sebenarnya dara jelita yang bernama Nilamaharani itu.
"Silahkan
minum, Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir ke
tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan hingga betis
dan pahanya yang putih tersingkap menantang.
Wiro
Sableng mendekatkan bibir cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh wangi
yang ada dalam cangkir itu berwama aneh, agak berminyak-minyak di sebelah
atasnya. Dia yakin minuman itu telah dicampur dengan racun jahat namun selama
Kapak Naga Geni 212 masih tersisip di pinggangnya, selama senjata ampuh
penangkal segala macam racun itu masih ada padanya, dia tidak takut racun jahat
apapun di atas dunia ini.
Tanpa
ragu-ragu diteguknya teh itu sampai habis. Perutnya terasa hangat. Kemudian
dari gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya hawa dingin menyelusup ke dalam
perutnya. Untuk beberapa ketika dia merasa seperti digelitik kemudian segala
sesuatunya seperti biasa kembali. Hawa dari Kapak Naga Geni 212 telah punahkan
racun jahat dalam perutnya!
"Tehmu
enak sekali dan terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir
kepada Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah
kau membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus menerus
dibendung…?"
"Pertanyaanmu
agak aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat
pula kau bayangkan bagaimana akibatnya?".
"Air
akan naik dan lambat laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan
meledak pecah."
Nilamaharani
menganggukkan kepalanya.
"Itulah
yang terjadi selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku berhubungan
dengan laki-laki. Melarang … melarang dan akhirnya sewaktu aku berhadapan
dengan seorang laki-laki, dengan seorang pemuda macammu ini, aku tidak tahan
Wiro. Mungkin ini adalah ucapan yang tidak pantas tapi aku benar-benar tidak
tahan…"
Wiro
Sableng menggeser duduknya sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau
seorang yang suka berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya memegang
bahu gadis itu. Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang pada orang
yang bersifat seperti itu."
"Kau
senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani
menjatuhkan kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu
erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya jalan
pernafasannya. Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala
gadis itu. Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis yang telah berubah laksana
seekor singa kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya
di pembaringan.
"Kau
harus melakukannya untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku…"
Sepasang kaki Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro
Sableng. Nafasnya membara.
Untuk
sekejap Wiro Sableng lupa diri. Nafsunya menggelora. Kedua tangannya
menggerayang di atas tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan
kalajengking secara sekaligus. Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan.
Matanya memandang membelalak pada tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas
tempat tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia
dajal hina dina! Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki …?! Gila!
Terkutuk!" teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani
memekik marah. Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan kedua
tangannya yang terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke dinding. Untuk
kedua kalinya Nilamaharani memekik dan yang sekali ini dari kedua tangannya
menyambar dua larik sinar kuning.
"Pukulan
es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis
Betina, hah?"
Nilamaharani
memekik lagi macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya dan secepat
kilat memukul ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu menggelegar sewaktu
pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhantaman dengan pukulan "es
iblis" yang dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar
212, takdir sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia
banci keparat. Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!"
teriak Wiro seraya melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu
sinar yang menyilaukan memapas pukulan sinar matahari. Satu benda bermata tiga
hampir saja menyambar leher pemuda itu kalau dia tidak lekas-lekas melompat ke
belakang. Ketika dia memandang ke depan di samping Nilamaharani yang saat itu
sudah mengenakan pakaian, berdiri seorang gadis berjubah kuning yang parasnya
secantik Nilamaharani. Dan di tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga.
Tombak Trisula! Senjata mustika inilah yang telah memapas musnah pukulan sinar
matahari Wiro tadi!
"Bergundal
baju kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki
seperti dajal satu ini…"
"Tutup
mulut kotormu, bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah
Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan dengan
Tombak Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu serangan
pukulan sakti yang hebat. Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Pendekar 212.
Terdengar
suara menggaung. Sinar putih berkiblat dan "trang"! Tombak Trisula di
tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak!
Pemuda ini bukan tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru
Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan
dan sama-sama menekan dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan
keduanya segera menghambur masuk ke pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih cepat
lagi. Tubuhnya laksana terbang. Dari mulutnya keluar suara suitan nyaring dan
Kapak Naga Geni 212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu menjerit dan
tergelimpang di mulut pintu rahasia. Pinggang masing-masing hampir putus
dilanda Kapak Naga Geni 212. Untuk seketika mereka masih kelihatan
bergerak-gerak sesudah itu kaku tegang untuk selama-lamanya.
Pendekar
212 Wiro Sableng membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di lantai
sementara Kapak Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian putihnya. Dia
melangkah mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung Tombak Trisula
disingkapkannya jubah kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!"
maki Pendekar 212. "Dia juga lakilaki! Sialan!"
Tanpa
menunggu lebih lama lagi Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu. Sepasang
Iblis Betina telah menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus segera
diserahkannya pada Mapatih Jayengrono di Istana Pajang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment